Pedang Urat Petir 2
Suro Bodong 02 Pedang Urat Petir Bagian 2
Cukup untuk dijadikan satu tontonan di pasar malam. Tapi, bagaimana dengan
pedangku ini" Kau bisa menandingi
kehebatannya?"
Suro Bodong semakin mendekat,
Brogo semakin melangkah mundur dengan
tegang. Kalau lawannya kali ini bisa
selamat dari kejaran api Pedang
Guntur, berarti lawan itu bukan orang
sembarangan. Tentu Brogo bukan
tandingannya. Itulah sebabnya Brogo
menjadi tegang dan mulai cemas. Ia tak punya jurus lain yang lebih ampuh dari
Pedang Guntur. "Paman Brogo... bahaya...!" seru seorang yang patah tulang pundaknya.
Lalu orang yang bermata memar dan kini menjadi memar lagi setelah mendapat
serangan dari Suro tadi juga
berteriak: "Paman Brogo, mari kita
tinggalkan dia...!"
Suro Bodong memandang geli
melihat wajah Brogo ketakutan. Ia
tadinya merencanakan untuk melancarkan jurus Pedang Jitu, tetapi hati
kecilnya melarang. Hati kecilnya
mengatakan, bahwa ia hanya perlu
memberi pelajaran sedikit kepada Brogo dan orang-orangnya, supaya segera
pergi dan tidak mengganggu Saga.
"Brogo... Aku punya sedikit oleh-
oleh buat kamu pulang nanti. Itu kalau kamu mau pulang, kalau mau tetap
dimakamkan di sini ya, silakan saja.
Nah, terimalah jurus Pedang Colok
ini... Hiaat...! Hiiat... hiaat...
haiat...."
Suro Bodong menghunjamkan
pedangnya ke tujuh arah sekelilingnya
dengan tenaga kuat. Lalu ia
mengibaskan pedang itu di depan mata
Brogo. Jarak mereka ada sepuluh
langkah, tapi tiba-tiba Brogo
berteriak setelah pedang Suro Bodong
dikibaskan ke samping.
"Aauww...! Aku... aku buta...!
Ooh, aku butaa!!" Brogo kebingungan Matanya mengerjap-ngerjap dan merasa
perih. Tangannya meraba-raba karena
pandangannya tiba-tiba menjadi gelap.
Ia berteriak-teriak: "Aku butaa...!
Ooh..." Beberapa orang yang masih mampu
mendekat, segera membantu Brogo untuk
melangkah. Mereka menjadi tegang dan
kebingungan. Suro Bodong berdiri
dengan tenang garuk-garuk kumis
sebentar. "Mau pulang apa mau mati di sini.
Pilih saja, Brogo. Kau juga boleh
memilih pulang sambil mati," kata Suro Bodong sambil memegangi pedangnya
dengan kedua tangan.
"Aku buta, aku tak bisa melihat
apa-apa lagi...!" rintih Brogo.
"Ah, itu tidak lama kok. Tidak
sampai setengah hari kau akan bisa
melihat lagi, Brogo. Itu kan cuma
jurus penutup mata lawan dalam
pertarungan. Jadi, yah... cuma
sementara saja. Sebenarnya, habis ini
aku harus membunuhmu!"
"Oh, jangan...! Jangan bunuh aku.
Ayo, anak-anak.. tuntun aku pulang.
Ayo, pulang...! Yang sakit bantu
berdiri. Ooh... perih sekali
mataku...!"
Suro Bodong tertawa melihat
mereka sempoyongan kembali ke
Kepatihan Benteng Cadas. Pada saat
itu, Saga buru-buru keluar dari
persembunyian dan mendekati Suro
Bodong. Ia ingin mengatakan sesuatu,
tapi lidahnya kelu saat melihat Suro
Bodong memasukkan pedang ke dalam
daging lengannya melalui pergelangan
tangan kiri. Dan pedang itu masuk
seluruhnya ke dalam lengan, tanpa
meninggalkan bekas luka setitik jarum
pun di pergelangan tangan tersebut.
Saga tak henti-hentinya berdecak dan
mendesah kagum.
"Kau benar-benar pendekar yang
hebat, Kang Suro."
"Syukur kalau kau mengakuinya,
Saga. Ah, lupakan saja soal itu.
Sekarang aku ingin bertanya: tadi
mereka menuduhku punya hubungan dengan Ki Pupus. Kau kenal orang itu?"
"Kenal. Aku kenal sekali dengan
Ki Pupus," jawab Saga.
"Siapa orang itu?"
"Ayahku..."
"O, jadi..." Jadi, Ki Pupus itu
ayahmu" Lantas, kenapa mereka
menangkap dan menawan ayahmu" Mengapa
mereka tampaknya penasaran?"
"Mereka mengira ayahku
menyembunyikan pedang. Mereka tak
percaya kalau ayahku hanya seorang
petani biasa. Ketika ada petir
menyambar-nyambar, banyak rumah di
sini yang terbakar kesamber petir.
Hanya rumahku yang selamat, lalu
mereka mengira hal itu dikarenakan
ayah mempunyai pusaka yang mereka
cari-cari, yaitu Pedang Urat Petir..."
Suro Bodong terbengong. "Mereka
mencari Pedang Urat Petir" Gila! Untuk apa"! Siapa sebenarnya mereka itu"!"
Saga diam saja, sebab ia tak tahu
bahwa yang dilihatnya tadi adalah
Pedang Urat Petir.
4 MALAM merambah. Atas pertimbangan
Suro Bodong, mereka tidak tidur di
rumah Saga. Mereka hanya mengambil
beberapa peralatan seperlunya, lalu
pergi ke tempat persembunyian Saga, di balik tembok hangus. Di sana, ada
ruang yang menuju ke bawah tanah.
Sebuah ruang rahasia yang ditinggal
mati oleh penghuninya. Di situ ada dua dipan, satu meja dan sebuah almari
makanan kering. Gula, teh, kopi,
tembakau, ada di situ semua. Agaknya
ruangan tersebut sengaja dibuat oleh
penghuninya untuk menanggulangi
bahaya. Tempat persembunyian itu cukup aman. Sayang penghuninya telah mati
terbakar ketika rumah itu disambar
petir minggu lalu.
"Aku takut berada di sini, Kang.
Pak Jayus, sekeluarga yang memiliki
rumah ini sudah mati."
"Yang sudah mati ya biar saja
mati. Jangan pikirkan," kata Suro Bodong. Ia sibuk membakar jagung di
tempat perapian. Sebelum masuk ke
tempat bawah tanah itu, sore tadi Suro Bodong sempat memetik beberapa jagung
dari ladang di belakang rumah Saga. Ia paling menyukai jagung bakar.
"Kalau kau mau tidur, tidurlah.
Aku akan berjaga-jaga mengusir hantu,
kalau memang ada hantu yang berani
mendekatiku. Kalau tidak ya tak perlu
panggil-panggil hantu, kan?" Suro asyik membolak balik jagung bakarnya.
"Belakangan ini aku jarang bisa
tidur dengan nyenyak, Kang. Aku
memikirkan ayah." Lalu Saga mengeluh sendiri, "Kasihan ayah... dipenjara tanpa
berbuat salah. Disiksa tanpa
bisa bertindak. Aku ingin sekali
menebus ayah berapa pun mahalnya..."
"Percuma," ujar Suro pelan.
"Ayahmu tak akan bisa ditebus dengan uang berapa pun jumlahnya."
Saga yang terbaring mengangkat
kepala. "Tapi, Kang... dulu aku pernah bertemu dengan salah seorang prajurit
Kepatihan, dan kutanyakan tentang cara menebus ayah. Tapi dia bilang, ayah
harus ditebus dengan mahal."
"Bukan ditebus dengan uang,
maksudnya. Melainkan dengan Pedang
Urat Petir...!"
Saga tertegun dalam lamunan
murungnya. Suro Bodong merasa kasihan
ketika melirik Saga. Ia berkata.
"Hanya Pedang Urat Petir yang
mereka butuhkan. Jika mereka sudah
menemukan Pedang Urat Petir, ayahmu
akan dibebaskan."
"Tapi ayah tidak punya pedang
itu, Kang. Ayah cuma punya cangkul,
sebab dia petani biasa. Kalau Cangkul
Urat Petir, mungkin ayah punya. Tapi
kalau pedang, tidak."
Suro Bodong tersenyum geli. Ia
manggut-manggut. "Aku percaya kata-katamu. Percaya betul bahwa ayahmu
tidak mempunyai pedang itu. Sebab..."
Mulut Suro Bodong berhenti
bicara. Ia ragu dan mempertimbangkan:
haruskah Saga mengetahui bahwa Surolah yang mempunyai Pedang Urat Petir" Ini
yang dipertimbangkan Suro Bodong. Dan
bungkamnya mulut Suro membuat Saga
heran, lalu bertanya:
"Sebab apa, Kang" Kau mau bilang
apa tadi?"
"Hemm... tidak. Aku cuma mau
bilang, sebab itu sulit ditemukan. Itu saja!" Suro memutuskan untuk menjawab
begitu. Ia khawatir, kalau Saga tahu
bahwa ia memiliki Pedang Urat Petir,
berita itu bisa bocor ke mana-mana.
Saga orang yang gampang kagum. Gampang memuji dan mudah bangga terhadap
berita mengherankan. Bisa-bisa di luar kesadaran Saga, anak itu akan
menceritakan siapa pemilik Pedang Urat Petir.
"Kang...?"
"Hemm..."!"
"Petir itu apa ada uratnya?"
Pertanyaan polos itu cukup
menggelikan hati Suro Bodong. Ia hanya menjawab:
"Mana aku tahu. Aku belum pernah
disambar petir kok!"
Saga manggut-manggut, seakan
serius sekali menanggapi kata-kata
Suro Bodong. Ia bahkan berkata:
"Aku juga belum kok. Waktu rumah
orang-orang disambar petir itu, kok
rumahku tidak disambarnya sekalian,
ya" Apa ayahku itu orang sakti
sehingga petir takut menyambar"!"
"Mungkin. Tapi kalau menu rut
perkiraanku, itu hanya tergantung
nasib kok. Nasib baik ada pada
rumahmu." "Aneh sekali, ya?"
"Nasib itu memang serba aneh. O,
ya... di depan rumahmu itu kan ada
pohon kelapa yang tinggi?"
"Iya. Nah, kalau pohon itu malah
ikut tersambar petir, Kang. Cuma,
tidak sampai roboh. Hanya terbakar
bagian pucuknya. Aku melihat sendiri
api yang membakar daun-daun kelapa
itu, Kang."
"Itu...! Itu yang membuat rumahmu tidak disambar petir. Jadi, sewaktu
petir hendak menyambar rumahmu, ia
sempat mampir dulu ke pohon kepala...
eh, ke pohon kelapa itu. Coba kalau
tidak ada pohon kelapa yang menjulang
tinggi, dan lebih tinggi dari atap
rumahmu, bahkan lebih tinggi dari
pohon-pohon lainnya, oooh... pasti
rumahmu juga ikut kena jatah disambar
petir, Ga. Seperti rumah orang-orang
yang terbakar itu, kan tidak punya
pohon setinggi pohon kelapamu itu.
Iya, kan?"
Saga mengangguk dan termenung
beberapa saat. Suro Bodong mencicipi
salah satu jagungnya yang sudah hangus sebagian. Ia meniup-niup biji jagung,
lalu melemparkan ke mulutnya.
Sementara jagung yang lain dipasang
lagi di atas anglo tanah. Mirip tungku buat memasak.
"Kang..." kata Saga lagi,
memecahkan kesuny ian. "Kalau mau mencari Pedang Urat Petir itu di
mana?" "Memangnya mau apa kau?"
"Aku mau mencarinya, lalu
kuserahkan kepada Patih Danupaksi
untuk menebus ayahku "
Suro Bodong diam. Sedikit tak
enak kata-kata itu didengarnya, namun
ia segera menyadari bahwa itu hanyalah ucapan seorang bocah yang ingin
membela ayahnya. Wajar saja. Namun,
betapa tenangnya Suro, akhirnya ia
gelisah juga. Resah memikirkan mengapa orang mencari-cari pedangnya" Akan
Suro Bodong 02 Pedang Urat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
digunakan untuk apa" Dan siapa yang
sangat membutuhkannya"
Haruskah ia terlibat terlalu
dalam sampai ke urusan Kepatihan
Benteng Cadas itu" Ah, bukankah ia
punya urusan sendiri" Mencari
kekasihnya yang sangat dirindukan :
Ratna Prawesti. Dan, Suro Bodong
segera ingat bahwa Saga pernah
mendengar nama itu. Mungkin dia suatu
saat akan ingat di mana dan siapa yang menyebutkan nama Ratna Prawesti itu.
Tadi Suro Bodong telah meminta Saga
mengingat-ingatnya, namun tidak
berhasil. Jadi, dia harus sabar
menunggu ingatan Saga, supaya bisa
menjadi penunjuk arah ke mana ia harus mencari Ratna.
"Haruskah begitu?" pikir Suro Bodong berkali-kali. Ia berkata dalam
hati, jika aku harus menunggu ingatan
Saga, berarti aku harus membebaskan
ayah Saga dari tawanan orang Kepa-
tihan. Sebab pikiran Saga saat ini
selalu tertuju kepada ayahnya, mencari cara bagaimana ia bisa membebaskan
ayahnya. Itulah sebabnya ia tidak
ingat tentang nama Ratna Prawesti.
Wah, kacau.... kenapa aku jadi
terlibat ke urusan seperti ini" Kalau
begitu, apa yang harus kulakukan untuk membebaskan ayah Saga, ya" Menyerang
Kepatihan" Atau mencuri ayah Saga"
Atau... menyerahkan Pedang Urat Petir
ini" Wah... bingung aku. Bagaimana
caranya, ya...?"
Setelah pagi menyingsing, Suro
baru memperoleh keputusan. Langkah
pertama adalah menyelidiki dulu
keadaan Kepatihan Benteng Cadas itu.
Dia tak tahu arahnya, tapi Saga pasti
tahu di mana Kepatihan Benteng Cadas
itu. "Kepatihan Benteng Cadas ada di
balik bukit Jati, Kang." Saga
menjelaskan. "Kita ke sana, Ga."
"Wah, berat, Kang. Nanti kita
bentrok dengan penjaga batas Kepatihan lho, Kang. Yang jaga orangnya galak-
galak. Dulu, aku ke sana karena alasan cari kayu, jadi boleh. Kalau alasan
lain, misalnya alasan mau melihat
keadaan Kepatihan, bisa dibacok sama
penjaga di daerah bukit Jati lho."
"Kita tidak beralasan begitu,
tolol! Kita bisa mencari jalan lain.
Kita bisa pura-pura cari kayu, Ga.
Pokoknya kau jadi penunjuk jalan dan
sebagai pencari kayu. Itu saja!"
"Yaah... terserah Kang Suro
sajalah. Aku menurut!"
Jarak antara tempat persembunyian
dengan rumah Saga tidak begitu jauh.
Maka ketika mereka muncul dari ruang
bawah, mereka dapat langsung melihat
keadaan rumah Saga. Hanya terhalang
tembok hangus sedikit, tapi tidak
menyulitkan mata Suro Bodong untuk
melihat sosok tubuh perempuan berdiri
di depan rumah Saga. Waktu itu, pagi
sudah meninggi. Embun tak tersisa
lagi. "Perempuan jalang...!" gumam Suro Bodong dalam geram.
Saga mengernyitkan dahi melihat
perempuan berpakaian serba hijau.
Seorang lelaki gemuk ada di samping
perempuan itu Saga juga menggumam:
"Mau apa Kenanga menyambangi
rumahku, Kang?"
"Entahlah..." bisik Suro Bodong sambil menarik pundak Saga supaya
bersembunyi di balik tembok hangus.
"Agaknya ia mencari-cari kamu. Mungkin ia masih penasaran, karena ia ingin
membunuh kamu."
"Aduh, bagaimana, ya Kang?" Saga cemas.
"Kau diam di sini saja. Biar aku
yang menemuinya dan membuat perdamaian dengannya," ujur Suro Bodong sambil
memetik-metik biji jagung bakar dengan ibu jarinya. Kemudian ia melangkah
dengan santai. Sesekali melemparkan
biji jagung ke mulutnya. Sesekali
menggaruk kumisnya yang tebal dengan
telunjuk. Saat itu Rogama sedang
memeriksa bagian samping rumah dan
Kenanga masuk ke dalam.
Waktu Kenanga Hijau keluar dari
dalam, Suro Bodong sudah berdiri di
bawah pohon, depan rumah agak
menyamping. Ia berdiri di bawah dengan bahu kiri bersandar pada batang pohon.
"Hai..." sapa Suro Bodong dengan kalem
Kenanga Hijau membelalak waktu
melihat Suro Bodong berdiri sambil
mengunyah jagung bakar. Kenanga segera menutupi kekagetannya. Ia bersikap
tenang dan melangkah hati-hati
mendekati Suro Bodong. Rogama sendiri
juga tercengang melihat Suro Bodong
tersenyum kepadanya. Ia buru-buru
bergabung dengan Kenanga Hijau.
"Rupanya orang gila ini ada juga
di sini, Putri," jawab Rogama dengan melirik Kenanga sebentar.
Kenanga menggumam. "Kurasa dia
setan. Bukan orang gila!"
Suro Bodong masih tenang. Ia
sempat mempelajari ketegangan yang ada pada diri Kenanga Hijau dan Rogama. Ia
merasa telah menang mental lebih dulu, karenanya ia berkata sambil memetik-metik
jagung bakar dengan jempolnya:
"Aku yakin, belum ada seorang
pendekar yang mampu merobohkan kamu,
Kenanga. Kau memang hebat."
"Tapi kau telah membuatku terhina di depan umum. Karena itu, kau harus
melawanku untuk menentukan siapa yang
mati di antara kita. Kau atau aku!"
Suro Bodong memandang arah lain.
Santai sekali. "Aneh," katanya. "Baru kubuat tunggang langgang kau sudah merasa
terhina di depan umum. Padahal itu
belum seberapa. Aku hanya sekedar
meluruskan otot-ototku yang pegal.
Kalau aku mau, kau bisa kubuat mampus
dalam keadaan nungging di depan umum."
"Jahanam, kau!" geram Kenanga.
Rogama bersiap maju, tapi Suro Bodong
segera berkata lagi:
"Jangan banyak lagak di depan
Kenanga, Paman! Sekali pun dia tidak
melihat, namun dia tahu bahwa kau
bukan tandinganku." Suro memandang Rogama. "Kalau kau mati di tanganku, aku
sangat menyesal membunuh tikus
tanpa daya."
"Bangsat! Aku bukan tikus!"
bentak Rogama, tersinggung.
"Justru karena kau bukan tikus,
maka aku enggan membunuhmu. Dan
sebaiknya, jangan lagi memusuhi aku,
Paman. Ada banyak hal yang bisa kau
lakukan untuk membantu rencana
Kenanga." "Suro..." geram Rogama. "Aku sakit hati atas kejadian kemarin sore
itu, dan aku harus membalas sakit
hatiku sekarang juga! Kau punya urusan sendiri denganku, Suro!"
"Bodoh," kata Suro Bodong tanpa membentak, melainkan dengan suara
pelan, sepertinya ogah-ogahan bicara.
Ia menyambung kata-katanya:
"Bodoh sekali kau. Menurut
pendapat banyak orang, jika seseorang
ditegur dari kekeliruannya malahan
menjadi marah, itu bodoh! Seharusnya
kau berterimakasih padaku, karena aku
telah menegurmu, mengingatkan kamu
tentang kekeliruan. Kau keliru kalau
kau melawanku. Maka kemarin sore aku
mengingatkan kamu dengan caraku
sendiri." "Sesumbarmu membuatku muak,"
geram Kenanga. "Sebaiknya bersiaplah untuk bertanding denganku, Setan
dekil!" Dan Kenanga segera mengambil
posisi siap tempur. Ia menarik kaki
kanannya ke belakang dan merendah,
sedangkan kaki kirinya membentuk 90?
di bawah tangan kiri yang menggenggam
kuat menuju ke atas, tangan kanan
diangkat di atas kepala dengan
setengah terlipat. Kaku keras dan
bertenaga. Rogama sendiri mulai menyisih,
bergerak m-ngepung Suro Bodong ke arah kanan. Ia memperlihatkan kesigapannya
dengan merapatkan tangan kanan ke
depan dada dalam posisi ketiga jarinya menegang kaku, sementara tangan
kirinya setengah terulur ke depan
dalam posisi jari yang sama. Ia
bergerak ke arah kanan dengan langkah
pelan dan penuh kewaspadaan, sedangkan Kenanga siap membidikkan serangannya
dari depan. Di samping kiri Suro
Bodong, pohon yang dipakainya
bersandar. Suro Bodong menggaruk kumisnya,
seakan tidak mempedulikan gerakan-
gerakan mereka. Mulutnya masih
mengunyah jagung bakar kesukaannya.
Matanya memandang lurus kepada Kenanga namun tidak memancarkan permusuhan.
Cuek sekali. "Kalau kau menang melawanku, apa
yang akan kau peroleh?" tanya Suro Bodong kalem.
"Kepuasan!" jawab Kenanga pendek dan ketus.
"Kalau aku menang melawanmu, apa
yang akan kuperoleh" Apa kau
menyediakan hadiah untukku?"
"Kalau kau menang..." Kenanga berpikir sejenak. Dengan rasa sungkan
ia berkata lagi, "Mungkin tubuhku bisa kau manfaatkan sebagai... terserah
kamu." "Apa kau pikir aku punya nafsu
denganmu"!" Suro berkata dengan senyum mengejek. Kenanga semakin merah
mukanya. "Kuremukkan seluruh tulangmu,
hiaaat...!!" Kenanga menendang Suro Bodong dengan gerakan melayang seperti
burung rajawali mencakar mangsanya.
Suro Bodong masih berdiri agak
miring, pundaknya bersandar pada
batang pohon. Ia menggerakkan tangan
kanannya yang tidak memegangi jagung
bakar. Tenaga dalam disalurkan dari
tangan dan menghentak ke depan.
Kenanga jatuh dalam keadaan terdorong
ke belakang. Suro memetik-metik jagung bakarnya lagi. Tenang sekali.
"Kenapa kita tidak berdamai saja, Kenanga. Ilmumu belum cukup untuk
menandingi orang seperti aku.
Percayalah!"
"Tidak ada istilah damai bagi
Kenanga," Rogama menyahut dari
samping. "Juga bagi aku...
Hiaaat...!!"
Rogama menendang dengan tendangan
samping ke arah kepala Suro Bodong.
Tetapi Suro Bodong sengaja menghantam
kaki Rogama dengan satu pukulan tak
bertenaga. Dan ternyata hal itu
membuat Rogama terpental beberapa
langkah ke belakang. Memang tidak
jatuh, namun cukup terhuyung-huyung.
"Apalagi kamu, Paman...!" ujar Suro tetap santai, belum merubah
posisi berdiri yang miring ke pohon.
"Ilmumu dengan Kenanga tidak ada se-kuku hitamnya. Ibarat pengantin baru,
kamu hanya menang nafsu. Nafsu besar
tenaga miskin!"
Kenanga bersiap menyerang Suro
Bodong lagi dengan pukulan. Tetapi
Suro Bodong menyentilkan biji jagung
bakar dan mengenai tangan Kenanga.
Kenanga mengaduh sambil mengibas-
ngibaskan tangannya yang terkena
sentilan jagung. Agaknya Suro Bodong
menyalurkan tenaga dalamnya yang
sempurna ke biji jagung itu, sehingga
ketika mengenai tangan Kenanga,
rasanya seperti beku dan dingin. Ngilu sekali.
Suro Bodong melemparkan beberapa
biji jagung ke mulutnya. Sambil
mengunyah ia berkata kepada Kenanga:
"Kenapa kau menyukai permusuhan,
Kenanga" Biasanya, seorang perempuan
menyukai suasana damai dan tentram.
Tapi kau tidak. Kau jalang dan brutal.
Kasar dan sadis. Pokoknya kau punya
tabiat jelek! Ini cukup aneh bagiku,
Kenanga!" "Aku memang bukan perempuan
Suro Bodong 02 Pedang Urat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sembarangan. Aku berbeda dengan
perempuan yang pernah kau kenal."
Kenanga bicara dengan pelan, seakan ia bicara dari hati ke hati. "Aku
memerlukan seorang pendekar yang gagah perkasa!"
"Untuk apa" Aku punya banyak
kenalan pendekar gagah!"
"Untuk menolongku."
"Kau dalam kesulitan?"
Sementara waktu, Kenanga diam. Ia
melirik Rogama, dan Rogama yang
agaknya sebagai penasihat Kenanga itu
diam saja. Rogama bahkan buang muka,
lalu tangan kanannya bersandar pada
batang pohon yang lain. Sikapnya sudah menyatakan masa bodoh dan terserah apa
yang ingin dilakukan Kenanga. Sebab
itu Kenanga bicara lagi dengan pelan:
"Aku memerlukan sebuah pedang."
"Kau sudah punya pedang, bukan?"
"Lain..." jawab Kenanga setelah ragu sebentar. "Hanya pedang itu yang bisa
lengket melekat di pedang
Jatayuku ini," Kenanga memegang gagang pedangnya. "Dan pedang yang kucari itu
hanya ada pada seorang pendekar gagah
perkasa." "Sebab itu kau menantang setiap
pendekar untuk menjebak pedang yang
kau cari itu"!"
Kenanga mengangguk Suro Bodong
berkata lagi sambil membiarkan Kenanga memandang ke arah lain, emosinya
turun. "Pedang apa yang kau cari itu"
Mungkin aku bisa membantu
mencarikannya tanpa kau menantang-
nantang permusuhan dengan orang yang
belum tentu punya pedang itu?"
Kenanga kelihatan mendesah. Ia
bertolak pinggang dan memandang jauh
ke tempat lain. Lalu ia melirik Suro
Bodong dan berkata ketus:
"Apa kau bisa kupercaya?"
"Dalam hal apa?"
"Rahasia pedang yang kubutuhkan?"
"Kita coba saja, apakah aku orang jujur atau curang!" jawab Suro Bodong dengan
santai, tetap memetik-metik
biji jagung lalu memakannya.
"Siapa kau sebenarnya?" Kenanga mulai lunak.
"Suro Bodong!"
"Dari mana asalmu?" Kenanga penuh selidik.
"Aku selalu terpojok dengan kata-
kata itu. Aku selalu tidak bisa
menjawab pertanyaan seperti itu. Sebab aku sendiri belum tahu, dari mana aku
dan siapa aku sebenarnya."
Suro Bodong merasa tak enak
ketika Kenanga memandangnya dengan
berkerut dahi, penuh curiga. Lalu ia
buru-buru berkata:
"Jangan tanyakan dulu soal itu.
Tanyakanlah dulu apakah kau akan
berhasil bekerjasama denganku atau
tidak." "Menurutmu, bagaimana?" Kenanga ganti bertanya.
"Kalau kau jujur, aku akan
berusaha menjadi orang jujur. Nah,
sekarang katakan, pedang apa yang kau butuhkan?"
Setelah termenung sebentar,
Kenanga pun menjawab:
"Pedang Urat Petir...!"
Tersentak hidung Suro mendengar
jawaban Kenanga. Jantungnya berdesir
sejenak. Ia mengumpat dalam hati:
"Monyet...! Lagi-lagi orang yang
menghendaki pedangku! Untuk apa sebe-
narnya" Dan mengapa harus pedangku
yang mereka butuhkan?"
Karena Suro Bodong diam, Kenanga
mempunyai gagasan lain:
"Aku yakin kau akan kebingungan.
Kau pasti menyimpan banyak pertanyaan.
Tetapi percayalah, aku pun seperti
kamu. Aku belum pernah melihat seperti apa Pedang Urat Petir itu. Siapa
pemiliknya" Di mana letaknya" Itu
semua belum kuketahui. Sebab itu,
hanya satu cara untuk mengujinya,
yaitu: pedang tersebut akan lengket
bila menyentuh pedang Jatayuku. Hanya
aku dan pemilik Pedang Urat Petir itu
yang bisa melepaskan kedua pedang yang lengket. Orang lain tak akan bisa
melepaskannya."
Termenung Suro, namun tetap saja
mengunyah jagung bakar sambil sesekali menggaruk kumisnya. Rogama
memperhatikan Suro Bodong
dengan berkerut dahi, menyimak sikap dan
jalan pikiran Suro Bodong. Sekali pun
Suro Bodong tahu, tapi ia tidak
peduli. Ia tetap menampakkan
ketenangannya yang santai sekali.
Kenanga bicara dengan tegas, "Kau tak sanggup, bukan?"
"Kalau aku sanggup, bagaimana?"
"Kau bebas dari ancaman matiku.
Tapi kalau kau gagal, kau harus
kubunuh. Tak ada istilah teman atau
perdamaian jika kau gagal mendapatkan
pedang itu."
Suro Bodong tersenyum sinis,
berjalan mendekati Kenanga sambil
memetik-metik biji jagung bakar. Ia
berhenti di depan Kenanga,
memandangnya dengan lagak angkuh dan
berkata dengan tegas pula:
"Kalau aku berhasil, kau yang
akan kubunuh saat itu juga. Bagaimana"
Setuju?" Kenanga merasa tak suka dengan
kata-kata itu: "Jadi untuk apa kau membantuku
mencari pedang itu?"
Suro tertawa pendek. "Aku hanya
mengujimu; kau ternyata takut padaku!"
Suro melebarkan tawa. "Pulanglah, dan temui aku di sini satu bulan lagi!"
"Sepuluh hari! Hanya ada waktu
sepuluh hari. Lebih dari itu, kau
tidak punya kesempatan untuk hidup."
Setelah itu ia memberi isyarat kepada
Rogama agar pergi dari situ. Suro
Bodong hanya tersenyum sinis seraya
memandang kepergian Kenanga dan
Rogama. "Kang...!" Saga berlari
mendekatinya. "Bagaimana, Kang" Dia menyerah kalah?"
Suro Bodong masih memandang ke
arah menghilangnya Kenanga dan Rogama.
"Ternyata dia punya tujuan yang
sama dengan orang-orang Kepatihan,
Ga." Saga berkerut dahi. "Jadi, dia
juga mencari Pedang Urat Petir juga?"
tanya Saga meyakinkan.
"Ya. Dan aku menjanjikan untuk
membantunya."
"Kenapa begitu" Apakah..."
Suro memotong, "Untuk keamanan
kita sementara ini, Ga. Dengan cara
itu dia mau pergi dan tidak memburu
kita. Bukankah saat ini kita masih
punya tugas, yaitu membebaskan ayahmu
dari tawanan patih Danupaksi?"
Saga manggut-manggut.
"Aku mengerti sekarang. Cuma aku belum bisa mengerti, mengapa sekarang banyak
orang yang membutuhkan Pedang Urat
Petir" Seperti apa pedang itu dan
untuk apa sebenarnya, kok laris amat"
Ah, bagaimana kalau kita bikin pedang
dan bilang bahwa itu Pedang Urat
Petir, Kang?"
Suro menggeleng, masih memandang
ke arah kepergian Kenanga. Ia berkata,
"Mustahil mereka percaya. Ada cara untuk menguji Pedang Urat Petir, Ga.
Apabila melekat erat di pedang Jatayu
milik Kenanga itu, maka mereka akan
percaya bahwa pedang tersebut adalah
Pedang Urat Petir."
"Kita bikin pedang, terus kita
beri sagu cair, sebagai lem, supaya
bisa melekat di pedang Kenanga. Kan
bisa?" Suro Bodong tertawa pendek dan
pelan. Ia mengusap rambut anak muda
itu seraya berkata:
"Itu kan pikiran bayi. Jangan
berpikir model bayi kalau kau ingin
menjadi dewasa. Berpikirlah model
orang tua!"
Suro Bodong melangkah. Saga
berseru, "Kita jadi pergi ke
Kepatihan, Kang?"
Suro mengangguk. Lalu ia merenung
sebentar dan segera berkata, "Tunggu di sini dulu, ya..."!"
Suro Bodong pergi ke arah
belakang rumah Saga. Dugaan Saga, Suro Bodong mencari sesuatu untuk senjata
mereka. Tapi, dugaan Saga itu tidak
pernah benar. Di belakang rumah Saga
tempatnya sepi, dan Suro melakukan
sesuatu tanpa dilihat siapa pun.
Tubuh Suro Bodong melayang di
udara, dan ia bersalto 3 kali. Andai
saja Saga melihat, pasti ia akan
terheran dan tidak percaya dengan
penglihatannya. Saat itu, setelah Suro bersalto di udara 3 kali, tubuh Suro
Bodong mengalami perubahan total. Ia
menjadi anak kecil yang usianya lebih muda dari Saga. Inilah ilmu andalan
Suro Bodong yang sebenarnya, yaitu
Jurus Luing Ayan 3. Sebab itulah Suro
Bodong jika bertarung jarang bersalto
di udara, sebab hal itu dapat merubah
ujudnya menjadi tujuh rupa, tergantung berapa kali ia bersalto di udara.
Namun apabila ia berguling dengan
posisi tubuh menyentuh tanah atau
dasar apa pun, maka ia tidak akan
mengalami perubahan ujud yang sangat
ajaib itu. Saga kaget sewaktu melihat ada
anak kecil keluar dari balik belakang
rumahnya. Ia tidak mengenal anak itu.
Bercelana hitam dan telanjang dada,
berkalung slepetan atau ketapel,
berambut cepak, pendek namun tidak
terlalu acak-acakan. Matanya
jeli, alisnya tipis, tapi bulu matanya lebat untuk ukuran anak seusia 10 tahunan
seperti dia. "Hei, siapa kamu"!" tegur Saga.
"Tole..." jawab anak itu. "Mari kita berangkat ke Kepatihan Benteng
Cadas. Ayo...! Saga tertegun dalam keadaan
bengong. Ia masih tak mengerti mengapa anak yang menamakan dirinya Tole itu
bisa muncul dan tahu-tahu mengajaknya
pergi ke Kepatihan"
"Ayo...! Kok malah bengong"!"
kata Tole. "Tunggu, aku sebenarnya akan
pergi ke sana, tapi bukan dengan kamu, melainkan dengan Kang Suro!"
Tole mendekat dan berbisik, "Aku
Kang Suro...!"
"Kau..."!"
"Tenang saja. Ini caraku untuk
mengelabui para penjaga batas wilayah
Kepatihan. Mereka tak akan curiga bila keadaanku seperti ini. Ingat, kita
berlagak jadi pencari kayu bakar, ya?"
"Tunggu dulu. Aku masih belum
mengerti mengapa Kang Suro bisa
menjadi sekecil kamu"!"
"Aku bisa berubah sampai tujuh
kali rupa, Saga. Aku punya jurus sakti yang tidak dimiliki orang lain. Ah,
sudah, mari kita berangkat. Nanti
kujelaskan di perjalanan...!"
5 SURO BODONG berhasil menyusup ke
Kepatihan Benteng Cadas dengan merubah ujud menjadi Tole. Ia berjalan bersama
Saga, seperti kakak beradik yang
sedang menikmati keramaian kota
Benteng Cadas. Istana Kepatihan
terletak di belakang alun-alun. Di
sepanjang pinggiran alun-alun ada
banyak penjual makanan, kedai dan
kios-kios tembakau. Bahkan beberapa
bangunan sedang dibangun di tengah
alun-alun. Konon, nanti malam akan
dimulai perayaan Warsa Panen dengan
diadakannya pasar malam di alun-alun
Suro Bodong 02 Pedang Urat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tersebut. Rakyat Kepatihan Benteng
Cadas mempunyai pesta adat setiap
tahunnya, maka Patih Danupaksi selalu
mengadakan syukuran berupa perayaan
Warsa Panen. "Ini sangat kebetulan, ya Kang?"
kata Saga yang tetap memanggil Tole
dengan sebutan 'Kang', karena dia
masih menganggap didampingi Suro
Bodong. "Kelihatannya
memang kebetulan.
Namun ini sebenarnya sedikit
menyusahkan kita, Saga," jawab Tole.
"Kalau kita gagal, kita bisa dijadikan bahan tontonan orang banyak, dan
dianggap pembuat keonaran. Bisa-bisa
kita berdua dianggap pengacau, lalu
dituntut oleh rakyat untuk digantung."
Anak kecil jelmaan Suro Bodong
itu diam merenung di bawah pohon, di
pojok alun-alun. Tentu saja tak satu pun ada yang curiga dan mengetahui
rencana mereka, sebab mereka tidak
ubahnya seperti anak kecil yang sedang bermain. Saga bagai sedang mengajak
adiknya bermain di tempat itu. Wajah-
wajah mereka pun menampakkan wajah
polos tanda bebas dari suatu rencana
khusus. "Apa yang akan kau lakukan,
Kang?" tanya Saga.
"Tunggu malam. Aku akan masuk ke
dalam benteng Kepatihan, dan kau
menunggu di samping warung itu," Suro Bodong yang berubah menjadi Tole itu
mengajak ke sebuah warung. Di samping
warung itu ada pohon besar yang
rindang. Di samping warung itu juga
ada jalan menuju persawahan, yang
menurut pengamatan Tole dapat membawa
mereka ke luar dari wilayah Kepatihan.
"Kang," Saga bicara pelan.
"Kelihatannya pintu gerbang benteng Kepatihan dijaga ketat oleh para
prajurit berseragam biru hitam."
"Sebab itu aku akan masuk lewat
jalan lain. Aku tidak ingin membuat
suasana menjadi gaduh sehingga rakyat
banyak yang mengetahui rencana kita.
Aku akan masuk setelah gelap malam
tiba, dan kau segera ke warung itu.
Kalau aku datang sambil membawa
ayahmu, kau harus cepat berlari di
belakangku. Mengerti?"
Saga mengangguk. Sementara itu,
beberapa prajurit berkuda sedang
mengadakan patroli keliling alun-alun
dan keluar masuk di sela-sela bangunan yang akan meramaikan pasar malam.
Umbul-umbul dipasang di sepanjang
jalan menuju alun-alun dan di sekitar
alun-alun sendiri.
Sekali pun Suro Bodong telah
menjadi anak kecil, namun ia masih
sanggup merobohkan para penjaga di
pintu gerbang tersebut. Hanya saja, ia tak ingin suasana menjadi ribut dan
kacau balau. Karenanya, ketika malam
telah menjelma, Saga segera
diperintahkan untuk ke samping warung.
Mereka berpisah. Dan satu hal yang
sedikit menguntungkan mereka adalah
pelaksanaan pasar malam itu, yang
ternyata bukan malam ini sangat
melegakan hati Tole, sebab andai
terjadi suatu keributan, tak banyak
masyarakat yang mengetahuinya.
Tole berjalan ke samping bangunan
batu yang tinggi. Ia berjalan sambil
menyelidiki kemungkinan untuk bisa
masuk ke dalam benteng tersebut. Di
setiap sudut, di bagian atas benteng,
terdapat rumah jaga dengan masing-
masing satu prajurit yang siap dengan
panah di tangan.
Benteng itu cukup rapat. Selain
tinggi dan keras, juga tak mungkin
dapat dibobok atau digali pada bagian dasar pondasinya. Batu benteng itu
sangat kokoh, tinggi dan lebar. Tole
saat itu bersembunyi di balik tumbuh-
tumbuhan liar yang terdapat di tepian benteng. Tinggi tanaman itu sebatas
perut orang dewasa, sehingga dengan
jongkok di bawah tanaman tersebut,
Tole dapat melihat beberapa orang
patroli berkuda yang mondar-mandir di
sekeliling benteng.
Tole memutar otak, bagaimana
caranya masuk ke dalam benteng"
Memanjatnya jelas tak mungkin. Selain
cepat diketahui penjaga, juga
kemiringan tembok benteng batu cadas
itu sangat membahayakan jika dipanjat
tanpa tali. Setelah malam kian sunyi, Tole
mempunyai gagasan lain. Ia mencari
tempat lebih tersembunyi, yaitu di
seberang benteng, di antara tanaman
pagar rumah penduduk. Namun ketika ia menyeberang ke sana, seorang pengawas
yang ada di rumah jaga atas benteng
berseru sambil menaikkan obor besar
yang selalu ada di kanan kiri rumah
jaga itu. "Hei, anak kecil...! Mengapa
malam-malam begini masih ngeluyur"
Ayo, pulang...!"
"Ya, Paman...! Ini saya sedang
mau pulang...!" sahut Tole dengan hati berdebar, takut ketahuan.
Waktu Tole sudah sampai di balik
pagar halaman, ia segera bersiap-siap.
Tempat di situ cukup gelap, karena
obor atau pelita yang ada di pinggir
pagar ternyata mati. Mungkin kehabisan minyak. Dan itu sangat menguntungkan
Tole. Tubuhnya yang kecil segera
melesat ke atas. Ia bersalto sebanyak 2 kali putaran. Suro Bodong telah
memainkan jurus Luing Ayan 2. Maka
tubuh kecil itu telah berubah. Bukan
menjadi Suro Bodong seperti semula,
melainkan berubah menjadi perempuan
cantik, lengkap dengan dandanan serta
kain batik warna putih bergaris coklat yang melilit tubuhnya setinggi bawah
lutut. Kain berwarna putih dengan
corak batik lereng coklat itu menutup
tubuh sampai di bagian dada. Sementara itu, ia juga mengenakan kebaya tipis
berwarna kuning gading. Rambutnya
panjang, diurai
lepas sebatas pinggang. Namun ia buru-buru
menggulungnya asal jadi. Menyisakan
sedikit rambut di bagian pelipis yang
terjulur ke bawah sampai di leher.
Dengan rambut digulung begitu,
lehernya yang putih mulus tampak segar menggairahkan. Sedangkan buah dadanya
yang tertutup kain itu juga sekal dan
menjadi daya tarik yang melemaskan lu
tut lelaki. Suro Bodong telah berganti ujud,
menjadi perempuan cantik yang
menggairahkan. Matanya yang bulat
bening itu melirik ke atas sewaktu ia
berjalan di samping benteng.
Gemerincing gelang perak di tangannya
terdengar memecah sunyi. Ia sengaja
berjalan agak cepat dan memancing
suara gelang ketika melewati bawah
rumah jaga di atas benteng.
Pancingannya berhasil membuat
lelaki penjaga pos itu memandangnya.
Suro Bodong yang telah berubah menjadi seorang perempuan sengaja menjatuhkan
diri dengan nafas ngos-ngosan. Lelaki
penjaga pos itu semakin membelalak
ketika kain penutup menyingkap,
membuat paha perempuan itu terlihat
menggairahkan di bawah temeramnya
lampu penerang jalan. Lelaki penjaga
pos itu menelan ludahnya beberapa
kali, kemudian ia berseru:
"Ada apa, Yu...?"
"Oh, tolonglah aku, Kang...
Tolonglah aku...!" Suara Suro Bodong yang telah berganti ujud perempuan
cantik itu ternyata juga berubah,
persis suara perempuan biasa.
"Ada apa, hah" Kenapa Mbakyu
sampai jatuh begitu?"
"Aku... aku dikejar-kejar seorang lelaki yang ingin memperkosaku. Oh
tolonglah... Dia tahu kalau aku lari
ke sini..."
Setelah menimbang sesaat, lelaki
penjaga rumah intai itu mengulurkan
tangga tali. "Naiklah ke mari...! Lekas,
sebelum teman-temanku melihatnya...
Ayo, naik...!" Lelaki itu berseru dalam bisik yang membuat suaranya
seakan serak. Dan perempuan berkebaya
tipis warna kuning gading itu buru-
buru berusaha naik ke tangga tali. Ia
berlagak mengalami banyak kesulitan.
Lelaki penjaga sudut benteng segera
menariknya, sehingga ia berhasil
memegang tangan perempuan itu dan
mengangkatnya ke atas benteng.
Jarak dari sudut benteng ke sudut
yang lain cukup jauh, sehingga apa
yang dilakukan lelaki berkumis tipis
itu tidak diketahui temannya. Ia
segera menyuruh perempuan itu masuk ke rumah jaga beratap genting. Di sana
ada bangku, dan perempuan itu duduk di bangku. Lelaki itu sempat berkata
dalam hati, "Lumayan... bisa untuk penghangat tubuh pada malam yang
dingin seperti ini. Wouw... cantik
juga dia"!"
"Siapa namamu, Yu?" tanya lelaki itu dengan tangan membelai-belai
punggung perempuan jelmaan Suro
Bodong. "Kok tanya nama segala?"
"Kamu kan sudah kutolong dari
kejaran orang yang ingin memperkosamu.
Masa tak boleh aku mengetahui namamu,
anggap saja sebagai hadiah"
Perempuan itu berlagak tersenyum
malu. "Namaku... Arum."
"Arum...?"
Perempuan itu mengangguk. "Arum
Sajen..." "Arum Sajen..." Oh, bagus sekali
namamu." Lelaki itu mencubit dagu Arum Sajen. Arum hanya tersipu sembari
mengelak lambat. "Kau tidak ingin mengetahui namaku?"
"Ah, untuk apa, Kang..." Karena
sebentar lagi kau akan sekarat...!"
"Hah..."!" Lelaki itu mendelik.
Selain kaget juga karena tangan kanan
Arum Sajen segera memukul keras ulu
hati lelaki itu, kemudian memukul lagi tengkuk kepala lelaki itu ketika
lelaki itu menunduk mules. Dan tak
berapa lama lelaki itu pun roboh tanpa suara.
Tanpa membuang waktu, Arum Sajen
segera menuruni tangga batu yang
menuju ke lantai dasar. Tangga batu
itu meliuk seperti tubuh ular
merambat. Begitu ia sampai di lantai
dasar, ternyata ia berhadapan dengan
rumah atau kamar jaga bawah. Kamar itu digunakan untuk tempat menunggu bagi
prajurit yang ingin bergantian jaga di atas benteng. Kebetulan waktu itu ada
orang prajurit berseragam biru hitam
yang sedang berbincang-bincang di
depan kamar. Tentu saja kedua prajurit itu sangat terkejut melihat Arum Sajen
turun dari tangga penjagaan.
"Hei, siapa kamu"!" bentak salah seorang.
Arum Sajen mendekat dengan
senyumnya yang manis. Kedua prajurit
saling beradu pandang. Dan pada saat
itulah kedua kaki Arum Sajen melayang
cepat, menendang kedua prajurit terse-
but. Yang satu terpental karena
dadanya terkena tendangan kaki kanan,
yang satunya lagi terhuyung-huyung
karena wajah terkena tendangan kaki
kiri. Namun keduanya segera mencabut
pedang dari pinggang masing-masing.
"Hiaaaaat...!!" teriakan itu keluar dari mulut prajurit yang
terhuyung-huyung tadi. Suaranya keras, dan pasti mengundang perhatian. Ia
menendang ke arah samping Arum Sajen,
namun pedangnya ditebaskan ke arah
tubuh Arum.
Suro Bodong 02 Pedang Urat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena sudah terbiasa gerakan
Suro Bodong, maka Arum Sajen pun
mengguling di lantai ke arah
berlawanan dengan datangnya pedang
lawan. Tetapi ternyata ia jatuh di
bawah kaki prajurit lain, yang tadi
terpental karena tendangan kaki
kanannya. Sebelum Arum terkena kibasan pedang, kakinya telah menendang dalam
keadaan telentang. Tendangan itu
begitu keras dan mengenai perut lawan, sehingga lawan menjadi menggerang
kesakitan dan susah bernapas. Arum
buru-buru bangkit dan memukul dada
orang itu dengan teriakan seorang
wanita. Pukulan ganda dengan tangan
kiri-kanan yang cepat itu membuat
lawannya terpelanting lagi.
"Kurang ajar kau, Perempuan busuk...!!" seru prajurit di
belakangnya seraya mengibaskan pedang.
Arum segera merundukkan badan ke arah
samping. Lalu ia membalik dengan satu
tendangan keras yang membuat tangan
lelaki itu menjadi ngilu. Pedangnya
jatuh, dan Arum menjadi semakin
lincah. Melihat banyak prajurit yang
berlarian ke tempat kejadian, Arum
Sajen tak ada pilihan lain untuk
segera merubah. Ia bersalto ke depan
satu kali. Itulah Jurus Luing Ayan 1,
yang dapat merubah ujudnya secara
otomatis menjadi Suro Bodong lagi.
"Hah..."! Berubah menjadi
lelaki"!" pekik prajurit yang
pedangnya jatuh. Ia menjadi ketakutan.
Ia hendak melarikan diri, namun Suro
Bodong segera melayang dengan cepat,
kaki kanannya lurus ke samping dan
mengenai punggung lelaki yang hendak
lari. Beberapa prajurit mulai mengepung
Suro Bodong. Suasana menjadi ricuh.
Suro Bodong garuk-garuk kumisnya
sebentar, lalu bersiap menyerang
mereka. Tetapi seorang prajurit
berseragam lain, mengenakan penutup
dada dari bahan tebal warna merah,
muncul sambil menenteng Saga.
"Menyerah, atau anak ini
kubunuh!" Mendelik mata Suro Bodong melihat
Saga tertangkap. Ia meludah dengan
jengkel dan memandang garang kepada
Saga. "Bocah goblok..."
"Maaf, Kang. Aku mengintip di
pintu gerbang dan nekad ingin masuk.
Tapi tertangkap. Kukira kau pergi
meninggalkan aku dan..."
"Diam, Monyet!" bentak Suro
Bodong dengan jengkel.
"Hei, yang berhak membentak dia
aku! Sebab aku yang menangkap dia! Dan aku yang mendengar keterangan darinya
tentang rencanamu, sebab dia takut
kubunuh. Ha, ha, ha...!"
"Bocah sinting...!" bentak Suro Bodong kepada Saga.
"Diam!" bentak penjaga gerbang.
"Aku yang berhak membentak dan marah-marah kepadanya!"
"Aku juga berhak! Aku yang
membawanya ke mari dan yang mempunyai
rencana seperti ini! Dia tidak ada
dosa padamu! Dia berdosa padaku. Sebab itu, aku berhak marah dan
membentaknya!"
"Tapi kamu dan dia sekarang
menjadi tawanan kami, jadi kamilah
yang berhak membentaknya!"
"Tapi kepada dia aku juga berhak
membentaknya!"
Salah seorang prajurit berseru,
"Hei, soal urusan bentak-membentak jangan dikupas di sini. Sebaiknya
mereka segera dibawa menghadap Gusti
Patih Danupaksi...!"
"Tunggu..." kata seorang prajurit lagi. "Sekarang ini, di Paseban sedang ada
pertemuan penting. Gusti Patih
Danupaksi tidak bisa diganggu."
Suro Bodong menyahut, "Kalau
begitu, tangkap saja aku nanti.
Sekarang biarkan aku lepas. Nanti
kalau patihmu itu sudah selesai
mengadakan pertemuan, baru kalian
tangkap lagi aku! Bagaimana!"
Seseorang menendang kepala Suro
Bodong dengan gemas dari belakang.
Suro berontak dan marah. Ia hendak
menyerang orang itu, tetapi penjaga
gerbang berseru:
"Kau bergerak, kuhabisi nyawa
anak ini!"
Suro Bodong berbalik, dan mendekati penjaga gerbang.
"Hei, kalau soal menghabisi
nyawa, aku sering. Tapi bukan nyawa
anak ingusan seperti dia! Ayo, habisi
nyawaku kalau kau memang doyan makan
nyawa"! Ayo...!" Suro Bodong maju, mendesak, dan penjaga gerbang itu
mundur. Cemas. Yang lain siap
mengacungkan tombak ke punggung Suro
Bodong. Saga masih dicengkeram kuat
oleh penjaga gerbang. Suro Bodong
menyempatkan diri menampar Saga.
"Plaak..!"
"Gara-gara kamu yang bodoh,
keadaan jadi kacau! Rencana jadi
buyar. Cuih...!" Suro Bodong bermaksud meludahi Saga, tetapi arah ludahnya
salah meluncur ke dada penjaga
gerbang. "Kurangajar...! Berani kau
meludahi aku, ya?"
Tombak semakin merapat di leher
Suro Bodong. Hanya beberapa jari saja
jarak tombak dengan leher. Sekali
serbu, pasti leher Suro akan bolong.
Dalam todongan lebih dari lima
tombak menempel di leher, Suro Bodong
dibawa menghadap Patih Danupaksi. Tak
ketinggalan, Saga juga diseret ke
depan patih berambut putih.
"Siapa kau sebenarnya, Ki Sanak?"
tanya Patih Danupaksi.
"Bagaimana aku bisa menjawab
kalau ditodong sekian banyak tombak?"
kata Suro Bodong mencnangkan sikap.
"Kurasa tombak-tombak ini tajam,
bukan?" Dengan wibawa yang ada, Patih
Danupaksi memberi aba-aba dengan
anggukan kepala kepada para
prajuritnya. Lalu mereka menyingkir
dari samping kanan kiri Suro Bodong.
Kini, Suro Bodong bebas dari ancaman
pucuk-pucuk tombak, namun beberapa
prajurit tetap disiagakan di
sekeliling ruang pertemuan itu. Saga
ada tak jauh dari Suro Bodong,
sedangkan Suro Bodong sendiri berdiri
dengan tegap, kedua kaki
terenggangkan, memandang Patih
Danupaksi yang duduk di dampar
kepatihan. "Kuulangi lagi, siapa engkau
sebenarnya, sehingga berani-beraninya
masuk Kepatihan Benteng Cadas ini?"
tanya Patih Danupaksi ingin
memperjelas laporan prajuritnya tadi.
"Namaku, Suro Bodong!" jawab Suro dengan tegas, namun masih saja
sesekali menggaruk garuk kumisnya yang tebal.
"Aku baru sekali ini mendengar
namamu, Suro Bodong."
"Aku tidak heran. Karena aku juga baru sekali ini berhadapan dengan kau, Patih
Danupaksi. Benar itu namamu,
kah?" Patih Danupaksi mengangguk dengan
tenang, namun masih kelihatan
berwibawa. "Lalu apa tujuanmu ke
mari?" "Pertama, mencari seorang gadis
yang bernama Ratna Prawesti. Apa kau
kenal dengannya?"
"Tidak."
Suro Bodong manggut-manggut.
"Kalau begitu, kapan-kapan jika
kekasihku itu sudah kutemukan, kau
akan kukenalkan dengannya. Supaya
kenal!" Suro Bodong
melirik ke sekeliling. Ternyata ada Brogo segala
di situ. Lelaki brewok yang menjadi
pimpinan penggeledahan di rumah Saga
itu duduk bersila di dekat lelaki
muda, bertubuh tegap dan berwajah
bersih. Ada codet di ujung alis mata
kirinya. Ia memandang sinis kepada
Suro Bodong. Tapi Suro Bodong tak
menanggapi sikap tersebut. Ia berkata
lagi kepada Patih Danupaksi setelah
menggaruk kumisnya satu kali.
"Kedua, aku ke mari untuk
mengambil Ki Pupus. Kau salah duga
Patih Danupaksi. Ki Pupus itu petani
biasa. Dia tidak mempunyai Pedang Urat Petir yang kau cari. Kau harus percaya
dengan kata-kataku itu!"
Patih menggut-manggut. "Aku
percaya," jawabnya tegas dan
berwibawa. "Dan sekarang pun aku
memang ingin membebaskan Ki Pupus. Aku dan orang-orangku memang salah
anggapan. Kau boleh membawa Ki Pupus
pulang sekarang juga!"
Suro Bodong berkerut dahi, merasa
heran. Mengapa semudah itu Patih
Danupaksi mau mempercayai kata-
katanya" "Kenapa kau beranggapan seperti
itu, Patih Danupaksi?" tanya Suro Bodong dengan polos.
"Sebab... Pedang Urat Petir sudah di tangan orangnya. Pedang itu sedang
kita bicarakan untuk saling ditukar.
Aku mendapatkan Pedang Urat Petir
tanpa harus memiliki."
Suro Bodong masih terheran-heran.
Matanya memandang tajam pada Patih
Danupaksi seraya sesekali menggaruk-
garuk kumis. Ia membiarkan penguasa
Kepatihan itu bicara lebih banyak,
sebelum segalanya akan dipertanyakan
"Suro Bodong, percayalah... aku
tidak punya tujuan jahat kepada Ki
Pupus. Sebagai rasa penyesalan, aku
akan menjamin hidupnya, dan kehidupan
keluarganya sepanjang umur.
Ketahuilah, Suro Bodong, supaya kau
tidak menganggapku orang serakah atau
jahat... bahwa sebenarnya bukan Pedang Urat Petir yang kubutuhkan, tetapi
orangnya."
Semakin tajam lagi kerutan di
kening Suro, dan hal itu membuat
Danupaksi berkata:
"Kau pasti heran, bukan" Tapi
memang begitulah kenyataannya, Suro
Bodong. Aku membutuhkan orang yang
memiliki Pedang Urat Petir untuk
kukawinkan dengan anakku...!"
"Gila!" Suro Bodong nyaris
terpekik dengan melotot. Tapi tiba-
tiba muncul seorang perempuan cantik
yang berseru: "Tidak! Itu tidak gila, Suro
Bodong...!"
Semakin membelalak mata Suro
Bodong setelah mengetahui bahwa gadis
itu adalah Kenanga Hijau. Perempuan
yang mengenakan pakaian serba hijau
itu mendekati Patih Danupaksi dan ber-
kata kepada Suro Bodong:
"Ayahku bukan orang gila, Suro.
Dia punya alasan. Kami semua punya
alasan khusus mengapa aku harus
Suro Bodong 02 Pedang Urat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dikawinkan dengan pemilik Pedang Urat
Petir...!"
"Tapi... tapi..." Suro gugup.
"Tapi aku tidak mau kawin denganmu, Kenanga. Aku... aku..."
Beberapa orang, termasuk beberapa
prajurit, tertawa cekikikan. Ada yang
tertawa tanpa bunyi, ada yang tertawa
cukup pendek-pendek saja. Ada yang
tersenyum sinis, dan ada yang
menggumam dalam tawanya. Suro Bodong
menjadi gerogi serta malu, merasa
menjadi badut yang pantas
ditertawakan. Tetapi ia tetap
berpegang pada prinsip:
"Aku tidak mau...! Bagaimana pun
juga kalian menertawakannya, aku tetap tidak mau kawin dengan Kenanga. Aku
sudah punya kekasih sendiri: Ratna
Prawesti. Itu kekasihku yang sedang
kucari-cari...!"
"Suro Bodong...!" sapa Danupaksi dengan wibawa dan kharisma yang
tinggi. "Tidak ada orang yang ingin mengawinkan kau dengan putriku, Suro.
Jangan salah dengar. Aku hanya akan
mengawinkan anak gadisku ini, dengan
pemilik Pedang Urat Petir." Danupaksi menegaskan lagi. "Pemilik Pedang Urat
Petir! Bukan dengan kamu!"
Ada kejanggalan yang begitu tajam
dirasakan di hati Suro Bodong. Ada
keanehan yang sangat mengusik
pikirannya. Lalu ia bersikap tenang,
manggut-manggut sebentar, garuk-garuk
kumis sebentar, setelah itu baru
bertanya: "Siapa pimilik Pedang Urat Petir
itu"!"
"Raden Pujo! Pendekar Pedang
Petir...!" seraya Patih Danupaksi mengulurkan tangannya, memperkenalkan
Suro dengan lelaki bertubuh kekar,
mengenakan ikat kepala kulit zebra dan terdapat codet bekas luka di ujung
alis kirinya. Suro Bodong sebenarnya terkejut
sekali, tapi dia bisa mengendalikan
diri untuk tenang dan bersikap biasa-
biasa saja. Ia memandang Raden Pujo
yang duduk dengan dada tegap di
samping Brogo. Lelaki berbaju biru tua dan celana biru muda bertepian manik
emas itu memegangi pedang. Sarung dan
gagangnya terbuat dari gading gajah.
Gading itu bergaris melintang dari
atas ke bawah dengan logam emas. Indah sekali pedang tersebut, dan ia selalu
menggenggamnya dengan tangan kiri.
Ikat kepalanya yang berwarna loreng
zebra membuat Raden Pujo menampakkan
kesan perkasa seorang pendekar, sekali pun ia berdarah bangsawan.
"Apakah kau yakin bahwa pedang
itu tidak palsu, Patih?" tanya Suro Bodong seperti malas-malasan.
"Tidak mungkin," sahut Brogo yang dari tadi diam saja.
"Ya, tidak mungkin," tambah patih Danupaksi. "Kami sudah sama-sama
menyaksikan sendiri, pedang yang ada
di tangan Raden Pujo itu, sungguh
Pedang Urat Petir."
"Dari mana bisa tahu begitu?"
desak Suro Bodong dengan hati-hati.
Sikapnya kini seperti orang dungu yang ingin tahu. Patih Danupaksi pun
menjelaskan: "Selain dilihat begitu saja,"
patih memandang pedang di tangan Raden Pujo, "Juga dilihat isinya, orang akan
yakin, bahwa itulah Pedang Urat
Petir." "Boleh dibuka di sini untuk
meyakinkan dia, Ki Patih?" kata Brogo dengan sopan.
"Silakan, supaya Suro Bodong
tidak penasaran." jawab Danupaksi.
Raden Pujo mencabut pedangnya,
dan para prajurit yang berada di
pinggiran ruang pertemuan itu
menggumam kagum. Pedang itu
mengeluarkan asap dan percikan-
percikan api yang berkerlip-kerlip
seperti loncatan petir di waktu malam.
Raden Pujo berkata kepada Suro
Bodong, "Kurasa pedang Urat Petir ini sangat bersedia untuk membunuhmu
sekarang juga, Suro Bodong."
Suro Bodong hanya garuk-garuk
kumis, seperti orang bingung. Ia
berkata pelan tapi jelas:
"Kurasa tidak." Suro Bodong
melirik Kenanga dan Patih Danupaksi.
"Siapa orang ini sebenarnya, Patih"
Darimana kau memungutnya?"
Raden Pujo menggeram dan hendak
mengibaskan pedangnya ke tubuh Suro
Bodong, tetapi Brogo mencegahnya.
Brogo sendiri yang menjawab pertanyaan Suro tadi:
"Dia temanku! Teman seperguruan
yang sudah lama bertapa di bawah
lereng Lawu!"
"Aku tidak yakin," kata Suro entah kepada siapa. Tapi ia segera
memandang Danupaksi, berjalan mendekat bagai tak kenal tata krama.
"Aku tidak yakin dengan pedang
itu!" "Jangan bicara selancang itu,
Suro," bisik Danupaksi.
"Beri aku kesempatan untuk
mencelikkan mata hatimu, supaya kau
dan anak gadismu yang cantik itu tidak tertipu."
Danupaksi memandang Kenanga.
Mereka saling tatap sejenak, kemudian
Suro buru-buru berkata:
"Ini sebuah tipuan! Raden Pujo
membayar mahal kepada paman Brogo
supaya dia bisa mencicipi keperawanan
Kenanga! Hasilnya, adalah tipu daya
seperti ini!"
"Lancang betul mulutmu, Suro.
Hiaaaat...!" Raden Pujo menyerang Suro Bodong dengan kibasan pedangnya. Suro
Bodong mengelak sambil melompat mundur beberapa langkah. Ia masih tenang,
pergi ngeloyor begitu saja. Kumisnya
digaruk dengan telunjuk, dan ia pun
membiarkan Saga mengikutinya dari lain arah.
"Hei, mau ke mana kau, Biadab?"
bentak Raden Pujo yang merasa terhina
mentah-mentah. "Berhenti! Mau ke mana kau"!"
"Cari tempat yang lebih lega
untuk menghajarmu, Pujo!"
"Hiaaat...!" Raden Pujo penasaran dan tak
bisa menahan diri, ia
menyerang Suro Bodong dari belakang,
hendak membabat pundak Suro Bodong.
Tetapi Suro Bodong tidak kalah
tangkas. Suro segera berbalik sambil
menjatuhkan badan. Posisi tangannya
menendang keras perut Raden Pujo.
Karena kerasnya, Raden Pujo terdorong
ke depan, berguling satu kali dan
jatuh tak beraturan di luar ruangan
yang menyerupai pendopo itu.
"Suro Bodong...!" hardik Kenanga seraya mengejar.
"Tenang, Kenanga. Aku akan
membuktikan bahwa kau nyaris tertipu.
Kalau aku gagal, potong kepalaku dan
pajang di alun-alun pada pasar malam
besok!" Suro Bodong segera melompat bagai
gagak melayang, kaki kanan membentang
sedang kaki kiri terlipat, tetapi
kedua tangannya terentang, yang satu
sedikit ditekuk dan mengepal kuat-
kuat. Raden Pujo menghindari tendangan itu dengan bersalto ke belakang dua
kali. Kini mereka jadi berada di
halaman depan pendopo pertemuan itu.
"Rasakan jurus Petir Murka ini,
Suro... hiiaat...!!"
Raden Pujo menancapkan pedang
berpijar-pijar ke tanah. Kemudian ia
segera menendang pedang itu pada
bagian tangkainya. Pedang tersebut
melesat bagaikan kilat. Hampir saja
menyambar wajah Suro Bodong. Dengan
gesit Suro Bodong segera tiarap, dan
pedang tersebut melesat lewat atas
kepala Suro Bodong. Pedang itu me-
nancap pada tiang lampu minyak
penerangan halaman.
"Duaaarr...!! Timbul suara
ledakan yang membuat tanah menjadi
guncang sesaat. Tiang lampu itu hancur menjadi arang, sedangkan pedang tersebut
bagai memantul kembali ke
pemiliknya. Semua orang merunduk dan
menutup telinga. Wajah-wajah mereka
berlapis kepucatan, kecuali Suro
Bodong. "Barangkali itulah
yang kau butuhkan, jurus Petir Murka yang baru
sekali ini kebetulan punya rasa
kasihan kepadamu, Suro. Biasanya ia
tak pernah mengenal belas kasihan
kepada mangsanya!"
Suro Bodong hanya tertawa dalam
gumam. "Itu bukan jurus sakti. Itu sihir buat mengelabui anak-anak main
kelereng. Ah, terlalu ringan buat
permainanku. Hei, ada yang lebih hebat lagi"!
Suro Bodong sengaja
menyombongkan diri untuk memancing
kepanasan hati Raden Pujo. Maka geram
Raden Pujo terdengar mengerang seperti macan lapar.
Sekali lagi Raden Pujo
menancapkan pedangnya ke tanah dan
menendangnya kuat-kuat. Kali ini kedua telapak tangannya ikut mengembang, dan
memancarkan kilatan api biru yang
menempel pada tangkai pedang tersebut.
Pedang itu melesat cepat bagai sedang
dikendalikan arahnya.
"Hiattaa...!!"
Suro Bodong berguling-guling ke
tanah dan melejit dengan menghentakkan punggung. Pada waktu, ia berdiri,
pedang yang memercikan bunga-bunga api itu tertuju ke arahnya, seirama dengan
gerakan telapak tangan Raden Pujo.
Tetapi dengan cepat Suro Bodong
meraba pergelangan tangan kirinya,
lalu menarik dalam satu kibasan.
Orang-orang tercengang melihat tangan
kanan Suro Bodong telah memegang
sebilah pedang bercahaya ungu. Padahal mereka sejak tadi tidak melihat Suro
Bodong menyandang senjata apa pun.
Ketika Suro Bodong mengibaskan
pedangnya yang pertama dari kulit
pergelangan tangannya, tepat pedang
tersebut mengenai pedang Raden Pujo.
"Blaaar...!" Ada nyala api
yangmenyala terang sekali, dan ledakan yang mengguncang pepohonan di
sekeliling. Sementara itu, pedang
Raden Pujo kembali ke tempat semula ia meluncur, bahkan menancap pada tanah
tempat ia ditancapkan. Orang-orang
menggumam kagum semakin keras.
"Raden Pujo...!" seru Suro
Bodong. "Mengapa wajahmu menjadi
pucat, hah"! Kurasa kau memang perlu
dibuat lebih pucat lagi.
Heeaaaattt...!!"
Raden Pujo menggeragap ketakutan.
Namun agaknya ia ragu dan malu kalau
harus lari tunggang langgang. Waktu
itu Suro Bodong mengejarnya, lalu
berlari cepat mengelilingi tubuh Raden Pujo dengan gerakan sangat cepat.
Raden Pujo kebingungan, gugup dan
ketakutan. Tujuh kali Suro Bodong bergerak
mengelilingi tubuh Raden Pujo dengan
kecepatan melebihi gangsing. Tiba-tiba ia berhenti tepat di depan Raden Pujo.
Lelaki itu hendak memukul Suro Bodong
dengan tangan terangkat ke samping.
Tetapi Suro Bodong mengibas-ngibaskan
pedangnya tujuh kali dengan cepat.
Kibasan itu tidak menyentuh sedikit
pun pakaian Raden Pujo. Dan suatu
keanehan membuat Danupaksi terbengong-
bengong. Tubuh Raden Pujo berkilauan
cahaya yang menyilaukan mata. Semua
tangan terangkat, melintang di depan
mata. Semakin lama semakin terang,
seperti cahaya inti matahari. Tak satu pun mata yang sanggup menembus pandang
cahaya kemilau itu.
Namun beberapa saat kemudian,
cahaya kemilau itu surut, dan kian
menjadi padam. Mata mereka mengerjap-
ngerjap. Suro Bodong berdiri agak jauh seraya menggaruk-garuk kumisnya.
Mereka terpekik dengan mata membelalak begitu melihat tubuh Raden Pujo telah
Suro Bodong 02 Pedang Urat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berubah menjadi patung batu dalam
posisi tangan terangkat satu, hendak
memukul. Suara menjadi gaduh, ricuh.
Masing-masing berkomentar menurut
jalan otaknya. Patih Danupaksi masih
terbelalak dalam kekaguman ketika ia
berkata kepada Kenanga: "Benar-benar menjadi patung...!!"
"Mengagumkan
sekali dia...!"
bisik Kenanga. Suro Bodong sengaja menjauhi
hiruk pikuknya mereka yang menghampiri patung tersebut. Ada yang mencoba
meraba, ada yang mencoba mendorong dan ada yang hanya berceloteh tak jelas
bahasanya. Sedangkan Brogo hanya
berdiri tegak, terkesima dan merasa
tak percaya dengan kenyataan yang
dilihatnya. "Kau hebat...! Hebat sekali,
Kang," kata Saga seraya memegangi tangan Suro Bodong yang garuk-garuk
kumis, sedangkan tangan yang satu
masih menggenggam erat pedang
bercahaya ungu: Pedang Urat Petir yang asli.
Danupaksi dan Kenanga mendekati
Suro Bodong dalam keheranan yang belum tuntas.
"Apa yang telah kau lakukan
sebenarnya, Malaikat"!"
"Aku bukan malaikat," jawab Suro Bodong.
"Aku hanya membuktikan bahwa kau
akan ditipu oleh Brogo dan Raden
Pujo!" Suro Bodong masih garuk-garuk kumis. Ia tenang, acuh tak acuh.
Danupaksi geleng-geleng kepala
dengan heran dan takjub memandang
keadaan Suro Bodong. Lalu, Suro Bodong berkata:
"Bukankah kalian punya cara
tersendiri untuk menguji keaslian
Pedang Urat Petir?"
Danupaksi mengangguk, lalu
menyuruh Kenanga mencabut pedang Raden Pujo. Kenanga membawa pedang tersebut
kepada ayahnya. Kemudian Danupaksi
berkata: 'Tempelkan pada pedangmu, kalau
lengket, itu Pedang Urat Petir yang
asli...!" Kenanga mencabut pedang Jatayu,
kemudian menempelkan pada pedang yang
masih memercikkan bunga api, yaitu
pedang milik Raden Pujo. Tetapi
berulangkali pedang itu disatukan,
tetap tak mau lengket.
"Pedang itu tidak mau melekat
dengan pedangku, Ayah," kata Kenanga.
Tapi tanpa disadari, ia berjalan di
dekat Suro Bodong. Tiba-tiba pedang
Jatayu melesat sendiri dari pegangan
tangan Kenanga. "Sreekk...!" Tahu-tahu pedang Jatayu melekat erat pada pedang
yang dibawa Suro Bodong. Bukan hanya
Suro Bodong yang kaget. Mereka sama-
sama memandangi kedua pedang yang
saling melekat bagai mempunyai daya
magnit yang sangat kuat.
Danupaksi buru-buru melepaskan
kedua pedang itu, tapi sampai
keringatnya mengucur, pedang tersebut
tak mampu dilepaskan. Semua orang
beralih perhatiannya kepada kejadian
itu, termasuk Brogo.
Gemetar tangan Suro Bodong,
gemetar pula tangan Kenanga ketika
hendak menarik pedang yang lengket
itu, dan ternyata mereka dapat me-
lepaskan kedua pedang tersebut dengan
sangat mudah, tanpa harus menguras
tenaga. "Ini Pedang Urat Petir yang
asli...! Iniii...!!" seru Danupaksi dengan girang. Semua pun ikut girang.
Dan tiba-tiba Brogo mencabut
pedangnya. Semua orang yang ada di
sekitarnya menyingkir cepat. Suro
Bodong bersiap hendak menangkis
serangan Brogo. Tapi ternyata, Brogo
menikamkan pedangnya ke dadanya
sendiri, tepat di awah jantung.
"Brogo bunuh diri...!!" seru para prajurit yang membuat suasana menjadi
gempar. Danupaksi terbengong kembali
melihat perbuatan Brogo yang tak
sanggup menahan malu, karena benar apa kata Suro Bodong: bahwa dia telah
menggunakan kesempatan mencari Pedang
Urat Petir untuk mencari keuntungan
sendiri. Ia dibayar mahal oleh Raden
Pujo dengan mengaku Raden Pujo itulah
pemilik Pedang Urat Petir sebenarnya,
dan patut mengawini Kenanga.
"Aku patut berterimakasih
sebanyak-banyaknya kepadamu, Suro
Bodong. Sekali pun wajahmu kasar,
penampilanmu memuakkan, namun
sesungguhnya kau mempunyai jiwa yang
bersih," kata Patih Danupaksi setelah beberapa saat menikmati sarapan pagi.
Di situ ikut pula Saga dan Ki Pupus,
yang mendapat kehormatan untuk
bersantap pagi bersama keluarga
Kepatihan. Suro Bodong berkata seenaknya,
seperti sudah menjadi ciri khas
pribadinya: "Untuk apa terima kasih segala!
Semua kejahatan bagaimanapun juga
suatu saat akan terbongkar. Sepele
saja!" 'Tapi... sungguh aku tidak
menyangka kalau Brogo mau bersekongkol dengan Raden Pujo demi uang dan..."
"Ah, itu juga sepele!" sahut Suro Bodong. "Orang mana yang tidak ngiler dengan
uang" Orang mana yang tidak
tergiur oleh kekayaan. Sebesar apa pun kesetiaan seorang bawahan, suatu saat
akan rapuh juga mentalnya. Itu
tergantung bagaimana atasannya saja,
kalau atasan memperhatikan
kesejahteraan hidupnya, menjamin masa
depannya, yah... tak mungkin jiwa-jiwa tempe itu dimiliki seorang bawahan!"
Danupaksi seharusnya tersinggung
dengan ucapan itu. Tapi nyatanya ia
hanya manggut-manggut dan menghela
nafas dalam-dalam. Ada geram
terpendam, ada keganjilan yang
dirasakan tumbuh dalam hati dan
menuding diri sendiri.
Kenanga menyadari adanya
perubahan batin ayahnya, ia segera
mengalihkan suasana dengan berkata,
"Aku tidak menyangka sama sekali kalau pemilik Pedang Urat, Petir itu
ternyata kamu, Suro Bodong."
"Ya," jawab Danupaksi sendiri.
"Dan aku tidak menyangka kalau
akhirnya aku akan mempunyai menantu
kamu." Mata Suro Bodong membelalak, lalu
terbengong. Ia sepertinya baru sadar
dari ancaman yang mendebarkan. Ia jadi berdebar-debar, lalu bertanya:
"Apakah itu harus?"
"'Harus!" jawab Danupaksi. "Kau harus jadi menantuku. Singkatnya, kau
harus menjadi suami Kenanga dalam
waktu singkat ini: Kalian harus
saling... memadu cinta di peraduan.
Ini penting, Suro. Sebab dalam tempo
empat puluh hari Kenanga tidak
berhubungan badan dengan pemilik
Pedang Urat Petir, maka tubuhnya akan
menjadi kering. Dan ia akan mati,
tepat hari ke empat puluh."
"Dan sekarang tinggal dua puluh
hari lagi," kata Kenanga dengan pelan, bernada menyedihkan.
"Nanti dulu..." Suro Bodong
berhenti makan. "Kenapa sampai harus begitu?"
Kenanga sendiri yang menjawab
setelah ia memandang ayahnya beberapa
saat: "Dua puluh hari lalu, aku
bertarung dengan seorang tokoh
persilatan, musuh dari guruku. Nini
Kuncen namanya. Aku membela guruku,
tapi ternyata aku bukan tandingannya.
Aku terkena pukulan Senggoro Jabang.
Ilmu itu hanya dimiliki oleh Nini
Kuncen. Guruku sendiri mati di tangan-
nya pada saat aku dalam keadaan parah.
Tapi sebelum guru meninggal ia sempat memberiku petunjuk, bahwa dalam empat
puluh hari aku akan mati kekeringan
darah, sebab pukulan Nini Kuncen itu
telah membuat racun menggumpal dalam
rahim peranakanku. Racun itu akan mem-
buat darahku kering hanya dalam tempo
empat puluh hari. Tetapi apabila...
aku bisa memperoleh benih jantan dari
lelaki pemilik Pedang Urat Petir, maka aku akan tertolong. Racun itu akan
tawar apabila bercampur dengan benih
seorang lelaki yang memiliki Pedang
Urat Petir..."
Suro Bodong tertegun lama sekali.
Pikirannya seperti benang kusut yang
semakin semrawut. Ia menggeleng pelan
dalam renungannya.
"Suro... tolonglah aku dan
anakku..." kata Danupaksi.
"Nyawaku ada di tanganmu,
Suro..." bisik Kenanga yang duduk di kursi samping kiri Suro Bodong.
Jantung Suro Bodong semakin
berdebar. Ia bingung. Ia tak ingin
menodai percintaannya dengan Ratna
Prawesti. Tapi di lain
sisi, ia dituntun untuk melakukan hal yang
manusiawi. Jiwanya guncang, batinnya
bergemuruh. Ia jengkel sendiri. Lalu,
ia berteriak. "Tidaaaak...!!" seraya berdiri, menendang kursi dan mengamuk membuang
kejengkelannya. Sampai tanpa disadari, dia telah bersalto 7 kali di udara
tanpa menyentuh lantai. Kemudian,
keluarga Kepatihan dan semua yang ada
di situ terbengong melompong. Mereka
tak berkedip memandang tubuh Suro
Bodong telah berubah ujud menjadi
seorang pendekar tampan. Mengenakan
rompi dan celana warna emas,
menyandang pedang di punggung
bercahaya ungu. Rambutnya panjang,
halus, diikat dengan tali emas bermata batu merah. Ia telah menjelma menjadi
Panji Bagus, yang pernah mendapat
julukan Pendekar 7 Keliling. Jurus
Luing Ayan 7 telah mengubah keadaan
seperti itu, yang membuat Kenanga
terkesima tiada henti, dan Suro Bodong tersenyum kepada Kenanga. Ia berjalan
mendekati Kenanga, meraih rambut
Kenanga yang panjang, lalu berkata
dengan suara yang enak didengar oleh
siapa saja: "Aku tetap Suro Bodong. Mungkin
dengan ujud beginilah aku bisa
membantumu, Kenanga. Dalam ujud Suro
Bodong yang sebenarnya, aku adalah
milik Ratna Prawesti. Tetapi dalam
ujud Panji Bagus ini..... kau boleh
memiliki aku, Kenanga..."
Kenanga tak sabar. Kenanga tak
terkendali. Jiwa yang berteriak itu
segera memeluk Suro Bodong yang telah
berubah menjadi pendekar tampan
bermata bening, teduh.
"Surooo...!" Kenanga memeluk erat dan membiarkan ayah ibunya tersenyum
dalam keharuan. Pedang Urat Petir
memancarkan sinar ungu samar-samar,
sebab pedang itu sepertinya masuk
terselip di antara kulit dan daging
punggung pemuda tampan dan kekar itu.
Dalam keadaan sekekar itu, dalam
ujud segagah itu, Suro Bodong berani
membalas pelukan Kenanga sekali pun di depan mata orang-orang itu. Tetapi
jika dalam ujud Suro Bodong yang se-
dikit gemuk dan perutnya agak
membuncit, apakah ia berani berbuat
deinikian" Rasa-rasanya tidak. Dalam
ujud Suro Bodong, mau tak mau ia
melangkah sambil mengunyah jagung
bakar dan sesekali menggaruk kumisnya
yang tebal. Ia menyusuri hidup,
mencari kekasihnya: Ratna Prawesti,
yang sudah tentu mempunyai cinta tak
seagung cinta perempuan mana pun juga.
SELESAI Scan/Convert/E-Book : Abu Keisel
Tukang Edit : Fujidenkikagawa
Suro Bodong 02 Pedang Urat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ABU KEISEL http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Dewi Penyebar Maut I X 2 Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira Istana Ratu Sihir 2
Cukup untuk dijadikan satu tontonan di pasar malam. Tapi, bagaimana dengan
pedangku ini" Kau bisa menandingi
kehebatannya?"
Suro Bodong semakin mendekat,
Brogo semakin melangkah mundur dengan
tegang. Kalau lawannya kali ini bisa
selamat dari kejaran api Pedang
Guntur, berarti lawan itu bukan orang
sembarangan. Tentu Brogo bukan
tandingannya. Itulah sebabnya Brogo
menjadi tegang dan mulai cemas. Ia tak punya jurus lain yang lebih ampuh dari
Pedang Guntur. "Paman Brogo... bahaya...!" seru seorang yang patah tulang pundaknya.
Lalu orang yang bermata memar dan kini menjadi memar lagi setelah mendapat
serangan dari Suro tadi juga
berteriak: "Paman Brogo, mari kita
tinggalkan dia...!"
Suro Bodong memandang geli
melihat wajah Brogo ketakutan. Ia
tadinya merencanakan untuk melancarkan jurus Pedang Jitu, tetapi hati
kecilnya melarang. Hati kecilnya
mengatakan, bahwa ia hanya perlu
memberi pelajaran sedikit kepada Brogo dan orang-orangnya, supaya segera
pergi dan tidak mengganggu Saga.
"Brogo... Aku punya sedikit oleh-
oleh buat kamu pulang nanti. Itu kalau kamu mau pulang, kalau mau tetap
dimakamkan di sini ya, silakan saja.
Nah, terimalah jurus Pedang Colok
ini... Hiaat...! Hiiat... hiaat...
haiat...."
Suro Bodong menghunjamkan
pedangnya ke tujuh arah sekelilingnya
dengan tenaga kuat. Lalu ia
mengibaskan pedang itu di depan mata
Brogo. Jarak mereka ada sepuluh
langkah, tapi tiba-tiba Brogo
berteriak setelah pedang Suro Bodong
dikibaskan ke samping.
"Aauww...! Aku... aku buta...!
Ooh, aku butaa!!" Brogo kebingungan Matanya mengerjap-ngerjap dan merasa
perih. Tangannya meraba-raba karena
pandangannya tiba-tiba menjadi gelap.
Ia berteriak-teriak: "Aku butaa...!
Ooh..." Beberapa orang yang masih mampu
mendekat, segera membantu Brogo untuk
melangkah. Mereka menjadi tegang dan
kebingungan. Suro Bodong berdiri
dengan tenang garuk-garuk kumis
sebentar. "Mau pulang apa mau mati di sini.
Pilih saja, Brogo. Kau juga boleh
memilih pulang sambil mati," kata Suro Bodong sambil memegangi pedangnya
dengan kedua tangan.
"Aku buta, aku tak bisa melihat
apa-apa lagi...!" rintih Brogo.
"Ah, itu tidak lama kok. Tidak
sampai setengah hari kau akan bisa
melihat lagi, Brogo. Itu kan cuma
jurus penutup mata lawan dalam
pertarungan. Jadi, yah... cuma
sementara saja. Sebenarnya, habis ini
aku harus membunuhmu!"
"Oh, jangan...! Jangan bunuh aku.
Ayo, anak-anak.. tuntun aku pulang.
Ayo, pulang...! Yang sakit bantu
berdiri. Ooh... perih sekali
mataku...!"
Suro Bodong tertawa melihat
mereka sempoyongan kembali ke
Kepatihan Benteng Cadas. Pada saat
itu, Saga buru-buru keluar dari
persembunyian dan mendekati Suro
Bodong. Ia ingin mengatakan sesuatu,
tapi lidahnya kelu saat melihat Suro
Bodong memasukkan pedang ke dalam
daging lengannya melalui pergelangan
tangan kiri. Dan pedang itu masuk
seluruhnya ke dalam lengan, tanpa
meninggalkan bekas luka setitik jarum
pun di pergelangan tangan tersebut.
Saga tak henti-hentinya berdecak dan
mendesah kagum.
"Kau benar-benar pendekar yang
hebat, Kang Suro."
"Syukur kalau kau mengakuinya,
Saga. Ah, lupakan saja soal itu.
Sekarang aku ingin bertanya: tadi
mereka menuduhku punya hubungan dengan Ki Pupus. Kau kenal orang itu?"
"Kenal. Aku kenal sekali dengan
Ki Pupus," jawab Saga.
"Siapa orang itu?"
"Ayahku..."
"O, jadi..." Jadi, Ki Pupus itu
ayahmu" Lantas, kenapa mereka
menangkap dan menawan ayahmu" Mengapa
mereka tampaknya penasaran?"
"Mereka mengira ayahku
menyembunyikan pedang. Mereka tak
percaya kalau ayahku hanya seorang
petani biasa. Ketika ada petir
menyambar-nyambar, banyak rumah di
sini yang terbakar kesamber petir.
Hanya rumahku yang selamat, lalu
mereka mengira hal itu dikarenakan
ayah mempunyai pusaka yang mereka
cari-cari, yaitu Pedang Urat Petir..."
Suro Bodong terbengong. "Mereka
mencari Pedang Urat Petir" Gila! Untuk apa"! Siapa sebenarnya mereka itu"!"
Saga diam saja, sebab ia tak tahu
bahwa yang dilihatnya tadi adalah
Pedang Urat Petir.
4 MALAM merambah. Atas pertimbangan
Suro Bodong, mereka tidak tidur di
rumah Saga. Mereka hanya mengambil
beberapa peralatan seperlunya, lalu
pergi ke tempat persembunyian Saga, di balik tembok hangus. Di sana, ada
ruang yang menuju ke bawah tanah.
Sebuah ruang rahasia yang ditinggal
mati oleh penghuninya. Di situ ada dua dipan, satu meja dan sebuah almari
makanan kering. Gula, teh, kopi,
tembakau, ada di situ semua. Agaknya
ruangan tersebut sengaja dibuat oleh
penghuninya untuk menanggulangi
bahaya. Tempat persembunyian itu cukup aman. Sayang penghuninya telah mati
terbakar ketika rumah itu disambar
petir minggu lalu.
"Aku takut berada di sini, Kang.
Pak Jayus, sekeluarga yang memiliki
rumah ini sudah mati."
"Yang sudah mati ya biar saja
mati. Jangan pikirkan," kata Suro Bodong. Ia sibuk membakar jagung di
tempat perapian. Sebelum masuk ke
tempat bawah tanah itu, sore tadi Suro Bodong sempat memetik beberapa jagung
dari ladang di belakang rumah Saga. Ia paling menyukai jagung bakar.
"Kalau kau mau tidur, tidurlah.
Aku akan berjaga-jaga mengusir hantu,
kalau memang ada hantu yang berani
mendekatiku. Kalau tidak ya tak perlu
panggil-panggil hantu, kan?" Suro asyik membolak balik jagung bakarnya.
"Belakangan ini aku jarang bisa
tidur dengan nyenyak, Kang. Aku
memikirkan ayah." Lalu Saga mengeluh sendiri, "Kasihan ayah... dipenjara tanpa
berbuat salah. Disiksa tanpa
bisa bertindak. Aku ingin sekali
menebus ayah berapa pun mahalnya..."
"Percuma," ujar Suro pelan.
"Ayahmu tak akan bisa ditebus dengan uang berapa pun jumlahnya."
Saga yang terbaring mengangkat
kepala. "Tapi, Kang... dulu aku pernah bertemu dengan salah seorang prajurit
Kepatihan, dan kutanyakan tentang cara menebus ayah. Tapi dia bilang, ayah
harus ditebus dengan mahal."
"Bukan ditebus dengan uang,
maksudnya. Melainkan dengan Pedang
Urat Petir...!"
Saga tertegun dalam lamunan
murungnya. Suro Bodong merasa kasihan
ketika melirik Saga. Ia berkata.
"Hanya Pedang Urat Petir yang
mereka butuhkan. Jika mereka sudah
menemukan Pedang Urat Petir, ayahmu
akan dibebaskan."
"Tapi ayah tidak punya pedang
itu, Kang. Ayah cuma punya cangkul,
sebab dia petani biasa. Kalau Cangkul
Urat Petir, mungkin ayah punya. Tapi
kalau pedang, tidak."
Suro Bodong tersenyum geli. Ia
manggut-manggut. "Aku percaya kata-katamu. Percaya betul bahwa ayahmu
tidak mempunyai pedang itu. Sebab..."
Mulut Suro Bodong berhenti
bicara. Ia ragu dan mempertimbangkan:
haruskah Saga mengetahui bahwa Surolah yang mempunyai Pedang Urat Petir" Ini
yang dipertimbangkan Suro Bodong. Dan
bungkamnya mulut Suro membuat Saga
heran, lalu bertanya:
"Sebab apa, Kang" Kau mau bilang
apa tadi?"
"Hemm... tidak. Aku cuma mau
bilang, sebab itu sulit ditemukan. Itu saja!" Suro memutuskan untuk menjawab
begitu. Ia khawatir, kalau Saga tahu
bahwa ia memiliki Pedang Urat Petir,
berita itu bisa bocor ke mana-mana.
Saga orang yang gampang kagum. Gampang memuji dan mudah bangga terhadap
berita mengherankan. Bisa-bisa di luar kesadaran Saga, anak itu akan
menceritakan siapa pemilik Pedang Urat Petir.
"Kang...?"
"Hemm..."!"
"Petir itu apa ada uratnya?"
Pertanyaan polos itu cukup
menggelikan hati Suro Bodong. Ia hanya menjawab:
"Mana aku tahu. Aku belum pernah
disambar petir kok!"
Saga manggut-manggut, seakan
serius sekali menanggapi kata-kata
Suro Bodong. Ia bahkan berkata:
"Aku juga belum kok. Waktu rumah
orang-orang disambar petir itu, kok
rumahku tidak disambarnya sekalian,
ya" Apa ayahku itu orang sakti
sehingga petir takut menyambar"!"
"Mungkin. Tapi kalau menu rut
perkiraanku, itu hanya tergantung
nasib kok. Nasib baik ada pada
rumahmu." "Aneh sekali, ya?"
"Nasib itu memang serba aneh. O,
ya... di depan rumahmu itu kan ada
pohon kelapa yang tinggi?"
"Iya. Nah, kalau pohon itu malah
ikut tersambar petir, Kang. Cuma,
tidak sampai roboh. Hanya terbakar
bagian pucuknya. Aku melihat sendiri
api yang membakar daun-daun kelapa
itu, Kang."
"Itu...! Itu yang membuat rumahmu tidak disambar petir. Jadi, sewaktu
petir hendak menyambar rumahmu, ia
sempat mampir dulu ke pohon kepala...
eh, ke pohon kelapa itu. Coba kalau
tidak ada pohon kelapa yang menjulang
tinggi, dan lebih tinggi dari atap
rumahmu, bahkan lebih tinggi dari
pohon-pohon lainnya, oooh... pasti
rumahmu juga ikut kena jatah disambar
petir, Ga. Seperti rumah orang-orang
yang terbakar itu, kan tidak punya
pohon setinggi pohon kelapamu itu.
Iya, kan?"
Saga mengangguk dan termenung
beberapa saat. Suro Bodong mencicipi
salah satu jagungnya yang sudah hangus sebagian. Ia meniup-niup biji jagung,
lalu melemparkan ke mulutnya.
Sementara jagung yang lain dipasang
lagi di atas anglo tanah. Mirip tungku buat memasak.
"Kang..." kata Saga lagi,
memecahkan kesuny ian. "Kalau mau mencari Pedang Urat Petir itu di
mana?" "Memangnya mau apa kau?"
"Aku mau mencarinya, lalu
kuserahkan kepada Patih Danupaksi
untuk menebus ayahku "
Suro Bodong diam. Sedikit tak
enak kata-kata itu didengarnya, namun
ia segera menyadari bahwa itu hanyalah ucapan seorang bocah yang ingin
membela ayahnya. Wajar saja. Namun,
betapa tenangnya Suro, akhirnya ia
gelisah juga. Resah memikirkan mengapa orang mencari-cari pedangnya" Akan
Suro Bodong 02 Pedang Urat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
digunakan untuk apa" Dan siapa yang
sangat membutuhkannya"
Haruskah ia terlibat terlalu
dalam sampai ke urusan Kepatihan
Benteng Cadas itu" Ah, bukankah ia
punya urusan sendiri" Mencari
kekasihnya yang sangat dirindukan :
Ratna Prawesti. Dan, Suro Bodong
segera ingat bahwa Saga pernah
mendengar nama itu. Mungkin dia suatu
saat akan ingat di mana dan siapa yang menyebutkan nama Ratna Prawesti itu.
Tadi Suro Bodong telah meminta Saga
mengingat-ingatnya, namun tidak
berhasil. Jadi, dia harus sabar
menunggu ingatan Saga, supaya bisa
menjadi penunjuk arah ke mana ia harus mencari Ratna.
"Haruskah begitu?" pikir Suro Bodong berkali-kali. Ia berkata dalam
hati, jika aku harus menunggu ingatan
Saga, berarti aku harus membebaskan
ayah Saga dari tawanan orang Kepa-
tihan. Sebab pikiran Saga saat ini
selalu tertuju kepada ayahnya, mencari cara bagaimana ia bisa membebaskan
ayahnya. Itulah sebabnya ia tidak
ingat tentang nama Ratna Prawesti.
Wah, kacau.... kenapa aku jadi
terlibat ke urusan seperti ini" Kalau
begitu, apa yang harus kulakukan untuk membebaskan ayah Saga, ya" Menyerang
Kepatihan" Atau mencuri ayah Saga"
Atau... menyerahkan Pedang Urat Petir
ini" Wah... bingung aku. Bagaimana
caranya, ya...?"
Setelah pagi menyingsing, Suro
baru memperoleh keputusan. Langkah
pertama adalah menyelidiki dulu
keadaan Kepatihan Benteng Cadas itu.
Dia tak tahu arahnya, tapi Saga pasti
tahu di mana Kepatihan Benteng Cadas
itu. "Kepatihan Benteng Cadas ada di
balik bukit Jati, Kang." Saga
menjelaskan. "Kita ke sana, Ga."
"Wah, berat, Kang. Nanti kita
bentrok dengan penjaga batas Kepatihan lho, Kang. Yang jaga orangnya galak-
galak. Dulu, aku ke sana karena alasan cari kayu, jadi boleh. Kalau alasan
lain, misalnya alasan mau melihat
keadaan Kepatihan, bisa dibacok sama
penjaga di daerah bukit Jati lho."
"Kita tidak beralasan begitu,
tolol! Kita bisa mencari jalan lain.
Kita bisa pura-pura cari kayu, Ga.
Pokoknya kau jadi penunjuk jalan dan
sebagai pencari kayu. Itu saja!"
"Yaah... terserah Kang Suro
sajalah. Aku menurut!"
Jarak antara tempat persembunyian
dengan rumah Saga tidak begitu jauh.
Maka ketika mereka muncul dari ruang
bawah, mereka dapat langsung melihat
keadaan rumah Saga. Hanya terhalang
tembok hangus sedikit, tapi tidak
menyulitkan mata Suro Bodong untuk
melihat sosok tubuh perempuan berdiri
di depan rumah Saga. Waktu itu, pagi
sudah meninggi. Embun tak tersisa
lagi. "Perempuan jalang...!" gumam Suro Bodong dalam geram.
Saga mengernyitkan dahi melihat
perempuan berpakaian serba hijau.
Seorang lelaki gemuk ada di samping
perempuan itu Saga juga menggumam:
"Mau apa Kenanga menyambangi
rumahku, Kang?"
"Entahlah..." bisik Suro Bodong sambil menarik pundak Saga supaya
bersembunyi di balik tembok hangus.
"Agaknya ia mencari-cari kamu. Mungkin ia masih penasaran, karena ia ingin
membunuh kamu."
"Aduh, bagaimana, ya Kang?" Saga cemas.
"Kau diam di sini saja. Biar aku
yang menemuinya dan membuat perdamaian dengannya," ujur Suro Bodong sambil
memetik-metik biji jagung bakar dengan ibu jarinya. Kemudian ia melangkah
dengan santai. Sesekali melemparkan
biji jagung ke mulutnya. Sesekali
menggaruk kumisnya yang tebal dengan
telunjuk. Saat itu Rogama sedang
memeriksa bagian samping rumah dan
Kenanga masuk ke dalam.
Waktu Kenanga Hijau keluar dari
dalam, Suro Bodong sudah berdiri di
bawah pohon, depan rumah agak
menyamping. Ia berdiri di bawah dengan bahu kiri bersandar pada batang pohon.
"Hai..." sapa Suro Bodong dengan kalem
Kenanga Hijau membelalak waktu
melihat Suro Bodong berdiri sambil
mengunyah jagung bakar. Kenanga segera menutupi kekagetannya. Ia bersikap
tenang dan melangkah hati-hati
mendekati Suro Bodong. Rogama sendiri
juga tercengang melihat Suro Bodong
tersenyum kepadanya. Ia buru-buru
bergabung dengan Kenanga Hijau.
"Rupanya orang gila ini ada juga
di sini, Putri," jawab Rogama dengan melirik Kenanga sebentar.
Kenanga menggumam. "Kurasa dia
setan. Bukan orang gila!"
Suro Bodong masih tenang. Ia
sempat mempelajari ketegangan yang ada pada diri Kenanga Hijau dan Rogama. Ia
merasa telah menang mental lebih dulu, karenanya ia berkata sambil memetik-metik
jagung bakar dengan jempolnya:
"Aku yakin, belum ada seorang
pendekar yang mampu merobohkan kamu,
Kenanga. Kau memang hebat."
"Tapi kau telah membuatku terhina di depan umum. Karena itu, kau harus
melawanku untuk menentukan siapa yang
mati di antara kita. Kau atau aku!"
Suro Bodong memandang arah lain.
Santai sekali. "Aneh," katanya. "Baru kubuat tunggang langgang kau sudah merasa
terhina di depan umum. Padahal itu
belum seberapa. Aku hanya sekedar
meluruskan otot-ototku yang pegal.
Kalau aku mau, kau bisa kubuat mampus
dalam keadaan nungging di depan umum."
"Jahanam, kau!" geram Kenanga.
Rogama bersiap maju, tapi Suro Bodong
segera berkata lagi:
"Jangan banyak lagak di depan
Kenanga, Paman! Sekali pun dia tidak
melihat, namun dia tahu bahwa kau
bukan tandinganku." Suro memandang Rogama. "Kalau kau mati di tanganku, aku
sangat menyesal membunuh tikus
tanpa daya."
"Bangsat! Aku bukan tikus!"
bentak Rogama, tersinggung.
"Justru karena kau bukan tikus,
maka aku enggan membunuhmu. Dan
sebaiknya, jangan lagi memusuhi aku,
Paman. Ada banyak hal yang bisa kau
lakukan untuk membantu rencana
Kenanga." "Suro..." geram Rogama. "Aku sakit hati atas kejadian kemarin sore
itu, dan aku harus membalas sakit
hatiku sekarang juga! Kau punya urusan sendiri denganku, Suro!"
"Bodoh," kata Suro Bodong tanpa membentak, melainkan dengan suara
pelan, sepertinya ogah-ogahan bicara.
Ia menyambung kata-katanya:
"Bodoh sekali kau. Menurut
pendapat banyak orang, jika seseorang
ditegur dari kekeliruannya malahan
menjadi marah, itu bodoh! Seharusnya
kau berterimakasih padaku, karena aku
telah menegurmu, mengingatkan kamu
tentang kekeliruan. Kau keliru kalau
kau melawanku. Maka kemarin sore aku
mengingatkan kamu dengan caraku
sendiri." "Sesumbarmu membuatku muak,"
geram Kenanga. "Sebaiknya bersiaplah untuk bertanding denganku, Setan
dekil!" Dan Kenanga segera mengambil
posisi siap tempur. Ia menarik kaki
kanannya ke belakang dan merendah,
sedangkan kaki kirinya membentuk 90?
di bawah tangan kiri yang menggenggam
kuat menuju ke atas, tangan kanan
diangkat di atas kepala dengan
setengah terlipat. Kaku keras dan
bertenaga. Rogama sendiri mulai menyisih,
bergerak m-ngepung Suro Bodong ke arah kanan. Ia memperlihatkan kesigapannya
dengan merapatkan tangan kanan ke
depan dada dalam posisi ketiga jarinya menegang kaku, sementara tangan
kirinya setengah terulur ke depan
dalam posisi jari yang sama. Ia
bergerak ke arah kanan dengan langkah
pelan dan penuh kewaspadaan, sedangkan Kenanga siap membidikkan serangannya
dari depan. Di samping kiri Suro
Bodong, pohon yang dipakainya
bersandar. Suro Bodong menggaruk kumisnya,
seakan tidak mempedulikan gerakan-
gerakan mereka. Mulutnya masih
mengunyah jagung bakar kesukaannya.
Matanya memandang lurus kepada Kenanga namun tidak memancarkan permusuhan.
Cuek sekali. "Kalau kau menang melawanku, apa
yang akan kau peroleh?" tanya Suro Bodong kalem.
"Kepuasan!" jawab Kenanga pendek dan ketus.
"Kalau aku menang melawanmu, apa
yang akan kuperoleh" Apa kau
menyediakan hadiah untukku?"
"Kalau kau menang..." Kenanga berpikir sejenak. Dengan rasa sungkan
ia berkata lagi, "Mungkin tubuhku bisa kau manfaatkan sebagai... terserah
kamu." "Apa kau pikir aku punya nafsu
denganmu"!" Suro berkata dengan senyum mengejek. Kenanga semakin merah
mukanya. "Kuremukkan seluruh tulangmu,
hiaaat...!!" Kenanga menendang Suro Bodong dengan gerakan melayang seperti
burung rajawali mencakar mangsanya.
Suro Bodong masih berdiri agak
miring, pundaknya bersandar pada
batang pohon. Ia menggerakkan tangan
kanannya yang tidak memegangi jagung
bakar. Tenaga dalam disalurkan dari
tangan dan menghentak ke depan.
Kenanga jatuh dalam keadaan terdorong
ke belakang. Suro memetik-metik jagung bakarnya lagi. Tenang sekali.
"Kenapa kita tidak berdamai saja, Kenanga. Ilmumu belum cukup untuk
menandingi orang seperti aku.
Percayalah!"
"Tidak ada istilah damai bagi
Kenanga," Rogama menyahut dari
samping. "Juga bagi aku...
Hiaaat...!!"
Rogama menendang dengan tendangan
samping ke arah kepala Suro Bodong.
Tetapi Suro Bodong sengaja menghantam
kaki Rogama dengan satu pukulan tak
bertenaga. Dan ternyata hal itu
membuat Rogama terpental beberapa
langkah ke belakang. Memang tidak
jatuh, namun cukup terhuyung-huyung.
"Apalagi kamu, Paman...!" ujar Suro tetap santai, belum merubah
posisi berdiri yang miring ke pohon.
"Ilmumu dengan Kenanga tidak ada se-kuku hitamnya. Ibarat pengantin baru,
kamu hanya menang nafsu. Nafsu besar
tenaga miskin!"
Kenanga bersiap menyerang Suro
Bodong lagi dengan pukulan. Tetapi
Suro Bodong menyentilkan biji jagung
bakar dan mengenai tangan Kenanga.
Kenanga mengaduh sambil mengibas-
ngibaskan tangannya yang terkena
sentilan jagung. Agaknya Suro Bodong
menyalurkan tenaga dalamnya yang
sempurna ke biji jagung itu, sehingga
ketika mengenai tangan Kenanga,
rasanya seperti beku dan dingin. Ngilu sekali.
Suro Bodong melemparkan beberapa
biji jagung ke mulutnya. Sambil
mengunyah ia berkata kepada Kenanga:
"Kenapa kau menyukai permusuhan,
Kenanga" Biasanya, seorang perempuan
menyukai suasana damai dan tentram.
Tapi kau tidak. Kau jalang dan brutal.
Kasar dan sadis. Pokoknya kau punya
tabiat jelek! Ini cukup aneh bagiku,
Kenanga!" "Aku memang bukan perempuan
Suro Bodong 02 Pedang Urat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sembarangan. Aku berbeda dengan
perempuan yang pernah kau kenal."
Kenanga bicara dengan pelan, seakan ia bicara dari hati ke hati. "Aku
memerlukan seorang pendekar yang gagah perkasa!"
"Untuk apa" Aku punya banyak
kenalan pendekar gagah!"
"Untuk menolongku."
"Kau dalam kesulitan?"
Sementara waktu, Kenanga diam. Ia
melirik Rogama, dan Rogama yang
agaknya sebagai penasihat Kenanga itu
diam saja. Rogama bahkan buang muka,
lalu tangan kanannya bersandar pada
batang pohon yang lain. Sikapnya sudah menyatakan masa bodoh dan terserah apa
yang ingin dilakukan Kenanga. Sebab
itu Kenanga bicara lagi dengan pelan:
"Aku memerlukan sebuah pedang."
"Kau sudah punya pedang, bukan?"
"Lain..." jawab Kenanga setelah ragu sebentar. "Hanya pedang itu yang bisa
lengket melekat di pedang
Jatayuku ini," Kenanga memegang gagang pedangnya. "Dan pedang yang kucari itu
hanya ada pada seorang pendekar gagah
perkasa." "Sebab itu kau menantang setiap
pendekar untuk menjebak pedang yang
kau cari itu"!"
Kenanga mengangguk Suro Bodong
berkata lagi sambil membiarkan Kenanga memandang ke arah lain, emosinya
turun. "Pedang apa yang kau cari itu"
Mungkin aku bisa membantu
mencarikannya tanpa kau menantang-
nantang permusuhan dengan orang yang
belum tentu punya pedang itu?"
Kenanga kelihatan mendesah. Ia
bertolak pinggang dan memandang jauh
ke tempat lain. Lalu ia melirik Suro
Bodong dan berkata ketus:
"Apa kau bisa kupercaya?"
"Dalam hal apa?"
"Rahasia pedang yang kubutuhkan?"
"Kita coba saja, apakah aku orang jujur atau curang!" jawab Suro Bodong dengan
santai, tetap memetik-metik
biji jagung lalu memakannya.
"Siapa kau sebenarnya?" Kenanga mulai lunak.
"Suro Bodong!"
"Dari mana asalmu?" Kenanga penuh selidik.
"Aku selalu terpojok dengan kata-
kata itu. Aku selalu tidak bisa
menjawab pertanyaan seperti itu. Sebab aku sendiri belum tahu, dari mana aku
dan siapa aku sebenarnya."
Suro Bodong merasa tak enak
ketika Kenanga memandangnya dengan
berkerut dahi, penuh curiga. Lalu ia
buru-buru berkata:
"Jangan tanyakan dulu soal itu.
Tanyakanlah dulu apakah kau akan
berhasil bekerjasama denganku atau
tidak." "Menurutmu, bagaimana?" Kenanga ganti bertanya.
"Kalau kau jujur, aku akan
berusaha menjadi orang jujur. Nah,
sekarang katakan, pedang apa yang kau butuhkan?"
Setelah termenung sebentar,
Kenanga pun menjawab:
"Pedang Urat Petir...!"
Tersentak hidung Suro mendengar
jawaban Kenanga. Jantungnya berdesir
sejenak. Ia mengumpat dalam hati:
"Monyet...! Lagi-lagi orang yang
menghendaki pedangku! Untuk apa sebe-
narnya" Dan mengapa harus pedangku
yang mereka butuhkan?"
Karena Suro Bodong diam, Kenanga
mempunyai gagasan lain:
"Aku yakin kau akan kebingungan.
Kau pasti menyimpan banyak pertanyaan.
Tetapi percayalah, aku pun seperti
kamu. Aku belum pernah melihat seperti apa Pedang Urat Petir itu. Siapa
pemiliknya" Di mana letaknya" Itu
semua belum kuketahui. Sebab itu,
hanya satu cara untuk mengujinya,
yaitu: pedang tersebut akan lengket
bila menyentuh pedang Jatayuku. Hanya
aku dan pemilik Pedang Urat Petir itu
yang bisa melepaskan kedua pedang yang lengket. Orang lain tak akan bisa
melepaskannya."
Termenung Suro, namun tetap saja
mengunyah jagung bakar sambil sesekali menggaruk kumisnya. Rogama
memperhatikan Suro Bodong
dengan berkerut dahi, menyimak sikap dan
jalan pikiran Suro Bodong. Sekali pun
Suro Bodong tahu, tapi ia tidak
peduli. Ia tetap menampakkan
ketenangannya yang santai sekali.
Kenanga bicara dengan tegas, "Kau tak sanggup, bukan?"
"Kalau aku sanggup, bagaimana?"
"Kau bebas dari ancaman matiku.
Tapi kalau kau gagal, kau harus
kubunuh. Tak ada istilah teman atau
perdamaian jika kau gagal mendapatkan
pedang itu."
Suro Bodong tersenyum sinis,
berjalan mendekati Kenanga sambil
memetik-metik biji jagung bakar. Ia
berhenti di depan Kenanga,
memandangnya dengan lagak angkuh dan
berkata dengan tegas pula:
"Kalau aku berhasil, kau yang
akan kubunuh saat itu juga. Bagaimana"
Setuju?" Kenanga merasa tak suka dengan
kata-kata itu: "Jadi untuk apa kau membantuku
mencari pedang itu?"
Suro tertawa pendek. "Aku hanya
mengujimu; kau ternyata takut padaku!"
Suro melebarkan tawa. "Pulanglah, dan temui aku di sini satu bulan lagi!"
"Sepuluh hari! Hanya ada waktu
sepuluh hari. Lebih dari itu, kau
tidak punya kesempatan untuk hidup."
Setelah itu ia memberi isyarat kepada
Rogama agar pergi dari situ. Suro
Bodong hanya tersenyum sinis seraya
memandang kepergian Kenanga dan
Rogama. "Kang...!" Saga berlari
mendekatinya. "Bagaimana, Kang" Dia menyerah kalah?"
Suro Bodong masih memandang ke
arah menghilangnya Kenanga dan Rogama.
"Ternyata dia punya tujuan yang
sama dengan orang-orang Kepatihan,
Ga." Saga berkerut dahi. "Jadi, dia
juga mencari Pedang Urat Petir juga?"
tanya Saga meyakinkan.
"Ya. Dan aku menjanjikan untuk
membantunya."
"Kenapa begitu" Apakah..."
Suro memotong, "Untuk keamanan
kita sementara ini, Ga. Dengan cara
itu dia mau pergi dan tidak memburu
kita. Bukankah saat ini kita masih
punya tugas, yaitu membebaskan ayahmu
dari tawanan patih Danupaksi?"
Saga manggut-manggut.
"Aku mengerti sekarang. Cuma aku belum bisa mengerti, mengapa sekarang banyak
orang yang membutuhkan Pedang Urat
Petir" Seperti apa pedang itu dan
untuk apa sebenarnya, kok laris amat"
Ah, bagaimana kalau kita bikin pedang
dan bilang bahwa itu Pedang Urat
Petir, Kang?"
Suro menggeleng, masih memandang
ke arah kepergian Kenanga. Ia berkata,
"Mustahil mereka percaya. Ada cara untuk menguji Pedang Urat Petir, Ga.
Apabila melekat erat di pedang Jatayu
milik Kenanga itu, maka mereka akan
percaya bahwa pedang tersebut adalah
Pedang Urat Petir."
"Kita bikin pedang, terus kita
beri sagu cair, sebagai lem, supaya
bisa melekat di pedang Kenanga. Kan
bisa?" Suro Bodong tertawa pendek dan
pelan. Ia mengusap rambut anak muda
itu seraya berkata:
"Itu kan pikiran bayi. Jangan
berpikir model bayi kalau kau ingin
menjadi dewasa. Berpikirlah model
orang tua!"
Suro Bodong melangkah. Saga
berseru, "Kita jadi pergi ke
Kepatihan, Kang?"
Suro mengangguk. Lalu ia merenung
sebentar dan segera berkata, "Tunggu di sini dulu, ya..."!"
Suro Bodong pergi ke arah
belakang rumah Saga. Dugaan Saga, Suro Bodong mencari sesuatu untuk senjata
mereka. Tapi, dugaan Saga itu tidak
pernah benar. Di belakang rumah Saga
tempatnya sepi, dan Suro melakukan
sesuatu tanpa dilihat siapa pun.
Tubuh Suro Bodong melayang di
udara, dan ia bersalto 3 kali. Andai
saja Saga melihat, pasti ia akan
terheran dan tidak percaya dengan
penglihatannya. Saat itu, setelah Suro bersalto di udara 3 kali, tubuh Suro
Bodong mengalami perubahan total. Ia
menjadi anak kecil yang usianya lebih muda dari Saga. Inilah ilmu andalan
Suro Bodong yang sebenarnya, yaitu
Jurus Luing Ayan 3. Sebab itulah Suro
Bodong jika bertarung jarang bersalto
di udara, sebab hal itu dapat merubah
ujudnya menjadi tujuh rupa, tergantung berapa kali ia bersalto di udara.
Namun apabila ia berguling dengan
posisi tubuh menyentuh tanah atau
dasar apa pun, maka ia tidak akan
mengalami perubahan ujud yang sangat
ajaib itu. Saga kaget sewaktu melihat ada
anak kecil keluar dari balik belakang
rumahnya. Ia tidak mengenal anak itu.
Bercelana hitam dan telanjang dada,
berkalung slepetan atau ketapel,
berambut cepak, pendek namun tidak
terlalu acak-acakan. Matanya
jeli, alisnya tipis, tapi bulu matanya lebat untuk ukuran anak seusia 10 tahunan
seperti dia. "Hei, siapa kamu"!" tegur Saga.
"Tole..." jawab anak itu. "Mari kita berangkat ke Kepatihan Benteng
Cadas. Ayo...! Saga tertegun dalam keadaan
bengong. Ia masih tak mengerti mengapa anak yang menamakan dirinya Tole itu
bisa muncul dan tahu-tahu mengajaknya
pergi ke Kepatihan"
"Ayo...! Kok malah bengong"!"
kata Tole. "Tunggu, aku sebenarnya akan
pergi ke sana, tapi bukan dengan kamu, melainkan dengan Kang Suro!"
Tole mendekat dan berbisik, "Aku
Kang Suro...!"
"Kau..."!"
"Tenang saja. Ini caraku untuk
mengelabui para penjaga batas wilayah
Kepatihan. Mereka tak akan curiga bila keadaanku seperti ini. Ingat, kita
berlagak jadi pencari kayu bakar, ya?"
"Tunggu dulu. Aku masih belum
mengerti mengapa Kang Suro bisa
menjadi sekecil kamu"!"
"Aku bisa berubah sampai tujuh
kali rupa, Saga. Aku punya jurus sakti yang tidak dimiliki orang lain. Ah,
sudah, mari kita berangkat. Nanti
kujelaskan di perjalanan...!"
5 SURO BODONG berhasil menyusup ke
Kepatihan Benteng Cadas dengan merubah ujud menjadi Tole. Ia berjalan bersama
Saga, seperti kakak beradik yang
sedang menikmati keramaian kota
Benteng Cadas. Istana Kepatihan
terletak di belakang alun-alun. Di
sepanjang pinggiran alun-alun ada
banyak penjual makanan, kedai dan
kios-kios tembakau. Bahkan beberapa
bangunan sedang dibangun di tengah
alun-alun. Konon, nanti malam akan
dimulai perayaan Warsa Panen dengan
diadakannya pasar malam di alun-alun
Suro Bodong 02 Pedang Urat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tersebut. Rakyat Kepatihan Benteng
Cadas mempunyai pesta adat setiap
tahunnya, maka Patih Danupaksi selalu
mengadakan syukuran berupa perayaan
Warsa Panen. "Ini sangat kebetulan, ya Kang?"
kata Saga yang tetap memanggil Tole
dengan sebutan 'Kang', karena dia
masih menganggap didampingi Suro
Bodong. "Kelihatannya
memang kebetulan.
Namun ini sebenarnya sedikit
menyusahkan kita, Saga," jawab Tole.
"Kalau kita gagal, kita bisa dijadikan bahan tontonan orang banyak, dan
dianggap pembuat keonaran. Bisa-bisa
kita berdua dianggap pengacau, lalu
dituntut oleh rakyat untuk digantung."
Anak kecil jelmaan Suro Bodong
itu diam merenung di bawah pohon, di
pojok alun-alun. Tentu saja tak satu pun ada yang curiga dan mengetahui
rencana mereka, sebab mereka tidak
ubahnya seperti anak kecil yang sedang bermain. Saga bagai sedang mengajak
adiknya bermain di tempat itu. Wajah-
wajah mereka pun menampakkan wajah
polos tanda bebas dari suatu rencana
khusus. "Apa yang akan kau lakukan,
Kang?" tanya Saga.
"Tunggu malam. Aku akan masuk ke
dalam benteng Kepatihan, dan kau
menunggu di samping warung itu," Suro Bodong yang berubah menjadi Tole itu
mengajak ke sebuah warung. Di samping
warung itu ada pohon besar yang
rindang. Di samping warung itu juga
ada jalan menuju persawahan, yang
menurut pengamatan Tole dapat membawa
mereka ke luar dari wilayah Kepatihan.
"Kang," Saga bicara pelan.
"Kelihatannya pintu gerbang benteng Kepatihan dijaga ketat oleh para
prajurit berseragam biru hitam."
"Sebab itu aku akan masuk lewat
jalan lain. Aku tidak ingin membuat
suasana menjadi gaduh sehingga rakyat
banyak yang mengetahui rencana kita.
Aku akan masuk setelah gelap malam
tiba, dan kau segera ke warung itu.
Kalau aku datang sambil membawa
ayahmu, kau harus cepat berlari di
belakangku. Mengerti?"
Saga mengangguk. Sementara itu,
beberapa prajurit berkuda sedang
mengadakan patroli keliling alun-alun
dan keluar masuk di sela-sela bangunan yang akan meramaikan pasar malam.
Umbul-umbul dipasang di sepanjang
jalan menuju alun-alun dan di sekitar
alun-alun sendiri.
Sekali pun Suro Bodong telah
menjadi anak kecil, namun ia masih
sanggup merobohkan para penjaga di
pintu gerbang tersebut. Hanya saja, ia tak ingin suasana menjadi ribut dan
kacau balau. Karenanya, ketika malam
telah menjelma, Saga segera
diperintahkan untuk ke samping warung.
Mereka berpisah. Dan satu hal yang
sedikit menguntungkan mereka adalah
pelaksanaan pasar malam itu, yang
ternyata bukan malam ini sangat
melegakan hati Tole, sebab andai
terjadi suatu keributan, tak banyak
masyarakat yang mengetahuinya.
Tole berjalan ke samping bangunan
batu yang tinggi. Ia berjalan sambil
menyelidiki kemungkinan untuk bisa
masuk ke dalam benteng tersebut. Di
setiap sudut, di bagian atas benteng,
terdapat rumah jaga dengan masing-
masing satu prajurit yang siap dengan
panah di tangan.
Benteng itu cukup rapat. Selain
tinggi dan keras, juga tak mungkin
dapat dibobok atau digali pada bagian dasar pondasinya. Batu benteng itu
sangat kokoh, tinggi dan lebar. Tole
saat itu bersembunyi di balik tumbuh-
tumbuhan liar yang terdapat di tepian benteng. Tinggi tanaman itu sebatas
perut orang dewasa, sehingga dengan
jongkok di bawah tanaman tersebut,
Tole dapat melihat beberapa orang
patroli berkuda yang mondar-mandir di
sekeliling benteng.
Tole memutar otak, bagaimana
caranya masuk ke dalam benteng"
Memanjatnya jelas tak mungkin. Selain
cepat diketahui penjaga, juga
kemiringan tembok benteng batu cadas
itu sangat membahayakan jika dipanjat
tanpa tali. Setelah malam kian sunyi, Tole
mempunyai gagasan lain. Ia mencari
tempat lebih tersembunyi, yaitu di
seberang benteng, di antara tanaman
pagar rumah penduduk. Namun ketika ia menyeberang ke sana, seorang pengawas
yang ada di rumah jaga atas benteng
berseru sambil menaikkan obor besar
yang selalu ada di kanan kiri rumah
jaga itu. "Hei, anak kecil...! Mengapa
malam-malam begini masih ngeluyur"
Ayo, pulang...!"
"Ya, Paman...! Ini saya sedang
mau pulang...!" sahut Tole dengan hati berdebar, takut ketahuan.
Waktu Tole sudah sampai di balik
pagar halaman, ia segera bersiap-siap.
Tempat di situ cukup gelap, karena
obor atau pelita yang ada di pinggir
pagar ternyata mati. Mungkin kehabisan minyak. Dan itu sangat menguntungkan
Tole. Tubuhnya yang kecil segera
melesat ke atas. Ia bersalto sebanyak 2 kali putaran. Suro Bodong telah
memainkan jurus Luing Ayan 2. Maka
tubuh kecil itu telah berubah. Bukan
menjadi Suro Bodong seperti semula,
melainkan berubah menjadi perempuan
cantik, lengkap dengan dandanan serta
kain batik warna putih bergaris coklat yang melilit tubuhnya setinggi bawah
lutut. Kain berwarna putih dengan
corak batik lereng coklat itu menutup
tubuh sampai di bagian dada. Sementara itu, ia juga mengenakan kebaya tipis
berwarna kuning gading. Rambutnya
panjang, diurai
lepas sebatas pinggang. Namun ia buru-buru
menggulungnya asal jadi. Menyisakan
sedikit rambut di bagian pelipis yang
terjulur ke bawah sampai di leher.
Dengan rambut digulung begitu,
lehernya yang putih mulus tampak segar menggairahkan. Sedangkan buah dadanya
yang tertutup kain itu juga sekal dan
menjadi daya tarik yang melemaskan lu
tut lelaki. Suro Bodong telah berganti ujud,
menjadi perempuan cantik yang
menggairahkan. Matanya yang bulat
bening itu melirik ke atas sewaktu ia
berjalan di samping benteng.
Gemerincing gelang perak di tangannya
terdengar memecah sunyi. Ia sengaja
berjalan agak cepat dan memancing
suara gelang ketika melewati bawah
rumah jaga di atas benteng.
Pancingannya berhasil membuat
lelaki penjaga pos itu memandangnya.
Suro Bodong yang telah berubah menjadi seorang perempuan sengaja menjatuhkan
diri dengan nafas ngos-ngosan. Lelaki
penjaga pos itu semakin membelalak
ketika kain penutup menyingkap,
membuat paha perempuan itu terlihat
menggairahkan di bawah temeramnya
lampu penerang jalan. Lelaki penjaga
pos itu menelan ludahnya beberapa
kali, kemudian ia berseru:
"Ada apa, Yu...?"
"Oh, tolonglah aku, Kang...
Tolonglah aku...!" Suara Suro Bodong yang telah berganti ujud perempuan
cantik itu ternyata juga berubah,
persis suara perempuan biasa.
"Ada apa, hah" Kenapa Mbakyu
sampai jatuh begitu?"
"Aku... aku dikejar-kejar seorang lelaki yang ingin memperkosaku. Oh
tolonglah... Dia tahu kalau aku lari
ke sini..."
Setelah menimbang sesaat, lelaki
penjaga rumah intai itu mengulurkan
tangga tali. "Naiklah ke mari...! Lekas,
sebelum teman-temanku melihatnya...
Ayo, naik...!" Lelaki itu berseru dalam bisik yang membuat suaranya
seakan serak. Dan perempuan berkebaya
tipis warna kuning gading itu buru-
buru berusaha naik ke tangga tali. Ia
berlagak mengalami banyak kesulitan.
Lelaki penjaga sudut benteng segera
menariknya, sehingga ia berhasil
memegang tangan perempuan itu dan
mengangkatnya ke atas benteng.
Jarak dari sudut benteng ke sudut
yang lain cukup jauh, sehingga apa
yang dilakukan lelaki berkumis tipis
itu tidak diketahui temannya. Ia
segera menyuruh perempuan itu masuk ke rumah jaga beratap genting. Di sana
ada bangku, dan perempuan itu duduk di bangku. Lelaki itu sempat berkata
dalam hati, "Lumayan... bisa untuk penghangat tubuh pada malam yang
dingin seperti ini. Wouw... cantik
juga dia"!"
"Siapa namamu, Yu?" tanya lelaki itu dengan tangan membelai-belai
punggung perempuan jelmaan Suro
Bodong. "Kok tanya nama segala?"
"Kamu kan sudah kutolong dari
kejaran orang yang ingin memperkosamu.
Masa tak boleh aku mengetahui namamu,
anggap saja sebagai hadiah"
Perempuan itu berlagak tersenyum
malu. "Namaku... Arum."
"Arum...?"
Perempuan itu mengangguk. "Arum
Sajen..." "Arum Sajen..." Oh, bagus sekali
namamu." Lelaki itu mencubit dagu Arum Sajen. Arum hanya tersipu sembari
mengelak lambat. "Kau tidak ingin mengetahui namaku?"
"Ah, untuk apa, Kang..." Karena
sebentar lagi kau akan sekarat...!"
"Hah..."!" Lelaki itu mendelik.
Selain kaget juga karena tangan kanan
Arum Sajen segera memukul keras ulu
hati lelaki itu, kemudian memukul lagi tengkuk kepala lelaki itu ketika
lelaki itu menunduk mules. Dan tak
berapa lama lelaki itu pun roboh tanpa suara.
Tanpa membuang waktu, Arum Sajen
segera menuruni tangga batu yang
menuju ke lantai dasar. Tangga batu
itu meliuk seperti tubuh ular
merambat. Begitu ia sampai di lantai
dasar, ternyata ia berhadapan dengan
rumah atau kamar jaga bawah. Kamar itu digunakan untuk tempat menunggu bagi
prajurit yang ingin bergantian jaga di atas benteng. Kebetulan waktu itu ada
orang prajurit berseragam biru hitam
yang sedang berbincang-bincang di
depan kamar. Tentu saja kedua prajurit itu sangat terkejut melihat Arum Sajen
turun dari tangga penjagaan.
"Hei, siapa kamu"!" bentak salah seorang.
Arum Sajen mendekat dengan
senyumnya yang manis. Kedua prajurit
saling beradu pandang. Dan pada saat
itulah kedua kaki Arum Sajen melayang
cepat, menendang kedua prajurit terse-
but. Yang satu terpental karena
dadanya terkena tendangan kaki kanan,
yang satunya lagi terhuyung-huyung
karena wajah terkena tendangan kaki
kiri. Namun keduanya segera mencabut
pedang dari pinggang masing-masing.
"Hiaaaaat...!!" teriakan itu keluar dari mulut prajurit yang
terhuyung-huyung tadi. Suaranya keras, dan pasti mengundang perhatian. Ia
menendang ke arah samping Arum Sajen,
namun pedangnya ditebaskan ke arah
tubuh Arum.
Suro Bodong 02 Pedang Urat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena sudah terbiasa gerakan
Suro Bodong, maka Arum Sajen pun
mengguling di lantai ke arah
berlawanan dengan datangnya pedang
lawan. Tetapi ternyata ia jatuh di
bawah kaki prajurit lain, yang tadi
terpental karena tendangan kaki
kanannya. Sebelum Arum terkena kibasan pedang, kakinya telah menendang dalam
keadaan telentang. Tendangan itu
begitu keras dan mengenai perut lawan, sehingga lawan menjadi menggerang
kesakitan dan susah bernapas. Arum
buru-buru bangkit dan memukul dada
orang itu dengan teriakan seorang
wanita. Pukulan ganda dengan tangan
kiri-kanan yang cepat itu membuat
lawannya terpelanting lagi.
"Kurang ajar kau, Perempuan busuk...!!" seru prajurit di
belakangnya seraya mengibaskan pedang.
Arum segera merundukkan badan ke arah
samping. Lalu ia membalik dengan satu
tendangan keras yang membuat tangan
lelaki itu menjadi ngilu. Pedangnya
jatuh, dan Arum menjadi semakin
lincah. Melihat banyak prajurit yang
berlarian ke tempat kejadian, Arum
Sajen tak ada pilihan lain untuk
segera merubah. Ia bersalto ke depan
satu kali. Itulah Jurus Luing Ayan 1,
yang dapat merubah ujudnya secara
otomatis menjadi Suro Bodong lagi.
"Hah..."! Berubah menjadi
lelaki"!" pekik prajurit yang
pedangnya jatuh. Ia menjadi ketakutan.
Ia hendak melarikan diri, namun Suro
Bodong segera melayang dengan cepat,
kaki kanannya lurus ke samping dan
mengenai punggung lelaki yang hendak
lari. Beberapa prajurit mulai mengepung
Suro Bodong. Suasana menjadi ricuh.
Suro Bodong garuk-garuk kumisnya
sebentar, lalu bersiap menyerang
mereka. Tetapi seorang prajurit
berseragam lain, mengenakan penutup
dada dari bahan tebal warna merah,
muncul sambil menenteng Saga.
"Menyerah, atau anak ini
kubunuh!" Mendelik mata Suro Bodong melihat
Saga tertangkap. Ia meludah dengan
jengkel dan memandang garang kepada
Saga. "Bocah goblok..."
"Maaf, Kang. Aku mengintip di
pintu gerbang dan nekad ingin masuk.
Tapi tertangkap. Kukira kau pergi
meninggalkan aku dan..."
"Diam, Monyet!" bentak Suro
Bodong dengan jengkel.
"Hei, yang berhak membentak dia
aku! Sebab aku yang menangkap dia! Dan aku yang mendengar keterangan darinya
tentang rencanamu, sebab dia takut
kubunuh. Ha, ha, ha...!"
"Bocah sinting...!" bentak Suro Bodong kepada Saga.
"Diam!" bentak penjaga gerbang.
"Aku yang berhak membentak dan marah-marah kepadanya!"
"Aku juga berhak! Aku yang
membawanya ke mari dan yang mempunyai
rencana seperti ini! Dia tidak ada
dosa padamu! Dia berdosa padaku. Sebab itu, aku berhak marah dan
membentaknya!"
"Tapi kamu dan dia sekarang
menjadi tawanan kami, jadi kamilah
yang berhak membentaknya!"
"Tapi kepada dia aku juga berhak
membentaknya!"
Salah seorang prajurit berseru,
"Hei, soal urusan bentak-membentak jangan dikupas di sini. Sebaiknya
mereka segera dibawa menghadap Gusti
Patih Danupaksi...!"
"Tunggu..." kata seorang prajurit lagi. "Sekarang ini, di Paseban sedang ada
pertemuan penting. Gusti Patih
Danupaksi tidak bisa diganggu."
Suro Bodong menyahut, "Kalau
begitu, tangkap saja aku nanti.
Sekarang biarkan aku lepas. Nanti
kalau patihmu itu sudah selesai
mengadakan pertemuan, baru kalian
tangkap lagi aku! Bagaimana!"
Seseorang menendang kepala Suro
Bodong dengan gemas dari belakang.
Suro berontak dan marah. Ia hendak
menyerang orang itu, tetapi penjaga
gerbang berseru:
"Kau bergerak, kuhabisi nyawa
anak ini!"
Suro Bodong berbalik, dan mendekati penjaga gerbang.
"Hei, kalau soal menghabisi
nyawa, aku sering. Tapi bukan nyawa
anak ingusan seperti dia! Ayo, habisi
nyawaku kalau kau memang doyan makan
nyawa"! Ayo...!" Suro Bodong maju, mendesak, dan penjaga gerbang itu
mundur. Cemas. Yang lain siap
mengacungkan tombak ke punggung Suro
Bodong. Saga masih dicengkeram kuat
oleh penjaga gerbang. Suro Bodong
menyempatkan diri menampar Saga.
"Plaak..!"
"Gara-gara kamu yang bodoh,
keadaan jadi kacau! Rencana jadi
buyar. Cuih...!" Suro Bodong bermaksud meludahi Saga, tetapi arah ludahnya
salah meluncur ke dada penjaga
gerbang. "Kurangajar...! Berani kau
meludahi aku, ya?"
Tombak semakin merapat di leher
Suro Bodong. Hanya beberapa jari saja
jarak tombak dengan leher. Sekali
serbu, pasti leher Suro akan bolong.
Dalam todongan lebih dari lima
tombak menempel di leher, Suro Bodong
dibawa menghadap Patih Danupaksi. Tak
ketinggalan, Saga juga diseret ke
depan patih berambut putih.
"Siapa kau sebenarnya, Ki Sanak?"
tanya Patih Danupaksi.
"Bagaimana aku bisa menjawab
kalau ditodong sekian banyak tombak?"
kata Suro Bodong mencnangkan sikap.
"Kurasa tombak-tombak ini tajam,
bukan?" Dengan wibawa yang ada, Patih
Danupaksi memberi aba-aba dengan
anggukan kepala kepada para
prajuritnya. Lalu mereka menyingkir
dari samping kanan kiri Suro Bodong.
Kini, Suro Bodong bebas dari ancaman
pucuk-pucuk tombak, namun beberapa
prajurit tetap disiagakan di
sekeliling ruang pertemuan itu. Saga
ada tak jauh dari Suro Bodong,
sedangkan Suro Bodong sendiri berdiri
dengan tegap, kedua kaki
terenggangkan, memandang Patih
Danupaksi yang duduk di dampar
kepatihan. "Kuulangi lagi, siapa engkau
sebenarnya, sehingga berani-beraninya
masuk Kepatihan Benteng Cadas ini?"
tanya Patih Danupaksi ingin
memperjelas laporan prajuritnya tadi.
"Namaku, Suro Bodong!" jawab Suro dengan tegas, namun masih saja
sesekali menggaruk garuk kumisnya yang tebal.
"Aku baru sekali ini mendengar
namamu, Suro Bodong."
"Aku tidak heran. Karena aku juga baru sekali ini berhadapan dengan kau, Patih
Danupaksi. Benar itu namamu,
kah?" Patih Danupaksi mengangguk dengan
tenang, namun masih kelihatan
berwibawa. "Lalu apa tujuanmu ke
mari?" "Pertama, mencari seorang gadis
yang bernama Ratna Prawesti. Apa kau
kenal dengannya?"
"Tidak."
Suro Bodong manggut-manggut.
"Kalau begitu, kapan-kapan jika
kekasihku itu sudah kutemukan, kau
akan kukenalkan dengannya. Supaya
kenal!" Suro Bodong
melirik ke sekeliling. Ternyata ada Brogo segala
di situ. Lelaki brewok yang menjadi
pimpinan penggeledahan di rumah Saga
itu duduk bersila di dekat lelaki
muda, bertubuh tegap dan berwajah
bersih. Ada codet di ujung alis mata
kirinya. Ia memandang sinis kepada
Suro Bodong. Tapi Suro Bodong tak
menanggapi sikap tersebut. Ia berkata
lagi kepada Patih Danupaksi setelah
menggaruk kumisnya satu kali.
"Kedua, aku ke mari untuk
mengambil Ki Pupus. Kau salah duga
Patih Danupaksi. Ki Pupus itu petani
biasa. Dia tidak mempunyai Pedang Urat Petir yang kau cari. Kau harus percaya
dengan kata-kataku itu!"
Patih menggut-manggut. "Aku
percaya," jawabnya tegas dan
berwibawa. "Dan sekarang pun aku
memang ingin membebaskan Ki Pupus. Aku dan orang-orangku memang salah
anggapan. Kau boleh membawa Ki Pupus
pulang sekarang juga!"
Suro Bodong berkerut dahi, merasa
heran. Mengapa semudah itu Patih
Danupaksi mau mempercayai kata-
katanya" "Kenapa kau beranggapan seperti
itu, Patih Danupaksi?" tanya Suro Bodong dengan polos.
"Sebab... Pedang Urat Petir sudah di tangan orangnya. Pedang itu sedang
kita bicarakan untuk saling ditukar.
Aku mendapatkan Pedang Urat Petir
tanpa harus memiliki."
Suro Bodong masih terheran-heran.
Matanya memandang tajam pada Patih
Danupaksi seraya sesekali menggaruk-
garuk kumis. Ia membiarkan penguasa
Kepatihan itu bicara lebih banyak,
sebelum segalanya akan dipertanyakan
"Suro Bodong, percayalah... aku
tidak punya tujuan jahat kepada Ki
Pupus. Sebagai rasa penyesalan, aku
akan menjamin hidupnya, dan kehidupan
keluarganya sepanjang umur.
Ketahuilah, Suro Bodong, supaya kau
tidak menganggapku orang serakah atau
jahat... bahwa sebenarnya bukan Pedang Urat Petir yang kubutuhkan, tetapi
orangnya."
Semakin tajam lagi kerutan di
kening Suro, dan hal itu membuat
Danupaksi berkata:
"Kau pasti heran, bukan" Tapi
memang begitulah kenyataannya, Suro
Bodong. Aku membutuhkan orang yang
memiliki Pedang Urat Petir untuk
kukawinkan dengan anakku...!"
"Gila!" Suro Bodong nyaris
terpekik dengan melotot. Tapi tiba-
tiba muncul seorang perempuan cantik
yang berseru: "Tidak! Itu tidak gila, Suro
Bodong...!"
Semakin membelalak mata Suro
Bodong setelah mengetahui bahwa gadis
itu adalah Kenanga Hijau. Perempuan
yang mengenakan pakaian serba hijau
itu mendekati Patih Danupaksi dan ber-
kata kepada Suro Bodong:
"Ayahku bukan orang gila, Suro.
Dia punya alasan. Kami semua punya
alasan khusus mengapa aku harus
Suro Bodong 02 Pedang Urat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dikawinkan dengan pemilik Pedang Urat
Petir...!"
"Tapi... tapi..." Suro gugup.
"Tapi aku tidak mau kawin denganmu, Kenanga. Aku... aku..."
Beberapa orang, termasuk beberapa
prajurit, tertawa cekikikan. Ada yang
tertawa tanpa bunyi, ada yang tertawa
cukup pendek-pendek saja. Ada yang
tersenyum sinis, dan ada yang
menggumam dalam tawanya. Suro Bodong
menjadi gerogi serta malu, merasa
menjadi badut yang pantas
ditertawakan. Tetapi ia tetap
berpegang pada prinsip:
"Aku tidak mau...! Bagaimana pun
juga kalian menertawakannya, aku tetap tidak mau kawin dengan Kenanga. Aku
sudah punya kekasih sendiri: Ratna
Prawesti. Itu kekasihku yang sedang
kucari-cari...!"
"Suro Bodong...!" sapa Danupaksi dengan wibawa dan kharisma yang
tinggi. "Tidak ada orang yang ingin mengawinkan kau dengan putriku, Suro.
Jangan salah dengar. Aku hanya akan
mengawinkan anak gadisku ini, dengan
pemilik Pedang Urat Petir." Danupaksi menegaskan lagi. "Pemilik Pedang Urat
Petir! Bukan dengan kamu!"
Ada kejanggalan yang begitu tajam
dirasakan di hati Suro Bodong. Ada
keanehan yang sangat mengusik
pikirannya. Lalu ia bersikap tenang,
manggut-manggut sebentar, garuk-garuk
kumis sebentar, setelah itu baru
bertanya: "Siapa pimilik Pedang Urat Petir
itu"!"
"Raden Pujo! Pendekar Pedang
Petir...!" seraya Patih Danupaksi mengulurkan tangannya, memperkenalkan
Suro dengan lelaki bertubuh kekar,
mengenakan ikat kepala kulit zebra dan terdapat codet bekas luka di ujung
alis kirinya. Suro Bodong sebenarnya terkejut
sekali, tapi dia bisa mengendalikan
diri untuk tenang dan bersikap biasa-
biasa saja. Ia memandang Raden Pujo
yang duduk dengan dada tegap di
samping Brogo. Lelaki berbaju biru tua dan celana biru muda bertepian manik
emas itu memegangi pedang. Sarung dan
gagangnya terbuat dari gading gajah.
Gading itu bergaris melintang dari
atas ke bawah dengan logam emas. Indah sekali pedang tersebut, dan ia selalu
menggenggamnya dengan tangan kiri.
Ikat kepalanya yang berwarna loreng
zebra membuat Raden Pujo menampakkan
kesan perkasa seorang pendekar, sekali pun ia berdarah bangsawan.
"Apakah kau yakin bahwa pedang
itu tidak palsu, Patih?" tanya Suro Bodong seperti malas-malasan.
"Tidak mungkin," sahut Brogo yang dari tadi diam saja.
"Ya, tidak mungkin," tambah patih Danupaksi. "Kami sudah sama-sama
menyaksikan sendiri, pedang yang ada
di tangan Raden Pujo itu, sungguh
Pedang Urat Petir."
"Dari mana bisa tahu begitu?"
desak Suro Bodong dengan hati-hati.
Sikapnya kini seperti orang dungu yang ingin tahu. Patih Danupaksi pun
menjelaskan: "Selain dilihat begitu saja,"
patih memandang pedang di tangan Raden Pujo, "Juga dilihat isinya, orang akan
yakin, bahwa itulah Pedang Urat
Petir." "Boleh dibuka di sini untuk
meyakinkan dia, Ki Patih?" kata Brogo dengan sopan.
"Silakan, supaya Suro Bodong
tidak penasaran." jawab Danupaksi.
Raden Pujo mencabut pedangnya,
dan para prajurit yang berada di
pinggiran ruang pertemuan itu
menggumam kagum. Pedang itu
mengeluarkan asap dan percikan-
percikan api yang berkerlip-kerlip
seperti loncatan petir di waktu malam.
Raden Pujo berkata kepada Suro
Bodong, "Kurasa pedang Urat Petir ini sangat bersedia untuk membunuhmu
sekarang juga, Suro Bodong."
Suro Bodong hanya garuk-garuk
kumis, seperti orang bingung. Ia
berkata pelan tapi jelas:
"Kurasa tidak." Suro Bodong
melirik Kenanga dan Patih Danupaksi.
"Siapa orang ini sebenarnya, Patih"
Darimana kau memungutnya?"
Raden Pujo menggeram dan hendak
mengibaskan pedangnya ke tubuh Suro
Bodong, tetapi Brogo mencegahnya.
Brogo sendiri yang menjawab pertanyaan Suro tadi:
"Dia temanku! Teman seperguruan
yang sudah lama bertapa di bawah
lereng Lawu!"
"Aku tidak yakin," kata Suro entah kepada siapa. Tapi ia segera
memandang Danupaksi, berjalan mendekat bagai tak kenal tata krama.
"Aku tidak yakin dengan pedang
itu!" "Jangan bicara selancang itu,
Suro," bisik Danupaksi.
"Beri aku kesempatan untuk
mencelikkan mata hatimu, supaya kau
dan anak gadismu yang cantik itu tidak tertipu."
Danupaksi memandang Kenanga.
Mereka saling tatap sejenak, kemudian
Suro buru-buru berkata:
"Ini sebuah tipuan! Raden Pujo
membayar mahal kepada paman Brogo
supaya dia bisa mencicipi keperawanan
Kenanga! Hasilnya, adalah tipu daya
seperti ini!"
"Lancang betul mulutmu, Suro.
Hiaaaat...!" Raden Pujo menyerang Suro Bodong dengan kibasan pedangnya. Suro
Bodong mengelak sambil melompat mundur beberapa langkah. Ia masih tenang,
pergi ngeloyor begitu saja. Kumisnya
digaruk dengan telunjuk, dan ia pun
membiarkan Saga mengikutinya dari lain arah.
"Hei, mau ke mana kau, Biadab?"
bentak Raden Pujo yang merasa terhina
mentah-mentah. "Berhenti! Mau ke mana kau"!"
"Cari tempat yang lebih lega
untuk menghajarmu, Pujo!"
"Hiaaat...!" Raden Pujo penasaran dan tak
bisa menahan diri, ia
menyerang Suro Bodong dari belakang,
hendak membabat pundak Suro Bodong.
Tetapi Suro Bodong tidak kalah
tangkas. Suro segera berbalik sambil
menjatuhkan badan. Posisi tangannya
menendang keras perut Raden Pujo.
Karena kerasnya, Raden Pujo terdorong
ke depan, berguling satu kali dan
jatuh tak beraturan di luar ruangan
yang menyerupai pendopo itu.
"Suro Bodong...!" hardik Kenanga seraya mengejar.
"Tenang, Kenanga. Aku akan
membuktikan bahwa kau nyaris tertipu.
Kalau aku gagal, potong kepalaku dan
pajang di alun-alun pada pasar malam
besok!" Suro Bodong segera melompat bagai
gagak melayang, kaki kanan membentang
sedang kaki kiri terlipat, tetapi
kedua tangannya terentang, yang satu
sedikit ditekuk dan mengepal kuat-
kuat. Raden Pujo menghindari tendangan itu dengan bersalto ke belakang dua
kali. Kini mereka jadi berada di
halaman depan pendopo pertemuan itu.
"Rasakan jurus Petir Murka ini,
Suro... hiiaat...!!"
Raden Pujo menancapkan pedang
berpijar-pijar ke tanah. Kemudian ia
segera menendang pedang itu pada
bagian tangkainya. Pedang tersebut
melesat bagaikan kilat. Hampir saja
menyambar wajah Suro Bodong. Dengan
gesit Suro Bodong segera tiarap, dan
pedang tersebut melesat lewat atas
kepala Suro Bodong. Pedang itu me-
nancap pada tiang lampu minyak
penerangan halaman.
"Duaaarr...!! Timbul suara
ledakan yang membuat tanah menjadi
guncang sesaat. Tiang lampu itu hancur menjadi arang, sedangkan pedang tersebut
bagai memantul kembali ke
pemiliknya. Semua orang merunduk dan
menutup telinga. Wajah-wajah mereka
berlapis kepucatan, kecuali Suro
Bodong. "Barangkali itulah
yang kau butuhkan, jurus Petir Murka yang baru
sekali ini kebetulan punya rasa
kasihan kepadamu, Suro. Biasanya ia
tak pernah mengenal belas kasihan
kepada mangsanya!"
Suro Bodong hanya tertawa dalam
gumam. "Itu bukan jurus sakti. Itu sihir buat mengelabui anak-anak main
kelereng. Ah, terlalu ringan buat
permainanku. Hei, ada yang lebih hebat lagi"!
Suro Bodong sengaja
menyombongkan diri untuk memancing
kepanasan hati Raden Pujo. Maka geram
Raden Pujo terdengar mengerang seperti macan lapar.
Sekali lagi Raden Pujo
menancapkan pedangnya ke tanah dan
menendangnya kuat-kuat. Kali ini kedua telapak tangannya ikut mengembang, dan
memancarkan kilatan api biru yang
menempel pada tangkai pedang tersebut.
Pedang itu melesat cepat bagai sedang
dikendalikan arahnya.
"Hiattaa...!!"
Suro Bodong berguling-guling ke
tanah dan melejit dengan menghentakkan punggung. Pada waktu, ia berdiri,
pedang yang memercikan bunga-bunga api itu tertuju ke arahnya, seirama dengan
gerakan telapak tangan Raden Pujo.
Tetapi dengan cepat Suro Bodong
meraba pergelangan tangan kirinya,
lalu menarik dalam satu kibasan.
Orang-orang tercengang melihat tangan
kanan Suro Bodong telah memegang
sebilah pedang bercahaya ungu. Padahal mereka sejak tadi tidak melihat Suro
Bodong menyandang senjata apa pun.
Ketika Suro Bodong mengibaskan
pedangnya yang pertama dari kulit
pergelangan tangannya, tepat pedang
tersebut mengenai pedang Raden Pujo.
"Blaaar...!" Ada nyala api
yangmenyala terang sekali, dan ledakan yang mengguncang pepohonan di
sekeliling. Sementara itu, pedang
Raden Pujo kembali ke tempat semula ia meluncur, bahkan menancap pada tanah
tempat ia ditancapkan. Orang-orang
menggumam kagum semakin keras.
"Raden Pujo...!" seru Suro
Bodong. "Mengapa wajahmu menjadi
pucat, hah"! Kurasa kau memang perlu
dibuat lebih pucat lagi.
Heeaaaattt...!!"
Raden Pujo menggeragap ketakutan.
Namun agaknya ia ragu dan malu kalau
harus lari tunggang langgang. Waktu
itu Suro Bodong mengejarnya, lalu
berlari cepat mengelilingi tubuh Raden Pujo dengan gerakan sangat cepat.
Raden Pujo kebingungan, gugup dan
ketakutan. Tujuh kali Suro Bodong bergerak
mengelilingi tubuh Raden Pujo dengan
kecepatan melebihi gangsing. Tiba-tiba ia berhenti tepat di depan Raden Pujo.
Lelaki itu hendak memukul Suro Bodong
dengan tangan terangkat ke samping.
Tetapi Suro Bodong mengibas-ngibaskan
pedangnya tujuh kali dengan cepat.
Kibasan itu tidak menyentuh sedikit
pun pakaian Raden Pujo. Dan suatu
keanehan membuat Danupaksi terbengong-
bengong. Tubuh Raden Pujo berkilauan
cahaya yang menyilaukan mata. Semua
tangan terangkat, melintang di depan
mata. Semakin lama semakin terang,
seperti cahaya inti matahari. Tak satu pun mata yang sanggup menembus pandang
cahaya kemilau itu.
Namun beberapa saat kemudian,
cahaya kemilau itu surut, dan kian
menjadi padam. Mata mereka mengerjap-
ngerjap. Suro Bodong berdiri agak jauh seraya menggaruk-garuk kumisnya.
Mereka terpekik dengan mata membelalak begitu melihat tubuh Raden Pujo telah
Suro Bodong 02 Pedang Urat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berubah menjadi patung batu dalam
posisi tangan terangkat satu, hendak
memukul. Suara menjadi gaduh, ricuh.
Masing-masing berkomentar menurut
jalan otaknya. Patih Danupaksi masih
terbelalak dalam kekaguman ketika ia
berkata kepada Kenanga: "Benar-benar menjadi patung...!!"
"Mengagumkan
sekali dia...!"
bisik Kenanga. Suro Bodong sengaja menjauhi
hiruk pikuknya mereka yang menghampiri patung tersebut. Ada yang mencoba
meraba, ada yang mencoba mendorong dan ada yang hanya berceloteh tak jelas
bahasanya. Sedangkan Brogo hanya
berdiri tegak, terkesima dan merasa
tak percaya dengan kenyataan yang
dilihatnya. "Kau hebat...! Hebat sekali,
Kang," kata Saga seraya memegangi tangan Suro Bodong yang garuk-garuk
kumis, sedangkan tangan yang satu
masih menggenggam erat pedang
bercahaya ungu: Pedang Urat Petir yang asli.
Danupaksi dan Kenanga mendekati
Suro Bodong dalam keheranan yang belum tuntas.
"Apa yang telah kau lakukan
sebenarnya, Malaikat"!"
"Aku bukan malaikat," jawab Suro Bodong.
"Aku hanya membuktikan bahwa kau
akan ditipu oleh Brogo dan Raden
Pujo!" Suro Bodong masih garuk-garuk kumis. Ia tenang, acuh tak acuh.
Danupaksi geleng-geleng kepala
dengan heran dan takjub memandang
keadaan Suro Bodong. Lalu, Suro Bodong berkata:
"Bukankah kalian punya cara
tersendiri untuk menguji keaslian
Pedang Urat Petir?"
Danupaksi mengangguk, lalu
menyuruh Kenanga mencabut pedang Raden Pujo. Kenanga membawa pedang tersebut
kepada ayahnya. Kemudian Danupaksi
berkata: 'Tempelkan pada pedangmu, kalau
lengket, itu Pedang Urat Petir yang
asli...!" Kenanga mencabut pedang Jatayu,
kemudian menempelkan pada pedang yang
masih memercikkan bunga api, yaitu
pedang milik Raden Pujo. Tetapi
berulangkali pedang itu disatukan,
tetap tak mau lengket.
"Pedang itu tidak mau melekat
dengan pedangku, Ayah," kata Kenanga.
Tapi tanpa disadari, ia berjalan di
dekat Suro Bodong. Tiba-tiba pedang
Jatayu melesat sendiri dari pegangan
tangan Kenanga. "Sreekk...!" Tahu-tahu pedang Jatayu melekat erat pada pedang
yang dibawa Suro Bodong. Bukan hanya
Suro Bodong yang kaget. Mereka sama-
sama memandangi kedua pedang yang
saling melekat bagai mempunyai daya
magnit yang sangat kuat.
Danupaksi buru-buru melepaskan
kedua pedang itu, tapi sampai
keringatnya mengucur, pedang tersebut
tak mampu dilepaskan. Semua orang
beralih perhatiannya kepada kejadian
itu, termasuk Brogo.
Gemetar tangan Suro Bodong,
gemetar pula tangan Kenanga ketika
hendak menarik pedang yang lengket
itu, dan ternyata mereka dapat me-
lepaskan kedua pedang tersebut dengan
sangat mudah, tanpa harus menguras
tenaga. "Ini Pedang Urat Petir yang
asli...! Iniii...!!" seru Danupaksi dengan girang. Semua pun ikut girang.
Dan tiba-tiba Brogo mencabut
pedangnya. Semua orang yang ada di
sekitarnya menyingkir cepat. Suro
Bodong bersiap hendak menangkis
serangan Brogo. Tapi ternyata, Brogo
menikamkan pedangnya ke dadanya
sendiri, tepat di awah jantung.
"Brogo bunuh diri...!!" seru para prajurit yang membuat suasana menjadi
gempar. Danupaksi terbengong kembali
melihat perbuatan Brogo yang tak
sanggup menahan malu, karena benar apa kata Suro Bodong: bahwa dia telah
menggunakan kesempatan mencari Pedang
Urat Petir untuk mencari keuntungan
sendiri. Ia dibayar mahal oleh Raden
Pujo dengan mengaku Raden Pujo itulah
pemilik Pedang Urat Petir sebenarnya,
dan patut mengawini Kenanga.
"Aku patut berterimakasih
sebanyak-banyaknya kepadamu, Suro
Bodong. Sekali pun wajahmu kasar,
penampilanmu memuakkan, namun
sesungguhnya kau mempunyai jiwa yang
bersih," kata Patih Danupaksi setelah beberapa saat menikmati sarapan pagi.
Di situ ikut pula Saga dan Ki Pupus,
yang mendapat kehormatan untuk
bersantap pagi bersama keluarga
Kepatihan. Suro Bodong berkata seenaknya,
seperti sudah menjadi ciri khas
pribadinya: "Untuk apa terima kasih segala!
Semua kejahatan bagaimanapun juga
suatu saat akan terbongkar. Sepele
saja!" 'Tapi... sungguh aku tidak
menyangka kalau Brogo mau bersekongkol dengan Raden Pujo demi uang dan..."
"Ah, itu juga sepele!" sahut Suro Bodong. "Orang mana yang tidak ngiler dengan
uang" Orang mana yang tidak
tergiur oleh kekayaan. Sebesar apa pun kesetiaan seorang bawahan, suatu saat
akan rapuh juga mentalnya. Itu
tergantung bagaimana atasannya saja,
kalau atasan memperhatikan
kesejahteraan hidupnya, menjamin masa
depannya, yah... tak mungkin jiwa-jiwa tempe itu dimiliki seorang bawahan!"
Danupaksi seharusnya tersinggung
dengan ucapan itu. Tapi nyatanya ia
hanya manggut-manggut dan menghela
nafas dalam-dalam. Ada geram
terpendam, ada keganjilan yang
dirasakan tumbuh dalam hati dan
menuding diri sendiri.
Kenanga menyadari adanya
perubahan batin ayahnya, ia segera
mengalihkan suasana dengan berkata,
"Aku tidak menyangka sama sekali kalau pemilik Pedang Urat, Petir itu
ternyata kamu, Suro Bodong."
"Ya," jawab Danupaksi sendiri.
"Dan aku tidak menyangka kalau
akhirnya aku akan mempunyai menantu
kamu." Mata Suro Bodong membelalak, lalu
terbengong. Ia sepertinya baru sadar
dari ancaman yang mendebarkan. Ia jadi berdebar-debar, lalu bertanya:
"Apakah itu harus?"
"'Harus!" jawab Danupaksi. "Kau harus jadi menantuku. Singkatnya, kau
harus menjadi suami Kenanga dalam
waktu singkat ini: Kalian harus
saling... memadu cinta di peraduan.
Ini penting, Suro. Sebab dalam tempo
empat puluh hari Kenanga tidak
berhubungan badan dengan pemilik
Pedang Urat Petir, maka tubuhnya akan
menjadi kering. Dan ia akan mati,
tepat hari ke empat puluh."
"Dan sekarang tinggal dua puluh
hari lagi," kata Kenanga dengan pelan, bernada menyedihkan.
"Nanti dulu..." Suro Bodong
berhenti makan. "Kenapa sampai harus begitu?"
Kenanga sendiri yang menjawab
setelah ia memandang ayahnya beberapa
saat: "Dua puluh hari lalu, aku
bertarung dengan seorang tokoh
persilatan, musuh dari guruku. Nini
Kuncen namanya. Aku membela guruku,
tapi ternyata aku bukan tandingannya.
Aku terkena pukulan Senggoro Jabang.
Ilmu itu hanya dimiliki oleh Nini
Kuncen. Guruku sendiri mati di tangan-
nya pada saat aku dalam keadaan parah.
Tapi sebelum guru meninggal ia sempat memberiku petunjuk, bahwa dalam empat
puluh hari aku akan mati kekeringan
darah, sebab pukulan Nini Kuncen itu
telah membuat racun menggumpal dalam
rahim peranakanku. Racun itu akan mem-
buat darahku kering hanya dalam tempo
empat puluh hari. Tetapi apabila...
aku bisa memperoleh benih jantan dari
lelaki pemilik Pedang Urat Petir, maka aku akan tertolong. Racun itu akan
tawar apabila bercampur dengan benih
seorang lelaki yang memiliki Pedang
Urat Petir..."
Suro Bodong tertegun lama sekali.
Pikirannya seperti benang kusut yang
semakin semrawut. Ia menggeleng pelan
dalam renungannya.
"Suro... tolonglah aku dan
anakku..." kata Danupaksi.
"Nyawaku ada di tanganmu,
Suro..." bisik Kenanga yang duduk di kursi samping kiri Suro Bodong.
Jantung Suro Bodong semakin
berdebar. Ia bingung. Ia tak ingin
menodai percintaannya dengan Ratna
Prawesti. Tapi di lain
sisi, ia dituntun untuk melakukan hal yang
manusiawi. Jiwanya guncang, batinnya
bergemuruh. Ia jengkel sendiri. Lalu,
ia berteriak. "Tidaaaak...!!" seraya berdiri, menendang kursi dan mengamuk membuang
kejengkelannya. Sampai tanpa disadari, dia telah bersalto 7 kali di udara
tanpa menyentuh lantai. Kemudian,
keluarga Kepatihan dan semua yang ada
di situ terbengong melompong. Mereka
tak berkedip memandang tubuh Suro
Bodong telah berubah ujud menjadi
seorang pendekar tampan. Mengenakan
rompi dan celana warna emas,
menyandang pedang di punggung
bercahaya ungu. Rambutnya panjang,
halus, diikat dengan tali emas bermata batu merah. Ia telah menjelma menjadi
Panji Bagus, yang pernah mendapat
julukan Pendekar 7 Keliling. Jurus
Luing Ayan 7 telah mengubah keadaan
seperti itu, yang membuat Kenanga
terkesima tiada henti, dan Suro Bodong tersenyum kepada Kenanga. Ia berjalan
mendekati Kenanga, meraih rambut
Kenanga yang panjang, lalu berkata
dengan suara yang enak didengar oleh
siapa saja: "Aku tetap Suro Bodong. Mungkin
dengan ujud beginilah aku bisa
membantumu, Kenanga. Dalam ujud Suro
Bodong yang sebenarnya, aku adalah
milik Ratna Prawesti. Tetapi dalam
ujud Panji Bagus ini..... kau boleh
memiliki aku, Kenanga..."
Kenanga tak sabar. Kenanga tak
terkendali. Jiwa yang berteriak itu
segera memeluk Suro Bodong yang telah
berubah menjadi pendekar tampan
bermata bening, teduh.
"Surooo...!" Kenanga memeluk erat dan membiarkan ayah ibunya tersenyum
dalam keharuan. Pedang Urat Petir
memancarkan sinar ungu samar-samar,
sebab pedang itu sepertinya masuk
terselip di antara kulit dan daging
punggung pemuda tampan dan kekar itu.
Dalam keadaan sekekar itu, dalam
ujud segagah itu, Suro Bodong berani
membalas pelukan Kenanga sekali pun di depan mata orang-orang itu. Tetapi
jika dalam ujud Suro Bodong yang se-
dikit gemuk dan perutnya agak
membuncit, apakah ia berani berbuat
deinikian" Rasa-rasanya tidak. Dalam
ujud Suro Bodong, mau tak mau ia
melangkah sambil mengunyah jagung
bakar dan sesekali menggaruk kumisnya
yang tebal. Ia menyusuri hidup,
mencari kekasihnya: Ratna Prawesti,
yang sudah tentu mempunyai cinta tak
seagung cinta perempuan mana pun juga.
SELESAI Scan/Convert/E-Book : Abu Keisel
Tukang Edit : Fujidenkikagawa
Suro Bodong 02 Pedang Urat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ABU KEISEL http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Dewi Penyebar Maut I X 2 Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira Istana Ratu Sihir 2