Pedang Urat Petir 1
Suro Bodong 02 Pedang Urat Petir Bagian 1
PEDANG URAT PETIR Oleh Barata ? Penerbit Wirautama, Jakarta
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Serial Suro Bodong
dalam kisah Pedang Urat Petir
Wirautama, 1991
128 Hal.; 12.18 Cm.; SB. 01.019150 2
Tukang Edit : Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 PENONTON mengitari panggung
setinggi satu meter. Di atas panggung
kayu yang cukup lebar itu telah
berdiri seorang pendekar perempuan
yangmengagumkan setiap pengunjung.
Karena ia suka mengenakan pakaian
serba hijau muda, maka ia dijuluki
Kenanga Hijau. Ia mengenakan celana
ketat warna hijau muda bertepian emas.
Sedangkan bagian atasnya mengenakan
pinjung hijau juga, yang menutup
bagian dada. Dada ke atas terbuka
polos, menampakkan kulitnya yang
kuning langsat, membakar darah
kejantanan. Kenanga Hijau melapisi
celana ketatnya yang halus dengan kain warna coklat bersabuk hitam dengan
hiasan manik-manik putih perak di
tepian sabuknya. Di sela sabuknya itu
terdapat sarung pedang mengkilat
berwarna kuning emas. Gagang pedangnya juga dari logam kuning emas yang
berbentuk kepala burung Jatayu.
Tubuhnya yang kecil, namun bukan
kurus itu serasi betul dengan bentuk
wajahnya yang mungil, namun berhidung
mancung. Matanya kecil, tetapi
kelihatan tajam dan bening. Bibirnya
juga mungil, tetapi menimbulkan gairah dan memancing ajakan berkhayal mesra.
Indah sekali. Rambutnya yang panjang
digulung sedikit di bagian tengah
kepala, sedang rambut yang lainnya
dibiarkan meriap. Ia mengenakan tusuk
konde warna perak bermata butiran batu merah. Ia juga menggunakan kalung emas
sebesar benang kasur dan berliontin
bentuk bunga bermata hijau zamrud.
Hiasan kalung itu bagai sekuntum
melati hijau yang mekar di sela
belahan dadanya yang menon jol dan
menantang lawan.
Seorang lelaki setengah tua naik
ke atas panggung dan bicara kepada
penonton: "Kalau tidak ada yang berniat
melawan Putri Kenanga Hijau, maka
pertandingan ini segera ditutup!"
"Berikan waktu beberapa saat
lagi, Paman!" kata Kenanga Hijau.
Lelaki separoh baya itu
mengangguk dan berkata kepada
pengunjung yang mengelilingi panggung:
''Putri akan memberikan waktu
beberapa saat lagi untuk menunggu
penantang selanjutnya. Ingat, Saudara-
saudara, pertarungan ini cukup besar
hadiahnya. Barang siapa bisa
mengalahkan Putri Kenanga dengan
Pedang Jatayunya, maka ia bebas
memiliki tubuh Putri Kenanga yang
tentu saja kita bersepakat bahwa
beliau memang... aduhai! Betul, kan"!"
"Betuuull...!!" teriak penonton.
Mereka bertepuk tangan. Kenanga Hijau
memamerkan senyumannya yang sungguh
menggetarkan hati dan sangat
mengagumkan itu. Bahkan ada salah
seorang penonton yang jatuh lemas
begitu melihat senyuman Kenanga Hijau
itu. "Mundurlah, Paman Rogama...! Beri kesempatan kepada mereka untuk naik!"
kata Kenanga Hijau.
Lelaki separoh baya yang bernama
Rogama itu mengangguk, lalu segera
turun panggung setelah berkata kepada
hadirin: "Bagi lelaki yang merasa dirinya
pendekar, kami persilakan naik ke atas panggung! Jangan sungkan-sungkan!"
Rogama mengambilkan sebuah
bangku, dan Kenanga Hijau duduk di
atas bangku seraya memamerkan senyurn
yang menawan hati. Ia menunggu giliran orang yang akan melawannya. Tetapi
untuk sementara waktu, belum ada orang yang berani naik ke panggung setelah
tiga orang kekar mati di tangan
Kenanga Hijau. Mereka semakin banyak,
bukan untuk melawan Kenanga Hijau,
melainkan untuk menonton kecantikan
yang sangat melemaskan lutut lelaki
itu. Salah seorang penonton berkata
kepada temannya, "Kalau saja aku
seorang berilmu tinggi, aku tetap
segan melawan dia. Sayang kalau kulit
semulus itu harus terluka."
Temannya menyahut, "Kalau aku
seorang pendekar, lebih baik kulawan
dia di atas ranjang. Lebih seru,
pasti!" Orang di sebelahnya bersungut-
sungut. "Di atas panggung saja belum tentu kau menang, apa-lagi di atas
ranjang." "Eh, biasanya, sekuat apa pun
perempuan, sesakti apa pun seorang
wanita, kalau di atas ranjang pasti ia kalah. Kadang-kadang sengaja mengalah.
Betul kok...!"
"Aaah...! Pikiran tidak jauh dari lutut dan perut!" gerutu orang yang ada di
belakangnya. Pembicaraan kasak kusuk mereka
terhenti, karena mereka melihat
seorang lelaki naik ke atas panggung.
Hampir semua mulut melontarkan kata:
"Hoooohh....!!" Dan lelaki yang naik ke atas panggung itu melambaikan
tangan kepada penonton yang
menghoooh... itu.
Lelaki itu berdada bidang dan
berlengan kekar. Ia seorang pendekar
yang tinggi tegap. Ia tidak mengenakan baju, namun mengenakan celana abu-abu
dengan kain pelapis warna merah. Ia
memakai sabuk hijau tebal dan lebar.
Sabuk itu berguna untuk menyelipkan
goloknya yang pendek namun lebar.
Lelaki itu memakai ikat kepala dari
kain tenun berwarna coklat kehitam-
hitaman. Ia mengenakan kalung dari
kain hitam di lehernya.
Kenanga Hijau masih duduk di
bangku dengan posisi dada tegap,
menonjol ke depan.
"Aku yang akan melawanmu," kata pemuda itu dengan suaranya yang berat, sedikit
serak. "Boleh saja. Siapa namamu?"
"Danang Wadi!" jawabnya tegas sambil berdiri di depan Kenanga yang
dalam sikap kaki terentang kokoh.
"Siapa julukanmu?"
"Pendekar Alas Mati!"
"Kau sudah siap untuk menanggung akibatnya jika bertarung denganku?"
tanya Kenanga Hijau.
"Sudah. Dan aku sudah siap juga
seandainya aku menang melawanmu."
"Apa rencanamu?"
"Kau akan kujual kepada orang-
orang Sriwijaya yang bertandang ke
tanah Jawa ini!" Danang tersenyum berani.
Kenanga Hijau angkat bahu,
"Terserah apa yang ingin kau lakukan terhadapku kalau memang kau menang
melawan aku!"
Kenanga Hijau berdiri, Rogama
buru-buru menarik turun bangku yang
diduduki Kenanga. Ia berjalan
menyamping karena harus memperhatikan
Danang Wadi, dan berkata:
"Jangan menyesal kalau nasibmu
seperti ketiga orang tadi, Danang
Wadi." "Kau akan tercengang melihat
permainan dan kesaktianku, Perempuan
Cantik. He, he, he..."
Salah seorang penonton mengeluh
sendiri, "Huhh... belum apa-apa sudah cengengesan, tidak bakalan menang
dia!" ''Tapi agaknya lelaki itu cukup
sulit dirobohkan. Lihat dadanya yang
bidang dan ototnya yang menonjol, itu
sudah menandakan bahwa Kenanga Hijau
akan mampu ditekuk-tekuknya," ujar teman orang tadi. Tapi orang tadi
hanya mencibir dan berkata:
"Lihat saja...! Lagak lagunya
yang cengengesan itu tidak meyakinkan.
Paling sekali gebrak, mencret!"
Lalu, kedua orang itu saling
terpukau melihat suatu pertarungan
yang mengagumkan. Danang Wadi berkali-
kali melompat sambil berguling.
Goloknya dikibaskan ke sana sini.
Kakinya hanya sesekali menyentuh
lantai panggung. Ia lebih sering
bermain di udara ketimbang menyerang
dalam posisi kaki menginjak lantai.
Kenanga Hijau seperti berkelahi
melawan seekor gagak hitam. Ia harus
mendongak berkali-kali dan mengibaskan pedangnya ke atas. Tapi tak satu pun
kibasan pedangnya mengenai tubuh
Danang Wadi. Bagi Kenanga,
pertarungannya kali ini cukup unik.
Jurus-jurus yang dimiliki Danang Wadi
juga cukup sulit diterka.
"Hiaaaat...!!"
Teriakan itu lebih sering
terlontar dari mulut Danang Wadi,
sebab ia lebih sering menyerang dengan lompatan dan bersalto ke atas Kenanga.
Sesekali kenanga memahg mengimbangi
lompatan-lompatan itu, namun sejak
tadi pukulan dan tendangannya tak ada
yang menyentuh kulit Danang Wadi.
Demikian juga Danang Wadi, tak sekali
pun pernah menyentuh rambut Kenanga
Hijau. Namun golok dan pedang mereka
memang sering beradu keras,
menimbulkan percikan api yang
mengerikan penonton bagian depan.
Suatu kesempatan, Danang Wadi
berhasil menendang pundak belakang
Kenanga Hijau setelah ia bersalto
melewati atas kepala Kenanga, dan
menjejak ke belakang seperti kuda
ngamuk. Kenanga nyaris tersungkur ke
depan, tapi ia segera berguling
sehingga wajah cantiknya tak sempat
berbenturan dengan lantai panggung.
Danang Wadi tak menyia-nyiakan
kesempatan itu. Ia ikut berguling ke
arah Kenanga dengan pedang siap di
tangan. Namun Kenanga cepat melejit ke samping, dan menghindari bacokan golok
pendek yang lebar itu. Golok Danar
Wadi menancap pada papan lantai
panggung. Kenanga hendak menyerangnya, namun karena kaki Danang lebih
panjang, maka dengan sekali tendang
kaki itu tepat mengenai pinggang
Kenanga. Tubuh Kenanga pun meliuk
kesakitan. "Wah, gawat...! Patah tuh tulang
iga Kenanga...!" teriak salah seorang penonton yang ada di barisan depan.
Mereka jadi cemas. Mereka merasa
sayang kalau sampai Kenanga dikalahkan lawannya.
Kecemasan mereka meningkat, sebab
Danang Wadi segera bangkit dan
berhasil mencabut goloknya yang
menancap di papan lantai panggung.
Danang Wadi segera menyerang Kenanga
dengan tendangan kaki kiri yang
mengenai ketiak Kenanga, dan disusul
tendangan kaki kanan yang mengenai
perut Kenanga. Tubuh perempuan cantik
itu terpental, hampir saja jatuh ke
panggung seperti ketiga musuhnya tadi.
"Menyerahlah, Kenanga...! Kau
sudah mulai lemah!" kata Danang Wadi yang berdiri di tengah arena dengan
Suro Bodong 02 Pedang Urat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gagahnya, Ia menunggu Kenanga bangkit.
Ia masih membujuk Kenanga:
"Akuilah kekalahanmu...! Jangan
sampai kau kalah lalu mati, apa
gunanya pertarungan ini kalau begitu?"
Kenanga berdiri dengan tegap,
menarik napas panjang-panjang. Lalu ia tersenyum setenang tadi.
"Aku hanya menjajal kekuatanmu,
Danang Wadi! Tak ada kamus kalah dalam diriku. Kau harus tahu akan hal itu,
Danang Wadi. Dan sekarang... mari kita lanjutkan pertarungan ini. Bersiaplah
mati dengan cara senyaman mungkin...!
Hiaaat...!" Kenanga melesat dalam posisi kaki kanan siap menendang
sedangkan kaki kiri terlipat ke
selangkangannya. Gerak tangannya bagai tarian pengibas pedang; kedua tangan
itu berada di bagian kiri tubuhnya.
"Traang...!"
Danang Wadi berhasil menangkis
kibasan pedang Jatayu, dengan
menggerakkan goloknya ke atas. Lalu
tangan kiri Danang segera menghantam
pinggang samping kanan Kenanga. Buru-
buru Kenanga merapatkan sikunya dan
menahan pukulan itu sambil tangan
kirinya mencabut sarung pedang.
"Sreet...!"
Ujung sarung pedang yang berwarna
kuning emas itu
ternyata mampu mengeluarkan pisau kecil. Pisau kecil
itu merobek leher Danang Wadi tanpa
ampun lagi. Tentu saja Danang Wadi
terpekik tertahan. Mulutnya ternganga
dan tangan k-nannya yang masih
memegangi golok ikut membantu tangan
kirinya, menutup luka yang ada di
leher. Tetapi, agaknya leher itu robek dalam keadaan lebar dan dalam. Mata
Danang Wadi terbeliak-beliak.
"Grook... grrook...!"
Suara nafasnya begitu mengerikan.
Ia masih bertahan berdiri. Goloknya
jatuh, mengenai kakinya. Ia makin
membelalakkan mata. Lalu ia berlutut
sambil masih memegangi lehernya yang
bagai digorok ujung sarung pedang
Kenanga. Seperti lawan-lawannya yang
sudah, Kenanga selalu mengakhiri
pertarungannya dengan menendang lawan
sekuat tenaga. Danang Wadi terlempar
ke luar arena. Ia menggelepar-gelepar
sejenak, kemudian tubuhnya kaku dan
tak bergerak lagi. Penonton yang
nyaris kejatuhan tubuh Danang Wadi
tadi menjerit ketakutan dan berlari ke tempat lain.
Penonton yang lainnya terbengong-
bengong setelah sama-sama berseru:
"Hooohh"!" Sebagian penonton mengerumuni mayat Danang Wadi, sebagian lagi tetap
memandang ke atas
arena. Kenanga menyarungkan pedangnya.
Pisau kecil yang mencuat dari ujung
sarung pedang itu telah masuk kembali
dengan sekali tekan bagian tertentu
dari sarung pedang itu. Segera Kenanga menghirup udara banyak-banyak dan
melepaskannya pelan-pelan. Ia
memulihkan ketenangan pada dirinya.
Sikapnya berdiri tetap tegap,
merentangkan kaki berbetis indah,
seakan menantang pertarungan
selanjutnya. Rogama datang membawakan
bangku dan Kenanga pun duduk di bangku itu dengan senyum seperti tadi:
mengagumkan. Senyum yang mampu membuat penonton terkesima dan mendesah penuh
arti. Rogama berseru kepada penonton,
"Barang siapa yang masih ingin
mencoba, silakan naik ke arena. Kita
bertarung secara kesatria. Putri
Kencana Hijau, siap menunggu uluran
nyawa Saudara-saudara...!"
Kasak kusuk dan perguncingan
semakin banyak. Bergemuruh seperti
lebah hutan berpesta pora. Rogama
masih bicara dengan suara kian keras
untuk mengimbangi suara gemuruh
masyarakat di sekelilingnya. Bahkan
kini kedua telapak tangannya
diletakkan di tepian mulut, sebagai
corong pengeras suara. la bicara
sambil berputar ke empat arah.
"Barang siapa yang mempunyai
kesaktian, pusaka, pedang ampuh,
mari... silakan diuji di sini. Kami
akan me rasa mendapat kehormatan besar jika Saudara-saudara mau menguji
pusaka yang anda miliki. Ayo, jangan
takut. Hadiahnya tidak tanggung-
tanggung Putri Kencana Hijau. Beliau
ini cantik, sakti dan... masih
perawan! Asli! Saya berani sumpah,
sebab saya belum pernah
memakainya...!"
"Paman...!" bentak Kencana merasa tersinggung.
Rogama ketakutan, lalu berteriak
kepada penonton, "Maksud saya... saya belum pernah memakai pedang Jatayunya
itu." "Huuuhh...!" beberapa penonton mencucu sambil terkekeh sejenak.
Kasak kusuk mereka saling memuji
dan mengagumi Kenanga. Namun di antara sekian banyak penonton, ada seorang
penonton yang dari tadi hanya diam
saja dan garuk-garuk kumisnya yang
lebat. Lelaki itu mengenakan baju model
jubah berwarna merah dan celana biru
muda dan ikat pinggang hijau tua.
Rambutnya panjang tak teratur diikat
kain merah, Badannya agak gemuk,
perutnya sedikit membuncit dan
pusernya melotot keluar bagai
membelalak. Melihat kegema-annya yang
sejak tadi makan jagung bakar, sudah
jelas dia adalah tokoh dunia
persilatan : Suro Bodong.
Sejak tadi tak sepatah kata pun
yang keluar dari mulutnya. Sejak tadi
ia memperhatikan pertarungan Kenanga
sambil mengunyah jagung bakar dan
sesekali garuk-garuk kumisnya.
Pandangan matanya begitu tajam, tapi
sikapnya tetap tenang. Ia tidak mau
ikut bersorak, atau bertepuk tangan.
Bahkan ketika ada seorang anak muda
menyapanya: "Bapak tidak berminat naik
panggung, Pak?"
Suro Bodong tidak menjawab. Anak
muda itu memperhatikan dengan tegas.
Lalu bertanya lagi dengan suara lebih
keras, karena mengira Suro Bodong
tuli. "Bapak tidak berniat naik
panggung, Pak"!!"
Suro Bodong masih tenang saja.
Cuek. Ia mengunyah jagung bakar yang
digeragotnya dengan seenaknya. Anak
muda itu juga penasaran. Ia pikir, ia
berhadapan dengan orang gila yang
tuli. Sebab itu ia menepak pundak Suro
Bodong. Tetapi di luar dugaan, dan tak
sempat dilihat oleh mata anak muda
itu, tangan Suro Bodong telah
menangkap dan menekuknya hingga si
anak muda meringis kesakitan.
"Berani menyentuhku, kucabuti
semua rambutmu!" geram Suro Bodong, kemudian melepaskan tangan anak muda
itu. Sambil meringis dan memijit-mijit
pergelangan tangannya, anak muda itu
berkata dalam ketakutan:
"Saya cuma bertanya. Mau bertanya kepada Bapak; apakah Bapak punya niat
naik apa tidak. Cuma begitu."
"Naik apa" Naik kuda"! Apa kau
membawa seekor kuda?" kata Suro Bodong yang tak mengerti maksud anak itu.
"Maksud saya, naik panggung, Pak.
Naik panggung itu,"seraya anak muda menuding tempat arena.
Suro Bodong memetik-metik biji
jagung dengan jempol tangannya dan
menggerutu, memandang Kenanga:
"Naik panggungg... naik
panggung... apa kau kira aku ini
ledek, yang sering menari di atas
panggung?"
Anak muda itu berani juga,
rupanya. Ia masih berdiri di samping
Suro Bodong, memandang mata Suro
Bodong yang kemerah-merahan. Lalu ber-
kata lagi: ''Panggung itu kan arena
pertarungan, Pak. Bukan panggung untuk ledek dan ketrung!"
"Pertarungan apa?" Suro Bodong menoleh ke anak itu.
"Pertarungan antara pendekar
melawan... itu, Putri Kenanga Hijau.
Masa Bapak tadi tidak melihatnya.
Sepertinya dari tadi Bapak ada di
samping saya dan memandang ke sana..."
Anak itu merasa heran, lalu Suro
Bodong berbisik:
"Sejak tadi aku tidak merasa
melihat suatu pertarungan."
Anak itu berkerut dahi. "Jadi
yang Bapak lihat apa?"
"Orang-orang menari dan bermain
dagelan!" Anak muda itu tertegun beberapa
lama. Dalam hatinya ia masih belum
mengerti, mengapa Suro Bodong
mengatakan melihat tarian dan dagelan.
Padahal jelas ada korban empat orang
dari pertarungan sejak tadi. Bahkan,
kemarin pun acara itu juga ada. Anak
muda itu juga melihat. Bukan hanya
melihat pertarungan, namun sempat pula melihat Suro Bodong di seberang
panggung, jauh darinya. Dan semua
orang juga mengakui, bahwa apa yang
ada di atas arena itu adalah
pertarungan maut. Tetapi mengapa orang yang diajaknya bicara itu, yakni Suro
Bodong, mengatakan itu sebuah tarian
dan dagelan. Lawak! Badut, dan
sejenisnya. "Aneh sekali penglihatan mata
orang ini," pikir anak muda itu. Ia tak tahu bahwa yang dia dengar dari
Suro Bodong itu adalah anggapan saja.
Anggapan dari Suro Bodong tentang
atraksi di atas panggung. Pertarungan
antara Kenanga dengan beberapa
pendekar dari kemarin sampai hari ini, dianggap hanya sekedar tarian dan
banyolan oleh Suro Bodong. Ia tidak
merasa kagum dan terpesona dengan
pertarungan itu. Dia hanya ingin
melihat, siapa yang akan mampu
mengalahkan perempuan cantik yang
sombong itu" Karenanya dari kemarin
sampai hari ini Suro Bodong selalu
hadir dan mengikuti acara tersebut.
Dalam usia 40 tahunan, kurang
lebih, Suro Bodong masih bisa menilai
kecantikan seorang perempuan. Kenanga
diakui kecantikannya, namun hati
kecilnya tetap mengakui kecantikan
Ratna Prawesti, kekasihnya yang sedang dicari ke mana perginya. Bagi Suro
Bodong, tak ada perempuan cantik di
permukaan bumi ini, selain Ratna
Prawesti, anak seorang bupati Jangga,
yang telah dibantai satu keluarga oleh Gerombolan Topeng Setan. Tetapi, ia
tidak menemukan bangkai kekasihnya.
Berulangkali ia berurusan dengan
orang-orang Gerombolan Topeng Setan,
namun tak sekali pun ia melihat ada
tanda-tanda gerombolan itu
menyembunyikan Ratna Prawesti. Hanya
saja, betapa pun juga jadinya, Suro
Bodong tetap menaruh kewaspadaan
kepada Gerombolan Topeng Setan yang
diketuai oleh seseorang yang bernama
Banyupati. Sekali ia melihat gelagat
adanya tanda-tanda bahwa Ratna
Prawesti disekap atau disembunyikan
oleh gerombolan itu, maka dengan
sekuat tenaga Suro akan menumpas habis semuanya.
Tiba-tiba orang yang mengelilingi
panggung itu bertepuk tangan. Bahkan
Suro Bodong 02 Pedang Urat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ada yang bersuit dan tertawa. Oh,
rupanya ada anak muda yang naik ke
panggung dengan barinya. Mata Suro
Bodong membelalak dengan mulut
terperangah. Anak itu adalah anak muda yang tadi ditekuk pergelangan
tangannya. "Bocah edan..!" geram Suro Bodong dengan gemas. "Berani-beraninya dia naik ke
arena itu?"
Anak tersebut masih muda sekali
usianya, Kira-kira baru 15 atau 16
tahun umurnya. Pakaiannya biasa,
celana dan baju pangsi warna putih
kusam. Orang bilang, ia masih hijau.
Tapi ia sudah berani naik ke arena dan menantang Kenanga Hijau. Karena itu
banyak penonton yang berceloteh macam-
macam. "Hoi, Tong... ini bukan tempat
adu jangkrik...!"
"Nyawa cuma sedikit dibuang-
buang. Payah kamu, Tong!"
"Kalau menang mau buat apaan
gadis itu, Tong" Buat diambil istri,
ya?" "Alaaah... kencing belum lempeng
saja sudah mau kawin!"
"Hoi, kamu mau bertarung apa mau
netek, Gus..."!" teriak seorang bapak dari sudut sana. Dan banyak lagi
teriakan orang yang lainnya. Namun
anak muda itu tetap berdiri di atas
panggung dengan cengar cengir tak
meyakinkan. Ia tidak peduli seruan
orang yang menjatuhkan keberaniannya.
Ketika Kenanga berdiri dan
menyampanya, anak muda itu masih
memperlihatkan nyali yang cukup besar.
Ia cengar cengir seperti malu-malu
kucing. "Kau penantangku berikutnya?"
tanya Kenanga. "Ya. Boleh tidak, Mbak?"
Penonton tertawa. Bahkan Kenanga
tersenyum geli seraya memandangi anak
muda itu. Sedangkan yang dipandang
hanya tersipu-sipu sambil menunduk.
"Mana senjatamu?" tanya Kenanga.
Anak muda itu semakin tersipu
malu, lalu berkata dengan jelas, "Masa harus dikeluarkan di sini. Malu
ditonton orang banyak, kan"!"
Penonton semakin gerr...!
Tertawa, ada yang terbahak-bahak, dan
ada yang sampai terbatuk-batuk. Mereka bertepuk tangan. Mereka menjadi segar,
bersemangat. "Anggap saja selingan
dagelan...!" ujar seseorang.
Mereka menjadi reda setelah
Kenanga berkata, "Kau akan mati jika tanpa senjata."
"Ah, buktinya yang pakai senjata
juga mati. Untuk apa aku punya
senjata," jawab anak itu.
Kenanga geleng-geleng kepala.
"Nyalimu cukup besar. Kau tidak
takut mati?"
Anak muda itu menggeleng. "Kata
ayahku, mati sekarang atau besok, sama saja."
Kini, Kenanga Hijau manggut-
manggut. Sejenak Rogama naik ke
panggung dan berbisik kepada Kenanga.
"Jangan ladeni anak ini, Putri. Buang-buang tenaga!"
"Biarkan, Paman. Siapa tahu dia
lebih hebat dari yang sudah-sudah.
Siapa tahu juga dia yang kucari."
Kemudian, setelah Rogama turun
sambil membawa bangku, Kenanga
bertanya kepada anak muda itu:
"Siapa namamu?"
"Saga!" jawabnya tegas.
"Saga..."! Hemm... nama
julukanmu?"
Saga kelihatan berpikir bingung.
Orang-orang mengikik, tertawa
tertahan. Lalu, Saga menjawab
seenaknya saja:
"Pendekar... Pendekar... Pendekar Untung-untungan...!"
Tawa penonton menjadi lebih
keras. Kenanga menegaskan:
"Sebenarnya kau pendekar apa
bukan?" Saga menggeleng. "Bukan. Tapi...
tapi saya ingin melawan situ."
"Kalau kau menang, mau apa" Mau
menjadi suamiku?"
Saga menggeleng. "Mau minta duit
yang banyak!"
"Minta uang"!" Kenanga berkerut heran dan kagum.
"Ya. Kalau Mbak tidak mau
memberiku uang, ya sudah. Saya turun
saja...!" "Baik! Kalau kau menang, selain
uang, semua perhiasan dan harta
milikku menjadi kepunyaanmu!" kata Kenanga.
Saga tertawa girang, nyaris
melonjak. Sedangkan di bawah pohon
sana, Suro Bodong garuk-garuk kumisnya yang tebal. Ia masih menggumam
keheranan. "Mari kita mulai. Bersiaplah...!"
tantang Kenanga. Ia segera mengambil
jarak dan bersiap memainkan jurus
pembuka. Saga masih menyeringai, ikut-
ikutan pasang gaya dengan kaki
mengangkang dan kedua tangan mengepal
di pinggang. Kaku sekali.
Kenanga memutar ke kanan, Saga
memutar ke kanan dengan kaki masih
mengangkang dan merendah. Orang-orang
menertawakan. Suro Bodong geleng-
geleng kepala sambil makan jagung
bakar. "Hiaat...!" Kenanga menghentak.
Saga kaget dan nyaris jatuh. Tapi
ia segera berdiri seperti tadi: kaki
mengangkang rendah dan kedua tangan
mengepal di pinggang kanan kiri. Jika
Kenanga bergerak perlahan ke arah
kiri, ia berjalan perlahan ke arah
kiri juga, demikian pula sebaliknya.
Tiba-tiba kaki Kenangan maju ke
depan. Kaki kiri maju dan kaki kanan
menendang dada Saga. Saga berusaha
menangkisnya, namun terlambat. Dadanya terhentak kaki Kenanga dengan keras.
Ia terjengkang ke belakang. Wajahnya
menjadi pucat dan mulutnya cengap-
cengap mencari udara. Ia berusaha
untuk berdiri. Lalu pasang gaya
seperti tadi: kaki mengangkang dan
merendart, kedua tangan mengepal di
samping. Kenanga mengendurkan
tangannya. Kini ia berjalan mendekati
Saga dan menendang wajah Saga dengan
kaki kiri. Saga gelagepan, menggeragap karena pendangan matanya tiba-tiba
menjadi gelap akibat terkena tendangan kaki kiri Kenanga yang begitu cepat.
Kenanga tersenyum bangga.
"Jangan... jangan cepat-cepat,
Mbak.." Saga sempat berkata begitu sambil mengibaskan kepalanya
Tetapi Kenanga segera menghantam
dada Saga dengan pukulan tangan
kirinya. "Buuk...!" Lalu tangan kanannya menghantam perut Saga: "Buuk...!"
"Huugh...!" Saga mendelik dan susah bernapas. Matanya membelalak,
wajahnya merah. Mulutnya semakin
cengap-cengap. la terbungkuk-bungkuk
sambil memegangi perut. Nyalinya
memang besar, tapi ngawur. Ia maju,
mendekati Kenanga. Lutut Kenanga
menghentak ke atas ketika Saga mau
memeluk perut Kenanga. Hentakan lutut
mengenai wajah Saga, lalu hidung anak
itu berdarah. Kenanga tidak memberi ampun
sedikit pun, ia segera memukul pipi
Saga. Kenanga menendang lagi perut
anak itu hingga Saga terguling-guling.
Berteriak pun ia tak mampu. Tetapi
Kenanga tetap akan membunuhnya. Ia
melompat dan hendak menginjak dada
Saga. "Gilaaa...!!" seru Suro Bodong dengan mata melotot.
2 SURO BODONG segera melompat ke
arena dan berguling dua kali di atas
lantai panggung. Tepat ketika itu kaki Kenanga menghentak ke arah dada Saga.
Kaki kanan Suro Bodong menahan
hentakan kaki Kenanga. Kedua telapak
kaki itu tepat beradu, dan Suro Bodong menghentak ke atas. Kenanga terpental
tinggi, kemudian ia segera bersalto
dan mendarat dengan kaki yang
sempurna. Tepuk tangan penonton menjadi
riuh. Ada yang berseru:
"Ini baru hebat...!"
Suro Bodong mencengkeram baju
Saga dalam posisi masih merangkak, dan wajahnya dekat dengan Saga. Ia
membentak: "Kamu edan betul apa, gila
sungguhan, Bangsat!!"
Saga meringis kesakitan dan
berusaha untuk bernafas. Pada saat
itu, Kenanga menyerang Suro Bodong
dengan tendangan kaki kanan ke arah
punggung Suro Bodong. Tetapi sambil
mengomeli Saga, Suro Bodong tetap bisa mengadukan telapak kakinya dengan
telapak kaki Kenanga. Dan hentakan
kaki Suro Bodong begitu cepat serta
kuat, sehingga kali ini Kenanga
terpental sampai terjatuh di lantai
panggung. Suro Bodong jengkel sekali kepada
Saga. Ia mencengkeram baju Saga dan
menentengnya untuk berdiri. Ia berseru hingga ludahnya muncrat:
"Anak sinting! Bodoh...! Kalau
tidak punya ilmu silat jangan sombong
di atas panggung ini, tahu"!"
"Lepaskan anak itu! Dia harus
kubunuh!" teriak Kenanga seraya
menyerang Suro Bodong lagi.
Tetapi Suro Bodong bagaikan tidak
mendengar kata-kata Kenanga. Ia tetap
marah-marah kepada Saga.
"Nyawamu cuma satu, tolol! Jangan sia-siakan untuk berbuat bodoh! Kata
orang begitu!"
Sambil tangan kanan Suro Bodong
menangkis pukulan dan tendangan
Kenanga, tanpa ia menoleh ke arah
Kenanga. ''Senjata manusia bukan hanya
nekad seperti kamu!"
Seraya kakinya menjejak ke
samping dan mengenai paha Kenanga.
Kenanga semakin penasaran. Ia
menyerang dengan pukulan tangan kanan
dan tangan kiri maju bersama. Tetapi
Suro Bodong masih melotot ke arah Saga yang cengap-cengap.
"Bodoh sekali kau ini, hah"!"
Sambil ia menggerakkan tangan dan
kakinya untuk menangkis serangan
Kenanga. "Kalau kau tidak bisa silat,
jangan coba-coba menyerang tahu?" Suro Bodong berkata kepada Saga tapi
tangannya memukul siku Kenanga dengan
keras. "Auuw...!" Kenanga menjerit
kesakitan. Ia segera mengambil posisi
dari depan Suro Bodong. Tetapi Suro
Bodong tidak menyambutnya dengan
terang-terangan. Ia bahkan memutar
tubuh yang ditentengnya seraya
berkata: "Kalau kau mati, apa untungmu"
Kalau kau menang, itu mustahil tahu"!"
Tepat pada saat itu Suro Bodong
menggerakkan kaki kanannya ke samping.
Gerakannya begitu cepat dan beruntun.
Tujuh kali tendangan beruntun itu
mengenai dada Kenanga. Tak seorang pun tahu bahwa sebenarnya Suro Bodong
telah menyerang Kenanga dengan jurus
tendangan Ayam Kawin.
Tubuh Kenanga yang limbung ke
belakang dengan memuntahkan darah dari mulutnya masih tidak diperhatikan Suro
Bodong. Ia bahkan menenteng Saga turun panggung sembari masih mengomel tak
karuan. Yang diomeli hanya mendesah
dan mengerang samar-samar.
Suro Bodong 02 Pedang Urat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
''Tunggu...! Kau telah melukaiku!
Kau harus mati...!" teriak Kenanga sambil mengejar Suro Bodong. Ia
mencabut pedangnya dan melayangkan
tubuhnya dalam posisi kedua tangan
memegangi pedang yang teracung ke
depan, ke arah punggung Suro Bodong.
Tetapi Suro Bodong tidak mau menoleh
sedikit pun sekali pun banyak orang
berteriak, "Awass...!" Suro Bodong hanya meletakkan tubuh Saga ke lantai
pinggir. Tepat pada saat itu tubuh
Kenanga dan pedangnya meluncur di atas kepala Suro Bodong. Ia menggerakkan
tangan kanannya ke atas dengan cepat
dan keras. Pukulan itu mengenai perut
Kenanga sehingga perempuan itu
melintir ke samping dan jatuh tak
mampu menjaga keseimbangan tubuh. Suro Bodong pun segera melesat membawa lari
Saga dari arena.
Rogama tidak mau tinggal diam, ia
segera melesat juga mengejar Suro
Bodong. Gerakannya kurang lincah namun cukup berani. Ia melompati kepala demi
kepala penonton yang dijadikan tumpuan kakinya. Ia berteriak-teriak kepada
Suro Bodong: "Hei, berhenti...! Berhenti!
Kalian harus mati dulu baru boleh
lari...! Berhentttiii...!!"
"Buk..! Plak...! Pletok..!"
"Bangkai busuk! Kepala orang buat injak-injakan...! Kucing kudis...!
Monyet peot...! Sapi...! Kuda...!
Semut...!"
Semua orang mencaci maki Rogama
yang melompat dari kepala ke kepala.
Mereka menyerang Rogama dengan cara
apa pun. Ada yang memukul, ada yang
menghantam dengan kayu, ada yang
melempar batu, bahkan ada yang rela
kehilangan sandal bandolnya untuk
melempar muka Rogama. Akibatnya,
Rogama terhambat beberapa saat. Namun
kemudian ia dapat lolos dari keroyokan massa dan berlari lagi mengejar Suro
Bodong. Suro Bodong menyembunyikan Saga
di belakang sebuah lumbung padi milik
orang. Ia membersihkan darah dengan
baju Saga yang dilepasnya. Ia masih
mengomel terus sekali pun Saga sudah
melontarkan kata maaf berulangkali.
"Kalau punya otak dipakai. Jangan dibiarkan membeku di kepalamu! Kenanga itu
bukan orang sembarangan buat orang awam. Dia berdarah pembunuh. Sadis.
Kau bisa mati tanpa jasa apa pun jika
melawannya! Apalagi kau tidak
mempunyai ilmu silat sedikit pun.
Tahu"! Tahu kau"!"
"Sa... saya... saya hanya ingin
menari dengannya, seperti kata Bapak
tadi..." jawab Saga.
"Menari, menari...!" gerutu Suro Bodong. "Aku mengatakan mereka menari, karena
aku menganggap ilmu silat
mereka belum seberapa dibandingkan
dengan ilmu silatku. Tahu"! Dasar otak udang...!"
"Maaf, Pak. Saya...
saya... uuhhg...!" Saga nyaris terbatuk lagi.
''Sudah diam...! Jangan banyak
bicara dan bergerak...!"bentak Suro Bodong. Kemudian ia menelentangkan
tubuh Saga di tanah berjerami.
Suro Bodong memeriksa keadaan
sekeliling sebentar, ternyata aman.
Sepi. Maka segera Suro Bodong meludahi tangan kanannya tujuh kali. Telapak
tangan yang sudah diludahi itu segera
diusapkan ke dada Saga dengan gerakan
memutar perlahan-lahan Tujuh kali
berputar ke kanan, tujuh kali ke kiri, dan begitu dilakukannya berulang-ulang.
Sambil melakukan hal itu, Suro Bodong memejamkan mata. Memusatkan
pikiran untuk menyalurkan hawa murni
ke tubuh Saga. Mulanya Saga masih
mengerang menahan rasa sakit, tapi
lama-lama erangannya berganti desah
dengan nafas lega, lalu semakin hilang desahannya, dan diam. Tenang. Ia bagai
tertidur dengan nafas teratur. Tapi
tidak tidur sebenarnya.
"Bagaimana rasanya?"
''Yaah... lega dan ringan,
Pak..." "Jangan panggil aku: Pak. Aku
belum pernah kawin dengan ibumu!
Panggil saja... ah, terserah kamu. Aku salut dan kagum dengan keberanianmu
yang gila-gilaan itu. Aku suka sama
keberanianmu. Mulai saat ini kita
berteman. Mau?" Suro Bodong sedikit tersenyum. Saga mengangguk
"Atau anggap saja aku kakakmu.
Mau?" Saga mengangguk dan mengerlingkan
mata. "Jangan genit! Tak perlu
mengerlingkan mata segala!" kata Suro Bodong seraya menepuk pipi Saga. Tapi
anak muda itu masih mengangguk dan
mengerlingkan mata.
"Apa-apaan kamu ini" Genit amat
seperti perempuan saja!"
Saga masih mengangguk dan
berkerling. Suro Bodong mendengus
kesal. Ia berkata:
"Namaku Suro Bodong, kau boleh
saja me..." Suro Bodong berhenti
berkata setelah ia berdiri dan
berbalik ke arah belakangnya. Ternyata di sana telah berdiri Rogama dengan
beberapa bekas memar akibat keroyokan
massa tadi. Rogama memandang Suro
Bodong dengan sorot kemarahan yang
masih ditahan kuat-kuat dan akan
segera diledakan di situ.
Suro Bodong tertawa sendiri di
dalam hati. Ia garuk-garuk kumisnya.
Pantas Saga sejak tadi mengangguk dan
berkerling mata. Rupanya anak itu
memberi isyarat, bahwa di belakang
Suro Bodong telah berdiri musuh yang
siap melampiaskan kemarahan. Suro
Bodong geli sendiri karena mengira
Saga berlaku genit.
"Mau lari ke mana kau,
Pengecut"!" geram Rogama.
Suro Bodong garuk-garuk kumis
sebentar. "Lariku tak akan jauh.
Tenang saja," kata Suro Bodong kepada Rogama.
"Karena kau sudah melukai, dan
anak itu sudah berani menantang Putri
Kenanga, maka kalian berdua harus
mati!" "O, ya" Ah, aku tidak tahu kalau
ada peraturan seperti itu, Paman..."
Suro Bodong ikut-ikutan memanggil
'Paman' karena'ia mendengar Kenanga
memanggil Rogama: Paman.
"Supaya kau mati dengan jantan,
lekas pergi ke arena dan hadapi Putri
Kenanga." "Aku bukan pendekar sombong
seperti lawan-lawan Kenanga. Aku
pendekar baik-baik saja. Jadi, aku
tidak mau pergi ke arena dan bertarung dengan Kenanga. Lagi pula, kalau toh
aku menang, percuma. Aku tidak
bernafsu mendapatkan perempuan seperti Kenanga itu!"
Suro Bodong mencibir sinis,
sengaja menonjolkan kesombongannya
untuk menghina Rogama. Dan hal itu
membuat Rogama semakin panas hati. Ia menggeram dengan tangan mengepal
kencang. "Bicaramu sudah melampaui batas
kesabaran, Kadal! Mau tak mau aku
sendiri yang harus meremukkan mulutmu.
Hiaat...!"
Rogama menyerang dengan tendangan
lurus ke depan, ke arah dagu Suro
Bodong. Suro Bodong hanya menggerakkan dadanya miring ke samping sedikit ke
belakang. Kedua tangannya masih tetap
terjulur ke bawah dengan lemas. Pada
saat tendangan itu melesat mengenai
tempat kosong, kaki kiri Rogama segera menyusul dengan tendangan lompat ke
arah kepala Suro Bodong.
"Kadal buntung, rasakan tendangan yang ini, hiaat...!"
Suro Bodong memiringkan badannya
lagi ke samping lain. Ia hanya
mengelak, tidak menangkis atau pun
memberi serangan balasan. Dan waktu
kaki Rogama yang molos lagi, tidak
mengenai sasaran itu melesat, kaki
tersebut segera bergerak ke samping
kanan sebelum kembali ke tanah. Suro
Bodong merendahkan badan dengan cepat, dan kaki Rogama lewat di atas
kepalanya bagai kibasan pedang. Begitu kaki itu sampai ke tanah, Rogama
melancarkan pukulan gandanya ke arah
wajah Suro Bodong. Namun Suro Bodong
hanya berkelit meliukkan badannya ke
kanan dan ke kiri sehingga pukulan
Rogama tak satu pun ada yang menyentuh kulitnya.
"Kang.... serang dia, Kang
Suro...!" seru Saga yang masih duduk di tanah berjerami, bersandar dinding
belakang lumbung tersebut.
Rogama melesat ke atas. Badannya
yang gemuk seperti karung beras hendak jatuh dari langit. Tetapi gerakan
kakinya yang lurus ke samping cukup
membahayakan bagi Suro Bodong. Karena
itu Suro Bodong buru-buru berguling ke tanah menghindari tendangan tersebut.
Tapi pada saat itu, ketika tubuh
Rogama melayang ke atas dan Suro
Bodong berguling di bawahnya, Rogama
mengibaskan tangan kanannya.
"Juub...!"
Sebuah senjata rahasia berbentuk
segi tiga dari lempeng baja yang tajam menancap di tanah, tepat beberapa mili
dari pinggang Suro Bodong. Hampir saja pinggang Suro Bodong ditembus senjata
rahasia berbentuk segi tiga sama sisi
itu. Suro Bodong terbengong sejenak
melihat tanah yang dipakai menancap
senjata tersebut mengeluarkan asap
kuning kusam. Suro Bodong terbengong
segera meloncat menjauhi asap
tersebut. Matanya masih belum berkedip memandang senjata rahasia Rogama yang
aneh, sebab benda tersebut kini
menjadi merah membara, seperti besi
dipanggang dalam api yang panas.
Kemudian jerami di sekitar senjata itu ada yang hangus dan nyaris membakar
sekelilingnya. Suro Bodong segera
menginjak-injak api tersebut. Andai
tidak begitu, tentu akan terjadi
kebakaran di lumbung tersebut, dan
lumbung itu pun dapat terbakar
semuanya. "Suro...!" sapa Rogama yang tadi mendengar Saga memanggil lawannya
dengan sebutan: Kang Suro. "Kuingatkan sekali lagi, Suro, pergilah ke arena
secepatnya dan matilah di sana dengan
terhormat. Jangan kamu mati di sini
karena senjataku itu. Kau akan mati
tanpa kemegahan, tau"!"
''Terima kasih atas saranmu,
Paman. Tapi aku lebih suka kalau kau
mati di sini dulu, baru aku akan ke
sana menemui Kenanga dan melaporkan
kebodohanmu!" Suro Bodong tersenyum sinis. Ia garuk-garuk kumis sebentar.
Rogama menggeram kesal.
"Benar-benar tak patut diberi
kesempatan kau, Suro...! Jangan
menyesal kalau kau mati di sini juga,
hiaaat..!"
Rogama melompat ke atas seolah-
olah hendak menyerang dengan
tendangan. Tapi sebenarnya Rogama
hanya sekedar mengguncangkan
konsentrasi Suro Bodong, dan segera ia melayangkan senjata rahasianya yang
berbentuk lempengan baja segi tiga
itu. "Zeeet... suiing...!"
Senjata itu meluncur dengan
kecepatan yang tak terjangkau oleh
penglihatan mata manusia biasa. Tapi
karena Suro Bodong sudah terlatih
untuk melihat gerakan angin, maka ia
segera merundukkan kepala dan
membiarkan senjata segi tiga sebesar
tutup gelas itu melesat melewati
samping telinganya. Senjata itu
melayang lurus dan menancap pada
sebuah pohon yang jauh dari tempat
mereka bertarung.
Suro Bodong berguling ke tanah
beberapa kali. Lalu tubuhnya berhenti
tepat di bawah kaki Rogama. Segera
kaki Suro Bodong melancarkan jurus
Suro Bodong 02 Pedang Urat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tendangan Ayam Kawin yang cukup
membuat lawan kewalahan, dan tadi
sempat membuat Kenanga tak mampu
mengelak. Tendangan itu begitu cepat dan
bergerak tujuh kali secara beruntun.
Dari tendangan kaki kiri, ganti kaki
kanan tujuh kali menendang beruntun
dengan cepat sekali. Rogama
menggeragap dan tak sempat berteriak
kecuali mengangakan mulutnya. Posisi
tubuh Suro Bodong masih seperti
telentang di tanah dengan menggerakkan kakinya ke atas, mengenai paha, perut
dan selangkangan Rogama. Lalu ia
segera berdiri menghadapi Rogama yang
limbung. "Itu yang namanya Tendangan Ayam
Kawin, tahu"! Sekarang kau harus
merasakan jurus Keringat Onta ini,
haeeet...!"
Suro Bodong menggerakkan kedua
tangannya bersimpang siur di depan
mata, lalu meludahi kedua telapak
tangannya masing-masing tujuh kali.
Kedua telapak tangannya itu dimasukkan ke dalam baju jubahnya, disekapkan
pada ketiaknya, kemudian tangan
kirinya segera menampar mulut Rogama,
disusul dengan tangannya yang men-
cengkeram hidung dan mulut Rogama.
Lelaki gemuk bertubuh agak pendek itu
menggelepar-gelepar sejenak. Matanya
melotot, tangannya masih memegangi
bagian selangkangan. Lalu lelaki itu
melemas. Matanya sayu, dan ia jatuh
terkulai dalam keadaan pingsan. Itulah kehebatan jurus Keringat Onta dari
Suro Bodong, di mana lawan akan
terbius pingsan jika mencium bau dari
keringat dan ludah Suro sendiri. Itu
memang jurus yang jarang dipakai oleh
Suro sebab menjijikkan. Tapi jika
terpepet, apa boleh buat, daripada ia
membunuh lawannya.
"Ayo, lekas kita tinggalkan
tempat ini!" ajak Suro kepada Saga yang masih terbengong heran memandang
Rogama yang pingsan itu.
"Kang, ilmumu hebat juga, ya?"
"Ah, sudah...! Jangan banyak
memuji. Lekas kita pergi, Saga...!"
Suro Bodong menarik tangan anak muda
itu. "Ke mana kita pergi, Kang Suro?"
"Ke...?" Suro Bodong kebingungan.
"Ke mana sajalah..!"
"Bagaimana kalau ke rumahku?"
usul Saga. "Boleh. Eh, lihat itu..." Suro Bodong menuding ke arah di depan
lumbung padi tempatnya tadi. "Dia mencari kita, Saga. Untung kita cepat
pergi..." Seorang perempuan berpakaian
serba hijau berjalan pelan dan
clingak-clinguk. Dia adalah Kenanga
Hijau yang tentu mencari kepergian Ro-
gama, pengawalnya. Suro Bodong
menyelinap di antara tumpukkan batu
bata yang belum dibakar. Ia melewati
rumah orang bagian belakang, bahkan
terbungkuk-bungkuk menyelusup di bawah jemuran pakaian basah.
"Kenapa kau kelihatannya takut
dengan perempuan itu, Kang?" tanya Saga. "Padahal aku yakin kau bisa menang jika
bertarung melawannya. Ilmu silatmu cukup hebat."
"Aku curiga pada dia. Pasti ada
sesuatu yang ia inginkan. Ia punya
rencana sendiri, sehingga ia harus
menantang banyak pendekar. Mungkin
orang yang dapat mengalahkan dia
itulah yang ia cari untuk maksud
tertentu. Kau mengerti?"
Saga mengangguk Suro Bodong
bicara lagi sambil mengikuti arah
langkah kaki Saga yang menuju ke
rumahnya. "Dan, aku tidak mau mangalahkan
dia. Nanti malah terlibat urusan
dengan dia. Aku punya urusan sendiri."
'Urusan apa, Kang" Mungkin aku
bisa membantumu."
Suro Bodong melirik Saga
sebentar. Mempertimbangkan sesuatu,
namun akhirnya bicara juga yang
sebenarnya. "Aku mencari seorang perempuan
yang bernama Ratna Prawesti. Perempuan itu cantik. Kalau tersenyum ada lesung
pipit di pipinya. Tubuhnya lencir,
mirip Kenanga. Hidungnya mancung.
Matanya bulat bening. Ia memakai
gelang kaki perak bermata merah
delima. Apa kau pernah melihat
perempuan seperti itu, Saga" Dia
kekasihku yang sedang kucari!"
Saga menggeleng dalam bungkam.
Tetapi, beberapa saat kemudian ia
berkata sambil tetap melangkah:
"Kalau melihat perempuan seperti
itu, aku belum pernah, Kang. Tapi
kalau mendengar namanya... sepertinya
aku sudah pernah"
Suro Bodong bersemangat dan
segera bertanya, "Di mana kau
mendengar nama itu disebutkan" Di
mana" Atau... siapa yang
menyebutkannya" Siapa, Saga?"
Saga berkerut dahi beberapa lama,
mengingat-ingat. Lalu menggeleng. Ia
menjawab: "Entah. Aku tak ingat, Kang. Tapi aku yakin, aku pernah mendengar nama
itu disebutkan."
"Iya, tapi siapa yang
menyebutkan" Di mana kau
mendengarnya?"
"Entah. Sulit sekali kuingat!"
"Haahh...!" Suro Bodong mendesah lagi. Ia berhenti melangkah. Ia
memandang Saga. Dalam hatinya berkata,
"Anak ini mungkin bisa berguna
bagiku..."
Saga melihat rona kekecewaan di
wajah Suro Bodong yang bermata selalu
semburat merah tipis, seperti orang
mabok. Kekecewaan itu membuat rasa
haru di hati Saga, lalu ia segera
berkata: "Bersabarlah, Kang. Aku akan
selalu berusaha untuk mengingatnya.
Mungkin tidak sekarang, mungkin nanti, atau besok, atau... kapan saja aku
ingat, pasti kukatakan kepadamu."
Suro Bodong menghempaskan nafas.
Angkat bahu tanda pasrah, lalu garuk-
garuk kumis dengan telunjuknya. Ia
bertanya pelan, bagai tak bersemangat:
"Masih jauh rumahmu?"
"Tidak Itu, di balik deretan
rumah itu..."
"Ayo ke sana..!" ajak Suro Bodong dengan hati gundah sejak ia mendengar
kata-kata Saga tadi.
Saga buru-buru menggeret tangan
Suro Bodong dan bersembunyi di
belakang WC jamban. WC itu terbuat
dari bilik, bagian atapnya telah rusak akibat terbakar. Dan ternyata di depan WC
itu, juga di beberapa tempat
lainnya, banyak bangunan sisa
kebakaran yang masih berserakan. Belum dibangun lagi oleh bekas pemiliknya.
Ada sekitar empat atau enam rumah yang bekas terbakar. Suro Bodong menggumam
heran. "Hei," bisik Suro Bodong. "Mana rumahmu?"
Saga menuding. "Itu, yang ada di
bawah pohon kelapa tinggi itu...!"
"Lalu kenapa kita bersembunyi di
sini" Baunya aku tak tahan," sambil sesekali Suro Bodong mengibaskan
tangannya di depan hidung.
"Kau lihat rumahku?"
"Iya. Aku tahu, yang di bawah
pohon kelapa tinggi itu, kan?"
"Kau lihat di sekitar rumahku
itu?" Suro Bodong memperhatikan keadaan
rumah yang dimaksud Saga. O, ya... ada beberapa orang berseragam biru hitam
dan ada beberapa orang yang berkuda.
Mereka agaknya sedang memeriksa
keadaan sekitar rumah Saga. Ada yang
menggali di bagian belakang rumah, ada yang membongkar genteng bagian
pinggir, ada yang mengorek-ngorek
bawah tiang, dan mereka agaknya sangat sibuk.
'Siapa mereka itu, Saga?" bisik
Suro Bodong. "Mereka orang-orang Kepatihan
Benteng Cadas."
"Ooo..." Suro Bodong manggut-manggut. "Apa yang mereka lakukan di rumahmu itu?"
"Pasti mereka menggeledah seluruh isi rumahku! Sialan!"
"Apakah ayah-ibumu tidak
melarangnya jika begitu?"
"Ibuku sudah lama meninggal,"
jawab Saga pelan.
"Oh, maaf. Aku tidak
menyuruhnya," kata Suro Bodong tanpa menyadari arti kata-katanya. "Lalu,
ayahmu...?"
"Ayahku... ayahku sudah seminggu
ditawan oleh orang-orang Benteng
Cadas." Saga tampak sedih. Suro Bodong
mengusap ngusap kepala anak itu. Ia
mendesah lirih, ikut bersedih Saga
melanjutkan kata:
"Ia ditawan di sana. Katanya,
untuk menebus ayahku, cukup mahal.
Sebab itulah aku bertekad melawan
Kenanga tadi dengan meminta imbalan
uang banyak. Maksudku uang itu akan
kugunakan menebus ayahku..."
Suro Bodong tertegun sejenak,
matanya menyaksikan orang-orang
berseragam yang sibuk menggeledah
rumah Saga. Suro Bodong menarik kesimpulan,
bahwa Saga dalam ancaman bahaya. Pasti ia pun dicari oleh orang-orang itu.
Kasihan sekali anak ini, pikir Suro
Bodong. Tak ada waktu untuk
mengajarkan silat sebagai pegangan dan bekal Saga. Sebab itu, dengan cepat
Suro Bodong meraih bambu kecil.
"Astaga...! Mereka mengeluarkan
semua barang-barang di dalam
rumahku..." keluh Saga dalam bisikan.
Suro Bodong memandang kejadian itu
dengan tangan sibuk mematahkan bambu
kecil. Bambu tersebut dipatahkan
dengan tanpa mengakibatkan pecahnya
bambu itu. "Kang, lihat kekasaran orang-
orang itu...!" bisik Saga dengan
gemas. "Aku tahu," jawab Suro Bodong seraya mengintip bambu kecil itu yang
ternyata bolong melompong dan tidak
ada keretakan. Lalu ia segera membelah ujung bambu dengan kuku jempol
tangannya. Sulit sekali, namun
akhirnya berhasil. Ujung bambu
terbelah sedikit, itu sudah cukup.
"Kang, apa yang kau lakukan itu?"
"Tenang saja, Saga. Ini nanti
akan menjadi senjata buat kamu..."
jawab Suro seraya ia memandang ke
tanah sekeliling. Saga memperhatikan
dengan heran. Dalam hatinya bertanya-
tanya: bambu kecil, tak lebih dari
sejengkal, bagaimana mungkin bisa
dibuat senjata" Apalagi melawan orang-
orang Kepatihan yang berkuda dan
gagah-gagah semua. Belum lagi saat ini mereka berjumlah sekitar tujuh orang
berkuda, mana mungkin senjata bambu
kecil dan pendek itu bisa dipakai
untuk melawannya"
Suro Bodong benar-benar sibuk. Ia
meraih selembar pelepah pisang yang
sudah kering. Ia membesetnya, lalu
menggigit-gigit kulit pelepah pisang
itu. Susah sekali, namun akhirnya
berhasil. Ia memperoleh secuil kulit
pelepah pisang yang sudah kering,
namun masih alot. Kulit tersebut
berusaha disisipkan di antara ujung
bambu yang telah terbelah sedikit itu.
Susah, tapi akhirnya berhasil juga.
Suro Bodong 02 Pedang Urat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Saga masih terheran-heran dan
tidak mau banyak tanya, karena di
dalam hatinya juga penasa-ran: apa
yang akan dilakukan Suro Bodong yang
berambut tak teratur itu" Waktu Suro
Bodong memasukkan bambu itu ke
mulutnya dan meniupnya pelan-pelan,
barulah Saga tahu bahwa Suro Bodong
membuat sebuah peluit dari bambu
tersebut. Namun kali ini, Suro Bodong
membongkar lapisan kulit yang dijepit
di antara belahan ujung bambu. Ia
membetulkan letaknya sesaat, kemudian
meniupnya lagi dengan tiupan pelan-
pelan. Kemudian ia tersenyum lega
seraya memberikan bambu itu.
"Pakailah sempritan ini sebagai
senjata buatmu," kata Suro Bodong.
Saga masih heran sekalipun ia
menerimanya. "Senjata..." Senjata untuk apa
ini?" "Tiuplah...!"
Saga mencoba meniupnya dengan
pelan. Tak ada bunyi apa-apa yang
keluar dari peluit bambu itu.
"Mana bunyinya?" tanya Saga
heran. "Peluit itu sebenarnya berbunyi,
tapi telinga kita, pendengaran manusia tidak bisa mendengarnya. Suara yang
keluar dari peluit itu cukup tinggi,
di atas pendengaran manusia, sehingga
manusia tidak akan bisa mendengarnya."
Saga merasa sedang dibohongi oleh
Suro Bodong. Ia benrtaksud
membuangnya. "Ah, kamu bercanda dalam keadaan
begini, Kang...!"
"Eh, tunggu. Jangan dibuang!
Dengar,ya... peluit ini kuatur
suaranya melalui kulit gedebong pisang yang terjepit di ujungnya. Memang
suaranya tidak bisa kaudengar, sebab
seperti kukatakan tadi, suara peluit
ini di atas daya tangkap pendengaran
manusia. Tetapi hewan apa pun akan
mendengarnya. Dan hewan apa pun yang
mendengarnya akan merasa ditusuk-tusuk telinganya. Suara dari peluit ini
tidak akan disukai oleh hewan apa pun.
Kalau tidak percaya, coba kau tiup
dengan hempasan nafas agak keras."
Saga melakukan perintah Suro
Bodong, ia meniup bambu kecil itu
dengan tiupan agak kencang. Suro
Bodong melirik ke arah rumah Saga.
Pada saat itu, ada beberapa kuda yang
diikatkan pada pohon, dan ada yang
masih ditunggangi oleh orang-orang
berseragam biru hitam. Kuda-kuda
tersebut tiba-tiba meringkik bagai ada yang menggelitik. Bukan hanya satu
kuda, tetapi semua kuda meringkik
saling bersahutan.
"Lihat, kuda-kuda itu meringkik
dan bergetar-getar kakinya. Itu
pertanda suara ini bisa didengar oleh
kuda dan menggelitik telinganya."
Saga tersenyum bangga. Lalu ia
mengarahkan bambu itu ke rumahnya dan
meniupnya lebih keras. Tak ada suara
yang keluar dari peluit itu. Namun
kuda-kuda itu semakin meringkik bagai
jeritan, dan kaki depannya terangkat-
angkat. Penunggang kuda kebingungan
dan berusaha mengendalikan hewan
tersebut. Saga tertawa, "Hebat. Kau hebat, Kang!"
Salah seorang berseragam biru
huam berseru, "Hei, ada orang di sana!
Siapa itu"!"
"Gawat! Teriakanmu didengar oleh
mereka, Saga!"
3 SAGA sempat memasukkan peluit
bambu ke dalam kantong bajunya yang
berlengan panjang itu, sebelum orang-
orang berseragam biru hitam menangkap
mereka berdua. Suro Bodong dan Saga
berjalan dalam todongan dua orang
bersenjata tombak tajam. Masing-masing tombak panjangnya seukuran tubuh
manusia dewasa. Di tiap mata tombak
selain tajam dan berbentuk seperti
ujung panah, juga di bawah mata tombak itu terdapat duri-duri tajam. Tempat
yang bagai ditumbuhi duri itu kira-
kira sepanjang dua jengkal dari mata
tombak. Jika kulit manusia tersentuh
batang tombak bagian tersebut, sudah
pasti akan terluka gores beberapa
baris. "Apa yang kau lakukan mengintai
kami, hah"!" bentak seorang lelaki berewok dari atas punggung kuda.
Mungkin dialah pimpinan dari keenam
orang penggeledah rumah Saga itu.
"Kami tidak mengintai," jawab Suro Bodong dengan garuk-garuk
kumisnya tebal, bersikap tenang.
"Jangan-jangan orang ini ada
hubungannya dengan Ki Pupus," seru seseorang yang tadi terlihat mengorek-ngorek
tanah di bawah tiang rumah
belakang. "Kalau memang benar dia ada
hubungannya dengan Ki Pupus, berarti
dia juga tahu apa yang kita cari,
Brogo!" seru orang yang satunya lagi dengan memanggil Brogo kepada laki-laki
berewok di atas punggung kuda.
"Benar, kau ada hubungan dengan
Ki Pupus"!" tanya Brogo kepada Suro Bodong. Dengan santai, sebentar garuk-garuk
kumis, Suro Bodong menggeleng.
"Bohong! Kau pasti ada hubungan
dengan Ki Pupus!" bentak Brogo.
"Mengakulah sebelum kuseret kau ke Benteng!"
"Ki Pupus itu siapa" Pawang
hujan"!"
Brogo gemas melihat ketenangan
Suro Bodong yang berani bicara santai
sekali di depannya. Ia segera
memerintahkan kepada anak buahnya:
"Ikat kedua orang ini di pohon,
dan cambuk sampai ia mengaku...!"
Dua orang menyeret Saga dan Suro
Bodong ke sebuah pohon kelapa yang
menjulang tinggi. Salah seorang
mengambil cambuk dan tali dari pelana
kudanya. Sedangkan tiga orang yang ma-
sih di atas punggung kuda, demikian
juga Brogo yang bersenjata pedang di
pundaknya. Saga memang mempunyai nyali yang
cukup besar. Dalam suatu kesempatan,
sebelum tali datang untuk mengikatnya, ia berhasil meronta dan meloloskan
diri. "Aku tidak mau...! Aku tidak mau
dicambuk...!"
"Saga..."!" keluh Suro Bodong dengan kecewa, karena hal itu malahan
akan mencelakakan diri Saga. Padahal
Suro Bodong mempunyai rencana sendiri
untuk masalah ini. Tapi kini Saga
telah berhasil lolos dan berlari kian
kemari dikejar-kejar tiga orang,
termasuk si pembawa cambuk dan tali
yang dipakai untuk mengikat tubuhnya.
Salah seorang mengejarnya dengan kuda.
Dan yang lainnya segera membuat
barisan penghalang jalan dengan
menjajarkan kuda mereka di depan Saga.
Sementara itu, tangan Suro Bodong
belum terikat, namun masih dalam
todongan tombak.
Tiba-tiba Saga berguling-guling
di tanah sambil meniup peluit
bambunya. Kontan kuda-kuda
jejingkrakan, meringkik dan mengangkat kedua kaki depannya dengan hentakan
keras. Para penunggang kuda kewalahan.
Dua di antaranya terjatuh tak tentu
letak. Sementara dua kuda yang salah
satu ditunggangi Brogo meronta-ronta
dengan binal. Brogo terlempar dari
punggung kuda yang meringkik-ringkik.
Kuda-kuda itu mengamuk di tempat
tersebut dengan ringkiknya yang
menjerit-jerit membingungkan mereka.
Saat itulah Suro tersenyum, kemudian
segera menendang orang yang
menodongkan tombak ke arahnya. Orang
tersebut terpana oleh kejadian aneh
itu, maka dengan mudah Suro Bodong
menendang dadanya hingga orang itu
terpelanting jauh memur pohon kelapa.
Orang yang menodongkan tombak itu
hendak melemparkan tombaknya ke arah
Suro Bodong. Tetapi seekor kuda yang
brutal telah menyepak tengkuk
kepalanya dengan keras. Ia memekik dan jatuh tersungkur dengan wajah
membentur batu.
Orang-orang Kepatihan itu masih
bingung dan belum mengetahui mengapa
kuda-kuda mereka menjadi mengamuk
seperti itu. Dua penunggang kuda dalam keadaan patah kaki dan tulang pada
pundaknya. Mereka mengaduh-aduh seraya menggelosor di tanah. Kuda-kuda itu
berhenti meringkik, berhenti mengamuk, setelah Saga juga berhenti meniup
peluit bambu. Saga segera berlari ke
arah Suro Bodong.
"Kang, ayo kita lari...!
Lekas...!" Saga menarik-narik tangan Suro Bodong. Tetapi Suro Bodong
bertahan. Sorangbersenjata tombak
segera berlari menyongsong Suro Bodong
"Cepat cari tempat persembunyian
yang aman...!" perintah Suro Bodong kepada Saga. Saga pun lari ke puing-puing
bekas rumah tetangganya yang
sudah terbakar habis.
Suro Bodong melompat pada saat
tombak itu melesat ke arah perutnya.
Sambil melompat, kaki kirinya
menendang dagu orang tersebut sehingga orang itu mengaduh keras. Temannya
menyusul dengan tombak juga. Tetapi
sebelum orang itu dekat dengan Suro
Bodong, Suro telah lebih dulu
menghantam wajah orang yang mengaduh.
Pukulannya cukup kuat. Orang itu
melintir, dan kaki Suro Bodong segera
menendang kuat-kuat tulang rusuk orang itu. "Krak...!" Terdengar bunyi patah
dari tulang rusuk itu yang membuat
orang tersebut makin menjerit dan
jatuh ke tanah kelojotan.
Orang yang baru datang menusukkan
tombaknya ke arah kepala Suro Bodong.
Suro merunduk. Tombak itu menghantam
ke bawah Suro berguling mendekati kaki orang itu. Ia ditendang dan kena pada
bagian leher kirinya. Suro menjadi
telentang. Orang itu menghunjamkan
tombak ke perut Suro Bodong sambil
berteriak, "Hiaaaat..!!"
Kaki Suro Bodong bergerak bagai
kipas dan membuat tombak yang tinggal
beberapa senti dari dadanya itu
melesat ke arah lain karena
tendangannya. Kemudian Suro Bodong
menggerakkan kedua kakinya ke atas,
memutar, dan dengan punggungnya ia
berhasil melentikkan tubuh hingga
berdiri "Heaaat...!!"
Suro Bodong berteriak sambil
menendang dalam satu lompatan yang
manis. Baju jubahnya yang terbuka
bagian depan itu berkibar bagai sayap
garuda menghempas lawan. Orang yang
ditendangnya terbatuk-batuk dan
mengeluarkan darah kental dari
mulutnya. Suro Bodong tak memberi
waktu sedikit pun, ia segera menghan-
tam dada orang itu dengan siku tangan
kanannya setelah ia bergerak ke
samping orang tersebut. Siku itu
menyodok keras di ulu hati sehingga
lawannya terbeliak-beliak dan tak
mampu berteriak.
Empat orang sudah berhasil
dilumpuhkan, kendati yang dua menjadi
tak berdaya karena kakinya patah dan
pundaknya terasa sempal oleh amukan
kuda. Kini tinggal tiga orang
berseragam biru hitam. Mereka
Suro Bodong 02 Pedang Urat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kehilangan kuda, karena kuda-kuda itu
berlarian tak tentu arah setelah Saga
berhenti meniup peluit. Tinggal ada
satu kuda yang masih terikat tali
kekangnya pada sebuah pohon di samping rumah.
Brogo berdiri di depan Suro
Bodong. Pelipisnya berdarah akibat ia
terlempar dari punggung kuda tadi. Dua orang bersenjata bola rantai berduri
dan yang satu bersenjata tombak,
berdiri di samping kanan kiri Brogo.
Orang yang memegangi tombaknya itu
sudah memar matanya akibat ia tadi
terlempar dari punggung kuda juga, dan entah kena apa matanya itu sehingga
bisa biru memar.
"Kuingatkan,"
kata Brogo menggeram. "Menyerahlah sebelum kami membunuhmu. Lebih baik kau berurusan
dengan Patih Danupaksi, atasan kami
itu di Benteng Cadas!"
Suro Bodong garuk-garuk kumisnya
dengan telunjuk. Ia mengangkat wajah,
sedikit mendongak dan memandang sinis
kepada Brogo. Suro Bodong berkata
juga: "Kuingatkan, pulanglah ke
atasanmu dan jangan ganggu kami lagi,
sebelum kalian kubunuh semuanya!"
"Siapa kau sebenarnya, Bajingan!"
"Aku..." Aku bajingan! Seperti
yang kau sebutkan tadi!"
"Bah! Kau belum kenal siapa aku,
kau tak akan berani berkata seperti
itu, Bajingan!"
"Ah, aku tidak perlu punya
kenalan seperti kamu. Untuk apa" Aku
sudah punya banyak kenalan bodoh,
mengapa harus mencari yang tolol
lagi?" kata Suro Bodong seenaknya.
Brogo menggeram dengan mata
melebar m-rah. "Jahanam!"
"Kau juga...!" jawab Suro Bodong kalem.
"Bangsat...!!" teriak Brogo.
"Kau juga bangsat!"
Brogo bernapas terengah-engah
karena amukan amarahnya. Suro Bodong
masih berdiri dengan tenang. Dagunya
sedikit terangkat, matanya agak
menyipit, kakinya terenggang tegap. Ia tidak menghidari tatapan mata Brogo.
Ia bahkan berkata:
"Mau apa kau"!"
"Serang...!" teriak Brogo kepada orang di kanan kirinya.
"Serang...!" teriak Suro Bodong yang kemudian terbengong karena
menyadari ia tidak punya orang di
kanan kirinya. "Ah, brengsek..! Biar kuserang sendirilah...!"
"Hiaaaat...!"
"Ciaaaat...!" Suro Bodong
berteriak tanpa bergerak. Hal ini
membuat Brogo memandang heran.
Brogo berkata dalam hatinya:
"Jangan-jangan aku berhadapan
dengan orang gila.."!"
Suro Bodong menggerakkan
kepalanya ke belakang dengan badan
melengkung ke belakang. Bola berduri
yang sebesar kepala bayi itu menyambar di depan hidungnya. Kalau saja kena,
hidung Suro Bodong bisa copot dari
wajah kasarnya.
Suro Bodong segera berguling ke
tanah mendekati pembawa rantai bola
berduri. Lalu dengan cepat kaki
kanannya menendang pinggang orang itu
dan segera ia berdiri lagi dalam satu
hentakan tangan ke tanah. Begitu
berdiri ia disambut oleh hunjaman
tombak orang yang lain. Suro Bodong
terpaksa melompat ke atas dan kakinya
berdiri tepat di atas batang tombak
tersebut. Pemegang tombak terpana
melihat ilmu peringan tubuh yang amat
sempurna dikuasai Suro Bodong sehingga mampu berdiri tegak di batang tombak
yang terjulur ke depan. Orang itu
mengibaskan tombaknya ke kanan dan ke
kiri, maksudnya supaya Suro Bodong
terjatuh. Namun tubuh sedikit gemuk
itu masih saja tetap berdiri tegak di
atas tangkai tombak. Bahkan kali ini
bergeser mendekati wajah orang
tersebut, dan ia menendangkan kaki
kirinya ke samping. Pinggiran telapak
kaki mengenai wajah orang itu.
"Aaaoow!!"
Orang itu menjerit seraya
memegangi matanya yang satu, yang
tidak memar. Saat itu, Suro Bodong
melompat ke arah lain karena bola ber-
duri menyambarnya lagi. Bahkan kini
bola berduri itu berputar-putar bagai
kipas angin, makin lama makin
mendekati kepala Suro Bodong. Suro Bo-
dong hendak berguling, namun putaran
bola berduri itu berubah posisi, kini
seperti menyambar bagian atas dan
bawah. Tentu saja kalau Suro Bodong
berguling ke tanah, ia akan terkena
sambaran bola berduri yang tajam.
Karenanya ia malahan diam di tempat.
Menonton ketrampilan putar bola
berantai panjang sambil garuk-garuk
kumisnya. Tahu-tahu bola itu meluncur ke
arahnya. "Weess..!" Hampir saja kepala Suro Bodong remuk terhantam bola
berduri yang terbuat dari besi itu.
Untung ia sigap dan segera berguling
ke bawah, kendati untuk itu ia
terpaksa mengadu dagunya dengan batu.
Lecet dagu itu tak dihiraukan. Suro
melihat ada kesempatan bagus di
depannya. Tangan musuhnya kebingungan
menarik rantai, sebab bola berduri itu menancap pada sebuah pohon. Kesempatan
itu dipakai Suro Bodong untuk
berguling sekali lagi dan melancarkan
Tendangan Ayam Kawin ke arah paha.
Tujuh kali tendangan beruntun ke
selangkangan. Orang itu menjerit
kesakitan dengan mulut ternganga
lebar. Suro Bodong segera berdiri
tepat kepalanya di bawah dagu orang
itu. Lalu ia menggerakkan pukulan ta-
ngan kirinya ke atas.
"Heaah...!!" Dan pukulan itu mengena telak di dagu orang tersebut.
Perut orang itu ada di depan hidung
Suro Bodong. Segera saja perut
tersebut ditebas oleh kedua tangannya
dengan pukulan samping telapak tangan.
Kedua pinggang yang dipenggal oleh
tangan Suro Bodong itu membuat perut
tersebut seperti dijepit besi besar
dan membuat orang itu susah bernapas.
Gerakan berikutnya takberbeda
waktu, yakni kedua tangan Suro Bodong
menapak di tanah, lalu dia
menggerakkan kakinya ke atas dengan
kuat. Tendangan sambil nungging itu
mengenai ketiak orang tersebut. Tangan itu lepas memegangi rantai bola
berduri, dan kaki Suro mengibas lagi
ke rusuk orang itu, sehingga orang itu terpental dan berguling-guling seraya
berusaha untuk berteriak dengan susah.
Brogo berlagak tenang. Bertepuk
tangan seenaknya dengan senyum sinis
memancarkan kebencian.
"Bagus sekali permainanmu itu,
Kawan..." kata Brogo.
"Ah, sudah lama aku bisa bermain
dengan bagus," Suro Bodong berlagak tersipu. Ia berdiri menunggu saat
tertentu di mana Brogo akan
menyerangnya. Ia sempat garuk-garuk
kumisnya dengan jari telunjuk
"Tapi aku, Brogo... belum tentu
bisa kau buat seperti dia..." kata Brogo seraya masuk selangkah demi
selangkah. "Ah, itu soal gampang!" kata Suro Bodong tak mau kalah gertak. "Aku bisa
menjagal kebo hutan kok!"
"Tapi aku bukan kebo, tahu"!"
bentak Brogo dengan mata melotot. Lalu dia segera mencabut pedangnya dari
punggung. "Ratusan orang sudah pernah
merasakan kehebatan pedang ini, tahu"!
Dan hampir semua yang pernah merasakan pedangku ini tak ada yang mau hidup
lagi." "O, ya" Aku belum merasakan.
Coba, kurasakan...!"
Brogo benar-benar panas hatinya,
merasa disepelekan oleh Suro Bodong.
Karenanya ia segera menyerang Suro
Bodong dengan satu teriakan yang cukup keras dan membuat Suro Bodong kaget.
Suro Bodong tidak main-main terlonjak
kaget karena teriakan itu, sehingga ia tertawa sendiri merasakan kelucuannya.
Namun tubuh Suro Bodong dapat mengelak tikaman pedang yang terarah kepadanya.
Hanya dengan merubah posisi kaki yang
tanya menghadap ke Brogo, kini kaki
kanan ditarik ke belakang dan dia jadi menghadap ke samping, maka pedang
Brogo molos melalui depan perutnya.
Tangan kanan menghantam
pergelangan tangan Brogo yang
memegangi pedang, dan tangan kiri
melebar ke samping dengan satu kepalan kuat. Kedua tangan yang bergerak
serentak itu membuat Brogo
terpelanting beberapa langkah, karena tangan kiri Suro yang bergerak bagai
sayap garuda melebar itu mengenai pipi Brogo. Suro Bodong berjalan menyamping
dengan mata melirik Brogo. Jarak
mereka cukup renggang, sehingga untuk
menyerang Brogo perlu melompat dan
bersalto di udara. Ia melayang
melewati kepala Suro Bodong.
"Hiaaaaaat...!!"
Pedang mengibas bagai hendak
membelah kepala Suro Bodong. Tetapi
Suro Bodong justru berguling ke tanah
sehingga jarak itu semakin jauh saja.
"Kau cukup alot, Bajingan!" geram Brogo.
"Memang. Aku sendiri heran,
mengapa aku tidak bisa mencicipi
pedang pembelah kayu bakar itu," ucap Suro Bodong dengan kalem. Ia garuk-garuk
kumis, lalu tersenyum. Hal itu
menambah kegemasan hati Brogo.
"Rupanya aku tak boleh main-main
lagi denganmu!" kata Brogo dengan kata-kata pelan dan tandas.
"Ya. Kurasa jangan main-main.
Pulang saja, nanti emak dan bapakmu
mencarimu, Nak!"
Brogo menggumam dalam geram yang
mata membakar darah. "Aku ingin tahu, sampai di mana kekuatanmu menerima
jurus Pedang Gunturku ini...!"
"Nah, begitu...! Dari tadi kek
dikeluarkan jurus pedang yang bisa
buat hiburan orang sunatan. Ayo...
jangan sungkan-sungkan...!"
Brogo tidak mempedulikan ucapan
tersebut. Ia segera merendahkan kedua
kaki yang mengangkang. Pedangnya
melintang di atas kepala. Tangan kanan memegangi tangkai pedang dan tangan
kirinya bagai mendorong sesuatu yang
berat dari batas pinggang sampai ke
atas, menyentuh pucuk pedang. Tangan
kiri itu mengusap tepian pedang dari
pucuk sampai ke tangkainya, lalu
menyatu dengan tangan kanan, memegangi tangkai pedang. Kedua tangan
menebaskan pedang ke arah samping
kanan, ke samping kiri, menarik ke
belakang, dan menusukkan ke depan
dengan satu teriakan keras:
"Heaaaat...!"
"Ziiing...!"
Keluar benang api dari ujung pe-
dang, berkelok-kelok melesat mengejar Suro Bodong. Gerakan benang api yang
berpijar merah itu seperti ular sanca
yang meliuk-liuk memburu mangsa. Suro
Bodong kebingungan, karena merasa
aneh. Ia segera melompat ke samping
kiri ketika benang api itu hendak
menembusnya. Tetapi benang api itu
mengejarnya dengan belokan yang tajam.
Benang api yang berpijar-pijar seakan
mempunyai nyawa untuk memburu mangsa.
Brogo tertawa terbahak-bahak
melihat kebingungan Suro Bodong
dikejar benang api yang bergerak
seperti ular sanca. Ia diam saja,
menjadi penonton yang penuh
kegembiraan.
Suro Bodong 02 Pedang Urat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mampus kau, Bajingan
tengik...!!" teriaknya di sela tawa yang terbahak-bahak
Suro Bodong berguling ke tanah
beberapa kali, tapi benang api
berpijar itu juga hendak menembus ke
tanah. Benda aneh bercahaya pijar itu
tak jadi menembus ke tanah setelah
Suro Bodong menghentakkan kaki,
melompat ke udara. Benda tersebut ikut melesat ke udara. Memang tak begitu
cepat jalannya, tidak seperti kilat
menyambar. Namun cukup membuat Suro
Bodong kebingungan. Dan jika sudah
kebingungan begitu, ia menjadi panik.
Atau jika panik ia menjadi kebingungan tujuh keliling. Ia tak tahu harus
berbuat apa kecuali berlari pontang
panting menghindari benang api itu.
Bahkan ketika Suro Bodong tergopoh-
gopoh mendekati pohon untuk
berlindung, benang api itu melesat
tertuju ke bagian kepala. Suro Bodong
merunduk. Benang api itu lolos lewat
di atas kepala Suro Bodong. Tetapi
benang api itu segera membelok,
kembali lagi menyerang dan mengejar
Suro Bodong, hingga lelaki berperut
sedikit buncit itu tersungkur jatuh
tengkurap karena tersandung akar
pohon. "Aaooww...!" pekiknya dalam
kebingungan. Ia panik dan benar-benar
gugup. Keringat dinginnya mengucur dan wajahnya sempat menjadi pucat. Ia
segera mengambil ranting pohon yang
kering. Ketika benang api itu
menyerangnya, ia merunduk dan ranting
itu menjadi sasaran benang api
tersebut. Tetapi justru menimbulkan
ledakan kecil yang apinya merontoki
rambut Suro Bodong. Kontan saja Suro
Bodong semakin jejingkrakkan sambil
menepak-nepak kepalanya, takut
terbakar. Ia masih berlari ke balik
pohon besar tanpa mempedulikan tawa
Brogo yang terpingkal-pingkal. Benang
api masih mengejarnya bagai tak kenal
lelah Saga melihat Suro Bodong
bersembunyi di balik pohon besar. Saga segera melambaikan tangan:
"Kang...! Sini...! Sembunyi di
sini...!" Suro sempat melihat ada tembok
hangus di tempat persembunyian Saga.
Pada waktu itu, benang api muncul dan
hendak menyerang leher Suro Bodong.
Secepatnya Suro Bodong beranjak dari
tempat itu dan berlari ke tempat
persembunyian Saga.
"Tenang, Kang... tenang...!" Saga menarik tangan Suro untuk bersembunyi
dari balik dinding hangus. 'Tenang,
benda aneh itu tidak dapat mengejarmu.
Dia tidak tahu kalau."
"Tidak tahu apa"! Lihat, benda
itu menuju ke mari...!" Suro Bodong menuding ke arah benang api berpijar
yang melesat ke arahnya.
"Apa kau tidak punya jurus
simpanan untuk melawan benda aneh itu, Kang?" tanya Saga. Dan seketika itu Suro
teringat suatu simpanannya, yaitu sebuah pedang.
Ia segera menarik napas dalam-
dalam, kemudian tangan kanannya
menggenggam pergelangan tangan
kirinya. Dan ia segera menghentakkan
tangan kanannya ke depan. Pada saat
itu, tangan tersebut sudah memegang
sebilah pedang putih yang memancarkan
sinar ungu. Itulah Pedang Urat Petir,
pusaka Suro Bodong yang dapat disimpan di dalam kulit lengan kirinya. Saga
membelalakkan mata memandang pedang
itu dengan perasaan heran bercampur
kagum. Suro Bodong tak sempat memberi
penjelasan apa-apa. Benang api yang
berpijar itu membelok, masuk di balik
dinding hangus. Suro Bodong menggerak-
kan Pedang Urat Petir ke arah benang
api tersebut. Dan benda itu menempel
pada ujung Pedang Urat Petir. Ia
menempel kaku seperti kawat berpijar,
lalu tak berapa lama padam, dan hilang begitu saja.
Brogo tidak tahu apa yang terjadi
di balik tembok hangus itu. Tetapi ia
masih tertawa-tawa dengan bangga
sambil berdiri, bersandar pada sebuah
pohon. "Mau bersembunyi di mana kamu,
Kunyuk"! Mau lari ke mana, hah" Tidak
mungkin kamu bisa lolos dari jurus
Pedang Gunturku itu. Huaaa, ha, ha,
haaaa....!" Brogo sengaja mengumbar tawa kemenangan.
Tetapi tawa itu menjadi reda.
Diam seketika dengan mata membeliak
lebar sewaktu Suro Bodong muncul dari
balik dinding hangus. Brogo tak sempat bicara melihat pedang bersinar ungu
tergenggam di tangan Suro Bodong. Ia
mulai tegang dan berdebar-debar. Sebab biasanya, orang yang dikejar benang
api tak pernah ada yang berhasil hidup lagi. Tapi sekarang, lawannya kali ini
justru tersenyum sambil
menghampirinya.
"Pusakamu cukup hebat, Brogo!
Cinta Sang Pendekar 1 Pendekar Rajawali Sakti 91 Ratu Intan Kumala Beruang Salju 9
PEDANG URAT PETIR Oleh Barata ? Penerbit Wirautama, Jakarta
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Serial Suro Bodong
dalam kisah Pedang Urat Petir
Wirautama, 1991
128 Hal.; 12.18 Cm.; SB. 01.019150 2
Tukang Edit : Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 PENONTON mengitari panggung
setinggi satu meter. Di atas panggung
kayu yang cukup lebar itu telah
berdiri seorang pendekar perempuan
yangmengagumkan setiap pengunjung.
Karena ia suka mengenakan pakaian
serba hijau muda, maka ia dijuluki
Kenanga Hijau. Ia mengenakan celana
ketat warna hijau muda bertepian emas.
Sedangkan bagian atasnya mengenakan
pinjung hijau juga, yang menutup
bagian dada. Dada ke atas terbuka
polos, menampakkan kulitnya yang
kuning langsat, membakar darah
kejantanan. Kenanga Hijau melapisi
celana ketatnya yang halus dengan kain warna coklat bersabuk hitam dengan
hiasan manik-manik putih perak di
tepian sabuknya. Di sela sabuknya itu
terdapat sarung pedang mengkilat
berwarna kuning emas. Gagang pedangnya juga dari logam kuning emas yang
berbentuk kepala burung Jatayu.
Tubuhnya yang kecil, namun bukan
kurus itu serasi betul dengan bentuk
wajahnya yang mungil, namun berhidung
mancung. Matanya kecil, tetapi
kelihatan tajam dan bening. Bibirnya
juga mungil, tetapi menimbulkan gairah dan memancing ajakan berkhayal mesra.
Indah sekali. Rambutnya yang panjang
digulung sedikit di bagian tengah
kepala, sedang rambut yang lainnya
dibiarkan meriap. Ia mengenakan tusuk
konde warna perak bermata butiran batu merah. Ia juga menggunakan kalung emas
sebesar benang kasur dan berliontin
bentuk bunga bermata hijau zamrud.
Hiasan kalung itu bagai sekuntum
melati hijau yang mekar di sela
belahan dadanya yang menon jol dan
menantang lawan.
Seorang lelaki setengah tua naik
ke atas panggung dan bicara kepada
penonton: "Kalau tidak ada yang berniat
melawan Putri Kenanga Hijau, maka
pertandingan ini segera ditutup!"
"Berikan waktu beberapa saat
lagi, Paman!" kata Kenanga Hijau.
Lelaki separoh baya itu
mengangguk dan berkata kepada
pengunjung yang mengelilingi panggung:
''Putri akan memberikan waktu
beberapa saat lagi untuk menunggu
penantang selanjutnya. Ingat, Saudara-
saudara, pertarungan ini cukup besar
hadiahnya. Barang siapa bisa
mengalahkan Putri Kenanga dengan
Pedang Jatayunya, maka ia bebas
memiliki tubuh Putri Kenanga yang
tentu saja kita bersepakat bahwa
beliau memang... aduhai! Betul, kan"!"
"Betuuull...!!" teriak penonton.
Mereka bertepuk tangan. Kenanga Hijau
memamerkan senyumannya yang sungguh
menggetarkan hati dan sangat
mengagumkan itu. Bahkan ada salah
seorang penonton yang jatuh lemas
begitu melihat senyuman Kenanga Hijau
itu. "Mundurlah, Paman Rogama...! Beri kesempatan kepada mereka untuk naik!"
kata Kenanga Hijau.
Lelaki separoh baya yang bernama
Rogama itu mengangguk, lalu segera
turun panggung setelah berkata kepada
hadirin: "Bagi lelaki yang merasa dirinya
pendekar, kami persilakan naik ke atas panggung! Jangan sungkan-sungkan!"
Rogama mengambilkan sebuah
bangku, dan Kenanga Hijau duduk di
atas bangku seraya memamerkan senyurn
yang menawan hati. Ia menunggu giliran orang yang akan melawannya. Tetapi
untuk sementara waktu, belum ada orang yang berani naik ke panggung setelah
tiga orang kekar mati di tangan
Kenanga Hijau. Mereka semakin banyak,
bukan untuk melawan Kenanga Hijau,
melainkan untuk menonton kecantikan
yang sangat melemaskan lutut lelaki
itu. Salah seorang penonton berkata
kepada temannya, "Kalau saja aku
seorang berilmu tinggi, aku tetap
segan melawan dia. Sayang kalau kulit
semulus itu harus terluka."
Temannya menyahut, "Kalau aku
seorang pendekar, lebih baik kulawan
dia di atas ranjang. Lebih seru,
pasti!" Orang di sebelahnya bersungut-
sungut. "Di atas panggung saja belum tentu kau menang, apa-lagi di atas
ranjang." "Eh, biasanya, sekuat apa pun
perempuan, sesakti apa pun seorang
wanita, kalau di atas ranjang pasti ia kalah. Kadang-kadang sengaja mengalah.
Betul kok...!"
"Aaah...! Pikiran tidak jauh dari lutut dan perut!" gerutu orang yang ada di
belakangnya. Pembicaraan kasak kusuk mereka
terhenti, karena mereka melihat
seorang lelaki naik ke atas panggung.
Hampir semua mulut melontarkan kata:
"Hoooohh....!!" Dan lelaki yang naik ke atas panggung itu melambaikan
tangan kepada penonton yang
menghoooh... itu.
Lelaki itu berdada bidang dan
berlengan kekar. Ia seorang pendekar
yang tinggi tegap. Ia tidak mengenakan baju, namun mengenakan celana abu-abu
dengan kain pelapis warna merah. Ia
memakai sabuk hijau tebal dan lebar.
Sabuk itu berguna untuk menyelipkan
goloknya yang pendek namun lebar.
Lelaki itu memakai ikat kepala dari
kain tenun berwarna coklat kehitam-
hitaman. Ia mengenakan kalung dari
kain hitam di lehernya.
Kenanga Hijau masih duduk di
bangku dengan posisi dada tegap,
menonjol ke depan.
"Aku yang akan melawanmu," kata pemuda itu dengan suaranya yang berat, sedikit
serak. "Boleh saja. Siapa namamu?"
"Danang Wadi!" jawabnya tegas sambil berdiri di depan Kenanga yang
dalam sikap kaki terentang kokoh.
"Siapa julukanmu?"
"Pendekar Alas Mati!"
"Kau sudah siap untuk menanggung akibatnya jika bertarung denganku?"
tanya Kenanga Hijau.
"Sudah. Dan aku sudah siap juga
seandainya aku menang melawanmu."
"Apa rencanamu?"
"Kau akan kujual kepada orang-
orang Sriwijaya yang bertandang ke
tanah Jawa ini!" Danang tersenyum berani.
Kenanga Hijau angkat bahu,
"Terserah apa yang ingin kau lakukan terhadapku kalau memang kau menang
melawan aku!"
Kenanga Hijau berdiri, Rogama
buru-buru menarik turun bangku yang
diduduki Kenanga. Ia berjalan
menyamping karena harus memperhatikan
Danang Wadi, dan berkata:
"Jangan menyesal kalau nasibmu
seperti ketiga orang tadi, Danang
Wadi." "Kau akan tercengang melihat
permainan dan kesaktianku, Perempuan
Cantik. He, he, he..."
Salah seorang penonton mengeluh
sendiri, "Huhh... belum apa-apa sudah cengengesan, tidak bakalan menang
dia!" ''Tapi agaknya lelaki itu cukup
sulit dirobohkan. Lihat dadanya yang
bidang dan ototnya yang menonjol, itu
sudah menandakan bahwa Kenanga Hijau
akan mampu ditekuk-tekuknya," ujar teman orang tadi. Tapi orang tadi
hanya mencibir dan berkata:
"Lihat saja...! Lagak lagunya
yang cengengesan itu tidak meyakinkan.
Paling sekali gebrak, mencret!"
Lalu, kedua orang itu saling
terpukau melihat suatu pertarungan
yang mengagumkan. Danang Wadi berkali-
kali melompat sambil berguling.
Goloknya dikibaskan ke sana sini.
Kakinya hanya sesekali menyentuh
lantai panggung. Ia lebih sering
bermain di udara ketimbang menyerang
dalam posisi kaki menginjak lantai.
Kenanga Hijau seperti berkelahi
melawan seekor gagak hitam. Ia harus
mendongak berkali-kali dan mengibaskan pedangnya ke atas. Tapi tak satu pun
kibasan pedangnya mengenai tubuh
Danang Wadi. Bagi Kenanga,
pertarungannya kali ini cukup unik.
Jurus-jurus yang dimiliki Danang Wadi
juga cukup sulit diterka.
"Hiaaaat...!!"
Teriakan itu lebih sering
terlontar dari mulut Danang Wadi,
sebab ia lebih sering menyerang dengan lompatan dan bersalto ke atas Kenanga.
Sesekali kenanga memahg mengimbangi
lompatan-lompatan itu, namun sejak
tadi pukulan dan tendangannya tak ada
yang menyentuh kulit Danang Wadi.
Demikian juga Danang Wadi, tak sekali
pun pernah menyentuh rambut Kenanga
Hijau. Namun golok dan pedang mereka
memang sering beradu keras,
menimbulkan percikan api yang
mengerikan penonton bagian depan.
Suatu kesempatan, Danang Wadi
berhasil menendang pundak belakang
Kenanga Hijau setelah ia bersalto
melewati atas kepala Kenanga, dan
menjejak ke belakang seperti kuda
ngamuk. Kenanga nyaris tersungkur ke
depan, tapi ia segera berguling
sehingga wajah cantiknya tak sempat
berbenturan dengan lantai panggung.
Danang Wadi tak menyia-nyiakan
kesempatan itu. Ia ikut berguling ke
arah Kenanga dengan pedang siap di
tangan. Namun Kenanga cepat melejit ke samping, dan menghindari bacokan golok
pendek yang lebar itu. Golok Danar
Wadi menancap pada papan lantai
panggung. Kenanga hendak menyerangnya, namun karena kaki Danang lebih
panjang, maka dengan sekali tendang
kaki itu tepat mengenai pinggang
Kenanga. Tubuh Kenanga pun meliuk
kesakitan. "Wah, gawat...! Patah tuh tulang
iga Kenanga...!" teriak salah seorang penonton yang ada di barisan depan.
Mereka jadi cemas. Mereka merasa
sayang kalau sampai Kenanga dikalahkan lawannya.
Kecemasan mereka meningkat, sebab
Danang Wadi segera bangkit dan
berhasil mencabut goloknya yang
menancap di papan lantai panggung.
Danang Wadi segera menyerang Kenanga
dengan tendangan kaki kiri yang
mengenai ketiak Kenanga, dan disusul
tendangan kaki kanan yang mengenai
perut Kenanga. Tubuh perempuan cantik
itu terpental, hampir saja jatuh ke
panggung seperti ketiga musuhnya tadi.
"Menyerahlah, Kenanga...! Kau
sudah mulai lemah!" kata Danang Wadi yang berdiri di tengah arena dengan
Suro Bodong 02 Pedang Urat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gagahnya, Ia menunggu Kenanga bangkit.
Ia masih membujuk Kenanga:
"Akuilah kekalahanmu...! Jangan
sampai kau kalah lalu mati, apa
gunanya pertarungan ini kalau begitu?"
Kenanga berdiri dengan tegap,
menarik napas panjang-panjang. Lalu ia tersenyum setenang tadi.
"Aku hanya menjajal kekuatanmu,
Danang Wadi! Tak ada kamus kalah dalam diriku. Kau harus tahu akan hal itu,
Danang Wadi. Dan sekarang... mari kita lanjutkan pertarungan ini. Bersiaplah
mati dengan cara senyaman mungkin...!
Hiaaat...!" Kenanga melesat dalam posisi kaki kanan siap menendang
sedangkan kaki kiri terlipat ke
selangkangannya. Gerak tangannya bagai tarian pengibas pedang; kedua tangan
itu berada di bagian kiri tubuhnya.
"Traang...!"
Danang Wadi berhasil menangkis
kibasan pedang Jatayu, dengan
menggerakkan goloknya ke atas. Lalu
tangan kiri Danang segera menghantam
pinggang samping kanan Kenanga. Buru-
buru Kenanga merapatkan sikunya dan
menahan pukulan itu sambil tangan
kirinya mencabut sarung pedang.
"Sreet...!"
Ujung sarung pedang yang berwarna
kuning emas itu
ternyata mampu mengeluarkan pisau kecil. Pisau kecil
itu merobek leher Danang Wadi tanpa
ampun lagi. Tentu saja Danang Wadi
terpekik tertahan. Mulutnya ternganga
dan tangan k-nannya yang masih
memegangi golok ikut membantu tangan
kirinya, menutup luka yang ada di
leher. Tetapi, agaknya leher itu robek dalam keadaan lebar dan dalam. Mata
Danang Wadi terbeliak-beliak.
"Grook... grrook...!"
Suara nafasnya begitu mengerikan.
Ia masih bertahan berdiri. Goloknya
jatuh, mengenai kakinya. Ia makin
membelalakkan mata. Lalu ia berlutut
sambil masih memegangi lehernya yang
bagai digorok ujung sarung pedang
Kenanga. Seperti lawan-lawannya yang
sudah, Kenanga selalu mengakhiri
pertarungannya dengan menendang lawan
sekuat tenaga. Danang Wadi terlempar
ke luar arena. Ia menggelepar-gelepar
sejenak, kemudian tubuhnya kaku dan
tak bergerak lagi. Penonton yang
nyaris kejatuhan tubuh Danang Wadi
tadi menjerit ketakutan dan berlari ke tempat lain.
Penonton yang lainnya terbengong-
bengong setelah sama-sama berseru:
"Hooohh"!" Sebagian penonton mengerumuni mayat Danang Wadi, sebagian lagi tetap
memandang ke atas
arena. Kenanga menyarungkan pedangnya.
Pisau kecil yang mencuat dari ujung
sarung pedang itu telah masuk kembali
dengan sekali tekan bagian tertentu
dari sarung pedang itu. Segera Kenanga menghirup udara banyak-banyak dan
melepaskannya pelan-pelan. Ia
memulihkan ketenangan pada dirinya.
Sikapnya berdiri tetap tegap,
merentangkan kaki berbetis indah,
seakan menantang pertarungan
selanjutnya. Rogama datang membawakan
bangku dan Kenanga pun duduk di bangku itu dengan senyum seperti tadi:
mengagumkan. Senyum yang mampu membuat penonton terkesima dan mendesah penuh
arti. Rogama berseru kepada penonton,
"Barang siapa yang masih ingin
mencoba, silakan naik ke arena. Kita
bertarung secara kesatria. Putri
Kencana Hijau, siap menunggu uluran
nyawa Saudara-saudara...!"
Kasak kusuk dan perguncingan
semakin banyak. Bergemuruh seperti
lebah hutan berpesta pora. Rogama
masih bicara dengan suara kian keras
untuk mengimbangi suara gemuruh
masyarakat di sekelilingnya. Bahkan
kini kedua telapak tangannya
diletakkan di tepian mulut, sebagai
corong pengeras suara. la bicara
sambil berputar ke empat arah.
"Barang siapa yang mempunyai
kesaktian, pusaka, pedang ampuh,
mari... silakan diuji di sini. Kami
akan me rasa mendapat kehormatan besar jika Saudara-saudara mau menguji
pusaka yang anda miliki. Ayo, jangan
takut. Hadiahnya tidak tanggung-
tanggung Putri Kencana Hijau. Beliau
ini cantik, sakti dan... masih
perawan! Asli! Saya berani sumpah,
sebab saya belum pernah
memakainya...!"
"Paman...!" bentak Kencana merasa tersinggung.
Rogama ketakutan, lalu berteriak
kepada penonton, "Maksud saya... saya belum pernah memakai pedang Jatayunya
itu." "Huuuhh...!" beberapa penonton mencucu sambil terkekeh sejenak.
Kasak kusuk mereka saling memuji
dan mengagumi Kenanga. Namun di antara sekian banyak penonton, ada seorang
penonton yang dari tadi hanya diam
saja dan garuk-garuk kumisnya yang
lebat. Lelaki itu mengenakan baju model
jubah berwarna merah dan celana biru
muda dan ikat pinggang hijau tua.
Rambutnya panjang tak teratur diikat
kain merah, Badannya agak gemuk,
perutnya sedikit membuncit dan
pusernya melotot keluar bagai
membelalak. Melihat kegema-annya yang
sejak tadi makan jagung bakar, sudah
jelas dia adalah tokoh dunia
persilatan : Suro Bodong.
Sejak tadi tak sepatah kata pun
yang keluar dari mulutnya. Sejak tadi
ia memperhatikan pertarungan Kenanga
sambil mengunyah jagung bakar dan
sesekali garuk-garuk kumisnya.
Pandangan matanya begitu tajam, tapi
sikapnya tetap tenang. Ia tidak mau
ikut bersorak, atau bertepuk tangan.
Bahkan ketika ada seorang anak muda
menyapanya: "Bapak tidak berminat naik
panggung, Pak?"
Suro Bodong tidak menjawab. Anak
muda itu memperhatikan dengan tegas.
Lalu bertanya lagi dengan suara lebih
keras, karena mengira Suro Bodong
tuli. "Bapak tidak berniat naik
panggung, Pak"!!"
Suro Bodong masih tenang saja.
Cuek. Ia mengunyah jagung bakar yang
digeragotnya dengan seenaknya. Anak
muda itu juga penasaran. Ia pikir, ia
berhadapan dengan orang gila yang
tuli. Sebab itu ia menepak pundak Suro
Bodong. Tetapi di luar dugaan, dan tak
sempat dilihat oleh mata anak muda
itu, tangan Suro Bodong telah
menangkap dan menekuknya hingga si
anak muda meringis kesakitan.
"Berani menyentuhku, kucabuti
semua rambutmu!" geram Suro Bodong, kemudian melepaskan tangan anak muda
itu. Sambil meringis dan memijit-mijit
pergelangan tangannya, anak muda itu
berkata dalam ketakutan:
"Saya cuma bertanya. Mau bertanya kepada Bapak; apakah Bapak punya niat
naik apa tidak. Cuma begitu."
"Naik apa" Naik kuda"! Apa kau
membawa seekor kuda?" kata Suro Bodong yang tak mengerti maksud anak itu.
"Maksud saya, naik panggung, Pak.
Naik panggung itu,"seraya anak muda menuding tempat arena.
Suro Bodong memetik-metik biji
jagung dengan jempol tangannya dan
menggerutu, memandang Kenanga:
"Naik panggungg... naik
panggung... apa kau kira aku ini
ledek, yang sering menari di atas
panggung?"
Anak muda itu berani juga,
rupanya. Ia masih berdiri di samping
Suro Bodong, memandang mata Suro
Bodong yang kemerah-merahan. Lalu ber-
kata lagi: ''Panggung itu kan arena
pertarungan, Pak. Bukan panggung untuk ledek dan ketrung!"
"Pertarungan apa?" Suro Bodong menoleh ke anak itu.
"Pertarungan antara pendekar
melawan... itu, Putri Kenanga Hijau.
Masa Bapak tadi tidak melihatnya.
Sepertinya dari tadi Bapak ada di
samping saya dan memandang ke sana..."
Anak itu merasa heran, lalu Suro
Bodong berbisik:
"Sejak tadi aku tidak merasa
melihat suatu pertarungan."
Anak itu berkerut dahi. "Jadi
yang Bapak lihat apa?"
"Orang-orang menari dan bermain
dagelan!" Anak muda itu tertegun beberapa
lama. Dalam hatinya ia masih belum
mengerti, mengapa Suro Bodong
mengatakan melihat tarian dan dagelan.
Padahal jelas ada korban empat orang
dari pertarungan sejak tadi. Bahkan,
kemarin pun acara itu juga ada. Anak
muda itu juga melihat. Bukan hanya
melihat pertarungan, namun sempat pula melihat Suro Bodong di seberang
panggung, jauh darinya. Dan semua
orang juga mengakui, bahwa apa yang
ada di atas arena itu adalah
pertarungan maut. Tetapi mengapa orang yang diajaknya bicara itu, yakni Suro
Bodong, mengatakan itu sebuah tarian
dan dagelan. Lawak! Badut, dan
sejenisnya. "Aneh sekali penglihatan mata
orang ini," pikir anak muda itu. Ia tak tahu bahwa yang dia dengar dari
Suro Bodong itu adalah anggapan saja.
Anggapan dari Suro Bodong tentang
atraksi di atas panggung. Pertarungan
antara Kenanga dengan beberapa
pendekar dari kemarin sampai hari ini, dianggap hanya sekedar tarian dan
banyolan oleh Suro Bodong. Ia tidak
merasa kagum dan terpesona dengan
pertarungan itu. Dia hanya ingin
melihat, siapa yang akan mampu
mengalahkan perempuan cantik yang
sombong itu" Karenanya dari kemarin
sampai hari ini Suro Bodong selalu
hadir dan mengikuti acara tersebut.
Dalam usia 40 tahunan, kurang
lebih, Suro Bodong masih bisa menilai
kecantikan seorang perempuan. Kenanga
diakui kecantikannya, namun hati
kecilnya tetap mengakui kecantikan
Ratna Prawesti, kekasihnya yang sedang dicari ke mana perginya. Bagi Suro
Bodong, tak ada perempuan cantik di
permukaan bumi ini, selain Ratna
Prawesti, anak seorang bupati Jangga,
yang telah dibantai satu keluarga oleh Gerombolan Topeng Setan. Tetapi, ia
tidak menemukan bangkai kekasihnya.
Berulangkali ia berurusan dengan
orang-orang Gerombolan Topeng Setan,
namun tak sekali pun ia melihat ada
tanda-tanda gerombolan itu
menyembunyikan Ratna Prawesti. Hanya
saja, betapa pun juga jadinya, Suro
Bodong tetap menaruh kewaspadaan
kepada Gerombolan Topeng Setan yang
diketuai oleh seseorang yang bernama
Banyupati. Sekali ia melihat gelagat
adanya tanda-tanda bahwa Ratna
Prawesti disekap atau disembunyikan
oleh gerombolan itu, maka dengan
sekuat tenaga Suro akan menumpas habis semuanya.
Tiba-tiba orang yang mengelilingi
panggung itu bertepuk tangan. Bahkan
Suro Bodong 02 Pedang Urat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ada yang bersuit dan tertawa. Oh,
rupanya ada anak muda yang naik ke
panggung dengan barinya. Mata Suro
Bodong membelalak dengan mulut
terperangah. Anak itu adalah anak muda yang tadi ditekuk pergelangan
tangannya. "Bocah edan..!" geram Suro Bodong dengan gemas. "Berani-beraninya dia naik ke
arena itu?"
Anak tersebut masih muda sekali
usianya, Kira-kira baru 15 atau 16
tahun umurnya. Pakaiannya biasa,
celana dan baju pangsi warna putih
kusam. Orang bilang, ia masih hijau.
Tapi ia sudah berani naik ke arena dan menantang Kenanga Hijau. Karena itu
banyak penonton yang berceloteh macam-
macam. "Hoi, Tong... ini bukan tempat
adu jangkrik...!"
"Nyawa cuma sedikit dibuang-
buang. Payah kamu, Tong!"
"Kalau menang mau buat apaan
gadis itu, Tong" Buat diambil istri,
ya?" "Alaaah... kencing belum lempeng
saja sudah mau kawin!"
"Hoi, kamu mau bertarung apa mau
netek, Gus..."!" teriak seorang bapak dari sudut sana. Dan banyak lagi
teriakan orang yang lainnya. Namun
anak muda itu tetap berdiri di atas
panggung dengan cengar cengir tak
meyakinkan. Ia tidak peduli seruan
orang yang menjatuhkan keberaniannya.
Ketika Kenanga berdiri dan
menyampanya, anak muda itu masih
memperlihatkan nyali yang cukup besar.
Ia cengar cengir seperti malu-malu
kucing. "Kau penantangku berikutnya?"
tanya Kenanga. "Ya. Boleh tidak, Mbak?"
Penonton tertawa. Bahkan Kenanga
tersenyum geli seraya memandangi anak
muda itu. Sedangkan yang dipandang
hanya tersipu-sipu sambil menunduk.
"Mana senjatamu?" tanya Kenanga.
Anak muda itu semakin tersipu
malu, lalu berkata dengan jelas, "Masa harus dikeluarkan di sini. Malu
ditonton orang banyak, kan"!"
Penonton semakin gerr...!
Tertawa, ada yang terbahak-bahak, dan
ada yang sampai terbatuk-batuk. Mereka bertepuk tangan. Mereka menjadi segar,
bersemangat. "Anggap saja selingan
dagelan...!" ujar seseorang.
Mereka menjadi reda setelah
Kenanga berkata, "Kau akan mati jika tanpa senjata."
"Ah, buktinya yang pakai senjata
juga mati. Untuk apa aku punya
senjata," jawab anak itu.
Kenanga geleng-geleng kepala.
"Nyalimu cukup besar. Kau tidak
takut mati?"
Anak muda itu menggeleng. "Kata
ayahku, mati sekarang atau besok, sama saja."
Kini, Kenanga Hijau manggut-
manggut. Sejenak Rogama naik ke
panggung dan berbisik kepada Kenanga.
"Jangan ladeni anak ini, Putri. Buang-buang tenaga!"
"Biarkan, Paman. Siapa tahu dia
lebih hebat dari yang sudah-sudah.
Siapa tahu juga dia yang kucari."
Kemudian, setelah Rogama turun
sambil membawa bangku, Kenanga
bertanya kepada anak muda itu:
"Siapa namamu?"
"Saga!" jawabnya tegas.
"Saga..."! Hemm... nama
julukanmu?"
Saga kelihatan berpikir bingung.
Orang-orang mengikik, tertawa
tertahan. Lalu, Saga menjawab
seenaknya saja:
"Pendekar... Pendekar... Pendekar Untung-untungan...!"
Tawa penonton menjadi lebih
keras. Kenanga menegaskan:
"Sebenarnya kau pendekar apa
bukan?" Saga menggeleng. "Bukan. Tapi...
tapi saya ingin melawan situ."
"Kalau kau menang, mau apa" Mau
menjadi suamiku?"
Saga menggeleng. "Mau minta duit
yang banyak!"
"Minta uang"!" Kenanga berkerut heran dan kagum.
"Ya. Kalau Mbak tidak mau
memberiku uang, ya sudah. Saya turun
saja...!" "Baik! Kalau kau menang, selain
uang, semua perhiasan dan harta
milikku menjadi kepunyaanmu!" kata Kenanga.
Saga tertawa girang, nyaris
melonjak. Sedangkan di bawah pohon
sana, Suro Bodong garuk-garuk kumisnya yang tebal. Ia masih menggumam
keheranan. "Mari kita mulai. Bersiaplah...!"
tantang Kenanga. Ia segera mengambil
jarak dan bersiap memainkan jurus
pembuka. Saga masih menyeringai, ikut-
ikutan pasang gaya dengan kaki
mengangkang dan kedua tangan mengepal
di pinggang. Kaku sekali.
Kenanga memutar ke kanan, Saga
memutar ke kanan dengan kaki masih
mengangkang dan merendah. Orang-orang
menertawakan. Suro Bodong geleng-
geleng kepala sambil makan jagung
bakar. "Hiaat...!" Kenanga menghentak.
Saga kaget dan nyaris jatuh. Tapi
ia segera berdiri seperti tadi: kaki
mengangkang rendah dan kedua tangan
mengepal di pinggang kanan kiri. Jika
Kenanga bergerak perlahan ke arah
kiri, ia berjalan perlahan ke arah
kiri juga, demikian pula sebaliknya.
Tiba-tiba kaki Kenangan maju ke
depan. Kaki kiri maju dan kaki kanan
menendang dada Saga. Saga berusaha
menangkisnya, namun terlambat. Dadanya terhentak kaki Kenanga dengan keras.
Ia terjengkang ke belakang. Wajahnya
menjadi pucat dan mulutnya cengap-
cengap mencari udara. Ia berusaha
untuk berdiri. Lalu pasang gaya
seperti tadi: kaki mengangkang dan
merendart, kedua tangan mengepal di
samping. Kenanga mengendurkan
tangannya. Kini ia berjalan mendekati
Saga dan menendang wajah Saga dengan
kaki kiri. Saga gelagepan, menggeragap karena pendangan matanya tiba-tiba
menjadi gelap akibat terkena tendangan kaki kiri Kenanga yang begitu cepat.
Kenanga tersenyum bangga.
"Jangan... jangan cepat-cepat,
Mbak.." Saga sempat berkata begitu sambil mengibaskan kepalanya
Tetapi Kenanga segera menghantam
dada Saga dengan pukulan tangan
kirinya. "Buuk...!" Lalu tangan kanannya menghantam perut Saga: "Buuk...!"
"Huugh...!" Saga mendelik dan susah bernapas. Matanya membelalak,
wajahnya merah. Mulutnya semakin
cengap-cengap. la terbungkuk-bungkuk
sambil memegangi perut. Nyalinya
memang besar, tapi ngawur. Ia maju,
mendekati Kenanga. Lutut Kenanga
menghentak ke atas ketika Saga mau
memeluk perut Kenanga. Hentakan lutut
mengenai wajah Saga, lalu hidung anak
itu berdarah. Kenanga tidak memberi ampun
sedikit pun, ia segera memukul pipi
Saga. Kenanga menendang lagi perut
anak itu hingga Saga terguling-guling.
Berteriak pun ia tak mampu. Tetapi
Kenanga tetap akan membunuhnya. Ia
melompat dan hendak menginjak dada
Saga. "Gilaaa...!!" seru Suro Bodong dengan mata melotot.
2 SURO BODONG segera melompat ke
arena dan berguling dua kali di atas
lantai panggung. Tepat ketika itu kaki Kenanga menghentak ke arah dada Saga.
Kaki kanan Suro Bodong menahan
hentakan kaki Kenanga. Kedua telapak
kaki itu tepat beradu, dan Suro Bodong menghentak ke atas. Kenanga terpental
tinggi, kemudian ia segera bersalto
dan mendarat dengan kaki yang
sempurna. Tepuk tangan penonton menjadi
riuh. Ada yang berseru:
"Ini baru hebat...!"
Suro Bodong mencengkeram baju
Saga dalam posisi masih merangkak, dan wajahnya dekat dengan Saga. Ia
membentak: "Kamu edan betul apa, gila
sungguhan, Bangsat!!"
Saga meringis kesakitan dan
berusaha untuk bernafas. Pada saat
itu, Kenanga menyerang Suro Bodong
dengan tendangan kaki kanan ke arah
punggung Suro Bodong. Tetapi sambil
mengomeli Saga, Suro Bodong tetap bisa mengadukan telapak kakinya dengan
telapak kaki Kenanga. Dan hentakan
kaki Suro Bodong begitu cepat serta
kuat, sehingga kali ini Kenanga
terpental sampai terjatuh di lantai
panggung. Suro Bodong jengkel sekali kepada
Saga. Ia mencengkeram baju Saga dan
menentengnya untuk berdiri. Ia berseru hingga ludahnya muncrat:
"Anak sinting! Bodoh...! Kalau
tidak punya ilmu silat jangan sombong
di atas panggung ini, tahu"!"
"Lepaskan anak itu! Dia harus
kubunuh!" teriak Kenanga seraya
menyerang Suro Bodong lagi.
Tetapi Suro Bodong bagaikan tidak
mendengar kata-kata Kenanga. Ia tetap
marah-marah kepada Saga.
"Nyawamu cuma satu, tolol! Jangan sia-siakan untuk berbuat bodoh! Kata
orang begitu!"
Sambil tangan kanan Suro Bodong
menangkis pukulan dan tendangan
Kenanga, tanpa ia menoleh ke arah
Kenanga. ''Senjata manusia bukan hanya
nekad seperti kamu!"
Seraya kakinya menjejak ke
samping dan mengenai paha Kenanga.
Kenanga semakin penasaran. Ia
menyerang dengan pukulan tangan kanan
dan tangan kiri maju bersama. Tetapi
Suro Bodong masih melotot ke arah Saga yang cengap-cengap.
"Bodoh sekali kau ini, hah"!"
Sambil ia menggerakkan tangan dan
kakinya untuk menangkis serangan
Kenanga. "Kalau kau tidak bisa silat,
jangan coba-coba menyerang tahu?" Suro Bodong berkata kepada Saga tapi
tangannya memukul siku Kenanga dengan
keras. "Auuw...!" Kenanga menjerit
kesakitan. Ia segera mengambil posisi
dari depan Suro Bodong. Tetapi Suro
Bodong tidak menyambutnya dengan
terang-terangan. Ia bahkan memutar
tubuh yang ditentengnya seraya
berkata: "Kalau kau mati, apa untungmu"
Kalau kau menang, itu mustahil tahu"!"
Tepat pada saat itu Suro Bodong
menggerakkan kaki kanannya ke samping.
Gerakannya begitu cepat dan beruntun.
Tujuh kali tendangan beruntun itu
mengenai dada Kenanga. Tak seorang pun tahu bahwa sebenarnya Suro Bodong
telah menyerang Kenanga dengan jurus
tendangan Ayam Kawin.
Tubuh Kenanga yang limbung ke
belakang dengan memuntahkan darah dari mulutnya masih tidak diperhatikan Suro
Bodong. Ia bahkan menenteng Saga turun panggung sembari masih mengomel tak
karuan. Yang diomeli hanya mendesah
dan mengerang samar-samar.
Suro Bodong 02 Pedang Urat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
''Tunggu...! Kau telah melukaiku!
Kau harus mati...!" teriak Kenanga sambil mengejar Suro Bodong. Ia
mencabut pedangnya dan melayangkan
tubuhnya dalam posisi kedua tangan
memegangi pedang yang teracung ke
depan, ke arah punggung Suro Bodong.
Tetapi Suro Bodong tidak mau menoleh
sedikit pun sekali pun banyak orang
berteriak, "Awass...!" Suro Bodong hanya meletakkan tubuh Saga ke lantai
pinggir. Tepat pada saat itu tubuh
Kenanga dan pedangnya meluncur di atas kepala Suro Bodong. Ia menggerakkan
tangan kanannya ke atas dengan cepat
dan keras. Pukulan itu mengenai perut
Kenanga sehingga perempuan itu
melintir ke samping dan jatuh tak
mampu menjaga keseimbangan tubuh. Suro Bodong pun segera melesat membawa lari
Saga dari arena.
Rogama tidak mau tinggal diam, ia
segera melesat juga mengejar Suro
Bodong. Gerakannya kurang lincah namun cukup berani. Ia melompati kepala demi
kepala penonton yang dijadikan tumpuan kakinya. Ia berteriak-teriak kepada
Suro Bodong: "Hei, berhenti...! Berhenti!
Kalian harus mati dulu baru boleh
lari...! Berhentttiii...!!"
"Buk..! Plak...! Pletok..!"
"Bangkai busuk! Kepala orang buat injak-injakan...! Kucing kudis...!
Monyet peot...! Sapi...! Kuda...!
Semut...!"
Semua orang mencaci maki Rogama
yang melompat dari kepala ke kepala.
Mereka menyerang Rogama dengan cara
apa pun. Ada yang memukul, ada yang
menghantam dengan kayu, ada yang
melempar batu, bahkan ada yang rela
kehilangan sandal bandolnya untuk
melempar muka Rogama. Akibatnya,
Rogama terhambat beberapa saat. Namun
kemudian ia dapat lolos dari keroyokan massa dan berlari lagi mengejar Suro
Bodong. Suro Bodong menyembunyikan Saga
di belakang sebuah lumbung padi milik
orang. Ia membersihkan darah dengan
baju Saga yang dilepasnya. Ia masih
mengomel terus sekali pun Saga sudah
melontarkan kata maaf berulangkali.
"Kalau punya otak dipakai. Jangan dibiarkan membeku di kepalamu! Kenanga itu
bukan orang sembarangan buat orang awam. Dia berdarah pembunuh. Sadis.
Kau bisa mati tanpa jasa apa pun jika
melawannya! Apalagi kau tidak
mempunyai ilmu silat sedikit pun.
Tahu"! Tahu kau"!"
"Sa... saya... saya hanya ingin
menari dengannya, seperti kata Bapak
tadi..." jawab Saga.
"Menari, menari...!" gerutu Suro Bodong. "Aku mengatakan mereka menari, karena
aku menganggap ilmu silat
mereka belum seberapa dibandingkan
dengan ilmu silatku. Tahu"! Dasar otak udang...!"
"Maaf, Pak. Saya...
saya... uuhhg...!" Saga nyaris terbatuk lagi.
''Sudah diam...! Jangan banyak
bicara dan bergerak...!"bentak Suro Bodong. Kemudian ia menelentangkan
tubuh Saga di tanah berjerami.
Suro Bodong memeriksa keadaan
sekeliling sebentar, ternyata aman.
Sepi. Maka segera Suro Bodong meludahi tangan kanannya tujuh kali. Telapak
tangan yang sudah diludahi itu segera
diusapkan ke dada Saga dengan gerakan
memutar perlahan-lahan Tujuh kali
berputar ke kanan, tujuh kali ke kiri, dan begitu dilakukannya berulang-ulang.
Sambil melakukan hal itu, Suro Bodong memejamkan mata. Memusatkan
pikiran untuk menyalurkan hawa murni
ke tubuh Saga. Mulanya Saga masih
mengerang menahan rasa sakit, tapi
lama-lama erangannya berganti desah
dengan nafas lega, lalu semakin hilang desahannya, dan diam. Tenang. Ia bagai
tertidur dengan nafas teratur. Tapi
tidak tidur sebenarnya.
"Bagaimana rasanya?"
''Yaah... lega dan ringan,
Pak..." "Jangan panggil aku: Pak. Aku
belum pernah kawin dengan ibumu!
Panggil saja... ah, terserah kamu. Aku salut dan kagum dengan keberanianmu
yang gila-gilaan itu. Aku suka sama
keberanianmu. Mulai saat ini kita
berteman. Mau?" Suro Bodong sedikit tersenyum. Saga mengangguk
"Atau anggap saja aku kakakmu.
Mau?" Saga mengangguk dan mengerlingkan
mata. "Jangan genit! Tak perlu
mengerlingkan mata segala!" kata Suro Bodong seraya menepuk pipi Saga. Tapi
anak muda itu masih mengangguk dan
mengerlingkan mata.
"Apa-apaan kamu ini" Genit amat
seperti perempuan saja!"
Saga masih mengangguk dan
berkerling. Suro Bodong mendengus
kesal. Ia berkata:
"Namaku Suro Bodong, kau boleh
saja me..." Suro Bodong berhenti
berkata setelah ia berdiri dan
berbalik ke arah belakangnya. Ternyata di sana telah berdiri Rogama dengan
beberapa bekas memar akibat keroyokan
massa tadi. Rogama memandang Suro
Bodong dengan sorot kemarahan yang
masih ditahan kuat-kuat dan akan
segera diledakan di situ.
Suro Bodong tertawa sendiri di
dalam hati. Ia garuk-garuk kumisnya.
Pantas Saga sejak tadi mengangguk dan
berkerling mata. Rupanya anak itu
memberi isyarat, bahwa di belakang
Suro Bodong telah berdiri musuh yang
siap melampiaskan kemarahan. Suro
Bodong geli sendiri karena mengira
Saga berlaku genit.
"Mau lari ke mana kau,
Pengecut"!" geram Rogama.
Suro Bodong garuk-garuk kumis
sebentar. "Lariku tak akan jauh.
Tenang saja," kata Suro Bodong kepada Rogama.
"Karena kau sudah melukai, dan
anak itu sudah berani menantang Putri
Kenanga, maka kalian berdua harus
mati!" "O, ya" Ah, aku tidak tahu kalau
ada peraturan seperti itu, Paman..."
Suro Bodong ikut-ikutan memanggil
'Paman' karena'ia mendengar Kenanga
memanggil Rogama: Paman.
"Supaya kau mati dengan jantan,
lekas pergi ke arena dan hadapi Putri
Kenanga." "Aku bukan pendekar sombong
seperti lawan-lawan Kenanga. Aku
pendekar baik-baik saja. Jadi, aku
tidak mau pergi ke arena dan bertarung dengan Kenanga. Lagi pula, kalau toh
aku menang, percuma. Aku tidak
bernafsu mendapatkan perempuan seperti Kenanga itu!"
Suro Bodong mencibir sinis,
sengaja menonjolkan kesombongannya
untuk menghina Rogama. Dan hal itu
membuat Rogama semakin panas hati. Ia menggeram dengan tangan mengepal
kencang. "Bicaramu sudah melampaui batas
kesabaran, Kadal! Mau tak mau aku
sendiri yang harus meremukkan mulutmu.
Hiaat...!"
Rogama menyerang dengan tendangan
lurus ke depan, ke arah dagu Suro
Bodong. Suro Bodong hanya menggerakkan dadanya miring ke samping sedikit ke
belakang. Kedua tangannya masih tetap
terjulur ke bawah dengan lemas. Pada
saat tendangan itu melesat mengenai
tempat kosong, kaki kiri Rogama segera menyusul dengan tendangan lompat ke
arah kepala Suro Bodong.
"Kadal buntung, rasakan tendangan yang ini, hiaat...!"
Suro Bodong memiringkan badannya
lagi ke samping lain. Ia hanya
mengelak, tidak menangkis atau pun
memberi serangan balasan. Dan waktu
kaki Rogama yang molos lagi, tidak
mengenai sasaran itu melesat, kaki
tersebut segera bergerak ke samping
kanan sebelum kembali ke tanah. Suro
Bodong merendahkan badan dengan cepat, dan kaki Rogama lewat di atas
kepalanya bagai kibasan pedang. Begitu kaki itu sampai ke tanah, Rogama
melancarkan pukulan gandanya ke arah
wajah Suro Bodong. Namun Suro Bodong
hanya berkelit meliukkan badannya ke
kanan dan ke kiri sehingga pukulan
Rogama tak satu pun ada yang menyentuh kulitnya.
"Kang.... serang dia, Kang
Suro...!" seru Saga yang masih duduk di tanah berjerami, bersandar dinding
belakang lumbung tersebut.
Rogama melesat ke atas. Badannya
yang gemuk seperti karung beras hendak jatuh dari langit. Tetapi gerakan
kakinya yang lurus ke samping cukup
membahayakan bagi Suro Bodong. Karena
itu Suro Bodong buru-buru berguling ke tanah menghindari tendangan tersebut.
Tapi pada saat itu, ketika tubuh
Rogama melayang ke atas dan Suro
Bodong berguling di bawahnya, Rogama
mengibaskan tangan kanannya.
"Juub...!"
Sebuah senjata rahasia berbentuk
segi tiga dari lempeng baja yang tajam menancap di tanah, tepat beberapa mili
dari pinggang Suro Bodong. Hampir saja pinggang Suro Bodong ditembus senjata
rahasia berbentuk segi tiga sama sisi
itu. Suro Bodong terbengong sejenak
melihat tanah yang dipakai menancap
senjata tersebut mengeluarkan asap
kuning kusam. Suro Bodong terbengong
segera meloncat menjauhi asap
tersebut. Matanya masih belum berkedip memandang senjata rahasia Rogama yang
aneh, sebab benda tersebut kini
menjadi merah membara, seperti besi
dipanggang dalam api yang panas.
Kemudian jerami di sekitar senjata itu ada yang hangus dan nyaris membakar
sekelilingnya. Suro Bodong segera
menginjak-injak api tersebut. Andai
tidak begitu, tentu akan terjadi
kebakaran di lumbung tersebut, dan
lumbung itu pun dapat terbakar
semuanya. "Suro...!" sapa Rogama yang tadi mendengar Saga memanggil lawannya
dengan sebutan: Kang Suro. "Kuingatkan sekali lagi, Suro, pergilah ke arena
secepatnya dan matilah di sana dengan
terhormat. Jangan kamu mati di sini
karena senjataku itu. Kau akan mati
tanpa kemegahan, tau"!"
''Terima kasih atas saranmu,
Paman. Tapi aku lebih suka kalau kau
mati di sini dulu, baru aku akan ke
sana menemui Kenanga dan melaporkan
kebodohanmu!" Suro Bodong tersenyum sinis. Ia garuk-garuk kumis sebentar.
Rogama menggeram kesal.
"Benar-benar tak patut diberi
kesempatan kau, Suro...! Jangan
menyesal kalau kau mati di sini juga,
hiaaat..!"
Rogama melompat ke atas seolah-
olah hendak menyerang dengan
tendangan. Tapi sebenarnya Rogama
hanya sekedar mengguncangkan
konsentrasi Suro Bodong, dan segera ia melayangkan senjata rahasianya yang
berbentuk lempengan baja segi tiga
itu. "Zeeet... suiing...!"
Senjata itu meluncur dengan
kecepatan yang tak terjangkau oleh
penglihatan mata manusia biasa. Tapi
karena Suro Bodong sudah terlatih
untuk melihat gerakan angin, maka ia
segera merundukkan kepala dan
membiarkan senjata segi tiga sebesar
tutup gelas itu melesat melewati
samping telinganya. Senjata itu
melayang lurus dan menancap pada
sebuah pohon yang jauh dari tempat
mereka bertarung.
Suro Bodong berguling ke tanah
beberapa kali. Lalu tubuhnya berhenti
tepat di bawah kaki Rogama. Segera
kaki Suro Bodong melancarkan jurus
Suro Bodong 02 Pedang Urat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tendangan Ayam Kawin yang cukup
membuat lawan kewalahan, dan tadi
sempat membuat Kenanga tak mampu
mengelak. Tendangan itu begitu cepat dan
bergerak tujuh kali secara beruntun.
Dari tendangan kaki kiri, ganti kaki
kanan tujuh kali menendang beruntun
dengan cepat sekali. Rogama
menggeragap dan tak sempat berteriak
kecuali mengangakan mulutnya. Posisi
tubuh Suro Bodong masih seperti
telentang di tanah dengan menggerakkan kakinya ke atas, mengenai paha, perut
dan selangkangan Rogama. Lalu ia
segera berdiri menghadapi Rogama yang
limbung. "Itu yang namanya Tendangan Ayam
Kawin, tahu"! Sekarang kau harus
merasakan jurus Keringat Onta ini,
haeeet...!"
Suro Bodong menggerakkan kedua
tangannya bersimpang siur di depan
mata, lalu meludahi kedua telapak
tangannya masing-masing tujuh kali.
Kedua telapak tangannya itu dimasukkan ke dalam baju jubahnya, disekapkan
pada ketiaknya, kemudian tangan
kirinya segera menampar mulut Rogama,
disusul dengan tangannya yang men-
cengkeram hidung dan mulut Rogama.
Lelaki gemuk bertubuh agak pendek itu
menggelepar-gelepar sejenak. Matanya
melotot, tangannya masih memegangi
bagian selangkangan. Lalu lelaki itu
melemas. Matanya sayu, dan ia jatuh
terkulai dalam keadaan pingsan. Itulah kehebatan jurus Keringat Onta dari
Suro Bodong, di mana lawan akan
terbius pingsan jika mencium bau dari
keringat dan ludah Suro sendiri. Itu
memang jurus yang jarang dipakai oleh
Suro sebab menjijikkan. Tapi jika
terpepet, apa boleh buat, daripada ia
membunuh lawannya.
"Ayo, lekas kita tinggalkan
tempat ini!" ajak Suro kepada Saga yang masih terbengong heran memandang
Rogama yang pingsan itu.
"Kang, ilmumu hebat juga, ya?"
"Ah, sudah...! Jangan banyak
memuji. Lekas kita pergi, Saga...!"
Suro Bodong menarik tangan anak muda
itu. "Ke mana kita pergi, Kang Suro?"
"Ke...?" Suro Bodong kebingungan.
"Ke mana sajalah..!"
"Bagaimana kalau ke rumahku?"
usul Saga. "Boleh. Eh, lihat itu..." Suro Bodong menuding ke arah di depan
lumbung padi tempatnya tadi. "Dia mencari kita, Saga. Untung kita cepat
pergi..." Seorang perempuan berpakaian
serba hijau berjalan pelan dan
clingak-clinguk. Dia adalah Kenanga
Hijau yang tentu mencari kepergian Ro-
gama, pengawalnya. Suro Bodong
menyelinap di antara tumpukkan batu
bata yang belum dibakar. Ia melewati
rumah orang bagian belakang, bahkan
terbungkuk-bungkuk menyelusup di bawah jemuran pakaian basah.
"Kenapa kau kelihatannya takut
dengan perempuan itu, Kang?" tanya Saga. "Padahal aku yakin kau bisa menang jika
bertarung melawannya. Ilmu silatmu cukup hebat."
"Aku curiga pada dia. Pasti ada
sesuatu yang ia inginkan. Ia punya
rencana sendiri, sehingga ia harus
menantang banyak pendekar. Mungkin
orang yang dapat mengalahkan dia
itulah yang ia cari untuk maksud
tertentu. Kau mengerti?"
Saga mengangguk Suro Bodong
bicara lagi sambil mengikuti arah
langkah kaki Saga yang menuju ke
rumahnya. "Dan, aku tidak mau mangalahkan
dia. Nanti malah terlibat urusan
dengan dia. Aku punya urusan sendiri."
'Urusan apa, Kang" Mungkin aku
bisa membantumu."
Suro Bodong melirik Saga
sebentar. Mempertimbangkan sesuatu,
namun akhirnya bicara juga yang
sebenarnya. "Aku mencari seorang perempuan
yang bernama Ratna Prawesti. Perempuan itu cantik. Kalau tersenyum ada lesung
pipit di pipinya. Tubuhnya lencir,
mirip Kenanga. Hidungnya mancung.
Matanya bulat bening. Ia memakai
gelang kaki perak bermata merah
delima. Apa kau pernah melihat
perempuan seperti itu, Saga" Dia
kekasihku yang sedang kucari!"
Saga menggeleng dalam bungkam.
Tetapi, beberapa saat kemudian ia
berkata sambil tetap melangkah:
"Kalau melihat perempuan seperti
itu, aku belum pernah, Kang. Tapi
kalau mendengar namanya... sepertinya
aku sudah pernah"
Suro Bodong bersemangat dan
segera bertanya, "Di mana kau
mendengar nama itu disebutkan" Di
mana" Atau... siapa yang
menyebutkannya" Siapa, Saga?"
Saga berkerut dahi beberapa lama,
mengingat-ingat. Lalu menggeleng. Ia
menjawab: "Entah. Aku tak ingat, Kang. Tapi aku yakin, aku pernah mendengar nama
itu disebutkan."
"Iya, tapi siapa yang
menyebutkan" Di mana kau
mendengarnya?"
"Entah. Sulit sekali kuingat!"
"Haahh...!" Suro Bodong mendesah lagi. Ia berhenti melangkah. Ia
memandang Saga. Dalam hatinya berkata,
"Anak ini mungkin bisa berguna
bagiku..."
Saga melihat rona kekecewaan di
wajah Suro Bodong yang bermata selalu
semburat merah tipis, seperti orang
mabok. Kekecewaan itu membuat rasa
haru di hati Saga, lalu ia segera
berkata: "Bersabarlah, Kang. Aku akan
selalu berusaha untuk mengingatnya.
Mungkin tidak sekarang, mungkin nanti, atau besok, atau... kapan saja aku
ingat, pasti kukatakan kepadamu."
Suro Bodong menghempaskan nafas.
Angkat bahu tanda pasrah, lalu garuk-
garuk kumis dengan telunjuknya. Ia
bertanya pelan, bagai tak bersemangat:
"Masih jauh rumahmu?"
"Tidak Itu, di balik deretan
rumah itu..."
"Ayo ke sana..!" ajak Suro Bodong dengan hati gundah sejak ia mendengar
kata-kata Saga tadi.
Saga buru-buru menggeret tangan
Suro Bodong dan bersembunyi di
belakang WC jamban. WC itu terbuat
dari bilik, bagian atapnya telah rusak akibat terbakar. Dan ternyata di depan WC
itu, juga di beberapa tempat
lainnya, banyak bangunan sisa
kebakaran yang masih berserakan. Belum dibangun lagi oleh bekas pemiliknya.
Ada sekitar empat atau enam rumah yang bekas terbakar. Suro Bodong menggumam
heran. "Hei," bisik Suro Bodong. "Mana rumahmu?"
Saga menuding. "Itu, yang ada di
bawah pohon kelapa tinggi itu...!"
"Lalu kenapa kita bersembunyi di
sini" Baunya aku tak tahan," sambil sesekali Suro Bodong mengibaskan
tangannya di depan hidung.
"Kau lihat rumahku?"
"Iya. Aku tahu, yang di bawah
pohon kelapa tinggi itu, kan?"
"Kau lihat di sekitar rumahku
itu?" Suro Bodong memperhatikan keadaan
rumah yang dimaksud Saga. O, ya... ada beberapa orang berseragam biru hitam
dan ada beberapa orang yang berkuda.
Mereka agaknya sedang memeriksa
keadaan sekitar rumah Saga. Ada yang
menggali di bagian belakang rumah, ada yang membongkar genteng bagian
pinggir, ada yang mengorek-ngorek
bawah tiang, dan mereka agaknya sangat sibuk.
'Siapa mereka itu, Saga?" bisik
Suro Bodong. "Mereka orang-orang Kepatihan
Benteng Cadas."
"Ooo..." Suro Bodong manggut-manggut. "Apa yang mereka lakukan di rumahmu itu?"
"Pasti mereka menggeledah seluruh isi rumahku! Sialan!"
"Apakah ayah-ibumu tidak
melarangnya jika begitu?"
"Ibuku sudah lama meninggal,"
jawab Saga pelan.
"Oh, maaf. Aku tidak
menyuruhnya," kata Suro Bodong tanpa menyadari arti kata-katanya. "Lalu,
ayahmu...?"
"Ayahku... ayahku sudah seminggu
ditawan oleh orang-orang Benteng
Cadas." Saga tampak sedih. Suro Bodong
mengusap ngusap kepala anak itu. Ia
mendesah lirih, ikut bersedih Saga
melanjutkan kata:
"Ia ditawan di sana. Katanya,
untuk menebus ayahku, cukup mahal.
Sebab itulah aku bertekad melawan
Kenanga tadi dengan meminta imbalan
uang banyak. Maksudku uang itu akan
kugunakan menebus ayahku..."
Suro Bodong tertegun sejenak,
matanya menyaksikan orang-orang
berseragam yang sibuk menggeledah
rumah Saga. Suro Bodong menarik kesimpulan,
bahwa Saga dalam ancaman bahaya. Pasti ia pun dicari oleh orang-orang itu.
Kasihan sekali anak ini, pikir Suro
Bodong. Tak ada waktu untuk
mengajarkan silat sebagai pegangan dan bekal Saga. Sebab itu, dengan cepat
Suro Bodong meraih bambu kecil.
"Astaga...! Mereka mengeluarkan
semua barang-barang di dalam
rumahku..." keluh Saga dalam bisikan.
Suro Bodong memandang kejadian itu
dengan tangan sibuk mematahkan bambu
kecil. Bambu tersebut dipatahkan
dengan tanpa mengakibatkan pecahnya
bambu itu. "Kang, lihat kekasaran orang-
orang itu...!" bisik Saga dengan
gemas. "Aku tahu," jawab Suro Bodong seraya mengintip bambu kecil itu yang
ternyata bolong melompong dan tidak
ada keretakan. Lalu ia segera membelah ujung bambu dengan kuku jempol
tangannya. Sulit sekali, namun
akhirnya berhasil. Ujung bambu
terbelah sedikit, itu sudah cukup.
"Kang, apa yang kau lakukan itu?"
"Tenang saja, Saga. Ini nanti
akan menjadi senjata buat kamu..."
jawab Suro seraya ia memandang ke
tanah sekeliling. Saga memperhatikan
dengan heran. Dalam hatinya bertanya-
tanya: bambu kecil, tak lebih dari
sejengkal, bagaimana mungkin bisa
dibuat senjata" Apalagi melawan orang-
orang Kepatihan yang berkuda dan
gagah-gagah semua. Belum lagi saat ini mereka berjumlah sekitar tujuh orang
berkuda, mana mungkin senjata bambu
kecil dan pendek itu bisa dipakai
untuk melawannya"
Suro Bodong benar-benar sibuk. Ia
meraih selembar pelepah pisang yang
sudah kering. Ia membesetnya, lalu
menggigit-gigit kulit pelepah pisang
itu. Susah sekali, namun akhirnya
berhasil. Ia memperoleh secuil kulit
pelepah pisang yang sudah kering,
namun masih alot. Kulit tersebut
berusaha disisipkan di antara ujung
bambu yang telah terbelah sedikit itu.
Susah, tapi akhirnya berhasil juga.
Suro Bodong 02 Pedang Urat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Saga masih terheran-heran dan
tidak mau banyak tanya, karena di
dalam hatinya juga penasa-ran: apa
yang akan dilakukan Suro Bodong yang
berambut tak teratur itu" Waktu Suro
Bodong memasukkan bambu itu ke
mulutnya dan meniupnya pelan-pelan,
barulah Saga tahu bahwa Suro Bodong
membuat sebuah peluit dari bambu
tersebut. Namun kali ini, Suro Bodong
membongkar lapisan kulit yang dijepit
di antara belahan ujung bambu. Ia
membetulkan letaknya sesaat, kemudian
meniupnya lagi dengan tiupan pelan-
pelan. Kemudian ia tersenyum lega
seraya memberikan bambu itu.
"Pakailah sempritan ini sebagai
senjata buatmu," kata Suro Bodong.
Saga masih heran sekalipun ia
menerimanya. "Senjata..." Senjata untuk apa
ini?" "Tiuplah...!"
Saga mencoba meniupnya dengan
pelan. Tak ada bunyi apa-apa yang
keluar dari peluit bambu itu.
"Mana bunyinya?" tanya Saga
heran. "Peluit itu sebenarnya berbunyi,
tapi telinga kita, pendengaran manusia tidak bisa mendengarnya. Suara yang
keluar dari peluit itu cukup tinggi,
di atas pendengaran manusia, sehingga
manusia tidak akan bisa mendengarnya."
Saga merasa sedang dibohongi oleh
Suro Bodong. Ia benrtaksud
membuangnya. "Ah, kamu bercanda dalam keadaan
begini, Kang...!"
"Eh, tunggu. Jangan dibuang!
Dengar,ya... peluit ini kuatur
suaranya melalui kulit gedebong pisang yang terjepit di ujungnya. Memang
suaranya tidak bisa kaudengar, sebab
seperti kukatakan tadi, suara peluit
ini di atas daya tangkap pendengaran
manusia. Tetapi hewan apa pun akan
mendengarnya. Dan hewan apa pun yang
mendengarnya akan merasa ditusuk-tusuk telinganya. Suara dari peluit ini
tidak akan disukai oleh hewan apa pun.
Kalau tidak percaya, coba kau tiup
dengan hempasan nafas agak keras."
Saga melakukan perintah Suro
Bodong, ia meniup bambu kecil itu
dengan tiupan agak kencang. Suro
Bodong melirik ke arah rumah Saga.
Pada saat itu, ada beberapa kuda yang
diikatkan pada pohon, dan ada yang
masih ditunggangi oleh orang-orang
berseragam biru hitam. Kuda-kuda
tersebut tiba-tiba meringkik bagai ada yang menggelitik. Bukan hanya satu
kuda, tetapi semua kuda meringkik
saling bersahutan.
"Lihat, kuda-kuda itu meringkik
dan bergetar-getar kakinya. Itu
pertanda suara ini bisa didengar oleh
kuda dan menggelitik telinganya."
Saga tersenyum bangga. Lalu ia
mengarahkan bambu itu ke rumahnya dan
meniupnya lebih keras. Tak ada suara
yang keluar dari peluit itu. Namun
kuda-kuda itu semakin meringkik bagai
jeritan, dan kaki depannya terangkat-
angkat. Penunggang kuda kebingungan
dan berusaha mengendalikan hewan
tersebut. Saga tertawa, "Hebat. Kau hebat, Kang!"
Salah seorang berseragam biru
huam berseru, "Hei, ada orang di sana!
Siapa itu"!"
"Gawat! Teriakanmu didengar oleh
mereka, Saga!"
3 SAGA sempat memasukkan peluit
bambu ke dalam kantong bajunya yang
berlengan panjang itu, sebelum orang-
orang berseragam biru hitam menangkap
mereka berdua. Suro Bodong dan Saga
berjalan dalam todongan dua orang
bersenjata tombak tajam. Masing-masing tombak panjangnya seukuran tubuh
manusia dewasa. Di tiap mata tombak
selain tajam dan berbentuk seperti
ujung panah, juga di bawah mata tombak itu terdapat duri-duri tajam. Tempat
yang bagai ditumbuhi duri itu kira-
kira sepanjang dua jengkal dari mata
tombak. Jika kulit manusia tersentuh
batang tombak bagian tersebut, sudah
pasti akan terluka gores beberapa
baris. "Apa yang kau lakukan mengintai
kami, hah"!" bentak seorang lelaki berewok dari atas punggung kuda.
Mungkin dialah pimpinan dari keenam
orang penggeledah rumah Saga itu.
"Kami tidak mengintai," jawab Suro Bodong dengan garuk-garuk
kumisnya tebal, bersikap tenang.
"Jangan-jangan orang ini ada
hubungannya dengan Ki Pupus," seru seseorang yang tadi terlihat mengorek-ngorek
tanah di bawah tiang rumah
belakang. "Kalau memang benar dia ada
hubungannya dengan Ki Pupus, berarti
dia juga tahu apa yang kita cari,
Brogo!" seru orang yang satunya lagi dengan memanggil Brogo kepada laki-laki
berewok di atas punggung kuda.
"Benar, kau ada hubungan dengan
Ki Pupus"!" tanya Brogo kepada Suro Bodong. Dengan santai, sebentar garuk-garuk
kumis, Suro Bodong menggeleng.
"Bohong! Kau pasti ada hubungan
dengan Ki Pupus!" bentak Brogo.
"Mengakulah sebelum kuseret kau ke Benteng!"
"Ki Pupus itu siapa" Pawang
hujan"!"
Brogo gemas melihat ketenangan
Suro Bodong yang berani bicara santai
sekali di depannya. Ia segera
memerintahkan kepada anak buahnya:
"Ikat kedua orang ini di pohon,
dan cambuk sampai ia mengaku...!"
Dua orang menyeret Saga dan Suro
Bodong ke sebuah pohon kelapa yang
menjulang tinggi. Salah seorang
mengambil cambuk dan tali dari pelana
kudanya. Sedangkan tiga orang yang ma-
sih di atas punggung kuda, demikian
juga Brogo yang bersenjata pedang di
pundaknya. Saga memang mempunyai nyali yang
cukup besar. Dalam suatu kesempatan,
sebelum tali datang untuk mengikatnya, ia berhasil meronta dan meloloskan
diri. "Aku tidak mau...! Aku tidak mau
dicambuk...!"
"Saga..."!" keluh Suro Bodong dengan kecewa, karena hal itu malahan
akan mencelakakan diri Saga. Padahal
Suro Bodong mempunyai rencana sendiri
untuk masalah ini. Tapi kini Saga
telah berhasil lolos dan berlari kian
kemari dikejar-kejar tiga orang,
termasuk si pembawa cambuk dan tali
yang dipakai untuk mengikat tubuhnya.
Salah seorang mengejarnya dengan kuda.
Dan yang lainnya segera membuat
barisan penghalang jalan dengan
menjajarkan kuda mereka di depan Saga.
Sementara itu, tangan Suro Bodong
belum terikat, namun masih dalam
todongan tombak.
Tiba-tiba Saga berguling-guling
di tanah sambil meniup peluit
bambunya. Kontan kuda-kuda
jejingkrakan, meringkik dan mengangkat kedua kaki depannya dengan hentakan
keras. Para penunggang kuda kewalahan.
Dua di antaranya terjatuh tak tentu
letak. Sementara dua kuda yang salah
satu ditunggangi Brogo meronta-ronta
dengan binal. Brogo terlempar dari
punggung kuda yang meringkik-ringkik.
Kuda-kuda itu mengamuk di tempat
tersebut dengan ringkiknya yang
menjerit-jerit membingungkan mereka.
Saat itulah Suro tersenyum, kemudian
segera menendang orang yang
menodongkan tombak ke arahnya. Orang
tersebut terpana oleh kejadian aneh
itu, maka dengan mudah Suro Bodong
menendang dadanya hingga orang itu
terpelanting jauh memur pohon kelapa.
Orang yang menodongkan tombak itu
hendak melemparkan tombaknya ke arah
Suro Bodong. Tetapi seekor kuda yang
brutal telah menyepak tengkuk
kepalanya dengan keras. Ia memekik dan jatuh tersungkur dengan wajah
membentur batu.
Orang-orang Kepatihan itu masih
bingung dan belum mengetahui mengapa
kuda-kuda mereka menjadi mengamuk
seperti itu. Dua penunggang kuda dalam keadaan patah kaki dan tulang pada
pundaknya. Mereka mengaduh-aduh seraya menggelosor di tanah. Kuda-kuda itu
berhenti meringkik, berhenti mengamuk, setelah Saga juga berhenti meniup
peluit bambu. Saga segera berlari ke
arah Suro Bodong.
"Kang, ayo kita lari...!
Lekas...!" Saga menarik-narik tangan Suro Bodong. Tetapi Suro Bodong
bertahan. Sorangbersenjata tombak
segera berlari menyongsong Suro Bodong
"Cepat cari tempat persembunyian
yang aman...!" perintah Suro Bodong kepada Saga. Saga pun lari ke puing-puing
bekas rumah tetangganya yang
sudah terbakar habis.
Suro Bodong melompat pada saat
tombak itu melesat ke arah perutnya.
Sambil melompat, kaki kirinya
menendang dagu orang tersebut sehingga orang itu mengaduh keras. Temannya
menyusul dengan tombak juga. Tetapi
sebelum orang itu dekat dengan Suro
Bodong, Suro telah lebih dulu
menghantam wajah orang yang mengaduh.
Pukulannya cukup kuat. Orang itu
melintir, dan kaki Suro Bodong segera
menendang kuat-kuat tulang rusuk orang itu. "Krak...!" Terdengar bunyi patah
dari tulang rusuk itu yang membuat
orang tersebut makin menjerit dan
jatuh ke tanah kelojotan.
Orang yang baru datang menusukkan
tombaknya ke arah kepala Suro Bodong.
Suro merunduk. Tombak itu menghantam
ke bawah Suro berguling mendekati kaki orang itu. Ia ditendang dan kena pada
bagian leher kirinya. Suro menjadi
telentang. Orang itu menghunjamkan
tombak ke perut Suro Bodong sambil
berteriak, "Hiaaaat..!!"
Kaki Suro Bodong bergerak bagai
kipas dan membuat tombak yang tinggal
beberapa senti dari dadanya itu
melesat ke arah lain karena
tendangannya. Kemudian Suro Bodong
menggerakkan kedua kakinya ke atas,
memutar, dan dengan punggungnya ia
berhasil melentikkan tubuh hingga
berdiri "Heaaat...!!"
Suro Bodong berteriak sambil
menendang dalam satu lompatan yang
manis. Baju jubahnya yang terbuka
bagian depan itu berkibar bagai sayap
garuda menghempas lawan. Orang yang
ditendangnya terbatuk-batuk dan
mengeluarkan darah kental dari
mulutnya. Suro Bodong tak memberi
waktu sedikit pun, ia segera menghan-
tam dada orang itu dengan siku tangan
kanannya setelah ia bergerak ke
samping orang tersebut. Siku itu
menyodok keras di ulu hati sehingga
lawannya terbeliak-beliak dan tak
mampu berteriak.
Empat orang sudah berhasil
dilumpuhkan, kendati yang dua menjadi
tak berdaya karena kakinya patah dan
pundaknya terasa sempal oleh amukan
kuda. Kini tinggal tiga orang
berseragam biru hitam. Mereka
Suro Bodong 02 Pedang Urat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kehilangan kuda, karena kuda-kuda itu
berlarian tak tentu arah setelah Saga
berhenti meniup peluit. Tinggal ada
satu kuda yang masih terikat tali
kekangnya pada sebuah pohon di samping rumah.
Brogo berdiri di depan Suro
Bodong. Pelipisnya berdarah akibat ia
terlempar dari punggung kuda tadi. Dua orang bersenjata bola rantai berduri
dan yang satu bersenjata tombak,
berdiri di samping kanan kiri Brogo.
Orang yang memegangi tombaknya itu
sudah memar matanya akibat ia tadi
terlempar dari punggung kuda juga, dan entah kena apa matanya itu sehingga
bisa biru memar.
"Kuingatkan,"
kata Brogo menggeram. "Menyerahlah sebelum kami membunuhmu. Lebih baik kau berurusan
dengan Patih Danupaksi, atasan kami
itu di Benteng Cadas!"
Suro Bodong garuk-garuk kumisnya
dengan telunjuk. Ia mengangkat wajah,
sedikit mendongak dan memandang sinis
kepada Brogo. Suro Bodong berkata
juga: "Kuingatkan, pulanglah ke
atasanmu dan jangan ganggu kami lagi,
sebelum kalian kubunuh semuanya!"
"Siapa kau sebenarnya, Bajingan!"
"Aku..." Aku bajingan! Seperti
yang kau sebutkan tadi!"
"Bah! Kau belum kenal siapa aku,
kau tak akan berani berkata seperti
itu, Bajingan!"
"Ah, aku tidak perlu punya
kenalan seperti kamu. Untuk apa" Aku
sudah punya banyak kenalan bodoh,
mengapa harus mencari yang tolol
lagi?" kata Suro Bodong seenaknya.
Brogo menggeram dengan mata
melebar m-rah. "Jahanam!"
"Kau juga...!" jawab Suro Bodong kalem.
"Bangsat...!!" teriak Brogo.
"Kau juga bangsat!"
Brogo bernapas terengah-engah
karena amukan amarahnya. Suro Bodong
masih berdiri dengan tenang. Dagunya
sedikit terangkat, matanya agak
menyipit, kakinya terenggang tegap. Ia tidak menghidari tatapan mata Brogo.
Ia bahkan berkata:
"Mau apa kau"!"
"Serang...!" teriak Brogo kepada orang di kanan kirinya.
"Serang...!" teriak Suro Bodong yang kemudian terbengong karena
menyadari ia tidak punya orang di
kanan kirinya. "Ah, brengsek..! Biar kuserang sendirilah...!"
"Hiaaaat...!"
"Ciaaaat...!" Suro Bodong
berteriak tanpa bergerak. Hal ini
membuat Brogo memandang heran.
Brogo berkata dalam hatinya:
"Jangan-jangan aku berhadapan
dengan orang gila.."!"
Suro Bodong menggerakkan
kepalanya ke belakang dengan badan
melengkung ke belakang. Bola berduri
yang sebesar kepala bayi itu menyambar di depan hidungnya. Kalau saja kena,
hidung Suro Bodong bisa copot dari
wajah kasarnya.
Suro Bodong segera berguling ke
tanah mendekati pembawa rantai bola
berduri. Lalu dengan cepat kaki
kanannya menendang pinggang orang itu
dan segera ia berdiri lagi dalam satu
hentakan tangan ke tanah. Begitu
berdiri ia disambut oleh hunjaman
tombak orang yang lain. Suro Bodong
terpaksa melompat ke atas dan kakinya
berdiri tepat di atas batang tombak
tersebut. Pemegang tombak terpana
melihat ilmu peringan tubuh yang amat
sempurna dikuasai Suro Bodong sehingga mampu berdiri tegak di batang tombak
yang terjulur ke depan. Orang itu
mengibaskan tombaknya ke kanan dan ke
kiri, maksudnya supaya Suro Bodong
terjatuh. Namun tubuh sedikit gemuk
itu masih saja tetap berdiri tegak di
atas tangkai tombak. Bahkan kali ini
bergeser mendekati wajah orang
tersebut, dan ia menendangkan kaki
kirinya ke samping. Pinggiran telapak
kaki mengenai wajah orang itu.
"Aaaoow!!"
Orang itu menjerit seraya
memegangi matanya yang satu, yang
tidak memar. Saat itu, Suro Bodong
melompat ke arah lain karena bola ber-
duri menyambarnya lagi. Bahkan kini
bola berduri itu berputar-putar bagai
kipas angin, makin lama makin
mendekati kepala Suro Bodong. Suro Bo-
dong hendak berguling, namun putaran
bola berduri itu berubah posisi, kini
seperti menyambar bagian atas dan
bawah. Tentu saja kalau Suro Bodong
berguling ke tanah, ia akan terkena
sambaran bola berduri yang tajam.
Karenanya ia malahan diam di tempat.
Menonton ketrampilan putar bola
berantai panjang sambil garuk-garuk
kumisnya. Tahu-tahu bola itu meluncur ke
arahnya. "Weess..!" Hampir saja kepala Suro Bodong remuk terhantam bola
berduri yang terbuat dari besi itu.
Untung ia sigap dan segera berguling
ke bawah, kendati untuk itu ia
terpaksa mengadu dagunya dengan batu.
Lecet dagu itu tak dihiraukan. Suro
melihat ada kesempatan bagus di
depannya. Tangan musuhnya kebingungan
menarik rantai, sebab bola berduri itu menancap pada sebuah pohon. Kesempatan
itu dipakai Suro Bodong untuk
berguling sekali lagi dan melancarkan
Tendangan Ayam Kawin ke arah paha.
Tujuh kali tendangan beruntun ke
selangkangan. Orang itu menjerit
kesakitan dengan mulut ternganga
lebar. Suro Bodong segera berdiri
tepat kepalanya di bawah dagu orang
itu. Lalu ia menggerakkan pukulan ta-
ngan kirinya ke atas.
"Heaah...!!" Dan pukulan itu mengena telak di dagu orang tersebut.
Perut orang itu ada di depan hidung
Suro Bodong. Segera saja perut
tersebut ditebas oleh kedua tangannya
dengan pukulan samping telapak tangan.
Kedua pinggang yang dipenggal oleh
tangan Suro Bodong itu membuat perut
tersebut seperti dijepit besi besar
dan membuat orang itu susah bernapas.
Gerakan berikutnya takberbeda
waktu, yakni kedua tangan Suro Bodong
menapak di tanah, lalu dia
menggerakkan kakinya ke atas dengan
kuat. Tendangan sambil nungging itu
mengenai ketiak orang tersebut. Tangan itu lepas memegangi rantai bola
berduri, dan kaki Suro mengibas lagi
ke rusuk orang itu, sehingga orang itu terpental dan berguling-guling seraya
berusaha untuk berteriak dengan susah.
Brogo berlagak tenang. Bertepuk
tangan seenaknya dengan senyum sinis
memancarkan kebencian.
"Bagus sekali permainanmu itu,
Kawan..." kata Brogo.
"Ah, sudah lama aku bisa bermain
dengan bagus," Suro Bodong berlagak tersipu. Ia berdiri menunggu saat
tertentu di mana Brogo akan
menyerangnya. Ia sempat garuk-garuk
kumisnya dengan jari telunjuk
"Tapi aku, Brogo... belum tentu
bisa kau buat seperti dia..." kata Brogo seraya masuk selangkah demi
selangkah. "Ah, itu soal gampang!" kata Suro Bodong tak mau kalah gertak. "Aku bisa
menjagal kebo hutan kok!"
"Tapi aku bukan kebo, tahu"!"
bentak Brogo dengan mata melotot. Lalu dia segera mencabut pedangnya dari
punggung. "Ratusan orang sudah pernah
merasakan kehebatan pedang ini, tahu"!
Dan hampir semua yang pernah merasakan pedangku ini tak ada yang mau hidup
lagi." "O, ya" Aku belum merasakan.
Coba, kurasakan...!"
Brogo benar-benar panas hatinya,
merasa disepelekan oleh Suro Bodong.
Karenanya ia segera menyerang Suro
Bodong dengan satu teriakan yang cukup keras dan membuat Suro Bodong kaget.
Suro Bodong tidak main-main terlonjak
kaget karena teriakan itu, sehingga ia tertawa sendiri merasakan kelucuannya.
Namun tubuh Suro Bodong dapat mengelak tikaman pedang yang terarah kepadanya.
Hanya dengan merubah posisi kaki yang
tanya menghadap ke Brogo, kini kaki
kanan ditarik ke belakang dan dia jadi menghadap ke samping, maka pedang
Brogo molos melalui depan perutnya.
Tangan kanan menghantam
pergelangan tangan Brogo yang
memegangi pedang, dan tangan kiri
melebar ke samping dengan satu kepalan kuat. Kedua tangan yang bergerak
serentak itu membuat Brogo
terpelanting beberapa langkah, karena tangan kiri Suro yang bergerak bagai
sayap garuda melebar itu mengenai pipi Brogo. Suro Bodong berjalan menyamping
dengan mata melirik Brogo. Jarak
mereka cukup renggang, sehingga untuk
menyerang Brogo perlu melompat dan
bersalto di udara. Ia melayang
melewati kepala Suro Bodong.
"Hiaaaaaat...!!"
Pedang mengibas bagai hendak
membelah kepala Suro Bodong. Tetapi
Suro Bodong justru berguling ke tanah
sehingga jarak itu semakin jauh saja.
"Kau cukup alot, Bajingan!" geram Brogo.
"Memang. Aku sendiri heran,
mengapa aku tidak bisa mencicipi
pedang pembelah kayu bakar itu," ucap Suro Bodong dengan kalem. Ia garuk-garuk
kumis, lalu tersenyum. Hal itu
menambah kegemasan hati Brogo.
"Rupanya aku tak boleh main-main
lagi denganmu!" kata Brogo dengan kata-kata pelan dan tandas.
"Ya. Kurasa jangan main-main.
Pulang saja, nanti emak dan bapakmu
mencarimu, Nak!"
Brogo menggumam dalam geram yang
mata membakar darah. "Aku ingin tahu, sampai di mana kekuatanmu menerima
jurus Pedang Gunturku ini...!"
"Nah, begitu...! Dari tadi kek
dikeluarkan jurus pedang yang bisa
buat hiburan orang sunatan. Ayo...
jangan sungkan-sungkan...!"
Brogo tidak mempedulikan ucapan
tersebut. Ia segera merendahkan kedua
kaki yang mengangkang. Pedangnya
melintang di atas kepala. Tangan kanan memegangi tangkai pedang dan tangan
kirinya bagai mendorong sesuatu yang
berat dari batas pinggang sampai ke
atas, menyentuh pucuk pedang. Tangan
kiri itu mengusap tepian pedang dari
pucuk sampai ke tangkainya, lalu
menyatu dengan tangan kanan, memegangi tangkai pedang. Kedua tangan
menebaskan pedang ke arah samping
kanan, ke samping kiri, menarik ke
belakang, dan menusukkan ke depan
dengan satu teriakan keras:
"Heaaaat...!"
"Ziiing...!"
Keluar benang api dari ujung pe-
dang, berkelok-kelok melesat mengejar Suro Bodong. Gerakan benang api yang
berpijar merah itu seperti ular sanca
yang meliuk-liuk memburu mangsa. Suro
Bodong kebingungan, karena merasa
aneh. Ia segera melompat ke samping
kiri ketika benang api itu hendak
menembusnya. Tetapi benang api itu
mengejarnya dengan belokan yang tajam.
Benang api yang berpijar-pijar seakan
mempunyai nyawa untuk memburu mangsa.
Brogo tertawa terbahak-bahak
melihat kebingungan Suro Bodong
dikejar benang api yang bergerak
seperti ular sanca. Ia diam saja,
menjadi penonton yang penuh
kegembiraan.
Suro Bodong 02 Pedang Urat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mampus kau, Bajingan
tengik...!!" teriaknya di sela tawa yang terbahak-bahak
Suro Bodong berguling ke tanah
beberapa kali, tapi benang api
berpijar itu juga hendak menembus ke
tanah. Benda aneh bercahaya pijar itu
tak jadi menembus ke tanah setelah
Suro Bodong menghentakkan kaki,
melompat ke udara. Benda tersebut ikut melesat ke udara. Memang tak begitu
cepat jalannya, tidak seperti kilat
menyambar. Namun cukup membuat Suro
Bodong kebingungan. Dan jika sudah
kebingungan begitu, ia menjadi panik.
Atau jika panik ia menjadi kebingungan tujuh keliling. Ia tak tahu harus
berbuat apa kecuali berlari pontang
panting menghindari benang api itu.
Bahkan ketika Suro Bodong tergopoh-
gopoh mendekati pohon untuk
berlindung, benang api itu melesat
tertuju ke bagian kepala. Suro Bodong
merunduk. Benang api itu lolos lewat
di atas kepala Suro Bodong. Tetapi
benang api itu segera membelok,
kembali lagi menyerang dan mengejar
Suro Bodong, hingga lelaki berperut
sedikit buncit itu tersungkur jatuh
tengkurap karena tersandung akar
pohon. "Aaooww...!" pekiknya dalam
kebingungan. Ia panik dan benar-benar
gugup. Keringat dinginnya mengucur dan wajahnya sempat menjadi pucat. Ia
segera mengambil ranting pohon yang
kering. Ketika benang api itu
menyerangnya, ia merunduk dan ranting
itu menjadi sasaran benang api
tersebut. Tetapi justru menimbulkan
ledakan kecil yang apinya merontoki
rambut Suro Bodong. Kontan saja Suro
Bodong semakin jejingkrakkan sambil
menepak-nepak kepalanya, takut
terbakar. Ia masih berlari ke balik
pohon besar tanpa mempedulikan tawa
Brogo yang terpingkal-pingkal. Benang
api masih mengejarnya bagai tak kenal
lelah Saga melihat Suro Bodong
bersembunyi di balik pohon besar. Saga segera melambaikan tangan:
"Kang...! Sini...! Sembunyi di
sini...!" Suro sempat melihat ada tembok
hangus di tempat persembunyian Saga.
Pada waktu itu, benang api muncul dan
hendak menyerang leher Suro Bodong.
Secepatnya Suro Bodong beranjak dari
tempat itu dan berlari ke tempat
persembunyian Saga.
"Tenang, Kang... tenang...!" Saga menarik tangan Suro untuk bersembunyi
dari balik dinding hangus. 'Tenang,
benda aneh itu tidak dapat mengejarmu.
Dia tidak tahu kalau."
"Tidak tahu apa"! Lihat, benda
itu menuju ke mari...!" Suro Bodong menuding ke arah benang api berpijar
yang melesat ke arahnya.
"Apa kau tidak punya jurus
simpanan untuk melawan benda aneh itu, Kang?" tanya Saga. Dan seketika itu Suro
teringat suatu simpanannya, yaitu sebuah pedang.
Ia segera menarik napas dalam-
dalam, kemudian tangan kanannya
menggenggam pergelangan tangan
kirinya. Dan ia segera menghentakkan
tangan kanannya ke depan. Pada saat
itu, tangan tersebut sudah memegang
sebilah pedang putih yang memancarkan
sinar ungu. Itulah Pedang Urat Petir,
pusaka Suro Bodong yang dapat disimpan di dalam kulit lengan kirinya. Saga
membelalakkan mata memandang pedang
itu dengan perasaan heran bercampur
kagum. Suro Bodong tak sempat memberi
penjelasan apa-apa. Benang api yang
berpijar itu membelok, masuk di balik
dinding hangus. Suro Bodong menggerak-
kan Pedang Urat Petir ke arah benang
api tersebut. Dan benda itu menempel
pada ujung Pedang Urat Petir. Ia
menempel kaku seperti kawat berpijar,
lalu tak berapa lama padam, dan hilang begitu saja.
Brogo tidak tahu apa yang terjadi
di balik tembok hangus itu. Tetapi ia
masih tertawa-tawa dengan bangga
sambil berdiri, bersandar pada sebuah
pohon. "Mau bersembunyi di mana kamu,
Kunyuk"! Mau lari ke mana, hah" Tidak
mungkin kamu bisa lolos dari jurus
Pedang Gunturku itu. Huaaa, ha, ha,
haaaa....!" Brogo sengaja mengumbar tawa kemenangan.
Tetapi tawa itu menjadi reda.
Diam seketika dengan mata membeliak
lebar sewaktu Suro Bodong muncul dari
balik dinding hangus. Brogo tak sempat bicara melihat pedang bersinar ungu
tergenggam di tangan Suro Bodong. Ia
mulai tegang dan berdebar-debar. Sebab biasanya, orang yang dikejar benang
api tak pernah ada yang berhasil hidup lagi. Tapi sekarang, lawannya kali ini
justru tersenyum sambil
menghampirinya.
"Pusakamu cukup hebat, Brogo!
Cinta Sang Pendekar 1 Pendekar Rajawali Sakti 91 Ratu Intan Kumala Beruang Salju 9