Pencarian

Gajah Kencana 14

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 14


diperintah oleh sang prabu Kertajaya atau Dandang Gendis.
Prabu Kertajaya gugur dan sejak saat itu baginda Rajasa sang
Amurwabhumi dapat mempersatukan Daha dibawah
kekuasaannya. Baginda mengangkat Jayasaba sebagai raja
Daha untuk menggantikan Kertajaya.
Di kerajaan Si ngasari telah timbul peristiwa2 berdarah
yang menggemparkan. Baginda Rajasa sang Amurwabhumi
telah dibunuh oleh putera tirinya, Anusapati, putera Ken Dedes
dengan Tunggul Ametung yang dibunuh Ken Arok. Tetapi
belum lama Anusapati menjadi raja, dia telah dibunuh oleh
Tohjaya, putera Ken Arok dengan Ken Umang. Tohjaya naik
tahta. Tetapi hidupnya diliputi ketakutan dan kecurigaan
kepada siapapun juga, terutama kepada Rangga Wuni, putera
Anusapati. Dan kepada Mahisa Campaka, putera Mahsa
Wonga Teleng. Mahisa Wonga Teleng putera Ken Arok
dengan Ken Dedes, dengan demikian dia adalah saudara
seayah lain ibu dengan Tohjaya, tetapi saudara seibu lain
ayah dengan Anusapati. Karena Rangga Wuni, putera Anusapati dan Mahisa
Campaka putera Mahisa Worga Teleng, maka keduanya
merupakan saudara sepupu dari garis keturunan eyang
puterinya, Ken Dedes. Persekutuan antara Rangga Wuni
dengan Mahisa Campaka itu ditamsilkan oleh seorang
pujangga yang menulis kakawin Pararaton atau sejarah raja2
Singasari, sebagai 'sepasang ular dalam satu liang'. Dalam
persembunyian, mereka tetap bersatu.
Rangga Wuni dan Mahisa Campaka berhasil meruntuhkan
Tohjaya, yang karena keraton diserang telah melarikan diri
dengan menderita luka parah. Dalam perjalanan menyelamatkan diri ke daerah Katang Lumbang, Tohjaya telah
meninggal. Kemudian Rangga Wuni menjadi raja bergelar
Wisnuwardana dan Mahisa Campaka menjadi ratu angabaya
bergelar batara Narasingamurti. Baginda Wisnuwardana
menobatkan puteranya, Kertanagara menjadi raja Singasari.
Hampir duapuluh tahun lamanya Singasari dan Daha aman,
sampai kemudian tibalah saatnya Daha bangkit kembali.
Apabila di Singasari telah timbul peristiwa berdarah, bunuh
membunuh antara keturunan Ken Arok dengan keturunan
Tunggul Ametung akibat tuah dari kutukan empu G"ndring,
maka pemerintahan di Daha berjalan dengan aman dan
tenteram. Setelah raja Jayasaba maka raja Sastrajaya yang
memerintah sampai tigabelas tahun. Raja Sastrajaya diganti
oleh raja Jayakatwang. Pada saat itu yang menjadi raja di
Singasari adalah baginda Kertanagara. Setelah mendendam
selama duapuluh tahun, akhiruya raja Jayakatwang berontak
melepaskan diri dari kekuasaan Si ngosan. Baginda
Kertanagara gugur dan kekuasaan pindah ke Daha lagi.
Peperangan antara Singasari dan Daha itu baru selesai
setelah raden Wijaya, menantu dari baginda Kertanagara,
dengan melalui berbagai siasat dan usaha serta
menggunakan pasukan Tartar yang hendak menghukuin
baginda Kertanagara tetapi oleh raden Wijaya telah dialihkan
kepada raja Jayakatwang, berhasil mengalahkan Daha. Dan
setelah membasmi pasukau Tartar, akhirnya raden Wijaya
mendirikan sebuah kerajaan baru yang diberi nama Majapahit
atau Wilwatikta. Raden Wijaya adalah putera dari Lembu Tal dan cucu dari
Mahisa Campaka atau batara Narasingamurti. Karena Lembu
Tal adalah putera batara Narasingamurti. Dengan demikian
raden Wijaya atau yang kemudian menjadi raja Kertarajasa
Jayawardana, mempunyai garis keturunan dari Ken Arok
dengan Ken Dedes. Demikian renungan patih Dipa dalam menelusuri latar
belakang sejarah Majapahit. Dan dalam jalan penelusuran itu,
dapatlah ia menemukan titik2 hitam yang menjadi unsur
landasan suasana Daha saat itu. Rupanya pejuang2 Daha itu
memiliki dua alasan untuk berjuang. Pertama, raden Wijaya
yang menjadi pendiri kerajaan Majapahit adalah keturunan
dari Ken Arok. Dan Ken Arok, raja Singasari yang pertama
itulah yang menundukkan Daha. Dengan demikian orang
Daha menganggap Ken Arok dan keturunannya adalah musuh
bebuyutan orang Daha. Kedua, mereka sakit hati atas
tindakan raden Wijaya yang dianggapnya menghianati raja
Jayakatwang. Bermula raden Wijaya setelah baginda
Kertanagara gugur, pura2 menakluk pada raja Jayakatwang.
Oleh raja Daha, raden Wijaya diberi kepercayaan untuk
membuka hutan Terik. Lama kelamaan raden Wijaya
menyusun kekuatan untuk memberontak Daha. Dan kebetulan
pula datanglah pasukan Tartar yang hendak menghukum
baginda Kertanagara. Karena bagi nda sudah wafat, maka
dengan cerdik raden Wijaya membilukkan langkah pasukan
Tartar itu supaya menyerang Daha. Dengan demikian
hancurlah Daha. Patih Dipa merenung lebih lanjut. "Benarkah raden Wijaya
dapat dianggap berhianat seperti yang dituduhkan orang2
Daha dan pejuang2 Wukir Polaman itu ?"
Lama agak patih Dipa terbenam dalam renungan. Ia tak
lekas menjatuhkan penilaian. Karena setiap penilaian harus
ditinjau dan dipertimbangkan dan segenap segi kepentingan
dan sudut kenyataan. Tiba2 ia teringat akan tindakan raja
Jayakatwang sendiri terhadap baginda Kertanagara. Menurut
cerita dan beberapa orang, terutama dari Prapanca putera
Dang Acarya Samenaka, dharmmadyaksa ring Kasogatan
kerajaan Majapahit, ia mendapat kesan bahwa raja
Jayakatwang itu juga memberontak Singasari secara
menggunting dalam lipatan. Tak kurang2 kebaikan yang telah
dilimpahkan baginda Kertanagara kepada Daha, bahkan
putera raja Jayakatwang yang bernama pangeran Ardaraja
telah dipungut menantu oleh baginda Kertanagara. Baginda
Kertanagara memberi kepercayaan penuh kepada raja
Jayakatwang. Tetapi akhirnya raja Jayakatwangpun berontak
juga. "Salahkah tindakan raja Jayakatwang ini ?" bertanya patih
Dipa kepada dirinya sendiri, "ah, tidak" serentak ia teringat
akan kepentingan negara. Bahwa kepentingan negara itu, bagi
seorang ksatrya dan raja merupakan kepentingan yang
tertinggi. Memberontak atau berhianat dengan cara
menggunting dalam lipatan atau cara apapun juga, hanya
merupakan cara untuk mencapai tujuan yang berlandaskan
kepentingan negara di atas semua kepentingan.
"Dan andai raja Jayakatwang dapat menghancurkan
Singasari sehingga baginda Kertanagara tewas, bukanlah
kesalahan semata mata dari raja Jayakatwang. Tetapi juga
kesalahan baginda Kertanagara sendiri karena lengah
mengurus negara, karena lengah melakukan pengawasan
kepada Daha sehingga Daha dapat tumbuh berkembang kuat.
Jika kita sakit, bukan semata kesalahan penyakit itu tetapi pun
kita juga memikul kesalahan karena tak mampu menjaga diri,"
demikian pikiran Dipa bantah berbantah sendiri.
"Dengan demikian" pikir Dipa lebih lanjut "dari sudut
kepentingan negara, tindakan raja Jayakatwang itu tidak salah
karena raja itu hendak membangkitkan kembali kerajaan Daha
yang telah dikuasai Singasari sejak pemerintahan baginda
Rajasa sang Amurwabhumi"
"Jika demikian pula" penimangan patih Dipa melanjut pula
"raden Wijaya pun sama halnya dengan raja Jayakatwang.
Jika Jayakatwang bertindak demi kepentingan kerajaan Daha,
raden Wijaya pun bertindak demi kepentingan Singasari.
Hanya karena sudah terlanjur membangun kota Majapahit dan
dengan pertimbangan permusuhan bebuyutan Singasari Daha itu agar berakhir setelah muncul Majapahit sebagai
kerajaan baru, maka raden Wijaya tak mau membangun
kembali Singasari sebagai pura kerajaan"
Patih Dipa hentikan sejenak renungannya. Kemudian
mulai pula, "Baik raja Jayakatwang maupun raden Wijaya,
walaupun menurut masing2 fihak lawan dianggap berhianat,
tetapi keduanya telah bertindak menurut garis-garis
keksatryaan. Kedua-duanya telah merebut kekuasaan lawan
dengan peperangan. Kekuasaan mereka peroleh bukan sebagai hadiah yang
jatuh dari langit melainkan dengan pengorbanan keringat dan
darah, jiwa dan raga"
Tiba pada kesimpulan itu, patih Dipa menghela napas
longgar. Ia telah selesai meneropong suatu masalah yang
tampaknya tak berarti, tetapi sangat berarti bagi langkah2
tindakaanya sebagai patih di Daha. Kini ia tahu apa yang
harus dipentingkan dan didahulukan dalam menanggulangi
tugasnya. Pertama, keamanan. Kedua, keamanan dan ketiga, pun
keamanan. Jelas bahwa tugas yang dihadapinya di Daha itu,
hanya dalam soal keamanan yang paling penting dan paling
berat. Penting, karena keadaan di Daha beda dengan
Kahuripan. Sebagai daerah yang menjadi sumber kerajaan
sejak jaman Penjalu, Daha lebi h maju daripada Kahuripan.
Bangunan2 baik yang berupa keraton dan pura kerajaan,
maupun yang berwajud candi, kuil dan rumah2 suci, lebih
banyak dan indah dari Kahuripan. Dikata paling berat, karena
di Daha ia harus berhadapan dengan pejuang2 Daha yang
bergabung dalam Wukir Polaman. Dan apakah hanya dalam
Wukir Polaman itu saja yang merupakan wadah peijuangan
orang Daha" Ah, kemungkinan tidak. Kemungkinan masih
terdapat beberapa wadah atau himpunan lain lagi.
Menghadapi pejuang2 yang berjuang atas dua landasan,
untuk membangun kerajaan Daha lagi dan untuk membalas
dendam atas kematian orang2 tua mereka, patih Dipa
membayangkan suatu lawan yang berat.
Setiap perjuangan tentu harus memiliki landasan,
sebagaimana layaknya sebuah rumah dengan landasannya.
Tanpa landasan. rumah tak kokoh, mudah tumbang dilanda
angin. Tanpa landasan atau tujuan, perjuangan pun akan
gagal dan mudah hancur. Dan pejuang2 Daha itu mempunyai
landasan yang kuat, bahkan ganda dua. Patih Dipa tahu dan
menyadari apa arti sebuah perjuangan yang mempunyai
landasan itu. Ia tahu betapa kokoh pendirian warga Gajah
Kencana. Seharusnya Wukir Paloman tentu demikian juga.
Perjuangan adalah panggilan hati. Apabila yang
memanggil mulut, atau yang berarti menginginkan
keangkuhan, kesombongan dan kekuasaan serta lain2 yang
dapat dilakukan oleh wak atau mulut, maka perjuangan itu
takkan kokoh. Apabila yang memanggil perut, karena
menginginkan kenikmatan hidup, makan enak dan harta
kekayaan, maka perjuangan itupun akan lemah. Apabila yang
memanggil itu pikiran, di mana segala nafsu dapat
bersimaharajalela tak kenal batas kepuasannya, maka
perjuangan itu akan usang pula. Hanya perjuangan yang
menurut panggilan darah, akan hidup selama hayat masih
dikandung badan. Darah yang pernah tumpah dari bumi
kelahirannya, darah yang telah dialirkan oleh ibu Periiwi untuk
melahirkannya" darah pula yang menghidupkan jiwa dan
hidupnya. Maka perjuangan itu akan setegak gunung
Mahameru, sekokoh pohon jati yang tak lapuk dilanda hujan
panas, tak usang dimasai badai, tetapi jati itu merelakan diri
untuk dibelah dan dipergunakan tiang2 pembangun rumah.
Rumah untuk mengayomi para kawula bangsanya dan insan
manusia. Patih Dipa telah menghayati perjuangan sebagaimana
yang telah dituangkan oleh brahmana Anuraga kepada dirinya.
Dan kini iapun menilai perjuangan Wukir Polaman sesuai
dengan pola falsafah perjuangan Gajah Kencana.
"Mereka berjuang atas dasar yang luhur" diam2 patih Dipa
merangkai kesimpulan. Terhadap sesuatu yang memang baik,
ia tak segan mengatakan baik. Tak mau pula ia hanya
memandangnya dari segi kepentingan lain, dari kerajaan
Majapahit yang menderita ancaman orang2 Wukir Polaman
itu. Ia memisahkan dan menempatkan tujuan dan arti
perjuangan ditempat yang sebenarnya. Lepas dari persoalan,
mereka itu kawan atau lawan.
Patih Dipa seorang pejuang maka wajiblah ia menghormati
lain pejuang asal benar2 pejuang itu berjuang dalam landasan
juang yang luhur. Namun setelah menilai martabat perjuangan
mereka, bukan berarti bahwa patih Dipa akan membiarkan
mereka demikian saja. Ia sendiri tak tahu apakah dirinya telah digolongkan
sebagai warga Gajah Kencana. Tetapi ia teringat akan ucapan
brahmana Anuraga. "Masuk atau tidak menjadi warga Gajah
Kencana, tidaklah mempunyai arti yang besar. Yang penting
adalah sepak terjang dan sikap pendirian. Apabila sesuai
dengan nada perjuangan Gajah Kencana, dia adalah kawan.
Gajah Kencana tak membutuhkan jumlah warganya tetapi
mengutamakan jumlah mutu martabat pendirian warganya"
Demikian ujar brahmana Anuraga. Dan sejak itu Dipa pun
tak mempersoalkan tentang dirinya dengan soal warga Gajah
Kencana. Ia merasa perjuangan Gajah Kencana itu sesuai
dengan pendiriannya. Dan selama ini dia merasa selalu
dibayangi oleh bantuan2 yang tersembunyi dari Gajah
Kencana. Itu sudah cukup membesarkan hatinya.
Lepas dari persoalan dirinya dengan Gajah Kencana,
tetapi Dipa menyadari dirinya sebagai bhayangkara kerajaan
Majapahit. Kini sebagai patih Daha, salah sebuah bagian dari
inti negara Majapahit. Ia harus menyerahkan seluruh
pengabdian, jiwa dan raga, untuk menjaga dan menegakkan
kerajaan Majapahit. Menjaga dan menegakkan, bermakna
melindungi negara dari gangguan2 atau orang2, dalam bentuk
dan cara apapun jua. Wukir Polaman berdiri dalam garis
perjuangan yang bertentangan dengan Majapahit. Ia harus
menghadapi mereka. Baik sebagai seorang pejuang Majapahit
maupun sebagai seorang patih.
Demikian malam itu patih Dipa tegak di taman belakang
dari gedung kepatihan. Memandang cakrawala. Seolah
sedang menghitung-hitung mutiara2 di langit yang beribu-ribu
jumlahnya. Memang demikianlah mulai menjadi kebiasaannya,
yang diawali sejak ia menjaga keselamatan baginda
Jayanegara di desa Bedander.
Sampai larut malam ia gemar memandang cakrawala.


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kesunyian suasana dan keramaian bintang kemintang di
langit, merupakan dua hal yang berlawanan. Adakah sudah
menjadi kodrat Prakitri bahwa kehidupan berobah antara siang
dan malam" Siang, terang dan ramai di bumi. Malam,
berkilauan dan ramai di angkasa.
Timbul suatu gagasan yang aneh, mungkin karena
sekedar untuk 'cagak melek' atau penyanggah supaya jangan
ngantuk. Ia berusaha untuk menimbulkan pertanyaan
kemudian berusaha untuk menjawab. Pertanyaan tentang
benda2 yang memancar di langit, yang tak terhitung jumlahnya
itu. Apakah benda2 bergemerlapan memancarkan cahaya di
langit itu" Mengapa benda2 yang disebut orang sebagai
bintang. hanya keluar pada malam hari" Dan mengapa pula
benda2 itu tergantung dilangit saja dan tak dapat melayang
jatuh ke bumi" Pada waktu masih kecil, pernah ia bertanya pada seorang
tua di desa. Tetapi orang tua itu hanya membentak, "Perlu apa
engkau tanya soal bi ntang di langit" Bintang ya bintang, untuk
membantu menerangi malam apabila rembulan sedang
beristirahat. Hyang Murbeng Jagad telah menciptakan langit
bumi lengkap dengan isinya. Surya untuk menerangi bumi
pada siang hari dan rembulan serta bintang2 untuk menerangi
malam hari. Maka kita harus benar2 menyembah pada Hyang
Murbeng Jagad, rajin menghaturkan doa restu kepada-NYA.
Agar Hyang Murbeng Jagad tidak marah dan tetap
memberikan surya, bulan dan bintang kepada kita. Coba
engkau pikir, kalau Hyang Dewa Agung mengambil surya,
rembulan dan bintang, bagaimana nanti kita semua ini?"
Kala itu Dipa masih kecil, masih seorang anak desa yang
tak pernah diperhatikan orang. Ia harus sudah merasa
berterima kasih karena orangtua itu mau menerangkan
pertanyaannya, walaupun dalam nada tak senang.
Kala itu dia hanya seorang anak desa. Maka apa yang
diterimanya, dianggapnya benar. Sampai kemudian setelah ia
bertemu dengan wiku Kadipara paman dari rakryan Tanca, ia
mendapat keterangan lain. Berkata wiku Kadipara kepadanya,
"Bintang kemintang di langit itu adalah pantulan dari kegaiban
sari hidup dari semua hal, peristiwa dan insan manusia di
bumi. Jika engkau tak percaya, cobalah engkau buktikan apa
yang kukatakan sekarang. Lihatlah bintang2
yang memancarkan cahaya merah di langit itu. Telah kuperhatikan
setiap malam akan kemunculan bintang yang aneh itu. Bukan
saja makin lama makin membesar, pun letaknya makin
berkisar ke timur. Dan tahukah engkau bintang besar yang
bersinar terang gemilang memancar cahaya kebiru-biruan itu"
kata resi Kadipara seraya menunjuk ke langit.
Dipa pun menurut. Ia memang melihat apa yang ditunjuk
oleh orang aneh itu, "Engkau boleh percaya boleh tidak.
Bintang itu adalah pantulan atma seorang priagung besar.
Dalam pengamatanku selama bertahun-tahun, aku cenderung
untuk mengatakan bintang itu adalah bintang dari baginda
srinata Jayanagara yang sekarang ini. Karena bintang agak
suram terkena pancaran cahaya merah dari bintang yang itu,
maka tak berapa lama lagi baginda tentu akan mengalami
musibah besar." Dipa terkejut. Namun karena sampai beberapa lama tak
terjadi suatu apa sampai ia masuk ke Majapahit sebagai bekel
bhayangkara, maka iapun melupakan kata2 resi aneh itu.
Adalah setelah terjadi pemberontakan Dharmaputera dan
baginda terpaksa lolos dari keraton, barulah Dipa teringat akan
ucapan resi Kadipara beberapa tahun yang lalu. Maka setiap
malam, ia selalu tegak memandang cakrawala, mencari
bintang besar seperti yang pernah ditunjukkan resi Kadipara
itu. Ingin ia melihat lagi apakah bintang itu masih bersinar
terang atau sudah terlumur sinar merah semua. Ataukah
bahkan sudah lenyap. Tetapi sampai beberapa malam, tak juga ia bersua dengan
bintang yang dikehendaki. Selama berada di Bedander,
malam2 agak rnendung, bintang2 jarang tertampak menghias
langit. Kemudian kini, di taman belakang dari gedung kepatihan,
iapun tengah membenamkan perhatiannya memandang
bintang kemintang di langit. Namun karena ia tak tahu arti
daripada bintang2 itu dalam kaitannya dengan manusia dan
peristiwa di dunia maka iapun hanya melayangkan pikirannya.
Ingin ia tebang ke angkasa untuk melihat, apakah
sesungguhnya benda2 bercahaya terang di langit itu. Jika
benar bahwa bintang2 itu merupakan pantulan sinar gaib dari
atma manusia, maka teringatlah ia akan jenis serangga malam
yang disebut kunang2. Bukankah pada siang hari kunang2 itu
nampak seperti serangga biasa. Tetapi pada malam hari
badan serangga itu memancarkan sinar cahaya terang"
Demikianlah halnya dengan insan manusia, termasuk dirinya"
Apakah tubuh manusia itu pada malam hari juga dapat
memancarkan sinar cahaya. Ataukah atma itu pada malam
hari membubung ke langit, untuk menghadiri kehidupan
malam di angkasa" "Ah" Dipa geleng2 kepala, "masakan insan manusia
kupersamakan dengan kunang2" Menurut paman brahmana
Anuraga, manusia adalah mahkluk yang terkasih dari Dewata
maka diberi kedudukan yang paling tinggi dalam kehidupan.
Masakan kupersamakan dengan kunang2 saja?"
Patih Dipa menghela napas panjang untuk melonggarkan
kesesakan dadanya yang terhimpit oleh napas. Selonggar
napasnya, selonggar pula perasaan hatinya karena nyaris
membuat suatu penafsiran yang mungkin akan merendahkan
martabat manusia termasuk dirinya sendiri.
Tiba2 ia terkejut karena mendengar derap tangkah orang
berjalan menuju ke taman. Malam itu sunyi sehingga patih
Dipa dapat menangkap jelas langkah kaki yang mendebur
tanah. Ia tak mau beringsut melainkan tetap memandang
cakrawala malam. Langkah orang itu makin dekat dan ketika tiba di ambang
pintu, terdengar orang itu berseru, "Gusti, maafkan hamba ..."
"O, engkau Kumali" seru patih Dipa seraya masih
memandang langit, "mengapa engkau malam2 menghadap
aku di taman?" Pendatang itu seorang pengalasan bernama Kumali.
Dahulu dia seorang prajurit kepatihan. Karena kesetyaannya
maka ia ditetapkan menjadi pengalasan kepatihan. Kumali
terkejut karena melihat patih Dipa memandang ke langit tetapi
dapat mengenali siapa dirinya.
Diam2 patih Dipa geli dalam hati. Ia duga pengalasan itu
tentu terkejut karena ia mengenalinya tanpa melihat. Memang
selama melakukan ilmu semedhi menurut ajaran brahmana
Anuraga dan pandita Padapaduka, ia telah dapat
mempertajam indera pendengarannya. Ia dapat membedakan
langkah kaki dari beberapa pengalasan di kepatihan. Kumali
yang bertubuh tinggi besar, derap langkahnya jarang tetapi
mantap. Daksa, pengalasan yang bertubuh gemuk dempal,
berjalan dengan derap kaki pelahan, kemudian cepat lalu
pelahan lagi. Jaran Dawuk yang bertubuh kurus dan cacad
sebelah kakinya, berjalan cepat dengan dua macam derap,
berselang seling berat dan ringan kakinya mendebur tanah.
Maka dengan cepat patih Dipa dapat mengenali bahwa yang
datang saat itu tentulah Kumali.
"Katakan, apa maksudmu kemari?" patih Dipa mengulang.
Ia tahu bahwa pengalasan Kumali tentu tercengang heran.
Kumali tersipu sipu menjawab "Gusti patih, kami menerima
kunjungan dari raden Mahendra, putera mendiang gusti patih
Arya Tilam mohon menghadap gusti"
Patih Dipa terkesiap. Sejak menjabat patih di Daha, yang
pertama-tama dikunjungi selesai menghadap sang Rani,
adalah tempat kediaman mendiang patih Arya Tilam yang
digantikannya. Kepada nyi patih dan keluarga, ia menyatakan
ikut belasungkawa yang sedalam-dalamnya. Sesungguhnya
kepada Rani Daha, ia mohon supaya keluarga patih Arya
Tilam itu diperkenankan untuk mendiami gedang kepatihan.
Sedang ia sendiri akan menempati gedung yang lain. Tetapi
Rani tidak memperkenankan.
"Bangunan itu sudah kami tetapkan sebagai gedung
kepatihan. Siapapun yang akan menjabat patih, harus
menempati gedung itu" kata Rani Daha "untuk keluarga
paman Arya Tilam, telah kuperintah untuk membangun
sebuah tempat lain yang sesuai"
Kemudian iapun mengunjungi pula beberapa tempat
kediaman mentri dan narapraja serta Senopati Daha. Tak lupa
pada para pamegat yang menjabat kepala agama Syiwa,
Buddha dan Brahma. Sudah tentu kunjungan seorang mentri yang berkedudukan patih kepada orang2 yang akan menjadi
bawahannya, mengejutkan yang bersangkutan. Berturut-turut
dikunjunginya demung Rakat, kanuruhan Iwar, rangga Dipo,
tumenggung Pamor dan pamegat Dang Acarya Manmata.
Mereka termasuk mentri2 Daha yang tua, semenjak jaman
rahyang ramuhun Kertarajasa. Demikian pula dengan patih
Arya Tilam atau Purusa Isywara yang telah meninggal dan
digantikan patih Dipa. Bagi Dipa, walaupun kedudukan patih itu lebi h tinggi dari
mereka, tetapi karena usianya jauh lebih muda, tak segan ia
berkunjung lebih dulu. Pengalaman selama ini dalam
menghadapi orang, baik di kalangan tinggi maupun rendah,
mengajarkan kepadanya bahwa pada umumnya silat orang itu
suka dijunjungi atau senang dihormati. Tidak tentu
penghormatan itu harus berwujut sembah atau sujut, tetapi
budi bahasa yang ramah dan sikap rendah hati, cukup dapat
menawan hati orang, sekalipun orang bawahannya.
Para narapraja tua dari Daha itu terkesan menyambut
patih baru yang masih muda itu. Pertama, mereka mendapat
suatu kesan yang mengejutkan melihat tampang dan panca
indera patih itu. Jarang mereka melihat seorang yang memiliki
tampang dan indera yang sedemikian menonjol, memantulkan
suatu kewibawaan dan ketegasan. Kemudian dalam
pembicaraan, merekapun terkejut ketika menerima pertanyaan
dari patih baru. Pertanyaan yang mencangkup lingkup tugas
para mentri masing2. Masih begitu muda tetapi bicaranya
amat tangkas dan tiris, terutama dalam bidang keprajaan.
Misalnya, demung empu Rakat terpaksa harus
mencurahkan perhatian dikala menerima pertanyaan dari patih
Dipa mengenai keamanan. Daha.
"Tidakkah ki demung menganggap bahwa keamanan
Daha ini ibarat api dalam sekam. Di luar tampak tenang tetapi
didalam mengandung kemelut yang setiap saat dapat
meletus?" demikian patih Dipa melontarkan pertanyaan dikala
mendengar keterangan dari demung tua itu bahwa selama ini
keranian Daha aman2 saja.
Demung Rakat terkesiap. "Apakah yang tuan maksudkan
dengan api dalam sekam itu?" ia balas bertanya.
Patih Dipa juga terkejut sendiri karena merasa terlalu
keras bicara. Maka dengan nada yang tenang ia
mengemukakan tentang gerakan anak2 muda Daha yang
terhimpun dalam Wukir Polaman
"O" seru demung Rakat "soal itu memang pernah menjadi
bahan pembicaraan dalam rapat panca ri Daha yang dipimpin
oleh mendiang ki patih Arya Tilam"
"Bagaimana perhatiannya. keputusannya ?" patih Dipa tertarik "Kami telah mengadakan sergapan dan pembersihan ke
gunung Polaman yang kami duga tentu menjadi sarang
mereka. Tetapi tiada sesuatu yang kami ketemukan di situ"
"O" desuh patih Dipa agak terkejut "lalu di manakah sarang
mereka ?", Demung yang sudah berusia sebaya dengan mendiang
patih Arya Tilam itu memang tampak agak lamban. Tetapi saat
itu tampak wajahnya menberingas memancarkan semangat
kemudaan yang perkasa. "Wukir Polaman merupakan sebuah
himpunan rahasia. Atas perkenan gusti Rani, keranian Daha
telah mengumumkan bahwa perhimpunan itu dilarang. Dan
diserukan supaya anggota2 himpunan itu menyerah. Kerajaan
akan memberi ampun kepada mereka. Jika malu atau takut
menyerah, dianjurkan supaya mereka membubarkan diri"
"Bagus" puji patih Dipa "lalu bagaimana hasilnya. Apakah
mereka mau menyerah?"
Demung Rakat gelengkan kepala.
"Ataukah terdapat tanda2 himpunan membubarkan diri?" tanya patih Dipa pula.
itu telah "Sukar untuk dipastikan" kata demung Rakat "tetapi sejak
dikeluarkan pengumuman itu, selama ini mereka belum
tampak mengadakan suatu gerakan. Kecuali ...." demung itu
berhenti, tampak meragu. "Kecuali bagaimana, ki demung?" tanya patih Dipa dalam
nada yang datar, seolah tidak mendesak.
Setelah merenung sejenak, berkatalah demung Rakat
dengan nada yang rawan semu sesal. "Peristiwa itu
merupakan lembaran hitam yang hampir saja membawa
malapetaka besar pada keranian Daha. Walaupun gusti Rani
telah selamat dan tetap kokoh mengendalikan pemerintahan
Daha, namun jatuhlah korban seorang wreda mentri yarg
setya. Ah ...." Keterangan yang tiada berujung pangkal dari demung tua
itu, membuat patih Dipa terlongong heran. Apakah peristiwa
yang hampir membawa kehancuran pada keranian Daha"
Siapa wreda mentri yang menjadi korban" Betapa ingin patih
Dipa segera mengetahui hal itu namun karena melihat


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

demung Rakat tampak terharu, iapun terpaksa harus menahan
diri, menunggu dengan tenang.
Rupanya demung Rakat menyadari bahwa ki patih yang
berada dihadapannya itu tentu bingung mendengarkan
keterangannya. Sejenak ia menatapnya.
Diam2 ia terkejut karena melihat wajah patih Dipa tenang2
saja. Ia malu dalam hati sendiri bahwa sebagai seorang yang
lebih tua, telah mengunjuk sikap yang kurang hormat kepada
seorang atasan. Di samping itu iapun kagum bahwa seorang
patih yang masih begitu muda usia, ternyata memiliki
kesabaran yang besar. Jauh lebih besar daya kesabarannya
dari dirinya yang lebi h tua.
"Maaf, ki patih" akhirnya ia memperbaiki kesalahannya
"bukan maksudku hendak menyebabkan tuan menderita
menunggu keteranganku, melainkan karena hatiku terharu
apabila mengenangkan peristiwa itu"
Patih Dipa tertawa. "Ki demung, tidak perlu tuan harus
terburu-buru memaksa diri melepaskan dari rasa tegang dan
haru. Karena hal itu berarti bahwa tuan sangat perihatin sekali
dalam peristiwa itu"
"Benar ki patih" sahut demung Rakat "bukan melainkan
aku, pun seluruh mentri2 tua ikut perihatin"
"Apakah sesungguhnya perisdwa yang sedemikian besar
akibatnya itu?" akhirnya patih Dipa melangkah pada arah
keinginannya. Dan demung Rakat pun bercerita.
"Peristiwa itu menyangkut suatu percobaan untuk
membunuh gusti Rani. Pembunuhnya terdiri dari dua orang
yang mengenakan kain cadar penutup muka. Berani benar
kedua pembunuh itu. Mereka berani menyelundup masuk ke
dalam keraton dan langsung menghampiri tempat peraduan
gusti Rani. Yang seorang menjaga di pintu puri yang seorang
masuk ke dalam peraduan gusti Rani ...."
"O" tukas patih Dipa terkejut "hebat benar pembunuh itu.
Tetapi tidakkah puri keraton dijaga oleh prajurit bhayangkara?"
"Rupanya kedua pembunuh itu sakti mandraguna" kata
demung Rakat "prajurit2 itu tertidur semua. Kemungkinan
kedua pembunuh itu telah memasang aji sirap yang sakti"
Patih Dipa mengangguk-anggukkan kepala.
"Tetapi rupanya dewata masih melindungi gusti Rani dari
pembunuhan yang terkutuk itu. Pada saat si pembunuh
hendak melaksanakan maksudnya, tiba2 gusti Rani terjaga
dari beradunya dan sesaat melihat seorang berpakaian dan
memakai cadar hitam penutup muka, menghunus pedang,
gusti Rani menjerit. Rupanya pembunuh itu gugup. Apalagi
jeritan gusti Rani pada tengah malam yang sunyi telah
terdengar di luar puri. Tumenggung Pamor yang malam itu
mengepalai penjagaan keraton, segera berlari menuju ke
tempat peraduan gusti Rani. Pembunuh itu makin bingung
karena mendengar derap langkah prajurit2 di belakang puri,
berlari-lari mendatangi. Serentak pembunuh itu lari keluar dan
bersama kawannya berusaha hendak lolos"
Demung Rakat berhenti sejenak,
membayangkan lagi peristiwa malam itu.
seolah hendak "Malam itu aku terjaga kaget karena mendengar suara
bende bertalu-talu dan kentungan titir riuh. Segera aku
bergegas menuju ke keraton. Ternyata seluruh keraton penuh
dengan prajurit2 yang menghunus senjata dan sibuk berlarilari ke segenap ujung keraton. Aku segera menuju ke tempat
peraduan gusti Rani. Betapa kejutku ketika melihat ki rangga
Pamor tengah menginjak dada sesosok tubuh manusia
berpakaian hitam yang rebah di tanah. Beberapa prajurit
mengelilingi tempat itu, siap dengan senjata terhunus. Segera
aku meminta keterangan kepada ki rangga.
"Aku terkejut sekali setelah mendengar keterangan dari ki
rangga Pamor tentang peristiwa pembunuhan terhadap gusti
Rani. Segera terlintas dalam pikiranku saat itu, janganlah
pembunuh itu dibunuh dulu. Harus dipaksa supaya memberi
pengakuan dulu, siapa yang menyuruh mereka. Apabila tiada
yang menyuruh dan atas kehendak mereka sendiri, apakah
tujuannya hendak membunuh Rani. Rupanya ki rangga mau
mendengar anjuranku. Dan pembunuh yang sudah
berlumuran darah karena direncik oleh prajurit2 segera
diangkut ke sebuah ruang"
0o-..dwkz-mch..-o0 "Tetapi keadaan orang itu sudah amat parah sekali. Darah
tak henti-hentinya mengalir walaupun telah diusahakan
melumuri dengan ramuan obat penghenti pendarahan. Melihat
itu, segera kuperintahkan prajurit untuk meminumkan secawan
tuak, agar semangatnya tumbuh. Akan kugunakan detik2 yang
singkat itu untuk menggali
keterangan dari mulutnya.
Dengan janji dosanya akan
diberi pengampunan dan mayatnya akan diperlakukan
secara wajar, orang itu mau
juga memberi keterangan"
"Ternyata dia bernama
Seta Aguling, putera dari
bekel Bango Dolog, salah seorang hulubalang prabu Jayakatwang yang gugur dalam peperangan melawan pasukan Tartar dan raden Wijaya" "O" desuh patih Dipa "jika demikian dia tentu salah
seorang anggauta Wukir Polaman"
"Benar" demung Rakat mengiakan.
"Tentulah dia ditugaskan oleh Wukir Polaman untuk
melakukan pembunuhan kepada Gusti Rani" kata patih Dipa
pula. Diluar dugaan demung Rakat gelengkan kepala. "Tidak.
Seta Aguling membuat pengakuan bahwa rencana
pembunuhan itu sesungguhnya berasal dari dia sendiri karena
dia mencurigai kesetiaan kawannya terhadap Wukir Poliman"
"O" patih Dipa mulai agak terangsang perhatiannya
"siapakah kawannya itu?"
Menghadapi pertanyaan patih Dipa, kembali wajah
demung Rikat berkabut rawan. Ia menghela napas panjang.
"Ah" akhirnya ia berkata dengan nada tersekat "benar2 kami
tak pernah menduga sama sekali bahwa pembunuh yang
seorang itu, yang masuk ketempat peraduan gusti Rani, tak
lain .... adalah Mahendra ..."
Karena demung Rakat tak melanjutkan lagi, patih Dipa
cepat bertanya "Siapa Mahendra itu, ki demung?"
"Mahendra... Mahendra itu putera kakang patih"
"Paman patih Arya Tilam?" patih Dipapun terkejut.
Demung Rakat mengangguk sarat "Ya, memang putera
kakang patih Dyah Purusa Isywara atau Arya Tilam"
"Apakah paman patih Arya Tilam tak tahu hal itu ?" tanya
patih Dipa pula. Rupanya demung Rakat tak mau langsung menjawab
pertanyaan patih Dipa, ia hendak melanjutkan cerita secara
urut. "Seta Aguling percaya pada janjiku. Dia bercerita terus
terang. Dia telah dihasut oleh Kebo Angun-angun, seorang
anggota Wukir Polaman, supaya menguji kesetyaan
Mahendra. Karena mustahil Mahendra. putera patih Daha,
akan masuk menjadi anggota Wukir Polaman yang jelas
hendak menentang Daha dan Majapahit"
Patih Dipa mendengarkan dengan penuh perhatian. Dia
tak mengusik dengan pertanyaan lagi. Namun dalam hati ingin
juga ia mengetahui siapakah Kebo Angun-angun itu.
Rupanya demung Rakat menyadari ketiadaan lengkap
keterangannya. "Beginilah, ki patih. Menurut cerita Seta
Aguling, Kebo Angun-angun telah menjanjikan akan
memintakan Kepada ayahnya, Kebo Rubuh, supaya adik
perempuan dari Kebo Angun-angun diperkenankan menikah
dengan Seta Aguling. Ayah Seta Aguling adalah bekel Bango
Dolog dan ayah Kebo Angun-angun adalah Kebo Rubuh.
Bango Dolog dan Kebo Rubuh adalah hulubalang prabu
Jayakatwang yang tewas dalam medan pertempuran melawan
raden Wijaya. Termasuk Seta Aguling dan Kebo Angun-angun
putera2 dari para senopati hulubalang Daha yang binasa
dalam peperangan melawan raden Wijaya, semua bergabung
dalam himpunan Wukir Polaman. Mereka tetap melanjutkan
perjuangannya untuk membangun kembali kerajaan Daha dari
keturunan prabu Jayakatwang"
Sampai disini tak kuasa lagi patih Dipa menahan keinginan
tahunya. Serentak ia bertanya, "Paman demung, adakah
prabu Jayakatwang tiada berputera?"
"O, ada" kata demung Rakat "puteranya bernama raden
Ardaraja, diambil menantu oleh bagi nda Kertanagara dari
Singasari tetapi kemudian berpaling haluan balik ikut kepada
ramanya dalam peperangan Daha-Singasari"
"Dimanakah putera mahkota Daha itu sekarang?" tanya
patih Dipa. "Tentang pangeran itu, masih simpang siur keterangan
orang. Ada yang mengatakan tewas dalam peperangan
melawan pasukan Tartar. Ada pula yang mengatakan lolos
dan menyembunyikan diri di pegunungan. Sampai sekarang
belum terdapat bukti2 yang tegas, bagaimanakah sesungguhnya nasib pangeran Daha itu"
"Tidakkah dia menggabungkan diri dalam himpunan Wukir
Polaman?" tanya patih Dipa pula.
"Kemungkinan" sahut demang: Rakat.
"Apakah dia yang memimpin Wukir Polaman?" patih Dipa
coba2 mengail keterangan.
"Bukan mustahil" jawab demung Rakat "tetapi sampai
sekian jauh kami belum mendapat keterangan yang pasti.
Kurasa hal itu memang perlu diselidiki"
Diam2 patih Dipa mencatat dalam hati, soal diri Ardaraja
putera mahkota kerajaan Daha itu.
Kemudian demung Rakat melanjutkan ceritanya, "Karena
mendapat janji dari Kebo Angun-angun untuk mendapatkan
adik perempuannya, Seta Aguling mendapatkan Mahendra
dan menantangnya. Terus terang ia menyatakan kecurigaannya terhadap diri putera patih itu. Alasannya bahwa
ibu Mahendra itu adalah puteri dari mendiang patih prabu
Jayakatwang yang bernama Kebo Mundarang. Bahwasanya
Mahendra telah mendapat titah ibunya supaya menggabungkan diri dalam himpunan Wukir Polaman untuk
membangun kerajaan Daha lagi, tidak dapat diterima oleh
Seta Aguling....." Patih Dipa makin tertarik perhatiannya. Ia merasa telah
mendapat keterangan yang luas tentang keadaan para
mentri2 prabu Jayakatwang yang lalu. Dengan pengetahuan
itu dapat ia lebih leluasa untuk menyingkap tabir rahasia Wukir
Polaman. "O" desuh patih Dipa "adakah isteri paman patih Arya
Tilam itu puteri dari Kebo Mundarang, patih kerajaan Daha
yang lalu " Rupanya paman demung mengetahui jelas tentang
kissah mereka. Sekira paman demung longgar hati, senang
sekali aku mendengarkan sesuatu dari peristiwa2 yang
lampau dalam kerajaan Daha itu"
Dalam pembicaraan dari awal perkenalan dengan patih
Daha yang baru itu, demung Rikat mendapat kesan bahwa
patih yang masih muda usia itu, memiliki pandangan yang
tajam dan wibawa kepemimpinan. Rendah hati tetapi mengikat
rasa kepatuhan yang menyenangkan.
"Ada sedikit sejarah yang kuketahui tentang kerajaan
prabu Jayakatwang. Terutama tentang diri patih Daha yang
bernama Kebo Mundarang itu" kata demung Rakat "Waktu
melakukan penyerangan ke pura Singasari, patih Mundaranglah yang telah menjalankan siasat peperangan. Ia
memecah pasukan Daha menjadi dua, yang satu disuruh
menyerang dari utara Singasari di desa Mameling. Karena
mengira pasukan Daha benar2 melakukan penghianatan dan
mengira pula bahwa pasukan Daha menyerang dari Mameling
maka baginda Kertanagara lalu menitahkan raden Wijaya
membawa balatentara Singasari untuk menghadapi. Hal itu
makin menambah kekuatan pasukan Singasari yang sudah
banyak berkurang karena dikirim ke tanah Malayu, makin
kurang. Setelah mendapat laporan, maka patih Kebo
Mundarang segera memimpin pasukannya menyerang dari
selatan dan akhirnya berhasil menghancurkan pertahanan
pura Singasari. Baginda, patih Aragani, dan beberapa mentri
senopati tewas di keraton Singasari. Patih Kebo Mundarang
mengejar raden Wijaya ke Mameling. Karena dikepung dari
dua arah, raden Wijaya kalah dan melarikan diri tetapi tetap
dikejar oleh patih Kebo Mundarang. Hampir saja raden Wijaya
tewas karena hendak ditombak patih Kebo Mundarang itu
tetapi suatu keajaiban telah terjadi. Kaki raden Wijaya
memancal lumpur di pematang, lumpur muncrat mengenai
mata dan muka Kebo Mundarang sehingga berhenti dan
loloslah raden Wijaya dari ancaman maut. Kemudian setelah
raden Wijaya berhasil mengumpulkan pasukan dan dibantu
oleh pasukan Tartar, maka Daha dapat dihancurkannya. Patih
Kebo Mundarang berhadapan dengan Lembu Sora. Kebo
Mundarang kalah dan melarikan diri tetapi tetap dikejar. Tiba
di Trini Panti, Kebo Mundarang mau menyerah dan minta
jangan dibunuh. Ia bersedia menyerahkan puterinya kepada
Sora. Tetapi senopati pasukan raden Wijaya itu menolak.
Kebo Mundarang dibunuhnya ...."
"Kemudian entah bagaimana ketika sudah dapat


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengamankan Daha, raden Wijaya banyak memberi
pengampunan kepada mentri, senopati dan narapraja Daha
yang bersedia menyerah. Keluarga patih Kebo Mundarang
pun diberi ampun dan dibebaskan dari hukuman walaupun
dahulu beliau hampir saja dibunuh Kebo Mundarang"
"Sungguh luhur budi rahyang ramuhun Kertarajasa itu"
seru patih Dipa serentak "memang musuh yang sudah
menyerah wajib diampuni. Juga keluarga mereka, anak
isterinya, tak berdosa dan layak diberi kebebalan dari
hukuman" "Rahyang ramuhun Kertarajasa seorang raja yang
bijaksana dan luhur budi. Tetapi sayang tak kenal akan sifat
orang Daha. Mereka sudah duapuluh tahun merasa ditindas
oleh Singasari. Baru saja mereka berhasil mengalahkan
Singasari, atau sudah diserang dan dihancurkan oleh pasukan
Tartar atas permintaan raden Wijaya. Dengan demikian jelas
mereka tentu mendendam. Walaupun dimulut menyatakan
menyerah tetapi dalam hati mereka tetap mendendam.
Putera2 dari para senopati Daha yang binasa itu, setelah
besar segera menghimpun kekuatan dan mendirikan
himpunan Wukir Polaman. Cobalah ki patih renungkan.
Andaikata rahyang ramuhun bertindak keras membasmi
mereka, tentulah takkan terjadi kesulitan seperti yang kita
alami sekarang" "Ah" desah patih Dipa "nilai rahyang ramuhun itu seorang
raja, seorang ksatrya. Seorang ksatrya wajib berlapang dada,
bermurah budi untuk memberi ampun dan pengayoman
kepada siapapun yang telah menyerah dan mohon
perlindungan. Apabila putera2 senopati Daha itu kelak bangkit
hendak berjuang membangun kerajaan Daha lagi, itu hak
mereka tanpa mengurangi arti daripada nilai martabat rahyang
ramuhun Kertarajasa"
Demung Rakat terkesiap mendengar uraian yang bersifat
suatu pembelaan kepada tindakan rahyang ramuhun
Kertarajasa. Diam2 ia mengakui bahwa pembelaan patih yang
muda usia itu memang tepat.
"Bahkan setelah mengangkat kakang patih Dyah Purusa
Isywara sebagai patih Daha, rahyang ramuhun berkenan
menjodohkan puteri dari patih Kebo Mundarang kepada
kakang patih Isywara. Dengan tali perkawinan itu, rahyang
ramuhun hendak menghapus dendam keluarga Kebo
Mundarang dengan suatu kebaikan. Walaupun Kebo
Mundarang binasa, tetapi puterinya tetap menjadi isteri
seorang patih" "Sedemikian besar budi yang telah dilimpahkan rahyang
ramuhun Kertarajasa kepada keluarga Kebo Mundarang.
Tetapi mengapa isteri paman patih Arya Tilam masih
menitahkan puteranya, Mahendra, untuk menggabung pada
Wukir Polaman?" patih Dipa bertanya.
Demung Rakat menghela napas. "Dalam hal ini kita harus
mengakui, betapa besar rasa cinta tanah tumpah darah, yang
ditanamkan oleh mentri2 dan senopati Daha kepada putera
puterinya" Patih Dipa terkejut. Belum dapat ia mencapai
pemikirannya sampai pada langkah itu. Tetapi iapun mengakui
betapa besar pengaruh pendidikan orang-tua itu kepada
putera puterinya. Ia sendiri tiada ayah dan ibu sehingga tak
sempat mengenyam apa arti penggula-wentah atau
penempaan orangtua kepada anaknya. Namun ia berharap
bahwa setiap orangtua akan dapat mendidik putera puteranya
untuk mencintai tanah tumpah darahnya"
"Lalu bagaimana dengan peristiwa Seta Aguling itu, paman
?" ia meminta keterangan pula.
"Sudah tentu Mahendra marah karena sikap Seta Aguling
yang tak petcaya akan kesetyaannya terhadap Wukir
Polaman. Hampir saja keduanya berkelahi. Tetapi tiba2
muncullah Kebo Angun-angun yang melerai perselisihan
mereka. Ia mengatakan kalau hendak menguji keberanian,
bukanlah tempatnya apabila berkelahi dengan sesama kawan,
sesama rekan. Jika benar2 berani, alangkah baiknya
keberanian itu disalurkan ke arah sesuatu yang berharga bagi
perjuangan Wukir Polaman. Dan apabila berhasil, bukan saja
Seta Aguling akan mendapat kepercayaan penuh, pun bahkan
akan didudukkan dalam pimpiran Wukir Polaman. Atas
pertanyaan Seta Aguling, Kebo Angun angun menyatakan,
baiklah keduanya, Seta Aguling dan Mahendra, masuk
kedalam keraton dan membunuh Rani Mahadewi. Mahendra
terkejut dan termenung tetapi Seta Aguling dan Kebo Angun
angun tetap mendesak dan mengejeknya. "Ketahuilah,
Mahendra, bahwa setiap gerak gerikmu selalu diawasi o!eh
pimpinan Wukir Polaman. Terus terang, engkau masih
dicurigai keras. Hanya dengan seperti yang kuusulkan itulah
engkau akan bebas dari kecurigaan dan diterima dengan
penuh kehormatan oleh pimpinan kami" kata Kebo Angunangun. Juga Seta Aguling mengejeknya sebagai bukan
seorang jantan kareaa tak berani melakukan hal itu. Ia
bersedia menemani Mahendra masuk kedalam keraton ..."
"Akhirnya Mahendra menerima juga. Malam itu bersama
Seta Aguling ia menyelundup kedalam keraton. Tetapi malang
baginya, sebelum dapat melaksanakan rencananya, Rani
Daha sudah terjaga dan berteriak dan prajurit2 penjaga segera
menyergapnya. Karena gugup Mahendra terus lolos
meninggalkan Seta Aguling. Mahendra berhasil lolos karena
dia faham akan lorong2 dalam keraton. Tetapi tidak demikian
dengan Seta Aguling. Dia tak faham keadaan keraton dan
malam itu gelap. Ia tak dapat mengikuti dan kehilangan jejak
Mahendra. Akhirnya dia kesompokan dengan prajurit2 penjaga
dan dikepung. Akhirnya datanglah rangga Pamor. Seta
Aguling tak dapat berbuat banyak melawan rangga yang sakti
itu. Seta Aguling rubuh tersabat pedang rangga Pamor. Pada
saat rangga Pamor hendak menghabisi jiwanya maka aku pun
muncul dan mencegahnya. Hanya demikian pengakuan yang
kami peroleh dari mulut Seta Aguling. Karena kehabisan darah
akhirnya dia mati" Selama mendengarkan cerita itu, patih Dipa merenung
diam. Setelah demung Rakat selesai, baru ia mengajukan
pertanyaan. "Sungguh mengherankan kalau seorang warga
Wukir Polaman mau memberi pengakuan hanya karena
dijanjikan akan diberi pengampunan saja, paman demung"
"Benar, ki patih" kata demung Rakat "aku sendiripun curiga
dan menyangsikan keterangannya. Tetapi ada sebuah kata
dari mulut Seta Aguling yang terlontar keluar dikala ia
menghembuskan napas. Mungkin kata2 itu dapat kita jadikan
pegangan mengapa ia berbuat begitu"
"Apa kata terakhir yang dikatakannya?" tanya patih Dipa.
"Pada detik2 terakhir hendak menghembuskan napas,
Seta Aguling masih sempat menyumpahi Mahendra, rasakan
pembalasanku .... engkau menghianati' ...."
"Oh" desuh patih Dipa "dengan demikian ah, bagaimana
menurut pendapat paman demung ?" tiba2 patih Dipa berhenti
dan alihkan kata-katanya. Rupanya ia menyadari bahwa
sebagai seorang muda, kurang layak apabila ia berlagak lebih
tahu dari orang yang lebi h tua sekalipun dia orang
sebawahannya. "Kurasa tentu ada sesuatu di balik hubungan kedua orang
itu. Tentu sebelumnya telah terjadi suatu dendam antara Seta
Aguling dan Mahendra. Dan pada malam itu Seta Aguling
tentu menganggap Mahendra sengaja meninggalkannya agar
tertangkap" Patih Dipa menyetujui. "Kesimpulan paman sesuai dengan
kesanku. Jika karena soal dendam, kemungkinanlah apabila
Seta Aguling mau memberi pengakuan. Ia hendak membalas
dendam kepada Mahendra dengan memberitahukan siapa
Mahendra itu. Pikirnya, dia sendiri tentu akan mati. Hanya
dengan cara itu dapatlah ia membalas dendam kepada
Mahendra supaya ditangkap oleh kerajaan"
"Lalu bagaimana dengan mendiang paman patih Arya
Tilam dikala mengetahui peristiwa besar yang menyangkut diri
puteranya itu ?" patih Dipa beralih kelain pertanyaan.
"Ketika kakang Arya Tilam dititahkan menghadap gusti
Rani dan diberitahu tentang peristiwa itu, kakang Arya Tilam
pingsan karena kejutnya. Setelah ditolong, iapun nekad
hendak bunuh diri. Ia malu dan merasa berdosa besar kepada
gusti Rani. Walaupun perbuatan itu puteranya yang
melakukan tetapi sebagai ayah, ia merasa ikut bertanggung
jawab" "Bagaimana tanggapan gusti Rani ?" tanya patih Dipa.
"Gusti Rani berbanyak-banyak kata menghiburnya. Ia tak
percaya bahwa Mahendra putera patih Tilam akan melakukan
hal itu. Mungkin hanya siasat untuk mengacaukan suasana
keraton dan pemerintah keranian Daha. Kakang Tilam berjanji
akan menghadapkan puteranya kepada gusti Rani. Tetapi
sampai beberapa hari ternyata Mahendra tak pulang. Namun
gusti Rani seorang ratu yang bijaksana. Ia tetap tak percaya
Mahendra akan berani melakukan perbuatan yang sehebat itu.
Kemungkinan Mahendra diculik orang Wukir Polaman lalu
salah seorang anggauta Wukir Polaman menyaru sebagai
Mahendra, untuk membunuh Rani. Namun kakang Tilam telah
menderita kejutan hebat yang menggoncangkan pikirannya. Ia
jatuh sakit" Patih Dipa segera teringat akan ra Tanca yang katanya
dititahkan baginda ke Daha, "Bukankah baginda telah
mengirim rakryan Tanca untuk mengobati penyakit paman
Arya Tilam?" Demung Rakat menghela napas "Benar" katanya "tetapi
penyakit kakang Tilam itu bukan penyakit biasa melainkan
penyakit batin. Sudah tentu rakryan Tanca gagal untuk
menyembuhkannya" "Ah" patih Dipa mendesah ikut menyesal "lalu bagaimana
dengan berita Mahendra selanjutnya?"
"Sampai sekarang Mahendra tiada kabar beritanya lagi"
kata demung itu. Demikian percakapan dengan demung Rakat. Juga ia
mendapat keterangan yang sama dari kanuruhan Iwar, rangga
Dipo, tumenggung Pamor. Dalam berhadapan dengan
tumenggung Pamor, patih Dipa mengajukan pertanyaan,
"Adakah paman tumenggung percaya bahwa nyi patih Tilam
menyuruh puteranya bergabung dengan Wukir Polaman?"
"Dalam memberi keterangan tentang peristiwa yang terjadi
di keraton, terpaksa keterangan dari Seta Aguling itu kami
beritahukan kepada nyi patih. Ia terkejut sekali dan bersumpah
tak pernah menitahkan puteranya melakukan hal itu"
Sebagai patih baru, patih Dipa tak mengetahui jelas
bagaimana suasana keranian Daha. Bagaimana keadaan dan
suasana hubungan antara mentri2 dan narapraja. Bagaimana
pula kehidupan para kawula, keamanan dan kesejahteraannya. Maka ia belum berani mengambil
kesimpulan tentang peristiwa Mahendra. Namun ia merasa
bahwa di balik peristiwa itu tentu ada sesuatu yang belum
terungkap dan perlu diungkap. Adakah benar2 Mahendra telah
menghianati harapan ramanya. Adakah Mihendra benar2 telah
diculik dan diperalat oleh orang2 Wukir Polaman. Adakah
Mahendra mempunyai suatu rencana sendiri. Kesemuanya itu
memerlukan suatu penyelidikan.
0o-dwkz-mch-o0 II PUCUK DICIMTA ULAM TIBA menyatakan seseorang
yang telah mendapatkan sesuatu lebih daripada apa yang
diharap. Demikian perasaan patih Dipa ketika pengalasan
Kumala menghaturkan laporan bahwa raden Mahendra,
putera patih Purusa Isywara atau Arya Tilam telah datang
hendak menghadapnya. "Apa katamu" Raden Mahendra?" ia menegas untuk
menghilangkan keraguan pendengarannya.
"Benar, gusti patih" pengalasan Kumala mengulang
"memang raden Mahendra, hamba tak lupa kepadanya"
Sejenak patih Dipa menenangkan denyut darahnya yang
mendebur jantung. Kemudian ia berkata, "Bawa dia masuk ke
taman sini. Dan jagalah pintu gapura kepatihan. Siapkan
kawan kawanmu untuk meronda sekeliling kepatihan"
Pengalasan Kumala segera melakukan perintah.
Patih Dipa harus bergelut dengan serangan pertanyaan
yang dilancarkannya sendiri dan harus dijawab sendiri pula.
Serangkaian pertanyaan yang perlu dijawab antara lain,
benarkah Mahendra yang datang" Apakah tujuan putera patih
itu datang kepadanya" Jika Mahendra itu benar warga Wukir
Polaman, bukankah kedatangannya pada waktu malam
selarut itu, harus dicurigai itikad baiknya" Tidakkah Mahendra
akan membawa gerombolan Wukir Polaman yang mengepung
kepatihan secara tersembunyi"
Jawaban2 yang direkanya hanya berkisar pada 'mungkin
dan tak mungkin'. Mungkin Mahendra akan bertindak seperti
yang dibayangkan dalam prasangkanya itu. Mungkin pula
tidak demikian. Sesuatu yang berlandas diantara kemungkinan, masih sukar untuk menilai ketentuannya. Untuk
menyongsong sesuatu yang masih dibayang kemungkinan itu,
tiada lain cara kecuali harus siap menghadapi apabila
kemungkinan itu benar terjadi dalam kenyataan dan apabila
tidak. Jadi kesimpulannya, hanyalah harus waspada dan siap
siaga. Tepat pada saat pikiran patih Dipa telah tiba pada titik
kesimpulan, terdengarlah derap langkah orang menghampiri
ke taman belakang. Dari debur langkah yang agak kerap itu,
cepat ia menduga bahwa yang datang itu paling sedikit tentu
dua orang. Dan tak perlu ia harus menduga-duga karena pada
lain saat, muncullah pengalasan mengiring seorang pemuda.
"Raden, maaf" tiba2 pengalasan Kamali terdengar
membuka suara "hamba terpaksa menjalankan tugas untuk
menggeledah raden dan mengambil senjata apabila raden
membawanya" "Silahkan" seru sebuah suara yang bernada tenang.
"Kamali" mendengar itu patih Dipa cepat berseru "siapa


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang engkau antar itu" Raden Mahendra?"
"Benar, gusti patih" sahut Kumali.
"Silahkan mengantarnya masuk" seru patih Dipa dengan
nada memerintah. "Tetapi gusti patih ..."
"Antarkan masuk!" teriak patih Dipa agak keras dan
pengalasan itupun tersipu-sipu mempersilahkan Mahendra
masuk ke dalam taman. Agak terkejut patih Dipa menyambut kedatangan putera
patih Arya Tilam yang bernama Mahendra itu. Seorang
pemuda yang masih muda belia, bertubuh langsing, tampan,
memiliki sepasang gundu mata yang indah di bawah naungan
bulu alis yang lebat. Saat itu dia mengenakan pakaian warna
hitam sehingga ketampanan wajahnya yang berselaput kulit
kuning, makin tampak jelas. Wajah yang menampilkan darah
seorang pemuda keturunan priagung.
Tidak lebih kecil kejut Mahendra ketika berhadapan
pandang dengan patih Dipa. Ia membayangkan patih yang
baru itu tentu seorang pria yang sudah agak tua atau mungkin
sudah setengah baya. Seorang mentri yang bengis mungkin
angkuh. Setitik pun ia tak pernah menyangka bahwa patih
baru itu ternyata hanya seorang muda yang tak berapa banyak
jarak usianya dengan dirinya. Jika lebih tua, pun hanya
beberapa tahun saja. Dan yang mengejutkan perasaan
Mahendra, patih muda itu memiliki tampang muka yang luar
biasa. Indera pada mukanya serba besar, terutama gundu
matanya bundar dan bersinar tajam. Jidat lebar dari seorang
ahli pemikir dan bibir tebal dari seorang yang keras kemauan.
Selepas beradu pandang, Mahendra pun segera memberi
hormat "Mahendra menghaturkan sembah kepada gusti patih
dan mohon maaf....."
"Ah, raden" bergegas patih Dipa menyambut dengan
hormat balasan "janganlah raden berbahasa setinggi itu
kepadaku. Sebut saja kakang kepadaku"
Mahendra tertegun mendengar nada suara patih Dipa
yang berkumandang nyaring, mencerminkan kebersihan hati
dan memancarkan keramahan.
"Raden Mahendra" seru patih Dipa pula. Tetapi secepat itu
Mahendra menyambut "Paman patih, panggillah namaku saja,
jangan dengan sebutan lain"
Patih Dipa mengangguk dan berkenan dalam hati. Dengan
menyebut 'paman patih" itu, Mahendra masih menempatkan
Dipa ke tingkatan yang lebih atas. Dan memang walaupun
masih muda tetapi dengan memangku jabatan setinggi patih
itu, layaklah kalau Dipa disebut paman. Dan patih Dipa tak
mau mempersoalkan hal itu. Segera ia akan meminta
keterangan pada putera patih itu. "Apakah maksud
kedatanganmu pada malam selarut ini?" katanya.
Sejenak Mahendra bersangsi, mengangkat muka
memandang ke sekeliling. Rupanya patih Dipa tahu isi hati
pemuda itu. Segera ia memerintahkan pengalasan Kumali
supaya kembali ke tempat penjagaan. Setelah itu ia
mempersilahkan Mahendra bicara.
Mahendra diam2 terkejut dan kagum atas kegesitan patih
muda itu bertindak. Disamping diam2 pun memuji atas
keberaniannya. Bukankah patih itu belum kenal kepada
dirinya" Bukankah patih itu tentu sudah mendengar berita
tentang dirinya dalam hubungan dengan peristiwa
pembunuhan Rani Daha dan Wukir Polaman" Mengapa tidak
setitikpun patih itu menaruh curiga kepadanya, tidak pula patih
itu menitahkan penjaga menggeledah dirinya. Bahkan tanpa
ragu2 patih itu telah menghalau pengalasannya supaya, pergi.
Namun ketika memandang sikap dan wajah patih muda itu,
seketika timbullah snatu perasaan patuh bercampur
mengindahkan "wajahnya menampilkan sikap percaya pada
diri sendiri yang kokoh" katanya dalam hati.
"Sekeliling taman ini bebas dari pendengaran orang.
Silahkan menguraikan maksud kedatanganmu" patih Dipa
mengulang permintaannya. "O, maafkan paman" Mahendra berseru gopoh "memang
bukan waktu yang layak apabila aku menghadap pada waktu
selarut ini. Kiranya paman tentu sudah maklum tentang
keadaan diriku" Patih Dipa mengangguk "Hanya keterangan dari beberapa
rakryan mentri dan senopati. Tetapi tentu tak semurni
keteranganmu sendiri"
"Tentu akan kuceritakan semua apa yang telah dan
sedang kulakukan setelah paman dapat memaafkan keadaan
yang memaksa aku harus menghadap pada saat2 begini
malam" "Tak apa" patih Dipa mengangguk.
Sambil memandang ke sekeliling lagi, pandang mata
Mahendra tertumbuk akan segunduk batu datar yang
membujur di bawah sebatang pohon nagasari. "Ceritaku ini
amat panjang, jika paman mengidinkan, mari kita duduk di
bawah pohon itu" Kembali patih Dipa mengangguk dan mengajak anakmuda
itu duduk di atas batu panjang di bawah pohon nagasari.
Keduanya duduk berhadapan dan mulailah Mahendra
melanjutkan ceritanya. "Apa yang paman dengar tentulah keterangan2 tentang
diriku, hendak membunuh gusti Rani karena ingin
membuktikan kesetyaanku kepada Wukir Po'aman"
"Keterangan itu berasal dari mulut Seta Aguling yang
diberikan kepada rakryan demung Rakat dan ki rangga
Pamor" kata patih Dipa "tetapi bagaimana keadaan yang
sebenarnya sudah tentu hanya engkau yang paling jelas"
Mahendra menghela napas tenang. "Memang sesuatu
tingkah besar harus meminta pengorbanan. Aku tak menyesal
karena diriku telah dicaci dan dihina sebagai seorang
penghianat, sebagai seorang pembunuh gusti Rani dan
ramaku. Memang hal itu sudah kuperhitungkan dengan
kesadaran" "O" desuh "artinya engkau memang telah melakukan
perbuatan2 itu dengan sadar?"
"Benar" Mahendra mengangguk "karena setiap hasil itu
harus disertai pengorbanan. Tanpa penderitaan, kebahagiaan
takkan menjelang tiba"
Patih Dipa terkesiap dalam hati. Setenang itu sikap dan
wajah Mahendra mengakui semua perbuatannya. Adakah
pemuda itu sudah mencapai kedudukan yang penting dalam
Wukir Polaman " Jika tidak masakan sedemikian berani ia datang seorang
diri dan sedemikian tenang ia mengakui perbuatannya. Namun
patih Dipa tak mau memperlihatkan kelemahan atau
kecemasan. Apa yang akan terjadi, akan dihadapinya.
"Dan tentulah menyelidik. engkau berhasil, bukan?" tanyanya "Hampir" sahut Mahendra.
"Hampir?" patih Dipa makin mengerut dahi. Keheranannya
makin menjadi, "apa maksudmu mengatakan begitu"
Bukankah engkau sudah diterima menjadi anggauta Wukir
Polaman dengan penuh kepercayaan dan kehormatan ?"
"Entahlah" sahut Mahendra "tetapi memang mereka
mengunjuk sikap lebih percaya kepadaku. Alangkah baiknya
pula apabila pembunuhan itu berhasil."
"Hm" desuh patih Daha "sayang juga ...."
Diam2 Mahendra terkejut mendengar patih itu hanya
memberi tanggapan yang begitu dingin. Padahal ia duga patih
itu tentu akan murka, paling tidak tentu menggeram.
"Apabila gusti Rani dapat kubunuh, tentulah aku diangkat
menjadi pimpinan mereka" rupanya Mahendra masih belum
puas karena tak berhasil memarang kemarahan patih Dipa.
"Apa arti pimpinan Wukir Polaman bagimu?" nada patih
Dipa mulai keras. "Besar sekali" kata Mahendra dengan nada bangga "aku
dapat melanjutkan perjuangan untuk menumbangkan
pemerintahan Daha, bahkan dapat kulanjutkan menuju ke
Majapahit" Patih Dipa mulai memberingas, "Benarkah itu yang
menjadi perjuanganmu ?"
"Benar, paman" sahut Mahendra datar seolah
menganggap patih Dipa seperti kawan seperjuangannya.
Kosong hatinya dari bayang 2 ketakutan.
"Apakah maksud kedatanganmu kemari harya untuk
mengabarkan hal itu?" patih Dipa menegas.
"Demikianlah" sahut Mahendra "agar kami tahu akan sikap
dan pendirian paman terhadap perjuangan Wukir Polaman"
"Pendirianku" kata patih Dipa dengan menegakkan kepala
"aku adalah bhayangkara negara Majapahit. Siapa yang
hendak mengganggu dan menentang Majapahit, akan
kuhadapi dengan sepenuh jiwa ragaku"
"Itulah pendirian Gajah Kencana" teriak Mahendra "adakah
paman seorang warga Gajah Kencana?"
"Tidak!" sahut patih Dipa sarat "perjuangan membela
negara Majapahit bukan milik Gajah Kencana semata tetapi
milik setiap orang, tua muda, besar kecil, laki perempuan,
yang merasa dilahirkan, dibesarkan, dihidupkan dan
dikebumikan dalam bumi Majapahit. Kecuali mereka,
manusia2 yang hianat"
"Lalu jika telah kulaporkan bahwa diriku ini anggota Wukir
Polaman, apakah tindakan paman terhadap diriku?"
Sambil menunjuk ke pintu taman, berkatalah patih Dipa
"Silahkan engkau pergi dari sini!"
"Mengapa tidak paman tangkap diriku?"
Patih Dipa tertawa hambar "Engkau tetamuku. Dan engkau
tidak melakukan sesuatu tindakan yang mengganggu
keamanan kepatihan ini. Maka cukuplah kupersilahkan engkau
pergi. Tetapi hendaknya ingat dan camkanlah. Dalam
kesempatan dimana kita saling berhadapan sebagai lawan,
janganlah engkau mengharap ampun lagi"
"Tetapi bukankah paman telah mengetahui bahwa aku
hendak membunuh gusti Rani Daha, tidakkah seharusnya
paman tangkap diriku?"
"Sudah jelas dalam pernyataanku tadi. Saat ini engkau
kuanggap sebagai tetamu. Tetapi pada lain perjumpaan, akan
kuperlakukan sebagaimana kedosaanmu harus diganjar. Nah,
silahkan engkau pergi sekarang"
Mahendra tersenyum menjamin kebebasanku ?"
"Sampai dimanakah paman Tak kalah tangkas penangkapan patih Dipa terhadap
maksud Mahendra. Cepat ia berkatata "Mahendra, aku
seorang pejuang juga. Walaupun kita berdiri pada garis yang
berlawan arah, tetapi aku tetap menghormati seorang pejuang
lain. Keselamatanmu kujamin hingga engkau mencapai
tempatmu" "Aneh" seru Maheudra "bukankah aku seorang anggauta
Wukir Polaman, mengapa paman patih masih mengatakan
aku seorang pejuang?"
"Karena engkau berjuang untuk Wukir Polaman. Wukir
Polaman juga suatu wadah perjuangan" kata patih Dipa datar.
Mata Mahendra membelalak "Ramaku patih kerajaan
Majapahit yang ditempatkan di Daha, dan aku masuk menjadi
anggauta sebuah himpunan yang hendak merobohkan
Majapahit. Bagaimana paman patih dapat menganggap aku
seorang pejuang?" Mahendra hendak memancing kemarahan atau keheranan
patih muda itu atas sikap dan ucapan ucapannya. Tetapi patih
itu tenang saja dan Mahendra sendiri yang terangsang
keheranan. Dia hendak memancing tetapi bahkan terpancing
sendiri. Patih Dipa tersenyum. "Bahwa engkau masuk ke dalam sebuah himpunan para
pejuang Daha, menandakan bahwa engkau seorang pejuang.
Salahkah kalau kusebut engkau seorang pejuang" Soal
engkau beda pendirian dengan ramamu, itu merupakan
kebebasan dan tanggung jawabmu peribadi. Demikian pula
setiap orang, pun bebas untuk memilih pendirian. Juga
sebagai seorang putera dan seorang patih Majapahit, engkau
masuk menjadi anggauta sebuah himpunan yang menentang
Majapahit, bahwa sebagai seorang putera Majapahit engkau
hendak menentang Majapahit, itu hak peribadimu sendiri.
Jangan engkau merasa malu atau marah kalau engkau
disebut penghianat, jangan pula engkau merasa terhina
apabila orang mengatakan engkau seorang putera yang
membunuh ramanya, menghianati negara dan rakyatnya.
Jangan takut, itu sudah menjadi pendirianmu, teruskanlah!
Karena engkau sendiri yang akan bertanggung jawab akibat2
dari perbuatanmu. Engkau sendiri yang akan memetik apa
yang engkau tanam. Maka aku tetap menyebutmu sebagai
seorang pejuang walaupun tujuan dan pendirian itu terbagi
dua. Pejuang membela negara dan pejuang yang menghianati
negara." Merah wajah Mahendra. "Eh, mengapa engkau tak mau segera pergi?" tegur patih
Dipa ketika melihat pemuda itu masih termangu.
"Paman, mengapa aku harus pergi apabila belum tercapai
maksud kedatanganku kemari?"
Patih Dipa terkesiap, "Apa engkau masih mempunyai
maksud lain" Bukankah sudah cukup lama kita berbicara
dengan jelas?" "Ya" sahut Mahendra "tetapi baru permulaan"
Patih Dipa terpaksa mengemasi sikap. "Mahendra
kuhormati engkau sebagai seorang tetamu, pula sebagai
putera dari paman patih Arya Tilam. Apa yang kulakukan
kepadamu hanya terbatas pada itu, jangan mengharap lebih
dari itu. Maka kupersilahkan engkau pergi."
Mahendra mengangguk tenang, sahutnya, "Kedatanganku
kemari, bukanlah untuk memohon hal2 yang paman merasa
dapat memberikan kepadaku itu. Tetapi aku mempunyai
tujuan sendiri" "Mengapa tidak engkau katakan sejak tadi?" tegur patih
Dipa.

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba2 Mahendra memberi hormat, "Maafkanlah kesalahanku, ki patih. Peristiwa ini memang gawat sekali. Oleh
karena itu aku harus meyakinkan diriku lebi h dahulu bahwa
rahasia ini akan jatuh ke tangan orang yang benar2 layak dan
cakap mengetahuinya"
Patih Dipa mengernyit dahi "Engkau membawa rahasia"
Bukankah rahasia tentang dirimu?"
"Benar, paman patih." Mahendra mengiakan, "Memang
rahasia tentang. diriku tetapi bukan seperti yang telah
kukatakan kepada paman tadi"
"O" desuh patih Dipa" masih ada rahasia lain lagi?"
Sejenak Mahendra mengeliarkan pandang mata ke
sekeliling taman itu. Setelah yakin bahwa taman itu sunyi tiada
orang lagi, barulah ia berkata dengan pelahan.
"Paman, maafkan kesalahanku. Sesungguhnya aku
sedang menguji paman sebelum kuhaturkan rahasia itu.
Ternyata paman, memang luar biasa. Seorang yang harus dan
wajib kuhaturkan rahasia itu"
Patih Dipa tenang2. "Sesungguhnya aku telah menyembunyikan keterangan
yang tak benar dalam pembicaraan tadi"
"Engkau bukan anggauta Wukir Polaman?" tukas patih
Dipa. "Anggautanya" kata Mahendra "kini aku telah diterima
sebagai anggauta penuh dari Wukir Polaman"
"Karena keberanianmu mengadakan percobaan hendak
membunuh gusti Rani ?"
Mahendra mengangguk "Benar. Tanpa itu tak mungkin aku
mendapat kepercayaan orang2 Wukir Polaman"
"O" desuh patih Dipa.
"Kutahu mengapa Seta Aguling mendesak aku supaya
masuk kedalam keraton dan membunuh gusti Rani. Dia telah
dihasut oleh Kebo Angun-angun dengan janji akan diberi adik
perempuannya untuk diperisteri. Aku terdesak karena alasan
yang dikemukakan Seta Aguling dan Kebo Angun-angun itu
memang kuat. Aku-pun terpaksa menerimanya. Tetapi diam2
aku telah menyusun rencana sendiri. Paman patih, adakah
paman percaya bahwa aku benar2 gagal membunuh gusti
Rani karena tiba2 gusti Rani terjaga dan berteriak "
Patih Dipa terkesiap, lalu terbeliak "Maksudmu ..."
"Paman tentu dapat menilai, jika berpuluh penjaga keraton
Daha dapat menghindari, masakan Mahendra yang sudah
masuk dan tinggal berhadapan dengan gusti Rani yang
sedang beradu nyenyak, tak dapat membunuhnya?"
"Oh" patih melakukannya?" Dipa mendesuh kejut "engkau tak "Sengaja kusentuh kaki gusti Rani agar terjaga dan setelah
melihat aku sedang mengacungkan pedang, gusti Rani terus
berteriak" "Engkau sengaja mengaturnya begitu?" tegur patih Dipa.
Mahendra mengangguk. "Apa maksudmu?" seru patih Dipa "bukankah dengan
dapat membunuh gusti Rani engkau akan diangkat sebagai
salah seorang pimpinan Wukir Polaman?"
"Benar" sahut Mahendra "tetapi aku, Mahendra adalah
putera rama patih Purusa Iswara mentri Majapahit, karena itu
Mahendra adalah putera Majapahit pula. Mengapa aku harus
membunuh gusti Rani karena tanpa pembunuhan itu pun aku
sudah mendapat kepercayaan penuh dari orang Wukir
Polaman" Dan karena tanpa membunuh itu pun maka aku
dapat meminjam tangan para prajurit keraton Daha untuk
melenyapkan Seta Aguling"
"Mahendra!" teriak patih Dipa yang tak kuasa menahan
luap kejut yang melanda perasaannya "engkau ..."
"Selama hidup di Daha" kata Mahendra "banyak kudengar
keamanan sering terganggu, pengacauan merajalela.
Himpunan Wukir Polaman makin tambah besar pengaruhnya.
Bahaya makin mengancam kewibawaan keraton Daha yang
dipimpin gusti Rani. Kuperhatikan wajah rama selalu murung
tak gembira karena setiap kali menerima laporan dari
kekacauan-kekacauan yang terjadi di telatah Daha. Diam-diam
aku ikut perihatin dan membayangkan suatu rencana. Aku
merasa kasihan kepada rama yang sudah tua harus
menghadapi tugas2 yang berat. Sesungguhnya rama sudah
menghaturkan permohonan untuk mengundurkan diri tetapi sri
baginda dan gusti Rani tak mengabulkan. Maka akupun harus
berani bertindak untuk meringankan beban rama dan untuk
menyelamatkan kawula Daha dari pengacauan orang Wukir
Polaman" Walaupun heran tetapi kali ini patih Dipa tak mau
mengusik. Ia hanya mewajibkan diri sebagai pendengar yang
cermat. "Aku segera mencari kakang Windu yang kukenal baik. Dia
seorang yang ramah dan berbudi ..."
Mendengar itu tak kuasa lagi patih Dipa menahan luap
perasaannya. Segera ia menukas "Windu" Siapakah orang
itu" Bagaimana perwujutannya?"
"Seorang lelaki berumur tigapuluhan tahun lebih, agak
cacad pincang sebelah kakinya"
"Apa pekerjaannya?"
"Pandai besi" "Siapakah nama lengkapnya?" tanya patih Dipa pula.
"Windu ..... eh, siapa, aku lupa" walaupun Mahendra
berusaha untuk mengingat tetapi gagal.
"Windu Janur, bukan?"
Mahendra terkejut "O, benar, paman patih. Ya memang
Windu Janur" "Dimana tempat tinggalnya?"
"Di desa Kuwu dekat gunung Polaman" sahut Mahendra
kemudian balas bertanya "ah, rupanya paman patih kenal
akan dia, bukan?" "Aku hanya tahu bahwa dia seorang pimpinan Wukir
Polaman. Aku pernah bertemu di pura Majapahit"
Mahendra membenarkan "Ya, memang setelah masuk
menjadi anggota Wukir Polaman baru kuketahui bahwa
kakang Windu itu memang salah seorang pimpinan yang
penting kedudukannya"
Kemudian Mahendra melanjutkan bahwa atas pertolongan
Windu Janur, ia dapat diperkenalkan kepada pimpinan Wukir
Polaman. "Siapa pimpinan Wukir Polaman?" tanya patih Dipa.
Mahendra menghela napas. "Sukar untuk mengetahui
siapa pimpinan Wukir Polaman yang sebenarnya. Seorang
lelaki setengah tua, entah menerima permintaanku. Kukira dia
pimpinan tetapi kemudian kuketahui dia hanya kepala bagian
pengawas. Artinya, dia bertugas untuk mengawasi gerak gerik,
sikap dan kesetyaan setiap anggauta, terutama yang baru
seperti diriku" Mahendra menceritakan lebi h lanjut tentang peristiwa2
yang dialami setelah ia diterima sebagai anggauta Wukir
Polaman. Berulang kali ia harus mengalami ujian kedigdayaan
yang dilancarkan oleh beberapa orang tak dikenal tetapi yang
ia duga tentu anakbuah Wukir Polaman.
"Ujian keberanian yang memuncak, memerintahkan aku
supaya menculik seorang gadis bernama. Kensari. Jika
menculik seorang gadis, tidaklah berat bagiku. Tetapi tahukah
paman patih siapa gadis Kensari itu?"
Patih Dipa gelengkan kepala.
"Dia adalah adik dari kakang Windu Janur"
Mendengar keterangan itu mau tak mau patih Dipa
terbeliak "Adik Windu Janur" Tidakkah Windu Janur akan
menghajarmu ?" "Kakang Windu telah mendapat tugas ke lain daerah"
"Engkau tentu dapat melakukan tugas itu dengan mudah"
sambut patih Dipa. Mahendra gelengkan kepala "Tidak, paman. Aku hampir
gagal, apabila tidak ditolong Kensari"
Mata patih Dipa membelalak. "Aku benar2 tak mengerti
ceritamu. Engkau ditugaskan menculik Kensari mengapa
kebalikannya engkau ditolong gadis itu!"
"Ketika aku hendak memasuki rumah, tiba2 aku diserang
oleh seorang pemuda bertubuh kekar. Sesungguhnya aku
dapat mengalahkannya apabila dia tak berlaku curang. Aku
dapat menendangnya rubuh.
Dia merintih-rintih minta pertolongan, ketika kuhampiri
untuk menolongnya, tiba2 ia menyambar kakiku terus dilempar
ke belakang sehingga aku jatuh. Dia loncat menginjak dadaku,
mencabut pedang hendak membelah kepalaku. Untung saat
itu terdengar suara seorang wanita berseru mencegah.
Kemudian baru kuketahui kalau wanita itu adalah gadis
Kensari, adik kakang Windu. "Kakang Kebo Angun-angun,
jangan membunuhnya!" seru gadis itu. Kebo Angun angun
menjawab. "Mengapa engkau melarang aku membunuh
seorang penjahat?" dan Kensari mengatakan bahwa ia tak
setuju karena Kebo Angun-angun berlaku curang. Kebo
Angun-angun membantah. "Mengapa aku harus berlaku jujur
terhadap seorang penjahat?"
Terjadi perbantahan antara Kensari dengan Kebo Angun
angun. Akhirnya Kensari mengusulkan supaya aku dilepas
dan diajak bertanding lagi lawan dia. Kebo Angun angun
menjawab, "Jika engkau menghendaki supaya dia dibebaskan,
aku menurut saja, Kensari. Karena apapun yang engkau
perintahkan, tentu akan kutaati" Kensari meminta pemuda itu
pulang. "Tetapi bagaimana dengan keselamatanmu, Kensari?"
Kebo Angun-angun bertanya cemas.
"Apakah engkau tak percaya bahwa sekalipun wanita
Kensari ini juga seorang prajurit, puteri keturunan senopati?"
seru Kensari. Rupanya patuh sekali Kebo Angun-angun kepada gadis
itu. Setelah dia pergi maka Kensari lalu menanyai diriku. Terus
terang akupun mengatakan maksud kedatanganku. Dia
menyatakan, jika aku dapat memenangkannya dia bersedia
kubawa. Akupun melayaninya. Kurasa dia memang mengalah
sehingga berhasil kubawanya ke tempat yang diperintahkan
pimpinan Wukir Polaman. Sejak itu aku berkawan baik dengan
kakang Windu dan Kensari. Baru kuketahui bahwa Kebo
Angun-angun itu mencintai Kensari tetapi Kensari menolak
karena ia telah menyerahkan hatinya kepada Nagantara,
putera Kebo Mundarang, bekas patih prabu Jayakatwang yang
telah gugur dalam peperangan"
"O" desuh patih Dipa. "Wukir Polaman benar2 merupakan
wadah perjuangan dari putera2 senopati dan mentri kerajaan
Daha dari prabu Jayakatwang"
Mahendra mengiakan kemudian melanjutkan ceritanya.
"Kebo Angun-angun marah karena hubunganku dengan
keluarga Windu Janur. Dia cemburu kepadaku. Ia mengira
sikap Kensari kepadanya yang makin dingin, disebabkan
karena kehadiranku. Pada hal setitikpun aku tak mempunyai
hati kepada Kensari. Dia sudah memadu janji dengan
Nagantara. Kebo Angun-angun berusaha untuk mencelakai
diriku. Disebarkannya fitnah bahwa sesungguhnya aku hanya
pura2 masuk menjadi anggauta Wukir Polaman dengan tujuan
untuk mengetahui rahasia himpunan itu. Entah itu tumbuh
subur di kalangan anakbuah Wukir Polaman. Akupun merasa
bahwa mereka meragukan kesetyaanku dan mulai menaruh
kecurigaan. Tetapi selama itu aku selalu bersikap hati2.
Sampai pada suatu hari Seta Aguling datang kepadaku dan
dengan terus terang menuduh aku seorang mata2 keranian
Daha. Aku marah dan kita hampir berkelahi lalu Kebo Angunangun muncul, menganjurkan supaya aku dan Seta Aguling
mesuk ke dalam keraton untuk membunuh gusti Rani. Seta
Aguling pun menantang aku. Terdesak oleh keadaan yang
berbahaya jika aku menolak, kuterima tantangan itu. Aku dan
Seta Aguling berhasil menyusup ke dalam keraton. Kusuruh
Seta Aguling menunggu di luar pintu sedang aku masuk
kedalam peraduan gusti Rani. Jika kukehendaki, saat itu gusti
Rani tentu dapat kubunuh. Tetapi aku bukan seorang
penghianat, paman patih. Aku sengaja menyentuh kaki gusti
Rani supaya terjaga. Rencanaku berhasil, gusti Rani berteriak,
beberapa penjaga segera datang. Aku lari dan Seta Aguling
kutinggalkan dalam kepungan prajurit2 keraton. Demikianlah
peristiwa yang perlu kuhaturkan kepadamu, paman patih.
Entah apakah paman patih dapat percaya keteranganku ini"
"Kepercayaanku" sahut patih Dipa "sebulat buluh"
"Karena aku putera seorang patih Daha?"
"Bukan" kata patih Dipa tegas "karena engkau seorang
putera Majapahit. Adakah seorang putera akan menghianati
ibu pertiwi ?" Dalam getar kejut yang menggelinjangkan rasa kagum,
Mahendra menghaturkan terima kasih.
"Apa rencanamu sesungguhnya?" tanya patih Dipa.
"Pada hari Srada nanti, gusti Rani Daha akan melawat ke
candi makam Antapura, sehubungan akan menabur bunga
pada makam ayahanda rahyang ramuhun Kertarajasa.
Rencana itu telah tercium oleh orang2 Wukir Polaman. Mereka
akan mengadakan gerakan besar-besaran. Pertama,
menyerang perjalanan gusti Rani. Kedua mengadakan
pengacauan di pura Daha agar pasukan keranian Daha tak
sempat memberi bantuan kepada rombongan gusti Rani"
Patih Dipa mendesuh kejut yang keras. "Berhaya" serunya
"dapatkah keteranganmu itu dipertanggung jawabkan,
Mahendra?" patih Dipa meminta penegasan.
"Paman patih" sahut Mahendra "apakah tujuan
pengorbananku selama ini jika tidak untuk menyelamatkan
keranian Daha dan gusti Rani?"
Serentak patih Dipa berbangkit dan memberi hormat
kepada Mahenda, "Raden Mahendra, terimalah

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penghormatanku selaku rasa terima kasih dari aku peribadi
dan seluruh kawula keranian Daha. Betapa besar
pengorbananmu, raden. Engkau rela dinista orang sebagai
penghianat. Engkau relakan ramamu sampai wafat karena
sedih" "Dalam soal rama" tukas Mahendra "pernah sekali kusuruh
orang uutuk mengantarkan suratku. Rama pasti sudah tahu
akan segala tindakanku"
"Tetapi bukankah beliau wafat karena malu dan sedi h?"
tanya patih Dipa. "Bermula memang demikian" sahut Mahendra "tetapi
setelah tahu persoalanku, ramapun hanya terkejut dan
mencemaskan nasibku sehingga sampai jatuh sakit"
"O" seru patih Dipa "aku girang karena engkau telah
dimaafkan ramamu, raden. Kini hanya tinggal selangkah lagi,
gusti Rani dan seluruh kawula keranian Daha harus
memaafkan, bahkan harus bersyukur kepadamu"
"Paman patih" seru Mahendra dengan tegas "baiklah kita
jangan menghiraukan soal itu karena aku sendiri tak
mengharap apa2. Kita masih menghadapi tugas2 yang berat,
paman" Patih Dipa menyetujui "Benar. Kita harus bertindak. Dan
apakah engkau mempunyai rencana bagaimana harus
menghadapi mereka?" Mahendra gelengkan kepala, "Tidak ada kecuali hanya
meminta paman supaya mengerahkan pasukan kuat untuk
melindungi perjalanan gusti Rani dan menjaga pura Daha"
Patih Dipa mengangguk "Baiklah, akan kuperhatikan hal
itu. Tahukah engkau dimana mereka akan memusatkan
pengumpulan anggauta-anggautanya ?"
Mahendra menghela napas kecil. "Dalam hal ini memang
pimpinan Wukir Palaman pantas dipuji kecermatan dan
kecerdikannya melaksanakan rencana. Sampai detik ini,
belum juga kudengar suatu berita tentang hal itu.
Kemungkinan, menurut keterangan kakang Windu, gerakan
orang Wukir Polaman itu tidak akan merupakan suatu
pemusatan kekuatan, melainkan akan bergerak dalam
kelompok2 kecil. Seorang dua orang akan bergerak menuju
ketempat yang ditentukan untuk mencegat perjalanan gusti
Rani. Demikian yang akan melakukan pengacauan dalam pura
Daha. Dengan demikian mereka dapat menghindari perhatian
orang dan pengawasan pasukan Daha"
Patih Dipa mengangguk-angguk. "Rencana itu memang
tepat sekali. Di samping untuk menghindari perhatian, pun
mereka hendak menjaga kemungkinan hendak ditangkap,
bukan semua kekuatan yang dapat dihancurkan Daha tetapi
hanya sebagian kecil saja. Juga dengan membagi secara
kelompok2 kecil itu, akan terjalin suatu mata rantai, dalam
saat2 terancam bahaya mereka dapat bantu membantu"
Mahendra terkejut. Betapa tajam dan jauh patih Dipa
memberi ulasan kepada rencana lawan. Jika ia hanya dapat
mengajukan sebuah ulasan, patih itu mampu menjangkau
sampai dua tiga ulasan. "Raden" tiba2 patih Dipa berkata pula "akan
kupertimbangkan lebih lanjut langkah2 yang perlu untuk
menghadapi ancaman Wukir Polaman. Tetapi yang pertamatama, keselamatan raden sendiri. Adakah langkah raden
kemari ini diketahui mereka?"
"Tidak, paman patih" kata Mahendra "aku ditugaskan untuk
melakukan pengawasan suasana keraton. Bagaimana
kekuatan penjagaannya dan bagaimana susunan serta cara2
penjagaan itu dilakukan"
Patih Dipa mengangguk. Sampai beberapa saat ia
terbenam dalam renungan tanpa bicara sepatahpun.
"Raden Mahendra" beberapa saat kemudian terdengar
patih Dipa berkata "laporkan kepada mereka bahwa suasana
pemerintahan keraton agak goncang. Pengangkatanku
sebagai patih menggantikan paman patih Arya Tilam, masih
menimbulkan tanggapan yang belum menentu. Sebagaian
mentri dan senopati tua tak puas. Mereka lebih tua usia, lebih
banyak pengalaman, mengapa seorang muda seperti diriku
yang diangkat. Mereka tidak puas dan timbul beberapa
golongan yang setuju dan tak setuju. Dengan demikian
pemerintahan belum berjalan lancar. Suatu kesempatan baik
bagi mereka untuk memukul. Demikianlah yang raden
laporkan kepada pimpinan Wukir Polaman"
Mahendra mengiakan. "Kedua kali" kata patih Dipa pula "keselamatan raden
harus di amankan. Artinya, jangan sekali hubungan kita ini
sampai di ketahui mereka atau raden tentu akan di bunuh"
Mahendra mengiakan pula. "Rencana ketiga" kata patih Dipa pula tanpa menaruh
suatu kecurigaan terhadap Mahendra "raden harus
menciptakan jasa besar agar kepercayaan mereka makin
besar kepadamu. Dalam rangka itu,
=== >>>Hal 65-66 tidak ada<<<
==== Tetapi alangkah gempar seluruh desa ketika tiba2 orang
itu sudah berada di rumahnya, tidur pulas dibawah kolong
balai-balai. Orang itu tak dapat memberi keterangan apa2
kecuali mengatakan bahwa ia telah ditangkap oleh hantu2
yang menyeramkan, dipaksa untuk bekerja membuat sebuah
terowongan. Hantu2 itu amat bengis, apibila ia beristirahat
karena lelah, hantu2 itu mencambuknya. Pada suatu hari
tanpa suatu sebab ia telah dicekik o!eh seorang hantu
berwajah ngeri. Ia mengira tentu mati karena sudah tak tahu
apa yang terjadi lagi. Ketika membuka mata ternyata ia berada
di bawah kolong balai2 rumahnya.
Peristiwa itu menggemparkan seluruh desa, tersiar dari
desa kelain desa. Dia sejak itu lembah Triri Panti terkenal
angker, tiada orang yang berani datang ke lembah itu lagi.
Maka walaupun hari belum petang, suasana di lembah itu
sunyi dan seram sekali. Tetapi kesunyian dan keseraman
suasana lembah tak kuasa menghentikan langkah kaki
seorang wanita muda yang kala itu tengah menuruni lembah,
seorang diri pula. Memang sukar untuk dipercaya tetapi
benar2 hal itu merupakan kenyataan. Wanita itu masih amat
muda, lebih kurang duapuluh tahun umurnya Berkulit kuning
langsat, tubuh langsing semampai, wajah cantik dimeriahkan
sepasang mata berkilau bagai bintang kejora. Menilik wajah
dan pakaiannya, dia tentu puteri seorang berpangkat atau
orang berada. Setenang kesunyian lembah, setenang itu pula langkah
kakinya menyusur jalan yang hampir teraling oleh semak dan
rumput. Wajahnya tak menampilkan setitik rasa takut akan
suasana lembah yang menyeramkan itu. Setelah menyusup
masuk mulut lembah ia lanjutkan langkah masuk ke dalam.
Dua tiga puluh langkah, ia membiluk ke sebelah kanan dan
tibalah ia pada segunduk tanah tinggi yang penuh ditumbuhi
rumput. Langsung setiba di muka gunduk tanah itu, ia
berjongkok dan menyembah,
"Rama, Nagandini menghaturkan sembah bakti ..."
Kemudian untuk beberapa saat ia pejamkan mata
menyoragsongkan kedua tangan dalam sikap menyembah.
Rupanya dia tengah bersemedhi memanjatkan doa kepada
gunduk tanah itu. Airmatanya berderai derai membasahi
sepasang pipi. Hening sunyi. Semak dan pohon2 merunduk seolah ikut
belasungkawa atas kesedihan hati wanita muda itu. Angin
berhembus lembut dan sekeliling tempat itupun terbias hawa
harum dari tubuh wanita cantik itu.
Entah berapa lama keheningan membisu, tiba2 terdengar
angin mengantar suara seseorang, "Nagandini, jangan
bersedih ...." Wanita muda yang disebut Nagandini itupun agak terkejut,
membuka mata dan berpaling. Kerut kedukaan pada dahinya
segera terhapus oleh pancaran wajahnya yang berseri girang.
"Engkau kakang Silugangga "..." iapun serentak berbangkit
dan menyongsong seorang lelaki yang tegak beberapa
langkah di belakangnya. Lelaki itu berusia tigapuluh tahun lebi h, berwajah tenang.
Di balik janggut dan rambutnya yang melebat panjang,
tersembunyi sebuah wajah yang cakap. Dia mengenakan
dandanan sebagai seorang brahmana.
"Benar, Nagandini" sahut brahmana yang
Silugangga itu "aku telah memenuhi panggilanmu"
disebut Nagandini terkesiap, "Aku memanggilmu, kakang?"
"Ya" sahut brahmana itu "dalam doa semedhimu ...."
Nagandini tersipu-sipu merah wajahnya, "Ah, jangan
mengolok, kakang" "Hanya bagi seorang yang terjalin oleh ikatan batin, doa2
itu akan dapat menggetarkan sanubarinya" kata brahmana itu
pula. "Kakang, mengapa lama engkau tak menampakkan diri ?"
kata Nagandini. "Ah" brahmana itu mendesah "betapa ingin aku selalu
hadir disampingmu, Nagandini. Tetapi engkau tentu
memaklumi, betapa bahaya yang mengancam diriku apabila
kawan2 Wukir Polaman mengenal jejakku. Oleh karena itu
Nagandini, akupun terpaksa menyamar sebagai seorang
brahmana dan namakupun kuganti dengan brahmana
Kendang Gumulung" "Tetapi bagiku, engkau tetap kakang Silugangga" sambut
Nagandini. Brahmana itu tersenyum, "Dulu, sekarang dan kelak. Aku
tetap Silugangga. Silahkan engkau menyebut nama itu asal
engkau anggap bahwa hal itu tak membahayakan
keselamatanku" "Kakang" sesaat kemudian Nagandini berkata pelahan
"Adakah kita tetap harus hidup dalam suasana begini,
kakang?" "Teguhkan imanmu, kuatkan batinmu, Nagandini. Kita
harus berani menghadapi segala coba yang dilimpahkan
dewata kepada kita" "Kakang" nada Nagandini makin lemah "mengapa kita
harus paserah nasib kepada dewata " Bukankah dewata akan
merestui kepada titahnya yang mau berusaha ?"
"Benar, Nagandini" sahut brahmana Kendang Gumulung
"wajib titah manusia adalah berihtiar. Ketentuannya ada pada
dewata. Lalu apa yang engkau maksudkan dengan ucapanmu
itu ?" "Kakang ..." kelemahan nada gadis cantik itu mulai
bergetar sedu isak "betapa derita batin yang kualami selama
ini. Adakah kakang tidak tahu bahwa setiap malam tiba,
malam pula dihatiku " Aku tak jemu2 memanjatkan doa
kepada dewata, agar nasib yang kita derita ini lekas berakhir"
"Itu baik sekali, Nagandini"
"Tetapi tak pernah kudengar suatu jawaban apa2 kecuali
bisikan hatiku bahwa kita harus kita paserah nasib dan dewata
akan merestui langkah kita"
Brahmana Kendang Gumulung tersenyum, "Dewata telah
menunjukkan jalan yang benar, Nagandini. Lalu apakah yang
terbayang dalam rencanamu tentang usaha kita itu?"
"Kakang" Nagandini menatap Kendang Gumulung dengan
lekat dan mencurah "bawalah aku ke lain daerah yang tenang
dan jauh. Aku rela hidup di hutan atau di gunung asal
bersamamu, kakang" "Baik" kata Kendang Gumulung "akupun ingin sekali
membawamu ke tempat yang jauh. Tetapi, Nagandini. Engkau
tentu maklum siapakah diriku ini, bukan ?"
Nagandini mengerjit alis, "Sudah tentu kekang Silugangga
ini putera paman tumenggung Sagara Winotan, senapati
kerajaan Daha yang gagah perkasa"
"Itulah" kata Kendang Gumulung "dan bukankah engkau
maklum pula kedua kakangmu Nagantaka dan Nagantara
beserta putera2 para mentri senopati kerajaan Daha telah
bergabung pada himpunan Wukir Polaman, bukan?"
Nagandini mengiakan. "Nah, kedua pengetahuanmu itu akan kujadikan landasan
untuk mengisi suatu pengertian kepadamu" kata Kendang
Gumulung "rama Winotan merupakan salah seorang senopati
Daha yang paling menonjol nama dan keberanian, kesetyaan
dan pengabdiannya kepada kerajaan. Kini aku, puteranya,
apakah harus lari menyembunyikan diri di mana putera para
mentri senopati Daha sedang gigih berjuang untuk
membangun kerajaan Daha lagi" Tidakkah engkau malu
bersuamikan seorang pengecut, Nagandini ?"
Nagandini terbeliak "Tetapi kakang Silugangga "serunya
sesaat kemudian "mereka membencimu, mereka memusuhimu, merekapun hendak membunuhmu karena
engkau dianggap berhianat seperti yang dituduhkan terhadap
mendiang ramamu" "Kutahu, Nagandini" jawab brahmana Kendang Gumulung
"dan kutahu pula ulah siapa yang telah memfitnah diriku ..."
"Ha, ha , ha ....." sekonyong-konyong kesunyian lembah
telah meletuskan sebuah tawa manusia. Nyaring dan bernada
mengejek. Brahmana Kendang Gumulung berobah seri
wajahnya, Nagandinipun terkejut pucat, keduanya serentak
berpaling ke arah yang diduga tempat penghamburan tawa itu.
Tetapi mereka tak melihat suatu apa di sekitar kehling tempat
itu. Kendang Gumulung makin berdebar. Tawa itu
mengandung kumandang yang kuat, berisi hamburan Prana
yang penuh. Takkanlah seorang biasa dapat menghamburkan
tawa sedemikian kecuali seorang yang berilmu.
"Siapa engkau!" seru Nagandini yang tak kuasa menahan
kesabaran hatinya. Tetapi seruan gadis itu tak bersambut.
Suasana dalam lembah tetapi sunyi dan hening.
"Nagandini. waspadalah" bisik brahmana Kendang
Gumulung "rupanya jejak kita telah diketahui orang"
"Jangan kakang" seru Nagandini pelahan "jangan
melarikan diri. Biarlah mereka tahu jejak kita. Mari kita hadapi
berdua, kakang" "Ah Kendang Gumulung menghela napas, "janganlah
menurutkan suara hati yang panas. Banyak hal yang masih
perlu kita lakukan ..... eh, Nagandini ....." brahmana itu tak


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat melanjutkan kata-katanya dan berseru kejut ketika
melihat Nagandini berputar tubuh terus melangkah keluar.
Terpaksa iapun menyusul. Nagandini memang panas kepada orang yang tertawa itu.
Jelas orang itu hendak mengganggu pertemuannya dengan
Silugangga. Ia teruskan langkah menuju ke mulut lembah,
menyusup pohon2 yang mengalingi dan melangkah ke luar.
"Ah, engkau kakang Janur" seketika berserulah Nagandini,
kejut dan geram, ketika melihat seorang lelaki tengah duduk di
atas segunduk batu padas.
"O, engkau Nagandini, mengapa engkau berada disini "
Apa yang engkau kerjakan pada hari sepetang ini?" seru
orang yang disebut kakang Janur itu. Dan dia memang Windu
Janur. Wajahnya tampak terkejut menyambut kehadiran
Nagandini. "Kakang Janur" seru Nagandini dalam nada menggetar
"jawablah pertanyaanku dulu. Mengapa engkau di sini ?"
"Aku ?" ulang Windu Janur "aku sedang menunggu
kawan2 untuk merundingkan sesuatu. Memang lembah ini
sering kita gunakan untuk tempat perundingan"
"Tetapi mengapa engkau tertawa senyaring tadi" Dengan
siapa engkau tertawa dan apa yang engkau tertawakan?"
tanya Nagandini pula. "Eh, Nagandini" seru Windu Janur tenang, "sedemikian
tegang sikapmu, sedemikian bernafsu engkau menghamburkan pertanyaan. Mengapa Nagandini?"
"Jawablah !" seru Nagandini.
Windu Janur tersenyum simpul "Aneh, mengapa engkau
mempersoalkan aku tertawa. Baiklah, aku tertawa karena geli
melihat tingkah sepasang burung kutilang yang masih
berkasih-kasihan sehingga lupa kalau hari sudah hampir
gelap" "Mana burung itu?"
"Mereka terbang karena terkejut akan kehadiranmu yang
begitu tak terduga, Nagandini"
"Burung berkasih-kasihan adalah sudah jamak, mengapa
engkau menertawakannya" Adakah engkau tak pernah
melihat pemandangan begitu?"
"Pernah" sahut Windu Janur masih tetap tenang, "tetapi
biasanya mereka melakukannya pada pagi atau siang hari,
tidak pada rembang hari menjelang sepetang ini"
"Apa pedulimu, kakang Janur!" masih Nagandini bernafsu.
"Hanya sekedar geli saja, Nagandini. Kiranya jawabanku
sudah cukup dan sekarang sukalah engkau menjawab
pertanyaanku tadi" "Aku menabur bunga pada makam ramaku"
"Pada saat begini ?" Windu Janur menegas.
"Adakah ada ketentuan waktu bagi seorang anak yang
hendak melepaskan rindunya dihadapan makam ramanya"
sahut Nagandini. "Memang tak ada" Windu Janur mengangguk kepala
"hanya orang tentu heran mengapa pada hari dan bulan
sekarang, terutama pada waktu petang hari, engkau menabur
bunga" "Bahkan tengah malam pun kalau aku merasa rindu
hendak bertemu dengan rama, aku akan datang ke
pusaranya" seru Nagandini.
"O, engkau memang seorang puteri yang berbakti kepada
orangtua, Nagandini" puji Windu Janur walaupun nadanya
agak sumbang "tetapi siapakah kawanmu. Nagandini ?" tiba2
ia bertanya. Nagandini terkesiap tetapi cepat ia menjawab dalam nada
yang ditekan, "Jangan bergurau, kakang. Aku hanya seorang
diri" "Ah, Nagandini" Windu Janur tertawa datar "mengapa
harus menyembunyikan sesuatu kepadaku. Lembah sunyi dan
akupun memiliki aji Pangrungu, rasanya takkan salah apabila
engkau tidak seorang diri, melainkan berkawan. Ada dua buah
suara yang kudengar pada percakapan dalam lembah, dua
buah derap langkah kaki yang berlainan pula menuju keluar.
Yang muncul engkau seorang, lalu siapakah yang seorang ?"
Betapapun ditekan namun tegang juga perasaan hati
Nagandini sehingga wajahnya bertebar merah. "Boleh saja
engkau mengatakan begitu, asal ..."
"Hai, ki sanak yang bersembunyi dalam mulut lembah"
tiba2 Windu Janur berseru ke arah mulut guha "silahkan
keluar. Seorang laki2 jangan mengumpatkan diri"
"Hm," tiba2 terdengar suara penyahutan mendengus
"siapa mengatakan aku mengumpat " Bukankah kesalahanmu
sendiri apabila tak melihat aku disini"
"Dimana engkau!" hardik Windu Janur yang tak berhasil
menemukan jejak orang itu, betapapun ia sudah
menyalangkan mata lebar2 dan mempertajam pendengarannya. "Aku di sini" seru orang itu dan cepat2 Windu Janurpun
berpaling ke belakang. Ternyata di atas segunduk batu telah
tegak seorang brahmana yang memandangnya dengan
pandang mata teduh. Diam2 Windu Janur terkejut. Jelas tadi
ia sudah mengeliarkan pandang mengeliling sekitar tempat itu,
batu, padas, semak belukar, pohon dan setiap liang pada
benda apa pun yang cukup untuk bersembunyi orang, habis
dijelajahi pandang matanya dan tak ada sosok tubuh manusia.
Tetapi mengapa tahu2 brahmana itu sudah tegak di atas batu
padas yang setinggi dua orang berdiri tegak"
Namun ia tak mau menyatakan keheranannya karena hal
itu hanya mengunjuk suatu kelemahan, menambah semangat
lawan, menyurutkan nyali sendiri. Untuk menyelimuti
perasaannya itu, segera ia mendamprat keras. "Ho, kiranya
engkau, Silugangga! Bilakah engkau mempelajari kitab veda
dan di asrama manakah engkau menjadi brahmana?"
"Windu Janur" brahmana Kendang Gumulung menyahut
setenang batu padas yang dipijaknya "bukan karena
mempelajari kitab veda, bukan karena tinggal digrehasta dan
asrama, bukan pula karena pakaian yang dikenakan maka
seseorang itu disebut brahmana. Dan kalau engkau tetap
menganggap demikianlah keharusan seorang brahmana,
maka kukatakan aku bukan brahmana jenis mereka"
Windu Janur tertawa mengejek. "Adakah terdapat
brahmana jenis lain daripada brahmana yang terdapat di bumi
kita ini?" "Ada "sahut brahmana
brahmana itu!" Kendang Gumulung "akulah "Apa beda ke-brahmanaanmu dengan brahmana yang
lain?" "Dalihnya sama, tetapi landasannya yang berbeda. Kitab
veda Upanishad berisi pengetahuan tentang Atman yang
berarti jiwa segala mahluk, jiwa yang meliputi seluruh dunia.
Atman itu maha ada artinya di mana ada. Lambang jiwa yang
maha-ada yang sering dipakai yaitu b r a h m a n , artinya
abadi. Oleh karena pengetahuan manusia hanya berdasarkan
perasaan badaniah, maka jivatman atau jiwa perseorangan
seolah-olah tertawan dalam ruang dan terpisah dari atman
yang maha-ada itu. Apabila kita insyaf akan persamaan antara
paramatman dan jivatman, antara jiwa yang maha ada dan
jiwa perseorangan, maka pikiran kita akan suci dan mencapai
moksha atau kebahagiaan abadi. Demikian pandangan ajaran
kaum brahmana" Berhenti sejenak, Kendang Gumulung melanjutkan, "Dalih
yang kuanutpun demikian juga, hanya jika kaum brahmana
berlandaskan pada ajaran agamanya, maka landasanku
adalah negara dan rakyat. Atman adalah jiwa segala mahluk,
kuartikan jiwa seluruh rakyat negaraku. Jivatman, jiwa
perseorangan atau diriku. Hanya kalau kita menginsyafi bahwa
antara diriku dengan rakyat dan negara itu sama, maka kita
akan mencapai kebahagiaan, kebebasan negaraku dari
tindasan orang Majapahit, kebebasan rakyatku dan juga
termasuk kebebasan diriku sebagai kawula Daha. Jelaskah
engkau, Windu Janur!"
"Brahmana ciptaan, menciptakan angan dan dalih ciptaan,
melakukan karman ciptaan pula. Bukankan begitu,
Silugangga?" balas Windu Janur.
"Tat tvam asi, makhluk yang tertinggi sesungguhnya tuan
sendiri. Akulah tuan dari diriku, penguasa keinginan dan
segala nafsu dalam jasadku. Aku mencipta karena aku suka
mencipta, bebas mencipta"
"Bebas bagi dirimu tetapi tidak bebas bagi lain orang.
Engkau, bebas untuk menghianati, tetapi atman2 yang jaga
bebas pula untuk melenyapkanmu" seru Windu Janur.
"Nafsu selalu menguasai atmanmu, Windu Janur. Nafsu
yang mengandung maksud tersembunyi, selalu membakar
dadamu, menghanguskan hatimu sehingga engkau rela
memfitnah seorang kawan lama ...."
"O" seru Windu Janur mengejek "engkau masih
mendendam tentang peristiwa dirimu" Apakah dalam jenis
kebrahmanaanmu itu, nafsu dendam dibenarkan?"
"Dibenarkan" sahut Kendang
Gumulung "karena landasannya adalah menunggalnya paramatman dengan
jivatman, rakyat dan diri peribadi, maka dendam dibenarkan
tetap menyala bahkan harus membakar jiwa untuk
melenyapkan perintang2 kemokshaan, kebebasan negara dan
rakyat" "Hm" dengus Windu Janur "pandai benar engkau
menggerakkan lidah untuk merangkai ajaran brahman yang
suci dengan keduniawian"
"Aku menjadi brahmana" kata Silugangga "dengan memilih
gelar Kendang Gumulung atau Genderang Tergulung.
Genderang, untuk membahana panggilan tanah air.
Gumulung, menggulung segenap hati dan pikiran ke dalam
suatu tekad yang bulat. Bahwa aku takkan mengenakan
pakaian orang biasa sebelum Daha bebas dari kekuasaan
Majapahit" "Bagus" seru Windu Janur "sumpah yang perkasa, sumpah
yang perwira dari seorang putera Daha. Tetapi sayang sekali,
sudah terlambat. Wukir Polaman sudah mencoret nama
Silugangga sebagai warganya!"
"Ha, ha, ha" brahmana Kendang Gumulung tertawa.
Nadanya penuh hamburan geram, marah, kecewa, sedih dan
penasaran, "untuk berjuang membangun kerajaan Daha, tidak
perlu orang harus menjadi anggota suatu himpunan seperti
Wukir Polaman. Perjuangan itu hak dan kewajiban setiap
rakyat Daha, milik setiap putera puteri Daha"
"Benar" sambut Windu Janur "engkau memang berhak
untuk berjuang menurut caramu sendiri. Tetapi sayang
kawan2 Wukir Polaman telah menganggap engkau seorang
penghianat maka harus di tangkap dan dibasmi"
"Kakang Windu" teriak Nagandini yang sejak tadi diam saja
"engkau hendak menangkap kakang Silugangga" Mengapa?"
"Ya" sahut Windu Janur "aku hanya menjalankan perintah
kawan-kawan kita" "Siapa yang memerintahkan engkau?" tanya Nagandini
pula. Windu Janur mengerut dahi "Maaf, Nagandini, aku tak
dapat memberitahukan. Itu sesuatu yang harus dirahasiakan"
"Mana bukti2 perintah itu ?" masih Nagandini mendesak.
Windu Janur makin melebatkan kernyit lipatan dahinya.
Sesaat kemudian lipatan itu berangsur melongsor pula dan
wajahnya pun cerah kembali. "Jika engkau mendesak
menginginkan bukti perintah itu, walaupun hal semacam itu tak
pernah kuterima karena hanya secara lisan, tetapi akupun
dapat memberi bukti juga" tiba2 ia bersuit nyaring.
Kumandangnya bergema menyelubungi seluruh lembah,
memantulkan gema panjang yang membubung ke angkasa.
Kendang Gumulung dan Nagandini terkejut menduga-duga
apa gerangan yang akan terjadi. Dan keduanya tak perlu lama
terkandung dalam dugaan karena beberapa saat kemudian
terdengar suara berisik seperti rumput rebah bertindih
terpinjak kaki. Derap kaki riuh mendebur tanah. Pada lain saat
muncullah sepuluh lelaki muda bertubuh gagah dari empat
penjuru. Mereka membentuk lingkaran untuk mengepung
brahmana Kendang Gumulung dan Nagandini.
Diam2 brahmana Kendang Gumulung terkejut dalam hati.
Ia dapat mengenali beberapa pendatang itu antara lain Kuda
Sempalan putera senopati Jaran Guyang, Kebo Angun-angun
putera Kebo Rubuh, Nirbada putera Panglet, Banyak Lindung
putera Prutung. Liman Segara putera Bowong, Anggoro putera
Kampinis. Sedang yang empat orang ia belum kenal. Ia tahu
bahwa rombongan pendatang itu adalah golongan yang tak
menyukainya, bahkan menuduhnya sebagai penghianatan.
Pelopor yang melontarkan tuduhan itu adalah Windu Janur
dan Kebo Angun-angun. Walau tidak semua tetapi sebagian
besar anggauta Wukir Polaman setuju pada tuduhan itu dan
berdiri dibelakang Windu Janur serta Kebo Angun-angun.
"Tanyakan kepada saudara2 dari Wukir Polaman, engkau
tentu mendapat bakti, Nagandini" seru Windu Janur.
"Mereka adalah kawan2 yang telah menjadi anak buahmu"
Nagandini menuduh. Windu Janur merah mukanya. Tetapi di
Nagandini terpaksa ia harus menekan amarahnya.
hadapan "Sudahlah, Nagandini"
tiba2 brahmana Kendang Gumulung berseru "tentu hanya berkering lidah saja engkau
apabila menentang kenyataan yang telah dihidangkan
mereka" ia terus berseru kepada Windu Janur "Windu, apalah
maksudmu ini?"

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengingat bahwa kita, aku dan engkau terutama, sudah
bersahabat baik, maka kuminta janganlah engkau menyulitkan
tugasku. Serahkanlah dirimu untuk kubawa menghadap
pimpinan" sahut Windu Janur, "bukankah tak enak dalam
perasaan apabila terjadi pertempuran antara dua orang
sahabat seperti kita berdua ini ?"
Brahmana Kendang Gumulung tertawa hambar, "Jika
engkau hendak menangkap, aku akan melawan. Tetapi jika
engkau meminta belas kasihanku supaya menyerahkan diri
agar engkau memperoleh jasa dalam Wukir Polaman, aku
bersedia untuk menyerahkan diriku"
Merah padam selebat wajah Windu Janur, Ucapan itu
bermakna suatu penghinaan yang tajam. Tetapi sebelum ia
sempat merangkai jawaban, tiba2 Nagandini sudah
mendahului, "Kakang Silugangga, jangan sehina itu engkau
memperlakukan dirimu. Engkau amat berarti kepadaku, jangan
semudah itu engkau hendak menyerahkan diri kepada
mereka" "Aku seorang brahmana, Nagandini. Jika mereka merintihrintih meminta pertolongan, wajiblah aku menolongnya," jawab
Kendang Gumulung. "Silugangga" hardik Windu Janur, "demi persahabatan kita
yang lampau, aku memberi petunjuk jalan yang damai. Tetapi
janganlah engkau artikan aku merintih belas kasihanmu.
Engkau kira akan mampu lolos dari penangkapan ini" Hm,
jangan engkau terlalu mengangkat dirimu setinggi langit dan
merendahkan lain orang serendah itu. Jika engkau memang
tak mau menempuh jalan damai, siapkanlah dirimu untuk
menerima hajaran kawan2 kami!"
"Kakang Windu Janur" teriak Nagandini makin geram,
"jelas engkau telah mengikuti jejakku dan mempersiapkan
rencana untuk menangkap kakang Silugangga!"
"Tidak, Nagandini" bantah Windu Janur, "bukankah tadi
engkau mengatakan kalau hanya seorang diri" Aku tak tahu
bahwa Silugangga ternyata menemui engkau dalam lembah
ini. Aku dan kawan2 sedang diberi tugas untuk menghadang
prajurit2 Daha yang hendak menyergap lembah ini. Tiada
kusangka engkau berada dalam lembah, lebih tak
kubayangkan bahwa Silugangga juga berada bersamamu
dalam lembah. Inilah yang disebut sekali tepuk dua lalat.
Menyergap pasukan Daha dan menangkap Silugangga, ha,
ha, ha" "Engkau pengecut!" damprat Nagandini karena tak kuasa
menahan luap kemarahannya.
Windu Janur terbeliak. "Pengecut" Aku hendak
menangkap Silugangga karena dia seorang penghianat.
Adakah tindakan itu layak disebut pengecut?"
"Adakah kakang Silugangga benar2 seorang penghianat?"
bantah Nagandini. "Air takkan mengalir ke atas tentu ke bawah. Ayah
penghianat, anakpun penghianat pula .....?"Jahanam!" tiba2 marahlah Kendang Gumulung, "jika
engkau menuduh aku berhianat, aku takkan menghiraukan.
Tetapi kalau engkau berani menghina ramaku sebagai
penghianat, aku akan mengadu jiwa dengan engkau!"
Brahmana Kendang Gumulung segera gerakkan tongkatnya menghantam kepala Windu Janur. Sebelum
tongkat tiba, Windu Janur sudah terlanda hembusan angin
yang kuat menampar mukanya. Jelas Kendang Gumulung
menyerang dengan sekuat tenaga.
Tetapi sebelum Kendang Gumulung dapat mencapai
sasarannya, tiga orang segera menyerang dari samping
kanan, kiri dan belakang.
Tring, tring, uh ..... Dua buah suara gemerincing itu berasal dari tongkat
brahmana Kendang Gumulung yang secepat menarik pulang
tongkat, terus dilanjutkan untuk menyapu serangan pedang
dari kanan dan kiri. Sementara suara desuh kejut itu ke luar
dari mulut Liman Segara yang menyerang dari belakang dan
disongsong dengan sabatan pedang oleh Nagandini.
Nagandini memilih penyerang di belakang karena ia tahu
bahwa Kendang Gumulung tentu mampu menghalau kedua
penyerang dari kanan kiri. Liman Segara mendesuh kejut dan
loncat ke belakang lagi. "Engkau pengecut!" Nagandini mendamprat.
0odwkz-mcho0 JILID 38 I SEPULUH kejahatan didunia ini pada hakekatnya berakar
pada tiga kejahatan yang ditimbulkan oleh fikiran, yaiah:
Lob ha atau keserahan, Dosa atau dendam kebencian dan
Mo ha atau kepalsuan. Baik Lobha, Dosa maupun Moha, laksana api abadi yang
membakar, menghanguskan pikiran, hati, semangat dan jiwa
manusia. Manakala kita membiarkan api itu menyala dan
membara, membakar dan menghangus, maka akan rusak
binasalah pikiran dan jiwa, akan hanguslah sumber rasa
dalam jasad, akan layulah kesatuan batin yang berhubungan
dengan jiwatma. Manusia Lobha, akan menyerupai harimau
yang paling buas di dunia. Manusia Dosa, bagai raksana yang
mengumbar keangkara-murkaan. Manusia Moha tak ubah
seperti alat berbisa yang berkulit cantik, rubah yang berkulit
domba. Ketiga kejahatan itu akan menanggalkan manusia dari sifat
kemanusiawiannya. Sesungguhnya amatlah besar penderitaan yang harus
dikenyam apabila pikiran menyambut, tumbuh dan
menyuburkan ketiga benih kejahatan itu. Dia bagaikan benalu
yang akan menghisap darah dan sari hidup manusia.
Mengandung Lobha, Dosa dan Moha benar2 suatu derita
sengsara. Lobha akan pangkat dan kedudukan, harta dan
kekayaan, akan mengobarkan nafsu pikiran jahat, menyiksa
batin sendiri sebelum apa yang diinginkan itu tercapai. Dosa
atau mendendam kebencian, akan lebih dulu menyiksa pikiran
diri sendiri. Lebih menderita daripada orang yang dibenci.
Sebelum melaksanakan dendam kebencian terhadap orang
yang dibenci, kita sudah dilanda derita oleh dendam
kebencian itu sendiri. Mengandung rasa Moha, hanya menipu
pikiran dan batin sendiri, mengingkari suara hati nurani,
menghianati jiwa peribadi sendiri. Tiada kehinaan yang lebih
hina daripada menghina diri sendiri, tiada hianat yang lebih
hianat daripada menghianati diri sendiri.
Ketiga api jahat itu harus disiram, dipadamkan dan
dilenyapkan dengan air yang jernih, air yang murni dari yang
paling murni, air yang halus dari yang paling halus. Air yang
sanggup menembus serabut yang paling halus dari pancarasa
jasad manusia. Air atau u d a k a itu harus mempunyai lima
buah saluran. Alat atau senjata yang memiliki lima ujung mata
disebut bajra. Demikianlah maka terciptalah sebuah alat yang
dinamakan B a j r o d a k a atau air halus yang mempunyai
Takhta Setan 2 My Name Is Red Karya Orhan Pamuk Geger Putri Istana 2
^