Jun 1
Jun Karya Mia Arsjad Bagian 1
Bab 1 ''Serius" Jadi kalian nggak bakal SMA di Jakarta"'' Dira menatap Mayang dan Irwan, dua dari
ketiga sahabat segengnya.
Mayang dan Irwan mengangguk kompak. Mereka berdua sudah pasti meninggalkan Jakarta
begitu lulus SMP. Satu ke luar negeri, satu ke luar kota. Itu berarti cuma Dira dan Juna yang
kemungkinan besar bakal terus sekolah di ibu kota yang kejam seperti ibu tirinya Cinderella ini.
Mendadak Dira sedih. Mereka adalah kumpulan kutu buku yang langsung kompak sejak masuk
SMP. Nggak ada yang nggak seru kalau dijalankan berempat. Dira yang manis, ceroboh, dan
cerewet; Mayang yang teratur dan rapi; Irwan yang hobi sepak bola; dan Juna yang ganteng,
sang pemberontak dengan otak superencer, kocak, dan anti kekerasan; mereka semua disatukan
oleh hobi baca dan nonton film.
Mulai dari berburu novel, nonton film DVD, nonton hemat di bioskop, dan bikin tugas bareng,
semua menyenangkan kalau dilakukan berempat.
''Jadi sedih...,'' Dira berkata pelan.
''Eh, jangan sedih dong. Sekarang kan zaman modern. Ada e-mail, fb, messenger. Kita tetep bisa
kontak kok,'' kata Irwan semangat.
Mayang mengangguk setuju. ''Irwan bener. Jangan sedih dong. Sekarang kita tos kompak dulu
yuk!'' Mayang mengulurkan telapak tangannya ke tengah-tengah mereka. ''Tos kompak!''
''Tos!'' Irwan meletakkan tangannya di atas tangan Mayang.
Sambil berusaha mengurangi kesedihan, Dira melatakkan tangannya di atas telapak tangan
Mayang, dan jantung Dira nyaris meledak waktu Juna meletakkan tangannya di atas tangan Dira.
Tangan Juna yang hangat bikin wajah Dira memanas.
''Nah, kalo gue sama Irwan pergi, berarti tinggal Juna sama Dira di Jakarta. Kalian harus tetep
kompak ya. Kalo sampe pacaran juga nggak papa kok. Hihihi..'' Mayang cekikikan.
Candaan Mayang langsung bikin Dira dan Juna refleks saling tatap sekilas. Super-sekilas, lalu
sama-sama salting dan pura-pura melihat ke arah lain.
''Oke. Kita tos! Mayang, Irwan, Juna, dan Dira... kutu buku paling asyik, bersahabat
selamanya!!!'' Lalu mereka berempat mengangkat tangan ke udara.
PYARRR!!! Seperti biasa, tangan si ceroboh di angkat tanpa lihat arahdan menyambar cangkir teh manis
panas di meja tamu pendek di ruang TV Irwan. ''AUWHHH! PANASSS!''
''Ya ampun. Lo nggak papa, Ra"'' Dan seperti biasa juga, Juna langsung maju duluan dengan
panik. Dira mengibas-ngibaskan tangannya yang terkena teh panas. ''Nggak, nggak papa. Cuma kena
panas sedikit.'' Juna membolak-balik tangan Dira. ''Agak merah sih... Gue beliin obat dulu, ya" Kalo nggak,
tangan lo bisa bengkak. Nanti berabe kalo konser tunggal piano lo batal.
Dira mendelik. ''Kurang ajar,'' protes Dira cemberut. Dia paling sebal kalau diledekin soal musik.
Semua juga tahu Dira paling payah mainin alat musik. Satu-satunya alat musik yan bisa dia
mainkan cuma pianika. Juna cuma cekikikan. Dira terus meniup-niup tangannya yang nyut-nyutan.
''Ra,'' panggil Juna yang ternyata manatap Dira dengan super serius.
''Hm"'' Juna duduk tegak dengan gelisah. ''Mm, gue... ehm... lo... hari Minggu jam dua belas, bisa
nemuin gue di taman deket sekolah nggak" Ada... ada yang mau gue omongin.''
Spontan Dira berhenti meniup tangannya.
Juna terus menatap Dira. ''Kita berdua aja... Bisa"''
Perut Dira bergolak. Selama ini mereka selalu berempat. Kali ini Juna mengajak bertemu berdua,
dan jawaban Dira cuma satu, ''Bisa...''
Jantung Dira berdegup nggak beraturan. Kompak sama jantung Juna.
Dira melirik jam tangannya berkali-kali. Juna selalu tepat waktu, persis kayak Dira. Tapi
sekarang sudah jam satu siang, kenapa Juna belum datang juga" Padahal dia janjinya jam dua
belas. Dira duduk di kursi taman dan berpikir. Mungkin mendadak Juna ada urusan, mungkin dia kena
macet... mungkin... baterai HP-nya habis, makanya waktu Dira telepon nggak diangkat.
Dira memutuskan untuk menunggu, karena Juna nggak pernah ingkar janji.
Tapi, kali itu Dira salah.
Juna nggak datang. Dan nggak pernah datang. Empat jam Dira duduk di taman itu dan Juna
nggak pernah muncul. Dira sudah menelepon dan SMS, tapi nggak bisa. Waktu Dira ke rumah
Juna... rumahnya itu kosong. Salah seorang tetangga bilang, Juna sekeluarga mendadak pindah,
entah kenapa. Juna menghilang tanpa kabar. Irwan dan Mayang juga nggak mendengar kabar apa-apa.
Setiap hari Dira menatap HP-nya. Berharap ada telepon atau SMS dari Juna.
Satu hari... dua hari... satu bulan... lima bulan... sampai satu tahun... kabar dari Juna nggak
pernah datang. Cinta pertama Dira pergi begitu saja.
Bab 2 Jadi anak baru di tengah-tengah semester itu mengerikan. Apalagi buat Dira. Di sekolah lama,
Dira adalah kutu buku ceroboh, kuper, dan belum pernah punya pacar. Teman-temannya yang
sekarang juga sesama kutu buku, tapi sama sekali nggak seasyik gengnya waktu SMP dulu.
Rasanya sih di sekolah baru ini predikat Dira juga nggak bakal berubah. Biarpun Dira sering
baca novel remaja tentang seorang kutu buku yang pindah sekolah lalu bertransformasi jadi
cewek gaul, kenyataannya nggak segampang itu mengubah imej.
Gila kalau dia mendadak harus menghapal merek-merek yang lagi in, atau desainer yang lagi
ngetop, atau tempat gaul yang lagi hot, belum lagi kalo harus fasih merek-merek perawatan
muka, makeup, salon... Tidaakkkk!!
Novel dan film-film terbaru sudah cukup mengasyikkan buat Dira.
Jadi waktu Mama tiba-tiba bilang dapat tawaran kerja sama untuk toko buku roti di Bandung dan
harus hijrah ke kota kembang ini, Dira cuma bisa pasrah. Kutu buku yang semula nongkrong di
perpustakaan sekolah lamanya di Jakarta, sekarang siap-siap nongkrong di perpustakaan sekolah
barunya, salah satu SMA unggulan di Bandung.
''Lo jangan khawatir, Ra. Kalo masih bingung atau mau tanya apa pun, ke gue aja... Pasti gue
bantuin deh.'' Dira tersenyum lebar ke arah Tasha yang berjalan di sebelahnya setelah teman sekelasnya ini
mengajukan diri dengan sukarela untuk mengantar Dira berkeliling dan memperkenalkan seisi
sekolah ini pada Dira. Tentu saja Tasha jadi teman pertama Dira. Yang pasti Dira bersyukur ada
yang mau langsung jadi temannya pada hari pertama. Biarpun dalam sekali tebak, Dira tahu
bahwa Tasha juga kutu buku yang kurang populer. Biar begitu, Tasha dengan bangga
mengumumkan diri sebagai ''kaum pengamat''. Katanya, dia tahu semuaaa kejadian di sekolah ini
termasuk semua gosip hits-nya.
''Nah, itu perpustakaannya, Ra. Deket kan sama kelas kita" Bukunya lengkap...'' Tasha menunjuk
ruang perpus dengan gaya khas sales promotion girl.
Dira mengangguk-angguk. Dari luar sih kelihatan nyaman. Ada AC-nya pula. Kayaknya sih
bakalan betah berlama-lama di situ. Mungkin besok Dira baru mencoba baca-baca buku di situ.
Hari ini dia mau keliling sekolah dan kenalan dengan sekolah barunya ini. Supaya besok dia...
EH"! Mata Dira menyipit ke arah cowok berpostur tinggi yang berjalan keluar dari perpustakaan
sambil terburu-buru melepas kacamata dan memasukkannya ke saku kemeja seragamnya.
''JUN! ARJUNA!'' ''Ya ampun, Dira!'' Dengan panik dan ketakutan Tasha berlari menyusul Dira yang melesat lari
ke arah cowok itu. ''Jun! Juna, kan" Jun... inget gue nggak"!'' Dengan riang gembira Dira menyapa cowok itu.
Saking gembiranya, Dira nyaris kelihatan seperti kelinci yang kegirangan menyambut hujan
wortel. Cowok yang dipanggil Juna itu menatap Dira kaget sambil mematung.
Dia Arjuna alias Juna sahabat Dira waktu SMP. Cowok super-duper-pintar dengan otak encer
seencer-encernya. Juara kelas sejadi-jadinya.
Juna, Dira, Irwan dan Mayang yang sewaktu SMP menjadikan toko buku dan bioskop sebagai
tempat favorit sepanjang masa.
Dira nggak bisa melupakan ketika Juna tiba-tiba menghilang pada pertengahan kelas IX. Guruguru cuma bilang bahwa Juna ikut pindah mendadak karena urusan keluarga. Benar-benar cuma
itu. Nggak ada kabar dari Juna sama sekali. Rumahnya mendadak kosong. Hanya ada
pembantunya yang cuma bisa memberi informasi yang sama: pindah mendadak karena urusan
keluarga. HP Juna tidak aktif. Juna seperti hilang ditelan bumi.
Dan sekarang dia ada di depan mata Dira....
POK! Dengan sok akrab, Dira menepuk bahu cowok itu. ''Jun! Kok bengong begitu sih" Lo nggak lupa
sama gue, kan" Lo kemana sih, tiba-tiba ngilang" Ternyata lo SMA di Bandung" Ya ampuuun...
Seneng banget ada yang gue kenal di sini. Baru hari ini gue pindah ke sini, Jun.'' Sambil merepet,
Dira menatap Juna dengan berbinar-binar.
Bagaimana mungkin Dira nggak berbinar-binar" Dia sama sekali nggak menyangka akan ketemu
Juna di sini. Dia melupakan kekesalan dan amarah yang telah lama menetap di hatinya gara-gara sahabatnya
pergi tanpa pamit. Amarahnya seketika hilang dikalahkan kegembiraan karena bisa bertemu Juna
lagi. Dia kangen banget pada sahabatnya ini! Dulu kan Dira paling kompak sama Juna. Sekarang
mereka sudah kelas XI, berarti kan hampir dua tahun nggak ketemu. Sayangnya, Mayang SMA
di luar negeri, ikut tantenya. Sementara Irwan pindah ke Medan bersama keluarganya. Kalo
nggak, pasti detik ini juga Dira bakal memberi tahu merek dan menyuruh mereka datang kemari.
Dira sebenarnya masih penasaran setengah mati, apa yang mau Juna bicarakan dengannya pada
hari Minggu ketika Juna ingkar janji.
Wajah Juna melunak, tapi tetap dingin. ''Dira, seneng ketemu lo lagi. Sori, gue masih ada
urusan.'' Cowok itu mendorong pelan badan Dira ke samping, lalu jalan melewati Dira, dan pergi
begitu saja, tanpa meminta maaf karena dulu pernah ingkar janji, tanpa menjelaskan ke mana dan
kenapa hampir dua tahun lalu dia tiba-tiba menghilang.
Apa-apaan nih" ''Eh"! Jun! Juna, tunggu!''
''Dira, stop!'' Sebelum Dira sempat ngacir dan mencaci maki Juna, Tasha keburu mencekal
tangan Dira dan menariknya berhenti. ''Lo kenal dia"''
Dira mengangguk gusar. ''Ya kenal lah! Dia sahabat gue waktu SMP, Tash.''
Tasha tetap mencekal tangan Dira sambil menatapnya cemas. Lebih tepatnya, ketakutan sih.
''Kayaknya sekarang lo nggak bakal mau sahabatan lagi sama dia.''
Alis Dira bertaut, bingung. ''Maksudnya"''
''Gue yakin, dia yang lo kenal dulu... deda banget deh sama Jun yang sekarang. Mendingan lo
ngga usah deket-deket dia.''
Dira makin bingung. ''Maksudnya"''
*** Dalam perjalanan pulang Dira nggak bisa berhenti melamun dan memikirkan semua yang
dikatakan Tasha. Memangnya benar"! Memangnya Juna cowok paling ditakuti di sekolah"
Memangnya Juna pemimpin cowok-cowok berandalan di sekolah" Memangnya Juna itu tukang
tawuran" Memangnya Juna tukang bolos" Memangnya Juna menakutkan dan nggak pernah
ramah sama orang" Masa sih" Kata Tasha, satu-satunya sifat lama Juna yang tersisa adalah otak
encernya. Biarpun Juna tukang berantem, tukang bolos, banyak musuh, dan selalu bikin masalah,
guru-guru nggak berniat mengeluarkan dia dari sekolah. Semua guru kompak pengin
menyelamatkan Juna karena otak encer dan potensinya yang, menurut Tasha, luar biasa.
Di mana lagi ada berandalan sekolah yang masih mau ikut olimpiade matematika dan menang"
Di luar jadwal berantemnya, kata Tasha, Juna paling suka baca buku atau mengutak-atik sesuatu
di klub sains. Dira tersenyum tipis, nggak ada yang bisa mengalahkan kecintaan Juna dalam hal
membaca. AHHH! Tapi masa iya sih" Masa Juna jadi berandalan dan menakutkan kayak gitu" Juna kan
cowok ceria, humoris, jail... Masa sekarang..."
''Nggak mungkin...!'' DUAKKK! Dira menendang kaleng yang nangkring di depan kakinya. ''HADUUHHH!!!''
Kaleng itu ternyata berisi semen keras dan digunakan sebagai penahan tutup gorong-gorong di
depan sekolah. Sambil melompat-lompat kecil dan meringis, Dira merutuki diri sendiri yang tingkat
kecerobohannya sudah selevel dewa. Harusnya dia tadi lihat-lihat dulu kaleng apa itu! Harusnya
dia curiga kenapa kaleng segede kaleng cat itu dibiarkan nangkring di tengah.
Sepertinya Dira harus ikut terapi hipnotis biar ceroboh akutnya sembuh. Kasihan Mama terusmenerus cemas kalau Dira berada di luar rumah. Sampai-sampai Dira diwajibkan membawa
plester ke mana-mana, saking seringnya pulang dalam keadaan benjol, lecet, atau harus ganti
rugi barang orang. Dira terduduk di bangku kecil dekat pelataran parkir sekolah.
Tapi, memang Juna tadi aneh banget. Dia bahkan nggak senyum sedikit pun saat melihat Dira.
Dira menghela napas. Padahal tadi dia senang banget bisa ketemu Juna.
*** Klub bhs Mandarin, klub minum teh Jepang, klub menyulam indah, klub tari tradisional... Dira
mengacak-acak rambut berpotongan bob-nya, bingung. Bibirnya yang sekecil bibir liliput
berkerut-kerut manyun. Soalnya dia bingung... Kata wali kelasnya, dia harus segera memilih satu
ekstrakulikuler. Tapi ap ya" Antara klub bhs Mandarin dan klub...
EH"! Waduh"! Ada tawuran! Dengan segenap aura ketakutan, Dira membeku. Ini kenyataan.
Gara-gara jalan sambil melamun, sekarang dia berdiri amat sangat dekat dengan segerombolan
cowok yang tampak barbar dan saling menyerang. Kalau Dira nggak segera kabur, bisa
dipastikan dia bakal terjebak di tengah tawuran mengerikan ini!
Mata Dira melihat ke sana kemari, mencari celah untuk kabur. Mungkin dia bisa menerobos
sekelompok cowok di sisi paling kiri. Jumlah gerombolan di sana paling sedikit. Kalau lari ke
sana secepat kilat, mungkin dia akan... BABAK BELUR!!
Kenapa Dira bisa lupa bahwa sebagai kutu buku sejati, kecepatan larinya bisa disetarakan dengan
siput yang lagi hamil besar dan terkena encok, alias... PELAN BANGET"
Oke... menerobos gerombolan kiri... coret dari daftar.
Terus gimana dong"! Dengan panik Dira melihat ke sana kemari lagi, mencari jalan lain. Dia nggak boleh terjebak
dalam tawuran! Dia belum belajar karate atau kungfu, nggak menguasai teknik bela diri!
Ah! Tembok itu! Dira menatap tembok pembatas di dekat gerombolan kanan. Dia bisa memanjat
dan menyeberang lewat tembok itu saja. Kalau memanjat tembok itu... dia pasti... NYUNGSEP!
Ya iyalah! Masalahnya, dengan tinggi badan yang jauh di bawah standar model dan pramugari,
memanjat tembok setinggi itu tanpa tangga, sama saja cari mati.
Ahhh! Terus gimana dong"
Muka Dira mulai pucat. Tangannya dingin. Tanda-tanda bahwa dia betul-betul mati kutu, dan
bisa mati jadi korban tawuran! Sementara para pelaku tawuran tampak semakin banyak dan
semakin barbar saat menyerang. Dan yang paling gawat... mereka semakin dekat!!!
Dira mematung. Bagaimana ini" Telepon Mama" Tapi Mama bisa apa" Nanti malah bikin Mama
histeris dan serangan jantung saat tahu anak kebanggaannya, sang juara kelas dan penurut, yang
pandai melucu, dan terkenal ceroboh ini terjebak di tengah tawuran maut.
Oke! Berdoa... Dia selalu ingat nasihat Papa: Kalau kita terpojok, nggak ada satu pun yang bisa
menolong selain Tuhan. Tuhan bisa menolong kita dengan cara yang tak terduga. Tuhan bisa saja
mengirimkan malaikat dalam wujud apa pun untuk menyelamatkan kita karena...
''Udah gila ya"! Bosan hidup"!''
HAH"! Mata Dira yang tadi terpejam rapat sambil berdoa, kini terbuka pelan, mengintip.
Hiyaaa! ''A... ampun... ampun... gue nggak sengaja kok ada di sini. Jangan... jangan diapa-apain
ya" Peace... damai... gue mau pulang kok. Nggak bisa berantem. Suwer!'' Dira merepet panik
dengan suara gemetar melihat sosok tegap dan sangar berkaus oblong di depannya.
''Hah" Lo kira gue mau ngajak lo berantem" Gue bilang lo udah gila ya di sini, Diraaa!''
Lho..." Dira mengamati cowok itu lekat-lekat begitu dia menyebut nama Dira. Tunggu, tunggu...
Kalau kata cewek-cewek genit dan populer di sekolahnya, Juna adalah the real bad boy.
Tadi Dira sempat nggak mengenali cowok itu karena dia nggak pakai seragam dan rambutnya
yang gondrong juga ditata asal-asalan menggunakan ikat kepala. Mungkin ini salah satu strategi
perang: Poni jangan sampai menghalangi pandangan.
''J... Juna..."'' ''SERAAAANGG!!!'' Tiba-tiba ada teriakan keras disertai batu-batu melayang.
''Gawat! Sini!'' Juna menarik tangan Dira sampai tubuh cewek itu merapat ke badan tegap Juna. Dira setengah
dipeluk karena lengan kekar Juna melingkar di atas kepalanya. Lalu, dia ditarik paksa ke dalam
lindungan Juna sampai akhirnya...
''Duduk! Cepat!'' perintah Juna. Mereka berdua tiba-tiba sudah ada di halaman rumah tua yang
berpagar tinggi dan sepertinya masih dekat dengan lokasi tawuran.
Dengan panik, Dira menurut dan langsung duduk meringkuk dengan punggung merapat ke
tembok. Juna ikut duduk di sebelah Dira, juga dengan punggung merapak ke pagar. ''Ssst...
jangan bersuara! Ngerti"''
Dira mengangguk ketakutan. Rasanya nyawanya sekarang di tangan Juna. Seumur hidup, Dira
belum pernah terjebak dalam situasi genting yang mengerikan seperti gini. Karena disuruh
jangan bersuara, Dira diam saja waktu tangan Juna lagi-lagi melingkar di kepalanya. Mm,
mungkin dia berusaha melindungi Dira dari batu yang bisa melayang ke arah mereka. Atau,
mungkin saja Juna sekarang juga berubah jadi cowok mesum bin genit yang curi-curi
kesempatan. Eh, tapi... di tengah-tengah tawuran begini, Dira memutuskan untuk percaya pada
pilihan pertama saja. Dia belum pernah sedekat ini dengan cowok. Jarak terdekatnya dengan
laki-laki adalah dengan Papa yang pulang beberapa bulan sekali karena bekerja di pengeboran
minyak lepas pantai. Kalau ada Papa, Dira suka banget duduk dalam rangkulan Papa sambil
menonton TV. Dan kalu nggak dalam situasi darurat militer kayak gini, tiba-tiba ada cowok yang
nggak dia kenal berani rangkul-rangkul kayak gini, mungkin Dira sudah melayangkan bogem ke
segala arah. Yah, dalam mimpi sih. Soalnya Dira kan kutu buku lemah, invicible, dan nggak mungkin bisa bogem orang. Tapi cowok
ini kan Juna! Dulu mereka memang sering rangkul-rangkulan dalam rangka bercanda, meski
nggak sedekat ini. Harusnya... jantung Dira nggak deg-degan kayak gini.
Tapi... rangkulan yang dulu itu beda. Dulu kan badan Juna ceking dan tipis. Sekarang, dengan
badannya yang tegap dan berisi begini, Dira merasa didekap oleh cowok yang nggak dikenalnya.
''Sudah aman...'' Setelah lima belas menit, akhirnya Juna melepaskan rangkulan dan berdiri.
Jun Karya Mia Arsjad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menurut pengamatan cowok itu sebagai ahli tawuran, situasi sudah nggak berbahaya lagi.
Dira ikut berdiri. Sepertinya memang sudah aman. Dia nggak mendengar lagi suara ribut-ribut.
Mungkin tawurannya sudah bergeser.
''Lain kali kalo mau berdiri di tengah-tengah tawuran, pastiin kalo lo itu cowok dan kebal senjata
tajam.'' Hah"! Dira menatap Juna aneh. ''Maksudnya" Emangnya tadi gue sengaja" Gue juga nggak mau berdiri
di tengah situasi kayak tadi! Mana ada sih orang waras yang mau terlibat tawuran"!'' Saking
hebohnya, kacamata Dira sampai melorot ke hidung.
Gantian wajah Juna yang berubah aneh. ''Maksud lo... gue nggak waras"''
Dira menatap Juna lurus-lurus, lalu dengan mantap mengangguk. ''Kalo lo terlibat tawuran,
berarti lo nggak waras. Gue sampe kaget ternyata lo sekarang jadi sinting.''
Sama sekali nggak perlu kaca pembesar untuk melihat Juna ternganga dikatain nggak waras.
Tapi bagi cowok jagoan seperti Juna, melongo cukup beberapa detik saja, lalu dengan cool dan
penuh percaya diri Juna melepas ikat kepala dan menyisir rambutnya dengan jari, sambil
menatap Dira tajam. ''Lo itu harusnya bilang terima kasih.''
Dira mengedikkan bahu pelan. ''Makasih. Makasih udah nolongin gue, dan makasih ternyata lo
masih inget nama gue,'' tukas Dira pedas.
Sekali lagi Juna terpaksa melongo melihat reaksi Dira yang lempeng dan asal. ''Terus" Lo nggak
minta maaf karena ngatain gue nggak waras"''
Dira menggeleng mantap. ''Nggak tuh. Soalnya menurut gue, lo tetap nggak waras. Sampe kapan
pun, orang tawuran itu nggak waras. Orangtua nggak bangga, dikejar-kejar polisi, babak belur
pula. Belum lagi kalo mati. Mati konyol! Gue nggak nyangka, ternyata lo emang bener-bener
jadi tukang berantem sekarang. Padahal dulu lo paling anti kekerasan.''
Rasanya sekarang bukan waktu yang tepat untuk mengungkit rasa penasaran Dira tentang masa
lalu. Juna betul-betul kayak orang lain.
Oke. Kalimat Dira kayaknya menyinggung harga diri Juna.
Alis Juna mengernyit. Cewek ini betul-betul tengil, pikirnya. ''Cuma laki-laki sejati yang berani
membela kelompoknya sampe kayak gini. Dan gue membela almamater sekolah.''
Dira tertawa kecil. ''Kenapa ketawa"'' desak Juna, nggak ngerti.
Lalu mata bulat Dira yang ceria menantang mata Juna dengan tajam dan gusar. ''Laki-laki sejati"
Bukannya pengecut" Beraninya keroyokan. Gue nggak ngerti kenapa lo merasa keahlian baru lo
ini membanggakan.'' Melongo Juna kali ini betul-betul dahsyat. Dia terkena sekakmat. Sekakmat dari cewek mungil,
bermata bulat, berkacamata, berambut bob, dan selalu membawa tas yang tampaknya berat dan
penuh. Seragamnya juga, mm, benar-benar nggak modis. Masih Dira yang dulu, yang dia kenal
di SMP. Dira yang simpel, cuek, ceroboh, dan agak galak. Nggak seperti cewek-cewek yang
sering cekikikan kalau Juna lewat, yang bedaknya seperti terbuat dari tepung terigu.
*** ''Sekali lagi, makasih ya. Gue permisi... Nanti Mama bingung nyariin gue.'' Dira melangkah pergi
sambil celingukan, memastikan keadaan sekitar aman.
Juna masih mematung, takjub. Kemudian matanya tertuju pada tumpukan kertas yang tergeletak
di bawah dan sebuah buku bertuliskan nama Adira Putri Januari. ''Eh, Dira!'' Secepat kilat Juna
menyambar tumpukan itu dan mengejar Dira.
Dira berbalik. Juna berlari kecil dengan tumpukan kertas dan buku Dira di tangannya. ''Ini punya
lo, ya kan"'' Mata Dira membulat. ''Oh iya... Wah, makasih ya.''
''Nih!'' Karena semua yang Juna lakukan rata-rata menggunakan tenaga besar, jadi sewaktu
menyodorkan kertas-kertas itu, Juna kelepasan menggunakan tenaga terlalu besar, sampaisampai... sraakkk... Semua kertas dan buku Dira berjatuhan ke jalan. ''Sori, sori...'' Juna buruburu memunguti, lalu menatap Dira dengan aneh. ''Klub bhs Mandarin" Minum teh Jepang" Tari
tradisional" Menyulam indah" Brosur-brosur apaan nih"''
Dira buru-buru merebut semuanya dari tangan Juna. ''Brosur ekskul.''
''Di sekolah kita"''
Dira mengangguk. ''Ya iyalah. Wali kelas nyuruh aku ikut ekskul. Tapi aku masih bingung.''
Mata Juna membesar. ''Bingung antara ini semua"''
Dira mengangguk lagi. ''Iya.''
''Astaga. Kan udah jelas.''
Dira menatap Juna nggak ngerti. ''Apanya"''
Telapak tangan Juna melambai-lambai di depan mata Dira. ''Jelasss... nggak ada yang harus
dipilih. Boring banget semuanya. Ngapain ikut ekskul-ekskul begini" Nggak ada yang lain" Gue
baru tau ada klub-klub beginian di sekolah. Nggak ada yang lebih seru" Modern dance" Basket"
Berenang" Ini sih cocoknya buat ratunya kutu buku!''
Astaga, cowok ini! Meski memang benar sih, tapi kan Juna sendiri juga kutu buku.
''Yeee... terserah gue dong! Udah ah, gue pulang. Kalo lo cari ekskul berantem indah, sampe
kiamat juga nggak ada! Ternyata lo juga berubah jadi nyebelin ya, Jun" Permisi!'' Dira ngibrit
pulang. Rasanya Dira pengin banget mencaci maki Juna tiga hari tiga malam mulai dari
sekarang! Bab 3 ''Jadi lo diketekin gitu, Ra"'' Tasha bertanya heboh.
''Kok diketekin sih"''
Tasha memutar mata menatap Dira. ''Ya kan kata lo tadi... Tangannya di kepala lo gitu. Juna kan
tinggi banget, jadi ya lo di keteknya, kan" Gimana, Ra" Wangi nggak"''
Wah, Tasha kayaknya agak-agak melenceng nih otaknya. ''Tasha, gue terjebak di tengah
tawuran, ditolong sama berandalan sekolah. Dan lo berharap gue nyium bau keteknya"! Mana
gue tauuu. Tashaaa...! Yang dirangkul kan kepala gue. Lubang hidung gue di bawah, bukan di
jidat! Gue juga nggak peduli, Tasha. Gue kecewa sama dia. Dulu itu dia sahabat yang baik dan
menyenangkan. Sekarang jadi orang yang sama sekali beda. Nyebelin! Gue nggak ngeri, kok
bisa orang berubah drastis kayak gitu"''
''Ya lo tanya aja, Ra...,'' cetus Tasha datar.
''Nanya gimana, Tash" Kalo liat dia sekarang, gue kayak nggak pernah kenal dia. Padahal dulu
dia sahabat gue.'' Sekaligus cowok yang bikin jantung gue deg-degan, lanjut Dira dalam hati. ''Lo
inget kan waktu dia pertama kali ketemu gue" Kalo dia masih nganggep gue sahabat lama, masa
reaksinya begitu" Dingin. Mungkin, buat dia jadi anak baik-baik udah nggak keren.'' Dira
menghela napas di ujung kalimatnya.
Ternyata melihat orang yang dekat dengan kita berubah negatif itu nyesek banget. Dipikir-pikir,
kalo gini mendingan Dira nggak usah ketemu Juna lagi sekalian. Sampai hari ini, Dira juga
belum memberi kabar pada Irwan dan Mayang. Percuma. Nanti Dira malah membuat Irwan dan
Mayang ikut kecewa. ''Hihihi...'' Tiba-tiba Tasha cekikikan. ''Elo tuh cerobohnya udah akut banget deh, Ra. Lo pasti
pas jalan nggak liat-liat kan, jadi nggak tau ada tawuran, ya kan" Sama kayak waktu lo salah
masuk bus jurusan Surabaya padahal mau ke Bogor,'' tembak Tasha , yang sempat nggak
menyangka bahwa kecerobohan Dira itu bukan omong kosong.
Saking cerobohnya, baru sebulan lebih dekat dengan Dira, Tasha sudah bisa menyimpulkan
setepat itu. Termasuk kejadian tawuran kemarin. Kalau Dira nggak berjalan sambil menunduk
dan melihat brosur, seharusnya dia bisa lihat dari jauh bahwa ada tawuran, jadi nggak akan
terjebak tawuran. ''Yeee... waktu itu kan warna busnya sama! Wajarlah kalo gue salah naik.''
Tasha mendelik. ''Warna boleh sama. Tapi tulisannya kan beda. BO-GOR, SU-RA-BA-YA.
Udah deh, kecerobohan lo itu kan udah mendunia. Lo sendiri yang bilang begitu,'' cecar Tasha
nggak mau kalah. Dira cemberut, nggak bisa ngeles, dan jadi teringat kejadian kemarin. Bibirnya langsung
manyun. ''Gue udah dikatain kutu buku, dikatain gue cuma di kelas sama perpustakaan doang,
semua ekskul yang lagi gue pikirin boring lah...''
Alis Tasha naik satu senti sambil melongo. ''Lha, emang bener, 'Kutu Buku'. Emang bener kan
kalo di sekolah kita cuma di kelas dan perpus" Apalagi perpus di sekolah kita ini nggak ada
larangan makan. Sejak hari pertama lo masuk perpus sekolah kita ini , lo udah jatuh cinta, kan"
Jadi Juna Nggak salah dong. Lo aja yang nggak mau terima kenyataan,'' ujar Tasha dengan ketus,
sambil membolak-balik buku sejarah.
Dira nyengir. ''Yah, tapi gue sebel aja. Nggak usah terang'terangan gitu kan bisa" Jadi kesannya
neledek, tau! Kayak orang lupa ingatan aja. Dia sendiri kan kutu buku. Cuma sekarang ditambah
embel-embel pimpinan geng. Baru gitu aja udah bangga.''
Tuing! Tasha menoyor jidat Dira pakai telunjuk. ''Udah ditolongin, diledek doang ngambek.
Banyak maunya. Udahlah, jarang-jarang kan cewek kutu buku kayak kita bisa sedeket itu sama
Juna, si Bad Boy. Aleen sama gengnya pasti iri berat tuh.''
Mendengar nama Aleena alias Aleena dan gengnya, muka Dira langsung cemberut. Geng
campuran cewek-cewek populer kelas XII dan kelas XI itu betul-betul seperti geng cewek-cewek
yang rese seperti di film-film remaja Amerika. Kayaknya mereka memang meniru tingkah laku
tokoh-tokoh di film itu. Buat cewek-cewek seperti mereka, cewek kutu buku dan nggak berdaya
seperti Dira dan Tasha itu santapan empuk untuk hiburan sehari-hari, demi menunjukkan
kekuasaan. Tapi, sebelumnya dulu mereka nggak parah-parah amat. Hanya saja sejak Aleen, si
anak baru pindahan Amerika masuk dan langsung menobatkan diri jadi pemimpin geng, baru deh
mereka jadi menyebalkan. Dira tahu semua itu dari Tasha. Aleen dan gengnya mulai mengincar Dira buat jadi objek baru
keusilan mereka. Hampir dua bulan ini, sudah tiga kali Dira kebagian jatah mengerjakan tugastugas Aleen dan gengnya. Hati nurani sih pengin menolak, tapi kata Tasha, ''Jangan kalo nggak
mau kena masalah.'' *** Dira cekikikan. ''Hus!'' Akhirnya cekikikan heboh berdua dengan Tasha. Mereka semakin mengikik... sampai keram
perut cuma gara-gara khayalan mereka tiba-tiba jadi liar, sampai mengkhayalkan adegan Aleen
bakal menjambak rambut sendiri sambil menjedotkan jidat ke tembok kalau tahu Dira pernah
sedekat itu dengan Juna. ''Astaga! Tasha...'' ''Apa"'' Tasha menatap Dira bingung dengan mata masih agak berair. ''Apa"''
Grubak! Grubuk! Dira berdiri serabutan sampai semua benda di mejanya terjun ke sana kemari.
''Tashaaa.... kita kan udah janji mau bantuin Bu Fira, penjaga perpus, buat mindahin dan nyusun
buku-buku baru dari gudang penyimpanan ke perpustakaan. Jam istirahat udah mau abis nih!''
Brak! Tasha ikutan panik berdiri. ''Ya ampun, Dira! Kita telat nih!''
''Udah ah, ayo!'' Dira ngibrit ke luar kelas, menabrak Satyo-cowok Jawa yang superrajin yang
lagi asyik menyapu pada jam istirahat. Satyo nggak jajan, nggak ngobrol, nggak main bola, dan
lebih memilih menyapu. ''Dira! Piyeee tohhh" Debu ne terbang kabeh!''
''Soriii, Satyo! S.O.S!'' teriak Dira sambil terus ngibrit.
*** ''Untung Bu Fira nggak marah, Ra. Makanya, kalo ada janji ditulis dong, Ra. Di HP kek, pake
alarm.'' Sambil mengambil buku setumpuk dari gudang. Tasha masih sempat-sempatnya
mengomel. Dira melirik keki. ''Terus aja nyalahin gue... kan elo juga disuruh. Harusnya, kalo gue nggak
inget, lo yang ingetin dong.'' Tumpukan buku di tangan Dira goyang ke kanan-kiri karena
tingginya agak melewati batas normal tinggi tumpukan buku yang bisa diangkut manusia
normal. ''Ya kan lupa. Lagian kan lo anak baru, Ra, penting banget cari muka sama guru-guru. Harusnya
lebih inget...'' Nyebelin deh. Dira sudah malas menimpali. Soalnya sahabat barunya sesama kutu buku ini bakal terus ngotot
nyalahin dia karena cap cerobohnya. Padahal Tasha sendiri juga lupa. Dalam waktu singkat,
Tasha berhasil dibikin terkagum-kagum menyaksikan kecerobohan temannya ini. Tapi Dira juga
terkagum-kagum pada kenyataan bahwa ternyata Tasha manusia paling penakut di jagat raya.
Huh! Udah gitu, si Tasha pemalas pula. Cuma mau bawa sepuluh buku. Padahal nih, buktinya
Dira bisa membawa enam belas buku sekali jalan, meski agak oleng. Tapi kan jadi lebih cepat.
Yah, cuma perlu keahlian akrobat dikit.
Memang sih, Dira jadi susah lihat ke depan karena tumpukan bukunya sampai menutup muka.
Tapi kan Dira sudah hafal betul koridor dan seluk-beluk sekolah ini, kecuali...
''Dira! Awas!!!'' DUAK!!! ''ADUH!!'' ...kecuali kalau salah satu jendela kelas terpentang dan melintang di tengah jalan. Mana bisa
lihat"! BRUK! Tasha meletakkan bukunya di lantai koridor, buru-buru nyamperin Dira yang duduk
terjengkang. ''Ra... lo nggak papa" Tuh kan, udah gue bilang, jangan bawa buku ketinggian. Lo
jadi nggak bisa liat kan ada jendela kebuka. Sakit nggak"''
Astaga! Kelewatan deh Tasha pertanyaannya.
''Ya sakitlah! Gue aja sakit!'' Di tengah nyut-nyutan di jidatnya yang kemungkinan besar benjol,
Dira menoleh ke asal suara. Tasha juga. Suaranya dari balik jendela yang masih melintang di
tengah jalan setelah ditabrak Dira. Aneh. Seharusnya kan setelah ditabrak sekeras itu, jendela itu
tertutup dan posisinya berubah. Tapi ini kok..."
Dengan takut, Tasha melongok ke balik jendela. ''Y... ya ampun... sakit ya"''
Aduh! Jangan bilang ada orang di balik jendela yang sukses kena hantam dan bikin jendela itu
diam di tempat waktu Dira tabrak! Pantesan tadi pas menabrak jendela, Dira sakit banget. Dira
sampai mental begitu. Dia buru-buru melongok ke balik jendela.
OMG, Juna! Jidat Juna kelihatan agak merah. Ya iyalah, kena gebok jendela kelas. ''Kena ya, Jun"''
Juna tidak menjawab. Matanya cuma menyipit tajam seolah berkata, ''Menurut lo"!''
''Sori, sori, Jun. Gue tadi lagi ngangkut buku, jadi nggak keliatan. Soalnya tumpukan bukunya
tinggi banget.'' Dira meringis ngeri. Tasha tampak berdiri mematung, takjub.
''Ceroboh banget sih lo. Udah tau nggak bisa liat, jangan bawa semua dong. Mau main sirkus"!''
semprot Juna galak. ''I... iya, Jun... Gue udah ngingetin tadi, tapi Dira ngotot sih. Tuh kan, Ra, harusnya lo nurut, jadi
nggak bikin orang lain celaka.''
Dira melempar tatapan setajam silet ke arah Tasha. Bukannya bantuin malah memperkeruh
keadaan. Setelah tatapan silet ke Tasha, Dira langsung menatap Juna dengan tatapan kesal.
''Galak banget sih lo, Jun" Gue kan nggak sengaja. Gue udah bilang sori, kan" Sekarang lo
beneran jadi nyebelin deh. Kalo lo masih pengin ngomel ke gue, ntar aja! Gue mesti anter bukubuku ini ke perpus. Nanti Bu Fira keburu ngomel. Ayo, Tash, kita beresin bukunya.''
Juna melongo. Udah lama banget rasanya nggak ada orang yang berani kayak gitu padanya. Biasanya, cewekcewek kalau ngomong dengan Juna selalu takut, segan, atau malu-malu, sok manis. Ternyata
bagi Dira, perubahan drastis Juna dari cowok kutu buku menjadi cowok berandal sama sekali
nggak berpengaruh. Juna menatap Dira, sementara Tasha sibuk menata kembali tumpukan buku
itu di tangan mereka. ''Terus, lo mau bawa buku itu dengan cara yang sama kayak tadi"'' tegur Juna, begitu Dira dan
Tasha mau jalan. Dira menatap Juna, mengangguk. ''Emang ada cara lain"''
Juna mendesah seraya menggeleng cepat. ''Kalo gitu caranya, bakal ada lagi yang celaka. Udah
sini!'' Juna menyambar tumpukan buku di tangan Dira.
''Eh, Jun!'' ''Udah, biar gue yang bawain. Nggak usah heran begitu. Gue emang hobi berantem, tapi bukan
berarti gue nggak bisa nolong orang.'' Lalu Juna ngeloyor mendahului Dira dan Tasha menuju
perpustakaan. Lha" Dira menatap Tasha, bingung. Tasha mengangkat bahu, sama-sama bingung, lalu mereka
lari-lari kecil menyusul Juna. Ini sih namanya dua kali Dira ditolong Juna biarpun situasinya
nggak asyik dan dalam rangka terpaksa.
''Makasih ya, Jun... Ternyata sisi baik lo yang dulu masih ada.'' Dira nyengir , setengah meringis,
waktu Juna meletakkan tumpukan buku itu kembali ke tangan Dira begitu mereka sampai di
depan pintu perpustakaan. Juna sekarang memang ganteng, meski dengan gaya cuek dan
berantakan, nggak kayak SMP dulu. Apalagi ternyata, sifat suka menolongnya masih ada.
''Sama-sama. Lain kali kalo mau ngapa-ngapain tuh dipikirin dulu. Lo tau nggak, orang ceroboh
itu sama aja kayak orang yang suka berantem kayak gue. Sama bahayanya! Bedanya, kalo
berantem bisa celaka karena membela harga diri, kalo ceroboh bisa celaka konyol. Dari dulu
sampe sekarang, lo masih aja ceroboh.'' Juna lalu melenggang pergi.
Alis Dira mengernyit aneh menatap Tasha. ''Kenapa sih tuh orang" Bener-bener jadi orang aneh.
Bingung gue. Gue kayak kenalan sama orang baru.''
Tasha mengedikkan bahu. ''Biarin aja, dia emang preman. Yang penting kan buku-buku ini
dibawain sama dia. Yuk, masuk ah...'' Tasha membuka pintu perpustakaan.
Dengan setumpuk buku yang kembali menghalangi pandangan, Dira ikutan masuk. Tiba-tiba
Dira kepikiran bahwa ternyata sifat-sifat baik Juna masih ada. Itu artinya, setengah diri Juna
masih yang dulu, kan" Mungkinkah dia kembali jadi cowok baik, ramah, riang, dan anti
kekerasan kayak dulu" Dira menghela napas. Padahal, kalau Juna nggak jadi dingin dan asing
gini, pasti seru banget bisa satu sekolah dengan sahabat lama. Pasti banyak hal seru yang bisa
mereka lakukan seperti dulu. Bahkan mungkin lebih.
Bab 4 ''Kayaknya gue harus cari ekskul olahraga deh, Tash...''
Tasha menoleh dengan syok. ''Olahraga" Serius lo"''
''Iya. Emang kenapa"'' jawab Dira sambil terus berjalan menuju gerbang sekolah. Setelah
membaca semua brosur ekskul yang diambilnya waktu itu, Dira belum bisa memutuskan mau
ikutan ekskul apa. Sekarang malah kepikiran pengin ekskul olahraga. Lagipula sejak SD sampai
waktu di SMA-nya yang lama, Dira sama sekali belum pernah ikut ekskul olahraga. Sekali-sekali
boleh dong" PLOK! Tasha memegang dahi Dira.
''Kenapa sih"'' Dengan keki Dira menepis tangan Tasha dari dahinya.
Bukannya sadar, Tasha malah melambai-lambaikan tangan di depan Dira dengan wajah serius.
''Haaa-looo... olahraga" Pelajaran olahraga aja lo sering pura-pura nggak bawa seragam, saking
payahnya lo pas olahraga. Sekarang lo mau ikut ekskul olahraga" Olahraga apa" Ntar tiap latihan
lo pura-pura pusing sama mual-mual. Udah deh, Ra, lo kan lemah di bidang olahraga. Jangan
nekat deh. Ekskul olahraga di sekolah ini serius ngejar prestasi lho.''
Dira mendelik tengsin. ''Ih, kok lo ngeledek gue sih" Pelajaran olahraga di kelas itu kan nggak
asyik. Penuh teori. Kalo ekskul kan laeeeen, bener-bener fokus ke olahraga itu. Gerak badan!
Gue malah bisa jadi atlet.''
Bibir Tasha yang tadi cuma melongo kecil sekarang menganga dahsyat. ''Atlet apa" Dira, basket,
berenang, atletik, semuanya pake tenaga. Nah elo, disuruh upacara bendera aja udah mau
pingsan begitu. Lo kenapa tiba-tiba pengin ikut klub olahraga" Ra, lo nggak perlu berusaha
mengubah imej lo di sekolah lama. Be yourself aja.''
Dira manyun, tidak menjawab.
Jun Karya Mia Arsjad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tasha mengamati Dira, berusaha menebak-nebak, lalu tiba-tiba matanya membulat seperti
menebak sesuatu. ''Nah, gue tau! Jangan-jangan lo kepikiran omongan Juna waktu dia bilang
pilihan ekskul lo boring ya" Dia itu dulu sobat lo, kan" Gue yakin kalo dia tau lo nekat mau
ikutan ekskul olahraga, dia juga bakalan ngelarang. Dia pasti juga tau kalo lo o'on olahraga. Dia
itu sok menganggap ekskul pilihan lo nggak asyik cuma buat jaga imej, tau! Masa preman
sekolah menganggap klub minum teh itu asyik. Kan nggak matchiiing...''
''Tash, ngomong apa sih" Ini nggak ada hubungannya dengan saran siapa pun. Gue pengin coba
aja sesuatu yang baru. Emangnya nggak boleh"''
Tiba-tiba wajah Tasha berubah usil. ''Cieee, Diraaa... malu tuh. Mukanya merah. Jangan-jangan
dulu waktu SMP lo ada something special gitu ya sama Juna"''
''Tasha! Apa-apaan sih" Jangan ngaco. Gue sumpahin mulut lo dower!''
Tasha malah nyengir makin kegirangan.
''Tasha... Minta ditabok pake Kamus Besar Bahasa Indonesia banget ya bibir lo"''
Dan Tasha tetap terkakak-kakak menyebalkan.
''Sssttt! Kalian berisik!''
Bentakan menggelegar membuat Dira dan Tasha hening sesaat. Dengan ketakutan mereka
menatap ke arah si empunya suara. Brata. Cowok kakak kelas XII yang dikenal sebagai algojo
dalam tim tawuran sekolah tampak berdiri sambil melotot ke arah mereka. Serasa dipelototi buto
ijo atau genderuwo penunggu pohon sawo.
Brata nggak sendirian. Di sudut koridor sepi itu tampak semua cowok preman jago tawuran
sekolah. Mereka tampak serius dan tegang. Dan sekarang, muka-muka serius, tegang, plus
garang itu menatap ke arah Dira dan Tasha. Suasana mendadak hening mencekam. Persis seperti
detik-detik menjelang kemunculan sliding nurse alias suster ngesot di film-film horor.
''Kenapa masih bengong di situ" Nguping" Mata-mata"!'' Brata menggelegar lagi.
Aduh, ngompol boleh nggak ya" Ini terlalu menakutkan. Di Jakarta memang banyak tawuran di
mana-mana, tapi sekali pun Dira belum pernah berhadapan langsung dengan cowok-cowok
menakutkan yang rela babak belur demi membela sesuatu yang nggak jelas.
Dengan bibir gemetar, Dira berusaha mengeluarkan suara. ''M...mmaa... mmaa...''
Bagaimana bisa ngomong kalau Brata masih melotot dengan mata segede bakso begitu" Dira
melirik Tasha. Sahabatnya, sang juara penakut tingkat alam semesta itu tampak pucat dan butuh
ambulans. ''Bro, biarin. Paling mereka cuma nggak sengaja lewat.''
Suara yang Dira kenal. Tuh, kan benar. Yang barusan ngomong memang benar Juna. Cowok itu
tampak duduk di atas meja yang tidak terpakai. Kejadian ini bisa dianggap Juna menyelamatkan
Dira lagi nggak ya" Soalnya kalau nggak ada Juna, sepertinya Brata bakalan terus menggertak
sambil melotot begitu. ''I... iya... iya bener. Nggak sengaja lewat kok. Biasanya kami lewat depan kok. Gara-gara tadi ke
perpustakaan dulu... jadi lewat belakang sini. Ya kan, Tash"'' Dira melirik Tasha.
Tasha mengangguk dengan muka pucat. Mungkin Dira memang ceroboh, tapi Dira agak
pemberani. Kalau ada orang yang mendapat penghargaan untuk orang paling penakut sedunia,
Tasha pasti menang. Kalau lagi nggak ada apa-apa, ngomongnya merepet. Padahal sama apa pun
takut: kecoak, cicak, anjing, ketinggian, berenang, apalagi hantu.
''Ya udah, sekarang pulang sana...!'' kata Juna, membuyarkan lamunan Dira dan Tasha.
''Iya, emang mau pulang kok. Permisi ya... Yuk, Tash!'' Dira menyeret tangan Tasha, buru-buru.
''Jun, lo yakin kedua cewek itu nggak akan jadi masalah" Kalo mereka ngadu, bisa gawat kita!
Nggak perlu kita kasih syarat bungkam dulu"'' Sambil terus jalan buru-buru, Dira dan Tasha bisa
mendengar Brata bicara lagi dengan Juna. Suaranya terdengar gusar dan nggak setuju Juna
melepaskan mereka begitu aja.
''Udah deh, bro... Mereka itu cuma kutu buku. Liat aja tadi sampe gemeteran gitu. Nggak
mungkin mereka nekat ngadu. Kita lanjut susun strategi lagi deh,'' suara Juna yang menimpali
Brata langsung bikin Dira dan Tasha menghela napas lega dan melangkah makin cepat pengin
buru-buru ke luar gerbang.
Baru kali ini menginjak gerbang sekolah serasa menginjak pintu surga. Dan kalau tadi mereka
dipanggil lagi sama geng menakutkan itu untuk diberi syarat bungkam, sepertinya 99,99% Dira
dan Tasha bakal lari tunggang langgang, mengambil langkah 1.000 x 1.000 lebih cepat daripada
maling kolor di jemuran Bu RT.
''Ternyata gosip itu benar...,'' tiba-tiba Tasha bergumam.
''Gosip" Gosip apa, Tash"''
Tasha menarik Dira sedikit merapat ke pojok gerbang. ''Lo emang belum pernah denger, Ra"
Gue belum cerita ya"''
''Denger apa" Cerita apa"''
Lalu Tasha menengok kanan-kiri, mendekatkan kepalanya pada Dira dan berbisik dengan nada
misterius. ''Gosipnya, geng berandalan sekolah ini selalu ngumpul di tempat tadi, dua kali
seminggu. Mereka ngumpul buat rapat strategi tawuran.''
''Rapat strategi tawuran"''
''Sssttt!!!'' Telunjuk Tasha langsung nemplok di bibir Dira. ''Jangan keras-keras dong
ngomongnya. Gue sih sering denger, tapi baru kali ini gue liat langsung. Sayang banget ya,
cowok keren kayak Juna jadi berandalan sekolah"''
Dira terenyak. Tawuran kok dirapatin" Mendadak Dira kesal karena tadi dia sebenarnya sempat
memikirkan ekskul olahraga gara-gara omongan Juna waktu itu. Meski Juna bersikap sombong
dan seolah mereka nggak paernah berteman, hati kecil Dira masih menganggap Juna sahabat
lamanya. Bagi Dira, ejekan Juna tentang ekskul seperti saran yang disampaikan dengan sok sinis
biar tetap menjaga imejnya. Dira juga merasa dirinya bodoh karena sempat terpesona waktu Juna
terbentur jendela tapi masih mau membantu Dira membawa buku-buku ke perpustakaan. Kecewa
rasanya melihat kenyataan bahwa teman lamanya itu benar-benar jadi berandalan.
Dan Dira benci tawuran! Selain konyol dan nggak ada gunanya, tawuran itu merugikan dan
mencelakakan orang lain. Dira teringat waktu Mbak Rukmini, istri Mas Sutarno-tukang bakso
langganannya yang selalu mangkal di depan rumah-datang ke rumah sambil menangis-nangis
ingin meminjam uang untuk makan anak-anaknya. Mbak Rukmini bilang, Mas Sutarno
meninggal terkena sabetan senjata tajam waktu jualan karena tidak sengaja terjebak di tengah
tawuran anak SMA. Gerobak baksonya hancur. Mas Sutarno tewas di tempat kehabisan darah.
Mendadak dendam Dira terhadap para pelaku tawuran kembali berkobar-kobar. Apalagi kalau
teringat betapa ketakutannya dia waktu terjebak tawuran beberapa hari lalu.
''Orang tawuran itu norak! Berasa jagoan, padahal kampungan! Bikin malu!'' geram Dira gemas.
Dira tiba-tiba tertegun. Sebenarnya sampai detik ini dia masih sulit menerima kenyataan bahwa
Juna, sahabatnya, adalah cowok paling ditakuti di sekolah barunya ini. Apa sebenarnya yang
bikin dia berubah drastis kayak gitu" Juna itu anti kekerasan. Dira inget banget, Juna adalah tim
karate di SMP-nya. Dia selalu juara karena keahliannya, tapi dengan kocak Juna selalu bilang
bahwa ilmu bela dirinya itu bukan berantem, melainkan untuk prestasi dan menolong ibu-ibu
yang kecopetan, nenek-nenek yang dijambret, atau melawan perampok bank bertopeng stoking.
Juna sama sekali nggak pernah punya ekspresi menakutkan dan dingin kayak ekspresinya yang
sekarang. Waktu Pak Sutarno meninggal dan Dira berduka, Juna menemani Dira melayat ke rumah Pak
Sutarno. Sepulang dari sana, Juna bilang pada Dira bahwa tawuran itu seperti hama yang harus
dibasmi. Juna juga bilang, jurus paling ampuh menghadapi tawuran adalah ngibrit alias kabur.
Meski Juna bisa karate, meladeni pelaku tawuran sama saja menjadi pelakunya. Tapi sekarang..."
Dira terenyak lagi. Sedih sekaligus kecewa. Apa Juna lupa dengan kejadian Pak Sutarno" Juna
sudah lupa dengan kata-katanya dulu" Dira nggak menyangka ternyata Juna menganggap
tawuran begitu serius, sampai-sampai dia punya waktu khusus untuk membahas strategi tawuran.
Dan kenapa Juna sombong terhadap Dira" Memangnya kalau sudah jadi jagoan, Juna nggak
boleh lagi bersahabat dengan orang lain di luar geng barbar mereka"
Bab 5 ''Diraaa... aku antar kamu pulang yaaa!''
Dira mencengkeram lengan Tasha lebih kuat dan menyeretnya lebih keras juga.
''Diraaa.... aku bawa motor lhooo. Kamu nggak usah naik angkot. Motorku aman. Aku juga bawa
dua helm.'' Bimo tiba-tiba berdiri di hadapan Dira.
Dira menelan ludah. ''Gue udah bilang gue nggak mau pulang sama lo. Gue pulang sama Tasha.
Makasih atas tawarannya, tapi... permisi.''
''Dira...!'' Bimo meraih tangan Dira, yang tentunya langsung ditepis dengan serta-merta dan agak
sadis. ''Kenapa sih kamu selalu menolak ajakanku, Dira" Apa salahku" Apa yang membuat kamu
tak suka" Apa aku membuat kamu tidak nyaman" Atau apa" Katakan, Dira, aku mau
mengintropeksi diriku demi kamu. Sungguh...''
DARR!!! Serasa ada geledek menyambar-nyambar plus burung-burung gagak terbang mondarmandir sambil berkoak, Dira mematung. Kenapaaa... kenapa di antara semua cowok di sekolah
ini... kenapa harus Bimo yang ngejar-ngejar dan, katanya, jatuh cinta pada pandangan pertama
pada Dira" Bukannya Dira sok keren dan merasa bahwa yang naksir seharusnya cowok yang keren, tapi
Bimo ini... gimana ya" Dia terlalu aneh. Dira nggak keberatan ditaksir oleh dewanya kutu buku
atau dedengkot para profesor. Tapi kalo ngomongnya bahasa baku yang kaku disertai efek-efek
emosi lebay bagaikan telenovela gini, siapa yang mau" Mana sudah beberapa kali si Bimo ini
muncul di depan kelas Dira dan tiba-tiba membacakan puisi cinta.
Lama-lama Bimo mirip stalker! Dan itu ganggu banget! ''Bimo, nggak! Gue ada perlu dan gue
bisa pulang sendiri. Yuk, Tash...''
''DIRA!'' Bimo masih pantang menyerah.
Dira terus menggeret Tasha menjauh dari gerbang sekolah. ''Tash, buruan dong, kita harus cepet
naik angkooot! Gue males dihujani puisi telenovela di pinggir jalan. Ayooo!''
''Dira! Tunggu aku... Aku cuma mau mengantarkan kamu pulang sajaaa...!''
''Ra, pelan-pelan dong. Gue kekenyangan nih habis makan baksooo.''
''Duh, Tasha... Lo bakal ikut malu kalo kita mesti ngeladenin Bimo! Lagian gue udah mulai takut
sama dia. Kalo dia tiba-tiba nembak gue kan nggak lucu! AYO! Nyeberang aja yuk!''
''Eh, Ra, lampu ijo!'' TIIINNN! Dengan mata terbelalak Dira menoleh ke arah bunyi klakson. Ini bukan mimpi! Motor bebek tua
berwarna merah kusam dengan spion yang tinggal sebelah tampak mendekat, goyang kanangoyang kiri sementara klaksonnya terus menjerit cempreng. Karena helm full face-nya tidak
ditutup, Dira bisa melihat tampang mas-mas berkumis gondrong yang mengendarai motor itu
tampak menatap ngeri ke arah Dira sambil berusaha mengendalikan motornya yang oleng.
''Aaa...!!!'' ''Diraaa...!'' pekik Tasha histeris.
''Neeeng, awaaasss.....!'' teriak mas-mas itu sampai kumis gondrongnya ikut naik-turun.
BRUKKK! CIIIEEETT! GUBRAK!
Dan akhirnya, setelah berkali-kali hampir ketabrak motor, kali ini Dira ketabrak motor beneran.
Bukan motor bebek matic model mutakhir, bukan motor gede yang harganya bikin sakit jantung,
melainka motor bebek tua merah yang spionnya tinggal sebelah. Setelah menyundul Dira sampai
terkapar di jalan, dengan tragisnya mas-mas berkumis dan motor bebek tuany itu zig-zag menuju
got dan sukses nyungsep ke got.
''Neng! Kalo nyeberang liat-liat, atuhhh!!'' jerit mas kumis gondrong dari dalam got yang bau.
Tasha panik menghampiri Dira. ''Ra... Dira! Bangun, Ra! Ya ampun, Mas! Temen saya pingsan,
dimarahin juga percuma! Dira! Ra! Mas, tolongin dong!''
''Tolongin gimana, Neng" Saya juga lagi di dalam got begini...''
''Ya keluar dong, Mas, dari got! Betah amat. Kan bau! Cepetan!'' Tasha makin panik karena Dira
belum melek juga. Dengan keki si mas kumis gondrong susah payah keluar dari got dan menghampiri Dira dan
Tasha. ''Neng, gimana sih temannya" Tangan saya teh sampai lecet... motor saya juga pasti lecet
itu. Kumaha ini urusannya"''
Tasha langsung melotot pada mas-mas itu. ''Astaga, Mas lecet doang! Temen saya pinhsan nih!
Tolongin dulu kek. Lagian, dia nggak sengaja, tau! Mana ada orang sengaja pengin ketabrak
motor" Motor bebek pelan begitu!''
''Ye, Neng, pelan juga tetap pingsan, kan" Untung saya pelan!''
Ugh! Tasha melotot lebih garang ke arah si mas-mas. Sekarang ditambah tatapan agak
mengancam. ''Mas, bisa nggak ngomonginnya nanti" Kalo temen saya mati, gimana" Mas mau
tanggung jawab" Dira, bangun dong, jangan mati, please...''
POK POK! Tasha menepuk-nepukapipi Dira. Penakutnya kumat. Dia betul-betul takut Dira mati.
Lagian nyeberang kok nggak lihat-lihat. CEROBOOH!
Tiba-tiba, ''Diraaa...! Ya Allah, Diraaa... Bangun, Ra!'' Bimo dengan lebay duduk bersimpuh di
samping Dira sambil menggenggam dan menciumi tangan Dira. ''Bangun, Dira... Kamu bisa
dengar suaraku, kan" Tasha, sebaiknya kita bawa dia naik taksi. Biar aku yang pangku dia, biar
aku yang gendong dia... Kita ke rumah sakit...''
Tasha gelagapan. Jelas-jelas Dira ketabrak gara-gara menghindari Bimo. Sekarang Bimo malah mau gendong dan
memangku Dira. Lebay! Tapi, Tasha memang perlu bantuan buat mengangkat Dira.
''Sudah, kamu tidak perlu panik, Tasha. Ada aku... ada aku yang akan mendampingi dan merawat
Dira. Biar aku buktikan betapa aku peduli padanya...'' Lalu, dengan semangat, Bimo mengambil
posisi ingin menggendong Dira. ''Tenang, Dira, aku di sini. Aku akan menolongmu.''
''Ng...'' Mata Dira terbuka pelan. ''Eh"!''
PLOK! ''Aduh, Dira! Kenapa kamu menamparku seperti itu"''
''Eh, Ra" Lo udah sadar"'' Buru-buru Tasha menggeser posisi Bimo sebelum dia juga kena
gampar karena ketahuan mengiyakan Bimo yang sok heroik mau menggendong Dira.
Dira mengernyit. Tangannya refleks memegang jidatnya yang agak nyut-nyutan. ''Kepala gue
pusing. Kaki gue juga nyut-nyutan nih!'' Dira meringis.
''Iya... Lo ketabrak motornya mas ini...'' Tasha melirik mas-mas berkumis gondrong dengan
ngeri, teringat waktu panik tadi Tasha membentaknya. ''Mm... dia nyebur ke got gitu, Ra, garagara lo. Kayaknya lo harus ganti rugi deh, Ra...'' bisik Tasha pelan.
Mata Dira mengerjap berniat mengusir pusing biarpun nggak ngefek. ''Sori ya, Mas. Motor Mas
rusak"'' ''Tuh!'' Pria itu menunjuk ke arah motornya yang masih jungkir balik di got. Dari tempat mereka
sekarang, cuma kelihatan roda motornyamenyembul dari dalam got.
''Ya sudah, Mas, ikut aja ke rumah saya. Nanti saya bilang mama saya. Tash ke rumah gue yuk!
Panggil taksi aja.'' ''Naik motorku aja, Ra...,'' celetuk Bimo tiba-tiba.
Rasanya Tasha pengin mencolok lubang hidung Bimo pakai sumpit yang diolesi balsem cabe
ekstrapanas. Kalo Bimo nggak mengejar-ngejar Dira tadi, nggak mungkin terjadi kecelakaan ini.
''Bimo, please deh... Dira habis ketabrak motor malah lo ajak naik motor.''
Bukan Bimo namanya kalau nggak ngotot. Cowok lebay berambut klimis belah samping itu
menatap Dira. ''Tapi aku boleh kan ikut ke rumah kamu" Aku cuma ingin memastikan kamu
baik-baik saja karena aku sadar semua terjadi gara-gara aku. Aku mohon, Dira. Aku nggak akan
bisa memaafkan diriku kalo nggak mengantar kamu sampai di rumah...''
Dira dan Tasha saling lirik.
Akhirnya Dira cuma mengedik pelan, tanda pasrah. Soalnya, kalau dilarang, bisa-bisa terjadi
drama telenovela satu episode lagi di pinggir jalan ini.
Setelah menitipkan motor Bimo di warung-karena Bimo ngotot pengin naik taksi bareng Dira
dan Tasha-akhirnya mereka ke rumah Dira naik taksi diikuti si mas berkumis gondrong beserta
motor bebek merahnya. *** ''Assalamualaikum, Mama...'' Dira masuk rumah dipapah oleh Tasha. Sudah pasti di sisi satunya
Bimo berusaha banget pengin ikut memapah Dira. ''Ih, Bimo apaan sih" Jangan pegang-pegang!''
''Ya ampun, Ra. Aku hanya ingin membantu kamu berjalan.''
Dira mendelik sebel. ''Nggak perlu! Cukup Tasha aja. Gue ini keserempet motor bebek tua,
bukan digiles pesawat jet! Mama, assalamualaikum.''
''Waalaikumsalam.'' Akhirnya suara Mama terdengar menjawab salam Dira dari ruang tengah.
''Nyokap di ruang tengah. Yuk, Mas, ketemu mama saya...'' Sambil masih terpincang dipapah
Tasha, Dira berjalan ke ruang tamu. Baru juga sampai ambang pintu ruang tamu, Mama sudah
muncul. Oke, lebih tepatnya muncul dan heboh. ''Masya Allah, Diraaa. Kamu kenapa" Kaki kamu kok
lecet-lecet" Jidat kamu brnjol" Tasha, Dira kenapa lagi" Ini ada apa..."'' Panik, Mama menatap
mas kumis gondrong dan Bimo dengan bingung.
''Aku ditabrak motornya mas ini...''
Mata Mama makin terbelalak syok. ''APA" Ditabrak motor" Apanya yang sakit" Kita ke rumah
sakit ya" Ya ampun, kok bisa sih ketabrak motor"''
Si mas kumis jadi nggak enak hati, lalu buru-buru manjelaskan. ''Jadi gini, Bu... saya juga kaget
tadi. Soalnya anak ibu tiba-tiba nongol di tengah jalan. Saya nggak sempat ngerem.''
Mama menatap Dira, minta jawaban.
Dira nyengir.''Iya, Ma... emang salah aku. Aku nyebrang sembarangan pas lampu ijo. Habisnya...
dia sih!'' Dira menunjuk Bimo. ''Aku udah bilang nggak mau diantar pulang, tapi dia maksa. Jadi,
aku lari, eh, malah keserempet. Tapi tenang, Ma, aku nggak papa. Cuma lecet kok, sama benjol
dikit, tapi Mama harus ganti rugi motornya mas ini, Ma...'' Dira nyengir lagi.
''Kamu itu cerobohnya kok susah banget sembuh. Sudah berapa kali Mama ganti rugi motor
orang" Sudah tiga kali kan kamu nyaris ketabrak motor dan orangnya sampai nabrak pohon atau
nyungsep ke got gara-gara menghindari kamu" Sekarang kamu pakai keserempet, lagi.''
Dira manyun. ''Cuma lecet dikit sama tadi pingsan sebentar, Ma. Aku kan bukan diserempet
sama truk gandeng.'' Mama makin melotot. ''Sembarangan kalo ngomong! Kalau kamu keserempet truk gandeng, trus
truk gandengnya masuk got, Mama harus gantiin truk gandengnya, begitu" Kamu ini, Diraaa...
ceroboh! Mama pusing!'' Dira, Tasha, Bimo, bahkan mas berkumis gondrong pun meringis bareng memikirkan perkataan
mama Dira. ''Dinda, ada apa" Aku dengar dari dalam kok ribut-ribut..."''
Kontan semua menatap wanita seumuran Mama yang tiba-tiba muncul dari ruang tengah.
Mama Dira kelewat heboh sampai'sampai ada tamu ditinggal begitu saja di ruang tengah.
Eh, tapi tunggu... Meski agak kurusan, tante ini kan...
''Eh, Tyas. Ini nih, si Dira. Cerobohnya kambuh lagi. Dira, ini Tante Tyas. Kamu inget, kan"
Mamanya teman kamu, Juna.''
Dugaan Dira tepat. Pantas wajahnya familier banget, ternyata mamanya Juna.
Dulu Dira dan teman-teman suka ke rumah Juna dan numpang makan siang. Dengan senyum
lembutnya yang sama seperti dulu, Tante Tyas menghampiri Dira dan mencium pipi Dira. ''Apa
kabar, Dira"'' Dira lalu mencium tangan Tante Tyas. ''Baik, Tante. Tante apa kabar"''
Tanta Tyas tersenyum lagi menatap Dira. ''Baik, Sayang. Kamu masih saja imut. Tante nggak
sengaja ketemu mama kamu di supermarket. Tadinya Tante minta jemput Juna di supermarket,
tapi karena ketemu mama kamu, rasanya kangen... Makanya, Tante ke sini dan minta jemput di
sini.''
Jun Karya Mia Arsjad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
''Eh, Dira, ternyata Juna satu sekolah sama kamu lho. Kamu udah ketemu dia, kan"'' tanya Mama
dengan mata berbinar-binar.
''Oh iya, Tante sampai lupa, Dira. Juna ada di sini juga jemput Tante. Juuun...''
Dira dan Tasha refleks saling lirik. Juna ada di sini"
''Ya, Mam...'' Samar-samar terdengar suara cowok yang kederangannya berjalan mendekat ke
ruang depan. Dan sekarang cowok itu berdiri di ruang depan rumah Dira. Dia kelihatan beda tanpa seragam
putih abu-abunya yang berantakan.
Tante Tyas menatap Juna dan Dira bergantian. ''Juna, Dira, dulu kalian kan akrab banget. Pasti
seneng ya sekarang ketemu lagi di SMA" Kalian pasti udah ngobrol banyak ya"'' Mata Tante
Tyas tampak teduh menatap Juna.
Entahlah, tapi menurut Dira, ada yang berubah dalam diri Tante Tyas. Meski senyum lembutnya
masih sama, selain makin kurus, rasanya... ada yang hilang di sinar mata Tante Tyas. Atau
mungkin Dira yang sotoy"
''Aku udah beberapa kali ketemu Dira. Beberapa hari lalu akusempat nolongin dia yang kejebak
tawuran sekolah.'' HORE! Juna sukses membocorkan rahasia yang tadinya mau Dira simpan rapat-rapat. Huh, sok
cool! Sok pahlawan! Padahal dia termasuk pelaku tawurannya.
''Kejebak tawuran?""'' Tuh kan, Mama histeris. Dira kena omel lagi nih. Mata Mama dengan
dramatis dan penuh selidik menatap Dira. ''Apa itu betul, Ra" Kok kamu nggak cerita sama
Mama"'' Nyengir adalah senjata terampuh dan terpraktis dalam keadaan genting dan nggak tahu mau
jawab apa. Akhirnya Dira nyengir.
Dira nyengir, Mama makin melotot. ''Kok malah nyengir" Kejebak tawuran itu bahaya! Jangan
nyengir!'' ''Duh, Mama... nggak separah itu kok. Aku tuh cuma nggak sengaja lewat. Bukannya di tengahtengah tawuran, gitu. Terus Juna ngajak aku ngumpet biar nggak ketimpuk.''
Yak! Kalimat yang genius sekali. Begini nih kalu cerobohnya mendarah daging. Ngomong pun
ceroboh. Bukannya bikin Mama tenang, malah bikin Mama tambah senewen. Terbukti dari jidat
Mama yang berkerut mikir, tapi Mama nggak bicara apa pun.
Setelah buang napas, ambil napas, buang napas, ambil napas, buang napas ala senam hamil,
Mama tampak sedikit kalem. Mama lalu mengangguk-angguk sambil mikirin sesuatu. Setelah
itu, Mama menatap Juna sambil tersenyum penuh terima kasih. ''Juna, makasih ya, kamu sudah
nolongin Dira. Kamu lihat nih sifat ceroboh Dira, bukannya sembuh malah makin parah. Hari ini
dia ketabrak motor. Tante kadang senewen kalau dia belum pulang ke rumah. Takut ada kejadian
seperti ini... Kamu ngerti, kan" Tante pusing.''
Dira manyun. Huh! Ibu-ibu ini nggak tahu kalau Juna salah satu pelaku tawurannya juga.
Lalu beberapa detik kemudian, Mama mengatakan sesuatu yang betul-betul tak terduga. ''Juna,
setelah Tante pikir-pikir, kamu kan satu sekolah sama Dira kayak waktu SMP dulu. Kalian juga
sahabat lama. Sepertinya Tante bisa mempercayakan Dira sama kamu deh, seperti dulu. Tante
yakin kamu bisa jagain dia.''
Duh, Mama... mulai bercanda deh! Dira melotot pada Mama, seolah berkata, ''Mama jangan
ngomong yang aneh-aneh. Mama kan nggak tau siapa Juna sekarang. Lagian, buat Juna,
persahabatan masa SMP itu cuma masa lalu. Sekarang dia udah jadi ketua geng yang nggak
pantes bergaul sama cewek kutu buku kayak Dira gini. Mama suka seenaknya deh.''
Tapi tampang melotot Dira nggak ngefek buat Mama. Seraya terus menatap Juan, Mama dengan
santai dan yakin melanjutkan kalimatnya. ''Kamu juga sudah sempat nolongin Dira dari
kecerobohannya. Terus terang, Tante stres setiap kali Dira belum pulang sampai rumah. Dulu
selalu ada kamu, Irwan, sama Mayang. Sekarang di sekolah yang baru, dia cuma dekat sama
Tasha. Nah, Juna, Tante titip Dira ke kamu ya" Paling nggak, Tante bisa sedikit tenang karena
Tante tau di lingkungan sekolah ada kamu yang bisa lihatin Dira. Kamu nggak keberatan kan
Tante titipin Dira lagi"''
Tuh kan Mama! Dalam hati Juna pasti malas. Memangnya Dira pajangan sampai harus diliatin segala" Lagian,
sebagai berandalan sekolah, urusan Juna cuma tawuran, ngapain nambah-nambah urusan
dengan... ''Nggak masalah, Tante. Aku mau. Tante percaya sama aku. Aku pasti jagain Dira.''
Serasa ada petir manyambar-nyambar dengan efek listrik di sekitar Dira.
Tadi Juna ngomong apa"!
Dira langsung menatap Mama, pengin tahu reaksi Mama.
Ternyata Mama-yang jelas-jelas tadi cuma basa-basi iseng-tampak kaget dan tidak menyangka
jawaban yang Juna berikan akan seperti itu. Mama langsung berbinar gembira. Tasha juga sama
kagetnya. Dia mematung sambil melongo.
Ini saatnya melotot lagi ke Mama.
Seharusnya Mama bertanya lebih dulu, bagaimana hubungan Dira dan Juna sekarang. ''Wah,
Tante senang sekali kamu mau dititipi Dira.''
Juna tersenyum agak kaku. ''Nggak papa, Tante. Tante kan sahabat Mama. Kata Mama, Tante
dan Mama sudah seperti saudara. Berarti Dira saudaraku juga, Tante..''
Dira tertegun, serbasalah.
Ah, tapi buat apa pusing. Paling-paling Juna cuma basa-basi. Nggak sopan kalau dia menolak
permintaan Mama. Mana mungkin Juna tiba-tiba mau jagain Dira, dalam arti yang sebenarnya"
Seperti cowok yang nggak ada kerjaan. Jadi, sepertinya Dira nggak perlu menganggap serius
obrolan aneh ini. Mama tersenyum lebar setengah nyengir.
''Mm, Tante, kalo untuk menjaga Dira, saya juga bersedia. Saya akan menjaga dia baik-baik.''
Lho" Bimo masih ada toh"
Dira menatap Bimo tajam. ''Jangan ngomong yang aneh-aneh!''
''Tapi...'' Tadinya Dira mau melototin Bimo lagi, tapi bukan sulap bukan sihir, dia kalah cepat dari Juna.
Juna tampak menatap Bimo lurus dan dingin. ''Lo tadi denger kan Dira bilang apa"''
Nggak ada cowok yang nggak kenal Juna di sekolah, termasuk kutu buku kuper kayak Bimo.
Satu kalimat cukup bikin Bimo bungkam dan menciut. Melempem kayak kerupuk kena angin
puting beliung. Dira senyum-senyum sendiri. Kalo Juna benar-benar menepati janjinya pada
mama Dira, sepertinya nggak bakal ada yang berani gangguin Dira lagi. Setelah dipikir-pikir, ide
usil Mama ada bagusnya juga. Siapa tahu, persahabatan Juna dan Dira bisa kembali seperti dulu
lagi. Mungkin Dira akan punya kesempatan mengobrol dengan Juna dan cerita banyak hal
tentang apa yang terjadi selama mereka kehilangan kontak.
Banyak sekali pertanyaan di kepala Dira untuk Juna. Tapi sampai detik ini, rasanya ada tembok
tinggi di antara mereka. Tapi... tunggu dulu. Dira baru sadar, ekspresi Tante Tyas, mamanya Juna, sangat aneh. Tante
Tyas terdiam dengan ekspresi kaku yang tak terbaca. Matanya kikuk menatap Juna. Sejak tadi
dia juga nggak komentar apa-apa. Jangan-jangan Tante Tyas bete anaknya direpotin" Tuh kan,
Mama sih.... ''Ehem, ehem. Bu, Mbak, bisa nggak urusan titip-menitip anaknya ditunda dulu" Urusan motor
saya gimana ya"'' si mas berkumis bertanya.
Ah! Sampai lupa.... Bab 6 ''SUMPAH! Bimo nungguin elo, Ra. Dia bawa bunga sama bingkisan apa tuh, nggak jelas! Ada
desas-desus di kalangan para cowok. Katanya dia mau nyatain cinta ke lo!''
''APA"!'' Tasha mengangguk cepat. Lalu mengulang kalimatnya pelan-pelan, sengaja membuat efek
dramatis dan agak horor. ''Bimo... mau... nembak... elo...'' dan telunjuk Tasha menuding asyik ke
arah Dira. Gawaaattt! Dira harus kabur. HARUS! Sori sori aja deh ya, setelah ujian yang bikin jantung deg-degan dan mata sepet karena begadang,
kalau sekarang Dira harus dipermalukan Bimo dengan ditembak di depan umum. Ogaaahhh!!!
Dira yakin dua ribu persen, Bimo sudah menyiapkan puisi-puisi cinta yang bisa bikin manusia
pingsan saking noraknya. ''Gimana dong, Tash"'' Dira menatap Tasha panik.
Tasha mengetuk-ngetukkan ujung jari ke atas meja dengan ekspresi mikir. ''Ah! Kita keluar
sekolahnya muter aja. Lewat perpustakaan, Ra. Bimo kan nunggu lo di gerbang depan.''
''Genius!'' Dira langsung menyambar tangan Tasha dan menggeretnya ke luar kelas.
Jalan belakang lewat perpustakaan memang jarang dilewati. Selain memutar, sepi, dan agak
jorok, para berandalan sekolah suka banget nongkrong di sana. Tapi demi menghindari Bimo,
Dira rela. Toh mereka cuma numpang lewat.
Tapi, bagaimana kalau Bimo menebak pikiran Dira dan mengikuti lewat sini" Otomatis, Dira
celingukan waspada. ''Kenapa sih"'' Dengan bingung, Tasha ikut celimgukan.
''Nggak, gue waspada aja. Takutnya si Bimo kepikiran lewat sini.''
Tasha menaikkan alisnya sebelah.
Akhirnya mereka berdua jalan sambil celingukan.
''Kalian kenapa"'' Dira dan Tasha spontan berhenti. Juna tiba-tiba berdiri di hadapan mereka. Katanya, Juna hobi
merokok, jadi dia pasti habis merokok diam-diam di sini.
''Maksudnya"'' jawab Dira setengah bingung dengan pertanyaan Juna.
''Gue tanya, kalian kenapa"''
Dira dan Tasha saling tatap. Dira lalu menggeleng pelan. ''Nggak kenapa-kenapa. Gue sama
Tasha mau pulang.'' Ekspresi wajah Juna nggak berubah. Menatap lurus Dira. ''Kok lewat sini"''
Lagi-lagi Dira dan Tasha saling tatap. Dira menggeleng pelan, mengisyaratkan agar Tasha tidak
perlu bercerita tentang Bimo ke Juna. ''Ya pengin lewat sini aja. Emang nggak boleh" Gue nggak
liat ada tanda larangan lewat. Lo sekarang selain jadi pentolan sekolah, jadi penjaga jalan juga
ya"'' ''Jangan bohong,'' ujar Juna tegas, mantap, dan bikin mati gaya. ''Kalo nggak ada apa-apa, kenapa
kalian celingukan" Kalian diganggu orang"''
Duh, kenapa jadi diinterogasi begini"
Dira nggak tahan untuk nggak menggigit-gigit bibirnya. Kenapa nggak mengaku sama Juna
bahwa dia dikejar-kejar Bimo" Juna kan cowok paling disegani di sekolah ini. Apalagi...
TRING! Dira mendadak dapat ide.
Juna terus menatap Dira meminta jawaban.
Dengan meyakinkan Dira pasang lagi tampang panik. ''Oke. Gue sama Tasha emang mau kabur,
makanya buru-buru.'' Alis Juna bertaut. ''Kabur kenapa"''
''Gue dikejar-kejar Bimo. Dia mau nyatain cinta ke gue. Padahal gue udah jelas menunjukkan
kalo gue nggak mau sama dia. Tolongin gue dong, Jun. Lama-lama Bimo udah kayak stalker...''
Ekspresi Juna mendadak aneh. ''Kenapa jadi gue" Itu kan urusan pribadi lo.''
Meski Dira sadar betul bahwa Juna bukan Juna yang dulu, tetap saja jawaban Juna tadi bikin hati
Dira mencelos. Dulu mereka selalu siap saling bantu.
Dira nggak boleh jadi sentimentil. Bimo bisa muncul kapan saja. Sepertinya Dira bisa coba satu
jurus lagi supaya Juna mau bantu dia menghalau Bimo. Dira menatap Juna serius. ''Jadi lo cuma
bohong ya, Jun, sama nyokap gue"''
''Maksud lo apa, Ra"''
Yes! Pancingannya kena. ''Percuma nyokap gue nitip-nitipin gue sama lo waktu itu. Nyokap gue
percaya aja sama lo. Dia nggak tau lo udah berubah. Mana bisa lo dipercaya jagain gue. Gue juga
harusnya tau, sejak awal lo cuma basa-basi.''
Rahang Juna tampak mengeras. Matanya bergerak-gerak gelisah.
''Nolongin untuk hal kayak gini aja lo nggak mau, apalagi jagain gue biar nggak kenapa-kenapa.''
''Diraaa! Akhirnya sku ketemu kamu juga. Aku mencari-cari kamu dari tadi.''
''Bimo... lo... lo kok ada di sini"''
GLEK! Baru kali ini Dira menelan ludah seperti menelan beduk masjid. Mata Dira menatap
panik ke arah tangan Bimo yang terlipat ke belakang seperti menyembunyikan sesuatu.
Kacau. Juna mendadak jadi patung dengan muka mengeras. Indikasi bahwa mantan sahabatnya
ini benar-benar nggak mau ikut campur. Bagaimana Dira melarikan diri kali ini"
Dira melirik Tasha. Sama aja. Tampang Tasha sama paniknya.
Biarpun melihat wajah Dira yang mendadak pucat karena menelan beduk masjid, Bimo tetap
tersenyum manis dengan kepedean maksimal. ''Pertanyaan kamu sangat aneh, Dira. Tentu saja
aku ada di sini. Aku kan bersekolah di sini juga. Sama seperti kamu.''
Astaga. Jawaban Bimo bikin darah tinggi banget ya" Dira meringis. ''Maksud gue... kok lo lewat
gerbang ini juga" Nggak lewat gerbang depan"''
Tetap dengan level kepedean yang sama, Bimo tersenyum lagi. ''Karena sudah kukatakan
padamu tadi. Aku mencari kamu...''
Tasha mencubit Dira panik.
Cubitan Tashadibalas lirikan ngeri Dira. Padahal tadi sepanjang jalan Dira masih berdoa, semoga
berita bahwa Bimo mau nembak dia itu cuma rumor. Tapi ternyata...
Oke! Jangan panik. Dira pasti bisa kabur dari Bimo. Dira buru-buru mencengkeram lengan
Tasha. ''O... Oke, kalo gitu... kami duluan ya, Bim!'' Dira berusaha menyeret Tasha, meloloskan
diri dari sana. Juna masih diam di posisi yang sama, mematung dengan ekspresi tegang. Tidak
mau membantu. ''Eh, tunggu, Dira...'' Dengan sigap Bimo mengadang Dira yang jelas-jelas berniat kabur.
Mungkin Bimo menganggap gerbang belakang sekolah mereka ini adalah setting film romantis
ala Amerika. Tiba-tiba, Bimo menatap Dira-bisa dipastikan ini hasil menjiplak tatapan Rangga
buat Cinta di film Ada Apa Dengan Cinta. Tatapan Bimo semakin dalam, semakin lekat. Bimo
maju selangkah... semakin lama semakin dekat.
''Heh! Lo ngapain maju-maju gitu"'' Dengan panik, Dira mundur teratur. Ini sih namanya sudah
siaga satu. Dira harus kabur dari sini. Menurut kabar yang beredar di kalangan kutu buku dan
golongan kaum minoritas di sekolah, Bimo bertekad kali ini nggak mau gagal lagi mendapatkan
hati Dira. Bimo malah meraih tangan Dira. ''Dira, ada yang ingin aku katakan padamu...''
''Mm, Bim, gue sama Tasha buru-buru. Serius. Ada urusan. Udah ya, kami jalan duluan.''
Juna tetap mematung. Jangan-jangan ibu Malin Kundang salah mengutuk. Bukannya mengutuk
si Malin, malah mengutuk Juna.
''Tapi, Ra, tunggu! Aku harus mengatakan ini sama kamu. Aku... aku pengin kamu tau...'' Bimo
berusaha meraih tangan Dira lagi. ''Tolong dengarkan aku dulu, Dira. Ada yang harus aku
ungkapkan.'' ''Bim, sorriii... gue beneran buru-buru. Ya kan, Tash"''
''Banget! Buru-buru banget!'' Tasha mengangguk panik, karena Bimo kelihatan kalap dan nggak
terbendung. Bimo sudah kelamaan memendam perasaan buat Dira. Apalagi dia ditolak melulu.
Bukannya nyerah, semangat juang demi cintanya malah makin berkobar.
''Aku mohon, Dira! Aku hanya ingin kamu mendengar semua ini. Isi hatiku yang paling dalam.''
Demi kolor Bu RT yang dijemur berdampingan dengan kolor Pak RT, Dira mematung syok
karena tiba-tiba, Bimo berlutut di hadapan Dira sambil memohon. ''Mati gue, Tasssh...,'' desis
Dira panik. ''Heh! Lo nggak ngerti bahasa Indonesia ya" Lo nggak denger Dira bilang ada urusan, hah"!''
bentak Juna, menggelegar tiba-tiba.
Dira, Tasha, dan Bimo refleks menoleh ke arah suara galak tadi.
Juna tampak berdiri berkacak pinggang dan melotot sangar ke arah Bimo. ''Kenapa ngeliatin gue,
hah"!'' bentak Juna pada Bimo yang masih berlutut dan sekarang terbengong-bengong ngeliatin
Juna. Tapi sepertinya karena cintanya pada Dira, Bimo jadi pejuang cinta sejati. Dijamin, Bimo
sebetulnya pengin ngibrit dan pingsan sambil kejang-kejang di tempat sepi, saking takutnya pada
Juna. Tapi tekadnya menyatakan cinta hari ini berhasil menendang rasa takutnya ke hutan
Amazon. ''Tidak, saya tidak memandangi kamu, Teman. Saya hanya ingin memberitahu bahwa
saya sama sekali tidak berniat mengganggu Dira. Saya hanya ingin menyampaikan sesuatu dari
hati saya. Saya yakin, sebagai sesama lelaki kamu mengerti apa yang saya maksud.''
Dira dan Tasha saling lirik. Gila... si Bimo beneran nekat.
Juna tersenyum dingin. ''Gue ngerti maksud lo. Tapi sebagai laki-laki, harusnya lo juga ngerti
dong, kalo cewek ngabur pas lo ajak ngobrol, artinya dia ogah sama lo. Masa lo nggak ngerasa
sih"'' JRENG! Kalimat Juna spontan bikin Bimo tersentak dan bengong. Lalu tatapannya perlahan
kembali pada Dira. Ekspresi sang pejuang cinta berubah ragu. ''Dira, apa itu benar"''
Dira melempar pandangan takjub ke arah Juna. Cowok itu selalu tahu kalimat yang tepat buat
ditembakkan. Tapi dulu, kalimat yang tadi itu bakal keluar dari mulut Juna dengan bercanda tapi
nyelekit dan langsung kena ke sasaran. Bukannya dingin, galak, dan menakutkan kayak tadi.
Bagaimanapun, yang penting kalimat tadi sudah 99 persen sukses bikin kepedean Bimo melorot
ke dasar bumi. Tatapan Bimo makin memelas. ''Dira, jawab aku. Apa itu benar" Apakah yang Juna katakan tadi
benar"'' Tak lama kemudian, Dira meringis lalu mengangguk. Inilah the moment of truth. ''Sori ya,
Bim...'' Dira seperti bisa mendengar efek suara berbarengan dengan mulut Bimo yang langsung
menganga syok. Bimo bangkit dari posisi berlututnya sambil terus menganga dan menatap Dira
nggak percaya. ''Lo udah denger kan jawabannya" Sekarang apa lagi"'' suara Juna memecah keheningan.
''T... tapi...'' ''Kalo lo lelaki sejati, harusnya lo bisa terima dengan besar hati apa pun jawaban Dira. Kecuali lo
banci,'' tambah Juna, lebih sadis lagi.
''A... aku... aku cuma nggak menyangka ternyata kamu... A... aku... permisi...''
Tanpa menyelesaikan kalimatnya, Bimo pergi dengan lunglai. Dan waktu dia berbalik, Dira bisa
lihat bahwa yang disembunyikan di belakang punggungnya itu bunga dan kotak cokelat-betulbetul kebanyakan nonton film, atau malah sinetron" Apa pun tontonannya, terserah deh. Yang
penting Bimo harus berhenti naksir Dira muali sekarang.
Dira berbalik menatap Juna sambil tersenyum lebar. ''Jun, makasih ya. Untung lo bantuin gue.
Kalimat lo kena banget tuh tadi. Dari dulu lo emang selalu bisa cari kalimat yang tepat dalam
segala situasi. Inget nggak, dulu waktu kita...''
''Dira, cukup!!!'' bentak Juna tiba-tiba.
Saking kagetnya, dan saking penakutnya, Tasha sampe setengah melompat ke belakang
punggung Dira, rapat. Juna mengosok-gosok rambutnya gusar. ''Lo bisa nggak berhenti nyebut-nyebut dulu" Dulu,
dulu, dulu! Dulu itu masa lalu, udah nggak perlu lo sebut-sebut lagi! Kita bukan anak SMP lagi,
dan gue bukan gue yang dulu! Jadi stop mengungkit-ungkit dulu! Satu lagi, Dira, janji gue sama
nyokap lo itu bukan basa-basi! Diri gue taruhannya. Gue bisa jagain lo supaya lo nggak celaka
gara-gara lo ceroboh jalan ke tengah tawuran, ketabrak motor, atau apa pun! Tapi ur
Jun Karya Mia Arsjad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
usan lo yang tadi itu, urusan pribadi lo! Harusnya lo bisa beresin sendiri! Gue nolongin lo tadi cuma karena
gue nggak mau lo anggap janji gue cuma basa-basi.''
Juna terengah-engah setelah memuntahkan kalimat dengan penuh emosi jiwa. Jantun gDira
berdegup kencang. Dia kaget banget melihat Juna yang berapi-api plus tatapan nyalangnya. Bibir
Dira mendadak beku. Mata Juna menyipit. Ekspresi marahnya berubah jadi dingin dan tajam. ''Satu lagi, Dira, gue
nggak akan mungkin gagal melindungi lo, kalau perlu akan gue hajar semua orang yang berani
bikin lo kenapa-kenapa. Satu hal yang nggak mungkin...,'' Junatercekat sesaat, ''...yang nggak
mungkin dilakukan Juna yang dulu! Buat gue sekarang, nggak ada kata lari. Berapa pun dan
sekuat apa pun, gue lawan!''
Beberapa detik setelah Juna menyelesaikan kalimatnya, Dira masih terbengong-bengong oleh
aura dingin dan mencekam yang dipancarkan Juna. Tasha juga. Temannya itu malah mungkin
nyaris pipis di celana. Kemudian Dira tersadar. Kenapa Juna jadi marah-marah mengerikan gitu sih, ya" Memangnya
permintaan tolong Dira buat menghalau Bimo segitu beratnya" Kenapa reaksinya harus meledakledak begitu" Apa salahnya menolong teman lama" Mungkin Juna tersinggung karena omongan
Dira yang bilang dia cuma basa-basi soal janjinya pada Mama, tapi nggak harus semurka itu,
kan" Dira menelan ludah, lalu menatap Juna. Mungkin ini saatnya Dira betul-betul menerima
kenyataan bahwa Juna di SMA ini benar-benar bukan Juna sahabatnya di SMP dulu.
''Jun, makasih udah nolongin gue. Tapi lain kali, kalo nggak ikhlas, nggak usah nolong gue juga
nggak papa kok. Daripada lo marah-marahin gue kayak gini. Lagian gue pikir karena kita teman,
gue berani minta tolong sama lo. Ya udahlah, nggak penting. Ayo, Tash, kita pulang.'' Dira
menepuk lengan Tasha pelan sambil berbalik pergi.
Nggak pernah ingkar janji" Huh! Jelas-jelas dua tahun lalu dia ingkar janji sama Dira. Dira
menelan ludah getir. ''Tunggu! Lewat sini.'' Tiba-tiba Juna menyusul dan sudah berjalan di depan Dira dan Tasha.
''Ngapain lagi, Jun" Gue sama Tasha mau pulang. Gue ngerti kok, lo bukan Juna yang dulu. Iya,
kan" Ya udah...'' Badan Juna yang tegap berhenti di hadapan Dira. ''Gue harus pastiin kalo Bimo nggak akn
ganggu lo lagi hari ini.''
''Bimo kan udah pergi. Jawaban gue tadi juga udah jelas. Nggak perlu sampe segitunya, kali. Gue
juga nggak sendirian. Ada Tasha.'' Dira melirik Tasha. Setelah kalimat Juna yang meledak-ledak
tadi, Dira masih kesal dan nggak butuh aksi sok pahlawan Juna.
Tasha mengangguk sambil meringis.
Sebelah alis Juna terangkat. ''O ya" Tasha bisa beresin masalah Bimo" Bukannya waktu lo
ketabrak motor waktu itu gara-gara si Bimo tadi, kan" Dan waktu itu juga ada Tasha, kan"'' Lalu
mata Juna yang tajam dan dalam beralih ke Tasha. ''Tapi lo tetep ketabrak motor. Tetep
ceroboh.'' Dira dan Tasha nyengir garing. Terutama Tasha, karena secara telak dan nggak berperasaan dia
dianggap gagal menjadi teman Dira.
Dira mengernyit bete. ''Namanya juga kecelakaan, Jun. Tasha kan bukan wonder woman, mana
bisa ngelawan motor" Yuk ah, Tash...''
''Eh!'' Juna sekali lagi menghadang Dira dan Tasha dengan badan tegapnya yang menjulang
tinggi. ''Nggak bisa,'' katanya tegas.
''Nggak bisa apanya"''
Juna tampak sibuk merogoh saku celananya, mencari-cari HP sambil terus berdiri mengadang.
''Gue nggak bisa biarin lo pulang sendiri... maksud gue, berdua doang.''
''Lho, emangnya kenapa"''
Juna menatap Dira dengan dahi berkerut. Dira masih Dira yang dulu, ceroboh tapi keras kepala.
Perpaduan yang sangat salah dan sering bikin dia tertimpa kejadian konyol atau malah celaka
sendiri. Dira selalu bilang, ''Nggak papa kalo ceroboh. Kan kalo aku kenapa-kenapa aku punya
tiga bodyguard. Ada Juna, Irwan, dan Mayang.'' Istilahnya Dira dulu, Juna kombodi alias
komandan bodyguard yang siap mengangkut Dira kalau kecebur got atau membelikan
Thrombopop kalau Dira benjol atau menemani ngibrit kalau dipalak preman di depan halte
sekolah. Juna menahan napas. Jantungnya mendadak berdegup kencang. Sejak awal mereka bersahabat,
Dira itu beda. Dia selalu bisa bikin orang ketawa, karena bahkan ketika lagi marah-marah pun
Dira kelihatan lucu. Entah sejak kapan, Juna terlalu senang dan deg-degan kalau ada Dira. Entah
sejak kapan, Juna semakin semangat bersekolah karena pasti ketemu Dira. Bahkan dia nekat
mengajak Dira ketemuan berdua, ingin bilang bahwa dia suka sama Dira dan mau Dira jadi
pacarnya. Biarpun nggak sempat terucap, karena sekarang, semuanya nggak sama lagi. Dira
nggak boleh ada di masa sekarangnya Juna. Dira lebih aman di masa lalu.
Tapi di luar semua itu, mama Dira sudah menitipkan anak gadisnya pada Juna di sekolah, dan
Juna sudah menyanggupi. Seorang Juna pantang mengingkari omongan sendiri. Percuma Juna
ditakuti dan terkenal di kalangan anak-anak SMA di Bandung kalau dia nggak bisa memegang
janji dan melindungi Dira. Apalagi cuma melindungi cewek itu dari kecerobohannya sendiri,
Juna nggak mungkin gagal.
Nggak lagi... nggak boleh gagal lagi...
''Udah ah, Jun. Kami pulang.'' Dira merasa harus pamitan lagi karena Juna mendadak bengong,
nggak jelas kenapa. ''Eh, nggak, nggak!'' Dengan sigap Juna menyambar pergelangan tangan Dira.
''Tapi...'' ''Gue bilang, tunggu!'' perintah Juna sambil terus mencengkeram pergelangan tangan Dira.
Tangan Juna yang sebelah lagi sibuk menelepon. ''Halo, bro, lo ke sini ya sekarang. Iya...
sekarang! Buruan!'' perintahnya pada bro di seberang sana.
Dira bungkam. Sebetulnya kalau bisa, Dira pengin mementung jidat Juna dengan wajan atau
panci. Mentang-mentang ''penguasa'' sekolah, seenaknya aja main perintah. Tapi karena melihat
wajah Tasha yang pucat, ketakutan, dan mata berkaca-kaca, akhirnya Dira menurut disuruh
menunggu. ''Oke, Jun. Tapi lepasin tangan gue dong. Sakit.''
''Eh... sori.'' Buru-buru Juna melepas pegangannya. Matanya sibuk bolak-balik melihat gerbang.
''Nah! Bro, sini!'' Juna melambaikan tangan ke arah... Brata. Ternyata yang diteleponnya dan
dipanggil bro tadi adalah Brata-si raksasa dengan suara menggelegar, algojo para berandalan
sekolah, pasukan garis depan saat tawuran.
Tasha langsung pucat. Dengan tatapan trauma, Tasha melirik Dira. Dia masih belum bisa
melupakan gelegar suara Brata waktu itu. Tasha bergidik.
Ngapain Juna memanggil Brata ke sini" Ya ampun, jangan-jangan... karena Juna menganggap
Tasha gagal jadi teman yang bisa menjaga Dira... GLEK... Juna mau nyuruh Brata
menyingkirkanTashaaa"
''Tash" Kenapa sih"'' bisik Dira, bingung karena tiba-tiba Tasha mencengkeram lengan Dira
dengan gemetar, dan sembunyi di belakang punggung Dira.
Semakin Brata mendekat, Tasha rasanya pengin ngompol. Tapi Brata juga kayaknya nggak ngeh
kalau ada cewek penakut yang ngeri ketemu dia. Setelah tos ala geng mereka, Brata menepuk
pundak Juna akrab. ''Ada apaan sih, bro"'' lalu Brata kelihatan bingung begitu menyadari
kehadiran Dira dan Tasha.
''Lo bawa motor kan"'' tanya Juna, to the point.
Brata mengangguk, masih dengan muka bingung. ''Iya. Kenapa, bro"''
''Gue mau nganter mereka pulang. Gue bonceng Dira. Lo bonceng dia.'' Telunjuk Juna dengan
tajam dan mantap menunjuk ke arah Tasha.
''A... apa"'' cicit Tasha serasa terkena serangan jantung. ''Ra... gimana dong...'' bisiknya pelan
banget, saking syok dan kehilangan tenaga. Ini mimpi buruk di siang bolong. Mendingan di
koprol mundur aja dari sekolah ke rumah.
Saatnya Dira protes. ''Jun, tunggu... kami nggak perlu dianter pulang kok. Tadi kan gue udah
bilang.'' Protes Dira dijawab dengan gelengan kuat Juna. ''Sekali lagi gue bilang ya, Dira, gue udah janji
sama nyokap lo akan jagain lo selama lo ada dalam jarak pandang gue. Sekarang lo bareng gue.
Gue nggak mau kalo sampe ada apa-apa di jalan karena gue biarin kalian pulang sendirian. Udah
deh, ini tanggung jawab gue ke nyokap lo. Gue boncengin lo pulang, dan lo, Tash, ikut motor
Brata,'' kata juna mantap. Keputusan final yang bikin Tasha pengin nangis ngesot diiringi lagu
India. ''Jun, anter aja Dira pulang. Gue... gue bisa kok pulang sendiri. Kan ada angkot atau taksi. Atau..
ojek... Gue duluan ya...!''
''HEIT!!!'' suara menggelegar Brata langsung menghentikan langkah Tasha. Brata berjalan
mendekat dan berdiri di samping Tasha. ''Kalo my bro Juna udah minta sesuatu, artinya gue
harus melaksanakan. Dia nyuruh gue boncengin lo pulang, artinya lo ikut gue!''
''Hikkk...'' Tasha berbunyi pelan. Antara serangan bengek dan arus tangis bombai.
''Raaa...,'' rengek Tasha panik. Matanya makin berkaca-kaca.
''Udah, naik aja,'' jawab Dira, nggak tega melihat Tasha ketakutan.
Dira menerima helm yang disodorkan Juna lalu mengangguk pelan ke arah Tasha, berusaha
meyakinkan Tasha untuk naik ke boncengan motor Brata.
''Nih, pake helmnya.'' Brata menyodorkan helmnya ke arah Tasha. ''Kenapa gemetaran gtu" Gue
keliatan kayak monster"'' sembur Brata dgn nada suara yg sepertinya memang sudah dari lahir
begitu. ''Ng... nggak kok, Kak.''
''Bro, kalo lo bentak-bentak gitu, pasti dia ketakutan lah,'' celetuk Juna, menyaksikan Tasha
gemetar ketakutan. ''Ya udah, berangkat. Kita kan masih ada urusan habis ini.'' Juna mengancing helmnya.
Dira memeluk tasnya di depan dada erat-erat. ''Jun... sejak kapan lo bisa bawa motor gede gini"
Lo beneran bisa, kan"'' Mendadak Dira cemas. Seingat Dira, dulu Juna itu nggak bisa naik motor
selain motor bebek matic. Juna diam, malah sibuk pasang helm da ritsleting jaket.
Dira menghela napas pasrah. ''Jangan ngebut ya!''
BRMMMM! Juna mengerung-gerungkan motornya. ''Emangnya lo pikir gue berniat nyelakain
lo" Ato lo menganggap gue nggak becus naek motor terus nekat bonceng lo"''
Huh! Udah jadi ketua geng, tapi masih sensi, dengus Dira dalam hati. ''Bukan begitu. Cuma mau
pesan: Jangan ngebut. Kan nggak baik.''
Juna menggerung-gerungkan motornya lagi kemudian mulai melaju. ''Jangan bawel. Mendingan
lo pegangan ke gue. Kecuali lo udah latihan akrobat.''
Dira langsung refleks memegang, eh, agak memeluk pinggang Juna. Juna menambah kecepatan
sampai motornya setengah lompat waktu start. Sekarang Dira tinggal berdoa dalam hati, semoga
bisa sampai rumah tanpa kekurangan apa pun, terutama jantungnya. Semoga jantungnya nggak
minta pensiun. Tapi... hmm... ternyata, berandalan seperti Juna masih suka pakai parfum ya"
Dira refleks tersenyum sendiri. Wanginya masih seperti dulu. Tegas, dan tidak menyengat.
Cowok banget. Ternyata dibonceng Juna nggak terlalu menakutkan. Badan Juna yang tinggi
tegap, sukses menghalangi pandangan Dira ke depan, jadi dia nggak perlu ngeri menatap ke
depan. Dan ternyata, Dira memang kangen sama Juna.
Bab 7 ''Sori ya, Ra. Tangan gue keseleo... aduh, sakit bangeet. Nggak mungkin dorong-dorong
keranjang isi bola ke aula olahraga. Berat banget.'' Aleen mengeluh-ngeluh lebay. Akting banget!
Cewek seperti Aleen mana mau melakukan pekerjaan ''kasar'' seperti ini.
Bu Umi, guru olahraga, terkenal sadis dan nggak pandang bulu. Dia juga terkenal nggak suka
cewek-cewek lemah dan manja seperti Aleen. Kalau guru-guru lain cenderung menghindar
memberikan tugas-tugas berat pada Aleen, Bu Umi justru kebalikannya. Dia bakal sengaja
menyiksa. Meski Aleen nggak peduli.
''Lagian lo tau lah, Ra. Bu Umi kan sentimen banget sama gue. Dia nyuruh gue ngelakuin
sendirian. Temen-temen gue nggak ada yang boleh bantuin. Nyebelin banget. Gue heran, dia kok
sebel banget sama gue dan teman-teman gue. Mungkin waktu muda dia cewek kuper dan kutu
buku deh. Jadi dendam pribadi...''
Dira meringis nggak menjawab.
Lalu dengan lebay Aleen menutup mulut. ''Eh, aduh, gue nggak bermaksud ngatain lo kutu
buku... I'm so sorry. I didn't mean it. It's just... well... intinya sih gue terpaksa deh ngerepotin lo...
Nggak papa kan, Ra"'' Aleen mulai sok inggris.
Dira tersenyum garing. ''Iya, nggak papa...''
Kalau tahu bakal disuruh dorong keranjang bola, tadi Dira nggak bakal izin ke toilet. Kalau
nggak ada Dira, pasti Aleen kerepotan mendorong-dorong keranjang ini sendirian. Atau,
setidaknya biar saja Aleen sibuk sendiri, dan mencari orang lain yang bisa disuruh. Tapi yah,
kembali ke kodrat kutu buku dan makhluk tertindas di sekolaj ini. Dira nggak bisa apa-apa selain
diam dan pasrah daripada Aleen bete dan memutuskan untuk mengerjai Dira dengan keji.
''Lagian gue nggak ngerti deh, Ra, kenapa bola ini nggak ditaro aja di aula" Biar nggak repot
pindah-pindahin dari gudang ke aula, dari aula ke gudang...'' Aleen ngedumel heboh sambil
tangannya menunjuk sana-sini.
''Tangannya nggak sakit lagi, Leen"'' celutuk Dira lempeng. Katanya keseleo sampai kesakitan
banget, tapi masih bisa menunjuk-nunjuk ke segala penjuru.
''Eh... aduh... adududuh. Saking emosinya jadi nggak kerasa sakit. Sekarang jadi sakit banget
gitu...'' Aleen pura-pura kesakitan lagi.
Sekolah Dira ini emang gede banget. Saking gedenya, jarak antara gudang ke aula seperti jalan
kaki dari Australia ke Irian Jaya. Bola-bolanya juga berat banget. Bu Umi sepertinya harus tahu ,
setiap kali dia berusaha mengerjai Aleen dan gengnya, akan ada orang lain yang susah karena
dikerjai mereka. ''Dira, awas tangga!'' Hah"! Tangga!" Oh iya, tangga!!! Dira panik berusaha menahan keranjang bolanya biar nggak
meluncur ke bawah. ''Aaa...!''
Brak! Bruk! Brak! Keranjang beroda berisi bola-bola itu meluncur bebas tanpa bisa ditahan.
Bola-bola memantul ke sana kemari dan keranjangnya terbalik di lantai koridir. Salah satu bola
sukses menyandung kaki Dira. ''Aaaa...!''
DUK! Dira sukses jatiuh terduduk. ''Aduhhhh...''
Aleen tergesa-gesa menuruni tangga dan berdiri syok menatap bola yang berserakan, sementara
bola-bola lain memantul bebas ke sana kemari. ''Aduh, Dira... berantakan semua deh. Kok lo
lurus aja sih" Kan ada tangga. Harusnya lewat sebelah situ... khusus buat roda...'' Aleen
menunjuk jalur kecil yang menempel di samping tangga.
''Bener-bener ceroboh.'' Sementara Aleen berkacak pinggang dan panik melihat bola-bola berkeliaran bebas, tiba-tiba
tangan Juna membantu Dira berdiri.
Dira masih meringis ngilu menatap Juna dengan sebal. Nolongin sih nolongin, nggak usah
ngatain orang ceroboh dong.
''Jam olahraga kok nggak pakai baju olahraga" Pasti ceroboh lupa bawa baju olahraga. Dan ini,
kenapa bisa berantakan begini" Kayaknya dari dulu tangganya emang di sini. Bisa-bisanya
nggak liat...'' ''Lho, Juna...'' Aleen takjub begitu sadar bahwa Juna yang menolong Dira berdiri.
Juna tampak tidak menghiraukan Aleen dan ketakjubannya. Mata Juna cuma tertuju lurus ke
Dira. Pokoknya Aleen dicuekin habis-habisan-dalam arti sebenarnya. ''Beneran lo lupa bawa baju
olahraga"'' tanya Juna lagi, merasa hebat karena yakin tuduhannya tentang kecerobohan Dira
tepat. Dira mendelik. ''Gue emang nggak ada pelajaran olahraga hari ini. Ngapain bawa baju olahraga"
Dan gue juga tau di sini ada tangga. Emang lo pikir gue sengaja"''
''Terus ngapain lo dorong-dorong keranjang isi bola sampe nyungsep gini"''
Pertanyaan Juna bikin Aleen langsung serbasalah. Cewek paling populer seantero sekolah itu
langsung pasang senyum super-duper-ultra plus ekstramanis dan buru-buru menjelaskan. ''Eh...
begini... sebetulnya gue yang olahraga. Biasa deh, Bu Umi nyuruh ngambil bola ke gudang, tapi
tangan gue keseleo gitu... jadi, tadi Dira kebetulan lewat, dan gue minta tolong dia deh bawain
keranjang bola ini ke aula.''
''Emang lo nggak ada guru"'' Juna tetap menatap lurus Dira dan tidak mengacuhkan Aleen.
Sepertinya Juna tidak berinteraksi dengan Aleen.
''Ya ada. Tadi habis dari toilet mau balik lagi ke kelas, tapi...''
''Tapi pas gue liat dia lewat, gue panggil deh. Gue tau Dira baik banget dan mau dimintain
tolong, makanya gue minta dia bawain bola-bola ini sebelum dia balik ke kelas. Tangn gue lagi
sakit banget gitu. Kayaknya agak bengkak deh, Jun... Ini gara-gara gue latihan modeling, terus
gue keplitek. Pas jatoh, gue nggak sengaja nahan pake ta...''
''Gue cuma nanya Dira ada guru atau nggak. Kayaknya nggak ada hubungannya sama tangan lo
deh, Leen...'' Aleen langsung mingkem. Semua manusia yang masih punya urat malu juga pasti bakalan diam
kalau disekakmat pakai kalimat sadis yang menghujam nurani.
''Jadi lo ada guru" Lagi belajar"''
Dira mangangguk. ''Iya, ada... ''
''Leen, kenapa lo nggak minta tolong penjaga sekolah atau satpam sih" Ngapain nyuruh Dira"
Dia kan ada kelas. Lo nyadar nggak lo bisa bikin dia kena masalah gara-gara dia nggak bisa
nolak lo"'' ''Dira dan Aleen spontan hening, syok oleh teguran Juna yang blak-blakan dan pastinya jleb jleb
jleb tepat di hati Aleen.
Meski syok, Aleen tetap berusahatersenyum sok tenang. ''M... maksud lo nggak bisa nolak gue
gimana" Y... ya... tadi dia lewat, gue minta tolong, terus dia mau. Ya... gue nggak kepikiran lah
kalo dia lagi ada guru ato apa...''
''Ya jelaslah dia langsung mau. Mana berani dia nolak lo. Apalagi dia anak baru. Lagian,
emangnya lo mikirin dia lagi ada pelajaran ato nggak" Lo nggak peduli kan, selama lo dapet apa
yang lo perlu"'' tembak Juna lagi.
''Jun... kok ngomongnya gitu sih"''
Juna mengedikkan bahu. ''Gue ngomong kenyataan. Gue tau elo. Kurang terkenal apa lo di
sekolah ini" Lo cewek paling populer dan berkuasa di sini. Sama lah kayak gue di kalangan
cowok.'' Dira pengin banget cekikikan lihat Aleen melongo dimarahi Juna. Aleen mati-matian berusaha
manis di depan Juna. Dira memang pernah dengar kalau Aleen naksit berat sama Juna! Pantas
Aleen kelihatan habis ketiban babi hutan gara-gara dicuekin dan dijudesin Juna kayak gitu.
''Ng, Jun, udah. Nggak papa kok kalo gue nganterin bolanya ke aula. Habis itu gue langsung ke
kelas.'' Lama-lama Dira nggak tega lihat Aleen mati gaya dimarahi Juna.
Dahi Juna kelihatan makin berkerut, nggak setuju. ''Nggak bisa begitu! Aula masih jauh. Lo kan
cuma pamit ke toilet sebentar. Kalo kelamaan lo bisa ketinggalan pelajaran. Dia harusnya nggak
boleh nyuruh-nyuruh lo kayak gini. Kalo dia butuh pertolongan, dia bisa nyuruh teman
sekelasnya ato penjaga sekolah.''
Aleen mengangguk terburu-buru. ''Iya. Tapi tadi kan Dira nggak nolak... makanya gue...''
''Tuh, lo denger kan, Ra" Dia bisa cari orang lain. Lo tuh beneran ceroboh ya" Sekarang kalo lo
harus beresin semua bola ini, butuh waktu berapa lama" Belum lagi kalo lo harus ke aula dan
Jun Karya Mia Arsjad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
balik lagi ke kelas. Bisa-bisa lo ketinggalan pelajaran. Emang lo udah kepinteran banget ya
sampe nggak perlu dengerin penjelasan guru" Lo masih baru di sini, jangan bikin masalah deh.''
''Nggak gitu, Jun, tapi...''
''Sekarang lo balik ke kelas. Ayo!''
Dira menatap Juna dengan bingung.
''Ayo! Apa perlu gue anterin lo ke kelas"''
Dira menggeleng cepat. ''Eh, nggak perlu, Jun. Gue bisa sendiri kok... Eh, Leen, gue ke kelas
dulu ya.'' Detik itu juga Aleen langsung pucat, gelagapan.
''Kenapa, Leen" Lo mo nyuruh dia beresin bola dulu, terus bikin dia ketinggalan pelajaran"''
''Eh, nggak, Jun. Tapi ini... kan tangan gue sakit. Gue butuh bantuan untuk bawa bola-bola ini...''
Aleen pasang tampang memelas.
Juna tetap cool. Mengangguk. ''Oh, itu gampang...''
Satu kalimat pendek itu langsung bikin Alenn kegirangan. ''Jadi, lo mau bantuin gue" Makasih
ya, Ju...'' ''Pak Yos!!! Pak!!!'' Belum selesai Aleen menyebut nama Juna, cowok itu sudah heboh
memanggil Pak Yos, penjaga sekolah, yang tampak sibuk menyiram tanaman. Pak Yos berlari
kecil ke arah Juna. Meski berandalan, Juna terkenal akrab dengan segala kalangan, termasuk
penjaga sekolah, ibu kantin, tukang parkir, dan masih banyak lagi. Makanya Pak Yos terburuburu datang waktu dipanggil.
''Siap, Den Jun! Ada apa nih"'' Pak Yos hormat gaya tentara yang siap terima tugas.
''Pak Yos, tolongin dia nih, ngeberesin bola sama nganter ke aula. Katanya tangannya sakit. Bisa
kan, Pak"'' Pak Yos menatap bola berserakan lalu menatap Aleen. ''Wah, si Neng disuruh Bu Umi ya"''
Aleen nyengir garing. Saking seringnya Aleen disuruh Bu Umi, Pak Yos sampai hafal.
Lalu Pak Yos hormat lagi. ''Siap, Den Jun! Bisa!''
Juna menepuk-nepuk bahu Pak Yos. ''Oke deh, Pak Yos, makasih ya...''
''Eh, Jun, lo mau ke mana"''
Juna mengernyit heran. ''Ya ke kelas lah. Ke mana lagi" Lo kan udah dibantuin Pak Yos"''
Aleen meringis miris. Dia kira tadi Juna yang bakal bantuin dia atau paling nggak bantuin Pak
Yos deh... tapi ternyata...
Juna berlari ke kelas. Aleen menghela napas dengan agak cemberut. Memang sih yang bikin Aleen suka banget sama
Juna adalah cowok badung itu pintar dan nggak pernah membolos. Jarang banget ada cowok
yang kayak gitu. Aleen makin penasaran sama Juna, karena sampai detik ini kabarnya Juna
nggak pernah punya pacar.
Aleen baru tahu, ternyata Dira kenal sama Juna. Jangan-jangan saudaranya" Kok sampai dibelain
begitu cuma gara-gara disuruh bawa bola"
*** ''Ya bagus dong. Jadi ada yang jagain kamu. Ya kan, Tash"'' Mama minta persetujuan Tasha
yang lagi asyik mengunyah ayam goreng.
Hari ini mereka berencana bikin PR bareng, jadi Tasha makan siang di rumah Dira.
Tasha cuma senyum. Glek glek glek... dengan rusuh Dira minum supaya ayam gorengnya cepat tertelan. ''Ma,
sekarang Juna udah berubah. Dia galak, dingin, judes... udah gitu suka...'' Dira menelan lagi
kalimatnya yang nyaris memberitahu Mama bahwa sekarang Juna kepala suku para pentolan
sekolah. Bisa gawat kalau Mama bilang ke Tante Tyas. Bisa-bisa Dira disangka ember lagi sama
Juna. Tante Tyas nggak mungkin tahu kelakuan Juna yang seperti itu di sekolah kan" Apalagi
Juna ''main cantik'' banget dengan tetap jadi anak pintar dan mengutamakan pelajaran. ''...Juna
suka bikin orang keki.'' ''Tapi kan maksudnya baik. Buktinya kamu ditolongin. Kalian bersahabat sejak SMP, makanya
Mama percaya sama dia. Kalu dia berubah, ya wajarlah, Ra. Dia sekarang cowok SMA, jadi
mesti lebih... lebih apa tuh istilahnya" Lebih asyik. Ya kan"''
Dira cemberut. Mama suka salah gaul deh. Dari mana Mama dengar kata lebih asyik"
Gara-gara Dira manyun, Mama makin usil. ''Lho, Ra, emang kamu nggak seneng bisa barengbareng dan dekat sama Juna lagi" Bukannya waktu SMP dia tiba-tiba menghilang, terus kamu
sibuk mencari dia" Kamu sampai nanya ke Mama, apakah Tante Tyas memberi kabar ke Mama
atau nggak, apakah Juna menitip surat atau nggak... Hayooo...'' Mama membongkar kartu Dira di
hadapan Tasha. Lho, siapa yang nggak penasaran kalau diajak janjian berdua, tapi pas hari H Juna nggak datang,
dan malah menghilang begitu saja. Wajar dong kalau Dira setengah mati pengin tahu, ada apa
sebenarnya. Apalagi Dira dan Juna waktu itu kan sudah... deket banget.
''Ih, Mama, udah ah!'' Dira malas melanjutkan pembicaraan soal Juna.
Papa Juna sudah pisah dengan Tante Tyas waktu Dira dan Juna kelas 1 SMP dan Jun sempat
ngedrop banget waktu itu. Papa Juna pergi begitu saja karena selalu bertengkar hebat dengan
Tante Tyas. Katanya gara-gara papanya Juna terlalu ambisius bekerja dan nggak pernah punya
waktu untuk Tante Tyas, Juna, dan Jessie-adik perempuan Juna. Papa Juna selalu merasa materi
Raja Silat 18 Dewi Sri Tanjung 6 Tersiksa Seperti Di Neraka Golok Sakti 1
Bab 1 ''Serius" Jadi kalian nggak bakal SMA di Jakarta"'' Dira menatap Mayang dan Irwan, dua dari
ketiga sahabat segengnya.
Mayang dan Irwan mengangguk kompak. Mereka berdua sudah pasti meninggalkan Jakarta
begitu lulus SMP. Satu ke luar negeri, satu ke luar kota. Itu berarti cuma Dira dan Juna yang
kemungkinan besar bakal terus sekolah di ibu kota yang kejam seperti ibu tirinya Cinderella ini.
Mendadak Dira sedih. Mereka adalah kumpulan kutu buku yang langsung kompak sejak masuk
SMP. Nggak ada yang nggak seru kalau dijalankan berempat. Dira yang manis, ceroboh, dan
cerewet; Mayang yang teratur dan rapi; Irwan yang hobi sepak bola; dan Juna yang ganteng,
sang pemberontak dengan otak superencer, kocak, dan anti kekerasan; mereka semua disatukan
oleh hobi baca dan nonton film.
Mulai dari berburu novel, nonton film DVD, nonton hemat di bioskop, dan bikin tugas bareng,
semua menyenangkan kalau dilakukan berempat.
''Jadi sedih...,'' Dira berkata pelan.
''Eh, jangan sedih dong. Sekarang kan zaman modern. Ada e-mail, fb, messenger. Kita tetep bisa
kontak kok,'' kata Irwan semangat.
Mayang mengangguk setuju. ''Irwan bener. Jangan sedih dong. Sekarang kita tos kompak dulu
yuk!'' Mayang mengulurkan telapak tangannya ke tengah-tengah mereka. ''Tos kompak!''
''Tos!'' Irwan meletakkan tangannya di atas tangan Mayang.
Sambil berusaha mengurangi kesedihan, Dira melatakkan tangannya di atas telapak tangan
Mayang, dan jantung Dira nyaris meledak waktu Juna meletakkan tangannya di atas tangan Dira.
Tangan Juna yang hangat bikin wajah Dira memanas.
''Nah, kalo gue sama Irwan pergi, berarti tinggal Juna sama Dira di Jakarta. Kalian harus tetep
kompak ya. Kalo sampe pacaran juga nggak papa kok. Hihihi..'' Mayang cekikikan.
Candaan Mayang langsung bikin Dira dan Juna refleks saling tatap sekilas. Super-sekilas, lalu
sama-sama salting dan pura-pura melihat ke arah lain.
''Oke. Kita tos! Mayang, Irwan, Juna, dan Dira... kutu buku paling asyik, bersahabat
selamanya!!!'' Lalu mereka berempat mengangkat tangan ke udara.
PYARRR!!! Seperti biasa, tangan si ceroboh di angkat tanpa lihat arahdan menyambar cangkir teh manis
panas di meja tamu pendek di ruang TV Irwan. ''AUWHHH! PANASSS!''
''Ya ampun. Lo nggak papa, Ra"'' Dan seperti biasa juga, Juna langsung maju duluan dengan
panik. Dira mengibas-ngibaskan tangannya yang terkena teh panas. ''Nggak, nggak papa. Cuma kena
panas sedikit.'' Juna membolak-balik tangan Dira. ''Agak merah sih... Gue beliin obat dulu, ya" Kalo nggak,
tangan lo bisa bengkak. Nanti berabe kalo konser tunggal piano lo batal.
Dira mendelik. ''Kurang ajar,'' protes Dira cemberut. Dia paling sebal kalau diledekin soal musik.
Semua juga tahu Dira paling payah mainin alat musik. Satu-satunya alat musik yan bisa dia
mainkan cuma pianika. Juna cuma cekikikan. Dira terus meniup-niup tangannya yang nyut-nyutan.
''Ra,'' panggil Juna yang ternyata manatap Dira dengan super serius.
''Hm"'' Juna duduk tegak dengan gelisah. ''Mm, gue... ehm... lo... hari Minggu jam dua belas, bisa
nemuin gue di taman deket sekolah nggak" Ada... ada yang mau gue omongin.''
Spontan Dira berhenti meniup tangannya.
Juna terus menatap Dira. ''Kita berdua aja... Bisa"''
Perut Dira bergolak. Selama ini mereka selalu berempat. Kali ini Juna mengajak bertemu berdua,
dan jawaban Dira cuma satu, ''Bisa...''
Jantung Dira berdegup nggak beraturan. Kompak sama jantung Juna.
Dira melirik jam tangannya berkali-kali. Juna selalu tepat waktu, persis kayak Dira. Tapi
sekarang sudah jam satu siang, kenapa Juna belum datang juga" Padahal dia janjinya jam dua
belas. Dira duduk di kursi taman dan berpikir. Mungkin mendadak Juna ada urusan, mungkin dia kena
macet... mungkin... baterai HP-nya habis, makanya waktu Dira telepon nggak diangkat.
Dira memutuskan untuk menunggu, karena Juna nggak pernah ingkar janji.
Tapi, kali itu Dira salah.
Juna nggak datang. Dan nggak pernah datang. Empat jam Dira duduk di taman itu dan Juna
nggak pernah muncul. Dira sudah menelepon dan SMS, tapi nggak bisa. Waktu Dira ke rumah
Juna... rumahnya itu kosong. Salah seorang tetangga bilang, Juna sekeluarga mendadak pindah,
entah kenapa. Juna menghilang tanpa kabar. Irwan dan Mayang juga nggak mendengar kabar apa-apa.
Setiap hari Dira menatap HP-nya. Berharap ada telepon atau SMS dari Juna.
Satu hari... dua hari... satu bulan... lima bulan... sampai satu tahun... kabar dari Juna nggak
pernah datang. Cinta pertama Dira pergi begitu saja.
Bab 2 Jadi anak baru di tengah-tengah semester itu mengerikan. Apalagi buat Dira. Di sekolah lama,
Dira adalah kutu buku ceroboh, kuper, dan belum pernah punya pacar. Teman-temannya yang
sekarang juga sesama kutu buku, tapi sama sekali nggak seasyik gengnya waktu SMP dulu.
Rasanya sih di sekolah baru ini predikat Dira juga nggak bakal berubah. Biarpun Dira sering
baca novel remaja tentang seorang kutu buku yang pindah sekolah lalu bertransformasi jadi
cewek gaul, kenyataannya nggak segampang itu mengubah imej.
Gila kalau dia mendadak harus menghapal merek-merek yang lagi in, atau desainer yang lagi
ngetop, atau tempat gaul yang lagi hot, belum lagi kalo harus fasih merek-merek perawatan
muka, makeup, salon... Tidaakkkk!!
Novel dan film-film terbaru sudah cukup mengasyikkan buat Dira.
Jadi waktu Mama tiba-tiba bilang dapat tawaran kerja sama untuk toko buku roti di Bandung dan
harus hijrah ke kota kembang ini, Dira cuma bisa pasrah. Kutu buku yang semula nongkrong di
perpustakaan sekolah lamanya di Jakarta, sekarang siap-siap nongkrong di perpustakaan sekolah
barunya, salah satu SMA unggulan di Bandung.
''Lo jangan khawatir, Ra. Kalo masih bingung atau mau tanya apa pun, ke gue aja... Pasti gue
bantuin deh.'' Dira tersenyum lebar ke arah Tasha yang berjalan di sebelahnya setelah teman sekelasnya ini
mengajukan diri dengan sukarela untuk mengantar Dira berkeliling dan memperkenalkan seisi
sekolah ini pada Dira. Tentu saja Tasha jadi teman pertama Dira. Yang pasti Dira bersyukur ada
yang mau langsung jadi temannya pada hari pertama. Biarpun dalam sekali tebak, Dira tahu
bahwa Tasha juga kutu buku yang kurang populer. Biar begitu, Tasha dengan bangga
mengumumkan diri sebagai ''kaum pengamat''. Katanya, dia tahu semuaaa kejadian di sekolah ini
termasuk semua gosip hits-nya.
''Nah, itu perpustakaannya, Ra. Deket kan sama kelas kita" Bukunya lengkap...'' Tasha menunjuk
ruang perpus dengan gaya khas sales promotion girl.
Dira mengangguk-angguk. Dari luar sih kelihatan nyaman. Ada AC-nya pula. Kayaknya sih
bakalan betah berlama-lama di situ. Mungkin besok Dira baru mencoba baca-baca buku di situ.
Hari ini dia mau keliling sekolah dan kenalan dengan sekolah barunya ini. Supaya besok dia...
EH"! Mata Dira menyipit ke arah cowok berpostur tinggi yang berjalan keluar dari perpustakaan
sambil terburu-buru melepas kacamata dan memasukkannya ke saku kemeja seragamnya.
''JUN! ARJUNA!'' ''Ya ampun, Dira!'' Dengan panik dan ketakutan Tasha berlari menyusul Dira yang melesat lari
ke arah cowok itu. ''Jun! Juna, kan" Jun... inget gue nggak"!'' Dengan riang gembira Dira menyapa cowok itu.
Saking gembiranya, Dira nyaris kelihatan seperti kelinci yang kegirangan menyambut hujan
wortel. Cowok yang dipanggil Juna itu menatap Dira kaget sambil mematung.
Dia Arjuna alias Juna sahabat Dira waktu SMP. Cowok super-duper-pintar dengan otak encer
seencer-encernya. Juara kelas sejadi-jadinya.
Juna, Dira, Irwan dan Mayang yang sewaktu SMP menjadikan toko buku dan bioskop sebagai
tempat favorit sepanjang masa.
Dira nggak bisa melupakan ketika Juna tiba-tiba menghilang pada pertengahan kelas IX. Guruguru cuma bilang bahwa Juna ikut pindah mendadak karena urusan keluarga. Benar-benar cuma
itu. Nggak ada kabar dari Juna sama sekali. Rumahnya mendadak kosong. Hanya ada
pembantunya yang cuma bisa memberi informasi yang sama: pindah mendadak karena urusan
keluarga. HP Juna tidak aktif. Juna seperti hilang ditelan bumi.
Dan sekarang dia ada di depan mata Dira....
POK! Dengan sok akrab, Dira menepuk bahu cowok itu. ''Jun! Kok bengong begitu sih" Lo nggak lupa
sama gue, kan" Lo kemana sih, tiba-tiba ngilang" Ternyata lo SMA di Bandung" Ya ampuuun...
Seneng banget ada yang gue kenal di sini. Baru hari ini gue pindah ke sini, Jun.'' Sambil merepet,
Dira menatap Juna dengan berbinar-binar.
Bagaimana mungkin Dira nggak berbinar-binar" Dia sama sekali nggak menyangka akan ketemu
Juna di sini. Dia melupakan kekesalan dan amarah yang telah lama menetap di hatinya gara-gara sahabatnya
pergi tanpa pamit. Amarahnya seketika hilang dikalahkan kegembiraan karena bisa bertemu Juna
lagi. Dia kangen banget pada sahabatnya ini! Dulu kan Dira paling kompak sama Juna. Sekarang
mereka sudah kelas XI, berarti kan hampir dua tahun nggak ketemu. Sayangnya, Mayang SMA
di luar negeri, ikut tantenya. Sementara Irwan pindah ke Medan bersama keluarganya. Kalo
nggak, pasti detik ini juga Dira bakal memberi tahu merek dan menyuruh mereka datang kemari.
Dira sebenarnya masih penasaran setengah mati, apa yang mau Juna bicarakan dengannya pada
hari Minggu ketika Juna ingkar janji.
Wajah Juna melunak, tapi tetap dingin. ''Dira, seneng ketemu lo lagi. Sori, gue masih ada
urusan.'' Cowok itu mendorong pelan badan Dira ke samping, lalu jalan melewati Dira, dan pergi
begitu saja, tanpa meminta maaf karena dulu pernah ingkar janji, tanpa menjelaskan ke mana dan
kenapa hampir dua tahun lalu dia tiba-tiba menghilang.
Apa-apaan nih" ''Eh"! Jun! Juna, tunggu!''
''Dira, stop!'' Sebelum Dira sempat ngacir dan mencaci maki Juna, Tasha keburu mencekal
tangan Dira dan menariknya berhenti. ''Lo kenal dia"''
Dira mengangguk gusar. ''Ya kenal lah! Dia sahabat gue waktu SMP, Tash.''
Tasha tetap mencekal tangan Dira sambil menatapnya cemas. Lebih tepatnya, ketakutan sih.
''Kayaknya sekarang lo nggak bakal mau sahabatan lagi sama dia.''
Alis Dira bertaut, bingung. ''Maksudnya"''
''Gue yakin, dia yang lo kenal dulu... deda banget deh sama Jun yang sekarang. Mendingan lo
ngga usah deket-deket dia.''
Dira makin bingung. ''Maksudnya"''
*** Dalam perjalanan pulang Dira nggak bisa berhenti melamun dan memikirkan semua yang
dikatakan Tasha. Memangnya benar"! Memangnya Juna cowok paling ditakuti di sekolah"
Memangnya Juna pemimpin cowok-cowok berandalan di sekolah" Memangnya Juna itu tukang
tawuran" Memangnya Juna tukang bolos" Memangnya Juna menakutkan dan nggak pernah
ramah sama orang" Masa sih" Kata Tasha, satu-satunya sifat lama Juna yang tersisa adalah otak
encernya. Biarpun Juna tukang berantem, tukang bolos, banyak musuh, dan selalu bikin masalah,
guru-guru nggak berniat mengeluarkan dia dari sekolah. Semua guru kompak pengin
menyelamatkan Juna karena otak encer dan potensinya yang, menurut Tasha, luar biasa.
Di mana lagi ada berandalan sekolah yang masih mau ikut olimpiade matematika dan menang"
Di luar jadwal berantemnya, kata Tasha, Juna paling suka baca buku atau mengutak-atik sesuatu
di klub sains. Dira tersenyum tipis, nggak ada yang bisa mengalahkan kecintaan Juna dalam hal
membaca. AHHH! Tapi masa iya sih" Masa Juna jadi berandalan dan menakutkan kayak gitu" Juna kan
cowok ceria, humoris, jail... Masa sekarang..."
''Nggak mungkin...!'' DUAKKK! Dira menendang kaleng yang nangkring di depan kakinya. ''HADUUHHH!!!''
Kaleng itu ternyata berisi semen keras dan digunakan sebagai penahan tutup gorong-gorong di
depan sekolah. Sambil melompat-lompat kecil dan meringis, Dira merutuki diri sendiri yang tingkat
kecerobohannya sudah selevel dewa. Harusnya dia tadi lihat-lihat dulu kaleng apa itu! Harusnya
dia curiga kenapa kaleng segede kaleng cat itu dibiarkan nangkring di tengah.
Sepertinya Dira harus ikut terapi hipnotis biar ceroboh akutnya sembuh. Kasihan Mama terusmenerus cemas kalau Dira berada di luar rumah. Sampai-sampai Dira diwajibkan membawa
plester ke mana-mana, saking seringnya pulang dalam keadaan benjol, lecet, atau harus ganti
rugi barang orang. Dira terduduk di bangku kecil dekat pelataran parkir sekolah.
Tapi, memang Juna tadi aneh banget. Dia bahkan nggak senyum sedikit pun saat melihat Dira.
Dira menghela napas. Padahal tadi dia senang banget bisa ketemu Juna.
*** Klub bhs Mandarin, klub minum teh Jepang, klub menyulam indah, klub tari tradisional... Dira
mengacak-acak rambut berpotongan bob-nya, bingung. Bibirnya yang sekecil bibir liliput
berkerut-kerut manyun. Soalnya dia bingung... Kata wali kelasnya, dia harus segera memilih satu
ekstrakulikuler. Tapi ap ya" Antara klub bhs Mandarin dan klub...
EH"! Waduh"! Ada tawuran! Dengan segenap aura ketakutan, Dira membeku. Ini kenyataan.
Gara-gara jalan sambil melamun, sekarang dia berdiri amat sangat dekat dengan segerombolan
cowok yang tampak barbar dan saling menyerang. Kalau Dira nggak segera kabur, bisa
dipastikan dia bakal terjebak di tengah tawuran mengerikan ini!
Mata Dira melihat ke sana kemari, mencari celah untuk kabur. Mungkin dia bisa menerobos
sekelompok cowok di sisi paling kiri. Jumlah gerombolan di sana paling sedikit. Kalau lari ke
sana secepat kilat, mungkin dia akan... BABAK BELUR!!
Kenapa Dira bisa lupa bahwa sebagai kutu buku sejati, kecepatan larinya bisa disetarakan dengan
siput yang lagi hamil besar dan terkena encok, alias... PELAN BANGET"
Oke... menerobos gerombolan kiri... coret dari daftar.
Terus gimana dong"! Dengan panik Dira melihat ke sana kemari lagi, mencari jalan lain. Dia nggak boleh terjebak
dalam tawuran! Dia belum belajar karate atau kungfu, nggak menguasai teknik bela diri!
Ah! Tembok itu! Dira menatap tembok pembatas di dekat gerombolan kanan. Dia bisa memanjat
dan menyeberang lewat tembok itu saja. Kalau memanjat tembok itu... dia pasti... NYUNGSEP!
Ya iyalah! Masalahnya, dengan tinggi badan yang jauh di bawah standar model dan pramugari,
memanjat tembok setinggi itu tanpa tangga, sama saja cari mati.
Ahhh! Terus gimana dong"
Muka Dira mulai pucat. Tangannya dingin. Tanda-tanda bahwa dia betul-betul mati kutu, dan
bisa mati jadi korban tawuran! Sementara para pelaku tawuran tampak semakin banyak dan
semakin barbar saat menyerang. Dan yang paling gawat... mereka semakin dekat!!!
Dira mematung. Bagaimana ini" Telepon Mama" Tapi Mama bisa apa" Nanti malah bikin Mama
histeris dan serangan jantung saat tahu anak kebanggaannya, sang juara kelas dan penurut, yang
pandai melucu, dan terkenal ceroboh ini terjebak di tengah tawuran maut.
Oke! Berdoa... Dia selalu ingat nasihat Papa: Kalau kita terpojok, nggak ada satu pun yang bisa
menolong selain Tuhan. Tuhan bisa menolong kita dengan cara yang tak terduga. Tuhan bisa saja
mengirimkan malaikat dalam wujud apa pun untuk menyelamatkan kita karena...
''Udah gila ya"! Bosan hidup"!''
HAH"! Mata Dira yang tadi terpejam rapat sambil berdoa, kini terbuka pelan, mengintip.
Hiyaaa! ''A... ampun... ampun... gue nggak sengaja kok ada di sini. Jangan... jangan diapa-apain
ya" Peace... damai... gue mau pulang kok. Nggak bisa berantem. Suwer!'' Dira merepet panik
dengan suara gemetar melihat sosok tegap dan sangar berkaus oblong di depannya.
''Hah" Lo kira gue mau ngajak lo berantem" Gue bilang lo udah gila ya di sini, Diraaa!''
Lho..." Dira mengamati cowok itu lekat-lekat begitu dia menyebut nama Dira. Tunggu, tunggu...
Kalau kata cewek-cewek genit dan populer di sekolahnya, Juna adalah the real bad boy.
Tadi Dira sempat nggak mengenali cowok itu karena dia nggak pakai seragam dan rambutnya
yang gondrong juga ditata asal-asalan menggunakan ikat kepala. Mungkin ini salah satu strategi
perang: Poni jangan sampai menghalangi pandangan.
''J... Juna..."'' ''SERAAAANGG!!!'' Tiba-tiba ada teriakan keras disertai batu-batu melayang.
''Gawat! Sini!'' Juna menarik tangan Dira sampai tubuh cewek itu merapat ke badan tegap Juna. Dira setengah
dipeluk karena lengan kekar Juna melingkar di atas kepalanya. Lalu, dia ditarik paksa ke dalam
lindungan Juna sampai akhirnya...
''Duduk! Cepat!'' perintah Juna. Mereka berdua tiba-tiba sudah ada di halaman rumah tua yang
berpagar tinggi dan sepertinya masih dekat dengan lokasi tawuran.
Dengan panik, Dira menurut dan langsung duduk meringkuk dengan punggung merapat ke
tembok. Juna ikut duduk di sebelah Dira, juga dengan punggung merapak ke pagar. ''Ssst...
jangan bersuara! Ngerti"''
Dira mengangguk ketakutan. Rasanya nyawanya sekarang di tangan Juna. Seumur hidup, Dira
belum pernah terjebak dalam situasi genting yang mengerikan seperti gini. Karena disuruh
jangan bersuara, Dira diam saja waktu tangan Juna lagi-lagi melingkar di kepalanya. Mm,
mungkin dia berusaha melindungi Dira dari batu yang bisa melayang ke arah mereka. Atau,
mungkin saja Juna sekarang juga berubah jadi cowok mesum bin genit yang curi-curi
kesempatan. Eh, tapi... di tengah-tengah tawuran begini, Dira memutuskan untuk percaya pada
pilihan pertama saja. Dia belum pernah sedekat ini dengan cowok. Jarak terdekatnya dengan
laki-laki adalah dengan Papa yang pulang beberapa bulan sekali karena bekerja di pengeboran
minyak lepas pantai. Kalau ada Papa, Dira suka banget duduk dalam rangkulan Papa sambil
menonton TV. Dan kalu nggak dalam situasi darurat militer kayak gini, tiba-tiba ada cowok yang
nggak dia kenal berani rangkul-rangkul kayak gini, mungkin Dira sudah melayangkan bogem ke
segala arah. Yah, dalam mimpi sih. Soalnya Dira kan kutu buku lemah, invicible, dan nggak mungkin bisa bogem orang. Tapi cowok
ini kan Juna! Dulu mereka memang sering rangkul-rangkulan dalam rangka bercanda, meski
nggak sedekat ini. Harusnya... jantung Dira nggak deg-degan kayak gini.
Tapi... rangkulan yang dulu itu beda. Dulu kan badan Juna ceking dan tipis. Sekarang, dengan
badannya yang tegap dan berisi begini, Dira merasa didekap oleh cowok yang nggak dikenalnya.
''Sudah aman...'' Setelah lima belas menit, akhirnya Juna melepaskan rangkulan dan berdiri.
Jun Karya Mia Arsjad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menurut pengamatan cowok itu sebagai ahli tawuran, situasi sudah nggak berbahaya lagi.
Dira ikut berdiri. Sepertinya memang sudah aman. Dia nggak mendengar lagi suara ribut-ribut.
Mungkin tawurannya sudah bergeser.
''Lain kali kalo mau berdiri di tengah-tengah tawuran, pastiin kalo lo itu cowok dan kebal senjata
tajam.'' Hah"! Dira menatap Juna aneh. ''Maksudnya" Emangnya tadi gue sengaja" Gue juga nggak mau berdiri
di tengah situasi kayak tadi! Mana ada sih orang waras yang mau terlibat tawuran"!'' Saking
hebohnya, kacamata Dira sampai melorot ke hidung.
Gantian wajah Juna yang berubah aneh. ''Maksud lo... gue nggak waras"''
Dira menatap Juna lurus-lurus, lalu dengan mantap mengangguk. ''Kalo lo terlibat tawuran,
berarti lo nggak waras. Gue sampe kaget ternyata lo sekarang jadi sinting.''
Sama sekali nggak perlu kaca pembesar untuk melihat Juna ternganga dikatain nggak waras.
Tapi bagi cowok jagoan seperti Juna, melongo cukup beberapa detik saja, lalu dengan cool dan
penuh percaya diri Juna melepas ikat kepala dan menyisir rambutnya dengan jari, sambil
menatap Dira tajam. ''Lo itu harusnya bilang terima kasih.''
Dira mengedikkan bahu pelan. ''Makasih. Makasih udah nolongin gue, dan makasih ternyata lo
masih inget nama gue,'' tukas Dira pedas.
Sekali lagi Juna terpaksa melongo melihat reaksi Dira yang lempeng dan asal. ''Terus" Lo nggak
minta maaf karena ngatain gue nggak waras"''
Dira menggeleng mantap. ''Nggak tuh. Soalnya menurut gue, lo tetap nggak waras. Sampe kapan
pun, orang tawuran itu nggak waras. Orangtua nggak bangga, dikejar-kejar polisi, babak belur
pula. Belum lagi kalo mati. Mati konyol! Gue nggak nyangka, ternyata lo emang bener-bener
jadi tukang berantem sekarang. Padahal dulu lo paling anti kekerasan.''
Rasanya sekarang bukan waktu yang tepat untuk mengungkit rasa penasaran Dira tentang masa
lalu. Juna betul-betul kayak orang lain.
Oke. Kalimat Dira kayaknya menyinggung harga diri Juna.
Alis Juna mengernyit. Cewek ini betul-betul tengil, pikirnya. ''Cuma laki-laki sejati yang berani
membela kelompoknya sampe kayak gini. Dan gue membela almamater sekolah.''
Dira tertawa kecil. ''Kenapa ketawa"'' desak Juna, nggak ngerti.
Lalu mata bulat Dira yang ceria menantang mata Juna dengan tajam dan gusar. ''Laki-laki sejati"
Bukannya pengecut" Beraninya keroyokan. Gue nggak ngerti kenapa lo merasa keahlian baru lo
ini membanggakan.'' Melongo Juna kali ini betul-betul dahsyat. Dia terkena sekakmat. Sekakmat dari cewek mungil,
bermata bulat, berkacamata, berambut bob, dan selalu membawa tas yang tampaknya berat dan
penuh. Seragamnya juga, mm, benar-benar nggak modis. Masih Dira yang dulu, yang dia kenal
di SMP. Dira yang simpel, cuek, ceroboh, dan agak galak. Nggak seperti cewek-cewek yang
sering cekikikan kalau Juna lewat, yang bedaknya seperti terbuat dari tepung terigu.
*** ''Sekali lagi, makasih ya. Gue permisi... Nanti Mama bingung nyariin gue.'' Dira melangkah pergi
sambil celingukan, memastikan keadaan sekitar aman.
Juna masih mematung, takjub. Kemudian matanya tertuju pada tumpukan kertas yang tergeletak
di bawah dan sebuah buku bertuliskan nama Adira Putri Januari. ''Eh, Dira!'' Secepat kilat Juna
menyambar tumpukan itu dan mengejar Dira.
Dira berbalik. Juna berlari kecil dengan tumpukan kertas dan buku Dira di tangannya. ''Ini punya
lo, ya kan"'' Mata Dira membulat. ''Oh iya... Wah, makasih ya.''
''Nih!'' Karena semua yang Juna lakukan rata-rata menggunakan tenaga besar, jadi sewaktu
menyodorkan kertas-kertas itu, Juna kelepasan menggunakan tenaga terlalu besar, sampaisampai... sraakkk... Semua kertas dan buku Dira berjatuhan ke jalan. ''Sori, sori...'' Juna buruburu memunguti, lalu menatap Dira dengan aneh. ''Klub bhs Mandarin" Minum teh Jepang" Tari
tradisional" Menyulam indah" Brosur-brosur apaan nih"''
Dira buru-buru merebut semuanya dari tangan Juna. ''Brosur ekskul.''
''Di sekolah kita"''
Dira mengangguk. ''Ya iyalah. Wali kelas nyuruh aku ikut ekskul. Tapi aku masih bingung.''
Mata Juna membesar. ''Bingung antara ini semua"''
Dira mengangguk lagi. ''Iya.''
''Astaga. Kan udah jelas.''
Dira menatap Juna nggak ngerti. ''Apanya"''
Telapak tangan Juna melambai-lambai di depan mata Dira. ''Jelasss... nggak ada yang harus
dipilih. Boring banget semuanya. Ngapain ikut ekskul-ekskul begini" Nggak ada yang lain" Gue
baru tau ada klub-klub beginian di sekolah. Nggak ada yang lebih seru" Modern dance" Basket"
Berenang" Ini sih cocoknya buat ratunya kutu buku!''
Astaga, cowok ini! Meski memang benar sih, tapi kan Juna sendiri juga kutu buku.
''Yeee... terserah gue dong! Udah ah, gue pulang. Kalo lo cari ekskul berantem indah, sampe
kiamat juga nggak ada! Ternyata lo juga berubah jadi nyebelin ya, Jun" Permisi!'' Dira ngibrit
pulang. Rasanya Dira pengin banget mencaci maki Juna tiga hari tiga malam mulai dari
sekarang! Bab 3 ''Jadi lo diketekin gitu, Ra"'' Tasha bertanya heboh.
''Kok diketekin sih"''
Tasha memutar mata menatap Dira. ''Ya kan kata lo tadi... Tangannya di kepala lo gitu. Juna kan
tinggi banget, jadi ya lo di keteknya, kan" Gimana, Ra" Wangi nggak"''
Wah, Tasha kayaknya agak-agak melenceng nih otaknya. ''Tasha, gue terjebak di tengah
tawuran, ditolong sama berandalan sekolah. Dan lo berharap gue nyium bau keteknya"! Mana
gue tauuu. Tashaaa...! Yang dirangkul kan kepala gue. Lubang hidung gue di bawah, bukan di
jidat! Gue juga nggak peduli, Tasha. Gue kecewa sama dia. Dulu itu dia sahabat yang baik dan
menyenangkan. Sekarang jadi orang yang sama sekali beda. Nyebelin! Gue nggak ngeri, kok
bisa orang berubah drastis kayak gitu"''
''Ya lo tanya aja, Ra...,'' cetus Tasha datar.
''Nanya gimana, Tash" Kalo liat dia sekarang, gue kayak nggak pernah kenal dia. Padahal dulu
dia sahabat gue.'' Sekaligus cowok yang bikin jantung gue deg-degan, lanjut Dira dalam hati. ''Lo
inget kan waktu dia pertama kali ketemu gue" Kalo dia masih nganggep gue sahabat lama, masa
reaksinya begitu" Dingin. Mungkin, buat dia jadi anak baik-baik udah nggak keren.'' Dira
menghela napas di ujung kalimatnya.
Ternyata melihat orang yang dekat dengan kita berubah negatif itu nyesek banget. Dipikir-pikir,
kalo gini mendingan Dira nggak usah ketemu Juna lagi sekalian. Sampai hari ini, Dira juga
belum memberi kabar pada Irwan dan Mayang. Percuma. Nanti Dira malah membuat Irwan dan
Mayang ikut kecewa. ''Hihihi...'' Tiba-tiba Tasha cekikikan. ''Elo tuh cerobohnya udah akut banget deh, Ra. Lo pasti
pas jalan nggak liat-liat kan, jadi nggak tau ada tawuran, ya kan" Sama kayak waktu lo salah
masuk bus jurusan Surabaya padahal mau ke Bogor,'' tembak Tasha , yang sempat nggak
menyangka bahwa kecerobohan Dira itu bukan omong kosong.
Saking cerobohnya, baru sebulan lebih dekat dengan Dira, Tasha sudah bisa menyimpulkan
setepat itu. Termasuk kejadian tawuran kemarin. Kalau Dira nggak berjalan sambil menunduk
dan melihat brosur, seharusnya dia bisa lihat dari jauh bahwa ada tawuran, jadi nggak akan
terjebak tawuran. ''Yeee... waktu itu kan warna busnya sama! Wajarlah kalo gue salah naik.''
Tasha mendelik. ''Warna boleh sama. Tapi tulisannya kan beda. BO-GOR, SU-RA-BA-YA.
Udah deh, kecerobohan lo itu kan udah mendunia. Lo sendiri yang bilang begitu,'' cecar Tasha
nggak mau kalah. Dira cemberut, nggak bisa ngeles, dan jadi teringat kejadian kemarin. Bibirnya langsung
manyun. ''Gue udah dikatain kutu buku, dikatain gue cuma di kelas sama perpustakaan doang,
semua ekskul yang lagi gue pikirin boring lah...''
Alis Tasha naik satu senti sambil melongo. ''Lha, emang bener, 'Kutu Buku'. Emang bener kan
kalo di sekolah kita cuma di kelas dan perpus" Apalagi perpus di sekolah kita ini nggak ada
larangan makan. Sejak hari pertama lo masuk perpus sekolah kita ini , lo udah jatuh cinta, kan"
Jadi Juna Nggak salah dong. Lo aja yang nggak mau terima kenyataan,'' ujar Tasha dengan ketus,
sambil membolak-balik buku sejarah.
Dira nyengir. ''Yah, tapi gue sebel aja. Nggak usah terang'terangan gitu kan bisa" Jadi kesannya
neledek, tau! Kayak orang lupa ingatan aja. Dia sendiri kan kutu buku. Cuma sekarang ditambah
embel-embel pimpinan geng. Baru gitu aja udah bangga.''
Tuing! Tasha menoyor jidat Dira pakai telunjuk. ''Udah ditolongin, diledek doang ngambek.
Banyak maunya. Udahlah, jarang-jarang kan cewek kutu buku kayak kita bisa sedeket itu sama
Juna, si Bad Boy. Aleen sama gengnya pasti iri berat tuh.''
Mendengar nama Aleena alias Aleena dan gengnya, muka Dira langsung cemberut. Geng
campuran cewek-cewek populer kelas XII dan kelas XI itu betul-betul seperti geng cewek-cewek
yang rese seperti di film-film remaja Amerika. Kayaknya mereka memang meniru tingkah laku
tokoh-tokoh di film itu. Buat cewek-cewek seperti mereka, cewek kutu buku dan nggak berdaya
seperti Dira dan Tasha itu santapan empuk untuk hiburan sehari-hari, demi menunjukkan
kekuasaan. Tapi, sebelumnya dulu mereka nggak parah-parah amat. Hanya saja sejak Aleen, si
anak baru pindahan Amerika masuk dan langsung menobatkan diri jadi pemimpin geng, baru deh
mereka jadi menyebalkan. Dira tahu semua itu dari Tasha. Aleen dan gengnya mulai mengincar Dira buat jadi objek baru
keusilan mereka. Hampir dua bulan ini, sudah tiga kali Dira kebagian jatah mengerjakan tugastugas Aleen dan gengnya. Hati nurani sih pengin menolak, tapi kata Tasha, ''Jangan kalo nggak
mau kena masalah.'' *** Dira cekikikan. ''Hus!'' Akhirnya cekikikan heboh berdua dengan Tasha. Mereka semakin mengikik... sampai keram
perut cuma gara-gara khayalan mereka tiba-tiba jadi liar, sampai mengkhayalkan adegan Aleen
bakal menjambak rambut sendiri sambil menjedotkan jidat ke tembok kalau tahu Dira pernah
sedekat itu dengan Juna. ''Astaga! Tasha...'' ''Apa"'' Tasha menatap Dira bingung dengan mata masih agak berair. ''Apa"''
Grubak! Grubuk! Dira berdiri serabutan sampai semua benda di mejanya terjun ke sana kemari.
''Tashaaa.... kita kan udah janji mau bantuin Bu Fira, penjaga perpus, buat mindahin dan nyusun
buku-buku baru dari gudang penyimpanan ke perpustakaan. Jam istirahat udah mau abis nih!''
Brak! Tasha ikutan panik berdiri. ''Ya ampun, Dira! Kita telat nih!''
''Udah ah, ayo!'' Dira ngibrit ke luar kelas, menabrak Satyo-cowok Jawa yang superrajin yang
lagi asyik menyapu pada jam istirahat. Satyo nggak jajan, nggak ngobrol, nggak main bola, dan
lebih memilih menyapu. ''Dira! Piyeee tohhh" Debu ne terbang kabeh!''
''Soriii, Satyo! S.O.S!'' teriak Dira sambil terus ngibrit.
*** ''Untung Bu Fira nggak marah, Ra. Makanya, kalo ada janji ditulis dong, Ra. Di HP kek, pake
alarm.'' Sambil mengambil buku setumpuk dari gudang. Tasha masih sempat-sempatnya
mengomel. Dira melirik keki. ''Terus aja nyalahin gue... kan elo juga disuruh. Harusnya, kalo gue nggak
inget, lo yang ingetin dong.'' Tumpukan buku di tangan Dira goyang ke kanan-kiri karena
tingginya agak melewati batas normal tinggi tumpukan buku yang bisa diangkut manusia
normal. ''Ya kan lupa. Lagian kan lo anak baru, Ra, penting banget cari muka sama guru-guru. Harusnya
lebih inget...'' Nyebelin deh. Dira sudah malas menimpali. Soalnya sahabat barunya sesama kutu buku ini bakal terus ngotot
nyalahin dia karena cap cerobohnya. Padahal Tasha sendiri juga lupa. Dalam waktu singkat,
Tasha berhasil dibikin terkagum-kagum menyaksikan kecerobohan temannya ini. Tapi Dira juga
terkagum-kagum pada kenyataan bahwa ternyata Tasha manusia paling penakut di jagat raya.
Huh! Udah gitu, si Tasha pemalas pula. Cuma mau bawa sepuluh buku. Padahal nih, buktinya
Dira bisa membawa enam belas buku sekali jalan, meski agak oleng. Tapi kan jadi lebih cepat.
Yah, cuma perlu keahlian akrobat dikit.
Memang sih, Dira jadi susah lihat ke depan karena tumpukan bukunya sampai menutup muka.
Tapi kan Dira sudah hafal betul koridor dan seluk-beluk sekolah ini, kecuali...
''Dira! Awas!!!'' DUAK!!! ''ADUH!!'' ...kecuali kalau salah satu jendela kelas terpentang dan melintang di tengah jalan. Mana bisa
lihat"! BRUK! Tasha meletakkan bukunya di lantai koridor, buru-buru nyamperin Dira yang duduk
terjengkang. ''Ra... lo nggak papa" Tuh kan, udah gue bilang, jangan bawa buku ketinggian. Lo
jadi nggak bisa liat kan ada jendela kebuka. Sakit nggak"''
Astaga! Kelewatan deh Tasha pertanyaannya.
''Ya sakitlah! Gue aja sakit!'' Di tengah nyut-nyutan di jidatnya yang kemungkinan besar benjol,
Dira menoleh ke asal suara. Tasha juga. Suaranya dari balik jendela yang masih melintang di
tengah jalan setelah ditabrak Dira. Aneh. Seharusnya kan setelah ditabrak sekeras itu, jendela itu
tertutup dan posisinya berubah. Tapi ini kok..."
Dengan takut, Tasha melongok ke balik jendela. ''Y... ya ampun... sakit ya"''
Aduh! Jangan bilang ada orang di balik jendela yang sukses kena hantam dan bikin jendela itu
diam di tempat waktu Dira tabrak! Pantesan tadi pas menabrak jendela, Dira sakit banget. Dira
sampai mental begitu. Dia buru-buru melongok ke balik jendela.
OMG, Juna! Jidat Juna kelihatan agak merah. Ya iyalah, kena gebok jendela kelas. ''Kena ya, Jun"''
Juna tidak menjawab. Matanya cuma menyipit tajam seolah berkata, ''Menurut lo"!''
''Sori, sori, Jun. Gue tadi lagi ngangkut buku, jadi nggak keliatan. Soalnya tumpukan bukunya
tinggi banget.'' Dira meringis ngeri. Tasha tampak berdiri mematung, takjub.
''Ceroboh banget sih lo. Udah tau nggak bisa liat, jangan bawa semua dong. Mau main sirkus"!''
semprot Juna galak. ''I... iya, Jun... Gue udah ngingetin tadi, tapi Dira ngotot sih. Tuh kan, Ra, harusnya lo nurut, jadi
nggak bikin orang lain celaka.''
Dira melempar tatapan setajam silet ke arah Tasha. Bukannya bantuin malah memperkeruh
keadaan. Setelah tatapan silet ke Tasha, Dira langsung menatap Juna dengan tatapan kesal.
''Galak banget sih lo, Jun" Gue kan nggak sengaja. Gue udah bilang sori, kan" Sekarang lo
beneran jadi nyebelin deh. Kalo lo masih pengin ngomel ke gue, ntar aja! Gue mesti anter bukubuku ini ke perpus. Nanti Bu Fira keburu ngomel. Ayo, Tash, kita beresin bukunya.''
Juna melongo. Udah lama banget rasanya nggak ada orang yang berani kayak gitu padanya. Biasanya, cewekcewek kalau ngomong dengan Juna selalu takut, segan, atau malu-malu, sok manis. Ternyata
bagi Dira, perubahan drastis Juna dari cowok kutu buku menjadi cowok berandal sama sekali
nggak berpengaruh. Juna menatap Dira, sementara Tasha sibuk menata kembali tumpukan buku
itu di tangan mereka. ''Terus, lo mau bawa buku itu dengan cara yang sama kayak tadi"'' tegur Juna, begitu Dira dan
Tasha mau jalan. Dira menatap Juna, mengangguk. ''Emang ada cara lain"''
Juna mendesah seraya menggeleng cepat. ''Kalo gitu caranya, bakal ada lagi yang celaka. Udah
sini!'' Juna menyambar tumpukan buku di tangan Dira.
''Eh, Jun!'' ''Udah, biar gue yang bawain. Nggak usah heran begitu. Gue emang hobi berantem, tapi bukan
berarti gue nggak bisa nolong orang.'' Lalu Juna ngeloyor mendahului Dira dan Tasha menuju
perpustakaan. Lha" Dira menatap Tasha, bingung. Tasha mengangkat bahu, sama-sama bingung, lalu mereka
lari-lari kecil menyusul Juna. Ini sih namanya dua kali Dira ditolong Juna biarpun situasinya
nggak asyik dan dalam rangka terpaksa.
''Makasih ya, Jun... Ternyata sisi baik lo yang dulu masih ada.'' Dira nyengir , setengah meringis,
waktu Juna meletakkan tumpukan buku itu kembali ke tangan Dira begitu mereka sampai di
depan pintu perpustakaan. Juna sekarang memang ganteng, meski dengan gaya cuek dan
berantakan, nggak kayak SMP dulu. Apalagi ternyata, sifat suka menolongnya masih ada.
''Sama-sama. Lain kali kalo mau ngapa-ngapain tuh dipikirin dulu. Lo tau nggak, orang ceroboh
itu sama aja kayak orang yang suka berantem kayak gue. Sama bahayanya! Bedanya, kalo
berantem bisa celaka karena membela harga diri, kalo ceroboh bisa celaka konyol. Dari dulu
sampe sekarang, lo masih aja ceroboh.'' Juna lalu melenggang pergi.
Alis Dira mengernyit aneh menatap Tasha. ''Kenapa sih tuh orang" Bener-bener jadi orang aneh.
Bingung gue. Gue kayak kenalan sama orang baru.''
Tasha mengedikkan bahu. ''Biarin aja, dia emang preman. Yang penting kan buku-buku ini
dibawain sama dia. Yuk, masuk ah...'' Tasha membuka pintu perpustakaan.
Dengan setumpuk buku yang kembali menghalangi pandangan, Dira ikutan masuk. Tiba-tiba
Dira kepikiran bahwa ternyata sifat-sifat baik Juna masih ada. Itu artinya, setengah diri Juna
masih yang dulu, kan" Mungkinkah dia kembali jadi cowok baik, ramah, riang, dan anti
kekerasan kayak dulu" Dira menghela napas. Padahal, kalau Juna nggak jadi dingin dan asing
gini, pasti seru banget bisa satu sekolah dengan sahabat lama. Pasti banyak hal seru yang bisa
mereka lakukan seperti dulu. Bahkan mungkin lebih.
Bab 4 ''Kayaknya gue harus cari ekskul olahraga deh, Tash...''
Tasha menoleh dengan syok. ''Olahraga" Serius lo"''
''Iya. Emang kenapa"'' jawab Dira sambil terus berjalan menuju gerbang sekolah. Setelah
membaca semua brosur ekskul yang diambilnya waktu itu, Dira belum bisa memutuskan mau
ikutan ekskul apa. Sekarang malah kepikiran pengin ekskul olahraga. Lagipula sejak SD sampai
waktu di SMA-nya yang lama, Dira sama sekali belum pernah ikut ekskul olahraga. Sekali-sekali
boleh dong" PLOK! Tasha memegang dahi Dira.
''Kenapa sih"'' Dengan keki Dira menepis tangan Tasha dari dahinya.
Bukannya sadar, Tasha malah melambai-lambaikan tangan di depan Dira dengan wajah serius.
''Haaa-looo... olahraga" Pelajaran olahraga aja lo sering pura-pura nggak bawa seragam, saking
payahnya lo pas olahraga. Sekarang lo mau ikut ekskul olahraga" Olahraga apa" Ntar tiap latihan
lo pura-pura pusing sama mual-mual. Udah deh, Ra, lo kan lemah di bidang olahraga. Jangan
nekat deh. Ekskul olahraga di sekolah ini serius ngejar prestasi lho.''
Dira mendelik tengsin. ''Ih, kok lo ngeledek gue sih" Pelajaran olahraga di kelas itu kan nggak
asyik. Penuh teori. Kalo ekskul kan laeeeen, bener-bener fokus ke olahraga itu. Gerak badan!
Gue malah bisa jadi atlet.''
Bibir Tasha yang tadi cuma melongo kecil sekarang menganga dahsyat. ''Atlet apa" Dira, basket,
berenang, atletik, semuanya pake tenaga. Nah elo, disuruh upacara bendera aja udah mau
pingsan begitu. Lo kenapa tiba-tiba pengin ikut klub olahraga" Ra, lo nggak perlu berusaha
mengubah imej lo di sekolah lama. Be yourself aja.''
Dira manyun, tidak menjawab.
Jun Karya Mia Arsjad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tasha mengamati Dira, berusaha menebak-nebak, lalu tiba-tiba matanya membulat seperti
menebak sesuatu. ''Nah, gue tau! Jangan-jangan lo kepikiran omongan Juna waktu dia bilang
pilihan ekskul lo boring ya" Dia itu dulu sobat lo, kan" Gue yakin kalo dia tau lo nekat mau
ikutan ekskul olahraga, dia juga bakalan ngelarang. Dia pasti juga tau kalo lo o'on olahraga. Dia
itu sok menganggap ekskul pilihan lo nggak asyik cuma buat jaga imej, tau! Masa preman
sekolah menganggap klub minum teh itu asyik. Kan nggak matchiiing...''
''Tash, ngomong apa sih" Ini nggak ada hubungannya dengan saran siapa pun. Gue pengin coba
aja sesuatu yang baru. Emangnya nggak boleh"''
Tiba-tiba wajah Tasha berubah usil. ''Cieee, Diraaa... malu tuh. Mukanya merah. Jangan-jangan
dulu waktu SMP lo ada something special gitu ya sama Juna"''
''Tasha! Apa-apaan sih" Jangan ngaco. Gue sumpahin mulut lo dower!''
Tasha malah nyengir makin kegirangan.
''Tasha... Minta ditabok pake Kamus Besar Bahasa Indonesia banget ya bibir lo"''
Dan Tasha tetap terkakak-kakak menyebalkan.
''Sssttt! Kalian berisik!''
Bentakan menggelegar membuat Dira dan Tasha hening sesaat. Dengan ketakutan mereka
menatap ke arah si empunya suara. Brata. Cowok kakak kelas XII yang dikenal sebagai algojo
dalam tim tawuran sekolah tampak berdiri sambil melotot ke arah mereka. Serasa dipelototi buto
ijo atau genderuwo penunggu pohon sawo.
Brata nggak sendirian. Di sudut koridor sepi itu tampak semua cowok preman jago tawuran
sekolah. Mereka tampak serius dan tegang. Dan sekarang, muka-muka serius, tegang, plus
garang itu menatap ke arah Dira dan Tasha. Suasana mendadak hening mencekam. Persis seperti
detik-detik menjelang kemunculan sliding nurse alias suster ngesot di film-film horor.
''Kenapa masih bengong di situ" Nguping" Mata-mata"!'' Brata menggelegar lagi.
Aduh, ngompol boleh nggak ya" Ini terlalu menakutkan. Di Jakarta memang banyak tawuran di
mana-mana, tapi sekali pun Dira belum pernah berhadapan langsung dengan cowok-cowok
menakutkan yang rela babak belur demi membela sesuatu yang nggak jelas.
Dengan bibir gemetar, Dira berusaha mengeluarkan suara. ''M...mmaa... mmaa...''
Bagaimana bisa ngomong kalau Brata masih melotot dengan mata segede bakso begitu" Dira
melirik Tasha. Sahabatnya, sang juara penakut tingkat alam semesta itu tampak pucat dan butuh
ambulans. ''Bro, biarin. Paling mereka cuma nggak sengaja lewat.''
Suara yang Dira kenal. Tuh, kan benar. Yang barusan ngomong memang benar Juna. Cowok itu
tampak duduk di atas meja yang tidak terpakai. Kejadian ini bisa dianggap Juna menyelamatkan
Dira lagi nggak ya" Soalnya kalau nggak ada Juna, sepertinya Brata bakalan terus menggertak
sambil melotot begitu. ''I... iya... iya bener. Nggak sengaja lewat kok. Biasanya kami lewat depan kok. Gara-gara tadi ke
perpustakaan dulu... jadi lewat belakang sini. Ya kan, Tash"'' Dira melirik Tasha.
Tasha mengangguk dengan muka pucat. Mungkin Dira memang ceroboh, tapi Dira agak
pemberani. Kalau ada orang yang mendapat penghargaan untuk orang paling penakut sedunia,
Tasha pasti menang. Kalau lagi nggak ada apa-apa, ngomongnya merepet. Padahal sama apa pun
takut: kecoak, cicak, anjing, ketinggian, berenang, apalagi hantu.
''Ya udah, sekarang pulang sana...!'' kata Juna, membuyarkan lamunan Dira dan Tasha.
''Iya, emang mau pulang kok. Permisi ya... Yuk, Tash!'' Dira menyeret tangan Tasha, buru-buru.
''Jun, lo yakin kedua cewek itu nggak akan jadi masalah" Kalo mereka ngadu, bisa gawat kita!
Nggak perlu kita kasih syarat bungkam dulu"'' Sambil terus jalan buru-buru, Dira dan Tasha bisa
mendengar Brata bicara lagi dengan Juna. Suaranya terdengar gusar dan nggak setuju Juna
melepaskan mereka begitu aja.
''Udah deh, bro... Mereka itu cuma kutu buku. Liat aja tadi sampe gemeteran gitu. Nggak
mungkin mereka nekat ngadu. Kita lanjut susun strategi lagi deh,'' suara Juna yang menimpali
Brata langsung bikin Dira dan Tasha menghela napas lega dan melangkah makin cepat pengin
buru-buru ke luar gerbang.
Baru kali ini menginjak gerbang sekolah serasa menginjak pintu surga. Dan kalau tadi mereka
dipanggil lagi sama geng menakutkan itu untuk diberi syarat bungkam, sepertinya 99,99% Dira
dan Tasha bakal lari tunggang langgang, mengambil langkah 1.000 x 1.000 lebih cepat daripada
maling kolor di jemuran Bu RT.
''Ternyata gosip itu benar...,'' tiba-tiba Tasha bergumam.
''Gosip" Gosip apa, Tash"''
Tasha menarik Dira sedikit merapat ke pojok gerbang. ''Lo emang belum pernah denger, Ra"
Gue belum cerita ya"''
''Denger apa" Cerita apa"''
Lalu Tasha menengok kanan-kiri, mendekatkan kepalanya pada Dira dan berbisik dengan nada
misterius. ''Gosipnya, geng berandalan sekolah ini selalu ngumpul di tempat tadi, dua kali
seminggu. Mereka ngumpul buat rapat strategi tawuran.''
''Rapat strategi tawuran"''
''Sssttt!!!'' Telunjuk Tasha langsung nemplok di bibir Dira. ''Jangan keras-keras dong
ngomongnya. Gue sih sering denger, tapi baru kali ini gue liat langsung. Sayang banget ya,
cowok keren kayak Juna jadi berandalan sekolah"''
Dira terenyak. Tawuran kok dirapatin" Mendadak Dira kesal karena tadi dia sebenarnya sempat
memikirkan ekskul olahraga gara-gara omongan Juna waktu itu. Meski Juna bersikap sombong
dan seolah mereka nggak paernah berteman, hati kecil Dira masih menganggap Juna sahabat
lamanya. Bagi Dira, ejekan Juna tentang ekskul seperti saran yang disampaikan dengan sok sinis
biar tetap menjaga imejnya. Dira juga merasa dirinya bodoh karena sempat terpesona waktu Juna
terbentur jendela tapi masih mau membantu Dira membawa buku-buku ke perpustakaan. Kecewa
rasanya melihat kenyataan bahwa teman lamanya itu benar-benar jadi berandalan.
Dan Dira benci tawuran! Selain konyol dan nggak ada gunanya, tawuran itu merugikan dan
mencelakakan orang lain. Dira teringat waktu Mbak Rukmini, istri Mas Sutarno-tukang bakso
langganannya yang selalu mangkal di depan rumah-datang ke rumah sambil menangis-nangis
ingin meminjam uang untuk makan anak-anaknya. Mbak Rukmini bilang, Mas Sutarno
meninggal terkena sabetan senjata tajam waktu jualan karena tidak sengaja terjebak di tengah
tawuran anak SMA. Gerobak baksonya hancur. Mas Sutarno tewas di tempat kehabisan darah.
Mendadak dendam Dira terhadap para pelaku tawuran kembali berkobar-kobar. Apalagi kalau
teringat betapa ketakutannya dia waktu terjebak tawuran beberapa hari lalu.
''Orang tawuran itu norak! Berasa jagoan, padahal kampungan! Bikin malu!'' geram Dira gemas.
Dira tiba-tiba tertegun. Sebenarnya sampai detik ini dia masih sulit menerima kenyataan bahwa
Juna, sahabatnya, adalah cowok paling ditakuti di sekolah barunya ini. Apa sebenarnya yang
bikin dia berubah drastis kayak gitu" Juna itu anti kekerasan. Dira inget banget, Juna adalah tim
karate di SMP-nya. Dia selalu juara karena keahliannya, tapi dengan kocak Juna selalu bilang
bahwa ilmu bela dirinya itu bukan berantem, melainkan untuk prestasi dan menolong ibu-ibu
yang kecopetan, nenek-nenek yang dijambret, atau melawan perampok bank bertopeng stoking.
Juna sama sekali nggak pernah punya ekspresi menakutkan dan dingin kayak ekspresinya yang
sekarang. Waktu Pak Sutarno meninggal dan Dira berduka, Juna menemani Dira melayat ke rumah Pak
Sutarno. Sepulang dari sana, Juna bilang pada Dira bahwa tawuran itu seperti hama yang harus
dibasmi. Juna juga bilang, jurus paling ampuh menghadapi tawuran adalah ngibrit alias kabur.
Meski Juna bisa karate, meladeni pelaku tawuran sama saja menjadi pelakunya. Tapi sekarang..."
Dira terenyak lagi. Sedih sekaligus kecewa. Apa Juna lupa dengan kejadian Pak Sutarno" Juna
sudah lupa dengan kata-katanya dulu" Dira nggak menyangka ternyata Juna menganggap
tawuran begitu serius, sampai-sampai dia punya waktu khusus untuk membahas strategi tawuran.
Dan kenapa Juna sombong terhadap Dira" Memangnya kalau sudah jadi jagoan, Juna nggak
boleh lagi bersahabat dengan orang lain di luar geng barbar mereka"
Bab 5 ''Diraaa... aku antar kamu pulang yaaa!''
Dira mencengkeram lengan Tasha lebih kuat dan menyeretnya lebih keras juga.
''Diraaa.... aku bawa motor lhooo. Kamu nggak usah naik angkot. Motorku aman. Aku juga bawa
dua helm.'' Bimo tiba-tiba berdiri di hadapan Dira.
Dira menelan ludah. ''Gue udah bilang gue nggak mau pulang sama lo. Gue pulang sama Tasha.
Makasih atas tawarannya, tapi... permisi.''
''Dira...!'' Bimo meraih tangan Dira, yang tentunya langsung ditepis dengan serta-merta dan agak
sadis. ''Kenapa sih kamu selalu menolak ajakanku, Dira" Apa salahku" Apa yang membuat kamu
tak suka" Apa aku membuat kamu tidak nyaman" Atau apa" Katakan, Dira, aku mau
mengintropeksi diriku demi kamu. Sungguh...''
DARR!!! Serasa ada geledek menyambar-nyambar plus burung-burung gagak terbang mondarmandir sambil berkoak, Dira mematung. Kenapaaa... kenapa di antara semua cowok di sekolah
ini... kenapa harus Bimo yang ngejar-ngejar dan, katanya, jatuh cinta pada pandangan pertama
pada Dira" Bukannya Dira sok keren dan merasa bahwa yang naksir seharusnya cowok yang keren, tapi
Bimo ini... gimana ya" Dia terlalu aneh. Dira nggak keberatan ditaksir oleh dewanya kutu buku
atau dedengkot para profesor. Tapi kalo ngomongnya bahasa baku yang kaku disertai efek-efek
emosi lebay bagaikan telenovela gini, siapa yang mau" Mana sudah beberapa kali si Bimo ini
muncul di depan kelas Dira dan tiba-tiba membacakan puisi cinta.
Lama-lama Bimo mirip stalker! Dan itu ganggu banget! ''Bimo, nggak! Gue ada perlu dan gue
bisa pulang sendiri. Yuk, Tash...''
''DIRA!'' Bimo masih pantang menyerah.
Dira terus menggeret Tasha menjauh dari gerbang sekolah. ''Tash, buruan dong, kita harus cepet
naik angkooot! Gue males dihujani puisi telenovela di pinggir jalan. Ayooo!''
''Dira! Tunggu aku... Aku cuma mau mengantarkan kamu pulang sajaaa...!''
''Ra, pelan-pelan dong. Gue kekenyangan nih habis makan baksooo.''
''Duh, Tasha... Lo bakal ikut malu kalo kita mesti ngeladenin Bimo! Lagian gue udah mulai takut
sama dia. Kalo dia tiba-tiba nembak gue kan nggak lucu! AYO! Nyeberang aja yuk!''
''Eh, Ra, lampu ijo!'' TIIINNN! Dengan mata terbelalak Dira menoleh ke arah bunyi klakson. Ini bukan mimpi! Motor bebek tua
berwarna merah kusam dengan spion yang tinggal sebelah tampak mendekat, goyang kanangoyang kiri sementara klaksonnya terus menjerit cempreng. Karena helm full face-nya tidak
ditutup, Dira bisa melihat tampang mas-mas berkumis gondrong yang mengendarai motor itu
tampak menatap ngeri ke arah Dira sambil berusaha mengendalikan motornya yang oleng.
''Aaa...!!!'' ''Diraaa...!'' pekik Tasha histeris.
''Neeeng, awaaasss.....!'' teriak mas-mas itu sampai kumis gondrongnya ikut naik-turun.
BRUKKK! CIIIEEETT! GUBRAK!
Dan akhirnya, setelah berkali-kali hampir ketabrak motor, kali ini Dira ketabrak motor beneran.
Bukan motor bebek matic model mutakhir, bukan motor gede yang harganya bikin sakit jantung,
melainka motor bebek tua merah yang spionnya tinggal sebelah. Setelah menyundul Dira sampai
terkapar di jalan, dengan tragisnya mas-mas berkumis dan motor bebek tuany itu zig-zag menuju
got dan sukses nyungsep ke got.
''Neng! Kalo nyeberang liat-liat, atuhhh!!'' jerit mas kumis gondrong dari dalam got yang bau.
Tasha panik menghampiri Dira. ''Ra... Dira! Bangun, Ra! Ya ampun, Mas! Temen saya pingsan,
dimarahin juga percuma! Dira! Ra! Mas, tolongin dong!''
''Tolongin gimana, Neng" Saya juga lagi di dalam got begini...''
''Ya keluar dong, Mas, dari got! Betah amat. Kan bau! Cepetan!'' Tasha makin panik karena Dira
belum melek juga. Dengan keki si mas kumis gondrong susah payah keluar dari got dan menghampiri Dira dan
Tasha. ''Neng, gimana sih temannya" Tangan saya teh sampai lecet... motor saya juga pasti lecet
itu. Kumaha ini urusannya"''
Tasha langsung melotot pada mas-mas itu. ''Astaga, Mas lecet doang! Temen saya pinhsan nih!
Tolongin dulu kek. Lagian, dia nggak sengaja, tau! Mana ada orang sengaja pengin ketabrak
motor" Motor bebek pelan begitu!''
''Ye, Neng, pelan juga tetap pingsan, kan" Untung saya pelan!''
Ugh! Tasha melotot lebih garang ke arah si mas-mas. Sekarang ditambah tatapan agak
mengancam. ''Mas, bisa nggak ngomonginnya nanti" Kalo temen saya mati, gimana" Mas mau
tanggung jawab" Dira, bangun dong, jangan mati, please...''
POK POK! Tasha menepuk-nepukapipi Dira. Penakutnya kumat. Dia betul-betul takut Dira mati.
Lagian nyeberang kok nggak lihat-lihat. CEROBOOH!
Tiba-tiba, ''Diraaa...! Ya Allah, Diraaa... Bangun, Ra!'' Bimo dengan lebay duduk bersimpuh di
samping Dira sambil menggenggam dan menciumi tangan Dira. ''Bangun, Dira... Kamu bisa
dengar suaraku, kan" Tasha, sebaiknya kita bawa dia naik taksi. Biar aku yang pangku dia, biar
aku yang gendong dia... Kita ke rumah sakit...''
Tasha gelagapan. Jelas-jelas Dira ketabrak gara-gara menghindari Bimo. Sekarang Bimo malah mau gendong dan
memangku Dira. Lebay! Tapi, Tasha memang perlu bantuan buat mengangkat Dira.
''Sudah, kamu tidak perlu panik, Tasha. Ada aku... ada aku yang akan mendampingi dan merawat
Dira. Biar aku buktikan betapa aku peduli padanya...'' Lalu, dengan semangat, Bimo mengambil
posisi ingin menggendong Dira. ''Tenang, Dira, aku di sini. Aku akan menolongmu.''
''Ng...'' Mata Dira terbuka pelan. ''Eh"!''
PLOK! ''Aduh, Dira! Kenapa kamu menamparku seperti itu"''
''Eh, Ra" Lo udah sadar"'' Buru-buru Tasha menggeser posisi Bimo sebelum dia juga kena
gampar karena ketahuan mengiyakan Bimo yang sok heroik mau menggendong Dira.
Dira mengernyit. Tangannya refleks memegang jidatnya yang agak nyut-nyutan. ''Kepala gue
pusing. Kaki gue juga nyut-nyutan nih!'' Dira meringis.
''Iya... Lo ketabrak motornya mas ini...'' Tasha melirik mas-mas berkumis gondrong dengan
ngeri, teringat waktu panik tadi Tasha membentaknya. ''Mm... dia nyebur ke got gitu, Ra, garagara lo. Kayaknya lo harus ganti rugi deh, Ra...'' bisik Tasha pelan.
Mata Dira mengerjap berniat mengusir pusing biarpun nggak ngefek. ''Sori ya, Mas. Motor Mas
rusak"'' ''Tuh!'' Pria itu menunjuk ke arah motornya yang masih jungkir balik di got. Dari tempat mereka
sekarang, cuma kelihatan roda motornyamenyembul dari dalam got.
''Ya sudah, Mas, ikut aja ke rumah saya. Nanti saya bilang mama saya. Tash ke rumah gue yuk!
Panggil taksi aja.'' ''Naik motorku aja, Ra...,'' celetuk Bimo tiba-tiba.
Rasanya Tasha pengin mencolok lubang hidung Bimo pakai sumpit yang diolesi balsem cabe
ekstrapanas. Kalo Bimo nggak mengejar-ngejar Dira tadi, nggak mungkin terjadi kecelakaan ini.
''Bimo, please deh... Dira habis ketabrak motor malah lo ajak naik motor.''
Bukan Bimo namanya kalau nggak ngotot. Cowok lebay berambut klimis belah samping itu
menatap Dira. ''Tapi aku boleh kan ikut ke rumah kamu" Aku cuma ingin memastikan kamu
baik-baik saja karena aku sadar semua terjadi gara-gara aku. Aku mohon, Dira. Aku nggak akan
bisa memaafkan diriku kalo nggak mengantar kamu sampai di rumah...''
Dira dan Tasha saling lirik.
Akhirnya Dira cuma mengedik pelan, tanda pasrah. Soalnya, kalau dilarang, bisa-bisa terjadi
drama telenovela satu episode lagi di pinggir jalan ini.
Setelah menitipkan motor Bimo di warung-karena Bimo ngotot pengin naik taksi bareng Dira
dan Tasha-akhirnya mereka ke rumah Dira naik taksi diikuti si mas berkumis gondrong beserta
motor bebek merahnya. *** ''Assalamualaikum, Mama...'' Dira masuk rumah dipapah oleh Tasha. Sudah pasti di sisi satunya
Bimo berusaha banget pengin ikut memapah Dira. ''Ih, Bimo apaan sih" Jangan pegang-pegang!''
''Ya ampun, Ra. Aku hanya ingin membantu kamu berjalan.''
Dira mendelik sebel. ''Nggak perlu! Cukup Tasha aja. Gue ini keserempet motor bebek tua,
bukan digiles pesawat jet! Mama, assalamualaikum.''
''Waalaikumsalam.'' Akhirnya suara Mama terdengar menjawab salam Dira dari ruang tengah.
''Nyokap di ruang tengah. Yuk, Mas, ketemu mama saya...'' Sambil masih terpincang dipapah
Tasha, Dira berjalan ke ruang tamu. Baru juga sampai ambang pintu ruang tamu, Mama sudah
muncul. Oke, lebih tepatnya muncul dan heboh. ''Masya Allah, Diraaa. Kamu kenapa" Kaki kamu kok
lecet-lecet" Jidat kamu brnjol" Tasha, Dira kenapa lagi" Ini ada apa..."'' Panik, Mama menatap
mas kumis gondrong dan Bimo dengan bingung.
''Aku ditabrak motornya mas ini...''
Mata Mama makin terbelalak syok. ''APA" Ditabrak motor" Apanya yang sakit" Kita ke rumah
sakit ya" Ya ampun, kok bisa sih ketabrak motor"''
Si mas kumis jadi nggak enak hati, lalu buru-buru manjelaskan. ''Jadi gini, Bu... saya juga kaget
tadi. Soalnya anak ibu tiba-tiba nongol di tengah jalan. Saya nggak sempat ngerem.''
Mama menatap Dira, minta jawaban.
Dira nyengir.''Iya, Ma... emang salah aku. Aku nyebrang sembarangan pas lampu ijo. Habisnya...
dia sih!'' Dira menunjuk Bimo. ''Aku udah bilang nggak mau diantar pulang, tapi dia maksa. Jadi,
aku lari, eh, malah keserempet. Tapi tenang, Ma, aku nggak papa. Cuma lecet kok, sama benjol
dikit, tapi Mama harus ganti rugi motornya mas ini, Ma...'' Dira nyengir lagi.
''Kamu itu cerobohnya kok susah banget sembuh. Sudah berapa kali Mama ganti rugi motor
orang" Sudah tiga kali kan kamu nyaris ketabrak motor dan orangnya sampai nabrak pohon atau
nyungsep ke got gara-gara menghindari kamu" Sekarang kamu pakai keserempet, lagi.''
Dira manyun. ''Cuma lecet dikit sama tadi pingsan sebentar, Ma. Aku kan bukan diserempet
sama truk gandeng.'' Mama makin melotot. ''Sembarangan kalo ngomong! Kalau kamu keserempet truk gandeng, trus
truk gandengnya masuk got, Mama harus gantiin truk gandengnya, begitu" Kamu ini, Diraaa...
ceroboh! Mama pusing!'' Dira, Tasha, Bimo, bahkan mas berkumis gondrong pun meringis bareng memikirkan perkataan
mama Dira. ''Dinda, ada apa" Aku dengar dari dalam kok ribut-ribut..."''
Kontan semua menatap wanita seumuran Mama yang tiba-tiba muncul dari ruang tengah.
Mama Dira kelewat heboh sampai'sampai ada tamu ditinggal begitu saja di ruang tengah.
Eh, tapi tunggu... Meski agak kurusan, tante ini kan...
''Eh, Tyas. Ini nih, si Dira. Cerobohnya kambuh lagi. Dira, ini Tante Tyas. Kamu inget, kan"
Mamanya teman kamu, Juna.''
Dugaan Dira tepat. Pantas wajahnya familier banget, ternyata mamanya Juna.
Dulu Dira dan teman-teman suka ke rumah Juna dan numpang makan siang. Dengan senyum
lembutnya yang sama seperti dulu, Tante Tyas menghampiri Dira dan mencium pipi Dira. ''Apa
kabar, Dira"'' Dira lalu mencium tangan Tante Tyas. ''Baik, Tante. Tante apa kabar"''
Tanta Tyas tersenyum lagi menatap Dira. ''Baik, Sayang. Kamu masih saja imut. Tante nggak
sengaja ketemu mama kamu di supermarket. Tadinya Tante minta jemput Juna di supermarket,
tapi karena ketemu mama kamu, rasanya kangen... Makanya, Tante ke sini dan minta jemput di
sini.''
Jun Karya Mia Arsjad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
''Eh, Dira, ternyata Juna satu sekolah sama kamu lho. Kamu udah ketemu dia, kan"'' tanya Mama
dengan mata berbinar-binar.
''Oh iya, Tante sampai lupa, Dira. Juna ada di sini juga jemput Tante. Juuun...''
Dira dan Tasha refleks saling lirik. Juna ada di sini"
''Ya, Mam...'' Samar-samar terdengar suara cowok yang kederangannya berjalan mendekat ke
ruang depan. Dan sekarang cowok itu berdiri di ruang depan rumah Dira. Dia kelihatan beda tanpa seragam
putih abu-abunya yang berantakan.
Tante Tyas menatap Juna dan Dira bergantian. ''Juna, Dira, dulu kalian kan akrab banget. Pasti
seneng ya sekarang ketemu lagi di SMA" Kalian pasti udah ngobrol banyak ya"'' Mata Tante
Tyas tampak teduh menatap Juna.
Entahlah, tapi menurut Dira, ada yang berubah dalam diri Tante Tyas. Meski senyum lembutnya
masih sama, selain makin kurus, rasanya... ada yang hilang di sinar mata Tante Tyas. Atau
mungkin Dira yang sotoy"
''Aku udah beberapa kali ketemu Dira. Beberapa hari lalu akusempat nolongin dia yang kejebak
tawuran sekolah.'' HORE! Juna sukses membocorkan rahasia yang tadinya mau Dira simpan rapat-rapat. Huh, sok
cool! Sok pahlawan! Padahal dia termasuk pelaku tawurannya.
''Kejebak tawuran?""'' Tuh kan, Mama histeris. Dira kena omel lagi nih. Mata Mama dengan
dramatis dan penuh selidik menatap Dira. ''Apa itu betul, Ra" Kok kamu nggak cerita sama
Mama"'' Nyengir adalah senjata terampuh dan terpraktis dalam keadaan genting dan nggak tahu mau
jawab apa. Akhirnya Dira nyengir.
Dira nyengir, Mama makin melotot. ''Kok malah nyengir" Kejebak tawuran itu bahaya! Jangan
nyengir!'' ''Duh, Mama... nggak separah itu kok. Aku tuh cuma nggak sengaja lewat. Bukannya di tengahtengah tawuran, gitu. Terus Juna ngajak aku ngumpet biar nggak ketimpuk.''
Yak! Kalimat yang genius sekali. Begini nih kalu cerobohnya mendarah daging. Ngomong pun
ceroboh. Bukannya bikin Mama tenang, malah bikin Mama tambah senewen. Terbukti dari jidat
Mama yang berkerut mikir, tapi Mama nggak bicara apa pun.
Setelah buang napas, ambil napas, buang napas, ambil napas, buang napas ala senam hamil,
Mama tampak sedikit kalem. Mama lalu mengangguk-angguk sambil mikirin sesuatu. Setelah
itu, Mama menatap Juna sambil tersenyum penuh terima kasih. ''Juna, makasih ya, kamu sudah
nolongin Dira. Kamu lihat nih sifat ceroboh Dira, bukannya sembuh malah makin parah. Hari ini
dia ketabrak motor. Tante kadang senewen kalau dia belum pulang ke rumah. Takut ada kejadian
seperti ini... Kamu ngerti, kan" Tante pusing.''
Dira manyun. Huh! Ibu-ibu ini nggak tahu kalau Juna salah satu pelaku tawurannya juga.
Lalu beberapa detik kemudian, Mama mengatakan sesuatu yang betul-betul tak terduga. ''Juna,
setelah Tante pikir-pikir, kamu kan satu sekolah sama Dira kayak waktu SMP dulu. Kalian juga
sahabat lama. Sepertinya Tante bisa mempercayakan Dira sama kamu deh, seperti dulu. Tante
yakin kamu bisa jagain dia.''
Duh, Mama... mulai bercanda deh! Dira melotot pada Mama, seolah berkata, ''Mama jangan
ngomong yang aneh-aneh. Mama kan nggak tau siapa Juna sekarang. Lagian, buat Juna,
persahabatan masa SMP itu cuma masa lalu. Sekarang dia udah jadi ketua geng yang nggak
pantes bergaul sama cewek kutu buku kayak Dira gini. Mama suka seenaknya deh.''
Tapi tampang melotot Dira nggak ngefek buat Mama. Seraya terus menatap Juan, Mama dengan
santai dan yakin melanjutkan kalimatnya. ''Kamu juga sudah sempat nolongin Dira dari
kecerobohannya. Terus terang, Tante stres setiap kali Dira belum pulang sampai rumah. Dulu
selalu ada kamu, Irwan, sama Mayang. Sekarang di sekolah yang baru, dia cuma dekat sama
Tasha. Nah, Juna, Tante titip Dira ke kamu ya" Paling nggak, Tante bisa sedikit tenang karena
Tante tau di lingkungan sekolah ada kamu yang bisa lihatin Dira. Kamu nggak keberatan kan
Tante titipin Dira lagi"''
Tuh kan Mama! Dalam hati Juna pasti malas. Memangnya Dira pajangan sampai harus diliatin segala" Lagian,
sebagai berandalan sekolah, urusan Juna cuma tawuran, ngapain nambah-nambah urusan
dengan... ''Nggak masalah, Tante. Aku mau. Tante percaya sama aku. Aku pasti jagain Dira.''
Serasa ada petir manyambar-nyambar dengan efek listrik di sekitar Dira.
Tadi Juna ngomong apa"!
Dira langsung menatap Mama, pengin tahu reaksi Mama.
Ternyata Mama-yang jelas-jelas tadi cuma basa-basi iseng-tampak kaget dan tidak menyangka
jawaban yang Juna berikan akan seperti itu. Mama langsung berbinar gembira. Tasha juga sama
kagetnya. Dia mematung sambil melongo.
Ini saatnya melotot lagi ke Mama.
Seharusnya Mama bertanya lebih dulu, bagaimana hubungan Dira dan Juna sekarang. ''Wah,
Tante senang sekali kamu mau dititipi Dira.''
Juna tersenyum agak kaku. ''Nggak papa, Tante. Tante kan sahabat Mama. Kata Mama, Tante
dan Mama sudah seperti saudara. Berarti Dira saudaraku juga, Tante..''
Dira tertegun, serbasalah.
Ah, tapi buat apa pusing. Paling-paling Juna cuma basa-basi. Nggak sopan kalau dia menolak
permintaan Mama. Mana mungkin Juna tiba-tiba mau jagain Dira, dalam arti yang sebenarnya"
Seperti cowok yang nggak ada kerjaan. Jadi, sepertinya Dira nggak perlu menganggap serius
obrolan aneh ini. Mama tersenyum lebar setengah nyengir.
''Mm, Tante, kalo untuk menjaga Dira, saya juga bersedia. Saya akan menjaga dia baik-baik.''
Lho" Bimo masih ada toh"
Dira menatap Bimo tajam. ''Jangan ngomong yang aneh-aneh!''
''Tapi...'' Tadinya Dira mau melototin Bimo lagi, tapi bukan sulap bukan sihir, dia kalah cepat dari Juna.
Juna tampak menatap Bimo lurus dan dingin. ''Lo tadi denger kan Dira bilang apa"''
Nggak ada cowok yang nggak kenal Juna di sekolah, termasuk kutu buku kuper kayak Bimo.
Satu kalimat cukup bikin Bimo bungkam dan menciut. Melempem kayak kerupuk kena angin
puting beliung. Dira senyum-senyum sendiri. Kalo Juna benar-benar menepati janjinya pada
mama Dira, sepertinya nggak bakal ada yang berani gangguin Dira lagi. Setelah dipikir-pikir, ide
usil Mama ada bagusnya juga. Siapa tahu, persahabatan Juna dan Dira bisa kembali seperti dulu
lagi. Mungkin Dira akan punya kesempatan mengobrol dengan Juna dan cerita banyak hal
tentang apa yang terjadi selama mereka kehilangan kontak.
Banyak sekali pertanyaan di kepala Dira untuk Juna. Tapi sampai detik ini, rasanya ada tembok
tinggi di antara mereka. Tapi... tunggu dulu. Dira baru sadar, ekspresi Tante Tyas, mamanya Juna, sangat aneh. Tante
Tyas terdiam dengan ekspresi kaku yang tak terbaca. Matanya kikuk menatap Juna. Sejak tadi
dia juga nggak komentar apa-apa. Jangan-jangan Tante Tyas bete anaknya direpotin" Tuh kan,
Mama sih.... ''Ehem, ehem. Bu, Mbak, bisa nggak urusan titip-menitip anaknya ditunda dulu" Urusan motor
saya gimana ya"'' si mas berkumis bertanya.
Ah! Sampai lupa.... Bab 6 ''SUMPAH! Bimo nungguin elo, Ra. Dia bawa bunga sama bingkisan apa tuh, nggak jelas! Ada
desas-desus di kalangan para cowok. Katanya dia mau nyatain cinta ke lo!''
''APA"!'' Tasha mengangguk cepat. Lalu mengulang kalimatnya pelan-pelan, sengaja membuat efek
dramatis dan agak horor. ''Bimo... mau... nembak... elo...'' dan telunjuk Tasha menuding asyik ke
arah Dira. Gawaaattt! Dira harus kabur. HARUS! Sori sori aja deh ya, setelah ujian yang bikin jantung deg-degan dan mata sepet karena begadang,
kalau sekarang Dira harus dipermalukan Bimo dengan ditembak di depan umum. Ogaaahhh!!!
Dira yakin dua ribu persen, Bimo sudah menyiapkan puisi-puisi cinta yang bisa bikin manusia
pingsan saking noraknya. ''Gimana dong, Tash"'' Dira menatap Tasha panik.
Tasha mengetuk-ngetukkan ujung jari ke atas meja dengan ekspresi mikir. ''Ah! Kita keluar
sekolahnya muter aja. Lewat perpustakaan, Ra. Bimo kan nunggu lo di gerbang depan.''
''Genius!'' Dira langsung menyambar tangan Tasha dan menggeretnya ke luar kelas.
Jalan belakang lewat perpustakaan memang jarang dilewati. Selain memutar, sepi, dan agak
jorok, para berandalan sekolah suka banget nongkrong di sana. Tapi demi menghindari Bimo,
Dira rela. Toh mereka cuma numpang lewat.
Tapi, bagaimana kalau Bimo menebak pikiran Dira dan mengikuti lewat sini" Otomatis, Dira
celingukan waspada. ''Kenapa sih"'' Dengan bingung, Tasha ikut celimgukan.
''Nggak, gue waspada aja. Takutnya si Bimo kepikiran lewat sini.''
Tasha menaikkan alisnya sebelah.
Akhirnya mereka berdua jalan sambil celingukan.
''Kalian kenapa"'' Dira dan Tasha spontan berhenti. Juna tiba-tiba berdiri di hadapan mereka. Katanya, Juna hobi
merokok, jadi dia pasti habis merokok diam-diam di sini.
''Maksudnya"'' jawab Dira setengah bingung dengan pertanyaan Juna.
''Gue tanya, kalian kenapa"''
Dira dan Tasha saling tatap. Dira lalu menggeleng pelan. ''Nggak kenapa-kenapa. Gue sama
Tasha mau pulang.'' Ekspresi wajah Juna nggak berubah. Menatap lurus Dira. ''Kok lewat sini"''
Lagi-lagi Dira dan Tasha saling tatap. Dira menggeleng pelan, mengisyaratkan agar Tasha tidak
perlu bercerita tentang Bimo ke Juna. ''Ya pengin lewat sini aja. Emang nggak boleh" Gue nggak
liat ada tanda larangan lewat. Lo sekarang selain jadi pentolan sekolah, jadi penjaga jalan juga
ya"'' ''Jangan bohong,'' ujar Juna tegas, mantap, dan bikin mati gaya. ''Kalo nggak ada apa-apa, kenapa
kalian celingukan" Kalian diganggu orang"''
Duh, kenapa jadi diinterogasi begini"
Dira nggak tahan untuk nggak menggigit-gigit bibirnya. Kenapa nggak mengaku sama Juna
bahwa dia dikejar-kejar Bimo" Juna kan cowok paling disegani di sekolah ini. Apalagi...
TRING! Dira mendadak dapat ide.
Juna terus menatap Dira meminta jawaban.
Dengan meyakinkan Dira pasang lagi tampang panik. ''Oke. Gue sama Tasha emang mau kabur,
makanya buru-buru.'' Alis Juna bertaut. ''Kabur kenapa"''
''Gue dikejar-kejar Bimo. Dia mau nyatain cinta ke gue. Padahal gue udah jelas menunjukkan
kalo gue nggak mau sama dia. Tolongin gue dong, Jun. Lama-lama Bimo udah kayak stalker...''
Ekspresi Juna mendadak aneh. ''Kenapa jadi gue" Itu kan urusan pribadi lo.''
Meski Dira sadar betul bahwa Juna bukan Juna yang dulu, tetap saja jawaban Juna tadi bikin hati
Dira mencelos. Dulu mereka selalu siap saling bantu.
Dira nggak boleh jadi sentimentil. Bimo bisa muncul kapan saja. Sepertinya Dira bisa coba satu
jurus lagi supaya Juna mau bantu dia menghalau Bimo. Dira menatap Juna serius. ''Jadi lo cuma
bohong ya, Jun, sama nyokap gue"''
''Maksud lo apa, Ra"''
Yes! Pancingannya kena. ''Percuma nyokap gue nitip-nitipin gue sama lo waktu itu. Nyokap gue
percaya aja sama lo. Dia nggak tau lo udah berubah. Mana bisa lo dipercaya jagain gue. Gue juga
harusnya tau, sejak awal lo cuma basa-basi.''
Rahang Juna tampak mengeras. Matanya bergerak-gerak gelisah.
''Nolongin untuk hal kayak gini aja lo nggak mau, apalagi jagain gue biar nggak kenapa-kenapa.''
''Diraaa! Akhirnya sku ketemu kamu juga. Aku mencari-cari kamu dari tadi.''
''Bimo... lo... lo kok ada di sini"''
GLEK! Baru kali ini Dira menelan ludah seperti menelan beduk masjid. Mata Dira menatap
panik ke arah tangan Bimo yang terlipat ke belakang seperti menyembunyikan sesuatu.
Kacau. Juna mendadak jadi patung dengan muka mengeras. Indikasi bahwa mantan sahabatnya
ini benar-benar nggak mau ikut campur. Bagaimana Dira melarikan diri kali ini"
Dira melirik Tasha. Sama aja. Tampang Tasha sama paniknya.
Biarpun melihat wajah Dira yang mendadak pucat karena menelan beduk masjid, Bimo tetap
tersenyum manis dengan kepedean maksimal. ''Pertanyaan kamu sangat aneh, Dira. Tentu saja
aku ada di sini. Aku kan bersekolah di sini juga. Sama seperti kamu.''
Astaga. Jawaban Bimo bikin darah tinggi banget ya" Dira meringis. ''Maksud gue... kok lo lewat
gerbang ini juga" Nggak lewat gerbang depan"''
Tetap dengan level kepedean yang sama, Bimo tersenyum lagi. ''Karena sudah kukatakan
padamu tadi. Aku mencari kamu...''
Tasha mencubit Dira panik.
Cubitan Tashadibalas lirikan ngeri Dira. Padahal tadi sepanjang jalan Dira masih berdoa, semoga
berita bahwa Bimo mau nembak dia itu cuma rumor. Tapi ternyata...
Oke! Jangan panik. Dira pasti bisa kabur dari Bimo. Dira buru-buru mencengkeram lengan
Tasha. ''O... Oke, kalo gitu... kami duluan ya, Bim!'' Dira berusaha menyeret Tasha, meloloskan
diri dari sana. Juna masih diam di posisi yang sama, mematung dengan ekspresi tegang. Tidak
mau membantu. ''Eh, tunggu, Dira...'' Dengan sigap Bimo mengadang Dira yang jelas-jelas berniat kabur.
Mungkin Bimo menganggap gerbang belakang sekolah mereka ini adalah setting film romantis
ala Amerika. Tiba-tiba, Bimo menatap Dira-bisa dipastikan ini hasil menjiplak tatapan Rangga
buat Cinta di film Ada Apa Dengan Cinta. Tatapan Bimo semakin dalam, semakin lekat. Bimo
maju selangkah... semakin lama semakin dekat.
''Heh! Lo ngapain maju-maju gitu"'' Dengan panik, Dira mundur teratur. Ini sih namanya sudah
siaga satu. Dira harus kabur dari sini. Menurut kabar yang beredar di kalangan kutu buku dan
golongan kaum minoritas di sekolah, Bimo bertekad kali ini nggak mau gagal lagi mendapatkan
hati Dira. Bimo malah meraih tangan Dira. ''Dira, ada yang ingin aku katakan padamu...''
''Mm, Bim, gue sama Tasha buru-buru. Serius. Ada urusan. Udah ya, kami jalan duluan.''
Juna tetap mematung. Jangan-jangan ibu Malin Kundang salah mengutuk. Bukannya mengutuk
si Malin, malah mengutuk Juna.
''Tapi, Ra, tunggu! Aku harus mengatakan ini sama kamu. Aku... aku pengin kamu tau...'' Bimo
berusaha meraih tangan Dira lagi. ''Tolong dengarkan aku dulu, Dira. Ada yang harus aku
ungkapkan.'' ''Bim, sorriii... gue beneran buru-buru. Ya kan, Tash"''
''Banget! Buru-buru banget!'' Tasha mengangguk panik, karena Bimo kelihatan kalap dan nggak
terbendung. Bimo sudah kelamaan memendam perasaan buat Dira. Apalagi dia ditolak melulu.
Bukannya nyerah, semangat juang demi cintanya malah makin berkobar.
''Aku mohon, Dira! Aku hanya ingin kamu mendengar semua ini. Isi hatiku yang paling dalam.''
Demi kolor Bu RT yang dijemur berdampingan dengan kolor Pak RT, Dira mematung syok
karena tiba-tiba, Bimo berlutut di hadapan Dira sambil memohon. ''Mati gue, Tasssh...,'' desis
Dira panik. ''Heh! Lo nggak ngerti bahasa Indonesia ya" Lo nggak denger Dira bilang ada urusan, hah"!''
bentak Juna, menggelegar tiba-tiba.
Dira, Tasha, dan Bimo refleks menoleh ke arah suara galak tadi.
Juna tampak berdiri berkacak pinggang dan melotot sangar ke arah Bimo. ''Kenapa ngeliatin gue,
hah"!'' bentak Juna pada Bimo yang masih berlutut dan sekarang terbengong-bengong ngeliatin
Juna. Tapi sepertinya karena cintanya pada Dira, Bimo jadi pejuang cinta sejati. Dijamin, Bimo
sebetulnya pengin ngibrit dan pingsan sambil kejang-kejang di tempat sepi, saking takutnya pada
Juna. Tapi tekadnya menyatakan cinta hari ini berhasil menendang rasa takutnya ke hutan
Amazon. ''Tidak, saya tidak memandangi kamu, Teman. Saya hanya ingin memberitahu bahwa
saya sama sekali tidak berniat mengganggu Dira. Saya hanya ingin menyampaikan sesuatu dari
hati saya. Saya yakin, sebagai sesama lelaki kamu mengerti apa yang saya maksud.''
Dira dan Tasha saling lirik. Gila... si Bimo beneran nekat.
Juna tersenyum dingin. ''Gue ngerti maksud lo. Tapi sebagai laki-laki, harusnya lo juga ngerti
dong, kalo cewek ngabur pas lo ajak ngobrol, artinya dia ogah sama lo. Masa lo nggak ngerasa
sih"'' JRENG! Kalimat Juna spontan bikin Bimo tersentak dan bengong. Lalu tatapannya perlahan
kembali pada Dira. Ekspresi sang pejuang cinta berubah ragu. ''Dira, apa itu benar"''
Dira melempar pandangan takjub ke arah Juna. Cowok itu selalu tahu kalimat yang tepat buat
ditembakkan. Tapi dulu, kalimat yang tadi itu bakal keluar dari mulut Juna dengan bercanda tapi
nyelekit dan langsung kena ke sasaran. Bukannya dingin, galak, dan menakutkan kayak tadi.
Bagaimanapun, yang penting kalimat tadi sudah 99 persen sukses bikin kepedean Bimo melorot
ke dasar bumi. Tatapan Bimo makin memelas. ''Dira, jawab aku. Apa itu benar" Apakah yang Juna katakan tadi
benar"'' Tak lama kemudian, Dira meringis lalu mengangguk. Inilah the moment of truth. ''Sori ya,
Bim...'' Dira seperti bisa mendengar efek suara berbarengan dengan mulut Bimo yang langsung
menganga syok. Bimo bangkit dari posisi berlututnya sambil terus menganga dan menatap Dira
nggak percaya. ''Lo udah denger kan jawabannya" Sekarang apa lagi"'' suara Juna memecah keheningan.
''T... tapi...'' ''Kalo lo lelaki sejati, harusnya lo bisa terima dengan besar hati apa pun jawaban Dira. Kecuali lo
banci,'' tambah Juna, lebih sadis lagi.
''A... aku... aku cuma nggak menyangka ternyata kamu... A... aku... permisi...''
Tanpa menyelesaikan kalimatnya, Bimo pergi dengan lunglai. Dan waktu dia berbalik, Dira bisa
lihat bahwa yang disembunyikan di belakang punggungnya itu bunga dan kotak cokelat-betulbetul kebanyakan nonton film, atau malah sinetron" Apa pun tontonannya, terserah deh. Yang
penting Bimo harus berhenti naksir Dira muali sekarang.
Dira berbalik menatap Juna sambil tersenyum lebar. ''Jun, makasih ya. Untung lo bantuin gue.
Kalimat lo kena banget tuh tadi. Dari dulu lo emang selalu bisa cari kalimat yang tepat dalam
segala situasi. Inget nggak, dulu waktu kita...''
''Dira, cukup!!!'' bentak Juna tiba-tiba.
Saking kagetnya, dan saking penakutnya, Tasha sampe setengah melompat ke belakang
punggung Dira, rapat. Juna mengosok-gosok rambutnya gusar. ''Lo bisa nggak berhenti nyebut-nyebut dulu" Dulu,
dulu, dulu! Dulu itu masa lalu, udah nggak perlu lo sebut-sebut lagi! Kita bukan anak SMP lagi,
dan gue bukan gue yang dulu! Jadi stop mengungkit-ungkit dulu! Satu lagi, Dira, janji gue sama
nyokap lo itu bukan basa-basi! Diri gue taruhannya. Gue bisa jagain lo supaya lo nggak celaka
gara-gara lo ceroboh jalan ke tengah tawuran, ketabrak motor, atau apa pun! Tapi ur
Jun Karya Mia Arsjad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
usan lo yang tadi itu, urusan pribadi lo! Harusnya lo bisa beresin sendiri! Gue nolongin lo tadi cuma karena
gue nggak mau lo anggap janji gue cuma basa-basi.''
Juna terengah-engah setelah memuntahkan kalimat dengan penuh emosi jiwa. Jantun gDira
berdegup kencang. Dia kaget banget melihat Juna yang berapi-api plus tatapan nyalangnya. Bibir
Dira mendadak beku. Mata Juna menyipit. Ekspresi marahnya berubah jadi dingin dan tajam. ''Satu lagi, Dira, gue
nggak akan mungkin gagal melindungi lo, kalau perlu akan gue hajar semua orang yang berani
bikin lo kenapa-kenapa. Satu hal yang nggak mungkin...,'' Junatercekat sesaat, ''...yang nggak
mungkin dilakukan Juna yang dulu! Buat gue sekarang, nggak ada kata lari. Berapa pun dan
sekuat apa pun, gue lawan!''
Beberapa detik setelah Juna menyelesaikan kalimatnya, Dira masih terbengong-bengong oleh
aura dingin dan mencekam yang dipancarkan Juna. Tasha juga. Temannya itu malah mungkin
nyaris pipis di celana. Kemudian Dira tersadar. Kenapa Juna jadi marah-marah mengerikan gitu sih, ya" Memangnya
permintaan tolong Dira buat menghalau Bimo segitu beratnya" Kenapa reaksinya harus meledakledak begitu" Apa salahnya menolong teman lama" Mungkin Juna tersinggung karena omongan
Dira yang bilang dia cuma basa-basi soal janjinya pada Mama, tapi nggak harus semurka itu,
kan" Dira menelan ludah, lalu menatap Juna. Mungkin ini saatnya Dira betul-betul menerima
kenyataan bahwa Juna di SMA ini benar-benar bukan Juna sahabatnya di SMP dulu.
''Jun, makasih udah nolongin gue. Tapi lain kali, kalo nggak ikhlas, nggak usah nolong gue juga
nggak papa kok. Daripada lo marah-marahin gue kayak gini. Lagian gue pikir karena kita teman,
gue berani minta tolong sama lo. Ya udahlah, nggak penting. Ayo, Tash, kita pulang.'' Dira
menepuk lengan Tasha pelan sambil berbalik pergi.
Nggak pernah ingkar janji" Huh! Jelas-jelas dua tahun lalu dia ingkar janji sama Dira. Dira
menelan ludah getir. ''Tunggu! Lewat sini.'' Tiba-tiba Juna menyusul dan sudah berjalan di depan Dira dan Tasha.
''Ngapain lagi, Jun" Gue sama Tasha mau pulang. Gue ngerti kok, lo bukan Juna yang dulu. Iya,
kan" Ya udah...'' Badan Juna yang tegap berhenti di hadapan Dira. ''Gue harus pastiin kalo Bimo nggak akn
ganggu lo lagi hari ini.''
''Bimo kan udah pergi. Jawaban gue tadi juga udah jelas. Nggak perlu sampe segitunya, kali. Gue
juga nggak sendirian. Ada Tasha.'' Dira melirik Tasha. Setelah kalimat Juna yang meledak-ledak
tadi, Dira masih kesal dan nggak butuh aksi sok pahlawan Juna.
Tasha mengangguk sambil meringis.
Sebelah alis Juna terangkat. ''O ya" Tasha bisa beresin masalah Bimo" Bukannya waktu lo
ketabrak motor waktu itu gara-gara si Bimo tadi, kan" Dan waktu itu juga ada Tasha, kan"'' Lalu
mata Juna yang tajam dan dalam beralih ke Tasha. ''Tapi lo tetep ketabrak motor. Tetep
ceroboh.'' Dira dan Tasha nyengir garing. Terutama Tasha, karena secara telak dan nggak berperasaan dia
dianggap gagal menjadi teman Dira.
Dira mengernyit bete. ''Namanya juga kecelakaan, Jun. Tasha kan bukan wonder woman, mana
bisa ngelawan motor" Yuk ah, Tash...''
''Eh!'' Juna sekali lagi menghadang Dira dan Tasha dengan badan tegapnya yang menjulang
tinggi. ''Nggak bisa,'' katanya tegas.
''Nggak bisa apanya"''
Juna tampak sibuk merogoh saku celananya, mencari-cari HP sambil terus berdiri mengadang.
''Gue nggak bisa biarin lo pulang sendiri... maksud gue, berdua doang.''
''Lho, emangnya kenapa"''
Juna menatap Dira dengan dahi berkerut. Dira masih Dira yang dulu, ceroboh tapi keras kepala.
Perpaduan yang sangat salah dan sering bikin dia tertimpa kejadian konyol atau malah celaka
sendiri. Dira selalu bilang, ''Nggak papa kalo ceroboh. Kan kalo aku kenapa-kenapa aku punya
tiga bodyguard. Ada Juna, Irwan, dan Mayang.'' Istilahnya Dira dulu, Juna kombodi alias
komandan bodyguard yang siap mengangkut Dira kalau kecebur got atau membelikan
Thrombopop kalau Dira benjol atau menemani ngibrit kalau dipalak preman di depan halte
sekolah. Juna menahan napas. Jantungnya mendadak berdegup kencang. Sejak awal mereka bersahabat,
Dira itu beda. Dia selalu bisa bikin orang ketawa, karena bahkan ketika lagi marah-marah pun
Dira kelihatan lucu. Entah sejak kapan, Juna terlalu senang dan deg-degan kalau ada Dira. Entah
sejak kapan, Juna semakin semangat bersekolah karena pasti ketemu Dira. Bahkan dia nekat
mengajak Dira ketemuan berdua, ingin bilang bahwa dia suka sama Dira dan mau Dira jadi
pacarnya. Biarpun nggak sempat terucap, karena sekarang, semuanya nggak sama lagi. Dira
nggak boleh ada di masa sekarangnya Juna. Dira lebih aman di masa lalu.
Tapi di luar semua itu, mama Dira sudah menitipkan anak gadisnya pada Juna di sekolah, dan
Juna sudah menyanggupi. Seorang Juna pantang mengingkari omongan sendiri. Percuma Juna
ditakuti dan terkenal di kalangan anak-anak SMA di Bandung kalau dia nggak bisa memegang
janji dan melindungi Dira. Apalagi cuma melindungi cewek itu dari kecerobohannya sendiri,
Juna nggak mungkin gagal.
Nggak lagi... nggak boleh gagal lagi...
''Udah ah, Jun. Kami pulang.'' Dira merasa harus pamitan lagi karena Juna mendadak bengong,
nggak jelas kenapa. ''Eh, nggak, nggak!'' Dengan sigap Juna menyambar pergelangan tangan Dira.
''Tapi...'' ''Gue bilang, tunggu!'' perintah Juna sambil terus mencengkeram pergelangan tangan Dira.
Tangan Juna yang sebelah lagi sibuk menelepon. ''Halo, bro, lo ke sini ya sekarang. Iya...
sekarang! Buruan!'' perintahnya pada bro di seberang sana.
Dira bungkam. Sebetulnya kalau bisa, Dira pengin mementung jidat Juna dengan wajan atau
panci. Mentang-mentang ''penguasa'' sekolah, seenaknya aja main perintah. Tapi karena melihat
wajah Tasha yang pucat, ketakutan, dan mata berkaca-kaca, akhirnya Dira menurut disuruh
menunggu. ''Oke, Jun. Tapi lepasin tangan gue dong. Sakit.''
''Eh... sori.'' Buru-buru Juna melepas pegangannya. Matanya sibuk bolak-balik melihat gerbang.
''Nah! Bro, sini!'' Juna melambaikan tangan ke arah... Brata. Ternyata yang diteleponnya dan
dipanggil bro tadi adalah Brata-si raksasa dengan suara menggelegar, algojo para berandalan
sekolah, pasukan garis depan saat tawuran.
Tasha langsung pucat. Dengan tatapan trauma, Tasha melirik Dira. Dia masih belum bisa
melupakan gelegar suara Brata waktu itu. Tasha bergidik.
Ngapain Juna memanggil Brata ke sini" Ya ampun, jangan-jangan... karena Juna menganggap
Tasha gagal jadi teman yang bisa menjaga Dira... GLEK... Juna mau nyuruh Brata
menyingkirkanTashaaa"
''Tash" Kenapa sih"'' bisik Dira, bingung karena tiba-tiba Tasha mencengkeram lengan Dira
dengan gemetar, dan sembunyi di belakang punggung Dira.
Semakin Brata mendekat, Tasha rasanya pengin ngompol. Tapi Brata juga kayaknya nggak ngeh
kalau ada cewek penakut yang ngeri ketemu dia. Setelah tos ala geng mereka, Brata menepuk
pundak Juna akrab. ''Ada apaan sih, bro"'' lalu Brata kelihatan bingung begitu menyadari
kehadiran Dira dan Tasha.
''Lo bawa motor kan"'' tanya Juna, to the point.
Brata mengangguk, masih dengan muka bingung. ''Iya. Kenapa, bro"''
''Gue mau nganter mereka pulang. Gue bonceng Dira. Lo bonceng dia.'' Telunjuk Juna dengan
tajam dan mantap menunjuk ke arah Tasha.
''A... apa"'' cicit Tasha serasa terkena serangan jantung. ''Ra... gimana dong...'' bisiknya pelan
banget, saking syok dan kehilangan tenaga. Ini mimpi buruk di siang bolong. Mendingan di
koprol mundur aja dari sekolah ke rumah.
Saatnya Dira protes. ''Jun, tunggu... kami nggak perlu dianter pulang kok. Tadi kan gue udah
bilang.'' Protes Dira dijawab dengan gelengan kuat Juna. ''Sekali lagi gue bilang ya, Dira, gue udah janji
sama nyokap lo akan jagain lo selama lo ada dalam jarak pandang gue. Sekarang lo bareng gue.
Gue nggak mau kalo sampe ada apa-apa di jalan karena gue biarin kalian pulang sendirian. Udah
deh, ini tanggung jawab gue ke nyokap lo. Gue boncengin lo pulang, dan lo, Tash, ikut motor
Brata,'' kata juna mantap. Keputusan final yang bikin Tasha pengin nangis ngesot diiringi lagu
India. ''Jun, anter aja Dira pulang. Gue... gue bisa kok pulang sendiri. Kan ada angkot atau taksi. Atau..
ojek... Gue duluan ya...!''
''HEIT!!!'' suara menggelegar Brata langsung menghentikan langkah Tasha. Brata berjalan
mendekat dan berdiri di samping Tasha. ''Kalo my bro Juna udah minta sesuatu, artinya gue
harus melaksanakan. Dia nyuruh gue boncengin lo pulang, artinya lo ikut gue!''
''Hikkk...'' Tasha berbunyi pelan. Antara serangan bengek dan arus tangis bombai.
''Raaa...,'' rengek Tasha panik. Matanya makin berkaca-kaca.
''Udah, naik aja,'' jawab Dira, nggak tega melihat Tasha ketakutan.
Dira menerima helm yang disodorkan Juna lalu mengangguk pelan ke arah Tasha, berusaha
meyakinkan Tasha untuk naik ke boncengan motor Brata.
''Nih, pake helmnya.'' Brata menyodorkan helmnya ke arah Tasha. ''Kenapa gemetaran gtu" Gue
keliatan kayak monster"'' sembur Brata dgn nada suara yg sepertinya memang sudah dari lahir
begitu. ''Ng... nggak kok, Kak.''
''Bro, kalo lo bentak-bentak gitu, pasti dia ketakutan lah,'' celetuk Juna, menyaksikan Tasha
gemetar ketakutan. ''Ya udah, berangkat. Kita kan masih ada urusan habis ini.'' Juna mengancing helmnya.
Dira memeluk tasnya di depan dada erat-erat. ''Jun... sejak kapan lo bisa bawa motor gede gini"
Lo beneran bisa, kan"'' Mendadak Dira cemas. Seingat Dira, dulu Juna itu nggak bisa naik motor
selain motor bebek matic. Juna diam, malah sibuk pasang helm da ritsleting jaket.
Dira menghela napas pasrah. ''Jangan ngebut ya!''
BRMMMM! Juna mengerung-gerungkan motornya. ''Emangnya lo pikir gue berniat nyelakain
lo" Ato lo menganggap gue nggak becus naek motor terus nekat bonceng lo"''
Huh! Udah jadi ketua geng, tapi masih sensi, dengus Dira dalam hati. ''Bukan begitu. Cuma mau
pesan: Jangan ngebut. Kan nggak baik.''
Juna menggerung-gerungkan motornya lagi kemudian mulai melaju. ''Jangan bawel. Mendingan
lo pegangan ke gue. Kecuali lo udah latihan akrobat.''
Dira langsung refleks memegang, eh, agak memeluk pinggang Juna. Juna menambah kecepatan
sampai motornya setengah lompat waktu start. Sekarang Dira tinggal berdoa dalam hati, semoga
bisa sampai rumah tanpa kekurangan apa pun, terutama jantungnya. Semoga jantungnya nggak
minta pensiun. Tapi... hmm... ternyata, berandalan seperti Juna masih suka pakai parfum ya"
Dira refleks tersenyum sendiri. Wanginya masih seperti dulu. Tegas, dan tidak menyengat.
Cowok banget. Ternyata dibonceng Juna nggak terlalu menakutkan. Badan Juna yang tinggi
tegap, sukses menghalangi pandangan Dira ke depan, jadi dia nggak perlu ngeri menatap ke
depan. Dan ternyata, Dira memang kangen sama Juna.
Bab 7 ''Sori ya, Ra. Tangan gue keseleo... aduh, sakit bangeet. Nggak mungkin dorong-dorong
keranjang isi bola ke aula olahraga. Berat banget.'' Aleen mengeluh-ngeluh lebay. Akting banget!
Cewek seperti Aleen mana mau melakukan pekerjaan ''kasar'' seperti ini.
Bu Umi, guru olahraga, terkenal sadis dan nggak pandang bulu. Dia juga terkenal nggak suka
cewek-cewek lemah dan manja seperti Aleen. Kalau guru-guru lain cenderung menghindar
memberikan tugas-tugas berat pada Aleen, Bu Umi justru kebalikannya. Dia bakal sengaja
menyiksa. Meski Aleen nggak peduli.
''Lagian lo tau lah, Ra. Bu Umi kan sentimen banget sama gue. Dia nyuruh gue ngelakuin
sendirian. Temen-temen gue nggak ada yang boleh bantuin. Nyebelin banget. Gue heran, dia kok
sebel banget sama gue dan teman-teman gue. Mungkin waktu muda dia cewek kuper dan kutu
buku deh. Jadi dendam pribadi...''
Dira meringis nggak menjawab.
Lalu dengan lebay Aleen menutup mulut. ''Eh, aduh, gue nggak bermaksud ngatain lo kutu
buku... I'm so sorry. I didn't mean it. It's just... well... intinya sih gue terpaksa deh ngerepotin lo...
Nggak papa kan, Ra"'' Aleen mulai sok inggris.
Dira tersenyum garing. ''Iya, nggak papa...''
Kalau tahu bakal disuruh dorong keranjang bola, tadi Dira nggak bakal izin ke toilet. Kalau
nggak ada Dira, pasti Aleen kerepotan mendorong-dorong keranjang ini sendirian. Atau,
setidaknya biar saja Aleen sibuk sendiri, dan mencari orang lain yang bisa disuruh. Tapi yah,
kembali ke kodrat kutu buku dan makhluk tertindas di sekolaj ini. Dira nggak bisa apa-apa selain
diam dan pasrah daripada Aleen bete dan memutuskan untuk mengerjai Dira dengan keji.
''Lagian gue nggak ngerti deh, Ra, kenapa bola ini nggak ditaro aja di aula" Biar nggak repot
pindah-pindahin dari gudang ke aula, dari aula ke gudang...'' Aleen ngedumel heboh sambil
tangannya menunjuk sana-sini.
''Tangannya nggak sakit lagi, Leen"'' celutuk Dira lempeng. Katanya keseleo sampai kesakitan
banget, tapi masih bisa menunjuk-nunjuk ke segala penjuru.
''Eh... aduh... adududuh. Saking emosinya jadi nggak kerasa sakit. Sekarang jadi sakit banget
gitu...'' Aleen pura-pura kesakitan lagi.
Sekolah Dira ini emang gede banget. Saking gedenya, jarak antara gudang ke aula seperti jalan
kaki dari Australia ke Irian Jaya. Bola-bolanya juga berat banget. Bu Umi sepertinya harus tahu ,
setiap kali dia berusaha mengerjai Aleen dan gengnya, akan ada orang lain yang susah karena
dikerjai mereka. ''Dira, awas tangga!'' Hah"! Tangga!" Oh iya, tangga!!! Dira panik berusaha menahan keranjang bolanya biar nggak
meluncur ke bawah. ''Aaa...!''
Brak! Bruk! Brak! Keranjang beroda berisi bola-bola itu meluncur bebas tanpa bisa ditahan.
Bola-bola memantul ke sana kemari dan keranjangnya terbalik di lantai koridir. Salah satu bola
sukses menyandung kaki Dira. ''Aaaa...!''
DUK! Dira sukses jatiuh terduduk. ''Aduhhhh...''
Aleen tergesa-gesa menuruni tangga dan berdiri syok menatap bola yang berserakan, sementara
bola-bola lain memantul bebas ke sana kemari. ''Aduh, Dira... berantakan semua deh. Kok lo
lurus aja sih" Kan ada tangga. Harusnya lewat sebelah situ... khusus buat roda...'' Aleen
menunjuk jalur kecil yang menempel di samping tangga.
''Bener-bener ceroboh.'' Sementara Aleen berkacak pinggang dan panik melihat bola-bola berkeliaran bebas, tiba-tiba
tangan Juna membantu Dira berdiri.
Dira masih meringis ngilu menatap Juna dengan sebal. Nolongin sih nolongin, nggak usah
ngatain orang ceroboh dong.
''Jam olahraga kok nggak pakai baju olahraga" Pasti ceroboh lupa bawa baju olahraga. Dan ini,
kenapa bisa berantakan begini" Kayaknya dari dulu tangganya emang di sini. Bisa-bisanya
nggak liat...'' ''Lho, Juna...'' Aleen takjub begitu sadar bahwa Juna yang menolong Dira berdiri.
Juna tampak tidak menghiraukan Aleen dan ketakjubannya. Mata Juna cuma tertuju lurus ke
Dira. Pokoknya Aleen dicuekin habis-habisan-dalam arti sebenarnya. ''Beneran lo lupa bawa baju
olahraga"'' tanya Juna lagi, merasa hebat karena yakin tuduhannya tentang kecerobohan Dira
tepat. Dira mendelik. ''Gue emang nggak ada pelajaran olahraga hari ini. Ngapain bawa baju olahraga"
Dan gue juga tau di sini ada tangga. Emang lo pikir gue sengaja"''
''Terus ngapain lo dorong-dorong keranjang isi bola sampe nyungsep gini"''
Pertanyaan Juna bikin Aleen langsung serbasalah. Cewek paling populer seantero sekolah itu
langsung pasang senyum super-duper-ultra plus ekstramanis dan buru-buru menjelaskan. ''Eh...
begini... sebetulnya gue yang olahraga. Biasa deh, Bu Umi nyuruh ngambil bola ke gudang, tapi
tangan gue keseleo gitu... jadi, tadi Dira kebetulan lewat, dan gue minta tolong dia deh bawain
keranjang bola ini ke aula.''
''Emang lo nggak ada guru"'' Juna tetap menatap lurus Dira dan tidak mengacuhkan Aleen.
Sepertinya Juna tidak berinteraksi dengan Aleen.
''Ya ada. Tadi habis dari toilet mau balik lagi ke kelas, tapi...''
''Tapi pas gue liat dia lewat, gue panggil deh. Gue tau Dira baik banget dan mau dimintain
tolong, makanya gue minta dia bawain bola-bola ini sebelum dia balik ke kelas. Tangn gue lagi
sakit banget gitu. Kayaknya agak bengkak deh, Jun... Ini gara-gara gue latihan modeling, terus
gue keplitek. Pas jatoh, gue nggak sengaja nahan pake ta...''
''Gue cuma nanya Dira ada guru atau nggak. Kayaknya nggak ada hubungannya sama tangan lo
deh, Leen...'' Aleen langsung mingkem. Semua manusia yang masih punya urat malu juga pasti bakalan diam
kalau disekakmat pakai kalimat sadis yang menghujam nurani.
''Jadi lo ada guru" Lagi belajar"''
Dira mangangguk. ''Iya, ada... ''
''Leen, kenapa lo nggak minta tolong penjaga sekolah atau satpam sih" Ngapain nyuruh Dira"
Dia kan ada kelas. Lo nyadar nggak lo bisa bikin dia kena masalah gara-gara dia nggak bisa
nolak lo"'' ''Dira dan Aleen spontan hening, syok oleh teguran Juna yang blak-blakan dan pastinya jleb jleb
jleb tepat di hati Aleen.
Meski syok, Aleen tetap berusahatersenyum sok tenang. ''M... maksud lo nggak bisa nolak gue
gimana" Y... ya... tadi dia lewat, gue minta tolong, terus dia mau. Ya... gue nggak kepikiran lah
kalo dia lagi ada guru ato apa...''
''Ya jelaslah dia langsung mau. Mana berani dia nolak lo. Apalagi dia anak baru. Lagian,
emangnya lo mikirin dia lagi ada pelajaran ato nggak" Lo nggak peduli kan, selama lo dapet apa
yang lo perlu"'' tembak Juna lagi.
''Jun... kok ngomongnya gitu sih"''
Juna mengedikkan bahu. ''Gue ngomong kenyataan. Gue tau elo. Kurang terkenal apa lo di
sekolah ini" Lo cewek paling populer dan berkuasa di sini. Sama lah kayak gue di kalangan
cowok.'' Dira pengin banget cekikikan lihat Aleen melongo dimarahi Juna. Aleen mati-matian berusaha
manis di depan Juna. Dira memang pernah dengar kalau Aleen naksit berat sama Juna! Pantas
Aleen kelihatan habis ketiban babi hutan gara-gara dicuekin dan dijudesin Juna kayak gitu.
''Ng, Jun, udah. Nggak papa kok kalo gue nganterin bolanya ke aula. Habis itu gue langsung ke
kelas.'' Lama-lama Dira nggak tega lihat Aleen mati gaya dimarahi Juna.
Dahi Juna kelihatan makin berkerut, nggak setuju. ''Nggak bisa begitu! Aula masih jauh. Lo kan
cuma pamit ke toilet sebentar. Kalo kelamaan lo bisa ketinggalan pelajaran. Dia harusnya nggak
boleh nyuruh-nyuruh lo kayak gini. Kalo dia butuh pertolongan, dia bisa nyuruh teman
sekelasnya ato penjaga sekolah.''
Aleen mengangguk terburu-buru. ''Iya. Tapi tadi kan Dira nggak nolak... makanya gue...''
''Tuh, lo denger kan, Ra" Dia bisa cari orang lain. Lo tuh beneran ceroboh ya" Sekarang kalo lo
harus beresin semua bola ini, butuh waktu berapa lama" Belum lagi kalo lo harus ke aula dan
Jun Karya Mia Arsjad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
balik lagi ke kelas. Bisa-bisa lo ketinggalan pelajaran. Emang lo udah kepinteran banget ya
sampe nggak perlu dengerin penjelasan guru" Lo masih baru di sini, jangan bikin masalah deh.''
''Nggak gitu, Jun, tapi...''
''Sekarang lo balik ke kelas. Ayo!''
Dira menatap Juna dengan bingung.
''Ayo! Apa perlu gue anterin lo ke kelas"''
Dira menggeleng cepat. ''Eh, nggak perlu, Jun. Gue bisa sendiri kok... Eh, Leen, gue ke kelas
dulu ya.'' Detik itu juga Aleen langsung pucat, gelagapan.
''Kenapa, Leen" Lo mo nyuruh dia beresin bola dulu, terus bikin dia ketinggalan pelajaran"''
''Eh, nggak, Jun. Tapi ini... kan tangan gue sakit. Gue butuh bantuan untuk bawa bola-bola ini...''
Aleen pasang tampang memelas.
Juna tetap cool. Mengangguk. ''Oh, itu gampang...''
Satu kalimat pendek itu langsung bikin Alenn kegirangan. ''Jadi, lo mau bantuin gue" Makasih
ya, Ju...'' ''Pak Yos!!! Pak!!!'' Belum selesai Aleen menyebut nama Juna, cowok itu sudah heboh
memanggil Pak Yos, penjaga sekolah, yang tampak sibuk menyiram tanaman. Pak Yos berlari
kecil ke arah Juna. Meski berandalan, Juna terkenal akrab dengan segala kalangan, termasuk
penjaga sekolah, ibu kantin, tukang parkir, dan masih banyak lagi. Makanya Pak Yos terburuburu datang waktu dipanggil.
''Siap, Den Jun! Ada apa nih"'' Pak Yos hormat gaya tentara yang siap terima tugas.
''Pak Yos, tolongin dia nih, ngeberesin bola sama nganter ke aula. Katanya tangannya sakit. Bisa
kan, Pak"'' Pak Yos menatap bola berserakan lalu menatap Aleen. ''Wah, si Neng disuruh Bu Umi ya"''
Aleen nyengir garing. Saking seringnya Aleen disuruh Bu Umi, Pak Yos sampai hafal.
Lalu Pak Yos hormat lagi. ''Siap, Den Jun! Bisa!''
Juna menepuk-nepuk bahu Pak Yos. ''Oke deh, Pak Yos, makasih ya...''
''Eh, Jun, lo mau ke mana"''
Juna mengernyit heran. ''Ya ke kelas lah. Ke mana lagi" Lo kan udah dibantuin Pak Yos"''
Aleen meringis miris. Dia kira tadi Juna yang bakal bantuin dia atau paling nggak bantuin Pak
Yos deh... tapi ternyata...
Juna berlari ke kelas. Aleen menghela napas dengan agak cemberut. Memang sih yang bikin Aleen suka banget sama
Juna adalah cowok badung itu pintar dan nggak pernah membolos. Jarang banget ada cowok
yang kayak gitu. Aleen makin penasaran sama Juna, karena sampai detik ini kabarnya Juna
nggak pernah punya pacar.
Aleen baru tahu, ternyata Dira kenal sama Juna. Jangan-jangan saudaranya" Kok sampai dibelain
begitu cuma gara-gara disuruh bawa bola"
*** ''Ya bagus dong. Jadi ada yang jagain kamu. Ya kan, Tash"'' Mama minta persetujuan Tasha
yang lagi asyik mengunyah ayam goreng.
Hari ini mereka berencana bikin PR bareng, jadi Tasha makan siang di rumah Dira.
Tasha cuma senyum. Glek glek glek... dengan rusuh Dira minum supaya ayam gorengnya cepat tertelan. ''Ma,
sekarang Juna udah berubah. Dia galak, dingin, judes... udah gitu suka...'' Dira menelan lagi
kalimatnya yang nyaris memberitahu Mama bahwa sekarang Juna kepala suku para pentolan
sekolah. Bisa gawat kalau Mama bilang ke Tante Tyas. Bisa-bisa Dira disangka ember lagi sama
Juna. Tante Tyas nggak mungkin tahu kelakuan Juna yang seperti itu di sekolah kan" Apalagi
Juna ''main cantik'' banget dengan tetap jadi anak pintar dan mengutamakan pelajaran. ''...Juna
suka bikin orang keki.'' ''Tapi kan maksudnya baik. Buktinya kamu ditolongin. Kalian bersahabat sejak SMP, makanya
Mama percaya sama dia. Kalu dia berubah, ya wajarlah, Ra. Dia sekarang cowok SMA, jadi
mesti lebih... lebih apa tuh istilahnya" Lebih asyik. Ya kan"''
Dira cemberut. Mama suka salah gaul deh. Dari mana Mama dengar kata lebih asyik"
Gara-gara Dira manyun, Mama makin usil. ''Lho, Ra, emang kamu nggak seneng bisa barengbareng dan dekat sama Juna lagi" Bukannya waktu SMP dia tiba-tiba menghilang, terus kamu
sibuk mencari dia" Kamu sampai nanya ke Mama, apakah Tante Tyas memberi kabar ke Mama
atau nggak, apakah Juna menitip surat atau nggak... Hayooo...'' Mama membongkar kartu Dira di
hadapan Tasha. Lho, siapa yang nggak penasaran kalau diajak janjian berdua, tapi pas hari H Juna nggak datang,
dan malah menghilang begitu saja. Wajar dong kalau Dira setengah mati pengin tahu, ada apa
sebenarnya. Apalagi Dira dan Juna waktu itu kan sudah... deket banget.
''Ih, Mama, udah ah!'' Dira malas melanjutkan pembicaraan soal Juna.
Papa Juna sudah pisah dengan Tante Tyas waktu Dira dan Juna kelas 1 SMP dan Jun sempat
ngedrop banget waktu itu. Papa Juna pergi begitu saja karena selalu bertengkar hebat dengan
Tante Tyas. Katanya gara-gara papanya Juna terlalu ambisius bekerja dan nggak pernah punya
waktu untuk Tante Tyas, Juna, dan Jessie-adik perempuan Juna. Papa Juna selalu merasa materi
Raja Silat 18 Dewi Sri Tanjung 6 Tersiksa Seperti Di Neraka Golok Sakti 1