Kekayaan Yang Menyesatkan 10
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet Bagian 10
"Kalau begitu, aku akan pergi menemui Ben Greenbourne agar membujuk Perdana
Menteri demi kepentingan para investor Inggris untuk segera mengakui pemerintah
yang sah di Kordoba. Kau segera melicinkan prosedurnya di Kementerian Luar
Negeri. Bagaimana dengan pihak Oposisi di Parlemen" Hmm, aku bisa minta tolong
Dan Robinson untuk mendukung rencana ini. Sejak awal dia sudah mendukung rencana
sindikat menyelamatkan uang para nasabah Pilasters Bank. Rencana ini pasti
berhasil. Ya, kita harus segera bertindak."
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Ya, kita harus bertindak cepat," jawab Tonio antusias.
"Kita pergi ke London sekarang juga. Ben Greenbourne pasti ada di rumah
pedesaannya. Akan kutelepon dia dari Bank. Sedangkan Dan tinggal dengan Maisie
di selatan London." Ia berdiri dan berkata, "Aku pamitan dulu dengan Nora."
Nora belum selesai berdandan, sedang mematut-matut topi di depan kaca. "Maaf,
Nora, aku harus ke London sekarang juga," pamit Hugh sambil memakai kemeja serta
memasang dasi. "Lalu siapa yang akan menjaga anak-anak?" tanya Nora ketus.
"Kau, tolong kali ini saja."
"Tidak sudi!" lengking Nora. "Aku akan pergi belanja."
"Maaf, Nora, kumohon, masalah ini penting sekali." "Aku juga penting!"
"Tentu kau juga penting, tapi aku harus bicara dengan Ben Greenbourne hari ini
juga." "Dengar, aku sudah muak dengan semua ini," tiba-tiba Nora berkata dengan dingin,
tanpa emosi. "Muak dengan rumah, dengan lingkungan, dengan anak-anak, dan
terutama muak denganmu!" Ia berhenti sebentar, matanya menyorotkan kebencian.
"Bahkan ayahku bisa hidup lebih layak daripada kita." Ayah Nora membuka bar
dengan pinjaman dari Pilasters Bank. Usahanya maju. "Mestinya aku bekerja di bar
ayahku saja, lebih enak daripada hidup macam gelandangan begini!"
Hugh tak percaya dengan apa yang didengarnya. Tiba-tiba ia sadar bahwa
perkawinannya tak akan bisa dipertahankan lebih lama lagi. Untuk terakhir kali
ia masih mencoba membujuk Nora. "Nora, kumohon kau tinggal kali ini saja dan
menjaga anak-anak kita." Tanpa menunggu jawaban dan tanpa menengok lagi ia
meninggalkan istrinya, keluar dari kamar.
Tonio sedang menunggu di dekat pintu. Gelisah dan
602 mondar-mandir di ruangan sempit. Hugh mencium anak-anaknya dan memakai topinya,
lalu keluar bersama Tonio. Katanya, "Ada kereta api ke London, sebentar lagi
berangkat." Sambil memakai mantel, ia berjalan cepat menyusuri jalan setapak di depan rumah.
Salju turun dengan deras, membentuk lapisan tebal di jalanan kompleks. Rumah
Hugh modelnya sama dengan sekitar dua puluhan rumah dalam kompleks. "Kita akan
bicara dulu dengan Dan Robinson, lalu dengan Ben Greenbourne sambil meyakinkan
dia bahwa pihak Oposisi sudah memberikan dukungan. Dengar!"
"Apa?" "Suara kereta kita. Sebaiknya kita bergegas ke stasiun."
Mereka mempercepat langkah. Untungnya letak stasiun dekat dengan rumah. Kereta
api mulai terlihat dari jauh, sedang melewati jembatan sungai.
Seorang pria terlihat berdiri di tiang stasiun, menghadap ke jurusan datanganya
kereta api. Ketika Hugh dan Tonio melewati pria itu, Hugh segera mengenali siapa
dia: Micky Miranda! Dan ia membawa sepucuk pistol di tangannya.
Setelahnya, segala sesuatunya terjadi dengan sangat cepat.
Hugh menjerit keras. Percuma. Suaranya tertelan oleh lengking peluit kerata dan
deru mesin lokomotifnya. Micky mengarahkan pistolnya ke Tonio dan menembak,
Tonio terhuyung-huyung, lalu jatuh ke tanah dingin bersalju. Lalu Micky
mengarahkan pistolnya ke dada Hugh. Bertepatan dengan itu, lokomotif kereta
sudah berada di sisi Micky. Uap dan asapnya membuat kedua orang itu buta sesaat.
Uap kereta sangat tebal, menutupi pandangan mereka. Secara refleks Hugh
merebahkan diri ke salju dan berguling menjauh. Sayup-sayup ia mendengar letusan
pistol dua kali tapi tidak merasakan
apa-apa. Ia bangkit berdiri, diselimuti asap tebal lokomotif campur kabut pagi.
Ketika asap dan kabut pelan-pelan menghilang, Hugh melihat tubuh seorang pria di
depannya. Dengan cekatan ia menubruk orang itu. Micky jatuh, pistolnya terlempar
dari tangan, mendarat di tengah rel. Hugh menerkamnya.
Mereka bergelut, sekaligus berusaha berdiri untuk mendapatkan posisi terbaik
agar bisa menendang lawan. Micky yang berhasil berdiri dulu, berusaha memukul
Hugh dengan tongkat miliknya. Hugh menyergapnya lagi dan menjatuhkannya, tapi
Micky berhasil mempertahankan tongkatnya. Sementara Micky berusaha berdiri, Hugh
menyerangnya. Tapi Hugh dua puluh tahun tidak pernah melayangkan tinjunya lagi,
jadi pukulannya meleset. Micky memukul kepalanya dengan tongkat. Sakit sekali.
Micky memukulnya lagi. Hugh menjadi mata gelap. Ia berteriak marah, menyerbu ke
arah Micky, dan menghajar wajahnya. Mereka berdua terhuyung-huyung dan terengah-
engah. Tiba-tiba terdengar suara peluit kondektur, menandakan kereta akan berangkat ke
London. Micky tertegun sejenak. Hugh segera menduga musuhnya merencanakan lari
dengan kereta itu. Tepat sekali. Micky segera membalikkan badan, berlari menuju
stasiun. Hugh mengejar di belakangnya.
Micky bukan pelari yang gesit. Kehidupan malam telah merusak stamina dan kondisi
fisiknya; sama saja dengan Hugh yang sepanjang kariernya selalu duduk di
belakang meja. Keduanya terengah-engah menarik napas. Ketika keduanya menerobos
masuk ke peron, seorang petugas stasiun berseru, "Hei, mana karcis kalian?"
Hugh menjawab dengan berteriak parau, 'Tangkap pembunuh itu!"
Terlambat. Micky sudah menggapai ujung kerangka gerbong akhir kereta. Hugh belum
mau menyerah. Terus mengejar, diikuti oleh si petugas stasiun di belakangnya.
604 Kereta mulai berangkat. Dengan putus asa Hugh mencoba merenggut kaki Micky.
Berhasil, tapi kemudian cengkeramannya lepas. Ia jatuh, disusul oleh tubuh
petugas stasiun yang menimpa bagian belakang tubuh Hugh.
Ketika Hugh berhasil bangun, dari jauh ia melihat Micky sedang membuka pintu
belakang gerbong kereta dan melangkah masuk dengan tenang.
Si petugas stasiun juga berhasil bangun. Sambil menyeka wajahnya yang kena
salju, ia bertanya, "Ada apa ini sebenarnya?"
Hugh terduduk di peron, napasnya masih berat. Terlalu lemah untuk menjawab.
Akhirnya ia menjawab juga. "Seorang pria baru saja ditembak." Dengan menunjuk ke
arah tubuh Tonio, ia berdiri dan menggamit lengan si petugas menuju lokasi
kejahatan. Dekat jembatan kereta di atas sungai.
Hugh berlutut di dekat jenazah sahabatnya. Wajah Tonio hancur karena peluru
pistol yang kena tepat di antara kedua matanya. "Oh, Tuhan!" komentar si petugas
dengan kaget. Hugh, sambil menelan ludah, mencoba memeriksa denyut jantung
sobatnya. Tangannya meraba di balik jas. Tak ada tanda-tanda kehidupan sedikit
pun. Ia teringat ketika Tonio riang bermain perang air dengannya di tengah
danau, dua puluh empat tahun yang lalu, di Bishop's Wood. Tak terasa air matanya
menetes. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Duduk di samping jenazah sobatnya, Hugh mencoba menganalisis tragedi pagi ini.
Jelas Micky tahu kedatangan Tonio di London. Mata-matanya di Kementerian Luar
Negeri pasti sudah membisikkan bahwa Tonio telah menyerahkan surat kuasa sebagai
duta besar pengganti Micky. Ini berarti hari-harinya sebagai duta besar Kordoba
tinggal satu atau paling lama dua hari. Merasa putus asa, ia merencanakan
membunuh Tonio. Jika berhasil, Presiden Garcia tidak akan punya wakil untuk
memperjuangkan kepentingannya di Inggris. Micky jadi bebas mewakili Papa, tetap
sebagai duta besar Kordoba.
Merasa ketakutan, ia mencoba mencari jejak Tonio. Mungkin ia mengupah seseorang
untuk mengikuti jejak Tonio atau ia diberitahu oleh Augusta. Yang jelas, ia tahu
Tonio pergi ke rumah Hugh di kawasan Chingford.
Untuk menyusul ke rumah Hugh pasti berbahaya. Terlalu banyak saksi mata. Maka,
dengan keyakinan bahwa ke mana pun Tonio pergi ia pasti kembali ke London dengan
kereta api, Micky menunggu di stasiun dengan sabar.
Micky selalu bertindak nekat jika sudah terdesak. Dan ia nyaris berhasil. Selain
harus membunuh Tonio, ia juga mesti menyingkirkan Hugh. Kalau semuanya berjalan
lancar, tak seorang pun akan mengetahui perbuatannya. Kawasan Chingford tidak
punya telegram atau telepon, dan sarana transportasi tercepat adalah kereta api,
jadi ia bisa kembali ke London sebelum "peristiwa itu dilaporkan. Salah satu
staf setianya sudah siap dengan alibi kepada pihak berwajib.
Tapi rencana tinggal rencana. Tuhan menetapkan lain. Hugh selamat dan menjadi
saksi hidup. Dan secara teknis, Micky bukan lagi diplomat yang kebal hukum.
Ia bisa digantung karena perbuatannya.
Hugh juga tahu soal ini. Dengan tegas ia berkata, "Kita harus segera melaporkan
pembunuhan brutal ini ke pihak berwajib!"
"Ya, benar," komentar si petugas stasiun. "Ada pos polisi di Walthamstow,
beberapa ratus meter dari sini."
"Kapan ada kereta lagi?"
Si petugas mengambil jam saku ukuran besar dan menjawab, "Empat puluh tujuh
menit lagi." "Kita harus segera bertindak. Anda ke polisi dan aku ke London, melaporkan ke?Scotland yard."
"Wah, aku tidak bisa. Tidak ada petugas lain di stasiun. Ini kan malam Natal."
"Aku yakin-atasan Anda akan mengerti jika Anda bertindak sebagai pelayan
masyarakat." 606 "Ya, Anda benar. Terima kasih telah mengingatkan akan tugas mulia ini."
"Sekarang kita pindahkan dulu tubuh temanku ini. Ada tempat di stasiun?" ,
"Hanya di ruang tunggu."
"Oke, kita letakkan dulu di sana. Tolong bantu aku mengangkat kakinya." Mereka
berdua mengangkat mayat Tonio Silva ke ruang tunggu stasiun.
Mereka membaringkannya di bangku. Sambil menunggu kedatangan kereta, dan karena
tidak ada yang harus dikerjakan, Hugh hanya mondar-mandir di dekat jenazah
Tonio. Si petugas sebentar memandang jenazah, sebentar memandang Hugh yang
sedang memegang-megang belakang kepalanya yang sakit terkena pukulan tongkat
Micky. [II] MICKY pergi menyelamatkan diri. Nasib baik mulai meninggalkan dirinya. Selama
dua puluh lima tahun ini ia sudah mencabut empat nyawa, dan yang terakhir ini,
ada saksi mata hidup. Hugh Pilaster. Saksi mata yang menyaksikan bagaimana ia
menembak kepala Tonio Silva di pagi cerah. Ia harus segera meninggalkan Inggris,
kalau tidak mau mati di tiang gantungan.
Sekarang ia menjadi buronan. Dicari pihak berwajib di seluruh penjuru London
yang sudah menjadi tempat tinggalnya selama seperempat abad. Di Stasiun
Liverpool ia bergegas sambil menghindari polisi. Napasnya sesak dan jantungnya
berdebar. Cepat-cepat ia naik ke sebuah kereta sewaan.
Ia langsung menuju Gold Coast & Mexico Steamship Company, agen pelayaran Eropa-
Amerika Latin. 607 Tempat itu penuh sesak dengan orang-orang Amerika Latin. Ada yang mau membeli
tiket kapal ke Kordoba, ada yang mau menjemput sanak saudara, ada juga yang
hanya mau menanyakan kabar. Dengan susah payah akhirnya ia bisa juga sampai di
depan loket tiket. Pakaiannya yang mahal dan rapi menarik perhatian penjual
tiket. "Aku akan beli tiket kapal ke Kordoba, malam ini juga"
"Tak ada kapal ke sana, ada perang," tukas si penjual.
"Tapi kalian kan tidak menghentikan semua kapal?" tanya Micky sinis.
"Kami jual tiket ke Lima, Peru. Kapalnya akan berangkat ke Palma kalau situasi
politik sudah aman. Keputusan pergi ke sana akan dilakukan di Lima nanti."
Tidak apa, Lima juga oke. Yang penting ia bisa keluar dari Inggris secepatnya.
"Kapan berangkatnya?"
"Empat minggu lagi."
Jantungnya serasa berhenti. "Wah, terlalu lama. Aku perlu pergi secepatnya."
"Ada kapal dari Southampton malam ini, jika Anda benar-benar tergesa-gesa harus
pergi." Terima kasih, Tuhan! Nasib baiknya ternyata belum lenyap sama sekali. "Baik, aku
beli kelas terbaik yang masih ada."
"Baik. Boleh kucatat nama Anda?"
"Miranda." "Maaf, siapa?" Orang Inggris tuli jika sudah menyangkut nama asing. Micky segera mengganti
nama, "Andrews, M.R. Andrews." Baru saja terlintas di benaknya kalau dia memakai
nama asli, pasti Scotland Yard akan mudah melacaknya degan memeriksa daftar nama
penumpang kereta api dan kapal. Sekarang mereka tidak akan pernah menemukan
namanya. Dan ia juga bersyukur karena peraturan imigrasi di Inggris yang begitu
bebas: tidak perlu paspor untuk masuk atau keluar dari negara itu.
608 Dengan geram ia menunggu si penjual menulis tiketnya. Setelah selesai membayar,
ia gergegas meninggalkan loket. Ia tahu wajahnya akan segera terpampang di
seluruh pelabuhan dan stasiun kereta. Karena itu, ia sangat membutuhkan
penyamaran. Sambil mendesak kerumunan orang, ia terus berpikir keras.
Di luar, salju makin menebal. Ia menyewa kereta kuda dan memerintahkan kusir
pergi ke .arah Kedutaan Kordoba. Semenit kemudian ia membatalkan arah tujuannya.
Terlalu besar risikonya pergi ke sana; siapa tahu sudah ada polisi yang menungu.
Polisi akan mencari seseorang yang berpakaian rapi dan mahal, bepergian sendiri.
Untuk mengelabui mereka, ia perlu menyamar sebagai orang tua di kursi roda dan
seseorang lain membantu mendorongnya. Tapi siapa" yang pasti bukan salah satu
staf kedutaan. Ia bukan duta besar lagi sekarang.
Edward jawaban satu-satunya.
"Pergi ke Hill Street," perintahnya pada kusir kereta.
Edward masih di rumah kecil sewaannya di Mayfair. Ia belum pindah, karena sewa
rumah telah dibayarnya selama tiga bulan di muka.
Ia makin tergantung saja pada Micky. Ia tak peduli ulah Micky yang telah
menghancurkan bank keluarganya yang telah terbina selama tiga generasi. Semenjak
kejatuhan banknya, hanya dia yang masih sering bertemu Micky.
Edward membukakan pintu dalam mantel kamar sutra yang kotor. Ia mengajak Micky
ke kamarnya, ke dekat perapian. Di meja terlihat gelas dan botol wiski. Jam
sebelas pagi ia sudah menenggak minuman keras! Dan wajahnya makin parah,
memerah, dan penuh bercak-bercak. Micky jadi ragu memilihnya sebagai pendamping
di kapal. Tapi tak ada waktu lagi untuk mencari orang lain, putus Micky cepat.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Aku akan pergi meninggalkan Inggris," kata Micky.
Edward menjawab dengan memohon, "Oh, bawa aku denganmu," lalu ia menangis
seperti anak kecil. "Kenapa kau?" tanya Micky heran campur sebal.
"Aku akan mati. Mari kita pergi ke suatu tempat yang sepi dan menunggu
kematianku." "Kau tidak akan mati, tolol! Kau hanya kena sakit kulit."
"Tidak, ini bukan sakit kulit. Ini sipilis!" Micky sangat terkejut. "Oh, Tuhan...
aku mungkin kena juga."
"Bisa saja, kita terlalu sering pergi ke tempat Nellie."
"Tapi April sudah menjamin bahwa gadis-gadisnya bersih semua."
"Tak ada pelacur yang bersih!"
Micky jadi berpikir keras. Ia harus segera menemui dokter untuk memeriksakan
diri selengkapnya. Di London tak mungkin, karena ia bisa tertangkap polisi.
Nanti saja setelah tiba di Lisabon, tempat transit kapalnya. Ia mungkin tidak
kena sipilis, karena selama ini ia selalu menjaga kebersihan dirinya. Tidak
seperti Edward yang jarang mandi.
Tapi sekarang siapa yang bisa menolongnya" Edward jelas tak bisa, malah akan
menjadi beban baginya. Hanya satu pilihan tersisa: Augusta
Sebenarnya Edward lebih penurut daripada Augusta yang sangat independen dalam
bertindak. Tapi kalau bukan Augusta, siapa lagi"
Ia bangkit dari kursi. "Jangan tinggalkan aku," pinta Edward mengemis.
Tak ada waktu untuk rasa kasihan. "Aku tidak bisa membawa orang yang hampir mati
seperti kau," bentaknya.
Edward tersinggung. "Kalau kau tidak mau, aku akan..." "Apa?"
610 "Akan kukatakan kepada polisi bahwa kau sudah membunuh Peter Middleton, Paman
Seth, dan Solly Greenbourne." ^
Augusta pasti sudah memberitahu Edward tentang Seth. Micky terdiam sesaat,
mencoba menganalisis posisinya dan ancaman Edward. Jika dia sudah tahu, kenapa
menunggu begitu lama untuk memberitahu aku" Persetan dengan dia! Sosok Edward
tampak memuakkan di matanya. Heran, kenapa aku bisa tahan terus-menerus
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersamanya selama ini, pikirnya. Sekonyong-konyong ia menyadari, betapa senang
rasanya bisa terbebas dari makhluk satu ini. "Hmmm," jawabnya sinis. "Silakan
saja kauadukan itu. Aku baru saja membunuh seorang lagi. Tonio Silva... jadi tak
ada bedanya. Toh mereka juga sudah mencari-cariku saat ini." Ia segera keluar
rumah tanpa menoleh lagi.
Di luar rumah, ia mencari kereta sewaan. "Ke Kensington Gore," perintahnya ke
kusir. "Rumah Whitehaven." Edward sialan! Dengan khawatir ia mencoba mengingat-
ingat selama ini: adakah tanda-tanda aneh di alat vitalnya" Ada gatal-gatal di
kulit tubuhnya" Rasanya tidak ada. Tapi ia harus tetap memeriksakan diri ke
dokter. Ia juga khawatir dengan Augusta. Apakah wanita itu masih mau menerimanya setelah
kejadian penipuan obligasi itu" Apakah Augusta masih mau menolongnya" Ia tahu
perempuan itu selalu bernafsu terhadap dirinya, dan kali ini ia akan memenuhinya
demi keselamatan nyawanya. Sekarang ia tidak bergairah lagi terhadap Augusta,
tapi rasanya Augusta justru semakin bergairah pada dirinya. Mudah-mudahan
begitu, sebab ia akan mengajak Augusta lari bersamanya.
Pintu rumah Augusta dibukakan oleh seorang pelayan wanita yang kotor. Melewati
koridor dalam, Micky melihat betapa tak terawatnya istana ini. Jelas Augusta
sedang dalam kesulitan besar. Bagus. Jika begitu keadaannya, ia akan makin mudah
dimanipulasi. 611 Ketika menemui Micky, Augusta masih tampak rapi, mengenakan gaun sutra ungu
berlengan susun. Roknya lebar dan berpinggang sempit. Masih menarik, pikir
Micky, meski usianya sudah lima puluh delapan tahun. Tapi sayang, ia tidak lagi
tertarik pada wanita ini. Namun demi nyawanya, ia harus berpura-pura.
Augusta tidak menyalam atau menyapa, tapi langsung bertanya, "Kenapa kau masih
ke sini" Kau sudah mencelakakan kami semua."
"Aku sama sekali tidak bermaksud begitu."
"Kau sebelumnya pasti sudah tahu rencana pemberontakan ayahmu."
"Ya, tapi tidak kusangka obligasi itu akan tak ada nilainya hanya karena perang.
Kau juga, kan?" Augusta jadi ragu. Sebenarnya ia sendiri juga tak menyangka begitu.
Celah kecil telah terbuka dengan perlahan tapi pasti. Dengan cepat Micky berkata
lagi. "Aku tentu tidak akan tega melakukan itu padamu jika sebelumnya akan tahu
akan jadi begini." Tapi Augusta menyanggah. "Kau sudah membujuk Edward untuk menipu para mitra
lainnya soal pertanggungan itu, sampai dua juta pound."
"Kukira bank tidak akan jatuh hanya karena sejumlah itu. Benar. Kukira kalian
sangat kaya." "Ya, aku juga menyangka begitu," jawab Augusta pelan. Kepalanya dipalingkan ke
arah jendela. Micky tahu ia mulai menang. "Sudahlah, ini sudah tidak relevan lagi. Aku akan
pamitan. Malam ini aku meninggalkan Inggris dan mungkin tidak akan kembali lagi
ke sini." "Mengapa?" tanya Augusta cemas. Pancaran matanya mengandung ketakutan.
Tak ada waktu lagi untuk mengarang cerita bohong. "Aku baru saja menembak mati
seseorang," kata Micky.
"Siapa?" tanya Augusta ngeri.
"Antonio Silva."
Augusta kaget sedikit, lalu bertanya penuh gairah. "Tonio" Kenapa dia?"
"Dia merupakan ancaman bagiku. Aku sudah membeli tiket kapal malam ini,
berangkat melalui Southampton "
"Begitu cepat?"
"Tak ada pilihan lain."
"Jadi, kau datang berpamitan padaku?"
"Tidak." Ia menatap Micky. Benarkah matanya menyorotkan harapan" Micky ragu-ragu, lalu
nekat. "Aku ingin kau ikut denganku," katanya.
Augusta terbelalak, kaget campur senang. Ia mundur selangkah.
Micky memegang dan meremas kedua tangan Augusta. "Sudah sejak dulu aku ingin
mengatakan ini. Semula aku masih ragu, tapi karena akan meninggalkan negeri ini
selamanya, aku perlu mengungkapkan isi hatiku sejujurnya padamu. Aku cinta
padamu, Augusta." Sambil berbicara, ia memperhatikan wajah wanita di depannya, seperti seorang
pelaut yang sedang menganalisis permukaan air. Untuk sesaat Augusta berupaya
menunjukkan wajah terkejut, tapi hanya sebentar. Di wajahnya tersungging senyum
nakal, lalu disusul pipi yang memerah malu bagai anak gadis yang baru pertama
kali dicium; akhirnya wajahnya tampak penuh pertimbangan, mereka-reka untung
rugi menerima pernyataan pria di depannya.
Micky tahu Augusta masih belum mengambil keputusan.
Ia melakukan perannya sekali lagi. Tangannya meraih pinggang Augusta, menariknya
mendekat. Tak ada perlawanan, tapi ia tahu wanita ini belum memutuskan.
Ketika wajah mereka bertemu dan dada Augusta sudah menyentuh kerah bajunya, ia
berbisik, "Aku tidak
akan bisa hidup tenang tanpa kau di sampingku, Augusta
sayang." Ia merasa wanita itu gemetar oleh sentuhannya. Dengan suara serak si wanita
berkata, "Aku sudah tua, lebih pantas menjadi ibumu."
Ia berbisik ke telinga Augusta, menciumi wajahnya sambil berbisik mesra, "Tidak,
bagiku kau tak pernah tua. Aku sudah lama mendambakanmu. Aku selalu merindukan
saat-saat begini. Sekarang..." Ia memindahkan tangannya dari pinggang ke dada
Augusta, lalu berbisik lagi, "Sekarang bahkan tanganku sendiri tak bisa ku-
kendalikan lagi. Augusta..." Ia diam.
"Apa?" tanyanya.
Ia hampir berhasil, tapi belum seluruhnya. Ia harus memainkan kartu terakhirnya.
"Sekarang aku bukan lagi duta besar, jadi aku bisa menceraikan Rachel."
"Apa maksudmu?"
Ia berbisik ke telinga Augusta, "Maukah kau menikah denganku?" "Ya, mau."
Ia mencium penuh kedua bibir Augusta.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY APRIL TILSLEY datang bergegas ke kantor Maisie di rumah sakit khusus wanita.
Pakaiannya mencolok, ditambah mantel bulu rubah. Ia melambaikan surat kabar yang
dibawanya. "Kau sudah dengar atau baca ini?" tanyanya.
Maisie berdiri. "April! Ada apa?"
"Micky Miranda menembak mati Tonio Silva!"
Maisie kenal siapa Micky, tapi nama Tonio membuat -
614 nya berpikir keras. Akhirnya ia ingat, Tonio salah satu teman Hugh dan Solly. Ia
gila judi dan dulu April pernah berpacaran sebentar dengannya, tapi segera
pindah ke pria lain karena Tonio selalu kehabisan uang. "Micky menembak dia?"
tanyanya heran. "Dia mati?"
"Ya. Beritanya di koran siang. Ini."
"Ya, tapi mengapa?"
"Tidak disebutkan kenapa, hanya di sini sikatakan..." April ragu sejenak. "Duduk
dulu, Maisie." "Kenapa" Katakan segera."
"Di sini diberitakan bahwa polisi juga ingin menginterogasi dia Soal kematian
Peter Middleton, Seth Pilaster, dan... Solomon Greenbourne."
Maisie tersentak duduk. "Solly!" tukasnya gemas, dan tiba-tiba matanya
berkunang-kunang. Wajahnya pucat. "Micky membunuh Solly" Oh, Solly yang malang!"
Ia menutup wajahnya. "Maisie, kau perlu minum brendi sedikit," saran April. "Di mana kau
menyimpannya?" "Kami tidak punya minuman keras di sini. Coba kubaca korannya."
April menyerahkan koran itu.
Maisie membaca alinea pertama. Diberitakan bahwa polisi sedang memburu bekas
duta besar Kordoba, Miguel Miranda, untuk menginterogasinya dalam kasus
pembunuhan Antonio Silva.
April berkomentar, 'Tonio yang malang. Dia salah satu pria paling baik yang
pernah bercinta denganku waktu aku masih muda dulu."
Maisie melanjutkan membaca. Polisi juga akan menginterogasinya mengenai kematian
Peter Middleton di Windfield tahun 1866; Seth Pilaster, mitra senior Pilasters
Bank tahun 1873; dan Solomon Greenbourne, yang didorong seseorang ke depan
kereta kuda yang sedang berlari kencang di kawasan Piccadilly pada bulan Juli
1879 615 "Seth Pilaster" Paman Seth, paman Hugh?" tanya Maisie geram. "Kenapa dia
membunuh orang-orang ini?"
April berkata lagi, "Koran tak pernah mengatakan apa yang sebenarnya ingin
diketahui pembaca." Alinea ketiga membuat Masie tertegun lagi. Tonio ditembak di timur laut London,
dekat Walthamstow, desa Chingford. Jantungnya serasa berhenti. "Chingford!"
"Aku tak pernah dengar tempat itu." "Itu tempat tinggal Hugh."
"Hugh Pilaster" Kau masih berhubungan dengan dia?"
"Aku khawatir dia punya kaitan dengan kasus ini. Ini tak mungkin hanya
kebetulan. Oh, Tuhan, apakah dia ikut terluka?"
"Kurasa koran akan menyebutkan kalau dia terluka."
"Tapi ini baru terjadi beberapa jam yang lalu. Koran pasti belum tahu atau belum
sempat mencetak." Ia segera berdiri dan berkata pada April, "Aku harus
memastikan dia tidak apa-apa."
"Bagaimana caranya?"
Maisie mengambil topi dan memasang peniti di bagian luarnya. "Aku akan pergi ke
rumahnya." "Istrinya pasti tak senang melihatmu."
"Istrinya seorang paskudniak."
April tergelak, "Apa itu?"
"Kantong kotoran." Maisie memakai mantelnya.
April ikut berdiri. "Keretaku ada di depan. Akan kuantar kau ke stasiun."
Ketika sudah masuk ke kereta, mereka baru sadar tidak tahu di stasiun mana ada
kereta menuju desa Chingford. Untungnya kusir April yang juga merangkap sebagai
penjaga pintu utama tahu letaknya. Ia lalu mengarahkan keretanya ke stasiun
Liverpool. Sampai di stasiun, Maisie mengucapkan terima kasih kepada sobat lamanya dan
langsung masuk ke dalam. Stasiun itu penuh dengan orang-orang yang berbelanja
616 untuk hari Natal dan hendak pulang ke rumah mereka di pinggiran London. Udara
stasiun terasa pengap oleh asap dan kotoran. Kerumunan manusia yang ribut saling
memberi salam Natal dan berceloteh. Derit gerbong dan rem kereta api menambah
bobot polusi suara. Dengan susah payah Maisie menerobos sana-sini, menyeruak di
antara kerumunan anak-anak, pria dan wanita, kuda dan anjing, dan akhirnya bisa
juga membeli tiket kereta.
Ia harus menunggu lima belas menit sebelum kereta berangkat. Di peron ia sempat
iri menyaksikan sepasang kekasih saling cium mesra.
Kereta berangkat melewati daerah kumuh Bethal Green, kawasan pinggiran kota
Walthamstow, dan pa-dang berselimut salju di Woodford, berhenti setiap beberapa
menit. Bagi Maisie, kendati kecepatannya sudah dua kali kecepatan kereta kuda,
kereta api itu masih terasa sangat lambat. Di benaknya yang ada hanyalah
keselamatan Hugh. Ketika tiba di stasiun Chingford, ia bergegas turun dan langsung disambut oleh
seorang polisi. Ia diminta masuk dulu ke ruang tunggu stasiun. Seorang detektif
sudah menunggu. Rupanya pihak berwajib sedang berusaha mencari saksi mata atas
kejadian pagi ini. Ia mengatakan pada mereka bahwa ia belum pernah datang ke
Chingford. Lalu ia bertanya, "Apakah ada orang lain terluka, selain korban
Antonio Silva?" "Dua orang terluka kecil," jawab si detektif.
"Saya mengkhawatirkan teman yang kenal Mr. Silva. Namanya Hugh Pilaster."
"Mr. Pilaster adalah saksi mata yang bergulat dengan si pembunuh. Dia mendapat
sedikit luka di kepala. Tidak serius, hanya lecet saja."
"Oh, terima kasih, Tuhan," seru Maisie pelan. "Dapatkan Anda memberitahukan
jalan ke rumahnya?" Si detektif memberitahunya. "Mr. Pilaster tadi pagi melaporkan kejadian ini ke
Scotland Yard, dan saya SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY tidak tahu apakah sekarang dia sudah pulang atau belum."
Maisie mempertimbangkan, akan kembali ke London atau terus mencari rumah Hugh,
karena sekarang ia sudah yakin kekasihnya tidak luka berat. Tanpa ke rumah Hugh,
ia tak perlu bertemu Nora. Tapi ia ingin melihat sendiri kondisi kekasihnya, dan
ia tidak takut pada Nora. Bergegas ia menuju ke arah rumah Hugh.
Kawasan Chingford sangat berbeda dengan Kensington, pikir Maisie. Rumah-rumah di
situ kecil dan murah, kebun-kebunnya tak terawat. Hugh pasti bisa menerima dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya ini. Entah kalau Nora. Wanita itu
kawin dengan Hugh karena uangnya, bukan karena cinta.
Sayup-sayup, begitu mendekati rumah, Maisie mendengar tangis anak kecil. Ketika
ia mengetuk, pintu dibukakan oleh anak laki-laki sekitar sebelas tahun. "Kau
pasti Toby, benar kan?" tanya Maisie ramah. "Aku datang ingin menengok ayahmu.
Namaku Mrs. Greenbourne." " - "Ayah sedang tidak ada di rumah," jawab anak itu
sopan. "Kira-kira kapan dia pulang?" "Tidak tahu pasti."
Maisie lemas. Ia jauh-jauh ke sini ingin bertemu Hugh. Dengan kecewa ia berkata,
"Mungkin kau bisa mengatakan pada ayahmu nanti bahwa aku datang ingin tahu
apakah dia baik-baik saja. Katakan aku telah membaca beritanya dari koran siang
ini." "Baik, akan kukatakan pada Ayah."
Tak ada lagi yang perlu dikatakan. Ia bisa segera kembali ke stasiun dan tidak
perlu bertemu Nora. Tapi sesuatu membuat langkahnya berhenti: wajah anak ini tampak ketakutan.
Secara naluriah ia berbalik lagi, "Apakah ibumu ada di rumah?"
"Tidak, tidak ada."
Aneh. Hugh tidak mampu mengupah seorang penjaga
618 anak, tapi anak-anak ini ditinggal sendiri oleh ibunya" Pasti ada yang tidak
beres. Ia bertanya," Bisakah aku bicara dengan siapa saja yang sedang menjaga
kalian saat ini?" Dengan ragu si anak menjawab, "Tidak ada yang menjaga aku dan adik-adikku."
Naluri Maisie tepat. Apa yang terjadi" Bagaimana sampai tiga anak ditinggal
sendirian di rumah" Ia me-i mang tidak mau ikut campur, khawatir Nora akan
tersinggung. Tapi ia tak bisa begitu saja pergi meninggal- kan ketiga anak itu ?sendirian di rumah tanpa ada yang menjaga. "Aku sobat lama ayah kalian... juga ibu
kalian," katanya lembut.
"Ya, aku kenal Anda. Aku lihat Anda di pesta kawin Bibi Dotty " jawab Toby.
"Ah, ya. Hmm... boleh aku masuk?"
Ada pancaran lega di wajah Toby. "Ya, silakan masuk."
Maisie masuk ke dalam rumah. Ia terus menuju ke suara tangis anak kecil itu;
arahnya ke dapur di bagian belakang rumah. Di lantai terlihat seorang anak
berusia empat tahun sedang meraung-raung, dan di kursi dapur ada seorang anak
berusia sekitar enam tahun yang tampaknya juga akan menangis.
Ia mengangkat si kecil dari lantai. Ia tahu nama anak ini Solomon, persis nama
Solly Greenbourne, mendiang suaminya. Panggilannya Sol. "Sst, diamlah," bujuknya
lembut. "Kenapa menangis?"
"Aku mau Mama... mamaku." Isaknya makin keras.
"Ya, ya, tapi diam dulu," hibur Maisie sambil membuai Sol. Ia memperhatikan
sekeliling ruangan. Betul-betul seperti kapal pecah. Tidak ada perapian. Meja
kotor, penuh tumpahan makanan dan susu. Piring dan gelas berantakan. Suhu
ruangan terasa makin dingin. Tampaknya anak-anak kecil ini ditinggal begitu saja
oleh ibunya. 619 "Apa yang terjadi sebenarnya?" tanyanya pada Toby.
"Aku berusaha memberi makan siang untuk adik-adik," kata Toby. "Aku membuatkan
roti dengan ham. Aku juga mencoba menyeduh teh, tapi jariku kena ketel panas,
jadi tumpah semua." Ia berusaha keras untuk tidak menangis, tapi matanya sudah
mulai memerah. "Apakah Anda tahu di mana ayahku sekarang?"
"Tidak, sayang sekali aku tidak tahu," jawab Maisie. Si sulung ini ingin
ayahnya, tapi si bungsu ingin ibunya. Apa yang telah dilakukan Nora" "Di mana
ibu kalian?" Toby tidak menjawab, hanya mengambil amplop kecil terbuka dari rak perapian dan
memberikannya pada Maisie. Di sampul tertulis jelas: HUGH.
"Amplopnya tidak disegel, jadi bisa kubaca," jelas Toby.
Maisie membuka amplopnya dan membaca isinya. Hanya ada satu pesan besar dan
tampaknya ditulis dengan amarah:
SELAMAT TINGGAL
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maisie terkesima. Bagaimana muhgkin seorang ibu yang telah mengandung,
melahirkan dengan taruhan nyawanya, lalu menyusui ketiga anaknya bisa
meninggalkan mereka sendirian seperti ini" Maisie teringat para wanita di rumah
sakitnya di Southwark. Jika saja mereka ditawari rumah dengan tiga kamar seperti
ini, walau kecil dan terpencil di kawasan pedesaan, mereka akan sangat senang.
Ini sudah seperti surga bagi mereka.
"Ayahmu pasti kembali hari ini, mungkin malam," hiburnya sambil berharap
dugaannya benar. Ia lalu bertanya kepada si bungsu, "Tapi kalian pasti tidak mau
dia pulang dan melihat rumah yang berantakan begini, bukan?"
Sol, dengan wajah lucu, menggelengkan kepala. "Kalau begitu, kita semua akan
bekerja sama mencuci 620 piring dan gelas kotor, membersihkan dapur, menyalakan perapian, dan menyiapkan
makan malam. Bagaimana menurutmu, Samuel?"
Samuel mengangguk senang. "Aku senang makan roti panggang mentega," sahutnya.
"Itu yang akan kita siapkan bersama."
Toby masih gelisah. "Menurut Anda, jam berapa Ayah pulang?"
"Aku tidak tahu pasti," jawab Maisie terus terang. Tidak perlu berbohong pada
anak kecil; mereka punya intuisi tajam untuk tahu kapan seseorang berbohong.
"Tapi begini saja. Kalian boleh menunggunya pulang. Bagaimana?"
Si sulung tampak lega. "Ya," katanya.
"Nah, sekarang kita mulai bekerja. Toby, kau yang paling kuat, tolong ambilkan
sekeranjang arang untu perapian. Samuel, aku yakin kau mampu mengerjakan tugas
dengan benar, jadi tolong bersihkan meja ini dengan lap. Dan kau, Sol, kau bisa
mulai menyapu lantai, sebab kau paling kecil, sehingga paling dekat dengan
lantai. Ayo, anak-anak, mulai bekerja."
[IV] HUGH sangat terkesan dengan cara kerja Scotland Yard dalam menangani laporannya.
Kasus pembunuhan Tonio Silva ditangani oleh detektif berpangkat inspektur,
Magridge, yang berwajah tajam, sebaya dengan Hugh. Ia cerdas dan teliti, tipe
khas seorang hamba hukum yang pantas menjadi kepala staf administrasi bank.
Hanya dalam sejam ia telah menyebarkan gambaran diri Micky Miranda di seluruh
penjuru strategis: pelabuhan, stasiun kereta api.
Atas saran Hugh, ia juga telah mengirim seorang sersan detektif untuk menanyai
Edward Pilaster. Tak lama kemudian sersan itu datang dan melapor bahwa menurut
Edward, Micky berusaha melarikan diri ke luar negeri.
Edward juga bersaksi bahwa Micky bertanggung jawab atas kematian Peter
Middleton, Seth Pilaster, dan Solomon Greenbourne. Hugh ikut terpana sewaktu
mendengar nama Paman Seth. Mengenai Peter dan Solly, ia memang sudah menduga
bahwa Mickylah yang membunuh mereka.
Si sersan detektif segera dikirim ke rumah Augusta di Whitehaven House. Tanpa
uang, dia tak akan mampu tinggal di sana terus, pikir Hugh; kendati selama ini
ia selalu melarang calon pembeli melihat-lihat rumah dan isinya.
Seorang petugas polisi juga dikirim ke agen perkapalan London, dan kembali
dengan melaporkan bahwa seorang pria yang mengaku bernama M.R. Andrews cocok
dengan gambaran Micky. Menurut petugas loket, pria ini membeli tiket kapal AZTEC
yang akan berangkat dari Southampton malam ini. Polisi di Southampton segera
ditelepon agar siap siaga, baik di dermaga ke-berangkatan maupun di stasiun
kereta api. Detektif yang dikirim ke rumah Augusta kembali dengan laporan bahwa tak ada satu
orang pun membukakan pintu rumah.
Hugh berkata, "Aku punya kunci rumah itu."
"Dia mungkin sedang keluar," kata Magridge. Aku akan menugaskan sersanku
memeriksa Kedutaan Kordoba. Bagaimana kalau Anda membantu dengan mengecek rumah
Whitehaven?" Senang karena bisa membantu, Hugh menerima tugas itu. Ia bergegas menyewa kereta
kuda menuju rumah Whitehaven di kawasan Kensington Gore. Ia memencet bel pintu
dan mengetuk; tak ada jawaban. Jelas tak ada
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY pelayan lagi di rumah ini, pikir Hugh. Ia lalu mengeluarkan kunci rumah dan
membuka pintu utamanya. Suasana di dalam rumah dingin sekali. Jelas tak ada penghuninya. Augusta tak
mungkin bersembunyi; itu bukan tipenya. Tapi Hugh memutuskan untuk memeriksa
seisi rumah. Siapa tahu. Lantai dasar kosong. Ia naik ke lantai satu dan
memeriksa kamar tidur Augusta.
Pemandangan dalam kamar membuatnya terpana. Pintu lemari pakaian terbuka lebar,
laci lemari juga terbuka, dan beberapa pakaian tersebar terhampar di mana-mana.
Jelas ini bukan tipe Augusta yang terkenal sangat rapi dan selalu teratur.
Mulanya ia mengira ada perampokan, lalu pemikiran kedua membuatnya bergegas
keluar kamar. Ia lari ke lantai tempat kamar-kamar para pelayan. Ketika ia tinggal di lantai
ini, tujuh belas tahun yang lalu, ia ingat bahwa salah satu kamar itu dipakai
sebagai tempat penyimpanan koper dan tas pakaian.
Ia masuk ke dalam kamar koper; kedua pintunya terbuka lebar. Ia mencari koper-
koper besar yang biasa dipakai untuk bepergian ke luar negeri. Benar, tak ada
sama sekali. Rupanya Augusta telah melarikan diri.
Bergegas ia memeriksa kamar-kamar lain. Seperti telah diduga, semua kosong.
Aroma kamar pelayan dan kamar tamu sudah berbau apak, tanda lama tak dipakai.
Ketika masuk ke kamar almarhum Paman Joseph, ia kaget karena dekorasinya tidak
berubah sama sekali, padahal ruangan dan kamar lainnya telah didekor ulang
beberapa kali. Ia berbalik hendak keluar, tapi sesuatu membuatnya berhenti:
lemari pajang tempat menyimpan koleksi kotak tembakau milik Joseph.
Lemari itu kosong, tak ada isinya!
Hugh mengernyit. Ia tahu pasti semua kotak berharga itu belum diambil oleh juru
lelang, karena sikap bermusuhan yang diperlihatkan Augusta.
Ini berarti Augusta telah membawanya lari.
623 Nilai seluruh kotak itu bisa mencapai seratus ribu pound, cukup untuk biaya
seumur hidup Augusta. Tapi semuanya telah terdaftar dalam aset keluarga yang harus dilelang. Semuanya
milik sindikat. Ia memutuskan untuk mengejar Augusta.
Ia bergegas keluar rumah dan melihat sekumpulan kereta kuda sedang diparkir.
Para saisnya sedang istirahat sambil mengobrol. Mereka menggerak-gerakkan kaki
untuk mengusir hawa dingin. Hugh lari menghampiri mereka dan langsung bertanya,
"Apakah ada dari kalian yang membawa Lady Whitehaven siang ini?"
"Kami berdua yang membawanya," sahut salah satu sais kereta. "Saya membawa
koper-koper, dia membawa Lady Whitehaven."
"Ke mana kalian bawa dia?" desak Hugh.
"Ke stasiun Waterloo, mengejar kereta api jam satu siang."
Kereta api menuju Southampton pelabuhan yang dituju Micky malam ini. Mereka ?berdua memang pasangan penipu, pikir Hugh gemas. Kendati beda delapan belas
tahun, mereka benar-benar serasi.
"Tapi mereka terlambat, keretanya sudah berangkat," sambung salah satu sais.
"Mereka?" tanya Hugh kaget. "Apakah ada orang lain yang ikut bersamanya?"
"Ya, seorang pria tua yang didorong dengan kursi roda."
Bukan Micky, pikir Hugh kecewa. Siapa lagi" Seingatnya, tak ada anggota keluarga
Pilaster yang sakit dan dibawa dengan kursi roda. Tanyanya, "Apakah kalian tahu
jam berapa lagi kereta berangkat?"
"Jam tiga sore."
Hugh melihat jam sakunya. Jam setengah tiga. Masih bisa mengejar mereka.
"Bawa aku ke Waterloo!" pintanya sambil melompat ke salah satu kereta kuda
sewaan. 624 Ia masih sempat membeli tiket dan segera naik ke kereta.
Di dalam kereta yang melaju ke arah selatan London, Hugh berjalan mencari
Augusta. Ia tidak perlu jauh-jauh mencari. Augusta ada di gerbong berikutnya. Hugh
melihatnya, lalu cepat-cepat menyingkir sebelum Augusta melihatnya.
Micky tidak tampak bersamanya. Mungkin ia sudah pergi dengan kereta jam satu
tadi. Satu-satunya pria yang sekilas dilihatnya dalam kamar Augusta adalah pria
tua yang duduk di kursi roda, kedua lututnya tertutup selimut tebal.
Hugh pergi ke gerbong lain dan duduk sambil berpikir keras. Tak ada gunanya
berkonfrontasi dengan Augusta saat ini. Kemungkinan besar kotak-kotak tembakau
itu ada di kopernya di gerbong barang.
Seandainya ia tetap membantah membawa kotak-kotak itu" Hugh akan mendesak polisi
memeriksa semua bawaan Augusta, kalau perlu menahan semuanya.
Ia berusaha mengendalikan emosinya. Kereta baru saja melewati padang-padang di
Wimbledon yang tertutup salju. Seratus ribu pound bukan jumlah sedikit. Yang
lebih penting dari semuanya, kotak-kotak tembakau itu adalah simbol kesungguhan
hati keluarga Pilaster untuk membayar para kreditur mereka. Jika sampai salah
satu anggota keluarga mencurinya, nama baik seluruh keluarga Pilaster akan
hancur. Orang-orang akan menganggap mereka tak lebih dari perampok dan penipu
besar. Pikiran itu membuat Hugh makin geram.
Ketika kereta tiba di Southampton, salju belum reda. Hugh bersiap di pintu kereta. Di stasiun banyak polisi berseragam berjaga-
jaga. Ini berarti Micky belum tertangkap, pikir Hugh.
Ia melompat keluar saat laju kereta mulai melambat. Ia bergegas ke pintu keluar
stasiun dan mencari inspektur polisi yang bertugas. "Saya Mitra Senior Pilasters
Bank," katanya sambil menyerahkan kartu namanya. "Saya tahu Anda sedang mencari seorang
buronan pembunuh, tapi di kereta itu ada seorang wanita yang membawa perhiasan
curian senilai seratus ribu pound yang sebenarnya milik bank. Dia akan ke luar
negeri dengan naik kapal AZTEC malam ini."
"Apa saja barangnya, Mr. Pilaster?" tanya si inspektur.
"Koleksi kotak tembakau berlapis permata."
"Dan nama si wanita?"
"Countess of Whitehaven."
Alis mata si inspektur naik. Katanya, "Saya selalu mengikuti berita jatuhnya
Pilasters Bank, Sir, dan saya duga ini ada hubungannya dengan kebangkrutan itu."
Hugh mengangguk. "Kotak-kotak itu rencananya akan kami jual untuk membayar semua
uang nasabah bank." "Bisakah Anda menunjukkan Lady Whitehaven pada saya?"
Hugh melongok beranda stasiun dan menunjuk ke arah Augusta, "Itu, wanita bertopi
lebar dengan hiasan bulu burung di tepinya." Augusta sedang mengatur para
petugas yang membawakan koper-kopernya.
Si inspektur mengangguk. "Baiklah. Anda sebaiknya menunggu dengan saya di pintu
keluar, dan nanti menahannya ketika dia akan keluar."
Hugh ikut tegang. Ia memeriksa wajah penumpang satu per satu, mencari Micky.
Augusta merupakan penumpang terakhir yang meninggalkan stasiun. Tiga portir
membawakan koper-koper besarnya. Ketika melihat Hugh di pintu keluar, wajahnya
segera berubah pucat pasi.
Si inspektur dengan sopan menyapa, "Maafkan kami, Lady Whitehaven. Bisa bicara
sebentar?" Hugh belum pernah melihat Augusta ketakutan seperti sore ini, tapi Augusta tidak
juga kehilangan kepongahan-nya. "Tidak bisa, officer. Aku harus mengejar kapal
yang berangkat malam ini," katanya.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Kujamin kapal Anda tak akan berangkat tanpa diri Anda," sahut si inspektur
dengan halus. Kepada ketiga portir ia memberi perintah. "Kalian letakkan dulu
koper-koper itu." Lalu ia kembali berbalik menatap Augusta. "Mr. Pilaster
melaporkan bahwa Anda membawa kotak-kotak tembakau yang sebenarnya milik bank.
Apakah benar begitu?"
Augusta menarik napas lega yang membuat Hugh heran. Ia khawatir, akal apa lagi ?
yang sedang dilakukan wanita itu" "Aku tidak sudi meladeni pertanyaan kurang
ajar seperti itu," sergah Augusta dengan dingin.
"Jika begitu, izinkan kami memeriksa koper-koper Anda," tegas si inspektur yang
mulai hilang sabar. "Baiklah, Inspektur. Aku memang membawa kotak-kotak itu, tapi semuanya dibeli
mendiang suamiku dan tentunya milikku sekarang."
"Apa komentar Anda, Mr. Hugh?" tanya si inspektur ke arah Hugh.
"Memang itu milik mendiang suaminya, tapi semuanya diwariskan kepada anaknya,
Edward Pilaster mitra bank karena itu menurut peraturan, semuanya sekarang ? ?disita oleh bank. Lady Whitehaven berusaha mencuri semuanya."
"Kalau begitu, saya minta kalian berdua datang ke kantor polisi sekarang juga,
untuk menunggu sampai semuanya jelas."
Dengan p^anik Augusta menjawab cepat, "Tapi aku bisa ketinggalan kapal."
"Kalau begitu, satu-satunya jalan keluar adalah menyerahkan untuk sementara
kotak-kotak itu ke tangan polisi. Semuanya akan dikembalikan jika ternyata klaim
Anda benar." Augusta tampak ragu. Hugh tahu hati Augusta akan hancur jika harus berpisah
dengan kotak-kotak itu. Tapi bukankah tak ada jalan lain" Ia tertangkap basah
men - 627 curi harta bank, dan masih beruntung ia hanya diminta menyerahkan harta
curiannya ke polisi tanpa ditahan.
"Di mana Anda menyimpan semuanya itu?" tanya si inspektur tegas.
Hugh menunggu. Augusta menunjuk ke salah satu kopernya. "Semuanya di situ."
"Kuncinya, tolong."
Sekali lagi Augusta agak ragu, tapi lalu menyerah. Ia memilih dari serangkaian
kunci, lalu memberikan salah satu pada si inspektur.
Si inspektur segera membuka kopernya. Penuh dengan kotak sepatu. Augusta
menunjuk salah satu kotak. Inspektur membuka, menarik sebuah kotak kayu kecil
dari dalamnya, dan membukanya. Di dalamnya tampak beberapa benda kecil dibungkus
rapi dengan kertas. Memilih salah satunya, ia membuka bungkusan kertasnya dengan
hati-hati. Terlihat sebuah kotak emas bertatahkan berlian dan permata aneka
warna dalam bentuk seekor kadal.
Hugh menghela napas lega.
Si inspektur memandang Hugh dan bertanya, "Berapa jumlah semuanya, Sir?"
Setiap anggota keluarga Pilaster pasti tahu berapa jumlahnya. "Enam puluh lima,"
jawab Hugh mantap. "Satu untuk setiap tahun kehidupan Paman Joseph."
"Maukah Anda menghitungya saat ini juga, Sir?"
Augusta cepat menyambar, "Tidak perlu, semuanya ada di situ."
Hugh tak peduli. Ia berjongkok dan menghitung satu per satu semuanya ada,
?lengkap. Hatinya serasa lepas dari beban yang amat berat.
Si inspektur segera mengambil semuanya dan menyerahkannya kepada salah satu anak
buahnya. "Jika Anda bersedia ikut Polisi Neville ke kantor polisi sekarang, Anda
akan diberi bukti tanda terima," Dia menawarkan pada Augusta.
'Tidak perlu, serahkan saja nanti ke bank," jawab Augusta ketus. "Aku boleh
pergi sekarang?" Hugh jadi bertanya-tanya. Wanita itu tampak sama sekali tidak kecewa dengan
disitanya seluruh kotak bawaannya. Mengapa" Apakah ada sesuatu yang lebih
penting daripada harta itu" Dan di mana Micky Miranda sekarang"
Si inspektur mengangguk sopan, mempersilakan wanita di depannya pergi.
"Terima kasih sekali, Inspektur," ujar Hugh. "Anda telah menyelamatkan uang
orang banyak, dan izinkan saya ikut prihatin karena Anda belum juga bisa
menangkap Micky Miranda."
"Kami akan menangkap pembunuh itu, Sir. Dia tidak akan bisa naik kapal AZTEC
tanpa lewat kami dulu, kecuali dia bisa terbang."
Seorang petugas kereta datang mendekat dengan membawa sebuah kursi roda terlipat
di tangannya. Ia berhenti di depan si inspektur dan bertanya, "Sekarang aku
harus berbuat apa dengan kursi roda ini?"
"Ya, ada masalah apa?" tanya si inspektur heran.
"Wanita dengan topi berbulu burung dan koper-koper besar tadi."
"Lady Whitehaven, ya... mengapa?"
"Dia tadi naik kereta dengan seorang pria tua yang sakit dan memakai kursi roda
ini. Lalu dia minta aku meletakkan kursi ini di gerbong barang. Setelah tiba di
sini, dia menyangkal pernah menyerahkan barang ini padaku, padahal aku yakin
benar, hanya ada satu wanita memakai topi bulu burung seperti dia."
Hugh menyokong pendapatnya, "Ya, dia tidak salah. Tadi saya lihat Lady
Whitehaven satu gerbong dengan seorang pria tua berkursi roda."
"Nah. benar kan, apa kataku," ujar si petugas kereta antusias.
Si inspektur tiba-tiba tampak gelisah, lalu berpaling
629 ke Hugh, "Anda melihat pria tua tadi lewat pintu keluar ini?"
"Tidak, sudah saya teliti satu per satu. Augusta yang terakhir keluar." Tiba-
tiba ia bagai disambar petir, "Oh, Tuhan. Apakah mungkin Micky Miranda menyamar
sebagai orang tua?" "Ya, bisa saja," jawab si inspektur. "Pertanyaannya sekarang, di mana dia
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berada" Apakah dia turun di stasiun sebelumnya?"
"Tidak mungkin,. Sir," jawab si petugas kereta mantap. "Ini jenis kereta
ekspres, langsung dari Waterloo fe Southampton."
"Kalau begitu, kita harus segera mencarinya di dalam kereta itu. Dia pasti masih
sembunyi di sana." Tapi percuma. Micky Miranda tidak ada di dalam kereta.
[V] KAPAL AZTEC dihias aneka lampion dan gulungan kertas beraneka warna. Pesta Natal
sedang diselenggarakan para penumpang dan para pengantar. Busana aneka ragam dan
sampanye berlimpah ruah. Seorang petugas kapal mengantar Augusta ke dek paling atas, kabin terbaik di
kapal. Augusta telah membayar kamar khusus itu dengan semua sisa uang kontan
yang ia miliki. Ia berani melakukan itu karena harapannya terletak pada kotak-
kotak tembakau milik mendiang suaminya. Kamar Augusta terletak tepat di depan
dek. Di dalam sudah tersedia sebotol sampanye dingin dan sekotak cokelat. Juga
bunga segar dalam vas di meja. Hampir saja Augusta minta si pelayan kapal
membawa pergi botol sampanyenya, tapi segera mengurungkan
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY niatnya. Ia memutuskan tidak akan membatasi dirinya lagi dalam minum, karena ia
sudah menjadi manusia bebas.
Sesaat kemudian ia mendengar suara yang memberi tanda kapal akan berangkat.
"Semua penumpang yang masih di darat, segera naik ke kapal. Kapal akan segera
diberangkatkan." Ketika portir selesai menata semua kopernya di dalam kamar,
Augusta menarik napas panjang. Kekhawatirannya sirna. Ia dan Micky sekarang
aman. Untuk memastikan tidak ada polisi yang mengikuti mereka, Augusta keluar ke
kabin, memeriksa keadaan. Di kabin, menyandar ke pagar dek, ia menyaksikan para
pengantar berdiri menyaksikan lepasnya kapal dari tepi dok pelabuhan
Southampton. Dengan lega ia kembali ke kabinnya dan menutup pintu kamar. Perlahan-lahan ia
membuka pakaiannya, lalu memakai pakaian tidur sutra dan pasangan mantel
luarnya. Setelah itu, ia memanggil pelayan kabin dan memberitahukan untuk tidak
diganggu sampai esok hari.
"Apakah Anda perlu dibangunkan besok pagi?"
"Tidak perlu, akan kubunyikan bel kalau aku perlu apa-apa."
"Baiklah." Augusta mengunci pintu kamar kabinnya.
Lalu dengan perlahan-lahan ia membuka koper besarnya dan membantu Micky keluar
dari dalamnya. Micky keluar dengan terhuyung-huyung, lalu mengempaskan tubuh di tempat tidur.
"Sialan, aku hampir mati di dalam koper ini," umpatnya.
"Oh, sayangku, di mana yang kaurasakan sakit?" tanya Augusta mesra.
"Lututku, kakiku," erang Micky. Augusta mengelus dan memijatnya. Merasakan kulit
pria di depannya ini membuat gairah Augusta bangkit. Sudah lama sekali ia tidak
menyentuh langsung tubuh seorang pria.
Ia sering memimpikan kejadian ini, melarikan diri
dengan Micky Miranda, baik sebelum maupun setelah kematian Joseph. Dulu ia
selalu menghapus mimpinya karena tak mau membuang semua kewewahan yang
dimilikinya. Sekarang tidak ada lagi yang ia khawatirkan, karena dirinya sudah
menjadi orang bebas. Bebas melakukan apa saja yang ia kehendaki. "Air," pinta
Micky lemah. Ia menuangkan air ke gelas di samping meja. Dengan lahap Micky meneguknya
sekaligus. "Lagi... Micky?"
Micky menggelengkan kepala.
Ia mengambil gelas dari tangan Micky.
"Kau kehilangan kotak-kotak itu?" tanya Micky. "Aku dengar semuanya dari dalam
koper. Si Hugh sialan itu."
"Ya, tapi bukankah kau punya banyak uang di bank?" jawab Augusta. "Mari kita
minum sampanye untuk merayakan lolosnya kita dari Inggris."
Micky diam, menatap dada wanita di depannya. Augusta melihatnya. Ia ingin Micky
menyentuhnya. Ia hampir saja mengundang Micky melakukannya, tapi segera
membatalkan niatnya. Malam masih panjang dan masih ada lagi malam-malam seperti
ini kelak. Tiba-tiba ia merasa malu dan bersalah, tapi juga tak sabar lagi ingin
memeluk tubuh Micky, dan kerinduan ini lebih kuat daripada rasa malunya. Ia
duduk di tepi ranjang dan menarik tangan Micky ke bibirnya. Menciumnya, lalu
menekannya ke dadanya. Micky memandangi Augusta dengan tatapan aneh, lalu tangannya membelai dada
Augusta, mula-mula dengan lembut. Augusta mendesah. Kemudian Micky meremas
dadanya, makin keras dan makin keras, begitu menyakitkan hingga Augusta
berteriak dan menarik diri.
"Kau, perempuan tua tak tahu diri," ejek Micky sinis.
632 "Tidak! Apa katamu" Oh, tidak!" %"Kaupikir aku benar-benar mau kawin denganmu?"
"Ya." "Kau sekarang tidak punya uang lagi, tak punya pengaruh apa-apa. Apa yang bisa
kuharapkan darimu?" Augusta merasa dadanya sakit bagai tertusuk belati. "Katamu kau mencintaku."
"Huh, yang benar saja, kau sudah lima puluh delapan, pantas jadi ibuku! Kau
egois, licik, dan jahat. Bahkan seandainya aku terdampar sendirian di pulau, aku
tak sudi bercinta denganmu!"
Augusta terenyak lemas. Air mata menetes dari kelopak matanya. Ia hancur sudah!
Tak punya uang, tak punya rumah, tak punya siapa-siapa lagi! Laki-laki yang
dicintainya mengkhianatinya. Ia berbalik ingin menyembunyikan tangisnya.
"Kumohon hentikan itu," bisiknya.
"Ya, pasti," kata Micky ketus. "Aku sudah punya kabin di kapal ini dan ke
sanalah aku akan pergi."
'Tapi kalau kita tiba di Kordoba?"
"Kau tak akan pergi ke Kordoba. Setibanya kapal ini di Lisabon, kau bisa turun
dan pulang kembali ke Inggris. Aku tidak membutuhkanmu lagi."
Setiap kata bagai sebuah tamparan ke muka, ke hati, dan harga dirinya. Ia
mengangkat kedua tangannya ke depan wajah, seolah untuk menangkis sumpah serapah
itu. Dinginnya udara luar membuat hatinya tenang. Kepalanya terasa jernih, benaknya
kembali berputar memikirkan segalanya. Ia sadar tadi ia bertindak seperti
seorang gadis remaja, bukan wanita yang matang dan cerdas. Ia malu. Ia harus
segera menata hidupnya kembali. Dan sekaranglah waktunya.
Seorang pria berbusana malam lewat, memandang Augusta yang bergaun tidur dengan
pandangan ingin tahu. Tiba-tiba Augusta mendapat sebuah gagasan.
Ia kembali ke kamar dan dengan cepat menutup pintunya. Micky sedang merapikan
dasi di depan kaca. "Ada yang datang, cepat sembunyi," bisik Augusta cemas.
"Polisi!" Wajah Micky memucat. Panik dan takut. "Oh, Tuhan!" bisiknya..
Augusta berpikir cepat. "Kita masih berada di perairan Inggris," bisiknya.
"Kalau tertangkap, kau akan diserahkan ke patroli laut dan dikirim kembali ke
London." Ia tak yakin ancamannya itu benar atau tidak.
"Aku perlu sembunyi dulu." Tanpa diminta, Micky masuk kembali ke dalam koper
besar milik Augusta. "Tolong tutup," pintanya ketakutan.
Dengan senang hati Augusta menutup dan menguncinya sekaligus.
"Nah, sekarang kau aman."
Augusta duduk di tepi ranjang, menatap ke arah koper besar di dekat kakinya.
Benaknya berputar keras, memikirkan sebab dan akibat rencananya. Sesaat tadi ia
telah terhanyut dan Micky telah melukainya. Selama ini hanya dua pria yang
pernah memegang dan meremas dadanya: Strang dan Joseph. Lalu baru saja ia
membiarkan Micky memegang dadanya, dan kemudian laki-laki itu melontarkan sumpah
serapah keji padanya. Rasa marah yang amat sangat membara di hatinya, berubah
menjadi dendam. Suara Micky terdengar dari dalam koper, "Augusta, apa yang terjadi?"
Ia tidak menjawab. Terdengar teriakan minta tolong dari dalam koper. Ia segera mengambil selimut
tebal di ranjang dan menutupi koper di kakinya. Suara teriakan pria di dalam
koper terdengar melemah. Lalu berhenti. Dengan tenang Augusta melepas label namanya dari koper.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Ia mendengar pintu-pintu kabin berulang kali dibuka dan ditutup oleh para
penumpang yang akan ke ruang makan. Kapal pelan-pelan mulai masuk ke laut lepas
di Selat Inggris. Malam mulai datang.
Antara tengah malam sampai jam dua pagi, beberapa kali terdengar pintu kabin
dibuka. Sayup-sayup terdengar suara musik pengantar dansa. Lalu menjelang jam
tiga pagi, hanya suara mesin kapal dan deru ombak laut. Tak terdengar ada
seorang pun di kabin. Augusta bangkit dari tepi ranjang. Kedua matanya nyalang menatap koper besar di
lantai. Dengan sigap ia mulai menarik tali koper yang melintang dari bagian
bawah ke bagian atas. Koper itu terbalik, bagian bawah menghadap ke atas;
bunyinya keras sekali. Sayup-sayup terdengar suara teriakan dari dalam koper.
Augusta menunggu sebentar, kalau-kalau ada yang datang untuk menyelidiki bunyi
berdebam tadi. Ternyata tidak ada. Micky berhenti berteriak. Augusta kembali
menarik koper. Berat sekali, tapi ia berhasil menggesernya sedikit demi sedikit.
Setiap satu tarikan, ia beristirahat. Sepuluh menit kemudian, ia berhasil
menyeret koper itu ke pintu kabin. Ia mengenakan stocking, sepatu bot, dan
mantel bulunya, lalu membuka pintu.
Sepi, tak kelihatan satu orang pun. Malam masih gelap. Hanya ada sinar temaram
lampu dek kapal. Ia menarik kopernya keluar dari kabin.
Menarik koper di lantai dek terasa lebih ringan. Lantainya licin karena salju.
Sepuluh menit kemudian ia sudah sampai di pagar pembatas badan kapal.
Bagian selanjutnya lebih sukar. Dengan susah payah ia berusaha menegakkan koper
agar bersandar ke pagar pembatas. Karena berat, ia gagal. Suara koper menimpa
dek terdengar sangat keras, tapi lagi-lagi tak ada yang datang menyelidiki.
Sayup-sayup terdengar suara mesin kapal dan deru ombak di samudra lepas.
Pada percobaan kedua, ia berusaha lebih keras. Dengan
635 bertumpu pada satu lutut, ia memegang tali koper dengan dua tangan, lalu
menariknya perlahan-lahan. Ketika koper itu miring empat puluh lima derajat,
Micky bergerak di dalam, beratnya pindah ke sebelah bawah koper, hingga lebih
mudah bagi Augusta untuk menegakkannya.
Akhirnya koper itu tersandar juga di pagar kapal.
Tibalah bagian yang paling sulit. Ia membungkuk dan mencengkeram tali sebelah
bawah. Setelah menarik napas panjang, ia mengangkat.
Karena ujung atas koper tersandar di pagar, tidak terlalu berat sebenarnya
mengangkat benda itu. Tapi ia tetap harus mengerahkan tenaga. Sekonyong-konyong
jemarinya yang dingin terpeleset dan pegangannya lepas.
Ia takkan bisa mengangkat koper ini.
Ia beristirahat sejenak, merasa kehabisan tenaga. Tapi ia tak mau menyerah.
Mesti dicoba lagi. Ia membungkuk dan menggenggam tali itu kembali.
Terdengar suara Micky bertanya, "Augusta, apa yang kaulakukan?"
Dengan suara dingin ia menjawab, "Ingat bagaimana Peter Middleton mati?"
Sunyi. Tak ada jawaban dari dalam koper.
"Kau akan mati dengan cara yang sama," bisiknya lagi.
"Jangan, Augusta, kumohon. Aku sangat mencintai dirimu."
"Air laut akan terasa dingin dan asin, lalu pelan-pelan menyusup ke dalam koper,
memenuhi paru-parumu. Kau akan menggelepar menahan napas, dan merasakan
ketakutan yang sama saat bayangan kematian mulai menyelimutimu."
Terdengar suara teriakan putus asa dari dalam koper, "Tolong! Tolong! Tolong
selamatkan aku!" Augusta mencengkeram tali koper dan mengangkat sekuat tenaga. Bagian bawah koper
terangkat dari dek. Di dalam koper, Micky sadar apa yang akan dilakukan
636 . Augusta. Ia berteriak makin keras; suaranya mengatasi deru mesin dan laut. Tak
lama lagi pasti ada yang datang. Augusta mengangkat lagi koper itu hingga
sebatas dada, lalu berhenti kelelahan, rasanya tak sanggup lagi meneruskan. Dari
dalam koper terdengar suara menggaruk-garuk putus asa. Augusta memejamkan mata
dan mengenakkan gigi, lalu mendorong. Sementara ia mengerahkan tenaga, terasa
ada sendi yang lepas di punggungnya dan ia berteriak kesakitan, tapi terus
mengangkat. Bagian bawah koper sudah lebih tinggi dari bagian atasnya, dan benda
itu meluncur maju di pagar kapal beberapa senti, tapi kemudian terhenti.
Punggung Augusta sangat sakit. Ia hanya sanggup mendorong satu kali lagi. Mesti
berhasil. Ia mengenakkan gigi, memejamkan mata, dan mendorong.
Dengan cepat tubuh koper terjun ke kegelapan laut.
Masih sempat terdengar teriakan Micky, hanya sebentar, lalu tenggelam ditelan
deru ombak dan angin. Augusta terenyak di pagar kapal, menyaksikan koper itu menghantam permukaan air
laut, lalu tenggelam ke dalam air.
Sesaat kemudian koper itu muncul kembali ke atas. Akan mengapung sesaat, pikir
Augusta puas. Rasa sakit di punggungnya tak tertahankan lagi, tapi ia menikmati
bagaimana koper itu terapung timbul-tenggelam, terseret ombak dan terlempar
maju-mundur, dan akhirnya hilang dari pandangan.
Tiba-tiba ia mendengar suara pria di belakangnya. "Sepertinya tadi ada yang
berteriak minta tolong," katanya dengan nada khawatir.
Augusta cepat-cepat mengendalikan diri, lalu membalikkan badan. Di depannya
berdiri seorang pria muda yang sopan, mengenakan mantel kamar sutra dengan syal
di leher. "Oh, itu suaraku tadi," jawab Augusta sambil tersenyum. "Mimpi buruk
lagi. Aku keluar kamar untuk menghirup udara segar."
637 "Anda yakin tidak ada apa-apa?" "Ya, pasti, terima kasih atas perhatian^ Anda.
Aku tidak apa-apa." "Kalau begitu, selamat malam."
"Selamat malam."
Pria itu kembali ke kabinnya.
Augusta belum mau kembali ke kamarnya. Ia ingin menatap laut di bawah sana lebih
lama. Terbayang olehnya air laut perlahan-lahan masuk melalui celah-celah koper
itu, memenuhinya. Makin banyak dan makin banyak, sementara di dala'mnya Micky
meronta-ronta, berusaha untuk keluar. Ketika air laut mencapai hidung dan
mulutnya, ia akan berusaha menahan napas selama mungkin. Tapi pada akhirnya ia
tidak akan tahan. Air laut yang dingin akan masuk ke mulutnya, mengalir dan
memenuhi paru-parunya. Ia akan menggeliat-geliat dan meronta beberapa saat,
tercekam rasa sakit dan ketakutan. Kemudian gerakannya makin lemah dan makin,
lemah, lalu berhenti. Segalanya menjadi gelap dan ia akan mati.
[VI] MALAM hari, Hugh merasa lelah lahir batin ketika tiba di stasiun Chingford.
Walau sangat ingin cepat-cepat tiba di rumah dan tidur, melupakan segalanya, ia
masih merasa wajib berhenti sebentar di tempat Tonio ditembak mati. Di dekat
jembatan kereta ia berhenti, mengangkat topi, menunduk sebentar, lalu bergegas
pulang ke rumah. Di jalan setapak ke rumahnya, ia memikirkan bagaimana kira-kira reaksi
Kementerian Luar Negeri atas tindakan Micky, dan bagaimana kebijakan mereka pada
638 Kordoba. Sejauh ini ia belum mengontak polisi, baru pihak Scotland Yard. Tanpa
menunggu tertangkapnya Micky, ia bisa menekankan bahwa dirinya adalah saksi mata
atas kejahatan diplomat Kordoba ini. Masyarakat pasti akan geger mengetahui
seorang diplomat asing berani membunuh di siang hari, di depan saksi mata. Ini
berarti dengan pongah sekali ia telah menantang bahkan meremehkan kesadaran
masyarakat Inggris. Hugh membayangkan reaksi kaum oposisi di Parlemen, juga
reaksi surat kabar. Jangan harap Papa Miranda akan memperoleh pengakuan! Jika
memang begitu, tak lama lagi kaum pemberontak itu akan ditumpas dan diganti
dengan pemerintah baru. Lalu para investor Inggris yang telah membeli obligasi
pelabuhan Santamaria akan diberi penggantian.
Makin dipikirkan kemungkinan ini, makin optimis ia akan hasilnya.
Ia berharap Nora sudah tidur sewaktu ia tiba di rumah. Ia tidak mau mendengarkan
keluh kesah istrinya tentang pekerjaan sehari-hari, soal mengasuh ketiga anak
nakal, dan tetek bengek lainnya. Ia ingin tidur dan melupakan kejadian tragis
hari ini*Besok ia akan memikirkan apa yang harus ia lakukan.
Dari kejauhan ia melihat masih ada sinar lampu di rumahnya. Ia kecewa. Ini
berarti Nora masih menunggunya. Dengan gundah ia memasukkan kunci rumah dan
membuka pintu depan. Ia heran melihat ketiga anaknya, semuanya dalam pakaian tidur, sedang duduk
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersama di sofa, melihat buku cerita bergambar.
Dan lebih heran lagi ketika melihat siapa yang duduk di tengah mereka,
membacakan ceritanya. Maisie!
Melihat sang ayah datang, ketiga anak itu lari menyongsong dengan gembira. Ia
memeluk dan mencium mereka satu per satu. Sol, si bungsu; lalu Samuel; lalu si
sulung, Toby. Si bungsu dan kakaknya tampak gem-
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY bira, hanya si sulung yang tampak cemas. "Ada apa. Bung?" tanyanya menggoda.
"Ada sesuatu" Di mana ibu kalian?"
"Dia pergi belanja," jawab Toby, lalu menangis. Hugh merangkul Toby dan melihat
ke arah Maisie. "Aku tiba di sini sekitar jam empat sore," kata, Maisie. "Nora
mungkin sudah pergi tak lama setelah kau." "Dia meninggalkan anak-anak sendirian
di rumah?" Maisie mengangguk.
Hugh menjadi berang. Begitu teganya Nora meninggalkan ketiga darah dagingnya di
rumah sendirian. Bagaimana kalau terjadi sesuatu atas diri mereka" "Kenapa dia
sampai hati?" tanyanya pahit.
"Dia meninggalkan surat." Maisie menyerahkan sebuah amplop.
Hugh membuka dan membaca isinya: SELAMAT TINGGAL.
Komentar Maisie, "Amplopnya tidak disegel. Toby membacanya dan memberikan
padaku." "Sungguh sukar dipercaya," kata Hugh tanpa emosi; Nora selalu meletakkan
kepentingan dirinya di atas kepentingan semua orang; hanya kali ini ia begitu
tega menelantarkan ketiga anaknya sendiri. Ia pasti kembali ke rumah ayahnya,
pikir Hugh. Dan ia tahu Nora tak akan kembali lagi ke rumah ini.
Ia tak perlu memikirkan apa yang harus ia lakukan. Tugas dan kewajibannya adalah
kepada ketiga anaknya. Jangan sampai mereka jadi merasa lebih kecewa lagi. Untuk
sementara, ia harus mengesampingkan kesedihannya sendiri. "Baiklah, anak-anak,
sekarang sudah waktunya tidur," katanya.
Ia mengantar mereka ke lantai atas. Samuel dan Sol tidur di satu kamar, dan Toby
mempunyai kamar sendiri. Setelah memastikan kedua anaknya berselimut dan berdoa
malam, ia pergi ke kamar Toby, mencium dahi anaknya.
"Mrs. Greenbourne baik sekali," komentar Toby tiba-tiba
"Ya, aku tahu. Dia menikah dengan sahabat Papa yang paling baik, Solly. Lalu dia
meninggal." "Dia juga cantik."
"O ya" Menurutmu begitu?"
"Ya. Apakah Mama akan kembali ke sini?"
Pertanyaan yang paling ditakuti Hugh. "Ya, pasti dia akan kembali."
"Benar, Papa?" Hugh mendesah. "Terus terang, aku sendiri tidak yakin."
"Jika dia tidak pulang, apakah Mrs. Greenbourne bersedia menjaga kita semua?"
Pertanyaan ini begitu terus terang. Hugh tak mau menjawab. Ia mengalihkan
pertanyaan Toby, "Dia repot, mengelola sebuah rumah sakit. Banyak sekali pasien
yang harus dia perhatikan. Papa rasa dia tidak punya waktu lagi untuk merawat
kalian. Sekarang tidur, jangan bertanya lagi. Selamat malam."
Toby tampak masih belum puas, tapi setelah diam sesaat, keluar ucapannya,
"Selamat malam juga, Papa."
Hugh meniup lilin dan keluar dari kamar sambil menutup pintunya.
Maisie telah membuat minuman cokelat panas. "Aku yakin kau lebih senang
kubuatkan brendi, tapi kulihat tak ada minuman keras setetes pun di rumah ini."
Hugh tersenyum, "Kami orang kelas bawah tak mampu beli minuman keras. Cokelat
lebih enak." Cangkir dan teko berisi cokelat itu tetap tak tersentuh. Mereka berdua hanya
berdiri berdekatan. Maisie yang membuka kata lebih dulu, "Aku membaca tentang
pembunuhan itu di koran. Aku khawatir ada apa-apa dengan dirimu, jadi aku ke
sini dan menemukan anak-anak ditinggal sendirian. Aku mengajak mereka
membersihkan rumah, lalu makan malam bersama. Dan menunggu
641 kedatanganmu." Ia mengakhiri keterangannya dengan senyum pasrah, menunggu
jawaban dan tindakan Hugh selanjutnya.
Hugh diam, lalu tiba-tiba ia mulai gemetaran. Ia bersandar ke kursi. "Hari ini
aku mengalami segala peristiwa yang sangat menegangkan saraf. Semuanya membuatku
lemas lunglai." "Ya, kulihat kau butuh istirahat."
"Oh, Maisie...." Tiba-tiba Hugh ingin membagi se-* muanya dengan wanita yang ia
cintai ini. "Peluklah aku," pintanya.
Maisie memeluk erat Hugh.
"Aku cinta padamu Maisie, selalu cinta padamu," bisik Hugh pelan.
"Aku tahu," jawab Maisie.
Hugh menatap kedua mata Maisie. Air matanya yang mulai menggenang akhirnya
menetes, membasahi pipinya. Hugh mencium butir demi butir.
"Akhirnya... setelah bertahun-tahun ini," bisik Hugh.
"Bercintalah denganku malam ini," hanya itu jawaban Maisie.
Hugh mengangguk. "Dan setiap malam... setiap malam setelah malam ini."
Lalu mereka saling berciuman.
EPILOG 1892 M...................................................................................................................>
di-scan dan di-djvu-kan untuk dimhader (dimhad.co.cc) oleh
OBI Dilarang meng-komersil-kan atau kesialan menimpa anda selamanya \ *
Berita dari The Times: TELAH MENINGGAL DUNIA Pada tanggal 30 Mei, di rumahnya di Antibes, Prancis,
setelah sakit berkepanjangan, EARL OF WHITEHAVEN, mantan mitra senior Pilasters
Bank. "Edward meninggal," kata Hugh setelah membaca halaman dukacita.
Maisie duduk di sebelahnya dalam gerbong kereta api, memakai gaun musim panas
warna kuning bertitik-titik merah dan topi kecil kuning berpita renda. Mereka
sedang menuju Windfield untuk menghadiri acara wisuda.
"Dia benar-benar pria tak berguna, tapi ibunya akan sangat kehilangan dia,"
komentar Maisie. Augusta dan Edward tinggal bersama di selatan Prancis selama delapan belas bulan
belakangan ini. Kendati telah banyak menyusahkan sindikat bank, mereka tetap
mendapat tunjangan bulanan seperti para anggota keluarga lainnya. Mereka
melewatkan hidup bersama-sama di kursi roda: Edward sakit sipilis stadium akhir,
dan Augusta retak tulang pinggulnya. Kendati cacat, ia masih aktif menjadi
perantara perjodohan, juru damai perselisihan, pengatur pesta-pesta, dan penentu
tata krama pergaulan. "Edward sangat mencintai ibunya," kata Hugh.
Maisie memandang Hugh dengan heran, "Kenapa kau berkata begitu?"
"Karena hanya itu sifat baiknya, tidak kulihat ada yang lain."
Maisie tersenyum dan mencium ujung hidung Hugh.
Kereta api berhenti di stasiun Windfield dan mereka berdua turun. Hari ini
Bertie diwisuda dan Toby naik kelas. Cuaca di luar hangat, sinar matahari terang
benderang. Maisie membuka payung kecil yang serasi dengan busananya. Keduanya
berjalan ke Windfield School.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Windfield School telah berubah sejak dua puluh enam tahun yang lalu, ketika Hugh
terpaksa meninggalkan tempat itu. Kepala sekolahnya yang lama, Dr. Poleson,
telah lama meninggal. Di sudut sekolah didirikan patungnya. Kepala sekolah yang
baru selalu berjalan dengan memegang tongkat rotan penghukum murid nakal yang
terkenal itu, tapi ia jarang sekali menggunakannya. Bangunan nomor empat yang
dipakai sebagai asrama anak-anak masih terletak di dekat kapel kecil yang
terbuat dari batu, dan di depan kapel sekarang sudah dibangun sebuah aula luas
untuk acara-acara resmi. Materi pendidikannya juga lebih baik: Toby dan Bertie
belajar matematika dan ilmu bumi, juga bahasa Latin serta-Yunani.
Hugh dan Maisie bertemu Bertie yang sudah menanti di depan pintu gerbang
sekolah. Ia sudah lebih tinggi daripada Hugh. Sikapnya pendiam, sopan, dan rajin
sekali. Tidak seperti Hugh, ia tak pernah dihukum karena nakal. Perilakunya
lebih menyerupai seorang keturunan Rabinowicz, irialah mirip dengan kakak
Maisie, Dan Robinson. Ia mencium pipi ibunya dan menjabat tangan Hugh. "Ada sedikit kesalahan,"
katanya. "Kami kekurangan lembar cetakan nyanyian sekolah, dan sekarang anak-
anak kelas empat sedang menyalin dengan tulisan tangan. Aku harus mengontrol
mereka agar selesai tepat pada waktunya. Akan kutemui kalian setelah aku selesai
berpidato nanti." Ia bergegas kembali ke sekolah. Hugh memandangnya dengan penuh
kasih sayang, sambil mengenang betapa penting rasanya bersekolah pada masanya
dulu, sampai saat ia terpaksa keluar.
Mereka lalu bertemu Tobby. Murid-murid kelas satu dan dua sekarang tidak
diharuskan memakai jas dengan topi tinggi pada acara resmi sekolah; Toby memakai
jaket dan celana seragam sekolah. "Menurut Bertie, aku boleh menemani kalian
minum teh di kamarnya nanti setelah pidato, tentunya kalau kalian izinkan.
Boleh, kan?" "Ya, tentu," jawab Hugh sambil tersenyum geli.
"Trims, Papa." Toby lari kembali ke teman-temannya.
Di aula sekolah, mereka terkejut karena bertemu Ben Greenbourne. Ia tampak tua
dan kurus. Maisie, seperti biasanya selalu terus terang, langsung bertanya,
"Halo, apa yang Anda lakukan di sini?"
"Hari ini cucuku diwisuda, dan dia akan menyampaikan pidato," jawab Ben dengan
nada bangga. Hugh terpana. Bertie bukan cucu Ben Greenbourne, dan orang tua ini juga tahu.
Apakah dia jadi lembut dalam usia tuanya"
"Ayo, kau duduk dekatku," perintah Greenbourne. Hugh melihat ke Maisie. Istrinya
angkat bahu sebagai tanda tidak keberatan.
"Kudengar kalian sudah menikah," komentar Greenbourne.
"Ya, bulan lalu," jawab Hugh. "Istri pertamaku tidak menolak permohonan
ceraiku." Nora sekarang hidup bersama seorang wiraniaga wiski. Untuk membuktikan
penyelewengan mereka berdua, Hugh menyewa seorang detektif swasta. Hanya perlu
waktu seminggu untuk menangkap basah perselingkuhan mereka.
"Aku tidak pernah setuju dengan perceraian," tukas Greenbourne pendek. Lalu ia
menghela napas. "Tapi aku sekarang sudah terlalu tua dan kuno untuk memberi
nasihat pada generasi muda macam kalian. Abad ini sebentar lagi usai. Masa depan
terletak di tangan kalian."
Hugh meremas tangan Maisie.
Greenbourne bertanya pada Maisie, "Apa kau akan mengirim anak itu ke
universitas?" "Aku tidak sanggup membayar," jawab Maisie terus terang. "Untuk membayar biaya
sekolahnya di sini saja sudah sangat mahal."
"Aku akan senang jika kalian izinkan aku yang membiayai kuliahnya."
Maisie kaget dan terpana. "Anda sangat baik."
647 "Seharusnya sejak dulu aku sudah bersikap baik pada kalian," jawab Greenbourne.
"Dulu kuanggap kau wanita pemburu harta. Itu salah satu kesalahanku. Tapi
melihat kau mau menikah dengan Hugh Pilaster yang sedang jatuh miskin, aku tahu
aku keliru tentang dirimu."
"Anda tidak pernah melakukan hal yang merugikan diri kami."
"Tapi aku terlalu keras, itu sama saja. Aku tidak punya banyak penyesalan dalam
hidupku. Tapi sikapku pada kalian merupakan salah satu dari penyesalanku yang
tidak banyak itu. Kusadari itu sekarang."
Murid-murid mulai berdatangan memenuhi aula. Mu- -rid yang lebih muda kelasnya
duduk di lantai, di barisan paling-depan, dan yang lebih tinggi tingkatannya
duduk di kursi di barisan tengah.
Maisie berkata pada Greenbourne, "Hugh sekarang sudah mengadopsi Bertie secara
sah." Ben Greenbourne menatap Hugh dengan tajam dan berkata tegas, "Kukira kau memang
ayah kandung anak itu!"
Hugh mengangguk. "Aku seharusnya sudah menduga ini sejak dulu. Tapi itu tidak penting lagi saat
ini. Anak itu tetap mengira aku kakeknya, karena itu aku harus bertanggung jawab
atas pendidikannya." Ia terbatuk-batuk karena jengah, lalu mengubah topik
pembicaraan, "Kudengar sindikat akan membayar dividen."
"Benar," jawab Hugh. Ia memang akhirnya berhasil menjual semua aset keluarga
Pilaster dengan harga pantas, dan sindikat para bankir yang telah menyelamatkan
para nasabah Pilasters Bank berhasil memperoleh laba memadai. "Seluruh anggota
sindikat memperoleh lima persen atas investasi mereka "
"Kerja yang bagus," puji Greenbourne tulus. "Dulu
terus terang aku ragu kau mampu mengelola sindikat
itu." "Yang paling berjasa sebenarnya pemerintahan baru Kordoba. Mereka menyerahkan
seluruh aset keluarga Miranda ke perusahaan pelabuhan Santamaria. Dan ini
menaikkan nilai obligasi kami lagi."
"Lalu, apa yang terjadi pada si Miranda itu?"
"Micky" Mayatnya ditemukan di dalam sebuah koper besar yang terdampar di Isle of
Wight. Tak seorang pun tahu bagaimana dia bisa berada di dalam koper itu." Hugh
mengikuti terus berita itu, sampai yang berwajib berhasil melakukan identifikasi
resmi atas mayat Micky; identifikasi ini penting, karena dengan begitu Rachel
sekarang bisa menikah secara sah dengan Dan Robinson.
Seorang murid mengedarkan selebaran berisi nyanyian Windfield School yang
ditulis tangan. "Dan kau sendiri?" tanya Greenbourne pada Hugh. "Apa rencanamu setelah semua
urusan sindikat ini selesai?"
"Aku ingin minta nasihat Anda tentang hal ini, " jawab Hugh. "Terus terang aku
akan mendirikan bank baru."
"Bagaimana?" "Dengan menjual sahamnya di bursa. Pilasters Limited. Bagaimana menrut Anda?"
"Hmmm, gagasan bagus. Kau memang selalu punya gagasan baru dan asli."
Greenbourne tampak berpikir-pikir. "Kau tahu, jatuhnya Pilasters Bank malah
akhirnya menaikkan reputasimu sebagai bankir andal dan terper-caya. Masyarakat
melihat caramu menangani kasus ini. Mereka akan beranggapan, kalau dalam
menangani bank bangkrut saja kau sudah bisa diandalkan dan dipercaya, apalagi
kalau kau menangani bank milikmu sendiri!"
"Jadi, menurut Anda rencanaku ini akan berhasil?"
"Ya. Aku mungkin akan ikut menjadi pemegang sahamnya." f
Hugh mengangguk lega. Sangat penting untuk mendapat kepercayaan tokoh keuangan
paling dihormati 649 seperti Ben Greenbourne. Hugh memang yakin idenya ini akan berjalan, apalagi
sekarang ditambah dengan restu Greenbourne!
Seluruh hadirin berdiri ketika kepala sekolah memasuki ruangan aula, diikuti
oleh para guru, tamu kehormatan anggota Partai Liberal di Parlemen dan Bertie,? ?wakil wisudawan. Setelah semua duduk kembali, Bertie naik ke mimbar dan memberi
aba-aba dengan suara nyaring, "Mari kita nyanyikan bersama-sama nyanyian sekolah
kita." Hugh melirik ke Maisie dan mereka berdua tertawa bangga. Intro lagu dimulai
dengan dengung piano. Satu jam kemudian, Hugh meninggalkan mereka di kamar Bertie. Ia keluar melewati
lapangan squash, menuju Bishop's Wood.
Cuaca makin panas, persis seperti dua puluh enam tahun yang lalu. Hutan itu
tampak tak berubah, masih lembap dan beraroma pohon-pohon elm. Ia masih ingat
jalan menuju ke kolam maut itu dan bisa menemukannya dengan mudah.
Ia tidak menuruni bukit terjal di atas kolam ia sudah terlalu tua untuk itu. Ia?hanya duduk di tepi tebing dan melempari tepi kolam dengan batu kecil. Batu itu
memecah air yang tenang. Hanya dia dan Albert Cammel di Cape Town sana yang masih hidup. Semua temannya
yang berenang di kolam ketika itu telah mati: Peter Middleton, tewas pada hari
itu; Tonio ditembak oleh Micky dua tahun yang lalu; Micky sendiri mati terdampar
di tepi pantai; dan 'sekarang Edward mati karena sakit sipilis dan dimakamkan di
Prancis. Seakan-akan ada kuasa jahat yang muncul dari dasar danau itu pada tahun
1866, memunculkan sisi gelap diri mereka dan meracuni kehidupan mereka dengan
keserakahan, nafsu, kekejaman, penipuan, kebangkrutan, penyakit mematikan, dan
pem-650 bunuhan. Tapi sekarang semuanya sudah berlalu. Utang-utang telah dibayar lunas.
Kuasa jahat itu sudah terkubur kembali di dasar danau. Dan Hugh berhasil
melawannya. Hugh berdiri. Sudah waktunya kembali ke keluarganya. Ia menengok sekali lagi
sebelum meninggalkan danau itu.
Lingkaran di permukaan air sudah sirna, tinggal pantulan sinar matahari
membentuk aneka warna indah menggoda di lapisan atas air danau. Semuanya tampak
tenang dan damai.
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di-scan dan di-djvu-kan untuk dimhader (dimhad.co.cc) oleh
OBI Dilarang meng-komersil-kan atau
651 di scan dan di djvu kari untuk dimhader (dimhad.cc>"cc) oleh
OBI Dilarang men g-komersil- kan atau kesialan menimpa anda selamanya
Tentang Pengarang Ken Follett lahir pada tanggal 5 Juni 1949 di Cardiff, Wales. Ayahnya seorang
penilik pajak. Setelah lulus dari University College, London, dengan gelar
kehormatan dalam filsafat, Follett menjadi reporter South Wales Echo di kota
kelahirannya, lalu pindah ke London Evening News. Sambil bekerja, ia menulis
novel pertamanya yang ternyata cukup berhasil. Kemudian ia pindah bekerja pada
Everest Books, perusahaan penerbitan kecil di London, dan menjadi Deputy
Managing Director. Ken Follett tinggal di Chelsea, London, di sebuah rumah berusia dua ratus tahun
yang menghadap ke Sungai Thames, bersama istrinya, Barbara. Follett menyukai
karya-karya Shakespeare; ia juga senang bermain musik, dan menjadi pemetik bass
guitar di sebuah band beraliran blues. Follett juga terlibat aktif dalam dunia
politik dan pernah menulis pamflet tentang ketidakadilan dalam hukum
keimigrasian Inggris. Istrinya adalah kandidat parlemen.
Bestseller internasional Follett yang pertama adalah Eye of the Needle yang
muncul pada tahun 1978, memenangkan Edgar Award dan difilmkan dengan bintang
Kate Nelligan dan Donald Sutherland. Sebelumnya, Follett pernah menulis sepuluh
buku lain dengan nama samaran. Menyusul kesuksesan Eye of the Needle adalah
novel-novel Triple, The Key to Rebecca, The Man from St. Petersburg, dan Lie
Down with Lions. Pada tahun 1989, Follett yang selama itu dikenal sebagai master of espionage
thrillers, mengejutkan para pembacanya dengan memilih tema yang jauh berbeda
untuk novel berikutnya, The Pillars of the Earth, yang berkisah tentang
pembangunan sebuah katedral pada Abad Pertengahan, lalu menyusul Night Over
Water^ novel tentang Perang Dunia Kedua. Kemudian A Dangerous Fortune, tentang
kejatuhan sebuah keluarga bankir terkenal* pada era Victoria.
Follett menghabiskan waktu antara enam bulan sampai setahun untuk membuat
kerangka setiap novelnya. Ia memulai dengan menulis beberapa paragraf, lalu
menambahkan materi karangan setiap hari. Setelah membuat sekitar 100-200 versi,
barulah terbentuk sinopsis akhir yang panjangnya kurang-lebih 40 halaman.
Menurut Follett, yang terpenting dalam karya fiksi populer adalah alur cerita
yang menarik, sehingga pembaca menikmatinya sekaligus dibuat penasaran. "Bukan
berarti tokoh cerita tidak penting, tapi itu nomor dua," kata Follett. Baginya,
yang paling sulit adalah menulis konsep pertama. "Semua materi di kerangka
cerita mesti dibayangkan, lalu dituangkan dalam bahasa yang hidup, supaya
pembaca bisa ikut membayangkan dan menikmatinya. Itu yang sulit," katanya.
Tapi para pembaca dan kritikus sependapat bahwa karya-karya Follett memang
memikat. Dalam setiap bab novelnya ada saja plot yang membuat orang terus
penasaran untuk membaca hingga akhir cerita. Itulah kehebatan Follett.
Ya, catat nama saya sebagai anggota GRAMEDIA BOOK CLUB dan kirimi saya informasi
setiap kali ada buku baru karya pengarang favorit saya yang terbit.
Terlampir prangko balasan Rp. 600,-
Pna/wanira* Jabatan: Pelajar/nuhasiswaAaryawanMira^tawan/ibn rnmah tangga* Alamat : - .___?Kode Pos: _
* Coret yang tidak perlu Tandai pengarang yang Anda pilih
( ) John Grisham ( ) Sidney Sheldon ( )Alistair Maclean ( )JackHiggins ( ) Frederick Forsyth ( ) Michael Crichton ( ) Sir Arthur Conan Doyle
( ) Allan Folsom ( ) Erich Segal ( ) Irving Wallace ( ) Stephen King Telp:__ (A Dangerous Fortune ) ( ) Barbara Taylor Bradford
( ) Amy Tan ( ) Pearl S Buck ( ) Jackie Collins ( ) Joan Collins ( ) Agatha Cristie ( ) Louisa May Alcott ( ) Danielle Steel ( ) Ching Yun Bezine ( ) Mary Higgins Clark ( ) Ken Follett PTGramedia Pustaka Utama Bagian Promosi JL Palmerah Selatan 24-26, Lt. 6 Jakarta
10270 Pembantai Cantik 2 Siluman Ular Putih 01 Misteri Bayi Ular Hina Kelana 28
"Kalau begitu, aku akan pergi menemui Ben Greenbourne agar membujuk Perdana
Menteri demi kepentingan para investor Inggris untuk segera mengakui pemerintah
yang sah di Kordoba. Kau segera melicinkan prosedurnya di Kementerian Luar
Negeri. Bagaimana dengan pihak Oposisi di Parlemen" Hmm, aku bisa minta tolong
Dan Robinson untuk mendukung rencana ini. Sejak awal dia sudah mendukung rencana
sindikat menyelamatkan uang para nasabah Pilasters Bank. Rencana ini pasti
berhasil. Ya, kita harus segera bertindak."
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Ya, kita harus bertindak cepat," jawab Tonio antusias.
"Kita pergi ke London sekarang juga. Ben Greenbourne pasti ada di rumah
pedesaannya. Akan kutelepon dia dari Bank. Sedangkan Dan tinggal dengan Maisie
di selatan London." Ia berdiri dan berkata, "Aku pamitan dulu dengan Nora."
Nora belum selesai berdandan, sedang mematut-matut topi di depan kaca. "Maaf,
Nora, aku harus ke London sekarang juga," pamit Hugh sambil memakai kemeja serta
memasang dasi. "Lalu siapa yang akan menjaga anak-anak?" tanya Nora ketus.
"Kau, tolong kali ini saja."
"Tidak sudi!" lengking Nora. "Aku akan pergi belanja."
"Maaf, Nora, kumohon, masalah ini penting sekali." "Aku juga penting!"
"Tentu kau juga penting, tapi aku harus bicara dengan Ben Greenbourne hari ini
juga." "Dengar, aku sudah muak dengan semua ini," tiba-tiba Nora berkata dengan dingin,
tanpa emosi. "Muak dengan rumah, dengan lingkungan, dengan anak-anak, dan
terutama muak denganmu!" Ia berhenti sebentar, matanya menyorotkan kebencian.
"Bahkan ayahku bisa hidup lebih layak daripada kita." Ayah Nora membuka bar
dengan pinjaman dari Pilasters Bank. Usahanya maju. "Mestinya aku bekerja di bar
ayahku saja, lebih enak daripada hidup macam gelandangan begini!"
Hugh tak percaya dengan apa yang didengarnya. Tiba-tiba ia sadar bahwa
perkawinannya tak akan bisa dipertahankan lebih lama lagi. Untuk terakhir kali
ia masih mencoba membujuk Nora. "Nora, kumohon kau tinggal kali ini saja dan
menjaga anak-anak kita." Tanpa menunggu jawaban dan tanpa menengok lagi ia
meninggalkan istrinya, keluar dari kamar.
Tonio sedang menunggu di dekat pintu. Gelisah dan
602 mondar-mandir di ruangan sempit. Hugh mencium anak-anaknya dan memakai topinya,
lalu keluar bersama Tonio. Katanya, "Ada kereta api ke London, sebentar lagi
berangkat." Sambil memakai mantel, ia berjalan cepat menyusuri jalan setapak di depan rumah.
Salju turun dengan deras, membentuk lapisan tebal di jalanan kompleks. Rumah
Hugh modelnya sama dengan sekitar dua puluhan rumah dalam kompleks. "Kita akan
bicara dulu dengan Dan Robinson, lalu dengan Ben Greenbourne sambil meyakinkan
dia bahwa pihak Oposisi sudah memberikan dukungan. Dengar!"
"Apa?" "Suara kereta kita. Sebaiknya kita bergegas ke stasiun."
Mereka mempercepat langkah. Untungnya letak stasiun dekat dengan rumah. Kereta
api mulai terlihat dari jauh, sedang melewati jembatan sungai.
Seorang pria terlihat berdiri di tiang stasiun, menghadap ke jurusan datanganya
kereta api. Ketika Hugh dan Tonio melewati pria itu, Hugh segera mengenali siapa
dia: Micky Miranda! Dan ia membawa sepucuk pistol di tangannya.
Setelahnya, segala sesuatunya terjadi dengan sangat cepat.
Hugh menjerit keras. Percuma. Suaranya tertelan oleh lengking peluit kerata dan
deru mesin lokomotifnya. Micky mengarahkan pistolnya ke Tonio dan menembak,
Tonio terhuyung-huyung, lalu jatuh ke tanah dingin bersalju. Lalu Micky
mengarahkan pistolnya ke dada Hugh. Bertepatan dengan itu, lokomotif kereta
sudah berada di sisi Micky. Uap dan asapnya membuat kedua orang itu buta sesaat.
Uap kereta sangat tebal, menutupi pandangan mereka. Secara refleks Hugh
merebahkan diri ke salju dan berguling menjauh. Sayup-sayup ia mendengar letusan
pistol dua kali tapi tidak merasakan
apa-apa. Ia bangkit berdiri, diselimuti asap tebal lokomotif campur kabut pagi.
Ketika asap dan kabut pelan-pelan menghilang, Hugh melihat tubuh seorang pria di
depannya. Dengan cekatan ia menubruk orang itu. Micky jatuh, pistolnya terlempar
dari tangan, mendarat di tengah rel. Hugh menerkamnya.
Mereka bergelut, sekaligus berusaha berdiri untuk mendapatkan posisi terbaik
agar bisa menendang lawan. Micky yang berhasil berdiri dulu, berusaha memukul
Hugh dengan tongkat miliknya. Hugh menyergapnya lagi dan menjatuhkannya, tapi
Micky berhasil mempertahankan tongkatnya. Sementara Micky berusaha berdiri, Hugh
menyerangnya. Tapi Hugh dua puluh tahun tidak pernah melayangkan tinjunya lagi,
jadi pukulannya meleset. Micky memukul kepalanya dengan tongkat. Sakit sekali.
Micky memukulnya lagi. Hugh menjadi mata gelap. Ia berteriak marah, menyerbu ke
arah Micky, dan menghajar wajahnya. Mereka berdua terhuyung-huyung dan terengah-
engah. Tiba-tiba terdengar suara peluit kondektur, menandakan kereta akan berangkat ke
London. Micky tertegun sejenak. Hugh segera menduga musuhnya merencanakan lari
dengan kereta itu. Tepat sekali. Micky segera membalikkan badan, berlari menuju
stasiun. Hugh mengejar di belakangnya.
Micky bukan pelari yang gesit. Kehidupan malam telah merusak stamina dan kondisi
fisiknya; sama saja dengan Hugh yang sepanjang kariernya selalu duduk di
belakang meja. Keduanya terengah-engah menarik napas. Ketika keduanya menerobos
masuk ke peron, seorang petugas stasiun berseru, "Hei, mana karcis kalian?"
Hugh menjawab dengan berteriak parau, 'Tangkap pembunuh itu!"
Terlambat. Micky sudah menggapai ujung kerangka gerbong akhir kereta. Hugh belum
mau menyerah. Terus mengejar, diikuti oleh si petugas stasiun di belakangnya.
604 Kereta mulai berangkat. Dengan putus asa Hugh mencoba merenggut kaki Micky.
Berhasil, tapi kemudian cengkeramannya lepas. Ia jatuh, disusul oleh tubuh
petugas stasiun yang menimpa bagian belakang tubuh Hugh.
Ketika Hugh berhasil bangun, dari jauh ia melihat Micky sedang membuka pintu
belakang gerbong kereta dan melangkah masuk dengan tenang.
Si petugas stasiun juga berhasil bangun. Sambil menyeka wajahnya yang kena
salju, ia bertanya, "Ada apa ini sebenarnya?"
Hugh terduduk di peron, napasnya masih berat. Terlalu lemah untuk menjawab.
Akhirnya ia menjawab juga. "Seorang pria baru saja ditembak." Dengan menunjuk ke
arah tubuh Tonio, ia berdiri dan menggamit lengan si petugas menuju lokasi
kejahatan. Dekat jembatan kereta di atas sungai.
Hugh berlutut di dekat jenazah sahabatnya. Wajah Tonio hancur karena peluru
pistol yang kena tepat di antara kedua matanya. "Oh, Tuhan!" komentar si petugas
dengan kaget. Hugh, sambil menelan ludah, mencoba memeriksa denyut jantung
sobatnya. Tangannya meraba di balik jas. Tak ada tanda-tanda kehidupan sedikit
pun. Ia teringat ketika Tonio riang bermain perang air dengannya di tengah
danau, dua puluh empat tahun yang lalu, di Bishop's Wood. Tak terasa air matanya
menetes. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Duduk di samping jenazah sobatnya, Hugh mencoba menganalisis tragedi pagi ini.
Jelas Micky tahu kedatangan Tonio di London. Mata-matanya di Kementerian Luar
Negeri pasti sudah membisikkan bahwa Tonio telah menyerahkan surat kuasa sebagai
duta besar pengganti Micky. Ini berarti hari-harinya sebagai duta besar Kordoba
tinggal satu atau paling lama dua hari. Merasa putus asa, ia merencanakan
membunuh Tonio. Jika berhasil, Presiden Garcia tidak akan punya wakil untuk
memperjuangkan kepentingannya di Inggris. Micky jadi bebas mewakili Papa, tetap
sebagai duta besar Kordoba.
Merasa ketakutan, ia mencoba mencari jejak Tonio. Mungkin ia mengupah seseorang
untuk mengikuti jejak Tonio atau ia diberitahu oleh Augusta. Yang jelas, ia tahu
Tonio pergi ke rumah Hugh di kawasan Chingford.
Untuk menyusul ke rumah Hugh pasti berbahaya. Terlalu banyak saksi mata. Maka,
dengan keyakinan bahwa ke mana pun Tonio pergi ia pasti kembali ke London dengan
kereta api, Micky menunggu di stasiun dengan sabar.
Micky selalu bertindak nekat jika sudah terdesak. Dan ia nyaris berhasil. Selain
harus membunuh Tonio, ia juga mesti menyingkirkan Hugh. Kalau semuanya berjalan
lancar, tak seorang pun akan mengetahui perbuatannya. Kawasan Chingford tidak
punya telegram atau telepon, dan sarana transportasi tercepat adalah kereta api,
jadi ia bisa kembali ke London sebelum "peristiwa itu dilaporkan. Salah satu
staf setianya sudah siap dengan alibi kepada pihak berwajib.
Tapi rencana tinggal rencana. Tuhan menetapkan lain. Hugh selamat dan menjadi
saksi hidup. Dan secara teknis, Micky bukan lagi diplomat yang kebal hukum.
Ia bisa digantung karena perbuatannya.
Hugh juga tahu soal ini. Dengan tegas ia berkata, "Kita harus segera melaporkan
pembunuhan brutal ini ke pihak berwajib!"
"Ya, benar," komentar si petugas stasiun. "Ada pos polisi di Walthamstow,
beberapa ratus meter dari sini."
"Kapan ada kereta lagi?"
Si petugas mengambil jam saku ukuran besar dan menjawab, "Empat puluh tujuh
menit lagi." "Kita harus segera bertindak. Anda ke polisi dan aku ke London, melaporkan ke?Scotland yard."
"Wah, aku tidak bisa. Tidak ada petugas lain di stasiun. Ini kan malam Natal."
"Aku yakin-atasan Anda akan mengerti jika Anda bertindak sebagai pelayan
masyarakat." 606 "Ya, Anda benar. Terima kasih telah mengingatkan akan tugas mulia ini."
"Sekarang kita pindahkan dulu tubuh temanku ini. Ada tempat di stasiun?" ,
"Hanya di ruang tunggu."
"Oke, kita letakkan dulu di sana. Tolong bantu aku mengangkat kakinya." Mereka
berdua mengangkat mayat Tonio Silva ke ruang tunggu stasiun.
Mereka membaringkannya di bangku. Sambil menunggu kedatangan kereta, dan karena
tidak ada yang harus dikerjakan, Hugh hanya mondar-mandir di dekat jenazah
Tonio. Si petugas sebentar memandang jenazah, sebentar memandang Hugh yang
sedang memegang-megang belakang kepalanya yang sakit terkena pukulan tongkat
Micky. [II] MICKY pergi menyelamatkan diri. Nasib baik mulai meninggalkan dirinya. Selama
dua puluh lima tahun ini ia sudah mencabut empat nyawa, dan yang terakhir ini,
ada saksi mata hidup. Hugh Pilaster. Saksi mata yang menyaksikan bagaimana ia
menembak kepala Tonio Silva di pagi cerah. Ia harus segera meninggalkan Inggris,
kalau tidak mau mati di tiang gantungan.
Sekarang ia menjadi buronan. Dicari pihak berwajib di seluruh penjuru London
yang sudah menjadi tempat tinggalnya selama seperempat abad. Di Stasiun
Liverpool ia bergegas sambil menghindari polisi. Napasnya sesak dan jantungnya
berdebar. Cepat-cepat ia naik ke sebuah kereta sewaan.
Ia langsung menuju Gold Coast & Mexico Steamship Company, agen pelayaran Eropa-
Amerika Latin. 607 Tempat itu penuh sesak dengan orang-orang Amerika Latin. Ada yang mau membeli
tiket kapal ke Kordoba, ada yang mau menjemput sanak saudara, ada juga yang
hanya mau menanyakan kabar. Dengan susah payah akhirnya ia bisa juga sampai di
depan loket tiket. Pakaiannya yang mahal dan rapi menarik perhatian penjual
tiket. "Aku akan beli tiket kapal ke Kordoba, malam ini juga"
"Tak ada kapal ke sana, ada perang," tukas si penjual.
"Tapi kalian kan tidak menghentikan semua kapal?" tanya Micky sinis.
"Kami jual tiket ke Lima, Peru. Kapalnya akan berangkat ke Palma kalau situasi
politik sudah aman. Keputusan pergi ke sana akan dilakukan di Lima nanti."
Tidak apa, Lima juga oke. Yang penting ia bisa keluar dari Inggris secepatnya.
"Kapan berangkatnya?"
"Empat minggu lagi."
Jantungnya serasa berhenti. "Wah, terlalu lama. Aku perlu pergi secepatnya."
"Ada kapal dari Southampton malam ini, jika Anda benar-benar tergesa-gesa harus
pergi." Terima kasih, Tuhan! Nasib baiknya ternyata belum lenyap sama sekali. "Baik, aku
beli kelas terbaik yang masih ada."
"Baik. Boleh kucatat nama Anda?"
"Miranda." "Maaf, siapa?" Orang Inggris tuli jika sudah menyangkut nama asing. Micky segera mengganti
nama, "Andrews, M.R. Andrews." Baru saja terlintas di benaknya kalau dia memakai
nama asli, pasti Scotland Yard akan mudah melacaknya degan memeriksa daftar nama
penumpang kereta api dan kapal. Sekarang mereka tidak akan pernah menemukan
namanya. Dan ia juga bersyukur karena peraturan imigrasi di Inggris yang begitu
bebas: tidak perlu paspor untuk masuk atau keluar dari negara itu.
608 Dengan geram ia menunggu si penjual menulis tiketnya. Setelah selesai membayar,
ia gergegas meninggalkan loket. Ia tahu wajahnya akan segera terpampang di
seluruh pelabuhan dan stasiun kereta. Karena itu, ia sangat membutuhkan
penyamaran. Sambil mendesak kerumunan orang, ia terus berpikir keras.
Di luar, salju makin menebal. Ia menyewa kereta kuda dan memerintahkan kusir
pergi ke .arah Kedutaan Kordoba. Semenit kemudian ia membatalkan arah tujuannya.
Terlalu besar risikonya pergi ke sana; siapa tahu sudah ada polisi yang menungu.
Polisi akan mencari seseorang yang berpakaian rapi dan mahal, bepergian sendiri.
Untuk mengelabui mereka, ia perlu menyamar sebagai orang tua di kursi roda dan
seseorang lain membantu mendorongnya. Tapi siapa" yang pasti bukan salah satu
staf kedutaan. Ia bukan duta besar lagi sekarang.
Edward jawaban satu-satunya.
"Pergi ke Hill Street," perintahnya pada kusir kereta.
Edward masih di rumah kecil sewaannya di Mayfair. Ia belum pindah, karena sewa
rumah telah dibayarnya selama tiga bulan di muka.
Ia makin tergantung saja pada Micky. Ia tak peduli ulah Micky yang telah
menghancurkan bank keluarganya yang telah terbina selama tiga generasi. Semenjak
kejatuhan banknya, hanya dia yang masih sering bertemu Micky.
Edward membukakan pintu dalam mantel kamar sutra yang kotor. Ia mengajak Micky
ke kamarnya, ke dekat perapian. Di meja terlihat gelas dan botol wiski. Jam
sebelas pagi ia sudah menenggak minuman keras! Dan wajahnya makin parah,
memerah, dan penuh bercak-bercak. Micky jadi ragu memilihnya sebagai pendamping
di kapal. Tapi tak ada waktu lagi untuk mencari orang lain, putus Micky cepat.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Aku akan pergi meninggalkan Inggris," kata Micky.
Edward menjawab dengan memohon, "Oh, bawa aku denganmu," lalu ia menangis
seperti anak kecil. "Kenapa kau?" tanya Micky heran campur sebal.
"Aku akan mati. Mari kita pergi ke suatu tempat yang sepi dan menunggu
kematianku." "Kau tidak akan mati, tolol! Kau hanya kena sakit kulit."
"Tidak, ini bukan sakit kulit. Ini sipilis!" Micky sangat terkejut. "Oh, Tuhan...
aku mungkin kena juga."
"Bisa saja, kita terlalu sering pergi ke tempat Nellie."
"Tapi April sudah menjamin bahwa gadis-gadisnya bersih semua."
"Tak ada pelacur yang bersih!"
Micky jadi berpikir keras. Ia harus segera menemui dokter untuk memeriksakan
diri selengkapnya. Di London tak mungkin, karena ia bisa tertangkap polisi.
Nanti saja setelah tiba di Lisabon, tempat transit kapalnya. Ia mungkin tidak
kena sipilis, karena selama ini ia selalu menjaga kebersihan dirinya. Tidak
seperti Edward yang jarang mandi.
Tapi sekarang siapa yang bisa menolongnya" Edward jelas tak bisa, malah akan
menjadi beban baginya. Hanya satu pilihan tersisa: Augusta
Sebenarnya Edward lebih penurut daripada Augusta yang sangat independen dalam
bertindak. Tapi kalau bukan Augusta, siapa lagi"
Ia bangkit dari kursi. "Jangan tinggalkan aku," pinta Edward mengemis.
Tak ada waktu untuk rasa kasihan. "Aku tidak bisa membawa orang yang hampir mati
seperti kau," bentaknya.
Edward tersinggung. "Kalau kau tidak mau, aku akan..." "Apa?"
610 "Akan kukatakan kepada polisi bahwa kau sudah membunuh Peter Middleton, Paman
Seth, dan Solly Greenbourne." ^
Augusta pasti sudah memberitahu Edward tentang Seth. Micky terdiam sesaat,
mencoba menganalisis posisinya dan ancaman Edward. Jika dia sudah tahu, kenapa
menunggu begitu lama untuk memberitahu aku" Persetan dengan dia! Sosok Edward
tampak memuakkan di matanya. Heran, kenapa aku bisa tahan terus-menerus
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersamanya selama ini, pikirnya. Sekonyong-konyong ia menyadari, betapa senang
rasanya bisa terbebas dari makhluk satu ini. "Hmmm," jawabnya sinis. "Silakan
saja kauadukan itu. Aku baru saja membunuh seorang lagi. Tonio Silva... jadi tak
ada bedanya. Toh mereka juga sudah mencari-cariku saat ini." Ia segera keluar
rumah tanpa menoleh lagi.
Di luar rumah, ia mencari kereta sewaan. "Ke Kensington Gore," perintahnya ke
kusir. "Rumah Whitehaven." Edward sialan! Dengan khawatir ia mencoba mengingat-
ingat selama ini: adakah tanda-tanda aneh di alat vitalnya" Ada gatal-gatal di
kulit tubuhnya" Rasanya tidak ada. Tapi ia harus tetap memeriksakan diri ke
dokter. Ia juga khawatir dengan Augusta. Apakah wanita itu masih mau menerimanya setelah
kejadian penipuan obligasi itu" Apakah Augusta masih mau menolongnya" Ia tahu
perempuan itu selalu bernafsu terhadap dirinya, dan kali ini ia akan memenuhinya
demi keselamatan nyawanya. Sekarang ia tidak bergairah lagi terhadap Augusta,
tapi rasanya Augusta justru semakin bergairah pada dirinya. Mudah-mudahan
begitu, sebab ia akan mengajak Augusta lari bersamanya.
Pintu rumah Augusta dibukakan oleh seorang pelayan wanita yang kotor. Melewati
koridor dalam, Micky melihat betapa tak terawatnya istana ini. Jelas Augusta
sedang dalam kesulitan besar. Bagus. Jika begitu keadaannya, ia akan makin mudah
dimanipulasi. 611 Ketika menemui Micky, Augusta masih tampak rapi, mengenakan gaun sutra ungu
berlengan susun. Roknya lebar dan berpinggang sempit. Masih menarik, pikir
Micky, meski usianya sudah lima puluh delapan tahun. Tapi sayang, ia tidak lagi
tertarik pada wanita ini. Namun demi nyawanya, ia harus berpura-pura.
Augusta tidak menyalam atau menyapa, tapi langsung bertanya, "Kenapa kau masih
ke sini" Kau sudah mencelakakan kami semua."
"Aku sama sekali tidak bermaksud begitu."
"Kau sebelumnya pasti sudah tahu rencana pemberontakan ayahmu."
"Ya, tapi tidak kusangka obligasi itu akan tak ada nilainya hanya karena perang.
Kau juga, kan?" Augusta jadi ragu. Sebenarnya ia sendiri juga tak menyangka begitu.
Celah kecil telah terbuka dengan perlahan tapi pasti. Dengan cepat Micky berkata
lagi. "Aku tentu tidak akan tega melakukan itu padamu jika sebelumnya akan tahu
akan jadi begini." Tapi Augusta menyanggah. "Kau sudah membujuk Edward untuk menipu para mitra
lainnya soal pertanggungan itu, sampai dua juta pound."
"Kukira bank tidak akan jatuh hanya karena sejumlah itu. Benar. Kukira kalian
sangat kaya." "Ya, aku juga menyangka begitu," jawab Augusta pelan. Kepalanya dipalingkan ke
arah jendela. Micky tahu ia mulai menang. "Sudahlah, ini sudah tidak relevan lagi. Aku akan
pamitan. Malam ini aku meninggalkan Inggris dan mungkin tidak akan kembali lagi
ke sini." "Mengapa?" tanya Augusta cemas. Pancaran matanya mengandung ketakutan.
Tak ada waktu lagi untuk mengarang cerita bohong. "Aku baru saja menembak mati
seseorang," kata Micky.
"Siapa?" tanya Augusta ngeri.
"Antonio Silva."
Augusta kaget sedikit, lalu bertanya penuh gairah. "Tonio" Kenapa dia?"
"Dia merupakan ancaman bagiku. Aku sudah membeli tiket kapal malam ini,
berangkat melalui Southampton "
"Begitu cepat?"
"Tak ada pilihan lain."
"Jadi, kau datang berpamitan padaku?"
"Tidak." Ia menatap Micky. Benarkah matanya menyorotkan harapan" Micky ragu-ragu, lalu
nekat. "Aku ingin kau ikut denganku," katanya.
Augusta terbelalak, kaget campur senang. Ia mundur selangkah.
Micky memegang dan meremas kedua tangan Augusta. "Sudah sejak dulu aku ingin
mengatakan ini. Semula aku masih ragu, tapi karena akan meninggalkan negeri ini
selamanya, aku perlu mengungkapkan isi hatiku sejujurnya padamu. Aku cinta
padamu, Augusta." Sambil berbicara, ia memperhatikan wajah wanita di depannya, seperti seorang
pelaut yang sedang menganalisis permukaan air. Untuk sesaat Augusta berupaya
menunjukkan wajah terkejut, tapi hanya sebentar. Di wajahnya tersungging senyum
nakal, lalu disusul pipi yang memerah malu bagai anak gadis yang baru pertama
kali dicium; akhirnya wajahnya tampak penuh pertimbangan, mereka-reka untung
rugi menerima pernyataan pria di depannya.
Micky tahu Augusta masih belum mengambil keputusan.
Ia melakukan perannya sekali lagi. Tangannya meraih pinggang Augusta, menariknya
mendekat. Tak ada perlawanan, tapi ia tahu wanita ini belum memutuskan.
Ketika wajah mereka bertemu dan dada Augusta sudah menyentuh kerah bajunya, ia
berbisik, "Aku tidak
akan bisa hidup tenang tanpa kau di sampingku, Augusta
sayang." Ia merasa wanita itu gemetar oleh sentuhannya. Dengan suara serak si wanita
berkata, "Aku sudah tua, lebih pantas menjadi ibumu."
Ia berbisik ke telinga Augusta, menciumi wajahnya sambil berbisik mesra, "Tidak,
bagiku kau tak pernah tua. Aku sudah lama mendambakanmu. Aku selalu merindukan
saat-saat begini. Sekarang..." Ia memindahkan tangannya dari pinggang ke dada
Augusta, lalu berbisik lagi, "Sekarang bahkan tanganku sendiri tak bisa ku-
kendalikan lagi. Augusta..." Ia diam.
"Apa?" tanyanya.
Ia hampir berhasil, tapi belum seluruhnya. Ia harus memainkan kartu terakhirnya.
"Sekarang aku bukan lagi duta besar, jadi aku bisa menceraikan Rachel."
"Apa maksudmu?"
Ia berbisik ke telinga Augusta, "Maukah kau menikah denganku?" "Ya, mau."
Ia mencium penuh kedua bibir Augusta.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY APRIL TILSLEY datang bergegas ke kantor Maisie di rumah sakit khusus wanita.
Pakaiannya mencolok, ditambah mantel bulu rubah. Ia melambaikan surat kabar yang
dibawanya. "Kau sudah dengar atau baca ini?" tanyanya.
Maisie berdiri. "April! Ada apa?"
"Micky Miranda menembak mati Tonio Silva!"
Maisie kenal siapa Micky, tapi nama Tonio membuat -
614 nya berpikir keras. Akhirnya ia ingat, Tonio salah satu teman Hugh dan Solly. Ia
gila judi dan dulu April pernah berpacaran sebentar dengannya, tapi segera
pindah ke pria lain karena Tonio selalu kehabisan uang. "Micky menembak dia?"
tanyanya heran. "Dia mati?"
"Ya. Beritanya di koran siang. Ini."
"Ya, tapi mengapa?"
"Tidak disebutkan kenapa, hanya di sini sikatakan..." April ragu sejenak. "Duduk
dulu, Maisie." "Kenapa" Katakan segera."
"Di sini diberitakan bahwa polisi juga ingin menginterogasi dia Soal kematian
Peter Middleton, Seth Pilaster, dan... Solomon Greenbourne."
Maisie tersentak duduk. "Solly!" tukasnya gemas, dan tiba-tiba matanya
berkunang-kunang. Wajahnya pucat. "Micky membunuh Solly" Oh, Solly yang malang!"
Ia menutup wajahnya. "Maisie, kau perlu minum brendi sedikit," saran April. "Di mana kau
menyimpannya?" "Kami tidak punya minuman keras di sini. Coba kubaca korannya."
April menyerahkan koran itu.
Maisie membaca alinea pertama. Diberitakan bahwa polisi sedang memburu bekas
duta besar Kordoba, Miguel Miranda, untuk menginterogasinya dalam kasus
pembunuhan Antonio Silva.
April berkomentar, 'Tonio yang malang. Dia salah satu pria paling baik yang
pernah bercinta denganku waktu aku masih muda dulu."
Maisie melanjutkan membaca. Polisi juga akan menginterogasinya mengenai kematian
Peter Middleton di Windfield tahun 1866; Seth Pilaster, mitra senior Pilasters
Bank tahun 1873; dan Solomon Greenbourne, yang didorong seseorang ke depan
kereta kuda yang sedang berlari kencang di kawasan Piccadilly pada bulan Juli
1879 615 "Seth Pilaster" Paman Seth, paman Hugh?" tanya Maisie geram. "Kenapa dia
membunuh orang-orang ini?"
April berkata lagi, "Koran tak pernah mengatakan apa yang sebenarnya ingin
diketahui pembaca." Alinea ketiga membuat Masie tertegun lagi. Tonio ditembak di timur laut London,
dekat Walthamstow, desa Chingford. Jantungnya serasa berhenti. "Chingford!"
"Aku tak pernah dengar tempat itu." "Itu tempat tinggal Hugh."
"Hugh Pilaster" Kau masih berhubungan dengan dia?"
"Aku khawatir dia punya kaitan dengan kasus ini. Ini tak mungkin hanya
kebetulan. Oh, Tuhan, apakah dia ikut terluka?"
"Kurasa koran akan menyebutkan kalau dia terluka."
"Tapi ini baru terjadi beberapa jam yang lalu. Koran pasti belum tahu atau belum
sempat mencetak." Ia segera berdiri dan berkata pada April, "Aku harus
memastikan dia tidak apa-apa."
"Bagaimana caranya?"
Maisie mengambil topi dan memasang peniti di bagian luarnya. "Aku akan pergi ke
rumahnya." "Istrinya pasti tak senang melihatmu."
"Istrinya seorang paskudniak."
April tergelak, "Apa itu?"
"Kantong kotoran." Maisie memakai mantelnya.
April ikut berdiri. "Keretaku ada di depan. Akan kuantar kau ke stasiun."
Ketika sudah masuk ke kereta, mereka baru sadar tidak tahu di stasiun mana ada
kereta menuju desa Chingford. Untungnya kusir April yang juga merangkap sebagai
penjaga pintu utama tahu letaknya. Ia lalu mengarahkan keretanya ke stasiun
Liverpool. Sampai di stasiun, Maisie mengucapkan terima kasih kepada sobat lamanya dan
langsung masuk ke dalam. Stasiun itu penuh dengan orang-orang yang berbelanja
616 untuk hari Natal dan hendak pulang ke rumah mereka di pinggiran London. Udara
stasiun terasa pengap oleh asap dan kotoran. Kerumunan manusia yang ribut saling
memberi salam Natal dan berceloteh. Derit gerbong dan rem kereta api menambah
bobot polusi suara. Dengan susah payah Maisie menerobos sana-sini, menyeruak di
antara kerumunan anak-anak, pria dan wanita, kuda dan anjing, dan akhirnya bisa
juga membeli tiket kereta.
Ia harus menunggu lima belas menit sebelum kereta berangkat. Di peron ia sempat
iri menyaksikan sepasang kekasih saling cium mesra.
Kereta berangkat melewati daerah kumuh Bethal Green, kawasan pinggiran kota
Walthamstow, dan pa-dang berselimut salju di Woodford, berhenti setiap beberapa
menit. Bagi Maisie, kendati kecepatannya sudah dua kali kecepatan kereta kuda,
kereta api itu masih terasa sangat lambat. Di benaknya yang ada hanyalah
keselamatan Hugh. Ketika tiba di stasiun Chingford, ia bergegas turun dan langsung disambut oleh
seorang polisi. Ia diminta masuk dulu ke ruang tunggu stasiun. Seorang detektif
sudah menunggu. Rupanya pihak berwajib sedang berusaha mencari saksi mata atas
kejadian pagi ini. Ia mengatakan pada mereka bahwa ia belum pernah datang ke
Chingford. Lalu ia bertanya, "Apakah ada orang lain terluka, selain korban
Antonio Silva?" "Dua orang terluka kecil," jawab si detektif.
"Saya mengkhawatirkan teman yang kenal Mr. Silva. Namanya Hugh Pilaster."
"Mr. Pilaster adalah saksi mata yang bergulat dengan si pembunuh. Dia mendapat
sedikit luka di kepala. Tidak serius, hanya lecet saja."
"Oh, terima kasih, Tuhan," seru Maisie pelan. "Dapatkan Anda memberitahukan
jalan ke rumahnya?" Si detektif memberitahunya. "Mr. Pilaster tadi pagi melaporkan kejadian ini ke
Scotland Yard, dan saya SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY tidak tahu apakah sekarang dia sudah pulang atau belum."
Maisie mempertimbangkan, akan kembali ke London atau terus mencari rumah Hugh,
karena sekarang ia sudah yakin kekasihnya tidak luka berat. Tanpa ke rumah Hugh,
ia tak perlu bertemu Nora. Tapi ia ingin melihat sendiri kondisi kekasihnya, dan
ia tidak takut pada Nora. Bergegas ia menuju ke arah rumah Hugh.
Kawasan Chingford sangat berbeda dengan Kensington, pikir Maisie. Rumah-rumah di
situ kecil dan murah, kebun-kebunnya tak terawat. Hugh pasti bisa menerima dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya ini. Entah kalau Nora. Wanita itu
kawin dengan Hugh karena uangnya, bukan karena cinta.
Sayup-sayup, begitu mendekati rumah, Maisie mendengar tangis anak kecil. Ketika
ia mengetuk, pintu dibukakan oleh anak laki-laki sekitar sebelas tahun. "Kau
pasti Toby, benar kan?" tanya Maisie ramah. "Aku datang ingin menengok ayahmu.
Namaku Mrs. Greenbourne." " - "Ayah sedang tidak ada di rumah," jawab anak itu
sopan. "Kira-kira kapan dia pulang?" "Tidak tahu pasti."
Maisie lemas. Ia jauh-jauh ke sini ingin bertemu Hugh. Dengan kecewa ia berkata,
"Mungkin kau bisa mengatakan pada ayahmu nanti bahwa aku datang ingin tahu
apakah dia baik-baik saja. Katakan aku telah membaca beritanya dari koran siang
ini." "Baik, akan kukatakan pada Ayah."
Tak ada lagi yang perlu dikatakan. Ia bisa segera kembali ke stasiun dan tidak
perlu bertemu Nora. Tapi sesuatu membuat langkahnya berhenti: wajah anak ini tampak ketakutan.
Secara naluriah ia berbalik lagi, "Apakah ibumu ada di rumah?"
"Tidak, tidak ada."
Aneh. Hugh tidak mampu mengupah seorang penjaga
618 anak, tapi anak-anak ini ditinggal sendiri oleh ibunya" Pasti ada yang tidak
beres. Ia bertanya," Bisakah aku bicara dengan siapa saja yang sedang menjaga
kalian saat ini?" Dengan ragu si anak menjawab, "Tidak ada yang menjaga aku dan adik-adikku."
Naluri Maisie tepat. Apa yang terjadi" Bagaimana sampai tiga anak ditinggal
sendirian di rumah" Ia me-i mang tidak mau ikut campur, khawatir Nora akan
tersinggung. Tapi ia tak bisa begitu saja pergi meninggal- kan ketiga anak itu ?sendirian di rumah tanpa ada yang menjaga. "Aku sobat lama ayah kalian... juga ibu
kalian," katanya lembut.
"Ya, aku kenal Anda. Aku lihat Anda di pesta kawin Bibi Dotty " jawab Toby.
"Ah, ya. Hmm... boleh aku masuk?"
Ada pancaran lega di wajah Toby. "Ya, silakan masuk."
Maisie masuk ke dalam rumah. Ia terus menuju ke suara tangis anak kecil itu;
arahnya ke dapur di bagian belakang rumah. Di lantai terlihat seorang anak
berusia empat tahun sedang meraung-raung, dan di kursi dapur ada seorang anak
berusia sekitar enam tahun yang tampaknya juga akan menangis.
Ia mengangkat si kecil dari lantai. Ia tahu nama anak ini Solomon, persis nama
Solly Greenbourne, mendiang suaminya. Panggilannya Sol. "Sst, diamlah," bujuknya
lembut. "Kenapa menangis?"
"Aku mau Mama... mamaku." Isaknya makin keras.
"Ya, ya, tapi diam dulu," hibur Maisie sambil membuai Sol. Ia memperhatikan
sekeliling ruangan. Betul-betul seperti kapal pecah. Tidak ada perapian. Meja
kotor, penuh tumpahan makanan dan susu. Piring dan gelas berantakan. Suhu
ruangan terasa makin dingin. Tampaknya anak-anak kecil ini ditinggal begitu saja
oleh ibunya. 619 "Apa yang terjadi sebenarnya?" tanyanya pada Toby.
"Aku berusaha memberi makan siang untuk adik-adik," kata Toby. "Aku membuatkan
roti dengan ham. Aku juga mencoba menyeduh teh, tapi jariku kena ketel panas,
jadi tumpah semua." Ia berusaha keras untuk tidak menangis, tapi matanya sudah
mulai memerah. "Apakah Anda tahu di mana ayahku sekarang?"
"Tidak, sayang sekali aku tidak tahu," jawab Maisie. Si sulung ini ingin
ayahnya, tapi si bungsu ingin ibunya. Apa yang telah dilakukan Nora" "Di mana
ibu kalian?" Toby tidak menjawab, hanya mengambil amplop kecil terbuka dari rak perapian dan
memberikannya pada Maisie. Di sampul tertulis jelas: HUGH.
"Amplopnya tidak disegel, jadi bisa kubaca," jelas Toby.
Maisie membuka amplopnya dan membaca isinya. Hanya ada satu pesan besar dan
tampaknya ditulis dengan amarah:
SELAMAT TINGGAL
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maisie terkesima. Bagaimana muhgkin seorang ibu yang telah mengandung,
melahirkan dengan taruhan nyawanya, lalu menyusui ketiga anaknya bisa
meninggalkan mereka sendirian seperti ini" Maisie teringat para wanita di rumah
sakitnya di Southwark. Jika saja mereka ditawari rumah dengan tiga kamar seperti
ini, walau kecil dan terpencil di kawasan pedesaan, mereka akan sangat senang.
Ini sudah seperti surga bagi mereka.
"Ayahmu pasti kembali hari ini, mungkin malam," hiburnya sambil berharap
dugaannya benar. Ia lalu bertanya kepada si bungsu, "Tapi kalian pasti tidak mau
dia pulang dan melihat rumah yang berantakan begini, bukan?"
Sol, dengan wajah lucu, menggelengkan kepala. "Kalau begitu, kita semua akan
bekerja sama mencuci 620 piring dan gelas kotor, membersihkan dapur, menyalakan perapian, dan menyiapkan
makan malam. Bagaimana menurutmu, Samuel?"
Samuel mengangguk senang. "Aku senang makan roti panggang mentega," sahutnya.
"Itu yang akan kita siapkan bersama."
Toby masih gelisah. "Menurut Anda, jam berapa Ayah pulang?"
"Aku tidak tahu pasti," jawab Maisie terus terang. Tidak perlu berbohong pada
anak kecil; mereka punya intuisi tajam untuk tahu kapan seseorang berbohong.
"Tapi begini saja. Kalian boleh menunggunya pulang. Bagaimana?"
Si sulung tampak lega. "Ya," katanya.
"Nah, sekarang kita mulai bekerja. Toby, kau yang paling kuat, tolong ambilkan
sekeranjang arang untu perapian. Samuel, aku yakin kau mampu mengerjakan tugas
dengan benar, jadi tolong bersihkan meja ini dengan lap. Dan kau, Sol, kau bisa
mulai menyapu lantai, sebab kau paling kecil, sehingga paling dekat dengan
lantai. Ayo, anak-anak, mulai bekerja."
[IV] HUGH sangat terkesan dengan cara kerja Scotland Yard dalam menangani laporannya.
Kasus pembunuhan Tonio Silva ditangani oleh detektif berpangkat inspektur,
Magridge, yang berwajah tajam, sebaya dengan Hugh. Ia cerdas dan teliti, tipe
khas seorang hamba hukum yang pantas menjadi kepala staf administrasi bank.
Hanya dalam sejam ia telah menyebarkan gambaran diri Micky Miranda di seluruh
penjuru strategis: pelabuhan, stasiun kereta api.
Atas saran Hugh, ia juga telah mengirim seorang sersan detektif untuk menanyai
Edward Pilaster. Tak lama kemudian sersan itu datang dan melapor bahwa menurut
Edward, Micky berusaha melarikan diri ke luar negeri.
Edward juga bersaksi bahwa Micky bertanggung jawab atas kematian Peter
Middleton, Seth Pilaster, dan Solomon Greenbourne. Hugh ikut terpana sewaktu
mendengar nama Paman Seth. Mengenai Peter dan Solly, ia memang sudah menduga
bahwa Mickylah yang membunuh mereka.
Si sersan detektif segera dikirim ke rumah Augusta di Whitehaven House. Tanpa
uang, dia tak akan mampu tinggal di sana terus, pikir Hugh; kendati selama ini
ia selalu melarang calon pembeli melihat-lihat rumah dan isinya.
Seorang petugas polisi juga dikirim ke agen perkapalan London, dan kembali
dengan melaporkan bahwa seorang pria yang mengaku bernama M.R. Andrews cocok
dengan gambaran Micky. Menurut petugas loket, pria ini membeli tiket kapal AZTEC
yang akan berangkat dari Southampton malam ini. Polisi di Southampton segera
ditelepon agar siap siaga, baik di dermaga ke-berangkatan maupun di stasiun
kereta api. Detektif yang dikirim ke rumah Augusta kembali dengan laporan bahwa tak ada satu
orang pun membukakan pintu rumah.
Hugh berkata, "Aku punya kunci rumah itu."
"Dia mungkin sedang keluar," kata Magridge. Aku akan menugaskan sersanku
memeriksa Kedutaan Kordoba. Bagaimana kalau Anda membantu dengan mengecek rumah
Whitehaven?" Senang karena bisa membantu, Hugh menerima tugas itu. Ia bergegas menyewa kereta
kuda menuju rumah Whitehaven di kawasan Kensington Gore. Ia memencet bel pintu
dan mengetuk; tak ada jawaban. Jelas tak ada
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY pelayan lagi di rumah ini, pikir Hugh. Ia lalu mengeluarkan kunci rumah dan
membuka pintu utamanya. Suasana di dalam rumah dingin sekali. Jelas tak ada penghuninya. Augusta tak
mungkin bersembunyi; itu bukan tipenya. Tapi Hugh memutuskan untuk memeriksa
seisi rumah. Siapa tahu. Lantai dasar kosong. Ia naik ke lantai satu dan
memeriksa kamar tidur Augusta.
Pemandangan dalam kamar membuatnya terpana. Pintu lemari pakaian terbuka lebar,
laci lemari juga terbuka, dan beberapa pakaian tersebar terhampar di mana-mana.
Jelas ini bukan tipe Augusta yang terkenal sangat rapi dan selalu teratur.
Mulanya ia mengira ada perampokan, lalu pemikiran kedua membuatnya bergegas
keluar kamar. Ia lari ke lantai tempat kamar-kamar para pelayan. Ketika ia tinggal di lantai
ini, tujuh belas tahun yang lalu, ia ingat bahwa salah satu kamar itu dipakai
sebagai tempat penyimpanan koper dan tas pakaian.
Ia masuk ke dalam kamar koper; kedua pintunya terbuka lebar. Ia mencari koper-
koper besar yang biasa dipakai untuk bepergian ke luar negeri. Benar, tak ada
sama sekali. Rupanya Augusta telah melarikan diri.
Bergegas ia memeriksa kamar-kamar lain. Seperti telah diduga, semua kosong.
Aroma kamar pelayan dan kamar tamu sudah berbau apak, tanda lama tak dipakai.
Ketika masuk ke kamar almarhum Paman Joseph, ia kaget karena dekorasinya tidak
berubah sama sekali, padahal ruangan dan kamar lainnya telah didekor ulang
beberapa kali. Ia berbalik hendak keluar, tapi sesuatu membuatnya berhenti:
lemari pajang tempat menyimpan koleksi kotak tembakau milik Joseph.
Lemari itu kosong, tak ada isinya!
Hugh mengernyit. Ia tahu pasti semua kotak berharga itu belum diambil oleh juru
lelang, karena sikap bermusuhan yang diperlihatkan Augusta.
Ini berarti Augusta telah membawanya lari.
623 Nilai seluruh kotak itu bisa mencapai seratus ribu pound, cukup untuk biaya
seumur hidup Augusta. Tapi semuanya telah terdaftar dalam aset keluarga yang harus dilelang. Semuanya
milik sindikat. Ia memutuskan untuk mengejar Augusta.
Ia bergegas keluar rumah dan melihat sekumpulan kereta kuda sedang diparkir.
Para saisnya sedang istirahat sambil mengobrol. Mereka menggerak-gerakkan kaki
untuk mengusir hawa dingin. Hugh lari menghampiri mereka dan langsung bertanya,
"Apakah ada dari kalian yang membawa Lady Whitehaven siang ini?"
"Kami berdua yang membawanya," sahut salah satu sais kereta. "Saya membawa
koper-koper, dia membawa Lady Whitehaven."
"Ke mana kalian bawa dia?" desak Hugh.
"Ke stasiun Waterloo, mengejar kereta api jam satu siang."
Kereta api menuju Southampton pelabuhan yang dituju Micky malam ini. Mereka ?berdua memang pasangan penipu, pikir Hugh gemas. Kendati beda delapan belas
tahun, mereka benar-benar serasi.
"Tapi mereka terlambat, keretanya sudah berangkat," sambung salah satu sais.
"Mereka?" tanya Hugh kaget. "Apakah ada orang lain yang ikut bersamanya?"
"Ya, seorang pria tua yang didorong dengan kursi roda."
Bukan Micky, pikir Hugh kecewa. Siapa lagi" Seingatnya, tak ada anggota keluarga
Pilaster yang sakit dan dibawa dengan kursi roda. Tanyanya, "Apakah kalian tahu
jam berapa lagi kereta berangkat?"
"Jam tiga sore."
Hugh melihat jam sakunya. Jam setengah tiga. Masih bisa mengejar mereka.
"Bawa aku ke Waterloo!" pintanya sambil melompat ke salah satu kereta kuda
sewaan. 624 Ia masih sempat membeli tiket dan segera naik ke kereta.
Di dalam kereta yang melaju ke arah selatan London, Hugh berjalan mencari
Augusta. Ia tidak perlu jauh-jauh mencari. Augusta ada di gerbong berikutnya. Hugh
melihatnya, lalu cepat-cepat menyingkir sebelum Augusta melihatnya.
Micky tidak tampak bersamanya. Mungkin ia sudah pergi dengan kereta jam satu
tadi. Satu-satunya pria yang sekilas dilihatnya dalam kamar Augusta adalah pria
tua yang duduk di kursi roda, kedua lututnya tertutup selimut tebal.
Hugh pergi ke gerbong lain dan duduk sambil berpikir keras. Tak ada gunanya
berkonfrontasi dengan Augusta saat ini. Kemungkinan besar kotak-kotak tembakau
itu ada di kopernya di gerbong barang.
Seandainya ia tetap membantah membawa kotak-kotak itu" Hugh akan mendesak polisi
memeriksa semua bawaan Augusta, kalau perlu menahan semuanya.
Ia berusaha mengendalikan emosinya. Kereta baru saja melewati padang-padang di
Wimbledon yang tertutup salju. Seratus ribu pound bukan jumlah sedikit. Yang
lebih penting dari semuanya, kotak-kotak tembakau itu adalah simbol kesungguhan
hati keluarga Pilaster untuk membayar para kreditur mereka. Jika sampai salah
satu anggota keluarga mencurinya, nama baik seluruh keluarga Pilaster akan
hancur. Orang-orang akan menganggap mereka tak lebih dari perampok dan penipu
besar. Pikiran itu membuat Hugh makin geram.
Ketika kereta tiba di Southampton, salju belum reda. Hugh bersiap di pintu kereta. Di stasiun banyak polisi berseragam berjaga-
jaga. Ini berarti Micky belum tertangkap, pikir Hugh.
Ia melompat keluar saat laju kereta mulai melambat. Ia bergegas ke pintu keluar
stasiun dan mencari inspektur polisi yang bertugas. "Saya Mitra Senior Pilasters
Bank," katanya sambil menyerahkan kartu namanya. "Saya tahu Anda sedang mencari seorang
buronan pembunuh, tapi di kereta itu ada seorang wanita yang membawa perhiasan
curian senilai seratus ribu pound yang sebenarnya milik bank. Dia akan ke luar
negeri dengan naik kapal AZTEC malam ini."
"Apa saja barangnya, Mr. Pilaster?" tanya si inspektur.
"Koleksi kotak tembakau berlapis permata."
"Dan nama si wanita?"
"Countess of Whitehaven."
Alis mata si inspektur naik. Katanya, "Saya selalu mengikuti berita jatuhnya
Pilasters Bank, Sir, dan saya duga ini ada hubungannya dengan kebangkrutan itu."
Hugh mengangguk. "Kotak-kotak itu rencananya akan kami jual untuk membayar semua
uang nasabah bank." "Bisakah Anda menunjukkan Lady Whitehaven pada saya?"
Hugh melongok beranda stasiun dan menunjuk ke arah Augusta, "Itu, wanita bertopi
lebar dengan hiasan bulu burung di tepinya." Augusta sedang mengatur para
petugas yang membawakan koper-kopernya.
Si inspektur mengangguk. "Baiklah. Anda sebaiknya menunggu dengan saya di pintu
keluar, dan nanti menahannya ketika dia akan keluar."
Hugh ikut tegang. Ia memeriksa wajah penumpang satu per satu, mencari Micky.
Augusta merupakan penumpang terakhir yang meninggalkan stasiun. Tiga portir
membawakan koper-koper besarnya. Ketika melihat Hugh di pintu keluar, wajahnya
segera berubah pucat pasi.
Si inspektur dengan sopan menyapa, "Maafkan kami, Lady Whitehaven. Bisa bicara
sebentar?" Hugh belum pernah melihat Augusta ketakutan seperti sore ini, tapi Augusta tidak
juga kehilangan kepongahan-nya. "Tidak bisa, officer. Aku harus mengejar kapal
yang berangkat malam ini," katanya.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Kujamin kapal Anda tak akan berangkat tanpa diri Anda," sahut si inspektur
dengan halus. Kepada ketiga portir ia memberi perintah. "Kalian letakkan dulu
koper-koper itu." Lalu ia kembali berbalik menatap Augusta. "Mr. Pilaster
melaporkan bahwa Anda membawa kotak-kotak tembakau yang sebenarnya milik bank.
Apakah benar begitu?"
Augusta menarik napas lega yang membuat Hugh heran. Ia khawatir, akal apa lagi ?
yang sedang dilakukan wanita itu" "Aku tidak sudi meladeni pertanyaan kurang
ajar seperti itu," sergah Augusta dengan dingin.
"Jika begitu, izinkan kami memeriksa koper-koper Anda," tegas si inspektur yang
mulai hilang sabar. "Baiklah, Inspektur. Aku memang membawa kotak-kotak itu, tapi semuanya dibeli
mendiang suamiku dan tentunya milikku sekarang."
"Apa komentar Anda, Mr. Hugh?" tanya si inspektur ke arah Hugh.
"Memang itu milik mendiang suaminya, tapi semuanya diwariskan kepada anaknya,
Edward Pilaster mitra bank karena itu menurut peraturan, semuanya sekarang ? ?disita oleh bank. Lady Whitehaven berusaha mencuri semuanya."
"Kalau begitu, saya minta kalian berdua datang ke kantor polisi sekarang juga,
untuk menunggu sampai semuanya jelas."
Dengan p^anik Augusta menjawab cepat, "Tapi aku bisa ketinggalan kapal."
"Kalau begitu, satu-satunya jalan keluar adalah menyerahkan untuk sementara
kotak-kotak itu ke tangan polisi. Semuanya akan dikembalikan jika ternyata klaim
Anda benar." Augusta tampak ragu. Hugh tahu hati Augusta akan hancur jika harus berpisah
dengan kotak-kotak itu. Tapi bukankah tak ada jalan lain" Ia tertangkap basah
men - 627 curi harta bank, dan masih beruntung ia hanya diminta menyerahkan harta
curiannya ke polisi tanpa ditahan.
"Di mana Anda menyimpan semuanya itu?" tanya si inspektur tegas.
Hugh menunggu. Augusta menunjuk ke salah satu kopernya. "Semuanya di situ."
"Kuncinya, tolong."
Sekali lagi Augusta agak ragu, tapi lalu menyerah. Ia memilih dari serangkaian
kunci, lalu memberikan salah satu pada si inspektur.
Si inspektur segera membuka kopernya. Penuh dengan kotak sepatu. Augusta
menunjuk salah satu kotak. Inspektur membuka, menarik sebuah kotak kayu kecil
dari dalamnya, dan membukanya. Di dalamnya tampak beberapa benda kecil dibungkus
rapi dengan kertas. Memilih salah satunya, ia membuka bungkusan kertasnya dengan
hati-hati. Terlihat sebuah kotak emas bertatahkan berlian dan permata aneka
warna dalam bentuk seekor kadal.
Hugh menghela napas lega.
Si inspektur memandang Hugh dan bertanya, "Berapa jumlah semuanya, Sir?"
Setiap anggota keluarga Pilaster pasti tahu berapa jumlahnya. "Enam puluh lima,"
jawab Hugh mantap. "Satu untuk setiap tahun kehidupan Paman Joseph."
"Maukah Anda menghitungya saat ini juga, Sir?"
Augusta cepat menyambar, "Tidak perlu, semuanya ada di situ."
Hugh tak peduli. Ia berjongkok dan menghitung satu per satu semuanya ada,
?lengkap. Hatinya serasa lepas dari beban yang amat berat.
Si inspektur segera mengambil semuanya dan menyerahkannya kepada salah satu anak
buahnya. "Jika Anda bersedia ikut Polisi Neville ke kantor polisi sekarang, Anda
akan diberi bukti tanda terima," Dia menawarkan pada Augusta.
'Tidak perlu, serahkan saja nanti ke bank," jawab Augusta ketus. "Aku boleh
pergi sekarang?" Hugh jadi bertanya-tanya. Wanita itu tampak sama sekali tidak kecewa dengan
disitanya seluruh kotak bawaannya. Mengapa" Apakah ada sesuatu yang lebih
penting daripada harta itu" Dan di mana Micky Miranda sekarang"
Si inspektur mengangguk sopan, mempersilakan wanita di depannya pergi.
"Terima kasih sekali, Inspektur," ujar Hugh. "Anda telah menyelamatkan uang
orang banyak, dan izinkan saya ikut prihatin karena Anda belum juga bisa
menangkap Micky Miranda."
"Kami akan menangkap pembunuh itu, Sir. Dia tidak akan bisa naik kapal AZTEC
tanpa lewat kami dulu, kecuali dia bisa terbang."
Seorang petugas kereta datang mendekat dengan membawa sebuah kursi roda terlipat
di tangannya. Ia berhenti di depan si inspektur dan bertanya, "Sekarang aku
harus berbuat apa dengan kursi roda ini?"
"Ya, ada masalah apa?" tanya si inspektur heran.
"Wanita dengan topi berbulu burung dan koper-koper besar tadi."
"Lady Whitehaven, ya... mengapa?"
"Dia tadi naik kereta dengan seorang pria tua yang sakit dan memakai kursi roda
ini. Lalu dia minta aku meletakkan kursi ini di gerbong barang. Setelah tiba di
sini, dia menyangkal pernah menyerahkan barang ini padaku, padahal aku yakin
benar, hanya ada satu wanita memakai topi bulu burung seperti dia."
Hugh menyokong pendapatnya, "Ya, dia tidak salah. Tadi saya lihat Lady
Whitehaven satu gerbong dengan seorang pria tua berkursi roda."
"Nah. benar kan, apa kataku," ujar si petugas kereta antusias.
Si inspektur tiba-tiba tampak gelisah, lalu berpaling
629 ke Hugh, "Anda melihat pria tua tadi lewat pintu keluar ini?"
"Tidak, sudah saya teliti satu per satu. Augusta yang terakhir keluar." Tiba-
tiba ia bagai disambar petir, "Oh, Tuhan. Apakah mungkin Micky Miranda menyamar
sebagai orang tua?" "Ya, bisa saja," jawab si inspektur. "Pertanyaannya sekarang, di mana dia
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berada" Apakah dia turun di stasiun sebelumnya?"
"Tidak mungkin,. Sir," jawab si petugas kereta mantap. "Ini jenis kereta
ekspres, langsung dari Waterloo fe Southampton."
"Kalau begitu, kita harus segera mencarinya di dalam kereta itu. Dia pasti masih
sembunyi di sana." Tapi percuma. Micky Miranda tidak ada di dalam kereta.
[V] KAPAL AZTEC dihias aneka lampion dan gulungan kertas beraneka warna. Pesta Natal
sedang diselenggarakan para penumpang dan para pengantar. Busana aneka ragam dan
sampanye berlimpah ruah. Seorang petugas kapal mengantar Augusta ke dek paling atas, kabin terbaik di
kapal. Augusta telah membayar kamar khusus itu dengan semua sisa uang kontan
yang ia miliki. Ia berani melakukan itu karena harapannya terletak pada kotak-
kotak tembakau milik mendiang suaminya. Kamar Augusta terletak tepat di depan
dek. Di dalam sudah tersedia sebotol sampanye dingin dan sekotak cokelat. Juga
bunga segar dalam vas di meja. Hampir saja Augusta minta si pelayan kapal
membawa pergi botol sampanyenya, tapi segera mengurungkan
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY niatnya. Ia memutuskan tidak akan membatasi dirinya lagi dalam minum, karena ia
sudah menjadi manusia bebas.
Sesaat kemudian ia mendengar suara yang memberi tanda kapal akan berangkat.
"Semua penumpang yang masih di darat, segera naik ke kapal. Kapal akan segera
diberangkatkan." Ketika portir selesai menata semua kopernya di dalam kamar,
Augusta menarik napas panjang. Kekhawatirannya sirna. Ia dan Micky sekarang
aman. Untuk memastikan tidak ada polisi yang mengikuti mereka, Augusta keluar ke
kabin, memeriksa keadaan. Di kabin, menyandar ke pagar dek, ia menyaksikan para
pengantar berdiri menyaksikan lepasnya kapal dari tepi dok pelabuhan
Southampton. Dengan lega ia kembali ke kabinnya dan menutup pintu kamar. Perlahan-lahan ia
membuka pakaiannya, lalu memakai pakaian tidur sutra dan pasangan mantel
luarnya. Setelah itu, ia memanggil pelayan kabin dan memberitahukan untuk tidak
diganggu sampai esok hari.
"Apakah Anda perlu dibangunkan besok pagi?"
"Tidak perlu, akan kubunyikan bel kalau aku perlu apa-apa."
"Baiklah." Augusta mengunci pintu kamar kabinnya.
Lalu dengan perlahan-lahan ia membuka koper besarnya dan membantu Micky keluar
dari dalamnya. Micky keluar dengan terhuyung-huyung, lalu mengempaskan tubuh di tempat tidur.
"Sialan, aku hampir mati di dalam koper ini," umpatnya.
"Oh, sayangku, di mana yang kaurasakan sakit?" tanya Augusta mesra.
"Lututku, kakiku," erang Micky. Augusta mengelus dan memijatnya. Merasakan kulit
pria di depannya ini membuat gairah Augusta bangkit. Sudah lama sekali ia tidak
menyentuh langsung tubuh seorang pria.
Ia sering memimpikan kejadian ini, melarikan diri
dengan Micky Miranda, baik sebelum maupun setelah kematian Joseph. Dulu ia
selalu menghapus mimpinya karena tak mau membuang semua kewewahan yang
dimilikinya. Sekarang tidak ada lagi yang ia khawatirkan, karena dirinya sudah
menjadi orang bebas. Bebas melakukan apa saja yang ia kehendaki. "Air," pinta
Micky lemah. Ia menuangkan air ke gelas di samping meja. Dengan lahap Micky meneguknya
sekaligus. "Lagi... Micky?"
Micky menggelengkan kepala.
Ia mengambil gelas dari tangan Micky.
"Kau kehilangan kotak-kotak itu?" tanya Micky. "Aku dengar semuanya dari dalam
koper. Si Hugh sialan itu."
"Ya, tapi bukankah kau punya banyak uang di bank?" jawab Augusta. "Mari kita
minum sampanye untuk merayakan lolosnya kita dari Inggris."
Micky diam, menatap dada wanita di depannya. Augusta melihatnya. Ia ingin Micky
menyentuhnya. Ia hampir saja mengundang Micky melakukannya, tapi segera
membatalkan niatnya. Malam masih panjang dan masih ada lagi malam-malam seperti
ini kelak. Tiba-tiba ia merasa malu dan bersalah, tapi juga tak sabar lagi ingin
memeluk tubuh Micky, dan kerinduan ini lebih kuat daripada rasa malunya. Ia
duduk di tepi ranjang dan menarik tangan Micky ke bibirnya. Menciumnya, lalu
menekannya ke dadanya. Micky memandangi Augusta dengan tatapan aneh, lalu tangannya membelai dada
Augusta, mula-mula dengan lembut. Augusta mendesah. Kemudian Micky meremas
dadanya, makin keras dan makin keras, begitu menyakitkan hingga Augusta
berteriak dan menarik diri.
"Kau, perempuan tua tak tahu diri," ejek Micky sinis.
632 "Tidak! Apa katamu" Oh, tidak!" %"Kaupikir aku benar-benar mau kawin denganmu?"
"Ya." "Kau sekarang tidak punya uang lagi, tak punya pengaruh apa-apa. Apa yang bisa
kuharapkan darimu?" Augusta merasa dadanya sakit bagai tertusuk belati. "Katamu kau mencintaku."
"Huh, yang benar saja, kau sudah lima puluh delapan, pantas jadi ibuku! Kau
egois, licik, dan jahat. Bahkan seandainya aku terdampar sendirian di pulau, aku
tak sudi bercinta denganmu!"
Augusta terenyak lemas. Air mata menetes dari kelopak matanya. Ia hancur sudah!
Tak punya uang, tak punya rumah, tak punya siapa-siapa lagi! Laki-laki yang
dicintainya mengkhianatinya. Ia berbalik ingin menyembunyikan tangisnya.
"Kumohon hentikan itu," bisiknya.
"Ya, pasti," kata Micky ketus. "Aku sudah punya kabin di kapal ini dan ke
sanalah aku akan pergi."
'Tapi kalau kita tiba di Kordoba?"
"Kau tak akan pergi ke Kordoba. Setibanya kapal ini di Lisabon, kau bisa turun
dan pulang kembali ke Inggris. Aku tidak membutuhkanmu lagi."
Setiap kata bagai sebuah tamparan ke muka, ke hati, dan harga dirinya. Ia
mengangkat kedua tangannya ke depan wajah, seolah untuk menangkis sumpah serapah
itu. Dinginnya udara luar membuat hatinya tenang. Kepalanya terasa jernih, benaknya
kembali berputar memikirkan segalanya. Ia sadar tadi ia bertindak seperti
seorang gadis remaja, bukan wanita yang matang dan cerdas. Ia malu. Ia harus
segera menata hidupnya kembali. Dan sekaranglah waktunya.
Seorang pria berbusana malam lewat, memandang Augusta yang bergaun tidur dengan
pandangan ingin tahu. Tiba-tiba Augusta mendapat sebuah gagasan.
Ia kembali ke kamar dan dengan cepat menutup pintunya. Micky sedang merapikan
dasi di depan kaca. "Ada yang datang, cepat sembunyi," bisik Augusta cemas.
"Polisi!" Wajah Micky memucat. Panik dan takut. "Oh, Tuhan!" bisiknya..
Augusta berpikir cepat. "Kita masih berada di perairan Inggris," bisiknya.
"Kalau tertangkap, kau akan diserahkan ke patroli laut dan dikirim kembali ke
London." Ia tak yakin ancamannya itu benar atau tidak.
"Aku perlu sembunyi dulu." Tanpa diminta, Micky masuk kembali ke dalam koper
besar milik Augusta. "Tolong tutup," pintanya ketakutan.
Dengan senang hati Augusta menutup dan menguncinya sekaligus.
"Nah, sekarang kau aman."
Augusta duduk di tepi ranjang, menatap ke arah koper besar di dekat kakinya.
Benaknya berputar keras, memikirkan sebab dan akibat rencananya. Sesaat tadi ia
telah terhanyut dan Micky telah melukainya. Selama ini hanya dua pria yang
pernah memegang dan meremas dadanya: Strang dan Joseph. Lalu baru saja ia
membiarkan Micky memegang dadanya, dan kemudian laki-laki itu melontarkan sumpah
serapah keji padanya. Rasa marah yang amat sangat membara di hatinya, berubah
menjadi dendam. Suara Micky terdengar dari dalam koper, "Augusta, apa yang terjadi?"
Ia tidak menjawab. Terdengar teriakan minta tolong dari dalam koper. Ia segera mengambil selimut
tebal di ranjang dan menutupi koper di kakinya. Suara teriakan pria di dalam
koper terdengar melemah. Lalu berhenti. Dengan tenang Augusta melepas label namanya dari koper.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Ia mendengar pintu-pintu kabin berulang kali dibuka dan ditutup oleh para
penumpang yang akan ke ruang makan. Kapal pelan-pelan mulai masuk ke laut lepas
di Selat Inggris. Malam mulai datang.
Antara tengah malam sampai jam dua pagi, beberapa kali terdengar pintu kabin
dibuka. Sayup-sayup terdengar suara musik pengantar dansa. Lalu menjelang jam
tiga pagi, hanya suara mesin kapal dan deru ombak laut. Tak terdengar ada
seorang pun di kabin. Augusta bangkit dari tepi ranjang. Kedua matanya nyalang menatap koper besar di
lantai. Dengan sigap ia mulai menarik tali koper yang melintang dari bagian
bawah ke bagian atas. Koper itu terbalik, bagian bawah menghadap ke atas;
bunyinya keras sekali. Sayup-sayup terdengar suara teriakan dari dalam koper.
Augusta menunggu sebentar, kalau-kalau ada yang datang untuk menyelidiki bunyi
berdebam tadi. Ternyata tidak ada. Micky berhenti berteriak. Augusta kembali
menarik koper. Berat sekali, tapi ia berhasil menggesernya sedikit demi sedikit.
Setiap satu tarikan, ia beristirahat. Sepuluh menit kemudian, ia berhasil
menyeret koper itu ke pintu kabin. Ia mengenakan stocking, sepatu bot, dan
mantel bulunya, lalu membuka pintu.
Sepi, tak kelihatan satu orang pun. Malam masih gelap. Hanya ada sinar temaram
lampu dek kapal. Ia menarik kopernya keluar dari kabin.
Menarik koper di lantai dek terasa lebih ringan. Lantainya licin karena salju.
Sepuluh menit kemudian ia sudah sampai di pagar pembatas badan kapal.
Bagian selanjutnya lebih sukar. Dengan susah payah ia berusaha menegakkan koper
agar bersandar ke pagar pembatas. Karena berat, ia gagal. Suara koper menimpa
dek terdengar sangat keras, tapi lagi-lagi tak ada yang datang menyelidiki.
Sayup-sayup terdengar suara mesin kapal dan deru ombak di samudra lepas.
Pada percobaan kedua, ia berusaha lebih keras. Dengan
635 bertumpu pada satu lutut, ia memegang tali koper dengan dua tangan, lalu
menariknya perlahan-lahan. Ketika koper itu miring empat puluh lima derajat,
Micky bergerak di dalam, beratnya pindah ke sebelah bawah koper, hingga lebih
mudah bagi Augusta untuk menegakkannya.
Akhirnya koper itu tersandar juga di pagar kapal.
Tibalah bagian yang paling sulit. Ia membungkuk dan mencengkeram tali sebelah
bawah. Setelah menarik napas panjang, ia mengangkat.
Karena ujung atas koper tersandar di pagar, tidak terlalu berat sebenarnya
mengangkat benda itu. Tapi ia tetap harus mengerahkan tenaga. Sekonyong-konyong
jemarinya yang dingin terpeleset dan pegangannya lepas.
Ia takkan bisa mengangkat koper ini.
Ia beristirahat sejenak, merasa kehabisan tenaga. Tapi ia tak mau menyerah.
Mesti dicoba lagi. Ia membungkuk dan menggenggam tali itu kembali.
Terdengar suara Micky bertanya, "Augusta, apa yang kaulakukan?"
Dengan suara dingin ia menjawab, "Ingat bagaimana Peter Middleton mati?"
Sunyi. Tak ada jawaban dari dalam koper.
"Kau akan mati dengan cara yang sama," bisiknya lagi.
"Jangan, Augusta, kumohon. Aku sangat mencintai dirimu."
"Air laut akan terasa dingin dan asin, lalu pelan-pelan menyusup ke dalam koper,
memenuhi paru-parumu. Kau akan menggelepar menahan napas, dan merasakan
ketakutan yang sama saat bayangan kematian mulai menyelimutimu."
Terdengar suara teriakan putus asa dari dalam koper, "Tolong! Tolong! Tolong
selamatkan aku!" Augusta mencengkeram tali koper dan mengangkat sekuat tenaga. Bagian bawah koper
terangkat dari dek. Di dalam koper, Micky sadar apa yang akan dilakukan
636 . Augusta. Ia berteriak makin keras; suaranya mengatasi deru mesin dan laut. Tak
lama lagi pasti ada yang datang. Augusta mengangkat lagi koper itu hingga
sebatas dada, lalu berhenti kelelahan, rasanya tak sanggup lagi meneruskan. Dari
dalam koper terdengar suara menggaruk-garuk putus asa. Augusta memejamkan mata
dan mengenakkan gigi, lalu mendorong. Sementara ia mengerahkan tenaga, terasa
ada sendi yang lepas di punggungnya dan ia berteriak kesakitan, tapi terus
mengangkat. Bagian bawah koper sudah lebih tinggi dari bagian atasnya, dan benda
itu meluncur maju di pagar kapal beberapa senti, tapi kemudian terhenti.
Punggung Augusta sangat sakit. Ia hanya sanggup mendorong satu kali lagi. Mesti
berhasil. Ia mengenakkan gigi, memejamkan mata, dan mendorong.
Dengan cepat tubuh koper terjun ke kegelapan laut.
Masih sempat terdengar teriakan Micky, hanya sebentar, lalu tenggelam ditelan
deru ombak dan angin. Augusta terenyak di pagar kapal, menyaksikan koper itu menghantam permukaan air
laut, lalu tenggelam ke dalam air.
Sesaat kemudian koper itu muncul kembali ke atas. Akan mengapung sesaat, pikir
Augusta puas. Rasa sakit di punggungnya tak tertahankan lagi, tapi ia menikmati
bagaimana koper itu terapung timbul-tenggelam, terseret ombak dan terlempar
maju-mundur, dan akhirnya hilang dari pandangan.
Tiba-tiba ia mendengar suara pria di belakangnya. "Sepertinya tadi ada yang
berteriak minta tolong," katanya dengan nada khawatir.
Augusta cepat-cepat mengendalikan diri, lalu membalikkan badan. Di depannya
berdiri seorang pria muda yang sopan, mengenakan mantel kamar sutra dengan syal
di leher. "Oh, itu suaraku tadi," jawab Augusta sambil tersenyum. "Mimpi buruk
lagi. Aku keluar kamar untuk menghirup udara segar."
637 "Anda yakin tidak ada apa-apa?" "Ya, pasti, terima kasih atas perhatian^ Anda.
Aku tidak apa-apa." "Kalau begitu, selamat malam."
"Selamat malam."
Pria itu kembali ke kabinnya.
Augusta belum mau kembali ke kamarnya. Ia ingin menatap laut di bawah sana lebih
lama. Terbayang olehnya air laut perlahan-lahan masuk melalui celah-celah koper
itu, memenuhinya. Makin banyak dan makin banyak, sementara di dala'mnya Micky
meronta-ronta, berusaha untuk keluar. Ketika air laut mencapai hidung dan
mulutnya, ia akan berusaha menahan napas selama mungkin. Tapi pada akhirnya ia
tidak akan tahan. Air laut yang dingin akan masuk ke mulutnya, mengalir dan
memenuhi paru-parunya. Ia akan menggeliat-geliat dan meronta beberapa saat,
tercekam rasa sakit dan ketakutan. Kemudian gerakannya makin lemah dan makin,
lemah, lalu berhenti. Segalanya menjadi gelap dan ia akan mati.
[VI] MALAM hari, Hugh merasa lelah lahir batin ketika tiba di stasiun Chingford.
Walau sangat ingin cepat-cepat tiba di rumah dan tidur, melupakan segalanya, ia
masih merasa wajib berhenti sebentar di tempat Tonio ditembak mati. Di dekat
jembatan kereta ia berhenti, mengangkat topi, menunduk sebentar, lalu bergegas
pulang ke rumah. Di jalan setapak ke rumahnya, ia memikirkan bagaimana kira-kira reaksi
Kementerian Luar Negeri atas tindakan Micky, dan bagaimana kebijakan mereka pada
638 Kordoba. Sejauh ini ia belum mengontak polisi, baru pihak Scotland Yard. Tanpa
menunggu tertangkapnya Micky, ia bisa menekankan bahwa dirinya adalah saksi mata
atas kejahatan diplomat Kordoba ini. Masyarakat pasti akan geger mengetahui
seorang diplomat asing berani membunuh di siang hari, di depan saksi mata. Ini
berarti dengan pongah sekali ia telah menantang bahkan meremehkan kesadaran
masyarakat Inggris. Hugh membayangkan reaksi kaum oposisi di Parlemen, juga
reaksi surat kabar. Jangan harap Papa Miranda akan memperoleh pengakuan! Jika
memang begitu, tak lama lagi kaum pemberontak itu akan ditumpas dan diganti
dengan pemerintah baru. Lalu para investor Inggris yang telah membeli obligasi
pelabuhan Santamaria akan diberi penggantian.
Makin dipikirkan kemungkinan ini, makin optimis ia akan hasilnya.
Ia berharap Nora sudah tidur sewaktu ia tiba di rumah. Ia tidak mau mendengarkan
keluh kesah istrinya tentang pekerjaan sehari-hari, soal mengasuh ketiga anak
nakal, dan tetek bengek lainnya. Ia ingin tidur dan melupakan kejadian tragis
hari ini*Besok ia akan memikirkan apa yang harus ia lakukan.
Dari kejauhan ia melihat masih ada sinar lampu di rumahnya. Ia kecewa. Ini
berarti Nora masih menunggunya. Dengan gundah ia memasukkan kunci rumah dan
membuka pintu depan. Ia heran melihat ketiga anaknya, semuanya dalam pakaian tidur, sedang duduk
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersama di sofa, melihat buku cerita bergambar.
Dan lebih heran lagi ketika melihat siapa yang duduk di tengah mereka,
membacakan ceritanya. Maisie!
Melihat sang ayah datang, ketiga anak itu lari menyongsong dengan gembira. Ia
memeluk dan mencium mereka satu per satu. Sol, si bungsu; lalu Samuel; lalu si
sulung, Toby. Si bungsu dan kakaknya tampak gem-
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY bira, hanya si sulung yang tampak cemas. "Ada apa. Bung?" tanyanya menggoda.
"Ada sesuatu" Di mana ibu kalian?"
"Dia pergi belanja," jawab Toby, lalu menangis. Hugh merangkul Toby dan melihat
ke arah Maisie. "Aku tiba di sini sekitar jam empat sore," kata, Maisie. "Nora
mungkin sudah pergi tak lama setelah kau." "Dia meninggalkan anak-anak sendirian
di rumah?" Maisie mengangguk.
Hugh menjadi berang. Begitu teganya Nora meninggalkan ketiga darah dagingnya di
rumah sendirian. Bagaimana kalau terjadi sesuatu atas diri mereka" "Kenapa dia
sampai hati?" tanyanya pahit.
"Dia meninggalkan surat." Maisie menyerahkan sebuah amplop.
Hugh membuka dan membaca isinya: SELAMAT TINGGAL.
Komentar Maisie, "Amplopnya tidak disegel. Toby membacanya dan memberikan
padaku." "Sungguh sukar dipercaya," kata Hugh tanpa emosi; Nora selalu meletakkan
kepentingan dirinya di atas kepentingan semua orang; hanya kali ini ia begitu
tega menelantarkan ketiga anaknya sendiri. Ia pasti kembali ke rumah ayahnya,
pikir Hugh. Dan ia tahu Nora tak akan kembali lagi ke rumah ini.
Ia tak perlu memikirkan apa yang harus ia lakukan. Tugas dan kewajibannya adalah
kepada ketiga anaknya. Jangan sampai mereka jadi merasa lebih kecewa lagi. Untuk
sementara, ia harus mengesampingkan kesedihannya sendiri. "Baiklah, anak-anak,
sekarang sudah waktunya tidur," katanya.
Ia mengantar mereka ke lantai atas. Samuel dan Sol tidur di satu kamar, dan Toby
mempunyai kamar sendiri. Setelah memastikan kedua anaknya berselimut dan berdoa
malam, ia pergi ke kamar Toby, mencium dahi anaknya.
"Mrs. Greenbourne baik sekali," komentar Toby tiba-tiba
"Ya, aku tahu. Dia menikah dengan sahabat Papa yang paling baik, Solly. Lalu dia
meninggal." "Dia juga cantik."
"O ya" Menurutmu begitu?"
"Ya. Apakah Mama akan kembali ke sini?"
Pertanyaan yang paling ditakuti Hugh. "Ya, pasti dia akan kembali."
"Benar, Papa?" Hugh mendesah. "Terus terang, aku sendiri tidak yakin."
"Jika dia tidak pulang, apakah Mrs. Greenbourne bersedia menjaga kita semua?"
Pertanyaan ini begitu terus terang. Hugh tak mau menjawab. Ia mengalihkan
pertanyaan Toby, "Dia repot, mengelola sebuah rumah sakit. Banyak sekali pasien
yang harus dia perhatikan. Papa rasa dia tidak punya waktu lagi untuk merawat
kalian. Sekarang tidur, jangan bertanya lagi. Selamat malam."
Toby tampak masih belum puas, tapi setelah diam sesaat, keluar ucapannya,
"Selamat malam juga, Papa."
Hugh meniup lilin dan keluar dari kamar sambil menutup pintunya.
Maisie telah membuat minuman cokelat panas. "Aku yakin kau lebih senang
kubuatkan brendi, tapi kulihat tak ada minuman keras setetes pun di rumah ini."
Hugh tersenyum, "Kami orang kelas bawah tak mampu beli minuman keras. Cokelat
lebih enak." Cangkir dan teko berisi cokelat itu tetap tak tersentuh. Mereka berdua hanya
berdiri berdekatan. Maisie yang membuka kata lebih dulu, "Aku membaca tentang
pembunuhan itu di koran. Aku khawatir ada apa-apa dengan dirimu, jadi aku ke
sini dan menemukan anak-anak ditinggal sendirian. Aku mengajak mereka
membersihkan rumah, lalu makan malam bersama. Dan menunggu
641 kedatanganmu." Ia mengakhiri keterangannya dengan senyum pasrah, menunggu
jawaban dan tindakan Hugh selanjutnya.
Hugh diam, lalu tiba-tiba ia mulai gemetaran. Ia bersandar ke kursi. "Hari ini
aku mengalami segala peristiwa yang sangat menegangkan saraf. Semuanya membuatku
lemas lunglai." "Ya, kulihat kau butuh istirahat."
"Oh, Maisie...." Tiba-tiba Hugh ingin membagi se-* muanya dengan wanita yang ia
cintai ini. "Peluklah aku," pintanya.
Maisie memeluk erat Hugh.
"Aku cinta padamu Maisie, selalu cinta padamu," bisik Hugh pelan.
"Aku tahu," jawab Maisie.
Hugh menatap kedua mata Maisie. Air matanya yang mulai menggenang akhirnya
menetes, membasahi pipinya. Hugh mencium butir demi butir.
"Akhirnya... setelah bertahun-tahun ini," bisik Hugh.
"Bercintalah denganku malam ini," hanya itu jawaban Maisie.
Hugh mengangguk. "Dan setiap malam... setiap malam setelah malam ini."
Lalu mereka saling berciuman.
EPILOG 1892 M...................................................................................................................>
di-scan dan di-djvu-kan untuk dimhader (dimhad.co.cc) oleh
OBI Dilarang meng-komersil-kan atau kesialan menimpa anda selamanya \ *
Berita dari The Times: TELAH MENINGGAL DUNIA Pada tanggal 30 Mei, di rumahnya di Antibes, Prancis,
setelah sakit berkepanjangan, EARL OF WHITEHAVEN, mantan mitra senior Pilasters
Bank. "Edward meninggal," kata Hugh setelah membaca halaman dukacita.
Maisie duduk di sebelahnya dalam gerbong kereta api, memakai gaun musim panas
warna kuning bertitik-titik merah dan topi kecil kuning berpita renda. Mereka
sedang menuju Windfield untuk menghadiri acara wisuda.
"Dia benar-benar pria tak berguna, tapi ibunya akan sangat kehilangan dia,"
komentar Maisie. Augusta dan Edward tinggal bersama di selatan Prancis selama delapan belas bulan
belakangan ini. Kendati telah banyak menyusahkan sindikat bank, mereka tetap
mendapat tunjangan bulanan seperti para anggota keluarga lainnya. Mereka
melewatkan hidup bersama-sama di kursi roda: Edward sakit sipilis stadium akhir,
dan Augusta retak tulang pinggulnya. Kendati cacat, ia masih aktif menjadi
perantara perjodohan, juru damai perselisihan, pengatur pesta-pesta, dan penentu
tata krama pergaulan. "Edward sangat mencintai ibunya," kata Hugh.
Maisie memandang Hugh dengan heran, "Kenapa kau berkata begitu?"
"Karena hanya itu sifat baiknya, tidak kulihat ada yang lain."
Maisie tersenyum dan mencium ujung hidung Hugh.
Kereta api berhenti di stasiun Windfield dan mereka berdua turun. Hari ini
Bertie diwisuda dan Toby naik kelas. Cuaca di luar hangat, sinar matahari terang
benderang. Maisie membuka payung kecil yang serasi dengan busananya. Keduanya
berjalan ke Windfield School.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Windfield School telah berubah sejak dua puluh enam tahun yang lalu, ketika Hugh
terpaksa meninggalkan tempat itu. Kepala sekolahnya yang lama, Dr. Poleson,
telah lama meninggal. Di sudut sekolah didirikan patungnya. Kepala sekolah yang
baru selalu berjalan dengan memegang tongkat rotan penghukum murid nakal yang
terkenal itu, tapi ia jarang sekali menggunakannya. Bangunan nomor empat yang
dipakai sebagai asrama anak-anak masih terletak di dekat kapel kecil yang
terbuat dari batu, dan di depan kapel sekarang sudah dibangun sebuah aula luas
untuk acara-acara resmi. Materi pendidikannya juga lebih baik: Toby dan Bertie
belajar matematika dan ilmu bumi, juga bahasa Latin serta-Yunani.
Hugh dan Maisie bertemu Bertie yang sudah menanti di depan pintu gerbang
sekolah. Ia sudah lebih tinggi daripada Hugh. Sikapnya pendiam, sopan, dan rajin
sekali. Tidak seperti Hugh, ia tak pernah dihukum karena nakal. Perilakunya
lebih menyerupai seorang keturunan Rabinowicz, irialah mirip dengan kakak
Maisie, Dan Robinson. Ia mencium pipi ibunya dan menjabat tangan Hugh. "Ada sedikit kesalahan,"
katanya. "Kami kekurangan lembar cetakan nyanyian sekolah, dan sekarang anak-
anak kelas empat sedang menyalin dengan tulisan tangan. Aku harus mengontrol
mereka agar selesai tepat pada waktunya. Akan kutemui kalian setelah aku selesai
berpidato nanti." Ia bergegas kembali ke sekolah. Hugh memandangnya dengan penuh
kasih sayang, sambil mengenang betapa penting rasanya bersekolah pada masanya
dulu, sampai saat ia terpaksa keluar.
Mereka lalu bertemu Tobby. Murid-murid kelas satu dan dua sekarang tidak
diharuskan memakai jas dengan topi tinggi pada acara resmi sekolah; Toby memakai
jaket dan celana seragam sekolah. "Menurut Bertie, aku boleh menemani kalian
minum teh di kamarnya nanti setelah pidato, tentunya kalau kalian izinkan.
Boleh, kan?" "Ya, tentu," jawab Hugh sambil tersenyum geli.
"Trims, Papa." Toby lari kembali ke teman-temannya.
Di aula sekolah, mereka terkejut karena bertemu Ben Greenbourne. Ia tampak tua
dan kurus. Maisie, seperti biasanya selalu terus terang, langsung bertanya,
"Halo, apa yang Anda lakukan di sini?"
"Hari ini cucuku diwisuda, dan dia akan menyampaikan pidato," jawab Ben dengan
nada bangga. Hugh terpana. Bertie bukan cucu Ben Greenbourne, dan orang tua ini juga tahu.
Apakah dia jadi lembut dalam usia tuanya"
"Ayo, kau duduk dekatku," perintah Greenbourne. Hugh melihat ke Maisie. Istrinya
angkat bahu sebagai tanda tidak keberatan.
"Kudengar kalian sudah menikah," komentar Greenbourne.
"Ya, bulan lalu," jawab Hugh. "Istri pertamaku tidak menolak permohonan
ceraiku." Nora sekarang hidup bersama seorang wiraniaga wiski. Untuk membuktikan
penyelewengan mereka berdua, Hugh menyewa seorang detektif swasta. Hanya perlu
waktu seminggu untuk menangkap basah perselingkuhan mereka.
"Aku tidak pernah setuju dengan perceraian," tukas Greenbourne pendek. Lalu ia
menghela napas. "Tapi aku sekarang sudah terlalu tua dan kuno untuk memberi
nasihat pada generasi muda macam kalian. Abad ini sebentar lagi usai. Masa depan
terletak di tangan kalian."
Hugh meremas tangan Maisie.
Greenbourne bertanya pada Maisie, "Apa kau akan mengirim anak itu ke
universitas?" "Aku tidak sanggup membayar," jawab Maisie terus terang. "Untuk membayar biaya
sekolahnya di sini saja sudah sangat mahal."
"Aku akan senang jika kalian izinkan aku yang membiayai kuliahnya."
Maisie kaget dan terpana. "Anda sangat baik."
647 "Seharusnya sejak dulu aku sudah bersikap baik pada kalian," jawab Greenbourne.
"Dulu kuanggap kau wanita pemburu harta. Itu salah satu kesalahanku. Tapi
melihat kau mau menikah dengan Hugh Pilaster yang sedang jatuh miskin, aku tahu
aku keliru tentang dirimu."
"Anda tidak pernah melakukan hal yang merugikan diri kami."
"Tapi aku terlalu keras, itu sama saja. Aku tidak punya banyak penyesalan dalam
hidupku. Tapi sikapku pada kalian merupakan salah satu dari penyesalanku yang
tidak banyak itu. Kusadari itu sekarang."
Murid-murid mulai berdatangan memenuhi aula. Mu- -rid yang lebih muda kelasnya
duduk di lantai, di barisan paling-depan, dan yang lebih tinggi tingkatannya
duduk di kursi di barisan tengah.
Maisie berkata pada Greenbourne, "Hugh sekarang sudah mengadopsi Bertie secara
sah." Ben Greenbourne menatap Hugh dengan tajam dan berkata tegas, "Kukira kau memang
ayah kandung anak itu!"
Hugh mengangguk. "Aku seharusnya sudah menduga ini sejak dulu. Tapi itu tidak penting lagi saat
ini. Anak itu tetap mengira aku kakeknya, karena itu aku harus bertanggung jawab
atas pendidikannya." Ia terbatuk-batuk karena jengah, lalu mengubah topik
pembicaraan, "Kudengar sindikat akan membayar dividen."
"Benar," jawab Hugh. Ia memang akhirnya berhasil menjual semua aset keluarga
Pilaster dengan harga pantas, dan sindikat para bankir yang telah menyelamatkan
para nasabah Pilasters Bank berhasil memperoleh laba memadai. "Seluruh anggota
sindikat memperoleh lima persen atas investasi mereka "
"Kerja yang bagus," puji Greenbourne tulus. "Dulu
terus terang aku ragu kau mampu mengelola sindikat
itu." "Yang paling berjasa sebenarnya pemerintahan baru Kordoba. Mereka menyerahkan
seluruh aset keluarga Miranda ke perusahaan pelabuhan Santamaria. Dan ini
menaikkan nilai obligasi kami lagi."
"Lalu, apa yang terjadi pada si Miranda itu?"
"Micky" Mayatnya ditemukan di dalam sebuah koper besar yang terdampar di Isle of
Wight. Tak seorang pun tahu bagaimana dia bisa berada di dalam koper itu." Hugh
mengikuti terus berita itu, sampai yang berwajib berhasil melakukan identifikasi
resmi atas mayat Micky; identifikasi ini penting, karena dengan begitu Rachel
sekarang bisa menikah secara sah dengan Dan Robinson.
Seorang murid mengedarkan selebaran berisi nyanyian Windfield School yang
ditulis tangan. "Dan kau sendiri?" tanya Greenbourne pada Hugh. "Apa rencanamu setelah semua
urusan sindikat ini selesai?"
"Aku ingin minta nasihat Anda tentang hal ini, " jawab Hugh. "Terus terang aku
akan mendirikan bank baru."
"Bagaimana?" "Dengan menjual sahamnya di bursa. Pilasters Limited. Bagaimana menrut Anda?"
"Hmmm, gagasan bagus. Kau memang selalu punya gagasan baru dan asli."
Greenbourne tampak berpikir-pikir. "Kau tahu, jatuhnya Pilasters Bank malah
akhirnya menaikkan reputasimu sebagai bankir andal dan terper-caya. Masyarakat
melihat caramu menangani kasus ini. Mereka akan beranggapan, kalau dalam
menangani bank bangkrut saja kau sudah bisa diandalkan dan dipercaya, apalagi
kalau kau menangani bank milikmu sendiri!"
"Jadi, menurut Anda rencanaku ini akan berhasil?"
"Ya. Aku mungkin akan ikut menjadi pemegang sahamnya." f
Hugh mengangguk lega. Sangat penting untuk mendapat kepercayaan tokoh keuangan
paling dihormati 649 seperti Ben Greenbourne. Hugh memang yakin idenya ini akan berjalan, apalagi
sekarang ditambah dengan restu Greenbourne!
Seluruh hadirin berdiri ketika kepala sekolah memasuki ruangan aula, diikuti
oleh para guru, tamu kehormatan anggota Partai Liberal di Parlemen dan Bertie,? ?wakil wisudawan. Setelah semua duduk kembali, Bertie naik ke mimbar dan memberi
aba-aba dengan suara nyaring, "Mari kita nyanyikan bersama-sama nyanyian sekolah
kita." Hugh melirik ke Maisie dan mereka berdua tertawa bangga. Intro lagu dimulai
dengan dengung piano. Satu jam kemudian, Hugh meninggalkan mereka di kamar Bertie. Ia keluar melewati
lapangan squash, menuju Bishop's Wood.
Cuaca makin panas, persis seperti dua puluh enam tahun yang lalu. Hutan itu
tampak tak berubah, masih lembap dan beraroma pohon-pohon elm. Ia masih ingat
jalan menuju ke kolam maut itu dan bisa menemukannya dengan mudah.
Ia tidak menuruni bukit terjal di atas kolam ia sudah terlalu tua untuk itu. Ia?hanya duduk di tepi tebing dan melempari tepi kolam dengan batu kecil. Batu itu
memecah air yang tenang. Hanya dia dan Albert Cammel di Cape Town sana yang masih hidup. Semua temannya
yang berenang di kolam ketika itu telah mati: Peter Middleton, tewas pada hari
itu; Tonio ditembak oleh Micky dua tahun yang lalu; Micky sendiri mati terdampar
di tepi pantai; dan 'sekarang Edward mati karena sakit sipilis dan dimakamkan di
Prancis. Seakan-akan ada kuasa jahat yang muncul dari dasar danau itu pada tahun
1866, memunculkan sisi gelap diri mereka dan meracuni kehidupan mereka dengan
keserakahan, nafsu, kekejaman, penipuan, kebangkrutan, penyakit mematikan, dan
pem-650 bunuhan. Tapi sekarang semuanya sudah berlalu. Utang-utang telah dibayar lunas.
Kuasa jahat itu sudah terkubur kembali di dasar danau. Dan Hugh berhasil
melawannya. Hugh berdiri. Sudah waktunya kembali ke keluarganya. Ia menengok sekali lagi
sebelum meninggalkan danau itu.
Lingkaran di permukaan air sudah sirna, tinggal pantulan sinar matahari
membentuk aneka warna indah menggoda di lapisan atas air danau. Semuanya tampak
tenang dan damai.
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di-scan dan di-djvu-kan untuk dimhader (dimhad.co.cc) oleh
OBI Dilarang meng-komersil-kan atau
651 di scan dan di djvu kari untuk dimhader (dimhad.cc>"cc) oleh
OBI Dilarang men g-komersil- kan atau kesialan menimpa anda selamanya
Tentang Pengarang Ken Follett lahir pada tanggal 5 Juni 1949 di Cardiff, Wales. Ayahnya seorang
penilik pajak. Setelah lulus dari University College, London, dengan gelar
kehormatan dalam filsafat, Follett menjadi reporter South Wales Echo di kota
kelahirannya, lalu pindah ke London Evening News. Sambil bekerja, ia menulis
novel pertamanya yang ternyata cukup berhasil. Kemudian ia pindah bekerja pada
Everest Books, perusahaan penerbitan kecil di London, dan menjadi Deputy
Managing Director. Ken Follett tinggal di Chelsea, London, di sebuah rumah berusia dua ratus tahun
yang menghadap ke Sungai Thames, bersama istrinya, Barbara. Follett menyukai
karya-karya Shakespeare; ia juga senang bermain musik, dan menjadi pemetik bass
guitar di sebuah band beraliran blues. Follett juga terlibat aktif dalam dunia
politik dan pernah menulis pamflet tentang ketidakadilan dalam hukum
keimigrasian Inggris. Istrinya adalah kandidat parlemen.
Bestseller internasional Follett yang pertama adalah Eye of the Needle yang
muncul pada tahun 1978, memenangkan Edgar Award dan difilmkan dengan bintang
Kate Nelligan dan Donald Sutherland. Sebelumnya, Follett pernah menulis sepuluh
buku lain dengan nama samaran. Menyusul kesuksesan Eye of the Needle adalah
novel-novel Triple, The Key to Rebecca, The Man from St. Petersburg, dan Lie
Down with Lions. Pada tahun 1989, Follett yang selama itu dikenal sebagai master of espionage
thrillers, mengejutkan para pembacanya dengan memilih tema yang jauh berbeda
untuk novel berikutnya, The Pillars of the Earth, yang berkisah tentang
pembangunan sebuah katedral pada Abad Pertengahan, lalu menyusul Night Over
Water^ novel tentang Perang Dunia Kedua. Kemudian A Dangerous Fortune, tentang
kejatuhan sebuah keluarga bankir terkenal* pada era Victoria.
Follett menghabiskan waktu antara enam bulan sampai setahun untuk membuat
kerangka setiap novelnya. Ia memulai dengan menulis beberapa paragraf, lalu
menambahkan materi karangan setiap hari. Setelah membuat sekitar 100-200 versi,
barulah terbentuk sinopsis akhir yang panjangnya kurang-lebih 40 halaman.
Menurut Follett, yang terpenting dalam karya fiksi populer adalah alur cerita
yang menarik, sehingga pembaca menikmatinya sekaligus dibuat penasaran. "Bukan
berarti tokoh cerita tidak penting, tapi itu nomor dua," kata Follett. Baginya,
yang paling sulit adalah menulis konsep pertama. "Semua materi di kerangka
cerita mesti dibayangkan, lalu dituangkan dalam bahasa yang hidup, supaya
pembaca bisa ikut membayangkan dan menikmatinya. Itu yang sulit," katanya.
Tapi para pembaca dan kritikus sependapat bahwa karya-karya Follett memang
memikat. Dalam setiap bab novelnya ada saja plot yang membuat orang terus
penasaran untuk membaca hingga akhir cerita. Itulah kehebatan Follett.
Ya, catat nama saya sebagai anggota GRAMEDIA BOOK CLUB dan kirimi saya informasi
setiap kali ada buku baru karya pengarang favorit saya yang terbit.
Terlampir prangko balasan Rp. 600,-
Pna/wanira* Jabatan: Pelajar/nuhasiswaAaryawanMira^tawan/ibn rnmah tangga* Alamat : - .___?Kode Pos: _
* Coret yang tidak perlu Tandai pengarang yang Anda pilih
( ) John Grisham ( ) Sidney Sheldon ( )Alistair Maclean ( )JackHiggins ( ) Frederick Forsyth ( ) Michael Crichton ( ) Sir Arthur Conan Doyle
( ) Allan Folsom ( ) Erich Segal ( ) Irving Wallace ( ) Stephen King Telp:__ (A Dangerous Fortune ) ( ) Barbara Taylor Bradford
( ) Amy Tan ( ) Pearl S Buck ( ) Jackie Collins ( ) Joan Collins ( ) Agatha Cristie ( ) Louisa May Alcott ( ) Danielle Steel ( ) Ching Yun Bezine ( ) Mary Higgins Clark ( ) Ken Follett PTGramedia Pustaka Utama Bagian Promosi JL Palmerah Selatan 24-26, Lt. 6 Jakarta
10270 Pembantai Cantik 2 Siluman Ular Putih 01 Misteri Bayi Ular Hina Kelana 28