Pencarian

Siluman Kedung Brantas 2

Walet Emas 08 Siluman Kedung Brantas Bagian 2


*** ENAM Potongan tangan Kebo Parud yang telah hancur ka-
rena dibabat pedang oleh Pusparini akhirnya dibakar.
Abunya dibuang ke Bengawan Brantas.
Lenyap sudah momok yang bikin onar penduduk.
Tetapi tidak berarti masalahnya telah tuntas. Sehari
setelah peristiwa itu, sebuah perahu dagang yang me-layari Bengawan Brantas
menuju istana Medang, di-
hancurkan oleh Siluman Kedung Brantas.
Kali ini, menurut saksi mata yang melihat peristiwa itu, Siluman Kedung Brantas
tidak sendirian dalam
melakukan operasinya. Beberapa orang anak buahnya
yang memakai kedok serupa, ikut mengobrak-abrik pe-
rahu-perahu tersebut.
"Jelas sekarang, bahwa Siluman Kedung Brantas
bukan 'siluman' roh halus, tetapi kelompok manusia
yang hendak bikin kacau!" kata Pusparini.
Sejak dia ditolong oleh Narendra, maka kehadiran-
nya selalu didampingi oleh kakak seperguruannya itu.
Dan omongan usil pun berkembang, bahwa mereka
adalah pasangan pendekar yang cocok seandainya me-
reka menjalin kehidupan sebagai suami istri. Tetapi omongan semacam itu tak
pernah digubris oleh yang
bersangkutan. Bagi Pusparini sendiri, berdampingan
dengan pria untuk menunaikan tugasnya, bukan hal
baru. Dia sudah sering bekerja sama dengan pendekar lain. Tetapi kalau dikaji,
keberadaan Narendra memang lain. Laki-laki yang satu ini agaknya punya kharisma
yang membuat Pusparini senang untuk berbin-
cang-bincang membicarakan sesuatu yang menyang-
kut tugas mereka.
Seperti halnya hari itu, ketika mendengar bahwa Si-
luman Kedung Brantas mengganas lagi, maka pasan-
gan pendekar Pusparini dan Narendra bergerak untuk
melacak jejak di mana serangan itu dilakukan oleh lawan mereka.
"Jadi di sini tempatnya?" tanya Pusparini kepada
seorang anak buah korban perahu yang dihancurkan
oleh Siluman Kedung Brantas.
Pusparini didampingi Sempak Waja dan beberapa
perabot desa bagian jagabaya. Mereka sibuk meneliti tempat itu. Menurut
keterangan Sempak Waja, dari
para pelapor yang perahu mereka digasak oleh Silu-
man Kedung Brantas, baru pertama kali itu tempat
tersebut dijadikan penghadangan oleh sang 'siluman'.
"Jadi umumnya sang siluman selalu mengadakan
penghancuran perahu pada tempat-tempat yang ba-
nyak buayanya. Seperti bagian Bengawan Brantas se-
belah sini. Kau lihat di sana itu" Lihat, ada tiga ekor buaya sedang mendarat
menuju rerumputan di pinggiran bengawan," kata Narendra yang mencoba menga-
nalisa cara kerja Siluman Kedung Brantas.
"Ah, ngomong-ngomong tentang tugas, bagaimana
kalau kita ke warung itu dulu?" sela Sempak Waja
sambil menunjuk ke sebuah warung di seberang sana.
"Ajakan yang paling kusetujui," sela Pusparini sam-
bil menjawil Narendra.
Tak berapa lama kemudian, mereka telah berada di
dalam warung. Sayang sekali tempatnya telah penuh.
Ada beberapa kelompok orang telah mangkal di situ
beberapa saat lalu. Rupanya orang-orang itu bukan
penduduk Kademangan Rajeg Banjar.
"Boleh aku tahu dari mana para kisanak ini?" tanya
Sempak Waja yang merasa lebih berwenang menanya-
kan hal itu karena dia perabot kademangan.
Orang yang ditegur tidak menggubris pertanyaan
itu. Bahkan dengan tenang masih meneguk tuak pesa-
nannya. Juga yang lain-lain. Mereka seakan-akan ti-
dak mengindahkan kedatangan Pusparini dan kawan-
kawannya. "Hm! Rupanya warung ini telah ketamuan orang-
orang bisu," kata Sempak Waja lagi.
Dan akibat ucapan itu memang fatal. Orang yang
ditegur tadi menyemburkan tuak dari mulutnya ke
arah Sempak Waja. Semburan yang bukan sembarang
semburan. Ada tenaga dalam yang dikerahkan. Kontan
Sempak Waja menebak wajahnya dan mencelat ke be-
lakang. Tubuhnya terasa ditendang dengan hempasan
angin yang keras.
"Hai! Aturan sedikit! Tuak hanya untuk diminum,
bukan untuk mencuci muka orang!" seru Pusparini.
Teguran itu dianggap tantangan oleh orang yang
bersangkutan. Langsung dia berdiri dengan menanting tempat tuak yang terbuat
dari bambu. "Apa aku tak salah dengar dengan omongan baru-
san?" katanya sambil memandang Pusparini dengan
mata jlalatan. Ini disebabkan oleh prasangkanya. Semula tak menduga kalau yang
punya teguran itu seo-
rang wanita muda bertubuh sintal. "Wah, kalau kau
yang bicara, aku bisa memaafkan. Tetapi imbalannya
'sun' dulu! Hahahahahahahaha...!"
Dan suara tawa itu tiba-tiba terbungkam. Itu kare-
na Pusparini dengan cepat telah melemparkan kue ke-
tela yang disambar dari sampingnya dan dilempar ke
mulut orang tersebut.
"Bhuuaahh!" semburnya dengan menyapu mulut-
nya yang belepotan kue ketela.
Sikap ini disusul dengan hantaman tempat tuak ke
arah Pusparini. Bumbung itu melayang ke arah sasa-
ran. Tetapi Pusparini dengan tangkas menangkapnya
dan dikembalikan ke arah penyerang.
Ppprakk! Bumbung melanda pelipis orang itu sehingga tu-
buhnya oleng ke belakang. Melihat keadaan itu, te-
man-temannya yang lain beranjak untuk turun tan-
gan. Yang terjadi kemudian adalah tawuran ketika Narendra dengan cepat menangani
para penyerang yang
ingin membantu. Untuk menghindarkan warung itu
menjadi ajang baku hantam, Pusparini memancing
mereka bergerak keluar. Baku hantam ini sebenarnya
tidak dikehendaki oleh Pusparini. Tetapi sekedar
memberi pelajaran bagi kelompok laki-laki urakan
yang kerjanya cuma luntang-luntung dan mangkal di
warung-warung. "Hentikan!" tiba-tiba terdengar seruan menengahi
keributan itu. Pusparini adalah orang pertama yang melihat siapa
yang punya suara perintah tersebut. Perasaannya ter-sirap ketika melihat sosok
orang itu. Dia adalah laki-laki yang pernah dijumpai di rumah Kebo Parud se-
waktu Pusparini menggropyok tempat itu.
"Kau"! Akhirnya kutemui lagi di tempat ini," kata
Pusparini. "Aku ingin keterangan darimu tentang ter-bunuhnya dua orang pembantu
di rumah Kebo Parud!"
"Aku tak tahu-menahu apa yang kau bicarakan.
Aku tidak merasa membunuh dua orang pembantu se-
perti tuduhanmu!" jawab laki-laki itu. "Tanyakan kepada mereka itu!" Telunjuknya
ke arah orang-orang
yang tadi berkelahi melawan perabot kademangan.
Melihat hal itu Pusparini dapat mengambil kesim-
pulan bahwa orang ini pasti pimpinan mereka. Tetapi apa peranannya di Kademangan
Rajeg Banjar, belum
diketahui dengan jelas.
"Kalian ingin memburu Kebo Parud karena ada ha-
diah yang disediakan untuk itu?" tanya Pusparini
mencoba menebak.
"Benar! Bukankah hal itu masih berlaku" Kudengar
Kebo Parud belum tertangkap sampai saat ini," jawab laki-laki itu. "Harap kau
ketahui, aku ke rumah Kebo Parud karena ingin mencari Kebo Parud!"
"Dari mana kau tahu bahwa itu rumah Kebo Pa-
rud?" tanya Sempak Waja nimbrung dalam percaka-
pan. Dia merasa perlu tampil karena sebagai salah
seorang perabot kademangan yang punya wewenang.
"Apa gunanya aku punya lidah" Tentu saja bertanya
kepada penduduk setempat!" jawab laki-laki itu.
Sempak Waja merasa kena batunya melontarkan
pertanyaan seperti itu tadi. Untuk sementara memang hal itu bisa dipercayai.
Masalah Kebo Parud memang
sedang menjadi buah bibir orang-orang di sana.
"Baik! Lakukan tugasmu memburu Kebo Parud.
Hadiah untuk itu memang tetap disediakan. Demi ta-
takramanya, aku ingin tahu namamu," tanya Puspari-
ni. Laki-laki itu tertawa. Terlihat gigi gingsulnya me-nonjol sebelah kanan.
"Merupakan suatu kehormatan ada wanita cantik
mau tahu namaku. Ingat baik-baik. Namaku Panung-
galan!" kata laki-laki itu.
"Hm. Panunggalan. Aku akan ingat-ingat itu. Seha-
rusnya ketika kupergoki kau di rumah Kebo Parud,
kau tidak melarikan diri! Tampaknya ada yang kau takutkan. Boleh aku tahu?"
tanya Pusparini.
Panunggalan memandang tajam. Seakan-akan ingin
mengetahui dengan jelas otak Pusparini yang menim-
bulkan pertanyaan seperti itu. Jelas bahwa wanita
yang sedang dihadapi ini menaruh kecurigaan terha-
dap tindakannya tempo hari.
"Tidak ada yang kutakutkan. Tetapi aku tidak ingin
ada orang lain ikut campur dalam urusanku. Secara
kebetulan saja nama Kebo Parud punya peran dalam
peristiwa yang menyangkut diriku sendiri," jawab Panunggalan.
Kemudian dia memberi isyarat kepada keenam anak
buahnya untuk mengikuti langkahnya meninggalkan
tempat itu. Dan sebelum pergi, Panunggalan melem-
parkan pertanyaan :
"Boleh aku tahu namamu, Cah Ayu?"
"Walet Emas!" jawab Pusparini singkat.
Panunggalan menghentikan langkah, "Kau... pende-
kar wanita yang bergelar Walet Emas?"
"Cukup! Kau boleh pergi sekarang," kata Pusparini
memenggal percakapan.
Ternyata yang heran mendengar sebutan itu bukan
Panunggalan saja. Para perabot kademangan pun,
termasuk Sempak Waja, terkejut mendengar jawaban
Pusparini. Tetapi mereka memendam perasaan itu.
Nama Pendekar Walet Emas memang santer terdengar
di kawasan Kerajaan Medang akhir-akhir ini. Mereka
hanya mendengar nama saja. Tidak tahunya pendekar
yang selama ini jadi bahan pergunjingan telah berada di tengah-tengah mereka.
Panunggalan dan orang-orangnya lenyap di balik
persimpangan jalan.
"Mengapa kau sebut gelar kependekaranmu?" tanya
Narendra. "Untuk memancing sikap mereka," jawab Pusparini.
"Pamer?"
Pusparini tersenyum, "Aku ingin tahu sampai bera-
pa jauh namaku dikenal mereka. Kadangkala akan
menimbulkan rangsangan sikap bagi orang-orang yang
menebar sikap jahat."
"Lalu bagaimana kesanmu terhadap mereka setelah
mendengar gelar kependekaranmu?" tanya Narendra.
"Tampaknya mereka punya kerja lain di samping
memburu Kebo Parud untuk hadiahnya!" jawab Puspa-
rini dengan terus pergi memasuki warung.
Di sana pemilik warung membenahi tikar yang kotor
karena bentrokan tadi.
"Kami akan memberi ganti rugi, Pak," kata Puspari-
ni kepada pemilik warung. "Sebelum itu, tolong kami disediakan minuman dan
makanan. Juragan yang
nanti akan membayar Bapak ada di samping saya ini,"
kata Pusparini sambil menunjuk Sempak Waja.
Sempak Waja nyengir, walaupun anggaran untuk
itu akan diambilkan dari kocek kademangan.
*** TUJUH Pusparini menggeliat di pembaringannya. Malam ini
dia merasa gerah karena udara panas. Kembennya di-
lepas. Sendirian di kamar seperti itu, dengan leluasa dia bisa bertindak
semaunya. Kini dia bertelanjang da-da. Hal seperti itu umumnya bukan hal yang
tabu bagi wanita jamannya. Banyak wanita desa yang bertelanjang dada. Hanya kaum
bangsawan saja yang menge-
nakan penutup semacam kemben atau penutup puting
buah dada yang terbuat dari cungkup emas atau tem-
baga yang berukir. Bagi dia dengan penampilan ke-
pendekarannya, sangat cocok dengan mengenakan
kemben. Lalu pikirannya menerawang kepada Narendra. Ha-
ri-hari terakhir ini dia merasa akrab dengan laki-laki sebagai kakak
seperguruannya itu. Rasanya ada sesuatu yang dia ingin ungkapkan apabila
berdekatan dengan Narendra, walaupun hal itu hanya dengan ramah-
nya pembicaraan serta sentuhan tangan. Seperti hal-
nya tadi sore selepas dari bentrokan di warung, Narendra tiba-tiba memeluknya.
Ini bukan sikap yang ku-
rang ajar. Tetapi Narendra berniat mendorong tubuh
Pusparini ketika ada seekor laba-laba beracun meluncur dari atas pohon yang
nyaris menimpa bahunya.
Tetapi mengapa Narendra bertindak seperti itu"
Bukankah dengan menebas laba-laba itu pakai senjata maka dia bisa diselamatkan"
Atau memang hal seperti itu yang bisa dilakukan Narendra berhubung dengan
keadaan yang mendadak"
Peristiwa semacam itu memang hal yang biasa. Te-
tapi tidak biasa apabila dirasakan oleh dua insan yang keslomot asmara.
"Astaga, apakah aku sedang jatuh cinta?" pikir Pus-
parini sambil menelungkupkan tubuhnya. Lalu dia ter-lentang lagi. Khayalnya
melambung. Pikirannya selalu terkait pada hal-hal kebersamaan dalam hari-hari
yang sibuk di mana Narendra mendampinginya. Laki-laki itu banyak memomongnya dan
memberi pengarahan dengan sabar. Jarang terjadi perdebatan yang memancing
ketegangan. Dan lamunan ini buyar tiba-tiba. Itu karena terden-
gar suara ketukan pintu kamarnya.
"Siapa?" tanya Pusparini dengan membenahi tu-
buhnya yang tidak berkain.
Tak ada jawaban.
Pusparini terpaksa membuka pintu. Dilongokkan


Walet Emas 08 Siluman Kedung Brantas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepalanya keluar. Tak ada siapa-siapa. Di depan pintu kamarnya terbentang
halaman luas. Ini adalah wahana kademangan, dan setiap kamar yang terpisah
dihuni oleh satu orang jagabaya, penjaga keamanan.
Sepi di luar. Malam sedang memeluk bumi. Bulan
sepotong mengambang di langit, yang setiap saat jadi redup karena terhalang awan
yang melintas. Pusparini mempersiapkan diri. Dia keluar dengan
menating pedangnya. Tetapi bukan Pedang Merapi Dahana. Perasaannya jadi tidak
enak. Firasatnya terusik bahwa ketukan tadi memang dilakukan oleh seseorang.
Tiba-tiba pandangannya tertuju kepada sosok tu-
buh yang berkelebat dari samping rumah jaga yang dihuni oleh Sempak Waja. Sosok
tubuh itu melesat ke
atas wuwungan, dan bertengger di sana. Tidak srantan lagi, Pusparini terus
melesat memburu ketika dilihatnya orang itu melompat ke arah kediaman Ki Demang
Balawan. "Siluman Kedung Brantas!" desis Pusparini setelah
yakin dengan penglihatannya.
Dia terus mengejar. Ketika berada di dekat sasaran, dia terus melompat
menerjang. Kekhawatirannya bahwa Siluman Kedung Brantas akan mempergunakan ra-
cun lagi, tidak dipikirkan, sebab Narendra telah mem-berinya penawar racun.
Terjangan Pusparini tepat mendarat di punggung
lawan. Tokoh bertopeng berambut panjang itu mence-
lat ke depan. Tetapi dia cepat menguasai diri dan menoleh ke arah Pusparini yang
siap menyerang untuk
kedua kalinya. "Hm. Kau berani sekali klayapan kemari. Apakah Bengawan Brantas telah kehabisan
ikan sehingga kau
mencari makan di daratan?" ejek Pusparini dengan
melancarkan serangan beruntun.
Sosok tubuh itu memang dikenali sebagai Siluman
Kedung Brantas yang pernah ketanggor bentrokan
dengan Pusparini. Paling akhir Pusparini mendengar
bahwa 'siluman' ini membajak perahu di Bengawan
Brantas dengan beberapa anak buahnya yang mema-
kai kedok serupa. Tetapi mengapa malam ini klayapan sendirian kemari"
Pusparini akan tahu kemudian. Yang penting dia
getol sekali menghadapi sosok tokoh yang bikin onar ini. Paling tidak, dia ingin
membuka kedoknya untuk dilihat tampangnya.
Pada kesempatan ini Pusparini dihadapkan sesuatu
hal yang aneh. Sepertinya dia tidak berhadapan dengan lawan yang pernah
menyerang dirinya beberapa
waktu yang lalu. Yang ini punya keterbatasan gerak
dalam memberikan perlawanan. Seperti halnya ketika
Pusparini menggojlok dengan gerak tipu untuk menje-
bak sikap lawan, ternyata sosok yang satu ini berhasil masuk ke dalam perangkap
serangannya. Tentu saja
dengan mudah dia bisa membuat pusing lawannya, ke-
tika pukulan itu berhasil menghantam tengkuknya.
Serangan ini kontan saja membuat topeng itu lepas
dari tempatnya. Dengan cepat pula Pusparini segera
menjambretnya. "Tunggu! Aku menyerah," seru sosok tubuh itu,
yang ternyata seorang wanita.
"Hah" Kau... Siluman Kedung Brantas gadungan"!"
ujar Pusparini dengan berusaha mengamati wanita di
hadapannya. "Kalau kau ingin menyerahkan diri, be-
rarti bisa bicara baik-baik. Ayo, ke tempatku!"
Ketika mereka akan meninggalkan tempat itu, Na-
rendra muncul. "Ada apa ini" Tampaknya kau berhasil menangkap
maling," kata Narendra sambil mengamati wanita di
samping Pusparini.
"Dia menyerahkan diri. Sebaiknya kita berbicara di
dalam saja," kata Pusparini.
Melihat wanita itu terlihat pasrah, maka kekhawati-
ran akan tipu daya dari orang ini bisa disisihkan sejenak.
"Siapa namamu dan mengapa menyamar sebagai
Siluman Kedung Brantas"!" tanya Pusparini setelah
berada di dalam ruang kamarnya.
"Aku salah seorang anak buahnya. Namaku Daya-
ni," jawab wanita yang tampak sebaya dengan Puspa-
rini. "Dayani" Lalu apa kerjamu menyatroni tempat ini"
Kulihat kau tadi akan menyusup ke tempat Ki Demang
Balawan," tanya Pusparini sambil mengamati topeng
yang menampilkan wajah siluman di tangannya.
"Aku membelot!" jawab wanita itu.
"Membelot?" ucap Narendra terasa kurang yakin
pengakuan wanita itu.
"Sebab apa" Apakah karena kau kurang terjamin
hidupmu dalam kelompok itu?"
"Tunanganku, yang juga anak buahnya, beberapa
hari yang lalu dibunuhnya," jawab wanita bernama
Dayani itu dengan menunduk sedih. Wajahnya manis.
Kulitnya agak kehitaman. Bulu alisnya tebal. Matanya blalak-blalak seperti
wanita Hindustan.
"Mengapa kekasih... eh, tunanganmu mengalami
nasib sial seperti itu?" tanya Pusparini. Perkara tentang pasangan yang sedang
dilanda asmara, tiba-tiba sangat menarik perhatiannya.
"Sebenarnya... kami berdua adalah pihak luar yang
menyusup ke dalam kelompok Siluman Kedung Bran-
tas. Aku dan Lutungan, kekasihku itu, berasal dari Kerajaan Wengker!" jawab
Dayani. "Kau... warga Wengker?" ulang Pusparini dengan
nada serius. Kerajaan Wengker bermusuhan dengan
Kerajaan Medang, di mana dia mengabdi sebagai war-
ganya. Selain Wengker, Kerajaan Medang juga satru dengan Sriwijaya. Tetapi
Wengker bukan sekutu Sriwijaya. Pengakuan Dayani menylomot perhatian serius.
"Tunggu. Aku mengerti apa yang kau pikirkan. Ka-
mi menyusup ke dalam komplotan Siluman Kedung
Brantas bukan untuk kepentingan penguasa Weng-
ker," sela Dayani ketika melihat perubahan wajah Pusparini. Rupanya Dayani sudah
menduga bahwa kata-
katanya akan menimbulkan kecurigaan.
"Lantas untuk apa?" ucap Narendra menimpali. Dia
pun merasa bahwa masalah yang dihadapi kian ber-
kembang kepada pihak-pihak lain yang bertumpu pada
penampilan sosok orang yang menamakan diri Silu-
man Kedung Brantas.
"Memburu orang yang pernah mencuri kitab pusaka
guruku!" jawab Dayani. Sorot matanya tajam, dan
membuat pandangan aneh seperti memendam den-
dam. "Perkara curi-mencuri aku mengerti. Tetapi kitab
pusaka yang berisi ilmu apa yang dicuri oleh Siluman Kedung Brantas itu?" tanya
Narendra setengah ber-canda. Sebab masalah yang begini sebenarnya bukan
barang baru di kalangan kaum persilatan. Seorang
murid mencuri kitab perguruan, atau kelompok lain
mencuri kitab perguruan lain, hal itu sudah bukan
aneh lagi "Tentu kalian tidak tahu siapa orang yang bergelar
Siluman Kedung Brantas itu!" kata Dayani yang sepertinya lebih mengerti dari
mereka yang sedang dihadapi.
"Dia bekas senopati Kerajaan Medang semasa pemerin-
tahan Raja Makutawangsawardhana!"
"Astaga!" seru Pusparini. "Kau jadi lebih banyak ta-hu daripada kami."
"Dia melarikan seorang selir raja," lanjut Dayani.
"Bukan main," sahut Narendra.
"Dan mereka berdua jadi buron," sambung Dayani
lagi. Pusparini terperangah mendengar kisah itu.
"Siapa nama sebenarnya 'siluman' itu?" sahut Na-
rendra. "Senopati Tarusbawa!" jawab Dayani.
"Aku akan memanggil Ki Demang," kata Pusparini
dengan beranjak dari tempatnya. "Mungkin dia tahu
juga tentang hal itu kalau ceritamu benar."
"Jangan!" cegah Dayani.
"Mengapa" Kau takut bahwa cerita bohongmu itu
terbongkar?" kata Pusparini.
"Jadi kau tidak mempercayai ceritaku?" sela Daya-
ni. "Hanya ingin pembuktian saja. Ki Demang adalah
tokoh tua yang tentunya tahu keadaan pemerintahan
Baginda Raja Makutawangsawardhana, ayahanda Sri
Baginda Dharmawangsa," jawab Pusparini.
"Kau boleh membuktikan dengan memanggil Ki
Demang kemari. Tetapi sebelum itu kuberitahu sesua-
tu yang mungkin kau semakin tidak mempercayai ceri-
taku," kata Dayani lagi seraya mengeluarkan sebuah
gulungan kulit yang berguna sebagai sarana tulisan di samping daun lontar yang
umumnya juga terpakai untuk itu.
"Untuk apa itu?" tanya Pusparini.
"Justru kedatanganku kemari untuk menemui Ki
Demang. Semua pintu kuketuk untuk mengetahui
apakah penghuninya telah tidur," jawab Dayani.
"Hm, jadi kau yang mengetuk pintu kamarku?" kata
Pusparini. "Tetapi ada baiknya memang. Dengan begitu aku terjaga dan keluar
ruangan yang kemudian kupergoki dirimu yang menyatroni tempat Ki Demang. Lalu
apa maksudmu menunjukkan gulungan kulit itu kepada kami?"
"Bukti bahwa Ki Demang terlibat dalam pencurian
kitab pusaka guruku. Dia juga tahu siapa Senopati Tarusbawa," jawab Dayani.
Gulungan kulit sebagai sarana lembaran tulisan itu
dibuka oleh Pusparini. Dia membaca tulisan-tulisan
yang tertera di situ. Narendra nimbrung membaca. La-
lu keduanya saling pandang setelah selesai membaca.
"Bagaimana?" tanya Dayani.
"Jadi tindakan Siluman Kedung Brantas selama ini
hanya dendam kepada Ki Demang Balawan?" kata Na-
rendra dengan tetap meneliti tulisan itu.
"Sebagian kitab yang dicuri itu bagian akhirnya dis-embunyikan oleh Ki Demang.
Dan surat ini adalah
pengakuan yang semacam prasasti pribadi tentang
pencurian kitab pusaka itu yang ditulis oleh Senopati Tarusbawa beberapa puluh
tahun yang lalu," kata
Dayani. "Kisah selengkapnya pernah diceritakan oleh Nyi Kunjari kepadaku
sehingga aku tahu semua riwayat mereka."
"Nyi Kunjari" Siapa dia?" tanya Pusparini.
"Selir Raja Makutawangsawardhana yang dilarikan
Senopati Tarusbawa," jawab Dayani. "Maaf. Karena
aku telah bertemu dengan kalian, maka rencanaku
semula untuk menemui Ki Demang sebaiknya tidak
kulakukan lagi. Cukup kepada kalian aku minta to-
long." "Minta tolong?" sahut Pusparini. "Kedengarannya
enak. Berkenalan pun baru saja terjadi. Itu pun dengan cara tidak wajar atas
dasar bermusuhan. Bukan-
kah kau sekarang ini tawananku" Bagaimana aku bisa
menolongmu" Dan untuk apa?"
"Membongkar kedok Ki Demang, dan sekalian
menghancurkan komplotan Siluman Kedung Brantas,"
jawab Dayani mantap. Kedengarannya memang tidak
meragukan. Tetapi apakah secepat itu Pusparini bisa mempercayai"
"Jadi surat ini semula akan kau tunjukkan kepada
Ki Demang sebagai todongan agar dia menyerahkan
sebagian kitab pusaka yang tercuri itu?" tanya Narendra.
"Ya!"
"Kau menganggap bahwa Ki Demang akan takut
dengan ancamanmu kalau hal ini dibeberkan kepada
para penggedhe di istana Medang" Begitu?" tebak Pusparini.
"Ya," jawab Dayani dengan sorot mata yang blalak-blalak agar pengakuannya
dipercayai. Dan tampaknya memang ada kejujuran pada sinar matanya.
"Lalu apa yang harus kulakukan seandainya aku
bersedia menolong mencari kitab pusaka tersebut yang sebagian disimpan oleh Ki
Demang?" kata Pusparini.
"Ini semata-mata hanya untuk tidak menimbulkan
imbasan peristiwa yang besar. Maksudku... tentang
permusuhan Wengker dan Medang yang saat ini bagai
api dalam sekam," jawab Dayani. "Kami hanya ingin
mendapatkan kitab pusaka itu tanpa menyeret bentro-
kan dua kerajaan."
"Begitukah akibatnya kalau tak terkendali?" kata
Pusparini. "Ya! Sebab hal ini menyangkut keberadaan asal ki-
tab pusaka itu yang berasal dari Wengker," jawab
Dayani. "Kitab itu berisi bermacam-macam ilmu kanu-
ragan yang umumnya banyak dikuasai oleh pendekar
pilih tanding. Tetapi ada bab yang menguraikan ten-
tang ajian yang disebut 'Sukma Lintah', yang bisa
menggerakkan benda dari jarak jauh. Ada lagi sejenis ilmu pengasihan yang
disebut ajian 'Kamajaya Ratih', yang bisa membuat jasmani berubah menjadi remaja
di kala melakukan cinta sebadan."
Berkata tentang yang terakhir ini Dayani agak eng-
gan, sebab Narendra rupanya begitu tertarik dengan
penjelasannya. "Cinta sebadan... yang kau maksud... senggama?"
tanya Narendra tanpa sungkan.
"Maaf, begitulah adanya. Ajian 'Kamajaya Ratih' pa-
da umumnya berlaku bagi peminat yang berusia lan-
jut," jawab Dayani yang menjadikan pembicaraan itu
semakin asyik. Lidah Narendra berdecak tanda kagum. Sedangkan
Pusparini mencoba menghindari masalah itu walaupun
hati kecilnya ingin tahu lebih banyak bagaimana keu-nikan ajian 'Kamajaya Ratih'
tersebut. Yang jelas ajian itu bisa membuat seorang 'manula' bisa menjelma
secara jasmaniah menjadi remaja ketika bermain cinta
dengan orang yang dia cintai. Lalu tubuh mereka menjadi tua kembali setelah
segala permainan asmara itu selesai! Bukan main!
"Sudah! Kita jangan terbius soal ajian yang digan-
drungi oleh orang-orang itu," tukas Pusparini. "Aku akan menyelidiki sampai
berapa jauh tindakan Ki Demang yang masa lalunya punya hubungan dengan Se-
nopati Tarusbawa yang kini tampil sebagai Siluman
Kedung Brantas. Benar-benar sikap mendua yang rapi.
Selama ini kita kenal Ki Demang sebagai orang jujur dan setia kepada pemerintah
Medang. Kalau benar
bahwa dahulu dia membantu Senopati Tarusbawa me-
larikan selir Baginda Raja Makutawangsawardhana,
maka namanya bisa dimasukkan dalam 'daftar hitam'.
Dan orang seperti ini bisa dipandang sebagai
pengkhianat terhadap keluarga raja walaupun hal itu telah puluhan tahun


Walet Emas 08 Siluman Kedung Brantas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berlalu." Baru saja Pusparini mengakhiri ucapannya, men-
dadak Ki Demang Balawan muncul...!
"Aku telah mendengar semuanya, Pusparini!" kata
orang tua itu. "Dan kalian adalah orang-orang yang
banyak tahu tentang rahasia masa lampau itu!"
"Ki Demang...!" sela Pusparini untuk menjajagi apa
yang akan dilakukan oleh orang yang rupanya sejak
tadi telah mencuri dengar pembicaraan mereka.
Dan Demang Balawan telah bertindak. Tangannya
berkelebat. Angin pukulan yang dilancarkan untuk
membuyarkan perhatian tiga orang di hadapannya
menghajar dengan deras. Untung ketiga orang itu berhasil mengelak dengan melesat
keluar. Gerak mereka
menjebol langit-langit ruangan, dan menerobos wu-
wungan. "Kau benar, Dayani!" seru Pusparini setelah men-
ginjak tanah kembali.
Basa-basi tak sempat lagi, sebab Ki Demang telah
memburu mereka keluar.
"Orang tua ini tidak selemah yang kukira," seru Na-
rendra sambil menghindarkan diri karena serangan
lawan yang ditujukan ke arahnya.
Dia belum siap menguasai medan laga. Sedangkan
Pusparini dan Dayani baru mempersiapkan diri untuk
menghadapi serangan Ki Demang yang kelihatannya
mulai memperlihatkan sikap siapa dia sebenarnya.
Satu lawan tiga. Itulah yang terjadi sekarang. Men-
groyok lawan hukumnya sah-sah saja. Tetapi rasanya
kurang ksatria. Pusparini lebih senang untuk menghadapi lawannya seorang diri.
"Minggir! Biar kuhadapi dia!" seru Pusparini.
Narendra memberi kesempatan walaupun kurang
setuju dengan sikap Pusparini. Baku hantam antara Ki Demang dengan Pusparini
terjadi. Lawan tua ini memperlihatkan kegesitan geraknya yang sulit dibendung.
Serangan-serangan si Walet Emas sering mendapat
kunci penolak sehingga harus mencari peluang untuk
membuka jurus baru. Tetapi itu semua belum seluruh
kemampuan Pusparini dikerahkan. Ketika Pusparini
mengeluarkan jurus-jurus waletnya, Ki Demang mulai
kesulitan dalam mencari peluang untuk menghadapi
kegesitan gerak lawan. Apalagi setelah Pusparini menambah dengan sapuan
tendangan yang jangkaua-
nnya sulit diramal. Sebuah tendangan bisa menghajar dua, tiga kali. Itu karena
gerak ganda yang beruntun dilakukan dalam keadaan tubuh mengudara.
Darah mulai mengalir dari hidung dan mulut orang
tua itu "Kau memang tak boleh diremehkan," desis Ki De-
mang dengan melepas ikat pinggangnya. Ternyata me-
rupakan stagen sepanjang tiga depa berwarna merah.
Ujungnya berjumbai dengan butiran logam pada pu-
cuknya. Sekali tebas, maka stagen itu menjadi kaku
bagaikan pedang dan dihantamkan ke arah Pusparini.
Pusparini berhasil menangkis serangan Ki Demang
dengan landasan tapak tangannya. Hal ini menjadi dua kekuatan yang saling
beradu. Empat jurus serangan
yang serupa berhasil ditangkis oleh Pusparini. Tetapi ke lima kalinya, Pusparini
terjebak dengan serangan yang diubah jurusnya. Stagen itu melemas sehingga
lenturannya menghantam wajah si Walet Emas. Rasa
panas bagai terbakar dirasakan oleh Pusparini. Pan-
dangannya berkunang-kunang.
Narendra yang tahu hal ini segera turun ke gelang-
gang. Dia berhasil mencegah serangan Ki Demang be-
rupa tendangan kaki ke arah Pusparini. Tendangan itu berhasil disergap oleh
Narendra dengan menyambar
tumit Ki Demang. Dengan tangkapan ini lalu ditariknya tubuh Ki Demang yang
selanjutnya dilemparkan
sehingga tubuh tua itu melanda tembok.
Ki Demang Balawan misuh-misuh. Pada saat itulah orang-orang perabot kademangan
keluar untuk melihat apa yang terjadi.
"Tangkap mereka!" seru Ki Demang.
Adalah Sempak Waja yang clingukan kurang yakin
dengan perintah itu. Begitu juga orang-orang lainnya.
"Mereka musuh kerajaan!" hasut Ki Demang lagi ke-
tika mengetahui anak buahnya belum juga ada yang
bertindak. Melihat keadaan ini, Pusparini melesat masuk ke
dalam ruang kamarnya dan mengambil Pedang Merapi
Dahana. Walaupun tahu bahwa malam hari pedang
tersebut keampuhannya tidak berperan, tetapi kalau
untuk menghalau lawan seluruh perabot kademangan,
pasti bisa. Apakah hal itu akan dilakukan terhadap
mereka yang tak berdosa"
"Kita harus menghindari mereka!" seru Pusparini
kepada Narendra dan Dayani.
Ini adalah pikiran yang waras untuk mencegah kor-
ban dari mereka yang tidak tahu-menahu duduk per-
soalannya, tetapi harus patuh kepada perintah Ki Demang.
Kemudian mereka bertiga melesat meninggalkan ha-
laman kademangan yang kian banyak dikerumuni
orang-orang...!
*** DELAPAN "Kita sekarang jadi buronan," kata Pusparini setelah mereka bertiga berhasil
menyelamatkan diri. "Kalau
omongan Ki Demang menyebar, maka orang-orang se-
luruh kademangan ini akan memburu kita."
Kini mereka berada di suatu tempat di mana Na-
rendra pernah menyembuhkan Pusparini dari racun
Siluman Kedung Brantas. Suatu tempat di tepi hutan
di pinggiran Bengawan Brantas. Di sana dipandang
aman. Sebab orang akan berpikir tujuh kali kalau
akan ke sana. Tempat yang dikelilingi rawa-rawa itu memang banyak binatang
buayanya. "Kita tak mungkin berada di sini terus," kata Daya-
ni. "Kini kalian sudah membuktikan bahwa demang
tua itu punya kaitan dengan senopati pelarian yang
kini menyamar sebagai Siluman Kedung Brantas. Aku
punya gagasan seandainya kalian setuju."
"Apa gagasanmu?" tanya Pusparini.
"Mempertemukan Siluman Kedung Brantas dengan
Ki Demang!" kata Dayani.
"Itu juga terlintas dalam pikiranku barusan. Tetapi bagaimana caranya?" sela
Narendra. "Aku akan mengatakan bahwa Nyi Kunjari sedang
bermain cinta dengan Ki Demang!" kata Dayani. "Seca-ra kebetulan Nyi Kunjari
sangat akrab denganku. Dia bisa kuajak ke kademangan dengan dalih suaminya
membutuhkan kehadirannya untuk menjernihkan
urusan lama!"
"Bisa semudah itu?" tanya Pusparini. "Apa latar be-
lakangnya maka Nyi Kunjari harus kau kabarkan ber-
main cinta dengan Ki Demang?"
"Itu hanya masa lampau yang pernah diceritakan
oleh Nyi Kunjari kepadaku," jawab Dayani.
"Terserah kau saja. Kukira pikiran itu jalan satu-
satunya untuk mengadu domba tokoh-tokoh lama
yang terlibat dalam peristiwa itu," kata Pusparini. "Kau bisa berangkat
sekarang!"
"Tunggu!" sela Narendra. "Apa tidak sebaiknya kita
berdua ikut serta" Aku ingin tahu sarang Siluman Kedung Brantas itu."
"Astaga! Kau benar, Kakang Narendra!" sahut Pus-
parini. "Kita memang harus ke sana!"
Mereka bertiga segera mengawali kerja lagi. Kali ini Dayani menjadi petunjuk
jalan dan pegang peranan
untuk mengungkap kedok Siluman Kedung Brantas.
Dayani memang punya alasan kuat untuk itu. Keka-
sihnya telah dibunuh oleh Tarusbawa, tokoh 'siluman'
itu dengan alasan yang tidak jelas. Atau saat ini Dayani sudah bisa menduga
mengapa Lutungan, kekasih-
nya itu, dibunuh oleh Siluman Kedung Brantas. Apala-gi kalau bukan rahasia masa
lalunya yang mungkin telah diketahui oleh Lutungan sehingga Tarusbawa, si
Siluman Kedung Brantas, terpaksa membunuhnya"
Dan kini tinggal dia. Dayani sendiri. Mungkinkan saat ini Siluman Kedung Brantas
sedang mengincar ji-wanya"
"Tidak! Ini akan sangat membahayakan kalau aku
kembali ke sarang Siluman Kedung Brantas," kata
Dayani yang merubah pendirian. Semua tindakan se-
pertinya semrawut. Tidak ada kepastian untuk me-
nempuh kerja yang tiba-tiba harus ditangani.
"Kalau begitu tunjukkan saja tempatnya," saran Na-
rendra. "Bagaimana?" katanya lagi ketika Dayani kelihatan ragu-ragu.
"Begitu mungkin lebih baik. Tetapi nanti kalau ada
perkembangan bahwa aku bisa menemui Nyi Kunjari,
akan kulakukan sendiri. Yang jelas, untuk sementara aku harus menghindari
Siluman Kedung Brantas," ka-ta Dayani.
"Aku tak ingin ada perubahan tindakan lagi," justru Pusparini yang mengawali
langkah untuk pergi dari
sana. Dayani dan Narendra tahu, bahwa Pusparini tak
suka dengan cara kerja seperti itu. Sekarang siapa
yang memimpin dan dipimpin, peranannya jadi kabur.
Masing-masing punya cara untuk bertindak yang ha-
rus bisa ditunjang. Itu namanya memang musyawarah.
Tetapi kalau caranya tidak tegas, maka sangat mem-
bingungkan sekali.
Kini mereka bertiga menuju ke sarang Siluman Ke-
dung Brantas. Jalan yang ditempuh memang me-
mungkinkan orang untuk tidak berani ke sana. Pada
suatu tempat, mereka terpaksa mengerahkan ilmu en-
teng tubuh, sebab yang dilewati adalah genangan lumpur yang bisa menghisap
tenggelam apa saja yang ber-pijak di atasnya. Hal itu memang nyata, ketika
terlihat seekor babi hutan yang melintas di atas genangan
lumpur dan terhisap ke dalamnya tanpa bisa melo-
loskan diri. "Di situ kubur si Lutungan, kekasihku," kata Daya-
ni dengan menunjuk ke arah genangan lumpur yang
baru dilewati. "Dikubur dalam lumpur?" tanya Pusparini dengan
mengawasi hamparan lumpur yang luas sekali.
Bisa dipastikan, kalau Bengawan Brantas banjir,
kawasan itu ikut tenggelam. Mungkin di sana ada
hamparan cekungan yang dipenuhi lumpur dan di ba-
wahnya ada aliran air bawah tanah yang merupakan
pusaran yang berhubungan dengan aliran Bengawan
Brantas. Dengan keadaan itu maka hamparan lumpur
tersebut punya tenaga pengisap yang kuat sekali. Tetapi anehnya, lumpur itu
tidak terkikis habis, dan tetap merupakan hamparan abadi yang merupakan tem-
pat maut. "Dalam keadaan luka parah setelah bentrok dengan
Siluman Kedung Brantas, dia menyeberangi tempat
itu. Tetapi keburu terkejar dan terpenggal kepalanya oleh bekas senopati
pelarian itu," kata Dayani mengenang peristiwa yang merenggut nyawa Lutungan,
ke- kasihnya. "Ayo, kita terobos semak-semak di sana. Kalau ada terlihat 'Watu
Kebo', maka di sampingnya ada trowongan menuju goa bawah tanah yang akan menu-
ju ke lereng tebing di pinggiran Bengawan Brantas."
Konon, orang menyebut tempat itu sebagai cepuri
'Watu Kebo'. Suatu tempat keramat. Tetapi setelah di sana bercokol Siluman
Kedung Brantas, maka tak ada
seorang penduduk pun yang ' nyadran' ke sana. Mungkin juga si 'siluman' itu
telah menimbulkan korban ba-gi mereka yang nyadran ke sana sehingga menakutkan
bagi setiap orang yang mengenal tempat itu.
Mereka bertiga telah sampai di sisi 'Watu Kebo'. Tetapi baru saja mereka akan
menyusup masuk, tiba-
tiba ada langkah kaki yang terdengar hendak keluar
dari relung goa.
Dayani memberi isyarat agar Pusparini dan Naren-
dra cepat mengambil tempat bersembunyi. Tetapi
agaknya tempat untuk itu tidak ada. Di sana memang
merupakan lorong lurus, sehingga kalau ada yang berpapasan pasti kepergok. Dan
langkah kaki itu terdengar datang dari arah tikungan.
"Terlambat!" bisik Dayani setelah suara langkah ka-
ki itu memunculkan sosok tubuh orangnya.
"Kebo Parud!" ucap Pusparini ketika melihat siapa
yang muncul. Ya. Kebo Parud yang nongol di sana. Dia pun terke-
jut melihat tiga orang berpapasan dengannya.
"Wah, Wah! Pusparini! Apakah aku mimpi karena
melihatmu di sini?" ujar Kebo Parud dengan pandan-
gan mata jlalatan. "Dan kau... Dayani! Aku tak bisa percaya kalau kalian telah
saling mengenal. Yang satu ini... siapa?" tunjuknya ke arah Narendra.
"Aku Narendra!"
"Oowh, Narendra?" sahut Kebo Parud. "Apapun ala-
san kalian sampai di sini, yang harus kalian ketahui hanya satu. Di sini ada
hukum ' jalmo moro, jalmo mati'.
Ada manusia datang, harus mati! Sebab tempat ini ter-
larang bagi orang luar di kelompok kami. Termasuk
kau, Dayani! Namamu telah kami coret dari sini. Itu berarti... kau harus mati
terlebih dulu karena membawa orang luar masuk kemari!"
Dan ucapan Kebo Parud itu adalah awal bentrokan
yang kemudian berkembang dengan seru. Dia tak gen-
tar harus menghadapi mereka. Apalagi dengan Puspa-
rini yang dalam gelanggang tari telah memenggal lengannya sehingga kini tinggal
sebelah. Kebo Parud mengenakan jubah lengan panjang, se-
hingga lengannya yang terpotong itu tertutup. Justru lengan jubah tersebut bisa
leluasa bergerak untuk dipakai senjata dengan cara mengibaskan ke arah lawan.
Bagi Dayani yang tahu seluk-beluk tempat itu, ber-
tempur dalam lorong goa itu sangat membahayakan.
Di sana banyak jebakan senjata rahasia. Apakah hal
ini yang membuat Kebo Parud tanpa was-was berani
menghadapi lawan yang salah seorang di antaranya telah memenggal lengannya tempo
hari" Tampaknya be-
gitu. Terbukti dengan gerakan Kebo Parud yang ingin memancing lawan ke arah di
mana ada jebakan rahasia yang cukup mematikan.
Hal itu kemudian terjadi. Ketika berhasil memanc-
ing Narendra ke arah suatu sisi dinding goa, tangan Kebo Parud bergerak
menyentuh tonjolan batu. Dan
sekejap kemudian dari lobang-lobang dinding melun-
cur beberapa batang tombak. Kalau Narendra tidak
waspada, pasti lambungnya disergap oleh luncuran


Walet Emas 08 Siluman Kedung Brantas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tombak itu. Untung dia berhasil berkelit dengan memi-pihkan perut sehingga
tombak itu nylonong satu jari dari kulitnya. Keadaan ini membuat Pusparini pun
harus berhati-hati dengan gerakan serangan Kebo Parud.
Dayani segera mengambil prakarsa agar Kebo Parud
tidak dekat-dekat dengan dinding goa. Caranya adalah
menghalangi langkah lawannya.
Cara ini ketahuan. Kebo Parud harus menindak
Dayani terlebih dulu. Sebab dia banyak mengetahui seluk-beluk goa yang terpasang
jebakan senjata rahasia.
Akhirnya pada suatu serangan, Kebo Parud berhasil
mengibaskan lengan jubahnya sehingga melilit leher
Dayani. Lalu tangannya yang sebelah, segera menyer-
gap dengan tusukan cundrik (keris kecil) ke arah dada wanita itu.
Dayani benar-benar tak berdaya. Pusparini dan Na-
rendra yang hendak membantu, terhalang oleh senjata rahasia yang tiba-tiba
meluncur ketika kaki Kebo Parud menendang ke salah satu tonjolan batu yang lain.
Tangan Kebo Parud yang memegang cundrik yang
saat ini ditancapkan ke dada Dayani, benar-benar
menjadi adegan yang mengerikan. Sebab cundrik itu
diputar-putar ke arah dada, tepat pada jantung kor-
bannya. Tentu saja jantung Dayani hancur total, dan wanita itu terenggut ajal
dengan cara itu. Kemudian tubuh yang tak berdaya itu dicampakkan ke tanah.
"Nah, siapa yang akan menyusul?" kata Kebo Parud
dengan wajah bengis.
Pusparini tak tahan lagi. Dia segera mencabut Pe-
dang Merapi Dahananya. Dalam relung goa, secara ke-
betulan ada celah-celah yang memungkinkan cahaya
matahari menerobos masuk. Keadaan ini memungkin-
kan Pedang Merapi Dahana punya kekuatan dengan
membiaskan cahaya merah.
"Pedang Merapi Dahana"!" bisik Kebo Parud.
"Hm. Jadi kau kenal juga dengan senjata ini?" seru
Pusparini dengan nada ketus, tidak ramah.
"Kau pasti pendekar yang punya gelar Walet Emas",
kata Kebo Parud lagi.
"Seharusnya kau merasa terhormat tahu tentang
aku. Sebagai kelompok hitam, itu berarti akhir dari kerjamu," kata Pusparini.
Kebo Parud sadar akan hal ini segera menyentuh
tonjolan batu yang lain. Sekejap kemudian melesat bilah-bilah senjata tajam.
Pusparini dengan tangkas
membabat serangan senjata rahasia tersebut. Semua
dibuat rontok berkeping-keping.
"Jadi begitu keampuhannya?" pikir Kebo Parud
dengan melesat menjauhi tempat itu. "Aku tak mung-
kin menghadapi dengan senjata di tanganku!"
Tak ayal lagi, Pusparini dan Narendra segera men-
gejar. Lari Kebo Parud menuju ke dalam, berarti ke
jantung sarang Siluman Kedung Brantas. Tindakan
pasangan pendekar ini, Pusparini dan Narendra, san-
gat berhati-hati.
Lorong-lorong yang bersimpang siur terdapat dalam
goa itu memang membingungkan setiap orang yang
baru masuk ke sana. Oleh sebab itu dalam mengejar
Kebo Parud, mereka tak boleh kehilangan pandangan
sekejap pun dari buronannya.
Tetapi memang untung tak bisa diraih. Pada suatu
tikungan, mereka kehilangan jejak.
Narendra mengumpat. "Ke arah mana" Ke sana,
atau ke sebelahnya itu" Atau ke sampingnya lagi?" ka-ta Narendra dengan
menunjukkan arah ke lorong-
lorong yang terdapat di sana.
Pusparini membisu. Kebingungan menyulam be-
naknya. "Kau ke sana, aku ke sebelahnya," tunjuk Puspari-
ni. "Kudengar gema langkahnya, tetapi pada arah ma-
na hal itu tidak jelas."
Narendra mematuhi ajakan itu. Kemudian masing-
masing memasuki lorong yang disepakati. Entah su-
dah berapa lama mereka menapak pada lorong-lorong
tersebut, yang jelas Pusparini tiba pada rongga yang cukup luas. Rupanya tempat
itu dijadikan semacam
balairung, tempat pertemuan antara pimpinan dan
anak buah. Pusparini mengamati dengan teliti. Kese-
pian yang terjadi di sana, menunjukkan bahwa anak
buah Siluman Kedung Brantas tidak sedang berada di
tempat. Tetapi benarkah anggapan itu" Jangan-jangan kedatangannya telah menjadi
incaran berpasang-pasang mata yang mengintai dari tempat persembu-
nyian. Bukankah Kebo Parud telah mengetahui keda-
tangannya"
Dalam kesendirian menanti perkembangan peristi-
wa, tiba-tiba Pusparini dikejutkan oleh datangnya suatu serangan dari celah-
celah lubang di sekeliling ruangan itu. Orang-orang bertopeng mirip seperti
Siluman Kedung Brantas, bahkan mirip yang pernah dipakai
Dayani, muncul dengan melemparkan tali-temali yang
langsung menjerat ke arah Pusparini. Berkat sikap
yang trengginas, Pusparini berhasil membabat putus
beberapa tali yang menjerat ke arahnya. Tetapi sisanya sempat menjerat
pinggangnya dan menyeret tubuhnya.
Dia mencoba menebas tali-temali itu dengan Pedang
Merapi Dahana, tetapi muncul lagi tali lain yang menyergap tangannya. Geraknya
jadi terhambat, bahkan
sulit melakukan serangan. Untuk beberapa saat Pus-
parini mencoba menghimpun kekuatan dengan tujuan
mengerahkan tenaga dengan semangat prima kalau
pihak penyerang kendor sekejap saja.
Sebelum hal itu dilakukan, tiba-tiba muncul seo-
rang tokoh atasan mereka. Dia tidak bertopeng. Jelas bukan Siluman Kedung
Brantas, sebab yang tampil ini seorang wanita tua yang berpakaian cukup mewah.
La-lu disusul munculnya Kebo Parud yang tegak di samp-
ing wanita tua.
"Jadi dia yang bernama Pusparini alias Walet
Emas?" tanya wanita tua itu yang tiada lain adalah Nyi Kunjari.
Kebo Parud mengangguk.
Nyi Kunjari menatap wajah Pusparini. Ada suatu
rahasia yang menyelinap dalam hati wanita tua ini. Dia tahu bahwa Tarusbawa
pernah bentrok dengan wanita
muda ini. Dalam bentrokan itu Tarusbawa alias Silu-
man Kedung Brantas bisa mengetahui bahwa Puspari-
ni punya kecocokan sebagai pasangan untuk melaku-
kan krida-asmara ajian 'Kamajaya Ratih'. Dan ini bisa dipandang sebagai
saingannya! Dari mana Nyi Kunjari bisa tahu" Sebab Tarusbawa sendiri yang
mengatakan dengan alasan bahwa hal itu akan bisa ditrapkan untuk mencangkok keremajaan
Pusparini untuk disalur-
kan ke dalam jiwa Nyi Kunjari sehingga menjelma
menjadi keremajaan abadi!
Mengingat alasan itu, Nyi Kunjari menyunggingkan
senyum. Sasaran tanpa direncanakan telah jatuh ke
tangan. "Kau tak akan kami sakiti kalau mau menurut," ka-
ta Nyi Kunjari.
"Apakah aku sedang berhadapan dengan Nyi Kunja-
ri?" tanya Pusparini.
"Tak salah, Cah Ayu. Akulah Nyi Kunjari. Dari mana
kau tahu perihal diriku?" tanya wanita tua itu.
"Dari Dayani!"
"Dayani"!" sahut Nyi Kunjari seperti tak percaya
dengan pengakuan Pusparini.
"Dayani rupanya telah membocorkan semua yang
ada sangkut pautnya dengan kelompok kita," kata Ke-
bo Parud. "Tetapi dia telah kuhabisi nyawanya."
"Hm. Rupanya kita kebobolan musuh. Tempo hari
kakekmu telah menyingkirkan Lutungan," sambut Nyi
Kunjari. "Yang kalian binasakan itu adalah murid-murid dari
salah satu perguruan di Kerajaan Wengker. Mereka
memburu kemari untuk melacak jejak hilangnya se-
buah kitab pusaka milik gurunya yang telah dicuri
oleh pasangan Senopati Tarusbawa dan Demang Bala-
wan!" kata Pusparini.
Tentu saja ucapan Pusparini sangat mengejutkan
mereka. Apalagi hal itu menyangkut nama Demang Ra-
jeg Banjar, Demang Balawan.
Yang tak kurang kagetnya adalah Kebo Parud. Dia
selama ini tak menduga kalau Demang Balawan mem-
punyai sangkut paut dengan diri 'kakeknya' yang di-
kenal sebagai Siluman Kedung Brantas.
"Nek! Mengapa hal ini tidak kau ceritakan padaku?"
tanya Kebo Parud. "Mengapa justru orang yang kua-
nggap sebagai musuh jadi lebih tahu tentang hal itu?"
"Sabar! Sabar, Kebo Parud! Dia pasti mencoba un-
tuk mengacaukan keadaan di sini," sahut Nyi Kunjari.
"Ringkus terus wanita itu. Kalian harus waspada
kepada salah seorang temannya yang masih klayapan
di sini!" seru Kebo Parud untuk mengesampingkan
ucapan Nyi Kunjari. Kebo Parud punya rencana untuk
membahas hal itu pada kesempatan lain setelah mem-
bereskan Pusparini.
Pada saat itulah tanpa diduga, Pusparini berontak.
Tenaga yang dihimpun berhasil mendobrak semua ika-
tan tali yang melilitnya. Apalagi setelah tangan yang memegang Pedang Merapi
Dahana dapat bergerak leluasa. Dengan sekali gebrak, dia berhasil melesat ke
arah orang-orang yang tadi meringkusnya. Kontan
orang-orang itu mencelat dengan menebah perut yang
robek karena disabet Pedang Merapi Dahana.
"Biar kuhadapi dia!" seru Nyi Kunjari.
"Nek, jangan!" seru Kebo Parud.
Terlambat. Nyi Kunjari telah melesat dari tempatnya dan menghadang gerak
Pusparini. "Aku tak gentar dengan pedang mautmu!"
"Sebenarnya aku tak punya urusan dendam den-
ganmu, Nyi!" kata Pusparini dengan bersiap mengha-
dapi serangan wanita tua itu. "Aku hanya ingin menindak Siluman Kedung Brantas
dan Kebo Parud!"
"Urusan mereka adalah urusanku juga!" berkata
begitu Nyi Kunjari menerjang ke arah Pusparini.
Bentrokan kedua orang ini terjadi tanpa bisa dice-
gah lagi. Kebo Parud yang mencoba menengahi dengan
membantu Nyi Kunjari, tiba-tiba terpelanting dari tempatnya. Itu karena ada
sebuah tendangan yang meng-
hunjam pantatnya. Kontan pisuhan selangit menyem-prot dari mulutnya. Ketika
dilihat siapa yang melakukan, ternyata Narendra telah muncul di sana.
"Kau?" seru Kebo Parud.
"Sebaiknya laki-laki lawan laki-laki! Ayo!" balas Narendra dengan mengumbar
kesombongan untuk me-
mancing kemarahan lawan. Sebab dengan kemarahan
yang meledak, Kebo Parud tidak bakal terpusat penuh pada serangan yang
dilancarkan. Kebo Parud melabrak ke arah Narendra. Dua orang
ini segera terlibat baku hantam. Tangan Kebo Parut
yang sebelah itu menggenggam sebilah pedang yang
punggungnya bergerigi. Sedangkan Narendra memper-
gunakan golok pendek. Dua senjata beradu dan me-
mancarkan bunga-bunga api. Gigih sekali keduanya
mempertahankan nyawa dan sangat bernafsu untuk
membinasakan lawan. Tak kurang dari sabetan kaki
ikut berperan pula sementara senjata mereka mencari peluang untuk merenggut
nyawa yang tergantung di
jantung masing-masing.
Sementara itu di pihak lain Pusparini masih meng-
hadapi Nyi Kunjari. Dalam hati kecil Pusparini sebenarnya tidak tega kalau harus
berhadapan dengan wa-
nita tua korban cinta ini. Masa lampaunya sebagai selir almarhum Baginda Raja
Makutawangsawardhana
sebenarnya cukup enak. Sandang pangan raja-brana cukup tersedia. Tetapi mengapa
sampai lari minggat
bersama seorang senopati bernama Tarusbawa" Cinta
kalau sudah melekat, pahitnya empedu terasa madu.
Batasan antara madu dan racun jadi sirna.
"Sadarlah, Nyi. Sebenarnya aku tak mau bermusu-
han dengan Nyai!" kata Pusparini berkali-kali setiap berhasil memojokkan wanita
tua itu. Tetapi setiap kali pula Nyi Kunjari tidak menggubris saran tersebut.
Pusparini hampir-hampir kehilangan kesabaran.
Wanita itu memegang keris yang mampu bertahan ter-
hadap tebasan Pedang Merapi Dahana. Dalam hal ini
memang ada hambatannya, sebab di dalam rongga goa
itu tidak ada cahaya matahari yang membuat pedang
di tangan Pusparini bisa lebih ampuh. Di pihak lain Nyi Kunjari beranggapan,
bahwa keris pusaka bekas
milik Prabu Makutawangsawardhana itu memang
mampu menghancurkan senjata dari logam apa pun.
Dan sampai detik itu senjata di tangan lawannya ma-
sih tegar tidak rontok secuil pun. Hal ini sempat membuat Nyi Kunjari bertanya-
tanya tentang senjata di
tangan pendekar yang punya gelar Walet Emas terse-
but. Tiba-tiba Pusparini mengambil sikap untuk keluar
dari dalam goa. Nyi Kunjari mengejar. Sulit dipercaya bahwa wanita tua itu mampu
melesat untuk mengejar.
Boleh dipastikan bahwa dia memang memiliki ilmu
persilatan yang cukup andal. Apakah itu sudah dimili-
ki semasa menjadi selir raja atau setelah dibawa minggat oleh Senopati
Tarusbawa, Pusparini tidak tahu.
Pancingan Pusparini berhasil. Dia memang hendak
menunjukkan kepada wanita tua itu bagaimana kea-
daan Pedang Merapi Dahana yang sebenarnya.
*** SEMBILAN Di luar goa langit cerah. Pusparini telah bertengger di atas batu cepuri 'Watu
Kebo'. Pedang Merapi Dahana disarungkan. Dia menunggu kemunculan Nyi Kun-
jari. Tak berapa lama kemudian wanita tua itu mun-
cul. "Jangan sesumbar kalau kau hanya mencari tempat
yang lebih lapang," seru Nyi Kunjari.
"Tidak! Aku hanya ingin memberi pelajaran yang
lain kepada Nyai!" jawab Pusparini. "Lihat pedangku!"
sambungnya seraya mencabut Pedang Merapi Dahana.
"Ohh!" hanya ini yang keluar dari mulut wanita tua
itu ketika menyaksikan kilauan cahaya merah yang


Walet Emas 08 Siluman Kedung Brantas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memancar dari Pedang Merapi Dahana.
Seketika itu juga sikapnya lunglai. Dia bersimpuh
seolah pasrah dengan keadaan. Lalu menutup wajah-
nya dengan kedua tangannya setelah kerisnya lepas
dari tangannya.
"Kau wanita yang diramalkan terhadap nasibku!"
terdengar suara Nyi Kunjari dalam isakan tangis yang tertahan.
"Apa katamu, Nyai?" tanya Pusparini yang begitu
heran melihat sikap wanita tua yang semula bersikap galak.
"Ini tentang masa lampauku sebelum aku diangkat
selir oleh raja. Seorang pendeta telah meramalkan tentang semua ini. Aku tidak
boleh menuruti kata hati.
Sebagai bukti, aku akan berhadapan dengan wanita
yang memiliki pedang api! Aku harus tunduk. Sebab
kalau tidak, ajalku akan membawa sukmaku merana,"
kata Nyi Kunjari. "Kini aku telah sadar bahwa selama ini aku hanya menuruti kata
hati saja. Hidup ini hanya untuk sementara. Aku tak ingin kehidupan langgeng di
alam abadi dengan sukma yang merana...!"
Pusparini termenung mendengar pengakuan wanita
itu. "Kau belum terlambat untuk sadar, Nyai," katanya.
"Kini Nyai bisa menolongku, bukan?"
"Apa yang bisa saya lakukan untukmu?" jawab Nyi
Kunjari. "Mempertemukan aku dengan Siluman Kedung
Brantas dan Ki Demang Balawan," kata Pusparini.
"Bagaimana dengan Kebo Parud" Sebenarnya dia
anakku. Bukan cucuku. Anakku yang lahir dari laki-
laki bernama Ki Pradhana, seorang saudagar. Hanya
karena jasmani yang tua ini maka dia terbiasa men-
ganggapku sebagai 'nenek' nya."
"Seperti yang Nyai dengar dari pendeta itu, bahwa
Nyai tak boleh menuruti kata hati yang panas. Manu-
sia membawa kodrat sendiri-sendiri. Siapa yang tidak sayang kepada anak" Tetapi
kalau sang anak telah me-lenceng dari kebajikan, apa itu akan dibela" Kita lihat
saja nanti bagaimana kodrat nasib Kebo Parud mengalir bagai air sungai yang
mesti menuju ke muaranya,"
kata Pusparini yang penuh khotbah.
Ucapan Pusparini tersebut didengar oleh Nyi Kunja-
ri seperti bukan ucapan seorang wanita muda yang sedang dihadapi. Tetapi terasa
seperti dari seorang pendeta tua yang dulu pernah menemuinya.
"Baik. Mari kita menuju Kademangan Rajeg Banjar,"
kata Nyi Kunjari tanpa mempedulikan keadaan tempat
itu lagi. Juga kepada Kebo Parud.
Mereka segera meninggalkan tempat itu. Untuk
menghemat waktu, maka dilakukan menempuh jarak
dengan mengerahkan ilmu kanuragan semacam 'ki-
dang menerabas rumput' atau ' walang miber'. Tetapi di tengah perjalanan,
pandangan mereka segera menangkap peristiwa pembajakan di sungai. Rupanya
Siluman Kedung Brantas sedang membajak sebuah perahu dagang di sana dengan
diikuti beberapa orang anak
buahnya. "Melihat cirinya, itu perahu milik Ki Demang Bala-
wan," kata Nyi Kunjari.
"O ya" Apakah mungkin Ki Demang berada di sana
pula?" ujar Pusparini yang tidak memerlukan pertim-
bangan lagi karena dia terus melesat ke arena bentrokan itu. Sedangkan Nyi
Kunjari sendiri tetap berada di tepi bengawan seperti yang disarankan oleh
Pusparini. "Ini seperti lelucon saja! Apakah Ki Demang tidak
tahu bahwa Siluman Kedung Brantas adalah Tarusba-
wa, senopati kenalannya ketika bersama-sama mencu-
ri sebuah kitab pusaka di suatu perguruan di wilayah Wengker?" pikir Pusparini
dengan melesat ke arah
tiang perahu. Dia terus nangkring di atas tiang utama itu. Tentu saja
kehadirannya mengundang perhatian
dari mereka yang sedang terlibat baku hantam. Apalagi ketika Pedang Merapi
Dahananya dicabut dari sarungnya sehingga mengeluarkan bias cahaya warna merah.
Niatnya sudah pasti. Dua pihak itu akan dilerai.
Oleh sebab itu ketika Pusparini menerjang ke ten-
gah gelanggang baku hantam, yang jadi sasaran hanya senjata-senjata mereka yang
sedang terlibat bentrokan.
Senjata mereka rontok semua ditebas Pedang Merapi
Dahana. Tentu saja hal ini sangat membingungkan ke-
dua belah pihak. Mereka tidak tahu ke mana Pusparini berpihak. Di sisi lain
keadaan Pusparini memang sedang diburu oleh pihak Kademangan Rajeg Banjar.
Tindakan Pusparini tidak berhenti sampai di situ,
dengan kelincahan gerak, dia berhasil mencongkel topeng-topeng yang dikenakan
oleh anak buah Siluman
Kedung Brantas. Kini wajah-wajah yang nyata terbuka di hadapan mereka.
"Aku menghendaki baku hantam ini diakhiri!" seru
Pusparini dengan mengacungkan Pedang Merapi Da-
hananya. Pedang itu tetap memancarkan cahaya me-
rah sehingga menciutkan nyali mereka.
"Di mana pimpinan kalian?" seru Pusparini lagi.
Semua orang mengalihkan pandang ke seberang
sungai, di punggung bukit yang disebut Bukit Thothok Bulus.
Pandangan mata Pusparini dipertajam. Di sana
memang sedang terjadi bentrokan dua orang dalam
keadaan sengit-sengitnya.
Pusparini segera melesat ke sana. Rencana telah
nyata. Dia akan menindak kedua tokoh yang sedang
bentrokan itu. Siluman Kedung Brantas dan Ki De-
mang Balawan! "Hentikan!" seru Pusparini.
Kalau dua orang yang sedang bentrokan itu meng-
hentikan sikap, itu bukan karena seruannya, tetapi mereka melihat kemilau Pedang
Merapi Dahana yang
membiaskan cahaya merah karena terpaan sinar ma-
tahari yang mulai bergulir ke barat.
"Pusparini"!" omong Ki Demang.
Ucapan ini tidak bermakna apa-apa. Yang jelas
mencerminkan rasa kaget Ki Demang ketika melihat
kehadiran si Walet Emas. Sedangkan di pihak lain, Siluman Kedung Brantas yang
tetap mengenakan to-
peng, memendam perasaan serupa. Ketika Ki Demang
hendak berkata lagi, mendadak muncul Nyi Kunjari
menyusul nimbrung dalam pertemuan yang memen-
dam ketegangan itu. Kehadirannya benar-benar mem-
buat kaget mereka yang sedang bentrok.
"Nah, genap sudah tokoh-tokoh masa lampau yang
punya alasan masing-masing sehingga Kademangan
Rajeg Banjar ini selalu dirundung kemelut keonaran!"
kata Pusparini. "Apa aku mesti membeberkan riwayat
masa lalu kalian?"
"Kau tahu itu?" terdengar suara Siluman Kedung
Brantas yang tanpa diduga melepas topengnya.
Tentu saja hal ini sangat mengejutkan Ki Demang.
Pusparini sepertinya punya wibawa yang diperoleh secara ketiban pulung. Setelah
topeng ditanggalkan, kini terlihat wajah Tarusbawa yang dulu punya gelar
'Senopati Pasukala' di jaman pemerintahan Raja Makuta-
wangsawardhana di Medang. Wajah tua yang keriput
itu benar-benar membuat pangling Ki Demang. Tetapi
dari sorot matanya, ada secercah tanda kenal yang tak bisa dilupakan.
"Aku Tarusbawa. Kau ingat itu?" kata Tarusbawa
yang dia sendiri tak tahu mengapa tiba-tiba bersikap lunak.
"Kau... Senopati Pasukala" Kukira kau telah me-
nyingkir dari Medang," sahut Ki Demang.
"Itu Kunjari!" jawab Tarusbawa sambil menunjuk
wanita tua yang berdiri tak jauh dari mereka.
"Kunjari" Selir Baginda Raja Makutawangsaward-
hana?" kata Ki Demang.
"Kita seperti anak-anak yang bodoh. Kita pernah
bersama-sama pergi ke Kerajaan Wengker atas perin-
tah Baginda Raja Makutawangsawardhana. Kita ke sa-
na sebagai telik-sandi, mata-mata, untuk menda-
patkan sarana rahasia kerajaan itu. Kita kepergok dan nyaris tertangkap. Untung
ada seorang tokoh pimpinan perguruan yang menolong kita. Kemudian kita di-
ajak ke padepokannya. Kau masih ingat siapa tokoh
itu?" kata Tarusbawa.
"Namanya Ki Palasem dari Padepokan Wayahan,"
sahut Ki Demang dengan wajah beku. Tak ada kera-
mah-tamahan walaupun suasana di sana tidak tegang
lagi. Mereka berbicara seperti dalam sarasehan.
"Ya... Ki Palasem. Orang tua itu begitu baik kepada kita. Sampai-sampai
diceritakan tentang kitab pusa-kanya yang menyimpan mantera ajian ilmu aneh yang
sulit diurai nalar. Kita masih muda saat itu. Ajian
'Kamajaya Ratih' yang diceritakan sangat menerbitkan keinginanku untuk memiliki.
Aku... mencurinya!" terdengar suara Tarusbawa mengenang masa lampaunya.
"Dan kau lalu mencuri sebagian kitab itu dari tangan-ku!" suara ini tiba-tiba
melengking tinggi.
Hampir saja bentrokan terjadi lagi kalau Pusparini
tidak mengacungkan Pedang Merapi Dahananya yang
siap bertindak. Lalu sikap Tarusbawa mengendor.
"Kita sama-sama maling!" terdengar suara Tarus-
bawa lagi. "Tetapi kau maling yang pengecut, sebab
mencuri apa yang telah kucuri. Itu sangat menimbul-
kan dendamku. Apalagi ketika kau melaporkan apa
yang telah terjadi antara aku dengan Kunjari. Kami
berdua melarikan diri, menyingkir!"
Ki Demang termenung mendengar kisah itu.
"Dan kau lalu mencoba merusak citra pemerinta-
hanku sebagai demang dengan menyamar Siluman
Kedung Brantas"!" katanya kemudian. "Itu memang
hakmu. Tetapi aku punya alasan kalau harus bertahan
bahwa kau harus kubinasakan!"
"Cukup!" seru Pusparini. "Siapa yang bersikeras pa-
da sikap masing-masing, akan berhadapan dengan aku
atas nama pemerintahan Medang dari Mapatih Satya-
wacana!" Berkata begitu Pusparini mengeluarkan tanda pen-
genalnya walaupun benda itu pernah ditunjukkan ke-
pada Ki Demang beberapa waktu yang lalu. "Kuharap
kau menyerah saja, Ki Tarusbawa. Pemerintah masa
lalumu telah berganti. Mungkin aku bisa mengajukan
pengampunan bagimu kepada Baginda Raja Dharma-
wangsa yang bertahta sekarang di Medang."
"Apakah semudah itu"!" sahut Tarusbawa.
"Tidak akan semudah itu!" tiba-tiba terdengar suara lantang.
Semua yang mendengar suara itu menoleh ke arah
datangnya seruan. Di sana muncul pula seseorang
yang sangat mereka kenal.
"Astaga! Kebo Parud!" sahut Pusparini.
Dengan munculnya dia, bagaimana nasib Narendra
yang semula berhadapan dengan orang itu. Tewaskah
Narendra" Berpikir tentang ini tiba-tiba perasaan Pusparini keslomot kemarahan.
"Hanya dengan dia aku punya urusan!" sambung
Pusparini dengan siap menerjang ke arah Kebo Parud.
Tetapi tindakan ini tersendat karena munculnya
beberapa orang lagi. Ternyata Panunggalan dan anak
buahnya yang memburu hadiah bagi Kebo Parud, hi-
dup atau mati. "Dia bagianku, Walet Emas!" seru Panunggalan.
"Aku berhasil melacaknya sampai tiba di 'Watu Kebo'.
Tetapi dia meloloskan diri dan kami kejar sampai kemari!"
"Kau tidak melihat seseorang bernama Narendra?"
tanya Pusparini dengan perasaan cemas. Karena tak
ada jawaban, maka pandangan penuh dendam tertuju
lagi kepada Kebo Parud. "Kalau kau berhasil membu-
nuhnya, pasti sesumbar dengan bangga kepadaku!"
"Rupanya kau kedanan terhadap Narendra itu?"
ejek Kebo Parud. "Sayang dia tidak setangguh yang
kau bayangkan. Sayang sekali."
"Katakan! Tewaskah dia?" seru Pusparini.
"Aku di sini, Pusparini!" tiba-tiba terdengar suara lantang dengan munculnya
sesosok tubuh yang tiada
lain Narendra masih segar bugar.
"Narendra!" seru Pusparini dengan nada suara su-mringah.
Justru hal ini membuat lengah dirinya. Tiba-tiba
Kebo Parud menyeblak tangan Pusparini dengan len-
gan jubahnya, sehingga Pedang Merapi Dahana lepas
dari pegangannya. Pedang mencelat dan jatuh ke tan-
gan Tarusbawa. Ini benar-benar peristiwa yang tak
terduga, tetapi bisa merubah suasana. Siluman Ke-
dung Brantas itu bagaikan mendapat semangat yang
kemudian tegar lagi untuk menguasai suasana.
"Kini akulah yang menguasai suasana di sini!" seru
Siluman Kedung Brantas.
Melihat hal ini Pusparini nekad untuk merebut pe-
dangnya kembali. Suasana berubah memanas kembali.
Terlihat kini masing-masing punya urusan. Pusparini berhadapan dengan Siluman
Kedung Brantas. Kebo
Parud berhadapan dengan si pemburu hadiah, Pa-
nunggalan beserta enam orang anak buahnya. Dan
yang jadi penonton adalah Nyi Kunjari, Narendra dan Ki Demang.
Dalam baku hantam ini yang paling repot Pusparini.
Menghadapi Siluman Kedung Brantas yang memegang
Pedang Merapi Dahana memang agak sulit. Pusparini
lebih banyak menghindar untuk mencari peluang un-
tuk merebut senjatanya. Narendra timbul rasa was-
wasnya. Sebagai bekas senopati, dalam memainkan
pedang maka Tarusbawa lebih lihai tentunya. Tetapi
tak kurang lincahnya adalah Pusparini sendiri yang
dengan gesit mengetrapkan jurus-jurus burung walet
dalam menyergap mangsa.
"Pusparini! Tangkap ini!" tiba-tiba terdengar seruan Nyi Kunjari melemparkan
keris pusaka milik Raja Makutawangsawardhana yang pernah dicurinya. Konon
keris itu mampu bertahan terhadap gempuran senjata
logam apapun. Pusparini berhasil menangkap senjata itu tanpa
mengerti maksud tindakan Nyi Kunjari. Kalau berniat menolongnya, berarti dia
harus membunuh Tarusbawa
alias Siluman Kedung Brantas. Dengan alasan apa"
Pusparini benar-benar tak mengerti. Tetapi apakah keris tersebut mampu bertahan
terhadap Pedang Merapi
Dahana" Dengan keris pusaka di tangan, Pusparini mencoba
bertahan. Claangg! Dua senjata beradu. Ternyata keris itu tidak cuil
sedikit pun. Kemudian berkali-kali Pedang Merapi Dahana ditebaskan oleh Siluman


Walet Emas 08 Siluman Kedung Brantas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedung Brantas untuk
menghantam senjata di tangan Pusparini tersebut. Keris itu tetap utuh! Pusparini
sendiri kagum. Tetapi yang semakin penasaran malahan Siluman Kedung
Brantas sendiri. Tindakan itu dipandangnya sebagai
pengkhianatan oleh Nyi Kunjari terhadap dirinya. Selama ini Nyi Kunjari tak
pernah bercerita bahwa dia memiliki keris semacam itu. Apakah ini dendam yang
terpendam Nyi Kunjari karena dia telah membunuh Ki
Pradhana, saudagar yang berhasil memikat hatinya"
Dan rahasia ini tetap menjadi rahasia bagi Kebo Parud, karena Ki Pradhanalah
ayah si Kebo Parud!
"Kau wanita celaka, Kunjari!" seru Siluman Kedung
Brantas seraya tetap menggempur Pusparini.
Karena hal inilah maka sikap Siluman Kedung
Brantas jadi kedodoran kewaspadaan. Sebuah sabetan
kaki dari Walet Emas berhasil menjebol pertahanan-
nya. Siluman Kedung Brantas mencelat ke belakang.
Pusparini dengan tangkas meliuk untuk memburu.
Justru niatnya ingin merebut Pedang Merapi Dahana
dari tangan lawan. Tetapi si Siluman lebih trengginas menguasai keadaan dirinya.
Maunya dia mengelak.
Dan itu hampir berhasil kalau tidak Pusparini dengan gerakan tangkas
menghadangnya dengan ayunan pukulan ke arah lambungnya. Serangan ini benar-benar
membuat mual perut si Siluman. Belum selesai dia
menguasai perasaan ini, dagunya kena hajar oleh
dengkul Pusparini yang meliuk dengan manis sehingga terdengar suara berdetak.
Tulang rahang si Siluman
pecah. Dengan sempoyongan Siluman Kedung Brantas
berdiri. Dia clingukan sejenak sebab dirasakannya ada sesuatu yang lepas dari
tangannya. Ya! Senjata itu, Pedang Merapi Dahana, telah pindah ke tangan
Pusparini. "Sekarang kau siap membunuhku, bukan"!" ka-
tanya dengan suara terengah-engah.
Sementara itu di pihak lain, ternyata Kebo Parud
berhasil membinasakan semua anak buah Panungga-
lan. Bahkan Panunggalan sendiri berhasil dilumpuh-
kan dengan renggutan nyawa yang mengerikan. Kepa-
lanya terpenggal oleh senjatanya sendiri berkat keule-tan Kebo Parud dalam
melancarkan serangan terhadap
lawan. Kemudian Kebo Parud berpaling ke arah Pusparini
yang sedang berhadapan dengan Siluman Kedung
Brantas. Melihat hal itu dia segera menerjang ke sana.
Pusparini lengah. Keris di tangannya berhasil direbut oleh Kebo Parud. Dengan
gerakan ganda Kebo Parud
ingin menghunuskan senjata itu ke arah wanita yang
selama ini didendami.
Tetapi Pusparini bergulir dengan cepat. Gerakan
Kebo Parud tidak terkendali, dan meluncur terus ke
arah Siluman Kedung Brantas.
"Aaakhh!" jeritan itu meledak dari mulut Siluman
Kedung Brantas.
Keris di tangan Kebo Parud menghunjam tepat ke
arah jantung tokoh yang selama ini bikin onar di Rajeg Banjar.
"Oh, Kakek! Maafkan aku!" seru Kebo Parud dengan
perasaan panik.
Tarusbawa, yang dulu dikenal sebagai Senopati Pa-
sukala, yang kini ditakuti dengan kemunculannya se-
bagai Siluman Kedung Brantas, sekarat diambang ajal!
"Ini karma! Kukira... aku telah memetik buahnya.
Kau bukan cucuku. Juga bukan anak keturunanku...!"
ujar Tarusbawa.
Ketika menoleh, dia melihat Nyi Kunjari datang
mendekati. Ada rasa penyesalan terlukis pada wajah
wanita itu yang tak berdaya menghadapi keadaan.
"Dia... ibumu... bukan nenekmu...!" kata Tarusbawa
lagi. "Kau... anak Pradhana... saudagar kaya yang pernah memikat... Kkk...
Kun... jarii... hhh!"
Dan suara itu tak terdengar lagi. Nyawanya amblas!
Kebo Parud terasa mimpi menghadapi semua ini.
Lalu dengan pelan dia mengawasi Nyi Kunjari yang
mencoba memeluk dirinya. Tetapi Kebo Parud menepis
lengan yang terjulur ke arahnya.
"Apapun masalahnya, aku merasa seperti boneka
mainan saja. Alangkah bodohnya aku," terdengar sua-
ra Kebo Parud seperti untuk didengar bagi dirinya sendiri yang tanpa
mempedulikan orang-orang di sekitarnya. Tiba-tiba dia menebah dadanya. Dia
sendiri heran karena dirasakan ada sesuatu yang salah dalam tubuhnya.
"Kau keracunan, Kebo Parud!" terdengar suara Na-
rendra yang melangkah mendekati. "Kau ingat ketika
kita baku hantam barusan" Aku kau tendang sehingga
roboh sebelum orang-orang yang dipimpin Panungga-
lan muncul. Kau kira aku pingsan. Tetapi aku berhasil melemparkan ramuan ke
dalam mulutmu. Kau ingat
itu?" "Keparat kau. Racun apa itu" Mengapa mujarabnya
begitu pelan dan menyakitkan?" terdengar suara Kebo Parud dengan nada tertahan.
"Untuk menghadapimu dihalalkan berbagai cara
untuk membayar dosa-dosamu terhadap orang-orang
yang tewas karena ulah potongan tanganmu! Maaf,
aku terpaksa memakai cara seperti itu!" kata Naren-
dra. "Kukira akulah yang berhak atas hadiah karena
mengalahkanmu!"
"Kau... jahanam keparat!" seru Kebo Parud dengan
melompat ke arah Narendra.
Tetapi laki-laki ini berkelit dan membiarkan tubuh
lawannya menerobos sasaran kosong, dan terjerembab
lagi ke tanah. Kebo Parud berusaha bangkit. Tetapi tak berdaya. Lalu jatuh
terkapar. Busa membuih dari mulutnya dengan mata melotot kejang. Dan itu akhir
dari hidupnya...!
*** Nyi Kunjari mencoba melupakan semua peristiwa
itu. Tetapi bagaimana mungkin" Keputusannya, dia
akan pergi dari tepian Bengawan Brantas, entah ke
mana. "Rumah peninggalan Ki Pradhana yang dihuni Kebo
Parud masih ada, Nyai. Mengapa tidak tinggal di sana saja menghabiskan sisa-sisa
hidup Nyai?" kata Pusparini setelah beberapa hari kemudian peristiwa bentrokan
itu berakhir. Ini dikatakan pada pertemuan di Kademangan Rajeg Banjar.
Kelihatannya memang aneh bahwa Ki Demang su-
dah tidak bermusuhan dengan Pusparini. Ki Demang
terpaksa mengatakan kepada seluruh perabot kade-
mangan, bahwa yang telah terjadi hanya kesalah-
pahaman belaka.
Setelah diberi pengarahan lagi, akhirnya Nyi Kunjari menerima saran Pusparini.
Sedangkan Ki Demang
dengan sadar menyerahkan sebagian isi kitab pusaka
yang pernah dicurinya dari tangan Tarusbawa. Begitu juga Nyi Kunjari. Dia
menyerahkan kitab bagian lainnya setelah berhasil diketemukan di tempat
penyimpanannya. Kini lengkap sudah kitab pusaka tersebut.
Pusparini dan Narendra tak tahu nama kitab itu.
Tetapi tekad mereka akan menghancurkan saja kitab
pusaka tersebut.
"Sebenarnya kita bisa mempelajari untuk kita sen-
diri," kata Narendra ketika Pusparini membakar seluruh kitab pusaka tersebut.
"Jangan terseret akhlak bejad. Ini semua menen-
tang kodrat," sahut Pusparini serius.
"Ah, cuma guyon," sahut Narendra. "Tetapi ada rasa
senang juga menghadapi peristiwa ini. Aku dapat ha-
diah dari Ki Demang untuk kematian Kebo Parud."
"Rasanya tidak jadi daging kalau aku ikut makan
dengan beaya hadiah itu."
"Kenapa?" tanya Narendra.
"Kau kurang jujur mengalahkan Kebo Parud. Den-
gan melempar racun ke arah lawan, apakah itu tinda-
kan ksatria?" jawab Pusparini dalam perjalanan me-
ninggalkan Rajeg Banjar.
"Kalau sudah ada undang-undangnya, aku tidak
akan melakukan. Apa bedanya aku mempergunakan
pedang atau keris beracun untuk membunuh lawan?"
kata Narendra berkilah.
"Rasanya... cuma kurang sreg!" jawab Pusparini
dengan menghentakkan kudanya.
Melihat hal itu Narendra mengikutinya dari bela-
kang. Kudanya pun segera dilecut untuk memburu
Pusparini. Tujuan mereka sudah pasti, yaitu menuju
istana Medang untuk melaporkan peristiwa selesainya tugas menangani Siluman
Kedung Brantas kepada
Mapatih Satyawacana.
Sepanjang perjalanan, pasangan pendekar ini dipe-
nuhi canda ria. Kesepian tak lagi dirasakan oleh Pusparini.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Clickers
Document Outline
*** DUA *** *** TIGA *** EMPAT *** *** LIMA *** *** ENAM *** TUJUH *** DELAPAN *** SEMBILAN *** SELESAI Korban Kitab Leluhur 1 Pendekar Rajawali Sakti 67 Perangkap Berdarah Hikmah Pedang Hijau 17
^