Pencarian

Rahasia Lukisan Telanjang 1

Wiro Sableng 009 Rahasia Lukisan Telanjang Bagian 1


Cerita silat - Rahasia Lukisan Telanjang - cersil - Rahasia Lukisan Telanjang -
baca komik - Rahasia Lukisan Telanjang
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG
Sumber Kitab: Pendekar212
Penyedia Cover: kelapalima
E-Book: kiageng80
WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG
1 ANGIT terang cerah tiada berawan. Matahari bersinar megah. Serombongan burung-
burung pipit berarak
Ldari arah tenggara lalu lenyap di langit sebelah barat.
Seorang pemuda gagah berjalan lenggang kangkung
seenaknya di satu lamping gunung. Keterikan sinar mata-
hari tiada diperdulikannya. Bahkan sambil berjalan itu dia bersiul-siul entah
membawakan lagu apa. Suara siulannya menggema sepanjang jalan seantero lamping
gunung. Bila seorang tokoh silat dunia persilatan mendengar suara siulan yang
keras tiada menentu itu, segera dia akan maklum bahwa orang yang mengeluarkan
siulan itu bukan lain daripada Wiro Sableng, pemuda gagah yang bergelar Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212.
Di satu tempat Wiro hentikan langkahnya. Dia meman-
dang ke bawah. Luar biasa sekali keindahan alam yang dilihatnya. Pohon-pohon
menghijau di kejauhan. Di utara dua buah gunung menjulang tinggi laksana raksasa
pen- jaga negeri. Di barat sebuah sungai laksana seekor ular besar meliuk-liuk
memantulkan cahaya putih perak karena ditimpa sinar matahari.
Wiro menyeka peluh yang mencucur di keningnya
dengan ujung sapu tangan putih penutup kepalanya.
Setelah puas menikmati pemandangan yang indah itu dia melanjutkan perjalanan
kembali dan kali ini dengan mempergunakan ilmu lari Seribu Kaki sehingga dalam
sekejap saja puluhan tombak sudah dilewatinya. Dia berharap akan sampai sesenja-
senjanya hari, ke tempat tujuan yaitu Goa Belerang. Kiai Bangkalan telah menyu-
ruhnya datang. Orang tua sakti itu telah menjanjikan akan menurunkan semacam
ilmu pengobatan kepadanya.
Memasuki satu tikungan jalan di dekat kaki gunung, Wiro memperlambat larinya.
Jalan di tikungan itu sempit sekali. Di sebelah kanan terdapat jurang batu yang
curam terjal serta luas dan dalam. Seseorang yang jatuh ke sana jangan harap
akan hidup sampai di dasar jurang. Kalaupun dia hidup, ke luar dari dasar jurang
pasti akan sia-sia!
Dari memperlambat larinya, tiba-tiba Wiro Sableng berhenti. Tepat di tikungan
jalan itu dilihatnya duduk men-
cangkung seorang laki-laki tua berambut putih. Badannya kurus sekali. Demikian
kurusnya hingga keadaannya tak ubah seperti tengkorak atau jerangkong hidup!
Yang membuat Wiro Sableng heran ialah apa yang
tengah dikerjakan si orang tua tak dikenal itu. Sambil duduk mencangkung, orang
tua ini menghadapi sebuah pigura kain putih yang lebarnya satu meter sedang pan-
jangnya hampir satu setengah meter. Pigura kain putih itu disandarkan pada
sebuah batu. Di atas terletak sehelai daun pisang. Di sebuah daun pisang ini
terdapat cairan kental berkelompok-kelompok beraneka ragam warnanya.
Si orang tua membetulkan letak pigura kain putih di hadapannya. Kemudian dengan
ujung jari telunjuk tangan kanan diaduk-aduknya kelompok-kelompok cairan berwar-
na di atas daun pisang. Dengan jari yang berselomotan cairan berwarna itu, si
orang tua mulai menggurat-gurat di atas kain putih. Demikian asyiknya sehingga
dia tidak me- ngetahui agaknya bahwa dia tidak sendirian berada di situ.
Wiro terus memperhatikan dengan tak bersuara.
Guratan-guratan yang dibuat si orang tua kelihatannya dilakukan seenaknya dan
asal-asalan saja. Tapi betapa terkejutnya Pendekar 212. Lewat setengah jam
kemudian di atas kain putih itu, meski belum begitu jelas, terlihat gambaran
seorang perempuan tengah berbaring di atas tempat tidur dalam sebuah kamar yang
bagus. Ternyata si orang tua adalah seorang pelukis yang lihai tetapi juga aneh!
Lihai dan aneh karena dia melukis dengan ujung jari telunjuk, dengan cairan-
cairan berwarna yang diletakkan di atas daun pisang dan di tempat sepi begitu
rupa, di bawah teriknya sinar matahari!
Agar bisa memperhatikan lebih jelas, tapi juga untuk tidak mengganggu si orang
tua, maka Wiro Sableng
melompat ke satu batu tinggi dan duduk di situ. Si orang tua berdiri dan mundur
beberapa langkah untuk meneliti lukisannya.
"Ah... bagus sekali... bagus sekali! Bocah itu tentu akan senang melihatnya!"
Suara orang tua ini kecil halus seperti perempuan.
Wiro Sableng leletkan lidahnya. Ternyata si orang tua telah melukis seorang
perempuan telanjang yang berbaring di atas sebuah tempat tidur dalam kamar yang
bagus. Perempuan itu cantik sekali, rambutnya panjang menjela ke lantai kamar yang
ditutupi permadani. Tubuhnya yang tiada tertutup pakaian demikian bagus dan
mulusnya. Mau tak mau berdebar juga hati Pendekar 212 melihat lukisan itu. Aneh
orang yang demikian tua mempunyai daya cipta yang merangsang begitu rupa. Dan
siapa pula bocah yang dimaksudnya dalam ucapannya tadi, yang katanya akan senang
melihat lukisan itu" Seorang bocah hendak melihat lukisan perempuan telanjang"
Betul-betul keblinger, pikir Wiro. Dalam pada itu siapakah manusia ini"
Sementara itu si orang tua kelihatan menambah
beberapa guratan pada lukisannya. Wiro Sableng memper-
hatikan terus. Si orang tua tengah menuliskan serangkaian kalimat pada sudut
kanan sebelah bawah lukisannya.
Karena jauh Wiro tak dapat membacanya. Penuh rasa ingin tahu akan apa yang
ditulis si orang tua, Wiro Sableng hendak melompat turun. Tapi niatnya
dibatalkan karena di kejauhan didengarnya suara gemeletak roda kereta
meningkahi derap kaki-kaki kuda.
Sesaat kemudian kelihatanlah sebuah kereta putih
yang ditarik oleh dua ekor kuda meluncur ke arah tikungan.
Di bagian depan dan sisi kereta ada empat penunggang kuda yang berpakaian
keprajuritan. Mendekati tikungan rombongan itu bergerak perlahan.
Si orang tua masih juga asyik dengan lukisannya.
Apakah dia tidak mendengar suara kedatangan kereta dan derap kaki-kaki kuda itu"
Bahkan ketika rombongan tersebut berhenti di tikungan, si orang tua masih saja
tidak berpaling. Apakah dia tuli"
Penunggang kuda di sebelah muka kereta turun dari kudanya. Dia memandang sejenak
pada lukisan yang
tersandar di batu lalu dengan sikap hormat menegur si orang tua.
"Bapak, kuharap kau sudi ke pinggir sedikit agar kereta bisa lewat."
Orang tua itu mencelupkan jari telunjuk tangan kanan-
nya ke cairan berwarna putih di daun pisang lalu melan-
jutkan menulis rentetan kalimat di sudut bawah sebelah kanan lukisan.
Prajurit itu menduga si orang tua tuli. Maka dia
melangkah ke samping dan menegur lagi lebih keras disertai isyarat-isyarat
tangan. Tapi tetap saja si orang tua tidak mau perduli, bahkan palingkan kepala
sedikitpun tidak!
Dari dalam kereta terdengar suara seseorang.
"Pengawal, ada apakah kereta berhenti?"
"Kita mendapat sedikit rintangan Raden Mas Cokro,"
jawab prajurit yang turun dari kuda.
Dari jendela kereta kemudian keluar kepala seorang laki-laki berparas gagah,
berkumis rapi dan mengenakan belangkon yang bagus. Begitu sepasang mata laki-
taki ini membentur lukisan di tepi jalan di tikungan itu, maka tertariklah
hatinya. Dengan segera dia turun dari kereta.
Digeleng-gelengkan kepalanya.
"Lukisanmu luar biasa bagusnya, orang tua," kata laki-laki ini.
Untuk pertama kalinya orang tua bertubuh jerangkong itu palingkan kepala. Dia
tersenyum sedikit pada laki-laki berpakaian dan berbelangkon bagus lalu
meneruskan lagi pekerjaannya.
"Orang tua, aku tertarik sekali dengan lukisanmu ini.
Apakah kau sudi menjualnya?"
Meski pekerjaannya belum selesai, tapi melihat sikap orang demikian jumawa maka
si orang tua hentikan
pekerjaannya, menyeka ujung jarinya lalu berdiri dan tersenyum lagi.
"Terima kasih atas rasa kagummu Raden Mas. Tapi
sayang, lukisan ini bukan untuk dijual..."
Raden Mas Cokro menatap paras orang tua itu.
"Aku sanggup membayar mahal. Kau tetapkan saja
harganya..."
Orang tua itu gosok-gosokkan kedua telapak tangannya.
"Mohon dimaafkan Raden Mas. Lukisan ini tidak dijual.
Kalau kau sudi, aku bersedia buatkan yang lain."
"Tapi aku sangat tertarik pada yang satu ini," kata Raden Mas Cokro.
"Menyesal sekali..."
"Akan kubeli lima puluh ringgit."
"Maaf Raden Mas..."
"Seratus ringgit!"
"Ah... sungguh penghargaanmu besar sekali. Namun
tak dapat kukabulkan Raden Mas..."
"Kalau begitu biar kubeli dua ratus ringgit!"
Raden Mas Cokro mengeluarkan sebuah kantong kain
dari sakunya sementara keempat pengawalnya saling pandang dan kerenyitkan alis
keheranan. Meski lukisan itu bagus luar biasa tapi dua ratus ringgit belul-betul
harga yang gila! Dan bila mereka ingat gaji mereka yang tak sampai setengah
ringgit satu minggu, menciut hati keempat prajurit itu! Gilanya pula ditawar
semahal itu si orang tua kurus kering tidak mau menjual lukisannya!
"Ini terimalah." kata Raden Mas Cokro seraya
mengacungkan kantong yang dipegangnya. Dua ratus uang ringgit di dalam kantong
itu bergemerincingan suaranya.
Tapi lagi-lagi si orang tua gelengkan kepala.
"Walau dibeli seberapa mahalpun, lukisan ini tak dapat kujual Raden Mas. Mohon
maafmu..."
Raden Mas Cokro kelihatan kurang senang dengan
sikap si orang tua. Maka berkatalah dia, "Apa dengan harga semahal itu kau tetap
tak mau menjualnya pada Adipati Pamekasan?"
"Ah..." Si orang tua menjura dalam-dalam. "Tak tahunya aku tengah berhadapan
dengan Adipati Pamekasan,"
katanya. Dihelanya nafas panjang lalu sambungnya,
"Benar-benar ini satu kehormatan besar bagiku Adipati Cokro. Namun benar-benar
pula aku mohon dimaafkan, lukisan ini kubuat bukan untuk mau dijual. Aku akan
buatkan lukisan lain yang lebih bagus untukmu. Dan kau tak perlu membayar
mahal... Kau pasti tak akan kecewa Raden Mas..."
Tapi Raden Mas Cokro memang sudah kecewa.
Dibalikkannya tubuhnya lalu melangkah masuk kembali ke dalam kereta.
"Lain kali kalau ada kesempatan aku akan temui kau, orang tua. Di mana tempat
tinggalmu?" tanya Raden Mas Cokro lewat jendela kereta.
Si orang tua menghela nafas lagi. Sambil tersenyum dia menjawab, "Aku seorang
pengembara luntang lantung, Raden Mas. Aku tak punya tempat kediaman yang tetap.
Bila lukisan yang kubuat untukmu nanti sudah selesai, aku akan antarkan sendiri
ke Pamekasan..."
Raden Mas Cokro betul-betul kecewa dan juga penasa-
ran. Ditutupkannya tirai jendela kereta. Lalu diperintah-
kannya anak buahnya melanjutkan perjalanan!
Si orang tua kembali duduk mencangkung melanjutkan pekerjaannya.
Di atas batu tinggi Wiro Sableng tak habis pikir dan garuk-garuk kepalanya. Dua
ratus ringgit! Bukan sedikit!
Harga tawaran yang semahal itu ditolak oleh si orang tua.
Betul-betul manusia ini aneh sekali!
Mendadak Wiro Sableng mendengar suara kaki yang
berlari cepat. Belum lagi sempat dia berpaling sesosok tubuh tahu-tahu telah
berdiri di samping si orang tua.
Hebat sekali gerakan orang ini. Begitu terdengar suaranya begitu dia muncul di
depan mata. Karena manusia ini tentunya memiliki kepandaian tinggi, maka Wiro
Sableng memperhatikan dengan seksama.
Orang ini berbadan sangat gemuk tapi pendek.
Demikian gemuknya hingga dagu dan dadanya menjadi satu. Manusia tak berleher ini
berambut gondrong yang dikuncir ke atas. Pakaiannya bagus dan di bagian dada
terdapat sebuah saku besar empat persegi. Yang tidak sedap dipandang ialah
wajahnya. Mukanya yang berminyak itu bermata lebar merah, hidung besar, bibir
tebal dan tak bisa mengatup hingga gigi-giginya yang besar serta kuning
kelihatan menjorok ke luar.
"Ha... ha... ha. Ini betul-betul satu lukisan yang bagus luar biasa!" berkata si
gemuk yang baru datang ini. Bola matanya yang merah berkilat-kilat meneliti
lukisan yang tersandar di batu.
Si orang tua yang tengah meneruskan pekerjaannya
tidak berpaling. Terus saja dia menuliskan rentetan kata-kata pada bagian bawah
kanan lukisan itu.
"Orang tua! Lukisan ini harus kau berikan padaku!" kata si gemuk dengan suara
keras lantang hingga menguman-
dang di seantero lamping gunung dan memantul ke dalam jurang batu. Hebat sekali
tenaga dalam manusia ini!
Namun kehebatan ini seperti tiada terasa dan tiada diper-
dulikan oleh si orang tua. Si gemuk pendek melangkah mendekati orang tua itu.
Dia gusar karena kemunculannya di situ dianggap sepi. Bahkan apa yang
dikatakannya tadi tiada diambil perhatian oleh si orang tua!
"Orang tua! Apa kau tidak dengar ucapanku tadi"!"
bentak si gemuk.
Barulah orang tua itu berpaling.
Sepasang alis matanya yang putih dan agak jarang naik ke atas. Ketika kedua alis
itu turun maka sekelumit senyum tersungging di bibirnya.
"Ah, kalau mataku tak salah lihat... bukankah saat ini aku tengah berhadapan
dengan salah seorang Dua Iblis Dari Selatan?"
WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG
2 I GEMUK terkesiap karena tiada menyana kalau
orang tua kurus kering itu mengetahui dirinya.
SMenurut taksirannya, pastilah si orang tua itu bukan manusia sembarangan.
"Bagus sekali kau kenali aku!" kata si gemuk. "Ini membuat aku tak banyak
cerewet untuk meminta lukisan itu padamu!"
Si orang tua tertawa panjang.
Siapakah manusia gemuk itu" Dalam dunia persilatan di daerah selatan pada masa
itu dikenal dua orang sakti bersaudara yang berkepandaian tinggi. Yang seorang
berbadan kurus kerempeng bermuka jelek menyeramkan.
Dia berjuluk Iblis Kurus. Yang kedua berbadan gemuk pendek juga bermuka buruk
seram dan bergelar Iblis Gemuk. Dan Iblis Gemuk inilah yang tengah berhadapan
dengan si orang tua itu! Iblis Gemuk dan Iblis Kurus kedua-duanya lebih dikenal
dengan sebutan Dua Iblis Dari Selatan. Di mana ada Iblis Kurus biasanya di situ
juga hadir Iblis Gemuk. Entah mengapa sekali ini cuma seorang yang muncul. Dan
dalam dunia persilatan keduanya adalah tokoh-tokoh golongan hitam yang berhati
jahat sehingga pantas sekali julukan 'Iblis' itu bagi keduanya! Di samping
berhati jahat, Iblis Gemuk mempunyai kesukaan mengum-
pulkan barang-barang antik seperti senjata-senjata kuno, patung-patung dan
lukisan. Pada waktu dia melihat lukisan yang dibuat si orang tua maka hatinyapun
tertariklah dan dia musti mendapatkan lukisan itu. Tentu saja bukan dengan jalan
membeli, tapi menurut caranya sendiri yaitu kekerasan.
Setelah meneliti paras Iblis Gemuk sebentar, maka menjawablah si orang tua,
"Lukisan ini tak bisa kuberikan padamu, atau pada siapapun."
"Setelah tahu siapa aku apakah kau berani menolak"!"
ujar Iblis Gemuk.
"Ah sudahlah pekerjaanku masih belum selesai.
Kuharap kau jangan ganggu aku, Iblis Gemuk." Si orang tua memutar kepalanya
kembali dan hendak meneruskan
pekerjaannya. Tapi Iblis Gemuk segera membentak keras.


Wiro Sableng 009 Rahasia Lukisan Telanjang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Suka atau tidak suka lukisan itu musti kau serahkan padaku! Kalau tidak kau
akan menyesal orang tua...!"
Si orang tua menarik nafas dalam. Lalu tanpa menga-
cuhkan Iblis Gemuk lagi dia hendak meneruskan kembali pekerjaannya. Marahlah
Iblis Gemuk. Dengan tumit kaki kirinya hendak didorongnya orang tua itu ke
samping. Tapi belum lagi tumit itu sampai, si orang tua sudah berkelit dan
berdiri. Iblis Gemuk terkejut Meski acuh tak acuh tapi gerakan-
nya untuk mengenyampingkan orang tua tadi adalah salah satu jurus yang dinamakan
Menggeser Bukit yang tidak mudah untuk dikelit. Ini membuat Iblis Gemuk tambah
marah dan serta merta pukulkan tangan kirinya ke arah dada orang tua yang kurus
kering macam jerangkong itu!
"Manusia tidak tahu diri!" bentak si orang tua mulai marah, "Lekas kau pergi
dari sini...!"
"Aku akan pergi tapi sesudahnya menghadiahkan satu pukulan padamu dan
mendapatkan lukisan itu!"
Si orang tua menggerendeng lalu papasi jotosan lawan dengan lambaikan tangan
kanannya ke muka! Iblis Gemuk menjadi kaget sewaktu merasakan bagaimana sambaran
angin yang keluar dari tangan si orang tua membuat bukan saja pukulannya
membelok ke samping tapi sekaligus membuat tubuhnya terhuyung-huyung sampai
empat lahgkah ke belakang!
"Orang tua badan tengkorak! Cepat terangkan siapa kau sesungguhnya"!" bentak
Iblis Gemuk. Si orang tua tertawa pendek.
"Tak perlu kau tahu namaku. Lekas tinggalkan tempat ini sebelum aku betul-betul
marah!" "Manusia jerangkong sialan! Terpaksa tulang-tulang di badanmu kubikin
berantakan!"
Habis berkata begitu Iblis Gemuk segera menyerbu ke muka dan kirimkan serangan
yang ganas. Dalam tempo yang singkat maka terjadilah pertempuran yang hebat di
tikungan jalan yang sempit itu. Di samping mereka, menunggu jurang batu yang
luas dan dalam. Salah saja membuat gerakan atau terpukul oleh lawan atau
terpele- set, tak ampun lagi pasti akan jatuh ke dalam jurang!
Pertempuran telah berjalan delapan jurus.
Wiro geleng-gelengkan kepala. Tak dinyana si orang tua yang kurus kering itu
memiliki gerakan yang demikian sebat dan entengnya. Beberapa kali dia melihat
bahwa orang tua ini mempunyai peluang untuk menjatuhkan tangan jahat terhadap
lawannya, namun tiada dipergu-
nakan. Nyatalah bahwa orang tua ini berhati demikian polosnya sehingga
menghadapi lawan yang terang-terangan hendak bermaksud buruk kepadanya, dia
masih belum mau lepaskan tangan keras!
"Iblis Gemuk! Apakah kau masih belum mau angkat
kaki dari sini"!"
"Kunyuk kurus kering! Terima jurus Memukul Gunung Menentang Bukit ini!" teriak
Iblis Gemuk. Tinju kanannya menderu ke arah batok kepala lawan sedang kaki kanan
serentak dengan itu menendang ke arah dada! Belum lagi pukulan dan tendangan itu
sampai, anginnya saja sudah menderu dahsyat!
Buukk! Terdengar menyusul suara keluhan tinggi. Tubuh Iblis Gemuk terbanting ke
belakang, punggungnya menghantam gundukan batu di atas mana Wiro Sableng duduk,
kemu- dian melosong jatuh duduk di tanah. Nafasnya megap-megap ketika berdiri. Masih
untung dia terbanting ke samping kanan, kalau ke samping kiri pastilah akan
terlempar masuk jurang dan tamat riwayatnya.
"Masih belum cukup peringatan yang kuberikan
padamu Iblis Gemuk"!" tanya si orang tua.
Iblis Gemuk berkemak kemik. Mukanya pucat. Nyatalah dia telah menderita luka di
dalam yang cukup parah akibat pukulan lawan yang tadi menghantam dada kirinya!
"Bangsat tua! Kau tunggu di sini! Hari ini juga Dua Iblis Dari Selatan akan
menunjukkan jalan ke akhirat padamu!"
Si orang tua tertawa mengekeh.
"Kau mau panggil kambratmu si Iblis Kurus..."
Silahkan... silahkan! Masa ada tamu yang bakal datang aku hendak pergi
tinggalkan tempat ini" Pekerjaankupun belum selesai!"
Iblis Gemuk meludah ke tanah lalu berkelebat tinggal-
kan tempat itu, sedang si orang tua seperti tiada terjadi apa-apa kembali
meneruskan pekerjaannya!
Di atas batu yang tinggi Wiro Sableng memutar otaknya berusaha mengingat-ingat
siapa adanya orang tua yang berkepandaian tinggi itu. Belum lagi berhasil
mendadak entah dari mana datangnya, tahu-tahu Wiro Sableng meli-
hat di bawahnya telah berdiri seorang nenek-nenek berba-
dan bungkuk berambut putih yang mukanya buruk sekali.
Karena Wiro sama sekali tiada mendengar kedatangan perempuan ini nyata sekali
dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi luar biasa!
Setelah memperhatikan sejenak lukisan yang tersandar di atas batu maka perempuan
tua renta ini menegur bertanya, "Orang tua, apakah kau melihat dua orang kawanku
lewat di sini...?"
Tidak seperti biasanya, sekali ini begitu ditegur maka orang tua itu hentikan
pekerjaannya dan berpaling. Mata-
nya yang sudah dimakan umur itu meneliti dengan seksa-
ma sedang keningnya berkerenyit.
"Hanya ada seorang yang lewat di sini barusan," jawab si orang tua. "Iblis
Gemuk, apakah dia yang kau
maksudkan?"
"Bukan!" jawab perempuan tua itu. Dia melirik pada lukisan yang tersandar di
batu. "Itu kau yang membuat-
nya?" "Betul."
"Bagus sekali! Kuharap pada tanggal satu bulan muka lukisan itu harus kau bawa
ke Gunung Sumpang dan
menyerahkannya padaku! Kau dengar?"
"Tentu saja dengar. Tapi menyesal sobat, lukisan ini tak bisa kuberikan pada
siapa-siapa!"
"Aku tak perduli!" sentak si perempuan bongkok.
"Umurmu memang kulihat sudah lanjut! Tapi tentu kau tak ingin buru-buru mampus!
Karenanya jangan banyak mulut!
Lukisan ini harus kau bawa ke Gunung Sumpang pada tanggal satu bulan di muka!"
"Tidak mungkin!"
"Kau membantah"!"
Orang tua berbadan kurus gelengkan kepala.
"Jangankan diminta, dibeli pun aku tidak sudi!"
"Kalau begitu kau ingin cepat-cepat mati!"
"Sobat, Iblis Gemuk meminta lukisan ini. Aku tidak berikan. Adipati Pamekasan
berniat membelinya dua ratus ringgit, aku tidak jual. Sekarang kau juga
menghendakinya.
Tetap saja aku tak bisa memberikan!"
"Kalau begitu kau berikanlah nyawamu!" sahut si
perempuan tua seraya mundur satu langkah dan siap-siap untuk kirimkan satu
pukulan. "Tahan dulu sobat!" ujar si orang tua berbadan kurus.
"Sesungguhnya ada apakah hingga kau begitu
menginginkan lukisan itu"!"
"Itu kau tak perlu tanya! Aku mau lukisanmu habis per-
kara! Ayo, kau mau serahkan apa tidak"!"
"Lucu! Sungguh lucu!"
"Apa yang lucu"!" sentak si perempuan bungkuk
bermuka keriput.
"Lukisan begini rupa banyak orang yang meng-
inginkannya, apa itu bukan lucu"!"
"Orang tua, jangan kau banyak cingcong. Lekas serah-
kan lukisan itu kalau tidak nasibmu akan seperti ini!" Habis berkata begitu
perempuan tersebut pukulkan tangan kirinya ke arah batu di atas mana Wiro
Sableng duduk sembunyi sejak tadi!
Byur! Sekali pukul saja maka hancurlah bagian dasar batu besar yang tinggi itu. Bagian
atasnya laksana pohon tumbang, rubuh ke bawah dan menggelinding ke dalam jurang
dengan suara menggemuruh. Wiro sendiri begitu merasa bagian bawah batu hancur
segera melesat dan berpindah ke puncak batu yang lain!
Si orang tua tarik nafas panjang-panjang dan geleng-gelengkan kepala. "Pukulan
yang bagus luar biasa! Puku-
lan yang hebat!" katanya memuji. Kemudian dipandanginya paras perempuan di
hadapannya. "Sungguh mataku yang telah tua ini tidak bisa mengenali orang!
Mulanya aku masih bersangsi, tapi melihat pukulan Penghancur Baja yang kau
lepaskan itu tadi kini aku yakin bahwa aku betul-betul berhadapan dengan Nenek
Rambut Putih yang
terkenal itu!"
Jika si orang tua kenali nama gelarannya ini tidak mengherankan si perempuan
bungkuk berambut putih.
Tapi adalah membuat dia diam-diam merasa kaget sewak-
Ztu si orang tua mengetahui nama pukulan yang tadi dilepaskannya!
"Kalau kau sudah tahu tingginya langit luasnya lautan, apakah kau masih banyak
cerewet tak mau serahkan
lukisan itu"!"
"Langit memang tinggi, laut memang luas! Tapi apakah semua itu dapat melebihi
tinggi dan luasnya budi manusia yang berhati luhur?"
Terkejut Nenek Rambut Putih mendengar ucapan itu.
"Lekas beri tahu siapa kau!" sentaknya.
Si orang tua geleng-gelengkan kepala.
"Manusia tetap manusia sekalipun dia punya seribu nama! Manusia tak perlu agul-
agulkan nama terhadap sesama manusia. Karena dia dilahirkan tiada bernama...!"
"Cacing kurus! Aku tak punya waktu lama! Terpaksa lukisan itu kuambil sekarang
juga!" kata Nenek Rambut Putih. Habis berkata demikian laksana kilat dia
melompat menyambar lukisan perempuan telanjang yang tersandar di batu.
Namun mendadak sontak perempuan tua itu
merasakan lengan kanannya nyeri seperti orang
kesemutan! Ternyata si orang tua telah melepaskan satu sentilan ujung jari ke
arahnya! "Jadi kau punya ilmu yang diandalkan hah"!" lengking Nenek Rambut Putih. Tanpa
sungkan-sungkan lagi dia segera menyerang. Maka untuk kesekian kalinya di jalan
menikung yang sempit itu terjadi lagi pertempuran. Kini lebih seru dari
pertempuran antara si orang tua dengan Iblis Gemuk sebelumnya. Sepuluh jurus
berlalu sangat cepat. Tubuh kedua orang yang bertempur boleh dikatakan lenyap
berubah menjadi bayang-bayang. Batu-batu kerikil berhamburan, debu jalanan
beterbangan. Wiro Sableng memperhatikan dengan mata tak berke-
dip. Nenek Rambut Putih gerakannya sangat gesit. Setiap pukulan atau tendangan
yang dilancarkannya hebat luar biasa serta mendatangkan angin yang bersiuran.
Tapi lawannya juga tak kalah hebat, malah sesudah lewat sepuluh jurus Nenek
Rambut Putih berhasil didesaknya ke tepi jurang!
"Perempuan tua, jika kau tak mau tinggalkan tempat ini secara baik-baik pasti
riwayatmu akan tamat di dasar jurang sana!"
Nenek Rambut Putih kertakan rahang-rahangnya. Dia melompat ke sebuah batu datar
dan dari sini lancarkan satu tendangan ganas. Lawannya berkelit gesit ke sam-
ping. Akibatnya tendangan itu melanda sebuah batu di hadapan Nenek Rambut Putih.
Batu itu hancur berkeping-keping! Si orang tua badan jerangkong terkejut melihat
hal ini. Rupa-rupanya lawan benar-benar inginkan jiwanya.
Maka segera dirubah permainan silatnya. Dalam sekejap saja tubuhnya lenyap dan
membuat Nenek Rambut Putih kebingungan sendiri!
Bret! Si nenek tersurut mundur. Pakaiannya di pinggang
robek besar dan kulit badannya terasa dingin sedang di hadapannya manusia yang
menjadi lawannya tertawa-tawa dan menegur, "Kita tak ada permusuhan. Sebaiknya
lekas tinggalkan tempat ini!"
Tenggorokan Nenek Rambut Putih kelihatan turun naik.
Kegemasan nyata sekali terlihat pada parasnya yang tua keriputan. Dia menyadari
bahwa manusia itu bukan tan-
dingannya. Meski demikian untuk menutupi rasa malunya, Nenek Rambut Putih
berkata, "Sayang aku tengah mencari dua orang sahabatku. Kalau tidak, sampai
seribu jurus pun aku akan ladeni kau."
Si orang tua ganda tertawa.
"Permusuhan tanpa alasan bisa dicari," sahutnya
"Berlalulah...!"
"Tanggal satu di bulan muka lukisan itu harus sudah kau sampaikan ke Gunung
Sumpang! Kalau tidak aku dan kawan-kawan tak akan memberi ampun padamu, orang
tua!" "Aku tidak punya kesalahan apa-apa padamu. Perlu apa minta-minta ampun segala"!"
menyahuti si orang tua. Tapi Nenek Rambut Putih telah berkelebat dan menghilang
dari tempat itu!
Baru saja Nenek Rambut Putih lenyap di balik tikungan sebelah kanan, maka dari
tikungan sebelah kiri terdengar seruan nyaring, "Orang tua keparat! Aku datang
untuk menagih jiwamu!"
WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG
3 ERNYATA yang datang bukan lain daripada Iblis
Gemuk yang tadi telah bertempur dengan si orang tua Tberbadan kurus. Kali ini
dia datang bukan sendirian, tapi bersama seorang laki-laki berbadan tinggi yang
kurus luar biasa, lebih kurus dari si orang tua sendiri. Keadaan tubuhnya serta
tampangnya yang mengerikan persis
seperti jerangkong hidup. Seperti Iblis Gemuk, manusia ini pun menguncir ke atas
rambutnya yang gondrong dan dia bukan lain daripada Iblis Kurus, kakak kandung
dan kakak seperguruan Iblis Gemuk. Iblis Kurus memang memiliki ilmu kepandaian
yang jauh lebih tinggi daripada Iblis Gemuk. Karena itulah Iblis Gemuk telah
mencari kakaknya itu di kaki gunung dan membawanya ke tempat si orang tua
melanjutkan pertempuran yang telah terjadi sebelum-
nya! Si orang tua yang tadi sudah hendak mencangkung
untuk melanjutkan pekerjaannya, mendengar suara seruan nyaring itu segera
berdiri. "Hem... kau betul-betul datang menepati janji, Iblis Gemuk!" kata si orang tua
sambil melirik pada Iblis Kurus.
Iblis Kurus memandang mencemooh.
"Adikku, apakah ini manusianya yang telah berani
turunkan tangan lancang terhadapmu"!"
"Betul, memang dia bangsatnya!" sahut Iblis Gemuk.
Iblis Kurus memperhatikan lukisan di belakang si orang tua. Lukisan itu memang
bagus sekali serta merangsang.
Tidak salah kalau adiknya demikian tertarik dan meng-
inginkannya. "Manusia kurus cacingan macam ini saja kau tidak
sanggup menghadapi. Betul-betul membuat nama besarku menjadi luntur!"
Si orang tua tertawa dingin.
"Tampang dan tubuhmu jauh lebih buruk dari aku, Iblis Kurus. Karenanya tak perlu
mencela orang lain..."
"Kakakku, kurasa tak perlu kita bicara panjang lebar dengan bangsat tua ini.
Mari kita musnahkan dia!" ujar Iblis Gemuk.
Si orang tua tertawa mengekeh. "Nyalimu melembung besar kembali Iblis Gemuk!
Tentu kau mengandalkan kakakmu ini, bukan"!"
"Orang tua keparat! Ajal sudah di depan mata masih bisa bicara sombong!"
Si orang tua berpaling pada Iblis Kurus lalu berkata,
"Sobat, nama besar kalian berdua sudah lama kudengar.
Antara kita tak ada permusuhan..."
"Sesudah kau berani berlaku lancang terhadap adikku, apakah itu bukan berarti
permusuhan"!" potong Iblis Kurus.
"Itu salah adikmu sendiri!" sahut orang tua itu dengan nada sabar. "Dia inginkan
lukisanku. Aku menolak. Dia memaksa malah lakukan kekerasan. Salahkah kalau aku
memberi sedikit pelajaran padanya"!"
"Tapi tidak seorangpun yang boleh turun tangan


Wiro Sableng 009 Rahasia Lukisan Telanjang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seenaknya terhadap Dua Iblis Dari Selatan!" tukas Iblis Gemuk.
Si orang tua tertawa mengejek.
"Sifat manusia memang banyak yang aneh," katanya.
"Ingin menggebuk orang lain, tapi digebuk tidak mau!"
Iblis Kurus rangkapkan tangan di muka dada.
"Orang tua, sebaiknya kau serahkan saja lukisan itu pada adikku. Niscaya kami
Dua Iblis Dari Selatan tidak akan bikin urusan menjadi panjang!"
Orang tua itu geleng-gelengkan kepala.
"Heran," katanya, "mengapa di dunia ini masih banyak manusia-manusia yang ingin
memaksakan kehendaknya terhadap orang lain..."
"Kau mau serahkan lukisan itu atau tidak"!" bentak Iblis Kurus. "Kalau begitu
lekas terangkan namamu! Aku tidak pernah membunuh manusia tanpa tahu nama atau
julukannya sekalipun manusia tak berguna macam kau!"
Si orang tua tertawa panjang tapi kali ini tawanya bernada rawan.
"Seharian ini banyak sekali orang-orang yang ingin tahu namaku," katanya.
"Padahal semua manusia dilahirkan tidak bernama..."
"Jangan ngaco! Lekas beritahu namamu!" hardik Iblis Kurus sambil maju satu
langkah. Sebagai jawaban maka kali ini orang tua aneh itu
keluarkan serangkaian nyanyian:
Puluhan tahun mengembara
Tiada berumah tiada bertempat tinggal
Delapan penjuru angin penuh dengan keindahan
Bukankah pekerjaan baik, melukis segala yang indah"
Mendengar suara nyanyian itu terkejutlah Dua Iblis Dari Selatan. Mereka saling
pandang sejenak.
"Jadi rupanya kaulah Si Pelukis Aneh yang selama ini malang melintang dalam
dunia persilatan"!" ujar Iblis Kurus. Hatinya berdebar juga mengetahui siapa
adanya manusia di hadapannya, tapi dia tidak takut
Si orang tua yang memang Si Pelukis Aneh adanya
mengusap-usap dagunya.
"Sungguh tiada diduga hari ini Dua Iblis Dari Selatan akan berhadapan dengan Si
Pelukis Aneh akan pasrahkan jiwanya di tanganku!" Si pelukis Aneh tertawa
panjang-panjang. "Rupanya hari ini aku terpaksa mencabut pan-
tangan membunuh yang sejak lama kulakukan. Orang lain hendaki jiwaku, mana
mungkin aku berpangku tangan..."!"
"Bagus! Sekarang terima jurus pertama ini kunyuk tua!"
teriak Iblis Kurus dan dengan serta merta menyerang ke muka.
Dibandingkan dengan Iblis Gemuk yang kepandaiannya sudah tinggi maka Iblis Kurus
jauh lebih tinggi lagi ilmu silatnya. Tahu menghadapi lawan yang tangguh maka
Iblis Kurus keluarkan jurus-jurus terhebat dari ilmu silatnya sehingga dalam
waktu yang singkat serangannya laksana hujan bertubi-tubi melanda tubuh Si
Pelukis Aneh! Dalam lima jurus pertama Si Pelukis Aneh dibikin
terdesak hebat. Kesempatan ini dipergunakan oleh Iblis Gemuk untuk bergerak
mengambil lukisan perempuan
telanjang yang tersandar di batu!
Meski dalam keadaan terdesak, si Pelukis Aneh masih sempat melihat gerakan
lawannya yang satu itu. Maka dengan melengking tinggi orang tua ini melompat
sejauh dua tombak lalu menukik laksana kilat dan lancarkan satu tendangan ke
arah Iblis Gemuk.
Iblis Gemuk terpaksa batalkan niatnya untuk mengam-
bil lukisan itu dan buru-buru menyingkir karena angin tendangan lawan deras dan
bahayanya bukan olah-olah!
Baru saja Si Pelukis Aneh jejakkan kakinya di tanah, maka Iblis Kurus telah
menyerbunya dengan dua ten-
dangan, dua pukulan!
Namun kali ini Si Pelukis Aneh telah rubah permainan silatnya. Matanya yang
tajam dan penuh pengalaman itu sudah melihat kelemahan-kelemahan ilmu silat
lawan. Maka sekali tubuhnya berkelebat, Iblis Kurus merasakan desakan serangan yang
hebat sekali membuat dia
selangkah demi selangkah dan jurus demi jurus terdesak hebat. Dia sama sekali
tak dapat melihat gerakan lawan dan tahu-tahu tangan atau kaki orang tua itu
sudah berada dekat kepala atau tubuhnya! Hanya dengan mengandalkan ilmu
meringankan tubuhnya yang sempurnalah maka dia masih sanggup elakkan semua
serangan lawan itu! Tapi sampai beberapa lama dia sanggup bertahan"!
Iblis Kurus menjadi gemas sekali. Semakin lama se-
akan terdesak dia. Gerakan lawan yang campur aduk tak bisa dilihatnya
mengacaukan serangan serta jurus-jurus pertahanannya yang terlihai. Iblis Kurus
keluarkan keringat dingin sewaktu dirinya didesak hebat ke tepi jurang! Setiap
dicobanya untuk melompat ke samping selalu dia berha-
dapan dengan tendangan-tendangan atau jotosan-jotosan lawan yang menyambar di
muka hidungnya hingga dia terpaksa membatalkan niatnya untuk melompat ke
samping! Dalam pada itu, detik demi detik tepi jurang semakin dekat juga. Dalam
jurus pertempuran yang kelima belas tepi jurang yang terjal itu hanya tinggal
beberapa langkah saja lagi di belakangnya!
"Gemuk! Lekas bantu aku!" teriak Iblis Kurus.
Mendengar ini Iblis Gemuk yang memang sejak tadi
sudah punya niat untuk mengeroyok si orang tua yang sebelumnya telah
menghajarnya segera cabut senjata dari balik pakaian. Senjatanya ini berbentuk
pedang tapi bergerigi seperti gergaji. Karena senjata ini ditimpa dan dilapisi
emas murni maka sinar kuning kelihatan menderu sewaktu pedang itu membabat ke
arah punggung Si
Pelukis Aneh! Si Pelukis Aneh yang tengah mendesak gencar Iblis Kurus menjadi terkejut sewaktu
merasakan sambaran angin yang deras datang menerpanya dari belakang!
Didahului dengan satu lambaian tangan kanan yang
mendatangkan angin keras, maka Si Pelukis Aneh dengan cepat memutar badan
menghadapi serangan pedang
berbentuk gergaji di tangan Iblis Gemuk!
Kesempatan ini dipergunakan oleh Iblis Kurus untuk melompat ke samping menjauhi
tepi jurang batu lalu dengan cepat mencabut pula senjatanya yang bentuknya sama
dengan yang di tangan Iblis Gemuk.
Melihat pengeroyokan curang ini, Wiro Sableng menjadi penasaran. Segera dia
hendak melompat dari atas puncak batu untuk membantu si orang tua. Tapi
tindakannya tak jadi dilakukan karena pada saat itu dilihat si kakek telah
berkelebat dan kini di tangannya memegang pelepah pisang yang berdaun lebar di
mana sebelumnya dia
meletakkan cairan-cairan aneka warna yang dipergunakan untuk melukis! Dengan
mempergunakan benda ini sebagai senjata maka si orang tua menghadapi kedua
lawannya dengan hebat luar biasa! Karena daun pisang itu lebar sekali, ditambah
dengan saluran tenaga dalam yang tinggi maka setiap benda itu berkilat
menderulah angin deras luar biasa yang menerpa setiap serangan pedang Iblis
Gemuk dan Iblis Kurus!
Dua sinar kuning senjata pengeroyok bergulung-gulung ganas. Agaknya Dua Iblis
Dari Selatan itu mulai mengelu-
arkan jurus-jurus terlihai dari ilmu pedang mereka.
"Bagus! Bagus! Keluarkan seluruh kepandaianmu! Aku mau lihat!" seru Si Pelukis
Aneh. Daun pisang di tangannya bergerak kian kemari melumpuhkan sama sekali
setiap jurus serangan yang dilancarkan.
Yang membuat Pendekar 212 Wiro Sableng jadi
leletkan lidah ialah karena tak sekalipun pedang-pedang di tangan lawan sanggup
membuat satu goresan pada daun pisang. Dan yang paling luar biasa ialah meski
digerakkan demikian cepatnya dan dipergunakan sebagai senjata namun cairan-
cairan aneka warna yang ada di daun pisang itu tidak satu tetespun yang tumpah
atau meleleh! Benar-benar luar biasa kehebatan Si Pelukis Aneh!
Dalam mengagumi kehebatan orang tua itu tiba-tiba terdengar pekikan setinggi
langit. Ternyata daun pisang di tangan Pelukis Aneh telah menerpa dada Iblis
Kurus. Pedangnya mental sedang tubuhnya terpelanting sampai beberapa tombak dan
celakanya terus terguling ke tepi jurang! Dengan salah satu tangannya Iblis
Kurus coba memegang sebuah batu runcing yang menonjol di tepi jurang. Tapi
pukulan daun pisang yang dialiri tenaga dalam yang tadi menghantam dadanya telah
melumpuhkan sama sekali kekuatan Iblis Kurus. Meski dia berhasil memegang batu
runcing itu dan menahan dirinya agar tidak jatuh ke dalam jurang namun sia-sia
saja. Sesaat kemudian
pegangannya terlepas dan tak ampun lagi tubuhnya
melayang masuk jurang. Batu-batu runcing menantinya di dasar jurang! Untuk kedua
kalinya terdengar jeritan Iblis Kurus. Yang sekali ini lebih mengerikan!
Melihat kakaknya yang berilmu lebih tinggi menemui kematian begitu rupa, Iblis
Gemuk jadi bergidik. Berdua dia tak sanggup menghadapi Si Pelukis Aneh, apalagi
seorang diri! Maka tanpa pikir panjang dan tanpa tunggu lebih lama Iblis Gemuk
segera ambil langkah seribu!
Si Pelukis Aneh tertawa mengekeh. Diambilnya pedang Iblis Kurus yang menggeletak
di tanah. "Orang jahat, matamu sudah tak layak hidup lebih
lama, Iblis Gemuk!" teriak Si Pelukis Aneh lalu lemparkan pedang ke arah Iblis
Gemuk yang tancap gas larikan diri!
Pedang itu menancap tepat di pertengahan punggung Iblis Gemuk terus menembus
sampai di luar ujung pada
dadanya! Tamatlah riwayat Dua Iblis Dari Selatan!
Si Pelukis Aneh mengusap mukanya. Ditariknya nafas dalam-dalam lalu dia duduk
menjelapok di tanah dan memandangi lukisannya. Kemudian tanpa palingkan
kepala dari lukisan itu, dia berseru, "Orang yang sembunyi di atas batu tinggi
harap turun!"
Kagetlah Wiro Sableng.
Pendekar ini garuk-garuk kepalanya. Lalu tanpa
sungkan-sungkan lagi keluar dari persembunyiannya dan melompat turun.
WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG
4 ENDEKAR 212 Wiro Sableng jejakkan sepasang kaki
di tanah tanpa keluarkan sedikit pun suara. Begitu Pdia berdiri di hadapan si
orang tua segera dia menj-
ura dan berkata, "Aku yang muda merasa beruntung sekali dapat bertemu dengan
tokoh silat terkenal di delapan penjuru angin."
Pelukis Aneh tidak palingkan kepalanya dari lukisan yang tengah dipandangnya.
"Siapa namamu...?"
"Wiro."
"Apa kau punya gelar?"
Wiro Sableng yang tak mau tonjolkan diri menjawab dengan gelengan kepala.
Lantas Si Pelukis Aneh bertanya lagi, "Kenapa kau sembunyi di atas batu sana?"
"Aku tak ingin mengganggumu, orang tua."
"Bagus, kau tahu peradatan juga rupanya."
Untuk pertama kalinya Si Pelukis Aneh palingkan wajah dan meneliti Wiro Sableng
sejurus. Lalu dia memandang lagi pada lukisannya dan menggoyangkan kepala.
"Menurutmu apakah lukisanku ini bagus?" tanya Si
Pelukis Aneh. "Bagus luar biasa," jawab Wiro Sableng.
Si Pelukis Aneh tertawa pendek.
"Kalau lukisan ini kuberikan padamu, apakah kau mau menerimanya...?"
Wiro berpikir sejenak. Adipati Pamekasan telah mena-
war lukisan itu sampai dua ratus ringgit, Si orang tua tidak menjualnya. Iblis
Gemuk dan Iblis Kurus menemui
kematian karena inginkan lukisan itu. Nenek Rambut Putih dibikin kelabakan
sewaktu memaksakan kehendaknya
atas lukisan itu. Maka adalah mustahil kalau kini Si Pelukis Aneh hendak berikan
lukisan perempuan telanjang itu kepadanya!
Wiro menjawab, "Ah, hatimu terlalu baik orang tua. Aku yang rendah ini mana
berani menerima buah ciptaanmu yang bagus luar biasa ini"!"
Si Pelukis Aneh tertawa dan usap-usap dagunya.
"Manusia kerap kali tertipu oleh pandangan matanya,"
berkata Si Pelukis Aneh. "Apa yang kelihatan bagus itu belum tentu betul-betul
bagus. Bukankah begitu...?"
Wiro anggukkan kepala.
"Kau mengangguk! Tapi apa kau bisa beri satu contoh daripada sesuatu yang
kelihatan bagus namun nyatanya buruk?"
Pertanyaan si orang tua yang tiada terduga membuat Wiro Sableng jadi garuk-garuk
kepalanya. Di kejauhan dilihatnya sebuah gunung hijau membiru. Dia kemudian
menunjuk ke arah gunung itu.
"Kau lihat gunung yang jauh itu, orang tua?"
"Ya... ya..., aku lihat."
"Dari sini kelihatannya bagus sekali. Biru kehijauan.
Tapi coba kita mendekatinya. Gunung yang bagus itu tak lebih daripada pohon-
pohon besar liar, semak-semak belukar, tanah, batu-batu dan lain sebagainya."
Pelukis Aneh tertawa. "Kau betul! Otakmu cerdik. Tentu kau murid seorang yang
bijaksana. Siapakah gurumu orang muda?"
Wiro Sableng tak menjawab. Dia tak bisa menjawab.
Dia tahu betul kalau gurunya Eyang Sinto Gendeng akan marah sekali bila namanya
digembar-gembor di luaran.
Maka akhirnya pemuda ini menjawab dengan senyum-
senyum, "Pengalaman adalah guru yang paling baik dan bijaksana bagi setiap
manusia..."
Si Pelukis Aneh kerenyitkan kening dan menatap paras si pemuda lekat-lekat.
Sesaat kemudian mengumandang-
lah suara tertawa orang tua ini di seantero lamping gunung dan jurang batu.
"Tong kosong selalu berbunyi nyaring. Tong penuh tak akan mengeluarkan suara
nyaring! Orang berilmu tinggi akan bersikap rendah bijaksana, orang berilmu
sedikit sering jual tampang, jual pamer dan bermulut besar.
Kuharap saja bocah itu kelak akan mempunyai sifat macammu, Wiro!"
Telah dua kali dengan ini si orang tua menyebut
'bocah'. Maka bertanyalah Wiro, "Pelukis Aneh, siapakah yang kau maksudkan
dengan bocah itu?"
"Calon muridku!" jawab Si Pelukis Aneh. Kemudian
ditelitinya lukisan di hadapannya.
Wiro memperhatikan pula dengan seksama. Lukisan
perempuan telanjang itu betul-betul bagus luar biasa.
Betul-betul seperti melihat manusia hidup di depan mata.
Memandang lama-lama Wiro Sableng menjadi jengah juga.
"Tadi kulihat Adipati Pamekasan hendak membeli
lukisan ini sampai dua ratus ringgit. Kenapa kau tidak menjualnya?" tanya Wiro.
Si Pelukis Aneh tertawa.
"Bacalah tulisan di sudut kanan bawah." katanya.
Wiro Sableng baru ingat pada tulisan itu. Tadi waktu memandang lukisan matanya
hanya terpukau pada tubuh telanjang si perempuan cantik saja. Kini
diperhatikannya bagian yang dikatakan si orang tua. Pada sudut bawah sebelah
kanan lukisan terdapat tulisan berbunyi:
Lukisan ini kuwariskan kepada calon muridku: Wira Prakarsa.
Wiro manggut-manggut
"Calon muridmu itu, di manakah sekarang?"
"Tentu saja di rumahnya." sahut Si Pelukis Aneh.
"Umurnya baru sepuluh tahun. Kelak pada umur duabelas tahun baru dia kuambil
jadi murid."
"Lalu apa perlu lukisan perempuan telanjang ini hendak kau serahkan padanya?"
tanya Wiro tak mengerti,
"Ah... itu satu hal yang aku tak bisa terangkan, orang muda."
Wiro maklum tentu ada apa-apanya. Namun demikian, pendekar ini berkata pula,
"Begitu selesai apakah lukisan ini akan kau berikan pada calon muridmu itu?"
Pelukis Aneh gelengkan kepala, "Aku tidak terlalu bodoh." jawabnya. "Sekarang
saja orang-orang jahat sudah pada memaksa dengan kekerasan untuk inginkan
lukisan ini. Kalau diberikan saat ini pada bocah itu pasti bisa berabe. Nanti
pada dua tahun di muka baru kuberikan."
"Dua tahun di muka calon muridmu itu baru berumur duabelas tahun. Bagaimanapun
dia tetap masih disebut anak-anak. Apakah memberikan lukisan yang begini
macam ke padanya bukan merupakan satu hal yang tidak pada tempatnya..."!"
Si Pelukis Aneh tertawa.
"Aku sudah bilang segala sesuatu yang bagus itu
seringkali menipu kita. Dan di dalam seribu satu keanehan dunia, kita manusia


Wiro Sableng 009 Rahasia Lukisan Telanjang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini tahu apa"!"
Wiro maklum kalau si orang tua adalah seorang yang pandai dan bijaksana. Di
samping itu mempunyai sifat aneh sehingga tak salah kalau dunia persilatan
memberi gelar Si Pelukis Aneh kepadanya!
"Wiro." berkata Pelukis Aneh. "Kalau aku tak salah raba agaknya kau tengah dalam
satu perjalanan atau
pengembaraan. Tengah menuju ke manakah kau
sebetulnya?"
Wiro Sableng merasa bimbang untuk mengatakannya
terus terang bahwa sesungguhnya saat itu dia tengah menuju Goa Belerang untuk
menemui Kiai Bangkalan.
Maka pendekar ini menjawab, "Manusia macamku ini
berjalan hanya sepembawa kaki saja, orang tua."
Setelah bicara-bicara beberapa lamanya akhirnya Wiro Sableng minta diri dan
meneruskan perjalanan. Sampai di kaki gunung, matahari bersinar semakin terik.
Tanpa perdulikan keterikan yang membakar jagat itu, Pendekar 212 Wiro Sableng
teruskan perjalanannya dengan mem-
pergunakan ilmu lari cepatnya, dan sambil bersiul-siul.
Ketika dia berada di sebuah kaki bukit, mendadak di puncak bukit dilihatnya dua
titik kuning laksana bintang malam bergerak cepat ke arah selatan.
Wiro hentikan larinya guna dapat meneliti lebih jelas.
Dua buah titik itu sangat jauh, tapi Wiro yakin itu adalah dua orang manusia
yang tengah berlari cepat. Wiro memperhatikan terus. Dua titik kuning itu
menuruni bukit di sebelah selatan terus laksana terbang menuju ke daerah
berbatu-batu dan terus lagi ke pegunungan di mana sebelumnya Wiro berada.
Akhirnya dua titik kuning itu lenyap di batas pemandangan Pendekar 212 Wiro
Sableng. Sewaktu Wiro ingat akan Si Pelukis Aneh yang
ditemuinya di lamping pegunungan itu, mendadak hatinya menjadi berdesir, lebih
cepat kalau dikatakan berdebar!
Dua titik kuning itu pasti dua orang berkepandaian tinggi yang mempergunakan
ilmu lari cepat. Dan keduanya
mungkin pula orang-orang jahat yang sengaja pergi ke gunung itu untuk melakukan
perbualan yang tidak baik terhadap Si Pelukis Aneh.
Wiro merutuki dirinya sendiri karena sampai berpikir begitu jauh. Diputarnya
badannya hendak melanjutkan perjalanan namun langkah.yang dibuatnya tertahan-
tahan olen rasa kebimbangan. Akhirnya Pendekar 212 memba-
likkan diri lalu berlari cepat kejurusan selatan.
Dua kali peminum teh baru Wiro Sableng sampai ke
tikungan jalan di lamping gunung. Dan betapa terkejutnya Pendekar 212 sewaktu
dia sampai di tempat itu!
Larinya dengan serta merta terhenti. Sepasang kakinya laksana dipakukan ke bumi!
Matanya menyipit, dada menggemuruh, kedua tinju terkepal sedang rahang
terkatup rapat-rapat!
"Terkutuk!" desis Pendekar 212.
Dia berlutut di hadapan tubuh Si Pelukis Aneh yang menggeletak di tikungan
jalan. Tubuh orang tua ini mengerikan sekali. Mulai dari kepala sampai ke kaki
ditancapi oleh puluhan paku berwarna kuning yang terbuat dari besi berlapiskan
emas. Benda-benda yang merupakan senjata rahasia hebat ini pastilah mengandung
racun yang luar biasa jahatnya karena saat itu Wiro melihat tubuh Si Pelukis
Aneh berada dalam keadaan gembung membiru.
Yang mengerikan ialah apa yang tercengkeram di
tangan kanan Si Pelukis Aneh yang sudah tidak bernyawa itu. Pada jari-jari
tangan kanannya tergenggam sebuah kutungan lengan yang tertutup kain kuning!
Warna lain ini mengingatkan Wiro pada dua titik kuning yang dilihatnya
sebelumnya. Melihat kepada bentuknya pastilah potongan lengan jubah seseorang.
Tidak dapat tidak rupanya telah terjadi lagi pertempuran di tempat itu antara Si
Pelukis Aneh dan dua orang berpakaian kuning yang dilihat Wiro di kejauhan yaitu
sewaktu di kaki bukit sebelah utara. Meski menemui kematian di tangan dua
pengeroyok namun Si Pelukis Aneh masih sanggup membetot putus lengan kiri salah
seorang lawannya hingga tanggal dan dalam matinya masih mencengkeran lengan itu!
Wiro Sableng tersentak sewaktu dia ingat pada lukisan perempuan telanjang. Tapi
lukisan itu telah lenyap dari situ! Pasti dua manusia berpakaian kuning
pengeroyok Si Pelukis Aneh itulah yang telah mencurinya! Wiro berdiri perlahan.
Dia tak berani menyentuh tubuh Si Pelukis Aneh meski dirinya kebal terhadap
segala macam racun. Dia harus menggali sebuah lubang dan mengubur orang tua itu.
Tengah dia memandang berkeliling mencari tempat yang baik mendadak Wiro melihat
sepasang kaki kecil tersembul di balik unggukan batu yang terletak tak berapa
jauh dari tepi jurang.
Cepat-cepat Pendekar 212 melangkah ke batu itu. Di sini ditemuinya seorang anak
kecil berpakaian compang-camping, menggeletak tak bergerak. Kepalanya ada benjut
besar. Sewaktu diperiksa ternyata dia cuma pingsan.
Setelah ditolong dan diurut-urut dadanya akhirnya anak ini siuman. Begitu siuman
begitu dia menangis. Tampangnya tolol sekali! "Namamu tentu Wira." tegur
Pendekar 212. Anak itu hentikan tangis dan seka kedua matanya lalu memandang pada Wiro
Sableng. Sewaktu dia melihat
tubuh Si Pelukis Aneh maka anak ini kembali menangis lebih keras. Setelah reda
Wiro menanyakan bagaimana dia sampai berada di tempat itu.
Dengan terhenti-henti oleh sesenggukan maka si anak memberi penuturan. Namanya
memang Wira Prakarsa,
calon murid Si Pelukis Aneh. Katanya dia tengah bermain-main di depan rumah
sewaktu dua orang berpakaian
kuning bertampang mengerikan mendatanginya. Salah seorang dari mereka langsung
mendukungnya dan
membawanya lari luar biasa cepatnya. Sepanjang jalan orang yang mendukungnya itu
tiada henti menanyakan di mana letak pegunungan yang biasanya didatangi oleh
calon gurunya. Karena tak tahan dipukuli akhirnya dia memberi tahu. Dan sewaktu
sampai di tempat Si Pelukis Aneh maka langsung saja kedua orang berpakaian
kuning itu menyerang calon gurunya.
Menurut penuturan si anak lama sekali ketiga orang itu bertempur. Kemudian ada
sambaran angin yang menye-
rempetnya hingga membuat dia terpelanting. Kepalanya membentur batu lalu dia tak
ingat apa-apa lagi!
Wiro maklum kini apa yang telah terjadi.
"Apa kau pernah melihat kedua orang itu sebelumnya?"
Wira Prakarsa menggeleng.
"Tadi kau katakan muka kedua orang itu mengerikan sekali. Bisa kau mengatakan
apa-apa yang mengerikan itu?"
Si anak seka lagi sepasang matanya lalu menjawab
dengan masih sesenggukan. "Yang mendukungku matanya cuma satu, berewokan.
Kawannya juga berewokan, ber-
mata besar merah dan tak punya kuping..."
Wiro Sableng merenung. Tak pernah dia bertemu
dengan dua manusia macam itu, juga tak pernah mende-
ngar tentang ciri-ciri mereka sebelumnya.
"Apakah kau tahu apa yang dibuat gurumu di sini
sebelum dia meninggal?"
"Dia melukis. Katanya lukisan itu untukku. Di dalam lukisan itu ada..." Si anak
tarik kembali lidahnya dan tak teruskan bicara.
"Ada apa...?" tanya Wiro ingin tahu.
"Tidak, tak ada apa-apanya." Menyahuti si anak, lalu kembali dia menangis.
Pendekar 212 Wiro Sableng semakin yakin bahwa di
dalam lukisan itu musti ada apa-apanya. Ada tersembunyi satu rahasia besar yang
cuma Si Pelukis Aneh dan calon muridnya itu yang tahu. Apakah beberapa tokoh
silat tahu rahasia itu sehingga mereka menginginkan lukisan
tersebut" Ataukah cuma tertarik pada kebagusan lukisan perempuan bertelanjang
itu belaka" Tapi agaknya dua manusia berpakaian kuning yang telah membunuh Si
Pelukis Aneh bukan cuma tertarik pada kebagusan lukisan.
Mungkin sekali mereka telah mengetahui rahasia apa yang terkandung dalam lukisan
itu! Setelah menggali sebuah lobang besar dan mengubur Si Pelukis Aneh maka Wiro
Sableng mendukung Wira
Prakarsa lalu membawanya berlari kembali pulang ke rumahnya. Ternyata anak ini
adalah anak seorang petani miskin yang saat itu masih belum kembali dari
ladangnya. "Wira," kata Pendekar 212 sambil pegang kepala si anak. "Karena pemilik sah
lukisan itu adalah kau, maka aku akan mencarinya sampai dapat dan mengembalikan-
nya padamu..."
Anak itu manggut-manggut dengan tampangnya yang
tolol. Sewaktu meninggalkan si anak, Pendekar 212 tak habis pikir bagaimana Si
Pelukis Aneh telah memilih anak yang begitu tolol untuk calon muridnya. Tapi
bila dia ingat pula bahwa dia sendiri dulunya adalah seorang anak yang tolol
geblek maka segala pikiran yang bukan-bukan tentang Si Pelukis Aneh maupun anak
tadi segera lenyap.
"Kalau dia tolol karena dia masih anak-anak," ujar Wiro dalam hati. "Aku yang
sudah dedengkot begini rupa masih sableng! Masih mending anak itu!"
*** Satu bulan kemudian dunia persilatan dilanda kehebo-
han. Tokoh-tokoh silat terkenal dari delapan penjuru angin dan partai-partai
persilatan berusaha keras untuk mendapatkan sebuah lukisan telanjang yang
mengandung rahasia besar. Siapa yang berhasil mendapatkan lukisan itu dan
memecahkan rahasia besar yang tersembunyi pasti akan sangat beruntung karena di
dalam lukisan itu terkandung semacam ilmu silat dan ilmu kesaktian yang hebat
luar biasa dan sukar dicari tandingannya di delapan penjuru angin!
Mula-mula lukisan itu jatuh ke tangan sepasang Elmaut Kuning. Lalu berpindah
tangan pada beberapa orang tokoh silat. Terakhir sekali kabarnya kembali jatuh
ke tangan sepasang Elmaut Kuning. Dan dalam tempo satu bulan itu telah belasan
tokoh silat menjadi korban. Satu partai besar hancur lebur semua gara-gara
lukisan perempuan telan-
jang yang mengandung rahasia besar itu!
WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG
5 ENDEKAR 212 Wiro Sableng tengah berlari di antara rapatnya pohon-pohon dan semak
belukar di dalam
Psebuah rimba belantara sewaktu satu suara dengan santar menggeledek
membentaknya. "Berhenti!"
Wiro terkesiap dan hentikan larinya. Belum lagi dia sempat berpaling tahu-tahu
sesosok tubuh telah berdiri di hadapannya.
Orang ini berjanggut putih yang panjangnya sampai ke dada. Selempang kain putih
menutupi badannya. Pada sisi kiri kanan tergantung dua buah bumbung bambu.
"Dewa Tuak!" seru Pendekar 212. Hatinya gembira tapi juga bersangsi. Manusia di
hadapannya kelihatan tambah tua dari dulu pertama sekali ditemuinya. Tapi meski
demi- kian masih tetap tegap kuat (Tentang siapa adanya Dewa Tuak ini harap baca
serial Pendekar 212 yang kedua yaitu: Maut Bernyanyi di Pajajaran). Wiro Sableng
menjura dalam-dalam.
Orang tua di hadapannya tertawa gelak-gelak lalu
mengangkat salah satu bumbung bambu dan meneguk
tuak di dalamnya sampai lepas dahaganya.
Setelah menyeka mulutnya yang berselomotan tuak
maka Dewa Tuak berkata, "Beratus hari mencarimu, saat ini baru bertemu!"
Diam-diam Wiro mengeluh. Apakah orang tua ini masih hendak melaksanakan niatnya
tempo hari yaitu memaksa menjodohkannya dengan muridnya"! Untuk mengetahuinya
maka Wiro cepat-cepat bertanya, "Apakah kau masih juga hendak memaksakan niatmu
tempo hari, Dewa Tuak...?"
Dewa Tuak angkat lagi bumbung tuak dan meneguknya beberapa kali. Kemudian
digelengkan kepalanya perlahan-lahan. Mukanya kelihatan merah oleh hangatnya
minuman yang diteguknya itu. Melihat gelengan kepala ini Pendekar 212 merasa
lega sedikit. Namun demikian apa pula
gerangan yang membuat si orang tua berkata bahwa telah beratus hari dia mencari-
cari dirinya"
"Aku tahu... aku tahu dulu itu aku telah berlaku picik!
Soal jodoh mana bisa dipaksakan"!" Dewa Tuak tertawa gelak-gelak.
"Kalau begitu tengah menuju ke manakah kau saat ini, Dewa Tuak?"
"Kau sendiri tengah menuju ke mana Wiro?"
Wiro tak mau menceritakan bahwa dia sedang mencari lukisan perempuan telanjang
yang tengah dihebohkan dunia persilatan waktu itu.
Namun demikian Dewa Tuak telah mengetahuinya dan
berkata, "Ah, rupanya kau juga telah ikut-ikutan terlibat dalam mencari lukisan
itu, orang muda?"
Wiro terkejut. "Kunasihatkan padamu agar segera mengundurkan diri saja. Lukisan itu hanya
mendatangkan malapetaka, lain tidak! Belasan tokoh silat telah menemui ajalnya.
Satu partai besar telah musnah gara-gara lukisan itu! Apa kau juga ingin mati
percuma hanya karena lukisan telanjang itu"!"
"Tapi lukisan itu ada sangkut pautnya dengan diriku, Dewa Tuak..."
"Eh, sangkut paut bagaimana?" tanya Dewa Tuak
heran. Maka Wiropun menuturkan pertemuannya dengan Si
Pelukis Aneh serta janjinya terhadap Wira Prakarsa yaitu calon murid Si Pelukis
Aneh itu. Dewa Tuak menarik nafas panjang.
"Memang, itu sudah menjadi tugasmu orang muda.
Dunia persilatan tak akan tenteram sebelum lukisan itu kembali pada pemiliknya
yang sah..."
Keduanya berdiam diri sebentar.
"Dewa Tuak, apakah kau sudah mendengar tentang
muridmu?" tanya Wiro.
"Sudah... sudah! Aku gembira melihat dia kini berada dan bertapa di Goa Dewi
Kerudung Biru. Dia beruntung sekali bertemu dan ditolong bahkan diambil murid
oleh Dewi Kencana Wungu tempo hari. Terakhir sekali aku bertemu katanya dia
hendak mempersuci diri, mengun-
durkan diri dari segala urusan duniawi."
Wiro Sableng termenung mendengar keterangan Dewa
Tuak itu. Ingat dia akan masa beberapa tahun yang lewat, berdua-duaan dengan
Anggini, murid Dewa Tuak itu.
"Sekarang marilah ikut aku," kata Dewa Tuak.
"Ikut ke mana Dewa Tuak?"
"Ikut sajalah."
"Terima kasih. Tapi aku ada urusan yang penting. Kau sendiri sudah maklum."
"Justru aku ajak kau untuk pergi ke satu tempat yang ada sangkut pautnya dengan
lukisan yang tengah kau cari itu!" ujar Dewa Tuak.
Mendengar ini maka Wiro tidak membantah. Keduanya segera meninggalkan tempat itu
memasuki lebih dalam rimba belantara yang jarang didatangi manusia!
Menjelang tengah hari kedua orang ini sampai di bagian rimba belantara yang
paling lebat. Pohon-pohon sangat besar dan rapat tumbuhnya. Suasana lengang
sunyi sedang sinar matahari tak sanggup menembus lebatnya daun-daun pohon yang tumbuh
di situ. Udara sejuk seperti di malam hari layaknya!
Dewa Tuak melompat ke cabang sebuah pohon yang
tinggi. Wiro sampai di cabang dan berdiri di samping Dewa Tuak, terkejutlah dia.
Sekira dua puluh tombak di bawah sebelah sana dilihatnya sebuah pondok kayu yang
beratap rumbia.
"Pondok siapakah itu?" tanya Wiro.
Dewa Tuak palangkan jari telunjuk di atas bibir lalu dengan suara perlahan dia
berbisik, "Ikut aku dan jangan keluarkan suara!"
Dewa Tuak lantas melompat ke cabang pohon yang
lain. Melompat lagi, melompat lagi dan akhirnya mendarat di atas wuwungan atap
rumbia tanpa keluarkan suara sedikitpun. Dalam pada itu Wiro Sableng sudah
berada pula di sampingnya. Meskipun atap rumbia itu cukup kuat namun tanpa
mereka mengandalkan ilmu meringankan
tubuh pastilah atap itu akan roboh!
Dewa Tuak membungkuk dan dengan hati-hati mem-
buat sebuah lubang di atas atap. Dia memberi isyarat agar Wiro melakukan hal
yang sama. Maka Wiro pun buat satu lubang di atas atap itu. Keduanya kemudian
mengintai ke dalam pondok.
Karena di dalam pondok agak gelap maka mula-mula


Wiro Sableng 009 Rahasia Lukisan Telanjang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wiro tak melihat apa-apa. Kemudian matanya yang meng-
intai itu melihat seorang perempuan tua berambut hitam legam berdiri terbungkuk-
bungkuk di sudut pondok. Kedua matanya meram tapi mulutnya yang kempot berkomat-
kamit. Wiro hendak menanyakan kepada Dewa Tuak siapa
adanya nenek-nanek itu tapi dia khawatir suaranya terdengar oleh si nenek maka
lantas dia pergunakan ilmu menyusupkan suara. Namun belum sempat dia ajukan
pertanyaan mendadak pintu pondok terpentang lebar dan dua orang masuk ke dalam.
Keduanya ternyata nenek-nenek keriputan berbadan bongkok. Yang satu berambut
biru, yang kedua berambut putih. Di bahu masing-masing memanggul dua sosok tubuh
yang agaknya telah ditotok kaku tidak berdaya. Melihat si nenek berambut putih
kagetlah Wiro Sableng karena perempuan tua ini bukan lain Nenek Rambut Putih
yang sebelumnya telah dilihatnya di puncak gunung melawan Si Pelukis Aneh. Dan
lainnya itu pastilah Nenek Rambut Biru dan Nenek Rambut Hitam!
"Pemimpin!" ujar Nenek Rambut Biru, "Inilah bangsat-bangsat yang kau inginkan
itu!" Nenek Rambut Hitam yang rupanya menjadi pemimpin
kedua nenek lainnya itu memandang dingin pada kedua laki-laki yang menggeletak
di muka kakinya.
"Buka jalan suara mereka!" perintahnya.
Nenek Rambut Biru lepaskan totokan pada jalan suara kedua orang itu.
Begitu jalan suaranya terbuka maka salah seorang dari dua laki-laki itu
membentak, "Iblis betina, kau rupanya yang jadi biang racun! Lekas lepaskan
totokanku dan kawan-kawanku!"
Nenek Rambut Hitam tertawa melengking-lengking.
"Ketua Partai Angin Timur, aku akan bebaskan kalian berdua jika kau beritahu di
mana sarangnya Sepasang Elmaut Kuning!"
Terkejutlah Wiro Sableng. Kalau laki-laki yang seorang itu adalah ketua sebuah
partai, pastilah ilmunya tinggi sekali! Dan dari situ dapat pula diukur
tingginya ilmu Nenek Rambut Biru dan Rambut Putih yang telah berhasil
menawan ketua partai itu bersama seorang kawannya.
"Ada apa kau tanyakan sarang kambratku itu"!" balas menanya Ketua Partai Angin
Timur. "Bedebah! Aku tak suruh kau bertanya setan"!" bentak Nenek Rambut Hitam.
Plaak! Tamparan Nenek Rambut Hitam melayang melanda
sang Ketua, membuatnya tergelimpang dan terguling di lantai pondok. Dua buah
giginya mencelat mental sedang bibirnya pecah! Paras Ketua Partai Angin Timur
membesi. Nyata kemarahan menggelegak dalam dirinya, tapi karena ditolok maka yang bisa
dilakukannya ialah memaki habis-habisan! Nenek Rambut Putih menjambak rambut
Ketua Partai Angin Timur dan menyentakkannya hingga laki-laki itu berdiri
kembali di hadapan, pemimpinnya!
"Lekas terangkan di mana sarang Sepasang Elmaut
kuning!" hardik Nenek Rambut Hitam.
Ketua Partai Angin Timur mendengus!
"Maksudmu untuk mencari lukisan telanjang itu tak akan berhasil, iblis betina!"
"Keparat betul! Kau mau bilang apa tidak"!"
Lagi-lagi Ketua Partai Angin Timur mendengus. "Aku tidak tahu!" sahutnya.
"Sekalipun tahu aku tak akan bilang padamu!"
Nenek Rambut Hitam marah sekali. Diulurkannya
tangannya. Sekali remas saja maka hancurlah telapak dan jari jari tangan kanan
sang Ketua! Laki-laki itu menjerit kesakitan dan memaki habis-habisan! Kawannya
keluarkan keringat dingin.
"Itu masih belum apa-apa," ujar Nenek Rambut Hitam.
"Kalau kau tetap membangkang tak mau kasih kete-
rangan, seluruh tubuhmu akan kubikin hancur! Lekas katakan!"
"Nenek Rambut Hitam, kawanku itu betul-betul tidak tahu letak sarangnya Sepasang
Elmaut Kuning," berkata kambrat Ketua Partai Angin Timur.
"Kau tak usah berbacot!" bentak sang nenek. "Kalau dia tak tahu kau tentu tahu
ya"!"
Pucatlah wajah laki-laki itu.
"Ayo lekas kalian katakan! Kalau tidak kalian akan disiksa sampai setengah
mampus!" teriak Nenek Rambut Biru.
"Nenek Rambut Hitam! Kalian dan kami masing-masing satu golongan, kenapa berbuat
sejahat ini?"
Nenek Rambut Hitam tertawa melengking, "Kalau kau dan kambratmu tidak mau binasa
percuma lekas beri keterangan!"
"Kalian penggal pun kami berdua, tetap aku tak bisa kasih keterangan!"
"Aku mau lihat!" ujar Nenek Rambut Hitam. Sekali dia gerakkan tangan kanannya
maka tanggallah lengan kiri Ketua Partai Angin Timur! Laki-laki ini melolong
laksana srigala lapar, mengerikan sekali!
Pendekar 212 Wiro Sableng bergidik.
"Dewa Tuak, aku tak bisa melihat kekejaman terkutuk itu berjalan lebih lama!"
kata Wiro. Dia bergerak cepat hendak menerobos atap. Tapi lebih cepat dari itu
si orang tua yang memanggul dua buah bumbung bambu meme-
gang lengannya dan menjawab dengan ilmu menyusupkan suara seperti yang dilakukan
oleh Wiro waktu berkata padanya tadi.
"Biarkan, kita lihat saja! Ketua Partai Angin Timur tidak beda dengan tiga orang
nenek serta seorang kawannya itu!
Mereka sama-sama dari golongan hitam tukang bikin kejahatan di dunia persilatan!
Biar saja mereka saling bunuh! Kita menonton saja!"
"Tapi Ketua Partai Angin Timur berada dalam keadaan tak berdaya!" tukas Wiro
Sableng. "Perduli amat! Sudahlah kita lihat saja!" bentak Dewa Tuak pula.
Wiro Sableng menggerutu dalam hati lalu dia mengintai lagi lewat lobang.
"Ayo! Apa kau masih tidak mau kasih keterangan"!" Si Nenek Rambut Hitam
membentak. Jawaban Ketua Partai Angin Timur adalah suara
raungan yang mengerikan!
Nenek Rambut Hitam berpaling pada kawan Ketua
Partai Angin Timur.
"Jaliwarsa! Kau tentu tak ingin menerima nasib macam kambratmu itu, bukan"!"
Pucatlah wajah laki-laki yang bernama Jaliwarsa.
"Apa maksudmu Nenek Rambut Hitam...?"
"Kau tentu tahu! Lekas katakan di mana tempat
kediaman Sepasang Elmaut Kuning!"
"Demi setan aku tidak tahu sama sekali Nenek Rambut Hitam..."
Nenek Rambut Hitam mendengus marah. Dia berpaling pada anak buahnya. "Rambut
Biru! Cungkil mata kirinya!"
perintah Nenek Rambut Hitam.
"Tobat! Jangan...!" teriak Jaliwarsa.
"Kalau begitu lekas buka mulut!" sentak Nenek Rambut Hitam.
Jaliwarsa menangis macam anak kecil. Meratap
mengatakan bahwa dia betul-betul tidak tahu di mana letak sarang Sepasang Elmaut
Kuning. "Tak ada ampun bagimu! Cungkil matanya!" bentak
Nenek Rambut Hitam.
Maka Nenek Rambut Biru melompat ke muka. Dua
buah jarinya menusuk lurus ke mata kiri Jaliwarsa. Ter-
dengar suara mengerikan sewaktu biji mata laki-laki itu mencelat bersama
semburan darah yang disusul oleh suara melolong Jaliwarsa yang laksana gila
karena kesakitan!
WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG
6 EREMPUAN iblis!" teriak ketua Partai Angin Timur
yang menggeletak di lantai pondok. "Kalian bunuhlah Pkami! Biar kami bisa jadi
setan dan mencekik batang leher kalian!"
Nenek Rambut Hitam tertawa mengekeh.
"Nyalimu boleh juga, kunyuk sialan! Kalian minta
mampus cepat-cepat, baiklah! Kalian memang tidak ber-
guna hidup lebih lama!"
Nenek Rambut Hitam pegang kedua kaki Ketua Partai Angin Timur dan Jaliwarsa.
Sekali kedua tangannya berge-
rak maka mencelatlah tubuh kedua orang laki-laki itu ke atas atap. Serentak
dengan itu si nenek berseru, "Tukang-tukang intip keparat, terima ini!"
Pendekar 212 Wiro Sableng terkejut bukan main. Tak sangka kalau si nenek begitu
lihai sehingga sudah mengetahui kehadirannya bersama Dewa Tuak di atas atap!
Wiro dan Dewa Tuak cepat melompat ke samping.
Pada saat itu pula atap pondok bobol dihantam dua tubuh yang dilemparkan Nenek
Rambut Hitam! Tubuh Ketua
Partai Angin Timur menghantam sebuah pohon,
pinggangnya hancur dan jatuh ke tanah tanpa nyawa!
Kawannya menyangsang sebentar di sebuah pohon lain, lalu jatuh bergedebuk di
tanah dengan kepala pecah!
Maklum kalau tiga perempuan tua berbadan bungkuk
itu sudah mengetahui kedatangannya bersama Wiro, maka Dewa Tuak segera melompat
turun, masuk ke dalam
pondok lewat atap yang bobol. Wiro menyusul dan berdiri di sampingnya. Kelima
orang itu saling menyapu dengan pandangan mata masing-masing. Diam-diam ketiga
nenek itu mengagumi kegagahan tampang Wiro Sableng
meskipun kegagahan itu agak dibayangi oleh mimik
ketololan! Sedang masing-masing mereka sama kerenyi-
tkan kening sewaktu melihat Dewa Tuak membawa dua buah bumbung bambu yang
agaknya berisi cairan. Cairan apa mereka tak bisa menduga.
"Siapa kau"!" tanya Nenek Rambut Hitam. "Dan kau
juga"!" katanya sambil goyangkan kepala pada Wiro Sableng.
Dewa Tuak tak segera menjawab melainkan meng-
angkat salah satu dari bumbung bambu dan meneguk
isinya beberapa kali. Perlu diketahui kedua bumbung itu tidak ditutup. Meski
dibawa berlari bagaimanapun ken-
cangnya atau dibawa melompat namun satu tetes pun tuak itu tidak tumpah. Ini
adalah berkat kehebatan tenaga dalam Dewa Tuak yang sudah mencapai tingkat
kesem- purnaannya! Nenek Rambut Hitam merasa gusar sekali karena
pertanyaannya tak segera dijawab. Tapi karena maklum bahwa si orang tua
berjanggut itu bukan seorang yang bisa dianggap remeh maka dia cuma memandang
saja dengan mata mendelik!
"Sobat-sobatku," kata Dewa Tuak kepada tiga orang nenek, "Sebelum kita bicara-
bicara apakah tidak lebih bagus kalau kalian mencicipi tuakku ini dulu?"
Nenek Rambut Hitam terkesiap seketika. Diperhati-
kannya orang tua di hadapannya lebih teliti. Kemudian,
"Kalau aku tak salah duga, apakah kau manusia yang bergelar Dewa Tuak"!"
Dewa Tuak usut-usut janggutnya yang panjang sampai ke dada lalu tertawa dan
meneguk lagi tuaknya beberapa kali. "Aku memang doyan tuak, tapi aku bukan
dewa!" "Sejak puluhan tahun belakangan ini kau lenyap dari dunia persilatan! Tahu-tahu
kini muncul unjukkan
tampang! Tentu ada yang menyebabkannya! Apakah kau yang sudah tua karatan ini
telah terlibat pula dalam urusan mencari lukisan perempuan telanjang itu"!"
Dewa Tuak tertawa gelak-gelak.
"Rupanya di dalam otakmu hanya lukisan itu saja yang teringat nenek bangkotan!
Kita yang sudah tua-tua begini bukan tempatnya lagi mengurus segala macam
persoalan duniawi!"
"Lantas perlu apa kau datang ke sini dan mengintip tak tahu adat"! Dan cecunguk
hijau ini apamu"!"
Wiro Sableng keluarkan suara bersiul sewaktu dirinya disebul cecunguk hijau lalu
tertawa geli! "Orang muda! Nyalimu cukup besar untuk berani
tertawa di hadapanku!"
"Tertawa saja apa susahnya"!" ujar Wiro lalu tertawa lagi lebih keras hingga
pondok itu terdengar hebat!
Kagetlah Nenek Rambut Hitam dan kedua anak
buahnya. Tiada dinyana kalau si anak muda memiliki tenaga dalam yang sehebat
itu! "Kau tanyakan dia?" ujar Dewa Tuak seraya tuding Wiro dengan ibu jarinya. "Dia
adalah calon mantuku yang tidak jadi!" Lalu orang tua ini tertawa bekakakan
sampai kedua matanya berair.
Wiro cuma cengar-cengir mendengar ucapan Si Dewa
Tuak. "Cepat terangkan mengapa kau berada di daerah ini"!"
Saat itu untuk pertama kalinya Nenek Baju Biru buka suara, "Pemimpin, bukan tak
mungkin bangsat-bangsat ini tengah mencuri dengar percakapan kita tadi dengan
Ketua Partai Angin Timur dan Jaliwarsa. Disangkanya mereka akan dapat diam-diam
mencuri dengar keterangan sarang Sepasang Elmaut Kuning!"
Nenek Rambut Putih menimpali, "Bukan tak mungkin
pula mereka tahu banyak tentang soal lukisan itu, pemimpin!"
Ucapan-ucapan anak buahnya itu termakan oleh Nenek Rambut Hitam. Maka segera dia
memerintah, "Rambut Biru! Kau ringkus si tua bangka itu! Dan kau Rambut Putih,
bekuk cecunguk hijau itu!"
Nenek Rambut Biru memang lebih tinggi
kepandaiannya dari Rambut Putih maka dia disuruh
meringkus Dewa Tuak.
"Perempuan-perempuan keriputan! Kalian betul-betul tidak tahu adat!" gerutu Dewa
Pendekar Sakti 3 Pendekar Naga Putih 05 Jari Maut Pencabut Nyawa Lembaran Kulit Naga Pertala 2
^