Hari Hari Terkutuk 1
Wiro Sableng 065 Hari Hari Terkutuk Bagian 1
WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Episode : Hari Hari Terkutuk
SATU Bangunan besar itu dari luar tampak sepi-sepi saja. Satu-satunya penerangan
hanya sebuah lampu minyak yang berkelap-kelip di bawah cucuran atap dekat pintu
masuk yang berada dalam keadaan tertutup. Di kejauhan terdengar suara derap kaki
kuda mendatangi. Tak lama kemudian empat penunggang kuda memasuki halaman
depan yang gelap.
Lelaki pertama bertubuh tinggi besar dengan wajah penuh brewok dan kumis
tebal melingtang. Pakaiannya serba hitam. Keningnya diikat dengan sehelai kain
hitam dan di pinggang kirinya tergantung sebilah pedang. Orang ini bernama Kebo
Panaran. Dari gerak geriknya kelihatannya dia yang menjadi pemimpin dari
rombongan yang baru datang ini.
Orang kedua bernama Bargas Pati, bertubuh gemuk berkepala botak plontos.
Mukanya selalu berminyak. Baju dan ikat kepalanya serba merah. Di balik baju
merahnya dia membekal sebuah clurit besar.
Lelaki ketiga berbadan kurus kering tapi tinggi jangkung. Kulitnya sangat
pucat tidak beda mayat. Dia mengenakan pakaina dan ikat kepala warna biru. Di
pinggangnya melingkar sebuah rantai besi yang rupanya menjadi senjatanya.
Manusia satu ini dikenal dengan nama Tunggul Anaprang.
Orang terakhir bernama Legok Ambengan, mengenakan baju dan celana serta
ikat kepala warna hijau. Tubuhnya bungkuk dan di pinggangnya kiri kanan tersisip
sepasang golok pendek.
Belum sempat keempat orang ini turun dari kuda masing-masing, dari
samping kiri kanan bangunan besar yang kelihatan sepi itu tiba-tiba muncul lima
orang berpakaian seragam hitam dan bertubuh rata-rata tinggi besar. Kelimanya
membekal golok besar di pinggangnya masing-masing.
Walau empat penunggang kuda yang dating memiliki tampang sangar namun
lima orang berseragam hitam itu kelihatannya tidak menaruh rasa jerih. Malah
salah seorang dari mereka sambil bertolak pinggang menegur. Namanya Ranggas.
"Kalian berempat kami lihat baru sekali ini datang kemari. Betul.......?"
Empat penunggang kuda saling pandang satu sama lain lalu sama-sama
menyeringai. Yang di ujung sebelah kanan yaitu Bargas Pati berkata perlahan pada
kawan di sampingnya.
"Tunggul kau jawab saja pertanyaan monyet itu!"
Tunggul Anaprang lalu membuka mulut. "Kami berempat memang baru sekali
ini kemari. Kenapa kau bertanya" Apa kau yang punya tempat ini?"
" Aku dan kawan-kawan bertanggung jawab atas keamanan di tempat ini.
Bagi orang-orang baru ada aturannya sendiri!" jawab orang berbaju hitam yang
masih tegak sambil bertolak pinggang. "Pertama turun dari kuda masing-masing. Orang-
orangku akan membawa binatang itu ke halaman belakang."
"Hemm begitu" Bagus juga pelayanan di tempat ini," kata Kebo Panaran. Dia
memberi isyarat pada kawan-kawannya. Keempat orang ini lalu turun dari atas
kuda. Dua orang anak buah si baju hitam memegang tali-tali kekang kuda lalu menuntun
bintang itu ke halaman belakang.
BASTIAN TITO 1 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Sekarang kalian harus menyerahkan uang keamanan. Cukup sekali ini saja.
Lain kali kalian datang tidak perlu."
Legok Ambengan berpaling pada Kebo Panaran. Kebo Panaran kedipkan
matanya. "Berapa besarnya uang keamanan itu?" bertanya Legok Ambengan
kemudian. "Seperlima dari jumlah uang yang kalian bawa. Keluarkan semua isi kantong
kalian!" jawab Ranggas.
"Kami sama sekali tidak membawa uang!" kata Kebo Panaran lalu tertawa
gelak-gelak. Tiga kawannya ikut-ikutan tertawa.
Merasa dipermainkan Ranggas jadi marah.
"Jika kalian tidak punya uang, lekas angkat kaki dari sini. Kuda-kuda kalian
kami tahan!"
"Begitu?" Ujar Kebo Panaran sambil usap-usap berewoknya. "Mulai saat ini
kau dan teman-temanmu dipecat sebagai penjaga keamanan di tempat ini! Lekas
minggat dari hadapanku!"
Terkejutlah Ranggas mendengar ucapan Kebo Panaran itu. Rasa terkejut ini
disertai juga dengan gejolak amarah. Karenanya Ranggas langsung melompati Kebo
Panaran sambil melayangkan tamparan. Sesaat lagi tamparan itu akan melanda muka
Kebo Panaran dengan keras tiba-tiba dari samping satu tangan mencekal lengan
Ranggas. Sekali sentak saja tubuh Rangas terpuntir terbungkuk-bungkuk membuatnya
meringis kesakitan. Dua orang anak buah kepala keamanan itu berteriak marah
melihat atasan mereka diperlakukan seperti itu. Tanpa banyak bicara lagi
keduanya mencabut golok di pinggang masing-masing terus membabat ke arah si gemuk botak
Bargas Pati yang tengan memelintir lengan Ranggas.
Golok pertama membacok ke arah batok kepala yang botak sedang golok
kedua membabat ke arah pinggang. Bargas Pati hanya ganda tertawa melihat
serangan maut itu. Dari kiri kanan dua orang kawannya berkelebat.
"Bukk........Bukkk!"
Terdengar dua kali suara bergedebuk disusul dengan jeritan dua orang anak
buah Ranggas. Keduanya terhuyung-huyung. Satu pegangi hidungnya yang
mengucurkan darah, satunya lagi menekapi mata kirinya yang juga mengucurkan
darah. Golok mereka berjatuhan ke tanah pada saat jotosan-jotosan Tunggul
Anaprang dan Legok Ambengan menghantam muka meraka. Selagi keduanya
terhuyung-huyung begitu, kaki-kaki kedua anak buah Kebo Panaran tadi ganti
beraksi. Kembali dua orang yang berpakaian hitam itu keluarkan jeritan kesakitan lalu
tergelimpang roboh di tanah. Masing-masing menderita patah tiga tulang iga dan
remuk tulang dadanya!
Dua orang anak buah Ranggas yang tadi membawa kuda-kuda ke halaman
belakang berseru kaget ketika mereka kembali dan melihat apa yang terjadi.
Keduanya serta merta mencabut golok masing-masing lalu menyerang Tunggul
Anaprang dan Legok Ambengan. Namun nasib mereka tidak berbeda dengan dua
kawannya terdahulu. Begitu keduanya menyerang, Legok dan Tunggul
menyambutnya dengan tendangan yang membuat keduanya terpental hampir satu
tombak. Yang satu jatuh terduduk sambil memegangi perutnya yang kena tendang.
Satunya lagi terkapar dengan mulut hancur dan gigi-gigi rontok.
Ranggas yang sedang menderita kesakitan karena tangannya masih dipuntir di
belakang punggung terbeliak kaget melihat kejadian itu. Dia sadar kini kalau
berhadapan dengan serombongan orang-orang berkepandaian tinggi. Namun satu hal
yang masih belum diketahuinya apakah mereka ini orang baik-baik atau bukan.
BASTIAN TITO 2 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Melihat kepada keadaan pakaian dan tampang-tampang mereka yang beringas bengis
Ranggas sulit mempercayai keempat orang itu adalah orang baik-baik..
"Kebo Panaran mau diapakan monyet satu ini?" Tanya Bargas Pati yang
menelikung tangan Ranggas.
Kebo Panaran berpaling pada Legok Ambengan lalu pada Tunggul Anaprang
"Kalian tahu apa yang harus dilakukan?"
Mendengar ucapan Kebo Panaran itu kedua anak buahnya segera memndekati
Ranggas. Dalam keadaan tak berdaya Ranggas mereka jejali dengan jotosan-jotosan
dan tendangan-tendangan. Sekujur muka Ranggas babak belur berlumuran darah tak
karuan lagi. Ketika Bargas Pati melepas cekalannya Ranggas langsung roboh tapi
dia cukup kuat untuk tidak jatuh pingsan.
Pada saat itu tiba-tiba pintu bangunan terbuka. Seorang lelaki berpakaian
mewah keluar sambil berkipas-kipas. Dia memperhatikan apa yang terjadi di
halaman depan itu sesaat lalu berkata. "Sahabat-sahabat jauh dari mana yang telah sudi
memberi pelajaran pada anak-anak buahku?"
Kebo Panaran dan tiga temannya sama-sama berpaling ke pintu. Mereka
perhatikan orang yang tegak berkipas-kipas itu sesaat lalu tertawa gelak-gelak.
"Gandul Wirjo! Tidak sangka kowe rupanya yang jadi mucikari rumah cabul
ini!" berseru Kebo Panaran lalu melangkah besar-besar menghampiri orang di depan
pintu diikuti oleh ketiga anak buahnya. Kebo Panaran memegang bahu orang itu
lalu berpaling pada ketiga anak buahnya dan berkata "Kalian lihat dia sudah jadi
orang kaya sekarang! Tapi tidak lupa dengan teman-teman seperjuangan! Ha.... Ha... ha....
Ayo kita beri salam pada sahabat lama ini!" Kebo Panaran dan tiga orang lainnya
segera menyalami lelaki bernama Gandul Wirjo yang memang adalah pemilik
bangunan besar itu.
"Kalian ke mari tentu punya maksud. Tidak bagus kalau maksud itu tidak
kesampaian. Jangan di luar saja. Mari masuk!"
Gandul Wirjo membuka pintu lebar-lebar. Kebo Panaran dan ketiga kawannya
masuk ke dalam diikuti si pemilik bangunan. Sebelum ikut masuk Gandul Wirjo
berpaling pada Ranggas yang masih terkapar kesakian di tanah.
"Kerjamu sebagai kepala keamanan bagus. Tapi lihat-lihat dulu siapa orang
yang hendak kau kerjakan. Sekarang kau kena batu sendiri Ranggas!"
Ranggas diam saja. Tapi dalam hati dia memaki habis-habisan.
Di dalam bangunan. Kelima orang itu duduk di sebuah ruangan yang berbau
harum kayu cendana. Mereka bercakap-cakap beberapa lama. Kemudian Kebo
Panaran berkata. "Bagaimana kalau obrolan ini kita sambung nanti. Sekarang aku
dan teman-teman ingin bersenang-senang lalu istirahat sampai menjelang pagi."
Gandul Wirjo tersenyum. "Jangan kawatir. Kalian akan mendapatkan
kesenangan. Memang sejak perang berakhir tidak terlalu mudah mencari perempuan
cantik-cantik." Pemilik bangunan besar itu mengambil sebuah lonceng kecil dari
atas meja lalu digoyang-goyangkan dua kali. Tak berapa lama kemudian lima orang
perempuan muda muncul. Tiga diantaranya berparas lumayan. Mereka langsung
mengelilingi Kebo Panaran dan kawan-kawannya. Ada yang membelai rambut atau
memijit-mijit bahu, ada juga yang mengusap-usap lengan orang-orang itu.
"Para sahabat, kalian silahkan memilih sendiri. Jangan pikirkan soal bayaran.
Semua aku berikan denga cuma-cuma. Demi persahabatab kita di masa lalu dan
dimasa mendatang!"
Kebo Panaran memilih perempuan yang bertubuh ramping dan ada tahi lalat di
dagu kirinya. Bargas Pati menarik lengan perempuan berkebaya biru yang dadanya
montok luar biasa. Satu demi satu perempuan-perempuan itu membawa tamu mereka
BASTIAN TITO 3 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ke kamar masing-masing. Tinggal kini Tunggul Anaprang. Dia masih duduk
memandangi dua orang perempuan yang tegak di hadapannya.Tak satupun dari kedua
perempuan ini cocok dengan seleranya.
"Tunggul, kau tunggu apa lagi" Pilih salah satu atau otak kotormu mungkin
mau berbuat macam-macam. Membawa keduanya sekaligus ke dalam kamar?"
bertanya Gandul Wirjo.
Tunggul Anaprang menggeleng "Tak satupun yang ku suka........"
"Matamu terbalik sahabatku! Kedua permpuan ini tidak jelek dan masih
muda-muda!" kata Gandul Wirjo pula.
"Terserah kamu mau bilang apa, tapi aku tidak naksir satupun dari mereka.
Buatkan saja aku kopi, biar aku istirahat di sini dan tidur barang seketika.
Atau mungkin kau masih ada persediaan perempuan yang lain?"
Gandul Wirjo menyuruh masuk kedua perempuan pelacur yang masih berdiri
di tempat itu. Setelah keduanya masuk ke dalam. Pemilik rumah pelacuran yang
sekaligus menjadi mucikari itu berkata pada Tunggul Anaprang.
"Dulu di masa sebelum dan di waktu peperangan kau adalah sahabatku paling
dekat. Aku tidak akan melupakan hal itu terus terang memang ada satu simpananku.
Baru datan sore tadi. Aku bermaksud hendak menggarapnya ketika kau dan kawan-
kawan datang. Tapi demi persahabatan perempuan itu akan aku berikan padamu.
Hanya untuk yang satu ini tak mungkin aku berikan secara cuma-cuma sahabat....."
"Ah, jangan begitu Gandul," kata Tunggul Anaprang pula.
"Kau lihat saja dulu orangnya Tunggul. Masih sangat muda. Kulit putih mulus.
Wajah cantikluar biasa. Dia pasti orang baik-baik."
Kedua orang itu sampai di hadapan sebuah pintu. Selain ada ukirannya pintu
satu ini lebih besar dari pintu-pintu lain yang ada dalam bangunan besar rumah
pelacuran itu. Gandul Wirjo mengeluarkan sebuah anak kunci. Dengan kunci ini dibukanya
pintu. Sebuah lampu minyak besar di atas meja menerangi kamar yang ternyata
sangat bagus. Sebuah ranjang berkasur tebal empuk terletak di tengah kamar. Lalu
disebuah kursi rendah, dekat meja kecil tampak duduk seorang perempuan yang wajahnya
memang membuat jantung Tunggul Anaprang seperti berhenti berdetak. Rambutnya
hitam panjang tergerai menutupi dada kebayanya yang agak terbuka di sebelah atas
sehingga Tunggul dan Gandul dapat melihat payudaranya yang menggelembung
mulus. Betisnya yang putih tersembul dari balik kain panjang. Dia tampak agak
ketakutan. "Bagaimana?" bisik Gandul Wirjo.
"Benar-benar luar biasa. Dari mana kau dapat yang satu ini" Aku percaya
pada ucapanmu kalau dia sebelumnya perempuan baik-baik. Buktinya dia tampak
takut-takut. Wajahnya betul-betul mempesona. Bagaimana kalau dia kuambil jadi
istri...?"
"Itu bisa urus kemudian sahabatku. Sekarang untuk malam ini berapa kau mau
membayar?"
Mendengar pertanyaan Gandul Wirjo itu Tunggul Anaprang merogoh saku
pakaian birunya kiri kanan. Dua tumpuk uang dimasukkannya ke dalam genggaman
pemilik rumah pelacuran itu. Malah kemudian dia mengambil lagi sebuah kantong
kecil berisi sejumlah uang dan dimasukkannya ke dalam saku pakaian Gandul Wirjo.
"Keluarlah cepat. Aku sudah tidak tahan!" kata Tunggul Anaprang pula.
Dibukanya pintu kamar lebar-lebar lalu didorngnya sahabatnya itu keluar. Begitu
Gandul Wirjo lenyap Tunggul Anaprang segera menutupkan pintu dan menguncinya
sekali. Sambil menyeringai dia melangkah mendekati kursi dimana duduk si dara
BASTIAN TITO 4 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
jelita. Sesaat Tunggul Anaprang tegak seperti tertegun memandangi wajah yang
sangt cantik itu. Dia rasa-rasa seperti pernah melihat gadis itu sebelumnya tapi lupa
entah dimana. Sebuah tahi lalat di pipi kiri menambah kecantikan parasnya.
"Siapa namamu anak manis?" Tanya Tunggul Anaprang sambil meraba dagu
perempuan yang duduk di kursi. Tiba-tiba perempuan muda itu memegang lengan
Tunggul Anaprang kuat-kuat lalu menggigitnya. Tidak keras tapi malah membuat
lelaki itu jadi tambah terangsang.
Tunggul Anaprang tertawa lebar. Hidungnya menghembuskan nafas memburu
dan darahnya menjadi panas. Sekujur tubuhnya bergetar. Tak tahan lagi lelaki ini
segera hendak membuka pakaian pelacur muda itu.
"Tunggu dulu...." Perempuan itu berkata. "Kita masih banyak waktu. Tiduran
saja. Raden Mas tentu letih. Biar saya pijiti dulu...."
Tunggul Anaprang tertawa mendengar dirinya dipanggil sebutan Raden Mas.
"Jangan panggil aku dengan sebutan Raden Mas, sayangku. Namaku Tunggul
Anaprang. Gelarku si Rantai Maut. Kau boleh panggil namaku atau gelaranku.
Terserah mana yang kau suka!" Lalu kedua tangan lelaki ini menjalar di bahu
perempuan itu. Terangsang oleh nafsu yang sulit ditahan-tahan Tunggul Anaprang sama
sekali tidak melihat adanya sambaran cahaya aneh pada kedua mata pelacur itu
ketika
Wiro Sableng 065 Hari Hari Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia mendengar nama dan gelar yang dikatakannya.
"Berbaringlah dulu. Biar saya pijit. Setelah itu baru kita bersenang-senang.
Sampai pagi kalau mau...."
Meskipun sudah sangat ingin memeluki dan menciumi pelacur muda itu
namun Tunggul Anaprang mengalah juga. Tanpa banyak cerita dia berbaring
menelentang. "Tengkurap dulu. Biar punggungnya saya pijiti dulu."
Tunggul Anaprang tersenyum dan mengikuti apa yang dikatakan si pelacur.
Dia membalikkan diri lalu menelungkup. Tangan kiri perempuan itu mulai memijiti
punggungnya. Tapi tanpa diketahui Tunggul Anaprang tangan kanannya bergerak ke
balik kebayanya.
BASTIAN TITO 5 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DUA Matahari memang belum terbit. Diluar udara masih gelap dan dingin. Namun di
dalam bangunan saat itu Kebo Panaran, Legok Ambengan dan Bargas Pati ditemani
oleh Gandul Wirjo sudah duduk-duduk mengobrol sambil menikmati kopi manis dan
pisang goreng hangat.
Karena ditunggu-tunggu Tunggul Anaprang masih belum muncul Kebo
Panaran mulai jengkel.
"Semua sudah tahu kita harus berangkat pagi-pagi sekali. Sontoloyo si
Tunggul Anaprang itu masih belum muncul! Tadi malam dia segan-seganan memilih
pasangan. Kini malah dia yang paling lama! Sialan!"
"Dia selalu begitu! Seenaknya sendiri!" Ikut mengomel Legok Ambengan.
Lalu berdiri sambil membetulkan ikat kepalanya. "Biar akan kugedor kamarnya!"
Dia berpaling pada Gandul Wirjo. Tunjukkan padaku kamarnya!"
Gandul Wirjo melangkah lebih dulu. Legok Ambengan mengikuti dari
belakang. Sampai di hadapan pintu besar berukir pemilik rumah
Pelacuran ini mengetuk pintu. Satu kali. Tak ada sahutan. Dua kali dan sampai
tiga kali tak ada sahutan. Legok Ambengan hilang sabarnya. Pintu itu ditinjunya
keras- keras seraya berteriak.
"Tunggul! Keparat kau! Lekas bangun! Kita harus segera berangkat!"
Meski sudah digedor dan teriaki seperti itu tetap saja dari dalam kamar tidak
ada jawaban. "Gila! Masakan dia tidur begitu pulas hingga tidak terbangun oleh
gedoranku"!" maki Legok Ambenga.
"Memang aneh," kata Gandul Wirjo pula. "Kalau Tunggul tidak terbangun,
masakan perempuan yang ada bersamanyajuaga tidak terbangun?"
"Akan kugedor dan kupanggil sekali lagi. Kalau tidak ada jawaban pintu ini
akan kudobrak!" kata Legok Ambengan pula.
"Jangan didobrak! Rusak pintuku! Pintu ini mahal dan ini kamar tidurku yang
daipakainya!"
"Perduli setan!" jawab Legok Ambengan. Dia kembali menggedor dan
berteriak lebih keras. Tapi seperti tadi, tak ada suara jawaban.
"Setan betul si Tunggul itu!" Serapah Legaok Ambengan. Dia melangkah
menjauhi pintu. Sebelum Gandul Wirjo sempat mencegah Legak Ambengan sudah
meloncat dan menerjang pintu dengan kaki kanannya. Pintu yang cukup tebal itu
berderak jebol lalu terpentang lebar. Legok Ambengan masuk ke dalam. Gandul
Wirjo mengikuti. Tiba-tiba terdengar seruan keras dari kedua orang ini. Seperti
melihat setan kepala tujuh keduanya menghambur keluar kamar, kembali ke ruangan
dimana Kebo Panaran dan dua lainnya duduk menunggu.
"Kalian mengejutkan aku saja!" Teriak Kebo Panaran marah. "Ada apa"
Tampang kalian pucat seperti kain kafan!"
"Kebo.....Tunggul Anaprang..." Suara Legok Ambengan seperti tercekik.
Tangannya gemetar menunjuk ke arah kamar. "Di...di...dia dibunuh!"
Serta merta Kebo Panaran dan kedua kawannya melompat dari kursi dan lari
memasuki kamar yang pintunya jebol terpentang. Begitu masuk Kebo Panaran
langsung tertegun. Mukanya mengelam!
"Keparat! Siapa yang melakukan ini"!" teriaknya.
BASTIAN TITO 6 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Di atas tempat tidur terbujur tubuh Tunggul Anaprang dalam keadaan
menelungkup, masih berpakaian lengkap. Lehernya hampir putus akibat tebasan
sebilah golok besar yang masih menancap di leher itu. Darah yang mulai megering
membasahi tempat tidur dan ada yang mengalir jatuh ke lantai. Bargas Pati tutup
kedua mukanya dengan kedua tangan. Kebo Panaran pejamkan kedua mata. Legok
Ambengan berdiri di luar pagar, tersandar lemas ke dinding sedang Gandul Wirjo
tertegun dengan muka pucat!
Tiba-tiba Kebo Panaran membalik. Dia melompat ke hadapan Gandul Wirjo
dan mencekal leher pakaian lelaki pemilik tempat pelacuran itu.
"Siapa yang tidur dangan kawanku adi malam" Pasti pelacur itu
pembunuhnya!"
Pucat ketakutan, dengan terbata-bata Gandul Wirjo menjawab. "Tunggul tidur
dengan seorang pelacur muda. Namanya kalau aku tidak salah ingat Wardianing. Dia
pelacur baru. Baru datang sore kemarin....Tidak mungkin. Tidak mungkin dia yang
membunuh Tunggul...."
Kebo Panaran menarik leher pakaian andul Wirjo kuat-kuat lalu membanting
lelaki itu ke dinding kamar hingga Gandul merintih kesakitan.
"Kalau bukan pelacur yang tidur bersamanya yang membunuh, lalu siapa"
Setan"! Hanya mereka berdua dalam kamar ini. Kau lihat sana! Jendela kamar
terbuka! Berarti sehabis membunuh Tunggul pelacur keparat itu melarikan diri
lewat jendela. Dan tak satupun anak buahmu yang melihat keparat itu kabur!"
"Sulit kupercaya Kebo," kata Gandul Wirjo sambil usap-usap keningnya yang
benjut sewaktu terbanting ke dinding tadi. " apa alasan pelacur itu membunuh
Tunggul?" Kebo Panaran sesaat jadi terdiam mendengar kata-kata pemilik rumah
pelacuran itu. Sementara itu dari beberapa kamar sebelah menyebelah penghuninya
ikut bangun dan keluar mendengar ribut-ribut itu. Mereka semua mundur menjauh
ketika menyaksikan mayat Tunggul Anaprang yang masih ditancapi golok itu.
"Apapun alasannya yang jelas kawanku itu sudah mampus dibunuhnya!"
"Kebo Panaran," Membuka mulut Bargas Pati. Jangan-jangan Gandul Wirjo
berkomplot dengan orang-orang kerajaan!"
Pucatlah wajah Gandul Wirjo mendengar kata-kata si botak Bargas Pati itu.
"Demi Tuhan! Aku bersumpah tidak punya hubungan apa-apa dengan orang-
orang kerajaan!"
"Siapa peraya ucapanmua Gandul!" kata Kebo Panaran seraya satu tangannya
mengusap-usap wajah lelaki yang dicekalnya itu. "Kau dulu termasuk orang-orang
yang berperang melawan penguasa sekarang ini. Sementara kami diburu-buru kau
enak-enak saja membuka usaha di tempat ini tanpa ada yang mengganggu. Tanpa ada
orang-orang kerajaan yang mengambil tindakan! Aneh bukan" Lalu kau punya
seorang pelacur yang baru kemarin sore datang ke tempat ini katamu! Dan pelacur
itu yang membunuh kawanku Tunggul. Mengapa semua serba kebetulan Gandul" Kau
merencanakan semua ini. Kau menjebak kami. Mungkin sebenarnya aku yang kau
tuju. "Demi Tuhan Kebo! Aku bersumpah tidak merencanakan apapun! Siapa
adanya pelacur itu belum sempat kuselidiki. Bahkan aku belum menidurinya......"
"Sialan! Aku tidak menanyakan kau sudah menidurinya atau belum!" bentak
Kebo Panaran. "Katakan cirri-ciri pelacur yang tidur bersama Tunggul malam
tadi!" "Orangnya masih muda. Wajahnya bujur telur. Cantik. Kulitnya putih. Dia
mengenakan kain panjang dan kebaya berkembang-kembang. Di..... di pipi kirinya
ada tahi lalat."
BASTIAN TITO 7 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Bagus!" desis Kebo Panaran. "Keteranganmu itu memberi keampunan
padamu untuk tidak mati dengan leher ditabas!"
Tangan kanannya bergerak ke pinggang.
Gandul Wirjo melihat golok keluar dari sarungnya. Dia berteriak.
"Kebo! Jangan! Aku benar-benar tidak ada sangku paut dengan kematian
Tunggul..... Akh....."
Ucapan pemilik rumah pelacuran itu terputus begitu golok di tangan kanan
Kebo Panaran amblas masuk ke dalam perutnya. Sepasang mata Gandul Wirjo
membeliak seperti hendak melompat dari sarangnya. Mukanya sesaat merah lalu
berubah menjadi pucat. Dia merasakan panas darahnya sendiri keluar mengucur dari
perutnya yang robek besar!.
Kebo Panaran dorong sosok tubuh Gandul Wirjo hingga terlempar ke kaki
tempat tidur. Lalu dia berpaling pada Legok Ambengan. "Kau ahli mencari jejak.
Bangsat pembunuh itu harus dapat kita kejar!"
Legok Ambengan mengangguk. "Kita harus berangkat sekarang juga! Pelacur
itu pasti sudah lari jauh!"
Kebo Panaran, Legaok Ambengan dan Bargas Pati segera keluar dari rumah
besar itu. Di luar udara masih gelap. Legaok Ambengan yang memang memiliki
keahlian mengusut segala macam jejak memperhatikan keadaan halaman samping
dekat jendela kamar di mana Tunggul Anaprang dibunuh. Di bawah penerangan
lampu minyak matanya yang tajam melihat adanya bekas-bekas jejak kaki walaupun
hampir tidak kentara. Jejak-jejak kaki ini menuju ke kandang kuda.
"Orang itu melarikan diri dengan kuda. Kelihatannya ke arah Timur..." kata
Legok Ambengan.
"Kalau begitu segera kita kejar ke arah Timur!" kata Kebo Panaran pula.
Ketiga orang ini lari ke kandang kuda. "Lihat, kuda kita hanya tinggal tiga.
Berarti yang seekor lagi dissambar pembunuh itu! Sialan! Kudaku yang dicurinya!" Saking
marahnya Kebo Panaran memukul tiang kandang kuda hingga patah!
BASTIAN TITO 8 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TIGA Perlahan-lahan udara mulai terang walau dinginnya malam masih menusuk
menjelang pagi itu. Ketika sang surya muncul menerangi jagat dan keadaan jadi
terang benderang, untuk pertama kalinya Kebo Panaran melihat segulung kertas
tergantung dekat buntalan barang di leher kudanya. Kertas itu berwarna putih
tetapi penuh dengan noda-noda darah.
"Heh, kertas apa ini?" bertanya Kebo Panaran dalam hati. Merasa tidak enak
lalu dia berseru. "Kawan-kawan! Berhenti dulu!"
"Ada apa Kebo?" Tanya Bargas Pati seraya menghentikan lari kudanya.
Legok Ambengan ikut menghentikan kuda tunggangannya. Kedua orang ini sama
memandang pada orang yang jadi pemimpin mereka itu.
KeboPenaan menunjuk pada gulunga kertas yang tergantung di leher kuda.
"Aku tidak tahu benda apa ini. Tapi sebelumnya gulungan kertas ini tidak ada di
sini!" Bargas Pati usap kepala botaknya. "Coba kau ambil saja dan buka
gulungannya. Jangan-jangan sehelai surat..."
"Surat berdarah...." Desisi Legok Ambengan.
Dengan perasaan tidak enak Kebo Panaran betot gulungan kertas berdarah itu
hingga ikatannya, sehelai benang halus terlepas putus. Betul kata Bargas Pati.
Gulungan kertas itu ternyata sehelai surat yang ditulis dengan darah. Walau
tulisan di atas kertas begitu buruk mungkin terburu-buru waktu ditulisnya namun Kebo
Panaran masih bisa membacanya dengan jelas.
Surat ini kutulis dengan darah salah seorang dari kalian. Aku tidak akan
berhenti sampai kalian berlima kuhabisi! Roh suamiku dan akan mengejar
kemanapun kalian pergi. Kalian tidak ada tempat untuk lari!
Paras Kebo Panaran sesaat tampak pucat.
"Ada apa Kebo?" Tanya Bargas Pati.
"Berikan padaku surat itu!" kata Legok Ambengan pula. Kebo Panaran
menyerahkan kertas yang dipegangnya pada kawannya itu. Bargas Pati mendekatkan
dirinya pada Legok Ambengan. Kedua orang ini kemudian sama-sama membaca isi
surat yang ditulis dengan darah itu. Keduanya seperti Kebo Panaran tadi langsung
pucat. "Membaca isi surat itu...." kata Kebo Panaran setelah coba menenangkan diri.
"Yang menulisnya tidak bisa tidak adalah Antini istri Lor Kameswara. Tapi
bagaimana aku bisa mempercayainya. Perempuan itu tidak memiliki kepandaian silat
apalagi nyali untuk melakukan hal ini. Membunuh Tunggul Anaprang lalu
melenyapkan diri dangan meninggalkan surat berdarah ini!"
"Dalam waktu tiga bulan segala sesuatunya bisa terjadi.... Mungkin
perempuan itu berguru pada seorang pandai. Setelah memiliki bekal ilmu yang
cukup dia lalu turun tangan melakukan balas dendam terhadap kita. Korban pertamanya
telah jatuh! Kawan kita Tunggul Anaparang!"
"Omonganmu membuat aku lebih sulit percaya Bargas Pati," menyhut Kebo
Panaran. "Nyatanya dia bisa mwmbunuh Tunggul. Dia bukan saja punya nyali dan ilmu
Kebo. Tapi bekerja dengan memakai otak! Dia bisa menyamar jadi pelacur. Mungkin
dibantu oleh Gandul Wirjo, mungkin juga tidak."
"Kurasa kita telah berbuat satu kesalahan," kata Legok Ambengan.
BASTIAN TITO 9 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Apa maksudmu?" Tanya Kebo Panaran sambil memandang ajam pada
kawannya itu. "Pada peristiwa tiga bulan lalu itu, seharusnya perempuan itu kita habisi
sekalian. Tak ada saksi atas perbuatan kita! Tak akan ada yang balas dendam!"
jawab Legok Ambengan pula.
Bargas Pati usap-usap lagi kepala botaknya. "Kalau ingat peristiwa itu justru
sebenarnya kita tidak boleh berlaku sekeji itu. Lor Kameswara adalah bekas
pimpinan yang kita hormati..."
"Tutup mulutmu Bargas Pati!" hardik Kebo Panaran. "Aku tidak suka
mendengar kau bicara begitu! Semua sudah terjadi! Kita bersama yang
melakukannya! Kenapa sekarang harus disesali" Kau sendiri meniduri perempuan itu
sampai beberapa kali! Ingat?"
Bargas Pati terdiam. Kebo Panaran lanas kembali membuka mulut. "Sampai
saat ini ada satu teka-teki yang belum terjawab. Lenyapnya sahabat kita Ambar
Parangkuning. Perempuan itu menghilang beberapa saat setelah peristiwa di rumah
Lor Kameswara. Di mana dia sekarang tidak satupun dari kita yang tahu. Apakah
dia berkomplot dengan istri Lor Kameswara?"
"Kalau hal itu sulit kupercaya. Ambar terlibat bersama kita. Bagaimana
mungkin dia berkomplot dengan Antini"!" ujar Bargas Pati.
"Betul sekali Kebo. Hal itu tidak masuk akal!" berkata Legok Ambengan.
"Tapi sudahlah. Kita tak perlu berdebat. Orang yang kita kejar tentu sudah
tambah jauh. Sebaiknya kita teruskan pengejaran. Menurut penglihatanku Antini atau
siapaun dia melarikan diri menuju ke Timur. Jika kita mengambil jalan lurus kita akan
sampai di sebuah bukit kecil. Di balik bukit itu ada sebuah kali besar. Antara tempat
ini ke kali besar itu ada jalan liar. Bukan mustahil si pembunuh menempuh jalan itu.
Sebab jika dia memang istri Lor Kameswara, perempuan itu tidak tahu betul seluk beluk
daerah ini. Di pasti mengikuti jalan yang sudah sering dilalui orang sebelumnya.
Kurasa kita bisa mengambil jalan memintas dan memotong arah larinya."
"Aku dan Bargas Pati mengikuti apa katamu saja Legok Ambengan," kata
Wiro Sableng 065 Hari Hari Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kebo Panaran. Makin cepat kita menempuh jalan memintas yang kau katakana itu
makin bagus. Kita berangkat sekarang saja! Kau jalan di depan! Tapi...... ucapan
Kebo Panaran terhenti. "Aku khawatir, jangan-jangan Ambaar Parangkuning sudah
jadi koban pula. Dibunuh istri Lor Kameswara!"
"Tidak, dia memang lenyap entah kemana. Tapi jika kau teliti surat tadi jelas
si pembunuh masih menyebut kita berlima. Bukan berempat. Berarti sahabat kita
perempuan itu masih hidup."
Kebi Panaran mengangguk-angguk membenarkan kata-kata Legok
Ambengan itu. Ketika rombongan tiga pengunggang kuda itu sampai di kaki bukit kecil yang
dikatakn Legok Ambengan udara tiba-tiba berubah. Siang yang tadinya terang
benderang mendadak menjadi gelap seperti senja. Gumpalan awan hitam kelabu
bertebaran menutupi langit. Dikejauhan mulai terdengar suara geledek ditimpali
cahaya sambaran kilat. Sesaat kemudian hujan yang bukan alang kepalang lebatnya
turun membasahi bumi.
"Kita mau mencari tempat berteduh atau meneruskan pengejaran?" Tanya
Legok Ambengan.
Bargas Pati maunya berhenti dulu mencari perlindaungan sambil beristirahat.
Tapi Kebo Panaran punya jalan pikiran lain.
"Hanya orang-orang tolol yang takut pada hujan! Teruskan pengejaran.
Bukankah kita harus cepat-cepat sampai di balik bukit sana?"
BASTIAN TITO 10 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Aku setuju kita meneruskan pengejaran" kata Legok Ambengan. Aku kawatir
hujan membuat mataku kurang awas dan aku bisa kehilangan jejak-jejak orang yang
kita kejar. Ayo kita teruskan perjalanan."
Hujan yang sangat lebat dan lama membuat arus kali besar itu menjadi deras
dan ganas. Di beberapa tempat air kali meluap melewati tebing kali dan
membanjiri daratan sekitarnya sementara itu hujan masih terus turun seperti tidak akan
berhenti. Kebo Panaran dan kawan-kawannya tidak bisa bergerak cepat dalam cuaca
buruk seperti ini. Namun demikian akhirnya mereka sampai juga ke balik bukit dan
berhenti di tepi kali yang sedang banjir.
"Celaka!" kata Legok Ambengan. "Air hujan dan banjir membuat aku tidak
dapat mengenali jejak yang ditinggalkan orang yang kita kejar!"
"Keparat!" maki Kebo Panaan sambil mengusap mukanya yang basah.
"Kerahkan seluruh kepandaianm Legok! Orang itu harus kita kejar! Ingat! Dia
telah membunuh kawan kita Tunggu Anaprang!"
Legok Ambengan menggigit bibir. Dia menyentakkan tali kekang kudanya,
bergerak menyusuri tepi kali ke arah hulu. Kebo Panaran dan Bargas Pati
mengikuti. Di satu tempat Legok Ambengan hentikan kudanya dan menunjuk ke arah benda
kehijau-hijauan yang terapung-apung di atas genangan air di tepi kali.
"Bendad apa itu?" Tanya Bargas Pati.
"Kotoran kuda...." Sahut Legok Ambengan. "Kita mengejar ke arah yang
beanar kawan-kawan!" Lelaki itu tampak gembira. "Kotoran kuda itu pasti kotoran
kuda orang yang kita kejar!"
Mendengar itu Kebo Panaran serta merta menyentakkan tali kekang kudanya
dan mendahului bergerak ke hulu kali yang arusnya tampak tambah deras.
Saat itu udara masih gelap karena langit yang masih mendung tebal dan hujan
yang terus mendera turun. Di kejauhan kila menyambar dua kali berturut-turut.
Sesaat udara menjadi terang benderang. Kebo Panaran yang berkuda di sebelah depan
kebetulan memnadang ke arah kejauhan. Lalu terdengar dia berteriak.
"Aku melihat seorang penunggang kuda di depan sana!"
"Pasti dia!" teriak Legok Ambengan.
Ketiga orang itu lalu sama memacu kuda masing-masing di bawah hujan lebat.
Tak lama kemudian meraka berhasil menyusul penunggang kuda itu. Orang
ini kelihatannya seperti dalam bingung. Hendak terus ke arah hulu jalan
terhalang oleh banjir besar. Hendak menyeberang kali yang berarus besar itu tentu saja
tidak mungkin. Kebo Panaan dan kawan-kawannya sampai di tempat itu. Melihat ada tiga
orang berkuda muncul, penunggang kuda tadi cepat membalikkan tunggangannya ke
arah kanan dan siap untuk melarikan diri.
"Jangan lari!" teriak Kebo Panaran.
Baru saja Kebo Panaran membentak begitu, dari arah kali muncul sebuah
perahu disusul terdengarnya suara orang menyanyi. Suara nyanyiannya tidak begitu
jelas. Ditelan oleh deru hujan, desau angin serta arus sungai yang menggila.
BASTIAN TITO 11 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
EMPAT Ini merupakan satu pemandangan aneh kalau tidak mau dikatakan gila. Di atas kali
yang arusnya ganas mengerikan sementara hujan lebat masih terus menderu turun,
dalam cuaca yang masih gelap tiba-tiba kelihatan meluncur sebuah perahu. Perahu
ini terombang-ambing tidak menentu. Sesekali dilontarkan arus ke atas sampai tinggi
setengah tombak lalu dihenyakkan seperti hendak dibenam ke dasar kali. Namun
perahu itu kemudian muncul kembali. Beberapa kali perahu ini kelihatan oleng dan
hampir terbalik, tetapi kembali meluncur mantap! Apapun yang dibuat arus, perahu
itu sepertinya tidak mampu untuk dilempar diterbalikkan, apalagi dibenamkan ke
dasar kali. Yang lebih gilanya, di aas perahu itu tampak duduk seorang pemuda
berpakaian serba putih. Rambutnya yang gondrong serta pakaiannya telah basah
kuyup oleh air hujan dan terpaan air kali. Namun dia enak saja duduk di atas
perahunya yang penuh air itu sambil bernyanyi-nyanyi seperti anak kecil yang
sedang kegirangan tanpa menyadari betapa bahaya maut mengancamnya!
Hujan turunlah terus.....asyik!
Air kali mengamuklah terus....asyik!
Perahuku jelek tak mungkin tenggelam....asyik!
Aku bersahabat dengan hujan......asyik!
Aku bersahabat dengan air kali.....asyik!
Tapi demi Tuhan jangan ada buaya di kali ini!
Suara nyanyian itu disusul denag gelak tawa si pemuda. Setelah mengusap
mukanya yang basah dia kembali melantunkan nyanyian tadi berulang-ulang. Sampai
pada suatu saat dia melihat ada seorang penunggang kuda di tepi kali yang sedang
banjir itu. Penunggang kuda itu ternyata seorang pemuda berwajah cakap halus.
Tampaknya dia tengah bingung karana idak dapat meneruskan perjalanan. Banjir di
depannya menghadang mengerikan.Membelok kiri berarti masuk ke dalam kali.
Membelok kanan jalan terhalang oleh lereng batu yang cukup tinggi. Satu-satunya
jalan adalah kembali ke arah datangnya semula. Dalam keadaan seperti itu,
sebelum pemuda berkuda ini sempat mengambil keputusan tiba-tiba dari arah belakang
muncul tiga penunggang kuda. Ketiganya dalam keadaan basah kuyup dan tampang-tampang
mereka tampak garang sekali.
Tiga penunggang kuda itu bukan lain adalah Kebo Panaran, Bargas Pati dan
Legok Ambengan.
"Jangan lari!" teriak Kebo Panaran ketika dilihatnya penunggang kuda di
depan sana hendak memutar tunggangannya dan siap kabur!
Karena memang sudah terkurung pemuda di atas kuda terpaksa duduk tak
bergerak sehingga Kebo Panaran dan kawan-kawannya dapat melihat jelas wajahnya.
Bargas Pati menggerendeng "Bukan perempuan yang kita kejar!"
Kebo Panaran juga hendak ikut-ikutan menggerendeng namun kemudian dia
segera mengenali kuda yang ditunggangi pemuda itu. Kuda miliknya yang hilang
dicuri di penginapan milik Gandul Wirjo!
"Itu kudaku yang ditungganginya!" kata Kebo Panaran. Lalu segera mencabut
golok besarnya.
"Anak muda! Lekas kaakan siapa dirimu dan dari mana kau dapat kuda itu"!"
menghardik Legok Ambengan.
BASTIAN TITO 12 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Pemuda di depan ketiga orang itu memperhatikan dengan pandangan mata tak
berkesip. "Aku tidak kenal kalian. Kuda ini milikku. Apa kalian hendak merampok"!"
"Pemuda kurang ajar! Kutabas batang lehermu!" teriak Kebo Panaran seraya
memajukan kudanya. "Jawab pertanyaan tadi atau kupisahkan kepalamu dari badan
saat ini juga!"
"Namaku Jaliteng. Kuda ini milikku. Kubeli dari seorang tak kukenal
beberapa waktu lalu."
"Siapa orang yang menjual kuda itu?" tanya Bargas Pati.
"Seorang perempuan muda. Cantik....."
"Hemmm...." Kebo Panaran usap-usap janggutnya yang basah.
"Aku mau pergi. Menyingkirlah. Jangan menghadang jalan!" pemuda tadi
berkata. Kebo Panaran melirik pada kedua temannya. Lalu berbisik "Aku curiga
padanya. Bagaimana pendapat kalian?"
"Pemuda itu harus kita geledah! jawab Legok Ambengan. Lalu dia berseru.
"Lemparkan buntalan yang kau bawa. Kami ingin memeriksa!"
Pemuda di atas kuda memegang buntalan yang tergantung di leher kudanya
lalu menjawab. "Ada hak apa kau memeriksa aku" Lekas menyingkir sebelum aku
jadi marah!"
Kebo Panaran dan kedua kawannya tertawa bergelak mendengar ucapan
pemuda cakap itu.
"Turun daru kudamu! Berlutut di hadapan kami dan serahkan buntalan!"
menghardik Kebo Panaran.
"Perampok-perampok picisan! Rasakan dulu senjataku ini!" Pemuda di atas
kuda berteriak. Tangan kanannya bergerak Lalu tiga buah pisau terbang meluncur
ke arah Kebo Panaran, Bargas Pati dan Legok Ambengan.
Bagi orang biasa, serangan tiga pisau terbang itu kelihatannya hebat sekali dan
membahayakan keselamatan bahkan nyawa Kebo Panaran dan dua kawannya. Tetapi
bagi pemuda yang duduk cengar-cengir di atas perahu yang dipermainkan arus kali,
lemparan tiga pisau terbang tadi sama sekali tidak mantap dan tidak disertai
cukup aliran tenaga dalam. Ternyata memang benar. Dengan mudah Kebo Panaran, Baras
Pati dan Legok Ambengan memukul mental tiga serangan pisau tersebut. Begitu
berhasil mementahkan serangan lawan Kebo Panaran berteriak "Legok! Lekas kau
cincang pemuda itu!"
"Srett! Srett!"
Di bawah hujan lebat Legok Ambengan cabut sepasang goloknya dari
pinggang. Sambil memutar-mutar senjatanya di tangan kiri kanan Legok Ambengan
menyerbu. Pemuda yang diserang tidak tinggal diam. Dari balik punggungnya dia
mencabut sebilah pedang. Begitu Legok Ambengan mendekat dia sabatkan senjatanya.
"Trang...! Trang....!"
Pedang dan dua golok saling beradu.
Pemuda di atas kuda diam-diam mengeluh. Bentrokan senjata tadi membuat
tangannya yang memegang pedang bergetar. Senjatanya hampir terlepas. Segera dia
mundurkan kudanya lalu coba menebas tubuh Legok Ambengan dari samping kiri.
Legok Ambengan menangkis. Kali ini si pemuda berlaku cerdik. Dia tidak
mau melakukan bentrokan senjata. Lagi-lagi dia memundurkan kudanya. Dengan
tangan kiri dia melepas dua pisau terbang. Tapi dengan mudah kedua senjaa itu
dihantam mental oleh Legok Ambengan dengan kedua goloknya.
BASTIAN TITO 13 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Kebo Panaran yang sudah tidak sabaran melihat jalannya perkelahian seera
menyerbu dangan golok di tangan. Kini tak ampun lagi pemuda berwajah cakap itu
terdesak hebat.
Dalam satu bentrokan hebat golok di tangan si pemuda kena dipukul lepas.
Pemuda ini berseru kaget. Kudnya dilarikan menjauhi ketiga orang itu. Tapi dai
salah mengambil arah. Kudanya mundur ke arah pinggiran kali yang arusnya tengah
menggila! Tak ada kesempatan ataupun jalan untuk lari. Di depannya Kebo Panaran,
Bargas Pati dan Legok Ambengan bergerak mendekat. Kebo Panaran mencekal golok
besar. Bargas Pati memegang senjatanya berupa sebuah clurit besar sedang Legok
Ambengan memegang sepasang golok.
Pemuda berambut gondrong di atas perahu hentikan nyanyiannya. Dia
menggaruk-garuk kepala beberapa kali lalu berteriak.
"Sahabat! Naik ke atas kudamu! Melompat ke mari!" Lalu pemuda di atas
perahu mendayung perahunya menuju tepian kali.
Sesaat pemuda cakap di atas kuda jadi tercekat. Memang satu-satunya jalan
untuk lari adalah melompat ke atas perahu itu. Tapi dai tidak punya kemampuan
melakukannya. Baginya perahu itu masih terlalu jauh untuk dilompati!
"Sahabat! Cepat! Melompat ke atas perahuku!" Teriak si gondrong di atas
perahu. Dia tambah mendekatkan perahunya ke pinggir kali.
"Melompatlah kalau kau mampu!" kata Kebo Panaran sambil menyeringai.
Goloknya berkelebat.
"Craassss!"
Kuda tunggangan si pemuda meringkik keras ketika golok Kebo Panaran
membabat lehernya. Binatang ini mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.
Pemuda di atas kuda itu terlempar ke arah kali. Jarak jatuhnya masuih jauh dari
perahu di atas kali. Melihat hal ini pemuda di atas perahu cepat memutar
perahunya untuk mneyambut jatuhnya pemuda tadi.
"Bangsat kurang ajar!" maki Kebo Panaran. Lelaki itu mengangkat goloknya
tinggi-tingg. Lalu senjata ini dilemparkannya ke arah pemuda yang saat itu
tubuhnya masih melayang di atas kali.
Terdengar pekik si pemuda ketika mata golok sempat mengiris daging
bahunya. Bajunya kelihatan merah oleh darah. Kakinya melejang dan kedua
tangannya menggapai-gapai akibat rasa takut dan sakit yang jadi satu. Sakit
karena luka di bahu kirinya cukup besar. Takut karena sebentar lagi dirinya akan amblas
masuk ke dalam air kali yang menggila sedang dia sama sekali tidak bisa
berenang. Pada saat yang menegangkan itu pemuda gondrong di atas perahu ternyata
dapat menyorongkan perahunya dalam waktu yang tepat. Tubuh pemuda yag terluka
jatuh ke dalam perahu. Pemuda yang jatuh kembali menjerit sedang perahu itu
terlonjak ke atas lalu miring ke kiri. Pemuda berambut gondrong cepat
mengimbangi dengan membuat gerakan-gerakan lucu. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba dari
pinggiran kali tampak melesat dua buah senjata. Ternyata Legok Ambengan telah
melemparkan sepasang goloknya kearah pemuda gondrong di atas perahu.
"Walah!" Si gondrong sesaat tampak bingung. Saat itu dia tengah berusaha
agar perahu jangan sampai terbalik. Di lantai perahu orang yang jatuh kembali
menjerit lalu mengerang kesakitaan sambil memegang bahunya. Celakanya orang ini
malah memegangi kaki pemuda gondrong hingga tak ampun lagi keseimbangannya
benar-benar hilang dan tubuhnya terjatuh ke kali. Dalam keadaan seperti ini dua
golok terbang daang menyambar! Satu mengarah dada satunya lagi mengincar perut.
Selagi tubuhnya melayang jatuh ke dalam kali yang berarus deras, pemuda
gondrong itu gerakkan tangan kanannya ke pinggang.
BASTIAN TITO 14 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Kunyuk yang berlagak jadi pahlawan, rasakan sepasang golokku!" teriak
Legok Ambengan dari atas kudanya sambil bertolak pinggang sementara Kebo
Panarandan Bargas Pati menyeringai. Kelihaian Bagas Pati dalam memainkan dan
Wiro Sableng 065 Hari Hari Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melemparkan sepasang golok selama ini sudah tersohor. Karenanya ketiga orang ini
sudah sama memastikan bahwa pemuda yang melayang jatuh ke kali akan ditambus
golok pada dada dan perutnya.
Namun apa yang terjadi kemudian membuat ketiga orang itu berseru kaget.
BASTIAN TITO 15 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
LIMA Di atas kali kelihatan warna terang menyilaukan mata. Bersamaan sengan itu
terdengar suara sperti gaung ribuan lebah. Hawa di tempat itu yang tadinya
lembab dingin mendadak menjadi panas. Lalu terdengar suara berdentrangan dua kali
berturut-turut. Dua golok yang tadi dilemparkan Legok Ambengan mental ke udara.
Yang satunya patah dua lalu jatuh ke dalam kali. Saunya lagi mental utuh ke
Pinggir kali, tepat di depan Legok Ambengan dan kawan-kawannya. Ketika ketiga orang ini
memperhatikan golok yang tercampak di tanah becek itu, ternyata golok itu berada
dalam keadaan bengkok dan hitam hangus serta mengeluarkan kepulan asap!
Kebo Panaran, Bargas Pati dan Legok Ambengan sama-sama ternganga dan
sama-sama memandang ke tengah kali. Saat itu mereka lihat perahu di tengah kali
meluncur ke seberang padahal tidak ada yang mendayung sedang pemuda yang tadi
terjatuh di dalamnya masih terbujur dan merintih pegangi bahunya
"Aneh, ke mana lenyyapnya pemuda gondrong di atas perahu tadi!" kata Kebo
Panaran. Selagi Kebo Panaran dan dua temannya masih berada dalam keadaan tercekat
heran tiba-tiba dari dalam air kali mencuat sebuah pendayung. Benda ini melayang
ke pinggir kali, menyambar kepala kuda yang ditunggangi Legok Ambengan.
"Praakkk!"
Pendayung itu patahdua. Kening kuda remuk. Binatang ini meringkik keras
lalu berputar kencang dan kabur hingga Legok Ambengan terpelanting dan jatuh
duduk pada bagian tanah yang becek!
"Bangsat kurang ajar!" kutuk Legok Ambengan seraya berdiri dan pegangi
pantat celananya yang basah dan ditempeli Lumpur. Matanya memandang garang ke
tengah kali. Saat itu pemuda gondrong yang tadi lenyap kini tahu-tahu kelihatan
lagi di atas perahu sambil menjulur-julurkan lidah. Kedua ibu jari tangannya
ditekankan ke pelipis lalu jari-jarinya yang lain digerak-gerakkan.
"Keparat! Berani dia mengejek kita! Teriak Legok Ambengan sambil
kepalkan kedua tinju. "Kalau bertemu akan kupaahkan batang lehernya!"
"Kurasa dia bukan seorang pemuda sembarangan Legok," kata Kebo Panaran.
"Pasti tadi dia membuat mental sepasang golokmu. Pasti dia memiliki semacam
senjata yang hebat! Dan pasti dia pula yang melemparkan pendayung itu selagi
menyelam di dalam air!"
"Aku tidak perdulikan bangsat gondrong itu!" kata Bargas Pati. "Yang
membuatku jengkel ialah lolosnya orang yang kita kejar...."
"Tolol! Yang kita kejar sebenarnya Antini, istri Lor Kameswara, bukan
pemuda seperti banci itu!" bentak Legok Ambengan.
"Kau yang tolol! Belum tentu dia benar-benar seorang pemuda! Buktinya dia
ketakutan ketika hendak kita geledah!" balas mendamprat Bargas Pati.
"Kudanya masih ada di situ. Bargas, coba kau periksa buntalannya!" kata
Kebo Panaran. Bargas Pati turun dari kudanya. Seluruh isi buntalan dikeluarkannya. Salah
satu benda yang keluar adalah sehelai kebaya dan kain panjang perempuan.
"Kebo lihat! Apa kataku!" teriak Bargas Pati. "Pemuda tadi pasti Antini istri
Lor Kameswara. Buktinya dalam buntalan ini ada pakaian perempuan!"
"Kurang ajar! Jadi dia rupanya yang tadi malam menyamar menjadi pelacur!
Jelas memang dia yang membunuh Tunggul Anaprang! Kita harus cari perahu atau
BASTIAN TITO 16 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
membuat rakit dangan segera! Bangsat itu tidak boleh lolos!" Memandang ke depan
Kebo Panaran melihat perahu yang ditumpangi pemuda berambut gondrong serta
pemuda yang terluka telah mencapai pinggiran kali dan berhenti.
Di atas perahu si gondrong membungkuk seraya berkata. "Sahabat, mari
kugotong kau ke daratan...."
Pemuda ini tersentak kaget ketika orang yang hendak ditolongnya membuka
mulut dan berkata dengan suara keras. "Jangan sentuh!"
"Eh, bagaimana ini?" Si gondrong garuk-garuk kepalanya. "Kau sanggup
berdiri sendiri dan berjalan dalam banjir" Arus banjir di daratan sana cukup
keras...."
"Aku sanggup berdiri dan bejalan sendiri. Aku berterima kasih kau tadi
menolongku." Pemuda yang terbujur di atas lantai perahu yang basah itu berusaha
bangkit dangan berpegangan pada pinggiran perahu. Ukanya tampak mengernyit
tanda dia menahan sakit. Dengan terhuyung-huyung dia melangkah di dalam air yang
tingginya sampai sepaha.
"Saudara, kau terluka cukup parah..."
"Aku bisa mengobatinya nanti. Sudah jangan perdulikan diriku..." Pemuda itu
melangkah terus melawan arus air yang cukup keras meskipun sudah cukup jauh dari
kali. Si gondrong geleng-geleng kepala. "Pemuda aneh...." Katanya dalam hati lalu
turun dari perahu dn melangkah mengikuti pemuda di depannya.
"Kuharap kau jangan mengikutiku!" Tiba-tiba pemuda di depan sana berkata.
"Agaknya ada sesuatu yang kau takutkan, sahabat. Pasti ada suatu sebeb
mengapa orang-orang di seberang kali sana hendak mencelakaimu."
"Benar atau tidaknya itu bukan urusanmu!" jawab si pemuda sambil perbaiki
kait ikat kepalanya.
"Namamu siapa dan kau sebenarnya tangah menuju kemana?"
Yang ditanya balas bertanya. " Kau sendiri siapa dan mengapa mengikutiku"
Mengapa ingin tahu" Bukankah aku sudah mengucapkan terima kasih atas
pertolonganmu?"
"Aku tidak butuh terima kasih...."
"Kalau begitu sebutkan saja siapa dirimu!"
"Namaku Wiro Sableng. Tujuan perjalananmu sama dengan tujuan
perjalananku," jawab si gondrong.
"Hemmm..... Dari namamu saja aku sudah pantas berhati-hati...."
"Kau keliwat menghina, sahabat...."
"Tidak, siapa bilang aku menghina...."
Pendekar 212 Wiro Sableng tersenyum. "Kau tidak hendak mengatakan
namamu?" Tanya Wiro.
"Tidak perlu. Dan sekali lagi aku bilang! Jangan mengikutiku!"
"Sudahlah kau boleh pergi ke mana kau suka. Aku tidak akan mengintil. Tapi
aku sudah tahu namamu!" kata Wiro pula.
"Heh"!" Pemuda di depan Wiro hentikan langkah dan berpaling padanya.
"Kau tahu namaku" Dari mana" Dari siapa"! Jangan menipu. Coba kau
katakana siapa namaku kalau kau memang tahu!"
"Kalau tidak Sumini ya Suminah, kalau tidak Amini ya Aminah!" jawab Wiro
lalu tertawa gelak-gelak.
Paras si pemuda yang cakap tampak menjadi merah. Dlam hati dia membatin
"Apa dia tahu siapa diriku?" Sesaat pemuda ini memandang tak berkesip pada Wiro.
Tanpa diketahuinya sebuah batang pohon yang dihanyutkan arus meluncur ke
arahnya. Wiro berteriak memberi tahu tapi bang pohon itu telah menghantam pinggangnya
BASTIAN TITO 17 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
hingga pemuda itu terdorong keras dan terjerambab masuk ke dalam air. Sakit yang
bukan kepalang akibat hantaman batangan pohon tadi membuat dia tidak mampu
untuk bangkit. Tubuhnya segera tenggelam ke dalam air setinggi paha itu lalu
terseret oleh arus. "Tol...tolong...!" teriak pemuda itu. Tapi air kali jdai masuk ke dalam
mulutnya. Membuat megap-megap kelagapan dan semakin tak berdaya diseret arus
banjir. "Tolong...... teriakan pemuda itu kembali terdengar.
Wiro melangkah bergerak meotong arah hanyutnya si pemuda.
"Tolong.....!"
Tubuh si pemud hanyut di belakang Wiro. Murid Eyang Sinto Gendeng ini
gerakkan tangan kanannya ke belakang dan berhasil mencekal punggung pakaian
pemuda itu lalu diseretnya sambil terus melangkah.
Hujan mulai mereda.
Di satu tempat yang hanya sedikit digenangi air kali Wiro berhenti. Dia
terkejut ketika didapatinya orang yang diseret itu ternyata telah jatuh pingsan.
Acuh tak acuh Wiro bujurkan tubuh pemuda itu menelungkup dai tanah yang becek. Lalu
dengan kakinya ditekannya bagian pinggang si pemuda. Kelihatan air kaliyang
sempat terminum keluar mengucur dari mulutnya.
Wiro membungkuk memeriksa luka di bahu kiri si pemuda. Luka itu cukup
besar. Kalau tidak segera dibersihkan dan diobati pasti akan membusuk. Wiro
balikkan tubuh si pemuda. Matanya menatap ke arah dada.
"Dadanya kelihatan seperti rata. Tapi aku yakin....." Wiro garuk-garuk
kepalanya. Akhirnya tangannya bergerak ke arah dada orang yang pingsan itu.
Meraba dan memijat lalu cepat ditaiknya kembali ketika jari-jari tangannya
terasa menyentuh bagian tubuh yang membusung. "Tidak salah," katanya. Dalam hati.
"Untung tidak kupijat kuat-kuat..... Mengapa dia menyamar pasti ada satu rahasia.
Biar lukanya kuobati lebih dulu."
Baru saja Wiro berkata dalam hati seperti itu tiba-tiba satu bayangan
berkelebat. Satu bentakan keras terdengar.
"Pemuda kurang ajar! Berani kau mengerayangi tubuh muridku!"
"Bukkk!"
Satu tendangan menghantam punggung Pendekar 212 hingga murid Eyang
Sinto Gendeng ini terpelanting!
BASTIAN TITO 18 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ENAM Untuk beberapa lamanya Wiro terkapar terelungkup di tanah yang becek. Pakaian
putihnya di sebelah depan serta mukanya berkelukuran Lumpur tanah liat merah.
Sambil mengernyit kesakitan Wiro memandang ke samping untuk meliha
siapa yang bausan telah menghantamnya.
Orang itu ternyata seorang nenek berwajah pucat yang rambutnya kasar jabrik
berwarna kelabu. Dia mengenakan jubah hitam besar gombrong menjela tanah hingga
kedua kakinya tidak kelihatan. Sepasang lengan jubah juga gombrong menutupi
kedua tangannya. Tpai mata Wiro yang tajam dapat melihat bahwa pada kedua lengan
nenek tak dikenal ini tersisip sesuatu. Mungkin golok pendek mungkin juga
sebentuk pisau. Sambil garuk-garuk kepala dan masih mengernyit sakit Wiro bangkit lalu
duduk di tanah.
"Nenek muka pucat, aku tidak kenal kau. Mengapa membokong aku dengan
tendangan?" bertanya Wiro.
"Kau tidak perlu kenal siapa aku! Masih untung aku cuma menendangmu!
Seharusnya sudah kupecahkan kepalamu!" Si nenek menjawab dengan mata melotot
dan membentak. Suaranya halus aneh tapi melengking.
"Kenapa kau hendak membunuhku"!"Tanya Wiro lagi seraya berdiri.
"Kenapa" Monyet! Kau masih bisa bertanya" Apa kau masih tidak tahu
kesalahanmu"!"
"Aku tidak merasa berbuat salah. Malah aku barusan habis menolong pemuda
itu!" jawab Wiro.
"Setan alas! Kau berdalih menolong! Aku tidak buta! Aku lihat jelas tadi kau
meraba memegang-megang dada muridku!"
"Ah" Wiro menyeringai. "Kalau kau cemburu aku memegangi dada pemuda
itu, jangan-jangan dia bukan muridmu! Lelaki meraba lelaki apa salahnya" Jangan-
jangan kau punya hubungan asamara gila dengan pemuda ini!"
Si nenek keluarkan suara melengking keras. Tangan kanannya digerakkan.
Dari ujung lengan jubahnya keluar angin bersiuran. Menghantam deras ke arah Wiro
yang saat itu masih setengah berdiri. Yang keluar dari lengan jubah itu ternyata
bukan hanya pukaulan angin kosong ganas, tetapi tiba-tiba ikut melesat sebilah pisau
belati. Pisau terbang ini bersiuran deras di udara, melesat ke arah dada Pendekar 212!
"Tua bangka edan!" maki Wiro. Dia terpaksa jatuhkan diri kea nah kembali.
Pukulan tangan kosong dan pisau terbang lewat di atasnya lalu menancap di
sebatang pohon. Begitu lolos dari serangan orang Wiro cepat melompat bangkit lalu
menuding dengan telunjuk tangan kirinya tepat-tepat ke muka si nenek.
"Dengar nenek muak pucat! Siapapun pemuda itu berada dalam
keadaanterluka. Kau lihat bahu kirinya...."
"Aku tidak buta! Aku melihat! Tapi kau cuma mengarang cerita!"
'Sialan!" maki Wiro. Sudahlah! Jika pemuda itu memang muridmu kau
uruslah sendiri!" Wiro jadi jengkel lalu balikkan diri hendak tinggalkan tempat
itu sementara paemuda yang tadi ditolongnya masih tergeletak tidak sadarkan diri.
Si nenek berteriak marah. "Setelah kau berbuat mesum terhadap muridku apa
kau kira aku akan biarkan kau pergi begitu saja"! Ulurkan dulu tangan kananmu
yang tadi menggerayangi tubuh muridku biar kupatahkan!"
BASTIAN TITO 19 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Eh tua bangka ini benar-benar sial dangkalan!" kata Wiro dalam hati. Dia
alirkan separuh dari tenaga dalamnya ke tangan kanan lalu melangkah ke hadapan
si nenek seraya ulurkan tangan itu.
"Kau mau mematahkan tanganku" Lakukanlah!" kata Wiro seraya
membelintangkan tangan kanannya di depan hidung si nenek.
"Manusia sombong! Lihat! Tanganmu akan kujadikan tiga potongan!
Nenek muka pucat melompat sambil gerakkan kedua tangannya. Dengan
pinggiran telapak tangannya dia menghantam lengan Wiro.
"Krakkk! Krakkk!"
Terdengar suara berderak patah dua kali berturut-turut.
"Rasakan!" teriak si nenek sambil menyeringai puas dan melompat mundur.
Namun ketika dia memandang ke depan si nennek jadi melengak. Yang barusan
dipukulnya patah bukannya lengan pemuda berambut gondrong itu melainkan sebuah
ranting pohon! Pendekar 212 tertawa mengakak.
"Nenek muka pucat rambut jabrik!" kata Wiro pula sambil senyum-senyum.
"Kau bilang matamu tidak buta tetapi kau lihat sendiri apa yang berusan kau
paahkan" Bukan tanganku tapi ranting kayu butut!"
Si nenek sendiri memang sudah terkejut dan heran sejak tadi-tadi. Tak dapat
dia menduga apa yang telah terjadi. Jelas tadi dia memukul lengan si pemuda.
Lalu bagaimana kemudian dia jadi memukul ranting kayu sedang tangan Wiro jelas
dilihatnya masih utuh tidak cidera barang sedikitpun, apalagi patah tiga!
Sebenarnya apakah yang telah dilakukan Pendekar 212"
Ketika melangkah ke hadapan si nenek Wiro sempat menyambar sepotong
ranting kayu yang ada di dekat situ. Si nenek tidak melihatnya karena
perhatiannya tertuju pada tangan kanan yang dipentangkan Wiro tepat-tepat di depan hidungnya.
Sewaktu si nenek memukulkan kedua tangannya dengan marah secepat kilat Wiro
turunkan tangan kanannya. Lalu sebagai gantinya dia palangkan ranting kayu itu.
Tentu saja yang kemudian dipukul si nenek buakan tangannya melainkan ranting
Wiro Sableng 065 Hari Hari Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tadi! Kalau saja nenek muka pucat itu sadar akan keahlian orang
mempermainkannya pasti selanjutnya dia tidaka akan gegabah lagi. Namun dalam
marahnya dia tidak dapat berpikir banyak. Didahului suara menggembor perempuan
tua ini berkelebat. Sebilah belati melesat keluar dari lengan jubahnya kiri
kanan, masuk ke dalam genggamannya. Lalu dengan sepasang senjata ini dia melompat
menyerang Wiro.
Murid Sinto Gendeng yang masih tertwa-tawa gak terlambat membuat
gerakan mengelak.
"Brett!"
Pisau di tangan kiri si nenek sempat membabat dada kirinya. Maisih untung
hanya baju putihnya saja yang kena disambar hingga robek besar. Wiro melompat ke
samping. Lawan memburu dengan ganas. Dua pisau belati berkelebat di udara.
Pendekar 212 sambutt serangan si nenek dengan keluarkan jurus ilmu silat orang
gila yang dipelajarinya dari Tua Gila di Pulau Andalas. Tubuhnya meliuk-liuk
sempoyongan seperti orang mabuk yang mau roboh. Nenek muka pucat jadi terkejut
ketika setelah tiga jurus menggempur bertubi-tubi tak satu serangannyapun dapat
mencapai sasaran. Penasaran dia lipat gandakan kecepatan dan tenaga serangannya.
Tubuhnya berubah jadi baying-bayang hitam yang melesat kian kemari. Pisaunya
menderu-deru menikam dan membabat.
Jurus-jurus ganas si nenek membuat Pendekar 212 terdesak sampai tiga jurus.
Wiro kerahkan tenaga dalamnya pada kedua lengannya. Getaran tanga dalam yang
BASTIAN TITO 20 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
memancar dari kedua tangannya emmbuat serangan sepasang pisau si nenek seperti
tertahan oleh satu kekuatan yang tidak terlihat.
"Hemmm....Pemuda ini ternyata memilii tenaga dalam tinggi," meyadari si
Makam Bunga Mawar 18 Pengemis Binal 17 Misteri Pusaka Pedang Gaib Iblis Sungai Telaga 20
WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Episode : Hari Hari Terkutuk
SATU Bangunan besar itu dari luar tampak sepi-sepi saja. Satu-satunya penerangan
hanya sebuah lampu minyak yang berkelap-kelip di bawah cucuran atap dekat pintu
masuk yang berada dalam keadaan tertutup. Di kejauhan terdengar suara derap kaki
kuda mendatangi. Tak lama kemudian empat penunggang kuda memasuki halaman
depan yang gelap.
Lelaki pertama bertubuh tinggi besar dengan wajah penuh brewok dan kumis
tebal melingtang. Pakaiannya serba hitam. Keningnya diikat dengan sehelai kain
hitam dan di pinggang kirinya tergantung sebilah pedang. Orang ini bernama Kebo
Panaran. Dari gerak geriknya kelihatannya dia yang menjadi pemimpin dari
rombongan yang baru datang ini.
Orang kedua bernama Bargas Pati, bertubuh gemuk berkepala botak plontos.
Mukanya selalu berminyak. Baju dan ikat kepalanya serba merah. Di balik baju
merahnya dia membekal sebuah clurit besar.
Lelaki ketiga berbadan kurus kering tapi tinggi jangkung. Kulitnya sangat
pucat tidak beda mayat. Dia mengenakan pakaina dan ikat kepala warna biru. Di
pinggangnya melingkar sebuah rantai besi yang rupanya menjadi senjatanya.
Manusia satu ini dikenal dengan nama Tunggul Anaprang.
Orang terakhir bernama Legok Ambengan, mengenakan baju dan celana serta
ikat kepala warna hijau. Tubuhnya bungkuk dan di pinggangnya kiri kanan tersisip
sepasang golok pendek.
Belum sempat keempat orang ini turun dari kuda masing-masing, dari
samping kiri kanan bangunan besar yang kelihatan sepi itu tiba-tiba muncul lima
orang berpakaian seragam hitam dan bertubuh rata-rata tinggi besar. Kelimanya
membekal golok besar di pinggangnya masing-masing.
Walau empat penunggang kuda yang dating memiliki tampang sangar namun
lima orang berseragam hitam itu kelihatannya tidak menaruh rasa jerih. Malah
salah seorang dari mereka sambil bertolak pinggang menegur. Namanya Ranggas.
"Kalian berempat kami lihat baru sekali ini datang kemari. Betul.......?"
Empat penunggang kuda saling pandang satu sama lain lalu sama-sama
menyeringai. Yang di ujung sebelah kanan yaitu Bargas Pati berkata perlahan pada
kawan di sampingnya.
"Tunggul kau jawab saja pertanyaan monyet itu!"
Tunggul Anaprang lalu membuka mulut. "Kami berempat memang baru sekali
ini kemari. Kenapa kau bertanya" Apa kau yang punya tempat ini?"
" Aku dan kawan-kawan bertanggung jawab atas keamanan di tempat ini.
Bagi orang-orang baru ada aturannya sendiri!" jawab orang berbaju hitam yang
masih tegak sambil bertolak pinggang. "Pertama turun dari kuda masing-masing. Orang-
orangku akan membawa binatang itu ke halaman belakang."
"Hemm begitu" Bagus juga pelayanan di tempat ini," kata Kebo Panaran. Dia
memberi isyarat pada kawan-kawannya. Keempat orang ini lalu turun dari atas
kuda. Dua orang anak buah si baju hitam memegang tali-tali kekang kuda lalu menuntun
bintang itu ke halaman belakang.
BASTIAN TITO 1 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Sekarang kalian harus menyerahkan uang keamanan. Cukup sekali ini saja.
Lain kali kalian datang tidak perlu."
Legok Ambengan berpaling pada Kebo Panaran. Kebo Panaran kedipkan
matanya. "Berapa besarnya uang keamanan itu?" bertanya Legok Ambengan
kemudian. "Seperlima dari jumlah uang yang kalian bawa. Keluarkan semua isi kantong
kalian!" jawab Ranggas.
"Kami sama sekali tidak membawa uang!" kata Kebo Panaran lalu tertawa
gelak-gelak. Tiga kawannya ikut-ikutan tertawa.
Merasa dipermainkan Ranggas jadi marah.
"Jika kalian tidak punya uang, lekas angkat kaki dari sini. Kuda-kuda kalian
kami tahan!"
"Begitu?" Ujar Kebo Panaran sambil usap-usap berewoknya. "Mulai saat ini
kau dan teman-temanmu dipecat sebagai penjaga keamanan di tempat ini! Lekas
minggat dari hadapanku!"
Terkejutlah Ranggas mendengar ucapan Kebo Panaran itu. Rasa terkejut ini
disertai juga dengan gejolak amarah. Karenanya Ranggas langsung melompati Kebo
Panaran sambil melayangkan tamparan. Sesaat lagi tamparan itu akan melanda muka
Kebo Panaran dengan keras tiba-tiba dari samping satu tangan mencekal lengan
Ranggas. Sekali sentak saja tubuh Rangas terpuntir terbungkuk-bungkuk membuatnya
meringis kesakitan. Dua orang anak buah kepala keamanan itu berteriak marah
melihat atasan mereka diperlakukan seperti itu. Tanpa banyak bicara lagi
keduanya mencabut golok di pinggang masing-masing terus membabat ke arah si gemuk botak
Bargas Pati yang tengan memelintir lengan Ranggas.
Golok pertama membacok ke arah batok kepala yang botak sedang golok
kedua membabat ke arah pinggang. Bargas Pati hanya ganda tertawa melihat
serangan maut itu. Dari kiri kanan dua orang kawannya berkelebat.
"Bukk........Bukkk!"
Terdengar dua kali suara bergedebuk disusul dengan jeritan dua orang anak
buah Ranggas. Keduanya terhuyung-huyung. Satu pegangi hidungnya yang
mengucurkan darah, satunya lagi menekapi mata kirinya yang juga mengucurkan
darah. Golok mereka berjatuhan ke tanah pada saat jotosan-jotosan Tunggul
Anaprang dan Legok Ambengan menghantam muka meraka. Selagi keduanya
terhuyung-huyung begitu, kaki-kaki kedua anak buah Kebo Panaran tadi ganti
beraksi. Kembali dua orang yang berpakaian hitam itu keluarkan jeritan kesakitan lalu
tergelimpang roboh di tanah. Masing-masing menderita patah tiga tulang iga dan
remuk tulang dadanya!
Dua orang anak buah Ranggas yang tadi membawa kuda-kuda ke halaman
belakang berseru kaget ketika mereka kembali dan melihat apa yang terjadi.
Keduanya serta merta mencabut golok masing-masing lalu menyerang Tunggul
Anaprang dan Legok Ambengan. Namun nasib mereka tidak berbeda dengan dua
kawannya terdahulu. Begitu keduanya menyerang, Legok dan Tunggul
menyambutnya dengan tendangan yang membuat keduanya terpental hampir satu
tombak. Yang satu jatuh terduduk sambil memegangi perutnya yang kena tendang.
Satunya lagi terkapar dengan mulut hancur dan gigi-gigi rontok.
Ranggas yang sedang menderita kesakitan karena tangannya masih dipuntir di
belakang punggung terbeliak kaget melihat kejadian itu. Dia sadar kini kalau
berhadapan dengan serombongan orang-orang berkepandaian tinggi. Namun satu hal
yang masih belum diketahuinya apakah mereka ini orang baik-baik atau bukan.
BASTIAN TITO 2 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Melihat kepada keadaan pakaian dan tampang-tampang mereka yang beringas bengis
Ranggas sulit mempercayai keempat orang itu adalah orang baik-baik..
"Kebo Panaran mau diapakan monyet satu ini?" Tanya Bargas Pati yang
menelikung tangan Ranggas.
Kebo Panaran berpaling pada Legok Ambengan lalu pada Tunggul Anaprang
"Kalian tahu apa yang harus dilakukan?"
Mendengar ucapan Kebo Panaran itu kedua anak buahnya segera memndekati
Ranggas. Dalam keadaan tak berdaya Ranggas mereka jejali dengan jotosan-jotosan
dan tendangan-tendangan. Sekujur muka Ranggas babak belur berlumuran darah tak
karuan lagi. Ketika Bargas Pati melepas cekalannya Ranggas langsung roboh tapi
dia cukup kuat untuk tidak jatuh pingsan.
Pada saat itu tiba-tiba pintu bangunan terbuka. Seorang lelaki berpakaian
mewah keluar sambil berkipas-kipas. Dia memperhatikan apa yang terjadi di
halaman depan itu sesaat lalu berkata. "Sahabat-sahabat jauh dari mana yang telah sudi
memberi pelajaran pada anak-anak buahku?"
Kebo Panaran dan tiga temannya sama-sama berpaling ke pintu. Mereka
perhatikan orang yang tegak berkipas-kipas itu sesaat lalu tertawa gelak-gelak.
"Gandul Wirjo! Tidak sangka kowe rupanya yang jadi mucikari rumah cabul
ini!" berseru Kebo Panaran lalu melangkah besar-besar menghampiri orang di depan
pintu diikuti oleh ketiga anak buahnya. Kebo Panaran memegang bahu orang itu
lalu berpaling pada ketiga anak buahnya dan berkata "Kalian lihat dia sudah jadi
orang kaya sekarang! Tapi tidak lupa dengan teman-teman seperjuangan! Ha.... Ha... ha....
Ayo kita beri salam pada sahabat lama ini!" Kebo Panaran dan tiga orang lainnya
segera menyalami lelaki bernama Gandul Wirjo yang memang adalah pemilik
bangunan besar itu.
"Kalian ke mari tentu punya maksud. Tidak bagus kalau maksud itu tidak
kesampaian. Jangan di luar saja. Mari masuk!"
Gandul Wirjo membuka pintu lebar-lebar. Kebo Panaran dan ketiga kawannya
masuk ke dalam diikuti si pemilik bangunan. Sebelum ikut masuk Gandul Wirjo
berpaling pada Ranggas yang masih terkapar kesakian di tanah.
"Kerjamu sebagai kepala keamanan bagus. Tapi lihat-lihat dulu siapa orang
yang hendak kau kerjakan. Sekarang kau kena batu sendiri Ranggas!"
Ranggas diam saja. Tapi dalam hati dia memaki habis-habisan.
Di dalam bangunan. Kelima orang itu duduk di sebuah ruangan yang berbau
harum kayu cendana. Mereka bercakap-cakap beberapa lama. Kemudian Kebo
Panaran berkata. "Bagaimana kalau obrolan ini kita sambung nanti. Sekarang aku
dan teman-teman ingin bersenang-senang lalu istirahat sampai menjelang pagi."
Gandul Wirjo tersenyum. "Jangan kawatir. Kalian akan mendapatkan
kesenangan. Memang sejak perang berakhir tidak terlalu mudah mencari perempuan
cantik-cantik." Pemilik bangunan besar itu mengambil sebuah lonceng kecil dari
atas meja lalu digoyang-goyangkan dua kali. Tak berapa lama kemudian lima orang
perempuan muda muncul. Tiga diantaranya berparas lumayan. Mereka langsung
mengelilingi Kebo Panaran dan kawan-kawannya. Ada yang membelai rambut atau
memijit-mijit bahu, ada juga yang mengusap-usap lengan orang-orang itu.
"Para sahabat, kalian silahkan memilih sendiri. Jangan pikirkan soal bayaran.
Semua aku berikan denga cuma-cuma. Demi persahabatab kita di masa lalu dan
dimasa mendatang!"
Kebo Panaran memilih perempuan yang bertubuh ramping dan ada tahi lalat di
dagu kirinya. Bargas Pati menarik lengan perempuan berkebaya biru yang dadanya
montok luar biasa. Satu demi satu perempuan-perempuan itu membawa tamu mereka
BASTIAN TITO 3 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ke kamar masing-masing. Tinggal kini Tunggul Anaprang. Dia masih duduk
memandangi dua orang perempuan yang tegak di hadapannya.Tak satupun dari kedua
perempuan ini cocok dengan seleranya.
"Tunggul, kau tunggu apa lagi" Pilih salah satu atau otak kotormu mungkin
mau berbuat macam-macam. Membawa keduanya sekaligus ke dalam kamar?"
bertanya Gandul Wirjo.
Tunggul Anaprang menggeleng "Tak satupun yang ku suka........"
"Matamu terbalik sahabatku! Kedua permpuan ini tidak jelek dan masih
muda-muda!" kata Gandul Wirjo pula.
"Terserah kamu mau bilang apa, tapi aku tidak naksir satupun dari mereka.
Buatkan saja aku kopi, biar aku istirahat di sini dan tidur barang seketika.
Atau mungkin kau masih ada persediaan perempuan yang lain?"
Gandul Wirjo menyuruh masuk kedua perempuan pelacur yang masih berdiri
di tempat itu. Setelah keduanya masuk ke dalam. Pemilik rumah pelacuran yang
sekaligus menjadi mucikari itu berkata pada Tunggul Anaprang.
"Dulu di masa sebelum dan di waktu peperangan kau adalah sahabatku paling
dekat. Aku tidak akan melupakan hal itu terus terang memang ada satu simpananku.
Baru datan sore tadi. Aku bermaksud hendak menggarapnya ketika kau dan kawan-
kawan datang. Tapi demi persahabatan perempuan itu akan aku berikan padamu.
Hanya untuk yang satu ini tak mungkin aku berikan secara cuma-cuma sahabat....."
"Ah, jangan begitu Gandul," kata Tunggul Anaprang pula.
"Kau lihat saja dulu orangnya Tunggul. Masih sangat muda. Kulit putih mulus.
Wajah cantikluar biasa. Dia pasti orang baik-baik."
Kedua orang itu sampai di hadapan sebuah pintu. Selain ada ukirannya pintu
satu ini lebih besar dari pintu-pintu lain yang ada dalam bangunan besar rumah
pelacuran itu. Gandul Wirjo mengeluarkan sebuah anak kunci. Dengan kunci ini dibukanya
pintu. Sebuah lampu minyak besar di atas meja menerangi kamar yang ternyata
sangat bagus. Sebuah ranjang berkasur tebal empuk terletak di tengah kamar. Lalu
disebuah kursi rendah, dekat meja kecil tampak duduk seorang perempuan yang wajahnya
memang membuat jantung Tunggul Anaprang seperti berhenti berdetak. Rambutnya
hitam panjang tergerai menutupi dada kebayanya yang agak terbuka di sebelah atas
sehingga Tunggul dan Gandul dapat melihat payudaranya yang menggelembung
mulus. Betisnya yang putih tersembul dari balik kain panjang. Dia tampak agak
ketakutan. "Bagaimana?" bisik Gandul Wirjo.
"Benar-benar luar biasa. Dari mana kau dapat yang satu ini" Aku percaya
pada ucapanmu kalau dia sebelumnya perempuan baik-baik. Buktinya dia tampak
takut-takut. Wajahnya betul-betul mempesona. Bagaimana kalau dia kuambil jadi
istri...?"
"Itu bisa urus kemudian sahabatku. Sekarang untuk malam ini berapa kau mau
membayar?"
Mendengar pertanyaan Gandul Wirjo itu Tunggul Anaprang merogoh saku
pakaian birunya kiri kanan. Dua tumpuk uang dimasukkannya ke dalam genggaman
pemilik rumah pelacuran itu. Malah kemudian dia mengambil lagi sebuah kantong
kecil berisi sejumlah uang dan dimasukkannya ke dalam saku pakaian Gandul Wirjo.
"Keluarlah cepat. Aku sudah tidak tahan!" kata Tunggul Anaprang pula.
Dibukanya pintu kamar lebar-lebar lalu didorngnya sahabatnya itu keluar. Begitu
Gandul Wirjo lenyap Tunggul Anaprang segera menutupkan pintu dan menguncinya
sekali. Sambil menyeringai dia melangkah mendekati kursi dimana duduk si dara
BASTIAN TITO 4 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
jelita. Sesaat Tunggul Anaprang tegak seperti tertegun memandangi wajah yang
sangt cantik itu. Dia rasa-rasa seperti pernah melihat gadis itu sebelumnya tapi lupa
entah dimana. Sebuah tahi lalat di pipi kiri menambah kecantikan parasnya.
"Siapa namamu anak manis?" Tanya Tunggul Anaprang sambil meraba dagu
perempuan yang duduk di kursi. Tiba-tiba perempuan muda itu memegang lengan
Tunggul Anaprang kuat-kuat lalu menggigitnya. Tidak keras tapi malah membuat
lelaki itu jadi tambah terangsang.
Tunggul Anaprang tertawa lebar. Hidungnya menghembuskan nafas memburu
dan darahnya menjadi panas. Sekujur tubuhnya bergetar. Tak tahan lagi lelaki ini
segera hendak membuka pakaian pelacur muda itu.
"Tunggu dulu...." Perempuan itu berkata. "Kita masih banyak waktu. Tiduran
saja. Raden Mas tentu letih. Biar saya pijiti dulu...."
Tunggul Anaprang tertawa mendengar dirinya dipanggil sebutan Raden Mas.
"Jangan panggil aku dengan sebutan Raden Mas, sayangku. Namaku Tunggul
Anaprang. Gelarku si Rantai Maut. Kau boleh panggil namaku atau gelaranku.
Terserah mana yang kau suka!" Lalu kedua tangan lelaki ini menjalar di bahu
perempuan itu. Terangsang oleh nafsu yang sulit ditahan-tahan Tunggul Anaprang sama
sekali tidak melihat adanya sambaran cahaya aneh pada kedua mata pelacur itu
ketika
Wiro Sableng 065 Hari Hari Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia mendengar nama dan gelar yang dikatakannya.
"Berbaringlah dulu. Biar saya pijit. Setelah itu baru kita bersenang-senang.
Sampai pagi kalau mau...."
Meskipun sudah sangat ingin memeluki dan menciumi pelacur muda itu
namun Tunggul Anaprang mengalah juga. Tanpa banyak cerita dia berbaring
menelentang. "Tengkurap dulu. Biar punggungnya saya pijiti dulu."
Tunggul Anaprang tersenyum dan mengikuti apa yang dikatakan si pelacur.
Dia membalikkan diri lalu menelungkup. Tangan kiri perempuan itu mulai memijiti
punggungnya. Tapi tanpa diketahui Tunggul Anaprang tangan kanannya bergerak ke
balik kebayanya.
BASTIAN TITO 5 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DUA Matahari memang belum terbit. Diluar udara masih gelap dan dingin. Namun di
dalam bangunan saat itu Kebo Panaran, Legok Ambengan dan Bargas Pati ditemani
oleh Gandul Wirjo sudah duduk-duduk mengobrol sambil menikmati kopi manis dan
pisang goreng hangat.
Karena ditunggu-tunggu Tunggul Anaprang masih belum muncul Kebo
Panaran mulai jengkel.
"Semua sudah tahu kita harus berangkat pagi-pagi sekali. Sontoloyo si
Tunggul Anaprang itu masih belum muncul! Tadi malam dia segan-seganan memilih
pasangan. Kini malah dia yang paling lama! Sialan!"
"Dia selalu begitu! Seenaknya sendiri!" Ikut mengomel Legok Ambengan.
Lalu berdiri sambil membetulkan ikat kepalanya. "Biar akan kugedor kamarnya!"
Dia berpaling pada Gandul Wirjo. Tunjukkan padaku kamarnya!"
Gandul Wirjo melangkah lebih dulu. Legok Ambengan mengikuti dari
belakang. Sampai di hadapan pintu besar berukir pemilik rumah
Pelacuran ini mengetuk pintu. Satu kali. Tak ada sahutan. Dua kali dan sampai
tiga kali tak ada sahutan. Legok Ambengan hilang sabarnya. Pintu itu ditinjunya
keras- keras seraya berteriak.
"Tunggul! Keparat kau! Lekas bangun! Kita harus segera berangkat!"
Meski sudah digedor dan teriaki seperti itu tetap saja dari dalam kamar tidak
ada jawaban. "Gila! Masakan dia tidur begitu pulas hingga tidak terbangun oleh
gedoranku"!" maki Legok Ambenga.
"Memang aneh," kata Gandul Wirjo pula. "Kalau Tunggul tidak terbangun,
masakan perempuan yang ada bersamanyajuaga tidak terbangun?"
"Akan kugedor dan kupanggil sekali lagi. Kalau tidak ada jawaban pintu ini
akan kudobrak!" kata Legok Ambengan pula.
"Jangan didobrak! Rusak pintuku! Pintu ini mahal dan ini kamar tidurku yang
daipakainya!"
"Perduli setan!" jawab Legok Ambengan. Dia kembali menggedor dan
berteriak lebih keras. Tapi seperti tadi, tak ada suara jawaban.
"Setan betul si Tunggul itu!" Serapah Legaok Ambengan. Dia melangkah
menjauhi pintu. Sebelum Gandul Wirjo sempat mencegah Legak Ambengan sudah
meloncat dan menerjang pintu dengan kaki kanannya. Pintu yang cukup tebal itu
berderak jebol lalu terpentang lebar. Legok Ambengan masuk ke dalam. Gandul
Wirjo mengikuti. Tiba-tiba terdengar seruan keras dari kedua orang ini. Seperti
melihat setan kepala tujuh keduanya menghambur keluar kamar, kembali ke ruangan
dimana Kebo Panaran dan dua lainnya duduk menunggu.
"Kalian mengejutkan aku saja!" Teriak Kebo Panaran marah. "Ada apa"
Tampang kalian pucat seperti kain kafan!"
"Kebo.....Tunggul Anaprang..." Suara Legok Ambengan seperti tercekik.
Tangannya gemetar menunjuk ke arah kamar. "Di...di...dia dibunuh!"
Serta merta Kebo Panaran dan kedua kawannya melompat dari kursi dan lari
memasuki kamar yang pintunya jebol terpentang. Begitu masuk Kebo Panaran
langsung tertegun. Mukanya mengelam!
"Keparat! Siapa yang melakukan ini"!" teriaknya.
BASTIAN TITO 6 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Di atas tempat tidur terbujur tubuh Tunggul Anaprang dalam keadaan
menelungkup, masih berpakaian lengkap. Lehernya hampir putus akibat tebasan
sebilah golok besar yang masih menancap di leher itu. Darah yang mulai megering
membasahi tempat tidur dan ada yang mengalir jatuh ke lantai. Bargas Pati tutup
kedua mukanya dengan kedua tangan. Kebo Panaran pejamkan kedua mata. Legok
Ambengan berdiri di luar pagar, tersandar lemas ke dinding sedang Gandul Wirjo
tertegun dengan muka pucat!
Tiba-tiba Kebo Panaran membalik. Dia melompat ke hadapan Gandul Wirjo
dan mencekal leher pakaian lelaki pemilik tempat pelacuran itu.
"Siapa yang tidur dangan kawanku adi malam" Pasti pelacur itu
pembunuhnya!"
Pucat ketakutan, dengan terbata-bata Gandul Wirjo menjawab. "Tunggul tidur
dengan seorang pelacur muda. Namanya kalau aku tidak salah ingat Wardianing. Dia
pelacur baru. Baru datang sore kemarin....Tidak mungkin. Tidak mungkin dia yang
membunuh Tunggul...."
Kebo Panaran menarik leher pakaian andul Wirjo kuat-kuat lalu membanting
lelaki itu ke dinding kamar hingga Gandul merintih kesakitan.
"Kalau bukan pelacur yang tidur bersamanya yang membunuh, lalu siapa"
Setan"! Hanya mereka berdua dalam kamar ini. Kau lihat sana! Jendela kamar
terbuka! Berarti sehabis membunuh Tunggul pelacur keparat itu melarikan diri
lewat jendela. Dan tak satupun anak buahmu yang melihat keparat itu kabur!"
"Sulit kupercaya Kebo," kata Gandul Wirjo sambil usap-usap keningnya yang
benjut sewaktu terbanting ke dinding tadi. " apa alasan pelacur itu membunuh
Tunggul?" Kebo Panaran sesaat jadi terdiam mendengar kata-kata pemilik rumah
pelacuran itu. Sementara itu dari beberapa kamar sebelah menyebelah penghuninya
ikut bangun dan keluar mendengar ribut-ribut itu. Mereka semua mundur menjauh
ketika menyaksikan mayat Tunggul Anaprang yang masih ditancapi golok itu.
"Apapun alasannya yang jelas kawanku itu sudah mampus dibunuhnya!"
"Kebo Panaran," Membuka mulut Bargas Pati. Jangan-jangan Gandul Wirjo
berkomplot dengan orang-orang kerajaan!"
Pucatlah wajah Gandul Wirjo mendengar kata-kata si botak Bargas Pati itu.
"Demi Tuhan! Aku bersumpah tidak punya hubungan apa-apa dengan orang-
orang kerajaan!"
"Siapa peraya ucapanmua Gandul!" kata Kebo Panaran seraya satu tangannya
mengusap-usap wajah lelaki yang dicekalnya itu. "Kau dulu termasuk orang-orang
yang berperang melawan penguasa sekarang ini. Sementara kami diburu-buru kau
enak-enak saja membuka usaha di tempat ini tanpa ada yang mengganggu. Tanpa ada
orang-orang kerajaan yang mengambil tindakan! Aneh bukan" Lalu kau punya
seorang pelacur yang baru kemarin sore datang ke tempat ini katamu! Dan pelacur
itu yang membunuh kawanku Tunggul. Mengapa semua serba kebetulan Gandul" Kau
merencanakan semua ini. Kau menjebak kami. Mungkin sebenarnya aku yang kau
tuju. "Demi Tuhan Kebo! Aku bersumpah tidak merencanakan apapun! Siapa
adanya pelacur itu belum sempat kuselidiki. Bahkan aku belum menidurinya......"
"Sialan! Aku tidak menanyakan kau sudah menidurinya atau belum!" bentak
Kebo Panaran. "Katakan cirri-ciri pelacur yang tidur bersama Tunggul malam
tadi!" "Orangnya masih muda. Wajahnya bujur telur. Cantik. Kulitnya putih. Dia
mengenakan kain panjang dan kebaya berkembang-kembang. Di..... di pipi kirinya
ada tahi lalat."
BASTIAN TITO 7 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Bagus!" desis Kebo Panaran. "Keteranganmu itu memberi keampunan
padamu untuk tidak mati dengan leher ditabas!"
Tangan kanannya bergerak ke pinggang.
Gandul Wirjo melihat golok keluar dari sarungnya. Dia berteriak.
"Kebo! Jangan! Aku benar-benar tidak ada sangku paut dengan kematian
Tunggul..... Akh....."
Ucapan pemilik rumah pelacuran itu terputus begitu golok di tangan kanan
Kebo Panaran amblas masuk ke dalam perutnya. Sepasang mata Gandul Wirjo
membeliak seperti hendak melompat dari sarangnya. Mukanya sesaat merah lalu
berubah menjadi pucat. Dia merasakan panas darahnya sendiri keluar mengucur dari
perutnya yang robek besar!.
Kebo Panaran dorong sosok tubuh Gandul Wirjo hingga terlempar ke kaki
tempat tidur. Lalu dia berpaling pada Legok Ambengan. "Kau ahli mencari jejak.
Bangsat pembunuh itu harus dapat kita kejar!"
Legok Ambengan mengangguk. "Kita harus berangkat sekarang juga! Pelacur
itu pasti sudah lari jauh!"
Kebo Panaran, Legaok Ambengan dan Bargas Pati segera keluar dari rumah
besar itu. Di luar udara masih gelap. Legaok Ambengan yang memang memiliki
keahlian mengusut segala macam jejak memperhatikan keadaan halaman samping
dekat jendela kamar di mana Tunggul Anaprang dibunuh. Di bawah penerangan
lampu minyak matanya yang tajam melihat adanya bekas-bekas jejak kaki walaupun
hampir tidak kentara. Jejak-jejak kaki ini menuju ke kandang kuda.
"Orang itu melarikan diri dengan kuda. Kelihatannya ke arah Timur..." kata
Legok Ambengan.
"Kalau begitu segera kita kejar ke arah Timur!" kata Kebo Panaran pula.
Ketiga orang ini lari ke kandang kuda. "Lihat, kuda kita hanya tinggal tiga.
Berarti yang seekor lagi dissambar pembunuh itu! Sialan! Kudaku yang dicurinya!" Saking
marahnya Kebo Panaran memukul tiang kandang kuda hingga patah!
BASTIAN TITO 8 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TIGA Perlahan-lahan udara mulai terang walau dinginnya malam masih menusuk
menjelang pagi itu. Ketika sang surya muncul menerangi jagat dan keadaan jadi
terang benderang, untuk pertama kalinya Kebo Panaran melihat segulung kertas
tergantung dekat buntalan barang di leher kudanya. Kertas itu berwarna putih
tetapi penuh dengan noda-noda darah.
"Heh, kertas apa ini?" bertanya Kebo Panaran dalam hati. Merasa tidak enak
lalu dia berseru. "Kawan-kawan! Berhenti dulu!"
"Ada apa Kebo?" Tanya Bargas Pati seraya menghentikan lari kudanya.
Legok Ambengan ikut menghentikan kuda tunggangannya. Kedua orang ini sama
memandang pada orang yang jadi pemimpin mereka itu.
KeboPenaan menunjuk pada gulunga kertas yang tergantung di leher kuda.
"Aku tidak tahu benda apa ini. Tapi sebelumnya gulungan kertas ini tidak ada di
sini!" Bargas Pati usap kepala botaknya. "Coba kau ambil saja dan buka
gulungannya. Jangan-jangan sehelai surat..."
"Surat berdarah...." Desisi Legok Ambengan.
Dengan perasaan tidak enak Kebo Panaran betot gulungan kertas berdarah itu
hingga ikatannya, sehelai benang halus terlepas putus. Betul kata Bargas Pati.
Gulungan kertas itu ternyata sehelai surat yang ditulis dengan darah. Walau
tulisan di atas kertas begitu buruk mungkin terburu-buru waktu ditulisnya namun Kebo
Panaran masih bisa membacanya dengan jelas.
Surat ini kutulis dengan darah salah seorang dari kalian. Aku tidak akan
berhenti sampai kalian berlima kuhabisi! Roh suamiku dan akan mengejar
kemanapun kalian pergi. Kalian tidak ada tempat untuk lari!
Paras Kebo Panaran sesaat tampak pucat.
"Ada apa Kebo?" Tanya Bargas Pati.
"Berikan padaku surat itu!" kata Legok Ambengan pula. Kebo Panaran
menyerahkan kertas yang dipegangnya pada kawannya itu. Bargas Pati mendekatkan
dirinya pada Legok Ambengan. Kedua orang ini kemudian sama-sama membaca isi
surat yang ditulis dengan darah itu. Keduanya seperti Kebo Panaran tadi langsung
pucat. "Membaca isi surat itu...." kata Kebo Panaran setelah coba menenangkan diri.
"Yang menulisnya tidak bisa tidak adalah Antini istri Lor Kameswara. Tapi
bagaimana aku bisa mempercayainya. Perempuan itu tidak memiliki kepandaian silat
apalagi nyali untuk melakukan hal ini. Membunuh Tunggul Anaprang lalu
melenyapkan diri dangan meninggalkan surat berdarah ini!"
"Dalam waktu tiga bulan segala sesuatunya bisa terjadi.... Mungkin
perempuan itu berguru pada seorang pandai. Setelah memiliki bekal ilmu yang
cukup dia lalu turun tangan melakukan balas dendam terhadap kita. Korban pertamanya
telah jatuh! Kawan kita Tunggul Anaparang!"
"Omonganmu membuat aku lebih sulit percaya Bargas Pati," menyhut Kebo
Panaran. "Nyatanya dia bisa mwmbunuh Tunggul. Dia bukan saja punya nyali dan ilmu
Kebo. Tapi bekerja dengan memakai otak! Dia bisa menyamar jadi pelacur. Mungkin
dibantu oleh Gandul Wirjo, mungkin juga tidak."
"Kurasa kita telah berbuat satu kesalahan," kata Legok Ambengan.
BASTIAN TITO 9 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Apa maksudmu?" Tanya Kebo Panaran sambil memandang ajam pada
kawannya itu. "Pada peristiwa tiga bulan lalu itu, seharusnya perempuan itu kita habisi
sekalian. Tak ada saksi atas perbuatan kita! Tak akan ada yang balas dendam!"
jawab Legok Ambengan pula.
Bargas Pati usap-usap lagi kepala botaknya. "Kalau ingat peristiwa itu justru
sebenarnya kita tidak boleh berlaku sekeji itu. Lor Kameswara adalah bekas
pimpinan yang kita hormati..."
"Tutup mulutmu Bargas Pati!" hardik Kebo Panaran. "Aku tidak suka
mendengar kau bicara begitu! Semua sudah terjadi! Kita bersama yang
melakukannya! Kenapa sekarang harus disesali" Kau sendiri meniduri perempuan itu
sampai beberapa kali! Ingat?"
Bargas Pati terdiam. Kebo Panaran lanas kembali membuka mulut. "Sampai
saat ini ada satu teka-teki yang belum terjawab. Lenyapnya sahabat kita Ambar
Parangkuning. Perempuan itu menghilang beberapa saat setelah peristiwa di rumah
Lor Kameswara. Di mana dia sekarang tidak satupun dari kita yang tahu. Apakah
dia berkomplot dengan istri Lor Kameswara?"
"Kalau hal itu sulit kupercaya. Ambar terlibat bersama kita. Bagaimana
mungkin dia berkomplot dengan Antini"!" ujar Bargas Pati.
"Betul sekali Kebo. Hal itu tidak masuk akal!" berkata Legok Ambengan.
"Tapi sudahlah. Kita tak perlu berdebat. Orang yang kita kejar tentu sudah
tambah jauh. Sebaiknya kita teruskan pengejaran. Menurut penglihatanku Antini atau
siapaun dia melarikan diri menuju ke Timur. Jika kita mengambil jalan lurus kita akan
sampai di sebuah bukit kecil. Di balik bukit itu ada sebuah kali besar. Antara tempat
ini ke kali besar itu ada jalan liar. Bukan mustahil si pembunuh menempuh jalan itu.
Sebab jika dia memang istri Lor Kameswara, perempuan itu tidak tahu betul seluk beluk
daerah ini. Di pasti mengikuti jalan yang sudah sering dilalui orang sebelumnya.
Kurasa kita bisa mengambil jalan memintas dan memotong arah larinya."
"Aku dan Bargas Pati mengikuti apa katamu saja Legok Ambengan," kata
Wiro Sableng 065 Hari Hari Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kebo Panaran. Makin cepat kita menempuh jalan memintas yang kau katakana itu
makin bagus. Kita berangkat sekarang saja! Kau jalan di depan! Tapi...... ucapan
Kebo Panaran terhenti. "Aku khawatir, jangan-jangan Ambaar Parangkuning sudah
jadi koban pula. Dibunuh istri Lor Kameswara!"
"Tidak, dia memang lenyap entah kemana. Tapi jika kau teliti surat tadi jelas
si pembunuh masih menyebut kita berlima. Bukan berempat. Berarti sahabat kita
perempuan itu masih hidup."
Kebi Panaran mengangguk-angguk membenarkan kata-kata Legok
Ambengan itu. Ketika rombongan tiga pengunggang kuda itu sampai di kaki bukit kecil yang
dikatakn Legok Ambengan udara tiba-tiba berubah. Siang yang tadinya terang
benderang mendadak menjadi gelap seperti senja. Gumpalan awan hitam kelabu
bertebaran menutupi langit. Dikejauhan mulai terdengar suara geledek ditimpali
cahaya sambaran kilat. Sesaat kemudian hujan yang bukan alang kepalang lebatnya
turun membasahi bumi.
"Kita mau mencari tempat berteduh atau meneruskan pengejaran?" Tanya
Legok Ambengan.
Bargas Pati maunya berhenti dulu mencari perlindaungan sambil beristirahat.
Tapi Kebo Panaran punya jalan pikiran lain.
"Hanya orang-orang tolol yang takut pada hujan! Teruskan pengejaran.
Bukankah kita harus cepat-cepat sampai di balik bukit sana?"
BASTIAN TITO 10 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Aku setuju kita meneruskan pengejaran" kata Legok Ambengan. Aku kawatir
hujan membuat mataku kurang awas dan aku bisa kehilangan jejak-jejak orang yang
kita kejar. Ayo kita teruskan perjalanan."
Hujan yang sangat lebat dan lama membuat arus kali besar itu menjadi deras
dan ganas. Di beberapa tempat air kali meluap melewati tebing kali dan
membanjiri daratan sekitarnya sementara itu hujan masih terus turun seperti tidak akan
berhenti. Kebo Panaran dan kawan-kawannya tidak bisa bergerak cepat dalam cuaca
buruk seperti ini. Namun demikian akhirnya mereka sampai juga ke balik bukit dan
berhenti di tepi kali yang sedang banjir.
"Celaka!" kata Legok Ambengan. "Air hujan dan banjir membuat aku tidak
dapat mengenali jejak yang ditinggalkan orang yang kita kejar!"
"Keparat!" maki Kebo Panaan sambil mengusap mukanya yang basah.
"Kerahkan seluruh kepandaianm Legok! Orang itu harus kita kejar! Ingat! Dia
telah membunuh kawan kita Tunggu Anaprang!"
Legok Ambengan menggigit bibir. Dia menyentakkan tali kekang kudanya,
bergerak menyusuri tepi kali ke arah hulu. Kebo Panaran dan Bargas Pati
mengikuti. Di satu tempat Legok Ambengan hentikan kudanya dan menunjuk ke arah benda
kehijau-hijauan yang terapung-apung di atas genangan air di tepi kali.
"Bendad apa itu?" Tanya Bargas Pati.
"Kotoran kuda...." Sahut Legok Ambengan. "Kita mengejar ke arah yang
beanar kawan-kawan!" Lelaki itu tampak gembira. "Kotoran kuda itu pasti kotoran
kuda orang yang kita kejar!"
Mendengar itu Kebo Panaran serta merta menyentakkan tali kekang kudanya
dan mendahului bergerak ke hulu kali yang arusnya tampak tambah deras.
Saat itu udara masih gelap karena langit yang masih mendung tebal dan hujan
yang terus mendera turun. Di kejauhan kila menyambar dua kali berturut-turut.
Sesaat udara menjadi terang benderang. Kebo Panaran yang berkuda di sebelah depan
kebetulan memnadang ke arah kejauhan. Lalu terdengar dia berteriak.
"Aku melihat seorang penunggang kuda di depan sana!"
"Pasti dia!" teriak Legok Ambengan.
Ketiga orang itu lalu sama memacu kuda masing-masing di bawah hujan lebat.
Tak lama kemudian meraka berhasil menyusul penunggang kuda itu. Orang
ini kelihatannya seperti dalam bingung. Hendak terus ke arah hulu jalan
terhalang oleh banjir besar. Hendak menyeberang kali yang berarus besar itu tentu saja
tidak mungkin. Kebo Panaan dan kawan-kawannya sampai di tempat itu. Melihat ada tiga
orang berkuda muncul, penunggang kuda tadi cepat membalikkan tunggangannya ke
arah kanan dan siap untuk melarikan diri.
"Jangan lari!" teriak Kebo Panaran.
Baru saja Kebo Panaran membentak begitu, dari arah kali muncul sebuah
perahu disusul terdengarnya suara orang menyanyi. Suara nyanyiannya tidak begitu
jelas. Ditelan oleh deru hujan, desau angin serta arus sungai yang menggila.
BASTIAN TITO 11 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
EMPAT Ini merupakan satu pemandangan aneh kalau tidak mau dikatakan gila. Di atas kali
yang arusnya ganas mengerikan sementara hujan lebat masih terus menderu turun,
dalam cuaca yang masih gelap tiba-tiba kelihatan meluncur sebuah perahu. Perahu
ini terombang-ambing tidak menentu. Sesekali dilontarkan arus ke atas sampai tinggi
setengah tombak lalu dihenyakkan seperti hendak dibenam ke dasar kali. Namun
perahu itu kemudian muncul kembali. Beberapa kali perahu ini kelihatan oleng dan
hampir terbalik, tetapi kembali meluncur mantap! Apapun yang dibuat arus, perahu
itu sepertinya tidak mampu untuk dilempar diterbalikkan, apalagi dibenamkan ke
dasar kali. Yang lebih gilanya, di aas perahu itu tampak duduk seorang pemuda
berpakaian serba putih. Rambutnya yang gondrong serta pakaiannya telah basah
kuyup oleh air hujan dan terpaan air kali. Namun dia enak saja duduk di atas
perahunya yang penuh air itu sambil bernyanyi-nyanyi seperti anak kecil yang
sedang kegirangan tanpa menyadari betapa bahaya maut mengancamnya!
Hujan turunlah terus.....asyik!
Air kali mengamuklah terus....asyik!
Perahuku jelek tak mungkin tenggelam....asyik!
Aku bersahabat dengan hujan......asyik!
Aku bersahabat dengan air kali.....asyik!
Tapi demi Tuhan jangan ada buaya di kali ini!
Suara nyanyian itu disusul denag gelak tawa si pemuda. Setelah mengusap
mukanya yang basah dia kembali melantunkan nyanyian tadi berulang-ulang. Sampai
pada suatu saat dia melihat ada seorang penunggang kuda di tepi kali yang sedang
banjir itu. Penunggang kuda itu ternyata seorang pemuda berwajah cakap halus.
Tampaknya dia tengah bingung karana idak dapat meneruskan perjalanan. Banjir di
depannya menghadang mengerikan.Membelok kiri berarti masuk ke dalam kali.
Membelok kanan jalan terhalang oleh lereng batu yang cukup tinggi. Satu-satunya
jalan adalah kembali ke arah datangnya semula. Dalam keadaan seperti itu,
sebelum pemuda berkuda ini sempat mengambil keputusan tiba-tiba dari arah belakang
muncul tiga penunggang kuda. Ketiganya dalam keadaan basah kuyup dan tampang-tampang
mereka tampak garang sekali.
Tiga penunggang kuda itu bukan lain adalah Kebo Panaran, Bargas Pati dan
Legok Ambengan.
"Jangan lari!" teriak Kebo Panaran ketika dilihatnya penunggang kuda di
depan sana hendak memutar tunggangannya dan siap kabur!
Karena memang sudah terkurung pemuda di atas kuda terpaksa duduk tak
bergerak sehingga Kebo Panaran dan kawan-kawannya dapat melihat jelas wajahnya.
Bargas Pati menggerendeng "Bukan perempuan yang kita kejar!"
Kebo Panaran juga hendak ikut-ikutan menggerendeng namun kemudian dia
segera mengenali kuda yang ditunggangi pemuda itu. Kuda miliknya yang hilang
dicuri di penginapan milik Gandul Wirjo!
"Itu kudaku yang ditungganginya!" kata Kebo Panaran. Lalu segera mencabut
golok besarnya.
"Anak muda! Lekas kaakan siapa dirimu dan dari mana kau dapat kuda itu"!"
menghardik Legok Ambengan.
BASTIAN TITO 12 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Pemuda di depan ketiga orang itu memperhatikan dengan pandangan mata tak
berkesip. "Aku tidak kenal kalian. Kuda ini milikku. Apa kalian hendak merampok"!"
"Pemuda kurang ajar! Kutabas batang lehermu!" teriak Kebo Panaran seraya
memajukan kudanya. "Jawab pertanyaan tadi atau kupisahkan kepalamu dari badan
saat ini juga!"
"Namaku Jaliteng. Kuda ini milikku. Kubeli dari seorang tak kukenal
beberapa waktu lalu."
"Siapa orang yang menjual kuda itu?" tanya Bargas Pati.
"Seorang perempuan muda. Cantik....."
"Hemmm...." Kebo Panaran usap-usap janggutnya yang basah.
"Aku mau pergi. Menyingkirlah. Jangan menghadang jalan!" pemuda tadi
berkata. Kebo Panaran melirik pada kedua temannya. Lalu berbisik "Aku curiga
padanya. Bagaimana pendapat kalian?"
"Pemuda itu harus kita geledah! jawab Legok Ambengan. Lalu dia berseru.
"Lemparkan buntalan yang kau bawa. Kami ingin memeriksa!"
Pemuda di atas kuda memegang buntalan yang tergantung di leher kudanya
lalu menjawab. "Ada hak apa kau memeriksa aku" Lekas menyingkir sebelum aku
jadi marah!"
Kebo Panaran dan kedua kawannya tertawa bergelak mendengar ucapan
pemuda cakap itu.
"Turun daru kudamu! Berlutut di hadapan kami dan serahkan buntalan!"
menghardik Kebo Panaran.
"Perampok-perampok picisan! Rasakan dulu senjataku ini!" Pemuda di atas
kuda berteriak. Tangan kanannya bergerak Lalu tiga buah pisau terbang meluncur
ke arah Kebo Panaran, Bargas Pati dan Legok Ambengan.
Bagi orang biasa, serangan tiga pisau terbang itu kelihatannya hebat sekali dan
membahayakan keselamatan bahkan nyawa Kebo Panaran dan dua kawannya. Tetapi
bagi pemuda yang duduk cengar-cengir di atas perahu yang dipermainkan arus kali,
lemparan tiga pisau terbang tadi sama sekali tidak mantap dan tidak disertai
cukup aliran tenaga dalam. Ternyata memang benar. Dengan mudah Kebo Panaran, Baras
Pati dan Legok Ambengan memukul mental tiga serangan pisau tersebut. Begitu
berhasil mementahkan serangan lawan Kebo Panaran berteriak "Legok! Lekas kau
cincang pemuda itu!"
"Srett! Srett!"
Di bawah hujan lebat Legok Ambengan cabut sepasang goloknya dari
pinggang. Sambil memutar-mutar senjatanya di tangan kiri kanan Legok Ambengan
menyerbu. Pemuda yang diserang tidak tinggal diam. Dari balik punggungnya dia
mencabut sebilah pedang. Begitu Legok Ambengan mendekat dia sabatkan senjatanya.
"Trang...! Trang....!"
Pedang dan dua golok saling beradu.
Pemuda di atas kuda diam-diam mengeluh. Bentrokan senjata tadi membuat
tangannya yang memegang pedang bergetar. Senjatanya hampir terlepas. Segera dia
mundurkan kudanya lalu coba menebas tubuh Legok Ambengan dari samping kiri.
Legok Ambengan menangkis. Kali ini si pemuda berlaku cerdik. Dia tidak
mau melakukan bentrokan senjata. Lagi-lagi dia memundurkan kudanya. Dengan
tangan kiri dia melepas dua pisau terbang. Tapi dengan mudah kedua senjaa itu
dihantam mental oleh Legok Ambengan dengan kedua goloknya.
BASTIAN TITO 13 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Kebo Panaran yang sudah tidak sabaran melihat jalannya perkelahian seera
menyerbu dangan golok di tangan. Kini tak ampun lagi pemuda berwajah cakap itu
terdesak hebat.
Dalam satu bentrokan hebat golok di tangan si pemuda kena dipukul lepas.
Pemuda ini berseru kaget. Kudnya dilarikan menjauhi ketiga orang itu. Tapi dai
salah mengambil arah. Kudanya mundur ke arah pinggiran kali yang arusnya tengah
menggila! Tak ada kesempatan ataupun jalan untuk lari. Di depannya Kebo Panaran,
Bargas Pati dan Legok Ambengan bergerak mendekat. Kebo Panaran mencekal golok
besar. Bargas Pati memegang senjatanya berupa sebuah clurit besar sedang Legok
Ambengan memegang sepasang golok.
Pemuda berambut gondrong di atas perahu hentikan nyanyiannya. Dia
menggaruk-garuk kepala beberapa kali lalu berteriak.
"Sahabat! Naik ke atas kudamu! Melompat ke mari!" Lalu pemuda di atas
perahu mendayung perahunya menuju tepian kali.
Sesaat pemuda cakap di atas kuda jadi tercekat. Memang satu-satunya jalan
untuk lari adalah melompat ke atas perahu itu. Tapi dai tidak punya kemampuan
melakukannya. Baginya perahu itu masih terlalu jauh untuk dilompati!
"Sahabat! Cepat! Melompat ke atas perahuku!" Teriak si gondrong di atas
perahu. Dia tambah mendekatkan perahunya ke pinggir kali.
"Melompatlah kalau kau mampu!" kata Kebo Panaran sambil menyeringai.
Goloknya berkelebat.
"Craassss!"
Kuda tunggangan si pemuda meringkik keras ketika golok Kebo Panaran
membabat lehernya. Binatang ini mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.
Pemuda di atas kuda itu terlempar ke arah kali. Jarak jatuhnya masuih jauh dari
perahu di atas kali. Melihat hal ini pemuda di atas perahu cepat memutar
perahunya untuk mneyambut jatuhnya pemuda tadi.
"Bangsat kurang ajar!" maki Kebo Panaran. Lelaki itu mengangkat goloknya
tinggi-tingg. Lalu senjata ini dilemparkannya ke arah pemuda yang saat itu
tubuhnya masih melayang di atas kali.
Terdengar pekik si pemuda ketika mata golok sempat mengiris daging
bahunya. Bajunya kelihatan merah oleh darah. Kakinya melejang dan kedua
tangannya menggapai-gapai akibat rasa takut dan sakit yang jadi satu. Sakit
karena luka di bahu kirinya cukup besar. Takut karena sebentar lagi dirinya akan amblas
masuk ke dalam air kali yang menggila sedang dia sama sekali tidak bisa
berenang. Pada saat yang menegangkan itu pemuda gondrong di atas perahu ternyata
dapat menyorongkan perahunya dalam waktu yang tepat. Tubuh pemuda yag terluka
jatuh ke dalam perahu. Pemuda yang jatuh kembali menjerit sedang perahu itu
terlonjak ke atas lalu miring ke kiri. Pemuda berambut gondrong cepat
mengimbangi dengan membuat gerakan-gerakan lucu. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba dari
pinggiran kali tampak melesat dua buah senjata. Ternyata Legok Ambengan telah
melemparkan sepasang goloknya kearah pemuda gondrong di atas perahu.
"Walah!" Si gondrong sesaat tampak bingung. Saat itu dia tengah berusaha
agar perahu jangan sampai terbalik. Di lantai perahu orang yang jatuh kembali
menjerit lalu mengerang kesakitaan sambil memegang bahunya. Celakanya orang ini
malah memegangi kaki pemuda gondrong hingga tak ampun lagi keseimbangannya
benar-benar hilang dan tubuhnya terjatuh ke kali. Dalam keadaan seperti ini dua
golok terbang daang menyambar! Satu mengarah dada satunya lagi mengincar perut.
Selagi tubuhnya melayang jatuh ke dalam kali yang berarus deras, pemuda
gondrong itu gerakkan tangan kanannya ke pinggang.
BASTIAN TITO 14 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Kunyuk yang berlagak jadi pahlawan, rasakan sepasang golokku!" teriak
Legok Ambengan dari atas kudanya sambil bertolak pinggang sementara Kebo
Panarandan Bargas Pati menyeringai. Kelihaian Bagas Pati dalam memainkan dan
Wiro Sableng 065 Hari Hari Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melemparkan sepasang golok selama ini sudah tersohor. Karenanya ketiga orang ini
sudah sama memastikan bahwa pemuda yang melayang jatuh ke kali akan ditambus
golok pada dada dan perutnya.
Namun apa yang terjadi kemudian membuat ketiga orang itu berseru kaget.
BASTIAN TITO 15 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
LIMA Di atas kali kelihatan warna terang menyilaukan mata. Bersamaan sengan itu
terdengar suara sperti gaung ribuan lebah. Hawa di tempat itu yang tadinya
lembab dingin mendadak menjadi panas. Lalu terdengar suara berdentrangan dua kali
berturut-turut. Dua golok yang tadi dilemparkan Legok Ambengan mental ke udara.
Yang satunya patah dua lalu jatuh ke dalam kali. Saunya lagi mental utuh ke
Pinggir kali, tepat di depan Legok Ambengan dan kawan-kawannya. Ketika ketiga orang ini
memperhatikan golok yang tercampak di tanah becek itu, ternyata golok itu berada
dalam keadaan bengkok dan hitam hangus serta mengeluarkan kepulan asap!
Kebo Panaran, Bargas Pati dan Legok Ambengan sama-sama ternganga dan
sama-sama memandang ke tengah kali. Saat itu mereka lihat perahu di tengah kali
meluncur ke seberang padahal tidak ada yang mendayung sedang pemuda yang tadi
terjatuh di dalamnya masih terbujur dan merintih pegangi bahunya
"Aneh, ke mana lenyyapnya pemuda gondrong di atas perahu tadi!" kata Kebo
Panaran. Selagi Kebo Panaran dan dua temannya masih berada dalam keadaan tercekat
heran tiba-tiba dari dalam air kali mencuat sebuah pendayung. Benda ini melayang
ke pinggir kali, menyambar kepala kuda yang ditunggangi Legok Ambengan.
"Praakkk!"
Pendayung itu patahdua. Kening kuda remuk. Binatang ini meringkik keras
lalu berputar kencang dan kabur hingga Legok Ambengan terpelanting dan jatuh
duduk pada bagian tanah yang becek!
"Bangsat kurang ajar!" kutuk Legok Ambengan seraya berdiri dan pegangi
pantat celananya yang basah dan ditempeli Lumpur. Matanya memandang garang ke
tengah kali. Saat itu pemuda gondrong yang tadi lenyap kini tahu-tahu kelihatan
lagi di atas perahu sambil menjulur-julurkan lidah. Kedua ibu jari tangannya
ditekankan ke pelipis lalu jari-jarinya yang lain digerak-gerakkan.
"Keparat! Berani dia mengejek kita! Teriak Legok Ambengan sambil
kepalkan kedua tinju. "Kalau bertemu akan kupaahkan batang lehernya!"
"Kurasa dia bukan seorang pemuda sembarangan Legok," kata Kebo Panaran.
"Pasti tadi dia membuat mental sepasang golokmu. Pasti dia memiliki semacam
senjata yang hebat! Dan pasti dia pula yang melemparkan pendayung itu selagi
menyelam di dalam air!"
"Aku tidak perdulikan bangsat gondrong itu!" kata Bargas Pati. "Yang
membuatku jengkel ialah lolosnya orang yang kita kejar...."
"Tolol! Yang kita kejar sebenarnya Antini, istri Lor Kameswara, bukan
pemuda seperti banci itu!" bentak Legok Ambengan.
"Kau yang tolol! Belum tentu dia benar-benar seorang pemuda! Buktinya dia
ketakutan ketika hendak kita geledah!" balas mendamprat Bargas Pati.
"Kudanya masih ada di situ. Bargas, coba kau periksa buntalannya!" kata
Kebo Panaran. Bargas Pati turun dari kudanya. Seluruh isi buntalan dikeluarkannya. Salah
satu benda yang keluar adalah sehelai kebaya dan kain panjang perempuan.
"Kebo lihat! Apa kataku!" teriak Bargas Pati. "Pemuda tadi pasti Antini istri
Lor Kameswara. Buktinya dalam buntalan ini ada pakaian perempuan!"
"Kurang ajar! Jadi dia rupanya yang tadi malam menyamar menjadi pelacur!
Jelas memang dia yang membunuh Tunggul Anaprang! Kita harus cari perahu atau
BASTIAN TITO 16 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
membuat rakit dangan segera! Bangsat itu tidak boleh lolos!" Memandang ke depan
Kebo Panaran melihat perahu yang ditumpangi pemuda berambut gondrong serta
pemuda yang terluka telah mencapai pinggiran kali dan berhenti.
Di atas perahu si gondrong membungkuk seraya berkata. "Sahabat, mari
kugotong kau ke daratan...."
Pemuda ini tersentak kaget ketika orang yang hendak ditolongnya membuka
mulut dan berkata dengan suara keras. "Jangan sentuh!"
"Eh, bagaimana ini?" Si gondrong garuk-garuk kepalanya. "Kau sanggup
berdiri sendiri dan berjalan dalam banjir" Arus banjir di daratan sana cukup
keras...."
"Aku sanggup berdiri dan bejalan sendiri. Aku berterima kasih kau tadi
menolongku." Pemuda yang terbujur di atas lantai perahu yang basah itu berusaha
bangkit dangan berpegangan pada pinggiran perahu. Ukanya tampak mengernyit
tanda dia menahan sakit. Dengan terhuyung-huyung dia melangkah di dalam air yang
tingginya sampai sepaha.
"Saudara, kau terluka cukup parah..."
"Aku bisa mengobatinya nanti. Sudah jangan perdulikan diriku..." Pemuda itu
melangkah terus melawan arus air yang cukup keras meskipun sudah cukup jauh dari
kali. Si gondrong geleng-geleng kepala. "Pemuda aneh...." Katanya dalam hati lalu
turun dari perahu dn melangkah mengikuti pemuda di depannya.
"Kuharap kau jangan mengikutiku!" Tiba-tiba pemuda di depan sana berkata.
"Agaknya ada sesuatu yang kau takutkan, sahabat. Pasti ada suatu sebeb
mengapa orang-orang di seberang kali sana hendak mencelakaimu."
"Benar atau tidaknya itu bukan urusanmu!" jawab si pemuda sambil perbaiki
kait ikat kepalanya.
"Namamu siapa dan kau sebenarnya tangah menuju kemana?"
Yang ditanya balas bertanya. " Kau sendiri siapa dan mengapa mengikutiku"
Mengapa ingin tahu" Bukankah aku sudah mengucapkan terima kasih atas
pertolonganmu?"
"Aku tidak butuh terima kasih...."
"Kalau begitu sebutkan saja siapa dirimu!"
"Namaku Wiro Sableng. Tujuan perjalananmu sama dengan tujuan
perjalananku," jawab si gondrong.
"Hemmm..... Dari namamu saja aku sudah pantas berhati-hati...."
"Kau keliwat menghina, sahabat...."
"Tidak, siapa bilang aku menghina...."
Pendekar 212 Wiro Sableng tersenyum. "Kau tidak hendak mengatakan
namamu?" Tanya Wiro.
"Tidak perlu. Dan sekali lagi aku bilang! Jangan mengikutiku!"
"Sudahlah kau boleh pergi ke mana kau suka. Aku tidak akan mengintil. Tapi
aku sudah tahu namamu!" kata Wiro pula.
"Heh"!" Pemuda di depan Wiro hentikan langkah dan berpaling padanya.
"Kau tahu namaku" Dari mana" Dari siapa"! Jangan menipu. Coba kau
katakana siapa namaku kalau kau memang tahu!"
"Kalau tidak Sumini ya Suminah, kalau tidak Amini ya Aminah!" jawab Wiro
lalu tertawa gelak-gelak.
Paras si pemuda yang cakap tampak menjadi merah. Dlam hati dia membatin
"Apa dia tahu siapa diriku?" Sesaat pemuda ini memandang tak berkesip pada Wiro.
Tanpa diketahuinya sebuah batang pohon yang dihanyutkan arus meluncur ke
arahnya. Wiro berteriak memberi tahu tapi bang pohon itu telah menghantam pinggangnya
BASTIAN TITO 17 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
hingga pemuda itu terdorong keras dan terjerambab masuk ke dalam air. Sakit yang
bukan kepalang akibat hantaman batangan pohon tadi membuat dia tidak mampu
untuk bangkit. Tubuhnya segera tenggelam ke dalam air setinggi paha itu lalu
terseret oleh arus. "Tol...tolong...!" teriak pemuda itu. Tapi air kali jdai masuk ke dalam
mulutnya. Membuat megap-megap kelagapan dan semakin tak berdaya diseret arus
banjir. "Tolong...... teriakan pemuda itu kembali terdengar.
Wiro melangkah bergerak meotong arah hanyutnya si pemuda.
"Tolong.....!"
Tubuh si pemud hanyut di belakang Wiro. Murid Eyang Sinto Gendeng ini
gerakkan tangan kanannya ke belakang dan berhasil mencekal punggung pakaian
pemuda itu lalu diseretnya sambil terus melangkah.
Hujan mulai mereda.
Di satu tempat yang hanya sedikit digenangi air kali Wiro berhenti. Dia
terkejut ketika didapatinya orang yang diseret itu ternyata telah jatuh pingsan.
Acuh tak acuh Wiro bujurkan tubuh pemuda itu menelungkup dai tanah yang becek. Lalu
dengan kakinya ditekannya bagian pinggang si pemuda. Kelihatan air kaliyang
sempat terminum keluar mengucur dari mulutnya.
Wiro membungkuk memeriksa luka di bahu kiri si pemuda. Luka itu cukup
besar. Kalau tidak segera dibersihkan dan diobati pasti akan membusuk. Wiro
balikkan tubuh si pemuda. Matanya menatap ke arah dada.
"Dadanya kelihatan seperti rata. Tapi aku yakin....." Wiro garuk-garuk
kepalanya. Akhirnya tangannya bergerak ke arah dada orang yang pingsan itu.
Meraba dan memijat lalu cepat ditaiknya kembali ketika jari-jari tangannya
terasa menyentuh bagian tubuh yang membusung. "Tidak salah," katanya. Dalam hati.
"Untung tidak kupijat kuat-kuat..... Mengapa dia menyamar pasti ada satu rahasia.
Biar lukanya kuobati lebih dulu."
Baru saja Wiro berkata dalam hati seperti itu tiba-tiba satu bayangan
berkelebat. Satu bentakan keras terdengar.
"Pemuda kurang ajar! Berani kau mengerayangi tubuh muridku!"
"Bukkk!"
Satu tendangan menghantam punggung Pendekar 212 hingga murid Eyang
Sinto Gendeng ini terpelanting!
BASTIAN TITO 18 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ENAM Untuk beberapa lamanya Wiro terkapar terelungkup di tanah yang becek. Pakaian
putihnya di sebelah depan serta mukanya berkelukuran Lumpur tanah liat merah.
Sambil mengernyit kesakitan Wiro memandang ke samping untuk meliha
siapa yang bausan telah menghantamnya.
Orang itu ternyata seorang nenek berwajah pucat yang rambutnya kasar jabrik
berwarna kelabu. Dia mengenakan jubah hitam besar gombrong menjela tanah hingga
kedua kakinya tidak kelihatan. Sepasang lengan jubah juga gombrong menutupi
kedua tangannya. Tpai mata Wiro yang tajam dapat melihat bahwa pada kedua lengan
nenek tak dikenal ini tersisip sesuatu. Mungkin golok pendek mungkin juga
sebentuk pisau. Sambil garuk-garuk kepala dan masih mengernyit sakit Wiro bangkit lalu
duduk di tanah.
"Nenek muka pucat, aku tidak kenal kau. Mengapa membokong aku dengan
tendangan?" bertanya Wiro.
"Kau tidak perlu kenal siapa aku! Masih untung aku cuma menendangmu!
Seharusnya sudah kupecahkan kepalamu!" Si nenek menjawab dengan mata melotot
dan membentak. Suaranya halus aneh tapi melengking.
"Kenapa kau hendak membunuhku"!"Tanya Wiro lagi seraya berdiri.
"Kenapa" Monyet! Kau masih bisa bertanya" Apa kau masih tidak tahu
kesalahanmu"!"
"Aku tidak merasa berbuat salah. Malah aku barusan habis menolong pemuda
itu!" jawab Wiro.
"Setan alas! Kau berdalih menolong! Aku tidak buta! Aku lihat jelas tadi kau
meraba memegang-megang dada muridku!"
"Ah" Wiro menyeringai. "Kalau kau cemburu aku memegangi dada pemuda
itu, jangan-jangan dia bukan muridmu! Lelaki meraba lelaki apa salahnya" Jangan-
jangan kau punya hubungan asamara gila dengan pemuda ini!"
Si nenek keluarkan suara melengking keras. Tangan kanannya digerakkan.
Dari ujung lengan jubahnya keluar angin bersiuran. Menghantam deras ke arah Wiro
yang saat itu masih setengah berdiri. Yang keluar dari lengan jubah itu ternyata
bukan hanya pukaulan angin kosong ganas, tetapi tiba-tiba ikut melesat sebilah pisau
belati. Pisau terbang ini bersiuran deras di udara, melesat ke arah dada Pendekar 212!
"Tua bangka edan!" maki Wiro. Dia terpaksa jatuhkan diri kea nah kembali.
Pukulan tangan kosong dan pisau terbang lewat di atasnya lalu menancap di
sebatang pohon. Begitu lolos dari serangan orang Wiro cepat melompat bangkit lalu
menuding dengan telunjuk tangan kirinya tepat-tepat ke muka si nenek.
"Dengar nenek muak pucat! Siapapun pemuda itu berada dalam
keadaanterluka. Kau lihat bahu kirinya...."
"Aku tidak buta! Aku melihat! Tapi kau cuma mengarang cerita!"
'Sialan!" maki Wiro. Sudahlah! Jika pemuda itu memang muridmu kau
uruslah sendiri!" Wiro jadi jengkel lalu balikkan diri hendak tinggalkan tempat
itu sementara paemuda yang tadi ditolongnya masih tergeletak tidak sadarkan diri.
Si nenek berteriak marah. "Setelah kau berbuat mesum terhadap muridku apa
kau kira aku akan biarkan kau pergi begitu saja"! Ulurkan dulu tangan kananmu
yang tadi menggerayangi tubuh muridku biar kupatahkan!"
BASTIAN TITO 19 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Eh tua bangka ini benar-benar sial dangkalan!" kata Wiro dalam hati. Dia
alirkan separuh dari tenaga dalamnya ke tangan kanan lalu melangkah ke hadapan
si nenek seraya ulurkan tangan itu.
"Kau mau mematahkan tanganku" Lakukanlah!" kata Wiro seraya
membelintangkan tangan kanannya di depan hidung si nenek.
"Manusia sombong! Lihat! Tanganmu akan kujadikan tiga potongan!
Nenek muka pucat melompat sambil gerakkan kedua tangannya. Dengan
pinggiran telapak tangannya dia menghantam lengan Wiro.
"Krakkk! Krakkk!"
Terdengar suara berderak patah dua kali berturut-turut.
"Rasakan!" teriak si nenek sambil menyeringai puas dan melompat mundur.
Namun ketika dia memandang ke depan si nennek jadi melengak. Yang barusan
dipukulnya patah bukannya lengan pemuda berambut gondrong itu melainkan sebuah
ranting pohon! Pendekar 212 tertawa mengakak.
"Nenek muka pucat rambut jabrik!" kata Wiro pula sambil senyum-senyum.
"Kau bilang matamu tidak buta tetapi kau lihat sendiri apa yang berusan kau
paahkan" Bukan tanganku tapi ranting kayu butut!"
Si nenek sendiri memang sudah terkejut dan heran sejak tadi-tadi. Tak dapat
dia menduga apa yang telah terjadi. Jelas tadi dia memukul lengan si pemuda.
Lalu bagaimana kemudian dia jadi memukul ranting kayu sedang tangan Wiro jelas
dilihatnya masih utuh tidak cidera barang sedikitpun, apalagi patah tiga!
Sebenarnya apakah yang telah dilakukan Pendekar 212"
Ketika melangkah ke hadapan si nenek Wiro sempat menyambar sepotong
ranting kayu yang ada di dekat situ. Si nenek tidak melihatnya karena
perhatiannya tertuju pada tangan kanan yang dipentangkan Wiro tepat-tepat di depan hidungnya.
Sewaktu si nenek memukulkan kedua tangannya dengan marah secepat kilat Wiro
turunkan tangan kanannya. Lalu sebagai gantinya dia palangkan ranting kayu itu.
Tentu saja yang kemudian dipukul si nenek buakan tangannya melainkan ranting
Wiro Sableng 065 Hari Hari Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tadi! Kalau saja nenek muka pucat itu sadar akan keahlian orang
mempermainkannya pasti selanjutnya dia tidaka akan gegabah lagi. Namun dalam
marahnya dia tidak dapat berpikir banyak. Didahului suara menggembor perempuan
tua ini berkelebat. Sebilah belati melesat keluar dari lengan jubahnya kiri
kanan, masuk ke dalam genggamannya. Lalu dengan sepasang senjata ini dia melompat
menyerang Wiro.
Murid Sinto Gendeng yang masih tertwa-tawa gak terlambat membuat
gerakan mengelak.
"Brett!"
Pisau di tangan kiri si nenek sempat membabat dada kirinya. Maisih untung
hanya baju putihnya saja yang kena disambar hingga robek besar. Wiro melompat ke
samping. Lawan memburu dengan ganas. Dua pisau belati berkelebat di udara.
Pendekar 212 sambutt serangan si nenek dengan keluarkan jurus ilmu silat orang
gila yang dipelajarinya dari Tua Gila di Pulau Andalas. Tubuhnya meliuk-liuk
sempoyongan seperti orang mabuk yang mau roboh. Nenek muka pucat jadi terkejut
ketika setelah tiga jurus menggempur bertubi-tubi tak satu serangannyapun dapat
mencapai sasaran. Penasaran dia lipat gandakan kecepatan dan tenaga serangannya.
Tubuhnya berubah jadi baying-bayang hitam yang melesat kian kemari. Pisaunya
menderu-deru menikam dan membabat.
Jurus-jurus ganas si nenek membuat Pendekar 212 terdesak sampai tiga jurus.
Wiro kerahkan tenaga dalamnya pada kedua lengannya. Getaran tanga dalam yang
BASTIAN TITO 20 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
memancar dari kedua tangannya emmbuat serangan sepasang pisau si nenek seperti
tertahan oleh satu kekuatan yang tidak terlihat.
"Hemmm....Pemuda ini ternyata memilii tenaga dalam tinggi," meyadari si
Makam Bunga Mawar 18 Pengemis Binal 17 Misteri Pusaka Pedang Gaib Iblis Sungai Telaga 20