Hari Hari Terkutuk 2
Wiro Sableng 065 Hari Hari Terkutuk Bagian 2
nenek. Mak diapun berlaku cerdik. Dia mulai keluarkan serangan-serangan tipuan
dangan tangan kanan sedanga angan kirir melancarkan serangan sungguhan.
"Tua bangka ini licik juga!" kata Wiro dalam hati. Dia membuat gerakan
mundur sebagai pancingan. Ketika lawan mengejar Wiro membungkukkan tubuhnya
lalu tangannya bergerak melancarkan jurus pukulan Kepala Naga Menyusup Awan.
Tangan kanannya mencuat ke atas, laksana seekor naga mematuk ke arah
tangan kanan si nenek. Perempuan tua ini berseru kaget dan cepat tarik tangan
kananya. Tapi terlambat. Lima ujung jari Pendekar 212 yang disusun rapat dan
dikeraskan telah lebih dulu menghujam di pergelangan tangannya.
Si nenek terpekik. Pisau yang dipegangnya terlepas dan cepat disambar oleh
Wiro. Sambil melompat mundur kesakitan, dengan mata melotot nenek itu
memandang tak berkesip pada Pendekar 212. Wiro sendiri kini tegak dangan tangan
kiri bertolak pinggang sedang tangan kanan menimang-nimang belati milik si
nenek. "Pemuda mesum! Siapa kau sebenarnya?" bertanya si nenek.
"Kau yang lebih tua coba katakana siapa dirimu sesungguhnya!" membalas
Wiro. Ucapan ini membuat si nenek jadi tidak enak. Dia berkata. "Saat ini aku
bersedia mengalah. Biar urusan kita anggap selesai. Kau boleh pergi. Biar aku
mengurus muridku itu."
Wiro tertawa. 'Maaf saja Nek. Aku terpaksa jual mahal sekarang! Kalau kau tidak mau
menerangkan siapa dirimu, juga mengatakan sengan jujur apa hubunganmu dengan
pemuda ini, terpaksa aku yang memintamu agar lekas-lekas minggat dari sini! Kau
harus pergi mencari tukang gunting untuk mencukur rambutmu yang jabrik itu!"
Si nenek tmapak marah sekali dan menjadi mengkelap.
"Siapa aku tidak bisa kukatakan. Tapi pemuda itu memang muridku!" jawab si
nenek hambpir berteriak.
Wiro menyeringai. "Kau boleh pergi dengan aman Nek!" katanya.
"Aku akan membawa serta muridku!"
"Tidak bisa!"
"Keparat! Kenapa tidak bisa"!"
"Aku tahu siapa muridmu sebenarnya!"
Si nenek melengak. "Maksudmu apa"!" bentak orang tua ini.
"Muridmu bukan seorang lelaki! Tapi seorang permpuan!"
Si nenek terpekik. Lalu seperti orang gila dia menyerbu ke arah Wiro. Di
tangan kanannya ada sebuah benda bulat. Benda ini dilemparkannya ke arah
Pendekar 212. Menyangka benda itu adalah senjata rahasia, Wiro cepat menghantam dengan
tangan kiri yang mengandung tenaga dalam tinggi. Terdengar suara letupan keras
yang disertai menebarnya asap hitam tebal. Wiro cepat melompat menjauhi. Tetapi
tempat sekitar situ sudah keburu tertutup asap tebal yang menghalangi
pemandangan. Tangan di depan matapun sulit untuk dilihat.
Ketika akhirnya asap hitam itu perlahan-lahan pupus dan keadaan di tempat
itu menjdai terang seperti semula, Wiro dan si nenek yang tegak saling berhadap-
hadapan menjadi terkejut. Pemuda yang pingsan di atas tanah tak ada lagi di
tempat itu! "Muridku lenyap! Kau yang punya gara-gara!" teriak si nenek marah sekali.
BASTIAN TITO 21 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Tua bangka goblok! Kalau kau tidak berlaku tolol melepas bola asap tadi
tidak akan terjadi urusan gila begini! Muridmu dilarikan orang salahmu sendiri!"
balik mendamprat Wiro. Saat itu matanya melihat ujung ranting di salah satu
semak belukar bergoyang-goyang. Lalu di ujung ranting ada secarik robekan kain. Ketika
ditelitinya dia merasa yakin itu adalah robekan pakaian pemuda yang pingsan
tadi. Berarti siapapun yang melarikan pemuda itu , orangnya lari ke jurusan sini.
Tanpa pikir panjang Wiro segera berkelebat mengejar. Si nenek tak tinggal diam. Dia
ikut berkelebat ke jurusan larinya Wiro. Jengkel merasa diikuti Pendekar 212 balikkan
tubuh dan tegak menghadang.
"Aku tak suka kau ikuti! Uusan bisa jdai salah kaprah kalau kau muncul di
mana aku muncul!"
"Pemuda sombong! Kemana aku pergi setanpun tidak bisa melarang! Apalagi
manusia sontoloyo macam kau!"
"Kalau begitu kau tetaplah di sini! Tua bangka jelek!" tukas Wiro. Dia
dorongkan kedua tangannya ke arah si nenek.
Perempuan tua itu berseru keras ketika dari arah Wiro menderu keluar angin
deras laksana topan prahara. Dia coba menerjang. Tapi tubuhnya terdorong keras.
Dia kerahkan seluruh kekuatannya luar dalam. Di depan sana Wiro sentakkan kedua
tangannya. Tak ampun lagi tubuh si nenek terpental jauh dan punggungnya
terbanting ke sabatang pohon. Dia coba lagi bergerak. Tapi badannya seperti menempel ke
batang poon itu. Sambil menggapai-gapai dia memaki panjang pendek. Namun Wiro
yang barusan melepaskan pukulan sakti bernama Benteng Topan Melanda Samudera
telah lenyap dari tempat itu. Sesaat kemudian dengan susah payah baru si nenek
berhasil melepaskan diri dari tekanan hawa sakti yang tadi dilepaskan Pendekar
212. Dia berkelebat ke arah lenyapnya Wiro. Namun nenek ini kembali terdengar memaki
ketika menyadari bahwa dia telah kehilangan jejak pemuda itu!
BASTIAN TITO 22 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TUJUH Pendekar 212 Wiro Sableng hentikan larinya di satu kaki bukit karena kehilangan
jejak orang yang dikejarnya. Sambil memandang berkeliling Wiro berkata dalam
hati. "Aneh, jejak orang itu sama sekali tidak terlihat di tanah yang becek. Tidak
mungkin orang itu lari tanpa menginjak tanah! Atau dia mempunyai kesaktian sehebat
Dewa?" Wiro memandang lagi berkelilig lalu menengadah ke atas memperhatikan pepohonan.
"Heh...."!" Mudrid Sinto Gendeng keluarkan suara keheranan. Beberapa akar
gantung pohon-pohon besar yang ada di tempat itu kelihatn bergoyang-goyang. Tak
ada angin yang bertiup, tidak kelihatan burung terbang juga tidak tampak bajing
atau binatang pohon lainnya. "Mustahil akar itu bergoyang kalau tidak ada yang
menyentuhnya....."
Wiro memutuskan masuk ke dalam rimba belantara di kaki bukit itu. Belum
lama dia bergerak di antara kerapatan pepohonan dan semak belukar tiba-tiba
didengarnya suara orang menarik nafas panjang berulang kali. Lalu ada suara
berkata. "Gila! Panas sekali hari ini!"
Murid Sinto Gendeng jadi melengak. "Siapa yang bicara"!" tanyanya dalam
hati seraya memandang kekiri dan kekanan.Tidak kelihatan orang yang berbicara
itu. "Hujan baru saja reda. Udara masih terasa dingin. Enak saja ada yang berkata
panas sekali hari ini! Dia yang gila agaknya!"
"Uhhh....Uhhh.... Panas betul!"
Terdengar lagi suara orang tadi. Kali ini daangnya dari arah serumpun semak
belukar di sebelah kanan. Wiro cepat bergerak ke arah semak belukar itu lalu
menyibaknya. "Sialan! Tak ada siapa-siapa di sini!" maki Pendekar 212 ketika dia tidak
menemui orang yang tadi bicara. Padahal jelas suaranya datang dari arah belik
semak belukar itu! "Uhh...Uhhh... Panasnya benar-benar gila! Tubuhku sudah mandi keringat!
Untung hujan tidak turun. Kalau turun pasti udara lebih panas lagi!"
"Benar-benar gila!" maki Wiro lagi. "Siapa yang bicara seperti itu"!" Dia
melangkah cepa ke arah kiri. Karena suara yang barusan didengarnya datang dari
balik sebatang pohon besar. Namun begitu sampai di balik pohon tetap saja dia
tidak menemukan siapapun! Murid Sinto Gendeng jadi garuk-garuk kepala. Dia berpikir
keras. "Orang yang barusan bicara jelas mempergunakan ilmu memindahkan suara.
Hingga suaranya terdengar datang dari satu jurusan tetapi dia sendiri tidak ada
di tempat itu. Tapi otaknya miring. Aku hendak dipermainkannya! Hemmm.... Orang
gila harus dilayani secara gila!" Wiro garuk-garuk lagi kepalanya. Lalu dia
mulai menceloteh. "Gila! Memang gila udara hari ini! Panas luar biasa. Matahari seperti di atas
batok kepala! Ah, ingin rasanya mandi di kali. Tapi air kalipun pasti panas!
Sialan!" Wiro diam. Suasana sunyi. Tapi tidak lama. Sesaat kemudian terdengar suara
orang tadi. "Nah apa kataku! Udara hari ini memang panas! Buktinya ada orang
gila yang barusan berucap begitu!"
"Sial dangkalan! Aku dikatakan gila!" Wiro bantingkan kaki. Tangan
kanannya diangkat lalu dipukulkan ke arah rerumputan semak belukar. Dari balik
semak belukar itu tadi datangnya suara yang mengatakannya orang gila.
"Braakkk!"
BASTIAN TITO 23 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Semak belukar mental berantakan terkena pukulan tangan kosong
mengandung tanaga dalam yang dilepaskan Pendekar 212. Tak ada suara keluhan
kesakitan, apalagi jeritan. Untuk beberapa lamanya murid Eyang Sinto Gendeng ini
jadi tegak terdiam di tempatnya. "Setan, aku benar-benar dipermainkan!"
Baru saja Wiro membatin serperti itu tiba-tiba orang tadi kembali terdengar
berucap. "Kekasihku, ada orang gila dalam hutan ini. Sebaiknya kita menyingkir
saja!" Suara terdengar tepat di atas kepala Pendekar 212. Wiro mendongak ke atas.
Astaga! Sekali ini rupanya orang yang bicara tidak menggunakan ilmu memindahkan
suara lagi. Karena suaranya yang dating dari atas dan ketika dilihat dan
ternyata dia memang ada di atas pohon. Yang mengejutkan Wiro ialah ketika menyaksikan bahwa
orang yang bicara dilihatnya duduk di ujung cabang sebatang pohon. Di tangan
kanannya ada sehelai kipas lipat yang tiada hentinya digoyang-goyangkannya ke
wajah yang penuh keringat!
Orang aneh ini mengenakan pakaian lucu. Celananya jelas terbalik. Bajunya
juga sengaja dipakai terbalik. Bagian belakang ditempatkan sebelah depan sedang
bagian depan yang ada kancingnya diletakkan di sebelah punggung! Mukanya bundar
merah dan tubuhnya gemuk bulat. Kedua matanya besar dan kepalanya memakai
sehelai peci hitam yang kupluk kebesaran.
Yang lebih membuat Wiro terkejut adalaj ketika menyaksikan, pemuda yang
tengah dicarinya ternyata ada di samping si orang aneh, masih dalam keadaan
pingsan dan punggung bajunya terkait pada ujung sebuah ranting. Tubuh ini tergantung
terkatung-katung dan bergoyang-goyang ke atas ke bawah! Kalau ranting yang
mangait bajunya patah, tak ampun lagi pemuda tersebut akan jatuh ke tanah.
"Manusia aneh. Kepandaiannya pasti luar biasa!" kata Wiro dalam hati sambil
garuk-garuk kepala. Lalu dai berseru. "Sobat di atas pohon! Hati-hati! Harap kau
turunkan sahabatku yang terkait di ujung ranting itu!"
Orang di atas pohon memandang ke bawah ke arah Wiro. Mulutnya
menyeringai. "Di atas dunia, orang gila tidak punya sobat tidak punya sahabat!"
katanya membalas seruan Wiro tadi.
"Edan!" maki Wiro dalam hati. "Orang di atas pohon! Kau melarikan
sahabatku masih bisa kumaafkan. Tapi kalau kau mempermainkan jiwanya di ujung
ranting itu dan samapai jatuh, aku akan menggebukmu sampai setengah mati!"
"Digebuk setengah mati itu justru enak! Yang tidak enak kan kalau digebuk
mati betulan!" jawab orang gemuk di atas pohon.
"Gemuk konyol!" teriak Wiro. "Kalau sudah mampus kau mana bisa
merasakan enak atau tidak enak!"
"Eh! Makianmu membuat udara tambah panas!" kata orang di aas pohon lalu
kembali berkipas-kipas. "Jangan berani memaki lagi! Nanti aku kipas!"
"Kalau kau tidak segera menurunkan sahabatku itu dari atas pohon aku akan
mengambilnya dan jangan menyesal kalau kau kebagian bogem mentah atau
tendangan dariku." Mengancam Wiro.
"Hidup delapan puluh tahun sekalipun aku tidak pernah menyesal. Lagi pula
siapa percaya kalau orang ini adalah sahabatmu. Bisa kau membuktikan"!" bertanya
si gemuk bulat di atas pohon.
"Persetan dangan urusan bukti membukti. Yang jelas kau telah melarikan
sahabatku itu. Kini kau mempermainkan jiwanya dan menggantungnya di ujung
ranting!" Dalam pada itu Wiro jadi terheran-heran. Orang gemuk di aas pohon
mengaku usianya delapan puluh tahun. Padahal melihat wajah dan keadaan kulit
badannya paling bantar dia berusia dua puluh lima tahun!"
BASTIAN TITO 24 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Ternyata kau bukan saja gila, tetapi juga tolol! Aku tidak merasa melarikan
orang ini!"
"Lalu bagaimana dia bisa tergantung di atas pohon sana. Dan kau juga ada di
pohon itu!"
"Soal sama-sama di satu pohon bisa saja merupakan kebetulan!" jawab orang
itu seenaknya lalu tertawa gelak-gelak yang membuat Wiro tambah jengkel.
"Bagaimana dia bisa tergantung di ujung ranting nanti kau bisa Tanya sendiri
padanya kalau dia sudah siuman! Sekarang kau lebih baik pergi! Ada lebih dari dua orang
di tempat ini embuat udara jadi tambah panas!" Lalu si gemuk di atas pohon kembali
berkipas-kipas.
"Kalau kau tidak mau menurunkan pemuda sahabatku itu, terpaksa aku naik
ke atas pohon!"
"Sudahlah, jangan banyak omong. Aku tahu kau ingin menolong orang ini
karena sebenarnya dia adalah kekasihmu. Paling tidak kau sudah tergila-gila padanya!
Jangan kira aku tidak tahu siapa adanya orang yang kau katakan pemuda ini!"
"Kunyuk berkopiah kupluk di atas pohon itu rupanya sudah tahu siapa adanya
pemuda itu. Jangan-jangan dia sudah menggerayangi tubuh perempuan itu!" Lalu
Wiro bertanya. "Hai! Bagaimana kau tahu kalau pemuda itu sebenarnya adalah
perempuan?"
Yang ditanya tersenyum-senyum lalu menjawab. "Ada dua buah bisul besar di
dadanyakiri kanan! Ha... ha... ha...!
Meskipun jengkel tapi Wiro tidak dapat menahan ledakan tertawanya
mendengar kata-kata orang di atas pohon. Selagi dia tertawa bergelak, orang
itupun ikut-ikutan tertawa. Tubuhnya bergoyang-goyang. Akibatnya ranting di mana pemuda
itu terkait ikut bergoyang-goyang. Wiro menahan nafas kawatir si pemuda akan
jatuh ke tanah. Karena tidak sabar lagi murin Eyang Sinto Gendeng segera melompat ke
atas. Tangan kirinya didorongkan ke arah si gemuk. Satu gelombang angin
menyambar. Dengan sigap Wiro pergunakan tangan kanannya untuk menyambar
sosok tubuh pemuda yang tergantung dalam keadaan pingsan di ujung ranting.
Orang gemuk berpakaian terbalik di atas pohon goyangan kaki kanannya.
Gerakannya acuh tak acuh. Tapi gerakan kaki itu tidak lain adalah satu serangan
berbahaya yang mengeluarkan dan mengarah rusuk kiri Pendekar 212. Mau tak mau
dia terpaksa mengelak. Akibatnya sambaran tangan kanannya ke tubuh pemuda
tergantung di ujung ranting menjadi gagal.
Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya Wiro kembali melompat.
Wiro Sableng 065 Hari Hari Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tangan kiri lepaskan pukulan Kunyuk Melempar Buah. Tubuh si gemuk tampak
bergoyang-goyang tapi hanya sesaat. Tiba-tiba dengan gerakan yang juga kelihatan
acuh tak acuh dia babatkan kipas di tangan kanannya ke bawah.
Murid Eyang Sinto Gendeng merassakan tubuhnya disambar angin sejuk. Lalu
satu gelombang angin yang dasyat luar biasa menghantamnya dari atas. Dia coba
bertahan. Kerahkan seluruh tenaga luar dan dalam. Tapi tidak berhasil. Tubuhnya
terbanting jatuh dan terjengkang di tanah!
Untuk beberapa saat lamanya Wiro terhenyak nanar. Ketika dia sadar cepat-
cepat dia jatuhkan diri dan berguling menjauh, kalau dalam keadaan seperti itu
orang di atas pohon menghantamnya kembali pasti dia celaka. Tapi si gemuk itu tidak
melancarkan serangan susulan malah kelihatan duduk bergoyang-goyang kaki sambil
berkipas-kipas dan malah kini sambil bersiul-siul.
Wiro memutar otak. "Kalau kulawan orang gila itu dengan kekrasan mungkin
aku akan menemui kesulitan. Jangan-jangan pemuda di ujung ranting itu juga bakal
celaka!" Wiro garuk-garuk kepala. Lalu dia mendongak dan berseru. "Pangeran!
Hari BASTIAN TITO 25 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
sudah hampir malam. Kalau malam dating hawa di sini tentu tambah panas.
Bagaimana kalau Pangeran segera kuantar pulang ke Istana dan pemuda itu biar aku
yang mendukungnya"!"
"Eh! Siapa yang memanggil aku dengan sebutan Pangeran!" Si gendut muka
bulat di atas pohon memandang kian ke mari celingak celinguk dengan sikap lucu
dan tentunya tidak lupa berkipas-kipas.
"Saya yang memanggil Pangeran. Hamba sahaya Pengeran!" jawab Wiro dari
bawah pohon. Si gemuk tertawa gelak-gelak. "Manusia kampret tolol! Aku bukan Pangeran.
Tapi seorang Raja Di Raja!"
"Ah! Maafkan hamba sahayamu ini Pangeran. Hamba sampai lupa kalau baru
kemarin saja kau telah diobatkan jadi Raja Di Raja," kata Wiro sambil menahan
geli. "Bagaimana Sri Baginda" Kita pulang sekarang" Permaisuri tentu sudah tak sabar
menunggu Sri Baginda di atas tilam...."
"Lagi-lagi kau kampret tolol! Kau tahu aku Raja bujangan! Belum kawin!
Belu punya permaisuri! Mungkin.... Mungkin dia akan kujadikan permaisuri!" kata si
gemuk sambil menunjuk dengan ujung kipas pada pemuda yang masih pingsan dan
dikaitkannya di ujung ranting.
"Ah, lagi-lagi hamba berlaku tolol! Orang itu memang pantas menjadi
permaisuri Sri Baginda. Tapi dia dalam keadaan terluka. Apakah Sri Baginda tidak
akan membawanya turun lalu mengobatinya lebih dulu"!"
Si gemuk tampak terkejut. Dia memeriksa sekujur tubuh pemuda di ujung
ranting. "Astaga! Kampret kau betul! Calon permaisuriku ini terluka bahu
kirinya. Harus diobati dengan cepat........."
"Izinkan hamba membawa turun sang permaisuri itu Sri Baginda," kata Wiro.
"Kampret! Aku tidak percaya padamu! Aku tidak mau permaisuriku disentuh
makhluk macammu!" jawab si gemuk. Lalu dia berkipas-kipas tiga kali berturut-
turut. Setelah itu dia ulurkan tangan kirinya untuk mencekal leher pakaian si pemuda.
Dengan satu gerakan yang enteng mengagumkan orang gemuk ini melayang turun
sambil membimbing tubuh si pemuda!
Begitu ampai di bawah si gemuk membaringkan tubuh si pemuda di tanah.
Dia berpaling pada Wiro. "Hamba sahayaku!" katanya.
"Saya Sri Baginda..."
"Dari atas kulihat tampangmu jelek! Sudah dekat begini justru malah tambah
jelek! Wiro melengak jengkel tapi geli juga ada. Sambil garu-garuk kepala dia
berkata. "Sri Baginda, kita harus segera kembali ke Istana. Sebagai hamba
sahaya, saya bersedia memanggul tubuh permaisuri. Tapi jika Sri Baginda belum percaya,
silahkan pergi, apakah Sri Baginda tidak akan bersantap sekedar mengisi perut
lebih dulu" Istana kita cukup jauh dari sini."
"Istana kita cukup jauh dari sini katamu" Hemm..... Betul. Sekali ini kau betul
kampret! Lalu santapan apa yang hendak kau berikan padaku?"
Di dekat sini ada sebatang pohon yang menghasilkan sejenis buah yang sangat
manis. Dengan izin Sri Baginda saya akan pergi mengambilnya barang sua tiga
buah..." "bagus , pergilah cepat!" kata si gemuk yang menganggap dirinya sebagai aja
Di Raja. Wiro cepat menyelinap di antara semak belukar. Di satu tempat sebelumnya
dia telah melihat sebuah pohon yang berbuah merah. Dia tidak tahu nama buah itu
namun dia tahu kalau buah yang rasanya enak dan sangat manis itu kalau dimakan
BASTIAN TITO 26 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
maka dalam waktu beberapa saat saja orang yang memakannya akan mulas perutnya
lalu akan bocor terus-terusan sampai isi perutnya kosong!
Tapi baru saja Wiro bergerak dua langkah si gendut tiba-tiba terdengar
memanggil. "Tunggu!"
"Sial! Apa lagi maunya si gendut ini. Atau mungkin dia tahu kalau hendak
ditipu"!"
BASTIAN TITO 27 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN Wiro hentikan langkah dan berbalik. "Ada apa Sri Baginda memanggil saya?"
tanaya Wiro. "Permaisuriku....."
"Kenapa dengan permaisuri Sri Baginda?" Tanya Wiro
"Kampret! Tadi kau bilang permaisuriku terluka dan harus segera diobati!"
"Ah, maafkan hamba Sri Baginda. Apakah Sri Baginda segera hendak
memeriksa lukanya?"
"Coba kau telungkupkan tubuhnya! Tapia was kalau kau coba meraba-raba
tempat-tempat yang terlarang!
Wiro menyeringai. "Masakan hamba berani berlaku kurang ajar terhadap
seorang calon permaisuri!" kata Wiro pula. Lalu dengan hati-hati tubuh si pemuda
dibalikannya hingga kini terbujur menelungkup. Si gendut jongkok di samping
kiri. Dengan ujung kipasnya dikuakkannya pakaian yang robek di bahu kiri. Kelihatan
luka yang cukup dalam di bahu itu.
"Hemm...... Kalau aku tahu siapa orang yang melukai bahu calon
permaisuriku ini, akan kupatahkan batang lehernya!" kata si gendut. Lalu dia
berlutut dan angkat tangan kanan yang memegang kipas. Perutnya yang gendut tampak
mengempis. Wiro maklum kalau orang ini tengah mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya. "Srettt!"
Kipas di tangan si gendut membuka lalu kipas ini diusapkannya kesekujur
tubuh si pemuda yang tertelungkup, mulai dari kepala sampai ke ujung kaki.
Selesai mengusap si gendut lipat kembali kipasnya dan selipkan benda ini di pinggang
celananya yang terbalik.
Masih dalam keadaan berlutut si gendut kemudian usap-usapkan tangannya
satu sama lain. Ketika telapak tangan itu diangkat Wiro melihat warna kulit
telapak kanan telah berubah menjadi sangat merah dan mengeluarkan asap. Ada hawa dingin
keluar dari telapak tangan kanan itu yang terasa sampai tempat Wiro berdiri.
Perlahan-lahan si gendut menurunkan tangan kanannya. Telapak tangan kanan
ditempelkan di luka pada bahu kiri si pemuda. Kemudian perlahan-lahan tangan itu
diangkat. Ketika tangan kanan diangkat, Wiro jadi melengak. Luka di bahu kiri si
pemuda sembuh sama sekali. Bahkan bekasnyapun tak kelihatan. Meski sudah
sembuh tapi si pemuda masih tetap tertelungkup pingsan.
"Si gendut gila ini benar-benar memiliki kesaktian seperti Dewa!" kata Wiro
dalam hati penuh kagum. "Siapa dia sebenarnya. Eyang rasa-rasanya tak pernah
menceritakan tentang manusia satu ini...." Lalu Wiro bertanya. "Sri Baginda,
apakah sekarang hamba boleh pergi mengambil buah untuk santapan Sri Baginda itu?"
"Ya, kau boleh pergi sekarang...." Jawab si gendut tanpa mengalihkan
pandangannya dari sosok tubuh si pemuda yang tergeletak di tanah.
Wiro segera berlalu. Tak lama kemudian dia muncul membawa tiga buah
berkulit merah dan keras. Wiro pecahkan buah pertama. Kelihatan isinya yang
putih dan menebar bau harum. Tenggorokan si gendut kelihatan turun naik. Begitu Wiro
menyerahkan buah itu serta merta dimakannya sengan rakus sampai mulutnya
mengeluarkan suara menyiplak.
"Enak sekali. Manis sakali! Buah apa ini namanya" Tanya si gendut. Sebentar
saja buah pertama itu sudah lenyap ke dalam perutnya. Dia mengulurkan tangan
minta BASTIAN TITO 28 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
buah kedua. Wiro segera memberikan buah kedua. "Ah luar biasa sedapnya!" kata si
gendut dengan mata sampai terbalik-balik.
"Satu lagi Sri Baginda......"
Si gendut mengangguk tapi kepalanya kelihatan miring ke kiri dan matanya
kini terbalik-balik lain, tidak seperti tadi lagi. Tiba-tiba dia letakkan kedua
tangan di atas perut. "Mulas! Perutku mulas!" Kampret! Buah apa yang kau berikan padaku?"
Si gendut hendak marah. Tapi perutnya yang mulas tidak tertahankan membuat dia
salah tingkah. "Sialan!" teriaknya.
"Ikuti hamba Sri Baginda. Ada tempat yang aman untuk buang hajat..." kata
Wiro lalu ditariknya tangan si gendut dan dibawanya menyusup ke balik beberapa
semak belukar. Di balik serumpunan semak belukar lebat dia berhenti. "Nah di
sini tempat yang baik Sri Baginda. Tak ada yang melihat Raja buang hajat besar di
sini...." "Eh, kau mau kemana?" Tanya si gendut sambil melorotkan celananya.
"Hamba akan mencari air untuk pembersih Sri Baginda!" jawab Wiro.
"Tak usah air. Daun saja!" kata si gendut pula. Lalu mulai jongkok.
"Daun di hutan ini kebanyakan ada bulunya Sri Baginda. Hamba takut nanti
selangkangan Sri Baginda jadi lecet dan Sri Baginda punya perabotan menjadi
bengkak dan gatal!"
"Ah sudah ! Pergi sana! Jangan lama-lama...."
Si gendut mengerenyit. Perutnya mulas sekali tapi yang mau dikeluarkan seperti
macet. Begitu lenyap dari pemandangan si gendut Pendekar 212 Wiro Sableng segera
lari ke tempat di mana pemuda tadi masih tergeletak pingsan. Dengan cepat
dipanggulnya tubuh pemuda itu lalu berkelebat lenyap di balik kerapatan
pepohonan dan semak belukar.
Di sebelah timur di bagian hutan yang sunyi Wiro henikan larinya. Saat itu
sudah memasuki rembang petang. Dia melihat pemuda itu mengerakkan kepalanya
sedikit ketika dibaringkan di tanah.
"Aku harus benar-benar memastikan dia memang permpuan..." kata Wiro
dalam hati. Lalu murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini menganggalkan
kain penutup kepala si pemuda. Begitu kepalanya tersingkap kelihatanlah
rambutnya yang hitam panjang. Wiro membelai rambut itu dan menariknya dengan hati-hati.
Ternyata rambut itu panjangnya sampai ke pinggang. Dan wajah si pemuda kini
kelihatan aslinya. Wajah seorang permepuan muda berparas cantik sekali.
"Hemmm...." Wiro garuk-garuk kepala. Selagi dia berpikir-pikir apa yang
akan dilakukannya tiba-tiba perempuan itu membuka kedua matanya. Pandangannya
membentur Wiro. Mulutnya terbuka hendak menjeri. Wiro cepat menekap mulutnya
seraya berkata. "Saudara jangan takut. Aku bukan orang jahat. Aku seorang
sahabat.... Tekapanku akan kulepaskan. Tapi ingat, jangan menjerit...." Wiro kawatir kalau
ssampai perempuan itu mengeluarkan jeritan akansempat terdengar si gendut gila
berkepandaian tinggi itu. Wiro belum lepaskan tekapannya karena dirasakannya
mulut perempuan itu bergerak-gerak entah hendak mengatakan sesuatu entah hendak
berteriak. "Dengar namaku Wiro Sableng. Aku menemukanmu di kali sewaktu kau
diserang oleh tiga orang yang aku tidak kenal....."
Sepasang mat aperempuan itu terpejam sesaat. Perlahan-lahan Wiro
melepaskan tekapannya. Perempuan itu coba mengingat-ingat apa yang terjadi
sebelumnya. Lalu tangan kanannya meraba ke bahu kiri. Wiro cepat berkata. "Waktu
BASTIAN TITO 29 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
kau melompat ke dalam perahuku, salah seorang penyerang berhasil melukai bahu
kirimu. Tapi sekarang luka itu sudah sembuh. Ada seorang sakti yang
mengobatimu!"
"Orang sakti" Bukan kau...?" Tanya perempuan itu dengan suara halus
perlahan. "Bukan, aku idak memiliki ilmu sehebat dia...."
"Sekarang dimana orang sakti itu...?"
"Jauh di dalam hutan sana. Aku sengaja membawamu lari daridia karena dia
hendak mengambilmu jadi permaisuri...."
Perlahan-lahan perempuan itu bangkit dan duduk di tanah. "Kau jangan bicara
ngacok!" "Aku tidak ngacok Saudari," jawab Wiro. "Aku akan ceritakan padamu apa
yang telah terjadi setelah kau jatuh pingsan dihantam batangan pohon. Tapi aku
ingin kau memberi tahu namamu lebih dulu...."
"Saudari...."!" Tiba-tiba perempuan itu saperti ingat sesuatu. Diraba
kepalanya. Baru disadarinya rambutnya yang hitam panjang telah tersingkap dan
tergerai lepas. Sesaat wajahnya tampak berubah. Dia juga ragu-ragu untuk
mengatakan namanya. "Jangan-jangan kau adalah kaki tangan Kebo Panaran dan
kawan-kawannya...."
"Siapa Kebo Panaran?" Tanya Wiro.
Yang ditanya tidak menjawab. Dia memandang jauh ke depan. Lalu tampak
kedua matanya berkaca-kaca. Tidak dapat membendung tangisnya akhirnya
perempuan muda ini menangis. Mula-mula perlahan, tapi lama-lama tangisnya jadi
keras. Wiro melangkah bingung mundar mandir sambil garuk-garuk kepala. "Saudari
hentikan tangismu. Kalau terdengar oleh orang itu urusan bisa jadi berabe. Aku
tak akan sanggup lagi menolongmu!"
Perempuan muda yang duduk di tanah mengusap pipi dan kedua matanya.
Suara tangisnya perlahan-lahan menyurut. "Aku tak mampu mengingat lagi...
Ceritakan apa yang terjadi selama aku pingsan."
Wiro lalu menuturkan apa yang terjadi yatiu sejak dia melihat permpuan itu
diserang oleh tiga penunggang kuda samapi dia diculik oleh si gendut gila dan
akhirnya berhasil dilarikan oleh Wiro sampai ke tampat itu.
"Kau telah menolongku. Aku tak athu harus berterima kasih begaiman. Aku
ingin segera meninggalkan tempat ini..."
"Kita bisa pergi sebentar lagi. Kau tak ingin menceritakan mengapa
sebelumnya kau menyamar sebagai seorang pemuda?"
Perempuan itu meraba rambutnya kembali. "Orang-orang yang menyerangku
di pinggir kali, salah satu diantaranya adalah manusia terkutuk Kebo Panaran
itu. Dua lainnya Bargas Pati dan Legok Ambengan. Manusia-manusia jahanam! Aku
Wiro Sableng 065 Hari Hari Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersumpah untuk membunuh mereka..."
"Rupanya ada satu perkara besar antara kau dangan orang-orang itu?"
Perempuan itu mengangguk. "Perkara besar. Amat besar," katanya perlahan.
"Jika kau tidak mau menceritakan tidak jadi apa. Tapi aku punya firasat kau
berada dalam bahaya besar..."
Perempuan itu terdiam sesaat. "Sejak dilahirkan aku sudah hidup dalam
bahaya. Kedua orang tuaku tewas dalam perang saudara. Selama masa peperangan
aku dibawa ke mana-mana. Setelah aku kawin ternyata hidupku tidak terlepas dari
bahaya..."
'Maafkan aku, aku kira kau masih gadis..." kata Wiro sambil tersenyum dan
menggaruk kepala. Ucapan ini membuat perempuan di hadapannya menjadi merah
BASTIAN TITO 30 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
parasnya. Wiro segera mengalihkan pembicaraan. "Kau ingin kita segera pergi dari
sini sekarang juga?"
"Tunggu, ada hal penting yang ingin kutanyakan. Tentang nenek berjubah
hitam dan berambut kasar itu. Ketika kau berkelahi dengan dia apakah kau
menciderainya?"
"Tidak. Ada keraguan pada diriku saat itu. Kawatir kalau dia memang
gurumu..."
"Dia memang guruku walau hanya sempat mengajarku lima silat selama tiga
bulan..." kata perempuan muda itu pula. "Aku harus segera mencarinya. Aku butuh
bantuannya menghadapi tiga manusia terkutuk itu."
Wiro hanya berdiam diri. Perempuan di depannya menatap wajahnya beberapa
lama lalu bertanya. "Kau kecewa kalau aku tidak mau menceritakan siapa diriku
dan apa yang telah terjadi padaku?"
Wiro hanya tersenyum dan gelengkan kepala.
"Kurasa kau orang baik dan mungkin bisa kupercaya. Baiklah, akan kukaakan
siapa diriku. Namaku Antini. Suamiku Lor Kameswara. Tapi dia sudah tewas.
Dibunuh secara keji oleh Kebo Panaran dan tiga kawannya...."
BASTIAN TITO 31 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEMBILAN Bukit kecil subur itu terletak di sebelah barat Kali Bogowonto, tak berapa jauh
dari Banyuurip. Di sebuah rumah seorang lelaki berusia sekitar setengah abad
tengah membersihkan biji-biji kopi dalam tiga buah keranjang besar. Dia telah melakukan
pekerjaan itu sejak pagi. Kelihatannya pekerjaan ringan saja tetapi cukup
melelahkan dan membuat tubuhnya pegal serta keringatan.
Karena tenggorokannya terasa kering lelaki ini mengambil kendi tanah berisi
air putih lalu meneguknya. Selagi dia meneguk air inilah kedua matanya melihat
lima orang penunggang kuda muncul di kaki bukit sebelah barat dan bergerak ke arah
rumahnya. Tak berapa lama kemudian muncul lima penunggang kuda itu sudah
memasuki halaman. Ternyata mereka empat orang lelaki berpakaian kumal berambut
panjang riap-riapan dan bertampang sangar. Yang satu lagi seorang perempuan
berpakaian dan berikat kepala kuning. Wajahnya tak kalah seram dengan empat
lelaki itu. Kelima penunggang kuda berhenti di depan rumah lalu turun dari kuda
masing-masing. Yang sebelah depan yaitu yang berubuh tinggi hitam, berewok dan
berkumis tebal berdiri berkacak pinggang sementara tiga lainnya tegak sambil
menyeringai. "Lor Kameswara! Kau tidak mengenali kami lagi"!" Tanya si berewok dengan
suara lantang. "Astaga! Kalau tidak mendengar suaramu aku hampir lupa! Kebo Panaran!"
menyahut lelaki di dalam rumah lalu melompat berdiri, menubruk dan merangkul si
tinggi hitam berewok. Dia juga memeluk empat orang lainnya sambil menyebut nama
mereka satu persatu. "Bargas Pati, Tunggul Anaprang, Legok Ambengan dan Ambar
Parangkuning!"
Orang yang terakhir yakni perempuan berbaju kuning yang pada pinggangnya
bergelantungan selusin pisau belati tertawa tinggi lalu berkata. "Tidak salah
kalau dia tidak mengenal kita lagi. Habis, tampang dan pakaian kita dekil lecak seperti
ini! Hik...hik...hikkk!
Empat kawannya menyeringai sedang si pemilik rumah yang bernama Lor
Kameswara tertawa lebar. Dia mempersilahkan kelima orang itu masuk dan duduk di
atas sehelai tikar lebar.
"Kau kelihatan hidup tentram di sini Lor Kameswara," kata lelaki bernama
Bargas Pati. Kepalanya botak. Tubuhnya gemuk. Dia mengenakan pakaian dan ikat
kepala serba merah.
Yang bernama Legok Ambengan ulurkan kepalanya ke dekat keranjang kopi.
"Kau sudah jadi petani kopi rupanya. Dan sedang panen! Wah, kami datang tepat
pada waktunya untuk dapat menikmati kopi hasil kebunmu!"
"Jangan kawatir. Akan ku buatkan kopi untuk kalian berlima," kata Lor
Kameswara. Lalu di bertanya "Selama ini kemana saja kalian menghilang?"
"Siapa bilang kami menghilang!" kata Kebo Panaran sambil mengusap
berewoknya. Dia berpaling pada kawan yang duduk di sebelahnya. "Legok, coba kau
katakana pada bekas pimpinan kita ini apa saja yang kita lakukan selama ini!"
Legok Ambengan yang berpakaian serba hijau dengan dua golok tersisip di
pinggangnya kiri kanan bersandar ke dinding rumah. Sambil melunjurkan kedua
kakinya dia berkata "Satu bulan setelah pertemuan kita terakhir, kami berhasil
BASTIAN TITO 32 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
menjebak serombangan pasukan kerajaan. Mereka berjumlah dua belas orang dan
membawa barang-barang cukup berharga. Setelah itu kami berhasil menyusup masuk
ke dalam rumah kediaman Pangeran Blorong. Sejumlah harta dan uang kami rampas.
Bahkan dua orang selir sang Pangeran sempat kami ajak berkeliling selama dua
bulan. Kami juga sempat bergabung dengan para penjahat di hutan sebelah utara. Kami
berhasil mengumpulkan sejumlah harta kekayaan. Digabung dengan yang kita
dapatkan di masa perang tempo hari, kita berlima, berenam dengan kau boleh
dibilang sudah jadi orang-orang kaya baru..."
"Kalau begitu kalian semua bisa menjalani hidup senang, tak perlu bekeliaran
lagi" kata Lor Kameswara.
"Maunya memang begitu" menyahuti Kebo Panaran. "Tapi kami merasa
peperangan belum selesai. Itu pula sebabnya kami dating menemuimu. Kau bekas
pimpinan kami di masa perang. Sampai saat ini kami tetap menganggapmu sebagai
pemimpin. Kami datang untuk minta kau pimpin kembali guan melanjutkan
perjuangan"
Sesaat Lor Kameswara seperti tercengang mendengar kata-kata bekas anak buahnya
itu. "Kawan-kawan, sakit hai kita terhadap Raja yang sekarang memang tak bisa
lenyap samapi kapanpun. Tetapi adalah sanagat berbahaya kalau kalian menjalani
hidup sebagai penjahat dan perampok malah berani memasuki tempat kediaman
Pangeran Blorong menculik dua selirnya dan membunuh pasukan kerajaan. Kalian
akan jadi sasaran pengejaran seumur hidup. Kalian bisa celaka. Kita semua bisa
celaka!" "Kau kedengarannya seperti takut pada kerajaan, Lor Kameswara. Mana
keberanian yang pernah kau tunjukkan di masa perang dahulu?"
"Kebo Panaran, sekarang keadaan sudah berubah," kata Lor Kameswara pula.
"Maksudmu berubah bagaimana?" Tanya Legok Ambengan. "Apanya yang
berobah. Kau bilang perang sudah berakhir. Kami mengatakan tidak!"
"Kau keliru Legok. Perang nyata-nyata telah berakhir sejak jatuhnya Sri
Baginda yang lama tewas di tangan Raja yang sekarang memerintah. Ini kenyataan
yang tidak bisa dipungkiri sahabat-sahabatku!"
Kebo Panaran tertawa. "Kau keliru Lor Kameswara. Apa kau tidak tahu
bagaimana sisa-sisa perajurit kerajaan yang masih setia dengan Raja lama kini
menyusun kekuatan. Di mana-mana mereka melakukan perang susup atau perang
gerilya. Walau sedikit demi sedikit tetapi secara pasti mereka menggerogoti
kekuatan Kerajaan hingga satu ketika akan lumpuh dan hancur!"
"Kekuatan pasukan yang setia pada Sri Baginda lama terlalu kecil. Terpencar-
pencar. Mereka mudah dihancurkan oleh pasukan Kerajaan."
Kebo Panaran geleng-gelengkan kepala. "Buktinya sampai saat ini pasukan
Kerajaan tidak mampu menghancurkan kami berlima!"
"Mungkin sekarang tidak sahabatku! Ta pi percayalah. Kerajaan sekarang
benar-benar kuat. Mereka memiliki perajurit yang terlatih, perwira yang tangguh
seta dibantu oleh belasan tokoh-tokoh silat tingkat tinggi..."
"Itu betul," memotong Bargas Pati. "Tetapi apakah kita akan jadi patah
semangat hanya karena kelemahan yang tidak berarti itu" Kita bisa mengumpulkan
harta dan uang untuk membeli atau membuat senjata. Untuk menggembleng semua
perajurit kita bahkan kalau perlu membeli perwira dan okoh silat Kerajaan!"
"Aku yakin tidak semudah itu melakukannya sahabat-sahabat," kata Lor
Kameswara pula.
"Sudahlah, tak usah kita ributkan lagi soal apakah perang sudah selesai atau
belum. Yang jelas kami minta kau jadi pemimpin kami kembali. Kita akan
BASTIAN TITO 33 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
kumpulkan kawan-kawan. Bentuk pasukan baru. Kita pasti menang Kameswara."
Yang bicara adalah Ambar Parangkuning.
Di masa perang saudara antara Ambar Parangkuning dan Lor Kameswara
terjalin hubungan mesra. Tapi hubungan itu keburu diketahui oleh istri Lor
Kameswara sehingga perempuan ini dalam marahnya melarikan diri. Malang baginya
di tengah jalan dia diserang penyakit menular dan akhirnya menemui ajal. Lor
Kameswara merasa sangat bersalah dan berdosa besar. Setelah perang selesai dia
sama sekali tidak mau melanjutkan hubungan dengan Ambar Parangkuning walau
perempuan ini sebenarnya sangat mengharapkan untuk diambilnya jadi istrinya. Lor
Kameswara sendiri kemudian mengucilkan diri di tempat sepi.
"Maafkan aku Ambar," menjawab Lor Kameswara. "Aku sudah terlalu tua
memimpin satu perjuangan yang sia-sia. Kebo Panaran bisa kalian jadikan pemimpin
baru. Aku ingin di sisa usiaku menikmati hidup yang tenteram..... Aku akan
hidangkan kopi untuk kalian." Lalu Lor Kameswara berdiri dan masuk ke dalam
rumah. Tak berapa lama kemudian dia keluar lagi membawa sebuah nampan kayu. Di
atas nampan terdapat enam buah cangkir tanah dan sebuah teko besar berisi kopi
panas. Di atas nampan itu masih ada sebuah piring kaleng besar berisi pisang
goreng. Kepulan asap kopi yang harum serta sedapnya bau pisang goreng membuat air liur
kelima orang itu jadi berdecak.
Hidung mereka kembang kempis. Dan mata mereka tiba-tiba saja menjadi
membesar. Seorang perempuan sanga muda, mungkin masih gadis, berkulit kuning
langsa dan berwajah cantik sekali serta memiliki potongan tubuh yang menggiurkan
melangkah di belakang Lor Kameswara. Orang-orang itu bertanya-tanya siapa adanya
si jelita yang menurut dugaan mereka berusia sekitar dua puluh tahunan itu.
Kebo Panaran mengusap berewoknya. Kedua matanya tak berkesip. Tunggul
Anaprang membasahi bibir dangan ujung lidah berulang kali sedang Legok
Ambengan dan Bargas Pati seperi orang tersirap sihir, memandang tak bergerak dan
tak berkedip. Ambar Parangkuning tampak tenang saja. Namun diam-diam dalam
dadanya muncul satu getaran rasa cemburu.
"Tidak kusangka kau menyimpan seorang dara jelita di rumah ini, Lor
Kameswara!" kata Kebo Panaran pada Lor Kameswara tetapi matanya memandang
pada perempuan itu dengan pandangan mata seperti hendak menelanjangi.
"Kami tahu dari istrimu dulu kau tidak memiliki anak. Siapa gerangan
bidadari ini Kameswara?" Tanya Tunggul Anaprang pula sambil mengusap muka
yang pucat berulang kali.
Lor Kameswara tersenyum. "Ini Antini, istriku...." Menerangkan Lor
Kameswara. Karena tidak menduga sama sekali, karuan saja keempat lelaki itu jadi terkejut
dan ada yang keluarkan seruan tertahan. Sementara itu paras Ambar Parangkuning
kelihatan berubah.
"Istrimu katamu Kames?" Tanya Bargas Pati.
"Betul...?" Lor Kameswara meletakkan nampan di lantai yang beralaskan
tikar. Kelima kawannya jadi saling pandang.
"Kini aku tahu. Rupanya ini sebabnya. Kau tak mau lagi meneruskan
perjuangan, tak mau lagi ikut perang karena kini kau sudah punya istri cantik
jelita!" kata Kebo Panaran.
"Boleh saja kau bilang begitu. Tapi alasanku tadi sudah kukatakan. Aku ingin
hidup tenteram...."
Tunggul Anaprang menyeringai. "Usia kalian pasti terpaut jauh. Istrimu ini
sebenarnya pantas jadi anakmu! Ha... ha... ha!"
BASTIAN TITO 34 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Paras istri Lor Kameswara jadi merah mendengat kata-kata itu. Lor
Kameswara sendiri merasa tidak enak dengan ucapan Tunggul Anaprang tadi. Namun
dia tenang saja. "Antini masih keponakan mendiang istriku. Dia anak baik. Kami
tahu perbedaan umur kami yang menyolok. Tetapi dia merasa berjodoh denganku. Kalau
tidak ada dia, siapa yang akan merawat tubuh keropok ini!"
"Kau benar-benar tua bangka yang beruntung..." kata Legok Ambengan
sementara Lor Kameswara menyuruh istrinya menuangkan kopi hangat ke dalam
enam cangkir tanah.
"Selagi masih hangat silahkan kalian minum kopinya. Juga pisang gorengnya
agar dicicipi," mempersilahkan tuan rumah.
Namun tidak ada satu orangpun yang bergerak. Kecuali Ambar Parangkuning,
leleaki yang lima itu sama memperhatikan Antini melangkah masuk ke dalam rumah.
Betisnya yang putih bagus dan tersingkap ketika melangkah membuat para lelaki
yang selama ini hanya berada dalam rimba belantara menjadi terangsang dan
berangan-angan kotor. Beberapa lama kemudian baru mereka meneuk minuman
masing-masing. "Sedap sekali kopi buatan istrimu," memuji Legok Ambengan. "Kapan aku
bisa mendapatkan istri seperti istrimu itu!" Ucapan lelaki ini membuat kawan-
kawannya yang lain tertawa bergelak. Tetapi mereka sebenarnya tengah tenggelam
dalam jalan pikiran masing-masing. Ketika Kebo Panaran memandang padanya,
Legok Ambengan kedipkan mata kirinya. Kebo Panaran yang maklum akan arti
kedipan mata itu membalas dengan seringai. Tiba-tiba Kebo Panaran berdiri. "Aku
ingin mencuci muka. Wajahku terasa lengket oleh debu jalanan. Di mana letak
sumur?" "Di halaman belakang. Mari kuantar," kata Lor Kameswara pula.
"Tak usah, aku bisa pergi sendiri!" Lalu Kebo Panaran bergegas masuk ke
dalam rumah, terus menuju halaman belakang. Tetapi sebenarnya bukan mencari
sumur itu yang hendak dilakukannya. Melainkan dia ingin melihat Antini yang
cantik jelita tadi, yang telah membakar aliran darahnya.
Istri Lor Kameswara itu ternyata berada tidak jauh dari sumur di halaman
belakang, tengah menampi beras membelakanginya. Begitu samapi di dekat Antini ,
langsung saja perempuan ini disergap dirangkulnya. Tentu saja perempuan ini
terkejut dan terpekik keras. Tampian beras yang dpegangnya terlepas jatuh dan beras
berserakan di tanah.
Di serambi depan Lor Kameswara melompat dari duduknya begitu mendengar
suara jeritan istrinya dari belakang rumah. Namun baru saja dia hendak berdiri,
Bargas Pati, Legok Ambengan dan Tunggu Anaprang telah mendahului dan tegak
mengurungnya. Hanya Ambar Parangkuning yang masih tetap duduk di atas tikar.
Perempuan ini sebenarnya sudah maklum apa yang terjadi di belakang sana dan apa
Wiro Sableng 065 Hari Hari Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang hendak dilakukan tiga kawannya itu. Hatinya sebenarnya tidak suka namun
kebencian karena merasa dilupakan begitu saja oleh Lor Kameswara membuat dia
tidak melakukan apa-apa.
Di belakang sana kembali terdengar jeritan Antini.
"Minggir!" bentak Lor Kameswara sambil berdiri. Tapi Legok Ambengan
cepat menekan kedua bahunya dari belakang.
"Kau hendak kemana Kameswara" Tenang-tenang saja di sini. Obrolan kita
belum selesai...' kata Legok Ambengan. Lor Kameswara merasa kedua bahunya
seperti ditekan oleh dua batu besar yang beratnya puluhan kati. Jelas Legok
Ambengan telah mengerahkan tenaga dalamnya.
"Singkirkan kedua tanganmu Legok!" bentak Lor Kameswara.
BASTIAN TITO 35 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Tidak, kecuali kalau kau mengatakan akan bersedia menjadi pimpinan kami
lagi dan berperang melawan Kerajaan!"
Di halaman belakang lagi-lagi terdengar jeritan Antini.
"Keparat! Aku tahu ada maksud kotor dan busuk dalam diri kalian berlima!
Awas! Jika terjadi sesuatu dengan istriku kalian semua akan kubunuh!" Habis
berkata begitu Lor Kameswara tarik kedua tangan Legok Ambengan yang masih menekan
bahunya lalu sambil menjatuhkan diri dia membetot orang yang di belakangnya itu.
Gerakan Lor Kameswara secepat kilat dan daya tariknya luar biasa. Orang lain
pasti akan terbetot dan terbanting ke lantai. Tapi tidak demikian dengan Legok
Ambengan. Tubuhnya memang terbanting ke depan tapi tidak sampai terhampar di lantai
serambi. Kedua kakinya membuat gerakan cepat dan dia berhasil tegak, bersamaan dengan
bangkitnya Lor Kameswara.
Karena Legok Ambengan perlu saat untuk mengimbangi dirinya, maka
kesempatan ini dipergunakan oleh Lor Kameswara untuk menghantam lelaki ini
dengan satu jotosan keras kea rah dadanya.
"Bukkk!"
Legok Ambengan terlempar. Dari mulutnya keluar seruan kesakitan disusul
dengan mengucurnya darah dari mulut. Jelas dia mengalami luka di dalam yang
parah. Tetapi manusia ini seperti mempunyai kekuatan aneh. Secara luar biasa dia
menerjang ke depan sambil menyemburkan darah yang ada dalam mulutnya ke muka Lor
Kameswara. Ludah campur darah menodai wajah Lor Kameswara.
Mendidih darah bekas perwira Kerajaan ini. Didahului bentakan keras Lor
Kameswara kembali hendak menggasak orang di depannya itu. Namun dari kiri kanan
saat itu Tunggul Anaprang dan Bargas Pati bergerak cepat dan lancarkan serangan
tangan kosong yang dahsyat.
Sebagai seorang bekas perwira Kerajaan Lor Kameswara memang memiliki
kepandaian tinggi disbanding dengan kawan-kawannya seperjuangan dulu. Namun
dikeroyok tiga membuat dia serta merta terdesak.
"Aku tidak harus melayani masing-masing keparat ini. Aku harus menolong
Antini. Sesuatu terjadi di belakang sana!" kata Lor Kameswara dalam hati. Kaki
kanannya menendang mencari sasaran di perut Legok Ambengan. Serentak dengan itu
tangan kirinya menderu ke arah kepala Bargas Pati. Selagi kedua orang ini
membuat gerakan menghindar Lor Kameswara lepaskan pukulan tangan kosong ke arah
Tunggul Anaprang. Serangkum anagin menderu keras. Tunggul anaprang sudah tahu
kalau bekas pimpinannya itu memiliki tenaga dalam lebih tinggi darinya. Dia tak
berani menangkis karenanya cepat mengelak dangan melompat ke samping. Selagi
dua orang lainnya belum sempat berbuat sesuatu Lor Kameswara cepat menerjang
dan lari ke dlaam rumah, terus berkelebat ke halaman belakang.
"Kebo Panaran keparat! Kubunuh kau!" teriak Lor Kameswara ketika
menyaksikan apa yang terjadi di halaman belakang dekat sumur.
BASTIAN TITO 36 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEPULUH Kebo Panaran seperti orang kemasukan setan merobek pakaian Antini. Nafsu
mesum semakin membakar tubuh lelaki ini begitu dada istri Lor Kameswara itu
tersingkap lebar. Saat itu Legok Ambengan, Bargas Pati, Tunggul Anaprang serta
Ambar Parangkuning sudah berada pula di halaman belakang itu. Tiga lelaki ini
menahan nafas menyaksikan keindahan dada Antini.
"Kebo! Jangan kau makan sendiri daun muda berwajah bidadari itu!" seru
Tunggul Anaprang. Lalu dia melompat dan mendekap Antini dari samping dan
menciumi oeremouan ini. Di saat yang sama Lor Kameswara telah menyerbu Kebo
Panaran dengan kemarahan yang tidak dapat dilukiskan. Tinjunya menderu ke arah
muka Kebo Panaran. Perkelahian seru segera terjadi tanpa Lor Kameswara menyadari
bahwakeadaan istrinya yang sedang dibelanya itu justru saat itu makin berbahaya.
Tunggul Anaprang, Bargas Pati dan Legok Ambengan berebut cepat menggerayangi
tubuh Antini yang benjerit-jerit tiada henti hingga suaranya serak.
"Manusia-manusia iblis!" kertak Lor Kameswara. Dia memutar tubuh
meninggalkan Kebo Panaran, berkelebat ke arah Legok Ambengan. Tangannya
bergerak cepat menyambar satu dari dua golok yang tergantung di pinggang Legok.
Dengan senjata itu lalu dia mengamuk. Melihat hal ini Kebo Panaran dan kawan-
kawannya segera pula menghunus senjata masing-masing. Kebo Panaran mencabut
golok besarnya. Tunggul Anaparang loloskan rantai besi yang menggelung
pinggangnya. Bargas PAti cepat keluarkan celurit besarnya sedang Legok Ambengan
juga sudah mencabut goloknya yang kini hanya tinggal satu.
Kini perkelahian baralih dari hanya mempergunakan tangan kosong menjadi
perkelahian dengan senjata tajam. Saat itu hanya Ambar Parangkuning yang tidak
ikut mengeroyok dan tetap tegak di tempatnya.
"Antini! Lari..... Selamatkan dirimu!" teriak Lor Kameswara ketika dia
menyadari dirinya mulai terdessak. Tapi sang istri malah belas berteriak
"Kangmas Kames. Saya memilih mati bersamamu......" Lalu perempuan muda ini menyambar
sebilah parang yang tersisip di dinding belakang rumah. Namun belum sempat dia
menyentuh senjata ini Tunggul Anaprang melompat dai kalangan perkelahian dan
menyambar pinggangnya. Kedua orang itu jatuh beulingan di tanah. Celakanya,
ketika berada di sebelah atas! Langsung saja dia menciumi dan menggerayangi
tubuh Antini. "Kangmas Kames! Tolong.... Tolong!"
"Tunggul! Setan kau!" teriak Lor Kameswara. Dia tidak perdulikan lagi para
pengeroyoknya, langsung saja dia berkelebat ke kanan untuk menolong istrinya
yang tengah dinodai oaring. Namun saat itu pula clurit di tangan Bargas Pati
menyambar. Lor Kameswara masih sempat melihat datangnya senjata lawan. Dia mengelak tapi
terlambat. Ujung clurit membabat pipi kirinya. Darah mengucur deras dari luka
yang terbuka. Antini menjerit keras.
Selagi Lor Kameswara tertegun sempoyongan sambil pegangi wajahnya yang
koyak. Golok yang tadi dipegangnya sudah terlepas jatuh. Saat itulah Kebo
Panaran dating dari samping menusukkan goloknya ke perut Lor Kameswara.
"Jangan bunuh dia!" Satu suara membentak.
"Heh"!" gerakan tangan kanan Kebo Panaran sesaat terhenti. Dia berpaling ke
samping, "Heh"! Betul kau yang barusan bicara Ambar"!"
BASTIAN TITO 37 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Ambar Parangkuning memandang tajam dan tak berkesip pada Kebo Panaran
membuat sesaat lelaki ini jadi tertegun.
"Rupanya kau masih mencintai dia, Ambar"!"
"Saat ini kita bukan bicara soal cinta Kebo! Tapi soal persahabatan dan
kehormatan! Betapa keji pribadimu hendak membunuh kawan dan bekas pimpinan
sendiri! Lebih busuk lagi karena kau diam-diam mengatur untuk menodai istrinya!
Aku tidak suka hal ini!"
"Jika kau tidak suka, kau boleh pergi dari sini! Tunggu saja di halaman depan
sampai kami seleai!" Yang bicara adalah si botak Bargas Pati.
"Kalian biadab semua! Rutuk Ambar Parangkuning lalu putar tubuh
tinggalkan tempat itu.
Lor Kameswara merasakan tubuhnya lemas akibat banyaknya darah yang
keluar dari luka di pipinya. Walau amarahnya masih mendidih namun dia seperti
lumpuh dan tak mampu melawan ketika tendangan Legok Ambengan menghanam
pinggangnya sebelah belakang. Tubuhnya terhantar di tanah. Lalu satu tendangan
pada kepalanya membuat pemandangannya serta merta gelap. Megap-megap dan
boleh dikatakan sudah setengah pingsan Lor Kameswara coba bangun. Namun
tusukan golok Kebo Panaran ke lehernya mengakhiri semuanya. Darah menyembur
muncrat dari batang leher Lor Kameswara. Bekas perwira yang malang ini terguling
di tanah tanpa berkutik lagi.
Melihat suaminya menemui ajal seperti itu ditambah dia tidak bisa
melepaskan diri dari cengekraman Tunggul Anaprang, Antini seperti gila hanya
bisa menjerit serak.
"Bunuh! Bunuh saja aku!" teriak perempuan muda berusia dua puluh tahun ini.
Kebo Panaran tertawa mengekeh. Sambil menyeka golok berdarahnya ke
celana hitamnya orang ini melangkah mendekati Tunggul Anaprang yang masih
bersama Antini.
"Jangan rakus! Jangan dimakan sendiri Tunggul!" kata Kebo Panaran sambil
mencekal baju biru Tunggul Anaprang lalu menariknya ke atas kemudian dibanting
lagi ke tanah! Dan berkata "Kau dan yang lain-lainnya gotong mayat Kameswara dan
cemplungkan ke dalam sumur!"
"Jang... jangan...." Kata Antini perlahan yang sudah lemas tak punya
kekuatan lagi. Sesuai perintah Kebo Panaran tiga orang kawannya segera menggotong
jenazah Lor Kameswara. Lalu jenazah itu dilemparkan ke dlaam sumur!
Kebo Panaran menyeringai. Dia berjongkok di samping Antini yang masih
terbaring tak berdaya di tanah. "Tak ada yang harus kau takutkan. Aku lebih muda
dan lebih gagah dari suamimu si tua bangka tak tahu diri itu. Jika kalau mau
selamat ikuti saja apa mauku dan mau kawan-kawanku. Mari kita bersenang-senang
sebentar!"
"Iblis! Manusia durjana! Pergi!
Kebo Panaran hanya ganda tertawa. Perlahan lahan dia buka ikat pinggang
besarnya. Lalu berlutut di samping tubuh Antini. Saat itu perempuan ini sudah
tak punya daya apa-apa lagi. Hanya air mata saja yang masih sanggup dikeluarkannya.
Dadanya bergoncang keras ketika Kebo Panaran menarik kain panjangnya....Lalu
dilihatnya wajah lain di atas tubhnya. Lalu wajah lain lagi dan lain lagi..... Ini
adalah hari paling terkutuk bagi perempuan muda yang malang itu.
Menjelang rembang petang keempat orang itu berkumpul di halaman depan
rumah Lor Kameswara.
BASTIAN TITO 38 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Eh, kuda Ambar Kuning tidak kelihatan!" kata Bargas Pati sambil mengusap
mukanya yang penuh keringat.
"Dia benar-benar sudah kabur rupanya!" menyahuti Legok Ambengan.
"Kabur atau kemanapun dia tak usah dipikirkan. Cepat atau lambat dia pasti
akan bergabung lagi dengan kita. Tolol kalau dia pergi mentah-mentah begitu
saja. Apa dia tidak ingin bagian dari segala harta kekayaan dan uang yang kita simpan
di tempat rahasia itu"!" Kebo Panaran meludah ke tanah. "Sudah jangan banyak bicara
lagi. Cepat tinggalkan tempat terkutuk ini!"
Besamaan dengan tenggelamnya sang surya dan keadaan mulai gelap karena
malam segera tiba, di halaman depan rumah kediaman Lor Kameswara kelihatan satu
bayangan. Dengan cepat bayangan ini bergerak menuju halaman belakang. Begitu
sampai di halaman belakang orang yang muncul ini terdengar menghela nafas
panjang. Lalu dia melangkah mendekati sosok tubuh Antini yang tergeletak di tanah. Orang
ini ternyata seorang nenek muka pucat berambut jabrik berjubah hitam gombrong
menjela tanah. Beberapa lama dia hanya tegak memandangi sosok tubuh tak bergerak itu
dengan muka membesi dan kedua tangan terkepal. Lalu orang ini membungkuk.
Dipegangnya pergelangan tangan kiri Antini. Tak terasa denyutan nadi. "Mati...?"
pikirnya. Lalu diturunkannya kepalanya , diletakkan di atas dada Antini.
Perlahan sekali, antara terdengar dan tidak, si nenek masih dapat menangkap suara detak
jantung. "Ah, dia masih hidup. Tapi keadaannya gawat sekali. Aku harus cepat-
cepat membawanya dari sini dan mengobatinya. Kasihan, kalaupun dia bisa kutolong
apakah batin dan perasaannya bisa diselamatkan?"
Nenek berjubah hitam itu cepat memanggul Antini di bahu kirinya. Sebelum
pergi dia berpaling kea rah sumur di mana sebelumnya Kebo Panaran dan kawan-
kawannya telah mencemplungkan Lor Kameswara ke dalam sumur itu.
"Ah, dia tak mungkin bisa kutolong. Semoga rohnya tenteram di tempat
itu...." Si nenek menghela nafas sekali lagi lalu sekali berkelebat diapun lenyap
dari tempat itu bersama Antini. Tempat itu kini hanya diselimuti kepekatan malam dan
kesunyian. Antini tidak tahu berapa lama dia jatuh pingsan. Sewaktu sadar didapatinya
dirinya tergolek dalam sebuah goa batu yang dinding-dindingnya terasa dingin.
Perempuan malang ini sesaat menatap langit-langit goa. Dia coba berpikir dan
mengingat-ingat. Tiba-tiba satu goncangan dahsyat melanda benak dan hatinya.
Langsung dari mulutnya terdengar suara jeritan. Dia akan terus menjerit kalau
saja tidak ada yang muncul. Seorang nenk bermuka pucat dan berambut kaku tegak
muncul di tempat itu. Wajahnya seram tapi suaranya lembut.
"Anakkua, tabahkan hatimu. Aku tahu penderitaanmu lebih berat dari seisi
jagat ini, lebih dalam dari laut dan lebih tinggi dari langit. Aku mohon kau
ingat pada Tuhan. Dialah yang telah menekdirkan segala sesuatu dalam hidup kita ini. Kau
harus tabah anak. Aku akan menolongmu...."
Antini bangkit dan duduk bersasndar ke dinding goa. Kejadian hebat yang
menimpanya telah membuat satu perubahan besar dalam diri perempuan yang masih
sangat muda ini. Kalau dulu dia merupakan seorang perempuan yang lenbut dengan
segala kehati-hatian, kini dia tampak begitu kasar dan berani walau sinar
matanya tidak dapat menyembunyikan rasa takut akibat kejadian terkutuk yang dialaminya.
"Kau boleh panggil aku Nenek Tidar," jawab si nenek muka pucat. "Kau tak
usah takut padaku. Aku tahu semua yang telah kau alami....."
Mendengar ucapan itu Antini langsung menjerit.
BASTIAN TITO 39 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Tenang.....Tenang anakku," kata Nenek Tidar. "Kau tidak usah takut. Saat
ini kau berada di tempat yang aman. Dengar, aku akan berusaha menolongmu..."
"Menolongku Nek" Bagaimana mungkin kau bisa mengembalikan kehormaan
dan kesucianku yang telah dirusak manusia-manusia durjana itu...."
"Kalau itu memang aku tidak dapat mengembalikannya. Tuhanpun tidak bisa.
Tetapi kesucian dan kehormatan dalam arti kejiwaan, pasti kau bisa
Wiro Sableng 065 Hari Hari Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendapatkannya kembali." "Aku tidak mengenal kau. Mengapa kau hendak menolongku. Aku curiga...."
Si nenek menyeringai. "Dalam soal tolong menolong tidak harus kenal satu
sama lain lebih dahulu. Juga tak perlu rasa curiga padaku....."
"Nek, kau tahu apa yang ingin kulakukan saat ini?" tanya Antini.
Si nenek menggeleng. "Coba kau katakan, anakku."
"Aku ingin bunuh diri! Menyusul suamiku!" Habis berkata begitu Antini
kembali menjerit lalu menangis keras.
Nenek Tidar menghela nafas dalam lalu gelengkan kepala sambil membelai
rambut perempuan muda di hadapannya itu.
"Anakku, jika kau bunuh diri dan mati, berarti selesailah kejahatan yang
dilakukan oleh keempat manusia durjana itu. Kejadian pada hari terkutuk itu akan
dilupakan orang. Berarti mereka tidak akan pernah menerima pembalasan. Kau
seperti gila menghadapi kenyataan keji yang menimpa dirimu. Tapi apakah kau
tidak merasa gila untuk bertekad menuntut balas aas perbuatan terkutuk yang mereka
lakukan terhadapmu" Apakah kau tidak punya niat untuk membalas kematian
suaamimu"! Mereka telah membuat satu hari terkutuk bagimu. Apakah kau tidak
bertekad untuk balas memberikan hari-hari terkutuk pada mereka?"
Si nenek memmandang tak berkesip dan Antini hanya bisa tersandar diam
dengan meulut terkancing. Tetapi kedua metanya yang indah tibaa-tiba memancarkan
satu sinar menyeramkan. Sinar itu perlahan-lahan redup dan hilang. Kedua mata
itu kini tampak berkaca-kaca lagi.
Kemudain terdengar suara Antini berkata "Tentu saja Nek, siaa orangnya yang
tidak punya niat membalaskan sakit hati dendam kesumat. Api aku yang lemah ini
punya kemampuan apa" Jangankan aku, pasukan Kerajaan saja tidak mampu
menindak kelima manusia terkutuk itu."
Mutiara Hitam 2 Pengemis Binal 20 Asmara Putri Racun Si Rase Hitam 7
nenek. Mak diapun berlaku cerdik. Dia mulai keluarkan serangan-serangan tipuan
dangan tangan kanan sedanga angan kirir melancarkan serangan sungguhan.
"Tua bangka ini licik juga!" kata Wiro dalam hati. Dia membuat gerakan
mundur sebagai pancingan. Ketika lawan mengejar Wiro membungkukkan tubuhnya
lalu tangannya bergerak melancarkan jurus pukulan Kepala Naga Menyusup Awan.
Tangan kanannya mencuat ke atas, laksana seekor naga mematuk ke arah
tangan kanan si nenek. Perempuan tua ini berseru kaget dan cepat tarik tangan
kananya. Tapi terlambat. Lima ujung jari Pendekar 212 yang disusun rapat dan
dikeraskan telah lebih dulu menghujam di pergelangan tangannya.
Si nenek terpekik. Pisau yang dipegangnya terlepas dan cepat disambar oleh
Wiro. Sambil melompat mundur kesakitan, dengan mata melotot nenek itu
memandang tak berkesip pada Pendekar 212. Wiro sendiri kini tegak dangan tangan
kiri bertolak pinggang sedang tangan kanan menimang-nimang belati milik si
nenek. "Pemuda mesum! Siapa kau sebenarnya?" bertanya si nenek.
"Kau yang lebih tua coba katakana siapa dirimu sesungguhnya!" membalas
Wiro. Ucapan ini membuat si nenek jadi tidak enak. Dia berkata. "Saat ini aku
bersedia mengalah. Biar urusan kita anggap selesai. Kau boleh pergi. Biar aku
mengurus muridku itu."
Wiro tertawa. 'Maaf saja Nek. Aku terpaksa jual mahal sekarang! Kalau kau tidak mau
menerangkan siapa dirimu, juga mengatakan sengan jujur apa hubunganmu dengan
pemuda ini, terpaksa aku yang memintamu agar lekas-lekas minggat dari sini! Kau
harus pergi mencari tukang gunting untuk mencukur rambutmu yang jabrik itu!"
Si nenek tmapak marah sekali dan menjadi mengkelap.
"Siapa aku tidak bisa kukatakan. Tapi pemuda itu memang muridku!" jawab si
nenek hambpir berteriak.
Wiro menyeringai. "Kau boleh pergi dengan aman Nek!" katanya.
"Aku akan membawa serta muridku!"
"Tidak bisa!"
"Keparat! Kenapa tidak bisa"!"
"Aku tahu siapa muridmu sebenarnya!"
Si nenek melengak. "Maksudmu apa"!" bentak orang tua ini.
"Muridmu bukan seorang lelaki! Tapi seorang permpuan!"
Si nenek terpekik. Lalu seperti orang gila dia menyerbu ke arah Wiro. Di
tangan kanannya ada sebuah benda bulat. Benda ini dilemparkannya ke arah
Pendekar 212. Menyangka benda itu adalah senjata rahasia, Wiro cepat menghantam dengan
tangan kiri yang mengandung tenaga dalam tinggi. Terdengar suara letupan keras
yang disertai menebarnya asap hitam tebal. Wiro cepat melompat menjauhi. Tetapi
tempat sekitar situ sudah keburu tertutup asap tebal yang menghalangi
pemandangan. Tangan di depan matapun sulit untuk dilihat.
Ketika akhirnya asap hitam itu perlahan-lahan pupus dan keadaan di tempat
itu menjdai terang seperti semula, Wiro dan si nenek yang tegak saling berhadap-
hadapan menjadi terkejut. Pemuda yang pingsan di atas tanah tak ada lagi di
tempat itu! "Muridku lenyap! Kau yang punya gara-gara!" teriak si nenek marah sekali.
BASTIAN TITO 21 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Tua bangka goblok! Kalau kau tidak berlaku tolol melepas bola asap tadi
tidak akan terjadi urusan gila begini! Muridmu dilarikan orang salahmu sendiri!"
balik mendamprat Wiro. Saat itu matanya melihat ujung ranting di salah satu
semak belukar bergoyang-goyang. Lalu di ujung ranting ada secarik robekan kain. Ketika
ditelitinya dia merasa yakin itu adalah robekan pakaian pemuda yang pingsan
tadi. Berarti siapapun yang melarikan pemuda itu , orangnya lari ke jurusan sini.
Tanpa pikir panjang Wiro segera berkelebat mengejar. Si nenek tak tinggal diam. Dia
ikut berkelebat ke jurusan larinya Wiro. Jengkel merasa diikuti Pendekar 212 balikkan
tubuh dan tegak menghadang.
"Aku tak suka kau ikuti! Uusan bisa jdai salah kaprah kalau kau muncul di
mana aku muncul!"
"Pemuda sombong! Kemana aku pergi setanpun tidak bisa melarang! Apalagi
manusia sontoloyo macam kau!"
"Kalau begitu kau tetaplah di sini! Tua bangka jelek!" tukas Wiro. Dia
dorongkan kedua tangannya ke arah si nenek.
Perempuan tua itu berseru keras ketika dari arah Wiro menderu keluar angin
deras laksana topan prahara. Dia coba menerjang. Tapi tubuhnya terdorong keras.
Dia kerahkan seluruh kekuatannya luar dalam. Di depan sana Wiro sentakkan kedua
tangannya. Tak ampun lagi tubuh si nenek terpental jauh dan punggungnya
terbanting ke sabatang pohon. Dia coba lagi bergerak. Tapi badannya seperti menempel ke
batang poon itu. Sambil menggapai-gapai dia memaki panjang pendek. Namun Wiro
yang barusan melepaskan pukulan sakti bernama Benteng Topan Melanda Samudera
telah lenyap dari tempat itu. Sesaat kemudian dengan susah payah baru si nenek
berhasil melepaskan diri dari tekanan hawa sakti yang tadi dilepaskan Pendekar
212. Dia berkelebat ke arah lenyapnya Wiro. Namun nenek ini kembali terdengar memaki
ketika menyadari bahwa dia telah kehilangan jejak pemuda itu!
BASTIAN TITO 22 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TUJUH Pendekar 212 Wiro Sableng hentikan larinya di satu kaki bukit karena kehilangan
jejak orang yang dikejarnya. Sambil memandang berkeliling Wiro berkata dalam
hati. "Aneh, jejak orang itu sama sekali tidak terlihat di tanah yang becek. Tidak
mungkin orang itu lari tanpa menginjak tanah! Atau dia mempunyai kesaktian sehebat
Dewa?" Wiro memandang lagi berkelilig lalu menengadah ke atas memperhatikan pepohonan.
"Heh...."!" Mudrid Sinto Gendeng keluarkan suara keheranan. Beberapa akar
gantung pohon-pohon besar yang ada di tempat itu kelihatn bergoyang-goyang. Tak
ada angin yang bertiup, tidak kelihatan burung terbang juga tidak tampak bajing
atau binatang pohon lainnya. "Mustahil akar itu bergoyang kalau tidak ada yang
menyentuhnya....."
Wiro memutuskan masuk ke dalam rimba belantara di kaki bukit itu. Belum
lama dia bergerak di antara kerapatan pepohonan dan semak belukar tiba-tiba
didengarnya suara orang menarik nafas panjang berulang kali. Lalu ada suara
berkata. "Gila! Panas sekali hari ini!"
Murid Sinto Gendeng jadi melengak. "Siapa yang bicara"!" tanyanya dalam
hati seraya memandang kekiri dan kekanan.Tidak kelihatan orang yang berbicara
itu. "Hujan baru saja reda. Udara masih terasa dingin. Enak saja ada yang berkata
panas sekali hari ini! Dia yang gila agaknya!"
"Uhhh....Uhhh.... Panas betul!"
Terdengar lagi suara orang tadi. Kali ini daangnya dari arah serumpun semak
belukar di sebelah kanan. Wiro cepat bergerak ke arah semak belukar itu lalu
menyibaknya. "Sialan! Tak ada siapa-siapa di sini!" maki Pendekar 212 ketika dia tidak
menemui orang yang tadi bicara. Padahal jelas suaranya datang dari arah belik
semak belukar itu! "Uhh...Uhhh... Panasnya benar-benar gila! Tubuhku sudah mandi keringat!
Untung hujan tidak turun. Kalau turun pasti udara lebih panas lagi!"
"Benar-benar gila!" maki Wiro lagi. "Siapa yang bicara seperti itu"!" Dia
melangkah cepa ke arah kiri. Karena suara yang barusan didengarnya datang dari
balik sebatang pohon besar. Namun begitu sampai di balik pohon tetap saja dia
tidak menemukan siapapun! Murid Sinto Gendeng jadi garuk-garuk kepala. Dia berpikir
keras. "Orang yang barusan bicara jelas mempergunakan ilmu memindahkan suara.
Hingga suaranya terdengar datang dari satu jurusan tetapi dia sendiri tidak ada
di tempat itu. Tapi otaknya miring. Aku hendak dipermainkannya! Hemmm.... Orang
gila harus dilayani secara gila!" Wiro garuk-garuk lagi kepalanya. Lalu dia
mulai menceloteh. "Gila! Memang gila udara hari ini! Panas luar biasa. Matahari seperti di atas
batok kepala! Ah, ingin rasanya mandi di kali. Tapi air kalipun pasti panas!
Sialan!" Wiro diam. Suasana sunyi. Tapi tidak lama. Sesaat kemudian terdengar suara
orang tadi. "Nah apa kataku! Udara hari ini memang panas! Buktinya ada orang
gila yang barusan berucap begitu!"
"Sial dangkalan! Aku dikatakan gila!" Wiro bantingkan kaki. Tangan
kanannya diangkat lalu dipukulkan ke arah rerumputan semak belukar. Dari balik
semak belukar itu tadi datangnya suara yang mengatakannya orang gila.
"Braakkk!"
BASTIAN TITO 23 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Semak belukar mental berantakan terkena pukulan tangan kosong
mengandung tanaga dalam yang dilepaskan Pendekar 212. Tak ada suara keluhan
kesakitan, apalagi jeritan. Untuk beberapa lamanya murid Eyang Sinto Gendeng ini
jadi tegak terdiam di tempatnya. "Setan, aku benar-benar dipermainkan!"
Baru saja Wiro membatin serperti itu tiba-tiba orang tadi kembali terdengar
berucap. "Kekasihku, ada orang gila dalam hutan ini. Sebaiknya kita menyingkir
saja!" Suara terdengar tepat di atas kepala Pendekar 212. Wiro mendongak ke atas.
Astaga! Sekali ini rupanya orang yang bicara tidak menggunakan ilmu memindahkan
suara lagi. Karena suaranya yang dating dari atas dan ketika dilihat dan
ternyata dia memang ada di atas pohon. Yang mengejutkan Wiro ialah ketika menyaksikan bahwa
orang yang bicara dilihatnya duduk di ujung cabang sebatang pohon. Di tangan
kanannya ada sehelai kipas lipat yang tiada hentinya digoyang-goyangkannya ke
wajah yang penuh keringat!
Orang aneh ini mengenakan pakaian lucu. Celananya jelas terbalik. Bajunya
juga sengaja dipakai terbalik. Bagian belakang ditempatkan sebelah depan sedang
bagian depan yang ada kancingnya diletakkan di sebelah punggung! Mukanya bundar
merah dan tubuhnya gemuk bulat. Kedua matanya besar dan kepalanya memakai
sehelai peci hitam yang kupluk kebesaran.
Yang lebih membuat Wiro terkejut adalaj ketika menyaksikan, pemuda yang
tengah dicarinya ternyata ada di samping si orang aneh, masih dalam keadaan
pingsan dan punggung bajunya terkait pada ujung sebuah ranting. Tubuh ini tergantung
terkatung-katung dan bergoyang-goyang ke atas ke bawah! Kalau ranting yang
mangait bajunya patah, tak ampun lagi pemuda tersebut akan jatuh ke tanah.
"Manusia aneh. Kepandaiannya pasti luar biasa!" kata Wiro dalam hati sambil
garuk-garuk kepala. Lalu dai berseru. "Sobat di atas pohon! Hati-hati! Harap kau
turunkan sahabatku yang terkait di ujung ranting itu!"
Orang di atas pohon memandang ke bawah ke arah Wiro. Mulutnya
menyeringai. "Di atas dunia, orang gila tidak punya sobat tidak punya sahabat!"
katanya membalas seruan Wiro tadi.
"Edan!" maki Wiro dalam hati. "Orang di atas pohon! Kau melarikan
sahabatku masih bisa kumaafkan. Tapi kalau kau mempermainkan jiwanya di ujung
ranting itu dan samapai jatuh, aku akan menggebukmu sampai setengah mati!"
"Digebuk setengah mati itu justru enak! Yang tidak enak kan kalau digebuk
mati betulan!" jawab orang gemuk di atas pohon.
"Gemuk konyol!" teriak Wiro. "Kalau sudah mampus kau mana bisa
merasakan enak atau tidak enak!"
"Eh! Makianmu membuat udara tambah panas!" kata orang di aas pohon lalu
kembali berkipas-kipas. "Jangan berani memaki lagi! Nanti aku kipas!"
"Kalau kau tidak segera menurunkan sahabatku itu dari atas pohon aku akan
mengambilnya dan jangan menyesal kalau kau kebagian bogem mentah atau
tendangan dariku." Mengancam Wiro.
"Hidup delapan puluh tahun sekalipun aku tidak pernah menyesal. Lagi pula
siapa percaya kalau orang ini adalah sahabatmu. Bisa kau membuktikan"!" bertanya
si gemuk bulat di atas pohon.
"Persetan dangan urusan bukti membukti. Yang jelas kau telah melarikan
sahabatku itu. Kini kau mempermainkan jiwanya dan menggantungnya di ujung
ranting!" Dalam pada itu Wiro jadi terheran-heran. Orang gemuk di aas pohon
mengaku usianya delapan puluh tahun. Padahal melihat wajah dan keadaan kulit
badannya paling bantar dia berusia dua puluh lima tahun!"
BASTIAN TITO 24 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Ternyata kau bukan saja gila, tetapi juga tolol! Aku tidak merasa melarikan
orang ini!"
"Lalu bagaimana dia bisa tergantung di atas pohon sana. Dan kau juga ada di
pohon itu!"
"Soal sama-sama di satu pohon bisa saja merupakan kebetulan!" jawab orang
itu seenaknya lalu tertawa gelak-gelak yang membuat Wiro tambah jengkel.
"Bagaimana dia bisa tergantung di ujung ranting nanti kau bisa Tanya sendiri
padanya kalau dia sudah siuman! Sekarang kau lebih baik pergi! Ada lebih dari dua orang
di tempat ini embuat udara jadi tambah panas!" Lalu si gemuk di atas pohon kembali
berkipas-kipas.
"Kalau kau tidak mau menurunkan pemuda sahabatku itu, terpaksa aku naik
ke atas pohon!"
"Sudahlah, jangan banyak omong. Aku tahu kau ingin menolong orang ini
karena sebenarnya dia adalah kekasihmu. Paling tidak kau sudah tergila-gila padanya!
Jangan kira aku tidak tahu siapa adanya orang yang kau katakan pemuda ini!"
"Kunyuk berkopiah kupluk di atas pohon itu rupanya sudah tahu siapa adanya
pemuda itu. Jangan-jangan dia sudah menggerayangi tubuh perempuan itu!" Lalu
Wiro bertanya. "Hai! Bagaimana kau tahu kalau pemuda itu sebenarnya adalah
perempuan?"
Yang ditanya tersenyum-senyum lalu menjawab. "Ada dua buah bisul besar di
dadanyakiri kanan! Ha... ha... ha...!
Meskipun jengkel tapi Wiro tidak dapat menahan ledakan tertawanya
mendengar kata-kata orang di atas pohon. Selagi dia tertawa bergelak, orang
itupun ikut-ikutan tertawa. Tubuhnya bergoyang-goyang. Akibatnya ranting di mana pemuda
itu terkait ikut bergoyang-goyang. Wiro menahan nafas kawatir si pemuda akan
jatuh ke tanah. Karena tidak sabar lagi murin Eyang Sinto Gendeng segera melompat ke
atas. Tangan kirinya didorongkan ke arah si gemuk. Satu gelombang angin
menyambar. Dengan sigap Wiro pergunakan tangan kanannya untuk menyambar
sosok tubuh pemuda yang tergantung dalam keadaan pingsan di ujung ranting.
Orang gemuk berpakaian terbalik di atas pohon goyangan kaki kanannya.
Gerakannya acuh tak acuh. Tapi gerakan kaki itu tidak lain adalah satu serangan
berbahaya yang mengeluarkan dan mengarah rusuk kiri Pendekar 212. Mau tak mau
dia terpaksa mengelak. Akibatnya sambaran tangan kanannya ke tubuh pemuda
tergantung di ujung ranting menjadi gagal.
Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya Wiro kembali melompat.
Wiro Sableng 065 Hari Hari Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tangan kiri lepaskan pukulan Kunyuk Melempar Buah. Tubuh si gemuk tampak
bergoyang-goyang tapi hanya sesaat. Tiba-tiba dengan gerakan yang juga kelihatan
acuh tak acuh dia babatkan kipas di tangan kanannya ke bawah.
Murid Eyang Sinto Gendeng merassakan tubuhnya disambar angin sejuk. Lalu
satu gelombang angin yang dasyat luar biasa menghantamnya dari atas. Dia coba
bertahan. Kerahkan seluruh tenaga luar dan dalam. Tapi tidak berhasil. Tubuhnya
terbanting jatuh dan terjengkang di tanah!
Untuk beberapa saat lamanya Wiro terhenyak nanar. Ketika dia sadar cepat-
cepat dia jatuhkan diri dan berguling menjauh, kalau dalam keadaan seperti itu
orang di atas pohon menghantamnya kembali pasti dia celaka. Tapi si gemuk itu tidak
melancarkan serangan susulan malah kelihatan duduk bergoyang-goyang kaki sambil
berkipas-kipas dan malah kini sambil bersiul-siul.
Wiro memutar otak. "Kalau kulawan orang gila itu dengan kekrasan mungkin
aku akan menemui kesulitan. Jangan-jangan pemuda di ujung ranting itu juga bakal
celaka!" Wiro garuk-garuk kepala. Lalu dia mendongak dan berseru. "Pangeran!
Hari BASTIAN TITO 25 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
sudah hampir malam. Kalau malam dating hawa di sini tentu tambah panas.
Bagaimana kalau Pangeran segera kuantar pulang ke Istana dan pemuda itu biar aku
yang mendukungnya"!"
"Eh! Siapa yang memanggil aku dengan sebutan Pangeran!" Si gendut muka
bulat di atas pohon memandang kian ke mari celingak celinguk dengan sikap lucu
dan tentunya tidak lupa berkipas-kipas.
"Saya yang memanggil Pangeran. Hamba sahaya Pengeran!" jawab Wiro dari
bawah pohon. Si gemuk tertawa gelak-gelak. "Manusia kampret tolol! Aku bukan Pangeran.
Tapi seorang Raja Di Raja!"
"Ah! Maafkan hamba sahayamu ini Pangeran. Hamba sampai lupa kalau baru
kemarin saja kau telah diobatkan jadi Raja Di Raja," kata Wiro sambil menahan
geli. "Bagaimana Sri Baginda" Kita pulang sekarang" Permaisuri tentu sudah tak sabar
menunggu Sri Baginda di atas tilam...."
"Lagi-lagi kau kampret tolol! Kau tahu aku Raja bujangan! Belum kawin!
Belu punya permaisuri! Mungkin.... Mungkin dia akan kujadikan permaisuri!" kata si
gemuk sambil menunjuk dengan ujung kipas pada pemuda yang masih pingsan dan
dikaitkannya di ujung ranting.
"Ah, lagi-lagi hamba berlaku tolol! Orang itu memang pantas menjadi
permaisuri Sri Baginda. Tapi dia dalam keadaan terluka. Apakah Sri Baginda tidak
akan membawanya turun lalu mengobatinya lebih dulu"!"
Si gemuk tampak terkejut. Dia memeriksa sekujur tubuh pemuda di ujung
ranting. "Astaga! Kampret kau betul! Calon permaisuriku ini terluka bahu
kirinya. Harus diobati dengan cepat........."
"Izinkan hamba membawa turun sang permaisuri itu Sri Baginda," kata Wiro.
"Kampret! Aku tidak percaya padamu! Aku tidak mau permaisuriku disentuh
makhluk macammu!" jawab si gemuk. Lalu dia berkipas-kipas tiga kali berturut-
turut. Setelah itu dia ulurkan tangan kirinya untuk mencekal leher pakaian si pemuda.
Dengan satu gerakan yang enteng mengagumkan orang gemuk ini melayang turun
sambil membimbing tubuh si pemuda!
Begitu ampai di bawah si gemuk membaringkan tubuh si pemuda di tanah.
Dia berpaling pada Wiro. "Hamba sahayaku!" katanya.
"Saya Sri Baginda..."
"Dari atas kulihat tampangmu jelek! Sudah dekat begini justru malah tambah
jelek! Wiro melengak jengkel tapi geli juga ada. Sambil garu-garuk kepala dia
berkata. "Sri Baginda, kita harus segera kembali ke Istana. Sebagai hamba
sahaya, saya bersedia memanggul tubuh permaisuri. Tapi jika Sri Baginda belum percaya,
silahkan pergi, apakah Sri Baginda tidak akan bersantap sekedar mengisi perut
lebih dulu" Istana kita cukup jauh dari sini."
"Istana kita cukup jauh dari sini katamu" Hemm..... Betul. Sekali ini kau betul
kampret! Lalu santapan apa yang hendak kau berikan padaku?"
Di dekat sini ada sebatang pohon yang menghasilkan sejenis buah yang sangat
manis. Dengan izin Sri Baginda saya akan pergi mengambilnya barang sua tiga
buah..." "bagus , pergilah cepat!" kata si gemuk yang menganggap dirinya sebagai aja
Di Raja. Wiro cepat menyelinap di antara semak belukar. Di satu tempat sebelumnya
dia telah melihat sebuah pohon yang berbuah merah. Dia tidak tahu nama buah itu
namun dia tahu kalau buah yang rasanya enak dan sangat manis itu kalau dimakan
BASTIAN TITO 26 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
maka dalam waktu beberapa saat saja orang yang memakannya akan mulas perutnya
lalu akan bocor terus-terusan sampai isi perutnya kosong!
Tapi baru saja Wiro bergerak dua langkah si gendut tiba-tiba terdengar
memanggil. "Tunggu!"
"Sial! Apa lagi maunya si gendut ini. Atau mungkin dia tahu kalau hendak
ditipu"!"
BASTIAN TITO 27 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN Wiro hentikan langkah dan berbalik. "Ada apa Sri Baginda memanggil saya?"
tanaya Wiro. "Permaisuriku....."
"Kenapa dengan permaisuri Sri Baginda?" Tanya Wiro
"Kampret! Tadi kau bilang permaisuriku terluka dan harus segera diobati!"
"Ah, maafkan hamba Sri Baginda. Apakah Sri Baginda segera hendak
memeriksa lukanya?"
"Coba kau telungkupkan tubuhnya! Tapia was kalau kau coba meraba-raba
tempat-tempat yang terlarang!
Wiro menyeringai. "Masakan hamba berani berlaku kurang ajar terhadap
seorang calon permaisuri!" kata Wiro pula. Lalu dengan hati-hati tubuh si pemuda
dibalikannya hingga kini terbujur menelungkup. Si gendut jongkok di samping
kiri. Dengan ujung kipasnya dikuakkannya pakaian yang robek di bahu kiri. Kelihatan
luka yang cukup dalam di bahu itu.
"Hemm...... Kalau aku tahu siapa orang yang melukai bahu calon
permaisuriku ini, akan kupatahkan batang lehernya!" kata si gendut. Lalu dia
berlutut dan angkat tangan kanan yang memegang kipas. Perutnya yang gendut tampak
mengempis. Wiro maklum kalau orang ini tengah mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya. "Srettt!"
Kipas di tangan si gendut membuka lalu kipas ini diusapkannya kesekujur
tubuh si pemuda yang tertelungkup, mulai dari kepala sampai ke ujung kaki.
Selesai mengusap si gendut lipat kembali kipasnya dan selipkan benda ini di pinggang
celananya yang terbalik.
Masih dalam keadaan berlutut si gendut kemudian usap-usapkan tangannya
satu sama lain. Ketika telapak tangan itu diangkat Wiro melihat warna kulit
telapak kanan telah berubah menjadi sangat merah dan mengeluarkan asap. Ada hawa dingin
keluar dari telapak tangan kanan itu yang terasa sampai tempat Wiro berdiri.
Perlahan-lahan si gendut menurunkan tangan kanannya. Telapak tangan kanan
ditempelkan di luka pada bahu kiri si pemuda. Kemudian perlahan-lahan tangan itu
diangkat. Ketika tangan kanan diangkat, Wiro jadi melengak. Luka di bahu kiri si
pemuda sembuh sama sekali. Bahkan bekasnyapun tak kelihatan. Meski sudah
sembuh tapi si pemuda masih tetap tertelungkup pingsan.
"Si gendut gila ini benar-benar memiliki kesaktian seperti Dewa!" kata Wiro
dalam hati penuh kagum. "Siapa dia sebenarnya. Eyang rasa-rasanya tak pernah
menceritakan tentang manusia satu ini...." Lalu Wiro bertanya. "Sri Baginda,
apakah sekarang hamba boleh pergi mengambil buah untuk santapan Sri Baginda itu?"
"Ya, kau boleh pergi sekarang...." Jawab si gendut tanpa mengalihkan
pandangannya dari sosok tubuh si pemuda yang tergeletak di tanah.
Wiro segera berlalu. Tak lama kemudian dia muncul membawa tiga buah
berkulit merah dan keras. Wiro pecahkan buah pertama. Kelihatan isinya yang
putih dan menebar bau harum. Tenggorokan si gendut kelihatan turun naik. Begitu Wiro
menyerahkan buah itu serta merta dimakannya sengan rakus sampai mulutnya
mengeluarkan suara menyiplak.
"Enak sekali. Manis sakali! Buah apa ini namanya" Tanya si gendut. Sebentar
saja buah pertama itu sudah lenyap ke dalam perutnya. Dia mengulurkan tangan
minta BASTIAN TITO 28 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
buah kedua. Wiro segera memberikan buah kedua. "Ah luar biasa sedapnya!" kata si
gendut dengan mata sampai terbalik-balik.
"Satu lagi Sri Baginda......"
Si gendut mengangguk tapi kepalanya kelihatan miring ke kiri dan matanya
kini terbalik-balik lain, tidak seperti tadi lagi. Tiba-tiba dia letakkan kedua
tangan di atas perut. "Mulas! Perutku mulas!" Kampret! Buah apa yang kau berikan padaku?"
Si gendut hendak marah. Tapi perutnya yang mulas tidak tertahankan membuat dia
salah tingkah. "Sialan!" teriaknya.
"Ikuti hamba Sri Baginda. Ada tempat yang aman untuk buang hajat..." kata
Wiro lalu ditariknya tangan si gendut dan dibawanya menyusup ke balik beberapa
semak belukar. Di balik serumpunan semak belukar lebat dia berhenti. "Nah di
sini tempat yang baik Sri Baginda. Tak ada yang melihat Raja buang hajat besar di
sini...." "Eh, kau mau kemana?" Tanya si gendut sambil melorotkan celananya.
"Hamba akan mencari air untuk pembersih Sri Baginda!" jawab Wiro.
"Tak usah air. Daun saja!" kata si gendut pula. Lalu mulai jongkok.
"Daun di hutan ini kebanyakan ada bulunya Sri Baginda. Hamba takut nanti
selangkangan Sri Baginda jadi lecet dan Sri Baginda punya perabotan menjadi
bengkak dan gatal!"
"Ah sudah ! Pergi sana! Jangan lama-lama...."
Si gendut mengerenyit. Perutnya mulas sekali tapi yang mau dikeluarkan seperti
macet. Begitu lenyap dari pemandangan si gendut Pendekar 212 Wiro Sableng segera
lari ke tempat di mana pemuda tadi masih tergeletak pingsan. Dengan cepat
dipanggulnya tubuh pemuda itu lalu berkelebat lenyap di balik kerapatan
pepohonan dan semak belukar.
Di sebelah timur di bagian hutan yang sunyi Wiro henikan larinya. Saat itu
sudah memasuki rembang petang. Dia melihat pemuda itu mengerakkan kepalanya
sedikit ketika dibaringkan di tanah.
"Aku harus benar-benar memastikan dia memang permpuan..." kata Wiro
dalam hati. Lalu murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini menganggalkan
kain penutup kepala si pemuda. Begitu kepalanya tersingkap kelihatanlah
rambutnya yang hitam panjang. Wiro membelai rambut itu dan menariknya dengan hati-hati.
Ternyata rambut itu panjangnya sampai ke pinggang. Dan wajah si pemuda kini
kelihatan aslinya. Wajah seorang permepuan muda berparas cantik sekali.
"Hemmm...." Wiro garuk-garuk kepala. Selagi dia berpikir-pikir apa yang
akan dilakukannya tiba-tiba perempuan itu membuka kedua matanya. Pandangannya
membentur Wiro. Mulutnya terbuka hendak menjeri. Wiro cepat menekap mulutnya
seraya berkata. "Saudara jangan takut. Aku bukan orang jahat. Aku seorang
sahabat.... Tekapanku akan kulepaskan. Tapi ingat, jangan menjerit...." Wiro kawatir kalau
ssampai perempuan itu mengeluarkan jeritan akansempat terdengar si gendut gila
berkepandaian tinggi itu. Wiro belum lepaskan tekapannya karena dirasakannya
mulut perempuan itu bergerak-gerak entah hendak mengatakan sesuatu entah hendak
berteriak. "Dengar namaku Wiro Sableng. Aku menemukanmu di kali sewaktu kau
diserang oleh tiga orang yang aku tidak kenal....."
Sepasang mat aperempuan itu terpejam sesaat. Perlahan-lahan Wiro
melepaskan tekapannya. Perempuan itu coba mengingat-ingat apa yang terjadi
sebelumnya. Lalu tangan kanannya meraba ke bahu kiri. Wiro cepat berkata. "Waktu
BASTIAN TITO 29 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
kau melompat ke dalam perahuku, salah seorang penyerang berhasil melukai bahu
kirimu. Tapi sekarang luka itu sudah sembuh. Ada seorang sakti yang
mengobatimu!"
"Orang sakti" Bukan kau...?" Tanya perempuan itu dengan suara halus
perlahan. "Bukan, aku idak memiliki ilmu sehebat dia...."
"Sekarang dimana orang sakti itu...?"
"Jauh di dalam hutan sana. Aku sengaja membawamu lari daridia karena dia
hendak mengambilmu jadi permaisuri...."
Perlahan-lahan perempuan itu bangkit dan duduk di tanah. "Kau jangan bicara
ngacok!" "Aku tidak ngacok Saudari," jawab Wiro. "Aku akan ceritakan padamu apa
yang telah terjadi setelah kau jatuh pingsan dihantam batangan pohon. Tapi aku
ingin kau memberi tahu namamu lebih dulu...."
"Saudari...."!" Tiba-tiba perempuan itu saperti ingat sesuatu. Diraba
kepalanya. Baru disadarinya rambutnya yang hitam panjang telah tersingkap dan
tergerai lepas. Sesaat wajahnya tampak berubah. Dia juga ragu-ragu untuk
mengatakan namanya. "Jangan-jangan kau adalah kaki tangan Kebo Panaran dan
kawan-kawannya...."
"Siapa Kebo Panaran?" Tanya Wiro.
Yang ditanya tidak menjawab. Dia memandang jauh ke depan. Lalu tampak
kedua matanya berkaca-kaca. Tidak dapat membendung tangisnya akhirnya
perempuan muda ini menangis. Mula-mula perlahan, tapi lama-lama tangisnya jadi
keras. Wiro melangkah bingung mundar mandir sambil garuk-garuk kepala. "Saudari
hentikan tangismu. Kalau terdengar oleh orang itu urusan bisa jadi berabe. Aku
tak akan sanggup lagi menolongmu!"
Perempuan muda yang duduk di tanah mengusap pipi dan kedua matanya.
Suara tangisnya perlahan-lahan menyurut. "Aku tak mampu mengingat lagi...
Ceritakan apa yang terjadi selama aku pingsan."
Wiro lalu menuturkan apa yang terjadi yatiu sejak dia melihat permpuan itu
diserang oleh tiga penunggang kuda samapi dia diculik oleh si gendut gila dan
akhirnya berhasil dilarikan oleh Wiro sampai ke tampat itu.
"Kau telah menolongku. Aku tak athu harus berterima kasih begaiman. Aku
ingin segera meninggalkan tempat ini..."
"Kita bisa pergi sebentar lagi. Kau tak ingin menceritakan mengapa
sebelumnya kau menyamar sebagai seorang pemuda?"
Perempuan itu meraba rambutnya kembali. "Orang-orang yang menyerangku
di pinggir kali, salah satu diantaranya adalah manusia terkutuk Kebo Panaran
itu. Dua lainnya Bargas Pati dan Legok Ambengan. Manusia-manusia jahanam! Aku
Wiro Sableng 065 Hari Hari Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersumpah untuk membunuh mereka..."
"Rupanya ada satu perkara besar antara kau dangan orang-orang itu?"
Perempuan itu mengangguk. "Perkara besar. Amat besar," katanya perlahan.
"Jika kau tidak mau menceritakan tidak jadi apa. Tapi aku punya firasat kau
berada dalam bahaya besar..."
Perempuan itu terdiam sesaat. "Sejak dilahirkan aku sudah hidup dalam
bahaya. Kedua orang tuaku tewas dalam perang saudara. Selama masa peperangan
aku dibawa ke mana-mana. Setelah aku kawin ternyata hidupku tidak terlepas dari
bahaya..."
'Maafkan aku, aku kira kau masih gadis..." kata Wiro sambil tersenyum dan
menggaruk kepala. Ucapan ini membuat perempuan di hadapannya menjadi merah
BASTIAN TITO 30 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
parasnya. Wiro segera mengalihkan pembicaraan. "Kau ingin kita segera pergi dari
sini sekarang juga?"
"Tunggu, ada hal penting yang ingin kutanyakan. Tentang nenek berjubah
hitam dan berambut kasar itu. Ketika kau berkelahi dengan dia apakah kau
menciderainya?"
"Tidak. Ada keraguan pada diriku saat itu. Kawatir kalau dia memang
gurumu..."
"Dia memang guruku walau hanya sempat mengajarku lima silat selama tiga
bulan..." kata perempuan muda itu pula. "Aku harus segera mencarinya. Aku butuh
bantuannya menghadapi tiga manusia terkutuk itu."
Wiro hanya berdiam diri. Perempuan di depannya menatap wajahnya beberapa
lama lalu bertanya. "Kau kecewa kalau aku tidak mau menceritakan siapa diriku
dan apa yang telah terjadi padaku?"
Wiro hanya tersenyum dan gelengkan kepala.
"Kurasa kau orang baik dan mungkin bisa kupercaya. Baiklah, akan kukaakan
siapa diriku. Namaku Antini. Suamiku Lor Kameswara. Tapi dia sudah tewas.
Dibunuh secara keji oleh Kebo Panaran dan tiga kawannya...."
BASTIAN TITO 31 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEMBILAN Bukit kecil subur itu terletak di sebelah barat Kali Bogowonto, tak berapa jauh
dari Banyuurip. Di sebuah rumah seorang lelaki berusia sekitar setengah abad
tengah membersihkan biji-biji kopi dalam tiga buah keranjang besar. Dia telah melakukan
pekerjaan itu sejak pagi. Kelihatannya pekerjaan ringan saja tetapi cukup
melelahkan dan membuat tubuhnya pegal serta keringatan.
Karena tenggorokannya terasa kering lelaki ini mengambil kendi tanah berisi
air putih lalu meneguknya. Selagi dia meneguk air inilah kedua matanya melihat
lima orang penunggang kuda muncul di kaki bukit sebelah barat dan bergerak ke arah
rumahnya. Tak berapa lama kemudian muncul lima penunggang kuda itu sudah
memasuki halaman. Ternyata mereka empat orang lelaki berpakaian kumal berambut
panjang riap-riapan dan bertampang sangar. Yang satu lagi seorang perempuan
berpakaian dan berikat kepala kuning. Wajahnya tak kalah seram dengan empat
lelaki itu. Kelima penunggang kuda berhenti di depan rumah lalu turun dari kuda
masing-masing. Yang sebelah depan yaitu yang berubuh tinggi hitam, berewok dan
berkumis tebal berdiri berkacak pinggang sementara tiga lainnya tegak sambil
menyeringai. "Lor Kameswara! Kau tidak mengenali kami lagi"!" Tanya si berewok dengan
suara lantang. "Astaga! Kalau tidak mendengar suaramu aku hampir lupa! Kebo Panaran!"
menyahut lelaki di dalam rumah lalu melompat berdiri, menubruk dan merangkul si
tinggi hitam berewok. Dia juga memeluk empat orang lainnya sambil menyebut nama
mereka satu persatu. "Bargas Pati, Tunggul Anaprang, Legok Ambengan dan Ambar
Parangkuning!"
Orang yang terakhir yakni perempuan berbaju kuning yang pada pinggangnya
bergelantungan selusin pisau belati tertawa tinggi lalu berkata. "Tidak salah
kalau dia tidak mengenal kita lagi. Habis, tampang dan pakaian kita dekil lecak seperti
ini! Hik...hik...hikkk!
Empat kawannya menyeringai sedang si pemilik rumah yang bernama Lor
Kameswara tertawa lebar. Dia mempersilahkan kelima orang itu masuk dan duduk di
atas sehelai tikar lebar.
"Kau kelihatan hidup tentram di sini Lor Kameswara," kata lelaki bernama
Bargas Pati. Kepalanya botak. Tubuhnya gemuk. Dia mengenakan pakaian dan ikat
kepala serba merah.
Yang bernama Legok Ambengan ulurkan kepalanya ke dekat keranjang kopi.
"Kau sudah jadi petani kopi rupanya. Dan sedang panen! Wah, kami datang tepat
pada waktunya untuk dapat menikmati kopi hasil kebunmu!"
"Jangan kawatir. Akan ku buatkan kopi untuk kalian berlima," kata Lor
Kameswara. Lalu di bertanya "Selama ini kemana saja kalian menghilang?"
"Siapa bilang kami menghilang!" kata Kebo Panaran sambil mengusap
berewoknya. Dia berpaling pada kawan yang duduk di sebelahnya. "Legok, coba kau
katakana pada bekas pimpinan kita ini apa saja yang kita lakukan selama ini!"
Legok Ambengan yang berpakaian serba hijau dengan dua golok tersisip di
pinggangnya kiri kanan bersandar ke dinding rumah. Sambil melunjurkan kedua
kakinya dia berkata "Satu bulan setelah pertemuan kita terakhir, kami berhasil
BASTIAN TITO 32 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
menjebak serombangan pasukan kerajaan. Mereka berjumlah dua belas orang dan
membawa barang-barang cukup berharga. Setelah itu kami berhasil menyusup masuk
ke dalam rumah kediaman Pangeran Blorong. Sejumlah harta dan uang kami rampas.
Bahkan dua orang selir sang Pangeran sempat kami ajak berkeliling selama dua
bulan. Kami juga sempat bergabung dengan para penjahat di hutan sebelah utara. Kami
berhasil mengumpulkan sejumlah harta kekayaan. Digabung dengan yang kita
dapatkan di masa perang tempo hari, kita berlima, berenam dengan kau boleh
dibilang sudah jadi orang-orang kaya baru..."
"Kalau begitu kalian semua bisa menjalani hidup senang, tak perlu bekeliaran
lagi" kata Lor Kameswara.
"Maunya memang begitu" menyahuti Kebo Panaran. "Tapi kami merasa
peperangan belum selesai. Itu pula sebabnya kami dating menemuimu. Kau bekas
pimpinan kami di masa perang. Sampai saat ini kami tetap menganggapmu sebagai
pemimpin. Kami datang untuk minta kau pimpin kembali guan melanjutkan
perjuangan"
Sesaat Lor Kameswara seperti tercengang mendengar kata-kata bekas anak buahnya
itu. "Kawan-kawan, sakit hai kita terhadap Raja yang sekarang memang tak bisa
lenyap samapi kapanpun. Tetapi adalah sanagat berbahaya kalau kalian menjalani
hidup sebagai penjahat dan perampok malah berani memasuki tempat kediaman
Pangeran Blorong menculik dua selirnya dan membunuh pasukan kerajaan. Kalian
akan jadi sasaran pengejaran seumur hidup. Kalian bisa celaka. Kita semua bisa
celaka!" "Kau kedengarannya seperti takut pada kerajaan, Lor Kameswara. Mana
keberanian yang pernah kau tunjukkan di masa perang dahulu?"
"Kebo Panaran, sekarang keadaan sudah berubah," kata Lor Kameswara pula.
"Maksudmu berubah bagaimana?" Tanya Legok Ambengan. "Apanya yang
berobah. Kau bilang perang sudah berakhir. Kami mengatakan tidak!"
"Kau keliru Legok. Perang nyata-nyata telah berakhir sejak jatuhnya Sri
Baginda yang lama tewas di tangan Raja yang sekarang memerintah. Ini kenyataan
yang tidak bisa dipungkiri sahabat-sahabatku!"
Kebo Panaran tertawa. "Kau keliru Lor Kameswara. Apa kau tidak tahu
bagaimana sisa-sisa perajurit kerajaan yang masih setia dengan Raja lama kini
menyusun kekuatan. Di mana-mana mereka melakukan perang susup atau perang
gerilya. Walau sedikit demi sedikit tetapi secara pasti mereka menggerogoti
kekuatan Kerajaan hingga satu ketika akan lumpuh dan hancur!"
"Kekuatan pasukan yang setia pada Sri Baginda lama terlalu kecil. Terpencar-
pencar. Mereka mudah dihancurkan oleh pasukan Kerajaan."
Kebo Panaran geleng-gelengkan kepala. "Buktinya sampai saat ini pasukan
Kerajaan tidak mampu menghancurkan kami berlima!"
"Mungkin sekarang tidak sahabatku! Ta pi percayalah. Kerajaan sekarang
benar-benar kuat. Mereka memiliki perajurit yang terlatih, perwira yang tangguh
seta dibantu oleh belasan tokoh-tokoh silat tingkat tinggi..."
"Itu betul," memotong Bargas Pati. "Tetapi apakah kita akan jadi patah
semangat hanya karena kelemahan yang tidak berarti itu" Kita bisa mengumpulkan
harta dan uang untuk membeli atau membuat senjata. Untuk menggembleng semua
perajurit kita bahkan kalau perlu membeli perwira dan okoh silat Kerajaan!"
"Aku yakin tidak semudah itu melakukannya sahabat-sahabat," kata Lor
Kameswara pula.
"Sudahlah, tak usah kita ributkan lagi soal apakah perang sudah selesai atau
belum. Yang jelas kami minta kau jadi pemimpin kami kembali. Kita akan
BASTIAN TITO 33 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
kumpulkan kawan-kawan. Bentuk pasukan baru. Kita pasti menang Kameswara."
Yang bicara adalah Ambar Parangkuning.
Di masa perang saudara antara Ambar Parangkuning dan Lor Kameswara
terjalin hubungan mesra. Tapi hubungan itu keburu diketahui oleh istri Lor
Kameswara sehingga perempuan ini dalam marahnya melarikan diri. Malang baginya
di tengah jalan dia diserang penyakit menular dan akhirnya menemui ajal. Lor
Kameswara merasa sangat bersalah dan berdosa besar. Setelah perang selesai dia
sama sekali tidak mau melanjutkan hubungan dengan Ambar Parangkuning walau
perempuan ini sebenarnya sangat mengharapkan untuk diambilnya jadi istrinya. Lor
Kameswara sendiri kemudian mengucilkan diri di tempat sepi.
"Maafkan aku Ambar," menjawab Lor Kameswara. "Aku sudah terlalu tua
memimpin satu perjuangan yang sia-sia. Kebo Panaran bisa kalian jadikan pemimpin
baru. Aku ingin di sisa usiaku menikmati hidup yang tenteram..... Aku akan
hidangkan kopi untuk kalian." Lalu Lor Kameswara berdiri dan masuk ke dalam
rumah. Tak berapa lama kemudian dia keluar lagi membawa sebuah nampan kayu. Di
atas nampan terdapat enam buah cangkir tanah dan sebuah teko besar berisi kopi
panas. Di atas nampan itu masih ada sebuah piring kaleng besar berisi pisang
goreng. Kepulan asap kopi yang harum serta sedapnya bau pisang goreng membuat air liur
kelima orang itu jadi berdecak.
Hidung mereka kembang kempis. Dan mata mereka tiba-tiba saja menjadi
membesar. Seorang perempuan sanga muda, mungkin masih gadis, berkulit kuning
langsa dan berwajah cantik sekali serta memiliki potongan tubuh yang menggiurkan
melangkah di belakang Lor Kameswara. Orang-orang itu bertanya-tanya siapa adanya
si jelita yang menurut dugaan mereka berusia sekitar dua puluh tahunan itu.
Kebo Panaran mengusap berewoknya. Kedua matanya tak berkesip. Tunggul
Anaprang membasahi bibir dangan ujung lidah berulang kali sedang Legok
Ambengan dan Bargas Pati seperi orang tersirap sihir, memandang tak bergerak dan
tak berkedip. Ambar Parangkuning tampak tenang saja. Namun diam-diam dalam
dadanya muncul satu getaran rasa cemburu.
"Tidak kusangka kau menyimpan seorang dara jelita di rumah ini, Lor
Kameswara!" kata Kebo Panaran pada Lor Kameswara tetapi matanya memandang
pada perempuan itu dengan pandangan mata seperti hendak menelanjangi.
"Kami tahu dari istrimu dulu kau tidak memiliki anak. Siapa gerangan
bidadari ini Kameswara?" Tanya Tunggul Anaprang pula sambil mengusap muka
yang pucat berulang kali.
Lor Kameswara tersenyum. "Ini Antini, istriku...." Menerangkan Lor
Kameswara. Karena tidak menduga sama sekali, karuan saja keempat lelaki itu jadi terkejut
dan ada yang keluarkan seruan tertahan. Sementara itu paras Ambar Parangkuning
kelihatan berubah.
"Istrimu katamu Kames?" Tanya Bargas Pati.
"Betul...?" Lor Kameswara meletakkan nampan di lantai yang beralaskan
tikar. Kelima kawannya jadi saling pandang.
"Kini aku tahu. Rupanya ini sebabnya. Kau tak mau lagi meneruskan
perjuangan, tak mau lagi ikut perang karena kini kau sudah punya istri cantik
jelita!" kata Kebo Panaran.
"Boleh saja kau bilang begitu. Tapi alasanku tadi sudah kukatakan. Aku ingin
hidup tenteram...."
Tunggul Anaprang menyeringai. "Usia kalian pasti terpaut jauh. Istrimu ini
sebenarnya pantas jadi anakmu! Ha... ha... ha!"
BASTIAN TITO 34 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Paras istri Lor Kameswara jadi merah mendengat kata-kata itu. Lor
Kameswara sendiri merasa tidak enak dengan ucapan Tunggul Anaprang tadi. Namun
dia tenang saja. "Antini masih keponakan mendiang istriku. Dia anak baik. Kami
tahu perbedaan umur kami yang menyolok. Tetapi dia merasa berjodoh denganku. Kalau
tidak ada dia, siapa yang akan merawat tubuh keropok ini!"
"Kau benar-benar tua bangka yang beruntung..." kata Legok Ambengan
sementara Lor Kameswara menyuruh istrinya menuangkan kopi hangat ke dalam
enam cangkir tanah.
"Selagi masih hangat silahkan kalian minum kopinya. Juga pisang gorengnya
agar dicicipi," mempersilahkan tuan rumah.
Namun tidak ada satu orangpun yang bergerak. Kecuali Ambar Parangkuning,
leleaki yang lima itu sama memperhatikan Antini melangkah masuk ke dalam rumah.
Betisnya yang putih bagus dan tersingkap ketika melangkah membuat para lelaki
yang selama ini hanya berada dalam rimba belantara menjadi terangsang dan
berangan-angan kotor. Beberapa lama kemudian baru mereka meneuk minuman
masing-masing. "Sedap sekali kopi buatan istrimu," memuji Legok Ambengan. "Kapan aku
bisa mendapatkan istri seperti istrimu itu!" Ucapan lelaki ini membuat kawan-
kawannya yang lain tertawa bergelak. Tetapi mereka sebenarnya tengah tenggelam
dalam jalan pikiran masing-masing. Ketika Kebo Panaran memandang padanya,
Legok Ambengan kedipkan mata kirinya. Kebo Panaran yang maklum akan arti
kedipan mata itu membalas dengan seringai. Tiba-tiba Kebo Panaran berdiri. "Aku
ingin mencuci muka. Wajahku terasa lengket oleh debu jalanan. Di mana letak
sumur?" "Di halaman belakang. Mari kuantar," kata Lor Kameswara pula.
"Tak usah, aku bisa pergi sendiri!" Lalu Kebo Panaran bergegas masuk ke
dalam rumah, terus menuju halaman belakang. Tetapi sebenarnya bukan mencari
sumur itu yang hendak dilakukannya. Melainkan dia ingin melihat Antini yang
cantik jelita tadi, yang telah membakar aliran darahnya.
Istri Lor Kameswara itu ternyata berada tidak jauh dari sumur di halaman
belakang, tengah menampi beras membelakanginya. Begitu samapi di dekat Antini ,
langsung saja perempuan ini disergap dirangkulnya. Tentu saja perempuan ini
terkejut dan terpekik keras. Tampian beras yang dpegangnya terlepas jatuh dan beras
berserakan di tanah.
Di serambi depan Lor Kameswara melompat dari duduknya begitu mendengar
suara jeritan istrinya dari belakang rumah. Namun baru saja dia hendak berdiri,
Bargas Pati, Legok Ambengan dan Tunggu Anaprang telah mendahului dan tegak
mengurungnya. Hanya Ambar Parangkuning yang masih tetap duduk di atas tikar.
Perempuan ini sebenarnya sudah maklum apa yang terjadi di belakang sana dan apa
Wiro Sableng 065 Hari Hari Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang hendak dilakukan tiga kawannya itu. Hatinya sebenarnya tidak suka namun
kebencian karena merasa dilupakan begitu saja oleh Lor Kameswara membuat dia
tidak melakukan apa-apa.
Di belakang sana kembali terdengar jeritan Antini.
"Minggir!" bentak Lor Kameswara sambil berdiri. Tapi Legok Ambengan
cepat menekan kedua bahunya dari belakang.
"Kau hendak kemana Kameswara" Tenang-tenang saja di sini. Obrolan kita
belum selesai...' kata Legok Ambengan. Lor Kameswara merasa kedua bahunya
seperti ditekan oleh dua batu besar yang beratnya puluhan kati. Jelas Legok
Ambengan telah mengerahkan tenaga dalamnya.
"Singkirkan kedua tanganmu Legok!" bentak Lor Kameswara.
BASTIAN TITO 35 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Tidak, kecuali kalau kau mengatakan akan bersedia menjadi pimpinan kami
lagi dan berperang melawan Kerajaan!"
Di halaman belakang lagi-lagi terdengar jeritan Antini.
"Keparat! Aku tahu ada maksud kotor dan busuk dalam diri kalian berlima!
Awas! Jika terjadi sesuatu dengan istriku kalian semua akan kubunuh!" Habis
berkata begitu Lor Kameswara tarik kedua tangan Legok Ambengan yang masih menekan
bahunya lalu sambil menjatuhkan diri dia membetot orang yang di belakangnya itu.
Gerakan Lor Kameswara secepat kilat dan daya tariknya luar biasa. Orang lain
pasti akan terbetot dan terbanting ke lantai. Tapi tidak demikian dengan Legok
Ambengan. Tubuhnya memang terbanting ke depan tapi tidak sampai terhampar di lantai
serambi. Kedua kakinya membuat gerakan cepat dan dia berhasil tegak, bersamaan dengan
bangkitnya Lor Kameswara.
Karena Legok Ambengan perlu saat untuk mengimbangi dirinya, maka
kesempatan ini dipergunakan oleh Lor Kameswara untuk menghantam lelaki ini
dengan satu jotosan keras kea rah dadanya.
"Bukkk!"
Legok Ambengan terlempar. Dari mulutnya keluar seruan kesakitan disusul
dengan mengucurnya darah dari mulut. Jelas dia mengalami luka di dalam yang
parah. Tetapi manusia ini seperti mempunyai kekuatan aneh. Secara luar biasa dia
menerjang ke depan sambil menyemburkan darah yang ada dalam mulutnya ke muka Lor
Kameswara. Ludah campur darah menodai wajah Lor Kameswara.
Mendidih darah bekas perwira Kerajaan ini. Didahului bentakan keras Lor
Kameswara kembali hendak menggasak orang di depannya itu. Namun dari kiri kanan
saat itu Tunggul Anaprang dan Bargas Pati bergerak cepat dan lancarkan serangan
tangan kosong yang dahsyat.
Sebagai seorang bekas perwira Kerajaan Lor Kameswara memang memiliki
kepandaian tinggi disbanding dengan kawan-kawannya seperjuangan dulu. Namun
dikeroyok tiga membuat dia serta merta terdesak.
"Aku tidak harus melayani masing-masing keparat ini. Aku harus menolong
Antini. Sesuatu terjadi di belakang sana!" kata Lor Kameswara dalam hati. Kaki
kanannya menendang mencari sasaran di perut Legok Ambengan. Serentak dengan itu
tangan kirinya menderu ke arah kepala Bargas Pati. Selagi kedua orang ini
membuat gerakan menghindar Lor Kameswara lepaskan pukulan tangan kosong ke arah
Tunggul Anaprang. Serangkum anagin menderu keras. Tunggul anaprang sudah tahu
kalau bekas pimpinannya itu memiliki tenaga dalam lebih tinggi darinya. Dia tak
berani menangkis karenanya cepat mengelak dangan melompat ke samping. Selagi
dua orang lainnya belum sempat berbuat sesuatu Lor Kameswara cepat menerjang
dan lari ke dlaam rumah, terus berkelebat ke halaman belakang.
"Kebo Panaran keparat! Kubunuh kau!" teriak Lor Kameswara ketika
menyaksikan apa yang terjadi di halaman belakang dekat sumur.
BASTIAN TITO 36 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEPULUH Kebo Panaran seperti orang kemasukan setan merobek pakaian Antini. Nafsu
mesum semakin membakar tubuh lelaki ini begitu dada istri Lor Kameswara itu
tersingkap lebar. Saat itu Legok Ambengan, Bargas Pati, Tunggul Anaprang serta
Ambar Parangkuning sudah berada pula di halaman belakang itu. Tiga lelaki ini
menahan nafas menyaksikan keindahan dada Antini.
"Kebo! Jangan kau makan sendiri daun muda berwajah bidadari itu!" seru
Tunggul Anaprang. Lalu dia melompat dan mendekap Antini dari samping dan
menciumi oeremouan ini. Di saat yang sama Lor Kameswara telah menyerbu Kebo
Panaran dengan kemarahan yang tidak dapat dilukiskan. Tinjunya menderu ke arah
muka Kebo Panaran. Perkelahian seru segera terjadi tanpa Lor Kameswara menyadari
bahwakeadaan istrinya yang sedang dibelanya itu justru saat itu makin berbahaya.
Tunggul Anaprang, Bargas Pati dan Legok Ambengan berebut cepat menggerayangi
tubuh Antini yang benjerit-jerit tiada henti hingga suaranya serak.
"Manusia-manusia iblis!" kertak Lor Kameswara. Dia memutar tubuh
meninggalkan Kebo Panaran, berkelebat ke arah Legok Ambengan. Tangannya
bergerak cepat menyambar satu dari dua golok yang tergantung di pinggang Legok.
Dengan senjata itu lalu dia mengamuk. Melihat hal ini Kebo Panaran dan kawan-
kawannya segera pula menghunus senjata masing-masing. Kebo Panaran mencabut
golok besarnya. Tunggul Anaparang loloskan rantai besi yang menggelung
pinggangnya. Bargas PAti cepat keluarkan celurit besarnya sedang Legok Ambengan
juga sudah mencabut goloknya yang kini hanya tinggal satu.
Kini perkelahian baralih dari hanya mempergunakan tangan kosong menjadi
perkelahian dengan senjata tajam. Saat itu hanya Ambar Parangkuning yang tidak
ikut mengeroyok dan tetap tegak di tempatnya.
"Antini! Lari..... Selamatkan dirimu!" teriak Lor Kameswara ketika dia
menyadari dirinya mulai terdessak. Tapi sang istri malah belas berteriak
"Kangmas Kames. Saya memilih mati bersamamu......" Lalu perempuan muda ini menyambar
sebilah parang yang tersisip di dinding belakang rumah. Namun belum sempat dia
menyentuh senjata ini Tunggul Anaprang melompat dai kalangan perkelahian dan
menyambar pinggangnya. Kedua orang itu jatuh beulingan di tanah. Celakanya,
ketika berada di sebelah atas! Langsung saja dia menciumi dan menggerayangi
tubuh Antini. "Kangmas Kames! Tolong.... Tolong!"
"Tunggul! Setan kau!" teriak Lor Kameswara. Dia tidak perdulikan lagi para
pengeroyoknya, langsung saja dia berkelebat ke kanan untuk menolong istrinya
yang tengah dinodai oaring. Namun saat itu pula clurit di tangan Bargas Pati
menyambar. Lor Kameswara masih sempat melihat datangnya senjata lawan. Dia mengelak tapi
terlambat. Ujung clurit membabat pipi kirinya. Darah mengucur deras dari luka
yang terbuka. Antini menjerit keras.
Selagi Lor Kameswara tertegun sempoyongan sambil pegangi wajahnya yang
koyak. Golok yang tadi dipegangnya sudah terlepas jatuh. Saat itulah Kebo
Panaran dating dari samping menusukkan goloknya ke perut Lor Kameswara.
"Jangan bunuh dia!" Satu suara membentak.
"Heh"!" gerakan tangan kanan Kebo Panaran sesaat terhenti. Dia berpaling ke
samping, "Heh"! Betul kau yang barusan bicara Ambar"!"
BASTIAN TITO 37 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Ambar Parangkuning memandang tajam dan tak berkesip pada Kebo Panaran
membuat sesaat lelaki ini jadi tertegun.
"Rupanya kau masih mencintai dia, Ambar"!"
"Saat ini kita bukan bicara soal cinta Kebo! Tapi soal persahabatan dan
kehormatan! Betapa keji pribadimu hendak membunuh kawan dan bekas pimpinan
sendiri! Lebih busuk lagi karena kau diam-diam mengatur untuk menodai istrinya!
Aku tidak suka hal ini!"
"Jika kau tidak suka, kau boleh pergi dari sini! Tunggu saja di halaman depan
sampai kami seleai!" Yang bicara adalah si botak Bargas Pati.
"Kalian biadab semua! Rutuk Ambar Parangkuning lalu putar tubuh
tinggalkan tempat itu.
Lor Kameswara merasakan tubuhnya lemas akibat banyaknya darah yang
keluar dari luka di pipinya. Walau amarahnya masih mendidih namun dia seperti
lumpuh dan tak mampu melawan ketika tendangan Legok Ambengan menghanam
pinggangnya sebelah belakang. Tubuhnya terhantar di tanah. Lalu satu tendangan
pada kepalanya membuat pemandangannya serta merta gelap. Megap-megap dan
boleh dikatakan sudah setengah pingsan Lor Kameswara coba bangun. Namun
tusukan golok Kebo Panaran ke lehernya mengakhiri semuanya. Darah menyembur
muncrat dari batang leher Lor Kameswara. Bekas perwira yang malang ini terguling
di tanah tanpa berkutik lagi.
Melihat suaminya menemui ajal seperti itu ditambah dia tidak bisa
melepaskan diri dari cengekraman Tunggul Anaprang, Antini seperti gila hanya
bisa menjerit serak.
"Bunuh! Bunuh saja aku!" teriak perempuan muda berusia dua puluh tahun ini.
Kebo Panaran tertawa mengekeh. Sambil menyeka golok berdarahnya ke
celana hitamnya orang ini melangkah mendekati Tunggul Anaprang yang masih
bersama Antini.
"Jangan rakus! Jangan dimakan sendiri Tunggul!" kata Kebo Panaran sambil
mencekal baju biru Tunggul Anaprang lalu menariknya ke atas kemudian dibanting
lagi ke tanah! Dan berkata "Kau dan yang lain-lainnya gotong mayat Kameswara dan
cemplungkan ke dalam sumur!"
"Jang... jangan...." Kata Antini perlahan yang sudah lemas tak punya
kekuatan lagi. Sesuai perintah Kebo Panaran tiga orang kawannya segera menggotong
jenazah Lor Kameswara. Lalu jenazah itu dilemparkan ke dlaam sumur!
Kebo Panaran menyeringai. Dia berjongkok di samping Antini yang masih
terbaring tak berdaya di tanah. "Tak ada yang harus kau takutkan. Aku lebih muda
dan lebih gagah dari suamimu si tua bangka tak tahu diri itu. Jika kalau mau
selamat ikuti saja apa mauku dan mau kawan-kawanku. Mari kita bersenang-senang
sebentar!"
"Iblis! Manusia durjana! Pergi!
Kebo Panaran hanya ganda tertawa. Perlahan lahan dia buka ikat pinggang
besarnya. Lalu berlutut di samping tubuh Antini. Saat itu perempuan ini sudah
tak punya daya apa-apa lagi. Hanya air mata saja yang masih sanggup dikeluarkannya.
Dadanya bergoncang keras ketika Kebo Panaran menarik kain panjangnya....Lalu
dilihatnya wajah lain di atas tubhnya. Lalu wajah lain lagi dan lain lagi..... Ini
adalah hari paling terkutuk bagi perempuan muda yang malang itu.
Menjelang rembang petang keempat orang itu berkumpul di halaman depan
rumah Lor Kameswara.
BASTIAN TITO 38 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Eh, kuda Ambar Kuning tidak kelihatan!" kata Bargas Pati sambil mengusap
mukanya yang penuh keringat.
"Dia benar-benar sudah kabur rupanya!" menyahuti Legok Ambengan.
"Kabur atau kemanapun dia tak usah dipikirkan. Cepat atau lambat dia pasti
akan bergabung lagi dengan kita. Tolol kalau dia pergi mentah-mentah begitu
saja. Apa dia tidak ingin bagian dari segala harta kekayaan dan uang yang kita simpan
di tempat rahasia itu"!" Kebo Panaran meludah ke tanah. "Sudah jangan banyak bicara
lagi. Cepat tinggalkan tempat terkutuk ini!"
Besamaan dengan tenggelamnya sang surya dan keadaan mulai gelap karena
malam segera tiba, di halaman depan rumah kediaman Lor Kameswara kelihatan satu
bayangan. Dengan cepat bayangan ini bergerak menuju halaman belakang. Begitu
sampai di halaman belakang orang yang muncul ini terdengar menghela nafas
panjang. Lalu dia melangkah mendekati sosok tubuh Antini yang tergeletak di tanah. Orang
ini ternyata seorang nenek muka pucat berambut jabrik berjubah hitam gombrong
menjela tanah. Beberapa lama dia hanya tegak memandangi sosok tubuh tak bergerak itu
dengan muka membesi dan kedua tangan terkepal. Lalu orang ini membungkuk.
Dipegangnya pergelangan tangan kiri Antini. Tak terasa denyutan nadi. "Mati...?"
pikirnya. Lalu diturunkannya kepalanya , diletakkan di atas dada Antini.
Perlahan sekali, antara terdengar dan tidak, si nenek masih dapat menangkap suara detak
jantung. "Ah, dia masih hidup. Tapi keadaannya gawat sekali. Aku harus cepat-
cepat membawanya dari sini dan mengobatinya. Kasihan, kalaupun dia bisa kutolong
apakah batin dan perasaannya bisa diselamatkan?"
Nenek berjubah hitam itu cepat memanggul Antini di bahu kirinya. Sebelum
pergi dia berpaling kea rah sumur di mana sebelumnya Kebo Panaran dan kawan-
kawannya telah mencemplungkan Lor Kameswara ke dalam sumur itu.
"Ah, dia tak mungkin bisa kutolong. Semoga rohnya tenteram di tempat
itu...." Si nenek menghela nafas sekali lagi lalu sekali berkelebat diapun lenyap
dari tempat itu bersama Antini. Tempat itu kini hanya diselimuti kepekatan malam dan
kesunyian. Antini tidak tahu berapa lama dia jatuh pingsan. Sewaktu sadar didapatinya
dirinya tergolek dalam sebuah goa batu yang dinding-dindingnya terasa dingin.
Perempuan malang ini sesaat menatap langit-langit goa. Dia coba berpikir dan
mengingat-ingat. Tiba-tiba satu goncangan dahsyat melanda benak dan hatinya.
Langsung dari mulutnya terdengar suara jeritan. Dia akan terus menjerit kalau
saja tidak ada yang muncul. Seorang nenk bermuka pucat dan berambut kaku tegak
muncul di tempat itu. Wajahnya seram tapi suaranya lembut.
"Anakkua, tabahkan hatimu. Aku tahu penderitaanmu lebih berat dari seisi
jagat ini, lebih dalam dari laut dan lebih tinggi dari langit. Aku mohon kau
ingat pada Tuhan. Dialah yang telah menekdirkan segala sesuatu dalam hidup kita ini. Kau
harus tabah anak. Aku akan menolongmu...."
Antini bangkit dan duduk bersasndar ke dinding goa. Kejadian hebat yang
menimpanya telah membuat satu perubahan besar dalam diri perempuan yang masih
sangat muda ini. Kalau dulu dia merupakan seorang perempuan yang lenbut dengan
segala kehati-hatian, kini dia tampak begitu kasar dan berani walau sinar
matanya tidak dapat menyembunyikan rasa takut akibat kejadian terkutuk yang dialaminya.
"Kau boleh panggil aku Nenek Tidar," jawab si nenek muka pucat. "Kau tak
usah takut padaku. Aku tahu semua yang telah kau alami....."
Mendengar ucapan itu Antini langsung menjerit.
BASTIAN TITO 39 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Tenang.....Tenang anakku," kata Nenek Tidar. "Kau tidak usah takut. Saat
ini kau berada di tempat yang aman. Dengar, aku akan berusaha menolongmu..."
"Menolongku Nek" Bagaimana mungkin kau bisa mengembalikan kehormaan
dan kesucianku yang telah dirusak manusia-manusia durjana itu...."
"Kalau itu memang aku tidak dapat mengembalikannya. Tuhanpun tidak bisa.
Tetapi kesucian dan kehormatan dalam arti kejiwaan, pasti kau bisa
Wiro Sableng 065 Hari Hari Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendapatkannya kembali." "Aku tidak mengenal kau. Mengapa kau hendak menolongku. Aku curiga...."
Si nenek menyeringai. "Dalam soal tolong menolong tidak harus kenal satu
sama lain lebih dahulu. Juga tak perlu rasa curiga padaku....."
"Nek, kau tahu apa yang ingin kulakukan saat ini?" tanya Antini.
Si nenek menggeleng. "Coba kau katakan, anakku."
"Aku ingin bunuh diri! Menyusul suamiku!" Habis berkata begitu Antini
kembali menjerit lalu menangis keras.
Nenek Tidar menghela nafas dalam lalu gelengkan kepala sambil membelai
rambut perempuan muda di hadapannya itu.
"Anakku, jika kau bunuh diri dan mati, berarti selesailah kejahatan yang
dilakukan oleh keempat manusia durjana itu. Kejadian pada hari terkutuk itu akan
dilupakan orang. Berarti mereka tidak akan pernah menerima pembalasan. Kau
seperti gila menghadapi kenyataan keji yang menimpa dirimu. Tapi apakah kau
tidak merasa gila untuk bertekad menuntut balas aas perbuatan terkutuk yang mereka
lakukan terhadapmu" Apakah kau tidak punya niat untuk membalas kematian
suaamimu"! Mereka telah membuat satu hari terkutuk bagimu. Apakah kau tidak
bertekad untuk balas memberikan hari-hari terkutuk pada mereka?"
Si nenek memmandang tak berkesip dan Antini hanya bisa tersandar diam
dengan meulut terkancing. Tetapi kedua metanya yang indah tibaa-tiba memancarkan
satu sinar menyeramkan. Sinar itu perlahan-lahan redup dan hilang. Kedua mata
itu kini tampak berkaca-kaca lagi.
Kemudain terdengar suara Antini berkata "Tentu saja Nek, siaa orangnya yang
tidak punya niat membalaskan sakit hati dendam kesumat. Api aku yang lemah ini
punya kemampuan apa" Jangankan aku, pasukan Kerajaan saja tidak mampu
menindak kelima manusia terkutuk itu."
Mutiara Hitam 2 Pengemis Binal 20 Asmara Putri Racun Si Rase Hitam 7