Pencarian

Harimau Singgalang 2

Wiro Sableng 075 Harimau Singgalang Bagian 2


menderu. Si nenek Anduang Mata Api mengerenyit. Tujuh orang yang coba
memasuki surau terlempar ke hadapannya sebelum mereka sempat mencapai pintu
seolah-olah disambar angin topan dahsyat! Ketujuhnya kemudian malang melintang
berkaparan di tanah. Meskipun banyak diantara mereka yang cidera namun nasib
mereka jauh lebih baik dari lima kawan mereka terdahulu. Yang tujuh ini hanya
babak belur tapi tak ada yang sampai menemui ajal!
Anduang Mata Api batuk-batuk beberapa kali ketika dari dalam surau
dilihatnya Andana keluar sambil memegang bahu kirinya. Bajunya nampak sobek di
bahu dan ada warna merah tanda tubuhnya terluka. Sewaktu menjatuhkan firi
menyelamatkan kepalanya dari ancaman dua buah bedil kocok, peluru salah satu
bedil itu masih sempat menghajar bahu kirinya. Walaupun meleset tapi peluru senjata
itu telah merobek baju dan daging bahunya.
BASTIAN TITO 37 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Anduang Mata Api menggigit-gigit bibirnya sendiri sewaktu melihat ternyata
ada dua orang pemuda yang keluar dari dalam surau. Sebelumnya dia tidak pernah
melihat Andana. Sesaat dia jadi bingung sendiri.
Eh, dua pemuda itu punya wajah mirip satu sama lain. Perawakan mereka
juga serupa. Sialan kenapa Tumenggung tidak mengatakan kalau ada dua lawan
bukan cuma satu! Aku harus minta bayaran lebih besar kalau begini. Tapi.....ada
juga senangnya aku ikut campur urusan ini. Dua pemuda di hadapanku ini sama-
sama punya tampang gagah. Badan mereka sama-sama kukuh.
"Hemmmm...... hasrat mudaku kembali berkobar. Kalau aku dapat salah satu
saja di antara mereka...." Begitu si nenek membatin.
Sementara itu Wiro berbisik pada Andana. "Ada perempuan tua bermuka
binyawak di depan kita. Hati-hati sahabat. Gerak geriknya menyataka dia seorang
berkepandaian tinggi. Dia pasti dedengkot penyerangan ini!"
"Firasatmu sama denganku. Cuma belum jelas apa dia kaki tangan
Tumenggung Rajo Langit atau Pamanku Datuk Gampo Alam."
"Mungkin dua-duanya," kata Wiro pula.
Si nenek maju beberapa langkah. Andana dan Wiro lakukan hal yang sama.
Mereka sama-sama tegak saling tatap terpisah dalam jarak lebih dari sepuluh
langkah. Untuk beberapa saat lamanya suasana di halaman surau yang agak gelap itu
dicengkram kesunyian. Tapi ini tidak berjalan lama. Setelah puas memperhatikan
dua pemuda gagah itu si nenek tiba-tiba bertanya dengan suara keras.
"Yang mana di antara kalian bernama Andana, kemenakan Datuk Gampo
Alam"! Dan punya gelar sombong, menganggap diri bergelar Harimau Singgalang!"
Belum sempat Andana menjawab, Wiro sudah angkat tangan kirinya.
"Menurutmu siapa di antara kami yang pantas jadi Harimau Singgalang"!"
Anduang Mata Api melirik pada Wiro lalu tersenyum. "Kau pasti bukan sang
kemenakan. Lidahmu seolah terbuat dari seng. Logat bicaramu seperti orang yang
tengah makan galamai! " (galamai = dodol)
Wiro tertawa. "Nenek, mulutmu pandai bicara dan ternyata otakmu cerdik
juga. Kau yang berwajah saperti galamai, jadi kau orangnya yang bertindak
sebagai pemimpin dari baruak-baruak yang dua belas orang ini! Siapa yang membayarmu
melakukan perbuatan keji ini"!" (baruak = monyet)
Anduang Mata Api tentu saja marah sekali wajahnya dikatakan seperti dodol.
Tapi si nenek tidak segera mendamprat melainkan mendongakkan kepalanya.
Dari mulutnya keluat suara tawa mengekeh disusul ucapan "Orang banyak
mulut kabarnya lama matinya. Tapi sekali lagi kau berani bicara kurang ajar,
umurmu kulipat jadi pendek! Kau dengar itu anak muda"!"
Pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya dan balas tertawa. Ketika
dia hendak membuka mulut di sampingnya Andana mendatangi dan berbisik.
"Sahabat, saya ada urusan sangata penting yang harus dikerjakan." Rupanya
Andana baru ingat akan perjanjiannya dengan Sati. "Saya harap kau tidak
keberatan mengurus binyawak perempuan ini. Saya harus pergi sekarang..... Hati-hati. Tua
bangka ini agaknya bukan galamai atau dodol yang empuk."
Bisikan Andana itu rupanya terdengar oleh Anduang Mata Api. "Kemenakan
Datuk Gampo Alam!" katanya cepat. "Aku mendapat perintah untuk menagkapmu
hidup atau mati! Aku masih punya rasa belas kasihan menangkapmu hidup-hidup!
Tapi jika kau berani bergerak satu langkah saja, kuhabisi kau kejap ini juga!"
"Siapa yang memberimu perintah"!" tanya Andana tenang.
"Berapa kau dibayar nenek galamai"!" ikut menukas Wiro Sableng sambil
menyeringai. BASTIAN TITO 38 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Rahang dan pipi si nenek tampak menggelembung. Kedua matanya menjadi
merah laksana bara api di malam gelap.
"Siapa memberiku perintah atau berapa aku dibayar bukan urusan kalian! Kau
kemenakan Datuk Gampo Alam jelas-jelas manusia buronan yang harus ditangkap
dan dijebloskan dalam penjara!"
Wiro keluarkan suara berdecak berulang kali. "Nek, lagakmu sudah
keterlaluan. Kau hanya disuruh orang. Tidak mengetahui apakah sahabatku ini
benar pembunuh atau bukan!"
Murid Sinto Gendeng ini kemudian berpaling pada Andana.
"Pergilah cepat. Jika dia berani menghalangi akan kita lihat apa yang hendak
dilakukannya!"
Mendengar ucapan sahabatnya itu tanpa menunggu lagi Andana segera
berkelebat namun si nenek dengan kecepatan luar biasa melesat memotong gerakan
pendekar bergelar Harimau Singgalang itu.
Wiro tak tinggal diam. Dia segera melompat memapas gerakan si nenek
sambil mendorongkan dua tangannya ke depan, Anduang Mata Api mendengar deru
halus. Dia berseru kaget ketika satu gelombang angin melanda dirinya, membuat
dia sempoyongan. Astaga, anak celaka ini ternyata memiliki tenaga dalam luar biasa! Keluh
Anduang Mata Api. Sebelum tubuhnya tersapu pukulan "benteng topan melanda
samudera" yang dilepaskan Wiro perempuan tua ini cepat menyingkir dengan
membuat lompatan ke samping. Dari samping dengan gerakan kilat dia kirimkan satu
serangan ke arah Pendekar 212. Tapi sewaktu dilihatnya Andana berkelebat pergi,
dia memutuskan membereskan pemuda buruannya itu lebih dulu. Dari tenggorokannya
terdengar suara menggembor. Kedua matanya yang merah membara diarahkan pada
Andana. Kepalanya digoyangkan.
Wuuuttttt! Wuuuuuuut!
Dua buah cahaya lurus berwarna merah kebiruan melesat dari sepasang mata
si nenek, menyambar ke arah punggung Anadana.
"Andana! Awas! Teriak Wiro.
Tanpa diperingatkanpun sebenarnya putera Datuk Bandaro Sati itu sudah
mengetahui bahaya yang mengancam.
Sambil melompat ke balik sebatang pohon besar Andana tusukkan telunjuk
tangan kanannya ke depan. Dalam gelap terdengar suara menderu dahsyat disertai
berkiblatnya satu sinar biru.
Sinar biru ini melesat menyongsong dua larik sinar merah yang keluar dari
sepasang mata Anduang Mata Api.
Wiro yang sudah gatal tangan tak tinggal diam. Dia hantamkan tangan
kanannya ke arah titik pertemuan sinar-sinar sakti itu. Cahaya putih menyilaukan
yang disertai hawa panas menderu menggidikkan. Itulah pukulan "sinar matahari"!
Dentuman dahsyat laksana kepundan meledak menggelegar di tempat itu.
Andana terdengar berseru keras lalu tubuhnya lenyap dari balik batang pohon
besar. Anduang Mata Api menekapkan kedua tangannya pada kedua matanya yang terasa
ditusuk-tusuk. Wiro sendiri berdiri tergontai-gontai.
Daun-daun pepohonan runtuhan berguguran. Ranting dan cabang pohon patah
berjatuhan. Pada batang pohon di balik mana tadi Andana berlindung kelihatan dua
buah lobang hitam.
Lobang-lobang itu terjadi akibat hantaman dua larik sinar merah kebiruan
yang keluar dari mata Anduang Mata Api. Dapat dibayangkan kalau sinar itu
mendarat di tubuh manusia!
BASTIAN TITO 39 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Sadar kalau Andana tak dapat dihalanginya lagi, si nenek menumpahkan
seluruh kemarahannya pada Pendekar 212 Wiro Sableng!
BASTIAN TITO 40 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEPULUH Kita tinggalkan dulu Pendekar 212 yang tengah menghadapi kemarahan nenek
bermuka binyawak bernama Anduang Mata Api itu. Mari kita ikuti kepergian Andana
menemui pedagang cita keliling bernama Sati dari siapa dia mengharap dapat
mengetahui orang yang telah membunuh Ayahnya.
Begitu Andana muncul di ujung jembatan batang kelapa, Sati segera ekluar
dari tempat gelap. "Sudah habis saya dimakan nyamuk. Mengapa lama benar Angku
Mudo datang?"
"Orang-orang suruhan Tumenggung Rajo Langit menyerbu saya di surau.
Mereka berusaha menangkap saya. Tak perduli hidup atau mati!"
Sati tempak terkejut. "Keji sekali tindakan mereka. Berani berbuat huru hara
dalam rumah suci! Astaga, saya lihat bahumu terlukan Angku Mudo...."
"Disambar pelor......"
"Pelor" Hampir tak percaya saya.....!"
"Ada dua penyerbu membawa bedil yang kabarnya didatangkan dari Jawa."
Andana terdiam sebentar. "Sudahlah, sekarang kita segera ke rumahmu. Saya akan
buktikan bahwa benar-benar ada orang yang menginginkan kematianmu."
Malam merayap perlahan. Dingin dan sunyi. Dalam kegelapan yang
menghitam, diantar oleh hembusan angin malam, empat bayangan berkelebat menuju
sebuah rumah yang terletak di lembah kelam sunyi. Empat orang ini bergerak tanpa
suara seolah menyatu dengan kegelapan malam. Di depan sekali bergerak orang
tinggi besar bermuka garang dan hanya puna satu mata serta satu daun telinga.
Dia bukan lain adalah Daud alias Hantu Mata Picak, tangan kanan dan kepercayaan
Eatuk Gampo Alam. Tiga orang di belakangnya adalah anak buahnya.
Beberapa belas langkah dari rumah di dalam lembah Hantu Mata Picak
memberi isyarat. Tiga anak buahnya berhenti. Dia cepat berbisik "Ada nyala lampu
minyak di dalam rumah. Berarti ada orangnya. Kelian bertiga lekas menyebar. Aku
akan masuk dan menabas leher manusia itu. Beri tanda dengan suitan jika ada
orang yang datang....."
Tiga anak buah Hantu Mata Picak mengangguk lalu mereka cepat menyebar.
Hantu Mata Picak melangkah ke pintu belakang rumah. Lewat celah-celah dinding
dia melihat lampu minyak menyala di ruangan tengah. Selain dari itu rumah di
tengah lembah itu berada dalam keadaan sunyi senyap. Hantu Mata Picak terus mengintai.
Di salah satu sudut rumah ada sebuah balai-balai. Di atas balai-balai ini samar-
samar tampak sesosok tubuh tengah tidur nyenyak.
Hantu Mata Picak tak menunggu lebih lama. Dikeluarkannya sebilah golok
dari balik pinggangnya. Dengan benda ini, tanpa suara sama sekali dia mencongkel
pintu belakang lalu menyelinap masuk dengan cepat. Dia langusng menuju balai-
balai dimana terbujur sosok tubuh berselubung selimut. Tangan kanannya yang memegang
golok diangkat tinggi-tinggi. Senjata itu lalu dibacokkan dengan deras. Yang
diarah adalah bagian batang leher.
Crassss! Tubuh di bawah selimut tak bergerak. Tak ada darah yang muncrat
membasahi selimut atau mengucuri tempat tidur. Hantu Mata Picak mengeluarkan
seruan heran. Dengan tangan kirinya diangkatnya selimut itu. Yang dilihatnya
bukan leher manusia yang luka parah apa lagi terbabat putus, melainkan hanya sebuah
bantal guling yang robek besar dan ketika diangkat kapuknya berhamburan kian kemari.
BASTIAN TITO 41 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Kurang ajar! Aku kena tertipu!" Hantu Mata Picak memaki marah.
Digeledahnya seluruh rumah. Namun di rumah itu memang tidak ada siapapun.
Saking marahnya Hantu Mata Picak menghantami apa saja yang ada di dalam rumah
dengan goloknya. Mendengar ribut-ribut tiga orang anak buahnya segera masuk dan
bertanya apa yang terjadi.
"Bangsat itu tidak ada di sini! Dia menipu dengan guling yang diselimuti!"
"Berarti dia sudah tahu bahaya mengancam dirinya Daud," kata salah seorang
anak buah Hantu Mata Picak menyebut nama pimpinan mereka itu.
"Kelihatannya ini bukan kerja satu orang," berkata teman di sebelahnya.
"Aku tidak yakin Sati punya akal dan keberanian berbuat begini! Kita bakar
saja rumah ini!"kata yang satunya lagi. Lalu diambilnya lampu minyak yang
tergantugn di dinding. Ketika minyak hendak diguyurkan ke lantai papan, tiba-
tiba entah dari mana munculnya satu tangan yang kokoh menarik lengannya. Di lain
kejap anak buah Hantu Mata Picak merasakan tubuhnya dibetot ke samping baru terlempar
ke luar rumah lewat jendela yang jebol dan hancur berantakan. Lampu minyak yang
tadi dipegangnya, sebelum terlempar jatuh mengguyur pakaiannya. Celakanya ketika
lampu kemudaian terlepas nyala apinya jatuh di bagian pakaian yang telah basah
oleh minyak itu. Tak ampun lagi apipun berkobar menyulut pakaian dan tubuh orang itu.
Dia berteriak-teriak sambil bergulingan di tanah coba memadamkan api. Namun
perut, dada dan pangkal lehernya sedah keburu terbakar sebelum api padam!
Hantu Mata Picak dan dua orang anak buahnya yang masih ada di dalam
rumah dan kini dalam keadaan gelap gulita tentu saja terkejut bukan alang
kepalang. Sang pemimpin cepat menyadari bahayanya kalau berada di tempat gelap sementara
ada seorang musuh mengintai di tempat yang sama serta merta dia menghambur
keluar rumah lewat pintu belakang, diikuti salah seorang anak buahnya. Anak
buahnya yang satu lagi melompat lewat jendela. Ketiganya sampai di halaman
samping berbarengan. Kaget ketiga orang ini semakin memuncak ketika di halaman
itu tahu-tahu mereka berhadapan dengan seorang pemuda berpakaian serba putih,
berambut gondrong dan tegak sambil rangkapkan dua tangan di depan dada. Di
mulutnya tersungging senyum mengejek.
"Harimau Singgalang!" kata salah seorang anak buah Hantu Mata Picak.
Hantu Mata Picak tertawa mengejek. "Anak-anak, gelar tidak pantas bagi
seorang pembunuh dan buronan penjara Batusangkar seperti dia!"
Andana menyeringai. "Jadi kau rupanya yang selama ini gentayangan
berusaha hendak membunuhku. Mulai dari ular berbisa, picau beracun, lalu sirih
yang diberi racun kala hutan! Siapa yang memperbudakmu"!"
"Bangsat! Aku tidak merasa diperbudak siapapun! Manusia seprtimu patut
dilenyapkan dari muka bumi. Kehadiranmu di Pagaralam hanya mendatangkan
keonaran!"
Andana tertawa pendek mendengar kata-kata Hantu Mata Picak itu. "Dulu
kabarnya kau pernah berdandan seperti perempuan, memakai selendang dan baju


Wiro Sableng 075 Harimau Singgalang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kurung warna kuning. Apa sekarang kau sudah berhenti jadi banci" Masih untung
kau selamat dari tanah bukit yang diruntuhkan kawanku tempo hari. Tapi dasar manusia
tak tahu diri. Diberi selamat oleh Tuhan malah kini makin semena-mena! Aku tahu
kau adalah kaki tangan Datuk Gampo Alam!"
Hantu Mata Picak mendengus. "Apa yang kau ketahui cukup hanya sampai
malam ini Andana! Besok kau boleh bicara banyak di alam barzah!" Habis berkata
begitu Hantu Mata Picak lalu melompat sembari membabatkan goloknya.
Serangannya memiliki kuda-kuda yang kuat dan ayunan goloknya mengeluarkan
BASTIAN TITO 42 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
suara menderus serta tebaran angin dingin. Terlambat saja Andana mengelak
niscaya bahi kirinya bisa putus dihantam sambaran senjata itu.
Geram melihat serangannya bisa dielakkan lawan, didahului dengan bentakan
garang untuk kedua kalinya Hantu Mata Picak melancarkan serangan. Dua orang anak
buahnya kini juga tak tinggal diam.
Yang satu menghunus sebilah parang berkeluk, yang kedua mengeluarkan
sebatang tongkat besi yang ujungnya bercabang dua berbentuk pipih seperti mata
pisau. Tiga serangan yang datang dari tiga jurusan menggempur Harimau Singgalang
laksana curahan air hujan. Dua orang lelaki yang iktu mengeroyok memang
merupakan orang-orang yang paling tinggi ilmu kepandaiannya di antara sekian
banyak anak buah Hantu Mata Picak. Disamping itu Hantu Mata Picak sendiri juga
menguasai ilmu golok tingkat tinggi dan gerakannya sangat sebat. Mau tak mau
murid Datuk Alis Merah dari Asahan ini dipaksa harus berhati-hati. Pakaian bahkan
rambut di kepalanya sesekali berkibar-kibar disapu angin tiga senjata lawan.
Breettt! Breettt! Memasuki jurus ke tujuh golok di tangan Hantu Mata Picak merobek baju
putih Andana di bagian lambung. Robekan kedua terjadi di dekat ketiak kirinya
akibat tusukan tongkat besi bermata dua anak buah Hantu Mata Picak.
Andana merasa tengkuknya dingin. Terlambat saja dia membuat gerakan
mengelak, salah satu serangan itu pasti sudah merobek tubuhnya! Menyadari
keadaan yang sangat berbahaya ini Andana segera keluarkan ilmu silat yang dipelajari
dari gurunya Datuk Alis Merah di tanah Asahan. Ilmu silat ini bernama ilmu silat
Kumango Tujuh Serangkai. Ilmu silat Kumango merupakan ilmu silat yang mendasar
dan banyak dikuasai para pendekar di tanah Minang bahkan sampai ke pesisir
Selatan dan Timur. Demikian mendasarnya ilmu silat Kumango hingga segala kekuatan
maupun kelemahannya banyak diketahui orang. Akibatnya ilmu silat ini dianggap
tak banyak berguna dan kemampuannya lagi hingga jarang yang mau mempelajarinya.
Tetapi seorang Datuk di Utara yaitu Datuk Alis Merah justru berusaha menegakkan
kehebatan ilmu silat ini dengan menciptakan ilmu silat baru yang mendasarkan
gerakannya pada ilmu silat Kumango lama. Dia menyusun tujuh jurus aneh. Dari
tujuh jurus ini bisa dikembangkan masing-masing tiga jurus baru hingga
keseluruhan jurus berjumlah dua puluh satu. Setiap jurus diolah begitu rupa hingga dasar
gerakannya berlawanan dengan dasar gerakan ilmu silat Kumango lama, diberi
tambahan dasar kuda-kuda yang kokoh serta gerakan tangan yang disertai tenaga
dalam. Andana memainkan jurus demi jurus menghadapi tiga lawannya yang
bersenjata sementara dia sendiri masih mengandalkan tangan kosong. Memasuki
jurus keenam belas pemuda ini merasakan serangan lawan mulai dapat ditahannya. Dua
anak buah Hantu Mata Picak kelihatan seperti berlomba untuk dapat menyarangkan
senjata mereka di tubuh atau kepala Andana. Namun gerakan mereka sudah
dipengaruhi kemarahan berlebihan hingga tidak memakai perhitungan lagi. Hal ini
terjadi karena sekian lama menggempur mereka tak sanggup untuk mendekati lawan,
apalagi melukainya. Sebaliknya kaki dan tangan Andana acap kali menyusup
menembus pertahanan mereka hingga serangan mereka sering menjadi mentah dan
gerakan keduanya menjadi kacau. Hantu Mata Picak yang juga merasakan
mengendurnya daya serangannya akibat ilmu silat si pemuda yang sulit diterkanya
kini mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya hingga tubuhnya yang besar itu
laksana seekor alap-alap, berkelebat kian kemari. Golok di tangannya menyambar
BASTIAN TITO 43 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
menderu-deru. Kelihatannya dia mulai dapat menggoyahkan pertahanan Andana.
Namun Hantu Mata Picak salah menduga.
Putera Almarhum Datuk Bandaro Sati itu dengan cerdik mengarahkan
serangan-serangan gencarnya pada anak buah Hantu Mata Picak yang memegang
tongkat besi bercabang dua. Senjata ini merupakan senjata terpanjang diantara
tiga senjata para pengeroyok, jadi merupakan senjata paling berbahaya karena mampu
mencapai dirinya dari jarak jauh sekalipun. Begitu lawan terdesak hebat, Andana
susupkan satu tendangan ke perutnya. Selagi lawan terjajar ke belakang sambil
meraung kesakitan dan tak berani lagi memasuki kalangan perkelahian, Andana
merampas tongkat besinya. Dengan senjata ini kini Andana menghadapi Hantu Mata
Picak dan seorang anak buahnya. Pemuda ini mengamuk laksana kesetanan. Dua
jurus menggempur parang berkeluk di tangan anak buah Hantu Mata Picak mentak ke
udara. Selagi lawan tampak kebingungan Andana hujamkan ujung tongkat yang
berbentuk dua bilah pisau itu ke arah perutnya! Orang ini membuka mulutnya
lebar- lebar seperti hendak berteriak. Kedua matanya mendelik. Mimik mukanya
mengerikan. Namun tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Ketika tusukan
tongkat besi dilepaskan tubuhnya langsung roboh. Perutnya robek besar dan usus besarnya
tampak menggelembung mengerikan.
Anak buah Hantu Mata Picak yang tongkat besinya kena dirampas kini berada
di tangan Andana terbungkuk-bungkuk berusaha memungut parang berkeluk milik
kawannya yang terlepas mental dan tergeletak di tanah. Tapi gerakannya tidak
lepas dari perhatian Andana. Begitu jari-jarinya menyentuh gagang parang, tumit kaki
kanan Harimau Singgalang menghantam keningnya dengan telak. Orang ini
terjengkang ke tanah. Sesaat kedua tangannya melejang-lejang lalu tubuhnya tak
berkutik lagi. Kepalanya rengkah. Darah menggelimangi wajah bercampur lelehan
cairan otak! Harimau Singgalang putar tubuhnya dengan cepat sambil melintangkan
tongkat besi di atas kepalanya ketika dia mendengar di belakangnya ada suara
menderu. Betul seperti dugaannya. Hantu Mata Picak kirimkan serangan membokong
dengan golok besarnya. Dua senjata yang sama-sama terbuat dari besi itu saling
bentrokan di udara, mengleluarkan suara keras serta percikan bunga api yang
terang di dalam kegelapan malam.
Golok di tangan Hantu Mata Picak patah dua dan terlepas mental dari
genggamannya. Sebaliknya tongkat besi yang dipegang Andana hanya gompal sedikit.
Andana adalah seorang pendekar sejati. Melihat lawan tidak lagi bersenjata dia
segera membuang tongkat besi berujung sepasang pisau itu. Namun ayunan dari bentrokan
tadi masih sempat menghantam ke bawah sesaat setelah dia melepaskan senjata ini.
Hantaman ini justru mengarah kepala Hantu Mata Picak. Andana jadi terkesiap dan
tidak sempat berbuat apa-apa. Namun di hadapannya Hantu Mata Picak tampak
tenang saja. Kedua tangannya diangkat ke atas untuk menangkap tongkat besi itu.
Astaga! Ilmu apa yang dimiliki manusia jahat ini! Kedua tangannya merah
membara sampai sebatas pergelangan! Andana menyaksikan perubahan kedua
tangan manusia bermata satu itu dengan terkejut. Ketika tongkat besi itu
ditangkapnya terdengar suara mendesis panjang. Hantu Mata Picak menyeringai. Tongkat besi
yang dipegangnya ikut membara mengepulkan asap. Sekali dia menggerakkan kedua
tangannya yang merah membara itu, tongkat besi melengkung membentuk setengah
lingkaran. Hantu Mata Picak tertawa mengekeh. Tongkat besi dicampakkannya ke tanah.
Lalu dia melompat menyerang Andana. Kedua tangannya yang telah berubah menjadi
bara panas itu berkelebat ke arah leher Harimau Singgalang.
BASTIAN TITO 44 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEBELAS Kalau besi saja bisa dibuat membara dan leleh, dapat dibayangkan apa yang
terjadi dengan batang leher Andana kalau sampai kena cengkeram sepasang tangan
Hantu Mata Picak!
Ilmu Bara Neraka! Kata Andana dalam hati. Kedua tangan lawannya berubah
menjadi merah membara dan panas luar biasa. Dari mana manusia celaka ini
mendapatkan ilmu itu" Namun Harimau Singgalang tidak dapat berpikir panjang. Dia
harus menyelamatkan diri. Dua tangan Hantu Mata Picak berkelebat ganas. Andana
cepat melompat mundur ke dekat sebatang pohon. Lawan memburu dengan menebaw
telapak tangan kanannya. Sekali lagi Andana mengelak. Tabasan tangan melabrak
pohon. Wusss! Kraaak! Batang pohon itu bukan saja terbakar dikobari api tapi juga patah lalu
tumbang dengan suara menggemuruh.
"Pemuda keparat!" maki Hantu Mata Picak penuh geram karena lawan untuk
kedua kalinya berhasil mengelakkan serangannya. "Apa kau kira bakal bisa lolos
dari tanganku" Kau akan mampus dengan tubuh lumat sampai ke tulang belulangmu!"
Hantu Mata Picak menutup makiannya sambil mendorongkan kedua tangannya yang
membara ke depan.
Wusss! Wusss! Dua larik sinar merah menderu ke arah Andana.
Di seberang sana Andana memasang kuda-kuda. Lututnya membengkok
sedang tubuhnya agak membungkuk. Tiba-tiba pemuda ini tusukkan jari tangan kiri
kanan ke arah datangnya serangan dua larik sinar merah. Dua gelombang lidah api
menderu dahsyat mengjutkan Hantu Mata Picak. Matanya yang Cuma satu mendelik
besar ketika melihat bagaimana dua gelombang lidah api dari pukulan sakti Inti
Api yang dilepaskan Andana menghantam buyar dua larik sinar merah panas pukulan
Bara Neraka yang dihantamkannya pada pemuda itu. Hantu Mata Picak kerahkan
habis-habisan seluruh tenaga dalamnya agar pukulan Bara Nerakanya bisa bertahan
dan menghantam lawan kembali. Namun dia kalah kekuatan. Ketika Andana
mendorongkan dua jari telunjuknya ke depan, dua lidah api menggemuruh.
Hantu Mata Picak menjerit keras. Sekujur tubuhnya dikobari api. Dia berusaha
memadamkan api yang membakar badannya itu dengan menjatuhkan diri di tanah lalu
bergulingan. Namsibnya masih untung karena di dekat sana ada sebuah parit
dangkal. Tanpa pikir panjang Hantu Mata Picak mencemplungkan dirinya ke dalam parit.
Begitu api oadam dia cepat berdiri lalu melarikan diri dari tempat itu. Andana
mengejar. Telunjuk tangan kanannya di arahkan ke punggung orang. Namun pukulan
Inti Api tak jadi dilepaskannya. Dia merasa tidak enak membokong seperti itu.
Dia pasti mati! Dia tidak bakal bisa selamat dari luka bakar yang dahsyat itu! Kata
Andana dalam hati. Dia membungkuk memungut sebuah benda yang tadi jatuh ke
tanah sewaktu Hantu Mata Picak bergulingan sambil menjerit-jerit. Benda itu
ternyata adalah sebilah pisau yang gagangnya berbentuk ukiran tengkoran manusia.
Hemmm...... Kini kudapatkan buktinya. Jadi memang dia yang membunuh
Udin Burik orang yang bersaksi palsu di hadapan Tumenggung bahwa akulah yang
telah membunuh Sarkam! Dia juga yang memasang senjata rahasia ini di rumah
gadang untuk membunuhku!
BASTIAN TITO 45 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Angku Mudo," tiba-tiba terdengar suara Sati si pedagang cita keliling di
samping Andana. "Kenapa tidak Angku Mudo bunuh sekalian manusia setan itu!
Membiarkannya hidup sangat berbahaya!"
"Luka bakar yang parah itu akan merengut nyawanya. Kalaupun dia bisa
hidup dia akan cacat seumur-umur. Siksaan itu lebih ganas dari kematian....."
"Tapi Angku Mudo, justru manusia jahanam itulah yang ikut membantu
membunuh Ayah Angku Mudo!" kata Sati pula.
Andana membalikkan tubuhnya. Dia seperti mendengar petir di liang
telinganya. "Apa katamu Sati"! Saya mencarimu justru untuk meminta keterangan
menyangkut rahasia kematian Ayah saya! Kalau barusan kau katakan Hantu Mata
Picak ikut membantu membunuh Ayah saya, lalu siapa yang dibantunya" Siapa
sebenarnya yang membunuh Ayah saya" Tumenggung Rajo Langit"!"
Andana terbeliak heran ketika melihat Sati gelengkan kepalanya. Tidak
sabaran dipegangnya kedua bahu Sati, digoyang-goyangkannya hingga Sati berteriak
kesakitan. "Lekas katakan siapa pembunuh Ayah saya!"
"Datuk Gampo Alam. Mamak Angku Mudo sendiri!" jawab Sati.
Mulut Andana tampak ternganga. "Saya sudah menduganya tapi saya
berusaha untuk tidak mempercayainya! Ternyata kini.... Sati, kau melihat sendiri
kejadian itu" Ceritak pada saya!" kata Harimau Singgalan hampir berteriak.
Kembali tubuh pedagang cita keliling yang kerempeng itu diguncangnya.
"Saya menyaksikan sendiri Angku Mudo. Saat itu saya dalam perjalanan ke
Bukittinggi. Terjadinya di tepi Ngarai Sianok. Saya saksikan Ayah Angku Mudo
dikeroyok oleh Hantu Mata Picak dan Datuk Gampo Alam. Satu saat Hantu Mata
Picak berhasil menyergap Ayah Angku Mudo dari belakang. Dalam keadaan tidak
berdaya seperti itu Datuk Gampo alam datang dari depan. Diambilnya keris Tuanku
Ameh Nan Sabatang. Dengan senjata itu ditikamnya tubuh Ayah Angku Mudo
bertubi-tubi secara biadab. Darah mengucur mengerikan dari belasan luka
menganga. Saya lihat Ayah Angku Mudo roboh ke tanah dengan keris masih menancap di dada
Datuk Bandaro Sati.... Sementara itu Datuk Gampo Alam dan Hantu Mata Picak
sudah melarikan diri."
"Jahanam! Manusia-manusia biadab itu akan kuhabisi! Tak ada ampunan bagi
mereka! Aku bersedia masuk neraka atas dosa membunuh keduanya!" Suara Andana
bergetar keras. Tubuhnya seperti menggigil dan wajahnya yang tampan tampak
mengelam. Sati untuk beberapa lamanya hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala.
"Setelah itu saya melihat satu kejadian aneh Angku Mudo," katanya kemudian.
"Kejadian aneh" Kejadian aneh macam mana maksudmu?" tanya Andana.
"Dari dasar Ngarai Sianok tiba-tiba saya melihat berkelebat satu sosok
berpakaian putih ke arah tubuh Datuk Bandaro Sati yang tergeletak di tanah. Tak
dapat saya pastikan siapa adanya sosok tubuh ini. Entah malaikan entah setan.
Mahluk ini membelakangi saya. Sesaat kemudia dia memandangi tubuh Ayah Angku
Mudo. Lalu saya lihat dia membungkuk, mencabut keris yang menancap di dada
Ayah Angku Mudo. Juga memungut sarung keris yang tercampak di tanah. Setelah itu
seperti terbang dia melesat ke langit. Ke arah matahari. Saya berusaha mengikuti
gerakannya. Tapi sinar matahari menyilaukan mata saya. Orang itu lenyap entah
kemana. Saya sendiri sudah tidak dapat lagi menahan takut lalu lari dari tempat
itu...." BASTIAN TITO 46 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Kedua rahang Andana tampak menggembung. Terbayang kembali di matanya


Wiro Sableng 075 Harimau Singgalang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kejadian sewaktu ayahnya muncul di atas batu besar di tempat kediaman Datuk Alis
Merah. "Sati, ada satu hal yang ingin saya tanyakan," kata Andana setelah berdiam
diri beberapa ketika. "Soal rumah gadang. Saya mendapat keterangan bahwa Mamak
saya akan menjual rumah itu pada Tumenggung Rajo Langit...."
"Saya tahu hal itu. Semua orang di Pagaralam ini tahu."
"Menurut Rukiah, istri termuda Datuk Gampo Alam, rumah itu kabarnya akan
dijual pada seseorang dari Jawa. Kau tahu juga hal itu Sati?"
Sati mengangguk.
"Saya tidak mengerti. Mengapa Mamak saya tidak langsung saja menjualnya
pada orang Jawa itu."
"Karena Paman Angku Mudo itu tidak tahu tahasia yang ada di balik semua
itu," kata Sati pula.
"Rahasia" Rahasia apa maksudmu Sati?" tanya Andana heran.
"Saya mendengar kabar angin. Betul tidaknya walahualam. Kabar itu
mengatakan bahwa tepat di bawah rumah gadang, terkubur dalam tanah, terdapat
sejumlah harta karun berupa potongan-potongan emas...."
"Sulit saya mempercayainya!" ujar Andana.
"Orang dari Jawa itu kabarnya memiliki sebuah peta mengenai letak kuburan
harta karun itu. Dalam peta ternyata letaknya tepat pada titik dimana rumah
gadang berdiri." Andana hampir tertawa mendengar keterangan itu. "Dari mana pula asal
muasalnya harta karun berupa emas itu Sati?"
"Kabarnya, beberapa puluh tahun yang silam ada keluarga Istana di tanah
Jawa yang melarikan diri dari pengejaran kaum pemberontak. Mereka datang ke
pulau ini, tersesat di Pagaralam dengan membawa berbagai harta kekayaan yang
bisa mereka bawa. Diantaranya potonga-potongan emas itu yang kemudian mereka kubur.
Orang-orang dari tanah Jawa itu kemudain lenyap satu persatu secara aneh. Ketika
rumah gadang milik Ayah Angku Mudo didirikan, rumah itu dibangun tepat di atas
kubur harta karun."
Andana ternganga dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sulit saya percaya Sati. Benar-benar tidak masuk akal...."
"Dunia jaman sekarang ini Angku Mudo, banyak yang tidak masuk akal. Tapi
justru itulah kenyataan....." jawab Sati pula.
Tumenggung Rajo Langit bersiap-siap hendak berpamitan ketika tiba-tiba dari
arah halaman terdengar suara gaduh. Menyusul pekik perempuan. Lalu ada seseorang
berlari menaiki tangga leksana terbang. Orang ini adalah pengawal sang
Tumenggung yang sebelumnya disuruh menunggu di bawah tanga rumah gadang. Mukanya pucat
dan dadanya turun naik.
"Astaga! Ada apa pengawal"!" tanya Tumenggung pula sambil berdiri, diikuti
oleh Datuk Gampo Alam. Sang Datuk langsung melompat ke arah tangga lalu
tergesa-gesa menuruninya. Pekik perempuan tadi dikenalinya sebagai suara salah
seorang istrinya. Begitu dia sampai di bawah tangga dilihatnya Zainab, istri
tuanya tegak gemetaran dengan muka seputih kafan. Di halaman, tepat di bawah tangga
kelihatan tertelungkup sesosok tubuh yang bentuk dan keadaannya sangat
mengerikan. Pakaian hitam yang sebelumnya melekat di tubuhnya kini tak berbentuk pakaian
lagi. Robek dan hangus. Lalu kulit dan daging tubuhnya tampak merah mengerikan serta
membersitkan bau daging yang terpanggang. Mukanya tidak beda dengan muka setan.
BASTIAN TITO 47 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Rudak mengerikan. Salah satu matanya mencelet ke luar dan mengucurkan darah.
Hidungnya hampir gerumpung!
"Astaghfirullah! " mengucap Datuk Gampo Alam. "Kau Daud" Benar kau
Daud"!"
Saat itu Tumenggung Rajo Langit sudah berada pula di tempat itu,
memandang penuh ngeri pada sosok tubuh orang yang penuh luka bakar.
Orang yang disebut dengan nama Daud alias hantu Mata Picak berusaha
bangkit hendak merangkang. Tapi begitu tegak seperti binatang kaki empat
langsung ambruk ke tanah.
"Demi Tuhan! Katakan apa yang terjadi denganmu Daud"!" tanya Datuk
Gampo Alam setengah berteriak. Lehernya disentak-sentakkan sampai tiga kali.
"Sa....saya ti....tidak berhasil....." ucapan itu terpotong oleh suara seperti
tercekik. Orang yang berkelukuran luka bakar itu tak bergerak lagi.
"Daud!" teriak Datuk Gampo Alam.
"Saya yakin dia sudah mati Datuk," kata Tumenggung Rajo Langit. Dia
menarik nafas panjang. "Buruk sekali pengalaman saya hari ini. Lebih baik saya
minta diri saja." Lalu sang Tumenggung memberi isyarat pada pengawalnya.
Keduanya segera meninggalkan halaman rumah gadang.
BASTIAN TITO 48 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DUA BELAS Kita kembali ke halaman surau di mana Wiro dan nenek bernama Anduang Mata
Api saling berhadap-hadapan.
Perginya Andana dari tempat itu membuat si nenek bernama Anduang Mata
Api menjadi marah luar biasa. Sepasang matanya yang merah menyala seperti bara
api. Kini seluruh kemarahannya ditumpahkan pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Kau membuat dia lolos dari tanganku! Sekarang kau yang bertanggung
jawab! Aku minta nyawamu! Dengar"!"
Wiro tersenyum sinis. "Nyawaku Cuma satu! Buat apa nyawaku untukmu"
Lagi pula kalau kau minta nyawaku, pasti aku akan mati! Kalau aku mati di tempat
ini pasti kau tidak mau menguburku. Lalu karena jenazahku tidak terurus, rohku akan
gentayangan jadi setan. Kalau sudah begitu kau yang akan kucari pertama sekali!"
Habis berkata begitu Wiro tertawa gelak-gelak.
"Anak kanciang! Jangan kau berani bergurau padaku!" bentak Anduang Mata
Api marah sekali.
"Siapa suka bergurau dengan perempuan tua bangka bermuka seperti
binyawak kali!" jawab Wiro. "Kau lihat sendiri apa yang terjadi dengan semua
anak buahmu. Apa kau mau menyusul mereka"!"
"Mandeang! Kau keliwat menghina! Sombong! Kau bakal tahu rasa dan tahu
siapa diriku!" bentak Anduang Mata Api. Kedua matanya menatap garang ke arah
Wiro. Lalu kepalanya digoyangkan. Dua larik sinar merah menderu ke arah Wiro.
Yang satu ke jurusan kepala, satunya lagi mengarah dada. Murid Eyang Sinto
Gendeng sudah menyaksikan kehebatan kesaktian si nenek.Karenanya segera saja dia
balas menghantam dengan pukulan Sinar Matahari di tangan kanan den pukulan
Benteng Topan Melanda Samudera di tangan kiri.
Dentuman keras untuk kesekian kalinya melanda tempat itu. Daun-daun
pepohonan luruh kering, banyak yang terbakar. Begitu juga ranting-rantingnya.
Atap surau seperti terbongkar. Salah satu dindingnya jebol dan hangus. Pendekar 212
Wiro Sableng tersurut sampai empat langkah. Sedang si nenek hampir terjengkang kalau
tidak lekas membuat lompatan. Namun waktu dia berdiri kembali tubuhnya tampak
terhuyung. Saat itulah pukulan Benteng Topan Melanda Samudera menerpanya. Tak
ampu lagi perempuan tua ini terpental sampai dua tombak. Tubuhnya menyangsrang
di serumpunan semak belukar. Dari mulutnya kelihatan darah mengucur. Walau dia
jelas-jelas menderita luka di dalam namun tidak kelihatan bayangan rasa sakit di
wajahnya. Malah dia tampak bertambah garang.
Perlahan-lahan dia membebaskan dirinya dari semak belukar. Sepasang
matanya yang merah memandang tak berkesiap.
"Cukup aku melayani orang gila seperti kau! Saatnya kau harus mendekam di
penjara kembali. Kau harus bersyukur aku tidak membunuhmu, tapi menyerahkanmu
hidup-hidup pada penguasa negeri di Batusangkar!"
Ucapan si nenek itu ditanggapi dengan seringai oleh Wiro bahkan sambil
garuk-garuk kepala. Namun seringainya mendadak lenyap dan tangannya yang
menggaruk kepala cepat diturunkan. Di tangan si nenek kelihatan sebuah gulungan
benda berwarna putih halus.
Eh, aku seperti pernah melihat benda ini, pikir Wiro.
Di hadapannya tiba-tiba si nenek berseru. "Lihat benang!"
BASTIAN TITO 49 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Benda yang dipegangnya di tangan kanan melesat ke depan. Ternyata
segulungan benang yang dengan cepat melesat dan sebelum murid Eyang Sinto
Gendeng bisa berbuat apa-apa, benang putih halus itu telah melibat sekujur
tubuhnya mulai dari dada sampai ke pergelangan kaki! Bagaimanapun dia mengerahkan tenaga
untuk memutus atau lolos dari gulungan benang itu tetap saja sia-sia.
"Benang Kayangan!" seru Wiro ketika dia tiba-tiba ingat dan mengenali benda
yang menggulung sekujur tubuhnya, membuatnya tak berdaya. Kalau ini benar
Benang Kayangan jangan-jangan... ..
"Nenek muka binyawak! Apa hubunganmu dengan Tua Gila!" Wiro ajukan
pertanyaan. Eh, bagaimana anak celaka ini kenal dengan si tua bangka itu" Membatin
Anduang Mata Api. Lalu dia berkata. "Dengar anak muda. Kau cukup berharga untuk
membuatku bersenang-senang. Sebelum aku serahkan kau pada penguasa negeri di
Batusangkar, apa salahnya aku menikmati kehebatan dirimu. Kulihat tubuhmu tegap,
ototmu kukuh. Kau tentu dapat menyenangkan diriku. Hik....hik....hik!
"Tua bangka sinting! Apa yang hendak kau lakukan padaku"!" bentak Wiro.
"Apa yang ada dalam otakmu"!"
Si nenek semakin keras tawanya. "Lihat saja nanti. Lihat saja nanti....!"
katanya. "Jika kau memang hebat, mungkin kau akan kubiarkan hidup. Mungkin juga
tidak akan kuserahkan pada penguasa di Batusangkar. Hik...hik...hik. mudah-
mudahan rejekiku benar-benar besar kali ini. Hilang harimau singa gantinya!
Hik...hik...hik! aku senang engkau nikmat!" Si nenek mengumbar tawa panjang.
Kedua matanya merah berkilat-kilat. Kilatan itu terasa aneh di mata Wiro. Bukan
kilatan karena marah tapi oleh sesuatu yang lain. Rangsangan nafsu!
Setelah tertawa panjang dan puas Anduang MataApi memanggul tubuh
Pendekar 212 di bahu kirinya. Lalu dengan cepat dia berkelebat meninggalkan
tempat itu. Udara malam terasa semakin dingin walau saat itu tubuh Wiro hampir kuyup
oleh keringat. Apa yang hendak dilakukan manusia ini. Dia punya satu maksud
kotor. Dia tidak akan segera membunuhku tapi....
Si nenek berlari kencang sekali. Dalam waktu singkat dia sudah berada di tepi
sebuah hutan kecil. Di satu tempat dia membelok ke kiri. Walau dalam hutan
sangat gelap namun perempuan tua itu mampu berlari cepat seolah matanya bisa melihat
dalam gelap. Tak lama memasuki hutan si nenek berhenti. Wiro merasakan tubuhnya
diturunkan. Memandang berkeliling ternyata dia dibaringkan di lantai papan
sebuah gubuk tanpa dinding.
"Kita sudah sampai anak muda!" berkata Anduang Mata Api. "Saatnya kau
menunjukkan kejantananmu!" Si nenek susupkan tangannya kian kemari di sela-sela
benang yang menggulung dan mengikat sekujur tubuh Wiro. Nafasnya memburu.
Warna merah pada kedua matanya semakin berkilat.
"Hai! Tua bangka gila! Apa-apaan ini"!" teriak Wiro ketika dilihatnya si
nenek membuka celananya lalu menariknya sampai ke lutut. "Kurang ajar! Tua
bangka mesum!"
Anduang Mata Api tertawa perlahan. "Memakilah terus! Berteriaklah! Makian
dan teriakanmu membuat aku tambah terangsang!" kata perempuan tua itu.
"Aku bersumpah akan membunuhmu kalau kau berani berlaku keji!"
"Ssssstttt....soal mati biar kita atur kemudian. Yang penting sekarang kita
bersenang-senang dulu...." kata si nenek pula. Lalu dengan cepat ditanggalkannya
semua pakaian yang melekat di badannya. Pendekar 212 kini seolah-olah benar-
benar melihat seekor binyawak hitam tegak di depannya. Dia berteriak dan mengerahkan
BASTIAN TITO 50 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
seluruh tenaga dalamnya tapi sia-sia saja. Ikatan Benang Kayangan tak mampu
diputusnya, dibuat kendurpun tidak bisa.
"Anak muda...." si nenek duduk di atas paha Wiro. "Aku tahu kau tidak akan
bernafsu. Tidak akan terangsang melihat wajahku yang buruk dan tubuhku yang
kurus peot. Jangan kawatir anak muda. Aku akan membuatmu bernafsu dan terangsang!
Lihat saja....!" Anduang Mata Api terdengar seperti merapal sesuatu. Lalu kedua
telapk tangannya disapukan ke wajah serta sekujur badannya sampai ke kaki.
Astaga! Bagaimana mungkin dia bisa berubah seperti ini"! Ujar Wiro sewaktu
dilihatnya muka buruk si nenek telah berubah menjadi wajah seorang perempuan
muda yang cantik. Lalu tubuh yang tadi kurus kering dan hitam bugil itu kini
berganti dengan sebentuk tubuh bagus, putih berisi. Dua buah payudara besar dan kencang
terpentang di depan mata Pendekar 212.
"Kekasihku, bagaimana sekarang.....?" tanya si nenek yang telah berubah
menjadi seorang perempuan muda cantik jelita, bertubuh bagus mulus dan dalam
keadaan bugil! Kedua tangannya merayap ke bawah perut Pendekar 212.
"Hik....hik...hik apa kataku. Kau mulai terangsang! Bagus!" Anduang Mata
Api menggeser duduknya ke atas.
"Kurang ajar, kurang ajar kau!"
"Sudahlah, jangan pura-pura memaki. Jangan pura-pura tidak suka. Buktinya
kulihat kau sudah siap....!"
Wiro tak berdaya menolak. Bagaimanapun dia harus mengakui bahwa dalam
keadaan sepreti itu dirinya telah dibuat terangsang oelh nenek-nenek yang kini
berubah menjadi perempuan muda cantik itu. Nafas Anduang Mata Api semakin
keras laksana orang mengorok. Tubuh bagus itu bergoyang-goyang di atas tubuh
Wiro. "Seharusnya aku lepaskan kedua tanganmu." Berkata Anduang Mata Api.
"Agar kau bisa memelukku, meraba sekujur tubuhku. Tapi aku kawatir kalau
kulepaskan kau akan memukulku dan melarikan diri...."
Pendekar 212 pejamkan kedua matanya.
Anduang Mata Api tertawa. "Ah, kau memejamkan mata. Berarti kau juga
merasa enak. Nikmat....Kau suka ini. Kau suka!"
Tiba-tiba suara tawa Anduang Mata Api ada yang menimpali. Suara tawa laki-
laki! "Dajal perempuan! Berpuas-puaslah sekenyangmu. Aku bisa menunggu. Kali
ini kau tak bakal bisa kabur lagi!"
Kagetnya Anduang Mata Api bukan alang kepalang. Keadaan ini membuat
keampuhan ilmunya merubah diri menjadi rontok. Saat itu juga sekujur tubuhnya
berubah kembali menjadi satu sosok kurus kering menjijikkan. Sedang mukanya
kembali pada ujud aslinya yakni seperti muka binyawak! Wiro kerenyitkan kening
bergidik dan berteriak melihat keadaan orang yang duduk di atas perutnya itu.
"Tua bangka jahanam! Berani kau membuntuti aku sampai ke sini!" bentak
Anduang Mata Api. Tanpa berusaha mengambil pakaiannya untuk menutupi auratnya
perempuan tua ini melompat. Sambil membentak dia putar kepalanya ke arah
datangnya suara tadi. Sekali dia menggoyangkan kepalanya dua larik sinar merah
menderu dahsyat.
"Ilmu Sepasang Mata Api apa hebatnya!" terdengar suara berseru disertai
berkelebatnya satu bayangan putih.
Dua larik sinar merah api menghantam sebuah pohon besar. Tak ampun lagi
pohon itu hancur berlobang lalu tumbang dengan suara menggemuruh.
BASTIAN TITO 51 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212


Wiro Sableng 075 Harimau Singgalang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa kataku!" orang tadi kembali berseru. Wiro masih belum dapat melihat
wajahnya dan sosok tubuhnya karena baik si nenek maupun orang yang bicara berada
di belakang kepalanya sementara dia tetap tak berdaya terlentang di tanah dalam
keadaan terikat dan celananya merosot sampai ke bawah!. "Ilmumu tidak berguna.
Buktinya tidak mau menyentuh diriku! Ha....ha....ha....!"
"Manusia sombong! Lihat serangan!" teriak Anduang Mata Api merah
sekali.kepalanya digoyangnya berulang kali. Larikan sinar merah melesat bertubi-
tubi seolah tidak putus-putusnya. Orang yang diserang mengelak dengan berkelebat
cepat kian kemari. Si nenek berputar-putar tanda dia mengikuti ke arah mana lawannya
berada. Saat itu akhirnya Wiro dapat melihat siapa adanya orang itu.
Astaga! Dia rupanya!
BASTIAN TITO 52 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TIGA BELAS Pendekar 212 Wiro Sableng kini dapat melihat siapa adanya orang yang berkelahi
melawan si nenek bermuka binyawak yang saat itu berada dalam keadaan bugil. Dia
bukan lain adalah kakek aneh yang dulu pernah menghadang perjalannya dengan
Andana. Dan kakek ini pula yang pernah ditelanjangi dicurinya celananya.
Serangn api yang menyembur keluar dari sepasang mata Anduang Mata Api
dielakkan oleh si kakek dengan gerakan-gerakan aneh. Kedua kakinya terkadang
tampak melompat, sesekali seperti menendang ke kiri dan ke kanan. Di lain saat
kedua kakinya itu seperti menari lalu berjingkrak-jingkrak. Tubuhnya gerabak-
gerubuk, terhuyung-huyung kian kemari seperti orang mabok sementara kedua
tangannya digerakkan demikian rupa seolah-olah orang yang berusaha bertahan agar
tidak jatuh. Ya Tuhan! Aku tidak buta! Gerakan orang tua itu adalah jurus-jurus ilmu silat
Orang Gila. Hanya kakek sakti Tua Gila yang memilikinya dan pernah
mengajarkannya padaku. Tapi dia jelas bukan Tua Gila!
Wiro seperti mendapat semangat. Dia percaya orang tua itu akan menolongnya.
Sementara pertolongan belum datang dia berusaha melepaskan diri dari lilitan
Benang Kayangan. Tapi tetap tidak berhasil.
Sambil menghadapi serangan maut si nenek , sesekali si kakek berpaling pada
Wiro yang tergeletak di tanah dalam keadaan terikat dan juga setengah talanjang
karena celananya masih seperti tadi yaitu merosot sampai ke paha! Setiap kali
dia berpaling pada Wiro, setiap kali pula dia menyeringai lali mencibir.
Ah, jangan-jangan dia masih mendendam padaku atas kejadian tempo hari.
Kutelanjangi dirinya lalu pernah pula kurampas kudanya!
"Anak muda, kau tenang-tenang saja di situ. Giliranmu untuk menerima
hukuman bakal datang!" si kakek berseru lalu kembali menghadapi lawannya.
Gerakannya yang gerabak gerubuk kini sambil melepaskan pukulan tangan kosong
jarak jauh membuat si nenek tampak bergoyang-goyang tanda sang kakek memiliki
tenaga dalam luar biasa.
"Betina mesum, saatnya kau mengembalikan barang yang kau curi dariku! Di
mana barang itu kau sembunyikan"!" si kakek berseru.
Anduang Mata Api menyeringai. "Kau mau barangmu, cari sendiri!"
"Ah! Kau memang kurang ajar!" si kakek berpaling sebentar pada Wiro,
mencibir lalu kembali dia menghadapi si nenek. "aku terpaksa tak akan memberi
ampun padamu! Kau bukan cuma pembunuh keji tapi juga pencuri tengik!"
"Ah, aku juga memberikan kenikmatan pada setiap lelaki..... hik....hik....hik.
pemuda itu barusan merasakannya! Hik.....hik....hik!"
"Tua bangka sialan!" teriak Wiro.
"Anak muda! Kau bisa jadi kekasihku! Jadi tutup mulut dan tunggu sampai
nanti kita bersenang-senang lagi. Biar kubereskan dulu kurcaci rongsokan ini!"
kata Anduang Mata Api pula. Dia lalu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Serangannya kini bukan saja api yang keluar dari kedua matanya, tetapi juga
pukulan- pukulan tangan kosong yang tak kalah hebatnya dengan yang dilancarkan lawannya,.
Walaupun demikian si nenek tetap saja tidak mampu menyentuh atau membuat cidera
si kakek. Malah ketika lawannya membuat gerakan-gerakan cepat dan berputar-
putar, dia seperti kena sirap ikut pula berputar-putar. Si kakek keluarkan suara
tertawa panjang. Tubuhnya tiba-tiba melesat ke udara. Lawan berusaha menghantam tapi
BASTIAN TITO 53 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
luput. Kedua kaki si kakek dengan kecepatan luar biasa, dua kaki itu menendang
ke arah pipi si nenek dengan keras.
Raungan setinggi langit melesat keluar dari mulut perempuan tua itu.
Tubuhnya terhuyung-huyung lalu jatuh berlutut. Daun telinganya hancur dan darah
mengucur dari kedua liangnya. Rahangnya rengkah kiri kanan, tulang pelipisnya
remuk! Dia megap-megap beberapa kali lalu tersungkur dan menggeletak di tanah
tak berkutik lagi! "Kek.... Hai!" Wiro memanggil. Tapi yang dipanggil seperti tidak mendengar.
Kedua mata kakek itu memperhatikan ujung benang yang mengikat tubuh Pendekar
212. Benang ini lenyap di balik seonggok pakaian, yaitu pakaian milik Anduang
Mata Api. Dengan ujung kakinya si kakek mengungkit dan melemparkan pakaian itu. Di
tanah, sebelumnya tertutup oleh pakaian kelihatan sebuah benda. Inilah yang
dicarinya. Dengan cepat si kakek mengambilnya. Lalu dia berpaling ke arah Wiro.
"Kek, tolong lepaskan libatan benang ini!" kata Wiro.
Si kakek mendengus. Tiba-tiba dia gerakkan tangannya menyentakkan benang
yang menjulai di tanah. Dua kali sentak tubuh Pendekar 212 terbetot keras. Lalu
tubuh itu berputar laksana gasing. Benang putih yang menggulung di tubuh Wiro
terbuka lepas. Begitu lepas tak ampun lagi Wiro berdebam ke tanah. Hidungnya
menyentuh tanah lebih dulu. Murid Eyang Sinto Gendeng menjerit keras. Hidungnya
serasa remuk. Darah mengucur.
Dalam keadaan sakit dan mengomel Wiro masih bisa ingat diri. Cepat-cepat
dia berdiri sambil menarik celananya.
Lalu dia mendekati orang tua itu. "Kek, walau kau menyakitiku aku berterima
kasih. Kau telah menolongku membebaskan ikatan benang keparat itu...."
"Benang keparat katamu" Sialan! Enak saja kau bicara! Lagi pula siapa yang
menolongmu! Aku hanya mengambil benang milikku! Perempuan jahat itu
mencurinya dariku beberapa waktu yang lalu...."
"Hemmmmm......" Wiro garuk-garukkan kepalanya. "Kek, kau bilang benang
itu milikmu" Mana mungkin"!"
"Apa yang mana mungkin"!" hardik si kakek.
"Aku tahu betul, benang itu adalah Benang Kayangan. Cuma ada satu
pemiliknya. Seorang kakek sakti menyandang dua julukan yaitu Pendekar Gila Patah
Hati dan Iblis Gila Pencabut Jiwa. Namun dia lebih dikenal dengan sebutan Tua
Gila!" "Kau bisa bicara begitu tentu kau kenal padanya!"
"Aku.....aku adalah...." Wiro tak meneruskan kata-katanya.
Si kakek menyeringai. "Kau bicara terlalu banyak. Aku tahu itu hanya untuk
mengalihkan perhatianku! Kau kira aku sudah lupa perbuatan kurang ajarmu tempo
hari"! Kau telanjangi diriku. Kau curi celanaku. Lalu kau juga merampas kudaku!
Malam ini setelah kau bersenang-senang dengan betina busuk itu, tiba saatnya kau
menerima hukuman dariku! Aku akan mematahkan lima jari tangan kananmu karena
mencuri celana dan menelanjangi diriku. Lalu aku akan mencopot satu kakimu
karena telah merampas kudaku...."
"Kek,dengar! Aku akan ganti celana dan kudamu itu!" si kakek menyeringai.
"Celana dan kuda itu tidak seberapa nilainya. Tapi sakit hatiku atas kekurang
ajaranmu tak bisa impas dengan apapun!"
Habis berkata begitu si orang tua melompat ke arah Pendekar 212. Tangan
kanannya membuat gerakan mencengkeram ke arah jari-jari tangan kanan Wiro
sedang kaki kirinya menndang ke pangkal paha!
BASTIAN TITO 54 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Tentu saja murid Sinto Gendeng tidak mau menjadi bulan-bulanan serangan.
Secepat kilat dia mengelak. Diluar sadar tak sengaja dia mengeluarkan jurus-
jurus ilmu silat Orang Gila. Sekali bergerak dia berhasil mengelakkan dua serangan
itu. "Eh! Anak setan! Kau memainkan ilmu silat apa"! Siapa yang mengajarkan
gerakan itu padamu"!" bertanya si kakek.
"Aku akan katakan. Jawabannya ada di telapak tangan kananku," jawab Wiro.
Si orang tua mengernyit lalu mendekat. "Coba kulihat telapak tanganmu itu!"
Wiro ulurkan tangan kanannya. Si kakek tundukkan kepala. Tiba-tiba tangan
Wiro bergerak laksana kilat ke arah wajah si orang tua. Sebelum kakek ini sempat
menjauhkan kepalanya, Wiro telah berhasil menarik lepas topeng tipis yang
dikenakan orang tua itu. Kini kelihatanlah wajahnya yang asli. Mukanya pucat.
Pipi dan mata cekung besar, memelihara kumis serta janggut putih. Kepalanya nyaris
botak karena rambutnya sangat jarang. Begitu mengenali wajah orang itu pucatlah
paras Pendekar 212. buru-buru dia jatuhkan diri, berlutut di tanah seraya
berseru. "Kek! Maafkan muridmu ini! Aku terlanjur berlaku kurang ajar padamu karena tidak
tahu kau adalah guru sendiri! Sekarang aku siap menerima hukuman!"
Orang tua di hadapan Wiro menatap tak berkesip. Wajahnya semakin pucat.
Wiro menjadi tegang.
"Kek...."
Orang bermuka pucat itu yang bukan lain adalah Tua Gila si kakek sakti
paling ditakuti di Pulau Andalas sedikit demi sedikit menyunggingkan senyum.
"Anak setan! Kelakuanmu seharusnya memang tidak bisa diampuni. Kalau
saja kau bukan muridku.... Hemmm, mau kuapakan kau ini!" tangan kiri Tua Gila
hinggap di telinga Pendekar 212 lalu diputar-putarnya ke depan dan ke belakang
sambil tertawa mengekeh. Walau sakitnya jeweran itu setengah mati Wiro tak
berani bersuara. Si kakek menarik tangannya ke atas hingga Wiro terangkat dan berdiri.
"Ada apa kau jauh-jauh datang kemari"!" bertanya Tua Gila.
"Saya kangen padamu kek. Ingin menyambangimu. Sekalian membawa pesan
dan salam Eyang Sinto Gendeng di Gunung Gede...."
"Hemmm... apakah gurumu di nenek bawel itu ada baik-baik saja/"
"Beliau ada baik-baik dan sehat-sehat."
"Perjalananmu sekali ini agaknya menemui banyak hal yang tidak
menyenangkan, kecuali tadi waktu kau diajak bersuka-suka oleh si nenek itu....."
Si kakek lalu terkekeh.
Paras Pendekar 212 jadi merah. Sambil menggaruk-garuk kepala dia berkata.
"Tak sengaja saya terlibat dalam satu persoalan yang menimpa sahabat saya
bernama Andana. Dia keponakan Datuk Gampo Alam.... Yang punya hubungan dekat dengan
Tumenggung Rajo Langit di Batusangkar."
"Tumenggung Rajo Langit punya kekausaan tapi tak punya ilmu kepandaian
berarti. Tak usah takut padanya. Yang harus diperhitungkan justru Datuk Gampo
Alam. Dia punya beberapa ilmu kesaktian. Dia memiliki ilmu kepandaian yang
disebut ilmu Belut Putih. Lalu ilmu Raja Sebumi. Ilmu ini membuat dia tidak bisa
mati selama tubuhnya masih menginjak bumi. Di samping itu dia juga masih punya
satu ilmu yang hebat. Dalam keadaan terdesak dia sanggup masuk ke perut bumi....
Beri tahu hal itu pada sahabatmu Andana...."
Wiro mengangguk. "Terima kasih atas petunjukmu Kek.... Apakah kau mau
memaafkan perlakuan saya tempo hari?" Wiro bertanya karena merasa masih ada
ganjalan. "Sudahlah! Malam begini larut. Tubuh rongsokan ini tak sanggup lama-lama
berada di luaran. Kalau urusanmu sudah selesai datang ke tempatku...."
BASTIAN TITO 55 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Saya pasti datang Kek...."
Tua Gila memasukkan gulungan Benang Kayangannya ke balik pakaian. Dia
hendak melangkah pergi. Tapi tiba-tiba berbalik kembali sambil tersenyum.
"Bagaimana pendapatmu tentang janda Datuk Gampo Alam itu....?"
Paras Pendekar 212 untuk kesekian kalinya menjadi merah. Sambil garuk-
garuk kepala dia berkata. "Saya....saya baru satu kali menemuinya Kek...."
Tua Gila mengekeh. "Baru satu kali menemuinya atau baru sekali
menidurinya......"!"
Wiro menahan nafas. "Anak setan hati-hati kalau berbuat. Sampai anak orang
kau hamili, kau tak bakal kembali ke tanah Jawa......."
Tua Gila tertawa lagi lalu berkelebat pergi. Murid Eyang Sinto Gendeng
kembali hanya bisa garuk-garuk kepala. "Untung orang tua itu tidak marah. Kalau
tidak pasti habis aku dikerjainya!"
BASTIAN TITO 56 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
EMPAT BELAS Malam itu Datuk Gampo Alam hampir tak bisa memicingkan mata. Kematian
Daud alias Hantu Mata Picak yang diandalkannya benar-benar mengenaskan dan
merusak semua rencananya. Agaknya kini dia memang harus turun tangan sendiri,
tak mungkin meminjam tangan orang lain. Ditambah dengan ucapan Tumenggung Rajo
Langit bahwa dia ingin mengambil Bunga jadi istrinya membuat sang Datuk jadi
tambah gelisah, mengkal, benci dan marah.
Kalau selesai pembayaran penjualan rumah gadang akan kuhabisi tua
bangka keparat itu! Lalu sang Datuk teringat pada Sati. Manusia itu tak bisa
dibiarkan hidup lebih lama. Tentu dia akan berceloteh menebar cerita yang bukan-
bukan! Mungkin dia mendendam padaku gara-gara dihajar para pembantuku sampai
babak belur di Batusangkar tempo hari. Setan!
Hanya ada satu hal yang membuat sang datuk agak terhibur. Yaitu besok pagi
dia akan mendengar kabar dari Mamak Rabiah mengenai lamarannya untuk
memperistrikan Bunga. Dia tersenyum-senyum seniri di atas tempat tidur.
Tak ada yang pernah menolak lamaran Datuk Gampo Alam. Semua gadis di
Pagaralam ini ingin kuperistrikan! Termasuk Bunga tentunya.
Menjelang pagi akhirnya Datuk Gampo Alam tertidur juga walau Cuma
sebentar. Paginya dia sudah duduk di ruang tengah rumah gadang. Tak lama
kemudian perempuan itu tampak di ujung halaman, melangkah menuju rumah gadang,
menaiki tangga dan samapi di atasnya.
"Rabiah, kau benar-benar memenuhi janji. Duduklah. Aku ingin sekali cepat-
cepat mendengar kabar baik darimu...."
Saat itu Rabiah merasakan tubuhnya lemah dan gontai. Kalau saja dia tidak
menguatkan hati mungkin watu menaiki tangga tadi dia sudah terguling ke bawah.
"Kau ingin minum apa Rabiah" Teh manis" Kopi hangat?"
"Terima kasih Datuk. Saya baru saja minum," jawab Mamak Rabiah.
"Hemmm.... kalau begitu kita segera bisa bicara. Kau membawa kabar baik
pasti. Bunga bersedia menjadi istriku bukan?"
Sesaat Rabiah tertunduk tak bisa membuka mulut.
"Eh, Rabiah. Ada sesuatu yang perlu kukatakan padamu. Kau maupun Bunga
tidak perlu merasa takut akan melanggar adat atau agama. Rukiah telah
kuceraikan. Jadi kalau Bunga menjadi istriku, jumlah istriku tetap empat. Tidak lima seperti
yang mungkin kalian takutkan. Ha .....ha.....ha.....!"
"Datuk, sebenarnya saya...."
"Apakah kau sudah mereka-reka hari dan tanggal serta bulan baik perkawinan
anakmu dengan aku Datuk Gampo Alam, bengsawan terpandang di Pagaralam ini?"


Wiro Sableng 075 Harimau Singgalang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Datuk, sebenarnya..... Sebenarnya saya ini bukan Ibu kandung Bunga,"
ucapan itu keluar dari mulut Mamak Rabiah.
"Ah, kau ini hendak bergurau atau bagaimana. Semua orang di Pagaralam ini
tahu kalau kau adalah ibunya Bunga. Ibu kandung. Aneh kalau sekarang kau tidak
mengakuinya."
"Saya tidak berdusta Datuk. Saya memang bukan Ibunya. Saya tidak pernah
melahirkannya."
Datuk Gampo Alam menatap wajah perempuan itu beberapa saat. "Sudahlah
Rabiah. Apakah kau Ibunya atau bukan tidak penting bagiku. Yang penting Bunga
sudah setuju kujadikan istri. Begitu?"
BASTIAN TITO 57 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Tidak Datuk. Maafkan saya. Saya sudah menyampaikan maksud Datuk pada
gadis itu. Tapi maaf sekali lagi. Bunga menolak karena dia merasa belum cukup
umur....."
"Belum cukup umur" Alasan buta!" belalak Datuk Gampo Alam sambil
menyentakkan lehernya dua kali. Coba kau katakan berapa umur anak itu sekarang?"
"Belum lagi dua puluh....."
"Belum lagi dua puluh. Anak orang lain umur sembilan belas sudah jadi
janda! Rabiah, apa aku harus menunggu sampai gadis itu jadi seorang nenek"!"
Datuk Gampo Alam sentakkan lehernya.
Mamak Rabiah tidak bisa menjawab. Kepalanya tertunduk namun dadanya
seperti menggemuruh.
"Dengar Rabiah. Penghulu sudah kuhubungi. Pasumandan pengiring
pengantin sudah disiapkan. Juru masak dan juru rias sudah diberi tahu. Kau dan
Bunga tinggal tahu beres saja! Apa lagi" Apa tidak senang menjadi istri Datuk
Gampo Alam"!"
Perlahan-lahan Rabiah mengangkat kepalanya. Kedua matanya tampak basah.
Air mata bercucuran di kedua pipinya.
"Gila! Apa pula ini Rabiah"! Mengapa kau menangis"!" Datuk Gampo Alam
terheran-heran tapi juga mulai jengkel.
"Datuk.... Ingin saya menyampaikan satu rahasia yang selama ini mungkin
tidak Datuk ketahui. Sebenarnya Bunga itu adalah....."
Ucapan Mamak Rabiah terputus ketika di tengah halaman rumah gadang
terdengar suara orang berteriak.
"Datuk Gampo Alam! Turunlah ke halaman! Aku ingin bicara denganmu!"
Eh, itu suara si Andana, ada apa dia berteriak seperti itu. Kurang ajar! Setan!
Datuk Gampo Alam menyentakkan lehernya lalu berdiri dan melangkah cepat ke
jendela. Dari jendela dia melihat Andana duduk di atas seekor kuda. Mukanya
tampak sangar. Di sebelahnya juga duduk di atas kuda adalah pemuda Jawa bernama Wiro
Sableng itu. Sesuatu telah terjadi. Jangan-jangan Sati sudah membuka mulut!
Rahang Datuk Gampo Alam menggembung. Dadanya berdebar keras. Namun dia cepat
menguasai diri.
"Kemenakanku Andana, mengapa tidak naik ke atas rumah gadang kalau ingin
bicara denganku?"
"Aku ingin kau datang kemari. Kita bicara di halaman sini!" jawab Andana.
Kurang ajar. Berani dia bicara beraku-aku denganku!
Datuk Gampo Alam tidak dapat menahan amarahnya. Dia melompat menuruni
tangga. Begitu sampai di hadapan Andana dia membentak.
"Apapun yang ada di benakmu aku tidak suka melihat kau bicara kurang ajar
padaku! Turun dari kuda dan bicara di dalam rumah! Setan apa yang tiba-tiba
merasuk dirimu hingga adat sopan santunmu menjadi hilang lenyap"!"
Andana menyeringai sementara Wiro tampak cengar-cengir. "Datuk setan!"
bentak Andana tak kalak keras. "Apa masih pantas aku bicara hormat dengan
manusia yang telah membunuh Ayahku" Ayo jawab!"
Tampang Datuk Gampo Alam sesaat tampak memutih namun di lain saat
berubah menjadi kelam merah. Dia merasa seolah kepalanya menjadi dua. Rahangnya
menggembung. Nafasnya seperti meledak-ledak.
"Anak setan! Ayahmu mati jauh dari sini! Dikubur jauh di puncak Singgalang.
Sungguh kurang ajar kalau kau berani menuduh aku sebagai pembunuh Ayahmu!
Kemenakan keparat! Kau sudah gila rupanya!"
"Kau yang gila!" teriak Andana.
BASTIAN TITO 58 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Sang Datuk tersentak seperti dihenyakkan.
"Kau bukan saja membunuh Ayahku. Tapi juga berusaha membunuh diriku
dengan menyuruh kaki tanganmu. Aku tahu semua perbuatanmu. Mulai dari pisau
terbang beracun itu. Ular berbisa dan sirih dalam cerana! Semua kau yang
merencanakan! Kau membunuh Ayahku! Kini giliranmu sudah tiba! Kau ingat
dimana kau membunuh Ayahku, Datuk"!"
"Otakmu benar-benar tidak waras! Bicara gila apa ini"!" teriak Datuk Gampo
Alam. "Kalau tidak memandang kau anak kakak kandungku, sudah kupecahkan
kepalamu sejak tadi-tadi!"
Wiro Sableng batuk-batuk beberapa kali. Suaranya membuat Datuk Gampo
alam berpaling padanya dan lantas saja berteriak marah. "Kau juga bangsat! Kau
pasti sudah mempengaruhi kemenakanku dengan hasutan-hasutan gila! Kau bakal dapat
bagian dariku!"
Wiro tertawa lebar. "Boleh saja kau bilang aku bangsat. Jika aku bangsat
maka kau adalah bapak moyangnya bangsat. Kan begitu! Jangan berlagak yang tidak-
tidak Datuk! Sahabatku ini ada bukti, ada saksi hidup yang mengatakan bahwa
kaulah yang telah membunuh Ayahnya!"
"Anak setan! Kau berani mencampuri urusan aku dan kemenakanku! Rasakan
tanganku!" Datuk Gampo Alam melompat dan melancarkan satu jotosan ke arah
pinggang Pendekar 212. Wiro cepat geser kuda tunggangannya lalu palangkan lengan
kanannya menangkis serangan Datuk Gampo Alam.
Dua lengan beradu. Wiro serasa seperti dihantam pentungan keras sebaliknya
sang Datuk seolah digebuk dengan besi. Lengan masing-masing kelihatan merah.
Kalau Wiro terhuyung ke kiri maka Datuk Gampo Alam terpental sampai dua
langkah! Ketika sang Datuk dengan penasaran hendak menyerang kembali, Andana
cepat menyorongkan kudanya hingga gerakan Datuk Gampo Alam terhalang.
"Kau masih ingat dimana kau membunuh Ayahku"!" ujar Andana sambil
menatap tajam pada Mamak atau Pamannya itu. "Di situ pula nyawamu akan kau
lepas. Kutunggu kau besok di Ngarai Sianok! Jangan mencoba lari! Selama Merapi
dan Singgalang masih tegak menjaga nagari, selama Batang Anai masih mengalir ke
laut dan selama air Danau Singkarak masih tetap biru, selama itu pula aku akan
mencarimu!"
"Andana! Jangan kau terpancing hasutan orang! Otakmu sedang kacau. Setan
mana yang mengatakan padamu bahwa aku yang membunuh Ayahmu! Gila! Aku
Datuk Gampo Alam tega membunuh kakak kandung sendiri!"
"Datuk culas! Hatimu lebih jahat dari iblis! Tak ada setan, tak ada hasutan!
Tapi ada seorang saksi hidup yang melihat kejadian waktu kau dan Hantu Mata
Picak membunuh Ayahku!"
"Ah! Mana mungkin! Ini pasti fitnah belaka! Jangan sampai kau terjebak
Andana!" ujar Datuk Gampo Alam sambil mengurut-urut lengannya yang masih
terasa sakit. Rahang Andana menggembung. Dia berpaling ke arah sebatang pohon besar
di ujung halaman. Lalu berteriak. "Sati! Keluarlah! Berikan kesaksianmu pada
Mamak jahanam ini!"
Dari balik pohon keluarlah Sati sambil mengangkat tangannya. Sejarak
sepuluh langkah dari orang-orang itu dia berkata keras-keras.
"Demi Allah aku bersumpah! Aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri
Hantu Mata Picak mencekal Datuk Bandaro Sati dari belakang. Lalu Datuk Gampo
Alam merampas keris milik kakaknya. Dengan keris itu dia kemudian menusuk
BASTIAN TITO 59 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
sekujur tubuh Datuk Bandaro Sati bertubi-tubi sampai akhirnya menemui ajal di
tepi Ngarai Sianok!"
Datuk Gampo Alam seperti mendengar halilintar.
Saat itu terdengar pula dampratan Andana.
"Hanya untuk mendapatkan dan menjual rumah gadang milik Ayahku, kau
membuat Surat Wasiat palsu! Kau bunuh Ayahku, kau coba membunuh aku! Datuk
keparat! Kelak kau akan jadi puntung neraka!"
"Dusta! Fitnah! Kubunuh kau Sati! Kau mendendam padaku karena pernah
dihajar oleh anak buahku! Dan kau Andana menjatuhkan tuduhan palsu karena kau
tidak suka aku memperistri Bunga! Kalau kau merasa benar mengapa tidak melapor
dan mengadu pada Tumenggung di Batusangkar"!"
Wiro keluarkan suara tertawa. "Tumenggung itu sama saja bengsatnya dengan
kau! Bukankah dia yang memenjarakan sahabatku ini sesuai dengan rencana kalian
berdua"! Seharusnya kau tidak perlu banyak bicara Datuk. Makin banyak kau bicara
makin terungkap kelicikanmu!"
Pelipis Datuk Gampo Alam bergerak-gerak. Dia memandang pada Andana
dan berkata. "Andana kemenakanku...."
"Jangan sebut aku kemenekanmu!" sergah Harimau Singgalang. "Hari ini
putus hubungan mamak dengan kemenakan! Ingat! Aku tunggu kau di Ngarai Sianok
petang ini sebelum matahari tenggelam. Arwah Ayahku akan menyaksikan
kematianmu di tempat kau membunuhnya dulu!"
"Anak keparat! Setan haram jadah!" carut Datuk Gampo Alam lalu
menyentakkan lehernya dan meludah ke tanah.
Andana memberi isyarat pada Wiro. Keduanya segera meninggalkan tempat
itu. Ketika Datuk Gampo Alam naik kembali ke atas rumah gadang, Mamak
Rabiah tak ada lagi di situ. Meledaklah kemarahan sang Datuk. Apa saja yang ada
di dekatnya langsung ditendang dan dipukulnya!
Tiga orang istrinya tentu saja terkejut dan keluar dari kamar masing-masing.
"Ada apa Datuk" Mengapa mengamuk seperti ini?" tanya Zainab istri paling tua.
Plaakkk! Jawaban berupa tamparan keras yang dilayangkan Datuk Gampo
Alam ke pipi istrinya itu membuat Zaenab terpekik dan tersandar ke dinding.
BASTIAN TITO 60 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
LIMA BELAS Mamak Rabiah tidak lagi hanya melangkah tetapi kini berlari secepat yang bisa
dilakukannya. Bunga yang sedang menyisir rambut di dalam rumah sangat terkejut
ketika di pintu terdengar ketukan beruntun disertai suara memanggil-manggil.
"Bunga! Bunga! Lekas buka pintu Naaakk!"
Bunga melemparkan sisir ke atas sebuar rak lalu bergegas membuka pintu.
"Ada apa Mak" Orang Datuk Gampo Alam menyakiti Mamak karena menolak
pinangannya"!"
"Tidak Bunga. Bukan..... Ada hal lain yang lebih gawat dari itu. Malapetaka
besar akan terjadi kau harus mencegahnya Nak. Hanya kau yang bisa
mencegahnya....!"
"Apa yang harus saya cegah Mak" Malapetaka apa maksud Mamak?" tanya
Bunga tak mengerti. "Minum dulu Mak, biar Mamak bisa tenang dan bicara
jelas...."
lalu gadis itu mengambil segelas air putih. Setelah meneguk sampai setengahnya
dia berkata. "Nah, sekarang Mamak bisa bicara lebih jelas. Apa melapetaka yang Mamak
katakan tadi itu. Lalu apa pula yang harus saya cegah...."
"Kakakmu..... Harimau Singgalang... Datuk Gampo Alam...." ucapan
perempuan itu tersendat dan terputus-putus.
"Harimau Singgalang" Maksud Mamak Andana" Datuk Gampo Alam" Ada
apa dengan mereka Mak?"
"Mereka akan saling berbunuhan. Sore ini! Di Ngarai Sianok. Di situ mereka
akan saling berbunuhan sampai salah satu dari mereka mati! Kau harus mencegah
hal itu Bunga!"
"Aneh, apa pasal Mamak dan Kemenakan itu saling berbunuhan" Kalau itu
betul lalu bagaimana pula saya bisa mencegahnya?"
"Datuk Gampo Alam.... Ternyata dia yang membunuh Datuk Bandaro Sati
Ayah Andana. Adiknya itu dibunuhnya di Ngarai Sianok. Kini Andana akan menuntut
balas. Saat ini mereka tentu sudah berada dalam perjalanan...."
Bunga termenung beberapa lamanya. Dengan suara perlahan dia kemudian
berkata. "Jika mereka memang maunya saling bunuh membunuh biarkan saja Mak.
Bukan urusan kita. Lagi pula saya yakin kakak Andana akan menang karena dia
berada di pihak yang benar...."
"Justru karena itulah Bunga. Kau harus mencegah agar mereka tidak saling
bunuh. Kau harus mencegah kakakmu itu tidak membunuh Datuk Gampo Alam.
Karena Datuk itu adalah...."
"Karena Datuk itu adalah apa Mak?" tanya Bunga ketika Mamak Rabiah tidak
meneruskan kata-katanya.
Mamak Rabiah tersengguk-sengguk. Air mata bercucuran deras ke pipinya.
Diulurkannya kedua tangannya merangkul Bunga. Lalu diantara sedu sedannya dia
berkata. "Karena Datuk Gampo Alam sebenarnya Ayah kandungmu sendiri Bunga...."
Si gadis meronta melepaskan diri. Melangkah mundur dan memekik keras.
Gelas yang masih dipegangnya lepas terjatuh, pecah berantakan di lantai.
Wajahnya tampak pucat sekali.bahunya bergetar menahan goncangan. Dia memandang pada
Mamak Rabiah seperti melihat hantu.
"Mamak..... Mamak tidak bicara dusta?"
Mamak Rabiah menggelengkan kepala. "Datuk Gampo Alam memang
sebenarnya Ayah kandungmu Nak....."
BASTIAN TITO 61 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Bunga merasakan seperti tulang belulangnya menjadi luluh. Gadis ini jatuh
terduduk di lantai. Mamak Rabiah duduk pula di hadapannya.
"Maafkan Mamak Bunga. Selama ini Mamak selalu merahasiakan hal itu
karena Mamak patuh pada pesan Ibumu...."
"Pesan Ibu saya?" kedua mata Bunga membesar. "Pesan apa Mak?" Bunga
mengulurkan kedua tangannya lalu menggocang bahu Mamak Rabiah. Tangis Mamak
Rabiah semakin keras. Tidak tahan akhirnya dia memeluk Bunga erat-erat.
"Kejadiannya sekitar dua puluh tahun lalu. Waktu itu Datuk Gampo Alam
sedang berburu di rimba. Dia tersesat dan terpisah dari teman-temannya. Saat itu
dalam keadaan terluka di salah satu kakinya, dia terpesat ke pondok tempat
kediaman Ibumu. Selama Datuk sakit terserang demam panas. Ibumulah yang merawatnya.
Ketika dia sembuh, Datuk Gampo Alam merasa berhutang budi. Lalu dia mengawini
Ibumu. Selama Ibumu mengandung Datuk Gampo Alam tak pernah datang lagi.
Ibumu melahirkanmu dalam keadaan sangat menderita. Mamak yang waktu itu
bertindak sebagai dukun beranak menolong Ibumu. Hanya sayang Ibumu telah
kehabisan daya. Dia banyak mengeluarkan darah dan menghembuskan nafas ketika
kau keluar dari rahimnya. Namun sebelum meninggal Ibumu sempat berpesan agar
Mamak jangan memberi tahu kepadamu siapa Ayahmu. Juga dia berpesan agar aku
mengambilmu sebagai anak sendiri dan merawatmu baik-baik...."
Bunga menjatuhkan dirinya ke dalam pangkuan Mamak Rabiah dan menangis
keras-keras. Ketika tangisnya mulai reda, dengan suara parau gadis ini berkata.
"Seharusnya saya ikut mati bersama Ibu saat itu..."
"Jangan berkata seperti itu Nak...."
"Mamak, orang seperti Datuk Gampo Alam itu sepantasnya dibiarkan mati
dibunuh orang...."
"Jangan berpikiran seperti itu Bunga. Baik atau buruknya dia, bagaimanapun
dia adalah Ayah kandungmu. Kau berasal dari tetesan darahnya Nak...."
Bunga menjerit lalu meratap. "Saya tidak perduli pada Datuk Gampo Alam.


Wiro Sableng 075 Harimau Singgalang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saya kini menangisi nasib diri yang hina ini. Kalau Datuk Gampo Alam ayah saya
dan Datuk Bandaro Sati Ayah Andana berarti kami saudara sebapak. Berarti kami
tidak akan pernah bisa....." Bunga meraung keras.
"Bunga, Mamak dapat merasakan apa yang ada di hatimu. Kini kau menyadari
bahwa kau tak akan pernah bisa bersatu dengan pemuda yang kau cintai itu.
Pertalian darah antara Ayahmu dan Ayah Andana terlalu kuat..... Sekarang kau tahu mengapa
Mamak meminta agar kau mencegah mereka saling bunuh. Lakukan sesuatu Bunga.....
Selamatkan Ayahmu dan juga pemuda yang kau kasihi itu...."
Harimau Singgalang dan Pendekar 212 Wiro Sableng tidak bodoh untuk
meninggalkan Datuk Gampo Alam begitu saja. Bukan mustahil Datuk yang licik itu
akan melarikan diri. Karena itu kedua pemuda ini bersembunyi di satu tempat
kelindungan, memperhatikan rumah gadang dari kejauhan. Dua pendekar ini tidak
menunggu lama. Seorang pelayan kelihatan menuntun seekor kuda hitam ke dekat
tangga rumah gadang. Tak lama kemudian kelihatan Datuk Gampo Alam menuruni
rumah. Dia mengenakan pakaian galembong serba hitam. Keninngnya diikat dengan
sehelai kain hitam pula. Di pinggangsebilah keris terselip sebilah keris emas
yang bukan lain adalah keris Tuanku Ameh Nan Sabatang yang dicurinya dari Andana. Di
pinggang kanan terselip sebuah saluang (suling khas Minang)
"Datuk keparat itu sudah siap hendak berangkat. Tapi aneh mengapa dia
membawa saluang segala?" membuka mulut Andana di tempat yang kelindungan.
BASTIAN TITO 62 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Bukan mustahil itu bukan suling biasa Andana. Pasti ada tuah
kesaktiannya...." menyahuti Wiro.
Saat Datuk Gampo Alam naik ke atas kuda hitamnya, tiga istrinya berada di
belakang jendela tengah rumah gadang. Zainab istri tua berkata pada dua madunya.
"Saya punya firasat, Datuk Gampo Alam tak akan pernah kembali lagi ke rumah
gadang ini."
Begitu Datuk Gampo Alam memacu kudanya meninggalkan Pagaralam,
Andana dan Wiro segera menguntit dari kejauhan. Sementara itu dari jurusan lain
sebuah kereta tua ditarik oleh seekor kuda besar meluncur kencang ke arah Barat
Laut di mana berdiri tegak Gunung Merapi. Saisnya seorang pemuda berkopiah hitam
kupluk sedang di sebelahnya duduk seorang gadis cantik yang menutupi wajahnya
dengan sehelai selendang. Dia bukan lain adalah Bunga anak kandung Datuk Gampo
Alam. Ngarai Sianok diselimuti kesunyian. Sesekali angin bertiup kencang. Di Timur
langit tampak kemerahan tanda sang surya berisap-siap untuk masuk ke ufuk
tenggelamnya. Datuk Gampo Alam turun dari kudanya, membiarkan binatang itu
merumput. Dia memandang berkeliling lalu melangkah ke tepi Ngarai. Sunyi, tak
ada siapa-siapa di tempat itu. Sesaat dia memeprhatikan keadaan di sekelilingnya
dengan rasa tegang. Anak keparat itu masih belum muncul rupanya. Atau dia memang tak akan
muncul"! Baru saja dia membatin begitu tiba-tiba dari balik tanah yang ketinggian
muncul dua orang penunggang kuda yang sama-sama mengenakan pakaian putih.
"Kurang ajar!" rutuk Datuk Gampo Alam. "Pemuda Jawa itu apa-apaan dia
ikut bersama anak setan ini!"
Begitu Andana dan Wiro sampai di hadapannya Datuk Gampo Alam langsung
menegur sinis sambil bertolak pinggang.
"Rupanya kau tidak punya nyali untuk datang sendirian!"
Andana hendak menjawab. Tapi Wiro cepat mendahului. "Kami memang
datang berdua, tapi yang punya urusan dengan manusia jelek licik sepertimu ini
Cuma satu. Kemenakanmu sendiri. Apa kau merasa ngeri menghadapainya....?"
Tampang Datuk Gampo Alam kelihatan kelam kemerahan. Dia berpaling pada
Andana. "Kau inginkan nyawaku. Mengapa masih ongkang-ongkang di atas kuda"
Turunlah untuk membuktikan mulut besarmu bahwa kau memang punya kemampuan
membunuhku Andana tersenyum. Dia melirik pada Wiro. Murid Sinto Gendeng langsung
membuka mulut. "Rupanya Datuk kita ini ingin cepat-cepat menemui kematiannya.
Apa pendapatmu sobat?"
"Aku masih mau memberi kesempatan padanya untuk bertobat dan minta
ampun pada Tuhan sebelum meregang nyawa menghadap Penguasa Akhirat!"
Muka Datuk Gampo Alam seperti udang direbus. Lehernya disentakkan.
"Anak setan! Kau yang akan jadi cacing tanah lebih dulu!" hardik Datuk Gampo
Alam. Begitu Andana meloncat turun dari kudanya langsung saja dia menyerang
dengan jotosan keras ke arah pinggang. Andana tidak tinggal diam. Masih melayang
di udara kaki kanannya melesat ke arah kepala Pamannya itu. Mau tak mau Datuk
Gampo Alam terpaksa tarik pulang serangannya. Dia membalik ke kiri dengan cepat.
Begitu tendangan Andana lewat sang Datuk balas menghantam dengan kaki kanan.
Andana berseru kaget. Kaki sang Datuk menyambar begitu cepat dan tak terduga.
BASTIAN TITO 63 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Sedang dari mulutnya terdengar suara aneh seperti binatang mencicit. Selanjutnya
tubuhnya tampak bergerak kian kemari, melenting-lenting seperti bola, tangan dan
kakinya berkelebat aneh dalam gerakan-gerakan yang tidak terduga, menggapai
merobek ganas. Inilah ilmu silat "tupai pesisir" yang sangat berbahaya. Baru dua
jurus mengeluarkan ilmu silat aneh itu terdengar suara pakaian robek. Andana
melompat mundur. Pakaian putihnya robek di bagian dada dan kulit dadanya
kelihatan tergurat cukup dalam hingga tampak darah mengambang.
"Anak setan! Itu peringatan pertama untukmu!" kata Datuk Gampo Alam.
"Sebentar lagi akan kuputus urat lehermu! Kini aku yang memberi kesempatan
padamu untuk bertobat sebelum mampus!"
Andana ganda tertawa. Tubuhnya membuat gerakan seperti merunduk. Tiba-
tiba kakinya melest ke atas lalu menderu ke bawah. Datul Gampo Alam tersentak
kaget melihat gerakan silat yang aneh ini. Namun dia tidak berkesempatan
memperhatikan lebih lama karena saat itu serangan-serangan si pemuda datang
bertubi-tubi. Inilah ilmu silat Kumango Tujuh Serangkai yang dipelajari Andana
dari gurunya Datuk Alis Merah di Asahan.
Dalam ilmu silat Datuk Gampo Alam punya pengetahuan dan pengalaman
luas. Dia tahu betul kehebtan dan kelemahan masing-masing ilmu silat. Namun
sekali ini dia dibuat tak berdaya dan tak mampu menerka ilmu silat apa yang dimainkan
Andana untuk menyerangnya. Saat demi saat dia merasa tekanan yang berat dan
membuatnya terdesak. Satu kali ketika dia terlambat mengelak, pukulan tepi
telapak tangan kanan Andana bersarang di bahunya. Sang Datu mengeluh tinggi. Tulang
bahunya seperti remuk. Dalam keadaan termiring-miring Datuk Gampo Alam cabut
saluang di pinggangnnya.
"Sobatku, jika saluang itu ditiupnya kau boleh menyanyi dan aku akan
menari!" Pendekar 212 yang berada di tepi kalangan perkelahian. Sementara itu
udara di atas Ngarai Sianok tiba-tiba saja berubah mendung.
"Anak-anak setan!" kata Datuk Gampo Alam. "Kalian boleh menegjek! Lihat
saja apa yang akan terjadi dengan diri kalian! Aku sudah mencium kematian
kalian!" Lalu Datuk Gampo Alammeniup saluangya kuat-kuat. Bersamaan dengan
terdengarnya suara lengkingan saluang tiba-tiba dari lobang sebelah bawah
seruling bambu itu keluar dua buah gelembung yang saat demi saat semakin besar, semakin
besar dan akhirnya berubah bentuk menjadi dua mahluk katai berkulit merah dan
hanya mengenakan cawat. Kepala botak sedang gigi-gigi serta taring-taring yang
runcing panjang kelihatan mengerikan. Jari-jari tangannya pendek-pendek tetapi
berkuku panjang berwarna hitam legam!
"Anak-anak, kalian sudah lama tidak menghisap darah. Lekas serang pemuda
yang sebelah depan. Jika kawannya berusaha membantu, bunuh keduanya!"
Mahluk katai aneh itu berteriak hingar bingar lalu melesat ke depan,
mengeroyok Andana. Gerakan dua mahluk katai ini cepat bukan main. Sepuluh kuku
jari mereka berkelebat ganas. Setiap menyerang, mereka berusaha mendekatkan
mulut pada perut atau dada dan leher Andana. Jelas mahluk ini memang ingin menyedot
darah si pemuda. Dikeroyok dua begitu rupa Andana kembali mainkan jurus-jurus
ilmu silat Kumango Tujuh Serangkai.
Dengan ilmu silatnya ini Andana berhasil menggebuk, menjotos dan
menendang dua mahluk itu. Tapi anehnya seperti tidak merasa, keduanya tertawa-
tawa dan berjingkrak-jingkrak setiap kali kena hantaman!
Ilmu iblis! Rutuk Andana dalam hati. Jari tangannya diarahkan lurus-lurus
pada dua mahluk katai itu. Ketika didorongkan ke depan, satu larik sinar merah
panas menderu ganas ke arah mahluk katai di sebelah kanan. Pohon bahkan batu sekalipun
BASTIAN TITO 64 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
akan hancur berantakan terkena pukulan "inti api" yang barusan dilepaskan
Andana. Namun yang diserang kelihatan tertawa-tawa. Begitu sinar merah menyambar di
depan mukanya, dia membuka mulutnya lebar-lebar. Lalu seperti seorang melahap
makanan yang enak begitulah dia menelan sinar api panas pukulan sakti itu.
Sementara itu kawannya sambil berjingkrak-jingkrak sesekali bergelantungan pada
jalus sinar merah panas seolah benda itu adalah seutas tali! Di sebelah sana
Datuk Gampo Alam terus saja tiup saluangnya.
Celaka, aku tak bisa bertahan lebih lama! Keluh Andana dalam hati. Berarti
bahaya besar mengancamnya kini. Pemuda ini melirik ke arah Wiro seolah minta
dibantu. Dalam keadaan seperti itu Pendekar 212 tidak mau turun tangan dan
melakukan pengeroyokan. Setelah berpikir keras murid Sinto Gendeng ini berkata.
"Sobatku Harimau Singgalang. Jika ekornya tak bisa dihancurkan, mengapa
tidak kembali ke asalnya?"
Mula-mula Andana tidak mengerti ucapan itu. Namun begitu dia paham maka
langsung saja dia melompat ke udara. Dua mahluk katai ikut melompat. Dari atas
Andana lepaskan lagi pukulan sakti "inti api" Sekali ini bukan diarahkan pada
dua mahluk katai berkepala botak yang matian-matian berusaha menancapkan taring-
taringnya ke bagian tubuh Andana untuk kemudian disedot darahnya. Kini yang
menjadi sasaran Andana adalah saluang yang ditiup Datuk Gampo Alam, sari mana
dua mahluk tadi keluar secara aneh.
Wussss!!! Braaak!! Saluang yang ditiup sang Datuk hancur berantakan. Datuk Gampo Alam
sendiri terlempar dua langkah dan terduduk di tanah. Salah satu jarinya tampak
mengucurkan darah!
BASTIAN TITO 65 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ENAM BELAS Bersamaan dengan hancurnya saluang di tangan Datuk Gampo Alam dua mahluk
katai terdengar menjerit keras. Tubuh mereka perlahan-lahan menciut hingga
akhirnya hanya tinggal seujung jari kelingking untuk kemudian lenyap tanpa
bekas! Datuk Gampo Alam cepat bangkit berdiri. Mukanya kelam membesi
sementara huja mulai turun rintik-rintik di kawasan itu. Dari arah Timur saat
itu sebuah kereta meluncur cepat menuju Ngarai Sianok.
"Anak setan!" tiba-tiba Datuk Gampo Alam membentak, tangan kanannya
bergerak mencabut keris Tuanku Ameh Nan Sabatang. "Dulu dengan keris sakti
bertuah ini kuhabisi Bapakmu! Rupanya sudah menjadi takdir, kaupun akan
menemui ajal di tanganku, dengan keris ini!" begitu senjata itu digerakkan sinar
kuning berkiblat. Andana merasa ada hawa dingin menyambar. Cepat-cepat dia
kerahkan tenaga dalam dan lepaskan satu pukulan tangan kosong. Sang Datuk merasa
seolah didorong oleh satu tembok besar. Karenanya dia kerahkan tenaga dalamnya
sampai tangannya yang memegang keris bergetar hebat. Pada puncak bentrokan
tenaga dalam dengan cerdik Datuk Gampo Alam membuat gerakan menyusup dari
samping. Sinar kuning kembali berkiblat. Andana merasakan ada hawa dingin
menyambar wajahnya. Secepat kilat dia melomapt ke kiri dan balas menyerang.
Seperti sudah diketahui dalam ilmu silat meskipun memiliki pengalaman luas,
namun Datuk Gampo Alam masih kalah jauh dengan kemenakannya itu. Karena
untuk mempergunakan keris sebagai senjata harus didasari dengan ilmu silat juga
maka walau senjata itu sakti bertuah tetap saja Datuk Gampo Alam tak bakal mampu
mempecundangi lawannya. Malah dalam satu gebrakan hebat Andana berhasil
mennendang lengan kanan Datuk Gampo Alam. Keris Tuanku Ameh Nan Sabatang
mencelat ke udara. Andana melompat menyambuti selagi keris itu jatuh ke bawah.
"Saatmu menerima kematian Datuk keparat!" teriak Andana. Smbil melayang
turun dia tusukkan keris di tangan kanannya ke arah Datuk Gampo Alam. Keris
menyambar dari arah kiri. Datuk Gampo Alam mengelak ke kanan. Mendadak
Andana menggebrak ke kanan. Keris sakti bertuah kembali menusuk.
Breettt! Baju Datuk Gampo Alam di bagian bahu kanan robek besar. Namun tubuhnya
lolos dari tusukan keris emas itu. Tiba-tiba Datuk Gampo Alam keluarkan suara
seperti anjing melolong. Bersamaan dengan itu kedua tangannya mencekal
pergelangan tangan kanan Andana lalu ditarik kuat-kuat. Terjadilah satu hal yang
tidak bisa diterima akal. Tubuh Datuk Gampo Alam lenyap amblas ke dalam tanah.
Andana berteriak kesakitan sewaktu tangannya yang memegang keris terseret di
atas permukaan tanah. Tubuhnya berguling jungkir balik. Dia berusaha melepaskan
tangannya namun sia-sia.
Pendekar 212 berseru kaget melihat kejadian itu. Ilmu iblis apa yang dimiliki
Datuk keparat itu. Bagaimana dia bisa masuk ke dalam tanah dan menarik tangan
Andana. Pekik Andana semakin keras. Dengan tangan kirinya dia berusaha memukul
gunjulan tanah yang bergerak yang rupanya adalah tubuh atau kepala Datuk Gampo
Alam. Tapi tidak ada hasilnya. Sementara itu jari-jari tangan dan daging di
bagian belakang telapak tangannya telah mengelupas. Dari langit hujan turun mulai
lebat. Anak Datuk Bandaro Sati itu tak tahu lagi apa yang harus diperbuatnya guna
melepaskan tangannya.
BASTIAN TITO 66 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Wiro yang juga dalam keadaan bingung karena tidak tahu harus menolong
bagaimana, untuk beberapa saat hanya bisa berlari di samping Andana. Sambil lari
akhirnya Wiro keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212. Dengan senjata ini
dihantamnya bagian tanah yang menggunjul dan bergerak. Cahaya putih menyilaukan
yang disertai hamparan hawa panas luar biasa dan dibarengi suara seperti tawon
mengamuk menggema di tempat itu.
Tanah dan pasir serta batu-batu kerikil muncrat berterbangan. Di tanah
kelihatan lobang sedalam satu jengkal. Ternyata hantaman Kapak Maut Naga Geni
212 tidak menolong walau sudah dipukulkan beberapa kali. Tangan kanan Andana
semakin parah. Darah mulai mengucur sedang lapisan kulit dan daging sudah
terkelupas dalam. Satu hal yang masih bisa dilakukannya, keris Tuanku Ameh Nan
Sabatang tidak mau dilepaskannya dari genggamannya. Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara mengaum dahsyat. Dalam udara yang semakin gelap itu sementara
hujan bertambah lebat tiba-tiba muncul seekor harimau besar.
Pendekar 212 sampai tersurut saking kagetnya. Andana tidak kalah kejutnya.
Namun entah mengapa pemuda ini tiba-tiba saja menjadi tenang. Saling bertatapan
begitu dekat Andana membatin.
Binatang ini, aku yakin adalah harimau yang muncul mengawal Ayahku


Wiro Sableng 075 Harimau Singgalang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

waktu di Asahan dulu. Ayah, apakah kau mengirimkannya untuk menolongku"
Binatang jejadian itu mengaum sekali lagi. Lalu tubuhnya menukik ke bawah
dan astaga! Harimau besar amblas lenyap ke dalam tanah.
Saat itu pula cekalan pada lengan Andana terlepas. Lalu terjadilah hal luar
biasa. Di dalam perut bumi terdengar bentakan-bentakan manusia dan auman harimau
berulang kali. Seolah tengah terjadi perkelahian antara manusia dengan seekor
harimau. Hal itu tidak berlangsung lama. Didahului oleh satu lolongan panjang
dan auman yang menggetarkan tanah, tiba-tiba dari dalam tanah melesat sosok tubuh
Datuk Gampo Alam. Tubuh dan kepalanya sampai ke muka penuh berselomotan
tanah hingga kelihatan menyeramkan. Di samping itu pada bahu kiri, pangkal leher
dan bawah dagu ada luka panjang seperti dicakar.
Untuk kedua kalinya dari dalam tanah melesat keluar harimau besar itu.
Telinga kirinya kelihatan mengucurkan darah. Binatang ini memandang Datuk
Gampo Alam sesaat, mengaum keras membuat sang datuk tersurut gentar lalu
berputar-putar beberapa kali mengelilingi Andana, mengaum sekali lagi dan
lenyap! Pendekar 212 gelengkan kepala dan leletkan lidah.
Kawatir kalau musuh besar pembunuh Ayahnya itu akan masuk kembali ke
perut bumi Andana yang masih memegang keris Tuanku Ameh Nan Sabatang cepat
menyerbu dan kirimkan satu tikaman ke arah batang leher Datuk Gampo Alam.
Perkelahian seru terjadi sampai delapan jurus. Walaupun belum dapat melukai
lawannya dengan senjata sakti bertuah itu namun Andana lagi-lagi membuat sang
Datuk terdesak hebat.
Jahanam, ilmu silat apa yang dimiliki anak setan ini hingga aku tidak bisa
memecahkan kelemahannya! Maki sang Datuk. Sebelum Andana menyerbunya
kembali dia melompat mundur.
"Kau kira kau bisa lari dari kematianmu Datuk celaka!" teriak Andana.
Datuk Gampo Alam menyeringai. "Siapa yang lari," jawab Datuk Gampo
Alam sambil menyentakkan leher dua kali. Kedua tangannya disilangkan di depan
dada. Mulutnya berkomat-kamit. Kedua matanya dikejapkan. Wutt....wuuuttt! Dari
kedua mata itu tiba-tiba melesat sebuah benda putih panjang, meliuk-liuk seperti
ular. Selagi Andana dan Wiro terperangah melihat hal itu sang Datuk goyangkan
kepalanya. Dua binatang putih lagi melesat keluar. Kini dari telinga kiri kanan. Ketika dia
BASTIAN TITO 67 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
mendengus, maka sepasang berikutnya melesat keluar dari hidung. Datuk Gampo
Alam membuka mulutnya lebar-lebar. Benda yang sama dalam ukuran lebih besar
menderu keluar dari mulutnya. Benar-benar mengerikan!
"Gila! Ilmu apa ini"!" ujar Wiro sementara Andana memasang kuda-kuda dan
menyiapkan pukulan "inti api" di tangan kiri.
Ternyata masih ada lagi dua benda putih panjang keluar dari tubuh sangDatuk.
Satu dari anusnya dan satu lagi dari lobang kemaluannya. Ternyata binatang-
binatang itu keluar dari setiap lobang yang ada di tubuhnya!
"Kau takut anak setan"!" ujar Datuk Gampo Alam seraya melangkah
mendekati Andana. "Ilmu Belut Putih hanya aku yang memiliki di dunia! Kau
merupakan korbannya yang pertama!" Habis berkata begitu Datuk Gampo Alam
keluarkan suara mendengus dari hidungnya. Dua ekor belut putih yang ada di dua
lobang hidungnya melesat ke arah Andana.
Harimau Singgalang berteriak keras. Tangan kirinya dihantamkan. Pukulan
"inti api" menyambar belut putih yang di kiri tapi luput. Belut putih yang kedua
dibabatnya degnan keris Tuank Ameh Nan Sabatang.
Crasss! Belut itu terkutung dua. Tapi begitu jatuh ke tanah hidup kembali dan
menjadi ddua ekor, terus menyerang Andana. Datuk Gampo Alam tertawa mengekeh.
Belut putih besar dimulutnya meluncur semakin panjang dengan kepala tegak siap
untuk mematuk. Belut putih pertama yang lolos dari pukulan "inti api" melesat ke muka
Andana. Sebelum pemuda ini sempat mengelak binatang ini telah menyusup masuk
ke dalam lobang hidung kiri Andana! Pemuda ini jadi gelagapan dan berusaha
menarik keluar belut yang masuk ke dalam hidungnya itu. Tapi semakin ditarik
semakin dalam masuknya binatang ini. Darah mulai mengucur.
"Celaka!" seru Pendekar 212. tanpa menunggu lebih lama dia segera cabut
Kapak Maut Naga Geni 212 dan melompat ke hadapan Andana. Sinar ternag
menyilaukan berkiblat di bawah udara gelap dan curahan hujan.
Crass! Belut putih di hidung Andana putus dua, jatuh ke tanah dan hidup lagi!
Dua binatang ini kini menyerang Wiro!
"Keparat sialan! Apa yang harus kulakukan!" saat itu salah seekor dari belut
putih itu berhasil menancapkan mulutnya di betis kiri Pendekar 212. Wiro hendak
merambasnya dengan senjata mustikanya. Tapi percuma saja pikirnya karena itu
hanya akan menambah banyaknya jumlah binatang-binatang jejadian itu! Dengan
menggeram Wiro berpaling pada Datuk Gampo Alam. Dia ingat sesuatu. Hatinya
meragu. Tadi Andana telah menghantam belut putih itu dengan pukulan "inti api".
Jika dia menghantam dengan batu apinya, apakah akan mempan" Tak ada jalan lain.
Dia harus mencoba. Kalau tidak dia akan menemui ajal bersama Andana di tempat
itu! Dari balik pakaiannya murid Sinto Gendeng keluarkan sebuah batu hitam
empat persegi yang merupakan pasangan Kapak Maut Naga Geni 212. Batu ini
digosokkannya kuat-kuat ke mata kapak dan diarahkan pada Datuk Gampo Alam.
Disaat yang sama sang Datuk buka mulutnya lebar-lebar. Belut putih paling besar
yang bergelantungan di mulutnya melesat menyambar ke leher Pendekar 212.
Wusss! Lidah api yang luar biasa panasnya menyambar. Belut putih besar yang
menyerang Wiro mencelat mental, hancur cerai berai di udara. Ketika jatuh ke
tanah ternyata binatang jejadian ini tidak berkembang biak menjadi banyak. Potongan-
potongan tubuhnya berubah menjadi asap dan akhirnya sirna.
BASTIAN TITO 68 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Datuk Gampo Alam tersentak kaget. Kesempatan ini dipergunakan oleh Wiro
untuk menghantam lagi dengan gosokan kapak dan batu. Sekali ini dia mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya sementara andana berusaha melepaskan diri dari gigitan
dua ekor belut putih yang menancap di pahanya kiri kanan!
Datuk Gampo Alam berteriak keras ketika satu gelombang api sebesar rumah
mengggebubu ke arahnya. Di lain kejap tubuhnya tenggelam dalam kobaran api.
Semua belut putih yang ada di tubuhnya hancur cerai berai. Anehnya yang ada di
tempat lain seperti yang menancap di kaki Wiro dan Andana ikut-ikutan leleh,
berubah jadi asap lalu lenyap!
Dalam kobaran api kelihatan sosok Datuk Gampo Alam melesat ke atas.
Begitu kobaran api lenyap kelihatan orang ini tegak menyeringai sambil bertolak
pinggang. Tubuhnya tidak cidera sedikitpun. Bahkan pakaiannya sama sekali tidak
hangus! Sarung keris emas bertuah yang ada di pinggangnya juga kelihatan tidak
mengalami kerusakan. Hanya ilmu "belut putih"-nya saja yang musnah!
Luar biasa! Bagaimana ada manusia sehebat bangsat satu ini! Kertak Wiro. Di
sampingnya Andana keluarkan suara menggeram.
"Anak setan! Kau telah ikut campur urusanku! Berarti kau memilih mampus
bersama kemenakan durhaka itu!" Datuk Gampo Alam berkata dengan mimik bengis.
"Kalian berdua silahkan maju bersamaan agar waktuku tidak terbuang percuma!"
Wiro tertawa gelak-gelak. "Lagakmu hebat amat Datuk! Kau akan mati jadi
setan penasaran karena tak dapat mengawini Bunga! Ha....ha.....ha.....!"
Mendengar kata-kata Wiro itu mendidihlah amarah Datuk Gampo Alam.
Kepalanya disentakkan dua kali lalu didahului bentakan keras dia melompat ke
arah Wiro dan Andana.
"Sahabat," kata Wiro pada Andana. "Kau pergunakan kapak ini. Kerahkan
tenaga dalammu setiap kau melakukan serangan!"
Wiro melemparkan Kapak Maut Naga Geni 212 pada Andana.
BASTIAN TITO 69 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TUJUH BELAS Harimau Singgalang ini tak sempat berpikir banyak dan cepat menyambuti senjata
mustika itu. Ketika Datuk Gampo Alam melompat ke hadapannya sambil
melancarkan satu pukulan tangan kosong, Andana segera menyambut dengan salah
satu jurus terhebat ilmu silat Kumango Tujuh Sarangkai, membuat sang Datuk
terpaksa bersurut.
Dua jurus menggebrak Kapak Maut Naga Geni 212 berhasil membabat bahu
kiri lawan. Datuk Gampo Alam berteriak setinggi langit. Darah muncrat. Bahu
kirinya putus dan jatuh ke tanah. Tapi begitu potongan tangan itu menyentuh tanah, tiba-
tiba potongan itu melesat kembali ke tempatnya semula di pangkal bahu sang Datuk.
Bersamaan dengan itu Datuk Gampo Alam tertawa mengekeh.
"Kalian bermimpi kalau menduga bisa membunuh Datuk Gampo Alam!"
Habis berkata begitu sang Datuk sorongkan kepalanya ke depan. "Kau boleh menabas
batang leherku! Aku tidak akan melawan! Ha...ha....ha...."
"Kurang ajar!" kertak Andana. Sekali berkelebat dia babatkan Kapak Maut
Naga Geni 212. sinar putih menyilaukan berkiblat panas disertai suara keras
seperti ratusan tawon mengamuk. Yang dituju Andana benar-benar batang leher Pamannya
itu. Craaaas! Lagi-lagi darah menyembur begitu leher Datuk Gampo Alam putus.
Kepalanya jatuh dan menggelinding ke tanah. Dan pada saat kepala itu pula kepala
ini melesat kembali ke tempatnya semula! Leher yang putus bersambung kembali tanpa
kelihatan sedikit ciderapun!
Datuk Gampo Alam tertawa bergealk sementara Andana dan Wiro Sableng
tertegun saling pandang dengan muka pucat. Wiro tiba-tiba ingat pada keterangan
kakek sakti Tua Gila. Yaitu bahwa walau ditabas jadi berapa potonganpun Datuk
Gampo Alam tidak akan bisa mati selama tubuhnya atau kedua kakinya masih
menginjak bumi!
Hujan turun makin lebat. Udara mulai gelap karena di Barat sang surya siapi
tenggelam. Sementara itu dari arah Selatan Ngarai Sianok sebuah kereta meluncur
cepat ke arah tempat di mana Andana dan Wiro serta Datuk Gampo Alam berada.
"Apa yang harus kita lakukan?" Andana mendekati Wiro dan berbisik.
Murid Eyang Sinto Gendeng usap mukanya yang basah oleh air hujan.
"Seseorang pernah memberi tahu kelemahan ilmu manusia iblis ini. Kita harus
memancingnya...." Lalu Wiro berpaling pada Datuk Gampo Alam.
"Datuk ilmumu memang tinggi. Tapi sayang cuma sulapan belaka. Apa kau
berani untuk ditabas lehernya sekali lagi"!"
Datuk Gampo Alam menyeringai. "Kalian akan segera mampus di tanganku.
Tak ada salahnya mengikuti apa kemauan kalian barang sebentar. Silahkan kau mau
membacok dan menabas di bagian mana saja yang kau sukai!" Sambil tertawa
memandang enteng dengan sombongnya Datuk Gampo Alam sorongkan kepalanya ke
depan. Wiro berpaling pada Andana dan anggukkan kepalanya.
Tangan kanan Harimau Singgalang bergerak. Kapak Maut Naga Geni 212
berkelebat. Sinar menyilaukan berkiblat disertai deru keras dab hawa panas.
Crassss! Untuk kedua kalinya leher Datuk Gampo Alam putus. Darah muncrat dan
kepalanya menggelinding jatuh di tanah. Saat itu pula Wiro melompat dan
BASTIAN TITO 70 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
menyambar pinggang sang Datuk. Tubuh orang ini kemudian dipanggulnya hingga
kedua kakinya tidak menginjak bumi!
Dari kepala yang tercampak di tanah terdengar suara Datuk Gampo Alam.
"Turunkan tubuhku! Turunkan aku ke tanah!" Tubuh yang dipanggul Wiro melejang-
lejangkan kaki dan tangannya namun tidak berdaya untuk melancarkan serangan
karena gerakannya makin lama makin lemah.
Dalam ngeri dan tidak percayanya melihat apa yang terjadi Andana hanya bisa
tertegak diam. Suara teriakan Datuk Gampo Alam semakin perlahan dan mendelik.
Pada saat itulah sebuah kereta meluncur cepat dan berhenti di tempat itu. Dari
atas kereta terdengar jeritan perempuan.
"Bunga!" seru Andana.
Wiro berpaling. Bunga hampir pingsan melihat kepala ayahnya menggeletak
di tanah sedang tubuhnya yang lain dipanggul oleh Wiro. Dari kutungan leher
kelihatan darah mengucur.
"Demi Tuhan! Ya Allah! Apa yang terjadi! Jangan bunuh! Jangan bunuh dia!
Dia Ayah saya....." Habis berteriak begitu Bunga tersungkur jatuh di tanah yang
becek. Dua mata Datuk Gampo Alam yang mendelik berputar ke arah Bunga dan menatap
gadis itu dengan pandangan aneh. Mulutnya terbuka. Tapi tak terdengar apa yang
diucapkannya. Akan halnya Wiro, begitu melihat Bunga dan mendengar ucapan gadis tiu,
tubuh Datuk Gampo Alam yang dipanggulnya terjatuh lepas. Pada saat dua kaki sang
Datuk menyentuh tanah, tiba-tiba kutungan kepalanya melesat menuju lehernya!
Sang Datuk hidup kembali!
"Celaka!" seru Wiro. Andana bersurut mundur. Datuk Gampo Alam
memandang berkeliling lalu melangkah ke arah Bunga.
"Jangan dekati gadis itu!" teriak Andana.
Datuk Gampo Alam tidak perduli. Dia melangkah terus. Ada rasa takut di hati
Bunga ketika melihat Datuk Gampo Alam mendekatinya. Dia cepat berdiri.
"Bunga..... Tadi kau mengatakan aku.....aku....ini Ayahmu....." Atau telingaku
salah mendengar?" Ucapan itu keluar dari mulut Datuk Gampo Alam.
"Manusia jahat sepertimu tidak mungkin menjadi Ayah gadis itu!" teriak
Andana seraya mendatangi. Keris Tuanku Ameh Nan Sabatang ditusukkannya ke
dada sang Datuk.
"Kakak.... Demi Tuhan! Jangan bunuh dia! Sudahi semua permusuhan ini!
Datuk Gampo Alam adalah Ayah kandung saya......"
Pendekar 212 jadi garuk-garuk kepala. Andana ternganga dan membeliak tak
berkesip. Datuk Gampo Alam keluarkan jeritan keras. Lalu putar tubuhnya dan lari
ke arah sebuah bukit kecil di ujung Ngarai Sianok.
"Ayah! Kau mau kemana"!" teriak Bunga memanggil. Ketika dia hendak
mengejar Andana cepat memegang lengan gadis itu. "Ayah.....!"
Datuk Gampo Alam tidak perdulikan teriakan Bunga. Dia lari terus sampai
akhirnya tiba di atas bukit kecil. Pada saat itu terdengar guntur menggelegar.
Langit terang benderang. Petir tampak menyambar di puncak bukit. Bunga terpekik keras
ketika melihat bagaimana petir menghantam tubuh Ayahnya. Tubuh Datuk Gampo
Alam kelihatan mengepulkan asap lalu terbanting roboh ke tanah bukit.
"Ayah!" teriak Bunga. Kali ini Andana tak kuasa lagi menahan gadis itu. Dia
mengikuti lari Bunga dari belakang. Begitu juga Wiro. Mereka menuju ke puncak
bukit. "Jangan!" kata Andana ketika Bunga hendak menjatuhkan diri memeluk tubuh
Datuk Gampo Alam yang masih sangat panas dan mengepulkan asap serta tak karuan
BASTIAN TITO 71 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
bentuknya itu. Anehnya sarung keris Tuanku Ameh Nan Sabatang tampak tergeletak
tak jauh dari mayat Datuk Gampo Alam. Ketika Bunga mendudukkan dirinya di tanah
dan menangis keras. Andana melangkah mengambil sarung keris itu. Lalu dia
kembali mendekati Bunga. Beberapa lamanya dipandanginya gadis itu. Lalu terdengar dia
berkata. "Bunga...."
Bunga menurunkan kedua tangannya yang dipakai menutupi wajahnya.


Wiro Sableng 075 Harimau Singgalang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya harus pergi sekarang. Sahabat saya Wiro akan mengantarkanmu pulang.
Dia juga akan mengurusi jenazah Datuk Gampo Alam kalau dia memang Ayahmu...."
"Kakak hendak kemana?" tanya Bunga dengan lidah kelu.
"Saya belum tahu mau pergi kemana. Saya titipkan rumah gadang dan isinya
padamu....."
Gadis itu berusaha berdiri hendak merangkul tubuh Andana. Tapi Harimau
Singgalang memutar tubuh dengan cepat dan meninggalkan bukit di tepi Ngarai
Sianok itu menuju ke Timur.
Tak ada perubahan pada telaga di Asahan itu. Suasana sejuk terasa
menyegarkan. Tiupan angin seolah memberikan kekuatan yang ajaib. Di ujung jalan
yang menurun Harimau Singgalang sudah dapat melihat gadis itu duduk
membelakanginya, menghadap ke telaga yang jernih. Seperti punya firasat kalau
ada seseorang tegak memperhatikannya dari kejauhan, Halidah berpaling.
Sesaat gadis itu tercengang. Bibirnya yang merah segar terbuka dan terdengar
suaranya berkata antara percaya dan tidak.
"Betul Abang yang saya lihat ini....?"
Andana tertawa lebar. Dia melangkah cepat-cepat sambil mengembangkan
kedua tangannya. Halidah tak dapat menahan hatinya lagi. Gadis ini berteriak
lalu tenggelam ke dalam pelukan hangat Andana.
"Jangan pergi lagi Bang. Jangan tinggalkan saya lagi untuk selama-
selamanya...." bisik Halidah. Air matanya terasa hangat di dada Andana.
"Abang tak akan pergi lagi Halidah. Tak akan Abang tinggalkan lagi kau
untuk selama-lamanya," bisik Andana lalu mencium dalam-dalam rambut hitam
Halidah. TAMAT BASTIAN TITO 72 Pendekar Pemetik Harpa 22 Mentari Senja Seri Arya Manggada V Karya S H Mintardja Memburu Manusia Makam Keramat 1
^