Kamandaka Murid Murtad 1
Wiro Sableng 062 Kamandaka Murid Murtad Bagian 1
BASTIAN TITO PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
WIRO SABLENG KAMANDAKA SI MURID
MURTAD Sumber: Kitab 212 (Bastian Tito)
EBook: syauqy_arr@yahoo.co.id
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
WIRO SABLENG KAMANDAKA SI MURID MURTAD
1 EROBAK sapi itu bergerak perlahan. Yang menjadi
kusirnya seorang lelaki tua berjanggut dan berambut G putih duduk tenang-tenang
saja karena dia memang tidak terburu-buru. Di sampingnya duduk seorang dara.
Rambutnya yang hitam pendek dikuncir ke atas hingga wajahnya yang jelita tampak
lucu. Gadis ini adalah anak tunggal si orang tua berjanggut putih. Dara ini
memang ber-sifat riang ceria. Sepanjang perjalanan dia selalu menyanyi kecil
sambil menggoyang-goyangkan tangan kanannya yang memegang sebuah tongkat bambu.
Melihat pakaian ringkas warna putih yang dikenakan ayah dan anak ini jelas
keduanya adalah orang-orang persilatan.
"Mintari anakku," berkata lelaki tua di atas gerobak pada anak gadisnya. "Kalau
sampai di tempat pertemuan para tokoh silat di Selatan nanti, jangan sekali-kali
kau berlaku sembrono. Kau duduk saja di sampingku. Jangan bicara kalau tidak
diminta. Ingat, di situ juga ada Datuk Alam Rajo Di Langit, tokoh silat dari
tanah Minang yang akan membawamu ke Pulau Andalas. Semua ilmu ke-pandaianku
sudah kuwariskan padamu. Selanjutnya Datuk Alam yang akan membawamu ke tanah
Minang dan menggemblengmu di sana. Ingat juga, Datuk itu adalah orang tua yang sangat
saleh. Karena itu selama di sana jangan sekali-kali kau meninggalkan
sembahyang."
Gadis bernama Mintari itu sesaat terdiam mendengar kata-kata ayahnya. Tak lama
kemudian kembali dia menyanyi-nyanyi sambil membolang-balingkan tongkat
bambunya. "Anakku, apakah kau tidak akan mengatakan sesuatu?"
bertanya sang ayah.
Mintari hentikan nyanyiannya, "Saya ada satu pertanyaan ayah," ucapnya.
"Katakanlah anakku."
"Setahu saya di tanah Jawa ini terdapat banyak sekali tokoh-tokoh silat
berkepandaian tinggi. Tidak terhitung pula orang-orang sakti. Lalu mengapa ayah
menginginkan saya pergi jauh-jauh ke negeri Minang mengikuti Datuk Alam Rajo
kalau hanya untuk menempa ilmu silat dan kesaktian?"
Sang ayah tersenyum mendengar ucapan anak gadis-
nya itu. Setelah mendehem beberapa kali diapun menjawab. "Pernahkah kau
mendengar ujar-ujar yang mengatakan: Jauh berjalan banyak yang dilihat. Menuntut
ilmu kalau perlu sampai di Negeri Cina. Memang ayah tahu tidak sedikit orang
pandai di tanah Jawa ini. Tapi tanah Minang juga dikenal gudang segala ilmu. Di
sana kau dapat pula mendalami ilmu agama. Dan mengenai Datuk Alam Rajo jangan
kau anggap enteng dia..."
"Harap maafkan, saya tidak menganggap enteng orang tua satu itu ayah. Jangan
ayah salah sangka."
"Lalu mengapa kau kelihatannya tidak suka pergi bersamanya?"
"Karena sebenarnya saya ingin dekat dengan ayah,"
jawab Mintari. Sang ayah tertawa. "Kau bukan anak kecil lagi. Umurmu sudah sembilan belas tahun
kalau ayah tidak salah ingat.
Ayah melepasmu dengan segala keikhlasan."
"Saya tahu ayah," kata Mintari pula. Lalu dipegangnya tangan ayahnya seraya
berkata. "Kalau saya tidak ada, siapa yang mengurus ayah?"
Ucapan anak gadisnya itu membuat hati si orang tua tersentuh. Memang sejak ibu
Mintari meninggal dunia enam tahun yang lalu, anak gadisnya itulah yang mengurus
dirinya. Setelah diam sesaat orang tua ini berkata. "Kalau kau pergi dan sanggup
mengurus diri sendiri, masakan aku tua bangka begini tidak sanggup berbuat yang
sama...?" Baru saja ayah Mintari berkata begitu tiba-tiba terdengar suara tawa mengekeh
menyusul ucapan lantang.
"Kau betul Ki Pamilin! Orang tua sepertimu harus dapat mengurus diri sendiri!
Hari ini aku mau lihat apakah kau benar-benar bisa mengurus diri sendiri!"
Ayah dan anak itu sama-sama terkejut dan memandang berkeliling.
"Ayah, ada suara tapi tak kelihatan orangnya!" bisik Mintari.
Ki Pamilin, ayah Mintari berusaha bersikap tenang tapi waspada. Dia tahu kalau
ada seorang berkepandaian tinggi berada di tempat itu. Manusia yang muncul
seperti itu biasa-nya tidak membawa niat baik.
"Tenang saja Mintari. Tak ada yang perlu ditakutkan."
balas berbisik Ki Pamilin.
Tiba-tiba ada suara angin berdesir disertai berkelebat-nya satu bayangan. Tahu-
tahu sepuluh langkah di tengah jalan di hadapan mereka tegak berdiri seorang
berpakaian dan berdestar serba biru. Bajunya tidak berkancing hingga dadanya
yang bidang berotot tersingkap lebar. Ki Pamilin hentikan gerobak sapinya.
Yang tegak menghadang di tengah jalan itu ternyata seorang pemuda berparas
gagah. Hal ini membuat hati si orang tua agak tenteram sedikit. Lain halnya
dengan Mintari. Gadis ini tidak suka melihat perjalanannya dihadang oleh seorang
tak dikenal yang bersikap sombong.
"Anak muda, siapakah dirimu. Apa maksud ucapanmu tadi?" tanya Ki Pamilin.
"Aku sudah lama mendengar nama besarmu yang menyandang gelar Pendekar Tangan
Baja. Hari ini aku ingin menjajaki sampai dimana kehebatan sepasang tanganmu.
Buktikan bahwa kau memang orang tua yang bisa mengurus diri sendiri!" Habis
berkata begitu pemuda ini memandang pada Mintari. Sepasang bola matanya membesar
dan membersitkan sinar aneh. Hati Ki Pamilin mendadak sontak jadi berdebar.
Pengalaman hidup membuat dia mengenali arti cahaya yang keluar dari kedua mata
pemuda itu. "Anak muda, hidup bukan mencari lantai terjungkat.
Ilmu kepandaian bukan untuk membuat silang sengketa."
"Orang tua, kata-katamu enak di dengar. Apakah itu berarti kau tidak punya nyali
untuk melayaniku barang sejurus dua jurus?"
Mintari yang sudah sejak tadi merasa jengkel melihat tingkah dan mendengar
ucapan-ucapan pemuda itu
membuka mulut bersuara keras.
"Kami masih ada keperluan yang lebih penting! Mana punya waktu melayani pemuda
sombong sepertimu!"
Pemuda di tengah jalan tertawa gelak-gelak. Ditanggalkannya destar birunya. Lalu
destar ini, dikipas-kipaskannya.
Saat itu sinar matahari memancar terik dan udara memang panas.
"Adik, suaramu merdu dan wajahmu secantik bidadari.
Bolehkah aku tahu namamu" Tadipun aku sebetulnya sudah kagum mendengar suara
nyanyianmu."
Mintari keluarkan suara mendengus dari hidungnya.
"Ketepilah. Kami mau lewat!"
"Adik cantik, percakapan kita bisa diteruskan kemudian.
Aku ingin mendengar jawaban ayahmu. Apakah dia seorang pengecut?"
"Ayahku bukan seorang pengecut! Dia hanya tidak mau mengotori tangan melayani
kadal hutan macammu!" jawab Mintari.
Mendengar kata-kata itu kembali pemuda di tengah jalan tertawa bergelak. Tetapi
dalam tertawa sepasang matanya tampak seperti dikobari api. Tiba-tiba tubuhnya
berkelebat lenyap lalu terdengar suara brett!
Mintari terpekik. Ki Pamilin berteriak keras. Orang tua ini marah sekali.
Langsung dia melompat turun dari atas gerobak. Tangan kanannya menghantam ke
arah dada si pemuda. Yang diserang sunggingkan senyum mengejek dan angkat tangan
ngan kirinya untuk menangkis.
Buuukk! Ki Pamilin yang memang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Tangan Baja
terjajar dua langkah ke belakang.
Lengan kanannya mendenyut sakit dan tampak merah.
Wajah orang tua ini jadi berubah. Sebagai seorang tokoh silat yang disegani
bukan sembarang orang bisa membuatnya terjajar seperti itu.
"Pemuda kurang ajar! Siapa kau sebenarnya, dan apa maumu"!" sentak Ki Pamilin.
Si pemuda kenakan destarnya kembali. Sambil ber-
kacak pinggang dia berkata. "Namaku Kamandaka. Orang mengenalku dengan panggilan
Pendekar Tangan Halilintar!"
Mendengar nama dan gelar itu kembali paras Ki Pamilin berubah. Dia sempat mundur
satu langkah. Yang terpikir saat itu adalah keselamatan anak gadisnya.
Di depannya pemuda yang mengaku bernama Kaman-
daka bergelar Pendekar Tangan Halilintar lagi-lagi sunggingkan senyum sinis.
"Pendekar Tangan Baja berhadapan dengan Pendekar Tangan Halilintar! Bukan ini
satu pertemuan yang luar biasa"!"
*** WIRO SABLENG KAMANDAKA SI MURID MURTAD
2 I ATAS gerobak Mintari rapatkan baju putihnya yang robek akibat tarikan kurang
ajar Kamandaka.
DDengan tubuh gemetar oleh amarah gadis ini me-
lompat dari gerobak itu. Dia bermaksud hendak menyerang si pemuda. Tetapi
hatinya jadi bimbang ketika melihat bagaimana ayahnya yang memiliki kepandaian
begitu tinggi tampak terjajar dalam bentrokan pukulan Tadi.
"Orang muda, kalau kau benar Kamandaka manusia terkutuk yang dicari-cari di
tujuh penjuru angin itu, maka ketahuilah hari ini hari terakhir bagimu melihat
dunia!" "Ha ...ha! Ternyata kau bukan seekor macan kertas.
Kalau kau memang punya nyali mari kita teruskan
berbincang-bincang dengan tangan dan kaki. Namun sebelumnya aku ingin memastikan
dulu agar anak gadismu ini tidak pergi ke mana-mana!" Habis berkata begitu
Kamandaka melompat ke hadapan Mintari dan menyergap dengan satu totokan.
Dari samping Ki Pamilin datang menyambar dengan
pukulan ke arah kepala Kamandaka hingga pemuda ini tidak sempat meneruskan
totokannya ke tubuh si gadis.
Serangan yang dilancarkan Ki Pamilin mengandung tenaga dalam tinggi,
mengeluarkan suara bersiur menggidikkan.
Namun dengan tenang Kamandaka mengelak. Gerakannya mengelak tampak aneh.
Tubuhnya berputar membelakangi lawan. Lalu tiba-tiba kaki kanannya mencelat ke
atas seperti tendangan seekor kuda. Kalau Ki Pamilin tidak bertindak waspada
tendangan dahsyat itu pasti akan menghantam rahang kanannya!
Tendangan yang melesat itu kini mendarat pada kayu besar yang jadi tambatan sapi
penarik. Terdengar suara berderak. Kayu itu pecah berantakan mengejutkan sapi
penarik gerobak. Binatang ini sempat lari beberapa belas langkah lalu berhenti
dekat kelokan jalan sambil tiada henti mengibas-kibaskan ekornya.
Dengan rahang menggembung Ki Pamilin lancarkan
serangan. Tubuhnya seperti merunduk. Kedua tangannya diulurkan ke depan.
Kamandaka melihat bagaimana
sepasang tangan itu kini berubah menjadi keputih-putihan.
"Ah, kau mengeluarkan ilmu kesaktian Tangan Baja!"
seru Kamandaka. Memang inilah yang ditunggu-tunggunya.
Sudah sejak lama dia mencari-cari orang tua bergelar Pendekar Tangan Baja ini
hanya sekedar untuk menjajal ilmu kepandaiannya. Kini bukan saja dia menemul
orang yang dicarinya, malah orang ini muncul membawa serta anak gadisnya yang
cantik jelita. Kamandaka menunggu dengan kedua kaki di-
renggangkan. Sepasang lengan di silang di depan dada.
Ketika kedua lengan ini saling digosokkan maka kelihatan jelas warnanya berubah
menjadi hitam. Diam-diam Ki Pamilin menjadi terkesiap jnga melihat hal ini.
Sejak lama dia sudah mendengar akan kehebatan dan keganasan Pendekar Tangan
Halilintar. Dan selama ini belum ada satu lawan atau seorang tokoh silatpun yang
mampu menghadapi pukulan halilintar itu. Karenanya si orang tua memutuskan untuk
menggempur Kamandaka lebih dulu.
Didahului dengan satu bentakan keras Ki Pamilin
dorong-kan kedua tangannya. Dorongan ini perlahan saja.
Tetapi apa yang terjadi sungguh dahsyat!
Dari kedua tangan Ki Pamilin seperti menyembur keluar dua jalur sinar putih.
Inilah sinar baja yang mengandung hawa panas. Meskipun hanya berbentuk sinar
tetapi kekuatan dan kerasnya tidak beda seperti batangan baja!
Wus! Wus! Dua sinar menyambar ke arah kepala dan dada
Kamandaka. "Bagus!" Seru si pemuda memuji tapi sebenarnya dia jelas hendak mengejek dan
memandang rendah lawan.
Begitu dua sinar baja menderu ke depan Kamandaka melompat ke samping. Dari
samping dia dorongkan telapak tangan kanannya.
Dua sinar baja laksana dua batangan terdorong ke samping. Menghantam sebatang
pohon jati. Pohonini laksana ditembus tombak raksasa, berderak patah lalu
tumbang dengan suara menggemuruh.
Ki Pamilin merasakan dadanya seperti terbakar karena geram tetapi bersamaan
dengan itu tengkuknya menjadi dingin. Selama ini belum pernah dia langsung
menyerang musuh dengan pukulan Tangan Baja kalau bukan musuh yang benar-benar
tangguh. Sekali dia mengeluarkan serangan tersebut tak pernah ada lawan yang
mampu menghindar dari kematian. Kini dia telah melakukan hal itu dan ternyata lawan
dengan mudah dapat menghindarinya!
"Luar biasa, dari mana anak semuda ini punya kepandaian begini hebat!" kata Ki
Pamilin dalam hati.
Diam-diam dia merasa malu. Selama ini dia telah
menyandang nama besar sebagai Pendekar Tangan Baja dalam dunia persilatan. Ter-
nyata hari ini dia tersandung oleh seorang yang usianya hanya sepertiga usianya!
Dengan cepat Ki Pamilin membalik. Kalau tadi dia hanya mengerahkan setengah
bagian tenaga datam yang dimilikinya, kini dia mengalirkan seluruh tenaga
dalamnya pada kedua lengannya hingga sepasang tangannya menjadi berkilat.
"Bagus!" Kamandaka memuji. "Kalau sudah seluruh tenaga dalammu kau kerahkan,
tunggu apa lagi! Ayo hantamlah!"
"Pemuda ini sombong sekali. Kudengar kejahatan yang dilakukannya setinggi langit
sedalam lautan! Kalau aku tidak membunuhnya hari ini biar aku mengucilkan diri
dari dunia persilatan untuk selama-lamanya!" Lalu dengan rahang terkatup rapat
Ki Pamilin dorongkan kedua tangannya ke arah Kamandaka. Kini dua larik sinar
baja yang melesat keluar dari kedua tanangan orang tua itu tampak lebih besar
dan lebih menyilaukan. Hawa panas ikut menyambart
Ketika Ki Pamilin mengalirkan tenaga dalamnya pada kedua tangan, diam-diam
Kamandaka telah pula mengatur hawa sakti yang berpusat di perutnya, lalu
menyalurkannya pada kedua tangannya. Sambil menyalurkan hawa sakti Kamandaka
menyilangkan kedua lengannya di depan dada lalu naik ke atas di depan kepala.
Kedua tangan pemuda ini tampak berubah menjadi hitam. Tiba-tiba dua lengan yang
bersilang itu membuka lalu dihantamkan ke depan.
Terdengar suara meledak seperti suara halilintar membelah langit. Tanah
bergoncang. Pepohonan berderak-derak seperti hendak tumbang. Satu gelombang
sinar hitam menggebubu ke depan.
Dua sinar baja pukulan sakti Ki Pamilin laksana tenggelam ditelan gelombang
hitam yang dahsyat itu. Orang tua ini tersentak kaget. Tubuhnya terdorong keras.
Dia berusaha bertahan sambil dorongkan lagi kedua tangannya dan merapal aji
kesaktian lain untuk memperkuat diri.
Kamandaka tertawa mengekeh.
"Keluarkan seluruh ilmumu Pendekar Tangan Baja!"
katanya. Lalu kedua lengannya yang masih ada di depan kepala disilangkan
kembali. Saat itu juga terdengar suara ledakan dahsyat. Langit laksana hendak
runtuh. Tanah seperti terbongkar. Ki Pamilin lenyap dalam buntalan sinar hitam.
Lalu terdengar suara orang tua itu menjerit.
Tubuh orang tua itu terlempar sampai satu tombak.
Mukanya tampak putih laksana kain kafan tapi anehnya perlahan-lahan berubah
menjadi hitam, pertanda bahwa pukulan sakti yang dilepaskan Kamandaka selain
dialas dengan kekuatan tenaga dalam luar biasa juga mengandung racun sangat
jahat. "Ayah!"
Wiro Sableng 062 Kamandaka Murid Murtad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mintari terpekik melihat apa yang terjadi dengan ayahnya. Gadis ini memburu.
Kamandaka cepat ulurkan tangan menyambar pinggang si gadis.
"Manusia jahanam!" teriak Mintari. Dia berbalik dan tongkat bambu di tangan
kanannya dihunjamkan ke perut Kamandaka. Baju biru Kamandaka tampak berlobang
besar. Tetapi hebatnya perutnya tidak cidera sedikitpun.
Malah Mintari merasa ada satu dorongan keras ketika ujung tongkat menyentuh
perut pemuda itu yang membuat tangannya bergetar.
"Gadis hebat!" seru Kamandaka. "Tunjukan kehebatan-mu kalau nanti kau berada
dalam pelukanku!"
Mendidih amarah Mintari mendengar kata-kata itu. Dia membalik dan kini
tongkatnya menusuk kuat-kuat ke mulut si pemuda. Sekali ini Kamandaka tidak mau
berlaku ayal lagi. Perutnya bisa kebal dan sanggup menahan tusukan tongkat bambu
ataupun senjata tajam. Tetapi pada kedua matanya sama sekali tidak ada
kekebalan. Selain itu dia tahu bahwa gadis itu memiliki kepandaian yang cukup
tinggi berkat gemblengan ayahnya.
Kamandaka cepat menggeser kedua kakinya sambil
miringkan kepalanya ke kiri. Bersamaan dengan itu tangan kanannya melesat ke
atas menangkap ujung tongkat.
Begitu ujung tongkat berada dalam genggamannya,
Kamandaka dengan cepat menariknya. Karena tidak
sempat melepaskan tongkat itu maka Mintari ikut tertarik ke depan. Sebelum dia
bisa berbuat sesuatu apa tahu-tahu dia sudah berada dalam pelukan Kamandaka.
Malah satu ciuman si pemuda sempat menyambar pipinya!
"Jahanam kurang ajarl" Makian itu disertai gerakan mencakar ke muka Kamandaka.
Tapi Mintari kalah cepat.
Kamandaka lebih cepat menotok jalan darahnya hingga tubuh si gadis kaku tak bisa
bergerak lagi. Hanya suaranya saja terdengar memaki tak putus-putusnya.
Sambil tertawa-tawa Kamandaka memanggul tubuh
Mintari. Salah satu tangannya mengelus-elus tubuh bagian bawah belakang gadis
itu sehingga semakin keras kutuk serapah keluar dari mulut Mintari.
"Sekarang kau memaki diriku. Tapi lihat sebentar lagi kau akan tergila-gila
padaku. Berpisah sesaatpun kau tak akan mau!" berkata Kamandaka sambil membawa
Mintari ke arah gerobak sapi. Tubuh gadis ini dibaringkannya di lantai gerobak
sebelah belakang.
Dari dalam mulut Ki Pamilin tampak banyak darah
mengalir. Nafasnya sesak dan dari tenggorokannya terdengar suara seperti ayam
dipotong. Samar-samar dia melihat Kamandaka memanggul tubuh Mintari ke arah
gerobak. "Ya Tuhan, tolong anakku. Selamatkan dia..." orang tua ini hanya bisa memohon
dalam hati. Tangannya coba diangkat untuk melepaskan pukulan ke arah si pemuda.
Tetapi kekuatannya sudah punah. Pemandangannya bertambah gelap. Pada saat
jantungnya berhenti berdetak, nyawanyapun lepas meninggalkan jazad.
Di atas gerobak Kamandaka berlutut di samping tubuh Mintari. Mulutnya
menyeringai, nafasnya menderu diburu nafsu. Tangan kanannya bergerak. Terdengar
suara pakaian robek beberapa kali.
"Manusia jahanaml Iblis! Lepaskan aku! Lepaskan!"
teriak Mintari.
"Nanti juga akan kulepaskani Sekarang biar kita bersenang-senang dulu!"
"Lebih baik kau bunuh diriku!" teriak Mintari lalu dia menjerit berulang kali.
Suara jeritan gadis yang terancam kehonmatannya itu bukan membuat hiba apalagi
takut dalam diri Kamandaka.
Malah pemuda ini semakin bernafsu. Dibukanya baju dan celana birunya. Kedua
tangannya meraba kian kemari.
Ketika dia siap untuk melakukan kebejatan itu tiba-tiba di belakangnya terdengar
suara derap kaki kuda. Kamandaka menoleh ke belakang.
Dua orang penunggang kuda berseragam perajurit
Kerajaan mendatangi dengan cepat. Melihat ada gerobak berhenti di tengah jalan
dan ada suara perempuan menjerit dari atas gerobak itu, kedua perajurit ini
hentikan kuda masing-masing di samping gerobak.
Tentu saja keduanya terkejut melihat pemandangan di dalam gerobak terbuka itu.
"Hail Perbuatan gila apa yang kau lakukan ini"!" salah seorang perajurit
membentak. "Siang bolong! Di tengah jalan1" Perajurit yang satu lagi ikut menghardik.
Melihat munculnya dua orang perajurit Kerajaan ini Mintari merasa dirinya pasti
akan mendapat pertolongan.
Maka diapun berkata. "Tolong. Tolong selamatkan diriku dari manusia durjana
ini!" Dua perajurit pandangi wajah cantik dan tubuh mulus yang menggeletak di atas
gerobak itu. Mau tak mau keduanya jadi tercekat dan terangsang. Yang satu
berulang kali membasahi bibirnya dengan ujung lidah. Sedang yang satu lagi
memandang dengan mata tak berkesip. Yang terakhir ini berpaling pada Kamandaka.
"Kau tahu kalau kau telah membuat satu kesalahan besar yang bisa membuat
kepalamu dijirat tali gantungan?"
Kamandaka diam saja. Dia sudah merasa kalau kedua perajurit itu mulai dikobari
nafsu. Benar saja karena yang satu kemudian berkata.
"Sobat, jika kau mau membagi-bagi rejeki besar ini pada kami berdua, kami tidak
akan menangkapmu atau membuat perkara!"
Kamandaka menyeringai. "Kalau kalian memang berminat aku bersedia memenuhi
permintaan kalian.
Malah kalau mau kalian boleh bersenang-senang lebih dulu. Naiklah ke atas
gerobak ini. Aku mengalah tidak jadi apa."
Mendengar kata-kata Kamandaka itu, dua perajurit tadi tanpa tunggu lebih lama
segera turun dari kuda dan siap naik ke atas kereta.
"Hus! Tunggu dulu!" kata Kamandaka. "Sebelum naik lebih baik kalian tanggalkan
dulu semua pakaian yang melekat di tubuh kalian Gerobak ini sempit. Akan sulit
membuka pakaian di sini!"
"Kau benar!" kata salah seorang perajurit. Lalu tanpa malu-malu dia segera
menanggalkan pakaiannya. Kawannya tidak mau ketinggalan, segera pula melakukan
hal yang sama. "Nah sekarang kalian sudah siap! Ayo lekas naik ke atas gerobak. Aku biar
menunggu di dekat pohon sana sambil berjaga jaga," kata Kamandaka pula.
Dua orang perajurit yang tanpa pakaian itu naik ke atas gerobak. Namun belum
sempat kaki mereka menginjak lantai kereta, kedua tangan Kamandaka bergerak
memukul. Terdengar suara bergedebuk dua kali. Kedua perajurit itu keluarkan
jeritan hampir berbarengan. Tubuh mereka terbanting ke tanah. Keduanya mengerang
seketika lalu tak berkutik lagi. Mereka mati dengan muka remuk.
Kamandaka meludah ke tanah. Dia berpaling pada
Mintari yang tergeletak dengan muka pucat. Kembali gadis ini memekik keras.
Namun sekali ini tak ada sesuatupun yang bisa menghalangi perbuatan terkutuk
Kamandaka *** WIRO SABLENG KAMANDAKA SI MURID MURTAD
3 I LAMPING bukit Pendekar 212 Wiro Sableng
hentikan larinya. Sejenak dia tegak berdiam diri lalu Dmemandang ke bawah bukit.
Lapat-lapat dia mendengar suara ringkikan kuda jauh dibawah sana. Murid Eyang
Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini dapat mem-bedakan mana ringkikan kuda biasa
dan mana yang tidak biasa. Segera dia menuruni bukit ke arah terdengarnya suara
ringkikan kuda itu. Dia sengaja mengambil jalan memintas walau harus menempuh
bagian bukit yang dirapati pepohonan serta semak belukar. Ketika akhirnya
Pendekar ini sampai di kaki bukit, dia menemui sebuah jalan dan melihat ada
bekasbekas jejak roda di tanah.
Wiro ikuti jejak-jejak roda itu. Belum lama berjalan langkahnya mendadak
terhenti. Di kejauhan, dekat jalan yang menikung tampak sebuah gerobak sapi. Di
samping kiri gerobak kelihatan dua sosok mayat dengan kepala pecah dan tubuh
telanjang bulat. Dua helai pakaian seragam perajurit kelihatan tercampak di
tanah. Tak jauh dari situ ada dua ekor kuda. Salah seekor diantaranya meringkik
tiada henti. Wiro meneruskan langkahnya. Dia melihat sosok tubuh ke tiga,
menggeletak dekat sebatang pohon yang tumbang. Sang pendekar kerenyitkan kening
dan garuk-garuk kepalanya. Sosok tubuh ketiga ini tak bisa dikenali. Sekujur
badan dan pakaiannya berwarna hitam seolah-olah baru saja keluar dari lumpur
jelaga. "Ini bukan warna hitam biasa. Orang ini menemui ajal akibat racun jahat..."
membatin murid Sinto Gendeng. Saat itulah dia mendengar suara erangan halus. Dia
berpaling ke arah gerobak sapi, tadi gerobak itu dilewatinya begitu saja. Suara
erangan itu justru datang dari arah gerobak.
Wiro cepat mendekati gerobak, melompat ke atasnya.
Kedua kaki Pendekar 212 laksana dipantek ke lantai gerobak. Matanya hampir
terpejam tak kuasa memandang.
"Tolong... tolong..." Gadis yang meoggeletak di lantai gerobak keluarkan suara
kelu. Kedua matanya hanya membuka sedikit. Sekujur tubuhnya terutama di bagian
leher dan dada penuh dengan luka-luka bekas gigitan.
Sambil membalikkan tubuh Wiro membuka bajunya.
Dengan pakaian ini ditutupnya tubuh Mintari. Tapi baju itu tidak dapat menutupi
sekujur tubuh gadis yang malang itu.
Wiro memandang seputar gerobak. Ada sebuah buntalan di bawah tempat duduk kereta
sebelah depan. Ketika di-periksanya dia menemukan sehelai kain warna kuning yang
cukup lebar. Dengan kain ini ditutupinya tubuh gadis itu sedang bajunya
dipakainya kernbali. Lalu Wiro membawa gerobak itu ke tempat yang teduh.
"Saudari, dapat kau menceritakan apa yang terjadi?"
Jawaban yang keluar dari mulut Mintari adalah jeritan keras. Lalu gadis ini
menangis tersengguk-sengguk. Dalam hati Pendekar 212 sudah dapat menduga nasib
buruk apa yang telah menimpa gadis ini. Namun yang jadi pertanyaan apa sangkut
paut kedua perajurit Kerajaan yang mati telanjang serta seorang yang tewas
dengan tubuh hitam itu. "Ayah... Tolong... Ayah..."
Wiro kerenyitkan kening. Diperhatikannya lagi keadaan tubuh gadis yang
menggeletak di Iantai gerobak itu. Baru dia menyadari kalau tubuh itu berada
dalam keadaan ter-totok. Wiro membungkuk untuk lepaskan totokan itu.
"Kau...kau siapa...?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Mintari. Untuk pertama
kali si gadis tiba-tiba merasa takut.
"Jangan takut. Aku kebetulan lewat di tempat ini. Aku berusaha menolongmu..."
Mintari membuka kedua matanya lebih lebar. Pemandangannya masih meremang. Dia
tak dapat melihat jelas wajah orang yang berlutut di sampingnya. Kemudian
dirasakannya ada sentuhan pada bagian tubuhnya yang membuat dia bisa
menggerakkan kedua tangan dan kakinya kembali.
Begitu menyadari totokannya telah lepas, Mintari berusaha melompat berdiri. Tapi
terhuyung-huyung dia hampir jatuh. Wiro cepat memegang tangannya dan menutupkan
kain kuning kembali ke tubuh Mintari lalu menyandarkan gadis itu ke pinggiran
gerobak. Mintari memandang dengan mata membeliak padanya.
"Tenanglah, kau tak usah takut. Aku bukan orang jahat,"
kata Wiro meyakinkan si gadis.
"Ayah..." Mintari memandang berkeliling. Wiro mengikuti pandangannya.
"Ayahmu ada di sini?" tanya Wiro.
"Ayah...Manusia itu pasti sudah membunuh ayah..."
Kemudian gadis ini melihat tubuh hitam yang menggeletak dekat pohon. Satu
jeritan keluar dari mulutnya. Tubuhnya tampak seperti kejang. Wiro berusaha
menenangkan gadis itu. Di sudut depan gerobak dia melihat sebuah bumbung bambu.
Ketika dibukanya ternyata berisi air. Air dalam bumbung ini segera diminumkannya
pada Mintari. Dengan susah payah si gadis berusaha meneguk air itu. Sehabis
minum dia kelihatan agak tenangan.
"Sekarang kau bisa mengatakan apa yang terjadi?"
tanya Wiro. Mintari tak menjawab. Kain kuning dibungkuskannya erat-erat ke tubuhnya lalu dia
berusaha turun dari atas gerobak. Terhuyung-huyung dia melangkah mendekati
sesosok tubuh hitam dekat pohon. Wiro melangkah di sampingnya. Di depan tubuh
hitam itu Mintari hentikan langkahnya. Matanya memperhatikan tidak berkesip.
Kemudian dilihatnya cincin berbatu yang melingkar di jari manis tangan kanan.
Meskipun sudah hangus namun dia masih bisa mengenali cincin itu.
"Ayah!" jerit Mintari. Kedua kakinya goyah dan tubuhnya langsung jatuh. Wiro
cepat memegang gadis ini sebelum terbanting ke tanah.
*** Hari itu hari kelima di bulan lima, suatu pertemuan rahasia diadakan di sebuah
rumah tua di kaki Bukit Sedayu di kawasan Selatan. Yang bertindak sebagai tuan
rumah adalah Raden Bintang, bekas Tumenggung yang telah lama mengundurkan diri
dari segala macam urusan Kerajaan.
Dalam dunia persilatan dia dikenal dengan julukan Rantai Bayangan. Lelaki
berusia enam puluh tahun ini konon memiliki sebuah senjata aneh. Jika dia
membaca mantera maka di tangan kanan atau tangan kirinya kelihatan muncul dan
tergenggam sebuah rantai besi berwarna hitam. Rantai ini kelihatan seperti
bayangan. Tapi jika dipakai untuk, memukul atau menggebuk maka sasarannya bisa
patah atau hancur remuk seperti terkena hantaman rantai sungguhan.
Di tempat kediamannya pagi itu telah berkumpul hampir dua puluh orang tokoh
dunia persilatan di Jawa Tengah, Timur dan dari Barat. Bahkan salah seorang tamu
datang jauh-jauh dari Pulau Andalas. Dia adalah seorang kakek berdestar dan
berpakaian serba hitam. Kedua kaki dan pergelangan tangannya dilingkari gelang
akar bahar. Dialah Datuk Alam Rajo Di Langit seorang tokoh silat yang telah
punya rencana untuk membawa Mintari ke tempat kediamannya guna digembleng dengan
berbagai ilmu kepandaian, silat serta kesaktian dan juga ilmu agama.
Saat itu masih ada beberapa tokoh silat yang belum muncul. Sementara menunggu
acara resmi dibuka pada siang hari tepat maka para tamu mengobrol berbagai macam
hal sambil menikmati minuman dan juadah yang dihidangkan. Sesekali terdengar
suara gelak tertawa.
Dalam pertemuan itu akan dibicarakan beberapa hal.
Namun ada satu hal penting yang akan diperbincangkan secara amat rahasia.
Dua orang tamu lagi datang. Setelah menyalami tuan rumah keduanya mengambil
tempat duduk diantara para hadirin. Menjelang tengah hari Raden Bintang berdiri
dari kursinya. Setelah mendehem beberapa kali dia berkata.
"Saudara-saudara sekaum persilatan. Saya melihat masih ada dua kursi yang
kosong. Karena waktu kita sempit sedang yang akan dibicarakan dalam perternuan
ini bukan cuma satu mata acara, lalu mengingat bahwa Saudara-saudara tentu harus
kembali ke tempat asal masing-masing. Bagaimana kalau saya meminta agar acara
pertemuan dimulai saja secara resmi. Mudah-mudahan dua tamu yang belum datang
akan segera muncul di tempat ini."
"Saya rasa kami semua setuju," menjawab salah seorang dari yang hadir. Yang
lain-lainnya sama mengiyakan.
"Terima kasih. Kalau begitu acara bisa segera kita mulai," kata Raden Bintang
pula dengan senyum gembira dan sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya
satu sama lain.
Raden Bintang mengambil sebuah palu kayu yang terletak di atas meja. Ketika dia
hendak mengetukkan palu ini sebagai tanda dimulainya acara tiba-tiba terdengar
suara bergemeratak. Raden Bintang berpaling ke halaman diikuti oleh para
hadirin. Sebuah gerobak sapi tampak memasuki halaman dengan cepat. Kusirnya
seorang pemuda berambut gondrong berpakaian dan berikat kepala putih.
"Kita kedatangan tamu. Tapi bukan yang diundang,"
kata Raden Bintang. "Di antara yang hadir apakah ada yang mengenalinya?"
Tidak seorang hadirinpun memberikan jawaban.
Pemuda berambut gondrong turun dari gerobak. Sesaat dia memandang agak bimbang
pada orang-orang yang ada di dalam rumah besar itu.
Namun akhirnya dia melangkah juga. Di tangga atas bangunan dia berhenti dan
memberi penghormatan
dengan menundukkan kepala.
"Maafkan saya mengganggu. Apakah di sini pertemuan para tokoh silat dari tiga
kawasan Pulau Jawa?"
"Sebutkan dulu siapa dirimu anak muda, baru ajukan pertanyaan," kata Raden
Bintang. "Saya Wiro Sableng. Saya datang membawa surat dari Eyang Sinto Gendeng. Beliau
tidak bisa datang karena ada halangan."
Semua yang hadir di tempat itu termasuk Raden
Bintang alias Rantai Bayangan sama-sama terkejut mendengar nama yang disebutkan.
"Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!" semua orang menyebut gelar itu dalam hati
masing-masing. Mereka tentu saja sudah lama mendengar nama besar Pendekar 212
yang berulang kali membuat kegegeran dalam dunia persilatan. Dikagumi para tokoh
silat golongan putih, ditakuti oleh mereka dari golongan hitam dan para pen-
jahat. Selama ini Pendekar 212 mereka anggap selalu muncul dan menghilang secara
misterius, jarang me-nampakkan diri secara langsung di depan para tokoh silat.
Kabarnya bertampang tolol, kadang-kadang suka kurang ajar tetapi berhati polos:
Semua yang hadir tidak menduga kalau Pendekar 212 masih begitu muda dan sangat
sederhana.
Wiro Sableng 062 Kamandaka Murid Murtad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wiro menyerahkan surat titipan gurunya kepada Raden Bintang. Tuan rumah
bermaksud segera membacanya
namun urung ketika mendengar Pendekar 212 berkata.
"Maafkan saya, ada yang lebih penting dari surat itu.
Seseorang di atas gerobak membutuhkan pertolongan. Di atas gerobak juga ada
sesosok mayat."
Semua yang hadir di situ tentu saja menjadi kaget. Beberapa di antaranya segera
berdiri dan keluar dari rumah besar mengikuti Pendekar 212 yang melangkah menuju
gerobak. Mereka yang ikut mendekati gerobak menjadi terkejut ketika menyaksikan apa yang
ada di dalam gerobak itu.
Wiro mengangkat tubuh Mintari yang berada dalam keadaan lemah, terbungkus dengan
kain kuning. "Gadis ini butuh istirahat dan perawatan. Saya mohon disediakan kamar
untuknya..." kata Wiro lalu melangkah kembali ke arah rumah besar sambil
mendukung Mintari.
Seorang berpakaian hitam menyeruak diantara orang banyak. Lalu terdengar
suaranya seperti harimau meng-gereng disusul seruan keras.
"Mintari! Apa yang terjadi denganmu Nak"!"
Wiro hentikan langkah dan berpaling. Yang lain-lain ikut menoleh. Yang tadi
berseru ternyata adalah Datuk Alam Rajo Di Langit. Dia mengenali gadis yang
berada dalam dukungan Pendekar 212 itu.
"Datuk," ujar Raden Bintang. "Kau mengenali gadis ini?"
"Namanya Mintari. Dia calon muridku! Atas persetujuan ayahnya Ki Pamilin yang
bergelar Pendekar Tangan Baja aku akan membawanya ke Pulau Andalas! Sungguh
tidak disangka kalau saat ini aku menemuinya dalam keadaan begini. Di mana
ayahnya"!"
"Ya dimana Ki Pamilin" Dia salah seorang tokoh silat yang kita undang!" kata
Raden Bintang pula.
"Tokoh silat itu telah jadi korban pembunuhan biadab!"
Orang banyak yang ada di tempat itu termasuk tuan rumah Raden Bintang menjadi
geger. Lalu suasana hening beberapa saat lamanya. Dan semua mata kini ditujukan
pada Pendekar 212 Wiro Sableng yang barusan memberi keterangan.
Wiro menggoyangkan kepalanya ke arah gerobak. Dua kali lompat saja Raden Bintang
sudah sampai di samping gerobak. Matanya membeliak melihat sosok tubuh hitam
yang menggeletak mengerikan di atas lantai gerobak.
"Hanya ada satu manusia yang bisa membuat seorang menemui ajal seperti ini.
Yaitu murid murtad Ketua Partai Semeru Raya di Timur Orangnya bernama Kamandaka
bergelar Pendekar Tangan Halilintar!"
"Benar, menurut penuturan gadis ini memang orang itu yang membunuh ayahnya,"
kata Wiro pula.
Kembali tempat itu dilanda kegemparan.
Salah seorang dari mereka berkata. "Justru acara kita paling penting dalam
pertemuan ini adalah untuk membicarakan manusia terkutuk itu! Belum sempat
berunding kini sudah jatuh lagi satu korban baru!"
"Dan anak gadis Ki Pamilin ini pasti sudah..." Orang yang bicara tidak tega
meneruskan ucapannya.
Seseorang memberi Isyarat agar Wiro mengikutinya.
Mintari dibawa masuk ke dalam sebuah kamar. Dua orang perempuan separuh baya
yang sebenarnya adalah juru masak untuk menyediakan makanan dalam pertemuan itu
masuk ke dalam kamar guna merawat Mintari.
Atas permintaan Raden Bintang, Wiro kemudian me-
nuturkan apa yang diketahuinya yakni mulai ketika pertama kali dia menemui para
korban sampai pada pen-jelasan yang disampaikan Mintari sebelum jatuh pingsan.
Mau tak mau acara pertemuan hari itu ditunda sampai jenazah Ki Pamilin diurus
dan dimakamkan di halaman belakang rumah besar. Menjelang sore semua orang
berkumpul kembali di dalam rumah. Raden Bintang berpaling pada Pendekar 212.
"Saya sudah membaca surat Eyang Sinto Gendeng.
Saya dan tentu semua orang yang ada disini merasa menyesal tokoh sakti dari Jawa
Barat itu tidak bisa hadir.
Karenanya dengan segala kehormatan kami mengundang Pendekar 212 untuk
mewakilinya."
Kalau sudah begini sikap urakan Wiro jadi keluar. Dia masih berdiri tapi kini
garuk-garuk kepala. "Maafkan saya,"
katanya. "Kalau tidak salah isi surat itu hanya mengatakan bahwa Eyang tidak
bisa datang. Beliau tidak memberi wewenang pada saya untuk bertindak sebagai
wakil pada pertemuan para tokoh ini."
"Pendekar 212 walau Eyang Sinto Gendeng memang tidak menuliskan bahwa kau boleh
mewakilinya, tapi kami semua yang hadir di sini sama menyetujui dan tak ada yang
keberatan," Kata tuan rumah pula.
Kembali Pendekar 212 menggaruk kepala. "Mohon maaf. Saya merasa tidak punya
bobot untuk tegak sama tinggi dan duduk sama rendah dengan semua orang
pandai yang ada di sini. Izinkan saya minta diri..."
Raden Bintang merasa agak tersinggung. Maka diapun cepat berkata ketika
dilihatnya Wiro hendak membalik.
"Pertemuan ini sangat penting. Kita akan membicarakan tindakan yang harus
diambil terhadap Kamandaka murid Partai Semeru Raya itu! Jika dibiarkan semakin
banyak korban yang jatuh. Kau menyaksikan sendiri bagaimana kejinya dia membunuh
Ki Pamilin dan merusak kehormatan anak gadis orang tua itu. Menghabisi nyawa dua
perajurit Kerajaan. Bahkan belasan tokoh silat sebelumnya telah dihabisinya.
Apakah kau ingin berlepas tangan saja...?"
Kalau tadi Raden Bintan yang merasa agak tersinggung, kini sebaliknya Pendekar
212 Wiro Sableng yang merasa tersinggung dan dipojokkan.
"Kalau saya tidak ikut dalam perternuan ini bersama para tokoh yang saya
hormati, bukan berarti saya hanya bertopang dagu berlepas tangan. Guru saya
Eyang Sinto Gendeng mengajarkan bahwa pada saat-saat penting ada kalanya
seseorang harus lebih banyak bertindak dari pada banyak bicara. Kamandaka sudah
berbuat jahat menebar maut dan kebejatan sejak beberapa bulan lalu. Apa yang
telah dilakukan orang-orang persilatan" Saya minta diri..."
Wiro membalikkan badannya dan melangkah cepat
meninggalkan rumah besar itu tanpa melihat bagaimana paras Raden Bintang menjadi
kemerahan akibat kata-kata yang diucapkannya tadi. Sambil melangkah Pendekar 212
Wiro Sableng menggerendeng. "Pertemuan... pertemuan!
Berunding, bicara tak habis-habisnya. Seharusnya sudah sejak dulu-dulu mereka
melakukan tindakan nyata, bukan cuma bicara!"
Baru saja Wiro mengomel seperti itu di sebelahnya terdengar satu suara. "Kau
betul anak muda! Urusan kapiran macam begini tidak bakal beres kalau cuma
dibicarakan di belakang meja sambil minum-minum dan makan-makan.
Aku ikut bersamamu!"
Wiro berpaling. Orang yang melangkah di sampingnya ternyata adalah orang tua
berpakaian serba hitam dan memakai gelang bahar pada kaki dan tangannya. Dia
bukan lain adalah Datuk Alam Rajo di Langit. Tokoh silat dari Andalas yang
sebelumnya punya rencana membawa Mintari ke tempat kediamannya.
"Orang tua, kau mau ikut aku ke mana?" bertanya Wiro sambil terus melangkah.
"Mencari pemuda keparat bernama Kamandaka itu tentu!"
"Siapa bilang aku saat ini pergi mencarinya?"
Datuk Alam Rajo Di Langit jadi terkesima dan hentikan langkahnya. Di depannya
Wiro kembali berkata. "Saat ini bukankah lebih penting bagimu merawat calon
muridmu itu" Persoalan Kamandaka biar serahkan saja pada para tokoh silat di
Tanah Jawa ini."
Ingat pada Mintari Datuk Alam Rajo Di Langit jadi bimbang. Lalu perlahan dia
berkata. "Memang sebaiknya aku lebih memperhatikan keadaan calon muridku itu."
Dipegangnya bahu Pendekar 212 lalu orang tua ini balikkan tubuh, kembali menuju
rumah besar tempat pertemuan.
Ketika dia sampai di tempat itu kembali ternyata semua orang yang ada di situ
tengah dilanda kegemparan.
Terheran-heran Datuk Alam Rajo Di Langit bertanya.
"Apa yang terjadi" Banyak orang bermuka pucat kulihat.
Kegemparan apa yang ada di sinil"
Seseorang menjawab. "Gadis malang bernama Mintari itu lenyap di culik orang!"
"Hah"!" Datuk Alam Rajo Di Langit terbeliak.Dia langsung melompat masuk ke dalam
rumah, terus menuju kamar di mana Mintari dirawat. Yang ditemuinya di kamar itu
hanya dua orang perempuan separuh baya yang sebelumnya diperintahkan merawat
Mintari. Kedua perempuan ini tertegak di sudut kamar dengan muka pucat!
Datuk Alam Rajo Di Langit dekati kedua perempuan itu.
"Lekas ceritakan apa yang terjadi!" bentaknya keras dan tidak sabaran.
Dengan suara gemetar salah seorang dari dua
perempuan itu berkata. "Saya tengah membasuh muka dan tubuh gadis itu. Teman
saya ini baru saja meletakkan sehelai sapu tangan di keningnya yang panas. Tiba-
tiba jendela di sebelah sana terpentang lebar. Lalu ada seseorang masuk seperti
bayangan. Dia berkelebat ke atas tempat tidur. Tubuh gadis itu dipanggulnya.
Lalu dia menghilang lewat jendela."
"Kalian mengenali siapa orangnya?" Raden Bintang ajukan pertanyaan.
"Gerakannya cepat. Tapi kalau saya tidak salah tangkap dia adalah seorang nenek
kurus berkulit hitam. Di kepalanya ada tusuk kundai..."
Datuk Alam Rajo Di Langit berpaling pada Raden
Bintang. Yang lain-lainnya juga berlaku demikian. Saling pandang dan saling
menduga. "Bisa saja tidak mungkin," kata Raden Bintang perlahan.
"Namun manusia dengan ciri-ciri seperti itu hanva ada satu. Sinto Gendeng dari
Gunung Gede di Jawab Barat.
Guru Pendekar Kapak Maut Naga Geni 2l2!"
"Lekas kita selidiki ke luar!" teriak Datuk Alam Rajo Di Langit. "Yang lain-
lainnya coba mengejar pemuda murid Sinto Gendeng tadi!"
Semua tetamu yang ada di tempat itu segera berbagi menjadi dua rombongan. Satu
menyelidiki kemana lenyap-nya Mintari bersama nenek penculik. Satu rombongan
lagi mengejar Pendekar 212 Wiro Sableng.
Namun kedua orang itu telah raib tak dapat lagi dikejar.
*** WIRO SABLENG KAMANDAKA SI MURID MURTAD
4 ALAM sebuah rumah kayu di puncak Gunung
Semeru lima orang duduk bicara mengelilingl
Dsebuah meja bulat. Dari sikap dan air muka mereka jelas mereka tengah
membicarakan satu masalah yang penting.
Kelima orang itu masing-masing adalah Gamar Senopatri, Ketua Partai Semeru Raya
yang menyandang gelar Dewa Tapak Sakti. Sang Ketua berusia hampir 70 tahun tapi
keadaan tubuh dan wajahnya seperti baru ber-usia 50
tahun. Rambutnya baru sedikit yang berwarna putih. Dia digelari seperti itu
karena kedua telapak tangannya berwarna biru, mengandung kesaktian langka di
mana dua tangan itu sanggup meremukkan benda sekeras apapun.
Orang ke dua adalah Ageng Seto, Ketua Cabang Partai wilayah Utara. Di sebelahnya
duduk Ageng Sembodo yang merupakan adik Ageng Seto dan menjabat sebagai Ketua
Cabang Partai wilayah Selatan. Ageng Sembodo adalah orang paling muda di antara
ke lima orang itu, berusia 35
tahun dan memiliki wajah gagah.
Lelaki ketiga adalah Ketua Cabang Partai wilayah Timur, bernama Ki Rono Bayu,
berusia 76 tahun, jadi lebih tua dari sang Ketua Partai Semeru.
Orang ke empat yaitu Rana Tumalaya, dipercayakan sebagai Ketua Cabang Partai
wilayah Barat. Setelah mengusap wajahnya beberapa kali, Ketua
Partai Semeru Raya berkata. "Memang sulit dipercaya kalau tidak dilihat sendiri.
Kamandaka, pemuda yang jadi murid harapan masa depan Partai, dikenal cakap
gagah, berjiwa penuh kesatria dan memiliki iman yang tinggi. Kini diketahui
telah menebar angkara murka keji di rimba persilatan. Dosanya makin hari makin
menggunung. Kalau ingatannya tidak terganggu, tidak mungkin dia melakukan semua
itu. Atau mungkin dia memiliki semacam ilmu yang diamalkan secara sesat?"
"Mungkin sekali begitu Ketua," menyahuti Ki Rono Bayu.
"Lima orang anak murid Partai Cabang Timur sempat menemui Kamandaka di sekitar
Karanganyar, tak jauh dari kaki sebelah barat Gunung Karangpandan. Karena
sebelumnya sudah saling mengenal maka para murid saya tidak sungkan-sungkan
menasihati agar Kamandaka
kembali ke jalan benar dan segera menghadap Ketua Partai untuk minta ampun.
Namun apa yang mereka terima sungguh mengenaskan. Empat orang murid partai
dibunuh dengan tangan kosong. Yang satu sempat melarikan did.
Dia memberi tahu bahwa Kamandaka telah memiliki satu ilmu kesaktian baru yaitu
berupa pukulan Tangan Halilintar. Itu pula konon gelar yang dipakainya kini
dalam dunia persilatan."
"Tangan Halilintar!" desis Gamar Senopatri. "Dari mana anak itu mendapatkan ilmu
kesaktian itu. Apa yang telah membuatnya berubah menjadi setan" Membunuh bahkan
memperkosa!" Ketua Partai Semeru Raya ini geleng-gelengkan kepala sambil
memegangi kalung baja putih dengan perhiasan berbentuk kepala singa. Sepasang
mata singa ini diberi batu delima merah sehingga kelihatan berkilau-kilau
seperti memantulkan bara api.
"Seorang pemuka agama di selatan mengetahui tempat kediaman Kamandaka. Agaknya
sudah saatnya kita harus turun tangan..." berucap Ketua Cabang Partai wilayah
Selatan yaitu Ageng Sembodo.
Gamar Senopatri alias Dewa Tapak Sakti usapusapkan kedua telapak tangannya yang
biru satu sama lain.
"Memang sudah saatnya. Biar aku sendiri yang akan menemui anak itu. Membawanya
kemari untuk bertobat dan menebus segala dosa. Kalau dia tidak mau akan kubunuh
di tempat!"
Baru saja Ketua Partai Semeru Raya itu berkata
demikian, tiba-tiba, ada suara menyahuti.
"Ki sanak benar! Murid murtad itu memang patut dibunuh. Dipancung kepalanya,
dicincang sekujur tubuhnya!"
Terdengar angin bersiur. Lampu minyak yang tergantung di atas meja bergoyang-
goyang. Ke lima y orang yang ada di ruangan itu cepat berdiri. Mereka berpaling
ke kanan. Di ambang pintu tegak seorang kakek berdestar dan berpakaian serba hitam.
Pergelangan tangan dan kakinya dilingkari gelang akar bahar. Tampangnya sekeras
batu karang dan pandangan matanya seperti api menyambar.
Dia adalah Datuk Alam Rajo Di Langit, tokoh silat dari Andalas yang beberapa
hari lalu menghadiri pertemuan para tokoh silat di Selatan.
"Tamu terhormat dari mana yang datang tidak memberi salam?" tegur Ketua Partai
Semeru Raya sekaligus menyindir.
Datuk Alam Rajo Di Langit parasnya tidak berubah sedikitpun oleh teguran itu.
Kedua matanya menyapu dengan cepat satu demi satu enam orang yang ada di ruangan
itu. "Yang mana di antara kalian Ketua Partai Semeru Raya?"
Gamar Senopatri mendehem beberapa kali sebelum
menjawab. Dari pakaian sang tamu dia segera maklum kalau orang itu datang dari
seberang. "Tamu dari seberang rupanya datang mencari saya.
Saya Ketua Partai Semeru Raya. Nama saya Gamar
Senopatri. Siapakah kiranya ki sanak?"
"Jadi kau rupanya guru Kamandaka. Pemuda bejat yang gentayangan malam melintang
menebar maut, menculik dan memperkosa!"
Paras Ketua Partai Semeru Raya jadi berubah. Empat Ketua Cabang tampak tegang.
Selama ini belum ada orang yang datang membawa persoalan menyangkut diri
Kamandaka. "Saya memang guru Kamandaka," kata Gamar Senopatri. "Terangkan dulu siapa ki
sanak dan apa maksud kedatangan jauh-jauh ke sini?"
"Setahuku kau diundang dalam pertemuan para tokoh silat di Selatan. Mengapa
tidak muncul atau mengirim wakil?"
"Akh, ki sanak rupanya utusan para tokoh silat dalam pertemuan itu."
"Siapa bilang begitu" Aku datang mauku sendiri!" sahut Datuk Alam Rajo Di
Langit. "Kalau begitu silahkan duduk. Mari kita bicara secara baik-baik."
Datuk Alam mendengus. "Siapa sudi duduk dengan kalian orang-orang yang tidak
bertanggung jawab"!"
Lima orang disekitar meja tampak marah. Yang empat masih bisa menahan diri tapi
yang paling muda yaitu Ageng Sembodo langsung membentak.
"Apa maksud ucapanmu orang tua berpakaian hitam"!
Datang tidak tahu juntrungan! Bicara tidak karuanl Jangan salah kalau orang
macammu bisa digebuk!"
Datuk Alam menyeringai. "Orang muda, di negeriku manusia bermulut enteng
sepertimu sudah lama disingkir-kan! Kalian orang-orang Partai Semeru hanya bisa
bicara tapi tidak pernah bertindak! Sahabatku Ki Pamilin bergelar Pendekar
Wiro Sableng 062 Kamandaka Murid Murtad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tangan Baja dibunuh oleh Kamandaka secara keji! Anak gadisnya yang bakal menjadi
calon muridku diperkosa! Aku datang membawa kabar buruk itu agar kalian segera
berbuat sesuatu! Dan tadi kau bilang aku datang tanpa juntrungan! Bicara tidak
karuan! Orang sepertimu seharusnya dirobek mulutnya!"
Para lima orang Ketua Partai Semeru Raya tampak
berubah. Ageng Sembodo mengelam wajahnya.
"Kenapa kalian jadi diam semua" Apa sudah disambat hantu bisu"!" sentak Datuk
Alam Rajo Di Langit. Dia menunjuk tepat-tepat pada Ketua Partai Semeru Raya.
"Kalau dalam waktu satu bulan kau tidak bisa menangkap muridmu dan menghukumnya
dengan hukuman mati, aku akan muncul lagi di tempat ini. Saat itu seluruh puncak
Semeru akan aku obrak-abrikl Nyawa kalian tidak ada harganya lagi bagiku! Ingat
baik-baik!"
Datuk Alam Rajo Di Langit membalikan tubuh hendak pergi. Tapi Gamar Senopatri
cepat berkata. "Ki Sanak harap mau berlaku hormat sedikit. Walau marah dan dendam membara jadi
satu, tapi kita orang-orang tua tentu bisa berkepala dingin. Silakan duduk dulu
agar kita bisa bicara baik-baik."
Habis berkata begitu Ketua Partai Semeru Raya ini angkat tangan kanannya yang
berwarna biru. Satu kekuatan yang tidak terlihat bergerak ke arah sebuah kursi
kayu. Kursi ini tampak terangkat. Lalu perlahan-lahan seperti melayang bergerak
mendekati Datuk Alam Rajo Di Langit dan turun di sampingnya.
"Silakan duduk, ki sanak!" kata Gamar Senopatri. Dia memberi isyarat pada empat
Ketua Cabang. Bersama-sama mereka kemudian duduk di kursi masing-masing.
Sesaat Datuk Alam tampak menunjukkan sikap
bimbang. Namun kemudian akhirnya dia duduk juga di kursi itu dan diam-diam
mengetahui kalau Ketua Partai Semeru Raya sengaja memamerkan kehebatan tenaga
dalamnya. Kakek ini membatin. "Hemmm.... Mulutnya bicara manis tetapi ada
segumpal kesombongan di dalam hatinya."
"Nah sekarang kita bisa bicara panjang lebar mengenai muridku si Kamandaka itu,"
kata Ketua Partai Semeru Raya pula.
"Ah, waktuku sempit. Lagi pula aku sudah memperingatkan kalian agar segera turun
tangan mencari dan menangkap Kamandaka."
"Urusan kami dengan Kamandaka adalah urusan guru dengan murid. "Urusan dalam
Partai. Jadi harap ki sanak tidak keliwat mendesak..."
Sepasang mata Datuk Alam Rajo Di Langit mendelik.
"Mungkin apa yang ki sanak bilang betul adanya. Tetapi apa kata ki sanak
menyangkut pembunuhan, penculikkan dan perkosaan, yang dilakukan oleh Kamandaka"
Apa itu bisa dianggap sebagai urusan dalam" Ingat ki sanak.
Seluruh tokoh rimba persilatan tidak menganggap hal itu urusan dalam Partai atau
hanya sekedar urusan guru dengan murid!"
Gamar Senopatri dan empat Ketua Partai tak bisa berkata apa-apa.
"Ada hal lain yang aku rasa kurang sedap. Masakan tuan rumah selaku Ketua Partai
Semeru Raya yang begini besar tega-teganya memberikan kursi reyot pada tamu yang
datang dari jauh."
Setelah berkata begitu Datuk Alam Rajo Di Langit segera berdiri dan tinggalkan
ruangan itu. Gamar Senopatri dan empat orang Ketua Cabang Partai tentu saja heran mendengar
ucapan Datuk Alam Rajo Di Langit itu. Mereka segera memburu ke pintu tapi sang
Datuk Alam Rajo Di Langit sudah lenyap. Padahal puncak Semeru di kawasan itu
merupakan pedataran yang agak luas.
"Gerakannya luar biasa cepat," kata Gamar Senopatri mengagumi. "Sayang dia sama
sekali belum mengatakan siapa dirinya." Lalu Ketua Partai Semeru Raya ini
berpaling ke arah kursi yang tadi sempat diduduki tamunya.
"Apa yang tidak beres dengan kursi ini" Kursi begini kokoh dikatakan reyot!"
berkata Ageng Sembodo. Lalu kursi kayu itu dipegangnya pada bagian sandaran dan
diangkat-nya. Terjadi hal yang aneh. Sambungan kayu-kayu kursi tiba-tiba
bertanggalan dan jatuh ke lantai hingga Ageng Sembodo kini hanya memegang bagian
sandarannya sajal
"Manusia luar biasa!" mau tak mau pujian itu keluar dari mulut sang Ketua
Partai. Lalu sambungnya. "Sebaiknya kita teruskan pembicaraan."
Kelima orang itu kembali duduk mengitari meja bundar.
"Sembodo, tadi kau mengatakan ada orang yang tahu letak tempat kediaman
Kamandaka," Gamar Senopatri membuka pembicaraan.
"Benar Ketua. Di sebuah goa di pantai Selatan. Sulitnya goa ini terletak dibawah
laut. Jadi sulit untuk memasuki-nya. Kalau tidak salah goa itu bernama goa
Kranggan."
"Kalau begitu besok kau dan aku berangkat ke sana."
"Tunggu dulu Ketua," kata Ki Rono Bayu begitu mendengar kata-kata pimpinannya.
"Soal maksud Ketua untuk turun tangan sendiri tidak kami ragukan. Namun harap
Ketua jangan tergesa-gesa turun tangan sendiri. Beri dulu kesempatan pada kami
untuk mendatangi kediaman
Kamandaka. Jika bertemu akan kami seret dia ke hadapan Ketua."
"Saya setuju pendapat Ki Rono Bayu itu," kata Rana Tumalaya. Ke empat orang
Ketua Cabang Partai sama menyetujui hingga sang Ketua tidak bisa berbuat apa-apa
lagi: Maka diputuskan bahwa Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu akan berangkat ke
Selatan besok pagi. Namun sebelum pertemuan dibubarkan, Ageng Seto mengajukan
sebuah usul. "Setahu saya Kamandaka punya hubungan dekat dengan murid Partai yang bernama
Kintani. Bagaimana kalau kita manfaatkan kedekatan hubungan itu. Kita minta
bantuan gadis itu untuk membujuk Kamandaka agar mau menyerahkan diri dan ikut
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 7 Pendekar Bloon 7 Neraka Neraka Kutukan Berdarah 2
BASTIAN TITO PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
WIRO SABLENG KAMANDAKA SI MURID
MURTAD Sumber: Kitab 212 (Bastian Tito)
EBook: syauqy_arr@yahoo.co.id
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
WIRO SABLENG KAMANDAKA SI MURID MURTAD
1 EROBAK sapi itu bergerak perlahan. Yang menjadi
kusirnya seorang lelaki tua berjanggut dan berambut G putih duduk tenang-tenang
saja karena dia memang tidak terburu-buru. Di sampingnya duduk seorang dara.
Rambutnya yang hitam pendek dikuncir ke atas hingga wajahnya yang jelita tampak
lucu. Gadis ini adalah anak tunggal si orang tua berjanggut putih. Dara ini
memang ber-sifat riang ceria. Sepanjang perjalanan dia selalu menyanyi kecil
sambil menggoyang-goyangkan tangan kanannya yang memegang sebuah tongkat bambu.
Melihat pakaian ringkas warna putih yang dikenakan ayah dan anak ini jelas
keduanya adalah orang-orang persilatan.
"Mintari anakku," berkata lelaki tua di atas gerobak pada anak gadisnya. "Kalau
sampai di tempat pertemuan para tokoh silat di Selatan nanti, jangan sekali-kali
kau berlaku sembrono. Kau duduk saja di sampingku. Jangan bicara kalau tidak
diminta. Ingat, di situ juga ada Datuk Alam Rajo Di Langit, tokoh silat dari
tanah Minang yang akan membawamu ke Pulau Andalas. Semua ilmu ke-pandaianku
sudah kuwariskan padamu. Selanjutnya Datuk Alam yang akan membawamu ke tanah
Minang dan menggemblengmu di sana. Ingat juga, Datuk itu adalah orang tua yang sangat
saleh. Karena itu selama di sana jangan sekali-kali kau meninggalkan
sembahyang."
Gadis bernama Mintari itu sesaat terdiam mendengar kata-kata ayahnya. Tak lama
kemudian kembali dia menyanyi-nyanyi sambil membolang-balingkan tongkat
bambunya. "Anakku, apakah kau tidak akan mengatakan sesuatu?"
bertanya sang ayah.
Mintari hentikan nyanyiannya, "Saya ada satu pertanyaan ayah," ucapnya.
"Katakanlah anakku."
"Setahu saya di tanah Jawa ini terdapat banyak sekali tokoh-tokoh silat
berkepandaian tinggi. Tidak terhitung pula orang-orang sakti. Lalu mengapa ayah
menginginkan saya pergi jauh-jauh ke negeri Minang mengikuti Datuk Alam Rajo
kalau hanya untuk menempa ilmu silat dan kesaktian?"
Sang ayah tersenyum mendengar ucapan anak gadis-
nya itu. Setelah mendehem beberapa kali diapun menjawab. "Pernahkah kau
mendengar ujar-ujar yang mengatakan: Jauh berjalan banyak yang dilihat. Menuntut
ilmu kalau perlu sampai di Negeri Cina. Memang ayah tahu tidak sedikit orang
pandai di tanah Jawa ini. Tapi tanah Minang juga dikenal gudang segala ilmu. Di
sana kau dapat pula mendalami ilmu agama. Dan mengenai Datuk Alam Rajo jangan
kau anggap enteng dia..."
"Harap maafkan, saya tidak menganggap enteng orang tua satu itu ayah. Jangan
ayah salah sangka."
"Lalu mengapa kau kelihatannya tidak suka pergi bersamanya?"
"Karena sebenarnya saya ingin dekat dengan ayah,"
jawab Mintari. Sang ayah tertawa. "Kau bukan anak kecil lagi. Umurmu sudah sembilan belas tahun
kalau ayah tidak salah ingat.
Ayah melepasmu dengan segala keikhlasan."
"Saya tahu ayah," kata Mintari pula. Lalu dipegangnya tangan ayahnya seraya
berkata. "Kalau saya tidak ada, siapa yang mengurus ayah?"
Ucapan anak gadisnya itu membuat hati si orang tua tersentuh. Memang sejak ibu
Mintari meninggal dunia enam tahun yang lalu, anak gadisnya itulah yang mengurus
dirinya. Setelah diam sesaat orang tua ini berkata. "Kalau kau pergi dan sanggup
mengurus diri sendiri, masakan aku tua bangka begini tidak sanggup berbuat yang
sama...?" Baru saja ayah Mintari berkata begitu tiba-tiba terdengar suara tawa mengekeh
menyusul ucapan lantang.
"Kau betul Ki Pamilin! Orang tua sepertimu harus dapat mengurus diri sendiri!
Hari ini aku mau lihat apakah kau benar-benar bisa mengurus diri sendiri!"
Ayah dan anak itu sama-sama terkejut dan memandang berkeliling.
"Ayah, ada suara tapi tak kelihatan orangnya!" bisik Mintari.
Ki Pamilin, ayah Mintari berusaha bersikap tenang tapi waspada. Dia tahu kalau
ada seorang berkepandaian tinggi berada di tempat itu. Manusia yang muncul
seperti itu biasa-nya tidak membawa niat baik.
"Tenang saja Mintari. Tak ada yang perlu ditakutkan."
balas berbisik Ki Pamilin.
Tiba-tiba ada suara angin berdesir disertai berkelebat-nya satu bayangan. Tahu-
tahu sepuluh langkah di tengah jalan di hadapan mereka tegak berdiri seorang
berpakaian dan berdestar serba biru. Bajunya tidak berkancing hingga dadanya
yang bidang berotot tersingkap lebar. Ki Pamilin hentikan gerobak sapinya.
Yang tegak menghadang di tengah jalan itu ternyata seorang pemuda berparas
gagah. Hal ini membuat hati si orang tua agak tenteram sedikit. Lain halnya
dengan Mintari. Gadis ini tidak suka melihat perjalanannya dihadang oleh seorang
tak dikenal yang bersikap sombong.
"Anak muda, siapakah dirimu. Apa maksud ucapanmu tadi?" tanya Ki Pamilin.
"Aku sudah lama mendengar nama besarmu yang menyandang gelar Pendekar Tangan
Baja. Hari ini aku ingin menjajaki sampai dimana kehebatan sepasang tanganmu.
Buktikan bahwa kau memang orang tua yang bisa mengurus diri sendiri!" Habis
berkata begitu pemuda ini memandang pada Mintari. Sepasang bola matanya membesar
dan membersitkan sinar aneh. Hati Ki Pamilin mendadak sontak jadi berdebar.
Pengalaman hidup membuat dia mengenali arti cahaya yang keluar dari kedua mata
pemuda itu. "Anak muda, hidup bukan mencari lantai terjungkat.
Ilmu kepandaian bukan untuk membuat silang sengketa."
"Orang tua, kata-katamu enak di dengar. Apakah itu berarti kau tidak punya nyali
untuk melayaniku barang sejurus dua jurus?"
Mintari yang sudah sejak tadi merasa jengkel melihat tingkah dan mendengar
ucapan-ucapan pemuda itu
membuka mulut bersuara keras.
"Kami masih ada keperluan yang lebih penting! Mana punya waktu melayani pemuda
sombong sepertimu!"
Pemuda di tengah jalan tertawa gelak-gelak. Ditanggalkannya destar birunya. Lalu
destar ini, dikipas-kipaskannya.
Saat itu sinar matahari memancar terik dan udara memang panas.
"Adik, suaramu merdu dan wajahmu secantik bidadari.
Bolehkah aku tahu namamu" Tadipun aku sebetulnya sudah kagum mendengar suara
nyanyianmu."
Mintari keluarkan suara mendengus dari hidungnya.
"Ketepilah. Kami mau lewat!"
"Adik cantik, percakapan kita bisa diteruskan kemudian.
Aku ingin mendengar jawaban ayahmu. Apakah dia seorang pengecut?"
"Ayahku bukan seorang pengecut! Dia hanya tidak mau mengotori tangan melayani
kadal hutan macammu!" jawab Mintari.
Mendengar kata-kata itu kembali pemuda di tengah jalan tertawa bergelak. Tetapi
dalam tertawa sepasang matanya tampak seperti dikobari api. Tiba-tiba tubuhnya
berkelebat lenyap lalu terdengar suara brett!
Mintari terpekik. Ki Pamilin berteriak keras. Orang tua ini marah sekali.
Langsung dia melompat turun dari atas gerobak. Tangan kanannya menghantam ke
arah dada si pemuda. Yang diserang sunggingkan senyum mengejek dan angkat tangan
ngan kirinya untuk menangkis.
Buuukk! Ki Pamilin yang memang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Tangan Baja
terjajar dua langkah ke belakang.
Lengan kanannya mendenyut sakit dan tampak merah.
Wajah orang tua ini jadi berubah. Sebagai seorang tokoh silat yang disegani
bukan sembarang orang bisa membuatnya terjajar seperti itu.
"Pemuda kurang ajar! Siapa kau sebenarnya, dan apa maumu"!" sentak Ki Pamilin.
Si pemuda kenakan destarnya kembali. Sambil ber-
kacak pinggang dia berkata. "Namaku Kamandaka. Orang mengenalku dengan panggilan
Pendekar Tangan Halilintar!"
Mendengar nama dan gelar itu kembali paras Ki Pamilin berubah. Dia sempat mundur
satu langkah. Yang terpikir saat itu adalah keselamatan anak gadisnya.
Di depannya pemuda yang mengaku bernama Kaman-
daka bergelar Pendekar Tangan Halilintar lagi-lagi sunggingkan senyum sinis.
"Pendekar Tangan Baja berhadapan dengan Pendekar Tangan Halilintar! Bukan ini
satu pertemuan yang luar biasa"!"
*** WIRO SABLENG KAMANDAKA SI MURID MURTAD
2 I ATAS gerobak Mintari rapatkan baju putihnya yang robek akibat tarikan kurang
ajar Kamandaka.
DDengan tubuh gemetar oleh amarah gadis ini me-
lompat dari gerobak itu. Dia bermaksud hendak menyerang si pemuda. Tetapi
hatinya jadi bimbang ketika melihat bagaimana ayahnya yang memiliki kepandaian
begitu tinggi tampak terjajar dalam bentrokan pukulan Tadi.
"Orang muda, kalau kau benar Kamandaka manusia terkutuk yang dicari-cari di
tujuh penjuru angin itu, maka ketahuilah hari ini hari terakhir bagimu melihat
dunia!" "Ha ...ha! Ternyata kau bukan seekor macan kertas.
Kalau kau memang punya nyali mari kita teruskan
berbincang-bincang dengan tangan dan kaki. Namun sebelumnya aku ingin memastikan
dulu agar anak gadismu ini tidak pergi ke mana-mana!" Habis berkata begitu
Kamandaka melompat ke hadapan Mintari dan menyergap dengan satu totokan.
Dari samping Ki Pamilin datang menyambar dengan
pukulan ke arah kepala Kamandaka hingga pemuda ini tidak sempat meneruskan
totokannya ke tubuh si gadis.
Serangan yang dilancarkan Ki Pamilin mengandung tenaga dalam tinggi,
mengeluarkan suara bersiur menggidikkan.
Namun dengan tenang Kamandaka mengelak. Gerakannya mengelak tampak aneh.
Tubuhnya berputar membelakangi lawan. Lalu tiba-tiba kaki kanannya mencelat ke
atas seperti tendangan seekor kuda. Kalau Ki Pamilin tidak bertindak waspada
tendangan dahsyat itu pasti akan menghantam rahang kanannya!
Tendangan yang melesat itu kini mendarat pada kayu besar yang jadi tambatan sapi
penarik. Terdengar suara berderak. Kayu itu pecah berantakan mengejutkan sapi
penarik gerobak. Binatang ini sempat lari beberapa belas langkah lalu berhenti
dekat kelokan jalan sambil tiada henti mengibas-kibaskan ekornya.
Dengan rahang menggembung Ki Pamilin lancarkan
serangan. Tubuhnya seperti merunduk. Kedua tangannya diulurkan ke depan.
Kamandaka melihat bagaimana
sepasang tangan itu kini berubah menjadi keputih-putihan.
"Ah, kau mengeluarkan ilmu kesaktian Tangan Baja!"
seru Kamandaka. Memang inilah yang ditunggu-tunggunya.
Sudah sejak lama dia mencari-cari orang tua bergelar Pendekar Tangan Baja ini
hanya sekedar untuk menjajal ilmu kepandaiannya. Kini bukan saja dia menemul
orang yang dicarinya, malah orang ini muncul membawa serta anak gadisnya yang
cantik jelita. Kamandaka menunggu dengan kedua kaki di-
renggangkan. Sepasang lengan di silang di depan dada.
Ketika kedua lengan ini saling digosokkan maka kelihatan jelas warnanya berubah
menjadi hitam. Diam-diam Ki Pamilin menjadi terkesiap jnga melihat hal ini.
Sejak lama dia sudah mendengar akan kehebatan dan keganasan Pendekar Tangan
Halilintar. Dan selama ini belum ada satu lawan atau seorang tokoh silatpun yang
mampu menghadapi pukulan halilintar itu. Karenanya si orang tua memutuskan untuk
menggempur Kamandaka lebih dulu.
Didahului dengan satu bentakan keras Ki Pamilin
dorong-kan kedua tangannya. Dorongan ini perlahan saja.
Tetapi apa yang terjadi sungguh dahsyat!
Dari kedua tangan Ki Pamilin seperti menyembur keluar dua jalur sinar putih.
Inilah sinar baja yang mengandung hawa panas. Meskipun hanya berbentuk sinar
tetapi kekuatan dan kerasnya tidak beda seperti batangan baja!
Wus! Wus! Dua sinar menyambar ke arah kepala dan dada
Kamandaka. "Bagus!" Seru si pemuda memuji tapi sebenarnya dia jelas hendak mengejek dan
memandang rendah lawan.
Begitu dua sinar baja menderu ke depan Kamandaka melompat ke samping. Dari
samping dia dorongkan telapak tangan kanannya.
Dua sinar baja laksana dua batangan terdorong ke samping. Menghantam sebatang
pohon jati. Pohonini laksana ditembus tombak raksasa, berderak patah lalu
tumbang dengan suara menggemuruh.
Ki Pamilin merasakan dadanya seperti terbakar karena geram tetapi bersamaan
dengan itu tengkuknya menjadi dingin. Selama ini belum pernah dia langsung
menyerang musuh dengan pukulan Tangan Baja kalau bukan musuh yang benar-benar
tangguh. Sekali dia mengeluarkan serangan tersebut tak pernah ada lawan yang
mampu menghindar dari kematian. Kini dia telah melakukan hal itu dan ternyata lawan
dengan mudah dapat menghindarinya!
"Luar biasa, dari mana anak semuda ini punya kepandaian begini hebat!" kata Ki
Pamilin dalam hati.
Diam-diam dia merasa malu. Selama ini dia telah
menyandang nama besar sebagai Pendekar Tangan Baja dalam dunia persilatan. Ter-
nyata hari ini dia tersandung oleh seorang yang usianya hanya sepertiga usianya!
Dengan cepat Ki Pamilin membalik. Kalau tadi dia hanya mengerahkan setengah
bagian tenaga datam yang dimilikinya, kini dia mengalirkan seluruh tenaga
dalamnya pada kedua lengannya hingga sepasang tangannya menjadi berkilat.
"Bagus!" Kamandaka memuji. "Kalau sudah seluruh tenaga dalammu kau kerahkan,
tunggu apa lagi! Ayo hantamlah!"
"Pemuda ini sombong sekali. Kudengar kejahatan yang dilakukannya setinggi langit
sedalam lautan! Kalau aku tidak membunuhnya hari ini biar aku mengucilkan diri
dari dunia persilatan untuk selama-lamanya!" Lalu dengan rahang terkatup rapat
Ki Pamilin dorongkan kedua tangannya ke arah Kamandaka. Kini dua larik sinar
baja yang melesat keluar dari kedua tanangan orang tua itu tampak lebih besar
dan lebih menyilaukan. Hawa panas ikut menyambart
Ketika Ki Pamilin mengalirkan tenaga dalamnya pada kedua tangan, diam-diam
Kamandaka telah pula mengatur hawa sakti yang berpusat di perutnya, lalu
menyalurkannya pada kedua tangannya. Sambil menyalurkan hawa sakti Kamandaka
menyilangkan kedua lengannya di depan dada lalu naik ke atas di depan kepala.
Kedua tangan pemuda ini tampak berubah menjadi hitam. Tiba-tiba dua lengan yang
bersilang itu membuka lalu dihantamkan ke depan.
Terdengar suara meledak seperti suara halilintar membelah langit. Tanah
bergoncang. Pepohonan berderak-derak seperti hendak tumbang. Satu gelombang
sinar hitam menggebubu ke depan.
Dua sinar baja pukulan sakti Ki Pamilin laksana tenggelam ditelan gelombang
hitam yang dahsyat itu. Orang tua ini tersentak kaget. Tubuhnya terdorong keras.
Dia berusaha bertahan sambil dorongkan lagi kedua tangannya dan merapal aji
kesaktian lain untuk memperkuat diri.
Kamandaka tertawa mengekeh.
"Keluarkan seluruh ilmumu Pendekar Tangan Baja!"
katanya. Lalu kedua lengannya yang masih ada di depan kepala disilangkan
kembali. Saat itu juga terdengar suara ledakan dahsyat. Langit laksana hendak
runtuh. Tanah seperti terbongkar. Ki Pamilin lenyap dalam buntalan sinar hitam.
Lalu terdengar suara orang tua itu menjerit.
Tubuh orang tua itu terlempar sampai satu tombak.
Mukanya tampak putih laksana kain kafan tapi anehnya perlahan-lahan berubah
menjadi hitam, pertanda bahwa pukulan sakti yang dilepaskan Kamandaka selain
dialas dengan kekuatan tenaga dalam luar biasa juga mengandung racun sangat
jahat. "Ayah!"
Wiro Sableng 062 Kamandaka Murid Murtad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mintari terpekik melihat apa yang terjadi dengan ayahnya. Gadis ini memburu.
Kamandaka cepat ulurkan tangan menyambar pinggang si gadis.
"Manusia jahanam!" teriak Mintari. Dia berbalik dan tongkat bambu di tangan
kanannya dihunjamkan ke perut Kamandaka. Baju biru Kamandaka tampak berlobang
besar. Tetapi hebatnya perutnya tidak cidera sedikitpun.
Malah Mintari merasa ada satu dorongan keras ketika ujung tongkat menyentuh
perut pemuda itu yang membuat tangannya bergetar.
"Gadis hebat!" seru Kamandaka. "Tunjukan kehebatan-mu kalau nanti kau berada
dalam pelukanku!"
Mendidih amarah Mintari mendengar kata-kata itu. Dia membalik dan kini
tongkatnya menusuk kuat-kuat ke mulut si pemuda. Sekali ini Kamandaka tidak mau
berlaku ayal lagi. Perutnya bisa kebal dan sanggup menahan tusukan tongkat bambu
ataupun senjata tajam. Tetapi pada kedua matanya sama sekali tidak ada
kekebalan. Selain itu dia tahu bahwa gadis itu memiliki kepandaian yang cukup
tinggi berkat gemblengan ayahnya.
Kamandaka cepat menggeser kedua kakinya sambil
miringkan kepalanya ke kiri. Bersamaan dengan itu tangan kanannya melesat ke
atas menangkap ujung tongkat.
Begitu ujung tongkat berada dalam genggamannya,
Kamandaka dengan cepat menariknya. Karena tidak
sempat melepaskan tongkat itu maka Mintari ikut tertarik ke depan. Sebelum dia
bisa berbuat sesuatu apa tahu-tahu dia sudah berada dalam pelukan Kamandaka.
Malah satu ciuman si pemuda sempat menyambar pipinya!
"Jahanam kurang ajarl" Makian itu disertai gerakan mencakar ke muka Kamandaka.
Tapi Mintari kalah cepat.
Kamandaka lebih cepat menotok jalan darahnya hingga tubuh si gadis kaku tak bisa
bergerak lagi. Hanya suaranya saja terdengar memaki tak putus-putusnya.
Sambil tertawa-tawa Kamandaka memanggul tubuh
Mintari. Salah satu tangannya mengelus-elus tubuh bagian bawah belakang gadis
itu sehingga semakin keras kutuk serapah keluar dari mulut Mintari.
"Sekarang kau memaki diriku. Tapi lihat sebentar lagi kau akan tergila-gila
padaku. Berpisah sesaatpun kau tak akan mau!" berkata Kamandaka sambil membawa
Mintari ke arah gerobak sapi. Tubuh gadis ini dibaringkannya di lantai gerobak
sebelah belakang.
Dari dalam mulut Ki Pamilin tampak banyak darah
mengalir. Nafasnya sesak dan dari tenggorokannya terdengar suara seperti ayam
dipotong. Samar-samar dia melihat Kamandaka memanggul tubuh Mintari ke arah
gerobak. "Ya Tuhan, tolong anakku. Selamatkan dia..." orang tua ini hanya bisa memohon
dalam hati. Tangannya coba diangkat untuk melepaskan pukulan ke arah si pemuda.
Tetapi kekuatannya sudah punah. Pemandangannya bertambah gelap. Pada saat
jantungnya berhenti berdetak, nyawanyapun lepas meninggalkan jazad.
Di atas gerobak Kamandaka berlutut di samping tubuh Mintari. Mulutnya
menyeringai, nafasnya menderu diburu nafsu. Tangan kanannya bergerak. Terdengar
suara pakaian robek beberapa kali.
"Manusia jahanaml Iblis! Lepaskan aku! Lepaskan!"
teriak Mintari.
"Nanti juga akan kulepaskani Sekarang biar kita bersenang-senang dulu!"
"Lebih baik kau bunuh diriku!" teriak Mintari lalu dia menjerit berulang kali.
Suara jeritan gadis yang terancam kehonmatannya itu bukan membuat hiba apalagi
takut dalam diri Kamandaka.
Malah pemuda ini semakin bernafsu. Dibukanya baju dan celana birunya. Kedua
tangannya meraba kian kemari.
Ketika dia siap untuk melakukan kebejatan itu tiba-tiba di belakangnya terdengar
suara derap kaki kuda. Kamandaka menoleh ke belakang.
Dua orang penunggang kuda berseragam perajurit
Kerajaan mendatangi dengan cepat. Melihat ada gerobak berhenti di tengah jalan
dan ada suara perempuan menjerit dari atas gerobak itu, kedua perajurit ini
hentikan kuda masing-masing di samping gerobak.
Tentu saja keduanya terkejut melihat pemandangan di dalam gerobak terbuka itu.
"Hail Perbuatan gila apa yang kau lakukan ini"!" salah seorang perajurit
membentak. "Siang bolong! Di tengah jalan1" Perajurit yang satu lagi ikut menghardik.
Melihat munculnya dua orang perajurit Kerajaan ini Mintari merasa dirinya pasti
akan mendapat pertolongan.
Maka diapun berkata. "Tolong. Tolong selamatkan diriku dari manusia durjana
ini!" Dua perajurit pandangi wajah cantik dan tubuh mulus yang menggeletak di atas
gerobak itu. Mau tak mau keduanya jadi tercekat dan terangsang. Yang satu
berulang kali membasahi bibirnya dengan ujung lidah. Sedang yang satu lagi
memandang dengan mata tak berkesip. Yang terakhir ini berpaling pada Kamandaka.
"Kau tahu kalau kau telah membuat satu kesalahan besar yang bisa membuat
kepalamu dijirat tali gantungan?"
Kamandaka diam saja. Dia sudah merasa kalau kedua perajurit itu mulai dikobari
nafsu. Benar saja karena yang satu kemudian berkata.
"Sobat, jika kau mau membagi-bagi rejeki besar ini pada kami berdua, kami tidak
akan menangkapmu atau membuat perkara!"
Kamandaka menyeringai. "Kalau kalian memang berminat aku bersedia memenuhi
permintaan kalian.
Malah kalau mau kalian boleh bersenang-senang lebih dulu. Naiklah ke atas
gerobak ini. Aku mengalah tidak jadi apa."
Mendengar kata-kata Kamandaka itu, dua perajurit tadi tanpa tunggu lebih lama
segera turun dari kuda dan siap naik ke atas kereta.
"Hus! Tunggu dulu!" kata Kamandaka. "Sebelum naik lebih baik kalian tanggalkan
dulu semua pakaian yang melekat di tubuh kalian Gerobak ini sempit. Akan sulit
membuka pakaian di sini!"
"Kau benar!" kata salah seorang perajurit. Lalu tanpa malu-malu dia segera
menanggalkan pakaiannya. Kawannya tidak mau ketinggalan, segera pula melakukan
hal yang sama. "Nah sekarang kalian sudah siap! Ayo lekas naik ke atas gerobak. Aku biar
menunggu di dekat pohon sana sambil berjaga jaga," kata Kamandaka pula.
Dua orang perajurit yang tanpa pakaian itu naik ke atas gerobak. Namun belum
sempat kaki mereka menginjak lantai kereta, kedua tangan Kamandaka bergerak
memukul. Terdengar suara bergedebuk dua kali. Kedua perajurit itu keluarkan
jeritan hampir berbarengan. Tubuh mereka terbanting ke tanah. Keduanya mengerang
seketika lalu tak berkutik lagi. Mereka mati dengan muka remuk.
Kamandaka meludah ke tanah. Dia berpaling pada
Mintari yang tergeletak dengan muka pucat. Kembali gadis ini memekik keras.
Namun sekali ini tak ada sesuatupun yang bisa menghalangi perbuatan terkutuk
Kamandaka *** WIRO SABLENG KAMANDAKA SI MURID MURTAD
3 I LAMPING bukit Pendekar 212 Wiro Sableng
hentikan larinya. Sejenak dia tegak berdiam diri lalu Dmemandang ke bawah bukit.
Lapat-lapat dia mendengar suara ringkikan kuda jauh dibawah sana. Murid Eyang
Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini dapat mem-bedakan mana ringkikan kuda biasa
dan mana yang tidak biasa. Segera dia menuruni bukit ke arah terdengarnya suara
ringkikan kuda itu. Dia sengaja mengambil jalan memintas walau harus menempuh
bagian bukit yang dirapati pepohonan serta semak belukar. Ketika akhirnya
Pendekar ini sampai di kaki bukit, dia menemui sebuah jalan dan melihat ada
bekasbekas jejak roda di tanah.
Wiro ikuti jejak-jejak roda itu. Belum lama berjalan langkahnya mendadak
terhenti. Di kejauhan, dekat jalan yang menikung tampak sebuah gerobak sapi. Di
samping kiri gerobak kelihatan dua sosok mayat dengan kepala pecah dan tubuh
telanjang bulat. Dua helai pakaian seragam perajurit kelihatan tercampak di
tanah. Tak jauh dari situ ada dua ekor kuda. Salah seekor diantaranya meringkik
tiada henti. Wiro meneruskan langkahnya. Dia melihat sosok tubuh ke tiga,
menggeletak dekat sebatang pohon yang tumbang. Sang pendekar kerenyitkan kening
dan garuk-garuk kepalanya. Sosok tubuh ketiga ini tak bisa dikenali. Sekujur
badan dan pakaiannya berwarna hitam seolah-olah baru saja keluar dari lumpur
jelaga. "Ini bukan warna hitam biasa. Orang ini menemui ajal akibat racun jahat..."
membatin murid Sinto Gendeng. Saat itulah dia mendengar suara erangan halus. Dia
berpaling ke arah gerobak sapi, tadi gerobak itu dilewatinya begitu saja. Suara
erangan itu justru datang dari arah gerobak.
Wiro cepat mendekati gerobak, melompat ke atasnya.
Kedua kaki Pendekar 212 laksana dipantek ke lantai gerobak. Matanya hampir
terpejam tak kuasa memandang.
"Tolong... tolong..." Gadis yang meoggeletak di lantai gerobak keluarkan suara
kelu. Kedua matanya hanya membuka sedikit. Sekujur tubuhnya terutama di bagian
leher dan dada penuh dengan luka-luka bekas gigitan.
Sambil membalikkan tubuh Wiro membuka bajunya.
Dengan pakaian ini ditutupnya tubuh Mintari. Tapi baju itu tidak dapat menutupi
sekujur tubuh gadis yang malang itu.
Wiro memandang seputar gerobak. Ada sebuah buntalan di bawah tempat duduk kereta
sebelah depan. Ketika di-periksanya dia menemukan sehelai kain warna kuning yang
cukup lebar. Dengan kain ini ditutupinya tubuh gadis itu sedang bajunya
dipakainya kernbali. Lalu Wiro membawa gerobak itu ke tempat yang teduh.
"Saudari, dapat kau menceritakan apa yang terjadi?"
Jawaban yang keluar dari mulut Mintari adalah jeritan keras. Lalu gadis ini
menangis tersengguk-sengguk. Dalam hati Pendekar 212 sudah dapat menduga nasib
buruk apa yang telah menimpa gadis ini. Namun yang jadi pertanyaan apa sangkut
paut kedua perajurit Kerajaan yang mati telanjang serta seorang yang tewas
dengan tubuh hitam itu. "Ayah... Tolong... Ayah..."
Wiro kerenyitkan kening. Diperhatikannya lagi keadaan tubuh gadis yang
menggeletak di Iantai gerobak itu. Baru dia menyadari kalau tubuh itu berada
dalam keadaan ter-totok. Wiro membungkuk untuk lepaskan totokan itu.
"Kau...kau siapa...?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Mintari. Untuk pertama
kali si gadis tiba-tiba merasa takut.
"Jangan takut. Aku kebetulan lewat di tempat ini. Aku berusaha menolongmu..."
Mintari membuka kedua matanya lebih lebar. Pemandangannya masih meremang. Dia
tak dapat melihat jelas wajah orang yang berlutut di sampingnya. Kemudian
dirasakannya ada sentuhan pada bagian tubuhnya yang membuat dia bisa
menggerakkan kedua tangan dan kakinya kembali.
Begitu menyadari totokannya telah lepas, Mintari berusaha melompat berdiri. Tapi
terhuyung-huyung dia hampir jatuh. Wiro cepat memegang tangannya dan menutupkan
kain kuning kembali ke tubuh Mintari lalu menyandarkan gadis itu ke pinggiran
gerobak. Mintari memandang dengan mata membeliak padanya.
"Tenanglah, kau tak usah takut. Aku bukan orang jahat,"
kata Wiro meyakinkan si gadis.
"Ayah..." Mintari memandang berkeliling. Wiro mengikuti pandangannya.
"Ayahmu ada di sini?" tanya Wiro.
"Ayah...Manusia itu pasti sudah membunuh ayah..."
Kemudian gadis ini melihat tubuh hitam yang menggeletak dekat pohon. Satu
jeritan keluar dari mulutnya. Tubuhnya tampak seperti kejang. Wiro berusaha
menenangkan gadis itu. Di sudut depan gerobak dia melihat sebuah bumbung bambu.
Ketika dibukanya ternyata berisi air. Air dalam bumbung ini segera diminumkannya
pada Mintari. Dengan susah payah si gadis berusaha meneguk air itu. Sehabis
minum dia kelihatan agak tenangan.
"Sekarang kau bisa mengatakan apa yang terjadi?"
tanya Wiro. Mintari tak menjawab. Kain kuning dibungkuskannya erat-erat ke tubuhnya lalu dia
berusaha turun dari atas gerobak. Terhuyung-huyung dia melangkah mendekati
sesosok tubuh hitam dekat pohon. Wiro melangkah di sampingnya. Di depan tubuh
hitam itu Mintari hentikan langkahnya. Matanya memperhatikan tidak berkesip.
Kemudian dilihatnya cincin berbatu yang melingkar di jari manis tangan kanan.
Meskipun sudah hangus namun dia masih bisa mengenali cincin itu.
"Ayah!" jerit Mintari. Kedua kakinya goyah dan tubuhnya langsung jatuh. Wiro
cepat memegang gadis ini sebelum terbanting ke tanah.
*** Hari itu hari kelima di bulan lima, suatu pertemuan rahasia diadakan di sebuah
rumah tua di kaki Bukit Sedayu di kawasan Selatan. Yang bertindak sebagai tuan
rumah adalah Raden Bintang, bekas Tumenggung yang telah lama mengundurkan diri
dari segala macam urusan Kerajaan.
Dalam dunia persilatan dia dikenal dengan julukan Rantai Bayangan. Lelaki
berusia enam puluh tahun ini konon memiliki sebuah senjata aneh. Jika dia
membaca mantera maka di tangan kanan atau tangan kirinya kelihatan muncul dan
tergenggam sebuah rantai besi berwarna hitam. Rantai ini kelihatan seperti
bayangan. Tapi jika dipakai untuk, memukul atau menggebuk maka sasarannya bisa
patah atau hancur remuk seperti terkena hantaman rantai sungguhan.
Di tempat kediamannya pagi itu telah berkumpul hampir dua puluh orang tokoh
dunia persilatan di Jawa Tengah, Timur dan dari Barat. Bahkan salah seorang tamu
datang jauh-jauh dari Pulau Andalas. Dia adalah seorang kakek berdestar dan
berpakaian serba hitam. Kedua kaki dan pergelangan tangannya dilingkari gelang
akar bahar. Dialah Datuk Alam Rajo Di Langit seorang tokoh silat yang telah
punya rencana untuk membawa Mintari ke tempat kediamannya guna digembleng dengan
berbagai ilmu kepandaian, silat serta kesaktian dan juga ilmu agama.
Saat itu masih ada beberapa tokoh silat yang belum muncul. Sementara menunggu
acara resmi dibuka pada siang hari tepat maka para tamu mengobrol berbagai macam
hal sambil menikmati minuman dan juadah yang dihidangkan. Sesekali terdengar
suara gelak tertawa.
Dalam pertemuan itu akan dibicarakan beberapa hal.
Namun ada satu hal penting yang akan diperbincangkan secara amat rahasia.
Dua orang tamu lagi datang. Setelah menyalami tuan rumah keduanya mengambil
tempat duduk diantara para hadirin. Menjelang tengah hari Raden Bintang berdiri
dari kursinya. Setelah mendehem beberapa kali dia berkata.
"Saudara-saudara sekaum persilatan. Saya melihat masih ada dua kursi yang
kosong. Karena waktu kita sempit sedang yang akan dibicarakan dalam perternuan
ini bukan cuma satu mata acara, lalu mengingat bahwa Saudara-saudara tentu harus
kembali ke tempat asal masing-masing. Bagaimana kalau saya meminta agar acara
pertemuan dimulai saja secara resmi. Mudah-mudahan dua tamu yang belum datang
akan segera muncul di tempat ini."
"Saya rasa kami semua setuju," menjawab salah seorang dari yang hadir. Yang
lain-lainnya sama mengiyakan.
"Terima kasih. Kalau begitu acara bisa segera kita mulai," kata Raden Bintang
pula dengan senyum gembira dan sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya
satu sama lain.
Raden Bintang mengambil sebuah palu kayu yang terletak di atas meja. Ketika dia
hendak mengetukkan palu ini sebagai tanda dimulainya acara tiba-tiba terdengar
suara bergemeratak. Raden Bintang berpaling ke halaman diikuti oleh para
hadirin. Sebuah gerobak sapi tampak memasuki halaman dengan cepat. Kusirnya
seorang pemuda berambut gondrong berpakaian dan berikat kepala putih.
"Kita kedatangan tamu. Tapi bukan yang diundang,"
kata Raden Bintang. "Di antara yang hadir apakah ada yang mengenalinya?"
Tidak seorang hadirinpun memberikan jawaban.
Pemuda berambut gondrong turun dari gerobak. Sesaat dia memandang agak bimbang
pada orang-orang yang ada di dalam rumah besar itu.
Namun akhirnya dia melangkah juga. Di tangga atas bangunan dia berhenti dan
memberi penghormatan
dengan menundukkan kepala.
"Maafkan saya mengganggu. Apakah di sini pertemuan para tokoh silat dari tiga
kawasan Pulau Jawa?"
"Sebutkan dulu siapa dirimu anak muda, baru ajukan pertanyaan," kata Raden
Bintang. "Saya Wiro Sableng. Saya datang membawa surat dari Eyang Sinto Gendeng. Beliau
tidak bisa datang karena ada halangan."
Semua yang hadir di tempat itu termasuk Raden
Bintang alias Rantai Bayangan sama-sama terkejut mendengar nama yang disebutkan.
"Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!" semua orang menyebut gelar itu dalam hati
masing-masing. Mereka tentu saja sudah lama mendengar nama besar Pendekar 212
yang berulang kali membuat kegegeran dalam dunia persilatan. Dikagumi para tokoh
silat golongan putih, ditakuti oleh mereka dari golongan hitam dan para pen-
jahat. Selama ini Pendekar 212 mereka anggap selalu muncul dan menghilang secara
misterius, jarang me-nampakkan diri secara langsung di depan para tokoh silat.
Kabarnya bertampang tolol, kadang-kadang suka kurang ajar tetapi berhati polos:
Semua yang hadir tidak menduga kalau Pendekar 212 masih begitu muda dan sangat
sederhana.
Wiro Sableng 062 Kamandaka Murid Murtad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wiro menyerahkan surat titipan gurunya kepada Raden Bintang. Tuan rumah
bermaksud segera membacanya
namun urung ketika mendengar Pendekar 212 berkata.
"Maafkan saya, ada yang lebih penting dari surat itu.
Seseorang di atas gerobak membutuhkan pertolongan. Di atas gerobak juga ada
sesosok mayat."
Semua yang hadir di situ tentu saja menjadi kaget. Beberapa di antaranya segera
berdiri dan keluar dari rumah besar mengikuti Pendekar 212 yang melangkah menuju
gerobak. Mereka yang ikut mendekati gerobak menjadi terkejut ketika menyaksikan apa yang
ada di dalam gerobak itu.
Wiro mengangkat tubuh Mintari yang berada dalam keadaan lemah, terbungkus dengan
kain kuning. "Gadis ini butuh istirahat dan perawatan. Saya mohon disediakan kamar
untuknya..." kata Wiro lalu melangkah kembali ke arah rumah besar sambil
mendukung Mintari.
Seorang berpakaian hitam menyeruak diantara orang banyak. Lalu terdengar
suaranya seperti harimau meng-gereng disusul seruan keras.
"Mintari! Apa yang terjadi denganmu Nak"!"
Wiro hentikan langkah dan berpaling. Yang lain-lain ikut menoleh. Yang tadi
berseru ternyata adalah Datuk Alam Rajo Di Langit. Dia mengenali gadis yang
berada dalam dukungan Pendekar 212 itu.
"Datuk," ujar Raden Bintang. "Kau mengenali gadis ini?"
"Namanya Mintari. Dia calon muridku! Atas persetujuan ayahnya Ki Pamilin yang
bergelar Pendekar Tangan Baja aku akan membawanya ke Pulau Andalas! Sungguh
tidak disangka kalau saat ini aku menemuinya dalam keadaan begini. Di mana
ayahnya"!"
"Ya dimana Ki Pamilin" Dia salah seorang tokoh silat yang kita undang!" kata
Raden Bintang pula.
"Tokoh silat itu telah jadi korban pembunuhan biadab!"
Orang banyak yang ada di tempat itu termasuk tuan rumah Raden Bintang menjadi
geger. Lalu suasana hening beberapa saat lamanya. Dan semua mata kini ditujukan
pada Pendekar 212 Wiro Sableng yang barusan memberi keterangan.
Wiro menggoyangkan kepalanya ke arah gerobak. Dua kali lompat saja Raden Bintang
sudah sampai di samping gerobak. Matanya membeliak melihat sosok tubuh hitam
yang menggeletak mengerikan di atas lantai gerobak.
"Hanya ada satu manusia yang bisa membuat seorang menemui ajal seperti ini.
Yaitu murid murtad Ketua Partai Semeru Raya di Timur Orangnya bernama Kamandaka
bergelar Pendekar Tangan Halilintar!"
"Benar, menurut penuturan gadis ini memang orang itu yang membunuh ayahnya,"
kata Wiro pula.
Kembali tempat itu dilanda kegemparan.
Salah seorang dari mereka berkata. "Justru acara kita paling penting dalam
pertemuan ini adalah untuk membicarakan manusia terkutuk itu! Belum sempat
berunding kini sudah jatuh lagi satu korban baru!"
"Dan anak gadis Ki Pamilin ini pasti sudah..." Orang yang bicara tidak tega
meneruskan ucapannya.
Seseorang memberi Isyarat agar Wiro mengikutinya.
Mintari dibawa masuk ke dalam sebuah kamar. Dua orang perempuan separuh baya
yang sebenarnya adalah juru masak untuk menyediakan makanan dalam pertemuan itu
masuk ke dalam kamar guna merawat Mintari.
Atas permintaan Raden Bintang, Wiro kemudian me-
nuturkan apa yang diketahuinya yakni mulai ketika pertama kali dia menemui para
korban sampai pada pen-jelasan yang disampaikan Mintari sebelum jatuh pingsan.
Mau tak mau acara pertemuan hari itu ditunda sampai jenazah Ki Pamilin diurus
dan dimakamkan di halaman belakang rumah besar. Menjelang sore semua orang
berkumpul kembali di dalam rumah. Raden Bintang berpaling pada Pendekar 212.
"Saya sudah membaca surat Eyang Sinto Gendeng.
Saya dan tentu semua orang yang ada disini merasa menyesal tokoh sakti dari Jawa
Barat itu tidak bisa hadir.
Karenanya dengan segala kehormatan kami mengundang Pendekar 212 untuk
mewakilinya."
Kalau sudah begini sikap urakan Wiro jadi keluar. Dia masih berdiri tapi kini
garuk-garuk kepala. "Maafkan saya,"
katanya. "Kalau tidak salah isi surat itu hanya mengatakan bahwa Eyang tidak
bisa datang. Beliau tidak memberi wewenang pada saya untuk bertindak sebagai
wakil pada pertemuan para tokoh ini."
"Pendekar 212 walau Eyang Sinto Gendeng memang tidak menuliskan bahwa kau boleh
mewakilinya, tapi kami semua yang hadir di sini sama menyetujui dan tak ada yang
keberatan," Kata tuan rumah pula.
Kembali Pendekar 212 menggaruk kepala. "Mohon maaf. Saya merasa tidak punya
bobot untuk tegak sama tinggi dan duduk sama rendah dengan semua orang
pandai yang ada di sini. Izinkan saya minta diri..."
Raden Bintang merasa agak tersinggung. Maka diapun cepat berkata ketika
dilihatnya Wiro hendak membalik.
"Pertemuan ini sangat penting. Kita akan membicarakan tindakan yang harus
diambil terhadap Kamandaka murid Partai Semeru Raya itu! Jika dibiarkan semakin
banyak korban yang jatuh. Kau menyaksikan sendiri bagaimana kejinya dia membunuh
Ki Pamilin dan merusak kehormatan anak gadis orang tua itu. Menghabisi nyawa dua
perajurit Kerajaan. Bahkan belasan tokoh silat sebelumnya telah dihabisinya.
Apakah kau ingin berlepas tangan saja...?"
Kalau tadi Raden Bintan yang merasa agak tersinggung, kini sebaliknya Pendekar
212 Wiro Sableng yang merasa tersinggung dan dipojokkan.
"Kalau saya tidak ikut dalam perternuan ini bersama para tokoh yang saya
hormati, bukan berarti saya hanya bertopang dagu berlepas tangan. Guru saya
Eyang Sinto Gendeng mengajarkan bahwa pada saat-saat penting ada kalanya
seseorang harus lebih banyak bertindak dari pada banyak bicara. Kamandaka sudah
berbuat jahat menebar maut dan kebejatan sejak beberapa bulan lalu. Apa yang
telah dilakukan orang-orang persilatan" Saya minta diri..."
Wiro membalikkan badannya dan melangkah cepat
meninggalkan rumah besar itu tanpa melihat bagaimana paras Raden Bintang menjadi
kemerahan akibat kata-kata yang diucapkannya tadi. Sambil melangkah Pendekar 212
Wiro Sableng menggerendeng. "Pertemuan... pertemuan!
Berunding, bicara tak habis-habisnya. Seharusnya sudah sejak dulu-dulu mereka
melakukan tindakan nyata, bukan cuma bicara!"
Baru saja Wiro mengomel seperti itu di sebelahnya terdengar satu suara. "Kau
betul anak muda! Urusan kapiran macam begini tidak bakal beres kalau cuma
dibicarakan di belakang meja sambil minum-minum dan makan-makan.
Aku ikut bersamamu!"
Wiro berpaling. Orang yang melangkah di sampingnya ternyata adalah orang tua
berpakaian serba hitam dan memakai gelang bahar pada kaki dan tangannya. Dia
bukan lain adalah Datuk Alam Rajo di Langit. Tokoh silat dari Andalas yang
sebelumnya punya rencana membawa Mintari ke tempat kediamannya.
"Orang tua, kau mau ikut aku ke mana?" bertanya Wiro sambil terus melangkah.
"Mencari pemuda keparat bernama Kamandaka itu tentu!"
"Siapa bilang aku saat ini pergi mencarinya?"
Datuk Alam Rajo Di Langit jadi terkesima dan hentikan langkahnya. Di depannya
Wiro kembali berkata. "Saat ini bukankah lebih penting bagimu merawat calon
muridmu itu" Persoalan Kamandaka biar serahkan saja pada para tokoh silat di
Tanah Jawa ini."
Ingat pada Mintari Datuk Alam Rajo Di Langit jadi bimbang. Lalu perlahan dia
berkata. "Memang sebaiknya aku lebih memperhatikan keadaan calon muridku itu."
Dipegangnya bahu Pendekar 212 lalu orang tua ini balikkan tubuh, kembali menuju
rumah besar tempat pertemuan.
Ketika dia sampai di tempat itu kembali ternyata semua orang yang ada di situ
tengah dilanda kegemparan.
Terheran-heran Datuk Alam Rajo Di Langit bertanya.
"Apa yang terjadi" Banyak orang bermuka pucat kulihat.
Kegemparan apa yang ada di sinil"
Seseorang menjawab. "Gadis malang bernama Mintari itu lenyap di culik orang!"
"Hah"!" Datuk Alam Rajo Di Langit terbeliak.Dia langsung melompat masuk ke dalam
rumah, terus menuju kamar di mana Mintari dirawat. Yang ditemuinya di kamar itu
hanya dua orang perempuan separuh baya yang sebelumnya diperintahkan merawat
Mintari. Kedua perempuan ini tertegak di sudut kamar dengan muka pucat!
Datuk Alam Rajo Di Langit dekati kedua perempuan itu.
"Lekas ceritakan apa yang terjadi!" bentaknya keras dan tidak sabaran.
Dengan suara gemetar salah seorang dari dua
perempuan itu berkata. "Saya tengah membasuh muka dan tubuh gadis itu. Teman
saya ini baru saja meletakkan sehelai sapu tangan di keningnya yang panas. Tiba-
tiba jendela di sebelah sana terpentang lebar. Lalu ada seseorang masuk seperti
bayangan. Dia berkelebat ke atas tempat tidur. Tubuh gadis itu dipanggulnya.
Lalu dia menghilang lewat jendela."
"Kalian mengenali siapa orangnya?" Raden Bintang ajukan pertanyaan.
"Gerakannya cepat. Tapi kalau saya tidak salah tangkap dia adalah seorang nenek
kurus berkulit hitam. Di kepalanya ada tusuk kundai..."
Datuk Alam Rajo Di Langit berpaling pada Raden
Bintang. Yang lain-lainnya juga berlaku demikian. Saling pandang dan saling
menduga. "Bisa saja tidak mungkin," kata Raden Bintang perlahan.
"Namun manusia dengan ciri-ciri seperti itu hanva ada satu. Sinto Gendeng dari
Gunung Gede di Jawab Barat.
Guru Pendekar Kapak Maut Naga Geni 2l2!"
"Lekas kita selidiki ke luar!" teriak Datuk Alam Rajo Di Langit. "Yang lain-
lainnya coba mengejar pemuda murid Sinto Gendeng tadi!"
Semua tetamu yang ada di tempat itu segera berbagi menjadi dua rombongan. Satu
menyelidiki kemana lenyap-nya Mintari bersama nenek penculik. Satu rombongan
lagi mengejar Pendekar 212 Wiro Sableng.
Namun kedua orang itu telah raib tak dapat lagi dikejar.
*** WIRO SABLENG KAMANDAKA SI MURID MURTAD
4 ALAM sebuah rumah kayu di puncak Gunung
Semeru lima orang duduk bicara mengelilingl
Dsebuah meja bulat. Dari sikap dan air muka mereka jelas mereka tengah
membicarakan satu masalah yang penting.
Kelima orang itu masing-masing adalah Gamar Senopatri, Ketua Partai Semeru Raya
yang menyandang gelar Dewa Tapak Sakti. Sang Ketua berusia hampir 70 tahun tapi
keadaan tubuh dan wajahnya seperti baru ber-usia 50
tahun. Rambutnya baru sedikit yang berwarna putih. Dia digelari seperti itu
karena kedua telapak tangannya berwarna biru, mengandung kesaktian langka di
mana dua tangan itu sanggup meremukkan benda sekeras apapun.
Orang ke dua adalah Ageng Seto, Ketua Cabang Partai wilayah Utara. Di sebelahnya
duduk Ageng Sembodo yang merupakan adik Ageng Seto dan menjabat sebagai Ketua
Cabang Partai wilayah Selatan. Ageng Sembodo adalah orang paling muda di antara
ke lima orang itu, berusia 35
tahun dan memiliki wajah gagah.
Lelaki ketiga adalah Ketua Cabang Partai wilayah Timur, bernama Ki Rono Bayu,
berusia 76 tahun, jadi lebih tua dari sang Ketua Partai Semeru.
Orang ke empat yaitu Rana Tumalaya, dipercayakan sebagai Ketua Cabang Partai
wilayah Barat. Setelah mengusap wajahnya beberapa kali, Ketua
Partai Semeru Raya berkata. "Memang sulit dipercaya kalau tidak dilihat sendiri.
Kamandaka, pemuda yang jadi murid harapan masa depan Partai, dikenal cakap
gagah, berjiwa penuh kesatria dan memiliki iman yang tinggi. Kini diketahui
telah menebar angkara murka keji di rimba persilatan. Dosanya makin hari makin
menggunung. Kalau ingatannya tidak terganggu, tidak mungkin dia melakukan semua
itu. Atau mungkin dia memiliki semacam ilmu yang diamalkan secara sesat?"
"Mungkin sekali begitu Ketua," menyahuti Ki Rono Bayu.
"Lima orang anak murid Partai Cabang Timur sempat menemui Kamandaka di sekitar
Karanganyar, tak jauh dari kaki sebelah barat Gunung Karangpandan. Karena
sebelumnya sudah saling mengenal maka para murid saya tidak sungkan-sungkan
menasihati agar Kamandaka
kembali ke jalan benar dan segera menghadap Ketua Partai untuk minta ampun.
Namun apa yang mereka terima sungguh mengenaskan. Empat orang murid partai
dibunuh dengan tangan kosong. Yang satu sempat melarikan did.
Dia memberi tahu bahwa Kamandaka telah memiliki satu ilmu kesaktian baru yaitu
berupa pukulan Tangan Halilintar. Itu pula konon gelar yang dipakainya kini
dalam dunia persilatan."
"Tangan Halilintar!" desis Gamar Senopatri. "Dari mana anak itu mendapatkan ilmu
kesaktian itu. Apa yang telah membuatnya berubah menjadi setan" Membunuh bahkan
memperkosa!" Ketua Partai Semeru Raya ini geleng-gelengkan kepala sambil
memegangi kalung baja putih dengan perhiasan berbentuk kepala singa. Sepasang
mata singa ini diberi batu delima merah sehingga kelihatan berkilau-kilau
seperti memantulkan bara api.
"Seorang pemuka agama di selatan mengetahui tempat kediaman Kamandaka. Agaknya
sudah saatnya kita harus turun tangan..." berucap Ketua Cabang Partai wilayah
Selatan yaitu Ageng Sembodo.
Gamar Senopatri alias Dewa Tapak Sakti usapusapkan kedua telapak tangannya yang
biru satu sama lain.
"Memang sudah saatnya. Biar aku sendiri yang akan menemui anak itu. Membawanya
kemari untuk bertobat dan menebus segala dosa. Kalau dia tidak mau akan kubunuh
di tempat!"
Baru saja Ketua Partai Semeru Raya itu berkata
demikian, tiba-tiba, ada suara menyahuti.
"Ki sanak benar! Murid murtad itu memang patut dibunuh. Dipancung kepalanya,
dicincang sekujur tubuhnya!"
Terdengar angin bersiur. Lampu minyak yang tergantung di atas meja bergoyang-
goyang. Ke lima y orang yang ada di ruangan itu cepat berdiri. Mereka berpaling
ke kanan. Di ambang pintu tegak seorang kakek berdestar dan berpakaian serba hitam.
Pergelangan tangan dan kakinya dilingkari gelang akar bahar. Tampangnya sekeras
batu karang dan pandangan matanya seperti api menyambar.
Dia adalah Datuk Alam Rajo Di Langit, tokoh silat dari Andalas yang beberapa
hari lalu menghadiri pertemuan para tokoh silat di Selatan.
"Tamu terhormat dari mana yang datang tidak memberi salam?" tegur Ketua Partai
Semeru Raya sekaligus menyindir.
Datuk Alam Rajo Di Langit parasnya tidak berubah sedikitpun oleh teguran itu.
Kedua matanya menyapu dengan cepat satu demi satu enam orang yang ada di ruangan
itu. "Yang mana di antara kalian Ketua Partai Semeru Raya?"
Gamar Senopatri mendehem beberapa kali sebelum
menjawab. Dari pakaian sang tamu dia segera maklum kalau orang itu datang dari
seberang. "Tamu dari seberang rupanya datang mencari saya.
Saya Ketua Partai Semeru Raya. Nama saya Gamar
Senopatri. Siapakah kiranya ki sanak?"
"Jadi kau rupanya guru Kamandaka. Pemuda bejat yang gentayangan malam melintang
menebar maut, menculik dan memperkosa!"
Paras Ketua Partai Semeru Raya jadi berubah. Empat Ketua Cabang tampak tegang.
Selama ini belum ada orang yang datang membawa persoalan menyangkut diri
Kamandaka. "Saya memang guru Kamandaka," kata Gamar Senopatri. "Terangkan dulu siapa ki
sanak dan apa maksud kedatangan jauh-jauh ke sini?"
"Setahuku kau diundang dalam pertemuan para tokoh silat di Selatan. Mengapa
tidak muncul atau mengirim wakil?"
"Akh, ki sanak rupanya utusan para tokoh silat dalam pertemuan itu."
"Siapa bilang begitu" Aku datang mauku sendiri!" sahut Datuk Alam Rajo Di
Langit. "Kalau begitu silahkan duduk. Mari kita bicara secara baik-baik."
Datuk Alam mendengus. "Siapa sudi duduk dengan kalian orang-orang yang tidak
bertanggung jawab"!"
Lima orang disekitar meja tampak marah. Yang empat masih bisa menahan diri tapi
yang paling muda yaitu Ageng Sembodo langsung membentak.
"Apa maksud ucapanmu orang tua berpakaian hitam"!
Datang tidak tahu juntrungan! Bicara tidak karuanl Jangan salah kalau orang
macammu bisa digebuk!"
Datuk Alam menyeringai. "Orang muda, di negeriku manusia bermulut enteng
sepertimu sudah lama disingkir-kan! Kalian orang-orang Partai Semeru hanya bisa
bicara tapi tidak pernah bertindak! Sahabatku Ki Pamilin bergelar Pendekar
Wiro Sableng 062 Kamandaka Murid Murtad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tangan Baja dibunuh oleh Kamandaka secara keji! Anak gadisnya yang bakal menjadi
calon muridku diperkosa! Aku datang membawa kabar buruk itu agar kalian segera
berbuat sesuatu! Dan tadi kau bilang aku datang tanpa juntrungan! Bicara tidak
karuan! Orang sepertimu seharusnya dirobek mulutnya!"
Para lima orang Ketua Partai Semeru Raya tampak
berubah. Ageng Sembodo mengelam wajahnya.
"Kenapa kalian jadi diam semua" Apa sudah disambat hantu bisu"!" sentak Datuk
Alam Rajo Di Langit. Dia menunjuk tepat-tepat pada Ketua Partai Semeru Raya.
"Kalau dalam waktu satu bulan kau tidak bisa menangkap muridmu dan menghukumnya
dengan hukuman mati, aku akan muncul lagi di tempat ini. Saat itu seluruh puncak
Semeru akan aku obrak-abrikl Nyawa kalian tidak ada harganya lagi bagiku! Ingat
baik-baik!"
Datuk Alam Rajo Di Langit membalikan tubuh hendak pergi. Tapi Gamar Senopatri
cepat berkata. "Ki Sanak harap mau berlaku hormat sedikit. Walau marah dan dendam membara jadi
satu, tapi kita orang-orang tua tentu bisa berkepala dingin. Silakan duduk dulu
agar kita bisa bicara baik-baik."
Habis berkata begitu Ketua Partai Semeru Raya ini angkat tangan kanannya yang
berwarna biru. Satu kekuatan yang tidak terlihat bergerak ke arah sebuah kursi
kayu. Kursi ini tampak terangkat. Lalu perlahan-lahan seperti melayang bergerak
mendekati Datuk Alam Rajo Di Langit dan turun di sampingnya.
"Silakan duduk, ki sanak!" kata Gamar Senopatri. Dia memberi isyarat pada empat
Ketua Cabang. Bersama-sama mereka kemudian duduk di kursi masing-masing.
Sesaat Datuk Alam tampak menunjukkan sikap
bimbang. Namun kemudian akhirnya dia duduk juga di kursi itu dan diam-diam
mengetahui kalau Ketua Partai Semeru Raya sengaja memamerkan kehebatan tenaga
dalamnya. Kakek ini membatin. "Hemmm.... Mulutnya bicara manis tetapi ada
segumpal kesombongan di dalam hatinya."
"Nah sekarang kita bisa bicara panjang lebar mengenai muridku si Kamandaka itu,"
kata Ketua Partai Semeru Raya pula.
"Ah, waktuku sempit. Lagi pula aku sudah memperingatkan kalian agar segera turun
tangan mencari dan menangkap Kamandaka."
"Urusan kami dengan Kamandaka adalah urusan guru dengan murid. "Urusan dalam
Partai. Jadi harap ki sanak tidak keliwat mendesak..."
Sepasang mata Datuk Alam Rajo Di Langit mendelik.
"Mungkin apa yang ki sanak bilang betul adanya. Tetapi apa kata ki sanak
menyangkut pembunuhan, penculikkan dan perkosaan, yang dilakukan oleh Kamandaka"
Apa itu bisa dianggap sebagai urusan dalam" Ingat ki sanak.
Seluruh tokoh rimba persilatan tidak menganggap hal itu urusan dalam Partai atau
hanya sekedar urusan guru dengan murid!"
Gamar Senopatri dan empat Ketua Partai tak bisa berkata apa-apa.
"Ada hal lain yang aku rasa kurang sedap. Masakan tuan rumah selaku Ketua Partai
Semeru Raya yang begini besar tega-teganya memberikan kursi reyot pada tamu yang
datang dari jauh."
Setelah berkata begitu Datuk Alam Rajo Di Langit segera berdiri dan tinggalkan
ruangan itu. Gamar Senopatri dan empat orang Ketua Cabang Partai tentu saja heran mendengar
ucapan Datuk Alam Rajo Di Langit itu. Mereka segera memburu ke pintu tapi sang
Datuk Alam Rajo Di Langit sudah lenyap. Padahal puncak Semeru di kawasan itu
merupakan pedataran yang agak luas.
"Gerakannya luar biasa cepat," kata Gamar Senopatri mengagumi. "Sayang dia sama
sekali belum mengatakan siapa dirinya." Lalu Ketua Partai Semeru Raya ini
berpaling ke arah kursi yang tadi sempat diduduki tamunya.
"Apa yang tidak beres dengan kursi ini" Kursi begini kokoh dikatakan reyot!"
berkata Ageng Sembodo. Lalu kursi kayu itu dipegangnya pada bagian sandaran dan
diangkat-nya. Terjadi hal yang aneh. Sambungan kayu-kayu kursi tiba-tiba
bertanggalan dan jatuh ke lantai hingga Ageng Sembodo kini hanya memegang bagian
sandarannya sajal
"Manusia luar biasa!" mau tak mau pujian itu keluar dari mulut sang Ketua
Partai. Lalu sambungnya. "Sebaiknya kita teruskan pembicaraan."
Kelima orang itu kembali duduk mengitari meja bundar.
"Sembodo, tadi kau mengatakan ada orang yang tahu letak tempat kediaman
Kamandaka," Gamar Senopatri membuka pembicaraan.
"Benar Ketua. Di sebuah goa di pantai Selatan. Sulitnya goa ini terletak dibawah
laut. Jadi sulit untuk memasuki-nya. Kalau tidak salah goa itu bernama goa
Kranggan."
"Kalau begitu besok kau dan aku berangkat ke sana."
"Tunggu dulu Ketua," kata Ki Rono Bayu begitu mendengar kata-kata pimpinannya.
"Soal maksud Ketua untuk turun tangan sendiri tidak kami ragukan. Namun harap
Ketua jangan tergesa-gesa turun tangan sendiri. Beri dulu kesempatan pada kami
untuk mendatangi kediaman
Kamandaka. Jika bertemu akan kami seret dia ke hadapan Ketua."
"Saya setuju pendapat Ki Rono Bayu itu," kata Rana Tumalaya. Ke empat orang
Ketua Cabang Partai sama menyetujui hingga sang Ketua tidak bisa berbuat apa-apa
lagi: Maka diputuskan bahwa Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu akan berangkat ke
Selatan besok pagi. Namun sebelum pertemuan dibubarkan, Ageng Seto mengajukan
sebuah usul. "Setahu saya Kamandaka punya hubungan dekat dengan murid Partai yang bernama
Kintani. Bagaimana kalau kita manfaatkan kedekatan hubungan itu. Kita minta
bantuan gadis itu untuk membujuk Kamandaka agar mau menyerahkan diri dan ikut
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 7 Pendekar Bloon 7 Neraka Neraka Kutukan Berdarah 2