Kamandaka Murid Murtad 2
Wiro Sableng 062 Kamandaka Murid Murtad Bagian 2
secara baik-baik ke puncak Semeru ini."
"Itu pemikiran yang baik," kata Rana Tumalaya. "Entah bagaimana pendapat yang
lain-lain."
"Saya tidak setuju. Perjalanan ke Selatan cukup jauh dan sulit. Melibatkan
Kintani terlalu berbahaya." Yang bicara adalah Ageng Sembodo.
Ketua Partai mengusap dagunya. Dia tidak mau me-
mandang ke arah Ageng Sembodo. Tetapi Ketua Cabang Partai yang muda ini sekilas
dilihatnya mengalami pe-rubahan air muka. Gamar Senopatri dan juga semua orang
yang ada di situ secara diam-diam mengetahui ada semacam perlombaan antara
Kamandaka dan Ageng
Sembodo untuk memperebutkan Kintani. Ternyata Kamandaka lebih mendapat tempat di
hati si gadis. Sejak Kamandaka meninggalkan pucak Semeru lalu berbuat segala
macam kejahatan di rimba persilatan, Kintani nampak sangat terguncang.
Sebaliknya Ageng Sembodo merasa bahwa kesempatan baginya untuk mendapatkan gadis
itu jadi terbuka lebar. Bagaimanapun sang Ketua Partai pasti tidak akan
merelakan Kintani berhubungan lagi dengan Kamandaka, apalagi merestui keduanya
sebagai suami istri.
"Bagaimana pendapat Ketua?" bertanya Rana Tumalaya.
"Apa yang dikatakan Ageng Sembodo memang benar.
Perjalanan ke Selatan jauh dan sulit. Namun mengapa tidak kita pergunakan
kesempatan ini untuk memberikan tambahan gemblengan pada Kintani?" Gamar
Senopatri alias Dewa Tapak Sakti memandang pada para Ketua Cabang satu persatu.
Karena tidak ada yang bicara maka diapun mengambil keputusan. "Panggil Kintani,
saya akan bicara padanya."
Sebenarnya Ageng Sembodo hendak berkata dan ber-
usaha mencegah maksud membawa serta Kintani itu. Dia kawatir pertemuan si gadis
dengan pemuda yang dicintainya itu akan membawa akibat yang justru malah membuat
suasana tambah keruh. Tetapi melihat pada air muka Ketua Partai, Ageng Sembodo
memilih lebih baik dia diam saja. Malah dia diam-diam ingin memanfaatkan
perjalanan itu untuk lebih mendekatkan diri dengan Kintani.
*** WIRO SABLENG KAMANDAKA SI MURID MURTAD
5 UKIT Selarong hampir tak pernah didatangi orang.
Selain lerengnya yang terjal dan penuh dengan
B bebatuan, pohon-pohon disitu tumbuh sangat rapat.
Kabarnya di sekitar situ juga sering terlihat binatang-binatang buas seperti
harimau dan srigala hutan.
Namun siang itu terlihat kelebatan tubuh seseorang yang dengan cepat mendaki
bukit, melompat dari batu satu ke batu lainnya, menyelinap sebat diantara
pepohonan. Dia ternyata seorang nenek kurus tinggi berkulit sangat hitam.
Muka dan matanya cekung. Alisnya putih. Di kepalanya yang ditumbuhi rambut
jarang berwarna putih ada lima buah tusuk kundai perak. Dari ciri-ciri yang
disebutkan ini jelas si nenek adalah Eyang Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 dari
Gunung Gede. Si nenek mendekati bukit Slarong sambil memanggul sosok tubuh Mintari yang
terbungkus kain berwarna kuning. Jadi dialah yang telah menculik gadis itu
sewaktu berada di tempat kediaman Raden Bintang, tokoh silat yang bergelar
Rantai Bayangan.
Semakin tinggi ke atas bukit semakin dingin terasa udara. Mintari perlahan-lahan
sadar dari pingsannya.
Begitu siuman gadis ini langsung menjerit. Pertama karena ingat akan apa yang
ketika menyaksikan angkernya wajah si nenek yang memanggul melarikannya.
"Gadis sialan!" Sebagaimana biasa Sinto Gendeng enak saja memaki. "Jeritanmu
mengejutkanku! Untung aku tidak latah dan melemparkanmu ke bawah bukit!'
"Nen... nenek. Kau siapa...?" tanya Mintari.
"Diam sajalah! Nanti kalau sudah sampai di tempat tujuan baru kau boleh bertanya
panjang lebar! Tidak baik bicara di jalanan. Kalau setan mendengar dan ikut
bicara baru tahu rasa kau. Hik...hik...hik...!" Si nenek tertawa cekikikan.
Mintari jengkel ada takutpun ada. Hendak menutup mulut dia merasa kawatir. Maka
diapun bertanya kembali.
"Kau ini sebetulnya mau bawa aku kemana Nek?"
"Anak setan!" si nenek gebuk pantat Mintari. "Kalau aku bilang diam, jangan
berani membuka mulut!"
Akhirnya terpaksa gadis itu berdiam diri.
Di salah satu lereng bukit Slarong terdapat sebuah telaga kecil berair jernih.
Kesinilah Sinto Gendeng membawa Mintari. Di salah satu tepian telaga terdapat
sebuah gundukan batu berbentuk goa. Eyang Sinto Gendeng berhenti di depan goa
dan menurunkan Mintari. Dari kepitan-nya dia mengeluarkan sebuah bungkusan yang
ternyata isinya adalah sehelai baju dan celana putih.
"Nenek...."
"Lekas kau pakai pakaian itu. Kalau sudah baru nanti kita bicara!" Sinto Gendeng
memotong ucapan Mintari.
Mau tak mau gadis itu melakukan juga apa yang dikatakan si nenek. Selesai
berpakaian dia tegak memperhatikan si nenek yang melangkah kakinya ke dalam air
telaga. Tiba-tiba Eyang Sinto Gendeng hentikan langkahnya, berpaling memandang
Mintari. "Nah sekarang kau boleh omong. Bicara dan tanya apa saja yang kau mau. Tapi
ingat jangan lama dan panjang lebar. Aku tidak punya waktu banyak. Aku manusia
yang lebih banyak berbuat dari pada bicara ngulon-ngidul! Ayo buka mulutmu!"
"Nek... seingat saya, sebelum jatuh pingsan seorang pemuda menolong saya...."
Apa yang telah dialaminya terbayang kembali di pelupuk mata Mintari. Gadis ini
menangis keras dan jatuhkan diri berlutut di tepi telaga.
"Saya dirusak secara keji. Ayah saya dibunuh. Apa guna-nya lagi hidup ini...!"
Mintari menjerit. Lalu tampak dia melompat. Dengan nekad gadis ini berlari cepat
ke dinding batu di samping goa, siap untuk membenturkan kepalanya!
"Anak tolol!" teriak Eyang Sinto Gendeng marah. Sekali dia berkelebat dia sampai
lebih dulu di depan dinding batu.
Tangan kanannya yang kurus diangkat. Telapak tangannya menangkap kening Mintari
hingga kepala gadis itu tidak sampai membentur dinding batu!
Si nenek gerakkan tangan kanannya. Mintari terbanting ke tepi telaga, menangis
keras-keras. "Itulah kelemahan perempuan! Cis! Memalukan!" kata Sinto Gendeng. "Biasanya
hanya menangis, putus asa lalu bertindak nekadl Apa kau tidak punya hati untuk
merasa dan otak untuk berpikir" Kalau punya hati untuk merasa dan otak untuk
berpikir" Kalau kau mampus apa yang akan kau dapat" Sorga tidak neraka pasti!
Karena ter-kutuklah orang-orang yang mati bunuh diri!"
Mintari mengusap air matanya. Dia memandang pada si nenek yang telah
menyelamatkan jiwanya. "Maafkan saya Nek. Pikiran saya benar-benar kalut. Saya
tidak sanggup menahan sengsara yang amat berat ini. Tolong beri tahu siapa nenek
ini adanya. Mengapa membawa saya ke
tempat ini?"
Mulut Eyang Sinto Gendeng tampak komat-kamit.
"Pemuda yang menolongmu itu adalah muridku. Namanya Wiro Sableng. Aku gurunya
bernama Sinto Gendeng...!"
Mintari terkesiap mendengar si nenek menyebut nama-nama aneh itu. Sableng dan
Gendeng! "Ah, aku berhadapan dengan seorang nenek kurang waras rupanya.
Tapi aku yakin manusia seorang nenek kepandaian tinggi.
Aku ingat cerita guru tentang seorang nenek sakti yang diam di puncak Gunung
Gede. Jangan-jangan dia ini orangnya. Murid itu pasti Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212!"
"Kau mau tanya apa lagi"!" Sinto Gendeng memandang dengan mata dibesarkan pada
Mintari. Si gadis lantas menjawab.
"Turut cerita yang pernah saya dengar dari guru, apakah nenek orang sakti yang
diam di puncak Gunung Gede dan murid nenek itu bukankah yang dijuluki orang
sebagai Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?"
"Bagus, otakmu tajam juga. Kalau kau sudah tahu aku tidak perlu lagi menjawab
pertanyaanmu. Aku bisa mulai..."
"Tunggu dulu Nek. Saya ingin tahu sebab apa Nenek membawa saya kemari," kata
Mintari pula. "Anak tolol! Justru hal itu yang hendak aku terangkan padamu!" berkata Eyang
Sinto Gendeng dengan wajah merengut.
"Maafkan kalau saya keliwat mendesak. Tapi pertemuan dengan seorang tokoh besar
dunia persilatan seperti Nenek sungguh membuat saya senang...."
"Dasar anak tolol! Aku membawamu kemari bukan untuk bersenang-senang!"
Melihat Eyang Sinto Gendeng seperti marah, Mintari cepat berkata. "Maafkan Nek.
Maksud saya...."
"Sudah! Kau dengan saja apa yang aku bilang. Jawab apa yang aku tanya.
Mengerti.... "
"Saya mengerti Nek...."
"Panggil aku Eyang!"
"Baik Nek eh Eyang "
"Kau tahu siapa yang membunuh Ayahmu?"
"Tahu Eyang."
"Tahu siapa" Sebutkan orangnya."
"Kamandaka. Dia murid sesat dan murtad Ketua Partai Semeru Raya. Bergelar Tangan
Halilintar."
'"Kau tahu siapa yang merusak kehormatanmu?"
"Manusia terkutuk yang sama Eyang. Kemahakah itu!"
"Jadi kau sudah tahu dengan jelas," kata Sinto Gendeng. "Lantas apakah aku tidak
ingin membalaskan sakit hati kematian Ayahmu serta perlakukan keji yang
dilakukan Kamandaka terhadapmu?"
"Itu memang tersurat dalam benak dan tergurat dalam hati saya Eyang. Tapi
manusia itu kepandaiannya tinggi, sekali. Ayah saja mati ditangannya."
"Anak tolol! Kalau Ayahmu tidak mampu apa berarti kau juga tidak mampu"!"
"Saya sudah mencoba Eyang tapi gagal." Jawab Mintari.
"Satu saat jika kau bertemu lagi dengan Kamandaka, kau tak akan gagal. Itu
sebabnya aku membawamu
kemari. Ada satu ilmu pukulan yang harus kau pelajari untuk dapat mempercudangi
Kamandala."
"Astaga, rupanya Eyang hendak mengambil saya jadi murid!" seru Mintari lalu
buru-buru jatuhkan diri berlutut.
Si nenek tertawa.
"Siapa bilang aku mengambilmu jadi murid" Muridku cukup satu. Si pemuda sableng
bernama Wiro itu!"
Paras Mintari berobah.
"Seperti kukatakan tadi, kau akan kuberi pelajaran menguasai satu ilmu pukulan
sakti. Pukulan Sinar Matahari...!"
"Saya pernah mendengar kehebaran pukulan sakti yang menggegerkan dunia
persilatan itu," kata Mintari pula.
Di hadapannya Eyang Sinto Gendeng tegak dengan
kedua kaki dikembangkan. Tangan kanannya diangkat perlahan-lahan. Mintari
melihat bagaimana tangan itu sampai sebatas lengan berubah menjadi putih seperti
perak ber-kilauan. Tiba-tiba si nenek menghantam ke depan. Terdengar suara
menderu dahsyat disertai berkiblatnya sinar terang benderang dan hawa panas
menghampar. Menyusul suara menggelegar.
Di depan sana dinding batu yang keras hancur
berantakan. Mintari sampai leletkan lidah melihat kehebatan pukulan sakti itu.
Padahal Eyang Sinto Gendeng baru kerahkan sepertiga saja dari tenaga dalamnya!
"Pukulan Sinar Matahari..." kata Sinto Gendeng pada dirinya sendiri. "Hebat luar
biasa! Tapi tidak mampu mengalahkan kehebatan Pukukan Halilintar Kamandaka...!
Gila! Edan betul!" Paras cekung Sinto Gendeng menunjukkan rasa kecewa yang
mendalam. "Eyang..." kata Mintari. "Kalau pukulan Sinar Matahari tidak mampu mengalahkan
Pukulan Halilintar Kamandaka, lalu mengapa Eyang hendak mengajarkannya juga pada
saya?" Si nenek menyeringai. "Aku tahu dan aku tidak bodoh!
Ilmu pukulan Sinar Matahari yang akan kuajarkan padamu akan kuberi satu tambahan
kekuatan hingga bisa
menyelusup menggepur ambalas pukulan sakti
Kamandaka. Namun harus kau ketahui, ilmu pukulan itu hanya bisa kau kuasai
selama tida puluh hari dan hanya bisa kau pergunakan satu kali saja. Setelah
tiga puluh hari ilmu tersebut akan lenyap. Berarti dalam waktu tiga puluh hari
kau harus dapat menemukan Kamandaka!"
Sesaat Mintari terkesiap mendengar kata-kata Sinto Gendeng itu. lalu akhirnya
terdengar dia berkata. "Terima kasih Eyang. Saya akan pelajari ilmu pukulan itu
baik-baik."
"Berdiri di depankul" kata Eyang Sinto Gendeng. "Aku mau jajal sampai di mana
tingkat tenaga dalammul"
Mintari tegak dua langkah di hadapan Eyang Sinto Gendeng. "Kepalkan tangan
kananmu, ulurkan tepat-tepat ke hadapanku!"
Kembali si gadis melakukan apa yang dikatakan si nenek. Sinto Gendeng sendiri
melakukan hal yang sama tapi dengan tangan kiri. Kedua tangan mereka yang
terkepal saling bersentuhan. "Tekan yang kuat!" kata Sinto Gendeng.
Mintari menekankan tangan kanannya ke depan!"
"Bagus! Sekarang kerahkan seluruh tenaga dalam!"
Mintari segera kerahkan tenaga dalamnya. Tubuhnya sampai ke lengan yang
diacungkan tampak bergetar keras.
Eyang Slnto Gendeng menunggu sampai seluruh kekuatan tenaga dalamsi gadis
terhimpun di kepalan tangan kanannya. Ketika hal itu tercapi baru nenek sakti
ini mengerahkan tenaga dalamnya. Dia mulai dengan seper-sepuluh bagian. Naik dua
persepuluh. Ketika mencapai tingkat seperempatnya, di hadapannya Mintari nampak
goyang kedua lututnya. Di kening gadis ini memercik keringat. Pakaiannya juga
basah oleh keringat. Eyang Sinto putar kepalan tangan kirinya ke samping kiri.
Saat itu pula terdengar suara jeritan Mintari. Gadis ini terpental enam langkah,
jatuh masuk ke dalam telaga. Mukanya tampak seputih kertas!
Dengan cepat Mintari berenang ke tepi telaga. Di hadapan Sinto Gendeng dia
berkata. "Maafkan saya mengecewakan Eyang."
"Tidak jadi apa. tapi kau perlu meningkatkan tenaga dalammu sampai paling tidak
dua kali dari yang sekarang ini. Kalau kau tidak mampu melakukannya berarti
seumur hidup kau tidak bakal dapat membuat perhitungan dengan Kamandaka!"
"Jika Eyang mau membimbing, saya akan berusaha keras untuk meningkatkan tenaga
dalam saya..."
"Kau butuh waktu paling sedikit dua bulan. Kau harus sungguh-sungguh!"
"Saya akan sungguh-sungguh Eyang. Saya berjanji!"
Sinto Gendeng menyeringai. "Berjanji lebih bagus dari pada bersumpah! Berapa
banyak saja manusia yang bersumpah palsu!"
"Terima kasih Eyang. Kau memberi saya kesempatan..."
"Sudah, lupakan segala macam peradatan. Kita mulai sekarang juga. Duduk bersila
di depan mulut goa sana.
Letakkan kedua tanganmu di atas ujung paha dekat lutut.
Lalu kerahkan tenaga dalammu dari perut. Tapi jangan di-alirkan. Tetap di perut
dan tahan!"
*** WIRO SABLENG KAMANDAKA SI MURID MURTAD
6 IGA penunggang kuda itu berhenti di tepi pantai.
Mereka adalah Ki Rono Bayu, Ketua Cabang Partai
T Semeru raya wilayah Timur. Lalu Ageng Sembodo, Ketua Cabang wilayah Selatan
dan yang ketiga seorang gadis berkulit putih. Dia mengenakan pakaian ringkas
putih dan mengenakan ikat kepala. Wajahnya yang cantik kemerahan disengat sinar
matahari. Gadis ini adalah anak murid Partai yang bernama Kintani.
"Dimana letak goa Kranggan itu?" bertanya Ki Rono Bayu tidak sabaran.
Ageng Sembodo tidak segera menjawab. Dia me-
mandang ke tengah laut tetapi pandangannya kosong. Dia tengah membayangkan
pembicaraannya dengan Kintani malam tadi.
Waktu itu mereka berkemah dan membuat api unggun di pinggir sebuah anak sungai.
Ki Rono Bayu sudah tertidur karena keletihan.
Ageng Sembodo dan Kintani tidak segera bisa tidur.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Ageng Sembodo untuk mendekati si gadis. Dia
memulai pembicaraan dengan bertanya bagaimana perkembangan ilmu silat serta
tenaga dalam si gadis. Kintani menjawab ada kemajuan tetapi tidak banyak.
"Kau harus rajin berlatih Kintani. Ketua sangat meng-harapkan kau menjadi salah
seorang murid Partal yang bisa diandalkan," kata Ageng Sembodo pula. Lalu dia
bertanya. "Apakah kau masih mengngat-ingat Kamandaka?"
"Dia saudara seperguruan, saudara se Partai. Tentu saja tidak ada yang lupa
Wiro Sableng 062 Kamandaka Murid Murtad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
padanya." Ageng Sembodo tersenyum. "Kau hanya mengingatinya sebagai saudara seperguruan
dan saudara se-Partai?"
"Maksud Ketua Cabang apa?" tanya Kintani.
"Panggil saja namaku."
"Baik. Lalu maksud Ageng Sembodo apa?"
"Aku tahu, semua orang tahu kalau kau ada hubungan khusus dengan pemuda itu.
Kalian saling mencinta."
Kintani diam saja walau wajahnya tampak bersemu
merah. "Setelah dia kini menempuh hidup sesat, murtad, apakah kau masih mencintainya
Kintani?" "Saya yakin ada sesuatu yang menyebabkan dia jadi begitu. Saya tahu dia orang
baik. Kalau saya bertemu dia, hal itu yang perlu saya tanyakan lebih dulu."
"Justru jika kita bertemu dengan dia, kita tidak punya waktu banyak untuk bicara
soal lain. Dirinya dikejar dosa dan hukum. Ingat hal itu Kintani. Dia bukan anak
murid Partai lagi. Sekali kita menemuinya dia akan kita seret ke hadapan Ketua.
Jika dia menolak. Ketua sudah berpesan dan memberi wewenang untuk membunuhnya di
tempat. Kalaupun dia bisa dihadapkan pada Ketua Partai, umurnya tak akan lama. Dia akan
dijatuhi hukuman mati1"
Si gadis diam kembali.
"Dari sekarang kau harus mulai melupakannya Kintani.
Kalau tidak kau akan hanyut dalam derita batin."
Kintani masih berdiam diri.
Ageng Sembodo menggeser duduknya. Dipegangnya
tangan Kintani seraya berkata. "Kau pasti tahu Kintani.
Sejak lama aku mencintaimu. Jika kau sudi, masa depan yang baik akan menanti
kita. Ketua Partai pasti merestui hubungan kita."
Ageng Sembodo menunggu sambil menatap paras si
gadis di sebelahnya.
"Apa jawabmu Kintani?"
Tak ada jawaban.
"Aku percaya kau juga menaruh perasaan yang sarna terhadapku. Hanya halangan
diri Kamandaka yang mem-buatmu tidak bisa menerima kenyataan itu. Bukankah
demikian....?"
"Saya tidak tahu Ageng..." sahut Kintani.
Ageng Sembodo mendekatkan wajahnya ke wajah si
gadis. Sesaat lagi hidungnya akan mencium dan menyentuh pipi Kintani, gadis ini
jauhkan kepalanya dan lepaskan jari-jari tangannya dari pegangan Ageng Sembodo.
"Saya letih. Saya mengantuk. Besok kita harus melanjut-kan perjalanan jauh.
Sebaiknya kita tidur saja..."
"Kau pergilah tidur. Aku akan berjaga-jaga sambil memandangi wajahmu yang
cantik..." jawab Ageng Sembodo.
Ki Rono Bayu memandang pada Ageng Sembodo
dengan perasaan heran. Dalam hati dia membatin. "Aku bertanya dia tak menjawab.
Matanya tertuju ke arah laut.
Apa yang ada dalam benak orang ini?"
"Ageng Sembodo, aku bertanya apa kau tidak mendengar?"
Ageng Sembodo seperti kaget. Dia berpaling pada orang tua itu seraya berkata.
"Maafkan saya. Mohon per-tanyaannya diulangi."
"Saya tadi bertanya dimana letak goa Kranggan sarang Kamandaka itu?" Suara Ki
Rono Bayu jelas terdengar jengkel.
"Ah... Goa itu rasanya berada di sekitar tempat ini Ki Rono. Untuk pastinya kita
harus menemui seseorang yang tahu betul letak pastinya. Ikuti saya..."
Ki Rono Bayu dan Kintani mengikuti Ageng Sembodo yang memacu kudanya menyusuri
pantai ke arah timur. Di saw tempat dia membelok ke kiri memasuki sebuah
perkampungan nelayan. Di ujung perkampungan Ageng Sembodo hentikan kudanya di
depan sebuah rumah yang saat itu dikeillingi oleh orang banyak. Bau busuk
menebar dari dalam rumah.
"Ini rumahnya," kata Ageng Sembodo pada Ki Rono Bayu. "Tapi heran, ada apa orang
berkerumun di sini?"
Ageng Sembodo turun dari kudanya dan bertanya pada salah seorang yang ada di
tempat itu. "Betul ini rumah Suro Ampel?"
Orang yang ditanya mengangguk dan memandang pada Ageng Sembodo serta Ki Rono
Bayu dan Kintani. Orang-orang di sekitar situ juga sama memperhatikan mereka.
"Saudara ini siapa" Apakah bermaksud menemui Suro Ampel pemuka agama di kampung
ini?" tanya orang yang tadi menganggukkan kepalanya.
"Betul," sahut Ageng Sembodo. "Ada apa orang banyak berkerumun di sekitar sini?"
tanyanya kemudian.
"Ada hal-hal yang tidak biasa. Sudah dua hari Suro Ampel tidak keluar dari dalam
rumahnya. Sejak pagi tadi ada bau busuk keluar dari dalam rumah. Kami penduduk
kampung menaruh curiga. Jangan-jangan sesuatu telah terjadi dengan diri Suro
Ampel. Kami tengah berunding untuk menjebol pintu rumahnya dan memeriksa ke
dalam..." Ageng Sembodo tidak menunggu orang itu mengakhiri ucapannya. Dia melompat ke
hadapan pintu rumah. Sekali tendang saja pintu yang terbuat dari papan itu jebol
hancur berantakan. Bersamaan dengan Itu bau busuk yang
menjijikkan keluar lebih santar dari dalam rumah.
Ada beberapa orang yang ikut masuk ke dalam rumah.
Mereka langsung hentikan langkah ketika sampai di bagian tengah rumah. Di antara
kegelapan tampak menggeletak sesosok tubuh di lantai. Mukanya tidak bisa
dikenali karena sudah hancur dan membusuk. Sosok tubuh yang sudah jadi mayat
inilah yang mengeluarkan bau busuk.
Meski mukanya hancur namun dari bentuk tubuh serta pakaian yang melekat di tubuh
mayat Ageng Sembodo segera tahu mayat itu adalah mayat Suro Ampel, orang yang
dicarinya dan yang tahu letak pasti goa Kranggan.
Tanpa menunggu lebih lama Ketua Cabang Partai Semeru wilayah Selatan ini segera
keluar dari tempat itu. Di luar diceritakannya apa yang ditemuinya di dalam.
"Tak ada jalan lain. Kita harus menunggu sampai besok pagi. Besok, kalau pasang
surut terjadi, saya rasa saya bisa mengenali dimana letak goa itu."
Ki Rono Bayu hanya bisa angkat bahu dengan kesal sedang Kintani menghela nafas
panjang. Perjalanan itu begitu jauh dan meletihkan. Lalu dia tidak dapat
membayangkan apa yang bakal terjadi.
"Apa pendapatmu Ageng?" tanya Ki Rono Bayu.
"Apa lagi. Suro Ampel pasti korban keganasan Kamandaka."
"Apa dosa manusia itu?" tanya Kintani.
"Kamandaka tidak ingin dia memberi tahu letak goa Kranggan yang jadi sarangnya,"
jawab Ageng Sembodo.
Pantai Selatan luar biasa indahnya ketika sang, surya menyembul, mulai menerangi
bumi dengan sinarnya yang merah kuning kemilau. Air laut berubah laksana
hamparan permadani emas yang bergoyang- goyang.
Di tepi pasir Ageng Sembodo tegak bertolak pinggang.
Matanya tak berkesip memandang ke arah gundukan batu yang menyembul dipermukaan
air laUt yang kini men-dangkal dalam keadaan pasang surut. Sore kemarin gundukan
batu itu tidak kelihatan karena pasang naik menutupinya. Dia berpaling pada Ki Rono Bayu dan
Kintani, lalu berkata.
"Lihat, itu satu-satunya gundukan batu yang menyembul di permukaan laut. Pasti
disitu letak goa Kranggan!"
KI Rono Bayu tertawa mendengar ucapan Ageng Sem-
bodo itu. "Gundukan batu itu tidak lebih dari gundukan batu biasa. Mana mungkin
ada goa di situ!"
"Kita tunggu saja sampai beberapa saat lagi. Akan kita lihat kalau air laut
sudah sampai ke dasar batu," kata Ageng Sembodo yang merasa dicemoohkan.
Ketiga orang itu menunggu. Makin tinggi matahari naik, makin dalam air laut
turun. Akhirnya sebuah lobang kelihatan dibawah gundukan batu.
Lobang ini setinggi orang membungkuk dan lebarnya hanya cukup untuk sesosok
tubuh manusia. "Lihat! Itu pasti goanya!" kata Ageng Sembodo.
Setengah berlari dia menghampirl lobang itu dan
mengintai ke dalam. Bagian dalam lobang diselimuti kegelapan. Cahaya matahari
hanya sedikit sekali mampu menerangi dari arah yang berlawanan dengan mulut
lobang. Bagian dalam lobang tampak merupakan suatu penurunan. Air laut di
dalamnya tertahan oleh sanding batu yang menutupi setengah dari lobang.
Ki Rono Bayu membungkuk dan mengintai ke dalam.
Dia merasakan sesuatu menyapu wajah dan tubuhnya.
"Ada angin berhembus dari dalam lobang!" kata orang tua ini. "Pertanda di dalam
sana ada ruangan yang berhubungan dengan udara luar. Tapi jelas bukan udara
laut..." "Bagaimana Ki Rono mengetahui udara di sana bukan udara laut?" tanya Ageng
Sembodo pula. "Udara laut saat ini masih dingin dan mengandung garam. Sedang udara yang kucium
terasa hangat dan ber-bau embun..."
"Berarti lobang ini berhubungan dengan darattan!" kata Ageng Sembodo.
"Kau benar. Tapi dimana dan bagaimana berhubungan-nya perlu kita selidiki." Ki
Rono Bayu berpaling pada Kinanti.
"Kinanti, kau tunggu di tempat ini. Jangan ke mana-mana. Aku dan Ageng Sembodo
akan memasuki goa dan menyelidiki."
Kinanti mengangguk. "Hati-hatilah dan jangan terlalu lama di dalam sana. Saya
merasa tidak tenang ditinggal sendirian."
Sebenarnya Ageng Sembodo juga tidak senang dengan tindakan Ki Rono Bayu yang
mengatur agar mereka berdua masuk sedang Kinanti ditinggal sendirian. Dengan
menggerendeng dalam hati Ageng Sembodo masuk juga ke dalam lobang membungkuk-
bungkuk, diikuti oleh Ki Rono Bayu di sebelah belakang. Hanya beberapa saat
setelah kedua orang itu memasuki lobang, di balik gundukan batu sebelah kanan
tanpa diketahui Kintani bergerak sesosok tubuh tanpa suara.
Begitu hanya tinggal tiga langkah dari Kintani orang ini melompat dan menyergap
si gadis. Dalam kejutnya dara murid Partai Semeru Raya itu hendak berteriak
tetapi mulutnya disekap hingga dia tidak bisa keluarkan suara sedikitpun. Bahkan
nafasnya tertahan membuat dadanya sesak turun naik.
Untungnya Kintani tidak hilang akal. Kedua siku
tangannya dihantamkan ke belakang.
Bukkkk! Bukkkk! Dua siku mendarat dengan keras di tubuh orang yang menyergapnya. Namun Kintani
merasa seperti menghantam kapas! Pukulan-pukulannya itu sama sekali tidak
membuat orang yang menyergapnya bergeming sedikitpun.
Bahkan sambil menyeringai orang itu berbisik.
"Kintani, aku memang sudah menduga kau bakal datang mencariku. Aku memang sudah
lama merindukan-mu. Mulai detik ini kau akan ikut kemana aku pergi. Kita tidak
akan berpisah selama-lamanya..."
Dua mata Kintani membeliak besar. Dia mengenali
suara itu. Dalam dirinya ada rasa terkejut dan takut.
Namun diam-diam ada juga rasa bahagia.
"Jika kau berjanji tidak menjerit, akan kulepaskan sekapan di mulut dan
hidungmu..." Orang yang menyergapnya kembali berkata.
Si gadis angguk-anggukkan kepalanya tanda dia mengikuti tidak akan berteriak.
Perlahan-lahan si penyergap lepaskan sekapannya.
Begitu dirinya terasa lepas Kintani secepat kilat menyambar leher dan rambut
orang di belakangnya. Sosok tubuh itu kemudian ditariknya dan dibantingkannya ke
arah batu! Tubuh yang dibanting lewat punggung itu memang jatuh di batu. Namun tidak
tergeletak cidera malah sambil tertawa-tawa orang itu duduk bersila di atas batu
itu. Kintani membalikkan tubuh siap hendak menghantam. Kini
dengan pukulan sakti mengandung tenaga dalam. Namun gerakannya tertahan ketika
dia melihat wajah orang itu.
Sepasang mata mereka saling beradu.
"Ya Tuhan! Benar dia rupanya!" kata Kintani dalam hati.
*** WIRO SABLENG KAMANDAKA SI MURID MURTAD
7 IBIR Kintani bergetar ketika menyebut, "Mas Kaman.
Jadi betul kau tinggal di sini." Pemuda di atas batu B kembali tertawa.
Rambutnya yang gondrong me-lambai-lambai di tiup angin laut. Wajahnya klimis
meski pakaian birunya lecak dan basah. Dia tidak mengenakan destar.
"Kintani, dari ucapanmu jelas kalian datang kemari untuk menyelidiki..."
"Jadi Mas Kaman telah melihat Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu?"
"Daerah seluas ribuan tombak ini adalah kekuasaanku.
Tidak satupun yang lepas dari penglihatanku! Keduanya masuk ke liang neraka.
Berarti tidak bakal dapat keluar lagi!" jawab orang di atas batu yang memang
Kamandaka alias Tangan Halilintar adanya.
"Maksud Mas Kaman mereka akan menemui ajal?"
"Mereka datang mencari mati sendirii Mereka bakal mendapatkannya."
"Jangan Mas Kaman. Jangan dicelakai mereka..." kata Kintani memohon. Dia
memperhatikan sepasang mata pemuda itu. Sepasang mata itu tidak seperti dulu
lagi. Dulu ada cahaya lembut yang membuat Kintani merasa sejuk jika dipandang.
Saat ini dia menyaksikan betapa kedua mata itu laksana menyambarkan api yang
mengerikan. "Kalian diutus oleh Ketua Partai bukan?" tanya Kamandaka.
"Benar sekali. Syukur kalau Mas Kaman sudah menge-tahuinya."
"Apa saja perintah yang kalian jalankan?"
"Ketua dan juga guru kita meminta agar Mas Kaman kembali ke puncak Semeru..."
Kamandaka menyeringai. Dia menengadah ke langit
lalu tundukkan kepala dan meludah.
"Enak saja dia memerintah begitu. Mengapa dia tidak datang sendiri?"
"Mas Kaman jangan bicara begitu. Dia adalah Ketua dan guru kita!" ujar Kintani.
"Dulu memang aku pernah menganggap begitu. Menghormati dan mempercayainya
sebagai guru dan Ketua Partai. Tapi setelah kuketahui siapa dirinya, aku
bersumpah akan membunuhnya!"
"Mas Kaman, apa sesungguhnya yang terjadi dengan dirimu" Mengapa kau kini punya
jalan pikiran dan berucap seperti itu?"
"Tidak ada yang berubah dengan diriku..."
"Tapi kau melakukan pembunuhan. Kau menculik dan...
dan... mem..."
"Memperkosa!" sambung Kamandaka tidak sabaran.
"Katakan saja begitu! Itu sebabnya aku dicap sebagai murid murtad! Murtad!
Kamandaka si murid murtad!
Sungguh sedap didengar telinga! Ha.., ha... ha ...!"
"Mas Kaman, apakah kau bersedia ikut bersama kami kembali ke puncak Semeru?"
tanya Kintani. "Mau saja, Kintani. Tapi..."
"Tapi apa Mas Kaman?"
"Tak ada yang bakal membawa aku ke sana..."
"Kami, kami yang akan membawamu ke sana menemui guru," kata Kintani pula.
Kamandaka alias Tangan Halilintar tersenyum. "Kalian tak akan pernah kembali ke
Semeru. Itu sebabnya kukatakan tak akan ada yang membawaku ke sana!"
"Jadi Mas Kaman hendak membunuh kami" Saya adik seperguruanmu di dalam Partai.
Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu adalah Ketua-Ketua Cabang. Apa kau tega mem-bunuh
kami?" "Setan atau malaikatpun jika berseteru dan membenci-ku akan ku bunuh!" kata
Kamandaka. Perlahan-lahan dia turun dari batu, melangkah di air laut yang
dangkal meng-hampiri Kintani. Dulu-dulu jika didekati Kamandaka, Kintani selalu
merasakan dadanya berguncang keras. Tapi guncangan itu justru dirasakannya
sangat membahagia-kan. Kini didekati sambil dipandang tidak bersikap malah
membuat si gadis merasa ngeri. Kuduknya terasa dingin.
"Mas Kaman ...Banyak tokoh silat dari berbagai penjuru tengah mencari Mas Kaman.
Mereka semua punya niat untuk menghabisi Mas Kaman. Kalau Mas bisa kembali ke
Semeru dan minta ampun pada Ketua Gamar Senopati..."
"Minta ampun" Aku minta ampun pada tua bangka keparat itu" Justru dia yang harus
minta ampun padaku!"
"Mas Kaman, mengapa kau sampai berkata begitu?"
Kamandaka memegang bahu Kintani. "Ikut aku ke dalam goa. Jangan berani menolak!"
Kamandaka ulurkan tangannya. Kintani mundur ketakutan. Kamandaka kelihatan
jengkel. "Seharusnya begitu tadi aku melihatmu sangat layak aku segera
membunuhmu! Tapi aku sadar. Ada sesuatu dalam hatiku terhadapmu yang kurasakan
sejak dulu sampai saat ini."
Paras Kintani tampak kemerahan. "Kalau Mas Kaman masih mempunyai perasaan itu,
Mas Kaman harus mau meluluskan permintaan saya..."
"Permintaan apa?" tanya Kamandaka.
Wiro Sableng 062 Kamandaka Murid Murtad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan suara perlahan-lahan Kintani berkata.
"Kembali ke puncak Semeru. Jalani hidup yang lurus dan benar!"
Kamandaka tertawa. "Kau rupanya sudah jadi seorang Pendeta atau seorang Ustad
atau seorang Resi. Huh!"
Dipegangnya lengan Kintani erat-erai lalu ditariknya ke mulut lobang. "Ikut
aku!" "Tidak! Jangan..." pekik Kintani. Keduanya saling tarik menarik. Tapi Kintani
kalah kuat. Selangkah demi selang-kah dia terseret ke arah lobang di gundukan
batu. Di depan lobang Kamandaka hentikan tarikannya. Pandangan kedua matanya
sesaat tampak mesra. Kintani jadi luluh. Ketika pemuda itu melingkarkan kedua
tangannya di punggung, memeluknya, si gadis tidak kuasa menolak. Dia memang
sudah lama menyukal Kamandaka. Tiada disadarinya dia sengaja merebahkan
kepalanya di dada Kamandaka.
"Kau mencintai diriku Kintani. Aku tahu..." bisik Kamandaka seraya membelai
rambut gadis itu. "Kau akan tinggal di sini. Kita hidup sebagai suami istri. Kau
dan aku akan bahagia. Ha ...ha...ha..."
"Dia gila berkata begitu..." kata Kintani dalam hati lalu menjauhkan kepalanya
dari dada si pemuda dan melepaskan pelukan Kamandaka. "Jika Mas. Kaman mau
kembali ke puncak Semeru, jika Ketua Partai merestui, baru saya bersedia menjadi
istri Mas Kaman..."
"Kurang ajar! Tidak ada yang bisa mengatur diriku! Juga tidak kau!" teriak
Kamandaka. Tangan kanannya diangkat ke atas. Kintani melihat bagaimana tangan
itu sampai ke lengan menjadi sangat hitam. Ketika tangan itu dipukulkan ke batu,
tak ampun lagi setengah dari gundukan batu besar di laut dangkal itu menjadi
hancur berantakan.
Akibatnya lobang yang di batu menjadi tambah besar.
"Pukulan Halilintar..." membatin Kintani dengan wajah pucat. Selagi dia terdiam
memandangi Kamandaka,
pemuda ini cepat menyambar pinggangnya. Si gadis dipanggulnya di bahu kiri lalu
dengan membungkuk-bungkuk dia memasuki lobang di batu itu. Kintani ingin
meronta, ingin melepaskan diri. Namun di dalam rasa takutnya ada pula bayangan
rasa bahagia. Bahagia karena setelah sekian lama baru kini dia dapat berjumpa
lagi dengan pemuda yang selama ini memang dicintainya dan juga diketahuinya
memiliki sifat aneh kalau tidak mau dikatakan seperti orang kurang waras. Ada
bayangan maut pada senyumnya. Ada kematian pada sinar matanya. Dengan perasaan
cinta kasih yang mereka miliki dapatkah dia me-rendam semua keburukan dan
kejahatan pemuda itu.
Dapatkah dia menguasai Kamandaka"
"Turunkan saya. Saya bisa berjalan sendiri..." kata Kintani.
"Aku masih kuat memanggulmu sampai ke ujung bumipun Kintani! Tapi jika kau mau
jalan sendirl dan berjanji tidak akan berbuat macammacam itu aku juga sukai"
Lalu Kamandaka turunkan gadis itu dari bahunya.
Begitu menginjak tanah Kintani jadi heran. Ternyata mereka kini bukan lagi
berada dalam sebuah goa atau terowongan, melainkan di alam terbuka. Di sebuah
tempat ketinggian yang ditumbuhi banyak pohon kelapa pendek serta penuh batu-
batu besar berwarna coklat kemerahan.
"Di mana kita ini Mas Kaman?" tanya Kintani.
"Inilah daerah kediamanku. Sebentar lagi kau akan melihat rumah kita. Kau dan
aku akan tinggal di sana sampai hari kiamat! Ha... ha...ha...!"
Kini rasa takut dalam diri Kintani melebihi rasa sukanya terhadap pemuda itu.
Dia coba mengingat-ingat. Waktu Kamandaka memanggulnya, pemuda itu melangkah
biasa tapi cepatnya sama seperti orang berlari. Dia dibawa memasuki lobang yang
bagian dalamnya berbentuk goa atau terowongan. Mula-mula terowongan ini menurun,
kemudian mendaki dan berputar. Putaran ini membalik ke belakang. Berarti kalau
sebelumnya mereka bergerak ke arah laut, kini dia dibawa membalik ke arah darat
setelah melewat sebuah lobang yang ditutupi dengan semak belukar. Sayup-sayup
Kintani mendengar suara deburan ombak pertanda bahwa tempat itu masih berada
dekat kawasan laut.
Kamandaka mendekat dan memegang tangan Kintani.
"Ikuti aku," kata pemuda ini. "Sebelum kita menuju ke rumah, aku harus melakukan
sesuatu dulu. Kau datang bersama dua binyawak bukan" Nah, kedua binyawak itu
harus kupersiangi lebih dulu!"
Kintani tahu sekali. Yang disebut Kamandaka dengan nama binyawak itu adalah
Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu. Membayangkan apa yang dimaksud dengan ucapan
mempersiangi yang dikatakan Kamandaka tadi, semakin dingin tengkuk Kintani.
Lengannya di tarik kuat-kuat. Dia dibawa melangkah cepat dan sesekali melompat
ke atas batu-batu besar. Aneh, jika dia melakukannya sendiri mungkin belum tentu
mampu. Tapi pegangan Kamandaka pada lengannya seperti menyalurkan suatu hawa
sakti hingga tubuhnya terasa lebih enteng dan dengan mudah dia mengikuti gerakan
pemuda itu. "Nah, itu dia dua ekor binyawak yang aku katakan padamu!" Tiba-tiba Kamandaka
berkata seraya menunjuk ke depan.
Kintani memandang ke arah yang ditunjuk. Di dekat sebuah batu besar dilihatnya
Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu tengah berdiri sambil memandang berkeliling.
"Binyawak busuk! Kalian mencariku"! Kalian tahu kalau berani muncul di sini
berarti sama saja mengantar nyawa?"
Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu terkejut. Mereka
cepat berpaling. Suara orang berseru itu terdengar cukup jauh. Tetapi begitu
suaranya sirap orangnya sudah berada di depan mereka. Dan bukan hanya sendirian!
Tapi bersama Kintani!
*** WIRO SABLENG KAMANDAKA SI MURID MURTAD
8 ANYA beberapa saat setelah Kamandaka alias
Tangan Halilintar membawa Kintani memasuki goa
HKranggan, dua sosok tubuh berkelebat di tepi pantai dari jurusan yang
berlawanan. Yang pertama adalah seorang kakek berpakaian serba hitam, bergelang bahar dan
kedua tangan dan kakinya. Dia datang dari jurusan barat. Di tepi pasir dia
berhenti sejenak. Matanya memperhatikan gundukan batu dengan lobang besar di
bagian tengahnya yang terletak beberapa tombak di sebelah depan.
"Pasti ini tempatnyal Hemm.... Kamandaka manusia bejat murtadl Akhirnya kutemui
juga sarangmu! Jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!" Habis berkata begitu
orang tua ini berkelebat. Dia melesat di atas air laksana terbang dan di lain
saat dia sudah berada di atas gundukan batu. Tanpa ragu-ragu dia segera hendak
memasuki lobang yang menjadi pintu goa. Namun ada sesuatu yang membentur sudut
matanya datang dari arah timur laksana seekor burung Rajawali.
Orang tua ini cepat berpaling. Dia merasakan ada angin menyambar. Dengan sigap
dia hendak memukul. Namun cepat tarik pulang serangannya ketika mengenali siapa
adanya orang yang ada di hadapannya.
"Hampir tiga bulan lalu aku meaemuimu di tempat pertemuan para tokoh silat. Kini
kau muncul di sini. Apa maksudmu datang ke tempat ini, Pendekar 212"!" tanya
orang tua berpakaian dan berdestar serba hitam.
Yang ditanya garuk-garuk kepala.
"Mungkin kita punya maksud yang sama, Datuk Alam Rajo Di Langit," Jawab Wiro
sambil menyeringai.
"Bagus kalau begitu. Ternyata kau memang benar termasuk manusia yang tidak
banyak bicara lebih suka berbuat! Tapi aku ingatkan satu hal padamu pendekar
muda!" "Heh, apa yang hendak kau peringatkan pada saya Datuk?"
"Jika kita menemui Kamandaka, ingat baik-baik. Hanya aku yang berhak turun
tangan! Kau jangan ikut campur!"
"Mengapa begitu?" tanya Wiro sambil kembali menggaruk-garuk kepalanya.
"Dia telah membunuh sahabatku Ki Pamilin. Dia juga telah merusak kehormatan anak
Ki Pamilin calon muridku!"
"Terserah saja padamu Datuk. Kalau kau yang ingin maju, biar aku jaga
muntahannya saja!" jawab Pendekar 212 Wiro Sabeleng.
Datuk Alam Rajo Di Langit masuk ke dalam goa. Wiro mengikuti dari belakang. Pada
saat bagian dalam goa yang berupa terowongan itu berputar membalik, Wiro
hentikan langkahnya. Otaknya bekerja. "Jika goa ini berputar dan ber balik ke
belakang, berarti siapa saja yang mengikutinya akan menuju kembali ke tepi
pantal. Ke arah daratan.
Lebih baik aku kembali dan menyelidiki bagian pantal yang ditutupi oleh bukit-,
bukit batu..."
"Hai! Kau mau ke mana" Mengapa kembali"!" Datuk Alam Rajo Di Langit berseru
ketika dilihatnya Wiro membalik langkah.
"Datuk jalanlah terusl Saya mau buang hajat kecil dulu!"
jawab Wiro. Begitu orang tua itu meneruskan perjalanannya, cepat-cepat Pendekar
212 melangkah menuju mulut goa.
Kita kembali pada kejadian saat Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu memasuki goa
Kranggan. Semakin jauh masuk ke dalam semakin tercium baunya hawa daratan. Goa
yang tadinya gelap redup kini perlahan-lahan menjadi terang.
Ada sinar di sebelah depan sana. Beberapa ratus langkah lagi berjalan akhirnya
mereka sampai di hadapan semak belukar rapat yang dari celahcelahnya merambas
cahaya matahari pagi.
Ki Rono Bayu singkapkan semak belukar dan pe-
pohonan kecil di depannya. Begitu semak belukar tersibak terkejutlah orang tua
ini. Ternyata di depan mereka terbentang satu kawasan bukit batu. Berarti dia
dan Ageng Sembodo kini berada di daratan!
"Tipuan sialanl" maki Ki Rono Bayu. Dia segera keluar dari dalam goa diikuti
Ageng Sembodo. Kawasan daerah berbatu-batu itu merupakan suatu
bukit besar dan tinggi. Dari keadaannya yang sunyi senyap Ki Rono Bayu bisa
menduga bahwa daerah ini jarang di datangi orang luar. Udara terasa sejuk
padahal masih dekat pantai.
"Sunyi-sunyi saja...." bisik Ageng Sembodo. Kesunyian ini menimbulkan rasa
tegang di dalam dirinya.
Saat itu kedua orang itu berada di dekat batu besar.
"Kita harus segera menyelidiki tempat ini. Aku merasa pasti ini kawasan yang
jadi markas atau tempat bersembunyinya Kamandaka."
"Perasaan kita sama. Mari kita mulai menyelidik!" jawab Ageng Sembodo.
Namun baru saja mereka hendak bergerak mendadak
ada suara membentak.
"Binyawak busuk! Kalian mencariku"! Kalian tahu kalau berani muncul di sini
berarti sama saja mengantar nyawa"!"
Dua orang Ketua Cabang Partai Semeru Raya itu cepat berpaling. Keduanya langsung
terkejut! Di hadapan mereka kini tegak Kamandaka. Dan dia tidak seorang diri.
Tapi bersama Kintani yang dicekalnya tangan kirinya!
"Kamandaka murid murtad penuh dosal Akhirnya kami temui juga kau!" kata Ageng
Sembodo setengah berteriak.
Lalu dilihatnya bagaimana Kamandaka memegang tangan gadis yang dicintainya. Maka
diapun kembali berteriak.
"Lepaskan peganganmu pada Kintani. Kintani lekas kemari!"
Si gadis tampak bingung sebaliknya Kamandaka keluarkan suara tertawa bergelak.
"Ageng Sembodo!" kata Kamandaka langsung menyebut nama. Mengingat usia yang
terpaut cukup jauh dan kedudukan Ageng Sembodo sebagai salah satu Ketua Cabang
Partai Smeru Raya, seharusnya Kamandaka memanggil lelaki itu secara lebih
hormat. Misalnya dengan panggilan Mas atau Kang Mas.
Hal ini sudah cukup membuat Ageng Sembodo tambah mendidih amarahnya.
"Dasar manusia tidak berbudi tidak punya peradatan!
Iblis! Lebih baik kau segera menyerahkan diri. Nyawamu masih bisa diperpanjang
sampai kau menghadapi Ketua Partai!"
"Budi dan peradatan hanya dipakai oleh orang-orang yang suka pamrih dan gila
hormat! Sama dengan dirimu!
Baru jadi Ketua Cabang mulut dan sikapmu seperti semua orang ini budakmu! Aku
sudah bersumpah untuk menyiangi tubuh kalianl Kalian akan kukembalikan ke puncak
Semeru tanpa kulit dan daging!"
Kamandaka angkat tangan kanannya sementara
tangan kiri masih memegangi Kintani. Matanya me-
mandang membara ke arah Ageng Sembodo.
"Tunggu dulu!" Ki Rono Bayu cepat membuka mulut.
"Kamandaka, kami datang membawa pesan dari Ketua Partai..."
"Aku tidak perduli kalian membawa pesan apa dan dari siapa. Pokoknya siapa yang
berani menginjakkan kaki di tempat ini harus mati!"
"Pesan yang kami bawa itu," kata Ki Rono Bayu meneruskan tanpa perdulikan
bentakan Kamandaka, "ialah membawamu kembali ke puncak Semeru guna menghadap
Ketua. Aku percaya, apapun dosa yang telah kau buat di masa lalu pasti Ketua mau
mempertimbangkan hukuman-nya secara adil!"
Kamandaka menyeringai. "Jadi kalian berdua tidak lebih dari pada dua kacung
pembawa pesani Manusia-manusla tolol! Mengapa tidak si Gamar Senopatri itu
sendiri yang datang menemuiku kemari!"
"Jangan menghina Ketua dan jangan keliwat mendesak, Kamandaka!" memperingatkan
Ki Rono Bayu yang tampak-nya mulai kesal.
"Kalian berdua begitu menghormati Ketua Partai Semeru itu! Kalian tidak tahu
siapa dia sebenarnya!
Manusia-manusia tolol yang senang ditipu!"
"Apa maksudmu dengan ucapan itu"!" Tanya Ageng Sembodo membentak.
"Kau tanyakan saja nanti pada jin laut tempat mayatmu akan kulemparkan!" jawab
Kamandaka. Dia menarik Kinanti ke belakang lalu melompat ke hadapan kedua orang
Ketua Cabang Partai itu. "Saat kalian untuk mati sudah dating!" katanya.
Ageng Sembodo tidak takut dan menganggap enteng
Kamandaka. Dia maju menyongsong gerakan lawan. Tapi KI Rono Bayu yang sudah
berpengalaman dan tahu betul kehebatan ilmu andalan Kamandaka cepat berkala.
"Sudahlah, mengapa kita harus ribut-ribut. Kamandaka bagaimanapun kami berdua
tidak mau bertindak sendiri sendiri. Kami tetap menghormatimu sebagal anak murid
Partai. Apalagi murid langsung dari Ketua. Banyak manfaat-nya jika kau mau ikut
sama-sama kami ke puncak
Semeru." "Kalau aku datang ke puncak Semeru, satu-satunya yang aku lakukan adalah
membunuh manusia keparat bernama Gamar Senopatri alias Dewa Tapak Sakti itu!"
Kamandaka mundur satu langkah. Kedua tangannya
diangkat ke atas dan perlahan-lahan disilang. Tapi dia belum merapal aji
kesaktian yang dimilikinya. Dia ingin menjajal kehebatan ilmu silat tangan
kosong kedua Ketua Cabang ini.
Didahului satu bentakan nyaring, Kamandaka me-
lompat. Kedua tangannya yang tadi disilang dibentangkan ke samping. Menggebuk ke
arah Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu Kedua serangan ini di arahkan ke
masingmasing kepala lawan.
Ageng Sembodo yang sejak tadi sudah tidak dapat menahan amarahnya balas
menghantam dengan tangan
kanannya ke arah Kamandaka sedang Ki Rono Bayu lebih bertindak hati-hati. Dia
tidak mau melakukan bentrokan melainkan menghindar ke samping dan setelah
membuat kuda-kuda kukuh dia baru membalas dengan satu sodokan ke arah ulu hati
Kamandaka. Tiba-tiba Kamandaka hentikan seluruh gerakannya.
Tubuhnya laksana seekor burung besar yang mengembangkan sayapnya.
Bukkki Bukkk! Jotosan Ki Rono Bayu menghantam ulu hati Kamandaka dengan keras. Begitu juga
pukulan Ageng Sembodo meng-hajar lengan kiri Kaman- ' daka. Tapi pemuda ini
sedikitpun tidak bergeming. Malah sambil menyeringai dia memperhatikan bagaimana
kedua penyerangnya mengerenyit kesakitan.
"Pukul lagi! Cari sasaran yang paling empuk!" ejek Kamandaka.
Maka kedua lawannyapun tanpa ampun melancarkan
gebukan bertubi-tubi ke kepala dan tubuhnya. Kamandaka masih menyeringai. Tiba-
tiba dia keluarkan suara bentakan dahsyat.
Sepasang kakinya membuat gerakan menggeser. Lutut ditekuk. Hantamannya yang
pertama mendarat di dada Ki Rono Bayu. Ketua Cabang Partai yang berusia lanjut
ini terpekik. Tubuhnya tersandar ke dinding batu. Dari mulutnya meleleh darah
kental. Tulung dadanya remuk melesak.
Dia mengalami kesulitan bernafas. Tapi semua ini seperti tidak dirasakannya.
"Manusia iblisl Murid murtad keparat!" kutuk Ki Rono Bayu. Dia berpaling pada
Ageng Sembodo dan anggukkan kepalanya seraya berbisik. "Pukulan Api Biru..."
Ageng Sembodo maklum apa yang dimaksud si orang
tua. Cepat dia kempiskan perut dan menghimpun seluruh tenaga dalam ke tangan
kanan. Kedua Ketua Cabang ini sambil menghimpun tenaga dalam hati merapal aji
kesaktian pukulan Api Biru. Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu saling memberi
isyarat dengan mata masingmasing.
Lalu didahului suara bentakan garang kedua Ketua Cabang Partai Semeru Raya ini
Wiro Sableng 062 Kamandaka Murid Murtad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pukulkan tangan kanan masingmasing. Dua larik sinar biru menderu laksana
lempengan besi panjang tipis. Siap menggunting dan memutuskan leher Kamandakal
"Pukulan Api Biru!" seru Kamandaka yang mengenali pukulan sakti itu. Kedua
tangannya segera diangkat. Dua lengan bersilang di depan mukanya dan dua lengan
ini segera berubah jadi hitam. Ketika kedua lengan bersilang ini dilepaskan dua
larik cahaya hitam berkiblat disertai suara meledak seperti suara halilintar
menyambar. Hawa panas menghampar. Dua larik sinar biru pukulan Ageng Sembodo dan
Ki Rono Bayu tenggelam dalam cahaya
hitam Pukulan Halilintar yang dilepaskan Kamandaka. Lalu ada dua suara letusan
susul menyusul. Pekik Ki Rono Bayu terdengar duluan. Tubuhnya terlempar jauh.
Sekujur badannya mulai dari kepala sampai ke kaki tampak memutih. Lalu anehnya
perlahan-lahan berubah jadi hitam gosong!
Kinanti tidak berani menyaksikan apa yang terjadi dengan orang tua Kedua Cabang
Partai wilayah Timur itu.
Dari mulutnya keluar jeritan ketika sinar hitam yang satu lagi menghantam ke
arah Ageng Sembodo.
"Mas Kaman! Jangan bunuh dia!" pekik Kinanti.
Teriakan Kinanti ini membuat kamandaka menarik
pulang tangannya. Sinar hitam Pukulan Halilintar meredup dan akhirnya lenyap
sama sekali. "Kau inginkan binyawak ini hidup, baik! Satu nyawa lolos tak jadi apa. Dia boleh
pergi agar bisa memberi tahu pada Gamar Senopatri apa yang terjadi di sini.
Aku...hek...!"
Ucapan Kamandaka terhenti. Satu pukulan menghantam dadanya! Ketika dia bicara
tadi kesempatan ini dipergunakan oleh Ageng Sembodo untuk melancarkan pukulan.
Pukulannya kulannya tepat menghantam dada Kaman-
daka. Pemuda ini tidak bergerak dari tempatnya walau memang ada rasa sakit
akibat pukulan itu.
Penasaran Ageng Sembodo lancarkan pukulan lagi
secara bertubi- tubi.
"Cukup!" seru Kamandaka tiba-tiba. Tangan kanannya dibabatkan dari samping kiri
ke kanan. Traakk! Traakkl Ageng Sembodo menjerit setinggi langit. Kedua
lengannya terkulai patah. Tubuhnya sampai terbungkuk-bungkuk menahan sakit.
Kamandaka tendang pantat
orang ini. "Kalau kau tidak lekas minggat dari sini, jangan kira aku tidak akan
membunuhmu. Sekalipun kekasihmu ini meminta aku tidak membunuhmu!"
Paras Kintani tampak menjadi merah oleh kata-kata terakhir Kamandaka itu.
"Kamandaka!" Ageng Sembodo berucap. "Hari ini aku mengaku kalah! Tapi ingat!
Lain waktu aku akan datang lagi untuk mengambil kepalamu!"
"Kacung Ketua Partal Semeru Raya!" kata Kamandaka seraya mencekal leher pakaian
Ageng Sembodo. "Katakan pada Ketuamu, jika dia punya nyali aku tunggu dirinya di
sini. Jika malam bulan purnama di muka dia tidak muncul sudah tiba saatnya aku
akan mencarinya untuk minta nyawa anjingnya! Nah sekarang pergi kau dari sinil"
Kamandaka tarik kuat-kuat leher pakaian lelaki itu lalu melemparkannya ke
dinding batu. Karena kedua lengannya patah dia sama sekali tidak mampu untuk
menahan dirinya terbanting ke batu. Ketika tubuhnya terbanting, mukanya ikut
menghantam batu hingga tulang hidungnya patah dan bibirnya pecah!
"Kintani, ikuti aku. Tinggalkan tempat ini."
Kintani melirik ke arah Kamandaka. Pemuda ini cepat berkata. "Kalau kau bergerak
satu langkah saja mengikutinya, akan kubunuh!" ancam Kamandaka. Mau tak mau
Kintani terpaksa hanya bisa tegak tak bergerak.
"Manusia keparat! Aku bersumpah akan mem-
bunuhmu!" kutuk Ageng Sembodo. Dia memandang sesaat pada mayat Ki Rono Bayu.
Ingin dia membawa pergi mayat yang gosong hitam itu. Namun dalam keadaan kedua
tangannya lumpuh cidera begitu rupa di mana berjalan sajapun dia mengalami
kesulitan dan rasa sakit, mana mungkin dia mendukung atau memanggulnya.
Tersaruk-saruk dia tinggalkan tempat itu.
*** WIRO SABLENG KAMANDAKA SI MURID MURTAD
9 AMANDAKA membawa Kintani ke puncak bukit batu
paling tinggi. Sampai di atas Kintani melihat sebuah Kbangunan yang bagian
depannya berbentuk sebuah
goa besar namun atapnya ditata seperti atap bangunan kayu. Keadaan di sebelah
dalam dan bagian luarnya serba bersih. Ada bau wewangian keluar dari arah goa
batu itu. "Ini rumah kita!" kata Kamandaka seraya tangannya kembali memegang lengan si
gadis. Kintani diam saja.
"Kau akan tinggal di sini bersamaku, Kintani."
Baru saja Kamandaka berkata begitu dari dalam goa keluar dua orang perempuan.
Yang satu masih sangat muda. Menurut taksiran Kintani usianya sekitar delapan
belas tahun. Satunya lagi lebih tua namun jelas belum mencapai dua puluh lima
tahun. Keduanya memiliki wajah cantik. Yang membuat darah Kintani tersirap ialah
cara kedua perempuan itu berpakaian. Apa yang mereka kenakan tidak bisa disebut
pakaian karena bagian-bagian tubuh mereka hampir tidak terlindung. Bahkan bagian
dada dan bawah perut tersingkap menusuk pemandangan.
"Mas Kamandaka! Kami kira kau akan pergi lama.
Ternyata sudah pulang!" Perempuan yang muda berucap.
Lalu keduanya hentikan langkah ketika melihat Kamandaka ternyata tidak sendiri.
Bayangan rasa cemburu jelas terlihat diwajah kedua perempuan itu.
"Siapa mereka?" tanya Kintani berbisik.
"Kekasih-kekasihku," sahut Kamandaka. "Tapi mulai sekarang tidak lagi." Lalu
pada kedua perempuan itu Kamandaka berkada. "Saat ini juga kalian boleh pergi
dari sini. Jangan coba kembali!"
Dua perempuan itu tampak terkejut besar.
"Mas..." Mengapa tiba-tiba kau mengambil keputusan begitu?" tanya perempuan yang
tua. "Saya tahu!" menyahuti yang muda sambil melirik pada Kintani. "Mas Kamandaka
telah mendapat seorang kekasih baru yang lebih cantik dari kami!"
"Kalau sudah tahu mengapa tidak segera minggat"!"
ujar Kamandaka melotot.
"Kami... kami bersedia membagi tempat bersama dia!"
berkata perempuan yang muda.
"Di sini tidak ada tempat lagi bagi kalian berdua. Lekas pergi!"
"Mas Kaman, sebaiknya biar saya yang pergi!" kata Kintani pula. Lalu cepat dia
membalikkan diri. Tapi Kamandaka lebih cepat lagi menjambak rambut gadis itu dan
mendorongnya ke dalam rumah batu. Pemuda ini kemudian berpaling pada dua orang
kekasihnya. "Kalau kalian tidak mau pergi jangan menyesal kalau wajah kalian akan kurusak
dan kuubah jadi wajah setan!"
Mendengar hal ini keduanya jadi ketakutan. Setelah berpandangan sebentar mereka
cepat-cepat tinggalkan tempat itu di iringi gelak tawa Kamandaka. Puas tertawa
Kamandaka kembali mendekati Kintani. "Sekarang saatnya kita bersenang-senang.
Iblis Gila Pembangkit Arwah 2 Pendekar Naga Putih 72 Pertarungan Dua Naga Penghuni Lembah Malaikat 2
secara baik-baik ke puncak Semeru ini."
"Itu pemikiran yang baik," kata Rana Tumalaya. "Entah bagaimana pendapat yang
lain-lain."
"Saya tidak setuju. Perjalanan ke Selatan cukup jauh dan sulit. Melibatkan
Kintani terlalu berbahaya." Yang bicara adalah Ageng Sembodo.
Ketua Partai mengusap dagunya. Dia tidak mau me-
mandang ke arah Ageng Sembodo. Tetapi Ketua Cabang Partai yang muda ini sekilas
dilihatnya mengalami pe-rubahan air muka. Gamar Senopatri dan juga semua orang
yang ada di situ secara diam-diam mengetahui ada semacam perlombaan antara
Kamandaka dan Ageng
Sembodo untuk memperebutkan Kintani. Ternyata Kamandaka lebih mendapat tempat di
hati si gadis. Sejak Kamandaka meninggalkan pucak Semeru lalu berbuat segala
macam kejahatan di rimba persilatan, Kintani nampak sangat terguncang.
Sebaliknya Ageng Sembodo merasa bahwa kesempatan baginya untuk mendapatkan gadis
itu jadi terbuka lebar. Bagaimanapun sang Ketua Partai pasti tidak akan
merelakan Kintani berhubungan lagi dengan Kamandaka, apalagi merestui keduanya
sebagai suami istri.
"Bagaimana pendapat Ketua?" bertanya Rana Tumalaya.
"Apa yang dikatakan Ageng Sembodo memang benar.
Perjalanan ke Selatan jauh dan sulit. Namun mengapa tidak kita pergunakan
kesempatan ini untuk memberikan tambahan gemblengan pada Kintani?" Gamar
Senopatri alias Dewa Tapak Sakti memandang pada para Ketua Cabang satu persatu.
Karena tidak ada yang bicara maka diapun mengambil keputusan. "Panggil Kintani,
saya akan bicara padanya."
Sebenarnya Ageng Sembodo hendak berkata dan ber-
usaha mencegah maksud membawa serta Kintani itu. Dia kawatir pertemuan si gadis
dengan pemuda yang dicintainya itu akan membawa akibat yang justru malah membuat
suasana tambah keruh. Tetapi melihat pada air muka Ketua Partai, Ageng Sembodo
memilih lebih baik dia diam saja. Malah dia diam-diam ingin memanfaatkan
perjalanan itu untuk lebih mendekatkan diri dengan Kintani.
*** WIRO SABLENG KAMANDAKA SI MURID MURTAD
5 UKIT Selarong hampir tak pernah didatangi orang.
Selain lerengnya yang terjal dan penuh dengan
B bebatuan, pohon-pohon disitu tumbuh sangat rapat.
Kabarnya di sekitar situ juga sering terlihat binatang-binatang buas seperti
harimau dan srigala hutan.
Namun siang itu terlihat kelebatan tubuh seseorang yang dengan cepat mendaki
bukit, melompat dari batu satu ke batu lainnya, menyelinap sebat diantara
pepohonan. Dia ternyata seorang nenek kurus tinggi berkulit sangat hitam.
Muka dan matanya cekung. Alisnya putih. Di kepalanya yang ditumbuhi rambut
jarang berwarna putih ada lima buah tusuk kundai perak. Dari ciri-ciri yang
disebutkan ini jelas si nenek adalah Eyang Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 dari
Gunung Gede. Si nenek mendekati bukit Slarong sambil memanggul sosok tubuh Mintari yang
terbungkus kain berwarna kuning. Jadi dialah yang telah menculik gadis itu
sewaktu berada di tempat kediaman Raden Bintang, tokoh silat yang bergelar
Rantai Bayangan.
Semakin tinggi ke atas bukit semakin dingin terasa udara. Mintari perlahan-lahan
sadar dari pingsannya.
Begitu siuman gadis ini langsung menjerit. Pertama karena ingat akan apa yang
ketika menyaksikan angkernya wajah si nenek yang memanggul melarikannya.
"Gadis sialan!" Sebagaimana biasa Sinto Gendeng enak saja memaki. "Jeritanmu
mengejutkanku! Untung aku tidak latah dan melemparkanmu ke bawah bukit!'
"Nen... nenek. Kau siapa...?" tanya Mintari.
"Diam sajalah! Nanti kalau sudah sampai di tempat tujuan baru kau boleh bertanya
panjang lebar! Tidak baik bicara di jalanan. Kalau setan mendengar dan ikut
bicara baru tahu rasa kau. Hik...hik...hik...!" Si nenek tertawa cekikikan.
Mintari jengkel ada takutpun ada. Hendak menutup mulut dia merasa kawatir. Maka
diapun bertanya kembali.
"Kau ini sebetulnya mau bawa aku kemana Nek?"
"Anak setan!" si nenek gebuk pantat Mintari. "Kalau aku bilang diam, jangan
berani membuka mulut!"
Akhirnya terpaksa gadis itu berdiam diri.
Di salah satu lereng bukit Slarong terdapat sebuah telaga kecil berair jernih.
Kesinilah Sinto Gendeng membawa Mintari. Di salah satu tepian telaga terdapat
sebuah gundukan batu berbentuk goa. Eyang Sinto Gendeng berhenti di depan goa
dan menurunkan Mintari. Dari kepitan-nya dia mengeluarkan sebuah bungkusan yang
ternyata isinya adalah sehelai baju dan celana putih.
"Nenek...."
"Lekas kau pakai pakaian itu. Kalau sudah baru nanti kita bicara!" Sinto Gendeng
memotong ucapan Mintari.
Mau tak mau gadis itu melakukan juga apa yang dikatakan si nenek. Selesai
berpakaian dia tegak memperhatikan si nenek yang melangkah kakinya ke dalam air
telaga. Tiba-tiba Eyang Sinto Gendeng hentikan langkahnya, berpaling memandang
Mintari. "Nah sekarang kau boleh omong. Bicara dan tanya apa saja yang kau mau. Tapi
ingat jangan lama dan panjang lebar. Aku tidak punya waktu banyak. Aku manusia
yang lebih banyak berbuat dari pada bicara ngulon-ngidul! Ayo buka mulutmu!"
"Nek... seingat saya, sebelum jatuh pingsan seorang pemuda menolong saya...."
Apa yang telah dialaminya terbayang kembali di pelupuk mata Mintari. Gadis ini
menangis keras dan jatuhkan diri berlutut di tepi telaga.
"Saya dirusak secara keji. Ayah saya dibunuh. Apa guna-nya lagi hidup ini...!"
Mintari menjerit. Lalu tampak dia melompat. Dengan nekad gadis ini berlari cepat
ke dinding batu di samping goa, siap untuk membenturkan kepalanya!
"Anak tolol!" teriak Eyang Sinto Gendeng marah. Sekali dia berkelebat dia sampai
lebih dulu di depan dinding batu.
Tangan kanannya yang kurus diangkat. Telapak tangannya menangkap kening Mintari
hingga kepala gadis itu tidak sampai membentur dinding batu!
Si nenek gerakkan tangan kanannya. Mintari terbanting ke tepi telaga, menangis
keras-keras. "Itulah kelemahan perempuan! Cis! Memalukan!" kata Sinto Gendeng. "Biasanya
hanya menangis, putus asa lalu bertindak nekadl Apa kau tidak punya hati untuk
merasa dan otak untuk berpikir" Kalau punya hati untuk merasa dan otak untuk
berpikir" Kalau kau mampus apa yang akan kau dapat" Sorga tidak neraka pasti!
Karena ter-kutuklah orang-orang yang mati bunuh diri!"
Mintari mengusap air matanya. Dia memandang pada si nenek yang telah
menyelamatkan jiwanya. "Maafkan saya Nek. Pikiran saya benar-benar kalut. Saya
tidak sanggup menahan sengsara yang amat berat ini. Tolong beri tahu siapa nenek
ini adanya. Mengapa membawa saya ke
tempat ini?"
Mulut Eyang Sinto Gendeng tampak komat-kamit.
"Pemuda yang menolongmu itu adalah muridku. Namanya Wiro Sableng. Aku gurunya
bernama Sinto Gendeng...!"
Mintari terkesiap mendengar si nenek menyebut nama-nama aneh itu. Sableng dan
Gendeng! "Ah, aku berhadapan dengan seorang nenek kurang waras rupanya.
Tapi aku yakin manusia seorang nenek kepandaian tinggi.
Aku ingat cerita guru tentang seorang nenek sakti yang diam di puncak Gunung
Gede. Jangan-jangan dia ini orangnya. Murid itu pasti Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212!"
"Kau mau tanya apa lagi"!" Sinto Gendeng memandang dengan mata dibesarkan pada
Mintari. Si gadis lantas menjawab.
"Turut cerita yang pernah saya dengar dari guru, apakah nenek orang sakti yang
diam di puncak Gunung Gede dan murid nenek itu bukankah yang dijuluki orang
sebagai Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?"
"Bagus, otakmu tajam juga. Kalau kau sudah tahu aku tidak perlu lagi menjawab
pertanyaanmu. Aku bisa mulai..."
"Tunggu dulu Nek. Saya ingin tahu sebab apa Nenek membawa saya kemari," kata
Mintari pula. "Anak tolol! Justru hal itu yang hendak aku terangkan padamu!" berkata Eyang
Sinto Gendeng dengan wajah merengut.
"Maafkan kalau saya keliwat mendesak. Tapi pertemuan dengan seorang tokoh besar
dunia persilatan seperti Nenek sungguh membuat saya senang...."
"Dasar anak tolol! Aku membawamu kemari bukan untuk bersenang-senang!"
Melihat Eyang Sinto Gendeng seperti marah, Mintari cepat berkata. "Maafkan Nek.
Maksud saya...."
"Sudah! Kau dengan saja apa yang aku bilang. Jawab apa yang aku tanya.
Mengerti.... "
"Saya mengerti Nek...."
"Panggil aku Eyang!"
"Baik Nek eh Eyang "
"Kau tahu siapa yang membunuh Ayahmu?"
"Tahu Eyang."
"Tahu siapa" Sebutkan orangnya."
"Kamandaka. Dia murid sesat dan murtad Ketua Partai Semeru Raya. Bergelar Tangan
Halilintar."
'"Kau tahu siapa yang merusak kehormatanmu?"
"Manusia terkutuk yang sama Eyang. Kemahakah itu!"
"Jadi kau sudah tahu dengan jelas," kata Sinto Gendeng. "Lantas apakah aku tidak
ingin membalaskan sakit hati kematian Ayahmu serta perlakukan keji yang
dilakukan Kamandaka terhadapmu?"
"Itu memang tersurat dalam benak dan tergurat dalam hati saya Eyang. Tapi
manusia itu kepandaiannya tinggi, sekali. Ayah saja mati ditangannya."
"Anak tolol! Kalau Ayahmu tidak mampu apa berarti kau juga tidak mampu"!"
"Saya sudah mencoba Eyang tapi gagal." Jawab Mintari.
"Satu saat jika kau bertemu lagi dengan Kamandaka, kau tak akan gagal. Itu
sebabnya aku membawamu
kemari. Ada satu ilmu pukulan yang harus kau pelajari untuk dapat mempercudangi
Kamandala."
"Astaga, rupanya Eyang hendak mengambil saya jadi murid!" seru Mintari lalu
buru-buru jatuhkan diri berlutut.
Si nenek tertawa.
"Siapa bilang aku mengambilmu jadi murid" Muridku cukup satu. Si pemuda sableng
bernama Wiro itu!"
Paras Mintari berobah.
"Seperti kukatakan tadi, kau akan kuberi pelajaran menguasai satu ilmu pukulan
sakti. Pukulan Sinar Matahari...!"
"Saya pernah mendengar kehebaran pukulan sakti yang menggegerkan dunia
persilatan itu," kata Mintari pula.
Di hadapannya Eyang Sinto Gendeng tegak dengan
kedua kaki dikembangkan. Tangan kanannya diangkat perlahan-lahan. Mintari
melihat bagaimana tangan itu sampai sebatas lengan berubah menjadi putih seperti
perak ber-kilauan. Tiba-tiba si nenek menghantam ke depan. Terdengar suara
menderu dahsyat disertai berkiblatnya sinar terang benderang dan hawa panas
menghampar. Menyusul suara menggelegar.
Di depan sana dinding batu yang keras hancur
berantakan. Mintari sampai leletkan lidah melihat kehebatan pukulan sakti itu.
Padahal Eyang Sinto Gendeng baru kerahkan sepertiga saja dari tenaga dalamnya!
"Pukulan Sinar Matahari..." kata Sinto Gendeng pada dirinya sendiri. "Hebat luar
biasa! Tapi tidak mampu mengalahkan kehebatan Pukukan Halilintar Kamandaka...!
Gila! Edan betul!" Paras cekung Sinto Gendeng menunjukkan rasa kecewa yang
mendalam. "Eyang..." kata Mintari. "Kalau pukulan Sinar Matahari tidak mampu mengalahkan
Pukulan Halilintar Kamandaka, lalu mengapa Eyang hendak mengajarkannya juga pada
saya?" Si nenek menyeringai. "Aku tahu dan aku tidak bodoh!
Ilmu pukulan Sinar Matahari yang akan kuajarkan padamu akan kuberi satu tambahan
kekuatan hingga bisa
menyelusup menggepur ambalas pukulan sakti
Kamandaka. Namun harus kau ketahui, ilmu pukulan itu hanya bisa kau kuasai
selama tida puluh hari dan hanya bisa kau pergunakan satu kali saja. Setelah
tiga puluh hari ilmu tersebut akan lenyap. Berarti dalam waktu tiga puluh hari
kau harus dapat menemukan Kamandaka!"
Sesaat Mintari terkesiap mendengar kata-kata Sinto Gendeng itu. lalu akhirnya
terdengar dia berkata. "Terima kasih Eyang. Saya akan pelajari ilmu pukulan itu
baik-baik."
"Berdiri di depankul" kata Eyang Sinto Gendeng. "Aku mau jajal sampai di mana
tingkat tenaga dalammul"
Mintari tegak dua langkah di hadapan Eyang Sinto Gendeng. "Kepalkan tangan
kananmu, ulurkan tepat-tepat ke hadapanku!"
Kembali si gadis melakukan apa yang dikatakan si nenek. Sinto Gendeng sendiri
melakukan hal yang sama tapi dengan tangan kiri. Kedua tangan mereka yang
terkepal saling bersentuhan. "Tekan yang kuat!" kata Sinto Gendeng.
Mintari menekankan tangan kanannya ke depan!"
"Bagus! Sekarang kerahkan seluruh tenaga dalam!"
Mintari segera kerahkan tenaga dalamnya. Tubuhnya sampai ke lengan yang
diacungkan tampak bergetar keras.
Eyang Slnto Gendeng menunggu sampai seluruh kekuatan tenaga dalamsi gadis
terhimpun di kepalan tangan kanannya. Ketika hal itu tercapi baru nenek sakti
ini mengerahkan tenaga dalamnya. Dia mulai dengan seper-sepuluh bagian. Naik dua
persepuluh. Ketika mencapai tingkat seperempatnya, di hadapannya Mintari nampak
goyang kedua lututnya. Di kening gadis ini memercik keringat. Pakaiannya juga
basah oleh keringat. Eyang Sinto putar kepalan tangan kirinya ke samping kiri.
Saat itu pula terdengar suara jeritan Mintari. Gadis ini terpental enam langkah,
jatuh masuk ke dalam telaga. Mukanya tampak seputih kertas!
Dengan cepat Mintari berenang ke tepi telaga. Di hadapan Sinto Gendeng dia
berkata. "Maafkan saya mengecewakan Eyang."
"Tidak jadi apa. tapi kau perlu meningkatkan tenaga dalammu sampai paling tidak
dua kali dari yang sekarang ini. Kalau kau tidak mampu melakukannya berarti
seumur hidup kau tidak bakal dapat membuat perhitungan dengan Kamandaka!"
"Jika Eyang mau membimbing, saya akan berusaha keras untuk meningkatkan tenaga
dalam saya..."
"Kau butuh waktu paling sedikit dua bulan. Kau harus sungguh-sungguh!"
"Saya akan sungguh-sungguh Eyang. Saya berjanji!"
Sinto Gendeng menyeringai. "Berjanji lebih bagus dari pada bersumpah! Berapa
banyak saja manusia yang bersumpah palsu!"
"Terima kasih Eyang. Kau memberi saya kesempatan..."
"Sudah, lupakan segala macam peradatan. Kita mulai sekarang juga. Duduk bersila
di depan mulut goa sana.
Letakkan kedua tanganmu di atas ujung paha dekat lutut.
Lalu kerahkan tenaga dalammu dari perut. Tapi jangan di-alirkan. Tetap di perut
dan tahan!"
*** WIRO SABLENG KAMANDAKA SI MURID MURTAD
6 IGA penunggang kuda itu berhenti di tepi pantai.
Mereka adalah Ki Rono Bayu, Ketua Cabang Partai
T Semeru raya wilayah Timur. Lalu Ageng Sembodo, Ketua Cabang wilayah Selatan
dan yang ketiga seorang gadis berkulit putih. Dia mengenakan pakaian ringkas
putih dan mengenakan ikat kepala. Wajahnya yang cantik kemerahan disengat sinar
matahari. Gadis ini adalah anak murid Partai yang bernama Kintani.
"Dimana letak goa Kranggan itu?" bertanya Ki Rono Bayu tidak sabaran.
Ageng Sembodo tidak segera menjawab. Dia me-
mandang ke tengah laut tetapi pandangannya kosong. Dia tengah membayangkan
pembicaraannya dengan Kintani malam tadi.
Waktu itu mereka berkemah dan membuat api unggun di pinggir sebuah anak sungai.
Ki Rono Bayu sudah tertidur karena keletihan.
Ageng Sembodo dan Kintani tidak segera bisa tidur.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Ageng Sembodo untuk mendekati si gadis. Dia
memulai pembicaraan dengan bertanya bagaimana perkembangan ilmu silat serta
tenaga dalam si gadis. Kintani menjawab ada kemajuan tetapi tidak banyak.
"Kau harus rajin berlatih Kintani. Ketua sangat meng-harapkan kau menjadi salah
seorang murid Partal yang bisa diandalkan," kata Ageng Sembodo pula. Lalu dia
bertanya. "Apakah kau masih mengngat-ingat Kamandaka?"
"Dia saudara seperguruan, saudara se Partai. Tentu saja tidak ada yang lupa
Wiro Sableng 062 Kamandaka Murid Murtad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
padanya." Ageng Sembodo tersenyum. "Kau hanya mengingatinya sebagai saudara seperguruan
dan saudara se-Partai?"
"Maksud Ketua Cabang apa?" tanya Kintani.
"Panggil saja namaku."
"Baik. Lalu maksud Ageng Sembodo apa?"
"Aku tahu, semua orang tahu kalau kau ada hubungan khusus dengan pemuda itu.
Kalian saling mencinta."
Kintani diam saja walau wajahnya tampak bersemu
merah. "Setelah dia kini menempuh hidup sesat, murtad, apakah kau masih mencintainya
Kintani?" "Saya yakin ada sesuatu yang menyebabkan dia jadi begitu. Saya tahu dia orang
baik. Kalau saya bertemu dia, hal itu yang perlu saya tanyakan lebih dulu."
"Justru jika kita bertemu dengan dia, kita tidak punya waktu banyak untuk bicara
soal lain. Dirinya dikejar dosa dan hukum. Ingat hal itu Kintani. Dia bukan anak
murid Partai lagi. Sekali kita menemuinya dia akan kita seret ke hadapan Ketua.
Jika dia menolak. Ketua sudah berpesan dan memberi wewenang untuk membunuhnya di
tempat. Kalaupun dia bisa dihadapkan pada Ketua Partai, umurnya tak akan lama. Dia akan
dijatuhi hukuman mati1"
Si gadis diam kembali.
"Dari sekarang kau harus mulai melupakannya Kintani.
Kalau tidak kau akan hanyut dalam derita batin."
Kintani masih berdiam diri.
Ageng Sembodo menggeser duduknya. Dipegangnya
tangan Kintani seraya berkata. "Kau pasti tahu Kintani.
Sejak lama aku mencintaimu. Jika kau sudi, masa depan yang baik akan menanti
kita. Ketua Partai pasti merestui hubungan kita."
Ageng Sembodo menunggu sambil menatap paras si
gadis di sebelahnya.
"Apa jawabmu Kintani?"
Tak ada jawaban.
"Aku percaya kau juga menaruh perasaan yang sarna terhadapku. Hanya halangan
diri Kamandaka yang mem-buatmu tidak bisa menerima kenyataan itu. Bukankah
demikian....?"
"Saya tidak tahu Ageng..." sahut Kintani.
Ageng Sembodo mendekatkan wajahnya ke wajah si
gadis. Sesaat lagi hidungnya akan mencium dan menyentuh pipi Kintani, gadis ini
jauhkan kepalanya dan lepaskan jari-jari tangannya dari pegangan Ageng Sembodo.
"Saya letih. Saya mengantuk. Besok kita harus melanjut-kan perjalanan jauh.
Sebaiknya kita tidur saja..."
"Kau pergilah tidur. Aku akan berjaga-jaga sambil memandangi wajahmu yang
cantik..." jawab Ageng Sembodo.
Ki Rono Bayu memandang pada Ageng Sembodo
dengan perasaan heran. Dalam hati dia membatin. "Aku bertanya dia tak menjawab.
Matanya tertuju ke arah laut.
Apa yang ada dalam benak orang ini?"
"Ageng Sembodo, aku bertanya apa kau tidak mendengar?"
Ageng Sembodo seperti kaget. Dia berpaling pada orang tua itu seraya berkata.
"Maafkan saya. Mohon per-tanyaannya diulangi."
"Saya tadi bertanya dimana letak goa Kranggan sarang Kamandaka itu?" Suara Ki
Rono Bayu jelas terdengar jengkel.
"Ah... Goa itu rasanya berada di sekitar tempat ini Ki Rono. Untuk pastinya kita
harus menemui seseorang yang tahu betul letak pastinya. Ikuti saya..."
Ki Rono Bayu dan Kintani mengikuti Ageng Sembodo yang memacu kudanya menyusuri
pantai ke arah timur. Di saw tempat dia membelok ke kiri memasuki sebuah
perkampungan nelayan. Di ujung perkampungan Ageng Sembodo hentikan kudanya di
depan sebuah rumah yang saat itu dikeillingi oleh orang banyak. Bau busuk
menebar dari dalam rumah.
"Ini rumahnya," kata Ageng Sembodo pada Ki Rono Bayu. "Tapi heran, ada apa orang
berkerumun di sini?"
Ageng Sembodo turun dari kudanya dan bertanya pada salah seorang yang ada di
tempat itu. "Betul ini rumah Suro Ampel?"
Orang yang ditanya mengangguk dan memandang pada Ageng Sembodo serta Ki Rono
Bayu dan Kintani. Orang-orang di sekitar situ juga sama memperhatikan mereka.
"Saudara ini siapa" Apakah bermaksud menemui Suro Ampel pemuka agama di kampung
ini?" tanya orang yang tadi menganggukkan kepalanya.
"Betul," sahut Ageng Sembodo. "Ada apa orang banyak berkerumun di sekitar sini?"
tanyanya kemudian.
"Ada hal-hal yang tidak biasa. Sudah dua hari Suro Ampel tidak keluar dari dalam
rumahnya. Sejak pagi tadi ada bau busuk keluar dari dalam rumah. Kami penduduk
kampung menaruh curiga. Jangan-jangan sesuatu telah terjadi dengan diri Suro
Ampel. Kami tengah berunding untuk menjebol pintu rumahnya dan memeriksa ke
dalam..." Ageng Sembodo tidak menunggu orang itu mengakhiri ucapannya. Dia melompat ke
hadapan pintu rumah. Sekali tendang saja pintu yang terbuat dari papan itu jebol
hancur berantakan. Bersamaan dengan Itu bau busuk yang
menjijikkan keluar lebih santar dari dalam rumah.
Ada beberapa orang yang ikut masuk ke dalam rumah.
Mereka langsung hentikan langkah ketika sampai di bagian tengah rumah. Di antara
kegelapan tampak menggeletak sesosok tubuh di lantai. Mukanya tidak bisa
dikenali karena sudah hancur dan membusuk. Sosok tubuh yang sudah jadi mayat
inilah yang mengeluarkan bau busuk.
Meski mukanya hancur namun dari bentuk tubuh serta pakaian yang melekat di tubuh
mayat Ageng Sembodo segera tahu mayat itu adalah mayat Suro Ampel, orang yang
dicarinya dan yang tahu letak pasti goa Kranggan.
Tanpa menunggu lebih lama Ketua Cabang Partai Semeru wilayah Selatan ini segera
keluar dari tempat itu. Di luar diceritakannya apa yang ditemuinya di dalam.
"Tak ada jalan lain. Kita harus menunggu sampai besok pagi. Besok, kalau pasang
surut terjadi, saya rasa saya bisa mengenali dimana letak goa itu."
Ki Rono Bayu hanya bisa angkat bahu dengan kesal sedang Kintani menghela nafas
panjang. Perjalanan itu begitu jauh dan meletihkan. Lalu dia tidak dapat
membayangkan apa yang bakal terjadi.
"Apa pendapatmu Ageng?" tanya Ki Rono Bayu.
"Apa lagi. Suro Ampel pasti korban keganasan Kamandaka."
"Apa dosa manusia itu?" tanya Kintani.
"Kamandaka tidak ingin dia memberi tahu letak goa Kranggan yang jadi sarangnya,"
jawab Ageng Sembodo.
Pantai Selatan luar biasa indahnya ketika sang, surya menyembul, mulai menerangi
bumi dengan sinarnya yang merah kuning kemilau. Air laut berubah laksana
hamparan permadani emas yang bergoyang- goyang.
Di tepi pasir Ageng Sembodo tegak bertolak pinggang.
Matanya tak berkesip memandang ke arah gundukan batu yang menyembul dipermukaan
air laUt yang kini men-dangkal dalam keadaan pasang surut. Sore kemarin gundukan
batu itu tidak kelihatan karena pasang naik menutupinya. Dia berpaling pada Ki Rono Bayu dan
Kintani, lalu berkata.
"Lihat, itu satu-satunya gundukan batu yang menyembul di permukaan laut. Pasti
disitu letak goa Kranggan!"
KI Rono Bayu tertawa mendengar ucapan Ageng Sem-
bodo itu. "Gundukan batu itu tidak lebih dari gundukan batu biasa. Mana mungkin
ada goa di situ!"
"Kita tunggu saja sampai beberapa saat lagi. Akan kita lihat kalau air laut
sudah sampai ke dasar batu," kata Ageng Sembodo yang merasa dicemoohkan.
Ketiga orang itu menunggu. Makin tinggi matahari naik, makin dalam air laut
turun. Akhirnya sebuah lobang kelihatan dibawah gundukan batu.
Lobang ini setinggi orang membungkuk dan lebarnya hanya cukup untuk sesosok
tubuh manusia. "Lihat! Itu pasti goanya!" kata Ageng Sembodo.
Setengah berlari dia menghampirl lobang itu dan
mengintai ke dalam. Bagian dalam lobang diselimuti kegelapan. Cahaya matahari
hanya sedikit sekali mampu menerangi dari arah yang berlawanan dengan mulut
lobang. Bagian dalam lobang tampak merupakan suatu penurunan. Air laut di
dalamnya tertahan oleh sanding batu yang menutupi setengah dari lobang.
Ki Rono Bayu membungkuk dan mengintai ke dalam.
Dia merasakan sesuatu menyapu wajah dan tubuhnya.
"Ada angin berhembus dari dalam lobang!" kata orang tua ini. "Pertanda di dalam
sana ada ruangan yang berhubungan dengan udara luar. Tapi jelas bukan udara
laut..." "Bagaimana Ki Rono mengetahui udara di sana bukan udara laut?" tanya Ageng
Sembodo pula. "Udara laut saat ini masih dingin dan mengandung garam. Sedang udara yang kucium
terasa hangat dan ber-bau embun..."
"Berarti lobang ini berhubungan dengan darattan!" kata Ageng Sembodo.
"Kau benar. Tapi dimana dan bagaimana berhubungan-nya perlu kita selidiki." Ki
Rono Bayu berpaling pada Kinanti.
"Kinanti, kau tunggu di tempat ini. Jangan ke mana-mana. Aku dan Ageng Sembodo
akan memasuki goa dan menyelidiki."
Kinanti mengangguk. "Hati-hatilah dan jangan terlalu lama di dalam sana. Saya
merasa tidak tenang ditinggal sendirian."
Sebenarnya Ageng Sembodo juga tidak senang dengan tindakan Ki Rono Bayu yang
mengatur agar mereka berdua masuk sedang Kinanti ditinggal sendirian. Dengan
menggerendeng dalam hati Ageng Sembodo masuk juga ke dalam lobang membungkuk-
bungkuk, diikuti oleh Ki Rono Bayu di sebelah belakang. Hanya beberapa saat
setelah kedua orang itu memasuki lobang, di balik gundukan batu sebelah kanan
tanpa diketahui Kintani bergerak sesosok tubuh tanpa suara.
Begitu hanya tinggal tiga langkah dari Kintani orang ini melompat dan menyergap
si gadis. Dalam kejutnya dara murid Partai Semeru Raya itu hendak berteriak
tetapi mulutnya disekap hingga dia tidak bisa keluarkan suara sedikitpun. Bahkan
nafasnya tertahan membuat dadanya sesak turun naik.
Untungnya Kintani tidak hilang akal. Kedua siku
tangannya dihantamkan ke belakang.
Bukkkk! Bukkkk! Dua siku mendarat dengan keras di tubuh orang yang menyergapnya. Namun Kintani
merasa seperti menghantam kapas! Pukulan-pukulannya itu sama sekali tidak
membuat orang yang menyergapnya bergeming sedikitpun.
Bahkan sambil menyeringai orang itu berbisik.
"Kintani, aku memang sudah menduga kau bakal datang mencariku. Aku memang sudah
lama merindukan-mu. Mulai detik ini kau akan ikut kemana aku pergi. Kita tidak
akan berpisah selama-lamanya..."
Dua mata Kintani membeliak besar. Dia mengenali
suara itu. Dalam dirinya ada rasa terkejut dan takut.
Namun diam-diam ada juga rasa bahagia.
"Jika kau berjanji tidak menjerit, akan kulepaskan sekapan di mulut dan
hidungmu..." Orang yang menyergapnya kembali berkata.
Si gadis angguk-anggukkan kepalanya tanda dia mengikuti tidak akan berteriak.
Perlahan-lahan si penyergap lepaskan sekapannya.
Begitu dirinya terasa lepas Kintani secepat kilat menyambar leher dan rambut
orang di belakangnya. Sosok tubuh itu kemudian ditariknya dan dibantingkannya ke
arah batu! Tubuh yang dibanting lewat punggung itu memang jatuh di batu. Namun tidak
tergeletak cidera malah sambil tertawa-tawa orang itu duduk bersila di atas batu
itu. Kintani membalikkan tubuh siap hendak menghantam. Kini
dengan pukulan sakti mengandung tenaga dalam. Namun gerakannya tertahan ketika
dia melihat wajah orang itu.
Sepasang mata mereka saling beradu.
"Ya Tuhan! Benar dia rupanya!" kata Kintani dalam hati.
*** WIRO SABLENG KAMANDAKA SI MURID MURTAD
7 IBIR Kintani bergetar ketika menyebut, "Mas Kaman.
Jadi betul kau tinggal di sini." Pemuda di atas batu B kembali tertawa.
Rambutnya yang gondrong me-lambai-lambai di tiup angin laut. Wajahnya klimis
meski pakaian birunya lecak dan basah. Dia tidak mengenakan destar.
"Kintani, dari ucapanmu jelas kalian datang kemari untuk menyelidiki..."
"Jadi Mas Kaman telah melihat Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu?"
"Daerah seluas ribuan tombak ini adalah kekuasaanku.
Tidak satupun yang lepas dari penglihatanku! Keduanya masuk ke liang neraka.
Berarti tidak bakal dapat keluar lagi!" jawab orang di atas batu yang memang
Kamandaka alias Tangan Halilintar adanya.
"Maksud Mas Kaman mereka akan menemui ajal?"
"Mereka datang mencari mati sendirii Mereka bakal mendapatkannya."
"Jangan Mas Kaman. Jangan dicelakai mereka..." kata Kintani memohon. Dia
memperhatikan sepasang mata pemuda itu. Sepasang mata itu tidak seperti dulu
lagi. Dulu ada cahaya lembut yang membuat Kintani merasa sejuk jika dipandang.
Saat ini dia menyaksikan betapa kedua mata itu laksana menyambarkan api yang
mengerikan. "Kalian diutus oleh Ketua Partai bukan?" tanya Kamandaka.
"Benar sekali. Syukur kalau Mas Kaman sudah menge-tahuinya."
"Apa saja perintah yang kalian jalankan?"
"Ketua dan juga guru kita meminta agar Mas Kaman kembali ke puncak Semeru..."
Kamandaka menyeringai. Dia menengadah ke langit
lalu tundukkan kepala dan meludah.
"Enak saja dia memerintah begitu. Mengapa dia tidak datang sendiri?"
"Mas Kaman jangan bicara begitu. Dia adalah Ketua dan guru kita!" ujar Kintani.
"Dulu memang aku pernah menganggap begitu. Menghormati dan mempercayainya
sebagai guru dan Ketua Partai. Tapi setelah kuketahui siapa dirinya, aku
bersumpah akan membunuhnya!"
"Mas Kaman, apa sesungguhnya yang terjadi dengan dirimu" Mengapa kau kini punya
jalan pikiran dan berucap seperti itu?"
"Tidak ada yang berubah dengan diriku..."
"Tapi kau melakukan pembunuhan. Kau menculik dan...
dan... mem..."
"Memperkosa!" sambung Kamandaka tidak sabaran.
"Katakan saja begitu! Itu sebabnya aku dicap sebagai murid murtad! Murtad!
Kamandaka si murid murtad!
Sungguh sedap didengar telinga! Ha.., ha... ha ...!"
"Mas Kaman, apakah kau bersedia ikut bersama kami kembali ke puncak Semeru?"
tanya Kintani. "Mau saja, Kintani. Tapi..."
"Tapi apa Mas Kaman?"
"Tak ada yang bakal membawa aku ke sana..."
"Kami, kami yang akan membawamu ke sana menemui guru," kata Kintani pula.
Kamandaka alias Tangan Halilintar tersenyum. "Kalian tak akan pernah kembali ke
Semeru. Itu sebabnya kukatakan tak akan ada yang membawaku ke sana!"
"Jadi Mas Kaman hendak membunuh kami" Saya adik seperguruanmu di dalam Partai.
Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu adalah Ketua-Ketua Cabang. Apa kau tega mem-bunuh
kami?" "Setan atau malaikatpun jika berseteru dan membenci-ku akan ku bunuh!" kata
Kamandaka. Perlahan-lahan dia turun dari batu, melangkah di air laut yang
dangkal meng-hampiri Kintani. Dulu-dulu jika didekati Kamandaka, Kintani selalu
merasakan dadanya berguncang keras. Tapi guncangan itu justru dirasakannya
sangat membahagia-kan. Kini didekati sambil dipandang tidak bersikap malah
membuat si gadis merasa ngeri. Kuduknya terasa dingin.
"Mas Kaman ...Banyak tokoh silat dari berbagai penjuru tengah mencari Mas Kaman.
Mereka semua punya niat untuk menghabisi Mas Kaman. Kalau Mas bisa kembali ke
Semeru dan minta ampun pada Ketua Gamar Senopati..."
"Minta ampun" Aku minta ampun pada tua bangka keparat itu" Justru dia yang harus
minta ampun padaku!"
"Mas Kaman, mengapa kau sampai berkata begitu?"
Kamandaka memegang bahu Kintani. "Ikut aku ke dalam goa. Jangan berani menolak!"
Kamandaka ulurkan tangannya. Kintani mundur ketakutan. Kamandaka kelihatan
jengkel. "Seharusnya begitu tadi aku melihatmu sangat layak aku segera
membunuhmu! Tapi aku sadar. Ada sesuatu dalam hatiku terhadapmu yang kurasakan
sejak dulu sampai saat ini."
Paras Kintani tampak kemerahan. "Kalau Mas Kaman masih mempunyai perasaan itu,
Mas Kaman harus mau meluluskan permintaan saya..."
"Permintaan apa?" tanya Kamandaka.
Wiro Sableng 062 Kamandaka Murid Murtad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan suara perlahan-lahan Kintani berkata.
"Kembali ke puncak Semeru. Jalani hidup yang lurus dan benar!"
Kamandaka tertawa. "Kau rupanya sudah jadi seorang Pendeta atau seorang Ustad
atau seorang Resi. Huh!"
Dipegangnya lengan Kintani erat-erai lalu ditariknya ke mulut lobang. "Ikut
aku!" "Tidak! Jangan..." pekik Kintani. Keduanya saling tarik menarik. Tapi Kintani
kalah kuat. Selangkah demi selang-kah dia terseret ke arah lobang di gundukan
batu. Di depan lobang Kamandaka hentikan tarikannya. Pandangan kedua matanya
sesaat tampak mesra. Kintani jadi luluh. Ketika pemuda itu melingkarkan kedua
tangannya di punggung, memeluknya, si gadis tidak kuasa menolak. Dia memang
sudah lama menyukal Kamandaka. Tiada disadarinya dia sengaja merebahkan
kepalanya di dada Kamandaka.
"Kau mencintai diriku Kintani. Aku tahu..." bisik Kamandaka seraya membelai
rambut gadis itu. "Kau akan tinggal di sini. Kita hidup sebagai suami istri. Kau
dan aku akan bahagia. Ha ...ha...ha..."
"Dia gila berkata begitu..." kata Kintani dalam hati lalu menjauhkan kepalanya
dari dada si pemuda dan melepaskan pelukan Kamandaka. "Jika Mas. Kaman mau
kembali ke puncak Semeru, jika Ketua Partai merestui, baru saya bersedia menjadi
istri Mas Kaman..."
"Kurang ajar! Tidak ada yang bisa mengatur diriku! Juga tidak kau!" teriak
Kamandaka. Tangan kanannya diangkat ke atas. Kintani melihat bagaimana tangan
itu sampai ke lengan menjadi sangat hitam. Ketika tangan itu dipukulkan ke batu,
tak ampun lagi setengah dari gundukan batu besar di laut dangkal itu menjadi
hancur berantakan.
Akibatnya lobang yang di batu menjadi tambah besar.
"Pukulan Halilintar..." membatin Kintani dengan wajah pucat. Selagi dia terdiam
memandangi Kamandaka,
pemuda ini cepat menyambar pinggangnya. Si gadis dipanggulnya di bahu kiri lalu
dengan membungkuk-bungkuk dia memasuki lobang di batu itu. Kintani ingin
meronta, ingin melepaskan diri. Namun di dalam rasa takutnya ada pula bayangan
rasa bahagia. Bahagia karena setelah sekian lama baru kini dia dapat berjumpa
lagi dengan pemuda yang selama ini memang dicintainya dan juga diketahuinya
memiliki sifat aneh kalau tidak mau dikatakan seperti orang kurang waras. Ada
bayangan maut pada senyumnya. Ada kematian pada sinar matanya. Dengan perasaan
cinta kasih yang mereka miliki dapatkah dia me-rendam semua keburukan dan
kejahatan pemuda itu.
Dapatkah dia menguasai Kamandaka"
"Turunkan saya. Saya bisa berjalan sendiri..." kata Kintani.
"Aku masih kuat memanggulmu sampai ke ujung bumipun Kintani! Tapi jika kau mau
jalan sendirl dan berjanji tidak akan berbuat macammacam itu aku juga sukai"
Lalu Kamandaka turunkan gadis itu dari bahunya.
Begitu menginjak tanah Kintani jadi heran. Ternyata mereka kini bukan lagi
berada dalam sebuah goa atau terowongan, melainkan di alam terbuka. Di sebuah
tempat ketinggian yang ditumbuhi banyak pohon kelapa pendek serta penuh batu-
batu besar berwarna coklat kemerahan.
"Di mana kita ini Mas Kaman?" tanya Kintani.
"Inilah daerah kediamanku. Sebentar lagi kau akan melihat rumah kita. Kau dan
aku akan tinggal di sana sampai hari kiamat! Ha... ha...ha...!"
Kini rasa takut dalam diri Kintani melebihi rasa sukanya terhadap pemuda itu.
Dia coba mengingat-ingat. Waktu Kamandaka memanggulnya, pemuda itu melangkah
biasa tapi cepatnya sama seperti orang berlari. Dia dibawa memasuki lobang yang
bagian dalamnya berbentuk goa atau terowongan. Mula-mula terowongan ini menurun,
kemudian mendaki dan berputar. Putaran ini membalik ke belakang. Berarti kalau
sebelumnya mereka bergerak ke arah laut, kini dia dibawa membalik ke arah darat
setelah melewat sebuah lobang yang ditutupi dengan semak belukar. Sayup-sayup
Kintani mendengar suara deburan ombak pertanda bahwa tempat itu masih berada
dekat kawasan laut.
Kamandaka mendekat dan memegang tangan Kintani.
"Ikuti aku," kata pemuda ini. "Sebelum kita menuju ke rumah, aku harus melakukan
sesuatu dulu. Kau datang bersama dua binyawak bukan" Nah, kedua binyawak itu
harus kupersiangi lebih dulu!"
Kintani tahu sekali. Yang disebut Kamandaka dengan nama binyawak itu adalah
Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu. Membayangkan apa yang dimaksud dengan ucapan
mempersiangi yang dikatakan Kamandaka tadi, semakin dingin tengkuk Kintani.
Lengannya di tarik kuat-kuat. Dia dibawa melangkah cepat dan sesekali melompat
ke atas batu-batu besar. Aneh, jika dia melakukannya sendiri mungkin belum tentu
mampu. Tapi pegangan Kamandaka pada lengannya seperti menyalurkan suatu hawa
sakti hingga tubuhnya terasa lebih enteng dan dengan mudah dia mengikuti gerakan
pemuda itu. "Nah, itu dia dua ekor binyawak yang aku katakan padamu!" Tiba-tiba Kamandaka
berkata seraya menunjuk ke depan.
Kintani memandang ke arah yang ditunjuk. Di dekat sebuah batu besar dilihatnya
Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu tengah berdiri sambil memandang berkeliling.
"Binyawak busuk! Kalian mencariku"! Kalian tahu kalau berani muncul di sini
berarti sama saja mengantar nyawa?"
Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu terkejut. Mereka
cepat berpaling. Suara orang berseru itu terdengar cukup jauh. Tetapi begitu
suaranya sirap orangnya sudah berada di depan mereka. Dan bukan hanya sendirian!
Tapi bersama Kintani!
*** WIRO SABLENG KAMANDAKA SI MURID MURTAD
8 ANYA beberapa saat setelah Kamandaka alias
Tangan Halilintar membawa Kintani memasuki goa
HKranggan, dua sosok tubuh berkelebat di tepi pantai dari jurusan yang
berlawanan. Yang pertama adalah seorang kakek berpakaian serba hitam, bergelang bahar dan
kedua tangan dan kakinya. Dia datang dari jurusan barat. Di tepi pasir dia
berhenti sejenak. Matanya memperhatikan gundukan batu dengan lobang besar di
bagian tengahnya yang terletak beberapa tombak di sebelah depan.
"Pasti ini tempatnyal Hemm.... Kamandaka manusia bejat murtadl Akhirnya kutemui
juga sarangmu! Jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!" Habis berkata begitu
orang tua ini berkelebat. Dia melesat di atas air laksana terbang dan di lain
saat dia sudah berada di atas gundukan batu. Tanpa ragu-ragu dia segera hendak
memasuki lobang yang menjadi pintu goa. Namun ada sesuatu yang membentur sudut
matanya datang dari arah timur laksana seekor burung Rajawali.
Orang tua ini cepat berpaling. Dia merasakan ada angin menyambar. Dengan sigap
dia hendak memukul. Namun cepat tarik pulang serangannya ketika mengenali siapa
adanya orang yang ada di hadapannya.
"Hampir tiga bulan lalu aku meaemuimu di tempat pertemuan para tokoh silat. Kini
kau muncul di sini. Apa maksudmu datang ke tempat ini, Pendekar 212"!" tanya
orang tua berpakaian dan berdestar serba hitam.
Yang ditanya garuk-garuk kepala.
"Mungkin kita punya maksud yang sama, Datuk Alam Rajo Di Langit," Jawab Wiro
sambil menyeringai.
"Bagus kalau begitu. Ternyata kau memang benar termasuk manusia yang tidak
banyak bicara lebih suka berbuat! Tapi aku ingatkan satu hal padamu pendekar
muda!" "Heh, apa yang hendak kau peringatkan pada saya Datuk?"
"Jika kita menemui Kamandaka, ingat baik-baik. Hanya aku yang berhak turun
tangan! Kau jangan ikut campur!"
"Mengapa begitu?" tanya Wiro sambil kembali menggaruk-garuk kepalanya.
"Dia telah membunuh sahabatku Ki Pamilin. Dia juga telah merusak kehormatan anak
Ki Pamilin calon muridku!"
"Terserah saja padamu Datuk. Kalau kau yang ingin maju, biar aku jaga
muntahannya saja!" jawab Pendekar 212 Wiro Sabeleng.
Datuk Alam Rajo Di Langit masuk ke dalam goa. Wiro mengikuti dari belakang. Pada
saat bagian dalam goa yang berupa terowongan itu berputar membalik, Wiro
hentikan langkahnya. Otaknya bekerja. "Jika goa ini berputar dan ber balik ke
belakang, berarti siapa saja yang mengikutinya akan menuju kembali ke tepi
pantal. Ke arah daratan.
Lebih baik aku kembali dan menyelidiki bagian pantal yang ditutupi oleh bukit-,
bukit batu..."
"Hai! Kau mau ke mana" Mengapa kembali"!" Datuk Alam Rajo Di Langit berseru
ketika dilihatnya Wiro membalik langkah.
"Datuk jalanlah terusl Saya mau buang hajat kecil dulu!"
jawab Wiro. Begitu orang tua itu meneruskan perjalanannya, cepat-cepat Pendekar
212 melangkah menuju mulut goa.
Kita kembali pada kejadian saat Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu memasuki goa
Kranggan. Semakin jauh masuk ke dalam semakin tercium baunya hawa daratan. Goa
yang tadinya gelap redup kini perlahan-lahan menjadi terang.
Ada sinar di sebelah depan sana. Beberapa ratus langkah lagi berjalan akhirnya
mereka sampai di hadapan semak belukar rapat yang dari celahcelahnya merambas
cahaya matahari pagi.
Ki Rono Bayu singkapkan semak belukar dan pe-
pohonan kecil di depannya. Begitu semak belukar tersibak terkejutlah orang tua
ini. Ternyata di depan mereka terbentang satu kawasan bukit batu. Berarti dia
dan Ageng Sembodo kini berada di daratan!
"Tipuan sialanl" maki Ki Rono Bayu. Dia segera keluar dari dalam goa diikuti
Ageng Sembodo. Kawasan daerah berbatu-batu itu merupakan suatu
bukit besar dan tinggi. Dari keadaannya yang sunyi senyap Ki Rono Bayu bisa
menduga bahwa daerah ini jarang di datangi orang luar. Udara terasa sejuk
padahal masih dekat pantai.
"Sunyi-sunyi saja...." bisik Ageng Sembodo. Kesunyian ini menimbulkan rasa
tegang di dalam dirinya.
Saat itu kedua orang itu berada di dekat batu besar.
"Kita harus segera menyelidiki tempat ini. Aku merasa pasti ini kawasan yang
jadi markas atau tempat bersembunyinya Kamandaka."
"Perasaan kita sama. Mari kita mulai menyelidik!" jawab Ageng Sembodo.
Namun baru saja mereka hendak bergerak mendadak
ada suara membentak.
"Binyawak busuk! Kalian mencariku"! Kalian tahu kalau berani muncul di sini
berarti sama saja mengantar nyawa"!"
Dua orang Ketua Cabang Partai Semeru Raya itu cepat berpaling. Keduanya langsung
terkejut! Di hadapan mereka kini tegak Kamandaka. Dan dia tidak seorang diri.
Tapi bersama Kintani yang dicekalnya tangan kirinya!
"Kamandaka murid murtad penuh dosal Akhirnya kami temui juga kau!" kata Ageng
Sembodo setengah berteriak.
Lalu dilihatnya bagaimana Kamandaka memegang tangan gadis yang dicintainya. Maka
diapun kembali berteriak.
"Lepaskan peganganmu pada Kintani. Kintani lekas kemari!"
Si gadis tampak bingung sebaliknya Kamandaka keluarkan suara tertawa bergelak.
"Ageng Sembodo!" kata Kamandaka langsung menyebut nama. Mengingat usia yang
terpaut cukup jauh dan kedudukan Ageng Sembodo sebagai salah satu Ketua Cabang
Partai Smeru Raya, seharusnya Kamandaka memanggil lelaki itu secara lebih
hormat. Misalnya dengan panggilan Mas atau Kang Mas.
Hal ini sudah cukup membuat Ageng Sembodo tambah mendidih amarahnya.
"Dasar manusia tidak berbudi tidak punya peradatan!
Iblis! Lebih baik kau segera menyerahkan diri. Nyawamu masih bisa diperpanjang
sampai kau menghadapi Ketua Partai!"
"Budi dan peradatan hanya dipakai oleh orang-orang yang suka pamrih dan gila
hormat! Sama dengan dirimu!
Baru jadi Ketua Cabang mulut dan sikapmu seperti semua orang ini budakmu! Aku
sudah bersumpah untuk menyiangi tubuh kalianl Kalian akan kukembalikan ke puncak
Semeru tanpa kulit dan daging!"
Kamandaka angkat tangan kanannya sementara
tangan kiri masih memegangi Kintani. Matanya me-
mandang membara ke arah Ageng Sembodo.
"Tunggu dulu!" Ki Rono Bayu cepat membuka mulut.
"Kamandaka, kami datang membawa pesan dari Ketua Partai..."
"Aku tidak perduli kalian membawa pesan apa dan dari siapa. Pokoknya siapa yang
berani menginjakkan kaki di tempat ini harus mati!"
"Pesan yang kami bawa itu," kata Ki Rono Bayu meneruskan tanpa perdulikan
bentakan Kamandaka, "ialah membawamu kembali ke puncak Semeru guna menghadap
Ketua. Aku percaya, apapun dosa yang telah kau buat di masa lalu pasti Ketua mau
mempertimbangkan hukuman-nya secara adil!"
Kamandaka menyeringai. "Jadi kalian berdua tidak lebih dari pada dua kacung
pembawa pesani Manusia-manusla tolol! Mengapa tidak si Gamar Senopatri itu
sendiri yang datang menemuiku kemari!"
"Jangan menghina Ketua dan jangan keliwat mendesak, Kamandaka!" memperingatkan
Ki Rono Bayu yang tampak-nya mulai kesal.
"Kalian berdua begitu menghormati Ketua Partai Semeru itu! Kalian tidak tahu
siapa dia sebenarnya!
Manusia-manusia tolol yang senang ditipu!"
"Apa maksudmu dengan ucapan itu"!" Tanya Ageng Sembodo membentak.
"Kau tanyakan saja nanti pada jin laut tempat mayatmu akan kulemparkan!" jawab
Kamandaka. Dia menarik Kinanti ke belakang lalu melompat ke hadapan kedua orang
Ketua Cabang Partai itu. "Saat kalian untuk mati sudah dating!" katanya.
Ageng Sembodo tidak takut dan menganggap enteng
Kamandaka. Dia maju menyongsong gerakan lawan. Tapi KI Rono Bayu yang sudah
berpengalaman dan tahu betul kehebatan ilmu andalan Kamandaka cepat berkala.
"Sudahlah, mengapa kita harus ribut-ribut. Kamandaka bagaimanapun kami berdua
tidak mau bertindak sendiri sendiri. Kami tetap menghormatimu sebagal anak murid
Partai. Apalagi murid langsung dari Ketua. Banyak manfaat-nya jika kau mau ikut
sama-sama kami ke puncak
Semeru." "Kalau aku datang ke puncak Semeru, satu-satunya yang aku lakukan adalah
membunuh manusia keparat bernama Gamar Senopatri alias Dewa Tapak Sakti itu!"
Kamandaka mundur satu langkah. Kedua tangannya
diangkat ke atas dan perlahan-lahan disilang. Tapi dia belum merapal aji
kesaktian yang dimilikinya. Dia ingin menjajal kehebatan ilmu silat tangan
kosong kedua Ketua Cabang ini.
Didahului satu bentakan nyaring, Kamandaka me-
lompat. Kedua tangannya yang tadi disilang dibentangkan ke samping. Menggebuk ke
arah Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu Kedua serangan ini di arahkan ke
masingmasing kepala lawan.
Ageng Sembodo yang sejak tadi sudah tidak dapat menahan amarahnya balas
menghantam dengan tangan
kanannya ke arah Kamandaka sedang Ki Rono Bayu lebih bertindak hati-hati. Dia
tidak mau melakukan bentrokan melainkan menghindar ke samping dan setelah
membuat kuda-kuda kukuh dia baru membalas dengan satu sodokan ke arah ulu hati
Kamandaka. Tiba-tiba Kamandaka hentikan seluruh gerakannya.
Tubuhnya laksana seekor burung besar yang mengembangkan sayapnya.
Bukkki Bukkk! Jotosan Ki Rono Bayu menghantam ulu hati Kamandaka dengan keras. Begitu juga
pukulan Ageng Sembodo meng-hajar lengan kiri Kaman- ' daka. Tapi pemuda ini
sedikitpun tidak bergeming. Malah sambil menyeringai dia memperhatikan bagaimana
kedua penyerangnya mengerenyit kesakitan.
"Pukul lagi! Cari sasaran yang paling empuk!" ejek Kamandaka.
Maka kedua lawannyapun tanpa ampun melancarkan
gebukan bertubi-tubi ke kepala dan tubuhnya. Kamandaka masih menyeringai. Tiba-
tiba dia keluarkan suara bentakan dahsyat.
Sepasang kakinya membuat gerakan menggeser. Lutut ditekuk. Hantamannya yang
pertama mendarat di dada Ki Rono Bayu. Ketua Cabang Partai yang berusia lanjut
ini terpekik. Tubuhnya tersandar ke dinding batu. Dari mulutnya meleleh darah
kental. Tulung dadanya remuk melesak.
Dia mengalami kesulitan bernafas. Tapi semua ini seperti tidak dirasakannya.
"Manusia iblisl Murid murtad keparat!" kutuk Ki Rono Bayu. Dia berpaling pada
Ageng Sembodo dan anggukkan kepalanya seraya berbisik. "Pukulan Api Biru..."
Ageng Sembodo maklum apa yang dimaksud si orang
tua. Cepat dia kempiskan perut dan menghimpun seluruh tenaga dalam ke tangan
kanan. Kedua Ketua Cabang ini sambil menghimpun tenaga dalam hati merapal aji
kesaktian pukulan Api Biru. Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu saling memberi
isyarat dengan mata masingmasing.
Lalu didahului suara bentakan garang kedua Ketua Cabang Partai Semeru Raya ini
Wiro Sableng 062 Kamandaka Murid Murtad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pukulkan tangan kanan masingmasing. Dua larik sinar biru menderu laksana
lempengan besi panjang tipis. Siap menggunting dan memutuskan leher Kamandakal
"Pukulan Api Biru!" seru Kamandaka yang mengenali pukulan sakti itu. Kedua
tangannya segera diangkat. Dua lengan bersilang di depan mukanya dan dua lengan
ini segera berubah jadi hitam. Ketika kedua lengan bersilang ini dilepaskan dua
larik cahaya hitam berkiblat disertai suara meledak seperti suara halilintar
menyambar. Hawa panas menghampar. Dua larik sinar biru pukulan Ageng Sembodo dan
Ki Rono Bayu tenggelam dalam cahaya
hitam Pukulan Halilintar yang dilepaskan Kamandaka. Lalu ada dua suara letusan
susul menyusul. Pekik Ki Rono Bayu terdengar duluan. Tubuhnya terlempar jauh.
Sekujur badannya mulai dari kepala sampai ke kaki tampak memutih. Lalu anehnya
perlahan-lahan berubah jadi hitam gosong!
Kinanti tidak berani menyaksikan apa yang terjadi dengan orang tua Kedua Cabang
Partai wilayah Timur itu.
Dari mulutnya keluar jeritan ketika sinar hitam yang satu lagi menghantam ke
arah Ageng Sembodo.
"Mas Kaman! Jangan bunuh dia!" pekik Kinanti.
Teriakan Kinanti ini membuat kamandaka menarik
pulang tangannya. Sinar hitam Pukulan Halilintar meredup dan akhirnya lenyap
sama sekali. "Kau inginkan binyawak ini hidup, baik! Satu nyawa lolos tak jadi apa. Dia boleh
pergi agar bisa memberi tahu pada Gamar Senopatri apa yang terjadi di sini.
Aku...hek...!"
Ucapan Kamandaka terhenti. Satu pukulan menghantam dadanya! Ketika dia bicara
tadi kesempatan ini dipergunakan oleh Ageng Sembodo untuk melancarkan pukulan.
Pukulannya kulannya tepat menghantam dada Kaman-
daka. Pemuda ini tidak bergerak dari tempatnya walau memang ada rasa sakit
akibat pukulan itu.
Penasaran Ageng Sembodo lancarkan pukulan lagi
secara bertubi- tubi.
"Cukup!" seru Kamandaka tiba-tiba. Tangan kanannya dibabatkan dari samping kiri
ke kanan. Traakk! Traakkl Ageng Sembodo menjerit setinggi langit. Kedua
lengannya terkulai patah. Tubuhnya sampai terbungkuk-bungkuk menahan sakit.
Kamandaka tendang pantat
orang ini. "Kalau kau tidak lekas minggat dari sini, jangan kira aku tidak akan
membunuhmu. Sekalipun kekasihmu ini meminta aku tidak membunuhmu!"
Paras Kintani tampak menjadi merah oleh kata-kata terakhir Kamandaka itu.
"Kamandaka!" Ageng Sembodo berucap. "Hari ini aku mengaku kalah! Tapi ingat!
Lain waktu aku akan datang lagi untuk mengambil kepalamu!"
"Kacung Ketua Partal Semeru Raya!" kata Kamandaka seraya mencekal leher pakaian
Ageng Sembodo. "Katakan pada Ketuamu, jika dia punya nyali aku tunggu dirinya di
sini. Jika malam bulan purnama di muka dia tidak muncul sudah tiba saatnya aku
akan mencarinya untuk minta nyawa anjingnya! Nah sekarang pergi kau dari sinil"
Kamandaka tarik kuat-kuat leher pakaian lelaki itu lalu melemparkannya ke
dinding batu. Karena kedua lengannya patah dia sama sekali tidak mampu untuk
menahan dirinya terbanting ke batu. Ketika tubuhnya terbanting, mukanya ikut
menghantam batu hingga tulang hidungnya patah dan bibirnya pecah!
"Kintani, ikuti aku. Tinggalkan tempat ini."
Kintani melirik ke arah Kamandaka. Pemuda ini cepat berkata. "Kalau kau bergerak
satu langkah saja mengikutinya, akan kubunuh!" ancam Kamandaka. Mau tak mau
Kintani terpaksa hanya bisa tegak tak bergerak.
"Manusia keparat! Aku bersumpah akan mem-
bunuhmu!" kutuk Ageng Sembodo. Dia memandang sesaat pada mayat Ki Rono Bayu.
Ingin dia membawa pergi mayat yang gosong hitam itu. Namun dalam keadaan kedua
tangannya lumpuh cidera begitu rupa di mana berjalan sajapun dia mengalami
kesulitan dan rasa sakit, mana mungkin dia mendukung atau memanggulnya.
Tersaruk-saruk dia tinggalkan tempat itu.
*** WIRO SABLENG KAMANDAKA SI MURID MURTAD
9 AMANDAKA membawa Kintani ke puncak bukit batu
paling tinggi. Sampai di atas Kintani melihat sebuah Kbangunan yang bagian
depannya berbentuk sebuah
goa besar namun atapnya ditata seperti atap bangunan kayu. Keadaan di sebelah
dalam dan bagian luarnya serba bersih. Ada bau wewangian keluar dari arah goa
batu itu. "Ini rumah kita!" kata Kamandaka seraya tangannya kembali memegang lengan si
gadis. Kintani diam saja.
"Kau akan tinggal di sini bersamaku, Kintani."
Baru saja Kamandaka berkata begitu dari dalam goa keluar dua orang perempuan.
Yang satu masih sangat muda. Menurut taksiran Kintani usianya sekitar delapan
belas tahun. Satunya lagi lebih tua namun jelas belum mencapai dua puluh lima
tahun. Keduanya memiliki wajah cantik. Yang membuat darah Kintani tersirap ialah
cara kedua perempuan itu berpakaian. Apa yang mereka kenakan tidak bisa disebut
pakaian karena bagian-bagian tubuh mereka hampir tidak terlindung. Bahkan bagian
dada dan bawah perut tersingkap menusuk pemandangan.
"Mas Kamandaka! Kami kira kau akan pergi lama.
Ternyata sudah pulang!" Perempuan yang muda berucap.
Lalu keduanya hentikan langkah ketika melihat Kamandaka ternyata tidak sendiri.
Bayangan rasa cemburu jelas terlihat diwajah kedua perempuan itu.
"Siapa mereka?" tanya Kintani berbisik.
"Kekasih-kekasihku," sahut Kamandaka. "Tapi mulai sekarang tidak lagi." Lalu
pada kedua perempuan itu Kamandaka berkada. "Saat ini juga kalian boleh pergi
dari sini. Jangan coba kembali!"
Dua perempuan itu tampak terkejut besar.
"Mas..." Mengapa tiba-tiba kau mengambil keputusan begitu?" tanya perempuan yang
tua. "Saya tahu!" menyahuti yang muda sambil melirik pada Kintani. "Mas Kamandaka
telah mendapat seorang kekasih baru yang lebih cantik dari kami!"
"Kalau sudah tahu mengapa tidak segera minggat"!"
ujar Kamandaka melotot.
"Kami... kami bersedia membagi tempat bersama dia!"
berkata perempuan yang muda.
"Di sini tidak ada tempat lagi bagi kalian berdua. Lekas pergi!"
"Mas Kaman, sebaiknya biar saya yang pergi!" kata Kintani pula. Lalu cepat dia
membalikkan diri. Tapi Kamandaka lebih cepat lagi menjambak rambut gadis itu dan
mendorongnya ke dalam rumah batu. Pemuda ini kemudian berpaling pada dua orang
kekasihnya. "Kalau kalian tidak mau pergi jangan menyesal kalau wajah kalian akan kurusak
dan kuubah jadi wajah setan!"
Mendengar hal ini keduanya jadi ketakutan. Setelah berpandangan sebentar mereka
cepat-cepat tinggalkan tempat itu di iringi gelak tawa Kamandaka. Puas tertawa
Kamandaka kembali mendekati Kintani. "Sekarang saatnya kita bersenang-senang.
Iblis Gila Pembangkit Arwah 2 Pendekar Naga Putih 72 Pertarungan Dua Naga Penghuni Lembah Malaikat 2