Kamandaka Murid Murtad 3
Wiro Sableng 062 Kamandaka Murid Murtad Bagian 3
Mari masuk ke dalam."
"Bersenang-senang bagaimana maksud Mas Kaman?"
"Jangan pura-pura tidak tahu Kintani. Kau tahu aku suka padamu dan kau
mencintaiku! Dua orang yang bercinta apapun bisa dilakukan! Bukankah kita
sekarang merupakan sepasang suami istri?"
Paras Kintani jadi berubah pusat. "Saya.. saya tidak keberatan menjadi istri Mas
Kaman. Asalkan kita menghadap, guru dulu. hanya dia yang bisa mewakilkan kedua
orang tua kita yang sudah tiada untuk menikahkan kita."
"Kawin pakai nikah segala kuno!" kata Kamandaka.
Ditariknya tangan Kintani. Gadis itu setengah diseret masuk ke bagian dalam
bangunan batu. Ternyata bangunan itu cukup luas. Di salah satu bagian terdapat
sebuah tempat tidur dari batu yang dilapisi tikar jerami lembut.
Kamandaka mendorong Kintani ke atas tempat tidur itu.
"Saya tidak mau Mas Kaman. Jangan lakukan itu pada saya!" kata Kintani pula.
"Jika bukan mencariku mengapa kau mau datang jauh-jauh kemari?"
"Mas Kaman tadi sudah mendengar ucapan Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu. Kami
diperintah Ketua..."
"Lupakan perintah itu!"
"Saya mohon kita segera pergi menemui Ketua agar semua persoalan selesai. Kalau
tidak seumur-umur Mas Kaman akan jadi orang buruan Partai."
Kamandakan tertawa gelak-gelak mendengar hal itu.
"Aku tidak mau bicara lagi tentang Ketua ataupun orang-orang Partai. Mereka
semua adalah calon-calon korbanku!
Mereka akan segera mampus!" Lalu Kamandaka berusaha memeluk dan menciumi gadis
itu. Kintani cepat menjauh seraya berkata. "Mas Kaman, jika kau betul sayang
padaku jangan perlakukan aku seperti ini...."
"Hmmm..." kedua mata Kamandaka berkilat-kilat memandang setiap bagian tubuh
Kintani. "Jangan buat aku kehilangan kesabaran Kintani." Pemuda itu kembali
mendekat. "Kalau Mas Kaman meneruskan perbuatan keji ini, saya terpaksa melawan. Lebih
baik saya mati berkelahi di tangan Mas Kaman dari pada dinodai!"
"Begitu" Aku mau lihat sampai di mana kehebatan murid Gamar Senopati yang satu
ini!" Habis berkata begitu Kamandaka lalu tanggalkan
pakaian yang melekat ditubuhnya. Kintani sampai terpekik menyaksikan hal itu dan
mencoba lari keluar. Tapi Kamandaka berhasil mengejar dan mendekapnya. Mau tak
mau Kintani segera menghantam dengan tangan dan kaki.
Dipukul ditendangi Kamandaka justru diam saja.
Bahkan tegak tolak pinggang. Dalam keadaan lawan bertelanjang bulat seperti itu
seperti tentu saja sulit bagi Kintani untuk menyerang karena dia sudah tidak
kuasa menghindari pandangan yang menusuk mata itu. Akhirnya dia kembali mencoba
tari. Namun lagi-lagi sial. Kali ini malah dia harus menerima tamparan dua kali
berturut-turut yang membuatnya terbanting ke lantai batu. Sebelum dia sempat
bangun Kamandaka telah menyergapnya.
Tangannya kiri kanan merobek pakaian yang dikenakan Kintani. Gadis ini menjerit
marah dan menyerang dengan kalap. Tetapi sia-sia belaka. Tingkat kepandaiannya
jauh di bawah Kamandaka. Ketika tenaganya terkuras habis di-tambah dengan
beberapa pukulan yang dihantamkan
Kamandaka ke tubuhnya, dia hanya bisa tegak tersandar ke dinding. Dia tidak
punya daya apa-apa lagi selain menangis ketika Kamandaka mendukung dan
membawanya ke atas tempat tidur batu.
Kamandaka menyeringai. Sekujur tubuhnya panas terbakar nafsu. Sama sekali tidak
ada rasa welas asih dalam dirinya padahal gadis itu adalah prang yang pernah di-
kasihinya dan balas menyayanginya. Sesaat lagi Kamandaka akan melakukan
perbuatan terkutuknya tiba-tiba satu bayangan berkelebat masuk dan satu bentakan
meng-guntur di dalam ruangan batu itu!
"Laknat terkutuk! Memang kau ternyata manusia keji biadab! Kau membunuh
sahabatku! Kau memperkosa
calon muridku! Sekarang aden datang untuk mengirimmu ke liang narako!"
Kamandaka melompat dari atas tubuh Kintani. Di
hadapannya tegak seorang tua berpakaian dan berdestar hitam. Sepasang matanya
laksana kilatan api. Kamandaka tidak kenal orang ini. Dari pakaian serta bentuk
destarnya jelas dia bukan orang Jawa. Dari logat bicaranya dia jelas orang
seberang. "Ucapanmu seperti malaikat! Tapi kulihat tampangmu seperti setan!" kata
Kamandaka mengejek.
Orang tua di depannya tertawa pendek. "Orang mau mampus memang suka bicara
ngacok!" katanya. "Coba den lihat dulu jantungmu!" Si orang tua bergerak
sedikit. Tapi tahu-tahu tangan kanannya sudah melesat ke arah dada kiri
Kamandaka. Jari-jari tangan membuat gerakan me-ngeruk. Si pemuda terkejut dan
cepat berkelit. Serangan lawan menghantam dinding batu. Terdengar suara batu
lebur. Berpaling ke kiri Kamandaka melihat bagalmana serangan berupa cengkeraman
orang tua berpakaian hitam itu meremukkan dinding batu hingga di dinding itu
kini tampak lobang sedalam seperempat jengkal!
Kamandaka sadar kalau terlambat saja tadi dia
menghindar jantungnya pasti benar-benar bisa dicongkel lawan berdestar hitam
bergelang bahar itu! Meskipun demikian dia tidak takut. Sambil menyeringai
Kamandaka maju mendekati. Kedua lengannya disilangkan di depan dada tapi dia
masih belum mau merapal aji kesaktian Halilintar. Didahului oleh suara seperti
harimau meng-gereng Kamandaka melompati lawannya. Kedua tangannya dipukulkan
serentak. Si orang tua yang adalah Datuk Alam Rajo Di Langit terkejut ketika
merasakan dua larik angin yang menyambar bukan olah-olah dahsyatnya. Bukan saja
pakaian hitamnya tapi sekujur tubuhnyapun ikut bergetar.
Kedua lututnya menjadi goyah. Cepat tokoh silat dari Andalas ini rubah kuda-kuda
kedua kakinya. Tubuhnya merunduk Begitu dua angin pukulan lewat, kaki kanannya
melesat ke atas setinggi dua tombak, menghantam rahang kanan Kamandaka dengan
tepat. Selagi Kamandaka terpental ke dinding lalu melosoh ke lantai batu, kesempatan
ini dipergunakan oleh Kintani untuk melarikan diri. Sambil melompat dari atas
tempat tidur batu dia masih sempat menyambar pakaiannya. Di luar sadar dia lari
keluar bangunan batu dalam keadaan masih bertelanjang bulat!
Meskipun tendangan Datuk Alam Rajo Di Langit
sanggup membuatnya mental dan jatuh ke pantai namun Kamandaka sama sekali tidak
cidera. Bahkan rasa
sakitpun hampir tidak terasa karena terlindung oleh kesaktian yang dimilikinya.
Ketika dia tegak kembali di hadapan sang Datuk,
sepasang matanya tampak beringas ganas.
"Anjing tua. Bersiaplah untuk mampus!"
" Kanciang! Binatang! Waang yang akan mampus lebih dulu!" teriak Datuk Alam Rajo
Di Langit. Lalu tangan kanan dipukulkan ke depan. Ada angin kelabu menyambar,
menebar bau aneh. Jika lawan sempat menghisap bau aneh itu tubuhnya serta merta
akan jadi lemas dan jatuh tak berdaya. Kamandaka sudah maklum bahaya pukulan
lawan itu. Dengan cepat dia menyilangkan kedua lengannya dan merapal aji
kesaktian Pukulan Halilintar hingga sepasang lengan itu menjadi hitam. Begitu
lengan yang bersilang dibuka serta dipukulkan ke depan, terdengar suara
menggelegar seperti halilintar menyambar. Ruangan batu itu seperti hendak
runtuh! Hawa panas menghampar dan dua larik sinar hitam menderu ganas,
menyambung dan meneggelamkan sinar kelabu pukulan Datuk Alam Rajo Di Langit.
Orang tua ini terdengar menggerung keras.
Tubuhnya terpelanting ke luar bangunan, jatuh melingkar di atas gundukan batu
berlumut. Sesaat tubuh itu tampak memutih lalu berubah hitam mengepulkan asap
mengerikan. Kamandaka bergegas keluar dari banguanan batu.
Kintani tidak kelihatan. Pemuda ini menyumpah dalam hati. Dia melangkah mendekat
mayat Datuk Alam lalu ditendangnya hingga tubuh hitarn gosong itu terpental dan
bergulingan ke bawah bukit batu.
Kamandaka melompat dari satu batu ke batu lainnya.
Di satu tempat yang ke tinggian dia melihat dua sosok tubuh dibalik pepohonan
dan berbatu. Secepat kilat dia bergerak ke arah sana.
*** WIRO SABLENG KAMANDAKA SI MURID MURTAD
10 ARENA tidak mengikuti terowongan, Pendekar 212
Wiro Sableng sampai lebih dulu dari Datuk Alam
KRajo Di Langit. Namun sebelum naik ke puncak
bukit di mana tempat kediaman Kamandaka alias
Pendekar Tangan Halilintar terletak, di salah satu lereng murid Eyang Sinto
Gendeng itu melihat dua orang
perempuan berlari dari atas' bukit. Walau heran melihat ada dua orang perempuan
turun dari atas bukit, sebenarnya Wiro tidak; mau perduli. Namun dia jadi
tertarik sewaktu menyaksikan bagaimana pakaian yang dikenakan kedua perempuan
itu sama sekali tidak dapat dikatakan pakaian. Karena hampir tidak satu bagian
tubuh merekapun yang tertutup utuh oleh pakalan itu!
Wiro cepat memintas dan menghadang dekat sebuah
batu besar. "Hai!" serunya. "Kalian ini bidadari yang turun dari langit atau setan-setan
penunggu bukit batu ini yang tengah mencari tempat untuk buang hajat!"
Dua orang gadis terkejut. Sambil berpegangan mereka hentikan lari. Melihat yang
menegur ternyata seorang pemuda berambut gondrong yang tampangnya cakap-cakap
konyol, rasa kejut mereka jadi sirna. Yang tua berbisik pada kawannya.
"Boleh juga yang satu ini..."
"Aku lebih suka dia dari pada Kamandaka keparat itu!"
bisik yang muda.
"Kenapa bicara sendiri dan tidak menjawab?" tanya Wiro. Sambil menahan tawa yang
tua berkata. "Mulutmu enak saja kalau bicaral Kami tidak tahu kalau di sini ada
bidadari. Juga tidak tahu kalau bukit batu ini ada setan penunggunya! Tapi yang
jelas di atas sana ada iblis doyan perempuan. Kalau sudah bosan dan dapat yang
baru yang lama ditendangnya!"
"Tadi kudengar kalian berbisik menyebut nama seseorang. Kamandaka... Benar"!"
Dua perempuan itu mengangguk.
"Dia ada di atas sana" Kediamannya di atas sana"!"
Dua yang ditanya lagi-lagi mengangguk.
"Kalau begitu aku harus segera menuju ke sana," kata Wiro pula.
"Tunggu dulu!" Perempuan yang tua berkata. "Jangan berani-beranian naik ke atas
puncak bukit. Kami saja hendak dilemparkannya. Apalagi kau! Manusia penghuni
puncak bukit itu aneh dan luar biasa jahatnya. Dia bisa bercinta suatu ketika
tapi di lain saat dia bisa membunuh seorang gadis cantik tanpa berkesip. Kami
hampir saja jadi korbannya!"
Yang muda cepat menyambung. "Dari pada pergi ke atas sana, lebih baik turun
bersama kami. Aku suka saja kau mau bawa ke mana!"
"Aku juga!" kata perempuan yang satu lagi.
Pendekar 212 jadi garuk-garuk kepala. Dia harus meng-akui kedua perempuan itu
berparas cantik dan bagian-bagian tubuhnya yang tersingkap sangat menggiurkan.
"Kalau kuikuti rayuan mereka, urusanku bisa kapiran!"
membatin murid, Sinto Gendeng. "Begini saja," katanya.
"Tunggu aku di kaki bukit! Kalau orang di atas sana tidak membunuhku, aku pasti
akan menemui kalian!"
"Siapa sudi menunggu datangnya mayat!" jawab perempuan yang tua karena dia sudah
merasa pasti Wiro akan dibunuh oleh Kamandaka. Tak ada seorangpun yang boleh
menginjak tempat kediamannya. Kedua perempuan itu cepat tinggalkan tempat itu.
Wiro pandangi mereka dari belakang sambil membasahi bibir dengan ujung lidah dan
geleng-geleng kepala.
Belum lama dia meneruskan menaiki bukit batu itu tiba-tiba dia melihat lagi
seorang perempuan dengan rambut tergerai lepas lari dari atas puncak bukit.
Sinar matahari membuat tubuhnya yang tanpa pakaian seperti berkiiau-kilau. Dia
lari sambil membawa pakaian.
"Aneh, ada lagi seorang perempuan turun dari atas bukit. Yang satu ini malah
telanjang polos!" Ketika perempuan itu menyelinap lenyap di balik sebuah batu
besar, Pendekar 212 cepat mendekati. Didapatinya di balik batu itu perempuan
tadi tengah mengenakan pakaian.
Ketika selesai dipakai ternyata pakaian itu robek-robek di beberapa tempat.
"Siapa pula yang satu ini?" pikir Wiro lalu dia mendehem keras-keras.
Gadis di balik batu tersentak kaget. Ketika dilihatnya pemuda gondrong itu
mendatangi sambil tersenyum-senyum dia menjadi curiga dan marah.
"Pemuda kurang ajar! Kau mengintai orang berpakaian!"
"Maaf Saudari. Jangan salahkan aku kalau sampai berada di tempat ini. Kalau
tidak ada sesuatu yang luar biasa mengapa tadi kau kulihat lari tanpa pakaian"
Lalu mengapa berpakaian di tempat terbuka ini dan mengapa pakaian yang kau
kenakan robek-robek" Siapa kau
Saudari" Apa yang terjadi dengan dirimu" Tadipun aku melihat ada dua orang
perempuan lari dari atas bukit dengan pakaian tidak senonoh!"
Karena orang bicara dengan baik dan mengatakan apa adanya, perempuan itu yang
bukan lain adalah Kintani jadi mengendur amarahnya. "Aku Kintani, anak murid
Partai Semeru Raya."
"Berarti kau adalah saudara seperguruan dengan orang bernama Kamandaka itu!"
"Ya, tidak salah. Orangnya ada di atas bukit batu sana.
Baru saja dia membunuh salah seorang Ketua Cabang Partai. Saat ini dia tengah
berkelahi melawan seorang tua berpakaian serba hitam."
Secara singat Kintani lalu menerangkan apa yang dialaminya, mulai dari saat dia
disergap oleh Kamandaka di depan mulut goa Kranggan.
"Ah, pasti Datuk Alam yang tengah dihadapinya..." kata Wiro. Dia segera hendak
tinggalkan gadis itu.
"Tunggu," kata Kintani. "Kalau kau tidak keberatan, pinjami aku pakaianmu..."
Wiro garuk-garuk kepalanya tapi ditanggalkannya juga pakaiannya. Lalu
diberikannya pada Kintani. Si gadis segera mengenakan pakaian itu. Karena
pakaian itu lebih besar dari tubuhnya, dirinya terlindung sampai ke lutut.
"Terima kasih. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu ini." Lalu tanpa menunggu
lebih lama gadis itu segera tinggalkan tempat itu.
Kembali murid Sinto Gendeng geleng-geleng kepala.
Dalam hati dia berkata. "Besar nian rejekiku hari ini. Melihat tiga perempuan
cantik. Dua hampir telanjang. Yang satu barusan benar-benar telanjang!"
Ketika Kamandaka sampai di balik batu, Kintani telah berlalu sedang Wiro juga
telah berkelebat menuju puncak bukit.
"Sialan!" maki Kamandaka. Dia harus memilih, mengejar Kintani atau menyusul
pemuda tak dikenal yang lari ke arah tempat kediamannya. Kamandaka memilih yang
terakhir. Tapi dia tidak langsung mengejar melainkan menguntit dari belakang.
Walaupun tingkat ke.pandaian Kamandaka sungguh luar biasa, namun sepasang
telinga Pendekar 212 se-rta nalurinya tidak bisa ditipu.
Memang murid Sinto Gendeng ini tidak mau berpaling.
Namun dia maklum kalau ada seseorang menguntitnya di sebelah belakang.
Wiro kerenyitkan kening sewaktu sampal di depan
rumah aneh yang keseluruhannya dibuat dari batu itu dan menjadi satu dengan
dinding batu besar di puncak bukit.
Hidungnya kemudian mencium bau seperti daging terbakar. Dia memandang
berkeliling. Pandangannya kemudian terpaku pada sesosok tubuh hitam gosong,
menggeletak di antara dua celah batu besar. Dia lantas ingat pada kematian yang
sama dialami oleh Ki Pamilin, ayah gadis bernama Mintari dulu.
"Korban keganasan Tangan Halilintar!" kata Wiro dalam hati. "Jangan-jangan ini
mayatnya Datuk Alam, tokoh silat dari pulau Andalas itu!" Wiro merasakan
tengkuknya menjadi dingin. Dia lalu melangkah menuju bagian depan bangunan batu.
Baru saja dia hendak melangkah masuk, sesiur angin menerpa dari samping.
"Hemmm...Si penguntit mulai menyerang. Aku yakin dia pasti si Kamandaka keparat
itu1" Tanpa berpaling Pendekar 212 lepaskam pukulan
Tameng sakti menerpa hujan. Pukulan jarak jauh yang menghantam ke arahnya
terpental ke atas. Tiba-tiba ada bayangan orang berkelebat lalu menyusul deru
angin deras sekali.
Wiro alirkan sebagian tenaga dalamnya ke tangan
kanan lalu memukul ke depan.
Bukkk! Dua lengan beradu keras.
Murid Sinto Gendeng keluarkan seruan tertahan. Batu yang dipijaknya laksana
amblas dan tubuhnya mencelat sampai dua tombak, terbanting ke sebuah batu besar.
Tangan kanannya mendenyut sakit. Ketika diperhatikan lengannya yang tadi beradu
keras dengan lengan si pemukul tampak bengkak kemerahan. Luar biasa! Belum
pernah Pendekar 212 bentrokan dan langsung cidera seperti itu. Sewaktu dia
memandang ke depan seorang pemuda berwajah cakap tapl menyunggingkan senyum maut
Wiro Sableng 062 Kamandaka Murid Murtad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tegak di depannya. Celakanya manusia ini sama sekali tidak mengenakan pakaian!
Wiro usap-usap lengannya yang cidera. "Heran, apa di bukit batu ini semua orang
harus tidak pakai pakaian!"
kata Wiro dalam hati.
"Hemmmm... Ternyata Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!" kata pemuda di depan
Wiro. "Sialan! Bagaimana kunyuk ini mengenaliku!" tanya Wiro dalam hati. Dia lupa saat
itu dia sama sekali tidak mengenakan baju hingga rajah 212 yang ada di dadanya
terlihat dengan jelas.
"Nama besarmu menggetarkan delapan penjuru angina!
Kau memang salah seorang tokoh silat yang aku cari! Kau beruntung masuk dalam
daftar kematianku, Pendekar 212! Tapi sebelum mati aku ingin melihat pukulan
saktimu yang bernama pukulan sinar matahari itu!" Habis berkata begitu Kamandaka
tertawa gelak- gelak.
Murid Sinto Gendeng balas tertawa tak kalah kerasnya.
"Tadi malam aku bermimpi!" katanya sambil cengar-cengir. "Aku melihat kau
terbang ke langit. Kepala ke bawah dan pantat menungging ke atas.
Ada sederetan dibadari menunggumu di lapisan langit pertama. Namun pengawal
penjaga bidadari mengusirmu karena kau datang bertelanjang bulat seperti ini.
Memalukan! Dan yang menjijikkan, menurut pengawal kau datang sehabis berak belum
sempat cebok alias ngepet!
Ha...ha...ha...ha...!"
"Jahanam, berani kau mempermainkan aku!" terlak Kamandaka marah. "Tunggu aku di
sini. Jangan berani pergi!" Lalu Kamandaka berkelebat masuk ke dalam bangunan
batu. Tak lama kemudian dia keluar lagi telah mengenakan pakalan biru dan kain
pengikat kepala yang juga berwarna biru.
"Ah, ternyata kau tidak jelek-jelek amat!" Wiro sambut kedatangan Kamandaka
dengan ejekan itu. "Tapi di balik tampangmu yang cakap aku melihat bayangan
iblis. Bayangan mahluk berhati seribu keji seribu jahat!"
"Jahanam! Jangan pidato! Keluarkan pukulan sinar mataharimu!" teriak Kamandaka.
Wiro tenang saja. Diam-diam dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Dia tahu apa
maksud lawan menantang-nya. Kalau dia melepaskan pukulan Sinar Matahari, pasti
Kamandaka akan mengeluarkan pukulan Halilintar. Wiro maju dua langkah. Dia masih
penasaran karena dalam gembrakan pertama tadi sudah kena diciderai lawan. Maka
diapun berkata. "Menurut Ketua Partai Semeru Raya, kau bukan saja seorang murid
murtad, tapi juga bodoh! Selagi digembleng di puncak Semeru katanya kau
merupakan murid paling bodoh, tapi sombong besar kepala. Apa betul begitu
sobat?" "Anjing kurap! Aku bukan sobatmu!" teriak Kamandaka.
"Lihat serangan! Kau akan lihat apa aku benar-benar seorang bodoh!"
Belum lagi selesal ucapan itu dua jotosan beruntun menderu ke arah dada dan
kepala Pendekar 212. Sekali ini karena sudah mengerahkan seluruh tenaga dalam
maka Wiro menangkis serangan lawan dengan pukulkan kedua lengannya ke atas.
Bukkkk! Bukkkk! Kalau tadi Pendekar 212 yang terpental dan berseru kesakitan maka kali ini
Kamandaka yang mencelat sampai dua tombak dan terduduk jatuh. Mukanya kelihatan
merah gelap menahan sakit dan amarah. Kedua tangannya seperti tanggal.
"Jahanam..." serapahnya. Kakinya ditekuk. Tubuhnya tiba-tiba melesat ke depan.
Serangan berantai yang dilancarkan pemuda ini sungguh berbahaya. Kedua tangannya
bukan saja menjotos dan memukul tetapi juga mencakar. Satu cakaran sempat
melukai dada kiri Pendekar 212. Tiga guratan dalam yang mengucurkan darah
terlihat di dada itu.
Diam-diam Wiro memuji kehebatan pemuda yang jadi lawannya ini. Belum pernah dia
digempur sehebat itu. Ilmu silat yang dipelajarinya dari Sinto Gendeng tidak
sanggup dipakai untuk bertahan. Terpaksa Wiro keluarkan ilmu silat orang gila
yang didapatnya dari Tua Gila di pulau Andalas.
Kamandaka menjadi heran dan juga kalap ketika
sepuluh jurus menggempur kini jangankan memukul atau menendang, menyentuh
lawanpun dia sepertl tidak
mampu! Padahal gerakan silat yang dilakukan Wiro seperti orang main-main,
seperti orang mabok! Malah dua tiga kali jotosan dan tendangan Wiro sempat
mampir di tubuhnya menimbulkan rasa sakit yang memanggang amarahnya.
"Jahanam! Baiknya kuhabisi pemuda keparat ini sekarang juga!" Pikir Kamandaka.
Lalu dia melompat ke atas sebuah batu. Kedua kaki direnggangkan. Mata menatap
tajam ke depan. Tampang membesi. Perlahan-lahan kedua tangannya diangkat ke
atas. Dua lengan saling ber-silangan. Mulut bergerak-gerak.
Di bawah sana Pendekar 212 melihat kedua lengan
lawan berubah menjadi hitam.
"Setan alas Itu hendak lepaskan pukulan Halilintar!"
kata Wiro dalam hati. Segera dia angkat tangan kirinya untuk membentengi diri
dengan pukulan benteng topan melanda samudera.
Tangan kanan digerakkan ke depan. Pada saat kedua lengan Kamandaka berubah
menjadi hitam, lengan kanan Wiro juga berubah memancarkan sinar putih perak
menyilaukan! Kamandaka menyeringai melihat hal itu. Ada semacam rasa senang dalam hatinya
untuk mencoba pukulan sakti setiap tokoh silat yang ditemuinya. Dia sudah lama
mendengar kehebatan pukulan Sinar Mataharl. Kali ini dia akan membuktikannya
sendiri. Dua lengan yang bersilang tiba-tiba dilepas. Serentak dengan Itu
terdengar suara seperti halilintar merobek udara. Dua larik sinar hitam
menggebubu ke arah Pendekar 212 membawa hawa panas luar biasa!
Tenang tapi ada juga rasa tegang di lubuk hatinya murid Eyang Sinto Gendeng
gerakkan tangan kiri. Pukulan benteng topan melanda samudera menderu membentengi
dirinya. Dari tangan kanan dia melepas pukulan sinar matahari. Sinar putih
menyilaukan seperti membelah langit. Udara sepanas di neraka.
Dentuman keras seperti gunung meletus laksana
hendak menghancur luluhkan bukit batu itu ketika sinar hitam yang keluar dari
tangan Kamandaka beradu dengan sinar putih pukulan sakti yang dilepaskan Wiro.
Masingmasing merasakan kedua kaki mereka bergetar hebat dan tubuh laksana
dipanggang api. Di udara sinar hitam dan sinar putih laksana dua ekor naga
mengamuk berkelahi bergulung-gulung.
Tiba-tiba Wiro merasakan kedua kakinya goyah dan dadanya sakit. Ini satu
pertanda bahwa pukulan Benteng Melanda Samudera dan pukulan Sinar Matahari tidak
mampu menahan hantaman pukulan Halilintar!
"Celaka!" teriak Wiro dalam hati. Terbayang di depan matanya tubuh Ki Pamilin
dan tubuh Datuk Alam yang menemui ajal menghitam gosong! Itulah rupanya nasib
yang bakal diterimanya saat itu!
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar suara perempuan berseru.
"Mas Kaman! Saya bersedia jadi istrimu asal, jangan bunuh pemuda itu!"
Kamandaka kenal betul suara itu. Suara Kintani.
Pemusatan pikirannya jadi terganggu. Hal ini dirasakan oleh Wiro karena lututnya
yang goyah kembali pulih.
Namun dia belum mampu menyelamatkan diri dari
tekanan pukulan sakti lawan. Di udara dilihatnya sinar putih pukulan Sinar
Matahari semakin redup tenggelam dalam sinar hitam pukulan Halilintar. Sesaat
sebelum sinar putih pukulan saktinya sirna, Pendekar 212 keluarkan seruan keras.
Tubuhnya melayang ke bawah bukit, berlindung di balik sebuah batu besar. Wuss!
Pukulan Halilintar menderu. Batu besar tempat Wiro berlindung kelihatan mengepul
putih lalu berubah menjadi hitam dan perlahan-lahan hancur rontok. Tubuh
Pendekar 212 selamat dari serangan maut itu namun dirinya terpental jauh terkena
hempasan angin pukulan. Wiro terguling-guling ke bawah bukit. Sekujur tubuhnya
memar. Di keningnya ada luka yang mengucurkan darah. Dadanya mendenyut sakit seperti
dihimpit batu besar. Dari mulutnya meleleh darah. Dia terhempas di kaki bukit
batu dalam keadaan setengah pingsan setengah sadar. Samar-samar dilihatnya ada
seseorang berlari ke arahnya, bersimpuh di sampingnya dan meletakkan kepalanya
di atas pangkuan-nya. Lalu dia melihat bayangan lain di sampingnya.
Menyusul suara orang tertawa cekikikan.
"Anak setan!" Ada suara memanggil memaki. "Itulah akibat kalau malang melintang
terus-terusan. Tak pernah muncul untuk minta tambahan ilmu. Ilmu kesaktian
manusia sudah semakin tinggi. Sudah bertambah! Ilmumu ltu ke itu juga! Sekarang
kau rasakan sendiri bagaimana rasanya babak belur di hantam orang! Hik.., hik...
hik!" Di dunia ini hanya ada satu orang yang memanggil dirinya dengan sebutan "anak
setan". Orang itu adalah gurunya sendiri. Eyang Sinto Gendeng. Seperti mendapat
satu kekuatan, Wiro bangkit dari haribaan orang yang me-mangkunya. Orang yang
memangku berkata. "Tidur saja.
Kau terluka di dalam cukup parah!"
Wiro tidak perdulikan. Dia mengenali itu adalah suara Kintani gadis yang
dipinjaminya baju. Dia tetap bangklt bahkan berdiri. Dia memandang ke depan.
Benar, memang dia. Gurunya! Perlahan-lahan Wiro jatuhkan diri berlutut.
"Eyang, maafkan muridmu yang selama ini tidak pernah meminta petunjukmu! Soalnya
murid tidak mau menyusah-kan Eyang..."
"Ah, itu kan cuma ucapan seseorang yang pura-pura menyesal! Sudah tutup dulu
mulutmu!" Nenek tua di depan Pendekar 212 menjejalkan sesuatu ke dalam mulut
Wiro. "Telan cepat kalau kowe masih mau hidup!" katanya. Obat sebesar jempol kaki itu
dengan susah payah ditelan juga oleh Wiro. Kintani kemudian menopang
punggungnya, menyeka darah di mulutnya. Wajah Wiro yang tadl pucat kini tampak
mulai segar kembali. Perlahan-lahan dia berdiri.
"Nah kowe sudah sembuh! Ayo ikut aku ke puncak bukit! Ada tontonan menarik yang
bakal kita saksikan!"
kata Eyang Sinto Gendeng pula. Dia berpaling ke kiri. Di situ tegak seorang
gadis jelita, berambut diikat buntut kuda. "Kau sudah siap Mintari" Tabahkan
hatimul" Gadis itu ternyata adalah Mintari, anak Ki Pamilin yang bergelar Tangan Baja. Si
gadis menatap ke arah Wiro, pemuda yang dulu menolongnya.
"Heran, bagaimana dia bisa muncul bersama Eyang?"
Who bertanya dalam hati.
Sinto Gendeng maklum apa yang ada di benak . Wiro.
Maka diapun berkata. "Saat, ini dia bisa kau anggap sebagai adik seperguruanmu,
Wiro. Kalau urusannya nanti sudah selesai dia kembali ke asalnya. Bukan saudara
seperguruanmu lagi karena dia memang tak pernah kuangkat sebagai murid!"
"Saya tidak mengerti Eyang..."
"Nanti kowe juga bakal mengertil" jawab Sinto Gendeng.
Di kejauhan tampak ada empat orang naik ke puncak bukit batu. Gerakan mereka
sebat dan cepat.
"Tontonan menarik akan segera mulal. Ayo ikut aku ke puncak bukit!" kata Sinto
Gendeng. Keempat orang itu segera naik ke puncak bukit batu. Kintani dan Mintari
sengaja mengapit Wiro yang keadaannya masih agak lemah.
*** WIRO SABLENG KAMANDAKA SI MURID MURTAD
11 I PUNCAK gunung Semeru pagi itu Ketua Partal
Gamar Senopatri yang bergelar Dewa Tapak Sakti
Dduduk dikelilingi oleh Rana Tumalaya Ketua cabang wilayah Barat dan Ageng Seto
Cabang wilayah Utara. Lalu ada dua orang murid Partai yang tingkat kepandaiannya
hampir mendekati para Ketua Cabang.
"Malam tadi saya bermimpi. Ada dua ekor burung merpati jatuh di pangkuan saya.
Yang satu tidak bernafas lagi. Mati. Yang satunya megap-megap. Kedua sayapnya
patah dan kepalanya terluka. Merpati satu ini akhirnya mati di pangkuan saya."
Sang Ketua diam sesaat lalu meneruskan bicaranya.
"Saya bukan orang yang percaya pada mimpi. Namun setiap mimpi mempunyal takbir
dan maknanya sendiri-sendirl. Dua saudara kita Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu
sudah seminggu meninggalkan kita. Saya menaruh kawatir, mimpi tadi malam
merupakan pertanda buruk bagi kita. Jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan
mereka..."
"Kalau Ketua mengizinkan, saya akan turun gunung untuk menyelidik," berkata
Ageng Seto. Lama Ketua Partai Semeru Raya itu terdiam. Akhirnya dia berkata. "Saat ini saya
merasa harus pergi ke goa Kranggan di Selatan. Bukan saja untuk mencari tahu
keadaan dua Ketua Cabang itu, juga untuk langsung mencari Kamandaka murid sesat
dan murtad itu."
"Saya akan mendampingi Ketua," kata Ageng Seto pula.
"Saya jugal" kata Rana Tumalaya.
Dua anak murtad murid tingkat tinggi yang ada di situ mengatakan hal yang sama
pula. "Tidak semua bisa pergi. Harus ada yang menunggu d!
sini guna mengurus segala sesuatunya," kata Gamar Senopatri pula. Dia berpaling
pada Ageng Seto. "Kau punya kepentingan lebih besar untuk Ikut bersama saya. Kau
harus tahu apa yang terjadi dengan adikmu Ageng
Sembodo." "Terima kasih atas kepercayaan Ketua membawa saya,"
Ageng Seto merasa gembira.
"Kalian berdua juga ikut saya," kata Ketua Partai se-lanjutnya seraya
menggoyangkan kepala pada dua anak murid Partai. Kedua orang ini menundukkan
kepala sambil mengucapkan terima. kasih. "Dan kau Dimas Rana Tumalaya. Kau
terpaksa tinggal untuk menjaga dan mengurus segala sesuatunya selama kami
pergi." "Akan saya laksanakan dengan sebaik-baiknya Ketua,"
jawab Rana Tumalaya walau hati kecilnya sebenarnya ingin sekali pergi
mendampingi Ketua Partai.
Beberap hari kemudian rombongan dari gunung Semeru itu sampai di pantai Selatan
di mana terletak goa Kranggan. Seperti yang dilakukan Wiro, setelah masuk goa
dan mengetahul bahwa terowongan di dalamnya membalik ke arah daratan, Gamar
Senopatri membawa membawa orang-orangnya keluar goa dan menempuh jalan darat
hingga akhimya sampai di bukit batu. Pada saat yang bersamaan Eyang Sinto
Gendeng dan Mintari sampai pula di tempat itu. Tujuan kedua orang ini jelas
untuk menuntut balas atas kematian ayah Mintari serta kekejian yang dilakukan
Kamandaka atas dirinya. Seperti dituturkan sebelumnya Eyang Sinto Gendeng telah
menculik Mintari selagi berada di rumah kediaman Raden Bintang. Gadis malang Ki
Pamilin ini dibawanya ke suatu telaga di Bukit Slarong. Di sini Mintari
diberinya pelajaran meningkatkan kekuatan tenaga dalam. Setelah itu diajarinya
ilmu sakti pukulan Sinar Matahari. Pukulan sakti yang diajarkan si nenek pada
Mintari memiliki kekuatan lebih hebat dad pukulan Sinai Matahari yang telah
diwariskannya pada muridnya Wiro Sableng. Hal ini karena Sinto Gendeng menyadari
bahwa pukulan Sinar Mataharl yang lama tidak bakal sanggup menumbangkan pukulan
Halilintar yang dimiliki Kamandaka. Namun karena Mintari bukan muridnya maka
Eyang Sinto Gendeng hanya memberikan kemampu-an memiliki selama tiga puluh had
pada Mintari. Selewat-nya waktu tersebut kesaktian itu akan lenyap dengan
sendirinya. Di samping itu Mintari hanya bisa mempergunakan ilmu kesaktian itu
satu kali saja.
Di puncak bukit batu Kamandaka tampak melangkah
mundar-mandir di depan rumah batunya.
Hatinya geram sekali. Kalau saja tadi Kintani tidak muncul dan mengganggu
pemusatan pikirannya, pasti Pendekar 212 dapat dikalahkannya dan ditambusnya
sampai gosong dengan pukulan Halilintar. Kini pemuda itu lenyap di kaki bukit.
Kintani sendiri melarikan diri entah ke mana. Rasa geram semakin membakar
dirinya ketika dia membayangkan tubuh Kintani yang sudah siap untuk ditidurinya!
"Jahanam! Keparat!" maki Kamandaka.
Selagi dia memaki-maki begitu dari arah Barat lereng bukit batu dilihatnya ada
empat orang lelaki muncul mendaki. Di sebelah depan... Kamandaka segera
mengenalinya dari pakaian yang dikenakannya.
"Jahanam itu akhirnya muncul juga!" katanya. "Segala urusan akan kuselesaikan
hari ini! Akan kubuka kedok busuk bangsat itu!"
Tiba-tiba ekor mata Kamandaka melihat ada gerakan lain di lamping Timur bukit
batu. Di jurusan ini juga ada empat orang yang g mendatangi. Dua gadis, satu
nenek dan satu lagi seorang pemuda yang dari jauh segera dikenalinya yaitu
Pendekar 212 Wiro Sableng. Sedang salah satu dari gadis yang datang tak pelak
lagi adalah Kintani.
"Manusia-manusia celaka! Semua akan kubikin mampus!" kertak Kamandaka dalam
hati. Lalu dia melompat ke atas batu datar di depan rumah batu. Kedua kakinya
merenggang sedang kedua tangan dirangkapkan di depan dada. Begitu dua rombongan
bongan itu sampal sekitar sepuluh langkah di depannya Kamandaka lantas pentang
suara. "Selamat datang mahluk-mahluk pencari mati! Siapa di antara kalian yang ingin
mampus lebih dulu"!"
Paras empat orang dari gunung Semeru tampak be-
Wiro Sableng 062 Kamandaka Murid Murtad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rubah merah sementara Sinto Gendeng dan tiga orang anggota rombongannya tenang-
tenang saja malah ada yang menyengir-nyengir!
Ketua Partai Semeru Raya menatap paras Kamandaka sesaat lalu melirik ke samping.
Dia terkejut ketika mengenali Sinto Gendeng dan heran melihat mengapa Kintani
berada bersama rombongan si nenek.
. "Kamandaka, kami datang jauh jauh bukan untuk mencarI kematian," Gamar Senopatri
membuka mulut. "Kami datang justru untuk menghukummu! Dosamu selangit tembus sedalam lautan!
Berlututlah minta ampun kepada Tuhan sebelum aku menjatuhkan hukuman mati atas
dirimu di tempat ini juga!"
Kamandaka tampak melongo. Dia memandang tak ber-
kesip pada Ketua Partai Semeru Raya itu. Lalu perlahan-lahan tampak dia menekuk
kedua kaki seperti hendak berlutut. Ternyata pemuda ini hanya pura-pura saja.
Justru ketika pantatnya bergerak turun tiba-tiba dia keluarkan suara kentut yang
keras sekali. Sehabis kentut dia tertawa gelak-gelak!
Dari rombongan yang dipimpin oleh Singo Gendeng, terdengar pula suara tertawa
bekakakan. Itu adalah suara tawa Wiro Sableng yang memang tidak bisa menguasai
diri. Sinto Gendeng mendelik dan membentak. "Husss! Ku-robek mulutmu kalau tidak
hentikan tawamu!"
Wiro terpaksa tutup mulutnya. Kedua matanya melirik ke kiri kanan yaitu ke arah
Kintani dan Mintari. Kintani senyum-senyum saja. Sedang Mintari mendongak ke
langit sambil pejamkan mata. Pasti ada sesuatu yang sangat mempengaruhi dirinya
saat itu yakni niatnya untuk menuntut balas. Mintari turunkan kepalanya dan
berbisik pada Sinto Gendeng. "Eyang, kalau Ketua Partai Semeru itu berhasil
membunuh Kamandaka, berarti saya tidak akan pernah membalaskan sakit hati dendam
kesumat...."
Si nenek tersenyum. Dia menjawab. "Tidak satu orangpun bisa mengalahkan
Kamandaka, kecuali kau. Lihat saja nanti. Jangan banyak tanya lagi. Siapa yang
berani bicara nanti kutampar!"
Mintari dan Kintani kancingkan mulutnya rapat-rapat sementara Wiro sambil garuk-
garuk kepala berusaha menahan ketawa hingga mukanya merah sampai ke
telinga. Di sebelah sana empat wajah orang-orang gunung
Cemeru tampak merah kelam membesi.
Gamar Senopatri berkata dengan suara bergetar tanda dia berusaha menekan amarah.
"Orang yang mau mati memang suka berbuat tolol!
Kami tahu kau pasti telah membunuh Ki Rono Bayu. Dalam perjalanan ke mari kami
menemui mayat Ageng Sembodo.
Dosamu tak mungkin diampuni lagi Kamandaka!"
"Dari tadi kau bicara melulu! Kapan kau mau bertindak"!" Kamandaka berkata
lantang. "Saat ini juga murid murtad!" jawab Gamar Senopatri.
"Bagus! Tapi sebelum kau membual hendak membunuhku, biar aku bicara dulu. Agar
semua orang tahu siapa dirimu sebenarnya. Dan mengapa aku melakukan semua
kejahatan ini! Tujuanku lain tidak adalah agar satu ketika aku dapat berhadapan
denganmu. Kini saat yang kutunggu sejak beberapa bulan lalu sudah tiba! Bukan
aku yang bakal menerima kematian. Tapi kau! Sesuai dengan kejahatan dan
kebusukan yang pernah kau buat dua puluh lima tahun silam. Ketika aku baru
berusia tiga tahun!"
Ketika berkata itu Kamandaka berulang kali menudingkan telunjuknya ke arah Gamar
Senopatri hingga Ketua Partai ini tambah merah wajahnya dan bergetar seluruh
tubuhnya. Sementara bicara kedua mata Kamandaka selalu tertuju pada seuntal
kalung baja putih dengan hiasan kepala seekor singa yang tergantung di leher
sang Ketua. Apa yang diucapkan Kamandaka tadi tentu saja membuat Gamar Senopatri terkejut.
Bahkan yang lain-lain yang ada di tempat itu jadi ikut bertanya-tanya.
"Gamar Senopatri! Hari ini kubuka kedok busukmu!"
kata Kamandaka enak saja dia menyebut langsung nama orang tua itu. "Dua puluh
lima tahun lalu, di hutan Sasakan kau pernah menghadang satu keluarga kecil yang
tengah pindah dari Kaliurang ke Sleman. Kepala rombongan itu adalah seorang
lelaki bernama Abdi Gontor. Dia bertindak sebagai sais pedati sementara istrinya
duduk dl sebelahnya. Istrinya bernama Widi Sinten. Seorang anak lelaki berusia
tiga tahun berada di bagian belakang pedati.
Sampai di sini apa kau bisa ingat Gamar Senopatri?"
Semua orang saat itu menyaksikan bagaimana wajah Ketua Partai Semeru Raya tiba-
tiba menjadi pucat pasi seputih kain kafan! Mulutnya komat-kamit tapi tidak ada
suara yang keluar. Dadanya turun naik.
Di atas batu Kamandaka kembali membuka mulut.
"Mungkin ingatanmu masih belum pulih. Biar kuteruskan ceritaku! Perempuan
bernama Widi Sinten itu adalah kekasihmu di masa muda. Namun dia meninggalkanmu
karena ternyata kau punya lebih dari lima orang kekasih.
Kau mengkhianati cintanya dan kawin di mana-mana.
Ketika Widi Sinten kawin dengan Abdi Gontor baru kau sadar bahwa sesungguhnya
kau benar-benar mencintainya.
Kau inginkan dirinya lagi tapi sudah terlambat. Rasa sayangmu berubah jadi rasa
benci sakit hati. Kau cegat rombongan mereka di hutan Sasakan. Kau bunuh Abdi
Gontor. Lalu kau rusak kehormatan Widi Sinten! Sehabis diperlakukan secara keji
begitu Widi Sinten bunuh diri dengan sebilah keris milik suaminya di tempat itu
juga!" Sampai di situ Kamandaka tampak seperti tidak dapat menguasai diri. Tubuhnya
bergetar hebat dan suaranya ditelan isakan tangis. Sesaat kemudian baru dia bisa
meneruskan kata-katanya.
"Kejadian itu disaksikan oleh anak mereka yang berusia tiga tahun. Si anak
menangis dan takut. Berusaha turun dari pedati tapi terjatuh. Kepalanya
membentur tanah hingga jatuh pingsan. Ketika siuman dia tidak dapat lagi
mengingat apa yang telah terjadi dengan kedua orang tuanya. Entah karena apa kau
kemudian mengambil anak itu, meminta seseorang mengasuhnya lalu menjadikannya
murid dalam Partal. Selama lebih dari dua puluh empat tahun ingatannya tentang
peristiwa itu menjadi gelap.
Namun enam bulan yang lalu sebuah benda yang tiba-tiba dilihatnya membuat dia
ingat kembali apa yang terjadi di masa lalu itu. Benda itu adalah kalung baja
putih yang melingkar di lehermu! Kalung itu dilihat si anak waktu kau membunuh
dan memperkosa ibunya. Kalung itu kemudian dilihat anak yang sama enam bulan
lalu ketika untuk pertama kalinya kau memakainya kembali pada suatu upacara
kebesaran Partai!"
Suasana di puncak bukit itu hening seperti di
pekuburan. Suara anginpun tidak kedengaran. Ketegangan tegangan menggantung di
udara. Kedua mata Kamandaka berkaca-kaca. Suaranya bergetar ketika dia
menyambung kata-katanya.
"Kau tahu siapa anak itu Gamar Senopatri" Anak itu adalah aku! Kamandaka!
Muridmu yang katamu sudah kau anggap seperti anak sendiri!"
Semuanya mata memandang pada Gamar Senopatri.
Ketua Partai Semeru Raya ini merasakan tenggorokannya kering. Di atas kepalanya
matahari seperti hanya sejengkal.
Tubuh dan pakalannya mandi keringat.
"Ceritaku belum habis Gamari Setelah aku tahu kau pembunuh ayahku dan manusia
yang merusak ibuku, aku pergi meninggalkan Semeru. Aku menghubungi tokoh-tokoh
persilatan minta pandangan mereka apa yang dapat aku lakukan. Tak satu orangpun
yang mau memberi
nasihat. Apalagi bertindak menghukummu! Semua mereka pengecutl Aku anggap sama
saja mereka itu bersekutu dengan dirimu! Ketika seorang sakti memberiku ilmu
pukulan Halilintar, semua tokoh- tokoh silat keparat itu kuhabisi satu demi
satu. Gadis-gadis kuculik dan ku-perkosa. Kubayangkan mereka adalah anak gadismu
sendiri! Lalu aku merencanakan untuk menyamaratakan puncak Semeru, menghancurkan
Partai Semeru Raya dan mematahkan batang lehermu! Orang-orang persilatan
menganggap aku manusia sesat. Kau menyebut aku murid murtad! Mungkin aku sesat
dan murtad. Tapi semua berpangkal sebab kepadamu! Kau tidak lebih baik dariku
Gamar Senopatri! Kedokmu sudah kubuka. Berarti
kematianmu sudah di depan mata! Bersiaplah!"
Tubuh Ketua Partai Semeru Raya itu tampak ber-
guncang. Ageng Seto dan dua murid Partai cepat memegangnya.
"Tinggalkan saya..." kata Gamar Senopatri pada orang-orang itu. "Menjauhlah. Aku
sudah siap menerima hukumanku!"
Ageng Seto maju ke depan. "Kamandaka!" serunya.
"Kuharap persoalan ini selesal sampai di sini saja. Kami akan kembali ke puncak
Semeru. Apa yang kau lakukan nanti adalah urusan dan tanggung jawabmu sendiri!"
Habis berseru begitu Ageng Seto memegang bahu Gamar
Senopatri lalu berbisik. "Ketua, mari kita tinggalkan tempat ini." Tapi Gamar
Senopatri gelengkan kepala.
Di atas batu Kamandaka tampak menyllangkan kedua lengannya. Lengan-lengan Itu
berubah menjadi hitam.
"Ketua! Awas!" Kintani berteriak. Tapi terlambat.
Suara seperti halilintar memekakkan telinga. Bukit batu bergetar hebat. Dua
larik sinar hitam menderu menebar hawa panas luar biasa. Dua orang anak murid
Partai yang berada agak jauh masih bisa melompat selamatkan diri.
Tapi Gamar Senopatri dan Ageng Seto tak mampu berbuat suatu apa. Kedua orang Itu
hanya keluarkan suara raungan pendek. Tubuh mereka terpental jauh. Keduanya
menemui ajal dalam keadaan tubuh hitam gosong mengepulkan asap. Bau daging
terbakar menyesakkan nafas dan
mengidikkan semua orang yang ada di tempat itu.
Untuk beberapa lamanya Kamandaka masih tegak di
atas batu datar di depan rumah batu. Eyang Sinto Gendeng berpaling pada Mintari
dan berkata perlahan.
"Tontonan bagus sudah selesai. Giliranmu sudah tiba, Mintari," kata si nenek.
Gadis itu mengangguk. "Semoga saya berhasil, Eyang "
"Jangan kawatir. Kau pasti berhasil!" jawab Sinto Gendeng. Lalu dia melangkah
menemani gadis itu sampai lima belas langkah di hadapan batu datar di mana
Kamandaka berada sementara Wiro dan Kintani tetap berada di tempat semula.
Kamandaka menatap kosong ketika Mintari tegak di depannya. Dia seperti tidak
melihat gadis itu sampai pada saat Mintari berkata dengan suara keras.
"Kamandaka! Kudengar ceritamu tadi cukup mengharu-kan. Kau pernah kehilangan
ingatan selama lebih dari dua puluh empat tahun. Tapi apa kau juga hilang
ingatan atas apa yang kau lakukan terhadap ayahku dan diriku
beberapa bulan lalu"!"
"Heh.... Siapa kau" Suaramu lantang dan wajahmu cantik!" Otak kotor Kamandaka
mulal bekerja rupanya.
"Beberapa bulan lalu kau membunuh ayahku Ki Pamilin bergelar Tangan Baja. Di
tempat yang sama kau kemudian merusak kehormatanku! Ingat.. ?"
"Ya, aku memang ingat..." jawab Kamandaka.
"Lalu sekarang apa maumu" Minta diperkosa lagi?"
Kamandaka tertawa mengekeh. Tapi jelas tawa itu seperti dipaksakan. Dia seperti
belum dapat melenyapkan
keguncangan hatinya saat-saat menjelang dia menghabisi Gamar Senopatri tadi.
"Kejahatan harus dibalas dengan keadilan! Keadilan satu-satunya bagimu adalah
mati!" teriak Mintari. Lalu dia angkat tangan kanannya. Tangan itu sampai sebatas siku berubah
menjadi putih perak dan sangat menyilaukan.
Hawa panas terasa mencekam tempat sekitar situ.
Pendekar 212 Wiro Sableng sempat terkejut melihat hal itu. "Gila! Mengapa lengan
itu bisa sangat menyilaukan seperti itu. Aku sendiri tidak mampu berbuat seperti
itu. Ah, si Eyang pasti sudah main kayu! Mengajarkan sesuatu pada orang lain
tapi tidak mengajarkannya padaku!" Baru saja saja Wiro mengucapkan kata-kata itu
dalam hatinya tiba-tiba ada suara menglang di telinganya.
"Anak setan! Jangan kowe berpikir yang bukan-bukan!
Kau sendiri yang salah. Selama ini kau hanya senang malang melintang. Tidak
pernah memikirkan untuk mem-perdalam serta menambah ilmu kepandaian!"
Wiro melirik ke arah si nenek yang tegak tak berapa jauh dari tempatnya berdiri.
Itu tadi suara si nenek yang mempergunakan ilmu bersuara jarak jauh. Wiro hanya
bisa garuk-garuk kepala. Memandang ke depan dilihatnya lengan Mintari semakin
memancarkan sinar menyilaukan.
"Pukulan Sinar Matahari!' seru Kamandaka dengan nada serta mimik mengejek.
"Siapa yang mengajarkan padamu" Pasti nenek jelek itu atau pemuda gondrong
sebelah sana!" Kamandaka tertawa panjang. "Kumpulkan seratus orang yang mampu
melancarkan pukulan Sinar Matahari. Tak satupun yang akan mampu menghadapi
pukulan Halilintar!"
"Takaburmu membawa celaka!" teriak Mintari. Tangannya perlahan-lahan diangkat
lebih tinggi. "Eh, gadis ini tidak main-main. Sebenarnya sayang kalau dia harus kubunuh! Tapi
apa boleh buat!" Begitu Kamandaka membatin. Lalu dia silangkan kedua
tangannya di depan kepala. Kedua tangan itu serta merta menjadikan hitam. Sambil
sunggingkan senyum merendah-kan, Kamandaka lepaskan silangan kedua tangannya dan
memukul ke depan.
Wuss! Wuss! Dua larik sinar hitam menderu dahsyat disertai suara gelegar halihntar. Untuk
kesekian kalinya bukit batu itu seperti diguncang gempa dan langit seperti mau
roboh! Mintarl keluarkan pekik keras. Tangan kanannya menghantam ke depan. Hawa panas
menggebubu. Selarik sinar putih kebiruan menyilaukan menyambar ganas. Ratusan
bunga api memercik di udara ketika dua larik sinar hitam bertemu dengan selarik
sinar putih kebiruan.
Kedua kaki Mintari tampak goyang. Kamandaka menyeringai. Kintani dan Wiro
menahan nafas. Tapi Sinto Gendeng tenang-tenang saja. Malah dari mulutnya
terdengar suara dia menyanyi. "Kejar terus, tahan terus....
Hitam tak pernah menang dari putih... Kejar terus, tahan terus... Hitam tak
pernah menang dari putih..."
Di udara dua larik sinar hitam pukulan Halilintar berusaha menggelamkan sinar
putih pukulan Sinar Matahari.
Namun sekali ini tampak sinar-sinar hitam Itu terdorong ke belakang hingga
Kamandaka merasakan kedua Iengannya bergetar keras. Hal ini tak pernah kejadian
sebelumnya. Dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya hingga wajahnya jadi merah dan sekujur
tubuhnya mandi keringat.
Tiba-tiba Mintari putar telapak tangan kanannya.
Gerakan ini disusul dengan gerakan mendorong ke depan .
Wussss! Pukulan Sinar Matahari menggebubu laksana topan
prahara. Dua larik sinar hitam pecah dan bertebaran lalu lenyap. Sinar putih
terus melabrak ke depan.
"Jahanam!" Masih terdengar makian Kamandaka. Itu adalah ucapannya yang terakhir
sebelum tubuhnya terseret sinar putih panas dan menyilaukan itu. Pemuda itu
terbanting ke dinding batu di samping rumah batu. Untuk sesaat lamanya tubuhnya
yang melepuh matang merah Itu laksana dicetak masuk ke dalam dinding batu. Lalu
perlahan-lahan tubuh itu mencuat keluar dan jatuh tergelimpang di atas batu.
Mintari jatuhkan diri dan tekap mukanya dengan kedua tangannya. Sinar putih
menyilaukan pada tangan kanannya sudah lenyap. Dia menangis terisak-isak. Satu
tangan memegang bahunya, mengira itu adalah Eyang Sinto Gendeng yang
memegangnya, gadis ini berkata. "Eyang, terima kasih. Saya berhasil Eyang.
Terima kasih..."
"Eyang sudah lenyap entah kemana," jawab satu suara.
Mintari berpaling. Yang memegang bahunya dan yang barusan bicara ternyata adalah
Pendekar 212 Wiro Sableng. Di sampingnya berdiri Kintani. "Dia sempat berpesan
agar aku mengurus kalian berdua. Ah, bagaimana ini... Kalian kan bukan anak-anak
kecil lagi."
Perlahan-lahan Mintari berdiri. Dia memandang pada Kintani sambil mengusap air
matanya. Lalu dia berkata.
"Bersamamu Wiro, kami mau jadi anak-anak kecil kembali."
"Tapi kami anak-anak kecil yang nakal. Hingga kau pasti bakal kewalahan mengurus
kami!" menyambung Kintani.
Pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk kepala. Lalu dia berdiri di antara kedua
gadis itu dan memegang bahu mereka. Sambil melangkah Wiro tersenyum-senyum.
"Apa yang kau tertawakan?" tanya Mintari.
Ditanya begitu sang pendekar justru malah tertawa gelak-gelak. "Aku ingat ketika
kalian kutemui lari dari puncak bukit nyaris tanpa pakaian sama sekali!"
Kedua gadis itu terpekik. Lalu cubitan-cubitan menye-ngat lengan, pinggang dan
punggung Pendekar 212 membuat dia kelojotan dan terlonjak-lonjak kian kemari.
Pembalasan dua gadis itu ternyata tidak sampai di sana saja. Dari belakang
keduanya menarik celana Wiro ke bawah kuat-kuat hingga tubuh bawah sebelah
belakang pemuda ini tersingkap lebar. Sementara Wiro kalang kabut menarik
Wiro Sableng 062 Kamandaka Murid Murtad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
celananya, Mintari dan Kintani telah melarikan diri ke bawah bukit.
"Anak-anak nakal! Kalau dapat kukejar akan kuciumi kalian berdua!" teriak Wiro.
Mintari dan Kintani berhenti lalu lambaikan tangan menggoda. Ketika Wiro
mengejar keduanya lari kembali sambil tertawa terpingkal-pingkal.
TAMAT Iblis Buta 2 Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Pendekar Panji Sakti 1
Mari masuk ke dalam."
"Bersenang-senang bagaimana maksud Mas Kaman?"
"Jangan pura-pura tidak tahu Kintani. Kau tahu aku suka padamu dan kau
mencintaiku! Dua orang yang bercinta apapun bisa dilakukan! Bukankah kita
sekarang merupakan sepasang suami istri?"
Paras Kintani jadi berubah pusat. "Saya.. saya tidak keberatan menjadi istri Mas
Kaman. Asalkan kita menghadap, guru dulu. hanya dia yang bisa mewakilkan kedua
orang tua kita yang sudah tiada untuk menikahkan kita."
"Kawin pakai nikah segala kuno!" kata Kamandaka.
Ditariknya tangan Kintani. Gadis itu setengah diseret masuk ke bagian dalam
bangunan batu. Ternyata bangunan itu cukup luas. Di salah satu bagian terdapat
sebuah tempat tidur dari batu yang dilapisi tikar jerami lembut.
Kamandaka mendorong Kintani ke atas tempat tidur itu.
"Saya tidak mau Mas Kaman. Jangan lakukan itu pada saya!" kata Kintani pula.
"Jika bukan mencariku mengapa kau mau datang jauh-jauh kemari?"
"Mas Kaman tadi sudah mendengar ucapan Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu. Kami
diperintah Ketua..."
"Lupakan perintah itu!"
"Saya mohon kita segera pergi menemui Ketua agar semua persoalan selesai. Kalau
tidak seumur-umur Mas Kaman akan jadi orang buruan Partai."
Kamandakan tertawa gelak-gelak mendengar hal itu.
"Aku tidak mau bicara lagi tentang Ketua ataupun orang-orang Partai. Mereka
semua adalah calon-calon korbanku!
Mereka akan segera mampus!" Lalu Kamandaka berusaha memeluk dan menciumi gadis
itu. Kintani cepat menjauh seraya berkata. "Mas Kaman, jika kau betul sayang
padaku jangan perlakukan aku seperti ini...."
"Hmmm..." kedua mata Kamandaka berkilat-kilat memandang setiap bagian tubuh
Kintani. "Jangan buat aku kehilangan kesabaran Kintani." Pemuda itu kembali
mendekat. "Kalau Mas Kaman meneruskan perbuatan keji ini, saya terpaksa melawan. Lebih
baik saya mati berkelahi di tangan Mas Kaman dari pada dinodai!"
"Begitu" Aku mau lihat sampai di mana kehebatan murid Gamar Senopati yang satu
ini!" Habis berkata begitu Kamandaka lalu tanggalkan
pakaian yang melekat ditubuhnya. Kintani sampai terpekik menyaksikan hal itu dan
mencoba lari keluar. Tapi Kamandaka berhasil mengejar dan mendekapnya. Mau tak
mau Kintani segera menghantam dengan tangan dan kaki.
Dipukul ditendangi Kamandaka justru diam saja.
Bahkan tegak tolak pinggang. Dalam keadaan lawan bertelanjang bulat seperti itu
seperti tentu saja sulit bagi Kintani untuk menyerang karena dia sudah tidak
kuasa menghindari pandangan yang menusuk mata itu. Akhirnya dia kembali mencoba
tari. Namun lagi-lagi sial. Kali ini malah dia harus menerima tamparan dua kali
berturut-turut yang membuatnya terbanting ke lantai batu. Sebelum dia sempat
bangun Kamandaka telah menyergapnya.
Tangannya kiri kanan merobek pakaian yang dikenakan Kintani. Gadis ini menjerit
marah dan menyerang dengan kalap. Tetapi sia-sia belaka. Tingkat kepandaiannya
jauh di bawah Kamandaka. Ketika tenaganya terkuras habis di-tambah dengan
beberapa pukulan yang dihantamkan
Kamandaka ke tubuhnya, dia hanya bisa tegak tersandar ke dinding. Dia tidak
punya daya apa-apa lagi selain menangis ketika Kamandaka mendukung dan
membawanya ke atas tempat tidur batu.
Kamandaka menyeringai. Sekujur tubuhnya panas terbakar nafsu. Sama sekali tidak
ada rasa welas asih dalam dirinya padahal gadis itu adalah prang yang pernah di-
kasihinya dan balas menyayanginya. Sesaat lagi Kamandaka akan melakukan
perbuatan terkutuknya tiba-tiba satu bayangan berkelebat masuk dan satu bentakan
meng-guntur di dalam ruangan batu itu!
"Laknat terkutuk! Memang kau ternyata manusia keji biadab! Kau membunuh
sahabatku! Kau memperkosa
calon muridku! Sekarang aden datang untuk mengirimmu ke liang narako!"
Kamandaka melompat dari atas tubuh Kintani. Di
hadapannya tegak seorang tua berpakaian dan berdestar hitam. Sepasang matanya
laksana kilatan api. Kamandaka tidak kenal orang ini. Dari pakaian serta bentuk
destarnya jelas dia bukan orang Jawa. Dari logat bicaranya dia jelas orang
seberang. "Ucapanmu seperti malaikat! Tapi kulihat tampangmu seperti setan!" kata
Kamandaka mengejek.
Orang tua di depannya tertawa pendek. "Orang mau mampus memang suka bicara
ngacok!" katanya. "Coba den lihat dulu jantungmu!" Si orang tua bergerak
sedikit. Tapi tahu-tahu tangan kanannya sudah melesat ke arah dada kiri
Kamandaka. Jari-jari tangan membuat gerakan me-ngeruk. Si pemuda terkejut dan
cepat berkelit. Serangan lawan menghantam dinding batu. Terdengar suara batu
lebur. Berpaling ke kiri Kamandaka melihat bagalmana serangan berupa cengkeraman
orang tua berpakaian hitam itu meremukkan dinding batu hingga di dinding itu
kini tampak lobang sedalam seperempat jengkal!
Kamandaka sadar kalau terlambat saja tadi dia
menghindar jantungnya pasti benar-benar bisa dicongkel lawan berdestar hitam
bergelang bahar itu! Meskipun demikian dia tidak takut. Sambil menyeringai
Kamandaka maju mendekati. Kedua lengannya disilangkan di depan dada tapi dia
masih belum mau merapal aji kesaktian Halilintar. Didahului oleh suara seperti
harimau meng-gereng Kamandaka melompati lawannya. Kedua tangannya dipukulkan
serentak. Si orang tua yang adalah Datuk Alam Rajo Di Langit terkejut ketika
merasakan dua larik angin yang menyambar bukan olah-olah dahsyatnya. Bukan saja
pakaian hitamnya tapi sekujur tubuhnyapun ikut bergetar.
Kedua lututnya menjadi goyah. Cepat tokoh silat dari Andalas ini rubah kuda-kuda
kedua kakinya. Tubuhnya merunduk Begitu dua angin pukulan lewat, kaki kanannya
melesat ke atas setinggi dua tombak, menghantam rahang kanan Kamandaka dengan
tepat. Selagi Kamandaka terpental ke dinding lalu melosoh ke lantai batu, kesempatan
ini dipergunakan oleh Kintani untuk melarikan diri. Sambil melompat dari atas
tempat tidur batu dia masih sempat menyambar pakaiannya. Di luar sadar dia lari
keluar bangunan batu dalam keadaan masih bertelanjang bulat!
Meskipun tendangan Datuk Alam Rajo Di Langit
sanggup membuatnya mental dan jatuh ke pantai namun Kamandaka sama sekali tidak
cidera. Bahkan rasa
sakitpun hampir tidak terasa karena terlindung oleh kesaktian yang dimilikinya.
Ketika dia tegak kembali di hadapan sang Datuk,
sepasang matanya tampak beringas ganas.
"Anjing tua. Bersiaplah untuk mampus!"
" Kanciang! Binatang! Waang yang akan mampus lebih dulu!" teriak Datuk Alam Rajo
Di Langit. Lalu tangan kanan dipukulkan ke depan. Ada angin kelabu menyambar,
menebar bau aneh. Jika lawan sempat menghisap bau aneh itu tubuhnya serta merta
akan jadi lemas dan jatuh tak berdaya. Kamandaka sudah maklum bahaya pukulan
lawan itu. Dengan cepat dia menyilangkan kedua lengannya dan merapal aji
kesaktian Pukulan Halilintar hingga sepasang lengan itu menjadi hitam. Begitu
lengan yang bersilang dibuka serta dipukulkan ke depan, terdengar suara
menggelegar seperti halilintar menyambar. Ruangan batu itu seperti hendak
runtuh! Hawa panas menghampar dan dua larik sinar hitam menderu ganas,
menyambung dan meneggelamkan sinar kelabu pukulan Datuk Alam Rajo Di Langit.
Orang tua ini terdengar menggerung keras.
Tubuhnya terpelanting ke luar bangunan, jatuh melingkar di atas gundukan batu
berlumut. Sesaat tubuh itu tampak memutih lalu berubah hitam mengepulkan asap
mengerikan. Kamandaka bergegas keluar dari banguanan batu.
Kintani tidak kelihatan. Pemuda ini menyumpah dalam hati. Dia melangkah mendekat
mayat Datuk Alam lalu ditendangnya hingga tubuh hitarn gosong itu terpental dan
bergulingan ke bawah bukit batu.
Kamandaka melompat dari satu batu ke batu lainnya.
Di satu tempat yang ke tinggian dia melihat dua sosok tubuh dibalik pepohonan
dan berbatu. Secepat kilat dia bergerak ke arah sana.
*** WIRO SABLENG KAMANDAKA SI MURID MURTAD
10 ARENA tidak mengikuti terowongan, Pendekar 212
Wiro Sableng sampai lebih dulu dari Datuk Alam
KRajo Di Langit. Namun sebelum naik ke puncak
bukit di mana tempat kediaman Kamandaka alias
Pendekar Tangan Halilintar terletak, di salah satu lereng murid Eyang Sinto
Gendeng itu melihat dua orang
perempuan berlari dari atas' bukit. Walau heran melihat ada dua orang perempuan
turun dari atas bukit, sebenarnya Wiro tidak; mau perduli. Namun dia jadi
tertarik sewaktu menyaksikan bagaimana pakaian yang dikenakan kedua perempuan
itu sama sekali tidak dapat dikatakan pakaian. Karena hampir tidak satu bagian
tubuh merekapun yang tertutup utuh oleh pakalan itu!
Wiro cepat memintas dan menghadang dekat sebuah
batu besar. "Hai!" serunya. "Kalian ini bidadari yang turun dari langit atau setan-setan
penunggu bukit batu ini yang tengah mencari tempat untuk buang hajat!"
Dua orang gadis terkejut. Sambil berpegangan mereka hentikan lari. Melihat yang
menegur ternyata seorang pemuda berambut gondrong yang tampangnya cakap-cakap
konyol, rasa kejut mereka jadi sirna. Yang tua berbisik pada kawannya.
"Boleh juga yang satu ini..."
"Aku lebih suka dia dari pada Kamandaka keparat itu!"
bisik yang muda.
"Kenapa bicara sendiri dan tidak menjawab?" tanya Wiro. Sambil menahan tawa yang
tua berkata. "Mulutmu enak saja kalau bicaral Kami tidak tahu kalau di sini ada
bidadari. Juga tidak tahu kalau bukit batu ini ada setan penunggunya! Tapi yang
jelas di atas sana ada iblis doyan perempuan. Kalau sudah bosan dan dapat yang
baru yang lama ditendangnya!"
"Tadi kudengar kalian berbisik menyebut nama seseorang. Kamandaka... Benar"!"
Dua perempuan itu mengangguk.
"Dia ada di atas sana" Kediamannya di atas sana"!"
Dua yang ditanya lagi-lagi mengangguk.
"Kalau begitu aku harus segera menuju ke sana," kata Wiro pula.
"Tunggu dulu!" Perempuan yang tua berkata. "Jangan berani-beranian naik ke atas
puncak bukit. Kami saja hendak dilemparkannya. Apalagi kau! Manusia penghuni
puncak bukit itu aneh dan luar biasa jahatnya. Dia bisa bercinta suatu ketika
tapi di lain saat dia bisa membunuh seorang gadis cantik tanpa berkesip. Kami
hampir saja jadi korbannya!"
Yang muda cepat menyambung. "Dari pada pergi ke atas sana, lebih baik turun
bersama kami. Aku suka saja kau mau bawa ke mana!"
"Aku juga!" kata perempuan yang satu lagi.
Pendekar 212 jadi garuk-garuk kepala. Dia harus meng-akui kedua perempuan itu
berparas cantik dan bagian-bagian tubuhnya yang tersingkap sangat menggiurkan.
"Kalau kuikuti rayuan mereka, urusanku bisa kapiran!"
membatin murid, Sinto Gendeng. "Begini saja," katanya.
"Tunggu aku di kaki bukit! Kalau orang di atas sana tidak membunuhku, aku pasti
akan menemui kalian!"
"Siapa sudi menunggu datangnya mayat!" jawab perempuan yang tua karena dia sudah
merasa pasti Wiro akan dibunuh oleh Kamandaka. Tak ada seorangpun yang boleh
menginjak tempat kediamannya. Kedua perempuan itu cepat tinggalkan tempat itu.
Wiro pandangi mereka dari belakang sambil membasahi bibir dengan ujung lidah dan
geleng-geleng kepala.
Belum lama dia meneruskan menaiki bukit batu itu tiba-tiba dia melihat lagi
seorang perempuan dengan rambut tergerai lepas lari dari atas puncak bukit.
Sinar matahari membuat tubuhnya yang tanpa pakaian seperti berkiiau-kilau. Dia
lari sambil membawa pakaian.
"Aneh, ada lagi seorang perempuan turun dari atas bukit. Yang satu ini malah
telanjang polos!" Ketika perempuan itu menyelinap lenyap di balik sebuah batu
besar, Pendekar 212 cepat mendekati. Didapatinya di balik batu itu perempuan
tadi tengah mengenakan pakaian.
Ketika selesai dipakai ternyata pakaian itu robek-robek di beberapa tempat.
"Siapa pula yang satu ini?" pikir Wiro lalu dia mendehem keras-keras.
Gadis di balik batu tersentak kaget. Ketika dilihatnya pemuda gondrong itu
mendatangi sambil tersenyum-senyum dia menjadi curiga dan marah.
"Pemuda kurang ajar! Kau mengintai orang berpakaian!"
"Maaf Saudari. Jangan salahkan aku kalau sampai berada di tempat ini. Kalau
tidak ada sesuatu yang luar biasa mengapa tadi kau kulihat lari tanpa pakaian"
Lalu mengapa berpakaian di tempat terbuka ini dan mengapa pakaian yang kau
kenakan robek-robek" Siapa kau
Saudari" Apa yang terjadi dengan dirimu" Tadipun aku melihat ada dua orang
perempuan lari dari atas bukit dengan pakaian tidak senonoh!"
Karena orang bicara dengan baik dan mengatakan apa adanya, perempuan itu yang
bukan lain adalah Kintani jadi mengendur amarahnya. "Aku Kintani, anak murid
Partai Semeru Raya."
"Berarti kau adalah saudara seperguruan dengan orang bernama Kamandaka itu!"
"Ya, tidak salah. Orangnya ada di atas bukit batu sana.
Baru saja dia membunuh salah seorang Ketua Cabang Partai. Saat ini dia tengah
berkelahi melawan seorang tua berpakaian serba hitam."
Secara singat Kintani lalu menerangkan apa yang dialaminya, mulai dari saat dia
disergap oleh Kamandaka di depan mulut goa Kranggan.
"Ah, pasti Datuk Alam yang tengah dihadapinya..." kata Wiro. Dia segera hendak
tinggalkan gadis itu.
"Tunggu," kata Kintani. "Kalau kau tidak keberatan, pinjami aku pakaianmu..."
Wiro garuk-garuk kepalanya tapi ditanggalkannya juga pakaiannya. Lalu
diberikannya pada Kintani. Si gadis segera mengenakan pakaian itu. Karena
pakaian itu lebih besar dari tubuhnya, dirinya terlindung sampai ke lutut.
"Terima kasih. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu ini." Lalu tanpa menunggu
lebih lama gadis itu segera tinggalkan tempat itu.
Kembali murid Sinto Gendeng geleng-geleng kepala.
Dalam hati dia berkata. "Besar nian rejekiku hari ini. Melihat tiga perempuan
cantik. Dua hampir telanjang. Yang satu barusan benar-benar telanjang!"
Ketika Kamandaka sampai di balik batu, Kintani telah berlalu sedang Wiro juga
telah berkelebat menuju puncak bukit.
"Sialan!" maki Kamandaka. Dia harus memilih, mengejar Kintani atau menyusul
pemuda tak dikenal yang lari ke arah tempat kediamannya. Kamandaka memilih yang
terakhir. Tapi dia tidak langsung mengejar melainkan menguntit dari belakang.
Walaupun tingkat ke.pandaian Kamandaka sungguh luar biasa, namun sepasang
telinga Pendekar 212 se-rta nalurinya tidak bisa ditipu.
Memang murid Sinto Gendeng ini tidak mau berpaling.
Namun dia maklum kalau ada seseorang menguntitnya di sebelah belakang.
Wiro kerenyitkan kening sewaktu sampal di depan
rumah aneh yang keseluruhannya dibuat dari batu itu dan menjadi satu dengan
dinding batu besar di puncak bukit.
Hidungnya kemudian mencium bau seperti daging terbakar. Dia memandang
berkeliling. Pandangannya kemudian terpaku pada sesosok tubuh hitam gosong,
menggeletak di antara dua celah batu besar. Dia lantas ingat pada kematian yang
sama dialami oleh Ki Pamilin, ayah gadis bernama Mintari dulu.
"Korban keganasan Tangan Halilintar!" kata Wiro dalam hati. "Jangan-jangan ini
mayatnya Datuk Alam, tokoh silat dari pulau Andalas itu!" Wiro merasakan
tengkuknya menjadi dingin. Dia lalu melangkah menuju bagian depan bangunan batu.
Baru saja dia hendak melangkah masuk, sesiur angin menerpa dari samping.
"Hemmm...Si penguntit mulai menyerang. Aku yakin dia pasti si Kamandaka keparat
itu1" Tanpa berpaling Pendekar 212 lepaskam pukulan
Tameng sakti menerpa hujan. Pukulan jarak jauh yang menghantam ke arahnya
terpental ke atas. Tiba-tiba ada bayangan orang berkelebat lalu menyusul deru
angin deras sekali.
Wiro alirkan sebagian tenaga dalamnya ke tangan
kanan lalu memukul ke depan.
Bukkk! Dua lengan beradu keras.
Murid Sinto Gendeng keluarkan seruan tertahan. Batu yang dipijaknya laksana
amblas dan tubuhnya mencelat sampai dua tombak, terbanting ke sebuah batu besar.
Tangan kanannya mendenyut sakit. Ketika diperhatikan lengannya yang tadi beradu
keras dengan lengan si pemukul tampak bengkak kemerahan. Luar biasa! Belum
pernah Pendekar 212 bentrokan dan langsung cidera seperti itu. Sewaktu dia
memandang ke depan seorang pemuda berwajah cakap tapl menyunggingkan senyum maut
Wiro Sableng 062 Kamandaka Murid Murtad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tegak di depannya. Celakanya manusia ini sama sekali tidak mengenakan pakaian!
Wiro usap-usap lengannya yang cidera. "Heran, apa di bukit batu ini semua orang
harus tidak pakai pakaian!"
kata Wiro dalam hati.
"Hemmmm... Ternyata Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!" kata pemuda di depan
Wiro. "Sialan! Bagaimana kunyuk ini mengenaliku!" tanya Wiro dalam hati. Dia lupa saat
itu dia sama sekali tidak mengenakan baju hingga rajah 212 yang ada di dadanya
terlihat dengan jelas.
"Nama besarmu menggetarkan delapan penjuru angina!
Kau memang salah seorang tokoh silat yang aku cari! Kau beruntung masuk dalam
daftar kematianku, Pendekar 212! Tapi sebelum mati aku ingin melihat pukulan
saktimu yang bernama pukulan sinar matahari itu!" Habis berkata begitu Kamandaka
tertawa gelak- gelak.
Murid Sinto Gendeng balas tertawa tak kalah kerasnya.
"Tadi malam aku bermimpi!" katanya sambil cengar-cengir. "Aku melihat kau
terbang ke langit. Kepala ke bawah dan pantat menungging ke atas.
Ada sederetan dibadari menunggumu di lapisan langit pertama. Namun pengawal
penjaga bidadari mengusirmu karena kau datang bertelanjang bulat seperti ini.
Memalukan! Dan yang menjijikkan, menurut pengawal kau datang sehabis berak belum
sempat cebok alias ngepet!
Ha...ha...ha...ha...!"
"Jahanam, berani kau mempermainkan aku!" terlak Kamandaka marah. "Tunggu aku di
sini. Jangan berani pergi!" Lalu Kamandaka berkelebat masuk ke dalam bangunan
batu. Tak lama kemudian dia keluar lagi telah mengenakan pakalan biru dan kain
pengikat kepala yang juga berwarna biru.
"Ah, ternyata kau tidak jelek-jelek amat!" Wiro sambut kedatangan Kamandaka
dengan ejekan itu. "Tapi di balik tampangmu yang cakap aku melihat bayangan
iblis. Bayangan mahluk berhati seribu keji seribu jahat!"
"Jahanam! Jangan pidato! Keluarkan pukulan sinar mataharimu!" teriak Kamandaka.
Wiro tenang saja. Diam-diam dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Dia tahu apa
maksud lawan menantang-nya. Kalau dia melepaskan pukulan Sinar Matahari, pasti
Kamandaka akan mengeluarkan pukulan Halilintar. Wiro maju dua langkah. Dia masih
penasaran karena dalam gembrakan pertama tadi sudah kena diciderai lawan. Maka
diapun berkata. "Menurut Ketua Partai Semeru Raya, kau bukan saja seorang murid
murtad, tapi juga bodoh! Selagi digembleng di puncak Semeru katanya kau
merupakan murid paling bodoh, tapi sombong besar kepala. Apa betul begitu
sobat?" "Anjing kurap! Aku bukan sobatmu!" teriak Kamandaka.
"Lihat serangan! Kau akan lihat apa aku benar-benar seorang bodoh!"
Belum lagi selesal ucapan itu dua jotosan beruntun menderu ke arah dada dan
kepala Pendekar 212. Sekali ini karena sudah mengerahkan seluruh tenaga dalam
maka Wiro menangkis serangan lawan dengan pukulkan kedua lengannya ke atas.
Bukkkk! Bukkkk! Kalau tadi Pendekar 212 yang terpental dan berseru kesakitan maka kali ini
Kamandaka yang mencelat sampai dua tombak dan terduduk jatuh. Mukanya kelihatan
merah gelap menahan sakit dan amarah. Kedua tangannya seperti tanggal.
"Jahanam..." serapahnya. Kakinya ditekuk. Tubuhnya tiba-tiba melesat ke depan.
Serangan berantai yang dilancarkan pemuda ini sungguh berbahaya. Kedua tangannya
bukan saja menjotos dan memukul tetapi juga mencakar. Satu cakaran sempat
melukai dada kiri Pendekar 212. Tiga guratan dalam yang mengucurkan darah
terlihat di dada itu.
Diam-diam Wiro memuji kehebatan pemuda yang jadi lawannya ini. Belum pernah dia
digempur sehebat itu. Ilmu silat yang dipelajarinya dari Sinto Gendeng tidak
sanggup dipakai untuk bertahan. Terpaksa Wiro keluarkan ilmu silat orang gila
yang didapatnya dari Tua Gila di pulau Andalas.
Kamandaka menjadi heran dan juga kalap ketika
sepuluh jurus menggempur kini jangankan memukul atau menendang, menyentuh
lawanpun dia sepertl tidak
mampu! Padahal gerakan silat yang dilakukan Wiro seperti orang main-main,
seperti orang mabok! Malah dua tiga kali jotosan dan tendangan Wiro sempat
mampir di tubuhnya menimbulkan rasa sakit yang memanggang amarahnya.
"Jahanam! Baiknya kuhabisi pemuda keparat ini sekarang juga!" Pikir Kamandaka.
Lalu dia melompat ke atas sebuah batu. Kedua kaki direnggangkan. Mata menatap
tajam ke depan. Tampang membesi. Perlahan-lahan kedua tangannya diangkat ke
atas. Dua lengan saling ber-silangan. Mulut bergerak-gerak.
Di bawah sana Pendekar 212 melihat kedua lengan
lawan berubah menjadi hitam.
"Setan alas Itu hendak lepaskan pukulan Halilintar!"
kata Wiro dalam hati. Segera dia angkat tangan kirinya untuk membentengi diri
dengan pukulan benteng topan melanda samudera.
Tangan kanan digerakkan ke depan. Pada saat kedua lengan Kamandaka berubah
menjadi hitam, lengan kanan Wiro juga berubah memancarkan sinar putih perak
menyilaukan! Kamandaka menyeringai melihat hal itu. Ada semacam rasa senang dalam hatinya
untuk mencoba pukulan sakti setiap tokoh silat yang ditemuinya. Dia sudah lama
mendengar kehebatan pukulan Sinar Mataharl. Kali ini dia akan membuktikannya
sendiri. Dua lengan yang bersilang tiba-tiba dilepas. Serentak dengan Itu
terdengar suara seperti halilintar merobek udara. Dua larik sinar hitam
menggebubu ke arah Pendekar 212 membawa hawa panas luar biasa!
Tenang tapi ada juga rasa tegang di lubuk hatinya murid Eyang Sinto Gendeng
gerakkan tangan kiri. Pukulan benteng topan melanda samudera menderu membentengi
dirinya. Dari tangan kanan dia melepas pukulan sinar matahari. Sinar putih
menyilaukan seperti membelah langit. Udara sepanas di neraka.
Dentuman keras seperti gunung meletus laksana
hendak menghancur luluhkan bukit batu itu ketika sinar hitam yang keluar dari
tangan Kamandaka beradu dengan sinar putih pukulan sakti yang dilepaskan Wiro.
Masingmasing merasakan kedua kaki mereka bergetar hebat dan tubuh laksana
dipanggang api. Di udara sinar hitam dan sinar putih laksana dua ekor naga
mengamuk berkelahi bergulung-gulung.
Tiba-tiba Wiro merasakan kedua kakinya goyah dan dadanya sakit. Ini satu
pertanda bahwa pukulan Benteng Melanda Samudera dan pukulan Sinar Matahari tidak
mampu menahan hantaman pukulan Halilintar!
"Celaka!" teriak Wiro dalam hati. Terbayang di depan matanya tubuh Ki Pamilin
dan tubuh Datuk Alam yang menemui ajal menghitam gosong! Itulah rupanya nasib
yang bakal diterimanya saat itu!
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar suara perempuan berseru.
"Mas Kaman! Saya bersedia jadi istrimu asal, jangan bunuh pemuda itu!"
Kamandaka kenal betul suara itu. Suara Kintani.
Pemusatan pikirannya jadi terganggu. Hal ini dirasakan oleh Wiro karena lututnya
yang goyah kembali pulih.
Namun dia belum mampu menyelamatkan diri dari
tekanan pukulan sakti lawan. Di udara dilihatnya sinar putih pukulan Sinar
Matahari semakin redup tenggelam dalam sinar hitam pukulan Halilintar. Sesaat
sebelum sinar putih pukulan saktinya sirna, Pendekar 212 keluarkan seruan keras.
Tubuhnya melayang ke bawah bukit, berlindung di balik sebuah batu besar. Wuss!
Pukulan Halilintar menderu. Batu besar tempat Wiro berlindung kelihatan mengepul
putih lalu berubah menjadi hitam dan perlahan-lahan hancur rontok. Tubuh
Pendekar 212 selamat dari serangan maut itu namun dirinya terpental jauh terkena
hempasan angin pukulan. Wiro terguling-guling ke bawah bukit. Sekujur tubuhnya
memar. Di keningnya ada luka yang mengucurkan darah. Dadanya mendenyut sakit seperti
dihimpit batu besar. Dari mulutnya meleleh darah. Dia terhempas di kaki bukit
batu dalam keadaan setengah pingsan setengah sadar. Samar-samar dilihatnya ada
seseorang berlari ke arahnya, bersimpuh di sampingnya dan meletakkan kepalanya
di atas pangkuan-nya. Lalu dia melihat bayangan lain di sampingnya.
Menyusul suara orang tertawa cekikikan.
"Anak setan!" Ada suara memanggil memaki. "Itulah akibat kalau malang melintang
terus-terusan. Tak pernah muncul untuk minta tambahan ilmu. Ilmu kesaktian
manusia sudah semakin tinggi. Sudah bertambah! Ilmumu ltu ke itu juga! Sekarang
kau rasakan sendiri bagaimana rasanya babak belur di hantam orang! Hik.., hik...
hik!" Di dunia ini hanya ada satu orang yang memanggil dirinya dengan sebutan "anak
setan". Orang itu adalah gurunya sendiri. Eyang Sinto Gendeng. Seperti mendapat
satu kekuatan, Wiro bangkit dari haribaan orang yang me-mangkunya. Orang yang
memangku berkata. "Tidur saja.
Kau terluka di dalam cukup parah!"
Wiro tidak perdulikan. Dia mengenali itu adalah suara Kintani gadis yang
dipinjaminya baju. Dia tetap bangklt bahkan berdiri. Dia memandang ke depan.
Benar, memang dia. Gurunya! Perlahan-lahan Wiro jatuhkan diri berlutut.
"Eyang, maafkan muridmu yang selama ini tidak pernah meminta petunjukmu! Soalnya
murid tidak mau menyusah-kan Eyang..."
"Ah, itu kan cuma ucapan seseorang yang pura-pura menyesal! Sudah tutup dulu
mulutmu!" Nenek tua di depan Pendekar 212 menjejalkan sesuatu ke dalam mulut
Wiro. "Telan cepat kalau kowe masih mau hidup!" katanya. Obat sebesar jempol kaki itu
dengan susah payah ditelan juga oleh Wiro. Kintani kemudian menopang
punggungnya, menyeka darah di mulutnya. Wajah Wiro yang tadl pucat kini tampak
mulai segar kembali. Perlahan-lahan dia berdiri.
"Nah kowe sudah sembuh! Ayo ikut aku ke puncak bukit! Ada tontonan menarik yang
bakal kita saksikan!"
kata Eyang Sinto Gendeng pula. Dia berpaling ke kiri. Di situ tegak seorang
gadis jelita, berambut diikat buntut kuda. "Kau sudah siap Mintari" Tabahkan
hatimul" Gadis itu ternyata adalah Mintari, anak Ki Pamilin yang bergelar Tangan Baja. Si
gadis menatap ke arah Wiro, pemuda yang dulu menolongnya.
"Heran, bagaimana dia bisa muncul bersama Eyang?"
Who bertanya dalam hati.
Sinto Gendeng maklum apa yang ada di benak . Wiro.
Maka diapun berkata. "Saat, ini dia bisa kau anggap sebagai adik seperguruanmu,
Wiro. Kalau urusannya nanti sudah selesai dia kembali ke asalnya. Bukan saudara
seperguruanmu lagi karena dia memang tak pernah kuangkat sebagai murid!"
"Saya tidak mengerti Eyang..."
"Nanti kowe juga bakal mengertil" jawab Sinto Gendeng.
Di kejauhan tampak ada empat orang naik ke puncak bukit batu. Gerakan mereka
sebat dan cepat.
"Tontonan menarik akan segera mulal. Ayo ikut aku ke puncak bukit!" kata Sinto
Gendeng. Keempat orang itu segera naik ke puncak bukit batu. Kintani dan Mintari
sengaja mengapit Wiro yang keadaannya masih agak lemah.
*** WIRO SABLENG KAMANDAKA SI MURID MURTAD
11 I PUNCAK gunung Semeru pagi itu Ketua Partal
Gamar Senopatri yang bergelar Dewa Tapak Sakti
Dduduk dikelilingi oleh Rana Tumalaya Ketua cabang wilayah Barat dan Ageng Seto
Cabang wilayah Utara. Lalu ada dua orang murid Partai yang tingkat kepandaiannya
hampir mendekati para Ketua Cabang.
"Malam tadi saya bermimpi. Ada dua ekor burung merpati jatuh di pangkuan saya.
Yang satu tidak bernafas lagi. Mati. Yang satunya megap-megap. Kedua sayapnya
patah dan kepalanya terluka. Merpati satu ini akhirnya mati di pangkuan saya."
Sang Ketua diam sesaat lalu meneruskan bicaranya.
"Saya bukan orang yang percaya pada mimpi. Namun setiap mimpi mempunyal takbir
dan maknanya sendiri-sendirl. Dua saudara kita Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu
sudah seminggu meninggalkan kita. Saya menaruh kawatir, mimpi tadi malam
merupakan pertanda buruk bagi kita. Jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan
mereka..."
"Kalau Ketua mengizinkan, saya akan turun gunung untuk menyelidik," berkata
Ageng Seto. Lama Ketua Partai Semeru Raya itu terdiam. Akhirnya dia berkata. "Saat ini saya
merasa harus pergi ke goa Kranggan di Selatan. Bukan saja untuk mencari tahu
keadaan dua Ketua Cabang itu, juga untuk langsung mencari Kamandaka murid sesat
dan murtad itu."
"Saya akan mendampingi Ketua," kata Ageng Seto pula.
"Saya jugal" kata Rana Tumalaya.
Dua anak murtad murid tingkat tinggi yang ada di situ mengatakan hal yang sama
pula. "Tidak semua bisa pergi. Harus ada yang menunggu d!
sini guna mengurus segala sesuatunya," kata Gamar Senopatri pula. Dia berpaling
pada Ageng Seto. "Kau punya kepentingan lebih besar untuk Ikut bersama saya. Kau
harus tahu apa yang terjadi dengan adikmu Ageng
Sembodo." "Terima kasih atas kepercayaan Ketua membawa saya,"
Ageng Seto merasa gembira.
"Kalian berdua juga ikut saya," kata Ketua Partai se-lanjutnya seraya
menggoyangkan kepala pada dua anak murid Partai. Kedua orang ini menundukkan
kepala sambil mengucapkan terima. kasih. "Dan kau Dimas Rana Tumalaya. Kau
terpaksa tinggal untuk menjaga dan mengurus segala sesuatunya selama kami
pergi." "Akan saya laksanakan dengan sebaik-baiknya Ketua,"
jawab Rana Tumalaya walau hati kecilnya sebenarnya ingin sekali pergi
mendampingi Ketua Partai.
Beberap hari kemudian rombongan dari gunung Semeru itu sampai di pantai Selatan
di mana terletak goa Kranggan. Seperti yang dilakukan Wiro, setelah masuk goa
dan mengetahul bahwa terowongan di dalamnya membalik ke arah daratan, Gamar
Senopatri membawa membawa orang-orangnya keluar goa dan menempuh jalan darat
hingga akhimya sampai di bukit batu. Pada saat yang bersamaan Eyang Sinto
Gendeng dan Mintari sampai pula di tempat itu. Tujuan kedua orang ini jelas
untuk menuntut balas atas kematian ayah Mintari serta kekejian yang dilakukan
Kamandaka atas dirinya. Seperti dituturkan sebelumnya Eyang Sinto Gendeng telah
menculik Mintari selagi berada di rumah kediaman Raden Bintang. Gadis malang Ki
Pamilin ini dibawanya ke suatu telaga di Bukit Slarong. Di sini Mintari
diberinya pelajaran meningkatkan kekuatan tenaga dalam. Setelah itu diajarinya
ilmu sakti pukulan Sinar Matahari. Pukulan sakti yang diajarkan si nenek pada
Mintari memiliki kekuatan lebih hebat dad pukulan Sinai Matahari yang telah
diwariskannya pada muridnya Wiro Sableng. Hal ini karena Sinto Gendeng menyadari
bahwa pukulan Sinar Mataharl yang lama tidak bakal sanggup menumbangkan pukulan
Halilintar yang dimiliki Kamandaka. Namun karena Mintari bukan muridnya maka
Eyang Sinto Gendeng hanya memberikan kemampu-an memiliki selama tiga puluh had
pada Mintari. Selewat-nya waktu tersebut kesaktian itu akan lenyap dengan
sendirinya. Di samping itu Mintari hanya bisa mempergunakan ilmu kesaktian itu
satu kali saja.
Di puncak bukit batu Kamandaka tampak melangkah
mundar-mandir di depan rumah batunya.
Hatinya geram sekali. Kalau saja tadi Kintani tidak muncul dan mengganggu
pemusatan pikirannya, pasti Pendekar 212 dapat dikalahkannya dan ditambusnya
sampai gosong dengan pukulan Halilintar. Kini pemuda itu lenyap di kaki bukit.
Kintani sendiri melarikan diri entah ke mana. Rasa geram semakin membakar
dirinya ketika dia membayangkan tubuh Kintani yang sudah siap untuk ditidurinya!
"Jahanam! Keparat!" maki Kamandaka.
Selagi dia memaki-maki begitu dari arah Barat lereng bukit batu dilihatnya ada
empat orang lelaki muncul mendaki. Di sebelah depan... Kamandaka segera
mengenalinya dari pakaian yang dikenakannya.
"Jahanam itu akhirnya muncul juga!" katanya. "Segala urusan akan kuselesaikan
hari ini! Akan kubuka kedok busuk bangsat itu!"
Tiba-tiba ekor mata Kamandaka melihat ada gerakan lain di lamping Timur bukit
batu. Di jurusan ini juga ada empat orang yang g mendatangi. Dua gadis, satu
nenek dan satu lagi seorang pemuda yang dari jauh segera dikenalinya yaitu
Pendekar 212 Wiro Sableng. Sedang salah satu dari gadis yang datang tak pelak
lagi adalah Kintani.
"Manusia-manusia celaka! Semua akan kubikin mampus!" kertak Kamandaka dalam
hati. Lalu dia melompat ke atas batu datar di depan rumah batu. Kedua kakinya
merenggang sedang kedua tangan dirangkapkan di depan dada. Begitu dua rombongan
bongan itu sampal sekitar sepuluh langkah di depannya Kamandaka lantas pentang
suara. "Selamat datang mahluk-mahluk pencari mati! Siapa di antara kalian yang ingin
mampus lebih dulu"!"
Paras empat orang dari gunung Semeru tampak be-
Wiro Sableng 062 Kamandaka Murid Murtad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rubah merah sementara Sinto Gendeng dan tiga orang anggota rombongannya tenang-
tenang saja malah ada yang menyengir-nyengir!
Ketua Partai Semeru Raya menatap paras Kamandaka sesaat lalu melirik ke samping.
Dia terkejut ketika mengenali Sinto Gendeng dan heran melihat mengapa Kintani
berada bersama rombongan si nenek.
. "Kamandaka, kami datang jauh jauh bukan untuk mencarI kematian," Gamar Senopatri
membuka mulut. "Kami datang justru untuk menghukummu! Dosamu selangit tembus sedalam lautan!
Berlututlah minta ampun kepada Tuhan sebelum aku menjatuhkan hukuman mati atas
dirimu di tempat ini juga!"
Kamandaka tampak melongo. Dia memandang tak ber-
kesip pada Ketua Partai Semeru Raya itu. Lalu perlahan-lahan tampak dia menekuk
kedua kaki seperti hendak berlutut. Ternyata pemuda ini hanya pura-pura saja.
Justru ketika pantatnya bergerak turun tiba-tiba dia keluarkan suara kentut yang
keras sekali. Sehabis kentut dia tertawa gelak-gelak!
Dari rombongan yang dipimpin oleh Singo Gendeng, terdengar pula suara tertawa
bekakakan. Itu adalah suara tawa Wiro Sableng yang memang tidak bisa menguasai
diri. Sinto Gendeng mendelik dan membentak. "Husss! Ku-robek mulutmu kalau tidak
hentikan tawamu!"
Wiro terpaksa tutup mulutnya. Kedua matanya melirik ke kiri kanan yaitu ke arah
Kintani dan Mintari. Kintani senyum-senyum saja. Sedang Mintari mendongak ke
langit sambil pejamkan mata. Pasti ada sesuatu yang sangat mempengaruhi dirinya
saat itu yakni niatnya untuk menuntut balas. Mintari turunkan kepalanya dan
berbisik pada Sinto Gendeng. "Eyang, kalau Ketua Partai Semeru itu berhasil
membunuh Kamandaka, berarti saya tidak akan pernah membalaskan sakit hati dendam
kesumat...."
Si nenek tersenyum. Dia menjawab. "Tidak satu orangpun bisa mengalahkan
Kamandaka, kecuali kau. Lihat saja nanti. Jangan banyak tanya lagi. Siapa yang
berani bicara nanti kutampar!"
Mintari dan Kintani kancingkan mulutnya rapat-rapat sementara Wiro sambil garuk-
garuk kepala berusaha menahan ketawa hingga mukanya merah sampai ke
telinga. Di sebelah sana empat wajah orang-orang gunung
Cemeru tampak merah kelam membesi.
Gamar Senopatri berkata dengan suara bergetar tanda dia berusaha menekan amarah.
"Orang yang mau mati memang suka berbuat tolol!
Kami tahu kau pasti telah membunuh Ki Rono Bayu. Dalam perjalanan ke mari kami
menemui mayat Ageng Sembodo.
Dosamu tak mungkin diampuni lagi Kamandaka!"
"Dari tadi kau bicara melulu! Kapan kau mau bertindak"!" Kamandaka berkata
lantang. "Saat ini juga murid murtad!" jawab Gamar Senopatri.
"Bagus! Tapi sebelum kau membual hendak membunuhku, biar aku bicara dulu. Agar
semua orang tahu siapa dirimu sebenarnya. Dan mengapa aku melakukan semua
kejahatan ini! Tujuanku lain tidak adalah agar satu ketika aku dapat berhadapan
denganmu. Kini saat yang kutunggu sejak beberapa bulan lalu sudah tiba! Bukan
aku yang bakal menerima kematian. Tapi kau! Sesuai dengan kejahatan dan
kebusukan yang pernah kau buat dua puluh lima tahun silam. Ketika aku baru
berusia tiga tahun!"
Ketika berkata itu Kamandaka berulang kali menudingkan telunjuknya ke arah Gamar
Senopatri hingga Ketua Partai ini tambah merah wajahnya dan bergetar seluruh
tubuhnya. Sementara bicara kedua mata Kamandaka selalu tertuju pada seuntal
kalung baja putih dengan hiasan kepala seekor singa yang tergantung di leher
sang Ketua. Apa yang diucapkan Kamandaka tadi tentu saja membuat Gamar Senopatri terkejut.
Bahkan yang lain-lain yang ada di tempat itu jadi ikut bertanya-tanya.
"Gamar Senopatri! Hari ini kubuka kedok busukmu!"
kata Kamandaka enak saja dia menyebut langsung nama orang tua itu. "Dua puluh
lima tahun lalu, di hutan Sasakan kau pernah menghadang satu keluarga kecil yang
tengah pindah dari Kaliurang ke Sleman. Kepala rombongan itu adalah seorang
lelaki bernama Abdi Gontor. Dia bertindak sebagai sais pedati sementara istrinya
duduk dl sebelahnya. Istrinya bernama Widi Sinten. Seorang anak lelaki berusia
tiga tahun berada di bagian belakang pedati.
Sampai di sini apa kau bisa ingat Gamar Senopatri?"
Semua orang saat itu menyaksikan bagaimana wajah Ketua Partai Semeru Raya tiba-
tiba menjadi pucat pasi seputih kain kafan! Mulutnya komat-kamit tapi tidak ada
suara yang keluar. Dadanya turun naik.
Di atas batu Kamandaka kembali membuka mulut.
"Mungkin ingatanmu masih belum pulih. Biar kuteruskan ceritaku! Perempuan
bernama Widi Sinten itu adalah kekasihmu di masa muda. Namun dia meninggalkanmu
karena ternyata kau punya lebih dari lima orang kekasih.
Kau mengkhianati cintanya dan kawin di mana-mana.
Ketika Widi Sinten kawin dengan Abdi Gontor baru kau sadar bahwa sesungguhnya
kau benar-benar mencintainya.
Kau inginkan dirinya lagi tapi sudah terlambat. Rasa sayangmu berubah jadi rasa
benci sakit hati. Kau cegat rombongan mereka di hutan Sasakan. Kau bunuh Abdi
Gontor. Lalu kau rusak kehormatan Widi Sinten! Sehabis diperlakukan secara keji
begitu Widi Sinten bunuh diri dengan sebilah keris milik suaminya di tempat itu
juga!" Sampai di situ Kamandaka tampak seperti tidak dapat menguasai diri. Tubuhnya
bergetar hebat dan suaranya ditelan isakan tangis. Sesaat kemudian baru dia bisa
meneruskan kata-katanya.
"Kejadian itu disaksikan oleh anak mereka yang berusia tiga tahun. Si anak
menangis dan takut. Berusaha turun dari pedati tapi terjatuh. Kepalanya
membentur tanah hingga jatuh pingsan. Ketika siuman dia tidak dapat lagi
mengingat apa yang telah terjadi dengan kedua orang tuanya. Entah karena apa kau
kemudian mengambil anak itu, meminta seseorang mengasuhnya lalu menjadikannya
murid dalam Partal. Selama lebih dari dua puluh empat tahun ingatannya tentang
peristiwa itu menjadi gelap.
Namun enam bulan yang lalu sebuah benda yang tiba-tiba dilihatnya membuat dia
ingat kembali apa yang terjadi di masa lalu itu. Benda itu adalah kalung baja
putih yang melingkar di lehermu! Kalung itu dilihat si anak waktu kau membunuh
dan memperkosa ibunya. Kalung itu kemudian dilihat anak yang sama enam bulan
lalu ketika untuk pertama kalinya kau memakainya kembali pada suatu upacara
kebesaran Partai!"
Suasana di puncak bukit itu hening seperti di
pekuburan. Suara anginpun tidak kedengaran. Ketegangan tegangan menggantung di
udara. Kedua mata Kamandaka berkaca-kaca. Suaranya bergetar ketika dia
menyambung kata-katanya.
"Kau tahu siapa anak itu Gamar Senopatri" Anak itu adalah aku! Kamandaka!
Muridmu yang katamu sudah kau anggap seperti anak sendiri!"
Semuanya mata memandang pada Gamar Senopatri.
Ketua Partai Semeru Raya ini merasakan tenggorokannya kering. Di atas kepalanya
matahari seperti hanya sejengkal.
Tubuh dan pakalannya mandi keringat.
"Ceritaku belum habis Gamari Setelah aku tahu kau pembunuh ayahku dan manusia
yang merusak ibuku, aku pergi meninggalkan Semeru. Aku menghubungi tokoh-tokoh
persilatan minta pandangan mereka apa yang dapat aku lakukan. Tak satu orangpun
yang mau memberi
nasihat. Apalagi bertindak menghukummu! Semua mereka pengecutl Aku anggap sama
saja mereka itu bersekutu dengan dirimu! Ketika seorang sakti memberiku ilmu
pukulan Halilintar, semua tokoh- tokoh silat keparat itu kuhabisi satu demi
satu. Gadis-gadis kuculik dan ku-perkosa. Kubayangkan mereka adalah anak gadismu
sendiri! Lalu aku merencanakan untuk menyamaratakan puncak Semeru, menghancurkan
Partai Semeru Raya dan mematahkan batang lehermu! Orang-orang persilatan
menganggap aku manusia sesat. Kau menyebut aku murid murtad! Mungkin aku sesat
dan murtad. Tapi semua berpangkal sebab kepadamu! Kau tidak lebih baik dariku
Gamar Senopatri! Kedokmu sudah kubuka. Berarti
kematianmu sudah di depan mata! Bersiaplah!"
Tubuh Ketua Partai Semeru Raya itu tampak ber-
guncang. Ageng Seto dan dua murid Partai cepat memegangnya.
"Tinggalkan saya..." kata Gamar Senopatri pada orang-orang itu. "Menjauhlah. Aku
sudah siap menerima hukumanku!"
Ageng Seto maju ke depan. "Kamandaka!" serunya.
"Kuharap persoalan ini selesal sampai di sini saja. Kami akan kembali ke puncak
Semeru. Apa yang kau lakukan nanti adalah urusan dan tanggung jawabmu sendiri!"
Habis berseru begitu Ageng Seto memegang bahu Gamar
Senopatri lalu berbisik. "Ketua, mari kita tinggalkan tempat ini." Tapi Gamar
Senopatri gelengkan kepala.
Di atas batu Kamandaka tampak menyllangkan kedua lengannya. Lengan-lengan Itu
berubah menjadi hitam.
"Ketua! Awas!" Kintani berteriak. Tapi terlambat.
Suara seperti halilintar memekakkan telinga. Bukit batu bergetar hebat. Dua
larik sinar hitam menderu menebar hawa panas luar biasa. Dua orang anak murid
Partai yang berada agak jauh masih bisa melompat selamatkan diri.
Tapi Gamar Senopatri dan Ageng Seto tak mampu berbuat suatu apa. Kedua orang Itu
hanya keluarkan suara raungan pendek. Tubuh mereka terpental jauh. Keduanya
menemui ajal dalam keadaan tubuh hitam gosong mengepulkan asap. Bau daging
terbakar menyesakkan nafas dan
mengidikkan semua orang yang ada di tempat itu.
Untuk beberapa lamanya Kamandaka masih tegak di
atas batu datar di depan rumah batu. Eyang Sinto Gendeng berpaling pada Mintari
dan berkata perlahan.
"Tontonan bagus sudah selesai. Giliranmu sudah tiba, Mintari," kata si nenek.
Gadis itu mengangguk. "Semoga saya berhasil, Eyang "
"Jangan kawatir. Kau pasti berhasil!" jawab Sinto Gendeng. Lalu dia melangkah
menemani gadis itu sampai lima belas langkah di hadapan batu datar di mana
Kamandaka berada sementara Wiro dan Kintani tetap berada di tempat semula.
Kamandaka menatap kosong ketika Mintari tegak di depannya. Dia seperti tidak
melihat gadis itu sampai pada saat Mintari berkata dengan suara keras.
"Kamandaka! Kudengar ceritamu tadi cukup mengharu-kan. Kau pernah kehilangan
ingatan selama lebih dari dua puluh empat tahun. Tapi apa kau juga hilang
ingatan atas apa yang kau lakukan terhadap ayahku dan diriku
beberapa bulan lalu"!"
"Heh.... Siapa kau" Suaramu lantang dan wajahmu cantik!" Otak kotor Kamandaka
mulal bekerja rupanya.
"Beberapa bulan lalu kau membunuh ayahku Ki Pamilin bergelar Tangan Baja. Di
tempat yang sama kau kemudian merusak kehormatanku! Ingat.. ?"
"Ya, aku memang ingat..." jawab Kamandaka.
"Lalu sekarang apa maumu" Minta diperkosa lagi?"
Kamandaka tertawa mengekeh. Tapi jelas tawa itu seperti dipaksakan. Dia seperti
belum dapat melenyapkan
keguncangan hatinya saat-saat menjelang dia menghabisi Gamar Senopatri tadi.
"Kejahatan harus dibalas dengan keadilan! Keadilan satu-satunya bagimu adalah
mati!" teriak Mintari. Lalu dia angkat tangan kanannya. Tangan itu sampai sebatas siku berubah
menjadi putih perak dan sangat menyilaukan.
Hawa panas terasa mencekam tempat sekitar situ.
Pendekar 212 Wiro Sableng sempat terkejut melihat hal itu. "Gila! Mengapa lengan
itu bisa sangat menyilaukan seperti itu. Aku sendiri tidak mampu berbuat seperti
itu. Ah, si Eyang pasti sudah main kayu! Mengajarkan sesuatu pada orang lain
tapi tidak mengajarkannya padaku!" Baru saja saja Wiro mengucapkan kata-kata itu
dalam hatinya tiba-tiba ada suara menglang di telinganya.
"Anak setan! Jangan kowe berpikir yang bukan-bukan!
Kau sendiri yang salah. Selama ini kau hanya senang malang melintang. Tidak
pernah memikirkan untuk mem-perdalam serta menambah ilmu kepandaian!"
Wiro melirik ke arah si nenek yang tegak tak berapa jauh dari tempatnya berdiri.
Itu tadi suara si nenek yang mempergunakan ilmu bersuara jarak jauh. Wiro hanya
bisa garuk-garuk kepala. Memandang ke depan dilihatnya lengan Mintari semakin
memancarkan sinar menyilaukan.
"Pukulan Sinar Matahari!' seru Kamandaka dengan nada serta mimik mengejek.
"Siapa yang mengajarkan padamu" Pasti nenek jelek itu atau pemuda gondrong
sebelah sana!" Kamandaka tertawa panjang. "Kumpulkan seratus orang yang mampu
melancarkan pukulan Sinar Matahari. Tak satupun yang akan mampu menghadapi
pukulan Halilintar!"
"Takaburmu membawa celaka!" teriak Mintari. Tangannya perlahan-lahan diangkat
lebih tinggi. "Eh, gadis ini tidak main-main. Sebenarnya sayang kalau dia harus kubunuh! Tapi
apa boleh buat!" Begitu Kamandaka membatin. Lalu dia silangkan kedua
tangannya di depan kepala. Kedua tangan itu serta merta menjadikan hitam. Sambil
sunggingkan senyum merendah-kan, Kamandaka lepaskan silangan kedua tangannya dan
memukul ke depan.
Wuss! Wuss! Dua larik sinar hitam menderu dahsyat disertai suara gelegar halihntar. Untuk
kesekian kalinya bukit batu itu seperti diguncang gempa dan langit seperti mau
roboh! Mintarl keluarkan pekik keras. Tangan kanannya menghantam ke depan. Hawa panas
menggebubu. Selarik sinar putih kebiruan menyilaukan menyambar ganas. Ratusan
bunga api memercik di udara ketika dua larik sinar hitam bertemu dengan selarik
sinar putih kebiruan.
Kedua kaki Mintari tampak goyang. Kamandaka menyeringai. Kintani dan Wiro
menahan nafas. Tapi Sinto Gendeng tenang-tenang saja. Malah dari mulutnya
terdengar suara dia menyanyi. "Kejar terus, tahan terus....
Hitam tak pernah menang dari putih... Kejar terus, tahan terus... Hitam tak
pernah menang dari putih..."
Di udara dua larik sinar hitam pukulan Halilintar berusaha menggelamkan sinar
putih pukulan Sinar Matahari.
Namun sekali ini tampak sinar-sinar hitam Itu terdorong ke belakang hingga
Kamandaka merasakan kedua Iengannya bergetar keras. Hal ini tak pernah kejadian
sebelumnya. Dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya hingga wajahnya jadi merah dan sekujur
tubuhnya mandi keringat.
Tiba-tiba Mintari putar telapak tangan kanannya.
Gerakan ini disusul dengan gerakan mendorong ke depan .
Wussss! Pukulan Sinar Matahari menggebubu laksana topan
prahara. Dua larik sinar hitam pecah dan bertebaran lalu lenyap. Sinar putih
terus melabrak ke depan.
"Jahanam!" Masih terdengar makian Kamandaka. Itu adalah ucapannya yang terakhir
sebelum tubuhnya terseret sinar putih panas dan menyilaukan itu. Pemuda itu
terbanting ke dinding batu di samping rumah batu. Untuk sesaat lamanya tubuhnya
yang melepuh matang merah Itu laksana dicetak masuk ke dalam dinding batu. Lalu
perlahan-lahan tubuh itu mencuat keluar dan jatuh tergelimpang di atas batu.
Mintari jatuhkan diri dan tekap mukanya dengan kedua tangannya. Sinar putih
menyilaukan pada tangan kanannya sudah lenyap. Dia menangis terisak-isak. Satu
tangan memegang bahunya, mengira itu adalah Eyang Sinto Gendeng yang
memegangnya, gadis ini berkata. "Eyang, terima kasih. Saya berhasil Eyang.
Terima kasih..."
"Eyang sudah lenyap entah kemana," jawab satu suara.
Mintari berpaling. Yang memegang bahunya dan yang barusan bicara ternyata adalah
Pendekar 212 Wiro Sableng. Di sampingnya berdiri Kintani. "Dia sempat berpesan
agar aku mengurus kalian berdua. Ah, bagaimana ini... Kalian kan bukan anak-anak
kecil lagi."
Perlahan-lahan Mintari berdiri. Dia memandang pada Kintani sambil mengusap air
matanya. Lalu dia berkata.
"Bersamamu Wiro, kami mau jadi anak-anak kecil kembali."
"Tapi kami anak-anak kecil yang nakal. Hingga kau pasti bakal kewalahan mengurus
kami!" menyambung Kintani.
Pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk kepala. Lalu dia berdiri di antara kedua
gadis itu dan memegang bahu mereka. Sambil melangkah Wiro tersenyum-senyum.
"Apa yang kau tertawakan?" tanya Mintari.
Ditanya begitu sang pendekar justru malah tertawa gelak-gelak. "Aku ingat ketika
kalian kutemui lari dari puncak bukit nyaris tanpa pakaian sama sekali!"
Kedua gadis itu terpekik. Lalu cubitan-cubitan menye-ngat lengan, pinggang dan
punggung Pendekar 212 membuat dia kelojotan dan terlonjak-lonjak kian kemari.
Pembalasan dua gadis itu ternyata tidak sampai di sana saja. Dari belakang
keduanya menarik celana Wiro ke bawah kuat-kuat hingga tubuh bawah sebelah
belakang pemuda ini tersingkap lebar. Sementara Wiro kalang kabut menarik
Wiro Sableng 062 Kamandaka Murid Murtad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
celananya, Mintari dan Kintani telah melarikan diri ke bawah bukit.
"Anak-anak nakal! Kalau dapat kukejar akan kuciumi kalian berdua!" teriak Wiro.
Mintari dan Kintani berhenti lalu lambaikan tangan menggoda. Ketika Wiro
mengejar keduanya lari kembali sambil tertawa terpingkal-pingkal.
TAMAT Iblis Buta 2 Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Pendekar Panji Sakti 1