Pencarian

Neraka Krakatau 1

Wiro Sableng 063 Neraka Krakatau Bagian 1


WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Episode : Neraka Krakatau
SATU M ata manusia biasa akan melihatnya sebagai suatu hal yang tidak dapat
dipercaya. Namun ini adalah kenyataan. Sebuah perahu kecil meluncur deras seolah
membelah air laut di selat Sunda menuju ke arah Barat Laut. Saat itu tengah hari
tepat. Sang surya memancarkan sinarnya yang paling panas pada puncak ketinggiannya.
Di atas perahu tampak duduk seorang nenek berwajah angker. Tubuhnya
kurus kering. Mukanya seperti tengkorak karena hanya tinggal kulit pembalut
tulang. Dia mengenakan pakaian warna hijau tua.
Perempuan tua ini memeang sebuah pendayung di tangan kirinya. Sikapnya
mendayung acuh tak acuh saja. Tetapi kekuatan dayungannya membuat perahu yang
ditumpanginya melesat deras di permukaan air laut yang bergelombang. Rambutnya
yang putih panjang riap-riapan ditiup angin.
Sambil mendayung mulutnya yang perot terdengar menyanyi. Syair
nyanyiannya terasa aneh.
Dosa muda salah kaprah
Jangan harap ampunan pasrah
Tujuh samudera akan kutempuh
Seribu badai akan kutantang
Yang berdosa berpura lupa
Berlagak bodoh seolah gagah
Kalau tak muncul perlihatkan dada
Anak turunan kujadikan mangsa
Sang istri sudah kudapat
Menyusul kini anak keempat
Satu persatu kubuat sekarat
Agar terkikis dendam berkarat
Ketika matahari muali bergeser ke Baat di kejauhan mulai kelihatan pantai
Pulau Rakata. Lebih jauh lagi ke pedalaman menjulang Gunung Krakatau. Agaknya
pulau inilah yang menjadi tujuan nenek angker itu. Si nenek menyeringai. Aneh!
Meski sudah berusia hampr 70 tahun tapi dia memiliki deretan gigi yang masih
lengkap atas bawah. Hanya saja dua taringnya sebelah atas tampak lebih panjang
seperti taring srigala hutan dan membuat tampangnya tambah mengerikan.
Nenek itu kembali tampak menyeringai. Dia memandang ke lantai perahu.
Astaga! Ternyata di atas perahu itu dia tidak sendirian. Sesosok tubuh lelaki
berusia sekitar 40 tahun tergeletak tak bergerak. Wajah dan dadanya yang tidak tertutup
baju kelihatan penuh dngan guratan-guratan luka yang dalam dan mengerikan. Tidak
dapat dipastikan apakah lelaki ini masih hidup atau sudah mati. Rupanya dia hanya
pingsan. Sesaat terdengar orang ini siuman dan mengerang.
"Air....tolong...." terdengar suaranya meminta, sangat perlahan.
"Apa" Kau haus" Minta minum" Baik! Akan kuberi minum!"
Dari lantai perahu nenek ini mengambil sebuah batok kelapa. Dengan batok
ini diciduknya air laut. "Ini! Minumlah!" Lalu isi batok diguyurkan ke dalam
mulut orang yang terbuka setengah mati menderita haus itu!
BASTIAN TITO 1 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Air laut asin itu tentu saja tidak akan melepas dahaga orang yang meminta.
Sebaliknya orang ini malah keluarkan suara tercekik. Kedua matanya sejak tadi
terpejam kini terbuka mendelik. Suara cekikan disusul dengan suara erangan
tertahan. Air asin seolah mencekik tenggorokannya. Lalu sepasang mata itu tidak bergerak
lagi dan hanya bagian putihnya saja yang kelihatan. Mati! Orang yang menggeletak di
lantai perahu itu telah menemui ajalnya!
Anehnya si nenek tertawa mengekeh mengetahui orang itu mati. Seolah dia
sangat membenci orang tua itu dan sama sekali tidak perduli akan kematiannya.
"Kau akhirnya mampus juga Sampan! Aku sebenarnya kasihan padamu. Kau
hanya anak yang menerima celaka karena dosa orang tuamu! Tapi tidak usah
khawatir. Masih ada lima orang manusia lagi yang punya pertalian darah sangat dekat
denganmu yang bakal menerima kematiannya! Hik....hik....hik! Kau tak usah cemas
Sampan. Bukankah kau bakal berkumpul dengan kau punya ibu walau tidak satu liang
kubur"! Hik...hik...hik!"
Si nenek mengayuh lagi perahunya acuh tak acuh. Pantai Pulau Rakata
semakin dekat. Dari mulutnya kembali terdengar suara nyanyian tadi.
Jangan harap ampunan pasrah
Tujuh samudera akan kutempuh
Seribu badai akan kutantang
Serombongan burung camar tampak terbang cerai berai ketika seekor elang
besar tiba-tiba muncul dan menyerbu. Pada saat itulah perahu si nenek angker
mencapai tepi pantai Pulau Rakata pada sebuah teluk yang sempit. Perempuan ini
melompat turun ke darat. Masih sambil menyanyi-nyanyi dia menarik perahu ke
bawah sebatang pohon kelapa di tepi pasir.
Beberapa lama sebelum nenek dan perahunya mendarat di Pulau Rakata, dua
orang leleaki berpakaian serba merah berlari cepat dari arah gunung.
"Kita sudah memeriksa hampir seluruh tepian kawah!" berkata orang yang di
sebelah kanan. Namanya Supit Jagal. Di pinggangnya ada sebuah golok besar
berbentuk segi empat seperti golok tukang jagal. "Jangan-jangan ceita tentang
batu mustika itu hanya tipuan belaka!"
Kawannya berhenti berlari. "Coba kita lihat lagi peta rahasia itu!" katanya lalu
mengeluarkan satu lipatan kertas dari kantong baju merahnya. Lipatan kertas
dibukanya kemudian dibentangkannya di atas pasir. Pada kertas yang terkembang
itu terlihat gambar kasar Pulau Rakata lengkap dengan Gunung Krakatau. Di sekitar
kawah ada tanda-tanda silang. Tanda silang itu juga terlihat pada beberapa
bagian peta yang menghadap ke Selat Sunda. "Tanda silang di sebelah ujung kawah sini
merupakan bagian pulau yang belum kita selidiki. Bagaimana kalau kita menyelidik
ke bagian tanda silang sebelah kanan. Tampatnya tak berapa jauh dari sini...."
"Aku setuju Tubagus Singagarang. Agaknya kita tadi terlalu jauh mendarat ke
sebelah utara. Ini gara-gara angin keras di selat tadi...."
Tubagus Singagarang melipat peta itu kembali dan menyimpannya di dalam
saku. Bersama Supit Jagal dia bergerak ke arah tenggara Pulau Rakata. Angin laut
bertiup kencang memapas arah lari mereka. Di satu tempat Tubagus Singagarang
hentikan larinya. Dia menunjuk ke arah deretan bagian kawah paling gersang dan
agak mendaki di bagian Timur.
"Supit, kau lihat benda-benda aneh yang bersusun di sebelah sana?"
"Ya, aku melihat. Aneh. Benda apa itu" Berbebtuk seperti perahu-perahu kecil.
Tampaknya terbuat dari potongan pohon-pohon kelapa."
"Ada tujuh semuanya....." kata Supit pula.
BASTIAN TITO 2 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Bukan mustahil di sana tersembunyinya batu mustika yang kita cari. Mari
kita periksa!"
"Mari!" sahut Supit Jagal.
Kedua orang ini segera lari ke arah deretan benda yang mereka lihat. Begitu
samapi di tempat yang dituju ternyata yang mereka lihat dari kejauhan tadi
adalah gabungan-gabungan dua batang kelapa yang tengahnya dilubang seperti perahu.
"Apa ini?" ujar Tubagus Sungagarang. "Kotak bukan perahu bukan" Lalu dia
melangkah mengikuti jejeran batang-batang kelapa itu sambil menghitung.
"Satu...dua...tiga...empat...lima...enam..." Memasuki hitungan ketujuh
yaitu di hadapan batang kelapa yang ketujuh hitungan Tubagus Singagarang
terhenti. Langkahnya justru kini tersurut. Mukanya yang garang mendadak menjadi pucat.
Supit Jagal mendatangi dari belakang seraya bertanya.
"Ada apa Tubagus" Kau seperti melihat setan!"
"Lihat...." Suara Tubagus Singagarang agak bergetar dan jarinya menunjuk ke
dalam lobang pada gabungan batang kelapa ke tujuh.
Supit Jagal maju mendekat beberapa langkah.
"Astaga!" Orang inipun tampak terkejut dan berubah air mukanya!
BASTIAN TITO 3 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DUA Di dalam lubang batang kelapa yang terletak paling ujung itu terbaring satu
sosok tubuh perempuan tua mengenakan baju kebaya putih dan kain panjang. Kedua
matanya terpejam. Keadaannya demikian rupa hingga kalau tidak diperiksa tidak
diketahui apakah dia dalam keadaan tidur nyenyak, pingsan atau sudah jadi mayat!
Sekujur tubuhnya mulai dari rambut sampai ke ujung kaki diselimuti oleh sejenis
minyak. Batang kelapa dimana dia tebaring penuh dengan kerumunan semut. Tetapi
binatang-binatang ini tidak satupun yang menyentuh tubuhnya. Kedua orang lelaki
itu memperkirakan minyak pada tubuh perempuan tua itulah yang menyebabkan semut
tidak berani menyentuhnya.
"Coba kau periksa denyut jantungnya," kata Tubagus Singagarang.
"Kau saja," jawab Supit Jagal menolak. Diam-diam dia merasa ngeri.
Dari kedua bersahabat itu Tubagus Singagarang memang lebih berani. Dia
melangkah mendekati batang kelapa lalu mengulurkan tangan memegang lengan kiri
perempuan tua di dalam lubang kelapa.
"Tak ada denyut ndi...." Berucap Tubagus Singagarang setelah memegang
dan merasa-rasa beberapa ketika. Dilepaskannya pegangannya. Fia membungkuk lalu
meletakkan telinga kanannya setengah kuku di atas dada orang dalam lunbang.
Kemudian dia menggeleng dan melirik pada Supit Jagal. "Detak jantungnyapun tidak
kudengar" "Berarti orang ini memang sudah mati!" kata Supit Jagal.
Tubagus Singagarang ingin memastikan. Diulurkannya tangan kanannya. Jarijari
tangannya membalikkan kelopak mata kiri orang dalam lubang. Tak ada hitamnya.
Keseluruhan matanya hanya putih belaka.
"Yang kita lihat memang mayat!" kata Tubagus Singagarang. Tangannya yang
basah oleh minyak yang menyelimuti tubuh orang dalam lubang digosok-gosokkan
pada pakaiannya. Lalu dia coba mencium tangannya itu. Dia mencium sesuatu.
"Minyak serai bercampur jelaga kayu besi," katanya. "Jelas mayat ini sengaja
diberi minyak itu untuk diawetkan!"
Supit Jagal tentu saja heran mendengar ucapan kawannya itu. "Benar-benar
aneh. Kita mencari batu mustika. Yang kita temui di Krakatau ini mayat perempuan
tua yang diawetkan. Untuk apa" Siapa yang punya pekerjaan?" Dia bertanya sambil
memandang ke bwah, ke arah kawah Gunung Krakatau yang mengepulkan asap
berkepanjangan.
"Pertanyaan lain siapa adanya perempuan tua ini?" sambung Tubagus
Singagarang. "Memang aneh..."
"Kau lihat sendiri Tubagus. Ada tujuh batang kelapa berlubang di tempat ini.
Satu berisi mayat. Berarti bakal ada emnam mayat lagi yang akan dimasukkan pada
enam batang kelapa ini!"
"Dugaanmu mungkin benar...." Sahut Tubagus Singagarang. Dua sahabat ini
saling pandang. Di balik rasa heran mereka jelas ada bayangan rasa ngeri. "Apa
yang akan kita lakukan sekarang?"
"Lebih baik lekas-lekas meninggalkan kawasan kawah unung Krakatau ini..."
jawab Supit Jagal.
"Lalu bagaimana dengan usaha kita mencari batu mustika itu?" tanya Tubagus
Singagarang dan hendak mengeluarkan kembali peta yang ada dalam saku pakaiannya.
Tapi tak jadi ketika mendengar sahabatnya berkata.
BASTIAN TITO 4 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Lupakan saja hal itu. Aku merasa tidak enak. Ada yang tidak beres di tempat
ini Tubagus. Aku mencium bahaya. Bahaya maut!"
"Aku juga merasakan begiut," sahut Tubagus Singagarang. "Tapi kau lihat
sendiri. Pulau ini sepi-sepi saja. Tak ada orang selain kita. Kecuali mayat
perempuan tua ini" "Tidak mungkin Tubagus! Aku yakin sekali pasti ada orang lain di sini. Mayat
itu tidak mungkin berjalan sendiri sampai kemari! Ada orang yang membawanya.
Mengawetkannya dengan minyak serai bercampur jelaga...."
"Tapi untuk apa" Pekerjaan apa ini sebenarnya?" ujar Tubagus Singagarang
pula. "Bagaimana kalau kita bersembunyi dan menginati?"
"Terus terang nyaliku mulai leleh. Kau silahkan saja mengintai, aku biar turun
ke bawah terus ke pantai. Aku akan menunggumu di perahu. Jika sampai rembang
petang kau tak muncul terpaksa aku meninggalkan kau dan menyeberang kembali ke
Jawa seorang diri!"
Tubagus Singagarang jadi berpikir mendengar kata-kata kawannya itu. Lalu
dia berkata "Kita sahabat dan saudara seperguruan. Jika senang sama senang.
Kalau susah sama susah. Berarti matipun harus sama-sama! Aku mengalah. Aku ikut
bersamamu. Memang sebaiknya kita pulang saja. Bukan mustahil cerita dan peta
tentang batu mustika itu hanya dibuat-buat orang saja. Hendak mengacau dunia
persilatan!"
Setelah memandang sekali ke arah sosok mayat dalam lubang pohon kelapa,
Tubagus Singagarang dan Supit Jagal segera hendak berkelebat tinggalkan tepi
kawah Gunung Krakatau itu. Tapi baru saja mereka bergerak tiba-tiba terdengar suara
orang menyanyi di kejauhan.
Dosa muda salah kaprah
Jangan harap ampunan pasrah
Tujuh samudera akan kutempuh
Seribu badai akan kutantang
Tubagus Singagarang dan Supit Jagal jadi terkesiap saling pandang.
"Ada orang menyanyi. Apa kataku. Ternyata memang ada orang lain di pulau
ini!" berbisik Supit Jagal.
Lalu di kejauhan kembali terdengar suara nyanyian orang tadi
Berlagak bodoh seolah gagah
Kalau tak muncul perlihatkan dada
Anak turunan kujadikan mangsa
Sang istri sudah kudapat
Menyusul kini anak keempat
Satu persatu kubuat sekarat
Agar terkikis dendam berkarat
"Siapa yang menyanyi...?" bisik Supit Jagal. "Syair lagunya aneh mengerikan.
Berbau maut!"
"Suaranya suara perempuan. Dari puncak sini kita belum dapat melihatnya.
Kalau tidak memiliki tenaga dalam tinggi tidak mungkin suaranya terdengar sampai
ke sini...."
"Mungkin sekali....Jangan-jangan orang itu tengah menuju ke sini...." Ujar
Supit Jagal pula.
"Bagaimana kalau kita menyingkir saja dari sini?"
"Baik! Dari pada mencari urusan....!" Jawab Supit Jagal. Lalu saudara
seperguruan itu segera hendak berkelebat. Namun dari bawah kaki gunung telah
lebih dulu kelihatan seorang berpakaian hijau tua berlari sangat kencang menuju puncak


Wiro Sableng 063 Neraka Krakatau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

BASTIAN TITO 5 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Gunung Krakatau. Di bahu kirinya dia memanggul sesosok tubuh. Tidak mudah
memanggul orang naik ke puncak kawah gunung. Apalagi berlari dan sambil
membawa beban berat seperti itu.
"Kita berhadapan dengan orang pandai, Tubagus. Kita tak punya kesempatan
untuk kabur. Ayo lekas sembunyi di balik batang kelapa di ujung kiri sana"
Baru saja kedua bersahabat itu menjatuhkan diri sama rata dengan tanah
gunung hingga terlindung oleh batang kelapa berlubang, dari bawah gunung muncul
orang berbaju hijau tadi. Tubagus dan Supit Jagal yang coba mengintai sama
terkejut ketika menyaksikan bahwa yang muncul adalah seorang nenek berwajah angker
seperti tengkorak dengan rambut putih panjang riap-riapan. Di bahu kirinya ada
seorang lelaki yang menurut dugaan Tubagus dan Supit sudah tidak bernyawa lagi.
Mereka memperhatikan terus. Si nenek angker melangkah mendekati batangan
berlubang di sebelah kiri batang kelapa yang ada mayatnya.Seperti melempar
bungkusan atau kayu, nenek berambut putih lemparkan sosok tubuh lelaki yang
dipanggulnya ke dalam lubang batang kelapa. Dipandangnya sosok tubuh itu sesaat
lalu dia tertawa terkekeh-kekeh. Disusul dengan nyanyian.
Sang istri sudah kudapat
Menyusul kini anak keempat
Satu persatu kubuat sekarat
Agar terkikis dendam berkarat
Habis bernyanyi si nenek kembali tertawa panjang. "Anak dan ibu sudah
kudapat. Hik...hik...hik. Masih ada lima nyawa lagi. Masih ada lima mayat lagi
pengisi lobang neraka itu! Ha...ha...ha! Awas kalian! Awas kau jahanam Giri
Arsana! Kau berada dalam daftar kematian yang terakhir. Agar kau bisa
menyaksikan dan merasakan pahit perihnya melihat kematian orang-orang yang kau cintai! Bila
sudah lengkap kau akan kuundang ke tempat ini! Hik...hik...hik! Lalu kau akan
kujadikan korban terakhir pengisi liang neraka batang kelapa! Hik...hik...hik!"
Dari dalam sebuah kantong yang ada di pinggang dan selalu dibawanya
kemana-mana nenek angker itu keluarkan sebuah tabung bambu. Dia membuka
penutup tabung lalu melangkah lebih dekat ke batang kelapa tempat tadi dia
melemparkan orang yang dipanggulnya. Dari tabung itu diguyurkannya sejenis
cairan ke seluruh bagian tubuh dalam batang kelapa.
"Kau lihat," bisik Tubagus Singagarang. "Dia mengguyurkan minyak
pengawet. Berarti orang yang barusan dicampakannya ke dalam lubang memang
sudah tidak bernyawa lagi!"
"Hemmm...Apa yang harus kita lakukan sekarang?" bertanya Supit Jagal.
"Kita tunggu saja sampai nenk itu pergi," sahut Tubagus Singagarang.
"Kalau dia tidak pergi-pergi dan berada di sini samapi besok...?"
"Tidak mungkin. Dia tidak mungkin bermalam di sini. Tidak ada tempat untuk
menginap...." jawab Tubagus Singagarang.
"Jangan terlalu yakin. Kita harus waspada. Kita bukan berhadapan dengan
seorang tua bangka biasa. Sepertinya dia mendekam dendam kesumat yang amat
besar. Turut nyanyiannya tadi, ada lima orang lagi yang bakal dibunuhnya!"
Tubagus Singagarang jadi gelisah. Bersama sahabatnya untuk beberapap lama
dia hanya bisa berdiam diri. Di nenek rupanya sudah selesai menuangkan cairan
pengawet di tubuh mayat. Tabung bambu disimpannya kembali. Tiba-tiba, tidak
terduga oleh dua orang yang bersembunyi si nenek di ujung keluarkan bentakan
menggeledek. "Permainan kalian sudah selesai! Aku menunggu sudah cukup lama! Lekas
keluar dari balik batang kelapa dan berlutut di hadapanku!"
BASTIAN TITO 6 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TIGA T ubagus Singagarang dan Supit Jagal sama-sama tersentak kaget.
"Dia sudah tahu kita di sini, bagaimana sekarang?" berbisik Supit Jagal.
"Tak ada jalan lain. Kita keluar saja," jawab Tubagus Singagarang. Lalu dia
mendahului berdiri. Dengan hati agak kecut Supit Jagal mengikuti.
"Hemmm... Dua ekor monyet berpakaian merah yang tidak aku kenal! Lekas
datang ke hadapanku dan berlutut!" bentak si nenek sambil tolak pinggang dan
memandang mendelik ke arah dua orang saudara seperguruan itu.
Tubagus Singagarang dan Supit Jagal memang melangkah mendekati nenek
angker itu. Tapi untuk berlutut mana mereka mau! Jelas si nenek menunjukkan
tampang dan sosok angker. Namun sebagai orang-orang persilatan, dua lelaki
berpakaian merah itu mampu menguasai diri, menekan perasaan takut dan akhirnya
muncul keberanian.
"Eh! Mengapa masih belum berlutut"! Apa kalian tuli tidak mendengar
perintahku"!"
"Nenek tua," kata Tubagus Singagarang. "Kami tidak kenal kau, kau tidak
kenal kami. Mengapa bersikap begitu keras"!"
"Ah monyet jelek! Rupanya kau tidak tuli dan juga tidak bisu. Siapa aku kau
tidak perlu tahu. Kalian telah melakukan kesalahan! Apa kalian masih tidak
mengerti"!"
"Tentu saja! Kesalahan apa yang telah kami lakukan"!" sahut Tubagus
Singagarang. "Seluruh kawasan Gunung Krakatau ini adalah daerah kekuasaanku! Siapa
saja yang berada di sini tanpa izinku berarti mampus! Dan kalian berdua jelas-
jelas tadi mengintai apa yang telah aku lakukan! Dosa kalian tidak bisa diampunkan!
Lekas berlutut untuk menerima kematian!"
Tubagus Singagarang dan Supit Jagal jadi saling pandang. Sambil menekan
gagang golok empat persegi yang terselip di pinggangnya Supit Jagal membuka
mulut untuk pertama kali.
"Kami berdua sudah lima puluh tahun hidup. Belum pernah mendengar bahwa
Gunung Krakatau ini ada penguasanya. Turut yang kami tahu daerah ini daerah
bebas yang bisa didatangi siapa saja!"
"Itu turut pengetahuanmu, monyet busuk! Tapi turut kekuasaanku kau yang
akan mati lebih dulu!" membentak si nenek.
Dihina seperti itu Supit Jagal jadi kalap. Dia mendengus lalu menyahuti "Mati
hidup di tangan Tuhan! Kalau ada makhluk yang hampir jadi bangkai hendak
membunuh kami, masakan kami hanya bertumpang dagu"!"
Si nenek mendongak ke langit lalu tertawa panjang.
"Daerah ini harus bebas dari mayat siapapun. Kecuali tujuh mayat yang sudah
ditakdirkan berkubur di sini. Kalian berdua hanya cukup pantas untuk jadi umpan
kawah Krakatau!"
Si nenek turunkan kepalanya. Bersamaan dengan itu di ulurkan kedua
tangannya ke depan. Tubagus Singagarang dan Supit Jagal tersirap darah mereka
ketika menyaksikan bagaimana dari sepuluh jari tangan si nenek yang kurus kering
itu mencuat keluar sepuluh kuku panjang hitam dan runcing!
"Sepuluh Kuku Iblis!" teriak dua lelaki berpakaian merah itu berbarengan.
Keduanya sama tersurut mundur denga paras berubah!
BASTIAN TITO 7 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Si nenek tertawa mengekeh. "Sekarang kalian sudah tahu siapa aku!" katanya
"Hik...hik...hik!"
Suara tawa si nenek lenyap. Dari mulutnya keluar suara deperti lolongan
srigala. Tubuhnya melesat ke arah Supit Jagal. Tangan kanannya berkelebat. Lima
garis hitam berkiblat di udara. Supit Jagal berseru tegang. Dia melompat mundur
dan cepat cabut golok besarnya. Dengan senjata itu dia memapaki serangan lima kuku.
Traakk....tarakk...traaakk!
Golok besar itu berhasil membabat tiga dari lima kuku tangan kanan si nenek.
Tapi apa yang terjadi" Si nenek hanya ganda tertawa. Mata golok yang dipegang
Supit Jagal tampak somplak besar di tiga bagian!
Selagi Supti Jagal tertegun ketakutan, tangan kiri si nenek menderu dari
samping. Terdengar jeritan Supit Jagal. Mukanya sebelah kiri sampai leher koyak
besar. Dari lehernya menyembur darah karena salah satu urat besarnya tersambar
putus oleh cakaran kuku iblis si nenek! Nyawanya tak tertolong lagi. Belum puas
si neenk lantas tendang tubuh Supit Jagal hingga terpental dan melayang jatuh ke
dalam kawah! Bagaimanapun ngerinya Tubagus Singagarang melihat kejadian itu namun apa
yang terjadi dengan sahabatnya membuat dia kalap. Tubuhnya melayang di udara.
Kaki kanannya menderu ke tubuh si nenek dan dengan telak menghantam perutnya!
Si nenek terlempar empat langakh, tersandar pada batang kelapa yang keempat.
Tapi dia tidak tampak kesakitan malah tertawa-tawa dan usap-usap perutnya dengan
sikap mengejek.
"Monyet jelek! Kau barusan menendangku atau cuma menggelitik!"
Kejut Tubagus Singagarang bukan kepalang. Orang lain pasti sudah hancur
perutnya dihantam tendangannya tadi. Si nenek bukan saja tidak merasa apa-apa
malah masih sanggup mempermainkannya!
"Dia bukan lawanku. Aku harus cari selamat!" membatin Tubagus
Singagarang. Dia melirik ke arah Supit Jagal. Sahabatnya tampak menggeliat-
geliat di tanah sambil pegangi mukanya yang koyak dan mengucurkan darah. Lukanya
kelihatan mulai menghitam tanda mengandung racun jaha. Nyawanya pasti tidak
tertolong lagi.
Rupanya si nenek yang bergelar Sepuluh Kuku Iblis dapat membaca apa yang
ada di pikiran Tubagus Singagarang. Karena baru saja dia bergerak hendak
melarikan diri, perempuan tua ini sudah melompat menghadang langakhnya.
"Monyet jelek! Kau mau lari kemana"!" bentak si nenek. Kedua tangannya
dihantamkan ke depan. Tubagus Singagarang cepat memn=bungkuk. Sepuluh larik
sinar hitam menderu di atas kepalanya. Dengan tenaga dalam penuh Tubagsu
lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Satu sinar
kemerahan menggebubu ke arah dada si nenek. Begitu dadanya terkena pukulan sakti
tersebut, Sepuluh Kuku Iblis tertawa mengekeh. Dia melangkah maju. Dengan
kesaktian yang dimilikinya dia mendorong sinr pukulan lawan, membuat Tubagus
Singagarang merasa tangannya tergetar hebat dan tubuhnya kini terdorong.
Si nenek tiba-tiba membentak dan hentakkan kaki kanannya ke tanah.
Tanah tebing kawah Gunung Krakatau itu bergetar hebat. Tubuh Tubagus
Singagarang terlempar dua kaki ke atas. Orang ini berteriak keras ketika
menyadari dirinya jatuh tidak lagi di atas tebing yang sama, tetapi masuk ke bagisn kawah.
Dia berusaha membuat lompatan jungkir balik. Namun terlambat. Tubuhnya sudah keburu
jatuh ke bawah, lalu berguling deras menuju kawah panas di bawah sana!
Si nenek tertawa melengking. Dia melangakh mendekati tubuh Supit Jagal.
BASTIAN TITO 8 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Susul temanmu sana!" bentak perempuan tua ini. Lalu ditendangnya tubuh
yang sudah tak bernafas itu hingga mencelat mental dan terlempar jatuh ke dalam
kawah Gunung Krakatau.
BASTIAN TITO 9 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
EMPAT P erguruan Silat Melati Putih pada masa itu merupakan salah satu perguruan yang
besar di kawasan Barat Pulau Jawa. Sejak didirikan sekitar delapan tahun lalu
perguruan ini diketuai oleh Sampan Gayana, putera seorang tokoh silat bernama
Giri Arsana yang bergelar Dewa Berpaung Hitam berusia hampir 70 tahun. Sejak beebrapa
bulan belakangan ini Giri Arsana seolah lenyap dari rimba persilatan. Dimana dia
berada atau apa yang dilakukannya tidak seorangpun tahu. Sampan Gayana sendiri
tidak berusaha menyelidiki. Selain kesibukannya mengurus lebih dari dua ratus
murid perguruan, dia juga tahu kalau ayanhnya suka-suka berlaku aneh. Dan tingkah laku
aneh seorang toko silat bukan merupakan hal yang luar biasa.
Malam itu udara terasa dingin, lebih dingin dari biasanya. Dua puluh orang
anak murid perguruan kelas dua tengah berlatih silat di halaman. Tanah tempat
latihan ini cukup luas dan dikelilingi oleh empat bangunan panjang yang menjadi tempat
tinggal semua murid. Tak jauh dari empat bangunan panjang itu terdapat sebuah
rumah papan. Di sinilah sang Ketua Perguruan tinggal seorang diri karena sampai
saat itu usianya yang 45 tahun Sampan Gayana masih belum mempunyai istri.
Selagi dua puluh murid itu berlatih di bawah penerangan lampu-lampu minayk
yang tergantung di bawah cucuran atap empat bangunan panjang, tiba-tiba
terdengar suara nyanyian mengumandang di seantero lapangan latihan.
Dosa muda salah kaprah
Jangan harap ampunan pasrah
Tujuh samudera akan kutempuh
Seribu badai akan kutantang
Yang berdosa berpura lupa
Berlagak bodoh seolah gagah
Kalau tak muncul perlihatkan dada
Anak turunan kujadikan mangsa
Sang istri sudah kudapat
Menyusul kini anak keempat
Satu persatu kubuat sekarat
Agar terkikis dendam berkarat
Suara nyanyian sirap. Mendadak ada bayangan berkelebat. Lalu tahu-tahu di
tengah kalangan latihan telah berdiri seorang nenek bertubuh tinggi kurus,
berwajah seperti tengkorak, berambut putih riap-riapan.
Dua puluh murid peruruan sesaat tercekam, lalu mencium sesuatu yang tidak
beres, mereka bergerak menyebar sehingga si nenek terkurung di tengah-tengah.
Si nenek memandang berkeliling. Wajah tengkoraknya tampak menyeringai.
"Apa benar ini Perguruan Silat Melati Putih"!" si nenek tiba-tiba ajukan
pertanyaan. Mula-mula tak ada yang mau menjawab. Namun salah seorang murid akhirnya
menyahut membenarkan.
"Apa benar Ketua Perguruan seorang bernama Sampan Gayana"!" si nenek
bertanya lagi. "Betul. Ketua kami memang Sampan Gayana," jawab murid peruguran tadi.
BASTIAN TITO 10 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Lalu seorang murid lain bertanya. "Orang tua harap bari tahu kau siapa dan
ada keperluan apa datang kemari"!"
"Siapa aku bukan urusanmu budak jembel!" si muka tengkorak membentak
yang membuat semua anak murid perguruan jadi terkejut. "Aku datang mencari Ketua
kalian! Panggil dia! Suruh datang ke hadapanku!"
"Ketua kami sedang beristirahat. Jika memang ada keperluan besok pagi saja
datang kemari"
"Hemmmm.... Jadi kalian tak mau turut perintahku. Tidak mau memanggil
Sampan Gayana! Bagus! Aku mau lihat apa kalian benar-benar tidak perduli!"
Habis berkata begitu tubuh si nenek berkelebat. Empat pekikan terdengar


Wiro Sableng 063 Neraka Krakatau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serentak merobek kesunyian dan langit gelap. Empat anak murid perguruan
terpental. Begitu jatuh ke tanah keempatnya tidak berkutik lagi. Semua telah putus nyawa
dengan kepala pecah!
Serta merta kegemparan melanda tempat itu. Beberapa orang murid perguruan
yang menjadi marah melihat kematian empat teman mereka segera hendak menyerbu.
Tapi gerakan mereka terhenti ketika si nenek keluarkan suara tawa melengking.
"Hanya orang-orang bodoh yang ingin mampus lebih cepat!" ujar si nenek
sambil tegak bertolak pinggang. Kedua matanya memandang angker. Membuat para
murid yang tadi hendak nekad menyerang kini hanya bisa tertegun di tempat
masingmasing. Mereka sama maklum kalau tamu tidak diundang ini memiliki
kepandaian sangat tinggi dan bukan tandingan mereka. Lalu terdengar seseorang berteriak.
"Lekas panggil Ketua!"
Dua orang murid berkelebat tinggalkan tempat itu.
Si neenk menyeringai. "Dasar manusia-manusia tolol!" katanya. "Kalau taditadi
saja kalian turuti perintahku tak akan ada nyawa melayang! Goblok!"
Sampan Gayana yang tengah tertidur lelap tersentak kaget ketika dibangunkan.
Ketua Perguruan ini tambah kaget sewaktu diberitahu apa yang terjadi. Cepat dia
berganti pakaian lalu keluar dari rumah papan mendahului dua orang murid yang
melapor. Sementara itu seluruh murid perguruan dari tingkat terendah sampai
tingkat tertinggi kini telah terbangun dan mereka semua menghambur ke tanah lapang. Para
murid memberi jalan begitu Ketua mereka muncul. Sesaat kemudian Sampan Gayana
telah berada di tengah lapangan. Sesaat dia memperhatikan empat orang muridnya
yang bergeletak mati di tanah. Lalu dia memandang ke arah si nenek.
"Nenek, aku tidak kenal dirimu. Pasal apa membuat kau membunuh empat
murid Perguruan?"
Si nenek tidak segera menjawab. Dia memperhatikan lelaki di hadapannya
mulai dari ujung rambut sampai ke kaki baru membuka mulut.
"Apa benar kau orangnya yang bernama Sampang Gayana, anak dari Giri
Arsana?" "Kau tidak salah. Aku memang Sampan Gayana, putera Giri Arsana. Sekarang
harap kau memberitahu siapa dirimu."
Si nenek tidak menjawab. Dia mendongak lalu keluarkan suara tawa panjang.
Sampan Gayana yang merasa dianggap rendah maju satu langkah. "Nenek,
kau muncul malam buta. Membunuh murid-muridku tanpa diketahui apa dosa dan
kesalahannya. Tidak ada silang sengketa di antara kita...."
"Apa yang kau ucapkan itu benar! Tak ada dosa, tak ada kesalahan dan tidak
ada silang sengketa. Tapi aku beri tahu padamu anak manusia. Kau menanggung dosa
turunan! Dosa keji yang pernah dibuat ayahmu!"
Kening Ketua Perguruan Silat Melati Putih itu tampak berkerut. "Aku tidak
mengerti maksud kata-katamu!"
BASTIAN TITO 11 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Aku kemari memang tidak membuat kau mengerti! Kau tidak perlu mengerti.
Aku hanya ingin satu orang mengerti. Keluar dari sarang persembunyiannya untuk
menerima pembalasan sakit hati. Selama dia masih bersembunyi secara pengecut,
selama itu pula aku akan mengambil korban satu demi satu orang-orang yang
terdekat dengan dia!"
"Siapa yang kau maksudkan dengan dia itu"!" bentak Sampan Gayana.
Si nenek menyeringai lalu menjawab. "Giri Arsana! Bapak moyangmu!"
"Aku makin tidak mengerti dengan juntrunganmu ini!" kata Sampan Gayana.
"Kesabaranku sudah hilang! Aku terpaksa menangkapmu karena telah membunuh
empat murid perguruan!"
Si nenek tertawa. "Sebelum kau menangkapku lekas kau beri tahu dulu di
mana bapak moyangmu itu bersembunyi! Enam bulan aku sudah mencarinya. Sampai
saat ini dia berlaku pengecut tidak mau memunculkan diri dalam dunia
persilatan."
"Ada urusan apa kau mencari ayahku?" tanya Sampan Gayana.
"Sudah aku bilang, kau punya dosa turunan. Berarti bapak moyangmu itu
punya kesalahan besar. Sangat besar! Nah sekarang cepat beritahu di mana dia
berada!" "Kalaupun aku tahu, tidak akan kukatakan padamu!" jawab Sampan ayana
hilang kesabaran.
"Kalau begitu terpaksa aku membunuh anak ular untuk memancing keluar
bapak ular. Rupanya sudah jadi takdir seluruh keluargamu harus kuhabisi lebih
dulu baru giliran bapak moyangnu itu!" si nenek tertawa panjang.
Sampan Gayana tidak dapat mengendalikan amarahnya lagi. Kesabarannya
habis. Didahului dengan bentakan keras dia menghantam ke arah muak si nenek.
Yang diserang ganda tertawa. Tangan kanannya diangkat.
Wuuuttt! Sampan Gayana terkejut ketika merasakan angin dingin yang menyambar
keluar dari tangan si nenek. Serta merta dia sadar bahwa lawan memiliki tenaga
dalam yang jauh lebih tinggi. Maka cepat-cepat dia menghindarkan terjadinya
bentrokan puklan. Sampan berkelit ke samping. Dari samping dia kirimkan pukulan
berupa sodokan ke leher si nenek. Rupanya Ketua Perguruan Silat Melati Putih ini
sengaja mengeluarkan jurus-jurus andalan dan mengandung maut agar dapat
menghantam lawannya dengan cepat.
Si nenek masih tampak tertawa-tawa. Lima jurus dia sengaja membiarkan
dirinya diserang habis-habisan. Jurus keenam Sampan Gayana berhasil memukul
bahu perempuan tua ini. Orang lain pasti akan terpenatl paling tidak akan
melintir tubuhnya dihantam pukulan yang berkekuatan hampir liam puluh kati itu! Tapi si
nenek sedikitpun tidak bergeming. Malah Sampan Gayana merasakan tangannya yang
memukul menjadi pedas.
"Sudah saatnya kau menyusul ibumu Sampan Gayana!" berkata si nenek
sambil mundur dan pentang tangan kanannya ke depan.
Ketua Perguruan Silat Melati Putih itu tentu saja terkejut mendengar ucapan si
nenek. Tapi sekaligus dia juga tidak mengerti.
"Apa maksudmu"!" tanyanya membentak.
Si nenek tertawa. "Ibumu sudah lebih dulu mampus di tanganku! Kau
korbanku yang kedua. Jika bapak moyangmu masih belum mau keluar dari
persembunyiannya untuk mempertanggung jawabkan dosa, korban selanjutnya akan
jatuh! Begitu seterusnya sampai bapak moyangmu muncul!"
"Manusia keparat! Jadi kau telah membunuh ibuku!" teriak Sampan Gayana.
BASTIAN TITO 12 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Si nenek balas dengan tawa cekikikan. "Jangan kawatir. Aku akan bawa kau
ke tempat maya ibumu tergeletak. Kalian masih bisa berjumpa dalam alam roh!
Hik...hik...hik!"
"Perempuan iblis!" teriak Sampan Gayana. Tangan kanannya mengeruk ke
saku pakaian. Dari dalam saku itu dia mengeluarkan segenggam benda putih. Benda
ini bukan lain adalah bunga melati putih yang telah mengering. Bunga melati
kering ini merupakan senjata rahasia andalan terakhir sang ketua perguruan. Sekali dia
menggerakkan tangannya, dua belas bunga melati melesat mengeluarkan suara
berdesing. Nenek muka tengkorak angkat tangan kirinya. Delapan bunga melati kering
mental dan hancur berantakan. Tapi empat lainnya masih sempat menyambar
tubuhnya. Des! Des! Des! Des!
Baju hijau tua yang dikenakan si nenek kelihatan berlubang di empat bagian.
Namun tubuhnya yang hanya tinggal kulit pembalut tulang itu sedikitpun tidak
cidera! Berubahlah paras Sampan Gayana. Puluhan murid perguruan yang
menyaksikan kejadian itu juga ikut melengak kaget. Mereka semua tahu jangankan
tubuh manusia, batang pohonpun akan tembus dihantam senjata rahasia ketua
mereka. Namun nyatanya si nenek tidak cidera sedikitpun!
Didahului suara tertawa melengking tinggi nenek muka tengkorak ajukan
tangannya ke depan. Lima buah kuku panjang runcing berwarna hitam mencuat
secara aneh dari kelima ujung jarinya yang kurus kering!
Sampan Gayan terkejut besar. Dia mundur satu langakh. Di depannya si nenek
datang memburu cepat sekali. Dia tidak mampu menangkis ataupun mengelak ketika
lima kuku jari itu berkelebat mencakar muka dan dadanya. Ketua Perguruan Silat
Melati Putih ini menjerit mengerikan. Darah menyembur dari guratan luka yang
sangat dalam di muka dan dadanya. Kedua tangannya ditekapkan ke wajahnya namun
belum kesampaian lututnya telah goyah. Sebelum roboh ke tanah nyawanya sudah
lepas. Dan sebelum di ajatuh teregelimpang si nenek sambut tubhnya dengan
bahunya. Di lain saat perempuan tua itu sudah memanggul mayat Sampan Gayana di bahu
kirinya. Puluhan anak murid perguruan tentu saja tidak tinggal diam. Mereka berteriak
marah dan serempak maju. Ada yang hanya mengandalkan tangan kosong, ada pula
yang menghunus berbagai senjata.
"Kalian murid-murid setia. Bersedia membela pimpinan. Tapi apa ada
gunanya membela manusia yang sudah jadi mayat"! Apa kalian hendak membayar
kebodohan kalian dengan nyawa"!"
"Perempuan iblis! Kami bersedia mengorbankan darah dan nyawa asal kau
bisa kami bunuh!" teriak seorang murid dari tingkat paling tinggi.
"Bagus! Kalau begitu lekas maju agar cepat aku membereskan kalian" kata si
nenek pula. Puluhan murid perguruan yang tidak takut mati demi membela ketua mereka
benar-benar maju. Si nenek tertawa keras.Tangan kanannya digerakkan. Lima larik
sinar hitam berkelebat mengerikan. Lalu terdengar jeritan susul menyusul.
Sembilan anak murid perguruan roboh dengan muka atau tubuh hangus seperti dipanggang.
Puluhan murid lainnya jadi tercekat. Tapi hanya sebentar. Sesaat kemudian
kembali mereka menyerbu dengan nekad. Namun si nenek sudah berkelebat. Tiga murid
perguruan yang coba mengejar mental dihantam tendangan dan pukulannya. Si nenek
lenyap. Hanya suara tawanya saja yang masih terdengar dalam gelapnya malam di
kejauhan. Lapat-lapat kembali terdengar suara nyanyiannya di kejauhan
BASTIAN TITO 13 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Sang istri sudah kudapat
Menyusul kini anak keempat
Satu persatu kubuat sekarat
Agar terkikis dendam berkarat
Si nenek lari laksana hantu malam. Seperti dituturkan sebelumnya mayat
Sampan Gayana inilah yang dibawanya ke tepi kawah Gunung Krakatau lalu
dimasukkan ke dalam lubang lebih dahulu dibunuh dan dibawa ke tempat itu.
Suasana gempar masih melanda Perguruan Silat Melati Putih ketika seorang
pemuda berpakaian putih berambut gondrong menjela bahu muncul. Puluhan murid
perguruan yang tidak mengenal dirinya dan menaruh curiga langsung mengurungnya
"Mana Ketua kalian" Aku datang membawa pesan penting!" kata pemuda
yang baru datang sambil menunjukkan sepucuk lipatan surat. Kedua matanya
memandang berkeliling. Tadi dia sempat melihat beberapa mayat yang digotong ke
arah rumah panjang.
Seorang murid dari tingkat atas yang mengenal pemuda itu menyeruak di
antara para murid. "Pendekar 212. Kau datang terlambat....."
"Eh, apa yang terjadi?" tanya tamu muda yang datang yang bukan lain
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng dari Gunung Gede.
"Ketua dibunuh orang tak dikenal. Mayatnya diculik. Entah dilarikan
kemana...."
"Astaga!" Wiro tentu saja terkejut dan garuk-garuk kepala. "Isi surat dari
guruku ini justru hendak memeberi tahu ada bahaya yang mengancam. Ternyata aku
terlambat!" Wiro serahkan lipatan surat pada murid perguruan di depannya. Si
murid membacanya sebentar lalu melipat surat itu kembali.
"Dalam surat Eyang Sinto Gendeng memberi peringatan ada bahaya bagi
anak-anak dan keturunan Giri Arsana. Diminta agar berhati-hati. Tapi kini tak
ada gunanya. Ketua kami sudah menemui kematian...."
"Coba kau terangakn ciri-ciri pembunuh itu," kata Wiro.
Murid perguruan menerangakan ciri-ciri nenek angker yang membunuh dan
menculik mayat Sampan Gayana.
"Kuku hitam mencuat dari jari-jari tangan..... Hemmmmmmmmmm...." Wiro
bergumam dan lagi-lagi hanya bisa garuk-garuk kepala. "Aku akan coba mencari
tahu siapa adanya tua bangak itu," kata Pendekar 212 pula. "Namun saat ini aku perlu
keterangan siapa dan dimana saja saudara-saudara kandung Ketua kalian berada..."
"Selama ini Ketua selalu tertutup. Dia tidak pernah menceritakan siapa kakak
dan adiknya. Juga tidak pernah menerangkan dimana mereka berada. Kami hanya
tahu beliau berayahkan orang sakti berjuluk Dewa Berpayung Hitam."
"Tapi orang itupun tiba-tiba saja lenyap dari dunia persilatan!" kata Wiro. Dia
diam sesaat akhirnya berkata "Aku harus pergi sekarang. Mungkin ada sesuatu yang
hendak kalian sampaikan?"
"Kami hanya berharap agar kau bisa membantu mencari pembunuh Ketua
kami. Kabarnya nenek angker itu juga telah membunuh ibunda Ketua kami..." jawab
murid perguruan tadi.
"Akan aku lakukan sebisa dayaku. Karena istri Giri Arsana masih ada
pertalian darah dengan guruku Eyang Sinto Gendeng. Hanya ada sesuatu yang
mengherankan. Mayat istri Giri Arsana tidak pernah ditemukan. Kalau mayat Ketua
kalian diculik si nenek, berarti dia juga yang menculik myat si ibu. Untuk
apa...?" Wiro garuk-garuk kepala. Kalian bisa memberi tahu ke arah mana larinya nenek
pembunuh itu?"
BASTIAN TITO 14 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Beberapa orang menunjuk ke arah kanan. Pendekar 212 tanpa menunggu lebih
lama berkelebat ke arah itu.
BASTIAN TITO 15 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
LIMA R umah kecil itu terletak di pinggiran timur Kotaraja. Lima orang bertubuh kekar
dan bersenjata tombak serta golok di pinggang berjaga-jaga di pintu masuk. Lalu
di tempat gelap, ttidak kelihatan oleh pandangan mata menebar lebih dari sepuluh
orang yang juga berperawakan kekar dan menggenggam kelewang atau golok.
Seorang penunggang kuda yagn mukanya ditutup kain hitam sebatas mata
memasuki halaman rumah. Kudanya ditambatkan pada sebuah palang bambu. Lalu
dia melangkah cepat menuju ke pintu. Di depan pintu lima lelaki yang berjaga-
jaga cepat menghadang. Yang empat langsung mengangkat tangan dan mengarahkan
tombak pada orang yang barusan datang ini. Yang satu lagi maju mendekat sambil
menghunus golok.
"Harap sebutkan kata rahasia yang sudah ditentukan!"
Orang bercadar segera menjawab. "Malam gelap tak ada bintang tak ada
bulan." Empat tombak diturunkan. Golok dimasukkan kembali ke dalam sarungnya.
Lima orang di depan pintu menjura. Salah seorang dari mereka cepat membuka
pintu. Orang bercadar segera masuk ke dalam rumah. Lima penjaga tadi kembali
berjagajaga. Mereka kini tinggal satu orang lagi yang harus ditunggu.


Wiro Sableng 063 Neraka Krakatau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak selang berapa lama satu bayangan putih berkelebat. Belum sempat lima
pengawal di pintu memperhatikan dengan jelas tahu-tahu orangnya sudah berdiri di
depan mereka sambil garuk-garuk kepala.
Lima penjaga memperhatikan orang ini. Masih muda dan berambut gondrong.
Tidak seperti dua tamu terdahulu, yang satu ini datang tanpa memakai kain cadar
dan sikapnya tampak konyol urakan.
Empat tombak segera diangkat dan siap menambus pemuda berpakaian putih
yang barusan datang ini.
"Harap ucapkan kata rahasia yang sudah ditentukan!" kata pengawal yang
tegak menghunus golok besar.
Tamu yang datang tidak segera menjawab. Dia perhatikan si tinggi kekar di
depannya lalu malirik pada empat kawannya yang tegak sambil mementang tombak.
"Saya akan bertanya sekali lagi! Kalau tidak bisa menjawab kau akan kami
bunuh!" kata pengawal di hadapan tamu muda yang barusan datang.
Pemuda itu garuk-garuk kepalanya. Dia mengingat-ingat.
"Ah, sialan benar. Aku lupa sandi yang harus dikatakan itu...."
"Kalau begitu bersiaplah utnuk mati! Kau penyusup yang tidak diundang!"
Pengawal di sebelah depan angkat tangannya yang memegang golok. Dia juga
memberi isyarat pada empat temannya. Maka empat tombak segera hendak
dilemparkan ke arah tubuh pemuda itu.
"Tunggu dulu! Sabar sedikit. Aku sedang coba mengingat! Nah, aku ingat
sekarang! Kata rahasia itu Malam gelap.Tak ada bintang tak ada bulan! Betul
begitu"!"
Lima tangan yang mencekal senjata diturunkan. Si pemuda tertawa lebar lalu
garuk-garuk lagi kepalanya. Ditepuk-tepuknya bahu pengawal di depannya seraya
berkata. "Kau dan kawan-kawanmu bekerja baik. Aku akan beritahu pada atasanmu di
dalam agar memberikan gaji tambahan."
"Terima kasih, terima kasih...." Kata lima pengawal sambil menjura lalu
mereka menepi memberi jalan. Yang satu membuka pintu lalu mempersilahkan
BASTIAN TITO 16 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
pemuda gondrong itu masuk. Yang dipersilahkan langsung saja nyelonong ke dalam
rumah. Di dalam rumah kecil, mengelilingi sebuah meja yang di atasnya ada sebuah
lampu minyak ampak duduk tiga orang lelaki. Yang pertama bertubuh tinggi kurus
dengan rambut putih keseluruhannya. Wajah dan sikapnya memancarkan wibawa
yang tinggi. Orang ini adalah Ganda Ariawisesa, Patih Kerajaan. Di samping
kirinya seorang lelaki berkumis tebal, berwajah agak garang. Dialah tadi yang datang
dengan memakai cadar. Namanya Cemani Tanduwisoka. Dia dikenal sebagai orang penting
dalam kerajaan dan menduduki jabatan Wakil Kepala Pasukan Kerajaan. Orang ketiga
yang duduk di sebelah kanan Patih Ganda Ariawisesa adalah salah seorang tangan
kanan sang Patih tanpa ada jabatan dalam Kerajaan. Usinya hampir setengah abad.
Dia mempuyai hubungan baik dengan semua pejabat Istana dan juga dikerahui
berhubungan dekat dengan para tokoh rimba persilatan di kawasan Barat pulau
Jawa. Namanya Brambang Santika.
Ketiga orang itu tampak bebas dari rasa gelisah mereka ketika melihat orang
terakhir yang mereka tunggu telah muncul dan seperti biasanya dengan sikap
konyolnya. Setelah memberi hormat pada orang-orang yang duduk di sekeliling
meja, tamu paling muda ini mengambil tempat duduk di depan Patih Ganda Ariawisesa.
"Kami gembira melihat kau datang, Pendekar 212."
Tamu yang terahir datang mengangguk lalu menjawab. "Saya hanya mewakili
guru Eyang Sinto Gendeng. Semua di sini sudah tahu bahwa beliau berhalangan
datang dan minta disampaikan salam maaf."
Patih Ganda Ariawisesa balas mengangguk.
"Waktu kita tidak banyak. Karena kita sudah berkumpul semua maka saya
kira kita bisa segera mulai pertemuan rahasia ini." Patih Kerajaan membuka
pembicaraan. "Seperti diketahui sudah bocor rahasia bahwa Kepala Pasukan
Kerajaan dibantu oleh beberapa orang culas tengah menyusun rencana keji hendak merampas
tahta Kerajaan dari tangan Sang Prabu. Raja sendiri saat ini masih belum tahu.
Kita, sebagai orang-orang yang setia pada Sang Prabu dan Kerajaan harus menggagalkan
rencana busuk itu. Namun Kepala Pasukan yang hendak berkhianat itu memiliki
kekuatan dan pendukung yang cukup kuat. Kaenanya dalam bertindak kita harus
sangat berhati-hati. Yang terutama harus dihindari ialah terjadinya pertumpahan
darah sesama kita. Saya sudah menugaskan Cemani Tanduwisoka untuk terus
memperhatikan gerak-gerik Kepala Pasukan Kerajaan. Kelompok-kelompok yang
diketahui membantunya harus dipindah atau dipecah hingga kekuaan mereka menjadi
berkurang. Lalu sahabat saya Brambang Santika telah pula meminta bantuan
beberapa tokoh silat, baik di dalam maupun di luar Istana untuk membantu menyelamatkan
Sang Prabu dan Kerajaan. Kami bertiga disini sudah sama setuju untuk minta
batuan Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Dan kami bersyukur bahwa orang sakti itu
telah bersedia mengutus murid tunggalnya. Sahabat Brambang Santika dan kau
Pendekar 212, kalian kebagian tugas paling berat. Yaitu mengawasi gerak gerik
para tokoh silat di dalam dan di luar Istana yang sudah diketahui jelas membantu
gerakan Kepala Pasukan Kerajaan. Kalian berdua diberi wewenang untuk turun tangan sampai
pada kewenangan utnuk menangkap bahkan membunuh mereka. Saya yakin kita akan
dapat menggagalkan kelompok orang-orang khianat itu. Namun saat ini terus terang
ada satu hal yang mengganggu pikiran saya...."
"Coba dikatakan saja Patih. Siapa tahu kami dapat membantu," kata
Brambang Santika.
"Seperti kalian tahu, putera tunggal saya kawin dengan Wini Kantili, putri dari
Giri Arsana, tokoh silat Jawa Barat yang bergelar Dewa Berpayung Hitam. Besan
BASTIAN TITO 17 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
saya ini sejak beberapa bulan lalu tiba-tiba saja lenyap. Tak seorangpun tahu
dimana dia berada. Sesuatu pasti telah terjadi dengan dirinya. Kalau dia memang sudah
meninggal tentu ada kuburnya. Saya dan atas permintaan anak menantu saya sudah
menebar orang menyirap kabar dan menyelidiki. Namun dimana tokoh silat itu
berada masih gelap. Kabar yang disirap oleh orang-orang saya ialah bahwa seorang nenek
sakti juga tangah mencari-cari Giri Arsana. Tampaknya seperti ada silang
sengketa besar antara besan saya dengan perempuan tua itu. Konon dia telah membunuh istri
Giri Arsana dan menculiknya...."
"Tambahan berita buruk, Paman Patih," memotong Pendekar 212. "Orang
yang sama belum lama ini telah membunuh dan menculik Ketua Perguruan Silat
Melati Putih yaitu Sampan Gayana yang adalah putera ke empat Giri Arsana, kaka
kandung menantu Paman Patih...."
Paras Patih Kerajaan jadi berubah. "Kalau begitu berarti seluruh keluarga dan
turunan Giri Arsana berada dalam bahaya besar. Bahaya maut! Dari mana kau
mendapat berita itu Pendekar 212?" tanya sang Patih.
Wiro lantas menuturkan kisah kedatangannya ke Perguruan Silat Melati Putih.
"Pembunuhnya seorang nenek berwajah tengkorak. Lima jari tangannya bisa
mengeluarkan kuku hitam panjang...."
Patih Ganda Ariawisesa berdiri dari tempat duduknya. "Berarti nenek
pembunuh itu adalah Sriti Gandili alias Sepuluh Kuku Iblis!" katanya hampir
berteriak. "Tapi bukankah perempuan itu sudah lama diketahui mati?" ujar Brambang
Santika yang tahu banyak tentang dunia persilatan.
Cemani Tanduwisoka menyeling. "Jangan-jangan dia hanya melenyapkan diri
untuk sementara. Mungkin membekal suatu maksud tertentu."
"Boleh jadi," kata Patih Kerajaan. "Namun yang saya tidak mengerti, ada
sebab musabab apa Sepuluh Kuku Iblis membunuhi anak keturunan Giri Arsana?"
"Setahu saya di masa muda dulu antara Giri Arsana dan Sriti Gandini ada
hubungan percintaan," kata Brambang Santika.
Pendekar 212 lantas ikut bicara. "Soal perempuan tua itu jika semua disini
setuju biar saya dan Paman Brambang Santika yang mengurus. Hanya yang perlu
dipikirkan ialah keselamatan menantu perempuan Paman Patih yaitu Wini Kantili."
"Kau betul Pendekar 212," kata Patih Kerajaan. "Saya akan menaruh
pengawalan ketat atas dirinya...."
Wiro mengangguk. "Tapi harap jangan lupa ungkapan Belum dapat anak ular
kandangnyapun kalau perlu dirusak"
"Apa maksudmu Pendekar 212?" tanya Patih Kerajaan pula.
"Jika pembunuh tidak dapat menembus tembok pengawalan puteri Paman
Patih, bukan mustahil dia akan membunuh putera Paman Patih lebih dulu...."
Patih Ganda Ariawisesa mengangguk-angguk "Terma kasih, kau mempunyai
pikiran sedalam dan sejauh itu."
"Untuk saat sekarang ini saya usulkan agar anak dan menantu Paman Patih
diungsikan ke satu tempat yang aman. Dan tentunya dalam penyamaran hingga sulti
diketahui orang."
"Saya akan mengatur hal itu sebaik-baiknya dan secepat-cepatnya," kata
Ganda Ariawisesa. "Sekarang mari kita kembali pada penanganan orang-orang
khianat yang hendak memberontak.
BASTIAN TITO 18 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ENAM S uami istri petani muda itu duduk bercakap-cakap di bawah pohon di depan kebun
sayur mereka yang luas. Saat itu menjelang sore. Keduanya tampak gembira karena
sesekali pembicaraan diseling dengan gelak tawa.
"Lucu juga kita berpura-pura jadi petani begini," kata yang lelaki.
Sang istri menjawab. "Yang jadi pertanyaan sampai berapa lama kita harus
menyamar seperti ini?"
"Mudah-mudahan saja nenek jahat itu lekas dibekuk," sahut sang suami.
Kedua suami istri petani ini bukan lain adalah Wini Kantili puteri Patih Ganda
Ariawisesa dengan suaminya Raden Sabrang Winata. Seperti telah direncanakan,
guna menyelamatkan kedua orang ini dari Sepuluh Kuku Iblis maka mereka
diungsikan ke pinggiran Kotaraja, menyamar sebagai suami istri petani. Selain
itu tentu saja penjagaan tersamar dilakukan. Belasan prajurit Kepatihan serta
beberapa tokoh silat siang malam bergantian menjaga kesalamatan kedua orang itu. Brambang
Santika sewaktu-waktu muncul utnuk memeriksa keadaan. Sementara itu Patih Ganda
Ariawisesa dan Wakil Kepala Pasukan Kerajaan Cemani Tanduwisoka telah berhasil
memecah kekuatan mereka yang berniat melakukan pemberontakan. Beberapa
kelompok besar pasukan yang dapat dipengaruhi kaum pemberontak dipindahkan
jauh ke pinggiran Kotaraja lalu diganti dengan pasukan-pasukan yang setia pada
Sang Prabu. Tindakan ini rupanya tercium oleh Pagar Paregreg, Kepala Pasukan Kerajaan
yang merencanakan perebutan tahta. Maka diam-diam dia segera mengatur siasat.
Satu demi satu direncanakannya untuk membunuh para pejabat dan tokoh Kerajaan
yang setia pada Sang Prabu. Dalam daftar yang akan dibunuh tentu saja termasuk
nama Patih Kerajaan, Wakil Kepala Istana.
Gerakan kaum pemberontak rupanya mulai berhasil. Dua hari kemudian Istana
dilanda kegegeran karena dua orang tokoh silat ditemukan mati keracunan!
Kembali pada Raden Sabrang Winata dan Wini Kantili. Kedua suami istri ini
bersiap-siap meninggalkan kebun ketika langit sebelah Timur kelihatan tertutup
asap kelabu. Diantara warna kelabu itu kelihatan warna merah sesekali menjulang ke
langit. "Ada kebakaran di arah Kotaraja," kata Raden Sabrang dengan perasaan
kawatir. Istrinya juga tampak gelisah. Pada saat itu dua orang pengawal muncul,
disusul oleh seorang tua berpakaian berbentuk jubah hitam. Orang ini adalah
salah satu dari tiga tokoh silat Istana yang ditugaskan untuk mengawal kedua suami
istri itu. "Raden Sabrang, saya mendapat kabar sedang terjadi kebakaran dekat istana.
Saya dan beberapa pengawal akan segera menuju Kotaraja. Yang lain-lain tetap
berjaga-jaga di sini. Harap Raden berdua jagan kemana-kemana. Masuk saja ke
dalam. "Pergilah dan kembali dengan cepat," jawab Raden Sabrang Winata. Dia
membimbing istrinya menuju ke rumah. Namun baru beberapa langkah berjalan
tibatiba terdengar suara tawa mengekeh, disusul dengan nyanyian
Yang berdosa berpura lupa
Berlagak bodoh seolah gagah
Kalau tak muncul perlihatkan dada
Anak turunan kujadikan mangsa
Sang istri sudah kudapat
Begitu juga anak ke empat
BASTIAN TITO 19 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Perawan Lembah Wilis 7 Pendekar Rajawali Sakti 187 Penghuni Kuil Emas Pendekar Satu Jurus 1
^