Pencarian

Hantu Langit Terjungkir 1

Wiro Sableng 111 Hantu Langit Terjungkir Bagian 1


BASTIAN TITO PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
WIRO SABLENG HANTU LANGIT TERJUNGKIR
Sumber Kitab: Thresna
Cover: kelapalima
EBook: kiageng80
"CREDIT TO SAMKASKUS AND RHOEL"
WIRO SABLENG HANTU LANGIT TERJUNGKIR
1 I DALAM telaga yang kedalamannya setinggi leher,
Pendekar 212 Wiro Sableng kibas-kibaskan rambut
Dgondrong basahnya. Dia bermaksud hendak
menselulupkan tubuhnya sampai kepala sekali lagi baru keluar dari telaga itu.
Namun tiba-tiba, pluk! Sebuah benda menghantam kepalanya. Kagetnya sang pendekar
bukan kepalang. Pundaknya sampai tersentak ke atas. Benda yang tadi mengenai
kepalanya itu jatuh ke telaga. Sebelum tenggelam ke dalam air Wiro cepat
mengambilnya. Ternyata sebuah jambu muda berwarna hijau. Wiro
memandang berkeliling. "Tak ada pohon jambu sekitar telaga ini. Berarti ada
orang jahil mempermainkanku!" pikir murid Sinto Gendeng sambil memperhatikan
seputar telaga. Tapi dia tak melihat siapa-siapa. "Jangan-jangan ini pekerjaan bocah
konyol Naga Kuning atau si kakek geblek Setan Ngompol. Awas mereka berdua. Akan
kubalas nanti!"
Wiro lalu memasukkan tubuh dan kepalanya ke dalam air telaga yang sejuk itu.
Sesaat kemudian kepala disusul tubuhnya mencuat kembali di permukaan air telaga.
Justru saat itu sebuah jambu muda berwarna hijau kembali melayang di atas telaga
lalu mendarat di kepalanya!
"Sialan! Naga Kuning! Setan Ngompol! Awas kalian
berdua! Jangan berani kurang ajar menimpuk
mempermainkanku!"
Dari balik sebuah pohon besar yang dikelilingi semak belukar lebat tiba-tiba
terdengar suara tertawa haha-hihi.
Pendekar 212 kerenyitkan kening dan menggaruk
kepalanya yang basah. "Itu bukan suara Naga Kuning atau Setan Ngompol..." kata
Wiro dalam hati. Kalau tadi dia merasa jengkel dan marah kini perasaannya jadi
tidak enak. Dengan cepat dia melangkah dalam air, menyisi tepian telaga ke
tempat dia meninggalkan pakaiannya yaitu di celah kering antara dua batu besar.
Sebelum mengenakan pakaian, lebih dulu dia memeriksa Kapak Naga Geni 212, batu
sakti warna hitam pasangan kapak mustika itu dan sebuah tongkat batu memancarkan
cahaya biru redup. Tongkat ini didapatnya dari Luhjelita beberapa waktu yang
lalu. Tiga benda itu masih berada dalam lipatan baju dan celana putihnya. Wiro
dengan cepat mengenakan pakaiannya kembali. Baru saja dia selesai mengikatkan
tali celananya tiba-tiba, pluk! Kembali sebutir jambu hijau mendarat di
kepalanya lalu seperti tadi dari balik pohon besar terdengar suara tawa
cekikikan. Wiro ikat tali celananya kencang-kencang. Rahangnya menggembung dan matanya
memandang menyorot ke
arah pohon besar. Dengan membungkuk-bungkuk dia
menyusup mendekati pohon itu. Sesaat kemudian, sekali lompat dia sudah berada di
balik pohon. Di situ dia tidak menemukan siapa-siapa. Tapi di tanah dia melihat
hampir selusin jambu muda bertebaran. Beberapa di antaranya ada bekas gigitan.
"Kurang ajar... Kabur mereka! Siapa makhluk-makhluk kurang ajar itu adanya!"
Wiro memaki dalam hati lalu membungkuk mengambil sebuah jambu hijau yang paling
besar. Jambu itu ditimang-timangnya sesaat. Setelah dibersihkannya dengan
bajunya lalu dimakannya. "Hemm...
Enak juga," berucap Pendekar 212 dalam hati sambil menyeringai. Namun seringai
murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini serta merta lenyap begitu pluk...
pluk... pluk... Dari atas pohon berjatuhan jambu-jambu hijau menimpa kepalanya! Menyusul
terdengar suara tawa
cekikikan. "Benar-benar kurang ajar!" Wiro mendongak ke atas sambil tangan kanannya siap
untuk menghantamkan.
Namun di atas pohon dia tidak melihat manusia atau binatang. Walau begitu
matanya yang tajam bisa melihat dedaunan pada dua cabang besar bergerak-gerak.
Wiro memperhatikan tak berkedip. Tangan kirinya menggaruk kepala. "Tadi pasti
ada orang di atas pohon itu. Binatang pasti tidak bisa ketawa cekikikan. Dari
suara tawanya agaknya lebih dari satu orang. Mereka memiliki
kepandaian bergerak sangat cepat. Aku tidak dapat melihat sosok mereka padahal
suara tawa mereka masih menggema."
Sepasang mata Wiro melirik tajam seputar tempatnya berdiri. Beberapa langkah
dari pohon besar dari atas mana tadi berjatuhan buah-buah jambu yang menimpa
kepalanya, ada lagi sebuah pohon yang batangnya sebesar pemelukan lengan. Wiro
tersenyum. "Makhluk-makhluk yang menyambiti kepalaku itu pasti pindah melompat
ke atas pohon sana! Kini giliranku mengerjai mereka!"
Pendekar 212 dekati pohon itu lalu lingkarkan dua lengannya merangkul batang
pohon sambil mengerahkan tenaga dalam. Dengan mengandalkan hawa sakti itu
Pendekar 212 mulai menggoyang batang pohon. Mula-
mula perlahan. Pohon bergeletar mulai dari akar sampai ke puncaknya.
"Hik... hik! Aih nyamannya..." Di atas pohon berdaun rimbun itu terdengar suara
orang. "Aku juga enak. Aku bahagia..." Ada satu suara lain menyahuti.
Wiro kerahkan tenaga dalam lebih besar. Kini dia
menggoncang lebih keras. Cabang-cabang pohon sampai ke ranting-ranting bergoyang
kencang, keluarkan suara berderik-derik. Dedaunan bergeletar seperti ditiup
angin. Suara orang tertawa di atas pohon serta merta lenyap.
"Wahai! Mengapa mendadak jadi kencang begini" Tak sedap nian rasanya?"
"Getarannya membuat aku seperti mau kencing! Hik...
hik... hik! Saudaraku, baiknya kita tinggalkan pohon ini!"
"Tunggu, jambuku sudah habis. Kau masih punya"
Pemuda gondrong itu agaknya suka jambu hijau itu. Aku dengar tadi dia mengatakan
jambu itu enak. Hik... hik...
hik!" "Jambuku juga sudah habis! Wahai, getaran pohon ini semakin keras. Ayo
kita pergi saja!"
Di bawah pohon Wiro memandang ke atas. "Sial!" Dia menggerendeng. "Ranting dan
daun pohon ini rapat sekali!
Aku tidak dapat melihat orang-orang di atas sana! Mereka pasti sudah kabur
lagi!" Wiro lepaskan rangkulannya pada batang di bawah pohon. Lalu memutar
tubuh, maksudnya hendak duduk bersandar di bawah pohon itu. Namun
begitu berputar mendadak sontak dia jadi tersentak kaget.
Matanya membeliak dan mulut ternganga. Di hadapannya berdiri dua orang gadis
cantik, yang wajah serta potongan tubuh seperti pinang dibelah dua, mirip sekali
satu dengan lainnya. Dua gadis ini mengenakan pakaian dari kulit kayu yang
sangat halus hingga menyerupai kain biasa, berwarna putih keabu-abuan dan agak
berkilat. Rambut mereka yang tergerai panjang sampai ke pinggang berwarna
kepirang-pirangan. Ketika tersenyum kelihatan barisan gigi-gigi mereka yang
putih berkilat dan rata.
"Dua gadis cantik berpakaian serba putih di dalam rimba belantara. Sekian lama
berada di Negeri
Latanahsilam ini, baru sekali ini aku bertemu sepasang dara kembar. Apa mereka
makhluk hidup sungguhan,
bangsa peri atau, jangan-jangan..." Pendekar 212
memandang ke bawah, memperhatikan sepasang kaki
gadis itu. "Hik... hik..." Gadis di sebelah kanan tertawa. "Lihat,"
katanya pada gadis di sebelahnya. "Dia memperhatikan kaki kita. Hik... hik! Di
negerinya makhluk halus memang tidak menginjak tanah. Rupanya dia hendak
menyamakan di sana dengan di sini..."
"Kalian siapa...?" bertanya Pendekar 212. Walau dia senang bertemu dengan dua
dara cantik jelita itu namun hatinya mendua karena menduga jangan-jangan mereka
adalah hantu penghuni rimba belantara itu.
"Kami dua gadis bahagia!" menjawab dara di sebelah kiri.
"Aku tidak mengerti," kata Wiro pula sambil garuk-garuk kepala.
"Biar aku menerangkan," ujar gadis di sebelah kiri.
"Hidup di muka bumi ini hanya sementara. Mengapa harus berbuat sia-sia" Setiap
makhluk hidup harus berbuat dan merasa bahagia! Kebahagiaan membuat hati senang,
dada lapang. Langit akan tampak cerah, sang surya tampak gagah dan rembulan
berseri indah. Kebahagiaan
menghindarkan segala macam penyakit, membuat
makhluk berumur panjang, tak ada musuh tetapi justru banyak sahabat..."
Wiro tambah keras menggaruk kepalanya. "Aku setuju dengan semua ucapan kalian.
Tapi kalian ini siapa sebenarnya?"
"Kami orang-orang di atas pohon yang tadi kau
goncang-goncang!" jawab gadis di samping kanan sambil tidak putus-putusnya
tersenyum. "Yang tadi berlaku kurang ajar melempari kepalaku dengan jambu hijau"!" tanya
Pendekar 212. Dua gadis itu tertawa gelak-gelak. "Itulah salah satu kebahagiaan hidup!"
"Melempar orang kau bilang kebahagiaan hidup"!" ujar Wiro dengan mata
dibesarkan. "Betul, karena kami melakukan bukan dengan hati
jahat! Tapi niat mencari kebahagiaan semata. Buktinya kami berdua bisa tertawa-
tawa. Dan kau sendiri setelah tahu siapa yang melempar pasti juga merasa
bahagia! Hik... hik... hik!"
Pendekar 212 menyeringai. Sesaat kemudian dia ikut-ikutan tertawa malah lebih
keras dari tawa dua gadis itu.
"Wahai, rupanya kebahagiaan telah menjadi bagianmu pula! Kami bahagia melihat
kau bisa tertawa!"
Mendengar kata-kata si gadis Wiro hentikan tawanya.
"Jangan-jangan dua gadis ini miring otaknya," pikir Wiro.
Lalu dia berkata. "Jadi kalian rupanya kesasar di rimba belantara ini karena
mencari kebahagiaan!"
Dua gadis kembali tersenyum. Yang di samping kanan menjawab. "Kami tidak
kesasar. Kami tengah melakukan perjalanan bersenang-senang, mencari dirimu!"
"Mencari diriku" Sekarang sudah bertemu. Apa yang hendak kalian lakukan?"
"Membuat dirimu bahagia!"
"Caranya?" tanya Pendekar 212 sambil dalam hati
bertanya-tanya apa sebenarnya niat dua gadis tak dikenal dan kelihatan genit
meriah ini. "Caranya yaitu membebaskan dirimu dari satu beban yang sebenarnya tak perlu
terjadi..."
"Beban" Beban apa" Aku tidak merasa punya beban,"
kata Wiro pula.
Dua gadis itu tersenyum manis. Yang satu bertanya.
"Apa benar kau orang dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang?"
Wiro mengangguk.
"Wahai, perbedaan waktu antara negeri ini dengan
negeri asalmu saja sudah merupakan beban bagi dirimu.
Lalu rangkaian kejadian yang kau alami di negeri
Latanahsilam ini, apakah itu bukan merupakan beban"
Bukan cuma satu, tapi banyak. Apakah kau tidak sadar?"
Wiro garuk-garuk kepala. "Mungkin ucapanmu benar.
Tapi harap kau suka memberi tahu siapa kau dan
temanmu ini adanya. Kulihat wajah kalian sangat mirip satu sama lain. Harap kau
juga mau memberi tahu
mengapa kalian mencariku."
"Pertanyaan pertama biar aku yang menjawab," kata gadis di sebelah kanan. "Kami
adalah dua gadis kembar.
Aku yang tua bernama Luhkemboja dan adikku ini
bernama Luhkenanga. Kami biasa dipanggil dengan
sebutan Sepasang Gadis Bahagia."
"Kemboja dan Kenanga... Itu dua bunga yang ada
sangkut pautnya dengan kematian. Bunga kemboja banyak tumbuh di pekuburan. Bunga
kenanga bunga taburan di atas makam orang yang sudah mati..." Rasa tidak enak
kembali menyelubungi Pendekar 212 walau dua gadis cantik di hadapannya selalu
bicara dan memandang
padanya dengan senyum.
Tiba-tiba murid Sinto Gendeng ingat sesuatu. Langsung saja dia ajukan pertanyaan
sambil menatap tajam pada dua gadis di hadapannya itu. "Kalian mengaku dijuluki
sebagai Sepasang Gadis Bahagia. Apakah kalian punya sangkut paut dengan Istana
Kebahagiaan, sarangnya Hantu Muka Dua, makhluk yang dijuluki Hantu Segala Keji,
Segala Tipu, Segala Nafsu itu?"
Mendengar kata-kata Wiro itu dua gadis cantik tertawa panjang. Wiro bertambah
curiga. *** WIRO SABLENG HANTU LANGIT TERJUNGKIR
2 ADIS bernama Luhkemboja hentikan tawanya lalu
berkata. "Kebahagiaan itu ada dua macam wahai
Gpemuda dari negeri seribu dua ratus tahun
mendatang. Pertama kebahagiaan yang dicari berdasarkan nafsu. Seperti hasrat
ingin kaya, ingin kedudukan tinggi dan ingin berkuasa, ingin mendapatkan anak
gadis orang. Hantu Muka Dua termasuk dalam golongan ini. Lalu ada kebahagiaan yang diinginkan
secara wajar, diniati dengan hati ikhlas bersih. Kami berdua berusaha masuk ke
dalam golongan ini. Kami tidak ada sangkut pautnya dengan Istana Kebahagiaan dan
Hantu Muka Dua..."
Walau masih menaruh hati tidak enak namun Wiro
merasa agak tenteram mengetahui bahwa dua gadis ini bukan kaki tangan Hantu Muka
Dua, musuh bebuyutannya sejak menginjakkan kaki di Negeri Latanahsilam.
Gadis bernama Luhkenanga kemudian membuka mulut
menyambung ucapan kakak kembarnya. "Kami mencarimu karena ingin membantu
membebaskan dirimu dari beban paling akhir yang mungkin kau tidak sadar telah
jatuh di atas pundakmu."
Wiro usap-usap pundaknya kiri kanan. "Beban yang
mana" Beban apa maksudmu?" Murid Sinto Gendeng
ajukan pertanyaan karena makin lama bicara dengan dua gadis itu semakin banyak
yang dia tidak mengerti.
"Belum lama berselang kau menerima sebuah tongkat terbuat dari batu berwarna
biru. Tongkat itu bukan milikmu.
Kau tak tahu harus menyerahkannya pada siapa. Kau tidak tahu pasti siapa
pemiliknya. Wahai, bukankah itu suatu beban bagimu?"
Selagi Wiro terkejut mendengar kata-kata itu, dua gadis kembali memandang
tersenyum padanya.
"Kalian pasti salah menduga. Aku tidak pernah
menerima atau memiliki tongkat yang kalian sebutkan itu,"
kata Wiro berdusta. Dia yakin, tongkat batu biru yang diterimanya dari Luhjelita
dan saat itu terselip di pinggang di bawah baju putihnya, tongkat itulah yang
dimaksudkan dua gadis kembar ini.
"Berdusta adalah satu penyakit yang membuat manusia jadi tidak bahagia..." kata
Luhkenanga pula.
"Tongkat itu tidak ada padaku. Kalaupun ada belum tentu aku berikan padamu
karena aku yakin benda itu bukan milik kalian..."
"Memang bukan milik kami. Tapi kami mendapat tugas untuk mencarinya sampai
dapat..." "Siapa yang memberi tugas...?" tanya Wiro.
Dua gadis itu saling pandang lalu sama-sama
tersenyum. "Pemiliknya yang sah tentu. Tapi kami tidak bisa memberi tahu
padamu," jawab Luhkenanga.
Wiro ganti tersenyum. "Tidak mau bicara jujur dan polos adalah satu beban yang
membuat orang tidak bahagia.
Bagaimana kalian bisa menemukan kebahagiaan kalau dalam hati sendiri ada


Wiro Sableng 111 Hantu Langit Terjungkir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ganjalan yang tidak melapangkan dada?"
Walau kata-kata Wiro membuat dua gadis kembar
menjadi merah wajah masing-masing namun keduanya
tetap saja melayangkan senyum.
"Aku bahagia mendengar ucapanmu," menyahuti
Luhkemboja. "Tapi harap kau bisa membedakan
kebahagiaan dengan tugas. Bila seseorang bisa
melaksanakan tugas maka itu akan menjadi satu
kebahagiaan besar baginya. Lagi pula kami tidak akan membebani dirimu dengan
hal-hal yang tidak kau ingini kalau kami tidak mendapat keterangan jelas bahwa
tongkat batu biru itu memang ada padamu."
Wiro tertawa. Sambil geleng-gelengkan kepala dia
bertanya. "Siapa yang memberi keterangan bodoh itu pada kalian?"
"Siapa lagi kalau bukan kekasihmu!" jawab
Luhkemboja. "Kekasihku?" Murid Sinto Gendeng jadi terkejut. "Aku tidak punya kekasih di
negeri Latanahsilam ini!"
Luhkemboja dan Luhkenanga tertawa gelak-gelak.
"Siapa yang mengaku-aku kalau aku ini kekasihnya?"
Wiro jadi penasaran. "Kalian berdua mengarang cerita!"
"Wahai, si gadis sendiri yang mengatakan. Bagaimana kami tidak percaya?"
"Kalau begitu lekas katakan siapa orangnya!"
"Luhjelita!" jawab Luhkemboja dan Luhkenanga
berbarengan. Tentu saja Pendekar 212 Wiro Sableng menjadi kaget mendengar ucapan itu.
"Wajahmu berubah merah, sikapmu menunjukkan
keterkejutan. Kau sengaja menyembunyikan kebahagiaan atau bagaimana?"
"Antara aku dengan gadis bernama Luhjelita itu tidak ada hubungan apa-apa,
kecuali sebagai sahabat. Di mana dia sekarang?"
"Saat ini dia berada di satu tempat aman. Terpaksa kami sembunyikan untuk
dijadikan jaminan bahwa dia memberikan keterangan benar! Dia mengatakan kau
kekasihnya sedang kau mengatakan dia hanya seorang sahabat. Dia mengatakan
tongkat batu biru itu ada padamu, tapi kau sendiri berkata tidak memilikinya.
Siapa yang berdusta, siapa yang menyembunyikan kebenaran dengan menginjak
kebahagiaan?" Luhkemboja yang
barusan bicara menatap lekat-lekat ke arah Pendekar 212.
"Wahai kakakku Luhkemboja, mengapa kita tidak
memutuskan secara adil saja?" Dara kembar bernama Luhkenanga berkata. "Pemuda
ini berucap benar bahwa gadis bernama Luhjelita itu bukan kekasih, atau belum
menjadi kekasihnya tapi baru merupakan seorang sahabat saja. Lalu Luhjelita juga
berucap benar bahwa tongkat batu biru itu telah diserahkannya pada pemuda ini
yang menurut dia bernama Wiro Sableng. Bukankah sejak tadi kita sudah melihat
bayangan tongkat mustika itu di balik baju putihnya" Wahai pemuda dari negeri
seribu dua ratus tahun mendatang, apa jawabmu?"
Untuk beberapa lamanya Wiro hanya tegak berdiam diri.
Kemudian sambil garuk-garuk kepala dia berkata. "Baiklah, kalau kalian memang
sudah tahu, aku mengaku. Tongkat batu biru itu saat ini ada padaku. Tapi aku
tidak akan memberikannya. Kalau aku ingin membebaskan diri dari beban, maka
tongkat ini akan kuserahkan pada Luhjelita.
Katakan saja di mana dia kalian sembunyikan..."
"Dia berada di dalam sebuah goa, di satu kaki bukit di kawasan selatan. Tak jauh
dari sini. Jika kau keluar dari rimba belantara ini dan mengikuti sebuah jalan
setapak, goa itu pasti akan kau temui. Wahai, demi kebahagiaan kita semua,
apakah kau kini bersedia menyerahkan
tongkat batu biru itu?"
"Aku akan merasa lebih bahagia jika tongkat ini aku serahkan pada Luhjelita lalu
gadis itu menyerahkan padamu. Aku terlepas dari beban dan kalian merasa
bahagia..." jawab Wiro yang tetap tidak mau menyerahkan tongkat batu biru pada
dua gadis berjuluk Sepasang Gadis Bahagia itu. Bisa saja dua gadis ini tengah
melakukan siasat hendak menipunya. Selain itu dia merasa tongkat batu biru ini
pastilah satu tongkat yang sangat berharga.
"Untuk mendapatkan kebahagiaan terkadang memang
kita harus menempuh jalan berliku. Tapi jika ada jalan pintas yang sama baiknya
mengapa tidak langsung
dilaksanakan. Tongkat itu milik kakek kami. Kami
ditugaskan untuk mencarinya dan membawanya kembali kepadanya..."
"Apakah kakekmu itu yang berjuluk Si Tongkat Biru Pengukur Bumi?" bertanya
Pendekar 212. "Dari mana kau tahu nama itu?" balik bertanya
Luhkenanga. "Ketika Luhjelita memberikan tongkat itu padaku, dia menjelaskan tongkat itu
ditemuinya dekat sesosok mayat seorang kakek yang dikenalnya sebagai Si Tongkat
Biru Pengukur Bumi..."
"Si Tongkat Biru Pengukur Bumi bukan kakek kami. Dia justru yang mencuri tongkat
itu dari kakek kami. Si Tongkat Biru Pengukur Bumi adalah kaki tangan Hantu Muka
Dua. Orang ini kemudian dihabisi oleh Hantu Muka Dua sendiri karena dikhawatirkan
akan berkhianat. Mayatnyalah yang ditemukan Luhjelita..."
"Aku percaya keteranganmu, Luhkenanga. Tapi tongkat ini tetap tidak bisa
kuserahkan padamu atau saudaramu.
Agar sama-sama mendapat kebahagiaan, kita sama-sama pergi ke goa di mana kalian
menyekap Luhjelita. Tongkat kuserahkan padanya dan kalian kemudian boleh
mengambil dari tangannya..."
"Sayang sekali kami inginkan tongkat itu sekarang..."
kata Luhkemboja.
"Apakah kebahagiaan bisa didapat dengan cara
memaksa?" tukas Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Kami tidak memaksa. Kami tengah menjalankan
tugas!" jawab Luhkemboja.
"Apakah tugas bisa dijadikan topeng alasan untuk
mendapatkan kebahagiaan?" kembali murid Sinto
Gendeng menukas. Kali ini wajah dua gadis kembar
menjadi kemerahan walau senyum tetap menghias bibir mereka.
"Wahai, untuk mendapatkan kebahagiaan terkadang
memang harus menempuh jalan sulit berliku," kata
Luhkemboja pula. Dia memandang pada Luhkenanga.
"Adikku, rupanya tak ada jalan lain. Agaknya kali ini kita hanya bisa
mendapatkan kebahagiaan dengan
menghadapi kenyataan. Apakah kau sudah siap adikku?"
"Aku sudah siap wahai Luhkemboja. Tapi biarkan aku membujuk pemuda ini sekali
lagi," jawab Luhkenanga. Lalu gadis ini mendekati Wiro dua langkah dan berkata.
"Kepercayaan adalah salah satu dasar kebahagiaan. Kami telah menceritakan
kebenaran padamu. Sahabatmu
Luhjelita ada dalam keadaan baik di goa itu. Tongkat yang ada padamu bukan
milikmu. Apa sulitnya menyerahkan pada kami?"
"Kau bicara tentang kepercayaan. Aku mau bicara
tentang kebijaksanaan. Harap kalian sudi memaafkan.
Bagaimanapun juga tongkat ini tidak akan aku serahkan pada kalian. Kupersilahkan
kalian jalan duluan. Kita sama-sama ke goa itu. Apa sulitnya menerima usulanku?"
Luhkenanga berpaling pada Luhkemboja. Sang kakak
gelengkan kepalanya. Luhkenanga lalu berkata. "Usulmu tidak kami terima.
Kebahagiaan ada di tangan kita bersama. Aku mohon kau mau menyerahkan tongkat
batu biru."
Wiro balas dengan gelengan kepala.
Luhkenanga menarik nafas dalam. "Tak ada jalan lain.
Kakak Luhkemboja, aku sudah siap!"
Luhkemboja mengangguk. Dua gadis ini lalu melangkah mundur. Di satu tempat
mereka hentikan langkah. Lalu dari mulut mereka yang selalu menyunggingkan
senyum tiba-tiba keluar suara gelak tawa berderai.
"Jurus Bahagia Naik ke Pelaminan! " Luhkemboja berseru.
Sosok dua gadis kembar itu melesat ke udara. Dua kaki dirapatkan begitu rupa,
dua tangan diletakkan di atas lutut.
Sikap mereka seperti pengantin sedang duduk di kursi atau di atas pelaminan.
Mulut tersenyum simpul. Namun tiba-tiba kaki kiri mereka ditendangkan ke depan.
Wuttt! Wuuut! Murid Eyang Sinto Gendeng tersentak kaget ketika
dapatkan dua larik angin deras menghantam ke arahnya.
Karena tidak mengira akan mendapat serangan, Wiro hanya sempat menghindarkan
diri dari sambaran angin yang datang dari sebelah kanan. Sedang hantaman angin
dari sebelah kiri yang berasal dari tendangan Luhkemboja tak dapat dielakkannya.
Bukkk! Walau angin yang melabrak, tapi begitu mengenai
dadanya terdengar suara bergedebuk. Wiro seolah-olah terkena jotosan. Tubuhnya
terpental sampai beberapa langkah lalu terjengkang di tepi telaga.
Luhkemboja dan Luhkenanga tertawa terpingkal-
pingkal. Lalu dua gadis kembar ini membuat gerakan seperti orang berenang.
Selagi Wiro berusaha bangkit berdiri tiba-tiba Luhkemboja berseru.
"Jurus Bahagia Menyelam Sungai Menyambar Ikan!"
Sosok dua gadis itu yang sesaat masih melayang di udara tiba-tiba menukik ke
bawah, menyambar ke arah Pendekar 212. Wiro yang tidak mau kebablasan sampai dua
kali segera hantamkan tangan kirinya, menyongsong gerakan dua lawan dengan
pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Dua gelombang angin menderu dahsyat.
Namun serangan Wiro hanya mengenai tempat kosong karena dua gadis yang memiliki
gerakan luar biasa cepatnya benar-benar laksana menyelam. Dua tangan mereka
menyambar, satu ke kepala Wiro satunya lagi ke pinggang.
Dalam keadaan seperti itu tentu saja Pendekar 212
lebih memperhatikan serangan berbahaya yang di arahkan ke kepala. Sambil
bergulingan dia pukulkan tangan kiri untuk menangkis serangan di sebelah atas
sedang dengan menendang dia coba menghajar tangan lawan yang
menyambar ke arah pinggang.
Ternyata serangan ke kepala hanya tipuan belaka.
Begitu perhatian Wiro terpecah, sambaran yang ke arah pinggang tak dapat
dimentahkannya dengan tendangan.
Tangan lawan yang menyambar lewat di bawah kakinya, melesat laksana kilat ke
pinggangnya. Lalu dua suara tawa cekikikan mengumandang di tempat itu. Suara
tawa lenyap. Wiro tersentak kaget dan cepat bangkit berdiri.
Ternyata dua gadis kembar tak ada lagi di situ. Gerakan mereka melenyapkan diri
sungguh cepat luar biasa.
"Astaga!" Wiro pegang seputar pinggangnya. Kapak
Maut Naga Geni 212 dan batu hitam pasangannya masih ada. Tapi tongkat batu biru
lenyap! Dia memandang berkeliling. Karena tidak sempat melihat ke arah mana
kaburnya dua gadis kembar tadi, Wiro hanya bisa memaki sendiri. "Sial! Aku
kecolongan!" Wiro termangu dan garuk-garuk kepala. "Jurus Bahagia Menyelam
Sungai Menyambar Ikan... Mereka mempergunakan jurus aneh itu untuk menyambar dan
merampas tongkat batu biru yang ada di balik bajuku..." Wiro geleng-gelengkan
kepala. "Hanya sebuah tongkat batu butut. Mengapa harus aku pikirkan..." membatin murid
Sinto Gendeng. "Tapi kalau cuma tongkat jelek, mengapa dua gadis kembar itu
sangat menginginkan" Siapa sebenarnya pemilik tongkat itu"
Mungkin aku harus menyelidik sementara menunggu
munculnya Si Setan Ngompol dan Naga Kuning..."
Karena tidak tahu mau mengejar ke mana, ketika dia ingat keterangan Luhkemboja
dan Luhkenanga tentang Luhjelita, Wiro segera saja berkelebat ke arah selatan.
Mungkin dua gadis kembar itu bicara dusta tentang Luhjelita yang mereka sekap di
dalam goa. Tapi tak ada salahnya menyelidik. Apalagi letak goa itu tidak jauh
dari sana. Wiro berlari sekencang yang bisa dilakukannya. Dalam berlari seperti itu dia
tidak memperhatikan lagi keadaan di sekitarnya. Dia tidak menyadari kalau di
udara, jauh di belakangnya ada satu benda putih terbang mengikutinya.
*** WIRO SABLENG HANTU LANGIT TERJUNGKIR
3 ITA tinggalkan dulu Pendekar 212 yang tengah
berusaha menyelidik goa tempat Luhjelita disekap.
KKita lebih dulu menuju ke Lembah Seribu Kabut
tempat kediaman Lasedayu.
Walau langit di ufuk timur telah kelihatan merah namun sang surya belum nampak
muncul. Dinginnya udara pagi masih mencekam tulang dan persendian tubuh.
Kegelapan masih menghitam di mana-mana. Apa lagi di kawasan selatan Negeri
Latanahsilam di mana terletak sebuah lembah yang disebut Lembah Seribu Kabut.
Keadaan masih gelap gulita karena kabut mengapung di seantero tempat. Jangankan pada
malam atau pagi hari, siang hari saja ketika matahari bersinar terik, kabut
tebal acap kali menutupi pemandangan.
Dalam keadaan seperti itu dari jurusan tenggara
berkelebat seseorang. Kegelapan dan pekatnya kabut yang menyungkup serta cepat
gerakkannya membuat sosoknya hanya berupa satu bayangan hijau yang meninggalkan
bau seperti kubangan di belakangnya. Agaknya orang ini memiliki ilmu kepandaian
tinggi. Kalau tidak mustahil dia bisa bergerak demikian cepat di kawasan yang
banyak pepohonan dan berbatu-batu serta masih gelap itu.
Sepasang matanya seolah bisa menembus kegelapan
malam menjelang pagi serta kepekatan kabut yang
menggantung di mana-mana.
Cepat sekali bayangan hijau tadi telah berada di
pertengahan lembah. Orang ini berkelebat ke arah sebuah batu besar di atas mana
mendekam satu sosok aneh.
Sosok ini tidak tegak pada dua kakinya tetapi
mempergunakan sepasang tangan untuk dijadikan kaki.
Sementara dua kakinya berada di sebelah atas. Makhluk ini hanya mengenakan
sehelai celana compang-camping.
Karena cara berdirinya yang aneh maka rambutnya yang putih panjang, begitu juga
kumis dan janggutnya menjulai ke bawah menutupi wajahnya. Dari sekujur tubuh
orang ini mengepul keluar asap tipis berwarna kebiruan. Sepertinya ada satu
kekuatan dahsyat di dalam tubuhnya yang
terpendam dan tak bisa dikeluarkan.
Sosok di atas batu ini masih tetap mendekam tak
bergerak ketika bayangan hijau yang muncul dari kegela-
pan dan kabut sampai di hadapannya. Ternyata yang mun-
cul ini adalah satu makhluk aneh angker. Sosoknya mulai dari ujung rambut di
atas kepala sampai ke kaki seperti terbungkus lumpur tebal berwarna hijau gelap
dan basah. Tetesan-tetesan air jatuh menitik dari tubuh yang basah ini. Sepasang matanya
juga berwarna hijau pekat. Menatap angker tak berkesip ke arah makhluk yang
tegak dengan kaki ke atas kepala ke bawah.
Jempol kaki kanan orang di atas batu bergerak dua kali.
Lalu dari balik riap rambut dan kumis serta janggut putih panjang yang menutupi
wajah terdengar suara berucap.
"Aku mencium bau kubangan. Di balik kelopak mataku yang tertutup ada bayangan
warna hijau. Sepasang
telingaku mendengar tetesan-tetesan air jatuh ke tanah.
Wahai, kuharap aku tidak salah menduga. Yang muncul di hadapanku saat ini
bukankah kerabat berjuluk Hantu Lumpur Hijau..."
Sosok hijau yang tegak di depan batu sesaat masih pandangi orang yang tegak kaki
ke atas kepala ke bawah itu. Setelah kedipkan mata hijaunya satu kali makhluk
yang disebut Hantu Lumpur Hijau ini membuka mulut. Ternyata gigi dan lidahnya
juga berwarna hijau pekat!
"Puluhan tahun tidak bertemu. Mata dan telinga
tertutup rambut terjulai. Tapi kau masih mengenali diriku.
Wahai aku juga ingin memastikan. Bukankah kau yang konon disebut Hantu Langit
Terjungkir. Yang dulu dikenal bernama Lasedayu" Kalau benar, sungguh dahsyat
keadaanmu. Kau memang layak dinamakan Hantu Langit Terjungkir!"
Orang di atas batu terdengar menarik nafas dalam dan panjang. "Belasan tahun
tidak pernah kedatangan tamu.
Sungguh hari ini aku merasa bahagia ada seorang yang mau datang berkunjung.
Wahai kerabat lama, selamat datang di Lembah Seribu Kabut. Ada gerangan apa
sampai kau datang berjauh-jauh ke tempat kediamanku yang tidak nyaman ini?"


Wiro Sableng 111 Hantu Langit Terjungkir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hantu Lumpur Hijau mendehem beberapa kali lalu
menjawab. "Kedatanganku membekal maksud kurang
enak. Aku datang untuk minta pertanggungan jawabmu."
Dua kaki Hantu Langit Terjungkir mengembang ke
samping. Dari balik riapan rambut panjangnya yang men-
julai ke bawah menyentuh batu mengepul asap biru tipis.
"Datang dari jauh dengan maksud kurang enak. Wahai harap kau berterus terang
Hantu Lumpur Hijau. Katakan apa yang kurang enak itu! Hidupku sudah dibenam
derita sengsara sejak puluhan tahun silam. Jangan menambah deritaku dengan tidak
berterus terang..."
"Muridmu telah merampas ilmu kesaktianku yang
bernama Pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh!" kata Hantu Lumpur Hijau dengan
suara keras bergetar tanda dia berusaha menahan didihan amarah.
Suara orang seperti tercekik keluar dari tenggorokan Lasedayu alias Hantu Langit
Terjungkir. "Muridku" Muridku yang mana" Seumur-umur aku tidak pernah mempunyai
murid..." Hantu Lumpur Hijau mendengus. "Pemuda itu datang
mengagul membawa nama besarmu! Dia mengatakan
membawa perintah darimu untuk mengambil ilmu
kesaktianku itu. Ketika aku melawan dia langsung
menyerangku habis-habisan. Kesaktiannya tinggi sekali.
Aku tak sanggup menghadapinya. Dia kabur setelah
berhasil merampas ilmu kesaktian itu."
"Kau tidak menyebutkan apa pemuda itu punya nama
atau tidak. Tapi apa perduliku. Bernama atau tidak aku memang tidak pernah punya
murid!" "Dia mengaku bernama Lajundai! Dia juga mengaku
bernama Labahala! Lalu dia menyebutkan gelarnya Hantu Muka Dua. Raja Diraja
Segala Hantu di Negeri
Latanahsilam ini!"
"Lajundai... Labahala! Hantu Muka Dua! Memang dia!"
"Wahai! Sekarang kau mengaku kalau dia muridmu!"
"Tidak, aku bukan mengaku!"
"Lalu apa maksud ucapanmu tadi. Memang dia!"
"Maksudku," jawab Lasedayu alias Hantu Langit
Terjungkir. "Pemuda itu pernah muncul di lembah ini..."
"Hantu Langit Terjungkir, apapun kilahmu aku tetap berpegang pada ucapan
Lajundai. Bahwa kau gurunya dan kau yang menyuruh dia untuk merampas ilmu
kesaktian yang paling aku andalkan itu..."
"Kita lama bersahabat walau jarang bertemu muka. Apa kau lebih percaya pada
ucapan pemuda jahat itu daripada ucapanku?" ujar Hantu Langit Terjungkir pula.
"Kalau kau memberi tahu di mana pemuda itu berada dan membantu aku mendapatkan
kembali ilmu kesaktianku, mungkin aku bisa berubah pikiran..."
"Tidak mungkin. Tidak mungkin wahai kerabatku.
Pemuda itu tinggi sekali ilmu kesaktiannya. Jangankan kau sendiri, kita berdua
bahkan tak mungkin menghadapinya."
"Kau bersiasat! Kau sengaja melindunginya karena dia memang muridmu!"
"Aku tidak bersiasat wahai Hantu Lumpur Hijau. Aku tidak pula berniat
melindunginya. Sejak sekian tahun silam aku juga ingin menghajarnya. Tapi aku
sadar aku tak bisa melawannya!"
"Kau berdusta! Kesaktianmu tidak di bawah Hantu
Tangan Empat yang dianggap sebagai orang paling hebat di negeri ini. Lagi-lagi
kau memang bersiasat untuk
melindunginya!"
"Dengar kerabatku wahai Hantu Lumpur Hijau. Hantu Muka Dua, dalam keadaan kita
seperti ini bukanlah tandingan kita. Jika Para Dewa menurunkan pertolongan, satu
hari kelak mungkin kita bisa membalaskan sakit hati!"
"Aku sudah lama menunggu pertolongan Dewa. Tapi
pertolongan itu mana mau datang kalau kita sendiri tidak berusaha! Hantu Langit
Terjungkir, jika kau berserikat dengan muridmu terpaksa aku menjatuhkan tangan
kasar terhadapmu! Ketahuilah, walau ilmu kesaktianku Pukulan Hantu Hijau
Penjungkir Roh telah dirampas oleh muridmu, aku masih ada beberapa ilmu lain.
Memang tidak sehebat ilmu yang satu itu. Tapi aku yakin akan sanggup
mengirimmu ke alam roh hanya dalam dua tiga jurus saja!"
"Wahai, kalau begitu takdir nasibku memang buruk.
Hantu Lumpur Hijau, puluhan tahun menderita sengsara, hidup terjungkir menghadap
langit ke atas kepala ke bawah, bertangan kaki seperti ini membuat kematian
bagiku merupakan satu hal yang aku dambakan. Kematian akan mengakhiri semua
derita sengsara itu..."
"Kalau memang kau sudah pasrah menerima kematian, akupun tidak merasa ragu-ragu
lagi!" kata Hantu Lumpur Hijau pula. Lalu tangannya dihantamkan ke depan.
Selarik sinar hijau menderu ke arah dada Lasedayu. Sinar ini menyerupai sebatang
tombak yang meluncur cepat dan deras sekali.
Di atas batu Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir keluarkan suara berdesah.
"Pukulan Tombak Lumpur Penambus Roh!" Makhluk ini tidak bergerak sedikitpun
untuk selamatkan diri. Agaknya dia memang sudah benar-benar pasrah menerima
kematian. Sesaat lagi larikan angin sakti yang berbentuk tombak itu akan mendarat di dada
Hantu Langit Terjungkir tiba-tiba terdengar suara gelegar ringkikan kuda. Di
lain kejap sesosok tubuh melesat di udara. Lalu sebuah benda bulat menghantam ke
arah Tombak Lumpur Penambus Roh.
Traaanggg! *** WIRO SABLENG HANTU LANGIT TERJUNGKIR
4 EPERTI diceritakan dalam serial Wiro Sableng
sebelumnya dengan judul "Rahasia Kincir Hantu",
Sseluruh kesaktian yang dimiliki Lasedayu telah
dirampas dan dikuras habis oleh Labahala alias Hantu Muka Dua. Hal itu
dilakukannya dengan mempergunakan benda sakti bernama Sendok Pelangkah Nasib
yang juga disebut Sendok Pemasung Nasib. Sejak itu pula dunia ini menjadi
terjungkir balik bagi Lasedayu. Selain kehilangan ilmu kesaktian, keadaannya
jadi berubah. Dia tidak lagi bisa berdiri sebagai wajarnya manusia biasa yakni
kaki ke bawah kepala ke atas. Tapi dia hanya bisa berdiri dan berjalan dengan
mempergunakan sepasang tangannya.
Dua kaki berada di atas, dua tangan berada di bawah.
Sejak itulah orang-orang di Negeri Latanahsilam
menyebutnya dengan julukan Hantu Langit Terjungkir.
Walau ilmu kesaktian yang pernah dimilikinya telah dirampas seluruhnya oleh
Hantu Muka Dua, namun saat itu sebenarnya Hantu Langit Terjungkir telah memiliki
satu ilmu baru yang secara tak sengaja didapat dan
dipelajarinya dari alam.
Selama bertahun-tahun dia mengamati keadaan
lembah di sekitarnya yang selalu tertutup kabut berwarna putih kelabu dan
terkadang tampak seperti kebiru-biruan.
Ke manapun dia pergi di lembah itu sosoknya selalu dikelilingi oleh kabut.
Penciuman dan jalan pernafasannya selalu bersentuhan dengan kabut. Dari hasil
pengamatannya itu Lasedayu menyadari bahwa kabut yang sebenarnya hanya merupakan
salah satu lapisan udara yang mengapung dan tidak bisa diraba itu sesungguhnya
adalah satu kekuatan dahsyat. Maka sedikit demi sedikit, hari demi hari, dia
mulai menyerap kabut itu ke dalam tubuhnya melalui jalan pernafasan. Selama
bertahun-tahun hal itu dilakukannya. Sampai pada suatu hari dia
merasakan tubuhnya menjadi sangat ringan seolah
seenteng kapas. Dia bisa mengapung seolah mampu
berjalan di udara.
"Tubuhku seperti kabut! Ringan sekali. Seperti kabut aku bisa bergerak ke mana
aku suka. Wahai! Mukjizat apa yang telah diberikan alam padaku!"
Keterkejutan Lasedayu tidak sampai di situ. Ketika dicobanya ternyata dia mampu
mengatur aliran darah dalam tubuhnya. Tubuhya yang selama ini berada dalam
keadaan kaku dan dingin kini seolah dialiri hawa panas.
Lasedayu mencoba lebih jauh. Dia menghimpun tenaga dalam di pusarnya yang
bolong. Berkali-kali dicobanya tapi tidak terjadi apa-apa. Lasedayu tidak putus
asa. Kalau dia mampu mengatur jalan darah berarti ada kemungkinan dia juga mampu
menghimpun satu kekuatan tenaga dalam
baru di dalam tubuhnya.
Entah berapa ratus kali dia mencoba dan tak juga
berhasil maka berpikirlah orang tua ini. "Ketika aku masih hidup dengan kepala
ke atas kaki ke bawah, pusat
kekuatan tenaga dalamku memang di pusar. Sekarang keadaanku seperti ini. Pusar
tak punya. Semua serba terbalik. Jangan-jangan pusat kekuatan tenaga dalamku
juga berubah terbalik. Berpindah ke bagian badan yang lain."
Lasedayu lalu mengusapi sekujur tubuhnya. Dia tidak menemukan apa-apa. Dia tidak
mendapat petunjuk.
Sampai berminggu-minggu berlalu dia masih belum juga menemukan di mana kini
beradanya pusat kekuatannya.
Suatu pagi, sang surya baru saja terbit dan cuaca di lembah mulai terang.
Lasedayu tegak kaki ke atas kepala ke bawah. Salah satu tangannya yang selama
ini dijadikan kaki mengusap dan memijit-mijit keningnya. Lama-lama dia merasakan
kening serta jari-jari tangan itu menjadi panas.
Butiran-butiran keringat memercik di keningnya. Lalu dari sekujur tubuhnya,
mulai dari ubun-ubun sampai ke telapak kaki mengepul asap tipis berwarna kebiru-
biruan. Dicobanya menarik nafas dalam lalu menghembus ke
depan. Selarik asap biru melesat keluar dari mulut orang tua ini.
Lasedayu berteriak gembira. "Aku memiliki tenaga
dalam baru! Pusat tenaga dalamku ada di kening! Wahai!
Aku menemukan satu ilmu kesaktian baru!" Namun
kegembiraannya seperti sirna ketika dia berpikir, jangan-jangan dia hanya
sekedar memiliki kemampuan menyerap dan menghembuskan udara. Apa arti dan
kegunaannya"
Bukankah di tempat dingin semua orang bisa
mengeluarkan udara berbentuk seperti asap dari mulut dan hidungnya setiap kali
dia bernafas"
Untuk beberapa lamanya Lasedayu seperti terhenyak dalam keputus-asaan. Namun
ketika dia teringat pada Labahala alias Hantu Muka Dua yang telah mencelakai
dirinya begitu rupa, dendam berkecamuk dalam tubuhnya, perlahan-lahan
semangatnya bangkit kembali.
"Aku harus membuktikan bahwa apa yang ada dalam
tubuhku saat ini benar-benar satu hawa sakti yang dapat kumanfaatkan untuk
membalas dendam!" katanya dalam hati. Lalu orang tua ini kerahkan aliran darah
ke kepalanya. Sepasang matanya yang kelabu memancarkan cahaya
aneh. Keningnya menjadi panas. Bersamaan dengan itu dia gerakkan dua kakinya.
Menendang di udara.
Wuuttt! Wutttt! Dua larik sinar biru menderu di udara. Membelah kabut.
Lalu di sebelah sana terdengar suara benda berderak patah. Lasedayu sibakkan
rambut dan kumis yang menjulai menutupi wajahnya. Sepasang matanya yang berwarna
kelabu membeliak besar. Dua pohon yang selama
bertahun-tahun tumbuh tegak di sebelah sana hancur patah bagian tengah
batangnya, lalu bergemuruh tumbang!
Sekujur batang pohon yang telah patah itu berubah menjadi biru!
Walau menyaksikan dengan mata kepala sendiri apa
yang terjadi namun Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir masih belum percaya
diri. Perlahan-lahan tubuhnya diapungkan ke atas. Dua tangannya bergerak.
Sosoknya lalu diputar ke arah sebuah batu besar sejarak tiga tombak dari
tempatnya berdiri kepala ke bawah kaki ke atas. Kalau tadi dua kakinya yang
digerakkan maka kali ini tangan kanannya yang dipukulkan.
Wuuuttt! Selarik sinar biru menggebubu dari telapak tangan Lasedayu. Lalu di depan sana,
braakk! Batu besar hancur berantakan. Pecahan-pecahan batu berubah menjadi
kebiru-biruan. Orang tua ini berseru girang. Sosoknya mencelat ke atas beberapa
kali. Lalu dari mulutnya keluar teriakan. "Lajundai! Labahala! Hantu Muka Dua!
Siapapun kau adanya! Aku akan mencarimu! Tunggu pembalasanku!"
Habis berteriak begitu Lasedayu segera hendak
tinggalkan tempat itu. Namun selintas ingatan muncul dalam benaknya. Apakah
memang perlu dia mencari Hantu Muka Dua untuk melampiaskan dendam kesumat"
Seperti yang dikatakan Lamanyala, makhluk api utusan atau Wakil Para Dewa,
bukankah bencana yang dialaminya akibat ulah perbuatannya di masa muda" Dia
telah membunuh seorang bernama Latumpangan yang ketitipan sebuah jimat sakti
bernama Jimat Hati Dewa. Setelah membunuh Latumpangan dan merampas serta memakan
Jimat Hati Dewa, dia kemudian mencelakai Lamanyala, Wakil Para Dewa di Negeri
Latanahsilam. Kutukan kemudian jatuh atas dirinya. Yang membuat dirinya tersiksa
seumur-umur. Hidup terjungkir kaki di atas kepala di bawah!
Dendam yang membara dalam diri Lasedayu perlahan-
lahan mengendur. Apalagi ketika dia ingat pada istri dan empat orang anaknya
yang tidak diketahuinya di mana rimbanya.
"Apakah perlu aku membalaskan dendam kesumat
sakit hati" Bukankah keadaan diriku sampai begini rupa karena dimakan hukum
sebab akibat" Bukankah lebih baik sisa hidup ini kupergunakan untuk menanti
datangnya kematian" Hanya kematian yang akan mempertemukan
aku dengan istri dan anak-anakku di alam roh kalau memang mereka telah menemui
ajal akibat bencana banjir puluhan tahun silam itu..."
Berhari-hari lamanya Lasedayu mendekam di Lembah
Seribu Kabut dengan benak dibuncah alam pikiran seperti itu hingga akhirnya dia
mengambil keputusan untuk tidak mencari Hantu Muka Dua guna melakukan
pembalasan. Perasaan ingin mati cepat inilah yang kemudian membuat Hantu Langit Terjungkir
tidak berusaha menyelamatkan diri, hanya tegak diam penuh pasrah sewaktu Pukulan
Tombak Lumpur Penambus Roh yang dilepaskan Hantu Lumpur Hijau menghantam ke
arahnya! Orang tua ini benar-benar akan menemui ajal jika saat itu tidak ada
sebuah benda berbentuk bulat menderu menangkis
serangan orang.
Traaannggg! Walau jelas benda berbentuk tombak hijau itu hanya merupakan selarik sinar namun
luar biasanya begitu beradu dengan benda bulat dia mengeluarkan suara
berkerontangan seolah terbuat dari besi betulan.
Tombak sinar hijau terpental ke udara dan lenyap. Dada Lasedayu selamat dari
tambusannya. Benda bulat yang dipakai menangkis serangan gugus gompal sedikit
sementara satu sosok tinggi besar terhuyung jatuh tapi cepat bangkit kembali dan
bergerak ke arah Hantu Lumpur Hijau yang saat itu tengah berusaha bangkit
berdiri. Bentrokan tombaknya dengan benda bulat tadi membuat dia terdorong hebat dan
jatuh terjengkang. Sosok tubuhnya yang seperti lumpur berdenyut-denyut dan
tetesan air keluar lebih banyak. Ini satu pertanda bahwa makhluk ini tengah
dirasuk kobaran kemarahan luar biasa. Begitu berdiri dia putar tubuh ke arah
makhluk yang mendatanginya. Dukkk... Dukkkk.
Tanah lembah bergetar. Muka hijau Hantu Lumpur
Hijau sesaat berubah redup kelabu pertanda dia tengah mengalami keterkejutan.
Hantu Lumpur Hijau memang kaget besar ketika dia memandang ke depan dan
mengenali siapa yang melangkah mendekatinya.
*** WIRO SABLENG HANTU LANGIT TERJUNGKIR
5 ANTU Kaki Batu..." desis Hantu Lumpur Hijau. "Apa hubungan makhluk ini dengan
Hantu Langit HTerjungkir hingga dia barusan bertindak
menyelamatkan orang itu..." Sambil menduga-duga begitu Hantu Lumpur Hijau
melirik ke arah kejauhan di mana tampak seekor kuda hitam besar berkaki enam
yang merupakan tunggangan orang yang dijuluki Hantu Kaki Batu itu.
Seperti Hantu Lumpur Hijau, Lasedayu juga merasa
heran mengapa ada orang yang selama ini hanya dikenal namanya tapi tidak punya


Wiro Sableng 111 Hantu Langit Terjungkir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hubungan apa-apa telah
menyelamatkan dirinya dari kematian.
Duukkk... duukkkk... duukkkk!
Sosok tinggi besar yang sepasang kakinya terbungkus batu bulat melangkah terus
mendekati Hantu Lumpur Hijau. Dua langkah di hadapan Hantu Lumpur Hijau, orang
ini yang bukan lain Lakasipo adanya hentikan langkah lalu berucap.
"Hantu Lumpur Hijau, aku tidak ada permusuhan
denganmu. Karenanya lekas kau angkat kaki dari Lembah Seribu Kabut ini!"
Walau tadi hatinya kecut melihat kemunculan Hantu Kaki Batu yang jelas tidak
berpihak kepadanya namun ucapan Lakasipo membuat Hantu Lumpur Hijau merasa
sangat dihina dipandang enteng. Dalam marahnya dia menyahuti. "Wahai! Kau yang
muncul mencari lantai terjungkat! Sekarang kau pula yang berucap tidak punya
permusuhan dengan diriku! Sungguh aneh!"
Hantu Kaki Batu menyeringai. "Sudahlah, tak perlu bicara berpanjang lebar.
Tinggalkan saja tempat ini agar lantai terjungkat yang kau katakan itu tidak
kupatahkan!"
"Pongahnya dirimu! Apa hubunganmu dengan Hantu
Langit Terjungkir"! Hingga mencampuri urusanku dan menyelamatkan dirinya"!"
Hantu Lumpur Hijau membentak sambil melirik pada Lasedayu. Lasedayu sendiri saat
itu tentu saja ingin tahu dan ingin mendengar jawaban Lakasipo.
"Antara aku dan orang tua itu tidak ada hubungan apa-apa. Tapi niat menolong
adalah dasar hubungan baik bagi semua makhluk di Negeri Latanahsilam ini!"
"Wahai! Kau menolong orang yang salah! Kau
menolong makhluk jahat! Apakah itu pantas disebut dasar hubungan baik"!"
Hantu Langit Terjungkir keluarkan suara menggeram tapi tetap tak bergerak di
tempatnya. Lakasipo ajukan pertanyaan. "Apa kesalahan Hantu Langit Terjungkir.
Apa kejahatan yang telah diperbuatnya?"
"Aku datang ke Lembah Seribu Kabut ini untuk minta pertanggungan jawabnya.
Muridnya telah merampas ilmu kesaktianku!" jawab Hantu Lumpur Hijau.
"Kalau aku tidak salah, orang tua ini tadi sudah
memberi tahu padamu bahwa Hantu Muka Dua bukan
muridnya. Seumur-umur dia tidak punya murid. Mengapa kau berkeras kepala tidak
mempercayai ucapan orang"!"
"Hemmm... Kalau begitu rupanya kau sudah lama
berada di tempat ini hingga mendengar pembicaraan kami!" tukas Hantu Lumpur
Hijau. "Aku sudah berada di sini sebelum kau muncul. Itu jika kau ingin tahu!" ujar
Lakasipo pula yang membuat Hantu Langit Terjungkir jadi terkejut dan menduga-
duga jangan-jangan manusia berkaki batu ini juga punya niat jahat terhadap
dirinya walaupun pertama kali muncul telah menolong menyelamatkan dirinya dari
serangan maut Hantu Lumpur Hijau.
"Aku tidak percaya pada ucapan Hantu Langit
Terjungkir. Sama dengan aku tidak mempercayai dirimu!
Aku yakin antara dia dengan Hantu Muka Dua ada
hubungan tertentu!"
"Sudahlah! Kita habisi saja pembicaraan sampai di sini.
Harap kau mau pergi dari sini!"
"Bagaimana kalau kau saja yang segera angkat kaki dari sini"!" tukas Hantu
Lumpur Hijau. Lakasipo tertawa bergelak. "Tubuhmu mulai dari kepala sampai ke kaki merupakan
lumpur lembek dan busuk! Tapi wahai! Otakmu keras dalam ketololan! Mungkin ini
bisa membuatmu untuk tidak bicara berpanjang lebar!"
Habis berkata begitu Lakasipo alias Hantu Kaki Batu jentikkan lima jari tangan
kanannya. Wussss! Lima larik sinar hitam menggebubu ganas. Menyambar ke arah lima bagian tubuh
Hantu Lumpur Hijau membuat orang ini terkejut besar. Sambil berteriak menyebut
nama serangan itu dia cepat melompat cari selamat.
"Lima Kutuk Dari Langit!"
Lima lobang hitam mengepulkan asap menguak di
tanah bekas tempat Hantu Lumpur Hijau tadi berdiri tegak!
Sang hantu bergeletar sekujur tubuh lumpurnya. Sejak ilmu kesaktian yang sangat
diandalkannya dirampas Hantu Muka Dua, Hantu Lumpur Hijau memiliki satu
kelemahan yakni tidak tahan terhadap hawa panas, apalagi pukulan sakti
mengandung hawa panas seperti Lima Kutuk Dari Langit yang tadi dihantamkan
Lakasipo! Sadar kalau saat itu tak mungkin baginya untuk
menghadapi Lakasipo maka Hantu Lumpur Hijau berpaling pada Hantu Langit
Terjungkir dan berkata. "Nasibmu masih baik. Ada orang tolol muncul menolong.
Tapi lain waktu jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!"
Habis berkata begitu Hantu Lumpur Hijau lalu
berkelebat dan sosoknya lenyap di belakang kabut yang mengapung di udara.
Hantu Langit Terjungkir tertawa mengekeh. "Dia yang bodoh mengatakan orang
tolol!" Lalu orang tua ini berpaling ke arah Lakasipo. Dari balik julaian rambut
putihnya yang panjang dia memperhatikan kemudian
berkata. "Wahai, selama ini hanya nama yang kukenal.
Apakah benar dugaanku kau adalah makhluk yang dijuluki Hantu Kaki Batu, korban
kebusukan nenek jahat bernama Hantu Santet Laknat?"
"Wahai!" seru Lakasipo. "Dugaanmu tidak salah! Kau sebut nama nenek keparat itu!
Mengingatkan aku bahwa masih ada urusan dendam kesumat yang belum
terselesaikan dengannya!"
Hantu Langit Terjungkir menyeringai di balik julaian rambut putihnya. "Selama
dunia terkembang, walau langit terjungkir seperti yang saat ini aku lihat,
urusan dendam kesumat tidak pernah habis-habisnya! Akupun sebenarnya memiliki
satu dendam kesumat besar luar biasa! Tapi apa ada gunanya untuk dilampiaskan?"
"Lalu itu sebabnya waktu tadi Hantu Lumpur Hijau
hendak membunuh kau hanya diam pasrah?" ujar
Lakasipo. Hantu Langit Terjungkir kembali menyeringai. "Wahai, turut bicaramu kau sudah
lama berada di tempat ini.
Bahkan sebelum Hantu Lumpur Hijau muncul. Kau
menyelamatkan diriku dari kematian! Tapi aku perlu kejelasan apakah kau datang
dengan maksud baik atau membekal niat jahat seperti makhluk yang barusan merat
itu"!"
"Aku datang membekal maksud baik. Aku membawa
amanat dari seseorang untuk disampaikan padamu,"
menjelaskan Lakasipo.
"Sungguh luar biasa kejadian hari ini!" kata Hantu Langit Terjungkir sambil
geleng-gelengkan kepala. "Aku hendak dibunuh orang tapi diselamatkan orang lain.
Kini orang lain itu berkata dia datang membawa satu amanat!
Wahai Hantu Kaki Batu, amanat apa yang hendak kau sampaikan pada diri tua rapuh
dimakan usia dan derita ini"!"
"Sebelum kujawab pertanyaanmu, aku juga ingin satu kejelasan bahwa kau memang
adalah Hantu Langit
Terjungkir yang terlahir bernama Lasedayu. Kulihat pusarmu yang berlubang,
kulihat cara tegakmu yang terbalik, kaki ke atas tangan dijadikan kaki. Namun di
Negeri Latanahsilam ini seseorang bisa saja menyamar memalsukan diri. Hantu Muka
Dua misalnya, dia bisa membentuk ujudnya seperti sosok dirimu!"
Hantu Langit Terjungkir tertawa panjang. "Aku suka pada orang cerdik sepertimu.
Ada ujar-ujar yang
mengatakan begini, 'Seseorang harus tulus seperti seekor burung merpati. Tapi
ada kalanya harus cerdik seperti ular.'
Hantu Kaki Batu, kau sendiri sudah mengetahui bahwa aku begitu pasrah menghadapi
bahkan menginginkan
kematian. Jika kau tadi tidak yakin aku adalah benar-benar Hantu Langit
Terjungkir alias Lasedayu, tentu kau tidak akan menolong menyelamatkan nyawaku
dari Hantu Lumpur Hijau!"
"Wahai, mendengar ucapanmu itu aku yakin kau
memang adalah Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu.
Sebelum kukatakan amanat yang kubawa itu, apakah kau berkesudian menceritakan
riwayat hingga kau berkeadaan seperti ini?"
Si orang tua menarik nafas panjang dan dalam.
"Wahai, menceritakan nasib sendiri sama dengan
menusukkan duri ke lubuk hati yang telah sarat dengan derita sengsara ini. Tapi
mungkin juga bisa sedikit menghapus ganjalan hati. Kalau kau suka mendengar akan
kuceritakan. Tapi pendek-pendek saja..."
"Aku suka mendengar riwayatmu," jawab Lakasipo.
"Semua derita sengsara ini terjadi ketika seorang bernama Lajundai alias
Labahala yang mengaku Raja Diraja Segala Hantu di Negeri Latanahsilam ini,
bergelar Hantu Muka Dua, suatu hari di masa puluhan tahun silam muncul di lembah
ini. Sebelum muncul di Lembah Seribu Kabut ini rupanya dia telah mendatangi
beberapa tokoh di tempat lain dan merampas ilmu kepandaian para tokoh itu.
Ternyata dia mendatangiku juga dengan maksud yang sama. Dia membekal sebuah
benda terbuat dari emas yang disebut Sendok Pelangkah Nasib atau lebih dikenal
dengan nama Sendok Pemasung Nasib. Kejutku bukan
alang kepalang. Karena sendok itu adalah satu-satunya benda di muka bumi ini
yang bisa menguras semua ilmu kesaktian yang kumiliki! Dengan satu gerakan kilat
Hantu Muka Dua menusukkan sendok emas itu ke perutku,
mencungkil pusarku. Kau lihat sendiri saat ini. Pusarku hanya merupakan satu
lobang besar di pertengahan
perutku. Dalam keadaan tak berdaya dan mandi darah setelah ditinggal kabur oleh
Hantu Muka Dua tiba-tiba muncul Lamanyala..."
"Lamanyala, aku pernah dengar nama itu. Siapa orang itu adanya?" tanya Lakasipo.
"Dia adalah utusan atau Wakil Para Dewa di Negeri Latanahsilam. Dia memiliki
kesaktian hebat. Sekujur tubuhnya dikobari api. Sejak puluhan tahun dia telah
menjadi musuh besarku. Karena aku telah merampas dan menelan Jimat Hati Dewa
yang berada di bawah
pengawasannya. Selain itu tubuhnya telah kubikin cacat mengerikan..."
"Lamanyala pasti muncul untuk membalas dendam!"
memotong Lakasipo.
Hantu Langit Terjungkir gelengkan kepala. "Dia muncul hanya untuk mengatakan
sesuatu yang sampai saat ini masih terngiang di telingaku, 'Hidup keluargamu
morat-marit! Kau tak tahu di mana istrimu berada. Kau juga tidak tahu di mana ke
Mahligai Cinta Sepasang Pendekar 2 Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long Pendekar Setia 12
^