Pedang Naga Suci 1
Wiro Sableng 094 Pedang Naga Suci 212 Bagian 1
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ SATU ala keg W u saat itu menjelang tengah hari namun puncak Gunung Gede diselimuti elapan
mencekam. Langit hitam kelam ditebali awan hitam mendung bergulung. Angin
bertiup kencang mengeluarkan suara aneh. Suara deru hujan mencurah deras seolah
langit koyak terbelah. Udara sangat dingin membungkus puncak gunung. Ditambah
dengan gelegar guntur yang sesekali ditimpali sambaran petir membuat suasana
benar-benar menggidikkan.
Di tepi sebuah telaga yang terletak di puncak timur Gunung Gede, dua sosok tubuh
tampak duduk bersila di tanah yang becek. Sepasang lengan dirangkapkan di depan
dada. Mereka tidak bergerak sedikitpun seolah telah berubah menjadi patung tanpa
nafas. Sekujur tubuh ke dua orang ini basah kuyup mulai dari rambut sampai ke
kaki. Hawa dingin luar biasa membuat tubuh mereka sedingin es! Dua orang ini
tidak sedang bersamadi atau bertapa karena sepasang mata mereka memandang tak
ber-kesip ke tengah telaga yang airnya mengeluarkan riak seolah mendidih dan
mengepulkan asap putih.
Orang di sebelah kanan adalah seorang pemuda berpakaian dan berikat kepala
putih. Wajahnya tampan dan memiliki sepasang mata besar dengan pandangan tajam tak
berkesip menyorot ke arah telaga. Di samping kiri si pemuda duduk tak bergerak
seorang dara berpakaian biru muda, berparas cantik dan berkulit hitam manis. Di
pinggangnya melilit ketat sehelai selendang merah hingga pinggangnya tampak
ramping dan pinggulnya mencuat bagus. Gadis ini memiliki rambut panjang
sepinggang yang dijalin lalu dilingkarkandi atas kepala. Seolah hiasan, jalinan
rambut ini menambah kecantikan wajahnya.
Sulit diduga apa yang tengah dilakukan sepasang muda mudi itu. Mereka tetap tak
bergerak dan tak berkesip walau hujan terus mendera, hawa dingin mencucuk,
guntur menggelegar dan kilat membuat darah berulang kali tersirap.
Tiba-tiba si pemuda tampak membuat gerakan. Perlahan sekali kepalanya
dipalingkan ke kiri ke arah gadis berpakaian biru. Sesaat dipandanginya gadis
itu. Mulutnya bergerak sedikit seperti hendak mengucapkan sesuatu. Namun tak ada
suara yang keluar.
Orang yang dipandangi tetap diam tak bergerak. Si pemuda sesaat menjadi bimbang.
Akhirnya dia memutar kepala, memandang kembali ke arah telaga. Tapi dia seperti
tidak dapat memusatkan perhatian lebih lanjut. Tak selang berapa lama kembali
dia menoleh ke kiri, pandangi gadis cantik di sebelahnya itu. Mulutnya bergerak
namun tetap saja tak ada suara yang keluar. Hanya di dalam hatinya si pemuda
membatin. "Air mukanya jelas masih membayangkan marah dan dendam. Dia pasti
tetap tak akan mau bicara denganku. Tapi kalau aku tidak bicara bisa-bisa lebih
salah kaprah.... Hemmm. Bagaimana aku harus memulai. Hatinya sekeras batu,
sikapnya segarang harimau betina...."
Kilat menyambar. Sekilas puncak Gunung Gede terang benderang. Guntur menggelegar
seperti merobek telinga dan menghancurkan jantung. Air telaga tampak beriak
keras dan kepulan asap semakin tebal bergulung ke udara. Cahaya kilat lenyap dan
tempat itu kembali dibungkus kegelapan.
"Aku harus bicara! Terserah dia mau marahi" Pemuda berwajah tampan ambil
keputusan. Dia menarik nafas dalam lebih dulu seolah berusaha mempertabah diri.
Lalu terdengar suaranya menegur diantara deru hujan dan tiupan angin.
Pedang Naga Suci 212
1 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Sinto, apa kita tidak salah menghitung hari" Jangan-jangan kita datang
terlambat atau terlalu cepat...."
Si pemuda menunggu. Tapi orang yang ditanya jangankan menjawab. Bergerak
sedikitpun tidak. Bahkan dua matanya yang tajam bagus terus saja memandang ke
tengah telaga tanpa berkedip.
"Sinto, kau mendengar pertanyaanku. Harap kau suka menjawab dan sementara
melupakan dulu apa-apa yang menjadi ganjalan di hatimu...." Pemuda gagah di
sebelah kanan si gadis kembali membuka suara.
Gadis yang diajak bicara tetap membungkam seribu bahasa. Hujan dan angin terus
berkecamuk. Kegelapan dan hawa dingin semakin mencekam.
"Sinto Weni kalau kau...."
"Aku tak pernah salah memperhitungkan segala sesuatu dalam hidupku. Satu-satunya
kesalahan adalah kesalahan memperhitungkan dirimu...."
Kata-kata yang tiba-tiba keluar dari mulut si gadis walaupun diucapkan secara
lembut tapi membuat wajah pemuda tampan di sebelahnya menjadi berubah. Untuk
beberapa lamanya dia terdiam dengan mulut ternganga.
"Sinto Weni adikku...."
"Suaramu tidak sedap masuk ke telingaku. Kalau kau tak mau berhenti bicara lebih
baik segera saja angkat kaki dari tempat ini...,"
Si pemuda menggigit bibirnya sendiri. "Hatinya bukan saja sekeras batu tapi juga
sepanas bara. Tak mungkin aku membujuknya. Dari pada urusan jadi panjang memang
lebih baik aku pergi saja. dari sini...."
"Sinto, terus terang aku memang tidak mengharapkan warisan apa-apa dari kiai
Gede Tapa Pamungkas. Hanya sebagai murid aku harus patuh. Itu sebabnya aku
datang ke sini sesuai pesan Kiai beberapa tahun lalu. Kalau kau tidak
menginginkan kehadiranku di sini mungkin memang benar aku harus angkat kaki dari
tempat ini. Selamat tinggal Sinto.
Urusan di antara kita pasti ada saat penyelesaiannya.... Satu hal perlu kau
ketahui. Hatiku tidak sejahat yang kau duga. Hanya memang mungkin imanku setipis
embun di permukaan daun. Mudah sirna terkena cahaya sang surya...."
Habis berkata begitu si pemuda siap bergerak bangkit. Bagi si gadis apa yang
dikatakan pemuda itu sama sekali tidak ada pengaruhnya. Dia tetap tak bergerak
danterus menatap ke arah telaga.
Tiba-tiba petir menyambar. Guntur menggelegar. Puncak Gunung Gede bergetar
hebat. Si pemuda yang hendak berdiri jatuh terduduk di tanah becek. Tapi hatinya
telah bulat, tekadnya telah tetap. Dia kembali bangkit berdiri. Namun sekali
lagi gerakannya tertahan.
Mendadak di kejauhan terdengar suara orang menyanyi. Demikian halus lembut suara
itu hingga sulit diketahui apakah yang menyanyi seorang lelaki atau seorang
perempuan. Hari pertemuan datang sudah
Dua warisan akan muncul di dunia
Benda mati akan membawa manusia
Memilih jalan lurus atau jalan sesat
Memilih sorga atau dunia maksiat
Pedang Naga Suci 212
2 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Karena itu manusia diberi otak untuk berpikir
Diberi hati untuk menimbang
Manusia harus menguasai benda
Bukan benda yang harus menguasai manusia
Kalau warisan sudah berbagi
Saat berpisah datang sudah.
Baru saja suara nyanyian sirap tiba-tiba kilat menyambar. Laksana sebilah pedang
raksasa yang menderu dari atas langit, kilat menghantam pertengahan telaga. Air
telaga berobah menjadi panas, mencuat sampai puluhan tombak! Puncak Gunung Gede
laksana dilanda gempa ketika guntur menyusul menggelegar. Sepasang muda-mudi
yang duduk di tepi telaga merasa ada hawa aneh keluar dari tanah lalu menjalar
masuk ke dalam tubuh masing-masing. Keduanya tampak bergetar hebat dan
terhuyung-huyung. Mereka kerahkan tenaga agar tidak terbanting roboh ke tanah.
Sambaran kilat lenyap. Suara gema guntur sirna. Air telaga beriak tenang kembali
seperti semula. Dua orang di tepi telaga masih belum lenyap rasa kejut masing-
masing. Wajah mereka masih kelihatan pucat. Dalam keadaan seperti itu sekonyong-konyong
terdengar suara bergemuruh di dalam telaga. Lalu seolah ada satu kekuatan
dahsyat air di pertengahan telaga muncrat setinggi lima tombak. Bersamaan dengan
itu dari dalam telaga mencuat muncul sosok tubuh seorang tua berselempang kain
putih. "Kiai Gede Tapa Pamungkas!"
Pemuda dan gadis di tepi telaga sama-sama keluarkan seruan. Keduanya lalu
membungkuk dalam-dalam memberi penghormatan.
Orang tua berselempang kain putih yang dipanggil dengan sebutan Kiai Gede Tapa
Pamungkas seolah berdiri di atas air. Kepulan asap putih berhawa dingin membuat
sosok dan wajahnya tampak samar. Orang tua ini memiliki rambut putih panjang
menjulai yang bukan saja menutupi kepala dan punggungnya tapi juga sebagian
wajahnya. Selain dari itu kumis alis dan janggutnya yang putih panjang ikut
menyembunyikan mukanya.
Ada beberapa keanehan menyertai kemunculan Kiai Gede Tapa Pamungkas ini.
Pertama dia muncul dari dalam telaga. Apakah dia memang diam dalam telaga itu"
Manusia mana yang mampu hidup dalam air" Ke dua dia bisa berdiri di atas air
telaga merupakan satu kepandaian yang sukar dijajagi. Lalu keanehan ke tiga,
walau saat itu hujan terus mendera dan barusan dia keluar dari dalam air telaga
namun baik tubuh, rambut maupun pakaian Kiai Gede Tapa Pamungkas sama sekali
tidak basah! Baik si pemuda maupun gadis bernama Sinto Weni sebelumnya tidak
pernah melihat kemunculan dan penampilan Kiai Gede Tapa Pamungkas begini hebat!
"Murid-muridku apakah kalian berdua sudah lama menunggu"!" Sang Kiai ajukan
pertanyaan. Sampai saat itu dia tetap tidak beranjak dari pertengahan telaga
sementara cuaca tetap pekat mengetam.
"Kami belum berapa lama berada di tempat ini Kiai," menjawab si pemuda.
"Kalau Kiai yang memerintah apapun akan kami lakukan. Berapa lamapun menunggu
akan kami nantikan," berkata Sinto Weni.
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. "Aku tahu kalian sudah lima hari menunggu di
tepi telaga. Tanpa makan tanpa minum. Kehujanan dan kedinginan. Murid-muridku,
Tuhan menjadikan hidup manusia ini tidak mudah. Cobaan dan ujian datang silih
berganti Pedang Naga Suci 212
3 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
dalam berbagai bentuk. Tuhan tidak ingin menyusahkan umat-Nya. Semua cobaan dan
ujian itu justru untuk membuat manusia menjadi tabah dan berani menghadapi
tantangan. Hanya dengan ketabahan dan keberanian berdasarkan kebenaran manusia menyadari
apa artinya hidup ini. Ujian dan cobaan yang kalian alami selama lima hari ini
hanya sejumput kecil dari padang luas rimba percobaan. Banyak lagi ujian, cobaan
dan tantangan yang kelak akan kalian hadapi. Untuk semua itu sandarkan
keberanian dan kekuatan kalian pada kekuatan dan perlindungan Yang Maha Kuasa.
Karena hanya keberanian dan kekuatan Tuhanlah yang maha benar dari semua
kebenaran. Murid-muridku, Sinto Weni dan Sukat Tandika apakah selama empat tahun
tidak bertemu kalian berdua ada baik-baik saja?"
"Berkat doa Kiai dan perlindungan Yang Maha Kuasa kami ada baik-baik saja. Walau
empat tahun tidak terlalu lama namun kami merasa mulai mengenal apa artinya
hidup dan apa artinya dunia persilatan...." Yang menjawab adalah pemuda bernama
Sukat Tandika. Sinto Weni sang dara berkulit hitam manis hanya berdiam diri memandang ke tengah
telaga tepat pada arah sepasang kaki sang Kiai.
Di tengah telaga, Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. Sambil melirik pada
muridnya yang bernama Sinto Weni dia kembali ajukan pertanyaan. "Murid-muridku
apa kalian berdua ada baik-baik saja selama empat tahun ini?"
"Kami... kami berdua ada baik-baik saja Kiai," akhirnya si gadis menjawab.
"Bagus kalau begitu," ujar Kiai Gede Tapa Pamungkas sambil anggukkan kepala
walau sebenarnya dia tahu ada sesuatu yang disembunyikan murid perempuannya ini.
"Sinto Weni dan Sukat Tandika. Empat tahun kalian terjun ke dalam rimba
persilatan bukan satu waktu yang lama. Tidak dapat dijadikan ukuran apakah
kalian telah mampu menjadi pendekar-pendekar yang dihormati dan disegani. Namun
aku sudah menyirap kabar bahwa ilmu Pukulan Sinar Matahari yang kuwariskan
padamu Sinto Weni telah membuat geger dunia persilatan. Lalu aku juga mengetahui
bahwa ilmu silat tangan kosong yang kau dapat dariku Sukat Tandika telah membuat
orang-orang golongan hitam menjadi mati kutu.
Seperti yang pernah aku katakan dulu, hari ini adalah hari pertemuan yang
dijanjikan. Hari ini adalah hari dua warisan akan kuserahkan pada kalian. Dan
hari ini pula kita akan berpisah untuk selama-lamanya. Entah kalau Tuhan masih
mengijinkan bagi kita bertemu.
Adapun bentuk warisan yang akan kuberikan pada kalian, akan kalian lihat sendiri
nanti. Suka atau tidak suka kalian harus menerimanya sebagai kenyataan. Karena dua
benda warisan itu hanyalah titipan anak cucu kalian yang harus dipergunakan
untuk menyelamatkan dunia persilatan dari segala macam angkara murka. Waktuku
pendek, aku tak mungkin bicara terlalu banyak. Harap kalian tetap duduk di
tempat masing-masing.
Jangan bicara kalau aku tidak mengajak bicara. Jangan bergerak kalau tidak aku
suruh!" Habis berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas lalu kembangkan ke dua tangannya
ke samping. Bersamaan dengan itu terdengar, suara menggemuruh yang datang dari
dua arah di dasar telaga. Lalu air telaga di kiri kanan si orang tua mencuat
setinggi sepuluh tombak. Anehnya air yang melesat ke udara itu tampak
mengeluarkan tiga warna yakni putih, merah dan biru. Bersamaan dengan mencuatnya
air telaga di dua tempat, mendadak tiupan angin semakin kencang dan hujan
mendera bertambah keras!
Sinto Wenidan Sukat Tandika merasakan jantung masing-masing berdebar keras.
Mata mereka dibuka lebar-lebar ketika ada suara mendesir di dalam telaga- Lalu
dua buah kepala mencuat ke permukaan air. Sepasang muda-mudi ini kalau tidak
ingat pesan guru Pedang Naga Suci 212
4 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
mereka tadi, niscaya saat itu sudah tersurut ke belakang atau keluarkan seruan
tertahan ketika melihat dua makhluk yang keluar dari dalam telaga!
* * * Pedang Naga Suci 212
5 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ DUA ua makhluk yang muncul di permukaan air telaga di kiri kanan Kiai Gede Tapa
Pamungkas ternyata adalah dua ekor ular besar bermata merah, satu jantan satu
Dbetina, memiliki lidah terbelah yang menjulur panjang serta gigi dan taring
besar runcing. Di atas kepala sebelah depan ada sebentuk mahkota putih bertabur
batu-batu yang memantulkan sinar berkilauan. Di bagian kepala sebelah belakang
tampak sebentuk tanduk berwarna hijau.
"Ular naga..." desis pemuda bernama Sukat Tan-dika dalam hati. "Setahuku
binatang ini hanya ada dalam dongeng. Apa yang kulihat ini ular naga sungguhan
atau hanya makhluk jejadian ciptaan kepandaian Kiai Gede Tapa Pamungkas"
Kalau si pemuda berpikir seperti itu maka lain halnya dengan gadis bernama Sinto
Weni. Dalam hati gadis ini bertanya-tanya. "Permainan apa yang hendak
diperlihatkan Kiai padaku" Apa ular raksasa ini yang hendak diwariskannya
padaku" Celaka!"
Di tengah telaga Kiai Gede Tapa Pamungkas mendongakkan ke langit. Dua tangannya
diangkat sebatas dada dengan telapak membuka menghadap ke atas. Dia seperti
tengah membaca sesuatu. Dua ekor naga besar bergulung-gulung di sebelah kiri dan
kanan tubuhnya. Tiba-tiba Kiai Gede Tapa Pamungkas rentangkan ke dua tangannya
kembali ke samping. Bersamaan dengan itu dia jentikkan jari-jari tangannya kiri
kanan. Mendengar suara jentikan dua ekor ular naga susupkan kepala ke dalam air
telaga sementara di sebelan sana air telaga tiga warna terus mencuat di dua
tempat. Sekali lagi Kiai Gede Tapa Pamungkas jentikkan jari-jari tangan kiri kanan.
Terdengar suara menggemuruh ketika dua naga munculkan lagi kepala di permukaan
Wiro Sableng 094 Pedang Naga Suci 212 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
air telaga. Kali ini di dalam mulut masing-masing mereka menggigit sebuah benda.
Ular naga sebelah kanan yakni ular naga yang jantan mengigit sebuah benda
berbentuk kapak yang memiliki dua mata. Kapak ini bergagang putih kekuningan
terbuat dari gading. Bagian ujung gagang berbentuk ukiran kepala naga jantan dan
ada enam buah lobang kecil seperti lobang seruling. Pada dua mata kapak yang
memancarkan sinar berkilauan itu tertera tiga buah angka. 212.
Dalam mulut ular naga kedua yaitu yang betina ada sebuah benda berbentuk seperti
gulungan ikat pinggang berwarna putih, memiliki ujung berbentuk kepala naga sama
seperti gagang kapak yang ada di mulut naga satunya.
Kiai Gede Tapa Pamungkas kembali jentikkan dua tangannya kiri kanan. Dua ular
naga kibaskan ekor masing-masing dengan keras hingga air telaga muncrat tinggi.
Lalu binatang ini rundukkan kepala dan meluncur menuju tepi telaga di mana Sinto
Weni dan Sukat Tandika duduk bersila tanpa berani bergerak ataupun keluarkan
suara. Namun sekali ini begitu dua ular naga meluncur ke arah mereka walau
mereka tetap mampu bertahan tanpa keluarkan suara tanpa bergerak rasanya saat
itu nyawa masing-masing sudah melayang terbang!
Di tepi telaga dua ular naga jantan dan betina letakkan senjata berbentuk kapak
dan gulungan benda putih di hadapan Sinto Weni dan Sukat Tandika. Untuk beberapa
lamanya binatang ini menjilati dua benda itu. Lalu keduanya perlahan-lahan
meluncur mundur kembali ke dalam telaga.
Pedang Naga Suci 212
6 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Kiai Gede Tapa Pamungkas jentikkan lagi jari-jari tangannya. Dua ular naga
luruskan badan masing-masing laksana tonggak lalu dongakkan kepala. Dari mulut
mereka keluar suara raungan aneh, terdengar antara lolongan srigala dan ringkik
kuda, membuat merinding Sinto Weni dan Sukat Tandika. Sang Kiai kembali
menjentik. Saat itu juga sosok tubuh sepasang naga perlahan-lahan meluncur turun
ke dalam air hingga akhirnya lenyap dari pemandangan.
"Murid-muridku.... Dua warisan telah berada di hadapan kalian. Sebelum aku
meminta kalian untuk memilih sendiri mana yang kalian sukat, aku akan
perlihatkan kepada kalian kehebatan dua benda itu."
Di tengah telaga Kiai Gede Tapa Pamungkas angkat kedua tangannya, diarahkan pada
dua benda yang ada di tepi telaga. Ketika dua tangannya disentakkan ke atas,
senjata berbentuk kapak bermata dua melesat ke udara mengeluarkan suara aneh
seperti ribuan tawon terbang mengamuk. Dari dua mata kapak memancar sinar putih
laksana perak. Sinar ini bukan saja sangat menyilaukan tapi sekaligus
menghamparkan hawa panas luar biasa.
Untuk beberapa lamanya senjata ini berputar-putar di atas telaga mengikuti gerak
putaran tangan kanan Kiai Gede Tapa Pamungkas. Begitu sang Kiai hantamkan tangan
kanannya ke kiri, kapak bermata dua melesat laksana kilat ke arah sebatang pohon
yang tumbuh di tepi telaga.
"Craasss!"
Batang pohon sebesar pemelukan tangan tertebas putus. Bagian atas pohon besar
tumbang dengan suara bergemuruh. Baik pohon yang tumbang maupun Sisa batang yang
masih tegak kelihatan berubah menjadi hitam gosong laksana habis dimakan api!
Sukat Tandika menyaksikan dengan mata lebarnya bertambah lebar sedang lidahnya
berulang kali dijulurkan membasahi bibir. Sinto Weni memandang dengan mata
melotot tapi mulut terkancing.
Kiai Gede Tapa Pamungkas gerakkan tangannya ke arah tepian telaga. Kapak bermata
dua melayang turun dan perlahan-lahan digeletakkan kembali di depan sepasang
muda mudi. Kini sang Kiai ganti angkat tangannya yang kiri. Benda putih
berbentuk gulungan ikat pinggang melesat ke atas lalu "srettt!" Gulungannya
terbuka. Satu cahaya putih yang menghamparkan hawa dingin berkiblat. Di udara
saat itu tampak sebilah pedang putih tipis bergagang gading berbentuk kepala
naga betina. Pada badan pedang tertera angka 212. Pada bagian ujung pedang yang
lancip kelihatan sebuah lobang yang demikian kecilnya hingga sulit dilihat mata
telanjang. Kiai Gede Tapa Pamungkas sentakkan tangan kirinya ke atas. Pedang putih melesat
ke udara,. berputar memancarkan cahaya putih menyilaukan, menebar hawa dingin
dan mengeluarkan suara berdesing yang membuat liang telinga laksana ditusuk!
"Lihat pedang!" berseru sang Kiai seraya hantamkan tangan kanannya ke arah kanan
telaga di mana tumbuh sebuah pohon besar berdaun rimbun. Kiai Gede Tapa putar
tangannya di atas kepala berulang kali. Terdengar suara tebasan tak henti-
hentinya. Daun pohon bertaburan di udara lalu melayang jatuh ke tanah dan ke
dalam telaga. Dalam waktu beberapa kejapan mata saja pohon yang tadinya rimbun
itu kini telah botak, hanya tinggal cabang dan ranting meranggas. Ketika Kiai
Gede Tapa Pamungkas meletakkan pedang putih itu di tepi telaga, begitu menyentuh
tanah pedang ini kembali menggulung diri secara aneh.
Pedang Naga Suci 212
7 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Sekarang kalian lihat bagaimana kalau dua senjata sakti dari dua sumber yang
sama saling baku hantam satu sama lain!" kata Kiai Gede Tapa pula. Lalu dua
tangannya sama disentakkan ke atas.
"Sreettt!"
"Wuttt!"
"Wuuutt!"
Pedang putih tipis melesat ke atas dan lepas dari gulungannya. Kapak bermata dua
menyusul melesat lalu membeset gerakan pedang. Dengan lincah pedang tipis
membuat gerakan berputar menghindari tebasan kapak. Dalam waktu singkat di udara
dua senjata itu berubah menjadi buntalan cahaya yang saling menggempur. Dua
cahaya berkilauan saling menyabung. Hawa panas dan hawa .dingin berbenturan
hebat. Suara mengaung dan suara mendesing seperti seruling seolah merobek
langit. "Traangg!"
Dua senjata mustika sakti beradu di udara. Lidah api mencuat sejauh dua tombak.
Suara beradunya kapak dan pedang disusul dengan getaran dahsyat yang membuat
tempat itu laksana dilanda gempa. Karena bentrokan dua senjata sakti terjadi
berulang-ulang, baik Sinto Weni maupun Sukat Tandika terpaksa tutup telinga
masing-masing dengan tangan sementara tubuh mereka yang duduk bersila ditanah
terguncang-guncang, aliran darah tersentak-sentak. Kalau bentrokan dua senjata
sakti itu tidak lekas dihentikan sepasang muda-mudi ini pasti akan menderita
luka dalam yang parah!
Untung Kiai Gede Tapa Pamungkas saat itu membuat gerakan dua tangan ke kiri dan
ke kanan. Kapak bermata dua dan pedang tipis lentur serta merta bergerak
menjauh. Lalu perlahan-lahan turun ke tanah di hadapan Sinto Weni dan Sukat
Tandika. Seperti tadi begitu menyentuh tanah pedang tipis lentur langsung
bergelung menggulung.
Untuk ke sekian kalinya dua murid Kiai Gede Tapa itu dibuat terkagum-kagum
menyaksikan kehebatan senjata berupa kapak bermata dua dan pedang tipis lentur
yang memancarkan cahaya putih menyilaukan itu.
"Murid-muridku, kalian telah menyaksikan kehebatan dua senjata itu. Apa yang
barusan kalian lihat hanya sebagian kecil saja dari kehebatan yang tersimpan di
dalam dua senjata itu. Inilah dua warisan yang akan aku berikan pada kalian.
Senjata berbentuk kapak cocok menjadi pegangan seorang kesatria. Senjata ini
bernama Kapak Naga Geni 212. Jika mulut kepala naga yang merupakan gagang kapak
ditiup maka senjata itu akan berubah menjadi sebuah seruling yang mampu
mengeluarkan suara keras. Membuat kacau jalan pikiran, peredaran darah dan bisa
memecahkan gendang-gendang telinga lawan. Bilamana mata naga kiri kanan ditekan
maka dari mulut naga akan melesat keluar jarum-jarum putih yang merupakan
senjata rahasia ampuh. Siapa saja yang mempergunakan senjata ini dia harus
memiliki tenaga dalam tinggi. Tanpa tenaga dalam Kapak Naga Geni 212 hanya
merupakan satu benda mati belaka. Berarti senjata ini tidak bisa dipergunakan
oleh sembarang orang."
Kiai Gede Tapa Pamungkas memandang pada Sinto Weni sesaat lalu meneruskan
penuturannya. "Senjata yang satunya yakni berupa pedang tipis dan bisa digulung bernama Pedang
Naga Suci 212. Keampuhannya tidak kalah dengan Kapak Naga Geni 212 dan cocok
sebagai senjata andalan seorang dara perkasa. Di dalam badan pedang tersimpan
ratusan senjata rahasia berbentuk jarum putih. Bilamana mulut naga ditiup maka
jarum-jarum itu akan Pedang Naga Suci 212
8 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
melesat keluar lewat sebuah lubang kecil di ujung pedang. Seperti Kapak Naga
Geni 212, pedang sakti ini juga bisa ditiup dijadikan seruling yang bunyinya
dapat menghantam lawan. Untuk mengeluarkan segala kehebatan yang tersimpan dalam
pedang seseorang harus mengerahkan tenaga dalam. Murid-muridku dua senjata ini
bukan senjata sembarangan. Dicipta-kan oleh para pendahuluku hanya dengan satu
maksud dan tujuan yakni membela kebenaran dan keadilan, menghancurkan angkara
murka dalam rimba persilatan. Inilah warisan yang harus kalian jaga dengan baik,
dalam merawat maupun mempergunakannya. Sekali kalian mempergunakan senjata itu
di jalan yang salah maka kesaktiannya akan memukul balik pada diri kalian!
Murid-muridku, walau tadi aku sebutkan bahwa Kapak Naga Geni 212 cocok untuk
seorang kesatria dan Pedang Naga Suci 212 cocok untuk seorang pendekar dara
perkasa, namun terserah pada kalian masing-masing untuk berunding memilih yang
mana. Khusus untuk Kapak Naga Geni 212 memiliki pasangan sebuah batu hitam
berbentuk persegi panjang. Jika batu ini digosokkan atau di-pukulkan ke mata
kapak maka lidah api akan mencuat keluar dan merupakan senjata luar biasa. Dua
senjata sakti ini akan menjadi senjata maut bagi semua orang jahat di rimba
persilatan, merupakan senjata andalan atau senjata pamungkas bagi kalian masing-
masing. Nah murid-muridku sekarang aku persilahkan kalian berunding. Setelah kalian
menerima warisan dua senjata mustika sakti itii maka aku akan merasa lega dan
segera meninggalkan kalian...."
Dari balik seiempang kain putih yang melilit di tubuhnya Kiai Gede Tapa
Pamungkas keluarkan sebuah batu hitam berbentuk empat persegi yang besarnya
segenggaman tangan.
Batu ini dilemparkannya dan jatuh tepat di samping Kapak Naga Geni 212.
Sukat Tandika bukan .seorang pemuda yang suka mementingkan diri sendiri dan tak
pernah temahak dalam hal apapun. Karena itu walau sang guru telah berkata
demikian dia tetap saja duduk di tempatnya, seolah memberi kesempatan pada adik
seperguruannya yaitu Sinto Weni untuk memilih lebih dulu salah satu dari dua
senjata mustika sakti itu.
Bagaimanapun dia tidak berprasangka buruk dan yakin bahwa Sinto Weni akan
mengambil Pedang Naga Suci 212 dan dia akan kebagian Kapak Naga Geni 212.
Namun dugaan Sukat Tandika keliru.
* * * Pedang Naga Suci 212
9 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ TIGA into Weni membungkuk memberi hormat pada Kiai Gede Tapa Pamungkas lalu berkata.
"Kiai jika memang kau memberi izin untuk memilih, saya akan mengambil SKapak
Naga Geni 212 dan batu pasangannya!"
Di tengah telaga sang Kiai kerenyitkan kening sedang Sukat Tandika melengak
kaget. Sehabis bicara Sinto Weni bergerak cepat mengambil Kapak Naga Geni 212 dan batu
pasangannya. Setelah menyimpan dua benda itu dibalik pakaian ringkasnya, dia
kemudian menyambar pula Pedang Naga Suci 212.
Kiai Gede Tapa Pamungkas segera menegur. "Sinto Weni, kau hanya boleh mengambil
satu dari dua senjata sakti itu. Kau telah mengambil Kapak Naga Geni 212.
Mengapa kau juga mengambil Pedang Naga Suci 212"!"
Sinto Weni cepat membungkuk. "Maafkan saya Kiai. Saya memang berlaku lancang
mengambil Pedang Naga Suci ini. Bukan untuk memilikinya tapi justru
menyelamatkannya."
Baik Kiai Gede Tapa maupun Sukat Tandika sama-sama heran dan tidak mengerti akan
ucapan Sinto Weni. Kalau si pemuda diam saja tak berani bertanya, tidak demikian
dengan sang Kiai. Orang tua ini ajukan pertanyaan.
"Apa maksud ucapanmu tadi, Sinto"!"
"Maafkan kalau jawaban saya terdengar, kasar atau keliru. Tapi saya beranggapan,
senjata sehebat Pedang Naga Suci 212 ini tak layak berada di tangan Sukat
Tandika, Saya mempunyai firasat senjata ini kelak akan disalati gunakannya! Jadi
biar Pedang Naga Suci 212 ini saya bawa dulu. Saya akan menyimpannya dengan baik
sampai suatu saat ada seseorang yang lebih pantas memilikinya."
"Kau berani menilai kakak seperguruanmu seperti itu Sinto"! Kau berani
memberikan warisan berupa pedang itu pada orang lain"!" Suara Kiai Gede Tapa
Pamungkas tetap lembut namun alunan nadanya jelas menegur keras.
"Kalau saya salah harap maafkan saya-Kiah Kalau ini sebuah dosa mohon kau mau
memberi ampun. Kelak waktu yang akan membuktikan ucapan saya!"
Habis berkata begitu Sinto Weni membungkuk lalu dengan gerakan luar biasa
cepatnya bersamaan dengan sambaran kilat pada gelegar guntur gadis ini
berkelebat dan lenyap dalam kegelapan sementara hujan masih terus mengguyur dan
angin terus mendera kencang.
Melihat gurunya diam saja walau menunjukkan wajah masygul Sukat Tandika segera
bergerak hendak mengejar. Namun sang Kiai mencegah.
"Sukat! Tak usah kau kejar!"
"Tapi Kiai..."
"Aku tahu kau tak suka melihat orang melarikan warisan milikmu...."
"Bukan hanya itu Kiai. Saya tidak suka melihat peri laku budi pekertinya. Dia
begitu merendahkan Kiai...."
Kiai Gede Tapa angkat tangan kanannya dan berkata. "Tetap di tempatmu Sukat.
Kita perlu bicara...."
"Sementara kita bicara Sinto Weni telah lari jauh!" memotong si pemuda.
Pedang Naga Suci 212
10 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Kita perlu bicara, Sukat. Setahuku gadis itu memiliki perasaan halus, penuh
welas asih walau kadang-kadang suka usil dan bicara ceplas-ceplos. Aku yakin ada
sesuatu yang telah membuat dirinya berubah seperti itu. Dan yang tahu mengapa
dia jadi begitu hanya, kau seorang. Selama empat tahun kalian berkelana menimba
ilmu dan pengalaman di rimba persilatan. Kau mau memberikan penjelasan padaku
Sukat?" Mendengar kata-kata sang guru Sukat Tandika jadi pucat, sesaat dia terdiam.
"Saya rasa...."
"Jelaskan padaku terus terang...." Kiai Gede Tapa Pamungkas seperti mendesak.
"Kiai.... Sejak dilepas empat tahun lalu, dua tahun pertama kami memang selalu
bersama-sama. Pada masa-masa itulah antara kami terjalin hubungan yang sangat
akrab...."
"Akrab sebagai teman, saudara seperguruan atau apa?" tanya Kiai Gede Tapa pula.
Kembali Sukat Tandika terdiam. Setelah menarik nafas dalam dia baru menjawab.
"Kami saling jatuh cinta. Namun sesuatu terjadi...."
"Apa yang kau maksud dengan sesuatu itu?" tanya Kiai Gede Tapa.
"Untuk mencari pengalaman lebih luas pada tahun ke tiga kami setuju saling
berpisah. Meneruskan perjalanan sendiri-sendiri. Sinto berkelana di barat, saya
sendiri malang melintang ke berbagai penjuru. Saya kemudian bertemu dengan
beberapa orang gadis. Saya terpikat dan melupakan Sinto. Saya mengkhianati
cintanya.... Mungkin itu sebabnya dia menjadi sangat marah dan mendendam pada
saya. Saya akan mencarinya...."
"Tidak, kau tetap di sini sampai aku selesai bicara!" tukas Kiai Gede Tapa.
"Muridku Sukat Tandika! Bagi seorang gadis cinta adalah sejuta bahagia dalam
sejuta kesucian! Kalau dia dikhianati dia bisa sejuta diam dalam sejuta derita.
Namun bisa juga dia mendekam sejuta kebencian sejuta dendam. Agaknya Sinto Weni
telah memilih dua hal yang terakhir.
Kalau kau kejar dia saat ini, selagi bara kebencian dan dendam berkobar hebat
dalam dirinya, bukan mustahil dia akan membunuhmu...."
"Saya rela menemui kematian di tangannya...."
Kiai Gede Tapa tersenyum. "Hanya orang tolol yang memilih jalan hidup seperti
itu muridku. Jangan menebus ketololan dengan menggadaikan nyawamu! Ketahuilah
dalam hidup ini ada tiga hal yang mendatangkan kehancuran pada kaum laki-laki
kalau dia menyimpang dari hukum alam yang telah ditentukan. Pertama jabatan, ke
dua harta dan ke tiga perempuan. Kau telah membenturkan diri pada salah satu
Wiro Sableng 094 Pedang Naga Suci 212 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari tiga hukum alam itu muridku. Apa jawabmu"!"
"Saya mengerti Kiai. Saya telah berbuat sesuatu yang salah terhadap Sinto Weni.
Saya harus berani bertanggung jawab. Saya mohon maafmu Kiai...."
Kiai Gede Tapa tersenyum rawan.
"Kalau kau hendak mencarinya jangan lakukan sekarang. Sinto Weni membutuhkan
waktu bertahun-tahun, mungkin belasan tahun untuk mengobati luka hatinya. Kau
harus menunggu dan memilih waktu yang tepat. Jika kau bersikeras dan bertindak
ceroboh kau bisa celaka sendiri.... Lagi pula aku rasa ada baiknya untuk
sementara Pedang Naga Suci 212
berada di tangannya. Ketahuilah senjata mustika sakti itu hanya bertuah di
tangan seorang yang benar-benar suci lahir bathin dan dipergunakan atas nama
kebaikan serta kebenaran.
Menyimpang dari itu Pedang Naga Suci 212 akan mendatangkan malapetaka bagi orang
yang memakainya secara salah...."
"Nasihat Kiai akan saya perhatikan..." kata Sukat Tandika dan dalam hati dia
berkata. "Kalau memang begitu tuah Pedang Naga Suci 212 mungkin sekaji senjata itu tidak
cocok Pedang Naga Suci 212
11 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
bagiku. Selama empat tahun terakhir ini aku banyak melakukan hal-hal yang tidak
benar.... Agaknya aku harus melupakan pedang sakti itu seumur hidupku." Sukat memandang ke
arah Kiai Gede Tapa.
"Nasihat merupakan hal terakhir yang bisa kuberikan. Selanjutnya kau sendiri
yang menentukan jalan hidupmu. Waktuku sudah habis. Aku harus pergi sekarang!"
Habis berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas rapatkan telapak tangannya satu
sama lain lalu ke dua tangannya diangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Kilat
menyambar. Guntur menggelegar. Air telaga beriak keras. Asap putih berbuntal-buntal.
Perlahan-lahan sosok tubuh Kiai Gede Tapa Pamungkas lenyap masuk ke dalam
telaga. Sukat Tandika mengusap wajahnya berulang kali. Walau saat itu udara dinginnya
bukan alang kepalang namun hujan yang membasahi wajah dan tubuhnya telah
bercampur dengan keringat.
Seperti dituturkan dalam Episode sebelumnya Sukat Tandika malang melintang dalam
rimba persilatan sambil berusaha mencari Sinto Weni. Namun dalam pengelanaannya
itu justru Sukat Tandika semakin jauh tenggelam dalam kata hati dan bujukan
nafsu. Dia mempunyai kelemahan menghadapi gadis-gadis cantik. Mudah jatuh hati.
Sebelum dan sesudah kawin dengan seorang janda cantik puteri Adipati Plered,
pemuda itu menjalin hubungan cinta dengan beberapa gadis. Di antaranya Sabai Nan
Rancak dan Sika Sure Jelantik. Rata-rata semua gadis itu kemudian
ditinggalkannya begitu saja. Sukat Tandika sendiri kemudian melenyapkan diri
selama bertahun-tahun. Ketika dia muncul kembali keadaannya berubah seperti
orang kurang waras. Tindak tanduknya menggegerkan rimba persilatan. Dia bukan
saja membasmi para tokoh golongan hitam tapi juga menumpas mereka dari golongan
putih yang dianggapnya menjadi penghalang. Tak jelas apa yang menjadi tujuan
Sukat Tandika. Apa dia ingin menjadi raja di raja dunia persilatan atau semua
perbuatannya itu akibat penyesalan sesaat atas segala kelakuannya di masa lalu"
Rimba persilatan memberi beberapa julukan pada Sukat Tandika. Dia disebut
sebagai Pendekar Gila Patah Hati dan Iblis Gila Pencabut Jiwa. Dari beberapa
gelar yang diberikan orang padanya, dia lebih dikenai dengan julukan Tua Gila.
Dalam usia tuanya dia kemudian bertemu dengan Pendekar 212 Wiro Sableng dan
mengajarkan ilmu silat Orang Gila ciptaannya sendiri pada Wiro yang sebelumnya
telah diambil murid oleh Sinto Weni. Sinto Weni sendiri dikenal dengan nama
Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede.
Sinto Gendeng mewariskan Kapak Naga Geni 212 pada Wiro yang dalam dunia
persilatan kemudian lebih dikenal sebagai Kapak Maut Naga Geni 212. Sedangkan
Pedang Naga Suci 212 tetap disembunyikan Sinto Gendeng sekalipun di hari tuanya
dia telah bertemu dan berbaik-baik dengan Tua Gila alias Sukat Tandika
kekasihnya di masa muda.
Sinto Gendeng sendiri tidak pernah mempergunakan Pedang Naga Suci. Mungkin dia
menyadari sejak menjalin hubungan dengan Sukat Tandika dan ditinggal pergi
Setelah cinta dan kesuciannya dirampas begitu saja maka pedang mustika sakti itu
tidak mungkin, bisa dimanfaatkannya. Namun bagaimanapun Sinto Gendeng
merahasiakan di mana dia menyembunyikan Pedang Naga Suci 212 itu, pada akhirnya
Tua Gila mengetahui juga dimana senjata itu beradanya. Hal itu kemudian
diberitahukannya pada Puti Andini, cucunya sendiri.
Sementara itu di rimba persilatan selain berita besar mengenai Kitab Wasiat
Malaikat kini kabar tentang adanya Pedang Naga Suci 212 itu telah tersiar
santar, membuat para Pedang Naga Suci 212
12 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
tokoh baik golongan putih maupun golongan hitam sama-sama membuka mata memasang
telinga dan mengatur siasat untuk menjejakinya!
* * * Pedang Naga Suci 212
13 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ EMPAT adai yang melanda pantai barat Pulau Andalas sekali ini dahsyat bukan main.
Sejak tengah malam tadi angin keras mendera tanpa henti, menerabas apa saja yang
ada di Bpermukaan laut. Beberapa pulau kecil lenyap seolah amblas ke dasar
samudera. Puluhan nelayan menemui ajal, tenggelam bersama perahu mereka.
Menjelang pagi walau langit di ufuk timur tampak terang tanda sang surya akan
segera terbit, badai masih belum berhenti. Malah bertiup ke arah pantai, menyapu
segala yang ada di daratan.
Di puncak barat Gunung Singgalang seorang tua kurus mengenakan jubah hijau yang
kebesaran berulang kali mengusap wajahnya yang cekung. Sejak tadi dia melangkah
mundar-mandir. Sepasang matanya yang jereng berputar liar kian kemari dan
sebentar-sebentar mengerling ke arah mulut goa di dalam mana dia saat itu
berada. Semua gerak-gerik orang tua ini memberi pertanda bahwa saat itu dia
berada dalam satu kegelisahan.
Paling tidak ada sesuatu yang membuatnya tidak sabar.
Bosan mundar-mandir akhirnya orang tua ini duduk di lantai goa. Berusaha
bersamadi. Namun sia-sia saja. Sepasang telinganya tidak mampu menghambat suara
deru angin yang tiada henti-hentinya di luar sana.
Sadar dia tak akan bisa bersamadi orang tua ini akhirnya bangkit berdiri.
Diluruskannya tubuhnya yang agak bungkuk dimakan usia lalu sambil merapikan
letak destar tinggi hijau di atas kepalanya dengan langkah gontai dia berjalan
menuju mulut goa yang sebagian tertutup oleh sebuah batu besar.
Si orang tua menyeruak di antara mulut goa dan batu besar. Angin kencang menerpa
muka dan tubuhnya. Rambut putihnya yang menjulai di bawah destar, janggut serta
kumisnya melambai-lambai. Jubah dan destar hijaunya ikut berkibar-kibar.
"Pertanda apakah yang tengah diberikan alam..." kata si orang tua dalam hati,
"Sekian lama diam di pulau besar ini baru sekarang ada badai begini hebat. Alam
agaknya mulai tidak lagi bersahabat dengan umat. Atau mung kin ini satu isyarat
bagiku untuk segera keluar dari komplotan manusia-manusia aneh tapi jahat itu"
Orang tua itu kembali mengusap wajahnya yang cekung lalu gelengkan kepala.
Beberapa kali menarik nafas dalam, biasanya kalau dia berdiri di mulut goa
seperti itu dia akan melihat pemandangan sangat indah di sepanjang lereng sampai
kaki Gunung Singgaiang. Namun saat itu dia nyaris tidak dapat melihat apa-apa
karena lebatnya curahan hujan ditambah kabut menutup dimana-mana.
tiupan badai semakin menggila. Hujan mendera bumi semakin ganas. Bagian bawah
jubah hijau si orang tua tampak basah. Sebelum tambah kuyup orang tua ini
melangkah mundur, masuk kembali ke dalam goa. Namun gerakannya terhenti ketika
sekonyong-konyong satu bayangan berkelebat di depan goa, tersamar oleh badai dan
hujan. Paras orang tua ini berubah. Sesaat rasa tegang menguasai dirinya. "Orang yang
aku tunggu sudah datang..." hatinya berbisik.
"Wuttt!"
Tahu-tahu satu sosok serba hitam dalam keadaan basah kuyup telah berdiri di
hadapan orang tua itu.
Pedang Naga Suci 212
14 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Meski orang yang tegak di hadapannya itu angker luar biasa namun si orang tua
bersikap tenang. Sepasang matanya yang jereng memperhatikan orang dengan tak
berkesip. "Hemmm.... Ini tampang manusianya. Tak pernah kulihat sebelumnya tapi dari ciri-
ciri jelas dia orangnya. Lebih baik aku bertanya dulu untuk memastikan," kata
orang tua berjubah hijau dalam hati.
"Orang tak dikenal, apakah kau tersesat mencari tempat berteduh" Atau memang
goaku ini menjadi tujuanmu?"
Orang yang ditegur balas menatap tanpa berkedip. Orang ini bertubuh tinggi besar
hingga kepalanya yang berambut kasar seperti ijuk hampir menyondak mulut goa.
Kulitnya hitam laksana arang. Pakaiannya yang basah kuyup juga berwarna hitam.
Orang ini memiliki alis aneh. Tebal panjang dan bersambung mulai dari pelipis
kiri sampai ke pelipis kanan. Di atas alis, pada keningnya terdapat enam buah
lobang besar hitam. Lalu di bawah alis terdapat juga enam lobang serupa yakni
tiga di pipi kanan dan tiga di pipi kiri. Mungkin sekali dua belas lobang ini
diakibatkan oleh penyakit cacar air yang ganas.
"Aku mencari Sutan Alam Rajo Di Bumi! Apakah kau orangnya?" Orang yang tegak di
depan goa menjawab dengan mata tetap tak berkesip memandangi orang tua di
hadapannya. Suaranya serak namun dibawah hujan dan badai keras begitu rupa
ucapannya itu jelas terdengar ke telinga si orang tua pertanda dia barusan
bicara dengan mempergunakan tenaga dalam.
"Di puncak Singgalang ini hanya ada satu goa didiami manusia. Di muka bumi ini
hanya ada satu orang bergelar Sutan Alam Rajo Di Bumi. Apakah kau masih ingin
bertanya"!"
Si tinggi besar bermuka angker undur selangkah. "Turut yang aku dengar Sutan
Alam Rajo Di Bumi adalah seorang yang meski tua tapi berbadan tegap. Selalu
mengenakan jubah putih. Kalau kau orangnya maka sungguh lain apa yang kudengar
dengan kenyataan."
Mata jereng orang tua berdestar dan berjubah hijau berputar beberapa kali.
Sambil menyeringai dia kemudian berkata.
"Berita yang didengar tidak selalu sama dengan kenyataan yang ada. Apakah kau
lebih mempercayai ucapan orang ketimbang kenyataan"!"
"Kalau begitu.... Hemmm...." Lelaki berpakaian hitam basah kuyup dengan muka
berlubang dua belas usap alisnya yang melintang panjang bersambung di atas
sepasang mata. "Jadi aku tidak salah saat ini berhadapan dengan Sutan Alam Rajo
Di Bumi"!"
"Kau berhadapan dengan orang yang kau cari!" kata orang tua di dalam goa. "Aku
sudah tahu kau baka! datang. Lebih dari itu aku juga sudah tahu maksud dan
tujuan kedatanganmu. Jika kau memang orangnya yang dijuluki Hantu Balak Anam
Dari Sijunjung!"
Agak terkesiap juga si jubah hitam mendengar orang sudah tahu siapa dia adanya.
"Kalau kau memang Sutan Alam Rajo Oi Bumi, maka harap kau suka terima salam
hormatku!"
Hantu Balak Anam Dari Sijunjung letakkan tangan kiri di atas dada lalu melipat
lutut sedikit. Orang tua bergelar Sutan Alam Rajo Di Langit tersenyum dan berkata. "Tampangmu
seburuk setan. Namun nyatanya kau cukup punya peradatan, tahu bagaimana
menghormati orang tua sepertiku!"
Pedang Naga Suci 212
15 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Kalau bicara soal hormat menghormati masalah usia tidak layak dijadikan
pegangan...."
"Eh, apa maksudmu...?" tanya Sutan Alam Rajo Di Bumi dengan senyum masih
terkulum di bibirnya.
"Karena usiaku jauh lebih tua darimu...."
Tentu saja orang tua di dalam goa menjadi terkejut. "Aku berusia hampir tujuh
puiuh tahun. Kau sendiri memangnya berapa umurmu"!" Si orang tua bertanya.
"Tujuh puluh delapan!" jawab si jubah hitam Hantu Balak Anam.
Sesaat Sutan Alam tampak seperti bengong tak percaya. Kalau memang benar
bagaimana mungkin orang seusia tujuh puluh delapan tahun masih memiliki tubuh
tegap kokoh begitu rupa. Rambutnya pun tak ada yang putih.
"Luar biasa! Kalau kau memang berusia tujuh puluh delapan, walau wajahmu seburuk
setan ternyata kau awet muda! Aku si tua bangka ini ingin belajar ilmu apa yang
kau pergunakan agar tetap awet muda! Ha... ha... ha!" Sutan Alam Rajo Di Bumi
tertawa mengekeh. Puas mengumbar tawa orang tua ini berucap. "Lama mendengar
nama besarmu. Baru kali ini bertemu dengan orangnya. Aku tak mau berbasa-basi lagi. Silahkan
masuk ke dalam goaku. Mari kita bicarakah maksud kedatanganmu!"
Hantu Balak Anam masuk ke dalam goa. Air hujan yang membasahi jubah hitamnya
mencurah jatuh ke lantai goa. Di dalam goa dia merasa lebih hangat.
"Silahkan duduk tamu agungku!" kata Sutan Alam Rajo Di Bumi seraya menunjuk pada
sebuah batu berbentuk kursi.
"Aku lebih suka berdiri saja...."
"Hemmm.... Manusia si Hantu Balak Anam ini agaknya bersikap terlalu waspada atau
bercuriga besar. Jangan-jangan dia...." Sutan Aiam Rajo Di Bumi anggukkah kepala
dan berkata. "Kau mau duduk atau tidak terserah saja. Seperti kataku tadi, aku
sudah menduga apa maksud, kedatanganmu. Sekarang apakah kau mau mulai
membicarakannya!"
"Kalau kau sudah maklum maksud kedatanganku, lebih mudah bagiku untuk
menjelaskannya," jawab Hantu Balak Anam. Dia menatap lurus-lurus pada sepasang
mata jereng orang tua di hadapannya lalu melanjutkan. "Sejak beberapa bulan
belakangan ini beberapa tokoh persilatan di pulau Andalas menemui kematian
secara aneh. Tewas mengenaskan. Kematian mereka kemudian diikuti dengan
tersiarnya kabar yang membuat dunia persilatan tanah Andalas menjadi geger...."
Sutan Alam Rajo Di Bumi manggut-manggut beberapa kali lalu berkata. "Apa yang
kau dengar ternyata tidak beda dengan apa yang sekarang kau katakan. Hantu Balak
Anam teruskan penuturanmu!"
"Di Utara ada kabar bahwa Kiai Tanjung Laboh mati dibunuh. Si pembunuh diduga
keras adalah seorang gadis sakti bernama Pandansuri yang konon merupakan anak
angkat mendiang Raja Rencong Dari Utara. Lalu seorang tokoh silat golongan putih
lainnya yang dikenal dengan julukan Sepasang Telapak Putih ditemukan tewas
secara mengerikan di tempat kediamannya dilereng Gunung Sihabuhabu. Di Andalas
tengah, tokoh silat Magek Bagak Bacufo Duo dibunuh orang di tepi pantai. Siapa
pembunuhnya belum jelas. Namun tersiar dugaan bahwa si pembunuh adalah Tua Gila.
Sementara itu Sabai Nan Rancak seorang tokoh terpandang di Andalas lenyap tak
diketahui di mana beradanya. Lalu di selatan seorang tokoh golongan putih yang
dikenal dengan julukan Datuk Agung Berbangsa ditemui menemui ajal dalam keadaan
tergantung di Baturaja. Pada jubah putihnya si Pedang Naga Suci 212
16 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
pembunuh menuliskan namanya yaitu Datuk Sunti Belanak. Seorang tokoh silat
golongan putih, kawan lama Datuk Agung Berbangsa yang diam di sebuah perguruan
silat di Bukit Martapura. Semua peristiwa yang luar biasa ini telah menimbulkan
rasa saling curiga antara sesama orang-orang persilatan golongan putih. Konon
telah terbentuk satu perserikatan golongan putih untuk memerangi orang-orang
golongan putih yang dikabarkan melakukan pembunuhan-pembunuhan tersebut. Dalam
pada itu seorang tokoh paling disegani bernama Nyanyuk Amber dikabarkan lenyap
dari Gunung Sing-galang ini.... Ada yang menduga bahwa semua pembunuhan itu
didalangi oleh Nyanyuk Amber!"
* * * Pedang Naga Suci 212
17
Wiro Sableng 094 Pedang Naga Suci 212 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ LIMA utan Alam Rajo Di Bumi sesaat terdiam mendengar penuturan Hantu Balak Anam itu.
Dengan suara perlahan dia kemudian berkata. "Apa yang kau katakan barusan semua
Sbenar. Terus terang aku merasa risau dengan semua kejadian itu. Bukan mustahil
kita pun kelak akan jadi korban pembunuhan aneh itu. Gila, apa yang sesungguhnya
terjadi! Orang-orang golongan putih membunuh sesama teman sendiri! Lenyapnya Nyanyuk
Amber memang merupakan satu tanda tanya besar. Kau tahu, sejak aku muncul di
sini, Gunung Singgalang ini dibagi tiga. Aku menetap di sebelah puncak. Sabai
Nan Rancak di bawah pada lereng sebelah timur. Lalu Nyanyuk Amber di lereng
sebelah barat. Namun anehnya, tak lama setelah aku menetap di sini Nyanyuk Amber
lenyap dari tempat kediamannya. Lalu seperti katamu Sabai Nan Rancak juga tiba-
tiba seperti sirna." (Mengenai Nyanyuk Amber harap baca serial Wiro Sableng
berjudul "Raja Rencong Dari Utara") Orang tua berjubah hijau itu menarik nafas
dalam. Dia mendongak menatap langit-langit goa batu lalu terdengar suaranya
bertanya. "Dari semua kejadian itu, kedatanganmu kemari pasti membawa satu
rencana...."
"Betul sekali Sutan. Aku ingin agar semua tokoh silat golongan putih berkumpul,
berunding dan menentukan sikap serta tindakan sebelum jatuh lagi korban-korban
berikutnya."
"Aku mendukung maksud baikmu Ku. Karena kau yang datang membawa usul bagaimana
kalau kau juga mau bersusah payah untuk mengatur rencana pertemuan itu...."
"Terima kasih atas kepercayaan Sutan. Tapi pulau Andalas bukan pulau kecil.
Bagaimana kalau untuk bagian utara Sutan saja yang mengatur. Aku menghubungi
para tokoh di bagian tengah. Lalu seorang sahabat akan kuminta pertolongannya
untuk mengurusi wilayah selatan. Jika Sutan menyetujui maka saat ini sudah bisa
ditentukan kapan dan di mana pertemuan itu akan dilakukan. Makin cepat pasti
makin baik....."
"Aku bisa segera menentukan saat yang paling tepat," kata Sutan Alam Rajo Di
Bumi pula. "Namun sebelum hal itu aku katakan ada satu hal yang ingin aku
katakan dan tanyakan padamu. Apa kau pernah mendengar riwayat seorang tokoh
silat berjuluk Datuk Tinggi Raja Di Langit?"
"Bukankah tokoh satu itu lenyap secara aneh beberapa waktu lalu?"
. "Mungkin dia dibunuh oleh orang-orang persilatan golongan putih?"
Hantu Balak Anam gelengkan kepala. "Lenyapnya Datuk Tinggi jauh sebelum
peristiwa pembunuhan beruntun itu...."
"Apa mungkin dia sudah menemui ajal?" tanya Sutan Alam Rajo Di Bumi pula.
"Sukar dipastikan. Kalau memang sudah menemui ajal mengapa mayatnya tak pernah
ditemukan" Tapi memang ada satu hal yang perlu diteliti...."
"Apa?" tanya Sutan Alam seraya membetulkan letak destarnya yang kebesaran.
"Lenyapnya Datuk Tinggi Raja Di Langit bersamaan dengan tersebarnya kapar
kematian Tua Gila, Juga bersamaan dengan munculnya seorang pendekar muda dari
tanah Jawa yang dikenal dengan julukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro
Sableng!" Sutan Alam Rajo Di Bumi manggut-manggut beberapa kali lalu dia mundar-mandir di
ruangan batu itu. Di hadapan Hantu Balak Anam dia hentikan langkah dan berkata.
"Sebenarnya aku telah meminta seseorang untuk menyelidik lenyapnya Patuk Tinggi
Raja Pedang Naga Suci 212
18 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Di Langit. Namun sampai saat ini belum ada kabar. Dalam pada itu di tanah Jawa
pun kudengar peristiwa yang hampir bersamaan dengan kejadian-kejadian di pulau
Andalas ini. Beberapa tokoh silat golongan putih dibunuh oleh orang-orang segolongan.
Terakhir kudengar kabar bahwa Datuk Angek Garang, tokoh silat pulau Andalas mati
dibunuh seorang tokoh aneh dikenal dengan panggilan Si Segala Tahu. Tapi ada
juga dugaan, pembunuh sebenarnya adalah Tua Gila...."
"Jika itu benar Sabai Nan Rancak yang diketahui lenyap mungkin sekali telah
berada di tanah Jawa. Bukankah sejak lama diketahui bahwa nenek itu ingin
membalaskan sakit hatinya terhadap Tua Gila" Dan Tua Gila sendiri kabarnya
melarikan diri ke tanah Jawa."
"Rupanya banyak juga pengetahuanmu tentang apa yang terjadi di rimba persilatan
akhir-akhir ini..." kata Sutan Alam Rajo Di Bumi sambil sunggingkan seringai.
"Ada satu hal yang ingin aku tanyakan padamu, Hantu Balak Anam. Apa kau
mendengar riwayat sebuah senjata berbentuk pedang, bernama Pedang Naga Suci
212?" Si muka hitam berlubang dua belas gelengkan kepala. "Mendengar namanya mungkin
ada sangkut pautnya dengan Kapak Naga Geni 212 milik Pendekar 212."
"Pedang itu adalah pasangan Kapak Naga Geni 212. Kehebatannya luar biasa. Sejak
puluhan tahun pedang itu disembunyikan di satu tempat. Yang tahu di mana
letaknya hanya dua orang. Pertama Sinto Gendeng seorang nenek sakti di kawasan
barat pulau Jawa yang juga adalah guru Pendekar 212. Orang ke dua adalah Tua
Gila." "Apakah Sutan berminat terhadap Pedang Naga Suci 212 itu?" tanya Hantu Balak
Anam. "Rasanya tak ada satu orang pun dalam dunia persilatan yang tidak ingin memiliki
senjata mustika sakti. Termasuk aku dan juga kau tentunya! Namun urusanku di
sini banyak sekali. Kurasa sambil mengatur pertemuan para tokoh di kawasan ini
kau bisa. pergunakan kesempatan untuk menjajagi di mana beradanya Pedang Naga
Suci 212 Itu, lalu mem-bawanya kepadaku."
Hantu Balak Anam mengangguk. "Akari aku coba melakukan apa yang kau katakan."
Namun dalam hati dia berkata. "Kalau aku berhasil menemukan, pedang mustika
sakti itu tidak nanti aku serahkan padamu, keledai tua!"
Di luar goa hujan masih deras dan tiupan badai belum mereda. Sutan Alam Rajo Di
Langit batuk-batuk beberapa kali lalu berkata. "Dalam udara dingin begini rupa,
meneguk kopi panas tentu nikmat sekali. Tapi sayang minuman seperti itu tidak
dapat ku-sediakan untuk tamu agung sepertimu. Aku masih memiliki dua butir
kelapa hutan yang manis. Apa kau tidak berkeberatan kalau aku suguhi minuman
kelapa muda itu Hantu Balak Anam?"
"Hujan-hujan dan dingin-dingin seperti ini rasanya kurang cocok meneguk kelapa
muda. Tapi kalau tidak ada. minuman lain, apa lagi tenggorokanku memang terasa
kering, apa boleh buat!"
Sutan Alam Rajo Di Bumi tertawa mengekeh. Dia masuk ke bagian dalam goa. Tak
lama kemudian keluar lagi membawa dua buah kelapa muda. Sebuah kelapa
diletakkannya di atas batu berbentuk kursi. Yang sebuah lagi dipegangnya di
depan dada. Matanya yang jereng berputar liar. Sepuluh jari tangannya bergerak.
Hantu Balak Anam melihat bagaimana sepuluh jari tangan itu menusuk menembus buah
kelapa. Lalu "kraakk!" Sekali si orang tua menarik buah kelapa dalam
cengkeramannya terbelah dua. Dengan cepat Sutan Alam Rajo Di Bumi membalikkan
dua belahan buah kelapa hingga tak ada airnya yang Pedang Naga Suci 212
19 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
tertumpah. Buah kelapa yang telah terbelah ini kemudian diserahkan pada Hantu
Balak Anam. "Air kelapa hijau punya seribu khasiat untuk kesehatan tubuh. Silahkan
meneguknya!" kata Sutan Alam. Lalu dia mengambil buah kelapa satunya yang
diletakkan di atas kursi batu. Tapi karena agak terburu-buru, buah kelapa yang
telah dipegangnya itu meluncur jatuh lalu menggelinding ke mulut goa dan lenyap
di luar sana. "Ah nasibku sial. Tanda perut tua ini tak akan menikmati air dan daging kelapa
yang enak Ku. Bodohnya akui" Sutan Alam mengumpati diri sendiri. Sepasang
matanya yang jereng memandang ke mulut goa.
"Biar aku keluar mengambil kelapa Ku," kata Hantu Balak Anam pula seraya
meletakkan buah kelapa yang sudah terbelah di atas batu berbentuk kursi.
"Hujan masih derasi" mengingatkan Sutan Alam.
"Siapa takutkan hujan. Lagi pula tubuh dan jubah hitamku sudah basah kuyup...."
"Kalau kau memang mau mengambilkan kelapa yang menggelinding keluar goa Ku, aku
akan sangat berterima kasih."
Hantu Balak Anam segera keluar dari goa. Begitu si tinggi besar yang mukanya ada
dua belas lobang ini lenyap di mulut goa, Sutan Alam Rajo Di Bumi cepat
keluarkan satu lipatan kertas dari dalam jubah hijaunya. Lipatan kertas dibuka
lalu sejenis bubuk putih yang ada dalam kertas Ku dituangkannya ke dalam air
pada dua belahan buah kelapa.
Dengan cepat kertas berisi bubuk dilipat kembali dan disimpan di balik jubahnya.
"Ah...! Kau berhasil mendapatkan kelapa itu!" kata Sutan Alam ketika tak lama
kemudian Hantu Balak Anam muncul membawa buah kelapa hijau yang jatuh
menggelinding keluar goa. Begitu buah kelapa diserahkan padanya dengan cepat
Sutan Alam Rajo Di Bumi cengkeramkah sepuluh jarinya. Seperti tadi, mudah saja
dia membelah buah kelapa berkulit dan berbatok keras itu. Lalu seperti orang
kehausan tanpa tunggu lebih lama dia segera meneguk habis air kelapa di belahan
pertama. Sambil mengusap mulutnya Sutan Alam berpaling pada Hantu Balak Anam.
Sambil menyeringai dia menegur. "Apa lagi yang kau tunggu" Ayo lekas habiskan
air kelapa itu!"
Hantu Balak Anam balas menyeringai. Dia segera mengambil buah kelapa yang ada di
atas kursi batu dan tanpa tunggu lebih lama segera meneguk habis air yang ada di
belahan pertama, dilanjutkan dengan air kelapa di belahan kedua.
"Bagaimana rasanya"!" tanya Sutan Alam Rajo Di Bumi. Mata jerengnya kembali
berputar. "Manis dan sejuk!" jawab Hantu Balak Anam lalu meletakkan kelapa di atas kursi
batu. Sutan Alam tertawa mengekeh. "Kau tidak mengupas dagingnya yang putih lembut
itu?" Hantu Balak Anam menggeleng. "Airnya sudah cukup membuat hausku hilang dan
perutku kenyang!"
Kembali Sutan Alam tertawa panjang. Buah kelapa yang dipegangnya diietakkahnya
puia di atas batu. Sambil menggosok-gosok ke dua tangannya dia bertanya. "Apakah
masih ada hal-hal yang hendak kau bicarakan Hantu Balak Anam?"
Hantu Balak Anam berpikir sejenak lalu gelengkan kepala. "Semua sudah aku
utarakan," katanya.
Pedang Naga Suci 212
20 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Kalau begitu kau sudah bisa mengatur urusan di bagian tengah dan selatan pulau
Andalas. Aku membereskan bagian utara. Yang penting harap kau suka menyirap
kabar di mana adanya Tua Gila, sekaligus muridnya bernama Wiro Sableng itu. Lalu
mehcari tahu di mana tersembunyinya Pedang Naga Suci 212."
"Akan aku lakukan Sutan!" kata Hantu Balak Anam Dari Sijunjung.
"Ada satu hal lagi yang ingin kau selidiki. Di pulau Andalas beberapa waktu lalu
muncul seorang tokoh silat baru, tidak bernama tidak bergelar. Tapi memiliki
kepandaian luar biasa. Dia seorang perempuan yang selalu mengenakan pakaian
kuning. Wajahnya ditutup dengan sehelai cadar kuning. Sulit diduga berapa
usianya apa lagi menduga siapa dia adanya. Orang ini perlu diselidiki karena
tindak tanduknya sangat mencurigakan. Bukan mustahil dia yang jadi racun semua
pembunuhan atas diri para tokoh golongan putih."
"Apa yang kau katakan ini memang pernah kudengar," ujar Hantu Balak Anam.
"Kalau ada kesempatan tak ada Salahnya aku menyelidiki."
"Bukan kalau ada kesempatan Sobatku! Tapi harus ada kesempatan untuk
menyelidikinya. Kalau tidak rimba persilatan di pulau Andalas dan tanah Jawa tak
bakal tenteram...."
Hantu Balak Anam Dari Sijunjung tertawa lebar. Dalam hati dia berkata. "Kau
boleh menyuruh memerintah. Aku akan lakukan apa yang aku suka! Aku tidak berada
di bawah perintahmu. Aku bukan orang suruhan atau anak buahmu!"
Lembah Nirmala 12 Pendekar Slebor 04 Geger Ratu Racun Raja Silat 27
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ SATU ala keg W u saat itu menjelang tengah hari namun puncak Gunung Gede diselimuti elapan
mencekam. Langit hitam kelam ditebali awan hitam mendung bergulung. Angin
bertiup kencang mengeluarkan suara aneh. Suara deru hujan mencurah deras seolah
langit koyak terbelah. Udara sangat dingin membungkus puncak gunung. Ditambah
dengan gelegar guntur yang sesekali ditimpali sambaran petir membuat suasana
benar-benar menggidikkan.
Di tepi sebuah telaga yang terletak di puncak timur Gunung Gede, dua sosok tubuh
tampak duduk bersila di tanah yang becek. Sepasang lengan dirangkapkan di depan
dada. Mereka tidak bergerak sedikitpun seolah telah berubah menjadi patung tanpa
nafas. Sekujur tubuh ke dua orang ini basah kuyup mulai dari rambut sampai ke
kaki. Hawa dingin luar biasa membuat tubuh mereka sedingin es! Dua orang ini
tidak sedang bersamadi atau bertapa karena sepasang mata mereka memandang tak
ber-kesip ke tengah telaga yang airnya mengeluarkan riak seolah mendidih dan
mengepulkan asap putih.
Orang di sebelah kanan adalah seorang pemuda berpakaian dan berikat kepala
putih. Wajahnya tampan dan memiliki sepasang mata besar dengan pandangan tajam tak
berkesip menyorot ke arah telaga. Di samping kiri si pemuda duduk tak bergerak
seorang dara berpakaian biru muda, berparas cantik dan berkulit hitam manis. Di
pinggangnya melilit ketat sehelai selendang merah hingga pinggangnya tampak
ramping dan pinggulnya mencuat bagus. Gadis ini memiliki rambut panjang
sepinggang yang dijalin lalu dilingkarkandi atas kepala. Seolah hiasan, jalinan
rambut ini menambah kecantikan wajahnya.
Sulit diduga apa yang tengah dilakukan sepasang muda mudi itu. Mereka tetap tak
bergerak dan tak berkesip walau hujan terus mendera, hawa dingin mencucuk,
guntur menggelegar dan kilat membuat darah berulang kali tersirap.
Tiba-tiba si pemuda tampak membuat gerakan. Perlahan sekali kepalanya
dipalingkan ke kiri ke arah gadis berpakaian biru. Sesaat dipandanginya gadis
itu. Mulutnya bergerak sedikit seperti hendak mengucapkan sesuatu. Namun tak ada
suara yang keluar.
Orang yang dipandangi tetap diam tak bergerak. Si pemuda sesaat menjadi bimbang.
Akhirnya dia memutar kepala, memandang kembali ke arah telaga. Tapi dia seperti
tidak dapat memusatkan perhatian lebih lanjut. Tak selang berapa lama kembali
dia menoleh ke kiri, pandangi gadis cantik di sebelahnya itu. Mulutnya bergerak
namun tetap saja tak ada suara yang keluar. Hanya di dalam hatinya si pemuda
membatin. "Air mukanya jelas masih membayangkan marah dan dendam. Dia pasti
tetap tak akan mau bicara denganku. Tapi kalau aku tidak bicara bisa-bisa lebih
salah kaprah.... Hemmm. Bagaimana aku harus memulai. Hatinya sekeras batu,
sikapnya segarang harimau betina...."
Kilat menyambar. Sekilas puncak Gunung Gede terang benderang. Guntur menggelegar
seperti merobek telinga dan menghancurkan jantung. Air telaga tampak beriak
keras dan kepulan asap semakin tebal bergulung ke udara. Cahaya kilat lenyap dan
tempat itu kembali dibungkus kegelapan.
"Aku harus bicara! Terserah dia mau marahi" Pemuda berwajah tampan ambil
keputusan. Dia menarik nafas dalam lebih dulu seolah berusaha mempertabah diri.
Lalu terdengar suaranya menegur diantara deru hujan dan tiupan angin.
Pedang Naga Suci 212
1 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Sinto, apa kita tidak salah menghitung hari" Jangan-jangan kita datang
terlambat atau terlalu cepat...."
Si pemuda menunggu. Tapi orang yang ditanya jangankan menjawab. Bergerak
sedikitpun tidak. Bahkan dua matanya yang tajam bagus terus saja memandang ke
tengah telaga tanpa berkedip.
"Sinto, kau mendengar pertanyaanku. Harap kau suka menjawab dan sementara
melupakan dulu apa-apa yang menjadi ganjalan di hatimu...." Pemuda gagah di
sebelah kanan si gadis kembali membuka suara.
Gadis yang diajak bicara tetap membungkam seribu bahasa. Hujan dan angin terus
berkecamuk. Kegelapan dan hawa dingin semakin mencekam.
"Sinto Weni kalau kau...."
"Aku tak pernah salah memperhitungkan segala sesuatu dalam hidupku. Satu-satunya
kesalahan adalah kesalahan memperhitungkan dirimu...."
Kata-kata yang tiba-tiba keluar dari mulut si gadis walaupun diucapkan secara
lembut tapi membuat wajah pemuda tampan di sebelahnya menjadi berubah. Untuk
beberapa lamanya dia terdiam dengan mulut ternganga.
"Sinto Weni adikku...."
"Suaramu tidak sedap masuk ke telingaku. Kalau kau tak mau berhenti bicara lebih
baik segera saja angkat kaki dari tempat ini...,"
Si pemuda menggigit bibirnya sendiri. "Hatinya bukan saja sekeras batu tapi juga
sepanas bara. Tak mungkin aku membujuknya. Dari pada urusan jadi panjang memang
lebih baik aku pergi saja. dari sini...."
"Sinto, terus terang aku memang tidak mengharapkan warisan apa-apa dari kiai
Gede Tapa Pamungkas. Hanya sebagai murid aku harus patuh. Itu sebabnya aku
datang ke sini sesuai pesan Kiai beberapa tahun lalu. Kalau kau tidak
menginginkan kehadiranku di sini mungkin memang benar aku harus angkat kaki dari
tempat ini. Selamat tinggal Sinto.
Urusan di antara kita pasti ada saat penyelesaiannya.... Satu hal perlu kau
ketahui. Hatiku tidak sejahat yang kau duga. Hanya memang mungkin imanku setipis
embun di permukaan daun. Mudah sirna terkena cahaya sang surya...."
Habis berkata begitu si pemuda siap bergerak bangkit. Bagi si gadis apa yang
dikatakan pemuda itu sama sekali tidak ada pengaruhnya. Dia tetap tak bergerak
danterus menatap ke arah telaga.
Tiba-tiba petir menyambar. Guntur menggelegar. Puncak Gunung Gede bergetar
hebat. Si pemuda yang hendak berdiri jatuh terduduk di tanah becek. Tapi hatinya
telah bulat, tekadnya telah tetap. Dia kembali bangkit berdiri. Namun sekali
lagi gerakannya tertahan.
Mendadak di kejauhan terdengar suara orang menyanyi. Demikian halus lembut suara
itu hingga sulit diketahui apakah yang menyanyi seorang lelaki atau seorang
perempuan. Hari pertemuan datang sudah
Dua warisan akan muncul di dunia
Benda mati akan membawa manusia
Memilih jalan lurus atau jalan sesat
Memilih sorga atau dunia maksiat
Pedang Naga Suci 212
2 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Karena itu manusia diberi otak untuk berpikir
Diberi hati untuk menimbang
Manusia harus menguasai benda
Bukan benda yang harus menguasai manusia
Kalau warisan sudah berbagi
Saat berpisah datang sudah.
Baru saja suara nyanyian sirap tiba-tiba kilat menyambar. Laksana sebilah pedang
raksasa yang menderu dari atas langit, kilat menghantam pertengahan telaga. Air
telaga berobah menjadi panas, mencuat sampai puluhan tombak! Puncak Gunung Gede
laksana dilanda gempa ketika guntur menyusul menggelegar. Sepasang muda-mudi
yang duduk di tepi telaga merasa ada hawa aneh keluar dari tanah lalu menjalar
masuk ke dalam tubuh masing-masing. Keduanya tampak bergetar hebat dan
terhuyung-huyung. Mereka kerahkan tenaga agar tidak terbanting roboh ke tanah.
Sambaran kilat lenyap. Suara gema guntur sirna. Air telaga beriak tenang kembali
seperti semula. Dua orang di tepi telaga masih belum lenyap rasa kejut masing-
masing. Wajah mereka masih kelihatan pucat. Dalam keadaan seperti itu sekonyong-konyong
terdengar suara bergemuruh di dalam telaga. Lalu seolah ada satu kekuatan
dahsyat air di pertengahan telaga muncrat setinggi lima tombak. Bersamaan dengan
itu dari dalam telaga mencuat muncul sosok tubuh seorang tua berselempang kain
putih. "Kiai Gede Tapa Pamungkas!"
Pemuda dan gadis di tepi telaga sama-sama keluarkan seruan. Keduanya lalu
membungkuk dalam-dalam memberi penghormatan.
Orang tua berselempang kain putih yang dipanggil dengan sebutan Kiai Gede Tapa
Pamungkas seolah berdiri di atas air. Kepulan asap putih berhawa dingin membuat
sosok dan wajahnya tampak samar. Orang tua ini memiliki rambut putih panjang
menjulai yang bukan saja menutupi kepala dan punggungnya tapi juga sebagian
wajahnya. Selain dari itu kumis alis dan janggutnya yang putih panjang ikut
menyembunyikan mukanya.
Ada beberapa keanehan menyertai kemunculan Kiai Gede Tapa Pamungkas ini.
Pertama dia muncul dari dalam telaga. Apakah dia memang diam dalam telaga itu"
Manusia mana yang mampu hidup dalam air" Ke dua dia bisa berdiri di atas air
telaga merupakan satu kepandaian yang sukar dijajagi. Lalu keanehan ke tiga,
walau saat itu hujan terus mendera dan barusan dia keluar dari dalam air telaga
namun baik tubuh, rambut maupun pakaian Kiai Gede Tapa Pamungkas sama sekali
tidak basah! Baik si pemuda maupun gadis bernama Sinto Weni sebelumnya tidak
pernah melihat kemunculan dan penampilan Kiai Gede Tapa Pamungkas begini hebat!
"Murid-muridku apakah kalian berdua sudah lama menunggu"!" Sang Kiai ajukan
pertanyaan. Sampai saat itu dia tetap tidak beranjak dari pertengahan telaga
sementara cuaca tetap pekat mengetam.
"Kami belum berapa lama berada di tempat ini Kiai," menjawab si pemuda.
"Kalau Kiai yang memerintah apapun akan kami lakukan. Berapa lamapun menunggu
akan kami nantikan," berkata Sinto Weni.
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. "Aku tahu kalian sudah lima hari menunggu di
tepi telaga. Tanpa makan tanpa minum. Kehujanan dan kedinginan. Murid-muridku,
Tuhan menjadikan hidup manusia ini tidak mudah. Cobaan dan ujian datang silih
berganti Pedang Naga Suci 212
3 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
dalam berbagai bentuk. Tuhan tidak ingin menyusahkan umat-Nya. Semua cobaan dan
ujian itu justru untuk membuat manusia menjadi tabah dan berani menghadapi
tantangan. Hanya dengan ketabahan dan keberanian berdasarkan kebenaran manusia menyadari
apa artinya hidup ini. Ujian dan cobaan yang kalian alami selama lima hari ini
hanya sejumput kecil dari padang luas rimba percobaan. Banyak lagi ujian, cobaan
dan tantangan yang kelak akan kalian hadapi. Untuk semua itu sandarkan
keberanian dan kekuatan kalian pada kekuatan dan perlindungan Yang Maha Kuasa.
Karena hanya keberanian dan kekuatan Tuhanlah yang maha benar dari semua
kebenaran. Murid-muridku, Sinto Weni dan Sukat Tandika apakah selama empat tahun
tidak bertemu kalian berdua ada baik-baik saja?"
"Berkat doa Kiai dan perlindungan Yang Maha Kuasa kami ada baik-baik saja. Walau
empat tahun tidak terlalu lama namun kami merasa mulai mengenal apa artinya
hidup dan apa artinya dunia persilatan...." Yang menjawab adalah pemuda bernama
Sukat Tandika. Sinto Weni sang dara berkulit hitam manis hanya berdiam diri memandang ke tengah
telaga tepat pada arah sepasang kaki sang Kiai.
Di tengah telaga, Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. Sambil melirik pada
muridnya yang bernama Sinto Weni dia kembali ajukan pertanyaan. "Murid-muridku
apa kalian berdua ada baik-baik saja selama empat tahun ini?"
"Kami... kami berdua ada baik-baik saja Kiai," akhirnya si gadis menjawab.
"Bagus kalau begitu," ujar Kiai Gede Tapa Pamungkas sambil anggukkan kepala
walau sebenarnya dia tahu ada sesuatu yang disembunyikan murid perempuannya ini.
"Sinto Weni dan Sukat Tandika. Empat tahun kalian terjun ke dalam rimba
persilatan bukan satu waktu yang lama. Tidak dapat dijadikan ukuran apakah
kalian telah mampu menjadi pendekar-pendekar yang dihormati dan disegani. Namun
aku sudah menyirap kabar bahwa ilmu Pukulan Sinar Matahari yang kuwariskan
padamu Sinto Weni telah membuat geger dunia persilatan. Lalu aku juga mengetahui
bahwa ilmu silat tangan kosong yang kau dapat dariku Sukat Tandika telah membuat
orang-orang golongan hitam menjadi mati kutu.
Seperti yang pernah aku katakan dulu, hari ini adalah hari pertemuan yang
dijanjikan. Hari ini adalah hari dua warisan akan kuserahkan pada kalian. Dan
hari ini pula kita akan berpisah untuk selama-lamanya. Entah kalau Tuhan masih
mengijinkan bagi kita bertemu.
Adapun bentuk warisan yang akan kuberikan pada kalian, akan kalian lihat sendiri
nanti. Suka atau tidak suka kalian harus menerimanya sebagai kenyataan. Karena dua
benda warisan itu hanyalah titipan anak cucu kalian yang harus dipergunakan
untuk menyelamatkan dunia persilatan dari segala macam angkara murka. Waktuku
pendek, aku tak mungkin bicara terlalu banyak. Harap kalian tetap duduk di
tempat masing-masing.
Jangan bicara kalau aku tidak mengajak bicara. Jangan bergerak kalau tidak aku
suruh!" Habis berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas lalu kembangkan ke dua tangannya
ke samping. Bersamaan dengan itu terdengar, suara menggemuruh yang datang dari
dua arah di dasar telaga. Lalu air telaga di kiri kanan si orang tua mencuat
setinggi sepuluh tombak. Anehnya air yang melesat ke udara itu tampak
mengeluarkan tiga warna yakni putih, merah dan biru. Bersamaan dengan mencuatnya
air telaga di dua tempat, mendadak tiupan angin semakin kencang dan hujan
mendera bertambah keras!
Sinto Wenidan Sukat Tandika merasakan jantung masing-masing berdebar keras.
Mata mereka dibuka lebar-lebar ketika ada suara mendesir di dalam telaga- Lalu
dua buah kepala mencuat ke permukaan air. Sepasang muda-mudi ini kalau tidak
ingat pesan guru Pedang Naga Suci 212
4 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
mereka tadi, niscaya saat itu sudah tersurut ke belakang atau keluarkan seruan
tertahan ketika melihat dua makhluk yang keluar dari dalam telaga!
* * * Pedang Naga Suci 212
5 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ DUA ua makhluk yang muncul di permukaan air telaga di kiri kanan Kiai Gede Tapa
Pamungkas ternyata adalah dua ekor ular besar bermata merah, satu jantan satu
Dbetina, memiliki lidah terbelah yang menjulur panjang serta gigi dan taring
besar runcing. Di atas kepala sebelah depan ada sebentuk mahkota putih bertabur
batu-batu yang memantulkan sinar berkilauan. Di bagian kepala sebelah belakang
tampak sebentuk tanduk berwarna hijau.
"Ular naga..." desis pemuda bernama Sukat Tan-dika dalam hati. "Setahuku
binatang ini hanya ada dalam dongeng. Apa yang kulihat ini ular naga sungguhan
atau hanya makhluk jejadian ciptaan kepandaian Kiai Gede Tapa Pamungkas"
Kalau si pemuda berpikir seperti itu maka lain halnya dengan gadis bernama Sinto
Weni. Dalam hati gadis ini bertanya-tanya. "Permainan apa yang hendak
diperlihatkan Kiai padaku" Apa ular raksasa ini yang hendak diwariskannya
padaku" Celaka!"
Di tengah telaga Kiai Gede Tapa Pamungkas mendongakkan ke langit. Dua tangannya
diangkat sebatas dada dengan telapak membuka menghadap ke atas. Dia seperti
tengah membaca sesuatu. Dua ekor naga besar bergulung-gulung di sebelah kiri dan
kanan tubuhnya. Tiba-tiba Kiai Gede Tapa Pamungkas rentangkan ke dua tangannya
kembali ke samping. Bersamaan dengan itu dia jentikkan jari-jari tangannya kiri
kanan. Mendengar suara jentikan dua ekor ular naga susupkan kepala ke dalam air
telaga sementara di sebelan sana air telaga tiga warna terus mencuat di dua
tempat. Sekali lagi Kiai Gede Tapa Pamungkas jentikkan jari-jari tangan kiri kanan.
Terdengar suara menggemuruh ketika dua naga munculkan lagi kepala di permukaan
Wiro Sableng 094 Pedang Naga Suci 212 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
air telaga. Kali ini di dalam mulut masing-masing mereka menggigit sebuah benda.
Ular naga sebelah kanan yakni ular naga yang jantan mengigit sebuah benda
berbentuk kapak yang memiliki dua mata. Kapak ini bergagang putih kekuningan
terbuat dari gading. Bagian ujung gagang berbentuk ukiran kepala naga jantan dan
ada enam buah lobang kecil seperti lobang seruling. Pada dua mata kapak yang
memancarkan sinar berkilauan itu tertera tiga buah angka. 212.
Dalam mulut ular naga kedua yaitu yang betina ada sebuah benda berbentuk seperti
gulungan ikat pinggang berwarna putih, memiliki ujung berbentuk kepala naga sama
seperti gagang kapak yang ada di mulut naga satunya.
Kiai Gede Tapa Pamungkas kembali jentikkan dua tangannya kiri kanan. Dua ular
naga kibaskan ekor masing-masing dengan keras hingga air telaga muncrat tinggi.
Lalu binatang ini rundukkan kepala dan meluncur menuju tepi telaga di mana Sinto
Weni dan Sukat Tandika duduk bersila tanpa berani bergerak ataupun keluarkan
suara. Namun sekali ini begitu dua ular naga meluncur ke arah mereka walau
mereka tetap mampu bertahan tanpa keluarkan suara tanpa bergerak rasanya saat
itu nyawa masing-masing sudah melayang terbang!
Di tepi telaga dua ular naga jantan dan betina letakkan senjata berbentuk kapak
dan gulungan benda putih di hadapan Sinto Weni dan Sukat Tandika. Untuk beberapa
lamanya binatang ini menjilati dua benda itu. Lalu keduanya perlahan-lahan
meluncur mundur kembali ke dalam telaga.
Pedang Naga Suci 212
6 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Kiai Gede Tapa Pamungkas jentikkan lagi jari-jari tangannya. Dua ular naga
luruskan badan masing-masing laksana tonggak lalu dongakkan kepala. Dari mulut
mereka keluar suara raungan aneh, terdengar antara lolongan srigala dan ringkik
kuda, membuat merinding Sinto Weni dan Sukat Tandika. Sang Kiai kembali
menjentik. Saat itu juga sosok tubuh sepasang naga perlahan-lahan meluncur turun
ke dalam air hingga akhirnya lenyap dari pemandangan.
"Murid-muridku.... Dua warisan telah berada di hadapan kalian. Sebelum aku
meminta kalian untuk memilih sendiri mana yang kalian sukat, aku akan
perlihatkan kepada kalian kehebatan dua benda itu."
Di tengah telaga Kiai Gede Tapa Pamungkas angkat kedua tangannya, diarahkan pada
dua benda yang ada di tepi telaga. Ketika dua tangannya disentakkan ke atas,
senjata berbentuk kapak bermata dua melesat ke udara mengeluarkan suara aneh
seperti ribuan tawon terbang mengamuk. Dari dua mata kapak memancar sinar putih
laksana perak. Sinar ini bukan saja sangat menyilaukan tapi sekaligus
menghamparkan hawa panas luar biasa.
Untuk beberapa lamanya senjata ini berputar-putar di atas telaga mengikuti gerak
putaran tangan kanan Kiai Gede Tapa Pamungkas. Begitu sang Kiai hantamkan tangan
kanannya ke kiri, kapak bermata dua melesat laksana kilat ke arah sebatang pohon
yang tumbuh di tepi telaga.
"Craasss!"
Batang pohon sebesar pemelukan tangan tertebas putus. Bagian atas pohon besar
tumbang dengan suara bergemuruh. Baik pohon yang tumbang maupun Sisa batang yang
masih tegak kelihatan berubah menjadi hitam gosong laksana habis dimakan api!
Sukat Tandika menyaksikan dengan mata lebarnya bertambah lebar sedang lidahnya
berulang kali dijulurkan membasahi bibir. Sinto Weni memandang dengan mata
melotot tapi mulut terkancing.
Kiai Gede Tapa Pamungkas gerakkan tangannya ke arah tepian telaga. Kapak bermata
dua melayang turun dan perlahan-lahan digeletakkan kembali di depan sepasang
muda mudi. Kini sang Kiai ganti angkat tangannya yang kiri. Benda putih
berbentuk gulungan ikat pinggang melesat ke atas lalu "srettt!" Gulungannya
terbuka. Satu cahaya putih yang menghamparkan hawa dingin berkiblat. Di udara
saat itu tampak sebilah pedang putih tipis bergagang gading berbentuk kepala
naga betina. Pada badan pedang tertera angka 212. Pada bagian ujung pedang yang
lancip kelihatan sebuah lobang yang demikian kecilnya hingga sulit dilihat mata
telanjang. Kiai Gede Tapa Pamungkas sentakkan tangan kirinya ke atas. Pedang putih melesat
ke udara,. berputar memancarkan cahaya putih menyilaukan, menebar hawa dingin
dan mengeluarkan suara berdesing yang membuat liang telinga laksana ditusuk!
"Lihat pedang!" berseru sang Kiai seraya hantamkan tangan kanannya ke arah kanan
telaga di mana tumbuh sebuah pohon besar berdaun rimbun. Kiai Gede Tapa putar
tangannya di atas kepala berulang kali. Terdengar suara tebasan tak henti-
hentinya. Daun pohon bertaburan di udara lalu melayang jatuh ke tanah dan ke
dalam telaga. Dalam waktu beberapa kejapan mata saja pohon yang tadinya rimbun
itu kini telah botak, hanya tinggal cabang dan ranting meranggas. Ketika Kiai
Gede Tapa Pamungkas meletakkan pedang putih itu di tepi telaga, begitu menyentuh
tanah pedang ini kembali menggulung diri secara aneh.
Pedang Naga Suci 212
7 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Sekarang kalian lihat bagaimana kalau dua senjata sakti dari dua sumber yang
sama saling baku hantam satu sama lain!" kata Kiai Gede Tapa pula. Lalu dua
tangannya sama disentakkan ke atas.
"Sreettt!"
"Wuttt!"
"Wuuutt!"
Pedang putih tipis melesat ke atas dan lepas dari gulungannya. Kapak bermata dua
menyusul melesat lalu membeset gerakan pedang. Dengan lincah pedang tipis
membuat gerakan berputar menghindari tebasan kapak. Dalam waktu singkat di udara
dua senjata itu berubah menjadi buntalan cahaya yang saling menggempur. Dua
cahaya berkilauan saling menyabung. Hawa panas dan hawa .dingin berbenturan
hebat. Suara mengaung dan suara mendesing seperti seruling seolah merobek
langit. "Traangg!"
Dua senjata mustika sakti beradu di udara. Lidah api mencuat sejauh dua tombak.
Suara beradunya kapak dan pedang disusul dengan getaran dahsyat yang membuat
tempat itu laksana dilanda gempa. Karena bentrokan dua senjata sakti terjadi
berulang-ulang, baik Sinto Weni maupun Sukat Tandika terpaksa tutup telinga
masing-masing dengan tangan sementara tubuh mereka yang duduk bersila ditanah
terguncang-guncang, aliran darah tersentak-sentak. Kalau bentrokan dua senjata
sakti itu tidak lekas dihentikan sepasang muda-mudi ini pasti akan menderita
luka dalam yang parah!
Untung Kiai Gede Tapa Pamungkas saat itu membuat gerakan dua tangan ke kiri dan
ke kanan. Kapak bermata dua dan pedang tipis lentur serta merta bergerak
menjauh. Lalu perlahan-lahan turun ke tanah di hadapan Sinto Weni dan Sukat
Tandika. Seperti tadi begitu menyentuh tanah pedang tipis lentur langsung
bergelung menggulung.
Untuk ke sekian kalinya dua murid Kiai Gede Tapa itu dibuat terkagum-kagum
menyaksikan kehebatan senjata berupa kapak bermata dua dan pedang tipis lentur
yang memancarkan cahaya putih menyilaukan itu.
"Murid-muridku, kalian telah menyaksikan kehebatan dua senjata itu. Apa yang
barusan kalian lihat hanya sebagian kecil saja dari kehebatan yang tersimpan di
dalam dua senjata itu. Inilah dua warisan yang akan aku berikan pada kalian.
Senjata berbentuk kapak cocok menjadi pegangan seorang kesatria. Senjata ini
bernama Kapak Naga Geni 212. Jika mulut kepala naga yang merupakan gagang kapak
ditiup maka senjata itu akan berubah menjadi sebuah seruling yang mampu
mengeluarkan suara keras. Membuat kacau jalan pikiran, peredaran darah dan bisa
memecahkan gendang-gendang telinga lawan. Bilamana mata naga kiri kanan ditekan
maka dari mulut naga akan melesat keluar jarum-jarum putih yang merupakan
senjata rahasia ampuh. Siapa saja yang mempergunakan senjata ini dia harus
memiliki tenaga dalam tinggi. Tanpa tenaga dalam Kapak Naga Geni 212 hanya
merupakan satu benda mati belaka. Berarti senjata ini tidak bisa dipergunakan
oleh sembarang orang."
Kiai Gede Tapa Pamungkas memandang pada Sinto Weni sesaat lalu meneruskan
penuturannya. "Senjata yang satunya yakni berupa pedang tipis dan bisa digulung bernama Pedang
Naga Suci 212. Keampuhannya tidak kalah dengan Kapak Naga Geni 212 dan cocok
sebagai senjata andalan seorang dara perkasa. Di dalam badan pedang tersimpan
ratusan senjata rahasia berbentuk jarum putih. Bilamana mulut naga ditiup maka
jarum-jarum itu akan Pedang Naga Suci 212
8 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
melesat keluar lewat sebuah lubang kecil di ujung pedang. Seperti Kapak Naga
Geni 212, pedang sakti ini juga bisa ditiup dijadikan seruling yang bunyinya
dapat menghantam lawan. Untuk mengeluarkan segala kehebatan yang tersimpan dalam
pedang seseorang harus mengerahkan tenaga dalam. Murid-muridku dua senjata ini
bukan senjata sembarangan. Dicipta-kan oleh para pendahuluku hanya dengan satu
maksud dan tujuan yakni membela kebenaran dan keadilan, menghancurkan angkara
murka dalam rimba persilatan. Inilah warisan yang harus kalian jaga dengan baik,
dalam merawat maupun mempergunakannya. Sekali kalian mempergunakan senjata itu
di jalan yang salah maka kesaktiannya akan memukul balik pada diri kalian!
Murid-muridku, walau tadi aku sebutkan bahwa Kapak Naga Geni 212 cocok untuk
seorang kesatria dan Pedang Naga Suci 212 cocok untuk seorang pendekar dara
perkasa, namun terserah pada kalian masing-masing untuk berunding memilih yang
mana. Khusus untuk Kapak Naga Geni 212 memiliki pasangan sebuah batu hitam
berbentuk persegi panjang. Jika batu ini digosokkan atau di-pukulkan ke mata
kapak maka lidah api akan mencuat keluar dan merupakan senjata luar biasa. Dua
senjata sakti ini akan menjadi senjata maut bagi semua orang jahat di rimba
persilatan, merupakan senjata andalan atau senjata pamungkas bagi kalian masing-
masing. Nah murid-muridku sekarang aku persilahkan kalian berunding. Setelah kalian
menerima warisan dua senjata mustika sakti itii maka aku akan merasa lega dan
segera meninggalkan kalian...."
Dari balik seiempang kain putih yang melilit di tubuhnya Kiai Gede Tapa
Pamungkas keluarkan sebuah batu hitam berbentuk empat persegi yang besarnya
segenggaman tangan.
Batu ini dilemparkannya dan jatuh tepat di samping Kapak Naga Geni 212.
Sukat Tandika bukan .seorang pemuda yang suka mementingkan diri sendiri dan tak
pernah temahak dalam hal apapun. Karena itu walau sang guru telah berkata
demikian dia tetap saja duduk di tempatnya, seolah memberi kesempatan pada adik
seperguruannya yaitu Sinto Weni untuk memilih lebih dulu salah satu dari dua
senjata mustika sakti itu.
Bagaimanapun dia tidak berprasangka buruk dan yakin bahwa Sinto Weni akan
mengambil Pedang Naga Suci 212 dan dia akan kebagian Kapak Naga Geni 212.
Namun dugaan Sukat Tandika keliru.
* * * Pedang Naga Suci 212
9 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ TIGA into Weni membungkuk memberi hormat pada Kiai Gede Tapa Pamungkas lalu berkata.
"Kiai jika memang kau memberi izin untuk memilih, saya akan mengambil SKapak
Naga Geni 212 dan batu pasangannya!"
Di tengah telaga sang Kiai kerenyitkan kening sedang Sukat Tandika melengak
kaget. Sehabis bicara Sinto Weni bergerak cepat mengambil Kapak Naga Geni 212 dan batu
pasangannya. Setelah menyimpan dua benda itu dibalik pakaian ringkasnya, dia
kemudian menyambar pula Pedang Naga Suci 212.
Kiai Gede Tapa Pamungkas segera menegur. "Sinto Weni, kau hanya boleh mengambil
satu dari dua senjata sakti itu. Kau telah mengambil Kapak Naga Geni 212.
Mengapa kau juga mengambil Pedang Naga Suci 212"!"
Sinto Weni cepat membungkuk. "Maafkan saya Kiai. Saya memang berlaku lancang
mengambil Pedang Naga Suci ini. Bukan untuk memilikinya tapi justru
menyelamatkannya."
Baik Kiai Gede Tapa maupun Sukat Tandika sama-sama heran dan tidak mengerti akan
ucapan Sinto Weni. Kalau si pemuda diam saja tak berani bertanya, tidak demikian
dengan sang Kiai. Orang tua ini ajukan pertanyaan.
"Apa maksud ucapanmu tadi, Sinto"!"
"Maafkan kalau jawaban saya terdengar, kasar atau keliru. Tapi saya beranggapan,
senjata sehebat Pedang Naga Suci 212 ini tak layak berada di tangan Sukat
Tandika, Saya mempunyai firasat senjata ini kelak akan disalati gunakannya! Jadi
biar Pedang Naga Suci 212 ini saya bawa dulu. Saya akan menyimpannya dengan baik
sampai suatu saat ada seseorang yang lebih pantas memilikinya."
"Kau berani menilai kakak seperguruanmu seperti itu Sinto"! Kau berani
memberikan warisan berupa pedang itu pada orang lain"!" Suara Kiai Gede Tapa
Pamungkas tetap lembut namun alunan nadanya jelas menegur keras.
"Kalau saya salah harap maafkan saya-Kiah Kalau ini sebuah dosa mohon kau mau
memberi ampun. Kelak waktu yang akan membuktikan ucapan saya!"
Habis berkata begitu Sinto Weni membungkuk lalu dengan gerakan luar biasa
cepatnya bersamaan dengan sambaran kilat pada gelegar guntur gadis ini
berkelebat dan lenyap dalam kegelapan sementara hujan masih terus mengguyur dan
angin terus mendera kencang.
Melihat gurunya diam saja walau menunjukkan wajah masygul Sukat Tandika segera
bergerak hendak mengejar. Namun sang Kiai mencegah.
"Sukat! Tak usah kau kejar!"
"Tapi Kiai..."
"Aku tahu kau tak suka melihat orang melarikan warisan milikmu...."
"Bukan hanya itu Kiai. Saya tidak suka melihat peri laku budi pekertinya. Dia
begitu merendahkan Kiai...."
Kiai Gede Tapa angkat tangan kanannya dan berkata. "Tetap di tempatmu Sukat.
Kita perlu bicara...."
"Sementara kita bicara Sinto Weni telah lari jauh!" memotong si pemuda.
Pedang Naga Suci 212
10 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Kita perlu bicara, Sukat. Setahuku gadis itu memiliki perasaan halus, penuh
welas asih walau kadang-kadang suka usil dan bicara ceplas-ceplos. Aku yakin ada
sesuatu yang telah membuat dirinya berubah seperti itu. Dan yang tahu mengapa
dia jadi begitu hanya, kau seorang. Selama empat tahun kalian berkelana menimba
ilmu dan pengalaman di rimba persilatan. Kau mau memberikan penjelasan padaku
Sukat?" Mendengar kata-kata sang guru Sukat Tandika jadi pucat, sesaat dia terdiam.
"Saya rasa...."
"Jelaskan padaku terus terang...." Kiai Gede Tapa Pamungkas seperti mendesak.
"Kiai.... Sejak dilepas empat tahun lalu, dua tahun pertama kami memang selalu
bersama-sama. Pada masa-masa itulah antara kami terjalin hubungan yang sangat
akrab...."
"Akrab sebagai teman, saudara seperguruan atau apa?" tanya Kiai Gede Tapa pula.
Kembali Sukat Tandika terdiam. Setelah menarik nafas dalam dia baru menjawab.
"Kami saling jatuh cinta. Namun sesuatu terjadi...."
"Apa yang kau maksud dengan sesuatu itu?" tanya Kiai Gede Tapa.
"Untuk mencari pengalaman lebih luas pada tahun ke tiga kami setuju saling
berpisah. Meneruskan perjalanan sendiri-sendiri. Sinto berkelana di barat, saya
sendiri malang melintang ke berbagai penjuru. Saya kemudian bertemu dengan
beberapa orang gadis. Saya terpikat dan melupakan Sinto. Saya mengkhianati
cintanya.... Mungkin itu sebabnya dia menjadi sangat marah dan mendendam pada
saya. Saya akan mencarinya...."
"Tidak, kau tetap di sini sampai aku selesai bicara!" tukas Kiai Gede Tapa.
"Muridku Sukat Tandika! Bagi seorang gadis cinta adalah sejuta bahagia dalam
sejuta kesucian! Kalau dia dikhianati dia bisa sejuta diam dalam sejuta derita.
Namun bisa juga dia mendekam sejuta kebencian sejuta dendam. Agaknya Sinto Weni
telah memilih dua hal yang terakhir.
Kalau kau kejar dia saat ini, selagi bara kebencian dan dendam berkobar hebat
dalam dirinya, bukan mustahil dia akan membunuhmu...."
"Saya rela menemui kematian di tangannya...."
Kiai Gede Tapa tersenyum. "Hanya orang tolol yang memilih jalan hidup seperti
itu muridku. Jangan menebus ketololan dengan menggadaikan nyawamu! Ketahuilah
dalam hidup ini ada tiga hal yang mendatangkan kehancuran pada kaum laki-laki
kalau dia menyimpang dari hukum alam yang telah ditentukan. Pertama jabatan, ke
dua harta dan ke tiga perempuan. Kau telah membenturkan diri pada salah satu
Wiro Sableng 094 Pedang Naga Suci 212 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari tiga hukum alam itu muridku. Apa jawabmu"!"
"Saya mengerti Kiai. Saya telah berbuat sesuatu yang salah terhadap Sinto Weni.
Saya harus berani bertanggung jawab. Saya mohon maafmu Kiai...."
Kiai Gede Tapa tersenyum rawan.
"Kalau kau hendak mencarinya jangan lakukan sekarang. Sinto Weni membutuhkan
waktu bertahun-tahun, mungkin belasan tahun untuk mengobati luka hatinya. Kau
harus menunggu dan memilih waktu yang tepat. Jika kau bersikeras dan bertindak
ceroboh kau bisa celaka sendiri.... Lagi pula aku rasa ada baiknya untuk
sementara Pedang Naga Suci 212
berada di tangannya. Ketahuilah senjata mustika sakti itu hanya bertuah di
tangan seorang yang benar-benar suci lahir bathin dan dipergunakan atas nama
kebaikan serta kebenaran.
Menyimpang dari itu Pedang Naga Suci 212 akan mendatangkan malapetaka bagi orang
yang memakainya secara salah...."
"Nasihat Kiai akan saya perhatikan..." kata Sukat Tandika dan dalam hati dia
berkata. "Kalau memang begitu tuah Pedang Naga Suci 212 mungkin sekaji senjata itu tidak
cocok Pedang Naga Suci 212
11 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
bagiku. Selama empat tahun terakhir ini aku banyak melakukan hal-hal yang tidak
benar.... Agaknya aku harus melupakan pedang sakti itu seumur hidupku." Sukat memandang ke
arah Kiai Gede Tapa.
"Nasihat merupakan hal terakhir yang bisa kuberikan. Selanjutnya kau sendiri
yang menentukan jalan hidupmu. Waktuku sudah habis. Aku harus pergi sekarang!"
Habis berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas rapatkan telapak tangannya satu
sama lain lalu ke dua tangannya diangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Kilat
menyambar. Guntur menggelegar. Air telaga beriak keras. Asap putih berbuntal-buntal.
Perlahan-lahan sosok tubuh Kiai Gede Tapa Pamungkas lenyap masuk ke dalam
telaga. Sukat Tandika mengusap wajahnya berulang kali. Walau saat itu udara dinginnya
bukan alang kepalang namun hujan yang membasahi wajah dan tubuhnya telah
bercampur dengan keringat.
Seperti dituturkan dalam Episode sebelumnya Sukat Tandika malang melintang dalam
rimba persilatan sambil berusaha mencari Sinto Weni. Namun dalam pengelanaannya
itu justru Sukat Tandika semakin jauh tenggelam dalam kata hati dan bujukan
nafsu. Dia mempunyai kelemahan menghadapi gadis-gadis cantik. Mudah jatuh hati.
Sebelum dan sesudah kawin dengan seorang janda cantik puteri Adipati Plered,
pemuda itu menjalin hubungan cinta dengan beberapa gadis. Di antaranya Sabai Nan
Rancak dan Sika Sure Jelantik. Rata-rata semua gadis itu kemudian
ditinggalkannya begitu saja. Sukat Tandika sendiri kemudian melenyapkan diri
selama bertahun-tahun. Ketika dia muncul kembali keadaannya berubah seperti
orang kurang waras. Tindak tanduknya menggegerkan rimba persilatan. Dia bukan
saja membasmi para tokoh golongan hitam tapi juga menumpas mereka dari golongan
putih yang dianggapnya menjadi penghalang. Tak jelas apa yang menjadi tujuan
Sukat Tandika. Apa dia ingin menjadi raja di raja dunia persilatan atau semua
perbuatannya itu akibat penyesalan sesaat atas segala kelakuannya di masa lalu"
Rimba persilatan memberi beberapa julukan pada Sukat Tandika. Dia disebut
sebagai Pendekar Gila Patah Hati dan Iblis Gila Pencabut Jiwa. Dari beberapa
gelar yang diberikan orang padanya, dia lebih dikenai dengan julukan Tua Gila.
Dalam usia tuanya dia kemudian bertemu dengan Pendekar 212 Wiro Sableng dan
mengajarkan ilmu silat Orang Gila ciptaannya sendiri pada Wiro yang sebelumnya
telah diambil murid oleh Sinto Weni. Sinto Weni sendiri dikenal dengan nama
Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede.
Sinto Gendeng mewariskan Kapak Naga Geni 212 pada Wiro yang dalam dunia
persilatan kemudian lebih dikenal sebagai Kapak Maut Naga Geni 212. Sedangkan
Pedang Naga Suci 212 tetap disembunyikan Sinto Gendeng sekalipun di hari tuanya
dia telah bertemu dan berbaik-baik dengan Tua Gila alias Sukat Tandika
kekasihnya di masa muda.
Sinto Gendeng sendiri tidak pernah mempergunakan Pedang Naga Suci. Mungkin dia
menyadari sejak menjalin hubungan dengan Sukat Tandika dan ditinggal pergi
Setelah cinta dan kesuciannya dirampas begitu saja maka pedang mustika sakti itu
tidak mungkin, bisa dimanfaatkannya. Namun bagaimanapun Sinto Gendeng
merahasiakan di mana dia menyembunyikan Pedang Naga Suci 212 itu, pada akhirnya
Tua Gila mengetahui juga dimana senjata itu beradanya. Hal itu kemudian
diberitahukannya pada Puti Andini, cucunya sendiri.
Sementara itu di rimba persilatan selain berita besar mengenai Kitab Wasiat
Malaikat kini kabar tentang adanya Pedang Naga Suci 212 itu telah tersiar
santar, membuat para Pedang Naga Suci 212
12 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
tokoh baik golongan putih maupun golongan hitam sama-sama membuka mata memasang
telinga dan mengatur siasat untuk menjejakinya!
* * * Pedang Naga Suci 212
13 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ EMPAT adai yang melanda pantai barat Pulau Andalas sekali ini dahsyat bukan main.
Sejak tengah malam tadi angin keras mendera tanpa henti, menerabas apa saja yang
ada di Bpermukaan laut. Beberapa pulau kecil lenyap seolah amblas ke dasar
samudera. Puluhan nelayan menemui ajal, tenggelam bersama perahu mereka.
Menjelang pagi walau langit di ufuk timur tampak terang tanda sang surya akan
segera terbit, badai masih belum berhenti. Malah bertiup ke arah pantai, menyapu
segala yang ada di daratan.
Di puncak barat Gunung Singgalang seorang tua kurus mengenakan jubah hijau yang
kebesaran berulang kali mengusap wajahnya yang cekung. Sejak tadi dia melangkah
mundar-mandir. Sepasang matanya yang jereng berputar liar kian kemari dan
sebentar-sebentar mengerling ke arah mulut goa di dalam mana dia saat itu
berada. Semua gerak-gerik orang tua ini memberi pertanda bahwa saat itu dia
berada dalam satu kegelisahan.
Paling tidak ada sesuatu yang membuatnya tidak sabar.
Bosan mundar-mandir akhirnya orang tua ini duduk di lantai goa. Berusaha
bersamadi. Namun sia-sia saja. Sepasang telinganya tidak mampu menghambat suara
deru angin yang tiada henti-hentinya di luar sana.
Sadar dia tak akan bisa bersamadi orang tua ini akhirnya bangkit berdiri.
Diluruskannya tubuhnya yang agak bungkuk dimakan usia lalu sambil merapikan
letak destar tinggi hijau di atas kepalanya dengan langkah gontai dia berjalan
menuju mulut goa yang sebagian tertutup oleh sebuah batu besar.
Si orang tua menyeruak di antara mulut goa dan batu besar. Angin kencang menerpa
muka dan tubuhnya. Rambut putihnya yang menjulai di bawah destar, janggut serta
kumisnya melambai-lambai. Jubah dan destar hijaunya ikut berkibar-kibar.
"Pertanda apakah yang tengah diberikan alam..." kata si orang tua dalam hati,
"Sekian lama diam di pulau besar ini baru sekarang ada badai begini hebat. Alam
agaknya mulai tidak lagi bersahabat dengan umat. Atau mung kin ini satu isyarat
bagiku untuk segera keluar dari komplotan manusia-manusia aneh tapi jahat itu"
Orang tua itu kembali mengusap wajahnya yang cekung lalu gelengkan kepala.
Beberapa kali menarik nafas dalam, biasanya kalau dia berdiri di mulut goa
seperti itu dia akan melihat pemandangan sangat indah di sepanjang lereng sampai
kaki Gunung Singgaiang. Namun saat itu dia nyaris tidak dapat melihat apa-apa
karena lebatnya curahan hujan ditambah kabut menutup dimana-mana.
tiupan badai semakin menggila. Hujan mendera bumi semakin ganas. Bagian bawah
jubah hijau si orang tua tampak basah. Sebelum tambah kuyup orang tua ini
melangkah mundur, masuk kembali ke dalam goa. Namun gerakannya terhenti ketika
sekonyong-konyong satu bayangan berkelebat di depan goa, tersamar oleh badai dan
hujan. Paras orang tua ini berubah. Sesaat rasa tegang menguasai dirinya. "Orang yang
aku tunggu sudah datang..." hatinya berbisik.
"Wuttt!"
Tahu-tahu satu sosok serba hitam dalam keadaan basah kuyup telah berdiri di
hadapan orang tua itu.
Pedang Naga Suci 212
14 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Meski orang yang tegak di hadapannya itu angker luar biasa namun si orang tua
bersikap tenang. Sepasang matanya yang jereng memperhatikan orang dengan tak
berkesip. "Hemmm.... Ini tampang manusianya. Tak pernah kulihat sebelumnya tapi dari ciri-
ciri jelas dia orangnya. Lebih baik aku bertanya dulu untuk memastikan," kata
orang tua berjubah hijau dalam hati.
"Orang tak dikenal, apakah kau tersesat mencari tempat berteduh" Atau memang
goaku ini menjadi tujuanmu?"
Orang yang ditegur balas menatap tanpa berkedip. Orang ini bertubuh tinggi besar
hingga kepalanya yang berambut kasar seperti ijuk hampir menyondak mulut goa.
Kulitnya hitam laksana arang. Pakaiannya yang basah kuyup juga berwarna hitam.
Orang ini memiliki alis aneh. Tebal panjang dan bersambung mulai dari pelipis
kiri sampai ke pelipis kanan. Di atas alis, pada keningnya terdapat enam buah
lobang besar hitam. Lalu di bawah alis terdapat juga enam lobang serupa yakni
tiga di pipi kanan dan tiga di pipi kiri. Mungkin sekali dua belas lobang ini
diakibatkan oleh penyakit cacar air yang ganas.
"Aku mencari Sutan Alam Rajo Di Bumi! Apakah kau orangnya?" Orang yang tegak di
depan goa menjawab dengan mata tetap tak berkesip memandangi orang tua di
hadapannya. Suaranya serak namun dibawah hujan dan badai keras begitu rupa
ucapannya itu jelas terdengar ke telinga si orang tua pertanda dia barusan
bicara dengan mempergunakan tenaga dalam.
"Di puncak Singgalang ini hanya ada satu goa didiami manusia. Di muka bumi ini
hanya ada satu orang bergelar Sutan Alam Rajo Di Bumi. Apakah kau masih ingin
bertanya"!"
Si tinggi besar bermuka angker undur selangkah. "Turut yang aku dengar Sutan
Alam Rajo Di Bumi adalah seorang yang meski tua tapi berbadan tegap. Selalu
mengenakan jubah putih. Kalau kau orangnya maka sungguh lain apa yang kudengar
dengan kenyataan."
Mata jereng orang tua berdestar dan berjubah hijau berputar beberapa kali.
Sambil menyeringai dia kemudian berkata.
"Berita yang didengar tidak selalu sama dengan kenyataan yang ada. Apakah kau
lebih mempercayai ucapan orang ketimbang kenyataan"!"
"Kalau begitu.... Hemmm...." Lelaki berpakaian hitam basah kuyup dengan muka
berlubang dua belas usap alisnya yang melintang panjang bersambung di atas
sepasang mata. "Jadi aku tidak salah saat ini berhadapan dengan Sutan Alam Rajo
Di Bumi"!"
"Kau berhadapan dengan orang yang kau cari!" kata orang tua di dalam goa. "Aku
sudah tahu kau baka! datang. Lebih dari itu aku juga sudah tahu maksud dan
tujuan kedatanganmu. Jika kau memang orangnya yang dijuluki Hantu Balak Anam
Dari Sijunjung!"
Agak terkesiap juga si jubah hitam mendengar orang sudah tahu siapa dia adanya.
"Kalau kau memang Sutan Alam Rajo Oi Bumi, maka harap kau suka terima salam
hormatku!"
Hantu Balak Anam Dari Sijunjung letakkan tangan kiri di atas dada lalu melipat
lutut sedikit. Orang tua bergelar Sutan Alam Rajo Di Langit tersenyum dan berkata. "Tampangmu
seburuk setan. Namun nyatanya kau cukup punya peradatan, tahu bagaimana
menghormati orang tua sepertiku!"
Pedang Naga Suci 212
15 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Kalau bicara soal hormat menghormati masalah usia tidak layak dijadikan
pegangan...."
"Eh, apa maksudmu...?" tanya Sutan Alam Rajo Di Bumi dengan senyum masih
terkulum di bibirnya.
"Karena usiaku jauh lebih tua darimu...."
Tentu saja orang tua di dalam goa menjadi terkejut. "Aku berusia hampir tujuh
puiuh tahun. Kau sendiri memangnya berapa umurmu"!" Si orang tua bertanya.
"Tujuh puluh delapan!" jawab si jubah hitam Hantu Balak Anam.
Sesaat Sutan Alam tampak seperti bengong tak percaya. Kalau memang benar
bagaimana mungkin orang seusia tujuh puluh delapan tahun masih memiliki tubuh
tegap kokoh begitu rupa. Rambutnya pun tak ada yang putih.
"Luar biasa! Kalau kau memang berusia tujuh puluh delapan, walau wajahmu seburuk
setan ternyata kau awet muda! Aku si tua bangka ini ingin belajar ilmu apa yang
kau pergunakan agar tetap awet muda! Ha... ha... ha!" Sutan Alam Rajo Di Bumi
tertawa mengekeh. Puas mengumbar tawa orang tua ini berucap. "Lama mendengar
nama besarmu. Baru kali ini bertemu dengan orangnya. Aku tak mau berbasa-basi lagi. Silahkan
masuk ke dalam goaku. Mari kita bicarakah maksud kedatanganmu!"
Hantu Balak Anam masuk ke dalam goa. Air hujan yang membasahi jubah hitamnya
mencurah jatuh ke lantai goa. Di dalam goa dia merasa lebih hangat.
"Silahkan duduk tamu agungku!" kata Sutan Alam Rajo Di Bumi seraya menunjuk pada
sebuah batu berbentuk kursi.
"Aku lebih suka berdiri saja...."
"Hemmm.... Manusia si Hantu Balak Anam ini agaknya bersikap terlalu waspada atau
bercuriga besar. Jangan-jangan dia...." Sutan Aiam Rajo Di Bumi anggukkah kepala
dan berkata. "Kau mau duduk atau tidak terserah saja. Seperti kataku tadi, aku
sudah menduga apa maksud, kedatanganmu. Sekarang apakah kau mau mulai
membicarakannya!"
"Kalau kau sudah maklum maksud kedatanganku, lebih mudah bagiku untuk
menjelaskannya," jawab Hantu Balak Anam. Dia menatap lurus-lurus pada sepasang
mata jereng orang tua di hadapannya lalu melanjutkan. "Sejak beberapa bulan
belakangan ini beberapa tokoh persilatan di pulau Andalas menemui kematian
secara aneh. Tewas mengenaskan. Kematian mereka kemudian diikuti dengan
tersiarnya kabar yang membuat dunia persilatan tanah Andalas menjadi geger...."
Sutan Alam Rajo Di Bumi manggut-manggut beberapa kali lalu berkata. "Apa yang
kau dengar ternyata tidak beda dengan apa yang sekarang kau katakan. Hantu Balak
Anam teruskan penuturanmu!"
"Di Utara ada kabar bahwa Kiai Tanjung Laboh mati dibunuh. Si pembunuh diduga
keras adalah seorang gadis sakti bernama Pandansuri yang konon merupakan anak
angkat mendiang Raja Rencong Dari Utara. Lalu seorang tokoh silat golongan putih
lainnya yang dikenal dengan julukan Sepasang Telapak Putih ditemukan tewas
secara mengerikan di tempat kediamannya dilereng Gunung Sihabuhabu. Di Andalas
tengah, tokoh silat Magek Bagak Bacufo Duo dibunuh orang di tepi pantai. Siapa
pembunuhnya belum jelas. Namun tersiar dugaan bahwa si pembunuh adalah Tua Gila.
Sementara itu Sabai Nan Rancak seorang tokoh terpandang di Andalas lenyap tak
diketahui di mana beradanya. Lalu di selatan seorang tokoh golongan putih yang
dikenal dengan julukan Datuk Agung Berbangsa ditemui menemui ajal dalam keadaan
tergantung di Baturaja. Pada jubah putihnya si Pedang Naga Suci 212
16 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
pembunuh menuliskan namanya yaitu Datuk Sunti Belanak. Seorang tokoh silat
golongan putih, kawan lama Datuk Agung Berbangsa yang diam di sebuah perguruan
silat di Bukit Martapura. Semua peristiwa yang luar biasa ini telah menimbulkan
rasa saling curiga antara sesama orang-orang persilatan golongan putih. Konon
telah terbentuk satu perserikatan golongan putih untuk memerangi orang-orang
golongan putih yang dikabarkan melakukan pembunuhan-pembunuhan tersebut. Dalam
pada itu seorang tokoh paling disegani bernama Nyanyuk Amber dikabarkan lenyap
dari Gunung Sing-galang ini.... Ada yang menduga bahwa semua pembunuhan itu
didalangi oleh Nyanyuk Amber!"
* * * Pedang Naga Suci 212
17
Wiro Sableng 094 Pedang Naga Suci 212 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ LIMA utan Alam Rajo Di Bumi sesaat terdiam mendengar penuturan Hantu Balak Anam itu.
Dengan suara perlahan dia kemudian berkata. "Apa yang kau katakan barusan semua
Sbenar. Terus terang aku merasa risau dengan semua kejadian itu. Bukan mustahil
kita pun kelak akan jadi korban pembunuhan aneh itu. Gila, apa yang sesungguhnya
terjadi! Orang-orang golongan putih membunuh sesama teman sendiri! Lenyapnya Nyanyuk
Amber memang merupakan satu tanda tanya besar. Kau tahu, sejak aku muncul di
sini, Gunung Singgalang ini dibagi tiga. Aku menetap di sebelah puncak. Sabai
Nan Rancak di bawah pada lereng sebelah timur. Lalu Nyanyuk Amber di lereng
sebelah barat. Namun anehnya, tak lama setelah aku menetap di sini Nyanyuk Amber
lenyap dari tempat kediamannya. Lalu seperti katamu Sabai Nan Rancak juga tiba-
tiba seperti sirna." (Mengenai Nyanyuk Amber harap baca serial Wiro Sableng
berjudul "Raja Rencong Dari Utara") Orang tua berjubah hijau itu menarik nafas
dalam. Dia mendongak menatap langit-langit goa batu lalu terdengar suaranya
bertanya. "Dari semua kejadian itu, kedatanganmu kemari pasti membawa satu
rencana...."
"Betul sekali Sutan. Aku ingin agar semua tokoh silat golongan putih berkumpul,
berunding dan menentukan sikap serta tindakan sebelum jatuh lagi korban-korban
berikutnya."
"Aku mendukung maksud baikmu Ku. Karena kau yang datang membawa usul bagaimana
kalau kau juga mau bersusah payah untuk mengatur rencana pertemuan itu...."
"Terima kasih atas kepercayaan Sutan. Tapi pulau Andalas bukan pulau kecil.
Bagaimana kalau untuk bagian utara Sutan saja yang mengatur. Aku menghubungi
para tokoh di bagian tengah. Lalu seorang sahabat akan kuminta pertolongannya
untuk mengurusi wilayah selatan. Jika Sutan menyetujui maka saat ini sudah bisa
ditentukan kapan dan di mana pertemuan itu akan dilakukan. Makin cepat pasti
makin baik....."
"Aku bisa segera menentukan saat yang paling tepat," kata Sutan Alam Rajo Di
Bumi pula. "Namun sebelum hal itu aku katakan ada satu hal yang ingin aku
katakan dan tanyakan padamu. Apa kau pernah mendengar riwayat seorang tokoh
silat berjuluk Datuk Tinggi Raja Di Langit?"
"Bukankah tokoh satu itu lenyap secara aneh beberapa waktu lalu?"
. "Mungkin dia dibunuh oleh orang-orang persilatan golongan putih?"
Hantu Balak Anam gelengkan kepala. "Lenyapnya Datuk Tinggi jauh sebelum
peristiwa pembunuhan beruntun itu...."
"Apa mungkin dia sudah menemui ajal?" tanya Sutan Alam Rajo Di Bumi pula.
"Sukar dipastikan. Kalau memang sudah menemui ajal mengapa mayatnya tak pernah
ditemukan" Tapi memang ada satu hal yang perlu diteliti...."
"Apa?" tanya Sutan Alam seraya membetulkan letak destarnya yang kebesaran.
"Lenyapnya Datuk Tinggi Raja Di Langit bersamaan dengan tersebarnya kapar
kematian Tua Gila, Juga bersamaan dengan munculnya seorang pendekar muda dari
tanah Jawa yang dikenal dengan julukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro
Sableng!" Sutan Alam Rajo Di Bumi manggut-manggut beberapa kali lalu dia mundar-mandir di
ruangan batu itu. Di hadapan Hantu Balak Anam dia hentikan langkah dan berkata.
"Sebenarnya aku telah meminta seseorang untuk menyelidik lenyapnya Patuk Tinggi
Raja Pedang Naga Suci 212
18 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Di Langit. Namun sampai saat ini belum ada kabar. Dalam pada itu di tanah Jawa
pun kudengar peristiwa yang hampir bersamaan dengan kejadian-kejadian di pulau
Andalas ini. Beberapa tokoh silat golongan putih dibunuh oleh orang-orang segolongan.
Terakhir kudengar kabar bahwa Datuk Angek Garang, tokoh silat pulau Andalas mati
dibunuh seorang tokoh aneh dikenal dengan panggilan Si Segala Tahu. Tapi ada
juga dugaan, pembunuh sebenarnya adalah Tua Gila...."
"Jika itu benar Sabai Nan Rancak yang diketahui lenyap mungkin sekali telah
berada di tanah Jawa. Bukankah sejak lama diketahui bahwa nenek itu ingin
membalaskan sakit hatinya terhadap Tua Gila" Dan Tua Gila sendiri kabarnya
melarikan diri ke tanah Jawa."
"Rupanya banyak juga pengetahuanmu tentang apa yang terjadi di rimba persilatan
akhir-akhir ini..." kata Sutan Alam Rajo Di Bumi sambil sunggingkan seringai.
"Ada satu hal yang ingin aku tanyakan padamu, Hantu Balak Anam. Apa kau
mendengar riwayat sebuah senjata berbentuk pedang, bernama Pedang Naga Suci
212?" Si muka hitam berlubang dua belas gelengkan kepala. "Mendengar namanya mungkin
ada sangkut pautnya dengan Kapak Naga Geni 212 milik Pendekar 212."
"Pedang itu adalah pasangan Kapak Naga Geni 212. Kehebatannya luar biasa. Sejak
puluhan tahun pedang itu disembunyikan di satu tempat. Yang tahu di mana
letaknya hanya dua orang. Pertama Sinto Gendeng seorang nenek sakti di kawasan
barat pulau Jawa yang juga adalah guru Pendekar 212. Orang ke dua adalah Tua
Gila." "Apakah Sutan berminat terhadap Pedang Naga Suci 212 itu?" tanya Hantu Balak
Anam. "Rasanya tak ada satu orang pun dalam dunia persilatan yang tidak ingin memiliki
senjata mustika sakti. Termasuk aku dan juga kau tentunya! Namun urusanku di
sini banyak sekali. Kurasa sambil mengatur pertemuan para tokoh di kawasan ini
kau bisa. pergunakan kesempatan untuk menjajagi di mana beradanya Pedang Naga
Suci 212 Itu, lalu mem-bawanya kepadaku."
Hantu Balak Anam mengangguk. "Akari aku coba melakukan apa yang kau katakan."
Namun dalam hati dia berkata. "Kalau aku berhasil menemukan, pedang mustika
sakti itu tidak nanti aku serahkan padamu, keledai tua!"
Di luar goa hujan masih deras dan tiupan badai belum mereda. Sutan Alam Rajo Di
Langit batuk-batuk beberapa kali lalu berkata. "Dalam udara dingin begini rupa,
meneguk kopi panas tentu nikmat sekali. Tapi sayang minuman seperti itu tidak
dapat ku-sediakan untuk tamu agung sepertimu. Aku masih memiliki dua butir
kelapa hutan yang manis. Apa kau tidak berkeberatan kalau aku suguhi minuman
kelapa muda itu Hantu Balak Anam?"
"Hujan-hujan dan dingin-dingin seperti ini rasanya kurang cocok meneguk kelapa
muda. Tapi kalau tidak ada. minuman lain, apa lagi tenggorokanku memang terasa
kering, apa boleh buat!"
Sutan Alam Rajo Di Bumi tertawa mengekeh. Dia masuk ke bagian dalam goa. Tak
lama kemudian keluar lagi membawa dua buah kelapa muda. Sebuah kelapa
diletakkannya di atas batu berbentuk kursi. Yang sebuah lagi dipegangnya di
depan dada. Matanya yang jereng berputar liar. Sepuluh jari tangannya bergerak.
Hantu Balak Anam melihat bagaimana sepuluh jari tangan itu menusuk menembus buah
kelapa. Lalu "kraakk!" Sekali si orang tua menarik buah kelapa dalam
cengkeramannya terbelah dua. Dengan cepat Sutan Alam Rajo Di Bumi membalikkan
dua belahan buah kelapa hingga tak ada airnya yang Pedang Naga Suci 212
19 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
tertumpah. Buah kelapa yang telah terbelah ini kemudian diserahkan pada Hantu
Balak Anam. "Air kelapa hijau punya seribu khasiat untuk kesehatan tubuh. Silahkan
meneguknya!" kata Sutan Alam. Lalu dia mengambil buah kelapa satunya yang
diletakkan di atas kursi batu. Tapi karena agak terburu-buru, buah kelapa yang
telah dipegangnya itu meluncur jatuh lalu menggelinding ke mulut goa dan lenyap
di luar sana. "Ah nasibku sial. Tanda perut tua ini tak akan menikmati air dan daging kelapa
yang enak Ku. Bodohnya akui" Sutan Alam mengumpati diri sendiri. Sepasang
matanya yang jereng memandang ke mulut goa.
"Biar aku keluar mengambil kelapa Ku," kata Hantu Balak Anam pula seraya
meletakkan buah kelapa yang sudah terbelah di atas batu berbentuk kursi.
"Hujan masih derasi" mengingatkan Sutan Alam.
"Siapa takutkan hujan. Lagi pula tubuh dan jubah hitamku sudah basah kuyup...."
"Kalau kau memang mau mengambilkan kelapa yang menggelinding keluar goa Ku, aku
akan sangat berterima kasih."
Hantu Balak Anam segera keluar dari goa. Begitu si tinggi besar yang mukanya ada
dua belas lobang ini lenyap di mulut goa, Sutan Alam Rajo Di Bumi cepat
keluarkan satu lipatan kertas dari dalam jubah hijaunya. Lipatan kertas dibuka
lalu sejenis bubuk putih yang ada dalam kertas Ku dituangkannya ke dalam air
pada dua belahan buah kelapa.
Dengan cepat kertas berisi bubuk dilipat kembali dan disimpan di balik jubahnya.
"Ah...! Kau berhasil mendapatkan kelapa itu!" kata Sutan Alam ketika tak lama
kemudian Hantu Balak Anam muncul membawa buah kelapa hijau yang jatuh
menggelinding keluar goa. Begitu buah kelapa diserahkan padanya dengan cepat
Sutan Alam Rajo Di Bumi cengkeramkah sepuluh jarinya. Seperti tadi, mudah saja
dia membelah buah kelapa berkulit dan berbatok keras itu. Lalu seperti orang
kehausan tanpa tunggu lebih lama dia segera meneguk habis air kelapa di belahan
pertama. Sambil mengusap mulutnya Sutan Alam berpaling pada Hantu Balak Anam.
Sambil menyeringai dia menegur. "Apa lagi yang kau tunggu" Ayo lekas habiskan
air kelapa itu!"
Hantu Balak Anam balas menyeringai. Dia segera mengambil buah kelapa yang ada di
atas kursi batu dan tanpa tunggu lebih lama segera meneguk habis air yang ada di
belahan pertama, dilanjutkan dengan air kelapa di belahan kedua.
"Bagaimana rasanya"!" tanya Sutan Alam Rajo Di Bumi. Mata jerengnya kembali
berputar. "Manis dan sejuk!" jawab Hantu Balak Anam lalu meletakkan kelapa di atas kursi
batu. Sutan Alam tertawa mengekeh. "Kau tidak mengupas dagingnya yang putih lembut
itu?" Hantu Balak Anam menggeleng. "Airnya sudah cukup membuat hausku hilang dan
perutku kenyang!"
Kembali Sutan Alam tertawa panjang. Buah kelapa yang dipegangnya diietakkahnya
puia di atas batu. Sambil menggosok-gosok ke dua tangannya dia bertanya. "Apakah
masih ada hal-hal yang hendak kau bicarakan Hantu Balak Anam?"
Hantu Balak Anam berpikir sejenak lalu gelengkan kepala. "Semua sudah aku
utarakan," katanya.
Pedang Naga Suci 212
20 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Kalau begitu kau sudah bisa mengatur urusan di bagian tengah dan selatan pulau
Andalas. Aku membereskan bagian utara. Yang penting harap kau suka menyirap
kabar di mana adanya Tua Gila, sekaligus muridnya bernama Wiro Sableng itu. Lalu
mehcari tahu di mana tersembunyinya Pedang Naga Suci 212."
"Akan aku lakukan Sutan!" kata Hantu Balak Anam Dari Sijunjung.
"Ada satu hal lagi yang ingin kau selidiki. Di pulau Andalas beberapa waktu lalu
muncul seorang tokoh silat baru, tidak bernama tidak bergelar. Tapi memiliki
kepandaian luar biasa. Dia seorang perempuan yang selalu mengenakan pakaian
kuning. Wajahnya ditutup dengan sehelai cadar kuning. Sulit diduga berapa
usianya apa lagi menduga siapa dia adanya. Orang ini perlu diselidiki karena
tindak tanduknya sangat mencurigakan. Bukan mustahil dia yang jadi racun semua
pembunuhan atas diri para tokoh golongan putih."
"Apa yang kau katakan ini memang pernah kudengar," ujar Hantu Balak Anam.
"Kalau ada kesempatan tak ada Salahnya aku menyelidiki."
"Bukan kalau ada kesempatan Sobatku! Tapi harus ada kesempatan untuk
menyelidikinya. Kalau tidak rimba persilatan di pulau Andalas dan tanah Jawa tak
bakal tenteram...."
Hantu Balak Anam Dari Sijunjung tertawa lebar. Dalam hati dia berkata. "Kau
boleh menyuruh memerintah. Aku akan lakukan apa yang aku suka! Aku tidak berada
di bawah perintahmu. Aku bukan orang suruhan atau anak buahmu!"
Lembah Nirmala 12 Pendekar Slebor 04 Geger Ratu Racun Raja Silat 27