Pencarian

Pedang Naga Suci 2

Wiro Sableng 094 Pedang Naga Suci 212 Bagian 2


Sutan Alam Rajo Di Bumi menatap ke arah mulut goa. Lalu duduk bersila di atas
lantai goa, pejamkan sepasang matanya yang jereng letakkan dua tangan di atas
lutut. Seolah Hantu Balak Anam tidak ada lagi di situ orang tua ini mulai bersamadi.
"Tua bangka sialan! Sebetulnya aku tidak suka padamu! Kalau tidak ingin
menyelamatkan dunia persilatan di pulau ini tak akan aku datang ke sini!" Hantu
Balak Anam memaki dalam hati diperlakukan seperti itu. Dengan cepat dia
membalikkan badan lalu tinggalkan goa.
Hanya sesaat setelah Hantu Balak Anam Dari Sijunjung meninggalkan tempat itu,
Sutan Alam Rajo Di Bumi buka ke dua matanya yang jereng. Di mulutnya terkulum
seringai buruk lalu sambil melompat bangkit dari mulutnya keluar suara tawa
bergelak. Dia melangkah ke mulut goa. Bayangan Hantu Balak Anam tak kelihatan
lagi. Orang tua berjubah hijau ini palingkan kepala ke belakang lalu berkata
dengan suara lantang.
"Sutan Alam Rajo Di Bumi! Aku sudah jalankan tugas sesuai perintahmu!"
Belum lenyap suara gema ucapan si kakek tiba-tiba di sebelah dalam terdengar
suara berke-reketan. Salah satu dinding goa tampak bergeser. Lalu dari balik
dinding yang terbuka secara aneh itu muncul sesosok tubuh tinggi besar
mengenakan destar serta jubah putih menjela lantai batu.
* * * Pedang Naga Suci 212
21 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ ENAM antu Balak Anam berlari kencang menuruni lereng Singgalang di bawah hujan yang
masih mencurah lebat. Di satu tempat orang ini hentikan larinya dan tegak H
bersandar ke sebatang pohon besar.
"Aneh.... Mengapa tubuhku mendadak terasa letih, padahal aku berlari belum
berapa jauh. Dadaku sesak, jantung berdebar keras. Peredaran darah dalam tubuhku
sepertinya tidak beres. Aku...." Hantu Balak Anam terbatuk-batuk beberapa kali.
Dia merasa ngeri sendiri mendengar suara batuknya. "Apa yang terjadi dengan
diriku?" Diusapnya wajahnya. Dirabanya lehernya. Terasa panas. Lalu dia batuk-
batuk lagi. Kemudian dirasakannya ada hawa panas seolah membakar perut dan
dadanya. Kepalanya berat seperti mau pecah. Ke dua telapak tangannya
dibentangkan. Terkejutlah Hantu Balak Anam ketika melihat bagaimana telapak
tangannya kiri kanan telah berubah warna menjadi kebiruan.
"Aku termakan racun..." desis Hantu Balak Anam. Lalu mulutnya dibuka lebar tak
kuat menahan batuk. Namun sekali ini dia batuk lagi, ada darah ikut menyembur
keluar dari mulutnya. "Jahanam! Ada orang meracuniku! Pasti orang tua di puncak
Singgalang Ku! Sutan Alam keparat! Berani kau berlaku culas dan keji! Aku bersumpah
membunuhmu!"
Dengan dua jari tangan kanannya Hantu Balak Anam menotok tubuhnya di arah
lambung, pusar, dada dan pangkal leher. Lalu dia mengeluarkan beberapa butir
obat berbentuk bulat yang segera ditelannya. Ketika kepalanya terasa lebih
enteng dan debaran jantungnya mengendur dengan cepat dia tinggalkan tempat itu,
naik kembali menuju puncak Gunung Singgalang.
"Sutan Alam keparatl Serahkan nyawamu padaku!" teriak Hantu Balak Anam begitu
dia sampai di depan goa. Kaki kanannya ditendangkan. Pinggiran batu mulut goa
hancur berentakan. Hantu Balak Anam lalu berkelebat masuk ke dalam.
Langkah Hantu Balak Anam tertahan ketika dia melihat di hadapannya berdiri sosok
tubuh tinggi besar seorang tua berjubah dan berdestar putih. Dia tidak kenal
orang ini dan dia tidak perduli. Langsung saja Hantu Balak Anam membentak.
"Mana dia"!" Sepasang matanya memandang berputar. Rambutnya yang seperti ijuk
dan basah kuyup seperti mau berjingkrak dan alisnya yang aneh panjang mencuat
pada ke dua ujungnya.
Orang tua di hadapan Hantu Balak Anam memperhatikan Hantu Balak Anam dengan
tenang lalu menegur.
"Kau memasuki goaku tanpa memberi salam. Begitu masuk langsung membentak.
Siapa yang kau cari dan siapa dirimu sendiri"!"
Hantu Balak Anam menindih rasa amarahnya sementara dadanya kembali mendenyut
sakit. Sepasang bola matanya memandang sekeliling goa.
"Kau seperti mencari sesuatu. Apa ada binatang peliharaanmu yang tengah kau
kejar dan kesasar ke tempatku ini"!"
Hantu Balak Anam tak dapat lagi menahan amarahnya. "Binatang itu bernama Sutan
Alam Rajo Oi Bumii Tua bangka berjubah hijau yang telah meracun diriku dengan
air kelapa!" Hantu Balak Anam memandang ke arah batu berbentuk kursi. Tadi
sebelum pergi di atas batu Ku terletak dua buah kelapa dalam keadaan terbelah.
Tapi saat Hu benda Ku tak tampak lagi.
Pedang Naga Suci 212
22 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Aneh sekali ucapanmu sampai di telingaku! Aku adalah Sutan Alam Rajo Oi Bumi!
Aku tidak mengenali dirimu, apakah kau mengenali diriku"!" Orang berjubah putih
ajukan pertanyaan.
"Jahanam! Apa artinya semua ini!! Belum lama aku meninggalkan tempat ini! Di
sini aku menemui seorang kakek berjubah hijau mengaku bernama Sutan Alam Rajo Di
Bumi! Kami bicara panjang lebar mengenai dunia persilatan. Dia menjamuku dengan air
kelapa yang diberi racun! Sekarang dia tidak ada lagi di sini. Dan kau mengaku
Sutan Rajo Di Bumi! Sandiwara apa yang ada di dalam goa celaka ini"!"
"Sobat, agaknya hawa amarah mempengaruhi dirimu. Harap kau suka bersikap tenang
dan terangkan apa yang terjadi. Kalau kau memang mencari Sutan Alam Rajo Di Bumi
maka akulah orangnya!"
"Lalu siapa tua bangka berjubah dan berdestar hijau yang mengaku bernama Sutan
Alam Rajo Di Bumi yang kutemui di tempat ini"!"
"Sobatku, selama puluhan tahun aku tinggal seorang diri di tempat ini. Jika kau
tidak percaya silahkan kau memeriksa keadaan goa ini...."
"Aku memang tidak percaya!" tukas Hantu Balak Anam. Matanya memandang liar kian
kemari lalu kembali pada orang tua di hadapannya. "Dengar, jika kau tidak
menjelaskan dan berusaha menyembunyikan sesuatu aku akan membunuhmu saat ini
juga!" "Malaikat maut datangnya memang tidak terduga," kata orang tua tinggi besar yang
mengaku bernama Sutan Alam Rajo Di Bumi sambil sungging ka n seringai mengejek.
"Tapi jika kau muncul dan berkata hendak membunuhku, ini adalah satu keanehan
yang sangat mahal harganya!"
"Aku yakin ada hal yang tidak beres di tempat ini! Seseorang mengaku bernama
Sutan Alam Rajo Di Bumi telah meracuniku! Kini kau sendiri juga mengaku bernama
Sutan Alam Di Bumi! Dari pada susah-susah mengusut perkara biar kau yang aku
bunuh lebih dulu!"
Habis berkata begitu Hantu Balak Anam menyergap orang berjubah putih dengan satu
pukulan keras ke arah kepala. Yang diserang tentu saja tidak tinggal diam.
Sambil membuat gerakan mengelak dia angkat tangan kirinya menepis hantaman
lawan. "Bukkk!"
Dua lengan yang sama-sama terlindung di balik jubah saling beradu keras. Ke dua
orang itu sama-sama keluarkan seruan tertahan. Kakek berjubah putih, terpental
sampai dua langkah sedang Hantu Salak Anam mencelat dan tersandar ke dinding
goa! Dari akibat bentrokan itu Hantu Balak Anam segera maklum kalau lawan memiliki
kekuatan lebih tinggi dari dirinya. Mungkin ini akibat pengaruh luka dalam racun
yang menciderai dirinya.
"Kalau kuserang lagi dan terjadi bentrokan luka dalamku bisa tambah parah!"
membatin Hantu Balak Anam. "Lebih baik kuhantam dengan ilmu andalanku!" Walau
agak susah payah namun Hantu Balak Anam masih sanggup menghimpun hampir tiga
perempat tenaga dalamnya yang segera dialirkan ke kepala.
Di sebelah depan orang tua berjubah putih melihat kulit muka Hantu Balak Anam
semakin menghitam dan kepalanya seolah bertambah sampai empat kali lebih besar.
Dua belas lobang yang ada di wajahnya tampak mengeluarkan cahaya aneh
berkilauan. Tiba-tiba dari lobang-lobang itu melesat dua belas larikan sinar
hitam panas luar biasa, menderu ke arah dua belas bagian tubuh si jubah putih!
Pedang Naga Suci 212
23 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Dua belas jalur kematian!" teriak si jubah putih penuh kaget begitu mengenali
ilmu kesaktian apa yang tengah menyerangnya!
Serta merta orang tua ini lesatkan tubuh ke atas hingga punggungnya menempel
rata di langit-langit goa. Dari mulutnya keluar bentakan garang. Sepasang
matanya mendadak menjadi merah. Lalu tiba-tiba sekali dari dua bola matanya
mencuat keluar dua larik sinar merah dan laksana kilat menghantam ke arah Hantu
Balak Anam! Kejut Hantu Balak Anam bukan olah-olah ketika dia mengenali ilmu kesaktian lawan
yang dipergunakan untuk menyerangnya. "Sepasang Api Neraka! Astaga jadi kau
benar Sutan Alam Rajo Di Bumi! Tahan!" seru Hantu Balak Anam seraya menyingkir
dengan muka pucat.
Namun terlambat.
Salah satu dari dua sinar merah itu menghantam tubuhnya di bagian bawah bahu
sebelah kanan. "Craaasss!"
Hantu Balak Anam menjerit keras. Bukan oleh rasa sakit akibat hantaman serangan
lawan saja tapi juga oleh rasa ngeri ketika melihat bagaimana dada kanannya kini
telah geroak membentuk sebuah satu lobang besar mengerikan! Jubah hitamnya di
sekeliling lobang mengerikan itu tampak hangus dikobari api.
Terhuyung-huyung Hantu Balak Anam bersurut ke pintu goa. Darah mengucur dari
bofongan luka di dada kanannya. Hantu Balak Anam menyadari dalam keadaan seperti
itu terlalu berbahaya baginya untuk meneruskan perkelahian. Sambil kertakkan
rahang menahan sakit dia berkata. "Orang tua berjubah putih! Siapapun kau adanya
jangan mengira urusan sudah selesai sampai di sini. Aku akan datang lagi mencari
dan mengorek nyawa busukmu!"
Orang tua berjubah putih yang saat itu masih menempel di atas langit-langit goa
keluarkan tawa mengekeh.
"Hantu Balak Anam. tubuh kasarmu boleh pergi dari sini! Tapi tinggalkan dulu
nyawamu!" Habis berkata begitu dua bola mata orang tua ini kembali berubah
menjadi merah. Lalu dua larik sinar sakti Sepasang Api Neraka kembali mencuat
menghantam ke arah Hantu Balak Anam Dari Sijunjung. Namun orang yang diserang
sudah lebih dulu berkelebat pergi. Dua larik sinar merah menghantam lantai dan
dinding goa. Goa batu itu menggelegar keras. Pecahan batu dan debu bertaburan di
udara. "Kurang ajar! Dia melarikan diri!" merutuk si jubah putih. Lalu perlahan-lahan
dia melayang turun dari langit-langit goa. Begitu ke dua kakinya menjejak lantai
batu kagetlah dia ketika melihat ada tiga buah lobang hitam di jubah putihnya.
Ternyata tiga dari dua belas jalur serangan maut Hantu Balak Anam sempat
menghantam tubuhnya. Yang pertama pada bagian jubah sebelah bawah yang hanya
menghanguskan ke dua pada bagian lengan tangan sebelah kanan yang juga tidak
membawa Cidera. Namun hantaman yang ketiga sempat menyerempet pinggulnya. Orang
tua ini cepat robek jubahnya di bagian pinggul dan parasnya berubah ketika
melihat bagaimana daging pinggulnya sebelah kanan luka besar dan membengkak
berwarna merah kebiruan. Cepat dia membuat tiga totokan di sekitar luka. Lalu
dengan terpineang-pincang dia masuk ke bagian dalam goa. Dari sebuah legukan
batu diambilnya satu kendi kecil terbuat dari perak. Sejenis cairan yang ada
dalam kendi perak ini lalu diguyurkannya pada luka besar di pinggul. "Wusss!"
Pedang Naga Suci 212
24 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Cairan itu seperti menyiram satu benda panas hingga mengeluarkan suara berdengus
dan mengepulkan asap. Si orang tua sampai keluarkan keringat dingin menahan
sakit. Kendi perak yang telah kosong terlepas jatuh dari tangannya. Tubuhnya
disandarkannya ke dinding goa. Ketika dia memandang ke dinding goa di sebelah
depannya tampangnya berubah garang. Dari mulutnya keluar teriakan keras,
"Datuk Mangkuto Kamangl Lekas keluar dari balik dinding!"
Belum lagi lenyap gema suara orang tua berjubah putih, dari arah depan terdengar
suara berdesir disusul suara berkereketan. Dinding batu di hadapan orang tua ftu
secara aneh bergeser ke kiri membentuk sebuah pintu di sudut kanan. Dari pintu
ini keluarlah orang tua berjubah dan berdestar hijau. Mukanya yang cekung tampak
agak pucat. Dia melangkah ke hadapan si jubah putih sementara dinding batu di
belakangnya kembali bergeser menutup.
"Datuk Mangkuto, kau sadar bahwa kau telah melakukan satu kesalahan besar"!"
"Saya menyadari Sutan Alam Rajo Di Bumi," jawab si jubah hijau pada orang tua
berjubah putih yang sebelumnya menyamar menjadi Sutan Alam Rajo Di Bumi. Sedang
orang tua berjubah putih sendiri adalah Sutan Alam Rajo Di Bumi yang asli.
"Berapa bagian racun dalam bungkusan kertas yang kau berikan pada Hantu Balak
Anam Dari Sijunjung" Yang membuatnya tidak segera menemui kematian, malah
sanggup kembali ke sini dan hendak membunuhku!"
"Saya hanya memberikan setengah dari isi bungkusan, Sutan...."
"Itu kesalahan besarmu! Kau tahu Hantu Balak Anam bukan orang sembarangan.
Setengah bungkus racun tidak akan membuatnya menemui ke-matian! Bukankah aku
memerintahkan padamu agar mempergunakan seluruh racun yang ada"!"
"Saya mengaku salah Sutan. Tapi mengingat racun kala putih itu sulit dicari,
mahal harganya dan lagi pula masih ada dua korban lain yang harus dibunuh dengan
racun itu, maka saya hanya menaruhkan setengah...."
"Plaakkk!"
Satu tamparan mendarat di pipi Datuk Mangkuto Kamang, Kepalanya laksana
dipuntir. Bibirnya pecah dan mengucurkan darah. Destar hijau yang kebesaran di
kepalanya tercampak ke lantai goa.
"Sutan, saya sudah mengaku salah. Mengapa kau masih menjatuhkan tangan keras"!"
"Kau berani meradang!" Kau ingin satu tamparan lagi di muka burukmu Mangkuto"!"
bentak Sutan Alam Rajo Di Langit.
"Sutan, saya tidak dapat menerima perlakuan ini! Mulai saat ini saya keluar sebagai anggota komplotan kejimu!"
Mendengar kata-kata Datuk Mangkuto Kamang itu tampang gagah Sutan Alam Rajo Di
Bumi menjadi berubah merah. Lalu dia tertawa bergelak.
"Jika itu maumu kau boleh pergi Mangkuto. Selamat jalan!" kata Sutan Alam Rajo
Di Bumi pula seperti tak acuh.
Tanpa menunggu lebih lama Datuk Mangkuto Kamang segera melangkah ke pintu.
Namun sebelum dia sempat keluar dari dalam goa, di sebelah belakang sepasang
bola mata Sutan Alam Rajo Di Bumi berubah menjadi merah. Lalu "wuss.... Wusss!"
Dua larik sinar merah ilmu sakti Sepasang Api Neraka melesat. Datuk Mangkuto
masih sempat berpaling dan berusaha selamatkan diri ketika melihat ada dua larik
Cahaya merah menyambar ke arahnya. Namun terlambat. Dua larik sinar merah
menghantam tubuhnya, membuat dia Pedang Naga Suci 212
25 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
mencelat dan terhempas jatuh dua langkah di depan mulut goa. Sebuah lobang
mengerikan yang mengepulkan asap terlihat di batok kepalanya. Satu lobang lagi
membentang di punggungnya!
* * * Pedang Naga Suci 212
26 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ TUJUH ertemuan dengan Anggini membuat Wiro merasa gembira. Bukan saja dia mendapat
kawan seiring seperjalanan sambil mengobrol, tapi dia juga merasa mendapat P
pelindung jika terjadi apa-apa dengan dirinya dalam keadaan seperti itu. Sikap
dan cara bicara Anggini jauh berbeda dari masa lalu. Tampaknya gadis ini telah
matang oleh pengalaman. Selama perjalanan dia sama sekali tidak menyinggung
masalah atau rencana gurunya yang hendak menjodohkan dirinya dengan murid Sinto
Gendeng itu. v

Wiro Sableng 094 Pedang Naga Suci 212 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Walau menurutmu guruku meninggalkan Pengandaran bersama kekasihnya di masa
muda, namun sebagai murid aku tetap merasa was-was. Apa lagi mengingat
belakangan ini dikabarkan terjadi saling bunuh antara para tokoh silat sesama
golongan putih. Semua kejadian itu dikaitkan pula dengan munculnya komplotan
orang-orang aneh yang bermarkas di Lembah Akhirat..."
"Aku juga bertanya-tanya siapa adanya manusia yang disebut dengan panggilan
Datuk Lembah Akhirat itu. Kalau saja Pangeran Matahari masih hidup niscaya aku
menduga sang Datuk adalah si Pangeran keparat itu! Agaknya rimba persilatan
tidak pernah lepas dari manusia-manusia jahat berwatak aneh," kata Wiro sambil
melirik pada gadis berpakaian serba ungu di sampingnya itu.
Saat yang sama Anggini mengerling pula pada si pemuda hingga pandangan mereka
saling bertemu. Paras sang dara tampak bersemu merah sementara murid Sinto
Gendeng tersenyum sambil garuk-garuk kepala.
"Anggini, apakah kau berniat hendak menyelidik ke Lembah Akhirat?" Wiro ajukan
pertanyaan-Lalu pemuda ini menguap lebar-lebar.
"Rencana memang ada. Tapi aku harus tahu dulu di mana guruku Dewa Tuak berada.
Sekaligus memastikan bahwa dia tidak tersangkut dengan orang-orang Lembah
Akhirat...."
Saat itu hari memasuki petang. Mereka sampai di satu pedataran aneh. Di ujung
timur pedataran terdapat legukan menyerupai lembah batu cadas dikelilingi pohon-
pohon besar. Di bawah pepohonan bertumbuhan bunga-bunga hutan yang sedang
berkembang membentuk satu. pemandangan yang indah. Di salah satu sisi bebatuan
cadas tampak air mengucur jernih.
"Indah sekali pemandangan di bawah sana. Ada bunga, ada air. Pasti sejuk. Aku
ingin membasahi tenggorokan dan membersihkan diri. Aku ingin ke bawah sana..."
kata Anggini. Wiro memandang ke langit. "Jangan lama-lama, sebentar lagi matahari akan
tenggelam. Kau pergilah ke bawah sana. Aku menunggu di sini saja...."
"Apakah tidak terlalu jauh kau menunggu di sini?"
"Kurasa tidak. Kalau terlalu dekat nanti kau salah tingkah seandainya mau
membersihkan diri buka baju segala...."
"Ah, penyakit lamamu usil mulut rupanya belum hilang!" kata Anggini. Lalu gadis
ini cepat tinggalkan tempat itu.
Wiro duduk bersandar di bawah sebatang pohon. Beberapa kali dia menguap. Belum
lagi Anggini sampai di lembah batu cadas murid Sinto Gendeng ini sudah
mendengkur! Di lembah Anggini membasahi wajah, kaki dan tangannya dengan air sejuk yang
mengucur jatuh di antara batu-batu cadas. Setelah meneguk air jernih itu
sepuasnya dia Pedang Naga Suci 212
27 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
duduk berjuntai di atas sebuah batu. Ke dua kaki celananya digulung ke atas lalu
seperti anak kecil sambil bernyanyi-nyanyi kecil murid Dewa Tuak ini permainkan
air dengan ke dua kakinya. Sementara kakinya mempermainkan air Anggini basahi
tangannya lalu diusapkan ke balik dada pakaiannya. Saat itulah dia menyadari
kalau dia1 tidak sendirian di tempat itu. Ada seorang lain tak jauh dari situ.
Orang ini mendekam di atas salah satu pohon besar yang mengelilingi lembah
cadas. Mula-mula si gadis menyangka orang itu adalah Pendekar 212. Namun ketika
diliriknya dengan sudut mata ternyata bukan.
"Pengintip lancang di atas pohon! Lekas turun kalau tidak mau mati!" Anggini
berteriak. Orang di atas pohon tak menjawab. Bergerak pun tidak.
"Bagus! Jadi kau memilih mati dari pada turun!" Tangan kanan si gadis bergerak
ke pinggang. Lalu "wuttt!" Terdengar suara menderu. Tiga buah benda berupa paku
perak melesat di udara. Menyambar ke arah pohon besar di mana orang yang
mengintip berada.
Anggini menunggu suara orang itu terpekik ditembus paku perak yang menjadi
senjata rahasia andalannya. Tapi itu tak terjadi. Ketika dia memandang ke arah
pohon, orang yang tadi mendekam di salah satu cabang tak kelihatan lagi. Dua
dari tiga paku perak yang dilemparkan Anggini menancap di batang dah cabang yang
melintang. "Aneh, tak terdengar suara gerakan. Pohon sama sekali tidak bergoyang! Gerakan
orang itu cepat sekali. Jangan-jangan bukan manusia tapi monyet atau orang
hutan. Lalu ke mana kaburnya makhluk sialan itu"!" pikir Anggini. Pandangannya
diputar berkeliling ke arah pohon-pohon besar sekitar lembah batu cadas.
Tiba-tiba dia mendengar suara bergemerisik di pohon sebelah kanan. Ketika
diperhatikan suara gemerisik itu berpindah pada pohon berikutnya. Lalu pindah
lagi ke pohon terdekat.
"Wuttt!"
Ada sambaran angin di belakangnya. Begitu Anggini berpaling tahu-tahu di
hadapannya telah tegak seorang pemuda berwajah keren, berpakaian bagus berwarna
hijau. Di pinggangnya tergantung sebilah pedang sedang di telinga kanannya ada sebuah
anting terbuat dari emas.
"Kau yang barusan mengintip orang mandi"!" bentak Anggini marah sekali.
"Jangan salah paham. Aku tidak mengintip..." si pemuda agak tergagau dibentak
begitu rupa. "Lalu mengapa berada di atas pohon"!"
"Dengar, sebelum kau datang ke tempat ini aku sudah lebih dulu berada di pohon
itu..." "Berarti pekerjaanmu memang sengaja menunggu orang datang lalu mengintainya
waktu mandi...."
Si pemuda tertawa lebar. "Namaku Panji, siapa namamu...."
"Pemuda kurang ajari Siapa tanyakan namamu"!" sentak Anggini.
"Ah, aku merasa tidak melakukan sesuatu yang kurang ajar. Malah kau yang sejak
tadi membentak-bentakku!"
"Kesabaranku ada batasnya. Lekas tinggalkan tempat ini!"
"Tidak bisa! Aku mau mandi di sini!" jawab pemuda berbaju hijau yang adalah
putera Raja Pulau Sipatoka yang juga dikenal dengan nama Datuk Pangeran Rajo
Mudo. Pedang Naga Suci 212
28 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Kau saja yang pergi!" Lalu enak saja pemuda itu membuka baju hijaunya hingga
tampak dadanya yang bidang penuh otot dan ditumbuhi bulu lebat.
Anggini terbeliak, wajahnya merah sekali dan ke dua kakinya menyurut ke
belakang. "Kau memang pemuda kurang ajar! Biar aku beri sedikit pelajaran bersopan
santun!" Lalu hampir tak kelihatan tangan kanan gadis itu bergerak menampar ke arah pipi
kiri si pemuda.
"Rontok gigimu!" kata Anggini. Tapi "wutttt!" Tamparan yang dipastikannya akan
mendarat keras di muka si pemuda ternyata hanya mengenai angin. Malah saking
kerasnya dia membuat gerakan menampar tubuhnya terputar setengah lingkaran. Kaki
kanannya terpeleset dari atas batu yang dipijaknya. Belum sempat dia mengimbangi
diri tahu-tahu tubuhnya telah jatuh dan masuk ke dalam air setinggi dada!.
Pemuda berbaju hijau tampak terkejut sekali.
Dia ulurkan tangan berusaha hendak menolong Tapi Anggini justru mencekal
lengannya lalu membetotnya kuat-kuat. Tak ampun lagi pemuda itu ikut jatuh masuk
ke dalam air. Si pemuda ternyata tak mau dilemparkan orang ke dalam air begitu
saja. Ketika tubuhnya melayang di atas kepala Anggini, tangannya yang dicekal
membuat gerakan berputar hingga kini dia juga mencekal lengan si gadis.
Akibatnya ke dua orang itu sama-sama jatuh ke dalam air saling tindih tubuh dan
muka satu sama lain. Si pemuda di sebelah bawah, Anggini menindih di sebelah
atasi Selagi Anggini memaki panjang pendek dan pemuda bernama Panji batuk-batuk karena
tertelan air, di tepi lembah batu cadas terdengar orang tertawa gelak-gelak.
"Kalian berdua sedang mandi bersama atau bergurau atau lagi apa"!"
Tanpa menoleh Anggini sudah tahu kalau yang tertawa itu adalah Wiro Sableng.
Kemarahannya yang meluap ditumpahkannya pada Panji. Sambil melompat keluar dari
air kaki kanannya menendang ke arah dada si pemuda!
"Tahan! Kenapa kau menyerangku!" teriak Panji seraya cepat-cepat menghindar dari
tendangan si gadis.
Lagi-lagi serangan Anggini hanya mengenai tempat kosong, membuat murid Dewa Tuak
ini jadi tambah beringas. Padahal saat itu pakaiannya basah kuyup hingga bentuk
tubuhnya seolah tercetak di bawah pakaian yang basah itu!
Mula-mula Panji memang tidak mau melawan. Dia membuat gerakan-gerakan kilat
untuk menghindar atau berkelit. Namun serangan si gadis datang bertubi-tubi. Di
satu saat ketika dia terdesak ke arah barisan batu-batu cadas setinggi punggung,
Anggini gerakkan tangan kanannya ke arah dada si pemuda. Dua jari menusuk dengan
deras ke arah jantung.
Ini adalah totokan maut yang walau bisa dikelit Panji akan tetap mencelakainya.
"Totokan Seribu Lumpuh Seribu Ajal!" seru Wiro kaget ketika melihat jurus maut
yang dilancarkan murid Dewa Tuak itu. Tanpa sadar akan keadaan dirinya sendiri
Pendekar 212 Wiro Sableng segera melompat terjun ke dalam air. Dua tangannya
memegangi lengan Anggini dan dia sengaja bergantungan di tangan si gadis hingga
Anggini tak dapat meneruskan totokan mautnya.
"Apa-apaan kau ini"!" bentak Anggini. "Jangan bergelayutan seperti monyet di
tanganku!"
"Sabar Anggini, jangan perturutkan amarahmu! Ayo naik ke atas sana!"
Saking kesalnya Anggini hantamkan tangannya ke bawah. Akibatnya Wiro seperti
dihenyakkan dan kecebur masuk ke dalam air. Megap-megap dia keluar. Sambil
geleng-Pedang Naga Suci 212
29 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
geleng kepala dia, menarik ujung baju ungu si gadis. Anggini tak dapat berbuat
lain dari pada mengikuti. Kalau dia melawan, pakaiannya yang tertarik bisa robek
di bagian dada sampai ke perut!
"Nah duduk bagus-bagus di situ. Katakan apa yang terjadi!" ujar Wiro sambil
menyuruh duduk Anggini di atas sebuah batu tapi sang dara tetap saja berdiri dan
menatap Wiro dengan mata berkilat-kilat.
"Kurasa otakmu kejangkitan penyakit lama! Kau membantu orang yang sengaja
mengintip aku mandi!" kata Anggini setengah berteriak.
"Dia salah sangka! Aku tidak berbuat serendah itu. Aku tidak mengintip...!"
Panji membela diri. Dia merancah air lalu naik ke atas batu-batu cadas tapi
sengaja menjaga jarak dengan Anggini karena khawatir gadis itu akan menyerangnya
kembali. "Sobatku beranting emas," menegur Wiro Sableng. "Apa benar kau mengintipnya
ketika sedang mandi?"
Panji menggeleng berkali-kali. "Istrimu itu salah sangka...."
"Pemuda lancang! Enak saja kau bicara! Siapa bilang aku istrinya!" hardik
Anggini marah. Wiro tertawa lebar dan garuk-garuk kepala sementara Panji unjukkan wajah
bingung. "Harap maafkan, aku tidak tahu kalau.?. Sudahlah! Yang jelas dia salah sangka.
Aku sudah lama berada di atas pohon sana ketika dia datang ke lembah batu ini.
Lagipula dia tidak sedang mandi. Hanya mencuci muka dan duduk-duduk di atas
batu. Kalau dia mandi mana mungkin saat ini dia masih berpakaian seperti
itu.,.." "Anggini, kau dengar ucapan pemuda ini. Dia tidak mengintipmu...."
Anggini palingkan wajah ke jurusan lain dan tampak merengut. "Mungkin saja dia
tidak mengintip, tapi mengapa tadi dia hendak membuka baju, hendak bertelanjang
di depanku"!"
Wiro jadi melengak. "Saudara, apa ucapan gadis sahabatku ini benar?" tanya Wiro.
"Benar, tapi tidak bermaksud bertelanjang. Aku hanya berniat membuka baju lalu
mandi. Mana mungkin aku berani melakukan hal segila itu! Sudahlah, kalau temanmu
itu merasa aku memang bersalah, aku minta maaf saja. Tapi aku tetap tidak mau
dituduh mengintip perempuan mandi!"
Wiro angkat tangannya lalu berkata. "Kalau aku boleh bertanya, lalu apa yang kau
lakukan di atas pohon"!"
"Aku dibesarkan di sekitar laut dan rimba belantara. Menyelam dan memanjat pohon
adalah kesukaanku...."
"Berartikalau kau bukannya keturunan ikan buas pasti keturunan orang hutan!"
sergah Anggini.
Mendengar ucapan si gadis, Panji tidak marah malah tertawa lebar. "Sahabatku
memang monyet dan ikan! Kami sering berpacu cepat memanjat pohon dan menyelam ke
dasar laut!"
"Sahabat beranting emas, kau belum mengatakan apa tujuanmu berada di atas pohon
itu," Wiro mengingatkan.
"Terus terang aku mencari dua sahabat. Karena hari sudah petang aku memilih
duduk di atas pohon sambil memperhatikan keadaan sekitar sini," jawab Panji.
"Sahabat yang kau tunggu itu lelaki atau perempuan?" tanya Wiro.
"Satu perempuan satu lagi lelaki."
Pedang Naga Suci 212
30 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Apa mereka punya nama?" tanya Wiro sambil senyum-senyum dan melirik pada
Anggini. "Yang satu memang seorang gadis...."
"Jelas bukan sahabatku ini, bukan?"
"Memang bukan, tapi sahabatmu ini lebih cantik dari sahabatku itu!" jawab Panji
polos membuat Anggini kembali merengut.
"Siapa nama sahabatmu itu?" tanya Wiro lagi.
Tak bisa kukatakan padamu," jawab Panji. Yang dimaksudkan pemuda ini seperti
dituturkan dalam Episode sebelumnya jelas adalah Puti Andini yang ditolongnya
dari serbuan anjing hutan ketika tergeletak di tengah jalan dalam keadaan
pingsan akibat ilmu yang diberikan nenek sakti Sika Sure Jelantik.
"Hemmm.... Lalu sahabatmu yang satu lagi siapa dia?"
"Seorang kakek aneh tapi sakti, Namanya Wiro Sableng!"
Murid Sinto Gendeng seperti hendak terlompat mendengar ucapan Panji, Anggini
sendiri palingkan kepala dan memandang terheran-heran pada pemuda beranting emas
itu. "Kau yakin sahabatmu itu seorang kakek bernama Wiro Sableng?"
"Eh, kenapa kau bertanya seolah tak percaya. Memang aku cuma bertemu satu kali
dengan dia. Tapi pertemuan itu membawa satu riwayat yang panjang...."
"Mengapa kau mencarinya?" tanya Wiro pula.
"Dia seorang sahabat baik walau usianya beberapa kali usiaku. Aku mencari karena
dia satu-satunya sahabat baikku di tanah Jawa ini. Waktu berada di pulau dia
telah menyelamatkan ayah dan ibuku dari racun jahat mematikan."
"Sahabat, coba kau jelaskan ciri-ciri kakek bernama Wiro Sableng itu," ujar
Wiro. "Orangnya agak bungkuk, tidak terlalu tinggi. Rambut panjang putih, kumis dan
janggutnya juga putih. Dia mengenakan pakaian putih. Matanya lebar sekali dan
mukanya sangat cekung seolah tak berdaging...."
"Tua Gila! Pasti dia!" kata Wiro dalam hati. Dia berpaling pada Anggini, memberi
isyarat bahwa dia akan memberi tahu bahwa sebenarnya dialah orangnya yang
bernama Wiro Sablengi, Tapi Anggini menggelengkan kepala.
"Sahabatku, kalau kau memang hendak mencari sahabatmu itu lebih baik melanjutkan
perjalanan dari pada mendekam di atas pohon...."
Sebenarnya Panji ingin menanyakan siapa adanya Wiro dan teman gadisnya yang
berpakaian serba ungu itu. Tapi akhirnya dia memutuskan lebih baik mengikuti
nasihat si pemuda yaitu melanjutkan perjalanan.
"Kalau kita berpisah kuharap tak ada lagi salah sangka di antara kita," kata
Panji. Pemuda ini lalu menjura pada Wiro dan Anggini. Ketika dia hendak bergerak pergi
tiba-tiba udara di sekitar lembah batu cadas itu dipenuhi oleh suitan-suitan
nyaring. Sesaat kemudian beberapa bayangan berkelebat dan tahu-tahu empat orang
telah tegak di atas batu-batu cadas di empat jurusan.
* * * Pedang Naga Suci 212
31 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__

Wiro Sableng 094 Pedang Naga Suci 212 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

DELAPAN rang pertama adalah kakek berwajah lancip mengenakan jubah hitam berbelang
putih. Yang membuat wajahnya jadi seram adalah sepasang matanya yang merah
Osangat besar dan mencuat keluar seolah mau copot. Dia tegak menghadap ke arah
lembah batu di mana Panji, Wiro dan Anggini berada, namun kepalanya terus-
terusan mendongak ke langit seolah memandang sesuatu di atas sana.
Memperhatikan kakek yang tidak dikenalnya ini Wiro berkata dalam hati. "Tua
bangka aneh ini mendongak terus-terusan. Mungkin takut mukanya diluruskan
sepasang matanya yang seperti ikan maskoki bisa jatuh menggelinding ke tanah!"
Orang ke dua duduk berjongkok di atas batu cadas paling tinggi. Wajahnya tidak
kelihatan karena seperti sengaja disembunyikan di balik ke dua pahanya. Dua
tangan berada di samping dengan telapak dikembangkan menekan batu yang
didudukinya. Orang ini mengenakan celana panjang dan baju hitam tanpa lengan.
Karena tubuhnya tak bergerak sedikitpun tak dapat dipastikan apakah dia saat itu
tengah tertidur atau bagaimana.
Pendatang ke tiga tegak dengan sikap keren. Kaki terkembang dan dua tangan
berkacak pinggang. Manusia ini memiliki kepala panjang tapi peang, berwajah
hijau penuh benjol-benjol seperti ditumbuhi bisul. Rambutnya yang keriting halus
tersusun tinggi ke atas seperti sarang tawon. Keanehan manusia ini masih
ditambah dengan sepotong tulang yang ditancapi di bibirnya sebelah bawah.
"Baru sekali ini aku melihat makhluk seperti ini. Dedemit pun kalah seramnya!"
berucap murid Sinto Gendeng dalam hati. Lalu Wiro perhatikan telapak tangan
kanannya yang berwarna hijau. "Pasti kekuatan atau ilmu andalannya ada di tangan
kanan itu," pikir Wiro.
Orang ke empat adalah satu-satunya yang dikenali oleh Pendekar 212 yaitu bukan
lain si nenek bernama Sika Sure Jelantik. Seperti dituturkan dalam Episode
pertama (Tua Gila Dari Andalas) semasa berada di pulau Kerajaan Sipatoka dia
telah menyamar menjadi seorang dukun yang dikenal dengan panggilan Dukun Sakti
Langit Takambang. Kini karena dia muncul dalam bentuk aslinya maka Panji alias
Datuk Pangeran Rajo Mudo tidak bisa mengenalinya. Sebaliknya si nenek memandang
pada pemuda itu dengan mata berkilat-kilat. Dulu dia ingin menguasai kerajaan
Sipatoka dengan jalan meracuni ke dua orang tua Panji yaitu Rajo Tuo Datuk
Paduko Intan dan permaisuri. Namun gagal berkat pertolongan Tua Gila yang
tersesat ke pulau Kerajaan itu. Kini melihat Panji berada di tempat itu,
kebencian Sika Sure Jelantik jadi berkobar. "Tak dapat ibu bapaknya, anaknya pun
tak jadi apa! Putera Mahkota keparat ini harus disingkirkan dari muka bumi!"
kata si nenek dalam hati penuh geram. Lalu dia melirik ke arah Pendekar 212 Wiro
Sableng. "Hemmm....
Pemuda keparat ini ada di sini pula! Dulu aku sudah berniat membunuhnya! Namun
saat itu ada gadis yang kusukai itu. Memandang mukanya dan memenuhi
permintaannya aku tidak jadi menghabisinya, tapi sekali ini tanganku sudah gatal
untuk merampas nyawanya!"
Habis membatin begitu Sika Sure Jelantik memandang berkeliling pada tiga orang
yang datang bersamanya lalu berkata. "Kita berempat tidak satu golongan tapi
punya satu tujuan. Siapa yang hendak bicara dultian"!"
Kakek berjubah hitam putih yang matanya mem-berojol keluar mendehem beberapa
kali seolah memberi isyarat bahwa dialah yang ingin bicara lebih dulu.
Pedang Naga Suci 212
32 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Gadis berpakaian ungu bernama Anggini! Dengar baik-baik apa yang aku ucapkan.
Karena kalau nyawamu sudah minggat kau tak bakal bisa mendengar apa-apa
lagi...!" Anggini yang berada di telaga dalam lembah batu terkejut sekali mendengar orang
tua tak dikenalnya itu menyebut namanya. Si gadis bertanya-tanya siapa adanya
kakek ini. "Beberapa waktu lalu di Pulau Andalas kau telah membunuh seorang bernama Datuk
Mangkuto Kamang tanpa sebab tanpa alasan. Seorang gadis sepertimu membunuh
seorang tua, sungguh satu perbuatan teramat keji. Apalagi kau dan sang Datuk
sesama orang satu golongan putih dalam rimba persilatan." Ketika bicara sepasang
mata si kakek tampak bergerak bergoyang-goyang. Masih terus dengan kepala
mendongak dia lanjutkan ucapannya.
"Sehabis membunuh kau melarikan diri ke tanah Jawa. Kau lupa betapa pun luasnya
bumi ini, dalam kejahatan dia akan menjadi sempit. Hari ini kau kutemui. Berarti
hari ini kau harus melepas nyawa membayar kematian Datuk Mangkuto Kamang. Aku
Datuk Gadang Mentari adalah kakak Datuk Mangkuto Kamang I"
Anggini sampai ternganga mendengar apa yang barusan diucapkan orang tua mengaku
bernama Datuk Gadang Mentari itu, Sekilas dia berpaling pada Wiro. Murid Sinto
Gendeng dilihatnya tegak garuk-garuk kepala. Si gadis memandang kembali pada
kakek berjubah hitam putih itu lalu tertawa panjang.
"Orang tua, aku tidak kenal dirimu. Aku juga tidak kenal saudaramu yang bernama
Datuk Mangkuto Kamang itu! Kau muncul dan menuduh aku membunuh adikmu! Apa kau
tidak keliru menjatuhkan tuduhan" Apa kau tidak terpesat kesasar ke tempat ini"
Apa kau tidak sedang mimpi dan mengigau sementara hari belum lagi malam!"
Sepasang mata yang memberojol dari Datuk Gadang Mentari tampak bergoyang-goyang
tanda dia dilanda kemarahan. Tangan kirinya bergerak mengeluarkan sebuah benda
berwarna ungu. "Aku bicara tidak sembarang bicara! Aku menuduh bukan tanpa bukti! Buka matamu
lebar-lebar. Benda apa yang aku lemparkan ke hadapanmu!"
Habis berkata begitu sang Datuk lalu lemparkan benda yang dipegangnya ke hadapan
Anggini. Benda itu ternyata adalah sehelai selendang ungu yang salah satu
ujungnya ada tulisan 212. Terbelalaklah murid Dewa Tuak melihat selendang itu.
Bentuknya sangat sama dengan yang dimilikinya dan saat itu melingkar di leher.
Orang lain akan sulit membedakan ke dua selendang itu.
Sementara Anggini hanya tertegak menganga Wiro melangkah lalu membungkuk
mengambil selendang ungu yang dilemparkan Datuk Gadang Mentari. Selendang itu
diperhatikannya sambil diusap-usap dengan jari tangan kiri lalu didekatkannya ke
hidung dan diciumnya.
"Pemuda rambut gondrong bermuka pucat!" hardik Datuk Gadang Mentari. "Apa yang
kau lakukan"!"
"Hebat juga tua bangka bermata brojol ini!" ujar Wiro dalam hati. "Dia mendongak
dan sama sekali tidak melihat ke arahku. Bagaimana bisa tahu kalau aku melakukan
sesuatu"!"
"Menurutku selendang ini memang sama dengan milik gadis ini. Tapi tidak serupa
alias tidak asli...."
"Aku tidak minta pertimbanganmu!" kembali Datuk Gadang Mentari membentak.
Pedang Naga Suci 212
33 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Wiro angkat bahu dan serahkan selendang ungu pada Anggini. Tapi tanpa
memperhatikan si gadis langsung saja mencampakkan selendang itu ke tanah.
"Apa yang dikatakan pemuda ini benar! Selendang itu sama warna, sama bentuk
dengan yang kumiliki. Tapi tidak asli. Selendangku terbuat dari sutera asli,
selendang yang kau bawa terbuat dari sutera tiruan...."
"Selendang sahabatku berbau harum. Selendangmu busuk bau tai ayam!" sambung Wiro
pula. Datuk Gadang Mentari tertawa pendek. Dua bola matanya bergoyang keras. Dari
hidungnya terdengar suara mendengus. Lalu mulutnya semburkan ludah.
Hebatnya ludah yang disemburkan itu tidak jatuh ke tanah seolah melesat dan
lenyap di udara.
"Orang bersalah selalu mengingkari kesalahannya! Selendang itu ditemukan
melingkar menjirat leher adikku! Sementara tubuhnya hancur tak karuan! Apa kau
masih ingin mencari dalih"!"
"Perlu apa aku mencari dalih! Aku tak pernah membunuh orang bernama Datuk
Mangkuto Kamang!" jawab Anggini ketus tapi tegas.
Tenggorokan Datuk Gadang Mentari tampak bergerak cepat turun naik. Dua bola
matanya kembali bergerak-gerak. Kepalanya masih terus mendongak. Agaknya memang
kepala ini tak bisa diluruskan!
"Aku punya seorang saksi yang mengetahui peristiwa pembunuhan itu dan melihat
dengan mata kepalanya sendiri bahwa memang kau yang membunuh adikku!"
"Katakan siapa orangnya!" kata Anggini dengan suara keras.
"Aku tak bisa memberi tahu karena dia bukan seorang tokoh sembarangan."
"Berarti semua ini adalah fitnah! Kau punya karangan! Katakan terus terang apa
maksudmu melakukan sandiwara keji ini"!" Sepasang mata Anggini membeliak dan
suaranya lantang membahana.
"Orang yang menjadi saksi perbuatanmu itu bukan orang sembarangan. Dia adalah
seorang tokoh di Gunung Singgalang!"
Kening Anggini mengernyit. "Aku mengenal dua orang tokoh yang diam di gunung
itu. Seorang kakek buntung sakti bernama Nyanyuk Amber. Namun sejak lama dia
melenyapkan diri dari Gunung Singgalang. Orang satunya lagi adalah seorang nenek
berkepandaian tinggi bernama Sabai Nan Rancak. Dia...."
"Tidak, tidak!" memotong Datuk Gadang Mentari. "Bukan mereka yang menyaksikan
perbuatan kejimu itu...."
"Berarti...."
"Sudahlah, aku tak ingin bicara berpanjang lebar. Dosa dan kesalahanmu sudah
jelas. Biar kawan-kawanku yang lain punya kesempatan untuk bicara!" Datuk Gadang
Mentari berpaling ke arah Sika Sure Jelantik tapi kepalanya terus saja
mendongak. "Perempuan tua sahabatku harap kau suka memberi tahu kedatanganmu pada calon-
calon mayat yang ada di tempat ini!"
"Calon-calon mayat"!" Untuk pertama kalinya Panji membuka mulut. Dia memandang
pada Wiro dan Anggini lalu satu persatu pada empat orang yang ada di
sekelilingnya. Tak satu pun dari mereka yang dikenali pemuda ini. Maklum saja
dia baru sekali ini menginjakkan kaki di tanah Jawa. "Maksudmu kami bertiga ini
yang kau sebut sebagai calon-calon mayat" Kalian hendak membunuh kami"!"
Pedang Naga Suci 212
34 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Sika Sure Jelantik tertawa panjang. "Putera Mahkota kerajaan pulau Sipatoka! Kau
mewakili ke dua orang tuamu menjadi tumbal kematian! Hik... hik... hik!"
Terkejutlah Panji mendengar kata-kata si nenek. Matanya melotot tak berkesip
menatap wajah bulat keriput si nenek sementara rambutnya yang putih panjang
riap-riapan dihembus angin lembah. "Siapa sebenarnya perempuan tua ini...?"
pikir Panji. Matanya turun ke bawah memperhatikan jubah hitam yang melekat di
tubuh si nenek lalu pandangannya membentur tangan kiri kanan Sika Sure Jelantik.
Sepuluh kuku jari si nenek dilihatnya berwarna hitam dan panjang-panjang. Pemuda
ini mencoba mengingat-ingat. "
"Wajahnya tidak sama. Tapi pakaian dan bentuk jarinya tak ada beda. Lalu
suaranya. Aku mengenali betul. Tak mungkin salah! Jangan-jangan...."
* * * Pedang Naga Suci 212
35 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ SEMBILAN enek bermuka bulat dan ada tahi lalat di dagu kirinya itu kembali mengumbar tawa
panjang. Sementara Wiro dan Anggini memandang pada Panji terheran-heran N karena
barusan disebut sebagai Putera Mahkota oleh si nenek.
"Anak muda calon mayat! Aku adalah Sika Sure Jelantik yang dulu kau kenal
sebagai Dukun Sakti Langit Takambang!"
"Kau!" seru Panji dengan lidah tercekat tapi wajah langsung merah seperti saga!
Dan darah amarah menggelegak!
"Hik... hik! Kau adalah calon mayat pertama di tempat ini!" hardik si nenek.
Wiro berpaling pada Anggini dan berbisik. "Agaknya siapa calon mayat ke dua di
antara kita...?"
"Aku belum mau mati!" jawab Anggini tanpa berpaling pada Wiro.
"Ah, nasibku jelek. Dalam keadaan seperti ini agaknya aku memang ditakdirkan
jadi calon mayat ke dua. Lebih dulu menemui ajal darimu!" keluh Wiro sambil
garuk-garuk kepala. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan air muka sedih
apalagi takut. Murid Dewa Tuak terkejut mendengar ucapan Pendekar 212 dan baru teringat akan
keadaan Wiro. Walau pemuda ini masih membawa Kapak Maut Naga Geni 212,
mengenakan jubah sakti Kencono Geni dan dibekali Si Raja Penidur dengan ilmu
tidur, namun tetap saja si gadis merasa khawatir. Dia berbisik. "Jangan jauh-
jauh dariku Wiro.
Kalau ada apa-apa aku sulit membantumu..." kata Anggini cepat.
Wiro anggukkan kepala dan diam-diam merasa terharu gadis itu memperhatikan
keselamatannya.
"Dukun tua keparat! Dulu kau melarikan diri dari pulau. Apa sekarang kau kira
bisa lolos dari tanganku" Biaraku yang muda mewakili kedua orang tuaku memuntir
putus kepalamu!"
Sika Sure Jelantik tertawa bergelak. "Umur hanya beberapa kali usia jagung!
Tubuh masih bau pesing! Ilmu dan pengalaman hanya sejengkal dalamnya comberan
busuk! Sombong amat bicara hendak memuntir putus kepalaku!"
"Siapa lagi yang hendak bicara"!" Tiba-tiba Datuk Gadang Mentari buka suara. Dia
masih terus mendongak ke langit dan sepasang matanya yang menjorok keluar
bergerak-gerak liar.
"Tunggu! Aku masih belum habis bicara!" berteriak Sika Sure Jelantik.
Tenggorokan Datuk Gadang Mentari bergerak turun naik. Bola matanya yang
memberojol bergoyang beberapa kali.
"Kaii!" tiba-tiba Sika Sure Jelantik menghardik dan menuding dengan jari
telunjuk tangan kirinya yang berkuku panjang ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Murid Sinto Gendeng mengambil sikap diam menunggu. "Terakhir kali nyawamu
selamat karena gadis cantik berlesung pipit kekasihmu itu menolongmu! Kali ini
jangan harap kau bisa selamat dari kematian!"
Wiro garuk-garuk kepala. Dia melirik pada Anggini dan melihat bagaimana paras
gadis ini berubah begitu mendengar si nenek menyebut gadis lesung pipit yang
jadi kekasihnya. "Gara-gara mulut lancang nenek sialan ini, apa kini yang ada
dalam benak serta hati Anggini...?" membatin Wiro.
Pedang Naga Suci 212
36 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Pendekar 212, apakah saat ini kamu masih belum mau memberi tahu di mana adanya
kakek keparat Tua Gila"!"
"Bukankah tempo hari sudah kubilang di mana dia berada"!" ujar Wiro sambil
cengar-cengir. Di sampingnya Anggini yang tiba-tiba jadi kacau pikiran mendengar kata-kata si
nenek tadi, bagaimanapun juga tetap tidak ingin melihat Wiro celaka. Maka dia
cepat berbisik. "Wiro, jangan berlaku gegabah. Nenek satu ini memiliki
kepandaian tinggi...."
Sepasang mata Sika Sure Jelantik mendelik. "Kapan kau memberitahu! Di mana"!"
"Kau sudah tua, tak salah kalau cepat pelupa. Bukankah waktu itu kuberitahu
padamu bahwa Tua Gila berada di satu kali kecil" Sedang membuang hajat besar
alias berak"! Sampai saat ini kurasa dia masih ada di sana. Memang mengherankan.
Buang hajat besar saja sampai berminggu-minggu...." Wiro tertawa gelak-gelak.
Anggini menggigit bibir melihat. Wiro abaikan nasihatnya. Datuk Gadang Mentari
keluarkan suara menggereng dari tenggorokannya. Orang bermuka hijau yang
rambutnya seperti sarang tawon keluarkan suara gemeretak dari rahangnya yang
dikatupkan kencang-kencang. Sementara itu terdengar suara tertawa cekikikan
tertahan. Yang tertawa ternyata adalah yang duduk dengan menyembunyikan mukanya
di atas batu cadas paling tinggi.
Amarah Sika Sure Jelantik menggemuruh. Didahului satu teriakan keras dia siap
melompat ke hadapan Wiro. Namun dengan cepat Datuk Gadang Mentari rentangkan
tangan kirinya ke samping. "Wuuttt!" Selarik angin menyambar di depan Sika Sure
Jelantik membuat gerakan si nenek tertahan.
"Datuk Gadang! Jangan kau berani menghadang diriku!" teriak Sika Sure Jelantik
marah. "Tenang dan sabar sedikit Sika. Bukankah kita sudah berjanji tidak akan
bertindak sendiri-sendiri sebelum semua dari kita bicara"!"
Si nenek saking geramnya bantingkan kaki kirinya. "Kraakkk!" Batu yang


Wiro Sableng 094 Pedang Naga Suci 212 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipijaknya retak lalu terbelah dua. Sebelum batu roboh dia telah melompat ke
batu lain di sebelahnya.
"Giliran siapa sekarang yang bicara"!" Datuk Gadang Mentari bertanya. Kepala
masih mendongak dan sepasang mata terus bergerak-gerak.
Lelaki bermuka hijau letakkan tangan kirinya di atas dada lalu batuk-batuk
beberapa kali. Sebelum membuka mulut dia terlebih dulu memandang dengan garang
pada Wiro, Anggini dan Panji.
"Aku Pengiring Mayat Muka Hijau! Wakil Datuk Lembah Akhirat! Aku diutus untuk
menjadi saksi pemusnahan orang-orang golongan putih yang melakukan kekejian
dalam rimba persilatan! Bilamana orang-orang golongan putih tidak bisa
diperbaiki maka aku membawa amanat untuk menyingkirkan mereka!"
Wiro pencongkan mulutnya. "Hebat benar tugas manusia ular keket ini!" katanya
dalam hati. Setelah mengusap bibirnya yang ditancapi tulang kecil, Pengiring Mayat Muka
Hijau menatap ke arah Wiro lalu berkata. "Jika kau benar orang yang dijuluki
Pendekar 212, seperti yang dituntut oleh sobatku Sika Sure Jelantik, aku ingin
menanyakan di mana adanya gurumu si Tua Gila itu?"
"Hemm.... Apa kau punya keperluan sama dengan nenek itu?" tanya Wiro seenaknya.
Pedang Naga Suci 212
37 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Pengiring Mayat Muka Hijau menyeringai. "Gurumu si Tua Gila itu telah membunuh
seorang tokoh golongan putih di pulau Andalas. Korbannya adalah Magek Bagak
Baculo Duo! Dosa besar ini harus dipertanggung jawabkannyal Kalau kau tidak
memberitahu di mana dia berada maka aku akan mewakili dunia persilatan untuk
menghabisimu saat ini juga. Tapi mengingat nama besarmu aku bisa memberi
pengampunan dengan satu syarat..."
"Asyik juga! Apa syaratmu manusia muka hijau berambut sarang tawon"!" bertanya
Pendekar 212 yang kembali membuat Anggini jadi panas dingin.
"Kau ikut dengan aku ke Lembah Akhirat dan menyatakan tunduk pada Datuk Lembah
Akhirat masuk menjadi anggota kami!"
"Hemmm.... Coba aku pikirkah dulu!" kata Wiro sambil garuk-garuk kepala.
"Sebelum aku memberi keputusan mau ikut denganmu atau tidak, apa boleh aku
bertanya" Yang namanya Lembah Akhirat itu pasti letaknya di akhirat ya" Walah, perjalanan
ke sana pasti jauh sekali. Apa orang harus terbang menuju ke sana atau ada
tangganya naik ke langit sana atau bagaimana ya...?" Wiro tutup ucapannya dengan
tawa bergelak. Orang yang duduk menutupi mukanya di atas cadas tinggi ikut-ikutan tertawa.
Murid Sinto Geri-deng mempermainkan Pengiring Mayat Muka Hijau tidak hanya
sampai di sana. Mulutnya kembali me-nyeletuk. "Manusia muka ular keketl Kau tahu
Tua Gila sejak lama berada di tanah Jawa ini, sedang buang hajat besan Kapan dia
sempat-sempatnya membunuh si Magek Bagak Babiji Duo itu"! Ha... ha... ha...!"
"Baculo duo! Bukan Babiji Duo!" Orang yang duduk menutup wajah di atas batu
cadas membetulkan ucapan Wiro lalu tertawa terkekeh-kekeh.
"Datuk Gadang Mentari! Aku sudah gatal tangan membetot jantung mencabut nyawa
orang ini! Harap kau cepat memberi kesempatan pada kawan kita yang terakhir
untuk bicara!" kata Pengiring Mayat Muka Hijau dengan pelipis menggembung
bergerak-gerak saking mendidih amarahnya.
"Sobatku di atas cadas!" berseru Datuk Gadang Mentari. "Jangan tertawa saja!
Kami memberi kesempatan padamu untuk bicara!"
Orang di atas cadas hentikan tawanya tapi tetap saja duduk seperti tadi.
Menyembunyikan wajahnya di balik sepasang kakinya yang dilipat.
Lalu terdengar suaranya berkata dengan nada rawan. "Datuk Gadang Mentari, kau
tahu siapa dan bagaimana sifatku. Harap kau saja yang mewakili aku bicara!"
"Hemm...." Datuk Gadang Mentari bergumam. Matanya tak lepas memandang ke langit.
"Sobatku Iblis Pemalu, jika itu maumu baiklah. Aku akan bicara pada dua kecoak
ingusan itu! Pemuda bergelar Pendekar 212 dan gadis bernama Anggini, dengar
baik-baik apa yang aku katakan! Akibat ulah kalian berdua seorang tokoh bernama
Datuk Bululawang menemui kematian! Malang bagi kalian berdua, Datuk Bululawang
adalah kakak kandung sobatku Iblis Pemalu yang saat ini duduk di atas batu cadas
sanal Celaka bagi kalian berdua, hari ini akhirnya Iblis Pemalu berhasil menemui
kalian di sini setelah sekian lama mencari-cari! Nyawamu mungkin terpaksa kami
bagi dua!"
"Mana bisa begitu!" Sika Sure Jelantik menukas. "Kita ada berempat jadi nyawanya
harus dibagi empat!" Si nenek lalu tertawa cekikikan.
Wiro memandang ke atas batu cadas di mana lelaki berpakaian serba hitam duduk.
Lalu berbisik pada gadis di sebelahnya. "Anggini, apa yang kau ketahui tentang
manusia aneh bernama Iblis Pemalu itu?"
Pedang Naga Suci 212
38 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Aku memang pernah mendengar nama manusia satu ini. Dia malang melintang seorang
diri. Tidak merangkul golongan mana pun. Kepandaiannya sangat tinggi tapi dia
bukan bangsa manusia yang mudah dikecoh oleh orang-orang golongan hitam, Aneh
kalau hari ini dia ikut-ikutan dengan tiga manusia kesasar itu! Lekas kau bicara
menjelaskan kematian Datuk Bululawang itu!"
"Iblis Pemalu!" Wiro berseru. "Soal kematian kakakmu itu, apakah kau menyaksikan
dengan mata kepala sendiri"!"
"Sobatku Datuk Gadang Mentari, harap kau jawab pertanyaannya." Iblis Pemalu
bicara dan tetap sembunyikan wajahnya di balik paha.
"Dia memang tidak melihat sendiri pembunuhan yang kalian lakukan atas diri
kakaknya! Tapi dia mendapat penjelasan dari orang lain yang bisa dipercayai"
"Siapa orang lain itu"!" tanya Anggini.
"Agar sesama golongan putih tidak tambah ricuh, harap kau tidak memberi tahu
siapa orangnya Datuk Gadang!" Yang bicara adalah Pengiring Mayat Muka Hijau.
"Berarti ada kedustaan besar di balik semua ini!" kata Anggini.
"Iblis Pemalu, harap kau tidak termakan fitnah!" kata Wiro.
Iblis Pemalu tidak menjawab tidak bergerak. Yang buka suara kembali, adalah
Pengiring Mayat Muka Hijau, anak buah Datuk Lembah Akhirat. "Kau pandai bicara
membela diri! Tapi siapa yang mau percayai Datuk Gadang, apakah kita sudah siap
mulai dengan pesta kematian ini"!"
Tunggu! Aku mau bicara dulu dengan Iblis Pemalu!" teriak Wiro. Lalu dia naik ke
atas batu-batu cadas dan memanjat ke tempat iblis Pemalu duduk. Kalau saja dia
masih memiliki kesaktian dan tenaga dalam, Wiro tak perlu susah payah naik ke
atas batu itu. Tapi cukup sekali melompat dan melesat saja dia dengan cepat dan
mudah bisa sampai di sana.
"Iblis Pemalu, harap kau mau mendengar penjelasanku. Adikmu Datuk Bululawang
bukan kami yang membunuh. Dia jadi korban pembalasan sakit hati Sandaka, seorang
pemuda berjuluk Manusia Paku. Pemuda itu sendiri adalah korban ilmu hitam Dewi
Ular!" Pengiring Mayat Muka Hijau mendengus. "Nama Sandaka ataupun Manusia Paku tak
pernah dikenal. Kalau orangnya memang ada di mana dia sekarang. Juga Dewi Ular.
Coba jelaskan di mana perempuan itu berada!"
"Mereka amblas masuk jurang!" menerangkan Anggini.
Pengiring Mayat Muka Hijau tertawa mengejek. "Semua yang kalian katakan tidak
masuk akal! Datuk.... Bagaimana" Apa kita bisa mulai?" (Mengenai Sandaka atau
Manusia Paku harap baca serial Wiro Sableng berjudul Dendam Manusia Paku)
"Datuk Gadang, kau belum menyampaikan satu permintaanku?" Tiba-tiba Iblis Pemalu
berkata. "Astaga, hampir aku terlupa!" kata Datuk Gadang Mentari. "Kami menyirap kabar,
salah satu dari kalian memiliki sebuah peta petunjuk di mana adanya sebilah
pedang sakti bernama Pedang Naga Suci 212! Aku dengar kau yang bergelar Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212 yang menyimpannya. Jika peta itu kau berikan pada Iblis
Pemalu maka segala urusan menyangkut dirimu akan dilupakannya!"
"Gila, kenapa urusan jadi panjang bertele-tele seperti ini!" keluh Wiro. "Kalian
semua dengar! Aku tidak tahu menahu soal pedang itu! Apalagi menyimpan peta
petunjuk!"
"Aku juga!" kata Anggini.
Pedang Naga Suci 212
39 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Aku yang menyimpannya!" Tiba-tiba Panji yang sejak tadi berdiam diri keluarkan
seruan. Pengiring Mayat Muka Hijau, Sika Sure Jelantik palingkah kepala ke arah pemuda
itu. Datuk Gadang Mentari memutar tubuhnya sedikit tapi tetap saja mendongak ke
langit. Iblis Pemalu tampak menggeser dua tangannya yang sejak tadi bersitekan ke batu.
"Datuk Gadang! Lekas kau rampas peta itu!" Berteriak Iblis Pemalu.
"Jangan-jangan dia hanya menipu!" Pengiring Mayat Muka Hijau berkata.
Panji menyeringai. Dari balik pakaiannya yang bagus dia mengeluarkan secarik
kain putih yang telah lusuh. Benda itu diperlihatkannya pada orang-orang yang
ada di tempat itu. Lalu dengan cepat dimasukkannya kembali ke balik pakaiannya.
Pengiring Mayat Muka Hijau jadi bimbang. Datuk Gadang Mentari gerak-gerakkan
kedua kakinya. Iblis Pemalu keluarkan suara aneh sementara Sika Sure Jelantik
merupakan satu-satunya orang yang tampak tidak tertarik dengan urusan Pedang
Naga Suci 212 itu.
Sepasang matanya terus menerus mengawasi Wiro yang sejak tadi diincarnya.
Tiba-tiba Panji berkelebat dari tempat itu. Gerakannya cepat sekali. Tahu-tahu
dia sudah berada di salah satu puncak batu cadas. Terus melesat ke atas sebatang
pohon besar dan lenyap di balik kerimbunan dedaunan.
"Kejar!" teriak Iblis Pemalu. Tubuhnya melesat ke atas. Mukanya yang tidak
tertutup lagi di balik kedua pahanya kini ditutupnya dengan tangan kirinya. Di
udara dia membuat gerakan aneh. Di lain kejap laksana terbang dia melesat ke
arah pohon besar tempat lenyapnya Panji.
Datuk Gadang Mentari walau tampak tak bisa menguasai diri tapi masih tetap
berada di atas batu tempatnya berdiri. Sementara Sika Sure Jelantik tidak
melepaskan Wiro dari pengawasannya.
"Sika Sure Jelantik, sementara dua teman kita berusaha mendapatkah peta,
bagaimana kalau kita berdua membagi-bagi rejeki"!"
Sika Sure Jelantik tertawa panjang. Dia maklum apa maksud ucapan Datuk Gadang
Mentari itu, "Sika, kau urusi si pemuda, aku biar membereskan yang gadis!" kata Datuk Gadang
Mentari pula. Lalu sekali dia menggenjotkan ke dua kakinya, tubuhnya melesat ke
arah Anggini. kepalanya tetap mendongak ke langit. Namun tangan kanannya membuat
gerakan kilat. Menghantam ke jurusan Anggini.
Si nenek Sika Sure Jelantik keluarkan teriakan keras lalu berkelebat ke arah
Pendekar 212! * * * Pedang Naga Suci 212
40 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ SEPULUH ita ikuti pengejaran atas diri Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo yang
dilakukan oleh Pengiring Mayat Muka Hijau dan Iblis Pemalu. Seperti diketahui
putera Rajo K Tuo Datuk Paduko iman yano juga merupakan cucu Tua Gila itu
memiliki ilmu kepandaian aneh-aneh. Antara lain mampu menyelam dalam waktu sanya
W! dalam air. Lalu dia juga sangat pandai dalam soal panjat memanjat. Sekali
berkelebat di atas pohon dirinya lenyap seolah berubah jadi angin.
Pengiring Mayat Muka Hijau penasaran setengah mati. Dia memandang berkeliling.
Satu bayangan hitam berkelebat. Dia siap menghantam tapi cepat menarik tangannya
ketika mengenali orang itu adalah Iblis Pemalu. Sambil tutupi kedua mukanya
dengan tangan manusia aneh ini mengawasi keadaan sekelilingnya lewat celah-celah
jarinya. "Ke mana lenyapnya jahanam itu! "kata Pengiring Mayat Muka Hijau setengah
berteriak. "Aku merasa malu! Lebih baik bunuh diri kalau tidak berhasil
menangkap manusia kampret itu!" kata Iblis Pemalu lalu tutup lebih rapat mukanya
dengan ke dua tangan.
Pengiring Mayat Muka Hijau tambah jengkel mendengar kata-kata sj Iblis Pemalu.
"Kau menyelidik ke sebelah kiri! Aku ke jurusan kanan!" kata anak buah Datuk
Lembah Akhirat ink Lalu tanpa menunggu jawaban orang si Pengiring Mayat Muka
Hijau melompat ke atas pohon besar di sebelah kiri.
Tapi begitu kakinya menginjak salah satu cabang tiba-tiba saja cabang pohon Hu
amblas. Kalau dia tidak lekas bergayut pada cabang di atasnya paling tidak dia
akan terperosok jatuh.
"Jahanam!" maki Pengiring Mayat Muka Hijau. Dia memperhatikan bekas patahan
cabang pohon. Ternyata cabang itu tidak patah biasa, melainkan ada tanda bekas
dipotong dengan beda tajam. "Pasti pemuda jahanam itu yang punya, pekerjaan!"
Perigiring Mayat Muka Hijau memaki.
"Sobatku dari Lembah Akhirat!" tiba-tiba terdengar suara Iblis Pemalu.
Pengiring. Mayat Muka Hijau diam saja. Kembali terdengar suara Iblis Pemalu.
"Aku malu tak dapat mencari pemuda pembawa peta itu! Mengapa kau tidak
Pembalasan Maha Durjana 2 Dewa Arak 25 Penghuni Lembah Malaikat Si Kumbang Merah 12
^