Pencarian

Badik Sumpah Darah 1

Wiro Sableng 126 Badik Sumpah Darah Bagian 1


Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
1 BADIK SUMPAH DARAH
HANYA SEKEJAPAN LAGI DUA GOLOK AKAN MEMBABAT LEHER DAN PERUT LOH GATRA, TIBA-
TIBA TERDENGAR SUARA SIULAN. LALU DUA BENDA HITAM SEBESAR UJUNG IBU JARI TANGAN
MELESAT DI UDARA. DAN!
"CROSSS!"
"CROSSS!"
DUA ORANG MENJERIT KERAS. SAMA-SAMA JATUHKAN GOLOK MEREKA. SAMA-SAMA
PEGANGI MATA KANAN. DARAH MENGUCUR DARI MATA KANAN MEREKA, MEMBASAHI PIPI DAN
JARI-JARI TANGAN! TIDAK SANGGUP MENAHAN SAKIT, DUA ORANG INI JATUHKAN DIRI DI
TANAH, MERAUNG SAMBIL BERGULINGAN.
LELAKI BERNAMA GONDO BERBALIK. MEMANDANG MELOTOT KE ARAH LOH GATRA YANG
MASIH TERDUDUK DENGAN MUKA PUCAT BERSIMBAH DARAH DI BAGIAN DADA.
"TIDAK MUNGKIN! TIDAK MUNGKIN MONYET INGUSAN KEPARAT INI YANG MELAKUKAN. AKU
LIHAT SENDIRI. DIA DALAM KEADAAN TIDAK BERDAYA! LALU SIAPA"!"
GONDO MEMANDANG BERKELILING.
"HAH"!"
PANDANGANNYA TIBA-TIBA MEMBENTUR SOSOK SEORANG PEMUDA YANG DUDUK ENAK-
ENAKAN DI ATAS SERUMPUNAN SEMAK BELUKAR. DI ATAS SEMAK BELUKAR! GONDO
KERENYITKAN KENING. MANA ADA ORANG BISA DUDUK DI ATAS SEMAK BELUKAR KALAU TIDAK
MEMILIKI ILMU MERINGANKAN TUBUH LUAR BIASA!
Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
2 1 KADIPATEN Temanggung masih dalam suasana berkabung. Dua minggu lalu Adipati
Jalapergola berpulang meninggal dunia setelah mengalami sakit selama hampir satu bulan,
meninggalkan Nyi
Larasati, seorang istri yang cantik dan masih muda. Umbul-umbul hitam tanda
perkabungan kelihatan di
mana-mana, terutama sepanjang jalan menuju gedung Kadipaten.
Hari itu menjelang sang surya tenggelam, lima penunggang kuda meninggalkan
Temanggung, memacu tunggangan mereka ke arah timur di mana terletak kawasan rimba belantara
Kulonprogo. Empat
dari lima penunggang kuda itu berseragam prajurit Kadipaten. Orang ke lima
seorang tua berpakaian putih
sederhana. Di bawah blangkon yang bertengger di kepalanya menjulai rambut
panjang berwarna putih.
Misai serta janggutnya juga telah memutih. Orang tua ini adalah Ki Sarwo Ladoyo,
yang telah mengabdikan diri pada Dua Adipati sebagai sesepuh penasihat Kadipaten
Temanggung. Setelah beberapa lama menyusuri pinggiran hutan Kulonprogo, di satu tempat
rombongan lima orang
itu membelok ke kiri, masuk ke dalam hutan. Bergerak sejauh belasan tombak,
prajurit di sebelah depan
yang bertindak sebagai penunjuk jalan mengangkat tangan kiri memberi tanda lalu
hentikan kudanya.
Begitu kuda berhenti, prajurit ini ganti angkat tangan kanan, menunjuk ke atas
pohon besar beberapa
tombak di depan rombongan. Lima kepala sama mendongak.
Di atas pohon, pada cabang paling rendah tergantung sosok seorang lelaki muda,
berpakaian bagus.
Dua matanya terkatup sementara lidah agak terjulur. Melihat keadaan muka dan
tubuhnya yang sudah
membengkak, ditambah bau busuk yang menebar, paling tidak sosok orang itu sudah
tergantung lebih
dari satu hari.
"Gusti Allah," Ki Sarwo Ladoyo mengucap, Kalau tidak melihat sendiri sulit aku
bisa percaya. Prameswara, cucu Pangeran Alit, mati menggantung diri."
Sesaat setelah memperhatikan tubuh yang tergantung itu, Ki Sarwo Ladoyo turun
dari kudanya. Dia
memeriksa keadaan sekitar pohon. Setelah merasa cukup dia memberi perintah pada
empat prajurit.
"Kalian turunkan jenazah itu. Minta bantuan penduduk desa terdekat. Cari gerobak
atau apa saja untuk mengangkutnya. Bawa langsung ke Kotaraja. Aku mendahului kembali ke
Temanggung. Kita
bertemu di Kotaraja, di tempat kediaman Pangeran Alit."
* * * DARI hutan Kulonprogo Ki Sarwo Ladoyo tidak langsung ke Kotaraja tapi mampir
dulu di Temanggung,
menemui Nyi Larasati.
"Nyi Lara, saya datang memberi tahu. Raden Prameswara, cucu Pangeran Alit
ditemui mati menggantung diri dalam hutan Kulonprogo."
Wajah cantik Nyi Larasati yang masih diselimuti kedukaan sama sekali tidak
berubah. Dia menatap
orang tua di hadapannya itu dengan pandangan kosong.
Ki Sarwo segera berucap. "Maafkan saya Nyi. Saya tahu Nyi Lara masih dalam
keadaan berkabung.
Tidak ingin diganggu dengan segala kejadian seperti ini. Namun jika saya
hubungkan kematian Raden
Prameswara dengan kematian Raden Tambak Suryo satu minggu yang lalu, saya merasa
ada sesuatu di balik kematian kedua orang pemuda gagah itu."
Nyi Larasati masih menatap kosong, namun mulutnya terbuka. "Ada sesuatu di balik
kematian dua orang pemuda itu. Sesuatu apakah gerangan Ki Sarwo?"
"Hanya beberapa hari setelah Adipati Jalapergola berpulang, kedua orang itu
pernah mengirimkan
utusan untuk melamar Nyi Lara..."
Nyi Larasati mengangguk perlahan. "Itu benar. Bagi saya mereka adalah orang-
orang yang tidak tahu
adab dan sopan santun. Tanah makam Adipati masih merah, mereka sudah berani
menyampaikan pinangan. Sungguh keterlaluan..."
"Nyi Lara, apakah Nyi Lara tidak merasa heran" Dua orang yang pernah meminang
Nyi Lara sama- sama menemui kematian. Raden Tambak Suryo mati lebih dulu. Mayatnya ditemukan
dekat jurang Bangil
dengan kepala hampir terbelah. Tersiar kabar bahwa pemuda itu jadi korban
keganasan perampok yang
memang sering malang melintang di sekitar jurang Bangil. Namun, ketika mayatnya
ditemukan, kalung
emas besar masih tergantung di lehernya. Tiga buah cincin emas berbatu permata
mahal masih ada di
jari-jari tangannya. Lalu satu kantong kecil berisi uang juga tak tersentuh dari
sabuk besar yang melilit di
pinggangnya. Jika memang dia mati dibunuh perampok mengapa semua harta perhiasan
dan uang itu tidak dijarah?"
"Ki Sarwo, apa yang barusan Ki Sarwo katakan itu memang merupakan suatu
keanehan. Lalu Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
3 apakah keanehan juga terjadi dengan kematian Raden Prameswara?" Bertanya Nyi
Larasati. "Waktu saya memeriksa sekitar pohon tempat tergantungnya Raden Prameswara, saya
melihat beberapa hal. Di tanah sekitar pohon terdapat banyak jejak ladam kuda. Lebih
dari hanya seekor kuda.
Paling tidak ada tiga ekor kuda berada di tempat itu sebelumnya. Berarti ada
orang lain selain Raden
Prameswara. Lalu cabang pohon tempat cucu Pangeran Alit itu tergantung, cukup
tinggi. Saya tidak yakin
ada orang yang mau bersusah payah mencari kematian dirinya sendiri. Selain itu
setiap orang yang putus
asa dan melakukan bunuh diri pasti ada sebab musababnya. Saya tidak bisa percaya
kalau Raden Prameswara bunuh diri karena kecewa berat pinangannya ditolak oleh Nyi Lara."
"Menurut Ki Sarwo ada sesuatu di balik kematian ke dua orang itu, apakah Ki
Sarwo sudah mengetahui apa sesuatu itu?"
"Saya punya dugaan, ke dua pemuda itu sengaja dibunuh. Mungkin oleh orang yang
sama..." "Kalau memang demikian, hal itu perlu diselidiki. Perlu pembuktian. Atau mungkin
Ki Sarwo sudah bisa menduga siapa orangnya?" tanya Nyi Larasati pula.
"Saya belum mengetahui siapa orangnya Nyi. Tapi saya kira-kira bisa menduga si
pembunuh tidak suka ke dua orang itu meminang Nyi Lara. Dengan kata lain si pembunuh tidak sudi
Nyi Lara kawin dengan dua pemuda itu."
Setelah berdiam diri beberapa lamanya Nyi Lara akhirnya berkata. "Ki Sarwo, saya
masih letih. Saya
ingin istirahat dulu. Saya harap Ki Sarwo mau menyelidiki kematian ke dua pemuda
itu, jika memang ada
apa-apanya."
"Akan saya lakukan Nyi," jawab Ki Sarwo Ladoyo seraya bangkit berdiri.
Pada saat itulah seorang pengawal Kadipaten masuk, memberi tahu ada tamu ingin
menemui Nyi Larasati. "Siapa orangnya?" bertanya Ki Sarwo Ladoyo.
" Adipati Jatilegowo dari Salatiga," menerangkan pengawal.
Ki Sarwo Ladoyo berpaling pada Nyi Larasati. "Ada keperluan apa Adipati Salatiga
itu berkunjung ke
mari" Bukankah tempo hari dia telah datang untuk menyampaikan rasa duka
citanya?" Nyi Larasati tidak bisa menjawab.
"Apakah Nyi Lara bersedia menemuinya?" tanya Ki Sarwo.
"Saya sangat letih. Ingin istirahat. Tapi jika tamu datang dari jauh tidak
dilayani, kawatir yang
bersangkutan salah penafsiran. Asal tidak terlalu lama, saya tidak keberatan
menerimanya."
Ki Sarwo mengangguk lalu memberi isyarat pada pengawal. Tak lama kemudian
pengawal itu kembali masuk ke ruangan mengiringi seorang lelaki bertubuh tinggi besar,
berwajah gagah tapi garang.
Kumis tebal melintang kelihatan berkilat karena selalu dipoles dengan minyak
kayu wangi. Walau dia
seorang Adipati namun dia tidak mengenakan pakaian kebesaran Adipati. Pakaiannya
kain tebal berwarna
biru gelap dihias sulaman burung garuda berwarna kuning di dada kiri. Di
keningnya melintang secarik ikat
kepala kain merah. Di lehernya tergantung seuntai kalung emas besar berbentuk
rantai. Sebuah gelang
emas juga berbentuk rantai menghias lengan kirinya. Rambutnya yang panjang tebal
menjulai sampai ke
kuduk. Inilah Jatilegowo, Adipati Salatiga yang sering dikatakan sebagai Adipati
Urakan. Sebagai tuan rumah yang baik Ki Sarwo Ladoyo segera memberi hormat dan menegur
tamunya. Adipati Jatilegowo membalas penghormatan itu tapi bukan ditujukan pada si orang
tua, melainkan langsung pada Nyi Larasati, bahkan memandang ke arah Ki Sarwopun Adipati itu
tidak. Ini membuat si
orang tua menjadi tersinggung, kentara dari perubahan wajahnya.
"Saya Jatilegowo, menyampaikan salam hormat rakyat Salatiga. Kami, sebagaimana
penduduk di sini
masih ikut berkabung atas berpulangnya Adipati Jalapergola," berucap lelaki
tinggi besar itu sambil
matanya secara kurang ajar menatap wajah cantik jelita Nyi Larasati.
"Terima kasih. Adipati dan rakyat Salatiga telah memberikan perhatian begitu
besar," menyahuti Nyi
Larasati. "Kalau saya boleh tahu, ada keperluan apakah Adipati mengunjungi kami
di sini?" "Ada sesuatu yang hendak saya sampaikan." Jawab Adipati Salatiga.
"Oo, silahkan. Apa yang hendak Adipati sampaikan?" ujar Nyi Larasati.
"Kalau boleh, saya hanya mau bicara empat mata dengan Nyi Lara." .
Janda Adipati Temanggung itu agak tercengang mendengar ucapan tamunya.
Sebaliknya Ki Sarwo
Ladoyo kembali tersinggung karena dirinya lagi-lagi dianggap sepi. Orang hanya
mau bicara kalau dia
tidak ada di tempat itu.
"Adipati," kata Nyi Larasati pula. "Ki Sarwo Ladoyo telah puluhan tahun mengabdi
di Kadipaten Temanggung. Saya menganggapnya sebagai ayah sendiri. Tak ada rahasia yang perlu
disembunyikan. Adipati tidak perlu meragukan kepercayaan atas dirinya."
"Bagi saya ini bukan menyangkut kepercayaan. Jika saat ini Nyi Lara tidak
berkenan bicara empat
mata dengan saya, saya sanggup menunggu. Lain waktu saya akan kembali ke sini."
Nyi Lara memandang pada Ki Sarwo. Yang dipandang tetap berdiri tenang. Janda
Adipati Jalapergola
itu kemudian berpaling pada tamunya. Dia sudah banyak mendengar sifat Adipati
yang disebut Adipati
Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
4 Urakan ini. "Saat ini saya kurang enak badan. Jika Adipati tidak bersedia bicara
tidak jadi apa. Tapi saya
tidak menjanjikan apakah nanti saya masih punya kesempatan untuk menemui
Adipati." Ki Sarwo Ladoyo menyambungi ucapan Nyi Larasati. "Nyi Lara, sebaiknya mari saya
antar masuk ke dalam. Saya tidak ingin dalam masa berkabung ini Nyi Lara sampai jatuh sakit
pula..." Merasa terpojok, Adipati Salatiga itu menjadi geram. Rahangnya menggembung,
pelipisnya bergerak-
gerak. "Sebagai tamu memang seharusnya saya menghormati kemauan tuan rumah.
Baiklah, tak jadi apa
saya bicara di hadapan Ki Sarwo. Mungkin ada baiknya ada pihak ke tiga yang
mendengar dan menyaksikan pembicaraan ini. Nyi Lara, saya datang untuk memberi tahu bahwa saya
ingin meminang Nyi
Lara. Karena ini permintaan baik, saya harap Nyi Lara tidak menolak. Sesuatu
yang baik seyogyanya
dilaksanakan secepat mungkin."
* * * Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
5 2 KESUNYIAN yang tidak enak menyelimuti ruangan besar di mana ke tiga orang itu
berada. Baik Ki Sarwo,
apa lagi Nyi Lara tidak menyangka kedatangan Adipati Salatiga itu adalah untuk
melamar. Siapa yang


Wiro Sableng 126 Badik Sumpah Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan mengira, Adipati berusia empat puluh tahun yang telah punya dua istri itu
datang untuk meminang.
Rasa tidak enak menyamaki diri Nyi Lara. Ini kali ke tiga ada lelaki ingin
melamarnya. Padahal suaminya
berpulang masih belum empat puluh hari. Dua orang terdahulu yang mengajukan
lamaran walau adalah
dua pemuda yang belum beristri itupun sudah dianggap keterlaluan. Kini Adipati
Salatiga ini lebih gila lagi.
Bukan saja melamar di saat orang masih berkabung tapi bahkan dirinya sudah punya
dua istri! "Ki Sarwo. Saya percayakan Ki Sarwo untuk menjawab maksud Adipati Salatiga ini."
Mendengar ucapan Nyi Lara, Jatilegowo cepat memotong.
"Saya berurusan langsung dengan Nyi Lara, mengapa Nyi Lara mempergunakan orang
lain untuk menjawab" Saya tidak melamar orang tua ini!"
Ki Sarwo Ladoyo untuk kedua kalinya berubah wajahnya.
Karena orang keliwat memaksa, Nyi Lara menjadi tidak senang. "Jawaban Ki Sarwo
adalah sama dengan jawaban saya pribadi. Jika Adipati tidak sudi mendengar, saya tidak
memaksa." Untuk kedua kalinya Adipati Jatilegowo dipojokkan. Dengan geram dia berkata.
"Orang tua, baiklah!
Aku ingin mendengar apa jawaban Nyi Lara yang disampaikan lewat mulutmu!"
Ki Sarwo memandang dulu pada Nyi Lara. Setelah janda muda ini anggukkan kepala
memberi isyarat, si orang tua lalu berkata. "Nyi Lara merasa mendapat kehormatan dengan
maksud baik Adipati
hendak meminangnya. Namun jangan Adipati berprasangka keliru. Saat ini Nyi Lara
masih dalam suasana
berkabung. Mendiang Adipati Jalapergola belum empat puluh hari berpulang. Selain
itu belum terniat
dalam hati Nyi Lara untuk mencari pengganti almarhum Adipati Jalapergola."
Tanpa berpaling pada Ki Sarwo, Adipati Salatiga berkata. "Nyi Lara, saya
mengerti sekali semua
jawaban yang Nyi Lara sampaikan. Bagi saya sudah jelas bahwa setelah empat puluh
hari nanti, Nyi Lara
akan bersedia untuk bersanding dengan saya di pelaminan."
Terkejutlah Nyi Lara mendengar kata-kata Jatilegowo itu. Dia memandang pada Ki
Sarwo. Orang tua
ini cepat berucap. "Adipati, jangan salah menafsir. Bukan berarti setelah empat
puluh hari Nyi Lara akan
bersedia menerima pinangan Adipati. Entah sampai kapan. Nyi Lara belum terpikir
untuk mencari pengganti suaminya. Sebelumnya telah dua orang mengajukan pinangan. Raden Tambak
Suryo, putera bangsawan Ki Harto Jembangan. Lalu Raden Prameswara, cucu Pangeran Alit. Dua-
duanya ditolak.
Kemudian mungkin Adipati telah mendengar apa yang telah terjadi dengan dua
pemuda itu. Mereka
menemui kematian. Raden Tambak Suryo dibunuh di tepi jurang. Kepalanya terbelah.
Raden Prameswara
mati gantung diri..."
"Orang tua! Kau jangan menakut-nakuti diriku!" Tiba-tiba Adipati Jatilegowo
membentak. "Menakut-nakuti bagaimana maksud Adipati?" tanya Ki Sarwo Ladoyo.
"Tua bangka licik! Kau sengaja menceritakan kematian dua pemuda yang melamar Nyi
Lara. Bukankah kau hendak memberi kesan jika aku berani mengajukan lamaran, aku kelak
akan menemui ajal
pula" Mati dibunuh orang!"
"Adipati," kata Ki Sarwo. "Soal ajal seseorang adalah urusannya Gusti Allah.
Kalau manusia bisa
menghindar, mengapa tidak berusaha?"
"Hemm... begitu?" ujar Jatilegowo. "Aku sekarang jadi punya dugaan jangan-jangan
dua pemuda itu jadi korban orang-orang Kadipaten Temanggung yang tidak ingin melihat Nyi Lara
mencari pengganti
mendiang Adipati Jalapergola. Orang tua, aku akan menyelidiki kematian dua
pemuda itu. Aku berharap
kau tidak terlibat. Tapi jika nanti memang ketahuan kau yang punya pekerjaan,
aku akan melapor ke
Kotaraja. Atau mungkin juga aku akan menempuh jalan pintas. Mematahkan batang
lehermu dengan tanganku sendiri!"
Walau ucapan Jatilegowo merupakan tuduhan yang sangat menyinggung perasaan,
namun Ki Sarwo Ladoyo sunggingkan seringai dan berkata. "Adipati, waktumu sudah habis. Nyi Lara
ingin segera masuk
untuk istirahat. Jawab dari maksudmu sudah jelas. Nyi Lara belum memikirkan soal
perkawinan..."
"Nyi Lara, aku berharap kau mempertimbangkan kembali pinanganku. Hari ini aku
datang secara baik-baik. Jika aku kembali lagi aku ingin tetap secara baik-baik. Tapi jika
lamaranku sampai ditolak,
jangan salahkan diriku jika aku melakukan hal-hal yang tidak baik. Aku punya
banyak kawan di Kotaraja.
Mereka mendukung penggabungan Kadipaten Salatiga dan Kadipaten Temanggung di
mana aku kelak akan menjadi Adipatinya." Jatilegowo untuk pertama kalinya berpaling pada Ki
Sarwo dan menuding
dengan telunjuk kirinya. "Orang tua, aku punya dugaan kuat. Kau berada di balik
kematian dua pemuda
yang melamar Nyi Lara! Cepat atau lambat aku akan membuktikan!" Adipati Salatiga
itu memandang pada
Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
6 Nyi Lara dan berkata. "Saya akan kembali ke sini setelah empat puluh hari
perkabungan..."
"Adipati," Nyi Larasati yang sejak tadi berdiam diri karena tidak tahan akhirnya
berkata. "Saya tidak mengharapkan kedatangan Adipati. Setelah empat puluh hari
ataupun setelah seratus atau dua ratus hari.
Saya tidak menginginkan lagi pertemuan dengan Adipati, kapan atau di manapun.
Saya ingin menegaskan
ucapan Ki Sarwo. Saya tidak bisa menerima pinangan Adipati..."
"Apa karena saya sudah punya dua istri hingga Nyi Lara menolak?"
"Bukan, bukan karena itu. Saya hanya belum terpikir untuk menikah lagi..."
"Ketika Adipati Jalapergola berpulang usianya hampir enam puluh tahun. Jauh
lebih tua dari saya
yang baru tiga puluh tahun. Di usia saya yang lebih muda, dengan kedudukan yang
akan menjulang tinggi,
saya bisa memberikan kebahagiaan tak terhingga pada Nyi Lara."
Nyi Lara menggeleng. "Kebahagiaan tidak selamanya terletak pada usia, harta atau
pangkat tinggi.
Malah usia yang terlalu belia terkadang membawa bencana karena cupak dangkalnya
jalan pikiran."
Jatilegowo menyeringai. Tampangnya mengelam mendengar ucapan Nyi Larasati. "Nyi
Lara," katanya, "saya hanya memperingatkan. Mudah-mudahan Nyi Lara mau memikirkan
kembali niat baik
saya. Jika Nyi Lara berani menolak, saya tidak segan-segan untuk menjadikan
gedung Kadipaten ini sama
rata dengan tanah. Semua orang yang berani menentang maksud saya akan menemui
ajal secara mengenaskan!" Habis berkata begitu dengan tubuh bergetar karena menahan geram,
Jatilegowo hunjamkan tumit kirinya.
"Braakkk!"
Lantai batu pualam hancur berantakan, melesak membentuk lobang besar sedalam
satu jengkal! Nyi Larasati menjerit kaget. Ki Sarwo Ladoyo berteriak marah. "Adipati
Jatilegowo! Apa yang kau
lakukan"! Beraninya kau merusak bangunan Kadipaten!"
"Orang tua! Masih untung lantai ini yang kubuat berlobang! Bukan batok
kepalamu!" tukas Adipati
Jatilegowo seraya keluarkan suara mendengus.
Ki Sarwo melangkah ke hadapan Adipati Salatiga itu. Sambil menunjuk ke arah
pintu dia membentak.
"Keluar! Jangan berani lagi menginjakkan kaki di tempat ini!"
Jatilegowo tertawa bergelak. "Orang tua, aku sudah lama mendengar nama besarmu
yang konon dijuluki Pendekar Badai Pesisir Selatan. Kurasa sekarang saatnya yang tepat
untuk menjajal kehebatanmu!"
"Kau membeli aku menjual! Siapa takut!" Ki Sarwo Ladoyo keluarkan ucapan keren.
Sekali berkelebat
tubuhnya berubah menjadi bayangan putih, melesat ke luar pintu ruangan. Di lain
kejap sosoknya sudah
berada di halaman depan gedung Kadipaten, tegak kaki merenggang dua tangan
dirangkap di atas dada.
Adipati Urakan Jatilegowo tak mau kalah. Dua kakinya digerakkan. Saat itu juga
laksana terbang
tubuhnya menghambur ke halaman gedung Kadipaten. Ketika hendak melayang turun
dia tidak langsung
jatuhkan diri di tanah tapi kaki kanannya sengaja dihunjamkan ke kepala Ki Sarwo
Ladoyo. Orang tua ini
yang sudah berlaku waspada cepat miringkan kepala. Dua kaki tetap tak bergerak
menjejak tanah tapi
tangan kanan menyambar ke atas.
"Wuutt!"
Kalau tidak cepat Jatilegowo mengibaskan kakinya menghindari pukulan, kaki kanan
itu pasti akan remuk dimakan pukulan Ki Sarwo Ladoyo.,
Sambil tertawa bergelak Adipati Urakan dari Salatiga itu tegak berkacak
pinggang. "Orang tua, aku
yang muda ingin menjajal sampai di mana kehebatan pukulan Badai Pesisir Selatan.
Aku siap menerima
pukulan!" Tangan yang berkacak pinggang perlahan-lahan diturunkan ke samping.
"Manusia sombong takabur! Kau meminta aku memberi!"
Ki Sarwo Ladoyo palangkan dua lengan di depan dada, membuat dua kali gerakan
sambil kerahkan
tenaga dalam. Saat itu juga seolah turun dari langit, menggelegar suara angin
membadai, berputar
laksana gasing, terlihat oleh mata menyusup masuk ke dalam tangan kanan Ki Sarwo
yang telah membentuk kepalan. Ketika kepalan itu dipukulkan ke arah Adipati Salatiga, suara
menderu dahsyat
melabrak ganas. Tubuh Jatilegowo bergetar lalu bergoyang keras, tapi dua kakinya
masih tetap menjejak
tanah. Ki Sarwo terkesiap melihat kejadian itu. Selama ini jika musuh dihantam demikian
rupa pasti akan
mencelat mental dengan sekujur tubuh hancur memar. Tapi Jatilegowo masih sanggup
bertahan, bahkan
dua kakinya tidak bergerak dari tanah yang dipijaknya. Mulut Ki Sarwo berkomat-
kamit. Tenaga dalam
dialirkan penuh ke tangan kanan. Untuk ke dua kalinya dia menghantam.
"Byuurrr!"
Gelombang angin badai melabrak. Jatilegowo bertahan sambil melintangkan dua
telapak tangan di
depan dada menyambuti pukulan Badai Pesisir Selatan yang kali ini memang bukan
olah-olah dahsyatnya. Dia kerahkan tenaga dalam. Tak urung dua kakinya terangkat ke atas.
Ini membuat Jatilegowo terkejut, cepat dia kerahkan seluruh tenaga dalam lain dorongkan dua
tangan ke depan. Inilah
pukulan yang disebut Dua Gunung Meroboh Langit.
Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
7 Dua pukulan sakti mengandung tenaga dalam tinggi beradu dahsyat. Ki Sarwo
terpental, jatuh
terbanting dan tergeletak di tangga gedung Kadipaten. Blangkonnya mencelat
mental entah ke mana.
Rambutnya yang putih kelihatan berjingkrak kaku. Dari sela-sela rambut mengepul
asap tipis. Ki Sarwo
mencoba bangkit. Baru setengah tegak dia muntahkan darah segar. Orang tua ini
cepat jatuhkan diri,
duduk bersila. Atur jalan nafas dan peredaran darah. Di kejauhan dia mendengar
suara gelak Jatilegowo.
Adipati ini melompat ke atas kudanya, tinggalkan halaman Kadipaten diikuti tiga
orang pengawal. Dadanya
terasa sesak. Dia memang masih bisa tertawa tapi di sela bibirnya ada darah
kental menetes. Dua
lengannya mendadak bengkok dan kaku. Belum sampai dua puluh tombak memacu kuda
dia terbatuk- batuk, semburkan darah segar, pemandangannya gelap, tubuhnya rebah ke atas
punggung kuda. Pingsan! Kalau tidak lekas ditolong oleh para pengawal, tubuhnya akan roboh
terbanting ke tanah.
* * * Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
8 3 BERPERAHU di Kali Tuntang memang nyaman. Selain air kali tenang, sejuk jernih,
pemandangan di kiri
kanan kali juga indah. Siang itu mentari sering tersembunyi di balik gumpalan
awan tebal hingga udara
tidak terasa panas. Di atas air kali yang tenang, meluncur sebuah perahu.
Penumpangnya seorang lelaki
separuh baya berkumis lebat, duduk di bagian belakang perahu, bertindak sebagai
pendayung merangkap
juru kemudi. Di depan si kumis ini duduk perempuan berbaju kembang-kembang. Dia
adalah pelayan yang
saat itu tengah mengipas bara api pembakar ikan segar di atas sebuah pembakaran
besar yang diletakkan di lantai perahu. Harumnya daging yang dipanggang menyebar ke mana-
mana. Tiga bungkus
nasi dengan lalapan dan sambal siap disantap, tinggal menunggu matangnya ikan
yang sedang dipanggang. Di bagian depan perahu duduk seorang perempuan muda berusia sekitar
dua puluh tiga tahun, berwajah cantik jelita, murah senyum, mengenakan pakaian jingga. Rambut
kecoklatan diikat
dengan sehelai setangan di atas kepala hingga wajahnya yang bujur telur terlihat
mulus menawan. Sambil
menikmati pemandangan indah di kiri kanan Kali Tuntang, mulutnya yang mungil
perlahan-lahan menyanyikan sebuah tembang. Dari pancaran wajahnya jelas perempuan ini benar-
benar menikmati
semua keindahan yang ada di sepanjang kali yang dilewati. Jarang-jarang dia
berada dalam keadaan


Wiro Sableng 126 Badik Sumpah Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti ini. Karena itu dia benar-benar ingin memuaskan hati.
"Paman Rejo, saya ingin kita mampir dulu di Telaga Pening. Pemandangannya indah,
ikannya besar- besar..." Lelaki berkumis di bagian belakang perahu tersenyum. "Jeng Ayu Kemuning, Paman
mau-mau saja mengikuti keinginan Jeng Ayu, tapi khawatir kita kemalaman. Kalau Adipati
Jatilegowo lebih dulu kembali
ke Kadipaten, Paman dan Bi Suti bisa kena damprat habis-habisan. Jeng Ayu tahu
sendiri kalau Adipati
sudah marah. Tangan dan kaki bisa melayang ke mana-mana."
Perempuan muda bernama Sri Kemuning tersenyum. "Adipati tidak akan pulang malam
ini. Paling cepat besok pagi. Dia ada urusan besar di Temanggung."
"Paman tahu kalau Adipati ke Temanggung. Tapi tidak tahu urusannya. Mungkin Jeng
Ayu mengetahui. Ah, lupakan ucapan Paman. Tidak sepantasnya Paman mau tahu urasan
Adipati, suami Jeng
Ayu." "Tidak apa-apa. Saya tahu mengapa dia ke Temanggung. Saya suka kalau Paman Rejo
dan Bi Supi mengetahui. Urusan Adipati Jatilegowo ke Temanggung adalah untuk melamar janda
Adipati Temanggung
yang konon kabarnya cantik sekali. Bernama Larasati."
Paman Rejo dan Bi Supi sama-sama terkejut mendengar kata-kata Sri Kemuning.
"Adipati mau kawin lagi" Paman hampir tak bisa percaya mendengar ucapan Jeng
Ayu," kata Rejo
sambil memandang pada Bi Supi.
"Memang, siapa yang bisa percaya. Adipati sudah punya dua istri. Masih mencari
istri lagi. Istri ketiga.
Nanti kalau masih tidak puas cari lagi istri ke empat, ke lima. Bisa-bisa sampai
sepuluh. Dasar mata
keranjang. Itu sebabnya setiap dia tidak ada, saya ingin bersenang-senang. Di
gedung Kadipaten walau
semuanya tersedia dan serba mewah, namun hati rasanya tertekan. Nasib saya punya
suami Adipati, tapi
Adipati galak dan mata keranjang! Beberapa kali saya coba kabur dari gedung
Kadipaten, tapi para
pengawal selalu menemukan saya dan membawa saya kembali ke Kadipaten. Kalau
sudah begitu tempelengan datang seperli hujan. Padahal kalau Adipati membunuh saya, rasanya
saya lebih suka.
Kalau sudah mati, bebas sudah dari semua kepahitan hidup ini."
"Jeng Ayu," kata Bi Supi. "Tidak baik menyesali nasib. Semua itu sudah takdir
dari Gusti Allah. Saat
ini Jeng Ayu bernasib seperti ini, siapa tahu lain hari ada perubahan."
"Ya... ya... ya. Takdir. Mungkin begitu," kata Sri Kemuning. "Tapi selama saya
jadi istri Adipati
Jatilegowo rasanya nasib saya tidak akan pernah berubah."
Sunyi sebentar.
"Bi Supi, perut saya sudah lapar. Ikannya sudah matang?" Sri Kemuning bertanya.
"Siap untuk disantap Jeng. Saya ambilkan nasi, lalap dan sambalnya. Kita makan
di atas perahu atau
turun ke darat?"
"Rasanya lebih sedap makan di atas perahu saja," jawab Sri Kemuning.
Ketiga orang itu lalu membuka bungkusan nasi masing-masing. Belum sempat mereka
menyuap, tiba-tiba di sekeliling perahu yang meluncur perlahan mengikuti arus air kali
yang tenang itu bermunculan
empat kepala. Empat wajah ganas basah kuyup menyeringai. Empat golok angker
berkilat ikut menyembul. Bi Supi menjerit kesakitan. Sri Kemuning menutup mulut menahan pekik sedang
Paman Rejo terkesiap kaget. Jangan-jangan empat orang itu adalah gerombolan penjahat.
Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
9 "Siapa kalian"!" bentak Paman Rejo sambil melintangkan kayu pendayung di depan
dada. Matanya melirik pada sebilah golok besar yang ada di lantai perahu di ujung kakinya.
"Siapa kami"!" orang di samping perahu sebelah kanan menyeringai. Seperti kawan-
kawannya orang ini berambut gondrong, wajah tertutup kumis dan cambang bawuk basah. "Kawan-
kawan! Apakah kita
perlu menerangkan siapa kita"! Ha... ha... ha!"
Empat orang itu tertawa bergelak.
Orang yang muncul di bagian depan perahu memandang mendelik pada Sri Kemuning
lalu berseru. "Kawan-kawan! Rejeki kita besar sekali hari ini. Lihat, ada gadis cantik jelita
duduk di depan perahu!"
Orang yang berseru tidak mengetahui dan menyangka bahwa Sri Kemuning masih
seorang gadis. Mendengar seruan itu, tiga orang lainnya yang berada di bagian belakang dan
samping kiri kanan segera
bergerak ke bagian depan perahu.
"Ah..." Ketiganya sama keluarkan suara berdecak kagum. Salah seorang di
antaranya bermata belok
dan menjadi pimpinan berkata. "Wajah cantik, kulit mulus. Dandanan kalung,
gelang, giwang dan cincin
emas! Lengkap sudah! Aku akan mengambil bagianku lebih dulu! Kalian boleh antri
menunggu!" Habis
bicara si mata belok lalu perintahkan temannya mendorong perahu ke pinggir kali.
"Tunggu! Kalian siapa"! Kalian mau berbuat apa"!" Dari belakang perahu Rejo
berteriak sambil
berdiri. Sebilah golok tergenggam di tangan kanannya.
"Bangsat goblok! Berani cari penyakit!" Orang bermuka burik berteriak marah lalu
babatkan goloknya
ke kaki Rejo. Lupa kalau dirinya berada di atas perahu, Rejo melompat selamatkan
kaki. Akibatnya perahu
bergoyang keras. Di udara Rejo kehilangan keseimbangan. Masih untung dia jatuh
melintang di badan
perahu, tidak kecebur ke dalam kali. Saat itu si muka burik kembali ayunkan
goloknya. Entah mengapa dia
tidak membabat, tapi pergunakan gagang golok untuk memukul kening Rejo. Orang
ini langsung pingsan
dengan kening robek mengucurkan darah. Bi Supi dalam puncak ketakutannya
terkulai di lantai perahu,
ikutan pingsan. Tinggal Sri Kemuning sendirian. Istri Adipati Salatiga ini
menjerit ketakutan.
"Aku istri Adipati Jatilegowo dari Salatiga! Jika kalian berani berbuat jahat
terhadapku kepala kalian
berempat akan dipancung!"
Empat orang yang tengah mendorong perahu ke pinggir kali jadi saling pandang,
sama terkejut mendengar teriakan Sri Kemuning. Di antara mereka ada yang tidak percaya. Si
mata belok yang jadi
pimpinan kemudian malah tertawa bergelak. "Kalau kau memang istri Adipati
Salatiga, kami akan
mendapat untung berlipat ganda. Kami akah bersenang-senang dulu dengan dirimu
lalu minta tebusan
uang pada suamimu!" Si mata belok usap betis Sri Kemuning. Perempuan ini
mengelak, coba menendang
kepala orang dengan kakinya tapi meleset.
Perahu akhirnya sampai ke pinggir kali. Si mata belok naik ke atas perahu, tiga
temannya memegangi
perahu agar tidak goyang.
"Jangan sentuh! Pergi!" teriak Sri Kemuning.
Si mata belok keluarkan suara berdecak berulang kali, mata memandang Sri
Kemuning dari kepala
sampai ke kaki seperti mau menelanjangi, dia geleng-gelengkan kepala tanda
kagum. Tiba-tiba dia
menyergap. Sri Kemuning tenggelam dalam rangkulannya. Puas menciumi perempuan
itu dia melompat
ke daratan sambil memanggul Sri Kemuning. Di pinggir kali saat itu berdiri
seorang pemuda berpakaian
putih, tertawa lebar ketika melihat si mata belok melangkah ke arahnya sambil
membopong Sri Kemuning.
Melihat pemuda itu timbul harapan dalam diri Sri Kemuning karena menyangka
dirinya akan mendapat
pertolongan. Tapi dia jadi lemas ketika mendengar ucapan si pemuda.
"Sobat mata belok, aku sudah lama menunggu di sini! Si cantik itu tentu hendak
kau serahkan padaku! Kalau aku sudah puas nanti kuberikan padamu!"
"Ya Tuhan, pemuda itu rupanya pimpinan empat orang jahat ini!" kata Sri Kemuning
dalam hati. Namun dia jadi heran ketika mendengar penjahat yang membopongnya membentak
garang. "Bangsat gondrong! Siapa kau!"
Tiga kawan si mata belok yang masih berada dalam kali serta merta melesat ke
daratan sambil menghunus golok.
"Kawasan Kali Tuntang adalah wilayah kekuasaanku! Apa salah kalau aku meminta
agar kalian menyerahkan si cantik jelita itu padaku" Seharusnya aku menggebuk kalian karena
berani berbuat kejahatan tanpa sepengetahuanku!" Pemuda itu menyeringai, basahi bibir dengan
ujung lidah lalu ulurkan
dua tangan seolah siap menerima tubuh Sri Kemuning.
"Burik! Bunuh pemuda gila ini!" teriak si mata belok.
"Akan kucincang!" teriak penjahat yang mukanya penuh dengan bercak-bercak hitam.
Golok di tangan Si Burik membabat deras ke arah dua tangan si pemuda yang terulur.
Laksana kilat dua tangan yang hendak dibabat putus ditarik lalu kaki kanan si
pemuda bergerak.
"Bukkk!"
Satu tendangan mendarat telak ke perut Si Burik. Tak ampun penjahat ini mencelat
mental lalu jatuh
kecebur ke dalam air. Sesaat kelihatan dia megap-megap sambil berusaha berenang
ke pinggir kali,
Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
10 namun sosoknya kemudian tenggelam tak muncul lagi! Tiga penjahat mendelik kaget,
tidak mengira pemuda yang disangka berotak miring itu ternyata punya ilmu silat tinggi.
Sambil menyeringai si pemuda kembali ulurkan dua tangannya ke arah si mata
belok. "Mata belok, kau masih belum mau menyerahkan si cantik itu padaku! Tunggu apa
lagi?" "Jahanam kurang ajar!" Si belok totok urat besar di pangkal leher Sri Kemuning.
Tubuh Sri Kemuning
yang kini menjadi kaku tak bisa bergerak itu, diturunkan lalu disandarkan ke
sebatang pohon. Si belok
mencabut goloknya. Mata beloknya berkilat mencorong mengerikan.
"Pemuda edan! Kau tidak tahu berhadapan dengan siapa! Aku Suto Menggolo! Akulah
penguasa Kali Tuntang mulai dari hulu sampai ke hilir! Siapa berani berlaku kurang ajar, nyawa
imbalannya!"
Suto Menggolo kepala penjahat itu memberi tanda pada dua temannya. Tiga orang
penjahat yang memang sudah sejak lama malang melintang di sepanjang Kali Tuntang itu segera
menyerbu. Tiga golok
berkelebat ganas di udara mencari sasaran di kepala, dada dan pinggang si
pemuda. Pemuda yang diserang keluarkan suitan keras. Tubuh menghuyung, kepala merunduk.
Golok pertama lewat berdesing sejari di atas rambutnya. Golok kedua yang membabat ke
dada juga tak mengenai sasaran karena dengan membuat satu gerakan aneh si pemuda berhasil
selamatkan diri. Golok
ketiga menyambar ke pinggang, tak sempat mencapai sasaran karena lengan si
penyerang keburu
dimakan tendangan kaki kanan.
"Kraaak!" Tulang lengan patah. Golok mental ke udara. Si pemuda melompat
menyambar golok
seraya kakinya sekali lagi bekerja menendang dada orang hingga menyusul
kawannya, terlempar kecebur
masuk ke dalam kali.
Suto Manggolo dan anak buahnya yang tinggal satu heran dan kecut melihat apa
yang terjadi. Tidak
masuk di akal, mereka yang sudah punya segudang pengalaman bisa dibuat tak
berdaya dengan beberapa gebrakan saja oleh seorang pemuda tak dikenal. Suto Menggolo tidak mau
cari penyakit. Jelas
pemuda itu seorang pendekar dari rimba persilatan yang memiliki kepandaian
tinggi. Dari pada babak
belur hancur-hancuran lebih baik pergunakan akal.
"Orang muda, kalau kau inginkan istri Adipati itu silahkan ambil! Aku hanya akan
mengambil perhiasannya!" Suto Menggolo bergerak ke pohon besar di mana Sri Kemuning tadi
disandarkannya dalam keadaan tertotok.
"Mana bisa begitu! Aku justru inginkan ke dua-duanya. Si cantik berikut
perhiasannya! Kau boleh
mengambil kentutnya saja! Ha... ha... ha!"
Mendengar ucapan si pemuda menggelegaklah amarah Suto Menggolo. Rasa kecutnya
lenyap. Darah naik ke kepala. Mata membeliak tambah besar. Golok di tangan kanan bersuit
di udara, lenyap
berubah menjadi kilatan maut, menyambar ke arah tenggorokan si pemuda. Dari
samping anak buah Suto
Menggolo ikut menggebrak. Dua golok besar bertabur di udara. Rupanya pimpinan
dan anak buah penjahat Kali Tuntang ini sengaja keluarkan jurus-jurus maut mereka. Mau tak mau
pemuda yang jadi
bulan-bulanan serangan harus berlaku hati-hati. Dua jurus terdesak hebat. Jurus
ke tiga dia mulai
membuka serangan. Gerakannya aneh, seperti sempoyongan, seperti orang mabok,
terkadang mendorong lawan seenaknya. Lalu tertawa-tawa seperti orang kerasukan. Merasa
dipermainkan, dua
orang penjahat kertakkan rahang, memperhebat serangan mereka. Tapi sampai tubuh
mereka mandi keringat, tak satupun serangan mereka mampu mengenai lawan. Gagang golok terasa
licin oleh basahan
keringat. Kalau diteruskan senjata itu bisa-bisa terlepas dari genggaman.
"Cukup!" tiba-tiba di jurus ke dua belas si pemuda berteriak. Tubuhnya melesat
ke depan. Tangan
kanannya berputar seperti titiran. Itulah jurus yang dinamakan "Kincir Padi
Berputar".
"Plaakk!"


Wiro Sableng 126 Badik Sumpah Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anak buah Suto Menggolo menjerit keras ketika mukanya dilabrak tamparan keras
yang membuat mulutnya kucurkan darah. Tiga buah gigi rontok!
Belum lepas jerit kesakitan keluar dari mulutnya, satu sodokan siku menghantam
rusuknya. "Kraaakk!" Dua tulang iga patah. Penjahat itu megap-megap sempoyongan lalu jatuh
terkapar mengerang menggeliat-geliat.
Tinggal sendirian Suto Menggolo putus nyalinya. Kepala rampok itu tak ingat lagi
muka cantik, tubuh
mulus dan perhiasan yang melekat di tubuh Sri Kemuning. Dia cepat memutar tubuh
siap melarikan diri,
namun lawan tak memberi kesempatan. Sebelum penjahat Kali Tuntang itu merat,
tulang tunggirnya
keburu dimakan tendangan. Suto Menggolo menjerit keras. Tubuhnya mencelat,
tersungkur di tebing kali.
Dia coba bangkit berdiri tapi pemandangannya gelap. Dia tak bisa melihat apa-
apa. Selain itu dua kakinya
mendadak lumpuh. Suto Menggolo melosoh di tanah, mengerang tak berkeputusan.
Si pemuda melangkah ke pohon besar. Sepasang mata Sri Kemuning membeliak
ketakutan. Walau
totokan Suto Menggolo membuat tubuhnya kaku tapi jalan suaranya masih terbuka.
Istri Adipati Salatiga
ini keluarkan suara keras.
"Jangan berani berlaku kurang ajar padaku! Aku istri Adipati Salatiga!"
Si pemuda sesaat hentikan langkah, pandangi wajah cantik jelita itu lalu tertawa
lebar. "Kau begini
Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
11 muda, cantik rupawan. Tadinya aku mengira kau masih seorang gadis remaja. Bunga
indah di tengah
belantara. Tidak tahunya sudah jadi istri orang. Beruntung sekali Adipati
Salatiga punya istri secantik ini!
Tapi mengapa dia kurang perhatian membiarkan istri cantik jelita berkeliaran
seorang diri!"
"Berkeliaran! Memangnya aku kerbau atau sapi!" Sri Kemuning membentak.
Si pemuda tertawa tergelak-gelak. "Aku orang desa," katanya. "Jadi tidak tahu
mempergunakan bahasa yang baik!" Pemuda itu mendekat, ulurkan tangannya.
"Kau mau berbuat apa! Jangan berani menyentuh tubuhku!"
Si pemuda masih tertawa-tawa.
"Aku cuma mau melepaskan totokan di tubuhmu," katanya.
"Alasan! Awas! Jangan tanganmu berani menyentuh tubuhku!"
Si pemuda garuk-garuk kepala. "Kalau kau tidak mau kusentuh dengan tangan,
baiklah. Aku akan
pergunakan cara lain untuk membuka totokan di lehermu. Cara ini mungkin lebih
kau suka!"
Lalu tidak terduga, tiba-tiba si pemuda rundukkan kepalanya. Mulutnya mengecup
urat besar di pangkal leher Sri Kemuning di bagian mana Suto Menggolo tadi menotoknya. Begitu
totokan yang membuat sekujur tubuhnya punah, Sri Kemuning meraba lehernya. Ada rasa aneh
menjalari sekujur
auratnya, yang selama ini tidak pernah dirasakannya. Dia seolah terkesiap dalam
satu kenikmatan.
Namun begitu sadarkan diri, Sri Kemuning berteriak marah, wajahnya bersemu
merah. Dia pukulkan dua
tangannya ke dada si pemuda.
"Pemuda kurang ajar! Aku...!" Sri Kemuning kembali hendak memukul. Namun dua
lengannya cepat
dicekal oleh si pemuda.
"Tunggu! Apa aku salah"! Aku cuma menuruti kemauanmu!" kata si pemuda. "Kau
bilang tidak boleh
menyentuh tubuhmu dengan tanganku! Apa aku salah kalau menyentuhmu dengan
bibirku"!"
"Kurang ajar! Lepaskan tanganku!"
Si pemuda tersenyum dan lepaskan pegangannya pada dua tangan Sri Kemuning.
"Nah, sudah kulepaskan. Sekarang apa lagi" Mau bibir lagi"!"
"Manusia kurang ajar! Sinting! Aku akan laporkan perbuatan kurang ajarmu pada
Adipati!" "Aku senang kalau sampai di penjara. Asal penjaraku di Kadipaten berdampingan
dengan kamar tidurmu dan ada pintu rahasianya! Ha... ha... ha! Selamat tinggal orang cantik!"
"Pemuda sinting! Jangan berani melarikan diri!"
Si pemuda garuk-garuk kepala. Saat itu Rejo dan Bi Supi telah sadar dari pingsan
mereka, dengan susah payah keduanya turun dari perahu, naik ke tebing kali. Rejo melangkah
sambil pegangi kepalanya
yang luka. Bi Supi berjalan terbungkuk-bungkuk. Keduanya sampai di tempat di
mana Sri Kemuning
berada bersama seorang pemuda.
"Jeng Kemuning, siapa pemuda itu" Apa yang terjadi di tempat ini?" Rejo
memandang berkeliling.
Pikirannya masih belum jernih.
"Ah, ini suamimu?" Si pemuda tiba-tiba bertanya.
"Edan! Enak saja asal bicara!" hardik Sri Kemuning. "Orang ini adalah pembantu
kepercayaanku!"
"Oo... Maaf, aku kira dia Adipati Salatiga suamimu," ujar si pemuda sambil
senyum-senyum dan
garuk-garuk kepala. "Sekarang kau sudah aman. Ada dua pembantu menemanimu. Lekas
pulang, sebentar lagi matahari akan tenggelam. Dan ingat, lain kali jangan suka
berkeliaran ke mana-mana..."
"Kurang ajar! Aku bukan sapi! Bukan kerbau!" teriak Sri Kemuning.
"Aku tahu, aku tahu!" jawab pemuda itu lalu kedipkan mata, lambaikan tangan dan
tinggalkan tempat
itu. "Jeng Ayu Sri Kemuning, siapa pemuda itu" Kembali Rejo bertanya.
"Saya tidak tahu, Paman. Semula saya sangka dia pimpinan empat penjahat di kali
tadi. Ternyata tidak..." Lalu Sri Kemuning menuturkan apa yang terjadi sewaktu Rejo dan Bi Supi
masih pingsan di atas
perahu. "Jeng Ayu, jika benar pemuda itu telah menolong Jeng Ayu, seharusnya Jeng Ayu
tidak bersikap kasar padanya..."
"Tapi dia..." Sri Kemuning tidak meneruskan ucapannya. Tangan kanannya berulang
kali dipergunakan mengelus pangkal leher yang tadi dikecup si pemuda sewaktu
melepaskan totokan.
"Sayang, kita tidak tahu siapa adanya pemuda itu. Tidak tahu namanya..." Rejo
berkata dan kembali
pegangi keningnya yang luka dan benjut. Dia terdiam sebentar. Lalu berkata lagi.
"Paman ingat sesuatu.
Sekilas tadi ketika dada bajunya tersingkap Paman lihat ada jarahan tiga angka
di dadanya..."
"Angka apa Paman?" tanya Sri Kemuning.
"Angka 212," jawab Rejo.
"Angka 212" Apa artinya itu?"
"Paman tidak tahu artinya. Paman cuma tahu, pendekar dengan angka pengenal 212
itu adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng..."
"Wiro Sableng?" ujar Sri Kemuning lalu secercah senyum muncul di bibirnya yang
mungil. Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
12 "Ya, namanya Wiro Sableng. Di masa lalu, dia dan juga gurunya banyak membantu
Kerajaan."
"Wiro Sableng," gumam Sri Kemuning. "Hemm... pantas..." jari-jari tangannya
mengelus leher di
bekas kecupan si pemuda.
"Pantas" Pantas apa maksud Jeng Ayu?"
"Tidak, tidak apa-apa," jawab Sri Kemuning masih mengulum senyum.
Dalam hati Paman Rejo berkata. "Aneh, tadi dia marah besar pada pemuda itu.
Sekarang mengapa
senyum-senyum seolah-olah ada rasa suka?"
* * * Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
13 4 SOSOK tua Ki Sarwo Ladoyo terbaring di atas ranjang, dalam sebuah kamar yang
terletak jauh di
halaman belakang bangunan Kadipaten Temanggung. Tubuh itu nyaris hampir sama
rata dengan pembaringan. Sejak menderita luka dalam akibat bentrokan kekuatan hawa sakti
dengan Jatilegowo
hampir sebulan lalu, orang tua sesepuh Kadipaten Temanggung itu tak pernah lagi
meninggalkan tempat
tidur. Sakit yang menyerang dadanya, membuat nafasnya sesak berkepanjangan tak
pernah dapat disembuhkan. Beberapa orang tabib telah didatangkan. Berbagai macam obat telah
diberikan namun sakit
Ki Sarwo Ladoyo tidak berkurang, apa lagi disembuhkan. Tubuhnya tinggal kulit
pembalut tulang. Hanya
sepasang mata orang tua ini yang masih kelihatan tegar, berusaha bertahan hidup
dengan sisa-sisa
semangat yang ada.
Seorang pemuda berwajah cakap duduk bersila di samping tempat tidur. Selama Ki
Sarwo sakit, pemuda ini sering menjagainya. Melayani keperluan si orang tua, memberikan obat
atau memberikan
minum. Pemuda ini bernama Loh Gatra dan dia adalah cucu tunggal yang sangat
disayangi oleh Ki Sarwo
Ladoyo. Loh Gatra mengusap kening kakeknya. Lalu bertanya. "Kakek Sarwo, apakah kau
ingin minum?"
Tak ada jawaban. Lalu mata Ki Sarwo bergerak sedikit ke kiri. Itu sudah cukup
sebagai pertanda bagi
Loh Gatra bahwa kakeknya memang ingin minum. Pemuda ini mengambil selembar daun
sirih dari atas
sebuah meja kecil di samping tempat tidur. Daun sirih ditekuk lalu disiram
dengan air putih dari dalam
sebuah kendi tanah. Setetes demi setetes air yang ditampung di atas daun sirih
itu dimasukkan Loh Gatra
ke mulut kakeknya.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Di ambang pintu berdiri Nyi Larasati didampingi
seorang pembantu
perempuan. Loh Gatra cepat berdiri, meletakkan daun sirih di atas meja lalu
membungkuk hormat. Sesaat
Nyi Larasati menatap ke arah si pemuda. Sebelumnya mereka sudah sering bertemu.
Dalam setiap pertemuan Loh Gatra selalu menunjukkan sikap hormat hingga lambat laun
menimbulkan rasa suka di hati
Nyi Larasati terhadap pemuda ini. Apa lagi Loh Gatra adalah cucu tunggal
pembantu kepercayaannya.
Nyi Larasati melangkah masuk ke dalam kamar. Pembantu tetap berdiri di ambang
pintu. Di tepi pembaringan janda cantik itu tegak sesaat memandangi wajah dan sosok Ki Sarwo
dengan hati sedih
haru. "Ki Sarwo, harap dimaafkan. Saya terpaksa kembali mengganggu dalam sakitmu.
Keadaan gawat."
"Nyi Lara, saya minta diri keluar ruangan. Mungkin Nyi Lara ingin bicara berdua
saja dengan Kakek."
Loh Gatra berucap seraya siap melangkah menuju pintu.
"Tidak usah, tetap saja di sini. Lebih baik jika kau juga mengetahui keadaan
yang akan saya bicarakan dengan Kakekmu," kata Nyi Larasati.
"Dengan izin Nyi Lara saya akan tetap berada di sini," kata Loh Gatra seraya
membungkuk. "Nyi Lara..." Ki Sarwo berucap. Suaranya sangat perlahan, hampir-hampir tidak
terdengar. Karenanya
Nyi Lara lebih mendekat ke tepi tempat tidur. "Katamu keadaan mulai gawat. Apa
yang terjadi?"
"Adipati Jatilegowo. Pagi tadi dia mengirimkan utusan. Memberi tahu sekaligus
mengingatkan bahwa
minggu depan tepat empat puluh hari berpulangnya Adipati Jalapergola. Pada hari
ke empat puluh satu
dia akan berangkat dari Salatiga untuk menyampaikan pinangan. Dia akan membawa
sejumlah besar pasukan. Jika saya menolak, Kadipaten Temanggung akan ditumpasnya, sama rata
dengan tanah."
"Manusia sesat itu..." ujar Ki Sarwo Ladoyo. "Sudah punya istri dua, apa tidak
cukup" Nyi Lara, apa
yang bisa saya bantu" Nyi Lara tahu sendiri keadaan saya."
"Saya mohon maaf kalau menyusahkan Ki Sarwo. Saya tidak takut menghadapi ancaman
Adipati Jatilegowo. Tapi saya sangat takut rakyat akan menderita. Minggu lalu saya sudah
mengirimkan utusan ke
Kotaraja. Tapi utusan itu tak pernah kembali. Belakangan saya ketahui utusan itu
dihadang di tengah jalan
lalu dibunuh."
"Pasti Jatilegowo yang punya pekerjaan!" kata Ki Sarwo.
"Saya juga menduga begitu," jawab Nyi Lara,
"Berarti di gedung Kadipaten ini ada musuh dalam selimut yang memberi tahu pada
Jatilegowo apa yang hendak kita lakukan. Kita harus berhati-hati Nyi Lara. Sangat berhati-
hati." "Ki Sarwo, jika saya menolak Jatilegowo pasti akan melaksanakan niatnya..."
"Nyi Lara, apakah Nyi Lara bermaksud hendak menerima pinangan orang itu?" tanya
Ki Sarwo, Wajah Nyi Lara tampak kemerahan. Dia melirik ke samping ke arah Loh Gatra yang
sejak tadi memandanginya. Ditatap oleh Nyi Lara, si pemuda cepat tundukkan kepala.
"Apapun yang terjadi saya tidak akan menerima pinangan Jatilegowo. Harus ada
sesuatu yang bisa
kita lakukan. Itu sebabnya saya datang ke sini. Meminta petunjuk Ki Sarwo."
Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
14 "Satu minggu lagi. Waktu kita tidak banyak..." Mata cekung Ki Sarwo menerawang
menatap langit-
langit kamar. "Bagaimana kalau saya sendiri yang berangkat ke Kotaraja?" Nyi Lara tiba-tiba
bertanya. "Jangan, terlalu bahaya... Kita harus mencari satu atau dua orang yang bisa
menghadapi Jatilegowo
dan menahan maksud gilanya. Tapi siapa?"
"Untuk keselamatan Nyi Lara, saya bersedia mengorbankan jiwa raga..." Mendadak
Loh Gatra keluarkan ucapan.


Wiro Sableng 126 Badik Sumpah Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nyi Lara berpaling pada pemuda itu. "Terima kasih atas kesetiaanmu Loh Gatra..."
kata Nyi Lara dan
dalam hati dia bertanya-tanya apakah pemuda ini sanggup menghadapi Jatilegowo
yang memiliki ilmu
tinggi" "Loh Gatra," Ki Sarwo membuka suara. "Aku tahu kau pernah berguru pada seorang
sakti di Goa Blorong. Namun tingkat ilmumu masih belum sanggup menghadapi Adipati Jatilegowo
itu. Ada satu hal
yang bisa kau lakukan. Mendekatlah ke sini. Aku akan mengatakan sesuatu..."
Loh Gatra mendekat, lalu duduk di samping tempat tidur. Kepalanya didekatkan ke
kepala kakeknya.
"Pergilah ke bukit kapur di selatan Gunung Merbabu. Cari seorang kakek buta yang
biasa dipanggil
dengan sebutan Kakek Segala Tahu. Minta bantuannya untuk mencari tahu di mana
beradanya Pendekar
212 Wiro Sableng. Jika dia memberi tahu, kau harus mencari pendekar itu dan
sebelum satu minggu kau
sudah membawanya ke sini. Ini pekerjaan berat, bukan mustahil kau tidak sanggup
melakukan. Apa lagi
Pendekar 212 Wiro Sableng tidak mudah ditemukan. Tapi kau harus berusaha. Kita
semua harus berusaha."
"Tugas dari Kakek akan saya laksanakan," kata Loh Gatra pula. "Jika diizinkan
saya akan berangkat
sekarang juga."
"Kau boleh pergi setelah Nyi Lara memberi izin," kata Ki Sarwo.
"Saya memberi izin," ujar Nyi Larasati pula. "Tapi tunggu sampai saya
menyelesaikan pembicaraan
dengan kakekmu." Nyi Lara lalu berpaling pada si orang tua di atas pembaringan.
"Ki Sarwo, tidak
sembarang orang bakal sanggup menghadapi Jatilegowo. Saya pernah merenung
mencari jalan keluar
untuk menghadapi manusia satu itu. Muncul satu kaul dalam hati saya. Siapa saja
laki-laki yang sanggup
membunuh Adipati sesat itu, asalkan dia orang baik-baik, saya akan mengambilnya
sebagai suami."
Ki Sarwo terdiam beberapa lamanya mendengar ucapan Nyi Lara itu. Sesaat kemudian
baru dia berkata. "Nyi Lara, mohon maafmu. Saya rasa keliru mempunyai kaul seperti itu."
"Waktu mengucap kaul di dalam hati, pikiran saya sangat kacau dan takut. Saya
memohon pada Gusti Allah. Saat itulah kaul saya terucap di dalam hati. Ki Sarwo, apa yang
menjadi kaul saya tidak perlu
disebarluaskan secara terbuka, cukup disampaikan pada orang-orang tertentu saja.
Tapi saya tidak akan
melakukan apa-apa jika Ki Sarwo tidak menyetujui. Ki Sarwo jauh luas pengalaman
dari saya. Saya tidak
mengganggu Ki Sarwo lebih lama. Saya pergi..."
Nyi Lara memegang tangan kurus Ki Sarwo lalu melangkah ke pintu. Setelah tinggal
berdua dalam kamar itu bersama cucunya, Ki Sarwo berkata.
"Loh Gatra cucuku. Berapa usiamu sekarang?"
"Dua puluh empat," jawab Loh Gatra sambil hatinya bertanya-tanya mengapa
kakeknya menanyakan
usianya. "Berarti kau beberapa tahun lebih tua dari Nyi Larasati. Kau mendengar apa yang
tadi diucapkan Nyi
Lara. Apakah kau berniat untuk membantu Nyi Lara memenuhi kaulnya?"
Loh Gatra terkejut mendengar pertanyaan kakeknya itu. Si pemuda tersenyum lalu
berkata. "Nyi Lara
cantik sekali. Saya memang suka padanya. Tapi saya tahu diri siapa saya. Jika
bersangkutan dengan kaul
saya tak berani menjawab. Seperti Kakek katakan tadi, Jatilegowo bukan tandingan
saya." "Kau tak usah kawatir, aku akan memberikan satu senjata sakti mandra guna
padamu. Kau bisa
menghadapi Jatilegowo dengan senjata itu... Tapi yang penting kau lebih dulu
harus berangkat mencari
Kakek Segala Tahu, harus menemukan Pendekar 212 Wiro Sableng."
"Selama saya pergi, siapa yang akan menjaga dan merawat Kakek?" tanya Loh Gatra.
"Gusti Allah," jawab si orang tua. Sementara sang cucu memandang wajahnya dengan
air muka keheranan, Ki Sarwo Ladoyo tersenyum, lalu pejamkan dua matanya.
* * * Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
15 5 KAWASAN selatan Gunung Merbabu luas sekali. Namun hanya ada satu bukit kapur di
situ. Berarti tidak
sulit bagi Loh Gatra untuk mencarinya. Hari itu, lewat tengah hari, di bawah
terik sinar sang surya, di
kejauhan Loh Gatra telah melihat bukit itu, putih membujur dari timur ke barat.
Tanpa memperdulikan rasa
letih si pemuda segera memacu kudanya. Untuk mencapai bukit kapur itu dia harus
menempuh satu rimba
belantara lalu melewati daerah berbatu-batu, baru sampai ke bukit kapur.
Walau tidak perduli keletihan yang mendera tubuh, namun Loh Gatra sangat
memperhatikan kuda
tunggangannya. Karenanya sebelum memasuki rimba belantara Loh Gatra berusaha
mencari mata air
untuk memberi minum binatang itu. Ketika dia naik ke punggung kuda untuk
meneruskan perjalanan tiba-
tiba entah dari mana munculnya, tiga penunggang kuda telah mengurungnya. Tiga
ekor kuda tunggangan
itu bertubuh besar kokoh, bersih tanda terawat dan memiliki pelana bagus. Namun
hal ini tidak terperhatikan oleh si pemuda. Loh Gatra pemuda sopan walau memiliki kepandaian
silat cukup tinggi
namun nyaris tidak punya pengalaman. Dia menganggap semua orang itu baik dan
bersahabat. Maka
dengan tersenyum dia menyapa.
"Tiga sahabat. Kalian datang dari mana dan mau menuju ke mana" Ada sesuatu yang
bisa kulakukan untuk kalian?"
Menegur orang dengan sopan disertai senyum, Loh Gatra jadi kaget ketika salah
seorang dari tiga
penunggang kuda malah membentak dengan garang.
"Pemuda ingusan kami datang dari neraka! Memang ada sesuatu yang bisa kau
lakukan! Yaitu bunuh
diri!" Dua lelaki lainnya tertawa bergelak. Loh Gatra ternganga heran. Ada tiga orang
tak dikenal menyuruhnya bunuh diri. Apa dia berhadapan dengan orang gila" Tapi bagaimana
mungkin ada tiga
orang gila sekaligus!
"Sobatku, monyet bau kencur ini agaknya tidak punya senjata. Biar kupinjamkan
golok agar dia bisa
menggorok lehernya sendiri!"
Orang yang bicara lalu cabut golok yang tergantung di leher kuda. Golok
telanjang ini kemudian
dilemparkan ke arah Loh Gatra. Cucu Ki Sarwo ini jadi serba salah. Kalau dia
tidak menyambuti golok,
senjata yang dilemparkan itu akan mengenai dan melukai tubuhnya. Kalau dia
menyambuti, orang
mengira dia memang mau saja disuruh bunuh diri.
Mau tak mau Loh Gatra akhirnya gerakkan tangan kanan menangkap gagang golok.
"Ha... ha! Lihat! Kawan-kawan! Monyet itu menangkap golok yang kulemparkan.
Berarti dia memang
rela mau bunuh diri!"
"Tiga sahabat, antara kita tidak ada permusuhan, mengapa kalian mempermainkan
diriku?" tanya Loh
Gatra. Dia majukan kudanya lalu ulurkan golok. "Ini golokmu, ambil kembali."
"Ha... ha... ha!" Orang yang punya golok bukannya mengambil tapi malah tertawa
bergelak. "Kawan-
Tasbih Emas Bidadari 1 Jodoh Rajawali 07 Mempelai Liang Kubur Pusaka Rimba Hijau 2
^