Pencarian

Nyi Bodong 1

Wiro Sableng 144 Nyi Bodong Bagian 1


BASTIAN TITO PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
WIRO SABLENG NYI BODONG Sumber Buku: Dani (http://212.solgeek.org)
EBook: kiageng80
WIRO SABLENG NYI BODONG 1 UTAN Ngluwer ternyata luas sekali. Setelah matahari menggelintir ke barat, dalam
keadaan tangan kanan
Hcidera berat, kepala rampok Surah Nenggolo
akhirnya sampai ke tempat yang dituju. Tempat ini terletak dekat sebuah danau
kecil, dikelilingi pohon-pohon besar.
Bayangan dedaunan pepohonan yang berbagai ragam
membuat air danau seperti berwarna ketika sinar matahari memantul di permukaan
air. Di pinggir danau terlihat tiga bangunan beratap rumbia, dua agak kecil dan
tertutup dinding. Satunya besar tanpa dinding. Di dalam bangunan besar sembilan
orang duduk mengelilingi sebuah meja panjang terbuat dari bambu.
Di kepala meja sebelah kanan duduk seorang lelaki
berusia sekitar empat puluhan, berwajah cakap, memiliki kening tinggi dan alis
mata tebal. Rambut panjang sebahu.
Dibanding semua orang yang ada di tempat itu, dia satu-satunya yang berpakaian
dan berpenampilan apik rapi.
Di kiri kanan meja bambu, duduk delapan orang yang rata-rata telah berusia lebih
dari setengah abad. Dari raut wajah serta pakaian, jelas menunjukkan sebagai
orang rimba persilatan. Satu-satunya perempuan yang hadir di tempat itu adalah
seorang nenek berhidung seperti paruh burung kakak tua, bermata dingin kelabu.
Di luar bangunan dua puluh orang bertubuh tegap,
memakai blangkon dan pakaian serba hitam tegak berjaga-jaga. Di dada kiri baju
yang mereka kenakan tertera sulaman kuning rumah joglo dan dua keris bersilang.
Lelaki cakap di kepala meja sebelah kanan memandang
berkeliling lalu bertanya, "Keluarga seperjuangan yang hadir, apakah pertemuan
bisa dimulai?"
Ada yang menganggukkan kepala, banyak yang berkata mengiyakan.
"Terimakasih. Terimakasih saudara-saudara
seperjuangan bisa hadir dalam pertemuan Keraton
Kaliningrat yang ke sembilan belas ini. Seperti pertemuan yang sudah-sudah,
Ayahanda Kanjeng Pangeran Sri Paku Jagatnata meminta saya mewakili diri beliau."
"Pangeran Muda, apakah Kanjeng Pangeran Sri Paku
Jagatnata berada dalam keadaan baik?" seorang peserta pertemuan bertanya.
"Tentu saja." Lelaki yang dipanggil Pangeran Muda
menjawab sambil anggukkan kepala. "Ayahanda berkirim salam untuk semua saudara
seperjuangan. Ada beberapa hal penting yang akan kita bicarakan. Pertama perihal
madat asal kapal Cina yang sampai saat ini tidak ketahuan di mana beradanya. Dua
orang kerabat kita yang diketahui membawa madat itu ditemukan tewas. Kita masih
menelusuri siapa pembunuhnya. Dua orang kerabat
lainnya kembali dengan tangan hampa, malah salah
seorang dari mereka mendapat. Hal kedua..."
Belum sempat Pangeran Muda meneruskan ucapan
tiba-tiba di kejauhan terdengar satu jeritan keras. Lalu suara orang berlari.
Tak lama kemudian muncullah sosok lelaki pendek berkepala botak, bercambang
bawuk lebat. Dia langsung masuk ke dalam bangunan pertemuan. Nafas mengengah, dada turun
naik. Muka sepucat kain kafan.
Ada luka cukup dalam di mata kanan yang membuat bola matanya yang juling seperti
hendak meloncat keluar.
Tangan kanannya yang hancur berlumuran darah setengah mengering diletakkan di
atas meja. Tubuh terhuyung-huyung. Kalau tidak lekas dipegang orang niscaya akan
jatuh terkapar di tanah. Pertemuan menjadi geger. Seorang cepat mendekati si
botak, mengurut beberapa bagian tubuhnya sambil alirkan hawa sakti dan tenaga
dalam, memberi kekuatan. Si botak ini lalu didudukkan di sebuah kursi.
"Surah Nenggolo! Apa yang terjadi"! Mana anak
buahmu!" Lelaki yang dipanggil Pangeran Muda bertanya.
Suaranya keras mendesing tajam.
"Delapan orang anggota saya telah menemui ajal. Tiga kabur entah ke mana. Saya
mohon maafmu."
"Jangan dulu bicara soal maaf! Cepat jelaskan apa yang terjadi!" Pangeran Muda
di ujung meja membentak.
Ketakutan luar biasa Surah Nenggolo menuturkan apa yang dialaminya.
Setelah mendengar keterangan kepala rampok hutan
Ngluwer itu Pangeran Muda geleng-geleng kepala lalu berkata, "Sulit dipercaya!
Kau yang berkepandaian tinggi dan jadi andalan dipecundangi seorang perempuan
muda berotak miring! Membawa minuman keras! Dan kau tidak tahu siapa dia adanya!
Keterlaluan! Sangat memalukan!"
Pangeran Muda marah sekali. Dia bicara sampai terlonjak berdiri dari kursi.
Lelaki ini kemudian berpaling pada nenek berhidung seperti burung kakak tua
berpakaian jubah kuning pekat. Walau dia satu-satunya perempuan di
tempat itu, namun agaknya dia memiliki wibawa cukup tinggi hingga dijadikan
tempat bertanya.
"Ni Serdang Besakih, saya ingin segera mengirimkan orang kita ke perbatasan
untuk menyelidik. Mungkin perempuan itu masih berada di sekitar sana. Namun saya
perlu pendapatmu lebih dulu."
Nenek berhidung bengkok bermata kelabu
gembungkan pipinya yang kempot lalu menjawab,
"Pangeran Muda, kelihatannya kita menemui seekor ikan besar. Aku setuju kita
mengirimkan orang. Jika boleh biar aku yang pergi mencari bersama beberapa orang
saudara seperjuangan, saudara-saudara yang berpakaian seragam boleh menyusul
untuk mengawasi keadaan. Bagaimana
pendapatmu?"
"Pendapatku Nek, kau tidak perlu susah-susah
mencari! Aku sudah ada di sini!" Tiba-tiba satu suara terdengar menyahuti ucapan
si nenek. Semua orang dalam bangunan sama mendongak ke
atas atap karena suara orang yang bicara datang dari atas sana. Bersamaan dengan
itu mendadak atap bangunan
yang terbuat dari rumbia jebol! Satu sosok berwajah putih berpakaian biru
disertai suara tawa mengikik melayang turun, berdiri di atas meja dengan tubuh
sempoyongan, rambut awut-awutan! Tiga buah kendi kecil tergantung diikat
pinggang besar. Satu kendi lagi berada dalam genggaman tangan kiri. Bau minuman
keras menghampar menusuk hidung.
"Dia orangnya!" teriak Surah Nenggolo sambil
menunjuk dengan tangan kiri. Semua orang yang ada di tempat itu menjadi geger!
Lalu untuk sesaat suasana berubah hening seperti di pekuburan!
"Perempuan mabok kesasar! Siapa kau?" Seorang yang duduk di deretan kursi
sebelah kanan meja membentak.
Dia seorang tokoh silat, yang dikenal dengan julukan Gagak Ireng. Berasal dari
pantai utara, mengenakan blangkon dan pakaian warna hitam. Sepuluh kuku jari
tangan dan kaki panjang-panjang berwarna hitam.
Perempuan muka putih yang berdiri di atas meja
bambu seka minuman keras yang membasahi dagunya,
menatap ke arah Gagak Ireng lalu tertawa gelak-gelak.
Sementara tubuh masih terus bergoyang huyung.
"Siapa bilang aku mabok! siapa bilang aku kesasar!"
katanya. "Si botak pendek itu yang menuntun aku ke sini.
Aku hanya tinggal mengikuti. Hik... hik... hik!"
Tampang Surah Nenggolo jadi pucat. Dia sadar kini
mengapa perempuan bermuka putih itu tidak
membunuhnya, membiarkan dirinya lari masuk ke dalam hutan. Ternyata dia
dikuntit! Dengan muka pucat kepala rampok yang jadi anggota dan kaki tangan
orang-orang Keraton Kaliningrat ini menatap ke arah Pangeran Muda di ujung meja.
"Pangeran, saya tidak tahu kalau dia mengikuti, saya mohon maaf telah berlaku
lalai." "Botak tolol!" Gagak Ireng mendamprat. "Kau tak perlu banyak khawatir! Dia tak
bakal lama berada di sini dalam keadaan hidup!"
Karuan saja tampang Surah Nenggolo jadi semakin
pucat. Perempuan yang berdiri di atas meja berpaling ke arah Gagak Ireng, menatap
tajam, mencibir lalu tertawa
panjang, "Aku baru tahu. Rupanya ada malaikat maut di tempat ini. Hik... hik...
hik!" Dari ujung meja Pangeran Muda menegur, "Tamu yang
datang tidak diundang. Tahukah kalau kau telah berbuat dua kesalahan besar?"
Perempuan bermuka putih alihkan pandangannya ke
ujung meja sebelah kanan. "Ah, Pangeran Muda rupanya yang bicara. Dua kesalahan
besar apa yang telah aku perbuat" Mohon petunjuk Pangeran Muda." Sekali ini nada
suaranya begitu lembut dan sikapnya sangat menghormati tapi waktu bicara
sepasang matanya dikedap-kedipkan sehingga membuat Pangeran Muda jadi rikuh
jengah. Dia segera menjawab, "Kesalahan pertama kau telah
merusak atap bangunan ini. Kesalahan kedua kau berlaku kurang ajar. Berdiri di
atas meja padahal kami tengah mengadakan pertemuan dan di sini banyak orang-
orang tua yang harus kau hormati."
Sepasang alis perempuan muka putih mencuat naik,
tangan kiri mengusap-usap perut. "Kalau dua hal itu dianggap kesalahan besar,
mohon Pangeran Muda mau
mendengar penjelasanku. Soal atap yang rusak bukan salahku. Atap itu yang salah.
Mengapa dibuat dari rumbia yang lapuk" Lalu perihal aku berdiri di atas meja,
kalian semua selaku tuan rumah yang alpa. Mengapa tidak ada yang menyediakan
kursi untukku" Pangeran lihat sendiri semua kursi sudah ada yang menduduki. Apa
salah besar kalau aku terpaksa berdiri di atas meja" Malah aku rasa ini satu
pemandangan bagus yang jarang kalian saksikan.
Apakah tubuhku tidak cukup indah untuk kalian nikmati?"
Habis berkata begitu perempuan di atas meja liuk-liukkan tubuhnya sehingga
pinggulnya kelihatan melebar, dada membusung bergoyang-goyang, pantat dikedut-
kedut songgeng dan wajah mengundang penuh gairah. Semua
orang nyaris terpukau hening. Banyak yang diam-diam mencuri pandang. Mereka
seperti baru menyadari kalau perempuan di atas meja memiliki tubuh sintal
kencang menggairahkan. Dan wajahnya yang putih itu bukannya tidak cantik!
Tiba-tiba salah seorang dari dua puluh orang
berseragam hitam di luar bangunan berteriak, "Pangeran Muda, biar kami
singkirkan perempuan kurang ajar itu!"
Dua puluh orang bertubuh kekar, berpakaian serba hitam dan rata-rata memiliki
kepandaian silat cukup tinggi serta-merta mengurung bangunan beratap rumbia.
Pangeran Muda angkat tangan kiri memberi tanda.
"Kalian semua kembali ke tempat. Biar urusan ini kami yang menyelesaikan."
Di atas meja perempuan muka putih sapukan pan-
dangannya pada rombongan orang-orang berpakaian dan berikat kepala hitam itu.
Pelipis berdenyut, dada seperti dipanggang. Mulut terkancing menahan geram luar
biasa. Seseorang tiba-tiba membentak. Dia adalah si nenek berhidung bengkok Ni Serdang
Besakih. "Perempuan
sinting kurang ajar! Lekas turun dari meja! Atau aku patahkan dua kakimu!"
Orang di atas meja bambu acuh saja. Dia sama sekali tidak berpaling ke arah si
nenek. Setelah meneguk lahap minuman keras dalam kendi dia tertawa lalu berkata,
"Hik... hik...! Siapa tadi yang mau mematahkan dua kakiku!" Aku mau kenal
orangnya!"
Perempuan di atas meja memandang berkeliling.
Pandangannya kemudian berhenti pada Ni Serdang
Besakih. "Hemmm... Nenek peot berhidung bengkok! Kau
rupanya orangnya! Mulutmu sombong amat! Agaknya kau merasa jadi jago di tempat
ini. Padahal Pangeran Muda yang jadi pimpinan di tempat ini tidak berkata apa-
apa! Tapi biarlah, aku menunggu kapan kau mau mematahkan dua kakiku!"
Habis berkata begitu gadis ini tarik kaki kiri celana hitam sampai melewati
lutut. Betis sampai ujung pahanya tersingkap putih. Banyak mata jadi melotot.
"Kaki begini bagus, tega-teganya mau dipatahkan. Kasihan amat. Hik...
hik! Paling tidak kakiku ini jauh lebih bagus dari kaki nenek peot itu! Hik...
hik... hik!"
Dihina begitu rupa di hadapan sekian banyak orang
yang selama ini menyeganinya, Ni Serdang Besakih
menggeram marah. Wajahnya gelap merah, hidung yang bengkok mencuat ke depan.
Untuk menutupi malu dia pun berkata, "Mematahkan dua kakimu pekerjaan mudah!
Sebelum aku sengsarakan dirimu seumur hidup, aku mau tahu siapa namamu, apa kau
punya gelar!"
"Tanya nama dan gelarku"! Hik... hik... hik!" perempuan di atas meja tertawa,
tubuh menghuyung ke kiri ke kanan.
Perut diusap-usap dengan tangan kiri. "Nenek hidung bengkok! Kalau kau seorang
pemuda tampan atau lelaki gagah seperti Pangeran Muda yang duduk di sana,
pertanyaanmu pasti kujawab! Malah sekaligus akan kuberi tahu di mana tempat
kediamanku! Tapi kalau cuma tua bangka rongsokan macam dirimu yang bertanya,
perlu dan untung apa aku memberi tahu! Jangan-jangan kau bangsa perempuan yang
doyan sesama jenis! Hik... hik... hik!"
Wajah keriput Ni Serdang Besakih membesi kaku.
Sepasang matanya berkilat-kilat menahan amarah. Namun sebagai tokoh silat yang
banyak pengalaman dia tidak mau terpancing dan berlaku sembrono. Matanya cukup
tajam. Walau perempuan yang berdiri di atas meja masih muda belia seperti mabuk dan
kurang waras namun agaknya dia memiliki tingkat kepandaian yang tidak bisa
dibuat main. Nenek ini juga memperhatikan meja panjang yang terbuat dari bambu tanpa ada
pengganjal di bagian tengah sama sekali tidak melengkung oleh injakan orang!
Selain itu dia juga bisa menduga, minuman keras di dalam kendi yang sesekali
diteguknya bisa menjadi senjata sangat
berbahaya. Tadi dia sudah memperhatikan tangan kiri Surah Nenggolo yang hancur
sementara tangan kiri
kelihatan menghitam seperti hangus dan ada bentolan-bentolan kecil.
Di atas meja perempuan muka putih kembali usap-usap perut di bagian pusar dengan
tangan kiri. Tangan ini kemudian disusupkan ke balik baju biru lalu kembali dia
mengusap. Gerakan tangan ini sejak tadi diperhatikan oleh seorang tokoh rimba
persilatan yang hadir di tempat itu, bernama Kecik Turangga, berjuluk Hantu Buta
Senja. Orang ini memiliki kebiasaan aneh. Jika siang berganti malam atau senja hari,
dia selalu menutupi wajahnya dengan sebuah topeng menampilkan muka seorang
bermata bengkak buta. Topeng baru dilepas setelah sang surya terbit di pagi
hari. Setelah memperhatikan wajah, sosok dan gerak-gerik perempuan di atas meja
beberapa lama, tiba-tiba Kecik Turangga berteriak.
"Saudara-saudara seperjuangan! Aku yakin dia adalah Nyi Bodong!"
Si muka putih di atas meja tersentak, menatap ke arah Kecik Turangga lalu
sunggingkan seringai.
Semua orang yang hadir di tempat itu jadi melengak geger. Nama Nyi Bodong sejak
beberapa waktu belakangan ini muncul secara tiba-tiba dalam rimba persilatan
sebagai seorang tokoh misterius. Setiap muncul pasti ada korban yang jatuh. Yang
jadi sasaran biasanya adalah orang-orang jahat terutama para pemerkosa. Keadaan
di tempat itu hening sesaat. Semua wajah menunjukkan rasa tegang.
Beberapa orang tampak berbisik-bisik.
Pangeran Muda berdiri dari kursinya. Matanya
memandang lekat-lekat ke arah perempuan di atas meja bambu, dari kepala sampai
ke kaki. Lalu sambil mengusap dagu dan tersenyum dia berkata, "Sungguh tidak
disangka dan merupakan satu kehormatan besar seorang tokoh
terkenal yang baru muncul dalam rimba persilatan rupanya yang menyambangi kami.
Nyi Bodong, terima kasih salam hormatku dan semua saudara yang ada di sini.
Mohon maaf kalau sikap perlakuan kami ada yang tidak berkenan di hati Nyi
Bodong. Saat ini saya sampaikan urusan dengan Surah Nenggolo kami anggap
selesai. Surah Nenggolo kelak akan kami jatuhi hukuman karena telah berani
berlaku lancang terhadap Nyi Bodong."


Wiro Sableng 144 Nyi Bodong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perempuan yang dipanggil Nyi Bodong sunggingkan
senyum. "Dia telah menerima hukuman. Apa Pangeran
Muda tidak melihat tangan kanannya yang hancur dan tangan kiri yang hangus
hitam?" Pangeran Muda ikut tersenyum. "Hukuman dari Nyi
Bodong layak diterimanya. Namun hukuman dari kami
tetap akan diberlakukan."
Habis berkata begitu Pangeran Muda memberi tanda
dengan jentikan dua jari tangan. Empat orang berseragam hitam di luar bangunan
segera masuk meringkus Surah Nenggolo. Tak lama kemudian terdengar raungan
kepala rampok itu. Walau siang bolong tetap saja terasa
menggidikkan! Setelah Surah Nenggolo dibawa pergi Pangeran Muda
melirik ke arah Ni Serdang Besakih dan anggukkan kepala.
Melihat isyarat ini si nenek segera berpaling pada seorang lelaki memakai topi
tinggi merah seperti tarbus, memelihara jenggot dan kumis lebat lalu anggukkan
pula kepalanya.
Orang memakai tarbus merah segera mengambil
sesuatu dari kolong meja. Benda ini kemudian diletakkan di atas meja bambu,
hanya dua jengkal dari kedua kaki si muka putih. Ternyata yang diletakkan adalah
seperangkat pakaian berwarna hitam. Pada dada kiri baju hitam ada sulaman gambar
rumah joglo dan keris bersilang.
Perempuan di atas meja tatap sebentar baju dan
celana panjang hitam itu lalu mendongak dan tertawa panjang. Kemudian dia
memandang ke arah orang
bertarbus merah. "Manusia berkumis dan berjenggot tebal.
Apa maksudmu meletakkan pakaian hitam itu di
depanku?" *** WIRO SABLENG NYI BODONG 2 ANG menjawab pertanyaan si muka putih adalah Ni
Serdang Besakih. "Nyi Bodong, kau telah mendapat
Yanugerah dan kehormatan besar dari Pangeran
Muda." "Ooo... baik sekali Pangeran Muda terhadapku. Tapi anugerah dan kehormatan besar
apa yang aku dapatkan?"
"Saat ini Pangeran Muda telah menganggapmu sebagai salah seorang dari saudara
seperjuangan. Kau telah menjadi salah seorang anggota penting Keraton
Kaliningrat. Kau diberi kehormatan untuk mengenakan pakaian hitam, pakaian
kebesaran itu." Menerangkan Ni Serdang Besakih.
"Begitu?" perempuan di atas meja tersenyum.
Pandangannya dilayangkan pada kelompok orang-orang berseragam hitam di luar
bangunan pertemuan. Dalam hati dia membatin. "Aku datang ke tempat yang tidak
salah. Tapi aku belum melihat dua keparat terkutuk itu."
Palingkan kepala kembali pada Ni Serdang Besakih, dia berkata, "Saudara
seperjuangan. Memangnya kalian
memperjuangkan apa?"
"Ni Serdang, biar saya yang menerangkan," kata
Pangeran Muda pula dari ujung meja sebelah kanan. "Nyi Bodong, semua kami di
sini adalah saudara bersaudara dalam perjuangan. Perjuangan kami adalah
menegakkan keadilan dan mendirikan kebenaran. Perjuangan yang kami lakukan saat
ini adalah meruntuhkan kekuasaan orang-orang sesat dan rakus, yang berkuasa
dengan cara merampas hak orang lain. Kami melihat kau memiliki hati nurani membela keadilan
dan menegakkan kebenaran."
"Aku juga menumpas manusia-manusia jahat terkutuk, seperti tukang perkosa,"
menyambung si muka putih di atas meja bambu.
Pangeran Muda tersenyum, anggukkan kepala lalu
meneruskan ucapannya. "Kami di sini semua telah
bertekad bulat untuk menjadikanmu sebagai seorang
saudara baru dalam perjuangan ini."
"Soal segala macam perjuangan bikin kepalaku pusing.
Aku tidak mau tahu apa perjuangan Pangeran Muda dan semua orang yang ada di
sini. Yang aku ingin tahu kalian ini semua siapa sebenarnya" Keraton
Kaliningrat, hemmm... Kalau memang menegakkan keadilan dan
kebenaran, mengapa salah seorang dari kalian menjadi kepala rampok. Aku saksikan
sendiri Surah Nenggolo dan anak buahnya membunuh orang asing dari negeri Cina.
Malah dia juga hendak membunuhku!"
"Nyi Bodong, soal pembunuhan atas orang-orang Cina itu tidak dapat saya jelaskan
sekarang. Kami telah mengakui penyerangan terhadap diri Nyi Bodong sebagai
kekeliruan besar. Untuk itu saya mewakili semua saudara di sini meminta maafmu.
Mengenai Surah Nenggolo yang telah berbuat kurang ajar berani menyerang Nyi
Bodong hukuman mati telah dijatuhkan atas dirinya."
"Kurasa Pangeran Muda punya alasan lain menghukum
mati manusia satu itu. Karena dirinya tidak ada kegunaan lagi. Bukankah begitu?"
Pangeran Muda tersenyum. "Nyi Bodong, kami sangat
menjunjung tinggi hukum. Siapa yang bersalah harus diadili. Sekarang ambillah
pakaian itu dan kau akan kami ikut sertakan dalam pembicaraan selanjutnya."
Perempuan di atas meja tatap baju dan celana hitam di dekat kakinya lalu
bertanya, "Apa kalian ingin aku mengenakan pakaian itu sekarang juga?"
Karena tak ada yang menjawab perempuan muda itu
lalu buka kancing baju birunya sehingga dadanya sebelah atas tersingkap. Pinggul
digoyang membuat celana birunya merosot ke bawah hampir mencapai pinggul. Semua
orang jadi terperangah. Cuma si nenek Ni Serdang Besakih yang tampak asam
mukanya dan melengos sambil berkali-kali golengkan kepala.
"Nyi Bodong! Tunggu! Kau tak boleh mengenakan
pakaian itu di sini. Nanti saja. Sekarang silahkan diambil dan disimpan dulu."
Teriak Kecik Turangga alias Hantu Buta Senja yang tadi mengenali si muka putih
sebagai Nyi Bodong.
Si muka putih luruskan badan, teguk minuman dalam
kendi. Lalu memandang berkeliling dan berkata, "Jadi saat ini aku berada di
tengah-tengah saudara-saudara Keraton Kaliningrat."
"Betul sekali, Nyi Bodong," jawab Pangeran Muda
sementara Ni Serdang Besakih terus memperhatikan gerak gerik si muka putih.
"Kalau begitu aku betul-betul datang ke tempat yang tidak salah!"
"Terima kasih atas pujian Nyi Bodong," kata Pangeran Muda pula dengan nada
gembira. "Saya akan menyuruh orang menyiapkan kursi. Apakah sekarang Nyi Bodong
bersedia turun dari meja?"
Yang ditanya mengangguk, dia bergerak melangkah.
Enak saja kedua kakinya menginjak baju dan celana hitam!
Tentu saja semua yang hadir di tempat itu jadi terkejut, malah banyak yang
menunjukkan wajah tidak senang.
Sambil dua kakinya terus menginjak pakaian hitam, dia berkata dengan suara
lantang, "Kalian semua dengar baik-baik. Sebelum aku turun dari meja, ada satu
hal yang akan aku katakan!"
"Nyi Bodong, jika memang ada hal yang hendak
disampaikan mengapa ragu" Silahkan saja," kata
Pangeran Muda masih sabar.
Di tempat duduknya yang bersebelahan dengan Kecik
Turangga, si nenek Ni Serdang Besakih berbisik, "Hantu Buta Senja, kau yakin
perempuan ini benar Nyi Bodong adanya?"
Hantu Buta Senja usap mukanya. "Aku memang belum
pernah melihat langsung orangnya. Tapi dari ciri-ciri yang aku dengar perempuan
satu ini cocok dengan ciri-ciri Nyi Bodong. Wajah putih, pakaian biru gelap..."
"Membawa kendi berisi minuman keras segala?" tanya Ni Serdang Besakih.
"Ah... anu. Ini yang..." suara Hantu Buta Senja jadi gagap. Belum sempat dia
bicara jelas, di atas meja perempuan yang dipanggil Nyi Bodong berkata dengan
suara lantang. "Orang-orang Keraton Kaliningrat! Ketahuilah! Aku
datang ke sini untuk mencari dua orang anggotamu yang telah melakukan perbuatan
keji terkutuk atas diriku! Dua orang anggota Keraton Kaliningrat telah
memperkosaku! Hari ini aku bersumpah untuk mencabut nyawa mereka!
Siapa berani menghalangi akan aku habisi!"
Tempat pertemuan itu serta merta menjadi geger besar.
Semua mata memandang mendelik pada perempuan di
atas meja. Pangeran Muda berdiri dari kursinya. Gagak Ireng
berteriak, "Nyi Bodong, sungguh keterlaluan. Bagaimana enak saja kau mengucapkan
tuduhan membuat fitnah
begini rupa! Apa kau punya bukti"!"
"Fitnah"!" Si muka putih tertawa panjang lalu
membentak, "Siapa membuat fitnah! Aku masih ingat
tampang dua bangsat itu. Mereka pasti ada di antara orang-orang berpakaian hitam
yang tegak di luar
bangunan!"
Pangeran Muda memandang ke arah Ni Serdang
Besakih. Si nenek lalu berdiri dan berkata, "Aku akan suruh dua puluh orang
berpakaian seragam hitam itu berjejer di hadapanmu. Jika kau mengenali memang
ada di antara mereka sebagai orang-orang yang telah memperkosamu, harap langsung
kau tuding!"
Si nenek lalu bertepuk dua kali. Dua puluh lelaki
berpakaian seragam hitam mengenakan blangkon hitam segera berdiri sejajar di
samping meja, di belakang deretan kursi yang diduduki empat tokoh silat anggota
Keraton Kaliningrat. Si muka putih layangkan pandangan cepat lalu tertawa
panjang sambil tubuhnya terhuyung ke depan dan ke belakang.
"Setan perempuan otak miring! Kau disuruh mengenali pemerkosamu! Malah tertawa!
Apa yang lucu?" Yang
berteriak marah adalah Gagak Ireng. Rupanya tokoh silat satu ini sudah habis
sabarnya. Di atas meja perempuan muka putih huyung kiri huyung kanan teguk minuman dalam
kendi hingga wajahnya
berubah merah, dua mata bergerak liar. Selesai
menenggak habis minuman keras, dia angkat tangan
kanan yang memegang kendi tinggi-tinggi. Lima jari meremas. Praaak! Kendi pecah
berantakan. Si muka putih tertawa kembali. Entah kapan tangan kanannya bergerak
tahu-tahu sembilan keping pecahkan kendi yang ada di tangan itu melesat laksana
bintang berkiblat.
Tokoh silat Gagak Ireng anggota Keraton Kaliningrat berseru kaget ketika
dapatkan dirinya diserang sembilan kepingan runcing pecahan kendi. Gagak Ireng
bukan tokoh silat sembarangan. Ilmunya tinggi dan nama besarnya cukup dikenal di
daratan Jawa Tengah sampai ke
perbatasan Jawa Timur. Namun diserang mendadak dan dalam kecepatan kilat seperti
itu dia jadi terperangah gugup. Gagak Ireng hantamkan tangan kiri. Gerakannya
menangkis masih kurang cepat. Walau empat pecahan
kendi mampu dibuat mental, lima lainnya menyusup
tembus. Dua kepingan menancap di kening. Satu di mata kiri, satu di pipi dan
satu lagi tepat pada urat besar di leher hingga putus dan menyemburkan darah!
Di atas meja perempuan muka putih tertawa panjang.
"Dua pemerkosa itu aku tidak melihat mereka! Pasti kalian telah menyembunyikan!"
Teriakan kemarahan menggeledek dari semua tokoh
Keraton Kaliningrat yang ada di tempat itu. Mereka tidak perdulikan lagi apa
yang diucapkan si muka putih.
Beberapa orang langsung menyerbu ke atas meja. Si muka putih putar tubuh sambil
mulutnya menyembur.
Wuuuurrr! Minuman keras yang ada di dalam mulut menyambar
ke arah tiga orang yang coba menerjangnya. Dua orang yang tahu bahaya cepat
menghindar selamatkan diri.
Satunya nekad berusaha menyerbu terus namun setengah jalan menjerit keras,
terlempar ke ujung meja. menggeletak tepat di depan kaki Pangeran Muda dalam
keadaan tak bernyawa. Muka hangus hancur penuh lubang mengerikan!
"Saudara-saudara seperjuangan! Tangkap perempuan
celaka itu hidup atau mati!" teriak Pangeran Muda marah sekali.
Ni Serdang Besakih dan Kecik Turangga alias Hantu
Buta Senja segera bergerak dari tempat masing-masing.
Dua orang ikut menyusul sementara Pangeran Muda
tendang dua kaki meja hingga patah berantakan. Meja panjang yang terbuat dari
bambu itu serta merta roboh.
Perempuan muka putih tertawa panjang, melompat ke
tanah. Saat itu juga serbuan laksana air bah datang menggempur. Ni Serdang
Besakih berlaku cerdik. Dia mengarahkan serangannya pada tiga buah kendi yang
masih tergantung di pinggang orang karena menganggap kendi dan isinya merupakan
senjata luar biasa berbahaya.
Dua kendi hancur, isinya berhamburan di tanah. Kendi ke tiga menyusul pecah,
ternyata kosong.
Si muka putih menjerit marah. Tubuhnya berkelebat
lenyap seolah berubah jadi bayangan. Mengamuk dua
jurus tanpa berhasil memukul sekian banyak lawan yang mengurung dia bahkan
serangan pada si nenek yang telah menghancurkan tiga buah kendinya. Namun
keadaannya kini mulai terdesak. Apalagi dua puluh orang lelaki berseragam hitam
bukan hanya mengurung kalangan
pertempuran tapi juga merangsak maju. Dari kiri kanan dan sebelah belakang
serangan datang sambung
menyambung. Belum lagi yang mendera dari depan. Hanya kegesitan yang luar biasa
yang masih mampu
menyelamatkan perempuan muka putih. Tapi sampai
berapa lama dia bisa bertahan?"!
Dalam satu gebrakan hebat walau si muka putih
sempat menendang seorang penyerang hingga dadanya
remuk, Ni Serdang Besakih berhasil mendaratkan satu pukulan. Pukulan itu hanya
menyerempet bahu namun
daya tolaknya yang keras cukup membuat lawan terpelintir setengah lingkaran.
Saat itulah dari depan datang pukulan Pangeran Muda yang mendarat telak di dada
kiri. Si muka putih menjerit keras. Tubuhnya terpelanting lima langkah ke
belakang dan dalam waktu cepat segera diringkus oleh Kecik Turangga bersama dua
tokoh silat anggota Keraton Kaliningrat lainnya. Darah tampak mengucur di sudut
bibirnya. Ni Serdang Besakih totok urat besar di bawah ketiak kiri orang hingga
perempuan muka putih ini
langsung merasakan seluruh anggota badannya menjadi lemah lunglai.
"Biarkan dulu dia hidup-hidup! Bawa ke hadapanku!
Aku akan mengorek keterangan dari mulutnya! Setelah itu kalian boleh mengorek
jantungnya!" berseru Pangeran Muda. Kini sikapnya yang sopan halus berubah jadi
garang. "Orang-orang Keraton Kaliningrat! Kalian ternyata
pengecut semua! Beraninya main keroyok! Kalian kira aku takut mati"! Hik... hik!
Pangeran Muda! Ayo bunuh aku saat ini juga jika kau punya nyali!"
"Nyi Bodong!" teriak Ni Serdang Besakih. "Ajal sudah di depan mata. Mengapa
masih bicara sombong"!" Dan,
plaaakk! Nenek berhidung bengkok itu lepaskan satu tamparan keras ke pipi si
muka putih hingga bibirnya luka dan semakin banyak darah yang mengucur.
"Tua bangka keparat! Beraninya menampar dalam
keadaan diriku tertotok tak berdaya! Kalau aku masih hidup kau akan aku bunuh
duluan! Jika aku mati dan jadi setan kau yang pertama kali akan aku cekik!"
Plaaaaakk! Satu tamparan lagi dihantamkan Ni Serdang Besakih ke wajah si muka putih. Walau
sakitnya bukan main namun perempuan itu masih bisa keluarkan tawa mengikik lalu
tawanya lenyap dan, cuaaahh! Ludah campur darah
disemburkannya ke muka Ni Serdang Besakih. Si nenek berteriak marah. Matanya
yang dingin kelabu tampak seperti menyala.
"Pangeran Muda! Biar aku bunuh perempuan keparat
ini sekarang juga!"
Lima jari tangan si nenek menyambar ke leher oran.
Inilah serangan ganas yang disebut Tangan Iblis Membongkar Berhala. Bilamana
serangannya mengenai sasaran maka daging, urat dan tulang leher korban benar-
benar akan terbongkar mengerikan!


Wiro Sableng 144 Nyi Bodong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ni Serdang! Tahan! Aku perlu dia hidup-hidup dulu!
Bawa perempuan celaka itu ke hadapanku!" teriak
Pangeran Muda. Terpaksa Ni Serdang Besakih tarik serangan mautnya.
"Nenek hidung bengkok!" ucap perempuan muka putih
sebelum dibawa ke hadapan Pangeran Muda. "Kalau aku tidak bisa membunuhmu dalam
keadaan hidup atau mati jadi setan, akan ada orang lain yang bakal membuat kau
meregang nyawa!"
"Perempuan setan! Masih saja kau banyak mulut!"
maki Ni Serdang Besakih. Namun dia ingin tahu juga siapa orang yang dimaksudkan.
Maka dia membentak bertanya,
"Siapa setan alas yang akan mewakilimu membunuhku"!"
"Pendekar 212 Wiro Sableng! Dia calon suamiku!"
Ni Serdang Besakih tersentak kaget. Semua orang juga ikutan terkejut. Si nenek
akhirnya memberi tanda pada tiga orang yang mencekal perempuan muka putih.
"Seret dia ke hadapan Pangeran Muda!"
Selagi perempuan muka putih yang dalam keadaan tak berdaya diseret ke hadapan
Pangeran Muda sekonyong-konyong menggelegar satu bentakan keras, "Orang-orang
Keraton Kaliningrat! Kalian mencari mati berani
menganiaya cah ayuku!"
Semua orang menduga yang muncul adalah benar-
benar Pendekar 212 Wiro Sableng! Namun mendadak
terdengar semburan dahsyat tiga kali berturut-turut.
Wuss! Wuss! Wuss!
"Awas semburan cairan berbahaya!" Hantu Buta Senja berteriak memberi ingat.
Secepat kilat dia bersama Ni Serdang Besakih melompat selamatkan diri. Tiga
jeritan terdengar berbarangan. Pangeran Muda berseru kaget, sepasang mata
terbeliak besar. Tiga orang yang menyeret perempuan muka putih terkapar di
tanah. Satu langsung menemui ajal karena mukanya hangus hancur penuh
lubang mengerikan. Dua lagi menggeletak kelojotan sambi!
memegangi dada yang cidera berat. Bau minuman keras menghampar di tempat itu.
Semua orang Keraton
Kaliningrat untuk sesaat jadi terkesiap, diam tak bergerak.
Ketika sosok perempuan muka putih terhuyung jatuh
hampir tergelimpang di tanah, satu tangan panjang
laksana belalai merangkul pinggangnya. Cepat sekali tangan aneh ini melepaskan
totokan di ketiak kiri. Begitu dirinya lepas dari totokan, dalam keadaan agak
nanar si muka putih melihat sebuah kendi besar melayang ke
arahnya. Sambil tertawa cekikikan dia tangkap kendi itu dengan dua tangan lalu
meneguk isinya sampai tumpah-tumpah membasahi dagu dan dada pakaiannya.
"Cukup cah ayu! Jangan dihabiskan. Sekarang
perhatikan baik-baik! Apa manusia ini salah seorang anggota Keraton Kaliningrat
yang telah memperkosamu"!"
Saat itu juga dari atap bangunan yang telah jebol
melayang turun seorang berpakaian hitam komprang.
Rambut hitam sebahu awut-awutan. Kulit muka dan tubuh merah. Tampang seram
seperti demit. Di cuping hidung sebelah kiri mencantel sebuah anting terbuat
dari akar-bahar. Pada ikat pinggang kulit yang dikenakannya
tergantung sebelas buah kendi hitam, lebih besar sedikit dari kendi yang
dimiliki perempuan muka putih. Tubuhnya yang gemuk pendek terhuyung-huyung
seperti orang mabok. Hebatnya orang yang melayang turun ini berdiri sambil mencekal leher
seorang lelaki berseragam hitam yang ada cacat bekas luka di dagunya.
"Kuntorandu!" beberapa mulut keluarkan ucapan
terkejut menyebut nama orang yang dicekal si gemuk pendek. Pangeran Muda
mengerenyit. Sepasang alis mata Ni Serdang Besakih mencuat naik.
Pangeran Muda melangkah cepat mendekati si nenek
yang tegak di samping Hantu Buta Senja. "Ni Serdang, kau mengenali siapa adanya
manusia gemuk pendek berwajah seram itu?"
"Kalau saya tidak keliru dia adalah tokoh rimba
persilatan yang dijuluki Iblis Pemabuk!"
"Jadi rupanya Iblis Pemabuk adalah guru Nyi Bodong!"
Hantu Buta Senja ikut bicara.
"Si gemuk bermuka setan itu bukankah dia dedengkot rimba persilatan yang
berjuluk Dewa Tuak"!" tanya
Pangeran Muda pula
"Kami pernah bertemu Dewa Tuak. Manusia satu ini
adalah Iblis Pemabuk. Mereka memang sama-sama
mempergunakan minuman keras sebagai senjata. Tapi
bangsat satu ini jelas adalah Iblis Pemabuk." ucap Ni Serdang Besakih pula.
Mendengar ucapan Iblis Pemabuk, perempuan muka
putih yang tentunya Wulan Srindi adanya dan oleh orang-orang Keraton Kaliningrat
disebut sebagai Nyi Bodong, memandang dengan mata berkilat ke arah orang yang
dicekal lehernya. Dia perhatikan tampang orang, melihat jelas luka di dagu bekas
gigitannya sewaktu diperkosa.
"Cah ayu! Kau sudah mengenali! Tunggu apa lagi?" Iblis Pemabuk dorong tubuh
lelaki berpakaian hitam yang
memang Kuntorandu adanya, yaitu salah satu dari dua orang Keraton Kaliningrat
yang telah memperkosa Wulan Srindi.
Wulan Srindi menjerit keras. Tubuhnya bergetar hebat lalu melesat ke depan.
Tangan kanan yang memegang
kendi besar bergerak.
"Jangan... Tidak!" Kuntorandu hanya bisa keluarkan dua kata itu lalu, praakkk!
Kendi dan kepala Kuntorandu sama-sama pecah.
Orang-orang Keraton Kaliningrat keluarkan seruan
tertahan. Wulan Srindi tertawa seperti kuda meringkik.
"Mana yang satunya"!" teriak Wulan Srindi.
"Aku tidak menemukan. Yang satu ini aku kenali karena ada luka di dagunya."
jawab Iblis Pemabuk.
Semua itu terjadi luar biasa cepat hingga orang-orang Keraton Kaliningrat
setelah berseru kaget kini terkesiap nyaris tak bergerak. Ketika di sebelah kiri
Pangeran Muda akhirnya berteriak keras agar semua orangnya menutup jalan keluar,
Iblis Pemabuk segera menyambar lengan kiri Wulan Srindi.
"Cah ayu. Ayo kita lekas tinggalkan tempat ini!"
"Tidak! Aku ingin mencari pemerkosa satunya! Aku ingin membunuh nenek keparat
berhidung bengkok itu!"
"Nanti saja! Sekarang kita pergi dulu!" jawab Iblis Pemabuk. Lalu tangan kirinya
yang bisa panjang langsung merangkul pinggang Wulan Srindi. Sebelum tinggalkan
tempat itu Iblis Pemabuk berpaling ke arah Ni Serdang Besakih. Mulutnya berucap,
"Lepas persoalanmu dengan muridku, antara kita masih ada urusan hutang piutang!
Pada saatnya aku akan menagih berikut bunganya!"
Nenek berhidung bengkok mendengus, "Kalau kau
punya nyali mengapa tidak dibereskan sekarang?"
Iblis Pemabuk tertawa bergelak. "Kau akan malu besar kalau rahasia kebejatanmu
aku buka di depan orang
banyak ini!"
"Manusia iblis! Jangan harap kau bisa pergi dari tempat ini!" teriak Ni Serdang
Besakih. Habis berkata begitu si nenek menerjang ke depan. Tapi begitu Iblis
Pemabuk semburkan minuman keras ke arahnya nenek ini terpaksa bersurut mundur
sambil memaki. Di lain kejap Iblis Pemabuk dan perempuan muka putih tak ada lagi
di tempat itu. *** SAMBIL berlari memanggul tubuh Wulan Srindi, Iblis
Pemabuk bertanya, "Cah ayu, sejak kapan kau berganti nama jadi Nyi Bodong"!"
"Hik... hik! Orang-orang Keraton Kaliningrat yang
memanggilku begitu. Kurasa cocok juga nama itu."
"Tapi pusarmu tidak bodong."
"Kalau begitu tolong kau buat pusarku jadi bodong!"
Iblis Pemabuk tertawa gelak-gelak.
"Eh, kau mau membawa aku ke mana?" tanya Wulan
Srindi. "Ke tempat seorang sahabat yang bisa mengobatimu.
Kau terkena pukulan beracun Memukul Bukit Meremuk Gunung yang dilepaskan
Pangeran Muda. Bagian dadamu tidak cidera, tapi di sebelah belakang jaringan
tubuhmu rusak berat. Dalam tujuh hari bagian tubuhmu itu akan busuk, nyawamu
bisa-bisa tidak tertolong!"
"Jahatnya Pangeran keparat itu. Lagaknya sopan lemah lembut, tidak tahunya lebih
buas dari setan kepala tujuh!"
Setelah diam sebentar Wulan Srindi bertanya, "Urusan hutang piutang apa yang ada
antara kau dan nenek hidung bengkok berpakaian kuning itu?"
"Aku tak bisa memberi tahu," jawab Iblis Pemabuk.
"Kau tidak memberi tahu aku sudah bisa menduga.
Pasti urusan cinta di masa muda! Betul" Hik... hik... hik!"
Iblis Pemabuk menyengir, ambil satu kendi lalu
meneguk isinya.
*** BEBERAPA hari kemudian, ketika Iblis Pemabuk dan
Wulan Srindi kembali ke tempat kediamannya yaitu
bangunan di atas pohon dalam rimba belantara, mereka mendapatkan dua bangunan
kayu telah ludas berubah
menjadi puing-puing hitam. Pohon besar di mana dua bangunan itu berada juga
tampak gosong sampai ke
ranting. "Aku sudah bisa menduga siapa jahanamnya yang
membakar tempat kediamanku ini," kata Iblis Pemabuk sambil memandang ke atas dan
teguk minuman keras
dalam kendi. "Siapa lagi kalau bukan orang-orang Keraton
Kaliningrat!" ucap Wulan Srindi.
Iblis Pemabuk mengangguk. "Yang jadi biang racunnya pasti nenek hidung bengkok
Ni Serdang Besakih! Beberapa waktu lalu aku pernah memergokinya beberapa kali
berada di sekitar tempat ini. Setiap aku pergoki dia cepat melarikan diri."
"Jika kau mempercayainya, biar aku mewakili dirimu mencari dan menghajar nenek
satu itu. Aku juga akan mencari lelaki kedua yang memperkosaku!"
"Cah Ayu, kau butuh istirahat beberapa lama untuk
menyembuhkan luka dalam di bagian punggungmu
sebelah kiri." jawab Iblis Pemabuk.
"Aku juga perlu segera mencari calon suamiku,
Pendekar 212 Wiro Sableng."
Iblis Pemabuk tersenyum. "Semua perlu. Tapi ada
waktunya yang tepat. Sekarang ikuti aku!" Iblis Pemabuk tarik lengan Wulan
Srindi. Dalam serial Wiro Sableng Pendekar 212, Iblis
Pemabuk muncul pertama kali pada Episode berjudul
"Wasiat Sang Ratu". Iblis Pemabuk memberi tahu Wiro akan kelemahan Tiga Bayangan
Setan yang hendak
membunuhnya. *** WIRO SABLENG NYI BODONG 3 I TAMBAKPATI tersentak bangun dari tidur lelapnya
ketika pintu gubuk dijebol orang dan satu sosok
Khitam tinggi besar berucap keras, "Ki Tambak! Aku butuh pertolonganmu!"
Orang tua ahli pengobatan tulang berjuluk Tangan
Penyembuh berusia lebih dari tujuh puluh tahun itu tidak segera bangkit dari
atas ranjang. Otaknya bekerja.
"Aku mengenali suara itu. Jangan-jangan makhluk
pembawa malapetaka itu! Perlu apa dia datang lagi ke sini?"
Ki Tambakpati perlahan-lahan turun dari atas ranjang kayu. Tangannya bergerak ke
arah empat sudut gubuk!
Gubuk kecil jadi terang benderang. Pandangan mata si orang tua tertumbuk pada
orang yang barusan masuk. Dia segera mengenali, tapi wajahnya mengapa berubah
seram seperti setan, penuh cacat guratan luka" Orang ini berdiri dengan dua
tangan berada di belakang tubuh yang
mengenakan jubah kelabu (Kisah kedatangan orang ini pertama kali harap baca
Episode berjudul "Kitab Seribu Pengobatan").
"Aku mengenali suara, tapi mengapa wajah berlainan?"
sapa Ki Tambakpati sambil menatap tamunya dari kepala sampai ke kaki.
"Aku orang cerdik! Apa sulitnya! Aku bisa merubah
wajah sepuluh kali dalam satu hari!" jawab sang tamu.
"Jadi... jadi kau adalah orang yang dipanggil Pangeran itu" Yang tempo hari..."
"Sudah! Bagus kau mampu mengenali diriku!"
"Kalau kedatangan Pangeran untuk meminta
penyembuhan masalah kejantanan tempo hari, saya tidak mungkin menolong..."
"Ki Tambak! Aku kemari bukan untuk itu! Seratus hari sudah lewat! Kejantananku
belum pulih! Malah lihat! Aku menerima nasib celaka seperti ini!" Orang yang
dipanggil Pangeran unjukkan dua tangannya yang sejak tadi
disembunyikan di belakang punggung.
Kejut Ki Tambakpati bukan kepalang. "Gusti Allah! Apa yang terjadi sampai tangan
Pangeran buntung begini rupa"!"
Ternyata tangan kiri sang Pangeran buntung sebatas setengah jengkal di atas
pergelangan. Darah kering menggumpal di ujung buntungan sementara darah segar
masih kelihatan merembes. Yang hebat dan mengerikan, Pangeran memegang buntungan
tangan kirinya di tangan kanan!
"Ki Tambak! Tak usah banyak tanya apa yang terjadi!
Tugasmu menyambung tanganku yang buntung sekarang
juga!" "Sa... saya perlu tahu kapan terjadinya. Kalau sudah lebih satu hari satu malam
sulit disambung kembali..."
Kata Ki Tambak sambil meneliti tangan kiri yang buntung dan juga kutungan tangan
yang dipegang di tangan kanan.
"Tadi siang! Kejadiannya tadi siang!"
"Kalau begitu masih dapat saya usahakan. Pangeran
silahkan berbaring di atas ranjang..."
Sementara Ki Tambakpati menyiapkan ramuan obat
Pangeran melihat tak ada perubahan dalam gubuk itu.
Tulang belulang manusia berserakan di mana-mana.
Empat buah tengkorak yang sudah tebal tertutup lumut teronggok di sudut kiri
belakang. Dulu ada lima tengkorak.
Satu di antaranya dia yang menghancurkan. Dinding gubuk yang jebol akibat
hantamannya tempo hari rupanya sudah diperbaiki.
Di tengah ruangan, di depan hamparan kulit kambing yang dijadikan tikar,
terletak sebuah belanga tanah.
Tampaknya masih baru karena yang lama dia ingat betul hancur kena tendangannya.
Di dalam belanga ada ramuan tulang belulang, daun, kulit dan akar tetumbuhan
serta cairan mengepul asap dan selalu mengeluarkan suara mendidih walau di bawah
belanga sama sekali tidak ada api yang menyala.
Ki Tambakpati melangkah ke salah satu sudut gubuk.
Dua mata dipejamkan, dua telapak tangan dirapatkan satu dengan yang lain lalu
dua lengan diangkat lurus ke atas.
Seperti yang pernah disaksikan sang Pangeran dulu, perlahan-lahan tubuh orang
tua itu terangkat ke atas hingga dua kakinya tidak lagi menginjak lantai gubuk.
"Daun sirih pembersih luka!" Ki Tambak berseru. Aneh!
Dari sela dua telapak tangan menyembul keluar tiga helai daun sirih. Daun-daun
ini kemudian melesat masuk ke dalam belanga tanah.
"Kunyit putih perekat luka!" Orang tua yang berjuluk Tangan Penyembuh itu
kembali keluarkan ucapan disusul melesatnya tiga potongan kunyit putih dari sela
telapak tangan, langsung melayang masuk ke dalam belanga.
"Alang-alang Dewa Penyambung otot dan urat!" Tiga
lembar alang-alang hijau kekuningan menjulur dari sela telapak tangan lalu
melesat masuk ke dalam belanga tanah.
"Tulang pengganjal dan akar pengikat kesembuhan!"
Kali ini yang melesat keluar adalah dua potong tulang putih sepanjang tiga
jengkal serta segulung akar berwarna coklat yang masih ada tanahnya.
"Kemenyan keredohan Yang Maha Kuasa, Yang Maha
Pengasih serta Maha Penyayang lagi Maha Penyembuh!"
Serbuk putih kekuningan berkilau melesat masuk ke dalam belanga.
Suara mendidih di dalam belanga semakin keras.


Wiro Sableng 144 Nyi Bodong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kepulan asap semakin tebal. Bau harumnya kemenyan
dan ramuan obat memenuhi ruangan. Perlahan-lahan
sosok Ki Tambakpati turun kembali ke lantai gubuk. Lalu dia menggeser belanga
tanah ke tepi ranjang di mana orang yang tangannya buntung berbaring. Dia
mengambil buntungan tangan lalu sambil memegang tangan kiri yang buntung dia
berkata, "Pangeran, pejamkan matamu.
Bertahanlah. Cuma sakit sedikit." Habis berkata begitu Ki Tambak tarik kuat-kuat
lengan kiri yang buntung dan dimasukkan ke dalam telaga tanah.
Cesss! Terdengar suara seperti besi panas dimasukkan ke
dalam air. Asap pekat mengepul. Orang di atas ranjang terlonjak dan menjerit
setinggi langit. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat.
"Tua bangka jahanam! Apa yang kau lakukan!"
"Pangeran, kau inginkan kesembuhan. Kau harus
berani berkorban menahan sakit!"
Tanpa perdulikan orang yang masih mencaci maki, Ki Tambakpati ambil buntungan
tangan kiri. Ketika hendak dimasukkan ke dalam belanga dia melihat satu kelainan
pada salah satu jari tangan itu.
"Tua bangka, kau mempermainkan apa"!" bentak orang di atas ranjang yang masih
menggigil menahan sakit.
Ki Tambak tidak menyahuti. Buntungan tangan kiri
buru-buru dimasukkan ke dalam telaga. Seperti tadi, terdengar suara dess walau
agak perlahan dan asap yang mengepul tidak begitu pekat. Dari dalam belanga Ki
Tambakpati keluarkan dua potongan tulang dan gulungan akar. Tangan yang buntung
dengan sangat hati-hati
dihubungkan satu sama lain lalu ditahan kiri kanan dengan dua potong tulang,
kemudian dibalut diikat kencang-kencang dengan akar pohon.
"Pangeran, pengobatan telah selesai. Jika kau tak
banyak bergerak, tulangmu akan mulai bersambung dalam waktu sepuluh hari.
Seminggu kemudian daging, otot dan urat akan pulih bertaut kembali."
Mendengar ucapan Ki Tambakpati sang Pangeran turun dari tempat tidur. "Ki
Tambakpati, apakah kau punya kabar baru tentang Kitab Seribu Pengobatan?"
Ki Tambakpati menggeleng.
Tanpa banyak bicara lagi ataupun mengucapkan terima kasih orang yang barusan
ditolong terus saja melangkah ke pintu. Si orang tua ingat hal seperti itu juga
dilakukan orang tersebut ketika dia dulu menolong menyambungkan batang
kemaluannya yang hampir putus. Dia tidak minta upah atau imbalan, namun melihat
sikap orang begitu rupa Ki Tambakpati jadi jengkel lalu berkata, "Pangeran,
sudah dua kali dengan ini kau mendapat musibah. Seperti kataku dulu, apakah kau
pernah berdoa pada Gusti Allah agar mendapat kesembuhan yang cepat dan agar
selanjutnya kau berada dalam perlindunganNya?"
Lelaki di ambang pintu gubuk menatap orang tua itu sesaat lalu tertawa bergelak.
"Apa kau lupa aku dulu pernah berkata. Seumur hidup aku tidak pernah berdoa pada
Gusti Allah. Sudah, kau saja yang mendoakan diriku pada Gusti Allah!" Masih
mengumbar tawa yang menjijikkan, orang itu melangkah pergi dan lenyap di
kegelapan malam.
Lama orang tua ahli pengobatan tulang itu tegak
merenung di pintu gubuk. Tiupan angin yang dingin
mencucuk baru menyadarkannya. Dia segera beranjak
masuk. Namun belum sempat merapatkan pintu
mendadak ada sambaran angin lewat di depannya,
membuat dia terjajar mundur satu langkah. Ketika dia berpaling ke dalam gubuk si
orang tua melihat sosok seorang nenek berwajah putih berdiri di tengah ruangan.
Orang ini lebih dulu memperhatikan keadaan seputar gubuk baru berpaling pada Ki
Tambakpati. "Aku terlambat..." Ucapnya perlahan.
Ki Tambakpati memperhatikan. Nenek muka putih ini
mengenakan baju panjang berwarna biru gelap. Rambut tergerai sampai ke pinggang
kusut masai berwarna hitam.
"Sahabat yang datang di malam buta, apa maksud
ucapanmu tadi. Apakah kau tidak keliru masuk ke dalam gubukku ini?" Ki
Tambakpati menegur sementara dua
matanya terus mengawasi.
"Sebelumnya ada seseorang di tempat ini," si nenek berkata dan menatap lekat-
lekat pada sepasang mata si kakek.
"Betul sekali," jawab Ki Tambakpati. "Dia sudah pergi.
Kau mencarinya apakah dia sahabatmu?"
Si nenek menggeleng.
"Apa keperluan orang itu datang kemari?"
"Maaf, aku tidak pernah memberi tahu pada orang lain perihal orang yang pernah
aku tolong!"
Nenek muka putih tatap wajah si kakek lalu tersenyum.
"Orang itu datang menemuimu karena tangan kirinya
buntung! Benar?"
Ki Tambakpati diam saja.
"Ketahuilah, apa yang telah kau lakukan merupakan
satu kebajikan. Namun tanpa kau sadari kau telah
memperpanjang umur kejahatan di atas bumi ini! Banyak lagi korban yang akan
berjatuhan!"
Tentu saja Ki Tambakpati tercengang mendengar
ucapan si nenek. Dengan suara perlahan dia berkata, "Aku menolong mengobati
siapa saja tanpa memperhatikan
apakah dia orang jahat atau orang baik. Kebajikan tidak bisa dipilih-pilih."
"Mungkin memang begitu janji atau sumpah ilmu
pengobatanmu! Tapi tahukah kau siapa orang bertangan buntung yang telah kau
tolong?" Ki Tambakpati menggeleng.
"Dia dijuluki Hantu Pemerkosa! Beberapa orang gadis telah menjadi korbannya di
beberapa desa! Diperkosa lalu dibunuh!"
"Tidak mungkin..." kata Ki Tambakpati pula lalu cepat-cepat hentikan ucapannya.
"Mengapa tidak mungkin" Aku menyaksikan sendiri
beberapa orang yang jadi korban kebejatannya!"
"Ah..." Ki Tambakpati tarik nafas panjang, terduduk di tepi ranjang, menatap ke
arah si nenek sambil geleng-geleng kepala.
"Ilmu keahlian untuk kebajikan dan kebaikan. Alangkah mulianya..." Setelah
mengeluarkan ucapan itu si nenek muka putih memutar tubuh, melangkah ke pintu.
"Sahabat, tunggu dulu!" Ki Tambakpati berdiri dan
mengejar. "Kau belum memberi tahu siapa kau adanya.
Aku senang mengenal dirimu. Kau membuka jalan
pemikiran baru dalam diriku..."
Si nenek tersenyum. "Tidak, aku bisa melihat. Jalan pikiranmu tentang kebaikan
dan kebajikan tidak akan pernah berubah. Jika kau melakukan, maka orang yang
tidak kau tolong akan membunuhmu!"
Paras Ki Tambakpati berubah. Kepala tertunduk. Ketika diangkat kembali, nenek
muka putih berpakaian biru tak ada lagi di hadapannya. Dia mengejar ke halaman.
Hanya kegelapan dan tiupan angin dingin yang menyambut.
Terbungkuk-bungkuk Ki Tambakpati melangkah ke arah pintu gubuk sambil hatinya
berkata, "Tuhan, apakah aku telah keliru menolong orang-orang jahat" Aku mohon
petunjukmu ya Tuhan. Kalau ini merupakan satu dosa, aku mohon ampunanMu. Tapi
bagaimana aku akan menolak
orang yang datang minta tolong" Gusti Allah, aku
berlindung di bawah Kekuatan dan KekuasaanMu."
Di malam yang dingin itu Ki Tambakpati akhirnya
memutar langkah ke arah sumur untuk mengambil air
wudhu. Di dalam gubuk dia melakukan sembahyang
tahajud dua rakaat, memohon petunjuk dan pengampunan dari Yang Maha Kuasa dan
Maha Mengetahui.
*** DALAM Episode sebelumnya (Perjanjian Dengan Roh),
Pendekar 212 punya maksud menemui Ratu Duyung untuk mengetahui apakah benar
jurang yang ada air terjunnya benar-benar tidak berpenghuni. Namun dia merasa
ada ganjalan karena tindakan sang ratu yang pergi begitu saja setelah hancurnya
113 Lorong Kematian. Selain itu sobat seperjalanannya kakek tukang kencing Setan
Ngompol tidak begitu senang jika mereka harus jauh-jauh kembali ke jurang.
Saat itu matahari telah tenggelam, senja datang disusul malam.
"Kek, kita ini berada di mana dan sebenarnya mau
menuju ke mana?" tanya Wiro pada Setan Ngompol.
Yang ditanya menunjuk jauh ke arah sebuah bukit kecil.
Pemandangan agak terlindung oleh kegelapan dan
kerapatan pepohonan.
"Lihat, ada bangunan di sebelah sana. Ada nyala api.
Pintunya juga kelihatan dalam keadaan terbuka. Tanda penghuninya masih belum
tidur. Kita ke sana. Siapa tahu dapat suguhan kopi panas..."
"Paling-paling air sumur!" tukas murid Sinto Gendeng.
"Paling tidak ada tempat untuk kita numpang
bermalam."
"Kek, melihat celanamu yang lepek air kencing serta badanmu yang bau pesing,
mana ada orang yang mau
memberi tumpangan bermalam pada kita. Kalau nasib baik aku yang akan tidur dalam
rumah, kau tidur di atas atap."
Setan Ngompol tersenyum. "Bisa-bisa yang kejadian
sebaliknya," kata kakek bermata jereng berkuping lebar ini.
"Aku kenal dengan penghuni gubuk itu. Karena itu aku mengajakmu ke sana."
"Siapa yang tinggal di sana" Janda gemuk di Bantul tempo hari?"
Setan Ngompol tertawa cekikikan sambil tangannya
menekap bagian bawah perut. "Kau masih saja mengingat-ingat si gembrot itu. Aku
sendiri sudah hampir lupa. Jangan kau sampai membangunkan keponakan yang ada di
bawah perutku. Bisa-bisa kutinggal sendirian kau di tempat ini!
Hik... hik... hik!"
Kedua orang itu berjalan cepat di antara kerapatan pepohonan. Hanya tinggal
sepuluh tombak dari gubuk di atas bukit tiba-tiba dari pintu keluar seorang
perempuan berpakaian gelap, berwajah putih, berambut panjang riap-riapan sampai
ke pinggang. Setan Ngompol cepat menarik Wiro ke balik semak
belukar di belakang sebuah pohon besar.
"Aku seperti mengenali wajah dan perawakan orang
itu..." kata Setan Ngompol pula. "Jangan-jangan... Dia berkelebat ke timur. Ayo
kita potong jalannya!"
"Buat apa mengikuti orang"!" tanya Wiro segan-
seganan. "Apa kau tidak memperhatikan" Wajah dan sosok
perempuan itu mirip-mirip nenek yang pusarnya bodong tempo hari!"
"Kek, aku tidak heran kau mau mengejarnya. Rupanya selama ini kau selalu ingat-
ingat dia. Kesemsem pada pusar bodongnya. Sekarang kau pasti sudah kasmaran
jatuh cinta. Mimpi mau menjilat pusarnya! Gendeng!"
"Terserah kau mau bilang apa. Aku tetap mau
mengejar!"
Wiro mengalah. Terpaksa mengikuti si kakek
menempuh jalan memotong. Dalam waktu singkat mereka berhasil memapas jalan nenek
muka putih. Begitu sampai di hadapan si nenek, Setan Ngompol hentikan langkah,
menjura sambil keluarkan ucapan, "Nenek muka putih!
Selamat bertemu lagi dengan kami dua manusia jelek!"
Kejut si muka putih bukan alang kepalang. Selain itu wajahnya yang putih
menunjukkan kemarahan.
"Kalian lagi!" bentaknya sambil dua kaki merenggang dan dua tangan diturunkan ke
samping. Jelas nenek ini tengah memasang kuda-kuda untuk melakukan serangan.
"Ini kali kedua kalian menghadangku! Apa mau kalian"
Minta mampus"!"
Setan Ngompol langsung jatuhkan diri berlutut dan
kucurkan kencing. "Sahabat, jangan salah mengira.
Pertemuan kedua ini sungguh tidak diduga. Ini takdir Yang Maha Kuasa. Ini
mungkin satu tanda kita bisa bersahabat.
Sejak melihat bagaimana tempo hari kau membuat
buntung tangan manusia muka setan dengan sihir biru yang keluar dari pusarmu,
aku sangat mengagumi. Ingin berkenalan dan ingin tahu siapa nama serta gelarmu."
Nenek muka putih memandang melotot lalu tertawa
panjang. "Rupanya kau senang melihat aurat perempuan!"
"Anu, soalnya sampai tua bangka begini baru sekali itu aku melihat ilmu
kesaktian seperti itu. Aku..."
"Hati-hati dengan kakek satu ini Nek. Orangnya
memang rada-rada ganjen! Barangkali temanku ini naksir samamu Nek," kata Wiro
pula. "Hemm... begitu?" ucap si nenek tanpa berpaling pada Wiro. "Lalu kau sendiri
bagaimana"! Kau ganjen apa tidak"
Kau juga naksir padaku"! Hik... hik!"
Pendekar 212 jadi cengar cengir garuk-garuk kepala.
"Kalau kalian berdua tidak lekas menyingkir dari
hadapanku, sesaat lagi kalian hanya tinggal badan tanpa nyawa!"
Air kencing Setan Ngompol langsung terpancar.
Wiro tarik tangan Setan Ngompol, membantu si kakek berdiri. Tak sengaja matanya
melirik ke arah si nenek dan dapati si muka putih itu tengah memperhatikan
dirinya. Ketahuan mencuri pandang si nenek melengos dan
keluarkan ucapan.
"Kalian berdua benar-benar menyebalkan!"
"Harap maafkan diriku dan kakek temanku ini, Nek."
Si nenek mendengus. Sekali dia balikkan badan, luar biasa sekali, sosoknya serta
merta lenyap dari tempat itu.
"Kabur lagi Kek. Tidak kau kejar?" tanya Wiro pada Setan Ngompol.
Si kakek pehcongkan mulut. "Kalau orang tidak mau
bersahabat, ya sudah. Cuma aku menaruh firasat. Satu ketika kelak dia
membutuhkan orang-orang jelek macam kita ini."
Ketika Setan Ngompol dan Wiro siap melangkah
menuju gubuk kediaman Ki Tambakpati, tidak terduga tiga bayangan berkelebat dan
tahu-tahu tiga orang sudah berdiri di depan mereka.
Melihat siapa yang muncul Setan Ngompol berseru
gembira. Dia tepuk bahu Wiro. "Nasib kita ternyata tidak jelek-jelek amat malam
ini! Lihat, hilang yang satu, muncul yang lain!"
*** WIRO SABLENG NYI BODONG 4 ALAH satu dari tiga orang yang barusan datang
langsung membentak. "Kakek bau pesing! Apa
Smaksudmu dengan ucapanmu tadi"!" Yang
membentak adalah seorang nenek berdandan menor, alias kereng, bedak tebal, bibir
dipoles gincu merah menyala dan dua pipi diberi pemerah-merah. Ketika tersenyum,
nenek berpakaian serba hitam ini, memperhatikan deretan giginya yang berlapis
perak berkilat. Yang hebatnya, di atas kepalanya ada tiga potongan bambu
mengepulkan asap hitam, merah dan biru. Batok kepalanya mengeluarkan suara
seperti tungku perapian tukang besi. Inilah dia si nenek yang dijuluki Hantu
Malam Bergigi Perak. Seperti yang pernah diucapkannya tempo hari, dia akan
selalu memata-matai Setan Ngompol serta Pendekar 212 Wiro Sableng.
Si nenek berdiri diapit dua gadis berpakaian ringkas warna biru dan merah. Kulit
putih wajah sama cantik jelita, tidak bisa dibedakan yang mana lebih cantik dari
lainnya. Sementara si nenek memandang melotot pada Setan
Ngompol, dua gadis mengerling sambil lontarkan senyum ke arah Pendekar 212 Wiro
Sableng. Di bentak si nenek Setan Ngompol batuk-batuk lalu
menjawab, "Barusan saja seorang sahabat pergi
meninggalkan kami. Kini tahu-tahu kau yang juga sahabat kami muncul pula di
tempat ini. Siapa yang tidak senang"
Hati lara terlipur sudah!"
"Kakek bau pesing! Kau pintar omong! Tapi jangan
harap aku suka padamu."
"Ah, aku... aku mana mungkin mengharap sampai
sejauh itu," jawab Setan Ngompol sambil kedipkan mata.
"Bisa melihat dan memandangmu saja seperti saat ini senangnya sudah bukan main!"
"Tua bangka ganjen! Katakan siapa sahabatmu yang


Wiro Sableng 144 Nyi Bodong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

barusan meninggalkan tempat ini!"
"Terus terang namanya pun kami belum tahu..." Yang menjawab Pendekar 212 Wiro
Sableng. "Goblok! Katanya sahabat tapi tidak tahu nama! Kau sama gebleknya dengan gurumu
si Sinto Gendeng itu!"
"Nek, kalau bicara jangan kelewatan! Sekali lagi kau berani menghina guruku,
kuremukkan wajahmu yang
seperti kuntilanak kesiangan itu!" bentak Wiro marah karena gurunya dilecehkan.
Si nenek ganda tertawa. Dia berpaling pada Setan
Ngompol. "Bagaimana ciri-ciri orang yang katamu
sahabatmu itu"!" tanya si nenek.
"Tinggi semampai. Muka putih, rambut panjang awut-
awutan. Dia berpakaian biru gelap..."
"Cantik mana dia dibanding aku"!" tanya si nenek pula.
Salah seorang gadis di sampingnya yaitu yang
berpakaian merah buru-buru keluarkan ucapan, "Nek, mengapa bertanya yang bukan-
bukan?" "Huss! Kau anak kecil diam saja!" membentak si nenek.
Lalu dia berpaling pada Setan Ngompol. "Jawab
pertanyaanku! Cantik mana aku dibanding dia"!"
"Anu Nek... Kau lebih cantik tentunya. Tapi dia lebih banyak! Ha... ha... ha!"
Setan Ngompol menjawab lalu tertawa gelak-gelak.
Jawaban seperti inilah yang dikhawatirkan dua gadis berpakaian ringkas warna
merah dan biru. Tapi ternyata sang guru tidak marah malah tertawa mengekeh. Puas
tertawa si nenek berkata, "Sudah! Aku sudah tahu siapa orangnya. Dia pendatang
baru rimba persilatan. Dia dikenal dengan nama Nyi Bodong!"
"Nyi Bodong...?" Setan Ngompol memandang ke arah
Wiro yang berdiri sambil garuk kepala. "Pantas, aku pernah satu kali menyaksikan
pusarnya yang bodong. Pusar itu bisa mengeluarkan sinar biru mematikan. Aku
melihat sendiri bagaimana dia membuat buntung tangan seorang lawannya!"
"Aku banyak tahu tentang nenek satu itu. Aku dan
muridku sedang menyelidiki siapa dirinya. Belakangan ini dia diketahui membantai
beberapa orang penjahat dan kini tengah memburu seorang pemerkosa berjuluk Hantu
Pemerkosa! Mungkin sekali Hantu Pemerkosa adalah
orang yang telah dibuntungi tangannya oleh Nyi Bodong."
Hantu Malam Bergigi Perak berpaling pada Pendekar 212.
"Apa kau sudah tahu di mana beradanya Kitab Seribu Pengobatan"!"
Wiro menggeleng.
"Apa kau tahu di mana beradanya gadis berambut
pirang bernama Bidadari Angin Timur?" tanya si nenek lagi yang membuat dada
murid Sinto Gendeng jadi berdebar.
"Tidak, aku tidak tahu di mana beradanya gadis itu.
Kami tengah menyelidik jejaknya. Ada tanda-tanda bahwa dia telah menemui
kematian. Mengapa kau menanyakan gadis itu, Nek?" Balik bertanya Wiro.
"Salah satu dari kalian pernah bilang bahwa gadis itu tahu di mana beradanya
kitab tersebut. Sampai sekarang aku tetap curiga dialah yang mencuri kitab itu.
Tapi kalau memang orangnya sudah mati mau apa lagi. Mau dicari ke mana. Hanya
saja aku melihat ada hal yang tidak wajar.
Orang-orang rimba persilatan semua tahu bahwa Bidadari Angin Timur adalah
kekasihmu. Jika gadis itu menemui ajal mengapa kau tenang-tenang saja. Mengapa
tidak ada pancaran kesedihan di mata dan wajahmu" Atau mungkin juga kau yang telah
membunuhnya karena bingung terlalu banyak kekasih! Atau mungkin gadis itu sudah
kau buntingi! Karena tak mau bertanggung jawab kau habisi dirinya. Selesai! Hik...
hik... hik!"
"Tuduhanmu keji amat Nek!" Murid Sinto Gendeng jadi marah. "Kau telah menghina
guruku! Juga telah memfitnah diriku! Jangan harap aku mau menolong mendapatkan
Kitab Seribu Pengobatan itu!"
Dalam marahnya Wiro segera saja berkelebat
tinggalkan tempat itu. Setan Ngompol menatap ke arah si nenek lalu geleng-geleng
kepala. "Nek, usil mulutmu sudah sangat keterlaluan. Lain waktu kalau ada setan
yang menghamili dirimu, jangan kau menuduh diriku yang
melakukan!"
"Tua bangka keparat! Jaga mulutmu! Manusia utuh saja masih banyak yang menyukai
diriku! Mengapa aku harus main dengan setan"!" teriak Hantu Malam Bergigi Perak
marah sekali. Kepulan asap dari tiga potongan bambu di atas kepalanya menderu
keras. Dia menerjang ke depan sambil layangkan tangan hendak menampar muka Setan
Ngompol. Namun kakek ini sudah kabur lintang pukang lebih dulu mengikuti Wiro.
Tentunya dengan terkencing-kencing.
Dengan gemas Hantu Malam Bergigi Perak memandang
berkeliling. Dia dapatkan dua muridnya tak ada lagi di tempat itu.
"Liris Merah, Liris Biru! Di mana kalian!?"
"Maafkan kami Nek. Kami berangkat duluan ke goa di Kaliurang! Sebentar lagi hari
segera siang!" salah seorang murid si nenek menjawab.
"Awas! Kalau aku tidak menemui kalian waktu aku
pulang, kalian akan mendapat hukuman berat!" Si nenek mengancam. Dia memandang
ke arah cahaya terang dari sebuah gubuk di puncak bukit. Dia melihat Setan
Ngompol dan Wiro lari ke arah bangunan itu. Semula ada niatnya hendak mengejar,
namun batal karena dia harus
melakukan sesuatu. Selain itu dia ingin cepat-cepat kembali pulang ke Goa
Cadasbiru di Kaliurang untuk melihat apakah benar kedua muridnya Liris Merah dan
Liris Biru berada di goa itu.
Tak lama setelah Hantu Malam Bergigi Perak tinggalkan tempat itu, dua orang
Rahasia 180 Patung Mas 14 Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok Pendekar Gila 1
^