Nyi Bodong 2
Wiro Sableng 144 Nyi Bodong Bagian 2
muridnya yang ternyata sembunyi di balik semak belukar segera keluar. Mereka
lari ke arah gubuk di atas bukit namun tiba-tiba yang tertua di antara mereka
yaitu Liris Merah hentikan lari, menyelinap ke balik sebuah pohon besar. Saat
itu jarak antara mereka dengan gubuk hanya tinggal belasan tombak.
"Ada apa?" tanya Liris Biru sang adik.
"Lihat ke arah gubuk. Ada orang mendekam di atas
atap," jawab Liris Merah. Liris Biru memperhatikan.
Memang benar ada seorang jongkok mendekam di atas
atap gubuk kediaman Ki Tambakpati.
"Kakek dan pemuda itu sudah masuk ke dalam.
Mungkin mereka tidak tahu kalau ada orang yang
mengintai. Mari kita pindah empat pohon ke depan agar bisa melihat jelas siapa
adanya orang di atas atap."
Dengan gerakan cepat tanpa mengeluarkan suara dua
murid Hantu Malam Bergigi Perak berkelebat ke arah bukit.
Tiga pohon terlampaui. Pada pohon ke empat keduanya berhenti dan sembunyi.
"Kalau aku perhatikan sosok orang di atas atap seperti Nyi Bodong. Sayang
mukanya menghadap ke arah lain.
Tunggu saja sampai kita bisa melihat. Kalau putih sudah pasti memang Nyi
Bodong." Mendengar ucapan kakaknya, Liris Biru berkata. "Aku khawatir orang di atas
atap... hai! Dia menggerakkan kepala. Walau sekilas aku sempat melihat
wajahnya!"
"Putih!" ucap Liris Merah menyambungi. "Benar Nyi
Bodong. Ada keperluan apa dia mengintai di atas gubuk."
"Aku khawatir dia punya maksud tidak baik. Bagaimana cara kita memberi tahu
kakek dan pemuda itu."
"Satu-satunya cara kita masuk saja ke dalam gubuk!"
"Kalau begitu tunggu apa lagi!"
Sambil berpegangan tangan dua kakak beradik itu lari ke arah puncak bukit,
menuju gubuk yang pintunya
terbuka. Namun belum sempat berkelebat dua tombak, tiba-tiba orang di atas atap
melayang turun. Gerakannya jelas menghadang Liris Merah dan Liris Biru! Hal ini
dipertegas lagi dengan bentakannya.
"Ada keperluan apa kalian mendatangi tempat ini"!"
Liris Merah dan Liris Biru adalah dua gadis kakak
beradik berhati polos, masih muda tapi tahu peradatan dunia persilatan serta
tahu bagaimana cara harus
bersopan santun. Biasanya mereka akan selalu bersikap baik bila orang menyikapi
mereka secara wajar. Namun kalau ada yang jahil, judes apalagi galak, maka
keduanya akan mempermainkan orang itu sampai mukanya bisa
merah seperti kepiting rebus dan hati panas seperti bara.
Setelah perhatikan sejurus nenek bermuka putih dan berpakaian biru gelap di
depannya, Liris Merah membuka mulut, "Kami dua kakak beradik, mau pergi ke mana
siapa boleh melarang"!"
Sang adik menimpali, "Kau sendiri kami lihat sembunyi di atas atap. Pasti ada
maksud tidak baik. Tapi kami tidak menegur!"
"Urusanku apa perduli kalian"!"
"Urusan kami apa pula perdulimu"!"
"Lekas tinggalkan tempat ini atau aku akan memberi pelajaran sopan santun pada
kalian!" "Saudaraku Liris Biru. Walau baru muncul dalam rimba persilatan, selama ini aku
mendengar yang namanya Nyi Bodong itu adalah seorang berhati mulia, kalau bicara
lemah lembut. Namun tegas dalam menghadapi orang-orang jahat! Apakah kita berdua
yang muda-muda ini punya tampang penjahat hingga seenaknya diusir dan diancam"!"
"Tenang saja, kakak," jawab Liris Biru, "Aku sudah bisa menduga mengapa nenek
muka putih ini tidak senang kita dekat-dekat di sini. Dia takut pemuda yang ada
di dalam gubuk akan terpikat pada kita-kita! Agaknya dia naksir pada si gondrong
itu! Hik... hik... hik!"
"Kau benar adikku. Padahal di dalam gubuk masih ada seorang kakek bau pesing
yang aku rasa cocok buat
dirinya!" Liris Merah dan Liris Biru lalu tertawa gelak-gelak.
Nenek muka putih langsung berubah merah seperti saga wajahnya.
"Dua tikus kecil! Jangan salahkan kalau aku memberi pelajaran keras padamu!" Dua
kaki Nyi Bodong bergeser.
Saat itu juga tubuhnya berkelebat lenyap dan, plaak...
plaak! Liris Merah dan Liris Biru merasakan tamparan keras di muka masing-masing.
Didahului pekikan menahan sakit serta luapan amarah, dua murid Hantu Malam
Bergigi Perak ini segera saja menyerbu Nyi Bodong. Perkelahian hebat serta merta
terjadi. Walau Liris Merah dan Liris Biru masih muda belia, belum sampai berusia dua
puluh tahun, sebagai murid seorang nenek sakti dan aneh keduanya memiliki
kepandaian silat yang tidak bisa dibuat main. Jurus-jurus serangan mereka penuh
tipu daya sehingga berulang kali lawan nyaris kena disikut, ditendang ataupun
dijotos. Namun lawan yang dihadapi bukan pula orang
sembarangan. Nyi Bodong ternyata memiliki gerakan luar biasa cepat. Saat ini dia
berada di sebelah kiri, di lain kejap ketika diserang sudah berpindah ke tempat
lain. Lima jurus berlalu dua gadis cantik kakak dan adik mulai terdesak hebat.
Liris Merah berseru kaget ketika konde di atas
kepalanya ditarik orang hingga rambutnya yang hitam tebal dan panjang tergerai
awut-awutan. Hal yang sama juga terjadi dengan Liris Biru. Ketika dia merasa
jotosan tangan kanannya akan berhasil mendarat di perut Nyi Bodong tiba-tiba
salah satu telapak tangan lawan menekan dahinya dan sesaat kemudian konde di
kepalanya berbusaian!
Dua kakak beradik menjerit marah. Satu sama lain
saling berpegangan tangan. Tiba-tiba salah satu dari mereka melesat ke depan,
kirimkan tendangan ke arah kepala lawan. Menyusul satunya jatuhkan diri ke
tanah, berguling dan babatkan kaki memapas ke pinggang Nyi Bodong. Guru mereka
menyebut jurus ini dengan nama Hantu Malam Berbagi Pahala. Memang kehebatannya
luar biasa. Lawan yang mencoba mundur atau melompat untuk selamatkan diri dari
tendangan ke arah kepala akan dihajar oleh serangan susulan yang bisa membabat
hancur tulang pinggang.
Nyi Bodong keluarkan suara meraung seperti srigala hutan. Tubuhnya berkelebat
luar biasa cepat. Di lain kejap tubuh itu mengambang melintang di udara. Tangan
dan kaki bergerak mencari sasaran. Dua kakak beradik
terkejut, berusaha selamatkan diri dengan melompat mundur. Namun terlambat.
Tiba-tiba dari dalam gubuk berkelebat dua orang.
Satunya berteriak. "Kek! Kau tahan si nenek, aku menahan dua kakak adik itu!"
Bau pesing menghampar, air kencing bercipratan.
Dalam keadaan seperti itu Nyi Bodong merasa ada orang yang merangkul pinggangnya
hingga dia tak mampu
bergerak. Dia jadi bergidik karena merasakan ada cairan hangat membasahi pakaian
dan tubuhnya sebelah bawah!
"Tua bangka kurang ajar! Beraninya kau memegang
tubuhku! Beraninya kau mengencingi pakaianku!"
Bukkk! Setan Ngompol kena disikut bahu kirinya. Walau
tubuhnya terjajar beberapa langkah namun dia tidak mau lepaskan cekalannya di
pinggang Nyi Bodong. Akibatnya kedua orang ini sama-sama jatuh di tanah. Si
kakek di sebelah bawah, si nenek di sebelah atas. Melihat wajah putih cantik
yang begitu dekat dengannya, Setan Ngompol unjukkan senyum mesra. Bibir
diruncingkan dan dua mata setengah dipejamkan. Seolah dia menunggu datangnya
ciuman dari sang kekasih! Namun yang datang bukannya ciuman melainkan satu
jotosan keras di keningnya! Si kakek menjerit kesakitan. Tubuhnya setengah
melintir. Pemandangan gelap dan dia terpaksa melepaskan
rangkulannya di pinggang Nyi Bodong.
Pendekar 212 yang menghadapi dua kakak adik cepat
menghadang gerakan Liris Merah dan Liris Biru seraya berteriak, "Tahan! Kita
berada di pihak yang sama!
Mengapa bertindak tolol berkelahi tidak karuan"!"
"Manusia gondrong! Enak saja kau bilang kita berada di pihak yang sama! Siapa
sudi!" Nyi Bodong menghardik.
Sebaliknya begitu melihat siapa yang menghalangi
mereka, Liris Merah dan Liris Biru serta merta menjadi kendur amarahnya. Sambil
pegangi pipi masing-masing yang terasa masih sakit, kedua murid Hantu Malam
Bergigi Perak ini mundur beberapa langkah.
"Nyi Bodong, mengapa kalian jadi berkelahi satu sama lain?" bertanya Setan
Ngompol yang keningnya kini ada satu benjut besar akibat pukulan Nyi Bodong.
"Aku tidak ada urusan memberi keterangan padamu!
Kakek kurang ajar! Tanyakan saja pada dua kurcaci itu.
Masih bau kencur sudah berlagak jadi orang hebat! Untung kalian muncul kalau
tidak saat ini keduanya sudah jadi bangkai!"
"Sombongnya! Kami belum merasa kalah!" tukas Liris Merah. Gadis ini hendak
melangkah mendekati Nyi
Bodong. Wiro cepat pegang lengan Liris Merah. Dia sekalian memegang tangan Liris Biru
lalu membawa dua gadis itu menjauhi Nyi Bodong. Sambil berjalan mundur dua gadis
sandarkan kepala mereka ke bahu Pendekar 212 dan
lemparkan senyum mengejek ke arah Nyi Bodong.
"Masih ingusan sudah pandai berbuat cabul!" ucap Nyi Bodong dengan wajah
menunjukkan kejijikan.
"Kalau iri kenapa kau tidak memeluk kakek bau pesing itu"!" ucap Liris Biru.
"Dua kurcaci ingusan! Jika kemudian hari aku bertemu lagi dengan kalian, jangan
harap ada rasa kasihan dalam hatiku!"
Liris Merah dan Liris Biru sama-sama keluarkan suara berdecak.
"Nyi Bodong," kata Liris Merah, "Kau memang orang
hebat! Tapi siapa yang minta kasih sayangmu" Rupanya kau seorang yang suka
memberi kasih pada sesama jenis!
Hik... hik... hik!"
"Gadis kurang ajar! Ini cukup baik untuk menutup mulut busukmu!" Dengan ujung
kakinya Nyi Bodong mengorek sebuah batu sebesar tinju. Batu mencelat ke udara,
ditangkap dengan tangan kanan lalu secepat kilat
dilemparkan ke arah Liris Merah.
"Kakak awas!" teriak Liris Biru. Namun saat itu Liris Merah masih mengejek Nyi
Bodong dengan cara
menyandarkan kepala ke bahu Wiro, mata dipejamkan dan bibir digerak-gerakkan.
Dua jengkal lagi batu yang dilemparkan akan
menghantam mulut Liris Merah, dengan sigap Wiro
gerakkan tangan kiri.
Wuuutt! Bettt! Wiro memang berhasil menangkap batu yang
dilemparkan namun saat itu juga dia menjerit keras dan campakkan batu ke tanah.
Tangan kirinya mengepulkan asap. Ketika jari-jarinya dikembangkan kelihatan
bagaimana tangan kiri itu telah melepuh terkelupas sampai ke ujung-ujung jari!
Dapat dibayangkan bagaimana kalau batu yang panas laksana bara api itu sampai
masuk ke dalam mulut Liris Merah.
"Nyi Bodong! Ternyata kau perempuan durjana! Kau
melukai tangan orang yang tidak punya salah!"
Nenek muka putih tampak terkesiap. Tak menyangka.
Lain yang diserang lain yang kena sasaran.
Liris Biru melompat ke tempat berdirinya Nyi Bodong sambil lepaskan satu pukulan
tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Tanah terbongkar, satu lobang
besar tampak dalam kegelapan malam. Namun Nyi Bodong
sudah raib seperti ditelan bumi.
Dari ambang pintu gubuk tiba-tiba terdengar seseorang berseru, "Setan Ngompol,
bawa sahabatmu itu ke dalam.
Lukanya sangat berbahaya. Kalau tidak lekas diobati tangannya bisa busuk!"
*** WIRO SABLENG NYI BODONG 5 I DALAM gubuk Ki Tambakpati menyuruh Pendekar
212 Wiro Sableng duduk di depan belanga tanah
Dyang mengepulkan asap dan keluarkan suara
mendidih. Liris Merah dan Liris Biru saling berbisik melihat keanehan belanga
itu. Tak ada api yang menjarang tapi cairan di dalam belanga bisa mendidih.
"Kakek ini dukun atau tukang sihir?" bisik Liris Biru yang segera dipelototi
oleh kakaknya. "Jangan bicara sembarangan. Kita tidak tahu ini tempat apa." ucap Liris Merah
pula. Untuk beberapa lama Ki Tambakpati berdiri di hadapan Wiro. Mata terpejam, mulut
berkomat-kamit dan telapak tangan kanan dikembang, diarahkan ke mulut belanga.
Suara cairan yang mendidih terdengar semakin keras bahkan sesekali muncrat ke
atas. "Masukkan tanganmu ke dalam belanga. Biar dalam,
sampai jari-jari menyentuh dasar belanga!" tiba-tiba Ki Tambakpati berkata.
Pendekar 212 Wiro Sableng tersentak kaget lalu garuk-garuk kepala. Liris Merah
dan Liris Biru saling
berpandangan dengan wajah tegang. Setan gompol
bersandar ke dinding gubuk sambil pegangi bagian bawah perutnya yang mulai
mengucur! "Anak muda berambut gondrong! Aku akan memberi
perintah satu kali lagi. Jika kau tidak menuruti maka tangan kirimu akan busuk
sampai akhirnya meleleh
buntung. Musuh telah melempar batu yang dibalut dengan ajian ilmu bernama Batu
Seribu Api. Adalah luar biasa kau hanya mengalami luka melepuh terkelupas. Orang
lain mungkin sudah lumer seluruh tangan sampai ke
pergelangan! Tapi jangan merasa hebat! Tanganmu akan busuk dan buntung jika kau
tidak mau kuobati. Masukkan tangan kirimu ke dalam belanga! Cepat!"
Murid Sinto Gendeng jadi keluarkan keringat dingin.
Tangannya dalam keadaan melepuh terkelupas.
Dimasukkan ke dalam cairan yang tengah mendidih. Apa tidak gila"! Mana mungkin
bisa disembuhkan dengan cara edan begitu" Wiro memandang ke arah dua gadis kakak
adik. Liris Merah dan Liris Biru tampak saling berpegangan tangan. Keduanya sama
memandang ke arah Wiro, tak
berkesip. Wiro menoleh ke arah Setan Ngompol. Kakek ini hanya manggut-manggut
sementara dua tangannya sibuk menahani bagian bawah perut yang terus ngocor.
Alihkan pandangan ke arah Ki Tambakpati, Wiro melihat orang tua ini masih tegak
dengan mata terpejam dan mulut komat-kamit. Wiro menggigit bibir. Walau kuduknya
terasa mengkirik tapi akhirnya dia masukkan juga tangan kirinya ke dalam belanga
tanah. Demikian kencangnya dia
memasukkan tangan hingga amblas menjebol bagian
bawah belanga! Wira melengak kaget, terduduk di tanah, memandang
ke arah Ki Tambakpati lalu tertawa gelak-gelak.
"Keterlaluan! Kau telah memecahkan belanga obatku!
Sekarang malah tertawa. Apa yang lucu?"
"Kek, aku tak sengaja. Maafkan aku kalau belangamu sampai pecah." kata Wiro
pula. "Aku tertawa ternyata cairan di dalam belanga sedingin air danau di malam
hari. Tadinya aku mengira cairan itu panas mendidih..."
"Aku tidak pernah mengatakan cairan itu panas.
Sekarang coba perhatikan tangan kirimu!" ujar Ki
Tambakpati pula.
Wiro baru sadar. Buru-buru dia angkat tangan kiri.
Astaga! Telapak tangan dan jari-jarinya sudah pulih seperti tidak pernah
mengalami cidera. Hanya saja lima jari tangannya tampak agak membengkak. Liris
Merah dan Liris Biru terheran-heran. Setan Ngompol senyum-senyum ikut senang walau
kencingnya tetap saja masih mengucur.
"Dalam dua tiga hari bengkak tanganmu akan susut.
Kau akan sembuh seperti sedia kala." Kata Ki Tambakpati.
Wiro membungkuk dalam-dalam. "Terima kasih Kek.
Aku tak tahu bagaimana cara membalas budi besarmu ini.
Wiro Sableng 144 Nyi Bodong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kalau aku boleh tahu siapakah Kakek ini adanya?"
Yang menjawab adalah Setan Ngompol.
"Kakek ini sudah tiga puluh tahun jadi sahabatku.
Namanya Ki Tambakpati. Dijuluki Tangan Penyembuh."
Wiro berdiri lalu membungkuk dalam-dalam. "Ki
Tambakpati, aku Wiro Sableng sekali lagi mengucapkan terima kasih atas budi
baikmu menolong diriku
menyembuhkan lukaku. Aku..."
Ucapan Wiro terhenti karena saat itu tiba-tiba saja Ki Tambakpati tertawa
bergelak. "Nah, sekarang gantian kau yang tertawa. Sobatku Ki Tambakpati, apa yang lucu?"
bertanya Setan Ngompol.
Ki Tambakpati usap wajahnya. "Melihat tampang dan
gerak-gerikmu serta kau muncul bersama si tukang
ngompol itu, tadi-tadi aku sudah menduga kau ini memang anak setan murid nenek
brengsek Sinto Gendeng!"
Wiro jadi melongo.
"Kek, bagaimana kau tahu sebutan 'anak setan' itu...?"
Ki Tambakpati tersenyum. "Sinto Gendeng gurumu itu adalah teman sepermainanku
semasa kecil. Dia pernah tinggal lama di rumah orang tuaku di pantai selatan.
Dia selalu menyebut anak setan pada orang yang disayanginya.
Tapi tidak mudah untuk mendapatkan rasa sayang nenek gendeng itu! Ha... ha...
ha!" "Ha... ha...ha!" Setan Ngompol ikutan tertawa senang tapi sambil terkencing-
kencing (Kisah riwayat Sinto Gendeng mulai dari masa bayi sampai dewasa dapat
pembaca ikuti dalam CERMIN yang akan segera terbit dengan judul "Selingkuh Rimba
Persilatan").
Sementara orang bicara dan tertawa, Liris Merah dan Liris Biru saling berbisik.
Sang kakak berkata, "Tidak ada salahnya kalau kita bicara pada kakek bernama Ki
Tambakpati itu. Tapi bagaimana dengan yang lain" Apa mereka pantas untuk
mendengar?"
"Kalau guru ada di sini dia pasti marah. Tapi dia tak ada. Kita harus punya
upaya sendiri, tidak bisa hanya mengandalkan guru. Soal mereka akan mendengar
riwayat kita, kurasa tidak perlu khawatir. Tampaknya mereka semua bisa
dipercaya." jawab Liris Biru pula.
Liris Merah terdiam seperti berpikir-pikir. Akhirnya gadis cantik ini berkata,
"Baiklah, biar aku yang bicara. Kupikir kalau orang tidak tahu apa yang menjadi
masalah kita, bagaimana mungkin mereka bisa menolong?" Liris Merah lalu
melangkah mendekati Ki Tambakpati.
Kakek ahli pengobatan ini seolah baru sadar akan
kehadiran dua gadis cantik di tempat itu tersenyum-senyum lalu menyapa, "Aku
sampai lupa kalau di sini juga ada dua tamu cantik jelita. Gadis berpakaian
merah dan berpakaian biru, siapakah kalian berdua?" Sambil bertanya Ki
Tambakpati melirik ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Setan Ngompol mendekati Wiro. "Anak setan, kau lihat kakek itu tadi melirikmu"
Pasti dia juga sudah tahu kalau kau tukang main perempuan!"
"Enak saja kau bicara Kek! Urusi saja air kencingmu!"
damprat murid Sinto Gendeng.
"Ki Tambakpati, saya Liris Merah dan itu adik saya Liris Biru. Apakah saya boleh
menuturkan sesuatu. Saya dan adik saya mempunyai masalah. Siapa tahu Ki
Tambakpati bisa menolong menyembuhkan kami."
Ki Tambakpati perhatikan Liris Merah dan Liris Biru dari kepala sampai ke kaki.
"Kalian berdua sama cantik, sama sehat. Kalau kau menyebut memiliki ada masalah,
masalah apa" Jika kau minta aku menyembuhkan diri
kalian, apa sakit kalian" Liris Merah, kau mau
menceritakan masalah yang kau maksudkan?"
Liris Merah mengangguk. "Namun terlebih dulu saya
mohon apa yang akan saya sampaikan menjadi rahasia kita semua di tempat ini.
Jangan sampai tersebar di luaran."
"Aku memang tukang bocor di sebelah bawah, tapi
tidak pernah bocor di sebelah atas. Aku tidak pernah membuka rahasia orang.
Apalagi rahasia dua gadis cantik seperti kalian." kata Setan Ngompol pula dengan
nada gagah. Liris Merah memandang ke arah Pendekar 212 Wiro
Sableng. Murid Sinto Gendeng tersenyum, anggukkan kepala dan berkata, "Kita sudah menjadi
sahabat. Apakah yang kau ragukan?"
"Begini Ki Tambak," Liris Merah memulai, "Sejak
dilahirkan kami berdua memiliki kelainan. Yaitu tidak tahan terhadap udara
panas. Semakin besar kelainan itu
semakin bertambah. Kami tidak bisa berada di luaran pada siang hari. Itu
sebabnya kalau siang kami selalu tidak bisa pergi terlalu jauh dari tempat
kediaman kami. Kami harus sudah berada di tempat kediaman sebelum malam
berganti siang. Setiap hari kami harus mandi lebih dari sepuluh kali. Jika mandi
tidak menolong kami terpaksa mencari danau, telaga atau sungai untuk
berendam..."
"Aku ingat pertemuan kita pertama kali," kata Setan Ngompol pula. "Kalian berdua
keluar dari dalam telaga di malam buta!"
Liris Merah mengangguk membenarkan. Lalu dia
berpaling pada Ki Tambakpati dan meneruskan
ucapannya, "Tadi kami melihat Ki Tambakpati mengobati pemuda itu secara luar
biasa. Kami juga baru tahu kalau Ki Tambakpati adalah orang yang dijuluki Tangan
Penyembuh. Kami mohon, apakah Ki Tambakpati bisa menyembuhkan kelainan diri kami berdua?"
Semua orang terdiam. Ki Tambakpati nampak
merenung. Wiro dan Setan Ngompol menatap penuh rasa kasihan pada dua gadis itu.
Setelah merenung cukup lama Ki Tambakpati akhirnya berkata, "Penyakit yang
kalian alami adalah satu penyakit aneh yang baru kali ini aku dengar dan
ketahui. Liris Merah, Liris Biru. Aku tidak ingin mengecewakan kalian berdua,
apalagi kalian masih sangat muda. Namun
penyakit kalian tidak mungkin aku sembuhkan dengan kemampuan pengobatan yang aku
miliki." "Mungkin Ki Tambak tahu seseorang yang harus kami
temui dan punya kemampuan untuk mengobati diri kami berdua" Atau mungkin juga Ki
Tambak tahu sejenis obat yang harus kami dapatkan. Kami akan mencarinya
sekalipun sampai ke ujung langit."
Wajah Ki Tambakpati tampak sedih. "Saat ini aku tidak bisa menjawab. Entah di
kemudian hari kalau aku
mendapat petunjuk. Untuk itu aku harus bersemedi tujuh hari tujuh malam. Namun
kalian berdua jangan terlalu banyak berharap."
Liris Biru masih belum menyerah. Gadis ini bertanya, "Ki Tambak, apa kau pernah
mendengar sebuah kitab disebut Kitab Seribu Pengobatan?"
"Memang pernah aku mendengar. Namun di mana
beradanya kitab itu tidak diketahui. Pemiliknya adalah guru pemuda gondrong ini.
Sinto Gendeng sahabatku yang diam di puncak Gunung Gede. Mungkin di dalam kitab
itu ada bagian yang menyebutkan mengenai penyakit yang kalian idap dan bagaimana
cara penyembuhannya."
"Kitab itu lenyap dicuri orang sejak beberapa waktu lalu. Saya justru tengah
menjalankan tugas dari Eyang untuk mencarinya," menjelaskan Pendekar 212.
"Tidak ada satu orang pun di sini yang bisa menduga siapa pencuri atau di mana
beradanya kitab itu?" tanya Liris Merah.
Tak ada yang menjawab. Lalu Ki Tambakpati berkata,
"Malam ini, sebelumnya ada juga orang lain yang
menanyakan kitab itu. Dia adalah salah seorang dari dua tamuku."
"Siapa orangnya?" tanya Setan Ngompol.
"Aku akan jelaskan orangnya tapi tidak dapat memberi tahu penyakit yang
diidapnya..."
"Siapa nama orang itu Kek?" tanya Wiro.
"Siapa namanya itulah yang aku tidak tahu. Namun dia meminta agar dipanggil
dengan sebutan Pangeran. Tak tahu diburuk rupa, sikapnya luar biasa angkuh."
Pendekar 212 dan Setan Ngompol saling
berpandangan. "Kenapa kau tidak menolak saja mengobatinya?" tanya Setan Ngompol.
"Hal itu tak mungkin aku lakukan. Jalan hidup dan ilmu kepandaianku adalah
berbuat kebajikan menolong sesama manusia."
"Kadang-kadang kita menjadi susah dan malah berdosa karena terlalu baik terhadap
orang lain." ucap Pendekar 212 pula.
"Apakah kalian mengenali siapa adanya orang itu?" Kini Ki Tambakpati yang ajukan
pertanyaan. "Dia bertubuh tinggi besar, mengenakan jubah abu-abu, berwajah seperti setan?"
ujar Wiro. "Benar." jawab Ki Tambakpati.
"Kalau begitu dia adalah manusia yang dibuntungi
tangannya oleh nenek muka putih!" kata Wiro pula.
"Kalau sudah tahu aku tak perlu banyak cerita lagi!"
ujar Ki Tambakpati.
"Menurut guru dua gadis ini manusia itu dijuluki Hantu Pemerkosa. Saya punya
dugaan manusia itu aslinya adalah Pangeran Matahari!" kata murid Sinto Gendeng
sambil menatap tak berkedip ke arah Ki Tambakpati. "Kek, ada ciri-ciri lain dari
orang itu yang bisa kau ingat?"
"Wajahnya yang seperti setan. Aku yakin dia
mengenakan topeng tipis. Dia juga menyombongkan diri bisa bertukar wajah sepuluh
kali dalam satu hari..."
"Hanya itu saja yang bisa kau ingat sobatku?" tanya Setan Ngompol.
"Hanya itu saja. Tunggu..., ada satu hal. Ketika aku melihat jari kelingking
tangan kirinya buntung, dia marah besar ketika aku memperhatikan..."
"Pangeran Matahari!" ucap Setan Ngompol sampai
terlonjak dan kucurkan air kencing.
"Pasti dia!" kata murid Sinto Gendeng dengan wajah geram dan dua tangan
mengepal. "Berarti dia tidak mampus sewaktu rumah kayu di
Seratus Tiga Belas Lorong Kematian hancur lebur dan terbakar." kata Setan
Ngompol sambil usap daun kuping kanannya yang terbalik. "Dia juga tidak mati
tertimbun runtuhan bukit batu di mana lorong celaka itu terletak ketika Bunga
gadis dari alam roh menghancurkan kawasan itu. Sepertinya dia punya selusin
nyawa. Tapi yang sebelas sudah amblas. Jadi tetap saja tinggal satu! Hik...
hik... hik!"
Si kakek tertawa sendiri dibarengi kencingnya yang mancur.
Ki Tambakpati gelengkan kepala.
"Sahabatku, tadi kau menyebut ada dua orang tamu
malam ini datang ke tempatmu sebelum kehadiran kami.
Siapa yang satunya?" tanya Setan Ngompol.
"Apakah dia seorang nenek berwajah putih, rambut
riap-riapan, mengenakan pakaian biru pekat?" Liris Merah mendahului sebelum Ki
Tambakpati sempat menjawab.
"Bagaimana kau tahu?" tanya Ki Tambakpati.
"Saya melihat dia mendekam sembunyi di atas atap.
Ketika kami mendekati rumah ini, dia menghadang. Kami berdua tidak tahu apa
alasannya menyuruh kami pergi.
Kami juga tidak tahu apa dosa kesalahan kami sehingga tadi dia menyerang dengan
batu yang dialiri aji kesaktian jahat Batu Seribu Api seperti Kakek jelaskan."
"Liris Merah, kau tahu siapa adanya nenek itu?" tanya Ki Tambakpati.
"Menurut guru dia adalah pendatang baru rimba
persilatan bernama Nyi Bodong." jawab Liris Merah.
"Kek, apa keperluan nenek muka putih itu
menemuimu" Apakah dia mengidap satu penyakit?" tanya Wiro.
"Dia menanyakan perihal tamuku yang pertama. Si
buntung bermuka setan yang senang dipanggil dengan sebutan Pangeran itu. Benar
seperti katamu tadi, si nenek bernama Nyi Bodong menyebut si Pangeran sebagai
Hantu Pemerkosa. Agaknya Nyi Bodong ingin membunuhnya
karena katanya Hantu Pemerkosa telah merusak
kehormatan beberapa gadis desa lalu membunuh
korbannya. Namun..." Ki Tambakpati tidak meneruskan ucapannya dan hal ini tidak
begitu menjadi perhatian orang-orang yang ada dalam gubuk.
"Agaknya dalam rimba persilatan telah muncul lagi satu tokoh penyelamat orang-
orang tertindas, penegak keadilan, pembasmi manusia-manusia jahat." kata Setan
Ngompol. "Kami setuju saja dengan pendapatmu Kek," Liris Biru membuka mulut. "Kalau dia
orang baik mengapa Nyi
Bodong punya niat jahat terhadap kami?"
Setan Ngompol hanya bisa terdiam dan usap-usap
celananya di sebelah bawah.
"Ki Tambakpati, kami tidak bisa berada lebih lama di tempat ini. Kediaman kami
cukup jauh. Kami khawatir matahari sudah muncul sebelum kami sampai di sana.
Kami berdua tetap minta budi baik bantuanmu." Liris Merah memegang lengan
adiknya, berpaling pada Wiro dan berkata, "Bisakah kami bicara denganmu di
luar...?" Wiro mengikuti langkah dua gadis itu. Setan Ngompol hendak membuntuti tapi
didorong oleh Wiro hingga masuk kembali ke dalam gubuk.
Sampai di luar Liris Merah berkata, "Kami sangat
memerlukan pertolongan. Apakah benar Kitab Seribu
Pengobatan itu lenyap dicuri orang. Atau hanya sekedar cerita kosong saja untuk
maksud tertentu?"
"Tidak ada yang bohong. Kitab itu memang lenyap
dicuri orang." menjelaskan Wiro.
"Kalau kau menemukan, apakah kau mau
meminjamkannya pada guru?"
"Tentu." sahut Wiro dengan anggukkan kepala.
"Kau tidak kasihan melihat nasib kami?" tanya Liris Biru.
Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala. "Semua
orang menaruh kasihan pada kalian. Aku berjanji akan mendapatkan kitab itu..."
"Kalau kitab ternyata tidak bisa ditemukan?" tanya Liris Merah.
"Tuhan Maha Kuasa, setiap penyakit pasti ada obatnya.
Kita semua berusaha tapi juga jangan lupa mohon petunjuk serta pertolonganNya.
Berdoa." Dua gadis kakak beradik itu tersenyum.
"Ternyata kau orang baik..." ucap Liris Biru.
"Memangnya aku punya tampang penjahat?"
"Penjahat ya tidak. Cuma guru pernah bilang yang
namanya Pendekar 212 Wiro Sableng murid Sinto Gendeng itu adalah buaya
perempuan."
Wiro tertawa lebar. Dia memandang ke belakang. "Aku tidak punya ekor. Tangan dan
kakiku berujud tangan dan kaki manusia. Mulutku tidak berupa moncong panjang.
Apakah aku ini menurut kalian seekor buaya?"
Dua gadis cantik tertawa cekikikan.
"Kami harus pergi sekarang," Liris Biru berkata, "Jika kau bisa menolong, kami
tidak akan melupakan jasa dan budi baikmu. Untuk itu harap kau suka menerima ini
sebagai ungkapan di muka balas budi kami."
Cuupp! Cuupp! Pendekart 212 terperangah ketika Liris Merah dan Liris Biru mencium pipinya kiri
kanan. Kedua gadis itu lalu menghambur lari sambil tertawa-tawa. Liris Biru
berseru, "Kalau ada kesempatan datanglah ke tempat kediaman kami di Goa Cadasbiru di
Kaliurang!"
Wiro hanya garuk-garuk kepala tidak menjawab.
"Serakah amat! Seharusnya satu ciuman itu jadi
bagianku!" kata satu suara. Setan Ngompol tahu-tahu sudah berada di samping Wiro
yang saat itu masih
bengong usap-usap kedua pipinya. "Berani kau datang ke Goa Cadasbiru, habis kau
didamprat gurunya si Hantu Malam Bergigi Perak."
"Kalau begitu biar kau saja yang mewakiliku, Kek!"
jawab Wiro. Tanpa diketahui, di atas pohon besar di salah satu sudut kediaman Ki Tambakpati,
seorang yang sejak tadi mendekam sembunyi unjukkan wajah jengkel luar biasa.
Dalam hati dia mendumel, "Huh, dua gadis hijau. Kasihan diri kalian. Agaknya
sudah terperangkap sikap manis pemuda mata keranjang itu! Lihat saja nanti.
Kalian akan dipermainkan lalu dicampakkan!"
*** WIRO SABLENG
Wiro Sableng 144 Nyi Bodong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
NYI BODONG 6 ALAM Episode sebelumnya (Perjanjian Dengan Roh)
diceritakan bagaimana Tumenggung Wirabumi yang
Dkini sudah naik jabatannya menjadi Bendahara
Kerajaan mendatangi tempat kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas di sebuah telaga di
puncak timur Gunung
Gede. Sesuai keterangan gurunya yaitu Nyai Tumbal Jiwo, Nyi Retno Mantili
istrinya yang dikabarkan lenyap
melarikan diri dari gedung kediaman di kotaraja, berada di puncak Gunung Gede,
di sebuah telaga tempat hunian sang Kiai.
Bersama enam orang pengawal Wira Bumi melakukan
perjalanan jauh menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas di Gunung Gede. Namun dia
kecewa besar, tidak percaya bahkan menjadi marah ketika mendapat keterangan dari
Kiai Gede Tapa Pamungkas bahwa Nyi Retno Mantili telah pergi tanpa diketahui ke
mana tujuannya. Wira Bumi menganggap Kiai itu telah mendustai dan mempermain-
kannya. Dalam marahnya Wira Bumi menyuruh bakar
sawung tempat Kiai Gede Tapa Pamungkas bersem-
bahyang dan memanjatkan doa. Walau sang Kiai telah bersabar diri namun karena
didesak terus perkelahian tidak dapat dihindari.
Seperti diketahui setelah bertapa selama tujuh bulan di Goa Girijati Wira Bumi
mendapat berbagai ilmu kesaktian dari Nyai Tumbal Jiwo, nenek sakti yang mati
sesat dan setelah sekian puluh tahun rohnya masih gentayangan dalam perwujudan
seperti masa hidupnya. Bagaimanapun hebatnya Wira Bumi namun Kiai Gede Tapa
Pamungkas yang oleh banyak orang sudah dianggap sebagai makhluk setengah dewa karena
kesucian dan kesaktiannya,
bukanlah tandingan Wira Bumi. Dalam perkelahian di bawah air, Wira Bumi akhirnya
dipecundangi, pingsan dan tubuhnya kemudian mengapung di permukaan telaga.
Masih untung bagi pejabat tinggi kerajaan ini karena Kiai Gede Tapa Pamungkas
tidak punya niat jahat untuk
membunuhnya. Dia ingin memberi kesempatan pada
pejabat itu untuk keluar dari kesesatan dan bertobat. Wira Bumi diselamatkan
oleh para pengawalnya, dibawa
kembali ke kotaraja, bukan membekal penyesalan apalagi bertobat tapi membawa
dendam kesumat luar biasa yang kelak akan dilampiaskannya secara keji di
kemudian hari. Lewat satu purnama setelah peristiwa kedatangan
Bendahara Wira Bumi bersama para pengawalnya di
Gunung Gede, malam itu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Mencucuk sampai
bagian terdalam sumsum
tulang. Kawasan telaga di puncak timur Gunung Gede diselimuti halimun, sepi dan
gelap. Pada siang hari air telaga kelihatan memiliki tiga warna. Selain itu
permukaannya selalu bergemericik seperti kejatuhan tetes-tetes air hujan.
Tidak seperti biasanya, di tepi telaga sebelah selatan yang selalu sepi, saat
itu tampak tiga bayangan hitam manusia bergerak cepat, tanpa suara, laksana tiga
setan malam sedang gentayangan. Yang seorang berdiri
menunggu di satu tempat sementara dua lainnya berlari mengintai tepian telaga.
Tak selang beberapa lama dua orang itu kembali bertemu dengan orang yang tegak
diam menunggu. Salah seorang dari yang dua ini berucap
perlahan, "Eyang Tuba Sejagat, kami tidak melihat
halangan. Rasanya kita bisa segera memulai pekerjaan."
Orang yang dipanggil Eyang Tuba Sejagat bertubuh
tinggi kurus, bekulit hitam pekat, bermuka seperti jerangkong karena wajahnya
hanya merupakan kulit
pembalut tulang. Bibir dan dua daun telinga hitam legam.
Begitu juga sepuluh jari tangan sampai ke ujung kuku, hitam semua. Rambut kelabu
dijalin aneh, menjela sampai ke pinggang. Sosoknya yang mengenakan jubah hitam
agak kebesaran membuat dirinya tampak luar biasa
menggidikkan di dalam gelap, dingin dan sunyi itu.
"Halangan bukan masalah bagiku. Yang penting apakah kalian sudah mengetahui
kalau calon penghuni alam roh itu saat ini berada di dasar telaga?"
"Kami sudah meyakini dengan ilmu Aliran Tuba
Mendetak Langit dan Bumi." jawab dua orang yang juga berpakaian jubah serba
hitam dan merupakan pembantu Eyang Tuba Sejagat. Yang bertubuh agak pendek
bernama Jarot Kemukur, temannya bernama Ciung Gluduk. Kalau sang Eyang tidak
memakai blangkon maka kedua
pembantunya ini mengenakan blangkon hitam.
Mendengar ucapan Jarot Kemukur dan Ciung Gluduk,
Eyang Tuba Sejagat angkat kepala, mendongak
memandang langit gelap. Lalu dengan suara perlahan dia berkata, "Aku akan mulai.
Kalian berdua awasi keadaan sekitar telaga. Jika ada bahaya cukup memberi tanda
dengan mengguratkan kaki ke tanah dua kali."
Selesai berucap manusia tinggi kurus berjalin panjang ini melangkah maju
mendekati tepian telaga, berhenti dua jengkal dari ujung air. Perlahan-lahan
lelaki berusia enam puluh tahun ini ulurkan dua tangan ke depan. Dua lengan yang
tertutup jubah hitam ditukikkan sedikit hingga sejarak lima jengkal dari
permukaan air telaga.
Sedikit demi sedikit dua lengan jubah hitam tampak menggembung, bergerak-gerak
seolah ada dua benda
hidup di dalamnya. Tidak menunggu lama, tiba-tiba dari masing-masing lengan
jubah mencuat keluar seekor ular besar bersisik merah. Mulut terbuka, lidah
terjulur di antara deretan gigi-gigi runcing, tiada henti bergerak. Dari dua
lobang hidung binatang ini berhembus keluar asap merah yang menebar bau sangat
menyengat. "Anak-anakku Tuba dan Tubi, saat ini kalian punya
tugas memenuhi telaga dengan Racun Akar Bumi. Cepat laksanakan!"
Dua ular merah mendesis. Keduanya meluncur turun ke bawah ke arah air telaga.
Dari mulut dua ular ini
menggelegak keluar cairan berwarna merah pekat dan kental. Sambil menyemburkan
racun yang bernama Racun Akar Bumi, dua binatang itu meluncur hingga menyusup
masuk ke dalam air telaga. Aneh dan mengerikan, saat demi saat ukuran tubuh dua
ular itu semakin bertambah besar hingga mencapai ukuran batang kelapa. Di tepi
telaga Eyang Tuba Sejagat tegak dengan sekujur tubuh bergetar, lutut menekuk dan
keringat memancar di
mukanya yang menyerupai tengkorak. Rambut yang dijalin menjuntai di punggung
tampak bergerak-gerak naik seolah hidup.
Hanya beberapa saat saja seluruh permukaan air telaga telah berubah warna
menjadi hitam kemerah-merahan.
Sosok dua ekor ular bersisik merah sampai pada ujung ekornya lalu lenyap masuk
ke dalam telaga.
Eyang Tuba Sejagat bergerak mundur tujuh langkah.
"Anakku Tuba dan Tubi, kalian sudah bekerja bagus! Jika tugasmu selesai
pulanglah. Aku telah menyediakan
sesajen lezat untuk kalian berdua. Satu bayi lelaki untukmu Tuba, dan satu bayi
perempuan untukmu Tubi."
Makhluk tinggi kurus hitam ini keluarkan ucapan lalu tarik dua tangannya yang
sejak tadi direntang ke depan.
Pada saat itu tanah di sekeliling telaga terasa bergetar.
Mula-mula perlahan, lalu makin keras. Air danau bergejolak hebat seolah berubah
jadi air laut yang membuntal
gelombang ombak setinggi dua tombak! Pohon-pohon
besar di sekitar telaga bergoyang berderak-derak!
"Apa yang terjadi?" bisik Ciung Gluduk pada Jarot
Kemukur. "Aku tidak tahu. Apa yang harus kita lakukan?" jawab Jarot Kemukur lalu balik
bertanya. "Tunggu saja perintah Eyang." jawab Ciung Gluduk.
Sekonyong-konyong didahului oleh muncratnya gulu-
ngan air telaga sampai setinggi tiga tombak dan tumbang-
nya tiga pohon besar di tepi telaga, muncul dua suara dahsyat seperti puluhan
kerbau digorok berbarengan!
"Jarot Ciung! Ikuti aku!"
Eyang Tuba Sejagat berteriak lalu berkelebat ke arah gugusan batu di antara
beberapa pohon besar di tepi telaga. Di sini ketiganya mendekam bersembunyi
sambil memperhatikan apa yang akan terjadi. Eyang Tuba Sejagat tidak pernah
mengira kalau dia bakal menghadapi hal seperti ini.
Blaaar! Blaaar!
Seperti kilat menyambar. Dua cahaya terang berwarna merah melesat keluar dari
dalam telaga, menembus
kegelapan malam seperti hendak membelah langit!
"Dua ekor naga raksasa!" Ciung Gluduk sambil pegangi lengan Jarot Kemukur
sementara Eyang Tuba Sejagat
mendekam tak bergerak, mata tak berkedip tapi mulut berkomat-kamit membaca
mantera. Yang terjadi saat itu adalah dua cahaya merah terang berubah menjadi sosok
dahsyat dua ekor naga besar.
Sekujur tubuh dua ekor naga ini tampak mengelupas
merah dan mengepulkan asap. Dua bola mata menjorok keluar seperti mau
terbongkar. Binatang ini menggeliat terbanting-banting kian kemari. Ekor masing-
masing menggelepar tiada henti membuat air telaga muncrat sampai setinggi tiga
tombak dan membanjir ke sekeliling tepian telaga sementara tanah di sekitar
telaga terus bergetar seperti digoncang lindu. Dari mulut dua ekor naga raksasa
ini menyembur keluar cairan biru kehitaman.
Didahului suara seperti kerbau digorok yang kemudian berganti menjadi suara
ringkikan kuda berbaur dengan raungan srigala hutan, sosok dua naga merah
perlahan-lahan meleleh dan jatuh kembali ke dalam telaga membuat air telaga
semakin membanjir ke mana-mana. Sosok dua binatang raksasa itu akhirnya lenyap
setelah terlebih dulu muncul dua gulungan asap merah setinggi pohon kelapa.
Seperti diriwayatkan dalam serial Wiro Sableng berjudul
"Pedang Naga Suci 212" dua ekor naga merah itu adalah peliharaan Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Sewaktu sang Kiai mewariskan dua senjata pusaka kepada dua orang
muridnya yaitu Sinto Weni (Sinto Gendeng) dan Sukat Tandika (Tua Gila) berupa
Kapak Naga Geni 212 dan
Pedang Naga Suci 212, kedua binatang inilah yang
membawa senjata-senjata sakti mandraguna tersebut dari dasar telaga.
Di balik gugusan batu Eyang Tuba Sejagat mengusap
wajah tengkoraknya. "Kita berhasil membunuh dua naga peliharaan Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Tapi mana sang Kiai?" Matanya tak berkesip memperhatikan seantero
telaga yang kini mulai terlihat jelas setelah lenyapnya gelombang air yang
membuncah dan pupusnya kepulan
asap. "Saya rasa Kiai itu sudah jadi bubur, bersatu dengan mulut beracun di dasar
telaga." jawab Ciung Gluduk.
Eyang Tuba Sejagat usap lagi mukanya. Dia merasa
was-was. Tiba-tiba ada suara riak air di pertengahan telaga.
Bersamaan dengan itu di langit bulan setengah lingkaran menyembul dari balik
kabut kelabu hingga pemandangan di telaga kini cukup benderang.
"Eyang..." Jarot Kemukur keluarkan suara tertahan
ketika perlahan-lahan di permukaan telaga muncul sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas,
terbujur menelentang meng-
apung lurus, tangan terkembang ke samping, bergoyang-goyang dipermainkan alunan
air telaga. Rambutnya yang putih kini tampak merah, mengapung di atas air.
Pakaiannya selempang kain putih juga tampak merah.
Demikian pula janggut, kumis, kulit muka dan kulit tubuh.
Sepasang mata tertutup. Racun jahat bernama Racun Akar Bumi yang ditabur Eyang
Tuba Sejagat melalui dua ekor ular merah telah membuat dirinya mulai dari rambut
sampai ujung kaki menjadi berkeadaan mengenaskan
seperti itu. "Aku puas sekarang. Menyaksikan sendiri mayat Kiai Gede Tapa Pamungkas mengapung
di permukaan telaga!
Tamat sudah riwayat kehebatan rimba persilatan dari kawasan Puncak Gunung Gede
ini!" Eyang Tuba Sejagat sunggingkan seringai puas. Dia pegang bahu kedua
pembantunya. "Jarot, Ciung, saatnya kita tinggalkan tempat ini. Ada hadiah besar
dari Bendahara Wira Bumi menanti kita di kotaraja!"
Ketiga orang itu segera beranjak dari balik gugusan batu. Namun baru membalik
dan bergerak dua langkah tiba-tiba dari arah telaga di belakang mereka terdengar
suara air menyiprat keras. Ketika ketiganya berpaling, langsung saja mereka
berteriak kaget.
Sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas yang disangka telah menjadi mayat terapung
melesat di udara. Di lain kejap kakek sakti penghuni telaga itu telah berdiri di
depan mereka! Ciung Gluduk dan Jarot Kemukur langsung bersurut tiga langkah sementara Eyang
Tuba Sejagat tetap tidak
beranjak dari tempatnya berdiri namun berusaha keras menekan gejolak yang
mendebari dadanya.
Kiai Gede Tapa Pamungkas berdiri dalam keadaan
mata terpejam. Dua tangan lurus di samping. Rambut, kumis, janggut, kulit wajah
dan tangan kaki serta
pakaiannya berwana merah. Namun anehnya walau jelas tadi dia berada dalam
telaga, rambut, wajah, tubuh maupun pakaiannya sama sekali tidak basah!
Perlahan-lahan sepasang mata Kiai Gede Tapa
Pamungkas terbuka. Ternyata seluruh matanya juga telah berwarna merah! Bersamaan
dengan itu sang Kiai angkat kedua tangannya ke depan. Kejut Eyang Tuba Sejagat
dan dua pembantunya bukan alang kepalang ketika dua tangan itu berubah menjadi
dua ekor ular merah Tuba dan Tubi!
Didahului dengusan menggidikkan, dua ekor ular
meluncur ke arah Ciung Gluduk dan Jarot Kemukur. Dua pembantu Eyang Tuba Sejagat
ini hanya bisa keluarkan pekik setinggi langit ketika ular-ular merah itu
melesat mematuk leher mereka. Keduanya kelojotan beberapa
lama lalu tergeletak tak berkutik dengan sekujur tubuh berwarna merah mulai dari
rambut sampai ke kaki. Dua ekor ular merah meluncur turun dari tubuh kedua orang
itu, melata cepat di tanah dan menghilang dalam kegelapan.
Tampang tengkorak Eyang Tuba Sejagat tampak
berubah, terlebih ketika Kiai Gede Tapa Pamungkas
menatap ke arahnya dengan sepasang mata yang
keseluruhan berwarna merah.
"Wiku Caringin, bukan aku yang membunuh dua
pembantumu. Tapi sepasang ular peliharaanmu sendiri.
Semoga Tuhan mengampuni segala dosa mereka. Kau
beruntung binatang-binatang itu tidak menghabisimu."
Eyang Tuba Sejagat jadi terkejut ketika Kiai Gede Tapa Pamungkas menyebut nama
aslinya. Selama ini hanya dua tiga orang saja dalam rimba persilatan yang
mengetahui nama itu.
"Apalagi yang kau tunggu di tempat ini" Bukankah kau ingin cepat-cepat ke
kotaraja untuk mengambil hadiah yang telah dijanjikan Bendahara Kerajaan?"
Untuk beberapa lamanya Eyang Tuba Sejagat alias Wiku Caringin hanya bisa
terdiam, tak bisa keluarkan barang sepatah ucapan pun.
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum.
"Jika bertemu Bendahara Wira Bumi, sampaikan
salamku. Katakan padanya agar segera bertobat sebelum Tuhan menjatuhkan hukuman
atas dirinya. Dia harus
mencari istrinya. Bukan untuk dibunuh. Tapi untuk
disembuhkan dari segala penyakit jiwa tekanan batin."
Habis berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas
tekapkan tangan kanannya ke mulut. Lalu tangan kiri berkelebat mencekik batang
leher orang di hadapannya.
Begitu mulut Wiku Caringin terbuka, Kiai Gede Tapa Pamungkas turunkan tangannya
yang menekap mulut lalu tangan ini ditekapkan ke mulut orang. Saat itu juga
warna merah yang membungkus sekujur tubuh dan pakaian Kiai Gede Tapa Pamungkas
lenyap. Hek... hekkk...!
Eyang Tuba Sejagat keluarkan suara tercekik berulang kali ketika dia merasa dari
tangan sang Kiai ada cairan mengalir masuk ke dalam mulutnya. Dia berusaha
meronta tapi tubuhnya seperti kaku, tak bisa digerakkan. Saat itu juga sekujur
tubuh, mulai dari rambut sampai ke ujung kaki, termasuk pakaian hitam serta
kedua matanya berubah menjadi merah.
"Wiku Caringin. Kau telah membunuh dua naga
Wiro Sableng 144 Nyi Bodong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
peliharaanku. Sebagai balasan Racun Akar Bumi milikmu sendiri aku masukkan ke
dalam tubuhmu. Jika umurmu panjang kau masih punya kesempatan untuk menemui
Wira Bumi. Jika ajalmu sampai lebih dulu, bukan aku yang membunuhmu tapi racun
milikmu sendiri. Semoga Tuhan mengampuni dosa kesalahanmu. Pergilah..."
Sepasang mata Wiku Caringin yang cekung merah
menatap garang, tenggorokan turun naik mengeluarkan suara menggeram. Dadanya
seperti mau meledak. Dia
tidak takut mengadu jiwa dengan sang Kiai. Namun dia menyadari kalau keadaannya
saat itu sangat tidak
menguntungkan. Yang harus dilakukannya adalah segera mendapatkan obat pemunah
racun yang ada dalam
tubuhnya. Perlahan-lahan dia putar tubuh. Terbungkuk-bungkuk dan tercekik-cekik
melangkah pergi. Namun
langkahnya tertahan ketika satu bayangan hitam disertai menghamparnya bau pesing
berkelebat di depannya.
Menyusul tawa cekikikan.
"Tua bangka muka tengkorak. Pasti kau habis mandi
comberan tempat penampungan darah sapi potong. Hik...
hik... hik!"
Wiku Caringin angkat kepala. Begitu mengetahui siapa yang berdiri di depannya
langsung dia memaki, "Nenek keparat! Kau sama saja dengan gurumu! Aku bersumpah
membunuh kalian berdua!"
"Hik... hik! Mengurus nyawa sendiri tidak mampu. Mau mengurus nyawa orang lain!"
Orang yang dimaki perhatikan Wiku Caringin hingga akhirnya lenyap di kegelapan
lalu balikkan badan dan jatuhkan diri berlutut di hadapan Kiai Gede Tapa
Pamungkas. *** WIRO SABLENG NYI BODONG 7 IAI Gede Tapa Pamungkas tatap wajah tua berambut
putih jarang dengan lima tusuk konde menancap di
Kkulit kepalanya. "Sinto, bangunlah. Lupakan segala macam peradatan. Kadang-
kadang aku berpikir. Adalah aneh. Kita tinggal di puncak gunung yang sama. Tapi
bertemu hanya sekali seabad! Dari raut wajahmu, dari tubuhmu yang semakin
bungkuk, aku melihat kau datang membekal satu urusan disertai beban batin yang
cukup berat..."
Sinto Gendeng, nenek sakti guru Pendekar 212 yang
juga diam di kawasan puncak Gunung Gede menatap
dengan wajah seolah pasrah lalu berkata, "Kiai, saya memang murid yang tidak
tahu menerima budi. Sampai tua bangka begini masih belum bisa menyenangkan hati
Kiai..." "Sinto, aku tidak pernah minta kau atau muridku yang lain menyenangkan diriku
apa lagi membalas budi. Aku sudah sangat merasa senang jika melihat murid-
muridku bahagia."
Ucapan Kiai Gede Tapa Pamungkas itu sungguh dalam
jika Sinto gendeng mau mengartikan. Puluhan tahun hidup dia merasa belum
menemukan apa yang bernama
kebahagiaan itu. Dia tidak acuh apakah dirinya mau bahagia atau tidak. Namun
hati dan kecintaan seorang guru terkadang melebihi hati orang tua sendiri.
Bagaimana dia bisa membuat gurunya senang kalau dia pribadi belum tahu apa yang
dinamakan kebahagiaan" Kehidupan masa mudanya sampai tua renta begitu lebih
banyak duka daripada sukanya. Setelah terdiam sejurus dia pun
berkata, "Saya mengerti Kiai. Segala dosa karena kurang ajar terhadap Kiai
biarlah saya tanggung dunia akhirat."
Kiai Gede Tapa Pamungkas yang adalah guru Sinto
Gendeng tersenyum. Dia pegang bahu si nenek lalu
berkata, "Katakanlan tujuan kedatanganmu kemari..."
Sinto Gendeng memandang ke arah telaga. "Kiai, apa mungkin mata saya yang lamur.
Saya tidak melihat sawung tempat Kiai biasa sembahyang dan berdoa."
"Ada orang jahat menyuruh bakar bangunan itu..."
jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Makhluk jahanam bernama Wiku Caringin tadi?"
Sang Kiai menggeleng. "Sudahlah, tak perlu kita
bicarakan soal sawung itu. Nanti bisa aku buat yang baru.
Ceritakan saja maksud kedatanganmu, Sinto."
"Kalau Kiai tidak mau memberi tahu siapa yang berbuat jahat terhadap Kiai, saya
merasa sedih sekali." Ucap Sinto Gendeng. Sebagai murid sebenarnya setelah sang
guru berkata begitu dia tidak perlu mendesak. Tapi justru di sinilah watak Sinto
Gendeng yang selalu keras kepala. Tadi masih mending dia menunjukkan sifat
kerasnya itu dengan ucapan yang agak halus. "Kiai, saya mengerti sebelumnya
telah terjadi sesuatu di sini. Mohon Kiai mau memberi tahu. Apa gunanya ditutup-
tutupi?" Setelah menarik nafas panjang akhirnya Kiai Gede Tapa Pamungkas menceritakan
juga apa yang telah dialaminya.
Mulai dari pertemuan dan perkelahiannya dengan Nyai Tumbal Jiwo sampai dengan
dia membawa Nyi Retno
Mantili ke puncak Gunung Gede. Lalu kedatangan
Bendahara Wira Bumi bersama para pengawalnya di mana kemudian terjadi pembakaran
sawung disusul dengan
perkelahian yang tak bisa dielakkan. Akhir penuturan adalah munculnya Wiku
Caringin alias Eyang Tuba Sejagat bersama dua pembantunya.
"Kiai, saya sedih sekali mengetahui sepasang naga
merah peliharaan Kiai menemui ajal di tangan manusia keparat Wiku Caringin itu.
Kalau tadi-tadi saya tahu apa yang telah dilakukannya, tidak akan saya biarkan
dia pergi begitu saja. Kiai, semua apa yang Kiai ceritakan saya ingat baik-baik.
Mulai sekarang Kiai bertenang diri saja di puncak Gunung Gede ini..."
"Apa maksudmu dengan ucapan itu Sinto?" tanya Kiai Gede Tapa Pamungkas walau
sebenarnya dia sudah bisa menduga.
Sinto Gendeng tancapkan tongkat kayunya ke tanah
hingga amblas dan mengepulkan asap. Lima tusuk konde perak yang menancap di
batok kepalanya bergoyang-goyang. Mulut komat kamit memutar susur. Kiai Gede
Tapa Pamungkas tersenyum melihat kelakuan muridnya si
nenek berkulit hitam tinggi kurus itu. Sinto Gendeng gerakkan tangan kirinya
sedikit. Tongkat yang amblas menyembul dan melesat keluar dari dalam tanah.
"Kau memamerkan ilmu anak-anak itu padaku, Sinto?"
Ditegur seperti itu si nenek jadi kelam merah wajahnya tapi mulutnya tertawa
lebar. Dia pindahkan susur dalam mulut dari kiri ke kanan.
"Kiai, saya hanya ingin mengatakan. Kiai punya murid, seorang nenek butut bau
pesing bernama Sinto Gendeng ini! Tidak pantas Kiai bersusah payah mengurusi
manusia-manusia calon puntung neraka itu! Serahkan semua pada saya Kiai. Sudah
cukup lama juga saya mendekam di
puncak Gunung Gede. Kaki ini sudah gatal rasanya mau gentayangan. Kebetulan
sekali ada tugas dari Kiai..."
"Siapa yang memberikan tugas padamu, Sinto!?"
"Kiai memang belum memberikan. Tapi saya sudah
menerimanya!" jawab Sinto Gendeng lalu tertawa
cekikikan. Lagi-lagi sang Kiai hanya bisa menghela nafas panjang.
"Sekarang apakah kau tidak akan mengatakan maksud
kedatanganmu?"
"Maaf Kiai, tentu saja akan saya katakan. Masalah
besar yang tengah saya hadapi adalah hilangnya Kitab Seribu Pengobatan yang
berasal dari Kiai Bangkalan. Ada manusia setan serakah yang mencurinya. Saya
sudah menyelidiki. Saya juga sudah menyuruh Wiro mencari. Tapi sampai saat ini nihil
semua. Kalau kitab itu jatuh ke tangan manusia jahil dan disalahgunakan, rusak
rimba persilatan di tanah Jawa ini."
Kiai Gede Tapa Pamungkas tertawa. Lalu bertanya,
"Kapan kejadiannya kitab itu dicuri orang?"
"Sudah cukup lama. Rasanya sudah hampir sepuluh
purnama." Sang Kiai kembali tertawa. "Sebelumnya di mana kau simpan kitab itu?"
"Di gubuk saya, Kiai. Dalam sebuah peti kayu,
dipendam dalam tanah di bawah gentong air!"
menerangkan Sinto Gendeng.
"Kapan terakhir kali kau memeriksa tempat
penyimpanan kitab itu?"
"Sejak hilangnya saya tidak pernah memeriksa lagi.
Buat apa?"
"Jika nanti kau pulang ke pondokmu, cobalah periksa lagi tempat itu. Aku punya
dugaan kitab itu telah berada di tempatnya semula."
"Kiai berseloroh...!"
Kiai Gede Tapa Pamungkas menggeleng.
"Bagaimana mungkin Kiai. Kitab itu jelas-jelas lenyap dicuri orang. Sekarang
Kiai mengatakan telah berada di tempatnya semula."
"Seseorang secara diam-diam mengembalikan kitab itu ke tempatnya."
Sinto Gendeng terkejut.
"Kiai sungguh tidak bergurau?"
Sang guru menggeleng.
"Berarti orang yang mencurinya yang mengembalikan
kitab itu."
"Bukan. Ada seorang lain yang melakukan."
"Siapa Kiai?"
"Aku tidak bisa mengatakan."
"Lelaki atau perempuan?" Sinto Gendeng mencecar.
"Lelaki."
"Berarti Dewa Tuak yang mencuri kitab itu. Dulu saya memang sudah curiga. Dia
pasti mengembalikan setelah peristiwa hancurnya Seratus Tiga Belas Lorong
Kematian. Entah buat apa buku itu untuknya. Kalau dia terang-terang minta meminjamkan saya
tidak akan memberikan."
"Bukan Sinto, bukan Dewa Tuak yang mencuri ataupun mengembalikan kitab itu."
menerangkan Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Lalu siapa?"
"Aku tidak akan mengatakan. Karena bisa saja aku
salah menduga. Jadi biar kau atau muridmu nanti yang mencari tahu sendiri."
jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Kiai, kalau begitu izinkan saya minta diri. Saya ingin buru-buru kembali ke
pondok." "Tunggu dulu Sinto. Aku punya satu pesan untukmu.
Kalau kau bertemu dengan Wiro muridmu, suruh dia
datang ke sini."
Si nenek menatap wajah gurunya. Ini satu hal yang
tidak biasa karena selama ini sang Kiai tidak terlalu dekat dengan muridnya.
Tiba-tiba senyum menyeruak di mulut yang mengunyah susur itu.
"Kiai, apakah Kiai hendak memperkenalkannya dengan seorang gadis untuk
dijodohkan?"
Kiai Gede Tapa Pamungkas tertawa bergelak.
"Apa aku punya tampang seperti Mak Comblang?"
Sinto Gendeng tertawa cekikikan.
"Perlu apa anak setan itu disuruh ke sini, Kiai?" si nenek bertanya.
"Rimba persilatan semakin lama semakin banyak
perubahan. Segala macam ilmu kesaktian berkembang
sejalan dengan menghebatnya segala macam kejahatan.
Muridmu itu perlu dihindari dari segala marabahaya yang tidak diinginkan."
"Kalau Kiai punya niat seperti itu, saya sangat
berterima kasih. Jika bertemu anak setan itu pesan Kiai akan saya sampaikan.
Apakah saya perlu hadir pada
kedatangannya menghadapi Kiai?"
"Jika kau punya kesempatan sebaiknya kau hadir."
"Kiai, apakah saya boleh pergi sekarang?"
"Selama ini apa kau mendengar kabar tentang kakak
seperguruanmu Sukat Tandika?" (Sukat Tandika adalah nama asli dari Tua Gila)
Sinto Gendeng merasakan dadanya berdebar
mendengar pertanyaan sang Kiai. Perlahan-lahan dia gelengkan kepala.
"Heran, ke mana perginya anak satu itu" Apa sudah
lenyap ditelan bumi?"
"A... apakah Kiai juga punya pesan untuknya?" Suara si nenek bertanya agak
gagap. "Sudahlah, kau boleh pergi sekarang. Nanti seabad lagi baru muncul di sini!"
Sinto Gendeng tertawa cekikikan. Setelah berlutut di depan gurunya, nenek ini
segera berkelebat pergi. Kiai Gede Tapa Pamungkas melepas dengan pandangan mata.
Dalam hati dia berkata, "Apakah dia masih mencintai kakak seperguruannya itu?"
Orang tua ini usap janggut putihnya. "Sinto, kau akan terkejut kalau tahu siapa
adanya orang yang mengembalikan Kitab Seribu
Pengobatan itu ke pondokmu."
*** WALAU bisa membuka pintu pondok dengan tangan
namun karena tidak sabaran Sinto Gendeng tendangkan kaki kirinya hingga pintu
hancur berantakan, terpentang lebar. Begitu masuk ke dalam nenek ini berteriak
kaget. Di salah satu sudut ruangan berdiri seorang kakek berjubah putih, dua
tangan dirangkap di atas dada. Rambut jarang putih. Kumis dan janggut tak kalah
putih. Wajah yang cekung nyaris tak berdaging dihias sepasang mata lebar.
Dia berdiri sambil tersenyum pada Sinto Gendeng.
Melihat orang itu Sinto Gendeng teringat ucapan
gurunya. Langsung darah si nenek naik ke kepala. "Tua bangka Sukat Tandika!
Keparat jahanam! Jadi kau rupanya yang menyuruh mencuri kitab itu!"
Tanpa banyak menunggu lagi Sinto Gendeng menyerbu.
Dari mulutnya menggelegar teriakan aneh menggidikkan.
Kaki kanan menendang lurus ke dada kiri di arah jantung sementara tangan kanan
melancarkan satu pukulan
tangan kosong mengandung tenaga dalam luar biasa
tinggi. Lantai tanah bergetar, pondok kayu berderak keras.
"Sinto! Kau menyerang aku dengan jurus Naga
Meringkik Menjebol Gunung! Kau mau membunuhku"!"
Selama hidupnya Sinto Gendeng baru satu kali
mengeluarkan jurus dahsyat itu yakni sekitar empat puluh tahun silam ketika
menumpas seorang tokoh silat yang jadi bergundal golongan hitam. Jurus Naga
Meringkik Menjebol Gunung ini bahkan tidak pernah diajarkannya kepada Wiro
Sableng karena memang luar biasa dahsyat dan ganas!
Tidak heran kalau orang yang diserang dan mengenali jurus maut itu berseru
kaget. "Pencuri keparat! Aku ucapkan selamat jalan ke
akhirat!" teriak Sinto Gendeng tanpa perdulikan seruan orang.
"Sinto! Hentikan!" Teriak kakek berjubah putih yang memang adalah Tua Gila alias
Sukat Tandika dan bukan lain merupakan saudara seperguruan Sinto Gendeng
sendiri! Melihat si nenek tetap nekad meneruskan
serangan, Tua Gila tidak bisa berbuat lain kecuali selamatkan diri. Tubuh si
kakek dari kepala sampai ke kaki kelihatan kelojotan. Kaki merenggang, tangan
mengembang. Tiba-tiba tubuh itu melesat ke belakang melabrak dinding pondok,
lalu seperti membal mental ke kiri. Sinto Gendeng mendengus. "Tua Gila! Jurus
Orang Gila Mabuk tidak akan menyelamatkanmu dirimu dari kematian!"
Wuuttt! Wusss! Tendangan kaki kanan Sinto Gendeng berhasil
dielakkan Tua Gila. Tendangan itu lewat hanya setengah jengkal dari pinggul
kirinya. Akan halnya serangan berupa pukulan tangan kosong mengandung tenaga
dalam tinggi, walau dengan cara aneh masih sanggup dihindari si kakek namun
sapuan angin pukulan yang begitu dekat masih sempat menyapu bagian kanan dada
kekasih di masa
muda Sinto Gendeng itu!
Suara keluh kesakitan Tua Gila lenyap ditindih suara hancurnya dinding pondok.
Sinto Gendeng melesat keluar.
Terdengar suara berderak keras lalu pondok kayu itu roboh!
Di luar pondok yang roboh Sinto Gendeng berdiri
dengan tangan kanan berkacak pinggang, tangan kiri bersitekan pada tongkat
butut. Mata mendelik besar.
"Menyesal, mengapa terlalu cepat dia kubunuh!
Wiro Sableng 144 Nyi Bodong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seharusnya aku siksa lebih dulu!" berkata Sinto Gendeng dalam hati. Matanya
memperhatikan reruntuhan pondok miliknya sendiri. Mulut yang berisi susur
berkomat-kamit.
Dia merasa ada yang tidak beres. Si nenek tancapkan tongkat kayu ke tanah lalu
sambil memegang ujung
tongkat dia kerahkan tenaga dalam. Ketika dia membentak keras sambil hentakkan
kaki kanan ke tanah, di tanah kelihatan getaran keras bergerak ke arah depan.
Begitu getaran mencapai tumpukan runtuhan pondok kayu,
semua kepingan kayu dan papan serta hancuran
perabotan yang ada bermentalan ke udara.
"Lenyap! Ke mana perginya bangsat itu. Mengapa aku tidak melihat mayatnya?"
Kalau tadi menyangka Tua Gila berada di dalam timbunan reruntuhan pondok maka
kini Sinto Gendeng hanya melihat tanah rata!
Tiba-tiba di belakang si nenek terdengar suara orang berucap sayu perlahan,
"Sinto, kau menuduh aku mencuri kitab. Kitab apa" Kalau Kitab Seribu Pengobatan
yang kau maksud, apa kau lupa" Dulu aku yang menyerahkan kitab itu pada muridmu.
Muridmu kemudian menyerahkan
padamu. Aku mungkin sejahat-jahatnya manusia di muka bumi ini. Tapi seumur hidup
aku tidak pernah mencuri. Apa dosaku hingga kau ingin membunuhku" Apa ini ada
sangkut pautnya dengan kesalahanku di masa muda
terhadapmu" Ketika aku meninggalkan dirimu. Apakah kau masih menaruh dendam.
Padahal dalam pertemuan kita terakhir di telaga Gajahmungkur..." (Baca serial
Wiro Sableng dalam Episode Gerhana Di Gajahmungkur)
"Diam!"
Sinto Gendeng berteriak keras. Lalu balikkan badan.
Tangan kanan diangkat ke atas. Kejap itu juga tangan itu mulai dari siku sampai
ke ujung jari telah berubah warnanya laksana dibungkus perak berkilat,
menyilaukan. Tempat sekitar situ serta-merta dilanda hawa panas.
Pukulan Sinar Matahari! Jika yang melancarkan pukulan itu adalah pemiliknya
sendiri maka sulit ada kekuatan sehebat apapun bisa membendung! Sinto Gendeng
rupanya benar-benar sudah nekad hendak membunuh Tua Gila yang
dituduhnya sebagai pencuri kitab.
Di hadapan Sinto Gendeng, Tua Gila berdiri terbungkuk-bungkuk sambil pegangi
dada dengan tangan kiri. Mukanya tampak sangat pucat. Matanya yang lebar
setengah terpejam, menatap ke Sinto Gendeng. Dari sela bibir sebelah kiri mengucur darah
segar. Agaknya kakek ini mengalami luka dalam cukup parah akibat serangan Sinto
Gendeng tadi! Namun yang membuat Sinto Gendeng
terkesiap ialah sewaktu melihat dari dua mata Tua Gila yang setengah terpejam
itu mengalir jatuh air mata!
Entah mengapa nafsu untuk membunuh si nenek
perlahan-lahan mengendur. Dia turunkan tangan
kanannya. Tangan yang tadi berwarna seperti perak itu sedikit demi sedikit
kembali ke bentuk semula.
"Setan! Jangan cengeng!" teriak Sinto Gendeng. Lalu dia balikkan diri dan lari
ke arah reruntuhan pondok. Dan berdiri di tanah, tepat di mana sebelumnya
terletak sebuah gentong besar menyimpan air. Gentong itu telah hancur berantakan
dan airnya membuat becek lantai pondok.
Sinto Gendeng tancapkan tokat kayunya ke tanah lalu jatuhkan diri, berlutut.
Dengan dua tangan telanjang nenek ini mulai menggali tanah becek tempat dibekas
mana sebelumnya terletak gentong tanah. Tak terlalu dalam menggali tersembullah
sebuah peti terbuat dari kayu besi berwarna hitam.
Darah Sinto Gendeng berdebar keras ketika dia
mengangkat peti kayu itu dari dalam lobang yang digalinya.
Peti diletakkan di tanah. Perlahan-lahan dengan jari-jari tangan gemetar si
nenek membuka penutup peti.
Sepasang mata membeliak. Mulut menganga hingga susur jatuh ke tanah. Tubuh jatuh
terduduk di tanah. Dua tangan diulurkan mengambil sebuah kitab tebal terbuat
dari daun lontar kering yang pada kulit depannya tertera tulisan berbunyi "Kitab
Seribu Pengobatan."
Sinto Gendeng dekapkan kitab tebal itu ke dada. Dua matanya tampak berkaca-kaca.
Tidak mau larut oleh
perasaan si nenek segera masukkan kitab ke balik pakaian sebelah kiri. Lalu dari
balik pakaian sebelah kanan dia keluarkan sebuah benda yang ternyata adalah juga
sebuah kitab daun lontar yang bagian depannya ada tulisan "Kitab Seribu
Pengobatan." Kitab ini dimasukkan ke dalam peti kayu besi hitam, lalu diturunkan
ke dalam lobang dan ditimbun dengan tanah.
"Terima kasih Gusti Allah. Engkau akhirnya menolong pengembalian kitab ini
padaku. Terima kasih Kiai Gede Tapa Pamungkas. Engkau telah memberi petunjuk
hingga kitab ini aku dapat kembali."
Perlahan-lahan si nenek berdiri. Cabut tongkatnya dari tanah dan memutar tubuh.
Dia ingat pada Tua Gila. Namun ketika dicari, kakek itu tidak ada lagi di
tempatnya semula.
Lama Sinto Gendeng termenung. Kitab Seribu
Pengobatan sudah didapat. Justru mengapa kini pikirannya jadi kacau dan hatinya
tidak enak. Apakah dia menyesal telah menciderai Tua Gila" Apakah kini dia punya
perasaan bahwa mungkin benar bukan Tua Gila yang mencuri kitab itu" "Tidak bisa
jadi. Tidak ada orang lain. Semua sesuai petunjuk Kiai. Orang yang mengembalikan
kitab itu seorang laki-laki. Bukan Dewa Tuak. Pasti sudah dia bangsat pencurinya! Kalau
bukan dia siapa lagi" Terakhir sekali dia pergi dengan gendaknya si Sabai Nan
Rancak itu ke Gunung Kerinci di pulau Andalas. Mungkin perempuan itu yang
menyuruhnya mencuri kitab. Tapi aneh juga.
Mengapa sekarang dia mengembalikan" Mungkin
mengembalikan kitab palsu dan menyembunyikan yang
Naga Dari Selatan 17 Pendekar Naga Putih 79 Tongkat Delapan Naga Pusara Keramat 2
muridnya yang ternyata sembunyi di balik semak belukar segera keluar. Mereka
lari ke arah gubuk di atas bukit namun tiba-tiba yang tertua di antara mereka
yaitu Liris Merah hentikan lari, menyelinap ke balik sebuah pohon besar. Saat
itu jarak antara mereka dengan gubuk hanya tinggal belasan tombak.
"Ada apa?" tanya Liris Biru sang adik.
"Lihat ke arah gubuk. Ada orang mendekam di atas
atap," jawab Liris Merah. Liris Biru memperhatikan.
Memang benar ada seorang jongkok mendekam di atas
atap gubuk kediaman Ki Tambakpati.
"Kakek dan pemuda itu sudah masuk ke dalam.
Mungkin mereka tidak tahu kalau ada orang yang
mengintai. Mari kita pindah empat pohon ke depan agar bisa melihat jelas siapa
adanya orang di atas atap."
Dengan gerakan cepat tanpa mengeluarkan suara dua
murid Hantu Malam Bergigi Perak berkelebat ke arah bukit.
Tiga pohon terlampaui. Pada pohon ke empat keduanya berhenti dan sembunyi.
"Kalau aku perhatikan sosok orang di atas atap seperti Nyi Bodong. Sayang
mukanya menghadap ke arah lain.
Tunggu saja sampai kita bisa melihat. Kalau putih sudah pasti memang Nyi
Bodong." Mendengar ucapan kakaknya, Liris Biru berkata. "Aku khawatir orang di atas
atap... hai! Dia menggerakkan kepala. Walau sekilas aku sempat melihat
wajahnya!"
"Putih!" ucap Liris Merah menyambungi. "Benar Nyi
Bodong. Ada keperluan apa dia mengintai di atas gubuk."
"Aku khawatir dia punya maksud tidak baik. Bagaimana cara kita memberi tahu
kakek dan pemuda itu."
"Satu-satunya cara kita masuk saja ke dalam gubuk!"
"Kalau begitu tunggu apa lagi!"
Sambil berpegangan tangan dua kakak beradik itu lari ke arah puncak bukit,
menuju gubuk yang pintunya
terbuka. Namun belum sempat berkelebat dua tombak, tiba-tiba orang di atas atap
melayang turun. Gerakannya jelas menghadang Liris Merah dan Liris Biru! Hal ini
dipertegas lagi dengan bentakannya.
"Ada keperluan apa kalian mendatangi tempat ini"!"
Liris Merah dan Liris Biru adalah dua gadis kakak
beradik berhati polos, masih muda tapi tahu peradatan dunia persilatan serta
tahu bagaimana cara harus
bersopan santun. Biasanya mereka akan selalu bersikap baik bila orang menyikapi
mereka secara wajar. Namun kalau ada yang jahil, judes apalagi galak, maka
keduanya akan mempermainkan orang itu sampai mukanya bisa
merah seperti kepiting rebus dan hati panas seperti bara.
Setelah perhatikan sejurus nenek bermuka putih dan berpakaian biru gelap di
depannya, Liris Merah membuka mulut, "Kami dua kakak beradik, mau pergi ke mana
siapa boleh melarang"!"
Sang adik menimpali, "Kau sendiri kami lihat sembunyi di atas atap. Pasti ada
maksud tidak baik. Tapi kami tidak menegur!"
"Urusanku apa perduli kalian"!"
"Urusan kami apa pula perdulimu"!"
"Lekas tinggalkan tempat ini atau aku akan memberi pelajaran sopan santun pada
kalian!" "Saudaraku Liris Biru. Walau baru muncul dalam rimba persilatan, selama ini aku
mendengar yang namanya Nyi Bodong itu adalah seorang berhati mulia, kalau bicara
lemah lembut. Namun tegas dalam menghadapi orang-orang jahat! Apakah kita berdua
yang muda-muda ini punya tampang penjahat hingga seenaknya diusir dan diancam"!"
"Tenang saja, kakak," jawab Liris Biru, "Aku sudah bisa menduga mengapa nenek
muka putih ini tidak senang kita dekat-dekat di sini. Dia takut pemuda yang ada
di dalam gubuk akan terpikat pada kita-kita! Agaknya dia naksir pada si gondrong
itu! Hik... hik... hik!"
"Kau benar adikku. Padahal di dalam gubuk masih ada seorang kakek bau pesing
yang aku rasa cocok buat
dirinya!" Liris Merah dan Liris Biru lalu tertawa gelak-gelak.
Nenek muka putih langsung berubah merah seperti saga wajahnya.
"Dua tikus kecil! Jangan salahkan kalau aku memberi pelajaran keras padamu!" Dua
kaki Nyi Bodong bergeser.
Saat itu juga tubuhnya berkelebat lenyap dan, plaak...
plaak! Liris Merah dan Liris Biru merasakan tamparan keras di muka masing-masing.
Didahului pekikan menahan sakit serta luapan amarah, dua murid Hantu Malam
Bergigi Perak ini segera saja menyerbu Nyi Bodong. Perkelahian hebat serta merta
terjadi. Walau Liris Merah dan Liris Biru masih muda belia, belum sampai berusia dua
puluh tahun, sebagai murid seorang nenek sakti dan aneh keduanya memiliki
kepandaian silat yang tidak bisa dibuat main. Jurus-jurus serangan mereka penuh
tipu daya sehingga berulang kali lawan nyaris kena disikut, ditendang ataupun
dijotos. Namun lawan yang dihadapi bukan pula orang
sembarangan. Nyi Bodong ternyata memiliki gerakan luar biasa cepat. Saat ini dia
berada di sebelah kiri, di lain kejap ketika diserang sudah berpindah ke tempat
lain. Lima jurus berlalu dua gadis cantik kakak dan adik mulai terdesak hebat.
Liris Merah berseru kaget ketika konde di atas
kepalanya ditarik orang hingga rambutnya yang hitam tebal dan panjang tergerai
awut-awutan. Hal yang sama juga terjadi dengan Liris Biru. Ketika dia merasa
jotosan tangan kanannya akan berhasil mendarat di perut Nyi Bodong tiba-tiba
salah satu telapak tangan lawan menekan dahinya dan sesaat kemudian konde di
kepalanya berbusaian!
Dua kakak beradik menjerit marah. Satu sama lain
saling berpegangan tangan. Tiba-tiba salah satu dari mereka melesat ke depan,
kirimkan tendangan ke arah kepala lawan. Menyusul satunya jatuhkan diri ke
tanah, berguling dan babatkan kaki memapas ke pinggang Nyi Bodong. Guru mereka
menyebut jurus ini dengan nama Hantu Malam Berbagi Pahala. Memang kehebatannya
luar biasa. Lawan yang mencoba mundur atau melompat untuk selamatkan diri dari
tendangan ke arah kepala akan dihajar oleh serangan susulan yang bisa membabat
hancur tulang pinggang.
Nyi Bodong keluarkan suara meraung seperti srigala hutan. Tubuhnya berkelebat
luar biasa cepat. Di lain kejap tubuh itu mengambang melintang di udara. Tangan
dan kaki bergerak mencari sasaran. Dua kakak beradik
terkejut, berusaha selamatkan diri dengan melompat mundur. Namun terlambat.
Tiba-tiba dari dalam gubuk berkelebat dua orang.
Satunya berteriak. "Kek! Kau tahan si nenek, aku menahan dua kakak adik itu!"
Bau pesing menghampar, air kencing bercipratan.
Dalam keadaan seperti itu Nyi Bodong merasa ada orang yang merangkul pinggangnya
hingga dia tak mampu
bergerak. Dia jadi bergidik karena merasakan ada cairan hangat membasahi pakaian
dan tubuhnya sebelah bawah!
"Tua bangka kurang ajar! Beraninya kau memegang
tubuhku! Beraninya kau mengencingi pakaianku!"
Bukkk! Setan Ngompol kena disikut bahu kirinya. Walau
tubuhnya terjajar beberapa langkah namun dia tidak mau lepaskan cekalannya di
pinggang Nyi Bodong. Akibatnya kedua orang ini sama-sama jatuh di tanah. Si
kakek di sebelah bawah, si nenek di sebelah atas. Melihat wajah putih cantik
yang begitu dekat dengannya, Setan Ngompol unjukkan senyum mesra. Bibir
diruncingkan dan dua mata setengah dipejamkan. Seolah dia menunggu datangnya
ciuman dari sang kekasih! Namun yang datang bukannya ciuman melainkan satu
jotosan keras di keningnya! Si kakek menjerit kesakitan. Tubuhnya setengah
melintir. Pemandangan gelap dan dia terpaksa melepaskan
rangkulannya di pinggang Nyi Bodong.
Pendekar 212 yang menghadapi dua kakak adik cepat
menghadang gerakan Liris Merah dan Liris Biru seraya berteriak, "Tahan! Kita
berada di pihak yang sama!
Mengapa bertindak tolol berkelahi tidak karuan"!"
"Manusia gondrong! Enak saja kau bilang kita berada di pihak yang sama! Siapa
sudi!" Nyi Bodong menghardik.
Sebaliknya begitu melihat siapa yang menghalangi
mereka, Liris Merah dan Liris Biru serta merta menjadi kendur amarahnya. Sambil
pegangi pipi masing-masing yang terasa masih sakit, kedua murid Hantu Malam
Bergigi Perak ini mundur beberapa langkah.
"Nyi Bodong, mengapa kalian jadi berkelahi satu sama lain?" bertanya Setan
Ngompol yang keningnya kini ada satu benjut besar akibat pukulan Nyi Bodong.
"Aku tidak ada urusan memberi keterangan padamu!
Kakek kurang ajar! Tanyakan saja pada dua kurcaci itu.
Masih bau kencur sudah berlagak jadi orang hebat! Untung kalian muncul kalau
tidak saat ini keduanya sudah jadi bangkai!"
"Sombongnya! Kami belum merasa kalah!" tukas Liris Merah. Gadis ini hendak
melangkah mendekati Nyi
Bodong. Wiro cepat pegang lengan Liris Merah. Dia sekalian memegang tangan Liris Biru
lalu membawa dua gadis itu menjauhi Nyi Bodong. Sambil berjalan mundur dua gadis
sandarkan kepala mereka ke bahu Pendekar 212 dan
lemparkan senyum mengejek ke arah Nyi Bodong.
"Masih ingusan sudah pandai berbuat cabul!" ucap Nyi Bodong dengan wajah
menunjukkan kejijikan.
"Kalau iri kenapa kau tidak memeluk kakek bau pesing itu"!" ucap Liris Biru.
"Dua kurcaci ingusan! Jika kemudian hari aku bertemu lagi dengan kalian, jangan
harap ada rasa kasihan dalam hatiku!"
Liris Merah dan Liris Biru sama-sama keluarkan suara berdecak.
"Nyi Bodong," kata Liris Merah, "Kau memang orang
hebat! Tapi siapa yang minta kasih sayangmu" Rupanya kau seorang yang suka
memberi kasih pada sesama jenis!
Hik... hik... hik!"
"Gadis kurang ajar! Ini cukup baik untuk menutup mulut busukmu!" Dengan ujung
kakinya Nyi Bodong mengorek sebuah batu sebesar tinju. Batu mencelat ke udara,
ditangkap dengan tangan kanan lalu secepat kilat
dilemparkan ke arah Liris Merah.
"Kakak awas!" teriak Liris Biru. Namun saat itu Liris Merah masih mengejek Nyi
Bodong dengan cara
menyandarkan kepala ke bahu Wiro, mata dipejamkan dan bibir digerak-gerakkan.
Dua jengkal lagi batu yang dilemparkan akan
menghantam mulut Liris Merah, dengan sigap Wiro
gerakkan tangan kiri.
Wuuutt! Bettt! Wiro memang berhasil menangkap batu yang
dilemparkan namun saat itu juga dia menjerit keras dan campakkan batu ke tanah.
Tangan kirinya mengepulkan asap. Ketika jari-jarinya dikembangkan kelihatan
bagaimana tangan kiri itu telah melepuh terkelupas sampai ke ujung-ujung jari!
Dapat dibayangkan bagaimana kalau batu yang panas laksana bara api itu sampai
masuk ke dalam mulut Liris Merah.
"Nyi Bodong! Ternyata kau perempuan durjana! Kau
melukai tangan orang yang tidak punya salah!"
Nenek muka putih tampak terkesiap. Tak menyangka.
Lain yang diserang lain yang kena sasaran.
Liris Biru melompat ke tempat berdirinya Nyi Bodong sambil lepaskan satu pukulan
tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Tanah terbongkar, satu lobang
besar tampak dalam kegelapan malam. Namun Nyi Bodong
sudah raib seperti ditelan bumi.
Dari ambang pintu gubuk tiba-tiba terdengar seseorang berseru, "Setan Ngompol,
bawa sahabatmu itu ke dalam.
Lukanya sangat berbahaya. Kalau tidak lekas diobati tangannya bisa busuk!"
*** WIRO SABLENG NYI BODONG 5 I DALAM gubuk Ki Tambakpati menyuruh Pendekar
212 Wiro Sableng duduk di depan belanga tanah
Dyang mengepulkan asap dan keluarkan suara
mendidih. Liris Merah dan Liris Biru saling berbisik melihat keanehan belanga
itu. Tak ada api yang menjarang tapi cairan di dalam belanga bisa mendidih.
"Kakek ini dukun atau tukang sihir?" bisik Liris Biru yang segera dipelototi
oleh kakaknya. "Jangan bicara sembarangan. Kita tidak tahu ini tempat apa." ucap Liris Merah
pula. Untuk beberapa lama Ki Tambakpati berdiri di hadapan Wiro. Mata terpejam, mulut
berkomat-kamit dan telapak tangan kanan dikembang, diarahkan ke mulut belanga.
Suara cairan yang mendidih terdengar semakin keras bahkan sesekali muncrat ke
atas. "Masukkan tanganmu ke dalam belanga. Biar dalam,
sampai jari-jari menyentuh dasar belanga!" tiba-tiba Ki Tambakpati berkata.
Pendekar 212 Wiro Sableng tersentak kaget lalu garuk-garuk kepala. Liris Merah
dan Liris Biru saling
berpandangan dengan wajah tegang. Setan gompol
bersandar ke dinding gubuk sambil pegangi bagian bawah perutnya yang mulai
mengucur! "Anak muda berambut gondrong! Aku akan memberi
perintah satu kali lagi. Jika kau tidak menuruti maka tangan kirimu akan busuk
sampai akhirnya meleleh
buntung. Musuh telah melempar batu yang dibalut dengan ajian ilmu bernama Batu
Seribu Api. Adalah luar biasa kau hanya mengalami luka melepuh terkelupas. Orang
lain mungkin sudah lumer seluruh tangan sampai ke
pergelangan! Tapi jangan merasa hebat! Tanganmu akan busuk dan buntung jika kau
tidak mau kuobati. Masukkan tangan kirimu ke dalam belanga! Cepat!"
Murid Sinto Gendeng jadi keluarkan keringat dingin.
Tangannya dalam keadaan melepuh terkelupas.
Dimasukkan ke dalam cairan yang tengah mendidih. Apa tidak gila"! Mana mungkin
bisa disembuhkan dengan cara edan begitu" Wiro memandang ke arah dua gadis kakak
adik. Liris Merah dan Liris Biru tampak saling berpegangan tangan. Keduanya sama
memandang ke arah Wiro, tak
berkesip. Wiro menoleh ke arah Setan Ngompol. Kakek ini hanya manggut-manggut
sementara dua tangannya sibuk menahani bagian bawah perut yang terus ngocor.
Alihkan pandangan ke arah Ki Tambakpati, Wiro melihat orang tua ini masih tegak
dengan mata terpejam dan mulut komat-kamit. Wiro menggigit bibir. Walau kuduknya
terasa mengkirik tapi akhirnya dia masukkan juga tangan kirinya ke dalam belanga
tanah. Demikian kencangnya dia
memasukkan tangan hingga amblas menjebol bagian
bawah belanga! Wira melengak kaget, terduduk di tanah, memandang
ke arah Ki Tambakpati lalu tertawa gelak-gelak.
"Keterlaluan! Kau telah memecahkan belanga obatku!
Sekarang malah tertawa. Apa yang lucu?"
"Kek, aku tak sengaja. Maafkan aku kalau belangamu sampai pecah." kata Wiro
pula. "Aku tertawa ternyata cairan di dalam belanga sedingin air danau di malam
hari. Tadinya aku mengira cairan itu panas mendidih..."
"Aku tidak pernah mengatakan cairan itu panas.
Sekarang coba perhatikan tangan kirimu!" ujar Ki
Tambakpati pula.
Wiro baru sadar. Buru-buru dia angkat tangan kiri.
Astaga! Telapak tangan dan jari-jarinya sudah pulih seperti tidak pernah
mengalami cidera. Hanya saja lima jari tangannya tampak agak membengkak. Liris
Merah dan Liris Biru terheran-heran. Setan Ngompol senyum-senyum ikut senang walau
kencingnya tetap saja masih mengucur.
"Dalam dua tiga hari bengkak tanganmu akan susut.
Kau akan sembuh seperti sedia kala." Kata Ki Tambakpati.
Wiro membungkuk dalam-dalam. "Terima kasih Kek.
Aku tak tahu bagaimana cara membalas budi besarmu ini.
Wiro Sableng 144 Nyi Bodong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kalau aku boleh tahu siapakah Kakek ini adanya?"
Yang menjawab adalah Setan Ngompol.
"Kakek ini sudah tiga puluh tahun jadi sahabatku.
Namanya Ki Tambakpati. Dijuluki Tangan Penyembuh."
Wiro berdiri lalu membungkuk dalam-dalam. "Ki
Tambakpati, aku Wiro Sableng sekali lagi mengucapkan terima kasih atas budi
baikmu menolong diriku
menyembuhkan lukaku. Aku..."
Ucapan Wiro terhenti karena saat itu tiba-tiba saja Ki Tambakpati tertawa
bergelak. "Nah, sekarang gantian kau yang tertawa. Sobatku Ki Tambakpati, apa yang lucu?"
bertanya Setan Ngompol.
Ki Tambakpati usap wajahnya. "Melihat tampang dan
gerak-gerikmu serta kau muncul bersama si tukang
ngompol itu, tadi-tadi aku sudah menduga kau ini memang anak setan murid nenek
brengsek Sinto Gendeng!"
Wiro jadi melongo.
"Kek, bagaimana kau tahu sebutan 'anak setan' itu...?"
Ki Tambakpati tersenyum. "Sinto Gendeng gurumu itu adalah teman sepermainanku
semasa kecil. Dia pernah tinggal lama di rumah orang tuaku di pantai selatan.
Dia selalu menyebut anak setan pada orang yang disayanginya.
Tapi tidak mudah untuk mendapatkan rasa sayang nenek gendeng itu! Ha... ha...
ha!" "Ha... ha...ha!" Setan Ngompol ikutan tertawa senang tapi sambil terkencing-
kencing (Kisah riwayat Sinto Gendeng mulai dari masa bayi sampai dewasa dapat
pembaca ikuti dalam CERMIN yang akan segera terbit dengan judul "Selingkuh Rimba
Persilatan").
Sementara orang bicara dan tertawa, Liris Merah dan Liris Biru saling berbisik.
Sang kakak berkata, "Tidak ada salahnya kalau kita bicara pada kakek bernama Ki
Tambakpati itu. Tapi bagaimana dengan yang lain" Apa mereka pantas untuk
mendengar?"
"Kalau guru ada di sini dia pasti marah. Tapi dia tak ada. Kita harus punya
upaya sendiri, tidak bisa hanya mengandalkan guru. Soal mereka akan mendengar
riwayat kita, kurasa tidak perlu khawatir. Tampaknya mereka semua bisa
dipercaya." jawab Liris Biru pula.
Liris Merah terdiam seperti berpikir-pikir. Akhirnya gadis cantik ini berkata,
"Baiklah, biar aku yang bicara. Kupikir kalau orang tidak tahu apa yang menjadi
masalah kita, bagaimana mungkin mereka bisa menolong?" Liris Merah lalu
melangkah mendekati Ki Tambakpati.
Kakek ahli pengobatan ini seolah baru sadar akan
kehadiran dua gadis cantik di tempat itu tersenyum-senyum lalu menyapa, "Aku
sampai lupa kalau di sini juga ada dua tamu cantik jelita. Gadis berpakaian
merah dan berpakaian biru, siapakah kalian berdua?" Sambil bertanya Ki
Tambakpati melirik ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Setan Ngompol mendekati Wiro. "Anak setan, kau lihat kakek itu tadi melirikmu"
Pasti dia juga sudah tahu kalau kau tukang main perempuan!"
"Enak saja kau bicara Kek! Urusi saja air kencingmu!"
damprat murid Sinto Gendeng.
"Ki Tambakpati, saya Liris Merah dan itu adik saya Liris Biru. Apakah saya boleh
menuturkan sesuatu. Saya dan adik saya mempunyai masalah. Siapa tahu Ki
Tambakpati bisa menolong menyembuhkan kami."
Ki Tambakpati perhatikan Liris Merah dan Liris Biru dari kepala sampai ke kaki.
"Kalian berdua sama cantik, sama sehat. Kalau kau menyebut memiliki ada masalah,
masalah apa" Jika kau minta aku menyembuhkan diri
kalian, apa sakit kalian" Liris Merah, kau mau
menceritakan masalah yang kau maksudkan?"
Liris Merah mengangguk. "Namun terlebih dulu saya
mohon apa yang akan saya sampaikan menjadi rahasia kita semua di tempat ini.
Jangan sampai tersebar di luaran."
"Aku memang tukang bocor di sebelah bawah, tapi
tidak pernah bocor di sebelah atas. Aku tidak pernah membuka rahasia orang.
Apalagi rahasia dua gadis cantik seperti kalian." kata Setan Ngompol pula dengan
nada gagah. Liris Merah memandang ke arah Pendekar 212 Wiro
Sableng. Murid Sinto Gendeng tersenyum, anggukkan kepala dan berkata, "Kita sudah menjadi
sahabat. Apakah yang kau ragukan?"
"Begini Ki Tambak," Liris Merah memulai, "Sejak
dilahirkan kami berdua memiliki kelainan. Yaitu tidak tahan terhadap udara
panas. Semakin besar kelainan itu
semakin bertambah. Kami tidak bisa berada di luaran pada siang hari. Itu
sebabnya kalau siang kami selalu tidak bisa pergi terlalu jauh dari tempat
kediaman kami. Kami harus sudah berada di tempat kediaman sebelum malam
berganti siang. Setiap hari kami harus mandi lebih dari sepuluh kali. Jika mandi
tidak menolong kami terpaksa mencari danau, telaga atau sungai untuk
berendam..."
"Aku ingat pertemuan kita pertama kali," kata Setan Ngompol pula. "Kalian berdua
keluar dari dalam telaga di malam buta!"
Liris Merah mengangguk membenarkan. Lalu dia
berpaling pada Ki Tambakpati dan meneruskan
ucapannya, "Tadi kami melihat Ki Tambakpati mengobati pemuda itu secara luar
biasa. Kami juga baru tahu kalau Ki Tambakpati adalah orang yang dijuluki Tangan
Penyembuh. Kami mohon, apakah Ki Tambakpati bisa menyembuhkan kelainan diri kami berdua?"
Semua orang terdiam. Ki Tambakpati nampak
merenung. Wiro dan Setan Ngompol menatap penuh rasa kasihan pada dua gadis itu.
Setelah merenung cukup lama Ki Tambakpati akhirnya berkata, "Penyakit yang
kalian alami adalah satu penyakit aneh yang baru kali ini aku dengar dan
ketahui. Liris Merah, Liris Biru. Aku tidak ingin mengecewakan kalian berdua,
apalagi kalian masih sangat muda. Namun
penyakit kalian tidak mungkin aku sembuhkan dengan kemampuan pengobatan yang aku
miliki." "Mungkin Ki Tambak tahu seseorang yang harus kami
temui dan punya kemampuan untuk mengobati diri kami berdua" Atau mungkin juga Ki
Tambak tahu sejenis obat yang harus kami dapatkan. Kami akan mencarinya
sekalipun sampai ke ujung langit."
Wajah Ki Tambakpati tampak sedih. "Saat ini aku tidak bisa menjawab. Entah di
kemudian hari kalau aku
mendapat petunjuk. Untuk itu aku harus bersemedi tujuh hari tujuh malam. Namun
kalian berdua jangan terlalu banyak berharap."
Liris Biru masih belum menyerah. Gadis ini bertanya, "Ki Tambak, apa kau pernah
mendengar sebuah kitab disebut Kitab Seribu Pengobatan?"
"Memang pernah aku mendengar. Namun di mana
beradanya kitab itu tidak diketahui. Pemiliknya adalah guru pemuda gondrong ini.
Sinto Gendeng sahabatku yang diam di puncak Gunung Gede. Mungkin di dalam kitab
itu ada bagian yang menyebutkan mengenai penyakit yang kalian idap dan bagaimana
cara penyembuhannya."
"Kitab itu lenyap dicuri orang sejak beberapa waktu lalu. Saya justru tengah
menjalankan tugas dari Eyang untuk mencarinya," menjelaskan Pendekar 212.
"Tidak ada satu orang pun di sini yang bisa menduga siapa pencuri atau di mana
beradanya kitab itu?" tanya Liris Merah.
Tak ada yang menjawab. Lalu Ki Tambakpati berkata,
"Malam ini, sebelumnya ada juga orang lain yang
menanyakan kitab itu. Dia adalah salah seorang dari dua tamuku."
"Siapa orangnya?" tanya Setan Ngompol.
"Aku akan jelaskan orangnya tapi tidak dapat memberi tahu penyakit yang
diidapnya..."
"Siapa nama orang itu Kek?" tanya Wiro.
"Siapa namanya itulah yang aku tidak tahu. Namun dia meminta agar dipanggil
dengan sebutan Pangeran. Tak tahu diburuk rupa, sikapnya luar biasa angkuh."
Pendekar 212 dan Setan Ngompol saling
berpandangan. "Kenapa kau tidak menolak saja mengobatinya?" tanya Setan Ngompol.
"Hal itu tak mungkin aku lakukan. Jalan hidup dan ilmu kepandaianku adalah
berbuat kebajikan menolong sesama manusia."
"Kadang-kadang kita menjadi susah dan malah berdosa karena terlalu baik terhadap
orang lain." ucap Pendekar 212 pula.
"Apakah kalian mengenali siapa adanya orang itu?" Kini Ki Tambakpati yang ajukan
pertanyaan. "Dia bertubuh tinggi besar, mengenakan jubah abu-abu, berwajah seperti setan?"
ujar Wiro. "Benar." jawab Ki Tambakpati.
"Kalau begitu dia adalah manusia yang dibuntungi
tangannya oleh nenek muka putih!" kata Wiro pula.
"Kalau sudah tahu aku tak perlu banyak cerita lagi!"
ujar Ki Tambakpati.
"Menurut guru dua gadis ini manusia itu dijuluki Hantu Pemerkosa. Saya punya
dugaan manusia itu aslinya adalah Pangeran Matahari!" kata murid Sinto Gendeng
sambil menatap tak berkedip ke arah Ki Tambakpati. "Kek, ada ciri-ciri lain dari
orang itu yang bisa kau ingat?"
"Wajahnya yang seperti setan. Aku yakin dia
mengenakan topeng tipis. Dia juga menyombongkan diri bisa bertukar wajah sepuluh
kali dalam satu hari..."
"Hanya itu saja yang bisa kau ingat sobatku?" tanya Setan Ngompol.
"Hanya itu saja. Tunggu..., ada satu hal. Ketika aku melihat jari kelingking
tangan kirinya buntung, dia marah besar ketika aku memperhatikan..."
"Pangeran Matahari!" ucap Setan Ngompol sampai
terlonjak dan kucurkan air kencing.
"Pasti dia!" kata murid Sinto Gendeng dengan wajah geram dan dua tangan
mengepal. "Berarti dia tidak mampus sewaktu rumah kayu di
Seratus Tiga Belas Lorong Kematian hancur lebur dan terbakar." kata Setan
Ngompol sambil usap daun kuping kanannya yang terbalik. "Dia juga tidak mati
tertimbun runtuhan bukit batu di mana lorong celaka itu terletak ketika Bunga
gadis dari alam roh menghancurkan kawasan itu. Sepertinya dia punya selusin
nyawa. Tapi yang sebelas sudah amblas. Jadi tetap saja tinggal satu! Hik...
hik... hik!"
Si kakek tertawa sendiri dibarengi kencingnya yang mancur.
Ki Tambakpati gelengkan kepala.
"Sahabatku, tadi kau menyebut ada dua orang tamu
malam ini datang ke tempatmu sebelum kehadiran kami.
Siapa yang satunya?" tanya Setan Ngompol.
"Apakah dia seorang nenek berwajah putih, rambut
riap-riapan, mengenakan pakaian biru pekat?" Liris Merah mendahului sebelum Ki
Tambakpati sempat menjawab.
"Bagaimana kau tahu?" tanya Ki Tambakpati.
"Saya melihat dia mendekam sembunyi di atas atap.
Ketika kami mendekati rumah ini, dia menghadang. Kami berdua tidak tahu apa
alasannya menyuruh kami pergi.
Kami juga tidak tahu apa dosa kesalahan kami sehingga tadi dia menyerang dengan
batu yang dialiri aji kesaktian jahat Batu Seribu Api seperti Kakek jelaskan."
"Liris Merah, kau tahu siapa adanya nenek itu?" tanya Ki Tambakpati.
"Menurut guru dia adalah pendatang baru rimba
persilatan bernama Nyi Bodong." jawab Liris Merah.
"Kek, apa keperluan nenek muka putih itu
menemuimu" Apakah dia mengidap satu penyakit?" tanya Wiro.
"Dia menanyakan perihal tamuku yang pertama. Si
buntung bermuka setan yang senang dipanggil dengan sebutan Pangeran itu. Benar
seperti katamu tadi, si nenek bernama Nyi Bodong menyebut si Pangeran sebagai
Hantu Pemerkosa. Agaknya Nyi Bodong ingin membunuhnya
karena katanya Hantu Pemerkosa telah merusak
kehormatan beberapa gadis desa lalu membunuh
korbannya. Namun..." Ki Tambakpati tidak meneruskan ucapannya dan hal ini tidak
begitu menjadi perhatian orang-orang yang ada dalam gubuk.
"Agaknya dalam rimba persilatan telah muncul lagi satu tokoh penyelamat orang-
orang tertindas, penegak keadilan, pembasmi manusia-manusia jahat." kata Setan
Ngompol. "Kami setuju saja dengan pendapatmu Kek," Liris Biru membuka mulut. "Kalau dia
orang baik mengapa Nyi
Bodong punya niat jahat terhadap kami?"
Setan Ngompol hanya bisa terdiam dan usap-usap
celananya di sebelah bawah.
"Ki Tambakpati, kami tidak bisa berada lebih lama di tempat ini. Kediaman kami
cukup jauh. Kami khawatir matahari sudah muncul sebelum kami sampai di sana.
Kami berdua tetap minta budi baik bantuanmu." Liris Merah memegang lengan
adiknya, berpaling pada Wiro dan berkata, "Bisakah kami bicara denganmu di
luar...?" Wiro mengikuti langkah dua gadis itu. Setan Ngompol hendak membuntuti tapi
didorong oleh Wiro hingga masuk kembali ke dalam gubuk.
Sampai di luar Liris Merah berkata, "Kami sangat
memerlukan pertolongan. Apakah benar Kitab Seribu
Pengobatan itu lenyap dicuri orang. Atau hanya sekedar cerita kosong saja untuk
maksud tertentu?"
"Tidak ada yang bohong. Kitab itu memang lenyap
dicuri orang." menjelaskan Wiro.
"Kalau kau menemukan, apakah kau mau
meminjamkannya pada guru?"
"Tentu." sahut Wiro dengan anggukkan kepala.
"Kau tidak kasihan melihat nasib kami?" tanya Liris Biru.
Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala. "Semua
orang menaruh kasihan pada kalian. Aku berjanji akan mendapatkan kitab itu..."
"Kalau kitab ternyata tidak bisa ditemukan?" tanya Liris Merah.
"Tuhan Maha Kuasa, setiap penyakit pasti ada obatnya.
Kita semua berusaha tapi juga jangan lupa mohon petunjuk serta pertolonganNya.
Berdoa." Dua gadis kakak beradik itu tersenyum.
"Ternyata kau orang baik..." ucap Liris Biru.
"Memangnya aku punya tampang penjahat?"
"Penjahat ya tidak. Cuma guru pernah bilang yang
namanya Pendekar 212 Wiro Sableng murid Sinto Gendeng itu adalah buaya
perempuan."
Wiro tertawa lebar. Dia memandang ke belakang. "Aku tidak punya ekor. Tangan dan
kakiku berujud tangan dan kaki manusia. Mulutku tidak berupa moncong panjang.
Apakah aku ini menurut kalian seekor buaya?"
Dua gadis cantik tertawa cekikikan.
"Kami harus pergi sekarang," Liris Biru berkata, "Jika kau bisa menolong, kami
tidak akan melupakan jasa dan budi baikmu. Untuk itu harap kau suka menerima ini
sebagai ungkapan di muka balas budi kami."
Cuupp! Cuupp! Pendekart 212 terperangah ketika Liris Merah dan Liris Biru mencium pipinya kiri
kanan. Kedua gadis itu lalu menghambur lari sambil tertawa-tawa. Liris Biru
berseru, "Kalau ada kesempatan datanglah ke tempat kediaman kami di Goa Cadasbiru di
Kaliurang!"
Wiro hanya garuk-garuk kepala tidak menjawab.
"Serakah amat! Seharusnya satu ciuman itu jadi
bagianku!" kata satu suara. Setan Ngompol tahu-tahu sudah berada di samping Wiro
yang saat itu masih
bengong usap-usap kedua pipinya. "Berani kau datang ke Goa Cadasbiru, habis kau
didamprat gurunya si Hantu Malam Bergigi Perak."
"Kalau begitu biar kau saja yang mewakiliku, Kek!"
jawab Wiro. Tanpa diketahui, di atas pohon besar di salah satu sudut kediaman Ki Tambakpati,
seorang yang sejak tadi mendekam sembunyi unjukkan wajah jengkel luar biasa.
Dalam hati dia mendumel, "Huh, dua gadis hijau. Kasihan diri kalian. Agaknya
sudah terperangkap sikap manis pemuda mata keranjang itu! Lihat saja nanti.
Kalian akan dipermainkan lalu dicampakkan!"
*** WIRO SABLENG
Wiro Sableng 144 Nyi Bodong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
NYI BODONG 6 ALAM Episode sebelumnya (Perjanjian Dengan Roh)
diceritakan bagaimana Tumenggung Wirabumi yang
Dkini sudah naik jabatannya menjadi Bendahara
Kerajaan mendatangi tempat kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas di sebuah telaga di
puncak timur Gunung
Gede. Sesuai keterangan gurunya yaitu Nyai Tumbal Jiwo, Nyi Retno Mantili
istrinya yang dikabarkan lenyap
melarikan diri dari gedung kediaman di kotaraja, berada di puncak Gunung Gede,
di sebuah telaga tempat hunian sang Kiai.
Bersama enam orang pengawal Wira Bumi melakukan
perjalanan jauh menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas di Gunung Gede. Namun dia
kecewa besar, tidak percaya bahkan menjadi marah ketika mendapat keterangan dari
Kiai Gede Tapa Pamungkas bahwa Nyi Retno Mantili telah pergi tanpa diketahui ke
mana tujuannya. Wira Bumi menganggap Kiai itu telah mendustai dan mempermain-
kannya. Dalam marahnya Wira Bumi menyuruh bakar
sawung tempat Kiai Gede Tapa Pamungkas bersem-
bahyang dan memanjatkan doa. Walau sang Kiai telah bersabar diri namun karena
didesak terus perkelahian tidak dapat dihindari.
Seperti diketahui setelah bertapa selama tujuh bulan di Goa Girijati Wira Bumi
mendapat berbagai ilmu kesaktian dari Nyai Tumbal Jiwo, nenek sakti yang mati
sesat dan setelah sekian puluh tahun rohnya masih gentayangan dalam perwujudan
seperti masa hidupnya. Bagaimanapun hebatnya Wira Bumi namun Kiai Gede Tapa
Pamungkas yang oleh banyak orang sudah dianggap sebagai makhluk setengah dewa karena
kesucian dan kesaktiannya,
bukanlah tandingan Wira Bumi. Dalam perkelahian di bawah air, Wira Bumi akhirnya
dipecundangi, pingsan dan tubuhnya kemudian mengapung di permukaan telaga.
Masih untung bagi pejabat tinggi kerajaan ini karena Kiai Gede Tapa Pamungkas
tidak punya niat jahat untuk
membunuhnya. Dia ingin memberi kesempatan pada
pejabat itu untuk keluar dari kesesatan dan bertobat. Wira Bumi diselamatkan
oleh para pengawalnya, dibawa
kembali ke kotaraja, bukan membekal penyesalan apalagi bertobat tapi membawa
dendam kesumat luar biasa yang kelak akan dilampiaskannya secara keji di
kemudian hari. Lewat satu purnama setelah peristiwa kedatangan
Bendahara Wira Bumi bersama para pengawalnya di
Gunung Gede, malam itu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Mencucuk sampai
bagian terdalam sumsum
tulang. Kawasan telaga di puncak timur Gunung Gede diselimuti halimun, sepi dan
gelap. Pada siang hari air telaga kelihatan memiliki tiga warna. Selain itu
permukaannya selalu bergemericik seperti kejatuhan tetes-tetes air hujan.
Tidak seperti biasanya, di tepi telaga sebelah selatan yang selalu sepi, saat
itu tampak tiga bayangan hitam manusia bergerak cepat, tanpa suara, laksana tiga
setan malam sedang gentayangan. Yang seorang berdiri
menunggu di satu tempat sementara dua lainnya berlari mengintai tepian telaga.
Tak selang beberapa lama dua orang itu kembali bertemu dengan orang yang tegak
diam menunggu. Salah seorang dari yang dua ini berucap
perlahan, "Eyang Tuba Sejagat, kami tidak melihat
halangan. Rasanya kita bisa segera memulai pekerjaan."
Orang yang dipanggil Eyang Tuba Sejagat bertubuh
tinggi kurus, bekulit hitam pekat, bermuka seperti jerangkong karena wajahnya
hanya merupakan kulit
pembalut tulang. Bibir dan dua daun telinga hitam legam.
Begitu juga sepuluh jari tangan sampai ke ujung kuku, hitam semua. Rambut kelabu
dijalin aneh, menjela sampai ke pinggang. Sosoknya yang mengenakan jubah hitam
agak kebesaran membuat dirinya tampak luar biasa
menggidikkan di dalam gelap, dingin dan sunyi itu.
"Halangan bukan masalah bagiku. Yang penting apakah kalian sudah mengetahui
kalau calon penghuni alam roh itu saat ini berada di dasar telaga?"
"Kami sudah meyakini dengan ilmu Aliran Tuba
Mendetak Langit dan Bumi." jawab dua orang yang juga berpakaian jubah serba
hitam dan merupakan pembantu Eyang Tuba Sejagat. Yang bertubuh agak pendek
bernama Jarot Kemukur, temannya bernama Ciung Gluduk. Kalau sang Eyang tidak
memakai blangkon maka kedua
pembantunya ini mengenakan blangkon hitam.
Mendengar ucapan Jarot Kemukur dan Ciung Gluduk,
Eyang Tuba Sejagat angkat kepala, mendongak
memandang langit gelap. Lalu dengan suara perlahan dia berkata, "Aku akan mulai.
Kalian berdua awasi keadaan sekitar telaga. Jika ada bahaya cukup memberi tanda
dengan mengguratkan kaki ke tanah dua kali."
Selesai berucap manusia tinggi kurus berjalin panjang ini melangkah maju
mendekati tepian telaga, berhenti dua jengkal dari ujung air. Perlahan-lahan
lelaki berusia enam puluh tahun ini ulurkan dua tangan ke depan. Dua lengan yang
tertutup jubah hitam ditukikkan sedikit hingga sejarak lima jengkal dari
permukaan air telaga.
Sedikit demi sedikit dua lengan jubah hitam tampak menggembung, bergerak-gerak
seolah ada dua benda
hidup di dalamnya. Tidak menunggu lama, tiba-tiba dari masing-masing lengan
jubah mencuat keluar seekor ular besar bersisik merah. Mulut terbuka, lidah
terjulur di antara deretan gigi-gigi runcing, tiada henti bergerak. Dari dua
lobang hidung binatang ini berhembus keluar asap merah yang menebar bau sangat
menyengat. "Anak-anakku Tuba dan Tubi, saat ini kalian punya
tugas memenuhi telaga dengan Racun Akar Bumi. Cepat laksanakan!"
Dua ular merah mendesis. Keduanya meluncur turun ke bawah ke arah air telaga.
Dari mulut dua ular ini
menggelegak keluar cairan berwarna merah pekat dan kental. Sambil menyemburkan
racun yang bernama Racun Akar Bumi, dua binatang itu meluncur hingga menyusup
masuk ke dalam air telaga. Aneh dan mengerikan, saat demi saat ukuran tubuh dua
ular itu semakin bertambah besar hingga mencapai ukuran batang kelapa. Di tepi
telaga Eyang Tuba Sejagat tegak dengan sekujur tubuh bergetar, lutut menekuk dan
keringat memancar di
mukanya yang menyerupai tengkorak. Rambut yang dijalin menjuntai di punggung
tampak bergerak-gerak naik seolah hidup.
Hanya beberapa saat saja seluruh permukaan air telaga telah berubah warna
menjadi hitam kemerah-merahan.
Sosok dua ekor ular bersisik merah sampai pada ujung ekornya lalu lenyap masuk
ke dalam telaga.
Eyang Tuba Sejagat bergerak mundur tujuh langkah.
"Anakku Tuba dan Tubi, kalian sudah bekerja bagus! Jika tugasmu selesai
pulanglah. Aku telah menyediakan
sesajen lezat untuk kalian berdua. Satu bayi lelaki untukmu Tuba, dan satu bayi
perempuan untukmu Tubi."
Makhluk tinggi kurus hitam ini keluarkan ucapan lalu tarik dua tangannya yang
sejak tadi direntang ke depan.
Pada saat itu tanah di sekeliling telaga terasa bergetar.
Mula-mula perlahan, lalu makin keras. Air danau bergejolak hebat seolah berubah
jadi air laut yang membuntal
gelombang ombak setinggi dua tombak! Pohon-pohon
besar di sekitar telaga bergoyang berderak-derak!
"Apa yang terjadi?" bisik Ciung Gluduk pada Jarot
Kemukur. "Aku tidak tahu. Apa yang harus kita lakukan?" jawab Jarot Kemukur lalu balik
bertanya. "Tunggu saja perintah Eyang." jawab Ciung Gluduk.
Sekonyong-konyong didahului oleh muncratnya gulu-
ngan air telaga sampai setinggi tiga tombak dan tumbang-
nya tiga pohon besar di tepi telaga, muncul dua suara dahsyat seperti puluhan
kerbau digorok berbarengan!
"Jarot Ciung! Ikuti aku!"
Eyang Tuba Sejagat berteriak lalu berkelebat ke arah gugusan batu di antara
beberapa pohon besar di tepi telaga. Di sini ketiganya mendekam bersembunyi
sambil memperhatikan apa yang akan terjadi. Eyang Tuba Sejagat tidak pernah
mengira kalau dia bakal menghadapi hal seperti ini.
Blaaar! Blaaar!
Seperti kilat menyambar. Dua cahaya terang berwarna merah melesat keluar dari
dalam telaga, menembus
kegelapan malam seperti hendak membelah langit!
"Dua ekor naga raksasa!" Ciung Gluduk sambil pegangi lengan Jarot Kemukur
sementara Eyang Tuba Sejagat
mendekam tak bergerak, mata tak berkedip tapi mulut berkomat-kamit membaca
mantera. Yang terjadi saat itu adalah dua cahaya merah terang berubah menjadi sosok
dahsyat dua ekor naga besar.
Sekujur tubuh dua ekor naga ini tampak mengelupas
merah dan mengepulkan asap. Dua bola mata menjorok keluar seperti mau
terbongkar. Binatang ini menggeliat terbanting-banting kian kemari. Ekor masing-
masing menggelepar tiada henti membuat air telaga muncrat sampai setinggi tiga
tombak dan membanjir ke sekeliling tepian telaga sementara tanah di sekitar
telaga terus bergetar seperti digoncang lindu. Dari mulut dua ekor naga raksasa
ini menyembur keluar cairan biru kehitaman.
Didahului suara seperti kerbau digorok yang kemudian berganti menjadi suara
ringkikan kuda berbaur dengan raungan srigala hutan, sosok dua naga merah
perlahan-lahan meleleh dan jatuh kembali ke dalam telaga membuat air telaga
semakin membanjir ke mana-mana. Sosok dua binatang raksasa itu akhirnya lenyap
setelah terlebih dulu muncul dua gulungan asap merah setinggi pohon kelapa.
Seperti diriwayatkan dalam serial Wiro Sableng berjudul
"Pedang Naga Suci 212" dua ekor naga merah itu adalah peliharaan Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Sewaktu sang Kiai mewariskan dua senjata pusaka kepada dua orang
muridnya yaitu Sinto Weni (Sinto Gendeng) dan Sukat Tandika (Tua Gila) berupa
Kapak Naga Geni 212 dan
Pedang Naga Suci 212, kedua binatang inilah yang
membawa senjata-senjata sakti mandraguna tersebut dari dasar telaga.
Di balik gugusan batu Eyang Tuba Sejagat mengusap
wajah tengkoraknya. "Kita berhasil membunuh dua naga peliharaan Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Tapi mana sang Kiai?" Matanya tak berkesip memperhatikan seantero
telaga yang kini mulai terlihat jelas setelah lenyapnya gelombang air yang
membuncah dan pupusnya kepulan
asap. "Saya rasa Kiai itu sudah jadi bubur, bersatu dengan mulut beracun di dasar
telaga." jawab Ciung Gluduk.
Eyang Tuba Sejagat usap lagi mukanya. Dia merasa
was-was. Tiba-tiba ada suara riak air di pertengahan telaga.
Bersamaan dengan itu di langit bulan setengah lingkaran menyembul dari balik
kabut kelabu hingga pemandangan di telaga kini cukup benderang.
"Eyang..." Jarot Kemukur keluarkan suara tertahan
ketika perlahan-lahan di permukaan telaga muncul sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas,
terbujur menelentang meng-
apung lurus, tangan terkembang ke samping, bergoyang-goyang dipermainkan alunan
air telaga. Rambutnya yang putih kini tampak merah, mengapung di atas air.
Pakaiannya selempang kain putih juga tampak merah.
Demikian pula janggut, kumis, kulit muka dan kulit tubuh.
Sepasang mata tertutup. Racun jahat bernama Racun Akar Bumi yang ditabur Eyang
Tuba Sejagat melalui dua ekor ular merah telah membuat dirinya mulai dari rambut
sampai ujung kaki menjadi berkeadaan mengenaskan
seperti itu. "Aku puas sekarang. Menyaksikan sendiri mayat Kiai Gede Tapa Pamungkas mengapung
di permukaan telaga!
Tamat sudah riwayat kehebatan rimba persilatan dari kawasan Puncak Gunung Gede
ini!" Eyang Tuba Sejagat sunggingkan seringai puas. Dia pegang bahu kedua
pembantunya. "Jarot, Ciung, saatnya kita tinggalkan tempat ini. Ada hadiah besar
dari Bendahara Wira Bumi menanti kita di kotaraja!"
Ketiga orang itu segera beranjak dari balik gugusan batu. Namun baru membalik
dan bergerak dua langkah tiba-tiba dari arah telaga di belakang mereka terdengar
suara air menyiprat keras. Ketika ketiganya berpaling, langsung saja mereka
berteriak kaget.
Sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas yang disangka telah menjadi mayat terapung
melesat di udara. Di lain kejap kakek sakti penghuni telaga itu telah berdiri di
depan mereka! Ciung Gluduk dan Jarot Kemukur langsung bersurut tiga langkah sementara Eyang
Tuba Sejagat tetap tidak
beranjak dari tempatnya berdiri namun berusaha keras menekan gejolak yang
mendebari dadanya.
Kiai Gede Tapa Pamungkas berdiri dalam keadaan
mata terpejam. Dua tangan lurus di samping. Rambut, kumis, janggut, kulit wajah
dan tangan kaki serta
pakaiannya berwana merah. Namun anehnya walau jelas tadi dia berada dalam
telaga, rambut, wajah, tubuh maupun pakaiannya sama sekali tidak basah!
Perlahan-lahan sepasang mata Kiai Gede Tapa
Pamungkas terbuka. Ternyata seluruh matanya juga telah berwarna merah! Bersamaan
dengan itu sang Kiai angkat kedua tangannya ke depan. Kejut Eyang Tuba Sejagat
dan dua pembantunya bukan alang kepalang ketika dua tangan itu berubah menjadi
dua ekor ular merah Tuba dan Tubi!
Didahului dengusan menggidikkan, dua ekor ular
meluncur ke arah Ciung Gluduk dan Jarot Kemukur. Dua pembantu Eyang Tuba Sejagat
ini hanya bisa keluarkan pekik setinggi langit ketika ular-ular merah itu
melesat mematuk leher mereka. Keduanya kelojotan beberapa
lama lalu tergeletak tak berkutik dengan sekujur tubuh berwarna merah mulai dari
rambut sampai ke kaki. Dua ekor ular merah meluncur turun dari tubuh kedua orang
itu, melata cepat di tanah dan menghilang dalam kegelapan.
Tampang tengkorak Eyang Tuba Sejagat tampak
berubah, terlebih ketika Kiai Gede Tapa Pamungkas
menatap ke arahnya dengan sepasang mata yang
keseluruhan berwarna merah.
"Wiku Caringin, bukan aku yang membunuh dua
pembantumu. Tapi sepasang ular peliharaanmu sendiri.
Semoga Tuhan mengampuni segala dosa mereka. Kau
beruntung binatang-binatang itu tidak menghabisimu."
Eyang Tuba Sejagat jadi terkejut ketika Kiai Gede Tapa Pamungkas menyebut nama
aslinya. Selama ini hanya dua tiga orang saja dalam rimba persilatan yang
mengetahui nama itu.
"Apalagi yang kau tunggu di tempat ini" Bukankah kau ingin cepat-cepat ke
kotaraja untuk mengambil hadiah yang telah dijanjikan Bendahara Kerajaan?"
Untuk beberapa lamanya Eyang Tuba Sejagat alias Wiku Caringin hanya bisa
terdiam, tak bisa keluarkan barang sepatah ucapan pun.
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum.
"Jika bertemu Bendahara Wira Bumi, sampaikan
salamku. Katakan padanya agar segera bertobat sebelum Tuhan menjatuhkan hukuman
atas dirinya. Dia harus
mencari istrinya. Bukan untuk dibunuh. Tapi untuk
disembuhkan dari segala penyakit jiwa tekanan batin."
Habis berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas
tekapkan tangan kanannya ke mulut. Lalu tangan kiri berkelebat mencekik batang
leher orang di hadapannya.
Begitu mulut Wiku Caringin terbuka, Kiai Gede Tapa Pamungkas turunkan tangannya
yang menekap mulut lalu tangan ini ditekapkan ke mulut orang. Saat itu juga
warna merah yang membungkus sekujur tubuh dan pakaian Kiai Gede Tapa Pamungkas
lenyap. Hek... hekkk...!
Eyang Tuba Sejagat keluarkan suara tercekik berulang kali ketika dia merasa dari
tangan sang Kiai ada cairan mengalir masuk ke dalam mulutnya. Dia berusaha
meronta tapi tubuhnya seperti kaku, tak bisa digerakkan. Saat itu juga sekujur
tubuh, mulai dari rambut sampai ke ujung kaki, termasuk pakaian hitam serta
kedua matanya berubah menjadi merah.
"Wiku Caringin. Kau telah membunuh dua naga
Wiro Sableng 144 Nyi Bodong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
peliharaanku. Sebagai balasan Racun Akar Bumi milikmu sendiri aku masukkan ke
dalam tubuhmu. Jika umurmu panjang kau masih punya kesempatan untuk menemui
Wira Bumi. Jika ajalmu sampai lebih dulu, bukan aku yang membunuhmu tapi racun
milikmu sendiri. Semoga Tuhan mengampuni dosa kesalahanmu. Pergilah..."
Sepasang mata Wiku Caringin yang cekung merah
menatap garang, tenggorokan turun naik mengeluarkan suara menggeram. Dadanya
seperti mau meledak. Dia
tidak takut mengadu jiwa dengan sang Kiai. Namun dia menyadari kalau keadaannya
saat itu sangat tidak
menguntungkan. Yang harus dilakukannya adalah segera mendapatkan obat pemunah
racun yang ada dalam
tubuhnya. Perlahan-lahan dia putar tubuh. Terbungkuk-bungkuk dan tercekik-cekik
melangkah pergi. Namun
langkahnya tertahan ketika satu bayangan hitam disertai menghamparnya bau pesing
berkelebat di depannya.
Menyusul tawa cekikikan.
"Tua bangka muka tengkorak. Pasti kau habis mandi
comberan tempat penampungan darah sapi potong. Hik...
hik... hik!"
Wiku Caringin angkat kepala. Begitu mengetahui siapa yang berdiri di depannya
langsung dia memaki, "Nenek keparat! Kau sama saja dengan gurumu! Aku bersumpah
membunuh kalian berdua!"
"Hik... hik! Mengurus nyawa sendiri tidak mampu. Mau mengurus nyawa orang lain!"
Orang yang dimaki perhatikan Wiku Caringin hingga akhirnya lenyap di kegelapan
lalu balikkan badan dan jatuhkan diri berlutut di hadapan Kiai Gede Tapa
Pamungkas. *** WIRO SABLENG NYI BODONG 7 IAI Gede Tapa Pamungkas tatap wajah tua berambut
putih jarang dengan lima tusuk konde menancap di
Kkulit kepalanya. "Sinto, bangunlah. Lupakan segala macam peradatan. Kadang-
kadang aku berpikir. Adalah aneh. Kita tinggal di puncak gunung yang sama. Tapi
bertemu hanya sekali seabad! Dari raut wajahmu, dari tubuhmu yang semakin
bungkuk, aku melihat kau datang membekal satu urusan disertai beban batin yang
cukup berat..."
Sinto Gendeng, nenek sakti guru Pendekar 212 yang
juga diam di kawasan puncak Gunung Gede menatap
dengan wajah seolah pasrah lalu berkata, "Kiai, saya memang murid yang tidak
tahu menerima budi. Sampai tua bangka begini masih belum bisa menyenangkan hati
Kiai..." "Sinto, aku tidak pernah minta kau atau muridku yang lain menyenangkan diriku
apa lagi membalas budi. Aku sudah sangat merasa senang jika melihat murid-
muridku bahagia."
Ucapan Kiai Gede Tapa Pamungkas itu sungguh dalam
jika Sinto gendeng mau mengartikan. Puluhan tahun hidup dia merasa belum
menemukan apa yang bernama
kebahagiaan itu. Dia tidak acuh apakah dirinya mau bahagia atau tidak. Namun
hati dan kecintaan seorang guru terkadang melebihi hati orang tua sendiri.
Bagaimana dia bisa membuat gurunya senang kalau dia pribadi belum tahu apa yang
dinamakan kebahagiaan" Kehidupan masa mudanya sampai tua renta begitu lebih
banyak duka daripada sukanya. Setelah terdiam sejurus dia pun
berkata, "Saya mengerti Kiai. Segala dosa karena kurang ajar terhadap Kiai
biarlah saya tanggung dunia akhirat."
Kiai Gede Tapa Pamungkas yang adalah guru Sinto
Gendeng tersenyum. Dia pegang bahu si nenek lalu
berkata, "Katakanlan tujuan kedatanganmu kemari..."
Sinto Gendeng memandang ke arah telaga. "Kiai, apa mungkin mata saya yang lamur.
Saya tidak melihat sawung tempat Kiai biasa sembahyang dan berdoa."
"Ada orang jahat menyuruh bakar bangunan itu..."
jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Makhluk jahanam bernama Wiku Caringin tadi?"
Sang Kiai menggeleng. "Sudahlah, tak perlu kita
bicarakan soal sawung itu. Nanti bisa aku buat yang baru.
Ceritakan saja maksud kedatanganmu, Sinto."
"Kalau Kiai tidak mau memberi tahu siapa yang berbuat jahat terhadap Kiai, saya
merasa sedih sekali." Ucap Sinto Gendeng. Sebagai murid sebenarnya setelah sang
guru berkata begitu dia tidak perlu mendesak. Tapi justru di sinilah watak Sinto
Gendeng yang selalu keras kepala. Tadi masih mending dia menunjukkan sifat
kerasnya itu dengan ucapan yang agak halus. "Kiai, saya mengerti sebelumnya
telah terjadi sesuatu di sini. Mohon Kiai mau memberi tahu. Apa gunanya ditutup-
tutupi?" Setelah menarik nafas panjang akhirnya Kiai Gede Tapa Pamungkas menceritakan
juga apa yang telah dialaminya.
Mulai dari pertemuan dan perkelahiannya dengan Nyai Tumbal Jiwo sampai dengan
dia membawa Nyi Retno
Mantili ke puncak Gunung Gede. Lalu kedatangan
Bendahara Wira Bumi bersama para pengawalnya di mana kemudian terjadi pembakaran
sawung disusul dengan
perkelahian yang tak bisa dielakkan. Akhir penuturan adalah munculnya Wiku
Caringin alias Eyang Tuba Sejagat bersama dua pembantunya.
"Kiai, saya sedih sekali mengetahui sepasang naga
merah peliharaan Kiai menemui ajal di tangan manusia keparat Wiku Caringin itu.
Kalau tadi-tadi saya tahu apa yang telah dilakukannya, tidak akan saya biarkan
dia pergi begitu saja. Kiai, semua apa yang Kiai ceritakan saya ingat baik-baik.
Mulai sekarang Kiai bertenang diri saja di puncak Gunung Gede ini..."
"Apa maksudmu dengan ucapan itu Sinto?" tanya Kiai Gede Tapa Pamungkas walau
sebenarnya dia sudah bisa menduga.
Sinto Gendeng tancapkan tongkat kayunya ke tanah
hingga amblas dan mengepulkan asap. Lima tusuk konde perak yang menancap di
batok kepalanya bergoyang-goyang. Mulut komat kamit memutar susur. Kiai Gede
Tapa Pamungkas tersenyum melihat kelakuan muridnya si
nenek berkulit hitam tinggi kurus itu. Sinto Gendeng gerakkan tangan kirinya
sedikit. Tongkat yang amblas menyembul dan melesat keluar dari dalam tanah.
"Kau memamerkan ilmu anak-anak itu padaku, Sinto?"
Ditegur seperti itu si nenek jadi kelam merah wajahnya tapi mulutnya tertawa
lebar. Dia pindahkan susur dalam mulut dari kiri ke kanan.
"Kiai, saya hanya ingin mengatakan. Kiai punya murid, seorang nenek butut bau
pesing bernama Sinto Gendeng ini! Tidak pantas Kiai bersusah payah mengurusi
manusia-manusia calon puntung neraka itu! Serahkan semua pada saya Kiai. Sudah
cukup lama juga saya mendekam di
puncak Gunung Gede. Kaki ini sudah gatal rasanya mau gentayangan. Kebetulan
sekali ada tugas dari Kiai..."
"Siapa yang memberikan tugas padamu, Sinto!?"
"Kiai memang belum memberikan. Tapi saya sudah
menerimanya!" jawab Sinto Gendeng lalu tertawa
cekikikan. Lagi-lagi sang Kiai hanya bisa menghela nafas panjang.
"Sekarang apakah kau tidak akan mengatakan maksud
kedatanganmu?"
"Maaf Kiai, tentu saja akan saya katakan. Masalah
besar yang tengah saya hadapi adalah hilangnya Kitab Seribu Pengobatan yang
berasal dari Kiai Bangkalan. Ada manusia setan serakah yang mencurinya. Saya
sudah menyelidiki. Saya juga sudah menyuruh Wiro mencari. Tapi sampai saat ini nihil
semua. Kalau kitab itu jatuh ke tangan manusia jahil dan disalahgunakan, rusak
rimba persilatan di tanah Jawa ini."
Kiai Gede Tapa Pamungkas tertawa. Lalu bertanya,
"Kapan kejadiannya kitab itu dicuri orang?"
"Sudah cukup lama. Rasanya sudah hampir sepuluh
purnama." Sang Kiai kembali tertawa. "Sebelumnya di mana kau simpan kitab itu?"
"Di gubuk saya, Kiai. Dalam sebuah peti kayu,
dipendam dalam tanah di bawah gentong air!"
menerangkan Sinto Gendeng.
"Kapan terakhir kali kau memeriksa tempat
penyimpanan kitab itu?"
"Sejak hilangnya saya tidak pernah memeriksa lagi.
Buat apa?"
"Jika nanti kau pulang ke pondokmu, cobalah periksa lagi tempat itu. Aku punya
dugaan kitab itu telah berada di tempatnya semula."
"Kiai berseloroh...!"
Kiai Gede Tapa Pamungkas menggeleng.
"Bagaimana mungkin Kiai. Kitab itu jelas-jelas lenyap dicuri orang. Sekarang
Kiai mengatakan telah berada di tempatnya semula."
"Seseorang secara diam-diam mengembalikan kitab itu ke tempatnya."
Sinto Gendeng terkejut.
"Kiai sungguh tidak bergurau?"
Sang guru menggeleng.
"Berarti orang yang mencurinya yang mengembalikan
kitab itu."
"Bukan. Ada seorang lain yang melakukan."
"Siapa Kiai?"
"Aku tidak bisa mengatakan."
"Lelaki atau perempuan?" Sinto Gendeng mencecar.
"Lelaki."
"Berarti Dewa Tuak yang mencuri kitab itu. Dulu saya memang sudah curiga. Dia
pasti mengembalikan setelah peristiwa hancurnya Seratus Tiga Belas Lorong
Kematian. Entah buat apa buku itu untuknya. Kalau dia terang-terang minta meminjamkan saya
tidak akan memberikan."
"Bukan Sinto, bukan Dewa Tuak yang mencuri ataupun mengembalikan kitab itu."
menerangkan Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Lalu siapa?"
"Aku tidak akan mengatakan. Karena bisa saja aku
salah menduga. Jadi biar kau atau muridmu nanti yang mencari tahu sendiri."
jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Kiai, kalau begitu izinkan saya minta diri. Saya ingin buru-buru kembali ke
pondok." "Tunggu dulu Sinto. Aku punya satu pesan untukmu.
Kalau kau bertemu dengan Wiro muridmu, suruh dia
datang ke sini."
Si nenek menatap wajah gurunya. Ini satu hal yang
tidak biasa karena selama ini sang Kiai tidak terlalu dekat dengan muridnya.
Tiba-tiba senyum menyeruak di mulut yang mengunyah susur itu.
"Kiai, apakah Kiai hendak memperkenalkannya dengan seorang gadis untuk
dijodohkan?"
Kiai Gede Tapa Pamungkas tertawa bergelak.
"Apa aku punya tampang seperti Mak Comblang?"
Sinto Gendeng tertawa cekikikan.
"Perlu apa anak setan itu disuruh ke sini, Kiai?" si nenek bertanya.
"Rimba persilatan semakin lama semakin banyak
perubahan. Segala macam ilmu kesaktian berkembang
sejalan dengan menghebatnya segala macam kejahatan.
Muridmu itu perlu dihindari dari segala marabahaya yang tidak diinginkan."
"Kalau Kiai punya niat seperti itu, saya sangat
berterima kasih. Jika bertemu anak setan itu pesan Kiai akan saya sampaikan.
Apakah saya perlu hadir pada
kedatangannya menghadapi Kiai?"
"Jika kau punya kesempatan sebaiknya kau hadir."
"Kiai, apakah saya boleh pergi sekarang?"
"Selama ini apa kau mendengar kabar tentang kakak
seperguruanmu Sukat Tandika?" (Sukat Tandika adalah nama asli dari Tua Gila)
Sinto Gendeng merasakan dadanya berdebar
mendengar pertanyaan sang Kiai. Perlahan-lahan dia gelengkan kepala.
"Heran, ke mana perginya anak satu itu" Apa sudah
lenyap ditelan bumi?"
"A... apakah Kiai juga punya pesan untuknya?" Suara si nenek bertanya agak
gagap. "Sudahlah, kau boleh pergi sekarang. Nanti seabad lagi baru muncul di sini!"
Sinto Gendeng tertawa cekikikan. Setelah berlutut di depan gurunya, nenek ini
segera berkelebat pergi. Kiai Gede Tapa Pamungkas melepas dengan pandangan mata.
Dalam hati dia berkata, "Apakah dia masih mencintai kakak seperguruannya itu?"
Orang tua ini usap janggut putihnya. "Sinto, kau akan terkejut kalau tahu siapa
adanya orang yang mengembalikan Kitab Seribu
Pengobatan itu ke pondokmu."
*** WALAU bisa membuka pintu pondok dengan tangan
namun karena tidak sabaran Sinto Gendeng tendangkan kaki kirinya hingga pintu
hancur berantakan, terpentang lebar. Begitu masuk ke dalam nenek ini berteriak
kaget. Di salah satu sudut ruangan berdiri seorang kakek berjubah putih, dua
tangan dirangkap di atas dada. Rambut jarang putih. Kumis dan janggut tak kalah
putih. Wajah yang cekung nyaris tak berdaging dihias sepasang mata lebar.
Dia berdiri sambil tersenyum pada Sinto Gendeng.
Melihat orang itu Sinto Gendeng teringat ucapan
gurunya. Langsung darah si nenek naik ke kepala. "Tua bangka Sukat Tandika!
Keparat jahanam! Jadi kau rupanya yang menyuruh mencuri kitab itu!"
Tanpa banyak menunggu lagi Sinto Gendeng menyerbu.
Dari mulutnya menggelegar teriakan aneh menggidikkan.
Kaki kanan menendang lurus ke dada kiri di arah jantung sementara tangan kanan
melancarkan satu pukulan
tangan kosong mengandung tenaga dalam luar biasa
tinggi. Lantai tanah bergetar, pondok kayu berderak keras.
"Sinto! Kau menyerang aku dengan jurus Naga
Meringkik Menjebol Gunung! Kau mau membunuhku"!"
Selama hidupnya Sinto Gendeng baru satu kali
mengeluarkan jurus dahsyat itu yakni sekitar empat puluh tahun silam ketika
menumpas seorang tokoh silat yang jadi bergundal golongan hitam. Jurus Naga
Meringkik Menjebol Gunung ini bahkan tidak pernah diajarkannya kepada Wiro
Sableng karena memang luar biasa dahsyat dan ganas!
Tidak heran kalau orang yang diserang dan mengenali jurus maut itu berseru
kaget. "Pencuri keparat! Aku ucapkan selamat jalan ke
akhirat!" teriak Sinto Gendeng tanpa perdulikan seruan orang.
"Sinto! Hentikan!" Teriak kakek berjubah putih yang memang adalah Tua Gila alias
Sukat Tandika dan bukan lain merupakan saudara seperguruan Sinto Gendeng
sendiri! Melihat si nenek tetap nekad meneruskan
serangan, Tua Gila tidak bisa berbuat lain kecuali selamatkan diri. Tubuh si
kakek dari kepala sampai ke kaki kelihatan kelojotan. Kaki merenggang, tangan
mengembang. Tiba-tiba tubuh itu melesat ke belakang melabrak dinding pondok,
lalu seperti membal mental ke kiri. Sinto Gendeng mendengus. "Tua Gila! Jurus
Orang Gila Mabuk tidak akan menyelamatkanmu dirimu dari kematian!"
Wuuttt! Wusss! Tendangan kaki kanan Sinto Gendeng berhasil
dielakkan Tua Gila. Tendangan itu lewat hanya setengah jengkal dari pinggul
kirinya. Akan halnya serangan berupa pukulan tangan kosong mengandung tenaga
dalam tinggi, walau dengan cara aneh masih sanggup dihindari si kakek namun
sapuan angin pukulan yang begitu dekat masih sempat menyapu bagian kanan dada
kekasih di masa
muda Sinto Gendeng itu!
Suara keluh kesakitan Tua Gila lenyap ditindih suara hancurnya dinding pondok.
Sinto Gendeng melesat keluar.
Terdengar suara berderak keras lalu pondok kayu itu roboh!
Di luar pondok yang roboh Sinto Gendeng berdiri
dengan tangan kanan berkacak pinggang, tangan kiri bersitekan pada tongkat
butut. Mata mendelik besar.
"Menyesal, mengapa terlalu cepat dia kubunuh!
Wiro Sableng 144 Nyi Bodong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seharusnya aku siksa lebih dulu!" berkata Sinto Gendeng dalam hati. Matanya
memperhatikan reruntuhan pondok miliknya sendiri. Mulut yang berisi susur
berkomat-kamit.
Dia merasa ada yang tidak beres. Si nenek tancapkan tongkat kayu ke tanah lalu
sambil memegang ujung
tongkat dia kerahkan tenaga dalam. Ketika dia membentak keras sambil hentakkan
kaki kanan ke tanah, di tanah kelihatan getaran keras bergerak ke arah depan.
Begitu getaran mencapai tumpukan runtuhan pondok kayu,
semua kepingan kayu dan papan serta hancuran
perabotan yang ada bermentalan ke udara.
"Lenyap! Ke mana perginya bangsat itu. Mengapa aku tidak melihat mayatnya?"
Kalau tadi menyangka Tua Gila berada di dalam timbunan reruntuhan pondok maka
kini Sinto Gendeng hanya melihat tanah rata!
Tiba-tiba di belakang si nenek terdengar suara orang berucap sayu perlahan,
"Sinto, kau menuduh aku mencuri kitab. Kitab apa" Kalau Kitab Seribu Pengobatan
yang kau maksud, apa kau lupa" Dulu aku yang menyerahkan kitab itu pada muridmu.
Muridmu kemudian menyerahkan
padamu. Aku mungkin sejahat-jahatnya manusia di muka bumi ini. Tapi seumur hidup
aku tidak pernah mencuri. Apa dosaku hingga kau ingin membunuhku" Apa ini ada
sangkut pautnya dengan kesalahanku di masa muda
terhadapmu" Ketika aku meninggalkan dirimu. Apakah kau masih menaruh dendam.
Padahal dalam pertemuan kita terakhir di telaga Gajahmungkur..." (Baca serial
Wiro Sableng dalam Episode Gerhana Di Gajahmungkur)
"Diam!"
Sinto Gendeng berteriak keras. Lalu balikkan badan.
Tangan kanan diangkat ke atas. Kejap itu juga tangan itu mulai dari siku sampai
ke ujung jari telah berubah warnanya laksana dibungkus perak berkilat,
menyilaukan. Tempat sekitar situ serta-merta dilanda hawa panas.
Pukulan Sinar Matahari! Jika yang melancarkan pukulan itu adalah pemiliknya
sendiri maka sulit ada kekuatan sehebat apapun bisa membendung! Sinto Gendeng
rupanya benar-benar sudah nekad hendak membunuh Tua Gila yang
dituduhnya sebagai pencuri kitab.
Di hadapan Sinto Gendeng, Tua Gila berdiri terbungkuk-bungkuk sambil pegangi
dada dengan tangan kiri. Mukanya tampak sangat pucat. Matanya yang lebar
setengah terpejam, menatap ke Sinto Gendeng. Dari sela bibir sebelah kiri mengucur darah
segar. Agaknya kakek ini mengalami luka dalam cukup parah akibat serangan Sinto
Gendeng tadi! Namun yang membuat Sinto Gendeng
terkesiap ialah sewaktu melihat dari dua mata Tua Gila yang setengah terpejam
itu mengalir jatuh air mata!
Entah mengapa nafsu untuk membunuh si nenek
perlahan-lahan mengendur. Dia turunkan tangan
kanannya. Tangan yang tadi berwarna seperti perak itu sedikit demi sedikit
kembali ke bentuk semula.
"Setan! Jangan cengeng!" teriak Sinto Gendeng. Lalu dia balikkan diri dan lari
ke arah reruntuhan pondok. Dan berdiri di tanah, tepat di mana sebelumnya
terletak sebuah gentong besar menyimpan air. Gentong itu telah hancur berantakan
dan airnya membuat becek lantai pondok.
Sinto Gendeng tancapkan tokat kayunya ke tanah lalu jatuhkan diri, berlutut.
Dengan dua tangan telanjang nenek ini mulai menggali tanah becek tempat dibekas
mana sebelumnya terletak gentong tanah. Tak terlalu dalam menggali tersembullah
sebuah peti terbuat dari kayu besi berwarna hitam.
Darah Sinto Gendeng berdebar keras ketika dia
mengangkat peti kayu itu dari dalam lobang yang digalinya.
Peti diletakkan di tanah. Perlahan-lahan dengan jari-jari tangan gemetar si
nenek membuka penutup peti.
Sepasang mata membeliak. Mulut menganga hingga susur jatuh ke tanah. Tubuh jatuh
terduduk di tanah. Dua tangan diulurkan mengambil sebuah kitab tebal terbuat
dari daun lontar kering yang pada kulit depannya tertera tulisan berbunyi "Kitab
Seribu Pengobatan."
Sinto Gendeng dekapkan kitab tebal itu ke dada. Dua matanya tampak berkaca-kaca.
Tidak mau larut oleh
perasaan si nenek segera masukkan kitab ke balik pakaian sebelah kiri. Lalu dari
balik pakaian sebelah kanan dia keluarkan sebuah benda yang ternyata adalah juga
sebuah kitab daun lontar yang bagian depannya ada tulisan "Kitab Seribu
Pengobatan." Kitab ini dimasukkan ke dalam peti kayu besi hitam, lalu diturunkan
ke dalam lobang dan ditimbun dengan tanah.
"Terima kasih Gusti Allah. Engkau akhirnya menolong pengembalian kitab ini
padaku. Terima kasih Kiai Gede Tapa Pamungkas. Engkau telah memberi petunjuk
hingga kitab ini aku dapat kembali."
Perlahan-lahan si nenek berdiri. Cabut tongkatnya dari tanah dan memutar tubuh.
Dia ingat pada Tua Gila. Namun ketika dicari, kakek itu tidak ada lagi di
tempatnya semula.
Lama Sinto Gendeng termenung. Kitab Seribu
Pengobatan sudah didapat. Justru mengapa kini pikirannya jadi kacau dan hatinya
tidak enak. Apakah dia menyesal telah menciderai Tua Gila" Apakah kini dia punya
perasaan bahwa mungkin benar bukan Tua Gila yang mencuri kitab itu" "Tidak bisa
jadi. Tidak ada orang lain. Semua sesuai petunjuk Kiai. Orang yang mengembalikan
kitab itu seorang laki-laki. Bukan Dewa Tuak. Pasti sudah dia bangsat pencurinya! Kalau
bukan dia siapa lagi" Terakhir sekali dia pergi dengan gendaknya si Sabai Nan
Rancak itu ke Gunung Kerinci di pulau Andalas. Mungkin perempuan itu yang
menyuruhnya mencuri kitab. Tapi aneh juga.
Mengapa sekarang dia mengembalikan" Mungkin
mengembalikan kitab palsu dan menyembunyikan yang
Naga Dari Selatan 17 Pendekar Naga Putih 79 Tongkat Delapan Naga Pusara Keramat 2