Pencarian

Nyi Bodong 3

Wiro Sableng 144 Nyi Bodong Bagian 3


asli?" Perasaan dan dugaan ini muncul di hati si nenek karena sebelumnya dia
telah menempatkan kitab palsu Seribu Ilmu Pengobatan di dalam peti kayu besi
hitam, walau maksudnya adalah untuk menipu orang jahat yang inginkan kitab itu.
Sinto Gendeng buru-buru keluarkan Kitab Seribu
Pengobatan dari balik baju hitamnya. Buku diteliti dari setiap sudut, dibolak
balik dan setiap halaman dipelototi, dibalik halaman demi halaman.
"Asli! Kitab ini benar-benar asli!" Ucap Sinto Gendeng dengan perasaan lega.
Sebelum sempat dia memasukkan kitab itu kembali ke balik bajunya tiba-tiba di
tempat itu meledak tawa cekikikan.
"Nenek Sinto, dalam catatan di kitab bersamamu itu, apakah banyak orang yang
masih belum membayar hutang padamu?"
"Setan alas! Siapa berani bermulut konyol di
hadapanku!" Sinto Gendeng membentak marah dan
angkat kepala, memandang ke depan. Tak kelihatan siapa-siapa. Mendongak ke atas
pohon di seberang sana si nenek kerenyitkan kening yang tinggal kulit pembalut
tulang. "Hik... hik...! Mohon maafmu, Nek. Tadinya aku mengira kau sedang meneliti kitab
hutang piutang. Hik... hik... hik...!
Nek, apa kau sadar kalau kau punya satu hutang besar padaku"!"
*** WIRO SABLENG NYI BODONG 8 INTO Gendeng menggembor marah. Dua matanya
yang cekung seperti mau melompat keluar dari
Srongganya. Melihat sikap si nenek perempuan
berpakaian biru gelap yang duduk berjuntai uncang-uncang kaki di dahan pohon
besar kembali tertawa. Tangan kirinya menggoyang-goyang sebuah kendi tanah
berisi minuman menebar bau keras.
"Perempuan di atas pohon! Kalau tidak sedeng kau
pasti sinting! Memangnya aku punya hutang besar apa padamu?"
Orang yang dihardik tertawa cekikikan. Sinto Gendeng cepat-cepat masukkan Kitab
Seribu Pengobatan ke balik bajunya.
"Perempuan setan! Siapa kau"!" Sinto Gendeng
membentak. Sekali melompat laksana terbang tubuhnya melesat ke atas pohon dan
berdiri di atas dahan, terpisah satu langkah dari perempuan muda yang telah
lebih dulu duduk di dahan itu. Sigap dan cepat sekali tahu-tahu ujung tongkat di
tangan kiri si nenek telah menempel di kening perempuan di hadapannya.
"Bicara yang betul! Atau kubuat bolong jidatmu!"
Orang yang diancam tertawa cengengesan.
"Aduh galaknya! Nek, apa kau sudah lupa padaku?"
"Setan, aku bertanya siapa kau adanya! Mengapa tidak memberi tahu" Malah balik
bertanya! Dasar perempuan setan sialan!"
Sambil memaki Sinto Gendeng perhatikan perempuan
yang duduk di dahan pohon mulai dari rambut sampai ke kaki. Berpakaian biru
pekat, berkulit putih. Di tangan kiri memegang sebuah kendi kecil. Lima kendi
tergantung di pinggang.
"Perempuan setan! Aku rasa-rasa mengenali dirimu!
Bukankah kau perawan centil bernama Wulan Srindi yang dulu pernah mengaku
sebagai murid Dewa Tuak. Dulu kau hitam jelek, kenapa sekarang jadi putih" Kau
mandi lulur kapur di mana"! Hik... hik... hik...!" Dalam marahnya Sinto Gendeng
masih bisa mengejek mempermainkan orang.
"Nenek Sinto, terima kasih kau masih mengenali diriku!
Hanya saja ada dua hal yang kau keliru. Namaku tidak lagi Wulan Srindi. Orang-
orang menyebutku Nyi Bodong. Lalu, aku sudah tidak perawan lagi! Aku sedang
mengandung muda. Dan anak yang kukandung adalah cucumu sendiri.
Karena ayahnya adalah muridmu Pendekar 212 Wiro
Sableng!" Kejut Sinto Gendeng laksana disambar petir,
"Perempuan setan! Mulutmu sudah sangat keterlaluan!
Aku tidak perduli kau mengandung atau bunting atau apa.
Aku ingin kau mampus saat ini juga!"
Sinto Gendeng tusukkan tongkat kayu di tangan kiri ke kening perempuan yang
mengaku bernama Nyi Bodong.
Tusukan itu datangnya cepat sekali. Namun dalam gerakan yang jauh lebih cepat
Nyi Bodong berhasil selamatkan diri dengan miringkan kepala.
Wuutt! Tusukan tongkat hanya menyambar pinggiran rambut.
Nyi Bodong berayun berputar di dahan pohon.
"Nek, tega sekali! Apa kau gila mau membunuh mantu sendiri"!"
Nyi Bodong melesat turun ke tanah. Hanya sekejapan mata saja Sinto Gendeng sudah
menyusul turun dan kedua orang itu kini berhadap-hadapan dalam jarak tiga
langkah! "Nek, seperti kataku tadi kau punya satu hutang besar padaku! Aku sudah
mengandung. Aku perlu tanda bukti perjodohan dan perkawinanku dengan Wiro. Sebut
saja mas kawin! Apa saja! Aku tidak meminta yang sudah-sudah, tidak menginginkan
yang mahal-mahal!"
"Perempuan setan! Kau minta mas kawin! Ini aku
berikan! Terimalah!"
Habis memaki begitu Sinto Gendeng hantamkan tangan kanannya dalam jurus Kepala
Naga Menyusup Awan.
Jotosan tangan kanan ini laksana kilat menyambar ke kepala Wulan Srindi alias
Nyi Bodong. Seperti tadi, Nyi Bodong membuat gerakan luar biasa cepat untuk
selamatkan kepalanya dari pukulan lawan. Kali ini dengan cara merunduk. Begitu
kepalanya selamat, dari bawah tangan kanannya meluncur ke atas, menggelitik
ketiak si nenek. Karuan saja Sinto Gendeng jadi terpekik kegelian sampai
terkencing dan tentu saja marah besar!
"Perempuan setan! Umurmu cukup sampai di sini!"
Tidak pernah Sinto Gendeng disabung kemarahan begini rupa. Sepasang matanya yang
cekung membeliak besar lalu berubah menjadi kebiruan. Nyi Bodong tersentak
kaget. Dia tahu ilmu kesaktian apa yang hendak
dikeluarkan si nenek. Dia sadar tidak bakalan bisa menyelamatkan selembar
nyawanya kalau Sinto Gendeng benar-benar menghantam dirinya dengan ilmu
kesaktian itu. "Nenek Sinto, ampun Nek. Maafkan diriku! Aku tidak bermaksud
kurang ajar padamu! Aku mohon diri!"
Glukk... glukk!
Seruan Nyi Bodong disusul dengan suara orang
meneguk lahap minuman. Lalu, wuusss! Cairan bau
menyengat bertabur ke arah wajah Sinto Gendeng.
Pemandangannya tertutup. Tapi dia tetap nekad
melancarkan serangan.
"Perempuan setan! Kau mau lari ke mana"!"
Dari dua mata Sinto Gendeng melesat keluar dua larik sinar biru, angker
menggidikkan. Inilah serangan maut yang disebut Sepasang Sinar Inti Roh. Dalam
hidupnya jarang sekali si nenek mengeluarkan ilmu kesaktian ini. Ini adalah ilmu
kedua yang tidak pernah diajarkannya kepada Wiro Sableng setelah jurus serangan
Naga Meringkik Menjebol Gunung. Jika sekarang dia menyerang Nyi Bodong dengan
ilmu kesaktian tersebut, jelas bahwa dia benar-benar ingin membunuh perempuan
itu! Namun Nyi Bodong berlaku cerdik, dia mendahului menyerang dan sekaligus
membentengi diri dengan semburan minuman keras. Kalaupun si nenek tetap
melancarkan serangan maka serangan tidak akan mengenai sasaran karena
pandangannya tertutup. Salah-salah malah semburan
minuman keras akan menciderai berat muka si nenek.
"Perempuan setan! Kau berani mengadu jiwa!" teriak Sinto Gendeng. Nyatanya dua
sinar biru yang berkiblat ganas hanya menghantam udara kosong lalu menghajar
pohon besar di depan sana.
Wusss! Pohon besar tenggelam dalam cahaya biru
menggidikkan. Asap mengepul. Ketika asap sirna pohon itu hanya tinggal sosok
hangus berwarna biru, lalu perlahan-lahan berderak runtuh menjadi ribuan keping.
Kepingan-kepingan ini kemudian berubah menjadi debu! Sinto
Gendeng berteriak marah ketika dia tidak melihat sosok mayat Nyi Bodong di
antara tebaran debu!
Dia berkelebat kian kemari. Namun tetap tidak
menemukan tanda-tanda kematian Nyi Bodong.
"Perempuan setan! Benar-benar setan!"
Baru saja si nenek memaki, di kejauhan tiba-tiba
terdengar suara orang berseru.
"Nenek Sinto aku mohon maafmu. Aku telah mengambil satu dari lima tusuk konde
perak di kepalamu! Tusuk konde ini akan aku jadikan sebagai tanda mas kawin
perkawinanku dengan muridmu! Sekarang aku tidak sirih lagi ke mana-mana membawa
jabang bayinya Wiro."
"Setan!" Sinto Gendeng kembali memaki. Kali ini sambil meraba kepalanya.
Ternyata lima tusuk konde perak yang menancap di kepalanya kini hanya tinggal
empat! Si nenek jadi banting-banting kaki saking marahnya! Lalu terduduk di
tanah dengan tubuh gemetaran.
"Perempuan setan itu! Apa benar dia Wulan Srindi!
Kulitnya berubah. Ilmu kesaktiannya... Dari mana
didapatnya" Membawa enam guci minuman keras. Apa
betul dia sudah jadi murid Dewa Tuak" Hidungku mencium minuman keras yang
disemburkannya memang
menyengat. Tapi tidak seharum Tuak Kayangan milik Dewa Tuak! Heran, bagaimana
betina jahanam itu enak saja mengatakan dirinya mengandung jabang bayi Wiro"
Edan! Apa anak setan itu tanpa setahuku memang sudah kawin dengan si centil keparat
itu"! Tertipu kena dirayu perempuan genit itu" Jadi selama ini bukan Kitab
Seribu Pengobatan yang dicarinya. Tapi dia mencari kitab-kitaban di bawah
pusar!" Sinto Gendeng memaki panjang pendek lalu meraba lagi tusuk konde yang
menancap di batok kepalanya. "Sialan! Dia mencuri satu tusuk konde milikku.
Aku harus dapatkan tusuk konde itu kembali! Agaknya aku harus turun gunung
mencari murid setan itu! Aku tak yakin kalau dia kawin begitu saja seperti
kawinnya ayam. Tapi kalau memang perempuan setan itu mengaku sudah
dibuntinginya"! Akan aku patahkan batang lehernya yang di atas dan di bawah!
Biar dia tahu rasa!"
Untuk beberapa lama Sinto Gendeng masih terduduk di tanah. Dia merasa kecewa
pada dirinya sendiri. "Wulan Srindi. Nyi Bodong! Siapapun nama setan perempuan
itu! Anak bau kencing yang baru lahir kemarin! Aku tidak sanggup menghajarnya! Apa
diriku sudah begini rongsokan hingga ilmu silat dan kesaktianku tidak lagi dapat
diandalkan" Melawan anak sinting saja aku tidak mampu!"
Dengan bersitekan pada tongkat kayu, perlahan-lahan Sinto Gendeng bangkit
berdiri. Namun nenek ini tidak segera tinggalkan tempat itu. Dalam pengaruh
amarah yang luar biasa otaknya masih terus berpikir.
"Kalau aku pergi ke mana aku harus menuju" Siapa
yang akan aku cari lebih dulu" Mencari anak setan murid keparat itu atau
menjejaki setan perempuan tadi. Aku tahu di mana sarangnya. Dia adalah murid
satu perguruan silat di Gunung Lawu. Apa aku harus mengobrak abrik
perguruan itu" Mungkin lebih baik aku mencari Dewa Tuak lebih dulu untuk minta
keterangan lebih jelas" Kakek sialan itu harus ikut bertanggung jawab atas apa
yang telah terjadi! Lalu bagaimana dengan si Tua Gila yang telah mencuri dan
mengembalikan kitab" Dia tak bakal bisa kabur jauh. Aku akan segera menemuinya!"
Sinto Gendeng menatap ke arah bekas pondok
kediamannya yang kini telah rata. Wajahnya yang tak berdaging, hanya tertutup
kulit keriput hitam tampak sedih.
"Aku tidak punya rumah lagi. Mungkin ini satu petunjuk aku harus gentayangan
lagi dalam rimba persilatan. Aku pikir-pikir dulu banyak urusan yang masih
malang melintang.
Dengan kejadian ini pekerjaanku jadi tambah berat dan banyak. Sial, mengapa aku
harus menghadapi urusan
kapiran begini rupa"! Tua bangka bau tanah begini
seharusnya aku hidup tenang menunggu saat kematian!"
Si nenek ingat sesuatu. Susur yang tadi tersembur dari mulutnya. Susur ini
ditemuinya di tanah. Enak saja, tanpa membersihkan lebih dulu, susur yang kotor
bercampur tanah itu dimasukkan ke dalam mulut. Lalu dengan mulut terkempot-
kempot, dengan langkah terseok-seok Sinto Gendeng tinggalkan tempat itu. Di satu
tempat dia berhenti. Ingat sesuatu. "Kiai Gede Tapa Pamungkas. Apa aku harus menemuinya
sebelum pergi?" Si nenek bimbang.
"Eh, bukankah Kiai meminta aku menyuruh murid setan itu menghadap menemuinya"
Aku tak ingin menggerecoki
Kiai. Aahh... agaknya Kiai sudah tahu apa yang telah terjadi dengan anak setan
itu! Jangan-jangan memang benar dia sudah membuntingi perempuan setan itu!" Si
nenek pukul-pukul jidatnya sendiri lalu tiba-tiba saja dia tertawa cekikikan.
"Aku Sinto Gendeng sudah punya mantu! Bakal punya
cucu! Edan! Gelo! Apa rimba persilatan tidak heboh"! Hik...
hik... hik!" Sambil melangkah pergi dia kembali memukul kening. Di satu tempat
dia berkelebat. Dan lenyaplah nenek sakti ini dari pemandangan.
*** WIRO SABLENG NYI BODONG 9 EWAT tengah malam gedung besar kediaman
Bendahara Kerajaan tampak masih terang benderang
Lwalau diselimuti kesunyian. Di pintu gerbang ada dua pengawal berjaga-jaga. Di
dalam sebuah kamar besar yang hanya diterangi temaram cahaya sebuah lampu minyak
kecil, Wira Bumi duduk bersila di lantai di atas sehelai kain putih berbentuk
segi tiga, menghadap ke arah matahari terbenam. Ketika dia baru mulai bersemedi
mendadak ada ketukan di pintu kamar. Walau kesal karena merasa
sangat terganggu namun Wira Bumi berdiri juga lalu melangkah membuka pintu.
Di hadapannya berdiri seorang lelaki tinggi besar
berkumis melintang bermata belok. Dia adalah kepala pengawal gedung Bendahara.
"Danang Kaliwarda, ada apa?"
"Mohon maaf Raden Mas karena berani mengganggu.
Ada seorang tamu menunggu di halaman belakang.
Sebelumnya saya pernah melihat orang itu datang ke sini dan bicara dengan Raden
Mas. Namun kali ini ada
keanehan pada dirinya. Seluruh tubuh dan pakaian mulai dari rambut sampai ke
kaki berwarna merah."
"Dia menyebut nama?"
"Tidak, Raden. Dia hanya berkata agar memberi tahu Raden Mas bahwa dia datang
untuk urusan di Gunung
Gede." Wira Bumi terdiam sejenak. Sesaat kemudian dia
berkata. "Padamkan semua lampu di halaman belakang gedung. Kau tak usah lagi
menemui tamu itu. Pergilah berjaga-jaga di halaman depan."
Danang Kaliwarda, kepala pengawal gedung Bendahara memberi hormat lalu cepat-
cepat berlalu. Wira Bumi menunggu beberapa ketika kemudian melangkah cepat
menuju halaman belakang gedung. Ketika dia sampai, halaman belakang sudah berada
dalam keadaan gelap.
Satu-satunya penerangan hanyalah saputan cahaya putih dari langit yang jernih
ditaburi bintang. Di pojok tembok halaman belakang sebelah kanan, dekat sebuah
patung besar Dewi Sri, berdiri terbungkuk-bungkuk seorang lelaki bertubuh tinggi
kurus. Tangannya memegangi dada.
Nafasnya terdengar sengal. Wira Bumi segera menghampiri orang ini.
"Eyang Tuba Sejagat, bukankah aku sudah berpesan
tak ada pertemuan kedua di antara kita di gedung ini"
Sesuai perjanjian aku akan menemuimu di satu tempat di tepi Kali Opak dua hari
di muka. Mengapa..."
Wira Bumi tidak meneruskan ucapannya. Saat itu dia baru menyadari kalau sekujur
tubuh termasuk pakaian orang yang berdiri di hadapannya berwarna merah.
"Eyang, apa yang terjadi dengan dirimu" Kulit muka, tubuh dan pakaianmu berwarna
merah. Apakah kau telah melaksanakan tugas yang..."
Sang tamu yang datang di larut malam ke gedung
Bendahara Kerajaan itu bukan lain memang adalah Eyang Tuba Sejagat. Yang
beberapa waktu lalu meracuni telaga di puncak Gunung Gede tempat kediaman Kiai
Gede Tapa Pamungkas. Mulutnya terbuka, batuk-batuk beberapa kali dan ludah bercampur darah
meleleh di sudut bibir sebelah kiri. "Eyang! Siapa yang mencelakaimu"!" Wira
Bumi pegang bahu kiri kanan Eyang Tuba Sejagat.


Wiro Sableng 144 Nyi Bodong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku memang sampai ke puncak Gunung Gede,
membunuh dua naga penghuni telaga. Namun aku tidak berhasil menamatkan riwayat
Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Dua pembantuku tewas. Kakek sakti itu malah
memasukkan Racun Akar Bumi ke dalam tubuhku. Kau
lihat sendiri, sekujur tubuhku berwarna merah. Aku tak bisa menunggu sampai dua
hari di muka. Itu sebabnya aku terpaksa menemuimu malam ini. Aku akan menemui
seorang tabib untuk minta obat peluntur racun. Obat itu mahal sekali. Aku perlu
biaya. Kalau aku sudah sembuh aku akan melaksanakan tugas berikutnya. Menghabisi
Patih Sawung Giring."
Eyang Tuba Sejagat kembali batuk-batuk. Darah kental berbuku-buku berhamburan
dari mulutnya. "Eyang, kau tunggu di sini. Aku akan mengambil uang kebutuhan pengobatanmu..."
Kata Wira Bumi.
"Aku menunggu. Cepatlah. Aku sudah tidak tahan..."
Wira Bumi memutar badan, baru berjalan tiga langkah dia berubah pikiran dan
kembali menemui Eyang Tuba Sejagat.
"Ada apa?" tanya ahli racun berusia lebih enam puluh tahun itu.
"Eyang, rencanaku berubah."
"Maksudmu?" tanya Eyang Tuba Sejagat.
Wira Bumi tidak menjawab. Namun di dalam gelap
tangan kanannya bergerak luar biasa cepat. Eyang Tuba Sejagat hanya melihat
gerakan bahu lalu suara angin berdesir dan, praakk! Tubuh Eyang Tuba Sejagat
tersandar ke tembok halaman belakang, lalu ambruk tergelimpang di samping patung
Dewi Sri. Kepalanya rengkah! Wira Bumi telah menghajar batok kepala Eyang Tuba
Sejagat dengan pukulan Tangan Roh Memberi Rahmat yang didapatnya dari Nyai
Tumbal Jiwo. Tanpa diketahui, seseorang yang bersembunyi tak jauh dari tempat itu mendengar
semua pembicaraan dan
melihat apa yang terjadi.
*** WIRA Bumi memanggil Danang Kaliwarda. Kepala
Pengawal ini diperintahkan untuk membuang mayat Eyang Tuba Sejagat lalu cepat-
cepat masuk ke dalam gedung.
Di dalam kamar yang temaram Wira Bumi kembali
duduk bersila di atas kain putih berbentuk segi tiga.
Namun perasaannya kacau, hatinya tidak enak. Dia tidak bisa memusatkan pikiran
untuk mulai bersemedi.
Bendahara Kerajaan ini tersentak kaget ketika dari sudut kamar mendadak ada
suara tawa halus disusul
ucapan. "Wira Bumi, ketika hati sedang gundah dan pikiran
sedang kacau yang kau butuhkan bukanlah semedi. Tapi hiburan..."
Saat itu pula secara aneh beberapa lampu minyak yang ada dalam kamar menyala
hidup sehingga kamar besar itu menjadi terang benderang. Memandang ke sudut
kamar sebelah, Wira Bumi melihat satu sosok serba merah tegak berdiri sambil
lemparkan senyum ke arahnya.
"Nyai Tumbal Jiwo!" ucap Wira Bumi dengan suara
keras bergetar. Lalu dia bergerak bangun.
Yang tegak di sudut kamar besar itu memang adalah
Nyai Tumbal Jiwo, guru Wira Bumi dari alam roh! Seorang nenek berpakaian
selempang kain merah, memiliki rambut merah riap-riapan. Muka keriput, sepasang
mata, gigi dan lidah semua berwarna merah!
"Nyai, kalau kedatanganmu untuk menagih janji, mohon ampun dan maafmu. Aku masih
belum dapat melaksanakan perintah. Nyi Rento Mantili dan puterinya masih belum ditemukan."
Si nenek tertawa lebar mendengar kata-kata Wira Bumi.
"Tanah Jawa ini sangat luas. Memang tidak mudah
mencari dua orang yang barusan kau katakan itu. Aku tahu kau telah berusaha.
Lagi pula kedatanganku kemari belum untuk menagih janji. Seperti kataku tadi,
kau butuh hiburan!"
Air muka Wira Bumi mengelam merah. Jantungnya
berdebar. Tengkuknya langsung dingin. Dia tahu apa yang dimaksudkan nenek muka
merah itu dengan kata hiburan.
Selesai berucap nenek dari alam roh ini berjalan ke arah ranjang besar. Sambil
melangkah dia gerakkan bahu dan pinggul. Pakaiannya yang berupa selempang kain
merah jatuh ke lantai. Dalam keadaan tubuh bugil si nenek naik ke atas ranjang.
Begitu dia merebahkan diri di atas tempat tidur, maka wajah dan sosok si nenek
berubah menjadi seorang perempuan muda cantik jelita berkulit mulus. Hanya saja
payudaranya sebelah kiri kelihatan menggembung sangat besar dibanding dengan
yang sebelah kanan. Ini adalah akibat dari perkelahiannya dengan Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Secara tak sengaja sentuhan tangan kakek sakti dari Gunung Gede itu
telah membuat bengkak payudara sebelah kiri si nenek.
"Wira, aku sangat rindu akan kehangatan tubuhmu.
Apakah malam ini sampai menjelang pagi kita bisa saling melayani?"
Ini adalah kali ke dua Nyai Tumbal Jiwo merubah ujud dirinya. Kali pertama
terjadi sewaktu Wira Bumi hendak meninggalkan Goa Girijati. Wira Bumi tak kuasa untuk menolak karena gelora nafsu membakar
dirinya. Sekarang kejadian itu agaknya akan terulang lagi. Tubuh Wira Bumi
memanas. Ketika Nyai Tumbal Jiwo pejamkan mata dan ulurkan lidahnya yang basah
merah, lelaki ini tak tahan lagi. Dia segera pula menanggalkan seluruh pakaian
lalu naik ke atas ranjang, masuk ke dalam peluk rangkul dua tangan dan dua kaki
si nenek yang telah berubah ujud menjadi perempuan cantik jelita.
*** HARI masih gelap namun lapat-lapat di kejauhan
terdengar kokok ayam. Nyai Tumbal Jiwo yang terbaring di atas tubuh Wira Bumi
menggeliat. Mulutnya berbisik. "Pagi segera datang. Aku harus segera kembali ke
pekuburan. Malam ini kau hebat sekali Wira. Aku sudah menyiapkan satu hadiah untukmu..."
"Nyai, kau tak usah melakukan hal itu. Kau tak perlu memberikan apa-apa pada
saya," kata Wira Bumi pula sambil tangannya melingkar di atas punggung Nyai
Tumbal Jiwo. "Kau sudah memberi banyak pada saya. Ilmu
kesaktian. Jabatan kedudukan. Harta..."
Si nenek yang masih dalam ujud perempuan muda
cantik jelita tersenyum. "Hadiah yang aku berikan padamu bukan berupa barang
atau benda berharga. Tapi seorang anak manusia yang aku totok dan jepit di
antara pohon bambu di luar tembok gedung sebelah selatan."
"Siapa?" tanya Wira Bumi terkejut.
"Kau lihat saja nanti. Kau bisa menanyai orang itu.
Mengorek keterangan. Setelah itu kau harus mengorek jantungnya. Kau
mengerti...?"
Wira Bumi mengangguk. Si nenek perlahan-lahan turun dari atas ranjang, mengambil
pakaiannya. Lalu masih dalam keadaan bugil dia membuka jendela dan melesat
lenyap keluar kamar. Wira Bumi mencoba bangun. Namun sekujur tubuhnya terasa
sangat letih. Dia terbaring kembali. Hampir matanya terpicing tiba-tiba dia
ingat keterangan Nyai Tumbal Jiwo tentang seorang yang ditotok dan dijepit di
antara pohon bambu. Serta merta Wira Bumi turun dari ranjang, kenakan pakaian
lalu pergi ke bagian selatan tembok gedung.
Di kawasan itu memang banyak tumbuh pohon-pohon
bambu mulai dari yang kecil sampai yang besar dan tinggi.
Di salah satu rumpunan pohon bambu, dia melihat sesosok tubuh dalam keadaan tak
bergerak, terjepit di antara empat batang bambu besar. Walau sebelumnya dia
menyangka yang ada di tempat itu adalah Nyi Retno
Mantili, meski kecewa namun ketika didekati tetap saja membuat Wira Bumi
terkejut. Walau keadaan masih gelap dia masih bisa mengenali siapa adanya orang
itu. "Djaka Tua!" katanya setengah berseru. Wira Bumi
lepaskan totokan di tubuh bekas pembantunya sewaktu dia masih menjabat sebagai
tumenggung dulu. Namun dia tetap membiarkan lelaki berusia lima puluh tahun itu
terjepit di antara empat batang bambu besar. Satu hal atau perubahan yang segera
dilihat Wira Bumi atas diri Djaka Tua adalah bahwa lelaki itu tidak lagi
memiliki punuk di punggungnya. Wira Bumi usap punggung Djaka Tua.
"Agaknya banyak kejadian luar biasa yang telah kau alami."
Djaka Tua tidak menjawab hanya sepasang matanya
memperhatikan dengan perasaan takut.
"Kau menculik puteriku, mencuri golok besar milikku.
Kau tidak melaksanakan tugas yang kuperintahkan! Pantas sekali kalau saat ini
kau kuhabisi! Manusia keparat tidak tahu menerima budi!" Wira Bumi hantamkan
satu jotosan ke muka Djaka Tua. Walau pukulan ini tidak mengandung tenaga dalam
namun tetap saja hidung dan bibir Djaka Tua luka berdarah.
"Tumenggung..." Djaka Tua mengira kalau bekas
majikannya itu masih menjabat sebagai tumenggung.
"Saya mohon kasihanmu. Ampuni selembar jiwa saya. Saya memang tidak sanggup,
tidak tega membunuh bayi tak berdosa itu. Saya..."
Wira Bumi jambak rambut Djaka Tua.
"Jangan menyebut segala macam dosa! Kau bawa ke
mana bayi itu" Di mana puteriku sekarang"!" bentak Wira Bumi.
"Ampun Tumenggung. Malam itu ketika saya berada
dalam sebuah goa tiba-tiba muncul seorang kakek tinggi putih. Dia memaksa agar
saya menyerahkan bayi. Saya tidak berdaya... Bayi saya serahkan..."
"Kau tahu siapa adanya kakek itu?"
Djaka Tua menggeleng. Wira Bumi hantamkan lagi satu jotosan ke muka lelaki ini.
Djaka Tua meratap kesakitan.
"Di mana kau sembunyikan golok besar yang seharusnya kau pergunakan untuk
menghabisi bayi dan istriku"!"
"Saya... Golok itu juga diminta oleh kakek tinggi putih.
Saya..." "Kau tahu di mana beradanya puteriku dan Nyi Retno Mantili?"
"Tidak, saya tidak tahu. Saya..."
"Apakah kakek tinggi putih itu yang melenyapkan punuk di punggungmu?"
"Betul Tumenggung, dia..."
"Jabatanku sekarang adalah bendahara kerajaan!
Bukan tumenggung lagi!" hardik Wira Bumi.
"Ampun Raden... Ampun tum... Bendahara kerajaan..."
"Keparat! Tutup mulutmu untuk selama-lamanya!"
Tangan kanan Wira Bumi melesat ke leher Djaka Tua.
Lidah pembantu ini sampai terjulur dan sepasang matanya mendelik. Sesaat lagi
tulang leher itu akan remuk dan nyawa Djaka Tua siap putus tiba-tiba terdengar
seruan. "Kemuning! Ada orang jahat mau membunuh orang tak
berdaya. Menurutmu apakah kita pantas menolong"!"
Menyusul terdengar suara tawa cekikikan.
Lalu dua larik sinar putih berkiblat.
Buummm! Buummmm!
Dua letusan menggelegar.
Tanah di akar rerumpunan bambu terbongkar. Batang-
batang bambu berlesatan ke udara. Saat itu pula ada kabut aneh muncul menutupi
pemandangan. Dalam
kejutnya Wira Bumi menerjang ke depan. Namun dia tidak menemukan siapa pelaku
yang melepaskan dua pukulan sakti tadi. Bendahara kerajaan ini terbeliak besar
ketika dapatkan Djaka Tua tak ada lagi di tempat itu!
"Kurang ajar! Ada orang pandai menolong pembantu
keparat itu! Aku mendengar suara dan tawa perempuan!
Dia menyebut nama Kemuning! Siapa itu"!"
"Raden Mas, saya mendengar suara letusan. Apa yang terjadi di sini?" Satu suara
bertanya. Yang muncul adalah Danang Kaliwarda, kepala pengawal gedung kediaman
Bendahara Kerajaan.
"Memangnya kau melihat apa?" balik bertanya Wira
Bumi. "Tidak ada terjadi apa-apa di sini. Kau bermimpi.
Pergilah..." Wira Bumi tinggalkan kepala pengawal yang kelihatan terheran-heran
itu. Namun begitu sang bendahara melangkah pergi lelaki ini geleng-geleng kepala.
"Banyak keanehan kulihat di sekitar Raden Mas Wira Bumi malam ini..." ucapnya
perlahan. *** DJAKA Tua lari terseret-seret. Dia berusaha melihat wajah perempuan bertubuh
kecil yang menarik lengannya.
Tapi tak berhasil. Dia hanya bisa melihat bagian belakang orang. Pakaian kusut
dekil, rambut hitam tergerai lepas serta sebuah boneka kayu lucu terselip di
bedongan kain pada bagian punggung. Boneka kayu itu seperti tertawa menatap ke
arahnya. "Hai! Siapa kau"! Lepaskan tanganku! Kau mau
membawa aku ke mana"! Berhenti! Aku tak bisa lari
secepat ini!" Djaka Tua berteriak tiada henti.
"Diam! Keadaan belum aman! Apa kau mau mati
dibunuh orang tadi"!"
"Hai!" Djaka Tua seperti mengenali suara itu. Dia
hendak bertanya tapi tangannya dibetot orang. Membuat Djaka Tua terpaksa lari
lebih cepat padahal nafasnya terasa mau putus. Di satu rimba belantara perempuan
bertubuh kecil lepaskan pegangannya. Djaka Tua langsung jatuh tersungkur di
tanah. Nafas megap-megap. Muka yang bengap dan luka dihajar Wira Bumi kini
berkelukuran digaruk tanah.
"Sekarang sudah aman! Kau mau bicara, malah
berteriak boleh saja!"
Djaka Tua berdiri lalu balikkan badan. Ketika
pandangannya membentur wajah orang, lelaki ini langsung berteriak.
"Gusti Allah! Nyi Retno! Kau rupanya!" Djaka Tua
jatuhkan diri berlutut lalu menggerung keras.
"Manusia aneh. Diajak bicara malah mewek! Anakku
saja sekarang tak pernah menangis lagi! Kemuning, lihat tua bangka cengeng itu!
Lucu ya" Hik... hik... hik!"
"Nyi Retno, apa kau tidak mengenali diriku"!"
Orang yang diajak bicara menggeleng. "Kemuning, apa kau kenal orang ini?"
Perempuan bertubuh kecil yang memang Nyi Retno Mantili adanya gerak-gerakkan
kepala boneka kayu boneka ini kelihatan seperti menggeleng-geleng.
"Nyi Rento, apa yang terjadi dengan dirimu. Mengapa kau berkeadaan seperti ini.
Saya menyesal telah melarikan bayimu! Saya tidak tega, saya tidak sanggup
membunuh anak itu..."
"Hai! Kau bicara apa" Siapa yang kau sebut Nyi Retno itu" Bayi siapa yang hendak
kau bunuh" Aku tidak pernah kehilangan bayi. Lihat ini anakku. Namanya
Kemuning."
Djaka Tua jadi terpana heran. Untuk beberapa lamanya dia tak bisa berkata-kata
hanya menatap dengan
pandangan sedih. Dalam hati bekas pembantu Nyi Retno ini berkata, "Ya Tuhan, apa
yang terjadi dengan Nyi Retno"
Dia seperti tidak waras. Dia tidak mengenal diriku. Dia bahkan tidak tahu
namanya sendiri. Boneka dikatakannya anaknya."
"Hai! Kau ini siapa" Bicaramu tadi mengapa tak karuan begitu rupa?"
"Nyi Retno, saya ini Djaka Tua, pembantumu di gedung kediaman Tumenggung Wira
Bumi..." "Wira Bumi. Tumenggung... siapa itu" Aku tidak kenal."
"Ya Tuhan, perempuan ini benar-benar telah kehilangan ingatan." Djaka Tua
menelan ludahnya berulang kali. "Nyi Retno, Wira Bumi adalah orang yang tadi
hendak membunuhku..."
"Oh itu. Mengapa dia mau membunuhmu?"
"Karena saya melarikan bayimu. Saya dituduh
menculik. Padahal saya menyelamatkan bayi itu.
Tumenggung memerintahkan saya membunuh bayimu.
Juga membunuh Nyi Retno sendiri."
"Hik... hik... hik! Lucu juga ceritamu..."
"Nyi Retno, kau sungguh tidak mengenal diriku" Tidak mengenal Wira Bumi yang
suamimu itu. Kau tidak ingat masa lalumu"!"
"Ihh! Enak saja kau menyebut Wira Bumi suamiku!
Jangan bicara ngacok!" Nyi Retno lalu angkat tinggi-tinggi boneka kayu yang
dibawanya. "Anakku Kemuning, apa
ayahmu bernama Wira Bumi?" Nyi Retno lalu goyang-
goyangkan kepala boneka. "Kau lihat sendiri. Anakku menggelengkan kepala. Dia
tidak pernah punya ayah
bernama Wira Bumi!"


Wiro Sableng 144 Nyi Bodong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Djaka Tua tepuk keningnya sendiri. Pembantu ini
hampir putus asa. Tak tahu mau bicara apa lagi. Dia menatap boneka kayu di
tangan Nyi Retno. "Anakmu itu cantik dan lucu sekali. Namanya Kemuning?"
Nyi Retno tertawa lalu anggukkan kepala.
"Ah, agaknya aku harus bicara menurut perasaan hati dan nalurinya. Kalau tidak
tak akan menyambung," kata Djaka Tua dalam hati. "Den Ayu, berapa umur anakmu?"
"Satu tahun lebih. Apa kau sudah punya anak?"
Djaka tua menggeleng. "Aku belum pernah kawin."
jawabnya polos.
Nyi Retno tertawa gelak-gelak. "Sudah setua ini belum kawin. Apa kau takut kawin
atau tidak ada perempuan yang kau suka?"
"Dulu ada cacat berupa punuk di punggungku. Belum
lama ini ada seorang sakti menyembuhkan. Bayi Den Ayu saya serahkan padanya.
Katanya dia akan menjaga dan merawat baik-baik..."
"Aku tak pernah kehilangan bayi. Lihat, anakku
Kemuning masih ada di sini!" kata Nyi Retno sambil senyum dan dekapkan boneka
kayu ke dadanya. "Hai, tadi kau cerita tentang punuk di punggungmu. Ah, punuk
itu rupanya yang membuatmu sial. Padahal kawin tidak perlu pakai punuk! Hik...
hik... hik." Habis tertawa Nyi Retno bertanya. "Apa tempat kau hendak dibunuh
tadi itu terletak di kotaraja?"
"Betul sekali Nyi Ret... eh Den Ayu. Apa Den Ayu tidak ingat lagi pada gedung
besar kediaman Den Ayu sewaktu menjadi... maksud saya sewaktu tinggal di gedung
Tumenggung?"
Nyi Retno Mantili gelengkan kepala. Dia tampak
berpikir-pikir lalu bertanya. "Bagaimana kau bisa berada dalam keadaan ditotok
dan terjepit pohon bambu?"
"Seorang nenek bernama Nyai Tumbal Jiwo
menangkapku. Aku ditotok, dibawa ke kotaraja. Dijepit di pohon bambu di belakang
gedung kediaman Wira Bumi.
Nenek itu adalah guru Wira Bumi."
"Kau berbuat dosa apa sampai orang
memperlakukanmu seperti itu."
"Saya sudah menceritakan tadi. Saya dituduh menculik dan menyelamatkan bayi.
Padahal saya diperintahkan untuk membunuh bayi itu."
"Kemuning, nasibmu jauh lebih baik. Tidak ada orang yang ingin menculikmu.
Apalagi mau membunuhmu. Nah, nak. Sebentar lagi hari akan segera siang. Baiknya
kita pergi dari sini."
"Nyi... Den Ayu, tunggu. Kau mau ke mana?"
"Aku mau membawa anakku jalan-jalan. Udara pagi
sangat baik bagi anak-anak."
"Den Ayu, kalau boleh, saya mau ikut ke mana kau
pergi." "Hemm... Aku curiga ada niat jahat dalam benakmu!"
"Demi Tuhan! Saya bersumpah tidak ada niat jahat di benak dan hati saya. Kalau
boleh saya bersedia menjadi pengasuh Kemuning."
"Siapa namamu?"
"Djaka Tua. Saya..."
"Djaka Tua, aku tidak mau ketentraman diriku dan
anakku terganggu orang lain. Pergi ke mana kau suka.
Jangan berani mengikutiku." Habis berkata begitu Nyi Retno Mantili melangkah
pergi. Gerakan kakinya perlahan saja. Namun hanya dua kali kejapan mata sosoknya
lenyap dari pemandangan.
Djaka Tua menghela nafas panjang. Hatinya sedih dan kecewa. "Dia menyelamatkan
diriku dari kematian di tangan Wira Bumi. Aku sampai tidak sempat mengucapkan
terima kasih. Tapi sedihnya dia tidak mengenali diriku.
Tidak mengenali suaminya sendiri. Dulu dia seorang perempuan halus. Kini
memiliki kesaktian luar biasa.
Otaknya tidak waras. Sangat berbahaya seorang berotak miring memiliki kesaktian
hebat. Dia senang kalau diajak bicara tentang anaknya. Mungkin satu-satunya cara
menyembuhkan penyakit jiwanya adalah dengan
mempertemukan dirinya dengan bayinya yang hilang itu.
Tapi di mana aku bisa menemukan lagi kakek serba putih di goa tempo hari itu?"
Tanpa tujuan akhirnya Djaka Tua tinggalkan hutan kecil di pinggiran timur
kotaraja itu. Ketika sang surya akhirnya muncul di timur, Djaka Tua telah jauh dari kotaraja.
Di satu jalan setapak, langkah bekas pembantu di gedung kediaman Tumenggung Wira
Bumi ini mendadak terhenti. Di depan sana dilihatnya Nyi Retno Mantili duduk di
atas sebuah batu, asyik bermain-main dengan boneka kayu yang dianggapnya sebagai
anak sendiri dan diberi nama Kemuning. Djaka Tua hentikan langkahnya lalu duduk
di tanah, tak berapa jauh dari Nyi Retno. Setelah menunggu cukup lama akhirnya
Nyi Retno memalingkan kepala, memandang kepadanya.
"Manusia bernama Djaka Tua! Mengapa kau muncul di
sini. Rupanya kau sengaja mengikuti diriku dan Kemuning!"
"Maaf Den Ayu, hanya satu kebetulan saja saya
menempuh jalan ini. Saya tidak tahu kalau Den Ayu dan Kemuning ada di sini.
Kalau Den Ayu tidak suka kehadiran saya, mohon maaf. Baiknya saya pergi saja."
Nyi Retno Mantili memandang ke langit. Tanpa
berpaling pada Djaka Tua dia bertanya, "Kau sungguhan mau mengasuh Kemuning?"
"Apakah..."
Nyi Retno tersenyum. Dia ulurkan boneka kayu pada
Djaka Tua yang segera disambut dan digendong oleh Djaka Tua seperti menggendong
anak sungguhan.
"Ah, anak itu tidak menangis. Berarti dia suka padamu."
Kata Nyi Retno pula.
"Syukurlah Kemuning senang pada saya," kata Djaka
Tua pula. "Jaga dia baik-baik. Kalau sampai kenapa-kenapa
kubuat benjut kepalamu!"
"Nyi Retno tak perlu khawatir. Saya akan menjaga
Kemuning seperti anak sendiri."
"Kau bilang belum pernah punya istri. Berarti tidak pernah punya anak. Sekarang
bagaimana kau bisa berkata mau merawat Kemuning seperti anakmu sendiri" Hik...
hik..." Djaka Tua tertawa. Dia merasa senang. Meski tidak
waras ternyata Nyi Retno masih bisa berseloroh.
"Nyi Retno..."
"Djaka Tua, kau terus-terusan memanggilku Nyi Retno.
Aku tidak suka nama itu! Lagi pula namaku bukan Nyi Retno!"
"Maafkan saya Nyi... Den Ayu..." kata Djaka Tua
perlahan. Hati pembantu ini sedih sekali. Kalau saja dia bisa melakukan sesuatu
untuk menyembuhkan penyakit jiwa majikannya itu, pasti akan dilakukannya
sekalipun dia diminta untuk mengorbankan nyawa.
"Matahari mulai menyengat. Tudungi Kemuning dengan kain ini. Aku mendengar ada
suara kuda dipacu. Mungkin orang-orang dari gedung di kotaraja itu. Kita harus
segera menyingkir dari sini. Ayo!"
*** WIRO SABLENG NYI BODONG 10 UNCAK Gunung Merapi, malam gelap tanpa rembulan
tiada bintang. Angin bertiup kencang dan dingin dari Parah selatan. Lapat-lapat
terdengar raungan srigala hutan di kejauhan lalu kesunyian kembali mencekam.
Namun tidak lama. Tiba-tiba ada suara gemuruh. Entah dari mana datangnya sebuah
gundukan batu besar
menggelinding di lereng gunung sebelah barat. Merambas semak belukar,
menumbangkan beberapa pohon besar
dan akhirnya amblas masuk ke dalam satu kali kecil berair dangkal.
Ketika batu besar menggelinding, seorang berjubah
kelabu berkelebat di udara. Sesekali orang ini jejakkan kakinya di batu yang
menggelinding. Tubuh melesat ke udara. Setiap kali turun dia kembali jejakkan
kaki di batu besar. Begitu seterusnya sampai batu besar hitam itu masuk dan
berhenti menggelinding di sebuah kali kecil.
Di atas batu orang tadi berdiri tegak. Kepala
mendongak langit. Mata mendelik besar. Dua kaki
direnggangkan. Dua tangan diangkat tinggi-tiggi ke udara.
Telapak tangan terbuka, lima jari kiri kanan terpentang rapat dan lurus. Dari
mulutnya kemudian menggelegar teriakan keras.
"Guru Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat! Aku
muridmu Pangeran Matahari. Pangeran Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu,
Segala Licik, Segala Congkak!
Pesan melalui mimpi sudah aku laksanakan! Saat ini aku sudah berdiri di atas
batu perut bumi Gunung Merapi. Saat ini juga aku akan segera melakukan tapa Aras
Langit Aras Bumi! Aku mohon pada malam Jum'at Kliwon mendatang rohmu sudi datang
untuk memberi petunjuk! Banyak
manusia jahanam di muka bumi ini yang telah mencelakai dan menyengsarakan
diriku! Aku ingin pembalasan! Aku ingin petunjuk dan bantuan dari Guru!"
Sunyi. Lalu di kejauhan kembali terdengar srigala hutan meraung panjang. Lelaki
tinggi besar berjubah kelabu hantamkan tumit kaki kanannya dua kali berturut-
turut ke atas permukaan batu.
Dess! Desss! Batu besar hitam meledak membentuk cegukan.
Perlahan-lahan Pangeran Matahari rendahkan tubuh lalu duduk bersila di dalam
cegukan batu. Dua lengan disilang di depan dada. Masing-masing tangan
ditumpangkan di atas bahu kiri kanan. Kepala yang mendongak perlahan-lahan
diturunkan dan bersamaan dengan itu sepasang mata dipejamkan.
*** MALAM Jum'at Kliwon. Udara di Puncak Gunung Merapi
dingin bukan kepalang. Apalagi hujan gerimis mulai turun dan tiupan angin sangat
kencang. Ketika malam sampai di pertengahannya, di kejauhan terdengar raungan
panjang srigala hutan. Bersamaan dengan itu tubuh Pangeran Matahari yang duduk
bertapa di atas cegukan batu besar yang setengah tenggelam dalam kali kecil
kelihatan bergetar. Tubuh itu menggigil seperti diselimuti es. Rahang sang
Pangeran menggembung. Geraham bergemeletakan.
Dari mulut dan hidung mengepul keluar asap kemerahan!
Cukup lama berada dalam keadaan seperti itu, dari arah langit sebelah timur
muncul sebentuk kabut aneh, berputar melayang ke arah kali kecil. Bersamaan
dengan itu muncul dua mata membersitkan cahaya biru. Seekor srigala coklat
berdiri di pinggiran kali, lalu duduk di kedua kaki belakangnya, menatap ke arah
batu besar di tengah kali.
Getaran tubuh Pengeran Matahari semakin keras. Batu besar di mana dia duduk ikut
bergoyang. Kabut aneh di atas kali bertambah dekat, lalu mengapung diam sejarak
tujuh langkah dari hadapan batu besar. Saat demi saat kabut ini berubah
membentuk sosok samar manusia.
Sedikit demi sedikit sosok samar ini bertambah jelas dan akhirnya menampilkan
ujud seorang kakek bungkuk,
berpakaian rombeng, memiliki rambut putih sepunggung.
Yang menggidikkan dari manusia ini adalah mukanya yang sangat pucat dihias
sepasang mata besar cekung dan mulut pencong perot. Manusia dari alam roh ini
bukan lain adalah ujud jejadian dari Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat, guru
Pangeran Matahari yang menemui ajal
sewaktu terjadi pertempuran hebat antara para tokoh silat golongan hitam melawan
golongan putih di Pantai
Pangandaran. Si Muka Bangkai tewas di tangan pendekar gendut yang dalam rimba
persilatan tanah Jawa dikenal dengan nama Bujang Gila Tapak Sakti (Baca serial
Wiro Sableng berjudul "Kiamat Di Pangandaran").
Si Muka Bangkai menatap ke arah Pangeran Matahari
yang bersila di atas batu, berpaling pada srigala yang duduk di tepi kali lalu,
klik! Dia jentikkan ibu jari dan jari tengah tangan kanan.
"Pergilah! Aku berterima kasih kau telah menuntunku ke tempat ini!"
Srigala coklat tinggikan kepala, meraung panjang lalu tinggalkan tempat itu. Si
Muka Bangkai memandang
kembali ke arah muridnya.
"Pangeran Matahari! Aku datang sesuai perjanjian
dalam mimpi. Rohku cukup susah mencarimu. Wajahmu
tertutup topeng setan bersambung rambut palsu warna kelabu. Pakaianmu tidak lagi
berwarna hitam tapi sehelai jubah abu-abu! Untung ada makhluk bernama srigala
itu menuntunku ke sini. Mana mantel hitammu"! Apa yang terjadi dengan dirimu"!
Aku ragu, apakah aku benar-benar berhadapan dengan Pangeran Matahari putera Raja
Surokerto dari istri ke tiga bernama Raden Ayu Siti Hinggil?"
Mendengar suara sang guru, getaran di tubuh Pangeran Matahari lenyap. Sepasang
matanya yang selama tujuh hari tujuh malam selalu terpejam, perlahan-lahan
terbuka. Lalu dia turunkan dua tangan yang bersilang di bahu.
"Guru!" Pangeran Matahari berseru lalu berdiri dan membungkuk dalam-dalam. "Aku
adalah muridmu,
Pangeran Matahari. Aku mohon maafmu. Kesengsaraan
telah membuat diriku kehilangan banyak hal dan terpaksa berprilaku aneh..."
Habis berkata begitu Pangeran Matahari buka topeng tipis yang membungkus kepala
dan rambutnya, menanggalkan jubah abu-abu hingga kini dia berdiri di atas batu hanya
mengenakan secarik kancut hitam.
Si Muka Bangkai perhatikan wajah asli dan tubuh
muridnya dengan sepasang mata cekung tak berkesip.
Kulit mukanya tampak semakin pucat. Memandang wajah sang murid yang cacat
membuat dia mengernyit. Dia juga melihat ada bekas cidera pada lengan kiri sang
Pangeran. Seperti dituturkan dalam serial Wiro Sableng "Kiamat Di Pangandaran" terjadi
perkelahian hebat antara Pangeran Matahari dengan Wiro. Keduanya jatuh ke dalam
jurang. Pada saat melayang jatuh Wiro sempat menghajar lawan dengan pukulan berantai.
Hidung dan mulut Pangeran Matahari hancur. Pipi kiri remuk, mata kiri luka parah
melesak ke dalam. Pangeran Matahari jatuh ke dalam jurang yang kemudian
diselamatkan oleh seorang sakti penghuni Jurang Teluk Pananjung bernama Singo
Abang. Wiro sendiri ditolong oleh Dewa Tuak.
"Melihat mukamu yang hancur-hancuran begini rupa,
tidak heran kalau kau benar-benar menginginkan kematian Pendekar 212 Wiro
Sableng murid nenek keparat bernama Sinto Gendeng itu!"
"Guru, penderitaanku lebih dari sebuah dendam."
"Aku mengerti. Aku melihat cacat di lengan kirimu. Ada bekas sambungan pada
tulang dan daging. Siapa yang punya pekerjaan?"
"Panjang kisahnya. Apakah Guru mau mendengarkan?"
"Bicaralah. Kalau perlu sampai pagi. Yang penting kau telah menyelesaikan tapa
Aras Langit Aras Bumi." jawab Si Muka Bangkai sambil sunggingkan senyum di
mulutnya yang perot. Sampai saat itu sosoknya berdiri mengapung di udara di atas
kali kecil. Pangeran Matahari memulai ceritanya dari rencana
menguasai rimba persilatan tanah Jawa dengan pendirian Partai Bendera Darah yang
berpusat di 113 Lorong
Kematian. Rencana itu sekaligus untuk mengatur jebakan maut bagi musuh
bebuyutannya yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun rencana itu menemui
kegegalan bahkan bukit batu di mana 113 Lorong Kematian berada kemudian
diruntuh-musnahkan oleh Bunga, gadis sakti dari alam roh.
"Sebelum 113 Lorong Kematian musnah, aku bertemu
dengan seorang pemuda yang muka dan sekujur tubuhnya berwarna kuning. Dia adalah
salah seorang kawan
Pendekar 212 yang ikut menyerbu ke dalam lorong. Aku menyirap kabar kalau
manusia satu ini makhluk dari alam lain yang terpesat ke bumi. Saat kutemui dia
berada dalam keadaan tidak berdaya di tepi telaga. Ketika hendak kuhabisi muncul
makhluk perempuan berbentuk bayangan menolong. Aku tak berdaya menghadapinya.
Dia berhasil membawa lari pemuda berkulit kuning itu. Saat itu aku merasa putus
asa. Aku merasa seperti tidak punya
kesaktian apa-apa lagi. Menghadapi makhluk bayangan itu saja aku tidak punya
kemampuan. Aku khawatir semua ilmu kesaktian yang aku dapat dari Guru telah ikut
musnah..."
"Tidak, semua ilmu yang aku berikan padamu masih
ada dalam dirimu. Hanya ilmu sedotan yang kau dapat selama dalam lorong telah
terkuras musnah." kata Si Muka Bangkai pula.
"Guru, aku mohon petunjukmu, siapa gerangan adanya makhluk bayangan itu.
Bagaimana caranya aku bisa


Wiro Sableng 144 Nyi Bodong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengalahkannya. Aku punya firasat akan menemuinya
kembali." Si Muka Bangkai rangkapkan dua tangan di depan
dada. Tubuh doyong membungkuk ke depan. Mata
dipejam. Sesaat kemudian dia luruskan badan dan buka dua matanya yang cekung.
"Makhluk perempuan berbentuk bayangan itu memiliki tabir aneh yang hanya sedikit
sekali bisa kutembus.
Mungkin dia punya hubungan dekat dengan pemuda
berkulit kuning itu. Aku punya dugaan mereka sama-sama datang dari alam lain
yang terpisah beratus-ratus tahun dari alammu sekarang. Namun antara keduanya
terdapat perbedaan. Mungkin sekali perempuan bayangan itu telah mengalami
kematian di alamnya..."
"Berarti dia adalah makhluk alam roh seperti Guru. Juga seperti Bunga gadis
jahanam menghancurkan lorong.
Karena sama-sama berada di alam roh, bukankah mudah saja bagimu untuk menghabisi
kedua perempuan itu?"
Si Muka Bangkai menyeringai.
"Alam roh berlapis-lapis, bertingkat-tingkat. Mungkin lebih dari seratus
tingkat. Tidak mudah masuk ke lapisan atau tingkatan lain. Tapi jika mereka
gentayangan di muka bumi ini, tidak mustahil aku bisa menemui dan
melabraknya. Akan aku bereskan mereka satu persatu.
Makhluk perempuan bayangan itu akan aku selesaikan lebih dulu karena aku melihat
dia yang paling berbahaya bagi masa depanmu ketimbang Wiro Sableng!"
"Terima kasih, tidak sia-sia aku punya guru sepertimu."
ucap Pangeran Matahari memuji yang disambut dengan tawa mengekeh oleh Si Muka
Bangkai. Kakek ini tahu kalau kata-kata muridnya itu hanya basa basi kecerdikan
belaka. "Pangeran, hanya itukah yang ingin kau tanyakan padaku?"
"Banyak, masih banyak hal lainnya," jawab Pangeran Matahari. "Semasa Guru hidup
dulu, apakah Guru pernah mendengar riwayat sebuah kitab sakti Kitab Seribu
Pengobatan" Ada kabar bahwa kitab itu dicuri orang. Kalau Guru bisa membantu
memberi tahu di mana beradanya, aku sangat menginginkan kitab itu."
Kembali Si Muka Bangkai rangkapkan dua tangan di
depan dada lalu picingkan mata. "Aku melihat bayangan samar di satu tempat. Ada
keperluan apa kau
menginginkan kitab itu?"
"Maaf Guru, aku tidak mungkin mengatakan mengapa
aku menginginkan kitab itu."
"Kalau begitu aku juga tidak mungkin memberi tahu di mana beradanya kitab itu."
kata Si Muka Bangkai pula dengan senyum sinis di wajah.
Pangeran Matahari terdiam. Hatinya jengkel. Diam-diam dia memaki dalam hati.
Namun dia tidak bisa berbuat lain.
Maka diapun memberi penuturan. "Sewaktu
menyelamatkan diri dari lorong, di satu tempat tak terduga aku memergoki
Bidadari Angin Timur. Kelihatannya dia sedang kacau pikiran karena ketika
kutemui dia dalam keadaan menangis. Aku pergunakan kesempatan. Setelah kutotok
aku siap untuk memperkosanya. Tapi nasib sial menimpaku. Ada manusia keparat
memberi pertolongan.
Dia membokongku dengan satu pukulan sakti berupa sinar merah. Serangan itu
nyaris membabat putus batang
kemaluanku. Aku pergi menemui seorang ahli pengobatan bernama Ki Tambakpati. Dia
bisa menyambung kembali kemaluanku yang putus namun memberi tahu bahwa
sebagai laki-laki aku akan kehilangan kejantananku. Satu-satunya penyembuhan
yang bisa dilakukan adalah dengan mendapatkan Kitab Seribu Pengobatan. Guru, aku
inginkan kitab itu. Aku juga ingin tahu siapa bangsatnya yang telah
mencelakaiku!"
Si Muka Bangkai menyeringai. Mata kembali
dipejamkan. Sesaat kemudian kakek bermuka pucat
seperti mayat ini berkata, "Agaknya yang mencelakaimu adalah orang dari alam
yang sama dengan perempuan
bayangan itu. Bedanya di dalam alamnya orang ini masih hidup. Dia memiliki satu
keanehan. Sulit bagiku untuk melihat jelas karena dia punya dinding penyekat
terhadap alam roh di mana aku berada. Kelak jika aku bisa
menemukan perempuan bayangan, manusia satu itu akan bisa juga aku ketahui siapa
dia adanya."
"Lalu tentang Kitab Seribu Pengobatan?" tanya
Pangeran Matahari pula.
Masih dalam memejamkan mata dan sambil
rangkapkan dua tangan di depan dada Si Muka Bangkai menjawab, "Penglihatan
samarku menyatakan kitab itu ada di puncak Gunung Gede. Terpendam di lantai
tanah pondok kediaman Sinto Gendeng. Pondok itu ini tampak sama rata dengan
tanah. Sesuatu telah terjadi di sana. Jika kau menginginkan kitab itu cepat
pergi ke sana karena dalam waktu singkat berita tentang keberadaan kitab itu di
bekas tempat kediaman Sinto Gendeng akan bocor ke
mana-mana. Aku melihat, selain dirimu ada beberapa orang lain yang menginginkan
kitab itu."
"Guru adalah aneh," ucap Pangeran Matahari pula.
"Sinto Gendeng dan Wiro Sableng menyatakan kitab itu lenyap dicuri orang.
Bagaimana sekarang ternyata masih ada di tempat kediaman Sinto Gendeng?"
"Bisa saja kedua orang itu menebar berita bohong
dengan maksud mengelabuhi. Biar nyata kau harus pergi ke Gunung Gede,
menyelidiki dan dapatkan kitab itu."
"Akan aku lakukan, Guru." jawab Pangeran Matahari.
"Pangeran, di alam roh aku menyirap banyak terjadi peristiwa perkosaan disertai
pembunuhan belakangan ini.
Konon pelakunya disebut dengan nama Hantu Pemerkosa.
Berat dugaanku orang itu adalah kau. Benar"!" Si kakek pencongkan mulut dan
delikkan mata. Pangeran Matahari tertawa lebar. "Aku hanya ingin
menguji bahwa Ki Tambakpati tidak menipuku."
"Maksudmu?"
"Bahwa akibat cidera di kemaluanku aku akan
kehilangan kejantanan, kecuali jika mendapat pengobatan yang ada petunjuknya
dalam Kitab Seribu Pengobatan."
"Apakah kau berhasil membuktikan kebenaran
ucapannya?"
"Juru obat itu tidak berdusta. Aku tidak mampu
memperdayakan kejantananku."
"Lalu mengapa semua perempuan korbanmu
mengalami kerusakan pada bagian keperempuanannya?"
tanya Si Muka Bangkai dengan mata besar memandang
tak berkesip. "Aku mempergunakan jari-jari tanganku," jawab
Pangeran Matahari enteng saja.
Si Muka Bangkai dalam masa hidupnya jauh lebih keji dari sang murid. Namun
mendengar keterangan Pangeran Matahari kakek ini hanya bisa geleng-geleng
kepala. "Jika tidak ada hal lain, aku akan segera pergi..."
"Guru, tunggu. Aku ingin kau memberi petunjuk tentang dua orang perempuan aneh
yang telah menyerangku.
Pertama seorang perempuan muda bertubuh kecil berotak miring yang membawa boneka
kayu perempuan. Ketika
aku hendak memperkosanya dia menyerang dengan dua
larik cahaya putih yang keluar dari mata boneka. Aku menderita luka dalam cukup
parah. Di lain saat pada kejadian dan tempat yang sama muncul seorang nenek
berwajah putih. Dia menuduhku sebagai Hantu Pemerkosa.
Aku menyerangnya dengan satu pukulan sakti tapi dia balas menghantam dengan satu
sinar biru yang membuat buntung tangan kiriku. Guru, yang luar biasa sinar biru
itu keluar dari pusar nenek bermuka putih. Entah ilmu gila apa yang dimilikinya.
Aku terpaksa lari menyelamatkan diri. Aku ingin tahu apakah nenek muka putih itu
merupakan orang yang sama dengan perempuan muda berotak miring yang membawa
boneka. Jika tidak siapa mereka" Aku yakin nenek muka putih akan terus menguntit
ke mana aku pergi. Guru, aku mohon petunjuk bagaimana untuk
menghadapi mereka."
Untuk kesekian kalinya Si Muka Bangkai merenung
dengan cara bersidekap lengan dan pejamkan mata. Sekali ini cukup lama baru dia
membuka mata dan berkata,
"Perempuan sinting pembawa boneka punya kaitan
dengan seorang pejabat tinggi kerajaan dan seorang tokoh silat yang tidak dapat
aku sirap siapa adanya dan di mana keberadaannya. Kau tak usah mengkhawatirkan
perempuan satu ini, tapi karena kau sudah menjatuhkan niat jahat sebaiknya untuk
sementara menghindari
dengannya. Petinggi kerajaan itu aku sirapi memiliki hubungan dengan seorang
nenek sakti, jahat dan mesum yang juga telah berada di alam roh. Aku berharap
kau tidak akan bertemu dengan nenek ini karena sekali dia
melihatmu kau bisa dijadikannya budak nafsu. Mengenai perempuan yang punya ilmu
kesaktian berupa cahaya
maut biru yang bisa keluar dari pusarnya, dia adalah seorang pendatang baru
rimba persilatan tanah Jawa. Kau harus sangat berhati-hati terhadapnya. Aku coba
menembus melihat siapa dirinya tapi ada pelindung
berkepandaian tinggi menghalangi. Ada sebentuk lingkaran merah di sekitar tubuh
perempuan ini. Kalau aku tidak keliru perempuan ini dipanggil dengan nama Nyai
atau Nyi Bodong. Kehadirannya sangat berbahaya bagi semua
kawan golongan hitam termasuk dirimu..."
"Guru aku ingin petunjukmu lebih lanjut! Aku tidak ingin mati mengenaskan di
tangan perempuan bernama Nyi
Bodong itu sebelum membunuh Pendekar 212 Wiro
Sableng." Si Muka Bangkai menghala nafas panjang lalu berkata,
"Kau pergilah ke puncak Gunung Merapi sebelah utara, ke bekas goa tempat
kediamanku. Di sana kau akan
menemukan seperangkat pakaian yang harus kau pakai begitu kau turun gunung. Di
dalam goa kau akan
menemukan sebuah lentera yang hanya bisa menyala jika kau isi dengan minyak
kasturi ini." Dari balik pakaian rombengnya Si Muka Bangkai keluarkan sebuah
tabung terbuat dari bambu. Tabung bambu ini dilemparkan ke arah Pangeran
Matahari yang segera ditangkap oleh sang murid. Si Muka Bangkai lanjutkan
ucapannya, "Pada
dinding goa kau akan melihat guratan tulisan yang aku buat sebagai petunjuk
penggunaan dan kegunaan benda itu. Untuk sementara sampai keadaan aman bagimu,
kau hanya boleh menampakkan diri pada malam hari. Demi keselamatanmu kau harus
membawa dan menyalakan
lentera itu ke manapun kau pergi. Kau harus sadar
musuhmu kini bukan hanya murid Sinto Gendeng keparat itu. Banyak orang lain yang
menginginkan nyawamu!
Sebelum aku lupa, ada satu hal yang harus kau ingat baik-baik. Lentera yang aku
katakan tadi sekali-kali tidak boleh terkena atau bersentuhan dengan cairan atau
air yang keluar dari tubuh manusia. Misal air mata, air keringat, air kencing
bahkan air mani! Ha... ha... ha...! Pokoknya semua air yang berasal dari tubuh
manusia! Kalau larangan itu sampai dilanggar kau akan ditimpa malapetaka besar!"
"Aku akan ingat baik-baik pantangan itu, Guru. Apakah aku masih boleh mengenakan
topeng muka setan dan
rambut palsu kelabu ini?"
"Pergilah ke goa di puncak Merapi. Kau akan
mengetahui apa yang harus kau lakukan. Satu hal harus kau ingat. Selesai membaca
dan memahami guratan
tulisanku di dinding goa, tulisan itu harus kau kikis habis.
Harus kau lenyapkan! Kau mengerti"!"
"Aku mengerti, Guru. Sekali lagi aku mengucapkan
terima kasih atas semua petunjuk dan budi baikmu."
Si Muka Bangkai menyeringai. "Pertemuan kita cukup sampai di sini. Aku akan
kembali ke alamku. Kau tidak bisa memanggilku lagi sampai tiga ratus hari di
muka. Aku pergi."
Sosok Si Muka Bangkai perlahan-lahan berubah
menjadi asap samar, berputar beberapa kali di atas kali sementara di kejauhan
terdengar suara raungan srigala.
Murid Si Muka Bangkai merasa tubuhnya bergetar
menggigil. Keadaan ini baru lenyap begitu asap samar membumbung ke udara dan
lenyap dalam kegelapan
malam. Pangeran Matahari perhatikan tabung bambu yang tadi diberikan Si Muka Bangkai.
Kayu penyumpal tabung
dibukanya. Tempat itu serta merta ditebari harumnya bau minyak kasturi.
"Minyak aneh..." ucap Pangeran Matahari perlahan.
"Lenteranya pasti lebih aneh lagi. Guru geblek! Apakah tidak ada benda lain yang
bisa diberikannya padaku selain lentera itu"! Edan!"
Sang Pangeran bangkit berdiri. Dia cepat kenakan
jubah kelabu, topeng setan dan rambut palsu lalu
menghambur ke arah utara. Yang dilakukannya saat itu juga adalah segera pergi ke
puncak Gunung Merapi sesuai petunjuk gurunya Si Muka Bangkai.
*** HANYA beberapa saat saja setelah Pengeran Matahari
tinggalkan kali kecil satu bayangan berkelebat di
kegelapan malam. Orang ini memperhatikan ke arah batu besar lalu dongakkan
kepala menghirup udara malam.
"Jelas dia ada di tempat ini sebelumnya. Ke mana
perginya" Aku mencium bau harum aneh. Setahuku
manusia terkutuk itu tidak pernah memakai wewangian."
Orang ini memandang berkeliling. "Ada sisa-sisa kabut dalam selubung wangi
kasturi." Sekali lagi orang ini mendongak menghirup udara malam. Kali ini
disertai pengerahan tenaga dalam. Mulutnya bergumam. Sepasang mata membesar.
"Hantu Pemerkosa. Kau meninggalkan
dan membawa bau yang menjadi pangkal celaka bagi
dirimu! Kau tengah menuju ke utara! Aku tahu ke mana tujuanmu."
Tanpa menunggu lebih lama orang ini segera
berkelebat ke arah utara yakni arah perginya Pangeran Matahari setelah pertemuan
dengan gurunya Si Muka
Bangkai tadi. Namun tak terduga, satu bayangan laksana angin memotong larinya.
Di dalam gelapnya malam
makhluk ini membentuk sosok samar seorang kakek
bertubuh bungkuk yang sulit dikenali.
"Makhluk keparat! Siapapun kau adanya jangan berani berlaku kurang ajar
menghalangi langkahku!"
"Aku memperingati, kau malah tertawa melecehkan!
Jika kau makhluk jejadian maka rohmu akan menemui
kematian untuk kedua kalinya! Kau tak akan bisa lagi gentayangan. Rohmu akan
tergantung antara langit dan bumi!"
Habis berkata bergitu orang di tepi sungai angkat
tangan kiri ke atas. Telapak tangan diarahkan pada makhluk samar. Lima jari
terpentang lurus. Dari mulut orang ini kemudian keluar suara raungan
menggidikkan disusul suara tawa cekikikan, panjang dan angker. Ketika lima jari
membuat gerakan meremas, tangan kanan
bergerak menyibak baju. Perut putih tersingkap
menyembulkan pusar bodong menonjol.
Luar biasa! Wusss! Dari pusar bodong itu melesat keluar satu cahaya biru pekat menyilaukan,
menyambar ke arah bayangan samar sosok kakek bungkuk.
"Nyi Bodong!" Makhluk samar ternyata bisa keluarkan jeritan keras.
Lalu, buummm! Sosok samar melolong dahsyat seolah menembus
langit malam. Ujudnya cabik-cabik, bertebaran dan
akhirnya lenyap dari pemandangan. Anehnya di tempat bekas lenyapnya sosok samar
tadi kini tergelimpang tubuh seekor srigala dalam keadaan tercabik-cabik mulai
dari kepala sampai ke ekor dan mengepulkan asap berbau
busuknya bangkai!
Orang di tepi kali yang ternyata seorang nenek berwajah putih rapikan rambutnya
yang panjang hitam riap-riapan lalu setelah keluarkan suara mendengus dia
berkelebat ke arah utara.
TAMAT

Wiro Sableng 144 Nyi Bodong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Episode Berikutnya: LENTERA IBLIS
Ratu Pemikat 2 Pendekar Rajawali Sakti 102 Pembunuh Berdarah Dingin Runtuhnya Sebuah Kerajaan 1
^