Pencarian

Si Cantik Dalam Guci 1

Wiro Sableng 128 Si Cantik Dalam Guci Bagian 1


SI CANTIK DALAM GUCI
"WIRO, DENGAR BAIK-BAIK." SI KAKEK KINI
BICARA SUNGGUHAN. "PETUNJUK MENGATAKAN,
SEPERTI GAMBAR YANG KAU LIHAT Di TANAH.
UNTUK MEMBEBASKAN GADIS DALAM GUC1
BERARTI KAU HARUS MASUK SENDIRI KE DALAM
GUCI ITU."
"GILA! TIDAK MASUK AKAL!" UJAR MURID
SINTO GENDENG. "JANGANKAN TUBUHKU!
BUAHKU SAJA TIDAK MUNGKIN BISA MASUK KE
DALAM GUCI SEKECIL ITU!"
KAKEK SEGALA TAHU TERTAWA BERGELAK
DAN KERONTANGKAN KALENG ROMBENGNYA.
"ANAK MUDA," KATANYA. "SEKARANG KAU YANG
BERGURAU! HA.. HA. HA!" SI ORANG TUA
LETAKKAN UJUNG TONGKATNYA DI BAHU KIRI
MURID SINTO GENDENG. UJUDNYA MEM.ANG
TONGKAT KAYU BUTUT, KECIL DAN ENTENG. TAPI
WIRO MERASA BAHUNYA SEPERTI DITIBAN BATU
SANGAT BESAR HINGGA TAK AMPUN LAGI TUBUH
SANG PENDEKAR MIRING KE KIRI!
*** SI CANTIK DALAM GUCI
DALAM Episode sebelumnya (Mayat Persembahan) diceritakan bagaimana Iblis Kepala
Batu Alis Empat a Iias Iblis Kepala Batu Pemasung menculik Sutri Kaliangan
puteri Patih Kerajaan. Sementara itu gadis cantik dan alam roh yang dikenal
dengan julukan Dewi Bunga Mayat yang aslinya bernama Suci dan panggilan Bunga,
masih berada dalam kekuasaannya.
Bunga disekap di dalam sebuah guci tembaga. Pendekar 212 Wiro Sableng yang
berusaha rnenyelamatkan gadis yang mencintainya itu malah secara licik kena
dijebak oleh Iblis Kepala Batu, dipendam dan terkubur hidup-hidup di bawah tanah
dalam satu ruangan batu.
Dalam ruang gelap pengap dan sunyi Pendekar 212 Wiro Sableng dudukkan diri di
lantai. Tubuh dan pakaiannya basah oleh keringat. Wiro coba menenangkan diri, atur jalan
darah dan pernafasan agar mampu bertahan dan tidak segera kehabisan tenaga. Lalu
pemuda ini coba kerahkan ilmu Menembus Pandang untuk melihat keadaan sekitarnya.
Tapi entah mengapa ilmu tersebut tidak bekerja.
"Celaka... tempat apa ini. Mengapa Ilmu Menembus Pandang tidak bisa
kuterapkan..."
Wiro lalu ingat, setelah kepalanya ditelan oleh harimau putih peliharaan Datuk
Rao Basaluang Ameh, menurut orang tua sakti itu sepasang matanya akan mampu
melihat lebih terang di dalam gelap. Namun saat itu Wiro sama sekali tak bisa
melihat apapun. Bahkan tidak mampu melihat tangan sendiri yang diletakkan di
depan mata. Dalam gelap Wiro akhirnya pejamkan mata.
"Pasti ada jalan rahasia di tempat ini," pikir murid Sinto Gendeng. "Kalau
tidak, mustahil mahluk keparat berkepala batu itu bisa masuk, keluar lagi dari
sini dan menghilang. Jalan rahasia... pintu rahasia. Bagaimana aku bisa mencari,
bisa menemukan. Tangan saja tidak kelihatan!"
Pendekar 212 berpikir. "Satu-satunya jalan keluar adalah meniebol dinding
ruangan. Kalau aku bisa menghancurkan salah satu dinding, pasti bisa menerobos
keluar selamatkan diri. Tinggal memilih pukulan sakti yang mana harus aku
pergunakan." Wiro diam sejenak, mata masih terpejam.
"Pukulan Sinar Matahari. Jika aku hantam salah satu dinding ruangan mungkin bisa
Jebol...." Wiro membatin. "Tapi kalau dinding bisa bertahan dan sebagian pukulan
sakti itu membalik menghantam diriku sendiri.." Murid Sinto Gendeng jadi
bimbang. Dalam gelap dia masih bisa garuk-garuk kepala. "Mungkin dapat juga
kujebol dengan pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung, atau Tangan Dewa Menghantam
Batu Karang. Tapi...." Lagi-lagi Wiro bimbang. "Dinding bisa jebol, bagaimana
kalau bagian atas runtuh dan aku benar-benar terkubur hidup-hidup di tempat
celaka ini. Iblis Kepala Batu Keparat!"
Wiro kembali garuk-garuk kepala. Otaknya berpikir terus mencari jalan selamat.
"Mungkin dinding bisa kujebol dengan ilmu Sepasang Pedang Dewa...." Ilmu
Sepasang Pedang Dewa didapat Wiro dan Datuk Rao Basuluang Ameh. Ilmu ini berupa
sepasang sinar hijau menyerupai pedang luar biasa tajam yang keluar bersilang
dari dua matanya. Selama ini tidak ada satu kekuatan lawanpun sanggup bertahan
terhadap Sepasang Pedang Dewa. Ilmu ini hanya boleh dikeluarkan sebanyak dua
kali selama 12 purnama. Seingat Wiro terakhir sekali dia mempergunakan ilmu
tersebut adatah ketika masih berada di negeri Latanahsilam.
Namun lagi-lagi Wiro merasa ragu. Sebelum keadaan menjadi gelap, Wiro sempat
memperhatikan. Ruangan di mana dia berada tidak seberapa besar. Lantai dinding
dan atap terbuat dan batu. Sambaran dua larik sinar pedang, keras dan panjang.
Bagaimana kalau larikan sinar berbelok patah hegitu menghantam dinding. Lalu
salah satu patahan berbalik rnenghantam dirinya sendiri. Mungkin pula sinar
hijau Sepasang Dewa berbalik menembus dua matanya!
Saat itu udara dalam ruangan gelap semakin pengap dan hawa panas terasa seperti
bakaran bara api. Wiro masih belum bisa mengambil keputusan. Kemudian dia ingat
pada Kapak Maut Naga Geni 212 yang terselip di balik pinggang baju putihnya yang
telah kuyup dengan keringat.
"Mungkin senjata ini satu-satunya penyelamat paling aman," pikir Wiro.
Wiro berdiri. Keluarkan kapak sakti lalu melangkah sampai tangan kirinya
menyentuh salah satu dinding ruangan. Tenaga dalam dialirkan ke tangan kanan
yang memegang kapak sakti.
Saat itu juga dua mata kapak memancarkan sinar berkilauan, menerangi seantero
tempat, membuat Wiro dapat melihat cukup jelas keadaan ruangan di maria dia
berada. Di samping kiri ada sebuah batu berbentuk tempat tidur. Belum sempat
dia, memperhatikan dengan jelas, tiba-tiba cahaya terang yang keluar dan dua
mata kapak sakti berubah redup.
"Apa yang terjadi"!" pikir Wiro. Dia cepat kerahkan tenaga dalam kembali,
dialirkan ke seniata yang dipegangnya. Namun kekuatan tenaga dalam itu tidak
menambah terangnya pancaran cahaya malah sebaliknya semakin redup. "Tenaga
dalamku tidak bekeria. Kapak sakti tidak punya daya. Celaka. Jangan-jangan
umurku memang habis di tempat in!" Masih kurang percaya akan kenyataan yang
dihadapinya Wiro bahkan kerahkan tenaga luar lalu hantamkan Kapak Naga Geni 212
ke depan. Tak ada kilauan sinar. Tak ada suara seperti tawon mengamuk.
Kapak menghantam dinding.
"Traangg!"
Murid Sinto Gendeng keluarkan seruan tertahan. Kapak hampir terlepas dan
genggamannya. Di dalam ruangan itu, senjata sakti ini kehilangan kehebatannya.
Jangankan menjebol dinding batu, membuat gompal saja tidak mampu! Wiro gigit
bibir sendiri, rasa takut makin mencekam dirinya. Dengan tangan gemetar dia
sisipkan kapak di pinggang sebelah kiri.
Tengkuknya tidak terasa tengkuk lagi, dingin sekali seolah telah berubah menjadi
gundukan es! Perlahan-lahan Wiro jatuhkan diri, berlutut di lanitai batu lalu duduk bersila.
Udara terasa semakiri panas dan pengap. Pori-pori di sekujur permukaan tubuhnya
didera rasa sakit amat sangat seolah ditusuk oleh ratusan jarum. Untuk bernafas
Wiro mulai kesulitan pengap sesak. Dia membuka mulut lebar-lebar. Bernafas
melalui mulut. Tapi sia-sia. Dadanya mendenyut sakit, berat seperti ditindih
batu besar dan berat. Dia memaksa menarik nafas dalam-dalam. Ada cairan hangat
mengucur keluar dan hidungnya. Wiro meraba. Cairan hangat, kental dan lengket.
Walau tidak mampu melihat tapi Wiro bisa menduga.
"Darah... Hidungku mengeluarkan darah."
Bagaimanapun juga, sebagai manusia biasa rasa takut semakin hebat menyusupi
hatinya. Harapan untuk hidup agaknya semakin tipis. Tubuhnya bukan saja basah oleh
keringat juga dengan darah yang ikut membersit dan poni-pori di permukaan kulit.
Sosok sang pendekar mulai terhuyung. Wiro berusaha bertahan. Tapi gagal. Seluruh
tenaganya seperti terkuras.
"Blukkk!"
Tubuh Pendekar 212 terbanting ke belakang, terkapar di lantai batu. Tapi
kesadarannya belum punah. Batinnya berucap.
"Tuhan, saya pasrah kalau memang sudah takdirMu harus mati begini rupa di tempat
ini. Tapi Tuhan, apakah Kau tidak hendak menolong diri saya" Saya tahu saya orang
banyak dosa. Ampuni semua dosa saya ya Tuhan. Sekali ini Tuhan, saya mohon pertolonganMu.
Keluarkan saya dan tempat ini. Selamatkan diri saya. Eyang... Eyang Sinto
Gendeng, di mana kau saat ini Eyang. Saya juga banyak dosa padamu Eyang. Mohon
maafmu agar saya bisa menghadap Gusti Allah dengan tenang...."
Mungkin begitulah sifat dan harkat semua manusia. Termasuk Pendekar 212 Wiro
Sableng. Di kala tak ada lagi daya untuk bisa bertahan hidup baru ingat akan segala dosa,
mohon ampun dan minta diselamatkan. Karena memang hanya kepada Tuhan Yang Maha
Kuasalah tempat terakhir dan satu-satunya manusia minta tolong.
Wiro terkapar di lantai batu, mata terpejam, tubuh tak bergerak. Dia sendiri
tidak tahu apa masih hidup atau tengah memasuki alam maut atau memang sudah
mati! Dalam keadaan seperti itu sekonyong-konyong, lapat-lapat seolah datang dan
arah kejauhan, terdengar suara memanggil.
"Wiro... Pendekar 212! Wiro... Wiro Sableng!"
Alis mata kiri Pendekar 212 bergerak sedikit.
"Wiro! Wiro Sableng! Pendekar 212!"
Kembali suara memanggil itu terdengar, sayup-sayup di kejauhan. Walau cuma halus
hampir menyerupai ngiangan nyamuk namun Wiro dapat mendengar cukup jelas.
"Siapa yang memanggil" Malaikat maut" Setan neraka...?" Pertanyaan itu muncul di
benak murid Sinto Gendeng.
"Wiro! Wiro Sableng!"
Perlahan-lahan Wiro buka matanya yang sejak tadi terpejam.
"Wiro! Kau dengar suaraku"!"
Wiro kerahkan seluruh tenaga. Berusaha bangkit. Dengan susah payah dia berhasil
duduk di lantai. Nafas megap-megap. Tubuh terhuyung gontai seolah tidak punya
tulang. Kalau salah satu tangannya tidak segera bersitekan ke lantai niscaya
sosoknya kembali tergelimpang.
"Wiro! Wiro Sableng! Kau dengar suaraku"!"
Wiro membuka mulut. Berusaha menjawab panggilan orang. Tapi dia tidak mampu
keluarkan suara.
"Wiro! Aku tahu kau ada di dalam sana! Aku tahu kau pasti bisa mendengar. Tapi
mungkin tak bisa menjawab! Dengar, aku akan menolongmu keluar dan tempat dirimu
terpendam. Tapi dengan satu syarat! Apapun yang terjadi kau tidak akan
menjatuhkan tangan jahat terhadap Iblis Kepala Batu Pemasung Roh!"
"Mahluk celaka! Siapa kau"! Menol?ng pakai syarat segala!" Wiro ingin berteriak
tapi dia cuma mampu memaki dalam hati.
"Wiro! Wiro Sableng!"
"Setan alas!" damprat Wiro dalam hati.
SUNYI sesaat. Lalu kembali mengiang suara dan kejauhan itu.
"Wiro! Dengar! Dalam ruangan tempat kau terperangkap ada satu tempat tidur batu!
Wiro!" "Aku sudah melihat benda yang dikatakan. Apa tempat tidur batu itu bisa
menolongku"!
Mahluk sialan! Jangan berani menipu diriku!" Lalu dia menggerendeng sendiri.
"Sialan! Kenapa aku tidak bisa bicara. Kenapa suaraku tidak keluar!"
"Wiro! Dengar baik-baik! Segera ikuti petunjukku! Di salah satu sudut atas
tempat tidur batu ada satu alat rahasia. Juga terbuat dan batu. Putar alat itu
ke kanan atau ke kiri. Tempat tidur batu akan bergeser. Di bawahnya ada satu
lubang besar membentuk tangga pendek. Masuk ke dalam lubang, ikuti tangga. Kau
pasti selamat! Wiro.!"
Wiro membuka mulut lebar-lebar untuk bisa bernafas. Suara seperti mengorok
keluar dan tenggorokannya. "Mungkin nafasku sudah habis...." pikir Wiro. Lalu
kembali terdengar suara dari luar
"Wiro! Aku tahu kau mendengar semua ucapanku! Aku harus pergi sekarang! Terserah
apa kau mau mengikuti cari selamat atau tidak!" Suara teriakan lenyap. Keadaan
di dalam dan di luar tempat Wiro terkubur sunyi senyap. Wiro kembali membuka
mulut lebat-lebar. Berusaha menarik nafas panjang-panjang tapi malah dia
terbatuk-batuk beberapa kali. Ludah campur darah meleleh di sela bibirnya.
Berbagai perasaan kirii menggerayangi Pendekar 212. Terutama rasa takut.
"Siapa yang tadi berteriak. Suaranya aneh.... Jangan-jangan setan yang hendak
ikut-ikutan menjebakku." Wiro membatin. Otaknya dipacu untuk bisa bekerja. Dia
coba bangkit berdiri tapi gagal. Akhirnya dia hanya mampu merangkak. Untung
sewaktu tadi ruangan diterangi cahaya kapak sakti dia sempat melihat tempat
tidur dan batu yang ada di ruangan itu. Wiro merangkak mengira-ngira ke arah
tempat tidur. Bahunya membentur sesuatu. Ternyata samping kiri tempat tidur.
Tangan kanan diangkat, mengggapai ke atas lalu perlahan-lahan dan tersendat-
sendat digerakkan sepanjang sisi atas.
Dadanya berdebar ketika jari-jarinya menyentuh sesuatu yang menoniol di salah
satu sudut tempat tidur batu.
"Alat rahasia...." pikir Wiro. Dia ingat ucapan orang. Dadanya tambah berdebar.
Jari-jari tangan ikut bergetar. Sesuai petuniuk ucapan orang Wiro putar toniolan
batu itu ke kanan. Tidak teriadi apa-apa. Wiro teruskan memutar tonioan batu
sampai benda itu tak bisa lagi diputar. Tidak ada benda bergeser, tidak
terdengar selarik suarapun. Wiro jadi gelisah. "Jangan-jangan orang itu memang
menipuku.." pikirnya. Dia diam sesaat, berpikir.
Lalu jari-jari tangannya bergerak, memutar tonjolan batu ke arah berlawanan, ke
arah kiri. Mendadak terdengar suara berdesir halus. Lantai ruangan bergetar. Semakin jauh
tombol batu diputar ke kiri semakin keras suara desiran serta getaran di lantai.
Wiro tercekat. Terlebih ketika dia merasa dan mendengar ada sesuatu bergerak
bergeser. Wiro lepaskan jari-jarinya yang memegang alat rahasia. Kini, setengah
berjongkok dia pegangi tempat tidur batu dengan dua tangannya. Astaga! Yang
bergerak dan bergeser ternyata adalah tempat tidur batu itu!
Seberkas cahaya sangat suram menyeruak keluar dan Iantai di mana sebelumnya
tempat tidur batu terletak. Ketika Wiro memperhatikan apa yang dilihatnya sesuai
dengan ucapan orang.
Sebuah lubang berbentuk empat persegi panjang menganga di lantai ruangan. Bagian
dalamnya menyerupai tangga. Wiro terkesiap, tapi hanya sesaat. Di lain kejap
Pendekar 212 gulingkan diri masuk ke dalam lubang. Tubuhnya menggelindirig ke
bawah lalu terbanting di lantai satu lorong batu. Wiro merasakan tubuhnya seolah
ringsak. Tapi anehnya saat itu dia bisa bernafas lega kembail. Rasa sesak dan
berat di bagian dada lenyap. Tusukan yang menyengat sekujur permukaan kulitnya
sirna. Walau lutut, tulang pinggul dan tulang bahunya terasa sakit akibat terguling
jatuh tadi namun saat itu Wiro merasakan tenaganya luar dalam pulih kembali.
Dengar, cepat dia bangkit berdiri. Ternyata lorong di mana dia berada walau
c?kup lebar tapi pendek hingga untuk berdiri Wiro terpaksa membungkuk rundukkan
kepala. Sementara itu di sebelah atas, dalam ruangan batu, cepat sekali tempat tidur
batu bergeser kembali menutupi lubang empat persegi. Wiro melangkah merunduk
sepanjang lorong batu.
Matanya menatap tak berkesip ke arah depan di mana terlihat satu cahaya terang.
Lorong batu itu ternyata cukup panjang. Ketika Wiro sampai di ujung lorong,
jalan keluar ternyata tertutup dan terhalang oleh sederetan pohon bambu kuning.
Begitu hendak menyeruak dan lewat di antara batang-batang bambu, sang pendekar
jadi terperangah dan bersurut beberapa Iangkah. Tiga ekor ular besar hitam
berbintik putih bergelung pada tiga batang bambu. Kepala tegak terpentang, mulut
terbuka menjulurkan lidah bercabang merah laksana kobaran api, siap mematuk ke
arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Hebatnya tiga ular ini memiliki kepala berbentuk
empat persegi, berwarna abu-abu menyerupai kepala Iblis Kepala Batu Ails Empat.
Dan masing-masing kepala mengepulkan asap tipis kemerah-merahan.
"Ular kepala batu. Binatang jadi-jadian. Pasti bangsat beralis empat itu yang
punya pekerjaan!" pikir murid Sinto Gendeng.
Tiga ekor ular keluarkan suara mendesis garang. Dengan kepala tetap terpentang
ketiganya luncurkan badan ke bawah sambil mengulur sosok, siap mematuk secara
berbarengan ke arah orang di depan lorong batu.
Wiro tak punya waktu untuk berpikir lebih lama. Pada saat tiga ekor ular melesat
lepas dari batang bambu, menyerang ke arahnya dia segera lepaskan pukulan "Sinar
Matahari" Cahaya putih berkiblat. Hawa panas menghampar. Tiga ekor ular besar serta pohon-
pohon bambu laksana dilabrak topan hancur bermentalan melesat bertaburan di
udara. Tiga raungan aneh merobek langit berbarengan. Wiro terkesiap. Ketika memandang


Wiro Sableng 128 Si Cantik Dalam Guci di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke depan dia lebih kaget lagi. Di belakang pohon-pohon bambu itu ternyata ada
satu telaga. Hancuran tubuh tiga ekor ular dan hancuran batang-batang bambu melayang
berjatuhan ke bawah dan mengambang di atas permukaan air telaga. Sosok tiga ekor
ular yang telah hancur mengepulkan asap secara aneh tiba-tiba bergerak, menyatu
kembali satu sama lainnya. Begitu sosok masing-masing utuh membentuk tubuh ular,
perlahan-lahan tubuh mereka berubah menjadi sosok manusia berkepala botak
plontos tanpa pakaian. Kulit dan daging, mulai dan kepala sampai ujung kaki
melepuh hangus mengerikan. Sepuluh kuku jari mereka berubah panjang, merah
runcing berkeluk. Ketiganya tampak megap-megap di permukaan telaga. Lalu
keluarkan suara mengorok. Dan mulut, mata, hidung dan telinga tiga mahluk aneh
ini mengucur darah. Lalu didahului raungan panjang menggidikkan perlahan-lahan
sosok tiga mahluk botak telanjang itu meluncur amblas ke bawah, tenggelam dan
akhirnya lenyap dan permukaan telaga seperti tengah sekarat. Air telaga
kelihatan kemerah-meraha?. Wiro usap tengkuknya yang terasa dirigin dan
keringatan. Suara desau angin yang menggesek daun-daun pepohonan terdengar
seperti suara bisikan setan.
"Gila...!" Rutuk Pendekar 212 dalam hati. Dia memandang berkeliling. Seputar
telaga sunyi sepi seolah tak ada kejadian apa-apa. Tak berkesip Wiro perhatikan
deretan pohon-pohon besar, semak belukar dan satu lamping batu di sebelah kiri
telaga. Iblis Kepala Batu Alis Empat alias Iblis Kepala Batu Pemasung Roh dan
Sutri Kaliangan tidak kelihatan. Juga orang yang telah menolong dirinya. Tak ada
siapa-siapa di tempat itu.
"Orang yang menolongku...." kata Wiro dalam hati. "Dia menolong dengan syarat
agar aku tidak menjatuhkan tangan jahat terhadap Iblis Kepala Batu Pemasung Roh.
Apa hubungan orang itu dengan jahanam beralis empat. Jangan-jangan...." Wiro
menggaruk kepala. "Bukan jangan-jangan. Tapi aku yakin dia pasti adalah
Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh, nenek sakti bermata kerucut dari
Latanahsilam! Ketika dia menghadangku beberapa waktu lalu bukankah dia
mengatakan kalau Iblis Kepala Batu Pemasung Roh adalah adik kandungnya. Hemmm...
Nenek keparat, sekalipun kau banyak menanam budi sewaktu aku berada di Negeri
Latanahsilam. tapi jika kau berkomplot dengan saudaramu untuk mencelakai Bunga,
apapun yang terjadi kau akan kuhabisi! (Mengenai "Hantu Ponjunjung Roh" harap
baca riwayat Pendekar 212 di Negeri Latanahsilam mulai dan "Bola-Bola Iblis"
sampai "Istana Kebahagiaan" terdiri dari 18 Episode) Wiro berpikir keras. Ketika
dia mengejar Iblis Kepala Batu Alis Empat, selain masih menyekap Bunga dalam
guci tembaga, manusia satu itu juga telah menculik Sutri Kaliangan, puteri Patih
Kerajaan. Kini ketiga orang itu yakni Iblis Kepala Batu, Sutri Kaliangan dan si
nenek Hantu Penjunjung Roh lenyap entah ke mana.
"Aku harus mencari ke mana?" pikir Wiro. Sambil menggaruk-garuk kepala dia
melangkah sepanjang tepian telaga. Hanya beberapa tombak lagi dia akan mendekati
lampingan batu tibatiba ada suara berdesir di alas pohon besar di samping
kanannya. Wiro berpaling. Memandang mendongak ke alas pohon Wiro terpedaya.
Karena suara desiran di alas pohon hanyalah tipuan belaka untuk mengalihkan
perhatian. Saat itu, tiba-tiba sekali, tanpa Wiro dapat menduga, tanah yang
dipijaknya amblas. Sebatas leher ke bawah tubuh Pendekar 212 meluncur masuk ke
dalam satu lubang sempit. Tangannya terjepit tak bisa digerakkan. Sosoknya
tersembul hanya sebatas leher ke atas.
Pendekar 212 berusaha keluarkan diri dan lubang itu tapi tak berhasil. Dia
kerahkan tenaga dalam. Dua pukulan sakti dialirkan ke tangan kiri dan kanan
yakni pukulan "Benteng Melanda Samudera" dan "Dewa Topan Meriggusur Gunung".
Sambil huniamkan dua kakiriya ke dasar lobang, Wiro gerakkan tangan kiri kanan.
Kaget murid Sinto Gendeng bukan alang kepalang.
Ternyata dia tidak bisa melesat keluar dan dalam lubang dan dua tangannya tidak
mampu disentakkan untuk melancarkan pukulan guna menghancurkan tanah lubang yang
menjepit tubuhnya.
Rasa kaget sang pendekar jadi bertambah ketika tiba-tiba di tempat itu
menggelegar suara tawa bergelak. Satu sosok bertelanjang dada penuh bulu, hanya
mengenakan celana komprang hitam, berkulit muka kebiru-biruan muncul di hadapan
Wiro. Di pinggang kirinya terikat sebuah guci terbuat dari tembaga. Di bahu
kirinya dia memanggul sosok seorang gadis berpakaian ringkas kuning dalam
keadaan tertotok. Rambutnya yang hitam panjang tergerai ke mana-mana.
"Sutri Kaliangan...." desis Pendekar 212 menyebut nama puteri Adipati Kerajaan
Selo Kaliangan itu.
Mahluk di depan Wiro menyeringai. Taring di ujung bibir kiri kanan mencuat
mengerikan. Empat buah alis berwarna merah menghias angker sepasang matanya yang besar
merah. Tampangnya tambah mengerikan karena sebatas kening ke atas, batok kepalanya
berbentuk empat persegi, berwarna kolabu kehitaman, keras atos seperti batu.
Inilah Iblis Kepala Batu Ails Empat alias Iblis Kepala Batu Pomasung Roh.
"Mahluk keparat jahanam! Lepaskan gadis itu' Lepaskan gadis yang kau sekap di
dalam guci tembaga! Aku bersumpah membunuhmu, mencincang bangkaimu sampai lumat
kalau kau berani menciderai sedikit saja salah satu dan keduanya!"
Iblis Kepala Batu tertawa tergelak-gelak.
"Dasar pemuda sombong! Congkak! Kau tidak mampu membebaskan diri keluar dan
lubang itu! Masih bisa bicara ngelantur hendak mencincang diriku! Ha... ha...
ha! Apa tidak sadar kalau ajal sudah di depan mata"!"
Habis berkata begitu Iblis Kepala Batu keluarkan suitan keras. Teriadi satu hal
yang tidak disangka-sangka. Dan dalam telaga melesat tiga sosok botak telanjang
yang kulit dan dagingnya melepuh hangus terkelupas. Darah mengucur dan hidung,
mata, mulut dan telinga. Seperti diketahui sebelumnya tiga mahluk dahsyat ini
adalah perubahan bentuk dan tiga ekor ular yang telah dihantam hancur dengan
Pukulan Sinar matahari. Tadi ketiganya amblas ke dalam telaga seperti mati. Kini
bagaimana bisa hidup dan muncul kembali"
Tiga mahluk botak mendongak ke langit lalu sama-sama keluarkan suara meraung
keras. Darah bermuncratan dan mata, hidung, telinga dan mulutnya. Luar biasa
mengerikan. Iblis Kepala Batu keluarkan suitan keras.
Tiga mahluk angker hentikan raungan mereka, lalu tegak berjejer dengan tubuh
setengah membungkuk. Mata yang tertutup genangan darah diarahkan pada Pendekar
212 Wiro Sableng yang terpendam dalam tanah mulai dan leher ke bawah. Dua tangan
diangkat ke atas. Sepuluh jan berkuku panjang merah terpentang ke depan.
"Anak Ketiga! Tunjukkan pada pemuda sombong ini kedahsyatan kuku merah di ujung
jari kalian!" Iblis Kepala Batu berteriak.
Tiga mahluk botak telanjang keluarkan suara meraung panjang. Salah seorang dan
mereka yang dipanggil dengan nama Anak Ketiga tiba-tiba melesat ke arah lamping
batu di tepi telaga sebelah kiri. Tangan kirinya berkelebat. Lima sinar merah
membersit dan ujung kuku tangan.
Sesaat kemudian terdengar suara kreekkkk...!
Pada lamping batu di tepi telaga kelihatan guratan panjang sedalam setengah
jengkal, mengepulkan asap merah!
Mau tak mau Pendekar 212 jadi bergidik melihat apa yang dilakukan mahluk kepala
botak dan apa yang terjadi dengan batu besar di tepi telaga. Batu demikian
kerasnya sanggup dibuat hancur demikian rupa, apalagi kalau hanya tubuh manusia.
"Agaknya aku yang akan dijadikan sasaran berikutnya," pikir murid Sinto Gendeng.
Tengkuknya mengkirik, dadanya berdegup keras. Dia kerahkan seluruh tenaga luar
dalam untuk bisa keluar dari lubang, tapi sia-sia saja.
Sambil menyeringai Anak Ketiga kembali ke tempatnya semula di samping dua
kawannya. Tiba-tiba Iblis Kepala Batu berteriak menggelegek.
Bunuh!" Tiga mahluk botak telanjang memekik keras dan garang. Ketiganya melompat ke arah
Wiro. Enam trni?jnnangan berkelebat ke depan. Tiga puluh kuku keluarkan cahaya
merah mengerikan, membeset ke arah kepala dan leher Wiro! Iblis Kepala Batu
iringi serangan itu dengan suara tawa bekakakan.
Sesaat lagi tiga puluh kuku maut akan merobek menghancurkan batok kepala, muka
dan leher Pendekar 212 Wiro Sableng, tiba-tiba dua larik sinar hijau melesat
keluar dan sepasang mata Wiro, laksana dua bilah pedang luar biasa tajam dengan
kecepatan kilat membabat bersilangan. lnilah Ilmu "Sepasang pedang Dewa" yang
didapat Wiro dan Datuk Rao Basaluang Ameh.
"Craass!"
"Craass!"
"Craass!"
Tiga lolongan dahsyat terdengar berbarengan merobek langit. Tiga tubuh telanjang
bermentalan jauh ke udara dalam keadaan terkutung-kutung, berubah menjadi hijau
dan mengepulkan asap berbau busuk lalu melayang jatuh ke arah telaga.
Sambaran Sepasang Pedang Dewa tidak hanya menghantam tiga mahluk kepala botak,
tapi juga menghajar dua pohon besar dan lamping batu di tepi telaga. Dua pohon
tertabas rata, bagian atas roboh menggemuruh. Ranting-ranting sampai ke daun
hangus berubah hijau. Lampingan batu di tepi telaga hancur berkeping-keping,
juga hangus kehijauan. Di mana-mana asap hijau bertebaran menutup udara.
Sepasang mata merah Iblis Kepala Batu seakan mau melompat dari rongganya melihat
apa yang terjadi. Dari mulutnya keluar suara seperti meratap. Ketika Wiro
memutar kepala ke arahnya Iblis Kepala Batu mengira dia akan diserang dengan
sepasang sinar hijau itu. Nyalinya bergetar. Tidak tunggu lebih lama, Iblis
Kepala Batu segera putar tubuh, membuat tiga kali lompatan dan di lain kejap
lenyap dan tempat itu.
"Iblis jahanam! Jangan lari!" teriak Wiro. Dia membuat gerakan hendak mengejar.
Lupa kalau sosoknya tak bisa bergerak, terjepit di dalam lubang!
BASTIAN TITO SI CANTIK DALAM GUCI
KITA tinggalkan dulu Pendekar 212 yang bernasib malang, terjepit di dalam lobang
tanpa mampu berbuat suatu apa. Kita kembali pada Dewi Bunga Mayat yang bernasib
lebih celaka dari Wiro.
Di dalam guci tembaga tempat dirinya disekap yang terus bergoyang karena dibawa
berlari oleh Iblis Kepala Batu, Bunga gadis alam roh duduk bersila, mata
terpejam, dua tangan diletakkan di atas paha. Gadis ini tengah mengheningkan
cipta, mengerahkan segala akal dan daya, berusaha bagaimaria caranya agar dia
dapat keluar dari dalam guci. Seperti diketahui Bunga yang bernama asli Suci dan
mendapat juhukan Dewi Bunga Mayat meinihiki ilmu kesaktian tinggi. Namun di
dalam guci dia sama sekali tidak mampu mengerahkan kesaktiannya untuk
membebaskan diri. Jangankan keluar dari dalam guci tembaga, mengerahkan tenaga
dalam saja dia tidak mampu. Dia sadar cepat atau lambat bahaya besar akan
menimpa dirinya.
Dari dalam guci tembaga dia tahu kalau beberapa waktu lalu telah teriadi
perkelahian antara Iblis Kepala Batu dengan Pendekar 212. Dia tak mampu melihat,
hanya mendengar suara dan membayangkan kira-kira apa yang teriadi. Ada mahluk-
mahhuk aneh di bawah kekuasaan Iblis Kepala Batu. Mereka diperintahkan untuk
membunuh Pendekar 212. Dari ucapan Iblis Kepala Batu saat itu Bunga mengetahui
kalau Wiro berada dalam keadaan tak berdaya, terpendam dalam lobang.
"Aku mendengar suara Iblis Kepala Batu berteriak bunuh!" Bunga membatin, masih
dalam keadaan duduk bersiha dan pejamkan mata. "Lalu ada raungan dahsyat.
Menyusul suara tubuh seperti dicabik-cabik. Gemuruh pohon tumbang. Getaran suara
hancurnya bebatuan. Kemudian aku mendengar suara Pendekar 212 berteriak : Iblis
jahanam! Jangan lari! Agaknya mahluk-mahluk yang diperintah Iblis Kepala Batu
bukan saja tidak mampu rnelaksanakan perintah membunuh Wiro. Malah mereka
menjadi korban. Dibantai Pendekar 212 entah bagaimana caranya, entah dengan apa.
Iblis Kepala Batu malarikan diri. Dari ucapan Wiro sebelumnya, rupanya Sutri
Kaliangan, puteri Patih Kerajaan masih berada di tangannya...." Bunga menarik
nafas dalam. "Apa yang sekarang terjadi dengan Wiro. Lalu bagaimana dengan nasib
diriku sendiri. Aku tak mampu keluar dari sekapan. Di luar sana tidak seorangpun
bisa menolongku.
Bahkan para mahluk alam rohpun tidak punya daya berbuat sesuatu..." Kembali
Bunga menarik nafas dalam. Tubuhnya diam tak bergerak. Alam pikirannya membubung
keluar dari guci tembaga. Tiba-tiba sepasang alis dan mata gadis ini bergerak.
Ada sesuatu masuk ke dalam benaknya, muncul dalam pikirannya. (Kisah bagaimana
bunga sampai kena disekap dalam guci tembaga oleh Iblis Kepala Batu Alis Empat
bisa dibaca dalam serial Wiro Sableng berjudul
"Gondoruwo Patah Hati)
"Beberapa waktu lalu aku pernah menitipkan sekuntum kembang kenanga sakti pada
Anggini. Jelas kupesankan padanya agar kembang itu diserahkan pada Wiro. Sebagal
pengganti kembang kenanga yang katanya hilang. Kalau Wiro memegang kembang itu
sambil pikirannya ditujukan padaku, aku akan mendapat satu kekuatan maha
dahsyat, bisa keluar dan dalam guci laknat ini. Wiro sendiri tahu kalau aku
disekap lblis Kepala Batu di sini. Mengapa dia tidak berusaha mengambil kembang
itu, melakukan sambung rasa terhadapku...." Lama Bunga merenung. Kemudian hati
dan jalan pikirannya bersuara kembali. "Mungkin Anggini belum bertemu dengan
Wiro. Mungkin juga mereka telah bertemu tapi Anggini lupa memberikan kembang
kenanga itu. Atau " Gelisah dan prasangka buruk muncul dalam hati gadis alam roh
itu. "Jangan-jangan....bisa saja Anggini sengaja tidak mau memberikan kembang kenanga
sakti pada Wiro. Dia tidak ingin aku meneruskan menjalin hubungan dengan pemuda
itu. Bodohnya aku ini! Memberi amanat pada orang yang sebenarnya meniadi
sainganku. Bukankah Dewa Tuak ingin sekali menjodohkan muridnya itu dengan
Pendekar 212" Tapi kabarnya Eyang Sinto Gendeng guru Wiro tidak begitu suka
dengan niat Dewa Tuak itu. Wiro sendiri konon bersikap biasa-biasa saja,
menganggap Anggini seperti adik sendiri. Tetapi jika diriku dibandirig dengan
Anggini... Gadis itu memiliki segala-galanya. Bukan cuma kecantikan dan kasih
sayang sejati terhadap Wiro, tapi dia adalah insan nyata alam kehidupan manusia.
Sedang aku hanya mahluk alam roh. Mana rnungkin bisa bersatu dalam kehidupan
manusia. Kalau saja aku bisa kembali menjadi anak manusia seutuhnya...."
Untuk beberapa lamanya Bunga larut dalam kesedihan, lupa kalau saat itu dirinya
berada dalam sekapan mahluk jahat Iblis Kepala Batu.
"Aku harus melakukan sesuatu. Aku harus mencoba mengadakan hubungan dengan
Pendekar 212." Bunga rangkapkan dua tangan di depan dada. Sepasang mata
dipejamkan. Seluruh cita dan rasa ditujukan pada satu orang diluar sana yakni Pendekar 212
Wiro Sableng. Tapi dia hanya menemul kesia-siaan. Dia tidak mampu memasuki aliran gaib yang
bisa membuka tabir hubungan tali rasa dengan orang yang dituju. Guci tembaga
dimana dia disekap memiliki satu kekuatan dahsyat yang bukan saja melumpuhkan
semua kepandaian yang diinilikinya, tapi juga tak mampu ditembus.
Mendadak goyangan guci bertambah keras. Snyup-sayup Bunga mendengar suara
berderakderak. "Anak tangga. Iblis keparat itu menaiki tangga kayu. Berarti dia tengah menuju
satu bangunan tinggi.
Terdengar suara pintu terkuak, lalu suara benda herni duletakkan di satu tempat.
"Jahanam itu agaknya membaringkan gadis culikannya dilantai kayu, mungkin juga
di atas sebuah ranjang,"
pikir Bunga. Untuk kesekian kalinya guci bergoyang keras kemudian diam, tidak bergerak tidak
bergeming. Bunga menduga guci tempat dirinya disekap diletakkan di satu tempat
rata. Mungkiri sebuah meja. Keheningan hanya sesaat. Tiba-tiba terdengar suara
Iblis Kepala Batu.
"Dewi Bunga, gadis alam roh. Aku mau bicara denganmu. ini untuk terakhir
kalinya. Jika kau masih menunjukkan sikap keras kepala, menolak kemauanku, kau
akan celaka sampai kiamat!"
Di dalam guci Bunga keluarkan suara mendengus. Lalu terdengar suaranya, kecil
seolah datang dari kejauhan.
"Aku sudah tahu apa yang hendak kau ucapkan! Kau pernah mengatakan sebelumnya.
Jangan membuat aku muntah mendengar ucapanmu untuk kedua kali!"
Iblis Kepala Batu walau marah mendengar kata-kata Bunga, tapi malah umbar tawa
bergeIak."Jangan berlaku tolol Bunga. Apa kau lupa aku masih membawa tabung
bambu berisi asap penyiksa roh.."
"Kau boleh menakut-nakuti diriku! Tapi siapa perduli! Kau pernah mengancam akan
menyiksaku dengan asap jahanam itu sampai kiamat! Mengapa tidak kau lakukan"!"
"Kau memang gadis hebat. Itu yang menimbulkan salah satu kekaguman diriku
padamu! Maksudku balk. Aku ingin menjadikan dirimu sebagai teman hidupku. Karena aku
hanya bisa berhubungan dengan gadis alam roh sepertirnu. Aku tak bisa
berhubungan dengan perempuan manusia biasa.
Apa salahnya kau kujadikan mahluk peliharaanku" Selama ini kau hanya menempati
alam kehidupan mati tidak hidup pun tidak. Bersamaku aku mampu memberikan
kebahagiaan yang selama ini tidak pernah kau rasakan."
Di dalam guci kembali Bunga keluarkan suara mendengus.
"Di neraka banyak setan, iblis dan jin. Mengapa kau tidak pergi kesana mencari
pasangan yang kau inginkan"!"
"Bunga, jangan membuat aku kehilangan kesabaran...."


Wiro Sableng 128 Si Cantik Dalam Guci di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau bukan hanya kehilangan kesab?ran. Sebentar lagi kau akan kehilangan
nyawamu!" sahut Bunga dan dalam guci.
"Aku tahu kau tidak takut segala macam ancaman. Tapi dengar. Di tempat ini ada
seorang gadis bernama Sutri Kaliangan. Puteri Patih Kerajaan. Aku telah
menggeledah tubuhnya...."
"Iblis jahanam! Perbuatanmu keji dan mesum!"
"Aku bisa seribu kali Iebih keji dan mesum!" kata Iblis Kepala Batu pula. "Jika
kau tidak mau memenuhi permintaanku, gadis ini akan kuperkosa lalu kubunuh!"
Dajal jahanam! aku bersumpah membunuhmu!" teriak Bunga. Gadis alam roh ini tidak
kawatir dengan ancaman Iblis Kepala Batu yang pertama karena sesuai pengakuan
Iblis Kepala Batu sendiri diri tidak mampu berhubungan dengan perempuan lain
kecuali mahluk alam roh seperti dirinya. Yang dikawatirkan Bunga ialah ancaman
kedua yakni niat jahat Iblis Kepala Batu hendak membunuh Sutri Kaliangan.
Di dalam ruangan, di atas rumah panggung terbuat dan kayu yang terletak di satu
kawasan rimba belantara, Iblis Kepala Batu yang hanya mengenakan cawat dan tubuh
penuh bulu itu menyeringai. Dia lepaskan totokan yang menutup jalan suara di
leher Sutri Kaliangan yang saat itu terbaring kaku tak bisa bergerak tak mampu
bersuara. Begitu jalan suaranya terbuka dan dia bisa bicara puteri Patih
Kerajaan itu langsung menghardik dan mencaci maki Iblis Kepala Batu.
"Iblis keparat! Kau telah dapatkan dan merampas benda yang kau cari! Mengapa
masih hendak mencelakai diriku"!"
Sambil terus menyeringai mahluk berwajah kebiru-biruan yang memiliki empat alis
berwarna merah ini keluarkan sebilah keris yang mulai dan sarung sampai gagang
dan badannya berlapiskan emas. ltulah Keris Naga Kopek pusaka Kerajaan yang
pernah dijarah komplotan perampok kemudian berhasil dirampas oleh Damar Wulung.
Ketika Damar Wulung menyerahkan keris itu pada seorang Tumenggung di Kotaraja
ternyata dia telah lebih dulu menukar keris dengan yang palsu, hanya sarungnya
saja yang masih asli, (Harap baca serial Wiro Sableng beriudul "Roh Dalam
Keraton") Keris yang kini berada di tangan Iblis Kepala batu adalah senjata yang
berhasil diselamatkan dari tangan Damar Wuhung (baca serial Wiro Sableng
berjudul "Senandung Kematian") Seperti diketahui keris ini adalah keris asli sebaliknya
sarungnya palsu karena sarung yang asli sudah berada di tangan Sri Baginda di
Kotaraja. Iblis Kepala batu tertawa bergumam.
"Aku memang sudah dapatkan Keris Naga Kopek. Tapi ada yang tidak beres. Aku tahu
sekali. Sarung seniata ini tidak asli..."
"Perduli setan sarungnya asli atau tidak! Lekas bebaskan diriku!" teriak Sutri
Kaliangan. "Gadis cantik. Tenang... aku masih ingin bersenang-senang dengan dirimu."
Habis berkata begitu mahluk berwajah biru dan memiliki dua taring ini simpan
Kenis Naga Kopek dibalik cawatnya lalu melangkah mendekat Sutri Kaliangan yang
bisa bersuara tapi tetap terbaring kaku diatas balai-bahai kayu beralaskan kasur
jerami kering. "Brett!"
Putri Kaliangan memekik keras.
"Jahanam! Apa yang kau lakukan"!" teriak Bunga dan dalam guci. Suara robeknya
pakaian membuat gadis alam roh ini terkejut. Walau mungkiri Iblis Kepala Batu
memang tidak bisa memperkosa Puteri Patih Kerajaan itu tapi dia bisa saja
melakukan seribu satu kekejian dan kemesuman lain sebelum membunuh Sutri.
lblis Kepala Batu Alis Empat tertawa panjang.
Dewi Bunga, aku memberi kesempatan sekali lagi padamu. Kau bersedia menjadi
gundik peliharaanku atau tidak"!"
DI dalam guci tembaga Bunga terdiam. Dirinya memang dalam bahaya besar. Tapi
keselamatan dan kehormatan Sutri Kaliangan yang masih gadis itu diatas segala-
galanya. Haruskah dia mengorbankan diri demi keselamatan gadis yang masih suci bersih
itu" Agaknya tak ada jalan lain. Apapun yang akan teriadi atas diriinya yang
penting Sutri Kaliangan perlu diselamatkan lebih duu. Apa yang bakal kejadian
dengan dirinya sendiri itu urusan nanti, pikir gadis alam roh itu.
"Iblis jahanam! Baik, aku bersedia memenuhi permintaanmu. Tapi dengan satu
syarat! Kau harus membebaskan puteri Patih Selo Kaliangan lebih dulu!"
lblis Kepala Batu tertawa mengekeh. "Ha...ha! Akhirnya kau mengalah juga! Tapi
siapa percaya ucapanmu!"
"Brettt!" Kembali terdengar suara robeknya pakaian. Disus?l jeritan dan caci
maki Sutri Kaliangan.
"Mahluk dajal! aku sudah bersedia memenuhi permintaan kejimu! Mengapa kau masih
hendak mencelakai gadis itu!" teriak Bunga. "Keluarkan aku dan dalam guci celaka
ini!" Gelak tawa Iblis Kepaja Batu semakin menjadi.. jadi.
"Dajal terkutuk apa maumu sebenarnya"!" "Aku merubah keputusan!" jawab Iblis
Kepala "Apa maksudmu"!"
"Aku ingin bersenang-senang lebih dulu memandangi dan menggerayangj tubuh molek
puteri Patih Kerajaan ini. Jika sudah puas, baru kubunuh. Mengenai dirimu,
kupikir untuk sementara kau akan kubiarkan dalam guci. Sampai akhirnya kau mau
menyerahkan diri tanpa syarat apapun''
"Benar-benar jahanam terkutuk!" Didalam guci Bunga yang tubuhnya secara aneh
berubah kecil mengikuti bentuk guci melompat dari duduknya. Gadis alam roh ini
menghantam kian kemari, memukul dan menendang. Guci tembaga yang diletakkan di
atas meja kayu itu bergoyang-goyang tiada henti.
"Keluarkan semua kehebatan dan kesaktianmu! Habiskan seluruh tenagamu! Sampai
kiamat kau tidak akan mampu keluar dan dalam guci!"
Di dalam guci seperti orang kemasukan setan, Bunga mengamuk hingga akhirnya dia
capai sendiri kehabisan tenaga dan duduk terkapar di dasar guci. Di luar sana
terdengar gelak tawa Iblis Kepala Batu. Lalu terdengar jeritan-jeritan Sutri
Kaliangan. Hampir separuh pakaian kuningnya terutama disekitar dada telah
tersingkap akibat robekan jari-jari tangan Iblis Kepala Batu. Ketika Iblis
Kepala Batu hendak merobek bagian pinggang pakaian, tiba-tiba satu kilatan panas
dan menyilaukan berkiblat disusul letupan keras mengeledek. Dinding kanan
bangunan kayu hancur tenggelam dalam kobaran api. Enam tiang besar penyanggah
bangunan patah. Selagi bangunan panggung itu siap menggemuruh roboh, satu
bentakan menggelegar.
"Dajal Kepala Batu! Jangan harap kali ini kau bisa lolos dari kematian!"
Dua letusan terdengar berturut-turut. Bangunan panggung hancur berantakan
sebelum robohannya menyentuh tanah.
Ketika tiga bayangan berkelebat dalam kepulan asap tebal dan kobaran api, Iblis
Kepala Batu cepat menangkap guci tembaga yang terpental dari atas meja. Lalu
secepat kilat dia berkelebat ke arah balai-balai kayu, siap untuk menyambar
sosok Sutri Kaliangan yang nyaris bagian atas tubuhnya tidak tertutup pakaian
lagi. Namun sebelum maksudnya kesampaian satu tendangan melanda tangan kiri
diatas sikunya.
"Kraaak!"
Tulang tangan kiri hancur. Iblis Kepala Batu terpental keluar bangunan lewat
dinding yang telah roboh. Jatuh ke tanah dia masih sanggup berdiri di atas dua
kaki. Walau t?nahnya hancur tapi mahluk satu ini tidak mengeluh apa lagi
menierit kesakitan. Malah Iblis Kepala Batu sunggingkan seringai mengejek.
Dengan telapak tangan kanan dia usap tangan kiri yang hancur.
Saat itu juga tangan yang cidera sembuh kembali seperti tidak terjadi apa-apa!
Setengah membungkuk, dengan beban tubuh Sutri Kaliangan di bahu kanan, Iblis
Kepala Batu siap hendak menghantam. Namun begitu melihat keadaan di depannya
serta merta dia batalkan niat. Lebih baik selamatkan diri lebih dulu selagi dia
masih bisa menguasai Bunga yang disekap dalam guci tembaga dan puteri Patih
Kerajaan. "Pendekar 212 jahanam..." rutuk Iblis Kepala Batu. Dia melirik ke kiri sambil
keluarkan suara menggeram. "Aku kenali bocah berambut jabrik yang muncul
bersamanya. Tapi siapa nenek berwajah setan di sebelah sana. Apakah aku pernah
melihatnya sebelumnya. Mungkin dia yang dijuluki...."
Iblis Kepala Batu tidak bisa berpikir lebih panjang. Ketika dilihatnya tiga
orang itu menerjang ke arahnya dia segera keluarkan sebuah benda bulat berwarna
hijau sebesar kepalan lalu dilempar ke udara. Begitu melayang di udara benda itu
meledak keras. Saat itu juga asap hijau pekat dan tebal menutupi pemandangan.
Dalam. keadaan seperti itu, dari balik kepulan asap hitam terdengar suara
teriakan perempuan.
"Wiro! Alis kiri sebelah bawah! Alis kiri sebelah bawah....! Hkk!"
Suara teriakan mendadak lenyap karena orang yang berteriak yaitu Sutri Kaliangan
dicekik lehernya oleh Iblis Kepala Batu. Saat itu Wiro tidak begitu
memperhatikan teriakan itu. Pada dua temannya dia berteriak.
"Kurang ajar! Cepat tutup jalan pernapasan!" Pendekar 212 memaki dan berteriak.
Dia kawatir asap hijau itu mengandung racun mematikan. Lalu murid Sinto Gendeng
berseru. "Naga Kuning, kejar ke kiri. Nenek, kau ke jurusan kanan!" Wiro sendiri kemudian
menghambur lurus. Jauh di balik asap hijau tiga orang itu bertemu kembali, sama-
sama berbatuk-batuk. Wajah masingmasing kelihatan kemerahan. Ketiganya saling
pandang dan uniukkan wajah kesal. Orang yang mereka kejar, Iblis Kepala Batu
telah lenyap! "Kabur lagi! Dia berhasil kabur lagi!" kata Pendekar 212 sambil hentakkan kaki
dan garukgaruk kepala.
"Tadi aku mendengar ada perempuan berteriak padamu. Dia menyebut-nyebut alis
mata kiri sebelah bawah. Apa maksudnya..." Naga Kuning yang berdiri di samping
Wiro keluarkan ucapan. "Suara yang berteriak kukenali. Itu suara Sutri
Kaliangan, puteri Patih Kerajaan. Tapi apa maksudnya tak dapat kuduga," jawab
Wiro Sang pendekar berpaling pada nenek berpakaian serba hitam, berambut kelabu
di sebelahnya. Lalu bertanya. "Nek, mungkiri kau bisa menduga...."
"Gadis itu berusaha memberi tahukan sesuatu. Namun saat ini aku tak bisa
berpikir panjang.."
"Aku mengerti," sahut Wiro pula. "Saat ini kau sedang kasmaran sama anak geblek
satu ini! Mana bisa memikirkan hal lain!"
Wajah si nenek yang aslinya bernama Ning Intan Lestari namun lebih dikenal
dengan julukan Gondoruwo Patah Hati berubah merah cemberut sementara Naga Kuning
hanya senyum-senyum. Dalam keadaan seperti itu, selagi ketiganya tidak tahu mau
mengejar Iblis Kepala Batu ke mana, tiba-tiba satu bayangan berkelebat. Tahu-
tahu seorang nenek berpakaian coklat yang di atas kepalanya ada kepulan asap
merah berbentuk kerucut terbalik, berdiri di hadapan ke tiga orang itu. Sepasang
bola matanya berbentuk segitiga merah, menatap keluar masuk ke arah Wiro dan
kawan-kawan. Siapa gerang?n adanya nenek aneh ini dan bagaimana ceritanya sampai
Wiro bisa berada di tempat itu bersama Naga Kuning serta Gondoruwo Patah Hati,
padahal sebelumnya dia dikenal terjebak dalam jepitan lobang"
BASTIAN TITO SI CANTIK DALAM GUCI
KEMBALI pada kejadian sewaktu Pendekar 212 Wiro Sableng masih terjebak dalam
lobang tanah. Murid Sinto Gendeng ini tak tahu mau berbuat apa. Dia tidak bisa
mengerahan tenaga luar apa lagi tenaga dalam. Dia tidak mampu menggerakkan dua
tangan. Hanya sepasang bola matanya yang bisa digerakkan kian kemari. Dan dua
mata itu dia bisa mengeluarkan ilmu kesaktian yang disebut Sepasang Pedang Dewa.
Dengan ilmu itu dia berhasil selamatkan diri dan serangan tiga mahluk jejadian
peliharaan Iblis Kepala Batu. Tetapi ilmu pedang sakti itu tidak mungkin
dipergunakan untuk meloloskan diri dan dalam jepitan lobang. Salah-salah dia
sendiri bisa cidera kar?na' jarak terlalu dekat dengan tubuhnya bila ilmu itu
dipergunakan untuk membelah tanah di hadapannya.
Wiro mengeluh dan memaki dalam hati. Kalau saja dia bisa mengeluarkan tangan
kanan dan jepitan lobang maka dengan satu pukulan sakti dia bisa menghancurkan
tanah di sekeliling nya. Dengan ilmu Pukulan Harimau Dewa yang didapatnya dan
Datuk Rao Basaluang Ameh dia bisa mendorong jebol tanah di depannya. Ingat pada
Pukulan Hanimau Dewa, Wiro jadi ingat pada Datuk Rao Bamato Hijau yakni harimau
putih bermata hijau yang menurut Datuk Rao Basaluang Ameh akan meniadi penjaga
dan penolong dirinya dalam kesulitan. Dalam hati Wiro segera membatin memanggil
harimau sakti itu. Namun sampai berulang kali tidak teriadi apa-apa.
Dan hanya membatin Wiro keluarkan ucapan perlahan. Lalu makin keras. Akhirnya
pendekar ini berteriak keras-keras. Tetapi tetap saja tidak teriadi apa-apa.
Harimau yang dipanggil tak kunjung menampakkan diri. Wiro tidak menyadari bahwa
ada sejenis hawa aneh di dalam lobang yang bukan saja membuat dia tidak mampu
menggerakkan tangan atau kaki, juga tidak dapat mengerahkan tenaga kasar luar
dan dalam, tetapi juga menghambat setiap usaha untuk berhubungan dengan mahluk
apa saja yang berada di alam lain. Malah selagi dia berteniak-teriak seperti itu
tiba-tiba pluuk!.
Sebuah benda menghantam bagian belakang kepalanya. Sakit memang tidak tapi kaget
serta jengkelnya sang pendekar bukan kepalang. Dalam keadaan, dirinya seperti
itu siapa orang yang mau berlaku kurang ajar berani mempermainkan, menimpuk
kepalanya. Wiro berusaha menoleh ke belakang tapi dia tak bisa melihat benda apa
yang barusan dilemparkan ke kepalanya selagi dia menoleh ke kiri dan ke kanan,
untuk kedua kalinya tiba-tiba ada lagi yang menimpuk.
Benda yang ditimpukkan tepat mengenai keningnya lalu jatuh menggelinding di
tanah. Wiro delikkan mata. Benda yang dipakai melempar kepalanya ternyata buah
jambu yang masih muda.
"Keparat! Setan dari mana berani main-main menyambit kepalaku"!" Membentak Wiro
sambil matanya memandang berkeliling.
Terdengar suara orang tertawa cekikikan. Ada dua orang.
"Bangsat! Siapa kalian"!" Wiro kembali membentak.
"Plukk!"
Lemparan ke tiga, juga dengan buah jambu mendarat tepat dipuncak hidung. Kalau
dua lemparan pertama dia tidak merasa sakit maka lemparan ke tiga ini membut
hidungnya terasa pedas dan rasa sakit menjalar sampai ke pipi. Apa lagi buah
jambunya lebih besar dan lebih keras.
Dalam marahnya Wiro tak dapat menahan diri. Hampir saja dia melepas Sepasang
Pedang Dewa dari ke dua matanya, diarahkan ke sederetan pohon jambu hutan di
depan sana di balik mana diduganya salah satu dari dua orang yang melempar
bersembunyi. "Bangsat-bangsat pengecut setan pohon jambu! Unjukkan diri kalian! Berani
melempar tapi sembunyikan tampang!"
Kembali terdengar suara tawa cekikikan. Kali ini Wiro bisa mendengar jelas.
Orangnya ada dua, satu di sebelah depan satu lagi di sebelah belakang.
"Keparat sialan! Kusumpahi kalian agar dicekik setan telaga!"
Baru saja Wiro memaki sekonyong-konyong braakkk!
Sebuah benda melayang dan balik pohon besar di depan sana. Ternyata sebuah
ketiding hitam lebar berisi air, jatuh di tanah, hanya dua langkah di hadapan
kepala Wiro. Ketidirig seperti ini biasanya dipergunakan oleh pedagang ikan. Air
yang muncrat dan dalam ketiding membasahi rambut dan muka Pendekar 212.
Celakanya air ini kotor, berwarna kehitam-hitaman, berbau busuk sekali. Mungkiri
air comberan. Tawa cekikikan kembali terdengar di sebelah depan dan belakang. Wiro tidak dapat
menahan diri lagi. Kesabarannya habis. Dua matanya segera di arahan ke pohon
jambu besar sebelah tengah di depan sana. Ilmu' Sepasang Pedang Dewa siap
dihantamkan. Tapi tiba-tiba sesuatu membuat murid Sinto Gendeng ini jadi
mengkeret, mendeljk kaget.
Dan dalam bakul berair busuk, keluar mahluk panianig hitam berkilat. Mengeliat-
geliat lalu meluncur turun ke tanah. Bukan cuma satu dua tapi puluhan banyaknya!
"Gila! Belut penghisap darah!" Pendekar 212 keluarkan seruan tertahan. Dia
tercekat setengah mati. Apa lagi ketika dilihatnya belut-belut hitam itu
meluncur ke arahnya. Tak ada hal lain yang bisa dilakukan Wiro. Kali ini dia
memang harus mengeluarkan llmu Sepasang Pedang Dewa. Siapa mau darahnya disedot
habis oleh puluhan belut yang tubuhnya tipis-tipis pertanda binatang-binatang
itu sedang haus darah! Tapi terlambat."deeppp!"
Belut pertama tancapkan mulutnya ke leher kiri Wiro. Sang pendekar meni?rit
setinggi langit. Rasa takut ngeri, sakit dan jijik jadi satu. Terlebih lagi
ketika dia merasa darahnya mengalir tersedot Belasan belut hitam meluncur tambah
dekat. Dua diantaranya segera tempelkan mulut di sasaran. Satu di bawah tulang
belikat, satu lagi pipi kanan. Wiro kembali menjerit.
Tubuhnya seperti mau meledak di dalam lobang tapi dia tak mampu berbuat apa
selain menggoyangkan kepala dan leher, berusaha menjatuhkan tiga belut yang
menghisap darahnya.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba Pendekar 212 ingat sesuatu. Puluhan belut
siap menyedot habis darah yang ada di dalam tubuhnya. Belut! Belut! Dimana-mana
di hadapannya saat itu yang kelihatan hanya belut hitam!
"Gusti Allah!" Wiro berucap setengah berseru. "Aku memiliki limu Belut Menyusup
Tanah. Mengapa tidak aku pergunakan untuk selamatkan diri keluar dari dalam
lobang" Bodohnya aku ini!"


Wiro Sableng 128 Si Cantik Dalam Guci di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak tunggu lebih lama murid Sinto Gendeng segera merapal ajian ilmu kesaktian
Betut Menyusup Tanah. Dalam lobang itu dia memang tidak bisa mengerahkan tenaga
dalam tetapi aji kesaktian yang dirapalnya membuat tubuhnya agak menciut dan
permukaan kulitnya seolah berubah licin. Dia mempunyai ruang untuk bergerak
kini. Sementara itu dua belut lagi telah menggigit lehernya.
Didahului teriakan menggelegar munid Sinto Gendeng dorongkan dua tangan ke
depan. Tidak kepalang tanggung. Dia hantamkan pukulan sakti yang didapatkan dan
Datuk Rao Basaluang Ameh dan dipelajarinya dari "Kitab Putih Wasiat Dewa" dengan
tangan kiri kanan sekaligus yakni pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang
Terjadilah hal yang hebat.
Tanah di depan Wiro bergetar menggemuruh lalu terbongkar, berhamburan ke udara.
Bersamaan dengan lepasnya dia dari jepitan lobang, tenaga luar dan dalam yang
dimilikinya kembali bekerja. Hawa sakti mengalir di seantero tubuhnya. Wiro
melesat sampai dua tombak.
Sambil melayang di udara dua tangannya bergerak menyambar dan membetot lima
belut hitam yang melekat di leher dan wajahnya lalu diremas hingga hancur.
Ketika melayang turun dan jejakkan kaki di tanah, Wiro terperangah sendiri,
melihat akibat pukulannya. Satu lobang luas hampir menyerupai kolam sedalam satu
tombak menganga di hadapannya. Tiba-tiba ada suara menderu keras dari samping
kiri. Wiro palingkan kepala.
Ternyata air dan telaga di sebelah sana mengalir deras mencurah memasuki lobang
besar. Tak lama kemudian kolam itu menjadi satu dengan telaga, membentuk satu
telaga baru yang hampir satu setengah kali lebih besar dari aslinya.
Wiro tidak berdiri berlama-lama. Sesaat dia usap leher dan mukanya yang bekas
ditancapi lima belut penghisap darah. Lalu begitu dia ingat akan ketiding berisi
belut yang dilemparkan dari balik pohon jambu besar, tanpa tunggu lebih lama dia
segera melompat ke balik pohon. Tapi dia tidak menemukan siapa-siapa di tempat
itu. Sebaliknya dia mendengar suara orang tertawa dan belakang hancuran
lampingan batu. Wiro melesat ke arah lamping batu sambil mendahului gerakannya
dengan pukulan Kunyuk Melempar Buah. Tak ampun lagi lamping batu yang memang
sudah hancur itu kini tambah porak poranda. Seluruh dinding batu terbongkar
berhamburan. Yang kelihatan kini hanya tanah merah kecoklatan.
"Hai! Kami di sini!"
Tiba-tiba ada suara berseru di sebelah belakang, dan balik serumpunan semak
belukar. Dalam amarah yang meledak karena dipermainkan dan dicelakai orang, tidak pikir
panjang murid Sinto Gendeng balikkan badan, langsung gerakkan tangan kanan untuk
melepaskan Pukulan Sinar Matahari, pukulan sakti yang selama ini paling ditakuti
golongan hitam rimba persilatan. Tetapi ketika pukulan maut itu hampir melesat
dan tangan kanannya yang telah berubah meniadi putih perak menyitaukan, mendadak
Wiro keluarkan suara memaki dan batalkan serangan.
"Jahanam kurang ajar! Kalian rupanya!"
Di depan sana terdengar suara dua orang tertawa gelak-gelak.
"Bercanda jangan keterlaluan! Kalau kuturuti kemarahan hatiku, sudah kulebur
leleh kalian berdua dengan Pukulan Sinar Matahari."
Di depan sana sambil tertawa-tawa berdiri seorang anak berambut jabrik
berpakaian serba hitam yang bukan lain adalah si bocah konyol Naga Kuning.
Disampingnya tegak nenek bermuka seram, juga berpakalan serba hitam, rambut
kelabu awut-awutan yang dikenal dengan julukan Gondoruwo Patah Hati, kekasih
Naga Kuning di masa muda.
"Saudaraku Wiro, jangan kau salah menduga. Aku dan juga Ning Intan Lestari tidak
bercanda. Kami...." Ning Intan Lestari adalah nama sebenarnya nenek seram
Gondoruwo Patah Hati.
Wiro melangkah besar-besar ke hadapan Naga Kuning. Dipilihnya telinga kiri anak
ini hingga dua kaki Naga Kuning berjingkat-jingkat, mulut meringis kesakitan.
"Apa katamu" Tidak bercanda" Kau dengan si nenek kekasihmu itu melempar aku
dengan jambu. Itu masih bisa kumaafkan. Tapi kalian juga melemparkan puluhan
belut padaku. Lihat!"
Wiro menunjuk ke leher dan mukanya. "Lima belut celaka itu mematuk dan menyedot
darahku! Itu bukan lagi bercanda tapi punya niat membunuhku! Padahal aku dalam keadaan
tak berdaya. Seharusnya kalian menolongku!"
"Justru itulah yang kami lakukan! Menolongmu!" Untuk pertama kalinya Gondoruwo
Kucing Suruhan 2 Dewa Arak 51 Raja Iblis Berhati Hitam Tangan Geledek 3
^