Perjodohan Berdarah 1
Wiro Sableng 161 Perjodohan Berdarah Bagian 1
BASTIAN TITO PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
WIRO SABLENG e-book by : Begawan Alfarizi (abdulmadjid kaskuser)
Terima kasih buat :
Pendekar212 Kalapalima Syauqy_arr (Hanaoki)
Tiraikasih BASTIAN TITO Hak cipta dan copy right pada
pengarang dibawah lindungan
undang-undang Wiro Sableng telah Terdaftar pada Dept. Kehakiman R.I.
Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek
dibawah nomor 004245
161 Perjodohan Berdarah
2 PERJODOHAN BERDARAH
Dalam gelap wajah cantik di gadis pancarkan amarah keberingasan. Hati berucap.
" Wi r o, ka l a u bol e h membe r i s e j ut a na ma pa da ga di s ber war na bi r u i t u. Ta pi a khi r dari segalanya adalah kematian! Tidak ada seorangpun boleh dan bisa merebut
dirimu da r i t a nga nku! " Perlahan-lahan orang ini angkat tangan kanannya ke atas. Lima jari dipentang
kaku laksana lima potongan baja!. Mulut merapal mantera. Lima jari tangan serta
merta berubah menjadi merah laksana bara menyala.
Di lain kejap dari arah pohon besar melesat lima larik sinar merah. Menyambar
cepat dan ganas ke arah bagian tubuh sebelah belakang ratu Duyung.
" Ra t u! I nt a n! Awa s ! Ada or a ng me nyer a ngmu da r i be l a ka ng! " t e r i a k Wi r o. Se c e pa t kilat dia melompat ke depan. Tangan kiri menodorng garis bermata biru itu
sementara tangan kanan lepaskan pukulan Kincir Padi Berputar disusul dengan
pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari.
161 Perjodohan Berdarah
3 BASTIAN TITO 1 PERJODOHAN BERDARAH
LENYAP dicurinya Pedang Naga Suci dari tempat kediamannya di dasar telaga di
puncak Gunung Gede membuat Kiai Gede Tapa Pamungkas bertindak turun gunung.
Orang tua sakti yang dianggap setengah Dewa ini berhasil menemukan si pencuri
pedang yaitu bukan lain adalah Luhrembulan, gadis cantik dari alam 1200 tahun
silam. Sebenarnya yang mengambil pedang sakti itu bukan Luhrembulan, tapi Nyai Tumbal
Jiwo yang dalam beberapa waktu belakangan ini menampilkan diri sebagai gadis
cantik bernama Nyi Wulas Pikan.
Namun begitu berhasil mendapatkan pedang sakti, Nyi Wulas Pikan tidak memampu
memegang senjata itu. Tangannya terkelupas melepuh kepanasan. Pedang yang
kemudian dilempat oleh Nyi Wlas Pikan disambar lalu dibawah kabur oleh
Luhrembulan. Ketika Luhrembulan bertarung dengan Purnama yang sama-sama mahluk dari
Latanahsilam, Wiro berusaha mencegah. Dalam kalapnya Luhrembulan bukan saja
menyerang Purnama tetapi juga menyerbu Wiro. Tidak ada jalan lain, murid Sinto
Gendeng terpaksa mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212. Celakanya tanpa bisa
dicegah kapak sakti itu dirampas oleh Purnama lalu dipakai untuk menyerang
Luhrembulan. Purnama berhasil membunuh Luhrembulan dengan kapak sakti
sementara Nyi Wulas Pikan alias Nyai Tumbal Jiwo yang penasaran atas lenyapnya
pedang sakti itu berusaha mengejar dan mendapatkan Pedang Naga Suci 212 kembali.
Di bagian sungai yang dangkal dia bertemu dengan seorang pemuda gendut yang
telah lebih dulu menemukan Pedang Naga Suci 212. Walau senjata sakti itu
beberapa kali menyerang dirinya pemuda ini dengan mempergunakan sebuah kipas
kertas berhasil menjinakkan dan memegang pedang. Hal ini membuat kagum Nyi Wulas
Pikan. Segera saja dia keluar dari tempat persembunyiannya menemui pemuda gendut
berpenampilan dogol yang sebenarnya adalah salah satu tokoh rimba persilatan
dikenal dengan nama Bujang Gila Tapak Sakti, keponakan Dewa Ketawa dan sobat
karib Pendekar 212 Wiro Sableng.
Begitu berhadapan dengan si gendut Nyi Wulas Pikan kenalkan diri dan memuji.
" Hebat! Kau mampu menjinakan Pedang Naga Suci Dua satu Dua! Bagamana kau
melakukannya" Mantera apa yang kau baca?"
Bujang Gila Tapak Sakti yang tertarik akan kecantikan dan kesintalan tubuh molek
si gadis berpakaian hijau kedap-kedipkan mata dan menjawab.
" He ... he. Aku tidak membaca mantera apa apa. Kipas ini yang menolongku."
" Hebat! Kipasmu itu pasti sama saktinya dengan Pedang Naga Suci Dua Satu Dua"
" He ... he. Kipasku cuma kipas jelek." Si gendut merendah lalu bertanya.
" Bagaimana kau tahu kalau pedang ini bernama Pedang Naga Suci Dua Satu Dua?"
" Aku hanya menduga. Tidakkah kau melihat ada guratan angka dua satu dua pada dua
sisi pedang?"Atas pertanyaan Nyi Wulas Pikan, si gendut memberi tabu, nama.
Tak lupa mengatakan babwa dia berusia 20 tahun walau sebenarnya sudah 80 tahun.
Tahu kalau Bujang Gila Tapak Sakti tertarik pada kecantikan wajah dan kemolekan
tubuhnya Nyi Wulas Pikan mulai menggoda dan merayu. Gadis ini mengatakan mau 161
Perjodohan Berdarah
4 dikawini si pemuda asal diajarkan bagaimana caranya agar bisa memegang Pedang
Naga Suci 212 tanpa tangan menderita panas dan luka melepuh.
Bujang Gila Tapak Sakti memberi tahu bahwa sebenarnya dia juga merasa panas
memegang pedang tersebut namun tangannya tidak sampai melepuh. Ini disebabkan
karena dia memiliki kekuatan berupa hawa dingin dalam tubuhnya.
" Kalau begitu berikan kesaktian hawa dingin itu padaku,"mengajuk Nyi Wulas Pikan.
" Memberikan hawa dingin dalam tubuhku padamu" Bagaimana caranya?"tanya
Bujang Gila Tapak Sakti pula.
Nyi Wulas Pikan mendekati si gendut ia lalu berbisik. "
Tiduri diriku. Kau berbuat
pahala sekaligus mendapat kenikmatan dan aku merasa bahagia."
Mata belok Bujang Gila Tapak Sakti mendelik tambah besar. Tubuhnya langsung
keringatan! " Heh, kau ini bicara apa"! Kau sungguhan"!"
" Aku tidak main-main." Jawab Nyi Wulas Pikan sambil kedipkan mata dan
layangkan senyum.
" Kita... kita mau melakukannya dimana?"tanya Bujang Gila Tapak Sakti sambil
pegang bagian bawah celana gombrongnya seperti orang kebelet kencing!
Nyi Wulas Pikan memandang berkeliling.
" Di bawah pohon sana. Tanahnya tidak terlalu basah. Sepi dan kelindungan."
Lalu gadis jejadian Nyai Tumbal Jiwa ini mendahului melangkah cepat ke bawah
pohon besar. Ketika dilihatnya pemuda gendut masih tak beranjak dari tempatnya Nyi Wulas
Pikan lambaikan tangan memanggil. Bujang Gila Tapak Sakti tampang dan sikapnya
boleh dogol. Tapi ini tidak berarti otaknya tolol.
" Gadis cantik, aku ya mau-mau saja dikasih barang enak. Tapi permainan sandiwara
apa yang tengah kau takukan?"ucap si gendut ini dalam hati. Namun dia jadi
terperangah ketika melihat di bawah pohon sana Nyi Wulas Pikan telah
menanggalkan seluruh pakaiannya sebelah atas hingga kini keadaan perempuan
cantik itu jadi setengah bugil!
Hawa panas menjalari tubuh Bujang Gila Tapak Sakti. Bukan saja yang berasal dari
hawa sakti yang memancar dari pedang sakti bergulung tapi juga akibat menahan
gelora nafsu. Perlahan-lahan Bujang Gila Tapak Sakti berjalan ke arah pohon. Beberapa langkah
lagi dia akan sampai di hadapan Nyi Wulas Pikan tiba-tiba gulungan pedang sakti
yang ada di tangan kanannya memancarkan sinar terang dan sreett! Pedang terlepas
dari pegangan, membeset ke atas.
" Brett!." Lengan kiri baju pemuda gendut robek. Kulit tergores. Selagi dia menahan sakit,
pedang sakti kembali berkelebat. Kali ini melesat ke arah Nyi Wulas Pikan.
Mendapat serangan ganas, gadis jejadian Nyi Tumbal Jiwo ini menangkis dengan
menjentikan lima jari tangan.
Lima larik sinar merah angker menderu ke arah Pedang sakti.
Pukulan Lima Jari Akhirat!
Terdengar suara berdentringan lima kali berturut-turut. Pedang Naga suci 212
nampak tersentak limbung di udara. Namun sesaat kemudian didorong satu kekuatan
161 Perjodohan Berdarah
5 luar biasa senjata ini kembali ke arah Nyi Wulas Pikan. Si gadis berteriak
keras, secepat kilat jatuhkan diri ke tanah.
Pedang Naga Suci 212 menancap di pohon besar sampai ke gagang. Nyi Wulas
Pikan menyadari dia tidak akan sanggup menghadapi senjata sakti itu maka dia
cepat menyambar baju yang tergeletak di tanah siap untuk kabur. Namun saat itu
pedang sakti yang menancap di pohon bergerak surut, mengambang di udara lalu di
lain kejap menderu ke arah dirinya! Kali ini Nyi Wulas Pikan tidak mampu
bergerak selamatkan diri karena saat itu dia sedang membungkuk tengah mengambil
pakaian. Kalau sampai dirinya dibantai pedang sakti, rohnya akan terlempar ke
alam gaib untuk selama-lamanya, tak mungkin lagi berkeliaran gentayangan di muka
bumi. Nyi Wulas Pikan menjerit keras. Sesaat lagi pedang itu akan menancap di
dadanya yang busung putih tiba-tiba muncullah Kiai Gede Tapa Pamungkas.
" Pedang Naga Suci Dua Satu Dua! Bukan saatnya kau membunuh! Kembali
padaku!" Pedang sakti berhenti melesat lalu bergulung dan melayang ke arah sang Kiai.
Setelah menyimpan senjata itu di balik pakaian putihnya Kiai Gede Tapa Pamungkas
membentak Nyi Wulas Pikan.
" Gadis jalang! Beraninya kau berbuat mesum di tempat ini!"
Wiro Sableng 161 Perjodohan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nyi Wulas Pikan mencibir, tertawa cekikikan lalu tinggalkan tempat itu sambil
terapkan ilmu Di balik Asap Roh Mencari Pahala.
" Jangan pergi!"teriak Kiai Gede Tapa Pamungkas seraya mengejar.
Namun sosok si gadis setengah bugil telah lenyap. Yang terdengar hanya suara
ucapan mengejek.
" Orang tua! Aku tahu kau cuma pura-pura marah! Aku melihat sinar matamu! Kau
menikmati pemandangan dadaku yang bagus! Hik ... hik ... hik!"
Wajah Kiai Gede Tapa Pamungkas berubah merah mengelam. Mulut berkomat-
kamit mengucap istigfar berulang kali. Kini kemarahannya ditumpahkan pada si
gendut Bujang Gila Tapak Sakti.
161 Perjodohan Berdarah
6 BASTIAN TITO 2 PERJODOHAN BERDARAH
DENGAN bergetar menahan amarah Kiai Gede Tapa Pamungkas menegur.
" Kau tahu siapa diriku! Aku juga sudah tahu siapa dirimu! Apa pantas bagi seorang
pendekar rimba persilatan yang konon keponakan Dewa Ketawa berbuat mesum di
tempat ini"!"
Bujang Gila Tapak Sakti Putar kopiah kupluknya lalu menjawab.
" Kiai, aku tidak berbuat mesum. Perempuan itu sendiri yang menanggalkan bajunya.
Aku tidak menyuruh!"
" Bujan Gila Tapak Sakti, jangan bermain kata-kata denganku!"
" Kiai, dengar. Kau salah menduga. Gadis tadi bermaksud menggodaku. Usiaku
sudah delapan puluh tahun. Aku tak mungkin tertipu. Sebenamya gadis tadi ingin
mendapatkan pedang bergulung yang sudah kau simpan itu."
" Sudahlah, sulit aku percaya dengan ucapanmu. Aku hanya ingin tahu satu hal. Apa
kau berkomplot dengan gadis tadi, membantunya dengan ilmu kesaktianmu mencuri
Pedang Naga Suci Dua Satu Dua dari tempat kediamanku di dasar telaga?"
" Kiai, ceritanya begini. Aku menemui pedang bergulung itu sewaktu aku lagi
berbaring di sungai dangkal. Gadis tadi ingin menguasai pedang tapi tidak bisa.
Jika dia menyentuh pedang maka tangannya jadi melepuh."
Kiai Gede Tapa Pamungkas perhatikan tangan kanan Bujang Gila Tapak Sakti.
Tangan itu tampak agak kemerahan tapi tidak luka apa lagi melepuh. Ini satu
pertanda bahwa si pemuda memiliki ilmu kepandaian tinggi.
" Kalau kau tidak bersekongkol dengan gadis jejadian tadi, lalu mengapa kau bisa
terpesat ke tempat ini?"
Si gendut putar lagi kopiah kupluk di atas kepalanya. Tubuhnya mulai terasa
panas. Dia kembangkan kipas kertas dan kipas-kipas leher serta wajahnya. Kiai Gede Tapa
Pamungkas merasa ada hawa aneh keluar dari angin kipasan.
" Kiai, tidak ada hujan tidak ada angin, tidak ada ujung tidak ada pangkal, dari
tadi kau selalu mengambil sikap mencurigaiku. Memangnya apa ada peraturan dalam
rimba persilatan bahwa seseorang tidak boleh pergi ke mana dia suka?"
" Memang tidak ada peraturan. Tapi lain dengan dirimu!"
Bujang Gila Tapak Sakti tertawa gelak-gelak sampai matanya yang belok berair.
Dalam tertawa hatinya kesal dan jengkel. Lantas saja ia lontarkan kata-kata
mengejek. " Ah, rupanya aku ini ada kelainan. Tapi aku masih bisa bersyukur. Kiai, dibanding
dengan dirimu kita memang jelas-jelas lain. Kau kurus kerempeng. Aku gendut
berlemak! Kau berambut putih nyaris sulah. Rambutku hitam dan lebat! Kau punya
kumis dan janggut putih. Mukaku tembam tapi klimis. Aku mengenakan baju terbalik
dan celana komprang gombrong. Kau mengenakan pakaian selempang kain putih tidak
berjahit. Aku masih tegap, kau sudah reot. Aku masih ada bau-bau wangi keringat,
kau sudah bau tanah! Anuku masih kencang berkilat. Anumu pasti sudah seperti
terong peot. Mungkin juga rada-rada burik! Ha ... ha... ha!"
Amarah Kiai Gede Tapa Pamungkas mendidih. Kepalanya laksana mau meledak.
" Manusia kurang ajar! Tutup mulutmu! Kau layak diberi pelajaran!"
161 Perjodohan Berdarah
7 Sang Kiai gerakkan tangan kanan. Jarak si gendut dan orang tua itu cukup jauh
namun tangan si orang tua mendadak berubah panjang.
" Plaakk!! Plaakk!!"
Dua tamparan keras melanda pipi Bujang Gila Tapak Sakti kiri kanan. Ini bukan
tamparan biasa! Dua sudut bibir si pemuda gendut sampai pecah mengucurkan darah.
Sambil menahan sakit, setelah menyeka darah di pinggiran mulut dan yang meleleh
di dagu, si gendut keluarkan ucapan yang membuat Kiai Gede Tapa Pamungkas
terkesima dan merasa menyesal.
" Kiai, kalau aku memang bersalah dan kurang ajar, apakah begini cara seorang Kiai
memberi pelajaran. Seumur hidup aku akan mengingat pelajaran yang barusan kau
berikan padaku. Aku mengucapkan terimakasih atas kebaikan hatimu memberi
pelajaran."
Terhuyung-huyung Bujang Gila Tapak Sakti putar tubuh lalu tertatih-tatih
tinggalkan tempat itu. Sang Kiai berusaha mengejar. Walau pemuda gendut itu
tampaknya berjalan lamban perlahan namun sebelum sempat si orang tua mendekat
sosoknya sudah lenyap dari pandangan mata.
Kiai Gede Tapa Pamungkas hanya bisa menghela nafas panjang. Ketika dia hendak
beranjak dari tempat itu siap kembali ke puncak Gunung Gede dimana Ratu Duyung
masih menunggu mendadak dia merasa udara di sekitarnya berubah menjadi sangat
dingin. Lebih dingin dari udara di puncak Gunking Cede. Tanah yang dipijak
seolah telah berubah menjadi es. Tubuhnya serasa terpendam di satu tempat yang
luar biasa dingin. Dua kaki menjadi kaku, tak mampu digerakkan.
Orang tua ini kerahkan hawa hangat sakti dalam tubuh, tapi sia-sia saja. Sekujur
badan mulai menggigit. Geraham bergemeletukan. Di tidak mampu melawan rasa
dingin! Perlahan-lahan dari hidung dan telinganya meleleh keluar Cairan darah.
Begitu berada di luar telinga dan hidung langsung membeku.
Kiai Gede Tapa Pamungkas mengucap istigfar berulang kali. "
Aku telah berbuat
salah. Menyengsarakan orang lain yang mungkin tidak berdosa. Sudah tua begini,
mengapa aku tidak dapat menahan sabar" Apakah pemuda tadi yang melakukan
pembalasan atau Tuhan yang menghukum diriku?"Nafas Kiai Gede Tapa Pamungkas
menyesak, dada terasa berat. "
Ya Tuhan, aku mohon ampun padamu. Dan kau pemuda
bernama Bujang Gila Tapak Sakti, aku minta maaf padamu atas perbuatanku."
Baru saja sang Kiai selesai mengeluarkan ucapan batin itu tiba-tiba hawa dingin
yang menyungkup serta merta lenyap. Tanah yang serasa es berubah hangat. Dua
kakinya yang kaku kini bisa digerakkan. Darah berhenti mengucur dari hidung dan
telinga bahkan noda merah yang membeku lenyap tanpa bekas. Dalam tubuh sang Kiai
kini mengalir hawa sejuk yang membuat dadanya terasa lapang dan hati menjadi
lega. Kiai Gede Tapa Pamungkas gelengkan kepala berulang kali.
" Pemuda itu telah memberi pelajaran sangat baik padaku. Bujang Gila Tapak Sakti
aku berterima kasih padamu. Hari ini kau telah memberi pelajaran yang tidak akan
aku lupakan selama sisa hidupku."
*** DI TEPI sungai berair dangkal untuk beberapa lama Bujang Gila Tapak Sakti duduk
merenung pengalaman pahit yang barusan dialaminya. Ketika dia mencuri dua buah
bonang milik Keraton, kemarahan pamannya si Dewa Ketawa bukan olah-olah. Tetapi
161 Perjodohan Berdarah
8 orang tua yang juga bertubuh gemuk itu tidak pernah menampar apa lagi
memukulnya. Dia hanya dipendam di dalam liang es di puncak Gunung Mahameru. Justru dengan
kejadian itu dia mendapatkan ilmu kesaktian luar biasa.
" Seumur hidup baru kali ini aku merasakan ditampar orang. Sakit di pipi tidak
seberapa. Tapi sakit di hati ini..."Bujang Gila Tapak Sakti akhirnya Cuma
tersenyum. Usap-usap pipinya lalu masuk ke dalam sungai. Membasuh muka, membersihkan noda
darah di sudut bibir dan dagu.
Tiba-tiba Bujang Gila Tapak Sakti mendengar suara orang. Suara perempuan.
" Ssstt .... sstt. Gendut...!"
Buiang Gila Tapak Sakti turunkan dua tangan yang dipakai membasuh muka.
Berpaling ke belakang. Dia tidak melihat siapa-siapa. Dia memperhatikan
berkeliling. Tidak ada seorangpun. Kembali dia meneruskan mencuci muka.
" Sstt ... Gendut. Terong peot! Rada rada burik. Hik, ... hik ... !"
Bujang Gila Tapak Sakti ulurkan tubuhnya yang gendut.
" Tak mungkin aku salah mendengar. Ada orang bicara! Perempuan!"
Karena kesal pemuda ini memaki.
" Sialan! Aku bukan terong peot! Punyaku masih segar mengkilat! juga tidak rada-
rada burik! Punyaku licin mulus! Sialan!"
Sunyi. Yang terdengar hanya suara gemerisik dedaunan tertiup angin. Bujang Gila
Tapak Sakti kembali membungkuk, meneruskan membasuh
" Ssttt! Terong peot..! Apa kau tidak dengar ditegur orang"!"
Bujang Gila Tapak Sakti, terus saja membasuh muka. Tapi kali ini dia hanya
berpura-pura. Dia sudah tahu dari arah mana suara perempuan itu.
" Sstti...sstt! Hai terong peot! Kalau tidak menjawab nanti terongmu jadi busuk!
Hik... bik..hik!"
Tubuh gemuk ratusan kati Bujang Gita Tapak Sakti tiba-tiba melesat enteng ke
udara! Lalu melayang turun, berkelebat ke balik sebuah pohon besar di tepi kanan
sungai. Kipas di tangan kiri siap dipukulkan.
Begitu si gendut sampai di balik pohon dari tempat itu terdengar pekikan
perempuan disusul tawa cekikikan.
" Anak kecil! Siapa kau"!"Bentak Bujang Gila Tapak Sakti.
" Hik! Hik! Apa matamu buta! Enak saja mengatakan aku anak kecil! Lihat! Aku sudah
punya anak tahu! Ini anakku!
" Dari jengkel Bujang Gila Tapak Sakti jadi terperangah lalu menyeringai. Di
hadapannya saat itu berdiri sambil senyum-senyum seorang perempuan cantik
bertubuh kecil, membedong sebuah boneka kayu di atas dadanya.
" Sialan! Jelek amat, nasibku hari ini. Habis ditampar kakek-kakek kini bertemu
perempuan sinting!"Kata Bujang Gila Tapak Sakti dalam hati.
" Tapi .... apa benar dia gila" Wajahnya dipoles dandanan apik. Rambut rapi.
Pakalan biru bagus masih baru ...."
" Anak kecil, kau ini siapa" Mengapa menggangguku?"
" Anak kecil, anak kecil! Enak saja kau bicara! Pasti kau memang buta! Juga tuli!
Apa tidak melihat dan tidak mendengar ucapanku tadi. Aku sudah punya anak. Ini
! " Perempuan bertubuh kecil yang bukan lain adalah Nyi Retno Mantili keluarkan
boneka kayu dari bedongan kain lalu diacungkan ke depan.
Bujang Gila Tapak Sakti delikkan mata lalu hendak tertawa gelak-gelak. Tapi dia
batalkan niat. "
Orang gila kalau dicemooh apa lagi dilayani keras dan galak malah
161 Perjodohan Berdarah
9 tambah gi l a ..."pikir si gendut pula. Lalu keponakan Dewa Ketawa ini tersenyum lebar,
membungkuk sedikit memperhatikan boneka kayu.
" Ah., anakmu cantik sekali. Pasti perempuan. Siapa namanya?"
" Kemuning."
"Lalu kau sendiri siapa namanya?"kembali Bujang Gila Tapak Sakti bertanya.
" Kalau namaku kau tak usah tahu. Tapi namamu aku sudah tahu!"
" Heh., betul?"
" Namamu Bujang Gila Tapak Sakti kan" Masih bujangan tapi gila. Iya kan"
Hik...h i k. ! " Bujang Gila Tapak Sakti tertawa lebar. Dalam hati dia berkata. "
Perempuan sinting,
bilang aku gila! Biar saja. Mungkin aku bisa cocokan berteman dengan dia."Lalu
si gendut ini bertanya.
" Heh, bagaimana kau bisa tahu namaku. Pasti kau sudah mengikutiku sejak lama."
" Bukan mengikuti, tapi aku dan anakku melihat sendiri apa yang kejadian sewaktu
kau mau main meong-meongan dengan gadis berbaju hijau itu."
" Main meong-meongan" Ha ... ha... ha!"Bujang Gila Tapak Sakti tertawa gelak-gelak
hingga dadanya yang gembrot dan perutnya yang buncit bergerak-gerak.
Nyi Retno Mantili ikutan tertawa.
" Kemuning anakku! Lihat si gendut itu. Dadanya bergoncang goncang, perutnya
seperti mau meledak! Hik ... hik... hik!"
161 Perjodohan Berdarah
10 BASTIAN TITO 3 PERJODOHAN BERDARAH
BUJANG Gila hentikan tawa, usap kedua matanya yang basah oleh air mata.
" Sobatku ayu,"si gendut tidak mau lagi menyebut Nyi Retno sebagai anak kecil,
takut di damprat. "
Kau tidak mau memberi tahu nama tidak jadi apa. Tapi aku mau
tanya, kau ada di tempat ini bagaimana ceritanya?"
" Tadinya aku berada di puncak Gunung Gede. Di tempat kediaman Kiai yang
memaki-ma ki mu
Wiro Sableng 161 Perjodohan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
i t u. " Bujang Gila Tapak Sakti jadi heran.
" Maksudmu Kia Gede Tapa Pamungkas?"
Nyi Retno Mantili mengangguk.
" Ada keperluan apa kau datang ke sana?"
" Buka nnya da t a ng. Ta di nya a ku me ma ng t i ngga l di s a na . Aku ini muridnya Kiai itu,
t a hu! " " Hah! Kau jangan bercanda, sobatku ayu
! " " Siapa yang bercanda! Aku memang muridnya. Tapi sekarang aku malas diam di sana.
Kiai itu banyak urusan dengan gadis-gadis cantik yang aku tidak suka."
" Gadis-gadis cantik siapa" Urusan apa?"Bujang Gila Tapak Sakti ingin tahu.
Nyi Retno Mantili tidak segera menjawab. Wajahnya tampak cemberut namun sesaat
kemudian berubah sedih.
" Sobatku molek ayu. Wajahmu kulihat seperti marah lalu berubah murung. Perkara
apa sebenarnya yang tengah kau hadapi. Kau mau mengatakan siapa adanya gadis-
gadis cantik itu?"
Nyi Retno Mantili usap-usap kepala boneka kayu.
Lalu dengan suara perlahan dia berkata.
" Yang pertama seorang gadis bermata biru seperti kelereng. Kiai memanggilnya Ratu
Duyung..."
" Ratu Duyung" Ah ...."
" Kau kenal dia?"tanya Nyi Retno Mantili.
" Dia sahabatku ...."
" Aku benci padanya! Kalau dia sahabatmu berarti aku juga benci padamu. Sudah aku
tak mau bicara lagi!"
" Sobatku ayu. Jangan buru-buru marah. Kenapa kau benci pada gadis bermata biru
bernama Ratu Duyung itu?"
" Dia ... dia jahat
" " Jahat bagaimana?"
" Dia mau merampas ayah Kemuning!
" Kening si gendut mengerenyit. Sepasang alis tebal naik ke atas. Mata melirik ke
arah boneka kayu. "
Merampas ayah Kemuning?"Bujang Gila Tapak Sakti melongo heran.
Dalam hati dia berkata. "
Boneka kayu ini punya ayah" Siapa" Boneka juga?"
" Sobatku ayu..."
" Jangan panggil aku sobat. Aku tidak mau berteman lagi denganmu. Kau sahabat
gadis bemata kelereng itu! Sudah, aku benci padamu!"
161 Perjodohan Berdarah
11 " Kalau kau tidak mau berteman lagi denganku, tak jadi apa. Aku tetap saja mau
bersahabat denganmu. Sudah, aku mulai keringatan. Aku mau berendam dulu dalam
sungai." Bujang Gila Tapak Sakti lalu baringkan tubuhnya yang gemuk di dalam sungai
dangkal. Mata dipejam. Tangan kiri memegang kipas dan mengipas-ngipas. Dia
seperti tidak perdulikan lagi perempuan yang membawa boneka kayu bernama
Kemuning itu. Penasaran Nyi Retno Mantili melangkah ke tebing sungai.
" Aku juga mau pergi dari sini."Katanya. "
Dasar gendut brengsek! Aku tahu kau
suka sama gadis bermata kelereng biru itu. Tapi kau tidak akan mendapatkannya.
Kau tidak tahu kalau dia mau dijodohkan dengan orang lain! Aku benci kau! Aku
benci gadis itu! Aku juga benci lelaki yang mau-mauan jadi Mak Comblang!"
Bujang Gila Tapak Sakti bangkit dan duduk di dasar sungai dangkal berair jernih
dan sejuk. " Gadis itu mau dijodohkan dngan siapa aku tidak perduli. Kiai itu mau jadi Mak
comblang bukan urusanku! Ya sudah, pergi sana.!
" " Kalau kau tahu dengan siapa si mata kelereng itu hendak dijodohkan, baru kau
berhenti pura-pura tidak mau tahu!"Nyi Retno balikkan badan.
" Eh tunggu! Memangnya Ratu Duyung mau dijodohkan dengan siapa?"Bujang Gila Tapak
Sakti bertanya sambil bangkit berdiri.
" Dengan ayah Kemuning!."
"Lalu ayah Kemuning siapa?"tanya si gendut sambil putar kopiah hitam di atas
kepala. " Wi ro!" " Wiro" Wiro siapa"!"
" Apa kau tuli"!"
" Aku punya sahabat. Seorang pendekar. Namanya Wiro Sableng. Apa dia
orangnya"!"
" Kalau sudah tahu mengapa masih bertanya"!"
Si gendut terdiam sesaat lalu tertawa gelak-gelak.
" Aku tidak yakin!
"katanya. " Tidak yakin bagaimana"! Ratu Duyung sudah menunggu di tempat Kiai yang jadi Mak
Comblang itu. Wiro kabarnya akan segera datang sebelum bulan purnama besok
malam. Padahal sebelumnya aku juga sudah berada di sana. Ingin mempertemukan
anak ini dengan dia, ayahnya. Kemuning sudah lama sekali tidak bertemu ayahnya.
Dia sering menangis memanggil-manggil ayahnya."
Bujang Gila Tapak Sakti keluar dari dalam sungai. Tangan kiri masih berkipas-
kipas, tangan kanan memegang bahu Nyi Retno. Begitu disentuh perempuan ini
terpekik. "Ihhhh! Tanganmu dingin seperti tangan hantu es!"
" Sobatku ayu, aku tidak yakin Wiro mau kawin dengan Ratu Duyung walau aku tahu
gadis bermata biru itu cantik selangit tembus, memiliki ilmu kesaktian hebat dan
telah saling berbagi budi dengan Wiro sahabatku itu."
"Lalu apa si mata kelereng itu mau kawin denganmu"! Paling tidak kau berharap
begitu. Iya kan"!
" " Aku tahu diri. Aku bersahabat dengan Ratu Duyung. Juga dengan Wiro,"
" Jadi Wiro juga sahabatmu?"tanya Nyi Retno.
Si gendut mengangguk. "
Memangnya kenapa?"
161 Perjodohan Berdarah
12 " Kalau begitu nanti katakan padanya. Jika dia kawin Kemuning anaknya akan marah,
akan sedih dan bisa sakit. Lalu mati!
"Habis mengeluarkan ucapan wajah Nyi Retno
Mantili tampak redup. Lalu bahunya bergoncang dan isak tangis keluar perlahan
dari sela bibir.
Bujang Gila Tapak Sakti merasa kasihan lalu berusaha membujuk.
" Sobatku ayu, aku sudah bilang, aku yakin Wiro tidak mau kawin dengan Ratu
Duyung. Kalaupun mau tidak sekarang, Entah berapa belas tahun lagi!"
" Aku tidak perduli dia mau kawin kapan. Besok atau lusa atau seratus tahun lagi!
Pokoknya dia bakal kawin! Kemuning akan kehilangan ayahnya!"
" Aku bilang, aku tidak yakin."
" Memangnya kenapa?"tanya Nyi Retno.
" Dia punya kekasih sekampung penuh!"jawab Bujang Gila Tapak Sakti yang
membuat Nyi Retno Mantili terpekik lalu menggerung keras.
" Hai ... hai, dengar. Jangan menangis dulu! Maksudku Wiro memang banyak
digandrungi disukai gadis cantik rimba persilatan. Tapi dia sendiri belum tentu
mau. Lalu kenapa kau menangis?"
Nyi Retno usut air matanya.
" Yang menangis bukan aku. Tapi anak ini. Kemuning..."Jawab Nyi Retno. "
Aku ... aku tahu Wiro banyak kekasih. Semua mereka adalah gadis-gadis yang aku benci.
Aku menemui dua orang diantara mereka di puncak Gunung Gede. Di tempat kediaman
Kiai Gede Tapa Pamungkas."
" Siapa saja mereka?"tanya Bujang Gila Tapak Sakti.
" Yang pertama mengaku bernama Luhrembulan. Gadis dari alam seribu dua ratus
silam! Gila! Malah dia bilang sudah menikah dengan Wiro!
" "Itu berita bohong! Aku tahu ceritanya."
Baik Bujang Gila Tapak Sakti maupun Nyi Retno Mantili tidak mengetahui kalau
Luhrembulan alias Hantu Santet Laknat telah menemui ajal di tangan Purnama.
Dibabat dengan Kapak Maut Naga Geni 212 yang dirampas Purnama dari tangan Wiro.
" Betul bohong" Jadi Wiro tidak benaran nikah dengan gadis bernama Luhrembulan
itu" Cuma kawin meong-meongan seperti yang tadi hendak kau lakukan dengan gadis
berbaju hijau itu"! Ah itu pun berarti dia telah mengkhianati Kemuning,
anaknya." Bujang Gila Tapak Sakti tertawa. Lalu bertanya.
"Siapa gadis lainnya?"
" Seorang bernama Purnama. Juga berasal dari negeri butut antah berantah itu. Kau
kenal dia" Jangan-jangan dia sahabatmu juga!"
Bujang Gila Tapak Sakti menggeleng.
"Lalu aku juga bertemu dengan seorang gadis bernama Nyi Wulas Pikan. Mengaku
Wiro adalah kekasihnya. Dia itu gadis berpakaian hijau setengah bugil yang kau
meongi tadi!"Kali ini Bujang Gila tampak terkejut
" Eh, mengapa tampangmu berubah?"tanya Nyi Retno Mantili.
" Kau kelihatan terkejut! Pasti ada apa-apanya!
" " Aku semakin tidak percaya! Mana mungkin Wiro punya kekasih seperti Nyi Wulas
Pikan. Gadis itu culas. Dia hendak menipuku. Minta ilmu agar bisa memegang
Pedang Naga Suci Dua Satu Dua
. " " Tapi kau juga mau sama dia kan!"tukas Nyi Retno.
" Eh tadi kau bilang Wiro punya
kekasih gadis sekampung! Gita! Banyak buanget! Siapa saja mereka"!"
Bujang Gila terbayang wajah Anggini, Bidadari Angin Timur, Bunga, Puti Andini,
Dewi Ular. Tapi dia tidak mau memberi tahu.
161 Perjodohan Berdarah
13 " Sudah, sebaiknya kita tidak membicarakan lagi soal gadis-gadis itu. Bagaimana
kalau aku antarkan kau ke tempat Kiai Gede Tapa Pamungkas di puncak Gunung
Gede..." " Aku mau kau antar kemana saja. Tapi tidak ke tempat Kiai itu."
" Kenapa?" Nyi Retno Mantilli menggeleng. "
Hatiku sangat sedih. Aku bisa berteriak. Aku bisa
mengamuk! Aku bisa membunuh Kiai itu! Atau membunuh si mata kelereng..."
Wiro Sableng 161 Perjodohan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lalu apa kau tidak ingin bertemu dengan ayah Kemuning?"
" Aku jadi bingung."jawab Nyi Retno Mantili sambil mengusap kepala boneka kayu.
" Dari pada bingung sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Sambil jalan kita
bicarakan kemana kau mau pergi."
" Tubuhmu besar gendut. Kau pasti kuat. Saat ini aku dan Kemuning merasa letih.
Kau mau menggendong kami?"
" Bujang Gila Tapak Sakti angkat tubuh kecil Nyi Retno Mantili lalu mendudukkannya di bahu kanan.
" Hik..hik. Kemuning, lemak dibahu si gendut ini tebal sekali. Ibu serasa duduk di
atas kasur tebal! Hik ... hik ... hik!
" Nyi Retno mendadak hentikan tawanya. Dari balik rerumpunan semak belukar di tepi
sungai tiba-tiba melesat keluar seorang kakek berpakaian jubah gombrong hitam.
Di pinggangnya melilit seutas cambuk. Sepasang matanya tidak bisa diam. Selalu
bergerak berputar-putar. Dari mulutnya terdengar suara meracau seperti orang
membaca mantera.
Rambut panjang sebahu. Sebelah kiri kepala di cat putih, sebelah kanan dicat
hitam. Kalau Nyi Retno Mantili murid Kiai Gede Tapa Pamungkas dan orang
berkepandaian tinggi seperti Bujang Gila Tapak Sakti tidak tahu ada orang yang
bersembunyi di dekat mereka, jelas sudah bahwa si kakek berjubah hitam itu
memiliki tingkat ilmu yang tidak sembarangan.
" Sobatku ayu, apa kau kenal monyet berambut belang ini" Mungkin sahabatmu"!
" " Aku tidak kenal. Dia bukan sahabatku!"jawab Nyi Retno Mantili.
" Kalau begitu kita teruskan perjalanan. Mungkin monyet tua ini kesasar mencari
pisang. Di sini mana ada pisang. Mungkin pisang kuning yang ngambang dihanyutkan
air sungai! Ha...h
a... ha!" Nyi Retno ikut tertawa cekikikan.
Bujang Gila Tapak Sakti bergerak hendak melangkah.
" Tunggu dulu!"kakek berpakaian hitam gombrong tiba-tiba membentak sambil
menghadang jalan si gendut. "
Kau boleh saja tidak mengenal diriku! Tapi apakah kau
juga tidak mengenal tiga sahabatku ini"!
"Si kakek lalu keluarkan sultan keras.
Saat itu juga dari batik rerumpunan semak belukar di tebing sungai, melesat
keluar tiga manusia aneh. Berdiri berjejer di samping kakek berambut belang.
Melihat ketiga orang ini air muka Nyi Retno Mantili jadi berubah.
" Kemuning! Kau masih ingat tiga manusia aneh yang dulu menggantung ibumu di
cabang pohon"! Hik... hik... Hik! Sekarang apa mereka muncul hendak menggantung
sahabat kita si gendut ini"! Hik... hik... hik. Perlu tambang yang kuat dan
pohon yang besar. "
161 Perjodohan Berdarah
14 BASTIAN TITO 4 PERJODOHAN BERDARAH
KITA kembali dulu ke puncak Gunung Gede. Sewaktu melihat Kiai Gede Tapa
Pamungkas muncul dengan wajah redup, Ratu Duyung yang duduk sendirian di tepi
telaga serta merta maklum kalau selain lenyapnya Pedang Naga Suci 212 sesuatu
telah terjadi di lereng atau kaki gunung. Gadis bermata biru ini cepat berdiri
dan menyapa. " Kiai, apakah Kiai berhasil mendapatkan kembali pedang sakti yang dicuri?"
" Tuha n menol ongku. Aku be r ha s i l me nda pa t kan pe da ng s a kt i i t u ke mba l i . " J a wa b Kiai Gede Tapa Pamungkas.
" Kiai juga tahu siapa yang mencurinya?"tanya Ratu Duyung lagi.
" Gadis jejadian bernama Nyi Wulas Pikan yang berasal dari nenek jahat mahluk alam
roh bernama Nyai Tumbal Jiwo."
" Bukankah mahluk itu adalah guru dari Wira Bumi" Patih Kerajaan yang menemui ajal
di tangan Wiro beberapa waktu jalu."
" Betul,"jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas.
" Saya menyirap kabar kalau dia pernah mendatangi penguasa Laut Utara untuk minta
bantuan membunuh Wiro dan Nyi Retno Mantili,"kata Ratu Duyung pula.
" Gadis jejadian itu masih untung tidak ditembus mati oleh pedang sakti. Dia
melarikan diri ketika aku pergoki hendak berbuat mesum dengan Bujang Gila Tapak
Sakti. Pedang Naga Suci Dua Satu Dua tidak pernah mau berada di sekitar tempat
mesum, atau dikuasai oleh orang-orang jahat dan bejat seperti dia. Kau tahu
Ratu, Sinto Gendeng saja muridku, tidak mampu memegang dan menyimpan senjata
itu." Ratu Duyung terkejut. "
Bujang Gila Tapak Sakti" Saya tidak menduga. Sulit saya
mempercayai."
" Akupun tidak menyangka. Tapi begitulah. Perempuan salah satu titik kelemahan
kaum lelaki. Bujang Gila rupanya terpikat dengan kecantikan dan keelokan tubuh
Nyi Wulas Pikan,"kata sang Kiai. Dia tidak menceritakan perihal dia telah
menampar pemuda gendut itu dan bagaimana Bujang Gila Tapak Sakti kemudian
membalas dengan membuat dirinya diselubungi hawa dingin luar biasa. Sang Kiai
menatap ke langit. Udara masih mendung. Di batik kemendungan itu rembang petang
telah muncul dan tak lama lagi sang surya akan masuk ke ufuk tenggelamnya.
" Ratu Duyung, aku punya dugaan kalau Wiro telah berada di sekitar Gunung Gede.
Berarti sebelum bulan purnama menyembul besok malam dia akan datang menemuiku.
Kita akan menunggunya di tepi telaga ini mulai sore besok. Saat ini sebaiknya
kita turun ke tempat kediamanku di dasar telaga."Ratu Duyung tidak segera
beranjak dart tempatnya berdiri walau saat itu Kiai Gede Tapa Pamungkas telah
melangkah menuju telaga. Melihat gadis bermata biru itu hanya berdiam diri si
orang tua hentikan langkah dan bertanya.
" Ada apa Ratu"
" " Kiai mohon maafmu kalau saya berlaku lancang. Ada sesuatu yang sejak lama
sebenarnya ingin saya tanyakan."
" Mengenai apa?"tanya Kiai Gede Tapa Pamungkas walau orang tua sakti ini diam-diam
sudah bisa menduga.
161 Perjodohan Berdarah
15 " Mengenai permintaan Kiai menyuruh saya dan Wiro datang ke puncak Gunung
Gede ini."
" Oh soal itu. Nanti akan kita bicarakan di tempat kediamanku."
Ratu Duyung merasa tidak puas. Dia bertanya lagi.
" Maaf kalau saya keliru menduga. Apakah pertemuan kita bertiga ini menyangkut hal
perjodohan saya dengan Wiro?"
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum.
" Perihal langkah seseorang, rejeki, jodoh dan maut semua itu berada di tangan
Yang Maha Kuasa. Kita manusia hanya para pelaku yang menjalankan sesuai dengan
petunjuknya. Ratu, harap kau mau bersabar sampai besok malam. Mudah-mudahan saja
Wiro datang lebih cepat."
" Seandainya Wiro tidak datang?"
" Ah, jangan berandai-andai seperti itu. Wiro pasti datang. Aku kakek gurunya. Aku
tahu dia seorang murid yang patuh..."
Kiai Gede Tapa Pamungkas lalu memberi isyarat. Kedua orang itu melangkah
menuju telaga. Jika ada orang lain menyaksikan pasti akan terheran-heran melihat
bagaimana dua orang sakti itu kemudian meluncur masuk dan lenyap ke dalam
telaga. *** MALAM keesokan harinya. Udara terasa semakin dingin. Langit cukup cerah namun
purnama empat belas hari agak terhalang di balik saputan awan kelabu. Ratu
Duyung menambah kayu perapian penghangat tubuh. Saat itu hatinya diliputi
berbagai rasa. " Ratu, aku tahu hatimu saat ini tidak tenteram. Kau harus percaya bahwa Wiro akan
datang. Saat ini apakah kau tidak merasa kalau di sekitar telaga ada lebih dari
satu orang bersembunyi memperhatikan ke arah kita?"
" Terus terang sejak tadi pagi saya tidak bisa tenang Kiai. Saya memang merasa
tapi tidak begitu memperhatikan kalau di sekitar sini ada orang-orang yang
bersembunyi dan memperhatikan kita. Apa yang ada di pikiran mereka bersembunyi
memata-matai kita?"
" Mereka ikut menunggu kehadiran Wiro. Lalu ingin mendengarkan pembicaraan
kita." " Apakah kita perlu mengusir mereka Kiai"
! " " Selama mereka hanya ingin tahu, ingin mendengar dan tidak berbuat sesuatu yang
mencelakai kita, aku rasa kita biarkan saja mereka. Kalaupun mereka mendengar
pembicaraan kita hal itu tidak perlu dipikirkan. Mungkin itu ada baiknya."
" Maksud Kia1 ?" " Maksudku, semua yang sembunyi di sekitar tempat ini adalah perempuan. Tapi aku
menduga diantara mereka ada seorang lelaki. Mereka ..."
Ucapan Kiai Gede Tapa Pamungkas terputus.
Satu bayangan hitam berkelebat kemudian berdiri di hadapan Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Sambil membungkuk memberi hormat orang ini berkata.
" Kiai, salam hormat saya untukmu. Apakah saya datang terlambat?"
Saat itu rembulan empat hari menyeruak dari balik saputan awan. Bentuknya bulat
memancarkan cahaya benderang sejuk, sungguh satu pemandangan yang indah sekali.
Kiai Gede Tapa Pamungkas dan Ratu Duyung mengangkat kepala, memandang ke
depan. Kedua orang ini sama-sama melepas nafas lega.
" Pendekar Dua Satu Dua, kau datang tepat waktu. Kami memang sudah lama
menunggu. Aku sendiri ..."
161 Perjodohan Berdarah
16 Kiai Gede Tapa Pamungkas hentikan ucapan. Sepasang mata memperhatikan
pemuda berambut gondrong di hadapannya yang memang Pendekar 212 murid Sinto
Gendeng Wiro Sableng adanya.
" Wiro, aku melihat satu kelainan pada dirimu. Selama ini kau selalu mengenakan
baju dan celana putih. Sejak kapan kau bertukar penampilan. Mengenakan baju dan
celana hitam komprang seperti ini?"
Wiro tertawa lebar. Melirik ke arah Ratu Duyung, kedipkan mata lalu menjawab
pertanyaan sang Kiai.
" Saya terkena musibah Kiai. Celana putih saya robek besar di sebelah bawah. Baju
dan celana hitam yang saya pakai ini adalah pemberi dari seorang penduduk desa
di kaki gunung."
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum.
" Kiai, saya sudah datang. Sahabat saya Ratu Duyung juga sudah hadir di sini.
Sesuai dengan pesan Kiai, apakah kita bisa memulai pembicaraan" Saya sangat
ingin tahu gerangan apa sebabnya Kiai memanggil kami berdua. Apakah ada
Wiro Sableng 161 Perjodohan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesalahan yang telah kami lakukan"
"Murid Sinto Gendeng ingin semua urusan bisa dilakukan dengan cepat.
Kalau sudah selesai dia akan buru-buru meninggalkan tempat itu. Dia harus
mencari Nyi Retno Mantili. Dia mengawatirkan keselamatan perempuan malang itu!
" Kalian berdua tidak memiliki kesalahan apa-apa." Jawab Kiai Gede Tapa
Pamungkas. "
Wiro, sebelum kita bicara, ada yang ingin aku tanyakan. Sebelum sampai
ke sini, siang tadi apakah kau mengalami sesuatu peristiwa?"
Wiro terdiam berpikir pikir sambil menggaruk kepala. Peristiwa apa yang
dimaksudkan orang tua ini, pikirnya. Lalu dia ingat.
" Memang ada satu kejadian Kiai. Siang tadi secara tidak sengaja saya menemui
Luhrembulan dan Purnama tengah bertarung di satu tempat di kaki gunung. Mereka
sama-sama berasal dari Latanahsilam. Negeri seribu dua ratus tahun silam. Saya
coba melerai tapi tak berhasil. Luhrembulan akhirnya tewas oleh Kapak Naga Geni
Dua Satu Dua milik saya yang dirampas Purnama. Purnama kemudian lenyap entah
kemana." Wajah Ratu Duyung berubah ketika mendengar ucapan Pendekar 212 itu.
Perasaannya sesaat bergejolak
" Hanya itu saja?"tanya Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Wiro menggaruk kepala kembali.
"Luhrembulan membekal Pedang Naga Suci Dua Satu Dua. Saya tidak tahu
bagaimana senjata sakti ini berada di tangannya," Wiro menjelaskan.
Lalu menambahkan. "
Saya tidak melihat jelas apa yang, terjadi kemudian. Namun kalau
tidak salah pedang sakti mungkin jatuh ke dalam sungai. Dihanyutkan arus ke
hilir." " Senjata itu sudah berada di tanganku kembali. Seorang mahluk alam roh bernama
Nyai Tumbal Jiwo mencuri senjata itu dari tempat kediamanku. Dugaanku
Luhrembulan kemudian berhasil merampasnya. Pedang sakti ditemukan oleh Bujang
Gila Tapak Sakti..."
" Bujang Gila Tapak Sakti!
" Wiro terkejut ketika mendengar sang Kiai menyebut
nama sahabatnya itu!
" Benar. Pemuda gendut itu digoda oleh Nyi Wulas Pikan, penjelmaan Nyai Tumbal
Jiwo. Namun sebelum pedang jatuh ke tangan perempuan itu, aku datang dan
berhasil mendapatkan pedang sakti kembali..."
" Saya sangat bersyukur pedang itu bisa diselamatkan,"ucap Wiro. Dia melirik ke
arah Ratu Duyung. Di saat bersamaan gadis cantik bermata biru in! juga
memperhatikan 161 Perjodohan Berdarah
17 Wiro. Dua pasang mata saling beradu pandang. Dua hati dan dua rasa saling bicara
tanpa suara. Adakah perasaan kasih sayang timbul di lubuk hati" Lalu sejauh mana
perasaan kasih sayang itu mampu saling bersentuhan"
" Wiro, dalam perjalanan ke sini apakah kau sempat bertemu dengan Nyi Retno
Mantili ?"Bertanya Kiai Gede Tapa Pamungkas.
" Saya bertemu dengan Nyi Retno di kaki gunung. Waktu itu dia tengah berkelahi
menghadapi Luhrembulan. Saya berusaha melerai. Keduanya sama- sama terluka. Nyi
Retno kemudian melarikan diri entah kemana. Saya, kawatir sesuatu terjadi dengan
dirinya," " Sebenarnya sejak beberapa hari lalu Nyi Retno tinggal di sini. Namun siang tadi
dia pergi begitu saja."Jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas.
" Aneh kalau dia bertindak seperti itu. Nyi Retno tidak memberi tahu pada Kiai dia
mau pergi ke mana.
Kiai Gede Tapa Pamungkas menghela napas panjang. "
Dia tidak mengatakan apa-
apa." " Nyi Retno seorang perempuan berperasaan sangat halus. Pasti ada sesuatu alasan
mengapa dia tidak berbuat begitu,"ucap Wiro pula. Kiai Gede Tapa Pamungkas
menatap ke arah telaga sambil mengelus janggut putih. Sikap ini memberikan kesan
kepada pendekar 212 Wiro Sableng bahwa telah terjadi sesuatu antara si orang tua
dengan Nyi Retno Mantili.
Wiro berpaling pada Ratu Dayung dan bertanya. "
Ratu, aku tidak tahu sudah berapa
lama kau di sini. Apakah kau sempat bertemu dengan Nyi Retno Mantili!
" Ratu Duyung anggukkan kepala. Lalu menjelaskan. "
Aku datang siang tadi ke sini
bersama Purnama."
" Ah, jadi sebelumnya Purnama juga datang ke sini. Setelah menewaskan
Luhrembulan Purnama lenyap entah kemana."Menjelaskan Wiro.
" Siang tadi Purnama mohon diri. Katanya hendak melihat-lihat keindahan kawasan
ini. Ternyata dia bertemu Luhrembulan, bertarung dan membunuh gadis alam roh
itu." Ucap Ratu Duyung pula.
Wiro menggaruk kepala. Menoleh pada Kiai Gede Tapa Pamungkas tapi tidak
berkata apa-apa. Walau Wiro tidak berucap namun sang Kiai sudah tahu apa yang
ada dalam hati murid Sinto Gendeng ini.
" Kalian berdua, apakah kita akan meneruskan pembicaraan di tempat ini. Atau
kalian mau ikut aku ke tempat kediamanku di dasar telaga?"
" Kiai, kalau boleh biar kita bicara di sini saja."Wiro menjawab lalu bertanya
pada Ratu Duyung. "
Ratu, bagaimana pendapatmu?"
" Saya setuju kita bicara di sini saja."Jawab Ratu Duyung.
Wiro lalu duduk di tanah. Dia sengaja memilih duduk menghadap ke depan agar bisa
melihat wajah Kiai Gede Tapa Pamungkas sekaligus dapat memperhatikan raut air
muka Ratu Duyung.
Kiai Gede Tapa Pamungkas gosokkan telapak tangannya satu sama lain. Dua tangan
kemudian diletakkan di atas kakinya yang duduk bersila. Wiro dan Ratu Duyung
duduk menunggu dengan dada berdebar.
" Wiro dan Ratu Duyung. Apa yang hendak aku sampaikan pada kalian berdua
sebelumnya sudah menjadi pembicaraan antara aku dengan Sinto Gendeng. Selain itu
muridku yang lain yaitu saudara seperguruan Sinto Gendeng Sukat Tandika yang
lebih dikenal dengan panggilan Tua Gila juga sudah mengetahui hal ini. Kami
sudah 161 Perjodohan Berdarah
18 bersepakat untuk memanggil kalian datang menemuiku di puncak Gunung Gede ini.
Dan Alhamdullilah kalian berdua saat ini sudah ada di hadapanku. Wiro
ketahuilah, kehadiranmu dalam rimba persilatan tanah Jawa telah mendatangkan
banyak sekali manfaat dan kebaikan.
Kebajikan yang telah kau lakukan tidak bisa dihitung dan tidak dapat dinilai.
Baik untuk kemaslahatan orang banyak, rimba persilatan maupun bagi Kerajaan.
Namun setelah kami memperhatikan sekian lama, keberadaanmu seorang diri telah menimbulkan banyak masalah. Bahkan kelak dikemudian hari hal itu bukan cuma
menjadi ganjalan atau kendala, tapi juga bisa mengancam keselamatan jiwamu serta
ketenangan rimba persilatan tanah Jawa."
Kiai Gede Tapa Pamungkas hentikan ucapan, perhatikan raut wajah Ratu Duyung
beberapa ketika sementara Wiro yang mulai merasa tidak sabaran berkata dalam
hati. " Kiai ini bicara terlalu panjang. Apakah dia tidak bisa bicara langsung saja pada
maksud tujuannya" Lama-lama perutku jadi terasa mulas Wiro lalu menggaruk
kepala. Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. Dia tahu bagaimana perasaan sepasang
muda-mudi itu. Setelah mengusap janggut putihnya orang tua ini lanjutkan ucapan.
" Terus terang selama ini kami memperhatikan dalam kehidupanmu kau memiliki begitu
banyak sahabat berupa gadis-gadis cantik. Hal itu adalah sangat lumrah bagi
seorang pemuda sepertimu. Persahabatan yang berlangsung lama lambat laun
menimbulkan perasaan-perasaan tertentu yang mendalam pada diri masing-masing.
Bahkan bersatu dengan aliran darah serta hembusan nafas. Satu diantaranya adalah
perasaan kasih sayang. Namun karena bukan hanya satu orang gadis yang menyukaimu
atau yang kau senangi maka perasaan kasih sayang itu bisa saja terganjal oleh
adanya persaingan untuk saling memperebutkan, dan pada satu saat pihak yang
merasa dikecewakan tidak mustahil akan berubah berbalik menjadi kebencian.
Kehidupan ini, apapun adanya ingin satu kejelasan. Wiro, sudah saatnya kau
membutuhkan seorang pendamping. Maksudku sudah satunya kau memiliki seorang
istri." Sang Kiai sengaja tidak melanjutkan ucapan. Dia menatap dulu pada Pendekar 212
Wiro Sableng lalu melirik memperhatikan wajah Ratu Duyung. Wiro tampak tersenyum
dan menggaruk kepala sementara Ratu Duyung tundukkan wajah yang bersemu merah.
" Wiro, kami para sepuh, maksudku aku, Sinto Gendeng dan Tua Gila sudah sama
menyetujui untuk menjalinkan tali perjodohan antara dirimu dengan Ratu Duyung.
Kami tahu kau banyak mempunyai kerabat gadis lain. Semua cantik-cantik. Namun
pilihan kami jatuh pada Ratu Duyung. Ketahuilah bahwa kehidupan suami istri itu
tidak hanya bersandar pada kecantikan sang istri belaka. Tapi kau beruntung.
Calon istrimu selain cantik dan berilmu tinggi juga merupakan seorang perempuan
penuh bijaksana."
Begitu sang Kiai berhenti bicara, kesunyian menggantung di udara. Air telaga
tidak terdengar suara riaknya, dedaunan tidak terdengar suara gemerisiknya
bahkan angin malam seolah berhenti bertiup.
Kiai Gede Tapa Pamungkas kemudian memecah kesunyian dengan ucapan. "
Kalian berdua jangan diam saja. Bicaralah. Kemukakan pendapat. Kalau tidak ada yang
bicara berarti kalian telah sama menyetujui apa yang aku, Sinto Gendeng dan Tua
gila putuskan."
Wiro menggaruk kepala. Ratu Duyung tidak bergerak. Kepala masih tertunduk.
" Wiro, kau duluan. Aku ingin mendengar pendapatmu. Bicara, jangan menggaruk
kepala saja..."
161 Perjodohan Berdarah
19 Di satu tempat tersembunyi di dalam kegelapan, seseorang berkata perlahan. "J
auh- jauh aku datang ke sini hanya untuk mendengar pembicaraan yang sangat
menghancurkan hati ini. Wiro, apa jawabmu. Jangan berikan Kiamat padaku!"
161 Perjodohan Berdarah
20 BASTIAN TITO 5 PERJODOHAN BERDARAH
UNTUK beberapa lamanya Pendekar 212 Wiro Sableng masih duduk berdiam diri.
Sesekali dia melirik ke arah Ratu Duyung yang masih duduk dengan kepala
menunduk. " Wiro...?"Kiai Gede Tapa Pamungkas menegur.
Wiro berdehem beberapa kali. Di wajahnya menyeruak senyum.
Namun di lain saat wajah itu menunjukkan sikap penuh kesungguhan, membuat Kiai
Gede Tapa Pamungkas mendengar dan menatap terpana.
" Kiai, saya sangat berterima kasih bahwa Kiai, Eyang Sinto dan Kakek Tua Gila
mempunyai perhatian akan masa depan kehidupan saya.
Karena yang mengusulkan, sekaligus memutuskan adalah orang-orang yang sangat
saya hormati, maka tentu saja saya tidak berani menampik. Namun ini bukan
berarti saya menyatakan bersedia dan menyetujui semua ucapan Kiai. Terus terang
bagi saya perkawinan adalah satu hal yang sakral dan sangat suci. Saya merasa
belum sampai menginjak kejenjang kesucian itu. Karena itu bagi saya yang bodoh
ini, perkawinan bukan suatu yang layak dipaksakan. Bukankah lebih indah jika
masing-masing yang berkepentingan, si pemuda dan si gadis menemui tali
perjodohannya mereka sendiri, lalu sama-sama mengikat satu dengan yang lain.
Sementara itu Kiai, saya yang tolol ini merasa masih banyak yang harus dibenahi
dalam rimba persilatan tanah Jawa. Saya merasa sebagian dari kewajiban itu,
terletak di pundak saya. Saya tidak ingin hari ini buru-buru kawin lalu besok
menemui kematian di tangan musuh, meninggalkan seorang istri dalam derita
memilukan, mungkin pula dengan satu benih bayi di dalam kandungannya. Seperti
kata Kiai, kematian ada di tangan Tuhan, namun siapa yang tahu kapan kita bakal
mati?" " Kiai dan Eyang Sinto serta Kakek Tua Gila sudah saya anggap sebagai orang tua
sendiri karena sejak Eyang Sinto membawa saya ke Gunung Gede ini belasan tahun
silam untuk dijadikan murid, saya tidak mengenal siapa ibu saya, juga saya tidak
tahu siapa Ayah saya. Yang saya kenal dan temukan adalah dua makam mereka di
pekuburan gersang Jatiwalu, hampir sama rata dengan tanah, dipenuhi rumput liar.
Mungkin bagi saya untuk mencari tahu siapa kedua orang tua saya itu lebih
merupakan satu kewajiban yang luhur dibanding dengan perkawinan. Mungkin saya
salah. Untuk itu saya mohon maaf pada Kiai."
" Selain itu Kiai kalau saya telah menganggap Kiai, Eyang Sinto dan Kakek Tua Gila
sebagai orang tua, maka adalah sangat layak dan pada tempatnya kalau kepada Ratu
Duyung juga Kiai berikan kesempatan untuk menemui kedua orang tuanya untuk
memberitahukan hal ini. Itu jika Ratu Duyung memang bersedia menerima saya
sebagai suaminya. Kiai, Ratu Duyung saya mohon maaf kalau ada kata-kata dan
ucapan saya yang tidak pada tempatnya atau menyinggung perasaan Kiai serta
Ratu." Untuk beberapa lama Kiai Gede Tapa Pamungkas menatap wajah sang pendekar.
Dalam hati orang tua ini berkata.
" Aku tidak pernah menyangka. Pemuda yang selama ini selalu menunjukkan diri
sebagai seorang konyol temyata sungguh pandai bicara. Bukan itu saja. Dia juga
pandai 161 Perjodohan Berdarah
21 menggantung urusan dengan melimpahkan pada orang lain. Aku tahu betul Ratu
Duyung juga tidak punya orang tua."
Kiai Gede Tapa Pamungkas alihkan padangannya pada Ratu Duyung.
" Gadis bermata biru, aku ingin mendengar bagaimana tanggapanmu. Ucapan Wiro tadi
ada yang menyiratkan pertanyaan apakah kau mau menerima dirinya menjadi
suamimu." Mendengar pertanyaan yang terarah langsung Ratu Duyung tidak mampu segera
menjawab. Di tempat tersembunyi di salah satu tepian telaga kembali terdengar suara orang
Wiro Sableng 161 Perjodohan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berucap perlahan.
"Ratu Duyung, kalau kau berkomplot dengan Wiro memberikan kiamat padaku, aku
akan menganggap ini sebagai kejahatan. Selama langit berkembang, selama bumi
terbentang dan selama nafas di kandung badan, aku tidak akan melupakan hal ini!
Setelah diam beberapa lama akhirnya Ratu Duyung menjawab, "
Kiai, maafkan saya
tidak bisa bicara banyak. Apa yang dikatakan Wiro tadi benar. Untuk urusan ini
saya harus menemui orang tua saya. Kalau saya memang mempunyai orang tua.
Kenyataannya nasib saya tidak berbeda dengan Wiro, Seumur hidup sampai hari ini
saya tidak pernah mengetahui siapa kedua orang tua saya. Selama ini saya
menganggap Nyai Roro Kidul sebagai junjungan sekaligus pengganti orang tua saya.
Berarti saya harus menemui beliau terlebih dulu untuk meminta nasihat dan
izin..." Di tempat gelap orang yang sejak tadi mencuri dengar pembicaraan kembali
keluarkan ucapan.
"Kau tidak akan mendapat nasihat! Apa lagi mendapatkan izin dari Nyai Roro
Kidul. Karena aku tahu Nyai Roro Kidul juga menghormati Wiro! Apakah kau berani
menantang junjunganmu Penguasa Laut Selatan itu"!"
Kiai Gede Tapa Pamungkas lama merenung. Dalam hati di berkata.. "
Si pemuda melempar bola. Si gadis balas mempermainkan dan melempar lagi ke tempat lain.
Aneh, apakah kedua insan ini tidak saling mengasihi hingga mau bersembunyi
dibalik kata-kata?"
" Wiro, Ratu Duyung,"akhirnya sang Kiai keluarkan ucapan.
" Aku memang tidak
memaksa akan mendapat jawaban dari kalian saat ini juga. Seperti katamu tadi
perkawinan adalah sesuatu yang sakral dan suci. Namun jangan sampai terlalu
larut dalam dua hal itu hingga kalian tidak berbuat apa-apa. Ketahuilah
perjodohan kalian berdua akan banyak menyelamatkan dunia persilatan dari
berbagai macam malapetaka.
Aku, Sinto Gendeng clan Tua Gila tidak ingin malapetaka itu berbalik menciderai
kalian." Orang yang bersembunyi di tempat gelap tidak menunggu lebih lama segera
berkelebat meninggalkan tepian telaga.
Di arah lain yang juga diselimuti kegelapan ada seorang lelaki aneh bergerak
keluar dari persembunyiannya sambil mengusap wajahnya yang penuh dengan tancapan
paku baja putih.
"Aku mengira perempuan yang membawa boneka itu ada di sini. Bukankah ini tempat
kediaman gurunya" Dugaanku ternyata salah. Aku harus mencari kemana"
Guru mengatakan bahwa kalau aku kawin dengan perempuan gila, melakukan hubungan
badan, maka pada hubungan yang kedua puluh satu seluruh paku jahanam yang
menancap di tubuhku akan luruh!
"Orang ini memandang berkeliling."Kemana
aku harus mencari perempuan itu. Apakah aku bisa yakin Serikat Momok Tiga Racun
161 Perjodohan Berdarah
22 jahanam itu tidak akan mencari dan mengejarnya kembali" Kalau aku sampai
kedahuluan, celaka nasib diriku seumur umur!"(Mengenai Serikat Momok Tiga Racun
harap baca serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul "Si Cantik Gila Dari Gunung
Gede.") 161 Perjodohan Berdarah
23 BASTIAN TITO 6 PERJODOHAN BERDARAH
KESUNYIAN kembali menggantung di tepi telaga. Tak ada yang bicara. Kalau
memang pembicaraan sudah selesai Wiro ingin segera meninggalkan tempat itu.
Ingatan dan rasa kawatirnya terhadap Nyi Retno Mantili tidak bisa hilang. Namun
dia tidak ingin dianggap kurang ajar.
Maka murid Sinto Gendeng ini berusaha bersabar-sabar sambil sesekali melirik ke
arah Ratu Duyung lalu menambah kayu perapian.
Tiba-tiba cuping hidung Pendekar 212 bergerak-gerak. Kepala kemudian menoleh ke
kiri lalu berpaling ke kanan. Ketika dia hendak melihat ke belakang Kiai Gede
Tapa Pamungkas bertanya.
" Ada apa Wiro"
" " Tidak Kiai, tidak ada apa-apa"jawab murid Sinto Gendeng.
" Pemuda ini berdusta. Aku tahu dia tengah mencium bau sesuatu. Aneh, aku tidak
bisa mencium apa yang diciumnya."Membatin Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Saat itu sebenarnya Wiro memang mencium bau sesuatu yakni harum bau bunga
kenanga. Dalam hati dia berucap.
" Bunga, apakah kau ada di sekitar sini?"
Bunga adalah gadis alam roh bernama Suci yang dalam rimba persilatan tanah Jawa
dijuluki Dewi Bunga Mayat. Seperti sekian banyak gadis cantik yang mengenal
Wiro, gadis inipun jatuh cinta pada sang pendekar. Namun dia menyadari
keberadaannya yang tak mungkin hidup menjadi pendamping Wiro.
Baru saja Wiro membatin, di telinganya sebelah kiri mengiang suara gadis alam
roh itu. " Wiro, aku memang ada di sekitar sini. Kau lihat batu besar di tepi telaga
sebelah kanan" Aku duduk disitu, memandang ke arahmu. Aku tidak akan
memperlihatkan diri karena mungkin bisa menyusahkan dirimu."
Wiro berpaling ke kanan, ke arah sebuah batu besar yang terletak di tepi telaga.
Dia memang tidak melihat sosok jelas ataupun samar Bunga namun bau harum kembang
kenanga tercium semakin santar dan datang dari arah batu itu.
" Wiro, kau masih ingat ketika dulu aku memberi tahu padamu. Jika kau mencari
kawan pendamping, maka yang cocok dan baik bagimu adalah gadis bermata biru Ratu
Duyung yang kini ada dihadapanmu. Ternyata apa yang aku katakan tidak berbeda
dengan keinginan Kiai Gede Tapa Pamungkas, gurumu Eyang Sinto Gendeng dan Kakek
Tua Gila. Aku merasa bahagia kalau ucapanku menjadi kenyataan. Aku merasa senang
jika keinginan tiga orang tua itu terlaksana. Aku memang mencintaimu. Sangat
mencintaimu. Perkawinanmu dengan Ratu Duyung kelak membuat diriku merasa sangat
kehilangan dirimu. Namun dalam kesedihanku ada kebahagiaan. Dalam derai air
mataku ada senyum syukur. Dalam ratapku ada senandung keikhlasan. Wiro, kalau
aku menyambut perjodohanmu dengan Ratu Duyung dengan penuh ketulusan, maka
mungkin banyak diantara para sahabat merasa kecewa dan tidak dapat menerimanya.
Berlakulah bijaksana sekaligus mengambil sikap waspada. Demi cintaku padamu aku
akan menjaga keselamatan dirimu dan Ratu Duyung. Wiro, saat ini ada seorang
gadis 161 Perjodohan Berdarah
24 dari alam lain memandang sedih ke arahku seolah berbagi rasa. Aku tahu dan kau
juga tahu betapa dia sangat mengasihi dirimu. Namun juga ada satu mahluk dari
alam roh tidak suka kehadiranku di tempat ini. Aku harus pergi sebelum yang satu
ini berbuat jahat..."
" Siapa"! Siapa yang hendak berbuat jahat padamu"!
"Ucapan bernada keras itu
terlepas begitu saja dari mulut Wiro tanpa sadar. Membuat Kiai Gede Tapa
Pamungkas dan Ratu Duyung memandang terheran-heran.
" Wiro, kau bicara dengan siapa?"tanya Kiai Gede Tapa Pamungkas pula.
Wiro menggaruk kepala. "
Tololnya aku ini
! "Wiro memaki diri sendiri.
" Wiro, ada apa?"Ratu Duyung bertanya sambil mendekati sang pendekar.
Wiro tidak bisa berdusta lagi.
" Maafkan saya..."katanya.
" Seorang sahabat dari alam roh yang ada di tempat ini
memberi tahu ada seorang mahluk alam roh lainnya tidak menyukai dirinya dan
mungkin hendak berbuat jahat..."
" Kalau aku boleh tahu Wiro, siapa sahabat diri alam roh yang kau maksudkan itu?"
" Sahabat kita Bunga,"jawab Wiro. "
Terakhir sekali kalau aku tak salah kau bertemu
dengan dia ketika menolong diriku di pondok kediaman Ki Tambakpati beberapa
waktu lalu. Aku tidak tahu siapa mahluk satunya yang hendak berbuat jahat. Yang
jelas bukan Luhrembulan karena gadis dari Latanahsilam itu telah tewas di tangan
Purnama..."
Mendadak Wiro terdiam. "
Purnama,"ucapnya kemudian dengan suara bergetar dan
agak perlahan. "
Mungkin dia yang dimaksudkan Bunga dengan mahluk alam roh yang
hendak berbuat jahat itu?"
" Aku tidak yakin,"menyahuti Ratu Duyung. "
Dia bersahabat dengan kita semua.
Termasuk dengan dirimu. Ingat, berapa kali Purnama menyelamatkan jiwamu dengan
ilmu yang ada dalam Kitab Seribu Pengobatan?"Disinilah letak ketulusan hati
gadis bermata biru ini, dia tahu Purnama sangat mencintai Wiro bahkan sering
berbuat nekad dan malah menjadi salah satu pesaing beratnya dalam mendapatkan
cinta kasih sang pendekar, namun untuk suatu hal yang benar dia tidak ragu
mengatakan bahwa itu adalah benar.
" Wiro, kenapa tidak kau tanyakan saja pada Bunga siapa adanya mahluk alam roh
yang berniat jahat itu?"kata Ratu Duyung.
" Saat ini Bunga sudah pergi. Aku tidak lagi mencium bau kembang kenanga
miliknya. Namun mahluk yang katanya hendak berbuat jahat itu kurasa masih ada di
sekitar sini."
" Sebelumnya,"kata Kiai Gede Tapa Pamungkas pula. "
Ada seorang lelaki sembunyi
ditepi telaga. Dia hanya berada sebentar di tempat ini. Lalu pergi begitu saja.
Agaknya dia mencari seseorang. Namun tidak menemui orang itu di sini."
" Kiai bisa menduga siapa adanya lelaki itu" Mungkinkah Bujang Gila Tapak Sakti
?" bertanya Ratu Duyung.
" Mahluk aneh. Hanya itu yang bisa aku rasakan dari keberadaannya,"jawab sang Kiai
pula. " Kiai, kalau sekiranya menurut Kiai pembicaraan kita sudah selesai, apakah saya
boleh minta diri?"Tanya Pendekar 212. Saat itu ingatannya kembali, tertuju pada
Nyi Retrio Mantili. Dia harus segera mencari perempuan malang itu. Wiro kawatir
akan keselamatan dirinya. Kiai Gede Tapa Pamungkas bisa meraba apa yang ada
dalam benak dan hati sang pendekar. Namun sebelum dia menjawab Ratu Duyung telah
lebih dulu menyambung ucapan Wiro.
161 Perjodohan Berdarah
25 " Kiai, saya juga ingin mohon diri. Saya segera kembali ke laut selatan untuk
menemui Nyai Roro Kidul."
Kiai Gede Tapa Pamungkas mengusap janggut putihnya beberapa kali. "
Kalian berdua hendak malam-malam begini. Mengapa menunggu sampai besok pagi saja?"
Baik Wiro maupun Ratu Duyung tidak menjawab.
" Kalau kalian memang berniat untuk pergi sekarang baiklah. Pergilah berdua.
Sepanjang perjalanan kalian bisa membicarakan perjodohan kalian. Dengan demikian
kalian akan merasa lebih dekat satu sama lain. Bisa saling menyelami hati
masing-masing."Kata Kiai Gede Tapa Pamungkas pula.
Ketika Wiro dan Ratu Duyung hendak bergerak bangun, orang tua ini angkat tangan
kanannya. " Aku senang melihat kalian hendak pergi berdua-duaan. Tapi tunggu dulu. Tunggu,
jangan terburu-buru. Sebelum pergi ada satu hal yang hendak aku bicarakan
denganmu, Ratu Duyung!"
" Kalau ada pembicaraan yang mungkin tidak boleh mendengar, biar saya menunggu di
tepi telaga sebelah sana."Kata Wiro.
" Tidak perlu. Akan lebih baik kalau k
a u i kut me nde nga r da n me nya ks i ka n, " ka t a Kiai Gede Tapa Pamungkas pula. Lalu dia menatap ke arah Ratu Duyung.
" Pe r t a ma a da s a t u ha l yang i ngi n a kuusulkan. Hal ini juga sudah disetujui oleh Sinto
Gendeng dan Tua Gila. Sebagai insan yang cantik jelita, namamu sungguh indah
yaitu Ratu Duyung, cocok dengan orangnya. Namun dalam keseharian adalah lebih
baik jika kau memiliki nama lain. Kami para sepuh bertiga sebenarnya sudah
mempunyai beberapa nama pilihan untukmu. Namun adalah lebih pantas kalau Wiro
Wiro Sableng 161 Perjodohan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebagai calon s
ua mi mu ya ng me nc a r i da n me mbe r i ka n na ma bagi mu. Ka u s e t uj u Ra t u?" Ratu Duyung tak bisa menjawab. Perlahan-lahan kepalanya dipalingkan ke arah
Wiro. " Wi r o, ka t a ka n, na ma a pa yang bagus unt uk ca l on i s t r i mu i ni " Wiro juga tak bisa menjawab. Kalau dia menjawab berarti dia memang sudah
menyetujui bahwa Ratu Duyung adalah jodohnya, calon istrinya. Urusan bisa jadi
panjang. Lagi pula dia tidak mau mengikat diri.
Dalam hati Wiro berkata. "
Heran, mengapa Kiai Gede Tapa Pamungkas, Eyang
Sinto dan Kakek Tua Gila bersikeras menjodohkan dirinya dengan Ratu Duyung tanpa
dia diberi kesempatan untuk mengutarakan pendapat sendiri. Ah, tapi mungkin aku
yang tolol. Tidak mau berterus terang pada Kiai. Cuma, bagaimana mungkin ...
Gendeng! Bagaimana aku jadi bisa terlibat dengan urusan geblek macam begini!"
" Wiro, aku tahu kau memberikan banyak nama bagus pada beberapa gadis
sahabatmu. Tidak mungkin kau tidak bisa memberikan nama yang indah untuk Ratu
Duyung calon istrimu."Kata Kiai Gede Tapa Pamungkas pula.
Wiro masih tak menjawab. Hanya memandangi tanah di hadapannya.
" Wiro ... "'
Sang pendekar angkat kepala tapi memandang ke langit. Dia melihat bulan purnama
empat betas hari, bulat bercahaya indah sekali.
" Wiro, aku menunggu..."berkata lagi Kiai Gede Tapa Pamungkas.
" Wiro, cari, pilihkan nama untukku. Aku akan menerima nama apa saja,"tiba- tiba
Ratu Duyung berucap.
Wiro merasa heran. Tidak menyangka kalau Ratu Duyung akan mengeluarkan
ucapan seperti itu. Ketika murid Sinto Gendeng menatap ke arah si gadis, Ratu
Duyung 161 Perjodohan Berdarah
26 kedipkan sepasang matanya yang biru bagus. Wiro kini mengerti dan maklum arti
serta maksud Ratu Duyung memberi isyarat kedipan mata itu. Yaitu agar persoalan
bisa selesai dan mereka bisa cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
Wiro kembali menatap ke arah bulan purnama di langit biru bersih tak berawan.
Begitu kepala diturunkan dia langsung memandang ke arah Ratu Duyung.
" Kiai..." 161 Perjodohan Berdarah
27 BASTIAN TITO 7 PERJODOHAN BERDARAH
DI TIGA tempat gelap dan tersembunyi sekitar telaga, tiga orang gadis tenggelam
dalam ketercekatan serta ketegangan menyaksikan dan mendengar pembicaraan Kiai
Gede Tapa Pamungkas, Wiro dan Ratu Duyung.
Gadis pertama dalam kecantikan wajahnya tampak pancaran amarah, keberingasan.
Hatinya berucap.
"Wiro, kau boleh memberi sejuta nama pada gadis bermata biru itu. Tapi akhir
dari segalanya adalah kematian! Tidak ada seorangpun boleh dan bisa merebut
dirimu dari t angank u" Perlahan-lahan orang ini angkat tangan kanannya ke atas. Lima jari dipentang
kaku laksana lima potongan baja!. Mulut merapal mantera. Lima jari tangan serta
merta berubah menjadi merah laksana bara menyala!
Gadis kedua walau bisa menahan diri namun tak urung hatinya bergejolak keras.
"Wiro kau benar benar hendak memberi kiamat padaku. Aku mengaku sering berbuat
keliru padamu. Bahkan sikap diriku di matamu mungkin tampak congkak.
Mungkin kau juga menuduhku berselingkuh. Namun ketahuilah seumur hidup dunia
akhirat hanya kau satu-satunya lelaki yang kukasihi!"Begitu mudah Kau melupakan
diriku hanya karena tutur bicara manis penuh bujukan orang tua yang memaksakan
kehendak itu. Wiro kalaupun kelak aku harus mati karena siksa batin ini, aku
rela kita mati berdua dari pada melihat kau bersanding dengan gadis lain!"
Setelah mengeluarkan suara hati, gadis di dalam kegelapan ini berkelebat pergi
ke arah timur dan lenyap dalam, kegelapan.
Gadis ketiga berlainan dengan dua gadis terdahulu, yang satu ini unjukkan wajah
sedih, menatap sayu ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Mata yang menatap itu
mulai berkaca-kaca. Walau dirinya diselimuti kegoncangan jiwa namun lubuk
hatinya masih mampu bersuara tenang.
"J ika kau memang bukan jodohku, aku ikhlas menerima. Tapi apakah aku sanggup
menghadapi kenyataan hidup ini" Cobaan ini terlalu besar, terlalu berat bagiku.
Bahuku terlalu rapuh untuk memikul beban ini Wiro, bagaimana Mungkin kau tega
melakukan ini. Kau tahu aku mengasihimu. Sangat mengasihimu. Semudah itu kau
melupakan diriku" Seperti membalikkan telapak tangan" Aku tidak akan pernah
membangkit segala budi yang pernah kita tanam. Namun tidak adakah sedikitpun
benih kasih sayang dalam lubuk hatimu terhadap diriku?"
" Kiai suara Pendekar 212 Wiro Sableng bergetar. Dia pandangi wajah orang tua di
hadapannya itu beberapa ketika lalu menatap ke arah Ratu Duyung dan lanjutkan
ucapannya. "
Kiai, dengan izinmu saya memberi nama Intan pada Ratu Duyung."
Sepasang mata biru Ratu Duyung membesar dan memancarkan cahaya begemerlap.
Di tempat gelap di tepi telaga dua gadis cantik keluarkan suara tercekat. Yang
satu langsung berkelebat ke balik pohon besar mendekati arah duduk ke tiga orang
di tepi telaga, yang lainnya duduk terkulai tundukkan kepala. Air mata meluncur
jatuh membasahi pipi.
Kiai Gede Tapa Pamungkas berseru gembira.
161 Perjodohan Berdarah
28 " Al hamdulillah. Sungguh nama yang sangat bagus. Sangat cocok dengan diri dan
pribadi orangnya. Intan permata itu dimanapun berada, sekalipun di dalam lumpur
akan tetapi memancarkan cahaya murni, putih perlambang kesucian. Nama Ratu
Duyung tidak akan pernah hilang, dan nama Intan akan menjadi sandingan indah
yang tiada terperikan."
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum lega dan anggukkan kepala berulang kali.
"Intan dan Wiro, kata orang tua ini. "
Sekarang aku sampai pada hal kedua."
Dari balik pakaiannya orang tua ini keluarkan benda putih bergulung yang bukan
lain adalah Pedang Naga Suci 212.
" Sejak kematian sahabat kalian Puti Andini, aku sudah lama mencari seseorang yang
pantas menerima dan memegang pedang sakti ini. Saat ini aku telah menemukan
orangnya yang sangat pantas. Ratu Duyung senjata ini akan kuserahkan padamu.
Tunggu sampai pedang membuka gulungan dan melayang di udara, memberi hormat di
hadapanmu."
Sang Kiai letakkan pedang bergulung di atas telapak tangan kanan lalu
diangsurkan ke arah Ratu Duyung.
Gadis bermata biru ini terkejut. Tak percaya mendengar ucapan si orang tua
bahkan Wiro juga agak terkesiap namun merasa senang kalau Kiai Gede Tapa
Pamungkas memang mau menyerahkan senjata sakti mandraguna itu pada Ratu Duyung.
" Kiai,"kata Ratu Duyung. "
Saya mana berani menerima senjata itu."
" Ratu," kata Wiro. "
Jangan menolak. Jangan mengabaikan kepercayaan yang
diberikan Kiai padamu. Guruku saja Eyang Sinto Gendeng tidak bisa dan tidak
pantas mendapatkan senjata itu."
" Betul," kata sang Kiai pula. "
Pedang sakti ini tidak sembarang orang bisa
memilikinya. Bahkan tidak gampang untuk bisa menyentuhnya. Seseorang yang tidak
dikehendaki pedang tangannya akan luka melepuh jika berani memegangnya. Ratu
Duyung, ketahuilah. Kau berjodoh dengan pedang ini., Sebagaimana kau berjodoh
dengan Wiro. Wiro telah memiliki Kapak Naga Geni Dua Satu Dua. Kini kau memiliki
Pedang Naga Suci Dun Satu Dua yang merupakan pasangan dari kapak sakti. Bukankah
itu satu pertanda bahwa kalian memang telah pantas terikat dalam satu tali
perjodohan?"
" Kena aku!" ucap Wiro dalam hati. Tadi dia berkata hanya sekedar untuk
meyakinkan Ratu Duyung agar mau menerima Pedang Naga Suci 2,12 yang diberikan.
Ternyata sang Kiai mengaitkan pemberian itu dengan perjodohan dirinya dengan
Ratu Duyung. Seolah dia dan Ratu Duyung sudah berada dalam ikatan perjodohan
secara nyata! Sang pendekar mau tak mau jadi garuk-garuk kepala.
Kiai Gede Tapa Pamungkas lanjutkan ucapan.
" Ratu, jaga dan rawat senjata ini dengan bak Maka dia akan menjaga dirimu dengan
baik pula."Habis berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas goyangkan telapak
tangan kanannya. Dengan berbuat begitu, maka pedang sakti yang bergulung akan
membuka, melesat ke udara lalu mengapung di hadapan Ratu Duyung seolah memberi
penghormatan pada tuannya yang baru. Namun setelah sang Kiai menggoyangkan
telapak tangannya sampai tiga kali, senjata sakti itu tetap bergulung, sama
sekali tidak mau membuka. Berubahlah air muka Kiai Gede Tapa Pamungkas.
" Aneh, apakah pedang sakti ini tidak suka pada Ratu Duyung. Biasanya enteng.
Sekarang mengapa terasa berat .... ?"pikir sang Kiai. Dia kerenyitkan kening,
mengawasi dengan pandangan lebih tajam. Sepasang mata orang tua ini tiba-tiba
pancarkan cahaya aneh.
161 Perjodohan Berdarah
29 Wiro yang sejak tadi memperhatikan merasa ada yang tidak beres lantas bertanya.
Hal ini juga dirasakan Ratu Duyung.
" Kiai, ada apa?"bertanya Pendekar212.
" Pedang Naga Geni Dua Satu Dua ini palsu!
" ucap Kiai Gede Tapa Pamungkas
dengan suara keras bergetar!
" Bagaimana mungkin"!"ujar Wiro sambil bangkit berdiri.
" Apa yang terjadi?"tanya Ratu Duyung yang barusan saja diberi nama Intan.
Rahang Kiai Gede Tapa Pamungkas menggembung. Kumis dan janggutnya
berjingkrak. Lima jari tangan yang memegang gulungan pedang membuat gerakan
meremas. Ini bukan remasan biasa karena disertai tenaga dalam yang sanggup
meremas hancur batu sebesar kepalan!
" Kraakk!" Gulungan benda putih di tangan Kini Gede Tapa Pamungkas hancur nyaris jadi
Penjara Langit 1 Angrek Tengah Malam Seri Pendekar Harum Karya Khu Lung Kisah Si Rase Terbang 10
BASTIAN TITO PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
WIRO SABLENG e-book by : Begawan Alfarizi (abdulmadjid kaskuser)
Terima kasih buat :
Pendekar212 Kalapalima Syauqy_arr (Hanaoki)
Tiraikasih BASTIAN TITO Hak cipta dan copy right pada
pengarang dibawah lindungan
undang-undang Wiro Sableng telah Terdaftar pada Dept. Kehakiman R.I.
Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek
dibawah nomor 004245
161 Perjodohan Berdarah
2 PERJODOHAN BERDARAH
Dalam gelap wajah cantik di gadis pancarkan amarah keberingasan. Hati berucap.
" Wi r o, ka l a u bol e h membe r i s e j ut a na ma pa da ga di s ber war na bi r u i t u. Ta pi a khi r dari segalanya adalah kematian! Tidak ada seorangpun boleh dan bisa merebut
dirimu da r i t a nga nku! " Perlahan-lahan orang ini angkat tangan kanannya ke atas. Lima jari dipentang
kaku laksana lima potongan baja!. Mulut merapal mantera. Lima jari tangan serta
merta berubah menjadi merah laksana bara menyala.
Di lain kejap dari arah pohon besar melesat lima larik sinar merah. Menyambar
cepat dan ganas ke arah bagian tubuh sebelah belakang ratu Duyung.
" Ra t u! I nt a n! Awa s ! Ada or a ng me nyer a ngmu da r i be l a ka ng! " t e r i a k Wi r o. Se c e pa t kilat dia melompat ke depan. Tangan kiri menodorng garis bermata biru itu
sementara tangan kanan lepaskan pukulan Kincir Padi Berputar disusul dengan
pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari.
161 Perjodohan Berdarah
3 BASTIAN TITO 1 PERJODOHAN BERDARAH
LENYAP dicurinya Pedang Naga Suci dari tempat kediamannya di dasar telaga di
puncak Gunung Gede membuat Kiai Gede Tapa Pamungkas bertindak turun gunung.
Orang tua sakti yang dianggap setengah Dewa ini berhasil menemukan si pencuri
pedang yaitu bukan lain adalah Luhrembulan, gadis cantik dari alam 1200 tahun
silam. Sebenarnya yang mengambil pedang sakti itu bukan Luhrembulan, tapi Nyai Tumbal
Jiwo yang dalam beberapa waktu belakangan ini menampilkan diri sebagai gadis
cantik bernama Nyi Wulas Pikan.
Namun begitu berhasil mendapatkan pedang sakti, Nyi Wulas Pikan tidak memampu
memegang senjata itu. Tangannya terkelupas melepuh kepanasan. Pedang yang
kemudian dilempat oleh Nyi Wlas Pikan disambar lalu dibawah kabur oleh
Luhrembulan. Ketika Luhrembulan bertarung dengan Purnama yang sama-sama mahluk dari
Latanahsilam, Wiro berusaha mencegah. Dalam kalapnya Luhrembulan bukan saja
menyerang Purnama tetapi juga menyerbu Wiro. Tidak ada jalan lain, murid Sinto
Gendeng terpaksa mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212. Celakanya tanpa bisa
dicegah kapak sakti itu dirampas oleh Purnama lalu dipakai untuk menyerang
Luhrembulan. Purnama berhasil membunuh Luhrembulan dengan kapak sakti
sementara Nyi Wulas Pikan alias Nyai Tumbal Jiwo yang penasaran atas lenyapnya
pedang sakti itu berusaha mengejar dan mendapatkan Pedang Naga Suci 212 kembali.
Di bagian sungai yang dangkal dia bertemu dengan seorang pemuda gendut yang
telah lebih dulu menemukan Pedang Naga Suci 212. Walau senjata sakti itu
beberapa kali menyerang dirinya pemuda ini dengan mempergunakan sebuah kipas
kertas berhasil menjinakkan dan memegang pedang. Hal ini membuat kagum Nyi Wulas
Pikan. Segera saja dia keluar dari tempat persembunyiannya menemui pemuda gendut
berpenampilan dogol yang sebenarnya adalah salah satu tokoh rimba persilatan
dikenal dengan nama Bujang Gila Tapak Sakti, keponakan Dewa Ketawa dan sobat
karib Pendekar 212 Wiro Sableng.
Begitu berhadapan dengan si gendut Nyi Wulas Pikan kenalkan diri dan memuji.
" Hebat! Kau mampu menjinakan Pedang Naga Suci Dua satu Dua! Bagamana kau
melakukannya" Mantera apa yang kau baca?"
Bujang Gila Tapak Sakti yang tertarik akan kecantikan dan kesintalan tubuh molek
si gadis berpakaian hijau kedap-kedipkan mata dan menjawab.
" He ... he. Aku tidak membaca mantera apa apa. Kipas ini yang menolongku."
" Hebat! Kipasmu itu pasti sama saktinya dengan Pedang Naga Suci Dua Satu Dua"
" He ... he. Kipasku cuma kipas jelek." Si gendut merendah lalu bertanya.
" Bagaimana kau tahu kalau pedang ini bernama Pedang Naga Suci Dua Satu Dua?"
" Aku hanya menduga. Tidakkah kau melihat ada guratan angka dua satu dua pada dua
sisi pedang?"Atas pertanyaan Nyi Wulas Pikan, si gendut memberi tabu, nama.
Tak lupa mengatakan babwa dia berusia 20 tahun walau sebenarnya sudah 80 tahun.
Tahu kalau Bujang Gila Tapak Sakti tertarik pada kecantikan wajah dan kemolekan
tubuhnya Nyi Wulas Pikan mulai menggoda dan merayu. Gadis ini mengatakan mau 161
Perjodohan Berdarah
4 dikawini si pemuda asal diajarkan bagaimana caranya agar bisa memegang Pedang
Naga Suci 212 tanpa tangan menderita panas dan luka melepuh.
Bujang Gila Tapak Sakti memberi tahu bahwa sebenarnya dia juga merasa panas
memegang pedang tersebut namun tangannya tidak sampai melepuh. Ini disebabkan
karena dia memiliki kekuatan berupa hawa dingin dalam tubuhnya.
" Kalau begitu berikan kesaktian hawa dingin itu padaku,"mengajuk Nyi Wulas Pikan.
" Memberikan hawa dingin dalam tubuhku padamu" Bagaimana caranya?"tanya
Bujang Gila Tapak Sakti pula.
Nyi Wulas Pikan mendekati si gendut ia lalu berbisik. "
Tiduri diriku. Kau berbuat
pahala sekaligus mendapat kenikmatan dan aku merasa bahagia."
Mata belok Bujang Gila Tapak Sakti mendelik tambah besar. Tubuhnya langsung
keringatan! " Heh, kau ini bicara apa"! Kau sungguhan"!"
" Aku tidak main-main." Jawab Nyi Wulas Pikan sambil kedipkan mata dan
layangkan senyum.
" Kita... kita mau melakukannya dimana?"tanya Bujang Gila Tapak Sakti sambil
pegang bagian bawah celana gombrongnya seperti orang kebelet kencing!
Nyi Wulas Pikan memandang berkeliling.
" Di bawah pohon sana. Tanahnya tidak terlalu basah. Sepi dan kelindungan."
Lalu gadis jejadian Nyai Tumbal Jiwa ini mendahului melangkah cepat ke bawah
pohon besar. Ketika dilihatnya pemuda gendut masih tak beranjak dari tempatnya Nyi Wulas
Pikan lambaikan tangan memanggil. Bujang Gila Tapak Sakti tampang dan sikapnya
boleh dogol. Tapi ini tidak berarti otaknya tolol.
" Gadis cantik, aku ya mau-mau saja dikasih barang enak. Tapi permainan sandiwara
apa yang tengah kau takukan?"ucap si gendut ini dalam hati. Namun dia jadi
terperangah ketika melihat di bawah pohon sana Nyi Wulas Pikan telah
menanggalkan seluruh pakaiannya sebelah atas hingga kini keadaan perempuan
cantik itu jadi setengah bugil!
Hawa panas menjalari tubuh Bujang Gila Tapak Sakti. Bukan saja yang berasal dari
hawa sakti yang memancar dari pedang sakti bergulung tapi juga akibat menahan
gelora nafsu. Perlahan-lahan Bujang Gila Tapak Sakti berjalan ke arah pohon. Beberapa langkah
lagi dia akan sampai di hadapan Nyi Wulas Pikan tiba-tiba gulungan pedang sakti
yang ada di tangan kanannya memancarkan sinar terang dan sreett! Pedang terlepas
dari pegangan, membeset ke atas.
" Brett!." Lengan kiri baju pemuda gendut robek. Kulit tergores. Selagi dia menahan sakit,
pedang sakti kembali berkelebat. Kali ini melesat ke arah Nyi Wulas Pikan.
Mendapat serangan ganas, gadis jejadian Nyi Tumbal Jiwo ini menangkis dengan
menjentikan lima jari tangan.
Lima larik sinar merah angker menderu ke arah Pedang sakti.
Pukulan Lima Jari Akhirat!
Terdengar suara berdentringan lima kali berturut-turut. Pedang Naga suci 212
nampak tersentak limbung di udara. Namun sesaat kemudian didorong satu kekuatan
161 Perjodohan Berdarah
5 luar biasa senjata ini kembali ke arah Nyi Wulas Pikan. Si gadis berteriak
keras, secepat kilat jatuhkan diri ke tanah.
Pedang Naga Suci 212 menancap di pohon besar sampai ke gagang. Nyi Wulas
Pikan menyadari dia tidak akan sanggup menghadapi senjata sakti itu maka dia
cepat menyambar baju yang tergeletak di tanah siap untuk kabur. Namun saat itu
pedang sakti yang menancap di pohon bergerak surut, mengambang di udara lalu di
lain kejap menderu ke arah dirinya! Kali ini Nyi Wulas Pikan tidak mampu
bergerak selamatkan diri karena saat itu dia sedang membungkuk tengah mengambil
pakaian. Kalau sampai dirinya dibantai pedang sakti, rohnya akan terlempar ke
alam gaib untuk selama-lamanya, tak mungkin lagi berkeliaran gentayangan di muka
bumi. Nyi Wulas Pikan menjerit keras. Sesaat lagi pedang itu akan menancap di
dadanya yang busung putih tiba-tiba muncullah Kiai Gede Tapa Pamungkas.
" Pedang Naga Suci Dua Satu Dua! Bukan saatnya kau membunuh! Kembali
padaku!" Pedang sakti berhenti melesat lalu bergulung dan melayang ke arah sang Kiai.
Setelah menyimpan senjata itu di balik pakaian putihnya Kiai Gede Tapa Pamungkas
membentak Nyi Wulas Pikan.
" Gadis jalang! Beraninya kau berbuat mesum di tempat ini!"
Wiro Sableng 161 Perjodohan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nyi Wulas Pikan mencibir, tertawa cekikikan lalu tinggalkan tempat itu sambil
terapkan ilmu Di balik Asap Roh Mencari Pahala.
" Jangan pergi!"teriak Kiai Gede Tapa Pamungkas seraya mengejar.
Namun sosok si gadis setengah bugil telah lenyap. Yang terdengar hanya suara
ucapan mengejek.
" Orang tua! Aku tahu kau cuma pura-pura marah! Aku melihat sinar matamu! Kau
menikmati pemandangan dadaku yang bagus! Hik ... hik ... hik!"
Wajah Kiai Gede Tapa Pamungkas berubah merah mengelam. Mulut berkomat-
kamit mengucap istigfar berulang kali. Kini kemarahannya ditumpahkan pada si
gendut Bujang Gila Tapak Sakti.
161 Perjodohan Berdarah
6 BASTIAN TITO 2 PERJODOHAN BERDARAH
DENGAN bergetar menahan amarah Kiai Gede Tapa Pamungkas menegur.
" Kau tahu siapa diriku! Aku juga sudah tahu siapa dirimu! Apa pantas bagi seorang
pendekar rimba persilatan yang konon keponakan Dewa Ketawa berbuat mesum di
tempat ini"!"
Bujang Gila Tapak Sakti Putar kopiah kupluknya lalu menjawab.
" Kiai, aku tidak berbuat mesum. Perempuan itu sendiri yang menanggalkan bajunya.
Aku tidak menyuruh!"
" Bujan Gila Tapak Sakti, jangan bermain kata-kata denganku!"
" Kiai, dengar. Kau salah menduga. Gadis tadi bermaksud menggodaku. Usiaku
sudah delapan puluh tahun. Aku tak mungkin tertipu. Sebenamya gadis tadi ingin
mendapatkan pedang bergulung yang sudah kau simpan itu."
" Sudahlah, sulit aku percaya dengan ucapanmu. Aku hanya ingin tahu satu hal. Apa
kau berkomplot dengan gadis tadi, membantunya dengan ilmu kesaktianmu mencuri
Pedang Naga Suci Dua Satu Dua dari tempat kediamanku di dasar telaga?"
" Kiai, ceritanya begini. Aku menemui pedang bergulung itu sewaktu aku lagi
berbaring di sungai dangkal. Gadis tadi ingin menguasai pedang tapi tidak bisa.
Jika dia menyentuh pedang maka tangannya jadi melepuh."
Kiai Gede Tapa Pamungkas perhatikan tangan kanan Bujang Gila Tapak Sakti.
Tangan itu tampak agak kemerahan tapi tidak luka apa lagi melepuh. Ini satu
pertanda bahwa si pemuda memiliki ilmu kepandaian tinggi.
" Kalau kau tidak bersekongkol dengan gadis jejadian tadi, lalu mengapa kau bisa
terpesat ke tempat ini?"
Si gendut putar lagi kopiah kupluk di atas kepalanya. Tubuhnya mulai terasa
panas. Dia kembangkan kipas kertas dan kipas-kipas leher serta wajahnya. Kiai Gede Tapa
Pamungkas merasa ada hawa aneh keluar dari angin kipasan.
" Kiai, tidak ada hujan tidak ada angin, tidak ada ujung tidak ada pangkal, dari
tadi kau selalu mengambil sikap mencurigaiku. Memangnya apa ada peraturan dalam
rimba persilatan bahwa seseorang tidak boleh pergi ke mana dia suka?"
" Memang tidak ada peraturan. Tapi lain dengan dirimu!"
Bujang Gila Tapak Sakti tertawa gelak-gelak sampai matanya yang belok berair.
Dalam tertawa hatinya kesal dan jengkel. Lantas saja ia lontarkan kata-kata
mengejek. " Ah, rupanya aku ini ada kelainan. Tapi aku masih bisa bersyukur. Kiai, dibanding
dengan dirimu kita memang jelas-jelas lain. Kau kurus kerempeng. Aku gendut
berlemak! Kau berambut putih nyaris sulah. Rambutku hitam dan lebat! Kau punya
kumis dan janggut putih. Mukaku tembam tapi klimis. Aku mengenakan baju terbalik
dan celana komprang gombrong. Kau mengenakan pakaian selempang kain putih tidak
berjahit. Aku masih tegap, kau sudah reot. Aku masih ada bau-bau wangi keringat,
kau sudah bau tanah! Anuku masih kencang berkilat. Anumu pasti sudah seperti
terong peot. Mungkin juga rada-rada burik! Ha ... ha... ha!"
Amarah Kiai Gede Tapa Pamungkas mendidih. Kepalanya laksana mau meledak.
" Manusia kurang ajar! Tutup mulutmu! Kau layak diberi pelajaran!"
161 Perjodohan Berdarah
7 Sang Kiai gerakkan tangan kanan. Jarak si gendut dan orang tua itu cukup jauh
namun tangan si orang tua mendadak berubah panjang.
" Plaakk!! Plaakk!!"
Dua tamparan keras melanda pipi Bujang Gila Tapak Sakti kiri kanan. Ini bukan
tamparan biasa! Dua sudut bibir si pemuda gendut sampai pecah mengucurkan darah.
Sambil menahan sakit, setelah menyeka darah di pinggiran mulut dan yang meleleh
di dagu, si gendut keluarkan ucapan yang membuat Kiai Gede Tapa Pamungkas
terkesima dan merasa menyesal.
" Kiai, kalau aku memang bersalah dan kurang ajar, apakah begini cara seorang Kiai
memberi pelajaran. Seumur hidup aku akan mengingat pelajaran yang barusan kau
berikan padaku. Aku mengucapkan terimakasih atas kebaikan hatimu memberi
pelajaran."
Terhuyung-huyung Bujang Gila Tapak Sakti putar tubuh lalu tertatih-tatih
tinggalkan tempat itu. Sang Kiai berusaha mengejar. Walau pemuda gendut itu
tampaknya berjalan lamban perlahan namun sebelum sempat si orang tua mendekat
sosoknya sudah lenyap dari pandangan mata.
Kiai Gede Tapa Pamungkas hanya bisa menghela nafas panjang. Ketika dia hendak
beranjak dari tempat itu siap kembali ke puncak Gunung Gede dimana Ratu Duyung
masih menunggu mendadak dia merasa udara di sekitarnya berubah menjadi sangat
dingin. Lebih dingin dari udara di puncak Gunking Cede. Tanah yang dipijak
seolah telah berubah menjadi es. Tubuhnya serasa terpendam di satu tempat yang
luar biasa dingin. Dua kaki menjadi kaku, tak mampu digerakkan.
Orang tua ini kerahkan hawa hangat sakti dalam tubuh, tapi sia-sia saja. Sekujur
badan mulai menggigit. Geraham bergemeletukan. Di tidak mampu melawan rasa
dingin! Perlahan-lahan dari hidung dan telinganya meleleh keluar Cairan darah.
Begitu berada di luar telinga dan hidung langsung membeku.
Kiai Gede Tapa Pamungkas mengucap istigfar berulang kali. "
Aku telah berbuat
salah. Menyengsarakan orang lain yang mungkin tidak berdosa. Sudah tua begini,
mengapa aku tidak dapat menahan sabar" Apakah pemuda tadi yang melakukan
pembalasan atau Tuhan yang menghukum diriku?"Nafas Kiai Gede Tapa Pamungkas
menyesak, dada terasa berat. "
Ya Tuhan, aku mohon ampun padamu. Dan kau pemuda
bernama Bujang Gila Tapak Sakti, aku minta maaf padamu atas perbuatanku."
Baru saja sang Kiai selesai mengeluarkan ucapan batin itu tiba-tiba hawa dingin
yang menyungkup serta merta lenyap. Tanah yang serasa es berubah hangat. Dua
kakinya yang kaku kini bisa digerakkan. Darah berhenti mengucur dari hidung dan
telinga bahkan noda merah yang membeku lenyap tanpa bekas. Dalam tubuh sang Kiai
kini mengalir hawa sejuk yang membuat dadanya terasa lapang dan hati menjadi
lega. Kiai Gede Tapa Pamungkas gelengkan kepala berulang kali.
" Pemuda itu telah memberi pelajaran sangat baik padaku. Bujang Gila Tapak Sakti
aku berterima kasih padamu. Hari ini kau telah memberi pelajaran yang tidak akan
aku lupakan selama sisa hidupku."
*** DI TEPI sungai berair dangkal untuk beberapa lama Bujang Gila Tapak Sakti duduk
merenung pengalaman pahit yang barusan dialaminya. Ketika dia mencuri dua buah
bonang milik Keraton, kemarahan pamannya si Dewa Ketawa bukan olah-olah. Tetapi
161 Perjodohan Berdarah
8 orang tua yang juga bertubuh gemuk itu tidak pernah menampar apa lagi
memukulnya. Dia hanya dipendam di dalam liang es di puncak Gunung Mahameru. Justru dengan
kejadian itu dia mendapatkan ilmu kesaktian luar biasa.
" Seumur hidup baru kali ini aku merasakan ditampar orang. Sakit di pipi tidak
seberapa. Tapi sakit di hati ini..."Bujang Gila Tapak Sakti akhirnya Cuma
tersenyum. Usap-usap pipinya lalu masuk ke dalam sungai. Membasuh muka, membersihkan noda
darah di sudut bibir dan dagu.
Tiba-tiba Bujang Gila Tapak Sakti mendengar suara orang. Suara perempuan.
" Ssstt .... sstt. Gendut...!"
Buiang Gila Tapak Sakti turunkan dua tangan yang dipakai membasuh muka.
Berpaling ke belakang. Dia tidak melihat siapa-siapa. Dia memperhatikan
berkeliling. Tidak ada seorangpun. Kembali dia meneruskan mencuci muka.
" Sstt ... Gendut. Terong peot! Rada rada burik. Hik, ... hik ... !"
Bujang Gila Tapak Sakti ulurkan tubuhnya yang gendut.
" Tak mungkin aku salah mendengar. Ada orang bicara! Perempuan!"
Karena kesal pemuda ini memaki.
" Sialan! Aku bukan terong peot! Punyaku masih segar mengkilat! juga tidak rada-
rada burik! Punyaku licin mulus! Sialan!"
Sunyi. Yang terdengar hanya suara gemerisik dedaunan tertiup angin. Bujang Gila
Tapak Sakti kembali membungkuk, meneruskan membasuh
" Ssttt! Terong peot..! Apa kau tidak dengar ditegur orang"!"
Bujang Gila Tapak Sakti, terus saja membasuh muka. Tapi kali ini dia hanya
berpura-pura. Dia sudah tahu dari arah mana suara perempuan itu.
" Sstti...sstt! Hai terong peot! Kalau tidak menjawab nanti terongmu jadi busuk!
Hik... bik..hik!"
Tubuh gemuk ratusan kati Bujang Gita Tapak Sakti tiba-tiba melesat enteng ke
udara! Lalu melayang turun, berkelebat ke balik sebuah pohon besar di tepi kanan
sungai. Kipas di tangan kiri siap dipukulkan.
Begitu si gendut sampai di balik pohon dari tempat itu terdengar pekikan
perempuan disusul tawa cekikikan.
" Anak kecil! Siapa kau"!"Bentak Bujang Gila Tapak Sakti.
" Hik! Hik! Apa matamu buta! Enak saja mengatakan aku anak kecil! Lihat! Aku sudah
punya anak tahu! Ini anakku!
" Dari jengkel Bujang Gila Tapak Sakti jadi terperangah lalu menyeringai. Di
hadapannya saat itu berdiri sambil senyum-senyum seorang perempuan cantik
bertubuh kecil, membedong sebuah boneka kayu di atas dadanya.
" Sialan! Jelek amat, nasibku hari ini. Habis ditampar kakek-kakek kini bertemu
perempuan sinting!"Kata Bujang Gila Tapak Sakti dalam hati.
" Tapi .... apa benar dia gila" Wajahnya dipoles dandanan apik. Rambut rapi.
Pakalan biru bagus masih baru ...."
" Anak kecil, kau ini siapa" Mengapa menggangguku?"
" Anak kecil, anak kecil! Enak saja kau bicara! Pasti kau memang buta! Juga tuli!
Apa tidak melihat dan tidak mendengar ucapanku tadi. Aku sudah punya anak. Ini
! " Perempuan bertubuh kecil yang bukan lain adalah Nyi Retno Mantili keluarkan
boneka kayu dari bedongan kain lalu diacungkan ke depan.
Bujang Gila Tapak Sakti delikkan mata lalu hendak tertawa gelak-gelak. Tapi dia
batalkan niat. "
Orang gila kalau dicemooh apa lagi dilayani keras dan galak malah
161 Perjodohan Berdarah
9 tambah gi l a ..."pikir si gendut pula. Lalu keponakan Dewa Ketawa ini tersenyum lebar,
membungkuk sedikit memperhatikan boneka kayu.
" Ah., anakmu cantik sekali. Pasti perempuan. Siapa namanya?"
" Kemuning."
"Lalu kau sendiri siapa namanya?"kembali Bujang Gila Tapak Sakti bertanya.
" Kalau namaku kau tak usah tahu. Tapi namamu aku sudah tahu!"
" Heh., betul?"
" Namamu Bujang Gila Tapak Sakti kan" Masih bujangan tapi gila. Iya kan"
Hik...h i k. ! " Bujang Gila Tapak Sakti tertawa lebar. Dalam hati dia berkata. "
Perempuan sinting,
bilang aku gila! Biar saja. Mungkin aku bisa cocokan berteman dengan dia."Lalu
si gendut ini bertanya.
" Heh, bagaimana kau bisa tahu namaku. Pasti kau sudah mengikutiku sejak lama."
" Bukan mengikuti, tapi aku dan anakku melihat sendiri apa yang kejadian sewaktu
kau mau main meong-meongan dengan gadis berbaju hijau itu."
" Main meong-meongan" Ha ... ha... ha!"Bujang Gila Tapak Sakti tertawa gelak-gelak
hingga dadanya yang gembrot dan perutnya yang buncit bergerak-gerak.
Nyi Retno Mantili ikutan tertawa.
" Kemuning anakku! Lihat si gendut itu. Dadanya bergoncang goncang, perutnya
seperti mau meledak! Hik ... hik... hik!"
161 Perjodohan Berdarah
10 BASTIAN TITO 3 PERJODOHAN BERDARAH
BUJANG Gila hentikan tawa, usap kedua matanya yang basah oleh air mata.
" Sobatku ayu,"si gendut tidak mau lagi menyebut Nyi Retno sebagai anak kecil,
takut di damprat. "
Kau tidak mau memberi tahu nama tidak jadi apa. Tapi aku mau
tanya, kau ada di tempat ini bagaimana ceritanya?"
" Tadinya aku berada di puncak Gunung Gede. Di tempat kediaman Kiai yang
memaki-ma ki mu
Wiro Sableng 161 Perjodohan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
i t u. " Bujang Gila Tapak Sakti jadi heran.
" Maksudmu Kia Gede Tapa Pamungkas?"
Nyi Retno Mantili mengangguk.
" Ada keperluan apa kau datang ke sana?"
" Buka nnya da t a ng. Ta di nya a ku me ma ng t i ngga l di s a na . Aku ini muridnya Kiai itu,
t a hu! " " Hah! Kau jangan bercanda, sobatku ayu
! " " Siapa yang bercanda! Aku memang muridnya. Tapi sekarang aku malas diam di sana.
Kiai itu banyak urusan dengan gadis-gadis cantik yang aku tidak suka."
" Gadis-gadis cantik siapa" Urusan apa?"Bujang Gila Tapak Sakti ingin tahu.
Nyi Retno Mantili tidak segera menjawab. Wajahnya tampak cemberut namun sesaat
kemudian berubah sedih.
" Sobatku molek ayu. Wajahmu kulihat seperti marah lalu berubah murung. Perkara
apa sebenarnya yang tengah kau hadapi. Kau mau mengatakan siapa adanya gadis-
gadis cantik itu?"
Nyi Retno Mantili usap-usap kepala boneka kayu.
Lalu dengan suara perlahan dia berkata.
" Yang pertama seorang gadis bermata biru seperti kelereng. Kiai memanggilnya Ratu
Duyung..."
" Ratu Duyung" Ah ...."
" Kau kenal dia?"tanya Nyi Retno Mantili.
" Dia sahabatku ...."
" Aku benci padanya! Kalau dia sahabatmu berarti aku juga benci padamu. Sudah aku
tak mau bicara lagi!"
" Sobatku ayu. Jangan buru-buru marah. Kenapa kau benci pada gadis bermata biru
bernama Ratu Duyung itu?"
" Dia ... dia jahat
" " Jahat bagaimana?"
" Dia mau merampas ayah Kemuning!
" Kening si gendut mengerenyit. Sepasang alis tebal naik ke atas. Mata melirik ke
arah boneka kayu. "
Merampas ayah Kemuning?"Bujang Gila Tapak Sakti melongo heran.
Dalam hati dia berkata. "
Boneka kayu ini punya ayah" Siapa" Boneka juga?"
" Sobatku ayu..."
" Jangan panggil aku sobat. Aku tidak mau berteman lagi denganmu. Kau sahabat
gadis bemata kelereng itu! Sudah, aku benci padamu!"
161 Perjodohan Berdarah
11 " Kalau kau tidak mau berteman lagi denganku, tak jadi apa. Aku tetap saja mau
bersahabat denganmu. Sudah, aku mulai keringatan. Aku mau berendam dulu dalam
sungai." Bujang Gila Tapak Sakti lalu baringkan tubuhnya yang gemuk di dalam sungai
dangkal. Mata dipejam. Tangan kiri memegang kipas dan mengipas-ngipas. Dia
seperti tidak perdulikan lagi perempuan yang membawa boneka kayu bernama
Kemuning itu. Penasaran Nyi Retno Mantili melangkah ke tebing sungai.
" Aku juga mau pergi dari sini."Katanya. "
Dasar gendut brengsek! Aku tahu kau
suka sama gadis bermata kelereng biru itu. Tapi kau tidak akan mendapatkannya.
Kau tidak tahu kalau dia mau dijodohkan dengan orang lain! Aku benci kau! Aku
benci gadis itu! Aku juga benci lelaki yang mau-mauan jadi Mak Comblang!"
Bujang Gila Tapak Sakti bangkit dan duduk di dasar sungai dangkal berair jernih
dan sejuk. " Gadis itu mau dijodohkan dngan siapa aku tidak perduli. Kiai itu mau jadi Mak
comblang bukan urusanku! Ya sudah, pergi sana.!
" " Kalau kau tahu dengan siapa si mata kelereng itu hendak dijodohkan, baru kau
berhenti pura-pura tidak mau tahu!"Nyi Retno balikkan badan.
" Eh tunggu! Memangnya Ratu Duyung mau dijodohkan dengan siapa?"Bujang Gila Tapak
Sakti bertanya sambil bangkit berdiri.
" Dengan ayah Kemuning!."
"Lalu ayah Kemuning siapa?"tanya si gendut sambil putar kopiah hitam di atas
kepala. " Wi ro!" " Wiro" Wiro siapa"!"
" Apa kau tuli"!"
" Aku punya sahabat. Seorang pendekar. Namanya Wiro Sableng. Apa dia
orangnya"!"
" Kalau sudah tahu mengapa masih bertanya"!"
Si gendut terdiam sesaat lalu tertawa gelak-gelak.
" Aku tidak yakin!
"katanya. " Tidak yakin bagaimana"! Ratu Duyung sudah menunggu di tempat Kiai yang jadi Mak
Comblang itu. Wiro kabarnya akan segera datang sebelum bulan purnama besok
malam. Padahal sebelumnya aku juga sudah berada di sana. Ingin mempertemukan
anak ini dengan dia, ayahnya. Kemuning sudah lama sekali tidak bertemu ayahnya.
Dia sering menangis memanggil-manggil ayahnya."
Bujang Gila Tapak Sakti keluar dari dalam sungai. Tangan kiri masih berkipas-
kipas, tangan kanan memegang bahu Nyi Retno. Begitu disentuh perempuan ini
terpekik. "Ihhhh! Tanganmu dingin seperti tangan hantu es!"
" Sobatku ayu, aku tidak yakin Wiro mau kawin dengan Ratu Duyung walau aku tahu
gadis bermata biru itu cantik selangit tembus, memiliki ilmu kesaktian hebat dan
telah saling berbagi budi dengan Wiro sahabatku itu."
"Lalu apa si mata kelereng itu mau kawin denganmu"! Paling tidak kau berharap
begitu. Iya kan"!
" " Aku tahu diri. Aku bersahabat dengan Ratu Duyung. Juga dengan Wiro,"
" Jadi Wiro juga sahabatmu?"tanya Nyi Retno.
Si gendut mengangguk. "
Memangnya kenapa?"
161 Perjodohan Berdarah
12 " Kalau begitu nanti katakan padanya. Jika dia kawin Kemuning anaknya akan marah,
akan sedih dan bisa sakit. Lalu mati!
"Habis mengeluarkan ucapan wajah Nyi Retno
Mantili tampak redup. Lalu bahunya bergoncang dan isak tangis keluar perlahan
dari sela bibir.
Bujang Gila Tapak Sakti merasa kasihan lalu berusaha membujuk.
" Sobatku ayu, aku sudah bilang, aku yakin Wiro tidak mau kawin dengan Ratu
Duyung. Kalaupun mau tidak sekarang, Entah berapa belas tahun lagi!"
" Aku tidak perduli dia mau kawin kapan. Besok atau lusa atau seratus tahun lagi!
Pokoknya dia bakal kawin! Kemuning akan kehilangan ayahnya!"
" Aku bilang, aku tidak yakin."
" Memangnya kenapa?"tanya Nyi Retno.
" Dia punya kekasih sekampung penuh!"jawab Bujang Gila Tapak Sakti yang
membuat Nyi Retno Mantili terpekik lalu menggerung keras.
" Hai ... hai, dengar. Jangan menangis dulu! Maksudku Wiro memang banyak
digandrungi disukai gadis cantik rimba persilatan. Tapi dia sendiri belum tentu
mau. Lalu kenapa kau menangis?"
Nyi Retno usut air matanya.
" Yang menangis bukan aku. Tapi anak ini. Kemuning..."Jawab Nyi Retno. "
Aku ... aku tahu Wiro banyak kekasih. Semua mereka adalah gadis-gadis yang aku benci.
Aku menemui dua orang diantara mereka di puncak Gunung Gede. Di tempat kediaman
Kiai Gede Tapa Pamungkas."
" Siapa saja mereka?"tanya Bujang Gila Tapak Sakti.
" Yang pertama mengaku bernama Luhrembulan. Gadis dari alam seribu dua ratus
silam! Gila! Malah dia bilang sudah menikah dengan Wiro!
" "Itu berita bohong! Aku tahu ceritanya."
Baik Bujang Gila Tapak Sakti maupun Nyi Retno Mantili tidak mengetahui kalau
Luhrembulan alias Hantu Santet Laknat telah menemui ajal di tangan Purnama.
Dibabat dengan Kapak Maut Naga Geni 212 yang dirampas Purnama dari tangan Wiro.
" Betul bohong" Jadi Wiro tidak benaran nikah dengan gadis bernama Luhrembulan
itu" Cuma kawin meong-meongan seperti yang tadi hendak kau lakukan dengan gadis
berbaju hijau itu"! Ah itu pun berarti dia telah mengkhianati Kemuning,
anaknya." Bujang Gila Tapak Sakti tertawa. Lalu bertanya.
"Siapa gadis lainnya?"
" Seorang bernama Purnama. Juga berasal dari negeri butut antah berantah itu. Kau
kenal dia" Jangan-jangan dia sahabatmu juga!"
Bujang Gila Tapak Sakti menggeleng.
"Lalu aku juga bertemu dengan seorang gadis bernama Nyi Wulas Pikan. Mengaku
Wiro adalah kekasihnya. Dia itu gadis berpakaian hijau setengah bugil yang kau
meongi tadi!"Kali ini Bujang Gila tampak terkejut
" Eh, mengapa tampangmu berubah?"tanya Nyi Retno Mantili.
" Kau kelihatan terkejut! Pasti ada apa-apanya!
" " Aku semakin tidak percaya! Mana mungkin Wiro punya kekasih seperti Nyi Wulas
Pikan. Gadis itu culas. Dia hendak menipuku. Minta ilmu agar bisa memegang
Pedang Naga Suci Dua Satu Dua
. " " Tapi kau juga mau sama dia kan!"tukas Nyi Retno.
" Eh tadi kau bilang Wiro punya
kekasih gadis sekampung! Gita! Banyak buanget! Siapa saja mereka"!"
Bujang Gila terbayang wajah Anggini, Bidadari Angin Timur, Bunga, Puti Andini,
Dewi Ular. Tapi dia tidak mau memberi tahu.
161 Perjodohan Berdarah
13 " Sudah, sebaiknya kita tidak membicarakan lagi soal gadis-gadis itu. Bagaimana
kalau aku antarkan kau ke tempat Kiai Gede Tapa Pamungkas di puncak Gunung
Gede..." " Aku mau kau antar kemana saja. Tapi tidak ke tempat Kiai itu."
" Kenapa?" Nyi Retno Mantilli menggeleng. "
Hatiku sangat sedih. Aku bisa berteriak. Aku bisa
mengamuk! Aku bisa membunuh Kiai itu! Atau membunuh si mata kelereng..."
Wiro Sableng 161 Perjodohan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lalu apa kau tidak ingin bertemu dengan ayah Kemuning?"
" Aku jadi bingung."jawab Nyi Retno Mantili sambil mengusap kepala boneka kayu.
" Dari pada bingung sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Sambil jalan kita
bicarakan kemana kau mau pergi."
" Tubuhmu besar gendut. Kau pasti kuat. Saat ini aku dan Kemuning merasa letih.
Kau mau menggendong kami?"
" Bujang Gila Tapak Sakti angkat tubuh kecil Nyi Retno Mantili lalu mendudukkannya di bahu kanan.
" Hik..hik. Kemuning, lemak dibahu si gendut ini tebal sekali. Ibu serasa duduk di
atas kasur tebal! Hik ... hik ... hik!
" Nyi Retno mendadak hentikan tawanya. Dari balik rerumpunan semak belukar di tepi
sungai tiba-tiba melesat keluar seorang kakek berpakaian jubah gombrong hitam.
Di pinggangnya melilit seutas cambuk. Sepasang matanya tidak bisa diam. Selalu
bergerak berputar-putar. Dari mulutnya terdengar suara meracau seperti orang
membaca mantera.
Rambut panjang sebahu. Sebelah kiri kepala di cat putih, sebelah kanan dicat
hitam. Kalau Nyi Retno Mantili murid Kiai Gede Tapa Pamungkas dan orang
berkepandaian tinggi seperti Bujang Gila Tapak Sakti tidak tahu ada orang yang
bersembunyi di dekat mereka, jelas sudah bahwa si kakek berjubah hitam itu
memiliki tingkat ilmu yang tidak sembarangan.
" Sobatku ayu, apa kau kenal monyet berambut belang ini" Mungkin sahabatmu"!
" " Aku tidak kenal. Dia bukan sahabatku!"jawab Nyi Retno Mantili.
" Kalau begitu kita teruskan perjalanan. Mungkin monyet tua ini kesasar mencari
pisang. Di sini mana ada pisang. Mungkin pisang kuning yang ngambang dihanyutkan
air sungai! Ha...h
a... ha!" Nyi Retno ikut tertawa cekikikan.
Bujang Gila Tapak Sakti bergerak hendak melangkah.
" Tunggu dulu!"kakek berpakaian hitam gombrong tiba-tiba membentak sambil
menghadang jalan si gendut. "
Kau boleh saja tidak mengenal diriku! Tapi apakah kau
juga tidak mengenal tiga sahabatku ini"!
"Si kakek lalu keluarkan sultan keras.
Saat itu juga dari batik rerumpunan semak belukar di tebing sungai, melesat
keluar tiga manusia aneh. Berdiri berjejer di samping kakek berambut belang.
Melihat ketiga orang ini air muka Nyi Retno Mantili jadi berubah.
" Kemuning! Kau masih ingat tiga manusia aneh yang dulu menggantung ibumu di
cabang pohon"! Hik... hik... Hik! Sekarang apa mereka muncul hendak menggantung
sahabat kita si gendut ini"! Hik... hik... hik. Perlu tambang yang kuat dan
pohon yang besar. "
161 Perjodohan Berdarah
14 BASTIAN TITO 4 PERJODOHAN BERDARAH
KITA kembali dulu ke puncak Gunung Gede. Sewaktu melihat Kiai Gede Tapa
Pamungkas muncul dengan wajah redup, Ratu Duyung yang duduk sendirian di tepi
telaga serta merta maklum kalau selain lenyapnya Pedang Naga Suci 212 sesuatu
telah terjadi di lereng atau kaki gunung. Gadis bermata biru ini cepat berdiri
dan menyapa. " Kiai, apakah Kiai berhasil mendapatkan kembali pedang sakti yang dicuri?"
" Tuha n menol ongku. Aku be r ha s i l me nda pa t kan pe da ng s a kt i i t u ke mba l i . " J a wa b Kiai Gede Tapa Pamungkas.
" Kiai juga tahu siapa yang mencurinya?"tanya Ratu Duyung lagi.
" Gadis jejadian bernama Nyi Wulas Pikan yang berasal dari nenek jahat mahluk alam
roh bernama Nyai Tumbal Jiwo."
" Bukankah mahluk itu adalah guru dari Wira Bumi" Patih Kerajaan yang menemui ajal
di tangan Wiro beberapa waktu jalu."
" Betul,"jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas.
" Saya menyirap kabar kalau dia pernah mendatangi penguasa Laut Utara untuk minta
bantuan membunuh Wiro dan Nyi Retno Mantili,"kata Ratu Duyung pula.
" Gadis jejadian itu masih untung tidak ditembus mati oleh pedang sakti. Dia
melarikan diri ketika aku pergoki hendak berbuat mesum dengan Bujang Gila Tapak
Sakti. Pedang Naga Suci Dua Satu Dua tidak pernah mau berada di sekitar tempat
mesum, atau dikuasai oleh orang-orang jahat dan bejat seperti dia. Kau tahu
Ratu, Sinto Gendeng saja muridku, tidak mampu memegang dan menyimpan senjata
itu." Ratu Duyung terkejut. "
Bujang Gila Tapak Sakti" Saya tidak menduga. Sulit saya
mempercayai."
" Akupun tidak menyangka. Tapi begitulah. Perempuan salah satu titik kelemahan
kaum lelaki. Bujang Gila rupanya terpikat dengan kecantikan dan keelokan tubuh
Nyi Wulas Pikan,"kata sang Kiai. Dia tidak menceritakan perihal dia telah
menampar pemuda gendut itu dan bagaimana Bujang Gila Tapak Sakti kemudian
membalas dengan membuat dirinya diselubungi hawa dingin luar biasa. Sang Kiai
menatap ke langit. Udara masih mendung. Di batik kemendungan itu rembang petang
telah muncul dan tak lama lagi sang surya akan masuk ke ufuk tenggelamnya.
" Ratu Duyung, aku punya dugaan kalau Wiro telah berada di sekitar Gunung Gede.
Berarti sebelum bulan purnama menyembul besok malam dia akan datang menemuiku.
Kita akan menunggunya di tepi telaga ini mulai sore besok. Saat ini sebaiknya
kita turun ke tempat kediamanku di dasar telaga."Ratu Duyung tidak segera
beranjak dart tempatnya berdiri walau saat itu Kiai Gede Tapa Pamungkas telah
melangkah menuju telaga. Melihat gadis bermata biru itu hanya berdiam diri si
orang tua hentikan langkah dan bertanya.
" Ada apa Ratu"
" " Kiai mohon maafmu kalau saya berlaku lancang. Ada sesuatu yang sejak lama
sebenarnya ingin saya tanyakan."
" Mengenai apa?"tanya Kiai Gede Tapa Pamungkas walau orang tua sakti ini diam-diam
sudah bisa menduga.
161 Perjodohan Berdarah
15 " Mengenai permintaan Kiai menyuruh saya dan Wiro datang ke puncak Gunung
Gede ini."
" Oh soal itu. Nanti akan kita bicarakan di tempat kediamanku."
Ratu Duyung merasa tidak puas. Dia bertanya lagi.
" Maaf kalau saya keliru menduga. Apakah pertemuan kita bertiga ini menyangkut hal
perjodohan saya dengan Wiro?"
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum.
" Perihal langkah seseorang, rejeki, jodoh dan maut semua itu berada di tangan
Yang Maha Kuasa. Kita manusia hanya para pelaku yang menjalankan sesuai dengan
petunjuknya. Ratu, harap kau mau bersabar sampai besok malam. Mudah-mudahan saja
Wiro datang lebih cepat."
" Seandainya Wiro tidak datang?"
" Ah, jangan berandai-andai seperti itu. Wiro pasti datang. Aku kakek gurunya. Aku
tahu dia seorang murid yang patuh..."
Kiai Gede Tapa Pamungkas lalu memberi isyarat. Kedua orang itu melangkah
menuju telaga. Jika ada orang lain menyaksikan pasti akan terheran-heran melihat
bagaimana dua orang sakti itu kemudian meluncur masuk dan lenyap ke dalam
telaga. *** MALAM keesokan harinya. Udara terasa semakin dingin. Langit cukup cerah namun
purnama empat belas hari agak terhalang di balik saputan awan kelabu. Ratu
Duyung menambah kayu perapian penghangat tubuh. Saat itu hatinya diliputi
berbagai rasa. " Ratu, aku tahu hatimu saat ini tidak tenteram. Kau harus percaya bahwa Wiro akan
datang. Saat ini apakah kau tidak merasa kalau di sekitar telaga ada lebih dari
satu orang bersembunyi memperhatikan ke arah kita?"
" Terus terang sejak tadi pagi saya tidak bisa tenang Kiai. Saya memang merasa
tapi tidak begitu memperhatikan kalau di sekitar sini ada orang-orang yang
bersembunyi dan memperhatikan kita. Apa yang ada di pikiran mereka bersembunyi
memata-matai kita?"
" Mereka ikut menunggu kehadiran Wiro. Lalu ingin mendengarkan pembicaraan
kita." " Apakah kita perlu mengusir mereka Kiai"
! " " Selama mereka hanya ingin tahu, ingin mendengar dan tidak berbuat sesuatu yang
mencelakai kita, aku rasa kita biarkan saja mereka. Kalaupun mereka mendengar
pembicaraan kita hal itu tidak perlu dipikirkan. Mungkin itu ada baiknya."
" Maksud Kia1 ?" " Maksudku, semua yang sembunyi di sekitar tempat ini adalah perempuan. Tapi aku
menduga diantara mereka ada seorang lelaki. Mereka ..."
Ucapan Kiai Gede Tapa Pamungkas terputus.
Satu bayangan hitam berkelebat kemudian berdiri di hadapan Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Sambil membungkuk memberi hormat orang ini berkata.
" Kiai, salam hormat saya untukmu. Apakah saya datang terlambat?"
Saat itu rembulan empat hari menyeruak dari balik saputan awan. Bentuknya bulat
memancarkan cahaya benderang sejuk, sungguh satu pemandangan yang indah sekali.
Kiai Gede Tapa Pamungkas dan Ratu Duyung mengangkat kepala, memandang ke
depan. Kedua orang ini sama-sama melepas nafas lega.
" Pendekar Dua Satu Dua, kau datang tepat waktu. Kami memang sudah lama
menunggu. Aku sendiri ..."
161 Perjodohan Berdarah
16 Kiai Gede Tapa Pamungkas hentikan ucapan. Sepasang mata memperhatikan
pemuda berambut gondrong di hadapannya yang memang Pendekar 212 murid Sinto
Gendeng Wiro Sableng adanya.
" Wiro, aku melihat satu kelainan pada dirimu. Selama ini kau selalu mengenakan
baju dan celana putih. Sejak kapan kau bertukar penampilan. Mengenakan baju dan
celana hitam komprang seperti ini?"
Wiro tertawa lebar. Melirik ke arah Ratu Duyung, kedipkan mata lalu menjawab
pertanyaan sang Kiai.
" Saya terkena musibah Kiai. Celana putih saya robek besar di sebelah bawah. Baju
dan celana hitam yang saya pakai ini adalah pemberi dari seorang penduduk desa
di kaki gunung."
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum.
" Kiai, saya sudah datang. Sahabat saya Ratu Duyung juga sudah hadir di sini.
Sesuai dengan pesan Kiai, apakah kita bisa memulai pembicaraan" Saya sangat
ingin tahu gerangan apa sebabnya Kiai memanggil kami berdua. Apakah ada
Wiro Sableng 161 Perjodohan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesalahan yang telah kami lakukan"
"Murid Sinto Gendeng ingin semua urusan bisa dilakukan dengan cepat.
Kalau sudah selesai dia akan buru-buru meninggalkan tempat itu. Dia harus
mencari Nyi Retno Mantili. Dia mengawatirkan keselamatan perempuan malang itu!
" Kalian berdua tidak memiliki kesalahan apa-apa." Jawab Kiai Gede Tapa
Pamungkas. "
Wiro, sebelum kita bicara, ada yang ingin aku tanyakan. Sebelum sampai
ke sini, siang tadi apakah kau mengalami sesuatu peristiwa?"
Wiro terdiam berpikir pikir sambil menggaruk kepala. Peristiwa apa yang
dimaksudkan orang tua ini, pikirnya. Lalu dia ingat.
" Memang ada satu kejadian Kiai. Siang tadi secara tidak sengaja saya menemui
Luhrembulan dan Purnama tengah bertarung di satu tempat di kaki gunung. Mereka
sama-sama berasal dari Latanahsilam. Negeri seribu dua ratus tahun silam. Saya
coba melerai tapi tak berhasil. Luhrembulan akhirnya tewas oleh Kapak Naga Geni
Dua Satu Dua milik saya yang dirampas Purnama. Purnama kemudian lenyap entah
kemana." Wajah Ratu Duyung berubah ketika mendengar ucapan Pendekar 212 itu.
Perasaannya sesaat bergejolak
" Hanya itu saja?"tanya Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Wiro menggaruk kepala kembali.
"Luhrembulan membekal Pedang Naga Suci Dua Satu Dua. Saya tidak tahu
bagaimana senjata sakti ini berada di tangannya," Wiro menjelaskan.
Lalu menambahkan. "
Saya tidak melihat jelas apa yang, terjadi kemudian. Namun kalau
tidak salah pedang sakti mungkin jatuh ke dalam sungai. Dihanyutkan arus ke
hilir." " Senjata itu sudah berada di tanganku kembali. Seorang mahluk alam roh bernama
Nyai Tumbal Jiwo mencuri senjata itu dari tempat kediamanku. Dugaanku
Luhrembulan kemudian berhasil merampasnya. Pedang sakti ditemukan oleh Bujang
Gila Tapak Sakti..."
" Bujang Gila Tapak Sakti!
" Wiro terkejut ketika mendengar sang Kiai menyebut
nama sahabatnya itu!
" Benar. Pemuda gendut itu digoda oleh Nyi Wulas Pikan, penjelmaan Nyai Tumbal
Jiwo. Namun sebelum pedang jatuh ke tangan perempuan itu, aku datang dan
berhasil mendapatkan pedang sakti kembali..."
" Saya sangat bersyukur pedang itu bisa diselamatkan,"ucap Wiro. Dia melirik ke
arah Ratu Duyung. Di saat bersamaan gadis cantik bermata biru in! juga
memperhatikan 161 Perjodohan Berdarah
17 Wiro. Dua pasang mata saling beradu pandang. Dua hati dan dua rasa saling bicara
tanpa suara. Adakah perasaan kasih sayang timbul di lubuk hati" Lalu sejauh mana
perasaan kasih sayang itu mampu saling bersentuhan"
" Wiro, dalam perjalanan ke sini apakah kau sempat bertemu dengan Nyi Retno
Mantili ?"Bertanya Kiai Gede Tapa Pamungkas.
" Saya bertemu dengan Nyi Retno di kaki gunung. Waktu itu dia tengah berkelahi
menghadapi Luhrembulan. Saya berusaha melerai. Keduanya sama- sama terluka. Nyi
Retno kemudian melarikan diri entah kemana. Saya, kawatir sesuatu terjadi dengan
dirinya," " Sebenarnya sejak beberapa hari lalu Nyi Retno tinggal di sini. Namun siang tadi
dia pergi begitu saja."Jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas.
" Aneh kalau dia bertindak seperti itu. Nyi Retno tidak memberi tahu pada Kiai dia
mau pergi ke mana.
Kiai Gede Tapa Pamungkas menghela napas panjang. "
Dia tidak mengatakan apa-
apa." " Nyi Retno seorang perempuan berperasaan sangat halus. Pasti ada sesuatu alasan
mengapa dia tidak berbuat begitu,"ucap Wiro pula. Kiai Gede Tapa Pamungkas
menatap ke arah telaga sambil mengelus janggut putih. Sikap ini memberikan kesan
kepada pendekar 212 Wiro Sableng bahwa telah terjadi sesuatu antara si orang tua
dengan Nyi Retno Mantili.
Wiro berpaling pada Ratu Dayung dan bertanya. "
Ratu, aku tidak tahu sudah berapa
lama kau di sini. Apakah kau sempat bertemu dengan Nyi Retno Mantili!
" Ratu Duyung anggukkan kepala. Lalu menjelaskan. "
Aku datang siang tadi ke sini
bersama Purnama."
" Ah, jadi sebelumnya Purnama juga datang ke sini. Setelah menewaskan
Luhrembulan Purnama lenyap entah kemana."Menjelaskan Wiro.
" Siang tadi Purnama mohon diri. Katanya hendak melihat-lihat keindahan kawasan
ini. Ternyata dia bertemu Luhrembulan, bertarung dan membunuh gadis alam roh
itu." Ucap Ratu Duyung pula.
Wiro menggaruk kepala. Menoleh pada Kiai Gede Tapa Pamungkas tapi tidak
berkata apa-apa. Walau Wiro tidak berucap namun sang Kiai sudah tahu apa yang
ada dalam hati murid Sinto Gendeng ini.
" Kalian berdua, apakah kita akan meneruskan pembicaraan di tempat ini. Atau
kalian mau ikut aku ke tempat kediamanku di dasar telaga?"
" Kiai, kalau boleh biar kita bicara di sini saja."Wiro menjawab lalu bertanya
pada Ratu Duyung. "
Ratu, bagaimana pendapatmu?"
" Saya setuju kita bicara di sini saja."Jawab Ratu Duyung.
Wiro lalu duduk di tanah. Dia sengaja memilih duduk menghadap ke depan agar bisa
melihat wajah Kiai Gede Tapa Pamungkas sekaligus dapat memperhatikan raut air
muka Ratu Duyung.
Kiai Gede Tapa Pamungkas gosokkan telapak tangannya satu sama lain. Dua tangan
kemudian diletakkan di atas kakinya yang duduk bersila. Wiro dan Ratu Duyung
duduk menunggu dengan dada berdebar.
" Wiro dan Ratu Duyung. Apa yang hendak aku sampaikan pada kalian berdua
sebelumnya sudah menjadi pembicaraan antara aku dengan Sinto Gendeng. Selain itu
muridku yang lain yaitu saudara seperguruan Sinto Gendeng Sukat Tandika yang
lebih dikenal dengan panggilan Tua Gila juga sudah mengetahui hal ini. Kami
sudah 161 Perjodohan Berdarah
18 bersepakat untuk memanggil kalian datang menemuiku di puncak Gunung Gede ini.
Dan Alhamdullilah kalian berdua saat ini sudah ada di hadapanku. Wiro
ketahuilah, kehadiranmu dalam rimba persilatan tanah Jawa telah mendatangkan
banyak sekali manfaat dan kebaikan.
Kebajikan yang telah kau lakukan tidak bisa dihitung dan tidak dapat dinilai.
Baik untuk kemaslahatan orang banyak, rimba persilatan maupun bagi Kerajaan.
Namun setelah kami memperhatikan sekian lama, keberadaanmu seorang diri telah menimbulkan banyak masalah. Bahkan kelak dikemudian hari hal itu bukan cuma
menjadi ganjalan atau kendala, tapi juga bisa mengancam keselamatan jiwamu serta
ketenangan rimba persilatan tanah Jawa."
Kiai Gede Tapa Pamungkas hentikan ucapan, perhatikan raut wajah Ratu Duyung
beberapa ketika sementara Wiro yang mulai merasa tidak sabaran berkata dalam
hati. " Kiai ini bicara terlalu panjang. Apakah dia tidak bisa bicara langsung saja pada
maksud tujuannya" Lama-lama perutku jadi terasa mulas Wiro lalu menggaruk
kepala. Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. Dia tahu bagaimana perasaan sepasang
muda-mudi itu. Setelah mengusap janggut putihnya orang tua ini lanjutkan ucapan.
" Terus terang selama ini kami memperhatikan dalam kehidupanmu kau memiliki begitu
banyak sahabat berupa gadis-gadis cantik. Hal itu adalah sangat lumrah bagi
seorang pemuda sepertimu. Persahabatan yang berlangsung lama lambat laun
menimbulkan perasaan-perasaan tertentu yang mendalam pada diri masing-masing.
Bahkan bersatu dengan aliran darah serta hembusan nafas. Satu diantaranya adalah
perasaan kasih sayang. Namun karena bukan hanya satu orang gadis yang menyukaimu
atau yang kau senangi maka perasaan kasih sayang itu bisa saja terganjal oleh
adanya persaingan untuk saling memperebutkan, dan pada satu saat pihak yang
merasa dikecewakan tidak mustahil akan berubah berbalik menjadi kebencian.
Kehidupan ini, apapun adanya ingin satu kejelasan. Wiro, sudah saatnya kau
membutuhkan seorang pendamping. Maksudku sudah satunya kau memiliki seorang
istri." Sang Kiai sengaja tidak melanjutkan ucapan. Dia menatap dulu pada Pendekar 212
Wiro Sableng lalu melirik memperhatikan wajah Ratu Duyung. Wiro tampak tersenyum
dan menggaruk kepala sementara Ratu Duyung tundukkan wajah yang bersemu merah.
" Wiro, kami para sepuh, maksudku aku, Sinto Gendeng dan Tua Gila sudah sama
menyetujui untuk menjalinkan tali perjodohan antara dirimu dengan Ratu Duyung.
Kami tahu kau banyak mempunyai kerabat gadis lain. Semua cantik-cantik. Namun
pilihan kami jatuh pada Ratu Duyung. Ketahuilah bahwa kehidupan suami istri itu
tidak hanya bersandar pada kecantikan sang istri belaka. Tapi kau beruntung.
Calon istrimu selain cantik dan berilmu tinggi juga merupakan seorang perempuan
penuh bijaksana."
Begitu sang Kiai berhenti bicara, kesunyian menggantung di udara. Air telaga
tidak terdengar suara riaknya, dedaunan tidak terdengar suara gemerisiknya
bahkan angin malam seolah berhenti bertiup.
Kiai Gede Tapa Pamungkas kemudian memecah kesunyian dengan ucapan. "
Kalian berdua jangan diam saja. Bicaralah. Kemukakan pendapat. Kalau tidak ada yang
bicara berarti kalian telah sama menyetujui apa yang aku, Sinto Gendeng dan Tua
gila putuskan."
Wiro menggaruk kepala. Ratu Duyung tidak bergerak. Kepala masih tertunduk.
" Wiro, kau duluan. Aku ingin mendengar pendapatmu. Bicara, jangan menggaruk
kepala saja..."
161 Perjodohan Berdarah
19 Di satu tempat tersembunyi di dalam kegelapan, seseorang berkata perlahan. "J
auh- jauh aku datang ke sini hanya untuk mendengar pembicaraan yang sangat
menghancurkan hati ini. Wiro, apa jawabmu. Jangan berikan Kiamat padaku!"
161 Perjodohan Berdarah
20 BASTIAN TITO 5 PERJODOHAN BERDARAH
UNTUK beberapa lamanya Pendekar 212 Wiro Sableng masih duduk berdiam diri.
Sesekali dia melirik ke arah Ratu Duyung yang masih duduk dengan kepala
menunduk. " Wiro...?"Kiai Gede Tapa Pamungkas menegur.
Wiro berdehem beberapa kali. Di wajahnya menyeruak senyum.
Namun di lain saat wajah itu menunjukkan sikap penuh kesungguhan, membuat Kiai
Gede Tapa Pamungkas mendengar dan menatap terpana.
" Kiai, saya sangat berterima kasih bahwa Kiai, Eyang Sinto dan Kakek Tua Gila
mempunyai perhatian akan masa depan kehidupan saya.
Karena yang mengusulkan, sekaligus memutuskan adalah orang-orang yang sangat
saya hormati, maka tentu saja saya tidak berani menampik. Namun ini bukan
berarti saya menyatakan bersedia dan menyetujui semua ucapan Kiai. Terus terang
bagi saya perkawinan adalah satu hal yang sakral dan sangat suci. Saya merasa
belum sampai menginjak kejenjang kesucian itu. Karena itu bagi saya yang bodoh
ini, perkawinan bukan suatu yang layak dipaksakan. Bukankah lebih indah jika
masing-masing yang berkepentingan, si pemuda dan si gadis menemui tali
perjodohannya mereka sendiri, lalu sama-sama mengikat satu dengan yang lain.
Sementara itu Kiai, saya yang tolol ini merasa masih banyak yang harus dibenahi
dalam rimba persilatan tanah Jawa. Saya merasa sebagian dari kewajiban itu,
terletak di pundak saya. Saya tidak ingin hari ini buru-buru kawin lalu besok
menemui kematian di tangan musuh, meninggalkan seorang istri dalam derita
memilukan, mungkin pula dengan satu benih bayi di dalam kandungannya. Seperti
kata Kiai, kematian ada di tangan Tuhan, namun siapa yang tahu kapan kita bakal
mati?" " Kiai dan Eyang Sinto serta Kakek Tua Gila sudah saya anggap sebagai orang tua
sendiri karena sejak Eyang Sinto membawa saya ke Gunung Gede ini belasan tahun
silam untuk dijadikan murid, saya tidak mengenal siapa ibu saya, juga saya tidak
tahu siapa Ayah saya. Yang saya kenal dan temukan adalah dua makam mereka di
pekuburan gersang Jatiwalu, hampir sama rata dengan tanah, dipenuhi rumput liar.
Mungkin bagi saya untuk mencari tahu siapa kedua orang tua saya itu lebih
merupakan satu kewajiban yang luhur dibanding dengan perkawinan. Mungkin saya
salah. Untuk itu saya mohon maaf pada Kiai."
" Selain itu Kiai kalau saya telah menganggap Kiai, Eyang Sinto dan Kakek Tua Gila
sebagai orang tua, maka adalah sangat layak dan pada tempatnya kalau kepada Ratu
Duyung juga Kiai berikan kesempatan untuk menemui kedua orang tuanya untuk
memberitahukan hal ini. Itu jika Ratu Duyung memang bersedia menerima saya
sebagai suaminya. Kiai, Ratu Duyung saya mohon maaf kalau ada kata-kata dan
ucapan saya yang tidak pada tempatnya atau menyinggung perasaan Kiai serta
Ratu." Untuk beberapa lama Kiai Gede Tapa Pamungkas menatap wajah sang pendekar.
Dalam hati orang tua ini berkata.
" Aku tidak pernah menyangka. Pemuda yang selama ini selalu menunjukkan diri
sebagai seorang konyol temyata sungguh pandai bicara. Bukan itu saja. Dia juga
pandai 161 Perjodohan Berdarah
21 menggantung urusan dengan melimpahkan pada orang lain. Aku tahu betul Ratu
Duyung juga tidak punya orang tua."
Kiai Gede Tapa Pamungkas alihkan padangannya pada Ratu Duyung.
" Gadis bermata biru, aku ingin mendengar bagaimana tanggapanmu. Ucapan Wiro tadi
ada yang menyiratkan pertanyaan apakah kau mau menerima dirinya menjadi
suamimu." Mendengar pertanyaan yang terarah langsung Ratu Duyung tidak mampu segera
menjawab. Di tempat tersembunyi di salah satu tepian telaga kembali terdengar suara orang
Wiro Sableng 161 Perjodohan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berucap perlahan.
"Ratu Duyung, kalau kau berkomplot dengan Wiro memberikan kiamat padaku, aku
akan menganggap ini sebagai kejahatan. Selama langit berkembang, selama bumi
terbentang dan selama nafas di kandung badan, aku tidak akan melupakan hal ini!
Setelah diam beberapa lama akhirnya Ratu Duyung menjawab, "
Kiai, maafkan saya
tidak bisa bicara banyak. Apa yang dikatakan Wiro tadi benar. Untuk urusan ini
saya harus menemui orang tua saya. Kalau saya memang mempunyai orang tua.
Kenyataannya nasib saya tidak berbeda dengan Wiro, Seumur hidup sampai hari ini
saya tidak pernah mengetahui siapa kedua orang tua saya. Selama ini saya
menganggap Nyai Roro Kidul sebagai junjungan sekaligus pengganti orang tua saya.
Berarti saya harus menemui beliau terlebih dulu untuk meminta nasihat dan
izin..." Di tempat gelap orang yang sejak tadi mencuri dengar pembicaraan kembali
keluarkan ucapan.
"Kau tidak akan mendapat nasihat! Apa lagi mendapatkan izin dari Nyai Roro
Kidul. Karena aku tahu Nyai Roro Kidul juga menghormati Wiro! Apakah kau berani
menantang junjunganmu Penguasa Laut Selatan itu"!"
Kiai Gede Tapa Pamungkas lama merenung. Dalam hati di berkata.. "
Si pemuda melempar bola. Si gadis balas mempermainkan dan melempar lagi ke tempat lain.
Aneh, apakah kedua insan ini tidak saling mengasihi hingga mau bersembunyi
dibalik kata-kata?"
" Wiro, Ratu Duyung,"akhirnya sang Kiai keluarkan ucapan.
" Aku memang tidak
memaksa akan mendapat jawaban dari kalian saat ini juga. Seperti katamu tadi
perkawinan adalah sesuatu yang sakral dan suci. Namun jangan sampai terlalu
larut dalam dua hal itu hingga kalian tidak berbuat apa-apa. Ketahuilah
perjodohan kalian berdua akan banyak menyelamatkan dunia persilatan dari
berbagai macam malapetaka.
Aku, Sinto Gendeng clan Tua Gila tidak ingin malapetaka itu berbalik menciderai
kalian." Orang yang bersembunyi di tempat gelap tidak menunggu lebih lama segera
berkelebat meninggalkan tepian telaga.
Di arah lain yang juga diselimuti kegelapan ada seorang lelaki aneh bergerak
keluar dari persembunyiannya sambil mengusap wajahnya yang penuh dengan tancapan
paku baja putih.
"Aku mengira perempuan yang membawa boneka itu ada di sini. Bukankah ini tempat
kediaman gurunya" Dugaanku ternyata salah. Aku harus mencari kemana"
Guru mengatakan bahwa kalau aku kawin dengan perempuan gila, melakukan hubungan
badan, maka pada hubungan yang kedua puluh satu seluruh paku jahanam yang
menancap di tubuhku akan luruh!
"Orang ini memandang berkeliling."Kemana
aku harus mencari perempuan itu. Apakah aku bisa yakin Serikat Momok Tiga Racun
161 Perjodohan Berdarah
22 jahanam itu tidak akan mencari dan mengejarnya kembali" Kalau aku sampai
kedahuluan, celaka nasib diriku seumur umur!"(Mengenai Serikat Momok Tiga Racun
harap baca serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul "Si Cantik Gila Dari Gunung
Gede.") 161 Perjodohan Berdarah
23 BASTIAN TITO 6 PERJODOHAN BERDARAH
KESUNYIAN kembali menggantung di tepi telaga. Tak ada yang bicara. Kalau
memang pembicaraan sudah selesai Wiro ingin segera meninggalkan tempat itu.
Ingatan dan rasa kawatirnya terhadap Nyi Retno Mantili tidak bisa hilang. Namun
dia tidak ingin dianggap kurang ajar.
Maka murid Sinto Gendeng ini berusaha bersabar-sabar sambil sesekali melirik ke
arah Ratu Duyung lalu menambah kayu perapian.
Tiba-tiba cuping hidung Pendekar 212 bergerak-gerak. Kepala kemudian menoleh ke
kiri lalu berpaling ke kanan. Ketika dia hendak melihat ke belakang Kiai Gede
Tapa Pamungkas bertanya.
" Ada apa Wiro"
" " Tidak Kiai, tidak ada apa-apa"jawab murid Sinto Gendeng.
" Pemuda ini berdusta. Aku tahu dia tengah mencium bau sesuatu. Aneh, aku tidak
bisa mencium apa yang diciumnya."Membatin Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Saat itu sebenarnya Wiro memang mencium bau sesuatu yakni harum bau bunga
kenanga. Dalam hati dia berucap.
" Bunga, apakah kau ada di sekitar sini?"
Bunga adalah gadis alam roh bernama Suci yang dalam rimba persilatan tanah Jawa
dijuluki Dewi Bunga Mayat. Seperti sekian banyak gadis cantik yang mengenal
Wiro, gadis inipun jatuh cinta pada sang pendekar. Namun dia menyadari
keberadaannya yang tak mungkin hidup menjadi pendamping Wiro.
Baru saja Wiro membatin, di telinganya sebelah kiri mengiang suara gadis alam
roh itu. " Wiro, aku memang ada di sekitar sini. Kau lihat batu besar di tepi telaga
sebelah kanan" Aku duduk disitu, memandang ke arahmu. Aku tidak akan
memperlihatkan diri karena mungkin bisa menyusahkan dirimu."
Wiro berpaling ke kanan, ke arah sebuah batu besar yang terletak di tepi telaga.
Dia memang tidak melihat sosok jelas ataupun samar Bunga namun bau harum kembang
kenanga tercium semakin santar dan datang dari arah batu itu.
" Wiro, kau masih ingat ketika dulu aku memberi tahu padamu. Jika kau mencari
kawan pendamping, maka yang cocok dan baik bagimu adalah gadis bermata biru Ratu
Duyung yang kini ada dihadapanmu. Ternyata apa yang aku katakan tidak berbeda
dengan keinginan Kiai Gede Tapa Pamungkas, gurumu Eyang Sinto Gendeng dan Kakek
Tua Gila. Aku merasa bahagia kalau ucapanku menjadi kenyataan. Aku merasa senang
jika keinginan tiga orang tua itu terlaksana. Aku memang mencintaimu. Sangat
mencintaimu. Perkawinanmu dengan Ratu Duyung kelak membuat diriku merasa sangat
kehilangan dirimu. Namun dalam kesedihanku ada kebahagiaan. Dalam derai air
mataku ada senyum syukur. Dalam ratapku ada senandung keikhlasan. Wiro, kalau
aku menyambut perjodohanmu dengan Ratu Duyung dengan penuh ketulusan, maka
mungkin banyak diantara para sahabat merasa kecewa dan tidak dapat menerimanya.
Berlakulah bijaksana sekaligus mengambil sikap waspada. Demi cintaku padamu aku
akan menjaga keselamatan dirimu dan Ratu Duyung. Wiro, saat ini ada seorang
gadis 161 Perjodohan Berdarah
24 dari alam lain memandang sedih ke arahku seolah berbagi rasa. Aku tahu dan kau
juga tahu betapa dia sangat mengasihi dirimu. Namun juga ada satu mahluk dari
alam roh tidak suka kehadiranku di tempat ini. Aku harus pergi sebelum yang satu
ini berbuat jahat..."
" Siapa"! Siapa yang hendak berbuat jahat padamu"!
"Ucapan bernada keras itu
terlepas begitu saja dari mulut Wiro tanpa sadar. Membuat Kiai Gede Tapa
Pamungkas dan Ratu Duyung memandang terheran-heran.
" Wiro, kau bicara dengan siapa?"tanya Kiai Gede Tapa Pamungkas pula.
Wiro menggaruk kepala. "
Tololnya aku ini
! "Wiro memaki diri sendiri.
" Wiro, ada apa?"Ratu Duyung bertanya sambil mendekati sang pendekar.
Wiro tidak bisa berdusta lagi.
" Maafkan saya..."katanya.
" Seorang sahabat dari alam roh yang ada di tempat ini
memberi tahu ada seorang mahluk alam roh lainnya tidak menyukai dirinya dan
mungkin hendak berbuat jahat..."
" Kalau aku boleh tahu Wiro, siapa sahabat diri alam roh yang kau maksudkan itu?"
" Sahabat kita Bunga,"jawab Wiro. "
Terakhir sekali kalau aku tak salah kau bertemu
dengan dia ketika menolong diriku di pondok kediaman Ki Tambakpati beberapa
waktu lalu. Aku tidak tahu siapa mahluk satunya yang hendak berbuat jahat. Yang
jelas bukan Luhrembulan karena gadis dari Latanahsilam itu telah tewas di tangan
Purnama..."
Mendadak Wiro terdiam. "
Purnama,"ucapnya kemudian dengan suara bergetar dan
agak perlahan. "
Mungkin dia yang dimaksudkan Bunga dengan mahluk alam roh yang
hendak berbuat jahat itu?"
" Aku tidak yakin,"menyahuti Ratu Duyung. "
Dia bersahabat dengan kita semua.
Termasuk dengan dirimu. Ingat, berapa kali Purnama menyelamatkan jiwamu dengan
ilmu yang ada dalam Kitab Seribu Pengobatan?"Disinilah letak ketulusan hati
gadis bermata biru ini, dia tahu Purnama sangat mencintai Wiro bahkan sering
berbuat nekad dan malah menjadi salah satu pesaing beratnya dalam mendapatkan
cinta kasih sang pendekar, namun untuk suatu hal yang benar dia tidak ragu
mengatakan bahwa itu adalah benar.
" Wiro, kenapa tidak kau tanyakan saja pada Bunga siapa adanya mahluk alam roh
yang berniat jahat itu?"kata Ratu Duyung.
" Saat ini Bunga sudah pergi. Aku tidak lagi mencium bau kembang kenanga
miliknya. Namun mahluk yang katanya hendak berbuat jahat itu kurasa masih ada di
sekitar sini."
" Sebelumnya,"kata Kiai Gede Tapa Pamungkas pula. "
Ada seorang lelaki sembunyi
ditepi telaga. Dia hanya berada sebentar di tempat ini. Lalu pergi begitu saja.
Agaknya dia mencari seseorang. Namun tidak menemui orang itu di sini."
" Kiai bisa menduga siapa adanya lelaki itu" Mungkinkah Bujang Gila Tapak Sakti
?" bertanya Ratu Duyung.
" Mahluk aneh. Hanya itu yang bisa aku rasakan dari keberadaannya,"jawab sang Kiai
pula. " Kiai, kalau sekiranya menurut Kiai pembicaraan kita sudah selesai, apakah saya
boleh minta diri?"Tanya Pendekar 212. Saat itu ingatannya kembali, tertuju pada
Nyi Retrio Mantili. Dia harus segera mencari perempuan malang itu. Wiro kawatir
akan keselamatan dirinya. Kiai Gede Tapa Pamungkas bisa meraba apa yang ada
dalam benak dan hati sang pendekar. Namun sebelum dia menjawab Ratu Duyung telah
lebih dulu menyambung ucapan Wiro.
161 Perjodohan Berdarah
25 " Kiai, saya juga ingin mohon diri. Saya segera kembali ke laut selatan untuk
menemui Nyai Roro Kidul."
Kiai Gede Tapa Pamungkas mengusap janggut putihnya beberapa kali. "
Kalian berdua hendak malam-malam begini. Mengapa menunggu sampai besok pagi saja?"
Baik Wiro maupun Ratu Duyung tidak menjawab.
" Kalau kalian memang berniat untuk pergi sekarang baiklah. Pergilah berdua.
Sepanjang perjalanan kalian bisa membicarakan perjodohan kalian. Dengan demikian
kalian akan merasa lebih dekat satu sama lain. Bisa saling menyelami hati
masing-masing."Kata Kiai Gede Tapa Pamungkas pula.
Ketika Wiro dan Ratu Duyung hendak bergerak bangun, orang tua ini angkat tangan
kanannya. " Aku senang melihat kalian hendak pergi berdua-duaan. Tapi tunggu dulu. Tunggu,
jangan terburu-buru. Sebelum pergi ada satu hal yang hendak aku bicarakan
denganmu, Ratu Duyung!"
" Kalau ada pembicaraan yang mungkin tidak boleh mendengar, biar saya menunggu di
tepi telaga sebelah sana."Kata Wiro.
" Tidak perlu. Akan lebih baik kalau k
a u i kut me nde nga r da n me nya ks i ka n, " ka t a Kiai Gede Tapa Pamungkas pula. Lalu dia menatap ke arah Ratu Duyung.
" Pe r t a ma a da s a t u ha l yang i ngi n a kuusulkan. Hal ini juga sudah disetujui oleh Sinto
Gendeng dan Tua Gila. Sebagai insan yang cantik jelita, namamu sungguh indah
yaitu Ratu Duyung, cocok dengan orangnya. Namun dalam keseharian adalah lebih
baik jika kau memiliki nama lain. Kami para sepuh bertiga sebenarnya sudah
mempunyai beberapa nama pilihan untukmu. Namun adalah lebih pantas kalau Wiro
Wiro Sableng 161 Perjodohan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebagai calon s
ua mi mu ya ng me nc a r i da n me mbe r i ka n na ma bagi mu. Ka u s e t uj u Ra t u?" Ratu Duyung tak bisa menjawab. Perlahan-lahan kepalanya dipalingkan ke arah
Wiro. " Wi r o, ka t a ka n, na ma a pa yang bagus unt uk ca l on i s t r i mu i ni " Wiro juga tak bisa menjawab. Kalau dia menjawab berarti dia memang sudah
menyetujui bahwa Ratu Duyung adalah jodohnya, calon istrinya. Urusan bisa jadi
panjang. Lagi pula dia tidak mau mengikat diri.
Dalam hati Wiro berkata. "
Heran, mengapa Kiai Gede Tapa Pamungkas, Eyang
Sinto dan Kakek Tua Gila bersikeras menjodohkan dirinya dengan Ratu Duyung tanpa
dia diberi kesempatan untuk mengutarakan pendapat sendiri. Ah, tapi mungkin aku
yang tolol. Tidak mau berterus terang pada Kiai. Cuma, bagaimana mungkin ...
Gendeng! Bagaimana aku jadi bisa terlibat dengan urusan geblek macam begini!"
" Wiro, aku tahu kau memberikan banyak nama bagus pada beberapa gadis
sahabatmu. Tidak mungkin kau tidak bisa memberikan nama yang indah untuk Ratu
Duyung calon istrimu."Kata Kiai Gede Tapa Pamungkas pula.
Wiro masih tak menjawab. Hanya memandangi tanah di hadapannya.
" Wiro ... "'
Sang pendekar angkat kepala tapi memandang ke langit. Dia melihat bulan purnama
empat betas hari, bulat bercahaya indah sekali.
" Wiro, aku menunggu..."berkata lagi Kiai Gede Tapa Pamungkas.
" Wiro, cari, pilihkan nama untukku. Aku akan menerima nama apa saja,"tiba- tiba
Ratu Duyung berucap.
Wiro merasa heran. Tidak menyangka kalau Ratu Duyung akan mengeluarkan
ucapan seperti itu. Ketika murid Sinto Gendeng menatap ke arah si gadis, Ratu
Duyung 161 Perjodohan Berdarah
26 kedipkan sepasang matanya yang biru bagus. Wiro kini mengerti dan maklum arti
serta maksud Ratu Duyung memberi isyarat kedipan mata itu. Yaitu agar persoalan
bisa selesai dan mereka bisa cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
Wiro kembali menatap ke arah bulan purnama di langit biru bersih tak berawan.
Begitu kepala diturunkan dia langsung memandang ke arah Ratu Duyung.
" Kiai..." 161 Perjodohan Berdarah
27 BASTIAN TITO 7 PERJODOHAN BERDARAH
DI TIGA tempat gelap dan tersembunyi sekitar telaga, tiga orang gadis tenggelam
dalam ketercekatan serta ketegangan menyaksikan dan mendengar pembicaraan Kiai
Gede Tapa Pamungkas, Wiro dan Ratu Duyung.
Gadis pertama dalam kecantikan wajahnya tampak pancaran amarah, keberingasan.
Hatinya berucap.
"Wiro, kau boleh memberi sejuta nama pada gadis bermata biru itu. Tapi akhir
dari segalanya adalah kematian! Tidak ada seorangpun boleh dan bisa merebut
dirimu dari t angank u" Perlahan-lahan orang ini angkat tangan kanannya ke atas. Lima jari dipentang
kaku laksana lima potongan baja!. Mulut merapal mantera. Lima jari tangan serta
merta berubah menjadi merah laksana bara menyala!
Gadis kedua walau bisa menahan diri namun tak urung hatinya bergejolak keras.
"Wiro kau benar benar hendak memberi kiamat padaku. Aku mengaku sering berbuat
keliru padamu. Bahkan sikap diriku di matamu mungkin tampak congkak.
Mungkin kau juga menuduhku berselingkuh. Namun ketahuilah seumur hidup dunia
akhirat hanya kau satu-satunya lelaki yang kukasihi!"Begitu mudah Kau melupakan
diriku hanya karena tutur bicara manis penuh bujukan orang tua yang memaksakan
kehendak itu. Wiro kalaupun kelak aku harus mati karena siksa batin ini, aku
rela kita mati berdua dari pada melihat kau bersanding dengan gadis lain!"
Setelah mengeluarkan suara hati, gadis di dalam kegelapan ini berkelebat pergi
ke arah timur dan lenyap dalam, kegelapan.
Gadis ketiga berlainan dengan dua gadis terdahulu, yang satu ini unjukkan wajah
sedih, menatap sayu ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Mata yang menatap itu
mulai berkaca-kaca. Walau dirinya diselimuti kegoncangan jiwa namun lubuk
hatinya masih mampu bersuara tenang.
"J ika kau memang bukan jodohku, aku ikhlas menerima. Tapi apakah aku sanggup
menghadapi kenyataan hidup ini" Cobaan ini terlalu besar, terlalu berat bagiku.
Bahuku terlalu rapuh untuk memikul beban ini Wiro, bagaimana Mungkin kau tega
melakukan ini. Kau tahu aku mengasihimu. Sangat mengasihimu. Semudah itu kau
melupakan diriku" Seperti membalikkan telapak tangan" Aku tidak akan pernah
membangkit segala budi yang pernah kita tanam. Namun tidak adakah sedikitpun
benih kasih sayang dalam lubuk hatimu terhadap diriku?"
" Kiai suara Pendekar 212 Wiro Sableng bergetar. Dia pandangi wajah orang tua di
hadapannya itu beberapa ketika lalu menatap ke arah Ratu Duyung dan lanjutkan
ucapannya. "
Kiai, dengan izinmu saya memberi nama Intan pada Ratu Duyung."
Sepasang mata biru Ratu Duyung membesar dan memancarkan cahaya begemerlap.
Di tempat gelap di tepi telaga dua gadis cantik keluarkan suara tercekat. Yang
satu langsung berkelebat ke balik pohon besar mendekati arah duduk ke tiga orang
di tepi telaga, yang lainnya duduk terkulai tundukkan kepala. Air mata meluncur
jatuh membasahi pipi.
Kiai Gede Tapa Pamungkas berseru gembira.
161 Perjodohan Berdarah
28 " Al hamdulillah. Sungguh nama yang sangat bagus. Sangat cocok dengan diri dan
pribadi orangnya. Intan permata itu dimanapun berada, sekalipun di dalam lumpur
akan tetapi memancarkan cahaya murni, putih perlambang kesucian. Nama Ratu
Duyung tidak akan pernah hilang, dan nama Intan akan menjadi sandingan indah
yang tiada terperikan."
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum lega dan anggukkan kepala berulang kali.
"Intan dan Wiro, kata orang tua ini. "
Sekarang aku sampai pada hal kedua."
Dari balik pakaiannya orang tua ini keluarkan benda putih bergulung yang bukan
lain adalah Pedang Naga Suci 212.
" Sejak kematian sahabat kalian Puti Andini, aku sudah lama mencari seseorang yang
pantas menerima dan memegang pedang sakti ini. Saat ini aku telah menemukan
orangnya yang sangat pantas. Ratu Duyung senjata ini akan kuserahkan padamu.
Tunggu sampai pedang membuka gulungan dan melayang di udara, memberi hormat di
hadapanmu."
Sang Kiai letakkan pedang bergulung di atas telapak tangan kanan lalu
diangsurkan ke arah Ratu Duyung.
Gadis bermata biru ini terkejut. Tak percaya mendengar ucapan si orang tua
bahkan Wiro juga agak terkesiap namun merasa senang kalau Kiai Gede Tapa
Pamungkas memang mau menyerahkan senjata sakti mandraguna itu pada Ratu Duyung.
" Kiai,"kata Ratu Duyung. "
Saya mana berani menerima senjata itu."
" Ratu," kata Wiro. "
Jangan menolak. Jangan mengabaikan kepercayaan yang
diberikan Kiai padamu. Guruku saja Eyang Sinto Gendeng tidak bisa dan tidak
pantas mendapatkan senjata itu."
" Betul," kata sang Kiai pula. "
Pedang sakti ini tidak sembarang orang bisa
memilikinya. Bahkan tidak gampang untuk bisa menyentuhnya. Seseorang yang tidak
dikehendaki pedang tangannya akan luka melepuh jika berani memegangnya. Ratu
Duyung, ketahuilah. Kau berjodoh dengan pedang ini., Sebagaimana kau berjodoh
dengan Wiro. Wiro telah memiliki Kapak Naga Geni Dua Satu Dua. Kini kau memiliki
Pedang Naga Suci Dun Satu Dua yang merupakan pasangan dari kapak sakti. Bukankah
itu satu pertanda bahwa kalian memang telah pantas terikat dalam satu tali
perjodohan?"
" Kena aku!" ucap Wiro dalam hati. Tadi dia berkata hanya sekedar untuk
meyakinkan Ratu Duyung agar mau menerima Pedang Naga Suci 2,12 yang diberikan.
Ternyata sang Kiai mengaitkan pemberian itu dengan perjodohan dirinya dengan
Ratu Duyung. Seolah dia dan Ratu Duyung sudah berada dalam ikatan perjodohan
secara nyata! Sang pendekar mau tak mau jadi garuk-garuk kepala.
Kiai Gede Tapa Pamungkas lanjutkan ucapan.
" Ratu, jaga dan rawat senjata ini dengan bak Maka dia akan menjaga dirimu dengan
baik pula."Habis berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas goyangkan telapak
tangan kanannya. Dengan berbuat begitu, maka pedang sakti yang bergulung akan
membuka, melesat ke udara lalu mengapung di hadapan Ratu Duyung seolah memberi
penghormatan pada tuannya yang baru. Namun setelah sang Kiai menggoyangkan
telapak tangannya sampai tiga kali, senjata sakti itu tetap bergulung, sama
sekali tidak mau membuka. Berubahlah air muka Kiai Gede Tapa Pamungkas.
" Aneh, apakah pedang sakti ini tidak suka pada Ratu Duyung. Biasanya enteng.
Sekarang mengapa terasa berat .... ?"pikir sang Kiai. Dia kerenyitkan kening,
mengawasi dengan pandangan lebih tajam. Sepasang mata orang tua ini tiba-tiba
pancarkan cahaya aneh.
161 Perjodohan Berdarah
29 Wiro yang sejak tadi memperhatikan merasa ada yang tidak beres lantas bertanya.
Hal ini juga dirasakan Ratu Duyung.
" Kiai, ada apa?"bertanya Pendekar212.
" Pedang Naga Geni Dua Satu Dua ini palsu!
" ucap Kiai Gede Tapa Pamungkas
dengan suara keras bergetar!
" Bagaimana mungkin"!"ujar Wiro sambil bangkit berdiri.
" Apa yang terjadi?"tanya Ratu Duyung yang barusan saja diberi nama Intan.
Rahang Kiai Gede Tapa Pamungkas menggembung. Kumis dan janggutnya
berjingkrak. Lima jari tangan yang memegang gulungan pedang membuat gerakan
meremas. Ini bukan remasan biasa karena disertai tenaga dalam yang sanggup
meremas hancur batu sebesar kepalan!
" Kraakk!" Gulungan benda putih di tangan Kini Gede Tapa Pamungkas hancur nyaris jadi
Penjara Langit 1 Angrek Tengah Malam Seri Pendekar Harum Karya Khu Lung Kisah Si Rase Terbang 10