Sayap Sayap Terkembang 25
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 25
Dengan nada dalam kakeknya berkata lebih jauh, "Kau harus mempergunakan nama lain. Jika kau pergunakan namamu, mungkin seseorang di antara para prajurit baru itu ada yang tertarik karenanya apapun sebabnya. Mungkin seseorang pernah mendengar namamu. Mungkin karena hal-hal lain. Bahkan mungkin pengaruh dari kehidupanmu masa lalu. Misalnya satu dua orang yang pernah mendengar namamu di tempat-tempat yang tidak sewajarnya."
Puguh mengangguk-angguk. "Kau kuburkan saja masa lalumu. Kau akan memasuki dunia keprajuritan dengan wajah tengadah serta langkah-langkah baru," pesan gurunya.
Sebenarnya bahwa Puguh telah memasuki dunia keprajuritan dengan nama yang baru. Kasadha, karena kebetulan ia lahir di musim keduabelas.
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia merasa bersyukur bahwa ia telah melakukan pesan kakek dan gurunya. Apalagi keduanya berkata kepadanya bahwa mereka akan bertanggung jawab jika pada suatu saat ayah dan ibunya itu menuntutnya.
Ketika Kasadha kemudian mengamati kawan-kawannya di sekelilingnya, ternyata mereka telah tertidur nyenyak. Karena itu maka iapun telah berusaha untuk melepaskan masalah-masalah yang hilir-mudik di kepalanya itu agar iapun dapat segera tidur pula.
Di hari-hari berikutnya, maka Bharata dan Kasadha memang mendapat perhatian khusus dari para pelatihnya. Dalam latihan sehari-harinya, keduanya berada di antara kawan-kawannya. Tidak ada perbedaan apapun pada keduanya di kelompok mereka masing-masing.
Namun dalam pada itu, para pelatihnya sedang merencanakan untuk mengadakan tuntunan khusus bagi mereka.
Ketika dilakukan penerimaan prajurit pada tahap kedua, rencana itu barulah dapat dilakukan. Ada beberapa perubahan susunan kelompok bagi para prajurit baru. Meskipun prajurit yang sudah diterima setengah bulan sebelumnya tidak digabungkan dengan yang baru saja diangkat, namun terjadi beberapa perubahan susunan pada kelompok-kelompok prajurit yang telah lebih dahulu diterima.
"Waktunya tinggal sedikit," berkata Ki Lurah Mertayuda, "dalam waktu setengah bulan menjelang penerimaan prajurit pada tahap terakhir, kalian berdua harus sudah dapat menjadi seorang pemimpin. Meskipun baru pemimpin kelompok kecil. Kami, para pelatih dan sebagaimana sudah disaksikan oleh perwira dari Pasukan Khusus, bahwa kalian berdua memiliki kemungkinan yang sangat baik. Karena itu, maka kalian telah mendapat kesempatan pertama untuk berada di tataran pimpinan meskipun di paling bawah."
Kedua anak muda yang secara khusus dipanggil itu menundukkan kepalanya. Sementara itu Ki Lurah berkata selanjutnya. "Kami masih memerlukan tiga orang lagi. Kami merencanakan untuk menumbuhkan lima orang di antara kalian yang bersamaan memasuki dunia keprajuritan. Tetapi yang tiga belum kami dapatkan."
Namun sejak saat itu, Bharata dan Kasadha sudah tidak ada lagi di antara para prajurit yang diterima bersama mereka. Keduanya telah ditempatkan secara khusus di antara para prajurit yang telah lama berada di barak itu untuk mendapat bimbingan khusus.
Betapapun sulitnya, tetapi akhirnya Ki Lurah Mertayuda telah menunjuk pula tiga orang yang lain, yang akan menjadi pemimpin kelompok pada pasukan yang akan disusun kemudian setelah penerimaan tahap terakhir. Tetapi ternyata yang tiga orang itu berada pada tataran yang masih jauh di bawah tataran Bharata dan Kasadha yang seakan-akan sengaja dibuat seimbang. Dengan demikian, maka latihan-latihan yang diselenggarakan secara khusus itupun telah dibagi menjadi dua tataran dengan pelatih yang berbeda pula, Namun semuanya berada di bawah pengawasan Ki Lurah Mertayuda.
Latihan-latihan yang diberikan kepada Bharata dan Kasadha lebih banyak pada tuntunan untuk menjadi seorang pemimpin sekelompok prajurit. Mereka mempelajari susunan perang gelar dan kerja sama dalam satu kesatuan. Bagi kedua orang itu maka latihan-latihan kanuragan secara khusus lebih diutamakan pada penyesuaian diri dengan latihan-latihan yang diberikan kepada para prajurit.
"Kami tidak dapat memaksakan unsur-unsur gerak dalam olah kanuragan karena kalian masing-masing sudah memiliki dasar yang kuat. Kami minta kalian dapat menyesuaikan diri tanpa mengganggu dan bahkan mungkin terjadi benturan ilmu di dalam diri kalian masing-masing," berkata pelatihnya yang agaknya dapat mengerti sepenuhnya keadaan kedua orang anak muda itu.
Karena itu, maka latihan-latihan di sanggar maupun di tempat-tempat terbuka bagi mereka menjadi tidak terlalu banyak lagi. Tetapi setiap kali mereka bersama pelatihnya harus mengikuti latihan-latihan bagi para prajurit dalam Pasukan Khusus itu. Dengan demikian maka kedua anak muda itu mendapatkan pengalaman memimpin sebuah kelompok pasukan.
Namun dalam saat-saat tertentu, kedua anak muda itu harus berlatih juga bersama dengan ketiga orang calon pemimpin kelompok yang lain untuk mendapat kesamaan cara menangani kelompok-kelompok pasukan.
Karena waktunya tidak banyak, maka latihan-latihan telah diadakan hampir setiap saat. Bahkan kadang-kadang sampai malam hari mereka masih berada di dalam sebuah bilik untuk mendengarkan penjelasan-penjelasan tertentu.
"Kalian harus mulai melakukan tugas kalian setelah prajurit-prajurit yang diterima pada tahap akhir itu disusun dalam kelompok-kelompok," berkata Ki Lurah Mertayuda, "memang satu tugas yang berat bagi kalian yang hanya mendapat latihan dan tuntunan untuk waktu yang singkat. Tetapi selama kalian melakukan tugas, maka kalian masih akan mendapat tuntunan-tuntunan khusus."
Namun ketika saat pendadaran dilakukan, kelima orang anak muda yang telah dipilih menjadi pemimpin kelompok itu telah mampu menguasai ketentuan-ketentuan dasar bagi seorang pemimpin kelompok. Kelima orang itu akan menjadi bahan pengamatan para pemimpin Pasukan Khusus, kemungkinan-kemungkinan yang dapat dikembangkan pada prajurit-prajurit muda. Tetapi sudah barang tentu dengan mengingat kemampuan dasar mereka masing-masing.
Namun sebagaimana terjadi di mana-mana maka perasaan iri seseorang kadang-kadang telah menggelitik jantung. Seorang di antara kelima orang calon pemimpin itu merasa tidak senang melihat kekhususan kedudukan Bharata dan Kasadha. Mereka berdua dianggap terlalu mendapat perhatian dari para pelatihnya, bahkan dari Ki Lurah Mertayuda, seorang perwira dari Pasukan Khusus yang mendapat tugas menangani prajurit-prajurit yang baru.
Setiap kali para pelatih memberikan contoh, jika bukan para pelatih itu sendiri yang melakukannya, tentu Bharata atau Kasadha, seakan-akan keduanya telah memiliki tataran yang sama dengan para pelatih, meskipun kedua orang anak muda itu sendiri serta para pelatih tidak dengan sengaja menunjukkan kelebihan anak-anak muda itu.
"Kenapa perhatian para pelatih dan bahkan Ki Lurah lebih banyak tertuju kepada kedua anak gila itu" Bahkan mereka berdua telah mendapat latihan secara terpisah" Padahal kedudukan mereka tidak lebih dari kedudukan kita," berkata anak muda itu. Seorang anak muda yang bertubuh tegap berkumis tipis dan bermata tajam. Menilik sorot matanya, anak muda itu tentu memiliki ketajaman penalaran.
"Mungkin anak itu dianggap memiliki kelebihan dari kita," berkata seorang kawannya.
Tetapi anak muda berkumis tipis itu berkata, "Apa kelebihannya" Keduanya tidak menunjukkan sesuatu yang pantas dikagumi. Kita belum tahu, siapakah yang akan lebih baik memimpin kelompok yang akan dipercayakan kepada kita masing-masing. Kitapun tidak tahu seberapa jauh bekal yang kita bawa masing-masing ketika kita memasuki pendadaran. Sayang, aku dan anak-anak itu berada dalam kelompok yang berbeda saat dilakukan pendadaran itu."
Tetapi kawannya yang lain berkata, "Aku tidak mempunyai persoalan apa-apa dengan anak-anak itu. Aku bersyukur bahwa bukan aku yang harus melakukan banyak hal. Juga bukan aku yang harus menempuh latihan-latihan terpisah. Mungkin mereka masih harus mengisi kekurangan mereka dalam latihan kanuragan, atau apapun. Rasa-rasanya kakiku sudah sulit untuk bergerak dengan latihan-latihan yang kita lakukan sekarang. Apalagi dengan tambahan-tambahan dalam ujud apapun."
"Semua orang tahu, bahwa kau memang pemalas," geram anak muda berkumis tipis itu.
"Mungkin. Tetapi aku memang malas mengurusi orang lain," jawab anak muda itu.
"Mungkin. Tetapi aku memang malas mengurusi orang lain," jawab anak muda itu.
"Jika kau menjadi pemimpin kelompok, maka kau harus mengurusi orang lain," berkata anak muda berkumis tipis itu.
"Tetapi masalahnya agak berbeda. Itu adalah tugasku. Bukan, sekedar mencari pekerjaan," jawab anak itu.
Anak muda berkumis tipis itu terdiam. Nampaknya dua kawannya yang lain memang tidak tertarik pada sikapnya. Tetapi ia benar-benar tidak senang melihat kedua anak muda yang dianggapnya mendapat perlakuan yang berbeda itu.
Namun dalam pada itu, hubungan antara Bharata dan Kasadha justru menjadi semakin akrab. Apalagi justru karena mereka terlalu sering berada dalam keadaan yang harus mereka jalani bersama-sama. Latihan-latihan, mengikuti tuntunan khusus di dalam bilik-bilik terpisah.
Berada di sanggar latihan dan di alam terbuka bersama para prajurit dari Pasukan Khusus yang sudah lebih lama berada di barak itu.
Bahkan Ki Lurah Mertayuda menyebut kedua orang anak muda itu sebagai kakak beradik.
"Kalian berasal dari daerah yang jauh letaknya. Seorang dari daerah Bibis sedangkan yang lain dari kaki Gunung Sewu. Namun kalian seakan-akan memang dikirim untuk menjadi pasangan yang baik. Wajah kalianpun mirip sementara umur kalian nampaknya juga sebaya," berkata Ki Lurah Mertayuda.
Jantung Bharata memang berdesir. Ia masih selalu ingat bagaimana seseorang menyangkanya sebagai Puguh, karena kemiripan wajah. Di Pajang tiba-tiba saja ia telah bertemu dengan anak muda yang sebaya, sedangkan wajahnya mirip dengan wajahnya sendiri.
Tetapi Bharata sama sekali tidak menduga bahwa anak muda yang bernama Kasadha itu memang Puguh. Menurut dugaan Bharata, Puguh adalah seorang anak muda yang keras, kasar dan jahat. Meskipun barangkali wajahnya memang mirip dengan wajah Bharata sendiri, tetapi sorot matanya tentu membayangkan kebencian. Sikapnya adalah sikap keluarga Kalamerta yang ganas itu.
Sedangkan yang dihadapinya adalah seorang anak muda yang bernama Kasadha. Lebih banyak berdiam diri dan merenung. Matanya justru kadang-kadang nampak dalam sekali. Tidak ada tanda-tanda kekasaran pada sikapnya. Tidak pula ganas dan kata-katanyapun lembut.
"Tidak mungkin anak perempuan yang bernama Warsi itu bersikap seperti ini," berkata Bharata di dalam hatinya jika ia mendengar orang lain mengatakan bahwa wajahnya memang mirip dengan wajah Kasadha.
Bahkan seorang kawannya berkata, "Kau pantas menjadi adik Kasadha itu Bharata."
Bharata hanya tersenyum saja. Demikian pula Kasadha. Jika ada orang yang menyebut bahwa Bharata pantas jadi adiknya, ia tidak mengatakan apa-apa.
"Jika ia disebut kakakku, maka ia tentu lebih tua dari aku. Sedangkan Puguh tentu lebih muda dari aku," berkata Bharata di dalam hatinya.
Bharata tidak pernah berpikir bahwa ujud seseorang itu kadang-kadang tidak selalu sesuai dengan umurnya yang sebenarnya. Orang yang nampak jauh lebih tua, namun mungkin umurnya masih lebih muda.
Demikianlah, maka pada saat yang telah ditetapkan, kelima anak muda itu telah dianggap cukup mampu untuk melakukan tugasnya sebagai pemimpin kelompok dari para prajurit yang diterima pada tahap terakhir. Dari dua puluh kelompok, lima kelompok akan dipimpin oleh prajurit-prajurit muda. Bukan saja umurnya, tetapi juga pengalaman dan pengetahuannya. Sedangkan lima belas kelompok yang lain akan dipimpin oleh para prajurit yang sudah cukup lama bertugas dalam pasukan Khusus.
Kepada lima orang prajurit muda itu, Ki Lurah Mertayuda berpesan, "Kalian memang menjadi bahan percobaan. Kami ingin melihat kemampuan orang-orang muda. Apakah dalam waktu singkat dapat disiapkan menjadi pemimpin. Sementara itu, keadaan memang menuntut langkah-langkah yang cepat sekarang ini karena perkembangan keadaan yang tidak diduga-duga."
Seperti tahap-tahap sebelumnya, maka secara resmi para calon prajurit yang sudah melalui dua tataran pendadaran itu diwisuda di alun-alun Pajang. Yang berdiri di depan lima kelompok pasukan adalah lima orang prajurit muda yang telah mendapat tuntunan dan tempaan dalam waktu singkat, namun bersungguh-sungguh.
Sejak hari itu, maka Bharata, Kasadha dan tiga orang kawannya telah memimpin kelompok-kelompok prajurit untuk mengikuti latihan-latihan yang berat sebagaimana pernah mereka lakukan di hari-hari pertama mereka berada di barak itu. Tetapi berlima mereka telah mendapat latihan-latihan khusus yang tidak pula kalah beratnya.
Dalam latihan-latihan yang dipimpin oleh para pelatih dari Pasukan Khusus itu sebenarnyalah Bharata dan Kasadha sama sekali tidak mengalami kesulitan, meskipun mereka masih saja berusaha untuk tidak menunjukkan kelebihan mereka. Mereka ikut berlatih sebagaimana para prajurit yang lain, tidak lebih baik dari ketiga orang pemimpin kelompok yang lain, yang bahkan kadang-kadang justru menunjukkan sikap lebih keras dari Bharata dan Kasadha.
Namun dalam beberapa hal yang nampaknya sulit untuk dilakukan, sehingga bagi orang lain harus diulang beberapa kali, maka baik Bharata maupun Kasadha mengulang sebanyak-banyaknya hanya sekali. Itupun karena mereka tidak ingin nampak sebagai anak-anak muda yang melampaui kewajaran kawan-kawannya.
Di hari-hari berikutnya, maka para prajurit itu harus berlatih meloncati rintangan yang tinggi, seakan-akan mereka meloncati dinding padukuhan. Meniti palang bambu. Berayun pada tali dan latihan-latihan ketrampilan wadag yang lain. Disamping itu, maka para prajurit yang pada dasarnya telah memiliki bekal itu, telah dilatih mempergunakan berbagai macam senjata sehingga mereka dapat mempergunakan apa saja sebagai senjata dalam keadaan yang memaksa.
Di samping latihan-latihan ketrampilan khusus itu, maka mereka juga mendapat latihan tentang bentuk gelar. Perang dalam gelar dan gerakan-gerakan yang berhubungan dengan gelar. Mereka harus dapat dengan cepat mengikuti perintah melakukan perubahan gelar sambil bertempur.
Selain itu, maka mereka juga mendapat latihan-latihan untuk dapat bertempur dalam satuan-satuan kecil. Isyarat-isyarat dengan gerak serta secara khusus pula mereka mendapat latihan peningkatan kemampuan secara pribadi. Meskipun tidak banyak yang dapat dilakukan oleh para pelatih dalam waktu dekat, namun para pelatih berusaha agar para prajurit Pajang dapat menunjukkan ciri-ciri kekhususan para prajurit. Kerja sama yang serasi dan saling mengisi dalam pertempuran-pertempuran yang rumit.
Sebenarnyalah persiapan yang nampak tergesa-gesa dari para pemimpin Pajang itu dilakukan karena sikap Mataram. Sementara itu Pajang menyadari, bahwa Mataram telah menyusun kekuatan yang meskipun jumlahnya tidak begitu besar, tetapi memiliki kemampuan yang tinggi. Di antara mereka terdapat orang-orang yang disegani selain Panembahan Senapati sendiri yang selalu diembani oleh ketajaman penalaran dan kebijaksanaan Ki Juru Martani.
Sadar akan tingkat kemampuan para prajurit Mataram maka Pajangpun telah meningkatkan kemampuan para prajuritnya. Sehingga latihan-latihan terasa menjadi berat. Lebih-lebih bagi para prajurit yang baru, sedangkan para prajurit yang lamapun kadang-kadang masih juga berdesah mengalami latihan-latihan yang sangat berat itu.
Sementara kemampuan para prajurit itu meningkat, kebencian seorang di antara kelima orang anak muda yang menjadi pemimpin kelompok itu menjadi semakin meningkat pula.
Bahkan ketika ia tidak lagi dapat menahan diri melihat keberhasilan Bharata dan Kasadha melakukan latihan yang berat memanjat tebing yang tegak meskipun tidak terlalu tinggi, maka orang itu berkata, "Mereka akan menjadi sombong. Tetapi memanjat tebing bukan ukuran mutlak seorang prajurit."
Kawannya mengerutkan keningnya. Namun seorang di bawah pimpinannya bertanya, "Apa maksudmu Dirga."
"Kau lihat Bharata dan Kasadha itu?" bertanya anak muda yang disebut Dirga.
"Ya. Mereka adalah orang-orang yang dapat melakukannya dengan sangat baik meskipun mereka harus mengulangi masing-masing dua kali. Tetapi yang lain justru ada yang tetap tidak mampu melakukannya meskipun sudah mendapat kesempatan mengulangi sampai empat kali," jawab orang itu.
"Tetapi bukankah ukuran kemampuan seorang prajurit tidak hanya dinilai dari caranya memanjat tebing?" bertanya Dirga, anak muda yang berkumis tipis itu.
"Ya. Sudah tentu," jawab anak muda yang berada di bawah pimpinannya itu. Namun katanya kemudian, "Namun melihat latihan-latihan yang kadang-kadang diadakan bersama-sama dengan kelompok mereka, nampaknya keduanya memang cukup trampil."
"Omong kosong," geram Dirga. Lalu katanya, "Kau lihat, bagaimana Bharata kehilangan senjatanya ketika berlatih di alun-alun dua hari yang lalu."
"Ya," anak muda itu mengangguk-angguk. Ia memang melihat dalam latihan yang dilakukan di antara kelompok-kelompok untuk meratakan kemampuan mereka, Bharata memang telah kehilangan senjatanya yang terlepas karena pukulan salah seorang lawan berlatihnya.
Dengan demikian, maka para prajurit itu memang menganggap bahwa Bharatapun termasuk di antara mereka yang berkembang bersama-sama.
Demikian pula Kasadha yang kadang-kadang telah menunjukkan satu kelemahan, sehingga ia bukan orang ajaib di antara para prajurit muda itu.
"Pada suatu saat, aku akan mencoba apakah benar Bharata atau Kasadha orang terbaik di antara para prajurit muda," geram Dirga.
Anak muda yang berada di bawah pimpinannya itu mengerutkan keningnya. Namun sudah tentu bahwa ia akan merasa ikut berbangga jika pemimpin kelompoknya adalah orang yang paling baik di antara para pemimpin kelompok yang lain.
Dengan demikian, maka Dirga itu seakan-akan telah menunggu satu kesempatan untuk menundukkan salah seorang di antara kedua orang yang dibencinya itu.
Kesempatan itu ternyata didapatkannya juga pada akhirnya. Ketika mereka mendapat istirahat sehari semalam setelah mengadakan latihan-latihan berat selama selapan hari, sebagaimana biasanya, maka secara kebetulan Bharata dan Kasadha yang berjalan-jalan ke pasar telah bertemu dengan Dirga bersama dengan tiga orang anak muda yang berada di dalam kelompoknya.
Dengan ramah Dirga telah menegur kedua anak muda itu. Sudah tentu Bharata dan Kasadhapun telah menjawab dengan ramah pula.
"Marilah, kita berjalan-jalan ke sendang," ajak Dirga.
Bharata dan Kasadha saling berpandangan sejenak. Sendang yang dimaksud tentu sendang pemandian yang tidak begitu besar yang terdapat di luar dinding Kota Pajang yang justru ke arah hutan yang pernah dijamah oleh Puguh.
Kasadha memang menjadi berdebar-debar. Sendang itu akan mengingatkan pada lukanya yang pedih di hatinya.
Namun iapun segera menghapus kesan itu dari wajahnya. Bahkan katanya, "Terserah kepadamu Bharata."
Bharata termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Tetapi sebentar saja. Aku telah membeli sebuah nangka utuh. Kawan-kawan di barak tentu senang. Asal saja tidak terlalu banyak sehingga perut kita akan dapat diguncang karenanya."
"Titipkan saja nangka itu pada penjualnya," berkata Dirga, "agar kau tidak usah mengusungnya kemana kau pergi. Nanti kita akan datang mengambilnya."
Bharatapun mengangguk-angguk. Ia memang seorang yang senang berenang. Di Kademangan Bibis, Bharata sering berendam di bendungan yang telah dibuat bersama-sama oleh anak-anak muda, sehingga airnya naik. Sehingga anak-anak bahkan anak-anak mudanya sempat menjadikan bendungan itu semacam sendang tempat mandi.
Ketika mereka berjalan sepanjang jalan menuju ke sendang, jantung Puguh memang menjadi berdebar-debar. Tidak mustahil bahwa ia akan dapat bertemu dengan orang-orang yang mencarinya atau mencari ayah dan ibunya yang bersembunyi. Sementara itu selama beristirahat, maka ia telah berada di luar lingkungan keprajuritan.
Tetapi sampai mereka memasuki jalan kecil yang menuju ke sendang, Kasadha tidak bertemu dengan orang-orang yang dicemaskannya.
Namun Kasadha sudah tentu tidak dapat mengatakan kegelisahannya itu kepada Bharata, karena dengan demikian maka akan dapat menimbulkan kesan tersendiri. Apalagi di dalam dunia keprajuritan Kasadha ingin meninggalkan semua beban yang untuk waktu yang lama harus dipikulnya, meskipun Kasadha sadar, bahwa pada suatu saat tentu akan muncul persoalan tentang dirinya. Tetapi jika ia sudah menjadi seorang prajurit serta mampu menunjukkan pengabdiannya, maka persoalannya tentu akan berbeda.
Dalam pada itu, maka Dirga, Bharata, Kasadha dan tiga orang anak muda yang berada di dalam kelompok yang dipimpin oleh Dirga itu telah pergi menyusuri jalan kecil menuju ke sendang.
*** Kontributor eBook: DJVU: Haryono & Kuncung (dimhad.co.nr)
Editor: Dimhader (di dimhad.co.nr, maaf... tidak tahu kontributornya), dan Dewi KZ (dewikz.com)
Spell Check & Minor Edit:
ePub Lover (facebook.com/epub.lover)
SAYAP-SAYAP YANG TERKEMBANG
Karya: SH Mintardja Penerbit: Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta
JILID 23 TETAPI sebelum mereka sampai ke sendang, tiba-tiba Dirga berkata, "Marilah. Kita singgah di ara-ara di dekat gumuk kecil itu sebentar. Nanti kita akan mandi setelah tidak banyak orang."
"Untuk apa" Apa salahnya kita mandi bersama-sama dengan mereka?" bertanya Bharata menjadi heran.
"Bukankah sendang itu cukup luas" Kau barangkali malu karena ada perempuan yang sedang mandi di sendang itu pula" Tetapi bukankah kita telah mendapat tempat sendiri. Di sebelah kiri itulah sendang Lanang, yang diperuntukkan laki-laki, sedang sebelah kanan itu sendang Wadon yang diperuntukkan perempuan, yang biasanya sambil mencuci pakaian," berkata Kasadha.
Tetapi Dirga menggeleng. Katanya, "Kita dapat mempergunakan saat yang pendek ini untuk mengadakan latihan khusus."
"Apa maksudmu?" bertanya Bharata.
"Kita pergi ke ara-ara," jawab Dirga singkat.
Bharata dan Kasadha saling berpandangan sejenak.
Namun kemudian keduanya telah mengikuti Dirga menempuh jalan setapak untuk pergi ke ara-ara. Ara-ara yang biasanya memang sepi. Para gembalapun bahkan segan untuk pergi ke ara-ara di dekat gumuk itu, karena menurut ceritera orang, gumuk itu ditunggui oleh seekor harimau putih yang dapat muncul setiap saat. Bahkan di siang hari. Dengan demikian maka para gembala yang biasanya adalah anak-anak dan remaja itu lebih senang menggembalakan kambingnya di dekat sendang. Bahkan kadang-kadang setelah dilepas di sekitar sendang yang berumput hijau segar itu, para gembala itu berendam di air sambil berkejaran beradu tangkas berenang.
Bharata dan Kasadha masih belum tahu pasti maksud Dirga beserta kawan-kawannya. Namun keduanya tidak segera bertanya sehingga beberapa saat kemudian, keduanya telah berada di ara-ara di dekat gumuk kecil itu.
"Nah," berkata Dirga kemudian, "kita adalah prajurit-prajurit Pajang yang terpilih. Karena itu, bagiku, istirahat di hari ini justru membuat tubuhku menjadi lemas dan letih. Karena itu, marilah kita isi waktu yang sehari ini dengan mengadakan latihan khusus."
"Aku tidak tahu maksudmu Dirga," berkata Bharata, "bagiku istirahat ini menyenangkan. Kita dapat pergi ke pasar. Kita dapat mandi di sendang itu bersama dengan orang-orang di sekitar tempat ini. Atau kita dapat tidur sehari suntuk di barak."
"Kita bukan orang-orang yang malas," berkata Dirga, "kita adalah prajurit-prajurit yang diharapkan untuk dapat melindungi Pajang."
"Ya, kamipun tahu," jawab Kasadha, "tetapi bukankah kita juga memerlukan hari-hari peristirahatan seperti ini" Dengan demikian justru akan dapat mempersegar jiwa kita, sehingga besok kita akan dapat memasuki tugas-tugas kita dengan kesegaran baru."
"Bagiku, beristirahat justru akan dapat menumbuhkan keseganan untuk memulainya lagi," berkata Dirga, "karena itu, marilah, kita mengadakan latihan khusus. Kita dapat membuat perbandingan ilmu. Salah seorang dari kau berdua, yang dianggap orang terbaik di antara kita yang terpilih menjadi pemimpin kelompok harus membuktikan kepadaku, kepada kita semuanya bahwa kalian memang yang terbaik."
Bharata dan Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Mereka telah memahami keadaan yang mereka hadapi. Agaknya keinginan Dirga untuk mencoba kemampuan mereka itulah tujuan utamanya untuk membawanya ke tempat yang sepi itu.
Namun dalam-pada itu Bharatapun berkata, "Kita tidak dapat mengadakan latihan dengan cara ini. Bukankah kau juga tahu, bahwa dengan demikian kita akan melanggar ketentuan" Latihan-latihan khusus apalagi yang menjurus pada perbandingan ilmu yang boleh dilakukan dengan ditunggui oleh para pelatih. Disini kita tidak mempunyai seorang pelatihpun yang akan dapat menilai seandainya latihan seperti itu kita lakukan. Siapakah yang akan menentukan tingkat kemampuan kita, karena kita sendiri yang terlibat langsung dalam latihan itu tentu tidak akan mungkin dapat mengamatinya."
"Hanya seorang di antara kalian yang akan melakukan latihan khusus bersamaku. Seorang yang lain akan mengamati latihan ini dan menjadi saksi, asal dengan jujur. Kawan-kawankupun akan menjadi saksi pula, siapakah di antara kita yang terbaik. Nah, apa lagi?" bertanya Dirga.
"Kita semuanya tidak berwenang untuk mengamati latihan apapun juga kecuali latihan-latihan ketahanan tubuh dan tata gerak dasar bagi kelompok kita masing-masing," berkata Kasadha.
"Sudahlah," berkata Dirga. "Jangan banyak alasan. Aku justru ingin melakukannya tanpa ada orang lain. Jika seandainya salah seorang di antara kalian dapat aku kalahkan, kalian tidak akan menjadi malu, karena kalian sudah terlanjur menjadi orang terbaik. Kawan-kawanku yang akan menjadi saksi, tidak akan menceriterakannya kepada orang lain."
"Jangan melakukan sesuatu yang dapat dianggap melanggar paugeran Dirga. Kita adalah prajurit-prajurit baru. Kita akan dapat dengan mudah disingkirkan jika kita tidak menepati segala perintah. Aku tidak mau tersingkir dari lingkungan keprajuritan yang dengan susah payah aku gapai. Sekarang, kita sudah berada dalam lingkungan keprajuritan. Kenapa kesempatan yang dengan susah payah kita dapatkan ini harus kita sia-siakan." Bharata berhenti sejenak, namun tiba-tiba iapun bertanya, "Apakah alasanmu sebenarnya menantang salah seorang dari kita untuk melakukan latihan khusus seperti ini."
"Aku hanya ingin menguji diri. Seperti yang sudah aku katakan, kalian disebut oleh banyak orang, bahkan para pelatih kita, sebagai orang terbaik. Tetapi aku tidak yakin. Aku kira mereka dikelabui oleh sikap kalian sehari-hari. Kalian pandai bersikap sangat baik kepada para pelatih kita, atau jika kita mau memakai istilah kasar bahwa kalian adalah penjilat," berkata Dirga.
Bharata mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling kepada Kasadha maka Kasadhapun berkata, "Jadi itulah yang terpenting bagimu untuk menunjukkan bahwa kau adalah orang terbaik. Kau yang bukan penjilat."
"Ya," jawab Dirga.
Pengaruh kehidupan Kasadha sebelumnya memang jauh lebih keras dari Bharata. Karena itu, maka betapapun juga Kasadha mengekang perasaannya, namun ia telah lebih dahulu marah. Karena itu, maka iapun berkata, "Baiklah Dirga. Jika kau memang menjadi muak melihat sikap kami yang kau sebut sebagai penjilat itu. Sebaiknya aku berkata terus terang. Orang terbaik di antara kami berlima, yang mendapat kesempatan memimpin kelompok-kelompok terbawah prajurit Pajang dari angkatan terbaru itu adalah aku dan Bharata. Karena itu, sebagaimana kau katakan, apakah aku atau Bharata akan sama saja. Marilah, kita mengadakan latihan khusus di bawah saksi. Bukan aku yang berniat melakukannya. Tetapi kau."
"Aku tidak akan ingkar. Di hadapan para pelatih sekalipun jika kita harus menghadap karena latihan di luar ketentuan ini diketahui, aku akan berkata sebenarnya. Jangan takut bahwa aku akan memfitnah kalian. Aku adalah laki-laki. Seorang prajurit Pajang yang besar," berkata Dirga.
"Bagus Dirga," sahut Kasadha. Lalu katanya, "Jika terjadi sesuatu adalah salahmu sendiri."
Bharata melihat kemarahan yang memancar di sorot mata Kasadha. Karena itu ia justru menjadi cemas bahwa Kasadha kurang dapat mengendalikan diri. Karena itu, maka iapun berkata, "Kenapa bukan aku saja yang melakukannya?"
"Tidak," jawab Kasadha, "orang lain yang sering menyebut kita bersaudara menganggap aku lebih tua darimu. Karena itu, biarlah aku mencobanya dahulu. Jika aku gagal, baru kau."
"Tidak ada yang akan berhasil atau gagal," berkata Dirga, "kita harus bersikap jantan. Jika kita merasa kalah, maka kita harus mengaku kalah. Maka semuanya akan selesai."
"Baik," jawab Kasadha, "aku terima syaratmu."
Dirga yang merasa dirinya lebih baik dari kedua orang kawannya itupun kemudian berkata kepada tiga orang anak buahnya, "Kalian menjadi saksi. Tetapi kita sudah berjanji, bahwa kalian tidak perlu mengatakan kesaksian kalian kepada siapapun juga. Aku tidak mau menyakiti hati Bharata atau Kasadha di hadapan orang banyak."
"Cukup," potong Kasadha, "bersiaplah. Waktu kita tidak terlalu banyak. Penjual nangka itu akan segera pergi. Jika nangka Bharata yang dititipkan kepadanya itu tidak segera diambil, maka nangka itu akan dibawanya."
Dirga mengerutkan keningnya. Ia memang tersinggung karenanya. Seakan-akan persoalan nangka Bharata itu lebih besar dari tantangannya.
Tetapi ternyata Kasadha telah bersiap sehingga iapun harus segera bersiap pula.
Bharata hanya termangu-mangu saja. Ia memang tidak dapat mencegah perkelahian itu. Sudah barang tentu Kasadha atau dirinya sendiri tidak akan dapat menahan diri dengan tuduhan yang menyakitkan hati itu, seakan-akan mereka dianggap orang terbaik hanya karena menjilat saja. Padahal baik Bharata maupun Kasadha telah menahan dirinya untuk tidak menunjukkan kelebihannya kepada kawan-kawannya secara berlebihan. Meskipun demikian mereka tidak dapat menyembunyikan diri dari para pelatihnya bahwa mereka memang memiliki kelebihan ilmu dari kawan-kawannya. Bahkan terpaut jauh.
Sejenak kemudian, maka Dirgapun mulai bergerak. Dengan tangkas ia telah meloncat menyerang Kasadha. Dirga memang telah mempunyai bekal kemampuan pribadinya sejak ia memasuki dunia keprajuritan, sebagaimana prajurit-prajurit yang lain. Bahkan Dirga telah dianggap memiliki kelebihan, sehingga ia termasuk lima orang yang terpilih untuk memimpin kelompok prajurit yang diterima terbaru dalam kesatuan keprajuritan Pajang.
Namun setelah perkelahian itu berlangsung beberapa lama, Kasadha yang marah itu justru menjadi lebih tenang. Ia menjadi yakin, bahwa kemampuan Dirga tidak cukup tinggi untuk mengimbangi kemampuannya. Tetapi karena keyakinannya itulah maka Kasadha justru mampu mengekang diri. Ia tidak mempergunakan seluruh kemampuannya sehingga dalam sekejap dapat mengalahkan Dirga. Tetapi Kasadha yang tidak lagi menjadi sangat marah itu, telah berusaha untuk menyesuaikan dirinya.
Dengan demikian maka yang dilakukan Kasadha kemudian seakan-akan hanyalah sekedar melayani Dirga yang setingkat demi setingkat telah mengerahkan kemampuannya. Bahkan di mata Bharata yang juga memiliki kemampuan yang agak terpaut banyak dengan Dirga, Kasadha telah mulai sekedar bermain-main.
Namun dengan demikian Bharata justru menjadi tenang. Ia tidak lagi melihat sorot mata Kasadha yang memancarkan kemarahan. Bahkan kemudian, bukan saja sorot matanya, tetapi tata geraknyapun menjadi lunak, meskipun tetap tangkas dan cepat.
Dengan demikian maka perkelahian di antara kedua anak muda itu seakan-akan menjadi seimbang. Sekali-sekali Dirga sempat mendesak Kasadha. Namun kemudian Kasadhalah yang telah mendesak Dirga.
Namun setelah mereka berkelahi beberapa lama, keduanya sama sekali masih belum tersentuh serangan lawan masing-masing. Meskipun Dirga dengan garang menjulurkan serangan-serangan tangan dan kakinya berganti-ganti, tetapi Kasadha selalu sempat mengelakkannya. Sebaliknya serangan-serangan Kasadhapun nampaknya kurang tenaga sehingga kadang-kadang justru tidak sempat menggapai lawannya meskipun lawannya tidak mengelak.
Demikianlah perkelahian itu berlangsung semakin lama semakin cepat. Ketika Dirga sudah mulai berkeringat, maka iapun menjadi semakin garang. Sebaliknya tidak ada perubahan yang nampak pada Kasadha. Ia masih bergerak agak lunak meskipun juga semakin cepat.
Namun akhirnya Bharata mengetahui cara Kasadha menundukkan Dirga. Agaknya Kasadha ingin membiarkan Dirga kehabisan nafas. Baru kemudian Kasadha akan mengambil langkah-langkah kecil untuk menunjukkan sedikit kelebihan.
"Ternyata Kasadha cukup bijaksana," berkata Bharata di dalam hatinya, "justru pada saat ia marah dan merasa tersinggung oleh kata-kata Dirga yang menganggapnya penjilat."
Sebenarnyalah bahwa Kasadha masih sempat berpikir untuk tidak menyakiti hati Dirga. Dalam saat-saat yang gawat itu, Kasadha menyadari, bahwa Dirga memiliki sifat dengki dan iri. Karena itu, jika ia menyakiti hati anak muda itu, maka Dirga tentu akan mendendamnya, sementara latar belakang kehidupan Kasadha sendiri termasuk dalam lingkungan warna yang buram. Karena itu, Kasadha tidak ingin menambah persoalan yang akan dapat membuat hidupnya semakin rumit. Ia tidak ingin Dirga karena dendamnya berusaha untuk mencari-cari kelemahannya termasuk latar belakang kehidupannya. Apalagi jika diketahui siapakah laki-laki yang mengaku ayahnya dan siapakah ibunya.
Karena itu, maka perkelahian itu seakan-akan menjadi semakin sengit. Keduanya seakan-akan masih saja seimbang, sehingga keduanya saling menyerang, saling mendesak dan saling menghindar.
Tetapi sebagaimana yang diperhitungkan oleh Bharata itu ternyata benar-benar terjadi. Ketika mereka mulai mengerahkan kemampuan mereka, terutama Dirga, maka kekuatannyapun bagaikan telah terperas pula, sehingga lambat laun kekuatannya itupun menjadi susut.
Kasadha sudah memperhitungkan hal itu. Ketika tenaga Dirga mulai menurun, Kasadha justru memancingnya untuk bergerak lebih banyak. Bahkan sekali-sekali Kasadha mulai mengenainya meskipun tidak menyakitinya. Kadang-kadang Kasadha hanya mempergunakan telapak tangannya untuk menyentuh pundak Dirga atau dengan ujung-ujung jarinya menyentuh punggung. Meskipun ujung-ujung jari Kasadha itu dalam kekuatan puncaknya akan dapat mematahkan tulang belakang, tetapi ia tidak melakukannya atas Dirga.
Dirga yang telah memeras keringat memang menjadi semakin lemah. Bagaimanapun juga ia harus mengakui, bahwa ia tidak dapat mengalahkan Kasadha. Tetapi dengan cara yang ditempuh oleh Kasadha itu, maka Dirga tidak merasa dikalahkannya dalam benturan ilmu.
"Aku hanya kurang keras berlatih," berkata Dirga di dalam hatinya sehingga ia merasa bahwa tenaganya memang lebih cepat susut, meskipun ia tidak merasa dikalahkan.
Tetapi kenyataan itu terjadi. Akhirnya Dirga benar-benar telah kehabisan tenaga. Nafasnya menjadi terengah-engah. Rasa-rasanya perutnya menjadi mual ketika ia memaksakan diri untuk tetap melawan.
Ketika Dirga menyerang dengan sisa tenaganya yang terakhir, maka Kasadha tidak membenturnya meskipun jika ia melakukannya maka Dirga tentu akan menjadi pingsan. Tetapi Kasadha justru telah menghindari serangan itu.
Karena serangannya dengan mengerahkan sisa tenaganya tidak mengenai sasaran, maka Dirga justru telah terseret oleh berat tubuhnya sendiri tanpa dapat mencegahnya lagi. Karena itu, maka Dirga itu justru telah terjatuh tanpa mendapat serangan dari lawannya.
Kasadha sendiri kemudian telah melangkah tertatih-tatih mendekati Dirga. Bahkan kemudian iapun telah terduduk di sebelahnya sambil berdesis, "Satu latihan yang menarik."
Dirga memang berusaha untuk bangkit. Tetapi ketika ia kemudian terduduk dan melihat Kasadha juga duduk di sebelahnya, ia termangu-mangu sejenak.
Namun ternyata Kasadha justru tertawa. Katanya, "Aku jarang sekali mengalami latihan seperti ini."
Dirga masih termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian tertawa pula. Katanya, "Ternyata kau memang lebih baik dari aku."
"Tidak," jawab Kasadha, "kita memang berada pada tataran yang sama."
"Bagaimanapun juga aku harus mengakui, bahwa kau lebih baik. Setidak-tidaknya daya tahanmu. Dalam pertempuran yang sebenarnya, kau masih sempat membunuhku di saat terakhir," berkata Dirga.
"Apakah tanganku masih kuat mengangkat senjata?" Kasadha justru bertanya.
Keduanyapun kemudian tertatih-tatih berdiri. Bedanya, Dirga benar-benar mengalami kesulitan. Sedangkan Kasadha merasa perlu untuk berbuat demikian meskipun ia benar-benar masih nampak lebih baik.
"Aku harus berlatih lebih keras," berkata Dirga, "pada kesempatan lain, aku ingin mengadakan latihan seperti ini dengan Bharata. Mungkin Bharata juga lebih baik dari aku, sehingga Bharata oleh para pelatih dianggap setingkat dengan Kasadha. Adalah kebetulan bahwa kalian memang pantas untuk menjadi kakak beradik."
"Sudahlah," berkata Kasadha, "kita masih mempunyai waktu untuk pergi ke sendang."
"Ya," Bharatalah yang menyahut, "kita mandi sebentar. Kemudian kita singgah di pasar mengambil buah nangka itu."
Demikianlah mereka bertiga diikuti oleh kawan-kawan Dirga sempat singgah di sendang. Dirga nampak terlalu letih setelah ia memaksa diri berusaha untuk mengimbangi Kasadha. Namun ternyata bagaimanapun juga ia harus mengakui kelebihan kawannya itu meskipun menurut tanggapannya, hanya selapis tipis. Tetapi seperti yang dikehendaki oleh Kasadha, Dirga tidak menjadi sakit hati dan tidak pula mendendamnya.
Kasadhapun sekali-sekali masih juga menunjukkan bahwa iapun menjadi sangat letih.
Namun ketika Bharata sempat berbisik di telinganya, ia berkata, "Suatu cara yang sangat bijaksana."
Kasadha hanya tersenyum saja. Tetapi ia tidak menjawab.
Demikianlah, setelah mereka puas mandi di sendang sehingga tubuh mereka terasa segar, maka merekapun telah kembali lagi ke Pasar. Seperti ketika berangkat, maka ketika mereka kembali, Kasadha juga menjadi berdebar-debar. Ketika mereka memasuki jalan induk menuju ke pintu gerbang kota, maka Kasadha lebih banyak menunduk. Bagaimanapun juga ia tidak dapat melenyapkan kekhawatiran, bahwa tiba-tiba seseorang mengenalinya dan apalagi memburunya karena ia adalah anak Warsi dan dianggap anak Rangga Gupita, salah seorang di antara bekas prajurit dari pasukan sandi Jipang.
Tetapi ternyata bahwa tidak seorangpun yang menyapanya, apalagi mengikutinya dan menegurnya sebagai Puguh.
Bahkan ketika mereka sudah berada di dalam kota dan berjalan menuju ke barak, Kasadha terkejut ketika tiba-tiba seseorang meloncat dari mulut lorong sambil memanggil namanya.
Ternyata orang itu adalah salah seorang anak buahnya yang kemudian bersama-sama dengan kawan-kawannya yang lain kembali ke barak, untuk menghabiskan sisa hari istirahat mereka.
Dalam pada itu sekelompok prajurit yang dipimpin oleh Bharata sempat memecah sebuah nangka yang besar yang dibeli oleh Bharata di pasar. Bahkan Kasadha dan Dirgapun sempat ikut pula makan buah nangka itu bersama mereka yang ikut pergi ke belumbang.
Demikianlah, setelah peristiwa itu, Dirga memang menjadi tenang. Ia merasa bahwa Kasadha memang lebih baik. Tetapi meskipun ia tidak dapat menang atasnya, ia tidak merasa terhina oleh kekalahannya. Setiap kali ia sempat menghibur diri, bahwa kekalahannya itu terutama hanya karena ketahanan tubuhnya sajalah yang tidak sebaik Kasadha.
"Jika aku meningkatkan latihan-latihan untuk ketahanan tubuh, maka aku tentu akan dapat mengimbanginya," berkata Dirga.
Keyakinannya itu memang mendorongnya untuk meningkatkan latihan-latihannya. Namun ia sama sekali tidak menjadi dendam karenanya, meskipun ia tetap ingin menjadi yang terbaik di antara kelima orang pemimpin kelompok yang dipungut dari prajurit-prajurit baru dari angkatannya.
Yang agak mengalami kesulitan adalah anak buah Dirga. Dirga yang ingin meningkatkan latihan-latihan bagi dirinya itu, ternyata telah mempengaruhi seluruh kelompoknya. Pagi-pagi dalam latihan-latihan ketahanan tubuh, ketrampilan dan keseimbangan dengan berlari-lari di jalan-jalan sempit dan bahkan di pematang-pematang sawah, meniti palang bambu di lapangan di belakang barak mereka atau meloncat hambatan-hambatan yang disediakan khusus untuk latihan-latihan seperti itu, menjadi lebih berat. Tetapi kadang-kadang Dirga telah berlatih sendiri setelah anak buahnya mendapat kesempatan untuk beristirahat.
Akhirnya anak buahnya tahu juga, kenapa pemimpin kelompoknya berlaku demikian. Meskipun ketika orang yang menjadi saksi perkelahian antara Dirga dan Kasadha berusaha untuk merahasiakannya, tetapi akhirnya mereka tidak dapat bertahan. Mereka telah mengatakan meskipun dengan pesan untuk tidak disampaikan kepada orang lain, apa yang telah mereka lihat di ara-ara sebelah gumuk kecil itu.
"Pantas," desis salah seorang di antara anak buahnya, "latihan-latihan menjadi semakin meningkat. Kitalah yang menderita."
"Tetapi ia lebih banyak berlatih sendiri," sahut yang lain.
Namun seorang prajurit yang terlalu yakin akan dirinya sendiri berkata, "Mereka tidak berarti apa-apa bagi perguruanku."
"Mereka siapa?" bertanya kawannya.
"Dirga, Kasadha, Bharata, Permana dan siapa lagi yang dianggap orang-orang terbaik. Aku hanya belum saja mendapat kesempatan untuk menunjukkan kelebihanku, karena aku datang kemudian setelah mereka," jawab orang itu.
Tetapi kawan-kawannya tidak menghiraukannya. Mereka masing-masingpun merasa pernah berada di sebuah perguruan sebelum mereka mengikuti pendadaran, karena yang diterima menjadi prajurit, bukannya orang yang tidak berilmu sama sekali.
Sementara itu, para prajurit Pajang memang harus menempuh latihan-latihan yang berat, yang ditekankan pada unsur-unsur perang gelar. Perang berpasangan serta mempergunakan jenis-jenis senjata yang paling banyak dipergunakan oleh para prajurit. Dengan bekal kemampuan mereka secara pribadi, maka memang lebih cepat pasukan Pajang menyusun diri menjadi kesatuan yang kuat.
Dalam pada itu, para pemimpin Pajang telah bersiaga sepenuhnya menghadapi pertumbuhan Mataram. Sedangkan Panembahan Senapati di Mataram benar-benar tidak mau datang menghadap ayahandanya, Sultan Pajang. Satu sikap yang membuat para pemimpin Pajang menjadi tersinggung.
"Mas Ngabehi Loring Pasar memang tidak kuat memanggul derajat. Ia sangat dikasihi oleh Kangjeng Sultan sebagaimana putera kandungnya sendiri. Tetapi ternyata ketika ia mendapat kesempatan, telah berusaha untuk melawan ayahanda angkatnya itu," berkata seorang Senapati Pajang. Bahkan katanya kemudian, "Sebenarnyalah tidak usah seluruh kekuatan Pajang dikerahkan. Pasukanku segelar sepapan cukup kuat untuk mematahkan perlawanan Mataram."
Tetapi seorang kawannya menyahut, "Jangan berkata begitu. Seolah-olah kau belum kenal siapakah Raden Sutawijaya yang kemudian bergelar Panembahan Senapati itu."
Tetapi Senapati itu menjawab, "Apakah Panembahan Senapati akan dapat melawan sekelompok prajurit pilihan betapapun ia seorang yang berilmu tinggi" Sementara itu ia masih belum sempat menyusun pasukan yang cukup tangguh untuk melindunginya."
Namun kawannya justru tertawa. Katanya, "Kau memang suka berkhayal. Aku tidak mengerti, kenapa kau sempat berpikir seperti itu."
Senapati itu mengerutkan keningnya. Namun akhirnya ia hanya menarik nafas dalam-dalam.
Dalam pada itu kemelut di langit menjadi semakin gelap. Jarak antara Pajang dan Mataram menjadi semakin jauh. Tetapi justru Kangjeng Sultan Pajang sendiri tidak pernah mengambil langkah-langkah pasti untuk mengatasinya. Hatinya masih tetap tersangkut pada kasih sayangnya atas putera angkatnya itu.
Sementara itu Pangeran Benawa, putera Sultan Pajang itu sendiri, ternyata tidak mempunyai minat untuk ikut mengatasinya. Atas tuntunan ayahandanya, maka ia menjadi sangat hormat kepada Raden Sutawijaya yang kemudian bergelar Panembahan Senapati. Bahkan Pangeran Benawa yang menjadi kecewa melihat tingkah laku orang-orang di sekitar ayahandanyapun menjadi salah satu sebab, bahwa Pangeran Benawa tidak banyak berbuat untuk meredakan suasana. Bahkan nampaknya Pangeran yang kecewa itu menjadi acuh tak acuh saja.
Dalam keadaan yang tidak menentu itulah, maka sering terjadi benturan-benturan kecil antara para prajurit Pajang dan Prajurit Mataram. Meskipun belum ada perintah yang pasti, tetapi para prajurit dari kedua belah pihak kadang-kadang sulit untuk mengendalikan dari masing-masing, sehingga di tempat-tempat tertentu pertempuran-pertempuran kecil sulit untuk dihindari.
Dengan demikian maka para pemimpin keprajuritan Pajang telah menempuh jalan yang singkat. Para prajurit baik yang telah lama berada dalam barak-barak, maupun para prajurit yang baru telah ditempa untuk menghadapi segala kemungkinan. Dalam waktu dekat mereka akan segera dikirim ke tempat-tempat yang rawan. Tempat-tempat yang sering dilanda oleh benturan pasukan yang kadang-kadang tidak diketahui sebab-sebabnya.
Dalam pada itu, pasukan yang baru saja disusun itupun tidak terkecuali. Setelah beberapa bulan mengalami latihan-latihan yang berat, maka pasukan itu telah dipersiapkan untuk dikirim ke perbatasan.
Ketika kepastian itu telah diberitahukan kepada para prajurit yang tergabung dalam satu kelompok yang besar yang terdiri dari sepuluh kelompok-kelompok kecil, maka Bharata menjadi sangat bimbang. Ada niatnya untuk minta ijin menemui ibunya untuk minta diri, karena ia sadar, bahwa ke perbatasan adalah sama dengan maju ke medan perang.
Tetapi akhirnya niatnya diurungkan. Di dalam lingkungan keprajuritan, ia adalah orang lain dari dirinya sendiri. Ia adalah Bharata dari Kademangan Bibis. Bukan Risang dari Tanah Perdikan Sembojan.
Sementara itu, Kasadha sama sekali tidak menghiraukan lagi ayah dan ibunya. Ia seakan-akan lahir begitu saja di dunia tanpa ayah dan ibu. Jika ia sekali-sekali mengenang seseorang, maka ia adalah gurunya dan kakeknya, Ki Randukeling.
Tetapi iapun tidak berniat untuk menemui mereka. Ia tidak ingin seseorang mengenali jejak latar belakang kehidupannya.
Pada saat yang ditentukan, maka telah tersusun sepasukan yang terdiri dari seratus orang dikepalai oleh seorang Lurah Penatus yang akan memimpin pasukan itu yang dibagi dalam sepuluh kelompok kecil, masing-masing terdiri dari sepuluh orang. Bharata dan Kasadha bersama tiga orang kawannya yang lain dari kelima orang pemimpin kelompok yang baru telah diikutsertakan bersama mereka yang digabungkan dengan para prajurit yang telah banyak berpengalaman.
Mereka akan berangkat menuju ke daerah Selatan. Mereka harus mengawasi sebuah Kademangan di bawah kaki pebukitan. Kademangan Randukerep. Kademangan yang sering dilalui sekelompok prajurit Mataram yang mengamati keadaan.
Di Kademangan Randukerep mereka telah disambut dengan baik. Mereka diterima sebagai sekelompok prajurit Pajang yang akan melindungi Kademangan mereka.
"Apakah orang-orang Mataram itu sering membuat kerusuhan disini?" bertanya Ki Lurah Dipayuda.
"Tidak," jawab Ki Demang, "meskipun mereka kadang-kadang hanya sekedar lewat mengamati keadaan, tetapi kami memang menjadi gelisah."
"Tetapi kalian mengetahui, bahwa mereka tidak berwenang melintas didaerah ini," berkata Ki Lurah Dipayuda.
"Ya," jawab Ki Demang. Kemudian katanya pula.
"Karena itulah kami, para bebahu Kademangan ini telah pernah menemui mereka dan mengatakan hal itu."
"Apa jawab mereka?" bertanya Ki Lurah.
"Mereka melakukannya untuk menjaga agar orang-orang Kademangan ini tidak mempunyai anggapan yang salah terhadap Mataram," jawab Ki Demang, "selama di Kademangan ini mereka banyak berbicara dengan penduduk."
Wajah Ki Lurah menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia berkata, "Bukankah itu justru berbahaya sekali?"
"Kami menyadari Ki Lurah," berkata Ki Demang, "kami sudah berusaha untuk mencegahnya. Tetapi kami tidak berdaya. Orang-orang Mataram itu mulai mengancam dengan kekerasan, sehingga kami terpaksa berdiam diri sambil menunggu kedatangan para prajurit dari Pajang."
"Apakah di Kademangan ini tidak ada kekuatan sama sekali?" bertanya Ki Lurah. Lalu, "Bukankah disini ada pengawal Kademangan yang tentu sudah dipersiapkan sejak lama?"
"Tetapi apakah artinya para pengawal Kademangan dibandingkan dengan kekuatan orang-orang Mataram," jawab Ki Demang, "karena itu, kami merasa lebih baik menunggu. Pada saatnya kami akan dapat mengusir orang-orang Mataram itu jika ia datang lagi."
"Apakah orang-orang Mataram itu sering kali datang ke Kademangan ini?" bertanya Ki Lurah.
"Tidak tentu," jawab Ki Demang, "sudah beberapa hari orang-orang Mataram tidak nampak batang hidungnya. Lewat sepekan yang lalu mereka telah datang. Mereka mempergunakan banjar Kademangan ini untuk menempatkan diri. Lewat sepekan yang lalu kira-kira ada dua puluh lima orang prajurit Mataram ada di banjar."
"Hanya dua puluh lima. Berapa jumlah pengawal disini?" bertanya Ki Lurah Dipayuda.
"Ki Lurah," jawab Ki Demang, "para pengawal Kademangan ini tidak memiliki keberanian seorang prajurit. Dua atau tiga orang prajurit Mataram telah membuat mereka ketakutan. Mula-mula para pengawal memang mencoba untuk mengadakan perlawanan dengan mencegah sepuluh orang prajurit Mataram agar tidak memasuki padukuhan induk Kademangan ini. Tetapi lebih dari tiga puluh pengawal tidak mampu mencegah mereka."
"Mereka terbunuh oleh prajurit Mataram?" bertanya Ki Lurah.
"Tidak Ki Demang. Tidak seorangpun terbunuh. Tetapi ketiga puluh orang pengawal itu terluka dan tidak mampu lagi melakukan perlawanan. Rasa-rasanya tulang-tulang mereka berpatahan," jawab Ki Demang.
Ki Lurah Dipayuda mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian sekali lagi ia bertanya, "Ada berapa pengawal di Kademangan Randukerep ini" Pengawal yang memang berada dalam kedudukan itu. Berapa pula anak-anak muda yang tidak dalam kedudukan pengawal, tetapi merupakan kekuatan cadangan yang dapat digerakkan setiap saat dan berapa jumlah laki-laki di Kademangan ini yang semuanya mempunyai kewajiban untuk membela kampung halamannya?"
"Ada lebih dari lima puluh pengawal di Kademangan ini Ki Lurah," berkata Ki Demang, "mereka pernah mendapat latihan serba sedikit dari dua orang prajurit yang ditugaskan oleh Pajang. Sedangkan anak-anak muda yang telah dinyatakan siap untuk dipanggil dalam keadaan yang penting cukup banyak. Di Kademangan ini ada beberapa padukuhan besar dan kecil yang mempunyai anak-anak mudanya. Apalagi jumlah laki-laki yang umurnya di bawah limapuluh tahun."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, "Aku minta, Ki Demang besok memanggil para pengawal. Mereka akan menjadi bagian dari kekuatan Pajang di Kademangan ini. Semuanya akan termasuk dalam barisan di bawah perintahku. Sementara itu, anak-anak muda yang menjadi kekuatan cadangan di Kademangan ini harus disusun dalam kelompok-kelompok yang tertib. Aku akan ikut menanganinya. Beberapa pemimpin kelompok dari prajurit-prajuritku akan membantu bertugas di padukuhan-padukuhan untuk menyusun kelompok-kelompok kecil di setiap padukuhan. Pada lapisan terakhir, maka setiap laki-laki yang belum berumur limapuluh tahun harus diperhitungkan pula."
Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, "Kami akan berterima kasih jika Ki Lurah bersedia membantu kami melaksanakannya."
"Tetapi aku memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di Kademangan ini," berkata Ki Lurah Dipayuda.
"Silahkan Ki Lurah. Kami telah menyediakan beberapa buah rumah di sekitar rumahku ini. Sebaiknya Ki Lurah tidak berada di banjar, karena prajurit Mataram sering datang ke banjar itu."
"Sebenarnya kebetulan bagi kami jika prajurit Mataram datang. Kami akan dapat menangkap mereka dan mengadilinya di Pajang," jawab Ki Lurah.
"Tetapi mereka akan mempunyai kesempatan lebih dahulu. Jika Ki Lurah berada di luar banjar, maka keadaannya akan berbeda. Sebagian dari pasukan Ki Lurah dan Ki Lurah sendiri kami persilahkan untuk berada di gandok rumahku sebelah menyebelah. Kemudian rumah di sebelah kanan rumahku itupun telah disediakan bagi Ki Lurah sebagaimana rumah di sebelah kiri. Jaraknya tidak lebih dari satu patok. Dinding pemisah dari halaman kami dan halaman rumah tetangga yang disediakan bagi prajurit Pajang itu telah kami bedah sehingga halaman rumah ini dan halaman rumah sebelah menjadi berhubungan langsung. Agaknya hal itu perlu bagi kesatuan pasukan Ki Lurah," berkata Ki Demang.
Ki Lurah mengangguk-angguk. Kedua rumah yang ditunjukkan oleh Ki Demang itu adalah rumah tetangga terdekat yang dapat dicapai dalam waktu singkat, sehingga jika Ki Lurah menempatkan pasukannya di rumah-rumah itu, maka tidak akan terjadi kesulitan apapun juga. Namun Ki Lurah harus mengatur penjagaan sebaik-baiknya.
Setelah berbincang beberapa saat dengan Ki Demang, maka Ki Lurahpun telah membawa sepuluh orang pemimpin kelompoknya untuk melihat-lihat keadaan, sementara seluruh pasukannya berada di halaman rumah Ki Demang. Mereka melihat halaman belakang rumah, mengamati dindingnya dan membuka pintu butulan untuk melihat jalan sempit di sebelah belakang rumah Ki Demang itu. Kemudian mereka telah melihat-lihat halaman rumah sebelah menyebelah yang disediakan bagi para prajurit Pajang. Juga melihat kebun belakang dan segala sudut halaman serta dinding-dinding yang mengitari halaman rumah itu. Sementara itu dinding yang memisahkan halaman rumah itu dengan halaman rumah Ki Demang memang telah dibuka agar perhubungan dari ketiga rumah itu dapat berlangsung dengan lancar. Sementara itu alat-alat untuk menyampaikan isyaratpun telah tersedia. Di rumah sebelah menyebelah itu terdapat dua kentongan kecil di serambi dan satu kentongan yang agak besar di seketheng. Dalam keadaan yang memaksa, maka kentongan itu akan dapat menjadi isyarat bagi para prajurit yang terpisah tempatnya itu.
Demikianlah, maka Ki Demangpun segera membagi pasukannya. Empat kelompok berada di rumah tetangga sebelah kanan, empat di tetangga sebelah kiri dan dua kelompok, termasuk Ki Lurah sendiri berada di rumah Ki Demang. Sementara itu, setiap hari di antara lima puluh lebih pengawal Kademangan, dua puluh orang harus bersiaga di rumah Ki Demang. Mereka akan melakukan tugas bersama-sama dengan para prajurit Pajang.
Untuk menilai para prajurit yang baru, maka Ki Lurah dengan sengaja telah menempatkan prajurit-prajurit baru yang empat kelompok itu bersama-sama di rumah yang ada di sebelah kanan rumah Ki Demang, sedangkan prajurit-prajurit yang lama dan berpengalaman berada di rumah sebelah kiri. Sedangkan satu kelompok prajurit yang baru dan satu kelompok prajurit yang lama berada bersamanya di rumah Ki Demang. Bersama mereka akan hadir juga dua kelompok pengawal Kademangan yang pernah mendapat latihan keprajuritan pula.
Hari itu juga, maka para prajurit Pajang itu telah menempatkan diri. Setiap kelompok telah mengatur dirinya masing-masing. Kelompok yang dipimpin oleh Bharata mendapat tempat di gandok sebelah kanan di rumah tetangga Ki Demang, sedangkan kelompok yang dipimpin oleh Kasadha berada di tempat terbuka, pendapa dan yang sedikit tertutup adalah pringgitan rumah itu. Dirga dengan serta-merta membawa anak buahnya ke ruang dalam sedangkan satu kelompok lagi berada di gandok sebelah kiri.
Ketika Kasadha sedang sibuk mengatur pendapa dan pringgitan dengan membentangkan tikar di pringgitan untuk beristirahat orang-orangnya, maka Bharata telah mendatanginya. Sambil tersenyum ia berkata, "Di gandok terdapat sebuah amben yang besar. Cukup untuk enam orang. Sementara itu, ada dua amben kecil yang dapat menampung empat orang."
"Kami akan tidur di lantai," berkata Kasadha.
"Biarlah kedua amben kecil itu dibawa keluar. Setidak-tidaknya kau dan tiga orangmu bergantian dapat tidur di pembaringan," berkata Bharata.
Tetapi Kasadha tertawa. Katanya, "Bukankah kami sudah terlatih untuk tidur dimana saja" Disini, di pringgitan masih cukup hangat, terlindung oleh dinding di sebelah menyebelah. Dirga yang memilih di ruang dalam mulai mengeluh. Ternyata udaranya panas sekali. Di malam hari, mereka justru tidak akan mudah untuk dapat tidur."
"Kita akan berada di tempat ini untuk waktu yang tidak terbatas," berkata Bharata, "jika setiap malam orang-orangmu terkena angin malam yang basah, maka mungkin ada di antara mereka yang tidak tahan."
Tetapi Kasadha menggeleng. Katanya, "Seorang prajurit harus tahan berada di segala tempat dan di segala musim. Tempat ini terlalu baik bagi kami."
Bharata termangu-mangu. Namun ia akhirnya tertawa. Katanya, "Jika perlu, pada hari-hari tertentu kita dapat bertukar tempat."
Ternyata hal itu tidak perlu dilakukan. Beberapa saat kemudian beberapa orang pembantu Ki Demang telah datang membawa beberapa buah tirai bambu yang dapat dipergunakan untuk melindungi angin. Bahkan beberapa orang yang lain telah membawa beberapa buah amben bambu yang kemudian ditempatkan di pringgitan.
"Nah," berkata Kasadha, "bukankah sudah beres?"
Bharata mengangguk-angguk.
Sementara itu ketika Dirga keluar dari ruang dalam berkata dengan serta-merta, "Kita bertukar tempat."
Tetapi Kasadha menggeleng. Katanya, "Kau telah memilih lebih dahulu tempatmu."
"Di dalam panas sekali," berkata Dirga, "dengan selintru bambu maka pringgitan ini menjadi bilik yang sejuk."
"Itu di luar perhitungan kami. Ternyata Ki Demang sangat memperhatikan kami, meskipun nampaknya amben-amben bambu itu tidak begitu kuat, sehingga jika dipergunakan oleh lebih dari dua orang, suaranya akan berderit-derit membangunkan yang sudah tertidur nyenyak sekalipun."
"Tetapi udara di pringgitan ini lebih baik daripada di ruang dalam," berkata Dirga.
Namun sambil tersenyum Kasadha berkata, "Aku disini saja bersama anak-anakku. Jika kau kepanasan di dalam, bukankah pendapa ini cukup untuk tidur empat puluh orang sekaligus."
Dirga mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia sudah memilih sendiri tempat di ruang dalam. Ternyata bahwa lebih terbuka di ruang-ruang lain. Juga peredaran udara di dalam terasa sendat sehingga udara di ruang dalam menjadi pengap dan panas, bahkan agak gelap.
Demikianlah, setelah mereka mengatur pembagian ruang bagi setiap kelompok, maka mereka mulai mengatur penjagaan. Mereka tidak hanya menjaga regol halaman. Tetapi mereka harus juga mengawasi halaman samping dan kebun belakang. Terutama di malam hari. Mereka menyadari bahwa para prajurit Mataram adalah prajurit yang berani. Bahkan mereka yang tidak pernah mengalami latihanpun telah berani melakukan tugas yang biasanya hanya dibebankan kepada prajurit-prajurit yang berpengalaman. Sehingga dengan demikian maka mereka harus benar-benar bersiaga menghadapi segala kemungkinan.
Akhirnya keempat pemimpin kelompok itupun mendapatkan kesepakatan dalam pembagian waktu dan tempat tugas kelompok mereka masing-masing, sehingga setiap saat dan tempat akan dipertanggung-jawabkan oleh keempat kelompok agar mereka tidak saling menyalahkan apabila terjadi sesuatu.
Ternyata di rumah yang lain, telah dilakukan pula pembagian ruang dan waktu. Tetapi seperti para prajurit yang baru, ternyata keempat kelompok prajurit di rumah sebelah kiri juga melakukan penjagaan bersama sebagaimana para pengawal yang baru.
Namun dalam pada itu, di rumah Ki Demang telah dilakukan penjagaan khusus. Para pengawal Kademangan itu telah diikutsertakan bersama para prajurit Pajang, Namun Ki Lurah cukup berhati-hati, sehingga di antara para pengawal di ruang masing-masing telah diadakan penjagaan khusus.
Ketika kemudian para prajurit itu mengalami malam hari untuk pertama kalinya di Kademangan itu, maka rasa-rasanya malam memang terlalu sepi. Demikian matahari terbenam, maka jalan-jalan telah menjadi lengang. Tidak menunggu saat sepi bocah, maka Kademangan itu seakan-akan telah tertidur nyenyak.
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun dari kejauhan ternyata masih juga terdengar suara tembang macapat yang mengalun di sepinya malam. Suara seorang laki-laki yang bergetar bagaikan menyentuh setiap hati para prajurit yang merasa berada di tempat yang asing.
Sementara mereka yang bertugas, justru merasa mendapat seorang kawan lagi. Setidak-tidaknya orang yang membaca kidung itu masih belum tidur. Mungkin keluarganya juga ikut mendengarkannya.
Dalam pada itu, di regol rumah Ki Demang, tetangganya sebelah menyebelah telah mendapat penjagaan yang kuat. Bahkan setiap sudut dari halaman dan kebun ketiga rumah yang berhubungan itu mendapat pengawasan dari orang-orang yang terlatih. Tidak akan ada seekor bilalangpun yang dapat lolos dari pengawasan mereka.
Di rumah sebelah kanan, meskipun yang ada di tempat itu termasuk prajurit-prajurit baru, tetapi secara pribadi mereka justru telah memiliki bekal yang cukup. Ditambah latihan-latihan khusus dalam hubungannya dengan kedudukan mereka sebagai prajurit. Dengan demikian maka penjagaan di tempat itu tidak kalah ketatnya dibanding dengan penjagaan di rumah sebelah kiri, yang ditempati oleh para prajurit yang sudah berpengalaman sebagai prajurit.
Namun dalam pada itu, di luar pengetahuan para prajurit Pajang, maka suara tembang itupun telah mendapat perhatian sepenuhnya dari dua orang yang dengan diam-diam menyusup ke dalam padukuhan induk Kademangan itu. Dengan saksama kedua orang yang bersembunyi di kegelapan itu mendengarkan kidung yang mengalun di malam hari menyayat sepinya suasana.
"Jadi mereka telah datang," berkata salah seorang di antara kedua orang itu.
"Sekitar seratus orang," desis yang lain.
Keduanyapun terdiam pula. Sementara itu suara tembang itu masih saja terdengar. Lima bait telah terbaca. Namun kemudian orang itu telah mengulanginya dari bait yang pertama.
Tetapi para prajurit yang mendengarkan kidung itu dari kejauhan, tidak mendengar isi kidung itu, karena mereka memang tidak begitu memperhatikannya.
Namun kedua orang itu mengetahuinya, bahwa orang yang membaca kidung itu memberikan isyarat, bahwa agaknya para prajurit itu sedang mengatur diri sehingga belum akan keluar dari sarang mereka pada malam yang pertama mereka berada di padukuhan induk itu.
Ternyata kedua orang itu adalah orang-orang yang memang berani. Dengan isyarat itu, maka mereka justru telah dengan diam-diam berusaha mendekati rumah itu. Meskipun keduanya mengetahui, bahwa di padukuhan induk itu di setiap malam selalu dikelilingi oleh para peronda yang terdiri dari para pengawal dan anak-anak muda padukuhan induk itu, yang pada malam itu akan dapat memanggil bantuan para prajurit Pajang jika mereka merasa perlu.
Dengan sangat berhati-hati kedua orang itu telah memasuki regol rumah orang yang sedang melagukan kidung yang ngelangut memecah sepinya malam itu.
Perlahan-lahan salah seorang dari kedua orang itu telah mengetuk pintu. Dua kali tiga ganda.
Suara kidung itu sama sekali tidak berhenti. Namun orang lainlah yang telah pergi ke pintu dan membuka pintu itu dengan hati-hati.
Demikian kedua orang itu masuk, maka pintupun segera telah ditutup kembali.
"Kenapa kau datang kemari?" bertanya orang yang membuka pintu itu, sementara suara kidung itu beralun terus.
"Kami ingin penjelasan. Bukan sekedar isyarat yang hanya dapat aku raba-raba," jawab salah seorang dari kedua orang itu.
"Tetapi kau telah melakukan satu langkah yang sangat berbahaya," berkata orang yang membuka pintu itu.
"Kalian tentu memerlukan kami datang," berkata orang yang datang itu, "jika tidak untuk apa kalian memberikan isyarat bahwa orang-orang Pajang itu belum akan keluar malam ini."
"Satu dugaan saja," jawab orang yang membuka pintu, "tetapi karena kalian sudah ada disini, biarlah kami memberikan keterangan."
Dengan singkat orang itupun telah memberikan keterangan tentang kehadiran para prajurit Pajang. Menurut perhitungan mereka memang sekitar seratus orang.
"Cukup banyak," berkata salah seorang yang datang itu.
"Mereka nampaknya akan memanfaatkan para pengawal, anak-anak muda dan setiap laki-laki yang ada yang akan disusun dalam lapisan-lapisan tersendiri," berkata orang yang membuka pintu itu.
"Satu sikap yang sudah dapat ditebak. Itu adalah sikap yang sangat wajar dan ditempuh oleh Pajang selama ini. Agaknya Matarampun akan menempuh cara yang sama," sahut salah seorang yang baru datang itu. "Namun kita semuanya sudah siap menghadapi rencana itu."
"Mungkin para prajurit itu baru besok melihat-lihat suasana di padukuhan ini," berkata orang itu. Sementara itu, suara tembang yang ngelangut itupun masih saja menggetarkan udara.
Namun salah seorang dari kedua orang itupun berkata, "Baiklah. Kami akan minta diri."
"Berhati-hatilah. Suasana di Kademangan ini tentu berubah karena kehadiran para prajurit itu," berkata orang yang membuka pintu.
"Kami menyadari itu," jawab salah seorang di antara mereka yang datang, "tetapi itu sudah ada dalam perhitungan kami. Justru kalian yang tinggal di Kademangan inilah yang harus lebih berhati-hati. Prajurit Pajang adalah prajurit pilihan. Petugas sandi merekapun memiliki kemampuan yang tinggi."
"Tetapi gairah perjuangan mereka tidak setinggi orang-orang Mataram," jawab orang yang membukakan pintu.
"Itu karena Kanjeng Sultan Pajang sendiri belum menjatuhkan perintah. Namun, demikian perintah itu jatuh, jika tidak berhati-hati, maka Mataram akan dapat digilas," jawab salah seorang dari kedua orang yang baru datang itu.
Orang yang membukakan pintu itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Tetapi tidak ada seorangpun yang akan mampu menundukkan Panembahan Senapati. Di saat-saat Kangjeng Sultan dalam kebimbangan, maka Mataram harus mengambil langkah-langkah yang menguntungkan. Apalagi menurut pendengaranku Kangjeng Sultan di saat-saat terakhir, kesehatannya sangat menurun."
"Tetapi Adipati Tuban terlalu mendesak," jawab orang yang membukakan pintu.
Kedua orang yang datang itu mengangguk-angguk.
Sementara itu lima bait yang diulang oleh orang yang membaca kidung itu telah berakhir. Karena itu, maka orang itupun berhenti melontarkan tembang yang menggetarkan sepinya malam.
Ketiga orang yang berbincang itupun kemudian mendekatinya. Namun agaknya orang itu tidak berkata apapun juga, kecuali sebuah perintah, "Tinggalkan tempat ini."
"Tetapi ada yang perlu kita bicarakan," jawab salah seorang dari keduanya.
"Tinggalkan tempat ini secepatnya," berkata orang itu.
Kedua orang itu tidak menjawab. Namun keduanya meyakini betapa tajamnya firasat orang yang telah berhenti membaca kitab itu.
Karena itu, maka keduanyapun segera meninggalkan tempat itu, sementara orang yang membukakannya pintu itu sempat berpesan, "Berhati-hatilah."
Sejenak kemudian, maka pintupun telah tertutup kembali.
Namun sebelum kitab yang dibaca itu ditutup, telah terdengar lagi pintu diketuk. Tidak dengan isyarat dua kali tiga ganda.
"Bukakan pintu," berkata orang yang semula membaca kitab itu.
Sejenak kemudian pintupun telah terbuka. Tiga orang anak muda berdiri di depan pintu.
"Maaf Kiai," desis salah seorang di antara anak-anak muda itu, "ketika Kiai berhenti membaca, malam rasa-rasanya menjadi sangat sepi."
Orang yang membaca kidung itu tertawa. Katanya, "Mulutku sudah menjadi lelah anak-anak muda. Tetapi marilah, silahkan duduk."
Anak-anak muda itupun kemudian masuk dan duduk pula di hadapan orang yang membaca kidung itu.
"Kami ingin belajar Kiai. Selama ini, hampir setiap malam kami mendengar Kiai membaca. Rasa-rasanya kami ingin dapat membaca kidung seperti Kiai. Sebenarnyalah jika ada waktu beberapa orang anak muda ingin datang untuk belajar," berkata salah seorang di antara anak muda itu.
Orang tua yang membaca kidung itu tertawa. Katanya, "Ada baiknya jika kalian berminat belajar macapat. Kumpulan lagu-lagu untuk membaca kitab yang berisi bermacam-macam hal. Kitab yang berisikan babad. Kitab yang berisi petunjuk tentang hidup dan kehidupan dan kitab yang berisi berbagai macam ilmu antara lain ilmu perbintangan, pertanian yang berhubungan erat dengan ilmu perbintangan dan lain-lainnya."
"Menarik sekali," jawab anak muda itu.
"Baiklah," berkata orang tua itu, "kita dapat membicarakan, kapan kalian dapat datang dan belajar melagukan kidung. Tetapi sudah tentu tidak sekarang."
"Ya Kiai. Tidak sekarang. Kami akan berbicara dengan kawan-kawan." anak muda itu berhenti sejenak, lalu, "Tetapi kami mohon kali ini Kiai melanjutkan bacaan Kiai. Kami ada di gardu di ujung lorong ini. Rasa-rasanya malam menjadi sepi jika Kiai tidak membaca."
Orang tua itu tertawa. Katanya, "Aku sudah membaca beberapa bait." Namun katanya, "Tetapi biarlah adikku itu membacanya. Ia juga dapat membaca suaranyapun cukup baik. Ia baru datang sore tadi."
Anak-anak muda itu mengangguk hormat kepada orang yang membukakan pintu dan disebut adik itu.
"Ia semula tinggal di Pajang. Tetapi setelah isterinya meninggal tanpa meninggalkan anak, untuk menghilangkan kenangan pahit itu ia kembali kemari. Ia akan tinggal bersamaku disini. Mungkin ia akan dengan senang hati mengajari kalian melagukan kidung untuk melupakan masa lampaunya itu," berkata orang tua itu.
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, "Tolong Kiai. Isilah malam ini dengan tembang yang dapat menemani tugas kami."
Orang tua itu mengangguk-angguk. Tetapi kemudian katanya kepada orang yang disebut adiknya itu, "Bacalah. Kitab ini adalah kitab yang berisi berbagai macam petunjuk tentang tingkah laku."
Orang yang disebut adiknya itupun beringsut. Ia telah mengambil kitab yang lain. Kemudian iapun telah bersiap untuk membacanya.
"Tetapi suaraku tidak sebaik suara kakakku," berkata orang itu.
"Tidak apa-apa," jawab anak-anak muda itu hampir berbareng. "Yang penting jantung kami menjadi hangat karenanya." Namun kemudian seorang di antara anak-anak muda itu berkata, "Aku akan mendengarkan di gardu saja Kiai."
Anak-anak muda itupun kemudian telah mohon diri. Meskipun orang-orang tua itu mempersilahkannya tinggal, tetapi seorang di antara anak-anak muda itu berkata, "Kami akan sangat mengganggu jika kami disini."
Demikianlah anak-anak itu keluar dan pintu rumah itu tertutup, maka telah terdengar lagi suara tembang yang menggetarkan udara malam. Ternyata suara orang yang disebut adiknya itu tidak kalah baik dari suara orang yang membaca pertama. Tinggi meliuk dalam. Kemudian seperti terayun mendatar. Namun tiba-tiba menanjak naik seperti seekor burung alap-alap yang memburu mangsanya. Tetapi sejenak kemudian menukik tajam. Akhirnya perlahan-lahan suaranya mengambang dan mencapai satu persinggahan yang terasa sangat sejuk.
Anak-anak muda yang meninggalkan rumah itu kembali ke gardu merasa senang mendengar tembang itu kembali mengisi sepinya malam.
Namun dalam pada itu, dua orang yang telah memasuki rumah itu ternyata masih ada di halaman samping. Mereka memang memperhatikan isi tembang ini. Mungkin ada pesan-pesan lain yang dilontarkan setelah tiga orang anak muda memasuki rumah itu. Tetapi ternyata tembang itu untuk selanjutnya tidak memberikan pesan apapun juga.
"Firasat orang tua itu ternyata benar-benar tajam," berkata salah seorang dari keduanya.
"Beberapa saat saja kita terlambat, maka padukuhan induk Randukerep ini akan menjadi gempar," desis yang lain.
"Meskipun tidak akan ada seorangpun yang mampu menangkap kita, tetapi kehadiran kita akan membuat orang-orang Randukerep dan khususnya prajurit Pajang itu menjadi semakin berhati-hati. Penghuni rumah itupun harus ikut bersama kita meninggalkan padukuhan ini," berkata yang pertama.
Namun yang lainpun kemudian berkata pula, "Marilah. Kita tinggalkan tempat ini."
Demikianlah maka kedua orang itupun kemudian dengan hati-hati telah meninggalkan halaman rumah itu. Mereka meloncati dinding halaman yang satu kemudian dinding yang lain, sehingga akhirnya keduanya telah meloncati pula dinding padukuhan induk dan hilang menyusup di antara tanaman yang hijau di sawah.
Sementara itu, di rumah Ki Demang dan rumah tetangganya ternyata ada juga beberapa orang prajurit yang ikut menikmati suara tembang yang hanya terdengar lamat-lamat antara silirnya angin. Kadang-kadang hilang, kadang-kadang terdengar lebih jelas.
Dengan demikian maka di Kademangan Randukerep itu justru terasa betapa tenang dan damai. Seakan-akan tidak pernah terjadi keributan sama sekali. Apalagi kekerasan. Di malam hari yang sepi yang terdengar adalah suara tembang yang ngelangut menggetarkan udara menyentuh jantung.
Para prajurit itu di Pajang memang jarang sekali mendengar tembang yang mengalun di malam hari, bahkan sampai jauh malam menjelang tengah malam.
Tetapi ketika malam menjadi semakin dalam dan sepi mencengkam Kademangan itu, maka para prajurit telah berada kembali dalam suasana yang menegangkan. Lebih-lebih lagi mereka yang bertugas di regol, di halaman dan di kebun belakang. Seakan-akan berpasang-pasang mata telah mengintai mereka meskipun merekalah yang seharusnya bertugas mengintai.
Ketika suara tembang itu berhenti, maka yang terdengar adalah suara cengkerik dan belalang. Angin menandai waktu, bahwa malam menjadi semakin jauh menjelang dini.
Memang tidak terjadi sesuatu malam itu. Namun bagi para prajurit Pajang, terasa ketegangan mulai mencengkam.
Di hari berikutnya, maka Ki Lurah Dipayuda mulai mempersiapkan pasukan kecilnya itu bukan saja berada dan berjaga-jaga di Kademangan. Tetapi mereka harus juga meronda di seluruh Kademangan dan Kademangan di sekitarnya.
Tetapi sebelum merambah ke daerah di sekitarnya, maka Ki Lurah akan memperkuat lebih dahulu landasan kedudukannya di Kademangan Randukerep. Ia harus menyesuaikan diri dengan kehidupan di Kademangan itu dan kemudian menyusun langkah-langkah yang paling baik dilakukan.
Ki Lurahpun harus mengetahui sebanyak-banyaknya tentang sikap dan tingkah laku para prajurit Mataram jika mereka datang ke Kademangan Randukerep dan sekitarnya.
Untuk itu maka Ki Lurah memang tidak cukup mempergunakan waktu satu dua hari.
Di hari pertama Ki Lurah dan dua orang pemimpin kelompok serta tiga orang prajurit telah pergi melihat-lihat pasar di padukuhan induk Randukerep. Pasar yang menjadi sangat ramai setiap sepekan sekali. Di hari-hari biasa, pasar itu memang juga termasuk ramai. Tetapi tidak seperti di hari pasaran, yang rasa-rasanya pasar itu tidak muat lagi.
Ki Lurah Dipayuda itu memang merasa heran bahwa seakan-akan di daerah itu tidak pernah terjadi sesuatu yang membuat mereka resah. Pasar itu tidak menunjukkan bahwa sering terjadi gangguan ketenangan, sehingga para pedagang telah menawarkan dagangan mereka dengan tidak ragu-ragu sama sekali. Mereka yang berjualan telurpun telah dibentang di atas tampah-tampah dengan memisahkan telur itik dan telur ayam. Sementara itu yang berjualan sayur-sayuranpun telah digelar di atas amben bambu yang rendah. Pande besi di pinggir pasar itu bekerja seperti biasanya, membuat alat-alat pertanian. Membuat parang, kejen bajak dan alat-alat yang lain.
"Orang-orang Mataram memang cerdik," berkata Ki Lurah Dipayuda, "mereka tidak meninggalkan kesan yang dapat membuat orang-orang kademangan ini menjadi ketakutan. Mereka tentu telah membujuk orang-orang Kademangan ini dan bersikap manis kepada mereka."
Para pemimpin kelompok yang menyertainya mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, "Kita mempunyai gambaran yang agak lain dari mereka sebelumnya. Kita mengira bahwa orang-orang Mataram itu bersikap kasar dan kadang-kadang melakukan kekerasan. Beberapa laporan yang diterima di Pajang menyebutkan demikian. Di beberapa daerah yang lain, kekerasan telah terjadi sehingga tiga Kademangan telah terpaksa mengungsi karena tingkah-laku para prajurit Mataram. Tetapi disini agaknya mereka bersikap lain."
Ki Lurah mengangguk-angguk kecil. Iapun pernah mendengar laporan seperti itu. Bahkan dibumbui dengan laporan tentang pembakaran rumah dan banjar padukuhan. Tetapi dalam setiap pembicaraan, ia belum pernah berbicara dengan kawan-kawannya yang pernah melihat sendiri orang-orang Mataram membakar rumah dan banjar padukuhan.
Tetapi sebagai seorang yang berpengalaman luas, maka Ki Lurah berkata kepada kedua pemimpin kelompok itu, "Justru sikap seperti inilah yang sangat berbahaya bagi Pajang. Dengan lembut orang-orang Mataram telah menarik perhatian orang-orang yang ada di perbatasan. Untuk itu kita sukar meyakinkan kepada mereka, bahwa kita semuanya harus menentang berdirinya Mataram di Alas Mentaok. Berbeda halnya jika Mataram berbuat kasar. Kita akan dengan mudah menggerakkan orang-orang yang marah untuk menghancurkan mereka."
Salah seorang pemimpin kelompok itu mengangguk sambil berdesis, "Tugas kita memang berat."
"Lebih berat daripada kita disuruh ke dalam peperangan yang langsung berhadapan dengan pasukan lawan," sahut Ki Lurah.
Kedua orang pemimpin kelompok yang bersamanya itupun mengangguk-angguk pula. Keduanya melihat bahwa Ki Lurah itu berkata dengan sungguh-sungguh. Bahkan nampak sedikit kecemasan pada wajah dan sikapnya.
"Kita tidak boleh terlambat. Kita harus segera mengatur pertahanan. Pasukan kita kecil saja sehingga kita harus mampu memanfaatkan kekuatan yang ada di Kademangan ini," berkata Ki Lurah.
"Dalam keadaan yang mendesak, bukankah kita dapat minta bantuan dari Pajang?" bertanya salah seorang di antara kedua orang pemimpin kelompok itu.
"Kita harus membuktikan dahulu. Jika kita jelas tidak dapat mengatasi kesulitan disini, barulah kita minta bantuan. Dengan demikian kita akan dapat mengirimkan laporan yang lengkap dan meyakinkan," berkata Ki Lurah.
Tetapi para prajurit yang ikut bersama Ki Lurah itu sempat berkata kepada diri sendiri, "Asal saja kita belum habis disini."
Dalam pada itu, dari pasar Ki Lurah langsung kembali ke Kademangan. Sebenarnya hari itu Ki Lurah tidak mempunyai rencana untuk melihat-lihat keluar dari padukuhan induk. Tetapi ternyata Ki Lurah merubah rencananya. Hari itu juga Ki Lurah ingin berkunjung ke beberapa padukuhan terdekat.
"Aku minta Ki Demang atau satu dua bebahu yang Ki Demang tugaskan, untuk menyertai kami, agar jika kami bertemu dengan para pengawal dan anak-anak muda tidak terlalu banyak mendapat pertanyaan," berkata Ki Lurah.
Ternyata Ki Demang menjawab, "Marilah. Aku sendiri akan mengantar Ki Lurah melihat-lihat Kademangan ini."
Demikianlah, sejenak kemudian, Ki Demang telah bersiap-siap untuk mengadakan perjalanan berkuda di sekeliling kademangannya. Sementara itu, Ki Lurah telah mengajak pemimpin kelompok yang dua itu. Pemimpin kelompok tertua di antara para pemimpin kelompok yang lain bersama ketiga orang prajurit yang itu juga, yang oleh Ki Lurah dianggap memiliki kelebihan dari para prajurit yang lain.
Beberapa saat kemudian, maka beberapa ekor kuda telah berderap menyusuri jalan induk yang membelah padukuhan induk itu. Mereka telah keluar dari pintu gerbang padukuhan dan menempuh jalan bulak menuju ke padukuhan yang lain.
Ternyata dugaan Ki Lurah Dipayuda itu keliru. Di padukuhan-padukuhan itu sama sekali tidak terdapat pengawal atau anak-anak muda yang bersiap-siap di banjar seberapapun jumlahnya. Tidak nampak kesiagaan sama sekali dari para penghuni padukuhan itu, apalagi kesibukan dalam suasana perang.
"Tidak ada penjagaan dan pengawasan sama sekali Ki Demang," berkata Ki Lurah.
"Ya Ki Lurah. Aku memang tidak ingin rakyatku menjadi sangat gelisah dan ketakutan. Jika Kademangan ini berada dalam suasana perang, maka kehidupan akan berubah. Ketakutan akan tersebar ke setiap pintu rumah. Tatanan hidup akan segera menjadi kisruh," berkata Ki Demang.
"Tetapi apa yang dapat Ki Demang lakukan selama ini untuk mempertahankan Kademangan," bertanya Ki Lurah.
"Tidak ada yang perlu dipertahankan," jawab Ki Demang, "para prajurit Mataram tidak pernah berusaha untuk menduduki Kademangan ini. Sekali-sekali mereka lewat. Dan itu sudah membuat keresahan yang gawat, sehingga aku harus mengatasinya dengan membuat suasana menjadi tenang."
"Dan sekarang Ki Demang tetap bersikap seperti itu" Jika demikian, buat apa kami harus datang kemari?" bertanya Ki Lurah.
"Kedatangan para prajurit Pajang dapat membuat hati kami semakin tenteram Ki Lurah. Seharusnyalah dengan kehadiran para prajurit Pajang, maka kehidupan akan dapat berjalan sewajarnya tanpa keresahan sama sekali sebagaimana jika para prajurit Mataram itu datang," berkata Ki Demang.
"Jadi dengan demikian kekuatan di Kademangan ini termasuk salah satu penentu, bahwa Kademangan ini akan dapat menjadi tenang," berkata Ki Lurah.
Ki Demang mengangguk sambil menjawab, "Ya. Dengan prajurit Pajang kita menjadi yakin. Kita akan dapat berbuat jauh lebih banyak. Tetapi sebelum prajurit Pajang datang, kami memang tidak berani berbuat apa-apa, karena kami tidak mempunyai kekuatan sama sekali."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Tetapi ia berkata, "Perasaan terlalu kecil ini harus dihilangkan Ki Demang. Kademangan ini bukannya tidak mempunyai kekuatan. Tetapi kekuatan itu dibiarkan tersembunyi. Bukankah Ki Demang mengatakan bahwa disini terdapat lebih dari lima puluh orang pengawal terlatih" Anak-anak muda di setiap padukuhan dan sejumlah laki-laki yang belum berumur limapuluh tahun?"
"Ya. Dan sekarang mereka mempunyai panutan dengan hadirnya para prajurit. Sebelumnya mereka merasa tidak berdaya, karena ternyata mereka tidak dapat mengatasi kemampuan prajurit Mataram yang jumlahnya jauh lebih kecil."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Tetapi ia sudah mempunyai lebih banyak gambaran tentang keadaan Kademangan Randukerep yang tentu tidak akan banyak berbeda dengan Kademangan-kademangan lainnya.
Ternyata ketika Ki Lurah melihat-lihat beberapa bagian dari padukuhan yang lain, maka suasananya tidak berbeda. Dengan demikian maka Ki Lurah memang dapat mengambil kesimpulan keadaan umum di Kademangan itu.
Demikian Ki Lurah dan Ki Demang sampai di rumah Ki Demang, maka Ki Lurah Dipayuda segera mengumpulkan para pemimpin kelompok dan memberikan gambaran umum tentang keadaan di padukuhan-padukuhan yang termasuk Kademangan Randukerep.
"Agaknya Kademangan-kademangan lain juga berada dalam suasana yang sama," berkata Ki Lurah. Lalu katanya, "Dengan demikian maka kewajiban kita semuanya adalah menunjukkan bahwa Mataram tidak akan dapat berbuat sesuka hatinya di Kademangan-kademangan wilayah Pajang. Seakan-akan merekalah yang memerintah di Kademangan-kademangan ini."
Para pemimpin kelompok itu hanya dapat mengangguk-angguk. Namun sudah terbayang satu tugas yang berat harus mereka hadapi.
"Pada kesempatan pertama, sebelum kita mampu menyusun kekuatan di antara para pengawal dan anak-anak muda padukuhan, maka kitalah yang harus bergerak meronda di seluruh Kademangan ini. Tidak mustahil bahwa kitapun harus bergerak di Kademangan tetangga yang juga masih termasuk wilayah Pajang," berkata Ki Lurah. Lalu katanya pula, "Ki Demang sudah sanggup menyediakan meronda di Kademangan ini. Berkuda. Menurut Ki Demang tidak akan sulit untuk mengumpulkan sekitar sepuluh sampai lima belas ekor kuda yang dapat dipinjam untuk kepentingan keprajuritan. Dengan demikian maka kuda-kuda itu akan dapat membantu mempercepat tata gerak kita selama kita berada di Kademangan ini."
Para pemimpin kelompok itu masih saja mengangguk-angguk. Sementara Ki Lurah berkata, "Kita menghadapi kerja keras. Kita belum mendapatkan apa-apa di Kademangan ini."
Sejak hari itu, maka prajurit Pajang telah menentukan tugas-tugas meronda bagi para prajurit. Untuk mempermudah pembagian tugas, maka tugas meronda akan dibebankan setiap hari satu kelompok di siang hari dan satu kelompok di malam hari. Sementara itu, tugas di tempat harus menyesuaikan diri dengan tugas meronda dari setiap kelompok itu.
Tetapi ternyata pelaksanaannya tidak semudah sebagaimana dikatakan oleh Ki Demang. Pada hari ketiga, baru lima ekor kuda yang dapat dikumpulkan.
Meskipun demikian Ki Lurah tidak mundur dengan rencananya. Karena baru ada lima ekor kuda, maka para prajurit yang meronda dilakukan dengan berjalan kaki. Setiap kelompok telah melakukan pengamatan di beberapa padukuhan yang ternyata memang belum melakukan persiapan apapun juga menghadapi keadaan yang semakin gawat antara Mataram dan Pajang.
Sementara itu, Ki Lurahpun akan memanggil para pengawal yang jumlahnya hampir mencapai enam puluh orang itu. Berdasarkan atas persetujuan Ki Lurah dan Ki Demang, maka pertemuan itu telah ditentukan dan para pengawalpun telah diundang untuk datang ke pendapa Kademangan.
Tetapi Ki Lurah menjadi sangat kecewa. Hampir separo dari para pengawal tidak datang ke Kademangan. Sebagian telah berpesan kepada kawannya untuk memberikan berbagai macam alasan. Sebagian di antara mereka adalah karena kerja di sawah yang tidak dapat mereka tinggalkan. Kemudian yang lain karena kesibukan di rumah atau sakit atau alasan-alasan yang lain.
Tetapi Ki Lurah menyadari, bahwa mereka bukan prajurit. Mereka adalah pengawal Kademangan yang tidak terikat terlalu erat sebagaimana seorang prajurit.
Karena itu, maka Ki Lurah yang merasa sangat kecewa itu telah menahan diri. Betapapun jantungnya bergejolak, namun ia berusaha berbicara dengan cara yang lebih lunak dari cara yang dipergunakannya sehari-hari di antara anak buahnya.
Ternyata bukan saja Ki Lurah yang menjadi sangat kecewa. Terutama para pemimpin kelompok telah menjadi marah meskipun tertahan. Seakan-akan para pengawal dan anak-anak muda Kademangan itu tidak menghiraukan sama sekali kehadiran para prajurit yang bertujuan untuk melindungi mereka.
Apalagi ketika mereka melihat, sikap Ki Lurah yang lunak seakan-akan tidak terjadi sesuatu, maka para pemimpin kelompok itu hampir tidak sabar lagi.
Namun demikian sikap Ki Lurah Dipayuda itu, bagi para pengawal telah terasa sangat keras. Ki Lurah dengan tegas telah berkata, "Kademangan ini adalah kademangan kalian. Bukan kademangan kami. Karena itu, tugas utama untuk mempertahankan Kademangan ini terletak dipundak kalian. Terutama para pengawal dan anak-anak mudanya. Kami mendapat perintah dari Panglima prajurit Pajang untuk membantu kalian. Jika kalian yang akan kami bantu tidak berbuat apa-apa, maka sudah tentu bahwa kami tidak akan dapat berbuat apa-apa juga."
Para pengawal yang kebetulan hadir hanya menundukkan kepalanya saja. Sementara itu Ki Lurah berkata, "Kalian pernah mendapat latihan keprajuritan. Karena itu, maka kalian akan segera terikat oleh ketentuan keprajuritan."
Beberapa orang pengawal saling ke pandangan. Agaknya mereka tidak sependapat dengan keterangan Ki Lurah Dipayuda itu. Bahkan seorang di antara para pengawal itu berani bertanya, "Ki Lurah, jika kewajiban kita sama dengan kewajiban seorang prajurit dengan menepati segala ketentuan yang berlaku bagi para prajurit, apakah hak kami sama dengan hak para prajurit?"
Ki Lurah merasa seakan-akan telinganya tersentuh api. Tetapi ia masih menahan diri dan berkata, "Hak kita sebagai warga Pajang yang besar, sama. Sama dalam arti sesuai dengan kedudukan kita masing-masing. Selanjutnya kewajiban kitapun sama. Seperti hak kita, maka kewajiban kita juga sama dalam pengertian sesuai dengan tugas kita masing-masing pula. Tetapi sebagai rakyat Pajang, maka kewajiban kita antara lain adalah mempertahankan negeri ini dari setiap sikap permusuhan darimanapun asalnya. Ketika kalian menyatakan diri menjadi pengawal, maka sudah tentu kalian mengetahui apa artinya pengawal Kademangan. Kemudian hak dan kewajiban kalian."
Para pengawal itu termangu-mangu. Namun tidak ada lagi yang mencoba bertanya.
Karena itu, maka Ki Lurahpun kemudian berkata, "Kademangan ini adalah bagian dari Pajang. Karena itu, maka segala perintah harus bersumber dari Pajang. Dalam keadaan gawat seperti ini, maka kewajiban para pengawal adalah sama dengan kewajiban para prajurit di lingkungan masing-masing. Aku adalah Lurah para prajurit Pajang yang bertugas di Kademangan ini. Aku adalah pemegang perintah, sementara kalian para pengawal harus melakukan perintahku."
Para pengawal hanya dapat menundukkan kepala mereka. Sementara Ki Demang yang berbicara kemudianpun telah minta agar para pengawal menyadari kedudukannya.
"Suasana menjadi semakin panas. Kita tidak dapat bermalas-malas seperti masa-masa lewat. Kita harus sudah mulai bangun dari tidur yang nyenyak. Beberapa kali kita sudah mengalami peristiwa yang menyakitkan hati. Kita memang sudah mencoba berbuat sesuatu, tetapi kita gagal justru karena selama ini kita sedang tidur. Apa yang kita lakukan itu bagaikan terjadi dalam mimpi buruk saja. Sekarang, dengan bantuan para prajurit dari Pajang, kita akan berbuat lebih baik."
Tidak ada yang menanyakan sesuatu. Sementara Ki Lurah berkata, "Besok kita akan bertemu lagi. Besok aku mengundang kalian dan mereka yang hari ini tidak datang. Kita akan mengatur tugas kita. Setiap hari, dan kelompok pengawal harus berada di rumah Ki Demang ini. Mereka akan melakukan tugas sebagaimana para prajurit. Kelompok itu akan dilakukan bergantian setiap waktu tertentu."
Para pengawal itu hanya dapat saling berpandangan. Sementara Ki Lurah Dipayuda berkata, "Sementara itu yang lain bukan berarti tidak bertugas apa-apa. Yang lain harus selalu bersiap jika setiap saat harus melakukan tugas-tugas penting. Di padukuhan masing-masing para pengawal harus menjadi penggerak bagi anak-anak muda untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan pertahanan. Mereka harus siap bertempur untuk mempertahankan kampung halamannya."
Ki Lurah memang masih banyak menahan diri. Ia sadar, bahwa segala sesuatunya harus dilakukan dengan sabar. Memang agak berbeda dengan para pemimpin kelompok yang ingin segala sesuatunya berlangsung dengan cepat, tegas dan tidak usah berbelit-belit. Tetapi jika Ki Lurah juga bertindak demikian, maka akan benar-benar terjadi justru sebaliknya dari yang diharapkannya.
Demikianlah, dengan sabar namun tegas Ki Lurah berusaha membangun Kademangan itu menjadi satu kesatuan pertahanan sebelum ia merambah ke Kademangan yang lain. Namun Ki Demang menyadari, bahwa ia dapat menggerakkan para pengawal dan anak-anak muda untuk melakukan tugas-tugas yang dibebankan kepada mereka. Tetapi rasa-rasanya pelaksanaannya masih belum memancar dari dalam hati mereka. Nampaknya seisi Kademangan itu belum memiliki kesadaran sepenuhnya apa yang sebenarnya mereka hadapi dalam pertentangan yang semakin tajam antara Mataram dan Pajang.
Tetapi dengan tidak jemu-jemunya Ki Lurah berusaha. Iapun selalu mengawani para pemimpin kelompok yang kadang-kadang menunjukkan sikapnya yang lebih keras dari Ki Lurah sendiri. Namun sikap yang keras itu kadang-kadang juga berarti, karena dengan sikap itu, maka para pengawal dan anak-anak muda Kademangan itu menjadi terdesak dan tidak berani menentangnya.
Dalam pada itu, sejak kehadiran prajurit Pajang di Kademangan itu, sama sekali tidak pernah nampak kelompok-kelompok kecil prajurit Mataram. Bahkan di Kademangan di sekitar Kademangan Randukereppun prajurit Mataram tidak lagi pernah menjamahnya.
Tetapi hal itu bukan berarti bahwa Mataram tidak mengetahui perkembangan yang terjadi di Kademangan itu dan sekitarnya. Beberapa orang yang memang tinggal di Kademangan itu adalah para petugas sandi dari Mataram. Bahkan para petugas sandi yang lainpun sering memasuki Kademangan itu tanpa sepengetahuan prajurit Pajang dan para pengawal Kademangan yang mulai melakukan tugas-tugas keprajuritan sesuai dengan perintah para prajurit Pajang.
Sementara itu, maka ketentuan yang dibebankan kepada para pengawal Kademangan itu mulai berjalan meskipun belum sepenuhnya. Dua kelompok yang bertugas di Kademangan itupun kadang-kadang tidak genap duapuluh.
Tetapi Ki Lurah Dipayuda masih berusaha untuk tetap bersabar. Dengan demikian maka Ki Lurah tidak menjadi hantu bagi para pengawal Tanah Perdikan, meskipun kadang-kadang sikapnya cukup keras.
Namun dalam pada itu, para pemimpin kelompoklah yang bersikap lebih keras dari Ki Dipayuda. Di padukuhan-padukuhan para pemimpin kelompok itu bertugas mengatur anak-anak muda untuk berhimpun dalam kelompok-kelompok agar lebih mudah untuk digerakkan. Setiap kelompok dipimpin oleh seorang yang ditunjuk yang akan bertanggung jawab bagi kelompoknya.
Meskipun hal itu mula-mula sulit dilakukan, namun lambat laun serba sedikit dapat berjalan juga. Jika semula gardu itu hanya berisi di malam hari, maka para prajurit Pajang telah mengatur agar gardu itu tetap terisi di siang hari. Para kelompok dapat mengatur orang-orangnya sesuai dengan kebutuhan dan keperluan mereka masing-masing, sehingga paling sedikit di siang hari, masing-masing ada dua orang di dalam gardu di dua mulut lorong induk di setiap padukuhan. Mereka harus mengawasi orang-orang yang keluar masuk padukuhan itu.
Kedatangan orang-orang Pajang benar-benar telah merubah tata kehidupan di Kademangan Randukerep. Meskipun Kademangan itu nampak lebih bersiaga menghadapi segala kemungkinan, tetapi kehidupan di dalamnya justru menjadi gelisah. Orang-orang Kademangan itu mulai berbicara tentang perang. Tentang permusuhan antara Pajang dan Mataram dan tentang kemungkinan perang itu terjadi di Kademangan mereka.
"Kenapa para prajurit Pajang itu ribut tentang orang-orang Mataram?" bertanya seseorang kepada kawannya, "Bukankah orang Mataram tidak berbuat apa-apa disini?"
Kawannya yang lebih memahami keadaan berkata, "Tetapi Mataram telah melanggar hak Pajang. Meskipun orang Mataram itu tidak berbuat apa-apa disini, tetapi bagi Pajang hal itu tidak dapat dibenarkan."
Orang yang bertanya itu hanya mengangguk-angguk saja, karena iapun tidak banyak mengetahui tentang persoalan antara Pajang dan Mataram.
Dalam pada itu, Bharata dan Kasadhapun telah menerima tugas sebagaimana para pemimpin kelompok yang lain. Dengan kelompok masing-masing, keduanya mendapat tugas untuk mengatur tiga buah padukuhan kecil yang letaknya berdekatan.
Kedua orang anak muda itu memang menemui kesulitan. Orang-orang yang tinggal di padukuhan itu tidak dengan cepat tanggap. Mereka memang menyatakan bahwa mereka bukannya prajurit yang dapat diatur sebagaimana para prajurit.
Betapapun bersabarnya Bharata dan Kasadha, namun sekali-sekali mereka harus menunjukkan sikap yang keras. Bahkan terhadap anak-anak mudanya Bharata dan Kasadha telah mengambil langkah-langkah khusus.
Keduanya telah memanggil semua anak-anak muda. Mereka diharuskan datang ke banjar salah satu dari ketiga padukuhan itu.
"Tidak ada alasan untuk tidak datang," berkata Kasadha.
"Bagaimana kalau sakit?" bertanya seorang anak muda.
"Dalam keadaan perang, maka orang sakitpun harus berusaha menyelamatkan diri jika ia memang belum berputus-asa," jawab Kasadha.
Dengan sikap yang kadang-kadang keras itu, maka perlahan-lahan usaha merekapun mulai berhasil.
Sementara itu, Dirga yang bertugas di sebuah padukuhan sebelah mengalami kesulitan yang lebih berat lagi. Dirga sendiri kurang bijaksana menanggapi keadaan di padukuhannya. Sebuah padukuhan yang dapat lebih besar.
Namun dalam pada itu, ternyata Bharata dan Kasadha telah menemukan tanda-tanda yang perlu mendapat perhatian khusus bagi para prajurit Pajang. Tetapi keduanya telah tergesa-gesa mengambil kesimpulan.
"Dalam waktu sepekan, tiga orang telah mengadakan upacara adat apapun alasannya. Tedak siten, menyambut tujuh bulan dari kehamilan pertama dan pasah pangur. Upacaranya sendiri memang sederhana dan kecil-kecilan. Tetapi tamu yang datang bukan saja dari padukuhan ini," berkata Bharata.
"Orang-orangku juga mengamati," jawab Kasadha, "dalam upacara-upacara itu, dua orang dari luar padukuhan ini selalu nampak hadir. Mungkin kita terlalu berprasangka buruk. Tetapi dalam keadaan seperti ini kita memang harus berhati-hati."
"Malam nanti kelompokku mendapat tugas meronda. Tetapi aku akan memasang kelompokku di tengah-tengah bulak saja. Aku sendiri akan memasuki padukuhan itu," berkata Bharata.
"Itu berbahaya," desis Kasadha, "Mungkin sesuatu memang tersembunyi di balik peristiwa itu."
"Tetapi agaknya itu lebih aman daripada kami sekelompok mendatangi padukuhan itu, karena dengan demikian mereka telah mempersiapkan diri untuk menghilangkan segala jejak. Tetapi aku harus dengan diam-diam memasuki padukuhan itu tanpa diketahui oleh siapapun. Oleh para pengawal dan anak-anak muda sekalipun."
"Kau jangan sendiri," berkata Kasadha.
"Sebaiknya aku justru sendiri," jawab Bharata, "aku tidak mengecilkan arti para prajurit. Tetapi kemampuan mereka kurang meyakinkan untuk tugas ini."
"Aku dapat membantumu," berkata Kasadha.
"Kau seorang pemimpin kelompok," berkata Bharata, "kau bertanggung jawab kepada Ki Lurah atau kelompokmu. Jika kau pergi bersamaku, justru di luar waktu tugasmu, kau dapat dianggap melakukan kesalahan jika tiba-tiba kelompok harus berbuat sesuatu."
"Bagaimana jika dengan sepengetahuan Ki Lurah?" bertanya Kasadha.
"Aku belum melihat sesuatu yang pantas untuk dilaporkan. Aku baru menyelidikinya," berkata Bharata.
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Berhati-hatilah. Jika kau memasuki padukuhan itu sendiri, maka prajurit-prajuritmu harus bersiap. Kaupun harus mampu memberikan isyarat dengan cepat mengatasi keadaan jika memang menjadi sulit."
Bharata tersenyum. Katanya, "Aku akan melakukannya dengan sebaik-baiknya."
"Prajuritkupun akan bersiap. Setiap saat dapat hadir untuk membantumu," berkata Kasadha.
"Kelompokmu mendapat kesempatan beristirahat malam nanti," sahut Bharata. "Jangan bebani prajurit-prajuritmu dengan tugas yang terlalu berat."
Kasadha tersenyum. Katanya, "Baiklah. Tetapi kita tidak dapat menganggap orang-orang padukuhan itu dungu sebagaimana kita lihat sehari-hari."
Demikianlah, maka dalam satu kesempatan khusus Bharata telah memberikan pesan-pesan terperinci kepada para prajuritnya. Malam nanti mereka akan bertugas meronda. Agaknya mereka mulai menjumpai persoalan yang perlu mendapat perhatian lebih banyak.
Ketika malam turun, maka para prajurit yang dipimpin Bharata sudah bersiap. Mereka bertugas untuk meronda malam itu. Mereka akan mengelilingi seluruh Kademangan, atau setidak-tidaknya pada bagian-bagian yang terpenting. Padukuhan-padukuhan yang besar sebagaimana biasa dilakukan oleh para prajurit dari kelompok yang lain.
Tetapi malam itu Bharata membuat acara yang lain. Ia akan menempuh caranya sendiri untuk menyelidiki dugaan-dugaan yang selama ini menggelitik jantungnya.
Menjelang tengah malam, maka kelompok Bharatapun telah melakukan perondaan sebagaimana biasa. Sepuluh ekor kuda yang dengan susah payah dikumpulkan oleh Ki Demang, ternyata adalah kuda-kuda yang sekedarnya saja dapat membantu mempercepat perjalanan. Sama sekali tidak seperti yang diharapkan oleh Ki Demang bahwa ia akan dapat mengumpulkan sekitar lima belas ekor kuda yang baik.
Malam itu sekelompok prajurit itupun telah meronda melewati jalan-jalan padukuhan. Di setiap gardu para prajurit sempat menyapa para pengawal dan anak-anak muda yang meronda.
Demikian juga ketika para peronda itu berderap di sebuah padukuhan kecil yang justru menarik perhatian Bharata. Padukuhan kecil itu adalah padukuhan yang jarang sekali dilalui oleh para peronda karena padukuhan itu seakan-akan tidak memiliki hal-hal yang menarik. Memang ada dua tiga orang kaya di padukuhan itu. Tetapi selain orang-orang kaya, tidak ada lagi yang perlu mendapat pengawasan khusus.
Hanya ada empat orang di gardu sebelah menyebelah. Empat orang di regol yang terletak di mulut lorong yang satu, empat orang yang berada di mulut lorong di seberang padukuhan itu. Rasa-rasanya padukuhan itu memang sepi. Sementara itu, obor-obor di regol-regol halamanpun banyak yang menyala.
Tetapi Bharata justru memperlambat derap kaki kudanya yang memang tidak begitu cepat itu. Berbincang sejenak di setiap gardu. Kemudian meninggalkan gardu itu.
Tetapi Bharata tidak beranjak jauh. Ketika mereka sudah berada di tengah-tengah bulak, maka pasukan itu berhenti. Seperti yang sudah direncanakan, maka Bharatapun telah meninggalkan kelompoknya sambil berjalan kaki.
"Kalian menunggu aku disini," perintah Bharata kepada prajurit-prajuritnya, "jika ayam jantan berkokok dan aku belum datang, kalian harus bergeser kembali ke padukuhan itu lagi. Tiga orang saja dengan berjalan kaki. Jangan melalui regol padukuhan. Amati keadaan. Kalian tahu apa yang kalian lakukan sebagaimana telah kita bicarakan siang tadi."
Dengan menunjuk seorang prajurit yang dianggap terbaik dari antara kawan-kawannya untuk memimpin kelompok itu, maka Bharatapun telah meninggalkan kelompoknya.
Dengan diam-diam Bharata telah berada kembali di padukuhan itu. Malam itu memang tidak ada orang yang membuat upacara apapun. Tetapi menarik sekali, bahwa terdengar orang sedang melagukan tembang yang ngelangut, sebagaimana sering didengarnya di padukuhan induk. Tidak saja di hari-hari tertentu yang dianggap hari-hari yang baik atau pada malam-malam setelah kelahiran seorang bayi, tetapi rasa-rasanya kapan saja dikehendaki.
Love Me Twice 1 Lambang Naga Panji Naga Sakti Karya Wo Lung Shen Pedang Keadilan 4
Dengan nada dalam kakeknya berkata lebih jauh, "Kau harus mempergunakan nama lain. Jika kau pergunakan namamu, mungkin seseorang di antara para prajurit baru itu ada yang tertarik karenanya apapun sebabnya. Mungkin seseorang pernah mendengar namamu. Mungkin karena hal-hal lain. Bahkan mungkin pengaruh dari kehidupanmu masa lalu. Misalnya satu dua orang yang pernah mendengar namamu di tempat-tempat yang tidak sewajarnya."
Puguh mengangguk-angguk. "Kau kuburkan saja masa lalumu. Kau akan memasuki dunia keprajuritan dengan wajah tengadah serta langkah-langkah baru," pesan gurunya.
Sebenarnya bahwa Puguh telah memasuki dunia keprajuritan dengan nama yang baru. Kasadha, karena kebetulan ia lahir di musim keduabelas.
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia merasa bersyukur bahwa ia telah melakukan pesan kakek dan gurunya. Apalagi keduanya berkata kepadanya bahwa mereka akan bertanggung jawab jika pada suatu saat ayah dan ibunya itu menuntutnya.
Ketika Kasadha kemudian mengamati kawan-kawannya di sekelilingnya, ternyata mereka telah tertidur nyenyak. Karena itu maka iapun telah berusaha untuk melepaskan masalah-masalah yang hilir-mudik di kepalanya itu agar iapun dapat segera tidur pula.
Di hari-hari berikutnya, maka Bharata dan Kasadha memang mendapat perhatian khusus dari para pelatihnya. Dalam latihan sehari-harinya, keduanya berada di antara kawan-kawannya. Tidak ada perbedaan apapun pada keduanya di kelompok mereka masing-masing.
Namun dalam pada itu, para pelatihnya sedang merencanakan untuk mengadakan tuntunan khusus bagi mereka.
Ketika dilakukan penerimaan prajurit pada tahap kedua, rencana itu barulah dapat dilakukan. Ada beberapa perubahan susunan kelompok bagi para prajurit baru. Meskipun prajurit yang sudah diterima setengah bulan sebelumnya tidak digabungkan dengan yang baru saja diangkat, namun terjadi beberapa perubahan susunan pada kelompok-kelompok prajurit yang telah lebih dahulu diterima.
"Waktunya tinggal sedikit," berkata Ki Lurah Mertayuda, "dalam waktu setengah bulan menjelang penerimaan prajurit pada tahap terakhir, kalian berdua harus sudah dapat menjadi seorang pemimpin. Meskipun baru pemimpin kelompok kecil. Kami, para pelatih dan sebagaimana sudah disaksikan oleh perwira dari Pasukan Khusus, bahwa kalian berdua memiliki kemungkinan yang sangat baik. Karena itu, maka kalian telah mendapat kesempatan pertama untuk berada di tataran pimpinan meskipun di paling bawah."
Kedua anak muda yang secara khusus dipanggil itu menundukkan kepalanya. Sementara itu Ki Lurah berkata selanjutnya. "Kami masih memerlukan tiga orang lagi. Kami merencanakan untuk menumbuhkan lima orang di antara kalian yang bersamaan memasuki dunia keprajuritan. Tetapi yang tiga belum kami dapatkan."
Namun sejak saat itu, Bharata dan Kasadha sudah tidak ada lagi di antara para prajurit yang diterima bersama mereka. Keduanya telah ditempatkan secara khusus di antara para prajurit yang telah lama berada di barak itu untuk mendapat bimbingan khusus.
Betapapun sulitnya, tetapi akhirnya Ki Lurah Mertayuda telah menunjuk pula tiga orang yang lain, yang akan menjadi pemimpin kelompok pada pasukan yang akan disusun kemudian setelah penerimaan tahap terakhir. Tetapi ternyata yang tiga orang itu berada pada tataran yang masih jauh di bawah tataran Bharata dan Kasadha yang seakan-akan sengaja dibuat seimbang. Dengan demikian, maka latihan-latihan yang diselenggarakan secara khusus itupun telah dibagi menjadi dua tataran dengan pelatih yang berbeda pula, Namun semuanya berada di bawah pengawasan Ki Lurah Mertayuda.
Latihan-latihan yang diberikan kepada Bharata dan Kasadha lebih banyak pada tuntunan untuk menjadi seorang pemimpin sekelompok prajurit. Mereka mempelajari susunan perang gelar dan kerja sama dalam satu kesatuan. Bagi kedua orang itu maka latihan-latihan kanuragan secara khusus lebih diutamakan pada penyesuaian diri dengan latihan-latihan yang diberikan kepada para prajurit.
"Kami tidak dapat memaksakan unsur-unsur gerak dalam olah kanuragan karena kalian masing-masing sudah memiliki dasar yang kuat. Kami minta kalian dapat menyesuaikan diri tanpa mengganggu dan bahkan mungkin terjadi benturan ilmu di dalam diri kalian masing-masing," berkata pelatihnya yang agaknya dapat mengerti sepenuhnya keadaan kedua orang anak muda itu.
Karena itu, maka latihan-latihan di sanggar maupun di tempat-tempat terbuka bagi mereka menjadi tidak terlalu banyak lagi. Tetapi setiap kali mereka bersama pelatihnya harus mengikuti latihan-latihan bagi para prajurit dalam Pasukan Khusus itu. Dengan demikian maka kedua anak muda itu mendapatkan pengalaman memimpin sebuah kelompok pasukan.
Namun dalam saat-saat tertentu, kedua anak muda itu harus berlatih juga bersama dengan ketiga orang calon pemimpin kelompok yang lain untuk mendapat kesamaan cara menangani kelompok-kelompok pasukan.
Karena waktunya tidak banyak, maka latihan-latihan telah diadakan hampir setiap saat. Bahkan kadang-kadang sampai malam hari mereka masih berada di dalam sebuah bilik untuk mendengarkan penjelasan-penjelasan tertentu.
"Kalian harus mulai melakukan tugas kalian setelah prajurit-prajurit yang diterima pada tahap akhir itu disusun dalam kelompok-kelompok," berkata Ki Lurah Mertayuda, "memang satu tugas yang berat bagi kalian yang hanya mendapat latihan dan tuntunan untuk waktu yang singkat. Tetapi selama kalian melakukan tugas, maka kalian masih akan mendapat tuntunan-tuntunan khusus."
Namun ketika saat pendadaran dilakukan, kelima orang anak muda yang telah dipilih menjadi pemimpin kelompok itu telah mampu menguasai ketentuan-ketentuan dasar bagi seorang pemimpin kelompok. Kelima orang itu akan menjadi bahan pengamatan para pemimpin Pasukan Khusus, kemungkinan-kemungkinan yang dapat dikembangkan pada prajurit-prajurit muda. Tetapi sudah barang tentu dengan mengingat kemampuan dasar mereka masing-masing.
Namun sebagaimana terjadi di mana-mana maka perasaan iri seseorang kadang-kadang telah menggelitik jantung. Seorang di antara kelima orang calon pemimpin itu merasa tidak senang melihat kekhususan kedudukan Bharata dan Kasadha. Mereka berdua dianggap terlalu mendapat perhatian dari para pelatihnya, bahkan dari Ki Lurah Mertayuda, seorang perwira dari Pasukan Khusus yang mendapat tugas menangani prajurit-prajurit yang baru.
Setiap kali para pelatih memberikan contoh, jika bukan para pelatih itu sendiri yang melakukannya, tentu Bharata atau Kasadha, seakan-akan keduanya telah memiliki tataran yang sama dengan para pelatih, meskipun kedua orang anak muda itu sendiri serta para pelatih tidak dengan sengaja menunjukkan kelebihan anak-anak muda itu.
"Kenapa perhatian para pelatih dan bahkan Ki Lurah lebih banyak tertuju kepada kedua anak gila itu" Bahkan mereka berdua telah mendapat latihan secara terpisah" Padahal kedudukan mereka tidak lebih dari kedudukan kita," berkata anak muda itu. Seorang anak muda yang bertubuh tegap berkumis tipis dan bermata tajam. Menilik sorot matanya, anak muda itu tentu memiliki ketajaman penalaran.
"Mungkin anak itu dianggap memiliki kelebihan dari kita," berkata seorang kawannya.
Tetapi anak muda berkumis tipis itu berkata, "Apa kelebihannya" Keduanya tidak menunjukkan sesuatu yang pantas dikagumi. Kita belum tahu, siapakah yang akan lebih baik memimpin kelompok yang akan dipercayakan kepada kita masing-masing. Kitapun tidak tahu seberapa jauh bekal yang kita bawa masing-masing ketika kita memasuki pendadaran. Sayang, aku dan anak-anak itu berada dalam kelompok yang berbeda saat dilakukan pendadaran itu."
Tetapi kawannya yang lain berkata, "Aku tidak mempunyai persoalan apa-apa dengan anak-anak itu. Aku bersyukur bahwa bukan aku yang harus melakukan banyak hal. Juga bukan aku yang harus menempuh latihan-latihan terpisah. Mungkin mereka masih harus mengisi kekurangan mereka dalam latihan kanuragan, atau apapun. Rasa-rasanya kakiku sudah sulit untuk bergerak dengan latihan-latihan yang kita lakukan sekarang. Apalagi dengan tambahan-tambahan dalam ujud apapun."
"Semua orang tahu, bahwa kau memang pemalas," geram anak muda berkumis tipis itu.
"Mungkin. Tetapi aku memang malas mengurusi orang lain," jawab anak muda itu.
"Mungkin. Tetapi aku memang malas mengurusi orang lain," jawab anak muda itu.
"Jika kau menjadi pemimpin kelompok, maka kau harus mengurusi orang lain," berkata anak muda berkumis tipis itu.
"Tetapi masalahnya agak berbeda. Itu adalah tugasku. Bukan, sekedar mencari pekerjaan," jawab anak itu.
Anak muda berkumis tipis itu terdiam. Nampaknya dua kawannya yang lain memang tidak tertarik pada sikapnya. Tetapi ia benar-benar tidak senang melihat kedua anak muda yang dianggapnya mendapat perlakuan yang berbeda itu.
Namun dalam pada itu, hubungan antara Bharata dan Kasadha justru menjadi semakin akrab. Apalagi justru karena mereka terlalu sering berada dalam keadaan yang harus mereka jalani bersama-sama. Latihan-latihan, mengikuti tuntunan khusus di dalam bilik-bilik terpisah.
Berada di sanggar latihan dan di alam terbuka bersama para prajurit dari Pasukan Khusus yang sudah lebih lama berada di barak itu.
Bahkan Ki Lurah Mertayuda menyebut kedua orang anak muda itu sebagai kakak beradik.
"Kalian berasal dari daerah yang jauh letaknya. Seorang dari daerah Bibis sedangkan yang lain dari kaki Gunung Sewu. Namun kalian seakan-akan memang dikirim untuk menjadi pasangan yang baik. Wajah kalianpun mirip sementara umur kalian nampaknya juga sebaya," berkata Ki Lurah Mertayuda.
Jantung Bharata memang berdesir. Ia masih selalu ingat bagaimana seseorang menyangkanya sebagai Puguh, karena kemiripan wajah. Di Pajang tiba-tiba saja ia telah bertemu dengan anak muda yang sebaya, sedangkan wajahnya mirip dengan wajahnya sendiri.
Tetapi Bharata sama sekali tidak menduga bahwa anak muda yang bernama Kasadha itu memang Puguh. Menurut dugaan Bharata, Puguh adalah seorang anak muda yang keras, kasar dan jahat. Meskipun barangkali wajahnya memang mirip dengan wajah Bharata sendiri, tetapi sorot matanya tentu membayangkan kebencian. Sikapnya adalah sikap keluarga Kalamerta yang ganas itu.
Sedangkan yang dihadapinya adalah seorang anak muda yang bernama Kasadha. Lebih banyak berdiam diri dan merenung. Matanya justru kadang-kadang nampak dalam sekali. Tidak ada tanda-tanda kekasaran pada sikapnya. Tidak pula ganas dan kata-katanyapun lembut.
"Tidak mungkin anak perempuan yang bernama Warsi itu bersikap seperti ini," berkata Bharata di dalam hatinya jika ia mendengar orang lain mengatakan bahwa wajahnya memang mirip dengan wajah Kasadha.
Bahkan seorang kawannya berkata, "Kau pantas menjadi adik Kasadha itu Bharata."
Bharata hanya tersenyum saja. Demikian pula Kasadha. Jika ada orang yang menyebut bahwa Bharata pantas jadi adiknya, ia tidak mengatakan apa-apa.
"Jika ia disebut kakakku, maka ia tentu lebih tua dari aku. Sedangkan Puguh tentu lebih muda dari aku," berkata Bharata di dalam hatinya.
Bharata tidak pernah berpikir bahwa ujud seseorang itu kadang-kadang tidak selalu sesuai dengan umurnya yang sebenarnya. Orang yang nampak jauh lebih tua, namun mungkin umurnya masih lebih muda.
Demikianlah, maka pada saat yang telah ditetapkan, kelima anak muda itu telah dianggap cukup mampu untuk melakukan tugasnya sebagai pemimpin kelompok dari para prajurit yang diterima pada tahap terakhir. Dari dua puluh kelompok, lima kelompok akan dipimpin oleh prajurit-prajurit muda. Bukan saja umurnya, tetapi juga pengalaman dan pengetahuannya. Sedangkan lima belas kelompok yang lain akan dipimpin oleh para prajurit yang sudah cukup lama bertugas dalam pasukan Khusus.
Kepada lima orang prajurit muda itu, Ki Lurah Mertayuda berpesan, "Kalian memang menjadi bahan percobaan. Kami ingin melihat kemampuan orang-orang muda. Apakah dalam waktu singkat dapat disiapkan menjadi pemimpin. Sementara itu, keadaan memang menuntut langkah-langkah yang cepat sekarang ini karena perkembangan keadaan yang tidak diduga-duga."
Seperti tahap-tahap sebelumnya, maka secara resmi para calon prajurit yang sudah melalui dua tataran pendadaran itu diwisuda di alun-alun Pajang. Yang berdiri di depan lima kelompok pasukan adalah lima orang prajurit muda yang telah mendapat tuntunan dan tempaan dalam waktu singkat, namun bersungguh-sungguh.
Sejak hari itu, maka Bharata, Kasadha dan tiga orang kawannya telah memimpin kelompok-kelompok prajurit untuk mengikuti latihan-latihan yang berat sebagaimana pernah mereka lakukan di hari-hari pertama mereka berada di barak itu. Tetapi berlima mereka telah mendapat latihan-latihan khusus yang tidak pula kalah beratnya.
Dalam latihan-latihan yang dipimpin oleh para pelatih dari Pasukan Khusus itu sebenarnyalah Bharata dan Kasadha sama sekali tidak mengalami kesulitan, meskipun mereka masih saja berusaha untuk tidak menunjukkan kelebihan mereka. Mereka ikut berlatih sebagaimana para prajurit yang lain, tidak lebih baik dari ketiga orang pemimpin kelompok yang lain, yang bahkan kadang-kadang justru menunjukkan sikap lebih keras dari Bharata dan Kasadha.
Namun dalam beberapa hal yang nampaknya sulit untuk dilakukan, sehingga bagi orang lain harus diulang beberapa kali, maka baik Bharata maupun Kasadha mengulang sebanyak-banyaknya hanya sekali. Itupun karena mereka tidak ingin nampak sebagai anak-anak muda yang melampaui kewajaran kawan-kawannya.
Di hari-hari berikutnya, maka para prajurit itu harus berlatih meloncati rintangan yang tinggi, seakan-akan mereka meloncati dinding padukuhan. Meniti palang bambu. Berayun pada tali dan latihan-latihan ketrampilan wadag yang lain. Disamping itu, maka para prajurit yang pada dasarnya telah memiliki bekal itu, telah dilatih mempergunakan berbagai macam senjata sehingga mereka dapat mempergunakan apa saja sebagai senjata dalam keadaan yang memaksa.
Di samping latihan-latihan ketrampilan khusus itu, maka mereka juga mendapat latihan tentang bentuk gelar. Perang dalam gelar dan gerakan-gerakan yang berhubungan dengan gelar. Mereka harus dapat dengan cepat mengikuti perintah melakukan perubahan gelar sambil bertempur.
Selain itu, maka mereka juga mendapat latihan-latihan untuk dapat bertempur dalam satuan-satuan kecil. Isyarat-isyarat dengan gerak serta secara khusus pula mereka mendapat latihan peningkatan kemampuan secara pribadi. Meskipun tidak banyak yang dapat dilakukan oleh para pelatih dalam waktu dekat, namun para pelatih berusaha agar para prajurit Pajang dapat menunjukkan ciri-ciri kekhususan para prajurit. Kerja sama yang serasi dan saling mengisi dalam pertempuran-pertempuran yang rumit.
Sebenarnyalah persiapan yang nampak tergesa-gesa dari para pemimpin Pajang itu dilakukan karena sikap Mataram. Sementara itu Pajang menyadari, bahwa Mataram telah menyusun kekuatan yang meskipun jumlahnya tidak begitu besar, tetapi memiliki kemampuan yang tinggi. Di antara mereka terdapat orang-orang yang disegani selain Panembahan Senapati sendiri yang selalu diembani oleh ketajaman penalaran dan kebijaksanaan Ki Juru Martani.
Sadar akan tingkat kemampuan para prajurit Mataram maka Pajangpun telah meningkatkan kemampuan para prajuritnya. Sehingga latihan-latihan terasa menjadi berat. Lebih-lebih bagi para prajurit yang baru, sedangkan para prajurit yang lamapun kadang-kadang masih juga berdesah mengalami latihan-latihan yang sangat berat itu.
Sementara kemampuan para prajurit itu meningkat, kebencian seorang di antara kelima orang anak muda yang menjadi pemimpin kelompok itu menjadi semakin meningkat pula.
Bahkan ketika ia tidak lagi dapat menahan diri melihat keberhasilan Bharata dan Kasadha melakukan latihan yang berat memanjat tebing yang tegak meskipun tidak terlalu tinggi, maka orang itu berkata, "Mereka akan menjadi sombong. Tetapi memanjat tebing bukan ukuran mutlak seorang prajurit."
Kawannya mengerutkan keningnya. Namun seorang di bawah pimpinannya bertanya, "Apa maksudmu Dirga."
"Kau lihat Bharata dan Kasadha itu?" bertanya anak muda yang disebut Dirga.
"Ya. Mereka adalah orang-orang yang dapat melakukannya dengan sangat baik meskipun mereka harus mengulangi masing-masing dua kali. Tetapi yang lain justru ada yang tetap tidak mampu melakukannya meskipun sudah mendapat kesempatan mengulangi sampai empat kali," jawab orang itu.
"Tetapi bukankah ukuran kemampuan seorang prajurit tidak hanya dinilai dari caranya memanjat tebing?" bertanya Dirga, anak muda yang berkumis tipis itu.
"Ya. Sudah tentu," jawab anak muda yang berada di bawah pimpinannya itu. Namun katanya kemudian, "Namun melihat latihan-latihan yang kadang-kadang diadakan bersama-sama dengan kelompok mereka, nampaknya keduanya memang cukup trampil."
"Omong kosong," geram Dirga. Lalu katanya, "Kau lihat, bagaimana Bharata kehilangan senjatanya ketika berlatih di alun-alun dua hari yang lalu."
"Ya," anak muda itu mengangguk-angguk. Ia memang melihat dalam latihan yang dilakukan di antara kelompok-kelompok untuk meratakan kemampuan mereka, Bharata memang telah kehilangan senjatanya yang terlepas karena pukulan salah seorang lawan berlatihnya.
Dengan demikian, maka para prajurit itu memang menganggap bahwa Bharatapun termasuk di antara mereka yang berkembang bersama-sama.
Demikian pula Kasadha yang kadang-kadang telah menunjukkan satu kelemahan, sehingga ia bukan orang ajaib di antara para prajurit muda itu.
"Pada suatu saat, aku akan mencoba apakah benar Bharata atau Kasadha orang terbaik di antara para prajurit muda," geram Dirga.
Anak muda yang berada di bawah pimpinannya itu mengerutkan keningnya. Namun sudah tentu bahwa ia akan merasa ikut berbangga jika pemimpin kelompoknya adalah orang yang paling baik di antara para pemimpin kelompok yang lain.
Dengan demikian, maka Dirga itu seakan-akan telah menunggu satu kesempatan untuk menundukkan salah seorang di antara kedua orang yang dibencinya itu.
Kesempatan itu ternyata didapatkannya juga pada akhirnya. Ketika mereka mendapat istirahat sehari semalam setelah mengadakan latihan-latihan berat selama selapan hari, sebagaimana biasanya, maka secara kebetulan Bharata dan Kasadha yang berjalan-jalan ke pasar telah bertemu dengan Dirga bersama dengan tiga orang anak muda yang berada di dalam kelompoknya.
Dengan ramah Dirga telah menegur kedua anak muda itu. Sudah tentu Bharata dan Kasadhapun telah menjawab dengan ramah pula.
"Marilah, kita berjalan-jalan ke sendang," ajak Dirga.
Bharata dan Kasadha saling berpandangan sejenak. Sendang yang dimaksud tentu sendang pemandian yang tidak begitu besar yang terdapat di luar dinding Kota Pajang yang justru ke arah hutan yang pernah dijamah oleh Puguh.
Kasadha memang menjadi berdebar-debar. Sendang itu akan mengingatkan pada lukanya yang pedih di hatinya.
Namun iapun segera menghapus kesan itu dari wajahnya. Bahkan katanya, "Terserah kepadamu Bharata."
Bharata termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Tetapi sebentar saja. Aku telah membeli sebuah nangka utuh. Kawan-kawan di barak tentu senang. Asal saja tidak terlalu banyak sehingga perut kita akan dapat diguncang karenanya."
"Titipkan saja nangka itu pada penjualnya," berkata Dirga, "agar kau tidak usah mengusungnya kemana kau pergi. Nanti kita akan datang mengambilnya."
Bharatapun mengangguk-angguk. Ia memang seorang yang senang berenang. Di Kademangan Bibis, Bharata sering berendam di bendungan yang telah dibuat bersama-sama oleh anak-anak muda, sehingga airnya naik. Sehingga anak-anak bahkan anak-anak mudanya sempat menjadikan bendungan itu semacam sendang tempat mandi.
Ketika mereka berjalan sepanjang jalan menuju ke sendang, jantung Puguh memang menjadi berdebar-debar. Tidak mustahil bahwa ia akan dapat bertemu dengan orang-orang yang mencarinya atau mencari ayah dan ibunya yang bersembunyi. Sementara itu selama beristirahat, maka ia telah berada di luar lingkungan keprajuritan.
Tetapi sampai mereka memasuki jalan kecil yang menuju ke sendang, Kasadha tidak bertemu dengan orang-orang yang dicemaskannya.
Namun Kasadha sudah tentu tidak dapat mengatakan kegelisahannya itu kepada Bharata, karena dengan demikian maka akan dapat menimbulkan kesan tersendiri. Apalagi di dalam dunia keprajuritan Kasadha ingin meninggalkan semua beban yang untuk waktu yang lama harus dipikulnya, meskipun Kasadha sadar, bahwa pada suatu saat tentu akan muncul persoalan tentang dirinya. Tetapi jika ia sudah menjadi seorang prajurit serta mampu menunjukkan pengabdiannya, maka persoalannya tentu akan berbeda.
Dalam pada itu, maka Dirga, Bharata, Kasadha dan tiga orang anak muda yang berada di dalam kelompok yang dipimpin oleh Dirga itu telah pergi menyusuri jalan kecil menuju ke sendang.
*** Kontributor eBook: DJVU: Haryono & Kuncung (dimhad.co.nr)
Editor: Dimhader (di dimhad.co.nr, maaf... tidak tahu kontributornya), dan Dewi KZ (dewikz.com)
Spell Check & Minor Edit:
ePub Lover (facebook.com/epub.lover)
SAYAP-SAYAP YANG TERKEMBANG
Karya: SH Mintardja Penerbit: Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta
JILID 23 TETAPI sebelum mereka sampai ke sendang, tiba-tiba Dirga berkata, "Marilah. Kita singgah di ara-ara di dekat gumuk kecil itu sebentar. Nanti kita akan mandi setelah tidak banyak orang."
"Untuk apa" Apa salahnya kita mandi bersama-sama dengan mereka?" bertanya Bharata menjadi heran.
"Bukankah sendang itu cukup luas" Kau barangkali malu karena ada perempuan yang sedang mandi di sendang itu pula" Tetapi bukankah kita telah mendapat tempat sendiri. Di sebelah kiri itulah sendang Lanang, yang diperuntukkan laki-laki, sedang sebelah kanan itu sendang Wadon yang diperuntukkan perempuan, yang biasanya sambil mencuci pakaian," berkata Kasadha.
Tetapi Dirga menggeleng. Katanya, "Kita dapat mempergunakan saat yang pendek ini untuk mengadakan latihan khusus."
"Apa maksudmu?" bertanya Bharata.
"Kita pergi ke ara-ara," jawab Dirga singkat.
Bharata dan Kasadha saling berpandangan sejenak.
Namun kemudian keduanya telah mengikuti Dirga menempuh jalan setapak untuk pergi ke ara-ara. Ara-ara yang biasanya memang sepi. Para gembalapun bahkan segan untuk pergi ke ara-ara di dekat gumuk itu, karena menurut ceritera orang, gumuk itu ditunggui oleh seekor harimau putih yang dapat muncul setiap saat. Bahkan di siang hari. Dengan demikian maka para gembala yang biasanya adalah anak-anak dan remaja itu lebih senang menggembalakan kambingnya di dekat sendang. Bahkan kadang-kadang setelah dilepas di sekitar sendang yang berumput hijau segar itu, para gembala itu berendam di air sambil berkejaran beradu tangkas berenang.
Bharata dan Kasadha masih belum tahu pasti maksud Dirga beserta kawan-kawannya. Namun keduanya tidak segera bertanya sehingga beberapa saat kemudian, keduanya telah berada di ara-ara di dekat gumuk kecil itu.
"Nah," berkata Dirga kemudian, "kita adalah prajurit-prajurit Pajang yang terpilih. Karena itu, bagiku, istirahat di hari ini justru membuat tubuhku menjadi lemas dan letih. Karena itu, marilah kita isi waktu yang sehari ini dengan mengadakan latihan khusus."
"Aku tidak tahu maksudmu Dirga," berkata Bharata, "bagiku istirahat ini menyenangkan. Kita dapat pergi ke pasar. Kita dapat mandi di sendang itu bersama dengan orang-orang di sekitar tempat ini. Atau kita dapat tidur sehari suntuk di barak."
"Kita bukan orang-orang yang malas," berkata Dirga, "kita adalah prajurit-prajurit yang diharapkan untuk dapat melindungi Pajang."
"Ya, kamipun tahu," jawab Kasadha, "tetapi bukankah kita juga memerlukan hari-hari peristirahatan seperti ini" Dengan demikian justru akan dapat mempersegar jiwa kita, sehingga besok kita akan dapat memasuki tugas-tugas kita dengan kesegaran baru."
"Bagiku, beristirahat justru akan dapat menumbuhkan keseganan untuk memulainya lagi," berkata Dirga, "karena itu, marilah, kita mengadakan latihan khusus. Kita dapat membuat perbandingan ilmu. Salah seorang dari kau berdua, yang dianggap orang terbaik di antara kita yang terpilih menjadi pemimpin kelompok harus membuktikan kepadaku, kepada kita semuanya bahwa kalian memang yang terbaik."
Bharata dan Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Mereka telah memahami keadaan yang mereka hadapi. Agaknya keinginan Dirga untuk mencoba kemampuan mereka itulah tujuan utamanya untuk membawanya ke tempat yang sepi itu.
Namun dalam-pada itu Bharatapun berkata, "Kita tidak dapat mengadakan latihan dengan cara ini. Bukankah kau juga tahu, bahwa dengan demikian kita akan melanggar ketentuan" Latihan-latihan khusus apalagi yang menjurus pada perbandingan ilmu yang boleh dilakukan dengan ditunggui oleh para pelatih. Disini kita tidak mempunyai seorang pelatihpun yang akan dapat menilai seandainya latihan seperti itu kita lakukan. Siapakah yang akan menentukan tingkat kemampuan kita, karena kita sendiri yang terlibat langsung dalam latihan itu tentu tidak akan mungkin dapat mengamatinya."
"Hanya seorang di antara kalian yang akan melakukan latihan khusus bersamaku. Seorang yang lain akan mengamati latihan ini dan menjadi saksi, asal dengan jujur. Kawan-kawankupun akan menjadi saksi pula, siapakah di antara kita yang terbaik. Nah, apa lagi?" bertanya Dirga.
"Kita semuanya tidak berwenang untuk mengamati latihan apapun juga kecuali latihan-latihan ketahanan tubuh dan tata gerak dasar bagi kelompok kita masing-masing," berkata Kasadha.
"Sudahlah," berkata Dirga. "Jangan banyak alasan. Aku justru ingin melakukannya tanpa ada orang lain. Jika seandainya salah seorang di antara kalian dapat aku kalahkan, kalian tidak akan menjadi malu, karena kalian sudah terlanjur menjadi orang terbaik. Kawan-kawanku yang akan menjadi saksi, tidak akan menceriterakannya kepada orang lain."
"Jangan melakukan sesuatu yang dapat dianggap melanggar paugeran Dirga. Kita adalah prajurit-prajurit baru. Kita akan dapat dengan mudah disingkirkan jika kita tidak menepati segala perintah. Aku tidak mau tersingkir dari lingkungan keprajuritan yang dengan susah payah aku gapai. Sekarang, kita sudah berada dalam lingkungan keprajuritan. Kenapa kesempatan yang dengan susah payah kita dapatkan ini harus kita sia-siakan." Bharata berhenti sejenak, namun tiba-tiba iapun bertanya, "Apakah alasanmu sebenarnya menantang salah seorang dari kita untuk melakukan latihan khusus seperti ini."
"Aku hanya ingin menguji diri. Seperti yang sudah aku katakan, kalian disebut oleh banyak orang, bahkan para pelatih kita, sebagai orang terbaik. Tetapi aku tidak yakin. Aku kira mereka dikelabui oleh sikap kalian sehari-hari. Kalian pandai bersikap sangat baik kepada para pelatih kita, atau jika kita mau memakai istilah kasar bahwa kalian adalah penjilat," berkata Dirga.
Bharata mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling kepada Kasadha maka Kasadhapun berkata, "Jadi itulah yang terpenting bagimu untuk menunjukkan bahwa kau adalah orang terbaik. Kau yang bukan penjilat."
"Ya," jawab Dirga.
Pengaruh kehidupan Kasadha sebelumnya memang jauh lebih keras dari Bharata. Karena itu, maka betapapun juga Kasadha mengekang perasaannya, namun ia telah lebih dahulu marah. Karena itu, maka iapun berkata, "Baiklah Dirga. Jika kau memang menjadi muak melihat sikap kami yang kau sebut sebagai penjilat itu. Sebaiknya aku berkata terus terang. Orang terbaik di antara kami berlima, yang mendapat kesempatan memimpin kelompok-kelompok terbawah prajurit Pajang dari angkatan terbaru itu adalah aku dan Bharata. Karena itu, sebagaimana kau katakan, apakah aku atau Bharata akan sama saja. Marilah, kita mengadakan latihan khusus di bawah saksi. Bukan aku yang berniat melakukannya. Tetapi kau."
"Aku tidak akan ingkar. Di hadapan para pelatih sekalipun jika kita harus menghadap karena latihan di luar ketentuan ini diketahui, aku akan berkata sebenarnya. Jangan takut bahwa aku akan memfitnah kalian. Aku adalah laki-laki. Seorang prajurit Pajang yang besar," berkata Dirga.
"Bagus Dirga," sahut Kasadha. Lalu katanya, "Jika terjadi sesuatu adalah salahmu sendiri."
Bharata melihat kemarahan yang memancar di sorot mata Kasadha. Karena itu ia justru menjadi cemas bahwa Kasadha kurang dapat mengendalikan diri. Karena itu, maka iapun berkata, "Kenapa bukan aku saja yang melakukannya?"
"Tidak," jawab Kasadha, "orang lain yang sering menyebut kita bersaudara menganggap aku lebih tua darimu. Karena itu, biarlah aku mencobanya dahulu. Jika aku gagal, baru kau."
"Tidak ada yang akan berhasil atau gagal," berkata Dirga, "kita harus bersikap jantan. Jika kita merasa kalah, maka kita harus mengaku kalah. Maka semuanya akan selesai."
"Baik," jawab Kasadha, "aku terima syaratmu."
Dirga yang merasa dirinya lebih baik dari kedua orang kawannya itupun kemudian berkata kepada tiga orang anak buahnya, "Kalian menjadi saksi. Tetapi kita sudah berjanji, bahwa kalian tidak perlu mengatakan kesaksian kalian kepada siapapun juga. Aku tidak mau menyakiti hati Bharata atau Kasadha di hadapan orang banyak."
"Cukup," potong Kasadha, "bersiaplah. Waktu kita tidak terlalu banyak. Penjual nangka itu akan segera pergi. Jika nangka Bharata yang dititipkan kepadanya itu tidak segera diambil, maka nangka itu akan dibawanya."
Dirga mengerutkan keningnya. Ia memang tersinggung karenanya. Seakan-akan persoalan nangka Bharata itu lebih besar dari tantangannya.
Tetapi ternyata Kasadha telah bersiap sehingga iapun harus segera bersiap pula.
Bharata hanya termangu-mangu saja. Ia memang tidak dapat mencegah perkelahian itu. Sudah barang tentu Kasadha atau dirinya sendiri tidak akan dapat menahan diri dengan tuduhan yang menyakitkan hati itu, seakan-akan mereka dianggap orang terbaik hanya karena menjilat saja. Padahal baik Bharata maupun Kasadha telah menahan dirinya untuk tidak menunjukkan kelebihannya kepada kawan-kawannya secara berlebihan. Meskipun demikian mereka tidak dapat menyembunyikan diri dari para pelatihnya bahwa mereka memang memiliki kelebihan ilmu dari kawan-kawannya. Bahkan terpaut jauh.
Sejenak kemudian, maka Dirgapun mulai bergerak. Dengan tangkas ia telah meloncat menyerang Kasadha. Dirga memang telah mempunyai bekal kemampuan pribadinya sejak ia memasuki dunia keprajuritan, sebagaimana prajurit-prajurit yang lain. Bahkan Dirga telah dianggap memiliki kelebihan, sehingga ia termasuk lima orang yang terpilih untuk memimpin kelompok prajurit yang diterima terbaru dalam kesatuan keprajuritan Pajang.
Namun setelah perkelahian itu berlangsung beberapa lama, Kasadha yang marah itu justru menjadi lebih tenang. Ia menjadi yakin, bahwa kemampuan Dirga tidak cukup tinggi untuk mengimbangi kemampuannya. Tetapi karena keyakinannya itulah maka Kasadha justru mampu mengekang diri. Ia tidak mempergunakan seluruh kemampuannya sehingga dalam sekejap dapat mengalahkan Dirga. Tetapi Kasadha yang tidak lagi menjadi sangat marah itu, telah berusaha untuk menyesuaikan dirinya.
Dengan demikian maka yang dilakukan Kasadha kemudian seakan-akan hanyalah sekedar melayani Dirga yang setingkat demi setingkat telah mengerahkan kemampuannya. Bahkan di mata Bharata yang juga memiliki kemampuan yang agak terpaut banyak dengan Dirga, Kasadha telah mulai sekedar bermain-main.
Namun dengan demikian Bharata justru menjadi tenang. Ia tidak lagi melihat sorot mata Kasadha yang memancarkan kemarahan. Bahkan kemudian, bukan saja sorot matanya, tetapi tata geraknyapun menjadi lunak, meskipun tetap tangkas dan cepat.
Dengan demikian maka perkelahian di antara kedua anak muda itu seakan-akan menjadi seimbang. Sekali-sekali Dirga sempat mendesak Kasadha. Namun kemudian Kasadhalah yang telah mendesak Dirga.
Namun setelah mereka berkelahi beberapa lama, keduanya sama sekali masih belum tersentuh serangan lawan masing-masing. Meskipun Dirga dengan garang menjulurkan serangan-serangan tangan dan kakinya berganti-ganti, tetapi Kasadha selalu sempat mengelakkannya. Sebaliknya serangan-serangan Kasadhapun nampaknya kurang tenaga sehingga kadang-kadang justru tidak sempat menggapai lawannya meskipun lawannya tidak mengelak.
Demikianlah perkelahian itu berlangsung semakin lama semakin cepat. Ketika Dirga sudah mulai berkeringat, maka iapun menjadi semakin garang. Sebaliknya tidak ada perubahan yang nampak pada Kasadha. Ia masih bergerak agak lunak meskipun juga semakin cepat.
Namun akhirnya Bharata mengetahui cara Kasadha menundukkan Dirga. Agaknya Kasadha ingin membiarkan Dirga kehabisan nafas. Baru kemudian Kasadha akan mengambil langkah-langkah kecil untuk menunjukkan sedikit kelebihan.
"Ternyata Kasadha cukup bijaksana," berkata Bharata di dalam hatinya, "justru pada saat ia marah dan merasa tersinggung oleh kata-kata Dirga yang menganggapnya penjilat."
Sebenarnyalah bahwa Kasadha masih sempat berpikir untuk tidak menyakiti hati Dirga. Dalam saat-saat yang gawat itu, Kasadha menyadari, bahwa Dirga memiliki sifat dengki dan iri. Karena itu, jika ia menyakiti hati anak muda itu, maka Dirga tentu akan mendendamnya, sementara latar belakang kehidupan Kasadha sendiri termasuk dalam lingkungan warna yang buram. Karena itu, Kasadha tidak ingin menambah persoalan yang akan dapat membuat hidupnya semakin rumit. Ia tidak ingin Dirga karena dendamnya berusaha untuk mencari-cari kelemahannya termasuk latar belakang kehidupannya. Apalagi jika diketahui siapakah laki-laki yang mengaku ayahnya dan siapakah ibunya.
Karena itu, maka perkelahian itu seakan-akan menjadi semakin sengit. Keduanya seakan-akan masih saja seimbang, sehingga keduanya saling menyerang, saling mendesak dan saling menghindar.
Tetapi sebagaimana yang diperhitungkan oleh Bharata itu ternyata benar-benar terjadi. Ketika mereka mulai mengerahkan kemampuan mereka, terutama Dirga, maka kekuatannyapun bagaikan telah terperas pula, sehingga lambat laun kekuatannya itupun menjadi susut.
Kasadha sudah memperhitungkan hal itu. Ketika tenaga Dirga mulai menurun, Kasadha justru memancingnya untuk bergerak lebih banyak. Bahkan sekali-sekali Kasadha mulai mengenainya meskipun tidak menyakitinya. Kadang-kadang Kasadha hanya mempergunakan telapak tangannya untuk menyentuh pundak Dirga atau dengan ujung-ujung jarinya menyentuh punggung. Meskipun ujung-ujung jari Kasadha itu dalam kekuatan puncaknya akan dapat mematahkan tulang belakang, tetapi ia tidak melakukannya atas Dirga.
Dirga yang telah memeras keringat memang menjadi semakin lemah. Bagaimanapun juga ia harus mengakui, bahwa ia tidak dapat mengalahkan Kasadha. Tetapi dengan cara yang ditempuh oleh Kasadha itu, maka Dirga tidak merasa dikalahkannya dalam benturan ilmu.
"Aku hanya kurang keras berlatih," berkata Dirga di dalam hatinya sehingga ia merasa bahwa tenaganya memang lebih cepat susut, meskipun ia tidak merasa dikalahkan.
Tetapi kenyataan itu terjadi. Akhirnya Dirga benar-benar telah kehabisan tenaga. Nafasnya menjadi terengah-engah. Rasa-rasanya perutnya menjadi mual ketika ia memaksakan diri untuk tetap melawan.
Ketika Dirga menyerang dengan sisa tenaganya yang terakhir, maka Kasadha tidak membenturnya meskipun jika ia melakukannya maka Dirga tentu akan menjadi pingsan. Tetapi Kasadha justru telah menghindari serangan itu.
Karena serangannya dengan mengerahkan sisa tenaganya tidak mengenai sasaran, maka Dirga justru telah terseret oleh berat tubuhnya sendiri tanpa dapat mencegahnya lagi. Karena itu, maka Dirga itu justru telah terjatuh tanpa mendapat serangan dari lawannya.
Kasadha sendiri kemudian telah melangkah tertatih-tatih mendekati Dirga. Bahkan kemudian iapun telah terduduk di sebelahnya sambil berdesis, "Satu latihan yang menarik."
Dirga memang berusaha untuk bangkit. Tetapi ketika ia kemudian terduduk dan melihat Kasadha juga duduk di sebelahnya, ia termangu-mangu sejenak.
Namun ternyata Kasadha justru tertawa. Katanya, "Aku jarang sekali mengalami latihan seperti ini."
Dirga masih termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian tertawa pula. Katanya, "Ternyata kau memang lebih baik dari aku."
"Tidak," jawab Kasadha, "kita memang berada pada tataran yang sama."
"Bagaimanapun juga aku harus mengakui, bahwa kau lebih baik. Setidak-tidaknya daya tahanmu. Dalam pertempuran yang sebenarnya, kau masih sempat membunuhku di saat terakhir," berkata Dirga.
"Apakah tanganku masih kuat mengangkat senjata?" Kasadha justru bertanya.
Keduanyapun kemudian tertatih-tatih berdiri. Bedanya, Dirga benar-benar mengalami kesulitan. Sedangkan Kasadha merasa perlu untuk berbuat demikian meskipun ia benar-benar masih nampak lebih baik.
"Aku harus berlatih lebih keras," berkata Dirga, "pada kesempatan lain, aku ingin mengadakan latihan seperti ini dengan Bharata. Mungkin Bharata juga lebih baik dari aku, sehingga Bharata oleh para pelatih dianggap setingkat dengan Kasadha. Adalah kebetulan bahwa kalian memang pantas untuk menjadi kakak beradik."
"Sudahlah," berkata Kasadha, "kita masih mempunyai waktu untuk pergi ke sendang."
"Ya," Bharatalah yang menyahut, "kita mandi sebentar. Kemudian kita singgah di pasar mengambil buah nangka itu."
Demikianlah mereka bertiga diikuti oleh kawan-kawan Dirga sempat singgah di sendang. Dirga nampak terlalu letih setelah ia memaksa diri berusaha untuk mengimbangi Kasadha. Namun ternyata bagaimanapun juga ia harus mengakui kelebihan kawannya itu meskipun menurut tanggapannya, hanya selapis tipis. Tetapi seperti yang dikehendaki oleh Kasadha, Dirga tidak menjadi sakit hati dan tidak pula mendendamnya.
Kasadhapun sekali-sekali masih juga menunjukkan bahwa iapun menjadi sangat letih.
Namun ketika Bharata sempat berbisik di telinganya, ia berkata, "Suatu cara yang sangat bijaksana."
Kasadha hanya tersenyum saja. Tetapi ia tidak menjawab.
Demikianlah, setelah mereka puas mandi di sendang sehingga tubuh mereka terasa segar, maka merekapun telah kembali lagi ke Pasar. Seperti ketika berangkat, maka ketika mereka kembali, Kasadha juga menjadi berdebar-debar. Ketika mereka memasuki jalan induk menuju ke pintu gerbang kota, maka Kasadha lebih banyak menunduk. Bagaimanapun juga ia tidak dapat melenyapkan kekhawatiran, bahwa tiba-tiba seseorang mengenalinya dan apalagi memburunya karena ia adalah anak Warsi dan dianggap anak Rangga Gupita, salah seorang di antara bekas prajurit dari pasukan sandi Jipang.
Tetapi ternyata bahwa tidak seorangpun yang menyapanya, apalagi mengikutinya dan menegurnya sebagai Puguh.
Bahkan ketika mereka sudah berada di dalam kota dan berjalan menuju ke barak, Kasadha terkejut ketika tiba-tiba seseorang meloncat dari mulut lorong sambil memanggil namanya.
Ternyata orang itu adalah salah seorang anak buahnya yang kemudian bersama-sama dengan kawan-kawannya yang lain kembali ke barak, untuk menghabiskan sisa hari istirahat mereka.
Dalam pada itu sekelompok prajurit yang dipimpin oleh Bharata sempat memecah sebuah nangka yang besar yang dibeli oleh Bharata di pasar. Bahkan Kasadha dan Dirgapun sempat ikut pula makan buah nangka itu bersama mereka yang ikut pergi ke belumbang.
Demikianlah, setelah peristiwa itu, Dirga memang menjadi tenang. Ia merasa bahwa Kasadha memang lebih baik. Tetapi meskipun ia tidak dapat menang atasnya, ia tidak merasa terhina oleh kekalahannya. Setiap kali ia sempat menghibur diri, bahwa kekalahannya itu terutama hanya karena ketahanan tubuhnya sajalah yang tidak sebaik Kasadha.
"Jika aku meningkatkan latihan-latihan untuk ketahanan tubuh, maka aku tentu akan dapat mengimbanginya," berkata Dirga.
Keyakinannya itu memang mendorongnya untuk meningkatkan latihan-latihannya. Namun ia sama sekali tidak menjadi dendam karenanya, meskipun ia tetap ingin menjadi yang terbaik di antara kelima orang pemimpin kelompok yang dipungut dari prajurit-prajurit baru dari angkatannya.
Yang agak mengalami kesulitan adalah anak buah Dirga. Dirga yang ingin meningkatkan latihan-latihan bagi dirinya itu, ternyata telah mempengaruhi seluruh kelompoknya. Pagi-pagi dalam latihan-latihan ketahanan tubuh, ketrampilan dan keseimbangan dengan berlari-lari di jalan-jalan sempit dan bahkan di pematang-pematang sawah, meniti palang bambu di lapangan di belakang barak mereka atau meloncat hambatan-hambatan yang disediakan khusus untuk latihan-latihan seperti itu, menjadi lebih berat. Tetapi kadang-kadang Dirga telah berlatih sendiri setelah anak buahnya mendapat kesempatan untuk beristirahat.
Akhirnya anak buahnya tahu juga, kenapa pemimpin kelompoknya berlaku demikian. Meskipun ketika orang yang menjadi saksi perkelahian antara Dirga dan Kasadha berusaha untuk merahasiakannya, tetapi akhirnya mereka tidak dapat bertahan. Mereka telah mengatakan meskipun dengan pesan untuk tidak disampaikan kepada orang lain, apa yang telah mereka lihat di ara-ara sebelah gumuk kecil itu.
"Pantas," desis salah seorang di antara anak buahnya, "latihan-latihan menjadi semakin meningkat. Kitalah yang menderita."
"Tetapi ia lebih banyak berlatih sendiri," sahut yang lain.
Namun seorang prajurit yang terlalu yakin akan dirinya sendiri berkata, "Mereka tidak berarti apa-apa bagi perguruanku."
"Mereka siapa?" bertanya kawannya.
"Dirga, Kasadha, Bharata, Permana dan siapa lagi yang dianggap orang-orang terbaik. Aku hanya belum saja mendapat kesempatan untuk menunjukkan kelebihanku, karena aku datang kemudian setelah mereka," jawab orang itu.
Tetapi kawan-kawannya tidak menghiraukannya. Mereka masing-masingpun merasa pernah berada di sebuah perguruan sebelum mereka mengikuti pendadaran, karena yang diterima menjadi prajurit, bukannya orang yang tidak berilmu sama sekali.
Sementara itu, para prajurit Pajang memang harus menempuh latihan-latihan yang berat, yang ditekankan pada unsur-unsur perang gelar. Perang berpasangan serta mempergunakan jenis-jenis senjata yang paling banyak dipergunakan oleh para prajurit. Dengan bekal kemampuan mereka secara pribadi, maka memang lebih cepat pasukan Pajang menyusun diri menjadi kesatuan yang kuat.
Dalam pada itu, para pemimpin Pajang telah bersiaga sepenuhnya menghadapi pertumbuhan Mataram. Sedangkan Panembahan Senapati di Mataram benar-benar tidak mau datang menghadap ayahandanya, Sultan Pajang. Satu sikap yang membuat para pemimpin Pajang menjadi tersinggung.
"Mas Ngabehi Loring Pasar memang tidak kuat memanggul derajat. Ia sangat dikasihi oleh Kangjeng Sultan sebagaimana putera kandungnya sendiri. Tetapi ternyata ketika ia mendapat kesempatan, telah berusaha untuk melawan ayahanda angkatnya itu," berkata seorang Senapati Pajang. Bahkan katanya kemudian, "Sebenarnyalah tidak usah seluruh kekuatan Pajang dikerahkan. Pasukanku segelar sepapan cukup kuat untuk mematahkan perlawanan Mataram."
Tetapi seorang kawannya menyahut, "Jangan berkata begitu. Seolah-olah kau belum kenal siapakah Raden Sutawijaya yang kemudian bergelar Panembahan Senapati itu."
Tetapi Senapati itu menjawab, "Apakah Panembahan Senapati akan dapat melawan sekelompok prajurit pilihan betapapun ia seorang yang berilmu tinggi" Sementara itu ia masih belum sempat menyusun pasukan yang cukup tangguh untuk melindunginya."
Namun kawannya justru tertawa. Katanya, "Kau memang suka berkhayal. Aku tidak mengerti, kenapa kau sempat berpikir seperti itu."
Senapati itu mengerutkan keningnya. Namun akhirnya ia hanya menarik nafas dalam-dalam.
Dalam pada itu kemelut di langit menjadi semakin gelap. Jarak antara Pajang dan Mataram menjadi semakin jauh. Tetapi justru Kangjeng Sultan Pajang sendiri tidak pernah mengambil langkah-langkah pasti untuk mengatasinya. Hatinya masih tetap tersangkut pada kasih sayangnya atas putera angkatnya itu.
Sementara itu Pangeran Benawa, putera Sultan Pajang itu sendiri, ternyata tidak mempunyai minat untuk ikut mengatasinya. Atas tuntunan ayahandanya, maka ia menjadi sangat hormat kepada Raden Sutawijaya yang kemudian bergelar Panembahan Senapati. Bahkan Pangeran Benawa yang menjadi kecewa melihat tingkah laku orang-orang di sekitar ayahandanyapun menjadi salah satu sebab, bahwa Pangeran Benawa tidak banyak berbuat untuk meredakan suasana. Bahkan nampaknya Pangeran yang kecewa itu menjadi acuh tak acuh saja.
Dalam keadaan yang tidak menentu itulah, maka sering terjadi benturan-benturan kecil antara para prajurit Pajang dan Prajurit Mataram. Meskipun belum ada perintah yang pasti, tetapi para prajurit dari kedua belah pihak kadang-kadang sulit untuk mengendalikan dari masing-masing, sehingga di tempat-tempat tertentu pertempuran-pertempuran kecil sulit untuk dihindari.
Dengan demikian maka para pemimpin keprajuritan Pajang telah menempuh jalan yang singkat. Para prajurit baik yang telah lama berada dalam barak-barak, maupun para prajurit yang baru telah ditempa untuk menghadapi segala kemungkinan. Dalam waktu dekat mereka akan segera dikirim ke tempat-tempat yang rawan. Tempat-tempat yang sering dilanda oleh benturan pasukan yang kadang-kadang tidak diketahui sebab-sebabnya.
Dalam pada itu, pasukan yang baru saja disusun itupun tidak terkecuali. Setelah beberapa bulan mengalami latihan-latihan yang berat, maka pasukan itu telah dipersiapkan untuk dikirim ke perbatasan.
Ketika kepastian itu telah diberitahukan kepada para prajurit yang tergabung dalam satu kelompok yang besar yang terdiri dari sepuluh kelompok-kelompok kecil, maka Bharata menjadi sangat bimbang. Ada niatnya untuk minta ijin menemui ibunya untuk minta diri, karena ia sadar, bahwa ke perbatasan adalah sama dengan maju ke medan perang.
Tetapi akhirnya niatnya diurungkan. Di dalam lingkungan keprajuritan, ia adalah orang lain dari dirinya sendiri. Ia adalah Bharata dari Kademangan Bibis. Bukan Risang dari Tanah Perdikan Sembojan.
Sementara itu, Kasadha sama sekali tidak menghiraukan lagi ayah dan ibunya. Ia seakan-akan lahir begitu saja di dunia tanpa ayah dan ibu. Jika ia sekali-sekali mengenang seseorang, maka ia adalah gurunya dan kakeknya, Ki Randukeling.
Tetapi iapun tidak berniat untuk menemui mereka. Ia tidak ingin seseorang mengenali jejak latar belakang kehidupannya.
Pada saat yang ditentukan, maka telah tersusun sepasukan yang terdiri dari seratus orang dikepalai oleh seorang Lurah Penatus yang akan memimpin pasukan itu yang dibagi dalam sepuluh kelompok kecil, masing-masing terdiri dari sepuluh orang. Bharata dan Kasadha bersama tiga orang kawannya yang lain dari kelima orang pemimpin kelompok yang baru telah diikutsertakan bersama mereka yang digabungkan dengan para prajurit yang telah banyak berpengalaman.
Mereka akan berangkat menuju ke daerah Selatan. Mereka harus mengawasi sebuah Kademangan di bawah kaki pebukitan. Kademangan Randukerep. Kademangan yang sering dilalui sekelompok prajurit Mataram yang mengamati keadaan.
Di Kademangan Randukerep mereka telah disambut dengan baik. Mereka diterima sebagai sekelompok prajurit Pajang yang akan melindungi Kademangan mereka.
"Apakah orang-orang Mataram itu sering membuat kerusuhan disini?" bertanya Ki Lurah Dipayuda.
"Tidak," jawab Ki Demang, "meskipun mereka kadang-kadang hanya sekedar lewat mengamati keadaan, tetapi kami memang menjadi gelisah."
"Tetapi kalian mengetahui, bahwa mereka tidak berwenang melintas didaerah ini," berkata Ki Lurah Dipayuda.
"Ya," jawab Ki Demang. Kemudian katanya pula.
"Karena itulah kami, para bebahu Kademangan ini telah pernah menemui mereka dan mengatakan hal itu."
"Apa jawab mereka?" bertanya Ki Lurah.
"Mereka melakukannya untuk menjaga agar orang-orang Kademangan ini tidak mempunyai anggapan yang salah terhadap Mataram," jawab Ki Demang, "selama di Kademangan ini mereka banyak berbicara dengan penduduk."
Wajah Ki Lurah menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia berkata, "Bukankah itu justru berbahaya sekali?"
"Kami menyadari Ki Lurah," berkata Ki Demang, "kami sudah berusaha untuk mencegahnya. Tetapi kami tidak berdaya. Orang-orang Mataram itu mulai mengancam dengan kekerasan, sehingga kami terpaksa berdiam diri sambil menunggu kedatangan para prajurit dari Pajang."
"Apakah di Kademangan ini tidak ada kekuatan sama sekali?" bertanya Ki Lurah. Lalu, "Bukankah disini ada pengawal Kademangan yang tentu sudah dipersiapkan sejak lama?"
"Tetapi apakah artinya para pengawal Kademangan dibandingkan dengan kekuatan orang-orang Mataram," jawab Ki Demang, "karena itu, kami merasa lebih baik menunggu. Pada saatnya kami akan dapat mengusir orang-orang Mataram itu jika ia datang lagi."
"Apakah orang-orang Mataram itu sering kali datang ke Kademangan ini?" bertanya Ki Lurah.
"Tidak tentu," jawab Ki Demang, "sudah beberapa hari orang-orang Mataram tidak nampak batang hidungnya. Lewat sepekan yang lalu mereka telah datang. Mereka mempergunakan banjar Kademangan ini untuk menempatkan diri. Lewat sepekan yang lalu kira-kira ada dua puluh lima orang prajurit Mataram ada di banjar."
"Hanya dua puluh lima. Berapa jumlah pengawal disini?" bertanya Ki Lurah Dipayuda.
"Ki Lurah," jawab Ki Demang, "para pengawal Kademangan ini tidak memiliki keberanian seorang prajurit. Dua atau tiga orang prajurit Mataram telah membuat mereka ketakutan. Mula-mula para pengawal memang mencoba untuk mengadakan perlawanan dengan mencegah sepuluh orang prajurit Mataram agar tidak memasuki padukuhan induk Kademangan ini. Tetapi lebih dari tiga puluh pengawal tidak mampu mencegah mereka."
"Mereka terbunuh oleh prajurit Mataram?" bertanya Ki Lurah.
"Tidak Ki Demang. Tidak seorangpun terbunuh. Tetapi ketiga puluh orang pengawal itu terluka dan tidak mampu lagi melakukan perlawanan. Rasa-rasanya tulang-tulang mereka berpatahan," jawab Ki Demang.
Ki Lurah Dipayuda mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian sekali lagi ia bertanya, "Ada berapa pengawal di Kademangan Randukerep ini" Pengawal yang memang berada dalam kedudukan itu. Berapa pula anak-anak muda yang tidak dalam kedudukan pengawal, tetapi merupakan kekuatan cadangan yang dapat digerakkan setiap saat dan berapa jumlah laki-laki di Kademangan ini yang semuanya mempunyai kewajiban untuk membela kampung halamannya?"
"Ada lebih dari lima puluh pengawal di Kademangan ini Ki Lurah," berkata Ki Demang, "mereka pernah mendapat latihan serba sedikit dari dua orang prajurit yang ditugaskan oleh Pajang. Sedangkan anak-anak muda yang telah dinyatakan siap untuk dipanggil dalam keadaan yang penting cukup banyak. Di Kademangan ini ada beberapa padukuhan besar dan kecil yang mempunyai anak-anak mudanya. Apalagi jumlah laki-laki yang umurnya di bawah limapuluh tahun."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, "Aku minta, Ki Demang besok memanggil para pengawal. Mereka akan menjadi bagian dari kekuatan Pajang di Kademangan ini. Semuanya akan termasuk dalam barisan di bawah perintahku. Sementara itu, anak-anak muda yang menjadi kekuatan cadangan di Kademangan ini harus disusun dalam kelompok-kelompok yang tertib. Aku akan ikut menanganinya. Beberapa pemimpin kelompok dari prajurit-prajuritku akan membantu bertugas di padukuhan-padukuhan untuk menyusun kelompok-kelompok kecil di setiap padukuhan. Pada lapisan terakhir, maka setiap laki-laki yang belum berumur limapuluh tahun harus diperhitungkan pula."
Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, "Kami akan berterima kasih jika Ki Lurah bersedia membantu kami melaksanakannya."
"Tetapi aku memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di Kademangan ini," berkata Ki Lurah Dipayuda.
"Silahkan Ki Lurah. Kami telah menyediakan beberapa buah rumah di sekitar rumahku ini. Sebaiknya Ki Lurah tidak berada di banjar, karena prajurit Mataram sering datang ke banjar itu."
"Sebenarnya kebetulan bagi kami jika prajurit Mataram datang. Kami akan dapat menangkap mereka dan mengadilinya di Pajang," jawab Ki Lurah.
"Tetapi mereka akan mempunyai kesempatan lebih dahulu. Jika Ki Lurah berada di luar banjar, maka keadaannya akan berbeda. Sebagian dari pasukan Ki Lurah dan Ki Lurah sendiri kami persilahkan untuk berada di gandok rumahku sebelah menyebelah. Kemudian rumah di sebelah kanan rumahku itupun telah disediakan bagi Ki Lurah sebagaimana rumah di sebelah kiri. Jaraknya tidak lebih dari satu patok. Dinding pemisah dari halaman kami dan halaman rumah tetangga yang disediakan bagi prajurit Pajang itu telah kami bedah sehingga halaman rumah ini dan halaman rumah sebelah menjadi berhubungan langsung. Agaknya hal itu perlu bagi kesatuan pasukan Ki Lurah," berkata Ki Demang.
Ki Lurah mengangguk-angguk. Kedua rumah yang ditunjukkan oleh Ki Demang itu adalah rumah tetangga terdekat yang dapat dicapai dalam waktu singkat, sehingga jika Ki Lurah menempatkan pasukannya di rumah-rumah itu, maka tidak akan terjadi kesulitan apapun juga. Namun Ki Lurah harus mengatur penjagaan sebaik-baiknya.
Setelah berbincang beberapa saat dengan Ki Demang, maka Ki Lurahpun telah membawa sepuluh orang pemimpin kelompoknya untuk melihat-lihat keadaan, sementara seluruh pasukannya berada di halaman rumah Ki Demang. Mereka melihat halaman belakang rumah, mengamati dindingnya dan membuka pintu butulan untuk melihat jalan sempit di sebelah belakang rumah Ki Demang itu. Kemudian mereka telah melihat-lihat halaman rumah sebelah menyebelah yang disediakan bagi para prajurit Pajang. Juga melihat kebun belakang dan segala sudut halaman serta dinding-dinding yang mengitari halaman rumah itu. Sementara itu dinding yang memisahkan halaman rumah itu dengan halaman rumah Ki Demang memang telah dibuka agar perhubungan dari ketiga rumah itu dapat berlangsung dengan lancar. Sementara itu alat-alat untuk menyampaikan isyaratpun telah tersedia. Di rumah sebelah menyebelah itu terdapat dua kentongan kecil di serambi dan satu kentongan yang agak besar di seketheng. Dalam keadaan yang memaksa, maka kentongan itu akan dapat menjadi isyarat bagi para prajurit yang terpisah tempatnya itu.
Demikianlah, maka Ki Demangpun segera membagi pasukannya. Empat kelompok berada di rumah tetangga sebelah kanan, empat di tetangga sebelah kiri dan dua kelompok, termasuk Ki Lurah sendiri berada di rumah Ki Demang. Sementara itu, setiap hari di antara lima puluh lebih pengawal Kademangan, dua puluh orang harus bersiaga di rumah Ki Demang. Mereka akan melakukan tugas bersama-sama dengan para prajurit Pajang.
Untuk menilai para prajurit yang baru, maka Ki Lurah dengan sengaja telah menempatkan prajurit-prajurit baru yang empat kelompok itu bersama-sama di rumah yang ada di sebelah kanan rumah Ki Demang, sedangkan prajurit-prajurit yang lama dan berpengalaman berada di rumah sebelah kiri. Sedangkan satu kelompok prajurit yang baru dan satu kelompok prajurit yang lama berada bersamanya di rumah Ki Demang. Bersama mereka akan hadir juga dua kelompok pengawal Kademangan yang pernah mendapat latihan keprajuritan pula.
Hari itu juga, maka para prajurit Pajang itu telah menempatkan diri. Setiap kelompok telah mengatur dirinya masing-masing. Kelompok yang dipimpin oleh Bharata mendapat tempat di gandok sebelah kanan di rumah tetangga Ki Demang, sedangkan kelompok yang dipimpin oleh Kasadha berada di tempat terbuka, pendapa dan yang sedikit tertutup adalah pringgitan rumah itu. Dirga dengan serta-merta membawa anak buahnya ke ruang dalam sedangkan satu kelompok lagi berada di gandok sebelah kiri.
Ketika Kasadha sedang sibuk mengatur pendapa dan pringgitan dengan membentangkan tikar di pringgitan untuk beristirahat orang-orangnya, maka Bharata telah mendatanginya. Sambil tersenyum ia berkata, "Di gandok terdapat sebuah amben yang besar. Cukup untuk enam orang. Sementara itu, ada dua amben kecil yang dapat menampung empat orang."
"Kami akan tidur di lantai," berkata Kasadha.
"Biarlah kedua amben kecil itu dibawa keluar. Setidak-tidaknya kau dan tiga orangmu bergantian dapat tidur di pembaringan," berkata Bharata.
Tetapi Kasadha tertawa. Katanya, "Bukankah kami sudah terlatih untuk tidur dimana saja" Disini, di pringgitan masih cukup hangat, terlindung oleh dinding di sebelah menyebelah. Dirga yang memilih di ruang dalam mulai mengeluh. Ternyata udaranya panas sekali. Di malam hari, mereka justru tidak akan mudah untuk dapat tidur."
"Kita akan berada di tempat ini untuk waktu yang tidak terbatas," berkata Bharata, "jika setiap malam orang-orangmu terkena angin malam yang basah, maka mungkin ada di antara mereka yang tidak tahan."
Tetapi Kasadha menggeleng. Katanya, "Seorang prajurit harus tahan berada di segala tempat dan di segala musim. Tempat ini terlalu baik bagi kami."
Bharata termangu-mangu. Namun ia akhirnya tertawa. Katanya, "Jika perlu, pada hari-hari tertentu kita dapat bertukar tempat."
Ternyata hal itu tidak perlu dilakukan. Beberapa saat kemudian beberapa orang pembantu Ki Demang telah datang membawa beberapa buah tirai bambu yang dapat dipergunakan untuk melindungi angin. Bahkan beberapa orang yang lain telah membawa beberapa buah amben bambu yang kemudian ditempatkan di pringgitan.
"Nah," berkata Kasadha, "bukankah sudah beres?"
Bharata mengangguk-angguk.
Sementara itu ketika Dirga keluar dari ruang dalam berkata dengan serta-merta, "Kita bertukar tempat."
Tetapi Kasadha menggeleng. Katanya, "Kau telah memilih lebih dahulu tempatmu."
"Di dalam panas sekali," berkata Dirga, "dengan selintru bambu maka pringgitan ini menjadi bilik yang sejuk."
"Itu di luar perhitungan kami. Ternyata Ki Demang sangat memperhatikan kami, meskipun nampaknya amben-amben bambu itu tidak begitu kuat, sehingga jika dipergunakan oleh lebih dari dua orang, suaranya akan berderit-derit membangunkan yang sudah tertidur nyenyak sekalipun."
"Tetapi udara di pringgitan ini lebih baik daripada di ruang dalam," berkata Dirga.
Namun sambil tersenyum Kasadha berkata, "Aku disini saja bersama anak-anakku. Jika kau kepanasan di dalam, bukankah pendapa ini cukup untuk tidur empat puluh orang sekaligus."
Dirga mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia sudah memilih sendiri tempat di ruang dalam. Ternyata bahwa lebih terbuka di ruang-ruang lain. Juga peredaran udara di dalam terasa sendat sehingga udara di ruang dalam menjadi pengap dan panas, bahkan agak gelap.
Demikianlah, setelah mereka mengatur pembagian ruang bagi setiap kelompok, maka mereka mulai mengatur penjagaan. Mereka tidak hanya menjaga regol halaman. Tetapi mereka harus juga mengawasi halaman samping dan kebun belakang. Terutama di malam hari. Mereka menyadari bahwa para prajurit Mataram adalah prajurit yang berani. Bahkan mereka yang tidak pernah mengalami latihanpun telah berani melakukan tugas yang biasanya hanya dibebankan kepada prajurit-prajurit yang berpengalaman. Sehingga dengan demikian maka mereka harus benar-benar bersiaga menghadapi segala kemungkinan.
Akhirnya keempat pemimpin kelompok itupun mendapatkan kesepakatan dalam pembagian waktu dan tempat tugas kelompok mereka masing-masing, sehingga setiap saat dan tempat akan dipertanggung-jawabkan oleh keempat kelompok agar mereka tidak saling menyalahkan apabila terjadi sesuatu.
Ternyata di rumah yang lain, telah dilakukan pula pembagian ruang dan waktu. Tetapi seperti para prajurit yang baru, ternyata keempat kelompok prajurit di rumah sebelah kiri juga melakukan penjagaan bersama sebagaimana para pengawal yang baru.
Namun dalam pada itu, di rumah Ki Demang telah dilakukan penjagaan khusus. Para pengawal Kademangan itu telah diikutsertakan bersama para prajurit Pajang, Namun Ki Lurah cukup berhati-hati, sehingga di antara para pengawal di ruang masing-masing telah diadakan penjagaan khusus.
Ketika kemudian para prajurit itu mengalami malam hari untuk pertama kalinya di Kademangan itu, maka rasa-rasanya malam memang terlalu sepi. Demikian matahari terbenam, maka jalan-jalan telah menjadi lengang. Tidak menunggu saat sepi bocah, maka Kademangan itu seakan-akan telah tertidur nyenyak.
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun dari kejauhan ternyata masih juga terdengar suara tembang macapat yang mengalun di sepinya malam. Suara seorang laki-laki yang bergetar bagaikan menyentuh setiap hati para prajurit yang merasa berada di tempat yang asing.
Sementara mereka yang bertugas, justru merasa mendapat seorang kawan lagi. Setidak-tidaknya orang yang membaca kidung itu masih belum tidur. Mungkin keluarganya juga ikut mendengarkannya.
Dalam pada itu, di regol rumah Ki Demang, tetangganya sebelah menyebelah telah mendapat penjagaan yang kuat. Bahkan setiap sudut dari halaman dan kebun ketiga rumah yang berhubungan itu mendapat pengawasan dari orang-orang yang terlatih. Tidak akan ada seekor bilalangpun yang dapat lolos dari pengawasan mereka.
Di rumah sebelah kanan, meskipun yang ada di tempat itu termasuk prajurit-prajurit baru, tetapi secara pribadi mereka justru telah memiliki bekal yang cukup. Ditambah latihan-latihan khusus dalam hubungannya dengan kedudukan mereka sebagai prajurit. Dengan demikian maka penjagaan di tempat itu tidak kalah ketatnya dibanding dengan penjagaan di rumah sebelah kiri, yang ditempati oleh para prajurit yang sudah berpengalaman sebagai prajurit.
Namun dalam pada itu, di luar pengetahuan para prajurit Pajang, maka suara tembang itupun telah mendapat perhatian sepenuhnya dari dua orang yang dengan diam-diam menyusup ke dalam padukuhan induk Kademangan itu. Dengan saksama kedua orang yang bersembunyi di kegelapan itu mendengarkan kidung yang mengalun di malam hari menyayat sepinya suasana.
"Jadi mereka telah datang," berkata salah seorang di antara kedua orang itu.
"Sekitar seratus orang," desis yang lain.
Keduanyapun terdiam pula. Sementara itu suara tembang itu masih saja terdengar. Lima bait telah terbaca. Namun kemudian orang itu telah mengulanginya dari bait yang pertama.
Tetapi para prajurit yang mendengarkan kidung itu dari kejauhan, tidak mendengar isi kidung itu, karena mereka memang tidak begitu memperhatikannya.
Namun kedua orang itu mengetahuinya, bahwa orang yang membaca kidung itu memberikan isyarat, bahwa agaknya para prajurit itu sedang mengatur diri sehingga belum akan keluar dari sarang mereka pada malam yang pertama mereka berada di padukuhan induk itu.
Ternyata kedua orang itu adalah orang-orang yang memang berani. Dengan isyarat itu, maka mereka justru telah dengan diam-diam berusaha mendekati rumah itu. Meskipun keduanya mengetahui, bahwa di padukuhan induk itu di setiap malam selalu dikelilingi oleh para peronda yang terdiri dari para pengawal dan anak-anak muda padukuhan induk itu, yang pada malam itu akan dapat memanggil bantuan para prajurit Pajang jika mereka merasa perlu.
Dengan sangat berhati-hati kedua orang itu telah memasuki regol rumah orang yang sedang melagukan kidung yang ngelangut memecah sepinya malam itu.
Perlahan-lahan salah seorang dari kedua orang itu telah mengetuk pintu. Dua kali tiga ganda.
Suara kidung itu sama sekali tidak berhenti. Namun orang lainlah yang telah pergi ke pintu dan membuka pintu itu dengan hati-hati.
Demikian kedua orang itu masuk, maka pintupun segera telah ditutup kembali.
"Kenapa kau datang kemari?" bertanya orang yang membuka pintu itu, sementara suara kidung itu beralun terus.
"Kami ingin penjelasan. Bukan sekedar isyarat yang hanya dapat aku raba-raba," jawab salah seorang dari kedua orang itu.
"Tetapi kau telah melakukan satu langkah yang sangat berbahaya," berkata orang yang membuka pintu itu.
"Kalian tentu memerlukan kami datang," berkata orang yang datang itu, "jika tidak untuk apa kalian memberikan isyarat bahwa orang-orang Pajang itu belum akan keluar malam ini."
"Satu dugaan saja," jawab orang yang membuka pintu, "tetapi karena kalian sudah ada disini, biarlah kami memberikan keterangan."
Dengan singkat orang itupun telah memberikan keterangan tentang kehadiran para prajurit Pajang. Menurut perhitungan mereka memang sekitar seratus orang.
"Cukup banyak," berkata salah seorang yang datang itu.
"Mereka nampaknya akan memanfaatkan para pengawal, anak-anak muda dan setiap laki-laki yang ada yang akan disusun dalam lapisan-lapisan tersendiri," berkata orang yang membuka pintu itu.
"Satu sikap yang sudah dapat ditebak. Itu adalah sikap yang sangat wajar dan ditempuh oleh Pajang selama ini. Agaknya Matarampun akan menempuh cara yang sama," sahut salah seorang yang baru datang itu. "Namun kita semuanya sudah siap menghadapi rencana itu."
"Mungkin para prajurit itu baru besok melihat-lihat suasana di padukuhan ini," berkata orang itu. Sementara itu, suara tembang yang ngelangut itupun masih saja menggetarkan udara.
Namun salah seorang dari kedua orang itupun berkata, "Baiklah. Kami akan minta diri."
"Berhati-hatilah. Suasana di Kademangan ini tentu berubah karena kehadiran para prajurit itu," berkata orang yang membuka pintu.
"Kami menyadari itu," jawab salah seorang di antara mereka yang datang, "tetapi itu sudah ada dalam perhitungan kami. Justru kalian yang tinggal di Kademangan inilah yang harus lebih berhati-hati. Prajurit Pajang adalah prajurit pilihan. Petugas sandi merekapun memiliki kemampuan yang tinggi."
"Tetapi gairah perjuangan mereka tidak setinggi orang-orang Mataram," jawab orang yang membukakan pintu.
"Itu karena Kanjeng Sultan Pajang sendiri belum menjatuhkan perintah. Namun, demikian perintah itu jatuh, jika tidak berhati-hati, maka Mataram akan dapat digilas," jawab salah seorang dari kedua orang yang baru datang itu.
Orang yang membukakan pintu itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Tetapi tidak ada seorangpun yang akan mampu menundukkan Panembahan Senapati. Di saat-saat Kangjeng Sultan dalam kebimbangan, maka Mataram harus mengambil langkah-langkah yang menguntungkan. Apalagi menurut pendengaranku Kangjeng Sultan di saat-saat terakhir, kesehatannya sangat menurun."
"Tetapi Adipati Tuban terlalu mendesak," jawab orang yang membukakan pintu.
Kedua orang yang datang itu mengangguk-angguk.
Sementara itu lima bait yang diulang oleh orang yang membaca kidung itu telah berakhir. Karena itu, maka orang itupun berhenti melontarkan tembang yang menggetarkan sepinya malam.
Ketiga orang yang berbincang itupun kemudian mendekatinya. Namun agaknya orang itu tidak berkata apapun juga, kecuali sebuah perintah, "Tinggalkan tempat ini."
"Tetapi ada yang perlu kita bicarakan," jawab salah seorang dari keduanya.
"Tinggalkan tempat ini secepatnya," berkata orang itu.
Kedua orang itu tidak menjawab. Namun keduanya meyakini betapa tajamnya firasat orang yang telah berhenti membaca kitab itu.
Karena itu, maka keduanyapun segera meninggalkan tempat itu, sementara orang yang membukakannya pintu itu sempat berpesan, "Berhati-hatilah."
Sejenak kemudian, maka pintupun telah tertutup kembali.
Namun sebelum kitab yang dibaca itu ditutup, telah terdengar lagi pintu diketuk. Tidak dengan isyarat dua kali tiga ganda.
"Bukakan pintu," berkata orang yang semula membaca kitab itu.
Sejenak kemudian pintupun telah terbuka. Tiga orang anak muda berdiri di depan pintu.
"Maaf Kiai," desis salah seorang di antara anak-anak muda itu, "ketika Kiai berhenti membaca, malam rasa-rasanya menjadi sangat sepi."
Orang yang membaca kidung itu tertawa. Katanya, "Mulutku sudah menjadi lelah anak-anak muda. Tetapi marilah, silahkan duduk."
Anak-anak muda itupun kemudian masuk dan duduk pula di hadapan orang yang membaca kidung itu.
"Kami ingin belajar Kiai. Selama ini, hampir setiap malam kami mendengar Kiai membaca. Rasa-rasanya kami ingin dapat membaca kidung seperti Kiai. Sebenarnyalah jika ada waktu beberapa orang anak muda ingin datang untuk belajar," berkata salah seorang di antara anak muda itu.
Orang tua yang membaca kidung itu tertawa. Katanya, "Ada baiknya jika kalian berminat belajar macapat. Kumpulan lagu-lagu untuk membaca kitab yang berisi bermacam-macam hal. Kitab yang berisikan babad. Kitab yang berisi petunjuk tentang hidup dan kehidupan dan kitab yang berisi berbagai macam ilmu antara lain ilmu perbintangan, pertanian yang berhubungan erat dengan ilmu perbintangan dan lain-lainnya."
"Menarik sekali," jawab anak muda itu.
"Baiklah," berkata orang tua itu, "kita dapat membicarakan, kapan kalian dapat datang dan belajar melagukan kidung. Tetapi sudah tentu tidak sekarang."
"Ya Kiai. Tidak sekarang. Kami akan berbicara dengan kawan-kawan." anak muda itu berhenti sejenak, lalu, "Tetapi kami mohon kali ini Kiai melanjutkan bacaan Kiai. Kami ada di gardu di ujung lorong ini. Rasa-rasanya malam menjadi sepi jika Kiai tidak membaca."
Orang tua itu tertawa. Katanya, "Aku sudah membaca beberapa bait." Namun katanya, "Tetapi biarlah adikku itu membacanya. Ia juga dapat membaca suaranyapun cukup baik. Ia baru datang sore tadi."
Anak-anak muda itu mengangguk hormat kepada orang yang membukakan pintu dan disebut adik itu.
"Ia semula tinggal di Pajang. Tetapi setelah isterinya meninggal tanpa meninggalkan anak, untuk menghilangkan kenangan pahit itu ia kembali kemari. Ia akan tinggal bersamaku disini. Mungkin ia akan dengan senang hati mengajari kalian melagukan kidung untuk melupakan masa lampaunya itu," berkata orang tua itu.
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, "Tolong Kiai. Isilah malam ini dengan tembang yang dapat menemani tugas kami."
Orang tua itu mengangguk-angguk. Tetapi kemudian katanya kepada orang yang disebut adiknya itu, "Bacalah. Kitab ini adalah kitab yang berisi berbagai macam petunjuk tentang tingkah laku."
Orang yang disebut adiknya itupun beringsut. Ia telah mengambil kitab yang lain. Kemudian iapun telah bersiap untuk membacanya.
"Tetapi suaraku tidak sebaik suara kakakku," berkata orang itu.
"Tidak apa-apa," jawab anak-anak muda itu hampir berbareng. "Yang penting jantung kami menjadi hangat karenanya." Namun kemudian seorang di antara anak-anak muda itu berkata, "Aku akan mendengarkan di gardu saja Kiai."
Anak-anak muda itupun kemudian telah mohon diri. Meskipun orang-orang tua itu mempersilahkannya tinggal, tetapi seorang di antara anak-anak muda itu berkata, "Kami akan sangat mengganggu jika kami disini."
Demikianlah anak-anak itu keluar dan pintu rumah itu tertutup, maka telah terdengar lagi suara tembang yang menggetarkan udara malam. Ternyata suara orang yang disebut adiknya itu tidak kalah baik dari suara orang yang membaca pertama. Tinggi meliuk dalam. Kemudian seperti terayun mendatar. Namun tiba-tiba menanjak naik seperti seekor burung alap-alap yang memburu mangsanya. Tetapi sejenak kemudian menukik tajam. Akhirnya perlahan-lahan suaranya mengambang dan mencapai satu persinggahan yang terasa sangat sejuk.
Anak-anak muda yang meninggalkan rumah itu kembali ke gardu merasa senang mendengar tembang itu kembali mengisi sepinya malam.
Namun dalam pada itu, dua orang yang telah memasuki rumah itu ternyata masih ada di halaman samping. Mereka memang memperhatikan isi tembang ini. Mungkin ada pesan-pesan lain yang dilontarkan setelah tiga orang anak muda memasuki rumah itu. Tetapi ternyata tembang itu untuk selanjutnya tidak memberikan pesan apapun juga.
"Firasat orang tua itu ternyata benar-benar tajam," berkata salah seorang dari keduanya.
"Beberapa saat saja kita terlambat, maka padukuhan induk Randukerep ini akan menjadi gempar," desis yang lain.
"Meskipun tidak akan ada seorangpun yang mampu menangkap kita, tetapi kehadiran kita akan membuat orang-orang Randukerep dan khususnya prajurit Pajang itu menjadi semakin berhati-hati. Penghuni rumah itupun harus ikut bersama kita meninggalkan padukuhan ini," berkata yang pertama.
Namun yang lainpun kemudian berkata pula, "Marilah. Kita tinggalkan tempat ini."
Demikianlah maka kedua orang itupun kemudian dengan hati-hati telah meninggalkan halaman rumah itu. Mereka meloncati dinding halaman yang satu kemudian dinding yang lain, sehingga akhirnya keduanya telah meloncati pula dinding padukuhan induk dan hilang menyusup di antara tanaman yang hijau di sawah.
Sementara itu, di rumah Ki Demang dan rumah tetangganya ternyata ada juga beberapa orang prajurit yang ikut menikmati suara tembang yang hanya terdengar lamat-lamat antara silirnya angin. Kadang-kadang hilang, kadang-kadang terdengar lebih jelas.
Dengan demikian maka di Kademangan Randukerep itu justru terasa betapa tenang dan damai. Seakan-akan tidak pernah terjadi keributan sama sekali. Apalagi kekerasan. Di malam hari yang sepi yang terdengar adalah suara tembang yang ngelangut menggetarkan udara menyentuh jantung.
Para prajurit itu di Pajang memang jarang sekali mendengar tembang yang mengalun di malam hari, bahkan sampai jauh malam menjelang tengah malam.
Tetapi ketika malam menjadi semakin dalam dan sepi mencengkam Kademangan itu, maka para prajurit telah berada kembali dalam suasana yang menegangkan. Lebih-lebih lagi mereka yang bertugas di regol, di halaman dan di kebun belakang. Seakan-akan berpasang-pasang mata telah mengintai mereka meskipun merekalah yang seharusnya bertugas mengintai.
Ketika suara tembang itu berhenti, maka yang terdengar adalah suara cengkerik dan belalang. Angin menandai waktu, bahwa malam menjadi semakin jauh menjelang dini.
Memang tidak terjadi sesuatu malam itu. Namun bagi para prajurit Pajang, terasa ketegangan mulai mencengkam.
Di hari berikutnya, maka Ki Lurah Dipayuda mulai mempersiapkan pasukan kecilnya itu bukan saja berada dan berjaga-jaga di Kademangan. Tetapi mereka harus juga meronda di seluruh Kademangan dan Kademangan di sekitarnya.
Tetapi sebelum merambah ke daerah di sekitarnya, maka Ki Lurah akan memperkuat lebih dahulu landasan kedudukannya di Kademangan Randukerep. Ia harus menyesuaikan diri dengan kehidupan di Kademangan itu dan kemudian menyusun langkah-langkah yang paling baik dilakukan.
Ki Lurahpun harus mengetahui sebanyak-banyaknya tentang sikap dan tingkah laku para prajurit Mataram jika mereka datang ke Kademangan Randukerep dan sekitarnya.
Untuk itu maka Ki Lurah memang tidak cukup mempergunakan waktu satu dua hari.
Di hari pertama Ki Lurah dan dua orang pemimpin kelompok serta tiga orang prajurit telah pergi melihat-lihat pasar di padukuhan induk Randukerep. Pasar yang menjadi sangat ramai setiap sepekan sekali. Di hari-hari biasa, pasar itu memang juga termasuk ramai. Tetapi tidak seperti di hari pasaran, yang rasa-rasanya pasar itu tidak muat lagi.
Ki Lurah Dipayuda itu memang merasa heran bahwa seakan-akan di daerah itu tidak pernah terjadi sesuatu yang membuat mereka resah. Pasar itu tidak menunjukkan bahwa sering terjadi gangguan ketenangan, sehingga para pedagang telah menawarkan dagangan mereka dengan tidak ragu-ragu sama sekali. Mereka yang berjualan telurpun telah dibentang di atas tampah-tampah dengan memisahkan telur itik dan telur ayam. Sementara itu yang berjualan sayur-sayuranpun telah digelar di atas amben bambu yang rendah. Pande besi di pinggir pasar itu bekerja seperti biasanya, membuat alat-alat pertanian. Membuat parang, kejen bajak dan alat-alat yang lain.
"Orang-orang Mataram memang cerdik," berkata Ki Lurah Dipayuda, "mereka tidak meninggalkan kesan yang dapat membuat orang-orang kademangan ini menjadi ketakutan. Mereka tentu telah membujuk orang-orang Kademangan ini dan bersikap manis kepada mereka."
Para pemimpin kelompok yang menyertainya mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, "Kita mempunyai gambaran yang agak lain dari mereka sebelumnya. Kita mengira bahwa orang-orang Mataram itu bersikap kasar dan kadang-kadang melakukan kekerasan. Beberapa laporan yang diterima di Pajang menyebutkan demikian. Di beberapa daerah yang lain, kekerasan telah terjadi sehingga tiga Kademangan telah terpaksa mengungsi karena tingkah-laku para prajurit Mataram. Tetapi disini agaknya mereka bersikap lain."
Ki Lurah mengangguk-angguk kecil. Iapun pernah mendengar laporan seperti itu. Bahkan dibumbui dengan laporan tentang pembakaran rumah dan banjar padukuhan. Tetapi dalam setiap pembicaraan, ia belum pernah berbicara dengan kawan-kawannya yang pernah melihat sendiri orang-orang Mataram membakar rumah dan banjar padukuhan.
Tetapi sebagai seorang yang berpengalaman luas, maka Ki Lurah berkata kepada kedua pemimpin kelompok itu, "Justru sikap seperti inilah yang sangat berbahaya bagi Pajang. Dengan lembut orang-orang Mataram telah menarik perhatian orang-orang yang ada di perbatasan. Untuk itu kita sukar meyakinkan kepada mereka, bahwa kita semuanya harus menentang berdirinya Mataram di Alas Mentaok. Berbeda halnya jika Mataram berbuat kasar. Kita akan dengan mudah menggerakkan orang-orang yang marah untuk menghancurkan mereka."
Salah seorang pemimpin kelompok itu mengangguk sambil berdesis, "Tugas kita memang berat."
"Lebih berat daripada kita disuruh ke dalam peperangan yang langsung berhadapan dengan pasukan lawan," sahut Ki Lurah.
Kedua orang pemimpin kelompok yang bersamanya itupun mengangguk-angguk pula. Keduanya melihat bahwa Ki Lurah itu berkata dengan sungguh-sungguh. Bahkan nampak sedikit kecemasan pada wajah dan sikapnya.
"Kita tidak boleh terlambat. Kita harus segera mengatur pertahanan. Pasukan kita kecil saja sehingga kita harus mampu memanfaatkan kekuatan yang ada di Kademangan ini," berkata Ki Lurah.
"Dalam keadaan yang mendesak, bukankah kita dapat minta bantuan dari Pajang?" bertanya salah seorang di antara kedua orang pemimpin kelompok itu.
"Kita harus membuktikan dahulu. Jika kita jelas tidak dapat mengatasi kesulitan disini, barulah kita minta bantuan. Dengan demikian kita akan dapat mengirimkan laporan yang lengkap dan meyakinkan," berkata Ki Lurah.
Tetapi para prajurit yang ikut bersama Ki Lurah itu sempat berkata kepada diri sendiri, "Asal saja kita belum habis disini."
Dalam pada itu, dari pasar Ki Lurah langsung kembali ke Kademangan. Sebenarnya hari itu Ki Lurah tidak mempunyai rencana untuk melihat-lihat keluar dari padukuhan induk. Tetapi ternyata Ki Lurah merubah rencananya. Hari itu juga Ki Lurah ingin berkunjung ke beberapa padukuhan terdekat.
"Aku minta Ki Demang atau satu dua bebahu yang Ki Demang tugaskan, untuk menyertai kami, agar jika kami bertemu dengan para pengawal dan anak-anak muda tidak terlalu banyak mendapat pertanyaan," berkata Ki Lurah.
Ternyata Ki Demang menjawab, "Marilah. Aku sendiri akan mengantar Ki Lurah melihat-lihat Kademangan ini."
Demikianlah, sejenak kemudian, Ki Demang telah bersiap-siap untuk mengadakan perjalanan berkuda di sekeliling kademangannya. Sementara itu, Ki Lurah telah mengajak pemimpin kelompok yang dua itu. Pemimpin kelompok tertua di antara para pemimpin kelompok yang lain bersama ketiga orang prajurit yang itu juga, yang oleh Ki Lurah dianggap memiliki kelebihan dari para prajurit yang lain.
Beberapa saat kemudian, maka beberapa ekor kuda telah berderap menyusuri jalan induk yang membelah padukuhan induk itu. Mereka telah keluar dari pintu gerbang padukuhan dan menempuh jalan bulak menuju ke padukuhan yang lain.
Ternyata dugaan Ki Lurah Dipayuda itu keliru. Di padukuhan-padukuhan itu sama sekali tidak terdapat pengawal atau anak-anak muda yang bersiap-siap di banjar seberapapun jumlahnya. Tidak nampak kesiagaan sama sekali dari para penghuni padukuhan itu, apalagi kesibukan dalam suasana perang.
"Tidak ada penjagaan dan pengawasan sama sekali Ki Demang," berkata Ki Lurah.
"Ya Ki Lurah. Aku memang tidak ingin rakyatku menjadi sangat gelisah dan ketakutan. Jika Kademangan ini berada dalam suasana perang, maka kehidupan akan berubah. Ketakutan akan tersebar ke setiap pintu rumah. Tatanan hidup akan segera menjadi kisruh," berkata Ki Demang.
"Tetapi apa yang dapat Ki Demang lakukan selama ini untuk mempertahankan Kademangan," bertanya Ki Lurah.
"Tidak ada yang perlu dipertahankan," jawab Ki Demang, "para prajurit Mataram tidak pernah berusaha untuk menduduki Kademangan ini. Sekali-sekali mereka lewat. Dan itu sudah membuat keresahan yang gawat, sehingga aku harus mengatasinya dengan membuat suasana menjadi tenang."
"Dan sekarang Ki Demang tetap bersikap seperti itu" Jika demikian, buat apa kami harus datang kemari?" bertanya Ki Lurah.
"Kedatangan para prajurit Pajang dapat membuat hati kami semakin tenteram Ki Lurah. Seharusnyalah dengan kehadiran para prajurit Pajang, maka kehidupan akan dapat berjalan sewajarnya tanpa keresahan sama sekali sebagaimana jika para prajurit Mataram itu datang," berkata Ki Demang.
"Jadi dengan demikian kekuatan di Kademangan ini termasuk salah satu penentu, bahwa Kademangan ini akan dapat menjadi tenang," berkata Ki Lurah.
Ki Demang mengangguk sambil menjawab, "Ya. Dengan prajurit Pajang kita menjadi yakin. Kita akan dapat berbuat jauh lebih banyak. Tetapi sebelum prajurit Pajang datang, kami memang tidak berani berbuat apa-apa, karena kami tidak mempunyai kekuatan sama sekali."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Tetapi ia berkata, "Perasaan terlalu kecil ini harus dihilangkan Ki Demang. Kademangan ini bukannya tidak mempunyai kekuatan. Tetapi kekuatan itu dibiarkan tersembunyi. Bukankah Ki Demang mengatakan bahwa disini terdapat lebih dari lima puluh orang pengawal terlatih" Anak-anak muda di setiap padukuhan dan sejumlah laki-laki yang belum berumur limapuluh tahun?"
"Ya. Dan sekarang mereka mempunyai panutan dengan hadirnya para prajurit. Sebelumnya mereka merasa tidak berdaya, karena ternyata mereka tidak dapat mengatasi kemampuan prajurit Mataram yang jumlahnya jauh lebih kecil."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Tetapi ia sudah mempunyai lebih banyak gambaran tentang keadaan Kademangan Randukerep yang tentu tidak akan banyak berbeda dengan Kademangan-kademangan lainnya.
Ternyata ketika Ki Lurah melihat-lihat beberapa bagian dari padukuhan yang lain, maka suasananya tidak berbeda. Dengan demikian maka Ki Lurah memang dapat mengambil kesimpulan keadaan umum di Kademangan itu.
Demikian Ki Lurah dan Ki Demang sampai di rumah Ki Demang, maka Ki Lurah Dipayuda segera mengumpulkan para pemimpin kelompok dan memberikan gambaran umum tentang keadaan di padukuhan-padukuhan yang termasuk Kademangan Randukerep.
"Agaknya Kademangan-kademangan lain juga berada dalam suasana yang sama," berkata Ki Lurah. Lalu katanya, "Dengan demikian maka kewajiban kita semuanya adalah menunjukkan bahwa Mataram tidak akan dapat berbuat sesuka hatinya di Kademangan-kademangan wilayah Pajang. Seakan-akan merekalah yang memerintah di Kademangan-kademangan ini."
Para pemimpin kelompok itu hanya dapat mengangguk-angguk. Namun sudah terbayang satu tugas yang berat harus mereka hadapi.
"Pada kesempatan pertama, sebelum kita mampu menyusun kekuatan di antara para pengawal dan anak-anak muda padukuhan, maka kitalah yang harus bergerak meronda di seluruh Kademangan ini. Tidak mustahil bahwa kitapun harus bergerak di Kademangan tetangga yang juga masih termasuk wilayah Pajang," berkata Ki Lurah. Lalu katanya pula, "Ki Demang sudah sanggup menyediakan meronda di Kademangan ini. Berkuda. Menurut Ki Demang tidak akan sulit untuk mengumpulkan sekitar sepuluh sampai lima belas ekor kuda yang dapat dipinjam untuk kepentingan keprajuritan. Dengan demikian maka kuda-kuda itu akan dapat membantu mempercepat tata gerak kita selama kita berada di Kademangan ini."
Para pemimpin kelompok itu masih saja mengangguk-angguk. Sementara Ki Lurah berkata, "Kita menghadapi kerja keras. Kita belum mendapatkan apa-apa di Kademangan ini."
Sejak hari itu, maka prajurit Pajang telah menentukan tugas-tugas meronda bagi para prajurit. Untuk mempermudah pembagian tugas, maka tugas meronda akan dibebankan setiap hari satu kelompok di siang hari dan satu kelompok di malam hari. Sementara itu, tugas di tempat harus menyesuaikan diri dengan tugas meronda dari setiap kelompok itu.
Tetapi ternyata pelaksanaannya tidak semudah sebagaimana dikatakan oleh Ki Demang. Pada hari ketiga, baru lima ekor kuda yang dapat dikumpulkan.
Meskipun demikian Ki Lurah tidak mundur dengan rencananya. Karena baru ada lima ekor kuda, maka para prajurit yang meronda dilakukan dengan berjalan kaki. Setiap kelompok telah melakukan pengamatan di beberapa padukuhan yang ternyata memang belum melakukan persiapan apapun juga menghadapi keadaan yang semakin gawat antara Mataram dan Pajang.
Sementara itu, Ki Lurahpun akan memanggil para pengawal yang jumlahnya hampir mencapai enam puluh orang itu. Berdasarkan atas persetujuan Ki Lurah dan Ki Demang, maka pertemuan itu telah ditentukan dan para pengawalpun telah diundang untuk datang ke pendapa Kademangan.
Tetapi Ki Lurah menjadi sangat kecewa. Hampir separo dari para pengawal tidak datang ke Kademangan. Sebagian telah berpesan kepada kawannya untuk memberikan berbagai macam alasan. Sebagian di antara mereka adalah karena kerja di sawah yang tidak dapat mereka tinggalkan. Kemudian yang lain karena kesibukan di rumah atau sakit atau alasan-alasan yang lain.
Tetapi Ki Lurah menyadari, bahwa mereka bukan prajurit. Mereka adalah pengawal Kademangan yang tidak terikat terlalu erat sebagaimana seorang prajurit.
Karena itu, maka Ki Lurah yang merasa sangat kecewa itu telah menahan diri. Betapapun jantungnya bergejolak, namun ia berusaha berbicara dengan cara yang lebih lunak dari cara yang dipergunakannya sehari-hari di antara anak buahnya.
Ternyata bukan saja Ki Lurah yang menjadi sangat kecewa. Terutama para pemimpin kelompok telah menjadi marah meskipun tertahan. Seakan-akan para pengawal dan anak-anak muda Kademangan itu tidak menghiraukan sama sekali kehadiran para prajurit yang bertujuan untuk melindungi mereka.
Apalagi ketika mereka melihat, sikap Ki Lurah yang lunak seakan-akan tidak terjadi sesuatu, maka para pemimpin kelompok itu hampir tidak sabar lagi.
Namun demikian sikap Ki Lurah Dipayuda itu, bagi para pengawal telah terasa sangat keras. Ki Lurah dengan tegas telah berkata, "Kademangan ini adalah kademangan kalian. Bukan kademangan kami. Karena itu, tugas utama untuk mempertahankan Kademangan ini terletak dipundak kalian. Terutama para pengawal dan anak-anak mudanya. Kami mendapat perintah dari Panglima prajurit Pajang untuk membantu kalian. Jika kalian yang akan kami bantu tidak berbuat apa-apa, maka sudah tentu bahwa kami tidak akan dapat berbuat apa-apa juga."
Para pengawal yang kebetulan hadir hanya menundukkan kepalanya saja. Sementara itu Ki Lurah berkata, "Kalian pernah mendapat latihan keprajuritan. Karena itu, maka kalian akan segera terikat oleh ketentuan keprajuritan."
Beberapa orang pengawal saling ke pandangan. Agaknya mereka tidak sependapat dengan keterangan Ki Lurah Dipayuda itu. Bahkan seorang di antara para pengawal itu berani bertanya, "Ki Lurah, jika kewajiban kita sama dengan kewajiban seorang prajurit dengan menepati segala ketentuan yang berlaku bagi para prajurit, apakah hak kami sama dengan hak para prajurit?"
Ki Lurah merasa seakan-akan telinganya tersentuh api. Tetapi ia masih menahan diri dan berkata, "Hak kita sebagai warga Pajang yang besar, sama. Sama dalam arti sesuai dengan kedudukan kita masing-masing. Selanjutnya kewajiban kitapun sama. Seperti hak kita, maka kewajiban kita juga sama dalam pengertian sesuai dengan tugas kita masing-masing pula. Tetapi sebagai rakyat Pajang, maka kewajiban kita antara lain adalah mempertahankan negeri ini dari setiap sikap permusuhan darimanapun asalnya. Ketika kalian menyatakan diri menjadi pengawal, maka sudah tentu kalian mengetahui apa artinya pengawal Kademangan. Kemudian hak dan kewajiban kalian."
Para pengawal itu termangu-mangu. Namun tidak ada lagi yang mencoba bertanya.
Karena itu, maka Ki Lurahpun kemudian berkata, "Kademangan ini adalah bagian dari Pajang. Karena itu, maka segala perintah harus bersumber dari Pajang. Dalam keadaan gawat seperti ini, maka kewajiban para pengawal adalah sama dengan kewajiban para prajurit di lingkungan masing-masing. Aku adalah Lurah para prajurit Pajang yang bertugas di Kademangan ini. Aku adalah pemegang perintah, sementara kalian para pengawal harus melakukan perintahku."
Para pengawal hanya dapat menundukkan kepala mereka. Sementara Ki Demang yang berbicara kemudianpun telah minta agar para pengawal menyadari kedudukannya.
"Suasana menjadi semakin panas. Kita tidak dapat bermalas-malas seperti masa-masa lewat. Kita harus sudah mulai bangun dari tidur yang nyenyak. Beberapa kali kita sudah mengalami peristiwa yang menyakitkan hati. Kita memang sudah mencoba berbuat sesuatu, tetapi kita gagal justru karena selama ini kita sedang tidur. Apa yang kita lakukan itu bagaikan terjadi dalam mimpi buruk saja. Sekarang, dengan bantuan para prajurit dari Pajang, kita akan berbuat lebih baik."
Tidak ada yang menanyakan sesuatu. Sementara Ki Lurah berkata, "Besok kita akan bertemu lagi. Besok aku mengundang kalian dan mereka yang hari ini tidak datang. Kita akan mengatur tugas kita. Setiap hari, dan kelompok pengawal harus berada di rumah Ki Demang ini. Mereka akan melakukan tugas sebagaimana para prajurit. Kelompok itu akan dilakukan bergantian setiap waktu tertentu."
Para pengawal itu hanya dapat saling berpandangan. Sementara Ki Lurah Dipayuda berkata, "Sementara itu yang lain bukan berarti tidak bertugas apa-apa. Yang lain harus selalu bersiap jika setiap saat harus melakukan tugas-tugas penting. Di padukuhan masing-masing para pengawal harus menjadi penggerak bagi anak-anak muda untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan pertahanan. Mereka harus siap bertempur untuk mempertahankan kampung halamannya."
Ki Lurah memang masih banyak menahan diri. Ia sadar, bahwa segala sesuatunya harus dilakukan dengan sabar. Memang agak berbeda dengan para pemimpin kelompok yang ingin segala sesuatunya berlangsung dengan cepat, tegas dan tidak usah berbelit-belit. Tetapi jika Ki Lurah juga bertindak demikian, maka akan benar-benar terjadi justru sebaliknya dari yang diharapkannya.
Demikianlah, dengan sabar namun tegas Ki Lurah berusaha membangun Kademangan itu menjadi satu kesatuan pertahanan sebelum ia merambah ke Kademangan yang lain. Namun Ki Demang menyadari, bahwa ia dapat menggerakkan para pengawal dan anak-anak muda untuk melakukan tugas-tugas yang dibebankan kepada mereka. Tetapi rasa-rasanya pelaksanaannya masih belum memancar dari dalam hati mereka. Nampaknya seisi Kademangan itu belum memiliki kesadaran sepenuhnya apa yang sebenarnya mereka hadapi dalam pertentangan yang semakin tajam antara Mataram dan Pajang.
Tetapi dengan tidak jemu-jemunya Ki Lurah berusaha. Iapun selalu mengawani para pemimpin kelompok yang kadang-kadang menunjukkan sikapnya yang lebih keras dari Ki Lurah sendiri. Namun sikap yang keras itu kadang-kadang juga berarti, karena dengan sikap itu, maka para pengawal dan anak-anak muda Kademangan itu menjadi terdesak dan tidak berani menentangnya.
Dalam pada itu, sejak kehadiran prajurit Pajang di Kademangan itu, sama sekali tidak pernah nampak kelompok-kelompok kecil prajurit Mataram. Bahkan di Kademangan di sekitar Kademangan Randukereppun prajurit Mataram tidak lagi pernah menjamahnya.
Tetapi hal itu bukan berarti bahwa Mataram tidak mengetahui perkembangan yang terjadi di Kademangan itu dan sekitarnya. Beberapa orang yang memang tinggal di Kademangan itu adalah para petugas sandi dari Mataram. Bahkan para petugas sandi yang lainpun sering memasuki Kademangan itu tanpa sepengetahuan prajurit Pajang dan para pengawal Kademangan yang mulai melakukan tugas-tugas keprajuritan sesuai dengan perintah para prajurit Pajang.
Sementara itu, maka ketentuan yang dibebankan kepada para pengawal Kademangan itu mulai berjalan meskipun belum sepenuhnya. Dua kelompok yang bertugas di Kademangan itupun kadang-kadang tidak genap duapuluh.
Tetapi Ki Lurah Dipayuda masih berusaha untuk tetap bersabar. Dengan demikian maka Ki Lurah tidak menjadi hantu bagi para pengawal Tanah Perdikan, meskipun kadang-kadang sikapnya cukup keras.
Namun dalam pada itu, para pemimpin kelompoklah yang bersikap lebih keras dari Ki Dipayuda. Di padukuhan-padukuhan para pemimpin kelompok itu bertugas mengatur anak-anak muda untuk berhimpun dalam kelompok-kelompok agar lebih mudah untuk digerakkan. Setiap kelompok dipimpin oleh seorang yang ditunjuk yang akan bertanggung jawab bagi kelompoknya.
Meskipun hal itu mula-mula sulit dilakukan, namun lambat laun serba sedikit dapat berjalan juga. Jika semula gardu itu hanya berisi di malam hari, maka para prajurit Pajang telah mengatur agar gardu itu tetap terisi di siang hari. Para kelompok dapat mengatur orang-orangnya sesuai dengan kebutuhan dan keperluan mereka masing-masing, sehingga paling sedikit di siang hari, masing-masing ada dua orang di dalam gardu di dua mulut lorong induk di setiap padukuhan. Mereka harus mengawasi orang-orang yang keluar masuk padukuhan itu.
Kedatangan orang-orang Pajang benar-benar telah merubah tata kehidupan di Kademangan Randukerep. Meskipun Kademangan itu nampak lebih bersiaga menghadapi segala kemungkinan, tetapi kehidupan di dalamnya justru menjadi gelisah. Orang-orang Kademangan itu mulai berbicara tentang perang. Tentang permusuhan antara Pajang dan Mataram dan tentang kemungkinan perang itu terjadi di Kademangan mereka.
"Kenapa para prajurit Pajang itu ribut tentang orang-orang Mataram?" bertanya seseorang kepada kawannya, "Bukankah orang Mataram tidak berbuat apa-apa disini?"
Kawannya yang lebih memahami keadaan berkata, "Tetapi Mataram telah melanggar hak Pajang. Meskipun orang Mataram itu tidak berbuat apa-apa disini, tetapi bagi Pajang hal itu tidak dapat dibenarkan."
Orang yang bertanya itu hanya mengangguk-angguk saja, karena iapun tidak banyak mengetahui tentang persoalan antara Pajang dan Mataram.
Dalam pada itu, Bharata dan Kasadhapun telah menerima tugas sebagaimana para pemimpin kelompok yang lain. Dengan kelompok masing-masing, keduanya mendapat tugas untuk mengatur tiga buah padukuhan kecil yang letaknya berdekatan.
Kedua orang anak muda itu memang menemui kesulitan. Orang-orang yang tinggal di padukuhan itu tidak dengan cepat tanggap. Mereka memang menyatakan bahwa mereka bukannya prajurit yang dapat diatur sebagaimana para prajurit.
Betapapun bersabarnya Bharata dan Kasadha, namun sekali-sekali mereka harus menunjukkan sikap yang keras. Bahkan terhadap anak-anak mudanya Bharata dan Kasadha telah mengambil langkah-langkah khusus.
Keduanya telah memanggil semua anak-anak muda. Mereka diharuskan datang ke banjar salah satu dari ketiga padukuhan itu.
"Tidak ada alasan untuk tidak datang," berkata Kasadha.
"Bagaimana kalau sakit?" bertanya seorang anak muda.
"Dalam keadaan perang, maka orang sakitpun harus berusaha menyelamatkan diri jika ia memang belum berputus-asa," jawab Kasadha.
Dengan sikap yang kadang-kadang keras itu, maka perlahan-lahan usaha merekapun mulai berhasil.
Sementara itu, Dirga yang bertugas di sebuah padukuhan sebelah mengalami kesulitan yang lebih berat lagi. Dirga sendiri kurang bijaksana menanggapi keadaan di padukuhannya. Sebuah padukuhan yang dapat lebih besar.
Namun dalam pada itu, ternyata Bharata dan Kasadha telah menemukan tanda-tanda yang perlu mendapat perhatian khusus bagi para prajurit Pajang. Tetapi keduanya telah tergesa-gesa mengambil kesimpulan.
"Dalam waktu sepekan, tiga orang telah mengadakan upacara adat apapun alasannya. Tedak siten, menyambut tujuh bulan dari kehamilan pertama dan pasah pangur. Upacaranya sendiri memang sederhana dan kecil-kecilan. Tetapi tamu yang datang bukan saja dari padukuhan ini," berkata Bharata.
"Orang-orangku juga mengamati," jawab Kasadha, "dalam upacara-upacara itu, dua orang dari luar padukuhan ini selalu nampak hadir. Mungkin kita terlalu berprasangka buruk. Tetapi dalam keadaan seperti ini kita memang harus berhati-hati."
"Malam nanti kelompokku mendapat tugas meronda. Tetapi aku akan memasang kelompokku di tengah-tengah bulak saja. Aku sendiri akan memasuki padukuhan itu," berkata Bharata.
"Itu berbahaya," desis Kasadha, "Mungkin sesuatu memang tersembunyi di balik peristiwa itu."
"Tetapi agaknya itu lebih aman daripada kami sekelompok mendatangi padukuhan itu, karena dengan demikian mereka telah mempersiapkan diri untuk menghilangkan segala jejak. Tetapi aku harus dengan diam-diam memasuki padukuhan itu tanpa diketahui oleh siapapun. Oleh para pengawal dan anak-anak muda sekalipun."
"Kau jangan sendiri," berkata Kasadha.
"Sebaiknya aku justru sendiri," jawab Bharata, "aku tidak mengecilkan arti para prajurit. Tetapi kemampuan mereka kurang meyakinkan untuk tugas ini."
"Aku dapat membantumu," berkata Kasadha.
"Kau seorang pemimpin kelompok," berkata Bharata, "kau bertanggung jawab kepada Ki Lurah atau kelompokmu. Jika kau pergi bersamaku, justru di luar waktu tugasmu, kau dapat dianggap melakukan kesalahan jika tiba-tiba kelompok harus berbuat sesuatu."
"Bagaimana jika dengan sepengetahuan Ki Lurah?" bertanya Kasadha.
"Aku belum melihat sesuatu yang pantas untuk dilaporkan. Aku baru menyelidikinya," berkata Bharata.
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Berhati-hatilah. Jika kau memasuki padukuhan itu sendiri, maka prajurit-prajuritmu harus bersiap. Kaupun harus mampu memberikan isyarat dengan cepat mengatasi keadaan jika memang menjadi sulit."
Bharata tersenyum. Katanya, "Aku akan melakukannya dengan sebaik-baiknya."
"Prajuritkupun akan bersiap. Setiap saat dapat hadir untuk membantumu," berkata Kasadha.
"Kelompokmu mendapat kesempatan beristirahat malam nanti," sahut Bharata. "Jangan bebani prajurit-prajuritmu dengan tugas yang terlalu berat."
Kasadha tersenyum. Katanya, "Baiklah. Tetapi kita tidak dapat menganggap orang-orang padukuhan itu dungu sebagaimana kita lihat sehari-hari."
Demikianlah, maka dalam satu kesempatan khusus Bharata telah memberikan pesan-pesan terperinci kepada para prajuritnya. Malam nanti mereka akan bertugas meronda. Agaknya mereka mulai menjumpai persoalan yang perlu mendapat perhatian lebih banyak.
Ketika malam turun, maka para prajurit yang dipimpin Bharata sudah bersiap. Mereka bertugas untuk meronda malam itu. Mereka akan mengelilingi seluruh Kademangan, atau setidak-tidaknya pada bagian-bagian yang terpenting. Padukuhan-padukuhan yang besar sebagaimana biasa dilakukan oleh para prajurit dari kelompok yang lain.
Tetapi malam itu Bharata membuat acara yang lain. Ia akan menempuh caranya sendiri untuk menyelidiki dugaan-dugaan yang selama ini menggelitik jantungnya.
Menjelang tengah malam, maka kelompok Bharatapun telah melakukan perondaan sebagaimana biasa. Sepuluh ekor kuda yang dengan susah payah dikumpulkan oleh Ki Demang, ternyata adalah kuda-kuda yang sekedarnya saja dapat membantu mempercepat perjalanan. Sama sekali tidak seperti yang diharapkan oleh Ki Demang bahwa ia akan dapat mengumpulkan sekitar lima belas ekor kuda yang baik.
Malam itu sekelompok prajurit itupun telah meronda melewati jalan-jalan padukuhan. Di setiap gardu para prajurit sempat menyapa para pengawal dan anak-anak muda yang meronda.
Demikian juga ketika para peronda itu berderap di sebuah padukuhan kecil yang justru menarik perhatian Bharata. Padukuhan kecil itu adalah padukuhan yang jarang sekali dilalui oleh para peronda karena padukuhan itu seakan-akan tidak memiliki hal-hal yang menarik. Memang ada dua tiga orang kaya di padukuhan itu. Tetapi selain orang-orang kaya, tidak ada lagi yang perlu mendapat pengawasan khusus.
Hanya ada empat orang di gardu sebelah menyebelah. Empat orang di regol yang terletak di mulut lorong yang satu, empat orang yang berada di mulut lorong di seberang padukuhan itu. Rasa-rasanya padukuhan itu memang sepi. Sementara itu, obor-obor di regol-regol halamanpun banyak yang menyala.
Tetapi Bharata justru memperlambat derap kaki kudanya yang memang tidak begitu cepat itu. Berbincang sejenak di setiap gardu. Kemudian meninggalkan gardu itu.
Tetapi Bharata tidak beranjak jauh. Ketika mereka sudah berada di tengah-tengah bulak, maka pasukan itu berhenti. Seperti yang sudah direncanakan, maka Bharatapun telah meninggalkan kelompoknya sambil berjalan kaki.
"Kalian menunggu aku disini," perintah Bharata kepada prajurit-prajuritnya, "jika ayam jantan berkokok dan aku belum datang, kalian harus bergeser kembali ke padukuhan itu lagi. Tiga orang saja dengan berjalan kaki. Jangan melalui regol padukuhan. Amati keadaan. Kalian tahu apa yang kalian lakukan sebagaimana telah kita bicarakan siang tadi."
Dengan menunjuk seorang prajurit yang dianggap terbaik dari antara kawan-kawannya untuk memimpin kelompok itu, maka Bharatapun telah meninggalkan kelompoknya.
Dengan diam-diam Bharata telah berada kembali di padukuhan itu. Malam itu memang tidak ada orang yang membuat upacara apapun. Tetapi menarik sekali, bahwa terdengar orang sedang melagukan tembang yang ngelangut, sebagaimana sering didengarnya di padukuhan induk. Tidak saja di hari-hari tertentu yang dianggap hari-hari yang baik atau pada malam-malam setelah kelahiran seorang bayi, tetapi rasa-rasanya kapan saja dikehendaki.
Love Me Twice 1 Lambang Naga Panji Naga Sakti Karya Wo Lung Shen Pedang Keadilan 4