Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 30

14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 30


Namun para puteri yang letih itu tidak begitu berminat lagi untuk melihat-lihat sampai ke bagian belakang dalem kadipaten itu. Kangjeng Pangeran Puger yang mengerti bahwa para puteri itu sangat letih berkata kepada Ki Tumenggung Gending, "Mereka sudah sangat letih. Mereka perlu segera beristirahat, "Silahkan, Pangeran. Permadani sudah digelar di ruang tengah. Atau jika ingin beristirahat di serambi samping menghadap ke longkangan, telah disediakan pula tempat yang barangkah udaranya akan terasa lebih segar."
Demikianlah para puteri itupun segera pergi ke serambi meng hadap ke longkangan. Dibawah cahaya lampu yang terang benderang, mereka duduk ditempai yang terbuka. Udara memang terasa segar. An gin semilir menggoyang daun pohon bunga di longkangan yang telah di garap menjadi petamanan yang asri.
Kembang Soka yang berwarna merah muda yang sedang mekar di setiap ujung ranting-rantingnya telah membayangi lembar-lembar daun nya yang hijau. Sedangkan disudut kembang ceplok piring yang putih bersih menyebarkan bau yang harum menusuk hidung.
Para dayangpun segera dipanggil untuk berada di serambi pula. Sementara itu para abdi perempuan masih duduk di tangga pendapa sambil memijit-mijit betis mereka yang terasa tegang.
Namun mereka tidak sempat beristirahat terlalu lama. Sejenak kemudian, merekapun telah dipanggil. Tidak untuk ikut beristirahat diserambi, tetapi mereka diminta membantu menghidangkan minuman hangat kepada para puteri dan dayang-dayang yang ada di serambi.
Namun, ikut bersama mereka Sekar Mirah dan Rara Wulan. Ketika abdi perempuan yang sudah separo baya berusaha mencegahnya. Sekar Mirah berdesis, "Biarlah aku tetap berada diantara kalian."
Sementara itu, di belakang, beberapa orang pengawal telah menghidangkan minuman pula bagi kawan-kawan mereka.
Para prajurit yang biasanya bertugas menyediakan makan dan minuman, malam itu duduk di bawah sebatang pohon sawo. Beberapa orang prajurit sibuk menghidangkan minuman hangat bagi para prajurit yang mengawal Kangjeng Pangeran Puger, termasuk para prajurit yang biasanya menyediakan minuman dan makan itu. Termasuk diantara mereka adalah para prajurit yang menyiapkan bekal dan peralatan serta Glagah Putih.
Namun sejenak kemudian, setelah minum minuman hangat, maka Pangeran Pugerpun memerintahkan para prajurit untuk mengatur pedati serta kuda-kuda mereka.
"Setelah itu kalian dapat mandi dan kemudian beristirahat." Ternyata mereka memerlukan waktu yang cukup lama. Baru menjelang tengah malam, segala sesuatunya telah selesai.
Diruang dalam, para puteripun telah selesai berbenah diri. Demikian pula para dayang. Para abdi yang berada di serambi belakang-pun telah mandi pula.
Mereka merasakan tubuh mereka menjadi lebih segar. Yang masih merasa tidak terlalu letih, justru berada dihalaman belakang, sambil melihat-lihat tanamannya yang juga teratur rapi sebagaimana petamanan di longkangan.
Sekar Mirah dan Rara Wulan ada diantara para abdi yang berada di halaman belakang itu.
"Kau tidak beristirahat?" bertanya Rara Wulan kepada seorang abdi yang masih muda.
"Akui memang letih sekali. Tetapi duduk-duduk diserambi membuat urat-urat di kakiku semakin terasa tegang."
Sementara itu seorang abdi yang lain berbisik, "Aku tidak akan dapat tidur malam ini?"
"Kenapa" Apakah karena kau terlalu letih, justru badanmu menjadi terasa sakit?"
"Ya. Sendi-sendi miangku terasa nyeri. Tetapi lebih dari itu, perutku terasa lapar sekali."
"Ah, kau," desis emban yang sudah separo baya, "kau harus mulai mengenal laku prihatin. Jika laku prihatin itu tidak kau rasakan hasilnya, anak cucumu kelak yang akan menuainya"
"Apakah hidupku masih kurang prihatin" Tetapi persoalan perut agaknya memang berbeda."
"Jangan hanya semalam. Seorang yang sedang menjalani laku prihatin kadang-kadang akan menjalani pati geni tiga hari tiga malam."
"Aku dapat saja menjalaninya. Tetapi sejak semula memang sudah siap untuk menjalani laku pati geni. Tetapi sekarang aku tidak siap untuk tidak makan malam ini."
Rara Wulan tertawa Katanya, "Jangan cemas. Bukankah kita lihat ada kesibukan di dapur."
"Tetapi ini sudah tengah malam."
"Seandainya lewat tengah malam, apakah kau akan menolak jika dihidangkan makan malam?"
"Aku tidak terbiasa makan malam lewat tengah malam."
"Baiklah. Jika kau menolak, biarlah aku mendapatkan dua bagian, karena aku juga lapar sekali."
"Kau akan mengambil yang bukan hakmu?"
"Hanya jika tidak kau kehendaki."
"Siapa bilang aku akan menolaknya?"
Sekar Mirah dan kawan-kawannyapun tertawa.
Namun tiba-tiba saja abdi itu melangkah masuk ke serambi belakang sambil berkata, "Jika aku disini, jangan-jangan aku tidak dihitung."
Kawannya tertawa berkepanjangan, meskipun mereka berusaha menahannya.
Sedikit lewat tengah malam, makan malam memang baru dihidangkan. Ki Tumenggung Gending mohon maaf kepada Kangjeng Pangeran Puger atas kelambatan itu.
"Kami tidak tahu pasti, seberapa banyak kami harus menyediakan makam malam bagi Kangjeng Pangeran Puger beserta keluarga, para puteri, para dayang serta para abdi. Juga para prajurit dan pengawal yang lain."
"Tidak apa-apa Ki Tumenggung. Selama di perjalanan biasanya kami menyediakan sendiri. Tetapi disini kami tinggal menunggu. Kami justru mengucapkan terima kasih."
"Bukan hanya malam ini kami melayani Pangeran. Untuk selanjurnya kami akan melayani Pangeran. Kami akan menjalankan segala tugas yang Pangeran perintahkan kepada kami, karena Pangeran adalah Adipati di Demak."
Kangjeng Pangeran Puger tersenyum. Katanya, "Terima kasih, Ki Tumenggung. Mungkin aku masih akan mengucapkannya berulang kali lagi."
"Pangeran tidak perlu mengucapkan terima kasih. Apa yang kami lakukan adalah kewajiban kami."
Ketika makan malam sudah siap, maka Ki Tumenggung itupun segera mempersilahkan Kangjeng Pangeran Puger serta para puteri untuk makan di ruang dalam. Beberapa orang dayang sibuk melayaninya.
Baru setelah Kangjeng Pangeran Puger dan para puteri selesai, maka para dayang, para abdi dan para pengawal serta prajuritpun dipersilakan untuk makan pula.
Setelah selesai makan malam, maka Ki Tumenggung Gending mempersilahkan Kangjeng Pangeran Puger untuk beristirahat.
Namun Pangeran Puger masih minta waktu sedikit kepada Ki Tumenggung Gending untuk memperkenalkan keluarganya, Ki Lurah Adipraya yang memimpin para pengawalnya serta Ki Lurah Agung Sedayu, pemimpin prajurit yang membantu mengawalnya ke Demak.
"Ki Lurah Adipraya akan berada di Demak bersama para pengawal," berkata Kangjeng Pangeran Puger, "pada saatnya mereka akan mengambil keluarga mereka ke Mataram. Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu dan para prajurit akan kembali ke Mataram."
Ki Tumenggung mengangguk hormat sambil berkata, "Pangeran memang tidak memerlukan kelompok prajurit itu. Biarlah mereka kembali ke Mataram. Sementara itu, para pengawal tentu mempunyai ikatan tersendiri dengan Kangjeng Pangeran sehingga mereka pantas untuk tinggal di Demak."
"Tetapi tanpa para prajurit yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu, mungkin kejadiannya akan berbeda. Aku tidak tahu, apakah malam ini aku berada disini."
"Jika saja Kangjeng Pangeran mengirimkan utusan kemari, kami akan menjemput Kangjeng Pangeran ke Mataram."
Pangeran Puger menarik nafas panjang. Katanya, "Baiklah. Sekarang kami ingin beristirahat. Agaknya kami semuanya merasa letih."
Ki Tumenggung Gending itupun menyahut. Silahkan Kangjeng Pangeran. Kami sudah menyediakan tempat. Juga bagi para dayang dayang, para pengawal dan para abdi. Sedangkan para prajurit kami tidak dapat menyediakan tempat yang baik. Tetapi kami juga prajurit. Kami tahu, bahwa para prajurit dapat berada dimanapun juga."
"Ya, Ki Tumenggung," sahut Ki Lurah Agung Sedayu, "kami dapat berada di manapun sebagaimana Ki Tumenggung katakan."
Kangjeng Pangeran Puger mengerutkan dahinya. Namun ia tidak berkata apa-apa.
Malam itu, para prajurit Demak berada di serambi gandok yang terbuka. Dibentangkannya tikar pandan di serambi gandok kiri dan kanan. Sementara itu, bilik-bilik yang ada di gandok itu telah disiapkan dan diperuntukkan bagi para pengawal Kangjeng Pangeran Puger.
Tetapi para pengawal yang tahu diri itu, ternyata tidak ada yang berada di dalam gandok. Merekapun ikut tidur berdesakan di serambi bersama para prajurit Mataram. Sementara itu Ki Lurah Agung Sedayupun ada diantara mereka pula.
Para prajurit Demak yang bertugas telah melaporkannya kepada Ki Tumenggung Panjer, bahwa para pengawal yang telah disediakan tempat di gandok, ternyata memilih tidur berdesakan diserambi gandok kanan dan kiri.
Ketika Ki Tumenggung Panjer datang ke Gandog, sebenarnyalah ia melihat prajurit dan para pengawal tidur berdesakan.
Ki Tumenggung Panjer itupun segera mencari Ki Tumenggung Gending untuk memberitahukan apa yang dilihatnya itu.
Ki Tumenggung Gendingpun telah pergi ke serambi gandok. Ia melihat Ki Lurah Adipraya ikut tidur di serambi itu pula sebagaimana Ki Lurah Agung Sedayu.
Perlahan-lahan Ki Tumenggung Gending membangunkan Ki Lurah Adipraya. Ketika Ki Lurah itu terbangun, maka Ki Tumenggungpun berkata, "Ki Lurah. Kami sudah menyediakan tempat bagi para pengawal di gandok kanan dan kiri. Aku kira ruangan-ruangan di gandok itu cukup bagi para pengawal."
"Tetapi para prajurit tidak mendapatkan tempat di gandok itu," jawab Ki Lurah Adipraya.
"Biar saja para prajurit tidur di serambi. Bukankah mereka tidak termasuk keluarga Kangjeng Pangeran Puger?"
"Tetapi mereka adalah pelindung kami di perjalanan."
"Sudah aku katakan, seandainya Kangjeng Pangeran Puger memberitahukan kepada kami, maka kami akan menjemputnya. Kangjeng Pangeran Puger tidak memerlukan para prajurit Mataram itu. Prajurit Demak tidak kalah tatarannya dibandingkan dengan prajurit Mataram. Sedangkan para pengawal mempunyai kedudukan yang lain di bandingkan dengan para prajurit. Karena itu, maka kami menyediakan tempat yang lebih baik bagi para pengawal."
Tetapi Ki Lurah Adipraya menggeleng. Katanya, "Biarlah aku disini. Jika besok para prajurit itu masih juga ditempatkan di serambi, maka kamipun masih akan tidur diserambi ini pula."
Ki Tumenggung Gending menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Lurah Adipraya itupun berkata, "Yang aku katakan itu tadi apa yang sudah terjadi, Ki Tumenggung. Sementara apa yang dikatakan Ki Tumenggung, seandainya prajurit Demak yang mempunyai tataran kemampuan yang setidak-tidaknya sama dengan para prajurit Mataram itu, masih belum menjadi kenyataan."
"Ki Lurah meremehkan kemampuan prajurit Demak" Ki Lurah. Ki Lurah akan tinggal di Demak. Jika Ki Lurah tidak percaya kepada kemampuan prajurit Demak, maka Ki Lurah akan hidup dalam ketegangan, kegelisahan dan bahkan mungkin ketakutan karena Ki Lurah merasa tidak mempunyai pelindung yang baik."
"Bukan maksudku meremehkan prajurit Demak Ki Tumenggung. Aku percaya akan kemampuan prajurit Demak. Tetapi bukankah yang telah terjadi, bahwa prajurit Mataram telah mengawal Kangjeng Pangeran Puger sehingga selamat sampai ke Demak" Bukankah ini kenyataan yang harus kita terima?"
Ki Tumenggung Gending menarik nafas panjang. Katanya, "Baiklah. Besok akan kami pikirkan lagi, dimana para prajurit itu akan tidur."
Sementara itu, para prajurit yang khusus menjaga pedati yang berisi beberapa buah peti yang berisi benda-benda berharga, tidak beranjak dari pedati yang dijaganya. Mereka tidur bergantian justru didalam pedati, berdesakan dengan peti-peti yang ada didalam pedati itu. Bahkan seorang diantaranya yang tidak mendapat tempat, tidur sambil duduk bersandar peti-peti itu.
Dua orang diantara mereka duduk di bagian depan pedati itu sambil memeluk pedang mereka yang telanjang.
Sementara itu, para prajurit yang bertugas di perbekalan dan perlengkapan telah tidur mendekur di serambi. Mereka tidak akan kehilangan apa-apa. Orang-orang Demak tidak akan mencuri sisa-sisa bekal mereka serta alat-alat yang mereka bawa Demikian pula prajurit yang menyiapkan makan dan minum. Mereka justru telah dilayani makan dan minum oleh para prajurit Demak yang bertugas di dapur.
Glagah Putih yang berada diantara mereka telah tertidur nyenyak pula. Ia tidak melihat ketika Ki Tumenggung Panjer serta beberapa orang prajurit Demak mengagumi kudanya. Kuda yang memang jarang ada duanya.
Ki Tumenggung Panjer itupun bertanya kepada seorang prajurit yang berdiri di sebelahnya, "Kuda siapa ini?"
"Aku tidak tahu pasti, Ki Tumenggung. Tetapi aku lihat yang menuntun kuda ini salah seorang prajurit yang bertugas mengurus perbekalan atau mereka yang bertugas di dapur."
Seorang Lurah Prajurit yang paling disegani diantara para prajurit yang ikut dalam tugas malam itupun berkata, "Apakah aku harus memanggil salah seorang prajurit yang bertugas" Ada beberapa orang diantara mereka yang bertugas berjaga-jaga malam ini."
Ki Tumenggung Panjer menggeleng. Katanya, "Tidak perlu Ki Lurah Surawana. Besok saja usahakan untuk mengetahui kuda ini kuda siapa" Aku lihat hanya ada dua ekor kuda sebesar dan setegar kuda ini. Yang satu adalah kuda Kangjeng Pangeran Puger sendiri."
"Jangan-jangan ini juga cadangan bagi Kangjeng Pangeran Puger."
"Karena itu, besok kau harus mencari keterangan."
"Jika kuda ini bukan kuda Kangjeng Pangeran Puger?"
"Cari siapa pemiliknya. Aku akan berbicara dengan orang itu."
"Baik Ki Tumenggung."
Ki Tumenggung Panjerpun kemudian meninggalkan kuda itu untuk melihat-lihat suasana di halaman dalem kadipaten yang dipenuhi dengan beberapa buah pedati itu.
Ketika fajar menyingsing, maka para prajuritpun telah bersiap. Meskipun sebenarnya mereka merasa letih dan lebih senang tidur berkepanjangan, namun mereka berada dalam tugas, sehingga mereka-pun telah bersiap sebagaimana seharusnya mereka lakukan.
Para abdi perempuan serta para dayangpun telah bangun pula. Bergiliran mereka pergi ke pakiwan. Sementara itu, beberapa orang puteri pun telah bangun pula. Tetapi bagi mereka telah disediakan pakiwan tersendiri.
Dalam pada itu, ternyata Pangeran Puger sendiri telah bersiap pula sebagaimana para prajurit dan para pengawal. Ketika Ki Lurah Adipraya siap di pintu dalam, Kangjeng Pangeran Puger keluar dari biliknya. Ternyata Kangjeng Pangeran Puger itupun sudah mandi dan berbenah diri.
"Hari ini aku akan memperkenalkan diri dengan para pejabat di Demak, Ki Lurah," berkata Kangjeng Pangeran Puger.
"Hamba Pangeran."
"Beberapa orang diantara mereka sudah aku kenal dengan baik. Tetapi beberapa yang lain aku belum mengenalnya sama sekali."
"Hamba Pangeran. Tetapi apakah Pangeran sudah memberikan perintah kepada Ki Tumenggung Gending?"
"Sudah. Semalam aku telah mengatakannya. Hari ini, pada wayah pasar temawon, aku minta para pejabat datang ke kadipaten ini."
"Apakah hamba juga harus hadir dalam pertemuan itu?"
"Ya. Ki Lurah Adipraya dan Ki Lurah Agung Sedayu aku minta hadir dalam pertemuan itu. Pertemuan itu tidak akan lama. Aku hanya akan sekedar memperkenalkan diri dan mengenal dengan siapa aku akan bekerja sama memimpin kadipaten ini."
"Hamba Sinuhun."
"Beritahu Ki Lurah Agung Sedayu."
"Hamba Sinuhun."
Ketika matahari mulai memanjat naik, maka beberapa orang pejabat di Demak sudah berdatangan di dalem kadipaten. Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer juga sudah datang pula
Pada wayah pasar temawon, maka Kangjeng Pangeran Puger telah hadir di pendapa dalem kadipaten.
Dalam pada itu, selagi diadakan pertemuan di pendapa, Ki Lurah Surawana telah menemui beberapa orang prajurit Mataram, untuk mengetahui, kuda yang besar dan tegar itu milik siapa.
"Glagah Putih," jawab seorang prajurit yang bertugas di dapur.
"Glagah Puth?" ulang Ki Lurah Surawana.
"Ya." "Apakah ia prajurit dalam tugas yang sama dengan kau?"
"Tidak, Ki Lurah. Glagah Putih bukan seorang prajurit. Tetapi ia ikut dalam tugas ini."
"Bukan prajurit" Jadi apakah ia seorang pesuruh atau tenaga kasar yang diperbantukan kepadamu?"
Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Ia memang menjadi agak bingung. Kenapa tiba-tiba saja Glagah Putih berada diantara mereka.
"Begini saja, Ki Lurah. Sebaiknya Ki Lurah berbicara langsung saja dengan orang itu."
"Tolong, panggil orang itu."
Prajurit itupun kemudian telah memanggil Glagah Putih yang sudah duduk di tangga serambi gandok bersama seorang prajurit yang bertugas di dapur itu pula.
"Kau dicari Glagah Putih," berkata prajurit yang memanggilnya itu.
"Siapa yang mencari aku?"
"Seorang Lurah prajurit dari Demak. Ia mengagumi kudamu."
"Kudaku?" bertanya Glagah Putih.
Prajurit itu mengangguk. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sudah beberapa kali terjadi perselisihan justru karena kudanya itu. Beberapa orang pernah menginginkannya. Ada yang memaksa, sehingga Glagah Putih keras mempertahankannya.
Tetapi Glagah Putih itupun bangkit berdiri. Dengan malas ia berjalan menuju ke tempat kudanya dilambatkan.
Sebenarnyalah bahwa Ki Lurah Surawana masih menunggunya.
"Kaulah yang mempunyai kuda ini ?"
"Ya, Ki Lurah."
"Kau bernama Glagah Putih ?"
"Ya, Ki Lurah."
"Darimana kau dapatkan kudamu itu?"
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak ingin mengatakan yang sebenarnya darimana ia mendapatkan kuda itu. Karena itu, maka iapun menjawab, "Kuda ini pemberian seorang pamanku, Ki Lurah."
"Pamanmu " Darimana pamanmu mendapatkan kuda ini ?"
"Aku tidak tahu, Ki Lurah."
"Perhatikan. Beberapa ekor kuda yang dibawa oleh para pengawal dan para prajurit Mataram. Tidak ada yang sebesar dan setegar kudamu."
"Ya, Ki Lurah."
"Apakah kau tidak tahu diri, sehingga kau naik kuda yang sama besar dan tegarnya dengan kuda Kangjeng Pangeran Puger ?"
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Sebelumnya ia tidak pernah mernikirkannya, bahwa kudanya adalah satu-satunya kuda yang menyamai besar dan tegarnya kuda Kangjeng Pangeran Puger.
Namun Glagah Putih itupun menjawab, "Ki Lurah. Kuda ini adalah satu-satunya kuda yang aku miliki. Itupun kuda pemberian, karena aku tidak akan mungkin dapat membeli kuda sendiri. Karena itu, maka aku tidak dapat mempergunakan kuda yang lain."
Ki Lurah Surawana mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, "Glagah Putih. Ki Tumenggung Panjer ingin berbicara dengan kau."
"Aku?" "Ya Ki Tumenggung ingin berbicara dengan pemilik kuda ini. Karena pemiliknya adalah kau, maka Ki Tumenggung ingin berbicara dengan kau."
"Apakah aku harus menghadap Ki Tumenggung ?"
"Ya." "Sekarang?" "Tunggu sampai pertemuan di pendapa itu selesai."
"Baik, Ki Lurah. Sekarang perkenankan aku kembali ke tangga serambi gandok. Aku sedang beristirahat disana."
Ki Lurah Surawana mengerutkan dahinya. Ia menjadi heran, bahwa Glagah Putih sama sekali tidak menunjukkan perubahan apa-apa di wajah dan kata-katanya. Ia tidak menjadi gelisah, bahwa ia harus menghadap seorang Tumenggung apapun persoalannya.
Glagah Putih yang tidak menunggu jawaban Ki Lurah itu telah melangkah kembali ke tangga serambi gandok. Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih itu menjadi gelisah. Bukan karena ia harus menghadap seorang Tumenggung. Tetapi ia tahu, bahwa kudanya akan menimbulkan masalah lagi.
Baru saja Glagah Putih duduk, seorang prajurit telah datang memanggilnya.
"Sekarang yang ingin bertemu berbicara dengan kau adalah seorang Tumenggung."
Glagah Putih harus bangkit berdiri lagi. Dengan nada rendah iapun berkata, "Tentang kuda itu lagi."
"Ya." Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu ia melihat beberapa orang pejabat tinggi di Demak sudah meninggalkan pendapa. Nampaknya pertemuan dengan Kangjeng Pangeran Puger yang ingin memperkenalkan diri serta mengenali para pejabat di Demak itu sudah selesai.
Ketika ia sampai ke tambatan kudanya, kuda itu sudah berpindah tempat. Kuda itu sudah ditambatkan di sebatang pohon perdu.
"Kau yang bernama Glagah Putih ?"
"Ya, Ki Tumenggung," jawab Glagah Putih yang sudah mengenal bahwa Tumenggung itu adalah Ki Tumenggung Panjer.
"Kudamu bagus sekali. Besar dan tegar. Sama seperti kuda Kangjeng Pangeran Puger."
"Ya, Ki Tumenggung."
"Kenapa kau tidak mempergunakan kuda yang lebih kecil dari kuda Kangjeng Pangeran Puger " Bukankah dengan mempergunakan kuda yang sama besar dan tegarnya dengan kuda Kangjeng Pangeran Puger kau dapat dianggap deksura ?"
"Kudaku hanya satu, Ki Tumenggung. Karena itu, aku tidak dapat mempergunakan kuda yang lain."
"Aku ingin menolongmu."
"Menolong aku ?"
"Ya." "Maksud Ki Tumenggung ?"
"Aku tukar kudamu dengan dua ekor kuda. Kau akan mempunyai dua ekor kuda, sementara itu kau tidak dapat dianggap deksura karena kau mempergunakan kuda yang sama besar dan tegar dengan kuda Kangjeng Pangeran Puger."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sudah membayang di angan-angannya, bahwa akan terjadi masalah lagi dengan kudanya
Karena Glagah Putih tidak segera menjawab, maka Ki Tumenggung Panjer itupun mendesaknya lagi, "Kau tentu dapat berpikir dengan jernih Glagah Putih. Adalah satu keberuntungan bagimu bahwa kau mendapat kesempatan ikut bersama keluarga Kangjeng Pangeran Puger ke Demak, sehingga seekor kudamu akan ditukar dengan dua ekor kuda yang tentu juga cukup baik. Aku tidak mempunyai kuda yang tidak baik."
"Maaf, Ki Tumenggung," jawab Glagah Putih, "aku tidak berani melakukannya."
"Kenapa ?" "Jika paman menanyakan kuda yang diberikan kepadaku itu, bagaimana aku harus menjawabnya ?"
"Bukankah kuda itu sudah diberikan kepadamu ?"
"Ya, Ki Tumenggung."
"Jika demikian tentu terserah kepadamu. Jika pamanmu bertanya, katakan, bahwa kau tidak dapat bertindak deksura pada saat aku mendapat kesempatan mengiringi keluarga Kangjeng Pangeran Puger ke Demak."
"Tetapi bukankah Kangjeng Pangeran Puger sudah berada di Demak."
"Maksudmu?" "Aku tinggal akan menempuh perjalanan pulang, Ki Tumenggung. Aku tidak akan berada dalam iring-iringan bersama Kangjeng Pangeran Puger. Bukankah dengan demikian, apakah aku berganti kuda atau tidak, tidak akan berpengaruh lagi ?"
Ki Tumenggung mengerutkan dahinya. Dengan suara yang berat iapun berkata, "Kau sekarang berada di Demak, Glagah Putih. Aku adalah salah seorang pemimpin Demak."
"Aku mengerti, Ki Tumenggung."
"Karena itu, sebaiknya kau berpikir dua kali untuk menolak kebaikan hatiku itu."
"Sebenarnya aku tdiak menolak, Ki Tumenggung. Tetapi aku tidak berani melakukannya. Pamanku akan sangat marah sehingga hubunganku akan menjadi buruk. Padahal aku tahu bahwa aku harus menghormatinya. Ia sangat baik kepadaku sejak aku masih kanak-kanak."
"Tetapi jika kuda itu diberikan kepadamu dengan ikhlas, maka ia tidak akan mengungkit-ungkitnya lagi."
"Tetapi aku harus menghormatinya. Menghormati pemberiannya itu."
"Jadi kau berkeras untuk menolak uluran tanganku ini ?"
"Aku mengucapkan terima kasih, Ki Tumenggung. Tetapi aku tidak dapat melakukannya."
Wajah Ki Tumenggung Panjer menjadi merah. Kemarahannya terasa menyengat jantungnya. Namun Ki Tumenggung masih berusaha untuk menahan diri.
Ketika ia beranjak pergi, maka iapun berkala, "Sekali lagi aku peringatkan, Glagah Putih. Kau sekarang berada di Demak."
Glagah Putih tidak menjawab. Namun ia merasakan bahwa kata-kata itu baginya merupakan ancaman yang bersungguh-sungguh.
Karena itu, maka ketika Ki Tumenggung itu pergi, Glagah Putihpun segera mencari Ki Lurah Agung Sedayu dan menyampaikan persoalan kudanya itu kepadanya.
Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun berkata, "Baiklah Glagah Putih. Ancaman itu benar-benar telah menyinggung perasaanku pula. Jika kita berada di Demak, seharusnya Ki Tumenggung Panjer menghormati kita sebagai seorang tamu. Tidak justru mengancam untuk menggunakan wewenangnya. Biarlah aku mengatakannya kepada Ki Lurah Adipraya. Jika saja Pangeran Puger mendengarnya laporan Ki Lurah Adipraya itu."
Dalam pada itu, Ki Tumenggung Panjer yang telah meninggalkan Glagah Putih itupun telah berbicara dengan Ki Lurah Surawana.
"Aku harus memiliki kuda itu, Ki Lurah. Usahakan untuk membuat persoalan, sehingga Glagah Putih itu harus ditangkap dan ditahan di Demak. Lakukan apa saja yang sesuai menurut pendapatmu."
Ki Lurah Surawana termangu-mangu sejenak. Dengan suara yang tersendat iapun berkata, "Apa yang harus aku lakukan Ki Tumenggung " Glagah Putih adalah salah seorang yang berada di dalam iring-iringan pasukan Mataram yang mengawal Kangjeng Pangeran Puger."
"Terserah kepadmu," bentak Ki Tumenggung, "bukankah kau bukan anak kemarin sore yang kebingungan karena tugas yang sederhana itu. Pokoknya orang itu harus menjadi tahanan Demak. Kecuali jika kau mempunyai cara lain untuk mendapatkan kuda itu."
Ki Lurah Surawana masih akan bertanya lagi. Tetapi Ki Tumenggung telah berjalan dengan cepat meninggalkannya.
Ki Lurah Surawana itu berdiri termangu-mangu. Ia menjadi kebingungan untuk melaksanakan perintah Ki Tumenggung Panjer. Tetapi jika ia tidak melakukan perintah itu, maka Ki Tumenggung Panjer tentu tidak akan memaafkannya.
Sambil melangkah ke longkangan, Ki Lurah Surawana itu berkata di dalam hatinya, "Masih ada waktu. Tetapi apa yang harus aku lakukan?"
Ki Lurah Surawana yang bingung itupun kemudian telah menemui seorang kawannya, juga seorang Lurah prajurit yang bertugas hari itu.
Ketika Ki Lurah Surawana datang kepada Lurah prajurit itu, maka Lurah prajurit itupun bertanya, "Kau belum pulang Ki Lurah Surawana."
"Aku terikat oleh Ki Tumenggung Panjer, sehingga aku masih harus disini."
"Bukankah pertemuan itu sudah selesai. Apakah Ki Tumenggung masih belum pulang."
"Aku justru terjebak dalam tugas yang tidak aku mengerti, apa yang harus aku lakukan."
"Tugas apa?" Ki Lurah Surawanapun kemudian menceriterakan tugas yang dibebankan kepadanya oleh Ki Tumenggung Panjer.
"Aku tidak tahu, aku harus berbuat apa ?"
Lurah prajurit itupun mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun bertanya, "Kapan para prajurit Mataram itu akan kembali ke Mataram?"
"Entahlah. Tetapi tentu tidak hari ini. Bahkan tidak esok hari."
"Baiklah. Aku akan membantu Ki Lurah Surawana. Aku akan mengamati anak itu. Tetapi tunjukkan kepadaku, yang manakah orang yang bernama Glagah Putih itu."
"Aku akan membuat persoalan ?"
"Mudah-mudahan aku menemukan cara. Jika tidak, aku akan menantangnya berkelahi tanpa sebab."
Ki Lurah Surawana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Terima kasih atas kesediaanmu membantuku Ki Lurah Tanumerta."
Lurah prajurit yang disebut Tanumerta itu tersenyum. Katanya kemudian, "Sekarang, tunjukkan aku, dimana orang itu. Kemudian jika kau mau pulang, pulanglah."
"Aku belum akan pulang sebelum aku dapat menahan orang itu karena satu sebab."
"Baiklah. Aku akan membuat perkara dengan orang itu." Sejenak kemudian, maka Ki Lurah Surawana itu telah menunjukkan Glagah Putih kepada Ki Lurah Tanumerta.
Adalah kebetulan sekali, bahwa Glagah Putih pada waktu itu sedang duduk di tangga sebelah pintu seketeng bersama Rara Wulan dan Sekar Mirah. Nampaknya mereka sedang asyik berbincang. Sekali-sekali mereka tersenyum atau bahkan tertawa.
"Siapakah kedua orang perempuan itu ?" bertanya Ki Lurah Tanumerta.
"Mereka adalah abdi perempuan Kangjeng Pangeran Puger. Namun Glagah Putih itu tertarik kepada salah seorang diantara kedua orang perempuan itu."
"Tentu perempuan yang muda itu."
Ki Lurah Tanumerta mengangguk-angguk. Katanya, "Aku punya cara yang tentu dapat memancing persoalan."
"Apa?" "Aku punya seorang prajurit yang bertubuh tinggi dan besar. Tenaganya melampaui tenaga seekor banteng. Biarlah ia mengganggu perempuan itu, sehingga Glagah Putih menjadi marah. Nah, akan terjadi perselisihan, sehingga kita mempunyai kesempatan untuk menangkap keduanya dan menahannya. Setelah berada di dalam tahanan, segala-galanya akan berlangsung lancar. Tetapi biarlah Ki Tumenggung Panjer yang melakukannya."
"Bagus. Sebaiknya kau panggil prajuritmu itu."
Ki Lurah Tanumerta itupun kemudian memanggil seorang prajurit yang bertubuh tinggi besar serta berkumis lebat. Prajurit yang paling disegani oleh kawan-kawannya sebarak, karena prajurit itu memiliki kekuatan yang sangat besar.
Prajurit yang bertubuh raksasa itupun kemudian telah diberi pesan mawanti-wanti oleh Ki Lurah Tanumerta agar ia tidak melakukan kesalahan.
"Kau juga akan ditangkap dan ditahan, tetapi jangan cemas. Besok aku akan melepaskanmu, sedangkan orang Mataram itu akan ditangani oleh Ki Tumenggung Panjer."
Raksasa itu mengangguk-angguk. Ia mengerti benar apa yang harus dilakukan. Ia h anya akan memancing persoalan sehingga terjadi keributan, sehingga orang Mataram itu ditahan. Tebusannya adalah seekor kuda.
Sejenak kemudian, maka kedua orang Lurah Prajurit itupun melangkah menjauhi seketeng. Sementara orang bertubuh raksasa itu justru pergi ke seketeng.
Di depan Rara Wulan, raksasa itua berhenti. Sambil tersenyum prajurit itupun bertanya, "Kau abdi Kangjeng Pangeran Puger, cah ayu ?"
Rara Wulan menengadahkan wajahnya memandang wajah orang bertubuh raksasa itu.
"Kau bertanya kepadku ?"
"Ya. Aku bertanya kepadamu, cah ayu. Apakah kau abdi Kangjeng Pangeran Puger ?"
"Ya. Aku abdi Kangjeng Pangeran Puger."
"Kau juga ikut dalam iring-iringan dari Mataram?"
"Ya. Kenapa." "Kau tentu letih. Marilah, singgah ke rumahku. Aku sudah selesai tugas dan akan segera pulang."
Rara Wulan tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah raksasa itu dengan tajamnya.
Sementara itu raksasa itu berkata pula kepadnya, "Jangan takut Kau tidak akan dimarahi."
Rara Wulan mulai tidak senang terhadap sikap prajurit yang bertubuh tinggi besar itu. Karena itu, maka iapun bertanya, "Apa sebenarnya yang kau kehendaki ?"
"Kau bukan kanak-kanak lagi anak manis. Kau tahu maksudku. Ketika aku dari kejauhan melihatmu, terasa jantungku bergejolak. Daripada tersiksa sepanjang hidupku, maka aku datang untuk melamarmu sekarang. Kau tidak usah menjadi abdi Kangjeng Pangeran Puger. Kau ikut aku dan kau akan menjadi isteri seorang prajurit. Bukan sekedar seorang abdi di dalem kadipaten ini."
Wajah Rara Wulan menjadi merah. Rara Wulan yang kemudian bangkit berdiri itupun berkata, "Aku sudah bersuami. Seandainya belum sekalipun, sikapmu sama sekali tidak tatanan. Pergilah."
"O, jadi kau sudah bersuami " Benar " Atau sekedar untuk lelewa " Jika benar kau sudah bersuami, pertemukan aku dengan suamimu. Aku akan mengatakannya kepadanya, bahwa isterinya akan aku ambil."
Prajurit itu menjadi heran, bahwa laki-laki yang bernama Glagah Putih itu sama sekali tidak menanggapi sikapnya. Apalagi ketika Rara Wulan berkata sambil menunjuk Glagah Putih, "Laki-laki itulah suamiku."
"Laki-laki ini ?" bertanya prajurit itu.
"Ya." "Jadi aku harus berkata kepadanya ?"
"Pergi. Pergi. Jangan membuat persoalan."
Prajurit itu tertawa. Iapun kemudian bergeser mendekati Glagah Putih sambil berkata, "Jadi kau suaminya " Apakah kalian sudah menikah atau sekedar baru melakukan pendekatan ?"
"Perempuan itu adalah isteriku " jawab Glagah Putih. Tetapi ia masih saja duduk.
"Dengar Ki Sanak," berkata prajurit yang bertubuh raksasa itu, "aku akan mengambil isterimu. Aku tidak peduli, apakah kau rela atau tidak."
"Bertanyalah kepadanya, apakah ia mau atau tidak."
Rara Wulan yang sudah bangkit berdiri itu sudah menduga, bahwa Glagah Putih seperti yang pernah terjadi, akan membiarkannya menyelesaikan persoalan itu. Karena itu, maka Rara Wulanpun menyahut, "jangan bertanya kepada suamiku. Ia mempercayai aku. Sekarang bertanya sajalah kepadaku, apakah aku bersedia atau tidak."
"Jadi, kenapa dengan laki-laki ini " Apakah ia tidak berani melindungi isterinya sehingga segala sesuatunya terserah kepada isterinya itu."
"Ki Sanak," berkata Glagah Putih yang masih tetap duduk, "sebenarnya kau mau apa " Kalau persoalannya adalah isteriku, maka biarlah diselesaikan oleh isteriku sendiri."
"Aku tidak mau disebut pengecut. Aku akan mengambilnya dengan cara seorang laki-laki."
Buku 350 TERNYATA Glagah Putih tidak terlalu bodoh untuk tidak menghubungkan sikap laki-laki itu dengan ancaman Ki Tumenggung Panjer. Agaknya prajurit itu sengaja memancing persoalan. Jika terjadi perselisihan, maka ia akan dapat ditangkap dan ditahan di Demak.
Karena itu, maka Glagah Putihpun menjadi semakin berhati-hati menghadapi sikap prajurit itu.
"Ki Sanak," berkata Glagah Putih kemudian, "isteriku bukan benda mati yang dapat dan pantas diperebutkan. Ia mempunyai nalar budi yang utuh sebagaimana kau dan aku. Karena itu, berbicaralah dengan perempuan itu. Tetapi jika kau sekedar memancing persoalan, kita akan mencari saksi, bahwa persoalan di antara kita timbul karena sikapmu. Aku akan melayanimu apa saja yang kau inginkan dihadapan saksi, sehingga aku tidak akan terjebak dalam tindakan yang dapat menjadi perkara."
Wajah prajurit itu menjadi tegang. Agaknya Glagah Putih sudah mencurigainya. Namun ia tidak mau gagal. Jika ia gagal maka Ki Lurah Tanumerta dan Ki Lurah Surawana akan menjadi marah kepadanya.
Karena itu maka prajurit itu-pun berkata, "Aku tidak memancing persoalan Ki Sanak. Tetapi aku menginginkan isterimu."


14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jika itu yang kau maksud, bertanyalah kepada isteriku itu sendiri. Apakah ia mau atau tidak."
"Jika ia tidak mau, aku akan memaksanya. Aku akan menyeretnya dan membawanya pulang."
"Kau tentu tidak akan berbuat gila seperti itu. Kau lihat di halaman ini berserakan prajurit Demak yang bertugas. Disinipun ada beberapa orang prajurit Mataram yang sedang membersihkan pedati yang memuat perbekalan dan peralatan yang akan kami bawa kembali ke Mataram selain prajurit dari pasukan khusus yang membantu mereka. Di halaman ini juga berkeliaran para pengawal Kangjeng Pangeran Puger."
Wajah prajurit bertubuh raksasa itu menjadi tegang. Namun ia tidak dapat melangkah surut. Karena itu, maka iapun berkata, "Aku tidak peduli kepada mereka. Yang penting aku dapat membawa perempuan ini pulang."
Sekar Mirahlah yang tanggap akan sikap prajurit bertubuh raksasa itu serta pembicaraannya dengan Glagah Putih. Karena itu, maka Sekar mirahpun berkata, "Ki Sanak. Kalau kau memang menginginkan adikku ini, seperti yang dikatakan oleh Glagah Putih, kau harus berurusan dengan adikku langsung. Kau tidak, usah berbicara dengan suaminya."
Prajurit bertubuh raksasa itu menjadi bingung. Ia ingin terjadi perselisihan dengan Glagah Putih. Tetapi ternyata Glagah Putih menyerahkan persoalannya kepada isterinya.
"Apakah aku harus menyeret perempuan ini sehingga batas kesabaran suaminya dilampaui ?" bertanya prajurit itu kepada dirinya sendiri.
Ketika ia mengingat perintah Ki Lurah Tanumerta, maka rasa-rasanya ia ingin menyeret Sekar Mirah sehingga Glagah Putih menjadi marah kepadanya. Tetapi di tempat itu memang terdapat banyak saksi. Selebihnya iapun akan menjadi sangat malu jika kawan-kawannya melihat apa yang dilakukan tanpa mengetahui alasannya. Bahkan jika ada di antara mereka yang menyampaikannya kepada isterinya, maka tentu akan terjadi keributan di rumah.
Prajurit itu masih saja berdiri di tempatnya. Sementara itu Glagah Putih bahkan seakan-akan tidak menghiraukannya lagi.
Dalam kebingungan maka prajurit itupun justru telah meninggalkan Sekar Mirah, Rara Wulan dan Glagah Putih.
"Edan orangmu Ki Lurah Tanumerta."
Keringat dinginpun membasahi punggung Ki Lurah Tanumerta. Namun ia masih tetap menyadari, bahwa ia tidak dapat berbuat tanpa perhitungan. Karena itu, maka Ki Lurah Tanumerta dan Ki Lurah Surawana itu tidak segera menemui prajurit yang bertubuh raksasa yang kemudian pergi ke belakang dalem kadipaten.
Baru beberapa saat kemudian, Ki Lurah Tanumerta dan Ki Lurah Surawana yang berada di sebuah ruangan kecil di depan dapur, memerintahkan memanggil prajurit bertubuh raksasa itu.
"Ampun Ki Lurah," berkata prajurit itu demikian ia memasuki mang kecil itu.
"Kenapa kau tidak mampu menjalankan tugas yang sederhana itu, he ?"
"Ampun Ki Lurah. Glagah Putih ternyata tidak marah. Perempuan itu adalah isterinya."
"Apalagi isterinya."
"Aku sudah mengatakan, bahwa aku akan menyeret perempuan itu dan membawanya pulang. Tetapi menurut Glagah Putih, terserah saja kepada isterinya. Jika ia mau, biarlah aku membawanya. Jika tidak, biarlah isterinya itu menolaknya."
"Kau tidak benar-benar menyeret perempuan itu."
"Apakah itu harus aku lakukan " Bagaimana jadinya jika perempuan itu menjerit-jerit, sedangkan Glagah Putih masih saja tidak berbuat apa-apa " Para prajurit Demak sendiri akan menangkap aku dan barangkali mereka akan menyakiti aku karena aku dapat dituduh mencemarkan nama baik para prajurit Demak. Apalagi jika kabar itu sampai ke telinga isteriku. Keluargaku akan menjadi kiamat."
Ki Lurah Surawana dan Ki Lurah Tanumerta agaknya dapat mengerti alasan prajurit itu. Karena itu, maka Ki Lurah Tanumertapun berkata, "Pergilah."
"Tetapi Ki Lurah. Bukan karena aku takut kepada Glagah Putih. Tetapi aku justru memikirkan kemungkinan lain."
"Baik, baik. Sekarang pergilah."
Prajurit bertubuh raksasa itupun segera pergi meninggalkan kedua orang Lurah itu.
"Bukankah nanti malam mereka masih disini ?" bertanya Ki Lurah Tanumerta.
"Masih." "Baiklah malam nanti saja kita membuat persoalan. Mungkin aku sendiri akan menemuinya dan memancing persoalan. Tetapi aku belum tahu, apa yang akan aku lakukan malam nanti."
"Jika demikian, aku akan pulang sekarang. Aku perlu juga tidur. Malam nanti aku akan berada disini."
Ki Lurah Surawana masih sempat menghadap Ki Tumenggung Panjer dan menyampaikan kegagalan usahanya untuk memancing persoalan dengan Glagah Putih."
"Jangan sampai lewat waktu."
"Pokoknya orang itu harus ditahan. Ia akan dapat dilepaskan jika kudanya ditinggal."
"Ya, Ki Tumenggung."
Dalam pada itu, pada hari itu, Kangjeng Pangeran Puger telah memerintahkan para pengawalnya untuk membongkar pedati yang memuat beberapa buah peti yang berisi barang-barang berharga serta pusaka-pusakanya untuk disimpan di bangsal perbendaharaan yang telah disiapkan di sebuah bilik di sebelah bilik peraduan Kangjeng Pangeran Puger.
Kangjeng Pangeran Puger sendiri menunggui dan meneliti setiap peti yang diusung kedalam.
"Ternyata isi peti-peti itu tidak ada yang cacat. Semuanya masih tertata sebagaimana saat Kangjeng Pangeran Puger berangkat dari Mataram.
Ki Lurah Adiprayalah yang menjadi sangat sibuk mengatur para pengawal. Ia berlari-lari hilir mudik ke halaman ke bangsal perbendaharaan yang tidak begitu luas itu.
Hari itu Ki Lurah Agung Sedayu telah menghadap Kangjeng Pangeran Puger. Kapan Ki Lurah Agung Sedayu diperkenankan kembali ke Mataram.
"Jangan tergesa-gesa Ki Lurah. Meskipun disini telah disiapkan prajurit Demak, tetapi aku belum terbiasa dengan mereka Juga dengan sifat dan watak mereka. Karena itu, aku minta Ki Lurah tinggal barang sepekan disini."
Ki Lurah Agung Sedayu tidak dapat mengelak. Ia harus berada di Demak sekitar sepekan, sementara Kangjeng Pangeran Puger berusaha mengenali para pejabat pemerintahan dan keprajuritan di Demak
Dalam pada itu, para pemimpin di Demak telah mengusahakan tempat yang lebih mapan bagi para prajurit Mataram. Apalagi ketika Kangjeng Pangeran Puger memberitahukan kepada Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer bahwa para prajurit Mataram itu akan berada di Demak sekitar sepekan.
Namun Kangjeng Pangeran Puger mengisyaratkan, agar para prajurit itu tetap berada di halaman dalem kadipaten.
"Kita tidak tergesa-gesa," berkata Ki Tumenggung Panjer kepada Ki Lurah Surawana, "mereka akan berada disini sepekan."
"Kita memang harus menunggu saat yang tepat, Ki Tumenggung. Nampaknya pemilik kuda itu cukup cerdas sehingga ia menjadi curiga atas sikap prajurit yang berusaha memancing perselisihan itu."
"Bukankah orang itu tidak lebih dari seorang pesuruh atau barangkali karena isterinya menjadi abdi Kangjeng Pangeran Puger, ia mendapat kesempatan untuk ikut ke Demak ?"
"Mungkin Ki Tumenggung. Tetapi sikapnya yang nampak matang menunjukkan bahwa ia bukan sekedar pesuruh atau tenaga kasar atau apapun sebangsa itu."
"Kalau begitu, pandai-pandailah mengatur cara untuk menyeretnya ke dalam bilik tahanan."
"Aku harus mempergunakan orang lain. Bukan prajurit Ki Tanumerta yang bertubuh raksasa itu."
"Terserah kepadamu."
"Aku kira lebih baik bukan seorang prajurit. Tetapi seorang yang berilmu tinggi. Jika perkelahian itu terjadi, kita akan menangkap mereka."
"Carilah cara yang terbaik. Aku tidak berkeberatan."
"Dalam sepekan, Glagah Putih tentu ingin keluar dari halaman Kadipaten untuk melihat-lihat keadaan di sekelilingnya. Nah, kita dapat menjebaknya sehingga terjadi perkelahian di alun-alun atau dimana saja. Beberapa orang prajurit akan selalu membayanginya, sehingga ia akan segera ditangkap."
"Tetapi ajari orangmu itu, apa yang harus dilakukannya."
"Tentu Ki Tumenggung."
"Maksudku, pada saat ia ditahan. Jawabannya jangan menjerat orang lain, apalagi menyinggung-nyinggung namaku."
"Tentu Ki Tumenggung, tentu."
"Lakukan kapan saja. Tetapi jangan sampai terlambat."
"Orang itu memang harus tahu, siapa aku. Ia sekarang berada di Demak, sehingga ia harus menyadari keberadaannya itu."
"Ya, Ki Tumenggung. Besok aku akan menghubungi seseorang yang berilmu tinggi, yang akan dapat memancing pertengkaran dengan Glagah Putih. Namun diluar halaman dalem kadipaten. Jika persoalan seperu itu terjadi di halaman, serta dilakukan oleh seorang prajurit, maka Glagah Putih akan tahu, bahwa ia sedang dijebak."
"Kau mempunyai pertimbangan terlalu panjang. Kau menanggapi orang itu seorang yang otaknya cemerlang sehingga mampu mengurai persoalan yang dihadapinya dengan cara yang rumit."
"Otak orang itu memang terang, Ki Tumenggung."
"Kaulah yang dungu." Ki Lurah terdiam.
"Jangan sampai luput."
"Baik, Ki Tumenggung."
Sebenarnyalah Ki Lurah Surawana dan Ki Lurah Tanumerta di hari berikutnya telah menghubungi seorang yang dianggapnya berilmu tinggi. Ia harus memancing persoalan dengan seorang yang bernama Glagah Putih, jika orang itu keluar dari halaman kadipaten."
"Jadi aku harus menunggu siang dan malam di pintu gerbang ini ?"
"Bukan begitu Ki Soma Tangkil. Kau dapat mulai esok sore. Biasanya orang keluar dan melihat-lihat suasana di tempat yang asing baginya, di waktu sore setelah mandi dan berbenah diri sambil menunggu saatnya makan malam."
"Baik. Besok sore aku akan berada di alun-alun. Beri aku isyarat jika orang itu berada di alun-alun."
"Aku akan memberimu seorang kawan. Seorang prajurit yang tidak mengenakan pakaian keprajuritannya. Orang itu sudah tahu, yang manakah yang bernama Glagah Putih."
"Apakah Glagah Putih seorang prajurit Mataram ?"
"Ia bukan prajurit. Ia tidak mempunyai kedudukan yang pasti diantara para prajurit Mataram. Tetapi isterinya seorang abdi perempuan Kangjeng Pangeran puger."
Orang yang disebut Soma Tangkil itu mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya, "Tetapi bukankah yang aku lakukan ini tidak sia-sia."
"Tentu tidak. Kau akan mendapat upah yang pantas."
"Serta dijamin bahwa aku tidak akan dipenjarakan karena dituduh telah menimbulkan kerusuhan ?"
"Tentu tidak. Akan ada saksi, bahwa kau tidak bersalah."
"Baik. Aku percaya kepadamu, Ki Lurah. Besok sore aku akan berada di alun-alun."
"Jangan mengecewakan aku. Kau tahu siapa aku, kan ?"
"Tentu, Ki Lurah. Kau adalah seorang yang mempunyai banyak uang."
Ki Lurah Tanumerta itupun membelalakkan matanya. Katanya. "Bukan soal uang. Tetapi kau tahu batas kuasa kami berdua ?"
Ki Soma Tangkil memandang Ki Lurah Tanumerta dan Ki Lurah Surawana berganti-ganti. Kemudian iapun mengangguk sambil berkata, "Aku tahu Ki Lurah."
"Nah. Jika demikian kau jangan main-main. Kau harus berhasil memancing persoalan."
"Jika kami tidak segera dilerai, maka akibatnya akan dapat menjadi lebih parah. Mungkin diluar kehendakku, aku membunuhnya."
"Jika kau membunuhnya, maka akupun akan membunuhnya," berkata Ki Lurah Surawana.
Ki Soma Tangkil tertawa. Katanya, "Ki Lurah masih saja garang."
"Apabila sekarang. Penguasa di kadipaten Demak adalah Kangjeng Pangeran Puger. Karena itu, kami harus menunjukkan ketegasan untuk menjunjung kewibawaan Kangjeng Adipati."
"Apakah memancing perkelahian dengan orang yang tidak bersalah itu juga termasuk menjunjung kewibawaan."
"Aku sobek mulutmu."
Ki Soma Tangkil tertawa semakin keras. Katanya, "Jangan terlalu garang Ki Lurah. Nanti Ki Lurah cepat menjadi tua."
Kedua orang Lurah prajurit itu memandang Ki Soma Tangkil dengan tajamnya. Ki Lurah Tanumerta pun menggeram, "Ini bukan lelucon. Soma Tangkil. Aku cabuti gigimu sampai habis."
Tetapi Soma Tangkil justru tertawa semakin panjang.
Namun Ki Lurah Surawana dan Ki Lurah Tanumerta tidak menghiraukannya lagi. Mereka berduapun kemudian meninggalkan Ki Soma Tangkil yang masih berusaha menahan tertawanya.
Sebenarnyalah Glagah Putih tidak lagi ingin tinggal lebih lama di Demak. Ia tahu, bahwa kudanya masih akan menjadi persoalan. Tetapi ia tidak dapat mendahului kembali ke Mataram. Ia harus menunggu para prajurit yang akan berada di Demak selama sepekan.
"Sebenarnya aku ingin segera pulang, Rara," berkata Glagah Putih kepada Rara Wulan di sore hari.
"Agaknya suasananya kurang baik, kakang."
"Ada yang menginginkan kudaku. Mereka akan selalu berusaha memancing persoalan."
"Jika terjadi persoalan, lalu apa hubungannya dengan kuda kakang."
"Entahlah" "Berhati-hati sajalah kakang." Glagah Putih mengangguk.
Tetapi disisa hari itu tidak terjadi apa-apa. Demikian pula di hari berikutnya. Tidak terjadi apa-apa atas Glagah Putih.
Dengan demikian maka Glagah Putihpun mulai berpendapat, bahwa para prajurit Demak tidak akan mengganggunya lagi untuk memancing persoalan.
Di sore hari, maka setelah mandi dan berbenah diri, Glagah Putih berkata kepada seorang prajurit yang melayani perbekalan dan peralatan. "Dari pada duduk-duduk saja disini, marilah kita berjalan-jalan untuk melihat-lihat keadaan di luar halaman dalem kadipaten."
"Melihat apa?" "Apapun yang ada. Di depan itu alun-alun barangkali kita dapat berjalan-jalan di alun-alun."
"Marilah," jawab prajurit itu.
Ketika mereka melangkah menuju ke pintu gerbang, Rara Wulan yang berdiri di halaman bersama Sekar Mirah itupun memperingatkannya, "Hati-hatilah, kakang."
"Aku akan pergi ke alun-alun, Rara. Justru diluar halaman dalem kadipaten aku tidak akan diganggu."
"Meskipun demikian, kau harus tetap berhati-hati Glagah Putih," pesan Sekar Mirah.
"Ya, mbokayu." Ketika keduanya melangkah ke pintu prajurit itu bertanya.
"Kenapa mereka berpesan agar kau berhati-hati ?"
"Mungkin aku bertemu dengan perawan Demak."
Prajurit itu tertawa meledak. Dua orang prajurit Demak yang bertugas di pintu gerbang berpaling ke arah prajurit itu. Meskipun mereka tersenyum juga, tetapi mereka tidak bertanya apa-apa.
Sejenak kemudian, Glagah Putih telah berada di alun-alun. Di sore hari, alun-alun Demak nampak ceria. Beberapa kelompok anak-anak bermain di alun-alun. Orang-orang tuapun nampak pula berjalan-jalan di sekitarnya. Bahkan ada beberapa orang yang menjajakan makanan di pinggir alun-alun itu.
Glagah Putihpun berjalan mengelilingi alun-alun itu. Udara terasa segar oleh angin sore yang berhembus menggoyang daun beringin yang tumbuh sepasang di tengah-tengah, yang lain mengitari alun-alun itu.
Segarnya udara serta suasana yang ceria, membuat Glagah Putih dan kawannya tidak segera kembali masuk ke halaman dalem kadipaten. Ketika orang-orang yang berjualan di sekitar alun-alun itu mulai menyalakan lampu, maka rasa-rasanya alun-alun Demak itu menjadi semakin menarik.
Meskipun di alun-alun Mataram di sore hari sampai ujung malam turun juga terhitung cukup ramai, namun terasa ada sesuatu yang lain di Demak.
Ketika gelap menyelimuti alun-alun itu, maka Glagah Putipun berkata kepada prajurit yang bersamanya itu, "Kau lihat orang berjualan jagung bakar itu."
"Ya. Kenapa?" "Kau mempunyai jagung. Tetapi tidak dapat diasapi seperti itu."
"Tentu. Jagungku sudah ditumbuk menjadi beras jagung."
"Nah, kita beli jagung bakar."
"Sudah gelap. Nanti kita dicari."
"Tidak Ada yang tahu kita berjalan-jalan keluar pinta gerbang."
"Uangku akan aku bawa pulang. Aku ingin membeli kain lurik hijau pupus buat istriku."
"Aku yang bayar."
Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Baiklah, Tetapi jangan terlalu lama."
Keduanyapun kemudian duduk diatas sehelai tikar mendong yang dibentangkan diatas rerumputan.
Ketika mereka mulai menikmati jagung bakar, prajurit itu berkata. "Aku belum pernah makan jagung bakar senikmat ini."
"Justru karena kau makan jagung bakar di alun-alun Demak." Prajurit itu mengangguk-angguk.
Namun, selagi mereka asyik menikmati jagung bakar yang masih hangat itu, tiba-tiba saja seseorang telah menendang tangan Glagah Putih yang sedang memegangi jagung itu.
Glagah-Putih terkejut. Ia tahu, bahwa orang itu berdiri disitu sejak ia memesan jagung bakar. Tetapi ia tidak menduga, bahwa tiba-tiba saja orang itu meloncat dan menendang tangannya.
Dengan serta merta Glagah Putihpun bangkit berdiri. Selangkah ia mundur sambil bertanya, "Apa yang kau lakukan ?"
"Jangan banyak mulut. Kau telah menghina aku sejak sore tadi. Tetapi aku masih menahan diri. Baru setelah gelap aku menganggap bahwa waktunya tepat untuk membuat perhitungan."
"Apa yang sudah aku lakukan ?"
"Jangan berpura-pura. Marilah kita membuat perhitungan sebagai laki-laki. Jangan disini. Disini banyak orang. Kecuali jika kau sengaja memilih tempat yang ramai agar perkelahian diantara kita nanti dilerai."
Jantung Glagah Putih berdegup semakin cepat. Namun iapun langsung menghubungkan peristiwa itu dengan sikap prajurit yang bertubuh raksasa, yang nampaknya memang sedang memancing perselisihan itu. Karena itu, maka Glagah Putih harus menahan diri.
"Bukankah kau juga laki-laki?" bertanya orang itu.
Prajurit yang membeli jagung bakar bersama Glagah Putih itupun kemudian berdiri pula sambil berdesis, "Apapun sebabnya, maka nasibmu akan menjadi sangat buruk jika kau berselisih dengan Glagah Putih. Jika ia berniat membunuhmu, maka kau tentu akan mati seketika terkena sentuhan tangannya."
Jantung orang itu berdegup semakin cepat. Namun kemudian iapun berkata, "Aku adalah Soma Tangkil. Orang yang paling disegani di Demak. Jangan mencoba menakuti aku dengan cara apapun juga. Kalian tidak akan berhasil."
"Jadi namamu Soma Tangkil ?"
"Ya." "Urungkan niatmu Soma Tangkil. Kami adalah tamu di Demak. Jika sikapmu itu diketahui prajurit Demak, maka kau akan ditangkap dan dipenjarakan."
"Persetan dengan prajurit Demak. Tidak seorangpun dari para prajurit Demak yang aku takuti."
Prajurit Mataram yang membeli jagung bersama Glagah Putih itu merasa tersinggung. Dengan serta merta iapun berkata. "Jangan merendahkan seorang prajurit Demak dan prajurit Mataram. Jika kau merendahkan prajurit Demak, berarti kau juga merendahkan prajurit Mataram."
Namun Soma Tangkil itupun menjawab, "Aku tidak mempunyai persoalan dengan kau. Tetapi aku mempunyai persoalan dengan Glagah Putih. Karena itu, jangan ikut campur. Aku akan menyelesaikan persoalanku dengan Glagah Putih."
Prajurit itupun kemudian berpaling kepada Glagah Putih. "Kenapa kau diam saja. Cekik lehernya sampai mati."
Glagah Putihpun kemudian memandang berkeliling. Ia melihat beberapa orang mengerumuninya. Nampaknya mereka tertarik pada pertengkaran itu.
Namun prajurit Mataram yang menyertai Glagah Putih itu terkejut ketika Glagah Putih berkata, "Ki Soma Tangkil. Jika benar katamu, bahwa aku telah menghinamu, aku minta maaf. Aku tentu tidak sengaja."
Tiba-tiba saja keringat dingin mengalir di punggung Soma Tangkil. Glagah Putih itu ternyata tidak marah. Apalagi memukulnya. Tetapi ia justru minta maaf.
"Apalagi yang harus aku lakukan untuk membuatnya marah," berkata Soma Tangkil didalam hatinya.
Namun ia masih mencoba. "Perbuatanmu hanya dapat dimaafkan jika kau berjongkok dihadapanku dan menyembahku."
"Baiklah," jawab Glagah Putih.
Namun prajurit Mataram yang menyertai Glagah Putih itupun berkata, "Apa sebenarnya yang kau lakukan Glagah Putih " Kau menghina dirimu sendiri. Kenapa kau tidak bangkit dan melawannya berkelahi ?"
Jawab Glagah Putih memang mengejutkan. Soma Tangkilpun terkejut pula.
"Jika aku tidak mau melakukannya, sehingga timbul perselisihan dan apalagi perkelahian, tanpa menunggu akhir dari perkelahian itu, maka ia sudah menang. Perselisihan dan perkelahian itulah yang diharapkannya. Dengan demikian maka akan ada alasan untuk menangkapku. Persoalannya bersumber dari keinginan seseorang untuk memiliki kudaku.
Wajah Soma Tangkil menjadi tegang. Hampir diluar sadarnya iapun bertanya, "Siapa yang mengatakan kepadamu ?"
"Bukankah aku dapat memperhitungkan sikap, tingkah laku seseorang serta peristiwa-peristiwa yang mengikutinya ?"
Tiba-tiba saja SomaTangkil itu bergeser mundur. Kemudian hilang di kerumunan orang banyak.
Orang-orang yang berkerumun itu benar-benar tidak tahu apa yang terjadi. Mereka hanya melihat pertengkaran. Hampir saja terjadi perkelahian namun kemudian ternyata bahwa perkelahian itu tidak pernah terjadi.
Soma Tangkilpun berjalan cepat-cepat menjauhi Glagah Putih. Namun tiba-tiba terdengar seseorang memanggilnya, "Soma Tangkil."
Soma Tangkil itu berhenti.
"Kenapa kau begitu bodoh sehingga pertengkaran itu berakhir begitu saja ?"
"Apa yang harus aku lakukan " Glagah Putih tahu, bahwa aku hanya sekedar umpan untuk memancing pertengkaran."
"Orang itu tidak tahu. Ia hanya sekedar menduga-duga."
"Tidak. Lebih baik aku tidak melawannya, Ia orang baik. Ia tidak pantas dijebak untuk memeras agar ia menyerahkan kudanya."
"Kau gila Soma Tangkil. Kau tahu kuasaku ?"
"Ya. Aku tahu. Tetapi bukankah itu tidak pantas dilakukan kepada Glagah Putih?"
"Setan kau." "Maaf, Ki Lurah. Aku tidak dapat melakukannya."
Dua orang Lurah prajurit yang mendapat tugas Ki Tumenggung Panjer itu menjadi bingung. Namun akhirnya Ki Lurah Surawana harus mengatakan apa yang sudah terjadi. Seseorang yang bukan prajurit itupun gagal memancing pertikaian dengan Glagah Putih."
"Besok aku akan menemui Ki Tumenggung Panjer. Ia harus mengurungkan niatnya memiliki kuda itu. Jika ia mencoba untuk memaksakan kehendaknya, akibatnya akan dapat menjadi buruk. Tentu Glagah Putih akan memberitahukan kawan-kawannya apa yang telah terjadi, sehingga langkah apapun yang akan diambil oleh Ki Tumenggung akan selalu dihubungkan dengan niatnya itu."
"Kau berani mengatakannya kepada Ki Tumenggung ?"
"Apa boleh buat. Tidak ada jalan lain."
Ki Lurah Tanumertapun mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Terserah kepada Ki Lurah Surawana. Tugas ini pertama-tama juga dibebankan kepada Ki Lurah."
Demikianlah maka kedua orang Lurah prajurit itupun segera menyelinap pula, dan menghilang dari alun-alun.
Sementara itu, Glagah Putihpun segera mengajak prajurit yang menyertainya itu kembali ke dalem kadipaten. Hampir saja mereka terpancing sehingga akan dapat menjerat Glagah Putih kedalam bilik tahanan karena menimbulkan kerusuhan.
Ketika mereka berada diantara kawan-kawannya, maka seorang prajurit berkata kepada mereka, "Kalian terlambat. Kami sudah makan malam."
"Jadi?" "Kalian tidak mendapat bagian."
Tetapi Glagah Putihpun berkata, "Marilah kita pergi ke dapur. Tentu masih ada persediaan. Kita beritahukan kepada mereka yang bertugas di dapur, bahwa kita baru saja keluar."
Tetapi prajurit itu bertanya kepada kawannya, "Tidak kau katakan bahwa kami berdua sedang keluar ?"
"Aku sudah mengatakannya. Tetapi petugas yang membagikan makan bagi kita itu mengatakan, bahwa biarlah kalian sendiri yang mengurusnya."
"Nah, bukankah kita harus pergi ke dapur " Mungkin kita justru akan mendapat pelayanan khusus."
Prajurit itu termangu-mangu. Namun Glagah Putih sambil tersenyum berkata, "Bukankah kita dapat membeli jagung bakar lagi jika di dapur sudah tidak ada petugasnya ?"
Prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya. "Ya. Jika di dapur sudah tidak ada orang, kita pergi membeli jagung bakar saja lagi."
Keduanyapun kemudian pergi ke dapur untuk mengambil makan malam mereka.
Ternyata masih ada beberapa orang yang sibuk didapur. Mereka sibuk mencuci alat-alat dapur yang telah mereka pergunakan sore itu. Sedangkan beberapa orang yang lain, masih sibuk pula mengemasi nasi serta lauk paukk yang tersisa.
Sebenarnya Glagah Putih sudah ingin membatalkan niatnya. Rasa-rasanya segan juga datang ke dapur sekedar untuk mengurus makan malam mereka. Apalagi mereka sudah makan jagung bakar di alun-alun dan bahkan mereka akan dapat pergi untuk membeli lagi.
Namun selagi keduanya berdiri termangu-mangu, seorang perempuan yang masih terhitung muda datang menghampirinya. Dengan ramah sekali perempuan itu berkata, "Marilah, kakang. Bukankah kakang yang bernama Glagah Putih."
"Darimana kau tahu namaku ?"
"Bukankah aku melayani kakang makan sejak kakang datang ?"
"Maaf. Aku tidak tahu."
"Marilah, kakang, Silahkan duduk."
Glagah Putihpun kemudian berpaling kepada kawannya. Namun prajurit itupun berdesis, "Hanya kau yang dipersilahkannya."
"Tentu tidak. Kau juga. Kita berdua."
Berdua merekapun kemudian masuk ke dapur. Beberapa orang justru menyibak dan memberi tempat bagi keduanya untuk duduk.
Perempuan muda itulah yang kemudian melayani Glagah Putih dan kawannya itu. Disediakannya nasi dan lauk pauk yang agaknya memang disediakan khusus bagi mereka. Sementara perempuan yang melayaninya itu kemudian justru duduk disisi Glagah Putih.
"Silahkan, kakang. Aku memang menyediakan makan dan minuman ini untuk kakang."
"Terima kasih," jawab Glagah Putih. Iapun bergeser setapak ketika perempuan itu seakan-akan mendesaknya. Disenduknya lauk yang tersedia dan dituangkannya ke mangkuk Glagah Putih.
"Terima kasih. Ini sudah cukup."
Perempuan itu tersenyum. Katanya, "Kakang tidak usah malu-malu. Aku akan melayani kakang."
Keringat dingin mulai membasahi punggung Glagah Putih. Ia menyesal sekali, bahwa ia telah pergi ke dapur, hanya untuk semangkuk nasi. Jika saja ia tahu, bahwa perempuan itu akan bersikap seperti itu, maka lebih baik baginya untuk kembali ke alun-alun dan membeli jagung bakar.
Perempuan itu masih saja mendesaknya. Melayaninya dengan cara yang sangat berlebihan.
Namun tiba-tiba saja, seorang laki-laki yang bertubuh kekar masuk ke dalam dapur. Matanya bagaikan menyala memandang perempuan yang duduk di sebelah Glagah Putih itu.
Sementara itu, perempuan itupun dengan serta merta telah bangkit berdiri dan bergeser menjauhi Glagah Putih.
"Kenapa kau datang kemari, kakang ?" bertanya perempuan itu.
"Aku yang bertanya kepadamu, kenapa kau belum pulang ?"
Perempuan itu tiba-tiba saja berlari kepada laki-laki itu. Sambil terisak ia berkata, "Prajurit Mataram itu telah merendahkan martabatku sebagai seorang perempuan."
"Orang itu yang merendahkan martabatmu sebagai perempuan atau kau yang telah menjajakan dirimu ?"
"Kakang. Jadi kau justru menuduhku merendahkan martabatku sendiri?"
"Lalu apa yang sebenarnya terjadi ?"
"Bertanyalah kepada kakang Salam. Apa yang telah mereka lakukan. Keduanya tidak ada di tempat ketika aku melayani para prajurit makan. Nampaknya mereka sengaja agar mereka dapat pergi ke dapur ini. Ternyata disini mereka telah melakukan perbuatan yang menyakitkan hati. Ketika aku menghidangkan makan mereka, tiba-tiba saja yang namanya Glagah Putih itu menarik tanganku dan aku dipaksanya duduk melekat padanya."
"Gila. Itukah tingkah laku orang-orang Mataram."
"Tunggu," berkata Glagah Putih, "jika itu yang aku lakukan, kenapa ia tidak berbuat apa-apa" Kenapa ia tidak melawan dan kenapa orang-orang yang ada disini tidak mencegahnya ?"
"Mereka merasa segan kepada orang-orang Mataram yang kita anggap tamu disini. Ternyata kau sudah memanfaatkannya untuk merendahkan martabatku," sahut perempuan itu.
Jantung Glagah Putih berdegup semakin keras. Sementara itu laki-laki yang bertubuh tinggi kekar itu menggeram. Katanya, "Biarlah orang lain merasa segan kepada para tamu dari Mataram, tetapi aku tidak. Sebenarnya akupun menghormatinya. Tetapi jika orang Mataram itu sudah menyentuh isteriku maka aku tidak akan memaafkannya."
"Dengar Ki Sanak," prajurit yang datang bersama Glagah Putih itu mencoba untuk menjelaskan, "Glagah Putih tidak berbuat apa-apa."
"Kau percaya kepadaku atau kepada orang orang itu, kakang."
Mata orang itu bagaikan menyala. Sementara itu seorang anak muda yang berada di pintu berkata, "Glagah Putih itu memang menarik yu Rumi dan memaksanya duduk disebelahnya."
Orang yang bertubuh kekar itu tiba-tiba meloncat menerkam baju Glagah Putih. Dengan kasar orang itu menyeret Glagah Putih keluar dari dapur.
"Tunggu, tunggu."
Tetapi orang itu tidak menghiraukannya. Dengan sekuat tenaga orang itu memukul wajah Glagah Putih.
Tetapi Glagah Putih tidak membiarkan wajahnya dikenai pukulan orang itu. Karena itu, maka Glagah Putihpun telah menghindar.
Dengan demikian maka pukulan yang dilontarkan dari jarak tidak lebih sepanjang jangkauan tangan itu tidak mengenainya. Sehingga dengan demikian, maka orang itupun menjadi semakin marah. Dengan serta merta orang itu telah menyerang Glagah Putih dengan garangnya.
"Tunggu, tunggu. Aku akan menjelaskan," berkata Glagah Putih.
Tetapi orang itu tidak mendengarkannya. Serangannya datang seperti angin ribut.
Glagah Putih tidak mempunyai kesempatan untuk menjelaskan persoalan yang terjadi. Tetapi karena ia tidak merasa bersalah, maka Glagah Putih tidak mau menjadi sasaran serangan yang membabi buta.
Karena itu, setelah berloncatan surut beberapa langkah, maka Glagah Putih mulai membalas serangan orang itu.
"Jangan membiarkan dirimu dihinakan, Glagah Putih," teriak kawannya, prajurit yang menyertainya ke dapur, "seseorang dapat menyakiti tubuh kita. Tetapi jangan menyakiti hati kita."
Ketika orang itu meloncat sambil menyerang dengan tinjunya ke arah dagu Glagah Putih, maka Glagah Putihpun bergeser sedikit ke samping. Demikian tinju orang itu meluncur tanpa menyentuh kulitnya, maka Glagah Putihpun memukul perut orang bertubuh kekar itu.
Orang itu mengaduh kesakitan. Tubuhnya terbungkuk sementara kedua belah tangannya memegangi perutnya.
Glagah Putih hanya memukul sekali. Orang itu telah jatuh terjerembab di tanah.
Perempuan yang berada di dapur yang disebut isterinya itupun berlari-lari dan kemudian berjongkok disebelah tubuh yang terkapar sambil kesakitan itu.
"Kakang, kakang."
Tiba-tiba saja tiga orang prajurit Demak mendatangi keributan itu. Seorang diantara merekapun bertanya, "Apa yang terjadi disini ?"
"Ampun, Ki Lurah," berkata perempuan itu, "Glagah Putih telah menganiaya suamiku setelah ia mencoba menggangguku."
"Siapa Glagah Putih itu ?"
"Ini. Orang ini. Salah seorang prajurit dari Mataram."
"Kau yang bernama Glagah Putih ?" bertanya orang yang disebut Ki Lurah itu.
"Ya. Ki Lurah."
"Kau telah membuat kerusuhan di Demak. Kau, akan berhadapan dengan petugas di Demak."
"Dengar Ki lurah," berkata Glagah Putih, "bukan salahku."
"Nanti katakan kepada orang yang akan memeriksa perkaramu. Aku akan menangkapmu dan menahanmu."
"Aku tidak bersalah, Ki Lurah. Aku tidak mau di tangkap."
"Kau akan melawan petugas ?"
"Ki Lurah harus mendengarkan keteranganku."
"Bukan aku. Tetapi akan ada orang yang bertugas mendengarkan keteranganmu."
"Tetapi aku tidak mau ditangkap dengan cara dan dalam keadaan seperti ini."
"Kami adalah petugas yang harus melakukan tugas kami. Jika kau melawan, maka kami akan mempergunakan kekerasan."
Terasa dada Glagah Putih bergejolak. Baru kemudian Glagah Putih sadar, bahwa yang terjadi itu tentu salah satu jebakan yang telah dipasang oleh orang yang ingin memerasnya untuk mendapatkan kudanya.
Glagah Putih sudah berhasil menghindari jebakan-jebakan sebelumnya. Namun akhirnya Glagah Putih telah terperosok pula kedalamnya.
Karena itu, maka Glagah Putihpun berkata lantang, "Dengar. Aku tidak akan bersedia ditangkap karena aku telah masuk kedalam jebakan yang kalian pasang. Apapun yang akan terjadi, akan aku hadapi. Aku tidak akan dapat diperas dengan cara yang licik ini oleh seseorang yang menginginkan kudaku. Karena itu, apapun yang terjadi, aku akan melawan para petugas yang telah disuap untuk kepentingan seseorang."


14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tidak akan dapat beralasan apapun juga. Kau sudah terbukti membuat kerusuhan. Kau harus menyerahkan kedua tanganmu untuk diikat."
"Tidak." Orang yang disebut Ki Lurah itupun kemudian telah memerintahkan kedua orang prajuritnya untuk menangkap Glagah Putih dengan kekerasan.
"Tidak ada kesempatan kepada siapapun yang telah menimbulkan kerusuhan, disini."
Kedua orang prajurit itupun segera menyergap Glagah Putih. Tetapi perkelahian tidak berlangsung lama. Kedua orang prajurit itupun telah terpelanting dan jatuh berguling.
Dengan serta merta kedua orang prajurit itu bangkit. Bahkan kemudian bersama Ki Lurah mereka menyerang Glagah Putih.
Ternyata Ki Lurah itu memiliki kemampuan pula dalam olah kanuragan. Untuk beberapa saat ia berkelahi. Namun kemudian ternyata bahwa ilmunya tidak dapat mengimbangi ilmu Glagah Putih. Bahkan bertiga sekalipun.
Beberapa orang pekerja didapur itu telah mengerumuninya. Dalam keremamngan cahaya lampu di kejauhan, mereka menyaksikan, betapa ketiga orang prajurit yang dipimpin oleh Ki Lurah itu mengalami kesulitan. Berganti-ganti mereka terlempar jatuh. Bahkan kemudian, tulang-tulang merekapun merasa bagaikan berpatahan.
Dalam keadaan yang sulit itu, maka Ki Lurah itupun berkata, "Beri isyarat. Panggil para prajurit yang bertugas."
Beberapa orang yang berkerumun itu menjadi ragu-ragu. Karena itu, maka Ki Lurah itupun berteriak sekali lagi, "Panggil mereka yang bertugas malam ini. Seseorang telah membuat kekacauan di dapur."
Sebelum seorangpun beranjak dari tempatnya, terdengar seseorang berkata, "Aku yang bertugas malam ini Ki Lurah Rejasura."
Ki Lurah yang dipanggil Rejasura itupun segera berpaling. Dari antara kerumunan orang banyak itu muncul seorang prajurit Demak yang sedang bertugas malam itu.
Wajah Ki Lurah Rejasura menjadi tegang. Orang itu adalah Ki Lurah Sambirata.
"Kaukah yang bertugas malam ini Ki Lurah Sambirata ?" bertanya Ki Lurah Rejasura.
"Ya." "Bukankah seharusnya yang bertugas malam ini Ki Lurah Wiryakerti."
"Ya. Ki Lurah Wiryakerti telah dipanggil oleh Tumenggung Wirid."
"Ki Tumenggung Wirid ?"
"Ya. Akulah yang kemudian diperintahkan untuk menggantikannya."
"Apakah semuanya itu sudah diketahui oleh Ki Tumenggung Panjer ?"
"Ya. Tentu saja Ki Tumenggung Panjer malam ini mendapat tugas khusus bersama Ki Tumenggung Gending untuk menyusun pimpinan teras di Demak sejak pemerintahan Kangjeng Pangeran Puger menapak. Ada empat orang yang dipanggil, termasuk Ki Tumenggung Panjer, Ki Tumenggung Gending, Ki Tumenggung Wirid dan Ki Tumenggung Singawani."
Ki Lurah Rejasura berdiri termangu-mangu. Agaknya ada yang tidak sesuai dengan rencana telah terjadi. Tiba-tiba iapun bertanya, "Bukankah Ki Tumenggung Wirid juga berada dalam pertemuan dengan Kangjeng Pangeran Puger sekarang."
"Ya." "Bagaimana ia dapat mengganti Ki Lurah Wiryakerti dengan Ki Lurah Sambirata."
"Aku tidak tahu. Aku hanya menjalankan perintah. Perintah itu diberikan didepan bangsal. Ki Tumenggung Panjer, Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Singawani juga ada waktu itu."
"Lalu dimana Ki Lurah Wiryakerti sekarang ?"
"Aku tidak tahu. Ada tugas lain yang harus dilakukannya sekarang."
"Tugas apa?" "Aku tidak tahu. Tetapi bukankah Ki Lurah tidak berkepentingan " Sekarang apa yang telah terjadi disini. Kenapa Ki Lurah memerintahkan memanggil para prajurit yang bertugas ?"
"Orang ini, Glagah Putih."
"Kenapa dengan Glagah Putih " Bukankah Glagah Putih salah seorang dalam iring-iringan Kangjeng Pangeran Puger dari Mataram ?"
"Ya." "Lalu kenapa Ki Lurah dan kedua orang prajurit itu berkelahi dengan Glagah Putih?"
"Glagah Putih telah menimbulkan kekacauan disini. Glagah Putih telah mengganggu isteri orang, sehingga telah terjadi perkelahian."
"O," Ki Lurah Sambirata mengangguk-angguk. "manakah perempuan itu ?"
Ki Lurah Rejasura itupun kemudian memandang berkeliling untuk mencari perempuan yang menyatakan telah diganggu oleh Glagah Putih. Tetapi ia tidak segera menemukannya.
"Mana perempuan itu ?" bertanya Ki Lurah Rejasura.
Semua orang yang berkerumun itu ikut memandang berkeliling. Tetapi mereka memang tidak menemukan perempuan itu.
"Dimana perempuan itu " Dimana he ?" bertanya Ki Lurah Rejasura.
Tetapi orang-orang yang berada disekelilingnya itu menggeleng. Seorang diantara mereka menjawab, "Aku tidak tahu Ki Lurah. Tadi perempuan itu ada disini."
"Siapa tahu rumahnya ?" bertanya Ki Lurah Sambirata. Orang-orang yang bertugas di dapur itu menggeleng.
"Bukahkah perempuan itu kawan kalian " " Orang-orang itu menggeleng lagi.
"Jadi siapakah perempuan itu " Kenapa ia berada di dapur ?"
"Ia baru mulai bekerja sejak kemarin malam." Jawab salah seorang dari mereka.
"Sejak kemarin malam " " ulang Ki Lurah Sambirata.
"Ya, Ki Lurah."
"Apakah tidak ada diantara kalian yang mengenalnya sebelumnya?"
Orang-orang itu menggeleng.
"Jika demikian, dimana suaminya itu ?" bertanya Ki Lurah Rejasura.
Orang-orang itupun menggeleng lagi.
"Jadi orang itu juga sudah pergi ?" bertanya Ki Lurah Sambirata.
"Ya, Ki Lurah, " jawab seorang diantara mereka.
"Jadi mereka sudah tidak ada disini ?"
"Tidak, Ki Lurah."
Ki Lurah Sambirata menarik nafas panjang.
Ki Lurah Rejasura menjadi gugup. Yang terjadi itu sama sekali berbeda dari yang direncanakan. Jika saja yang bertugas malam itu Ki Lurah Wiryakerti.
"Nah, bagaimana sekarang Ki Lurah Rejasura ?" bertanya Ki Lurah Sambirata.
Wajah Ki Lurah Rejasura menjadi merah.
Karena Ki Lurah Rejasura tidak segera menjawab, maka Ki Lurah Sambiratapun bertanya kepada para petugas dapur yang mengerumuninya, "Nah, siapakah diantara kalian yang dapat memberikan kesaksian."
Tetapi tidak seorangpun menyatakan dirinya.
Akhirnya Ki Lurah Rejasura itupun berkata, "Aku tidak peduli apa yang terjadi. Orang yang melaporkan masalahnya itu justru sudah melarikan diri."
"Lalu bagaimana dengan Glagah Putih, Ki Lurah Rejasura ?" bertanya Ki Lurah Sambirata.
"Persetan dengan Glagah Putih, " jawab Ki Lurah Rejasura. Orang itupun kemudian telah memberikan isyarat kepada kedua orang prajuritnya meninggalkan tempat itu.
Ki Lurah Sambirata memandanginya sampai hilang di belakang dinding penyekat di halaman samping disebelah dapur itu.
"Kembalilah ke dapur. Bukankah kerja kalian belum selesai ?" berkata Ki Lurah Sambirata kepada para petugas di dapur itu.
Baru sejenak kemudian, Ki Lurah Sambirata itu meninggalkan tempat itu. Di bawah sebatang pohon gayam yang besar, Ki Lurah itu mendekati Ki Lurah Agung Sedayu dan Ki Lurah Adipraya yang mengawasi peristiwa itu dari kejauhan.
"Aku akan menghadap Ki Tumenggung Wirid," berkata Ki Lurah Sambirata.
"Ki Lurah Rejasura tentu akan segera memberikan laporan kepada Ki Tumenggung Panjer," desis Ki Lurah Adipraya.
"Ki Tumenggung Panjer tidak akan berani mempersoalkannya. Selain Ki Tumenggung Panjer memang agak segan kepada Ki Tumenggung Wirid secara pribadi, Ki Tumenggung Wirid akan dapat bersaksi sesuai dengan keterangan para petugas sandinya, tentang rencana pemerasan yang dilakukan oleh Ki Tumenggung Panjer melalui berbagai macam cara."
Ki Lurah Agung Sedayu dan Ki Lurah Adiprayapun mengangguk-angguk. Namun Ki Lurah Agung Sedayupun bertanya, "Tetapi apa jawab Ki Lurah Sambirata jika Ki Lurah Wiryakerti mempersoalkan pengakuan Ki Lurah Sambirata, bahwa Ki Lurah yang bertugas memimpin penjagaan malam ini ?"
"Aku akan menjelaskan persoalannya dengan berterus terang, bahwa persoalannya sudah ada di tangan Ki Tumenggung Wirid. Apakah persoalan itu akan dilanjutkan, atau akan dihentikan. Ki Lurah Wiryakerti akan dapat memilih yang terbaik menurut sisi pandangnya."
"Tetapi sumber persoalannya ada pada Ki Tumenggung Panjer."
"Biarlah para Tumenggung menyelesaikannya sendiri."
Ki Lurah Agung Sedayu dan Ki Lurah Adipraya hanya mengangguk-angguk, sementara Ki Lurah Sambirata berkata, "Persoalan seperti ini tentu dapat menimbulkan berbagai macam pertanyaan. Tetapi baiklah, aku berterus terang. Selama ini memang ada masalah yang terselubung di kadipaten ini. Beberapa orang pemimpin kurang dapat saling memahami kemauan yang satu dengan yang lain. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari nampaknya para pemimpin itu tetap akrab dan bekerja bersama, tetapi sebenarnyalah ada semacam peletik api di dalam timbunan sekam. Jika tidak segera disiram, maka api itu akan dapat membakar sebukit timbunan sekam itu."
"Bagaimana menurut pendapat Ki Lurah akan kehadiran Kangjeng Pangeran Puger ?"
"Kami berpengharapan. Mudah-mudahan para Tumenggung itu tidak lagi memandang segala persoalan menurut sudut pandang mereka sendiri-sendiri."
"Tetapi persoalan yang sekarang terlontar dari keinginan Ki Tumenggung Panjer untuk memiliki seekor kuda yang besar dan tegar, tentu terlepas dari persoalan yang terselubung itu."
"Seharusnya demikian, Ki Lurah. Tetapi apakah kita akan dapat memilih persoalan-persoalan yang tumbuh didalam diri kita menghadapi orang yang sama?"
Ki Lurah Agung Sedayu dan Ki Lurah Adipraya menarik nafas panjang. Namun Ki Lurah Sambirata itupun berkata, "Marilah kita pergi ke halaman depan. Disini banyak sekali nyamuk."
Ki Lurah Agung Sedayu dan Ki Lurah Adipraya tidak menjawab. Mereka hanya mengangguk saja.
Dalam pada itu Glagah Putih dan kawannya sudah meninggalkan dapur pula. Kepada prajurit yang menemaninya itu Glagah Putih berkata, "Jangan mengatakan kepada siapapun. Persoalannya sangat memalukan."
Kawannya mengangguk. Tetapi iapun menjawab, "Kau kira orang-orang yang bertugas didapur itu dapat kau tutup mulutnya ?"
"Persetan dengan mereka."
"Ceritera tentang dirimu tentu akan berkepanjangan."
"Untunglah, aku mempunyai saksi."
"Siapa?" "Kau." "Kalau aku tidak mau bersaksi " Bahkan aku justru akan memberatkanmu ?"
"Kau tidak boleh meminjam kudaku lagi."
Prajurit itu tertawa. Tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi. Ki Lurah Sambirata, Ki Lurah Agung Sedayu dan Ki Lurah Adipraya telah berada di halaman depan. Mereka tertegun ketika mereka melihat Ki Lurah Wiryakerti dan Ki Lurah Rejasura dengan tergesa-gesa mendekati mereka.
"Ki Lurah Sambirata," berkata Ki Lurah Wiryakerti, "menurut Ki Lurah Rejasura, Ki Lurah Sambirata mengaku bertugas malam ini karena aku dipanggil oleh Ki Tumenggung Wirid."
"Ya." "Kenapa " Bukankah dengan demikian Ki Lurah Sambirata telah melanggar wewenang orang lain."
"Apakah dengan demikian Ki Lurah Rejasura merasa aku rugikan ?"
"Tentu," sahut Ki Lurah Rejasura.
"Apa yang telah aku rugikan. Ketika aku berniat menolong, Ki Lurah Rejasura dan dua orang prajuritnya sedang berkelahi melawan Glagah Putih. Ketiga orang itu ternyata tidak berdaya. Sementara itu, Ki Lurah Rejasura minta seseorang memanggil prajurit yang sedang bertugas. Untuk membantunya, maka aku yang mendengarnya datang dan mengaku prajurit yang bertugas."
"Tetapi seharusnya Ki Lurah Sambirata tidak berbuat demikian. Jika Ki Lurah ingin membantunya, sebaiknya Ki Lurah Sambirata memanggil aku yang memang sedang bertugas malam ini."
"Tetapi aku sengaja berbohong kepada Ki Lurah Rejasura."
"Kenapa Ki Lurah sengaja berbohong ?"
"Karena Ki Lurah Rejasura juga berbohong kepadaku. Bahkan berbohong kepada banyak orang. Buat apa aku bersungguh-sungguh kalau orang itu membohongi aku."
"Apa yang dikatakan oleh Ki Lurah Rejasura sehingga kau menganggapnya berbohong."
"Ki Lurah Rejasura mengatakan bahwa Glagah Putih telah mengganggu isteri orang. Tetapi ternyata perempuan yang dikatakannya diganggu itu tidak ada."
"Tetapi ketika Ki Lurah Sambirata membohongi Ki Lurah Rejasura bukankah Ki Lurah Sambirata belum dibohongi oleh Ki Lurah Rejasura."
"Ki Lurah Rejasura sudah berbohong sejak semula. Bahkan sudah mempersiapkan kebohongan itu sejak awal."
"Itu fitnah." "Jangan berkata begitu, Ki Lurah Rejasura. Bahkan aku merasa ragu, apakah Ki Lurah Wiryakerti tidak tahu akan hal itu."
"Jadi kau juga memfitnah aku ?"
"Baiklah. Biarlah kita menelusuri persoalannya sejak awal. Kami, maksudku aku, Ki Lurah Agung Sedayu dan Ki Lurah Adipraya, pemimpin pengawal Kangjeng Pangeran Puger, melihat apa yang terjadi sejak Glagah Putih ke dapur bersama seorang kawannya. Para petugas di dapur juga melihat apa yang terjadi."
"Aku bertindak berdasarkan atas laporan orang yang merasa terganggu," berkata Ki Lurah Rejasura.
"Tetapi Ki Lurah tidak mau mendengarkan keterangan Glagah Putih. Jika setiap orang dapat ditangkap begitu saja berdasarkan laporan tanpa diteliti lebih dahulu, maka alangkah malangnya nasib orang-orang yang difitnah."
"Kau terlalu berprasangka, Ki Lurah Sambirata," berkata Ki Lurah Wiryakerti.
"Jika kau merasa bahwa aku telah melanggar hak dan wewenangmu, maka sebaiknya kau tempuh jalur paugeran yang berlaku, Ki Lurah Wiryakerti. Aku tidak berkeberatan. Aku akan berbicara terbuka tentang persoalan ini sejak awal. Sumbernya dan orang-orang yang tersangkut didalamnya. Bahkan, menyangkut seorang Tumenggung sekalipun, aku mempunyai cukup saksi untuk memperkuat pernyataanku."
Ki Lurah Wiryakerti termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Lurah Sambiratapun berkata, "Aku akan menunggu, Ki Lurah."
Ki Lurah Wiryakerti dan Ki Lurah Rejasura saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Ki Lurah Wiryakerti itupun berkata, "Marilah. Kita akan melihat perkembangan keadaan. Jika perlu, aku akan menempuh jalur lain yang lebih cepat."
Ki Lurah Sambirata tertawa. Katanya, "Jalur manapun yang akan kau tempuh aku tidak akan berkeberatan."
Ki Lurah Wiryakerti dan Ki Lurah Rejasurapun segera meninggalkan Ki Lurah Sambirata, Ki Lurah Agung Sedayu dan Ki Lurah Adipraya.
"Aku tidak yakin, bahwa keduanya akan mencari penyelesaian lewat jalur lain sebagaimana dikatakannya itu," berkata Ki Lurah Sambirata, "tetapi jika yang dimaksud adalah pengaruh dari Ki Tumenggung Panjer, maka aku akan berlindung dibawah pengaruh Ki Tumenggung Wirid."
"Persoalan pertama yang akan dihadapi oleh Kangjeng Pangeran Puger adalah cara berpikir para pemimpin yang tidak sejalan. Mereka akan berpijak kepada kepentingan mereka sendiri-sendiri."
"Untungnya masih ada keseimbangan diantara kekuatan-kekuatan yang tidak sejalan itu, Ki Lurah," berkata Ki Lurah Sambirata. "Sehingga dengan demikian, maka pengaruhnya kebawah tidak terlalu terasa tajam menusuk. Meskipun kadang-kadang cukup membingungkan."
"Mudah-mudahan Kangjeng Pangeran Puger segera dapat mengatasi," berkata Ki Lurah Agung Sedayu.
"Mudah-mudahan," sahut Ki Lurah Sambirata.
Beberapa saat kemudian, maka Ki Sambiratapun minta diri. Ia harus segera menghadap Ki Tumenggung Wirid untuk melaporkan apa yang telah terjadi di sekitar dapur kadipaten.
"Mudah-mudahan pembicaraan dengan Kangjeng Pangeran Puger itu sudah selesai," berkata Ki Lurah Sambirata.
"Jadi Ki Tumenggung Panjer benar-benar sedang menghadap Kangjeng Pangeran Puger diantara para pemimpin itu ?"
"Ya. Ki Tumenggung Panjer termasuk seorang Tumenggung yang berpengaruh. Tetapi wataknya memang agak kurang sesuai dengan tingkat kedudukannya."
Ki Lurah Agung Sedayu dan Ki Lurah Adipraya tersenyum. Dengan nada rendah Ki Lurah Adipraya berkata, "Aku akan melaporkannya kepada Kangjeng Pangeran Puger."
"Tetapi sebaiknya Ki Lurah juga mendengarkan pendapat pihak yang lain, agar tidak menjadi berat sebelah."
"Baik. Kangjeng Pangeran Puger tentu juga ingin masukan dari banyak pihak untuk mengambil langkah kebijaksanaan di kadipaten ini."
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Ki Lurah Sambiratapun telah meninggalkan Ki Lurah Agung Sedayu dan Ki Lurah Adipraya. Keduanyapun kemudian telah pergi ke serambi gandok.
Namun Ki Lurah Adipraya kemudian telah meninggalkan Ki Lurah Agung Sedayu di serambi karena Ki Lurah Adipraya akan melihat apakah pertemuan di ruang dalam dalem kadipaten itu sudah selesai.
Ketika seorang prajurit mendekati Ki Lurah Agung Sedayu, maka Ki Lurah itupun bertanya, "Apakah pertemuan di mang dalam itu sudah selesai ?"
"Entahlah, Ki Lurah."
"Apakah kau belum melihat beberapa orang pemimpin kadipaten ini keluar dari ruang dalam " Memang tidak terlalu banyak. Hanya sekitar lima atau enam orang yang dipanggil oleh Kangjeng Pangeran Puger untuk mengumpulkan bahan-bahan untuk menyusun pemerintahannya di kadipaten ini."
"Aku belum melihat Ki Lurah. Tetapi di depan pendapa itu masih ada dua ekor kuda yang tertambat. Mungkin kuda itu milik dua orang yang sedang mengadakan pertemuan itu. Selebihnya mereka berjalan kaki, karena agaknya rumahnya dekat dengan dalem kadipaten ini."
Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk.
Ketika prajurit itu meninggalkan Ki Lurah Agung Sedayu, maka Glagah Putih yang datang mendekatinya. Sikap serta kata-kata yang kemudian diucapkan oleh Glagah Putih, masih memberikan kesan, bahwa Glagah Putih merasa sangat gelisah dengan peristiwa yang terjadi di sebelah dapur itu.
"Kakang, aku telah terjebak. Di alun-alun aku berhasil menghindari jebakan itu. Tetapi seorang yang tiba-tiba saja menggangguku dan menantangku, aku masih berhasil menghindari perkelahian, karena aku tahu, bahwa jika perkelahian itu terjadi, maka aku tentu akan ditangkap. Tetapi ternyata jebakan itu ada di mana-mana."
"Jadi kau sudah dijebak di alun-alun ?"
"Ya, kakang." Agung Sedayu menarik nafas panjang. Katanya kemudian, "Jangan cemas. Aku melihat apa yang telah terjadi."
"Kakang melihatnya ?"
"Ya. Aku datang bersama Ki Lurah Sambirata. Tetapi aku dan Ki Lurah Adipraya tidak mendekat."
"Bagaimana menurut kakang Agung Sedayu?"
"Tidak apa-apa. Tidak akan terjadi apa-apa."
"Tetapi bagaimana jika cerita itu tersebar kemana-mana. Rara wulan tentu akan mendengarnya. Jika ia termakan oleh cerita itu, maka akan timbul persoalan."
"Tidak akan ada yang menyebar luaskan. Seandainya ada yang berceritera, tentu ceritera itu akan lengkap. Maksudku, bahwa yang terjadi adalah peristiwa yang dibuat-buat. Ternyata perempuan dan yang mengaku suaminya itu dengan diam-diam pergi. Apalagi para petugas di dapur tidak ada yang mengenal mereka sebelumnya. Tiba-tiba saja mereka telah dipekerjakan di dapur."
"Jika ingin menelusuri, tentu dapat ditanyakan kepada orang yang dengan serta-merta menempatkan mereka di dapur."
"Ya, Jika perlu. Tetapi jika kemudian peristiwa itu tidak lagi diungkit, maka diam sajalah. Baru jika peristiwa itu mempunyai ekor yang panjang, kita dapat menempuh beberapa jalur. Tetapi Ki Lurah Sambirata akan dapat menunjukkan jalur yang terbaik yang dapat kita tempuh."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, "Sokurlah jika kakang melihatnya. Selain kakang, aku juga mempunyai seorang saksi."
"Ya. Aku juga melihatnya."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya kemudian, "kapan kita meninggalkan kadipaten ini, kakang ?"
"Besok lusa, Glagah Putih. Besok kita mempersiapkan segala sesuatunya yang akan kita bawa kembali ke Mataram. Besok lusa didini hari kita akan berangkat."
"Tempat ini telah menjadi neraka bagiku."
"Ya. Tetapi dengan demikian kita mengetahui, bahwa para pemimpin di kadipaten ini nampaknya selama ini saling bersaing."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia-pun bergumam, "Sebaiknya Kangjeng Pangeran Puger mengetahuinya."
"Kangjeng Pangeran Puger tentu mengetahuinya karena Ki lurah Adipraya sudah mengetahuinya juga. Ki Lurah Adipraya tentu akan menyampaikannya kepada Kangjeng Pangeran Puger, sehingga Kangjeng Pangeran Puger akan berhati-hati mengambil kesimpulan."
"Tetapi jika dalam pertemuan itu Kangjeng Pangeran Puger sudah mengambil keputusan-keputusan?"
"Tentu belum. Kangjeng Pangeran Puger tentu baru mengumpulkan bahan-bahan terpenting."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia benar-benar berharap agar apa yang telah terjadi di dapur itu tidak akan tersebar dalam kesalahpahaman.
Meskipun Ki Lurah Agung Sedayu berusaha untuk menenangkan kegelisahan Glagah Putih, namun malam itu Glagah Putih benar-benar sulit untuk dapat tidur.
Meskipun ia sudah berbaring diantara para prajurit yang bertugas menyediakan makanan dan minuman di perjalanan itu, namun matanya tidak segera dapat terpejam. Glagah Putih menjadi semakin sulit tidur ketika prajurit yang tidur di sebelahnya mendekur keras sekali.
Bahkan menjelang tengah malam, Glagah putih justru bangkit dari pembaringannya dan turun ke halaman. Tetapi Glagah Putih menyadari keadaannya, sehingga ia tidak pergi ke mana-mana. Ia bahkan duduk bersama para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang bertugas mengawasi keadaan, meskipun tempat itu sudah dijaga oleh para prajurit Demak.
"Kau tidak mengantuk ?" bertanya seorang prajurit kepada Glagah Putih.
"Sebenarnya aku mengantuk. Tetapi aku tidak dapat tidur."
"Jangan takut. Kudamu tidak akan hilang meskipun seorang Tumenggung ingin memilikinya."
"Darimana kau tahu ?" bertanya Glagah Putih.
"Kami mendapat beberapa keterangan agar kami tahu apa yang harus kami lakukan."
"Terima kasih," Glagah Putih itu mengangguk-angguk. Pernyataan prajurit dari Pasukan Khusus itu telah membuatnya menjadi tenang. Karena itu, maka sejenak kemudian, Glagah Putih telah minta diri untuk kembali ke pembaringannya.
"Tidurlah. Jika perlu, aku akan membangunkanmu," berkata seorang prajurit sambil tersenyum.
Glagah Putih tersenyum pula. Katanya, "Terima kasih. Mudah-mudahan aku dapat tidur nyenyak."
Sebenarnyalah ketika kemudian Glagah Putih berbaring, matanya-pun terasa amat berat. Dibangunkannya prajurit yang mendekur itu. Lalu katanya, "Kangjeng Pangeran Puger akan melihat-lihat tempat kita ini, apakah cukup memadai atau tidak. Karena itu, jangan mendekur agar tidak menarik perhatian Kangjeng Pangeran Puger sehingga datang kemari. Jika Kangjeng Pangeran Puger memasuki barak kita ini, maka kita semuanya harus bangun."
"Kangjeng Pangeran Puger ?" bertanya prajurit yang mendekur itu.
"Ya." "Benar ?" "Benar." Prajurit itupun kemudian bangkit dan duduk di pembaringan. Katanya, "Jika tidur aku tentu mendekur."
"Karena itu, jangan tidur."
Prajurit itu mengangguk. Untuk beberapa saat ia mencoba untuk bertahan untuk duduk dipembaringan. Namun akhirnya iapun terbaring juga. Matanyapun segera terpejam dan suara dengkurnya telah terdengar lagi. Tetapi dalam pada itu, Glagah Putih sudah tertidur pula.
Di hari berikutnya, seperti yang dikatakan oleh Ki Lurah Agung Sedayu, para prajurit Mataram telah berbenah diri. Pedati-pedati yang akan dibawa kembali ke Mataram telah disiapkan. Bekal di perjalanan-pun telah dilihat pula, apakah mencukupi atau tidak.
Namun ketika Kangjeng Pangeran Puger menanyakan bekal di perjalanan itu, maka prajurit yang bertugas mengurus bekal dan perlengkapan itu menyatakan bahwa bekal diperjalanan kembali ke Mataram itu masih cukup.
Tetapi untuk meyakinkan agar tidak terjadi kesulitan di perjalanan, maka Kangjeng Pangeran Puger telah memerintahkan untuk menambah bekal itu serba sedikit.
Di hari terakhir Ki Lurah Agung Sedayu di Demak, Kangjeng Pangeran Puger telah memanggilnya. Memberikan beberapa pesan untuk disampaikan kepada Kangjeng Panembahan di Mataram.
Namun pada bagian terakhir pesan yang harus disampaikan itu, Kangjeng Pangeran Puger juga menyatakan, bahwa Kangjeng Pangeran Puger masih harus membenahi sikap para pemimpin di Demak.
"Hamba akan menyampaikan pesan Kangjeng Pangeran," berkata Ki Lurah Agung Sedayu kemudian.
"Terima kasih, Ki Lurah. Tanpa Ki Lurah Agung Sedayu, ceritera perjalananku ke Demak akan berbeda."
"Hamba hanya sekedar menjalankan tugas, Pangeran."
"Barangkali sudah pernah aku katakan, bahwa tidak semua orang menjalankan tugasnya dengan baik. Karena itu, maka harus ada penilaian yang wajar terhadap mereka yang meskipun hanya sekedar menjalankan tugas."
Menjelang malam.maka beberapa orang pemimpin kadipaten Demak telah berkumpul untuk memberikan ucapan selamat jalan kepada Ki Lurah Agung Sedayu. Ada di antara mereka yang sebenarnya merasa segan. Mereka yang mempunyai kedudukan jauh lebih tinggi dari seorang Lurah Prajurit menganggap bahwa pertemuan semacam itu agak berlebihan.
"Kenapa kita harus menghormati seorang Lurah Prajurit yang besok akan kembali ke Mataram dengan penghormatan yang berlebihan " Bahkan Kangjeng Pangeran Puger sendiri harus mengucapkan selamat jalan kepada mereka. Kenapa Kangjeng Pangeran tidak menugaskan saja seorang Lurah Prajurit Demak untuk menyampaikan ucapan selamat jalan dan membiarkannya berangkat esok pagi bersama pasukan kecilnya itu."
"Yang penting bagi Kangjeng Pangeran Puger bukannya pangkatnya. Tetapi apa yang sudah dilakukannya. Lurah Prajurit yang bernama Agung Sedayu itu telah menyelamatkan jiwanya."
"Itu sudah kewajibannya. Ki Lurah itu ditugaskan untuk mengawal Kangjeng Pangeran Puger sampai ke Demak. Tentu saja jika ada hambatan, ia harus bertindak."
"Ia bukan saja bertindak atas dasar tugasnya. Tapi Ki Lurah Agung Sedayu itu seorang prajurit yang cerdik."
"Ceritera yang berlebihan."
Tetapi orang yang mempunyai kedudukan yang tinggi itu tidak berani menolak perintah Kangjeng Pangeran Puger, sehingga orang itupun terpaksa datang di pertemuan itu.
Salah seorang dari mereka yang menganggap pertemuan itu berlebihan adalah Ki Tumenggung Panjer. Ki Tumenggung terbiasa dihormati dan memerintah para Lurah Prajurit dengan semena-mena, sehingga untuk menghormati Ki Lurah Agung Sedayu, rasa-rasanya segan juga.
Namun Ki Tumenggung Wirid dengan ikhlas menyalami Ki Lurah Agung Sedayu sambil berkata, "Aku sudah mendengar apa yang Ki Lurah lakukan di sepanjang perjalanan. Tetapi lebih dari itu, dari Ki Lurah Adipraya aku sudah mendengar siapakah sebenarnya Ki Lurah Agung Sedayu itu."
"Seperti kebanyakan Lurah Prajurit, Ki Tumenggung."
"Ki Lurah Adiprayapun mengatakan bahwa Ki Lurah Agung Sedayu adalah adik Ki Tumenggung Untara yang memegang peranan pada saat-saat peralihan setelah Demak bergeser ke Pajang."
"Aku memang adiknya, Ki Tumenggung. Tetapi aku bukan apa-apa."
Ki Tumenggung Wiridpun tertawa.
Malam itu, dalam pertemuan itu, Kangjeng Pangeran Puger sendiri telah mengucapkan terima kasih sekali lagi kepada Ki Lurah Agung Sedayu dan pasukannya yang telah menyelamatkan Kangjeng Pangeran Puger berserta keluarganya dalam perjalanan ke Demak."
"Kami tidak akan melupakan Ki Lurah dan para prajurit dari Pasukan Khusus yang Ki Lurah pimpin."
Ki Lurah Agung Sedayu hanya dapat mengangguk dalam-dalam sambil menyembah, "Terima kasih atas penghargaan ini, Kangjeng."
"Aku telah menyiapkan sebuah tunggul yang khusus. Aku akan menyerahkan tunggul ini kepada Ki Lurah untuk melengkapi pertanda kebesaran pasukan yang Ki Lurah pimpin. Tentu saja Ki Lurah harus melaporkannya kepada Kangjeng Panembahan Hanyakrawati atau Ki Patih Mandaraka, apakah tunggul itu diperkenankan disejajarkan dengan tunggul resmi pasukan Ki Lurah. Jika tidak, maka tunggul itu akan berada di belakang tunggul resmi dari pasukan Ki Lurah."
"Sekali lagi hamba mengucapkan terima kasih, Kangjeng Pangeran."
Malam itu, Kangjeng Pangeran Puger telah menyelenggarakan bujana bagi para prajurit Mataram yang esok pagi-pagi sekali akan berangkat kembali ke Mataram.
Malam itu, ketika pertemuan di tutup, Kangjeng Pangeran Puger masih memerintahkan para pemimpin Demak itu datang esok sebelum matahari terbit untuk melepas pasukan Mataram yang akan pulang itu.
"Kenapa harus mendapat kehormatan yang berlebihan," desah seorang Tumenggung yang sejak semula menganggap penghormatan semacam itu bagi seorang Lurah Prajurit tidak perlu.
Tetapi seperti dalam pertemuan yang dilangsungkan itu, mereka tidak berani mengelak. Mereka terpaksa haius datang betapapun mereka tidak melakukannya dengan ikhlas.
Demikianlah, di dini hari pasukan Mataram itu sudah siap. Sebagaimana diperintahkan oleh Kangjeng Pangeran Puger, maka para pemimpin Demakpun melepas iring-iringan yang meninggalkan pintu gerbang dalem kadipaten itu.
"Selamat jalan Ki Lurah," berkata Kangjeng Pangeran Puger.
"Doa restu Pangeran yang hamba mohon."
"Aku doakan kalian selamat sampai ke Mataram."
Ternyata dalam iring-iringan itu terdapat dua orang perempuan yang semula berada di antara para abdi perempuan Kangjeng Pangeran Puger. Mereka adalah Sekar Mirah dan Rara Wulan. Ketika mereka berada di antara para prajurit yang pulang ke Mataram itu, mereka tidak mengenakan pakaian sebagaimana para abdi, tetapi mereka telah mengenakan pakaian khusus mereka.
Jantung Ki Tumenggung Panjer masih berdebaran ketika ia melihat di paling belakang dari iring-iringan itu seekor kuda yang tinggi, besar dan tegar milik Glagah Putih.
Tetapi Ki Tumenggung Panjer harus mengakui kenyataan, bahwa kuda itu tidak pernah menjadi miliknya. Kuda yang besar dan tegar sebesar dan setegar kuda Kangjeng Pangeran Puger milik Glagah Putih itu ikut pula dalam iring-iringan kembali ke Mataram.
Di perjalanan pulang, selain pedati yang membawa bekal dan perlengkapan, ada dua pedati yang kosong. Sedangkan yang lain memang ditinggalkan di Demak.
Meskipun di antara iring-iringan terdapat juga pedati sebagaimana saat mereka berangkat ke Demak, namun rasa-rasanya perjalanan mereka agak lebih cepat. Pedati yang masih saja merayap seperti siput itu, tidak terlalu sering berhenti karena para puteri dan para dayang merasa sangat letih duduk didalamnya serta diguncang oleh jalan yang tidak rata.
Di perjalanan pulang, yang duduk di dalam pedati yang satu adalah Sekar Mirah dan Rara Wulan. Sedang di pedati yang lain, bergantian para prajurit yang bertugas menyiapkan makan dan minum para prajurit.
Namun meskipun di perjalanan kembali para prajurit itu tidak bersama Pangeran Puger, namun bukan berarti mereka dapat berjalan berpencar menurut kesenangan mereka masing-masing. Pasukan kecil itu masih tetap terikat dalam kesatuan yang utuh, berbaris menempuh jalan yang panjang, menuju ke Mataram.
Iring-iringan itu menempuh perjalanan kembali sebagaimana jalan yang mereka tempuh disaat mereka berangkat. Namun setelah mereka menempuh perjalanan setengah hari, seorang prajurit berkata kepada Ki Lurah Agung Sedayu, "Ki Lurah. Aku tahu jalan yang jauh lebih dekat dari jalan ini. Tapi jalannya memang lebih sulit."
"Apakah pedati itu dapat melewatinya?"
"Dapat saja Ki Lurah. Tetapi di beberapa tempat, kita harus membantu mendorongnya. Jalannya agak terjal sehingga lembu yang menarik pedati itu memerlukan bantuan."
"Jika saja pedati dapat lewat, meskipun agak sulit sedikit, kita akan memilih jalan itu. Seberapa jauh kita dapat menghemat perjalanan kita?"
"Lebih dari setengah hari perjalanan."
"Jika demikian kita akan menempuh jalan itu. Tetapi jika jalan itu terlalu sulit, maka kau akan ikut dipasang di depan pedati itu bersama sepasang lembu untuk ikut menariknya."
Prajurit itu tertawa. Katanya, "Bukankah aku tidak sendiri."
"Nah, kaulah yang akan menjadi penunjuk jalan. Awas jika kita tersesat nanti."
Seorang prajurit yang lainpun berkata, "Jika kita tersesesat kau akan digantung di tengah jalan."
"Aku pernah menjadi pengembara dimasa mudaku. Aku tidak pernah merasa tersesat, karena aku selalu dapat menemukan jalan ke arah yang aku kehendaki."
"Baiklah," akhirnya Ki Lurah Agung Sedayu mengambil keputusan, "kita akan melewati jalan yang lebih dekat itu."
Akhirnya merekapun berbelok di simpang tiga yang telah dikenali oleh prajurit itu. Mereka menempuh jalan yang memang lebih kecil, tetapi jalan itu tidak terlalu jelek. Ada juga, bekas roda pedati, meskipun agaknya jarang-jarang saja.
Setelah lewat tengah hari, ketika mereka berada disebuah padang perdu tidak terlalu jauh dari pinggir hutan, merekapun berhenti. Para prajurit yang bertugas menyediakan makan dan minumanlah yang harus bekerja keras untuk menyiapkan makan dan minum bagi kawan-kawannya.
Tetapi beberapa orang prajurit, Glagah Putih, Sekar Mirah dan Rara Wulanpun telah ikut pula membantu mereka.
Para prajurit itu telah menyiapkan makan bukan hanya untuk siang itu. Tetapi merekapun menyiapkan makan kawan-kawannya sekaligus untuk makan malam sehingga disaat mereka merasa letih, mereka tidak harus bekerja terlalu berat. Dengan demikian mereka akan lebih cepat dapat beristirahat dan tidur seperti prajurit-prajurit yang lain. Namun para prajurit yang bertugas untuk menyiapkan makan dan minum itu tidak mendapat tugas untuk berjaga-jaga di malam hari.
Karena di antara mereka dalam iring-iringan itu tidak terdapat para puteri, maka waktu beristirahatpun menjadi lebih pendek dari saat mereka berangkat. Setelah makan, mereka tidak terlalu lama duduk-duduk di bawah bayangan pepohonan. Beberapa saat saja mereka sempat berbincang sambil bersandar pepohonan. Namun sejenak kemudian, telah terdengar aba-aba, agar mereka bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan.
Sejenak kemudian, maka iring-iringan itu telah bergerak kembali. Jika iring-iringan itu melewati padukuhan, maka orang-orang padukuhan pun berlari-lari keluar dari halaman rumahnya untuk menyaksikannya. Jarang mereka melihat iring-iringan prajurit melewati padukuhan mereka.
Seorang Bekel di sebuah padukuhan justru sempat bertanya kepada prajurit yang berjalan di paling depan, "Prajurit darimana kalian Ki Sanak?"
Yang berjalan di paling depan adalah prajurit yang menjadi penunjuk jalan. Karena itu, maka orang itupun langsung mempertemukan Ki Bekel dengan Ki Lurah Agung Sedayu.
Sambil mengangguk hirmat Ki Bekel itupun berkata, "Aku minta maaf, Ki Sanak. Bahwa aku telah mengganggu perjalanan Ki Sanak. Aku adalah Bekel Karangdawa. Iring-iringan ini telah mengejutkan aku dan bahkan rakyat padukuhan Karangdawa. Jarang sekali kami melihat sekelompok prajurit lewat jalan dipadukuhan ini. Tiba-tiba saja sekarang sebuah iring-iringan yang besar telah memasuki padukuhan kami."
"Ki Bekel," jawab Ki Lurah Agung Sedayu, "Aku adalah Lurah Prajurit yang memimpin sekelompok prajurit ini. Namaku Agung Sedayu. Kami baru pulang dari Demak."
"Ki Lurah akan menuju ke mana?"
"Kami akan pulang ke Mataram."
"Apakah Ki Lurah baru saja pulang setelah menyerang Demak dan membawa jarahan di pedati-pedati itu?"
"Tentu saja tidak, Ki Bekel. Kelompok ini hanyalah kelompok kecil. Sendangkan prajurit Demak jumlahnya ribuan orang."
"Jadi?" "Kami mengantar Kangjeng Pangeran Puger dari Mataram ke Demak. Kangjeng Pangeran Puger telah ditetapkan menjadi Adipati di Demak oleh Kangjeng Panembahan Hanyakrawati di Mataram."
"Kangjeng Pangeran Puger?"
"Ya. Ki Bekel sudah pernah mendengar nama Kangjeng Pangeran Puger?"
"Ya. Kami pernah mendengar namanya."


14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nah. Kangjeng Pangeran Puger itu sekarang berada di Demak."
"Apakah ketika Ki Lurah berangkat ke Demak dari Mataram, Ki Lurah tidak melewati jalan ini?"
"Tidak, Ki Bekel. Kami lewat jalan lain. Jalan yang lebih baik dari jalan ini, karena di dalam iring-iringan itu terdapat beberapa orang puteri."
"Puteri. Beberapa orang puteri menempuh perjalanan sejauh itu" Apakah mereka naik tandu?"
"Tidak. Kebetulan Kangjeng Pangeran Puger tidak mempergunakan tandu untuk membawa puteri. Jaraknya terlalu jauh, sehingga orang yang memanggul tandu itu akan menjadi sangat kelelahan."
"Mereka berjalan kaki?"
"Tidak." "Jadi?" "Mereka naik pedati."
"Naik pedati" Apakah tubuh mereka tidak menjadi sangat penat."
"Tentu Ki Bekel. Tetapi itu adalah kendaraan yang terbaik yang dapat kami pergunakan waktu itu."
Ki Bekel itu mengangguk-angguk. Iapun kemudian berkata, "Ki Lurah, jika saja Ki Lurah bersedia singgah disini. Sebentar lagi, senja akan turun. Jika Ki Lurah melanjutkan perjalanan, jarak yang Ki Lurah capai sampai senja juga hanya beberapa ratus patok saja."
"Terima kasih, Ki Bekel. Tetapi kami ingin segera sampai ke Mataram. Karena itu, maka kami akan meneruskan perjalanan. Kami tidak hanya berhenti pada saat-saat senja turun. Kami masih akan dapat melanjutkan perjalanan sampai wayah sepi bocah misalnya."
"Tetapi Ki Sanak, perjalanan kalian masih panjang. Kalian tentu akan menjadi sangat letih jika kalian berjalan sampai lewat senja."
"Kami adalah prajurit, Ki Bekel. Kami sudah terbiasa menjalankan tugas-tugas berat kami."
Ki Bekel itu mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, "Ki Lurah. Ada sesuatu yang harus Ki Lurah ketahui, agar Ki Lurah tidak terkejut karenanya."
"Tentang apa, Ki Bekel?"
"Jika Ki Lurah meneruskan perjalanan, maka Ki Lurah akan melewati daerah yang gawat. Di sebelah bukit diseberang hutan itu terdapat sebuah perguruan. Agaknya para pemimpin perguruan itu sudah terlalu lama merasa berkuasa di daerah ini, termasuk daerah Karangdawa ini. Padukuhan-padukuhan yang jarang sekali di jamah oleh prajurit dari manapun."
Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk.
"Jika orang-orang perguruan itu mengetahui bahwa Ki Lurah dengan sekelompok prajurit ini lewat, maka mereka tentu akan tersinggung. Ki Lurah telah menyentuh daerah kekuasaan mereka tanpa seijin mereka."
"Kami hanya lewat, Ki Bekel. Kami tidak berbuat apa-apa disini."
"Mereka tidak akan mengerti. Mereka tentu akan menuntut. Tuntutan yang paling ringan adalah, agar Ki Lurah memberikan pajak yang bersarnya akan mereka tentukan kemudian."
"Ah, itu tidak wajar. Kami dapat lewat manapun juga tanpa di ganggu. Apalagi kami adalah prajurit yang sedang mengemban tugas."
"Tetapi mereka tidak akan mau tahu."
"Tetapi kami adalah sekelompok prajurit, Ki Bekel."
"Jumlah murid di padukuhan itu banyak sekali, Ki Lurah. Jika terjadi benturan kekerasan, maka kalian akan mendapatkan lawan terlalu banyak. Jumlah para cantrik di perguruan itu dari segala tingkatan, jumlahnya lebih dari seratus orang, Ki Lurah."
Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun iapun menjawab, "Kami sudah sampai disini, Ki Bekel."
Dengan nada berat Ki Bekel itupun berkata, "Ki Lurah. Jika Ki Lurah berniat berjalan terus, aku dapat menunjukkan jalan yang lain, yang tidak melewati perguruan yang ganas itu. Tetapi jalannya memang agak sulit. Apalagi dengan pedati-pedati itu. Meskipun demikian bukan berarti bahwa jalan itu tidak dapat dilewati pedati, meskipun barangkali lembu penariknya perlu dibantu dengan mendorongnya."
"Terima kasih atas peringatan yang Ki Bekel berikan. Tetapi biarlah kami meneruskan perjalanan kami mengikuti jalan yang kami pilih."
"Ruas-ruas jalan yang melewati perguruan yang panas itu ada yang sulit pula. Ada satu dua tanjakan agak terjal sehingga pedati-pedati itupun perlu didorong."
"Tetapi bukankah jalannya masih lebih baik dari jalan sidatan itu, Ki Bekel?"
"Ya. Ki Lurah. Tetapi barangkali Ki Lurah ingin menghindari hambatan di perjalanan."
Ki Lurah Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih, Ki Bekel."
"Baiklah, Ki Lurah. Jika Ki Lurah ingin berjalan terus. Aku sudah memberikan peringatan kepada Ki Lurah. Tetapi akupun dapat mengerti, bahwa yang bersama-sama Ki Lurah sekarang adalah sekelompok prajurit yang tidak boleh menghindari dari kemungkinan terjadi kekerasan."
"Bukan maksud kami untuk memilih jalan yang memungkinkan terjadinya kekerasan, Ki Bekel. Tetapi jika kekerasan itu menghalangi jalan kami, maka kami akan menembusnya."
Ki Bekel itupun mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-mudahan Ki Lurah mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung."
"Doa Ki Bekel merupakan bekal yang sangat berharga bagi kami."
Demikianlah, maka sejenak kemudian, iring-iringan itupun melanjutkan perjalanan. Ki Bekel melepas mereka sampai ke gerbang pedukuhannya.
Demikian mereka berada dibulak, maka Ki Lurah Agung Sedayu pun segera memperingatkan kepada para pemimpin kelompok untuk berhati-hati.
"Aku melihat kesungguhan pada sikap dan kata-kata Ki Bekel. Karena itu, kalian jangan menjadi lengah. Mungkin orang-orang perguruan itu sempat berbicara dengan kita. Tetapi mungkin tiba-tiba saja mereka menyergap karena mereka melihat bahwa kita adalah kelompok prajurit."
Pulau Seribu Setan 3 Wiro Sableng 156 Topan Di Gurun Tengger Partai Rimbah Hitam 2
^