Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 31

14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 31


Dengan demikian, maka kelompok-kelompok prajurit itupun segera memperketat diri dalam kelompok mereka masing-masing. Disamping depan adalah penunjuk jalan itu beserta kelompoknya. Disebelah menyebelah, diatas punggung kuda, Ki Lurah Agung Sedayu dan pemimpin kelompok itu.
Di belakang kelompok itu, dua buah pedati yang kosong, yang hanya ditumpangi oleh Sekar Mirah dan Rara Wulan. Kemudian kelompok-kelompok berikutnya. Di belakangnya pedati-pedati yang membawa bekal perjalanan serta perlengkapannya. Para prajurit yang mengurusi perbekalan dan perlengakapan serta para prajurit yang bertugas menyiapkan makan dan minum bagi kawan-kawannya telah membentuk kelompok sendiri. Glagah Putih menyatakan diri ikut dalam kelompok itu. Bahkan kemudian Sekar Mirah dan Rara Wulanpun tidak lagi berada di dalam pedati yang kosong. Tetapi mereka telah turun dan bahkan bergabung dengan kelompok para prajurit yang mengurusi perbekalan dan perlengkapan serta para prajurit yang menyiapkan makan dan minuman itu.
Dipaling belakang adalah sekelompok dengan pemimpin kelompoknya yang duduk diatas punggung kuda. Seorang yang berwajah garang, berkumis lebat dan bermata cekung. Namun ternyata ia adalah seorang yang senang sekali berkelakar. Suara tertawanya kadang-kadang meledak tidak terkendali.
Diperjalanan itu, orang itu masih sempat berkata kepada Glagah Putih, "Bawa kudamu ke depan pedati-pedati perbekalan itu. Kudaku nampak seperti jaran kore jika berdekatan dengan kudamu."
Glagah Putih tertawa. Katanya, "Kau memang pantas duduk dipunggung kuda beban yang kerdil."
Orang yang berwajah garang, berkumis lebat dan bermata cekung itu tertawa pula.
"Sst," justru prajurit dalam kelompoknya yang berdesis.
"Sst," orang berwajah garang itu menirukan.
Yang kemudian duduk diatas punggung kuda Glagah Putih adalah justru seorang prajurit yang bertugas menyediakan makan dan minuman. Ternyata seperti yang dikatakan pemimpin kelompok itu, prajurit itu berkuda di depan pedati-pedati yang membawa bekal dan peralatan.
Ketika senja mulai membayang, iring-iringan itu memasuki jalan yang berada dibawah bayang kegelapan sebuah hutan yang lebat. Jalan yang melalui pinggiran hutan yang hanya diantarai oleh padang perdu yang sempit.
Namun yang melewati jalan itu adalah sepasukan prajurit, hingga mereka sama sekait tidak merasa cemas seandainya mereka berpapasan dengan binatang buas yang kebetulan keluar dari hutan yang lebat itu.
Yang kemudian menjadi perhatian mereka adalah sebuah bukit kecil di seberang ujung hutan itu. Menurut Ki Bekel, di tempat itu terdapat sebuah perguruan yang keras, yang merasa mempunyai kekuasaan yang besar didaerah itu.
Ki Lurah Agung Sedayu telah memperingatkan prajurit-prajuritnya untuk berhati-hati. Menurut Ki Bekel, disebelah bukit itu perjalanan mereka mungkin akan dihambat
"Apakah kita tidak berhenti dan bermalam di padang perdu ini saja, Ki Lurah ?" berkata seorang pemimpin kelompok.
Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Baiklah. Tetapi setelah kita sampai di ujung hutan. Kita akan berhenti dan berkemah, sementara itu malam tentu sudah turun."
Sebenarnyalah sedikit lewat senja mereka telah sampai ke ujung hutan. Ki Lurahpun kemudian memerintahkan pasukannya untuk berhenti.
Beberapa orang pemimpin kelompok ternyata sependapat bahwa pasukannya berhenti di padang perdu itu. Mereka dapat mengawasi keadaan disekitarnya dengan agak leluasa. Jika mereka meneruskan perjalanannya melingkari bukit kecil itu, maka mereka akan dapat terjebak di dalam kegelapan. Mereka tidak menguasai medan dengan baik. Agak berbeda jika mereka melewati jalan itu pada saat hari terang. Meskipun mereka tidak mengenal medan dengan baik namun mereka dapat melihat keadaan disekitarnya dengan baik.
Karena itu, maka iring-iringan itupun kemudian berhenti di padang perdu, diujung hutan yang lebat. Merekapun segera menempatkan pedati mereka melingkar. Di tengah-tengahnya,para prajurit itupun telah menyalakan api untuk menghangatkan tubuh mereka serta menerangi keadaan disekitarnya.
Para pemimpin kelompokpun segera mengatur prajurit-prajuritnya untuk bergantian berjaga-jaga di sekitar perkemahan mereka.
"Tidurlah didalam pedati yang kosong itu," berkata Ki Lurah Agung Sedayu kepada Sekar Mirah dan Rara Wulan.
"Baik, kakang," jawab Sekar Mirah.
Dua orang prajurit yang melihat keadaan disekitar tempat itu menemukan sebuah sungai kecil yang mengalir disela-sela batu padas. Dengan oncor mereka melihat bahwa air yang mengalir di parit itu adalah air yartg. jernih. Beberapa kelompok ikan wader pari berenang menentang arus.
Ternyata air itu penting bagi prajurit yang berjalan sehari-harian. Ada diantara mereka yang merasa perlu untuk mandi. Tetapi yang sekedar mencuci muka, kaki dan tangan mereka.
Namun sejuknya air itu telah membuat tubuh mereka menjadi segar.
Sekar Mirah dan Rara Wulan memilih giliran yang terakhir. Meskipun demikian, mereka minta Agung Sedayu dan Glagah Putih untuk mengawasi keadaan. Justru karena mereka berada ditempat yang tidak mereka kenal dengan baik.
Malam itu, suasana di perkemahan terasa lebih longgar dari saat mereka berangkat. Malam itu mereka tidak bersama Kangjeng Pangeran Puger serta para puteri. Rasa-rasanya beban para prajurit itu sudah menjadi ringan, karena setiap orang diperkemahan itu seharusnya dapat melindungi diri mereka sendiri.
Tetapi bukan berarti bahwa mereka yang satu dengan yang lain tidak akan bekerja sama. Para prajurit itu sudah terlatih untuk menghadapi semua persoalan secara pribadi maupun bersama-sama.
Ketika malam menjadi semakin dalam, maka beberapa orang praju-ritpun sudah mulai mendekur. Mereka mempercayakan keselamatan mereka kepada kawan-kawan mereka yang bertugas. Jika kawan-kawan mereka yang bertugas lengah, maka mereka akan dapat menjadi banten.
Tetapi para prajurit dari Pasukan Khusus itu tahu benar akan kewajiban mereka. Karena itu, yang sedang bertugas akan menjalankan tugas mereka dengan sebaik-baiknya.
Sekar Mirah dan Rara Wulan, malam itu berada di sebuah pedati yang kosong, tetapi mereka tidak segera dapat tidur. Rasa-rasanya tubuh mereka dikerumuni oleh nyamuk yang tidak terhitung jumlahnya.
Baru menjelang tengah malam mereka dapat memejamkan mata mereka.
Ki Lurah Agung Sedayu berada di pedati kosong yang lain untuk memudahkan prajurit-prajuritnya yang ingin menemuinya. Namun di pedati itu Ki Lurah sempat juga tidur, tetapi dengan bersandar tiang.
Sedikit lewat tengah malam seorang prajurit yang bertugas datang menemuinya. Perlahan-lahan-prajurit itupun berdesis, "Kami melihat dua orang yang bergerak tidak terlalu jauh dari perkemahan ini, Ki Lurah."
"Apakah mereka masih terus di awasi?"
"Ya. Kawan-kawan yang bertugas masih terus mengawasi mereka. Nampaknya kedua orang itupun berusaha untuk mengawasi kita."
"Berhati-hatilah. Agaknya apa yang dikatakan oleh Ki Bekel itu benar. Aku memang yakin, bahwa Ki Bekel itu bersungguh-sungguh. Setidak-tidaknya sejauh pengenalannya atas padepokan itu."
"Ya. Ki Lurah."
"Laporkan setiap gerakan yang kalian lihat."
"Baik, Ki Lurah."
Sejenak kemudian prajurit itupun meninggalkan Ki Lurah Agung Sedayu. Namun sejenak kemudian, Glagah Putihlah yang datang kepadanya, "Aku melihat sosok orang yang mencurigakan, kakang."
"Kau berada di mana ketika kau lihat orang itu?"
"Aku berada di sebelah Timur, kakang."
Ki Lurah Agung Sedayupun mengangguk-angguk. Glagah Putih berada di tempat yang berseberangan dengan prajurit yang telah melapor kepadanya.
Dengan demikian Ki Lurah Agung Sedayu mengambil kesimpulan bahwa ada beberapa orang yang mengamati perkemahan mereka dari beberapa arah.
Ketika hal itu dikatakan kepada Glagah Putih, maka Glagah Putihpun berkata, "Mungkin orang yang sama yang mengelilingi perkemahan ini kakang."
"Mungkin. Tetapi prajurit itu baru saja datang melapor kepadaku. Waktunya terlalu singkat bagi seseorang yang semula berada di Barat, kemudian berputar ke Timur. Kecuali jika prajurit itu terlambat melapor kepadaku."
Namun ternyata bahwa laporan serupa telah datang pula dari sisi yang lain, sehingga Ki Lurah mengambil kesimpulan bahwa ada banyak orang yang mengamati perkemahan mereka dari segala arah.
"Awasi mereka dengan baik," perintah Ki Lurah kepada para prajurit yang melapor.
Glagah Putih yang bergabung dengan para prajurit yang bertugas di sebelah Timur, telah berada ditempatnya kembali. Para prajurit yang bertugas itupun kemudian memberitahukan bahwa yang kemudian mereka lihat tidak hanya dua orang. Tetapi lebih.
"Agaknya tempat ini sudah dikepung," berkata prajurit itu.
Glagah Putih kemudian kembali menemui Ki Lurah Agung Sedayu untuk menyampaikan kesimpulan para prajurit yang bertugas, bahwa tempat itu sudah dikepung.
"Ya," Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk, "menilik laporan yang menyusul, tempat ini memang sudah dikepung. Mereka berada pada jarak yang tidak terlalu jauh. Bahkan nampaknya mereka membiarkan kita yang bertugas melihat mereka."
"Ya, kakang," jawab Glagah Putih.
"Kita akan membangunkan para prajurit yang masih tertidur nyenyak, karena mereka baru akan bertugas sebentar lagi."
Demikianlah, maka para prajurit yang masih tidurpun segera dibangunkan. Seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan menguap sambil menggelita. Katanya, "Rasa-rasanya mataku baru saja terpejam. Apakah sudah sampai giliranku sekarang?"
"Kita dikepung," jawab kawannya yang membangunkannya.
"Dikepung apa?" prajurit yang tinggi kekurus-kurusan itu bertanya.
"Dikepung harimau. Puluhan harimau."
"He?" orang itupun terduduk.
Prajurit yang membangunkannya itupun tertawa. Tetapi prajurit itu sudah bergeser untuk membangunkan kawannya yang lain.
Dalam waktu singkat para prajurit itupun sudah siap. Tetapi mereka sama sekali tidak nampak ribut. Semuanya berlangsung dengan tanpa menimbulkan gejolak.
Sekar Mirah dan Rara Wulanpun telah bersiap pula. Tongkat baja putih Sekar Mirah tidak lagi dititipkannya. Tongkat itu sudah berada di tangannya.
Di tengah-tengah perkemahan itu api masih menyala. Dua orang prajurit yang menungguinya, masih saja meletakkan kayu-kayu kering yang banyak terdapat di padang perdu dan di pinggir hutan itu kedalam api setiap api itu menjadi surut.
Namun merekapun sudah diberi tahu untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya, karena perkemahan mereka sudah dikepung.
Namun Ki Lurah Agung Sedayu telah memberikan perintah, bahwa mereka tidak akan mulai. Jika orang-orang itu tidak menyerang, para prajurit itu harus membiarkan saja.
Namun di dini hari, para prajurit yang bertugas terkejut ketika mereka melihat beberapa obor bergerak mendekati perkemahan, Nampaknya ada beberapa orang yang datang untuk menemui para prajurit itu.
Ki Lurah yang mendapat laporan segera pergi ke arah beberapa buah obor yang bergerak itu. Sementara beberapa orang prajurit pun telah bersiap pula mendampinginya.
Ternyata sekelompok orang yang mendekati perkemahan itu terdiri dari enam orang. Seorang yang berdiri di paling depan, bertubuh tidak terlalu tinggi. Tetapi badannya yang agak gemuk, kumis yang melintang di wajahnya, membuatnya nampak garang.
Beberapa langkah dari para prajurit yang menyongsong mereka, termasuk Ki Lurah Agung Sedayu, orang itu berhenti. Orang yang bertubuh agak pendek dan gemuk itu bertanya dengan suara yang lantang, "Siapakah pemimpin kalian?"
Ki Lurah Agung Sedayu melangkah maju sambil menjawab, "Aku, Ki Sanak"
"Kau?" "Ya." "Siapa namamu, he?"
"Namaku Agung Sedayu."
"Agung Sedayu," orang itu mengulang.
"Kau siapa Ki Sanak?" bertanya Ki Lurah Agung Sedayu.
"Aku penguasa daerah ini. Namaku Srengga Sura."
"Apakah ada sesuatu yang penting sehingga kau datang keperkemahan kami didini hari seperti ini."
"Menilik pakaian dan kelengkapan yang kalian bawa, kalian adalah sekelompok prajurit."
"Ya. Kami memang sekelompok prajurit."
"Untuk apa kalian datang kemari" Apakah kalian akan mendesak kuasaku disini?"
"Kami hanya sekedar lewat, Ki Srengga Sura."
"Kalian prajurit dari mana dan akan pergi ke mana?"
Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, "Kami adalah prajurit Mataram. Kami baru saja dari Demak mengantarkan Kangjeng Pangeran puger yang diangkat rnenjadi Adipati di Demak."
"Kangjeng Pangeran Puger dari Mataram?"
"Ya." "Persetan dengan orang-orang Mataram. Kami tidak berkepentingan dengan Mataram atau Demak."
"Lalu, sekarang, apa maksudmu datang ke perkemahan kami?"
"Kalian sudah berada di daerah kami. Kalian harus membayar upeti kepada kami, penguasa daerah ini."
"Siapakah yang memberi wewenang kepadamu untuk menjadi penguasa disini?"
Pertanyaan Ki Lurah Agung Sedayu itu memang agak mengejutkan Ki Srengga Sura. Namun kemudian iapun menjawab, "Aku tidak memerlukan wewenang dari siapapun. Aku mempunyai kekuatan. Kekuatan itu adalah lambang dari kekuasaan. Karena itu, maka dengan kekuatan aku berkuasa disini."
"Tidak ada kuasa yang lain kecuali kuasa Kangjeng Adipati Demak atas nama Mataram di daerah ini. Daerah ini termasuk wilayah Demak. Karena itu, setiap kekuasaan di daerah ini hanya diakui berdasarkan atas wewenang dari Demak."
"Aku tidak peduli kekuasaan di Demak. Apalagi di Mataram."
"Kami tidak akan memberikan upeti kepada orang-orang yang telah melanggar wewenang Kangjeng Panembahan Hanyakrawati di Mataram atau orang yang mendapat kuasa daripadanya, Kanjeng Adipati Demak."
"Jangan bicara tentang kuasa Demak. Sekarang aku minta kalian serahkan semua barang-barang yang kau bawa. Semua senjata dan perhiasan yang kalian bawa. Timang , pendok pada wrangka keris, atau apapun juga yang ada pada kalian. Termasuk uang yang kalian bawa."
"Ki Srengga Sura. Sudah aku katakan, kami berada di daerah kuasa Mataram. Tidak ada orang yang berhak memungut upeti atau pungutan apapun kepada kami."
"Kalian sudah terkepung. Meskipun kalian prajurit yang barangkali mempunyai pengalaman perang, tetapi jumlah kami jauh lebih banyak dari jumlah kalian. Jika kalian lulak mau tunduk kepada ka mi, maka kalian akan kami tumpas habis sampai orang yang terakhir."
"Kami adalah prajurit Ki Srengga Sura. Kami siap menghadapi kemungkinan terburuk sekalipun. Bahkan satu kebetulan bahwa kalian datang kepada kami, karena kami akan menangkap kalian dan membawa kalian ke Mataram."
"Mimpimu mimpi buruk Ki Sanak. Ingat, jika kalian tidak tunduk kepada perintah kami, kalian akan kami hancurkan. Kami memberikan waktu sampai fajar. Jika kalian tetap menolak, maka begitu matahari terbit, kami akan menghancurkan kalian."
"Kami akan menunggu, Ki Srengga Sura. Kami akan menunggu sampai matahari terbit. Kami akan melihat seberapa besar kekuatan kalian sehingga kalian merasa mempunyai kuasa disini tanpa mendapat wewenang dari siapapun juga."
"Bagus. Kau akan menyesal, karena semua prajurit akan kami tumpas habis."
Ki Lurah Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara itu, Srengga Sura itupun berkata. "Selamat malam. Masih ada waktu tersisa untuk tidur sekejap jika masih ada diantara kalian yang dapat tidur, karena esok pagi kalian semua akan dibantai disini."
Ki Lurah Agung Sedayu masih tetap terdiam. Sementara Srengga Sura yang sudah bersiap untuk pergi itu masih berkata, "Kami akan mengulangi apa yang pernah kami lakukan hampir sepuluh bulan yang lalu. Sepasukan prajurit yang lewat daerah kuasaku tanpa mau tunduk kepada perintahku, telah aku hancurkan sampai orang yang terakhir. Ada diantara mereka yang merengek mohon ampun. Ada yang menangis meraung-raung, karena ia mempunyai tujuh orang anak ynag masih kecil-kecil, sedangkan isterinya sudah meninggal sebulan sebelumnya. Tetapi kami adalah orang-orang yang tidak pernah mempertimbangkan segi-segi yang oleh orang lain disebut perikemanusiaan. Itu hanya omong kosong. Seorang yang hatinya lemah akan berbicara tentang perikemanusiaan. Atau mereka yang memang berniat berbuat licik. Tetapi kami tidak pernah mempertimbangkannya."
Ki Lurah Agung Sedayu tetap berdiam diri.
Sejenak kemudian Srengga Sura itupun meninggalkan Ki Lurah Agung Sedayu yang berdiri tegak sambil mengatupkan giginya rapat-rapat.
Demikian Srengga Sura dan para pengawalnya menjauh maka Ki Lurah Agung Sedayupun segera memberikan perintah dan petunjuk kepada setiap pemimpin kelompok, agar mereka mengatur prajuritnya masing-masing menghadapi kepungan itu.
"Berapa orang kira-kira musuh kita" Seratus orang?"
"Lebih, Ki Lurah," jawab salah seorang pemimpin kelompok.
"Seratus lima puluh?"
"Ya, sekitar itu. Mereka berada di segala arah. Tetapi sebenarnyalah bahwa kepungan mereka tidak rapat temu gelang. Ada lubang-lubang yang mungkin disusupi."
"Apakah kau bermaksud mengatakan, bahwa ada sebuah diantara kita yang sebaiknya berada di luar kepungan?"
"Ya, Ki Lurah."
"Aku sependapat."
Pemimpin kelompok itupun kemudian berkata, "Ki Lurah, aku mohon Ki Lurah segera memerintahkan sebagian diantara kita untuk menyusup dengan diam-diam keluar lingkaran kepungan itu."
"Baiklah," sahut Ki Lurah Agung Sedayu yang kemudian memerintahkan separo dari prajuritnya untuk menyusup ke segala arah.
"Separo diantara kita akan tetap berada di dalam. Kami akan menarik perhatian mereka, sehingga mereka tidak sempat memperhatikan sebagian dari kita yang akan menyusup keluar kepungan. Ingat, jangan bergerak sebelum kami memberikan isyarat. Kami akan melontarkan panah sendaren."
"Baik, ki Lurah."
"Siapkan tali sebanyak-banyaknya. Ikat mereka yang berhasil di tangkap. Kita akan membawa mereka ke Mataram. Mereka tentu orang-orang yang berbahaya."
"Baik, Ki Lurah."
Setelah memberikan beberapa perintah dan petunjuk kepada para pemimpin kelompok, maka Agung Sedayupun segera memerintahkan mereka untuk melaksanakannya.
"Hati-hati. Agaknya mereka orang-orang yang garang dan tidak ragu-ragu untuk melakukan kekerasan."
"Ya, Ki Lurah."
Para pemimpin kelompok itupun segera kembali ke kelompok mereka masing-masing. Para pemimpin kelompok itupun memberikan beberapa petunjuk sebagaimana dikatakan oleh Ki Lurah Agung Sedayu. Baik yang harus menyusup keluar kepungan, maupun yang akan tetap berada di dalam kepungan.
Seperti yang dikatakan oleh Ki Lurah, maka para prajurit yang akan tetap berada di dalam kepunganpun segera mempersiapkan diri. Mereka menjadi sibuk. Satu dua pedati telah digeser meskipun hanya beberapa langkah. Api di tengah-tengah perkemahan itupun dipadamkan. Tetapi di beberapa tempat telah dinyalakan obor untuk menerangi lingkungan di sekitar pedati-pedati itu.
Ternyata kesibukan itu dapat diketahui oleh Srengga Sura dan para pengikutnya. Sambil tersenyum Srengga Sura itupun berkata, "Nah, kita lihat, betapa gelisahnya mereka. Ternyata prajurit-prajurit ini tidak lebih cerdik dari sekelompok prajurit yang pernah kita hancurkan di sebelah bukit. Mereka memadamkan perapian mereka, tetapi mereka menyalakan beberapa obor. Apakah bedanya " Kita masih juga dapat melihat bayangan mereka yang menjadi sibuk. Tetapi kesibukan mereka adalah cermin dari kegelisahan dan kecemasan mereka oleh kepungan kita."
Seorang yang bertubuh tinggi berwajah bersih dan bermata tajam berdesis, "Nampaknya jumlah merekapun tidak lebih banyak dari jumlah prajurit yang pernah kita musnahkan itu. Namun agaknya barang-barang bawaan mereka lebih banyak. Mungkin mereka mengawal upeti yang dipungutnya dari Kadipaten Demak."
Ki Srengga Surapun mengangguk-angguk. Katanya, "rejeki kita malam ini. Tetapi dimana Soma Bledeg?"
"Masih tidur." "Edan. Kenapa Soma Bledeg itu tidak dibangunkan " Kita akan memungut rejeki kita malam ini."
"Bukankah tadi Soma Bledeg sudah bangun " Bahkan sudah berbicara dengan Ki Srengga Sura ?"
"Ya Aku tadi sudah berbicara dengan Soma Bledeg. Tetapi kenapa ia tidur lagi?"
"Bukankah kau memberikan waktu sampai fajar " Dengan demikian, baru setelah matahari terbit kita akan menyerang mereka."
"Apakah pemalas itu sedang mabuk ?"
"Nampaknya ia tidak sedang mabuk."
Srengga Sura tidak bertanya lagi. Bahkan kemudian iapun berkata, "Baiklah. Kita memang perlu beristirahat. Biarlah anak-anak mengawasi perkemahan itu. Tetapi waktu untuk tidur sudah terlalu sempit."
Ternyata para pemimpin di padepokan itu tidak berniat untuk mengawasi para prajurit yang menurut pendapat mereka telah terkepung. Mereka tidak mengetahui, bahwa pada saat itu, separo dari prajurit yang mereka kepung itu sedang merayap di sela-sela gerumbul perdu serta menyusup di lubang-lubang kepungan. Dibayangan pepopohonan dan di sela-sela batang ilalang.
Para prajurit itu tidak merasa cemas akan gigitan ular. Ki Lurah Agung Sedayu telah memberikan butiran reramuan penawar racun yang akan menawarkan segala macam racun dan bisa, termasuk gigitan ular, sengat kala dan laba-laba bersabuk perak, kumbang biru dan sebangsanya. Juga berbagai jenis racun yang bercampur di dalam makanan dan minuman. Penawar racun itu akan bekerja selama sehari semalam.
Sebenarnyalah, ketika mereka menyusup di sela-sela gerumbul perdu, diantara batang ilalang dan rumpun-rumpun tanaman liar, ada di antara para prajurit itu yang dipatuk ular. Namun mereka yakin akan kasiat obat yang mereka telan sebelumnya, sehingga mereka tidak merasa cemas akan bisa ular itu.
Di ujung malam, menjelang fajar, maka separo dari para prajurit yang dipimpin oleh Agung Sedayu itu sudah berada di luar kepungan. Sementara itu, para prajurit yang berada di dalam kepungan masih saja nampak terlalu sibuk, meskipun sebenarnya tidak ada yang penting yang mereka lakukan, kecuali mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Bahkan ada beberapa diantara mereka yang mempersiapkan busur dan anak panah- Para pembidik terbaik akan berusaha mengurangi jumlah lawan, pada saat mereka mulai diserang.
Bukan hanya para prajurit yang berada di dalam kepungan, tetapi juga para pembidik terbaik yang berada di luar kepungan.
Dalam pada itu, Srengga Sura masih menunggu jawaban dari para prajurit yang telah mereka kepung. Srengga Sura yang memberikan waktu sampai fajar itu, masih berpengharapan, bahwa para prajurit itu akan menyerah karena mereka tentu menyadari, bahwa mereka tidak akan dapat menembus kepungannya.
"Kita akan merampas isi semua pedati," berkata Srengga Sura, "kemudian kita bawa mereka dengan terpisah-pisah ke kuburan mereka di sebelah bukit itu."
"Jika mereka sudah menyerahkan semua isi pedati itu, apakah kita masih akan membunuh mereka ?"
"Tentu, agar tidak seorangpun diantara mereka yang sempat menceriterakan tentang keberadaan kita serta kuasa yang kita bangunkan disini. Apalagi mereka adalah prajurit."
"Kita akan membunuh sekian banyak orang ?"
"Bukankah kita pernah melakukannya " Kita membunuh lebih dari lima puluh orang prajurit pada waktu itu " Ternyata tidak seorangpun diantara mereka yang sempat menjadi sesosok hantu, yang menakut-nakuti kita ?"
Orang yang bertubuh tinggi itu terdiam. Sementara itu, Srengga Sura duduk bersandar sedang pohon sambil menjelujurkan kakinya. Sekali Rengga Sura itu menguap. Tetapi ia tidak ingin tidur.
Dini haripun bergulir mendekati fajar. Langit sudah menjadi merah. Namun masih belum ada isyarat dari para prajurit yang terkepung itu untuk menyerah.
Dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayu telah mengambil keputusan untuk mempercepat peristiwa yang bakal terjadi karena sudah tidak mungkin dapat dihindarinya lagi.
Karena itu, maka Ki Lurah telah memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk bersiap di saat fajar menyingsing.
Sesaat sebelum fajar, Ki Lurah Agung Sedayu bersama empat orang prajurit serta Glagah Putih telah berusaha menemui orang yang bernama Srengga Sura.
Dengan tergesa-gesa Srengga Surapun menyongsong kedatangan Ki Lurah Agung Sedayu yang diikuti oleh beberapa orang. Dua diantara mereka membawa obor meskipun fajar sudah mulai membayang.
"Aku sudah mengira, bahwa akal kalian masih berjalan dengan wajar," berkata Srengga Sura sebelum Ki Lurah Agung Sedayu mengatakan sesuatu kepadanya.
"Ki Sanak," berkata Agung Sedayu kemudian, "aku minta maaf, bahwa kami berpendirian lain dari yang kau maksudkan."
"Maksudmu ?" "Kami tidak dapat memenuhi keinginanmu untuk menyerahkan benda-benda berharga milik kami, serta bahan dan perlengkapan keprajuritan yang kami bawa."
"Gila, "Srengga Surapun berteriak, "jadi kalian menantang kami?"
"Tidak. Kami tidak menantang. Kami hanya menghendaki agar hak kami tidak kalian rampas."
"Itu akan berarti mati bagi kalian."
"Kami akan mempertahankan semua milik kami, termasuk nyawa kami."
"Persetan dengan kalian," geram Srengga Sura. Tiba-tiba saja iapun berteriak, "Bunuh tikus-tikus tanah ini."
"Tunggu," potong Ki Lurah Agung Sedayu, "aku datang kepadamu untuk memberikan jawaban atas keinginanmu yang kau ucapkan semalam. Kalian tidak dapat membunuh kami. Kalian harus membiarkan kami kembali ke induk pasukan kami. Barulah kita akan bertempur."
"Aku tidak peduli. Bunuh orang-orang ini. Kami hancurkan pasukannya. Aku tidak ingin melihat mukanya lagi."
"Kau harus menepati unggah-ungguh peperangan," berkata Ki Lurah.
"Aku tidak terikat oleh unggah-ungguh atau paugeran apapun juga."
Beberapa orang serentak bergerak. Sementara itu Ki Lurah Agung Sedayu serta para prajuritnya bergeser mundur.
Namun para pengikut Srengga Sura benar-benar tidak mengerti tatanan. Mereka pun segera menyerang Ki Lurah Agung Sedayu dan para prajuritnya yang datang menemui Srengga Sura.
Namun yang tidak mereka duga, tiba-tiba saja beberapa batang anak panah telah meluncur. Beberapa orang mengaduh dan rebah di tanah.
Ternyata Ki Lurah Agung Sedayu sejak awal sudah tidak mempercayai Srengga Sura. Karena itu, beberapa orang pemanah terbaik, diam-diam mengikutinya dan bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul perdu. Ketika ternyata bahwa Srengga Sura itu bermain curang, maka merekapun segera membidik dan melepaskan anak panah kepada orang-orang yang menyerang Ki Lurah Agung Sedayu.
Pada saat yang bersamaan, maka terdengar aba-aba dari para pemimpin kelompok prajurit dari Pasukan Khusus itu. Sambung bersambung.
Para prajurit yang sudah bersiap itupun dengan cepat berloncatan menyerang mereka yang telah mengepung perkemahan itu. Tetapi yang bergerak baru para prajurit yang berada di dalam kepungan.
Para pengikut Srengga Suralah yang justru belum bersiap sepenuhnya
Mereka justru terkejut ketika mereka mendengar aba-aba para pemimpin kelompok prajurit Mataram. Menurut pengertian mereka, jika para prajurit Mataram itu tidak mau menyerah, pertempuran baru akan mulai saat matahari terbit. Namun tiba-tiba saja prajurit Mataram itulah yang telah meneriakkan aba-aba pertempuran.
Mereka menjadi semakin bingung ketika dalam keremangan fajar itu, beberapa batang anak panah telah berterbangan. Bahkan ada diantara kawan-kawan mereka yang tiba-tiba saja berteriak nyaring dan rebah jatuh di tanah. Sebatang anak panah tertancap di dadanya.
Seorang yang lain terdorong langkah surut. Sebatang anak panah telah hinggap di lengannya.
Sementara itu, beberapa orang prajurit dengan cepat telah menempatkan diri disebelah Ki Lurah Agung Sedayu, sehingga pertempuran segera berkobar dengan sengitnya
Srengga Sura sendiri telah langsung terjun di pertempuran. Ia masih sempat berteriak, "Bangunkan Soma Bledeg. Dimana orang itu tidur" Bangunkan pemalas-pemalas yang lain. Kita sudah mulai bertempur sekarang."
Diperkemahan itu, pertempuran telah berkobar di segala arah. Jumlah para pengikut Srengga Sura memang cukup banyak. Namun dengan memiliki kesempatan pertama, maka para prajurit Mataram telah berhasil mengacaukan gelora para cantrik dari perguruan yang dipimpin oleh Ki Srengga Sura itu. Ketika Soma Bledeg dibangunkan, ia masih sempat mengumpat-umpat Matanya masih terpejam.
"Pertempuran sudah mulai, Ki Soma," berkata salah seorang murid Srengga Sura.
"Aku bunuh kau. Aku masih mengantuk."
"Tetapi perang itu sudah berkobar."
"He?" "Perang sudah mulai."
Soma Bledeg menguap. Namun ia kemudian bangkit berdiri. Ia tidak mengenakan ikat kepala di kepalanya, tetapi dikalungkannya di lehernya. Disambarnya sebuah golok yang besar yang disandarkannya di sebatang pohon disebelahnya.
"Kenapa perang sudah mulai sebelum matahari terbit?" bertanya Soma Bledeg.
"Pasukan Mataram itu telah memancingnya, sehingga tidak sempat menunggu sampai matahari terbit."
"Tentu Srengga Sura yang bodoh. Darahnya yang cepet medidih itu kadang-kadang telah menjerumuskannya ke dalam kesulitan."
Cantrik yang membangunkannya tidak menjawab. Sementara itu, Soma Bledeg itu sempat menendang seorang yang juga masih mendekur di sebelahnya.
"Den. Den Wiku. Bangun dan perang."
Orang yang dipanggil Den Wiku itupun menggeliat. Ketika ia membuka matanya dilihatnya langit masih muram. Sambil memejamkan matanya kembali iapun berkata, "Matahari belum terbit."
Sekali lagi Soma Bledeg menendang pantat orang itu sambil berkata, "Tetapi perang sudah mulai. Cepat, sebelum lehermu di tebas oleh prajurit Mataram. Nampaknya prajurit Mataram ini termasuk prajurit yang buas."
"Buas?" bertanya Raden Wikupana.
"Buas dan liar. Karena itu, marilah kita selesaikan mereka. Jangan biarkan mereka menakut-nakuti anak-anak kita."
"Kita pernah menumpas segerombolan prajurit. Anak-anak itu masih ingat. Mereka tentu bernafsu untuk melakukkannya sekarang."
"Tetapi prajurit-prajurit Mataram agak lain. Seperti segerombolan serigala lapar."
"Bagus. Itu akan sangat menyenangkan."
Raden Wikupana itupun segera bangkit berdiri. Dibenahinya pakaiannya. Bersama Soma Bledeg, merekapun segera pergi ke medan pertempuran yang sudah menjadi semakin seru.
"Ternyata jumlah mereka hanya sedikit. Kenapa harus membangunkan aku?" bertanya Raden Wikupana.
"Persetan kau Den Wiku," geram Soma Bledeg.
"Dimana Ki Srengga Sura?" bertanya Raden Wikupana pula Soma Bledeg tidak menyahut. Tetapi matanya tersangkut pada pertempuran yang sengit beberapa langkah di hadapannya. Srengga Sura sedang bertempur melawan Ki Lurah Agung Sudayu.
"Gila prajurit itu. Ternyata ia mampu mengimbangi ilmu kakang Srengga Sura," geram Raden Wikupana.
"Apa kataku," desis Soma Bledeg, "orang-orang Mataram itu memang orang-orang yang buas dan liar."
"Menurut pendapatku mereka bukan buas dan liar, tetapi mereka justru berilmu tinggi."
"Aku tidak peduli. Marilah kita hancurkan mereka sebelum mereka mengguncangkan keberanian anak-anak kita."
Soma Bledeg dan Raden Wikupuna segera turun ke medan pertempuran. Ternyata mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Dengan garangnya mereka berloncatan di arena pertempuran.
Sementara itu pertempuran telah berkobar dimana-mana. Kepungan itu telah bergerak merapat, sehingga lingkaran yang terdiri dari para cantrik diperguruan Srengga Sura itu menjadi semakin sempit.
Pada saat itu Ki Lurah Agung Sedayu memberikan isyarat muntuk melepaskan panah sendaren.
Panah sendaren itu telah mengejutkan Srengga Sura serta para pengikutnya. Mereka tahu bahwa panah sendaran itu tentu satu isyarat. Tetapi isyarat apa dan ditujukan kepada siapa "
Tiga buah anak panah sendaran telah bergaung di udara. Demikian gaungnya menghilang, maka para prajurit Mataram yang berada di luar kepungan pun serentak bergerak. Beberapa orang mulai menyerang dengan melontarkan anak panah dari busurnya. Susul menyusul dari beberapa arah.
Serangan itu sangat mengejutkan. Beberapa orang tidak sempat berbuat apa-apa ketika punggung mereka ditembus oleh anak panah yang meluncur dengan derasnya
Dalam waktu yang singkat, beberapa orang telah jatuh tertelungkup. Ada diantara mereka yang sempat menggeliat. Tetapi ada yang langsung terpatuk jantungnya.
Kemarahan Srengga Sura bagaikan membakar kepalanya. Suaranya mengguruh bagaikan guntur yang meledak di langit.
"Hancurkan para prajurit ini. Sekarang. Jangan beri kesempatan mereka memberikan perlawanan."
Tetapi suaranya segera terputus. Tiba-tiba saja Ki Lurah Agung Sedayu melibatnya dengan cepat. Tangannya yang terayun mendatar menghantam kening Srengga Sura, sehingga Srengga Sura itu terpelanting.
Ternyata Srengga Sura tidak mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga iapun terjatuh dan berguling di tanah.
Namun ternyata daya tahan Srengga Sura sangat tinggi. Dengan tangkasnya ia melenting berdiri dan siap menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayupun telah memburunya. Serangan-serangannyapun datang beruntun. Sehingga Srengga Sura harus berloncatan surut untuk mengambil jarak.
"Lurah prajurit ini seperti kerasukan iblis," geram Srengga Sura di dalam hatinya. Sebagai seorang yang telah memiliki pengalaman yang sangat luas, maka Srengga Sura merasa telah membentur kekuatan yang mendebarkan jantungnya.
Dalam pada itu, Raden Wikupana yang langsung menikam ke jantung pertahanan para prajurit Mataram, justru telah bertemu dengan Rura Wulan. Karena itu, maka Raden Wikupana itupun terkejut bahwa di dalam iring-iringan prajurit Mataram itu terdapat seorang perempuan.
"Kau seorang perempuan ?" bertanya Raden Wikupana meyakinkan penglihatannya.
"Ya, kenapa?" "Kau ini perempuan apa ?"
"Apa maksudmu ?"
"Kau seorang perempuan berada diantara sekelompok prajurit yang sedang mengadakan perjalanan panjang."
"Lalu apa kesimpulanmu ?"
Raden Wikupana tertawa. Suaranya menggelepar mengguncang pepohonan.
"Ternyata kau benar-benar seorang perempuan yang memiliki pengalaman yang sangat luas."
"Pengalaman apa menurut jalan pikiranmu ?"
"Agaknya kau memang terbiasa dibawa oleh para prajurit dalam tugas-tugas mereka."
"Aku sudah mengira," desis Rara Wulan kemudian.
"Mengira apa ?"
"Bahwa di kepalamu itu tidak terdapat otak yang bersih."
"Lalu kau kira di kepalaku ada apa ?"
"Dikepalamu itu terdapat lumpur dari kubangan yang kotor."
"Persetan dengan mulutmu perempuan binal. Sekarang kau harus memilih. Ikut ditumpas sebagaimana para prajurit, atau ikut bersamaku. Kau akan mendapat tempat yang terhormat di perguruanku, karena aku adalah salah seorang pemimpin."
"Siapa namamu ?"
"Namaku Raden Wikupana."
Tiba-tiba saja Rara Wulan tersenyum. Katanya, "Kau masih mempunyai darah biru di tubuhmu. Kenapa kau ikut merampok."
"Kami tidak merampok. Tetapi kami tidak mau, bahwa kuasa kami diinjak-injak oleh siapapun juga."
"Sebaiknya kau katakan kepada lurahmu, bahwa usahanya akan sia-sia. Bukan kalian yang akan menumpas para prajurit. Tetapi para prajurit yang akan menumpas kalian."
"Kau belum menjawab tawaranku. Ikut bersamaku dan hidup berbahagia, tidak kurang sandang pangan. Perhiasan dan apapun yang kau ingini akan aku penuhi."
"Benar?" "Benar." "Kau berjanji ?"
"Aku berjanji."
"Aku minta kepala lurahmu."
"Agaknya kau seorang perempuan gila. Bersiaplah. Aku akan membunuhmu sebagaimana para prajurit."
Rara Wulanpun segera bersiap. Sementara itu Raden Wikupana pun berkata, "Setinggi-tinggi ilmumu, kau tidak lebih dari seorang perempuan."
Namun ketika Raden Wikupana menyerang, maka iapun menjadi sangat terkejut. Rara Wulan dengan mudah menghindari serangannya, bahkan dengan tiba-tiba saja perempuan itu melenting. Kakinya dengan derasnya menyambar dada lawannya.


14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Raden Wikupana terdorong beberapa langkah surut. Tetapi ia masih mampu bertahan sehingga tidak jatuh terlentang. Tetapi sentuhan kaki seorang perempuan di dadanya telah membuat wajahnya menjadi merah padam.
Rara Wulan sengaja tidak memburunya. Ia sengaja memberi waktu kepada Raden Wikupana untuk mempersiapkan dirinya.
"Aku tahu, bahwa yang terjadi adalah satu kebetulan karena kau belum bersiap sepenuhnya," berkata Rara Wulan, "atau kau menganggap bahwa aku tidak akan dapat melakukannya sehingga kau tidak menduga bahwa hal itu akan terjadi."
"Ternyata kau telah kerasukan iblis betina."
"Jangan berkata begitu. Kita berada di pertempuran. Kita akan menunjukkan, siapakah yang ilmunya lebih mantap. Kau, salah seorang pernimpin perguruan yang keras itu, atau aku, seorang petugas dapur pada prajurit yang sedang menempuh perjalanan ini. Ternyata kali ini tugasku tidak sekedar menyediakan minuman dan makanan, tetapi berkelahi."
"Persetan kau perempuan gila. Aku akan melumatkanmu."
Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi iapun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Ia tahu, bahwa orang yang bernama Raden Wikupana itu akan lebih berhati-hati. Bahkan ia akan lebih meningkatkan ilmunya pula.
Sebenarnyalah, bahwa sejenak kemudian Raden Wikupana itu telah menyerang dengan garangnya. Orang itu benar-benar meningkatkan ilmunya. Ia tidak mau dihinakan seorang perempuan yang nampaknya masih muda itu.
Di sisi lain, Sekar Mirah yang bergerak mendekati Ki Lurah Agung Sedayu yang bertempur melawan Srengga Sura itu tertegun ketika ia melihat seorang yang bertubuh tinggi dan berwajah bersih termangu-mangu di dekat arena pertempuran antara Srengga Sura melawan Agung Sedayu.
Nampaknya orang bertubuh tinggi itu sudah bersiap-siap untuk ikut campur dalam pertempuran itu.
Ternyata dugaan Sekar Mirah itu benar. Ketika Srengga Sura tidak segera dapat menguasai Ki Lurah Agung Sedayu, maka Rengga Sura itupun berteriak, "Sungsang. Aku mempunyai kesempatan untuk ikut menyelesaikan lurah prajurit yang kepanjingan iblis ini. Demikian ia mati, maka yang lain akan segera kita sapu seperti menebas batang ilalang."
Orang yang bertubuh tinggi yang disebut Sungsang itupun melangkah mendekat sambil berkata, "Aku akan membantainya, Ki Lurah."
Tetapi langkahnya terhenti. Ia mendengar suara seorang perempuan memanggilnya, "Sungsang."
Sungsang itu berpaling. Dilihatnya seorang perempuan melangkah mendekatinya.
"Kaukah yang memanggilku ?"
"Ya." "Kau tahu namaku ?"
"Aku mendengar orang yang bertempur melawan Ki Lurah Agung Sedayu itu menanggil namamu."
"Kau siapa dan kau mau apa?"
"Aku isteri Ki Lurah Agung Sedayu. Namaku Sekar Mirah."
"Jadi kau ikut suamimu dalam iring-iringan prajurit Mataram ini?"
"Ya." "Untuk apa kau memanggil aku ?"
"Kau tidak pantas melibatkan diri dalam pertempuran antara Ki Lurah Agung Sedayu dengan pemimpinmu itu. Biarlah mereka menyelesaikan pertempuran diantara mereka."
"Kami ingin pertempuran ini cepat selesai. Setelah suamimu itu mati, maka membunuh yang lain tidak akan lebih lama dari memijit buah ranti. Nah, sebaiknya kau minggir saja. Sudah nasib suamimu mati di pertempuran ini."
"Sungsang. Seharusnya kau dan lurahmu itu malu, jika kalian berdua bertempur melawan seorang. Kenapa kau tidak mencari lawan yang lain ?"
"Pergilah. Aku tidak mempunyai waktu untuk banyak berbicara sekarang ini."
"Aku akan mencegahmu."
"Kau " Kau seorang perempuan ?"
"Ya. Apakah kau belum pernah mendengar tentang seorang perempuan, yang turun ke dalam dunia olah kanuragan ?"
"Memang sudah. Tetapi untuk melawan seorang perempuan rasa-rasanya hatiku masih belum sampai."
"Jangan segan. Jika kau merasa segan melawan seorang perempuan, maka kau akan mati di tangannya. Ingat, aku akan benar-benar membunuhmu."
"Persetan dengan kau. Aku peringatkan sekali lagi, pergilah."
"Jangan dungu. Sungsang," terdengar suara Srengga Sura yang telah meloncat mengambil jarak dari Agung Sedayu. Sementara itu Agung Sedayu tidak memburunya, seakan-akan Agung Sedayu justru memberinya waktu.
"Tangkap perempuan itu. Kita akan mempergunakannya untuk memaksa suaminya menyerah."
"Aku tidak akan menyerah," sahut Agung Sedayu.
"Kau relakan isterimu ?"
"Ia tidak akan dapat kau tangkap. Justru isterikulah yang akan menangkap kawanmu itu hidup atau mati."
"Jangan membual."
Ki Lurah Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia bergeser mendekati Srengga Sura.
Dalam pada itu, orang yang disebut Sungsang itupun menggeretakkan giginya sambil berkata, "Kalian meremehkan aku. Kalian akan menyesali kesombongan kalian ini."
"Bersiaplah," berkata Sekar Mirah kemudian.
Sungsangpun kemudian mempersiapkan diri menghadapi perempuan yang dianggapnya terlalu sombong itu. Sementara itu Sekar Mirahpun telah bersiap pula.
Ketika Sungsang meloncat menyerang, maka Sekar Mirahpun bergeser menghindarinya.
Keduanya pun kemudian telah terlibat dalam pertempuran. Semakin lama menjadi semakin sengit.
Sementara itu Srengga Sura yang telah meningkatkan ilmunya masih harus mengakui kenyataan bahwa lawannya adalah seorang yang berilmu tinggi.
Sementara itu, para prajurit dari Pasukan Khusus itupun bertempur dengan tangkasnya. Meskipun jumlah mereka lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah para murid Srengga Sura, namun para prajurit dari Pasukan Khusus yang mempunyai pengalaman yang luas itu, tidak segera dapat didesak ke dalam lingkaran kepungan yang sempit.
Apalagi ketika para prajurit yang telah berhasil menyusup keluar dari kepungan itu bangkit dan mulai menyerang dengan lontaran anak panah. Maka para murid Srengga Sura itulah yang justru nampak menjadi gelisah.
Sebagian dari mereka harus berbalik untuk melawan serangan para prajurit dari Pasukan Khusus itu.
Dengan demikian, maka justru para murid Srengga Sura itulah yang merasa terhimpit dari dua arah. Mereka harus melawan pasukan yang berada di dalam kepungan. Namun merekapun harus bertempur melawan para prajurit yang sudah berada di luar kepungan, yang justru menyerang mereka dengan gerangnya
Apalagi anak panah yang telah mereka lontarkan telah berhasil mengurangi kekuatan para murid Srengga Sura itu.
Sementara itu, mataharipun telah memanjat langit. Srengga Sura-pun melihat, betapa para prajurit Mataram itu mengamuk seperti banteng yang terluka. Srengga Sura pun melihat, bahwa para pengikutnya yang jumlahnya lebih banyak itu, harus mengerahkan kemampuan mereka untuk menghadapi para prajurit itu.
Meskipun para pengikut Srengga Sura itupun memiliki pengalaman yang luas serta tempaan ilmu kanuragan, tetapi tatanan perang para prajurit itu telah mengejutkannya."
Dalam pada itu, Soma Bledeg yang berloncatan dengan garangnya tertegun ketika dilihatnya seorang laki-laki yang masih terhitung muda berdiri di hadapannya.
"Kau memang luar biasa Ki Sanak. Kau bertarung seperti seekor burung garuda. Menyambar kesana-kemari dengan kuku yang tajam yang siap mencengkram korbannya."
"Ya. Aku memang bertarung seperti burung garuda."
"Aku mengagumimu, Ki Sanak."
"Jika demikian, apa maksudmu datang menemuiku di pertempuran ini ?"
"Untuk menyatakan kekagumanku. Seekor garuda yang terbang berputaran mengintai mangsanya. Menukik dengan cepat, menyambar dengan kuku-kukunya yang tajam mencengkeram."
"Kau adalah salah seorang yang akan menjadi mangsaku itu."
"Tentu bukan aku. Kau hanya dapat menyambat dan mencengkeram seekor anak ayam. Itupun yang lengah dan terpisah dari induknya."
"Persetan. Kau siapa Ki Sanak ?" bertanya Soma Bledeg.
"Namaku Glagah Putih."
"Kau berbeda dengan para prajurit. Apakah kau bukan prajurit?"
"Aku memang bukan prajurit."
"Kenapa kau turun medan ?"
"Aku seorang yang harus memelihara kuda para prajurit yang ikut dalam pasukan ini."
Soma Bledeg tertawa. Katanya, "Jika demikian, pergilah. Aku tidak akan membunuhmu. Aku akan membunuh para prajurit yang dengan sengaja akan menghadapi aku di medan pertempuran ini."
"Akulah yang akan menghadapimu. Meskipun aku bukan prajurit, tetapi aku berada di lingkungan para prajurit. Karena itu, aku harus siap bertindak sebagai seorang prajurit juga. Dalam keadaan seperti ini aku tidak akan dapat sekedar mencari perlindungan dari para prajurit. Aku harus berusaha untuk melindungi diriku sendiri."
"Glagah Putih. Kau jangan terlalu besar kepala hanya karena kau selalu berada di lingkungan para prajurit. Jika kau tidak mau pergi, maka nyawamu akan menjadi taruhan."
"Ya. Nyawaku akan menjadi taruhan."
"Jangan menjadi gila, Glagah Putih. Jika aku kehabisan kesabaran, aku akan benar-benar membunuhmu."
"Kau belum mengatakan namamu Ki Sanak."
"Kau tentu sudah mendengarnya. Namaku Soma Bledeg."
"Soma Bledeg. Meskipun aku bukan prajurit, tetapi aku tidak akan meninggalkan medan pertempuran ini. Jika aku harus mati disini, maka aku akan dihormati seperti para prajurit yang gugur di pertempuran."
"Apa artinya kehormatan bagimu jika kau tidak dapat menyadari adanya kehormatan itu."
"Tetapi aku sudah mengetahuinya sebelumnya."
Soma Bledeg tertawa pula Katanya. "Kau dapat berbangga dengan kesertaanmu. Tetapi sebaiknya kau bersikap wajar saja. Adalah naluri setiap orang yang selalu berusaha untuk menghindar dari kematian. Jika kau tidak melakukannya untuk sekedar dihormati sebagai pahlawan, maka hidupmu benar-benar sia-sia."
"Kau jangan mencoba mempengaruhi kesetiaanku kepada kewajibanku."
"Kewajibanmu merebus air dan menanak nasi. Lakukan dengan sebaik-baiknya."
"Aku adalah bagian dari seluruh rombongan ini."
"Bagus," Soma Bledeg sudah kehabisan kesabaran, "jangan menguji kesabaranku. Aku memang termasuk orang yang kasar dan tidak sabar. Karena itu, jika kau tidak segera mau pergi, aku akan menerkam dan mencekikmu sampai mati."
"Aku tidak akan pergi."
Soma Bledeg benar-benar tidak sabar lagi. Dengan serta-merta iapun meloncat menyerang Glagah Putih. Kedua tangannya benar-benar terjulur menerkam leher.
Tetapi Glagah Putih sudah siap menghadapinya. Karena itu, ketika Soma Bledeg berusaha menggapai lehernya, Glagah Putihpun merendahkan dirinya. Ia memutar tubuhnya, namun satu kakinya terjulur ke belakang menghantam dada Soma Bledeg, sambil bertumpu kepada kedua tangannya.
Soma Bledeg terkejut. Ia tidak mengira bahwa lawannya dapat bergerak dengan cepat dan demikian tangkasnya. Karena itu, maka Soma Bledeg tidak sempat menghindar atau menangkisnya.
Kaki Glagah Putih yang menghentak dadanya, dilambari dengan kekuatan yang besar itu, telah mengguncang tubuh Soma Bledeg. Bahkan kemudian melemparkannya beberapa langkah surut. Bahkan kemudian Soma Bledeg itu telah terbanting jatuh di tanah.
Namun dengan cepat pula Soma Bledeg meloncat bangkit. Demikian ia berdiri, maka mulutnya mengumpat-umpat dengan kasar. Sementara itu, Glagah Putih sengaja tidak memburunya dan mempergunakan kesempatan itu untuk menyerangnya lagi.
"Bocah edan," geram Soma Bledeg, "kau benar-benar tidak tahu diri. Kau memanfaatkan kelengahanku dengan licik."
"Jika kau lengah, siapakah yang bersalah " Kaulah yang menyerang aku. Bukankah jika aku membalas tidak berarti bahwa aku licik " Jika kau masih belum siap dan tiba-tiba aku menyerang seperti angin prahara, maka kau dapat menyebutku licik. Tetapi jika kau sudah menyerang tetapi kau sendiri belum siap, itu artinya kau sangat dungu."
"Tutup mulutmu. Jika kau membuka mulutmu lagi, aku sumbat mulutmu dengan tumitku."
"Menarik sekali," sahut Glagah Putih.
"Apa yang menarik ?"
"Niatmu menyumbat mulutku dengan tumitmu."
Soma Bledeg tidak dapat menahan kemarahannya yang telah membakar jantungnya. Karena itu, maka Soma Bledeg itupun segera bergeser mendekat. Tetapi ia tidak mau mengulangi kesalahannya. Karena itu, maka iapun menjadi lebih berhati-hati.
Baru ketika terbuka kesempatan, maka Soma Bledeg itupun meloncat menyerang dengan kakinya yang terjulur lurus mengarah ke dada.
Tetapi Glagah Putih telah bersiap. Dengan sigapnya ia meloncat surut sehingga kaki Soma Bledeg itu tidak menyentuhnya.
Namun Soma Bledeg tidak melepaskannya. Dengan cepat Soma Bledeg itupun memburunya. Sambil memutar tubuhnya, kakinya terayun dengan derasnya mengarah ke keningnya.
Namun Glagah Putih sempat merendah, sehingga kaki itu tidak mengenainya. Bahkan Glagah Putihlah yang kemudian melenting menyerang Soma Bledeg. Tangannya terjulur lurus mengarah ke dada.
Tetapi Soma Bledeg sempat menggeliat, sehingga serangan Glagah Putih itu tidak mengenainya.
Demikianlah, maka keduanyapun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Ternyata Soma Bledeg adalah seorang yang sangat garang, sesuaf dengan nama yang dipakainya.
Serangan-serangannya datang menghentak-hentak, bahkan menyambar-nyambar seperti petir di udara.
Namun Glagah Putih tidak segera dapat ditundukkan. Kecepatan geraknya benar-benar mengagumkan. Soma Bledeg kadang-kadang bahkan merasa terlambat menanggapi tata gerak Glagah Putih.
Dengan demikian, maka justru Glagah Putih yang lebih sering sempat membuka pertahanan Soma Bledeg.
Namun meskipun Soma Bledeg tidak terlalu sering dapat menyusup di sela-sela pertahanan Glagah Putih, tetapi kekuatan yang besar itu sekali-sekali memang mampu menggoyahkan ketahanan tubuh Glagah Putih.
Tetapi semakin lama tenaga dalam Glagah Putih menjadi semakin mapan, sehingga semakin lama, Soma Bledeg merasa semakin berat menghadapinya. Bahkan unsur-unsur gerak Glagah Putihpun menjadi semakin rumit, sehingga kadang-kadang Soma Bledeg harus berloncatan surut untuk mengambil jarak.
"Anak ini kepanjingan iblis padang perdu ini," geram Soma Bledeg.
"Apa yang kau katakan ?" bertanya Glagah Putih.
"Nyawamu sudah diujung ubun-ubunmu. Sebentar lagi aku akan mendorongnya keluar."
Glagah Putih tidak segera menjawab.
Dalam pada itu, pertempuran di padang perdu itupun menjadi semakin sengit. Para prajurit serta para pengikut Srengga Sura telah mengerahkan kemampuan mereka. Tubuh mereka telah basah kuyup oleh keringat yang bagaikan terperas dari tubuh mereka. Dimana-mana terdengar suara dentang senjata beradu. Sekali-sekali terdengar teriakan-teriakan tinggi. Teriakan kesakitan tetapi juga teriakan kemarahan serta hentakan kekuatan dan kemampuan.
Meskipun jumlah para prajurit Mataram itu lebih sedikit dari para pengikut Srengga Sura, tetapi ternyata para prajurit itu memiliki beberapa kelebihan. Kesetiaan mereka kepada tugas mereka, latihan-latihan yang keras serta pengalaman yang luas.
Dengan demikian, maka meskipun jumlah mereka masih lebih sedikit dari para murid di perguruan yang dipimpin oleh Ki Srengga Sura, namun para prajurit itu tidak terhimpit oleh kekuatan lawannya Bahkan para prajurit yang berada di luar kepungan telah mampu mengacaukan kepungan itu sendiri. Beberapa ruas dari kepungan itu telah koyak, sehingga para prajurit Mataram itu dapat menyusup keluar atau masuk kepungan yang tidak rapat itu.
Srengga Sura yang melihat keadaan para muridnya itupun menjadi gelisah. Tetapi ia tidak segera dapat menguasai lawannya, Ki Lurah Agung Sedayu.
Sementara itu. Srengga Sura tidak dapat lagi mengajak Sungsang untuk segera mengakhiri perlawanan Ki Lurah karena Sungsang telah mendapat lawannya sendiri.
Karena itu, maka Srengga Surapun tidak dapat mengharapkan siapa-siapa kecuali dengan meningkatkan ilmunya.
Dengan demikian maka Srengga Sura yang ingin segera menyelesaikan pertempuran melawan Ki Lurah itupun benar benar telah mengerahkan segala kekuatan dan ilmunya.
Sementara itu Sungsang telah bertempur pula melawan Sekar Mirah. Sungsang sama sekali tidak menduga, bahwa perempuan itu ternyata mampu mengimbangi ilmunya yang ditingkatkannya semakin tinggi.
"Ilmu apa pula yang dimiliki perempuan ini," berkata Sungsang di dalam hatinya.
Karena itu, untuk mempercepat usahanya mengakhiri perlawanan Sekar Mirah, maka Sungsangpun kemudian telah menarik pedangnya, meskipun ada semacam pertentangan didalam hatinya. Sebenarnya ia merasa segan mempergunakan senjata untuk melawan hanya seorang perempuan. Namun ia tidak dapat ingkar dari kenyataun, bahwa tanpa senjata ia tidak segera dapat mengakhiri pertempuran itu. Ilmu perempuan yang mengaku isteri Ki Lurah itu masih saja mampu mengimbangi ilmunya meskipun sudah meningkat sampai ke puncak.
Karena itu, maka sejenak kemudian, pedang ditangannya telah berputar seperti baling-baling.
Sekar Mirah meloncat surut. Ia melihat Sungsang benar-benar menguasai ilmu pedang. Karena itu, maka Sekar Mirah tidak mau membiarkan tubuhnya dilukai senjata lawannya.
Ketika Sungsang mulai menyerangnya, maka Sekar Mirahpun telah menarik tongkat baja putihnya dari selongsong kulitnya yang tergantung di pinggangnya.
Sungsang terkejut melihat tongkat baja putih itu. Ia mengira bahwa di dalam selongsong kulit itu berisi sebuah golok, atau luwuk atau bindi. Namun ternyata tongkat baja putih dengan hiasan sebuah tengkorak kecil yang berwarna kekuning-kuningan.
Sungsang pernah mendengar bahwa senjata semacam itu adalah senjata pertanda kepemimpinan di sebuah perguruan yang besar, namun yang sudah beberapa lamanya tertidur. Kini perguruan itu mulai menggeliat kembali untuk bangun.
Sekar Mirah melihat bahwa Sungsang tertarik kepada tongkat baja putihnya. Karena itu, maka Sekar Mirah itupun justru bertanya, "Kau tertarik kepada tongkat baja putih ini ?"
"Senjata apa pula yang kau bawa itu ?" bertanya Sungsang.
"Kau pernah melihat senjata seperti ini ?"
"Apakah kau dari perguruan Kedung Jati ?"
"Sebagaimana kau lihat, aku membawa tongkat pertanda kepemimpinan perguruan Kedung Jati."
"Apa hubungan perguruan Kedung Jati dengan prajurit Mataram ini ?"
"Tidak ada. Tetapi aku adalah isteri prajurit Mataram."
"Jika demikian, maka kau harus dibunuh agar kau tidak dapat berbicara dengan saudara-saudara seperguruanmu."
(Bersambung ke Jilid 351)
Bentrok Rimba Persilatan 12 Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie From Darkest Side 1
^