Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 28

15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 28


"Mudah-mudahan Glagah Putih dan Rara Wulan tidak seperti Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Semisal tanaman keduanya adalah tanaman yang subur. Daunnya lebat melindungi daerah sekitarnya dari terik sinar matahari. Tetapi pohon yang daunnya lebat itu serta yang melindungi lingkungan di sekitar dari terik sinar matahari, itu, ternyata tidak pernah dapat berbuah."
Tetapi Ki Widura belum dapat berterus terang kepada anaknya itu. Apalagi pada saat anaknya sudah siap melangkah mengemban tugas.
Meskipun demikian, Ki Widura tidak putus-putusnya berdoa, agar pada suatu saat yang tidak terlalu lama, ia mendapat anugerah seorang cucu . Laki-laki atau perempuan sama saja baginya. Cucu itu kelak akan melanjutkan nama keluarganya.
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan melangkah di suramnya kabut pagi. Semakin lama kabut pun menjadi semakin tipis. Pandangan matapun semakin lama dapat menjadi semakin jauh.
Di kejauhan masih terdengar burung-burung liar bernyanyi menyambut datangnya pagi. Sementara angin semilir lembut, mengayun dedaunan yang melempar titik-titik embun yang bergayutan.
Ketika mereka memasuki jalan pedesaan, maka merekapun mulai bertemu dengan orang-orang yang pergi ke pasar. Ada yang membawa hasil kebunnya untuk dijual, tetapi ada pula yang menggendong bakul kosong untuk pergi berbelanja.
Matahari pun mulai memancarkan sinarnya menerangi langit yang cerah. Kabutpun bagaikan tirai yang terangkat semakin tinggi, sehingga udarapun menjadi terang dan jernih.
Terasa betapa segarnya pagi hari yang cerah. Ketika sinar matahari jatuh di genangan air yang mengairi kotak-kotak sawah, nampak kilauan pantulan sinarnya yang kemerah-merahan.
Glagah Putih melangkah perlahan-lahan seakan-akan mereka berdua sedang berjalan di terangnya bulan purnama. Tidak terkesan sama sekali bahwa keduanya sedang mengemban perintah yang berat untuk dilaksanakan.
"Kakang," bertanya Rara Wulan, "kita akan mengambil jalan yang mana?"
"Kita akan berjalan lewat ngarai saja."
"Tetapi bukankah kita tidak dapat menghindari jalan-jalan perbukitan dan bahkan bukit-bukit kapur serta batu-batu padas."
"Ya. Akhirnya kita memang harus menyusuri pebukitan kapur. Tetapi sebelumnya kita dapat memilih jalan ngarai."
Rara Wulan mengangguk-angguk.
Sebenarnyalah keduanyapun menuruni jalan di kaki Gunung Merapi. Merekapun kemudian mengambil jalan di ngarai yang datar sebelum mereka pada saatnya juga akan menyusuri jalan di pebukitan kapur.
Keduanya berjalan tidak terlalu cepat. Keduanya memang tidak tergesa-gesa. Tidak ada batasan waktu yang diberikan kepada mereka, justru karena tugas mereka sangat berat.
Ketika matahari sampai di puncaknya, maka keduanya telah berada dijalan bulak yang panjang. Di kejauhan nampak hutan rimba yang lebat membujur ke utara, dipisahkan oleh padang perdu yang terhitung luas
Padang perdu yang ditumbuhi oleh rumpun-rumpun batang ilalang. Satu dua pepohonan yang besar dan beberapa gerombol rumpun bambu cendani.
Tetapi di sisi lain, nampak beberapa padukuhan yang terhitung besar berada di tengah-tengah lautan hijau tanaman di sawah.
Keduanyapun berjalan terus. Panas matahari semakin lama semakin terasa membakar kulit. Ketika matahari sedikit melewati puncak, Glagah Putih dan Rara Wulanpun berhenti di sebuah pasar kecil yang sudah menjadi semakin sepi.
Tetapi di pasar yang sudah semakin sepi itu masih terdapat seorang penjual dawet cendol.
"Kita dapat berhenti untuk minum, kakang," desis Rara Wulan.
"Ya. Kita dapat berhenti sebentar."
Keduanyapun kemudian duduk di sebuah lincak panjang di depan penjual dawet itu.
"Dua mangkuk, kang," pesan Glagah Putih.
Penjual dawet itupun segera meramu dawet dua mangkuk. Satu mangkuk buat Glagah Putih dan satu lagi buat Rara Wulan. "Segarnya," desis Rara Wulan.
"Semangkuk lagi," desis Glagah Putih setelah dawetnya yang semangkuk habis.
Penjual dawet itu mengangguk sambil menjawab, "Baik. Ki Sanak. Satu atau dua?"
"Satu saja," sahut Rara Wulan, "aku sudah cukup."
Glagah Putih tersenyum. Ia minta tambah lagi bukan saja karena ia merasa sangat haus diteriknya matahari sedikit lewat puncaknya, tetapi dawet itu terasa sangat segar.
Sementara Glagah Putih minum dawetnya, Rara Wulan sempat bertanya, "Pasar ini namanya pasar apa, kang."
Penjual dawet itu mengerutkan dahinya. Orang itu justru bertanya, "Kalian bukan orang dari daerah ini?"
"Bukan kang." "Jadi kalian berasal darimana?"
"Rumah kami di Banyu Asri, kang."
"Banyu Asri?" "Ya. Dekat Jati Anom."
Orang itu mengangguk-angguk. Sementara Rara Wulanpun berkata, "Kau belum menjawab pertanyaanku. Pasar ini apa namanya, kang" Atau barangkali nama padukuhan ini?"
"Wunut, Nyi. Pasar ini adalah pasar Wunut yang terletak di padukuhan Wunut."
"Wunut?" ulang Rara Wulan.
"Ya. Nyi. Kalian berdua akan pergi kemana?"
"Kami akan pergi ke Banyudana. kang. Jika masih ada waktu, kami akan pergi ke Sima."
"Kalian menempuh perjalanan jauh. Mungkin kalian akan kemalaman di jalan jika kalian pergi ke Sima. Tetapi jaraknya tentu tidak jauh lagi. Mungkin jika kalian memaksa diri, di wayah sepi bocah kalian sudah akan sampai di Sima. Sampai di Sima, kalian parami kaki kalian dengan butir-butir nasi yang dilumatkan dengan sedikit garam."
"Kenapa?" "Kalian tentu akan merasa lelah sekali. Param butir-butir nasi dengan garam akan segera mengendorkan syaraf-syaraf kaki yang menjadi tegang setelah menempuh perjalanan jauh."
"Kami tidak tergesa-gesa, kang. Jika kami kemalaman dijalan, kami dapat minta izin untuk bermalam di banjar."
"Sekarang tidak semua banjar boleh dipergunakan untuk menginap."
"Kenapa?" bertanya Rara Wulan.
"Agaknya keadaan menjadi tidak begitu tenang sekarang ini. Sering sekali terjadi perampokan di rumah-rumah penduduk padukuhan, sehingga mereka menjadi sangat curiga dengan orang-orang yang belum pernah mereka kenal."
"Perampokan?" "Ya. Perampokan. Namun kadang-kadang juga perbuatan lain yang membuat jantung berhenti berdetak."
"Itu terjadi di Sima dan sekitarnya atau di sini?"
Peristiwa seperti itu bertebaran di mana-mana. Di Wunut, di Banyudana, tetapi tentu juga di Sima."
"Kau baru saja berkunjung ke Sima."
"Tidak Ki Sanak. Aku hanya menduga-duga. Tetapi jika kau bertanya tentang Banyudana, maka aku akan dapat menjawab dengan tegas, ya. Aku baru tiga pekan yang lalu pergi ke Banyudana. Di malam hari Banyudana menjadi sepi seperti kuburan. Orang-orang tidak berani keluar rumah jika tidak ada kepentingan yang sangat mendesak."
"Apakah orang-orang Banyudana tidak berani bertindak terhadap para perampok itu?"
"Para perampok itu jumlahnya banyak sekali. Pernah terjadi, sekelompok perampok yang merampok rumah Demang Banyudana itu terdiri dari duapuluh orang lebih. Mereka bersenjata bermacam-macam. Ada yang membawa pedang, tombak, kapak, bindi, trisula, canggah dan lain-lainnya. Ketika terdengar kentongan dengan irama titir, maka rakyat Banyudana berlari-larian keluar rumah. Namun setelah mereka melihat para perampok bersenjata yang jumlahnya lebih dari duapuluh orang, maka merekapun tidak berani berbuat apa-apa."
"Sekelompok perampok yang terdiri dari duapuluh orang lebih itu, tentu gerombolan perampok yang sangat besar."
"Ya tentu saja."
"Apakah nama pemimpin perampok itu pernah di dengar di daerah ini?"
"Tidak. Tidak ada yang tahu. siapakah nama pemimpin perampok itu."
Glagah Putihpun kemudian meletakkan mangkuknya setelah dawetnya habis. Dengan nada berat iapun bertanya, "Apakah tidak pernah ada usaha untuk mencari dan menangkap para perampok itu" Mungkin dari para prajurit atau dari para pengawal beberapa kademangan yang bergabung menjadi satu ?"
Penjual dawet itu menggeleng. Katanya, "Tidak ada yang pernah berbuat sesuatu terhadap para perampok itu, sehingga rasa-rasanya mereka dapat berbuat sekehendak hati mereka."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Iapun kemudian bertanya pula.
"Apakah perampokan itu sangat sering terjadi?"
"Tidak. Tidak terlalu sering. Tetapi tanpa diduga-duga sebelumnya, sekelompok perampok itu datang begitu saja di sebuah padukuhan."
Glagah Putih dan Rara Wulan hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi mereka tidak bertanya lebih jauh.
Demikianlah, maka Rara Wulanpun membayar harga dawet cendol yang telah mereka minum sambil minta diri untuk melanjutkan perjalanan.
"Hati-hatilah di jalan," pesan penjual dawet itu.
"Baik Ki Sanak. Kami akan berhati-hati."
"Semoga kalian tidak berpapasan dengan orang-orang yang berniat jahat"
"Terima kasih atas kepedulian Ki Sanak." Di teriknya panas matahari, maka Glagah Putih dan Rara Wulan melanjutkan perjalanan menuju ke Banyudana.
"Kakang," bertanya Rara Wulan kemudian, "siapakah menurut dugaan kakang, pemimpin dari gerombolan perampok yang besar itu. Apakah mungkin ada hubungannya dengan kematian Ki Wiratuhu, sehingga anak buahnya telah melakukan kegiatan menurut kehendak mereka sendiri dan bahkan tidak terkendali. Atau bahkan mungkin para pengikut Singa Mantep?"
"Sulit untuk diduga, Rara Wulan. Bahkan mungkin orang lain sama sekali."
"Tetapi gerombolan yang terdiri dari dua puluh orang lebih, bukanlah segerombolan perampok. Tetapi sudah dapat disebut gerombolan pemberontak."
"Ternyata masih belum ada tindakan apa-apa yang dapat diambil."
"Agaknya kerusuhan yang terjadi di daerah ini masih belum lama mulai. Mungkin sesudah Wiratuhu terbunuh atau ditandai dengan kematian Raden Mahambara dan Raden Panengah."
"Sulit untuk diduga. Atau mungkin justru dilakukan oleh murid-murid dari perguruan Kedung Jati. Dahulu kita pernah menjumpai kelompok-kelompok yang merampok untuk mengumpulkan dana bagi' sebuah perjuangan. Pengumpulan dana yang memang dilakukan oleh mereka yang mengaku para murid dari perguruan Kedung Jati."
"Apakah cara itu telah dilakukannya lagi?"
"Entahlah." "Keduanyapun terdiam. Untuk beberapa saat mereka berjalan sambil berdiam diri. Mereka agaknya sedang menduga-duga, apakah perampokan-perampokan yang sering terjadi itu benar-benar dilakukan oleh segerombolan perampok atau ada tujuan lain di belakangnya."
Ketika matahari semakin turun di sisi Barat, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah berhenti pula disebuah kedai kecil. Mereka memesan bukan hanya minuman, tetapi mereka juga memesan nasi langgi, karena perut mereka sudah merasa lapar.
Di kedai kecil itu sudah duduk beberapa orang yang juga sedang minum dan makan.
Dari pembicaraan mereka, Glagah Putih dan Rara Wulanpun mendapat kesan, bahwa daerah di sekitar mereka, sering kali terjadi perampokan. Bahkan kadang-kadang justru telah jatuh korban.
"Sokurlah, bahwa para murid dari perguruan Kedung Jati segera datang ke daerah ini. Jika tidak, maka keadaan akan menjadi semakin buruk. Keresahan akan merebak kemana-mana."
Rara Wulanpun menggamit Glagah Putih. Sementara Glagah Putih hanya mengangguk kecil.
Namun keduanya sempat memperhatikan orang yang mengucapkannya. Seorang yang sudah separo baya, yang rambut, kumis dan janggutnya yang tipis, sudah mulai ditumbuhi uban.
"Ya," sahut yang lain, "mudah-mudahan para murid dari perguruan Kedung Jati itu tidak segera pergi meninggalkan lingkungan ini. Tanpa mereka, daerah ini akan menjadi lahan yang subur bagi para perampok itu."
"Ya," sambung yang lain lagi, "ketika kita sudah menjadi semakin ketakutan, cemas dan tidak berpengharapan, tidak ada seorang prajuritpun yang datang untuk melindungi kita. Untunglah bahwa ada perguruan yang besar yang telah melakukannya."
Sementara mereka berbicara tentang murid-murid perguruan Kedung Jati, seorang yang lebih tua lagi berkata, "Perguruan Kedung Jati bukan perguruan yang baru lahir kemarin sore. Sebelum perang besar, Jipang melawan Pajang. perguruan Kedung Jati sudah berdiri! Bahkan para pemimpin perguruan Kedung Jati adalah para pemimpin dari Kadipaten Jipang. Tetapi setelah Jipang dikalahkan oleh Pajang, maka nama Perguruan Kedung Jati menjadi tidak pernah terdengar. Namun akhir-akhir ini, nama itu telah mencuat kembali. Mula-mula di lingkungan-lingkungan kecil dan bahkan ada kesan tertutup. Namun semakin lama menjadi semakin terbuka dan berkembang di negeri ini. Daerah pengaruhnya sudah meluas dari pesisir Utara sampai pesisir Selatan. Dari ujung Cakrawala di sisi Barat sampai ujung Cakrawala disisi Timur."
Glagah Putih dan Rara Wulan mendengarkan pembicaraan itu dengan sungguh-sungguh. Terasa jantung mereka berdebaran semakin cepat.
Dalam pembicaraan mereka yang sudah berada di kedai itu, rasa-rasanya kehadiran murid-murid dari perguruan Kedung Jati telah mendapat sambutan yang sangat baik dari rakyat merasa mendapat perlindungan.
Rara Wulan yang mendengarkan pembicaraan itu dengan sungguh-sungguh telah menggamit Glagah Putih sambil bertanya, "Apa pendapatmu kakang?"
Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya perlahan, "Kita dengarkan pendapat mereka. Mungkin kita akan mendapatkan bahan bagi tugas kita."
Rara Wulanpun mengangguk-angguk.
Karena itulah maka mereka berduapun semakin bersungguh-sungguh mendengarkan pembicaraan orang-orang yang berada di kedai itu.
Seorang yang bertubuh gemuk yang duduk sambil mengangkat satu kakinya bersilang di atas kakinya yang lain, bangkit berdiri sambil berkata, "Dalam waktu dekat, kerusuhan-kerusuhan itu tentu sudah dapat diatasi."
"Ya, mudah-mudahan," sahut yang lain yang kemudian juga bangkit dari tempat duduknya.
Keduanyapun kemudian, telah membayar harga makanan dan minuman yang telah mereka minum dan mereka makan. Sambil keluar dari kedai itu, yang gemukpun berkata, "Besok lusa kita akan merayakan merti desa. Mudah-mudahan sehari-semalam ini kita tidak diganggu oleh kerusuhan-kerusuhan itu lagi."
"Ya," kawannya yang juga meninggalkan kedai itu mengangguk. Namun merekapun berpisah. Mereka menuju ke tempat yang berbeda.
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu mangu. Mereka saling berpandangan sejenak. Namun keduanya itu masih belum mengatakan apa-apa.
Beberapa saat kemudian, seorang yang berwajah riang telah memasuki kedai itu. Agaknya ia memang seorang yang senang bercanda, sehingga ia mengenali semua orang dengan akrab.
Bahkan ketika orang itu duduk tidak jauh dari Glagah Putih dan Rara Wulan, orang itupun sempat menyapanya, "Sudah lama Ki Sanak."
Glagah Putih yang tidak mengira bahwa ia akan disapa, menjadi sedikit gagap. Dengan tergesa-gesa ia menyahut, "Ya, ya. Ki Sanak. Kami baik-baik saja."
"Sokurlah," sahut orang itu.
"Bagaimana dengan Ki Sanak?" bertanya Glagah Putih.
"Baik Ki Sanak. Aku dalam keadaan baik. Demikian pula saudaraku ini semua. Semuanya baik-baik saja. Bahkan yang kurus itu keadaan juga baik-baik saja, yang perutnya buncit itupun baik-baik pula. Begitu kan Ki Sanak."
Orang-orang yang sudah ada di kedai itu, yang telah mengenal orang itu dengan baik, hanya tersenyum-senyum saja.
"Mari Ki Sanak. Kalian pesan apa?"
Seorang yang berkumis lebatpun menyahut, "Aku sudah makan dan minum sampai kenyang. Sekarang kau sajalah yang makan dan minum."
"Jika kau ingin memesan makan dan minuman, pesanlah. Aku yang akan membayarnya."
"Sudah aku katakan, aku sudah kenyang. Temanku inilah yang masih belum memesan apa-apa. Jika kau ingin membayarnya, minta saja ia memesan makan dan minum."
Orang yang berwajah riang itu mengerutkan dahinya. Namun tiba-tiba saja ia berkata, "Perutnya sebesar karung beras. Meskipun aku jual kerbauku, tidak akan cukup untuk membayar makanan dan minuman baginya."
Orang yang perutnya buncit, bertubuh tinggi besar dan berkumis dan berjanggut lebat itupun bangkit berdiri. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati orang yang berwajah cerah itu.
Orang yang berwajah cerah itu menjadi cemas. Tiba-tiba saja ia berdiri sambil mengangkat tangannya kedua-duanya kedepan, "Tunggu, tunggu. Aku hanya bergurau saja. Kau tidak boleh marah. Aku tidak bersungguh-sungguh."
Tetapi orang berperut buncit dan bertubuh raksasa itu melangkah terus.
"Jangan. Jangan marah. Jangan."
Orang itu tidak menjawab. Ia melangkah terus. Orang berwajah ceria itu tiba-tiba menjadi pucat.
"Aku minta ampun. Aku hanya bercanda."
Tetapi orang bertubuh raksasa itu berjalan terus. Bahkan ia tidak berhenti ketika ia melewati orang berwajah cerah, namun yang kemudian menjadi pucat itu.
Sejenak suasana menjadi tegang. Namun ketika orang bertubuh raksasa itu sudah lewat, maka hampir serentak terdengar tawa meledak. Ternyata orang bertubuh raksasa itu sama sekali tidak menegurnya. Ia hanya lewat saja tanpa berpaling.
Tetapi orang bertubuh raksasa itupun tersenyum pula.
Orang yang berwajah cerah namun yang telah menjadi pucat itu menarik nafas panjang. Gumamnya, "Gila juga orang itu."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun tertawa pula. Bahkan agaknya Glagah Putih mendapat kesempatan untuk bertanya, "siapa orang itu Ki Sanak?"
Nafas orang itu masih terengah-engah. Namun iapun kemudian menjawab, "Setra Pojok."
"Apakah Ki Sanak mengira orang itu marah?" bertanya Rara Wulan.
"Ya. Aku belum sangat mengenalnya. Ternyata ia suka bercanda pula."
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun Glagah Putihpun kemudian bertanya, "Apakah orang itu baru disini?"
"Bukan orang itu yang baru di tempat ini. Tetapi aku. Aku tinggal disini belum terlalu lama. Baru sekitar tiga empat bulan."
"O." "Ki Sanak sendiri?" bertanya orang itu.
"Aku hanya orang lewat, Ki Sanak. Kami adalah pengembara."
"Pengembara" Jadi kalian ini mau kemana?"
"Aku tidak mempunyai tujuan yang pasti."
"Maksudku dari sini Ki Sanak akan menuju kemana?"
"Kami akan berjalan saja ke Utara. Lewat Banyudana, Sima dan terus ke Utara."
"Sudah sore. Sekarang Ki Sanak sedang memasuki daerah Banyudana. Pada saat malam turun, Ki Sanak tentu masih belum sampai ke Sima."
"Tidak apa-apa, Ki Sanak. Aku dapat bermalam dimana saja. Sebagai pengembara, maka kami harus siap memasuki satu lingkungan yang bagaimanapun keadaannya."
"Mungkin Ki Sanak berdua dapat melawan keganasan malam. Dingin, panas, lembab angin atau hujan. Tetapi Ki Sanak tidak akan dapat melawan ganasnya para perampok."
Orang itu berpaling ketika seorang tamu yang lain bertanya, "Kau berbicara tentang perampok?"
"Aku hanya sekadar berceritera. Ki Sanak berdua ini adalah pengembara. Aku kasihan jika mereka sama sekali tidak mengenali lingkungan ini."
"Biasanya apa saja kau pergunakan sebagai bahan kelakar. Sekarang kau nampaknya bersungguh-sungguh."
"Aku berbicara kepada orang asing disini. Tetapi meskipun kalian ini misalnya orang asing, aku tetap saja tidak mau memberikan keterangan apa-apa. Biar saja tubuh kalian disayat-sayat dengan pisau belati oleh para perampok."
"Jangan menyebut gerombolan itu semaumu. Perutmu sendiri nanti malam akan dikoyakkan."
"Itu tidak mungkin. Lihat, kulit perutku dibuat dari baja."
"Gila," geram yang lain, "jangan ikuti bicaranya yang tidak keruan itu. Kaupun dapat menjadi gila pula."
Beberapa orangpun tertawa. Ada pula yang tersenyum-senyum. Namun orang itu masih saja meneruskan bicaranya, "Bermalam saja di rumahku."
"Terima kasih Ki Sanak."
"Kalian keberatan?"
"Bukan keberatan. Tetapi dengan demikian kami akan menyalahi kebiasaan para pengembara. Mereka akan bermalam dimana mereka berhenti setelah malam turun."
"Tentu saja," jawab orang yang berwajah riang itu, "para pengembara itu tentu akan bermalam di mana mereka berhenti, karena mereka tidak akan dapat bermalam sambil berjalan."
Seorang yang masih terhitung muda bangkit dari tempat duduknya sambil bergumam, "Cah edan."
Orang yang masih terhitung muda itupun langsung menemui pemilik kedai itu dan membayar harga minuman dan makanannya.
"He, biarlah aku yang membayar." berkata orang yang berwajah riang itu.
"Benar?" bertanya orang yang akan pergi itu.
"Tetapi tidak sekarang. Aku tidak ingin membuatmu kecewa. Kau sudah mengeluarkan uang dari slepenmu. Kalau tidak kau pergunakan, kau akan tidak dapat tidur semalam suntuk."
"Aku sumbat mulutmu dengan bonggol jagung." Orang itu tertawa.
Namun orang itupun terdiam ketika Glagah Putihpun bertanya, "Siapa nama Ki Sanak?"
"He?" "Siapa nama Ki Sanak?"
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, "Namaku Wiraraja." Tiba-tiba saja orang-orang yang masih berada dikedai itupun tertawa.
Seorang diantara mereka berkata, "Namanya Mogol."
"He," tiba-tiba orang itu bangkit berdiri, "jangan menyinggung harga diriku. Namaku memang Wiraraja."
Orang-orang di kedai itupun masih saja tertawa.
Namun akhirnya orang itu seakan-akan terkulai lemah sambil berkata, "Tidak ada orang yang percaya, bahwa namaku memang Wiraraja."
Tetapi tiba-tiba iapun bertanya, "Nah, sekarang sebut namamu."
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Jangan tertawakan namaku. Namaku buruk."
"Sebut namamu yang jelek itu."
"Namaku Surenggan."
"Siapa?" "Surenggan." "He, nama yang aneh. Aku belum pernah dengar nama seburuk itu," iapun berhenti sejenak, lalu bertanya pula, "Perempuan ini?"
"Perempuan ini adalah isteriku. Tentu saja ia disebut Nyi Surenggan."
Laki-laki yang mengaku bernama Wiraraja itupun tiba-tiba tertawa. Dengan nada tinggi iapun bertanya, "He, Ki Surenggan. Apakah namamu ada hubungannya dengan kata Rengga" Seandainya ada, bagaimana nalarnya orang tuamu menyebutmu Surenggan?"
"Entahlah, Ki Wiraraja. Aku tidak tahu."
Namun yang menyahut adalah orang lain, "Namanya Mogol. Bukan Wiraraja."
"Jangan hiraukan. Yakinkan dirimu bahwa namaku adalah Wiraraja."
Orang-orang yang ada di kedai itupun tertawa pula.
Namun dalam pada itu, orang yang berwajah riang itupun berkata, "Nah, bermalam saja di rumahku. Aku tinggal sendiri. Hanya dengan seorang kemenakanku laki-laki. Besok kalian dapat melanjutkan perjalanan."
"Dimana rumah Ki Sanak?" bertanya Glagah Putih.
"Nah, itu adalah sebutan yang lebih baik daripada menyebutnya Wiraraja. Agaknya ia memang bermimpi bernama Wiraraja."
"Diamlah," berkata orang itu, "aku sedang membujuknya." Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Glagah Putih bertanya sekali lagi, "Dimana rumah Ki Sanak."
"Di belakang banjar padukuhan. Rumahku kecil saja. Halamannyapun sempit. Tetapi cukup kau pakai gobag sodor berdua dengan isterimu."
Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum. Namun keduanya hampir berbareng menggeleng. Sementara Glagah Putih menjawab, "terima kasih Ki Sanak. Mungkin lain kali."
"Jadi kau benar-benar akan meneruskan perjalanan" Lihat Matahari sudah menjadi sangat rendah. Sebentar lagi senja akan turun. Langit menjadi gelap, dan kau masih berada di bulak panjang. Sirna masih jauh Ki Surenggan."
Rara Wulanlah yang menyahut, "Berjalan di malam hari ada untungnya Ki Sanak. Tidak panas tertakar oleh cahaya matahari."
Orang itupun mengangguk-angguk, "Baiklah jika kalian berkeberatan."
"Kami mengucapkan terima kasih," Berkata Glagah Putih kemudian.
Orang itu masih saja mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja iapun berkata, "He, mana minumanku."
"Kau belum memesan apa-apa Ki Wiraraja," sahut pemilik kedai sambil tertawa.
"Sudah. Aku sudah memesannya. Kaulah yang tuli."
"Jadi kau sudah memesannya?"
"Sudah. Kau dengar."
"Baik. Baik. Tetapi apa" Ternyata aku lebih suka menontonmu daripada mendengarkan pesananmu."
"Gila. Jika demikian kaulah yang harus membayar." Pemilik kedai itu tertawa.
Dalam pada itu, maka Glagah Putih yang sudah cukup lama beristirahat, serta telah menjadi kenyang dan tidak haus lagi, telah bangkit berdiri sambil berkata, "Kami minta diri Ki Wiraraja. Mudah-mudahan tetangga-tetangga Ki Wiraraja segera yakin, bahwa namamu memang Wiraraja."
"Baik, baik Ki Sanak. Doakan saja agar mereka segera menginsyafinya."
"Kau benar-benar gila, Mogol," desis seorang yang bertubuh kurus. Rara Wulanpun kemudian telah bangkit berdiri pula. Iapun kemudian minta diri, bukan saja kepada orang yang berwajah ceria dan mengaku Wiraraja itu. Tetapi Rara Wulan dan kemudian juga Glagah Putih minta diri kepada orang-orang yang masih berada di kedai itu.
Namun ketika Glagah Putih dan Rara Wulan beringsut, orang yang mengaku Wiraraja itupun berkata, "Kalian tidak cukup hanya minta diri saja Ki Surenggan."
"Jadi." "Kalian juga harus bayar harga makan dan minum kalian." Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum. Keduanyapun kemudian pergi menemui pemilik warung dan membayar harga makanan dan minumannya.
"Jadi orang itu orang baru?" desis Glagah Putih perlahan.
"Ya. Tetapi ia orang yang sangat ramah, sehingga dalam waktu yang singkat, ia sudah mengenal orang bukan saja sepadukuhan. Tetapi orang-orang sekademangan. Di pasar itu mengenal setiap orang. Penjual nasi, penjual dawet, penjual kain, pande besi dan bahkan penjual kreneng. Orang-orang yang jarang pergi ke pasarpun dikenalnya pula. Tetapi ia orang baik. Ia mau menolong orang-orang yang bawaannya terlalu berat. Mula-mula dikiranya ia mencari upah. Tetapi ternyata tidak."
Tiba-tiba saja orang yang berwajah riang itu berteriak, "He, kalian tentu membicarakan aku. Wiraraja yang namanya dikenal dari pesisir Lor sampai pesisir Kidul."
Glagah Putih dan Rara Wulan hanya tertawa saja. Namun kemudian keduanya minta diri kepada pemilik kedai itu.
"Orang itu terlalu baik, Rara. Ia menarik untuk diperhatikan."
"Ya. Ia mempunyai watak yang berbeda. Banyak orang yang ramah dan suka bercanda. Tetapi orang ini agak berlebihan."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi apakah kita akan terikat di tempat ini untuk waktu yang tidak terbatas?"
"Tidak kakang. Tetapi kita dapat berada di tempat ini barang dua tiga hari."
"Jika demikian, bukankah kita lebih baik menerima undangannya untuk bermalam di rumahnya?"
"Kita dapat saja bermalam dimana-mana. Jika kita bermalam di rumahnya, maka perbuatan orang itu akan dikendalikannya. Meskipun aku tidak berprasangka buruk, tetapi segala kemungkinan dapat terjadi."
"Jadi?" "Kita mencari tempat untuk bersembunyi di siang hari. Atau dapat saja kita berada di tempat yang agak jauh menjelang matahari terbit. Kemudian datang kembali setelah lewat wayah sepi uwong."
"Ya. Aku tahu maksudmu. Pokoknya kita akan mengawasi orang itu di malam hari."
Rara Wulan tersenyum. Demikianlah kedua orang itupun kemudian telah meninggalkan gerbang padukuhan. Di depan gerbang padukuhan, Glagah Putih dan Rara Wulan berpapasan dengan dua orang yang memasuki pintu gerbang itu. Kedua orang itu agaknya menarik perhatian pula bagi Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun mereka sama sekali tidak menyapa.
Sementara itu, ketika Glagah Putih dan Rara Wulan sampai di simpang empat ditengah-tengah bulak, keduanyapun bertemu pula dengan dua orang yang agaknya berjalan hilir mudik saja di simpang empat itu.
"Daerah ini memang menyimpan rahasia kakang," desis Rara Wulan.
"Ya. Karena itu, aku menjadi semakin mantap untuk mengawasi lingkungan ini."
Demikianlah ketika matahari menjadi semakin rendah menjelang senja, keduanya sudah menjadi semakin jauh. Panggraita mereka, mengatakan, bahwa mereka sudah keluar dari lingkungan pengawasan orang-orang yang mengandung rahasia itu.
Sejenak kemudian, maka malampun segera turun menyelimuti lembah dan ngarai. Embunpun perlahan-lahan turun membasahi dedaunan.
"Kita berhenti disini saja kakang," berkata Rara Wulan.
"Baiklah," sahut Glagah Putih, "aku kira perjalanan kita sudah agak jauh dari Banyudana. Malam nanti kita akan merayap kembali ke Banyudana untuk melihat, apa yang akan dilakukan oleh orang yang bercanda agak berlebihan itu."
Keduanyapun kemudian mencari tempat yang baik untuk beristirahat. Tempat yang tidak terlalu terbuka. Tetapi juga tidak terlalu terlindung.
Perlahan-lahan malampun menukik semakin dalam. Suara cengkcrik terdengar bersahutan dengan suara belalang yang berderik di rerumputan.
"Malam terasa sunyi sekali," berkata Rara Wulan.
"Bukankah malam-malam di padang biasanya juga terasa sepi."
"Ya Tetapi penggraitaku berkata lain, kakang."
"Aku juga merasakan getaran yang agak lain di jantungku."
"Kakang. Apakah benar bahwa kita tadi mendengar di kedai, bahwa besok lusa akan ada merti desa?"
"Rasa-rasanya aku juga mendengar rerasan itu. Kenapa?"
"Orang-orang berharap bahwa malam nanti tidak terjadi perampokan. Besok orang-orang tentu akan berbelanja untuk kepentingan merti desa itu. Di rumah Ki Bekel tentu sudah tersedia uang secukupnya."
Jilid 373 "AKU MENGERTI," Glagah Putih mengangguk-angguk. Lalu iapun bertanya, "Bagaimana menurutmu Rara?"
"Kita akan segera kembali ke Banyudana kakang. Kita akan melihat rumah Wiraraja yang berada di belakang banjar. Mudah-mudahan kita tidak menemukan hal-hal yang tidak wajar di rumah itu."
"Baik, Rara. Aku setuju."
Keduanyapun kemudian segera melangkah kembali ke Banyudana. Mereka kembali dengan sangat berhati-hati. Mereka menghindari jalan-jalan yang banyak dilalui orang. Tetapi mereka memilih berjalan melewati pematang, lorong-lorong sempit dan jalan setapak. Begitu panen berakhir, maka sawahpun seakan-akan menjadi tanah yang gundul. Jeramipun telah dibabad dan dibakar.
Di sebelah padukuhan telah dipasang gawar melingkar. Tempat itu telah dipilih untuk menyelenggarakan tari tayub untuk meramaikan upacara merti desa. Sedang di malam berikutnya akan diselenggarakan tari topeng.
"Tari Tayub mempunyai arti tersendiri bagi rakyat yang sedang melakukan upacara pernyataan terima kasih karena panenan mereka berhasil," berkata Glagah Putih.
Demikianlah beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah berada di padukuhan kembali. Dengan sangat berhati-hati merekapun menyelinap masuk ke halamam rumah di belakang banjar.
Namun ternyata keduanya menjadi sangat terkejut. Rumah itu memang rumah orang yang menyebut dirinya Wiraraja. Namun sikapnya telah menjadi jauh berbeda.
Wiraraja yang tinggal di rumah itu, sifat dan wataknya sangat berbeda dengan Wiraraja yang dikenalnya di kedai itu. Wiraraja yang tinggal di rumah itu adalah seorang yang garang. Kata-katanya memancarkan kesungguhan sikapnya. Keras dan bahkan kasar. Ia bukan seorang yang suka bercanda. Tetapi ia adalah seorang yang tidak berjantung.
Dengan tegas Wiraraja itu memberikan perintah-perintah kepada beberapa orang yang ada di rumahnya. Namun perintah-perintah itupun sangat mengejutkan Glagah Putih dan Rara Wulan.
Ternyata Wiraraja adalah seorang yang telah dikirim oleh kelompok yang menyebut dirinya Perguruan Kedung Jati. Wiraraja pulalah yang telah mengatur, siapakah yang berperan sebagai perampok dan siapakah yang berperan sebagai pahlawan.
Demikian keduanya mengetahui betapa liciknya Wiraraja, maka Glagah Putihpun segera menggamit Rara Wulan dan memberinya isyarat untuk meninggalkan halaman rumah itu.
"Permainan yang sangat menarik," berkata Glagah Putih setelah ia keluar dari lingkungan halaman rumah Wiraraja.
"Ya, kakang. Sungguh suatu permainan yang menyenangkan. Besok lusa adalah hari merti desa. Nanti malam mereka akan merampok rumah Ki Bekel karena mereka mengira bahwa uang yang dipergunakan untuk biaya merti desa itu sudah berada di rumah Ki Bekel."
"Itu tidak penting. Yang penting, bahwa kekacauan itu telah terjadi. Kemudian orang-orang dari perguruan Kedung Jati itu datang sebagai pahlawan yang menyelamatkan rakyat Banyudana dari perampokan itu."
"Ya. Apa yang sebaiknya kita lakukan, kakang. Apakah kita akan membiarkannya."


15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita harus berhati-hati, Rara. Untuk sementara kita tidak harus ikut campur, karena rakyat Banyudana tidak benar-benar akan mengalami perampokan. Ceriteranya, uang itu tentu akan diselamatkan."
"Apakah kita akan membiarkannya saja?"
Glagah Putihpun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bergumam, "Bagaimana pendapatmu, jika untuk sementara kita akan membiarkannya saja?"
"Kakang. Aku mempunyai pendapat yang mungkin kakang sependapat."
"Katakan, Rara."
"Yang terjadi nanti di tengah malam tentu para perampok itu akan merampok rumah Ki Bekel. Kemudian mereka yang berperan sebagai pahlawan akan datang menyelamatkannya. Bagaimana pendapat kakang, jika kita ikut menghanyutkan diri diantara para pahlawan itu?"
"He" Lalu apa keuntungan kita?"
"Para pahlawan itu tentu tidak akan benar-benar melukai kawan-kawan mereka sendiri. Kalau mungkin, tentu hanya segores kecil. Jika darah menitik, maka mereka telah membuat seolah-olah mereka terluka parah. Tetapi kita tidak berbuat demikian."
"Kita akan membunuh?"
"Tidak. Kita tidak akan membunuh. Kita akan melukai mereka sedikit lebih parah. Itu saja. Bukankah dengan demikian, kita akan dapat membuat mereka saling curiga."
"Apakah mereka tidak akan menyalahkan rakyat Banyudana."
"Rakyat Banyudana tidak akan ada yang berani ikut campur."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Menarik juga gagasan-mu itu Rara. Sebaiknya kita akan mencobanya. Tetapi jika para pahlawan itu menyadari bahwa diantara mereka terdapat penghianat, maka kita akan lari. Aku yakin, mereka tidak akan dapat berlari secepat kita dengan mengerahkan tenaga dalam kita."
Glagah Putihpun tersenyum. Katanya, "Gagasanmu bagus sekali. Kita akan mencobanya. Kita akan melawan permainan itu dengan permainan pula. Bahkan yang tidak kalah menariknya."
"Marilah, kita akan bersiap-siap di rumah Ki Bekel Rumahnya tentu berada di tepi jalan utama padukuhan itu."
Keduanyapun kemudian pergi mencari rumah Ki Bekel. Ternyata tidak sulit untuk menemukannya. Di rumah Ki Bekel sudah ada beberapa orang yang sedang mempersiapkan upacara merti desa esok lusa.
"Kita menunggu disini saja kakang," berkata Rara Wulan Glagah Putihpun mengangguk.
Sejenak kemudian, keduanya telah duduk di atas sebuah dahan pohon nangka tua yang besar. Daunnya yang rimbun telah membayangi tubuh mereka sehingga tersembunyi.
Sesaat menjelang tengah malam, maka Glagah Putih dan Rara Wulan melihat bayangan seseorang yang melintas disebelah regol halaman rumah Ki Bekel.
Glagah Putihpun segera memberi isyarat kepada Rara Wulan untuk bersiap-siap. Perampok itu tentu akan segera datang. Kemudian para puhlawanpun akan segera hadir pula untuk menyelamatkan Ki Bekel dari perampokan. Rakyat Banyudana tentu akan sangat berterima kasih kepada para murid dari perguruan Kedung Jati yang telah menyelamatkan mereka.
Sebenarnyalah, sedikit menjelang tengah malam, maka segerombolan perampok telah memasuki regol halaman rumah Ki Bekel. Beberapa orang yang berada di rumah itu menjadi sangat terkejut. Namun sebelum mereka sempat berbuat apa-apa, maka para perampok itu telah mengancam mereka dengan senjata telanjang.
Dengan garangnya, pemimpin perampok itupun berkata lantang, "Jangan ada yang beranjak dari tempat kalian."
Orang-orang yang berada di rumah Ki Bekel itupun menjadi sangat cemas. Menilik ujud serta pakaian orang-orang yang berdatangan itu, maka mereka sudah menduga, bahwa mereka adalah perampok yang sangat ditakuti itu.
Namun Ki Bekellah yang kemudian bangkit berdiri Iapun kemudian melangkah turun dari tangga pendapa rumahnya sambil bertanya.
"Siapakah kalian Ki Sanak."
"Kau sendiri siapa?"
"Aku adalah Bekel di padukuhan ini."
"Bagus. Jika demikian, maka pekerjaanku akan cepat selesai."
"Ki Bekel harus bersedia bekerja sama dengan kami."
"Apa maksudmu?"
"Serahkan uang yang sekarang tentu sudah berada di tangan Ki Bekel. Uang yang akan kau pergunakan untuk membeayai upacara merti desa lusa."
"Uang itu bukan uangku sendiri. Ki Sanak. Uang itu milik rakyat padukuhan ini. Karena itu, aku tidak berani menyerahkannya kepada siapapun."
"Jangan banyak bicara Ki Bekel. Tidak ada yang dapat kau lakukan selain menyerahkan uang itu. Karena jika kau tidak mau menyerahkannya, maka kau akan mati."
"Ki Sanak. Kau tentu tahu, bahwa upacara ini adalah upacara ucap sokur bahwa panen yang baru lalu dapat berhasil dengan baik. Karena itu, seharusnya Ki Sanak tidak mengganggu jalannya dan bahkan persiapan dari upacara ini."
"Cukup," bentak pemimpin perampok itu, "aku tidak tahu apakah u ang itu uang rakyatmu atau uang siapa saja. Aku juga tidak peduli apakah kau akan mengucap sokur atau apa. Pokoknya serahkan uang itu kepadaku. Habis perkara."
"Jangan Ki Sanak. Jika demikian, maka upacara itu akan dapat gagal sama sekali . Kami tidak mempunyai uang cadangan untuk menyelenggarakan upacara itu."
"Diam kau Ki Bekel. Sudah aku katakan, serahkan uang itu."
Pemimpin perampok itu tiba-tiba saja telah menjangkau baju Ki Bekel serta mengguncang-guncangnya. Tubuh pemimpin perampok yang jauh lebih tegap, lebih besar dan lebih tinggi itu. kekuatannya sama sekali tidak terlawan oleh Ki Bekel. Karena itulah maka Ki Bekelpun benar-benar lelah terguncang-guncang.
"Serahkan uang itu," bentak pemimpin perampok itu.
"Jangan ambil uang itu Ki Sanak. Jika kalian mau ambil, ambil saja apa yang ada di rumahku. Aku memang bukan orang kaya, tetapi nilai isi rumahku ini akan seimbang dengan nilai uang yang akan dipergunakan untuk upacara merti desa esok lusa."
"Cukup, cukup Ki Bekel. Jangan terlalu banyak bicara. Serahkan uang itu. Atau kau akan mati malam ini juga."
"Tunggu Ki Sanak."
"Jika kau tidak kebal, maka serahkan uang itu. Kecuali jika kau memang kebal."
Ki Bekel menjadi bingung. Uang itu bukan uangnya. Uang itu adalah uang rakyatnya yang akan dipergunakannya untuk merti desa Jika uang itu diambil oleh para perampok, maka tidak ada lagi yang dapat dipergunakan untuk upacara itu. Sementara itu, waktunya tinggal esok lusa. Tidak ada lagi kesempatan untuk menjual gabah, padi atau jagung.
Dalam kebingungan itu, tiba-tiba saja terdengar suara tertawa berkepanjangan. Suara tertawa yang bergema di malam hari.
"Ki Sanak. Kenapa kau ganggu mereka yang akan menyelenggarakan upacara merti desa. Mereka yang akan mengucapkan sukur kepada Yang Maha Agung."
"Siapa kau yang telah berani mencampuri urusanku."
"Bodoh kau. Kami adalah murid-murid dari perguruan Kedung Jati. Kami datang untuk menyelamatkan rakyat Banyudana dan sekitarnya. Karena itu, tolong, jangan ganggu mereka. Jangan nodai pernyataan sokur mereka bagi Yang Maha Agung, bahwa mereka telah menunai hasil yang baik di musim panen ini."
"Persetan kau orang-orang dari Perguruan Kedung Jati. Ternyata kau adalah orang-orang yang selalu mencampuri urusanku. Pergilah, jangan ganggu aku."
"Kau siapa Ki Sanak. Kau ternyata benar-benar tidak tahu diri. Kenapa tidak mengkais rejeki di tempat orang-orang kaya" Kenapa kau justru merampok uang rakyat yang kekurangan" Yang berusaha mengumpulkan uang untuk mengucap sokur kepada Yang Maha Agung."
"Cukup. Jangan bersembunyi lagi. Keluarlah dari tempat yang gelap itu. Jika akan membuktikan, apakah orang-orang dari perguruan Kedung Jati benar-benar orang-orang yang berilmu tinggi, atau hanya sekadar namanya sajalah yang mencuat setinggi langit, tetapi orangnya sama sekali tidak beranjak dari bumi yang diinjaknya."
Sejenak kemudian, seorang yang bertubuh tinggi telah meloncat dari balik dinding halaman di samping halaman rumah Ki Bekel. Namun orang itu tidak sendiri. Beberapa orang yang lainpun telah berloncatan pula.
Namun demikian, jumlah orang-orang yang mengaku dari perguruan Kedung Jati itu, jumlahnya jauh di bawah jumlah para perampok yang sudah berada di halaman rumah Ki Bekel itu.
Glagah Putih yang menggamit Rara Wulanpun bertanya, "Berapa orang yang berperan sebagai perampok itu?"
Rara Wulanpun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, "Menurut penglihatanku, kira-kira lima belas orang, kakang."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Aku kira memang sebanyak itu. Sedangkan mereka yang berperan sebagai pahlawan jumlahnya jauh lebih sedikit. Kira-kira hanya tujuh atau delapan orang."
"Meskipun jumlahnya sedikit, tetapi mereka harus menang. Bukankah semakin kecil perbandingan mereka dengan para perampok, mereka akan semakin disanjung sebagai pahlawan yang besar."
Demikianlah, maka kedua belah pihakpun kemudian telah terlibat dalam perdebatan yang sengit. Namun akhirnya, para perampok itu tetap tidak mau mengurungkan niatnya.
Dengan demikian, maka pertarunganpun tidak dapat dielakkan lagi. Kedua belah pihak segera mempersiapkan diri untuk bertempur di halaman rumah Ki Bekel.
Sebenarnyalah sesaat kemudian, maka telah terjadi pertarungan yang sangit. Semakin lama semakin sengit.
Meskipun jumlah murid-murid perguruan Kedung Jati itu jauh lebih sedikit, namun mereka ternyata memiliki ilmu yang lebih tinggi.
Beberapa kali para perampok itu bergantian terlempar keluar dari arena Bahkan sekali-sekali terdengar salah seorang perampok itu herti riak menahan sakit.
Namun akhirnya seperti yang dikehendaki oleh Wiraraja, maka para perampok itupun mulai terdesak. Dengan demikian, maka para perampok itupun segera menarik senjata-senjata mereka yang beraneka macam.
Dalam kegelapan, maka pertempuran diantara kedua belah pihak itupun menjadi agak baur. Setiap orang tidak segera dapat dikenali ujudnya. Meskipun kedua belah pihak sudah saling mengenal dengan baik, namun mereka tidak segera dapat mengetahui, bahwa ada seorang yang telah menyusup diantara mereka.
"Aku akan berada diantara para perampok," berkata Glagah Putih, "sementara itu kau akan berada diantara para pahlawan."
Rara Wulan mengangguk. Namun Glagah Putihpun memperingatkan, "Jangan mempergunakan senjatamu sendiri. Ikat rambutmu baik-baik, seakan-akan kau memakai ikat kepala. Bukankah kau mempunyai sehelai kain untuk kau kenakan di kepalamu."
"Bagus. Marilah kita mulai."
Keduanyapun segera memasuki arena pertempuran dengan sangat berhati-hati. agar keberadaan mereka diarena tidak dapat dikenal oleh kedua belah pihak.
Apalagi Glagah Putih dan Rara Wulan selalu bergerak di tengah arena pertempuran. Bahkan tiba-tib a saja keduanya telah memegang senjata yang dirampasnya dari mereka yang berperan sebagai lawan-lawan mereka.
Pertempuran yang pura-pura itu ternyata dapat berlangsung dengan sengitnya pula. Ki Bekel dan orang-orang yang sudah ada di rumahnya tidak dapat mengetahui, bahwa sebenarnya pertempuran itu adalah sekedar berpura-pura saja.
Beberapa saat kemudian, maka para perampok itupun mulai terdesak. Mereka berlari-larian memasuki pintu seketeng. Kemudian mereka sempat bertempur di longkangan sejenak. Namun kemudian merekapun berlari ke halaman belakang dan selanjutnya terdengar isyarat bahwa para perampok itu harus mengundurkan diri.
Demikianlah, sejenak kemudian maka pertempuran telah berakhir. Para perampok telah melarikan diri, sementara para pahlawanpun telah memenangkan pertempuran.
Namun orang-orang yang mengaku murid-murid dari perguruan Kedung Jati itupun terkejut. Ternyata masih ada beberapa orang yang tertinggal. Tidak semua perampok sempat melarikan diri atau dibawa oleh kawan-kawan mereka melarikan diri. Ada tiga orang perampok yang terluka cukup parah, sehingga mereka tidak dapat melarikan diri bersama dengan kawan-kawan mereka.
Yang lebih mengejutkan, ternyata diantara para ksatria yang malam itu menjadi pahlawan, ada juga yang terluka. Dua diantara mereka terkapar di longkangan tanpa dapat bangun kembali.
"Gila," teriak pemimpin para pahlawan itu. Namun untuk sementara ia harus merahasiakan peristiwa yang tidak diduganya akan terjadi. Selama ini permainan mereka dapat berjalan dengan mulus tanpa cacat.
Para pahlawan itupun semakin terkejut ketika mereka juga menemukan tiga orang yang berperan sebagai perampok itu benar-benar terluka. Bahkan cukup parah.
"Tentu ada yang berkhianat," geram pemimpin dari mereka yang berperan sebagai ksatria.
"Mereka tentu dari antara para perampok itu, Ki Sanak," berkata Ki Bekel ketika ia melihat ketiga orang terbaring di halaman belakang rumahnya.
"Aku akan membawa mereka," berkata pemimpin dari mereka yang berperan sebagai pahlawan.
"Ya. Kami perlu berbicara dengan mereka," berkata yang lain.
Para murid dari perguruan Kedung Jati itu menjadi agak tergesa-gesa. Mereka tidak sempat memamerkan kemenangan mereka kepada Ki Bekel dan orang-orang yang berada di rumahnya.
Biasanya orang-orang yang menjadi pengikut Ki Saba Lintang itu, memamerkan kemenangan mereka ke seluruh padukuhan. Mereka berbicara panjang lebar tentang perjuangan mereka melindungi rakyat. Bahkan kadang-kadang mereka tidak segan-segan mencela Mataram yang tidak mampu berbuat apa-apa bagi rakyatnya, pada saat rakyatnya membutuhkannya.
"Mataram hanya dapat memaksa rakyat membayar pajak. Tetapi Mataram tidak mampu melindungi rakyatnya dari kejahatan. Buat apa pajak yang dipungut dari rakyatnya jika Mataram tidak mampu menyusun pasukan yang dapat nyrambahi wilayahnya untuk melindungi rakyatnya dari gangguan para penjahat?"
Tetapi pada saat mereka yang berperan sebagai perampok dan berperan sebagai pahlawan ada yang terluka, maka segala sesuatunya berlangsung dengan tergesa-gesa.
Meskipun biasanya ada yang terluka pula, tetapi luka itu hanyalah goresan-goresan tipis yang tidak berarti. Tetapi malam itu, beberapa orang telah terluka parah. Bahkan mereka tidak dapat bangkit berdiri dan tidak mau menyingkir tanpa bantuan orang lain.
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulanpun memperhatikan mereka dari kejauhan. Mereka berlindung di balik kegelapan.
Mereka yang mengaku para murid dan perguruan Kedung Jati itupun kemudian telah membawa kawan-kawan mereka yang terluka parah. Baik yang berperan sebagai perampok maupun yang berperan sebagai penyelamat.
"Kita akan mengikuti mereka, Rara." berkata Glagah Putih, "nampaknya mereka akan dibawa ke rumah Wiraraja."
"Tetapi mereka menuju ke pintu gerbang."
"Ya. Mereka harus memberikan kesan keluar dari padukuhan ini."
Rara Wulan itupun mengangguk-angguk. Berdua mereka mengikuti dengan hati-hati orang-orang yang mengaku para murid dari perguruan Kedung Jati.
Ternyata dugaan Glagah Putih benar. Setelah berputar-putar sejenak, maka orang-orang yang terluka itupun telah dibawa ke rumah Wiraraja.
Ketika hal itu dilaporkan kepada Wiraraja, maka Wiraraja menjadi sangat marah. Rasa-rasanya jantungnya akan meledak karenanya. Namun justru karena itu, maka untuk beberapa saat, ia tidak dapat mengatakan apa-apa. Bibirnya menjadi gemetar dan giginya bagaikan saling melekat di mulutnya.
Namun tiba-tiba saja tangannya dihentakkannya. Dipukulnya dingklik panjang yang terbuat dari kayu itu dengan sisi telapak tangannya, sehingga patah di tengah.
Dengan suara yang gemetar Wiraraja itupun kemudian menggeram.
"Tentu ada yang berkhianat."
"Ya," sahut pemimpin mereka yang berperan sebagai pahlawan.
"Dimana mereka sekarang?"
"Mereka berada di perkemahan, Ki Wiraraja. Sejak semula kami sudah menetapkan, bahwa setelah kita menyelesaikan tugas kita. maka kita akan pergi di perkemahan di hutan itu."
"Aku akan pergi ke sana sekarang."
"Bagaimana dengan yang terluka ini?"
"Bawa ke perkemahan."
Wiraraja itu tidak menunggu lagi. Iapun segera keluar dan turun ke halaman. Kemudian menyusup regol halaman, turun ke jalan menuju ke hutan.
Orang-orangnya yang membawa mereka yang terluka itupun mengikutinya. Tetapi mereka tidak dapat berjalan setepat Wiraraja. karena mereka harus memapah orang-orang yang terluka cukup parah.
Satu kebetulan bagi Glagah Putih dan Rara Wulan. Mereka mengikuti para pengikut Ki Saba Lintang yang pergi ke perkemahan mereka di pinggir hutan
Wiraraja telah menumpahkan kemarahannya di perkemahan.
Meskipun ia berteriak-teriak dan mengumpat-umpat, namun tidak ada orang lain yang mendengarnya.
"Tentu ada lebih dari seorang pengkhianat diantara kalian," teriak Wiraraja, "beberapa orang telah benar-benar terluka. Satu permainan yang buruk sekali. Bukankah kita sudah sering melakukannya dan berhasil dengan baik. Kenapa tiba-tiba saja kalian menjadi saling mengkhianati."
Orang-orang yang mengaku murid perguruan Kedung Jati itu saling berpandangan. Tiba-tiba saja mereka menjadi saling mencurigai. Luka yang parah itu pada satu saat dapat terjadi pada diri mereka. Sementara itu, mereka tidak tahu dan jelas siapakah lawan mereka, maka setidak-tidaknya mereka akan dapat mempertahankan diri. Tetapi dalam permainan malam itu, seharusnya tidak terjadi serangan yang benar-benar dapat menimbulkan luka yang parah.
"Aku minta siapakah yang telah benar-benar melukai kawan-kawan sendiri itu mengaku. Jika ada diantara kalian yang mengaku, maka aku akan mempertimbangkan pengampunan. Tetapi jika tidak ada yang mengaku, kemudian pada suatu hari aku berhasil menemukan mereka, maka hukuman mereka akan berlipat. Hukuman mereka akan menjadi lebih buruk dari hukuman mati."
Suasanapun menjadi sangat mencekam.
Wirarajapun kemudian berkata, "Dengan peristiwa ini, maka kegiatan kita untuk sementara akan dihentikan. Permainan kita di daerah ini aku tunda sampai ada perintahku lagi. Jika permainan ini diteruskan, akan dapat menimbulkan bahaya bagi kita, karena kita akan mencurigai yang satu dengan yang lain. Tetapi bukannya persoalan ini akan aku bekukan. Aku akan tetap mencari, siapakah yang telah melakukan pengkhianatan ini."
Tidak ada yang menjawab. Semua orang terdiam. Bahkan untuk bernafaspun rasa-rasanya mereka menjadi sangat berhati-hati.
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja mendengarkan perintah-perintah Ki Wiraraja yang marah. Namun kemudian Glagah Putihpun menggamit Rara Wulan serta memberikan isyarat untuk meninggalkan tempat itu.
Dengan sangat berhati-hati Glagah Putih dan Rara Wulanpun meninggalkan perkemahan orang-orang yang mengaku murid-murid perguruan Kedung Jati itu. Kemudian merekapun segera keluar dari hutan dan menyeberangi padang perdu yang ditumbuhi ilalang serta gerumbul-gerumbul liar.
Ketika mereka menjadi semakin jauh, maka Glagah Putihpun berkata, "Untuk sementara daerah ini akan menjadi tenang. Sebenarnya tenang, bukan tenang yang dibuat-buat."
"Ya, kakang. Nampaknya untuk sementara orang-orang dari perguruan Kedung Jati itu tidak akan berbuat apa-apa lagi. Tetapi Wiraraja cukup cekatan. Ia menghentikan segala kegiatan karena orang-orang menjadi saling curiga."
"Dengan demikian, kita akan dapat berjalan terus untuk melaksanakan tugas kita. Tetapi menurut kakang, kita akan pergi kemana" Ke Perguruan Jung Wangi atau ke Naga Tapa atau pergi ke daerah Purwadadi?"
"Kita akan pergi ke perguruan Jung Wangi lebih dahulu, Rara. Jika perguruan ini sudah tidak ada bekasnya, maka kita akan pergi ke perguruan Naga Tapa. Agaknya perguruan ini masih tetap ada. Tetapi karena Ki Wiratuhu sudah tidak ada lagi, maka mungkin sekali perguruan ini telah dipimpin oleh orang lain."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Tetapi baiklah kita beristirahat dahulu, kakang."
"Ya. Kita akan beristirahat dahulu. Tetapi sebaiknya kita mengambil tempat sedikit lebih jauh dari perkemahan Wiraraja."
"Baik, kakang. Tetapi rasa-rasanya aku ingin bertemu lagi dengan Wiraraja."
"Sudahlah. Jangan mencari perkara. Jika mereka sudah berhenti, biarlah mereka berhenti. Jika kita bertemu lagi dengan Wiraraja, mungkin itu akan mencurigai kita sehingga Wiraraja akhirnya mengetahui, bahwa bukan orang-orangnya sendirilah yang berkhianat. Dengan demikian, maka Wirarajapun akan mulai lagi dalam permainannya."
Rara Wulanpun mengangguk-angguk mengiakan.
Beberapa saat kemudian, setelah mereka berjalan semakin jauh dari perkemahan Wiraraja di hutan itu, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun menemukan tempat yang baik untuk beristirahat.
"Kita berhenti disini, Rara," berkata Glagah Putih.
"Baik, kakang. Disebelah ada sungai kecil. Nampaknya tempat ini tidak terlalu banyak dilewati orang."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah menempatkan diri disebuah lekuk batu padas. Di dinginnya musim bediding, mereka menyalakan api untuk menghangatkan tubuh mereka.
Glagah Putih telah mencari ranting-ranting dan kekayuan kering, sementara Rara Wulan membuat api dengan batu titikan yang memercikan api pada emput gelugut aren.
Dengan dimik belerang yang mereka bawa, maka nerekapun menyalakan ranting-ranting dan kayu-kayu kering.
Untuk beberapa lama, Glagah Putih dan Rara Wulan sempat menghangatkan tubuh mereka. Namun kemudian Glagah Putihpun berkata, "Beristirahatlah, Rara. Biarlah aku berjaga-jaga. Mudah-mudahan tidak ada apa-apa disisa malam ini."
"Kakang tidak letih?"
"Tidak. Akupun rasa-rasanya tidak mengantuk."
"Kalau kakang mulai mengantuk, katakan saja kakang. Kita akan bergantian berjaga-jaga."
"Malam tinggal ujungnya, Rara. Sebentar lagi hari akan segera pagi."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Tetapi Rara Wulanpun segera duduk bersandar sebatang pohon sambil memejamkan matanya.
Rara Wulan memang sempat terlena sesaat, iapun segera terbangun oleh suara ayam jantan yang berkokok bersahutan di padesan.
"Matahari masih belum terbit," berkata Glagah Putih yang juga bersandar sebatang pohon.
Tetapi Rara Wulan justru bangkit berdiri unbil menggeliat. Katanya, "Segarnya udara pagi."
"Ya. Segar sekali."
"Kita pergi ke sungai kecil itu, kakang."
"Marilah." Keduanyapun turun ke tebing sungai yang landai. Mereka segera mencuci muka dengan air sungai yang dingin. Namun kemudian terasa tubuh dan penalaran mereka menjadi segar.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera berbenah diri. Ketika matahari membayang, keduanvupun telah siap untuk melanjutkan perjalanan.
"Kita jadi pergi ke Jung Wangi lebih dahulu, kakang?"
"Ya. Kita akan melihat, apakah perguruan Jung Wangi itu masih ada."
"Kita akan pergi ke Sima lebih dahulu?"
"Ya. Kita akan melewati Sima. Jika di Sima tidak ada masalah dalam kaitannya dengan mereka yang menyebut murid-murid perguruan Kedung Jati, maka kita akan berjalan terus menuju ke Jung Wangi . Jaraknya masih cukup jauh, Rara. Mungkin kita masih harus bermalam semalam lagi di perjalanan. Ruas-ruas jalan yang harus kita lalui tidak selalu rata. Kadang-kadang jalan menjadi sempit, rumpil dan menyusuri tebing-tebing pebukitan."
Rara Wulan mengangguk-angguk.
"Mungkin ada ruas ruas jalan yang pernah kita lewati ketika pergi ke Demak. Tetapi mungkin kita akan mengambil jalan pintas melewati jalan-jalan di pinggir hutan."
Rara Wulan masih saja mengangguk-angguk.
Sejenak kemudian, maka keduanyapun segera melanjutkan perjalanan menuju ke Sima. Tetapi mereka tidak merasa perlu untuk tergesa-gesa.
Menjelang matahari terbit, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah menyeberangi sungai kecil itu. Mereka berjalan menuju ke Utara.
Di pagi-pagi yang dingin, keduanya berjalan menembus tirai kabut yang tipis.
Rerumputan masih basah oleh embun, sedangkan langit perlahan-lahan menjadi semakin terang.
Dikejauhan burung-burung liar di pepohonan berkicau menyambut matahari yang akan terbit.
Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan turun ke jalan yang lebih ramai, maka mereka mulai berjalan beriringan dengan orang-orang yang akan pergi ke pasar. Bahkan satu dua pedati nampak berjalan dengan malasnya, sehingga setiap kali orang orang yang berjalan kaki itupun harus mendahului.
Orang-orang yang berjalan kaki itu harus menepi jika ada satu dua orang berkuda lewat mendahului mereka yang berjalan kaki. Apalagi pedati yang merangkak seperti siput.
Ketika matahari terbit, maka Glagah Putih dan Rara Wulan telah berada didepan sebuah pasar yang terhitung ramai. Pasar yang menjorok masuk ke dalam perdukuhan yang besar memanjang di seberang Kali Pepe.
"Kita lihat-lihat sebentar kakang," berkata Rara Wulan yang agak tertarik ketika ia melihat beberapa gulung kain yang diturunkan dari sebuah pedati.
Glagah Putih tidak menolak. Katanya, "Baiklah. Kita melihat-lihat sebentar."
Rara Wulanpun kemudian masuk ke dalam pintu gerbang pasar diikuti oleh Glagah Putih.
Ternyata Rara Wulan yang memiliki ilmu yang sangat tinggi itu masih saja tetap seorang perempuan. Ketika Ia melihat-lihat kain tenun yang beraneka, maka rasa-rasanya ia tidak akan pernah beranjak pergi.
Glagah Putih menarik nafas panjang. Ia tidak sampai hati untuk mengajak Rara Wulan cepat-cepat meninggalkan tumpukan-tumpukan kain tenun yang beraneka itu. Bahkan Glagah Putihpun justru merasa bahwa ia telah ikut serta menggiring Rara Wulan keluar dari kebiasaan seorang perempuan.
Untuk beberapa lama Rara Wulan melihat-lihat kain tenun yang sempat menarik perhatiannya. Diamatinya lembar demi lembar kain tenun yang berwarna-warni. Hijau pupus, lemah teles, hijau tua, merah hati, kuning nemugiring dan masih banyak lagi. Bahkan lurik ketan ireng, pentiasa dan sejenisnya.
Namun Rara Wulan itu terkejut ketika tiba-tiba penjual kain lurik itu membentaknya, "He, perempuan muda. Kau ini mau membeli atau hanya mengurai dan menggelar kain lurikku yang sudah aku gulung dengan rajin."
"O, maaf, mbokayu," sahut Rara Wulan agak gagap. Ia tidak mengira bahwa penjual kain lurik itu adalah seorang perempuan yang keras dan pemarah, "aku sedang melihat-lihat. Mungkin ada yang aku inginkan."
"Sudah sejak tadi kau mengamati kain lurikku. Tetapi tidak ada satupun yang agaknya menarik bagimu. Bukankah dimana-mana kain lurik itu sama saja. Warnanya, anyamannya, harganya. Nah apalagi yang ingin kau perhatikan" Kalau kau tidak mempunyai uang, lihat saja lurikku dalam gulungan. Jangan kau urai seperti itu."
"Aku minta maaf mbok ayu."
"Kau cukup minta maaf, tetapi aku harus menggulungnya lagi. Kau kira aku kurang pekerjaan?"
Rara Wulan menjadi sangat jengkel. Tetapi ia tidak mau bertengkar dengan penjual kain.
Namun penjual kain itu masih saja bergeremang dan bahkan kemudian iapun berkata kepada seorang laki-laki pembantunya, "Suruh perempuan itu pergi."
Laki-laki itu menjadi ragu-ragu.
"Apalagi yang kau tunggu?"
Laki-laki itu masih tetap saja ragu. Bahkan kemudian Iapun menjawab, "perempuan itu lagi melihat-lihat, Nyi. Mungkin ada yang menarik hatinya, sehingga kain itu akan dibelinya."
"Perempuan itu tidak mempunyai uang. Cepat, suruh perempuan itu pergi."
Laki-laki itu masih saja termangu-mangu. Namun perempuan pemilik kain lurik itu tetap saja membentaknya, "Cepat, suruh perempuan itu pergi. Aku muak melihat wajahnya. Jika ia mempunyai uang, maka ia tentu sudah membelinya. Bukan saja sekedar menggelar yang ini yang itu."
Laki-laki itu nampaknya memang tidak sampai hati untuk mengusir orang yang sedang melihat-lihat kain lurik itu. Tetapi iapun tahu sifat majikannya yang garang. Sehingga akhirnya iapun melangkah mendekati Rara Wulan sambil berkata, "Maaf, Nyi. Apakah ada yang ingin kau ambil?"
Rara Wulan benar-benar tersinggung oleh sikap perempuan itu. Tetapi Rara Wulan tidak ingin bertengkar di tengah-tengah pasar. Karena itu, maka Rara Wulanpun kemudian berkata kepada laki-laki itu, "Maaf Ki Sanak. Sebenarnya aku ingin mengambil sepotong. Tetapi nampaknya majikanmu tidak cukup sabar memberi kesempatan aku memilih."
"Yang mana Nyi. Yang mana yang akan kau ambil?"
"Omong kosong. Ia hanya berbicara saja. Perempuan itu tidak mempunyai uang, kau dengar."
Laki-laki itu tidak menjawab.
Namun yang dilakukan oleh Rara Wulan sangat mengejutkan perempuan penjual kain lurik itu. Tiba tiba saja Rara Wulan mengambil sekeping uang perak dari kampil yang dibawanya. Ia tidak sempat minta persetujuan Glagah Putih. Namun begitu saja uang itu diberikan kepada laki-laki pembantu penjual kain lurik itu.
"Ambillah Ki Sanak. Jika saja majikanmu sabar sedikit, maka uang ini akan aku belikan kain lurik. Tetapi karena majikanmu tidak sabar, maka ambil sajalah uang itu. Mungkin uang itu akan berguna bagimu."
Orang itu benar-benar terkejut. Ketika Rara Wulan memberikan uang itu kepadanya, maka laki-laki itupun berkata, "Bukankah itu keping uang perak, Nyi."
"Ya. kenapa. Aku ingin memberikan uang ini kepadamu. Dan itu terserah saja kepadaku, karena uang ini adalah uangku."
"Tetapi, untuk membeli kain lurik, maka keping uang perak itu akan mendapat dua atau tiga helai."
"Aku sudah tidak mempunyai keinginan lagi untuk membeli kain Ki Sanak. Tetapi aku ingin memberikan uang ini kepadamu."
Laki-laki itu masih saja termangu-mangu. Namun perempuan penjual kain lurik itupun segera melangkah mendekati Rara Wulan sambil terbungkuk-bungkuk.
"Aku minta maaf. Nyi. Aku minta maaf. Aku memang seorang yang kasar dan tidak sabaran. Jika kau membeli kain lurikku dengan keping uang perak itu, aku akan memberimu tiga potong. Aku dapat memilih yang mana yang paling kau sukai, Nyi."
"Tidak," jawab Rara Wulan, "aku tidak ingin membeli kain lurik. Tetapi aku ingin memberikan keping uang perak itu kepada laki-laki pembantumu."
"Aku sudah memberinya gaji yang cukup. Nyi."
"Bukankah tidak setiap hari ada orang yang memberinya keping uang perak," sahut Rara Wulan. Lalu katanya pula, "Sudahlah Nyi. aku minta diri. Aku akan melanjutkan perjalanan."
Demikian Rara Wulan dan Glagah Putih pergi, maka perempuan itu mengumpatinya. Bahkan katanya kepada laki-laki pembantunya. Berikan uang itu kepadaku. Aku sudah membayarmu setiap pekan. Jadi uang itu adalah uangku."
"Tidak, Nyi. Uang ini diberikan kepadaku langsung. Jadi uang ini adalah uangku. Aku sudah memberitahukan, bahwa dengan uang ini ia dapat membeli dua atau tiga potong kain lurik. Tetapi ia tidak mau. Ia berkeras memberikan uang itu kepadaku."
"Tidak. Uang itu harus kau berikan kepadaku."
"Jangan Nyi." "Kalau tidak mau menyerahkan uang itu kepadaku, maka kau akan aku pecat. Sedangkan uang itu tetap harus kau serahkan kepadaku."
Tiba-tiba saja perempuan itu bersuit nyaring. Tiga orang laki-laki yang garangpun bermunculan dari antara orang-orang yang berada di pasar itu. Bahkan sudah menjadi semakin berdesak-desakan.
Demikian ketiga laki-laki garang itu muncul, maka laki-laki yang membantu berdagang kain itupun dengan serta merta berkata, "Baik, baik, Nyi. Ambil uang perak itu."
Seorang laki-laki yang garang itu tiba tiba saja mecengkam baju pembantu pedagang kain itu sambil membentak, "Darimana uang itu kau curi, he?"
"Aku tidak mencuri, kang. Aku diberi oleh seseorang."
"Persetan. Uang itu tentu kau curi dari seseorang pembeli kain. Kau tidak akan dapat ingkar."
Tetapi pedagang kain itupun mendekati laki-laki yang dituduh mencuri itu sambil berkata, "Ia tidak bohong, kang. Orang ini tidak mencuri. Tetapi ia menerima uang pada waktu kerja, sehingga uang itu tentu saja milikku."
"Mari, marilah Nyi. Ambil uang itu."
Laki-laki itu menyerahkan keping uang perak itu kepada pedagang kain itu.
"Nah, ini baru benar. Aku memang yakin bahwa kau adalah seorang pembantu yang baik. Seorang yang jujur."
Laki-laki yang menjadi pembantu pada pedagang kain itu hanya dapat menundukkan kepalanya.
Namun pedagang kain itu kemudian mendekati ketiga orang laki-laki yang garang, yang menjadi pengawalnya di sepanjang perjalanan dari pasar yang sedang pasaran, kepasar yang lain. Perempuan itupun membisikkan sesuatu di telinga ketiga orang laki-laki yang garang itu.
"Benar, Nyi." "Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri." Laki-laki yang menjadi pembantu pedagang kain itu ternyata dapat membaca niat pedagang kain itu. Karena itu, katanya, "Jangan lakukan itu. Nyi. Kedua orang itu adalah orang-orang yang baik."
"Persetan kau," geram perempuan itu, "kau tunggui daganganku. Awas jangan ada yang hilang. Aku ada perlu sedikit di luar pasar ini. Jangan biarkan kain lurikku diaduk-aduk tanpa membeli barang sehelai."
"Nyi. Aku mohon jangan lakukan itu, Nyi."
"Diam kau cengeng. Kalau kau berbuat macam-macam, aku akan menenteng kepalamu pulang dan menyerahkannya kepada isteri dan anak-anakmu."
Laki-laki itu menjadi ketakutan. Tetapi ia tidak dapat mencegah niat buruk pedagang kain itu.
Sejenak kemudian, maka pedagang kain itupun telah menyelipkan sebuah luwuk di setagennya. Ditutupinya luwuk itu dengan bajunya. Sementara itu ketiga laki-laki yang garang itupun mengikutinya.
"Dosa, Nyi. Dosa." berkata laki-laki itu.
Tetapi perempuan pedagang kain lurik itu tidak menghiraukannya.
Demikianlah sejenak kemudian, pedagang kain serta ketiga orang yang garang itu sudah berada di luar pasar. Mereka mengira bahwa perempuan yang mengambil uang di kampilnya yang penuh itu tentu masih belum terlalu jauh.
Bahkan, ternyata perempuan itu masih berada di luar pasar untuk membeli makanan. Sebungkus jadah dan wajik.
Pedagang kain lurik itu memberi isyarat kepada ketiga orang yang garang itu, agar jangan menampakkan diri lebih dahulu.
Baru kemudian ketika Glagah Putih dan Rara Wulan beranjak pergi, maka keempat orang itupun mulai bergerak lagi.
Tetapi belum jauh dari pasar, Glagah Putih dan Rara Wulan sebenarnya telah menyadari, bahwa mereka telah diikuti oleh beberapa orang. Seorang diantaranya adalah pedagang kain lurik itu.
"Apa maunya, kakang?" bertanya Rara Wulan.
"Kau yang merasa tersinggung, dengan serta-merta telah mengambil uang perak dari kampilmu. Nah, kampilmu yang nampak penuh berisi uang itulah yang menarik perhatiannya."
Rara Wulan menarik nafas panjang. Katanya kemudian, "Marilah kita memilih jalan yang sepi. Biarlah semuanya segera berlangsung. Rasa-rasa seperti digelitik jika kita diikuti oleh seseorang, apalagi beberapa orang."
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Kau masih marah kepada pedagang kain lurik itu."
"Tidak, meskipun ia benar-benar telah menyinggung perasaanku."
"Benar begitu."
"Tentu Kakang tidak yakin?"
Glagah Putih tertawa. Namun Rara Wulan justru mengancam, "Awas kau, kakang."
Ketika Rara Wulan mendekati. Glagah Putihpun menghindari. Katanya, "Nanti lenganku terluka lagi."
"Cengeng." Sebenarnyalah ketika mereka melintasi simpangan yang sepi, merekapun telah berbelok mengikuti jalan sempit ke tengah-tengah bulak yang sepi.
"Bodoh," geram perempuan pedagang kain lurik itu, "mereka justru mengambil jalan yang sepi."
"Mereka itu memang jalan menuju ke rumahnya."
"Aku yakin, keduanya bukan orang di sekitar pasar ini. Agaknya keduanya orang yang berjalan jauh dan kebetulan melewati daerah ini."
Ketiga orang laki-laki yang garang itupun mengangguk-angguk.
Dalam pada itu, ketika Glagah Putih dan Rara Wulan sampai di tengah-tengah bulak yang sepi itu, maka merekapun justru berhenti. Glagah Putih segera duduk di atas sebuah batu, sementara Rara Wulan duduk di rerumputan yang sudah tidak lagi basah oleh embun.
Pedagang kain lurik itu justru menjadi termangu-mangu.
Kedua orang laki-laki dan perempuan itu sama sekali tidak menunjukkan kegelisahan hati mereka. Mereka dengan tenang saja duduk, bahkan sambil memandangi keempat orang yang menjadi semakin dekat.
"Kenapa mereka tenang-tenang saja?" bertanya perempuan pedagang kain lurik itu.
"Mereka tidak tahu, apa yang mereka hadapi. Karena itu, mereka nampaknya tenang-tenang saja."
"Ya," perempuan itu mengangguk-angguk, "mereka tidak tahu apa yang akan kita lakukan atas diri mereka berdua."
Demikianlah keempat orang itu semakin lama menjadi semakin dekat. Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja duduk dengan tenangnya.
Ketika perempuan pedagang kain lurik itu sampai di hadapan Glagah Putih dan Rara Wulan, maka iapun segera berhenti. Dengan wajah yang ceria dan ramah perempuan itupun berkata, "Ki Sanak. Aku akan mengembalikan keping uang perak yang Ki Sanak berikan kepada pembantuku."
Baru Rara Wulan terkejut dan bangkit berdiri, "Kenapa Nyi. Aku memberikannya dengan ikhlas. Aku tidak mempunyai niat apa-apa kecuali memberikan uang itu kepadanya."
"Tetapi itu berlebihan, Nyi. Sekeping uang perak akan dapat kau pakai membeli tiga potong kain lurik. Bahkan uang itu masih tersisa. Jika uang sebanyak itu kau berikan kepada pembantuku, maka itu agak berlebihan. Karena itu, maka aku berniat mengembalikan uang itu kepadamu."
"Jangan Nyi. Laki-laki itu tentu akan menjadi sangat kecewa. Akupun tidak mau menjilat ludahku kembali. Aku sudah memberikannya. Biarlah ia memilikinya. Mungkin dengan uang itu ia akan dapat membelikan mainan buat anaknya."
"Tidak Nyi. Ini aku serahkan uang itu kembali."


15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak. Aku tidak dapat menerimanya."
"Kau harus menerimanya, Nyi. Jika kau menolak, maka kau akan aku anggap sebagai seorang perempuan yang sombong sekali."
"Aku tidak bermaksud demikian. Nyi."
Namun Glagah Putihpun kemudian berkata, "Nyi, lebih baik uang itu kau terima kembali. Bukankah kita tidak berniat menyombongkan diri" Jika karena itu, maka kita dianggap sombong sekali, sebaiknya kau terima saja uang itu. Kau justru harus minta maaf, karena kau telah menyinggung harga dirinya."
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Baiklah Nyi. Aku minta maaf. Aku tidak berniat menyinggung harga dirimu Nyi. Aku memberikannya dengan ikhlas. Tetapi jika dengan demikian kau tersinggung, maka baiklah aku terima kembali uangku yang hanya sekeping itu."
Tetapi wajah perempuan itu menjadi tegang. Uang yang sekeping itupun sudah ditimang-timangnya. Namun tiba-tiba perempuan itupun berkata, "Nyi. Aku akan mengembalikan uang yang sekeping ini. Tetapi aku mempunyai satu permintaan kepadamu."
"Permintaan apa. Nyi."
"Uang yang sekeping ini harus kau tukar dengan uang yang sekampil penuh itu."
"Sekampil?" "Ya. Kau mempunyai uang sekampil. Itu harus kau serahkan kepadaku. Kemudian aku akan mengembalikan uang yang sekeping ini."
"Aku menjadi bingung. Nyi. Aku tidak mengerti maksudmu. Jika kau akan mengembalikan uangku yang sekeping itu, kenapa aku harus menyerahkan dahulu yang sekampil. Apakah dengan demikian kau akan mengembalikan uangku utuh sekampil termasuk yang sekeping itu."
"Perempuan dungu. Kaupun jangan berkata melingkar-lingkar Nyi. Kenapa tidak berterus terang saja. Kita ingin merampas sekampil uang perak itu. Jelas dan tidak berputar-putar."
"Aku tidak mengira bahwa perempuan itu sangat dungu. Nah, kau dengar perempuan muda. Kami ingin merampas sekampil uang perakmu."
"Kenapa kau akan merampas uangku. Bukankah uang itu aku bawa sendiri dari rumahku. Aku tidak mengambil uangmu."
"Aku tahu. Bodohnya orang ini. Aku adalah penyamun. Aku akan merampas uangmu."
"Merampas" Jadi kalian itu penyamun?"
"Ya." "Jangan. Jangan kau rampas bekal uangku ini. Aku hanya membawa bekal dua kampil uang perak dan beberapa keping uang emas. Padahal aku masih akan mengembara lama sekali. Jika kau rampas uang perakku yang dua kampil dan beberapa keping uang emasku, maka aku akan dapat kelaparan di perjalanan."
"Jadi kau punya dua kampil uang perak?"
"Ya. Dan beberapa keping uang emas."
"Persetan kau perempuan sombong," geram perempuan pedagang kain lurik itu, "ternyata kau bukan perempuan dungu. Bukan pula bodoh dan tidak mengerti apa yang sedang kami lakukan. Tetapi sekali lagi kalian menyinggung perasaan kami dengan berpura-pura bodoh. Sekarang berikan uang itu kepada kami, atau kami akan merampas dengan kekerasan."
Rara Wulan tertawa. Katanya, "Siapakah sebenarnya perempuan yang dungu itu" Kau atau aku?"
Perempuan pedagang kain lurik itu menggeram. Tetapi ia sadar bahwa perempuan yang memberikan sekeping uang perak kepada pembantunya itu tentu bukan perempuan kebanyakan. Perempuan yang berpura-pura bodoh itu, ternyata justru telah menantangnya dengan sikapnya yang berpura-pura bodoh itu.
Perempuan itupun kemudian berkata, "Kau tidak mempunyai pilihan lain, perempuan sombong. Kau harus menyerahkan kampilmu yang penuh berisi uang itu, karena jika kau tidak memberikannya, maka kami akan mengambilnya sendiri setelah mengambil nyawamu. Harga nyawamu tentu tidak akan semahal harga uang di kampilmu itu."
Rara Wulan tertawa. Katanya, "Jika kau mampu mengambilnya, ambillah sendiri. Aku sisipkan kampil uangku dibawah setagenku."
Perempuan pedagang kain lurik itupun memberi isyarat kepada ketiga orang upahannya yang dengan cepat bergerak. Sementara itu dengan malas Glagah Putih bangkit berdiri sambil mengibaskan pakaiannya.
"Kenapa kalian mengganggu kami," desis Glagah Putih, "sebenarnya aku malas berkelahi. Tetapi kalian telah memaksa kami untuk melayani kalian."
"Perempuan yang bersamamu itu ternyata sangat sombong," sahut salah seorang laki-laki yang garang itu.
"Sebenarnya ia tidak ingin menyombongkan dirinya. Tetapi ia tersinggung oleh sikap pedagang kain itu."
"Persetan. Ia telah mempermainkan aku."
"Baiklah. Apapun yang kau maui, kami hanya sekedar melayani. Tetapi apa yang kalian lakukan ini adalah satu kesalahan besar. Dengan berdagang kain, kalian sudah mempunyai penghasilan yang baik. Tetapi sayang sekali, kalian meloncati tatanan. Jika kalian berhasil, maka kalian akan melakukannya lagi terhadap orang lain."
"Cukup," bentak salah seorang laki-laki yang garang itu, "jangan terlalu banyak bicara."
Laki-laki yang garang itupun kemudian telah bergeser beberapa langkah untuk mengambil jarak dari kawannya. Empat orang itupun telah berdiri di ampat penjuru angin. Dua orang berdiri di jalan di dua arah. Yang seorang berdiri di tanggul parit sedangkan yang seorang lagi berdiri di pematang.
Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan berdiri di tengah jalan saling membelakangi.
Beberapa saat kemudian, perempuan yang garang itupun segera meloncat menyerang Rara Wulan. Sementara seorang laki-laki yang garang itu telah menyerang Glagah Putih pula.
Demikianlah api pertempuran itupun sudah mulai menyala. Perempuan pedagang kain itu ternyata mampu bergerak dengan cepat. Ia meloncat-loncat menyambar Rara Wulan dengan jari-jarinya yang mengembang.
Namun Rara Wulan mampu bergerak lelah cepat lagi. Dengan demikian, maka serangan-serangan perempuan pedagang kain itu selalu dapat dihindarinya.
Sementara itu, dua orang laki-laki yang garang itu berusaha untuk menghentikan perlawanan Glagah Putih. Mereka menyerang dari dua arah yang berlainan.
Namun serangan-serangan mereka sama sekali tidak menyentuh sasaran.
Bahkan justru serangan balik Glagah Putihlah yang telah menyentuh tubuh mereka. Ketika seorang diantara mereka berusaha menerkam Glagah Putih dengan jari-jarinya yang kokoh kearah lehernya, Glagah Putih dengan hanya beringsut sedikit telah menepis serangan itu menyamping. Bahkan Glagah Putih itupun dengan cepat merapatkan tubuhnya sambil mengangkat lututnya.
Orang itu mengaduh tertahan. Lutut Glagah Putih telah mengenai perutnya, sehingga rasa-rasanya seluruh isi perutnya itu akan tertumpah keluar.
Serangan Glagah Putih masih disusul dengan ayunan sisi telapak tangannya ketika orang itu membongkok kesakitan.
Seorang diantara lawan Glagah Putih itupun terjerembab. Wajahnya tersuruk di tanah berdebu.
Namun Glagah Putih tidak sempat berbuat lebih banyak, karena kawannya yang seorang lagi meloncat sambil berputar. Kakinya terayun mendatar mengarah ke kening Glagah Putih. Tetapi Glagah Putih sempat merendah, sehingga kaki orang itu tidak menyentuhnya sama sekali. Bahkan Glagah Putihlah yang kemudian menyapu kaki lawannya yang satu lagi, sehingga orang itu terpelanting jatuh.
Namun Glagah Putih tidak segera mengakhiri pertempuran. Ia justru memberi kesempatan kedua lawannya untuk bangkit berdiri.
Sementara itu Rara Wulan yang bertempur melawan perempuan pedagang kain lurik yang dibantu oleh seorang upahannya tidak mengalami kesulitan. Bahkan Rara Wulan harus menahan tenaganya, agar serangannya tidak melumpuhkan perempuan pedagang kain lurik itu.
Ketika perempuan itu menyerang dengan menghentakkan tenaga dan kemampuannya, Rara Wulan sempat menghindar sambil berkata, "Aku minta kau hentikan permainanmu yang jelek itu. Sebelum aku berubah pendirian, pergilah. Jika kau tidak mau pergi, maka keadaanmu akan menjadi semakin buruk."
Tetapi perempuan itu justru menarik luwuk yang diselipkan di bawah setagennya, "Mumpung belum terlanjur, Nyi. Serahkan kampil berisi uang perak itu. Kalau kau tidak mau menyerahkannya, maka kau akan mati."
"Jangan terlalu garang. Tidak mudah membunuh orang. Kematianku tidak berada di tanganmu. Tetapi kematian itu tergantung kepada kehendak Yang Maha Agung."
"Kau mencoba untuk menenangkan hatimu sendiri, Nyi. Tetapi sebenarnyalah kau mulai menjadi ketakutan."
"Baiklah," berkata Rara Wulan kemudian, "jika saja kau tidak dapat aku peringatkan."
Perempuan itupun dengan garangnya telah menyerang Rara Wulan dengan menjulurkan luwuknya ke arah dada. Tetapi Rara Wulan tidak mengalami kesulitan untuk menghindarinya. Sambil memiringkan tubuhnya, tangan Rara Wulan itu menepis pergelangan tangan perempuan pedagang kain lurik itu.
Perempuan itu tiba-tiba saja memutar tubuhnya. Tangannyapun terayun mendatar, sehingga luwuknya itupun menebas kearah leher.
Namun perempuan itu tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba saja luwuknya sudah berada di tangan Rara Wulan.
"Kau curang. Kembalikan luwukku."
"Siapa yang curang?"
"Kau curi senjataku. Apakah kau tidak mempunyai senjata sendiri."
"Aku senang dengan senjatamu ini Nyi."
"Persetan. Kembalikan luwukku itu."
Sambil mengacungkan ujung senjata perempuan pedagang kain lurik itu, Rara Wulan melangkah setapak demi setapak mendekatinya. Katanya, "Senjata ini senjatamu. Kau tentu tahu watak dan sifatnya. Karena itu tolong beritahu aku. Bagaimana sebaiknya membunuhmu, agar kau cepat mati dan tidak menderita sakit terlalu lama."
"Kau akan membunuhku?"
"Ya, kenapa" Bukankah sebaiknya aku harus membunuhmu?"
Wajah perempuan itu menjadi pucat. Tubuhnya menjadi gemetar. Tiba-tiba saja iapun berjongkok sambil memohon, "Ampun. Ampunkan aku. Aku jangan dibunuh."
Ketiga orang laki-laki yang garang, ketika melihat perempuan itu berjongkok, telah berloncatan surut pula. Merekapun menyadari bahwa mereka tidak akan dapat menang. Kedua orang itu adalah orang yang berilmu sangat tinggi, sehingga merekapun bagi kedua orang itu tidak lebih dari seekor tikus yang berhadapan dengan seekor kucing.
Karena itu, maka ketika perempuan padagang kain lurik itu berjongkok, maka merekapun segera berjongkok pula.
"Jangan bunuh aku, Nyi." perempuan pedagang kain itu mulai menangis, "aku mempunyai anak-anak kecil di rumah. Nyi. Anakku ada tujuh. Yang terkecil masih menyusu."
"Jika kau mempunyai anak kecd-kecil, kenapa kau justru menjadi penyamun?"
"Tidak Nyi. Aku bukan penyamun yang sebenarnya. Keping-keping uang perakmu telah menggodaku, sehingga aku berniat untuk merampasnya."
"Ternyata hatimu sangat rapuh, Nyi. Kau sudah mempunyai penghasilan yang baik dengan berdagang kain lurik. Tetapi kenapa kau begitu mudahnya, hanyut dalam nafsu keserakahanmu?"
"Ampun Nyi." "Nah, yang terjadi adalah satu pengalaman yang menarik bagimu. Nyi. Kau harus menyadari, bahwa kau mudah sekali tergelincir dalam godaan. Jika hatimu kokoh serta keyakinanmu kuat, kau tidak akan menghiraukan godaan-godaan seperti itu."
"Ya, Nyi." "Jadi bagaimana sebaiknya. Apa yang harus aku lakukan padamu, Nyi."
"Ampunkan aku. Aku sudah jera. Aku akan menekuni pekerjaanku itu. Berdagang kain lurik."
"Nyi. Apakah yang kau katakan semuanya benar" Apakah benar anakmu semuanya tujuh orang dan masih kecil-kecil?"
"Benar, Nyi. Aku berani bersumpah."
"Baiklah. Aku percaya kepadamu. Karena itu, maka aku ingin membebaskanmu serta membebaskan orang-orangmu. Tetapi aku minta, serahkan sekeping uang perak itu kepada pembantumu. Pada kesempatan lain, aku akan menanyakan langsung kepadanya. Jika uang itu ternyata tidak kau serahkan kepadanya, maka aku tidak akan mengampunimu. Dengan demikian berarti kau tidak akan pernah menjadi jera karenanya. Kau masih saja berpikiran buruk."
"Tentu Nyi. Aku tentu akan menyerahkan sekeping uang perak itu kepadanya. Ia memang seorang yang baik, seorang yang jujur."
"Bagus. Nah, sekarang kembalilah ke pasar. Jangan pernah menyamun lagi."
"Aku baru melakukannya sekali ini, Nyi."
"Tidak. Kau tentu sudah melakukannya beberapa kali. Kau ternyata menyimpan senjata itu. Kau bawa pula senjata itu ke pasar, pada saat kau berdagang."
"Aku memerlukan perlindungan di setiap perjalanan, Nyi."
Rara Wulanpun tersenyum. Katanya, "Pergilah."
Perempuan itu masih saja merasa ragu-ragu. Baru ketika Rara Wulan mengulanginya, perempuan itu bersujud di hadapannya sambil berkata, "Terima kasih Nyi. Terima kasih."
"Jangan lupa, berikan keping uang perak itu kepada pembantumu itu."
"Tentu, Nyi. Tentu."
Sejenak kemudian, perempuan itupun meninggalkan Rara Wulan. Glagah Putih termangu-mangu ditengah-tengah bulak itu. Sementara laki-laki yang menyertainya itupun mengikutinya pula.
"Mudah-mudahan perempuan itu benar-benar menjadi jera," berkata Rara Wulan.
"Agaknya ia tidak akan lagi melakukan permainan yang berbahaya itu," sahut Glagah Putih.
Semakin lama perempuan itupun menjadi semakin jauh. Seperti yang dikatakannya, maka perempuan itupun kembali masuk ke dalam pasar. Ia berjanji untuk menekuni kerjanya sebagai seorang pedagang kain lurik.
Demikian perempuan pedagang kain lurik itu berbelok di simpang tiga, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun bersiap-siap untuk meneruskan perjalanan. Merekapun membenahi pakaian mereka yang menjadi sedikit kusut dalam perkelahian yang baru saja terjadi.
"Kita lanjutkan perjalanan, Rara," berkata Glagah Putih.
"Mari kakang. Perjalanan kita menjadi agak terganggu."
Glagah Putih dan Rara Wulan kemudian melanjutkan perjalanannya kembali. Mereka akan mencari padepokan Jung Wangi. Namun padepokan itu tentu masih jauh. Mereka akan melewati Sima menuju kearah Utara.
Rara Wulan mengangguk-angguk, ketika Glagah Putih berdesis, "Perjalanan kita masih jauh."
Demikianlah keduanya mempercepat langkah mereka. Ketika matahari sampai di puncak langit, maka mereka sudah berada di tempat yang semakin jauh."
Demikianlah keduanya mempercepat langkah mereka. Ketika matahari sampai di puncak langit, maka mereka sudah berada di tempat yang semakin jauh.
Ketika mereka melewati sebuah pasar kecil yang tidak begitu ramai, mereka melihat seorang laki-laki tua yang diumpati dengan kata-kata kasar oleh seorang perempuan penjual nasi.
"Jahanam kau. Kalau kau tidak punya jangan berlagak membeli nasiku. Jika kau hanya akan menipu, kau tidak usah berlagak seperti orang yang mempunyai banyak uang."
"Benar Nyi. Aku telah kehilangan uangku. Ini, kantong bajuku ternyata koyak didalam sehingga aku tidak tahu, bahwa uangku telah terjatuh."
"Omong kosong. Itu hanya satu cara saja untuk menipuku. Sekarang, pergi. Pergi dan jangan pernah kembali lagi."
"Tidak, Nyi. Aku akan kembali untuk membayar harga nasimu."
"Jangan membual di hadapanku. Pergilah. Aku dapat memanggil petugas di pasar ini untuk mengusirmu."
"Sungguh, Nyi. Aku akan membayarnya."
"Diam," perempuan penjual nasi itu berteriak, sehingga laki-laki tua itu merasa lebih baik diam saja.
Ketika Rara Wulan dan Glagah Putih sampai ditempat penjual nasi itu, maka orangtua itupun sudah siap untuk beranjak pergi.
Namun tiba-tiba saja Rara Wulan menemukan dua keping uang dibawah lincak panjang tempat penjual perempuan itu berjualan nasi. Dengan serta merta uang itu dipungutnya dan diserahkan kepada laki-laki tua itu.
"Uangmu berapa keping, kek?" bertanya Rara Wulan.
"Ia tidak mempunyai uang," berkata perempuan penjual nasi itu dengan lantang.
"Empat keping ngger," jawab laki-laki tua itu aku baru saja menjual kayu bakar laku ampat keping. Sekeping aku belikan nasi karena aku merasa sangat lapar. Sejak kemarin aku tidak makan, sementara aku telah memikul kayu bakar dari rumah kemari. Aku berikan kayu sepikul itu ampat keping, karena aku ingin segera mendapatkan uang. Tetapi ternyata kantong bajuku koyak tanpa aku ketahui ngger."
"Ini kek, yang dua keping aku ketemukan dibawah lincak. Mungkin yang dua keping juga jatuh tidak jauh dari tempat duduk itu."
Wajah laki-laki tua itu menjadi ceria. Iapun segera menerima uang yang dua keping itu.
"Ini sudah cukup ngger. Terima kasih. Terima kasih. Aku tidak akan dipermalukan lagi di sini."
Orang tua itupun segera memberikan uang sekeping kepada penjual nasi itu, "Ini Nyi. Untunglah angger ini menemukan uang yang dua keping. Tetapi itu sudah cukup untuk menebus malu."
Perempuan penjual nasi itupun segera menerima uang itu sambil berkata, "Maaf, kek. Ternyata kau berkata yang sebenarnya."
"Aku tidak pernah menipu, Nyi. Sampai setua ini aku berusaha untuk berkata jujur tentang apapun juga."
"Aku minta maaf, kek."
Sementara itu Glagah Putih telah menemukan uang yang dua keping lagi, tercecer di sebelah tempat duduk yang panjang itu.
"Barangkali ini yang sekeping dan ini yang sekeping lagi, kek," berkata Glagah Putih.
"Terima kasih ngger. Terima kasih," orang itupun telah memasukkan uang itu ke dalam kantong bajunya. Namun Glagah Putihpun segera memungut uang itu lagi, yang jatuh lagi di sebelah lincak kayu.
Sambil memberikan uang itu, Glagah Putihpun berkata, "Uangmu jatuh lagi, kek."
"O, orang tua itu tertawa, "seharusnya aku mengingat-ingat bahwa kantong bajuku koyak. Ah, agaknya aku benar-benar telah mulai pikun."
"Jangan kau masukkan lagi uangmu ke dalam kantong bajumu."
"Ya, ya, ngger. Uangku akan aku genggam saja sampai di rumah. Isteriku akan dapat membeli beras nanti."
Laki-laki tua itupun kemudian meninggalkan pasar itu sambil menggenggam tiga keping uang hasil penjualan kayu bakar sepikul.
"Laki-laki itu masih harus bekerja keras untuk dapat makan," berkata Glagah Putih.
"Ya," Rara Wulan mengangguk-angguk, "namun laki-laki tua itu nampaknya termasuk seorang yang jujur."
Glagah Putih mengangguk-angguk pula.
Demikianlah mereka berdua melanjutkan perjalanan mereka, sementara matahari telah mulai condong ke Barat.
Lewat tengah hari, mereka berhenti di sebuah kedai yang tidak terlalu besar untuk membeli makan dan minum.
Ternyata di kedai yang tidak begitu besar itu, dijual berbagai macam makanan dan minuman, sehingga Glagah Putih dan Rara Wulan dapat memesan sesuai dengan selera mereka.
Setelah beristirahat sejenak di kedai itu, keduanyapun kemudian melanjutkan perjalanan sementara terik matahari terasa mulai berkurang
Sementara itu, jalan yang mereka lalui itupun menjadi semakin lama semakin lebar dan terpelihara.
Ternyata mereka sudah menjadi semakin dekat dengan kademangan Sima. Sebuah kademangan yang terhitung besar dan menjadi tempat pemberhentian para pedagang.
"Kita akan memasuki kademangan Sima. Rara," berkata Glagah Putih.
"Ya, kakang. Aku jadi teringat kademangan Seca. Kademangan yang besar dan terasa adanya kehidupan yang tenang."
"Mudah-mudahan kademangan Sima juga merupakan sebuah kademangan setenang Seca."
"Namun di sebuah kademangan yang hidup masyarakatnya terasa tenang agaknya akan menjadi bidikan perguruan Kedung Jati. Kademangan yang besar dan diliputi oleh suatu kehidupan yang tenang, akan dapat menjadi landasan serta batu loncatan bagi perguruan Kedung Jati sebagaimana Seca.
"Mudah-mudahan Sima berbeda dengan Seca," desis Rara Wulan. Namun kemudian iapun bertanya, "Apakah kita hanya akan melewati kademangan ini dan langsung melanjutkan perjalanan?"
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Kita akan melihat-lihat keadaan kademangan ini, Rara. Mungkin kita akan mengambil keputusan lain. Jika perlu, kita dapat menginap barang semalam di Sima. Kita mempunyai bekal yang lebih dari cukup, sehingga kita dapat berpura-pura menjadi orang kaya yang bermalam di penginapan terbaik di Sima."
"Tetapi kita justru akan dapat dicurigai?"
"Kenapa?" "Pakaian kita tidak menunjukkan bahwa kita adalah seorang kaya yang sedang berada di perjalanan."
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "ya. Kita memang tidak dapat berpura-pura menjadi orang yang kaya, kecuali jika kita membeli pakaian baru lebih dahulu."
"Seandainya kita ingin, kita akan dapat melakukannya. Tetapi apakah itu perlu kakang?"
"Tidak. Kita tidak usah berpura-pura menjadi orang yang kaya. Kita terbiasa bermalam di mana-mana. Jika kita bermalam di penginapan yang sedangpun maka kita sudah akan merasakan satu kehidupan di luar kebiasaan kita."
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulanpun sudah memasuki kademangan Sima. Sebuah kademangan yang besar dan ramai. Apalagi ketika mereka berada di padukuhan induk kademangan Sima, maka suasananya memang mirip dengan suasana di kademangan Seca.
Keduanyapun kemudian berjalan-jalan dijalan utama kademangan Sima. Di sepanjang jalan utama sudah menjumpai tiga rumah penginapan yang cukup baik.
"Kita akan melihat pasarnya kakang," berkata Rara Wulan.
"Marilah. Kita pergi ke pasar."
Sebenarnyalah pasar di kademangan Sima itu terletak di pinggir jalan utama di padukuhan induk kademangan Sima itu. Sebuah pasar yang besar, yang meskipun matahari sudah berada di sisi Barat, masih saja nampak bergerombol para pedagang yang menggelar dagangannya.
Tetapi disana-sini nampak beberapa orang mulai membersihkan bagian-bagian dari pasar itu yang nampak kotor.
Di sudut pasar, masih nampak beberapa orang pande besi yang bekerja keras, menempa besi dan baja untuk membuat alat-alat pertanian. Mereka membuat cangkul, parang, kejen bajak dan beberapa jenis alat-alat yang lain.
"Biasanya di dekat pasar itu terdapat juga penginapan," berkata Glagah Putih.
"Kita mencari penginapan yang lain saja, kakang." Glagah Putih mengerutkan dahinya. Namun iapun mengerti, biasanya penginapan di dekat pasar adalah penginapan terbuka.
Sebenarnyalah, ketika mereka berada di sebelah Barat pasar yang terhitung besar itu, mereka melihat sebuah penginapan yang sederhana. Sebuah barak yang memanjang, tanpa ada sekat-sekatnya. Namun di sebelah barak itu, terdapat sebuah rumah yang juga merupakan bagian dari penginapan itu, yang memenuhi syarat sebagai sebuah penginapan dengan bilik-bilik yang tertata rapi.
Glagah Putih dan Rara Wulan sempat melihat-lihat barak serta bagian yang lebih baik itu. Namun Rara Wulan tetap saja ingin menginap di penginapan yang lain.
Ketika keduanya keluar dari halaman penginapan itu. beberapa orang laki-laki yang berdiri di regol memperhatikan keduanya sambil tersenyum-senyum. Seorang diantara mereka sempat bertanya, "Kenapa tidak jadi menginap disini, nduk?"
Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi ia berkata kepada Glagah Putih, "Jika aku berada di penginapan ini, mungkin sampai besok aku akan terlanjur membunuh orang."
Beberapa orang yang berdiri di regol itu terkejut. Mereka tidak segera menyadari apa yang dikatakan oleh Rara Wulan itu. Namun baru kemudian mereka justru tertawa. Mereka menganggap bahwa Rara Wulan hanya sekedar mengungkapkan kejengkelannya terhadap sikap orang-orang yang berada di regol itu.
"Jangan terlalu garang, nduk," sahut seorang diantara mereka, "nanti kau akan terlalu cepat tua."
Rara Wulan berhenti. Tetapi Glagah Putihpun kemudian membimbingnya pergi meninggalkan regol halaman penginapan itu.
"Di penginapan itu tentu ada beberapa kelompok orang yang tidak mengenal tatanan dan unggah-ungguh," geram Rara Wulan.
"Ya, aku mengerti. Jika kita memasuki penginapan itu, bukankah kita hanya sekedar melihat-lihat keadaannya?"
Rara Wulan mengangguk-angguk.
Keduanyapun kemudian telah menyusuri jalan utama kademangan Sima itu lagi. Hampir diujung jalan utama itu, terdapat sebuah patung dari seekor harimau loreng yang besar.
Beberapa puluh langkah dari patung itu, memang terdapat sebuah penginapan yang nampaknya jauh lebih baik dari penginapan didekat pasar itu.
"Marilah kita melihat penginapan ini kakang?" ajak Rara Wulan.
"Marilah." Keduanyapun kemudian berbelok memasuki regol halaman penginapan itu. Agaknya penginapan itu cukup bersih. Halamannyapun nampak terawat dengan baik. Petamanan dengan berbagai macam bunga yang berwarna warni. Ada beberapa jenis kembang soka. Ada yang merah darah, ada yang merah muda dan balikan ada yang putih.
Di sudut yang lain, kembang ceplok piring yang putih bersih menebarkan bau yang harum. Rumpun kembang melati menebar didepan serambi.
"Tempat ini cukup menarik kakang. Meskipun Sima masih belum dapat menyamai Seca, tetapi kademangan ini cukup besar. Pasarnyapun agaknya cukup ramai pula. Bahkan setelah matahari turun jauh disisi barat, masih juga ada orang yang sibuk di pasar. Termasuk para pande besi itu."
Glagah Putih mengangguk-angguk sambil berdesis, "Ya. Tempat ini memang menarik meskipun tidak terlalu besar. Tetapi justru karena itu, tempat ini tentu tidak akan terlalu sibuk."
Keduanyapun kemudian menemui petugas yang ada di penginapan itu untuk melihat-lihat keadaannya.
"Silahkan, silahkan Ki Sanak. Jika Ki Sanak berkenan, silahkan bermalam di penginapan kami. Tetapi jika kurang berkenan, tidak apa-apa."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian melihat-lihat bagian dalam penginapan itu. Ada beberapa bilik yang sudah terisi. Tetapi masih ada juga yang kosong.
Penginapan itu benar-benar penginapan yang bersih. Bilik-biliknyapun bersih pula.
"Baiklah kita bermalam disini saja, kakang. Letaknya pun tidak terlalu ketengah padukuhan induk. Tetapi justru agak ketepi sehingga suasananya tentu agak tenang, sementara kita masih dapat mengamati seluruh padukuhan induk kademangan ini."
Glagah Putih ternyata sependapat. Karena itu, maka merekapun kemudian menemui petugas di penginapan itu untuk menyatakan, bahwa mereka berdua akan bermalam di penginapan itu.
Petugas itupun kemudian segera mengatur bilik yang dikehendaki oleh Glagah Putih dan Rara Wulan. Mereka memilih sebuah bilik yang berada di gandok yang menghadap ke halaman di samping pendapa penginapan itu. Justru bilik yang agak terpisah dengan bilik-bilik yang lain. Bahkan bilik itu mempunyai pakiwan sendiri dan sumur yang tersendiri pula.
Tetapi bilik itu termasuk bilik yang sewanya agak tinggi dibanding dengan bilik yang berjajar yang menghadap ke longkangan belakang pintu seketeng.
Namun ternyata petugas itu agak menduga-duga. Menilik pakaian yang dikenakannya, serta ujud lahiriahnya, kedua orang itu adalah orang-orang yang sederhana. Tetapi mereka sempat bermalam di penginapan yang terhitung baik dibandingkan dengan penginapan yang ada di dekat pasar itu.
"Keduanya tentu bukan pedagang," berkata petugas di penginapan itu didalam hatinya, "karena pedagang yang beruangpun kadang-kadang memilih penginapan yang sederhana saja."
Tetapi dibantahnya sendiri, "Tidak. Ada pedagang yang mementingkan penampilan. Untuk mendapatkan kepercayaan, maka ia harus menghadirkan penampilan yang menarik."
Namun orang itu menjadi kebingungan sendiri, "Tetapi agaknya kedua orang ini tidak begitu menghiraukan penampilan. Mereka membiarkan ujud lahiriah mereka nampak sederhana," akhirnya orang itu bergumam, "entahlah, terserah saja, siapapun mereka asal mereka mampu membayar."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun merasa kerasan juga berada di penginapan itu.
Di sore hari, Glagah Putih dan Rara Wulanpun bergantian mandi di pakiwan. Terasa air di padukuhan Sima itu segar sekali. Di udara yang panas mereka merasa airnya begitu sejuk.
Ketika mereka selesai mandi, di serambi telah disediakan minuman hangat dengan beberapa potong makanan.
"Ternyata senang juga menjadi orang kaya," berkata Rara Wulan.
"Kalau aku harus memilih, apakah aku lebih senang menjadi orang kaya atau orang miskin, maka aku akan memilih lebih senang menjadi orang kaya," sahut Glagah Putih.
"Tentu saja. Hanya orang-orang yang aneh yang memilih lebih senang menjadi orang melarat. Meskipun kakang tentu akan mengatakan bahwa uang bukan segala-galanya. Kekayaan itu tidak mutlak menentukan kebahagiaan hidup seseorang. Bukankah begitu?"
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Jika kita mampu mengendalikan diri sendiri, maka kita memang lebih senang menjadi orang kaya. Tetapi jika kita tidak mampu mengendalikan diri, maka kekayaan itu akan menjadi berhala bagi kita."
"Celakanya kakang, banyak orang yang tahu, bahwa kekayaan itu dapat menjadi berhala, namun mereka tidak peduli lagi. Disembahnya berhala itu dengan sepenuh hati."
"Meskipun mulut mereka tidak mengatakan demikian. Meskipun mulut mereka mengutuk kepada siapapun yang menyembah berhala."
"Ya. Tetapi dengan merasa tidak bersalah mereka menyumpahi orang-orang yang menyembah berhala itu."
"Karena itu, sebaiknya kita memohon agar tingkah laku kita sejalan dengan apa yang kita katakan."
"Banyak orang yang akan mengatakan bahwa sikap itu adalah sikap yang ketinggalan jaman. Lebih baik menyumpahi diri sendiri daripada benar-benar harus berhenti memberhalakan kekayaan, jabatan dan kekuasaan. Glagah Putih menarik nafas panjang.
"Mumpung masih hangat kakang," berkata Rara Wulan.
Glagah Putihpun segera beringsut mendekati minuman yang masih mengepul itu. Dipungutnya pula sepotong makanan yang ternyata adalah wajik ketan ireng.
Rara Wulanpun kemudian menghirup minuman hangat itu pula, serta mencicipi makanan yang terhidang.
Namun keduanyapun kemudian berpaling. Dilihatnya tiga orang memasuki penginapan itu. Seorang diantara mereka adalah seorang gadis. Seorang gadis yang sangat manja.
Dengan wajah yang muram, gadis itupun tiba-tiba berlari ke pendapa dan duduk di tangga pendapa.
"Kenapa" Ada apa lagi?" bertanya seorang perempuan yang sudah separo baya.
"Aku tidak mau. Aku tidak mau bermalam di sini. Tempatnya kotor, jorok dan panasnya seperti membakar kulit."
"Tidak ngger. Tempat ini termasuk penginapan yang terbaik disini. Jika kita melihat penginapan yang lain, maka penginapan ini terhitung penginapan yang bersih meskipun bukan yang terbesar."
"Kita mencari penginapan yang ada di tengah-tengah padukuhan induk kademangan ini, nek."
"Ternyata perempuan itu adalah neneknya Kakang," desis Rara Wulan.
"Ya. Laki-laki itu tentu kakeknya." Keduanyapun mengangguk-angguk.
"Jika gadis itu adikku, aku akan mencubitnya sampai pahanya menjadi merah biru."
"Untunglah kau tidak mempunyai adik, Rara. Jika kau mempunyai adik. maka lambat laun pahanya akan terkelupas, sehingga tulang-tulangnya kelihatan."
"Kenapa?" "Kalau kau yang mencubitnya, maka kulit dagingnya tentu akan benar-benar terkelupas dalam arti yang sebenarnya."
Rara Wulan memandang Glagah Putih dengan tajamnya. Namun ketika ia beringsut, Glagah Putihpun telah beringsut pula, "Aku bukan adikmu Rara."
Sejenak kemudian, perhatian mereka berdua telah tertuju lagi kepada gadis yang manja itu. Kakek dan neneknyapun berusaha membujuknya, sehingga beberapa orang yang juga menginap di penginapan itu telah terpancing untuk memperhatikannya.
Namun akhirnya gadis yang merengek dengan sikap yang sangat manja itupun dapat dibujuk oleh kakek dan neneknya, sehingga akhirnya gadis itu bersedia bermalam di penginapan itu.
Namun gadis itu minta bilik yang terbesar dan terbaik di penginapan itu.
Para petugas di penginapan itu menjadi sibuk melayaninya. Mereka membersihkan bilik yang dipilih oleh gadis itu, mengatur dan merapikan perabotnya, serta mengganti alas tidurnya dengan tikar pandan yang paling bagus.
"Kenapa gadis manja itu harus menginap di penginapan?" desis Rara Wulan.
"Kenapa tidak di tinggal saja di rumah," sambung Glagah Putih, "dan kenapa harus kakek dan neneknya yang mengajaknya. Bukan ayah dan ibunya."
"Mungkin gadis itu memang dititipkan pada kakek dan neneknya sejak kanak-kanak. Sementara kakek dan neneknyapun memanjakannya."
"Ya. Mungkin sekali, sehingga setelah dewasapun ia tetap saja seorang gadis yang manja."
"Darimana kau tahu, bahwa ia masih seorang gadis. Mungkin perempuan itu sudah bersuami."
"Mungkin saja. Tetapi jika seorang isteri bermanja-manja seperti itu, suaminya akan dapat menjadi gila."
Tetapi keduanyapun tidak peduli lagi terhadap perempuan manja itu. Glagah Putih dan Rara Wulan sama sekali tidak berkepentingan.
Kemanjaan perempuan itu memang telah menarik perhatian beberapa orang yang menginap di penginapan itu. Tetapi orang-orang yang menginap di penginapan itu hanya dapat saling membicarakannya. Pada umumnya mereka menjadi heran, bahwa gadis sebesar itu masih juga merengek seperti kanak-kanak yang baru dapat berjalan.
Dalam pada itu, menjelang senja, Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah keluar dari regol halaman penginapan untuk berjalan-jalan di jalan utama padukuhan induk kademangan Sima. Sima agaknya memang belum sebesar Seca. Tetapi Simapun merupakan pemberhentian para pedagang. Ada beberapa pasar yang besar di kademangan-kademangan disekitar Sima. Biasanya mereka memilih bermalam di Sima. Dari Sima mereka dapat pergi ke beberapa pasar yang terhitung ramai itu dengan jarak yang hampir sama. Karena itulah, maka Sima semakin lama memang menjadi semakin ramai.
Namun jalan yang ramai tidak sepanjang jalan di Seca. Dalam waktu yang singkat, mereka telah berjalan dari ujung sampai ke ujung. Mereka telah berbelok pula di simpang ampat. Namun merekapun segera sampai ke pjntu gerbang keluar dari padukuhan induk itu.
Tetapi di samping padukuhan induk, ada pula padukuhan lain yang terhitung ramai. Di padukuhan itu terdapat sebuah pasar yang menjadi tempat orang memenuhi nadarnya. Karena itulah, maka Pasar itu tetap saja ramai meskipun tidak di hari pasaran.
Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan berada di sebuah kedai yang dibuka pada sore sampai ke ujung malam, maka Glagah Putih dan Rara Wulan mendapat banyak keterangan dari pemilik kedai itu. Seorang perempuan gemuk yang agak banyak berbicara.
"Tetapi orang-orang yang berdatangan ke Sima, lebih senang bermalam di padukuhan induk kademangan Sima ini daripada di padukuhan Karangdawa itu."
"Karangdawa ?" "Ya. Pasar yang menjadi tempat melepas nadar itu adalah pasar di padukuhan Karangdawa yang masih juga berada di kademngan Sima."
"Kenapa ?" "Pada kesempatan lain, orang-orang yang menginap di padukuhan induk ini akan dapat pergi ke pasar yang lain lagi. Pasar lain di padukuhan Karangmaja. Jika seseorang menginap di Karangdawa, maka mereka akan menjadi agak jauh dari Karangmaja. Karena itu mereka lebih senang bermalam di Sima yang terasa tidak terlalu jauh dari Karangdawa, tetapi juga tidak terlalu jauh dari Karangmaja."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun beberapa saat kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun minta diri setelah membayar minuman dan makanan mereka.
Ketika keduanya sampai di penginapan, maka malam telah menjadi semakin malam. Namun mereka masih melihat beberapa orang yang duduk-duduk di serambi bilik mereka atau bahkan di pringgitan.
"Kakang," bisik Rara Wulan, "bukankah kedua orang yang duduk di pringgitan itu kakek dan nenek gadis manja itu?"
"Ya. Kenapa?" "Marilah, kita kawani mereka berbincang." Glagah Putih termangii-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berdesis, "Baiklah. Tetapi tidak terlalu lama."
"Aku hanya ingin tahu saja, kakang. Kenapa gadis itu terlalu manja."
Glagah Putih menarik nafas panjang.
Berdua merekapun telah naik ke pendapa dan langsung menuju ke pringgitan. Keduanyapun mengangguk-angguk hormat kepada kakek dan nenek gadis manja itu. Kemudian keduanyapun duduk bersama mereka.
Kedua orang tua itupun mengangguk pula. Ternyata mereka senang mendapat kawan berbincang. Keduanyapun adalah orang yang ramah kepada orang lain, yang bahkan belum dikenal sekalipun.
"Gadis yang tadi datang bersama paman dan bibi itu cucu paman dan bibi?"
"Ya. ngger. Anak itu terlalu manja."
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Namun kemudian sambil tertawa Glagah Putihpun berkata, "Keinginan yang aneh, paman dan bibi. Isteriku sedang ngidam. Tidak ngidam buah-buahan atau apa, tetapi ia ingin menginap di penginapan yang agak baik seperti penginapan ini. Aku tidak dapat menolak. Aku takut, terjadi apa-apa dengan bayinya nanti."
Kedua orang suami isteri itu tertawa. Kakek itupun kemudian berkata, "Orang ngidam itu memang sering aneh-aneh ngger. Tetapi biasanya orang ngidam itu ingin makan sesuatu. Isterimu memang agak aneh, ngger."
"Akupun merasa keanehan itu, paman," sahut Rara Wulan, "tetapi aku tidak dapat mencegahnya. Keinginan itu demikian mendesaknya, sehingga rasa-rasanya aku menjadi gila. Keinginan untuk menginap di penginapan yang baik itu rasa-rasanya demikian mencengkamnya."
Halloween Tanpa Kepala 1 Wiro Sableng 028 Petaka Gundik Jelita Dendam Empu Bharada 10
^