Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 29

15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 29


"Setelah keinginan itu terpenuhi, lalu bagaimana perasaanmu, ngger?"
"Ternyata biasa-biasa saja, paman. Bahkan aku menyesal, bahwa uang yang kami tabung dengan susah payah itu akhirnya hanya untuk membayar penginapan. Bahkan aku sudah terlanjur memesan untuk tiga hari tiga malam."
"Jika kalian kehendaki, kalian dapat membatalkannya, ngger. Pemilik penginapan ini tentu tidak akin berkeberatan. Apalagi jika kalian berterus terang."
"Kami takut paman."
"Biarlah nanti aku yang mengatakannya."
"Tidak, tidak usah paman. Biar saja."
Suami isteri yang sudah tua itu tertawa. Katanya, "Biasanya orang membayar penginapan itu pada saat mereka mau meninggalkannya. Tetapi kalian telah membayarnya lebih dahulu untuk tiga hari tiga malam."
"Kami belum berpengalaman."
"Kalau kau ingin membatalkannya, biarlah aku bantu."
"Terimakasih, paman," desis Glagah Putih. Namun kemudian Glagah Putih itupun bertanya. "Tetapi paman dan bibi, kenapa cucu paman dan bibi itu mencari suaminya sampai ke Sima?"
"Suaminya memang seorang pedagang ngger. Setiap kali suaminya pergi membawa dagangannya dan menginap dua tiga hari, ia selalu mencarinya. Kadang-kadang ketemu, tetapi kadang-kadang tidak. Jika tidak ketemu ia merajuk berhari-hari. Kasihan suaminya ngger. Tetapi sudah ciri wanci. Apa boleh buat. Kamilah yang harus mengantarnya kemana-mana. Bukan ayah dan ibunya."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk pula.
Rara Wulanpun bertanya pula, "Sekarang dimana cucu paman dan bibi itu?"
"Sudah tidur, ngger. Anak itu sudah terbiasa tidur sore. Sejak kanak-kanak ia tidak betah tidur terlalu malam."
"Dimana ayah dan ibunya, paman?"
"Ada di rumah. Anak itu terbiasa pergi bersama kakek dan neneknya. Jarang ia pergi bersama ayah dan ibunya."
"Nampaknya ia memang agak manja."
"Bukan agak lagi. Tetapi sudah terlalu manja. Ayah dan ibunya memang orang kaya. Tetapi kemanjaannya yang berlebihan itu kadang-kadang sangat menyulitkan."
"Sekarang ini, apakah paman dan bibi mempunyai keperluan penting di Sima ini."
"Sebenarnya bukan keperluan kami. Perempuan manja itulah yang sebenarnya mempunyai keperluan."
"O. Maaf kalau aku boleh tahu, keperluan apa, paman?"
"Ia sedang mencari suaminya."
"Suami" Jadi cucu paman itu sudah bersuami?"
"Sudah. Umurnya sudah cukup. Umur anak itu sudah hampir duapuluh tahun. Jika kurang hanya terhitung hari saja."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun mengangguk-angguk. Sementara itu perempuan yang dipanggilnya bibi itulah yang bertanya, "Siapakah angger berdua ini?"
"Namaku, Wuragil bibi. Perempuan ini adalah isteriku."
"Wuragil" Apakah angger benar-benar Wuragil?"
"Ya. Akhirnya aku benar-benar Wuragil, bibi."
"Berapakah saudara angger?"
"Sepuluh. Tujuh laki-laki dan tiga perempuan. Aku adalah anak yang kesepuluh itu. Mungkin ayah dan ibuku sudah tidak ingin melahirkan lagi, sehingga aku diberi nama Wuragil. Namun aku memang menjadi anak wuragil."
"Biasanya anak wuragil adalah anak yang manja."
"Tetapi aku tidak dapat bermanja-manja bibi. Orang tuaku petani kecil yang penghasilannya hanya cukup untuk makan saja sehari dua kali. Bahkan kadang-kadang sekali makan nasi dan sekali makan ketela pohon."
"Prihatin, ngger. Nampaknya setelah angger dewasa, angger menjadi cukup berhasil."
"Ah. tidak bibi. Kami masih saja petani kecil."
"Tetapi di Sima ini angger menginap di penginapan yang terhitung mahal, meskipun bukan yang paling mahal."
"Ah," Glagah Putihpun berdesah, "untuk memenuhi keinginan ini. kami berdua harus menabung beberapa bulan."
"Hanya untuk menginap di penginapan yang baik seperti ini ?"
Untuk beberapa lama Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja duduk menemani kedua orang tua itu. Namun setelah malam menjadi semakin malam, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun minta diri untuk kembali ke bilik mereka.
Demikian mereka sampai ke dalam bilik, maka Rara Wulanpun bertanya, "Apa aku seperti orang yang sedang mengandung ?"
Glagah Putih tertawa. Katanya, "Aku menjadi bingung menjawab pertanyaannya. Kenapa kita memilih menginap di sini. Penginapan yang memang terhitung mahal meskipun bukan yang termahal."
"Untung juga kakang menemukan jawaban."
"Untung pula kau segera dapat menyesuaikan diri." Rara Wulan menarik nafas panjang.
Katanya, "Tetapi pada suatu hari, aku memang harus berhenti mengembara. Pada suatu hari aku benar-benar mengandung dan kemudian melahirkan. Aku tidak ingin terjadi seperti mbokayu Sekar Mirah."
"Ya," Glagah Putihpun kemudian ikut duduk di amben, panjang di dalam bilik itu, "kita akan berhenti bertualang. Kita akan menetap dan tinggal di sebuah rumah yang tidak usah rumah yang besar. Tetapi juga tidak terlalu kecil."
Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi pandangan matanyapun menerawang menembus ke dunia angan-angannya.
Glagah Putih masih duduk di sisinya. Glagah Putihpun mulai membayangkan, betapa sepinya keluarga Ki Lurah Agung Sedayu dan Sekar Mirah.
Namun Rara Wulan itupun tiba-tiba saja berkata, "Kakang. Kau percaya sepenuhnya dengan cerita kedua orang tua itu?"
Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun menjawab, "Ada yang aneh bagiku."
"Ya. Aku tidak begitu percaya jika setiap kali perempuan itu mencari suaminya yang sedang berdagang dan berada di perjalanan sampai dua tiga hari."
"Jika hal itu sering terjadi kenapa ia tidak menahan saja suaminya agar tidak usah pergi."
"Ya. Perempuan itu agak keterlaluan. Aku sudah sering melihat anak-anak manja. Tetapi bagi anak-anak yang sudah berumur dua puluh tahun, maka yang dilakukan itu agak berlebihan."
"Kakang ingat orang yang menyebut dirinya Wiraraja?"
"Ya." "Yang senang bergurau tetapi juga berlebihan?"
"Ya." "Apakah mungkin anak manja ini ada hubungannya dengan Wiraraja yang suka bergurau tetapi agak berlebihan itu?"
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Perempuan itu memang menarik perhatian. Jika benar ia anak manja, kenapa kakek dan neneknya meninggalkannya sendiri di biliknya" jika perempuan itu terbangun, maka ia akan berteriak-teriak atau menangis melolong-lolong."
"Kakang," berkata Rara Wulan kemudian, "aku menjadi penasaran. Aku ingin melihat, apakah perempuan itu ada di biliknya atau tidak."
"Kita harus mempelajari keadaan dahulu, Rara. Jika tiba-tiba saja kita menyelinap, maka kita akan dapat terjebak. Kita belum tahu, siapakah yang kita hadapi."
"Ya. Untunglah kita mengatakan, bahwa kita sudah membayar untuk tiga hari, sehingga jika kita benar-benar harus berada disini sampai tiga hari, maka mereka tidak akan mencurigai kita."
"Mungkin mereka tidak mencurigai kita. Tetapi mungkin pula sebaliknya. Mungkin pula ia tidak percaya bahwa kita berada disini karena kau sedang ngidam."
"Ya. Kita memang harus berhati-hati. Wiraraja itu sudah memberikan pelajaran kepada kita."
"Malam ini kita duduk-duduk saja di luar, Rara. Kita dapat berada dibayangan yang gelap sambil mengawasi halaman Jika saja perempuan itu keluar atau masuk halaman penginapan ini, kita dapat melihatnya. Sedangkan jika ada orang yang melihat kita, lebih lebih kakek dan nenek itu, kita dapat saja mencari jawaban di seputar kandunganmu."
Rara Wulan tertawa. Katanya, "Ya Kita dapat saja mengatakan bahwa udara terasa terlalu panas atau apa saja."
Sebenarnya malam itu, Glagah Putih dan Rara Wulan justru berada di luar biliknya. Mereka berada di petamanan yang terdapat di longkangan di depan biliknya yang memang agak terpisah.
Mereka duduk di atas batu yang besar yang menjadi bagian dari hiasan petamanan di longkangan itu.
Dari tempat itu mereka dapat melihat-lihat dengan sudut pandang yang luas. Sementara batu itu terlindung dibawah bayangan gerumbul-gerumbul perdu di petamanan.
Sementara itu, pendapa penginapan itupun sudah menjadi semakin sepi. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak dapat melihat, apakah kakek dan nenek perempuan yang sangat manja itu masih duduk di pringgitan.
Sedikit lewat tengah malam, halaman penginapan itu benar-benar sudah menjadi sepi. Di pendapapun sudah tidak ada lagi orang yang duduk-duduk menghirup udara malam yang segar.
"Seandainya perempuan itu pantas dicurigai, maka ia tentu belum akan bergerak malam ini, kakang."
"Ya. Besok mereka baru akan melihat-lihat suasana. Kecuali jika mereka sudah mengenal lingkungan ini dengan baik."
Namun pembicaraan merekapun segera terputus ketika mereka mendengar suara burung tuhu di luar gerbang penginapan itu.
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Mereka pernah menjalani laku Tapa Ngidang benar-benar di dalam hutan, sehingga mereka dapat mengenali suara berbagai macam binatang serta burung-burung liar. Baik burung-burung siang, maupun burung-burung malam. Karena itu, merekapun segera mengerti bahwa suara itu bukan suara burung yang sebenarnya.
Dengan demikian, keduanya justru bersembunyi semakin rapat dibelakang rimbunnya petamanan.
Sebenarnyalah sejenak kemudian seorang yang berpakaian serba gelap telah muncul dari pintu seketeng. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan yang mempunyai penglihatan yang sangat tajam segera melihat, bahwa orang itu adalah laki-laki tua yang disebutnya kakek itu.
Dengan sangat berhati-hati, dan sekali-sekali berusaha menghindari sinar lampu minyak di pendapa, orang itupun pergi ke pintu gerbang penginapan.
"Apakah kita akan berusaha mendekat, kakang."
"Sulit untuk mendekat ke pintu gerbang tanpa terlihat."
"Orang itu berada di luar pintu gerbang."
"Tetapi jika mereka memasuki pintu gerbang, halaman itu terbuka."
"Nampaknya para petugaspun sedang tidur." Keduanya terdiam sejenak. Namun ternyata orang yang mengenakan pakaian gelap itupun telah masuk kembali bersama seorang yang lain, yang juga berpakaian serba gelap.
Glagah Putihpun menggamit Rara Wulan, agar perempuan itupun berjongkok dibelakang gerumbul perdu di petamanan.
Tetapi jarak mereka terlalu jauh untuk mendengarkan pembicaraan mereka. Sementara itu, agaknya keduanya justru berbicara di dekat pintu gerbang tanpa bergeser lagi.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun termangu-mangu. Kedua orang itu berdiri melekat dinding disebelah pintu gerbang.
"Lewat di luar dinding halaman ini Rara."
"Ya. Kita justru meloncat keluar." Keduanyapun kemudian meloncati dinding halaman justru dibelakang pakiwan yang khusus bagi bilik mereka. Kemudian menyusuri dinding halaman di halaman rumah tetangga penginapan itu. Baru kemudian setelah mereka meloncat turun ke jalan, mereka sempat mendekati pintu gerbang.
Beberapa batang pohon gayam yang besar, berdiri berjajar dipinggir jalan, sehingga batangnya yang besar itu akan dapat menjadi tempat berlindung yang baik.
Dari luar pintu gerbang, Glagah Putih dan Rara Wulan itupun mendengar orang yang datang ke penginapan itu berkata, "Jadi perempuan itu sudah berada disini sekarang."
"Ya. Ia sudah berada disini."
"Baik. Kita menunggu keputusannya. Apa yang harus kita lakukan terhadap Ki Demang dan para bebahu di Sima. Nampaknya mereka orang-orang yang keras hati. Ki Demangpun merasa memiliki sedikit ilmu sehingga ia berani menentukan sikap itu."
"Biarlah besok malam ia menemui Ki Demang di rumahnya. Tunggu wayah sepi uwong di dekat regol halaman rumah Ki Demang. Perempuan itu adalah seorang pemarah. Mungkin ia memerlukan seseorang yang mampu sedikit mengekangnya."
"Ia memang harus marah jika Ki Demang masih saja keras kepala. Bahkan Ki Demang itu pantas disingkirkan."
"Jangan tergesa-gesa mengambil sikap. Ternyata kau juga seorang yang kurang sabar menghadapi masalah-masalah yang kadang-kadang harus dipikirkan dengan kepala dingin. Umurmu sudah cukup banyak. Seharusnya kau mampu mengendapkan perasaanmu."
Orang itu tidak segera menjawab.
Namun bagi Glagah Putih dan Raru Wulan persoalannya sudah cukup jelas. Karena itu, maka Glagah Putihpun segera memberi isyarat, agar mereka tidak usah menunggu sampai pembicaraan itu selesai.
Demikianlah maka mereka berduapun segera kembali meloncati dinding masuk kehalaman rumah sebelah penginapan itu. Kemudian menyusuri dinding yang menyekat halaman itu langsung meloncat lagi masuk ke halaman penginapan.
Ketika mereka kembali berada dibay.mgan gerumbul perdu di petamanan, ternyata kedua orang itu masih berada di tempatnya. Namun agaknya pembicaraan merekapun sudah selesai. Sebentar kemudian orang yang datang ke penginapan itupun telah keluar dari pintu gerbang penginapan yang tidak diselarak.
Beberapa saat kemudian, maka orangtua yang mengenakan pakaian yang serba gelap itupun telah kembali ke biliknya.
Baru kemudian Glagah Putih dan Rara Wulanpun masuk ke dalam biliknya pula.
"Ternyata dugaan kita benar, kakang," berkata Rara Wulan, "perempuan itu hanyalah berpura-pura. Cara ini pula yang dipakai oleh Wiraraja. Ia mengetrapkan dua pribadi yang berbeda. Tetapi karena rangkapnya kepribadian itu hanya berpura-pura, maka yang tampil adalah justru mencurigakan."
"Ya, Rara. Tetapi nampaknya perempuan itu amat berbahaya."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, "Ya Perempuan itu tentu sangat berbahaya. Tetapi besok kita juga akan pergi ke dekat regol halaman rumah Ki Demang itu."
"Ya. Kita besok akan melihat apa yang terjadi."
"Sekarang, beristirahatlah. Kau dapat tidur lebih dahulu. Nanti jika aku sudah mengantuk, aku akan membangunkanmu."
Rara Wulanpun mengangguk-angguk. Perempuan itupun kemudian membaringkan dirinya di pembaringan yang bersih. Jauh berbeda dengan saat-saat mereka bermalam di tengah-tengah padang perdu, duduk sambil bersandar sebatang pohon. Jika dingin malam menggigit, mereka membuat perapian untuk memanasi telapak tangan mereka yang bagaikan membeku.
Rara Wulanpun kemudian telah tertidur lelap. Ia sangat percaya kepada suaminya. Karena itu, Rara Wulan itupun merasa tenang sehingga dapat tertidur nyenyak.
Di dini hari, Rara Wulan itupun terbangun sebelum dibangunkan oleh Glagah Putih. Iapun kemudian bangkit dan duduk di pembaringan.
Dengan suara yang agak parau iapun berkata, "sebaiknya kau juga tidur kakang. Meskipun mungkin waktunya tinggal sekejap."
Glagah Putih tiba-tiba saja menguap. Iapun kemudian menyahut, "Baiklah. Aku masih mempunyai kesempatan untuk tidur sebentar. Tetapi itu sudah cukup bagiku."
Rara Wulanlah yang kemudian turun dari pembaringan. Setelah membenahi rambutnya, maka iapun duduk di dingklik kayu.
Ternyata Glagah Putihpun begitu mudah tidur. Iapun merasa bahwa di dalam bilik itu Rara Wulan duduk berjaga-jaga.
Menjelang fajar, Glagah Putihpun sudah terbangun, sementara Rara Wulan sudah membuka pintu biliknya untuk menghirup udara yang segar.
Demikian Glagah Putih duduk, maka Rara Wulanpun berkata, "Aku pergi ke pakiwan kakang."
"Pergilah. Nanti bergantian," sahut Glagah Putih.
Demikianlah keduanyapun bergantian pergi ke pakiwan. Sementara itu, diserambi biliknya telah disediakan minuman hangat serta beberapa potong makanan.
Setelah selesai berbenah diri, maka keduanyapun kemudian duduk sambil minum-minuman hangat serta mencicip beberapa jenis makanan
"Rara," berkata Glagah Putih kemudian, "jika kita nanti malam akan pergi ke rumah Ki Demang, maka sebaiknya siang nanti kita bereskan uang sewa penginapan ini."
"Kenapa?" "Mungkin kita tidak akan kembali ke penginapan ini. Tetapi kita akan segera meneruskan perjalanan ke padepokan Jung Wangi yang masih cukup jauh."
"Kenapa harus begitu?"
"Jika kita terlibat dalam pertarungan di rumah Ki Demang, bukankah kita tidak akan dapat kembali lagi ke penginapan itu?"
Rara Wulan menarik nafas panjang. Katanya, "Senang tidur di penginapan ini. Semalam aku dapat tidur nyenyak."
"Kecuali jika kita nanti malam tidak usah pergi ke rumah Ki Demang."
"Tetapi menarik untuk mengikuti persoalan yang akan dibicarakan."
"Nampaknya akan dapat timbul kekerasan. Apakah kita dapat mengekang diri untuk tidak turut mencampurinya" Kecuali jika persoalannya itu adalah persoalan yang sangat pribadi yang memang tidak pantas kita campuri. Misalnya, bahwa ternyata Ki Demang itu adalah suami perempuan manja itu."
"Ah, tentu bukan," sahut Rara Wulan dengan serta merta.
"Misalnya. Hanya misalnya saja. Tetapi jika persoalanya menyangkut kepentingan orang banyak, maka kita tentu tidak akan dapat tinggal diam. Nah, jika kita sudah terlibat, maka tentu tidak menarik lagi untuk menginap di penginapan ini. Bahkan mungkin di penginapan manapun di Sima ini."
"Baiklah, kakang. Jika kakek dan nenek itu mengetahui kita meninggalkan penginapan ini, maka kita dapat mengatakan bahwa kita sudah membatalkan hari yang kedua dan ketiga dari hari-hari yang kita pesan.
Glagah Putihpun mengangguk-angguk pula. Sementara Rara Wulan masih saja menghirup minumannya yang masih hangat.
Namun beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan melihat kakek dan nenek itu bersama dengan orang yang diaku sebagai cucunya keluar dari biliknya. Perempuan muda itu masih mengusap matanya yang basah, yang memberikan kesan, bahwa ia baru saja menangis.
"Kita pergi ke pasar," katanya.
"Ya, ya. Kita akan pergi ke pasar."
"Kita cari kakang sampai ketemu. Sebelum ketemu aku tidak mau kembali ke penginapan."
"Jika suamimu tidak ada di pasar itu, nduk."
"Pokoknya harus ketemu." tiba-tiba saja perempuan itu berteriak sehingga orang-orang yang ada disekitarnya telah berpaling kepadanya.
Tetapi perempuan itu agaknya tidak menghiraukannya. Iapun malahan merengek-rengek dan bahkan kemudian duduk di tangga pendapa.
Orang yang disebut kakek dan neneknya itupun kemudian hampir berbareng berkata, "Baik, baik nduk. Kita cari suamimu sampai ketemu."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun tidak begitu menghiraukannya lagi. Karena itu, maka Rara Wulan yang sedang meneguk minumannya, sama sekali tidak meletakkan mangkuknya.
Sementara itu, perempuan manja itu masih saja merengek. Agaknya beberapa orang justru menjadi jengkel melihat sikapnya itu, sehingga seseorang justru menyahut, "Kalau suamimu tidak ada di pasar itu, cari saja suami yang lain, nduk."
"Apa " Apa ?" tiba-tiba saja perempuan itu bangkit berdiri, "jangan asal saja membuka mulutmu, he."
"Aku hanya menyarankan daripada kau kebingungan karena kehilangan suami."
"Diam. Diam kau."
"Nduk," kakeknya mendekapnya, "jangan marah seperti itu, nduk. Orang itu hanya bercanda."
"Tetapi canda itu tidak pantas, kek."
Orang yang menggodanya itu agaknya tidak mau berselisih. Iapun kemudian berkata, "Maaf. Aku memang hanya bercanda. Tetapi jika itu membuatmu tidak senang, aku minta maaf."
Orang itupun tidak menghiraukannya lagi. Iapun kemudian melangkah pergi meninggalkan perempuan yang sangat manja itu.
Tetapi agaknya banyak juga orang yang justru muak melihat sikapnya. Bukan hanya laki-laki, tetapi juga perempuan.
Tetapi orang-orang itupun kemudian justru tidak menghiraukannya lagi.
Pada saat orang-orang lain pergi meninggalkannya, maka Glagah Putih dan Rara Wulanlah yang pergi mendekati mereka.
"Ada apa lagi. paman ?"
"Anak ini mengajak mencari suaminya ke pasar."
"Kenapa paman tidak saja segera membawanya ke pasar."
"Belum tentu suaminya ada disana. Jika kami tidak menemukan suaminya, maka ia akan menjadi marah. Jika ia berteriak-teriak seperti ini, apakah kira-kira akan dapat menemukan yang kita cari di pasar ?"
Tetapi perempuan itu menyahut, "Tentu, harus. Suamiku harus ketemu."
"Nini," berkata Rara Wulan, "kenapa kau tidak berlaku apa adanya saja?"
Yang bertanya dengan serta-merta adalah kakeknya, "Apa adanya apa maksudmu, ngger."
"Maksudku, kalau ada terimalah dengan wajar. Jika tidak ya tidak ada. Tidak seorangpun yang dapat memaksakan agar yang tidak ada itu menjadi ada."
"Ya. ngger. Seharusnya seperti itulah yang harus kami lakukan. Tetapi anak ini adalah anak manja. Sehingga tanggapannya terhadap kenyataan itu berbeda dengan kebanyakan orang."
Perempuan itu ternyata dapat berhenti merengek sejenak pada saat ia memperhatikan Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun kemudian iapun telah mulai merengek lagi.
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian telah meninggalkan kakek dan nenek itu. Sementara Glagah Putih sempat minta diri, "Sudahlah, paman dan bibi. Kami akan keluar lebih dahulu."
"Kemana, ngger ?"
"Kami juga akan pergi ke pasar."
"Tolong, Ki Sanak," tiba-tiba perempuan manja itu berkata kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, "kalau kau bertemu dengan suamiku, pegang saja dia dan jangan dilepaskan sebelum aku sampai di pasar."
"Tetapi aku belum pernah melihat suamimu."
"Kau akan segera mengenalnya. Orangnya tinggi, besar seperti raksasa. Berkumis tetapi tidak berjanggut."
"Baik. Nanti jika aku bertemu dengan orang yang ciri-cirinya seperti yang kau katakan, akan aku tangkap."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian melangkah keluar pintu gerbang. Perempuan itu masih berteriak sekali lagi, "Tolong, tangkap suamiku."
Glagah Putih dan Rara Wulan berpaling, tetapi mereka tidak menjawab, meskipun keduanya mengangguk.
"Aku akan ikut menjadi gila," desis Rara Wulan.
"Apa salahnya kita ikut-ikutan berpura-pura."
"Nanti malam jangan lupa. Kita tunggu perempuan itu tidak terlalu jauh dari regol rumah Ki Demang."
"Tetapi kita harus berhati-hati, karena ada orang lain yang juga menunggu di dekat regol halaman rumah Ki Demang itu."
Rara Wulan mengangguk-angguk.
Beberapa saat kemudian, maka mereka berdua telah berada di pasar yang terletak di padukuhan induk kademangan Sima. Pasar itu memang termasuk pasar yang ramai. Bahkan meskipun hari itu ternyata bukan hari pasaran, tetapi pasar itu tetap saja penuh. Baru esok pagi, hari pasaran di pasar Sima itu.
Untuk beberapa lama Glagah Putih dan Rara Wulan melihat-lihat seisi pasar itu. Tetapi Rara Wulan tidak lagi membuka-buka lipatan atau gulungan kain. Ia sudah menjadi jera dimarahi oleh perempuan pedagang kain yang sedang dilihat-lihatnya.
"Kita tunggu perempuan yang berpura-pura itu. Apakah benar ia pergi ke pasar ini."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian berkata, "Mungkin perempuan itu justru tidak kemari. Mungkin perempuan itu juga melihat-lihat suasana di Sima atau melihat dimana letak regol halaman rumah Ki Demang yang malam nanti akan dikunjungi itu."
"Ya. Memang mungkin. Nanti jika malahan menjadi semakin tinggi, dan perempuan itu tidak juga nampak, kitupun akan berjalan-jalan melewati regol halaman rumah Ki Demang."
Untuk beberapa lama keduanya menunggu. Keduanya berjalan berputar-putar di dalam pasar. Namun agaknya Rara Wulan tertarik pula melihat berbagai macam sayuran yang segar. Seorang perempuan menjual melinjo, kulitnya, kerotonya serta daunnya yang nampak begitu segar. Disisi lain seorang menggelar daun ketela pohon serta jelegor yang masih muda. Beberapa orang yang lain menjual bayam, kangkung dan lembayung.
Di bagian lain. beberapa orang menjual berbagai jenis ikan. Ikan lele, ikan kutuk, kakap dan bahkan belut.
"Bukankah kakang suka ikan lele?" bertanya Rara Wulan.
"Seandainya kita membelinya, dimana kita akan membuat sayur mangut ?"
Rara Wulan tertawa. Namun sampai matahari memanjat langit semakin tinggi, perempuan yang mereka tunggu itu tidak juga datang. Karena itu, maka Glagah putihpun telah mengajak Rara Wulan untuk keluar dari pasar itu.
"Seandainya suaminya benar-benar berada di pasar ini, dagangan apakah yang sedang digelarnya ?"desis Glagah putih.
"Aku jadi malas untuk bertanya. Jika kita bertanya satu kata, maka perempuan itu menjawabnya sambil melenggok-lenggok seperti cacing kepanasan."
Glagah Putihpun tertawa. Namun kemudian keduanya memutuskan untuk keluar saja dari pasar itu.
"Kita berjalan-jalan saja sambil mencari rumah Ki Demang," berkata Glagah Putih.
Keduanya kemudian berjalan menyusuri jalan-jalan utama. Seperti yang mereka duga rumah Ki Demang itu terletak di tepi jalan utama itu. Ketika Glagah Putih bertanya kepada seorang remaja yang sedang bermain di pinggir jalan, maka remaja itu menunjuk ke sebuah rumah yang terhitung besar dan berhalaman luas.
"Itu rumah Ki Demang," jawab remaja itu.
"Di sebelahnya ?"
"Di sebelahnya itu adalah banjar kademangan."
"Terima kasih," desis Glagah putih.
Ketika anak itu tenggelam lagi dalam keasyikannya bermain, maka Glagah putih dan Rara Wulan pun melanjutkan langkahnya menyusuri jalan-jalan utama di padukuhan induk Sima.
Ternyata Glagah Putih dan Rara Wulan tidak bertemu dengan perempuan yang berpura-pura manja itu. Mereka tidak tahu kemana saja perempuan itu berpura-pura mencari suaminya. Mungkin mereka hanya berselisih jalan atau mungkin perempuan itu mengunjungi satu pertemuan rahasia dengan kawan-kawannya.
Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun singgah di sebuah kedai di pinggir jalan utama di padukuhan induk kademangan Sima. Kedai yang terhitung ramai. Meskipun kedai itu tidak terletak di dekat pasar, tetapi banyak juga orang yang berkunjung ke kedai itu.
"Kedai ini agaknya kedai bagi golongan orang yang mempunyai banyak uang. Rara," desis Glagah Putih.
Rara Wulanpun mulai memperhatikan orang-orang yang duduk di sekelilingnya. Pada umumnya mereka tentu para pedagang yang terhitung besar atau para petani yang termasuk kaya.
"Ya, kakang. Tetapi tentu saja kita yang sudah terlanjur masuk ke mari, tidak sebaiknya keluar lagi sebelum membeli makan dan minuman."
Tetapi agaknya beberapa orang pelayan yang ada di kedai itu, tidak segera memperhatikan mereka. Orang-orang yang dalang kemudian justru mendapat pelayanan lebih dahulu.
Ketika Glagah putih mengeluh bahwa pelayanan bagi mereka terasa sangat lambat, maka Rara Wulanpun berkata, "Lihat mereka yang datang kemudian dan mendapat pelayanan yang cepat itu, kakang. Mereka adalah orang-orang yang mengenakan pakaian bagus, mahal dan rapi. Namun kitapun telah dinilai dari pakaian yang kita kenakan."
"Ya. Tetapi biarlah. Sebaiknya kita duduk saja di sini. Asal mereka tidak mengusir kita."
"Seandainya mereka mengusir kita ?"
"Orang yang mengusir kita itu akan kita lempar dengan sekeping uang perak."
Rara Wulanpun tertawa. Ternyata baru beberapa saat kemudian, ketika seorang pelayan sudah selesai melayani seorang tamu yang justru datang kemudian, mendekati Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Kalian akan memesan apa ?"
Sebelum Glagah Putih menjawab, Rara Wulanpun bertanya, "Apa saja yang ada di kedai ini ?"
Tetapi jawab pelayan itu ternyata telah menyinggung perasaan Glagah Putih dan Rara Wulan. Katanya, "Kalian mau pesan apa, bukan justru kalian yang bertanya."
"Jika aku sudah tahu apa yang ada di kedai ini, maka aku akan dapat memilihnya. Aku mau pesan apa?"
"Di sini ada seribu macam masakan."
Tiba-tiba saja Rara Wulan menyahut, "Aku pesan seribu macam masakan itu. Kalau ada aku akan membayarnya. Tetapi jika kurang satu saja dari seribu macam aku menolak membayar."
Wajah pelayan itu menjadi merah. Dengan garang ia pun berkata. "Apa yang kau pakai untuk membayarnya. Bahkan satu macam masakanpun kau belum tentu dapat membayar. Kedai ini adalah kedai yang mahal. Kedai bagi orang-orang kaya. Mana mungkin orang seperti kalian ini dapat membayar masakan yang kau pesan di sini."
Rara Wulan menjadi tidak sabar lagi. Meskipun pelayan itu tidak mengusirnya, tetapi ia sudah menyakiti perasaan Glagah Putih dan Rara Wulan. Karena itu, maka Rara Wulanpun mengambil sekeping uang perak dari kampilnya dan siap dilemparkan kepada pelayan itu.
Tetapi Glagah Putih mencegahnya. Katanya, "Jangan. Jangan kau berikan sekeping uang perak itu kepadanya. Lebih baik kau berikan kepada seorang pengemis yang ada di pinggir jalan di tikungan. Ia lebih pantas untuk menerimanya daripada pelayan itu."
"Ya. Biarlah uang perak ini aku lemparkan saja di pinggir jalan daripada aku berikan kepada orang yang tidak tahu unggah-ungguh itu."
Pelayan itu memang terkejut melihat sekeping uang perak. Dengan sekeping uang perak itu, keduanya akan dapat memesan makanan yang mereka kehendaki.
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan itu sudah melangkah ke pintu, meninggalkan kedai itu.
Pelayan itu masih termangu-mangu di tempatnya. Namun pemilik kedai kemudian menyusul Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Kami minta maaf Ki Sanak. Kami sama sekali tidak berniat meremehkan para langganan kami. Tetapi para pelayan kami kadang-kadang tidak tahu diri. Kadang-kadang mereka memilih-milih tamu yang manakah yang mereka layani lebih dahulu."
"Sudahlah. Ajari pelayan-pelayanmu menghargai semua orang yang datang ke kedaimu. Ajari mereka menghormati semua orang dengan cara yang sama."
"Baik, baik. Ki Sanak. Sekarang aku silakan Ki Sanak singgah di kedaiku."
"Terima kasih. Aku sudah kehilangan selera untuk makan di kedaimu."
"Aku akan memberikan masakan yang paling baik untuk Ki Sanak berdua."
"Terima kasih. Ki Sanak. Sudahlah. Tamu-tamu yang lain menunggumu. Aku akan melanjutkan perjalanan."
Glagah Putih dan Rara Wulan itupun kemudian melangkah pergi. Pemilik kedai itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun segera kembali ke kedainya. Dipanggilnya pelayannya yang telah menyinggung perasaan kedua orang laki-laki dan perempuan itu.
"Kau tidak pantas berbuat seperti itu. Nah, sekarang kau tahu, bahwa kau tidak dapat mengukur kelebihan seseorang dari unsur lahiriahnya saja. Kalau setiap kali kau berbuat seperti itu, maka lambat laun tidak akan ada orang yang membeli di kedai ini."
Pelayan itu hanya dapat menundukkan kepalanya saja. Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulanpun meninggalkan kedai itu semakin jauh. Tetapi Rara Wulan tidak jadi melemparkan kepingan uang peraknya ke pinggir jalan.
"Lebih baik aku masukkan ke dalam kampilku lagi," desis Rara Wulan.
Glagah Putih sempat tertawa.
"Kau mentertawakan aku kakang?" bertanya Rara Wulan.
"Tidak. Aku mentertawakan kepingan uang perak itu. Akhirnya ia kembali ke kampil itu lagi."
Rara Wulanpun akhirnya ikut tertawa pula.
Namun akhirnya merekapun singgah di kedai yang lain. Kedai yang agaknya sedang-sedang saja. Namun ada beberapa orang yang sudah berada di dalam kedai itu.
Dari kedai itu, Glagah Putih dan Rara Wulan masih berjalan lewat jalan-jalan yang berpura-pura mencari suaminya itu.
"Kemana saja perempuan itu," desis Glagah Putih.
"Mungkin mereka bertiga sedang menghadiri pertemuan rahasia di suatu tempat di kademangan ini," sahut Rara Wulan.
"Memang mungkin," Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Agaknya kita memang harus keluar dari penginapan itu nanti sore, Rara. Tetapi jika tidak terjadi apa-apa, kita dapat kembali lagi menginap di penginapan itu atau di penginapan yang lain."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Tetapi agaknya kita tidak akan menginap lagi di Sima. Agaknya kita akan terlibat dalam satu persoalan di rumah Ki Demang malam nanti, meskipun aku tidak dapat menduga persoalan apa yang akan kita hadapi.
Glagah Putihpun merenung sejenak. Namun kemudian katanya, "Jangan-jangan perempuan itu sudah berada di penginapan, atau bahkan tidak jadi mencari orang yang diakunya sebagai suaminya."
"Marilah kita lihat di penginapan," Keduanyapun segera kembali ke penginapan. Mereka memang menjadi agak tergesa-gesa.
Namun ketika mereka sampai di penginapan, maka perempuan itu tidak ada di biliknya. Ketika Rara Wulan bertanya kepada petugas di penginapan itu, maka petugas itupun menjawab, "Belum. Belum Nyi. Perempuan itu belum kembali. Bahkan aku berdoa semoga ia tidak kembali?"
"Kenapa?" "Melayani seorang saja kami para petugas menjadi sangat sibuk sebagaimana kami melayani lebih dari sepuluh orang. Perempuan itu minta macam-macam yang kadang-kadang sulit untuk segera diadakan. Kalau ia minta air panas untuk mandi saja tidak ada masalah. Kami memang menyediakannya. Tetapi kalau kemudian minta disediakan makanan yang sulit mencarinya, kami menjadi kewalahan. Padahal perempuan itu minta seketika itu juga."
"Kalau memang tidak ada, bukankah kalian dapat mengatakan bahwa yang dimintanya itu tidak ada."
"Perempuan itu menjadi marah-marah. Kakek dan neneknyapun ikut marah-marah pula. Telingaku menjadi panas mendengarnya. Karena itu, jika mungkin lebih baik kami mencari apa yang dimintanya."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun mengangguk-angguk. Namun merekapun segera pergi ke bilik mereka sendiri.
Glagah Putih dan Rara Wulan masih beristirahat beberapa saat di bilik mereka. Sementara itu mataharipun telah berada di sisi langit sebelah Barat.


15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kapan kita keluar dari penginapan ini, kakang?" bertanya Rara Wulan.
"Waktunya masih panjang, Rara. Bukankah waktu yang disepakati oleh laki-laki tua itu dengan tamunya semalam setelah wayah sepi uwong."
"Kalau begitu kita akan keluar dari penginapan ini saat malam turun."
"Ya. Pada saat malam turun, kita akan pamitan kepada para petugas di penginapan ini."
Dengan demikian, maka masih ada waktu bagi Glagah Putih dan Rara Wulan untuk mandi dan berbenah diri. Sementara itu minuman hangat serta beberapa potong makanan telah tersedia di serambi biliknya.
Menjelang senja Glagah Putih dan Rara Wulan masih duduk di serambi sambil menghirup minumannya serta makan beberapa potong makanan. Namun Rara Wulanpun kemudian menggamit Glagah Putih sambil berdesis, "Itu mereka datang."
Sebenarnyalah empat orang telah memasuki halaman penginapan. Perempuan yang berpura-pura manja itu bergayut di tangan seorang laki-laki muda yang bertubuh kekar dan berwajah tampan. Agaknya laki laki itulah yang diakunya sebagai suaminya.
Sambil memegangi lengan laki laki itu, perempuan manja itu pun merengek, "Kakang tidak boleh pergi lagi."
"Tetapi bagaimana dengan daganganku itu."
"Biarlah anak-anak mengurusnya. Bukankah tidak harus kakang sendiri. Buat apa kakang mengupah orang orang itu jika mereka tidak diserahi tugas apa apa."
Laki-laki itu terdiam. Ketika mereka naik ke tangga pendapa, maka perempuan manja itupun merengek lagi, "Tolong aku kakang. Tolong."
Dengan cepat laki-laki muda itu menangkap tangan perempuan yang mengaku isterinya itu. Kemudian di tariknya naik ke pendapa.
Seorang petugas penginapan itu yang kebetulan lewat di dekat Glagah Putih dan Rara Wulan berdesis, "Perempuan itu tidak saja manja. Tetapi ia sudah gila."
Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa tertahan. Tetapi Rara Wulanpun kemudian berkata perlahan, "Tetapi bukankah mereka membayar untuk segalanya?"
"Ya. Itulah untungnya penginapan ini. Mereka membawa uang banyak."
"Dengan demikian bukankah jerih payah para petugas ada imbalannya."
"Ya. Tetapi jika aku boleh memilih, aku memilih perempuan itu pergi."
Petugas itupun kemudian meninggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan yang masih saja menahan tawanya.
Namun ternyata ketika malam turun, Glagah Putih dan Rara Wulanlah yang minta diri kepada petugas itu untuk meninggalkan penginapan.
"Kenapa" Apakah perempuan itu terasa sangat mengganggu?"
"Tidak. Tetapi yang aku cari sudah ketemu. Malam ini aku akan bermalam di rumah pamanku yang tinggal di Sima ini. Siang tadi aku bertemu paman di pasar."
"Tetapi rasa-rasanya begitu tiba-tiba."
"Sebenarnya tidak. Tetapi kami ragu-ragu, apakah kami akan bermalam di rumah paman atau di penginpan ini. Sebenarnya kami lebih senang tinggal di penginapan ini. Tetapi kami khawatir kalau paman menjadi tersinggung."
Petugas itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, "Kenapa tersinggung?"
"Paman akan mengira bahwa kami tidak bersikap akrab. Pamannya ada disini, tetapi kenapa kami ada di penginapan."
Petugas itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kapan-kapan aku berharap kalian berdua menginap di penginapan ini lagi."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera menyelesaikan pembayaran sewa bilik di penginapan itu. Ketika petugas itu sedang menghitung uang kembali, maka Rara Wulanpun berkata, "Ambil saja kembalinya, Ki Sanak."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk hormat sambil berkata, "Terimakasih Ki Sanak."
"Tetapi jangan katakan kepada perempuan manja itu, atau kepada kakek dan neneknya, bahwa aku telah pergi."
"Baik, baik. Ki Sanak."
Demikianlah, maka diam-diam Glagah Putih dan Rara Wulan meninggalkan penginapan tanpa setahu perempuan yang berpura-pura manja itu.
Dalam pada itu, maka malampun menjadi semakin dalam. Beberapa saat kemudian, malampun telah memasuki wayah sepi bocah. Sebentar lagi akan segera memasuki wayah sepi uwong.
Tiga orang yang berpakaian serba gelap telah mendekati regol halaman Ki Demang di Sima. Dua orang diantara merekapun segera meninggalkan tempat itu. Seorang sempat bersesis, "Hati-hatilah. Sebentar lagi perempuan itu akan datang bersama laki-laki yang disebutnya suaminya. Temani mereka menemui Ki Demang. Ki Demang ternyata juga seorang yang berilmu. Agaknya ia mempunyai sikap yang sulit dirubah."
"Ia tidak akan sempat melihat matahari terbit esok pagi."
"Cari jalan lain. Kecuali jika sudah tidak ada, apaboleh buat."
"Perempuan itulah yang menentukan. Bukan kau."
"Ya. Aku mengerti."
Kedua orang itupun segera meninggalkan kawannya tidak jauh dari regol halaman rumah Ki Demang di Sima.
Tetapi ketiga orang itu tidak tahu, bahwa dua pasang mata selalu mengawasinya dan dua pasang telinga mendengar pembicaraan mereka.
Demikianlah beberapa saat kemudian, menjelang saat sepi uwong, maka empat orang telah mendekati regol halaman rumah Ki Demang. Orang yang telah dahulu berada di regol halaman itupun segera menemui mereka.
"Masuklah. Hati-hati. Cari jalan terbaik." pesan kakeknya.
"Jika yang terbaik adalah menyingkirkannya untuk selamanya, maka aku akan menyingkirkannya," sahut perempuan yang dalam hidupnya sehari-hari dikenal sebagai perempuan manja itu. Namun suaranya yang mantap dan tegas, memberikan kesan sangat berlawanan dengan kemanjaannya itu.
"Terserah atas penilaianmu. Tetapi jika ada kemungkinan lain, ambillah kemungkinan lain itu."
"Aku akan menilai keadaan."
Orang yang datang lebih dahulu itupun menyela, "Memang ada pesan, jika mungkin dapat dicari jalan lain kecuali menyingkirkannya."
"Segala sesuatunya tergantung kepada sikap Ki Demang sendiri," sahut perempuan itu.
Sejenak kemudian, maka perempuan yang manja itu bersama laki-laki yang diakunya sebagai suaminya itupun melangkah memasuki regol halaman. Sementara itu, orang yang disebutnya kakek dan nenek itupun segera meninggalkan regol itu pula.
Agaknya mereka akan kembali ke penginapan atau mereka akan mengawasi semua peristiwa yang terjadi dari kejauhan.
Beberapa saat kemudian, laki-laki dan perempuan yang mengaku suami isteri itu beserta seorang laki-laki telah naik ke pendapa. Merekapun segera mengetuk pintu pringgitan.
"Siapa?" terdengar pertanyaan dari ruang dalam.
"Aku Ki Demang. Aku yang sudah berjanji untuk datang malam ini."
Hening sejenak. Baru sejenak kemudian, maka pintu pringgitan itupun terbuka.
"Marilah, silahkan duduk," seorang yang bertubuh tinggi sedikit gemuk, mempersilahkan.
"Terima kasih," jawab laki-laki yang disebut suami oleh perempuan manja itu.
Ketiga orang itupun kemudian duduk di pringgitan. Sementara Ki Demangpun masuk kembali ke ruang dalam. Baru beberapa saat kemudian Ki Demangpun keluar lagi bersama Ki Jagabaya dan Ki Bekel padukuhan induk Sima.
Demikian mereka duduk, maka Ki Demangpun segera memperkenalkan Ki Jagabaya dan Ki Bekel kepada tamu-tamunya.
"Terima kasih atas penerimaan Ki Demang," berkata perempuan manja itu. Namun kesan kemanjaan itu telah lenyap sama sekali.
"Ki Demang," berkata perempuan itu pula, "kami tidak mempunyai banyak waktu. Karena itu, kami ingin segera menyelesaikan pembicaraan kita sampai tuntas."
-ooo0dw0ooo- Jilid 374 KI DEMANG menarik nafas panjang. Sementara itu perempuan itupun berkata selanjutnya dengan suara yang menjadi semakin garang, "Kami ingin mendengar keputusan Ki Demang dan para bebahu di Sima."
"Nyi Kembang Waja," suara Ki Demang menjadi sendat, "kami tidak ingin terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh perguruan Kedung Jati. Kami tidak ingin Sima menjadi landasan langkah perguruan Kedung Jati dalam perjalanannya ke Barat. Atau mungkin langkah perguruan Kedung Jati ke Pajang baru kemudian menuju ke Barat."
"Jadi Ki Demang benar-benar telah menolak?"
"Kami dan para bebahu memang menolak. Nyi."
"Jadi Ki Demang berani melawan kami " Ki Demang harus tahu, bahwa kami tidak akan pernah memaafkan orang yang menolak kemauan kami. Kami tidak akan pernah membatalkan rencana yang sudah kami susun."
"Tidak, Nyi Kembang Waja. Kami menyadari bahwa kami tidak akan mampu melawan Nyi Kembang Waja serta orang-orang dari perguruan Kedung Jati yang sekarang sudah berada di Sima."
"Jadi bagaimana keputusanmu."
"Kami, para bebahu yang sekarang memimpin kademangan di Sima tidak dapat menerima kemauan Nyi Kembang Waja. Tetapi jika Nyi Kembang Waja berniat untuk terus melaksanakan niat Nyi Kembang Waja, maka kami, para bebahu akan segera meletakkan jabatan. Silakan Nyi Kembang Waja menentukan langkah selanjutnya. Mungkin ada orang-orang Sima yang bersedia menggantikan kedudukan kami sebagai bebahu di Sima."
"Jadi semua bebahu di kademangan Sima sudah menolak?"
"Nyi Kembang Waja dapat menanyakan kepada mereka masing-masing. Tetapi kami yang berada disini sekarang, menyatakan menolak menyetujui kemauan Nyi Kembang Waja. Tetapi karena ketidakmampuan kami mempertahankan keyakinan kami, serta mengingat keselamatan rakyat kademangan Sima, maka biarlah kami yang menyingkir. Silakan Nyi Kembang Waja berhubungan dengan orang-orang yang bersedia bekerja sama dengan Nyi Kembang Waja."
"Bagus. Ternyata kalian bijaksana. Jadi jelasnya kalian bertiga meletakkan jabatan kalian."
"Ya." "Baik. Aku kira hanya kalian bertiga yang menolak kemauan kami. Jika para bebahu yang lain sependapat dengan kalian, mereka pasti berada di sini sekarang. Karena itu sebaiknya kami menghubungi para bebahu yang lain untuk memastikan apakah mereka sependapat dengan Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel atau tidak. Sehingga kami akan dapat mengambil langkah-langkah selanjutnya untuk melangkah ke depan."
"Silahkan, Nyi. Untuk selanjutnya kami akan menepi. Kami tidak akan berbuat apa-apa. Meskipun kami tidak dapat menerima niat Nyi Kembang Waja, tetapi kami tidak akan mengganggu apapun yang akan kau lakukan di kademangan Sima."
"Baik, Ki Demang. Tetapi kami harus mendapat kepastian, bahwa kalian benar-benar tidak akan mengganggu. Tidak akan menghasut rakyat Sima dan tidak akan melaporkan rencana persiapan kami di Sima ini kepada orang-orang Pajang atau orang-orang Mataram."
"Tentu tidak, Nyi. Buat apa kami mempersulit diri melaporkan kepada orang lain tentang perkembangan di kademangan ini. Bahkan mungkin Pajang dan Mataram justru akan menganggap aku bersalah, bahwa aku tidak dapat berbut apa-apa di kademanganku sendiri. Karena itu, maka aku lebih baik akan turun saja ke sawah. Selain sawah pelungguh yang tentu akan segera dicabut dan diberikan kepada Demang yang baru, aku masih mempunyai beberapa petak sawah. Demikian pula Ki Jagabaya dan Ki Bekel."
"Aku tahu, bahwa pada dasarnya kalian terutama Ki Demang adalah orang yang terhitung kaya di Sima. Karena itu. tanpa jabatan apapun Ki Demang akan tetap dapat hidup berkecukupan."
"Itu adalah kurnia Yang Maha Agung Nyi."
"Baik, Ki Demang. Aku sudah mengambil keputusan untuk membebaskan Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel dari tugas-tugas kalian. Akupun sudah menemukan cara untuk mendapatkan satu kepastian bahwa kalian bertiga tidak akan merugikan kami. Tidak akan menghasut rakyat terutama para bebahu di Sima, tidak akan menghambat usaha-usaha kami dan yang penting tidak akan meninggalkan Sima untuk melapor ke Pajang dan Mataram."
"Kami berjanji, Nyi."
"Itu belum cukup."
"Maksud Nyi Kembang Waja?"
"Kalian harus hilang dari peredaran."
Ketiga orang itu terkejut, sehingga Ki Bekelpun beringsut setapak surut."
"Kenapa Nyi Kembang Waja mengambil keputusan seperti itu."
"Itu adalah cara yang terbaik untuk mengamankan segala rencana kami, Ki Bekel."
Namun laki-laki yang disebutnya sebagai suaminya itupun berkata, "Apakah perlu sejauh itu. Nyi. Bukankah tidak terlalu sulit bagi kita untuk menyimpan ketiga orang itu tanpa harus membunuhnya."
"Tetapi kemungkinan terburuk dapat saja terjadi jika ketiganya atau salah seorang dari mereka berhasil melarikan diri."
Suasana menjadi sangat tegang. Keringat mulai mengalir di punggung Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel.
"Jika kita masukkan mereka ke dalam bilik dengan kerangka kayu yang kokoh, mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Dengan atap raguman serta lubang-lubang angin yang berjeriji, tidak akan mungkin memberi kesempatan mereka atau salah seorang dari mereka melarikan diri."
"Kau selalu mempersulit diri sendiri. Bukankah dengan demikian kita harus meletakkan setiap hari sedikitnya dua orang untuk menjaganya. Selanjutnya, sampai kapan kita akan menyimpan mereka" Jika kita membunuh mereka, maka persoalannya akan segera selesai. Kita tidak harus memberi mereka makan serta tidak harus mengadakan petugas khusus untuk menjaga mereka."
Orang yang menemui mereka di regol halaman rumah Ki Demang itupun berkata, "Tugas kita akan sangat banyak di masa mendatang, kakang. Karena itu aku sependapat bahwa pekerjaan yang dapat kita lakukan hari ini, jangan ditunda sampai besok."
"Tetapi ini menyangkut nyawa orang."
"Justru karena itu, maka kita harus mengambil sikap yang lebih tegas."
Laki-laki yang diakui sebagai suami itu terdiam. Sementara itu perempuan itupun menjadi semakin garang. Katanya, "Kami tidak mempunyai pilihan lain, Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki bekel. Kami akan membunuh kalian bertiga. Agar tidak menimbulkan kegemparan di kademangan ini, maka kami akan membawa kalian ke pinggir lereng lembah yang curam itu. Setelah kalian kami bunuh dengan cara yang terbaik, maka tubuh kalian akan kami lemparkan ke jurang yang dalam itu."
"Jangan lakukan itu. Nyi," berkata Ki Demang.
"Sudah aku katakan, tidak ada pilihan lain. Jangan mencoba untuk melawan. Jika kalian mencoba untuk melawan, maka kematian kalian akan menjadi semakin sulit. Kalian akan menjadi semakin menderita di saat-saat terakhir hidup kalian. Karena itu, jangan mencoba berbuat sesuatu yang mengganggu perasaanku. Apalagi membuat kami marah."
Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki bekel saling berpandangan sejenak. Namun dengan sikap yang masih saja tidak berubah Ki Demang itupun berkata, "Nyi. Aku sudah mencoba untuk bekerjasama dengan kalian. Aku sudah mencoba tidak menghalangi jalan yang akan kau lalui. Tetapi kenapa kau masih saja berniat membunuhku serta kedua bebahu yang juga sudah menyatakan kesediaan mereka untuk minggir."
"Aku sudah cukup memberi penjelasannya, Ki Demang," perempuan itu mulai membentak, "jangan bertanya lagi. Bersiaplah. Kita akan pergi ke luar dari kademangan Sima. Kalian tidak akan pernah kembali lagi."
Namun Ki Demang itupun kemudian menjawab dengan tegas pula, "Tidak Nyi. Kami tidak akan pergi ke mana-mana."
"He?" wajah perempuan itu menjadi tegang, "kau akan melawan kami?"
"Sebenarnya kami tidak berani melawan kalian seperti yang sudah aku katakan. Tetapi kamipun tidak akan dengan suka-rela menyerahkan leher kami. Jika kami harus mati, biarlah kami mati dengan tangan terentang serta senjata di tangan. Laki-laki Sima tidak akan mati dengan menyilangkan tangannya di dadanya."
"Edan," geram perempuan itu, "kita akan membunuhnya."
Perempuan itupun segera bangkit berdiri. Demikian pula kedua orang laki-laki yang menyertainya. Namun Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekelpun telah meloncat bangkit pula.
"Kalian akan menyesal pada saat-saat terakhir menjelang kematian kalian. Tetapi segala sesuatunya sudah terlambat. Kalian akan mati dengan cara yang kurang baik."
Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekelpun tidak menyahut lagi. Tetapi mereka pun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Meskipun mereka menyadari bahwa mereka tidak akan dapat mengimbangi kemampuan lawan mereka, tetapi mereka akan mati sebagai seorang laki-laki kademangan Sima.
"Orang-orang yang tidak tahu diri," geram perempuan itu.
Ki Demang tidak menjawab lagi.
Namun agaknya perempuan itu tidak ingin bertempur di pendapa dengan tiang-tiangnya yang tegak dengan kokohnya. Rasa-rasanya tiang-tiang itu akan mengganggunya. Karena itu, maka iapun berkata. "Kalau kalian benar-benar mengaku laki-laki sejati dari kademangan Sima, turunlah ke halaman. Kita akan bertempur di tempat yang lebih luas."
"Bagus. Aku setuju. Aku tidak ingin mendapatkan rumahku serta ukiran pada tiang-tiang pendapa ini menjadi cacat karena senjatamu."
Tetapi perempuan itu tertawa. Katanya, "Aku tidak memerlukan senjata untuk membunuh kalian. Jari-jariku akan dapat mengoyak perutmu, bahkan memungut jantung dari dadamu."
Terasa tengkuk bebahu kademangan Sima itu meremang. Mereka memang percaya bahwa perempuan itu akan dapat melakukannya. Tetapi kematian yang demikian adalah lebih baik daripada mereka harus berjongkok sambil menundukkan kepalanya sebelum sisi telapak tangan orang-orang asing itu mematahkan leher mereka."
Demikianlah enam orang yang semula duduk di pendapa itupun segera turun ke halaman.
Tiga orang bebahu kademangan Sima itupun kemudian telah berhadapan dengan tiga orang yang ingin memaksakan kehendak mereka kepada para bebahu itu. Dan bahkan mereka telah siap untuk membunuh ketiganya.
"Jangan menyesal. Kalian akan mati dengan cara yang sangat buruk," berkata perempuan itu.
Ketiga orang bebahu itupun sama sekali tidak menjawab. Namun merekapun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, maka perempuan yang garang itu telah mulai menyerang Ki Demang. Sambil meloncat tubuhnya berputar. Kakinya terayun mendatar. Demikian cepatnya, sehingga Ki Demang itu tidak sempat menghindar.
Dengan kedua tangannya Ki Demang itu mencoba untuk menangkis serangan itu, tetapi ternyata tenaganya tidak cukup kuat untuk menahan ayunan kaki perempuan itu. sehingga kaki itu tetap saja mengenai dadanya.
Ki Demang itupun segera terpelanting dan jatuh berguling di tanah. Namun Ki Demang mencoba untuk dengan sigapnya bangkit berdiri.
Tetapi demikian ia berdiri, maka tangan perempuan itu sudah terjulur menyambar keningnya.
Sekali lagi Ki Demang itu terhuyung-huyung. Ia tidak berhasil mempertahankan keseimbangannya, sehingga akhirnya Ki Demang itupun jatuh terjerembab.
Meskipun demikian, Ki Demang itupun masih berusaha untuk bangkit. Ketika ia melihat perempuan yang garang itu melangkah mendekat, maka Ki Demang itupun mencoba untuk menyerangnya. Dengan cepat Ki Demang itu meloncat sambil menjulurkan kakinya menyamping ke arah dada.
Namun dengan tangkasnya perempuan itu berhasil menangkap pergelangan kaki Ki Demang. Dengan cepat pula iki itu dipilinnya, sehingga Ki Demang itu mengaduh kesakitan. Kemudian dengan kekuatan yang sangat besar, Ki Demang itupun diputarnya terayun diudara. Ketika kaki itu dilepaskan, maka Ki Demangpun terpelanting dengan kerasnya menghantam dinding halaman rumahnya.
Ki Demang itupun jatuh terkulai. Ketika mencoba bangkit, maka Ki Demang itu harus menyeringai kesakitan.
Tetapi Ki Demang tidak mau menyerah. Ia sudah bertekad akan bertempur sampai mati.
Demikian pula kedua orang bebahu yang lain. Ki Jagabaya dan Ki Bekelpun seakan-akan tidak mampu memberikan perlawanan sama sekali. Setiap kali merekapun terpelanting jatuh. Ketika Ki bekel itu berusaha bangun, maka selagi ia masih merangkak, maka kaki lawannya telah menghantam perutnya, sehingga Ki Bekel itupun terguling-guling kesakitan.
Lawannya, orang yang diaku sebagai suami oleh perempuan yang garang itu, tidak memberikan kesempatan. Dengan tangkasnya iapun meloncat. Sambil menjatuhkan diri, maka tumitnya telah menghentak dada Ki Bekel, sehingga Ki Bekel itu mengaduh tertahan.
Sementara itu, Ki Jagabayapun telah kehilangan keseimbangannya pula, ketika lawannya, laki-laki yang menunggu di dekat regol halaman Ki Demang itu, menghantam keningnya. Bahkan kemudian kakinya terjulur menghantam lambung.
"Kalian akan menyesali kesombongan kalian," berkata perempuan itu kepada Ki Demang. "Kalian akan mati dengan cara yang sangat menyakitkan."
Namun mereka yang sedang bertempur di halaman itu terkejut. Tiba-tiba saja dua sosok tubuh bagaikan terbang, meloncat sambil sekali melingkar diudara, kemudian kedua kakinya mendarat dengan lunak di halaman rumah Ki Demang itu.
Ketiga orang yang sudah siap membunuh ketiga orang bebahu itupun tertegun sejenak. Perempuan yang garang itupun dengan garangnya bertanya, "Siapakah kalian yang telah mengganggu permainan kami?"
"Apakah kau tidak mengenal aku" " Rara Wulanlah yang menjawab.
"Kalian, dua orang yang ada di penginapan itu?"
"Ya, anak manja. Kami adalah dua orang yang menginap di penginapan itu."
"Kenapa kalian tiba-tiba saja ada disini?"
"Aku mencemaskan nasibmu anak manja. Mungkin kau akan mengalami kesulitan karena kau tidak segera kembali ke bilikmu di penginapan itu."
"Persetan kalian berdua. Apa pedulimu dengan urusanku."
Rara Wulan tertawa. Katanya, "Kenapa kau berkelahi disini anak manis. Setelah kau ketemukan suamimu, kenapa justru kau menjadi semakin garang."
"Cukup. Bukan waktunya untuk berolok-olok. Katakan siapakah kalian dan apa kepentinganmu disini."
"Aku tidak dapat membiarkan kau berbuat sewenang-wenang terhadap orang-orang yang tidak berdaya. Kalian bertiga memang memiliki kemampuan yang tidak seimbang dengan ketiga orang itu. Seharusnya kalian tidak berbuat sekehendak kalian sendiri, apalagi membunuh mereka dengan cara yang paling buruk."
"Apa pedulimu?"
"Kami tidak rela membiarkan kalian berbuat seperti itu."
"Lalu kau mau apa?"
"Kami akan bergabung bersama Ki Demang dan kedua bebahu itu. Mudah-mudahan keseimbangan pertarungan akan berubah."
Telinga perempuan itu bagaikan disentuh api. Dengan geramnya ia berkata, "Kau kira aku ini siapa sehingga kau berani mencampuri urusanku" Sebaiknya kau kembali ke penginapan. Tidur dengan selimut tebal."
"Kami sudah sampai disini, Nyi. Tentu kami tidak ingin kedatangan kami kemari sia-sia, sementara kalian berbuat sesuka hati serta sewenang-wenang. Kalian memperlakukan orang yang sudah tidak berdaya tanpa belas kasihan sama sekali. Bahkan kalian sudah mengancam dan bahkan benar-benar berniat membunuh mereka."
"Itu karena salah mereka sendiri. Jika mereka mau mendengarkan kata-kataku, maka mereka akan mati dengan cara yang baik tanpa harus menderita terlalu lama."
"Bukankah itu pikiran orang-orang gila" Siapapun tidak akan dengan suka rela memberikan lehernya."
"Cukup Sekarang kalian mau pergi atau harus ikut mati bersama ketiga orang bebahu itu."
Sebelum Glagah Putih dan Rara Wulan menjawab, maka Ki Demang yang sudah kesakitan itupun berkata. "Terima kasih atas kesediaan Ki Sanak berpihak kepada kami. Tetapi kami tidak berniat untuk menyeret orang lain dalam kesulitan ini. Karena itu. kalian berdua yang nampaknya masih sangat muda itu, silahkan meninggalkan halaman rumahku. Biarlah kami yang memang seharusnya mengalami hal ini, mengalaminya. Tetapi masa depan Ki Sanak berdua masih panjang."
"Ki Demang. Jika demikian, adalah sia-sia aku menuntut ilmu yang juga ilmu kanuragan, jika aku tidak mengamalkannya. Guruku berpesan kepadaku, agar ilmuku dapat berarti juga bagi orang lain yang memerlukan bantuan. Tentu saja sejauh dapat aku lakukan."
"Angger berdua. Lupakanlah kami. Anggaplah bahwa kami memang tidak pernah ada. Dari ketiadaan kami akan kembali ke ketiadaan menurut pengenalan kewadagan. Menghadaplah ke hari-hari depan kalian berdua. Semoga kalian memasuki hari-hari depan yang cerah."
"Maaf Ki Demang. Aku sudah melihat apa yang sudah terjadi di sini. Karena itu, kami tidak akan dapat pergi begitu saja, karena kami akan merasa sangat bersalah karena kami tidak melakukan perintah guru kami."
"Bagus. Ternyata kalian adalah murid-murid sebuah perguruan yang patuh sekali kepada guru kalian, sehingga kalian akan menjunjung segala perintahnya dengan bertaruh nyawa. Jika itu sudah menjadi ketetapan hati kalian, maka bersiaplah untuk mati," sahut perempuan itu.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera bergeser mengambil jarak.
Rara Wulanpun telah menempatkan diri berhadapan dengan perempun yang garang itu, sementara Glagah Putih telah siap menghadapi laki-laki yang disebutnya sebagai suaminya itu.
Dengan nada datar Glagah Putihpun berkata, "Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel. Pergunakan sisa-sisa tenaga kalian. Hadapi yang seorang lagi itu. Ia adalah orang yang paling lemah diantara ketiga orang yang mengancam akan membunuh kalian. Kerahkan segenap kemampuan kalian bertiga untuk bertahan agar kalian tetap hidup. Biarlah kami mencoba untuk menahan kedua orang ini."
Perempuan yang garang itu benar-benar tersinggung oleh sikap Glagah Putih dan Rara Wulan. Dengan suara yang bergetar oleh kemarahan yang membuat darahnya mendidih perempuan itupun berkata geram, "Kalian benar-benar tidak tahu diri. Jangankan kalian berdua seisi padukuhan inipun tidak akan dapat mengalahkan kami bertiga."
"Jika itu terjadi, maka akan jatuh korban yang sangat banyak. Karena itu, biarlah kami berdua sajalah yang turun ke dalam pertarungan ini."
"Ternyata kalian berdualah yang akan mati lebih dahulu dengan penuh penyesalan."
Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab. Namun keduanyapun segera mempersiapkan diri.
Sejenak kemudian, perempuan yang marah itupun telah meloncat menyerang Rara Wulan. Tetapi Rara Wulan telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya, sehingga karena itu, maka dengan sigapnya. Rara Wulanpun meloncat menghindar. Meskipun perempuan itu memburunya dengan serangan-serangan berikutnya, tetapi Rara Wulan mampu bergerak lebih cepat, sehingga serangan-serangan perempuan itu tidak menyentuhnya. Bahkan ketika perempuan itu dengan garangnya memburu dan siap untuk meloncat sambil memutar tubuhnya, maka justru Rara Wulan telah mendahuluinya menyerang.
Perempuan itu terkejut. Namun gerakan Rara Wulan itu merupakan peringatan, bahwa perempuan itu bukan seorang yang lemah seperti Ki Demang, dan paru bebahu yang lain.
Dengan demikian, maka pertempuran yang terjadi kemudian semakin lama menjadi semakin sengit. Bergantian keduanya saling menyerang.
Mereka berusaha untuk menyusup di sela-sela pertahanan lawan.
Namun masing-masing telah membangun pertahanan yang sangat rapat.
Sehingga dengan demikian, maka yang sering terjadi adalah benturan-benturan kekuatan diantara kedua orang perempuan itu.
Sementara itu, Glagah Putihpun telah mulai bertempur pula melawan laki-laki yang diaku sebagai suami perempuan yang garang itu. Keduainya berloncatan dengan cepatnya. Tangan dan kaki mereka terayun-ayun dengan derasnya. Namun masing-masing berusaha untuk menghindar atau menangkis setiap serangan.
Ternyata laki-laki itupun seorang yang berilmu tinggi pula. Tangannya dengan jari-jari mengembang bergerak dengan kecepatan yang tinggi, menyambar-nyambar ke arah wajah Glagah Putih. Namun dengan tangkas dan dengan cepat pula Glagah Putih selalu berhasil menghindarinya.
Namun ketika Glagah Putih sedikit terlambat menghindari serangan itu, maka jari-jari orang itu lelah menggores lengan Glagah Putih.
Tiga goresan telah melukai lengan Glagah Putih, tidak hanya bajunya yang terkoyak. Tetapi kulitnya juga terluka. Bahkan darahpun mulai menitik dari lukanya itu.
Glagah Putih meloncat surut. Ia sadar sepenuhnya, dengan siapa ia berhadapan.
Glagah Putihpun mengerti, bahwa diujung jari-jari lawannya itu telah dipasang kuku-kuku baja yang sangat berbahaya. Kuku-kuku baja itu akan dapat mengoyak kulit dagingnya.
Dengan demikian, maka Glagah Putihpun menjadi semakin berhati-hati. Iapun segera meningkatkan ilmunya semakin tinggi, sehingga pertahanannyapun menjadi semakin tinggi.
Dalam pada itu, Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel telah menyatukan dirinya untuk menghadapi lawan yang seorang lagi. Meskipun mereka masing-masing bukan merupakan lawan yang akan mampu mengimbangi laki-laki itu. tetapi bertiga merekapun berpengharapan. Setidak-tidaknya mereka tidak akan segera dan dengan serta merta mati terbunuh. Bertiga mereka akan dapat memperpanjang umur mereka serta memberikan perlawanan yang lebih sengit.
Ditengah-tengah halaman, Rara Wulanpun bertempur semakin sengit. Lawannya itu menyerang dengan garangnya. Agaknya perempuan itu seperguruan dari laki-laki yang diakunya sebagai suaminya. Serangan-serangannyapun sangat berbahaya. Bukan saja jari-jarinya yang mengembang, tetapi kedua lengannyapun terbuka, seperti sayap-sayap seekor elang yang akan menyambar mangsanya.
Rara Wulanpun sempat memperhatikan jari-jari perempuan itu. Ketika ia melihat pantulan cahaya lampu minyak yang menyala di pendapa, maka Rara Wulanpun mengerti, bahwa diujung kuku-kukunya terdapat baja yang tajam.
Namun Rara Wulan mampu bergerak dengan kecepatan yang semakin tinggi. Serangan-serangannya menjadi semakin berbahaya. Bahkan akhirnya serangan-serangan Rara Wulan itu datang bagaikan angin pusaran.
Perempuan yang garang itupun semakin meningkatkan ilmunya. Tangannya yang mengembang itupun terayun-ayun mengerikan. Sentuhan dari ujung-ujung jarinya yang berkuku baja itu semakin berbahaya.
Namun kecepatan gerak Rara Wulan semakin lama membuat lawannya semakin kebingungan. Rara Wulan yang memiliki kemampuan ilmu meringankan tubuhnya itu seakan-akan terbang berputaran disekitar lawannya. Kakinyapun rasa-rasanya tidak lagi berjejak diatas tanah.
Serangan-serangan Rara Wulanpun mulai menembus pertahanan lawannya pula. Rara Wulan yang telah mempelajari kekuatan dan kelemahan kuku-kuku baja itu, akhirnya mampu menembus pertahanan perempuan yang disebut Kembang Waja itu
Demikianlah, maka tangan Rara Wulan mulai menyentuh tubuh lawannya. Ketika tangannya yang terayun mendatar mengenai kening lawannya, maka perempuan itu terdorong beberapa langkah surut. Ternyata Rara Wulan bergerak dengan kecepatan yang tidak dapat diimbanginya. Meskipun perempuan itu berusaha menggapai pergelangan tangan Rara Wulan serta mencengkamnya dengan kuku-kuku bajanya, namun ia tidak menyentuhnya. Tangan itu bergerak demikian cepatnya.
Bahkan sebelum perempuan itu sempat memperbaiki keseimbangannya yang terguncang sehingga ia terdorong beberapa langkah surut, tubuh Rara Wulan telah meluncur menyusulnya. Kakinyapun terjulur lurus menghentak dada perempuan yang garang itu, sehingga perempuan itu benar-benar telah kehilangan keseimbangannya.
Perempuan itupun telah jatuh terguling di halaman. Meskipun perempuan itu masih dapat dengan tangkasnya bangkit berdiri, tetapi rasa dadanya menjadi sesak.
Rara Wulan tidak tergesa-gesa memburunya. Selangkah-selangkah ia bergeser mendekatinya.
"Iblis betina," geram perempuan itu, "kau akan menyesali kelancanganmu."
"Mungkin aku memang harus menyesal karena aku tidak menangkapmu ketika kau berpura-pura gila di penginapan."
Perempuan itu menggeram. Ia tidak pernah berniat pura-pura gila. Ia memang berpura-pura, tetapi ia ingin kesan yang ditimbulkan adalah kesan kemanjaan. Tetapi perempuan itu menyebutnya sebagai orang gila.
"Perempuan sombong. Kaulah yang pertama-tama akan mati di halaman rumah ini."
Rara Wulan menarik nafas panjang. Perempuan itu masih saja tidak menyadari keadaannya. Ia masih saja mengancam akan membunuhnya.
"Mungkin perempuan itu masih mempunyai kekuatan aji pamungkas," berkata Rara Wulan didalam hatinya.
Namun dalam pada itu, maka ketajaman panggraita Rara Wulanpun menyadari, bahwa ada orang lain di halaman rumah Ki Demang itu selain mereka yang bertempur. Namun Rara Wulanpun segera menebak, bahwa yang datang tentu orang-orang yang mengaku kakek dan nenek perempuan yang berpura-pura itu.
Sebenarnyalah, dari regol halaman rumah Ki Demang itu muncul dua orang laki-laki dan perempuan. Dengan lantang perempuan itupun berkata, "Jangan lepaskan perempuan itu. Perempuan itu adalah perempuan yang sangat berbahaya. Kita akan membunuhnya di halaman rumah ini karena orang itu jauh lebih berbahaya dari Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel Sima. Sebenarnya aku setuju jika Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel itu tidak dibunuh. Tetapi kedatangan kedua orang itu, telah mengacaukan segala-galanya, sehingga akhirnya aku mengambil kesimpulan bahwa Demang, Jagabaya dan Bekel Sima itu memang harus mati."
"Nenek," desis perempuan yang berpura-pura itu.
Sementara itu, yang disebut kakek itupun segera menghampiri Glagah Putih untuk bergabung dengan laki-laki yang disebut suami perempuan yang berpura-pura itu.
"Siapa, sebenarnya kau ini ngger," bertanya laki-laki itu kepada Glagah Putih.
"Apa artinya nama seorang pengembara bagi paman ?"
"Aku mengerti. Jika kau mengucapkan sebuah nama, maka nama itu tentu bukan namamu. Tetapi bukankah perempuan itu benar-benar isterimu ?"
"Ya, paman Perempuan itu benar-benar isteriku."
"Luar biasa. Kalian suami isteri adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Menilik unsur-unsur gerak kalian, maka agaknya kalian selain suami isteri, juga saudara seperguruan."
"Ya, paman. Kami memang saudara seperguruan."
"Bagus, ngger. Sekarang aku ingin memperingatkan kau sekali lagi, sebaiknya kau tinggalkan tempat ini."
Tetapi perempuan tua itupun berkata, "Tetapi aku tidak akan melepaskan perempuan ini. Perempuan ini sangat berbahaya bagi tugas-tugas kita selanjutnya di Sima ini. Sudah aku katakan, perempuan ini dan tentu juga laki-laki itu, jauh lebih berbahaya dari Demang, Jagabaya dan Bekel Sima ini."
Kakek itupun mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Jika demikian, aku tidak akan memberinya kesempatan lagi, "lalu katanya kepada Glagah Putih, "ternyata nasibmu buruk, ngger. Sebenarnya aku ingin memberimu kesempatan untuk pergi. Tetapi nenek itu berpendirian lain, sehingga agaknya kau harus mati disini."
"Jangan bersedih, kek. Kita baru akan mulai. Kita belum tahu akhir dari pertarungan ini. Siapakah yang akan mati. Tetapi siapapun yang mati, jangan berduka. Kematian adalah batas akhir yang tidak akan pernah dapat dilampaui oleh siapapun juga. Juga oleh nenek yang garang itu."
"Persetan. Jangan beri kesempatan lagi. Bunuh laki-laki itu." Kakek itupun kemudian segera menempatkan diri disisi laki-laki yang diaku sebagai suami perempuan yang garang itu.
Dengan demikian, maka Glagah Putihpun harus menjadi lebih berhati-hati. Ia akan menghadapi dua orang yang berilmu tinggi.
Sementara itu nenek ubanan itupun bersama-sama dengan perempuan yang diaku sebagai cucunya, telah mulai bergeser pula. Agaknya mereka akan bertempur melawan Rara Wulan dari arah yang sama. Keduanya akan bertempur berpasangan serta saling mengisi.
Rara Wulanpun segera mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Sesaat kemudian, maka kedua orang perempuan itupun telah meloncat menyerangnya. Keduanya bergerak dengan tangkas. Ayunan tangannya menimbulkan terpaan angin di tubuh Rara Wulan.
Namun Rara Wulanpun meningkatkan ilmunya pula. Tubuhnyapun serasa menjadi semakin ringan, sehingga ia mampu bergerak semakin cepat.
Kedua orang perempuan itu kadang-kadang berloncatan menyerang berbareng. Namun kadang-kadang mereka menyerang bergantian dari arah yang berbeda pula.
Menghadapi dua orang lawan, Rara Wulan semakin meningkatkan ilmunya. Dengan tangkasnya ia menghindari setiap serangan. Namun kadang-kadang lawan-lawannyalah yang justru terkejut karena serangan Rara Wulan yang tiba-tiba.
Laku yang telah dijalaninya, ternyata telah menjadikannya seorang yang memiliki ketangguhan yang tinggi, cepat menentukan sikap serta tangkas mengambil keputusan pada saat-saat yang gawat.
Meskipun Rara Wulan harus bertempur melawan dua orang yang berilmu tinggi, tetapi serangan Rara Wulan sekali-sekali mampu menembus pertahanan mereka. Nenek tua itu harus terdorong beberapa langkah surut ketika kaki Rara Wulan menyambar dadanya.
Sementara itu, ketika lawannya yang seorang lagi meloncat menyerangnya, Rara Wulan justru menyongsongnya. Sambil merendahkan diri, kakinya terjulur mengenai lambung.
Perempuan yang berpura-pura itulah yang justru terlempar beberapa langkah. Tubuhnya jatuh terbanting di tanah. Tetapi perempuan itu memang tangkas. Sekali menggeliat, perempuan itupun segera melenting bangkit berdiri.
Tetapi perempuan itu menjadi sangat terkejut. Pada saat yang sama, selagi kedua kakinya tegak diatas tanah, Rara Wulan telah meloncat menyerang. Sekali tubuhnya berputar, sedangkan kakinya menebas mendatar.
Dengan derasnya kaki Rara Wulan itu telah menyambar wajah lawannya, sehingga sekali lagi perempuan yang berpura-pura itu terlempar kesamping. Tubuhnya telah menerpa dinding halaman rumah Ki Demang dengan kerasnya, sehingga terdengar perempuan itu mengaduh tertahan.
Namun pada saat yang gawat itu, tangannya dengan jari-jarinya yang mengembang justru sempat menyentuh kaki Rara Wulan, sehingga goresan kuku-kuku bajanya telah melukai betis Rara Wulan.
Luka-luka itu terasa nyeri, sehingga karena itu, maka Rara Wulanpun mengurungkan niatnya memburu perempuan yang dengan tertatih-tatih berusaha berdiri. Apalagi lawannya yang seorang telah meloncat menyerangnya pula. Dengan garangnya perempuan tua itu meloncat sambil menjulurkan kakinya mengarah kedada Rara Wulan.
Rara Wulan sengaja tidak menghindar. Tetapi dengan dilambari dengan tenaga dalamnya, ia menyilangkan tangannya di dadanya.
Ketika benturan yang keras terjadi, maka Rara Wulanpun tergetar selangkah surut. Namun perempuan tua itu telah terdorong beberapa langkah. Bahkan ia tidak sempat menempatkan dirinya, sehingga ketika ia meletakkan kakinya, maka kakinya itu menjadi tidak mapan.
Selagi perempuan itu masih berusaha memperbaiki kedudukannya, Rara Wulan telah meluncur dengan derasnya. Kakinya terjulur lurus menghantam perut perempuan tua itu.
Perempuan itulah yang mengaduh kesakitan. Bahkan tubuhnya terdorong beberapa langkah surut sehingga perempuan itupun telah kehilangan keseimbangannya, sehingga perempuan itupun jatuh terlentang.
Meskipun perempuan itu masih mampu segera bangkit berdiri, namun ia harus mengakui kenyataan itu. Bersama-sama dengan perempuan yang diakunya sebagai cucunya itu, mereka mulai mengalami kesulitan.
Karena itu, maka perempuan itupun tidak merasa segan-segan lagi untuk mencabut sepasang pedang tipis yang tergantung di lambungnya sebelah menyebelah.
Rara Wulan yang meloncat memburunya, tiba-tiba terhenti. Bahkan iapun bergeser selangkah surut.
"Sepasang pedang tipis. Seperti senjata mbokayu Pandan Wangi," desis Rara Wulan. "Namun unsur-unsur gerak mbokayu Pandan Wangi tidak sekasar perempuan itu," berkata Rara Wulan didalam hatinya pula.
Dengan demikian, Rara Wulanpun yakin, bahwa ilmu perempuan itu tentu tidak sejalan dengan ilmu Pandan Wangi. Demikian pula sumbernya. Sepengetahuan Rara Wulan, ilmu Pandan Wangi beralaskan ilmu yang mengalir dari ayahnya, Ki Gede Menoreh. Namun ternyata Pandan Wangi mampu mengembangkannya sendiri. Bahkan karena ia sering berlatih dengan suaminya, Swandaru, agaknya telah memberikan banyak masukan kepada Pandan Wangi sehingga ilmunya berkembang melampaui ilmu ayahnya.
"Jangan menyesali nasibmu yang buruk ngger," berkata perempuan tua itu, "tidak ada pilihan lain. Jika sepasang pedangku ini sudah keluar jari rangkanya, maka sepasang pedangku ini harus dimandikan dengan darah."
"Bagaimana jika darah itu darahmu sendiri," berkata Rara Wulan.
"Cah edan," geram perempuan itu, "kakimu sudah dilukai oleh cucuku. Sekarang giliranku melukai jantungmu."
Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi Rara Wulan segera mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya, ia harus benar-benar berhati-hati. Ia harus melawan sepasang pedang, serta kuku-kuku baja yang tajam dari perempuan yang berpura-pura itu.
Untuk meyakinkan dirinya, bahwa ia tidak akan menjadi korban sepasang pedang itu, atau ujung-ujung kuku baja perempuan yang berpura-pura itu, maka Rara Wulan telah mengurai selendangnya yang dilingkarkan dilambungnya.
"Untuk apa kau urai selendangmu?" bertanya perempuan tua itu.
"Bibi tentu sudah mengerti. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, bibi tentu pernah menjumpainya sebelumnya dalam petulangan bibi."
"Jadi, kaupun bersenjata selendang."
"Siapakah orang lain yang pernah bibi kenal?"
"Seorang perempuan binal dari kaki Gunung Merbabu. Ia juga bersenjata selendang."
"Siapa namanya?"
"Aku tidak sempat mengingat namanya. Demikian aku membunuhnya, maka suaminya telah membawanya pergi."
"Bibi tidak membunuh suaminya?"
"Persetan kau. Aku tidak dapat membunuh suaminya, karena suaminya itu adalah adikku yang bungsu."
Rara Wulan temangu-mangu sejenak. Namun inpun kemudian bertanya lagi, "Jadi bibi tidak mengenal nama adik ipar bibi sendiri. Bahkan bibi telah membunuh adik ipar bibi itu?"
Perempuan itti menggeram. Namun kemudian inpun berkata, "Bersiaplah. Sudah waktunya kau mati."
Rara Wulanpun segera mempersiapkan dirinya. Sementara perempuan yang tubuhnya telah membentur dinding halaman itupun sudah sempat beristirahat sejenak.
Demikianlah, maka pertempuranpun segera berkobar kembali. Perempuan yang bersenjata pedang rangkap itupun segera berloncatan. Pedangnya berputaran dengan cepatnya. Bergantian sepasang pedang itu menebas, terayun mendatar namun kemudian mematuk seperti kepala seekor ular bandotan.
Tetapi selendang Rara Wulanpun berputaran pula disekitar tubuhnya, sehingga seakan-akan diseputar tubuhnya telah dikelilingi kabut yang tipis, namun tidak dapat ditembus oleh ujung pedangnya.


15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perempuan yang seorang lagi, yang pandai berpura-pura itupun telah meloncat menyerangnya pula. Jari-jarinya yang mengembang terayun-ayun mengerikan, menyambar-nyambar mengarah ke wajah Rara Wulan.
Sementara itu, Glagah Putihpun masih juga bertempur melawan kedua orang laki-laki yang disebut suami perempuan yang berpura-pura itu serta kakeknya. Keduanyapun bertempur dengan garangnya pula. Mereka menyerang bergantian dengan kecepatan yang tinggi. Tetapi Glagah Putih yang mampu meringankan tubuhnya itu kadang-kadang melayang bagaikan tidak menyentuh tanah.
Betapapun kedua orang lawan Glagah Putih itu mengerahkan kemampuan mereka, namun setiap kali serangan-serangan mereka selalu gagal. Jika tidak luput karena Glagah Putih menghindar dengan kecepatan yang lebih tinggi dari serangan yang datang, Glagah Putihpun justru menangkis dan bahkan dengan sengaja membentur serangan itu.
Jika benturan itu terjadi, maka lawan-lawannya yang selalu terguncang. Bahkan lawannya itu setiap kali terlempar beberapa langkah surut.
Seperti kedua orang perempuan yang bertempur melawan Rara Wulan, maka akhirnya kakek tua itupun harus mengakui kelebihan Glagah Putih. Ketika ia melihat perempuan tua itu menarik sepasang pedangnya, maka kakek tua itupun telah menarik senjatanya pula.
Glagah Putihpun meloncat surut. Ia melihat senjata kakek tua itu dengan jantung yang berdebaran.
Sambil tersenyum kakek tua itupun bertanya, "Ternyata kau menjadi ketakutan melihat senjataku ini."
"Tidak. Bukan ketakutan. Tetapi aku memang mengagumi senjatamu. Ternyata pedangmu adalah pedang yang sangat baik. Jarang aku melihat pedang seperti pedangmu itu paman. Pedang yang dibuat dengan pamor yang berkeredipan."
"Kau lihat tubuh ular di daun pedangku?"
"Lamat-lamat paman. Agak kurang terang. Lampu dipendapa itu sinarnya tidak mampu menggapai pamor pedangmu itu."
"Pedangku terbuat dari baja pilihan. Baja tumpang."
"O. Menurut kata orang, senjata yang terbuat dari baja Tumpang itu mempunyai perbawa yang mencengkam. Warnanya biru agak ungu. Kalau senjata itu di tarik dari wrangkanya, lawannya yang menyaksikannya akan tertegun dan kemudian kehilangan keberanian serta kemampuannya."
"Kau mengerti juga tentang watak wesi aji, ngger."
"Ya paman. Karena itu aku dapat mengatakan bahwa pedangmu tidak terbuat dari baja Tumpang, karena aku tidak kehilangan gairah perlawananku. Aku tetap tegar menghadapi senjata paman itu."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Senjataku memang terbuat dari baja Tumpang. Bukan baja pedangku yang palsu, tatapi kaulah yang bukan orang kebanyakan, sehingga kau tidak menjadi gentar melihat daun pedangku yang seperti menyala merah keunguan ini."
"Paman menyanjungku."
"Gila," geram laki-laki yang disebut suami perempuan yang berpura-pura manja itu, "kakek justru memujinya. Kepalanya akan menjadi bertambah besar."
"Ya. Jika kepalanya menjadi besar, maka ia akan merasakan terlalu berat mengusungnya, sehingga akhirnya ia akan kehabisan tenaga."
Glagah Putih justru tertawa. Katanya, "Paman sempat juga bergurau."
"Kek. Kita harus membunuhnya. Tidak menyanjungi."
"Ya. Kia akan membunuhnya."
Demikianlah, maka kedua orang lawan Glagah Putih itupun segera berloncatan menyerang. Namun Glagah Putihpun telah siap menghadapi kemungkinan itu. Karena itu, maka iapun telah meningkatkan ilmunya pula untuk menghadapi lawannya.
Ternyata ilmu pedang kakek tua itupun sangat tinggi. Dalam waktu pendek, Glagah Putih telah terdesak. Apalagi laki-laki yang diakui sebagai suami perempuan yang berpura-pura itupun telah memburunya kemana Glagah Putih bergerak.
Namun Glagah Putih mampu bergerak lebih cepat, sehingga karena itu, maka sulit bagi laki-laki itu untuk meraihnya dengan kuku-kukunya.
Tetapi Glagah Putih tidak ingin menjadi semakin terdesak karena ilmu pedang orangtua itu. Ilmu pedang yang semakin lama menjadi semakin rumit.
Karena itulah, maka Glagah Putih kemudian telah mengurai ikat pinggangnya.
Kedua orang lawannya itu pun tertegun sejenak melihat ikat pinggang Glagah Putih yang kelihatannya seperti ikat pinggang kulit biasa.
"Kau memang gila," geram laki-laki yang diakui sebagai suami perempuan yang berpura-pura itu, "kau mencoba melawan kami dengan ikat pinggangmu. Dengan sekali sentuh, maka ikat pinggangmu akan putus. Pedang kakek tajamnya melampaui tajam welat pring wulung berlipat tujuh. Segumpal kapuk randu yang ditiupkan ke tajam pedang kakek itupun akan terbelah."
"Ikat pinggangku tidak terbuat dari kapuk randu," sahut Glagah Putih, "karena itu, aku tidak akan mencemaskan ikat pinggangku, bahwa ikat pinggangku akan putus."
Demikian mulut Glagah Putih terkatup, maka kakek tua itupun meloncat sambil mengayunkan pedangnya yang tajamnya lebih dari tujuh kali lipat tajam welat pring wulung.
Glagah Putih sengaja tidak meloncat menghindar. Ia ingin mempengaruhi ketahanan jiwani lawan-lawannya yang terlalu yakin akan kelebihan pedangnya itu.
Karena itulah, maka Glagah Putih dengan sengaja telah menangkis ayunan pedang itu dengan ikat pinggangnya.
Terjadi benturan yang mengejutkan. Pedang kakek tua itu seakan-akan telah membentur pedang baja yang sama kokohnya dengan pedang pusakanya itu.
Bahkan tangan kakek tua itupun telah tergetar, sehingga telapak tangannya terasa pedih.
"Anak iblis," geram kakek tua itu, "kau ini sebangsa apa ngger. Genderuwo, tetekan atau iblis laknat."
"Kenapa kek?" bertanya Glagah Putih.
Namun ia tidak memburu ketika kakek itu meloncat surut. Yang memindahkan pedangnya di tangan kiri, sementara ia meniup telapak tangannya yang pedih beberapa kali.
Tetapi Glagah Putih tidak sempat menjawab. Laki-laki yang seorang lagi telah meloncat sambil mengayunkan tangannya yang jari-jarinya terbuka. Kuku-kuku bajanya berkilat memantulkan cahaya lampu minyak di pendapa.
Dengan tangkas pula Glagah Putihpun bergeser selangkah sambil memiringkan tubuhnya. Kuku-kuku baja lawannya itu sama sekali tidak menyentuhnya. Tetapi justru Glagah Putih dengan sengaja telah menggores lengan lawannya itu dengan sisi ikat pinggangnya.
Orang itu benar-benar terkejut. Goresan ikat pinggang Glagah Putih itu telah mengoyak baju dan kulitnya. Ternyata ikat pinggang itu dapat melukainya sebagaimana pedang kakeknya yang tajamnya tujuh kali tajam welat wulung. Sentuhan kecil itu telah menimbulkan luka yang terhitung dalam di lengannya, sehingga darahpun telah mengalir dari luka itu.
"Gila orang ini," geram orang itu sambil meloncat mundur.
Tetapi Glagah Putih sengaja tidak memburunya.
"Nah, apa kata kalian tentang ikat pinggangku ini?" bertanya Glagah Putih.
"Aku tidak mengerti apa yang telah terjadi sebenarnya," desis kakek tua itu.
"Aku tidak tahu, bahan apa yang telah dibuat menjadi ikat pinggangku ini, kek. Barangkali kakek tahu?"
"Yang jelas ikat pinggangmu itu tidak terbuat dari baja tumpang, ngger."
"Mungkin jenis baja lainnya."
"Bukan sejenis baja. Ikat pinggang itu tentu pemberian jin, atau peri, atau prayangan."
Glagah Putih tertawa. Katanya, "Tidak. Ikat pinggang ini hadiah dari seseorang. Orang biasa, seperti kakek, nenek, perempuan yang berpura-pura manja itu atau laki-laki ini yang diakunya sebagai suaminya."
"Cukup," teriak laki-laki itu, "kami sudah terlalu lama bermain-main disini. Aku sudah jemu. Sudah waktunya untuk membunuhmu."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Menyerah sajalah. Aku tidak akan membunuh kalian. Kita dapat berbicara dengan baik-baik, apakah sebenarnya persoalannya sehingga kalian berselisih dengan Ki Demang."
Kedua orang itu tidak menjawab. Namun diluar sadarnya, Glagah Putih telah berpaling kepada Ki Demang dan kedua orang bebahu yang lain.
Glagah Putih terkejut ketika ia melihat ketiganya sudah tidak mampu berdiri tegak. Mereka menjadi bahan permainan laki-laki yang telah datang kemudian di regol halaman rumah Ki Demang di Sima.
"Kawanmu itulah orang yang paling jahanam. Ia memperlakukan Ki Demang dan kedua bebahu yang lain dengan cara yang sangat sewenang-wenang."
"Salah para bebahu itu sendiri," geram laki-laki yang diaku suami oleh perempuan yang berpura-pura itu.
Glagah Putih dengan serta-merta bertanya, "Apa salah mereka sebenarnya?"
"Mereka ingkar janji."
"Aku tidak percaya kepadamu," sahut Glagah Putih.
Laki-laki itu menjadi semakin marah. Iapun segera mempersiapkan diri, sementara kakek tua itupun telah meloncat sambil mengayunkan pedangnya.
Namun sekali lagi Glagah Putih menangkis serangan itu, sementara lawannya yang seorang lagi telah meloncat pula sambil mengayunkan tangannya dengan jari-jarinya yang terbuka.
Tetapi serangan mereka itupun sia-sia. Dengan tangkasnya Glagah Putih berloncatan menghindar, namun sekali-sekali Glagah Putih sengaja membenturkan ikat pinggangnya dengan senjata lawannya.
Kedua orang lawan Glagah Putih itupun menyerang seperti prahara. Namun Glagah Putihpun mampu bertahan seperti batu karang di lautan. Kokoh tanpa tergoyahkan sama sekali.
Meskipun demikian Glagah Putih tidak dapat membiarkan keadaan Ki Demang dan kedua orang bebahu yang lain. Karena itu ketika keadaan ketiga orang itu sudah menjadi sangat gawat, maka Glagah Putihpun telah berloncatan surut, kemudian meninggalkan kedua lawannya.
Serangan Glagah Putih yang tiba-tiba telah mengejutkan lawan Ki Demang itu. Namun ia tidak sempat mengelak ketika kaki Glagah Putih yang terjulur lurus pada saat Glagah Putih meluncur seperti lembing yang dilontarkan itu, mengenai dadanya.
Orang itupun telah terpelanting jatuh dengan kerasnya. Tulang punggungnya rasa-rasanya telah patah. Tertatih-tatih orang itu mencoba bangkit berdiri sambil menyeringai kesakitan.
Tetapi Glagah Putih kemudian tidak dapat memburunya. Kedua orang lawannya yang lainlah yang justru telah memburu Glagah Putih itu. Namun Glagah Putihpun telah siap pula menghadapinya.
Yang kemudian terjadi, justru Glagah Putih harus bertempur melawan tiga orang, sementara Ki Demang dan kedua orang bebahu yang lain, yang sudah hampir berputus asa, sempat menarik nafas panjang. Tetapi keadaan mereka sudah menjadi semakin buruk. Tulang-tulang mereka seakan-akan telah berpatahan. Sendi-sendinya bagaikan terlepas yang satu dengan yang lain.
Sementara itu, meskipun harus melawan tiga orang, namun Glagah Putih mampu bertempur dengan garangnya.
Dalam pada itu, lawannya yang seorang, yang semula bertempur melawan Ki Demang, demikian ia menghadapi Glagah Putih, langsung mencabut goloknya yang besar dan berwarna kehitam-hitaman.
"Aku akan menebas lehermu sampai putus," geramnya.
Tetapi justru Glagah Putih yang telah menyerangnya demikian mulutnya terkatub. Ujung ikat pinggangnyalah yang mematuk seperti kepala seekor ular bandotan mengenai dadanya.
Orang itu mengaduh perlahan. Namun dadanya telah menjadi sesak. Nafasnya terengah-engah sedang tulang iganya bagaikan retak.
Orang itu terdorong beberapa langkah surut. Sementara itu, Glagah Putih harus meloncat menghindari sambaran kuku-kuku baja yang tajam itu. Bahkan kemudian ayunan pedang kakek tua itu hampir saja menebas tangannya.
Pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin sengit. Namun laki-laki yang datang kemudian itu menjadi licik. Dalam keadaan yang sulit, maka ia pun meloncat menerkam Ki Demang yang berdiri termangu-mangu sambil memegang perutnya yang kesakitan.
Ki Demang sama sekali tidak dapat mengelak ketika tangan kiri orang itu menerkam bajunya, kemudian membantingnya di tanah. Pada saat yang hampir bersamaan, ketika Ki Demang mencoba menggeliat, maka golok orang itupun telah terangkat tinggi-tinggi.
Ki Demang dan kedua bebahu yang lain, yang melihatnya, sudah tidak berpengharapan. Mereka mengira bahwa Ki Demang memang sudah sampai pada saatnya untuk meninggalkan kademangannya.
Namun ketika golok yang besar itu terayun, maka Glagah Putih masih sempat meloncat dengan cepatnya berlandaskan kemampuannya meringankan tubuhnya. Dengan derasnya Glagah Putih memukul golok yang sudah terayun itu. Demikian derasnya, apalagi di luar dugaan orang yang menggenggam golok itu, maka benturan yang terjadi telah sangat mengejutkannya. Benturan itu terjadi demikian kerasnya, sehingga orang itu tidak mampu lagi mempertahankan goloknya itu. Golok itupun telah terlepas dan tangannya dan terlempar beberapa langkah.
Orang itu terkejut sekali. Namun ia tidak sempat berbuat apa-apa, ketika ikat pinggang Glagah Putih yang telah melemparkan golok itu terayun mengenai bahu orang itu.
Orang itu berteriak kesakitan. Namun juga meneriakkan kemarahan dan kebencian. Tetapi demikian ia bangkit berdiri dan menghadap Glagah Putih, maka sekali lagi ikat pinggang itu terayun mengenai lambungnya. Bahkan lukanya sangat berbeda dengan luka di bahunya. Lambung orang itupun telah terkoyak bagaikan tergores ujung pedang.
Sekali lagi orang itu berteriak. Namun kemudian iapun telah jatuh terguling.
Tetapi pada saat perhatian Glagah Putih tertuju kepada Ki Demang, maka laki-laki yang disebut suami perempuan yang berpura-pura itu telah menyerangnya.
Glagah Putih terlambat menghindari serangan itu. Ketika Glagah Putih meloncat kemudian menjatuhkan diri dan berguling beberapa kali untuk mengambil jarak, kuku-kuku orang itu telah menggores punggungnya
Glagah Putih berdesah perlahan. Ia merasakan goresan itu nyeri sekali.
Karena itulah, maka kemarahan Glagah Putihpun semakin tergugah. Dengan cepatnya Glagah Putih meloncat bangkit. Sehingga ketika orang itu menerkamnya, Glagah Putih telah siap menghindarinya. Bahkan karena kemarahannya yang telah membuat darahnya mendidih, maka Glagah Putih telah mengayunkan ikat pinggangnya dengan deras sekali dilambari dengan tenaga dalamnya yang besar.
Orang yang sudah terlanjur meloncat sambil mengembangkan tangannya itu terkejut. Glagah Putih sambil bergeser menyamping justru telah menyongsongnya dengan ikat pinggangnya.
Yang kemudian terdengar adalah umpatan kasar. Kemarahan, kebencian dan dendam berbaur di dalam benaknya.
Tangan orang itu yang menggapai ke arah wajah Glagah Putih sama sekali tidak menyentuhnya. Tetapi justru ikat pinggang Glagah Putihlah yang telah menghentak dada orang itu.
Orang itupun kemudian telah terpelanting jatuh.
Dadanya serasa ditindih oleh gumpalan batu padas yang runtuh dari atas bukit. Nafasnya menjadi sesak dan bahkan kemudian terhenti sama sekali.
Darah yang merah nampak disela-sela bibirnya.
"Ngger. Kau bunuh cucuku."
Glagah Putih surut selangkah. Namun kemudian iapun menyahut, "Aku tidak mempunyai pilihan lain, paman. Meskipun aku tidak berniat membunuhnya, tetapi itulah yang terjadi. Sekarang terserah kepada paman."
"Akulah yang akan membunuhmu."
"Sebaiknya paman berpikir dua kali lagi."
"Aku sudah berpikir duapuluh tujuh kali. ngger."
"Jika demikian, baiklah. Lakukan yang paman ingin lakukan. Tetapi niat paman belum tentu sesuai dengan keinginanku."
Laki-laki tua itu tidak menjawab. Tetapi pedangnya telah bergetar.
"Selain cucuku, kau juga telah membunuh kawanku," orang tua itu justru bergeramang.
Glagah Putihpun segera mempersiapkan dirinya baik-baik. Mungkin orang tua itu masih mempunyai ilmu simpanan yang baru akan dilepaskan dalam keadaan yang memaksa.
Tetapi orang itu masih akan menunjukkan kemampuan ilmu pedangnya. Karena itu. maka iapun segera meloncat sambil mengayunkan pedangnya dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Tetapi pedangnya itu telah membentur ikat pinggang Glagah Putih, bagaikan membentur sekeping baja pilihan.
Dalam pada itu. Rara Wulan masih bertempur melawan dua orang perempuan yang garang itu dengan sengitnya. Perempuan yang berpura-pura manja itupun bertempur bagaikan seekor harimau betina yang kehilangan anaknya. Kembang Waja itu berloncatan dengan tangan yang mengembang. Setiap kali kukunya menyentuh kulit Rara Wulan, maka selalu meninggalkan goresan-goresan yang memanjang.
Tetapi Rara Walau menjadi semakin garang pula. Selendangnya yang berputaran bagaikan menumbuhkan kabut diseputar tubuhnya. Bahkan sentuhan-sentuhan ujung selendang itu telah membuat kulit daging lawannya menjadi lebam kebiru-biruan.
Kembang Waja yang kehilangan laki-laki yang diakunya sebagai suaminya itu serta seorang yang menunggunya di regol rumah Ki Demang itu menjadi sangat marah. Sambil berteriak-teriak marah, perempuan itu berloncat menyerang sejadi-jadinya. Tangannya yang mengembang dengan jari-jari terbuka, membuatnya menjadi sangat mengerikan.
Sementara itu, neneknya berloncatan pula dengan pedang rangkapnya. Demikian cepatnya tangannya bergerak sehingga pedang yang sepasang itu seakan-akan telah menjadi beberapa pasang menebas, menusuk, terayun-ayun mendebarkan.
Namun demikian sulit bagi mereka berdua untuk mampu menembus kabut yang merebak diseputar tubuh Rara Wulan. Bahkan sekali-sekali selendang itu terjulur dengan cepatnya mematuk tubuh lawannya
Kembang Waja akhirnya tidak yakin bahwa kukunya akan dapat menyelesaikan lawannya meskipun ia bertempur berpasangan dengan neneknya yang bertempur bersenjata pedang rangkap Karena itu. maka Kembang Waja itupun akhirnya berniat untuk menyelesaikan lawannya dengan senjata-senjata lontarnya.
Dalam pada itu, selagi Rara Wulan meloncat menghindari tusukan sepasang pedang rangkap itu, maka tiba-tiba dua buah paser telah meluncur ke arah dadanya.
Rara Wulan memang terkejut. Dengan cepatnya ia meloncat ke samping. Namun Rara Wulan tidak dapat melepaskan dirinya sepenuhnya dari senjata lawannya itu.
Satu diantara kedua paser yang meluncur itu telah mengenai lengan Rara Wulan.
Rara Wulanpun menjadi semakin marah. Goresan-goresan kuku Kembang Waja itu terasa pedih oleh keringatnya.
Bahkan kemudian paser itupun telah mengenai lengannya pula.
Rara wulan tidak sempat mencabut paser yang menancap di lengannya. Dengan geramnya Rara Wulanpun berloncatan dengan kecepatan yang tidak dapat diikuti oleh lawannya.
Karena itu, maka ketika Kembang Waja itu berniat untuk melemparkan paser-paser berikutnya, maka ujung selendang Rara Wulan telah mematuk pergelangan tangannya.
Yang terasa di pergelangan tangan Kembang Waja bukan sentuhan selendang yang lunak. Tetapi pergelangan tangannya terasa bagaikan telah dihantam oleh tongkat baja pilihan.
Perempuan itu mengaduh. Paser yang sudah berada di tangannya itupun terlepas.
Rara Wulan tidak melepaskan kesempatan itu. Dengan derasnya pula Rara Wulan telah mengibaskan selendangnya. Ujung selendangnya itu telah mematuk dada Kembang Waja demikian kerasnya, sehingga perempuan itu telah terpental beberapa langkah. Tubuhnya telah membentur sebatang pohon gayam tua yang tumbuh dekat dinding halaman. Bahkan pohon gayam tua yang besar itu bagaikan telah berguncang.
Perempuan yang berpura-pura itupun kemudian telah jatuh terkulai. Tulang punggungnya telah patah. Hentakkan di dadanya telah menimbulkan luka yang sangat parah sehingga dari sela-sela bibirnya nampak darah yang merah
Namun dalam pada itu. perempuan tua yang menggenggam pedang rangkap itu tidak hanya berdiri menonton bagian akhir dari pertarungan itu. Dengan garangnya perempuan itupun meloncat sambil menebas dengan pedang tipisnya.
Rara Wulan berusaha untuk menghindar justru pada saat ia menarik serangan selendangnya. Namun ujung pedang itu masih juga menyentuh pundaknya.
Rara Wulan berusaha untuk meloncat beberapa langkah surut mengambil jarak. Tetapi perempuan tua itu agaknya justru ingin memanfaatkan jarak itu.
Dengan cepat perempuan itu justru menancapkan kedua pedangnya di tanah. Kedua tangannyapun bergerak dengan cepat didepan dadanya dengan gerakan-gerakan yang khusus.
Rara Wulanpun segera menyadari, bahwa lawannya telah mempersiapkan puncak kemampuannya. Karena itu, maka Rara Wulanpun kemudian dengan sigapnya telah mempersiapkan ilmu pamungkasnya.
Ketika perempuan itu kemudian menghentakkan tangannya, maka Rara Wulanpun telah menjulurkan tangannya pula dengan telapak tangan mengarah kepada perempuan tua itu.
Rara Wulan telah meluncurkan ilmunya, Aji Namaskara.
Dua kekuatan ilmu yang tinggi telah meluncur dengan cepatnya kearah yang berlawanan, sehingga akhirnya telah terjadi benturan yang dahsyat. Udarapun rasa-rasanya telah bergetar.
Pendapa rumah Ki Demang, dinding dan regol halaman serta pepohonan yang ada di halaman, bagaikan telah diguncang gempa.
Ternyata bahwa kekuatan ilmu perempuan tua itu, masih belum mampu mengimbangi Aji Namaskara. Karena itu, maka perempuan tua itupun telah tergetar dan terdorong beberapa langkah surut. Namun kemudian perempuan itu telah terjatuh pada lututnya.
Ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya Rara Wulan berdiri tegak dengan kaki renggang selendangnya tersangkut di pundaknya yang terluka, terjulur sampai ke tanah.
"Ngger. Kau memang luar biasa," suara perempuan tua itu terdengar bergetar. Bahkan kemudian perempuan itu tidak dapat lagi bertahan. Akhirnya iapuh jatuh terguling.
"Nyi," terdengar laki-laki tua yang masih bertempur melawan Glagah Putih itupun berteriak. Ketika ia meloncat surut mengambil jarak. Glagah Putih tidak memburunya.
Sejak kedua orang kawannya yang bertempur melawan Glagah Putih itu terbunuh, Glagah Putih sudah tidak lagi bertempur dengan sungguh-sungguh. Ia hanya menunggu sampai laki-laki tua itu kelelahan, kemudian berhenti dengan sendirinya.
Tetapi ketika ia melihat perempuan tua itu terguling, maka kakek itupun segera berlari mendapatkannya.
"Nyi, nyi." laki-laki itupun kemudian telah mengangkat kepala perempuan itu dan meletakkannya di pangkuannya.
"Bertahanlah, Nyi. Aku akan mencari tabib terbaik di Sima untuk mengobatimu."
Tetapi perempuan itu menggeleng. Katanya dengan suara yang hampir tidak terdengar, "Tidak usah. Kiai. Bagian dalam dadaku telah remuk. Rasa-rasanya jantungku telah terlepas dari tangkainya. Tidak ada orang yang akan mampu mengobatiku. Agaknya waktuku memang sudah sampai, Kiai."
"Jangan berkata begitu Nyi. Kita wajib berusaha meskipun akhirnya segalanya kembali kepada Yang Maha Agung."
"Kiai, apakah aku masih berhak menyebut nama Yang Maha Agung?"
Laki-laki tua itu menundukkan kepalanya. Tiba-tiba saja terasa titik air meleleh di wajahnya.
Namun tiba-tiba terdengar suara dibelakangnya, "Selagi kau masih sempat, bibi. Sebutlah nama Yang Maha Agung. Yang Maha Welas Asih dan yang Maha Pengampun."
Laki-laki itu berpaling. Dilihatnya Glagah Putih dan Rara Wulan telah berdiri di belakang. Bahkan kemudian Rara Wulanpun telah bergeser dan berjongkok pula dihadapan laki-laki tua yang meletakkan kepala perempuan itu di pangkuannya.
Dengan suara serak-serak tertahan laki-laki itu berdesis, "Lukanya sangat parah, ngger."
"Aku tidak mempunyai pilihan lain, paman."
"Perempuan itu tidak bersalah, Kiai," desis perempuan tua yang terluka parah itu, "aku sama sekali tidak mendendamnya," suaranya menjadi sangat lemah.
"Nyi." Perempuan tua itu menarik nafas panjang. Namun kemudian terdengar desah disela-sela bibirnya, "Kiai."
"Nyi. Nyi." "Ampunkan aku Maha Pengasih," suaranyapun kemudian hilang sama sekali.
"Nyi. Nyi." Sudah tidak ada jawaban sama sekali. Juga sudah tidak ada tarikan nafasnya.
"Nyi. Nyi. Kau mendahului aku, Nyi."
Laki-laki tua itu mendekapkan kepala perempuan itu di dadanya. Laki-laki itu menangis.
Glagah Putihpun telah berjongkok pula disamping laki-laki tua itu.
"Sudahlah Paman. Waktunya memang sudah tiba." Laki-laki itu mengusap matanya yang basah sambil berdesis, "kau telah membunuhnya ngger."
"Aku tidak punya pilihan paman. Bibi telah melontarkan ilmu yang dapat membahayakan jiwaku. Aku tidak sempat memikirkan cara yang lain untuk menyelamatkan nyawaku."
"Aku mengerti, ngger. Aku juga tidak menyalahkanmu. Sejak kami harus mengemban tugas ini. kami sudah memperhitungkan berbagai akibat yang dapat timbul. Antara lain adalah kematian."
"Ya, paman." "Meskipun demikian, kematian isteriku adalah pukulan yang paling parah dalam hidupku yang tersisa."
"Sudahlah, paman. Sekarang, apa yang sebaiknya kita lakukan terhadap korban-korban ini."
"Angger berdua. Bukankah kalian juga terluka" Apakah kalian mempunyai obat meskipun bersifat sementara?"
"Ada, paman. Nanti pada waktunya kami akan mengobati luka-luka kami. Tetapi sekarang, bagaimana dengan korban-korban ini."
"Pergilah. Tinggalkan saja korban-korban ini disini."
"Kenapa?" "Kematian mereka bukanlah akhir dari kisah keberadaan kami di Sima."
"Apa lagi yang akan terjadi?"
Laki-laki tua itu termangu-mangu.
Sementara itu Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel yang seluruh tubuhnya terasa sakit, telah bergeser mendekat pula. Namun agaknya Ki Demang tidak mampu lagi untuk berdiri terlalu lama. Iapun kemudian telah duduk di tangga pendapa rumahnya sambil setiap kali menyeringai kesakitan.
"Menurut paman, apa yang sebaiknya kami lakukan."
"Pergilah. Bawa Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel. Mereka bertiga adalah orang-orang yang harus disingkirkan. Disingkirkan untuk selama-lamanya."
"Bagimana dengan bebahu yang lain?"
"Mereka tidak akan berani melawan. Segala sesuatunya akan berubah di Sima."
"Bagaimana dengan kami berdua?"
"Kalian berdua berilmu sangat tinggi. Tetapi kalian hanya berdua. Sedangkan orang-orang kami yang sudah tersebar di Sima, jumlahnya cukup banyak."
"Apa yang sebenarnya terjadi paman. Siapakah paman ini sebenarnya dan dari lingkungan yang mana. Jika dari sebuah perguruan, perguruan apa. Jika sebuah gerombolan atau kelompok tertentu, kelompok apa?"
"Angger berdua. Aku tidak tahu, nasib apa yang akan menimpaku nanti atau esok pagi. Jika yang lain mati dan aku masih tetap hidup, mungkin sekali akupun harus mati esok. Tetapi itu tidak apa-apa. Bagiku hidup memang sudah berakhir sejak kematian bibimu."
Glagah Putih dan Rara Wulan mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Sementara itu kakek tua itu berkata selanjutnya, "Hati bibimu terlalu keras. Ia berusaha membantu cucunya menjalankan tugas sebaik-baiknya."
"Jadi perempuan itu benar-benar cucu paman?"
"Ia memang benar-benar cucuku. Laki-laki yang diaku sebagai suaminya itu juga cucuku. Kakak dari perempuan yang disebut Kembang Waja itu. Karena itu, maka aku sudah kehilangan segala-galanya."
"Dimana ayah dan ibu paman itu?"
"Mereka memikul beban yang lebih berat. Tetapi aku tidak akan pernah dapat hidup bersama mereka. Mereka terlalu garang."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun iapun berkata, "Paman belum menjawab pertanyaanku."
Orang tua itu menarik nafas panjang. Katanya, "Aku tidak dapat berbuat lain kecuali berkhianat."
"Berkhianat kepada siapaa?"
Orang tua itu masih termangu-mangu penuh kebimbangan.
Namun akhirnya iapun berkata, "Angger berdua. Disaat-saat terakhir, maka sebaiknya aku tidak berbohong lagi. Apalagi aku tahu, bahwa semuanya sudah tidak ada gunanya lagi. Bahkan seandainya aku tidak mengatakannya, Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel akan dapat bercerita juga serba sedikit tentang diri kami."
Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menyahut.
"Angger berdua. Tolong bawa mayat isteriku dan cucu-cucuku ke pendapa."
Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menolak. Bahkan Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel yang kesakitan itu juga membantu mengusung mayat-mayat itu ke pendapa dan membaringkannya di pringgitan. Kemudian merekapun duduk di pringgitan itu pula.
"Angger berdua. Aku tidak akan mereka-reka ceritera ngayawara. Tetapi sesungguhnyalah bahwa cucuku berdua adalah para petugas sandi dari Demak."
"Demak?" Glagah Putih dan Rara Wulan berbareng mengulanginya.
"Ya. Demak." "Kenapa dengan Demak."
"Demak telah bekerja bersama dengan Perguruan Kedung Jati."
"He," Glagah Putih dan Rara Wulan benar-benar terkejut mendengar keterangan itu. Bahkan Glagah Putihpun berkata, "Paman. Paman jangan mengada-ada. Bagaimana mungkin petugas sandi dari Demak membuat keonaran di daerah ini."
"Memang hampir tidak masuk akal."
"Bukankah yang menjabat Adipati di Demak adalah Pangeran Puger dari Mataram."
"Ya." "Bagaimana mungkin Pangeran Puger berhubungan dengan Ki Saba Lintang dari perguruan Kedung Jati. apalagi bekerja sama."
"Tentu saja segala sesuatunya tidak diketahui oleh Kangjeng Adipati di Demak. Beberapa orang pejabat penting di Demak telah melakukannya dengan diam-diam."
"Bagaimana mungkin hal itu terjadi."
"Sudahlah. Jangan hiraukan apa yang akan terjadi di Sima. Yang harus angger lakukan sekarang adalah meninggalkan Sima bersama Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel. Biarlah apa yang akan terjadi di Sima ini. Bukankah angger berdua tidak akan tersangkut?"
"Tetapi jika Demak berniat menancapkan pengaruhnya di Sima untuk kemudian mbalela terhadap Mataram, tentu saja harus menjadi perhatian semua orang di Mataram."
"Memang ada rencana besar yang akan menjebak Kangjeng Adipati di Demak."
"Mereka akan menyingkirkan Kangjeng Adipati Demak lebih dahulu?"
"Tidak. Mereka akan memanfaatkan Kangjeng Adipati Demak. Menurut pengamatan beberapa orang pejabat tertinggi di Demak. Kangjeng Adipati adalah seorang yang pendiriannya lentur dan mudah sekali dipengaruhi. Jika segala persiapan sudah matang, maka para pejabat tinggi di Demak itu akan menjerat Kangjeng Adipati sehingga Kangjeng Adipati tidak akan dapat mengelak lagi. Kangjeng Adipati mau tidak mau harus berdiri berhadapan dengan Mataram. Sedangkan kekuatan yang akan mendukungnya, selain para pemimpin Demak serta para prajurit, maka para pejabat tinggi itu akan menghimpun anak-anak muda di daerah Utara. Sedangkan latar kekuatan yang diandalkan adalah perguruan Kedung Jati."
"Gila. Ini satu rencana yang gila."
"Angger berdua. Kenapa angger menjadi sangat gelisah mendengar rencana besar dari para pemimpin di Demak itu."
"Tentu paman. Bukankah kita orang-orang Mataram. Setidaknya aku dan isteriku adalah orang Mataram."
"Baiklah. Terserah kepada angger berdua apa yang akan angger lakukan. Tetapi sebaiknya angger meninggalkan tempat ini. Ajak Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel bersama kalian."
"Lalu paman dan mayat bibi serta kedua cucu paman itu?"
"Aku tidak akan pergi ngger. Apapun yang terjadi. Seandainya aku harus mati esok pagi, aku tidak akan menyesal lagi. Sedangkan isteriku dan kedua cucuku akan aku kuburkan esok pagi. Tentu ada orang yang bersedia membantuku. Atau bahkan mungkin aku sendiri akan ikut dikuburkan esok pagi."
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun Glagah Putihpun kemudian berkata kepada Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel, "Kalian bertiga sudah mendengar sendiri keterangan tentang rencana Demak untuk membuat landasan kekuatan di Sima. Setelah Sima mungkin akan dibangun lagi landasan-landasan berikutnya semakin ke Selatan."
Kampung Setan 9 Beruang Salju Karya Sin Liong Tangan Geledek 8
^