Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 30

15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 30


"Ya, ngger," sahut Ki Demang, "karena itulah maka kami bertiga telah menolak rencana itu. Kami tidak bersedia bekerjasama dengan perguruan Kedung Jati serta beberapa orang pemimpin kadipaten Demak, sehingga akhirnya sampai pada satu keputusan, bahwa kami bertiga harus disingkirkan selama-lamanya."
"Marilah kita tinggalkan kademangan ini."
"Aku sudah siap Ki Sanak," jawab Ki Demang.
Glagah Putih, Rara Wulan dan ketiga orang bebahu itupun kemudian minta diri kepada laki-laki tua yang menunggui ketiga sosok mayat dipringgitan itu.
"Berhati-hatilah," berkata kakek itu, "di Sima ini telah berkeliaran para petugas sandi yang dikirim oleh perguruan Kedung Jati yang bekerjasama dengan beberapa pejabat tinggi di Demak."
"Baik, paman. Aku akan berhati-hati."
"Jangan kalian biarkan luka-luka kalian itu," berkata kakek tua itu pula, "jika kau terlambat mengobatinya, maka luka-luka itu akan dapat menjadi luka yang berbahaya."
"Ya, paman." Demikianlah mereka berlima telah meninggalkan halaman rumah Ki Demang. Namun demikian mereka berada di luar regol halaman, Rara Wulanpun bertanya, "Bagaimana dengan Nyi Demang, Nyi Jagabaya dan Nyi Bekel?"
"Mereka sudah kami singkirkan sejak kami ditemui oleh para petugas sandi itu, ngger. Kami sudah memperhitungkan, bahwa akhir dari kedatangan petugas sandi itu tentu sangat buruk bagi kami. Tetapi kedatangan angger berdua, telah memberikan harapan bagi kami bertiga."
"Bagaimana dengan para bebahu yang lain?"
"Kami tidak dapat memaksanya. Mereka berdiri di sisi yang berbeda dengan kami bertiga. Tetapi bukan karena mereka berkeyakinan atas sikapnya, bahwa menerima tawaran para petugas sandi itu akan memberikan kecerahan kepada mereka serta kademangan Sima. Tetapi mereka ingin tetap berada di kedudukan mereka. Jika mereka menentang maka nasibnya tentu akan buruk sebagaimana kami bertiga."
Rara Wulan menarik nafas panjang. Namun iapun tidak banyak bertanya lagi.
Namun Glagah Putihlah yang bertanya, "Keluarga Ki Demang sekarang berada di mana?"
"Mereka berada di padukuhan Ampel."
Glagah Putihpun mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya, "Apakah Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel akan pergi ke Ampel sekarang juga?"
"Ya. ngger Bahkan aku minta angger berdua juga pergi ke Ampel. Angger berdua tentu perlu beristirahat. Perlu mengobati luka-luka dan beberapa keperluan yang lain. Aku bahkan ingin minta angger berdua tinggal di Ampel beberapa saat. Kemudian kita akan meninggalkan Ampel bersama-sama lagi. Kami ingin membawa keluarga kami ke tempat yang lebih jauh lagi."
"Apakah Ki Demang masih cemas bahwa Ki Demang akan disusul sampai ke Ampel" Bukankah mereka tidak tahu, bahwa keluarga Ki Demang berada di Ampel?"
"Itulah yang aku cemaskan, ngger. Jika ada yang tahu, bahwa aku telah membawa keluargaku ke Ampel, maka orang-orang itu akan dapat mengirimkan orang untuk memburuku. Padahal aku, Ki Jagabaya dan Ki Bekel tidak dapat berbuat apa-apa sama sekali."
Glagah Putih dan Rara Wulan melihat kecemasan yang sangat di wajah Ki Demang. Demikian di wajah Ki Jagabaya dan Ki Bekel. Bahkan Ki Bekel itupun berkata, "Mungkin ada tetangga yang tahu, bahwa aku telah mengungsikan keluargaku ke Ampel, ngger. Sengaja atau tidak sengaja, aku memang cemas, bahwa akhirnya mereka tahu, bahwa keluarga kami berada di Ampel."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun merasa iba melihat ketakutan di wajah mereka bertiga. Karena itu, maka katanya, "Baiklah. Kami berdua akan mengantar Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel sampai di Ampel. Tetapi esok pagi, kami berdua ingin berada di Sima kembali. Sementara itu, Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel berbenah diri. Di sore hari kami berdua sudah akan sampai di Ampel lagi. Nah, kami berdua akan mengantar Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel."
Ketiga orang itu termangu-mangu.
"Ki Demang," berkata Glagah Putih kemudian, " seandainya mereka berniat memburu Ki Demang bertiga maka mereka belum akan melakukannya esok pagi. Esok pagi mereka masih akan disibukkan oleh mayat nenek tua beserta kedua orang cucunya itu. Mereka harus menguburkan mereka bertiga."
Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel itupun mengangguk-angguk. Dengan nada datar Ki Jagabayapun berkata, "Baiklah. Tetapi kami bertiga bersama keluarga kami harus menyingkir dari Ampel secepatnya."
Demikianlah malam itu mereka berjalan dengan sedikit tergesa-gesa ke Ampel. Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel rasa-rasanya selalu berada di bawah pengamatan para petugas sandi dari Demak dan dari perguruan Kedung Jati. Sedangkan Glagah Putih dan Rara Wulanpun agak tergesa-gesa karena di keesokan harinya mereka ingin berada di Sima kembali untuk mengetahui akibat dari kematian kedua orang petugas sandi dari Demak atau perguruan Kedung Jati itu beserta neneknya.
Sebelum fajar mereka sudah memasuki wilayah Ampel. Ternyata keluarga Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel itu telah mengungsi di rumah salah seorang yang masih berhubungan keluarga dengan Ki Demang. Mereka berada di sebuah padukuhan kecil yang berada di ujung kademangan Ampel yang jaraknya bahkan masih agak jauh dari padukuhan induk.
Kedatangan mereka bertiga disambut oleh keluarga masing-masing dengan haru. Sebenarnyalah keluarga Ki Demang.Ki Jagabaya dan Ki Bekel itu tudah berputus asa. Mereka mengira, bahwa ketiga orang itu tentu sudah dihabisi oleh orang-orang yang datang menemui mereka. Nyi Demang, Nyi Jagabaya dan Nyi Bekel tidak dapat melunakkan hati suami-suami mereka untuk menerima saja tawaran orang-orang Demak dan para murid dari perguruan Kedung Jati. Tetapi suami-suami mereka tidak dapat berbuat demikian, meskipun mereka sadari, bahwa mereka akan dapat terbunuh karenanya. Orang-orang yang datang menemui mereka nampaknya orang-orang yang jantungnya telah membeku.
Namun ternyata Yang Maha Agung masih belum menentukan saat kematian mereka ditangan orang-orang yang bengis itu. Ternyata suami-suami mereka masih sempat menemui mereka di sebuah padukuhan di kademangan Ampel.
"Mereka berdualah yang telah menyelamatkan nyawa kami," berkata Ki Demang di Sima.
Nyi Demang mengusap matanya yang basah.
Namun sesaat kemudian Nyi Jagabaya dan Nyi Bekelpun telah pergi ke dapur untuk merebus air.
Ki Demangpun kemudian telah mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan berbenah diri. Mengobati luka-luka mereka yang terdapat di beberapa bagian tubuh mereka.
"Apakah angger berdua mempunyai obat yang dapat meringankan sakit dan nyeri karena luka-luka angger. Atau bahkan dapat menyembuhkannya."
"Ada Ki Demang. Kami membawa obat yang setidak-tidaknya untuk sementara dapat membantu."
Namun Ki Demang dan isterinya itupun telah menyediakan pakaian yang lebih baik dari pakaian Glagah Putih dan Rara Wulan yang dipakainya, yang sudah koyak-koyak di mana-mana.
"Terima kasih Ki Demang dan Nyi Demang. Kami telah mendapatkan pakaian baru."
"Pakaian itu sudah tidak baru lagi, ngger."
"Itu tentu lebih baik karena tidak akan menarik perhatian."
Setelah beristirahat sebentar, serta telah berbenah diri serta minum-minuman hangat dan makan beberapa potong ketela pohon yang direbus dengan gula kelapa, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun minta diri.
"Angger berdua tidak letih?"
"Kami tidak ingin kesiangan, Ki Demang."
"Angger berdua akan sampai di Sima menjelang tengah hari. Tetapi apakah masih ada keperluan angger berdua di Sima?"
"Kami ingin melihat akibat dari kematian para petugas sandi terpilih di halaman rumah Ki Demang itu."
"Bukankah itu akan sangat berbahaya ngger."
"Kami adalah orang-orang yang tidak dikenal, Ki Demang."
"Tetapi laki-laki tua itu mengenal angger berdua."
"Mudah-mudahan orang tua itu bukan orang yang tidak berperasaan sehingga ia akan menuding kami jika kami menyaksikan penguburan para petugas sandi yang tentu akan dikubur dengan upacara itu."
Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel tidak dapat mencegah mereka ketika kemudian merekapun berangkat meninggalkan padukuhan itu kembali ke Sima. Perjalanan yang memang agak jauh. Tetapi mereka berdua akan dapat berjalan cepat, sehingga mereka akan sampai ke kademangan Sima sedikit lewat wayah pasar temawon.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian berjalan dengan cepat, bahkan seperti orang yang berlari-lari kecil menuju ke Sima Seperti saat mereka pergi ke Ampel, merekapun mengikuti jalan-jalan setapak. Tetapi jalan itu adalah jalan pintas.
Di sepanjang jalan mereka berdua tidak menghiraukan apapun. Mereka tidak ingin mendapat hambatan di perjalanan. Bukan saja orang-orang yang langsung mengganggu mereka, tetapi jika mereka melihat ketidakadilan, maka rasa-rasanya mereka berhutang jika mereka berdua tidak turut campur.
Seperti yang mereka rencanakan, maka sedikit lewat wayah pasar temawon, mereka sudah memasuki kademangan Sima. Matahari sudah merayap semakin tinggi. Beberapa saat lagi, matahari akan mencapai puncak langit.
Ketika mereka berdua pergi ke rumah Ki Demang, mereka melihat orang-orang telah berkerumun di depan regol.
"Ada apa?" bertanya Glagah Putih kepada seorang laki-laki tua.
"Ada raja pati?"
"Raja pati" Siapakah yang dibunuh" Ki Demang atau keluarganya," desak Glagah Putih.
"Entahlah. Mungkin tamu Ki Demang. Mereka bukan orang Sima. Mereka diketemukan telah terbunuh dan dibaringkan di pringgitan rumah Ki Demang."
"Siapa yang telah membunuh mereka?"
"Tidak tahu. Ketika fajar naik, maka orang-orang menjadi ribut. Beberapa orang menemukan mayat di pringgitan rumah Ki Demang."
"Para pembantu Ki Demang."
"Bukan. Entahlah, siapakah mereka itu. Semalam memang terdengar keributan dihalaman rumah Ki Demang. Tetapi tidak begitu jelas. Akhirnya keributan itupun berhenti."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun Rara Wulanpun kemudian bertanya, "Dimana Ki Demang sekarang?"
"Orang-orang baru sibuk mencarinya. Tetapi Ki Demang tidak dapat diketemukan. Bahkan Ki Jagabaya dan Ki Bekel juga tidak ada dirumahnya."
"Lalu siapakah yang menyelenggarakan penguburan itu?"
"Justru orang-orang yang tidak kami kenal serta beberapa orang bebahu yang masih ada Ki Kamituwa, Ki Kebayan dan beberapa orang Bekel dari padukuhan tetangga serta beberapa orang yang lain."
Glagah Putih dan Rara Wulan tidak bertanya lagi. Bersama beberapa orang mereka menyaksikan upacara pemakaman yang baru akan dilakukan lewat tengah hari.
"Ternyata kita tidak terlambat, "desis Rara Wulan.
"Ya. Tetapi waktu tenggangnya pendek sekali." Rara Wulan mengangguk-angguk.
Sementara itu, orang-orang di halaman rumah Ki Demang itu nampak sibuk. Agaknya sosok-sosok mayat di pringgitan itu sudah disucikan serta siap di berangkatkan ke kuburan. Beberapa orang bebahu telah minta orang-orang Sima untuk membantu mengusung mayat-mayat itu.
Demikianlah upacara itu selesai, maka iring-iringan itupun segera bergerak. Agaknya telah dipinjam beberapa keranda dari padukuhan-padukuhan yang lain karena sosok mayat yang akan dikuburkan itu tidak hanya satu.
"Berapa?" bertanya Rara Wulan. Ia mencoba menengadahkan kepalanya untuk melihat, ada berapa keranda yang berangkat ke kuburan itu.
"Lima, kakang. Lima," berkata Rara Wulan dengan serta-merta. Bahkan Rara Wulan itupun mulai bergeser untuk menyibak orang-orang yang berdiri di depannya.
Tetapi Glagah Putih memegang lengannya sambil bertanya, "Apa yang akan kau lakukan?"
"Kenapa keranda itu lima, kakang. Bukankah yang terbunuh semalam hanya empat orang."
"Sst," desis Glagah Putih, "jangan menarik perhatian orang lain."
"Tetapi ..." "Itulah yang terjadi."
"Jadi mereka benar-benar telah membunuh kakek tua itu" Itu tidak adil kakang."
"Tetapi itu sudah terjadi. Rara. Kita tidak dapat berbuat apa-apa lagi."
"Seharusnya hanya ada empat keranda Kembang Waja, kakaknya yang diakunya sebagai suaminya, neneknya serta seorang lagi yang menunggu mereka di regol halaman ini."
"Ya. Seharusnya memang hanya ada empat sosok mayat. Tetapi kakek tua itupun tentu telah diselesaikan pula, karena ia dianggap bersalah. Bahwa ia tetap hidup memang dapat menimbulkan pertanyaan, sementara keempat orang yang lain telah terbunuh."
"Kenapa kakek tua itu tidak mau pergi bersama kami."
Ketika Glagah Putih berpaling, dilihatnya mata Rara Wulan menjadi basah. Bahkan kemudian iapun menggeram, "Kakang. Lihat dengan jelas orang-orang asing yang menyelenggarakan penguburan itu. Kenali mereka dengan baik. Mereka adalah orang-orang yang sudah membunuh kakek tua itu."
"Apa yang kemudian akan kau lakukan?"
"Aku akan membuat perhitungan."
"Tenangkan hatimu. Rara. Kita harus berpikir jernih," Rara Wulan menarik nafas panjang. Sementara Glagah Putihpun berkata selanjutnya, "Seperti dikatakan oleh paman yang terbunuh itu, bahwa di Sima telah berkeliaran para petugas sandi dari Demak dan dari perguruan Kedung Jati, sehingga di setiap langkah, kita harus membuat perhitungan yang sebaik-baiknya."
Rara Wulanpun terdiam. Sementara itu, seseorang telah sesorah di hadapan orang-orang Sima. Orang itu sama sekali bukan bebahu kademangan Sima, tetapi bagi orang Sima, ia justru orang asing.
Tetapi orang itulah yang sesorah pada saat kelima sosok mayat itu diberangkatkan ke kuburan di luar padukuhan induk kademangan Sima.
"Orang itu menyebut para korban adalah tamu Ki Demang Sima. Mereka diketemukan sudah meninggal di rumah Ki Demang, sementara Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel padukuhan induk itu telah hilang. Menurut orang yang sesorah itu, agaknya Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel telah diculik oleh orang-orang jahat setelah mereka membunuh tamu-tamunya."
"Aku adalah sepupu Ki Demang," berkata orang itu, "untunglah bahwa semalam aku tidak bermalam di rumah kakang Demang, sehingga aku selamat."
"Semua itu omong kosong," geram Rara Wulan.
"Ya. Orang itu memang omong kosong. Tetapi kita harus membiarkannya. Yang berdiri di sekitarnya itu tentu para pengikutnya, entah dari Demak atau dari perguruan Kedung Jati. Bahkan di sekitar kitapun tentu ada pula para petugas sandi itu."
Rara Wulan mengangguk-angguk kecil.
Demikian , maka sejenak kemudian iring-iringan lima keranda telah bergerak keluar dari regol halaman rumah Ki Demang.
Glagah Putih dan Rara Wulan ikut pula dalam iring-iringan itu. Rara Wulan masih saja nampak gelisah. Ia merasa bahwa kematian kakek itu benar-benar tidak adil.
"Sampai hati pula mereka membunuh paman tua itu," berkata Rara Wulan di dalam hatinya. Tetapi seperti dikatakan oleh Glagah Putih, ia memang tidak dapat berbuat apa-apa. Rara Wulan harus melihat kenyataan, bahwa ia hanya berdua saja dengan suaminya, sementara itu, ia tidak tahu, ada berapa orang petugas dari Demak dan dari perguruan Kedung Jati.
"Kakang," bertanya Rara Wulan kemudian, "apakah yang terjadi di Seca itu juga ada hubungannya dengan rencana perguruan Kedung Jati yang akan bekerja sama dengan Demak" Jika mereka dapat membangun landasan di Seca, maka mereka akan dapat mendatangi Mataram dari arah Utara. Mereka dapat menyeberangi Kali Elo dan kemudian mereka tidak perlu menyeberangi Kali Praga."
"Memang mungkin Rara. Tetapi mungkin yang dilakukan perguruan Kedung Jati pada saat itu, masih belum ada ikatan yang pasti dengan Demak."
Rara Wulanpun mengangguk-angguk.
Beberapa saat kemudian, maka iring-iringan itupun mendekati pintu gerbang padukuhan induk kademangan Sima. Glagah Putih dan Rara Wulan tidak mengikuti iring-iringan itu lebih jauh lagi. Tetapi ketika mereka sampai disimpang tiga, merekapun telah berbelok memasuki jalan simpang.
Menjelang sore hari, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itupun singgah di sebuah kedai yang tidak terlalu besar yang tidak terlalu jauh dari penginapan tempat mereka menginap. Tetapi mereka berdua tidak ingin singgah di penginapan itu meskipun kedua kakek dan nenek itu sudah tidak ada. Bahkan kedua cucunya juga sudah tidak ada pula.
Di kedai itu, telah duduk beberapa orang, sejak sebelum Glagah Putih dan Rara Wulan masuk.
Ternyata orang-orang yang berada di kedai itu. hampir semuanya, masih membicarakan lima sosok mayat yang ada di rumah Ki Demang. Sementara itu, Ki Demang, Ki Jagabaya, Ki Bekel beserta keluarganya tidak ada di rumahnya.
"Jika mereka diculik oleh segerombolan penjahat, tentu tidak akan bersama keluarganya," berkata seorang diantara mereka yang berada di kedai itu.
"Ya. Seandainya Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel melarikan diri, keluarga merekapun tentu masih tinggal," berkata yang lain.
Tetapi seorang yang duduk di sudut kedai itu berkata perlahan-lahan, "Ada yang mengatakan, bahwa telah pernah datang ke rumah Ki Demang orang-orang yang tidak dikenal yang ingin bekerja sama dengan Ki Demang."
"Bekerja sama?" bertanya orang yang duduk di sebelahnya, "kalau ingin bekerja sama, kenapa justru Ki Demang itu menghilang, justru bersama-saina dengan Ki Jagabaya dan Ki Bekel?"
"Ah, entahlah. Aku tidak tahu," jawab yang duduk di sudut itu.
Sebenarnyalah banyak orang yang membicarakan tentang kematian di rumah Ki Demang serta hilangnya Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel beserta keluarga mereka. Tetapi tidak satupun pembicaraan itu menyentuh persoalan yang sebenarnya.
Glagah Putih dan Rara Wulan, setelah beberapa lama berada di kedai itu, serta telah makan serta minum secukupnya, mata merekapun segera meninggalkan kedai itu.
"Orang-orang kademangan Sima tidak ada yang tahu, apa yang telah terjadi dengan Demangnya serta beberapa orang bebahunya," desis Rara Wulan.
"Ya. Tetapi aku ingin tahu, bagaimana sikap para bebahu yang lain."
"Mereka tentu tidak akan berani menentangnya. Kakang lihat ketika kelima sosok mayat itu dikuburkan. Para bebahu tidak seorangpun yang menampakkan diri sebagai seorang pemimpin di kademangan ini. Segala sesuatunya dilakukan oleh orang-orang yang tidak dikenal di kademangan ini, meskipun mereka harus mengaku masih ada hubungan keluarga dengan Ki Demang."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Memang tidak banyak keterangan yang kita dapatkan. Aku bahkan ingin berada di Sima malam nanti."
"Apakah Ki Demang dan yang lain tidak menjadi ketakutan?"
Glagah Putih termangu-mangu sejenak.
"Kakang. Sebaiknya kita pergi ke Ampel. Kita antarkan dahulu Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel ketempat yang menurut mereka lebih tenang. Besok kita kembali kemari. Bukankah persoalan di Sima itu tidak berhenti sampai malam nanti."
"Baik. Suasanapun sudah menjadi lebih tenang." Dengan demikian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itupun meninggalkan kademangan Sima kembali ke Ampel.
Meskipun mereka berjalan cepat, namun mereka sampai di Ampel setelah malam turun.
Sebenarnyalah Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel sudah menjadi gelisah. Glagah Putih dan Rara Wulan berjanji, bahwa mereka akan kembali ke Ampel sore hari.
"Penguburan itu dilakukan lewat tengah hari," berkata Glagah Putih, "bahkan diiringi dengan sesorah panjang."
Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel mengangguk-angguk. Dengan nada datar Ki Bekel berkata, "Kami sudah menjadi cemas, bahwa sesuatu terjadi atas angger berdua. Menurut penglihatan kami orang-orang yang datang ke Sima itu cukup banyak."
"Apakah Ki Bekel mengetahui, siapakah pemimpin mereka?"
"Tidak, ngger. Tetapi mungkin Ki Demang dapat berbicara lebih banyak."
Ki Demang itupun kemudian menyahut. "Nampaknya perempuan yang terbunuh itu adalah salah seorang pemimpin mereka, ngger."
"Yang muda atau yang tua, Ki Demang."
"Yang muda. Agaknya perempuan itu banyak menentukan."
"Selain laki-laki yang umurnya kira-kira sebaya dengan perempuan itu. Masih terhitung muda. Dengan angger ini mungkin hanya terpaut dua tiga tahun."
"Lebih tua atau lebih muda?" bertanya Rara Wulan.
"Lebih tua." "Apa yang sebenarnya mereka kehendaki?"
"Mereka menghendaki kademangan Sima dapat menjadi landasan perjuangan mereka selanjutnya. Kademangan Sima agar dapat menyediakan tempat serta makan bagi seluruh kegiatan mereka di Sima."
"Ki Demang tahu, berapa orang kira-kira yang akan berada di Sima?"
"Tidak, ngger."
Sementara Ki Jagabaya menyahut, "Jumlahnya akan dapat berkembang terus ngger, menurut perkembangan keadaan. Bahkan kemudian mereka akan melebarkan sayap mereka di kademangan-kademangan sebelah menyebelah. Beberapa kademangan mereka rencanakan dapat mendukung perbekalan bagi mereka."
"Para bebahu di Sima telah menolaknya?"
"Hanya kami bertiga. Yang lain tidak berani menolak."
"Ki Demang tidak mencoba mempengaruhi mereka?"
"Sudah ngger. Kami telah mengadakan pertemuan-pertemuan. Tidak hanya sekali. Tetapi agaknya orang-orang Demak dan orang-orang dari perguruan Kedung Jati itu telah mendatangi para bebahu itu seorang-seorang."
Glagah Putih dan Rara Wulan mendengarkan keterangan ketiga orang bebahu itu dengan seksama. Sementara itu Ki Demangpun berkata, "Ngger. Sebenarnyalah bahwa kami masih tetap khawatir untuk tinggal disini. Tidak mustahil, bahwa orang-orang yang berdatangan ke Sima itu akan memburu kami, karena kami dianggap orang-orang yang berbahaya."
"Jadi kalian akan pergi kemana" " bertanya Rara Wulan.
Ketiga orang itu saling berpandangan sejenak. Baru kemudian Ki Jagabayapun berkata, "Isteriku mempunyai sanak di tempat yang agak jauh. Agaknya tempat itu tidak akan pernah mendapat perhatian oleh orang-orang yang datang ke Sima."
"Mereka tinggal di mana?"
"Mereka tinggal di Pajang."
"Di Pajang?" "Ya." Glagah Putih dan Rara Wulan yang saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Glagah Putihpun berkata, "Perjalanan yang jauh. Bersama dengan keluarga. Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel tidak akan dapat mencapai Pajang dalam sehari. Mungkin Ki Demang harus bermalam dijalan."
"Kami akan menempuh perjalanan panjang itu, ngger. Demi keselamatan kami. Bahkan ketenteraman hidup kami."
"Baiklah. Jika kalian sudah mantap dan sudah mempersiapkan diri lahir dan batin sekeluarga, maka silahkan."
"Tetapi bukankah angger berdua akan pergi ke Pajang bersama kami?"
Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, "Sebenarnyalah kami ingin pergi ke Sima lagi untuk melihat suasana."
"Kami tidak berani menempuh perjalanan sejauh itu dalam suasana seperti ini, ngger. Mungkin kami dapat bertemu dengan orang-orang yang berniat jahat, atau bahkan orang-orang yang pernah berada di Sima."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Memang mungkin sekali, bahwa orang-orang yang berada di Sima itu telah menanam beberapa orang petugas sandi di Pajang."
"Menurut Ki Demang apakah ada diantara mereka yang akan pergi ke Pajang?"
"Mungkin sekali ngger."
"Jika demikian, kenapa Ki Demang dan yang lain-lain justru akan pergi ke Pajang?"
"Pajang adalah tempat yang ramai, ngger. Sehingga banyak orang yang berbaur disana, sehingga seseorang tidak akan memperhatikan setiap orang yang dijumpainya. Saudara Ki Jagabaya tentu juga dapat memberikan beberapa petunjuk, karena saudara Ki Jagabaya itu menjadi prajurit di Pajang."
"Prajurit?" "Ya." Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sebenarnya mereka ingin kembali ke Sima. Tetapi mereka tidak sampai hati membiarkan Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel itu pergi ke Pajang hanya bersama keluarganya saja.
Akhirnya Glagah Putih itupun berkata, "Baiklah Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel. Kami akan mengantar kalian sampai ke Pajang. Jika kita berangkat di dini hari, maka pada saat malam turun, kita sudah akan berada di Pajang. Demikian Ki Jagabaya menemukan rumah saudaranya itu, kami akan segera pergi ke Sima. Kami memerlukan waktu yang hampir sama dengan perjalanan kami ke Pajang. Tetapi karena kami hanya berdua, maka kami akan dapat berjalan lebih cepat."
"Terima kasih, angger berdua. Kami tidak akan pernah melupakan pertolongan angger berdua. Bahkan angger berdua telah menyelamatkan nyawa kami."
"Jadi, kapan Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel akan berangkat."
"Bagaimana jika kita berangkat esok pagi."
"Esok pagi ?" "Ki Demang, Angger berdua ini tentu masih letih. Baru saja mereka datang dari Sima," sahut Ki Jagabaya.
"Tidak. Kami tidak akan diganggu oleh keletihan. Kami sudah terbiasa berjalan dari hari ke hari. Jika Ki Demang ingin berangkat esok pagi, maka kita harus berangkat di dini hari. Siapakah yang terkecil diantara kita yang akan menempuh perjalanan ke Pajang."
"Cucuku, ngger." Sahut Ki Bekel.
"Umurnya?" "Tiga belas tahun."
"Bersama ayah dan ibunya?"
"Tidak. Cucuku itu sudah yatim piatu. Akulah yang memeliharanya sejak bayi. Ayahnya meninggal karena sakit beberapa pekan sebelum anak itu lahir. Dalam keadaan duka, anak itu dilahirkan. Tetapi ibunya tidak tertolong."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Demangpun berkata, "Kalau anak-anakku sudah mentas semuanya. Mereka berpencar di beberapa tempat. Yang sulung, yang aku harapkan dapat menggantikan kedudukanku sudah aku minta meninggalkan rumah untuk mengantar ibunya kemari."
"Sekarang ia berada dimana Ki Demang?"
"Anak itu sekarang berada di rumah keluarga isterinya di kademangan Tegal Kenanga, yang cukup jauh dan Sima. Aku mengira bahwa anak itupun akan dibidik oleh orang-orang yang akan membunuhku."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara Ki Jagabaya berkata, "Aku mempunyai cerita yang berbeda. Aku tidak mempunyai seorang anakpun."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera teringat kepada Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Pasangan itupun tidak mempunyai keturunan pula, sehingga pada saat tertentu, Sekar Mirah mengusap matanya yang basah.
"Bagaimana dengan aku sendiri" " pertanyaan itu telah terbersit pula di hatinya.
Ternyata pertanyaan semacam itu juga sekilas melintas di dada Rara Wulan. Bahkan Rara Wulan itupun berkata di dalam hatinya, "Setelah tugas ini selesai, maka aku akan hidup dalam lingkungan keluarga sebagaimana orang lain. Menimang seorang anak serta sekali-sekali berdendang untuk menidurkannya."
Dalam pada itu, Glagah Putihpun kemudian berkata kepada Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel, "Jika kita akan berangkat esok, maka kita harus berangkat di dini hari. Diujung malam kita berharap sudah sampai di Pajang. Nyi Demang, Nyi Jagabaya, Nyi Bekel dan cucu Ki Bekel tentu akan menjadi sangat letih."
"Kita akan beristirahat setiap kali, ngger." sahut Ki Demang.
"Dengan demikian, agaknya Ki Demang Ki Jagabaya dan Ki Bekel perlu segera berbenah diri."
Malam itu, Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekelpun telah membenahi segala sesuatunya yang perlu dibawa. Hanya selembar pakaian masing-masing. Di tempat yang baru nanti, mereka akan dapat mengusahakan ganti pakaian yang baru.
Demikian mereka selesai berbenah diri, maka Ki Demang, Ki Jagabaya, Ki Bekel serta keluarganya segera beristirahat. Mereka mencoba untuk segera dapat tidur, karena esok mereka akan menempuh perjalanan jauh.
Glagah Putih dan Rara Wulan yang ada di gandokpun berusaha untuk dapat beristirahat pula. Seperti biasa, di tempat yang asing merekapun tidur bergantian.
Di dini hari, Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah bersiap. Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel serta keluarga mereka masih sibuk bersiap-siap. Namun menjelang terang tanah, merekapun telah minta diri kepada saudara Ki Demang yang sudah bersedia menampung mereka menjelang kepergian mereka ke Pajang.
"Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya," berkata Ki Jagabaya pula, "jika keadaan mengijinkan, pada kesempatan lain, kami sekeluarga akan berkunjung pula kemari."
Demikianlah, maka sejenak kemudian, sebuah iring-iringan kecil telah meninggalkan padukuhan kecil di ujung kademngan Ampel itu. Dalam kegelapan dini hari, mereka berjalan menyusuri jalan yang tidak begitu besar menuju ke tempat yang jauh.
Pajang. Pada saat mereka berangkat meninggalkan Ampel selagi hari masih remang-remang, mereka dapat berjalan agak cepat. Matahari belum menampakkan diri. Udara masih terasa sejuk. Bahkan titik-titik embun masih sekali-kali terasa menyentuh kulit mereka.
Dedaunan masih basah serta kabut tipis masih menyaput pandangan mata mereka.
Cucu Ki Jagabaya ternyata cukup tangkas pula. Anak itu justru berjalan di depan bersama Glagah Putih. Sedangkan Rara Wulan berada diantara perempuan-perempuan yang lain. Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel berjalan di paling belakang.
Perjalanan ke Pajang memang perjalanan yang panjang. Lebih-lebih bagi isteri Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel saerta cucu Ki Kebayan.
Ketika matahari kemudian terbit serta mulai merayap memanjat langit, maka keringatpun mulai mengembun di kening.
Perjalanan merekapun mulai menjadi semakin lambat. Tetapi karena niat yang mendesak di dalain hati, maka merekapun berjalan terus. Sekali-kali mereka mengusap keringat di dahi dan di kening.
Ketika-matahari menjadi bertambah tinggi, maka mereka mulai diganggu oleh perasaan haus. Meskipun demikian, mereka tetap bertahan. Mereka berjalan sampai hampir tengah hari.
Cucu Ki Kebayanlah yang pertama kaji berbisik kepada neneknya, "Nek, aku haus."
"Katakan kepada kakekmu," desis neneknya. Anak itupun bergeser mendekati kakeknya. Sambil bergayut di lengan kakeknya, anak itu berbisik, "Kek, aku haus."
Kakeknya mengangguk-angguk. Katanya, "Ya, ya. Di depan tentu ada pasar. Kita akan singgah sebentar di pasar itu."
Anak itupun kemudian berlari-lari kecil mendahului mereka dan berjalan di paling depan lagi bersama Glagah Putih.
"Kau haus?" bertanya Glagah Putih.
Agak malu-malu anak itu menjawab, "Ya, paman."
Glagah Putih tertawa. Katanya, "Aku juga sudah haus sekali. Nanti, jika kita melewati pasar atau kedai atau penjual dawet, kita berhenti."
Anak itu mengangguk-angguk.
Tetapi mereka tidak menemukan pasar atau kedai atau penjual dawet. Leher anak itu rasa-rasanya sudah menjadi kering sekali.
Sekali-sekali ketika mereka berjalan di padukuhan, anak itu menengadahkan wajahnya, memandang kelapa muda yang bergayutan di antara pelepahnya.
Ketika mereka menjumpai gentong berisi air bersih yang memang disediakan bagi pejalan kaki yang kehausan, kakeknya berkata, "Kalau kau sudah terlalu haus, kau dapat minum dari air yang disediakan di regol halaman rumah itu."
Tetapi anak itu menggeleng. Katanya, "Aku ingin dawet cendol kek. Nanti kita beli dawet cendol saja."
Kakeknya tersenyum. Katanya, "Tetapi jika kita tidak segera menjumpai penjual dawet, kau tidak boleh rewel."
"Tidak. Aku tidak akan rewel."
"Bagus," sahut Glagah Putih, "kita memang tidak boleh cengeng. Tetapi sebentar lagi, kita akan bertemu dengan penjual dawet."
Sebenarnyalah, tidak terlalu jauh lagi mereka menjumpai sebuah pasar. Tetapi pasar itu sudah menjadi agak sepi. Sudah banyak penjual yang membenahi dagangannya, karena sudah tidak ada lagi pembelinya.
"Nah, itu ada pasar," anak itu hampir berteriak.
"Ya. Mudah-mudahan masih ada penjual dawet yang tersisa. Waktunya sudah lewat wayah pasar temawon," sahut Glagah Putih.
Anak itupun kemudian berlari-lari mendahului. Yang pertama-tama dicari adalah penjual dawet.
Ternyata anak itu masih beruntung. Di dekat pintu gerbang pasar yang sudah sepi itu, masih terdapat seorang penjual dawet cendol. Sementara itu, di depan pasar, itu masih juga ada kedai yang pintunya terbuka.
Anak itu tanpa menunggu kakek dan neneknya, segera duduk di lincak panjang di sebelah penjual dawet itu sambil memesan, "Dawetnya, kek."
Penjual dawet yang rambutnya sudah memutih itupun segera menyiapkan semangkuk dawet buat anak itu.
Namun beberapa saat kemudian, yang berhenti di sekitar penjual dawet itu ternyata ada beberapa orang.
"Anak itu tentu tidak hanya haus. Tetapi tentu juga lapar," berkata Glagah Putih.
Neneknya mengangguk, "Ya. Sudah lewat tengah hari."
"Kita berhenti di kedai itu," desis Rara Wulan.
"Baik," sahut Glagah Putih yang kemudian mempersilahkan Ki Demang, Ki Jagabaya, Ki Bekel suami isteri serta cucunya untuk singgah dikedai yang masih buka itu."
"Jangan segan," berkata Rara Wulan, "kami berdua juga sudah lapar."
Cucu Ki Jagabaya itu pulalah yang lebih dahulu masuk ke sebuah kedai yang masih buka, sementara Rara Wulan membayar harga dawet yang telah diminum oleh anak itu.
"Sudahlah ngger. Ini ada uang kecil," Nyi Jagabaya mencegahnya. Tetapi uang Rara Wulan telah berada di tangan penjual dawet itu.
Nyi Jagabaya itu menarik nafas panjang. Katanya, "Angger terlalu baik kepada kami."
"Tidak apa-apa Nyi. Kebetulan saja aku mempunyai uang kecil yang aku selipkan di setagenku."
Dalam pada itu, maka cucu Ki Jagabaya itu sudah duduk di amben bambu panjang di dalam kedai itu.
Karena itu, maka mau tidak mau, maka Ki Jagabaya dan Nyi Jagabayapun harus menyusulnya.
Sementara itu Rara Wulanpun menipersilahkan Ki Demang, dan Ki Bekel untuk masuk pula ke kedai itu.
Namun Rara Wulanpun sambil bertanya mendekati pemilik kedai itu, "Masakan apa yang khusus di kedai ini."
Pemilik kedai itu tersenyum sambil menjawab, "Sayang, Nyi. Kami tidak mempunyai jenis makanan yang kami banggakan. Tetapi di kedai ini ada beberapa jenis makanan yang barangkali ada yang sesuai dengan selera keluarga Nyai."
Diam-diam Rara Wulanpun memberikan sekeping uang perak sambil berbisik, "Pegang dahulu uang ini. Nanti kalau ada yang akan membayar, katakan bahwa makanan dan minuman bagi kami bertujuh sudah dibayar."
Pemilik kedai itu mengerutkan dahi. Katanya, "Uang ini tentu ada sisanya, Nyi."
"Ya. Nanti sajalah kembaliannya. Sesudah dihitung. Aku hanya ingin, bahwa akulah yang membayar semuanya. Jangan ada orang lain."
Pemilik kedai itu mengerti. Iapun mengangguk-angguk sambil berkata, "Baik, Nyi."
Rara Wulanpun kemudian telah duduk di sebelah Glagah Putih sambil berdesis, "Masakannya biasa-biasa saja. Tetapi karena kita lapar, maka kita akan makan dengan nikmat."
Ketika seorang pelayan datang mendekati mereka, maka merekapun segera memesan menurut selera mereka masing-masing. Nasi megana, nasi tumpeng, nasi langgi atu nasi campur.
"Aku minta nasi liwet, ayam lembaran, telur ceplok dengan sambal goreng jipang yang tidak pedas," berkata cucu Ki Jagabaya. Kemudian, "Minumnya wedang sere dengan gula kelapa."
"Kau baru saja minum dawet," berkata kakeknya.
"Tidak apa-apa."
"Ya. Tentu tidak apa-apa. Tetapi nanti perutmu penuh."
"Perutku tidak pernah penuh kek."
Ki Jagabaya tersenyum. Cucunya memang nakal dan sedikit manja.
Beberapa lama kemudian, maka pesan merekapun sudah di hidangkan. Cucu Ki Jagabaya itupun telah bargeser ke ujung amben seakan-akan ingin memisahkan diri agar pada saat ia makan, tidak terganggu.
Glagah Putih tersenyum melihat sikap anak itu. Tetapi ia tidak menegurnya. Bahkan Glagah Putih itu agak heran juga melihat anak itu makan.
Tetapi pada umurnya, remaja memang kebanyakan mengalami masa semega. Masa banyak makan dan bahkan apa saja.
"Tubuhnya memang sedang berkembang. Karena itu, maka ia memerlukan bahan yang cukup agar perkembangan tubuhnya tidak terganggu."


15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebelum nasi dimangkuknya serta daging ayam lembaran, telur ceplok dan sambal goreng jipang habis, maka ia sudah mengacungkan tangannya kepada pelayan di kedai itu dengan menunjukkan jari telunjuknya.
"Nasinya satu lagi."
"Bukan main anak ini," desis Nyi Jagabaya.
"Biarlah Nyi," sahut Rara Wulan, "ia memang harus banyak makan agar tumbuh dengan wajar."
Pelayan kedai itu mendekatinya sambil bertanya, "Seperti tadi?"
"Tidak. Aku minta nasi megana dengan telur pindang."
"Apakah kau dapat menghabiskannya?" bertanya kakeknya.
"Tentu kek. Bukankah di rumah aku juga makan banyak."
Ki Kebayan tidak menjawab. Sementara itu cucunya masih sempat berpesan kepada pelayan kedai itu, "Jangan lupa daging empal. Jangan yang terlalu kering."
Rara Wulan tidak dapat menahan tertawanya. Katanya, "Kau dapat membedakan daging empal yang terlalu kering dan yang tidak terlalu kering."
"Yang kering terlalu keras bibi," jawab anak itu. "gigiku akan dapat menjadi sakit."
"Kau pintar." Sejenak kemudian pelayan kedai itupun telah menghidangkan pesanannya itu.
Dalam pada itu, maka suasana di kedai itupun semakin menjadi sepi. Sudah tidak banyak orang yang berjalan hilir mudik di depan pasar. Bahkan beberapa orang mulai menyapu lingkungan pasar yang menjadi kotor itu.
Di kedai itupun tidak lagi banyak orang yang duduk didalamnya. Hanya satu dua saja yang menebar di sudut-sudut, kecuali Glagah Putih dan Rara Wulan bersama dengan tujuh orang yang berjalan bersamanya.
Seorang yang bertubuh tinggi kekar dan berdada bidang, tiba-tiba saja telah duduk di dekat cucu Ki Jagabaya itu.
Sambil tersenyum orang itu mengelus kepala cucu Ki Jagabaya itu. Katanya, "Bagus sekali jika kau mau makan banyak. Seumurmu, kau memang harus makan banyak-banyak. Kau sedang tumbuh dan kau tentu banyak bergerak. Bermain atau barangkali ikut membantu kerja di sawah."
Anak itu beringsut sedikit. Namun anak itu justru bertanya, "Paman juga akan pesan makan dan minum."
"Ya. Tentu," jawab orang itu. Kemudian orang itupun bertanya, "Kau akan pergi kemana ngger?"
Anak itu menjawab dengan jujur, "Kami akan pergi ke Pajang."
"Siapa saja ?" Ki Jagabayalah yang segera menyahut, "Aku adalah kakeknya Ki Sanak. Aku dan neneknya akan mengajaknya mengunjungi bibinya yang belum pernah dilihatnya."
"O," orang itu mengangguk-angguk.
"Sebuah kelompok kecil," berkata orang itu.
"Ya. Kebetulan saja kami bersama-sama akan pergi ke Pajang untuk keperluan yang berbeda-beda. Tetapi karena kami akan pergi ke tujuan yang sama, maka kamipun berjalan bersama-sama."
"Ki Sanak tinggal dimana?" bertanya orang itu.
"Kami tinggal di Ampel, Ki Sanak."
"Sebuah perjalanan yang jauh."
"Ya. Kami berangkat pagi-pagi sekali. Kami berharap di senja hari kami sudah berada di Pajang."
Orang itu masih saja mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Jika Ki Sanak berjalan terus tanpa henti, mungkin di senja hari Ki Sanak sudah sampai ke Pajang. Tetapi berjalan dengan beberapa orang perempuan dan apalagi kanak-kanak, mungkin kalian tidak akan mencapai Pajang di senja hari."
"Ya. Perjalanan kami memang lamban. Mungkin sedikit lewat senja."
"Mudah-mudahan Ki Sanak."
Orang itupun kemudian telah memesan makan dan minum pula. Tetapi ia tetap saja duduk di sebelah cucu Ki Jagabaya.
Cucu Ki Jagabaya itu sama sekali tidak menghiraukannya. Ia masih saja menikmati nasi megana dengan telur pindang dan daging empal yang tidak terlalu kering.
Ternyata bahwa anak itu benar-benar menghabiskan pesanan itu. Sambil menarik nafas panjang, dielusnya perutnya yang penuh itu.
"Kenapa" " bertanya Ki Jagabaya.
"Kenyang, kek."
Orang yang duduk disampingnya itupun tertawa sambil menyentuh perut anak itu. Katanya, "Kau makan lebih banyak dari aku."
Anak itupun tertawa pula. Tetapi iapun kemudian beringsut mendekati neneknya dan meletakkan kepalanya di lengan neneknya.
"Kau tentu terlalu kenyang," desis neneknya.
"Tidak, nek. Biasa saja."
"Kita masih akan berjalan jauh. Kalau kau terlalu kenyang kaii tidak akan dapat berjalan lebih cepat."
"Aku lelah nek."
"Singgah saja di rumahku," berkata orang yang bertubuh tinggi kekar itu.
"Kita singgah saja ya nek. Beristirahatlah. Esok saja kita lanjutkan perjalanan ini."
"O. jangan," berkata kakeknya, "nanti bibimu menunggu. Aku sudah janji, bahwa hari ini kita akan sampai di rumahnya meskipun malam hari."
Anak itu memandang kakeknya dengan dahi yang berkerut. Iapun kemudian bertanya, "Bibi yang mana itu kek?"
"Kau belum pernah melihatnya. Ia sangat ingin melihatmu."
Anak itu mengangguk-angguk.
"Yang lain juga akan pergi ke Pajang?" bertanya orang yang bertubuh tinggi dan berbadan kekar itu.
"Ya. Ki Sanak. Aku dan isteriku juga mempunyai keperluan di Pajang," jawab Ki Demang.
"Keperluan apa?"
"Ah hanya keperluan pribadi. Tentang calon menantu."
"O," orang itu tidak bertanya lagi. Iapun segera menghabiskan pesanannya. Kemudian bangkit berdiri sambil berkata, "Silahkan Ki Sanak. Aku juga sudah kenyang meskipun yang aku makan belum sebanyak yang dimakan anak itu."
"Baik Ki Sanak," sahut Ki Jagabaya.
Orang itu tidak bertanya apa apa kepada Glagah Putih dan Rara Wulan. Tetapi dipandanginya saja Rara Wulan tanpa berkedip sehingga Rara Wulan itu memalingkan wajahnya sementara hatinya menjadi berdebar-debar.
Tetapi Glagah Putih pura-pura saja tidak melihatnya, ia percaya bahwa isterinya akan dapat melindungi dirinya sendiri jika perlu.
Sejenak kemudian, maka laki-laki itupun melangkah ke pintu dan keluar dari kedai itu.
Demikian orang itu pergi, maka seorang yang rambutnya sudah ubanan mendekati Ki Jagabaya sambil berbisik, "berhati-hatilah Ki Sanak. Orang itu sangat berbahaya. Bertanyalah kepada pemilik kedai ini. Tetapi mungkin ia tidak akan berani mengatakan apa-apa karena orang itu sering datang kemari."
Ki Jagabaya itu mengangguk-angguk sambil menyahut perlahan, "Terima kasih, Ki Sanak. Tetapi ternyata Ki Sanak berani mengatakannya."
"Aku orang asing disini. Aku disini baru beberapa hari. Tetapi mungkin dalam dua tiga hari lagi, aku sudah tidak berada disini. Karena itu, maka orang yang berbahaya itu tidak akan mudah menemukan aku."
"Siapakah Ki Sanak sebenarnya?"
"Aku bukan siapa-siapa. Tetapi kau dapat mempercayai aku. Berhati-hatilah. Tetapi mudah-mudahan orang itu tidak menaruh perhatian kepada kalian dan orang-orang yang berjalan bersama kalian. Tetapi menilik pandangan matanya pada saat ia pergi, peringatkan perempuan muda itu agar berhati-hati."
Ki Jagabaya memandang Rara Wulan yang agaknya mendengarkan pembicaraan itu pula. Orang berambut ubanan itu memandang Rara Wulan sekilas. Tetapi ia tidak berkata apa-apa.
"Perempuan itu menempuh perjalanan bersama suaminya," desis Ki Jagabaya.
"Laki-laki muda itu?"
"Ya." "Peringatkan agar ia selalu melindungi isterinya. Laki-laki yang duduk di sini tadi, benar-benar laki-laki gila. Ia tidak menjalankan pekerjaan bersama banyak orang. Tetapi ia melakukannya bersama adiknya. Keduanya adalah orang-orang yang berilmu tinggi."
"Terima kasih. Terima kasih."
"Kalian harus lebih berhati-hati pada saat senja. Ia mempunyai kebiasaan menjalankan pekerjaan jahatnya di senja hari."
"Baik, Ki Sanak. Aku akan selalu mengingat pesan Ki Sanak. Kami sekelompok orang ini akan berhati-hati terutama nanti pada saat senja turun."
Laki-laki yang rambutnya mulai ubanan itupun kemudian bergeser menjauhi Ki Jagabaya dan duduk kembali di tempatnya disebelah seorang yang berwajah tenang. Keduanyapun kemudian berbincang. Tetapi Ki Jagabaya tidak mendengar pembicaraan mereka.
Sejenak kemudian, ketika mereka sudah selesai makan, maka Ki Demanglah yang berdiri lebih dahulu dan pergi menemui pemilik kedai itu.
"Hitunglah, Ki Sanak. Biarlah aku yang membayar."
Tetapi pemilik kedai itu berkata, "Bahkan uang perempuan muda itu masih berlebih. Akulah yang harus memberikan pengembaliannya."
"He" Jadi sudah ada yang membayar?"
Pemilik kedai itu menunjukkan sekeping uang perak sambil berkata, "Sisanya masih banyak."
Ki Demang itupun kemudian berpaling memandang Rara Wulan. Jika pemilik kedai itu menunjuk perempuan muda diantara mereka, tentulah perempuan muda yang bersama suaminya mengantar mereka ke Pajang itu."
"Seharusnya akulah yang membayar," berkata Ki Demang, "aku adalah orang tertua diantara mereka. Aku juga sempat membawa bekal pada saat kita berangkat dari Sima."
"Sudahlah," desis Rara Wulan, "sudah terlanjur."
Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel tidak dapat menolak.
Setelah Rara Wulan menerima uang kembalinya maka merekapun segera minta diri. Kepada orang yang rambutnya mulai ubanan, yang masih duduk di kedai itu bersama seorang kawannya, merekapun mengangguk hormat sebagai pernyataan hormat dan terima kasih, sekaligus minta diri.
Demikian mereka turun di jalan, terasa panasnya bagaikan menusuk kulit. Cucu Ki Jagabaya itu berbisik, "Kita berhenti saja dahulu, kek. Kita teruskan perjalanan kita esok pagi."
"Berhenti di mana. Sebaiknya kita berjalan terus perlahan-lahan saja. Kita tidak tergesa-gesa."
"Aku letih, kek."
"Sebaiknya kita terus. Nanti jika kau benar-benar terlalu letih, aku akan menggendongmu di punggung."
"Ah, malu kek. Aku sudah besar. Tentu sudah tidak pantas digendong meskipun di punggung."
"Jadi bagaimana. Atau kau aku tinggal saja di kedai itu. Besok kau aku ambil."
"Tidak mau kek. Tidak mau."
"Lalu ?" "Biarlah aku berjalan saja terus."
Ki Jagabaya tersenyum. Yang lainpun tersenyum pula. Ki Demangpun kemudian berkata, "Nah, itu namanya laki-laki."
"Jadi bagaimana dengan nenek. Nenek, Nyi Demang dan Nyi Bekel bukan laki-laki. Bahkan bibi itu juga bukan laki-laki."
"Tetapi ternyata mereka sanggup berjalan terus. Apalagi laki-laki."
"Ya. Aku juga sanggup berjalan terus." Demikianlah kelompok kecil itu mulai bergerak lagi menyusuri jalan-jalan panjang.
Terik matahari membuat pakaian mereka yang berjalan dalam kelompok kecil itu menjadi basah. Keringat mengalir dari segenap lubang kulit mereka. Bahkan pakaian cucu Ki Jagabaya itupun menjadi basah pula.
Untunglah bahwa di bulak-bulak panjang selalu terdapat pohon perindang di pinggir jalan.
Namun cucu Ki Jagabaya itu tidak lagi berjalan di depan. Tetapi ia lebih banyak bergayut tangan kakeknya yang berjalan bersama Ki Jagabaya dan Ki Bekel.
Di belakang mereka berjalan Nyi Demang, Nyi Jagabaya dan Nyi Bekel. Sebenarnyalah bahwa merekapun sudah merasa letih. Tetapi mereka menyadari, bahwa sebaiknya mereka berjalan terus.
Glagah Putih dan Rara Wulan justru berjalan di belakang. Mereka sempat berbincang sambil melangkah mengikuti para bebahu kademangan Sima yang pergi mengungsi itu.
"Sebenarnya aku ingin berbicara dengan pemilik kedai itu, kakang," berkata Rara Wulan.
"Tidak banyak yang akan dikatakannya, Rara. Seperti kata orang yang rambutnya mulai ubanan itu. Pemilik kedai itu tentu tidak akan berani mengatakan apa-apa. Orang yang bertubuh tinggi dan berbadan kekar itu tentu sering mondar-mandir di sekitar kedai itu. Jika ia tahu bahwa pemilik kedai itu membuka rahasianya, maka ia tentu akan mengancamnya dan bakan mungkin akan berakibat sangai buruk."
Rara Wulan mengangguk-angguk sambil berdesis, "Ya. Kita akan dapat meninggalkan kenangan buruk kepadanya. Tetapi menurut kakang, siapakah orang yang rambutnya mulai ubanan itu."
"Tentu bukan orang kebanyakan, ia berada di sini hanya untuk sementara. Mungkin ia juga seorang pengembara. Mungkin ia dan bahkan kawannya yang duduk disebelahnya itu, petugas sandi dari Pajang. Agaknya ia sama sekali tidak merasa takut menyebut sikap dan tingkah laku orang bertubuh kekar itu."
"Mungkin sekali ia memang petugas sandi. Jika saja ia punya bukti, maka orang itu tentu akan berusaha menangkap orang bertubuh kekar itu."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan ragu Glagah Putih itupun berkata, "Mungkin kita akan dapat menjadi umpan. Jika orang itu nanti saat senja turun mencegat kita, maka orang itu akan dapat menangkap basah."
"Jika saja ia benar-benar petugas dari Pajang dan sempal menelusuri jalan yang akan kita lalui."
"Orang itu tentu tahu. jalan mana yang menuju ke Pajang. Kecuali jika kita menempuh jalan kecil atau jalan pintas. Tetapi jalan-jalan nu akan sulit bagi perjalanan kita. Apalagi bagi perempuan."
Rara Wulan mengangguk-angguk.
Sebenarnyalah perjalanan mereka semakin lama menjadi semakin lamban. Bukan hanya cucu Ki Jagabaya saja yang merasa lelah. Tetapi Nyi Demang. Nyi Jagabaya dan Nyi Bekel juga merasa lelah.
Meskipun demikian, meskipun perlahan, mereka melaju terus.
Mereka melintasi bulak-bulak panjang dan pendek, melintas padukuhan-padukuhan, bahkan kadang-kadang mereka berjalan tidak jauh dari hutan yang lebat atau menyeberangi padang perdu yang sepi. Sekali-kali jika mereka menyeberangi sungai, maka mereka menyempatkan diri mencuci muka serta membasahi tengkuk mereka untuk mengurangi teriknya panas matahari.
Bahkan kadang-kadang mereka berhenti sejenak merendam kaki mereka yang terasa bagaikan matang oleh panasnya tanah yang mereka injak karena sinar matahari.
Beruntunglah mereka bahwa mereka tidak berjalan menghadap matahari yang semakin lama menjadi semakin rendah.
Dalam pada itu, cucu Ki Jagabaya telah benar-benar merasa sangai letih. Karena itu, maka ia semakin sering minta beristirahat sejenak. Bahkan ketika mereka menyeberangi sebuah sungai yang agak deras, anak itu ijin untuk mandi.
"Biarlah anak itu mandi," berkala Glagah Pulih, "sementara itu kita sempat beristirahat di bawah pohon cangkung yang bejat itu. Tetapi hati-hati. pohon, dahan serta ranting-rantingnya berduri."
Yang lain sependapat pula. Merekapun kemudian duduk di bawah pohon cangkring raksasa yang herdaun lebat, sehingga melindungi mereka dari teriknya sinar matahari meskipun malahan itu sudah mulai turun.
Sementara itu. cucu Ki Jagabaya itu berendam di air untuk mendinginkan tubuhnya.
Anak itu menjadi gembira. Aliran air yang agak deras itu telah memberikan kegembiraan tersendiri. Sekali-kali ia menghanyutkan dirinya, kemudian bergeser menepi dan di tepian berlari menentang aliran air. Seakan-akan anak itu sudah tidak lelah lagi.
Ketika lelah sudah berangsur menyusut, maka Ki Jagabayapun kemudian memanggil cucunya. Ia sudah cukup lama berendam.
"Marilah. Kau akan menjadi bertambah letih jika kau setiap kali berlari-lari di tepian."
Sebenarnya cucu Ki Jagabaya itu masih ingin mandi lebih lama lagi. Teiapi iapun sadar, bahwa ia masih harus berjalan jauh.
Sejenak kemudian, maka Nyi Jagabaya sudah membenahi pakaian cucunya dan bersiap untuk meneruskan perjalanan.
Tetapi demikian mereka naik keatas tebing yang rendah dan landai di seberang sungai, maka langkah mereka tertegun. Mereka melihat orang yang berada di Kedai yang bertubuh tinggi dan berbadan kekar itu berdiri di tanggul sungai. Tetapi ia tidak sendiri. Disisinya berdiri seorang yang juga bertubuh raksasa. Menilik wajah mereka yang mirip maka merekapun tentu bersaudara.
Langkah merekapun terhenti. Dengan jantung yang berdebaran mereka memandangi kedua orang yang berdiri diatas tanggul itu.
"Kalian ternyata baru sampai disini," laki-laki bertubuh raksasa itu menyapa mereka yang tertegun dan berhenti di tepian itu.
"Ya Ki Sanak. Ternyata Ki Sanak sudah berada disini."
"Rumahku tidak jauh dari jalan penyeberangan ini. Aku sengaja menunggu kalian untuk mempersilahkan kalian singgah. Anak itu tentu sudah sangat letih. Biarlah ia beristirahat dan bermalam di rumahku. Esok pagi-pagi sekali kalian dapat melanjutkan perjalanan."
-ooo0dw0ooo- Jilid 375 KI DEMANGLAH yang menjawab, "Terima kasih, Ki Sanak. Kami sudah bertekad untuk melanjutkan perjalanan."
"Pada saat seperti ini kalian masih berada disini. Tentu kalian tidak akan dapat sampai di Pajang, pada wayah sepi bocah. Karena itu, sebaiknya kalian bermalam saja di rumahku."
"Terima kasih. Ki Sanak. Terima kasih atas kepedulian Ki Sanak. Tetapi maaf, bahwa kami berniat berjalan terus."
Orang itu tertawa. Katanya, "Kalian adalah orang-orang yang keras hati. Aku senang kepada orang-orang yang keras hati. Orang yang berpegang pada niat dan tekad."
"Terima kasih. Ki Sanak. Sekarang kami minta diri untuk meneruskan perjalanan."
"Tunggu," seorang yang lain tiba-tiba bergeser beberapa langkah maju, "jangan beranjak dari tempat kalian."
Ki Demang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, "Kenapa?"
Yang menjawab adalah orang yang dijumpainya di kedai itu, "Maaf Ki Sanak. Ini adalah adikku. Ia seorang yang sangat ramah kepada setiap orang. Mungkin ia ingin memperkenalkan diri langsung kepada Ki Sanak semuanya."
Kedua orang itupun kemudian melangkah mendekati Ki Demang. Laki-laki yang disebut adiknya itupun berkata, "Aku memang ingin memperkenalkan diriku."
"Terima kasih. Ki Sanak. Kami senang sekali dapat berkenalan dengan Ki Sanak berdua."
"Jika demikian, marilah, singgah dirumahku seperti yang dikatakan kakang tadi."
"Maaf Ki Sanak. Sudah aku katakan, bahwa kami akan berjalan terus."
"Kalau kakang tadi mengatakan kalian adalah orang-orang yang keras hati, maka aku mengatakan bahwa kalian adalah orang-orang yang keras kepala."
"Ki Sanak," berkata Ki Demang, "kenapa kau sebut kami keras kepala. Aku hargai kebaikan hatimu memberikan kesempatan kepada kami untuk beristirahat dan bahkan menginap. Tetapi sayang, kami harus berjalan terus."
"Diam kau," tiba-tiba saja orang yang disebut adiknya itu membentak.
Kakaknya, laki-laki yang dijumpai di kedai itu tertawa. Katanya, "Sifat adikku memang berbeda dengan sifatku. Aku masih dapat menghargai sikap dan keputusan yang diambil oleh orang lain. Tetapi adikku kadang-kadang sulit untuk ditolak kemauannya. Karena itu aku nasehatkan, turuti saja kemauannya. Apalagi ia bermaksud baik. Ia akan tersinggung sekali jika kalian tidak mau memenuhinya."
Ki Demang termangu-mangu sejenak. Ternyata bahwa pesan orang yang rambutnya mulai ubanan di kedai itu benar.
Bahkan laki-laki yang disebut adiknya oleh orang yang bertemu di kedai itu kemudian berkata, "Nah Kalian harus berhenti dan bermalam di rumahku. Kalian tidak akan dapat menolak Tetapi jika kalian tetap menolak, maka kami akan berterus terang. Kami. kakak beradik adalah penyamun yang paling diiakuti di daerah ini. Kami tidak segan-segan membunuh siapa saja yang berani menentang kemauan kami. Karena itu, jika kalian tidak mau singgah, silahkan berjalan terus. Kamipun sebenarnya segan mengurusi sekian banyak orang. Yang penting tinggal semua uang. perhiasan dan barang-barang berharga yang kalian bawa. Selagi tidak ada orang lain yang berjalan di jalan, cepat lakukan. Aku tidak akan melakukan kekerasan. Tetapi jika kami melihat orang berjalan di kejauhan, maka kami mungkin akan berlaku kasar. Kami akan memaksa kalian untuk turun di tepian itu kembali dan menyingkir ketikungan sungai itu. Atau bahkan aku akan membunuh kalian semuanya, kecuali perempuan muda itu. Kakang sudah memberitahukan bahwa akan ada perempuan muda dan cantik lewat disini."
Ternyata Glagah Putih dan Rara Wulan tidak dapat membiarkan pembicaraan itu berlarut-larut. Keduanyapun kemudian melangkah dan berdiri di samping Ki Demang. Justru Rara Wulanlah yang berkata, "Jadi kalian tertarik kepada kecantikanku demikian kalian melihat aku?"
Namun pertanyaan Rara Wulan itu justru sangat mengejutkan. Ia tidak mengira bahwa perempuan yang dikiranya pendiam itu langsung bertanya kepada mereka dengan pertanyaan yang tajam itu.
Namun justru karena itu, maka keduanyapun terdiam sesaat, hingga Rara Wulanpun mendesaknya, "Kenapa kalian diam saja" Apakah kalian malu memberi jawaban" Aku tidak mengira bahwa kalian berdua adalah pemalu."
Kedua orang laki-laki itu justru saling berpandangan. Perempuan muda yang dihadapi itu sama sekali di luar dugaan mereka.
Namun tiba-tiba yang muda di antara kedua orang itu menggeram, "Ternyata kau bukan perempuan baik-baik. Ternyata kau adalah perempuan binal yang dipungut dari keranjang sampah."
Tetapi Rara Wulan tertawa. Katanya, "Apakah kalian terkejut karena tiba-tiba saja kalian berhadapan dengan seorang perempuan yang tidak sebagaimana kau bayangkan" Ki Sanak berdua. Kami juga terkejut menghadapi kalian. Ketika kami bertemu dengan seorang di antara kalian di kedai itu. aku mengira bahwa laki-laki itu adalah laki-laki baik-baik. Yang ramah dan peduli kepada sesama. Yang akan memberi tompangan ketika kami kemalaman. Tetapi inilah kenyataan yang kami hadapi. Karena itu, untuk menghadapi kenyataan ini, maka akupun bersikap sepantasnya sesuai dengan manusia manusia yang aku hadapi."
"Anak iblis kau. Siapa sebenarnya kau ini?"
"Kami adalah orang-orang Ampel yang sedang dalam perjalanan ke Pajang. Bukankah sudah kami katakan. Jelasnya bertanyalah kepada kakakmu itu."
"Sudahlah," berkata yang tertua di antara mereka. Agaknya laki-laki yang tertua itu masih berusaha unluk mengendalikan sikapnya, "kita sudah berterus terang kepada mereka. Sekarang terserah kepada mereka, apakah mereka mau mendengarkan kata-kata atau tidak. Jika tidak, maka kita akan menentukan langkah selanjutnya."
"Ya," sahut yang muda. Lalu laki-laki itupun berkata kepada Rara Wulan, "sekarang serahkan semua uang kalian, semua harta benda kalian dan dirimu sendiri."
Rara Wulan tertawa pula. Katanya, "Sebaiknya kalian sajalah yang menyerah. Kami akan pergi ke Pajang. Kalian akan kami hawa ke Pajang dan menyerahkan kalian kepada prajurit Pajang. Biarlah mereka yang memutuskan, apakah kalian akan dihukum atau malahan akan mendapatkan hadiah."
"Mulutmu itu berbisa perempuan iblis. Karena itu yang pertama-tama akan kami lakukan adalah menyumbat mulutmu itu."
"Apakah kau kira aku akan memberikan mulutku untuk disumbat?"
"Cukup." "Jadi menurutmu, kau sajalah yang boleh berbicara sedang kami tidak."
Yang tertua di antara mereka berkata, "Menarik sekali perempuan ini. Tetapi dengan demikian kita tahu, bahwa ia bukan perempuan kebanyakan. Baiklah. Serahkan kepadaku. Aku akan menyelesaikannya."
"Tidak kakang. Aku akan menaklukkannya. Uruslah yang lain-lain. Barangkali uang dan harta benda yang berharga itu mereka yang membawa."
Yang tertua itu tertawa. Katanya, "Baiklah. Nampaknya kau benar-benar tertarik kepada perempuan itu. Perempuan itu telah membuatmu marah. Tetapi justru karena itu, kau menjadi semakin tertarik kepadanya."
"Aku senang kepada perempuan binal. Seperti menghadapi kuda liar, jika kita berhasil menundukkannya, maka ia akan menjadi kuda pilihan."
"Tetapi jika tidak, maka kau akan terinjak-injak sampai lumat," sahut Rara Wulan.
Laki-laki yang muda itupun menggeram. Selangkah ia maju, sementara Rara Wulanpun telah bergeger mengambil jarak.
Sementara itu Glagah Putihpun bergeser pula maju sambil berkata, "Aku adalah suami perempuan binal itu. Biarlah isteriku menolong dirinya sendiri. Tetapi jika kau ingin mengganggu orang-orang yang akan pergi ke Pajang ini. maka kau akan berhadapan dengan aku."
"Ya. ya. Aku mengerti. Jika isterimu bukan perempuan kebanyakan, apalagi kau. Baiklah. Aku memang harus berhadapan dengan kau. Tetapi sebenarnya aku ingin tahu. siapakah kalian berdua itu. Apakah kalian berdua itu orang-orang upahan untuk mengawal orang-orang yang akan pergi ke Pajang itu, atau kalian memang termasuk keluarga mereka."
"Kami berdua adalah keluarga mereka. Kami semuanya masih berkeluarga yang kebetulan bersama-sama mempunyai kepentingan di Pajang. Karena itu. kami telah pergi bersama-sama pula. Bukankah hal itu sudah dikatakan oleh paman."
"Ya. Ya. Pamanmu telah mengatakannya. Tetapi dalam keadaan yang gawat bagi kalian, ternyata kaulah yang akan tampil ke depan. Apakah kau benar-benar memiliki kemampuan untuk melakukannya?"
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ketika ia memperhatikan Rara Wulan sekilas, Rara Wulan telah bersiap sepenuhnya. Karena itu. ketika laki-laki yang muda itu meloncat menyerangnya. Rara Wulan dengan tangkasnya menghindarinya.
"Isteriku telah mulai bertempur. Sekarang terserah kepadamu. Apakah kita akan menonton sebentar, atau kita akan langsung berkelahi."
Nampaknya pasangan suami isteri itu adalah orang-orang aneh. Dalam keadaan yang gawat, ia masih saja dapat menawarkan kesempatan untuk melihat pertarungan antara isterinya melawan adik laki-laki itu.
Hampir diluar sadarnya laki-laki itu berkata, "Kalian berdua adalah orang-orang aneh. Tetapi baiklah, kita akan melihat, apa yang dapat dilakukan oleh isterimu."
Keduanyapun kemudian justru berdiri termangu-mangu menyaksikan pertarungan antara Rara Wulan melawan laki-laki yang lebih muda itu. Laki-laki yang bertubuh raksasa. Bahkan sikapnya lebih garang dari kakaknya.
Dalam pada itu. Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel telah bergeser menepi. Ketiga orang perempuan yang bersama mereka itu menjadi ketakutan. Sementara itu. cucu Ki Jagabaya itupun berpegangan tangan neneknya erat-erat.
Rara Wulan yang telah menyingsingkan kain panjangnya dan yang kemudian nampak adalah pakaian khususnya itu, telah membuat lawannya menjadi berdebar-debar. Dengan demikian, maka perempuan itu ternyata telah bersiap menghadapi segala kemungkinan, bahkan dalam olah kanuragan.
Demikianlah mereka berduapun bertempur dengan sengitnya. Rara Wulan berloncatan dengan cepatnya, seakan-akan kakinya tidak menyentuh tanah.
Laki-laki yang bertubuh raksasa itu telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Namun ia tidak segera berhasil menguasai lawannya, seorang perempuan yang aneh yang disebutnya sebagai perempuan binal.
"Nah. kau lihat apa yang terjadi?" bertanya Glagah Putih.
"Ya," laki laki itu mengangguk-angguk, "perempuan itu memang bukan perempun kebanyakan."
"Kau benar," sahut Glagah Putih, "kalau kami sedang berselisih, bukan aku yang memukuli isteriku. tetapi isteriku itulah yang memukuli aku."
Laki-laki itu tertawa. Katanya, "Kalau begitu, kau tidak memiliki kemampuan setinggi isterimu?"
"Jika aku berhadapan dengan isteriku memang tidak. Tetapi jika aku berhadapan dengan orang lain. persoalannya agak berbeda. Ada kekuatan lain yang mendukung kemampuanku."
"Kekuatan apa?"
"Yang terkandung didalam ilmuku. Hanya muncul jika aku menghendakinya."
"Kenapa tidak kau munculkan saat kau dipukuli oleh isterimu itu."
"Tidak, karena aku memang menginginkannya."
"Setan kau," geram orang itu.
Glagah Putih tersenyum. Namun tiba-tiba saja bertanya, "Ki Sanak. Kenapa kau menempuh jalan kehidupan sebagaimana kau jalani itu" Apakah kau merasa bahagia?"
Pertanyaan itu agak mengejutkannya. Namun kemudian iapun menjawab, "Aku tidak tahu apakah itu kebahagiaan atau kesenangan atau apapun namanya. Tetapi setiap kali kami berhasil, kami mendapatkan kepuasan. Semakin banyak mendapatkan hasil dari korban-korban kami. maka semakin tinggilah kepuasan itu."
"Kau pernah membunuh korban-korbanmu?"
"Mereka yang melawan terpaksa aku bunuh."
"Dan kau tidak merasa bersalah melakukan pembunuhan itu?"
"Jangan bertanya lagi."
Glagah Putih terdiam Sementara itu, Rara Wulanpun bertempur semakin cepat untuk mengimbangi lawannya. Karena itu maka pertempuran diantara merekapun menjadi semakin seru. Mereka saling menyerang. Keduanyapun setiap kali berloncatan menghindari serangan lawannya. Tetapi kadang-kadang merekapun telah membenturkan kekuatan mereka.
Laki-laki yang tertua itupun kemudian berkata, "Mereka bertempur semakin sengit. Bersiaplah. Aku akan memaksamu menuruti perintahku. Berikan uangamu serta semua harta benda yang kau bawa. Mungkin berupa perhiasan atau berupa emas lantakan atau berupa apapun."
"Jangankan uang dan perhiasan, pada kami harus menghitung-hitung untuk membeli makan dan minum, kecuali untuk anak itu. Kami tidak dapat mengekangnya. Bukankah kau melihat sendiri, apa yang kami minum dan apa yang kami makan" Sederhana sekali. Karena uang kami hanya cukup unluk membeli minuman dan makanan yang sederhana itu."
"Omong kosong. Kau tentu membawa uang banyak serta bermacam-macam bekal."
"Terserah kepada Ki Sanak, Isteriku juga sudah berkelahi. Sekarang akupun siap untuk berkelahi."
Laki-laki yang ditemui di kedai itu tidak bertanya lagi. iapun segera mempersiapkan diri. Demikian pula Glagah Putih.
Sejenak kemudian merekapun sudah mulai terlibat dalam pertempuran. Semakin lama semakin sengit. Laki-laki yang ditemui di kedai itu, yang ingin dengan cepat menyelesaikan perlawanan Glagah Putih, telah dengan cepat meningkatkan ilmunya. Namun ternyata ilmu Glagah Putih masih saja mampu mengimbanginya.
Dengan demikian, maka pertempuran diantara mereka pun telah meningkat menjadi semakin sengit.
Dalam pada itu, Glagah Putih yang masih akan menempuh perjalanan panjang ke Pajang, berniat untuk segera mengakhiri pertempuran itu juga sebagaimana lawannya. Namun sebenarnyalah bahwa ilmu orang yang ditemuinya di kedai itu bukan imbangan ilmu Glagah Putih.
Karena itu. maka dalam waktu singkat, maka Glagah Putihpun segera berhasil menekannya sehingga orang itu tidak lagi mendapat kesempatan. Serangan-serangannya sama sekali tidak berarti lagi. Bahkan beberapa kali ia telah terdorong surut jika serangan Glagah Putih mengenainya.
Semakin lama maka dada orang itu rasa-rasanya menjadi semakin sesak. Setiap kali tangan atau kaki Glagah Putih meloncat sambil memutar tubuhnya kakinya yang menebas mendatar telah mengenai keningnya, sehingga orang itu terkapar jatuh di tanah. Tubuhnya yang membentur batu padas terasa betapa nyerinya. Beberapa bagian tulang-tulangnya serasa telah menjadi retak.
Pada saat orang itu mencoba tertatih-tatih bangkit berdiri, Rara Wulan meluncur dengan derasnya seperti anak panah yang meluncur dari busurnya. Kakinya yang terjulur lurus langsung menghantam dada lawannya sehingga lawannya terlempar beberapa langkah surut. Tubuhnya jatuh terbanting menimpa tebing.
Terdengar orang itu mengaduh. Tetapi orang itu tidak segera dapat bangkit berdiri.
Kakaknya yang berhasil bangkit berdiri terhuyung-huyung. Jika saja Glagah Putih menyentuhnya dengan satu jarinya, maka orang itupun akan terjatuh lagi.
"Lihat adikmu," desis Glagah Putih, "apakah kau akan menolongnya."
"Anak setan," geramnya, "aku bunuh kau."
"Sudahlah. Jangan bermimpi lagi. Sudah waktunya kau terbangun. Tetapi jika kau masih ingin meneruskan penarungan ini aku tidak berkeberatan. Jika kau menganggap bahwa akhir dari pertarungan adalah kematian. maka aku akan segera membunuhmu."
"Jangan, jangan bunuh aku."
"Bukankah itu pikiran gila. Kau akan membunuhku. Jika aku tidak membunuhmu, maka kaulah yang akan membunuhku."
"Tidak. Tidak. Aku tidak akan membunuhmu."
"Apakah kau menyerah?"
"Ya. Aku menyerah."
"Bagaimana dengan adikmu?"
"Ia sudah tidak dapat bangkit berdiri."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun dalam pada itu. tiba-tiba saja mereka dikejutkan oleh derap kaki kuda. Sebelum mereka sempat berbuat sesuatu, maka empat orang penunggang kuda yang memacu kudanya sudah berada dekat di depan mereka setelah kuda-kuda itu menyeberang.
Mereka yang berada di atas tebing sungai itu tidak dapat menghindar lagi. Keempat orang itupun segera naik pula ke atas tebing.
Namun Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera mengetahui, bahwa seorang diantara mereka adalah orang yang rambutnya ubanan yang bertemu di kedai itu.
Para penunggang kuda itupun segera meloncat turun. Orang yang rambutnya mulai ubanan itupun bertanya, "Apa yang telah terjadi disini."
"Ternyata yang Ki Sanak katakan itu benar," sahut Glagah Putih, "orang itu adalah orang yang berbahaya."
"Tetapi agaknya kalian dapat mengatasinya."
"Ya. Kebetulan saja kami dapat mengatasinya."
"Kami datang terlambat. Menurut perhitungan kami, mereka akan menunggu kalian di tempat yang lebih jauh. karena biasanya mereka menunggu senja untuk melakukan pekerjaan kotor mereka."
"Mungkin mereka sedang merintis kebiasaan baru." Orang yang rambutnya mulai ubanan itupun kemudian menyingkapkan baju dan menunjukkan timang di ikat pinggangnya.
"Kau mengenal pertanda semacam ini?" bertanya orang itu.
Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, "Ya. Aku mengenalnya. Ki Sanak ternyata seorang prajurit Pajang."
"Ya. Bukan hanya aku. tetapi kami berempat adalah prajurit Pajang."
Glagah Putih mengangguk-angguk.
Sementara itu prajurit Pajang itupun berkata, "Ki Sanak. Jika Ki Sanak tidak berkeberatan, serahkan kedua orang itu kepadaku. Aku akan membawanya ke Pajang."
Glagah Putihpun mengangguk. Katanya, "Silahkan Ki Sanak. Bawa mereka ke Pajang. Ki Sanak lebih berhak membawa mereka ke Pajang daripada kami."
"Ikat mereka," perintah orang yang rambutnya mulai ubanan itu.
"Baik. Ki Lurah," jawab seorang diantara mereka.
Para prajurit itupun kemudian telah mengikat kedua orang yang bertubuh raksasa itu. Seorang yang bertempur melawan Rara Wulan itu ternyata keadaannya lebih parah. Ketika ia dipaksa bangkit berdiri, maka orang itu mengaduh tertahan.
Tetapi prajurit Pajang itupun mengikat tangannya sebagaimana kakaknya.
"Terima kasih Ki Sanak," berkata orang yang ubanan itu, "mungkin kami memerlukan Ki Sanak di Pajang. Barangkali Ki Sanak bersedia menyebut nama orang yang menjadi tujuan Ki Sanak."
Glagah Putihpun kemudian berpaling kepada Ki Jagabaya yang berdiri termangu-mangu.
Sementara itu orang yang rambutnya ubanan itu berkata, "Mungkin kami memerlukan saksi atas kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang ini. Sebenarnya kami berniat menangkap basah pada saat orang ini merampok kalian. Tetapi keduanya telah melakukan kejahatan itu di luar kebiasaan mereka. Mereka melakukannya kali ini sebelum senja turun."
Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Iapun kemudian bertanya kepada Ki Jagabaya, "Apakah Ki Jagabaya dapat menyebutkan nama saudara Nyi Jagabaya yang tinggal di Pajang itu?"
"Adik isteriku adalah seorang prajurit Ki Sanak."
"Seoiang prajurit" Kebetulan sekali. Mungkin aku dapat menghubunginya. Siapakah namanya?"
"Namanya Sapala. Lengkapnya Jaka Sapala."
"Jaka Sapala?" "Ya."

15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku kenal dengan Ki Lurah Jaka Sapala. Baiklah. Aku akan menghubunginya. Aku akan memberitahukan bahwa saudaranya sedang dalam perjalanan ke Pajang. Itu kalau aku sampai di Pajang lebih dahulu, karena meskipun aku berkuda, tetapi aku membawa dua tawanan. Jika mereka tidak dapat berjalan lebih cepat dari kalian, maka kalianlah yang akan sampai di Pajang lebih dahulu."
"Kami akan berjalan lambat sekali Ki Sanak."
"Baiklah. Jika demikian, kami akan berjalan lebih dahulu. Mudah-mudahan, kami sampai di Pajang mendahului Ki Sanak. Aku akan langsung singgah di rumah Ki Lurah Jaka Sapala untuk memberitahukan akan kedatangan kalian."
"Silahkan Ki Sanak. Kami mengucapkan terima kasih."
Demikianlah, maka keempat orang prajurit itu melanjutkan perjalanan mereka. Kedua orang yang terikat tangannya dengan tali yang panjang itu dipaksa untuk berjalan di belakang kuda para prajurit itu.
Keduanya tertatih-tatih memaksa diri untuk melangkahkan kakinya, meskipun dada mereka terasa masih sakit. Tulang-tulang mereka seakan-akan menjadi retak, sehingga setiap kali mereka mengeluh kesakitan.
Akhirnva para prajurit itu tidak telaten. Mereka berdua diperintahkan untuk naik diatas punggung seekor kuda. sedangkan dua orang prajurit yang tubuhnya tidak begitu besar, naik pula di punggung seekor kuda.
"Nanti bergantian. Kasihan kudanya," berkata prajurit yang rambutnya mulai ubanan itu.
Dengan demikian, maka perjalanan mereka menjadi lebih cepat. Sementara itu. Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah minia kepada yang lain untuk melanjutkan perjalanan mereka.
Sementara itu mataharipun menjadi semakin rendah. Karena itu. maka mereka tidak akan dapat mencapai Pajang pada saat senja turun. Namun mereka berniat untuk berjalan terus, meskipun mereka baru sampai di Pajang malam hari.
Namun betapa letihnya mereka. Perjalanan yang begitu panjang harus mereka tempuh dalam sehari.
Namun dengan demikian pada saat mereka menyadari bahwa mereka tidak akan sampai di Pajang di senja hari. mereka justru tidak menjadi lergesa-gesa lagi. Mereka berjalan saja menurut kekuatan kaki mereka. Jika mereka merasa lelah, merekapun berhenti di pinggir jalan. Bahkan ketika senja turun, mereka telah berhenti di sebuah kedai di sebuah padukuhan yang agak besar.
"Kedai itu masih membuka pintunya," desis Ki Demang.
"Ya. Nampaknya segala sesuatunya masih baru. Beberapa jenis makanan masih nampak mengepul hangat. Demikian pula nasinya," sahut Nyi Jagabaya.
"Mungkin kedai ini memang buka di sore hari. Atau bahkan sehari penuh. Di sore hari mereka menjajakan minuman, makan dan makanan yang baru lagi."
"Kita akan singgah. Cucu Ki Jagabaya itu tentu letih, lapar dan haus," berkata Rara Wulan.
"Ya. Tetapi kali ini, jangan angger yang membayar. Aku akan mendapat giliran untuk membayarnya."
Rara Wulan tersenyum. Tetapi ia harus mengangguk mengiakan. Ia tidak dapat mengatakan, bahwa ia mempunyai bekal uang cukup banyak, karena dengan demikian. Ki Demang akan menganggapnya seorang perempuan yang sombong.
Demikianlah merekapun memasuki kedai yang cukup luas itu. Mereka duduk di sudut kedai itu bersama-sama sehingga merupakan kelompok kecil seperti sekelompok orang yang sedang mengadakan pertemuan.
Ki Demanglah yang kemudian memanggil pelayan kedai itu. Setiap orang dipersilahkan oleh Ki Demang untuk memesan langsung kepada pelayan kedai itu.
Karena pesannya tidak sama. maka pelayan itu agak kesulitan mengingat-ingat.
"Nasi megana telur pindang dan daging empal yang tidak terlalu kering," suara cucu Ki Kebayan melengking.
"Ssst," desis Ki Jagabaya.
"Aku tidak mau yang lain," cucunya justru berteriak lebih keras.
"Baik. baik. ngger," sahut pelayan kedai itu, "kebetulan disini ada nasi megana. Ada telur pindang dan ada daging empal yang digoreng tidak begitu kering."
Ki Jagabaya itupun menggamit cucunya sambil berdesis, "Kau tidak boleh nakal."
"Bukankah aku tidak berbuat apa-apa," sahut cucunya, "aku hanya memesan nasi megana dengan telur pindang dan daging empal itu saja."
"Ya. ya. Sudahlah," desis Nyi Jagabaya. Cucunyapun terdiam.
Yang lain tersenyum-senyum sambil memandang cucu Ki Jagabaya yang nampak bingung.
Kedai yang dibuka di sore hari itu ternyata banyak dikunjungi orang. Agaknya mereka bukan orang yang tinggal disekilar kedai itu. Beberapa orang nampak berpakaian rapi. Agaknya mereka dalang dari padukuhan-padukuhan yang agak jauh.
"Apa yang mereka lakukan disini?" bertanya Rara Wulan.
"Entahlah. Nanti kita bertanya kepada pelayan kedai itu," sebenarnyalah ketika salah seorang pelayan kedai itu menghidangkan pesanan Ki Demang dengan orang-orang yang datang bersamanya. Glagah Putihpun bertanya. "Apakah terbiasa kedai ini buka di sore hari?"
"Tidak setiap hari. Ki Sanak," jawab pelayan itu.
"Kenapa?" "Biasanya kami hanya buka di pagi dan siang hari. Di sebelah itu ada pasar. Tetapi untuk hari-hari seperti hari ini. kami buka sampai jauh malam."
"Hari apa?" "Di ujung padukuhan ini, di belakang pasar itu, ada sebuah gumuk kecil dan sebuah belumbang. Airnya bukan air biasa. Tetapi airnya dapat menyembuhkan orang sakit. Di hari seperti ini, Jumat Keliwon dan Selasa Keliwon gumuk kecil itu banyak di kunjungi orang. Ada makam tua diatas gumuk itu. Beberapa batang pohon raksasa dan sebuah mata air, yang airnya mengalir ke belumbang itu."
"Jadi orang-orang yang singgah di kedai ini adalah orang-orang yang berkunjung ke gumuk kecil itu."
"Ya. Jika Ki Sanak nanti berjalan di depan pasar di sebelah tikungan, maka disanapun ada satu dua kedai yang buka di malam hari. Di tempat-tempat lainpun ada juga kedai-kedai yang buka khusus di hari-hari seperti ini. Malam ini dan esok pagi. Bahkan kami buka di sore hari sejak kemarin."
Glagah Putih mengangguk-angguk.
"Ki Sanak belum pernah datang kemari?"
Glagah Putih menggeleng, "Belum Ki Sanak."
Ketika pelayan itu kemudian pergi, maka Rara Wulanpun berkata, "Jadi hari ini adalah malam Jumat Keliwon."
"Ya," sahut Ki Bekel, "karena itu. maka kita dapat mencium bau kemenyan."
"Jika saja tidak kebetulan kita membawa beban kewajiban kita masing-masing aku ingin singgah di gumuk kecil itu," desis Rara Wulan.
"Aku sebenarnya juga ingin melihatnya," sahut Ki Demang, "tetapi kita harus segera meneruskan perjalanan."
Beberapa saat kemudian, maka merekapun sudah selesai makan dan minum. Setelah beristirahat sebentar, maka merekapun berniat untuk segera meneruskan perjalanan.
Ki Demanglah yang kemudian membayar harga makanan dan minuman mereka, sebagaimana dikehendakinya. Sementara itu Rara Wulan hanya tersenyum-senyum saja meskipun sebenarnya iapun tidak berkeberatan untuk membayar. Tetapi ia tidak ingin menyinggung perasaan Ki Demang.
Sementara itu. beberapa orang sudah masuk pula ke dalam kedai itu. sehingga kepergian mereka dapat segera memberikan tempat kepada orang lain.
"Kedaimu laris sekali," desis Glagah Putih.
Pelayan kedai itupun menjawab, "Banyak sekali orang yang berdatangan ke gumuk kecil itu. Ki Sanak. Seandainya ada tiga atau empat kedai lagi. agaknya masih juga banyak dikunjungi orang. Selebihnya. Nyi Senik pemilik kedai ini rajin mengunjungi gumuk kecil itu pula. Sekarang ia juga tidak ada disini. Nyi Senik sedang berada di gumuk itu. Yang ada itu anak perempuan sulungnya, yang nampaknya juga akan membuka kedai sendiri kelak."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun minta diri pula.
Ketika mereka melewati tikungan, maka merekapun sampai di depan sebuah pasar yang tidak begitu besar. Sepi dan bahkan pintu gerbangnya tertutup rapat. Tetapi disebelah pasar itu ada dua buah kedai yang juga dibuka. Pengunjungnyapun cukup banyak sebagaimana kedainya Nyi Senik.
"Kepercayaan mereka terhadap gumuk kecil serta air belumbang itu ada juga akibat baiknya," berkata Rara Wulan.
"Apa?" "Rejeki bagi beberapa orang di sekitar tempat ini. Bukan hanya kedai-kedai sajalah yang banyak dikunjungi orang. Nah. kau lihat orang berjualan jagung bakar itu juga banyak penggemarnya. Penjual kacang itu juga mendapat pembeli yang cukup banyak. Ia mempunyai cara yang menarik perhatian orang banyak."
"Ia tidak merebus kacangnya satu-satu. Tetapi sebatang dengan sekelompok buahnya."
Glagah Putih dan Rara Wulan itupun sempat memperhatikan beberapa orang lain yang berjualan berbagai macam makanan di pinggir jalan, di simpang tiga atau simpang empat.
Bahkan Rara Wulanpun memerlukan membeli sebungkus onde-onde ceplus untuk bekal di perjalanan yang masih memerlukan waktu beberapa lama, meskipun sudah tidak terlalu jauh lagi.
Ketika kemudian malam turun, maka mereka masih berada di perjalanan. Mereka tidak dapat mencapai Pajang di senja hari.
Namun mereka menjadi berdebar-debar ketika dalam keremangan ujung malam, di arah yang berlawanan nampak dua orang berkuda. Tetapi demikian kedua orang berkuda itu berada beberapa langkah di hadapan iring-iringan kecil itu. merekapun segera berhenti. Kedua penunggangnya segera meloncat turun.
Meskipun malam mulai menjadi gelap, namun ternyata Ki Jagabaya dan Nyi Jagabaya dapat segera mengenali. Seorang diantara mereka adalah orang yang akan mereka datangi di Pajang.
"Adi Jaka Sapala," desis Ki Jagabaya.
"Kakang dan mbokayu Jagabaya," sahut orang itu.
Ki Jagabaya dan Nyi Jagabayapun segera bergeser maju. Nyi Jagabayapun kemudian menepuk bahu Ki Jaka Sapala sambil berkata.
"Kau kelihatan segar sekali."
"Ya mbokayu. Berkat doa mbokayu."
"Sukurlah. Bagaimana dengan keluargamu?"
"' Ini adalah Prayoga. Apakah kakang dan mbokayu masih ingat kepadanya?"
"Prayoga. Jadi anak ini Prayoga yang nakal itu?"
"Ya. Mbokayu," lalu katanya kepada Prayoga, Ini uwa Jagabaya. Bukankah aku pernah bercerita, bahwa salah seorang uwakmu tinggal di kademangan Sima."
Prayoga itupun mengangguk hormat.
Ki Jagabaya mendekatinya. Kedua lengan anak itu diguncangnya sambil berkata, "Aku tidak dapat mengenalimu lagi. Apalagi di malam hari seperti ini."
Ki Jagabaya itupun kemudian memperkenalkan Ki Demang, Nyi Demang, Ki Bekel, Nyi Bekel serta kedua orang suami isteri yang telah berbaik hati bukan saja bersedia mengantar mereka ke Pajang, tetapi juga telah menyelamatkan jiwa mereka."
"Aku mengucapkan terima kasih. Ki Sanak," berkata Ki Lurah Sapala sambil mengangguk hormat.
"Itu sudah menjadi kewajiban setiap orang Ki Lurah," sementara itu Ki Jagabayapun telah memperkenalkan cucunya yang nakal, "Inilah Perdi itu ... adi."
"Perdi yang kecil itu?"
"Ya." Ki Lurah Sapala itupun mengangguk-angguk. Katanya, "Ternyata kita memang sudah lama sekali tidak bertemu kakang."
"Ya. Prayoga sekarang sudah menjadi seorang anak muda yang menjelang dewasa. Ia sudah pandai berpacu diatas punggung kuda."
"Lebih dari sewindu kita tidak bertemu, hingga Prayoga sekarang umurnya sudah duapuluh tahun."
"Aku melihatnya terakhir kalinya. Prayoga baru sebesar cucuku yang nakal ini."
"Nah. sekarang biarlah Perdi naik keatas punggung kuda. Biarlah Prayoga menuntun kudanya."
"Sebenarnya kalian akan pergi ke mana?" bertanya Nyi Jagabaya.
"Kami sengaja menyongsong kakang dan mbokayu. Tadi seorang kawan singgah sebentar di rumahku dan memberitahukan bahwa kakang ke Pajang. Karena itu, kami berdua memang berniat menyongsong kakang dan mbokayu beserta iring-iringan kecil ini."
"Kami minta maaf adi. bahwa kami telah merepotkan. Apalagi jika kami sampai di rumah adi."
"Tidak, tidak mbokayu. Kami sekeluarga akan senang sekali kedatangan mbokayu dan Ki Sanak semuanya."
"Ada peristiwa yang penting yang nanti akan kami beritahukan adi. Karena peristiwa itulah maka kami sekelompok bebahu dari kademangan Sima telah meninggalkan kademangan dan pergi ke rumahmu. Katakan saja bahwa kami telah mengungsi ke rumahmu."
"Mengungsi" Ada apa" Tetapi baiklah, nanti saja kakang dan mbokayu bercerita. Sekarang, marilah kita meneruskan perjalanan. Dibandingkan dengan perjalanan dari Sima, maka Pajang tinggal beberapa langkah saja."
"Kami tidak berangkat dari Sima. adi. Kami berangkai dan Ampel."
"He" " "Biarlah nanti kami ceriterakan."
Sekelompok orang itupun kemudian melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Pajang. Cucu Ki Jagabaya yang nakal itu ternyata sama sekali tidak takut naik di punggung kuda. Apalagi kudanya dituntun oleh Prayoga.
Demikianlah, maka meskipun lambat sekali akhirnya merekapun memasuki pintu gerbang kota Pajang yang terbuka. Ada beberapa orang penjaga pintu gerbang. Dua diantara mereka berdiri di depan pintu gerbang, sebelah menyebelah.
Ketika kedua penjaga itu akan menghentikan iring-iringan itu. maka Ki Lurah Sapala melangkah ke depan sambil menuntun kudanya.
Dengan nada datar Ki Lurah itupun bertanya, "Apakah ada diantara kalian yang mengenal aku?"
Kedua orang prajurit yang bertugas itu termangu-mangu. Sementara itu, Ki Lurahpun telah menyingkapkan bajunya untuk memperlihatkan timang keprajuritannya.
Sementara itu, Lurah prajurit yang bertugas, yang mendengar pembicaraan di pintu gerbang, telah turun dari gardu dan mendekat ke pintu gerbang itu.
Ketika Lurah prajurit itu melihat Ki Lurah Sapala, maka iapun segera mendapatkannya.
"Ki Lurah Sapala."
Ki Lurah Sapala itupun tersenyum. Katanya, "Selamat malam Ki Lurah."
"Agaknya kedua orang prajurit ini belum mengenal aku. Ketika keluar dari pintu gerbang ini, yang bertugas di pintu bukan mereka berdua."
Lurah prajurit itu tertawa. Katanya, "Ya. Baru saja tugas mereka di ganti."
"Ya. Apalagi mereka belum mengenal aku."
"Tetapi Ki Lurah malam-malam begini telah pergi ke mana?"
"Menyongsong keluargaku. Aku mendapat pesan dari seorang Lurah Prajurit yang datang dengan membawa dua orang tawanan, bahwa keluargaku berada dalam perjalanan ke Pajang. Karena itu, maka aku dan anakku telah menyongsongnya."
Lurah Prajurit yang bertugas itupun telah mengangguk hormat kepada orang-orang yang datang bersama Ki Lurah Sapala.
"Ki Sanak baru datang dari mana?" bertanya Lurah Prajurit itu, "Ki Sanak semuanya kelihatannya sangat letih."
"Kami datang dari Ampel, Ki Lurah," jawaban Ki Demang.
"Satu perjalanan yang sangat panjang."
"Ya. Kami berangkat sebelum matahari terbit."
"Silahkan. Silahkan. Ki Sanak tentu segera ingin beristirahat."
Demikianlah, maka iring-iringan itupun segera meneruskan perjalanan memasuki pintu gerbang Pajang.
Rumah Ki Lurah Sapala itu sudah berada di depan hidung mereka, setelah mereka menempuh perjalanan yang jauh.
Sebenarnyalah beberapa saat kemudian, mereka telah memasuki regol halaman rumah Ki Lurah Sapala. Rumah yang terhitung besar dan lengkap meskipun tidak berlebihan. Rumah yang sesuai bagi seorang Lurah Prajurit.
"Inilah rumahku," berkata Ki Lurah Sapala. Merekapun kemudian telah berada di halaman rumah Ki Lurah Sapala. Rumah dan halamannya yang nampaknya sepadan dengan rumah Ki Demang di Sima. Rumah yang harus ditinggalkannya untuk mengungsi.
Ki Lurah yang menyadari bahwa orang-orang yang baru datang itu tentu sangat letih, segera mempersilahkan mereka naik ke pendapa dan duduk di pringgitan. Diatas tikar pandan yang putih bergaris biru.
"Silahkan duduk seenaknya saja mbokayu, kakang dan Ki Sanak semuanya. Aku tahu, bahwa kalian tentu sangat letih. Bahkan yang akan berbaring, silahkan berbaring. Bilik-bilik di gandok kiri dan kanan baru dibersihkan. Nanti setelah minum minuman hangat serta makan malam yang tentu sudah terlambat kami persilahkan kalian beristirahat di bilik-bilik yang berada di gandok. Yang akan mandi atau membersihkan kaki dan tangan, nanti aku persilahkan ke pakiwan. Pokoknya, seenaknya sajalah."
Cucu Ki Jagabaya, yang meskipun sempat naik di punggung kuda, tetapi iapun merasa sangat letih. Karena itu, maka anak itupun langsung berbaring di pringgitan.
"Kau belum mencuci kakimu. Apalagi mandi."
"Sudah kek," sahut anak itu, "aku sudah mandi di sungai."
"Tetapi kau tentu sudah menjadi kotor lagi oleh debu."
"Aku letih sekali kek."
"Biarlah anak itu berbaring dahulu," berkata Ki Lurah Sapala, "anak itu tentu sangat letih."
Demikianlah beberapa saat kemudian, minuman dan makananpun telah dihidangkan oleh Nyi Lurah yang kemudian ikut pula duduk menyambut tamu-tamunya.
"Begitu cepatnya adi," desis Nyi Jagabaya.
Nyi Lurahpun tersenyum sambil menjawab, "Sebelum mbokayu dan kakang serta Ki Sanak semuanya datang kami sudah diberitahu, bahwa malam ini kami akan mendapat tamu."
"Kami mohon maaf, Nyi," berkata Nyi Demang, "kami telah sangat merepotkan Ki Lurah dan Nyi Lurah."
"Tidak. Tidak apa-apa. Kami senang sekali mendapat kunjungan kakang, mbokayu dan Ki Sanak semuanya."
Demikianlah setelah minum seteuuk serta makan sepotong makanan, maka merekapun bergantian pergi ke pakiwan Namun demikian letihnya, sehingga rasa-rasanya mereka sudah tidak mampu lagi bangkit dan berjalan ke pakiwan.
Namun ternyata cucu Ki Jagabaya itu dalam waktu yang singkat telah tertidur pulas, sehingga Ki Lurah Sapalapun berkata, "Sudahlah. Jangan dibangunkan. Kasihan. Anak itu tentu merasa sangat letih setelah menempuh perjalanan yang sedemikian panjangnya pada usianya yang masih remaja."
Setelah semuanya mandi dan berbenah diri, maka merekapun dipersilahkan duduk di ruang dalam. Nyi Lurah Sapala telah menyediakan makan malam bagi mereka yang baru datang itu.
"Kami sangat merepotkan adi berdua," berkata Nyi Jagabaya.
"Ah. tidak apa-apa, mbokayu. Kami sudah terlalu sering menerima tamu sebanyak ini. Bahkan kadang-kadang sekelompok prajurit kakang Sapala datang kemari dengan tiba-tiba setelah menyelesaikan satu tugas tertentu. Mereka langsung saja berteriak, "Makan Nyi Lurah, makan."
Nyi Jagabaya tertawa. Sementara Nyi Lurahpun berkata selanjutnya, "Dengan demikian, kadang-kadang aku menjadi tergesa-gesa menyediakan makan untuk mereka yang kadang kadang jumlahnya sampai dua puluh atau dua puluh lima orang."
Yang mendengarkan cerita itupun tertawa. Apalagi ketika Ki Lurah berkata, "Jika sudah demikian, maka akulah yang harus melayaninya. Menyediakan kayu bakar, air di gentong, bahkan kadang-kadang akulah yang mencuci dandang."
Nyi Lurahpun tertawa pula.
Ketika mereka mulai makan, maka Prayogapun berkata, "Biarlah aku menunggu Perdi di pringgitan."
"Atau bawa saja ke bilik di ujung gandok sebelah kiri. Tunggu anak itu di bilik itu, agar tidak terkena angin malam di pringgitan," berkata Ki Lurah.
"Baik. ayah," jawab Prayoga.
Namun Nyi Lurah itupun kemudian berkata kepada Prayoga, "Kau tentu dapat memarami kaki anak itu, agar esok pagi. ia tidak merasakan betisnya sakit. Dengan param itu, maka ia tidak akan merasa terlalu letih lagi."
"Baik ibu," jawab Prayoga.
"Terima kasih ngger," berkata Nyi Jagabaya kemudian.
"Nanti mbokayu, kakang dan yang lain jika ingin mempergunakan param, aku mempunyai persediaan cukup banyak. Para prajurit yang letih setelah melakukan tugasnya, sering juga minta param kepadaku."
"Terima kasih. Nyi. Nanti aku minta param itu," sahut Rara Wulan.
Glagah Putih sempat menggamit isterinya. Tetapi Rara Wulan tidak berpaling.
Demikianlah maka mereka yang baru datang ke rumah Ki Lurah itupun makan dengan lahapnya. Meskipun mereka sudah singgah di kedai, tetapi rasa-rasanya mereka telah menjadi lapar lagi.
Meskipun tidak lapar, tetapi Ki Lurah dan Nyi Lurah ikut mengantar tamunya yang sedang makan itu meskipun hanya sedikit.
Sambil makan, maka Ki Jagabayapun sempat menceriterakan. apa yang telah terjadi di Sima sehingga Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel harus mengungsi ke Ampel. Tetapi mereka merasa bahwa mereka masih saja berada di bawah bayangan kebengisan orang-orang yang telah datang ke Sima, mengemban tugas dari perguruan Kedung Jati serta dari kadipaten Demak.
Ki Lurah Sapala mendengarkan ceritera itu dengan seksama. Sekali-sekali Ki Lurah itu mengangguk-angguk. Namun kemudian Ki Lurah itupun menarik nafas panjang.
"Jadi kedua orang suami isteri inilah yang telah menyelamatkan kami dari maut yang disebarkan oleh orang-orang dari perguruan Kedung Jati itu."
Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih, Ki Sanak. Tetapi maaf jika Ki Sanak tidak berkeberatan, kami ingin tahu, siapakah Ki Sanak berdua ini sebenarnya?"
"Kami adalah orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Ki Lurah. Kami sebenarnya bukan apa-apa meskipun kami selalu melibatkan diri dengan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Namun kepergian kami sekarang mengemban perintah Ki Patih Mandaraka serta Kanjeng Pangeran Purbaya untuk tugas-tugas sandi."
"Tugas khusus apakah yang harus Ki Sanak laksanakan?"
"Seperti yang aku katakan, mengemban perintah Ki Patih Mandaraka serta Kanjeng Pangeran Purbaya."
Ki Lurah Sapala menarik nafas panjang. Ia tidak dapat memaksa jika petugas sandi itu sendiri tidak berniat untuk mengatakannya.
"Aku minta maaf Ki Lurah, bahwa aku tidak dapat mengatakan lebih terperinci lagi. Barangkali Ki Lurah dapat melihat pertanda yang ada padaku sebagai petugas sandi di bawah perintah Ki Patih Mandaraka serta Kanjeng Pangeran Purbaya."
Glagah Putihpun menyingkapkan bajunya pula, sehingga nampak timang pertanda khusus yang dipakainya.
Ki Lurah Sapalapun tiba-tiba mengangguk hormat. Katanya, "Ki Sanak telah dibebani tugas yang berat dengan wewenang khusus meskipun Ki Sanak bukan seorang prajurit. Jarang orang Mataram yang mendpat wewenang begitu besar seperti Ki Sanak itu."
"Ki Lurah. Dalam hubungan para pendatang di Sima, aku minta Ki Lurah dapat membicarakan ke tingkat yang lebih tinggi di Pajang. Mungkin akan sangat berguna bagi Mataram. Jika ada kekuatan dari sebelah Utara Gunung Kendeng maka Pajang harus menyadarinya."
Ki Lurah Sapala mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Pajang harus menaruh perhatian yang besar terhadap gerakan dari Utara itu. Namun mudah-mudahan gerakan itu hanyalah bayangan mimpi satu dua orang pejabat tinggi di Demak, sehingga apabila Kanjeng Pangeran Puger mengetahui, maka Kanjeng Pangeran Puger akan mengambil tindakan."
"Sebelum segala sesuatunya terjadi, maka sebaiknya Pajang berhati-hati."
"Baik, Ki Sanak tetapi barangkali aku dapat menyebut nama Ki Sanak."
"Namaku Glagah Putih. Perempuan ini adalah isteriku Namanya Rara Wulan."
"Terima kasih, Ki Glagah Putih berdua. Kami akan berusaha untuk menarik perhatian ketingkat yang lebih tinggi. Aku akan menghadap pemimpinku untuk menyampaikan persoalan ini."
"Ki Lurahpun harus menyembunyikan Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel dari penglihatan petugas sandi dari Demak serta para petugas dari perguruan Kedung Jati. Bahwa Ki Demang. Ki Jagabaya dan Ki Bekel hilang dari Sima, tetap akan menjadi perhatian mereka. Apalagi di Sima telah terjadi pembunuhan terhadap orang-orang mereka Para petugas dari Demak dan dari perguruan Kedung Jati tentu tidak akan melepaskan Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel begitu saja. Jika mereka mendapat keterangan dari siapapun juga, bahwa Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel berada di Ampel. merekapun tentu akan memburunya. Demikian pula jika mereka sedikitnya menduga, bahwa Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel itu pergi ke Pajang. Mereka tentu akan mencarinya di Pajang."
"Baik, Ki Glagah Putih. Aku adalah seorang prajurit. Biarlah aku berusaha untuk melakukannya."
Demikianlah, ketika mereka sudah selesai makan serta sedikit berbincang tentang berbagai kemungkinan, maka Ki Lurah Sapalapun kemudian berkata, "Nah, sekarang silahkan beristirahat lebih dahulu. Semuanya tentu letih. Jika kalian ingin mempergunakan param, isteriku telah menyediakannya."
Ternyata Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel beserta isteri-isteri mereka, akan mencoba mempergunakan param yang hangat yang disediakan oleh Nyi Lurah Param yang terbuat dari reremuan beberapa jenis akar-akaran serta gelepung beras serta sedikit garam itupun diberi sedikit air sehingga menjadi lumat seperti lumpur. Kemudian digosokkan di betis dan terutama di pergelangan kaki sehingga rasanya menjadi hangat.
"Bagaimana dengan Ki Glagah Putih berdua?"
Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum. Dengan nada datar Glagah Putihpun menyahut, "Kami adalah pengembara. Ki Lurah. Pekerjaan kami adalah berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain, karena itu, maka kami sudah terbiasa menempuh perjalanan jauh. Bahkan lebih jauh dari perjalanan kami kali ini."
Ki Lurahpun tertawa pula.
Demikianlah, maka sejenak kemudian mereka telah ditempatkan di bilik mereka masing-masing. Sebagian berada di gandok kanan dan yang lain di gandok kiri. Ada beberapa bilik di kedua gandok rumah Ki Lurah Sapala itu.
Malam itu, Perdi, cucu Ki Jagabaya nampak agak gelisah. Anak itu tentu merasa sangat letih Untunglah bahwa Prayoga telah melumuri kaki anak itu dengan param yang hangat, sehingga terasa letihnya menjadi sedikit berkunang.
Seperti biasanya, di tempat yang asing, maka Glagah Putih dan Rara Wulan memanfaatkan sisa malam itu untuk tidur bergantian, Glagah Putih memberi kesempatan Rara Wulan untuk tidur lebih dahulu. Baru kemudian di dini hari, Rara Wulanpun terbangun dan memper-silahkan Glagah Putih untuk tidur meskipun hanya sebentar.
Ternyata malam itu, mereka yang baru datang dan Ampel itupun dapat tidur dengan nyenyak. Param di kaki mereka, telah membuat mereka menjadi lebih nyaman sehingga mereka dapat tidur dengan lelap.
Dalam pada itu, menjelang fajar, Glagah Putih dan Rara Wulan telah bersiap-siap. Mereka telah mandi dan berbenah diri. Hari itu mereka ingin kembali ke Sima untuk melihat perkembangannya sepeninggal Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel.
Agaknya Ki Lurah Sapala agak terkejut juga melihat bahwa kedua orang suami isteri itu sudah bersiap.
"Ki Glagah Putih dan Nyi Glagah Putih akan pergi kemana sepagi ini?"
"Kami harus kembali ke Sima, Ki Lurah."
"Kenapa begitu tergesa-gesa" Kenapa tidak esok saja atau esok lusa."
"Kami ingin segera mengetahui perkembangan keadaan di Sima sepeninggal beberapa orang bebahunya. Justru para bebahu yang memegang kepemimpinan di Sima."
"Tetapi Ki Glagah Putih berdua tentu masih letih."
"Sudah kami katakan, bahwa kami adalah pengembara yang tidak pernah berhenti menempuh perjalanan dari hari ke hari."
Ki Lurah Sapala suami isteri, bahkan Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel suami isteri tidak dapat mencegahnya. Namun Ki Lurah telah memaksanya untuk menunggu minuman disiapkan.
Glagah Putih dan Rara Wulan tidak dapat menolak. Merekapun menunggu sampai Nyi Lurah Sapala menghidangkan minuman hangat di pringgitan.
"Minumlah dahulu," berkata Ki Lurah Sapala. Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian menghirup minuman yang masih hangat itu. serta makan beberapa potong makanan yang telah disediakan.
Baru kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan dapat meninggalkan rumah Ki Lurah Sapala.
Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel suami isteri berulang-ulang mengucapkan terima kasih kepada mereka. Demikian pula Ki Lurah Sapala. Bahkan Ki Lurahpun sangat berterima kasih atas beberapa keterangan Glagah Putih dan Rara Wulan tentang keadaan di Sima.
"Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel akan dapat memberikan keterangan lebih banyak lagi," berkata Glagah Putih.
"Ya. Aku akan mengajak mereka untuk berbicara dengan atasanku. Mudah-mudahan keterangan mereka akan dapat memberikan masukan bagi kesiagaan Pajang menghadapi para petugas sandi dari Demak serta dari Perguruan Kedung Jati."
"Tetapi Ki Lurah juga harus peduli akan keselamatan Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel beserta keluarganya."
"Aku akan mengusahakannya. Ki Glagah Putih."
"Baiklah, kami mohon diri. Salam buat cucu Ki Jagabaya yang masih tidur nyenyak. Biar sajalah ia beristirahat secukupnya."
Demikianlah, maka Glagah Putih dan Kara Wulan pun kemudian telah meninggalkan rumah Ki Lurah dan selanjutnya meninggalkan Pajang. Keduanya akan menempuh perjalanan kembali ke Sima untuk melihat perkembangan kademangan itu sepeninggal Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel.
Di Pajang. Ki Lurah Sapala tidak dapat mengabaikan keselamatan Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel yang berada di rumahnya, untuk sementara Ki Lurah minta agar mereka tidak keluar dari regol halaman rumahnya. Bahkan sebaiknya mereka tetap berada di batas pintu seketeng, Ki Lurahpun telah mempersiapkan mereka untuk tidak tidur di gandok karena akan lebih mudah terlihat oleh orang lain. Karena itu, maka Ki Lurah telah menyiapkan bilik-bilik di serambi samping, menghadap ke longkangan dibelakang pintu seketeng.
"Aku harus menjaga keselamatan mereka," berkata Ki Lurah kepada isterinya.
"Maksud kakang?"
"Aku harus menempatkan petugas sandi di rumah ini. Aku yakin bahwa para petugas sandi dari Demak dan dari Perguruan Kedung Jati akan tetap memburu Ki Demang, kakang Jagabaya dan Ki Bekel, justru karena mereka bertiga adalah orang-orang terpenting di kademangan Sima."
"Jadi rumah ini akan dijaga oleh beberapa orang prajurit."
"Tidak, Nyi. Tetapi kau tentu akan menjadi semakin sibuk. Mungkin petugas sandi itu akan berada di rumah ini sebagai seorang tamu atau sebagai seorang yang mengurusi kuda atau untuk keperluan-keperluan lain. Tetapi sedikitnya harus ada dua orang petugas sandi di rumah ini."
Isterinya mengangguk-angguk. Tetapi ia sama sekali tidak mengeluh apapun yang harus dilakukannya, jika itu merupakan dukungan terhadap tugas-tugas suaminya.
Sementara itu. Glagah Putih dan Rara Wulan telah berjalan semakin jauh dari Pajang. Adalah satu kebetulan bahwa di Pajang ia telah bertemu dengan seorang Lurah Prajurit. Ia yakin bahwa Ki Lurah Sapala akan dapat mengangkat persoalan beberapa orang yang mengungsi ke rumahnya itu ke tataran yang lebih tinggi, sehingga Pajang harus mengambil kesimpulan, bahwa Pajang sebagai satu kadipaten, harus berhati-hati menghadapi Demak yang akan bekerja sama dengan perguruan Kedung Jati.
"Pajang seharusnya tidak saja mengamati di dalam lingkungan rumah tangganya sendiri. Tetapi Pajang harus mengirimkan petugas sandinya keluar. Untuk waktu yang dekat. Pajang harus mengirimkan petugas sandinya ke Sima."
"Ya, kakang. Tidak seharusnya Pajang hanya sekedar menunggu. Jika Pajang lengah, maka bukan hanya Sima yang akan menjadi landasan kekuatan Demak dan perguruan Kedung Jati. Tetapi Pajang akan dapat dikuasai oleh Demak, setidak-tidaknya pengaruhnya."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Kita akan melihat perkembangan keadaan di Sima. Jika keadaannya mendesak, maka kita akan segera kembali ke Mataram untuk melaporkan perkembangan keadaan. Tetapi jika kita sebut bahwa Demak mulai menebarkan pengaruhnya bersama-sama dengan perguruan Kedung Jati, maka Mataram tentu akan terkejut sekali.
"Bahkan mungkin kita tidak akan dipercayainya kakang."
"Ya. Mungkin sekali. Mungkin sekali kita dianggap telah mengada-ada. Karena kita gagal menjalankan tugas kita menguasai tongkat baja putih itu, maka kita lalu mencari-cari perkara."
"Hanya jika kita dapat membawa bukti-bukti yang meyakinkan, kita akan dipercaya."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Keduanyapun melangkah semakin cepat. Tanpa orang lain, mereka dapat berjalan jauh lebih cepat dari kemarin.
Dalam pada itu, maka Ki Lurah Sapala di Pajang telah pergi pula untuk menemui kawannya, seorang Lurah prajurit yang rambutnya sudah mulai ubanan, yang semalam datang ke rumahnya dengan membawa dua orang tawanan. Orang itulah yang memberitahukan kepadanya, bahwa keluarganya sedang dalam perjalanan ke Pajang.
"Selamat pagi Ki Lurah Sapala," sapa prajurit yang rambutnya sudah ubanan itu.
"Selamat pagi, Ki Lurah Tandawira."
"Silahkan naik, Ki Lurah."
Keduanyapun kemudian duduk di pringgitan rumah Ki Lurah Tandawira.
"Pagi-pagi Ki Lurah sudah mengunjungi aku. Mungkin ada sesuatu yang penting, Ki Lurah. Mungkin tentang keluarga Ki Lurah yang semalam dalam perjalanan ke Pajang. Apakah mereka sudah sampai ke rumah Ki Lurah Sapala?"
"Sudah, sudah Ki Lurah. Mereka sudah berada di rumahku. Aku datang untuk mengucapkan terima kasih atas keterangan Ki Lurah sehingga aku sempat menyongsong mereka meskipun sudah tidak terlalu jauh dari Pajang."
"Sukurlah. Namun nampaknya iring-iringan itu adalah iring-iringan yang sudah siap menempuh perjalanan jauh dengan segala macam kemungkinan-kemungkinannya. Ternyata dua orang penyamun yang ditakuti banyak orang itu, tidak berdaya menghadapi keluarga Ki Lurah Sapala."
"Ternyata itu ada ceriteranya, Ki Lurah Tandawira. Aku datang juga ingin berbicara tentang kelebihan dua orang yang kebetulan berada dalam iring-iringan itu. Sebenarnya bukan kebetulan, karena mereka memang sengaja mengantar keluargaku."
"Jadi?" "Ki Lurah. Ternyata keluargaku itu telah membawa berita yang sangat menarik untuk dicermati."
"Tentang apa. Ki Lurah."
"Ki Lurah Tandawira," berkata Ki Lurah Sapala, "menurut pengertianku kepergian Ki Lurah dalam tugas sandi semata-mata dalam hubungannya dengan tindak kejahatan yang semakin sering terjadi di sekitar Pajang, sehingga rasa-rasanya Pajang telah menjadi kota yang menyeramkan. Selama ini Pajang sudah berhasil meningkatkan citranya menjadi kota yang lebih bersih, lebih semarak dan lebih ceria. Namun ternyata di sekitar kota telah tumbuh berbagai macam kejahatan, antara lain kelompok-kelompok penyamun dan perampok. Untuk membersihkan mereka itulah agaknya antara lain tugas Ki Lurah Tandawira."
"Ya. Ki Lurah benar."
"Ternyata ada persoalan lain yang harus mendapat perhatian Pajang. Ki Lurah," Ki Lurah Sapala berhenti sejenak, lalu iapun menceriterakan tentang keadaan di Sima sehingga kenapa keluarganya yang menjadi bebahu di kademangan Sima harus mengungsi bersama Ki Demang dan Ki Bekel.
Ki Tandawira mendengarkan keterangan Ki Lurah Sapala itu sambil mengangguk-angguk. Demikian Ki Lurah Sapala melesai, maka Ki Lurah Tandawira pun berkata, "Hampir tidak masuk akal bahwa Demak telah terlibat bersama perguruan Kedung Jati yang telah menggeliat kembali. Agaknya perguruan Kedung Jati ingin merebut kembali pengaruhnya atas Jipang. Namun kali ini yang menjadi sasaran adalah Demak untuk kemudian menguasai Mataram."
"Ada bedanya. Ki Lurah Pengaruh perguruan Kedung Jati sangat besar atas para pemimpin di Jipang, karena beberapa orang pemimpin yang berperan di Jipang memang para pemimpin perguruan Kedung Jati itu sendiri. Sedangkan di Demak, para pemimpinnya bukan orang-orang dari perguruan Kedung Jati."
"Tetapi dapat saja perguruan Kedung Jati perlahan-lahan menghunjamkan pengaruhnya terhadap para pemimpin di Demak yang sejak semula memang sudah mendapat warisan kecewa dan sesal terhadap kepemimpinan Pajang dan kemudian Mataram. Bahkan kemanunggalan Mataram semasa pimpinan Panembahan Senapati dengan Jipang dibawah Pangeran Benawa, telah melemparkan Kangjeng Adipati Demak setelah dinobatkan menggantikan Kangjeng Sultan Hadiwijaya di Pajang. Bukankah para pemimpin dari Demak yang mendapat kedudukan sangat baik di Pajang menjadi kecewa. Nah, kekecewaan itu tentu mereka wariskan kepada para pemimpin Demak hingga sekarang."
"Ya," Ki Lurah Sapala mengangguk-angguk, "karena itulah maka yang harus mendapat perhatian Pajang tentu bukan hanya para perampok dan para penyamun yang semakin mengotori jagad Pajang. Tetapi tidak mustahil, bahwa para petugas sandi dari Demak dan perguruan Kedung Jati itu akan memasuki lingkungan kota Pajang."
Kitab Mudjidjad 20 Dewa Arak 92 Memperebutkan Batu Kalimaya Dendam Jago Kembar 1
^