Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 31

15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 31


"Ya. Aku sependapat."
"Karena itu, Ki Lurah. Apakah tidak sebaiknya kita menarik persoalan ini keatas, sehingga para pemimpin di Pajang menyadari bahwa sebenarnyalah ada bahaya lain selain perampok dan penyamun itu. Bahkan menurut pendapatku, bahaya ini jauh lebih besar dari bahaya keberadaan perampok dan penyamun itu."
"Aku mengerti, Ki Lurah Tandawira, kita bersama-sama meyakinkan para pemimpin tentang kemungkinan buruk yang datang dari Demak dan Perguruan Kedung Jati itu."
"Nanti siang aku akan berbicara dengan Ki Rangga. Mudah-mudahan Ki Rangga bersedia mendengarnya. Setelah itu. mungkin sekali Ki Lurah Sapala akan dipanggil oleh Ki Rangga, agar Ki Lurah dapat memberikan keterangan lebih jauh."
Ki Lurah Sapala itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku akan menunggu. Namun sebelum itu, aku akan minta tolong kepada para petugas sandi untuk mengawasi rumahku. Mungkin sekali, orang-orang yang berada di rumahku itu akan di buru. Orang-orang Demak dan orang-orang perguruan Kedung Jati menganggap mereka orang-orang yang sangat berbahaya."
"Itulah sebabnya, maka kita harus segera menanganinya. Jika orang-orang Demak dan orang-orang perguruan Kedung Jati menyadari, bahwa persoalan mereka telah ditangani langsung oleh Pajang dan Mataram, maka mereka tentu menganggap bahwa tidak ada gunanya memburu keluarga Ki Lurah itu."
"Ya. Tetapi sebelum itu maka mereka harus mendapat perlindungan, sementara aku sendiri sering keluar rumah karena tugas-tugasku."
"Aku mengerti. Aku akan ikut mengatur tentang pengamanan keluarga Ki Lurah Sapala."
Ki Lurah Tandawira dan Ki Lurah Sapala memang bergerak cepat. Sejak hari itu, maka di rumah Ki Lurah Sapala telah tinggal pula dua orang petugas sandi. Seorang diantara mereka membantu mengurusi kuda Ki Lurah yang sebelumnya dilakukan oleh Prayoga sendiri, sedangkan yang seorang bertugas membersihkan halaman serta kebun diseputar rumah Ki Lurah Sapala.
Sementara itu, Ki Lurah Sapala dan Ki Lurah Tandawira telah menyampaikan persoalan tentang para petugas dari Demak dan dari perguruan Kedung Jati yang berada di Sima kepada atasan mereka yang telah menyatakan kesediaan mereka untuk menyampaikan kepada tataran yang lebih tinggi lagi.
Sementara itu. Glagah Putih dan Rara Wulan sudah menjadi semakin jauh dari Pajang. Mereka berjalan dengan cepat menuju ke Sima. Namun mereka tidak menempuh jalan yang mereka lalui ketika mereka berjalan dari Ampel ke Pajang serta jalan yang mereka lewati ketika mereka berangkat menuju ke Sima.
Jalan yang mereka tempuh dari Pajang ke Sima adalah jalan yang lebih kecil, tetapi lebih pendek.
Mereka justru memilih jalan melalui Blulukan, kemudian menyeberang Kali Pepe menuju ke Utara.
Jalan yang mereka lalui adalah jalan-jalan yang tidak terlalu ramai. Meskipun demikian, mereka juga melalui beberapa padukuhan yang besar dengan tingkat kehidupan penghuninya cukup baik. Bahkan merekapun telah melewati pasar yang cukup besar pula. Meskipun Glagah Putih dan Rara Wulan ketika melewati pasar itu, matahari sudah hampir mencapai puncaknya, namun pasar itu masih agak ramai. Masih banyak para pedagang yang belum mengemasi sisa barang-barangnya, sedang masih banyak juga orang yang berniat untuk berbelanja.
Seperti kebanyakan pasar yang ramai, maka di dekat pasar itu terdapat tiga ampat kedai yang masih buka. Satu dua orang masih berada di dalam kedai itu. Bahkan kedai yang berada di ujung, masih nampak dikunjungi beberapa orang.
"Kita memilih yang paling sepi," berkata Glagah Putih.
"Tetapi yang paling ramai yang agaknya masakannya paling enak. Buktinya kedai itu banyak dikunjungi orang."
"Belum tentu. Letak kedai itu juga berpengaruh."
"Ketika kedai-kedai itu masih baru, mungkin letaknya sangat berpengaruh. Tetapi semakin lama, orang-orang yang sering mengunjungi kedai itu tentu akan mengenalinya. Masakan dari kedai yang manakah yang paling sesuai dengan mereka."
"Tetapi pasar ini dikunjungi oleh orang banyak. Belum tentu semuanya pernah makan di kedai-kedai itu sehingga mereka dapat mengetahui, masakan di kedai yang manakah yang paling enak masakannya."
"Biasanya yang datang ke pasar yang sama adalah orang-orang yang sama. Jarang sekali orang asing datang untuk mengunjungi sebuah pasar."
"Kita berdua ?"
"Tetapi itu satu kebetulan."
"Kebetulan itu dapat terjadi pada banyak orang."
"Banyak orang, banyak orang. Kakang selalu saja asal bersikap dan berkata beda," tiba-tiba saja tangan Rara Wulan telah mencubit lengan Glagah Putih.
"Rara, jangan. Aku belum menguasai ilmu kebal."
"Biar saja. Biar saja kulit kakang terkelupas."
"Lepaskan. Aku tidak akan membantah lagi."
"Katakan bahwa kedai yang paling enak masakannya adalah kedai yang paling banyak dikunjungi orang."
"Ya, ya." "Katakan." "Ya. Kedai yang paling ramai adalah kedai yang dikunjungi banyak orang. Lepaskan, kita akan dapat menjadi tontonan."
Rara Wulan memang melepaskannya. Namun ia masih bergumam, "Awas jika kau membantah lagi."
Glagah Putih tersenyum sambil mengusap lengannya yang pedih.
"Kau masih juga tertawa ?"
"Tidak. Tidak."
"Aku mau singgah di kedai yang banyak dikunjungi orang. Terserah, kau akan ikut atau tidak," berkata Rara Wulan.
"Ya, ya. Aku ikut."
Rara Wulanpun segera masuk ke kedai yang berada di ujung, yang paling banyak dikunjungi orang.
Merekalpun kemudian mencari tempat di sudut kedai itu. Seorang Pelayan yang melihat mereka masuk, segera menghampiri mereka.
Sambil mengangguk hormat pelayan kedai itupun bertanya, "Apa yang harus kami sediakan buat Ki Sanak ?"
"Nasi langgi, dawet cendol buat kami berdua," pesan Rara Wulan.
"Nanti dulu, Rara. Aku ingin nasi yang lain."
"Tidak. Harus nasi langgi dan dawet cendol."
Glagah Putih tertawa tertahan. Rara Wulan masih nampak jengkel sekali.
Ketika Glagah Putih mau berbicara, Rara Wulan mendahuluinya, "Jika kau pesan yang lain, nanti lenganmu yang satu lagi juga akan terkelupas. Bahkan jika kau mempunyai Aji Lembu Sekilan, aku akan mengetrapkan Aji Sapu Lebu."
Glagah Putih tidak dapat menahan tertawanya. Sambil bergeser sedikit menjauh, iapun berkata, "Aku percaya bahwa kau memang sering menyapu dan membersihkan lebu."
"Apa " Apa "," Rara Wulan bergeser mendekat. Tetapi akhir-akhirnya iapun tertawa pula.
Sejenak kemudian, pelayan kedai itupun menghidangkan yang dipesan oleh Rara Wulan. Nasi Langgi dan dawet cendol.
"Terima kasih," desis Rara Wulan.
Sejenak kemudian, maka merekapun mulai menikmati minuman dan makan yang mereka pesan. Namun demikian Rara Wulan menghirup dawet cendolnya, nampak wajahnya berkerut.
Tetapi Rara Wulan diam saja. Bahkan kemudian iapun mulai menyuapi mulutnya dengan nasi langgi. Nasi dengan lauk telur dadar, sambal lombok goreng, dendeng ragi serta beberapa macam lagi.
Namun demikian Rara Wulan mulai mengunyah, ia menjadi semakin gelisah. Sementara itu, Glagah Putihpun makan dan minum dengan lahapnya.
"Kenapa Rara ?" bertanya Glagah Putih.
"Apakah lidahmu tidak merasakannya ?"
"Merasakan apa " Maksudmu masakan makan serta minuman di kedai ini ?"
"Ya." "Kenapa " Bukankah nasi langgi ini nikmat sekali. Begitu segernya dawet cendol ini ?" berkata Glagah Putih sambil menghirup dawet cendolnya.
Rara Wulan bergeser mendekat sambil berdesis perlahan, "Jika kakang masih menggodaku, aku tantang kau berperang tanding."
Glagah Putih tertawa pula. Katanya, "Hamba mohon ampun. Tetapi nasi langgi di sini serta dawet cendolnya, ternyata tidak memenuhi seleraku. Bagaimana dengan kau " Kau masih mempertahankan pendapatmu ?"
"Tetapi kakang juga sudah mengatakan bahwa di kedai yang paling ramai ini masakannya tentu yang paling enak."
"Siapa yang mengatakan ?"
"Tadi kakang sudah mengatakannya."
"Aku mengatakan bahwa kedai yang paling ramai adalah kedai yang dikunjungi banyak orang."
"Curang, kakang curang," geram Rara Wulan sambil menggapai lengan Glagah Putih yang satu lagi. Tetapi Glagah Putih cepat-cepat berdesis, "Aku minta ampun. Aku minta ampun. Bukankah sudah aku katakan."
Namun Rara Wulan masih sempat mencubit lengan itu sehingga Glagah Putih menyeringai menahan sakit.
"Sudah. Sudah. Lihat orang berkumis itu. Ia memperhatikan kita."
"Biar saja." Namun akhirnya Rara Wulanpun melepaskan lengan Glagah Putih sambil bergeser. Ketika ia berpaling, sebenarnyalah orang berkumis lebat memperhatikannya dengan pandangan yang tajam."
"Nah, jangan macam-macam lagi. Kau dapat diterkamnya nanti," desis Glagah Putih.
Rara Wulan menarik nafas panjang. Ternyata bahwa masakan di kedai itu memang tidak sesuai dengan selera mereka berdua. Tetapi Rara Wulan masih juga berkata, "Masakan di kedai yang lain tentu lebih tidak enak lagi."
"Ya, ya." Glagah Putih tidak mau membantah lagi. Lengannya tentu akan benar-benar terkelupas.
Sebenarnyalah orang berkumis lebat yang duduk di antara beberapa orang kawannya itu selalu saja memandang Rara Wulan yang agak membelakanginya.
Bagaimanapun juga, adalah di luar dugaan bahwa orang itu tiba-tiba saja bangkit dan melangkah mendekati Rara Wulan.
Semua yang ada di kedai itu memperhatikan orang itu dengan jantung yang berdebaran. Apalagi pemilik kedai itu serta para pelayannya. Mereka mengenal dengan baik, siapakah orang berkumis tebal itu.
"Apa yang akan dilakukannya," desis pemilik kedai itu.
"Agaknya perempuan muda itu sangat menarik perhatian gegedug itu," jawab seorang pelayannya.
"Kasihan perempuan muda itu. Nasib buruk apakah yang telah membawanya kemari. Kenapa ia tidak singgah di kedai yang lain."
Pelayannyapun menyahut, "Ia melihat, bahwa kedai inilah yang agaknya paling banyak di kunjungi orang."
"Seharusnya kau memperingatkannya ketika perempuan muda itu memesan makanan dan minuman, agar mereka pindah saja ke kedai yang lain."
"Aku tidak sempat. Jika ia tahu aku melakukannya, maka aku tidak akan pernah pulang lagi."
"Kasihan perempuan itu. Seharusnya kita dapat membantunya."
"Nampaknya mereka pengantin baru. Atau setidak-tidaknya pasangan yang belum mempunyai seorang anakpun."
Tetapi pemilik kedai dan para pelayanannya itu tidak ada yang berani mencampuri persoalan orang berkumis tebal yang disebutnya gegedug itu.
Orang berkumis lebat itu tiba-tiba saja sudah duduk di sebelah Rara Wulan sambil berdesis, "Siapa namamu, nduk ?"
Rara Wulan memang terkejut, sehingga ia bergeser mendesak Glagah Putih.
Glagah Putih yang sudah menduga bahwa laki-laki itu akan duduk di sebelah Rara Wulan telah bergeser sadikit pula.
Laki-laki itu bertanya sekali lagi, "He, siapakah namamu nduk ?"
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian menjawab, "Lindri, Ki Sanak. Namaku Lindri."
"Lindri" Nama yang bagus. Siapakah laki-laki itu ?"
"Laki-laki ini yang Ki Sanak maksudkan ?"
"Ya. Laki-laki yang duduk di sebelahmu."
"Ini suamiku, Ki Sanak."
Laki-laki itu menarik nafas panjang. Katanya pula, "Marilah, duduklah bersama kami. Biarlah suamimu menunggu sebentar di sini. Aku perkenalkan kau dengan kawan-kawanku."
"Kawan-kawanmu" Ki Sanak sendiri belum memperkenalkan diri kepadaku dan kepada suamiku."
"Baik. Baik. Aku adalah seorang yang memang sering datang kemari. Orang-orang di kedai ini, apalagi pemilik kedai dan para pelayannya tahu, siapakah aku ini."
"Siapa namamu Ki Sanak ?"
"Namaku Srungga. Kau sudah pernah mendengarnya ?"
"Srungga. Belum Ki Sanak. Aku belum pernah mendengarnya."
"Kau tidak tinggal di sekitar tempat ini ?"
"Tidak." "Dimana rumahmu ?"
"Sima. Kademangan Sima."
"Kademangan Sima " Jadi kau orang Sima."
"Ya. Kenapa ?" "Jadi kau tinggal di tempat yang jauh dari sini. Kau akan pergi kemana atau dari mana ?"
"Kami baru saja pergi ke Pajang. Sekarang kami akan pulang ke Sima."
Srungga itu mengangguk-angguk. Katanya, "Pantaslah jika kalian berdua belum pernah mendengar namaku, karena kalian tinggal di tempat yang jauh."
"Ya." "Aku adalah orang yang berkuasa di lingkungan ini," berkata Srungga kemudian, "di daerah ini tidak ada orang yang berani menentang aku. Semua kemauanku harus terlaksana."
"Kau Demang disini?"
"Bukan. Aku bukan Demang, bukan Bekel. Tetapi Ki Demang dan Ki Bekel serta semua bebahunya tunduk kepadaku. Apa yang aku katakan, mereka tentu akan melakukannya. Jika ada seorang saja yang berani menentangku, maka ia akan menjadi makanan ikan di sungai itu."
"Kenapa?" Orang itu tertawa. Katanya, "Bodoh kau. Orang itu aku pilin lehernya sehingga patah, lalu akan aku lemparkan ke sungai."
"O. Kau bunuh orang itu?"
"Ya." "Bagus." Orang itu terkejut. Iapun kemudian bertanya, "Apa yang bagus he?"
"Bukankah kau berani membunuh orang yang menentang kemauanmu" Bagus. Itu adalah sikap seorang laki-laki. Di Sima, aku, yang seorang perempuan, juga akan membunuh orang yang berani menentang kemauanku. Tetapi aku tidak pernah melemparkan mayatnya ke sungai. Aku biarkan saja mayat itu terbaring di tempatnya sampai ada orang yang menyingkirkan dan menguburkannya."
Orang yang bernama Srungga itu menjadi semakin terkejut, sehingga ia bergeser setapak. Dengan suara tersendat iapun bertanya, "Kaupun membunuh juga?"
"Ya. Aku adalah seorang penari janggrung. Aku harus berani membunuh orang yang berniat mempermainkan aku. Hampir saja aku membunuh Demang Sima jika saja ia tidak bersujud dan mohon ampun dihadapanku."
"Kau ini berkata sebenarnya atau sedang mengigau?" bertanya laki-laki yang bernama Srungga itu.
"Aku berkata sebenarnya. Jika kau tidak percaya bertanyalah kepada suamiku. Ia selalu mengantarku jika aku menari di mana saja. Suamiku itu seorang iblis yang paling jahat di Sima. Jika kau pernah mendengar nama Naga Sisik Waja yang pernah berkuasa di Sima, ia sudah mati dibunuh suamiku itu."
Orang yang mengaku bernama Srungga itu termangu-mangu. Ia belum pernah mendengar nama Naga Sisik Waja. Tetapi sikap perempuan itu seakan-akan meyakinkannya. Perempuan itu acuh tak acuh saja kepadanya. Ia sama sekali tidak menjadi gelisah apalagi menjadi ketakutan meskipun sikap Srungga itu tidak wajar. Apalagi suaminya. Sikapnya dingin sekali. Tetapi sikap mereka ternyata membuat hati Srungga berdebar-debar.
Tetapi Srungga adalah seorang yang sangat ditakuti oleh lingkungannya. Apalagi di kedai itu ia datang bersama ampat orang kawannya.
Karena itu, maka Srungga justru ingin menunjukkan kebesarannya. Meskipun perempuan yang mengaku bernama Lindri itu sempat membuatnya berdebar-debar, tetapi Srungga tidak mau melangkah surut. Ia sudah terlanjur menyebut dirinya orang yang paling ditakuti di lingkungannya, sehingga ia harus menjaga harga dirinya, agar tidak direndahkan oleh suami isteri itu.
Tiba-tiba saja Srungga tertawa. Katanya, "Pandai juga kau menggertak. Lindri. Siapakah yang mengajarimu."
Jawab Rara Wulan juga masih saja mengejutkan, "Kau. Kau ajari aku menggertakmu, karena kau lebih dahulu menggertakku."
"Apakah aku menggertakmu ?"
"Ya. Bukankah kau katakan, bahwa kau akan memilin leher orang yang berani menentangmu dan melemparkannya ke sungai " Bukankah itu juga sekedar gertakkan saja, karena sebenarnya memijit telurpun kau tidak dapat memecahkannya."
"Gila Kau remehkan aku, he ?"
"Aku hanya meremehkan orang tidak tahu adat seperti kau. Nah, kau mau apa " Apakah aku harus membunuhmu ?" suara Rara Wulan sangat meyakinkan.
Srungga justru menjadi gagap menghadapi sikap Rara Wulan. Tetapi Srungga tidak mau diremehkan. Tiba-tiba saja Srungga membentak kasar, "Kau harus minta ampun kepadaku perempuan iblis."
Tetapi Rara Wulan justru bangkit berdiri sambi tertawa berteriak, "sudah aku katakan, apakah kau ingin aku membunuhmu ?"
Srungga benar-benar merasa terhina. Apalagi dihada-pan beberapa orang kawannya yang sangat menghormatinya. Juga dihadapan pemilik dan pelayan kedai itu, serta beberapa orang yang selama ini menjadi sangat ketakutan jika ia marah.
Karena itu, maka iapun menggeram, "Perempuan tidak tahu diri. Aku koyak mulutmu yang lancang itu. Bangkitlah. Berkelahilah bersama suamimu yang kau katakan telah membunuh Naga Sisik Waja itu. Aku tunggu kalian di halaman."
Orang-orang yang melihat sikap Rara Wulan menjadi berdebar-debar. Seorang pelayan kedai itu melihat Rara Wulan bangkit. Dengan suara yang agak bergetar iapun berdesis, "Perempuan itu tidak sadar, dengan siapa ia berhadapan."
Tetapi pemilik kedai itu menyahut, "Ia tentu bukan perempuan kebanyakan."
Pelayannya yang lain menyahut, "Ia mengaku penari janggrung. Mungkin sudah dituang ilmu lewat ubun-ubunnya oleh seorang dukun sakti, sehingga perempuan itu berani menantang Srungga. Tetapi Srungga juga bukan laki-laki biasa. Setiap Rebo Pon ia selalu tidur di bawah randu alas di kuburan Kiai Sardula. Meskipun Kiai Sardula sudah meninggal hampir dua puluh lima tahun yang lalu, tetapi setiap kali Srungga masih berbincang-bincang di bawah pohon randu alas di kuburan itu. Bahkan Kiai Sardula masih dapat menurunkan berbagai macam ilmu kepadanya."
"Tentu akan terjadi pertarungan sengit. Srungga menantang suami isteri itu untuk bertempur berpasangan," berkata pemilik kedai itu.
"Ya," jawab salah seorang pelayannya, "tetapi perempuan itu mengaku, suaminya pernah membunuh Naga Sisik Waja yang pernah berkuasa di Sima."
"Pekerjaan yang tentu akan sangat berat bagi Srungga. Tetapi ilmu iblisnya sangat luar biasa. Apalagi ada beberapa orang kawannya di kedai ini pula."
Dalam pada itu, Srungga telah berada di halaman. Kawan-kawannyapun telah melangkah keluar pula. Sedangkan Rara Wulanpun telah bersiap untuk turun. Namun ia sempat berbisik, "Mari kakang. Kita turuti sesumbarnya. Kita buat orang itu jera."
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Baiklah. Tetapi jangan lama-lama bermain dengan orang itu. Kecuali jika ilmu orang itu setinggi langit, sehingga sulit bagi kita berdua untuk mengalahkannya."
"Jika kita kalah, kita akan lari. Bukankah kita masih meyakini bahwa kita dapat lari cepat dengan ilmu kita meringankan tubuh."
"Ya," Glagah Putih mengangguk-angguk, "Tetapi kita harus membayar dahulu harga makanan dan minuman sebelum kita lari."
"Baiklah. Kakang saja yang membayar dahulu. Aku akan turun ke halaman agar orang itu tidak menunggu terlalu lama."
Rara Wulanpun kemudian melangkah menyusul laki-laki yang menyebut dirinya Srungga itu, sementara Glagah Putihpun pergi menemui pemilik kedai itu untuk membayar harga makanan dan minumannya bersama Rara Wulan.
Pemilik kedai itu, serta beberapa orang yang melihatnya menjadi semakin berdebaran. Laki-laki muda itu masih sempat ingat akan minuman dan makanan yang harus mereka bayar.
Laki-laki muda itu sama sekali tidak nampak gelisah sebagaimana seorang yang sedang terancam oleh bahaya yang akan dapat merenggut jiwanya.
Sementara itu, dengan tenang pula Kara Wulan itu turun ke halaman. Bahkan ia masih sempat tersenyum sambil berkata, "Jika kau menatang kami agar kami bertempur berpasangan, tunggu dahulu. Biarlah suamiku membayar harga makanan dan minuman kami berdua.. Jika kami nanti harus lari, maka kami tidak berhutang kepada pemilik kedai itu.
"Persetan. Tetapi kalian berdua tidak akan dapat melarikan diri. Kawan-kawanku akan menyaksikan pertarungan itu. Jika kalian ingin melarikan diri, maka kawan-kawankulah yang akan membantai kalian berdua."
Ketika Rara Wulan kemudian berpaling, maka ia melihat Glagah Putih sudah selesai menerima uang kembalinya. Glagah Putih itupun dengan sikap yang tenang menyusul Rara Wulan turun ke halaman.
"Orang aneh," berkata pemilik kedai itu, "orang itu masih ingat harga makan dan minum bagi mereka berdua."
"Sikapnya tenang sekali sebagaimana sikap isterinya."
"Menarik sekali," berkata salah seorang pelayannya, "tentu akan terjadi pertarungan yang sengit. Kita akan mendapat tontonan yang sangat menarik. Jika saja keduanya mampu mengimbangi Srungga yang selama ini sangat menakuti-nakuti orang banyak."
"Sst, Jika ada orang jahil yang mendengar dan menyampaikannya kepada Srungga, maka kau akan dibelah menjadi dua. Kedua pergelangan kakimu akan dipegang dengan kedua tangan Srungga, kemudian ditariknya dengan kekuatan raksasanya, sehingga kau akan terbelah menjadi dua."
Pelayan itupun terdiam. Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan telah berada di halaman.
"Nah, kami berdua sudah siap," berkata Rara Wulan.
"Bagus. Siapakah yang akan mati lebih dahulu ?"
"Kau," jawab Rara Wulan.
Srungga menggeram. Namun kedua suami isteri itu seolah-olah tidak menghiraukannya. Bahkan Glagah Putihpun berkata kepada Rara Wulan, "Kau berdiri di sebelah sana. Aku disebelah sini. Kita akan membuatnya terumbang-ambing. Aku akan melemparkan kepadamu, kemudian kau harus melemparkan kembali kepadaku."
"Baik," sahut Rara Wulan sambil berjalan dengan tenangnya pula tanpa menghiraukan orang yang bernama Srungga itu.
"Iblis laknat," teriak Srungga," bersiaplah. Aku akan mulai membunuh kalian seorang demi seorang."
Srungga yang tidak dapat menahan perasaannya lagi, telah meloncat menyerang Glagah Putih. Namun Glagah Putih yang seakan-akan tidak menghiraukannya itu, sudah siap sepenuhnya menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, maka iapun segera bergeser menghindari serangan Srungga itu.
Dengan demikian, maka serangan Srungga itu sama sekali tidak menyentuh sasarannya.
Ternyata Srungga mencoba memburunya. Sekali lagi Srungga meloncat menyerang dengan tangan terjulur lurus ke arah dada Glagah Putih Tetapi sekali lagi Glagah Putih meloncat menghindarinya.
Ketika Srungga bersiap untuk sekali lagi menyerang Glagah Putih, maka Rara Wulan telah mendahulunya. Kakinya terjulur lurus menyerang lambung.
Srungga terkejut mendapat serangan yang demikian tiba-tiba. Ia mengira bahwa perempuan itu sedang menempatkan dirinya. Namun ternyata perempuan itu telah mulai menyerangnya
Dengan demikian, maka pertempuran itupun segera berlangsung semakin cepat. Namun sebenarnyalah bahwa Srungga bukan lawan Glagah Putih. Ia bukan pula lawan yang seimbang bagi Rara Wulan. Apalagi Srungga telah menantang kedua orang suami isteri itu bertarung melawannya.
Srungga adalah seorang yang sangat ditakuti oleh orang-orang disekitarnya karena Srungga adalah seorang yang garang. Seorang yang bengis, yang bahkan benar-benar pernah membunuh orang. Tetapi berhadapan dengan Glagah Putih dan apalagi bersama-sama dengan Rara Wulan, Srungga benar-benar tidak berarti apa-apa.
Ketika kaki Rara Wulan terjulur lurus menyamping yang datang demikian cepatnya, maka Srungga tidak mampu mengelak atau menangkisnya. Karena itu, maka serangan kaki itu telah mengenai lambung Srungga dengan derasnya.
Kekuatan serangan Rara Wulan telah melemparkan Srungga beberapa langkah surut kearah Glagah Putih. Dengan susah payah Srungga mencoba mempertahankan keseimbangannya agar tidak jatuh terlentang di halaman kedai itu.
Ternyata Srungga berhasil. Meskipun terhuyung-huyung, namun Srungga itu tidak terjatuh.
Tetapi dari arah lain, Glagah Putih menggamit punggung Srungga. Demikian Srungga berbalik, Glagah Putihpun menjulurkan tangannya memukul dadanya.
Srungga terdorong pula. Kali ini ke arah Rara Wulan. Hampir saja Srungga kehilangan keseimbangannya. Tetapi justru Rara Wulan menahan tubuhnya.
Dengan nada tinggi Rara Wulanpun berkata, "Hati-hati sedikit, sayang. Jika kau jatuh, nanti kau akan kesakitan."
Orang itu menghentakkan diri. Kemudian meloncat menjauhi Rara Wulan yang tertawa tertahan.
"Kenapa ?" bertanya Rara Wulan.
"Perempuan laknat. Kau akan menyesali kesombonganmu itu."
"Kenapa aku harus menyesal ?"
Srungga itupun kemudian bersuit nyaring. Tiba-tiba saja keempat orang kawannyapun berloncatan mendekatinya.
"Mereka berdua ternyata curang," geram Srungga, "kepung mereka. Buat mereka berdua tidak berdaya. Aku sendiri yang akan memberikan keputusan akhir, hukuman apakah yang paling sesuai dengan mereka."
"Baik, kakang," jawab mereka hampir berbareng. Sementara itu Srunggapun berkata selanjutnya, "Jika mereka melawan dengan membabi buta, maka bukan salah kita jika mereka berdua itu terbunuh."
Glagah Putih kemudian menyahut, "Apakah itu berarti bahwa kamu membenarkan orang-orangmu itu membunuh?"
"Bukan salah kami."
"Salah siapa ?"
"Salah kalian berdua."
"Kenapa kami yang bersalah ?"
"Karena kalian tidak mau tunduk kepada perintahku."
"Jadi kalau kalian tidak mau tunduk kepada perintahku, maka jika aku membunuh kalian, maka itu juga salah kalian ?"
Srungga itu menggeram. Katanya, "Menurut pendapatmu, kau berdua dapat mengalahkan kami berlima " Apalagi membunuh kami ?"
"Ya. Kami berdua akan dapat mengalahkan kalian berlima."
"Kesombongan kalian itulah yang mendorong keinginan kami untuk membunuh kalian."
"Jika demikan, maka pertarungan tidak dapat kita hindari lagi. Kami berdua akan melawan dengan membabi buta. Tetapi kami berdua tidak mau mati disini."
Srunggapun menggeram. Kemudian iapun berkata kepada kawan-kawannya, "Lumpuhkan mereka berdua. Biarlah aku yang membunuh mereka dengan tanganku."
Keempat kawan Srungga itu tidak menunggu lebih lama lagi. Seorang yang berwajah garang dengan beberapa goresan bekas luka berkata, "Aku akan membunuh laki-laki itu. Tetapi aku akan membiarkan perempuan itu tetap hidup."
"Terserah kepada kalian Tetapi aku ingin mengingatkan kepada kalian bahwa perempuan itu adalah perempuan yang berbahaya. Seperti seekor ular betina dengan bisa di mulutnya."
"Tidak hanya di mulutnya," sahut Rara Wulan, "tetapi di setiap lubang kulitku akan mengembun bisa sebagaimana keringatku. Karena itu, maka siapa yang menyentuhku, ia akan terkena bisa yang akan dapat membayakan jiwanya."
"Persetan," geram orang yang berwajah garang, "kau terlalu banyak berbicara."
Rara Wulan tertawa. Ketika orang berwajah garang itu membentaknya, maka Rara Wulanpun berkata, "Kau cela aku karena terlalu banyak berbicara. Tetapi ketika aku tertawa, kaupun membentaknya pula."
"Cukup. Bersiaplah. Kami akan bertempur." Keempat orang itupun segera bergerak pula. Bahkan agaknya Srunggapun akan ikut pula bertempur bersama keempat orang kawannya itu.
Dengan demikian, maka pertempuran di halaman itupun menjadi semakin sengit. Lima orang laki-laki yang garang bertempur melawan dua orang suami isteri.
Namun ternyata bahwa kedua orang suami isteri itu mampu bergerak demikian tangkasnya. Mereka sama sekali tidak menjadi bingung menghadapi lima orang lawan yang berdiri di lima arah.
Glagah Putih berloncatan sambil mengayun-ayunkan tangannya. Ketika tangannya itu menyambar dagu diantara lawan-lawannya, maka ornag itupun terdorong beberapa langkah surut. Sebelum ia sempat memperbaiki keadaannya, kaki Rara Wulan terayun mendatar menyambar dadanya.
Orang itu mengaduh tertahan. Namun ia terlempar keluar dari arena pertempuran, tubuhnya terbanting jatuh di halaman kedai yang tidak begitu luas itu.
Sementara itu, kawannya yang mencoba menyerang Rara Wulan dari samping, ternyata tidak mampu mengenai sasarannya. Dengan cepat Rara Wulanpun mengelak. Bahkan demikian serangan itu meluncur di depan tubuhnya yang bergeser, maka dengan cepat Rara Wulan itupun meloncat sambil memutar tubuhnya. Kakinya terayun tepat menyambar keningnya.
Orang itupun terpelanting pula Kalikan tubuhnya tiba-tiba saja berbenturan dengan kawannya yang telah dilemparkan oleh Glagah Putih Kaki Glagah Putih yang mengenai lambungnya telah mendorongnya beberapa lungkah surut sehingga orang itu telah berbenturan dengan seorang kawannya.
Ternyata pertempuran itu tidak berlangsung terlalu lama. Glagah Putih telah memilin tangan kanan Srungga sehingga ia berteriak kesakitan. Ketika Srungga itu menarik pedangnya, dengan kecepatan yang tidak kusat mata, Glagah Putih telah menangkap pergelangan tangannya serta memilinnya ke belakang tubuhnya, sehingga pedangnya terlepas dari tangannya.
Sesaat kemudian, keempat orang kawan Srungga itu sudah tidak berdaya lagi. Mereka berusaha merangkak menepi. Seorang bersandar bebatur kedai itu, seorang yang lain mengaduh sambil menyerangai kesakitan, duduk bersandar sebatang pohon. Seorang lagi pingsan dan yang seorang lagi mengerang kesakitan.
Sedangkan Srungga sendiri sama sekali tidak berdaya.
Sebelah tangannya terpilin di belakang punggungnya. Sekali-sekali Srungga itu mengaduh. Rasa-rasanya tangannya itu akan patah.
Rara Wulanpun melangkah mendekati Srungga yang kesakitan itu. Glagah Putih masih belum melepaskan tangannya yang terpilin kebelakang.
"Nah, apakah kau percaya sekarang, bahwa suamiku telah membunuh Naga Sisik Waja di kademangan Sima?"
Srungga tidak segera menjawab. Namun dalam pada itu Glagah Putih telah menekan tangan Srungga itu semakin keras.
"Jangan. Nanti tulangku patah."
"Naga Sisik Waja aku patahkan tulang lehernya. Bukan sekedar tulang lengannya," geram Glagah Putih. Lalu Glagah Putih itupun bertanya, "Apakah kau ingin membuktikan kata-kataku, bahwa aku dapat mematahkan leher seseorang ?"
"Tidak. Jangan."
"Sekarang jawab pertanyaan isteriku."
"Pertanyaan apa ?"
Rara Wulanlah yang menyahut, "Apakah kau percaya bahwa suamiku telah membunuh orang yang bergelar Naga Sisik Waja di kademangan Sima ?"
Srungga masih saja berdiam diri. Namun tiba-tiba saja Glagah Putih berteriak dengan garangnya, "Jawab. Apakah kau percaya bahwa aku telah membunuh Naga Sisik Waja dengan cara ini ?"
Glagah Putih melepaskan tangan Srungga. Namun tiba-tiba tangannya itu telah menjepit kepala Srungga. Dengan sekali hentak, maka leher Srungga akan dapat dipatahkan bteh Glagah putih.
"Jangan. Jangan," teriak Srungga.
"Nah, apakah kau percaya bahwa aku telah membunuh Naga Sisik Waja," teriak Glagah Putih dengan kasarnya. Bahkan Rara Wulanpun terkejut mendengar teriakan itu, sehingga ia bergeser selangkah surut.
Glagah Putih yang melihat Rara Wulan terkejut dan bergeser surut, hampir saja tidak dapat menahan tertawanya. Namun kemudian sekali lagi ia berteriak, "jawab pertanyaan isteriku."
Tangan Glagah Putih semakin menekan kepada Srungga sehingga iapun tidak dapat berbuat lain kecuali menjawab pertanyaan itu, "Ya, ya. Aku percaya."
Tangan Glagah Putihpun kemudian mulai mengendor. Bahkan kemudian Srungga itu dilepaskannya. Namun kemudian Srungga itu didorong dengan kuatnya sehingga kemudian terpelanting diantara kawan-kawannya.
"Srungga," berkata Glagah Putih kemudian, "aku sekarang mempunyai kepentingan yang mendesak di Sima, sehingga aku menjadi agak tergesa-gesa. Tetapi persoalan diantara kita masih belum selesai. Aku masih akan mempersoalkan niatmu untuk membunuh aku dan membawa isteriku."
"Bukan aku," sahut Srungga.
"Persetan. Tersirat pada sikapmu. Bahkan kawanmu sudah mengucapkannya. Lain kali aku akan datang untuk membuat perhitungan. Isteriku yang akan menyelesaikan masalahnya, karena isterikulah yang lebih tersinggung karena sikapmu serta sikap kawan-kawanmu."
"Aku minta maaf. Biarlah kawan-kawanku juga minta maaf."
"Sudah aku katakan, aku tidak mempunyai waktu sekarang. Kapan-kapan jika urusanku sudah selesai, aku akan datang lagi kemari untuk melesaikan persoalan diantara kita. Batas akhir dari pertikaian kita adalah kematian. Aku akan datang untuk menuntutnya. Kalian atau kami yang akan mati."
"jangan. Jangan. Kami minta ampun," suara Srungga menjadi serak.
Namun Glagah Putih tidak menghiraukannya lagi. Iapun kemudian berkata kepada Rara Wulan, "Marilah kita pergi ke Sima lebih dahulu. Kapan-kapan kita akan datang kembali ke mari."
Keduanyapun kemudian melangkah tanpa berpaling lagi. Apalagi mereka sudah membayar makanan dan minuman mereka, sehingga mereka tidak meninggalkan hutang pada pemilik kedai itu.
Glagah Putih dan Rara Wulan itupun kemudian berjalan tanpa berpaling menjauhi kedai itu. Merekapun berjalan dengan cepat, menyusuri jalan yang menuju ke Sima.
Hambatan kecil di kedai itu telah menyita waktunya beberapa lama. Untunglah bahwa mereka dapat menyelesaikan dengan cepat. Sementara itu, mereka berharap bahwa Srungga dan kawan-kawannya setiap kali mempertimbangkan sikapnya dengan mengingat bahwa pada suatu saat suami isteri itu akan kembali lagi setelah urusannya di Sima diselesaikannya.
Sementara itu, di perjalanannya, Rara Wulanpun berkata, "Seharusnya orang-orang seperti Srungga itu mendapat hukuman yang berat."
"Jika saja kita tidak mempunyai tugas penting di Sima, kita akan mempunyai cukup waktu untuk berurusan dengan Srungga."
"Ya. Seharusnya kita sampai di Sima menjelang senja. Tetapi kecoa kecil itu telah menghambat perjalanan kita."
Keduanyapun kemudian berjalan semakin cepat. Meskipun mereka telah terhambat, namun mereka masih saja berharap agar dapat sampai di Sima sebelum senja. Mereka akan sempat mencari penginapan serta melihat-lihat suasana Di malam hari, mungkin sekali suasana sudah berbeda.
Meskipun demikian, seandainya mereka memasuki kademangan Sima setelah malam hari, maka mereka akan. merasa lebih baik langsung beristirahat di penginapan dan menunda segala sesuatunya sampai esok.
Di perjalanan berikutnya, mereka tidak lagi menemui hambatan yang berarti. Ketika mereka menjadi sangat haus, maka mereka sempat minum dawet cendol yang dijajakan di depan pintu regol sebuah pasar kecil yang sudah sepi. Bahkan pintu regolnya sudah ditutup pula. Seorang petugas nampak sedang menyapu di dalam pasar yang sepi itu.
"Tetapi nanti sebentar lagi, tempat ini akan menjadi ramai lagi," berkata penjual dawet cendol itu.
"Ada apa ?" bertanya Rara Wulan.
"Di rumah di belakang pasar itu akan ada keramaian. Ki Kebayan yang rumahnya di belakang pasar itu, akan menikahkan anak perempuannya. Satu-satunya anaknya. Akan ada tari topeng semalam suntuk. Apakah Ki Sanak berdua memang datang kemari untuk mengunjungi upacara pernikahan itu atau sekedar menonton tari topeng ?"
"Kami hanya lewat, Ki Sanak," jawab Rara Wulan.
Sejenak kemudian, maka mereka berdua telah meninggalkan penjual dawet cendol itu. Namun sambil berjalan Glagah Putih sempat berkata, "Tidak ada dawet cendol yang segarnya menyamai dawet cendol di kedai yang paling banyak dikunjungi orang itu."


15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika Rara Wulan bergeser, maka Glagah Putihpun meloncat menepi dan bahkan kemudian berlari-lari kecil.
"Awas kau," geram Rara Wulan.
"Aku minta ampun. Jika kau sakiti aku, aku akan menjerit."
"Apa?" "Tidak. Tidak apa-apa."
Rara Wulan masih bersungut. Tetapi dengan demikian mereka justru berjalan lebih cepat.
Ternyata mereka justru dapat sampai di kademangan Sima sebagaimana mereka inginkan. Mereka memasuki kademangan Sima sebelum senja, sehingga mereka masih sempat melihat suasana di kademangan yang terhitung besar itu.
"Ada perubahan yang terjadi di Sima," desis Glagah Putih.
Ya. Nampaknya pintu-pintu kedai sudah ditutup menjelang senja. Kita tidak melihat lagi gebyar padukuhan induk kademangan Sima ini."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian berjalan menyusuri jalan utama di padukuhan induk kademangan Sima. Jalan utama itupun tidak seramai beberapa hari yang lalu sebelum Ki Demang, Ki Jagabya dan Ki Bekel dari padukuhan induk itu meninggalkan Sima.
Hanya beberapa orang saja yang berjalan di jalan utama itu. Itupun mereka nampaknya tergesa-gesa. Agaknya hanya mereka yang mempunyai keperluan penting sajalah yang keluar rumah di waktu senja.
"Ada bayangan ketakutan atas padukuhan ini," berkata Glagah Putih.
"Ya. Tentu orang-orang Demak serta orang-orang dari perguruan Kedung Jati itulah yang telah membuat seisi padukuhan ini ketakutan."
"Ya. Mereka tentu memperalat para bebahu yang masih ada di kademangan ini. Atau bahkan mungkin mereka telah mengangkat seorang Demang, Jabagaya dan Bekel yang baru."
Rara Wulan menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun bertanya, "Sekarang, apa yang akan kita lakukan kakang. Jika kita berkeliaran di padukuhan induk ini, maka kita tentu akan sangat menarik perhatian. Bahkan kita akan dapat dicurigai dan ditangkap oleh para pengikut Ki Demang yang baru."
"Kita pergi ke penginapan itu."
"Apakah keberadaan kita di penginapan itu tidak akan menimbulkan persoalan ?"
"Tidak ada yang mengenal kita dalam hubungan hilangnya Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel. Mereka yang terlibat semuanya telah terbunuh di halaman rumah Ki Demang."
"Ya. Bahkan laki-laki tua yang seharusnya masih tetap hidup itu."
Demikianlah, maka mereka berduapun telah pergi ke penginapan yang pernah mereka singgahi.
Penginapan itu nampak sepi. Agaknya bilik-biliknya banyak yang telah kosong.
Ketika petugas di penginapan itu melihat kedua orang itu memasuki gerbang penginapan, maka petugas itu segera menyongsongnya.
"Marilah Ki Sanak berdua. Ternyata kalian telah datang kembali ke penginapan ini."
"Ya. Kami memang sudah merencanakannya, setelah beberapa hari tinggal di rumah paman."
"Kenapa kalian meninggalkan rumah paman ?"
"Paman besok akan pergi ke Pajang bersama bibi. Karena itu, agar aku tidak menghambatnya, aku mendahului minta diri."
Petugas di penginapan itu mengangguk-angguk sambil bertanya, "Untuk apa pamanmu pergi ke Pajang?"
"Aku tidak berani menanyakannya. Itu adalah urusan paman."
"Ya, ya, maaf. Bahkan aku justru telah bertanya tentang persoalan pribadi pamanmu itu."
"Sebenarnya paman justru minta kami berdua menunggui rumahnya selama paman pergi. Tetapi kami juga mempunyai kepentingan sendiri, sehingga kami tidak dapat melakukannya."
Petugas di penginapan itupun kemudian mempersilakan mereka, "Marilah. Bilik yang kau pergunakan itu juga masih kosong."
"Terima kasih. Kami senang tinggal di bilik itu. Namun nampaknya penginapan ini tidak seramai waktu itu."
"Ya. Ada beberapa perubahan terjadi di Sima, sehingga kesibukan di kademangan inipun tidak lagi seperti sebelumnya."
Glagah Putih dan Rara Wulan tidak bertanya lebih lanjut. Mereka ingin mandi dan beristirahat barang sebentar. Malam nanti, petugas itu tentu bersedia untuk berbincang agak lama. Bahkan seandainya petugas ini berganti, petugas yang lainpun baik pula kepada Glagah Putih dan Rara Wulan. Kecuali jika ada petugas baru yang belum dikenalnya.
Beberapa saat kemudian, mereka berdua telah berada di dalam bilik mereka. Bilik yang sebelumnya pernah mereka huni. Bergantian mereka pergi ke pakiwan untuk mandi dan berbenah diri, sementara senjapun menjadi semakin redup.
Beberapa saat kemudian, maka keduanya telah duduk di serambi. Kepada mereka telah dihidangkan minuman hangat serta beberapa potong makanan.
"Apakah kau masih sibuk?" bertanya Glagah Putih kepada petugas di penginapan itu.
"Masih ada sedikit pekerjaan. Ada tiga bilik di tengah yang isi. Aku akan mempersiapkan minuman mereka."
"O," Glagah Putih mengangguk-angguk, "nanti jika kau sudah longgar waktunya, duduklah bersama kami."
"Baik. Nanti aku temani kau berbincang." Sebenarnyalah, ketika malam turun, maka petugas itupun telah datang ke serambi bilik Glagah Putih dan Rara Wulan. Bahkan tidak sendiri. Tetapi mereka datang berdua.
"Kami mempunyai banyak waktu," berkata salah seorang petugas itu.
"Ya. Nampaknya tidak banyak orang yang menginap disini."
Sementara itu Rara Wulanpun tiba-tiba saja bertanya, "Apakah perempuan manja itu masih menginap disini?"
"Tidak," jawab kedua orang petugas itu hampir berbareng. Seorang diantara merekapun berkata selanjutnya, "Mereka pergi tanpa memberitahukannya kepada kami. Tiba-tiba saja mereka tidak kembali lagi ke penginapan ini, sehingga mereka semuanya tidak membayar sewa bilik yang mereka pergunakan itu."
"Apakah kalian tidak tahu, kemana mereka itu pergi" Atau barangkali ada orang lain yang mencari mereka?"
"Kami tidak tahu kemana mereka pergi. Sementara itu tidak ada pula orang yang mencarinya kemari."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putihpun bertanya, "Perubahan apa yang telah terjadi di kademangan ini, sehingga rasa-rasanya Sima tidak lagi ceria seperti beberapa waktu yang lalu" Perubahan itu berlangsung demikian cepatnya."
"Bukankah kau selama ini juga berada di Sima?"
"Tidak. Aku berada di rumah paman, di kademangan sebelah. Meskipun rumah paman hampir di perbatasan, tetapi kami tidak sempat mengikuti perkembangan yang demikian cepatnya terjadi di Sima."
Kedua orang petugas di penginapan itu saling berpandangan sejenak. Kemudian seorang diantara mereka berkata, "Perubahan itu terjadi seperti sambaran tatit di udara. Begitu cepatnya."
"Begitu cepatnya."
"Ya. Tiba-tiba saja Ki Demang di Sima, Ki Jagabaya dan Ki Bekel padukuhan induk ini menghilang. Tidak seorang-pun yang mengetahuinya, kemana mereka pergi. Karena itu, maka dipandang perlu untuk mengangkat seorang Demang, Jagabaya dan Bekel yang baru."
"Bukankah hilangnya Ki Demang itu baru beberapa hari."
"Ya. Kenapa begitu tergesa-gesa mengangkat Demang yang baru itu?"
"Itulah yang mengherankan?"
"Lalu siapakah yang mengangkat?"
"Di Sima sekarang hadir satu kekuatan yang berkuasa disini. Mereka mengaku para petugas yang dikirim oleh Kangjeng Adipati Demak. Yang mengangkat Demang, Jagabaya dan Bekel baru itu juga para pemimpin yang datang dari Demak. Mereka mengaku bahwa mereka berkuasa di Sima atas nama Kangjeng Adipati Demak."
"Jadi yang berkuasa sekarang di Sima adalah bebahu baru yang disahkan oleh para pemimpin dari Demak?"
"Ya." "Apakah mereka memerintah dengan baik?"
"Tidak. Ternyata banyak persoalan yang telah timbul di Sima."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara petugas penginapan yang lain berkata, "Bukankah baru kemarin Demang yang baru itu ditetapkan. Tetapi Demang baru itu sudah mengambil langkah yang buruk."
"Langkah apa?" "Ki Demang sudah membuat pengumuman, terutama ditujukan.kepada semua penginapan yang ada di Sima," orang itu terdiam sejenak. Kemudian iapun berkata lebih lanjut, "Jika diperlukan semua penginapan harus menyediakan tempat bagi para petugas yang datang ke Sima tanpa menentukan tarip sewa bagi mereka. Bahkan penginapan harus menyediakan makan bagi mereka."
"Bukankah itu berarti membunuh usaha kami," sambung yang lain, "mungkin kami dapat menyediakan beberapa bilik bagi para pejabat yang bertugas di Sima. Tetapi jika kami juga harus menyediakan makan bagi mereka, agaknya kami akan merasa sangat berat. Dan bahkan dalam waktu yang tidak lama lagi, akan banyak penginapan yang menutup pintunya."
Tetapi kawannyapun menyahut, "Meskipun kita menutup pintu, mereka akan dapat memaksa kita membuka kembali."
"Ya," kawannya mengangguk-angguk.
"Selain itu," berkata yang seorang lagi, "kemarin Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel yang baru bersama para bebahu dan yang mereka sebut pejabat dari Demak itu telah melihat-lihat pasar. Nampaknya mereka mempunyai rencana tertentu dengan pasar itu, sehingga hari ini pasar itu menjadi bertambah sepi. Apalagi hari ini bukan hari pasaran. Pagi tadi ketika Yu Suni pergi ke pasar untuk berbelanja, melihat bahwa pasar Sima tidak pernah menjadi sesepi tadi pagi."
Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja mengangguk-angguk.
"Kami melihat bahwa esok keadaan Sima akan menjadi semakin suram."
"Mudah-mudahan dugaanmu tidak benar," sahut Glagah Putih, "mudah-mudahan apa yang dilakukan oleh bebahu yang baru itu sekadar penjajagan. Mungkin mereka justru akan menghembuskan kebijaksanaan baru yang lebih baik."
Tetapi kedua orang petugas di penginapan itu menggeleng. Seorang diantara mereka berkata, "Kami tidak melihat kemungkinan yang lebih baik itu, Ki Sanak."
Petugas di penginapan itupun kemudian telah bercerita bahwa para bebahu bersama beberapa pejabat dari Demak telah berkeliling kademangan Sima. Mereka memperhatikan orang-orang terkaya di kademangan ini. Bahkan mereka telah mencatat beberapa hal yang mereka anggap penting. Mungkin tentang letak rumah atau kekayaan yang dimiliki atau mungkin rumah itu sendiri yang sebagaimana penginapan-penginapan yang ada, untuk menampung para pejabat yang mungkin akan berdatangan dari Demak ke Sima.
Petugas yang lainpun menyambung, "Tindakan mereka yang baru mereka mulai itu ternyata telah menimbulkan keresahan. Orang-orang kaya menjadi gelisah sebagaimana para pemilik penginapan. Sementara itu para pedagang di pasarpun telah dihinggapi oleh berbagai macam pertanyaan. Apa yang akan diperbuat oleh para bebahu yang baru itu bersama mereka yang mengaku para pejabat dari Demak itu.
"Terima kasih Ki Sanak," berkata Glagah Putih kemudian, "dengan demikian, kami berdua harus hati-hati karena kami berdua bukan orang Sima. Kami hanyalah orang lewat. Tetapi kami menjadi ingin tahu, perkembangan lebih lanjut di Kademangan Sima ini."
"Sebenarnya kalian berdua itu akan pergi ke mana" Bukankah dalam beberapa hari ini kalian tetap saja berada di tempat paman kalian itu?"
"Kami tidak diperkenankan pergi," jawab Glagah Putih, "bahkan selama paman pergi, paman menghendaki agar aku tetap berada di rumahnya. Tetapi kami mempunyai kepentingan lain yang ingin kami lakukan."
"Kepentingan apa?"
"Maaf Ki Sanak. Itu adalah persoalan pribadi."
"Ya, ya. Akulah yang minta maaf. Diluar sadarku, aku sering bertanya tentang urusan pribadi orang lain."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun tersenyum. Dengan nada rendah hampir berbisik Glagah Putihpun berdesis, "Kami adalah pengantin baru Ki Sanak. Tetapi kami berdua berkeinginan untuk melakukan pengembaraan yang panjang untuk mencari pengalaman."
"Pengalaman apa?"
"Bukankah kami akan menempuh kehidupan baru. Bukankah kami memerlukan pengalaman dari hidup dan kehidupan yang akan dapat menjadi bekal bagi kami berdua di perjalanan hidup kami kemudian?"
Kedua orang petugas itupun mengangguk-angguk.
Namun seorang diantara petugas di penginapan itupun kemudian berkata, "Baiklah. Aku minta diri. Mungkin ada diantara tamu yang lain memerlukan sesuatu."
Kawannyapun kemudian menyambung, "Aku juga akan pergi ke belakang. Kalian berdua tentu ingin segera beristirahat."
"Tidak. Kami masih ingin berbincang-bincang."
"Bukankah kalian pengantin baru?" petugas itupun tertawa.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun tertawa pula. Demikianlah, maka kedua orang petugas di penginapan itu telah meninggalkan mereka.
Sepeninggal kedua orang petugas di penginapan itu, Glagah Putih dan Rara Wulan masih berbincang beberapa lama. Bahkan mereka telah memutuskan untuk tidak cepat-cepat meninggalkan Sima.
"Kita akan melihat perkembangan selanjutnya."
"Ya, kakang. Nampaknya perkembangan di kademangan ini akan sangat menarik. Lebih menarik dari padepok di Jung Wangi atau perguruan Nata Tapa."
"Ya. Jika perlu kita akan kembali ke Mataram untuk memberikan laporan tentang perkembangan kademangan ini lebih dahulu. Baru pada kesempatan lain kami akan pergi ke Jung Wangi."
Rara Wulanpun mengangguk-angguk mengiakan.
Ketika malam menjadi semakin dingin, maka Glagah Putihpun kemudian berkata, "Marilah kita masuk ke dalam, Angin terasa menjadi basah."
"Ya. Akupun mulai merasa kedinginan."
Tetapi sebelum mereka masuk ke dalam bilik mereka. maka mereka melihat dua orang berkuda memasuki halaman penginapan itu. Dua orang petugas penginapan itupun segera menyongsong mereka. Seorang diantara mereka menerima dua ekor kuda itu, sementara yang lain melayani kedua orang penunggangnya. Kemudian petugas itupun telah membawa kedua orang tamu itu ke dalam bilik yang akan mereka pergunakan malam itu.
"Tidak banyak yang menginap disini, Ki Sanak." berkata salah seorang dari kedua orang itu.
"Memang tidak begitu banyak, Ki Sanak," jawab petugas itu, "tetapi masih juga ada yang mau menginap disini, beberapa bilik yang terisi."
Kedua orang itupun kemudian ditempatkan di sebuah bilik yang agak luas, yang akan dipergunakan oleh kedua orang itu.
Ada dua amben yang agak besar di bilik itu. Diatasnya telah dibentangkan tikar yang putih bersih bergaris-garis biru. Lampu minyak kelapa di tempatkan diajuk-ajuk agak ke sudut ruang.
Disisi yang lain terdapat tempat duduk kayu memanjang. Sebuah geledeg kayu berukir meskipun agak kasar.
Agaknya kedua orang itu cukup puas mendapat tempat yang bersih dan terhitung cukup luas.
"Aku tidak dapat tidur di barak yang panjang tanpa sekat sama sekali itu. Berjajar di amben besar dan panjang," berkata yang seorang.
"Penginapan di dekat pasar itu yang Ki Sanak maksudkan?" bertanya petugas penginapan itu.
"Ya. Di sebuah amben panjang mereka yang menginap tidur berjajar. Bahkan satu sama lain tidak menghiraukan dan tidak saling bertenggang rasa. Yang ingin bergurau dan bahkan tertawa berkepanjangan tanpa menghiraukan orang yang berbaring disampingnya sudah memejamkan matanya. Yang lain naik turun di amben yang besar itu tanpa mau mengerti, bahwa amben itu akan terguncang."
"Penginapan itu memang penginapan sederhana, Ki Sanak. Hanya asal dapat membaringkan tubuhnya dan barangkali tidur beberapa saat saja."
"Itulah yang aku tidak bisa. Untunglah aku segera meninggalkan penginapan itu dan pergi ke penginapan ini."
"Memang berbeda Ki Sanak," jawab petugas itu sambil tertawa tertahan.
"Ya. Berbeda suasananya, berbeda pelayanannya, tetapi juga berbeda beayanya," berkata seorang diantara kedua orang yang menginap itu sambil tertawa.
Petugas di penginapan itupun tertawa pula.
"Apakah ada minuman panas" Makan atau makanan?" bertanya orang yang menginap itu.
"Ada Ki Sanak. Minuman panas. Tetapi persediaan makan malam sudah tidak lengkap lagi Ki Sanak."
"Apa saja yang ada. Jika di penginapan ini tidak ada makan malam, kami akan kelaparan. Sima sekarang tidak lagi seperti Sima beberapa waktu yang lalu. Aku pernah melintasi kademangan ini pada saat memasuki malam hari. Aku dan dua orang kawanku masih menemukan kedai yang terbuka pintunya. Tetapi sekarang, nampaknya Sima menjadi beku di malam hari. Padahal bukankah saat ini belum terlalu malam."
"Inilah Sima sekarang Ki Sanak," jawab petugas di penginapan itu.
"Nah, sediakan makan buat kami berdua. Kami akan mandi lebih dahulu."
Kedua orang itupun kemudian mandi bergantian. Baru kemudian, petugas di penginapan itu telah menghidangkan minuman hangat serta makan malam meskipun lauknya sudah tidak lengkap lagi. Hanya tinggal ada sayur asam, dendeng ragi, serta telur yang baru saja didadar, sehingga masih panas.
Meskipun nasi sudah dingin, tetapi sayur asam yang dipanasi itu membuat makan malam yang sudah tidak lengkap itu tidak terlalu dingin.
Demikialah kedua orang itupun makan dengan lahapnya meskipun hanya seadanya saja.
Ketika petugas yang seorang lewat didepan serambi bilik Glagah Putih dan Rara Wulan. maka Glagah Putihpun bertanya, "Siapakah mereka?"
Petugas itu menggeleng sambil menjawab, "Aku belum bertanya kepada mereka. Aku baru menyediakan tempat untuk bermalam serta menyediakan makan malam."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak bertanya lebih jauh.
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan dengan sengaja telah turun ke halaman dan duduk-duduk di tangga pendapa. Meskipun malam sudah semakin dalam, tetapi mereka berharap bahwa kedua orang yang baru datang itu tidak "egera tidur. Jika setelah makan mereka keluar dari biliknya untuk menghirup udara segar di luar, Glagah Putih dan Rara Wulan ingin berbincang dengan mereka.
Sebenarnyalah setelah makan malam kedua orang berkuda itu tidak segera masuk ke dalam biliknya dan berbaring di pembaringan. Namun keduanyapun kemudian telah keluar ke pendapa untuk menghirup udara yang segar.
Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan melihat keduanya keluar dari pintu pringgitan, maka Glagah Putihpun mengangguk hormat sambil berdesis, "selamat malam Ki Sanak."
Kedua orang itu berpaling kepada Glagah Putih dan Rara Wulan yang mengangguk hormat kepada mereka. Karena itu, maka keduanyapun telah mengangguk hormat pula sambil menjawab hampir berbareng, "selamat malam."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera naik kepringgitan pula. Kemudian berempat mereka duduk di pringgitan.
Terasa udara malam yang sejuk berhembus mengusap tubuh mereka. Seorang diantara orang berkuda itu inengkipas-kipaskan bajunya. Sementara itu, kawannyapun bertanya, "Kau masih saja kepanasan?"
"Bukan kepanasan, tetapi kepedasan sehingga keringatku masih saja mengalir."
Kawannya tertawa pendek. Katanya, "Kau tidak berhati-hati. Kau kunyah saja cabe rawit yang sudah berwarna hampir merah, sementara sayurnya masih panas."
Sementara itu, Glagah Putihpun kemudian bertanya, "Ki Sanak berdua datang dari mana?"
"Kami baru saja dari Demak Ki Sanak."
"Dari Demak. Perjalanan yang jauh."
"Ya. Kami harus bermalam dua malam di perjalanan sebelum kami sampai di tujuan."
"Kalian akan pergi ke mana?"
"Kami akan pergi ke Jipang. Kami ingin mengunjungi paman kami yang tinggal di Jipang."
"Jadi esok Ki Sanak berdua akan melanjutkan perjalanan ke Jipang?"
"Ya. Besok kami akan melanjutkan perjalanan," jawab seorang diantara mereka. Sementara itu yang seorang lagi bertanya, "Ki Sanak berdua datang dari mana?"
"Kami datang dari Jipang. Tetapi kami berasal dari Jati Anom."
"Jati Anom. Aku pernah mendengar nama Jati Anom."
"Jati Anom terletak di kaki Gunung Merapi Ki Sanak. Satu kademangan kecil yang berada di bawah bayangan bukit."
Kedua orang itu mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka bertanya, "Kalian akan pergi ke mana?"
"Kami akan pergi ke Purwadadi Ki Sanak."
"Purwadadi?" "Ya. Kami ingin mengunjungi salah seorang keluarga kami yang tinggal di Purwadadi."
Kedua orang itu mengangguk-angguk. Namun seorang diantara mereka berkata, "Purwadadi dan sekitarnya sekarang baru sibuk Ki Sanak. Jika kau pergi ke sana, maka kau akan melihat kesibukan itu."
"Kesibukan apa?"
"Para prajurit dari Demak telah berdatangan ke daerah Purwadadi, Grobogan bahkan sampai ke Wirasari."
"Untuk apa?" "Mereka menghimpun anak-anak muda untuk dilatih dalam olah keprajuritan. Setiap orang, bukan hanya anak-anak muda, bahkan laki-laki yang sudah berkeluarga, tetapi masih nampak kokoh, setiap pekan tiga kali melakukan latihan keprajuritan di lingkungan mereka masing-masing. Mereka dilatih sebagaimana seorang prajurit, meskipun mereka tidak dimasukkan ke dalam barak. Namun sepekan tiga kali, lewat tengah hari. mereka harus datang untuk mengikuti latihan olah kanuragan dan bahkan latihan perang gelar."
"Untuk apa?" "Menurut pendengaranku tidak untuk apa-apa. Sekedar berjaga-jaga jika terjadi sesuatu."
"Apa yang dimaksud dengan sesuatu?"
"Entahlah. Aku tidak tahu. Aku hanya mendengar sekilas saja keterangan paman yang tinggal di Purwadadi. Tetapi ternyata paman sendiri juga tidak jelas, apa yang sebenarnya akan terjadi."
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Namun Glagah Putihpun kemudian bertanya, "Ki Sanak singgah di Purwadadi" Bukankah Ki Sanak tinggal di Demak?"
"Paman adalah pedagang keliling, sehingga mondar-mandir kemana-mana."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun mengangguk-angguk pula.
Untuk beberapa lama mereka masih berbincang. Namun kemudian seorang diantara mereka berkata, "Sudahlah Ki Sanak. Kami minta diri. Kami harus segera tidur karena esok pagi-pagi kami akan berangkat ke Pajang. Ada seorang paman di Pajang."
"Silahkan Ki Sanak Kamipun akan beristirahat pula."
Kedua orang yang datang berkuda itupun segera bangkit berdiri sambil berkata hampir berbareng, "selamat malam."
Ketika keduanya masuk ke ruang dalam, maka petugas penginapan itupun telah keluar pula dari pintu pringgitan.
"Kalian tidak mengantuk?"
"Ya. Kami berduapun akan beristirahat. Kau?"
Petugas itu tertawa pendek. Katanya, "Jika aku boleh tidur, maka aku lebih senang tidur daripada mondar-mandir di penginapan ini."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun tertawa pula. Keduanyapun segera pergi ke bilik mereka. Sesudah menyelarak semua pintu, maka Rara Wulanpun segera berbaring, sementara Glagah Putih masih duduk disebuah tempat duduk yang panjang.
"Kau percaya kepada cerita kedua orang itu, kakang?" bertanya Rara Wulan.
"Aku percaya. Rara. Agaknya keduanya berkata dengan jujur tanpa niat apapun."
"Tentang kesibukan di Purwadadi dan sekitarnya?"
"Ya. Jika kedua orang itu membawa tugas tertentu dalam perjalanan mereka ke Pajang, mereka tidak akan berceritera begitu lugu dan terbuka tentang keberadaan para prajurit di Purwadadi untuk mengumpulkan dan melatih anak-anak muda."
Rara Wulanpun mengangguk-angguk. Dengan nada datar iapun kemudian berkata, "Nampaknya yang akan terjadi di Sima adalah sebagaimana yang telah terjadi di Purwadadi dan sekitarnya."
"Sebaiknya kita melihat sendiri apa yang terjadi di tempat-tempat yang disebut oleh kedua orang itu."
"Esok pagi kita berangkat?"
"Sebaiknya kita melihat lebih dahulu, apa yang akan terjadi di Sima dalam satu dua hari ini, Rara."
Rara Wulanpun mengangguk-angguk, sementara Glagah Putihpun berkata, "Sebaiknya kau tidur dahulu. Nanti jika aku mengantuk, aku akan membangunkanmu."
"Baik, kakang. Aku juga sudah mengantuk."
Rara Wulan yang merasa tenang ditunggui suaminya itupun segera tertidur, sementara Glagah Putih masih duduk di amben panjang. Namun agaknya malam itu tidak terjadi sesuatu di kademangan Sima. Tidak ada tanda-tanda bahwa ada gerakan yang asing yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku pejabat yang datang dari Demak serta orang-orang dari perguruan Kedung Jati.
Di dini hari, tanpa dibangunkan, Rara Wulan telah terbangun sendiri. Sambil bangkit dari pembaringan Rara Wulan itupun bertanya, "Bukankah masih belum pagi?"
"Belum Rara," jawab Glagah Putih sambil mengusap matanya.
"Kakang tentu sudah mengantuk. Kenapa kakang tidak membangunkan aku?"
"Aku baru saja berniat membangunkanmu. Tetapi kau sudah bangun sendiri."
Malam itu Glagah Putih masih sempat tidur meskipun hanya sebentar. Tetapi Glagah Putih sudah merasa cukup beristirahat, sehingga terasa tubulinya menjadi segar.
Ketika fajar menyingsing, maka keduanyapun bergantian pergi ke pakiwan untuk mandi dan berbenah diri.
Ketika keduanya kemudian keluar dari dalam bilik mereka dan turun di halaman yang masih remang-remang, mereka melihat kedua orang berkuda itupun sudah siap untuk berangkat.
"Pagi-pagi sekali kalian sudah berangkat," desis Glagah Putih yang melangkah mendekati keduanya diikuti oleh Rara Wulan.
"Kami ingin segera sampai di Pajang."
"Berkuda kalian akan cepat sampai. Mungkin tengah hari."
"Ya. Kami masih mempunyai waktu untuk melihat-lihat Pajang setelah agak lama kami tidak melihatnya."
"Tidak banyak perubahan terjadi di Pajang. Segala sesuatunya masih saja seperti semula. Yang barangkali agak berbeda adalah, bahwa Pajang sekarang kelihatan lebih bersih."
Kedua orang itu tersenyum. Namun kemudian seorang diantara merekapun bertanya, "Kapan Ki Sanak pergi ke Pajang lagi?"
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Glagah Putihpun berkata, "Kapan-kapan Ki Sanak. Tetapi kami memang ingin kembali ke Pajang."
Sejenak kemudian, maka kedua orang itupun telah menuntun kudanya ke regol halaman penginapan. Petugas penginapan itu melepas mereka sampai ke regol. Sambil mengangguk hormat petugas di penginapan itupun berkata, "Selamat jalan. Pada saat Ki Sanak kembali ke Demak dan Pajang, kami harap Ki Sanak dapat menginap lagi disini."
Keduanya tertawa. Seorang diantara mereka berkata, "Mudah-mudahan. Tetapi jika kami berangkat dari Pajang, maka kami akan sampai disini masih terlalu siang untuk mencari penginapan. Mungkin kami masih akan dapat mencapai tempat berikutnya yang memiliki penginapan seperti di Sima ini."
Tetapi petugas penginapan itupun menjawab, "Sebaiknya Ki Sanak berangkat dari Pajang setelah tengah hari."
Keduanya tertawa semakin keras. Bahkan Glagah Putih dan Rara Wulanpun tertawa pula.
Demikianlah, maka keduanyapun segera meninggalkan penginapan itu. Mereka segera melarikan kuda mereka menuju ke Pajang.
"Keduanya ternyata orang-orang baik," berkata petugas penginapan itu.
"Ya. Keduanyapun ramah dan mudah bergaul. Kami baru semalam mengenal mereka, tetapi merekapun bersikap akrab seperti kami sudah berkenalan lama."
Petugas di penginapan itupun kemudian telah naik ke pendapa sambil berkata, "Aku akan membersihkan bilik, yang mereka tinggalkan."
"Silahkan," sahut Glagah Putih.
Demikian petugas di penginapan itu masuk ke ruang dalam, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun kembali ke biliknya. Mereka menunggu matahari naik. Baru kemudian mereka keluar dari regol halaman penginapan untuk melihat-lihat suasana.
Sima memang nampak lebih sepi. Meskipun demikian, masih ada satu dua kedai di depan pasar yang membuka pintunya.
Agaknya karena hari masih pagi, atau karena suasana yang berubah, maka rasa-rasanya pasar itupun masih saja sepi. Apalagi kedai yang berada di depan pasar itu. Di salah satu kedai diantaranya, baru Glagah Putih dan Rara Wulan sajalah yang berada didalam kedai itu.
Karena itu. maka Glagah Putih dan Rara Wulan sempat berbincang-bincang dengan pemilik kedai yang belum menjadi sibuk itu.
"Suasana telah berubah, Ki Sanak." berkata pemilik kedai itu.
"Karena Demang di Sima ini diganti."
"Aku tidak tahu sebabnya. Mungkin karena Demangnya berganti, atau karena perintah dari atasan. Meskipun Demangnya masih tetap. Demang yang dahulu, namun perintah itu harus dijalankannya tanpa dapat mengelak lagi."
Mayat Misterius 4 Pesan Misterius Di Water Mill The Long Secret Karya Louise Fitzhugh Cewek Junkies 3
^