Api Di Bukit Menoreh 10
16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 10
"Gegayuhan Ki Sanak. Setiap orang mempunyai gegayuhan."
"Kau yang mempunyai gegayuhan. Lalu, berapa korban yang telah jatuh sekadar untuk mendukungmu mencapai gegayuhan " Apakah dengan demikian, jika kau berhasil mencapai gegayuhanmu, tidak berarti bahwa kau telah mencapai gegayuhanmu dengan alas berpuluh nyawa sesamamu?"
Ki Tumenggung Gending tertawa semakin panjang. Katanya disela-sela derai tertawanya, "Orang-orang yang bodoh dan tidak berarti, selalu menjadi korban dan tumbal bagi keberhasilan orang lain yang lebih pintar dan cerdik. Bukankah kau juga akan menjadi korban" Jika berhasil mempertahankan dirinya, maka Panembahan Hanyakrawatilah yang akan tetap duduk di singgasananya. Bukankah itu juga berarti bahwa singgasana Hanyakrawati juga beralaskan mayat-mayat prajuritnya?"
"Kami tidak sekadar membela Panembahan Hanyakrawati. Tetapi kami ingin menegakkan tatanan dan paugeran yang berlaku di Mataram. Nah, bukankah ada bedanya" Panembahan Hanyakrawati atau bukan, kami akan tetap menegakkan tatanan dan paugeran. Bukan untuk diri kami sendiri. Karena itu, maka pengorbanan kami bukan untuk Panembahan Hanyakrawati" Kau tahu bedanya?"
"Persetan," geram Tumenggung Gending, "sekarang bersiaplah untuk mati."
Ki lurah Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Sementara itu Ki Tumenggung Gendingpun telah menyerang bagaikan banjir bandang.
Namun Ki Lurah Agung Sedayupun telah bersiap sepenuhnya untuk menghadapinya. Karena itu, dengan tangkasnya Ki Lurah Agung Sedayupun berloncatan sambil memutar ujung cambuknya.
Sementara itu, Ki Tumenggung Gending tidak lagi berniat untuk melepaskan lawannya lagi. Ia tidak berniat memancing lawannya memasuki jebakan sebagaimana di lakukan terhadap Ki Tumenggung Derpayuda. Tetapi kali ini, Ki Tumenggung Gending ingin menghabisi lawannya itu.
Tetapi lawannya adalah seorang yang ilmunya sangat tinggi. Ternyata lawannya itu tidak berada di bawah kemampuan Ki Tumenggung Derpayuda.
Tetapi dengan keris pusakanya yang melampaui ukuran keris kebanyakan itu, Ki Tumenggung Gending yakin, bahwa ia akan dapat membunuh lawannya. Satu goresan kecil pada kulit lawannya, telah cukup untuk mengantarkan lawannya itu ke lubang kubur.
Ki Lurah Agung Sedayupun menyadari, bahwa kerisnya merupakan sipat kandel yang sangat dibanggakan oleh Ki Tumenggung Gending. Karena itu, maka Ki Lurah Agung Sedayu ingin mengecilkan arti keris itu bagi Ki Tumenggung Gending.
Sebenarnyalah bahwa Ki Lurah Agung Sedayu dengan sengaja tidak menarik ujung cambuknya ketika Ki Tumenggung Gending menebas ujung cambuknya dengan keris yang dibanggakannya itu.
Ki Tumenggung Gending memang agak terkejut, bahwa kerisnya tidak mampu untuk memutuskan ujung cambuk lawannya.
"Gila senjata orang Mataram itu," geram Ki Tumenggung Gending. Sementara itu Ki Lurah Agung Sedayu menyerangnya seperti angin prahara, cambuknya berputaran kemudian menghentak sendal pancing. Sekali-kali ujungnya mematuk seperti kepala seekor ular bandotan.
Tetapi Ki Tumenggung Gendingpun mampu bergerak dengan cepat. Kakinya berloncatan bagaikan tidak menyentuh tanah.
Meskipun demikian, ternyata bahwa ujung cambuk Ki Lurah Agung Sedayu mampu memburunya. Sehingga seleret luka telah menggores lengannya.
"Anak iblis kau," geram Ki Tumenggung Gending. Kemarahannya telah membakar jantungnya ketika ia merasa dari lukanya yang pedih itu meleleh darahnya yang hangat.
Kemarahannya itu telah membuat Ki Tumenggung bertempur semakin sengit. Ujung kerisnya bagaikan lalat yang berterbangan di sekitar tubuh Ki Lurah Agung Sedayu. Meskipun Ki Lurah itu memutar ujung cambuknya sehingga seakan-akan menjadi perisai yang melingkari tubuhnya, namun ternyata bahwa ujung keris Ki Tumenggung Gending sempat juga hinggap di tangannya, sejengkal di atas pergelangannya.
Sengatan itu memang mengejutkan Ki Lurah Agung Sedayu, sehingga Ki Lurah itupun meloncat surut beberapa langkah.
Yang terdengar adalah suara tertawa Ki Tumenggung gending. Ki Tumenggung Gending merasa ujung kerisnya telah menyentuh tubuh lawannya.
"Kau akan mati, Ki Sanak. Kesombonganmu bahwa kau berani menghadapi aku di medan perang ini telah menghentikan pengabdian kepada Kangjeng Panembahan Hanyakrawati. Seperti kataku tadi, Panembahan Hanyakrawatalah yang akan bertahan duduk di atas tahtanya.
Jika ia berhasil, maka tahtanya akan beralaskan mayatmu pula disamping mayat puluhan korban yang lain.
Ki Lurah Agung Sedayu memandangi luka di tangannya. Ujung keris itu hanya membuat luka kecil di tangannya itu.
Tetapi Ki Tumenggung itupun berkata, "Meskipun lukamu tidak lebih besar dari seekor nyamuk kecil, tetapi warangan kerisku adalah warangan yang terbaik, yang akan segera membunuhmu"
Ki Lurah Agung Sedayu masih saja berdiri tegak sambil merengungi luka di tangannya. Namun kemudian katanya. "Ki Tumenggung Gending, warangan kerismu memang sangat tajam, tetapi kematian seseorang tidak tergantung kepada orang lain. Jika Yang Maha Agung masih melindungiku, maka aku tentu masih akan dapat memberikan perlawanan yang justru akan dapat menghentikan nafasmu untuk mencapai gegayuhan yang tidak sepatutnya itu."
"Kau masih akan melawan?"
"Tentu Ki Tumenggung."
"Semakin banyak kau bergerak, maka racun itu akan bekerja semakin cepat di tubuhmu Umurmupun akan menjadi semakin cepat pula berakhir."
"Sudah aku katakan, bukan kau yang menentukan umurku. Sekarang bersiaplah. Kau atau aku yang akan lebih dahulu tersingkir dari arena pertempuran ini."
Ki Tumenggung Gending masih saja tertawa. Katanya, "Bagus. Agaknya kau sudah menjadi putus-asa. Kau akan menghabiskan saat-saat terakhirmu dengan sikap seorang prajurit. Bagus. Ternyata kau memang seorang prajurit sejati."
Ki Lurah Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi cambuknyalah yang menghentak. Tanpa suara, tetapi getarannya bagaikan meruntuhkan jantung Ki Tumenggung Gending.
Demikianlah keduanya telah terlibat kembali dalam pertarungan yang sengit. Ki Tumenggung Gending yang yakin akan menghentikan perlawanan Ki Lurah Agung Sedayu itupun bertempur semakin garang. Sementara itu, Ki Lurah Agung Sedayupun telah menghentakkan ilmunya pula.
Dengan demikian, maka pertarungan antara keduanya menjadi semakin sengit, sehingga para prajurit yang bertempur di sekitarnya seakan-akan tidak tahu lagi apa yang terjadi diantara keduanya.
Dalam pertempuran yang semakin sengit itu, Ki Tumenggung Gending menjadi sangat heran, bahwa lawannya itu masih saja mampu bertempur dengan garangnya. Sementara itu Ki Tumenggung Gending yakin, bahwa kerisnya telah berhasil menyentuh tangannya sejengkal diatas pergelangan.
"Seharusnya bisa warangan pada kerisku ini sudah mulai bekerja," berkata Ki Tumenggung Gending didalam hatinya.
Namun ternyata bahwa Ki Lurah Agung Sedayu itu sama sekali tidak terpengaruh oleh bisa warangan keris Ki Tumenggung Gending yang dibanggakannya itu.
Bahkan ujung cambuk Ki Lurah Agung Sedayu yang berputaran itu, tiba-tiba saja telah mematuk bahunya.
Ki Tumenggung Gending itu terdorong beberapa langkah surut, bahunya terasa sakit sekali. Tulang-ulangnya seakan-akan menjadi retak.
Ki Tumenggung Gending yang sudah menyentuh tubuh lawannya dengan kerisnya, tetapi seakan-akan tidak berpengaruh itu menjadi sangat marah.
Tetapi Ki Tumenggung Gending sudah jemu berkejar-kejaran dengan Senapati Mataram, karena itu, maka Ki Tumenggung Gending sudah bertekad untuk beradu ilmu pamungkas dengan Senapati Mataram yang bersenjata cambuk itu. Bahkan yang mampu menahan pengaruh bisa dari warangan kerisnya yang sangat tajam.
"Jika aku berhasil, maka aku akan menyapu para Senapati Mataram yang lain dengan Aji Pamungkasku."
Ki Tumenggung Gending masih sempat memandang langit sekilas. Matahari sudah menjadi semakin rendah. Namun Ki Tumenggung Gending ingin menyelesaikan lawannya sebelum terdengar tengara untuk menghentikan perang di hari itu.
Demikianlah, maka Ki Tumenggung Gending itupun segera meloncat mengambil jarak, iapun segera berlutut pada satu lututnya. Ditancapkannya kerisnya di tanah, sementara kedua tangannya menggenggam hulu keris itu kuat-kuat.
Keris itupun telah bergetar sehingga seakan-akan getaran itu mengalir dari bumi ke dalam urat-urat darah Ki Tumenggung Gending, dan menumpuk di dukun dirinya.
Ki Lurah Agung Sedayu yang telah bersiap untuk menyerangnya, tiba-tiba telah mengurungkannya. Ia melihat gelagat yang kurang menguntungkan, sehingga justru karena itu, maka Ki Lurah Agung Sedayupun segera mempersiapkan dirinya pula.
Mula-mula ditingkatkannya daya tahan tubuhnya, sehingga ilmu kebalnyapun telah meningkat pula. Kemudian telah dipusatkan nalar budinya, sehingga Ki Lurah Agung Sedayu itupun telah bersiap pula melepuskun ilmu puncaknya.
Dalam pada itu, ketika Ki Tumenggung Gending itu merasa, bahwa kekuatan getar yang mengalir dari bumi telah memenuhi dirinya, maka tiba-tiba saja Ki Tumenggung Gending itupun bangkit berdiri. Diulurkannya tangannya kedepan dengan telapak tangan yang terbuka menghadap ke bumi. Sementara itu dari ujung jari-jarinya seakan-akan telah meluncur seleret sinar yang berwarna kemerah merahan.
Namun pada saat yang bersamaan, Ki Lurah Agung Sedayu yang memandangnya dengan tajamnya, telah meluncurkan ilmunya pula. Dari sorot matanya memancar cahaya yang hijau kebiruan.
Sekar Mirah yang berdiri di luar lingkaran pertempuran itu menjadi sangat tegang. Iapun melihat benturan yang dahsyat terjadi antara dua ilmu yang sangat tinggi dari seorang Senapati Demak dengan ilmu puncak seorang Senapati Mataram.
Kedua orang itu ternyata telah terguncang, Ki Lurah Agung Sedayu yang tergetar surut beberapa langkah, ternyata tidak mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga Ki Lurah Agung Sedayu itupun jatuh terguling di tanah.
Sekar Mirahpun dengan cepat berlari ke arahnya, tetapi Sekar Mirah terlambat menahan tubuh Ki Lurah Agung Sedayu. Demikian pula beberapa orang prajurit Mataram. Sehingga tubuh itu sempat terguling di tanah.
Namun dalam pada itu, tubuh Ki Tumenggung Gendingpun telah terlempar beberapa langkah pula. tetapi tubuh itupun terbanting dengan kerasnya. Terasa dada Ki Tumenggung Gending itu menjadi sesak.
Beberapa orang prajurit Demakpun berlari-larian pula. Dua orang Senapati bawahannyapun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Namun para prajurit Mataram tidak menyerang mereka. Sebagian dari merekapun berusaha melindungi Ki Lurah Agung Sedayu. Namun Sekar Mirah telah berada disisinya pula.
"Kakang," desis Sekar Mirah.
Ki Lurah Agung Sedayu itupun menarik nafas panjang. Dadanya memang terasa sakit, tetapi rasa sakit itupun dapat diatasinya. Untunglah bahwa Agung Sedayupun telah sempat meningkatkan daya tahannya sehingga ilmu kebalnyapun telah meningkat pula.
Ki Lurah Agung Sedayupun kemudian telah duduk pula dengan menyilangkan kakinya. Kedua telapak tangannya yang terbuka terletak di kedua lututnya.
Sejenak Ki Lurah Agung Sedayu duduk bersila sambil mengatur pernafasannya.
Dalam pada itu, pasukan Demak benar-benar berada dalam keadaan yang sangat gelisah. Seorang Senapati besar yang mendapat kepercayaan yang besar pula dari Kangjeng Adipati Demak, berada dalam keadaan yang sangat mengkhawatirkan. Nampaknya Ki Tumenggung Gending itupun telah terluka dalam yang sangat parah. Dari sela-sela bibirnya, darah mulai mengalir.
Para prajurit Demak kemudian telah membawa Ki Tumenggung Gending itu ke belakang garis pertempuran. Seorang tabib terbaik dari Demak yang mengikuti pertempuran itupun segera di panggil.
Tetapi tabib itu hanya dapat menarik nafas panjang. Sebelum ia berbuat sesuatu, keadaan Ki Tumenggung Gending sudah menjadi semakin sulit.
"Tidak ada gunanya, Kiai," desis Ki Tumenggung Gending.
"Aku harus mencobanya, Ki Tumengnung." Tetapi Ki Tumenggung Gending menggeleng. Sementara itu, Kangjeng Adipatipun telah mendapat laporan tentang keadaan Ki Tumenggung Gending. Kangjeng Adipati yang bertempur dengan garangnya itupun telah meninggalkan garis pertempuran untuk melihat keadaan Ki Tumenggung Gending.
"Ki Tumenggung," desis Kangjeng Adipati.
Ki Tumenggung Gending itu masih sempat tersenyum. Dengan suara yang tidak begitu jelas iapun berkata, "Hamba mohon diri Kangjeng. Semoga Kangjeng berhasil."
"Ki Tumenggung," nada suara Kangjeng Adipati meninggi. Namun Ki Tumenggung Gending itupun menjadi semakin lemah.
"Kita harus menyelesaikan perjuangan ini bersama Ki Tumenggung," berkata Kangjeng Adipati selanjutnya.
Tetapi Ki Tumenggung Gending sudah tidak dapat bertahan lagi. Iapun kemudian menutup mata untuk selamanya.
Kematian Ki Tumenggung Gending telah mengguncang jantung Kangjeng Adipati Demak. Karena itu, maka iapun segera bangkit. Dengan kemarahan yang membakar jantungnya, Kangjeng Adipati itupun meloncat kembali ke garis pertempuran. Dua orang senapati pengawalnyapun berlari-lari pula mengikutinya.
"Aku akan menghabisi para Senapati Mataram sampai orang yang terakhir."
Kangjeng Adipati Demak itupun kemudian bertempur bagaikan banteng ketaton. Para prajurit Mataram yang berani mencoba menghalanginya, akan segera terlempar dari arena pertempuran.
Dengan demikian, bersama dengan dua orang Senapati pengawalnya Kangjeng Adipati Demak itu rasa-rasanya telah berhasil mendesak seluruh pasukan Mataram itu bergeser surut.
Kegarangan kangjeng Adipati Demak itu ternyata nampak oleh Kangjeng Panembahan Hanyakrawati dari Mataram. Meskipun Kangjeng Panembahan Hanyakrawati masih lebih muda dari Kangjeng Adipati Demak, namun Kangjeng Panembahan itu sudah ditempa oleh beberapa orang yang berilmu tinggi, sehingga Kangjeng Panembahan telah menjadi seorang yang pilih tanding.
"Eyang," berkata Kangjeng Panembahan Hanyakrawati kepada Ki Patih Mandaraka, "Eyang lihat. Karena paman Pangeran Singasari terluka, maka pasukan Mataram seperti sapu kehilangan suhnya. Eyang. Sementara dimas Pangeran Puger dan dimas Pangeran Demang Tanpa Nangkil memimpin gelar di lambung pasukan, aku sendirilah yang akan memimpin induk pasukan ini."
Ki Patih Mandar aka termangu-mangu sejenak. Tetapi memang sudah sepantasnya Kangjeng Panembahan Hanyakrawati sendiri yang turun ke medan. Meskipun demikian, Ki Patih Mandaraka itupun berkata, "Aku akan menjadi Senapati Pengapit wayah Panembahan."
"Eyang sudah terlalu tua untuk turun langsung ke medan pertempuran."
Ki Patih Mandaraka tersenyum. Katanya, "Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku hanya akan menonton, apa yang wayah lakukan."
"Baik. Tetapi aku berpesan, eyang jangan terjun ke medan."
Sementara itu, maka Pasukan Khusus Pengawal Rajapun segera mempersiapkan diri. Mereka akan berada di sekitar Kangjeng Panembahan Hanyakrawati yang akan memimpin langsung prajurit Mataram.
Namun sebelum Kangjeng Panembahan maju ke medan, maka Kangjeng Panembahan telah mendapat laporan, bahwa Ki Tumenggung Gending, salah seorang Senapati besar dari Demak telah terbunuh di medan perang oleh Ki Lurah Agung Sedayu.
"Ki Lurah Agung Sedayu?"
"Hamba Kangjeng." Ki Lurah bersama isterinya sedang berusaha untuk dapat bertemu dengan Ki Saba Lintang.
"Ya. Aku telah mengijinkannya."
"Tetapi yang ditemuinya justru Ki Tumenggung Gending. Justru pada saat Ki Tumenggung Gending berusaha menyerang Pangeran Singasari yang sedang ditinggalkan oleh Kangjeng Pangeran Puger di arena."
Kangjeng Panembahan Hanyakrawati mengangguk-angguk. Ia melihat sekilas. Tetapi hiruk pikuk pertempuran kemudian telah menghalangi pandangannya.
"Jadi agaknya Kangmas Pangeran Puger mengamuk karena ia telah kehilangan Senapatinya yang terpercaya."
"Ya. Agaknya memang demikian kangjeng."
"Baiklah. Biar aku sendiri yang akan menghadapinya."
Tetapi demikian Kangjeng Panembahan Hanyakrawati bergerak ke garis pertempuran, terdengar suara sangkakala yang ditiup diatas gumuk kecil. Kemudian disahut oleh suara bende yang bertalu-talu.
"Wayah," berkata Ki Patih Mandaraka, "memang hari ini wayah masih belum diperkenankan memasuki arena pertempuran."
"Ya, eyang, tetapi esok, aku sendiri yang akan turun ke arena pertempuran, aku sendiri akan menjumpai kamas Pangeran Puger, aku masih akan berusaha membujuknya, tetapi jika kamas Pangeran Puger benar-benar sudah tidak lagi dapat dicegah, apaboleh buat."
Ki Patih Mandaraka memang sudah tidak mempunyai alasan yang cukup untuk mencegah agar Kangjeng Panembahan Hanyakrawati tidak langsung berhadapan dengan saudaranya sendiri. Tetapi sikap keras kangjeng Pangeran Puger telah menutup kemungkinan-kemungkinan lain kecuali perang.
Dibawah bayang langit yang suram menjelang senja, maka kedua pasukan yang sedang bertempur itupun mulai menarik diri. Kedua pasukan itupun segera kembali ke pasanggrahan masing-masing.
Namun kangjeng Adipati Demak itu terkejut ketika ia melihat sosok tubuh yang terbujur di pendapa pasanggrahan Kangjeng Adipati, Sosok tubuh yang terbujur disamping tubuh Ki Tumenggung Gending.
"Siapa ?" Kangjeng Adipati tidak sabar menunggu jawabannya. Tanganyapun telah menyibak kain yang menutup tubuh yang terbujur itu.
"Ki Tumenggung Panjer?"
"Ya, Kangjeng."
"Gila. Jadi Ki Tumenggung Panjer juga terbunuh hari ini?"
"Ya, Kangjeng."
"Siapa yang telah membunuh Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer " Ketika aku menunggui Ki Tumenggung Gending meninggal, aku lupa bertanya, siapakah yang telah membunuhnya."
Seorang prajurit yang lain berkata dengan wajah tertunduk, "Yang membunuh Ki Tumenggung Gending adalah Ki Lurah Agung Sedayu. Senapati Mataram dari kesatuan Pasukan Khusus, Kangjeng."
"Gila. Ini gila. Jadi yang membunuh Ki Tumenggung Gending hanya seorang Lurah Prajurit" Ki Tumenggung Derpayuda tidak berhasil membunuhnya. Tiba-tiba seorang Lurah prajurit datang menghadapinya dan bahkan membunuhnya."
"Ki Lurah Agung Sedayu bukan seperti kebanyakan Lurah prajurit yang lain, Kangjeng. Ia memiliki kelebihan melampaui seorang Tumenggung."
"Omong kosong. Jika ia memiliki kemampuan seorang Tumenggung, kenapa ia masih saja Lurah prajurit?"
Prajurit yang memberikan laporan itu menggeleng sambil menjawab, "Hamba tidak tahu, Kangjeng."
"Lalu, siapakah yang telah membunuh Ki Tumenggung Panjer?"
"Seorang laki-laki yang masih terhitung muda, Kangjeng." Jawab prajurit yang lain, "namanya Glagah Putih."
"Glagah Putih," Pangeran Pugerpun mulai mengingat-ingat. Ia sudah pernah mendengar nama-nama itu. Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih.
Pangeran Pugerpun mencoba mengingat saat ia meninggalkan Mataram pergi ke Demak dengan pengawalan yang kuat dari para prajurit Mataram. Mataram mencemaskan gangguan dari sekelompok orang yang mengaku dari perguruan Kedung Jati.
Tetapi orang-orang yang mengaku murid perguruan Kedung Jati itu, bahkan bersama dengan pemimpin tertingginya, kini berada dalam barisan yang sama dengan Kangjeng Pangeran Puger untuk melawan Mataram.
Tetapi Pangeran Puger tidak ingin terpengaruh oleh kenangannya itu. Karena itu, Pangeran Pugerpun kemudian berkata, "Kalian harus mengingat ciri-ciri dari orang-orang yang telah membunuh Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer. Besok aku sendiri yang akan membunuh mereka. Aku tidak tahu, siapakah yang besok akan menjadi Senapati Agung di Mataram, setelah paman Singasari terluka. Seharusnya Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer tidak perlu merunduk mereka dengan cara yang kurang terhormat, meskipun kita berada di medan perang. Tetapi Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer tidak mau mendengarkan perintahku. Aku tahu, ihwa mereka bermaksud baik. Tetapi aku adalah seorang kesatria Mataram yang tidak seharusnya menodai darah kesatriaku."
"Sebaiknya Kangjeng Adipati sekarang beristirahat saja lebih dahulu," berkata seorang Senapati.
Wajah Kangjeng Pangeran Puger memang nampak muram. Dua orang Senapatinya yang terpercaya telah terbunuh pada hari yang sama.
Bahkan sempat terlintas di angan-angannya, bahwa ke-matian Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer adalah pertanda buruk bagi pasukan Demak.
"Tidak. Masih ada aku. Masih ada Ki Saba Lintang. Masih ada Ki Patih Tandanegara."
Meskipun pada saat Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer masih sangat berpengaruh terhadap Kangjeng Adipati, maka rasa-rasanya Ki Patih Tandanegara itu seakan-akan telah dilupakan, namun ia adalah seorang Patih yang setia, sehingga ia tidak berkisar meninggalkan Demak.
Malam itu, Kangjeng Adipati telah berbicara langsung dengan Ki saba Lintang, bahwa sebaiknya Ki Saba Lintang langsung memegang peranan dalam pertempuran esok.
Ki Saba Lintang ternyata juga menaruh perhatian yang besar terhadap kematian Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer yang terjadi pada hari yang sama. Dengan demikian, maka Ki Saba Lintangpun menyadari, bahwa Mataram memang mengerahkan kekuatan yang sangat besar untuk dengan sungguh-sungguh menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh Kangjeng Pangeran Puger.
Namun Ki Patih Tandanegara yang ikut pula dalam pembicaraan itupun berkata, "Ampun Kangjeng Adipati. Jangan cemas. Masih banyak para Tumenggung yang memiliki ilmu yang tinggi yang akan memimpin para prajurit di Demak. Masih banyak pula para pemimpin dari Perguruan Kedung Jati yang akan mampu mengimbangi kemampuan para Senapati Mataram."
Kangjeng Adipati itupun mengangguk-angguk. Namun justru Ki Saba Lintanglah yang mengerutkan dahinya. Iapun telah kehilangan beberapa orangnya yang berilmu tinggi. Tetapi masih ada yang dapat diandalkannya untuk menghadapi orang-orang Mataram.
Namun yang dicemaskannya adalah pengaruh keberadaan seorang perempuan yang bersenjata tongkat baja putih. Keberadaan Sekar Mirah di medan pertempuran itu akan sangat mengganggu orang-orang yang telah menyatakan kesediaannya bertempur bersamanya melawan Mataram.
"Kangjeng Adipati," berkata Ki Saba Lintang, "akupun merasa bahwa sudah saatnya aku bersungguh-sungguh. Aku harus menghentikan Nyi Agung Sedayu yang juga memiliki senjata ciri kepemimpinan perguruan Kedung Jati. Entahlah darimana ia mencuri tongkat baja putih itu. Atau bahkan mungkin tongkat baja putihnya adalah palsu. Karena itu, jika aku berhasil dapat bertemu langsung dengan perempuan itu, maka aku akan dapat meyakinkan diriku sendiri, bahwa aku adalah memang pemimpin tertinggi dari perguruan Kedung Jati yang besar ini. Aku akan mematahkan tongkat baja putih yang berada di tangan perempuan itu."
"Jadi perempuan itu adalah istcri Ki Lurah Agung Sedayu yang telah membunuh Ki Tumenggung Gending?"
"Ya." "Bagus. Kau bunuh perempuan itu. Aku akan membunuh suaminya karena ia sudah membunuh Ki Tumenggung Gending. Kemudian akupun akan membunuh laki-laki yang terhitung masih muda yang bernama Glagah Putih yang telah membunuh Ki Tumenggung Panjer."
"Glagah Putih adalah sepupu Ki Lurah Agung Sedayu," sahut Ki Saba Lintang yang pernah bertualang di Tanah Perdikan Menoreh meskipun selalu gagal.
Namun Ki Saba Lintang yang telah menempa diri dibawah bimbingan seorang yang berilmu sangat tinggi yang hidup di sebuah goa di lereng Gunung Telamaya, telah membuatnya menjadi seorang yang pilih tanding. Pertapa itu telah menempanya dengan berbagai ilmu kanuragan yang rumit.
"Balaskan dendamku," berkata pertapa itu, "aku sendiri sudah kehilangan kesempatan untuk menghukum orang-orang Mataram yang bengis itu. Aku tiduk mempunyai dukungan kekuatan yang memadai."
"Apa yang telah dilakukan oleh orang-orang Mataram itu?"
"Seorang Pangeran dari Mataram telah membunuh guruku."
"Pangeran siapa?"
"Pangeran Rangga."
"Pangeran Rangga" Pangeran Rangga sudah lama tidak ada lagi."
"Aku tahu. Tetapi kebencianku kepada orang-orang Mataram tidak dapat aku redam lagi."
Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya, "Apa yang sudah dilakukan oleh Pangeran Rangga terhadap kakek guru?"
"Pangeran Rangga memaksa guru menghentikan tapanya."
"Apakah tapa kakek guru itu dianggap mengganggu Pangeran yang aneh itu" Pangeran yang lebih sering di sebut Raden Rangga yang mempunyai kesaktian tidak terbatas itu?"
"Sebenarnya guru tidak mengganggu Pangeran Rangga itu sendiri. Ketika Pangeran Rangga lewat di sebelah bukit tempat guru bertapa, ia menerima pengaduan dari rakyat beberapa padukuhan yang dilewatinya, bahwa karena guru bertapa di bukit itu, maka udara disekitarnya menjadi sangat panas. Pepohonan menjadi layu dan bahkan kering. Sawah-sawah tidak dapat ditanami sehingga tanah yang luas di sekitar bukit itu menjadi tanah yang kering kerontang. Tidak selembar rumputpun dapat tumbuh."
"Apa yang kemudian dilakukan oleh Raden Rangga?"
"Raden Rangga mendatangi guru. Raden Rangga yang masih muda itu minta guru menghentikan tapanya. Tentu saja guru berkeberatan. Ia menganggap Pangeran Rangga sebagai seorang anak yang datang mengganggunya. Namun ternyata bahwa Pangeran Rangga bersungguh-sungguh, sehingga keduanya sepakat untuk menyelesaikan persoalan mereka dengan perang tanding. Mereka memilih sebatang pohon randu alas sebagai arena perang tanding itu?"
"Randu Alas?" "Ya. Mereka akan berperang tanding diantara dahan-dahan dan cabang pohon randu alas itu."
"Mereka benar-benar berperang tanding di atas pohon itu?"
"Ya. Perang tanding yang sangat dahsyat. Semua daun, ranting dan bahkan cabang-cabang pohon randu alas itupun runtuh sampai dahan yang terakhir."
"Raden Rangga itu akhirnya dapat mengalahkan kakek guru?"
Pertapa itu menarik nafas panjang. Katanya, "Itulah yang sangat menyakitkan hatiku. Pada saat itu, aku baru menguasai ilmuku sampai tataran terakhir. Tetapi masih belum tuntas. Karena itu, ketika guruku terbunuh, aku tidak dapat berbuat apa-apa. Jika guruku saja tidak dapat menandingi kemampuan Pangeran Kangga, apalagi aku pada waktu itu."
"Kemudian guru menyempurnakan ilmu guru tanpa bimbingan?"
"Ya. Tetapi semua dasar-dasarnya sudah aku kuasai. Aku tinggal menyempurnakan dan mengembangkannya. Bahkan aku merasa bahwa apa yang aku kuasai sekarang, lebih baik dari apa yang dikuasai oleh guru pada waktu itu. Bahkan seandainya Pangeran Rangga itu masih ada sekarang, aku ingin menjajagi ilmunya yang dikatakan orang tidak ada batasnya itu."
Ki Saba Lintang mengangguk-angguk penuh harap, bahkan iapun akan memiliki ilmu yang akan mampu menandingi ilmu Pangeran Rangga itu.
Tetapi berbeda dengan pertapa yang menjadi gurunya. Ki Saba Lintang tidak mempunyai waktu sebanyak gurunya untuk menyempurnakan dan mengembangkan ilmunya. Karena itu, maka Ki Saba Lintang masih belum mampu memiliki tingkat kemampuan sebagaimana pertapa yang tinggal di goa lereng Bukit Telamaya itu.
Meskipun demikian, kemajuan ilmu Ki Saba Lintang sudah memberinya kebanggaan. Ia yakin, bahwa ia adalah orang terbaik di perguruan Kedung Jati. Bahkan jika perempuan yang bernama Sekar Mirah itu datang kepadanya dengan tongkat baja putihnya, ia akan menyambutnya dengan penuh keyakinan akan dapat mengalahkannya dan bahkan menguasai tongkat baja putihnya itu pula.
Tetapi Ki Saba Lintang tidak tahu, bahwa pada saat-saat terakhir, Nyi Lurah Agung Sedayu itu telah mengasah ilmunya sehingga sampai pada tataran tertinggi. Dalam samadinya serta dalam penempaan diri, gurunya, Ki Sumangkar seakan-akan telah datang kepadanya serta menumpahkan segala ilmunya itu kepadanya. Bukan, hanya bekal yang diberikan oleh Ki Sumangkar, tetapi Sekar Mirah telah dimatangkan pula oleh Ki Lurah Agung Sedayu serta dalam latihan bersama dengan Glagah Putih dan Rara Wulan, ilmunyapun menjadi semakin lengkap.
Demikianlah, maka Ki Saba Lintangpun telah mengusung dua beban di pundaknya. Selain keinginannya yang melambung tinggi untuk mendapatkan kamukten lewat dukungannya kepada Demak, ia juga dibebani oleh pertapa di Bukit Telamaya itu untuk membalaskan dendamnya kepada orang-orang Mataram, terutama kepada saudara-saudara Raden Rangga. Diantaranya tentu Kangjeng Panembahan Hanyakrawati sendiri.
Malam itu Ki Saba Lintang telah memutuskan bahwa dikeesokan harinya, ia harus terjun langsung di pertempuran diantara beberapa orang yang berilmu tinggi, yang sudah bergabung dengan Perguruan terbesar di bumi Mataram Perguruan Kedung Jati.
Namun dalam pada itu, Kangjeng Adipati Demak memutuskan, bahwa Demak tidak akan merubah-rubah gelarnya. Esok pagi Demak masih akan turun dengan gelar Gajah Meta.
Sementara itu, para Senapati di pasukan Matarampun telah mendapat perintah, bahwa esok yang akan memimpin langsung pasukan Mataram adalah Kangjeng Panembahan Hanyakrawati sendiri.
Pangeran Singasari yang terluka, memang tidak akan dapat memimpin pasukan Mataram di keesokan harinya. Karena itu, maka Pangeran Singasari itu hanya dapat berpesan, "Hati-hatilah angger Panembahan. Ada orang-orang yang licik di dalam pasukan Demak. Mereka berpegang pada tatanan perang tanpa menghiraukan pertarungan Senapati yang sedang berlangsung."
"Aku mengerti paman. Maksud paman, sebagaimana terjadi pada paman sendiri."
"Ya." "Aku akan berada di medan bersama para Senapati pe gawaiku. Mereka akan mencegah kelicikan-kelicikan seperti itu. Yang telah terjadi pada paman merupakan pelajaran yang berharga, sehingga tidak akan aku abaikan."
"Aku akan menonton di belakang wayah Panembahan," berkata Ki Patih Mandaraka.
Pangeran Singasari menarik nafas panjang. Meskipun sebenarnya Ki Patih Mandaraka sudah terlalu tua untuk berada di medan pertempuran, tetapi ia tentu akan didampingi oleh Senapati-senapati pengawalnya yang masih lebih muda.
Sedangkan Pangeran Puger Muda serta Pangeran Demang Tanpa Nangkil masih akan tetap berada di gelar pasukan sebelah menyebelah pasukan induk. Panembahan Hanyakrawatipun tidak akan merubah gelarnya pula. Gelar Cakra Byuha yang ternyata memiliki kelebihan dari gelar Gedong Minep yang lebih banyak bertahan.
Menjelang tengah malam, maka para pemimpin pasukan dari kedua belah pihakpun menyempatkan diri untuk beristirahat. Sementara itu, sekelompok prajurit masih sibuk mengurus kawan-kawan mereka yang terluka dan yang gugur di pertempuran. Sementara itu, Ki Patih Mandar ka sendiri masih merenungi tubuh-tubuh yang terbujur membeku yang akan dimakamkan dengan upacara keprajuritan.
"Silahkan beristirahat Ki Patih," berkata seorang Senapati yang bertugas.
"Kau sendiri tidak beristirahat?"
"Aku esok tidak turun ke medan. Malam ini aku bertugas."
Ki Patih Mandaraka menarik nafas panjang. Katanya, "Akupun besok tidak bertugas. Aku hanya akan nonton permainan bunuh-bunuhan itu."
Senapati itu mengerutkan dahinya. Namun Senapati itu dapat mengerti perasaan Ki Patih Mandaraka yang sudah menjadi semakin tua. Sejak pertempuran itu pecah, maka setiap kali ia melihat wajah Ki Patih itu muram."
Dalam pada itu, di perkemahannya, Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah memulihkan keadaannya. Ki Lurah Agung Sedayu sudah dapat menguasai kesulitan didalam tubuhnya. Sementara itu luka di bahu Sekar Mirah sudah tidak terasa mempengaruhinya lagi. Bahkan obat-obatan terbaik yang diberikan oleh Ki Lurah Agung Sedayu, seakan-akan telah menyembuhkan luka itu. Bahkan seandainya Sekar Mirah harus bertempur melawan Ki Saba Lintang, luka itu tidak akan mengganggunya.
"Mirah," berkata Ki Lurah Agung Sedayu, "Kangjeng Adipati Demak telah kehilangan dua orang Senapati pengapitnya yang sangat dipercayainya. Karena itu, besok mungkin sekali yang akan hadir di medan adalah Ki Patih Tandanegara dan Ki Saba Lintang itu sendiri. Para pemimpin dari mereka yang mengaku murid-murid dari perguruan Kedung Jati yang lain, tentu merasa tidak akan banyak mempunyai kesempatan, karena Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer yang mereka agungkan itu sudah terbunuh."
"Ya, kakang. Besok aku berharap akan dapat bertemu langsung dengan Ki Saba Lintang."
"Kesempatanmu untuk membuktikan, bahwa bukan Saba Lintanglah yang pantas disebut pemimpin perguruan KedungJati."
"Ya, Kakang." "Untuk meningkatkan daya tahan tubuhmu, agar kau tidak kehabisan tenaga selama kau bertempur melawannya, jangan lupa, butir-butir reramuan obat yang aku buat itu."
"Ya, kakang. Tadi siang aku juga sudah menelannya sebutir."
"Kau rasakan pengaruhnya?"
"Ya, kakang." "Jangan menunggu tenagamu menurun. Kau dapat menelannya tiga butir atau empat butir sehari. Besok, sebelum kita bergerak ke medan, kemudian setelah matahari sepenggalah, berikutnya pada saat matahari melampaui puncaknya dan berikutnya lagi pada saat matahari menjadi semakin rendah. Jika Saba Lintang mempergunakan ilmu dari aliran perguruan Kedung Jati yang murni, maka kaupun dapat memamerkannya. Aku yakin, bahwa apa yang pernah kau warisi dari Ki Sumangkar sudah terlalu lengkap. Kaupun telah mematangkannya. Tetapi jika Saba Lintang melengkapi ilmunya dengan aliran yang lain, jangan segan-segan lengkapi ilmumu yang kau warisi dari perguruan Kedung Jati lewat Ki Sumangkar itu dengan unsur-unsur lain yang dapat membuat ilmu semakin mapan."
"Ya kakang. Aku mengerti."
Demikianlah, maka merekapun kemudian telah memanfaatkan waktu mereka untuk beristirahat. Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah beristirahat pula, setelah mereka sempat mempertajam ingatan mereka atas isi kitab yang mereka terima lewat isyarat dari Ki Namaskara.
Namun baik Glagah Putih maupun Rara Wulan yang pernah berlatih bersama Nyi Lurah itu pada hari-hari terakhir, menganggap bahwa ilmu Sekar Mirah itu sudah cukup memadai. Pada saat-saat Nyi Lurah itu meningkatkan daya tahan tubuhnya pada tataran tertinggi, yang dimatangkan oleh pengaruh ilmu Ki Lurah Agung Sedayu, maka daya tahan Nyi Lurah itu telah berada pada lapisan ilmu kebal meskipun belum sekokoh ilmu kebal Ki Lurah Agung Sedayu sendiri.
Nyi Lurahpun telah mampu melontarkan getar puncak ilmu perguruan Kedung Jati dengan atau tidak dengan tongkat baja putihnya, sebagaimana unsur kewadagannya, terutama inti panasnya api. Namun unsur-unsur yang lainnya akan dapat pula terangkat untuk saling mendukung.
Malampun menjadi semakin dalam. Suasana menjadi semakin hening kecuali di pemakaman. Para prajurit yang bertugas masih sibuk memakamkan kawan-kawan mereka yang gugur. Bahkan Ki Patih Mandarakapun berada di makam pula mendampingi Senapati yang bertugas.
Sementara itu, di perkemahan para Senapati dan prajurit yang esok pagi akan turun ke medan, sedang beristirahat sebaik-baiknya. Besok mereka harus bangun pagi-pagi, mempersiapkan diri, kemudian maju ke medan perang.
Beberapa kelompok prajurit, baik yang berada di induk pasukan maupun yang berada di gelar samping, yang telah beristirahat di hari itu, akan dapat menjadi tenaga yang lebih segar dari kawan-kawannya.
Sementara itu, para prajurit cadanganpun telah diturunkan pula ke medan.
Ketika langit menjadi merah menjelang fajar, maka para prajurit dikedua belah pihak telah mulai mempersiapkan diri. Ada yang menyempatkan diri mandi di sungai. Tetapi ada yang hanya mencuci muka saja. Merekapun kemudian menyempatkan diri untuk makan, agar mereka sempat beristirahat sejenak setelah makan.
Ketika langit menjadi lebih terang, maka para prajurit itupun mulai bergerak ke kesatuan mereka masing-masing.
Pangeran Puger muda serta Pangeran Demang Tanpa Nangkil tetap memimpin gelar di samping gelar pasukan induk yang akan langsung dipimpin oleh Panembahan Hanyakrawati sendiri.
Sejenak kemudian, maka terdengar isyarat yang pertama. Suara sangkakala diatas gumuk kecil disahut oleh gaung bende yang bertahi untuk yang pertama kalinya.
Kedua pasukan yang akan bertempur di medan itupun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mereka telah memeriksa senjata-senjata serta senjata cadangan mereka. Ikat pinggang mereka, pakaian mereka dan ikat kepala mereka serta ciri-ciri keprajuritan serta kesatuan mereka masing-masing.
Jilid 384 KETIKA kemudian terdengar isyarat yang kedua, maka setiap prajuritpun telah bersiap untuk bergerak maju dalam gelarnya masing-masing.
Beberapa saat kemudian, terdengar isyarat ke tiga mengumandang diseluruh medan.
Kedua pasukanpun mulai bergerak. Namun yang agak berbeda adalah pasukan Demak. Demikian mereka mulai bergerak, maka terdengar sorak yang bagaikan mengguncang bukit-bukit.
"Ada apa dengan pasukan Demak," bertanya setiap prajurit Mataram.
Sebenarnyalah yang mula-mula bersorak adalah mereka yang menyebut dirinya murid-murid dari perguruan terbesar di bumi Mataram. Perguruan Kedung Jati.
Pada saat itu, orang yang mengaku pemimpin tertinggi dari perguruan Kedung jati telah memimpin langsung pasukannya. Ki Saba Lintang teluh berada di sisi Kangjeng Adipati sebagai Senapati pengapit bersama Ki Patih Tandanegara.
Sementara itu, orang-orang berilmu tertinggi dari perguruan Kedung Jati berada bersama dengan Ki Saba Lintang pula.
Dalam pada itu, pasukan Mataram telah dipimpin langsung oleh Kangjeng Panembahan Hanyakrawati. Seperti yang sudah dikatakannya, maka Ki Patih Mandar yang tua itu berada di belakang Kangjeng Panembahan, sementara Ki Tumenggung Derpayuda dan Ki Tumenggung Suradigdaya berada disebelah menyebelahnya sebagai Senapati pengapit.
Di perkemahan, Pangeran Singasari yang terluka menjadi sangat gelisah. Meskipun Kangjeng Pangeran Puger sendiri tetap bersikap sebagai seorang kesatria Mataram, namun ada orang-orang disekelilingnya yang dapat saja berbuat licik.
"Mudah-mudahan Ki Tumenggung Derpayuda dan Ki Tumenggung Suradigdaya tidak lengah."
Dalam pada itu, dengan ijin Kangjeng Panembahan Hanyakrawati, maka Ki Lurah Agung Sedayu, Nyi Lurah, Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja berusaha untuk dapat bertemu langsung dengan Ki Saba Lintang.
Pada hari itu, menurut perhitungan Ki Lurah Agung Sedayu, sepeninggal Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer, maka Ki Saba Lintang akan langsung memimpin pasukannya disamping Kangjeng Adipati.
Demikianlah, beberapa saat kemudian, maka kedua pasukan itupun segera bertemu di medan yang luas. Seperti dihari-hari sebelumnya, maka para prajuritpun telah berusaha menghentak lawannya. Pangeran Puger muda dan Pangeran Demang Tanpa nangkil telah memerintahkan pasukan yang membawa busur dan anak panah berada di ujung sapit dalam gelar Sapit Urang mereka. Sementara itu, diujung ekornya, keduanya juga menyiapkan pasukan yang bersenjata busur dan anak panah.
Mereka sejak awal sudah berniat untuk merubah gelar Sapit Urang mereka menjadi gelar Kala Saba. Gelar yang mirip sekali, namun yang kemudian memanfaatkan ekor gelar untuk membuat kejutan dengan langsung menyengat induk pasukan lawan dari samping kepala udang dalam gelar Sapit Urang.
Ketika kedua gelar sebelah menyebelah pasukan induk itu berbenturan dengan pasukan lawan, maka pasukan lawan sudah dikejutkan dengan serangan anak panah justru dari ujung-ujung sapit gelar Sapit Urang.
"Gila orang-orang Mataram," geram Senapati Demak yang memimpin gelar pasukan di lambung medan itu, "kenapa mereka masih sempat bermain-main dalam keadaan yang gawat seperti ini."
Namun sebenarnyalah bahwa permainan pasukan Mataram itu telah menimbulkan korban diantara lawan-lawan mereka. Para prajurit Demak, apalagi para Wiratani yang berada di ujung sayap, harus dengan tangkas mengatasi serangan anak panah yang datang seperti hujan. Para prajurit dari pasukan khusus yang berperisai harus dengan cepat bergeser ke depan untuk melindungi kawan-kawan mereka yang menjadi sangat sibuk menepis anak panah yang meluncur sederas hujan itu dengan senjata-senjata mereka.
Sementara itu, untuk mengimbangi kesibukan diu-jung sayap-sayap gelarnya, maka pasukan Demak itupun telah menghentak lawannya dengan hentakan di pusat gelar mereka. Senepati Demak yang berada di paruh garudanya segera berusaha mengoyak induk gelar pasukan Mataram yang nampak agak lemah.
Namun merekapun terkejut pula. Bahwa dari samping pusat gelar Sapit Urang itu telah muncul sekelompok pasukan pemanah yang dengan serta-merta menghujani pasukan Demak itu dengan anak panah.
"Gila," geram Senapati Demak itu, "mereka menjadikan gelar mereka gelar Kala Saba."
Senapati Demak itupun segera memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk segera bertempur pada jarak dekat.
Pasukan Demakpun kemudian mendesak maju, sehingga kedua pasukan itu benar-benar telah berbenturan.
Pada induk pasukan telah terjadi pertempuran yang sangat sengit. Senjatapun berdentangan beradu, sehingga bunga apipun berloncatan ke udara.
Namun Pangeran Puger yang muda itu, benar benar seorang yang berilmu tinggi. Bersama Senapati pengapitnya, serta ekor gelarnya dalam gelar Kala Saba yang tiba-tiba saja telah menyengat pasukan induk lawan, maka pasukan Mataram itupun setapak-setapak bergerak maju.
Demikian pula gelar yang dipimpin oleh Pangeran Demang Tanpa Nangkil. Pangeran Demang Tanpa Nangkil sendiri telah mengamuk seperti banteng yang terluka. Para Senapati pengapitnya harus menyesuaikan dirinya bersama para prajurit pilihan yang lain.
Di kedua gelar itu, Ki Tumenggung Utara yang bertempur didalam pasukan Pangeran Demang Tanpa Nangkil harus menyesuaikan diri dengan irama perang yang telah ditabuh oleh kedua Pangeran yang masih muda itu.
Namun baik Ki Tumenggung Untara maupun Ki Tumenggung Ranggawira adalah Senapati-senapati yang sudah sangat berpengalaman serta berbekal ilmu yang tinggi, sehingga karena itu, maka pasukan merekapun meskipun setapak demi setapak telah bergerak maju.
Dalam pada itu, pertempuran yang terjadi di induk pasukanpun menjadi semakin sengit, kedua belah pihak telah mengerahkan kekuatan mereka. Dan bahkan Demak telah menggerakkan seluruh pasukan cadangannya. Sepeninggal Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer, sebenarnyalah bahwa Kangjeng Adipati Demak menjadi agak gelisah meskipun pada hari itu, Ki Saba Lintang telah berada diantara pasukannya yang terhitung besar, serta Ki Patih Tandanegara yang disaat-saat terakhir seakan-akan telah terdesak ketepi oleh keberadaan Ki Tumenggung Gending serta Ki Tumenggung Panjer, telah berada di medan itu pula.
Pertempuran kedua pasukan di induk pasukan itu bagaikan benturan antara amuk angin ribut di penghujung musim basah dengan arus angin prahara di permukaan lautan.
Para prajurit pilihan telah mengerahkan kemampuan mereka untuk mendesak lawan.
Dalam pada itu, telah terjadi gejolak disisi kiri gelar Gajah Meta. Senapati yang bagaikan merupakan ujung gading seekor gajah yang sedang mengamuk telah memporak porandakan gigi gelar Cakra Byuha yang sedang berusaha menggilasnya.
Ketika kesulitan itu didengar oleh Panembahan Hanyakrawati, maka iapun segera memerintahkan Ki Tumenggung Derpayuda untuk mengatasinya.
Tetapi langkah Ki Tumenggung Derpayuda itu terhenti, ketika ia bertemu dengan Ki Lurah Agung Sedayu, Nyi Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Terjadi gejolak di medan sebelah kiri induk pasukan ini, Ki Lurah," berkata Ki Tumenggung Derpayuda.
"Kami menunggu saat seperti ini, Ki Tumenggung."
"Maksudmu?" "Seorang penghubung telah memberitahukan, bahwa Ki Saba Lintang dan beberapa orang pemimpin dari mereka yang mengaku dari perguruan Kedung Jati berada di tempat itu. Mereka, dengan kemampuan mereka, telah mengacaukan pasukan Mataram di arah itu. Karena itu maka kami akan pergi ke sana untuk meredamnya. Selain itu, keinginan kami untuk bertemu langsung dengan Ki Saba Lintang, mudah-mudahan dapat terpenuhi."
"Baik. Marilah kita lihat."
"Sebaiknya Ki Tumenggung jangan meninggalkan Kangjeng Panembahan Hanyakrawati."
"Ki Tumenggung Suradigdaya ada bersama Kangjeng Panembahan Hanyakrawati."
"Tetapi sebaiknya Ki Tumenggung Suradigdaya tidak sendiri."
"Baik. Aku akan segera kembali. Tetapi karena aku diperintahkan untuk mengatasi gejolak itu, maka biarlah aku melihat apa yang terjadi. Mungkin benar bahwa ditempat itu telah diamuk oleh Ki Saba Lintang dengan para pemimpin dari perguruan Kedung Jati. Maka demikian, Ki Lurah dan yang lain memasuki arena, aku akan kembali kepada Kangjeng Panembahan Hanyakrawati.
Ki Lurah tidak mengelak lagi. Iapun kemudian bersama dengan Ki Tumenggung Derpayuda pergi ke sisi yang sedang bergejolak itu.
Sebenarnyalah, merekapun kemudian menyaksikan, bagaimana Ki Saba Lintang dan beberapa orang pemimpin dari apa yang mereka sebut perguruan Kedung Jati itu telah memporak porandakan pasukan Mataram. Seorang Senapati Mataram yang memimpin sekelompok prajurit, mengalami kesulitan untuk menghadapi beberapa orang berilmu tinggi dari Kedung Jati bersama sekelompok orang yang meskipun juga mengaku keluarga perguruan Kedung Jati, namun mereka bersumber dari beberapa perguruan yang lain.
"Setan orang-orang itu. Mereka tentu orang-orang yang mengaku dari perguruan Kedung Jati."
"Ya, Ki Tumenggung. Seorang diantara mereka adalah Ki Saba Lintang sendiri."
"Aku akan menghentikannya."
"Ki Tumenggung. Biarlah orang yang mengaku pemimpin perguruan Kedung Jati itu bertemu dengan sesama pemimpin perguruan Kedung Jati."
"Maksud Ki Lurah?"
Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian dengan hati-hati iapun berkata, "Ki Tumenggung. Isteriku adalah salah seorang yang memiliki pertanda kepemimpinan perguruan Kedung Jati yang diterimanya langsung dari gurunya, Ki Sumangkar yang memang merupakan salah seorang pemimpin perguruan Kedung Jati. Karena itu, biarlah isteriku bertemu dengan Ki Saba Lintang yang mengaku sebagai pemimpin perguruan Kedung Jati, namun yang ternyata telah menghimpun berbagai kekuatan yang sekarang dipergunakannya untuk melawan Mataram. Tentu ada kesepakatan antara Ki Saba Lintang dengan Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer, yang bahkan mungkin bagian-bagiannya yang terperinci tidak diketahui oleh Kanjeng Adipati Demak."
Ki Tumenggung Derpayudapun mengangguk-angguk. Namun iapun berkata, "Tetapi aku telah mendapat perintah dari Kangjeng Panembahan Hanyakrawati."
"Kami telah mendapat ijin dari Kangjeng Panembahan Hanyakrawati."
"Ya. Aku juga tahu."
"Karena itu sebaiknya, jangan tinggalkan Kangjeng Panembahan Hanyakrawati. Mungkin Demak mengerahkan semua kekuatannya di sekitar Kangjeng Adipati di Demak."
Ki Tumenggung Derpayuda menarik nafas panjang. Yang bicara kepadanya itu tidak lebih dari seorang Lurah Prajurit. Tetapi pendapatnya itu ternyata memberikan kesan yang dalam bagi Ki Tumenggung Derpayuda.
16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ternyata Ki Tumenggung Derpayuda itu sama sekali tidak merasa tersinggung.
Karena itu, maka Ki Tumenggung itupun kemudian berkata, "Baiklah. Aku serahkan kepada Ki Lurah untuk mengatasi gejolak itu. Mungkin Nyi Lurah mempunyai kepentingan khusus dengan Ki Saba Lintang. Tetapi orang-orang disekitarnya juga memerlukan penanganan."
"Baiklah Ki Tumenggung. Kami akan mencoba melaksanakannya, mengatasi gejolak yang terjadi bersama para Senapati yang berada di lingkungan gejolak itu."
"Berhati-hatilah, Ki Lurah. Aku akan melaporkannya kepada Kangjeng Panembahan. Akupun kemudian akan berada di sisi Kangjeng Panembahan itu bersama Ki Tumenggung Suradigdaya."
Demikianlah, maka Ki Tumenggung Derpayudapun segera kembali untuk mendampingi Kangjeng Panembahan Hanyakrawati yang sedang menghadapi beberapa orang Senapati dari Demak. Keberadaan Ki Tumenggung Derpayuda itupun telah memperingan beban para Senapati yang ada di kitar Kangjeng Panembahan. Sementara itu, Kangjeng Adipati Demak sendiri masih bertempur diantara para Senapatinya. Agaknya Kangjeng Adipati Demak memang menunggu gejolak yang terjadi di bagian samping induk padukannya untuk menyibak pasukan yang rapat pada gelar pasukan Mataram yang bergerak perlahan. Gejolak yang ditimbulkan oleh Ki Saba Lintang memang berhasil menghentil putaran gelar Pasukan Mataram, terutama pada gerak berputar Senapati-senapati yang khusus.
Ki Tumenggung Derpayuda yang kembali ke sebelah Kangjeng Panembahan Hanyakrawatipun kemudian melaporkan bahwa Ki Lurah Agung Sedayu dan Nyi Lurah telah berada di tempat itu.
"Bagus," berkata Panembahan Hanyakrawati, "mudah-mudahan mereka dapat mengatasinya. Nyi Lurah itulah yang sangat berkepentingan dengan Ki Saba Lintang."
"Mudah-mudahan Nyi Lurah itu mampu mengimbangi ilmu orang yang menyebut dirinya pemimpin tertinggi perguruan Kedung Jati itu."
"Bukankah ia berada dalam pengawasan suaminya?"
"Ya, Panembahan. Tetapi bukankah orang yang bernama Ki Saba Lintang itu memiliki ilmu yang sangat tinggi?"
Pembicaraan itupun terputus. Mereka masing-masing harus menghadapi beberapa orang Senapati yang datang melanda induk pasukan Mataram itu bersama sekelompok prajuritnya.
Namun Pasukan Khusus Pengawal Istana dan Pengawal Raja itu dengan sigapnya telah menahan mereka. Sementara itu, Kangjeng Panembahan Hanyakrawati sendiri telah merintis jalan menguak pertempuran yang seru bersama beberapa orang kepercayaannya untuk dapat bertemu langsung dengan Kangjeng Adipati Demak.
Di sebagian sisi pasukan induk itu, Ki Saba Lintang yang menjadi ujung gading gelar Gajah Meta yang garang itu, tiba-tiba saja tertegun. Hatinyapun berdesir ketika ia melihat seorang perempuan yang telah menyibak pertempuran. Beberapa orang yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati itupun terpelanting menepi. Sebatang tongkat baja putih yang berkilat terayun-ayun mengerikan.
"Sekar Mirah," desis Ki Saba Lintang. Bahkan iapun melihat Ki Lurah Agung Sedayu serta dua orang yang ikut memimpin Pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Satu daerah yang beberapa kali telah didatanginya, tetapi tidak pernah dapat dikalahkannya.
Demikianlah, maka Nyi Lurah Agung Sedayu, Ki Lurah, Glagah Putih dan Rara Wulan telah menyibak orang-orang yang berada di sekitar Ki Saba Lintang. Merekalah yang telah menimbulkan gejolak di satu sisi permukaan pasukan induk dari Mataram itu.
"Kita bertemu kembali, Ki Saba Lintang," berkata Sekar Mirah.
"Aku sudah mengira bahwa kau tentu akan mencari aku," sahut Ki Saba Lintang.
"Apakah orang-orangmu tidak mengatakan kepadamu?"
Ki Saba Lintang itu mengerutkan dahinya. Sementara Sekar Mirah berkata selanjutnya. "Aku sudah berpesan kepada mereka yang sempat berpapasan di medan perang, bahwa aku ingin bertemu dengan Ki Saba Lintang."
"Ya. Mereka sudah mengatakannya. Nah sekarang kita sudah bertemu. Apakah kau akan mengeroyokku bersama suamimu dan saudara-saudaramu itu?"
"Tidak. Aku akan bertempur seorang melawan seorang. Suamiku serta saudara-saudaraku akan menjadi saksi. Selain itu, mereka akan mencegah orang-orangmu yang berniat licik. Sementara itu, merekapun bertugas untuk menenangkan gejolak yang terjadi di sisi ini."
"Baiklah. Akupun berharap akan dapat bertempur melawanmu tanpa gangguan orang lain. Tetapi sayang, bahwa kau adalah seorang perempuan. Kenapa kau tidak minta suamimu bertempur melawan aku?"
"Kenapa jika aku seorang perempuan?"
"Sebenarnya aku tidak tertarik untuk bertempur melawan perempuan. Jika aku menang, maka tidak akan ada yang memujiku, karena aku hanya menang terhadap seorang perempuan."
Jantung Sekar Mirah terasa berdesir. Tetapi Sekar Mirahpun menyadari, bahwa Ki Saba Lintang mulai menggelitik perasaannya agar ia menjadi marah dan bahkan kehilangan kendali, sehingga pertarungan yang terjadi kemudian, akan lepas dari segala perhitungan selain didorong oleh gejolak perasaan.
Kesadarannya itulah yang justru telah mengekang Sekar Mirah untuk menjadi lebih berhati-hati, agar ia tidak terperosok ke dalam jebakan jiwani yang dilakukan oleh Ki Saba Lintang.
Sementara itu, Ki Lurah Agung Sedayu berdiri beberapa langkah di belakang Sekar Mirah. Meskipun Ki Lurah percayakan kemampuan Sekar Mirah yang sudah menjadi jauh meningkat, namun jantungnya masih tetap merasa ketegangan yang mencengkam.
Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan telah berusaha untuk meredakan gejolak yang terjadi. Orang-orang yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati yang merasa memiliki ilmu yang tinggi tengah berusaha untuk memporak-porandakan tatanan pasukan Mataram di dalam gelarnya.
Semula para Senapati serta pemimpin kelompok prajurit Mataram sempat terdesak. Namun keberadaan Glagah Putih dan Rara Wulan di arena pertempuran itu telah membuat mereka menjadi semakin mapan. Betapapun orang-orang yang merasa memiliki ilmu yang tinggi di antara mereka yang mengaku murid-murid dari perguruan Kedung Jati, harus mengakui, betapa Glagah Putih dan Rara Wulan justru telah menimbulkan gejolak di antara mereka.
Dalam pada itu, Sekar Mirah yang masih tetap mampu mengendalikan dirinya itupun berkata, "Ki Saba Lintang. Marilah kita lupakan, apakah aku seorang perempuan atau seorang laki-laki. Yang penting adalah, bahwa akupun memiliki tongkat baja putih seperti yang kau miliki. Bahkan aku telah menerima tongkat baja putih ini langsung dari yang berhak. Bukan mencuri sebagaimana tongkat baja putih yang ada di tanganmu."
"Kau tentu tidak tahu, bagaimana aku mendapatkan tongkat baja putihku ini, Sekar Mirah. Tetapi itu tidak penting. Sekarang kita berhadapan di medan perang. Kita akan bertempur untuk membuktikan, siapakah yang terbaik di antara kita. Akupun akan berusaha melupakan apakah kau seorang laki-laki atau seorang perempuan."
"Bagus Ki Saba Lintang. Kita tidak mempunyai waktu banyak. Kita akan segera mulai. "
Ki Saba Lintang justru tertawa. Katanya, "Aku tidak akan memerlukan waktu yang panjang untuk menyelesaikan perlawananmu Sekar Mirah. Pada saat aku berada di Tanah Perdikan waktu itu, mungkin sekali aku akan menjadi silau melihat kau, Agung Sedayu dan saudara-saudaramu itu. Tetapi sekarang tidak lagi. Aku sudah memiliki bekal yang lebih dari cukup untuk menghentikan perlawananmu pada langkah-langkah pertamamu."
"Jika demikian, maka kau tentu seorang yang berilmu sangat tinggi. Tetapi kita masih harus membuktikan, apakah kau sekedar membual atau kau memang benar-benar berilmu sangat tinggi."
"Sekar Mirah. Aku akui bahwa pada waktu itu ilmuku berada di bawah ilmu suamimu. Tetapi sekarang, aku ingin menunjukkan kepadanya, bahwa ilmunya bukan apa-apa lagi bagiku."
Sekar Mirah tidak menjawab lagi. Tetapi iapun segera bergeser setapak.
Ketika Sekar Mirah itu menengadahkan wajahnya ke langit, maka dilihatnya matahari sudah naik lebih dari sepenggalah. Karena itu, maka Sekar Mirahpun telah mengambil sebutir reramuan yang diberikan oleh Agung Sedayu kepadanya. Reramuan yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Kiai Gringsing yang menguasai ilmu pengobatan.
Seperti pesan Agung Sedayu, maka Seknr Mirahpun segera menelan sebutir dari reramuan obat itu.
Seperti pada saat-saat ia menelan reramuan itu sebelumnya, terasa tubuhnya menjadi hangat. Rasa-rasanya darahnya menjadi semakin lamar mrngalir di urat-urat nadinya. Sementara itu, tubuhmu terasa menjadi semakin lentur.
Sesaat kemudian, Sekar Mirahpun telah siap bertempur menghadapi Ki Saba Lintang.
Dalam pada itu, maka pertempuranpun menjadi semakin sengit. Dimana-mana terdengar dentang senjata beradu.
Glagah Putih dan Rara Wulan ternyata tidak dapat tinggal diam menunggui Sekar Mirah yang bertempur melawan Ki Saba Lintang. Mereka mempercayakannya kepada Ki Lurah Agung Sedayu yang mempertalikan pertempuran itu dengan seksama. Ki Lurah Agung Sedayu dengan waspada memperhatikan, tidak hanya mereka yang bertempur, tetapi juga orang-orang yang bertempur di sekitarnya.
Ketika Ki Saba Lintang telah terikat dalam pertempuran melawan Sekar Mirah, serta keberadaan Glagah Putih dan Rara Wulan di lingkaran pertempuran itu, maka gejolakpun segera mereda. Para Senopati Mataram serta para prajurit yang berada di lingkaran pertempuran itu tidak lagi mengalami banyak kesulitan. Glagah Putih dan Rara Wulan yang berilmu sangat tinggi itupun berhasil meredam amuk orang-orang yang mengaku para pemimpin dari perguruan Kedung Jati.
Tiba-tiba saja seseorang telah meloncat langsung menghadapi Rara Wulan sambil menggeram. "Aku pernah melihatmu, genduk."
Rara Wulan terkejut. Iapun segera meloncat surut.
Tetapi Rara Wulan pun segera mengenali orang itu. Orang itu ada diantara mereka yang bertempur melawan pasukan khusus Mataram yang melindungi kelima orang utusan pada saat mereka menghadap Kangjeng Adipati di Demak.
"Kau yang pernah bermimpi untuk merampas tongkat baja putih mbokayu Sekar Mirah."
"Ya." "Nah, lihat. Mbokayu Sekar Mirah sekarang berhadapan langsung dengan orang yang mengaku sebagai pemimpin tertinggi dari perguruan Kedung Jati. Apakah kau masih tetap menginginkan tongkat baja putih itu" Jika kau masih menginginkannya, usir Ki Saba Lintang dan ambil alih mbokayu Sekar Mirah."
"Persetan kau perempuan iblis. Lidahmu benar-benar beracun. Tetapi kau tidak akan dapat meninggalkan arena pertempuran itu. Hari ini aku tidak ingin merampas tongkat baja putih itu, karena hal itu akan dilakukan sendiri oleh Ki Saba Lintang. Tetapi aku akan memotong lidahmu yang beracun itu. Aku ingin tahu, apakah kau dapat hidup tanpa lidahmu?"
Rara Wulan tertawa. Katanya, "ternyata kau suka bercanda Ki Sanak. Jika kau ingin melihat apakah aku dapat hidup tanpa lidahku, aku justru ingin melihat, apakah kau juga dapat hidup tanpa kepalamu."
"Kau benar-benar anak iblis," geram orang itu, "bersiaplah. Aku benar-benar akan memotong lidahmu."
Rara Wulan tersenyum. Namun iapun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Demikianlah, maka keduanyapun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Orang yang berniat merampas tongkat baja putih Sekar Mirah itu merasa bahwa sulit baginya untuk mengimbangi ilmu perempuan yang bersenjata tongkat baja putih itu. Tetapi ia merasa, bahwa ia akan dapat dengan segera menguasai perempuan yang masih terlihat muda itu.
Tetapi orang itupun terkejut ketika di antara mereka mulai terjadi benturan-benturan. Ternyata tenaga Rara Wulan jauh melampaui dugaannya. Demikian pula kecepatannya bergerak.
Karena itu, maka orang itupun tidak lagi mau bermain-main dengan taruhan yang sangut mahal. Iapun kemudian telah mencabut senjata pusakanya. Senjata yang diandalkannya bukan saja karena kokoh dan tajamnya melampaui tajamnya pisau penyukur kumis dan janggut, tetapi orang itu percaya, bahwa ada semacam tenaga ajaib yang ada di dalam pusakanya itu yang dapat melindunginya, sekaligus mempunyai pengaruh yang sangat buruk bagi lawannya.
"Aku hampir tidak pernah mencabut kerisku ini," geram orang itu.
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Keris itu seakan-akan memang memancarkan cahaya kemerah-merahan.
"Keris ini adalah keris pusaka turun-temurun yang saat ini berada di tanganku. Perempun iblis. Nasibmu adalah nasib yang sangat buruk. Kekuatan dan kemampuanmu akan segera dihisap oleh kerisku ini, sehingga kau tidak akan berdaya lagi untuk melawanku. Dengan mudah aku dapat membunuhmu atau memperlakukanmu sekehendak hatiku. Misalnya, memotong lidahmu."
Namun Rara Wulan itupun kemudian tertawa. Katanya, "Ki Sanak. Kita adalah makhluk yang menguasai bumi yang gumelar ini seisinya, termasuk kerismu itu.
Jika kerismu itu mempunyai kuasa yang hadir di dalamnya, tentu juga karena pengaruh makhluk seperti kita yang membuat keris itu. Tetapi seberapapun tinggi kuasa benda-benda seperti kerismu itu, namun kuasanya tidak akan dapat mengalahkan kuasa makhluk seperti kita yang disebut manusia."
"Tutup mulutmu."
"Karena itu, maka pengaruh kuasa kerismu itu tidak akan dapat melampaui kuasaku. Sehingga dengan demikian, maka kerismu itu tidak akan berarti apa-apa tanpa kau sendiri berbuat sesuatu. Nah, apapun senjatamu yang berhadapan dalam perang ini adalah kau dan aku. Kau bersenjata keris dan akupun akan mempergunakan senjataku."
Rara Wulanpun kemudian mengurai selendangnya. Kemudian memutar sebelah ujungnya.
"Marilah Ki Sanak. Pusakamu atau pusakaku yang akan lebih berkuasa."
Orang itu menggeram. Ia menjadi sangat marah. Perempuan itu ternyata telah meremehkan pusakanya yang bertuah itu.
Bahkan Rara Wulan itupun kemudian berkata, "Ki Sanak. Sebenarnya aku akan lebih ngeri melihat kau mempermainkan golokmu yang besar dan panjang itu. Golok yang juga kau anggap sebagai pusakamu itu."
"Perempuan iblis," geram orang itu, "keris ini memang jauh lebih kecil dari golokku itu. Tetapi keris ini yang nanti akan dapat mengantarkan nyawamu ke alam langgeng."
"Alam langgeng" Apa yang kau maksud dengan alam langgeng."
"Kau benar-benar iblis yang tidak mengenal alam langgeng."
"Bukan begitu. Aku justru menjadi heran, bahwa kau masih juga menyebut alam langgeng. Sebenarnya kau percaya atau tidak dengan alam langgeng" Jika kau menyebut dan percaya pada alam langgeng, kenapa kau sama sekali tidak mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk memasuki alam langgeng itu" Kenapa kau justru melakukan perbuatan-perbuatan yang sama sekali tidak menuju ke alam langgeng itu dalam kesempurnaannya."
Orang itu tertawa. Katanya, "Persetan dengan pemahamanmu yang berbelit-belit itu. Sekarang, aku akan membunuhmu dengan kerisku yang jauh lebih berbahaya bagimu daripada golokku yang besar itu."
"Bagus. Lakukan apa yang akan kau lakukan. Aku akan menari di hadapanmu dengan selendangku."
Demikianlah, maka keduanyapun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Orang yang bersenjata keris pusakanya itu menyangka bahwa dengan kerisnya ia akan dapat memotong selendang lawannya. Tetapi dugaannya salah. Ketika ia berhasil menebas selendang Piara Wulan yang sedang meluncur menyambarnya, ternyata selendang itu tidak tersangkut dan terlepas dari tangannya. Untunglah orang itu cepat menggenggam hulu keris itu. Meskipun tangannya menjadi panas, tetapi ia masih mampu menyelamatkan kerisnya.
Orang itu mengumpat kasar. Namun kemudian iapun berloncatan dengan garangnya menyerang Rara Wulan dari segala arah.
Tetapi kembali orang itu terkejut. Rara Wulanpun mampu mengimbangi kecepatan geraknya. Bahkan selendangnya yang berputaran itu telah berhasil mematuk lambungnya.
Orang itu menyeringai menahan sakit sambil meloncat mundur mengambil jarak. Selendang yang mematuk itu terasa bagaikan ujung tongkat besi yang terjulur mengenai lambungnya itu.
"Gila perempuan itu. Ia masih terhitung muda. Tetapi ilmunya telah membuatku menjadi gelisah."
Sebenarnyalah sulit bagi orang itu mengimbangi ilmu Rara Wulan. Betapapun ia mengerahkan kemampuannya sampai ke puncak, namun perempuan yang masih muda itu ilmunya memang sangat tinggi.
"Aku tidak mempunyai pilihan lain," berkata orang itu, "aku harus membinasakannya dengan Aji Pamungkasku. Aji Lapak Naga."
Dalam keadaan yang semakin terdesak, maka orang itupun telah meloncat mengambil jarak. Iapun segera memusatkan nalar budinya, mengetrapkan Aji Lapak Naga. Kerisnya yang seakan-akan bercahaya kemerahan itupun diangkatnya di depan wajahnya. Kedua belah tangannya memegangi hulu keris itu, seakan-akan keris itu akan melepaskan diri dari genggamannya.
Sejenak kemudian, maka orang itu dengan satu hentakan telah menjulurkan kerisnya. Ujungnya mengarah ke dada Rara Wulan.
Namun pada saat yang bersamaan, Rara Wulan telah melepaskan ilmunya, Aji Namaskara.
Ketika dari ujung keris itu seakan-akan meluncur sinar yang kemerah-merahan, maka dari telapak tangan Rara Wulan telah meluncur seleret sinar yang hijau kebiru-biruan. Dua kekuatan ilmu yang tinggi itupun kemudian saling berbenturan dengan dahsyatnya, sehingga medan pertempuran itu seakan-akan telah diguncang.
Rara Wulan tergetar beberapa langkah surut. Namun Rara Wulan itu masih tetap saja berdiri tegak.
Ternyata selisih kekuatan ilmu mereka, terpaut agak jauh. Orang yang bersenjata keris itu terpelanting beberapa langkah. Tubuhnya terbanting jatuh ke tanah. Seisi dadanya rasa-rasanya telah runtuh oleh getar benturan kekuatan ilmu mereka.
Rara Wulan masih berdiri tegak sambil memandangi tubuh orang yang terbaring diam itu. Beberapa orangpun kemudian berlarian mendekatinya. Merekapun kemudian berlutut di sisinya, sedangkan tiga orang yang lain berdiri dengan tombak pendek yang teracu.
Dari antara mereka yang berjongkok di sisi orang terbaring itu, Rara Wulan mendengar ia memanggil, "Ki Naga Tengara. Ki Naga Tengara."
Tetapi orang yang dipanggil Ki Naga Tengara itu sama sekali tidak bergerak.
Beberapa orang itupun kemudian telah mengusung tubuh Ki Naga Tengara itu ke belakang garis pertempuran.
Ketika Ki Saba Lintang yang masih bertempur dengan sengitnya melawan Sekar Mirah, maka gejolak kematian Ki Naga Tengara itu dirasakannya. Seorang penghubungpun kemudian datang memberikan laporan kepadanya, bahwa seorang Senapati telah terbunuh.
Ki Saba Lintang itu meloncat surut untuk mengambil jarak. Sekar Mirahpun sengaja tidak memburunya, karena sebenarnyalah ia juga ingin tahu, siapakah yang terbunuh.
"Siapa ?" bertanya Ki Saba Lintang.
Penghubung itupun mendekatinya sambil berkata perlahan, "Ki Naga Tengara."
"Ki Naga Tengara?"
"Ya, Si Saba Lintang."
Ki Saba Lintang itupun menggeram. Ki Naga Tengara adalah salah seorang senapati terpilihnya. Bahkan Ki Naga Tengara pernah menyatakan kesediaannya untuk mengambil tongkat baja putih yang satu lagi dari tangan perempuan yang kini bertempur melawannya.
Namun ternyata Ki Naga Tengara telah terbunuh.
"Siapa yang membunuhnya?" bertanya Ki Saba Lintang.
"Seorang perempuan yang masih terhitung muda. Ia telah bertempur melawan Ki Naga Tengara dan membunuhnya."
"Setelah membunuh perempuan yang membawa tongkat baja putih tiruan ini, biarlah aku membunuhnya."
"Kau sebut tongkat bajaku ini tiruan?" sahut Sekar Mirah.
"Lalu harus ku sebut apa?"
"Bagus. Jika demikian, kita akan melihat, apakah tongkat baja tiruan ini akan dapat meretakkan tulang tengkorakmu."
Ki Saba Lintangpun menggeram, sementara Sekar Mirahpun berkata, "Ki Saba Lintang. Bagaimanapun juga orang-orangmu telah terbunuh satu demi satu dalam perang ini. Karena itu, kau tidak akan mempunyai kesempatan lagi. Demikian pula Kangjeng Adipati Demak. Sepeninggal Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer, maka tidak ada lagi kekuatannya."
"Omong kosong. Masih ada aku dan Ki Patih Tandanegara. Masih ada beberapa Tumenggung yang berilmu tinggi dari Demak serta para pemimpin dari perguruanku. Sementara itu jumlah pasukanku masih melimpah dibanding para prajurit Mataram yang semakin lama menjadi semakin sedikit jumlahnya."
Sekar Mirah tertawa. Katanya, "Kau mencoba untuk membesarkan hatimu sendiri. Setiap orang di medan pertempuran ini menyadari, bahwa pasukan Demaklah yang susut begitu cepat. Lebih-lebih pada hari ini. Pada saat Kangjeng Panembahan Hanyakrawati sendiri yang menjadi Senapati Agung Pasukan Mataram."
"Persetan kau perempuan iblis," geram Ki Saba Lintang sambil meloncat menyerang.
Tetapi Sekar Mirah sudah siap sepenuhnya, sehingga ayunan tongkat baja putih Ki Saba Lintang yang mengarah ke pelipisnya, telah ditangkisnya, sehingga terjadi benturan yang sangat keras. Telapak tangan kedua orang itupun terasa menjadi panas pada saat mereka mempertahankan tongkat mereka agar tidak terloncat dari genggaman.
Demikianlah mereka berduapun telah terlibat kembali dalam pertempuran yang sengit. Kedua belah pihak memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga pertempuran di antara merekapun telah membuat para prajurit dari kedua belah pihak serta para murid dari perguruan Kedung Jati itupun menyibak.
Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan telah terlibat kembali dalam pertempuran melawan para Senapati Demak serta mereka yang mengaku pemimpin dari perguruan Kedung Jati. Namun para Senapati dari Matarampun telah melibas lawan-lawan mereka pula, sehingga ketika terjadi gejolak, maka pasukan Demaklah yang telah terguncang.
Demikianlah, maka pertempuran pun semakin lama menjadi semakin dahsyat. Kedua belah pihak berusaha untuk dapat mendesak lawan-lawannya.
Sementara itu, Pangeran Puger muda yang garang itupun telah berhasil beringsut maju setapak demi setapak. Sedangkan Pangeran Demang Tanpa Nangkilpun berusaha pula untuk menguasai medan. meskipun ia agaknya mengalami kesulitan. Tetapi prjurit-prajuritnya adalah prajurit yang berpengalaman tinggi. Akhirnya, pasukannyapun mampu beringsut pula meskipun sangat perlahan.
Di induk pasukan, masih saja terasa gejolak yang terjadi di sekitar arena pertempuran antara Ki Saba Lintang melawan Sekar Mirah yang selalu diamati oleh Ki Lurah Agung Sedayu. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan bersama para Senapati Mataram yang lain berusaha untuk menggilas pasukan Demak yang terdiri dari para prajurit, para Wiratani serta mereka yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati.
Sementara itu di sisi lain di induk pasukan itu, Ki Patih Tandanegara yang mengamuk seperti harimau terluka telah berhadapan dengan Ki Tumenggung Suradigdaya.
Sementara itu Kangjeng Adipati Demak sendiri bertempur dengan garangnya. Siapapun yang berani mendekatinya, segera disapunya dengan tombak pendek pusakanya. Para prajurit dan para Senapati dari Mataram sangat mengalami kesulitan untuk mendekatinya. Selain Kangjeng Adipati Demak sendiri, maka para pengawalnya yang terpercaya telah mengamuk menyapu medan.
Kangjeng Panembahan Hanyakrawati akhirnya merasa perlu untuk langsung berhadapan dengan Kangjeng Adipati Demak yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Para prajurit dan Pasukan Khusus Pengawal Raja telah membuka jalan, menyibak para pengawal Kangjeng Adipati Demak, sehingga Kangjeng Panembahan Hanyakrawatipun dapat langsung berhadapan dengan Kangjeng Adipati di Demak.
"Kau Dimas," geram Kangjeng Adipati Demak.
"Aku sengaja berniat menjumpai kangmas Adipati di medan pertempuran ini."
Wajah Kangjeng Adipati Demak itu menjadi tegang. Dengan nada berat Kangjeng Adipati itu berkata, "Dimas. Sebaiknya Dimas menghindar agar tidak langsung bertemu dengan aku di arena pertempuran ini."
"Kenapa Kangmas. Kangmas adalah Senapati Agung dari Demak, dan aku adalah Senapati Mataram. Bukankah wajar kalau kita bertemu dalam arena pertempuran ini."
"Tetapi apakah mungkin terjadi, bahwa kita akan bertempur di medan ini?"
"Aku berharap, mudah-mudahan tidak terjadi, Kangmas."
"Karena itu, minggirlah Dimas Panembahan. Aku akan menghadapi semua Senapati dari Mataram yang maju ke medan perang ini. Sedangkan Dimas harus menghadapi para prajurit Demak yang lain."
"Bukankah pada akhirnya kita juga akan berjumpa Kangmas."
"Belum tentu Dimas. Jika perjalananmu terhenti oleh Senapatiku, baik prajurit Demak maupun dari lingkungan murid perguruan Kedung Jati, maka kita tidak bertemu."
Kangjeng Panembahan Hanyakrawati mengangguk-angguk, "Atau mungkin dapat terjadi sebaliknya, Kangmas. Jika Kangmas gagal melampaui para Senapatiku, maka Kangmaspun akan terhenti."
"Karena itu, biarlah kami berselisih jalan, Dimas."
"Tidak, Kangmas. Aku sengaja menemui Kangmas. Persoalan ini sebenarnya adalah persoalanku dengan Kangmas Pangeran. Kangmas merasa berhak untuk menduduki tahta Mataram karena Kangmas merasa lebih tua dari aku. Sedangkan aku, meskipun 1ebih muda, tetapi kebetulan aku dilahirkan oleh permaisuri Mataram. Karena itu, maka seharusnya kitalah yang akan menyelesaikan persoalan di antara kita. Jika salah seorang di antara kita sudah mati, maka tidak akan ada lagi yang berebut."
"Belum tentu. Kita mempunyai saudara cukup banyak. Mungkin beberapa orang Pangeran yang lain juga merasa berhak atas tahta Mataram."
"Jadi menurut Kangmas?"
"Aku akan menghancurkan Mataram. Jika aku berhasil, maka tidak akan ada lagi yang akan berani melawanku, karena aku tentu akan mematahkan perlawanannya."
"Mungkin Kangmas. Tetapi sekarang ini pusat daripada perselisihan ini adalah aku dan Kangmas Pangeran Puger. Jika salah seorang dari kita sudah kalah, maka peperangan akan selesai. Dimas Pangeran Puger muda serta Dimas Pangeran Demang Tanpa Nangkil tidak akan berbuat apa-apa lagi. Demikian pula paman Pangeran Singasari yang sekarang terluka."
"Tetapi sekali lagi aku peringatkan Dimas, minggirlah, agar kita tidak bertarung di medan pertempuran ini."
"Korban sudah terlalu banyak Kangmas. Pertarungan antara kita akan mengakhiri perang. Siapapun yang menang dan siapapun yang kalah. Setiap malam kita tidak perlu lagi memakamkan anak-anak terbaik kita yang gugur. Salah seorang dari kitalah yang akan dimakamkan pada upacara yang terakhir."
"Baik. Baik. Agaknya kau lebih senang bertarung daripada menghindar, sehingga perang antara Demak dan Mataram akan segera berakhir, siapapun yang menang dan siapapun yang kalah."
"Sebenarnya aku juga tidak menginginkan kita bertemu dalam pertarungan antara hidup dan mati. Tetapi setelah mendapat peringatan dari banyak pihak, Kangmas masih tetap pada pendirian Kangmas, maka aku tidak melihat jalan lain untuk mempercepat berakhirnya perang ini. Hari ini pasukan Demak telah dilanda kekalahan demi kekalahan. Pasukan yang dipimpin oleh Dimas Pangeran Puger muda, telah mendapat kemajuan yang pesat. Sedangkan kemajuan dari pasukan yang dipimpin oleh Dimas Pangeran Demang Tanpa Nangkil memang agak lamban. Namun pasti, pasukannya juga mendapat kemajuan. Sementara itu, Senapati pengapitmu yang kau banggakan, Ki Saba Lintang telah mendapat lawannya yang sepadan. Sedangkan Ki Patih Tandanegara juga sudah terikat dalam pertempuran. Para Senapati Mataram di segala sudut pertempuran ini semakin menguasai keadaan, sehingga para Senapati dari Demak tidak mendapat tempat lagi."
"Itu hanyalah angan-anganmu saja Dimas. Tetapi kenyataannya sangat jauh berbeda. Ki Saba Lintang telah membunuh lawan-lawannya. Ia bertempur seperti membabat batang ilalang dengan parang yang tajamnya tujuh kali pisau penyukur."
"Baiklah. Aku atau Kangmas yang bermimpi." Keduanyapun kemudian segera bersiap. Ketika Kangjeng Pangeran Puger merundukkan tombak pendeknya, maka Kangjeng Panembahan Hanyakrawati telah mengacungkan senjatanya pula. Sebatang canggah dengan landean sepanjang landean tombak bertangkai pendek.
Dengan demikian, maka kedua orang Senapati Agung itupun telah bertempur dengan mempergunakan senjata yang lebih panjang dari pedang.
Kangjeng Pangeran Puger memang menjadi agak berdebar melihat canggah bermata rangkap di tangan Kangjeng Panembahan Hanyakrawati. Namun Pangeran Puger sendiri adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Namun Kangjeng Panembahan Hanyakrawatipun adalah seorang yang sudah tuntas mempelajari berbagai macam ilmu. Karena itu, maka pertempuran di antara merekapun merupakan pertempuran yang sangat seru. Senjata mereka berputaran seperti baling-baling. Terayun mendatar, menebas dan sekali-sekali mematuk seperti ular.
Para prajurit dari Demak dan Mataram, tanpa mereka sadari telah menyibak. Mereka memberikan tempat yang lebih leluasa kepada keduanya untuk berperang tanding.
Namun para prajurit dari Pasukan Khusus Pengawal Raja tetap berhati-hati mengawasi keadaan. Tidak boleh terjadi sebagaimana Pangeran Singasari yang telah diserang dengan licik oleh para Senapati Demak. Tetapi mereka yakini bahwa Kangjeng Pangeran Puger sendiri, adalah seorang yang tetap berpegang teguh pada sifat dan sikap seorang kesatria, sehingga tidak akan berbuat licik. Tetapi tidak semua Senapati Demak mempunyai sifat sebagaimana Kangjeng Pangeran Puger sendiri.
Benturan-benturan senjatapun telah terjadi. Namun pertahanan keduanyapun demikian rapatnya, sehingga sulit bagi mereka untuk mendapatkan lubang seujung rambut sekalipun.
Tanah tempat mereka bertarung telah teraduk bagaikan baru saja di bajak. Debu berhamburan, sehingga udarapun menjadi muram.
Di langit matahari merangkak perlahan-lahan. Sekali-sekali awan melintas menutup wajah matahari yang cemas menyaksikan dua orang ksatria yang berilmu sangat tinggi bertempur di antara perang yang dahsyat antara prajurit Mataram dan prajurit Demak.
Namun sebenarnyalah, bahwa Pangeran Puger muda yang memimpin pasukan Mataram yang berada di lambung barisan, telah semakin mendesak lawannya. Prajurit Demak mengalami sedikit kesulitan ketika Pangeran Puger itu dengan garangnya langsung bertempur di kepala gelar pasukannya.
"Aku sudah mulai jemu dengan perang yang tidak berkesudahan ini," geram Pangeran Puger muda.
Sementara itu, Pangeran Demang Tanpa Nangkilpun telah menemukan landasan yang mapan. Pasukannyapun bergerak maju meskipun tidak secepat gerak pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Puger muda. Namun kemajuan Pangeran Demang Tanpa Nangkil ternyata berpengaruh pula atas pasukan induk kedua belah pihak.
Serangan-serangan Kangjeng Panembahan Hanyakrawatipun semakin lama menjadi semakin sengit. Beberapa kali canggahnya yang bercabang itu telah menyentuh tubuh Kangjeng Adipati Demak. Tetapi perlawanan Kangjeng Adipati Demak itu masih tetap berbahaya bagi Kangjeng Panembahan Hanyakrawati.
Di lingkaran pertempuran yang lain, Ki Saba Lintang telah bertempur dengan garangnya melawan Sekar Mirah. Tongkat baja putih di tangan merekapun terayun-ayun mengerikan. Sekali-kali kedua tongkat baja putih itupun telah beradu dengan dahsyatnya, sehingga bunga api yang terloncat bagaikan bayangan kilat yang menyambar-nyambar.
Di sekitar Ki Saba Lintang dan Sekar Mirah yang sedang bertarung antara hidup dan mati itupun pertempuran seakan-akan telah menyibak. Para prajurit Demak masih saja sibuk bertempur melawan prajurit Mataram. Demikian pula mereka yang mengaku murid-murid dari perguruan Kedung Jati. Sedang para Wiratani yang diambil dari antara para petani di padukuhan-padukuhan yang terlibat dalam pertempuran itu, hatinya telah menyusut. Mereka yang hanya mengalami latihan-latihan perang sekadarnya, melihat betapa para prajurit bertempur dengan mengerahkan kemampuan mereka.
Berbeda dengan para petani yang dihimpun dari sekitar Gunung Kendeng serta daerah-daerah di sekitarnya, para petani yang tergabung dalam Pasukan Pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh, telah memiliki bekal sebagaimana seorang prajurit.
Para petani dari sekitar Gunung Kendeng yang disertakan dalam pasukan Demak, baru sempat berlatih beberapa lama. Mereka belum berpengalaman sama sekali menghadapi perang yang sebenarnya. Meskipun mereka mampu dan bahkan nampak terampil memamerkan perang gelar dalam latihan-latihan yang besar, tetapi dalam pertempuran yang sebenarnya jantung mereka masih bergetar. Di dalam pertempuran yang sebenarnya mereka melihat tubuh-tubuh yang terbaring memancarkan darah dari luka-lukanya. Wajah-wajah yang geram membayangkan kemarahan serta muka-muka yang kecut dan ketakutan, berbaur menjadi satu.
Ternyata Glagah Putih dan Rara Wulan yang berada di antara para Senapati Mataram telah berhasil mengacaukan sisi gelar induk pasukan Demak. Para Senapati Demak serta para pemimpin dari mereka yang mengaku murid-murid perguruan Kedung Jati, telah bergejolak. Ternyata mereka yang mengaku murid-murid dari perguruan Kedung Jati telah menjadi bingung ketika mereka melihat seorang perempuan yang bersenjatakan selendang mampu menunjukkan ciri-ciri dari aliran Kedung Jati yang sebenarnya.
Sementara itu, di sisi yang lain, Ki Patih Tandanegara ternyata mengalami kesulitan ketika Ki Tumenggung Ranadigdaya semakin meningkatkan kemampuannya. Sehingga karena itu, maka Ki Tandanegarapun telah memberikan isyarat kepada para Senapati pengawalnya untuk melibatkan diri dalam pertempuran itu.
Namun para Senapati Mataram dalam pasukan Ki Tumenggung Ranadigdaya itupun tanggap pula, sehingga dengan cepat merekapun telah berada di sebelah menyebelah Ki Tumenggung Ranadigdaya.
Demikianlah, maka gelar Gajah Meta di induk pasukan Demak itu telah terguncang-guncang. Sementara itu, induk pasukan Mataram telah menghentikan putaran gelarnya.
Dalam pada itu, mengingat keseluruhan pertempuran di induk pasukan, maka masing-masing harus menghentakkan kekuatan.
Dalam keadaan yang gelisah itu, seorang peng hubung telah mendekati arena pertempuran antara Kangjeng Adipati Demak melawan Kangjeng Panembahan Hanyakrawati. Dengan lantang penghubung itu berteriak, "Ki Patih Mandaraka minta ijin untuk merubah gelar dari Gelar Cakra Byuha menjadi gelar Wulan Tumanggal."
Kangjeng Panembahan Hanyakrawati yang mengetahui, wawasan Ki Patih serta pengalaman yang sangat luas, tidak berpikir panjang. Sambil meloncat memutar canggahnya, Kangjeng Panembahan Hanyakrawati itupun menyahut, "Lakukan."
Penghubung itupun segera berlari kembali menghadap Ki Patih Mandaraka, yang kemudian melalui para Senapati penghubung telah memerintahkan atas nama Kangjeng Panembahan Hanyakrawati yang .memegang kendali seluruh pasukan Mataram, merubah gelar Cakra Byuha yang karena suasana medan tidak memungkinkan untuk berputar, menjadi gelar Wulan Tumanggal.
Perubahan itu memang menimbulkan geseran-geser-an yang agak tajam. Namun ternyata bahwa para Senapati Mataram dengan trampil telah bergerak dengan cepat, mengatur pasukannya sehingga dalam waktu tidak terlalu lama, gelar Cakra Byuha itu telah berubah menjadi gelar yang lebih lebar dan lengkung. Gelar Wulan Tumanggal.
Namun induk pasukan Mataram yang sedang berubah itu telah terdesak mundur beberapa langkah. Ternyata para Senapati Demak cepat mengambil langkah. Mereka memanfaatkan perubahan yang sedang terjadi di induk pasukan Mataram, sehingga mereka berhasil mendesak gelar Wulan Tumanggal itu surut. Tetapi para Senapati Demak itu tidak berhasil memecahkan gelar yang sedang berubah itu.
Kangjeng Panembahan Hanyakrawati dan Kangjeng Adipati Demak, seakan-akan tidak terpengaruh oleh perubahan yang sedang terjadi. Mereka masih saja bertempur seorang melawan seorang. Ayunan senjata mereka yang terhitung agak panjang, telah menimbulkan desir angin yang semakin lama semakin keras, sehingga kemudian kedua senjata Senapati Agung dari Mataram dan Senapati Agung dari Demak itu seakan-akan telah menimbulkan angin pusaran yang keras. Debupun membubung tinggi. Bahkan kemudian dedaunan kering yang terhampar di arena telah ikut berterbangan pula. Pepohonan yang ada disekitar arenapun telah terguncang serta ranting-rantingnya berpatahan.
Pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin dahsyat. Pada saat-saat keduanya meningkatkan ilmunya semakin tinggi, maka udarapun rasa-rasanya menjadi semakin panas.
Ternyata beberapa puluh langkah dari arena yang mendebarkan itu, bagaikan telah tertiup prahara pula. Ki Saba Lintang yang telah mengerahkan kemampuannya, membentur kemampuan Sekar Mirah yung telah meningkatkan ilmunya sehingga tuntas.
Dua batang tongkat baja putih yang berputaran disekitar tubuh mereka masing-masing bagaikan awan putih yang bergumpal menyelubungi tubuh mereka itu. Meskipun awan putih itu tembus pandang, namun seakan-akan udarapun tidak dapat menembusnya.
Setiap kali tongkat baja putih mereka membentur gumpalan-gumpalan awan itu sehingga terdengar suaranya berdentangan serta bunga apipun berhamburan.
Namun akhirnya keseimbangan diantara keduanya-pun mulai berguncang ketika tongkat baja putih Sekar Mirah mulai menguak pertahanan Ki Saba Lintang dan menyentuh lengannya.
Ki Saba Lintangpun terkejut. Sentuhan itu rasa-rasanya bagaikan hentakkan yang meretakkan tulang-tulangnya.
Karena itu, maka Ki Saba Lintang itupun meloncat surut beberapa langkah untuk mengambil jarak. Kemudian dirabanya lengannya yang telah tersentuh tongkat baja putih Sekar Mirah untuk meyakinkan, apakah lengannya itu benar-benar telah tersentuh tongkat baja putih lawannya.
Sebenarnyalah, usapan tangan yang perlahan itu terasa bagaikan himpitan yang sangat menyakitkan pada tulangnya yang seakan-akan telah retak.
"Gila kau perempuan iblis," geram Ki Saba Lintang.
Sekar Mirah, berdiri termangu-mangu. Namun ia sudah siap menghadapi kemungkinan yang paling buruk sekalipun.
Dengan kemarahan yang membakar jantungnya, Ki Saba Lintangpun kemudian telah meloncat sambil mengayunkan baja putihnya kearah ubun-ubun Sekar Mirah. Tetapi Sekar Mirahpun segera menyilangkah tongkat Baja Putihnya diatas kepalanya sehingga tongkat baja putih Ki Saba Lintang membentur tongkat Sekar Mirah. Namun Ki Saba Lintang bergerak cepat sekali. Tongkatnya itu bagaikan menggeliat, kemudian terayun mendatar kearah lambung.
Sekali lagi Sekar Mirah membenturkan tongkatnya menangkis serangan Ki Saba Lintang. Bahkan kemudian Sekar Mirahlah yang memutar tongkatnya, kemudian mematuk dengan cepat mengarah ke dadanya.
Ketika Ki Saba Lintang mengelak, maka Sekar Mirahpun menarik tongkatnya. Namun kemudian tongkat itu menebas mendatar dengan cepatnya.
Ki Saba Lintang dengan cepat pula meloncat surut, sehingga tongkat baja Sekar Mirah tidak mengenainya.
Tetapi pada saat yang bersamaan, tongkat Ki Saba Lintanglah yang terayun dengan derasnya mengarah ke kening.
Sekar Mirah sempat merendah. Pada saat tongkat Ki Saba Lintang terayun diatas kepalanya, Sekar Mirah justru menjulurkan tongkatnya.
Ki Saba Lintang terkejut. Dengan cepat iapun meloncat surut menghindari patukan tongkat Sekar Mirah. Namun tongkat Sekar Mirah yang mematuk ke arah lambung itu lebih cepat dari loncatan Ki Saba Lintang, sehingga ujung tongkat baja putih Sekar Mirah itu telah menyentuh lagi tubuh Ki Saba Lintang di lambungnya.
Ki Saba Lintang menyeringai menahan sakit. Sekali lagi ia meloncat mengambil jarak sambil berdesah tertahan.
Sekar Mirah tidak memberinya waktu. Dengan cepat pula Sekar Mirah meloncat memburunya sambil mengayunkan tongkatnya. Tetapi Ki Saba Lintang berhasil menghindari ayunan tongkat Sekar Mirah. Bahkan Ki Saba Lintanglah yang kemudian mengayunkan tongkatnya pula.
Sekar Mirah sempat menangkis tongkat Ki Saba Lintang. Namun ayunan yang deras itu masih saja menyentuh bahu Sekar Mirah.
Sekar Mirahlah yang kemudian meloncat surut. Bahunya terasa sakit sekali. Rasa-rasanya tongkat baja Ki Saba Lintang itu langsung menyentuh tulangnya.
Demikianlah, maka pertempuran antara keduanya semakin lama menjadi semakin sengit. Beberapa orang yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati, menjadi sangat berdebar-debar. Ternyata ilmu dari perguruan Kedung Jati itu jauh lebih rumit daripada apa yang dikenalnya meskipun ia mengaku murid dari perguruan Kedung Jati.
Namun akhirnya Ki Saba Lintang yang mulai merasa bahwa tingkat kemampuan Sekar Mirah yang diwarisinya dari perguruan Kedung Jati tidak dapat ditandinginya, maka Ki Saba Lintangpun mulai merambah ke ilmunya dari aliran perguruan yang lain. Meskipun Ki Saba Lintang tetap berlandaskan kepada ilmu dari aliran perguruan Kedung jati, namun kemudian telah dilengkapi dengan unsur-unsur gerak yang dipelajarinya dari seorang pertapa di Bukit Telamaya.
Sekar Mirah memang agak terkejut melihat beberapa perubahan pada sikap dan unsur-unsur gerak Ki Saba Lintang. Sekar Mirahpun segera melihat, bahwa unsur gerak Ki Saba Lintang sudah tidak murni lagi. Beberapa unsur gerak yang disadapnya dari aliran yang berbeda, namun yang telah luluh dan saling mengisi dengan landasan ilmunya, telah membuat Ki Saba Lintang menjadi semakin berbahaya.
Sekali-sekali Sekar Mirahpun terdesak beberapa langkah surut, sehingga justru karena itu, maka serangan-serangan Ki Saba Lintangpun menjadi semakin garang.
Ki Lurah Agung Sedayu yang berada di luar arena pertempuran itupun melihat pula, bahwa ada unsur gerak dari aliran perguruan lain yang mengisi namun sudah menjadi luluh dan menyatu dengan ilmu dasar Ki Saba Lintang.
Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu tidak tahu, dari aliran perguruan manakah yang telah melengkapi ilmu Ki Saba Lintang itu, sehingga menjadi ilmu yang sangat berbahaya.
Ki Lurah Agung Sedayupun kemudian berharap bahwa Sekar Mirahpun dapat mengetahui, bahwa ada unsur-unsur lain dalam ilmu Ki Saba Lintang, sehingga ilmunya menjadi semakin rumit.
Pada saat Sekar Mirah mengalami beberapa kesulitan menghadapi ilmu Ki Saba Lintang yang menjadi semakin rumit, maka Sekar Mirahpun merasa tidak terikat lagi pada kemurnian ilmu dari aliran perguruan Kedung Jati.
Karena itulah, maka pada saat-saat ilmu Ki Saba Lintang menjadi semakin rumit, maka Sekar Mirahpun telah melakukan hal yang sama. Unsur-unsur gerak dari aliran perguruan Kiai Gringsingpun mulai menyusup dalam unsur-unsur gerak Sekar Mirah. Namun unsur-unsur gerak itu telah luluh menyatu pula.
Bahkan unsur-unsur gerak yang lembut dan cepat dari aliran perguruan Ki Sadewapun telah mewarnai ilmu Sekar Mirah itu pula.
Sehingga dengan demikian, maka unsur-unsur gerak Sekar Mirah itupun tidak kalah rumitnya dari unsur-unsur gerak Ki Saba Lintang.
Dengan demikian, maka pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Serangan demi serangan telah saling berbenturan. Ayunan tongkat baja putih dari kedua orang itu, telah menimbulkan hembusan angin yang berputaran, sehingga para prajurit yang bertempur disekitarnya merasakan bagaikan terkena tusukan-tusukan ujung duri pada tubuh mereka.
Demikian pertempuran diantara merekapun menjadi semakin dahsyat. Sentuhan-sentuhan tongkat baja putih-pun semakin sering pada kedua belah pihak. Namun semakin lama semakin terasa pada Ki Saba Lintang, bahwa tekanan Sekar Mirah menjadi semakin berat. Sentuhan-sentuhan tongkat bajanya seakan-akan telah membuat tulang-tulangnya retak dimana-mana.
Ki Saba Lintang memang agak menyesal, bahwa ia tidak mempergunakan waktunya lebih banyak untuk mematangkan ilmu yang disadapnya dari pertapa di Bukit Telamaya, sehingga ilmunya menjadi semakin tinggi.
Namun dalam keadaan yang mendesak, Ki Saba Lintang tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus mempergunakan ilmu puncaknya untuk menghentikan perlawanan Sekar Mirah.
"Aku yakin, bahwa Sekar Mirah masih belum memiliki puncak ilmu aliran perguruan Kedung Jati sematang ilmuku. Didorong oleh kemampuan pertapa di goa yang ada di Bukit Telamaya, maka aku telah menguasai dan mematangkan ilmu puncak perguruan Kedung Jati, meskipun tidak murni lagi. Tetapi aku akan membuktikan bahwa akulah orang terbaik dari perguruan Kedung Jati."
Demikianlah, maka Ki Saba Lintangpun kemudian telah menghentakkan ilmunya. Dipusatkannya nalar dan budinya pada pelepasan ilmu puncaknya. Ilmu puncak dari perguruan Kedung Jati yang sudah dikembangkan oleh seorang pertapa di goa Bukit Ttelamaya.
Agung Sedayupun menjadi tegang karenanya. Ia sadar, bahwa kedua orang yang bersumber pada aliran perguruan Kepung Jati yang berkembang dalam lingkungan yang berbeda itu akan segera melepaskan ilmu puncak mereka.
Sebenarnyalah ketika Sekar Mirah melihat sikap Ki Saba Lintang, maka Sekar Mirahpun segera mempersiapkan dirinya. Hampir berbareng keduanyapun telah mencapai tataran ilmu puncak. Keduanya telah memegang leher tongkat baja putih mereka tepat dibawah pangkalnya, sebuah bentuk tengkorak yang berwarna ke kuning-kuningan.
Ketika keduanya mengangkat tongkat baja putih mereka, maka dari pangkal tongkat baja putih mereka memancar seleret sinar yang tajam.
Namun ternyata sinar yang memancar dari kedua tongkat baja putih itu warnanya tidak sama.
Seleret sinar yang memancar dari tongkat baja putih Ki Saba Lintang itupun seakan-akan telah memancarkan cahaya yang berwarna merah keunguan. Sedangkan sinar yang memancar dari tongkat baja putih Sekar Mirah menyiratkan warna putih kebiruan.
Kedua ilmu yang diluncurkan oleh kedua orang yang telah menuntaskan ilmu dari aliran perguruan yang sama yang berkembang dalam lingkungan dan suasana yang berbeda itupun telah saling berbenturan.
Arena pertempuran itupun seakan-akan telah berguncang. Sinar yang silau memancar seperti kilat di langit diiringi oleh suara gemuruh seperti gunung yang runtuh.
Orang-orang yang bertempur disekitar lingkaran pertempuran antara Sekar Mirah dan Ki Saba Lintang itupun seakan-akan telah terlempar satu dua langkah. Merekapun terpelanting dan berjatuhan bahkan berguling-guling ditanah.
Sekar Mirahpun telah terpelanting beberapa langkah surut. Namun Ki Lurah Agung Sedayu yang mengamati pertarungan itu dengan jantung yang berdebaran dengan cekatan menangkap tubuh Sekar Mirah itu, sehingga tubuh itu tidak terbanting di tanah.
Namun ternyata tubuh Sekar Mirah itupun kemudian terkulai di tangan Ki Lurah Agung Sedayu.
"Mirah. Sekar Mirah," desis Ki Lurah Agung Sedayu.
Tetapi Sekar Mirah tidak menyahut.
Ternyata Sekar Mirah itu telah menjadi pingsan. Tongkat baja putihnya masih tetap erat didalam pegangannya.
Agung Sedayu yang sudah sejak lama mempersiapkan segala-galanya atas segala kemungkinan, termasuk kemungkinan seperti yang benar-benar telah terjadi, segera mengambil obat dari kantong bajunya. Obat yang disimpannya dalam sebuah bumbung kecil yang disumbat dengan gabus.
Obat itu adalah obat yang diramunya sendiri sesuai dengan petunjuk pada kitab peninggalan Kiai Gringsing. Gurunya yang selain mumpuni dalam olah kanuragan, Kiai Gringsingpun mumpuni pula dalam ilmu obat-obatan.
Ki Lurah Agung Sedayupun telah memasukkan dua butir obat ke mulut Sekar Mirah.
Wajah Sekar Mirah nampak menjadi sangat pucat. Matanya terpejam, sementara nafasnya menjadi tersengal-sengal.
Namun kedua butir obat itu agaknya telah sangat menolongnya.
Dalam pada itu, Ki Saba Lintangpun telah terlempar pula beberapa langkah surut. Namun tubuhnya itupun kemudian telah berada di tangan seorang tua yang rambut, kumis dan janggutnya telah memutih.
Sementara itu pertempuran di sekitar arena pertarungan yang dahsyat itupun seakan-akan telah terhenti. Orang-orang yang semula terpelanting telah terbangun kembali dengan senjata mereka masing-masing tetap di tangan.
Orang yang rambutnya, kumisnya dan janggutnya sudah memutih itu meletakkan tubuh Ki Saba Lintang di tanah. Disentuhnya nadi di bawah telinganya. Namun kemudian orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
Namun orang yang sudah ubanan itupun kemudian bangkit berdiri sambil menggeram, "Perempuan itu telah membunuh muridku."
Adalah diluar dugaan ketika tiba-tiba saja terdengar prajurit Mataram bersorak gemuruh bagaikan akan meruntuhkan langit. Merekapun berteriak-teriak dengan girang, "saba Lintang mati, Saba Lintang mati."
Orang yang berambut ubanan itu menjadi sangat marah. Tiba-tiba saja di bekas arena pertempuran antara Ki Saba Lintang dan Sekar Mirah itu telah berputar angin pusaran. Bukan sekedar karena ayunan tongkat baja putih Ki Saba Lintang dan Sekar Mirah, namun benar-benar angin pusaran yang berputaran dengan dahsyatnya. Meskipun tidak ada angin, tidak ada mendung di langit, tetapi cleret tahun itu menjadi semakin lama semakin melebar.
"Kalian akan dihanyutkan oleh angin pusaran itu," teriak orang berambut ubanan itu. Suaranyapun gemuruh seperti gemuruhnya cleret tahun itu sendiri, "kalian akan terangkat dan kemudian terbanting jatuh di tanah. Kalian akan mati bersama-sama."
Orang-orang yang sedang berteriak itupun terkejut. Jantung merekapun kemudian telah tergetar.
Agung Sedayu yang berjongkok disamping tubuh Sekar Mirah yang terbaring melihat angin pusaran yang menjadi semakin lama semakin lebar. Sampah, dedaunan dan bahkan bebatuanpun telah terangkat dan diputar oleh kekuatan yang sangat besar. Bahkan seperti yang dikatakan oleh orang itu dengan suaranya yang gemuruh, bahwa, orang-orangpun akan terangkat pula. Diterbangkan, diputar dan kemudian dibanting di tanah.
Ki Lurah Agung Sedayu tidak dapat membiarkan hal itu terjadi. Karena itu, maka iapun segera bangkit berdiri. Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah mendekatinya pula.
"Pusaran angin itu harus dihentikan, kakang." berkata Glagah Putih.
"Jagalah mbokayumu," sahut Ki Lurah Agung Sedayu, "aku akan menghentikan permainan yang gila itu."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian berjongkok pula disamping Sekar Mirah yang mulai membuka matanya.
"Apa yang terjadi?" desis Sekar Mirah.
"Kakang Agung Sedayu akan mengatasinya, mbokayu. Beristirahatlah. Ini aku, Glagah Putih dan Rara Wulan."
Sekar Mirahpun menarik nafas panjang. Namun dadanya masih terasa pedih. Meskipun demikian reramuan yang diberikan oleh Ki Lurah Agung Sedayu agaknya banyak menolongnya.
Sementara itu, Ki Lurah Agung Sedayupun melangkah maju mendekati angin pusaran yang menjadi semakin keras dan semakin cepat. Warnanyapun menjadi hitam berbaur dengan segala macam benda yang telah terangkat.
Ki Lurah Agung Sedayupun kemudian segera mengurai cambuknya. Sejenak ia memandangi angin cleret tahun yang menjadi semakin besar itu.
Sejenak kemudian Ki Lurah itupun telah memusatkan nalar budinya. Ia sadar sepenuhnya, jika ia tidak menghentikan angin pusaran yang menjadi semakin besar itu, maka prajurit Mataram yang ada disekitarnya akan mengalami kesulitan. Salah satu sisi dari wajah gelar Wulan Tumanggal yang baru saja tersusun itu akan mengalami goncangan yang gawat.
Ketika angin putar beliung itu menjadi semakin besar, maka Ki Lurah Agung Sedayu itupun melangkah maju setapak demi setapak. Kemudian diputarnya cambuknya yang berjuntai panjang itu. Sejenak Ki Lurah membuat ancang-ancang dengan putaran cambuk diatas kepalanya. Namun kemudian dengan mengerahkan segenap kemampuannya serta tenaga dalamnya, Ki Lurahpun menghentakkan cambuknya mengarah ke angin pusaran yang naik semakin tinggi itu.
Cambuk itu sama sekali tidak meledak. Bahkan nyaris tidak bersuara.
Tetapi akibatnya dahsyat sekali. Getar hentakkan cambuk itu telah menerpa angin pusaran yang telah mengangkat segala macam benda yang berada di arena pertempuran itu. Bahkan senjata-senjata yang terlepas dari tangan para prajurit yang sedang bertempur itu.
Seketika itu juga, maka angin pusaran itu seakan-akan telah diledakkan oleh kekuatan yang sangat besar, melampaui kekuatan angin pusaran itu sendiri.
Debu, sampah, bebatuan dan segala macam benda yang terangkat itupun telah runtuh berhamburan seperti hujan yang turun dari langit. Sementara itu, debupun membuat udara di medan pertepuran itu menjadi gelap.
Sekali lagi Ki Lurah Agung Sedayu menghentakkan cambuknya. Seolah-olah angin prahara yang kencang telah bertiup di arena yang gelap itu, sehingga debupun telah dihanyutkan bertebaran ke segala arah.
Perlahan-lahan arena itupun menjadi terang. Para prajurit yang menutup hidung mereka dengan telapak tangan serta memejamkan matanya serta mengatupkan mulutnya rapat-rapat itupun mulai melihat dua orang yang berdiri tegak di bekas arena pertempuran yang dahsyat antara Ki Saba Lintang dengan Nyi Lurah Agung Sedayu.
Dengan wajah yang geram, orang yang berambut, berjanggut dan berkumis putih itupun memandang Ki Lurah Agung Sedayu yang berdiri tegak sambil memegangi cambuknya pada ujung dan pangkalnya.
"Kau siapa yang sudah dengan sombong memberanikan diri menghentikan langkahku untuk menghancurkan Mataram."
16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku adalah prajurit Mataram, Ki Sanak. Adalah kewajibanku untuk melawan setiap orang yang memusuhi Mataram. Jika kau berpihak kepada Ki Saba Lintang, itu berarti bahwa kau telah berpihak kepada Kangjeng Adipati di Demak yang telah memberontak melawam Mataram. Karena itu, sebagai seorang prajurit Mataram, maka akupun berkewajiban untuk melawanmu."
"Bagus. Ternyata ada juga prajurit Mataram yang mempunyai keberanian yang tinggi dan bahkan mampu menghentikan angin pusaranku. Tetapi yang kau lakukan itu akan menyeretmu kedalam kesulitan. Kau akan mati di arena pertempuran ini."
"Hidup atau mati seseorang sudah ditentukan takdirnya oleh Kuasa diatas segala Kuasa. Tetapi seseorang wajib untuk berusaha mempertahankan hidupnya. Karena itu, siapakah diantara kita yang sudah berada di tangan takdirnya hari ini. Aku atau sebaliknya, kau sendiri Ki Sanak."
"Ternyata kau memang seorang yang sangat sombong. Tidak seorangpun yang dapat mengalahkan aku di negeri ini."
Ki Lurah Agung Sedayu itupun menjawab, "Yang aku lakukan bukannya kesombongan. Tetapi kewajibanku sebagai seorang prajurit."
Orang itu menggeram. Katanya, "bertahun-tahun aku menunggu satu kesempatan untuk menghancurkan Mataram lewat Ki Saba Lintang. Tetapi perempuan iblis itu telah membunuh muridku yang sedang melakukan tugas yang aku bebankan kepadanya. Karena itu, perempuan itu harus mati. Jika kau mau menyerahkan perempuan-itu, maka kau akan aku ampuni sehingga kau akan tetap hidup."
"Ki Saba Lintang telah berani mengaku sebagai pemimpin perguruan Kedung Jati. Di medan pertempuran ini telah ditentukan, siapakah yang memiliki kemampuan tertinggi di perguruan Kedung Jati itu. Ternyata Ki saba Lintang telah terbunuh."
Simple Past Present Love 1 Jaka Dan Dara Karya Bois Dendam Iblis Seribu Wajah 6
"Gegayuhan Ki Sanak. Setiap orang mempunyai gegayuhan."
"Kau yang mempunyai gegayuhan. Lalu, berapa korban yang telah jatuh sekadar untuk mendukungmu mencapai gegayuhan " Apakah dengan demikian, jika kau berhasil mencapai gegayuhanmu, tidak berarti bahwa kau telah mencapai gegayuhanmu dengan alas berpuluh nyawa sesamamu?"
Ki Tumenggung Gending tertawa semakin panjang. Katanya disela-sela derai tertawanya, "Orang-orang yang bodoh dan tidak berarti, selalu menjadi korban dan tumbal bagi keberhasilan orang lain yang lebih pintar dan cerdik. Bukankah kau juga akan menjadi korban" Jika berhasil mempertahankan dirinya, maka Panembahan Hanyakrawatilah yang akan tetap duduk di singgasananya. Bukankah itu juga berarti bahwa singgasana Hanyakrawati juga beralaskan mayat-mayat prajuritnya?"
"Kami tidak sekadar membela Panembahan Hanyakrawati. Tetapi kami ingin menegakkan tatanan dan paugeran yang berlaku di Mataram. Nah, bukankah ada bedanya" Panembahan Hanyakrawati atau bukan, kami akan tetap menegakkan tatanan dan paugeran. Bukan untuk diri kami sendiri. Karena itu, maka pengorbanan kami bukan untuk Panembahan Hanyakrawati" Kau tahu bedanya?"
"Persetan," geram Tumenggung Gending, "sekarang bersiaplah untuk mati."
Ki lurah Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Sementara itu Ki Tumenggung Gendingpun telah menyerang bagaikan banjir bandang.
Namun Ki Lurah Agung Sedayupun telah bersiap sepenuhnya untuk menghadapinya. Karena itu, dengan tangkasnya Ki Lurah Agung Sedayupun berloncatan sambil memutar ujung cambuknya.
Sementara itu, Ki Tumenggung Gending tidak lagi berniat untuk melepaskan lawannya lagi. Ia tidak berniat memancing lawannya memasuki jebakan sebagaimana di lakukan terhadap Ki Tumenggung Derpayuda. Tetapi kali ini, Ki Tumenggung Gending ingin menghabisi lawannya itu.
Tetapi lawannya adalah seorang yang ilmunya sangat tinggi. Ternyata lawannya itu tidak berada di bawah kemampuan Ki Tumenggung Derpayuda.
Tetapi dengan keris pusakanya yang melampaui ukuran keris kebanyakan itu, Ki Tumenggung Gending yakin, bahwa ia akan dapat membunuh lawannya. Satu goresan kecil pada kulit lawannya, telah cukup untuk mengantarkan lawannya itu ke lubang kubur.
Ki Lurah Agung Sedayupun menyadari, bahwa kerisnya merupakan sipat kandel yang sangat dibanggakan oleh Ki Tumenggung Gending. Karena itu, maka Ki Lurah Agung Sedayu ingin mengecilkan arti keris itu bagi Ki Tumenggung Gending.
Sebenarnyalah bahwa Ki Lurah Agung Sedayu dengan sengaja tidak menarik ujung cambuknya ketika Ki Tumenggung Gending menebas ujung cambuknya dengan keris yang dibanggakannya itu.
Ki Tumenggung Gending memang agak terkejut, bahwa kerisnya tidak mampu untuk memutuskan ujung cambuk lawannya.
"Gila senjata orang Mataram itu," geram Ki Tumenggung Gending. Sementara itu Ki Lurah Agung Sedayu menyerangnya seperti angin prahara, cambuknya berputaran kemudian menghentak sendal pancing. Sekali-kali ujungnya mematuk seperti kepala seekor ular bandotan.
Tetapi Ki Tumenggung Gendingpun mampu bergerak dengan cepat. Kakinya berloncatan bagaikan tidak menyentuh tanah.
Meskipun demikian, ternyata bahwa ujung cambuk Ki Lurah Agung Sedayu mampu memburunya. Sehingga seleret luka telah menggores lengannya.
"Anak iblis kau," geram Ki Tumenggung Gending. Kemarahannya telah membakar jantungnya ketika ia merasa dari lukanya yang pedih itu meleleh darahnya yang hangat.
Kemarahannya itu telah membuat Ki Tumenggung bertempur semakin sengit. Ujung kerisnya bagaikan lalat yang berterbangan di sekitar tubuh Ki Lurah Agung Sedayu. Meskipun Ki Lurah itu memutar ujung cambuknya sehingga seakan-akan menjadi perisai yang melingkari tubuhnya, namun ternyata bahwa ujung keris Ki Tumenggung Gending sempat juga hinggap di tangannya, sejengkal di atas pergelangannya.
Sengatan itu memang mengejutkan Ki Lurah Agung Sedayu, sehingga Ki Lurah itupun meloncat surut beberapa langkah.
Yang terdengar adalah suara tertawa Ki Tumenggung gending. Ki Tumenggung Gending merasa ujung kerisnya telah menyentuh tubuh lawannya.
"Kau akan mati, Ki Sanak. Kesombonganmu bahwa kau berani menghadapi aku di medan perang ini telah menghentikan pengabdian kepada Kangjeng Panembahan Hanyakrawati. Seperti kataku tadi, Panembahan Hanyakrawatalah yang akan bertahan duduk di atas tahtanya.
Jika ia berhasil, maka tahtanya akan beralaskan mayatmu pula disamping mayat puluhan korban yang lain.
Ki Lurah Agung Sedayu memandangi luka di tangannya. Ujung keris itu hanya membuat luka kecil di tangannya itu.
Tetapi Ki Tumenggung itupun berkata, "Meskipun lukamu tidak lebih besar dari seekor nyamuk kecil, tetapi warangan kerisku adalah warangan yang terbaik, yang akan segera membunuhmu"
Ki Lurah Agung Sedayu masih saja berdiri tegak sambil merengungi luka di tangannya. Namun kemudian katanya. "Ki Tumenggung Gending, warangan kerismu memang sangat tajam, tetapi kematian seseorang tidak tergantung kepada orang lain. Jika Yang Maha Agung masih melindungiku, maka aku tentu masih akan dapat memberikan perlawanan yang justru akan dapat menghentikan nafasmu untuk mencapai gegayuhan yang tidak sepatutnya itu."
"Kau masih akan melawan?"
"Tentu Ki Tumenggung."
"Semakin banyak kau bergerak, maka racun itu akan bekerja semakin cepat di tubuhmu Umurmupun akan menjadi semakin cepat pula berakhir."
"Sudah aku katakan, bukan kau yang menentukan umurku. Sekarang bersiaplah. Kau atau aku yang akan lebih dahulu tersingkir dari arena pertempuran ini."
Ki Tumenggung Gending masih saja tertawa. Katanya, "Bagus. Agaknya kau sudah menjadi putus-asa. Kau akan menghabiskan saat-saat terakhirmu dengan sikap seorang prajurit. Bagus. Ternyata kau memang seorang prajurit sejati."
Ki Lurah Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi cambuknyalah yang menghentak. Tanpa suara, tetapi getarannya bagaikan meruntuhkan jantung Ki Tumenggung Gending.
Demikianlah keduanya telah terlibat kembali dalam pertarungan yang sengit. Ki Tumenggung Gending yang yakin akan menghentikan perlawanan Ki Lurah Agung Sedayu itupun bertempur semakin garang. Sementara itu, Ki Lurah Agung Sedayupun telah menghentakkan ilmunya pula.
Dengan demikian, maka pertarungan antara keduanya menjadi semakin sengit, sehingga para prajurit yang bertempur di sekitarnya seakan-akan tidak tahu lagi apa yang terjadi diantara keduanya.
Dalam pertempuran yang semakin sengit itu, Ki Tumenggung Gending menjadi sangat heran, bahwa lawannya itu masih saja mampu bertempur dengan garangnya. Sementara itu Ki Tumenggung Gending yakin, bahwa kerisnya telah berhasil menyentuh tangannya sejengkal diatas pergelangan.
"Seharusnya bisa warangan pada kerisku ini sudah mulai bekerja," berkata Ki Tumenggung Gending didalam hatinya.
Namun ternyata bahwa Ki Lurah Agung Sedayu itu sama sekali tidak terpengaruh oleh bisa warangan keris Ki Tumenggung Gending yang dibanggakannya itu.
Bahkan ujung cambuk Ki Lurah Agung Sedayu yang berputaran itu, tiba-tiba saja telah mematuk bahunya.
Ki Tumenggung Gending itu terdorong beberapa langkah surut, bahunya terasa sakit sekali. Tulang-ulangnya seakan-akan menjadi retak.
Ki Tumenggung Gending yang sudah menyentuh tubuh lawannya dengan kerisnya, tetapi seakan-akan tidak berpengaruh itu menjadi sangat marah.
Tetapi Ki Tumenggung Gending sudah jemu berkejar-kejaran dengan Senapati Mataram, karena itu, maka Ki Tumenggung Gending sudah bertekad untuk beradu ilmu pamungkas dengan Senapati Mataram yang bersenjata cambuk itu. Bahkan yang mampu menahan pengaruh bisa dari warangan kerisnya yang sangat tajam.
"Jika aku berhasil, maka aku akan menyapu para Senapati Mataram yang lain dengan Aji Pamungkasku."
Ki Tumenggung Gending masih sempat memandang langit sekilas. Matahari sudah menjadi semakin rendah. Namun Ki Tumenggung Gending ingin menyelesaikan lawannya sebelum terdengar tengara untuk menghentikan perang di hari itu.
Demikianlah, maka Ki Tumenggung Gending itupun segera meloncat mengambil jarak, iapun segera berlutut pada satu lututnya. Ditancapkannya kerisnya di tanah, sementara kedua tangannya menggenggam hulu keris itu kuat-kuat.
Keris itupun telah bergetar sehingga seakan-akan getaran itu mengalir dari bumi ke dalam urat-urat darah Ki Tumenggung Gending, dan menumpuk di dukun dirinya.
Ki Lurah Agung Sedayu yang telah bersiap untuk menyerangnya, tiba-tiba telah mengurungkannya. Ia melihat gelagat yang kurang menguntungkan, sehingga justru karena itu, maka Ki Lurah Agung Sedayupun segera mempersiapkan dirinya pula.
Mula-mula ditingkatkannya daya tahan tubuhnya, sehingga ilmu kebalnyapun telah meningkat pula. Kemudian telah dipusatkan nalar budinya, sehingga Ki Lurah Agung Sedayu itupun telah bersiap pula melepuskun ilmu puncaknya.
Dalam pada itu, ketika Ki Tumenggung Gending itu merasa, bahwa kekuatan getar yang mengalir dari bumi telah memenuhi dirinya, maka tiba-tiba saja Ki Tumenggung Gending itupun bangkit berdiri. Diulurkannya tangannya kedepan dengan telapak tangan yang terbuka menghadap ke bumi. Sementara itu dari ujung jari-jarinya seakan-akan telah meluncur seleret sinar yang berwarna kemerah merahan.
Namun pada saat yang bersamaan, Ki Lurah Agung Sedayu yang memandangnya dengan tajamnya, telah meluncurkan ilmunya pula. Dari sorot matanya memancar cahaya yang hijau kebiruan.
Sekar Mirah yang berdiri di luar lingkaran pertempuran itu menjadi sangat tegang. Iapun melihat benturan yang dahsyat terjadi antara dua ilmu yang sangat tinggi dari seorang Senapati Demak dengan ilmu puncak seorang Senapati Mataram.
Kedua orang itu ternyata telah terguncang, Ki Lurah Agung Sedayu yang tergetar surut beberapa langkah, ternyata tidak mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga Ki Lurah Agung Sedayu itupun jatuh terguling di tanah.
Sekar Mirahpun dengan cepat berlari ke arahnya, tetapi Sekar Mirah terlambat menahan tubuh Ki Lurah Agung Sedayu. Demikian pula beberapa orang prajurit Mataram. Sehingga tubuh itu sempat terguling di tanah.
Namun dalam pada itu, tubuh Ki Tumenggung Gendingpun telah terlempar beberapa langkah pula. tetapi tubuh itupun terbanting dengan kerasnya. Terasa dada Ki Tumenggung Gending itu menjadi sesak.
Beberapa orang prajurit Demakpun berlari-larian pula. Dua orang Senapati bawahannyapun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Namun para prajurit Mataram tidak menyerang mereka. Sebagian dari merekapun berusaha melindungi Ki Lurah Agung Sedayu. Namun Sekar Mirah telah berada disisinya pula.
"Kakang," desis Sekar Mirah.
Ki Lurah Agung Sedayu itupun menarik nafas panjang. Dadanya memang terasa sakit, tetapi rasa sakit itupun dapat diatasinya. Untunglah bahwa Agung Sedayupun telah sempat meningkatkan daya tahannya sehingga ilmu kebalnyapun telah meningkat pula.
Ki Lurah Agung Sedayupun kemudian telah duduk pula dengan menyilangkan kakinya. Kedua telapak tangannya yang terbuka terletak di kedua lututnya.
Sejenak Ki Lurah Agung Sedayu duduk bersila sambil mengatur pernafasannya.
Dalam pada itu, pasukan Demak benar-benar berada dalam keadaan yang sangat gelisah. Seorang Senapati besar yang mendapat kepercayaan yang besar pula dari Kangjeng Adipati Demak, berada dalam keadaan yang sangat mengkhawatirkan. Nampaknya Ki Tumenggung Gending itupun telah terluka dalam yang sangat parah. Dari sela-sela bibirnya, darah mulai mengalir.
Para prajurit Demak kemudian telah membawa Ki Tumenggung Gending itu ke belakang garis pertempuran. Seorang tabib terbaik dari Demak yang mengikuti pertempuran itupun segera di panggil.
Tetapi tabib itu hanya dapat menarik nafas panjang. Sebelum ia berbuat sesuatu, keadaan Ki Tumenggung Gending sudah menjadi semakin sulit.
"Tidak ada gunanya, Kiai," desis Ki Tumenggung Gending.
"Aku harus mencobanya, Ki Tumengnung." Tetapi Ki Tumenggung Gending menggeleng. Sementara itu, Kangjeng Adipatipun telah mendapat laporan tentang keadaan Ki Tumenggung Gending. Kangjeng Adipati yang bertempur dengan garangnya itupun telah meninggalkan garis pertempuran untuk melihat keadaan Ki Tumenggung Gending.
"Ki Tumenggung," desis Kangjeng Adipati.
Ki Tumenggung Gending itu masih sempat tersenyum. Dengan suara yang tidak begitu jelas iapun berkata, "Hamba mohon diri Kangjeng. Semoga Kangjeng berhasil."
"Ki Tumenggung," nada suara Kangjeng Adipati meninggi. Namun Ki Tumenggung Gending itupun menjadi semakin lemah.
"Kita harus menyelesaikan perjuangan ini bersama Ki Tumenggung," berkata Kangjeng Adipati selanjutnya.
Tetapi Ki Tumenggung Gending sudah tidak dapat bertahan lagi. Iapun kemudian menutup mata untuk selamanya.
Kematian Ki Tumenggung Gending telah mengguncang jantung Kangjeng Adipati Demak. Karena itu, maka iapun segera bangkit. Dengan kemarahan yang membakar jantungnya, Kangjeng Adipati itupun meloncat kembali ke garis pertempuran. Dua orang senapati pengawalnyapun berlari-lari pula mengikutinya.
"Aku akan menghabisi para Senapati Mataram sampai orang yang terakhir."
Kangjeng Adipati Demak itupun kemudian bertempur bagaikan banteng ketaton. Para prajurit Mataram yang berani mencoba menghalanginya, akan segera terlempar dari arena pertempuran.
Dengan demikian, bersama dengan dua orang Senapati pengawalnya Kangjeng Adipati Demak itu rasa-rasanya telah berhasil mendesak seluruh pasukan Mataram itu bergeser surut.
Kegarangan kangjeng Adipati Demak itu ternyata nampak oleh Kangjeng Panembahan Hanyakrawati dari Mataram. Meskipun Kangjeng Panembahan Hanyakrawati masih lebih muda dari Kangjeng Adipati Demak, namun Kangjeng Panembahan itu sudah ditempa oleh beberapa orang yang berilmu tinggi, sehingga Kangjeng Panembahan telah menjadi seorang yang pilih tanding.
"Eyang," berkata Kangjeng Panembahan Hanyakrawati kepada Ki Patih Mandaraka, "Eyang lihat. Karena paman Pangeran Singasari terluka, maka pasukan Mataram seperti sapu kehilangan suhnya. Eyang. Sementara dimas Pangeran Puger dan dimas Pangeran Demang Tanpa Nangkil memimpin gelar di lambung pasukan, aku sendirilah yang akan memimpin induk pasukan ini."
Ki Patih Mandar aka termangu-mangu sejenak. Tetapi memang sudah sepantasnya Kangjeng Panembahan Hanyakrawati sendiri yang turun ke medan. Meskipun demikian, Ki Patih Mandaraka itupun berkata, "Aku akan menjadi Senapati Pengapit wayah Panembahan."
"Eyang sudah terlalu tua untuk turun langsung ke medan pertempuran."
Ki Patih Mandaraka tersenyum. Katanya, "Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku hanya akan menonton, apa yang wayah lakukan."
"Baik. Tetapi aku berpesan, eyang jangan terjun ke medan."
Sementara itu, maka Pasukan Khusus Pengawal Rajapun segera mempersiapkan diri. Mereka akan berada di sekitar Kangjeng Panembahan Hanyakrawati yang akan memimpin langsung prajurit Mataram.
Namun sebelum Kangjeng Panembahan maju ke medan, maka Kangjeng Panembahan telah mendapat laporan, bahwa Ki Tumenggung Gending, salah seorang Senapati besar dari Demak telah terbunuh di medan perang oleh Ki Lurah Agung Sedayu.
"Ki Lurah Agung Sedayu?"
"Hamba Kangjeng." Ki Lurah bersama isterinya sedang berusaha untuk dapat bertemu dengan Ki Saba Lintang.
"Ya. Aku telah mengijinkannya."
"Tetapi yang ditemuinya justru Ki Tumenggung Gending. Justru pada saat Ki Tumenggung Gending berusaha menyerang Pangeran Singasari yang sedang ditinggalkan oleh Kangjeng Pangeran Puger di arena."
Kangjeng Panembahan Hanyakrawati mengangguk-angguk. Ia melihat sekilas. Tetapi hiruk pikuk pertempuran kemudian telah menghalangi pandangannya.
"Jadi agaknya Kangmas Pangeran Puger mengamuk karena ia telah kehilangan Senapatinya yang terpercaya."
"Ya. Agaknya memang demikian kangjeng."
"Baiklah. Biar aku sendiri yang akan menghadapinya."
Tetapi demikian Kangjeng Panembahan Hanyakrawati bergerak ke garis pertempuran, terdengar suara sangkakala yang ditiup diatas gumuk kecil. Kemudian disahut oleh suara bende yang bertalu-talu.
"Wayah," berkata Ki Patih Mandaraka, "memang hari ini wayah masih belum diperkenankan memasuki arena pertempuran."
"Ya, eyang, tetapi esok, aku sendiri yang akan turun ke arena pertempuran, aku sendiri akan menjumpai kamas Pangeran Puger, aku masih akan berusaha membujuknya, tetapi jika kamas Pangeran Puger benar-benar sudah tidak lagi dapat dicegah, apaboleh buat."
Ki Patih Mandaraka memang sudah tidak mempunyai alasan yang cukup untuk mencegah agar Kangjeng Panembahan Hanyakrawati tidak langsung berhadapan dengan saudaranya sendiri. Tetapi sikap keras kangjeng Pangeran Puger telah menutup kemungkinan-kemungkinan lain kecuali perang.
Dibawah bayang langit yang suram menjelang senja, maka kedua pasukan yang sedang bertempur itupun mulai menarik diri. Kedua pasukan itupun segera kembali ke pasanggrahan masing-masing.
Namun kangjeng Adipati Demak itu terkejut ketika ia melihat sosok tubuh yang terbujur di pendapa pasanggrahan Kangjeng Adipati, Sosok tubuh yang terbujur disamping tubuh Ki Tumenggung Gending.
"Siapa ?" Kangjeng Adipati tidak sabar menunggu jawabannya. Tanganyapun telah menyibak kain yang menutup tubuh yang terbujur itu.
"Ki Tumenggung Panjer?"
"Ya, Kangjeng."
"Gila. Jadi Ki Tumenggung Panjer juga terbunuh hari ini?"
"Ya, Kangjeng."
"Siapa yang telah membunuh Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer " Ketika aku menunggui Ki Tumenggung Gending meninggal, aku lupa bertanya, siapakah yang telah membunuhnya."
Seorang prajurit yang lain berkata dengan wajah tertunduk, "Yang membunuh Ki Tumenggung Gending adalah Ki Lurah Agung Sedayu. Senapati Mataram dari kesatuan Pasukan Khusus, Kangjeng."
"Gila. Ini gila. Jadi yang membunuh Ki Tumenggung Gending hanya seorang Lurah Prajurit" Ki Tumenggung Derpayuda tidak berhasil membunuhnya. Tiba-tiba seorang Lurah prajurit datang menghadapinya dan bahkan membunuhnya."
"Ki Lurah Agung Sedayu bukan seperti kebanyakan Lurah prajurit yang lain, Kangjeng. Ia memiliki kelebihan melampaui seorang Tumenggung."
"Omong kosong. Jika ia memiliki kemampuan seorang Tumenggung, kenapa ia masih saja Lurah prajurit?"
Prajurit yang memberikan laporan itu menggeleng sambil menjawab, "Hamba tidak tahu, Kangjeng."
"Lalu, siapakah yang telah membunuh Ki Tumenggung Panjer?"
"Seorang laki-laki yang masih terhitung muda, Kangjeng." Jawab prajurit yang lain, "namanya Glagah Putih."
"Glagah Putih," Pangeran Pugerpun mulai mengingat-ingat. Ia sudah pernah mendengar nama-nama itu. Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih.
Pangeran Pugerpun mencoba mengingat saat ia meninggalkan Mataram pergi ke Demak dengan pengawalan yang kuat dari para prajurit Mataram. Mataram mencemaskan gangguan dari sekelompok orang yang mengaku dari perguruan Kedung Jati.
Tetapi orang-orang yang mengaku murid perguruan Kedung Jati itu, bahkan bersama dengan pemimpin tertingginya, kini berada dalam barisan yang sama dengan Kangjeng Pangeran Puger untuk melawan Mataram.
Tetapi Pangeran Puger tidak ingin terpengaruh oleh kenangannya itu. Karena itu, Pangeran Pugerpun kemudian berkata, "Kalian harus mengingat ciri-ciri dari orang-orang yang telah membunuh Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer. Besok aku sendiri yang akan membunuh mereka. Aku tidak tahu, siapakah yang besok akan menjadi Senapati Agung di Mataram, setelah paman Singasari terluka. Seharusnya Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer tidak perlu merunduk mereka dengan cara yang kurang terhormat, meskipun kita berada di medan perang. Tetapi Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer tidak mau mendengarkan perintahku. Aku tahu, ihwa mereka bermaksud baik. Tetapi aku adalah seorang kesatria Mataram yang tidak seharusnya menodai darah kesatriaku."
"Sebaiknya Kangjeng Adipati sekarang beristirahat saja lebih dahulu," berkata seorang Senapati.
Wajah Kangjeng Pangeran Puger memang nampak muram. Dua orang Senapatinya yang terpercaya telah terbunuh pada hari yang sama.
Bahkan sempat terlintas di angan-angannya, bahwa ke-matian Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer adalah pertanda buruk bagi pasukan Demak.
"Tidak. Masih ada aku. Masih ada Ki Saba Lintang. Masih ada Ki Patih Tandanegara."
Meskipun pada saat Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer masih sangat berpengaruh terhadap Kangjeng Adipati, maka rasa-rasanya Ki Patih Tandanegara itu seakan-akan telah dilupakan, namun ia adalah seorang Patih yang setia, sehingga ia tidak berkisar meninggalkan Demak.
Malam itu, Kangjeng Adipati telah berbicara langsung dengan Ki saba Lintang, bahwa sebaiknya Ki Saba Lintang langsung memegang peranan dalam pertempuran esok.
Ki Saba Lintang ternyata juga menaruh perhatian yang besar terhadap kematian Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer yang terjadi pada hari yang sama. Dengan demikian, maka Ki Saba Lintangpun menyadari, bahwa Mataram memang mengerahkan kekuatan yang sangat besar untuk dengan sungguh-sungguh menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh Kangjeng Pangeran Puger.
Namun Ki Patih Tandanegara yang ikut pula dalam pembicaraan itupun berkata, "Ampun Kangjeng Adipati. Jangan cemas. Masih banyak para Tumenggung yang memiliki ilmu yang tinggi yang akan memimpin para prajurit di Demak. Masih banyak pula para pemimpin dari Perguruan Kedung Jati yang akan mampu mengimbangi kemampuan para Senapati Mataram."
Kangjeng Adipati itupun mengangguk-angguk. Namun justru Ki Saba Lintanglah yang mengerutkan dahinya. Iapun telah kehilangan beberapa orangnya yang berilmu tinggi. Tetapi masih ada yang dapat diandalkannya untuk menghadapi orang-orang Mataram.
Namun yang dicemaskannya adalah pengaruh keberadaan seorang perempuan yang bersenjata tongkat baja putih. Keberadaan Sekar Mirah di medan pertempuran itu akan sangat mengganggu orang-orang yang telah menyatakan kesediaannya bertempur bersamanya melawan Mataram.
"Kangjeng Adipati," berkata Ki Saba Lintang, "akupun merasa bahwa sudah saatnya aku bersungguh-sungguh. Aku harus menghentikan Nyi Agung Sedayu yang juga memiliki senjata ciri kepemimpinan perguruan Kedung Jati. Entahlah darimana ia mencuri tongkat baja putih itu. Atau bahkan mungkin tongkat baja putihnya adalah palsu. Karena itu, jika aku berhasil dapat bertemu langsung dengan perempuan itu, maka aku akan dapat meyakinkan diriku sendiri, bahwa aku adalah memang pemimpin tertinggi dari perguruan Kedung Jati yang besar ini. Aku akan mematahkan tongkat baja putih yang berada di tangan perempuan itu."
"Jadi perempuan itu adalah istcri Ki Lurah Agung Sedayu yang telah membunuh Ki Tumenggung Gending?"
"Ya." "Bagus. Kau bunuh perempuan itu. Aku akan membunuh suaminya karena ia sudah membunuh Ki Tumenggung Gending. Kemudian akupun akan membunuh laki-laki yang terhitung masih muda yang bernama Glagah Putih yang telah membunuh Ki Tumenggung Panjer."
"Glagah Putih adalah sepupu Ki Lurah Agung Sedayu," sahut Ki Saba Lintang yang pernah bertualang di Tanah Perdikan Menoreh meskipun selalu gagal.
Namun Ki Saba Lintang yang telah menempa diri dibawah bimbingan seorang yang berilmu sangat tinggi yang hidup di sebuah goa di lereng Gunung Telamaya, telah membuatnya menjadi seorang yang pilih tanding. Pertapa itu telah menempanya dengan berbagai ilmu kanuragan yang rumit.
"Balaskan dendamku," berkata pertapa itu, "aku sendiri sudah kehilangan kesempatan untuk menghukum orang-orang Mataram yang bengis itu. Aku tiduk mempunyai dukungan kekuatan yang memadai."
"Apa yang telah dilakukan oleh orang-orang Mataram itu?"
"Seorang Pangeran dari Mataram telah membunuh guruku."
"Pangeran siapa?"
"Pangeran Rangga."
"Pangeran Rangga" Pangeran Rangga sudah lama tidak ada lagi."
"Aku tahu. Tetapi kebencianku kepada orang-orang Mataram tidak dapat aku redam lagi."
Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya, "Apa yang sudah dilakukan oleh Pangeran Rangga terhadap kakek guru?"
"Pangeran Rangga memaksa guru menghentikan tapanya."
"Apakah tapa kakek guru itu dianggap mengganggu Pangeran yang aneh itu" Pangeran yang lebih sering di sebut Raden Rangga yang mempunyai kesaktian tidak terbatas itu?"
"Sebenarnya guru tidak mengganggu Pangeran Rangga itu sendiri. Ketika Pangeran Rangga lewat di sebelah bukit tempat guru bertapa, ia menerima pengaduan dari rakyat beberapa padukuhan yang dilewatinya, bahwa karena guru bertapa di bukit itu, maka udara disekitarnya menjadi sangat panas. Pepohonan menjadi layu dan bahkan kering. Sawah-sawah tidak dapat ditanami sehingga tanah yang luas di sekitar bukit itu menjadi tanah yang kering kerontang. Tidak selembar rumputpun dapat tumbuh."
"Apa yang kemudian dilakukan oleh Raden Rangga?"
"Raden Rangga mendatangi guru. Raden Rangga yang masih muda itu minta guru menghentikan tapanya. Tentu saja guru berkeberatan. Ia menganggap Pangeran Rangga sebagai seorang anak yang datang mengganggunya. Namun ternyata bahwa Pangeran Rangga bersungguh-sungguh, sehingga keduanya sepakat untuk menyelesaikan persoalan mereka dengan perang tanding. Mereka memilih sebatang pohon randu alas sebagai arena perang tanding itu?"
"Randu Alas?" "Ya. Mereka akan berperang tanding diantara dahan-dahan dan cabang pohon randu alas itu."
"Mereka benar-benar berperang tanding di atas pohon itu?"
"Ya. Perang tanding yang sangat dahsyat. Semua daun, ranting dan bahkan cabang-cabang pohon randu alas itupun runtuh sampai dahan yang terakhir."
"Raden Rangga itu akhirnya dapat mengalahkan kakek guru?"
Pertapa itu menarik nafas panjang. Katanya, "Itulah yang sangat menyakitkan hatiku. Pada saat itu, aku baru menguasai ilmuku sampai tataran terakhir. Tetapi masih belum tuntas. Karena itu, ketika guruku terbunuh, aku tidak dapat berbuat apa-apa. Jika guruku saja tidak dapat menandingi kemampuan Pangeran Kangga, apalagi aku pada waktu itu."
"Kemudian guru menyempurnakan ilmu guru tanpa bimbingan?"
"Ya. Tetapi semua dasar-dasarnya sudah aku kuasai. Aku tinggal menyempurnakan dan mengembangkannya. Bahkan aku merasa bahwa apa yang aku kuasai sekarang, lebih baik dari apa yang dikuasai oleh guru pada waktu itu. Bahkan seandainya Pangeran Rangga itu masih ada sekarang, aku ingin menjajagi ilmunya yang dikatakan orang tidak ada batasnya itu."
Ki Saba Lintang mengangguk-angguk penuh harap, bahkan iapun akan memiliki ilmu yang akan mampu menandingi ilmu Pangeran Rangga itu.
Tetapi berbeda dengan pertapa yang menjadi gurunya. Ki Saba Lintang tidak mempunyai waktu sebanyak gurunya untuk menyempurnakan dan mengembangkan ilmunya. Karena itu, maka Ki Saba Lintang masih belum mampu memiliki tingkat kemampuan sebagaimana pertapa yang tinggal di goa lereng Bukit Telamaya itu.
Meskipun demikian, kemajuan ilmu Ki Saba Lintang sudah memberinya kebanggaan. Ia yakin, bahwa ia adalah orang terbaik di perguruan Kedung Jati. Bahkan jika perempuan yang bernama Sekar Mirah itu datang kepadanya dengan tongkat baja putihnya, ia akan menyambutnya dengan penuh keyakinan akan dapat mengalahkannya dan bahkan menguasai tongkat baja putihnya itu pula.
Tetapi Ki Saba Lintang tidak tahu, bahwa pada saat-saat terakhir, Nyi Lurah Agung Sedayu itu telah mengasah ilmunya sehingga sampai pada tataran tertinggi. Dalam samadinya serta dalam penempaan diri, gurunya, Ki Sumangkar seakan-akan telah datang kepadanya serta menumpahkan segala ilmunya itu kepadanya. Bukan, hanya bekal yang diberikan oleh Ki Sumangkar, tetapi Sekar Mirah telah dimatangkan pula oleh Ki Lurah Agung Sedayu serta dalam latihan bersama dengan Glagah Putih dan Rara Wulan, ilmunyapun menjadi semakin lengkap.
Demikianlah, maka Ki Saba Lintangpun telah mengusung dua beban di pundaknya. Selain keinginannya yang melambung tinggi untuk mendapatkan kamukten lewat dukungannya kepada Demak, ia juga dibebani oleh pertapa di Bukit Telamaya itu untuk membalaskan dendamnya kepada orang-orang Mataram, terutama kepada saudara-saudara Raden Rangga. Diantaranya tentu Kangjeng Panembahan Hanyakrawati sendiri.
Malam itu Ki Saba Lintang telah memutuskan bahwa dikeesokan harinya, ia harus terjun langsung di pertempuran diantara beberapa orang yang berilmu tinggi, yang sudah bergabung dengan Perguruan terbesar di bumi Mataram Perguruan Kedung Jati.
Namun dalam pada itu, Kangjeng Adipati Demak memutuskan, bahwa Demak tidak akan merubah-rubah gelarnya. Esok pagi Demak masih akan turun dengan gelar Gajah Meta.
Sementara itu, para Senapati di pasukan Matarampun telah mendapat perintah, bahwa esok yang akan memimpin langsung pasukan Mataram adalah Kangjeng Panembahan Hanyakrawati sendiri.
Pangeran Singasari yang terluka, memang tidak akan dapat memimpin pasukan Mataram di keesokan harinya. Karena itu, maka Pangeran Singasari itu hanya dapat berpesan, "Hati-hatilah angger Panembahan. Ada orang-orang yang licik di dalam pasukan Demak. Mereka berpegang pada tatanan perang tanpa menghiraukan pertarungan Senapati yang sedang berlangsung."
"Aku mengerti paman. Maksud paman, sebagaimana terjadi pada paman sendiri."
"Ya." "Aku akan berada di medan bersama para Senapati pe gawaiku. Mereka akan mencegah kelicikan-kelicikan seperti itu. Yang telah terjadi pada paman merupakan pelajaran yang berharga, sehingga tidak akan aku abaikan."
"Aku akan menonton di belakang wayah Panembahan," berkata Ki Patih Mandaraka.
Pangeran Singasari menarik nafas panjang. Meskipun sebenarnya Ki Patih Mandaraka sudah terlalu tua untuk berada di medan pertempuran, tetapi ia tentu akan didampingi oleh Senapati-senapati pengawalnya yang masih lebih muda.
Sedangkan Pangeran Puger Muda serta Pangeran Demang Tanpa Nangkil masih akan tetap berada di gelar pasukan sebelah menyebelah pasukan induk. Panembahan Hanyakrawatipun tidak akan merubah gelarnya pula. Gelar Cakra Byuha yang ternyata memiliki kelebihan dari gelar Gedong Minep yang lebih banyak bertahan.
Menjelang tengah malam, maka para pemimpin pasukan dari kedua belah pihakpun menyempatkan diri untuk beristirahat. Sementara itu, sekelompok prajurit masih sibuk mengurus kawan-kawan mereka yang terluka dan yang gugur di pertempuran. Sementara itu, Ki Patih Mandar ka sendiri masih merenungi tubuh-tubuh yang terbujur membeku yang akan dimakamkan dengan upacara keprajuritan.
"Silahkan beristirahat Ki Patih," berkata seorang Senapati yang bertugas.
"Kau sendiri tidak beristirahat?"
"Aku esok tidak turun ke medan. Malam ini aku bertugas."
Ki Patih Mandaraka menarik nafas panjang. Katanya, "Akupun besok tidak bertugas. Aku hanya akan nonton permainan bunuh-bunuhan itu."
Senapati itu mengerutkan dahinya. Namun Senapati itu dapat mengerti perasaan Ki Patih Mandaraka yang sudah menjadi semakin tua. Sejak pertempuran itu pecah, maka setiap kali ia melihat wajah Ki Patih itu muram."
Dalam pada itu, di perkemahannya, Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah memulihkan keadaannya. Ki Lurah Agung Sedayu sudah dapat menguasai kesulitan didalam tubuhnya. Sementara itu luka di bahu Sekar Mirah sudah tidak terasa mempengaruhinya lagi. Bahkan obat-obatan terbaik yang diberikan oleh Ki Lurah Agung Sedayu, seakan-akan telah menyembuhkan luka itu. Bahkan seandainya Sekar Mirah harus bertempur melawan Ki Saba Lintang, luka itu tidak akan mengganggunya.
"Mirah," berkata Ki Lurah Agung Sedayu, "Kangjeng Adipati Demak telah kehilangan dua orang Senapati pengapitnya yang sangat dipercayainya. Karena itu, besok mungkin sekali yang akan hadir di medan adalah Ki Patih Tandanegara dan Ki Saba Lintang itu sendiri. Para pemimpin dari mereka yang mengaku murid-murid dari perguruan Kedung Jati yang lain, tentu merasa tidak akan banyak mempunyai kesempatan, karena Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer yang mereka agungkan itu sudah terbunuh."
"Ya, kakang. Besok aku berharap akan dapat bertemu langsung dengan Ki Saba Lintang."
"Kesempatanmu untuk membuktikan, bahwa bukan Saba Lintanglah yang pantas disebut pemimpin perguruan KedungJati."
"Ya, Kakang." "Untuk meningkatkan daya tahan tubuhmu, agar kau tidak kehabisan tenaga selama kau bertempur melawannya, jangan lupa, butir-butir reramuan obat yang aku buat itu."
"Ya, kakang. Tadi siang aku juga sudah menelannya sebutir."
"Kau rasakan pengaruhnya?"
"Ya, kakang." "Jangan menunggu tenagamu menurun. Kau dapat menelannya tiga butir atau empat butir sehari. Besok, sebelum kita bergerak ke medan, kemudian setelah matahari sepenggalah, berikutnya pada saat matahari melampaui puncaknya dan berikutnya lagi pada saat matahari menjadi semakin rendah. Jika Saba Lintang mempergunakan ilmu dari aliran perguruan Kedung Jati yang murni, maka kaupun dapat memamerkannya. Aku yakin, bahwa apa yang pernah kau warisi dari Ki Sumangkar sudah terlalu lengkap. Kaupun telah mematangkannya. Tetapi jika Saba Lintang melengkapi ilmunya dengan aliran yang lain, jangan segan-segan lengkapi ilmumu yang kau warisi dari perguruan Kedung Jati lewat Ki Sumangkar itu dengan unsur-unsur lain yang dapat membuat ilmu semakin mapan."
"Ya kakang. Aku mengerti."
Demikianlah, maka merekapun kemudian telah memanfaatkan waktu mereka untuk beristirahat. Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah beristirahat pula, setelah mereka sempat mempertajam ingatan mereka atas isi kitab yang mereka terima lewat isyarat dari Ki Namaskara.
Namun baik Glagah Putih maupun Rara Wulan yang pernah berlatih bersama Nyi Lurah itu pada hari-hari terakhir, menganggap bahwa ilmu Sekar Mirah itu sudah cukup memadai. Pada saat-saat Nyi Lurah itu meningkatkan daya tahan tubuhnya pada tataran tertinggi, yang dimatangkan oleh pengaruh ilmu Ki Lurah Agung Sedayu, maka daya tahan Nyi Lurah itu telah berada pada lapisan ilmu kebal meskipun belum sekokoh ilmu kebal Ki Lurah Agung Sedayu sendiri.
Nyi Lurahpun telah mampu melontarkan getar puncak ilmu perguruan Kedung Jati dengan atau tidak dengan tongkat baja putihnya, sebagaimana unsur kewadagannya, terutama inti panasnya api. Namun unsur-unsur yang lainnya akan dapat pula terangkat untuk saling mendukung.
Malampun menjadi semakin dalam. Suasana menjadi semakin hening kecuali di pemakaman. Para prajurit yang bertugas masih sibuk memakamkan kawan-kawan mereka yang gugur. Bahkan Ki Patih Mandarakapun berada di makam pula mendampingi Senapati yang bertugas.
Sementara itu, di perkemahan para Senapati dan prajurit yang esok pagi akan turun ke medan, sedang beristirahat sebaik-baiknya. Besok mereka harus bangun pagi-pagi, mempersiapkan diri, kemudian maju ke medan perang.
Beberapa kelompok prajurit, baik yang berada di induk pasukan maupun yang berada di gelar samping, yang telah beristirahat di hari itu, akan dapat menjadi tenaga yang lebih segar dari kawan-kawannya.
Sementara itu, para prajurit cadanganpun telah diturunkan pula ke medan.
Ketika langit menjadi merah menjelang fajar, maka para prajurit dikedua belah pihak telah mulai mempersiapkan diri. Ada yang menyempatkan diri mandi di sungai. Tetapi ada yang hanya mencuci muka saja. Merekapun kemudian menyempatkan diri untuk makan, agar mereka sempat beristirahat sejenak setelah makan.
Ketika langit menjadi lebih terang, maka para prajurit itupun mulai bergerak ke kesatuan mereka masing-masing.
Pangeran Puger muda serta Pangeran Demang Tanpa Nangkil tetap memimpin gelar di samping gelar pasukan induk yang akan langsung dipimpin oleh Panembahan Hanyakrawati sendiri.
Sejenak kemudian, maka terdengar isyarat yang pertama. Suara sangkakala diatas gumuk kecil disahut oleh gaung bende yang bertahi untuk yang pertama kalinya.
Kedua pasukan yang akan bertempur di medan itupun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mereka telah memeriksa senjata-senjata serta senjata cadangan mereka. Ikat pinggang mereka, pakaian mereka dan ikat kepala mereka serta ciri-ciri keprajuritan serta kesatuan mereka masing-masing.
Jilid 384 KETIKA kemudian terdengar isyarat yang kedua, maka setiap prajuritpun telah bersiap untuk bergerak maju dalam gelarnya masing-masing.
Beberapa saat kemudian, terdengar isyarat ke tiga mengumandang diseluruh medan.
Kedua pasukanpun mulai bergerak. Namun yang agak berbeda adalah pasukan Demak. Demikian mereka mulai bergerak, maka terdengar sorak yang bagaikan mengguncang bukit-bukit.
"Ada apa dengan pasukan Demak," bertanya setiap prajurit Mataram.
Sebenarnyalah yang mula-mula bersorak adalah mereka yang menyebut dirinya murid-murid dari perguruan terbesar di bumi Mataram. Perguruan Kedung Jati.
Pada saat itu, orang yang mengaku pemimpin tertinggi dari perguruan Kedung jati telah memimpin langsung pasukannya. Ki Saba Lintang teluh berada di sisi Kangjeng Adipati sebagai Senapati pengapit bersama Ki Patih Tandanegara.
Sementara itu, orang-orang berilmu tertinggi dari perguruan Kedung Jati berada bersama dengan Ki Saba Lintang pula.
Dalam pada itu, pasukan Mataram telah dipimpin langsung oleh Kangjeng Panembahan Hanyakrawati. Seperti yang sudah dikatakannya, maka Ki Patih Mandar yang tua itu berada di belakang Kangjeng Panembahan, sementara Ki Tumenggung Derpayuda dan Ki Tumenggung Suradigdaya berada disebelah menyebelahnya sebagai Senapati pengapit.
Di perkemahan, Pangeran Singasari yang terluka menjadi sangat gelisah. Meskipun Kangjeng Pangeran Puger sendiri tetap bersikap sebagai seorang kesatria Mataram, namun ada orang-orang disekelilingnya yang dapat saja berbuat licik.
"Mudah-mudahan Ki Tumenggung Derpayuda dan Ki Tumenggung Suradigdaya tidak lengah."
Dalam pada itu, dengan ijin Kangjeng Panembahan Hanyakrawati, maka Ki Lurah Agung Sedayu, Nyi Lurah, Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja berusaha untuk dapat bertemu langsung dengan Ki Saba Lintang.
Pada hari itu, menurut perhitungan Ki Lurah Agung Sedayu, sepeninggal Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer, maka Ki Saba Lintang akan langsung memimpin pasukannya disamping Kangjeng Adipati.
Demikianlah, beberapa saat kemudian, maka kedua pasukan itupun segera bertemu di medan yang luas. Seperti dihari-hari sebelumnya, maka para prajuritpun telah berusaha menghentak lawannya. Pangeran Puger muda dan Pangeran Demang Tanpa nangkil telah memerintahkan pasukan yang membawa busur dan anak panah berada di ujung sapit dalam gelar Sapit Urang mereka. Sementara itu, diujung ekornya, keduanya juga menyiapkan pasukan yang bersenjata busur dan anak panah.
Mereka sejak awal sudah berniat untuk merubah gelar Sapit Urang mereka menjadi gelar Kala Saba. Gelar yang mirip sekali, namun yang kemudian memanfaatkan ekor gelar untuk membuat kejutan dengan langsung menyengat induk pasukan lawan dari samping kepala udang dalam gelar Sapit Urang.
Ketika kedua gelar sebelah menyebelah pasukan induk itu berbenturan dengan pasukan lawan, maka pasukan lawan sudah dikejutkan dengan serangan anak panah justru dari ujung-ujung sapit gelar Sapit Urang.
"Gila orang-orang Mataram," geram Senapati Demak yang memimpin gelar pasukan di lambung medan itu, "kenapa mereka masih sempat bermain-main dalam keadaan yang gawat seperti ini."
Namun sebenarnyalah bahwa permainan pasukan Mataram itu telah menimbulkan korban diantara lawan-lawan mereka. Para prajurit Demak, apalagi para Wiratani yang berada di ujung sayap, harus dengan tangkas mengatasi serangan anak panah yang datang seperti hujan. Para prajurit dari pasukan khusus yang berperisai harus dengan cepat bergeser ke depan untuk melindungi kawan-kawan mereka yang menjadi sangat sibuk menepis anak panah yang meluncur sederas hujan itu dengan senjata-senjata mereka.
Sementara itu, untuk mengimbangi kesibukan diu-jung sayap-sayap gelarnya, maka pasukan Demak itupun telah menghentak lawannya dengan hentakan di pusat gelar mereka. Senepati Demak yang berada di paruh garudanya segera berusaha mengoyak induk gelar pasukan Mataram yang nampak agak lemah.
Namun merekapun terkejut pula. Bahwa dari samping pusat gelar Sapit Urang itu telah muncul sekelompok pasukan pemanah yang dengan serta-merta menghujani pasukan Demak itu dengan anak panah.
"Gila," geram Senapati Demak itu, "mereka menjadikan gelar mereka gelar Kala Saba."
Senapati Demak itupun segera memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk segera bertempur pada jarak dekat.
Pasukan Demakpun kemudian mendesak maju, sehingga kedua pasukan itu benar-benar telah berbenturan.
Pada induk pasukan telah terjadi pertempuran yang sangat sengit. Senjatapun berdentangan beradu, sehingga bunga apipun berloncatan ke udara.
Namun Pangeran Puger yang muda itu, benar benar seorang yang berilmu tinggi. Bersama Senapati pengapitnya, serta ekor gelarnya dalam gelar Kala Saba yang tiba-tiba saja telah menyengat pasukan induk lawan, maka pasukan Mataram itupun setapak-setapak bergerak maju.
Demikian pula gelar yang dipimpin oleh Pangeran Demang Tanpa Nangkil. Pangeran Demang Tanpa Nangkil sendiri telah mengamuk seperti banteng yang terluka. Para Senapati pengapitnya harus menyesuaikan dirinya bersama para prajurit pilihan yang lain.
Di kedua gelar itu, Ki Tumenggung Utara yang bertempur didalam pasukan Pangeran Demang Tanpa Nangkil harus menyesuaikan diri dengan irama perang yang telah ditabuh oleh kedua Pangeran yang masih muda itu.
Namun baik Ki Tumenggung Untara maupun Ki Tumenggung Ranggawira adalah Senapati-senapati yang sudah sangat berpengalaman serta berbekal ilmu yang tinggi, sehingga karena itu, maka pasukan merekapun meskipun setapak demi setapak telah bergerak maju.
Dalam pada itu, pertempuran yang terjadi di induk pasukanpun menjadi semakin sengit, kedua belah pihak telah mengerahkan kekuatan mereka. Dan bahkan Demak telah menggerakkan seluruh pasukan cadangannya. Sepeninggal Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer, sebenarnyalah bahwa Kangjeng Adipati Demak menjadi agak gelisah meskipun pada hari itu, Ki Saba Lintang telah berada diantara pasukannya yang terhitung besar, serta Ki Patih Tandanegara yang disaat-saat terakhir seakan-akan telah terdesak ketepi oleh keberadaan Ki Tumenggung Gending serta Ki Tumenggung Panjer, telah berada di medan itu pula.
Pertempuran kedua pasukan di induk pasukan itu bagaikan benturan antara amuk angin ribut di penghujung musim basah dengan arus angin prahara di permukaan lautan.
Para prajurit pilihan telah mengerahkan kemampuan mereka untuk mendesak lawan.
Dalam pada itu, telah terjadi gejolak disisi kiri gelar Gajah Meta. Senapati yang bagaikan merupakan ujung gading seekor gajah yang sedang mengamuk telah memporak porandakan gigi gelar Cakra Byuha yang sedang berusaha menggilasnya.
Ketika kesulitan itu didengar oleh Panembahan Hanyakrawati, maka iapun segera memerintahkan Ki Tumenggung Derpayuda untuk mengatasinya.
Tetapi langkah Ki Tumenggung Derpayuda itu terhenti, ketika ia bertemu dengan Ki Lurah Agung Sedayu, Nyi Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Terjadi gejolak di medan sebelah kiri induk pasukan ini, Ki Lurah," berkata Ki Tumenggung Derpayuda.
"Kami menunggu saat seperti ini, Ki Tumenggung."
"Maksudmu?" "Seorang penghubung telah memberitahukan, bahwa Ki Saba Lintang dan beberapa orang pemimpin dari mereka yang mengaku dari perguruan Kedung Jati berada di tempat itu. Mereka, dengan kemampuan mereka, telah mengacaukan pasukan Mataram di arah itu. Karena itu maka kami akan pergi ke sana untuk meredamnya. Selain itu, keinginan kami untuk bertemu langsung dengan Ki Saba Lintang, mudah-mudahan dapat terpenuhi."
"Baik. Marilah kita lihat."
"Sebaiknya Ki Tumenggung jangan meninggalkan Kangjeng Panembahan Hanyakrawati."
"Ki Tumenggung Suradigdaya ada bersama Kangjeng Panembahan Hanyakrawati."
"Tetapi sebaiknya Ki Tumenggung Suradigdaya tidak sendiri."
"Baik. Aku akan segera kembali. Tetapi karena aku diperintahkan untuk mengatasi gejolak itu, maka biarlah aku melihat apa yang terjadi. Mungkin benar bahwa ditempat itu telah diamuk oleh Ki Saba Lintang dengan para pemimpin dari perguruan Kedung Jati. Maka demikian, Ki Lurah dan yang lain memasuki arena, aku akan kembali kepada Kangjeng Panembahan Hanyakrawati.
Ki Lurah tidak mengelak lagi. Iapun kemudian bersama dengan Ki Tumenggung Derpayuda pergi ke sisi yang sedang bergejolak itu.
Sebenarnyalah, merekapun kemudian menyaksikan, bagaimana Ki Saba Lintang dan beberapa orang pemimpin dari apa yang mereka sebut perguruan Kedung Jati itu telah memporak porandakan pasukan Mataram. Seorang Senapati Mataram yang memimpin sekelompok prajurit, mengalami kesulitan untuk menghadapi beberapa orang berilmu tinggi dari Kedung Jati bersama sekelompok orang yang meskipun juga mengaku keluarga perguruan Kedung Jati, namun mereka bersumber dari beberapa perguruan yang lain.
"Setan orang-orang itu. Mereka tentu orang-orang yang mengaku dari perguruan Kedung Jati."
"Ya, Ki Tumenggung. Seorang diantara mereka adalah Ki Saba Lintang sendiri."
"Aku akan menghentikannya."
"Ki Tumenggung. Biarlah orang yang mengaku pemimpin perguruan Kedung Jati itu bertemu dengan sesama pemimpin perguruan Kedung Jati."
"Maksud Ki Lurah?"
Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian dengan hati-hati iapun berkata, "Ki Tumenggung. Isteriku adalah salah seorang yang memiliki pertanda kepemimpinan perguruan Kedung Jati yang diterimanya langsung dari gurunya, Ki Sumangkar yang memang merupakan salah seorang pemimpin perguruan Kedung Jati. Karena itu, biarlah isteriku bertemu dengan Ki Saba Lintang yang mengaku sebagai pemimpin perguruan Kedung Jati, namun yang ternyata telah menghimpun berbagai kekuatan yang sekarang dipergunakannya untuk melawan Mataram. Tentu ada kesepakatan antara Ki Saba Lintang dengan Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer, yang bahkan mungkin bagian-bagiannya yang terperinci tidak diketahui oleh Kanjeng Adipati Demak."
Ki Tumenggung Derpayudapun mengangguk-angguk. Namun iapun berkata, "Tetapi aku telah mendapat perintah dari Kangjeng Panembahan Hanyakrawati."
"Kami telah mendapat ijin dari Kangjeng Panembahan Hanyakrawati."
"Ya. Aku juga tahu."
"Karena itu sebaiknya, jangan tinggalkan Kangjeng Panembahan Hanyakrawati. Mungkin Demak mengerahkan semua kekuatannya di sekitar Kangjeng Adipati di Demak."
Ki Tumenggung Derpayuda menarik nafas panjang. Yang bicara kepadanya itu tidak lebih dari seorang Lurah Prajurit. Tetapi pendapatnya itu ternyata memberikan kesan yang dalam bagi Ki Tumenggung Derpayuda.
16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ternyata Ki Tumenggung Derpayuda itu sama sekali tidak merasa tersinggung.
Karena itu, maka Ki Tumenggung itupun kemudian berkata, "Baiklah. Aku serahkan kepada Ki Lurah untuk mengatasi gejolak itu. Mungkin Nyi Lurah mempunyai kepentingan khusus dengan Ki Saba Lintang. Tetapi orang-orang disekitarnya juga memerlukan penanganan."
"Baiklah Ki Tumenggung. Kami akan mencoba melaksanakannya, mengatasi gejolak yang terjadi bersama para Senapati yang berada di lingkungan gejolak itu."
"Berhati-hatilah, Ki Lurah. Aku akan melaporkannya kepada Kangjeng Panembahan. Akupun kemudian akan berada di sisi Kangjeng Panembahan itu bersama Ki Tumenggung Suradigdaya."
Demikianlah, maka Ki Tumenggung Derpayudapun segera kembali untuk mendampingi Kangjeng Panembahan Hanyakrawati yang sedang menghadapi beberapa orang Senapati dari Demak. Keberadaan Ki Tumenggung Derpayuda itupun telah memperingan beban para Senapati yang ada di kitar Kangjeng Panembahan. Sementara itu, Kangjeng Adipati Demak sendiri masih bertempur diantara para Senapatinya. Agaknya Kangjeng Adipati Demak memang menunggu gejolak yang terjadi di bagian samping induk padukannya untuk menyibak pasukan yang rapat pada gelar pasukan Mataram yang bergerak perlahan. Gejolak yang ditimbulkan oleh Ki Saba Lintang memang berhasil menghentil putaran gelar Pasukan Mataram, terutama pada gerak berputar Senapati-senapati yang khusus.
Ki Tumenggung Derpayuda yang kembali ke sebelah Kangjeng Panembahan Hanyakrawatipun kemudian melaporkan bahwa Ki Lurah Agung Sedayu dan Nyi Lurah telah berada di tempat itu.
"Bagus," berkata Panembahan Hanyakrawati, "mudah-mudahan mereka dapat mengatasinya. Nyi Lurah itulah yang sangat berkepentingan dengan Ki Saba Lintang."
"Mudah-mudahan Nyi Lurah itu mampu mengimbangi ilmu orang yang menyebut dirinya pemimpin tertinggi perguruan Kedung Jati itu."
"Bukankah ia berada dalam pengawasan suaminya?"
"Ya, Panembahan. Tetapi bukankah orang yang bernama Ki Saba Lintang itu memiliki ilmu yang sangat tinggi?"
Pembicaraan itupun terputus. Mereka masing-masing harus menghadapi beberapa orang Senapati yang datang melanda induk pasukan Mataram itu bersama sekelompok prajuritnya.
Namun Pasukan Khusus Pengawal Istana dan Pengawal Raja itu dengan sigapnya telah menahan mereka. Sementara itu, Kangjeng Panembahan Hanyakrawati sendiri telah merintis jalan menguak pertempuran yang seru bersama beberapa orang kepercayaannya untuk dapat bertemu langsung dengan Kangjeng Adipati Demak.
Di sebagian sisi pasukan induk itu, Ki Saba Lintang yang menjadi ujung gading gelar Gajah Meta yang garang itu, tiba-tiba saja tertegun. Hatinyapun berdesir ketika ia melihat seorang perempuan yang telah menyibak pertempuran. Beberapa orang yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati itupun terpelanting menepi. Sebatang tongkat baja putih yang berkilat terayun-ayun mengerikan.
"Sekar Mirah," desis Ki Saba Lintang. Bahkan iapun melihat Ki Lurah Agung Sedayu serta dua orang yang ikut memimpin Pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Satu daerah yang beberapa kali telah didatanginya, tetapi tidak pernah dapat dikalahkannya.
Demikianlah, maka Nyi Lurah Agung Sedayu, Ki Lurah, Glagah Putih dan Rara Wulan telah menyibak orang-orang yang berada di sekitar Ki Saba Lintang. Merekalah yang telah menimbulkan gejolak di satu sisi permukaan pasukan induk dari Mataram itu.
"Kita bertemu kembali, Ki Saba Lintang," berkata Sekar Mirah.
"Aku sudah mengira bahwa kau tentu akan mencari aku," sahut Ki Saba Lintang.
"Apakah orang-orangmu tidak mengatakan kepadamu?"
Ki Saba Lintang itu mengerutkan dahinya. Sementara Sekar Mirah berkata selanjutnya. "Aku sudah berpesan kepada mereka yang sempat berpapasan di medan perang, bahwa aku ingin bertemu dengan Ki Saba Lintang."
"Ya. Mereka sudah mengatakannya. Nah sekarang kita sudah bertemu. Apakah kau akan mengeroyokku bersama suamimu dan saudara-saudaramu itu?"
"Tidak. Aku akan bertempur seorang melawan seorang. Suamiku serta saudara-saudaraku akan menjadi saksi. Selain itu, mereka akan mencegah orang-orangmu yang berniat licik. Sementara itu, merekapun bertugas untuk menenangkan gejolak yang terjadi di sisi ini."
"Baiklah. Akupun berharap akan dapat bertempur melawanmu tanpa gangguan orang lain. Tetapi sayang, bahwa kau adalah seorang perempuan. Kenapa kau tidak minta suamimu bertempur melawan aku?"
"Kenapa jika aku seorang perempuan?"
"Sebenarnya aku tidak tertarik untuk bertempur melawan perempuan. Jika aku menang, maka tidak akan ada yang memujiku, karena aku hanya menang terhadap seorang perempuan."
Jantung Sekar Mirah terasa berdesir. Tetapi Sekar Mirahpun menyadari, bahwa Ki Saba Lintang mulai menggelitik perasaannya agar ia menjadi marah dan bahkan kehilangan kendali, sehingga pertarungan yang terjadi kemudian, akan lepas dari segala perhitungan selain didorong oleh gejolak perasaan.
Kesadarannya itulah yang justru telah mengekang Sekar Mirah untuk menjadi lebih berhati-hati, agar ia tidak terperosok ke dalam jebakan jiwani yang dilakukan oleh Ki Saba Lintang.
Sementara itu, Ki Lurah Agung Sedayu berdiri beberapa langkah di belakang Sekar Mirah. Meskipun Ki Lurah percayakan kemampuan Sekar Mirah yang sudah menjadi jauh meningkat, namun jantungnya masih tetap merasa ketegangan yang mencengkam.
Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan telah berusaha untuk meredakan gejolak yang terjadi. Orang-orang yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati yang merasa memiliki ilmu yang tinggi tengah berusaha untuk memporak-porandakan tatanan pasukan Mataram di dalam gelarnya.
Semula para Senapati serta pemimpin kelompok prajurit Mataram sempat terdesak. Namun keberadaan Glagah Putih dan Rara Wulan di arena pertempuran itu telah membuat mereka menjadi semakin mapan. Betapapun orang-orang yang merasa memiliki ilmu yang tinggi di antara mereka yang mengaku murid-murid dari perguruan Kedung Jati, harus mengakui, betapa Glagah Putih dan Rara Wulan justru telah menimbulkan gejolak di antara mereka.
Dalam pada itu, Sekar Mirah yang masih tetap mampu mengendalikan dirinya itupun berkata, "Ki Saba Lintang. Marilah kita lupakan, apakah aku seorang perempuan atau seorang laki-laki. Yang penting adalah, bahwa akupun memiliki tongkat baja putih seperti yang kau miliki. Bahkan aku telah menerima tongkat baja putih ini langsung dari yang berhak. Bukan mencuri sebagaimana tongkat baja putih yang ada di tanganmu."
"Kau tentu tidak tahu, bagaimana aku mendapatkan tongkat baja putihku ini, Sekar Mirah. Tetapi itu tidak penting. Sekarang kita berhadapan di medan perang. Kita akan bertempur untuk membuktikan, siapakah yang terbaik di antara kita. Akupun akan berusaha melupakan apakah kau seorang laki-laki atau seorang perempuan."
"Bagus Ki Saba Lintang. Kita tidak mempunyai waktu banyak. Kita akan segera mulai. "
Ki Saba Lintang justru tertawa. Katanya, "Aku tidak akan memerlukan waktu yang panjang untuk menyelesaikan perlawananmu Sekar Mirah. Pada saat aku berada di Tanah Perdikan waktu itu, mungkin sekali aku akan menjadi silau melihat kau, Agung Sedayu dan saudara-saudaramu itu. Tetapi sekarang tidak lagi. Aku sudah memiliki bekal yang lebih dari cukup untuk menghentikan perlawananmu pada langkah-langkah pertamamu."
"Jika demikian, maka kau tentu seorang yang berilmu sangat tinggi. Tetapi kita masih harus membuktikan, apakah kau sekedar membual atau kau memang benar-benar berilmu sangat tinggi."
"Sekar Mirah. Aku akui bahwa pada waktu itu ilmuku berada di bawah ilmu suamimu. Tetapi sekarang, aku ingin menunjukkan kepadanya, bahwa ilmunya bukan apa-apa lagi bagiku."
Sekar Mirah tidak menjawab lagi. Tetapi iapun segera bergeser setapak.
Ketika Sekar Mirah itu menengadahkan wajahnya ke langit, maka dilihatnya matahari sudah naik lebih dari sepenggalah. Karena itu, maka Sekar Mirahpun telah mengambil sebutir reramuan yang diberikan oleh Agung Sedayu kepadanya. Reramuan yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Kiai Gringsing yang menguasai ilmu pengobatan.
Seperti pesan Agung Sedayu, maka Seknr Mirahpun segera menelan sebutir dari reramuan obat itu.
Seperti pada saat-saat ia menelan reramuan itu sebelumnya, terasa tubuhnya menjadi hangat. Rasa-rasanya darahnya menjadi semakin lamar mrngalir di urat-urat nadinya. Sementara itu, tubuhmu terasa menjadi semakin lentur.
Sesaat kemudian, Sekar Mirahpun telah siap bertempur menghadapi Ki Saba Lintang.
Dalam pada itu, maka pertempuranpun menjadi semakin sengit. Dimana-mana terdengar dentang senjata beradu.
Glagah Putih dan Rara Wulan ternyata tidak dapat tinggal diam menunggui Sekar Mirah yang bertempur melawan Ki Saba Lintang. Mereka mempercayakannya kepada Ki Lurah Agung Sedayu yang mempertalikan pertempuran itu dengan seksama. Ki Lurah Agung Sedayu dengan waspada memperhatikan, tidak hanya mereka yang bertempur, tetapi juga orang-orang yang bertempur di sekitarnya.
Ketika Ki Saba Lintang telah terikat dalam pertempuran melawan Sekar Mirah, serta keberadaan Glagah Putih dan Rara Wulan di lingkaran pertempuran itu, maka gejolakpun segera mereda. Para Senopati Mataram serta para prajurit yang berada di lingkaran pertempuran itu tidak lagi mengalami banyak kesulitan. Glagah Putih dan Rara Wulan yang berilmu sangat tinggi itupun berhasil meredam amuk orang-orang yang mengaku para pemimpin dari perguruan Kedung Jati.
Tiba-tiba saja seseorang telah meloncat langsung menghadapi Rara Wulan sambil menggeram. "Aku pernah melihatmu, genduk."
Rara Wulan terkejut. Iapun segera meloncat surut.
Tetapi Rara Wulan pun segera mengenali orang itu. Orang itu ada diantara mereka yang bertempur melawan pasukan khusus Mataram yang melindungi kelima orang utusan pada saat mereka menghadap Kangjeng Adipati di Demak.
"Kau yang pernah bermimpi untuk merampas tongkat baja putih mbokayu Sekar Mirah."
"Ya." "Nah, lihat. Mbokayu Sekar Mirah sekarang berhadapan langsung dengan orang yang mengaku sebagai pemimpin tertinggi dari perguruan Kedung Jati. Apakah kau masih tetap menginginkan tongkat baja putih itu" Jika kau masih menginginkannya, usir Ki Saba Lintang dan ambil alih mbokayu Sekar Mirah."
"Persetan kau perempuan iblis. Lidahmu benar-benar beracun. Tetapi kau tidak akan dapat meninggalkan arena pertempuran itu. Hari ini aku tidak ingin merampas tongkat baja putih itu, karena hal itu akan dilakukan sendiri oleh Ki Saba Lintang. Tetapi aku akan memotong lidahmu yang beracun itu. Aku ingin tahu, apakah kau dapat hidup tanpa lidahmu?"
Rara Wulan tertawa. Katanya, "ternyata kau suka bercanda Ki Sanak. Jika kau ingin melihat apakah aku dapat hidup tanpa lidahku, aku justru ingin melihat, apakah kau juga dapat hidup tanpa kepalamu."
"Kau benar-benar anak iblis," geram orang itu, "bersiaplah. Aku benar-benar akan memotong lidahmu."
Rara Wulan tersenyum. Namun iapun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Demikianlah, maka keduanyapun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Orang yang berniat merampas tongkat baja putih Sekar Mirah itu merasa bahwa sulit baginya untuk mengimbangi ilmu perempuan yang bersenjata tongkat baja putih itu. Tetapi ia merasa, bahwa ia akan dapat dengan segera menguasai perempuan yang masih terlihat muda itu.
Tetapi orang itupun terkejut ketika di antara mereka mulai terjadi benturan-benturan. Ternyata tenaga Rara Wulan jauh melampaui dugaannya. Demikian pula kecepatannya bergerak.
Karena itu, maka orang itupun tidak lagi mau bermain-main dengan taruhan yang sangut mahal. Iapun kemudian telah mencabut senjata pusakanya. Senjata yang diandalkannya bukan saja karena kokoh dan tajamnya melampaui tajamnya pisau penyukur kumis dan janggut, tetapi orang itu percaya, bahwa ada semacam tenaga ajaib yang ada di dalam pusakanya itu yang dapat melindunginya, sekaligus mempunyai pengaruh yang sangat buruk bagi lawannya.
"Aku hampir tidak pernah mencabut kerisku ini," geram orang itu.
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Keris itu seakan-akan memang memancarkan cahaya kemerah-merahan.
"Keris ini adalah keris pusaka turun-temurun yang saat ini berada di tanganku. Perempun iblis. Nasibmu adalah nasib yang sangat buruk. Kekuatan dan kemampuanmu akan segera dihisap oleh kerisku ini, sehingga kau tidak akan berdaya lagi untuk melawanku. Dengan mudah aku dapat membunuhmu atau memperlakukanmu sekehendak hatiku. Misalnya, memotong lidahmu."
Namun Rara Wulan itupun kemudian tertawa. Katanya, "Ki Sanak. Kita adalah makhluk yang menguasai bumi yang gumelar ini seisinya, termasuk kerismu itu.
Jika kerismu itu mempunyai kuasa yang hadir di dalamnya, tentu juga karena pengaruh makhluk seperti kita yang membuat keris itu. Tetapi seberapapun tinggi kuasa benda-benda seperti kerismu itu, namun kuasanya tidak akan dapat mengalahkan kuasa makhluk seperti kita yang disebut manusia."
"Tutup mulutmu."
"Karena itu, maka pengaruh kuasa kerismu itu tidak akan dapat melampaui kuasaku. Sehingga dengan demikian, maka kerismu itu tidak akan berarti apa-apa tanpa kau sendiri berbuat sesuatu. Nah, apapun senjatamu yang berhadapan dalam perang ini adalah kau dan aku. Kau bersenjata keris dan akupun akan mempergunakan senjataku."
Rara Wulanpun kemudian mengurai selendangnya. Kemudian memutar sebelah ujungnya.
"Marilah Ki Sanak. Pusakamu atau pusakaku yang akan lebih berkuasa."
Orang itu menggeram. Ia menjadi sangat marah. Perempuan itu ternyata telah meremehkan pusakanya yang bertuah itu.
Bahkan Rara Wulan itupun kemudian berkata, "Ki Sanak. Sebenarnya aku akan lebih ngeri melihat kau mempermainkan golokmu yang besar dan panjang itu. Golok yang juga kau anggap sebagai pusakamu itu."
"Perempuan iblis," geram orang itu, "keris ini memang jauh lebih kecil dari golokku itu. Tetapi keris ini yang nanti akan dapat mengantarkan nyawamu ke alam langgeng."
"Alam langgeng" Apa yang kau maksud dengan alam langgeng."
"Kau benar-benar iblis yang tidak mengenal alam langgeng."
"Bukan begitu. Aku justru menjadi heran, bahwa kau masih juga menyebut alam langgeng. Sebenarnya kau percaya atau tidak dengan alam langgeng" Jika kau menyebut dan percaya pada alam langgeng, kenapa kau sama sekali tidak mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk memasuki alam langgeng itu" Kenapa kau justru melakukan perbuatan-perbuatan yang sama sekali tidak menuju ke alam langgeng itu dalam kesempurnaannya."
Orang itu tertawa. Katanya, "Persetan dengan pemahamanmu yang berbelit-belit itu. Sekarang, aku akan membunuhmu dengan kerisku yang jauh lebih berbahaya bagimu daripada golokku yang besar itu."
"Bagus. Lakukan apa yang akan kau lakukan. Aku akan menari di hadapanmu dengan selendangku."
Demikianlah, maka keduanyapun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Orang yang bersenjata keris pusakanya itu menyangka bahwa dengan kerisnya ia akan dapat memotong selendang lawannya. Tetapi dugaannya salah. Ketika ia berhasil menebas selendang Piara Wulan yang sedang meluncur menyambarnya, ternyata selendang itu tidak tersangkut dan terlepas dari tangannya. Untunglah orang itu cepat menggenggam hulu keris itu. Meskipun tangannya menjadi panas, tetapi ia masih mampu menyelamatkan kerisnya.
Orang itu mengumpat kasar. Namun kemudian iapun berloncatan dengan garangnya menyerang Rara Wulan dari segala arah.
Tetapi kembali orang itu terkejut. Rara Wulanpun mampu mengimbangi kecepatan geraknya. Bahkan selendangnya yang berputaran itu telah berhasil mematuk lambungnya.
Orang itu menyeringai menahan sakit sambil meloncat mundur mengambil jarak. Selendang yang mematuk itu terasa bagaikan ujung tongkat besi yang terjulur mengenai lambungnya itu.
"Gila perempuan itu. Ia masih terhitung muda. Tetapi ilmunya telah membuatku menjadi gelisah."
Sebenarnyalah sulit bagi orang itu mengimbangi ilmu Rara Wulan. Betapapun ia mengerahkan kemampuannya sampai ke puncak, namun perempuan yang masih muda itu ilmunya memang sangat tinggi.
"Aku tidak mempunyai pilihan lain," berkata orang itu, "aku harus membinasakannya dengan Aji Pamungkasku. Aji Lapak Naga."
Dalam keadaan yang semakin terdesak, maka orang itupun telah meloncat mengambil jarak. Iapun segera memusatkan nalar budinya, mengetrapkan Aji Lapak Naga. Kerisnya yang seakan-akan bercahaya kemerahan itupun diangkatnya di depan wajahnya. Kedua belah tangannya memegangi hulu keris itu, seakan-akan keris itu akan melepaskan diri dari genggamannya.
Sejenak kemudian, maka orang itu dengan satu hentakan telah menjulurkan kerisnya. Ujungnya mengarah ke dada Rara Wulan.
Namun pada saat yang bersamaan, Rara Wulan telah melepaskan ilmunya, Aji Namaskara.
Ketika dari ujung keris itu seakan-akan meluncur sinar yang kemerah-merahan, maka dari telapak tangan Rara Wulan telah meluncur seleret sinar yang hijau kebiru-biruan. Dua kekuatan ilmu yang tinggi itupun kemudian saling berbenturan dengan dahsyatnya, sehingga medan pertempuran itu seakan-akan telah diguncang.
Rara Wulan tergetar beberapa langkah surut. Namun Rara Wulan itu masih tetap saja berdiri tegak.
Ternyata selisih kekuatan ilmu mereka, terpaut agak jauh. Orang yang bersenjata keris itu terpelanting beberapa langkah. Tubuhnya terbanting jatuh ke tanah. Seisi dadanya rasa-rasanya telah runtuh oleh getar benturan kekuatan ilmu mereka.
Rara Wulan masih berdiri tegak sambil memandangi tubuh orang yang terbaring diam itu. Beberapa orangpun kemudian berlarian mendekatinya. Merekapun kemudian berlutut di sisinya, sedangkan tiga orang yang lain berdiri dengan tombak pendek yang teracu.
Dari antara mereka yang berjongkok di sisi orang terbaring itu, Rara Wulan mendengar ia memanggil, "Ki Naga Tengara. Ki Naga Tengara."
Tetapi orang yang dipanggil Ki Naga Tengara itu sama sekali tidak bergerak.
Beberapa orang itupun kemudian telah mengusung tubuh Ki Naga Tengara itu ke belakang garis pertempuran.
Ketika Ki Saba Lintang yang masih bertempur dengan sengitnya melawan Sekar Mirah, maka gejolak kematian Ki Naga Tengara itu dirasakannya. Seorang penghubungpun kemudian datang memberikan laporan kepadanya, bahwa seorang Senapati telah terbunuh.
Ki Saba Lintang itu meloncat surut untuk mengambil jarak. Sekar Mirahpun sengaja tidak memburunya, karena sebenarnyalah ia juga ingin tahu, siapakah yang terbunuh.
"Siapa ?" bertanya Ki Saba Lintang.
Penghubung itupun mendekatinya sambil berkata perlahan, "Ki Naga Tengara."
"Ki Naga Tengara?"
"Ya, Si Saba Lintang."
Ki Saba Lintang itupun menggeram. Ki Naga Tengara adalah salah seorang senapati terpilihnya. Bahkan Ki Naga Tengara pernah menyatakan kesediaannya untuk mengambil tongkat baja putih yang satu lagi dari tangan perempuan yang kini bertempur melawannya.
Namun ternyata Ki Naga Tengara telah terbunuh.
"Siapa yang membunuhnya?" bertanya Ki Saba Lintang.
"Seorang perempuan yang masih terhitung muda. Ia telah bertempur melawan Ki Naga Tengara dan membunuhnya."
"Setelah membunuh perempuan yang membawa tongkat baja putih tiruan ini, biarlah aku membunuhnya."
"Kau sebut tongkat bajaku ini tiruan?" sahut Sekar Mirah.
"Lalu harus ku sebut apa?"
"Bagus. Jika demikian, kita akan melihat, apakah tongkat baja tiruan ini akan dapat meretakkan tulang tengkorakmu."
Ki Saba Lintangpun menggeram, sementara Sekar Mirahpun berkata, "Ki Saba Lintang. Bagaimanapun juga orang-orangmu telah terbunuh satu demi satu dalam perang ini. Karena itu, kau tidak akan mempunyai kesempatan lagi. Demikian pula Kangjeng Adipati Demak. Sepeninggal Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer, maka tidak ada lagi kekuatannya."
"Omong kosong. Masih ada aku dan Ki Patih Tandanegara. Masih ada beberapa Tumenggung yang berilmu tinggi dari Demak serta para pemimpin dari perguruanku. Sementara itu jumlah pasukanku masih melimpah dibanding para prajurit Mataram yang semakin lama menjadi semakin sedikit jumlahnya."
Sekar Mirah tertawa. Katanya, "Kau mencoba untuk membesarkan hatimu sendiri. Setiap orang di medan pertempuran ini menyadari, bahwa pasukan Demaklah yang susut begitu cepat. Lebih-lebih pada hari ini. Pada saat Kangjeng Panembahan Hanyakrawati sendiri yang menjadi Senapati Agung Pasukan Mataram."
"Persetan kau perempuan iblis," geram Ki Saba Lintang sambil meloncat menyerang.
Tetapi Sekar Mirah sudah siap sepenuhnya, sehingga ayunan tongkat baja putih Ki Saba Lintang yang mengarah ke pelipisnya, telah ditangkisnya, sehingga terjadi benturan yang sangat keras. Telapak tangan kedua orang itupun terasa menjadi panas pada saat mereka mempertahankan tongkat mereka agar tidak terloncat dari genggaman.
Demikianlah mereka berduapun telah terlibat kembali dalam pertempuran yang sengit. Kedua belah pihak memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga pertempuran di antara merekapun telah membuat para prajurit dari kedua belah pihak serta para murid dari perguruan Kedung Jati itupun menyibak.
Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan telah terlibat kembali dalam pertempuran melawan para Senapati Demak serta mereka yang mengaku pemimpin dari perguruan Kedung Jati. Namun para Senapati dari Matarampun telah melibas lawan-lawan mereka pula, sehingga ketika terjadi gejolak, maka pasukan Demaklah yang telah terguncang.
Demikianlah, maka pertempuran pun semakin lama menjadi semakin dahsyat. Kedua belah pihak berusaha untuk dapat mendesak lawan-lawannya.
Sementara itu, Pangeran Puger muda yang garang itupun telah berhasil beringsut maju setapak demi setapak. Sedangkan Pangeran Demang Tanpa Nangkilpun berusaha pula untuk menguasai medan. meskipun ia agaknya mengalami kesulitan. Tetapi prjurit-prajuritnya adalah prajurit yang berpengalaman tinggi. Akhirnya, pasukannyapun mampu beringsut pula meskipun sangat perlahan.
Di induk pasukan, masih saja terasa gejolak yang terjadi di sekitar arena pertempuran antara Ki Saba Lintang melawan Sekar Mirah yang selalu diamati oleh Ki Lurah Agung Sedayu. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan bersama para Senapati Mataram yang lain berusaha untuk menggilas pasukan Demak yang terdiri dari para prajurit, para Wiratani serta mereka yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati.
Sementara itu di sisi lain di induk pasukan itu, Ki Patih Tandanegara yang mengamuk seperti harimau terluka telah berhadapan dengan Ki Tumenggung Suradigdaya.
Sementara itu Kangjeng Adipati Demak sendiri bertempur dengan garangnya. Siapapun yang berani mendekatinya, segera disapunya dengan tombak pendek pusakanya. Para prajurit dan para Senapati dari Mataram sangat mengalami kesulitan untuk mendekatinya. Selain Kangjeng Adipati Demak sendiri, maka para pengawalnya yang terpercaya telah mengamuk menyapu medan.
Kangjeng Panembahan Hanyakrawati akhirnya merasa perlu untuk langsung berhadapan dengan Kangjeng Adipati Demak yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Para prajurit dan Pasukan Khusus Pengawal Raja telah membuka jalan, menyibak para pengawal Kangjeng Adipati Demak, sehingga Kangjeng Panembahan Hanyakrawatipun dapat langsung berhadapan dengan Kangjeng Adipati di Demak.
"Kau Dimas," geram Kangjeng Adipati Demak.
"Aku sengaja berniat menjumpai kangmas Adipati di medan pertempuran ini."
Wajah Kangjeng Adipati Demak itu menjadi tegang. Dengan nada berat Kangjeng Adipati itu berkata, "Dimas. Sebaiknya Dimas menghindar agar tidak langsung bertemu dengan aku di arena pertempuran ini."
"Kenapa Kangmas. Kangmas adalah Senapati Agung dari Demak, dan aku adalah Senapati Mataram. Bukankah wajar kalau kita bertemu dalam arena pertempuran ini."
"Tetapi apakah mungkin terjadi, bahwa kita akan bertempur di medan ini?"
"Aku berharap, mudah-mudahan tidak terjadi, Kangmas."
"Karena itu, minggirlah Dimas Panembahan. Aku akan menghadapi semua Senapati dari Mataram yang maju ke medan perang ini. Sedangkan Dimas harus menghadapi para prajurit Demak yang lain."
"Bukankah pada akhirnya kita juga akan berjumpa Kangmas."
"Belum tentu Dimas. Jika perjalananmu terhenti oleh Senapatiku, baik prajurit Demak maupun dari lingkungan murid perguruan Kedung Jati, maka kita tidak bertemu."
Kangjeng Panembahan Hanyakrawati mengangguk-angguk, "Atau mungkin dapat terjadi sebaliknya, Kangmas. Jika Kangmas gagal melampaui para Senapatiku, maka Kangmaspun akan terhenti."
"Karena itu, biarlah kami berselisih jalan, Dimas."
"Tidak, Kangmas. Aku sengaja menemui Kangmas. Persoalan ini sebenarnya adalah persoalanku dengan Kangmas Pangeran. Kangmas merasa berhak untuk menduduki tahta Mataram karena Kangmas merasa lebih tua dari aku. Sedangkan aku, meskipun 1ebih muda, tetapi kebetulan aku dilahirkan oleh permaisuri Mataram. Karena itu, maka seharusnya kitalah yang akan menyelesaikan persoalan di antara kita. Jika salah seorang di antara kita sudah mati, maka tidak akan ada lagi yang berebut."
"Belum tentu. Kita mempunyai saudara cukup banyak. Mungkin beberapa orang Pangeran yang lain juga merasa berhak atas tahta Mataram."
"Jadi menurut Kangmas?"
"Aku akan menghancurkan Mataram. Jika aku berhasil, maka tidak akan ada lagi yang akan berani melawanku, karena aku tentu akan mematahkan perlawanannya."
"Mungkin Kangmas. Tetapi sekarang ini pusat daripada perselisihan ini adalah aku dan Kangmas Pangeran Puger. Jika salah seorang dari kita sudah kalah, maka peperangan akan selesai. Dimas Pangeran Puger muda serta Dimas Pangeran Demang Tanpa Nangkil tidak akan berbuat apa-apa lagi. Demikian pula paman Pangeran Singasari yang sekarang terluka."
"Tetapi sekali lagi aku peringatkan Dimas, minggirlah, agar kita tidak bertarung di medan pertempuran ini."
"Korban sudah terlalu banyak Kangmas. Pertarungan antara kita akan mengakhiri perang. Siapapun yang menang dan siapapun yang kalah. Setiap malam kita tidak perlu lagi memakamkan anak-anak terbaik kita yang gugur. Salah seorang dari kitalah yang akan dimakamkan pada upacara yang terakhir."
"Baik. Baik. Agaknya kau lebih senang bertarung daripada menghindar, sehingga perang antara Demak dan Mataram akan segera berakhir, siapapun yang menang dan siapapun yang kalah."
"Sebenarnya aku juga tidak menginginkan kita bertemu dalam pertarungan antara hidup dan mati. Tetapi setelah mendapat peringatan dari banyak pihak, Kangmas masih tetap pada pendirian Kangmas, maka aku tidak melihat jalan lain untuk mempercepat berakhirnya perang ini. Hari ini pasukan Demak telah dilanda kekalahan demi kekalahan. Pasukan yang dipimpin oleh Dimas Pangeran Puger muda, telah mendapat kemajuan yang pesat. Sedangkan kemajuan dari pasukan yang dipimpin oleh Dimas Pangeran Demang Tanpa Nangkil memang agak lamban. Namun pasti, pasukannya juga mendapat kemajuan. Sementara itu, Senapati pengapitmu yang kau banggakan, Ki Saba Lintang telah mendapat lawannya yang sepadan. Sedangkan Ki Patih Tandanegara juga sudah terikat dalam pertempuran. Para Senapati Mataram di segala sudut pertempuran ini semakin menguasai keadaan, sehingga para Senapati dari Demak tidak mendapat tempat lagi."
"Itu hanyalah angan-anganmu saja Dimas. Tetapi kenyataannya sangat jauh berbeda. Ki Saba Lintang telah membunuh lawan-lawannya. Ia bertempur seperti membabat batang ilalang dengan parang yang tajamnya tujuh kali pisau penyukur."
"Baiklah. Aku atau Kangmas yang bermimpi." Keduanyapun kemudian segera bersiap. Ketika Kangjeng Pangeran Puger merundukkan tombak pendeknya, maka Kangjeng Panembahan Hanyakrawati telah mengacungkan senjatanya pula. Sebatang canggah dengan landean sepanjang landean tombak bertangkai pendek.
Dengan demikian, maka kedua orang Senapati Agung itupun telah bertempur dengan mempergunakan senjata yang lebih panjang dari pedang.
Kangjeng Pangeran Puger memang menjadi agak berdebar melihat canggah bermata rangkap di tangan Kangjeng Panembahan Hanyakrawati. Namun Pangeran Puger sendiri adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Namun Kangjeng Panembahan Hanyakrawatipun adalah seorang yang sudah tuntas mempelajari berbagai macam ilmu. Karena itu, maka pertempuran di antara merekapun merupakan pertempuran yang sangat seru. Senjata mereka berputaran seperti baling-baling. Terayun mendatar, menebas dan sekali-sekali mematuk seperti ular.
Para prajurit dari Demak dan Mataram, tanpa mereka sadari telah menyibak. Mereka memberikan tempat yang lebih leluasa kepada keduanya untuk berperang tanding.
Namun para prajurit dari Pasukan Khusus Pengawal Raja tetap berhati-hati mengawasi keadaan. Tidak boleh terjadi sebagaimana Pangeran Singasari yang telah diserang dengan licik oleh para Senapati Demak. Tetapi mereka yakini bahwa Kangjeng Pangeran Puger sendiri, adalah seorang yang tetap berpegang teguh pada sifat dan sikap seorang kesatria, sehingga tidak akan berbuat licik. Tetapi tidak semua Senapati Demak mempunyai sifat sebagaimana Kangjeng Pangeran Puger sendiri.
Benturan-benturan senjatapun telah terjadi. Namun pertahanan keduanyapun demikian rapatnya, sehingga sulit bagi mereka untuk mendapatkan lubang seujung rambut sekalipun.
Tanah tempat mereka bertarung telah teraduk bagaikan baru saja di bajak. Debu berhamburan, sehingga udarapun menjadi muram.
Di langit matahari merangkak perlahan-lahan. Sekali-sekali awan melintas menutup wajah matahari yang cemas menyaksikan dua orang ksatria yang berilmu sangat tinggi bertempur di antara perang yang dahsyat antara prajurit Mataram dan prajurit Demak.
Namun sebenarnyalah, bahwa Pangeran Puger muda yang memimpin pasukan Mataram yang berada di lambung barisan, telah semakin mendesak lawannya. Prajurit Demak mengalami sedikit kesulitan ketika Pangeran Puger itu dengan garangnya langsung bertempur di kepala gelar pasukannya.
"Aku sudah mulai jemu dengan perang yang tidak berkesudahan ini," geram Pangeran Puger muda.
Sementara itu, Pangeran Demang Tanpa Nangkilpun telah menemukan landasan yang mapan. Pasukannyapun bergerak maju meskipun tidak secepat gerak pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Puger muda. Namun kemajuan Pangeran Demang Tanpa Nangkil ternyata berpengaruh pula atas pasukan induk kedua belah pihak.
Serangan-serangan Kangjeng Panembahan Hanyakrawatipun semakin lama menjadi semakin sengit. Beberapa kali canggahnya yang bercabang itu telah menyentuh tubuh Kangjeng Adipati Demak. Tetapi perlawanan Kangjeng Adipati Demak itu masih tetap berbahaya bagi Kangjeng Panembahan Hanyakrawati.
Di lingkaran pertempuran yang lain, Ki Saba Lintang telah bertempur dengan garangnya melawan Sekar Mirah. Tongkat baja putih di tangan merekapun terayun-ayun mengerikan. Sekali-kali kedua tongkat baja putih itupun telah beradu dengan dahsyatnya, sehingga bunga api yang terloncat bagaikan bayangan kilat yang menyambar-nyambar.
Di sekitar Ki Saba Lintang dan Sekar Mirah yang sedang bertarung antara hidup dan mati itupun pertempuran seakan-akan telah menyibak. Para prajurit Demak masih saja sibuk bertempur melawan prajurit Mataram. Demikian pula mereka yang mengaku murid-murid dari perguruan Kedung Jati. Sedang para Wiratani yang diambil dari antara para petani di padukuhan-padukuhan yang terlibat dalam pertempuran itu, hatinya telah menyusut. Mereka yang hanya mengalami latihan-latihan perang sekadarnya, melihat betapa para prajurit bertempur dengan mengerahkan kemampuan mereka.
Berbeda dengan para petani yang dihimpun dari sekitar Gunung Kendeng serta daerah-daerah di sekitarnya, para petani yang tergabung dalam Pasukan Pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh, telah memiliki bekal sebagaimana seorang prajurit.
Para petani dari sekitar Gunung Kendeng yang disertakan dalam pasukan Demak, baru sempat berlatih beberapa lama. Mereka belum berpengalaman sama sekali menghadapi perang yang sebenarnya. Meskipun mereka mampu dan bahkan nampak terampil memamerkan perang gelar dalam latihan-latihan yang besar, tetapi dalam pertempuran yang sebenarnya jantung mereka masih bergetar. Di dalam pertempuran yang sebenarnya mereka melihat tubuh-tubuh yang terbaring memancarkan darah dari luka-lukanya. Wajah-wajah yang geram membayangkan kemarahan serta muka-muka yang kecut dan ketakutan, berbaur menjadi satu.
Ternyata Glagah Putih dan Rara Wulan yang berada di antara para Senapati Mataram telah berhasil mengacaukan sisi gelar induk pasukan Demak. Para Senapati Demak serta para pemimpin dari mereka yang mengaku murid-murid perguruan Kedung Jati, telah bergejolak. Ternyata mereka yang mengaku murid-murid dari perguruan Kedung Jati telah menjadi bingung ketika mereka melihat seorang perempuan yang bersenjatakan selendang mampu menunjukkan ciri-ciri dari aliran Kedung Jati yang sebenarnya.
Sementara itu, di sisi yang lain, Ki Patih Tandanegara ternyata mengalami kesulitan ketika Ki Tumenggung Ranadigdaya semakin meningkatkan kemampuannya. Sehingga karena itu, maka Ki Tandanegarapun telah memberikan isyarat kepada para Senapati pengawalnya untuk melibatkan diri dalam pertempuran itu.
Namun para Senapati Mataram dalam pasukan Ki Tumenggung Ranadigdaya itupun tanggap pula, sehingga dengan cepat merekapun telah berada di sebelah menyebelah Ki Tumenggung Ranadigdaya.
Demikianlah, maka gelar Gajah Meta di induk pasukan Demak itu telah terguncang-guncang. Sementara itu, induk pasukan Mataram telah menghentikan putaran gelarnya.
Dalam pada itu, mengingat keseluruhan pertempuran di induk pasukan, maka masing-masing harus menghentakkan kekuatan.
Dalam keadaan yang gelisah itu, seorang peng hubung telah mendekati arena pertempuran antara Kangjeng Adipati Demak melawan Kangjeng Panembahan Hanyakrawati. Dengan lantang penghubung itu berteriak, "Ki Patih Mandaraka minta ijin untuk merubah gelar dari Gelar Cakra Byuha menjadi gelar Wulan Tumanggal."
Kangjeng Panembahan Hanyakrawati yang mengetahui, wawasan Ki Patih serta pengalaman yang sangat luas, tidak berpikir panjang. Sambil meloncat memutar canggahnya, Kangjeng Panembahan Hanyakrawati itupun menyahut, "Lakukan."
Penghubung itupun segera berlari kembali menghadap Ki Patih Mandaraka, yang kemudian melalui para Senapati penghubung telah memerintahkan atas nama Kangjeng Panembahan Hanyakrawati yang .memegang kendali seluruh pasukan Mataram, merubah gelar Cakra Byuha yang karena suasana medan tidak memungkinkan untuk berputar, menjadi gelar Wulan Tumanggal.
Perubahan itu memang menimbulkan geseran-geser-an yang agak tajam. Namun ternyata bahwa para Senapati Mataram dengan trampil telah bergerak dengan cepat, mengatur pasukannya sehingga dalam waktu tidak terlalu lama, gelar Cakra Byuha itu telah berubah menjadi gelar yang lebih lebar dan lengkung. Gelar Wulan Tumanggal.
Namun induk pasukan Mataram yang sedang berubah itu telah terdesak mundur beberapa langkah. Ternyata para Senapati Demak cepat mengambil langkah. Mereka memanfaatkan perubahan yang sedang terjadi di induk pasukan Mataram, sehingga mereka berhasil mendesak gelar Wulan Tumanggal itu surut. Tetapi para Senapati Demak itu tidak berhasil memecahkan gelar yang sedang berubah itu.
Kangjeng Panembahan Hanyakrawati dan Kangjeng Adipati Demak, seakan-akan tidak terpengaruh oleh perubahan yang sedang terjadi. Mereka masih saja bertempur seorang melawan seorang. Ayunan senjata mereka yang terhitung agak panjang, telah menimbulkan desir angin yang semakin lama semakin keras, sehingga kemudian kedua senjata Senapati Agung dari Mataram dan Senapati Agung dari Demak itu seakan-akan telah menimbulkan angin pusaran yang keras. Debupun membubung tinggi. Bahkan kemudian dedaunan kering yang terhampar di arena telah ikut berterbangan pula. Pepohonan yang ada disekitar arenapun telah terguncang serta ranting-rantingnya berpatahan.
Pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin dahsyat. Pada saat-saat keduanya meningkatkan ilmunya semakin tinggi, maka udarapun rasa-rasanya menjadi semakin panas.
Ternyata beberapa puluh langkah dari arena yang mendebarkan itu, bagaikan telah tertiup prahara pula. Ki Saba Lintang yang telah mengerahkan kemampuannya, membentur kemampuan Sekar Mirah yung telah meningkatkan ilmunya sehingga tuntas.
Dua batang tongkat baja putih yang berputaran disekitar tubuh mereka masing-masing bagaikan awan putih yang bergumpal menyelubungi tubuh mereka itu. Meskipun awan putih itu tembus pandang, namun seakan-akan udarapun tidak dapat menembusnya.
Setiap kali tongkat baja putih mereka membentur gumpalan-gumpalan awan itu sehingga terdengar suaranya berdentangan serta bunga apipun berhamburan.
Namun akhirnya keseimbangan diantara keduanya-pun mulai berguncang ketika tongkat baja putih Sekar Mirah mulai menguak pertahanan Ki Saba Lintang dan menyentuh lengannya.
Ki Saba Lintangpun terkejut. Sentuhan itu rasa-rasanya bagaikan hentakkan yang meretakkan tulang-tulangnya.
Karena itu, maka Ki Saba Lintang itupun meloncat surut beberapa langkah untuk mengambil jarak. Kemudian dirabanya lengannya yang telah tersentuh tongkat baja putih Sekar Mirah untuk meyakinkan, apakah lengannya itu benar-benar telah tersentuh tongkat baja putih lawannya.
Sebenarnyalah, usapan tangan yang perlahan itu terasa bagaikan himpitan yang sangat menyakitkan pada tulangnya yang seakan-akan telah retak.
"Gila kau perempuan iblis," geram Ki Saba Lintang.
Sekar Mirah, berdiri termangu-mangu. Namun ia sudah siap menghadapi kemungkinan yang paling buruk sekalipun.
Dengan kemarahan yang membakar jantungnya, Ki Saba Lintangpun kemudian telah meloncat sambil mengayunkan baja putihnya kearah ubun-ubun Sekar Mirah. Tetapi Sekar Mirahpun segera menyilangkah tongkat Baja Putihnya diatas kepalanya sehingga tongkat baja putih Ki Saba Lintang membentur tongkat Sekar Mirah. Namun Ki Saba Lintang bergerak cepat sekali. Tongkatnya itu bagaikan menggeliat, kemudian terayun mendatar kearah lambung.
Sekali lagi Sekar Mirah membenturkan tongkatnya menangkis serangan Ki Saba Lintang. Bahkan kemudian Sekar Mirahlah yang memutar tongkatnya, kemudian mematuk dengan cepat mengarah ke dadanya.
Ketika Ki Saba Lintang mengelak, maka Sekar Mirahpun menarik tongkatnya. Namun kemudian tongkat itu menebas mendatar dengan cepatnya.
Ki Saba Lintang dengan cepat pula meloncat surut, sehingga tongkat baja Sekar Mirah tidak mengenainya.
Tetapi pada saat yang bersamaan, tongkat Ki Saba Lintanglah yang terayun dengan derasnya mengarah ke kening.
Sekar Mirah sempat merendah. Pada saat tongkat Ki Saba Lintang terayun diatas kepalanya, Sekar Mirah justru menjulurkan tongkatnya.
Ki Saba Lintang terkejut. Dengan cepat iapun meloncat surut menghindari patukan tongkat Sekar Mirah. Namun tongkat Sekar Mirah yang mematuk ke arah lambung itu lebih cepat dari loncatan Ki Saba Lintang, sehingga ujung tongkat baja putih Sekar Mirah itu telah menyentuh lagi tubuh Ki Saba Lintang di lambungnya.
Ki Saba Lintang menyeringai menahan sakit. Sekali lagi ia meloncat mengambil jarak sambil berdesah tertahan.
Sekar Mirah tidak memberinya waktu. Dengan cepat pula Sekar Mirah meloncat memburunya sambil mengayunkan tongkatnya. Tetapi Ki Saba Lintang berhasil menghindari ayunan tongkat Sekar Mirah. Bahkan Ki Saba Lintanglah yang kemudian mengayunkan tongkatnya pula.
Sekar Mirah sempat menangkis tongkat Ki Saba Lintang. Namun ayunan yang deras itu masih saja menyentuh bahu Sekar Mirah.
Sekar Mirahlah yang kemudian meloncat surut. Bahunya terasa sakit sekali. Rasa-rasanya tongkat baja Ki Saba Lintang itu langsung menyentuh tulangnya.
Demikianlah, maka pertempuran antara keduanya semakin lama menjadi semakin sengit. Beberapa orang yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati, menjadi sangat berdebar-debar. Ternyata ilmu dari perguruan Kedung Jati itu jauh lebih rumit daripada apa yang dikenalnya meskipun ia mengaku murid dari perguruan Kedung Jati.
Namun akhirnya Ki Saba Lintang yang mulai merasa bahwa tingkat kemampuan Sekar Mirah yang diwarisinya dari perguruan Kedung Jati tidak dapat ditandinginya, maka Ki Saba Lintangpun mulai merambah ke ilmunya dari aliran perguruan yang lain. Meskipun Ki Saba Lintang tetap berlandaskan kepada ilmu dari aliran perguruan Kedung jati, namun kemudian telah dilengkapi dengan unsur-unsur gerak yang dipelajarinya dari seorang pertapa di Bukit Telamaya.
Sekar Mirah memang agak terkejut melihat beberapa perubahan pada sikap dan unsur-unsur gerak Ki Saba Lintang. Sekar Mirahpun segera melihat, bahwa unsur gerak Ki Saba Lintang sudah tidak murni lagi. Beberapa unsur gerak yang disadapnya dari aliran yang berbeda, namun yang telah luluh dan saling mengisi dengan landasan ilmunya, telah membuat Ki Saba Lintang menjadi semakin berbahaya.
Sekali-sekali Sekar Mirahpun terdesak beberapa langkah surut, sehingga justru karena itu, maka serangan-serangan Ki Saba Lintangpun menjadi semakin garang.
Ki Lurah Agung Sedayu yang berada di luar arena pertempuran itupun melihat pula, bahwa ada unsur gerak dari aliran perguruan lain yang mengisi namun sudah menjadi luluh dan menyatu dengan ilmu dasar Ki Saba Lintang.
Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu tidak tahu, dari aliran perguruan manakah yang telah melengkapi ilmu Ki Saba Lintang itu, sehingga menjadi ilmu yang sangat berbahaya.
Ki Lurah Agung Sedayupun kemudian berharap bahwa Sekar Mirahpun dapat mengetahui, bahwa ada unsur-unsur lain dalam ilmu Ki Saba Lintang, sehingga ilmunya menjadi semakin rumit.
Pada saat Sekar Mirah mengalami beberapa kesulitan menghadapi ilmu Ki Saba Lintang yang menjadi semakin rumit, maka Sekar Mirahpun merasa tidak terikat lagi pada kemurnian ilmu dari aliran perguruan Kedung Jati.
Karena itulah, maka pada saat-saat ilmu Ki Saba Lintang menjadi semakin rumit, maka Sekar Mirahpun telah melakukan hal yang sama. Unsur-unsur gerak dari aliran perguruan Kiai Gringsingpun mulai menyusup dalam unsur-unsur gerak Sekar Mirah. Namun unsur-unsur gerak itu telah luluh menyatu pula.
Bahkan unsur-unsur gerak yang lembut dan cepat dari aliran perguruan Ki Sadewapun telah mewarnai ilmu Sekar Mirah itu pula.
Sehingga dengan demikian, maka unsur-unsur gerak Sekar Mirah itupun tidak kalah rumitnya dari unsur-unsur gerak Ki Saba Lintang.
Dengan demikian, maka pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Serangan demi serangan telah saling berbenturan. Ayunan tongkat baja putih dari kedua orang itu, telah menimbulkan hembusan angin yang berputaran, sehingga para prajurit yang bertempur disekitarnya merasakan bagaikan terkena tusukan-tusukan ujung duri pada tubuh mereka.
Demikian pertempuran diantara merekapun menjadi semakin dahsyat. Sentuhan-sentuhan tongkat baja putih-pun semakin sering pada kedua belah pihak. Namun semakin lama semakin terasa pada Ki Saba Lintang, bahwa tekanan Sekar Mirah menjadi semakin berat. Sentuhan-sentuhan tongkat bajanya seakan-akan telah membuat tulang-tulangnya retak dimana-mana.
Ki Saba Lintang memang agak menyesal, bahwa ia tidak mempergunakan waktunya lebih banyak untuk mematangkan ilmu yang disadapnya dari pertapa di Bukit Telamaya, sehingga ilmunya menjadi semakin tinggi.
Namun dalam keadaan yang mendesak, Ki Saba Lintang tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus mempergunakan ilmu puncaknya untuk menghentikan perlawanan Sekar Mirah.
"Aku yakin, bahwa Sekar Mirah masih belum memiliki puncak ilmu aliran perguruan Kedung Jati sematang ilmuku. Didorong oleh kemampuan pertapa di goa yang ada di Bukit Telamaya, maka aku telah menguasai dan mematangkan ilmu puncak perguruan Kedung Jati, meskipun tidak murni lagi. Tetapi aku akan membuktikan bahwa akulah orang terbaik dari perguruan Kedung Jati."
Demikianlah, maka Ki Saba Lintangpun kemudian telah menghentakkan ilmunya. Dipusatkannya nalar dan budinya pada pelepasan ilmu puncaknya. Ilmu puncak dari perguruan Kedung Jati yang sudah dikembangkan oleh seorang pertapa di goa Bukit Ttelamaya.
Agung Sedayupun menjadi tegang karenanya. Ia sadar, bahwa kedua orang yang bersumber pada aliran perguruan Kepung Jati yang berkembang dalam lingkungan yang berbeda itu akan segera melepaskan ilmu puncak mereka.
Sebenarnyalah ketika Sekar Mirah melihat sikap Ki Saba Lintang, maka Sekar Mirahpun segera mempersiapkan dirinya. Hampir berbareng keduanyapun telah mencapai tataran ilmu puncak. Keduanya telah memegang leher tongkat baja putih mereka tepat dibawah pangkalnya, sebuah bentuk tengkorak yang berwarna ke kuning-kuningan.
Ketika keduanya mengangkat tongkat baja putih mereka, maka dari pangkal tongkat baja putih mereka memancar seleret sinar yang tajam.
Namun ternyata sinar yang memancar dari kedua tongkat baja putih itu warnanya tidak sama.
Seleret sinar yang memancar dari tongkat baja putih Ki Saba Lintang itupun seakan-akan telah memancarkan cahaya yang berwarna merah keunguan. Sedangkan sinar yang memancar dari tongkat baja putih Sekar Mirah menyiratkan warna putih kebiruan.
Kedua ilmu yang diluncurkan oleh kedua orang yang telah menuntaskan ilmu dari aliran perguruan yang sama yang berkembang dalam lingkungan dan suasana yang berbeda itupun telah saling berbenturan.
Arena pertempuran itupun seakan-akan telah berguncang. Sinar yang silau memancar seperti kilat di langit diiringi oleh suara gemuruh seperti gunung yang runtuh.
Orang-orang yang bertempur disekitar lingkaran pertempuran antara Sekar Mirah dan Ki Saba Lintang itupun seakan-akan telah terlempar satu dua langkah. Merekapun terpelanting dan berjatuhan bahkan berguling-guling ditanah.
Sekar Mirahpun telah terpelanting beberapa langkah surut. Namun Ki Lurah Agung Sedayu yang mengamati pertarungan itu dengan jantung yang berdebaran dengan cekatan menangkap tubuh Sekar Mirah itu, sehingga tubuh itu tidak terbanting di tanah.
Namun ternyata tubuh Sekar Mirah itupun kemudian terkulai di tangan Ki Lurah Agung Sedayu.
"Mirah. Sekar Mirah," desis Ki Lurah Agung Sedayu.
Tetapi Sekar Mirah tidak menyahut.
Ternyata Sekar Mirah itu telah menjadi pingsan. Tongkat baja putihnya masih tetap erat didalam pegangannya.
Agung Sedayu yang sudah sejak lama mempersiapkan segala-galanya atas segala kemungkinan, termasuk kemungkinan seperti yang benar-benar telah terjadi, segera mengambil obat dari kantong bajunya. Obat yang disimpannya dalam sebuah bumbung kecil yang disumbat dengan gabus.
Obat itu adalah obat yang diramunya sendiri sesuai dengan petunjuk pada kitab peninggalan Kiai Gringsing. Gurunya yang selain mumpuni dalam olah kanuragan, Kiai Gringsingpun mumpuni pula dalam ilmu obat-obatan.
Ki Lurah Agung Sedayupun telah memasukkan dua butir obat ke mulut Sekar Mirah.
Wajah Sekar Mirah nampak menjadi sangat pucat. Matanya terpejam, sementara nafasnya menjadi tersengal-sengal.
Namun kedua butir obat itu agaknya telah sangat menolongnya.
Dalam pada itu, Ki Saba Lintangpun telah terlempar pula beberapa langkah surut. Namun tubuhnya itupun kemudian telah berada di tangan seorang tua yang rambut, kumis dan janggutnya telah memutih.
Sementara itu pertempuran di sekitar arena pertarungan yang dahsyat itupun seakan-akan telah terhenti. Orang-orang yang semula terpelanting telah terbangun kembali dengan senjata mereka masing-masing tetap di tangan.
Orang yang rambutnya, kumisnya dan janggutnya sudah memutih itu meletakkan tubuh Ki Saba Lintang di tanah. Disentuhnya nadi di bawah telinganya. Namun kemudian orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
Namun orang yang sudah ubanan itupun kemudian bangkit berdiri sambil menggeram, "Perempuan itu telah membunuh muridku."
Adalah diluar dugaan ketika tiba-tiba saja terdengar prajurit Mataram bersorak gemuruh bagaikan akan meruntuhkan langit. Merekapun berteriak-teriak dengan girang, "saba Lintang mati, Saba Lintang mati."
Orang yang berambut ubanan itu menjadi sangat marah. Tiba-tiba saja di bekas arena pertempuran antara Ki Saba Lintang dan Sekar Mirah itu telah berputar angin pusaran. Bukan sekedar karena ayunan tongkat baja putih Ki Saba Lintang dan Sekar Mirah, namun benar-benar angin pusaran yang berputaran dengan dahsyatnya. Meskipun tidak ada angin, tidak ada mendung di langit, tetapi cleret tahun itu menjadi semakin lama semakin melebar.
"Kalian akan dihanyutkan oleh angin pusaran itu," teriak orang berambut ubanan itu. Suaranyapun gemuruh seperti gemuruhnya cleret tahun itu sendiri, "kalian akan terangkat dan kemudian terbanting jatuh di tanah. Kalian akan mati bersama-sama."
Orang-orang yang sedang berteriak itupun terkejut. Jantung merekapun kemudian telah tergetar.
Agung Sedayu yang berjongkok disamping tubuh Sekar Mirah yang terbaring melihat angin pusaran yang menjadi semakin lama semakin lebar. Sampah, dedaunan dan bahkan bebatuanpun telah terangkat dan diputar oleh kekuatan yang sangat besar. Bahkan seperti yang dikatakan oleh orang itu dengan suaranya yang gemuruh, bahwa, orang-orangpun akan terangkat pula. Diterbangkan, diputar dan kemudian dibanting di tanah.
Ki Lurah Agung Sedayu tidak dapat membiarkan hal itu terjadi. Karena itu, maka iapun segera bangkit berdiri. Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah mendekatinya pula.
"Pusaran angin itu harus dihentikan, kakang." berkata Glagah Putih.
"Jagalah mbokayumu," sahut Ki Lurah Agung Sedayu, "aku akan menghentikan permainan yang gila itu."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian berjongkok pula disamping Sekar Mirah yang mulai membuka matanya.
"Apa yang terjadi?" desis Sekar Mirah.
"Kakang Agung Sedayu akan mengatasinya, mbokayu. Beristirahatlah. Ini aku, Glagah Putih dan Rara Wulan."
Sekar Mirahpun menarik nafas panjang. Namun dadanya masih terasa pedih. Meskipun demikian reramuan yang diberikan oleh Ki Lurah Agung Sedayu agaknya banyak menolongnya.
Sementara itu, Ki Lurah Agung Sedayupun melangkah maju mendekati angin pusaran yang menjadi semakin keras dan semakin cepat. Warnanyapun menjadi hitam berbaur dengan segala macam benda yang telah terangkat.
Ki Lurah Agung Sedayupun kemudian segera mengurai cambuknya. Sejenak ia memandangi angin cleret tahun yang menjadi semakin besar itu.
Sejenak kemudian Ki Lurah itupun telah memusatkan nalar budinya. Ia sadar sepenuhnya, jika ia tidak menghentikan angin pusaran yang menjadi semakin besar itu, maka prajurit Mataram yang ada disekitarnya akan mengalami kesulitan. Salah satu sisi dari wajah gelar Wulan Tumanggal yang baru saja tersusun itu akan mengalami goncangan yang gawat.
Ketika angin putar beliung itu menjadi semakin besar, maka Ki Lurah Agung Sedayu itupun melangkah maju setapak demi setapak. Kemudian diputarnya cambuknya yang berjuntai panjang itu. Sejenak Ki Lurah membuat ancang-ancang dengan putaran cambuk diatas kepalanya. Namun kemudian dengan mengerahkan segenap kemampuannya serta tenaga dalamnya, Ki Lurahpun menghentakkan cambuknya mengarah ke angin pusaran yang naik semakin tinggi itu.
Cambuk itu sama sekali tidak meledak. Bahkan nyaris tidak bersuara.
Tetapi akibatnya dahsyat sekali. Getar hentakkan cambuk itu telah menerpa angin pusaran yang telah mengangkat segala macam benda yang berada di arena pertempuran itu. Bahkan senjata-senjata yang terlepas dari tangan para prajurit yang sedang bertempur itu.
Seketika itu juga, maka angin pusaran itu seakan-akan telah diledakkan oleh kekuatan yang sangat besar, melampaui kekuatan angin pusaran itu sendiri.
Debu, sampah, bebatuan dan segala macam benda yang terangkat itupun telah runtuh berhamburan seperti hujan yang turun dari langit. Sementara itu, debupun membuat udara di medan pertepuran itu menjadi gelap.
Sekali lagi Ki Lurah Agung Sedayu menghentakkan cambuknya. Seolah-olah angin prahara yang kencang telah bertiup di arena yang gelap itu, sehingga debupun telah dihanyutkan bertebaran ke segala arah.
Perlahan-lahan arena itupun menjadi terang. Para prajurit yang menutup hidung mereka dengan telapak tangan serta memejamkan matanya serta mengatupkan mulutnya rapat-rapat itupun mulai melihat dua orang yang berdiri tegak di bekas arena pertempuran yang dahsyat antara Ki Saba Lintang dengan Nyi Lurah Agung Sedayu.
Dengan wajah yang geram, orang yang berambut, berjanggut dan berkumis putih itupun memandang Ki Lurah Agung Sedayu yang berdiri tegak sambil memegangi cambuknya pada ujung dan pangkalnya.
"Kau siapa yang sudah dengan sombong memberanikan diri menghentikan langkahku untuk menghancurkan Mataram."
16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku adalah prajurit Mataram, Ki Sanak. Adalah kewajibanku untuk melawan setiap orang yang memusuhi Mataram. Jika kau berpihak kepada Ki Saba Lintang, itu berarti bahwa kau telah berpihak kepada Kangjeng Adipati di Demak yang telah memberontak melawam Mataram. Karena itu, sebagai seorang prajurit Mataram, maka akupun berkewajiban untuk melawanmu."
"Bagus. Ternyata ada juga prajurit Mataram yang mempunyai keberanian yang tinggi dan bahkan mampu menghentikan angin pusaranku. Tetapi yang kau lakukan itu akan menyeretmu kedalam kesulitan. Kau akan mati di arena pertempuran ini."
"Hidup atau mati seseorang sudah ditentukan takdirnya oleh Kuasa diatas segala Kuasa. Tetapi seseorang wajib untuk berusaha mempertahankan hidupnya. Karena itu, siapakah diantara kita yang sudah berada di tangan takdirnya hari ini. Aku atau sebaliknya, kau sendiri Ki Sanak."
"Ternyata kau memang seorang yang sangat sombong. Tidak seorangpun yang dapat mengalahkan aku di negeri ini."
Ki Lurah Agung Sedayu itupun menjawab, "Yang aku lakukan bukannya kesombongan. Tetapi kewajibanku sebagai seorang prajurit."
Orang itu menggeram. Katanya, "bertahun-tahun aku menunggu satu kesempatan untuk menghancurkan Mataram lewat Ki Saba Lintang. Tetapi perempuan iblis itu telah membunuh muridku yang sedang melakukan tugas yang aku bebankan kepadanya. Karena itu, perempuan itu harus mati. Jika kau mau menyerahkan perempuan-itu, maka kau akan aku ampuni sehingga kau akan tetap hidup."
"Ki Saba Lintang telah berani mengaku sebagai pemimpin perguruan Kedung Jati. Di medan pertempuran ini telah ditentukan, siapakah yang memiliki kemampuan tertinggi di perguruan Kedung Jati itu. Ternyata Ki saba Lintang telah terbunuh."
Simple Past Present Love 1 Jaka Dan Dara Karya Bois Dendam Iblis Seribu Wajah 6