Pencarian

Bara Maharani 10

Bara Maharani Karya Khu Lung Bagian 10


Giok Teng Hujien sambil putar senjata Hud timnya
melayani serangan-serangan gencar dari Cho Bun Kui
komandan pengawal Golok Emasnya Jin Hian, dengan
sebilah golok besar gagang emasnya orang she Cho itu
pertunjukkan suatu pemainan ilmu golok yang mantap
dan lihai, hal ini jauh diluar dugaan Hoa Thian-hong.
Ditinjau dari situasi ketika itu, agaknya bila Giok Teng
Hujien tidak mengeluarkan ilmu simpanannya Hiat sat
sinkang, sulit bagi perempuan itu untuk menangkan
lawannya. Di pihak lain, tiga orang toosu tua dengan
andalkan tiga bilah pedang mustika sedang mengerubuti
Jiu Hian seorang, diantara tiga kelompok pertarungan itu
boleh dibilang kelompok inilah yang bertarung paling
seru dan menarik.
Ngo Ing Tojin mempermainkan pedang mustikanya
dengan amat hebat, setiap kali melancarkan serangan
dari tubuh pedang itu segera menyiarkan pula irama2
yang aneh. Kadangkala suara yang dipantulkan amat gemuruh
bagaikan gulungan ombak yang menghantam pantai,
kadangkala mendebar bagaikan aliran air di sungai,
kadangkala dalam melancarkan tusukan disertai dengan
lengking bagaikan gelak tertawa seorang gadis,
kadangkala pula dalam melancarkan babatannya ia sertai
suara desiran bagaikan rintihan seorang gadis yang
lemah. Sebaliknya Cing Si-cu mempermainkan pedang tipis
Liu-yap-po-kiamnya dengan enteng dan lincah,
serangannya rapat seperti dinding terbuat dari baja,
meskipun nampaknya lemah lembut tak bertenaga
namun dalam kenyataannya mengandung daya kekuatan
yang sangat hebat.,
Ang Yap Toojin sendiri lebih mengutamakan
permainan ilmu pedang aliran sesat, setiap jurus
serangannya merupakan ancaman maut dan jauh
berbeda dengan ilmu pedang biasa, sepintas lalu
memandang siapapun akan melihatnya bahwa permainan
pedangnya amat ganas, keji dan penuh dengan tipu tipu
muslihat, membuat orang yang menyaksikan merasa jeri,
takut dan muak!
Ketiga bilah pedang mustika itu rata-rata merupakan
pedang tajam yang luar biasa, bayangan pedang yang
berlapis lapis mengurung ketat di sekitar tubuh Jin Hian,
maju atau mundur semua serangan diatur secara bagus
dan sempurna. Jin Hian adalah seorang pimpinan dari suatu
perkumpulan, ilmu silat yang ia miliki sangat lihai dan tak
dapat dibandingkan dengan kepandaian dari Cu Goankhek
sekalian. Tampaklah sepasang telapaknya menari kesana
kemari dengan amat lincah, ketiga bilah pedang mustika
itu dilawan dengan mantap, setiap jurus dipecahkan
dengan jurus, setiap ada peluang segera melontarkan
serangan balasan, sikapnya tidak gugup dan gerakannya
enteng bagaikan mega. Hawa murni yang terkandung
dalam telapaknya amat hebat sekali, barang siapa
terkena niscaya bakal terluka parah.
Makin bertarung suasana makin seru dan ramai tujuh
manusia seekor binatang mengerahkan segenap
kemampuannya untuk berusaha merobohkan lawannya,
kecuali Cia Kim yang jelas terdesak hebat dan terjerumus
dalam posisi yang amat berbahaya, yang lain masih sulit
untuk menentukan menang kalahnya dalam waktu
singkat. Sementara itu Hoa Thian-hong yang telah tiba disisi
gelanggang pertama-tama alihkan sinar matanya lebih
dahulu ke arah kelompok Jin Hian yang melawan tiga
orang toosu tua itu, terutama sekali irama merdu yang
dipancarkan keluar dari pedang Ngo Ing Too-jin, terasa
olehnya suara itu merdu dan memabukkan.
"Siau Koan-jin" ujar Hoa In secara tiba-tiba, "Apakah
racun teratai yang mengeram dalam tubuhmu telah
hilang?" "Sekarang sudah tak menjadi soal lagi," jawab
pemuda itu sambil mengangguk.
Sejak kemunculan dua orang itu ditepi gelanggang,
secara diam-diam semua orang menaruh perhatian
kepada mereka berdua. Sebab posisi kedua belah pihak
ketika itu adalah seimbang, bila dua orang itu membantu
salah satu pihak saja niscaya pihak yang lain akan
menderita kekalahan total.
Untuk keadaannya waktu itu aneh sekali, Jin Hian tahu
bahwa Hoa Thian-hong mempunyai hubungan dengan
Thong-thian-kauw terutama sekali hubungannya dengan
Giok Teng Hujien amat akrab, sebaliknya pihak Thongthian-
kauw yang melihat pemuda itu berjalan bersama
Jin Hian, hal ini jelas menunjukkan bahwa ia telah
bekerja sama dengan pihak Hong-im-hwie.
Karena persoalan inilah kedua belah pihak sama-sama
tidak tahu kemanakah pemuda itu akan bercondong, Jin
Hian serta ketiga orang toosu tua itu menyadari akan
posisi sendiri karena takut urusan jadi berabe maka tak
seorangpun diantara mereka yang buka suara
Yang lebih aneh lagi adalah Giok Teng Hujien sendiri,
perempuan itu tetap berlagak pilon dan seolah olah tidak
tahu kalau Hoa Thian-hong telah hadir disitu.
Pemuda she-Hoa itu sendiri sambil berpeluk tangan
hanya menonton jalannya pertarungan dari sisi kalangan
mendadak ia merasa bahwa dari ujung pedang milik Ngo
Ing Toojin memancar keluar suara aneh yang bisa
membuyarkan perhatian orang, hal ini mencengangkan
hatinya di samping merasa makin kagum atas kehebatan
ilmu silat yang dimiliki Jin Hian.
Suatu ketika Ang Yap Too jin mendadak berkata, "Jien
Tang-kee, betulkah kau menenggelamkan sampan
membuang kapak?" dalam pergerakanmu itu hanya ada
maju dan tak ada mundur?"
"Dalam perkumpulan Thong-thian-kauw, aku orang
she jin hanya kenal Thian Ek-cu seorang, lebih baik
kalian undang dia keluar untuk berbicara," jawab Jin Hian
ketus. Ang Yap Toojin jadi amat gusar. "Kaucu kami toh jauh
berada di kota Leng-An"
Tidak menanti ia menyelesaikan katanya, Jin Hian
telah menukas dengan suara dingin, "Sekarang juga aku
orang she-Jin sedang berangkat menuju ke kota Leng
An!" "Jien Tang-kee. kau benar-benar tidak pandang
sebelah matapun terhadap orang lain, kalau memang
begitu jangan salahkan kalau pinto akan berlaku
kurangajar kepadamu!"
Pedangnya digetarkan, secara beruntun ia lancarkan
tiga jurus serangan berantai, bentaknya, "Saudarasaudara
sekalian, ayoh perketat serangan kita bereskan
dulu ketiga orang jagoan itu!"
"Bagus sekali!" seru Giok Teng Hujien pula sambil
tertawa nyaring, "Ini hari aku akan membuka pantangan
membunuh" Ujung baju sebelah kirinya dikebaskan segera
tampaklah telapak tangannya yang putih bersih
menghantam dada Cho Bun Kai Komandan dari pengawal
golok emas itu membentak keras, goloknya dibabat
kemuka balas melancarkan pula sebuah bacokan,
bersama dengan gerakan itu pula ia bergeser satu
langkah ke samping.
Giok Teng Hujien segera menerjang kemuka, bibirnya
bersuit nyaring memperdengarkan jeritan yang sangat
aneh. Mendeagarkan jeritan aneh itu, Soat-ji makhluk
aneh tersebut segera memperhebat terjangannya, sambil
bercuit gusar binatang itu loncat ke angkasa dan
menerjang tubuh Cia Kim dengan ganas.
Dalam waktu singkat Cia Kim serta Cho Bun Kui segera
terjerumus dalam posisi yang amat berbahaya, setiap
saat jiwa mereka mungkin akan punah di tangan musuh.
"Hmm!" dengan gusar Jin Hian mendengus, "setelah
dunia persilatan aman selama sepuluh tahun,
binatangpun berani unjuk kebuasan terhadap manusia!"
Sambil berseru, sepasang telapaknya didorong ke
depan secara berbareng, tubuhnya bergeser beberapa
langkah ke samping, dengan manis sekali ia melepaskan
diri dari kepungan ketiga bilah pedang pusaka itu,
kemudian telapak sebelah menyerang Giok Teng Hujien,
telapak yang lain menghantam tubuh Soat-jie rase salju
itu. Bentakan keras berkumandang memecahkan
kesunyian, Ang Yap Toojin serta Cing Si-cu
menggerakkan pedangnya menyusul ke depan, secara
berbareng mereka tusuk2 bagian belakang Jin Hian.
Ngo Ing Toojin loncat pula ke tengah udara Sreeet!
pedangnya diiringi dengungan nyaring membacok lengan
kiri orang she Jin itu.
Dengan lincah Jin Hian berkelit ke samping, setelah
terlepas dari ancaman ketiga bilah pedang itu maka
posisinya dengan Cia Kim serta Cho Bun Kui-pun
terbentuk jadi posisi segi tiga, dalam keadaan begini
setiap saat ia dapat memberikan pertolongan kepada
pihak yang lemah.
Mendengar sampai disitu, Hoa Thian-hong segera
berpikir di dalam hati, "llmu silat yang dimiliki Jin Hian
sangat lihay, sekalipun ia tak mampu untuk melawan
setiap saat masih sanggup untuk melarikan diri, sedang
Giok Teng Hujien agaknya memiliki ilmu silat yang sukar
diukur kelihaiannya, tapi ia tak mau menyerang dengan
sepenuh tenaga. Pertarungan yang terjadi pada hari ini
jelas merupakan suatu keadaan yang tak
terselesaikan...!"
Hoa In yang berada di sisinya jadi amat kuatir bila
pemuda itu ikut campur tangan dalam pertarungan itu,
apalagi setelah dilihatnya pemuda itu tersenyum dengan
sorot mata berkilat, buru-buru katanya, "Kedua bilah
pihak sama-sama belum membongkar isi peti masingmasing,
rasanya tak perlu bagi kita untuk mencampuri
urusan mereka. Hoa Thian-hong tersenyum, tiba-tiba berkata, "Harap
saudara-saudara sekalian berhenti bertempur, bagai
mana kalau dengarkan dulu sepatah dua patahku?"
Ucapan itu nyaring dan lantang, setiap patah kata
dapat terdengar oleh semua orang dengan cepat. Maka
orang-orang itupun segera tarik kembali serangannya
sambil meloncat mundur ke belakang.
Sambil membopong rase saljunya, Giok Teng Hujien
mengundurkan diri kesisi kalangan, serunya sambil
tertawa, "Apa yang hendak kau katakan?"
Hoa Thian-hong tertawa, ia menjura dan menyapa,
"Cici. Baik-baikkah kau" tootiang bertiga, baik-baikkah
kalian semua?"
Giok Teng Hujien tertawa makin merdu. "Oooh....aku
mengira kau sudah tidak kenal lagi dengan aku yang
menjadi cicimu"
"Siaute masih tetap seperti sedia kala, siapapun tak
kupandang dengan rendah" sorot matanya menyapu
sekejap keseluruh wajah para jago, kemudian lanjutnya,
"Baik Thong-thian-kauw maupun Hong-im-hwie samasama
merupakan perkumpulan besar dalam Bulim, Jien
Tang-kee-pun mempunyai hubungan yang erat dengan
Thian Ek kaucu, bagaimana kalau pertarungan pada hari
ini kalian sudahi sampai kisini saja?"
Giok Teng Hujien tertawa cekikikan. ujarnya,
"Siapapun mengira hanya kaulah yang tidak menyukai
kolong langit jadi kacau, tak tahu caramu bekerja
ternyata jauh lebih hebat. Itulah yang dikatakan setiap
orang pandai bermain sulap. hanya caranya saja masingmasing
berbeda." Hoa Thian-hong tersenyum, kepada Jin Hian sembari
menjura katanya kembali, "Jien Tang-kee, lebih baik kita
seleaikan saja urusan kesalahpahaman ini langsung
dengan Thian Ek kaucu, ayoh kita pergi saja dari sini!"
"Bocah. pandai amat kau!" pikir orang she-Jin itu di
dalam hati. Cho Bun Kui serta Hoa In yang mendengar mereka
mau berangkat segera menuntun kudanya masingmasing
untuk diserahkan kepada majikan mereka Jin
Hian serta Hoa Thian-hong segera menerima tali les kuda
itu dan loncat naik ke atas pelana.
"Saudara Hoa," terdengar Giok Teng Hujien berseru
sambil tertawa merdu, "Andaikata kami bersikeras akan
menahan Jien Tang-kee di tempat ini, kau bakal
membantu pihak Hong-im-hwie ataukah membantu
Thong-thian-kauw kami?"
Jin Hian segera mengerutkan dahinya dengan mata
melotot, ia mendengus dingin dan bibirnya bergerak
seperti mau mengucapkan sesuatu, namun akhirnya niat
itu dibatalkan kembali.
Hoa Thian-hong tersenyum dan segera menjawab,
"Dengan andalkan kemampuan cici serta Tootiang
bertiga, aku rasa masih belum sanggup untuk menahan
Jien Tang-kee, kalau tidak perkumpulan Hong-im-hwie
tak akan hidup hingga hari ini....."
"Pintar juga kau si bocah cilik," batin Jin Hian di dalam
hati. Sementara itu Giok Teng Hujien sudah tertawa
mengejek, katanya lagi, "Andaikata kami tak mau tahu
diri dan memaksa untuk tahan orang itu" Apa yang akan
kau lakukan?"
"Itu mamanya mencari penyakit buat diri sendiri,"
batin Hoa Thian-hong, diluaran ia tertawa nyaring dan
menjawab, "Aku akan berpeluk tangan belaka, kedua
belah pihak tiada yang akan kubantu!"
"Seandainya cici bukan tandingan lawan dan jiwaku


Bara Maharani Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terancam mara bahaya?"
"Tentu saja aku akan turun tangan untuk memberi
pertolongan" sahut si anak muda itu setelah berpikir
sebentar. Giok Teng Hujien segera tertawa cekikikan. "Waaah....
jadi kalau begitu, kau masih tetap membantu pihak
Thong-thian-kauw?"
Hoa Thian-hong pun tersenyum, sambil menjura
segera serunya, "Perjumpaan kita sampai disini saja,
sampai ketemu lain waktu."
Ia cemplak kudanya dan segera berlalu dari sana......
Tiba-tiba Ang Yap Toojin gerakan tubuhnya
menghadang di depan kuda, hardiknya dengan suara
keras, "Apakah Hoa Kongcu juga akan ikut ke kota Leng-
An untuk menyambangi Kaucu kami?"
Sebelum pemuda itu sempat menjawab, Jin Hian
larikan kudanya maju ke depan, serunya sambil tertawa
dingin, "Ang Yap, kalau kau hanya mencari Satroni
dengan aku orang she-Jin, itu masih mendingan, kalau
kau berani mengganggu Hoa kongcu. Hmm.......
Hmm....... aku tanggung kau pasti akan berbaring di
tempat ini dan sejak kini tak mampu untuk pulang ke
kota Leng An lagi"
"Eeei.... eeei ,.... orang ini benar-benar sangat lihay"
pikir Hoa Thian-hong dalam hati, "Belum sampai aku
mengadu domba mereka berdua, tak tahunya ia sudah
mendahului diriku lebih dulu.... sunggub hebat!"
Sambil tertawa terbahak-bahak segera serunya, "Jien
Tang-kee, kau terlalu pandang tinggi diriku."
Dalam pada itu Ang Yap Toojin merasa semakin gusar,
dengan mata melotot serunya, "Saudara cilik, sudah kau
dengar tidak pertanyaan yang pinto ajukan" Atau
mungkin kau sudah tuli?"
Hoa Thian-hong mengerutkan dahinya mendengar
makian itu. segera pikirnya kembali, "Orang goblok!
rupanya kau memang seorang manusia tolol yang tak
punya otak!"
Tiba-tiba tampak sesosok bayangan manusia
berkelebat lewat, tahu-tahu Hoa In sudah muncul disitu
sambil membentak, "Siapa yang sedang kau maki?"
Telapak tangannya diayun, ia kirim satu pukulan ke
depan. Dalam serangan ini meskipun ia tidak menggunakan
ilmu 'Sau-yang-ceng-khie' nya, namun kecepatan
gerakan tangannya serta kemantapan dari tenaga
pukulannya cukup mengejutkan hati orang.
Ang Yap Toojiu segera enjotkan kakinya loncat
mundur lima depa ke belakang, cring....! pedang
mustikanya kembali diloloskan dari sarung, serunya
sambil menyeringai seram, "Maaf bila pinto tidak sempat
mengenali dirimu, siapa sih namamu?"
"Kau bukan tak sempat kenal, goblok dan pelupa,"
sahut Hoa in sambil tertawa dingin, "Aku adalah Hoa In
dari perkampungan Liok Soat Sanceng, pada sepuluh
tahun berselang bukankah kita pernah berjumpa muka?"
Mula-mula Ang Yap Toojin nampak agak tertegun,
diikuti ia segera tertawa seram ejeknya, "Menurut kabar
yang tersiar dalam dunia persilatan, aku dengar majikan
dari perkampungan Liok Soat Sanceng adalah seorang
she-Jin, hey orang yang bernama Hoa In, kenapa kaupun
mengatakan orang yang berasal dari perkampungan Liok
Soat Sanceng?"
Jin Hian yang berada di samping segera tertawa
terbahak-bahak, selanya dari damping, "Dulu karena aku
lihat perkampungan Liok Soat Sanceng indah dan tak
berpenghuni, aku merasa sayang untuk membiarkan
bangunan itu rusak dimakan tahun, maka sengaja
kudiami beberapa tahun lamanya. Siapa tahu tempat
yang penuh rejeki macam itu ternyata tidak cocok bagi
orang kasar seperti aku, dimana akhirnya selembar jiwa
putera kesayangankupun lenyap disana. Aai kini aku
sudah menyadari akan kesalahanku pada masa yang
silam, perkampungan tadi sudah kuserahkan kembali
kepada Hoa kong cu"
Ang Yap Toojin tertawa dingin. pada dasarnya diapun
seorang siluman tua yang licik, ia tahu bila dirinya
memusuhi Hoa Thian-hong maka dialah yang akan
menderita kerugiannya.
Tapi apa lacur ia sudah kesesem terhadap kecantikan
Giok Teng Hujien sayang orang yang diidamkan itu tidak
menaruh perhatian kepadanya, ditambah pula setelah
menyaksikan tingkah laku Giok Teng Hujien yang begitu
mesra terbadap diri Hoa Thian-hong, hal ini membuat
rasa cemburunya makin berkobar, tanpa sadar ia telah
anggap Hoa Thian-hong sebagai paku di depan mata, ia
seialu berusaha keras untuk mencabutnya dari depan
mata. Jin Hian adalah seorang manusia yang licik, ia pandai
mendalami perasaan orang, melihat keadaan Ang Yap
Toojin sudah mengenaskan sekali, ia jadi kegirangan,
Sambil tertawa tergelak serunya, "Hoa Loo-te, waktu
sudah tidak pagi-pagi ayoh kita lanjutkan perjalanan...-!"
Ia cemplak kudanya dan berlalu lebih dahulu dari situ.
Ngo Ing Toojin sendiri dapat memahami sampai
dimanakh kelihayan dari ilmu silat yang dimiliki Hoa In,
dia takut keadaan Ang Yap toojin bertambah runyam,
sambil memburu maju ke depan seraya serunya, "Ang
Yap Too-heng, baiknya kita sudahi saja persoalan pada
hari ini sampai disini saja, mari kitapun harus segera
melanjutkan perjalanan"
Waktu itu matahari bersinar dengan teriknya, siapapun
tidak tahan untuk berdiam terlalu lama disitu, Hoa Thianhong
sendiri setelah 'lari racun' sekujur badannya basah
kuyup oleh air peluh, sambil meneguk air dalam botol
yang tersedia di atas pelana kudanya, ia beri tangan
kepada Giok Teng Hujien dan segera berlalu dari Sana.
Ang Yap Toojin yang ditinggalkan begitu saja, dari
mulanya jadi gusar, dengan mata melotot diawasinya
kelima orang jago itu berlalu dari sana, giginya
bergemerutukan menahan gusar seluruh rasa benci dan
dongkolnya segera ditimpakan ke atas tubuh Hoa Thianhong
seorang, ia banci pemuda itu hingga terasa
merasuk ke dalam tulang sumsumnya."
Sore itu rombongan Jin Hian sekalian beristirahat
disebuah rumah penginapan dalam dusun yang kecil.
tengah malam perjalanan kembali dilanjutkan.
Hoa Thian-hong yang tak dapat melupakan peristiwa
pertarungan dengan Tauto tua itu sepanjang perjalanan
selalu berjalan dipaling belakang, dia berharap bisa
berjumpa kembali dengan orang itu. Siapa tahu Tauto
tua berambut putih itu tak pernah muncul kembali
dihadapan mukanya.
Keesokan harinya, ketika sore menjelang tiba
sampailah mereka di kota Wi-im, kota itu merupakan
sebuah kota yang terpenting di wilayah utara dengan
pelabuhan yang ramai pula, keempat puluh orang
pengawal golok emas itu masih berada di dalam kota dan
belum berlalu dari situ.
Setelah mencari rumah penginapan, Hoa Thian-hong
duduk dikamar minum teh sambil menunggu air untuk
mandi, tiba-tiba Cho-Bun Kui masuk ke dalam kamar
sambil berkata, "Cong Tang-kee memerintahkan aku
untuk memberi tahu kepada kongcu, bahwa seluruh
rombongan akan beristirahat selama satu hari di kota Wiim,
besok malam perjalanan baru akan dilanjutkan
kembali" Dari sakunya dia ambil keluar serenteng mutiara serta
dua keping emas murni, sambil diserahkan ke tangan
Hoa In sambungnya lebih jauh, "Cong Tang-kee berkata
bahwa kota Wi-im adalah sebuah kota yang ramai dan
makmur, bila Hoa kongcu ada kesenangan untuk berjalan
jalan, silahkan pengurus tua membawa sedikit emas dan
mutiara ini sebagai persiapan untuk dipergunakan oleh
kongcu" Hoa Thian-hong ingin menampik tapi Hoa In keburu
sudah menerimanya sambil menyahut, "Sampaikan
kepada Tang-kee kalian, anggap saja dua keping emas
serta satu renteng mutiara ini sebagai beaya menyewa
perkampungan kami selama ini, hutang piutang kita
hapus sampai disini saja"
Cho Bun Kui mengiakan sebisanya, setelah memberi
hormat kepada pemuda she-Hoa itu dia segera
mengundurkan diri dari kamar. Pelayan datang
membawa air, selesai mandi dan bersantap Hoa Thianhong
segera naik ke atas pembaringan untuk
beristirahat, Hoa In yang menyanjung serta menyayang
majikan kecilnya bagaikan burung hong membuat
pemuda itu tidur dengan nyenyak dan tenang.
Senja itu Hoa Thian-hong setelah bangun dari tidurnya
segera bersantap di dalam kamar bersama pelayan
tuanya, terdengar Hoa In bertanya, "Siau Koan-jin, apa
kau ingin berjalan2 cari angin di dalam kota?"
"Emmm....sepanjang jalan kita sibuk terus untuk
melakukan perjalanan, hingga kesempatan untuk
berbicarapun tak ada, malam ini lebih baik kita cari
kesenangan dengan membicarakan soal ilmu silat saja,
apa gunanya berkeliaran di tempat luar?"
"Ilmu silat setiap saat dapat dibicarakan Toa-ya pun
pernah berkata daripada membaca selaksa jilid kitab
lebih baik melakukan perjalanan selaksa li. Siau Koan-jin!
bukankah kau baru pertama kali ini datang ke wilayah
selatan, mari kita berjalan jalan diluar sambil cari
kesenangan!"
Hoa Thian-hong adalah seorang jago yang masih
muda, hatinya segera tergerak oleh ucapan itu, setelah
menutup pintu berangkatlah kedua orang itu berjalan
jalan mencari angin.
Kota Wi-Im meskipun merupakan kota penting yang
menghubungkan utara dan selatan serta ramai dengan
toko dan perdagangan, namun disitu tak ada tempat
rekreasi yang baik, setelah berjalan jalan beberapa saat
lamanya Hoa Thian-hong merasa bosan dan kesal, tanpa
terasa ia teringat akan ibunya, bayangan Chin Wan-hong
pun terlintas pula dalam benaknya, banyak persoalan
berkecamuk dalam benaknya membuat kegembiraannya
hilang sama sekali. Akhirnya kepada Hoa In dia berseru,
"Badanku terasa amat lelah, mari kita pulang ke
penginapan untuk beristirahat!"
"Siau Koan-jin, apakah badanmu merasa tak enak?"
Hoa Thian-hong geleng kepala, maka berangkatlah
kedua orang itu kembali ke rumah penginapan. Tiba-tiba
dari hadapan mereka menyongsong datang seseorang,
sambil jalan mendekati ia bersenandung dengan suara
lantang: "Angin dan rembulan tiap malam muncul.
Manusia durjana kian lama kian menumpuk.
Ada orang bertanya bagaimana urusan"
Samudra manusia amat luas, angin dan ombak setiap
saat bakal muncul...."
Ketika Hoa Thian-hong melihat orang yang
bersenandung itu adalah seorang kakek gemuk pendek
yang membawa sebuah kipas bundar, hatinya segera
tergerak. Teringat olehnya bahwa orang yang telah
melarikan Chin Giok-liong dari rumah makan Li-Ing loo di
kota Cho-ciu tempo dulu bukan lain adalah orang yang
berada dihadapannya sekarang.
Sejak kakek tua itu mempermainkan Giok Teng Hujien
dengan sindiran syairnya Hoa Thian-hong telah
mengetahui bahwa orang itu adalah seorang pendekar
aneh, kini setelah berjumpa muka tentu saja ia tak mau
membuang kesempatan baik ini dengan begilu saja,
sambil menjura teriaknya, "Locianpwee..."
Namua kakek gemuk pendek itu pura-pura berlagak
pilon, sambil bersenandung ia tetap lanjutkan langkahnya
ketika berpapasan dengan mereka berdua. Tanpa
berpikir panjang Hoa Thian-hong segera melakukan
pengejaran bisiknya, "Hoa In, kenal tidak dengan kakek
tua itu." Hoa In termenung dan berpikir sebentar, kemudian
sahutnya, "Kalau dilihat dari potongan badannya aku
seperti mengenali dirinya. Cuma aku lupa siapakah orang
itu!" Ia berhenti sejenak. kemudian sambil mengamati
bayangan punggung kakek gemuk pendek itu ujarnya
lagi, "Pada sepuluh tahun berselang, hampir semua jago
kenamaan yang tersohor namanya di kolong langi pernah
kujumpai, yang tak pernah kutemui sedikit sekali
jumlahnya hingga bisa dihitung dengan jari."
"Mungkinkah kakek itu adalah seorang jago kenamaan
yang belum lama muncul dalam dunia persilatan?" pikir
anak muda itu. Langkahnya dipercepat, dengan langkah lebar ia
segera menyusul ke depan. Hoa In dengan kencang
mengikuti disisi majikan mudanya, ia lihat ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki kakek gemuk itu lihai
sekali. dalam setiap loncatannya beberapa tombak
berhasil dilalui dengan enteng. la segera berteriak
lantang, "Hey! Sahabat dari manakah itu" Kongcu kami
ingin berjumpa dengan dirimu!"
Kakek gemuk pendek itu tidak menjawab, hanya
senandungnya kembali:
"Jangan takabur jangan berlagak latah bibit bencana
sukar diduga. Lok Hau bukan perwira budiman, ia membawa Ki-pang
menuju bencana.
Pertempuran kerbau api hampir binasa, ingin
mengejar tak mungkin terkena"
Mendengar senandung itu Hoa In segera melototkan
matanya bulat bulat, serunya, "Siau Koan-jin, kakek tua
itu sedang menyindir kita, ia telah samakan aku Hoa In


Bara Maharani Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti Lok Hau, dia bilang aku tidak becus dan tak
mampu melindungi Siau Koan-jin"
Hoa Thian-hong tersenyum. "Ia sedang menyanyikan
sebuah bait syair dari Ma Bi Wan, bila syair itu
dinyanyikan dalam keadaan begini memang persis seperti
maksud hati Tauto berambut putih itu. Rupanya orang
inipun sedang menasehati diriku agar membatalkan niat
menuju ke selatan serta datang ke kota Leng An."
"Perkataannya itu memang tidak salah baik orangorang
dari Thong-thian-kauw maupun orang-orang dari
Hong-im-hwie rata-rata merupakan manusia yang tidak
genah, mereka hanyalah manusia-manusia rendah yang
mengandalkan jumlah banyak. Bila kita bergaul terus
dengan mereka maka akhirnya sendirilah yang bakal
rugi." Ia menghela napas panjang, kemudian lanjutnya,
"Mati hidup aku budak tua sih bukan menjadi soal,
sebaliknya bila Siauw-koan-jin sampai mengalami
sesuatu kejadian, budak mana punya muka untuk
bertemu lagi dengan toa-ya diakhirat?"
Hoa Thian-hong tertawa paksa. "Bagaimanapun juga
kita harus balaskan dendam bagi kematian ayahku, kalau
tidak apa gunanya kita hidup lebih lanjut di kolong
langit?" Ia mendongak dan tiba-tiba bersenandung:
"Di tengah berhembusnya angin malam, burung elang
terbang di angkasa.
Sebercak kain terkurung di daratan tengah ...
Oooh! pedih tahukah sahabat lama, ingin naik loteng
sayang tiada tangga menuju ke langit?"
Kakek gemuk pendek itu segera menjawab dengan
bersenandung pula,
"Di tengah kain bertanya pahlawan apa gunanya
merebut kekuasaan merajai kolong langit"
Tinggi rendah gardu merah generasi pemerintah, jauh
rendah daun seribu kuburan.
Aaaai.... .! yang ada tinggal impian buruk!"
"Kalau didengar dari nada ucapannya ini jelas dia
adalah seorang jago yang sedang putus asa dan bersedih
hati, tapi siapa dia?" pikir Hoa Thian-hong di dalam hati.
Sejak ia terjun ke dunia persilatan, sudah banyak
pengetahuan serta pengalaman yang didapatinya.
Terhadap orang-orang dari Hong-im-hwie, Sin-kie-pang
serta Thong-thian-kauw, pemuda ini merasa bahwa
orang-orangnya kalau bukan sengaja melanggar hukum,
pastilah manusia yang termasuk dalam golongan orang
buas, licik dan keji. Sebaliknya mereka2 yang berjiwa
ksatria sebagian besar telah putus asa dan patah
semangat. Kini mendengar nada ucapan dari kakek itu, dengan
cepat ia dapat merasakan bahwa kakek gemuk itu adalah
segolongan dengan dirinya.
Setelah berhasil menyusul kesisi tubuhnya ia lantas
menjura dan berkata, "Loocianpwee, aku Hoa Thianhong
memberi hormat untukmu."
"Tidak berarti, bagaimana kalau kita bicarakan suatu
perdagangan jual beli?" sahut si kakek gemuk itu sambil
goyangkan kipasnya.
"Bolehkah aku mengetahui terlebih dahulu sebutan
loocianpwee?"
"Kalau kau ingin tahu, akupun tak akan merahasiakan
kepadamu. aku she-Cu bernama Tong. dengan
mendiagan ayahmu boleh dibilang pernah bersahabat!"
"Oooh..! rupanya Cu toa-ya!" seru Hoa In tercengang,
"Hampir saja hamba tidak kenal lagi dengan kau orang
tua" "Kekesalan serta penderitaan membuat orang
gampang tua, wajahmu penuh berkeriput dan rambutmu
telah berubah semua. hampir saja akupun tidak kenali
dirimu lagi," sahut Cu Tong.
"Kini hamba sudah tidak kesal dan menderita lagi.
Eeei.. Cu toa-ya. Bukan dahulu wajahmu putih bersih"
Kenapa sekarang berubah jadi merah bercahaya?"
"Mungkin tua aku semakin tak becus, maka aku ganti
berlatih ilmu iblis hingga wajahku makin lama makin jadi
merah" ia tertawa kering lalu melanjutkan, "Setelah
mencuri hidup belasan tahun, aku malu untuk bertemu
dengan orang jagad lagi, bila wajahku tidak berubah
merah, bukankah keadaanku lebih rendah daripada
seekor binatang?"
Tertegun hati Hoa In mendengar ucapan itu. setelah
termangu mangu beberapa saat lamanya ia berkata,
"Siau Koan-jin, Cu toa-ya ini adalah salah seorang
diantara Bulim Siang-Sian sepasang dewa dari dunia
persilatan....."
"Aku hanya seorang panglima yang kalah perang"
tukas Cu Tong dengan cepat, "Tidak pantas
menceritakan kegagahan dan keberanian, lebih baik
jangan kau ungkap lagi peristiwa di masa silam"
Diam-diam Hoa Thian-hong menghela napas melihat
sikap kakek gemuk itu, ujarnya kemudian, "Loocianpwee.
mari kita cari tempat untuk beristirahat,
keponakan ingin berlutut memberi hormat kepadamu!"
"Tak usah... tak usah, mari kita keluar dari kota saja"
Dengan membawa perasaan yang berat serta pikiran
masing-masing, berangkatlah ketiga orang itu keluar
kota, tidak selang beberapa saat kemudian sampailah
mereka di pinggir kota.
"Orang tua, apakah kau ada urusan hendak
diperintahkan kepada tecu?" tanya Hoa Thian-hong
kemudian. "Memberi perintah sih aku tak berani," sahut Cu Tong,
setelah berhenti sebentar ia lanjutkan lagi dengan nada
serius, "Sejak pertarungan di Pak Beng, golongan
kesatria mengalami kekalahan total yang hampir saja
memusnahkan seluruh inti kekuatan golongan lurus,
"Tiga bencana" masing-masing merajai suatu wilayah
dan membentuk posisi segi tiga, karena pertama setelah
pertempuran besar mereka membutuhkan istirahat yang
cukup, dan kedua kekuatan ketiga belah pihak seimbang,
siapapun tak berani bergerak secara serampangan,
dengan demikian dunia persilatan dapat hidup aman
selama sepuluh tahun. Tapi kini.... aaai! Ketenangan
tersebut mulai goyah, rupanya saat saling
memperebutkan kekuasaan telah tiba."
"Perkataan dari Loocianpwe sedikitpun tidak salah"
pemuda itu mengangguk membenarkan, "Kematian Jin
Bong bukanlah suatu kejadian secara kebetulan saja. Pek
Siau-thian mengurung Ciu It-bong selama sepuluh tahun
lamanya tanpa dibunuhpun tujuannya bukan lain hanya
terletak pada pedang emas tersebut. Manusia-manusia
semacam ini semuanya merupakan manusia golongan
pengacau, masing-masing pihak ingin merajai kolong
langit dan menduduki kursi pimpinan, merebut tanah
beradu ilmu silat rasanya memang suatu kejadian yang
tak dapat dihindari lagi."
"Yang lebih tak beruntung lagi, kau yang belum lama
muncul di dalam dunia persilatan ternyata sudah
terjerumus pula di dalam persoalan ini," Cu Tong
menambahkan dengan suara gusar.
Hoa Thian-hong tertawa getir. "Takdir telah
mempermainkan orang, keadaan siautit amat kepepet
dan bagaimanapun juga terpaksa harus berbuat begitu."
"Aaai..!benarkah bagimu hanya ada jalan maju tanpa
mundur dan hendak bertarung melawan kawanan
durjana itu hingga sampai akhirnya?"
"Selama siautit masih bisa bernapas, aku akan
balaskan dulu dendam sakit hati ayahku, kemudian
berusaha membukakan sebuah jalan keluar bagi
sahabat2 Bulim!"
"Seandainya tak ada kita orang, mungkin kawanan
durjana itu bakal bentrok sendiri dan saling bunuh
membunuh, saling berebut memperebutkan wilayah serta
kekuasaan" sela Hoa In dengan wajah sedih, "Tetapi
setelah Siau Koan-jin tampil kemuka kemungkinan besar
kawanan durjana itu akan tinggalkan dendam pribadi dan
bekerja sama untuk menghadapi kita orang lebih dahulu"
"Dunia selalu berputar, kita hidup sebagai seorang
kuncu mengapa mesti unjuk kelemahan sendiri?" sahut
Hoa Thian-hong, "Bagaimanapun kita toh tak bisa
berpeluk tangan belaka hidup di tengah penindasan
sambil menunggu pihak lawan saling bunuh membunuh
lebih dahulu. Lagipula seandainya dari pihak mereka
akhirnya berhasil muncul satu golongan yang mampu
mengalahkan golongan-golongan yang lain hingga
seluruh kolong langit jatuh di bawah kekuasaannya,
bukankah hal ini akan membuat kekuatan mereka kian
lama kian bertambah kuat?"
"Andaikata situasi berubah jadi demikian, maka budak
hanya akan memperhatikan keselamatan Siau Koan-jin
seorang, aku tidak punya minat lagi untuk memikirkan
jalan keluar dari kawan2 Bulim" sambung Hoa In dengan
cepat. Bicara pulang pergi pelayan tua ini lebih
mementingkan keselamatan majikan mudanya, dari
ucapan tadi jelas ia mengartikan bahwa lebih baik
dendam terbunuhnya ayah Hoa Thian-hong tidak berhasil
dibalas, dari pada harus membiarkan majikan mudanya
menempuh bahaya.
Terdengar Cu Tong menghela napas berat dan
berkata, "Bagi orang yang lebih banyak makan garam,
hidupnya akan lebih lama beberapa tahun. Pengurus tua!
Kau tak usah kuatir aku tak berani bicara besar tetapi
aku berjanji kemanapun Hoa Hian-tit pergi aku orang
she-Cu pasti akan mengikuti terus dibelakangnya"
JILID 17 : Tujuh kupasan dari Ci-Yu
"LOOCIANPWE, kuucapkan banyak terima kasih atas
kasih sayangmu itu!" seru Hoa Thian-hong, setelah
termenung beberapa saat ia melanjutkan, "Menurut
pendapatku, pihak lawan tidak terlalu menaruh perhatian
terhadap kekuatan siautit seorang, karena itu lebih baik
untuk sementara waktu loo-cianpwe jangan unjukkan diri
lebih dahulu, dari pada kita musti pukul rumput
mengejutkan ular membuat pihak lawan mempertinggi
kewaspadaannya terhadap kita."
"Aaaai....! Kawanan bajingan itu masih menaruh
beberapa bagian rasa jeri terhadap Hoa Hujien, sekalipun
aku munculkan diri rasanya mereka tak akan menaruh
perhatian terhadap diriku."
Dari sikap kakek gemuk itu Hoa Thian-hong mengerti
bahwa ia sedang mencari tahu keadaan ibunya, maka
tidak menanti pihak lawan ajukan pertanyaan itu ia
berkata lebih dahulu, "Dewasa ini ibuku juga sedang
berkelana di dalam dunia persilatan, hanya dimanakah
beliau pada saat ini siautit sendiripun kurang begitu
jelas!!" Karena melihat orang-orang itu sudah patah
semangat, Hoa Thian-hong tidak ingin menceritakan
keadaan ibunya yang sebenarnya dimana luka dalamnya
belum sembuh dan tenaga dalamnya punah, ia takut bila
hal ini diketahui mereka maka kemungkinan besar
semangat mereka semakin merosot.
"Cu toa-ya," tiba-tiba Hoa In menegur, "Kenapa
kaupun bisa datang ke kota Wi-im?"
"Aku selalu mengikuti di belakang Siau Koan-jin mu
ini," sahut Cu Tong, sorot matanya berputar dan
melanjutkan. "Hoa hiantit. apakah aku boleh ajukan satu
permintaan?"
"Kalakan sajalah loocianpwee!"
Cu Tong menghela napas panjang. "Aku mempunyai
seorang sahabat karib yang disebut 'Pek-lek-sian' atau
disebut Dewa geledek oleh orang-orang Bulim, ia
mempunyai seorang murid yang bernama Bong Pay,
tahun ini berusia dua puluh satu tahun dan hidup
terlantar di dalam dunia persiiatan. Sebetulnya aku ada
maksud membawa dirinya disisiku, apa daya ia punya
pandangan lain terhadap diriku, ia tak sudi berada
didekatku"
"Siau Koan-jin," sambung Hoa In dengan cepat, "si
dewa geledek Chin jiya adalah sahabat karib serta
saudara angkat dari Cu-Tau-ya, jadi orang jujur dan
berjiwa pendekar, dengan loa-ya kitapun mempunyai
hubungan yang intim"
"Kalau begitu Bong toako adalah saudaraku sendiri. Cu
locianpwe, kini Bong toako berada dimana?"
Cu Tong menghela napas panjang. "Selama ini ia
hidup gelandangan di kota Wi Im, ketika aku hendak
tengok dirinya tadi, kutemui bahwa ia sudah terperosok
di dalam kuil Tiong-goan-koan"
"Kuil Tiong-goan-koan" Semestinya kuil dari pihak
Thong-thian-kauw?"
Cu Tong mengangguk. "Diam-diam aku sudah
menengok keadaannya, sekarang ia berada dalam
keadaan sehat dan sebenarnya akan kuselamatkan
jiwanya, tapi sayang pertama ia benci melihat
tampangku dan kedua, aku tak tahu bagaimana musti
mengatur dirinya. karena itu terpaksa aku harus mohon
bantuan dari Hoa hiantit untuk melakukan pekerjaan ini"
"Ooo... kau orang tua tak usah sungkan-sungkan,
siautit sebagai seorang anggota muda sudah
memastikannya melakukan pekerjaan ini," pemuda itu
berpikir sebentar lalu melanjutkan, "menolong orang
bagaikan menolong api, mari sekarang juga kita pergi
menolong Bong toako...."
Tapi dengan cepat ingatan lain berkelebat dalam
benaknya, teringat olehnya bahwa usia Bong Pay jauh
lebih besar dari dia sendiri, bagaimana selanjutnya ia
akan mengatur kehidupannya"
Sekembalinya ke dalam kota, terdengar Cu Tong
menghela napas dan berkata kembali, "Watak Bong Pay


Bara Maharani Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selalu berangasan dan kasar, setelah ia punya
pandangan lain terhadap diriku sulitlah bagiku untuk
mendidik dirinya. Hoa hiantit. Kau masih muda dan
gagah perkasa, mungkin ia bisa menaruh hormat
kepadamu, Bila demikian adanya aku berharap agar kau
suka mengingat pada hubungan angkatan yang lebih tua
dan baik-baik merawat dirinya."
"Locianpwee tak usah kuatir, siautit pasti akan
berusaha dengan segenap tenaga."
Rupanya Co Tong merasa amat lega hatinya, ia segera
tersenyum. "Bila hiantit bisa baik-baik membimbing
dirinya, kemungkinan besar bocah itu bisa unjukkan
kegagahannya dan memupuk kembali nama baik
perguruannya....!"
Melihat begitu besarnya perbatian jago tua itu
terhadap keturunan sahabatnya, dalam hati Hoa Thianhong
segera berpikir, "Loocianpwee ini betul-betul
memiliki jiwa yang besar dan hati yang lapang, begitu
setia kawan ia terhadap sahabatnya sampai terhadap
anak muridnyapun diperhatikan benar-benar bila Pek-leksian
mengetahui akan hal ini dia tentu akan beristirahat
dengan hati tenteram."
Tiba-tiba Cu Tong ambil keluar sebuah bungkusan
kecil terbuat dari kertas minyak, sambil diangsurkan ke
depan katanya, "Hoa hiantit, bungkusan ini berisikan
sebagian kecil dari kitab ilmu pukulan yang berhasil
kutemukan dimasa yang silam, meskipun hanya terdiri
dari tiga jurus dua gerakan, namun kehebatannya luar
biasa sekali. Aku harap hiantit suka mempelajari lebih
dahulu kemudian wariskanlah kepada Bong Pay"
Hoa Thian-hong simpan baik-baik bungkusan kertas
minyak itu ke dalam saku. lalu tanyanya, "Kenapa kitab
ilmu pukulan ini tidak langsung diserahkan ke tangan
Bong toako?"
"Aaaai..... dia tidak mengerti tulisan dan isi kitab
itupun terdiri dari bahasa kuno yang sulit untuk
dipahami, bila kau serahkan kitab itu kepadanya, dari
mana ia bisa mempelajarinya?"
Sementara pembicaraan masih berlangsung dihadapan
mereka muncullah sebuah bangunan kuil yang indah dan
megah, papan nama dengan tulisan 'Tiong-goan-koan'
terbuat dari tinta emas nampak terpanjang diatap
bangunan tersebut Cu Tong membawa kedua orang itu
menuju ke kuil bagian belakang, setelah loncat masuk
lewat tembok pekarangan mereka berputar-putar di
halaman belakang, hingga akhirnya sampailah mereka
diluar pintu sebuah kebun katanya, "Hiantit, masuklah ke
dalam untuk menolong Bong Pay, sedang aku akan
membantu secara diam-diam, dihadapan pemuda dogol
itu jangan sekali2 kau sebut namaku"
Hoa Thian-hong mengiakan, ia segera masuk ke dalam
kebun sambil pikirnya di dalam hati, "Bong toako itu
benar-benar seorang manusia aneh. sampai Cu
locianpwee yang menjadi cianpweenya malahan takut
kepadanya ketika dia angkat kepala, pemuda itu segera
berdiri tertegun.
Bangunan loteng tinggi yang berada dalam kebun itu
mempunyai corak yang persis sama dengan kuil It-goankoan
di kota Cho-ciu, yang berbeda hanyalah di bawah
undak undakan batu tertanam sebuah tonggak besi
setinggi beberapa depa, pada tonggak tadi terbelenggu
sebuah rantai baja sebesar telur itik yang panjangnya
mencapai tujuh depa, pada ujung rantai tadi tampaklah
seorang pria kekar yang berwajah hitam pekat bagaikan
pantat kuali dan memakai baju compang-camping
bagaikan pengemis sedang duduk terpekur.
Kalau di kuil bagian depan banyak sekali peziarah
yang berdoa dan pasang hio suasana di kuil bagian
belakang amat sunyi sekali seakan akan tak terdapat
seorang manusiapun disitu.
Ketika mendengar suara langkah manusia, pria yang
dirantai di atas tonggak itu segera membuka matanya
dan berpaling. Hoa Thian-hong berjalan menghampiri kehadapannya.
di bawah sorot cahaya lentera ia lihat orang itu punya
potongan wajah persegi empat, sepasang alisnya tebal
dan meletik ke atas, matanya yang cekung memancarkan
cahaya tajam, hidungnya mancung dan badannya kekar
tak terasa dalam hati ia memuji.
"Sungguh kekar dan gagah orang ini, andaikata
tubuhnya tidak dirantai mungkin ia kelihatan jauh lebih
keren....!"
Dalam pada itu pria kekar itu sudah melotot ke arah
Hoa Thian-hong berdua dengan pandangan tajam tibatiba
tanyanya, "Kalian adalah pemuja dewa yang datang
untuk pasang hio, ataukah kaki tangan anjing Thongthian-
kauw?" "Semuanya bukan," sahut pemuda itu sambil
menggeleng, "Aku bernama Hoa Thian-hong,
kedatanganku kesini bukan lain adalah untuk mencari
seorang kakakku yang bernama Bong Pay, apakah
saudara tahu ia dikurung dimana?"
"OOH....! Kau yang bernama Hoa Thian-hong" jadi kau
yang mengadakan Lari Racun di kota Cho-ciu?" seru pria
kekar itu dengan mata melotot besar.
Hoa Thian Houg tersenyum dan mengangguk. "Tolong
tanya siapakah nama saudara?"
"Akulah Bong Pay, ketika berada di pertemuan Pak-
Beng-Hwee tempo dulu, aku sempat bertemu dengan
bapakmu Hoa Goan-siu"
Tiba-tiba terdengar suara langkah manusia
berkumandang datang, disusul seseorang menegur
dengan suara berat, "Siapa yang sedang berbicara
dengan Bong Pay?"
Hoa Thian-hong berpaling, dia lihat dari balik ruangan
berjalan keluar seorang toosu muda, dengan cepat
pemuda mengedip memberi tanda kepada Hoa In sedang
ia sendiri sambil menggape serunya, "Siau sian-tiang,
cepat datang kemari,! orang ini hendak memutuskan
rantai untuk melarikan diri....."
"Omong kosong," jengek toosu muda itu sambil
tertawa dingin, "kau anggap rantai besi itu adalah rantai
biasa" Sambil mengomel ia berjalan menghampiri kedua
orang itu, siapa tahu belum sempat ia berbuat sesuatu
tiba-tiba Hoa In telah ayunkan telapaknya menotok jalan
darah toosu muda itu.
Tanpa mengeluarkan sedikit suarapun, toosu itu
segera menggeletak tak berkutik di atas tanah.
"Kepandaian silat yang bagus!" puji Bong Pay dengan
sinar mata berkilat, "Eee, siapa namamu?"
"Aku bernama Hoa In, pengurus rumah tangga dari
perkumpulan Liok Soat Sanceng!"
Melihat orang she-Bong itu bicara keras dan nyaring,
Hoa Thian-hong kuatirkan lebih banyak musuh yang
datang kesitu, buru-buru ia berjongkok sambil katanya,
"Bong toako, mari biar siaute periksa rantai ini."
Ujung rantai itu berada di atas leher Bong Pay, ketika
Hoa Thian-hong sedang meraba benda tersebut, tiba-tiba
pemuda she-Bong itu ayunkan telapaknya mengirim satu
pukulan ke arah dadanya, Hoa Thian-hong terkejut, bila
dibicarakan dari soal ilmu silat maka sekalipun orang
yang menyerang adalah jago nomor satu ditolong langit,
ia masih mampu untuk menandinginya selama beberapa
saat, yang diandalkan hanya sebuah jurus pukulan 'Kunsiu-
ci-tauw' belaka. berbicara tentang ilmu pukulan dan
ilmu tendangan boleh dibilang pengetahuannya cetek
sekali. Sekarang setelah dilihatnya serangan tersebut muncul
secara mendadak, dalam keadaan kepepet tak sempat
lagi baginya untuk menghindarkan diri, terpaksa ia
gunakan telapak kirinya untuk menyambut datangnya
serangan tersebut dengan keras lawan keras.
Tentang jurus telapak ini Hoa Thian-hong telah
melatihnya hingga hapal diluar kepala.
Plooook! di tengah benturan nyaring, sepasang
telapak saling membentur satu sama lainnya.
Pemuda itu segera merasakan telapak tangannya
bergetar keras, namun tubuh mereka berdua tetap
berdiri tegap tak berkutik, agaknya kekuatan mereka
seimbang satu sama lainnya
Tampak Bong Pay tertawa lebar dan memuji, "Kau
memang sangat lihay, dalam bentrokan ini telapak kiri
yang telah kau pergunakan"
"Bong toako memang bukan orang bodoh," batin Hoa
Thian-hong, "Cuma wataknya terlalu berangasan dan
ugal ugalan!"
Berpikir demikian, ia lantas mendekati tonggak besi itu
dan menyambar rantai tersebut, kemudian dibetotnya
sekuat tenaga, Telapaknya terasa sakit dan panas, sedang rantai
tersebut masih tetap utuh seperti sedia kala, ternyata
betotannya itu tidak menghasilkan apa-apa
"Hey sahabat, kalau kau mampu memutuskan rantai
itu, aku Bong Pay pun sanggup melakukan hal itu," ejek
Bong Pay dengan suara lantang.
Hoa In segera maju ke depan, katanya, "Rantai ini
bukan ditempa dari besi baja biasa, Siau Koan-jin
menyingkirlah ke samping, biar budak yang coba
membetot putus rantai ini."
Hoa Thian-hong geleng kepala, pikirnya di dalam hati,
"Bong toako terlalu jujur dan lugu, andaikata aku tidak
unjukan sedikit kepandaian mungkin dia akan pandang
rendah diriku, baiklah aku harus unjuk kelihaianku!"
Karena berpikir demikian, hawa murninya segera
dihimpun ke dalam telapak, setelah pusatkan
perhatiannya ke arah tongkat besi itu sekuat tenaga ia
betot rantai tadi ke belakang.
Rantai baja itu benar-benar luar biasa
Criiing!" di tengah suara dentingan nyaring, rantai itu
sama sekali tidak putus sebaliknya tongkat baja yang
tertanam di bawah tanah terbetot patah jadi dua bagian
oleh senjata hawa murni Hoa Thian-hong yang maha
hebat itu. Bentakan gusar bergema memecahkan kesunyian,
sesosok bayangan manusia dengan kecepatan bagaikan
kilat meluncur masuk ke dalam gelanggang
Melihat orang itu adalah seorang toojin berusia
pertengahan, Hoa In segera menyongsong
kedatangannya. Baru saja pihak lawan meloloskan pedang yang
tersoren di bahunya untuk menghadapi segala
kemungkinan, Hoa In telah bertindak lebih duluan,
telapak tangannya bergerak cepat dan tahu-tahu jalan
darah kakunya sudah tertotok
Sementara itu Hoa Thian In yang telah berhasil
mematahkan tongkat baja segera merasakan telapaknya
panas dan kaku, ia gosok-gosok telapaknya sambil
berseru, "Bong toako, rantai besi ini benar-benar luar
biasa sekali, bagaimana dengan rantai dilehermu?"
Belum habis dia berkata Bong Pay sudah loncat
bangun dari atas tanah, telapaknya menyambar rantai
tersebut kemudian.....
"Weees!" senjata itu dihajarkan ke atas punggung
toojin setengah baya tadi.
Pemuda she-Bong ini bukan saja memiliki kekuatan
yang luar biasa, bahkan gerak-geriknya lincah dan
enteng, begitu rantai itu diayun toojin setengah baya tadi
terhajar telak punggungnya.
Bisa dibayangkan betapa hebatnya akibat serangan itu
yang ditujukan ke arah seseorang yang tertotok jalan
darahnya, toojin itu mendengus berat, tulang
punggungnya segera patah jadi dua bagian, sedang
tulang dadanya patah lima batang.
Baik Hoa Thian-hong maupun Hoa In sama-sama
tertegun menyaksikan peristiwa yang sama sekali berada
diluar dugaan ini, mereka tak sempat menghalangi
perbuatannya itu lagi. terlihatlah toojin itu muntah darah
segar dan jiwanya sukar dipertahankan lebih lanjut.
Rupanya Bong Pay sudah dipengaruhi oleh nafsu
membunuh yang berkobar kobar, ia loncat ke muka dan
rantainya kembali diayun menghajar toosu muda yang
lain. Hoa Thian-hong bertindak cepat tangan kirinya
berkelebat mencengkeram pergelangannya sambil
berseru, "Bong toako, buat apa kau musti?"
Desiran angin tajam menderu deru, mendadak Bong
Pay ayunkan ujung rantainya itu menghantam ke atas
kepala pemuda Hoa.
"Wataknya memang betul-betul berangasan" batin
pemuda kita, tangan kanannya segera bergerak
mencekal ujung rantai itu, tegurnya sambil tertawa,
"Bong toako, masa siaute pun hendak kau hantam?"
Sinar mata Boag Pay berapi-api, dengan penuh
kegusaran teriaknya, "Kalau tidak kau lepaskan rantai itu,
aku akan menyumpahi dirimu!"
Hoa Thian-hong benar-benar takut orang kasar itu
memaki dirinya dengan ucapan yang tak genah, cepatcepat
ia lepas tangan dan mundur selangkah ke
belakang. Bong Pay berdiri agak tertegun. tapi akhirnya dia putar
badan dan lari menuju ke ruang loteng.
Rupanya Hoa In merasa sangat tidak puas dengan
sikap pemuda she-Bong itu, dengan alis berkerut
omelnya, "Keparat cilik ini benar-benar goblok dan
sembrono, dia adalah seorang jago pemberani yang tak
berotak, di kemudian hari entah berapa banyak kesulitan
yang bakal ia perbuat!"
Yang diperhitungkan serta dipikirkan oleh kakek tua
she Hoa ini hanyalah untung rugi bagi majikan mudanya,


Bara Maharani Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia merasa tak senang hati karena urusan Bong Pay ini,
dalam anggapannya mencampuri urusan manusia
sembrono itu hanya akan mendatangkan banyak
kerepotan bagi majikan mudanya saja, oleh sebab itu dia
ada maksud mengajak Hoa Thian-hong jangan
mencampuri urusan itu lagi.
Tapi Hoa Thian-hong segera berkata, "Kita telah
mengabulkan permintaan dari Cu Locianpwee,
bagaimanapun juga janji yang telah kita ucapkan tak
boleh disesali kembali!"
Habis berkata ia gerakkan badannya dan berkelebat
menuju ke arah ruang loteng, terdengar teriakanteriakan
keras berkumandang datang, Bong Hay sambil
membentak gusar memutar rantai besinya secara kalap.
tiga orang toojin berusia pertengahan sambil putar
pedangnya melakukan perlawanan selangkah demi
selangkah terdesak keluar dari ruang loteng itu.
"Sudah terjadi keributan begini lama, kenapa belum
nampak juga seorang jago lumayan yang munculkan
diri?" pikir Hoa Thian-hong di dalam hati.
"Masa kuil Tiong-goan-koan yang begini besar, hanya
dipimpin oleh beberapa orang itu saja?"
Ketika dia mendongak kembali, terlihatlah Bong Pay
memutar rantai bajanya makin kencang, keberaniannya
luar biasa sekali, sekalipun harus melawan tiga orang
musuh sekaligus namun sedikitpun tidak menunjukkan
tanda-tanda akan menderita kalah,
Ia segera mendekati toosu muda tadi dan
membebaskan jalan darahnya, setelah itu tanyanya,
"Siapakah hong-tiang dari kuil Tiong-goan-koan ini"
Kenapa sampai sekarang belum juga unjukkan diri?"
Toosu muda ini tahu bahwa Hoa Thian-hong sangat
lihay, terutama kehebatannya dalam membetot patah
tiang tonggak besi itu. begitu totokannya di bebaskan ia
segera putar badan dan kabur dari situ.
Hoa In yang berdiri disisinya segera ayun telapaknya
mencengkeram bahu toosu muda itu, bentaknya,
"Hidung kerbau cilik! Sudah kau dengar belum
pertanyaan yang kami ajukan?"
"Aduuuh....!" toosu muda itu menjerit kesakitan,
dengan badan terbongkok2 menahan rasa sakit ujarnya
setengah merengek, "Apakah yang hendak sicu berdua
tanyakan?"
"Aku tanya siapakah ketua kalian" Kenapa tidak
nampak dia unjukan diri?"
Agaknya semangat toosu itu bangkit kembali, sambil
busungkan dada ia menjawab. "Ketua dari kuil kami
adalah Thamcu sektor tengah sekte agama Thong-thiankauw,
gelarnya Hian Leng Cinjin! dia adalah seorang jago
yang tersohor namanya di kolong langit"
"Tak usah banyak cerewet" bentak Hoa In gusar,
"Sekarang dimana orangnya?"
Mendadak dari tempat kejauhan terdengar Bong Pay
membentak keras, ketika semua orang berpaling
tampaklah ia sedang ayun rantai besinya membentur
ujung pedang seorang toojin, letupan bunga api diiringi
suara gemerincing yang amat nyaring segera bergema,
pedang dalam genggaman Toojin itu seketika terlepas
dari genggamannya.
Melihat kesempatan yang sangat baik itu Bong Pay tak
mau sia-siakan peluang itu, rantainya diayun dan
langsung dibacok ke atas wajah orang tadi.
Dua orang toojin lainnya buru-buru ayunkan
pedangnya berusaha untuk menolong jiwa rekannya itu,
namun sayang gerakan mereka terlambat satu langkah,
jeritan ngeri yang menyayat hati seketika berkumandang
ke tengah udara, raut muka toojin tadi hancur
berantakan dengan darah berceceran di atas lantai
setelah termakan hantaman rantai itu, ia roboh ke atas
tanah sekarat, rintihan ngeri mendirikan bulu roma...
Setelah berhasil dengan serangannya, kembali Bong
Pay membentak keras, sambil putar senjata rantainya ia
menerjang ke arah dua orang toojin lainnya
Menyaksikan betapa dahsyat dan bengisnya pihak
lawan pecahlah nyali kedua orang toojin tadi, pemainan
pedang mereka kontan jadi kacau tak karuan, mereka
berusaha untuk melarikan diri apa lacur permainan rantai
itu sangat dahsyat, hal ini membuat mereka jadi kalang
kabut dan berkaok-kaok minta ampun.
Sudah lama aku dengar para toojin dari sekte agama
Tong Thian melakukan tindakan sewenang wenang
terhadap rakyat biasa, dosa mereka sudah bertumpuk
tumpuk, ditambah pula Bong toako ini sudah lama
dikurung, disiksa dan dihina. rasa bencinya terhadap
mereka sudah tak terlukiskan lagi dengan kata-kata bila
ini hari aku tidak biarkan ia mengumbar hawa nafsunya,
Orang itu pasti tak mau berdiam diri begitu saja"
Ia sendiri pernah mencicipi bagaimanakah tersiksanya
bila seseorang dihina dan dipermainkan, ia dapat
menyelami perasaan orang semacam ini, maka Hoa
Thian-hong pun tidak menghalangi perbuatan Bong Pay
untuk melampiaskan rasa sakit hatinya.
Kepada toosu muda itu kembali ia membentak, "Ayoh
cepat menjawab, Hian Leng Toojin sekarang berada
dimana?" Dua orang toojin yang berhasil dilukai Bong Pay.
seorang patah tulang punggungnya dan yang lain hancur
wajahnya, mereka belum putus napasnya tapi berbaring
disitu sambil merintih kesakitan.
Menyaksikan keadaan yang sangat mengerikan itu,
toosu muda tersebut merasakan sukmanya seakan akan
terbang tinggalkan raganya, dengan suara gemetar ia
segera menjawab, "Kaucu kami telah menurunkan titah
untuk memanggil seluruh anak murid perkumpulan kami
berkumpul semua di markas besar, Koancu kami dengan
membawa seluruh anak muridnya telah berangkat ke
kota Leng-An fajar tadi!"
"Kalau ditinjau keadaan ini, rupanya kehadiran
pasukan besar perkumpulan Hong-im-hwie menuju
selatan telah diketahui pula oleh pihak sekte agama
Thong-thian-kauw," kata Hoa In!
Hoa Thian-hong mengangguk, "Ehmmm..,l Thongthian-
kauw bukanlah sebuah perkumpulan agama yang
tidak terdapat orang pandai"
Jeritan ngeri berkumandang susul menyusul,
permainan rantai baja Bong Pay dalam waktu singkat
telah berhasil menghajar pula batok kepala kedua orang
toojin itu sehingga pecah dan mengucurkan darah segar,
dengan lengan putus kaki patah mereka roboh tak
berkutik lagi di atas tanah.
Tanpa berpaling Bong Pay langsung menerjang masuk
ke dalam bangunan loteng itu.
Menyaksikan tingkah laku orang itu, Hoa Thian-hong
segera mengerutkan dahinya, dalam hati ia membatin,
"Dia pasti sedang pergi mencari kunci untuk membuka
borgol rantai yang membelenggu lehernya.
Kepada toosu muda itu ia segera bertanya, "Siapa saja
yang masih berada di dalam loteng?"
"Hanya dua orang toosu cilik"
"Apakah disitu terdapat alat jebakan serta alat rahasia
lain?" "Tidak ada!"
Melihat raut wajah toosu muda itu telah berubah jadi
pucat pias bagaikan mayat dan ketakutan setengah mati,
Hoa Thian-hong jadi tidak tega. segera ujarnya,
"Cepatlah menyingkir jauh jauh dari sini, bila kau tidak
bertobat dan baik-baik jadi manusia..... Hmmm! lain kali
aku tak akan mengampuni jiwamu lagi."
Toosu muda itu mengangguk tiada hentinya ketika
Hoa In melepaskan cengkeramannya, toosu muda tadi
segera kabur terbirit-birit dari situ.
Rintihan kesakitan yang memilukan hati bersahut
sahutan memenuhi seluruh angkasa, suasana di sekitar
tempat itu jadi mengerikan sekali. Lama kelamaan Hoa
Thian-hong jadi tidak tega sendiri, kepada Hoa In dia
lantas bertanya, "Apakah keempat orang ini masih ada
harapan untuk ditolong?"
Hoa In tertegun lalu menggeleng. "Tiada harapan lagi
untuk hidup, yang seorang di sebelah sana itu mungkin
masih ada harapan untuk hidup. cuma sekalipun bisa
lolos dari kematian dia bakal hidup sebagai seorang
cacad!" "Aaai...! bagaimanapun akhirnya toh mati, lebih baik
cepat-cepatlah menghantar keberangkatan mereka untuk
pulang ke rumah neneknya!"
Hoa In mengangguk, dia segera berkelebat maju ke
depan telapaknya diayun berulang kali, dalam sekejap
mata keempat orang toojin yang menggeletak di atas
tanah dalam keadaan terluka parah itu menghembuskan
napas yang terakhir.
Tiba-tiba terdengar suara isak tangis kaum wanita
yang amat ramai bergema datang dari balik ruangan
loteng muncullah serombongan gadis-gadis muda yang
menangis dengan penuh kesedihan, di belakangnya
mereka menyusul pula serombongan pria yang jumlah
keseluruhannya mencapai delapan puluh orang lebih.
Rombongan pria wanita itu semuanya berada dalam
kondisi mengenaskan, tubuh mereka kurus ceking tinggal
kulit pembungkus tulang, yang pria berwajah tampan
sedang yang gadis berwajah cantik rupawan. Sekilas
memandang bisa diketahui bahwa orang-orang itu sama
sekali tidak mengerti akan ilmu silat.
Hoa In adalah seorang jago kawankan, meninjau
keadaan tersebut dengan cepat ia bisa memahami apa
yang sudah terjadi. Ketika dilihatnya rombongan pria dan
wanita itu celingukan kesana kemari dengan wajah
ketakutan, ia segera membentak keras, "Kalian semua
ikutilah diriku!"
Hoa Thian-hong tertegun dan dalam Waktu singkat
iapun tahu apa yang telah terjadi, diapun lantas berkata,
"Hoa In, coba carilah di ruang atas loteng apakah da
sedikit harta benda yang berharga" Kalau ada, ambillah
dan bagikan kepada mereka semua!"
"Kalian semua harap tunggu sebentar!" teriak Hoa In
kemudian dengan suara keras. Ia segera putar badan
dan berkelebat masuk ke dalam ruang loteng.
Cahaya api berkilauan memenuhi seluruh angkasa, di
tengah kilatan cahaya terang tampaklah Bong Pay
dengan membawa sebuah obor sedang membakar ruang
loteng yang megah itu, dalam sekejap maka seluruh
bangunan telah tenggelam dibalik amukan api yang
berkobar-kobar.
Tiba-tiba Bong Pay menerjang keluar dari balik lautan
api, dengan gerakan bagaikan kilat ia menerjang ke arah
kuil bagian depan.
"Bong toako!" pemuda kita berteriak keras.
Namun Bong Pay sama sekali tidak menggubris
panggilan itu, dalam sekejap mata bayangan tubuhnya
sudah lenyap dibalik bangunan.
Melihat pemuda itu tak menggubris panggilannya, Hoa
Thian-hong lantas berpikir di dalam hati, "Aaai,
bagaimanapun di tempat ini toh tak ada jago lihay,
biarlah dia berbuat sekehendak hatinya"
Si anak muda she-Hoa ini merasa malu dan menyesal
atas kejadian yang telah berlangsung di hadapannya ia
tidak mengira kalau di dalam kuil kaum toosu ini
terkurung begitu banyak gadis muda dan pria tampan ia
semakin tak menduga kalau tempat suci semacam ini
sebenarnya merupakan suatu tempat mesum yang
menjijikkan, karena itu ia merasa tak enak untuk
menghalangi perbuatan Bong Pay, sambil berdiri
menjublak ia pandang jilatan api yang sedang membakar
seluruh bangunan kuil itu.
"Siau Koan-jin, terimalah ini!" mendadak Hoa In
berteriak dari atap loteng.
"Weess... weess...!" dua buah buntalan besar segera
meluncur ke bawah loteng dengan cepatnya.
Hoa Thian-hong sambut buntalan tadi, ketika dibuka
ternyata isinya berupa intan permata dan emas murni,
buru-buru benda tersebut dibagi-bagikan kepada kaum
gadis dan pria tampan yang mendapat celaka itu.
Jilatan api bergerak dengan cepatnya menyebar
keempat penjuru, dalam waktu singkat ruang loteng
bagian terbawahpun sudah menjadi lautan api, Hoa In
tiba-tiba loncat turun dari atas loteng sambil membawa
dua bungkusan besar berisi alat-alat yang terbuat dari
emas dan perak, hardiknya dengan suara keras, "Jangan
menangis, jangan dorong mendorong...."
Suasana di halaman belakang kacau balau penuh
dengan jeritan serta tangisan, tiba-tiba dari bagian depan
kuilpun terjadi kegaduhan, suara teriakan manusia makin
ramai dan api berkobar memenuhi seluruh kompleks kuil
Tiong-goan-koan tersebut.
"Rupanya cukup banyak siksaan serta penderitaan
yang dirasakan bocah itu hingga dia jadi kalap" ujar Hoa
In sambil tertawa.
"Bong toako adalah seorang lelaki yang berjiwa panas,
melenyapkan kuil ini sama artinya dengan membasmi
bibit penyakit bagi rakyat kecil daerah sekitar sini"
"Toosu-toosu siluman dari Thong-thian-kauw adalah
manusia cabul yang suka main perempuan dan
homoseks, aku rasa di setiap kuil di daerah kekuasaan
sekte agama Thong-thian-kauw semuanya melakukan
perbuatan-perbuatan terkutuk macam ini"
"Kalau demikian adanya, sekte agama Thong-thiankauw
adalah suatu perkumpulan kaum durjana," seru
Hoa Thian-hong dengan alis berkerut, "Mungkin
kejahatan yang mereka lakukan jauh di atas perbuatanperbuatan
dari Sin-kie-pang maupun Hong-im-hwie"
Sementara pembicaraan masih berlangsung, kedua
orang itu telah selesai membagi bagikan emas perak


Bara Maharani Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serta intan permata itu kepada para korban, maka
dipimpinlah orang-orang itu keluar dari halaman kebun
dan menyuruh cepat-cepat bubar.
Dalam pada itu peristiwa terbakarnya kuil Tiong-goankoan
telah menggemparkan seluruh kota, banyak rakyat
dari empat penjuru berduyun duyun datang ke sekitar
situ menonton kebakaran, para Jemaah berusaha keras
menolong api membuat suasana jadi kalut dan kacau tak
karuan. Menanti para korban yang berhasil ditolong telah
bubar semua, Hoa Thian-hong berdua baru balik lagi
untuk mencari jejak Bong Pay, seluruh ruangan kuil telah
tenggelam di tengah amukan api, dengan gerakan
tubuhnya yang cepat mereka berkelebat kesana kemari
mencari jejak pemuda she-Bong tersebut
Ujung baju tersampok angin bergema tiba, empat
sosok bayangan manusia dengan gerakkan cepat
mendadak muncul dari arah depan, ketika kedua belah
pihak saling berpapasan mereka semua pada tertegun
dibuatnya. Di bawah sorot cahaya api, terlihatlah keempat orang
itu bukan lain adalah Ang Yap Toojin, Ngo Ing Toojin,
Cing Si-cu serta Giok Teng Hujien dari perkumpulan
Thong-thian-kauw.....
Setelah terjadi bentrokan fisik dengan rombongan Jin
Hian, keempat orang itu secara diam-diam mengawasi
terus gerak-gerik dari musuhnya itu, ketika baru saja tiba
di kota Wi-im, tiba-tiba mereka temukan kuil Tiong-goankoan
kebakaran, keempat orang itu segera sadar bahwa
suatu peristiwa yang tak diiginkan telah terjadi.
Buru-buru berangkatlah mereka menuju kesitu, siapa
tahu kedatangan mereka justru telah berpapasan dengan
Hoa Thian-hong berdua.
Begitu bertemu dengan pemuda she-Hoa Ang Yap
Toojin seketika naik darah. sambil tertawa seram
teriaknya, "Kau yang bakar kuil Tiong-goan-koan ini?"
"Kalau benar mau apa?" sahut Hoa Thian-hong tawar.
Giok Teng Hujien tertawa merdu.
"Eeei.... kenapa sih kau suka main gila" too-koan ini
toh indah dan megah, kenapa musti dibakar habis"!"
"Hmmm, dalam kuil ini terjadi perbuatan mesum yang
amat menjijikkan, kuil sebagai tempat pemujaan kaum
dewata telah digunakan sebagai gudang untuk
menyimpan gadis tak berdosa. Justru siaute merasa
muak melihat tempat seperti ini maka sengaja kubakar
sampai habis. Apa cici ada petunjuk lain?"
"Sudahlah.... kau tak usah berlagak sok di
hadapanku!" seru Giok Teng Hujien sambil tertawa, "aku
berani taruhan, api ini bukan kau yang lepaskan.....!
bukan begitu?"
"Saudara Hoa, diantara kita toh pernah berjumpa
beberapa kali," ujar Ngo Ing Toojin pula. "Bolehkah pinto
mengetahui siapa yang telah melepaskan api ini?"
Hoa In tidak ingin melihat majikan mudanya memikul
dosa orang lain, dengan hati tak senang ia segera
berkata, "Kami bukanlah manusia-manusia rendah yang
suka menjual teman, kalau kamu semua ingin mencari
orang yang melepaskan api, sana carilah sendiri!!...."
Meskipun hanya dua tiga patah kata saja, tapi dengan
cepat ia telah mencuci bersih segala tuduhan yang
ditimpakan kepada mereka berdua.
Kembali Giok Teng Hujien tertawa ringan. "Too-yu
sekalian, api ini pasti dilepaskan oleh musuh bebuyutan
kita kaum cecunguk dari perkumpulan Hong-im-hwie,
mari kita geledah sekeliling tempat ini mungkin jejaknya
masih bisa tertangkap!" serunya.
"Bong Pay bukan tandingan dari beberapa orang ini,"
pikir Hoa Thian-hong di dalam hati, "sekarang aku telah
menyanggupi Cu locianpwee untuk merawat serta
melindungi dirinya, bagaimanapun juga aku harus
menghadapi kejadian ini dengan tegas."
Berpikir demikian, dengan suara lantang ia lantas
berseru, "Cici, setelah kau temukan orang yang
melepaskan api itu. apa yang hendak kalian lakukan?"
"Bocah bodoh!" sahut Giok Teng Hujien dengan alis
berkerut, "Jin Hian bukanlah manusia baik-baik, kenapa
sih musti bergaul dengan dirinya?"
Hoa Thian-hong tersenyum. "Cici terus terang saja
kukatakan, api ini bukanlah perbuatan dari Jin Hian"
"Tentu saja, Jin Hian adalah seorang pimpinan dari
suatu perkumpulan besar, tentu saja dia tak akan turun
tangan sendiri, Too-yu sekalian, ayoh berangkat!"
Menyaksikan sikap Giok Teng Hujien yang begitu
hangat dan mesra terhadap diri Hoa Thian-hong, makin
dilihat Ang Yap Toojin merasa semakin gusar, api
cemburu membakar hatinya dan niat jahat segera
muncul dalam benaknya, dengan suara keras dia segera
membentak, "Hoa Thian-hong! ayoh ngaku terus terang,
apakah api ini kau yang lepaskan?"
Hoa Thian-hong sendiripun naik darah melihat
kekasaran musuhnya, ia menjawab dengan nada ketus,
"Sedari tadi toh aku orang she-Hoa sudah mengatakan
bahwa api itu akulah yang lepaskan, apa telingamu
sudah tuli?"
Ketika terjadi persengketaan sewaktu berada di
tengah jalan tempo dulu, Ang Yap Toojin pernah memaki
Hoa Thian-hong sebagai orang yang tuli, maka
sekarangpun si anak muda itu memaki telinganya telah
tuli pula. Ang Yap Toojin segera tertawa seram. "Too-yu
bertiga, ini hari pinto bersumpah akan cabut selembar
jiwa manusia she-Hoa ini, harap too-yu bertiga suka
melayani pengurus perkampungan itu, urusan
selanjutnya serahkan saja kepada pinto untuk dibereskan
sendiri." Selesai berkata ia cabut keluar pedang mustika yang
tersoren di atas bahunya. Berbicara sampai disana sorot
mata semua orang tanpa terasa dialihkan ke atas wajah
Giok Teng Hujien, jelas dalam peristiwa yang terjadi hari
ini perempuan tersebut mempunyai peranan yang amat
penting. Andaikata ia setuju dengan cara kerja Ang Yap Toojin,
itu berarti posisi akan berubah jadi empat lawan dua,
meskipun menang kalah masih sulit untuk ditentukan,
namun pertarungan masih bisa dilangsungkan.
Sebaliknya kalau ia nampik dan sebaliknya akan
membantu Hoa Thian-hong, maka posisinya akan
menjadi tiga lawan tiga, jelas posisi di pihak Thong-thiankauw
amat lemah, apalagi Soat-ji rase salju dalam
bopongannya masih belum masuk hitungan.
Giok Teng Hujien sama sekali tidak menanggapi
pertanyaan itu, ia malahan menuding ke arah lain sambil
berseru, "Coba kalian lihat, pohon dan bunga telah
termakan api, sebentar lagi seluruh kuil akan tenggelam
di tengah lautan api dan kita tak akan mendapatkan
tempat berpijak lagi"
"Giok Teng Too-yu!" hardik Ang Yap Toojin dengan
penuh kegusaran, "Pinto ingin bertanya kepadamu,
dalam pertempuran yang akan terjadi pada malam ini
Hujien akan berpihak kemana"'
"Aku berdiri di pihak perkumpulan Thong-thian-kauw,"
sahut Giok Teng Hujien dengan wajah berubah, "Tetapi,
Hoa Thian-hong adalah saudara angkatku, maka Soat-ji
ku harus berdiri di pihaknya'"
Semua orang tertegun sehabis mendengar perkataan
itu, siapapun tahu kelihayan Soat-ji makhluk aneh itu,
kehebatannya cukup menandingi kelihayan seorang jago
silat kelas satu.
Bila Hoa Thian-hong berdua sampat mendapat
bantuan Soat-ji, maka kekuatan mereka pasti akan
bertambah lipat ganda. dan Giok Teng Hujien seandainya
bekerja setengah tengah dan tidak menyerang dengan
sepenuh tenaga, bukankah mereka bertiga orang toosu
tua bakal mati konyol"
Kuil-kuil yang didirikan di tempat luaran di bawah
kekuasaan perkumpulan Thong-thian-kauw memang
amat banyak sekali, tapi struktur organisasinya lapuk dan
tidak ketat. Hoa Thian-hong sendiripun tidak tahu
kedudukan Giok Teng Hujien yang lebih tinggi atau Ang
Yap Toojin yang lebih tinggi di dalam perkumpulan itu,
tetapi setelah mengetahui bahwa perempuan itu secara
terang terangan berpihak kepadanya, sedikit banyak ia
merasa hatinya rada lega.
Sebaliknya Ang Yap Toojin makin cemburu dan naik
darah setelah mendengar keputusannya itu, dengan
sorot mata bengis ia segera berseru, "Hoa Thian-hong,
seandainya kau menganggap dirimu seorang lelaki jantan
pria sejati.... ayoh terimalah tantanganku untuk berduel!"
Hoa In teramat gusar, ia takut Hoa Thian-hong tak
kuat menahan sindiran itu dan menerima tantangan
lawan. Tanpa mengucapkan sepatah katapun sepasang
telapaknya segera bekerja Cepat dan melancarkan
sebuah pukulan dahsyat ke arah depan.
Demi majikan mudanya. kakek tua she-Hoa ini tanpa
berpikir panjang segera lancarkan sebuah pukulan
dengan ilmu Sau-yang-Ceng-khie-nya yang lihay.
Ang Yap Toojin sekalian tak pernah menyangka kalau
ilmu maha sakti dari Hoa Goan-siu yang pernah
menggemparkan seluruh kolong langit itu bisa muncul di
tangan seorang pelayan tua, terkesiap hati mereka
bertiga menjumpai serangan itu.
Rupanya Ang Yap Toojin sekalian menyadari akan
kelihayan lawannya, melihat begitu dahsyat datangnya
ancaman buru-buru pedangnya dipindahkan ke tangan
kiri, telapak kanan diangkat ke depan dan serentak
mereka bendung datangnya ancaman itu
Hoa Thian-hong naik pitam, ia tak sudi berpeluk
tangan belaka. Melihat serangan dahsyat dari Hoa In
telah dilancarkan iapun segera menggerakkan sepasang
telapaknya menyerang Ngo Ing Toojin serta Ceng Si-cu
yang berdiri di dekatnya.
Tindakan yang dilakukan beberapa orang itu
semuanya dilakukan dengan kecepatan laksana
sambaran kilat.... Blaam! terjadi benturan keras
bergeletar memenuhi angkasa, Hoa Thian-hong, Ngo Ing
Toojin serta Ceng Si-cu secara beruntun mundur
beberapa langkah ke belakang.
Hoa In takut majikan mudanya cedera, dalam
kerepotan telapak kirinya dimiringkan ke samping,
separuh bagian tenaga serangannya segera dihantamkan
ke arah tubuh Ngo Ing Toojin serta Ceng Si-cu.
Kendati begitu Ang Yap Toojin masih belum mampu
untuk menahan diri, termakan oleh pukulan yang sangat
hebat itu badannya segera mencelat ke belakang darah
kental mengucur keluar dari panca inderanya membuat
keadaan toosu itu mengerikan sekali.
Dalam waktu singkat Ngo Ing Toojin serta Ceng Si-cu
sama-sama menderita Iuka dalam yang parah darah
panas bergolak dalam dada mereka membuat kedua
orang itu buru-buru pejamkan mata dan mengatur
pernapasan. Keadaan Ang Yap Toojin paling parah. tubuhnya
menggeletak di atas tanah dengan sepasang mata
terpejam rapat, mukanya pucat pias bagaikan mayat,
napasnya kempas-kempis dan lirih sekali.
Hoa Thian-hong sendiripun merasa jantungnya
berdebar dan napasnya tersengal-sengal lama sekali ia
baru berhasil menguasai diri.
Hoa In segera menghampiri ke sisi tubuhnya. "Siau
Koan-jin, bagaimana keadaanmu?" tegurnya gelisah.
Buru-buru telapak kanannya ditempelkan ke atas
punggung pemuda itu. segulung hawa murni segera
menyusup masuk ke dalam tubuhnya
"Api sudah hampir menyumbat jalan keluar kita, mari
kita undurkan diri lebih dahulu dari sini," kata Hoa Thianhong
kemudian setelah berhasil menenangkan diri, sorot
matanya segera melirik sekejap ke arah Giok Teng
Hujien. "Kau memang amat pandai bikin gara-gara," omel
perempuan itu sambil tertawa. "Coba kau lihat, sekarang
apa yang musti cici sampaikan kepada kaucu nanti
tentang peristiwa ini"
Hoa Thian-hong tersenyum. "Cici, bila kau ada niat
tinggalkan jalan sesat menuju ke jalan yang benar,
seketika ini juga siaute akan cabut selembar jiwa Ang
Yap Toojin untuk memotong jalan mundurmu.
"Kurang ajar! apa sih yang dimaksudkan tinggalkan
jalan sesat menuju ke jalanan yang benar" Siapa yang
bersih tetap bersih, siapa yang kotor tetap akan kotor cici
yakin belum pernah melakukan perbuatan yang
memalukan orang."
"Aaai... kalau memang cici selalu berpikiran sesat dan
tak mau mendusin dari kedosaan, siautepun tidak akan
bicara lebih banyak lagi," ia berpaling dan serunya, "Hoa
In, ayoh kita pergi."
Kedua orang itu putar badan dan segera berlalu, tibatiba
disini mereka bertambah lagi dengan seseorang, dia
bukan lain adalah Bong Pay yang sedang dicari.
Hoa Thian-hong jadi amat kegirangan dia tarik lengan
pemuda itu dan diajak bersama-sama membelok ke
sebelah kiri. Dalam pada itu setiap ruangan dalam bangunan kuil
itu telah termakan api, jalan maju ketiga orang itu segera
tersumbat sama sekali, hawa begitu panas terasa
menyengat badan membuat peluh mengucur keluar
dengan derasnya, dengan susah payah akhirnya mereka
bertiga berhasil juga mendekati tepi dinding pekarangan
dari kuil itu. Mendadak terdengar Jin Hian tertawa tergelak sambil
serunya, "Hoa Loo-te, dimanakah cicimu serta ketiga


Bara Maharani Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang toosu hidung kerbau itu?"
Pemuda kita segera mendongak, ia lihat di atas
dinding pekarangan berdiri sederetan panjang jago-jago
lihay dari perkumpulan Hong-im-hwie, kecuali Jin Hian,
Cia Kim serta Cho Bun-kui, keempat puluh orang
pengawal golok emas pun telah hadir semua di tempat
itu. Di bawah sorot cahaya api nampak kilatan senjata
berkilauan, dalam keadaan siap siaga dengan senjata
terhunus para jago dari perkumpulan Hong-im-hwie itu
memblokir seluruh daerah yang tidak terjamah oleh api.
Hoa Thian-hong sama sekali tidak gentar menghadapi
kejadian ini, dengan langkah yang tetap ia dekati dinding
pekarangan tersebut, sekali enjot badan tubuhnya
langsung melayang ke arah mana Jin Hian berada.
Dengan kencang Hoa In mengikuti di sisi majikan
mudanya, hawa sakti Sau-yang-ceng khie dihimpun ke
dalam sepasang telapak, asal Jin Hian menunjukkan
tanda-tanda tidak beres, ia segera akan lancarkan
serangan dengan sepenuh tenaga.
Terdengar ketua dari perkumpulan Hong-im-hwie itu
tertawa terbahak-bahak, kaki kanannya melangkah satu
tindak ke samping memberikan sebuah tempat berpijak
bagi lawannya, dengan cepat Hoa Thian-hong serta Bong
Pay sekalian telah hinggap di atas tembok pekarangan
itu. Beberapa waktu kemudian. dari kejauhan tampaklah
Ceng Si-cu memayang Ang Yap Toojin yang terluka
parah dilindungi Giok Teng Hujien serta Ngo Ing Toojin
di kedua belah sisinya muncul pula di tempat itu.
"Hoa Loo-te" Jin Hian segera berseru sambil tertawa,
"Kalau bekerja janganlah kepalang tanggung, bagaimana
kalau kita bekuk pula ketiga orang peria dan seorang
perempuan itu agar tak bisa keluar dari tempat ini?"
Hoa Thian-hong tidak menjawab, ia tetap
membungkam dalam seribu bahasa.
Sementara itu keempat puluh orang pengawal golok
emas telah membentak keras, "Berhenti!"
Keempat sosok bayangan manusia itu segera
menghentikan langkah kakinya, Ngo Ing Toojin dengan
suara gusar menegur, "Jien Tang-kee, apa yang hendak
kau lakukan?"
"Hmmm..... jalan sempit, kita selalu berjumpa, tentu
saja aku hendak menahan kalian," sorot matanya
dialihkan ke samping dan melanjutkan, "bagaimana
menurut pendapat Hoa Loo-te?"
Hoa Thian-hong tertawa lantang, pikirnya, "Memang
lebih baik toosu-toosu siluman dari Thong-thian-kauw
dibunuh habis oleh kaki tangannya, cuma bagaimana
dengan cici yang tak kuketahui nama aslinya ini.....!"
Puluhan pasang mata para jago sama-sama dialihkan
ke atas wajahnya, dalam keadaan begini tak sempat
baginya untuk berpikir panjang lagi, segera sahutnya,
"Pertikaian antara perkumpulan Hong-im-hwie dan
Thong-thian-kauw tidak ingin kucampuri, bila Jien Tangkee
ada maksud menahan mereka silahkan turun tangan
sendiri" Bicara sampai disitu sorot matanya berkilat mengerling
sekejap ke arah Giok Teng Hujien, maksudnya agar
perempuan itu bisa menerjang ke arahnya.
Giok Teng Hujien adalah seorang gadis yang cerdas,
menyaksikan keadaan itu dia segera berkata, "Setan cilik,
seorang pria sejati berani berbuat berani bertanggung
jawab, kalau kau punya keberanian lindungilah cicimu,
kalau tidak lebih baik jangan turut campur, aku tidak
ingin mengajak kau main pat-pat gulipat!"
Merah jengah selembar wajah si anak muda itu,
setelah tertegun sejenak ia berkata kembali, "Selamanya
siaute bekerja tampa menghendaki merusak nama baik
orang lain, sekalipun aku bukan enghiong akupun tak
ingin pura-pura jadi hohan, sekalipun hubungan pribadi
kuperhatikan tetapi kepentingan umum akan
kuutamakan lebih dulu"
la berhenti sejenak, kemudian dengan suara yang
tegas ia melanjutkan, "Dalam peristiwa yang terjadi hari
ini, siaute akan menjamin keselamatan dari cici untuk
tinggalkan tempat ini dalam keadaan selamat, aku harap
cici dapat menjaga diri baik-baik sehingga tidak menyianyiakan
jerih payahku untuk melihat diri cici."
Giok Teng Hujien tersenyum. "Seandainya pikiranku
masih sesat dan bekerja lagi untuk pihak Thong-thiankauw?"
"Mungkin orang yang akan membunuh cici adalah
siaute sendiri"
"Kau berani?" seru perempuan itu sambil mencibirkan
bibirnya. biji matanya yang jeli mengerling ke arah Ngo
Ing Toojin dan memberi tanda agar bersiap sedia
melakukan penerjangan.
"Tunggu sebentar?" tiba-tiba terdengar Jin Hian
berseru, "Hoa Loo-te, bila cicimu berhasil lolos dari sini,
bukankah urusan akan semakin berabe" Terbakarnya kuil
Tiong-goan-koan pasti akan dikatakan olehnya sebagai
hasil karya dari perkumpulan Hong-im-hwie"
"Haaah... haaah... antara perkumpulan Hong-im-hwie
dengan Thong-thian-kauw toh sudah berhadapan
sebagai musuh, kenapa Jien Tang-kee musti risaukan
urusan sekecil ini"'
"Akulah yang membakar kuil Tiong-goan-koan!" tibatiba
Bong Pay berteriak lantang, "Siapa yang tidak puas,
carilah aku orang she Bong untuk dimintai
pertanggungan jawabnya!"
Semua orang segera alihkan sorot matanya ke arah
pemuda itu, tetapi setelah diketahuinya bahwa orang
yang barusan berteriak bukan lain adalah seorang pria
dekil yang lehernya masih diborgol oleh rantai baja yang
kasar dan panjang, tak tertahankan lagi semua orang
segera mendongak dan tertawa terbahak bahak,
Watak Bong Pay amat berangasan dan kasar, melihat
semua orang menertawakan dirinya, dengan penuh
kegusaran ia segera berteriak, "Kalau mau tertawa
tertawalah sekeras-kerasnya, kalau mau berkelahi, ayoh
tunjukkan kepala kalian!"
Tentu saja semua orang tak memandang sebelah
matapun terhadap dirinya, mendengar teriakan itu gelak
tertawa para jago terdengar semakin keras
Hoa Thian-hong menyadari akan rendahnya ilmu silat
yang dimiliki Bong Pay, dengan kepandaiannya yang
cetek itu pemuda tadi masih belum mampu untuk
berduel melawan salah seorangpun di antara para
pengawal golok emas.
Karena takut ia turun ke gelanggang secara gegabah
hingga mencari Kesulitan bagi diri sediri, sambil mencekal
pergelangannya ia lantas berseru, "Bong toako, jangan
gubris urusan tetek bengek yang sama sekali tak
berguna itu."
Kemudian ia menoleh dan berkata kembali, "Ngo Ing
Tootiang, harap sampaikan kepada kaucu kalian,
katakanlah untuk peristiwa kebakaran ini ia boleh catat
atas namaku!"
"Pinto akan mengingatnya!"
Hoa Thian-hong segera berpaling ke arah Jin Hian dan
menantikan keputusannya. Ketua dari perkumpulan
Hong-im-hwiee ini bukanlah seorang manusia bodoh,
dalam hati ia segera berpikir, "Kenapa aku musti repot2
untuk turun tangan sendiri" Kalau dilihat keadaan Ang
Yap toosu hidung kerbau itu, jelas ia terluka parah di
tangan pemuda itu. Baiklah aku akan biarkan dia tetap
hidup di kolong langit agar di kemudian hari bisa
merupakan bibit bencana bagi bangsat cilik itu"
Berpikir begitu ia lantas tertawa terbahak-bahak dan
berkata, "Haaah.... haaah.... haaah kalian anggap aku
she-Jin adalah manusia macam apa" Sebelum berjumpa
muka dengan Thian Ek si toosu tua itu aku tak sudi ributribut
dengan anak buahnya"
Diam-diam Hoa Thian-hong geli juga melihat sikapnya
itu, ia segera menyingkir ke samping dan berseru, "Cici,
baik-baiklah menjaga diri. kita berjumpa lagi di kota Leng
An nanti" "Aku takut sebelum tiba di kota Leng An kau sudah
mati terlebih dahulu oleh serangan bokongan dari Jien
Tang-kee" kata Giok Teng Hujien sambil tertawa.
Rasa benci malaikat berlengan delapan Cia Kim
terhadap Giok Teng Hujien maupun terhadap Hoa Thianhong
adalah sama-sama mendalamnya, hanya sayang ia
tak berani melanggar perintah Jin Hian maka selama ini
ia tak sempat mencelakai kedua orang itu.
Sekarang setelah mendengar sindiran tersebut, ia
segera tertawa dingin serunya dengan marah, "Hujien,
lebih baik cepat-cepatlah pulang ke kota Leng An, bila
kau berani berlagak tengik lagi dihadapanku... Hmmm,
hati-hati1ah bila serangan bokongan dari perkumpulan
Hong-im-hwie segera akan unjukkan kehebatannya...."
Giok Teng Hujien tertawa ewa, ia ulapkan tangannya
ke arah Ngo Ing Toojin berdua, maka berkelebatlah
tubuh ketiga orang itu lewat disisi Hoa Thian-hong....
Pemuda she-Hoa itu melirik sekejap ke arah Ang Yap
Toojin dalam dukungan Ceng Si-cu, ia lihat sepasang
mata toosu tua itu terpejam rapat-rapat, giginya
mengatap satu sama lainnya, wajahnya kuning pucat dan
mengerikan sekali keadaannya, dalam hati ia lantas
berpikir, "Begitu lihaynya ilmu Sau-yang-ceng-khie
seharusnya aku melatih ilmu tersebut sedari
dulu...,dulu...."
Dalam waktu setingkat beberapa orang dan sekte
agama Tong Jin Kau itu sudah lenyap dari pandangan.
Jin Hian segera ulapkan tangannya dan berseru, "Hoa
Loo-te, persoalan di tempat ini telah selesai, mari kita
kembali ke penginapan!"
"Silahkan Jien Tang-kee!"
Jin Hian melompat turun terlebih dahulu dari atas
tembok pekarangan, Cho Bun-kui memberi tanda kepada
para pengawal golok emas dan secara beruntun keempat
puluh orang jago itu melayang turun pula dari atas
tembok dan membentuk barisan berbanjar empat,
dengan rapi dan teratur mereka mengikuti di belakang
komandannya. Hoa Thian-hong sambil menggandeng tangan Bong
Pay menyusul di belakang rombongan jago-jago dari
perkumpulan Hong-im-hwie, katanya di tengah jalan,
"Bong toako, aku dengar katanya kau hidup sebatang
kara tanpa sanak tanpa tempat tinggal, bagaimana kalau
kita bersahabat dan mengembara di dunia persilatan
bersama-sama?"
Bong Pay tertegun mendengar ucapan itu, kemudian
nyeletuk, "Kepandaian silatmu hebat sedang ilmu silatku
cetek sekali, mana mungkin kita bisa melakukan
perjalanan bersama-sama?"
"Sahabat bisa berkumpul bila saling setia kawan, asal
tujuan dan cita-cita kita sama apa bedanya antara ilmu
silat yang .tinggi dan ilmu silat yang rendah"
Tapi Bong Pay tetap menggeleng. "Kepandaian silatku
kecil tapi watakku terlalu besar, bila jalan bersama dirimu
maka tentu banyak kerepotan yang akan kutimbulkan
untukmu!" "Ehmmm.... bocah ini rupanya tahu diri juga," pikir
Hoa In di dalam hati, "Kalau begitu hanya perangainya
saja yang kasar dan berangasan. sedang otaknya sama
sekali tidak tumpul"
Tanpa terasa sikap serta pandangannya terhadap
pemuda itu berubah lebih baik beberapa bagian.
Memandang raut wajah Bong Pay yang dipenuhi oleh
garis-garis kekesalan dan kemurungan, Hoa Thian-hong
pun berpikir di dalam hati, "Ketika diadakan pertemuan
Pek Beng Hwee, ayahku mati dalam medan pertempuran
sedang ibuku dalam keadaan terluka parah berhasil lolos
dari kepungan kesemuanya adalah berkat bantuan dari
para sahabat karib, aku lihat Bong toakopun seorang
keturunan dari golongan ksatria, aku tak boleh
memandang rendah dirinya karena ilmu silat yang ia
miliki terlalu rendah!"
Ia lantas menggenggam tangan Bong Pay dan
berseru, "Bong toako, kau maupun aku adalah keturunan
dari kaum ksatria, marilah kita angkat saudara dan hidup
bersama mati berbareng, mari kita bekerja sama
membangun suatu pekerjaan besar yang berguna bagi
seluruh umat dunia....!"
Bong Pay merasa amat terharu mendengar perkataan
itu. tetapi setelah tertegun beberapa saat lamanya
kembali ia menggeleng. "Kalau berbuat begitu, aku pikir
rada kurang baik"
"Kenapa?" tanya Hoa Thian-hong tidak habis mengerti.
"Usiaku tebih tua tapi kepandaianku kecil, sedang kau
usia muda kepandaian lihay, bila kita harus angkat
saudara maka akulah sang kakak dan kau sang adik,
kepandaianku tak mampu melampaui dirimu, mana
mungkin aku bisa memberi petunjuk kepadamu..."
"Sungguh tak nyana Bong toako meskipun kasar
orangnya cermat otaknya....." pikir Hoa Thian-hong.
Dengan wajah serius ia lantas berkata, "Siaute toh
sudah pikir sejak tadi, persahabatan hanya didasarkan
oleh rasa setia kawan dan hubungan batin yang cocok,
asal tujuan dari cita-cita kita sama perduli amat dengan
kepandaian yang lebih lihay atau kepandaian yang lebih
lemah" Untuk kesekian kalinya Bong Pay menggeleng.
"Yang aku maksudkan kepandaian bukan hanya
terbatas dalam hal ilmu silat belaka," katanya.
"Lalu apa yang dimaksudkan Bong Toako?"
Rupanya Bong Pay tidak tahu bagaimana musti
menjawab pertanyaan itu, setelah termenung senjenak ia
berkata, "Usiamu masih sangat muda, sekalipun ilmu


Bara Maharani Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

silatmu lihay tak mungkin kelihayannya mencapai
setinggi langit. tetapi bukti menunjukkan bahwa orangorang
dari pihak Hong-im-hwie berlaku sungkan
kepadamu, para toosu siluman dan Thong-thian-kauw
juga jeri kepadamu, menurut penglihatanku inilah baru
yang dinamakan kepandaian sesungguhnya."
"Tentu saja begitu," batin Hoa Thian-hong. "Mau
tundukan hati orang, tidak dapat hanya mengandalkan
ilmu silat saja."
Dalam hati berpikir begitu, diluaran ia segera
menjawab, "Ooo...! Kiranya kau maksudkan tentang soal
itu. Siaute mendapat perlindungan dari pengurus
perkampunganku yang sangat lihay dalam ilmu silat,
berkat kelihayannya itulah tak ada orang yang berani
menganiaya diri siaute."
Sementara pembicaraan masih berlangsung,
sampailah beberapa orang itu di depan penginapan. Jin
Hian sekalian segera masuk ke dalam kamar sedang
sepuluh orang pengawa golok emas yang tinggal disana
ikut masuk pula ke dalam penginapan, sisanya setelah
menghantar pulang ketua mereka segera berlalu dari
situ. "Bong toako" ujar Hoa Thian-hong kemudian, "Urusan
tentang angkat saudara kita bicarakan lagi kemudian hari
saja, kita berteman dulu untuk sementara waktu,
bagaimana menurut pendapatmu?"
Bong Pay mengangguk "Baiklah, bila kau merasa
bosan dengan tampangku, aku segera pergi dari sini.
Hoa Thian-hong tersenyum, masuklah ketiga orang itu ke
dalam kamar. Setelah berada di tempat kebakaran beberapa waktu
lamanya Semua orang merasa haus, pemuda she Hoa
pun ambil dua cawan air teh dan sebuah diantaranya
diserahkan ke tangan Bong Pay, katanya, "Bong toako,
silahkan minum air teh"
Waktu itu adalah bulan tujuh musim panas, teh dingin
merupakan minuman yang paling segar untuk keadaan
demikian. Bong Pay segera menerima cawan air teh itu
dan sekali teguk menghabiskan isinya.
Hoa Thian-hong yang minum secucupan dengan cepat
merasakan lidahnya jadi kaku dan pedas, rasanya aneh
sekali, ia jadi terperanjat.
Melihat Bong Pay hendak penuhi pula cawannya
dengan air teh tangannya segera berkelebat ke muka
menahan cawan itu.
Dalam pada itu Hoa In sedang keluar pintu untuk
mencari cawan. melihat gerak-gerik Hoa Thian-hong
sangat aneh, buru-buru tegurnya, "Siau Koan-jin, apakah
air teh itu tidak bersih?"
"Masih mendingan" sahut sang pemuda sambil
tersenyum, "katakanlah kepada Jien Tang-kee bahwa
aku terlalu rakus hingga perutku terasa mules, mintakan
dua biji obat sakit perut darinya."
"Obat pemberian dari Jin Hian mana boleh diminum!"
seru Hoa In dengan alis berkerut, "biarlah kucarikan
seorang tabib saja....."
Habis berkata ia lantas melangkah keluar dari kamar.
"Eeei... eee... kenapa musti pergi terlalu jauh" Cari
saja Jien Tang-kee!" kembali pemuda itu berseru sambil
tertawa. Hoa In melongo kemudian sambil menghela napas ia
geleng kepala dan menuju ke kamar Jin Hian.
Hoa Thian-hong perhatikan sekejap cawan air teh itu,
sewaktu tidak menemukan sesuatu tanda ia menoleh
pula ke arah Bong Pay ditemuinya sorot mata pemuda itu
tetap jeli dan sama sekali tak berubah, segera diambilnya
cawan air teh pemuda itu dan dicicipi sedikit, ternyata
rasanya kaku dan pedas, sama sekali tak enak diminum.
Sementara itu Bong Pay sendiri telah merasakan pula
gejala yang tidak beres, matanya segera melotot dan ia
berseru, "Apakah Jien loo-ji telah main gila dengan air
teh kita?"
"Bagaimana rasanya teh dalam cawan Bong toako
itu?" "Air teh, yaah air teh, sedikitpun tidak ada rasanya!"
Hoa Thian-hong tersenyum, ia ambil poci teh itu dan
dihisapnya satu tegukan, ternyata air teh disana rasanya
biasa saja sedikitpun tiada pertanda yang mencurigakan,
maka sadarlah dia apa yang telah terjadi.
"Ooooh...! rupanya bubuk racun itu dipoleskan dalam
cawan air teh itu hingga air teh dalam poci sama sekali
tidak terganggu, kalau ditinjau dari lambatnya daya kerja
racun itu, jelas bukanlah racun dari jenis yang terlalu
lihay, Sebagai seorang pemuda yang kebal terhadap
racun, perduli racun yang jahat dari jenis apapun asal
masuk ke dalam mulutnya ia segera akan merasa pedas
dan kaku, pengalaman yang lain membuktikan bahwa
pertanda itu tak mungkin salah lagi.
SESAAT kemudian Hoa In muncul kembali di dalam
kamar sambil membawa dua pil, ujarnya, "Siau Koan-jin,
Jin Hian telah memberi dua buah pil untukmu, aku lihat
pil ini sama sekali tak berbeda dengan obat yang
diberikan kepada Chin Giok-liong tempo dulu"
Setelah kupecahkan siasat busuknya, mungkin lain kali
ia tak akan berani main gila lagi kepadaku!" pikir Hoa
Thian-hong. Meskipun dalam hati berpikir begitu, untuk
menghindari siasat buruk berantai dari orang she-Jien
itu. ia segera ambil sebutir obat diantaranya dan di
kunyah dalam mulut, setelah dirasakan obat itu sama
sekali tidak mengandung rasa kaku atau pedas seperti
halnya gejala keracunan, ia baru serahkan obat penawar
yang lain ke tangan Bong Pay.
"Bong toako!" ia berkata, "telanlah obat penawar ini!"
Bong Pay amat percaya terhadap ucapan pemuda ini,
tanpa banyak curiga ia terima obat itu dan segera ditelan
ke dalam mulut kemudian ia baru mengomel dengan
suara jengkel, "Jin Hian tua bangka itu benar-benar licik,
sungguh memalukan manusia macam itu bisa, dianggap
sebagai seorang pimpinan dari suatu perkumpulan besar"
"Siau Koan-jin" ujar Hoa In pula dengan wajah
murung, "serangan secara blak-blakan bisa dihindari,
serangan bokongan sukar dilewatkan. lebih baik kita
berpisah saja dari rombongan merek"
Hoa Thian-hong termenung sejenak, lalu menggeleng.
"Aku pikir lebih aman bagi kita untuk tetap
menggabungkan diri dengan rombongan mereka, sebab
dengan begitu kita hanya perlu berjaga jaga terhadap
serangan bokongannya dia seorang, sebaliknya kalau
perjalanan kita lakukan secara berpisah maka bukan saja
kita musti waspada terhadap mereka, kitapun harus waswas
terhadap bokongan dari orang-orang Thong-thiankauw
"Ucapan dari Hoa kongcu sedikitpun tidak salah,"
sahut Bong Pay dengan alis berkerut, "Aku orang she-
Bong akan menuntun kuda bagimu. mari kita genjot Hian
Loo-ji sampai keok."
Begitu nyaring dan keras ucapan itu sehingga hampir
semua tamu yang menginap dalam rumah penginapan
itu dapat mendengar ucapannya, "Bong toako kalau kau
tidak merasa direndahkan, itulah bagus sekali," ujar Hoa
Thian-hong sambil tertawa, "hanya sikapmu terlalu
sungkan justru membuat hubungan kita serasa lebih
renggang."
Sembari berkata ia hancurkan dua buah cawan yang
beracun itu dan dihuang keluar jendela.
Hingga saat itu di atas leher Bong Pay masih terborgol
sebuah rantai besi panjang tujuh depa, Hoa Thian-hong
serta Hoa In harus bekerja keras beberapa waktu
lamanya sebelum rantai tersebut berhasil dicopot dan
dilepaskan dari leher orang.
Bertiga mereka bersantap di dalam kamar kemudian
Boan Pay pindah ke kamar sebelah untuk mandi dan
tidur. sedang Hoa In sambil membawa rantai itu berkata,
"Siau Koan-jin, beristirahatlah dulu aku ingin jalan2
sebentar diluaran"
"Tengah malam buta begini, mau apa kau keluar
kamar?" "Aku lihat rantai ini kuat dari aneh, aku ingin mencari
tukang besi untuk menempa rantai ini jadi sebilah
pedang" Hoa Thian-hong pikir benar juga ucapan itu, maka ia
mengangguk. Sepeninggalnya Hoa In ia tutup pintu dan
ambil keluar bungkusan kertas minyak untuk yang
diserahkan Cu Tong kepadanya itu.
Ketika dibuka ternyata isinya berupa setengah jilid
kitab yang isinya cuma lima enam lembar, kertasnya
warnanya kuning dan agak kumala, sepintas dilihat
sudah bisa diketahui bahwa buku itu sudah berusia lama
sekali. Pada halaman pertama buku itu terlihatlah empat
huruf kuno yang berbunyi, "Ci-Yu-Jit-Ciat" atau Tujuh
kupasan dari Ci-Yu.
Hoa Thian-hong merasa semangatnya bangkit, ia
duduk di dekat meja memasang lampu lentera dan
membuka halaman berikutnya.
Pada ujung halaman tertera tulisan "Bab pertama
menyerang menyebabkan mati", di bawah judul itu
tertulis tulisan kecil yang rapat dan penuh semuanya
membicarakan tentang bagaimana cara-cara
mengendalikan serangan secara jitu dan tepat.
Halaman berikutnya merupakan gambar-gambar
manusia yang disertai dengan keterangan lengkap
Hoa Thian-hong yang memeriksa sepintas lalu segera
menemukan bahwa isi kitab itu hanya terdiri dari tiga
jurus serangan belaka, semuanya merupakan jurus-jurus
serangan yang dilakukan baik ada kesempatan maupun
tidak ada kesempatan, baik menyerang secara halus
maupun kekerasan, tetapi yang diarah semuanya
merupakan tempat-tempat penting di tubuh manusia,
serangan tidak terbatas pada kepalan belaka, tapi
mencakup pula menyerang dengan telapak, dengan
bacokan maupun dengan totokan jari.
JILID 18: Rasa Cinta Pek Kun Gie
SEMAKIN memperhatikan isi kitab itu Hoa Thian-hong
semakin kesemsem hingga akhirnya ia mengulangi lagi
dari permulaan, sambil mempelajari diam-diam diapun
mulai meraba inti sari dari pelajaran tersebut.
Entah lewat berapa saat lamanya, Hoa In muncul
kembali di dalam kamar itu, ketika melihat pemuda
tersebut belum tidur ia lantas menegur, "Hari sudah pagi
waktu menunjukkan kentongan kelima, apakah Siau
Koan-jin belum tidur?""
"Ehmmm, ayam toh belum berkokok"
"Ayam telah berkokok sejak tadi..."
Hoa In dekati meja dan bertanya kembali, "Ilmu silat
apakah itu" Berguna tidak bagi Siau Koan-jin....?""
"Oooh.... suatu ilmu aliran silat yang luar biasa
hebatnya...."
Melihat pemuda itu sedang kesemsem Hoa In-pun
tidak berani mengganggu kembali, ia sediakan air teh
lalu menyingkir ke samping untuk bersemedhi.
Ketika fajar telah menyingsing, pelayan muncul
menghidangkan air teh. Tetapi perhatian Hoa Thian-hong
masih tetap terjerumus di dalam ilmu silat, hingga
akhirnya kepada Bong Pay ia berkata. "Bong toako,
bukankah gurumu telah meninggal dunia hingga toako
tiada orang yang memberi petunjuk" ilmu silat yang di
miliki pengurus perkampunganku ini didapati dari
leluhurku, bila kau punya kegembiraan tak ada salahnya
bila minta petunjuk darinya."
"Bakatku tidak bagus, watakku berangasan. dan tidak
sabaran, aku takut pengurus tua merasa tidak sabar
untuk memberi petunjuk kepadaku."
"Bocah ini jujur dan gagah," pikir Hoa In dalam hati,"
bila aku bisa mendidiknya secara baik-baik. akhirnya ia
akan menjadi seorang pembantu yang baik buat Siau
Koan-jin."
Agaknya semua persoalan yang ia pikirkan hanya
ditujukan demi kebaikan majikan mudanya. berpikir
sampai disana dengan senang hati ia lantas berkata,
"Engkoh cilik. asal kau mau belajar akupun dengan
senang hati akan menurunkan kepandaian silatku
padamu." Hoa Thian-hong jadi sangat girang mendengar
perkataan itu, ujarnya, "Selama berkelana di dalam dunia
persilatan, ilmu silat adalah merupakan senjata yang
paling ampuh, setiap saat kemungkinan besar kita bisa
dikerubuti oleh musuh dalam jumlah yang lebih banyak,
mari kita mulai berlatih sekarang juga, jangan sampai
membuang waktu dengan percuma"
Itu hari kecuali di tengah hari pergi 'lari racun',
sepanjang waktu Hoa Thian-hong mengurung diri di
dalam kamar sambil mempelajari ketiga jurus serangan,
ampuh itu, setelah dipertimbangkan berulang kali
akhirnya ia ambil keputusan, ilmu tadi baru akan
diwariskan kepada Bong Pay setelah ia dapat menguasai
kepandaian tersebut.
Malam harinya rombongan melanjutkan perjalanan
tinggalkan kota Wi-Im menuju ke selatan, seperti semula
keempat puluh orang pengawal golok emas berangkat
lebih duluan dan menanti di kota paling depan, sedang
Jin Hian serta Hoa Thian-hong sekalian enam orang
menyusul dari belakang.
Rantai besi yang didapatkan dari leher Bong Pay itu
oleh Hoa In telah dibikinkan sebilah pedang raksasa yang
amat besar, ketika Hoa Thian-hong menjajal senjata
tersebut terasalah olehnya meski tidak seberat pedang
baja miliknya yang hilang di markas besar perkumpulan
Sin-kie-pang, tetapi benda itu secara paksa masih dapat
menahan getaran tenaga dalamnya hingga tidak sampai


Bara Maharani Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

patah. Hari itu tibalah mereka di kota Ko-Yu dan bermalam
disitu. Bong Pay dengan berlagak hendak membeli
barang di kedai, seorang diri ternyata telah menyusup ke
dalam kuil 'Tiong-goan-koan' milik perkumpulan Thongthian-
kauw, karena para jago lihaynya telah ditarik
pulang semua ke kota Lang-An ditambah pula rasa
dendamnya yang berkobar-kobar, setelah melepaskan
semua perempuan yang disekap di dalam kuil itu, di
tengah hari bolong ia segera melepaskan api dan
membakar pula kuil itu hingga hancur sama sekali.
Menanti Hoa Thian-hong mengetahui kejadian ini,
sudah tak sempat lagi baginya untuk mencegah
perbuatan itu. Melihat kenyataan bahwa dendamnya
dengan pihak Thong-thian-kauw kian hari kian
bertambah dalam hati pemuda itu hanya bisa mengeluh
sambil tertawa getir.
Suatu senja rombongan Jin Hian sekalian telah
menyeberangi sungai Tiangkang dan menginjakkan
kakinya di wilayah Kanglam suasanapun seketika
berubah sama sekali.
Tampak Cu Goan-khek, Seng Sam Hau. Siang Kiat
serta seluruh jago yang terpandang dalam perkumpulan
Hong-im-hwie hadir semua jadi satu rombongan, di
samping itu terdapat pula lima puluh orang jago lainnya
termasuk keempat puluh pengawal golok emas maka
rombongan Hong-im-hwie yang berkumpul ditepi sungai
meningkat jumlahnya jadi beberapa ratus orang.
Setelah mendarat barisan berangkat memasuki kota
Ceng-kang-shia, suara derap kaki kuda yang ramai
bergema bagaikan guntur di tengah hari, pasir dan debu
beterbangan memenuhi angkasa seolah-olah medan
pertempuran yang sedang melangsungkan pertumpahan
darah. Hoa Thian-hong bertiga yang berada diantara
rombongan besar itu merasakan dirinya bagaikan sebuah
sampan kecil di tengah amukan ombak, sekalipun nyali
pemuda itu amat besar tak urung gelisah juga dibuatnya.
Setelah masuk ke dalam kota, pasukan besar
perkumpulan Hong-im-hwie itu behenti di depan sebuah
bangunan rumah yang besar dan megah, semua orang
loncat turun dari kuda dan mengiringi Jin Hian masuk ke
dalam rumah. Tiba-tiba Jin Hian menghentikan langkahnya, kepada
para pengiring disisinya ia berseru, "Hoa kongcu akan
ditempatkan dimana?"
"Lapor toako" sahut seorang pria setengah baya,
"siauwte mengosongkan ruang barat tempat itu sengaja
kami sediakan untuk Hoa Kongcu.."
Jin Hian mengangguk, sambil berpaling ke arah Hoa
Thian-hong ujarnya, "Loo-te, bila pelayanan kurang
memadai harap kau suka secara langsung mencari aku."
"Terima kasih atas perintahmu!"
Seorang pria baju hijau segera maju dan memberi
hormat ujarnya, "Hoa kongcu, silahkan ikut diriku menuju
ke ruang barat untuk beristirahat....!"
Hoa Thian-hong memberi hormat kepada Jin Hian lalu
mengikuti di belakang pria tadi menuju ke ruang barat,
disana empat orang pelayan perempuan telah siap
menyambut kedatangannya.
"Aku bernama Lie Sim" ujar pria baju itu
memperkenalkan diri, "aku mendapat tugas untuk
melayani kongcu. bila kau ada permintaan harap kongcuya
suka sampaikan kepadaku"
"Terima kasih!"
Lie Sim memberi hormat dan mengundurkan diri dari
ruang barat. Ruangan itu merupakan sebuah bangunan yang
tersendiri, bangunannya luas dengan suasana yang
tenang, setelah memandang sebentar sekitar tempat itu
Hoa In berkata, "Rupanya Jin Hian akan berdiam agak
lama ditempat ini, kalau ditinjau dari sikapnya mungkin ia
tiada maksud untuk meneruskan perjalanannya menuju
ke selatan"
Melihat kakek itu murung bercampur kesal, Hoa Thianhong
segera menghibur. katanya, "Persoalan ini
merupakan suatu masalah besar yang akan merubah
situasi di dalam dunia persilatan, banyak sekali masalah
yang pelik tercakup dalam soal itu dan tidak dipahami
oleh kita, tetapi toh kita sudah sampai disini, marilah kita
hadapi setiap perubahan dengan sikap tenang tak perlu
kita terlalu merisaukan akan soal ini"
"Aku amat merisaukan keselamatan dari Siau Koanjin,"
Hoa Thian-hong tersenyum. "Berjuang demi
menegakkan keadilan ibaratnya bekerja sebagai
pengawal barang kiriman. setiap hari harus
bergelimpangan di ujung senjata dan adu kepalan, soal
bahaya sudah bukan kejadian yang asing lagi bagi
manusia macam kita ini"
Ia berhenti sebentar untuk tukar napas, lalu berpaling
tampaknya, "Bong toako, siaute mempunyai tiga jurus
ilmu totokan, bagaimana kalau kita pelajari secara
bersama?" Dengan cepat Bong Pay menggeleng. "Sebelum
pertemuan besar Pek Beng Hwee, suhu secara terburuburu
telah turunkan ilmu kepandaian andalannya 'Pek
Lek-ciang' kepadaku itu waktu usiaku masih terlalu kecil
dan dasarku amat cetek ditambah pulu otakku bebal,
sekalipun secara dipaksakan aku masih ingat permainan
ilmu telapak itu namun belum pernah kepandaian tadi
kupelajari secara baik. setelah mendapat petunjuk dari
pengurus tua beberapa hari belakangan ini pikiranku
terasa bertambah terbuka, aku ingin melatih dulu ilmu
telapak milik suhuku sehingga matang, kemudian baru
mempelajari ilmu silat yang lain."
"Rangkaian ilmu telapak itu merupakan kepandaian
ampuh dari Pek-lek-sian, sewaktu dia berkelana dan
angkat nama di dalam dunia persilatan" sambung Hoa In
cepat, "bila ilmu tersebut bisa dilatih hingga mencapai
puncak kesempurnaan, sama saja kau bisa menjagoi
kolong langit tanpa tandingan menurut penilaianku
memang sudah sepantasnya kalau ilmu silat dari
perguruan sendiri dilatih dulu sampai matang."
Hoa Thian-hong mengangguk, ujarnya kemudian,
"Mara bahaya setiap kali akan muncul dijalan sebelah
muka, kita harus berusaha sekuat tenaga untuk
mencegah jangan sampai peristiwa dalam pertemuan Pek
Beng Hwe terulang kembali, mari kita gunakan waktu
sebaik-baiknya untuk menggembleng diri!"
"Tapi dengan andalkan kita beberapa orang....." tetapi
setelah dilihatnya raut wajah majikan kecilnya
menunjukkan kebulatan tekadnya, ucapan yang telah
meluncur keluar segera ditelan kembali.
Dalam ruang barat tersedia empat orang pelayan
perempuan yang khusus untuk melayani kebutuhan
beberapa orang itu, Hoa In memandang majikannya
bagaikan barang mustika, semua keperluannya masih
tetap dilayani sendiri olehnya, selesai bersantap Hoa
Thian-hong mengunci diri kembali di dalam kamar untuk
mendalami ilmu 'Ci Yu Jit Ciat' sedang Bong Pay di bawah
mengawasi Hoa In berlatih ilmu telapak diluar halaman.
Meskipun pelayan tua itu tidak mengerti akan jurus
silat dari ilmu telapak Pek-Lek-ciang, namun dengan
pengetahuannya yang luas setiap kali Bong Pay
mengalami kesulitan ia dapat memecahkannya secara
jitu. Ketika senja telah menjelang dan ketiga orang itu
sedang bersantap, tiba-tiba Lie Sim datang melapor
katanya ada orang mohon bertemu.
Setelah menanyakan raut wajah tamunya, Hoa Thianhong
buru-buru munculkan diri di depan pintu untuk
menyambut kedatangan tamunya. Yang datang
berkunjung semuanya terdiri dari tiga orang- mereka
adalah Ciong Lian-khek, Chin Giok-liong serta seorang
tauto jubah putih berikat kepala perak.
Ciong Lian-khek dengan pedang tersoren di punggung
ujung baju sebelah kosong kegagahannya masih nampak
seperti sedia kala, Cuma sorot matanya memancarkan
cahaya berapi api, seakan-akan ia sedang merasa amat
gusar. Hoa Thian-hong segera memburu maju ke depan dan
memberi hormat kepada Ciong Lian-khek. Jago buntung
itu menahan badannya sambil berseru, "Mari kita
berbicara di dalam kamar saja"
Hoa Thian-hong mengangguk dan menoleh ke arah
tauto tua berambut putih itu, sambil memberi hormat
katanya, "Toa suhu, baik-baikkah kau" boanpwee
mengira kau si orang tua telah meninggalkan diriku"
Tauto berambut putih itu tertawa ramah. "Akupun
merupakan salah seorang rekan dari mendiang ayahmu,
setelah kau punya keberanian untuk menghadapi
kekacauan di depan mata, kenapa aku musti sayang
dengan rongga badanku yang kosong ini?""
Hoa Thian-hong tersenyum, ia gandeng tangan Chin
Giok-liong dan naik ke atas undak-undakan, mereka
berpandangan sambil tersenyum, semua rasa kangen
seketika lenyap dalam senyuman itu.
Setelah semua orang ambil tempat duduk Hoa In
mengamat amati tauto berambut putih itu beberapa
kejap, tiba-tiba teriaknya dengan suara keras, "Eeei....toa
suhu, bukankah kau adalah Cu In Taysu?""
"Sedikitpun tidak salah. aku adalah Cu In" sahut Tauto
tua itu sambil tertawa, "Loo Koan-kee (pengurus tua)
ilmu sakti Sau-yang-ceng-kiemu sudah hampir memadahi
kehebatan dari Hoa Tayhiap tempo dulu, hal ini patut
dibanggakan dan dipujikan."
"Aaaat, hamba telah tua," sambil berkata pengurus
she-Hoa itu melirik sekejap ke arah Hoa Thian-hong,
secara lapat-lapat, wajahnya terlintas rasa murung yang
mendalam. Cu In Taysu termenung beberapa saat lamanya. Tibatiba
ia menghela napas dan berkata pula, "Melihat kau
berdiri di belakang keponakan Hoa tanpa terasa
terbayang kembali olehku akan Hoa Taybiap dimasa yang
silam, waktu itu dimana kalian berdua muncul Hoa
Tayhiap bagaikan rembulan di langit, memberikan
suasana tenang dan damai bagi setiap orang, kau yang
berdiri di belakangnya menunjukkan sikap yang gagah
dan berwibawa. Kini justru keadaan itu malah sebaliknya,
majikan mudamu ini kokoh dan kebal laksana sebuah
bukit. sebaliknya kau berwajah murung, kesal dan tidak
tenteram. Aaaai..."
Helaan napas itu mengandung arti yang sangat
mendalam, tiba-tiba ia membungkam.
Teringat akan majikannya, Hoa In tertunduk dengan
wajah sedih. sambil menghela napas katanya, "Kejadian
yang telah lampau tak akan kembali lagi, meskipun Siau
Koan-jin memiliki kecerdasan yang luar biasa, lapi betapa
hebatnya musuh yang harus dihadapi, mungkinkah
dengan tenaga kita beberapa orang keadilan bila
ditegakkan kembali" dan dia,." ternyata tak mau
mendengarkan nasehatku.."
Diam-diam Hoa Thian-hong mengamati raut wajah
semua jago. Ia lihat Cu In Taysu menunjukkan raut
wajah yang sedih, Ciong Lian-khek tenang bagaikan air
telaga, sedikitpun tidak menunjukkan perubahan apapun.
Chin Giok-liong juga tenang dan alim bahkan Bong Pay
yang biasanya binalpun saat itu bungkam dalam seribu
bahasa. Tanpa terasa ia lantas berpikir di dalam hati, "Masa
depan amat suram. mereka semua tidak mempunyai rasa
percaya pada diri sendiri, tapi karena aku seorang meski
tahu bukan tandingan mereka paksakan diri untuk
muncul pula di gelanggang, sikap ini walaupun patut
dihargai tetapi berjuang tanpa semangat darimana bisa
menyelesaikan persoalan?""
Kendati dalam hati merasa kesal tapi perasaan itu
tidak sampai diperlihatkan ditempat luaran, sambil
tertawa nyaring ujarnya, "Hoa In, bukankah tempo dulu
kau adalah sahabat karib dari Toa suhu ini,kenapa
sewakiu berjumpa muka di tengah jalan tempo hari,
kalian telah saling bertempur?""
"Dahulu kepala taysu gundul kelimis dan kini
memelihara rambut, dulu senjata yang dipergunakan
adalah toya Pat-Poo sian-ciang sedang kini yang dipakai
adalah senjata sekop bergigi. dulu sekarang bagaikan
dua orang yang berbedi, dari mana aku bisa ingat?""
Cu In Taysu tertawa sedih. "Sejak bertempur di Pak
Beng, sahabat karib dan rekan2 seperjuangan banyak
yang mati binasa, aku yang berhasil melepaskan diri dari
maut sungguh merasa tak punya muka untuk hidup
sebagai manusia"
Mendengar pembicaraan yang berlangsung selalu
Ikat Pinggang Kemala 8 Pendekar Rajawali Sakti 30 Warisan Berdarah Tengkorak Maut 5
^