Pencarian

Bidadari Dari Sungai Es 16

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen Bagian 16


senjatanya, tapi tak bisa terlepas dari "isapan" mangkok.
Si pendeta girang bukan main, tapi mendadak ia merasakan ada apa-apa yang luar
biasa di luar pintu. Ia menoleh dan tiba-tiba saja dua butir benda kecil yang sangat dingin
menyambar masuk
ke dalam lubang hidungnya. Hatinya mencelos karena Pengtjoan Thianlie kelihatan
berdiri di ambang pintu sambil mengawaskannya dengan sorot mata dingin.
Si pendeta terbang semangatnya dan sambil mengerahkan lweekang untuk melawan
hawa dingin, tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia melompat ke jendela dan terus kabur
terbirit-birit. Si
nona tidak mengubar dan membiarkan pendeta itu mabur. Teruchi juga kaget bukan
main, sehingga gerakan senjatanya agak lambat dan Thian Oe yang sungkan menyia-nyiakan
kesempatan baik, segera melompat dan menangkap ujung Djoanpian. Baru saja ia
mengangkat pedang untuk menabas, Peng Go membentak: "Tahan! Ampuni padanya, jika ia mau
bersumpah untuk tidak mengacau lagi di Tibet." Teruchi yang masih sayang jiwanya, lantas
saja mengucapkan sumpah yang berat dan kemudian berlalu tanpa diganggu.
Sementara itu, Hoat-ong sudah naik ke atas dan berjumpa dengan utusan Panchen, yang
sudah bisa bergerak leluasa karena ditolong dengan obat istana es. Dengan
perkataan-perkataan
halus ia pun menghaturkan banyak terima kasih untuk semua pertolongan.
Kaki tangan Omateng yang sudah mati kutunya, berdiri di sudut ruangan tanpa
berani bergerak. Mereka ketakutan setengah mati, lebih-lebih dua boesoe yang menggotong
tubuh Nyepa itu. "Apakah kau orang ingin menebus dosa?" tanya Hoat-ong dengan suara angker.
Melihat dibukanya jalanan hidup, semua boesoe itu segera manggut-manggutkan
kepala. "Sebagai orang kepercayaan, kau orang tentu mengetahui, bahwa Omateng telah
bersekutu dengan orang luar untuk menimbulkan kekacauan di Tibet," kata pula Hoat-ong.
"Sekarang aku
ingin mendapat bukti dari persekutuan itu untuk diumumkan kepada dunia, terutama
kepada pembesar-pembesar dan rakyat di Sakya." Sehabis berkata begitu, ia segera
memerintahkan dua
orang muridnya untuk menggeledah kamar Omateng dengan orang-orang kepercayaan
itu. Benar saja dalam kamar itu telah didapatkan sejumlah surat-surat rahasia,
antaranya surat
balasan Raja Kalimpong dan Raja Nepal yang menjanjikan pengiriman tentara. Hoat-
ong segera meminta Pengtjoan Thianlie untuk menyadarkan Nyepa itu, yang meskipun licik,
sekarang tidak bisa menyangkal lagi segala kedosaannya. Sesudah
menegurnya dengan perkataan-perkataan keras, Hoat-ong menotok beberapa bagian
tubuhnya untuk memusnahkan ilmu silatnya. Sesudah itu, ia menyerahkan Omateng kepada
utusan Panchen untuk dibawa ke Lhasa dan diadili.
Sesudah membereskan keadaan di dalam bentengan, Hoat-ong memerintahkan beberapa
muridnya, dengan membawa tanda kekuasaan Budha Hidup, pergi mendamaikan kedua
pasukan yang sedang berhadapan di luar bentengan, yaitu pasukan Touwsoe dan pasukan
Lochu, pamannya Chena.
Sementara itu, utusan Panchen telah memberi pengampunan kepada si tabib, yang
telah dipaksa Omateng untuk meracuninya. Tak usah dikatakan lagi, ia jadi kegirangan
dan lalu berlutut
sambil manggutkan kepala berulang-ulang. Atas pertanyaan Thian Oe, tabib itu
memberitahukan,
bahwa jenazah Chena ditaruh di belakang bentengan bersama peti mati Touwsoe.
Tanpa menunggu lagi, dengan diantar oleh si tabib, bersama Yoe Peng, Thian Oe segera
menuju ke tempat yang ditunjuk.
Ternyata jenazah Chena ditaruh dalam sebuah peti mati kaca, di samping peti mati
Touwsoe. Dengan berbuat begitu, Omateng mempunyai maksud tertentu, la ingin, supaya semua
penghuni dalam bentengan Touwsoe bisa mengenali, bahwa pembunuh itu adalah "si pencuri
kuda" yang
pernah ditolong oleh Tan Teng Kie dan puteranya. Dengan berbuat begitu, ia
bertujuan untuk
mengobarkan perasaan gusar terhadap orang Han seumumnya dan Soanwiesoe
khususnya. Tapi,
di luar dugaan, tindakan Omateng telah memungkinkan Thian Oe melihat pula wajah
kecintaannya. Karena hawa yang dingin, maka biarpun sudah lewat sekian lama,
jenazah itu masih
belum rusak dan di bawah kaca, paras muka Chena tiada bedanya seperti waktu
masih hidup. Melihat kecintaannya, untuk sejenak Thian Oe berdiri terpaku. Kepalanya
terputar, ia merasakan seolah-olah langit ambruk. Di lain saat, dengan satu teriakan
menyayatkan hati, ia
melompat dan memeluk peti mati itu!
Semua orang -- Yoe Peng, si tabib, nyonya Touwsoe dan Sanpiie -- mengawaskan
dengan mata membelalak. Sesaat itu, segala apa sudah menjadi terang bagi Sanpiie. Ia
sekarang tahu sebabsebab
penolakan pemuda itu untuk menikah dengannya.
Sesudah hilang kagetnya, nyonya Touwsoe jadi gusar. "Tan Kongtjoe," katanya
dengan suara mendongkol. "Untuk apa kau masuk ke ruangan ini" Untuk bersembahyang kepada
suamiku atau kepada penjahat perempuan itu?"
"Dia... bukan... penjahat," jawabnya terputus-putus. "Dia adalah puteri Raja
muda Chinpu. Jika
kalian tidak senang, biarlah sekarang juga aku memindahkan peti matinya."
"Aku tak perduli dia siapa!" berteriak nyonya Touwsoe. "Dia adalah pembunuh
suamiku dan biarpun dia sudah mati, dia masih harus membayar hutangnya!" Mendadak nyonya itu
menangis menggerung-gerung dan sesambat: "Ongya! Ongya! Sungguh buruk nasibmu! Sesudah
mati, masih ada orang yang menghina kau!" Selagi ia mau mencaci, sekonyong-konyong ia
ingat pertolongan Thian Oe yang sudah bantu menyingkirkan Omateng.
Mengingat begitu, ia jadi lebih sabar dan tangisannya mereda Sekonyong-konyong
terdengar tangisan Yoe Peng. "Chena Tjietjie!" teriaknya. "Jiwamu dijual terlalu murah!
Orang lain membunuh sekeluargamu dan merampas harta bendamu. Tapi, kau dengan hanya
membunuh satu musuh, sudah mesti membayar dengan jiwamu sendiri. Chena Tjietjie!
Kematianmu sungguh
tidak berharga!"
Nyonya Touwsoe dan Sanpiie terkejut. Bahwa Touwsoe telah membunuh Raja muda
Chinpu serumah tangga dan kemudian merampas tanah, adalah kejadian yang diketahui
mereka. Maka itu, perkataan Yoe Peng yang tajam sudah mengejutkan mereka. Sedang Yoe Peng
masih mengucurkan air mata, dengan diantar Hoat-ong dari luar tiba-tiba masuk seorang
yang bertubuh tinggi besar. Orang itu adalah Lochu.
Melihat jenazah keponakannya yang ditaruh berendeng dengan peti mati Touwsoe,
Lochu gusar bukan main. "Binatang!" bentaknya. "Kau berani berendeng dengan keponakanku?" Ia
mengangkat tangan untuk menghantam peti mati Touwsoe.
Hoat-ong merangkap kedua tangannya seraya berkata dengan suara sabar: "Sesudah
hutang dibayar, permusuhan habis dengan sendirinya. Mulai dari sekarang, kedua belah
pihak harus menyingkirkan segala permusuhan."
Mendengar itu, Lochu mengurungkan niatnya dan dengan sorot mata gusar ia
mengawasi nyonya Touwsoe yang duduk di atas lantai tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Melihat kedatangan
Lochu, Thian Oe merasa tak perlu berdiam lebih lama lagi, maka sambil menarik
tangan Yoe Peng,
ia segera berjalan keluar dari ruangan sembahyang itu.
*** Di gedung Soanwiesoe, Keng Thian kaget bukan main ketika orang melaporkan, bahwa
Thian Oe telah kembali bersama dua orang wanita.
"Eh-eh! Apa dia terluka?" tanya Keng Thian.
"Tidak, Kongtjoe kelihatan lebih segar daripada waktu berangkat," jawab serdadu
yang melaporkan. Buru-buru Keng Thian keluar dan begitu melihat, kegirangannya meluap-luap. Thian
Oe berjalan masuk sambil tersenyum, sedang Peng Go dan Yoe Peng mengikuti dari
belakang dengan
bergandengan tangan. Untuk melayani musuh, sudah beberapa hari ia bekerja terus
menerus hampir tanpa mengasoh, sehingga ia sudah lelah dan lesu sekali. Tapi kedatangan
Peng Go seolah-olah air hujan bagi pohon yang layu dan mendadak saja kesegarannya pulih
kembali. "Peng Go Tjietjie!" teriaknya. "Kenapa baru hari ini kau datang kesini" Thian
Oe, apakah yang
sudah terjadi" Kenapa kau tidak pergi ke Lhasa?" Sedang mulutnya menanya Thian
Oe, matanya terus mengincar Pengtjoan Thianlie.
Yoe Peng tertawa terpingkal-pingkal, dan melepaskan tangannya dari cekalan si
nona. Ia mendorong Thian Oe dan berteriak: "Tolol! Tak usah meladeni pertanyaannya. Mari
kita berlalu. Biar mereka bicara sepuas hati."
"Tak usah pergi ke Lhasa," kata Peng Go yang lalu menceritakan apa yang sudah
terjadi. Itulah perkembangan yang sungguh di luar dugaan Keng Thian. "Peng Go Tjietjie,
kau sungguh seperti seorang dewi," ia memuji dengan perasaan kagum. "Dengan sekali mengebas
tangan, awan membuyar dan matahari muncul di langit cerah."
Paras muka si nona bersemu dadu. "Hm! Kegirangan, tapi aku justru sedang
kebingungan,"
katanya. Keng Thian terkejut. "Ada apa lagi?" tanyanya dengan suara berkuatir. "Bencana
yang paling besar sudah dielakkan. Ada apa lagi yang menjengkelkan?"
"Bahaya masih belum lewat," jawab si nona yang lalu menuturkan pertemuannya
dengan Ngotu, yang memberitahukan, bahwa Raja Nepal ingin datang ke Tibet untuk memaksa
ia pulang. "Tindakan apa yang harus diambil olehku guna menghadapi bahaya itu?" tanya Peng
Go akhirnya. Paras muka Keng Thian lantas saja berubah guram, tapi sesudah memikir sejenak,
ia tertawa. "Sebagai seorang yang sudah kenyang membaca kitab-kitab pelajaran Budha, apakah
kau tak tahu, bahwa Hoedtjouw pernah memotong daging sendiri untuk diberikan kepada
seekor elang dan pernah berkorban untuk seekor Harimau?" tanyanya.
"Apa kau rela melihat aku menikah dengan Raja Nepal?" si nona balas menanya
dengan suara menegur. Keng Thian kembali tertawa seraya berkata: "Gila! Masakah aku rela membiarkan
kau menikah dengan raja kejam itu" Maksudku adalah supaya kau tidak menampik capai lelah
untuk pergi ke Nepal guna menemui manusia kejam itu. Pertama, kau bisa mengakhiri niatnya yang
tidak-tidak dan kedua, kau bisa bertindak dengan mengimbangi salatan. Misalnya, jika masih
terdapat kemungkinn, kau bisa menuntun dia ke jalanan yang lurus, atau, kau bisa juga
menggulingkannya
dan mengangkat seorang raja yang lebih bijaksana. Dengan berbuat begitu, kau
menyebar kebaikan kepada umat manusia seumumnya dan kepada rakyat Nepal khususnya."
"Ibuku pernah bersumpah untuk tidak kembali lagi ke Nepal," kata si nona. "Di
samping itu, andaikata aku pergi, belum tentu aku bisa berhasil."
"Dalam dunia ini banyak kejadian yang terjadi di luar dugaan manusia," membujuk
Keng Thian. "Dulu, kau pun pernah mengatakan, bahwa kau tak akan turun dari istana es. Tapi
bagaimana kesudahannya" Robohnya Puncak Es sudah memaksa kau kembali ke pergaulan umum,
kaumalahan sudah terlibat dalam pertempuran, sudah tertarik ke dalam banyak peristiwa yang
memusingkan otak.
Maka itu, untuk menolong sesama manusia, sekarang kau tak boleh takut pusing
atau takut capai." Sebenarnya, si nona pun sudah menggenggam niatan itu. Mendengar bujukan Keng
Thian, ia segera menyetujui dan berkata sambil bersenyum: "Kalau begitu, kau harus
mengikut aku pergi
bersama-sama!"
"Akur!" kata Keng Thian dengan suara girang. "Aku memang sedang menunggu
undangan itu! Sesudah mengasoh dua hari, kita lebih dulu pergi ke Lhasa untuk menemui Hok Kong
An dan mendengar-dengar soalnya Liong Leng Kiauw. Sesudah itu, barulah kita berangkat
untuk berjumpa dengan raja kejam itu."
Sambil berjalan berendeng di taman gedung Soanwiesoe, kedua orang muda itu
beromongomong dengan suara perlahan. Dengan perasaan geli, mereka menceritakan kembali
beberapa

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

salah mengerti di masa yang lampau yang sebagian besar disebabkan oleh sepak
terjang Kim Sie
Ie. "Orang itu sangat sukar ditaksir," kata Keng Thian. "Tadinya aku sangat membenci
dia. Tapi kali ini, di luar semua dugaan, ia telah menolong Thian Oe. Waktu Omateng
mengirim orang untuk
menangkap pemuda itu, mendadak dia muncul dan dengan suka rela menggantikan
Thian Oe untuk menemui Hoat-ong. Coba kau pikir: Heran atau tidak?"
"Kau tentu tak tahu, dia hampir-hampir mengantarkan jiwa," kata si nona.
"Barusan aku sudah
lupa untuk memberitahukan hal itu kepadamu. Waktu aku tiba di kuil Lhama, ia
justru sedang bertempur dengan Hoat-ong." Si nona lalu menuturkan kejadian itu secara jelas.
Keng Thian merasa semakin kagum akan cara-caranya orang aneh itu. Sesaat
kemudian, ia menghela napas seraya berkata: "Ia hanya bisa hidup tiga puluh enam hari lagi,
tapi ia kukuh menolak segala bantuan yang ditawarkan olehku. Dia sungguh manusia yang paling
luar biasa dalam dunia ini. Sebelum mencarinya, hatiku tak akan merasa senang. Tapi kemana
dia sudah pergi" *** Kemana perginya Kim Sie Ie"
Dari kuil Lhama, ia kabur bagaikan orang gila, tanpa tujuan. Perlahan-lahan
fajar menyingsing
dan angin pagi yang dingin menyadarkan otaknya yang ditutup kabut. "Kemana aku
harus pergi?"
tanyanya pada diri sendiri. Tiba-tiba ia merasa haus, haus sekali. Dalam
pertempuran melawan
Hoat-ong, ia telah mengeluarkan tenaga dan keringat terlalu banyak. Untung juga,
berkat pertolongan dua butir Pengpok Sintan, hawa panas itu tertindih dan tak sampai
"membakar"
dirinya. Tapi peluru es bukannya obat, maka sesudah melumer dan habis
kekuatannya, ia kembali
merasa haus, karena hawa panas dalam tubuhnya belum hilang semuanya. Ia lalu
berjalan lebih cepat di jalanan raya yang menuju ke Lhasa dan tak lama kemudian, ia bertemu
dengan sebuah warung arak. Karena hawa di Tibet sangat dingin, orang-orang yang berlalu-lintas
sangat memerlukan arak untuk menghangatkan badan. Maka itu, di sepanjang jalanan raya
terdapat banyak sekali warung-warung arak.
Ia segera mampir di warung itu dan sambil minum arak, ia memandang alam yang
indah. Di ladang dan di bukit-bukit, dan rumput sudah mulai menghijau dan di antara warna
hijau yang menutup bumi, terdapat bunga-bunga kecil yang berwarna kuning muda. Itulah
pemandangan dari permulaan musim semi dan bunga yang mekar paling dulu adalah Potjoen hoa
(Bunga yang memberitahukan kedatangan musim semi). Waktu itu sudah masuk Djiegwee (Bulan
kedua), tapi karena datangnya musim semi selalu agak terlambat, maka di antara rumput hijau,
masih terdapat pohon-pohon gundul atau yang daunnya berwarna kuning tua.
Kim Sie Ie jadi semakin berduka. "Ah! Nasibku tiada bedanya seperti itu daun
kuning yang sedang menunggu rontoknya," ia mengeluh. Dalam dukanya, tanpa merasa ia menyanyi
lagu Lianhoalok, yaitu lagu kaum pengemis yang didapatnya waktu ia masih mengemis di
daerah Kanglam. Karena sedih dan penasaran, semakin lama ia menyanyi semakin keras,
sehingga pelayan yang membawa poci arak jadi terkejut. "Tuan tamu! Arak datang!"
teriaknya. Tanpa
menoleh, ia mementil leher poci sehingga patah dan dari jauh ia menyedot. Loh!
Arak itu mendadak mancur keluar dari dalam poci dan masuk ke dalam mulutnya. Si pelayan
kaget tak kepalang dan mengawaskan pertunjukan itu dengan mata membelalak. Sekonyong-
konyong, sambil berteriak keras, Kim Sie Ie melompat seperti orang dipagut ular!
Kenapa" Ternyata, selagi ia menyedot arak, mendadak menyambar serupa benda kecil yang
berbentuk pil dan bersama arak, masuk ke dalam mulutnya. Sambaran itu luar biasa cepat dan
tidak terdugaduga,
waktu ia mengetahui, benda itu sudah masuk ke dalam perut. Sebagai orang yang
mempunyai kepandaian tinggi dalam ilmu menggunakan senjata rahasia, bokongan
tersebut tentu saja mengejutkan sangat hatinya.
Sesaat kemudian, ia merasa semacam hawa dingin menerobos masuk sampai di tantian
(pusar) dan hampir berbareng, rasa haus, puyeng dan sakit menghilang semuanya. Ia
terkesiap dan ingat
perkataan Phang Lin yang pernah menceritakan tentang khasiat Pekleng tan. Apakah
yang ditelannya pil Pekleng tan yang terbuat dari Thiansan Soatlian"
"Aku ingin sekali bertemu dengan orang yang menolong diriku!" berseru Kim Sie
Ie. Sekonyong-konyong ia melihat muka dua wanita di jendela sebelah barat dan mereka
itu bukan lain daripada Phang Lin dan puterinya. Bahna kagetnya, ia mengeluarkan jeritan
nyaring dan berdiri terpaku. Ia sudah menolak Pekleng tan yang diberikan Keng Thian, tapi
akhirnya, ia menelan juga pil itu. Biarpun pil yang ditelannya bukan diberikan langsung oleh
Keng Thian, tapi
Pekleng tan tetap Pekleng tan. Phang Lin adalah bibi Keng Thian. Bukankah dengan
demikian, secara tak langsung, ia juga menerima budinya pemuda itu"
Pada saat itu, rupa-rupa pikiran berkelebat-kelebat dalam otaknya, sedang Lie
Kim Bwee menggapai-gapai dengan sikap nakal. Bibirnya bergerak, tapi ia tak dapat
mengeluarkan sepatah
kata. Mendadak, berbareng dengan berkelebatnya bayangan orang, Phang Lin dan puterinya
menghilang dari pandangan. Kim Sie Ie bengong dan tiba-tiba saja, ia merasa
sangat menyesal. Ia
ingat, bahwa dalam pertemuan pertama di atas gunung Gobie san, selagi si nona
bermain-main dengan kawanan kera, Kim Bwee pernah berkata begini: "Jika kau berlaku baik
terhadap mereka
(kera-kera), mereka pun bersikap manis terhadapmu. Jika kau menghina mereka,
mana mereka mau bersahabat dengan kau?" Sekarang, mendadak ia mendusin dan merasa, bahwa
perkataan si nona tepat sekali. Ia menganggap, bahwa dengan menolong Thian Oe, ia sudah
berbuat suatu kebaikan. Dan karena perbuatannya itu, beberapa orang memperhatikan dirinya dan
tanpa diminta, sudah mengulur tangan untuk menolongnya. Memikir begitu, dalam hatinya
muncul pertanyaan: "Apakah aku yang sudah menarik kesimpulan salah" Apakah dunia ini
sebenarnya tak begitu kejam seperti yang diduga olehku?"
Dalam kedukaannya, ia ingat pula banyak kejadian di masa lampau. Ia ingat
kecintaan mendiang ayahnya, ia ingat kecintaan seorang pengemis tua yang pernah mencuri
ubi manis untuk menolongnya dari kelaparan, ia ingat kebaikan Pengtjoan Thianlie dan ingat
pula si nona nakal yang sangat memperhatikan dirinya. Di samping ayahnya yang tercinta,
orang-orang itu
telah berpapasan dengannya hanya untuk sementara waktu, tapi, dalam tempo yang
sependek itu, mereka telah berbuat apa-apa yang tak dapat dilupakannya. Mengingat begitu,
air matanya mengucur deras. Ia ingin berteriak untuk memanggil Kim Bwee dan ibunya, tapi
mereka sudah tak
tertampak bayang-bayangannya lagi.
Sambil menangis, ia mengawasi ladang yang luas dengan sorot mata dan paras muka
orang yang hilang ingatan. Para pelayan berwaspada dengan hati berdebar-debar, tapi
mereka tak berani menegur tamu yang aneh itu.
Sekonyong-konyong, ia mendengar suara seorang wanita yang tak asing. "Aku minta
sepoci arak susu kuda," katanya.
"Ibu, aku tak suka arak susu kuda yang asam," kata seorang wanita muda. "Aku
ingin minum anggur yang manis."
Ia menoleh dan matanya kebentrok dengan mata dua orang wanita, seorang ibu dan
puterinya. Begitu melihat Kim Sie Ie, si nona lantas mundur beberapa tindak dengan mata
membelalak. Kedua wanita itu bukan lain daripada Yo Lioe Tjeng dan Tjee Tjiang Hee. Oleh
karena sang ibu
ingin sekali bertemu dengan Tong Siauw Lan, sedang si anak kepingin berjumpa
dengan Tong Keng Thian, maka pada suatu hari ibu dan anak itu telah berangkat ke Sinkiang
dengan niatan mendaki Thiansan guna menemui keluarga Tong. Setibanya di Sinkiang, mereka
bertemu Lie Tie
dan baru mereka mengetahui, bahwa Keng Thian berada di Tibet, sedang Siauw Lan
pun sudah berangkat ke Tibet kira-kira setengah bulan berselang, untuk menyusul puteranya
Maka itulah, mereka lalu menuju ke Tibet dan di luar dugaan, di tengah jalan bertemu dengan
Toktjhioe Hongkay. Waktu baru masuk ke warung arak, mereka tak mengenali pemuda itu yang
mengenakan pakaian Thian Oe. Sesudah melihat wajahnya, barulah mereka tahu siapa
adanya dia Kim Sie Ie tentu saja tak tahu, bahwa kaburnya Phang Lin adalah karena
kedatangan Yo Lioe
Tjeng. Sebagaimana diketahui, Phang Lin adalah seorang wanita yang suka guyonan.
Dulu, dengan menyamar sebagai Phang Eng, kakaknya, ia pernah memapas rambut Yo Lioe
Tjeng dengan golok terbang. Itulah sebabnya, begitu melihat nyonya tersebut, ia
kemalu-maluan, tidak
berani menemuinya dan lalu kabur sambil menyeret tangan puterinya yang merasa
heran melihat sikap sang ibu.
Sementara itu, melihat puterinya begitu ketakutan, Yo Lioe Tjeng berkata dengan
suara mendongkol: "Takut apa" Ingatlah, bahwa kau adalah cucu Tiattjiang Sintan Yo
Tiong Eng. Jangan
kasih dirimu dipandang rendah!"
Beberapa puluh tahun lamanya, Yo Tiong Eng pernah jadi pemimpin Rimba Persilatan
di lima propinsi Tiongkok Utara. Sebagai puteri keluarga yang kesohor, Yo Lioe Tjeng
tentu saja sungkan
merendahkan diri. la yakin, bahwa mereka berdua masih bukan tandingan Kim Sie
Ie. Akan tetapi,
ia pun tahu, bahwa jika si penderita kusta mau menyusahkan, biarpun lari, mereka
tak akan bisa terlolos. Sebab itu, ia segera mengambil keputusan untuk mempertahankan diri,
sesuai dengan kedudukannya dalam Rimba Persilatan.
Jika perkataan nyonya itu dikeluarkan pada beberapa tahun berselang, ia pasti
akan diganggu. Tapi sekarang, bukan saja Kim Sie Ie tak mempunyai kegembiraan untuk mengganggu
orang, tapi perkataan Yo Lioe Tjeng malahan sudah menimbulkan rasa jengah dalam hatinya.
"Ah, nona itu
cantik dan manis, seperti Kim Bwee Moaymoay," pikirnya. "Tapi begitu melihat
aku, dia lantas saja
ketakutan. Ini memang salahku yang sudah menanam bibit jelek pada dulu hari,
sehingga semua manusia menganggap aku sebagai manusia aneh."
Yo Lioe Tjeng segera mengajak puterinya duduk di satu meja dan berteriak:
"Pelayan, ambil
dua poci anggur!" Sehabis berkata begitu, ia mengeluarkan gendewa dan peluru
yang lalu ditaruh
di atas meja. Tapi biarpun di mulut berani, hati si nyonya sebenarnya ketakutan,
sehingga tangan
dan suaranya agak bergemetar. Kim Sie Ie tersenyum dan dengan tenang minum terus
araknya. Selang beberapa saat, dari luar mendadak masuk seorang anak muda yang
dandanannya seperti kacung kamar buku (pelayan pribadi dari seorang pemuda hartawan atau
bangsawan) dan yang menggendong buntalan di punggungnya. Kacung itu, yang berusia kira-kira
enam belas atau
tujuh belas tahun, kelihatan lelah sekali, tapi pada bibirnya selalu tersungging
senyuman dan ia
tak hentinya tertawa haha-hihi.
Sambil menaruh buntalan di atas meja, ia berkata seorang diri: "Bagus 'dah!
Besok aku sudah
tiba di Sakya. Pelayan, berikan aku sepoci anggur dingin!" Di pegunungan Tibet,
hawanya dingin luar biasa dan sepanjang tahun es tak pernah melumer. Tapi di tanah datar, di
waktu siang hawanya panas. Waktu itu belum tengah hari, tapi si kacung yang rupanya sudah
berjalan sedari
pagi, sudah kepanasan dan kecapaian.
Sesaat kemudian, pelayan datang dengan membawa sepoci anggur dan sepiring es
potongan. Si kacung lalu menuang arak di cawan, mengambil sepotong es yang lalu
dicemplungkan ke dalam
cawan dan kemudian menghirup isinya sambil meram-melek. "Aduh, enak betul!"
katanya dengan suara keras. "Arak kaizar belum tentu seenak ini!' Ia menyapu seluruh ruangan
dengan matanya

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan mendadak mendekati meja Yo Lioe Tjeng sambil tertawa haha-hihi.
"Aha!" serunya. "Kalian masih belum tahu cara meminum anggur. Masa anggur
ditambah air"
Dengarlah, aku memberi petunjuk. Jika kalian takut anggur itu terlalu keras,
tambahlah sepotong
es. Anggurnya jadi lebih lunak dan rasanya dingin."
Alis Yo Lioe Tjeng berkerut, tapi ia sungkan rewel, karena sedang memperhatikan
gerak-gerik Kim Sie Ie. Tapi si kacung ternyata tak mengenal batas. Ia kembali ke mejanya, mengambil
piring es dan balik lagi seraya berkata: "Aku tak dusta. Cobalah!" Ia menjumput sepotong es
dengan jerijinya
yang kotor dan lalu menaruhnya ke dalam cangkir Tjee Tjiang Hee.
Si nona gusar bukan main. "Siapa suruh kau campur-campur urusanku?" bentaknya
sambil mementil dua biji buah tho. Itulah ilmu mementil peluru dari keluarga Yo yang
tersohor. "Tuktuk!",
biji itu mengenakan tepat pada jalanan darah Djoanma hiat, di bawah kedua ketiak
si kacung, yang lantas berteriak "aya!", sambil melompat tinggi, sehingga piring es
tumpah dan potongan-potongan es menimpa muka si nona.
"Jika kau tak suka, kenapa tak bilang siang-siang," teriak si kacung. "Benar-
benar kau tak mengenal kebaikan orang. Hm! Kongtjoe-ku tak begitu sukar dilayani seperti kau!"
Mukanya Tjiang Hee bersemu dadu. "Siapa mau dilayani olehmu?" ia balas membentak
sambil mengangkat tangan untuk menggampar. Tapi sebelum tangannya melayang, ia sudah
ditarik ibunya. Yo Lioe Tjeng yang mempunyai banyak pengalaman, mengawaskan si kacung
dengan rasa heran dan sangsi. Djoanma hiat adalah salah satu dari tiga puluh enam jalanan
darah besar dalam
tubuh manusia. Jangankan seorang anak muda, sedangkan orang yang berkepandaian
tinggi mesti rebah jika Djoanma hiat-nya terpukul.
Apakah kacung itu mempunyai Pithiat Kanghoe (ilmu menutup jalanan darah)"
Sekonyong-konyong Kim Sie Ie tertawa terbahak-bahak dan bangun berdiri. Yo Lioe
Tjeng terperanjat dan tangannya lalu mengambil gendewa dan peluru.
"Saudara kecil," kata Kim Sie Ie sambil tertawa. "Cara kau minum arak sungguh
bagus. Pelayan! Ambil sepiring es untukku."
Mendengar suara orang, si kacung memutar badan. Mendadak ia berteriak: "Aduh!
Tak nyana Inkong (tuan penolong) yang bicara! Hari itu, aku tidak keburu menghaturkan
terima kasih. Kenapa kau juga berada disini" Inkong, aku tak mempunyai apa-apa untuk membalas
budimu. Aku hanya bisa mengundang kau minum secawan a-rak. Harap Inkong jangan menampik.
Aha! Aku sungguh gila! Inkong sudah menolong aku, tapi aku sendiri belum menanya she
dan nama Inkong yang besar!"
Kim Sie Ie tertawa seraya berkata: "Hm! Jika tak salah, kau ini bernama Kang
Lam, pelayan yang sangat bawel dari Tan Tliian Oe. Bukankah begitu?"
"Tentulah Siauw Loosoe yang memberitahukannya kepadamu," kata Kang Lam.
"Sebenarnya
aku sama sekali tidak banyak mulut. Mereka mengatakan begitu, karena mereka
membenci aku."
"Bagus!" kata Kim Sie Ie. "Kita berdua sama-sama dibenci orang. Marilah minum!"
Yo Lioe Tjeng semakin tak enak hatinya. Sedang satu Kim Sie Ie saja sudah sukar
dilayani, apalagi ditambah dengan si kacung aneh. Tapi sebenarnya, dalam hal ilmu silat,
kepandaian Kang
Lam masih belum dapat menandingi Tjee Tjiang Hee. Hanyalah karena pernah dipaksa
menjadi murid Hongsek Toodjin, sehingga ia pernah mempelajari ilmu membalik aliran
jalanan darah dari
imam itu, maka biji buah tho yang dipentil si nona tidak berhasil merobohkannya.
Bahwa hari itu ia berhasil meloloskan diri dari cengkeraman Hongsek Toodjin,
adalah berkat pertolongan Kim Sie Ie dan Pengtjoan Thianlie. Biarpun benar, ia terutama
ditolong oleh Tong
Keng Thian, tapi tanpa bantuan kedua orang itu, Keng Thian pasti tak akan dapat
memundurkan Hongsek. Kang Lam adalah seorang yang mempunyai ingatan kuat, sehingga, meskipun
hanya melihat sekelebatan, ia tak bisa melupakan wajah Kim Sie Ie. Maka itulah, begitu
bertemu, ia segera memanggil Inkong.
Kim Sie Ie yang sedang uring-uringan dengan beruntun menghabiskan belasan cawan
dan kemudian sambil mendelik, ia menanya: "Eh, kenapa kau memanggil Inkong" Selama
hidupku, baru pertama kali orang memanggil Inkong kepadaku."
"Tanpa pertolonganmu, sampai sekarang aku tentu masih jadi muridnya toosoe bau
itu," kata
Kang Lam. "Sampai di ini detik, aku tentu masih terkurung di dalam hutan batu.
Mungkin sekali aku sudah mati lantaran sebal."
"Toosoe itu bersedia menurunkan kepandaiannya kepadamu," kata pula Kim Sie Ie.
"Kenapa kau berbalik merasa sebal terhadapnya?"
"Dia jahat," jawabnya. "Tak keruan-keruan, ia mencaci aku. Hm! Mukanya tak
seperti muka manusia. Belum pernah aku melihat ia tertawa. Bagaimana aku tidak merasa sebal?"
"Kau tahu aku siapa?" tanya Kim Sie Ie dengan mata melotot.
"Aku justru mau menanya," jawabnya dengan sikap hormat.
"Kau dengarlah!" membentak Kim Sie le dengan suara menggeledek. "Aku adalah Kim
Sie Ie, yang dikenal dalam kalangan Kangouw sebagai Toktjhioe Hongkay! Kau tahu" Aku
membunuh manusia tanpa memilih hari, menggebuk orang tanpa alasan. Kau tahukah?"
Mendengar itu, jantung Yo Lioe Tjeng memukul keras, sedang Kang Lam pun
berdebar-debar hatinya. Tapi walaupun ketakutan, ia tetap bersenyum-senyum seraya berkata: "Itu
semua aku tak tahu dan aku tak mau ambil perduli. Yang penting adalah, kau telah berbuat baik
kepadaku dan budi itu tak dapat aku melupakannya."
Kata-kata Kang Lam seolah-olah jarum yang menusuk hati Kim Sie Ie. Ia segera
ingat Lie Kim Bwee yang mengatakan, bahwa orang akan bersikap baik terhadapnya, jika ia
bersikap baik terhadap orang lain. Ia menghela napas dan berkata sambil mendorong cawan arak:
"Aku adalah
manusia yang bertindak sesenang hatiku. Aku paling benci manusia-manusia yang
memperdagangkan budi. Kata-kata Hiapsoe (pendekar) atau Inkong (tuan penolong)
tak boleh diucapkan lagi untuk alamatku. Jika kau senang dengan istilah itu, gunakannya
terhadap Tong Keng Thian."
Kang Lam terkejut dan lalu berkata: "Tong Tayhiap juga adalah tuan penolongku.
Hm! Bukankah Tong Tayhiap sahabatmu" Setiap kali Tong Tayhiap datang di Sakya, ia
tentu menginap di rumah Kongtjoeku." Kang Lam hanya mengetahui, bahwa Kim Sie Ie dan Pengtjoan
Thianlie pernah membantu Tong Keng Thian dalam pertempuran melawan Hongsek Toodjin. Tentu
saja ia sama sekali tak tahu adanya ganjelan antara kedua pemuda itu.
Sekonyong-konyong Kim Sie Ie melontarkan cawan arak dan tertawa terbahak-bahak.
"Tong Keng Thian adalah pendekar besar, sedang aku hanyalah si pengemis gila!"
teriaknya. "Bagus!
Mari... mari! Mari kita minum!" Ia mengangkat lagi cawan, tapi sebelum mencegluk
isinya, ia berkata pula: "Kang Lam! Lidahmu sangat Ioncer! Jangan sombong kau! Lagi kapan
kau minum araknya kaizar?"
"Aku tidak berdusta," katanya "Memang benar aku pernah minumnya. Pergiku ke kota
raja adalah..." Mendadak ia berhenti bicara, karena ingat pesanan majikannya.
Sebenarnya tugas Kang
Lam bukan tugas rahasia. Ia hanya diperintah membawa surat Tan Teng Kie ke kota
raja. Ipar Tan Teng Kie, yang harus menerima itu, berpangkat Giesoe dan Kang Lam tiba di
kota raja kebetulan pada hari-hari raya Tahun Baru. Sebagaimana biasa, setiap Tahun Baru,
kaizar menghadiahkan arak istana kepada pembesar-pembesar negeri, setiap orang mendapat
beberapa botol. Itulah sebabnya, Kang Lam pun dapat mencicipi secawan arak istana.
Tapi Kim Sie Ie yang sudah sinting, salah mengerti. Ia menganggap si kacung
berhenti bicara
karena dalam ruangan itu terdapat banyak orang lain. "Baiklah!" tiba-tiba ia
berteriak. "Aku akan
mengusir semua yang berada disini. Saudara kecil, kau tak usah kuatir."
Yo Lioe Tjeng jadi gusar sekali dan tangannya lantas saja mencekal busur dan
peluru. Pada saat hampir terjadi bentrokan, mendadak dari luar berjalan masuk dua
tetamu. Begitu melihat mereka, Kang Lam bergemetar sekujur badannya dan buru-buru bersembunyi
di belakang Kim Sie Ie. Yang masuk itu adalah seorang pendeta dan seorang imam. Si pendeta tidak dikenal
Kim Sie Ie, tapi si imam bukan lain daripada itu jago Khongtong pay, Hongsek Toodjin,
yang baru saja disebut-sebut. Hongsek tertawa dingin dan dengan sorot mata tajam, ia menyapu Kim Sie Ie dan
Kang Lam, sehingga si kacung terbang semangatnya. "Ha! Kau telah mendapat guru yang
jempol!" katanya.
"Jangan takut," kata Kim Sie Ie. "Minum terus." Ia maju mendekati Hongsek dan
menyambung perkataannya: "Jangan campur-campur urusan orang, mengerti?"
Sebagaimana diketahui, ketika terjadi pertempuran antara Hongsek dan Tong Keng
Thian, si imam telah berjanji, bahwa jika ia tidak dapat merobohkan pemuda itu dalam tujuh
jurus, ia tak akan mencampuri urusan Kang Lam untuk selama-lamanya. Mengingat begitu, Kang Lam
yang mengenal kebiasaan dalam Rimba Persilatan, jadi agak tenteram hatinya. "Benar!"
teriaknya. "Sebagai ketua dari suatu partai, kau tidak boleh menarik pulang janjimu
sendiri!" Hongsek melotot dan berkata pula dengan suara dingin: "Bocah itu tak perlu
digubris olehku.
Tapi kau berhutang denganku dan hutang itu mesti dibayar." Apa yang
dimaksudkannya adalah
jarum beracun yang dulu pernah dilepaskan oleh Kim Sie Ie, sehingga hampir-
hampir ia mendapat
luka. Kim Sie Ie lantas saja tertawa terbahak-bahak. "Bagus! Bagus!" serunya. "Sesudah
minum beberapa cawan, aku memang sedang mencari-cari manusia untuk melampiaskan rasa
mendelu dalam hatiku."
Bukan main gusarnya si imam. Tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, ia mengebut
dengan hudtim-nya. Dengan jungkir balik Kim Sie Ie lompat melewati meja seraya
berteriak: "Jangan
ganggu Kang Lam! Bagaikan kilat, jerijinya menotok jalanan darah Koangoan hiat,
di pergelangan tangan si imam. Buru-buru Hongsek menarik pulang senjatanya mengerahkan
lweekang, sehingga
benang-benang hudtim buyar terpencar untuk menggulung tangan musuh. Tapi di luar
dugaan, totokan Kim Sie Ie hanya serangan gertakan dan begitu lekas si imam menarik
pulang senjatanya,
dengan sekali menjungkir balik, ia sudah berada di tembok seberang dan mengambil
tongkatnya yang disenderkan di dinding itu.
Hongsek jadi semakin kalap dan terus memburu.
"Eh!" kata Kim Sie Ie dengan suara mengejek. "Mari kita berkelahi di luar!"
Si imam yang kuatir diliciki lagi, lantas saja melompat dan menghadang di tengah
pintu. Pemilik warung arak yang ketakutan setengah mati, berteriak dengn suara gemetaran:
"Tuan-tuan,
modalku kecil, mohon tuan-tuan... berkelahi... di luar!"
Hongsek mengebas tangan jubahnya dan sepotong emas terbang jatuh ke atas meja.
"Jangan rewel! Aku ganti segala kerusakan!" bentaknya.
"Bagus!" seru Kim Sie Ie. "Eh, hitung juga arak yang sudah diminum olehku. Apa
cukup?" "Cukup, cukup!" jawab si pemilik warung arak sambil menjumput potongan emas itu
dan lalu lari bersembunyi di belakang meja.
Dua kali Kim Sie Ie mengayun tongkat dan dua meja terpukul hancur. "Jika Toaya
rela mengeluarkan uang, biarlah aku menemani kau untuk main-main sedikit," katanya
sambil tertawa terbahak-bahak. Hongsek yang sungkan tarik urat lagi, lantas menghantam dengan
hudtim-nya. Mereka segera bertempur dengan serunya. Tongkat Kim Sie Ie adalah senjata
"keras", sedang
hudtim si imam merupakan senjata "lembek" dan karena kedua lawan itu adalah
ahli-ahli silat
kelas utama, maka pertempuran itu adalah pertempuran yang jarang terlihat dalam
Rimba Persilatan. Tapi biar bagaimanapun juga, Hongsek yang mempunyai latihan puluhan
tahun lebih unggul setingkat daripada lawannya yang masih berusia muda. Sesudah lewat tiga
puluh jurus, benang-benang hudtim yang sebentar buyar dan sebentar bersatu, berkelebat-
kelebat bagaikan


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kilat di seputar tongkat. Setiap kali senjata Kim Sie Ie menyentuh hudtim,
tenaganya yang dahsyat
lantas saja amblas di antara ribuan benang. Tanpa memiliki lweekang yang cukup
tinggi, siangsiang
ia sudah roboh.
Sementara itu, Yo Lioe Tjeng dan puterinya sudah pindah duduk ke sudut tembok
dan menonton pertempuran itu dengan penuh perhatian. Biarpun ilmu silat nyonya itu
belum mencapai puncak tertinggi, akan tetapi, sebagai turunan seorang ahli silat kenamaan,
dengan sekali lihat, ia
dapat membedakan tinggi rendahnya kepandaian orang dan dapat pula menaksir
jalannya sesuatu
pertempuran. Demikianlah, selagi Kim Sie Ie terdesak, tanpa merasa ia berkata:
"Jika hudtim
menyapu Pekhay hiat dan gagangnya menotok Hiankie hiat, bocah itu akan roboh."
Benar saja, Hongsek menyerang sesuai dengan apa yang dikatakan Yo Lioe Tjeng.
Pada detik yang berbahaya, sekonyong-konyong Kim Sie Ie membungkuk sambil
menekan tanah dengan tongkatnya dan sesaat itu juga, badannya terputar. "Belum tentu
roboh!" teriaknya
sambil tertawa. Hampir berbareng, tiba-tiba terdengar suara "fui!" dan ludah Kim
Sie Ie menyambar Hongsek.
Bukan main kagetnya si imam yang segera memutar senjatanya bagaikan titiran
untuk melindungi diri. Mendadak, seraya tertawa terbahak-bahak, Kim Sie Ie melompat
tinggi dan di lain
detik, tangan kanannya sudah mencekal pedang besi, sedang tangan kirinya
memegang tongkat
yang sebenarnya adalah sarung pedang.
Sesudah bersenjatakan tongkat dan pedang, ia lalu menyerang dengan beringas dan
sabansaban menyemburkan jarumnya. Diserang cara begitu, mau tak mau si imam jadi bingung,
karena ia harus sangat berhati-hati terhadap senjata rahasia si pengemis kusta yang
sangat beracun.
Puluhan jurus kembali lewat, tanpa ada yang keteter.
Sesudah menonton beberapa lama, tiba-tiba Yo Lioe Tjeng mengeluh: "Celaka! Jika
si gila memperoleh kemenangan, aku dan anakku bisa celaka. Paling baik aku menyingkir
sekarang."
Memikir begitu, ia lantas saja bangun dari tempat duduknya. Tapi, segera juga ia
terkejut, karena
pendeta kawannya Hongsek sedang mengawasinya dengan sorot mata dingin!
Waktu hweeshio itu, yang bertubuh jangkung, masuk dan duduk tanpa mengeluarkan
sepatah kata, ia tidak memperhatikannya. Tapi sekarang, melihat sorot matanya yang tajam
bagaikan pisau, ia terkesiap, karena yakin, bahwa pendeta itu bukan orang sembarangan. Ia
tertawa seraya berkata: "Thaysoe, aku minta permisi untuk lewat."
Hweeshio itu mendelik. "Lie Kiesoe," katanya. "Apa kau masih mengenali Tang Thay
Tjeng?" Jantung Yo Lioe Tjeng lantas memukul keras.
Tang Thay Tjeng adalah murid kepala dari Patpie Sinmo Sat Thian Tjek (si Memedi
Berlengan Delapan). Pada tiga puluh tahun lebih berselang, waktu Yo Lioe Tjeng baru
berusia enam belas
tahun, ia telah mengikut ayahnya, Tiattjiang Sintan Yo Tiong Eng, pergi ke
gunung Thayheng san
untuk menghadiri perhimpunan besar antara jago-jago silat di lima propinsi
Tiongkok Utara. Ketika
itu, Tang Thay Tjeng dan gurunya, yang mengabdi kepada Soehongtjoe (putera
kaizar yang ke empat) In Tjeng, telah menerima perintah untuk pergi ke Thayheng san guna
membasmi jagojago
silat itu. Di tengah jalan, Yo Tiong Eng dan puterinya bertemu Tang Thay Tjeng
dan dalam pertempuran yang terjadi, mereka hampir-hampir celaka. Untung juga keburu datang
pertolongan dari Lioe Sian Kay dan Tan Hian Pa, dua antara Kwantong Soehiap (Empat Pendekar
Kwantong), sehingga orang she Tang itu bisa dipukul mundur. Dalam pertempuran, dengan
menggunakan Tiattjiang (Pukulan besi) Yo Tiong Eng telah menghantam lengan kanan lawannya
yang menjadi patah dan tidak dapat digunakan lagi. Sebagai jago yang pernah bertempur ratusan
kali, Yo Tiong Eng segera melupakan kejadian itu dan ia juga tak tahu, bahwa pukulannya telah
mengakibatkan bercacatnya Tang Thay Tjeng.
Walaupun hatinya kaget, paras muka Yo Lioe Tjeng tetap tenang, la mundur dua
tindak seraya berkata: "Tiga puluh tahun kita tak pernah bertemu muka Tidak dinyana, sekarang
Thaysoe sudah menjadi orang beribadat. Untuk kejadian yang menggirangkan ini aku memberi
selamat." Tang Thay Tjeng tertawa dingin. "Bahwa aku sekarang berkeadaan begini, adalah
hadiah dari ayahmu," katanya dengan suara tawar. "Lie Kiesoe, aku bukan pendeta suci. Aku
tak dapat menerima pujianmu yang terlalu tinggi."
Nyonya itu yakin, bahwa satu pertempuran tak dapat dielakkan lagi. Sambil
mencekal busur dan peluru erat-erat, ia berkata: "Apa benar-benar Thaysoe tak mau minggir?"
Tan Thay Tjeng dongak dan menghela napas. "Sayang! Sungguh sayang!" katanya.
"Sayang apa?" tanya Yo Lioe Tjeng.
"Sayang ayahmu sudah meninggal dunia," jawabnya. "Aku tak bisa mengantarnya dan
juga tak bisa menerima lagi pelajaran Tiattjiang Sintan."
Alis Yo Lioe Tjeng berdiri bahna gusarnya. "Biarpun ayahku sudah tak ada lagi
dalam dunia, ilmu Tiattjiang Sintan tak jadi musnah," katanya dengan suara nyaring.
"Jika kau masih ingin meminta pelajaran, pelajaran itu bisa diberikan sekarang
juga." Berbareng
dengan suara menjepretnya busur, peluru Sintan menyambar-nyambar bagaikan hujan
gerimis, sehingga tak perduli ia berkelit ke jurusan mana, badan si pendeta tak akan
terluput dari sambaran peluru.
Tiba-tiba sambil berteriak nyaring, Tang Thay Tjeng mengebas dengan tangan
kanannya. "Biarpun mempunyai ilmu weduk, dia tak akan bisa menahan serangan peluruku,"
kata Lioe Tjeng
dalam hatinya. Harus diketahui, bahwa dalam ilmu melepaskan peluru, nyonya itu
telah berlatih puluhan tahun, sehingga Sintan yang dilepaskannya bertenaga dahsyat luar biasa
dan sukar dipunahkan, biarpun oleh orang-orang yang memiliki ilmu Kimtjiongto atau
Tiatposan (ilmu
weduk). Mendadak terdengar serentetan suara yang sangat nyaring, seperti juga peluru-
peluru itu membentur logam. Bukan main terkejutnya Yo Lioe Tjeng. Belum pernah ia mendapat
pengalaman yang begitu luar biasa.
Tang Thay Tjeng tertawa terbahak-bahak. "Sungguh sayang!" teriaknya. "Ilmu
melepaskan Sintan dari keluarga Yo, semakin lama jadi semakin merojan." Ia melompat dan
tangannya menyambar. Melihat ibunya berada dalam bahaya, Tjee Tjiang Hee menghunus golok dan sambil
meloncat, membabat lengan musuh. "Trang!", mata golok melengkung, telapakan tangan si nona
terbeset dan mengeluarkan darah!
Yo Lioe Tjeng terperanjat. Cepat bagaikan kilat, ia menyodok dengan busur dan
menghantam dengan tangan kanannya. Meskipun kepandaiannya belum cukup tinggi untuk melayani
jago silat utama pada jaman itu, Yo Lioe Tjeng mempunyai banyak pengalaman. Ia mengetahui,
bahwa di lengan kanan Tang Thay Tjeng mesti bersembunyi apa-apa yang luar biasa, maka
tangannya menghantam jalanan darah Samtjiauw hiat di dada musuh, sedang busurnya menyodok
leher pendeta itu.Kedua serangan yang dikirim dengan berbareng, hebat bukan main,
sehingga Tang Thay Tjeng terpaksa melepaskan Tjiang Hee dan melompat mundur.
"Hee-djie, lekas lari!" berseru si ibu. Ia yakin, bahwa ilmu silatnya tidak
dapat menandingi
musuh dan guna menolong puterinya, ia menggunakan taktik gerilya. Sesudah lewat
beberapa jurus, lengan kanan si pendeta yang bisa terputar-putar, mendadak terbalik dan
menyapu dengan kecepatan luar biasa. Pada detik itu, busur Yo Lioe Tjeng yang sedang menyambar
ke jalanan darah Pekhouw hiat di janggut musuh, kena tersampok dan sambil mengeluarkan
suara nyaring, lantas patah dua.
Tjee Tjiang Hee yang baru lari sampai di pintu, kaget tak kepalang dan segera
melompat balik untuk membantu ibunya. Muka Yo Lioe Tjeng berubah pucat dan sambil menimpuk
dengan busur buntung, ia menerjang dan menghantam dengan tangan kanannya. Nyonya Tjee
bergerak cepat,
tapi musuhnya lebih cepat lagi. Sambil menunduk untuk mengelakkan sambaran busur
buntung, lengan kanan Tang Thay Tjeng menyambar ke tulang kipas Tjiang Hee. Serangan itu
sudah tak dapat dikelit lagi dan jika tulang kipasnya terpukul hancur, ilmu silat si nona
akan menjadi musnah
sama sekali. Pada detik yang sangat berbahaya, tiba-tiba Kim Sie le menjungkir balik dan
sebelum kedua kakinya hinggap di lantai, tongkatnya sudah menotok dada Tang Thay Tjeng. Sambil
mengeluarkan teriakan keras, pendeta itu melompat tinggi dan Tjee Tjiang Hee
tertolong. Itulah perkembangan yang tidak diduga-duga oleh Yo Lioe Tjeng, yang tadinya
menganggap Kim Sie Ie sebagai musuh. Di lain saat, dengan tongkat dan pedang besi, pemuda itu sudah
mengirim serangan berantai, sehingga Tang Thay Tjeng terdesak sampai di pinggir tembok.
Pada waktu itu,
Yo Lioe Tjeng dan puterinya sebenarnya mendapat kesempatan baik untuk melarikan
diri, tapi mereka sungkan berbuat begitu.
"Hei! Siapa gurumu?" teriak Tang Thay Tjeng.
"Fui!" Kim Sie Ie menyemburkan ludah seraya berkata dengan suara dingin: "Perlu
apa kau tanya-tanya guruku?"
Si pendeta yang rupanya mengetahui, bahwa ludah musuh mengandung jarum beracun,
buruburu menangkis dengan lengan kanannya. Beberapa suara "tring" terdengar, seperti
jarum melanggar logam.
"Tahan!" teriak Tang Thay Tjeng.
Kim Sie Ie tak meladeni dan terus menyerang. Tiba-tiba, tanpa memutar badan,
pedangnya menyampok ke belakang untuk menangkis hudtim Hongsek Toodjin yang membokong dari
belakang dan berbareng, dengan pukulan Tokliong tjoettong (Naga beracun keluar
dari lubang), ia
menyodok dada Tang Thay Tjeng.
Untuk mengerti tindakan Kim Sie Ie, orang harus mengetahui, bahwa jalan pikiran
pemuda itu adalah lain daripada orang biasa. Dulu, karena Yo Lioe Tjeng adalah puteri
seorang kenamaan,
maka ia sudah sengaja mempermainkannya. Tapi sekarang, melihat nyonya itu sangat
membenci dirinya, ia berbalik memberi pertolongan, supaya nyonya itu mendapat malu. Di
samping itu, melihat rasa takut Tjee Tjiang Hee terhadap dirinya, ia ingat perkataan Lie Kim
Bwee dan dalam hatinya lantas timbul rasa menyesal akan perbuatannya yang dulu-dulu. Itulah
sebabnya, kenapa,
tanpa memperdulikan keselamatan diri sendiri, ia segera memberi pertolongan.
Di lain pihak, sebagai orang yang berkedudukan tinggi, sebenarnya Hongsek
sendiri merasa bahwa tak pantas dua pentolan mengerubuti seorang pemuda. Akan tetapi, karena
kawannya berada dalam bahaya, terpaksa ia menyerang dari belakang. Bokongan itu tidak
bermaksud untuk
mencelakakan Kim Sie Ie dan ia hanya menggunakan separuh tenaga, untuk menolong
Tang Thay Tjeng. Tapi, di luar dugaan, Kim Sie Ie yang sudah mengambil putusan untuk lebih dulu
membinasakan Tang Thay Tjeng, tidak kena ditahan dengan serangan itu. Tanpa
memutar badan, ia menangkis hudtim dengan pedangnya, sedang kakinya melompat terus dan
tongkatnya, yang
dicekal dengan tangan kiri, menyodok dada Tang Thay Tjeng.
Itulah sodokan yang sangat hebat dan ia menduga, bahwa musuhnya pasti akan
binasa. Tapi pada detik yang sangat berbahaya, Tang Thay Tjeng mengebas dengan lengan
kanannya dan dengan satu suara "trang!" tongkat Kim Sie Ie terpental balik!
Kim Sie Ie kaget tak kepalang. Kejadian itu sungguh-sungguh di luar taksiran.
Menurut perhitungan biasa, tangan manusia yang terdiri dari darah dan daging tak akan
bisa menangkis tongkat itu yang terbuat dari besi.
Sedang ia masih belum hilang kagetnya, mendadak terjadi lain kejadian yang lebih
mengejutkan. Sekonyong-konyong lengan kanan Tang Thay Tjeng mulur kira-kira satu
kaki panjangnya dan dari suatu posisi yang mustahil, tangannya menyambar ke pundak
Kim Sie Ie. Dalam pertempuran antara jago dan jago, menang kalahnya sering-sering diputuskan


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atas perbedaan seujung rambut. Demikianlah, biarpun sangat liehay dan berhati-hati,
serangan itu tak
dapat dielakkan lagi oleh Kim Sie Ie. Ketika tangan musuh menyentuh pundaknya,
ia merasa seperti dilanggar dengan benda yang dingin. Hampir berbareng, hudtim
Hongsek Toodjin juga menyambar dan ribuan benangnya yang terbuka lebar, seolah-
olah selembar jala yang sedang menungkrupnya.
Kim Sie le mencelos hatinya. "Tak dinyana jiwaku melayang di tempat ini!"
Sekonyong-konyong, kupingnya mendengar suara tertawa yang sangat nyaring,
disusul dengan suara seorang wanita yang sangat merdu: "Jangan takut!" Hampir berbareng, Tang
Thay Tjeng dan Hongsek Toodjin melompat menyingkir!
Bagaikan di dalam mimpi, Kim Sie Ie membuka kedua matanya lebar-lebar dan
ternyata, bahwa
orang yang sudah menolong jiwanya bukan lain daripada Phang Lin dan puterinya!
Yo Lioe Tjeng jadi seperti orang kalap, bahna girangnya. "Eng-moay!" teriaknya.
"Apa Siauw
Lan datang bersama-sama kau?"
Phang Eng dan Phang Lin adalah saudara kembar yang mukanya sangat mirip satu
sama lain, sehingga, kecuali suami dan anak sendiri, orang lain sering salah mata.
Mendengar Yo Lioe Tjeng menganggap dirinya sebagai kakaknya, Phang Lin tersenyum
seraya berkata: "Kau masih ingat Tong Siauw Lan" Hi-hi! Tidak, ia tak turut datang." Ia
menoleh kepada Tang Thay Tjeng. "Lengan tanganmu sungguh luar biasa. Boleh aku pinjam lihat?"
katanya. Hongsek Toodjin tak tahu siapa adanya nyonya itu. la terkejut dan hatinya ciut
karena dengan satu kebasan baju saja, hudtim-nya telah terpukul terpental. Tapi melihat sikap
Phang Lin yang seakan-akan tidak memandang sebelah mata kepadanya ia lantas saja menjadi gusar.
"Kim Sie le!" bentaknya. "Biarpun kau mempunyai senderan kuat, sedikitpun aku tidak
takut. Mari! Mari kita
bertempur lagi. Kau boleh minta bantuan dari senderanmu." Sehabis berkata
begitu, ia menerjang
dan menghantam dengan senjatanya.
Melihat kedatangan Phang Lin dan puterinya, Kim Sie Ie jadi seperti orang
linglung, sehingga ia
terus berdiri bagaikan patung waktu hudtim menyambar.
"Hidung kerbau! Jaga pedangku!' berseru Lie Kim Bwee sambil menangkis dengan
pedangnya dan terus menyerang. Harus diketahui, bahwa walaupun lweekang si nona belum
seberapa tinggi,
tapi ilmu pedangnya, yaitu kiamhoat dari Pekhoat Molie, sangat luar biasa dan
mempunyai perubahan-perubahan yang diluar dugaan. Maka itu, biarpun Hongsek pernah
berlatih puluhan
tahun dalam hutan batu, dalam gebrakan-gebrakan pertama, ia telah terdesak
mundur. Sementara itu, sambil tertawa haha-hihi dan mengawasi Tang Thay Tjeng dengan
sikap seperti kucing tengah mempermainkan tikus, Phang Lin membuka ikatan pinggangnya yang
terbuat dari sutera berwarna. Ia tidak lantas menyerang, tapi memperhatikan gerak-gerik
pendeta itu. Antara beberapa orang itu, yang paling bergirang adalah Yo Lioe Tjeng. Ia
menarik tangan puterinya dan berkata seraya tertawa: "Dengan datangnya Tong Pehbo, kita tak
usah takut lagi
terhadap siapapun juga." Dengan Phang Eng, ia sebenarnya mempunyai ganjelan di
waktu muda. Tapi sesudah masing-masing menikah, semua ganjelan itu telah tersingkirkan. Ia
tak tahu, bahwa
yang dianggapnya sebagai Phang Eng, sebenarnya adalah Phang Lin.
Di lain pihak, sesudah berdiri bengong beberapa lama, Kim Sie Ie berkata dalam
hatinya: "Sesudah ibu dan anak itu datang, perlu apa aku berdiam lama-lama disini?"
Dengan sekali menotok tongkat di lantai, badannya melesat dan ia terus kabur.
"Eh, jangan lari!" berteriak Phang Lin. "Sesudah makan yowan-ku, kau masih belum
menghaturkan terima kasih." Ia mengenjot badan untuk mengubar, tapi baru ia
bergerak, tangan
kanan Tang Thay Tjeng sudah menyambar kepalanya.
"Bagus!" serunya. "Biar aku putuskan dulu cakarmu dan kemudian barulah mengubar
dia." Dengan sekali menggentak, ikatan pingangnya sudah melibat lengan aneh itu.
Di lain saat, mereka sama-sama terkejut. Lengan kanan Tang Thay Tjeng sebenarnya
satu senjata yang sangat liehay dan cengkeraman itu mempunyai tenaga ribuan kati.
Maka itu, ia kaget
bukan main karena, begitu dilibat dengan ikatan pinggang, lengan itu tidak dapat
bergerak pula. Phang Lin pun tidak kurang kagetnya. Ia yakin, bahwa ilmu silat si pendeta masih
lebih rendah dari kepandaian Kim Sie Ie. Tapi, waktu ikatan pinggangnya melibat dan membetot
lengan itu, yang keras bagaikan besi, si pendeta sama sekali tidak memperlihatkan rasa
sakit. Harus diingat,
bahwa ilmu Hoeihoa Tjekyap sudah dilatih oleh Phang Lin sampai di puncak
kesempurnaan, sehingga jago seperti Hiatsintjoe masih tidak dapat melawannya.
Sebagaimana diketahui, nyonya Lie Tie mempunyai sifat kekanak-kanakan yang masih
tetap melekat sampai ia berusia setengah umur. Menghadapi lawan yang berat,
kegembiraannya timbul
dan ia segera melupakan hal mengubar Kim Sie Ie. "Lenganmu benar-benar luar
biasa," katanya
sambil tertawa. "Tak dapat tidak, aku mesti meminjamnya." Dengan sekali
mengendorkan dan
menggentak, ikatan pinggang itu naik ke atas kurang lebih tiga dim. Ia membetot,
tapi lengan si pendeta tetap tidak bergeming. Ikatan pinggang itu sekali lagi naik ke atas,
sehingga hampir
sampai di pundak.
Mendadak, Tang Thay Tjeng menggoyang pundak sambil membentak keras: "Ambillah!"
Hampir berbareng, lengan itu copot dari pundaknya dan terbang menyambar muka
Phang Lin. Nyonya Lie Tie terkejut bukan main, tapi sebagai ahli silat jempolan, ia tak
jadi gugup dan lalu
menyambutnya dengan
menggunakan ilmu Kimkongtjie. Ternyata lengan itu yang berwarna hitam mengkilap
terbuat dari besi! Phang Lin tertawa seraya berkata: "Tak heran aku tak dapat
membetotnya."
Sedari tulang lengannya dipukul patah oleh Yo Tiong Eng, Tang Thay Tjeng tidak
dapat menggunakan lengan itu sebagaimana biasa, biarpun tulangnya sudah bersambung
pula. Dalam jengkelnya, ia memutuskan lengan itu yang lalu ditukar dengan lengan besi.
Kemudian ia mencukur rambut,
menyembunyikan diri dan sesudah berlatih kurang lebih tiga puluh tahun, ia
memperoleh ilmu
Tiatpie Sinkang, yaitu ilmu untuk menggunakan lengan besi sebagai senjata.
Dengan kepercayaan,
bahwa ia sekarang bisa menjagoi dalam kalangan Kangouw, sekali lagi ia muncul
dalam dunia Rimba Persilatan. Tapi di luar dugaan, dalam pertempuran pertama, lengan besi
itu sudah direbut
Phang Lin. Sambil membulak-balik lengan itu, Phang Lin berkata dengan suara sungguh-
sungguh: "Tak
mudah kau melatih lengan ini sehingga tiada bedanya seperti lengan tulen. Eh,
bagaimana kau melatihnya" Paling benar kau membacok putus lengan kirimu dan menukarnya dengan
lengan besi. Bukankah kau akan dua kali lipat lebih liehay daripada sekarang?"
Tang Thay Tjeng meringis, ia tak tahu apa mesti tertawa atau menangis.
"Pulangkanlah
lenganku," katanya. "Sekarang baru aku tahu, bahwa dalam dunia ada ilmu yang
begitu tinggi, sehingga, biarpun aku berlatih lagi tiga puluh tahun, tak dapat aku menandingi
kau." Mendengar pujian itu, Phang Lin jadi girang. "Bagus! Kalau begitu, kau masih
mempunyai otak yang sehat," katanya sambil mengebas tangan, sebagai isyarat bahwa pendeta itu
boleh berlalu. Tapi mendadak ia membentak: "Tahan!"
Baru saja ia ingin menanya, kenapa si pendeta bertempur dengan Kim Sie Ie, tiba-
tiba terdengar teriakan puterinya yang tengah bertanding melawan Hongsek: "Ibu!
Hidung kerbau ini
liehay sekali!"
"Liehay bagaimana?" tanya sang ibu, yang sambil menuding Tang Thay Tjeng dengan
lengan besi itu, menyambung perkataannya: "Orang yang suka berkelahi seperti kau,
tentunya bukan manusia baik-baik. Sekarang aku menjatuhkan hukuman berdiri terhadapmu. Jika kau
berani bergerak atau kabur, aku akan putuskan lengan kirimu."
Waktu itu, Tang Thay Tjeng sudah berusia hampir enam puluh tahun, sedang usia
Phang Lin baru kira-kira empat puluh tahun. Tapi ia menggunakan perkataan dan cara seorang
guru yang sedang menghukum muridnya. Tjee Tjiang Hee tak bisa menahan rasa gelinya dan
lantas saja tertawa terpingkal-pingkal. Alis Yo Lioe Tjeng berkerut dan ia berkata dalam
hatinya: "Heran!
Kenapa sifat-sifat Phang Eng jadi berubah sama sekali"'
Sementara itu, Lie Kim Bwee sudah jadi repot sekali dan ia berkelahi sambil
mundur karena didesak keras oleh Hongsek Toodjin. Meskipun si nona memiliki kiamhoat yang
sangat liehay, tapi
sebab lweekang-nya masih kalah jauh dari lawannya, maka sesudah lewat belasan
jurus, Hongsek sudah bisa lihat kelemahannya dan terus mencecer dengan pukulan-pukulan hebat.
Lewat beberapa saat lagi, napas si nona tersengal-sengal dan keadaannya mulai
berbahaya. "Hm! Bocah! Kau ternyata masih memerlukan juga ibumu," kata Phang Lin seraya
tertawa. "Sudahlah! Tak perlu bantuanmu!" berteriak si nakal dengan suara mendongkol.
Selagi berteriak begitu, hudtim musuh mendadak menyambar, sehingga hampir-hampir pedang
Tjengkong kiam kena terkebut jatuh.
"Kenapa kau tidak menggunakan ilmu Tiamhoat (Ilmu menotok jalanan darah) yang
diajarkan olehku?" kata sang ibu. "Lebih dulu hajar dengan Pengho kiattang (Sungai es
melumer), kemudian
susul dengan Ginhan hoeiteh (Bima Sakti membentang di udara). Bagus! Tak salah!
Balik tanganmu dan totok Pekhay niatnya!"
Si nona yang sedang mendongkol sebenarnya sungkan menerima petunjuk ibunya, tapi
ternyata ia terpaksa menggunakan juga pukulan-pukulan itu. Tiamhoat yang
diturunkan Phang Lin
kepada puterinya, telah digubah olehnya di gunung Gobie san dengan menggunakan
tempo beberapa hari dan tujuannya adalah untuk menghadapi Kim Sie Ie. Benar saja,
dengan menggunakan Tiamhoat itu dan kiamhoat dari Pek hoat Mo lie, serangan-serangan
Hongsek segera menjadi punah.
"Lihatlah!" kata sang ibu sambil tertawa. "Bukankah kau bisa melawan dia dengan
mudah sekali" Aku ingin kau merobohkannya dengan menggunakan tenaga sendiri. Ha! Kau
mengerti" Tak bisa kau terus mengandalkan ibu seumur hidup!"
Melihat dirinya dijadikan alat untuk berlatih, darah Hongsek Toodjin meluap-luap
dan dalam kalapnya, hampir-hampir jalanan darahnya tertotok. Buru-buru ia mengempos
semangat dan memperbaiki kedudukannya. Sambil memberi petunjuk, Phang Lin sendiri
memperhatikan ilmu
silat musuh. Lewat beberapa saat, ia mengeluh: "Celaka! Si hidung kerbau benar
liehay. Jika pertempuran berlangsung lama, Bwee-djie akan kalah." Tapi sebab sudah
mengatakan, bahwa ia
ingin puterinya menjatuhkan musuh dengan tenaganya sendiri, maka ia merasa malu
hati untuk memberi bantuan.
Sesudah bertempur beberapa jurus lagi, tiba-tiba Kim Bwee berteriak: "Ibu!
Kenapa kau melepaskan Sie le-ko?"
Sang ibu kaget. "Benar! Biaraku susul padanya!" katanya. "Kimtjiam touwsian
(Benang menusuk jarum emas), Gioklie tauwso (dewi menenun), Toamo hoyan (Asap mengepul
di gurun), Tiangho lokdjit (Matahari turun di sungai)! Sesudah itu, totok Pekyang hiat-
nya!" Sesuai dengan petunjuk ibunya, si nona segera menyerang dengan empat pukulan
yang hebat itu, sehingga Hongsek jadi ripuh sekali. Tapi biarpun repot, garis pembelaannya
masih tetap rapat
dan sambil berkelit ke kiri-kanan, hudtim melindungi bagian-bagian tubuhnya yang
penting. "Bagaimana aku dapat menotok Pekyang hiat yang terletak di bawah teteknya?" Kim
Bwee menanya dirinya sendiri. Sekonyong-konyong, entah kenapa, benang-benang hudtim
membuyar dan dada Hongsek terbuka lebar. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan baik itu, jeriji
Kim Bwee menyambar tepat ke jalanan darah Pekyang hiat dan si imam tak dapat bergerak
lagi! Si nona tidak mengetahui, bahwa kemenangannya sudah didapat berkat bantuan sang ibu yang
diam-diam

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah meniup hudtim musuh.
Sesudah Hongsek tidak berdaya, dengan cepat Phang Lin berlari-lari, tapi apa
yang tertampak hanyalah lapangan-lapangan rumput dan lereng gunung, sedang Kim Sie Ie sudah tak
kelihatan bayang-bayangannya lagi. "Celaka! Ini semua adalah gara-garanya si keledai
gundul!" katanya di
dalam hati. Ia sama sekali tidak mau mengakui, bahwa kesalahan itu sebagian
besar terletak pada
dirinya sendiri.
Selagi ia kembali dengan uring-uringan, mendadak terdengar teriakan puterinya:
"Ibu! Keledai
gundul kabur!"
Dengan gusar Phang Lin mengudak. Dalam jarak belasan tombak, ia menimpuk dengan
lengan besi dan hampir berbareng, melontarkan ikatan pinggangnya. "Bagus!" teriaknya.
"Kau berani
melanggar perintahku" Tinggalkan lengan kirimu!"
Bagaikan kilat, lengan besi itu menyambar dan menurut perhitungan, Tang Thay
Tjeng tak akan bisa berkelit lagi. Mendadak, pada saat yang sangat berbahaya, tubuh si
pendeta melesat ke
tengah udara dan dengan "terbang" memutar, ia berhasil menyelamatkan dirinya.
Phang Lin kaget bukan main. Untuk sejenak, ia mengawasi dengan mulut ternganga.
"Eh, dari mana kau mendapat ilmu menubruk Niauw-eng?" tanyanya.
"Patpie Sinmo Sat Thian Tjek adalah guruku," jawabnya.
Phang Lin mengeluarkan seman kaget, badannya mendadak melesat ke atas dan ia
juga terbang bagaikan burung Niauw-eng. Dengan sekali mengedut, ikatan pinggangnya
sudah melibat lengan kiri Tang Thay Tjeng, tapi sebaliknya dari menggentak dengan menggunakan
tenaga, ia tertawa seraya berkata: "Sayang kau belum mahir betul. Nah! Sekarang ikutlah aku
ke warung arak." Sambil berkata begitu, ia melepaskan libatan ikat pinggangnya dari lengan
si pendeta. Tang Thay Tjeng kaget tercampur takut. Sambil memungut lengan besinya, ia
melirik Phang Lin
yang paras mukanya tenang, sehingga hatinya jadi lebih lega. "Dari mana dia
mendapat ilmu itu?"
tanyanya di dalam hati. "Apa dia mempunyai sangkut paut dengan guruku" Tapi
kenapa ilmu silatnya tidak mirip-mirip dengan ilmu silat guruku?" Ia tak berani menanya dan
dengan menundukkan kepala, ia lalu mengikuti nyonya itu kembali ke warung arak.
"Apa dia kawanmu?" tanya Phang Lin seraya menuding Hongsek.
"Benar," jawabnya.
Sambil menotok dan membuka jalanan darah si imam, Phang Lin berkata pula:
"Bagus! Aku
juga undang kau minum bersama-sama."
Hongsek merasa dadanya seperti mau meledak, tapi ia tidak berani mengunjuk
kegusaran, karena, jika membantah, ia kuatir mendapat malu yang lebih hebat.
Dengan hati gembira, Phang Lin segera memerintahkan pelayan mengatur dua meja
dan menyediakan arak. Ia dan puterinya duduk di kepala meja, sedang Hongsek dan Tang
Thay Tjeng diundang duduk di kiri-kanannya. Yo Lioe Tjeng, Tjee Tjiang Hee dan Kang Lam
diperintah duduk
di meja yang satunya lagi. Semua orang segera mengambil tempat duduknya dengan
hati tak enak, tapi tiada satu yang berani membantahnya.
"Sekarang aku ingin mengajukan pertanyaan - aku menanya sepatah, kau jawab
sepatah," kata Phang Lin dan kemudian sambil menuding Tang Thay Tjeng, ia berkata pula:
"Kenapa kau
berkelahi dengan Kim Sie Ie?"
"Siapa Kim Sie Ie?" si pendeta balas menanya.
"Jangan berlagak gila!" membentak Phang Lin dengan gusar. "Kim Sie Ie adalah
pemuda yang tadi bertempur dengan kau."
"Murid siapa dia?" Tang Thay Tjeng menanya lagi.
Nyonya Lie Tie mendelik. "Eh, apa aku yang tanya kau atau kau yang tanya aku?"
katanya. "Jika kau rewel lagi, aku akan putuskan lengan kirimu. Lekas jawab!
Kenapa kau berkelahi dengan Kim Sie Ie"'
"Aku dan Yo Liehiap main-main sedikit dan itu sebenarnya bukan urusannya,"
menerangkan si pendeta. "Aku pun tak tahu, sebab apa ia menyerang diriku."
Phang Lin menengok ke arah Yo Lioe Tjeng. "Aku tak tahu, kau dan Kim Sie Ie
adalah sahabat baik," katanya. Diam-diam hatinya berkuatir, kalau-kalau Yo Lioe Tjeng juga
penuju pemuda itu
dan ingin mengambil sebagai menantu.
"Siapa sahabat dia?" kata Yo Lioe Tjeng. "Dia malahan pernah menghina kami."
"Kenapa Tang Thay Tjeng berkelahi dengan kau"' Phang Lin menanya pula.
"Pada tiga puluh tahun lebih berselang, ayahku pernah melukakan dia," jawab Yo
Lioe Tjeng. "Waktu itu kau baru berusia setahun dan Siauw Lan telah membawa kau lari. Ayah
dan aku telah bertemu Siauw Lan di rumah penginapan itu. Kejadian pada hari itu telah
disaksikan oleh Siauw
Lan sendiri dan jika kau tanyakan, dia tentu masih ingat semua kejadiannya. Jika
diteliti, Tang Thay Tjeng masih boleh dianggap sebagai salah satu musuhmu."
Phang Lin bengong. Ia tak nyana, bahwa pendeta itu adalah salah seorang
musuhnya. Sesaat itu, depan matanya segera terbayang kejadian-kejadian pada tiga puluh
tahun lebih yang lampau. Waktu ia dan kakaknya (Phang Eng) baru berusia satu tahun, rumah
tangganya diubrak-abrik oleh Soehongtjoe In Tjeng dan ayahnya binasa. Ia sendiri ditolong
oleh Tjiong Ban
Tong, pemimpin partai Boekek pay, sedang Phang Eng telah dibawa lari oleh Tong
Siauw Lan. Belakangan ia telah diculik dan dibawa ke pulau Niauw-cng oleh Patpie Sinmo yang
memeliharanya seperti anak sendiri. Sesudah berdiam di pulau itu beberapa lama,
barulah ia dibawa ke gedung In Tjeng. Ia baru bertemu dengan kakaknya, sesudah berpisahan
kurang lebih dua puluh tahun. Biarpun ayahnya bukan dibinasakan oleh Patpie Sinmo atau
muridnya, akan tetapi karena jago-jago lima propinsi Tiongkok Utara yang terbinasa dalam tangan
Patpie Sinmo dan saudaranya, bukan kecil jumlahnya, maka sakit hati itu tidak dapat dikatakan
kecil. Ia ingat, bagaimana Sat Thian Tjek telah menurunkan ilmu silat kepadanya,
bagaimana ia mendapat banyak cintanya orang di gedung Soehongtjoe, sehingga ia bisa
mempelajari macammacam
ilmu silat yang menyeleweng, sampai akhirnya ia mendapat ilmu asli dari Boekek
pay. Ia juga ingat, bagaimana Soehongtjoe ingin memaksa untuk mengambil dirinya sebagai
selir, sehingga ia kabur dari istana kaizar. Depan matanya juga terbayang peristiwa
terbinasanya Patpie
Sinmo dan saudaranya dalam tangan Phang Eng dan bagaimana, pada waktu mau
melepaskan napasnya yang penghabisan, Sat Thian Tjek telah menyerahkan sebuah mustika
kepada kakaknya,
yaitu pel yang berbentuk bola yang terbuat dari ilar Niauw-eng untuk memunahkan
racun ular. Mengingat itu semua, tanpa merasa Phang Lin menghela napas panjang.
"Ibu!" kata sang puteri sambil tertawa. "Tak dinyana, kau pun bisa menemui
kesukaran. Paling
benar minta Iethio dan Iebo (Tong Siauw Lan dan Phang Eng) datang kemari untuk
mengadili mereka. Menurut pendapatku, ibu tak pantas menjadi hakim."
Harus diketahui, bahwa perhubungan antara Phang Lin dan puterinya adalah lain
daripada perhubungan yang biasa terdapat antara ibu dan anak. Mereka sudah biasa
bersenda-gurau dan
saling mengejek, seperti antara kawan dan kawan. Maka itulah, Phang Lin tidak
menjadi gusar karena ejekan puterinya.
Orang yang merasa heran dan tersinggung adalah Yo Lioe Tjeng. Ia heran mendengar
si nona menyebut-nyebut "Iethio" dan "Iebo" dan merasa tersinggung mendengar perkataan
"mengadili",
karena dengan begitu, ia seolah-olah seorang pesakitan yang harus diadili.
"Tjeng-tjie," kata Phang Lin seraya tertawa. "Lihatlah! Anakku jadi sangat
kurang ajar karena
terlalu dimanja." Tiba-tiba parasnya berubah sungguh-sungguh dan ia berkata
dengan suara keren: "A-bwee, kau kata, aku tak bisa mengadili orang. Nah, kau dengarlah! Tang
Thay Tjeng, menurut putusanku, kau memang pantas mendapat hajaran dari Yo Lootjianpwee.
Mulai dari sekarang, kau tidak boleh banyak rewel lagi. Orang-orang yang tingkatannya lebih
tua semua sudah meninggal dunia dan urusan yang terjadi pada tiga puluh tahun berselang,
tidak boleh diungkat-ungkat lagi. Tjeng-tjie, kau pun tak usah ingat-ingat lagi permusuhan
lama." Yo Lioe Tjeng yang memang sungkan memperhebat
permusuhan, lantas saja mengangguk, sedang si pendeta pun merasa girang sekali.
Sambil merangkap kedua tangannya, ia berkata: "Untuk kemurahan Lie Kiesoe, pintjeng
merasa sangat berterima kasih dan sekarang juga pintjeng minta permisi untuk berangkat."
"Tunggu dulu!" kata Phang Lin.
Si pendeta terkejut dan segera berkata: "Bukankah kau sudah mengatakan, bahwa
segala permusuhan diakhiri sampai disini?"
"Karena gara-garamu, orang yang dicari olehku dengan susah payah, telah kabur,"
katanya. "Meskipun kau boleh diampuni dari hukuman berat, tapi tidak bisa terlolos dari
hukuman enteng.
Aku menghukum kau berdiri menghadapi tembok tiga hari lamanya. A-bwee, lihatlah!
Ilmu menotok yang biasa, paling lama tahan dua belas jam. Tapi jalanan darah yang
ditotok dengan ilmuku baru bisa terbuka sesudah lewat tiga hari." Sambil berkata begitu,
tangannya bergerak
untuk mengirim totokan.
"Tahan!" seru Tang Thay Tjeng dengan suara bingung. "Siauwtjeng mempunyai urusan
yang sangat penting. Siauwtjeng sedang mencari orang!"
"Siapa yang dicari olehmu?" tanya Phang Lin.
"Murid Tokliong Tjoentjia," jawabnya.
Phang Lin terkesiap. "Perlu apa kau mencarinya?" tanyanya.
"Semua orang tahu, bahwa Tokliong Tjoentjia adalah sahabat mendiang guruku,"
jawabnya. Mendadak Phang Lin tertawa besar. "Orang beribadat tidak boleh berdusta,"
katanya. "Kenapa
kau berani menipu aku" Kim Sie Ie adalah murid Tokliong Tjoentjia.
Jika benar kau mau mencari dia, kenapa tadi kau bertempur dengannya?"
"Sayang! Sungguh sayang!" mengeluh si pendeta.
"Apa kau tak kenal padanya?" tanya Phang Lin.
"Jika kenal, mana bisa aku melepaskannya" jawabnya. "Tadi, melihat tongkat
besinya, aku sebenarnya sudah bercuriga, karena pada tiga puluh tahun berselang, aku pernah
melihat tongkat
itu. Hanya sayang, ia terus menyerang dengan membabi-buta."
"Fui!" membentak Kim Bwee. "Jika kau tidak menghina Tjee Pehbo, dia tentu tak
akan menyerang."
Melihat ibu dan anak itu sangat memperhatikan Kim Sie Ie, Tang Thay Tjeng lantas
saja menduga, bahwa di antara mereka tentu terdapat hubungan yang rapat. Maka itu. ia
tertawa seraya berkata: "Kalau begitu, kita bukan orang luar. Biarlah aku membantu
kalian mencari Kim
Sie Ie." Sekonyong-konyong Phang Lin menggelengkan kepala seraya berkata pada dirinya
sendiri: "Tak benar... tak benar." Ia menuding si pendeta dan membentak: "Kau dusta!
Tinggalkan lengan
kirimu!" Tang Thay Tjeng terkesiap. "Kenapa dusta?" Ia menegasi.
"Tadi kau mengatakan, bahwa sesudah dihajar oleh Yo Lootjianpwee, kau mencukur
rambut dan tidak mencampuri lagi urusan dunia," kata Phang Lin. "Dengan lain perkataan,
kalau kau tidak
berdusta, mulai dari waktu itu, kau tidak pernah bertemu lagi dengan Tokliong
Tjianpwee."
"Benar," jawabnya.
"Tapi bagaimana kau tahu, bahwa Tokliong Tjianpwee mempunyai murid?" tanya si
nyonya. Sesudah berdiam sejenak seperti orang sangsi, Tan Thay Tjeng berkata: "Tahun
yang lalu, aku pulang ke pulau Niauw-eng to dan dalam perjalanan itu, aku sekalian mampir di
pulau Tjoato untuk menyambangi Tokliong Soepeh. Disitu aku hanya menemui kuburan Soepeh dan
aku menaksir, bahwa kuburan itu dibuat oleh muridnya. Dengan mengingat hubungan yang
rapat antara mendiang guruku dan Tokliong Tjianpwee, aku segera mengambil keputusan
untuk mencari ahli warisnya itu. Inilah keterangan yang sejujurnya, sedikitpun aku
tidak berdusta.
Phang Lin tertawa dingin. "Kau bukan manusia yang berhati begitu mulia,"
katanya. "Dengan
mencari murid Tokliong Tjianpwee, kau pasti mempunyai maksud tertentu. Katakan
saja: Kau mau bicara sebenarnya atau tidak" Apa kau percaya bahwa tanpa menggunakan golok, aku
bisa mencopotkan lengan kirimu?"
Paras muka Tang Thay Tjeng sebentar pucat sebentar merah, tanpa bisa


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengeluarkan sepatah kata. "A-bwee, geledah badannya!" memerintah sang ibu. "Aku menaksir, ia sudah mencuri
apa-apa di pulau Tjoato." Melihat lagak si pendeta yang luar biasa, Phang Lin lantas
saja bercuriga.
Tan Thay Tjeng ketakutan dan buru-buru berkata: "Waktu datang di pulau Tjoato,
aku menginap semalaman di tempat Tokliong Soepeh. Disitu aku mendapatkan sejilid
buku dengan tulisan tangan Soepeh sendiri. Aku ingin menyerahkan buku itu kepada muridnya."
"Serahkan kepadaku," memerintah Phang Lin, yang kemudian berkata dalam hatinya:
"Kenapa Tokliong Tjianpwee tidak memberikan buku silatnya kepada muridnya?"
Tapi buku itu ternyata bukan kitab ilmu silat dan hanya catatan hari-hari selama
beberapa puluh tahun. Phang Lin membalik-balik lembaran dan membacanya. Bagian depan
mencatat pendaratannya di pulau Tjoato, penderitaan dan kesepiannya di pulau yang tiada
manusianya itu,
kebenciannya terhadap umat manusia, caranya ia melatih ular-ular, beracun
bagaimana ia menggubah ilmu silat yang luar biasa dan sebagainya. Bagian belakang buku itu
menceritakan, bagaimana, sesudah bertemu dengan Lu Soe Nio, pikirannya jadi berubah dan ia
lalu menggunakan sisa penghidupannya untuk menolong para penderita kusta. Dalam buku
itu juga tercatat bagaimana ia telah mengambil Kim Sie Ie sebagai muridnya. Paling
belakang ia mencatat
kesadarannya, bahwa lweekang yang dipelajari olehnya tidak menurut jalan yang
benar dan jika tidak mendapat pertolongan lweekang Thiansan pay, satu waktu lweekang itu pasti
akan "makan"
dirinya sendiri. Ketika membaca lembaran yang terakhir, tiba-tiba saja paras
Phang Lin berubah
pucat dan jantungnya memukul keras.
Apakah yang tertulis di halaman paling penghabisan itu"
Di halaman itu yang ditulis beberapa hari sebelum ia meninggal dunia, Tokliong
Tjoentjia menyatakan, bahwa ia sudah berdiam di pulau Tjoato puluhan tahun lamanya. Waktu
baru datang, hawa di pulau itu sangat dingin. Tapi semakin lama, hawa itu jadi
semakin panas dan
beberapa tahun sebelum ia meninggal dunia, di pulau itu muncul sejumlah umbul
hangat. Sesudah
menyelidiki bertahun ia mendapat tahu rahasia perubahan itu.
Ternyata, di bawah pulau terdapat sebuah gunung berapi dan muka bumi semakin
lama semakin mumbul ke atas. Mulut gunung berapi itu terletak di tengah-tengah pulau,
di bawah sebuah lubang yang menjadi sarang ular-ular beracun dan yang dalamnya beratus
tombak. Dengan menggunakan tambang, ia pernah turun di lubang itu untuk menyelidiki.
Tapi, belum separuhnya, ia sudah merasa tidak tahan karena hawa yang sangat panas. Ia
mengawasi ke bawah dan melihat, bahwa lapisan batu di dasar lubang , berwarna merah terang
saking panasnya. Hanya karena batu itu sangat tebal, maka api dan lahar belum menyembur
keluar. Sebagai akibat dari hawa yang semakin lama jadi semakin panas, maka laksaan ular
yang bersembunyi di dalam lubang merayap ke atas, sebagian keluar dari lubang dan
berkeliaran di seputar pulau, sedang sebagian lagi bersembunyi di dinding batu, dekat mulut
lubang. Di dasar lubang terdapat satu kobakan kecil yang berisi liur (ilar) ular-ular
itu, sehingga dapatlah dibayangkan, bahwa cair itu beracun bukan main. Jika satu waktu gunung
berapi itu meledak, maka bukan saja seluruh pulau akan menjadi abu, tapi semua makhluk yang
berada dalam lautan juga akan turut musnah karena racun itu dan manusia yang bertempat
tinggal di sepanjang pantai Lautan Kuning juga akan mengalami bencana besar.
Menurut perhitungan Tokliong Tjoentjia, gunung berapi itu akan meledak dalam
tempo beberapa belas tahun lagi dan jika orang berusaha untuk menolongnya sebelum
terlambat, bencana itu masih dapat dielakkan. Rencana Tokliong Tjoentjia adalah sebagai
berikut: Beberapa bulan sebelum gunung berapi meledak, seorang yang tidak takut ular
harus turun di lubang itu dan membuka sebuah terowongan untuk memasukkan air laut. Sesudah itu,
ia harus membuat sebuah lubang di mulut gunung berapi itu, supaya api yang berkumpul di
dalamnya bisa muncrat keluar. Dengan adanya air laut, maka api beracun yang menyembur itu tak
akan menerbitkan bencana besar. Akan tetapi pekerjaan itu harus dilakukan di tempo
yang tepat, yaitu
beberapa bulan sebelum gunung berapi itu meledak, sebab pada waktu itu, lapisan
batu yang sangat tebal sudah mulai retak karena terbakar hebat dan lebih mudah ditobloskan
guna membuat terowongan untuk mengalirkan air laut.
Di pulau Tjoato terdapat bahan-bahan asbes yang bisa menahan api dan asbes itu
bisa digunakan untuk membuat pakaian orang yang melakukan pekerjaan tersebut. Di
samping itu, juga diperlukan sebatang pedang mustika untuk menobloskan lapisan batu. Sekian
ringkasan rencana Tokliong Tjoentjia.
Membaca itu, Phang Lin lantas saja merasa, bahwa orang satu-satunya yang mampu
menunaikan kewajiban tersebut adalah Kim Sie Ie sendiri. Ia adalah seorang yang
berilmu silat tinggi dan tak takut ular. Kekurangan satu-satunya adalah pedang mustika.
Di bagian terakhir dari catatan hari-hari itu, Tokliong Tjoentjia juga menulis,
bahwa ia ingin sekali pekerjaan mulia itu dilakukan oleh muridnya. Tapi karena rasa cintanya
yang sangat besar
terhadap si murid, maka hatinya selalu bersangsi untuk menyerahkan pekerjaan yang begitu
berbahaya kepada muridnya itu.
Sesudah selesai membaca, Phang Lin menghela napas panjang. Sekarang ia mengerti,
kenapa pada sebelum menarik napasnya yang penghabisan, di atas pasir Tokliong Tjoentjia
telah menulis: Sesudah ilmu silatmu sempurna, pergilah cari orang Thiansan pay. Dengan menulis
begitu, sang guru bukan saja mengharapkan keselamatan si murid dengan memperoleh lweekang
yang tulen, tapi juga berusaha supaya Kim Sie Ie meninggalkan pulau Tjoato yang penuh
bahaya. Melihat ibunya bengong, Kim Bwee jadi heran dan dengan memanjangkan leher, ia
melongok buku itu. "Hm! Kau mengandung maksud tak baik!" bentaknya sambil menuding,
sehingga jerijinya hampir mengenakan hidung Tang Thay Tjeng.
"Kenapa mengandung maksud tidak baik?" menegas si pendeta sambil bangun berdiri.
Hongsek jadi gusar sekali. Ia pun segera bangun berdiri dengan niatan membekuk
nona yang nakal itu. Tapi sebelum ia bergerak, Phang Lin sudah menarik tangan puterinya
seraya berkata:
"Bukan urusanmu. A-bwee, kenapa kau mengoceh tak keruan?"
Phang Lin menanya begitu karena ia merasa heran, bagaimana, dengan sekali
melirik, puterinya sudah bisa membaca tulisan Tokliong Tjoentjia yang tak keruan macam,
sedang ia sendiri harus membaca dengan teliti untuk menangkap maksudnya.
"Ibu, coba lihat itu!" kata Kim Bwee sambil menunjuk bagian atas dari lembaran
yang terbuka. Ternyata, disitu terdapat sebaris huruf kecil dengan tulisan yang nyata dan
berbunyi seperti
berikut: "Aku sudah mengambil putusan untuk menyerahkan Pitkip (kitab ilmu silat) kepada
Ie-djie, supaya ia menjadi ahli warisku dan mengunakan seluruh penghidupannya untuk
menolong penderita kusta."
"Lihatlah!" berteriak si nona. "Aku justru tak ingin Sie Ie-ko membaca tulisan
itu. Aku tak mau
ia berkawan dengan penderita kusta. Apa enaknya menuntut penghidupan begitu?"
Sang ibu tertawa geli. "Enak atau tidak enak bukan urusanmu," katanya. "Itu
adalah keinginan
gurunya dan kau tak dapat menyalahkan orang lain." Sambil berkata begitu, ia
menutup buku itu,
karena ia yakin puterinya akan lebih kaget jika tahu persoalan gunung berapi.
"Apa yang dikatakan Liehiap memang benar," kata Tang Thay Tjeng. "Aku belum
pernah membaca isi buku itu. Aku hanya menganggap, bahwa buku itu, sebagai peninggalan
Tokliong Soepeh, harus diserahkan kepada muridnya. Sedikitpun aku tidak mempunyai maksud
yang lain."
Pendeta itu berdusta. Sebenarnya ia sudah membaca buku tersebut dan mengetahui,
bahwa Pitkip sudah diserahkan kepada si murid dan ia ingin menggunakan catatan hari-
hari itu untuk menipu Kim Sie Ie, untuk menukarnya dengan Tokliong Pitkip.
Mata Phang Lin melirik si pendeta dan mendadak ia berkata: "Kau tak usah berabe.
Buku ini biar disimpan olehku saja. Nah! Aku ampuni kau dan sekarang kau boleh berlalu."
Bukan main mendongkolnya Tang Thay Tjeng, tapi ia tak berani membantah. "Apa
boleh aku membantu kalian untuk mencari Kim Sie Ie?" tanyanya.
"Sesukamu, tapi aku tak memerlukan bantuanmu," jawab Phang Lin seraya berpaling
kepada Hongsek dan berkata pula: "Eh, kenapa kau tadi bertempur dengan Kim Sie Ie?"
Hongsek merasa dadanya seperti mau meledak, sehingga paras mukanya berubah merah
padam. Melihat begitu, Kang Lam jadi merasa kasihan dan ia berkata: "Dalam hal ini,
sebagian besar adalah salahku."
"Aha! Kau ternyata mempunyai pribudi dari seorang Kangouw," kata si nyonya
sambil bersenyum. "Kenapa salahmu?"
"Aku sungkan menjadi murid Tootiang dan Kim Tayhiap bersama Tong Tayhiap telah
membantu aku," jawabnya. "Dari sebab itu, Tootiang menggusari mereka."
Phang Lin tertawa geli. "Eh, seorang yang memaksa mengambil murid, pasti akan
celaka. Kau tahu?" katanya sambil berpaling ke arah Hongsek. Ia berkata begitu karena ingat
pengalaman Patpie Sinmo yang dulu juga pernah memaksa untuk mengambil dirinya sebagai
murid. "Sudahlah!" kata Hongsek dengan suara mendongkol. "Biar aku mengubur
kepandaianku dan
selama hidup aku tak akan mempunyai murid."
"Baiklah," kata Phang Lin. "Sesudah tahu kesalahanmu, kau sekarang boleh
berlalu." Tanpa
berkata suatu apa, Hongsek segera bangun berdiri dan bersama Tang Thay Tjeng, ia
segera meninggalkan warung arak itu dengan perasaan gusar.
"Apa aku juga sudah boleh berlalu?" tanya Yo Lioe Tjeng dengan paras gusar.
Phang Lin terkejut. "Ah, kenapa Tjeng-tjie berkata begitu?" katanya. "Apakah kau
masih ingat ganjelan dulu?"
"Mana aku berani?" kata Yo Lioe Tjeng sambil menarik tangan puterinya dan lalu
bertindak keluar, dengan diikut oleh Kang Lam. "Hei! Bukankah kalian ingin cari Tong
Tayhiap?" seru si
kacung. Yo Lioe Tjeng menengok dan mendeliki Kang Lam. Tapi sebelum ia menyemprot si
bawel, Tjiang Hee sudah mendahului: "Benar, ibu. Kenapa kau tak mau tanya Tong Pehbo?"
Phang Lin memburu. "Tong Pehbo-mu berada di Thiansan," katanya sambil tertawa.
Tjee Tjiang Hee kaget. Ia menengok kepada ibunya seraya berkata dengan suara
uringuringan: "Ibu, kenapa kau menyuruh aku menggunakan perbasaan Tong Pehbo?"
"Jangan menyalahkan ibumu," kata Phang Lin seraya tertawa. "Antara sepuluh orang
yang mengenal aku, ada sembilan yang salah melihat."
Yo Lioe Tjeng pun sudah tahu, bahwa nyonya itu bukan Phang Eng dan dengan rasa
mendongkol, ia ingat pula kejadian dulu, waktu Phang Lin memotong rambutnya
dengan menggunakan golok terbang. Tapi karena sekarang sama-sama sudah bukan berusia
muda, ia merasa tidak enak untuk memperlihatkan rasa jengkelnya.
"Tjeng-tjie," kata pula Phang Lin. "Aku juga ingin minta pertolongan Tjietjie
(kakak, Phang Eng). Sesudah dapat mencari Kim Sie Ie, aku akan mengantar kau naik ke
Thiansan."
"Tak usah, aku bisa jalan sendiri," kata Yo Lioe Tjeng dengan suara tawar. Ia
sebenarnya sudah mendengar, bahwa suami isteri Tong Siauw Lan telah pergi ke Tibet dan hal
itu sepatutnya diberitahukan kepada Phang Lin. Tapi karena sedang mendongkol, ia menutup mulut
dan sikapnya itu hampir-hampir saja menggagalkan urusan besar.
Tanpa berkata apa-apa lagi, sambil menarik tangan puterinya, Yo Lioe Tjeng
segera meninggalkan warung arak itu. Belum berapa jauh, tiba-tiba Kang Lam mengudak dan
berteriak: "Hei! Kenapa kalian tak mau menanyakan aku?"
"Sebal!" membentak Yo Lioe Tjeng.
Tjiang Hee mengambil cabang kering dan menyabet seraya membentak: "Tanya apa,
bawel?" "Aduh!" berteriak si kacung sambil menjungkir balik. "Tak kena!" Ia tertawa
haha-hihi dan berkata pula: "Bukankah kalian ingin mencari Tong Tayhiap?"
"Apakah bocah semacam kau mengenal Tong Tayhiap?" kata si nona.


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ha! Jangan kau menghina aku," kata Kang Lam. "Aku bukan hanya mengenal, malahan
bersahabat baik. Setiap kali bertemu, ia selalu menggandeng tanganku dan kami
beromongomong berjam-jam. Ia malahan mengajarkan ilmu silat kepadaku!"
"Omong kosong!" membentak Tjiang Hee.
"Omong kosong!" si kacung menegas dengan suara penasaran. "Tong Tayhiap berparas
sangat cakap, berusia lebih tua dua tiga tahun daripada Kongtjoe-ku. Ia mempunyai
sebatang pedang
yang dinamakan Yoeliong kiam. Ia juga pandai menggunakan senjata rahasia yang
sangat aneh, Thiansan Sinbong namanya. Bukankah begitu?"
"Oh! Dia Tong Keng Thian," kata Tjiang Hee.
"Benar," kata Kang Lam. "Tong Keng Thian adalah Tong Tayhiap, Tong Tayhiap
adalah Tong Keng Thian. Tapi wanita itu mengatakan, bahwa Tong Tayhiap berada di Thiansan.
Dia dusta."
Si nona tertawa geli. "Yang dimaksudkan ibuku adalah ayahnya Tong Keng Thian,"
katanya. "Ayahnya Tong Tayhiap aku tak kenal," kata si kacung. "Aku belum pernah
mendusta. Kenal,
aku kata kenal, tidak kenal aku mengaku tak kenal. Jika kalian ingin mencari
Tong Tayhiap, aku
bisa mengantarkannya. Kalau kalian mau mencari ayahnya Tong Tayhiap, aku tak
bisa menolong."
Sehabis berkata begitu, ia berjalan pergi.
"Tunggu!" berseru Tjiang Hee. "Aku memang mau cari Tong Keng Thian."
Kang Lam tertawa terbahak-bahak. "Ha! Apa kau kata?" katanya dengan hati senang.
"Bukan aku, tapi kau yang omong kosong. Kenapa kau tadi memukul aku?"
Yo Lioe Tjeng sungkan meladeni kacung yang rewel itu. "Baiklah," katanya.
Sekarang aku mau
tanya: Dimana adanya Tong Keng Thian?"
"Di rumah majikanku?" jawabnya.
"Siapa majikanmu?" tanya pula Yo Lioe Tjeng.
"Majikanku adalah Soanwiesoe di Sakya, Tan Teng Kie Taydjin, sedang putera Tan
Looya adalah Tan Thian Oe Kongtjoe," menerangkan si bawel.
Yo Lioe Tjeng tertawa, sedang Tjiang Hee tersenyum seraya berkata: "Benar. Aku
pernah mendengar Keng Thian menyebutkan nama itu."
*** Mendengar kembalinya Kang Lam, Tan Teng Kie yang memang sedang mengharap-harap
dengan tidak sabaran, jadi merasa sangat girang dan memerintahkan supaya si
kacung segera datang menghadap. Ia heran melihat Kang Lam masuk bersama dua orang wanita.
"Taydjin, inilah
TjeeTaytay, sahabat Tong Tayhiap," kata si kacung. "Tak gampang aku mengundang
mereka datang kemari."
Alis Teng Kie berkerut. "Kacungku sangat tidak mengenal adat, aku harap Djiewie
tidak menjadi gusar," katanya sambil memerintahkan seorang pelayan memanggil Siauw Tjeng Hong
dan Thian Oe. Mendengar tamu yang berkunjung adalah puterinya Tiattjiang Sintan Yo Tiong Eng,
Tjeng Hong dan Thian Oe jadi girang dan mereka lalu menemani kedua tamu itu, sedang Teng
Kie sendiri bicara dengan Kang Lam mengenai kepergiannya ke kota raja. Yo Lioe Tjeng dan
puterinya sekarang mendapat kepastian, bahwa memang benar Tong Keng Thian telah datang
berkunjung ke rumah Soanwiesoe, hanya sayang ia sudah berangkat ke Lhasa bersama-sama
Pengtjoan Thianlie. Selagi beromong-omong dengan tamunya, Thian Oe mendadak mendengar teriakan
ayahnya: "Oe-djie, mari sini!"
Ia mendekati dan ternyata sang ayah sedang mencekal sepucuk surat dengan tangan
bergemetaran. Begitu membaca, ia berteriak kegirangan.
Surat itu, yang dikirim oleh Tjioe Giesoe, mengatakan, bahwa ia sudah mengajukan
permohonan kepada kaizar yang sudah meluluskannya. Dikatakan, bahwa tak lama
lagi, bakal datang firman yang memanggil Teng Kie pulang ke kota raja guna memangku jabatan
yang lama. Sebagai orang yang sudah belasan tahun berada dalam pengasingan, berita itu
menimbulkan rasa girang tercampur terharu dalam hatinya Teng Kie dan tanpa merasa, air
matanya mengucur.
Thian Oe pun tidak kurang girangnya. "Kang Lam," katanya dengan suara berterima
kasih. "Ayah
dan aku merasa sangat menanggung budi."
"Kang Lam," menyambung Tan Teng Kie sambil tertawa. "Semula aku tak menaruh
kepercayaan atas dirimu, tapi sekarang ternyata kau bukan seorang tolol."
"Terima kasih atas pujian Looya dan Kongtjoe," jawab si kacung kemalu-maluan.
Sesudah melipat dan memasukkan surat itu ke dalam sakunya Tan Teng Kie berkata
pula: "Kang Lam, mulai dari sekarang, kau menggunakan saja perbasaan kakak dan adik
dengan Thian Oe. Aku sekarang membebaskan kau dari tugas kacung. Jika kau masih suka bekerja
dan berdiam disini, aku dan Thian Oe tentu akan merasa sangat girang. Tapi kau bebas untuk
berhenti dan mendirikan rumah tangga sekali, jika kau menghendakinya. Kalau kau ingin
menikah, aku akan
menghadiahkan tiga ratus tail perak."
Kang Lam merasa berterima kasih dan terharu mendengar kebaikan sang majikan.
"Looya dan
Kongtjoe, terima kasih banyak-banyak untuk kebaikanmu," katanya dengan air mata
berlinang. "Tapi Kang Lam sungkan cari berabe. Aku hanya sudah berjanji kepada nyonya itu
untuk bantu mencari Tong Tayhiap. Seorang Koentjoe tak akan melanggar janji. Maka itu, jika
dipermisikan Looya dan Kongtjoe, aku ingin mengantarkan mereka pergi ke Lhasa. Sesudah
menunaikan janji,
aku akan kembali untuk melayani lagi Kongtjoe."
"Oh, begitu?" kata Tan Teng Kie seraya tertawa. "Baiklah, kau boleh pergi. Jika
bertemu dengan Tong Tayhiap, tolong kau
menyampaikan hormatku."
Demikianlah, Kang Lam lalu mengantar Yo Lioe Tjeng dan puterinya pergi ke Lhasa.
Sesudah berdiam di kota itu beberapa hari, mereka masih belum juga bisa menemui Keng
Thian dan tak tahu kemana harus mencarinya.
*** Tong Keng Thian dan Koei Peng Go sudah tiba di Lhasa beberapa hari lebih dulu
dan pada waktu itu, mereka sudah menemui kejadian yang sangat luar biasa.
Inilah untuk ketiga kalinya mereka mengunjungi Lhasa bersama-sama. Pada dua
kunjungan yang lebih dulu dari itu, biarpun di dalam hati mereka sudah saling mencinta,
tapi di luar, mereka
masih bersikap seperti sahabat biasa. Kali ini adalah lain. Mereka tidak malu-
malu lagi dan berlaku
seperti dua tunangan yang saling mencinta.
Tapi, biarpun mereka melewati hari dengan penuh kebahagian, dalam hati mereka
selalu terdapat satu ganjelan, yaitu soalnya Liong Leng Kiauw, yang sudah di penjarakan
setahun lebih dan yang belum diketahui bagaimana keselamatannya.
Mereka tak mau bertindak sembarangan untuk memberi pertolongan karena Liong Leng
Kiauw adalah ahli waris keluarga Tong. Tong Say Hoa adalah seorang nenek yang beradat
aneh dan sangat tak suka orang luar campur-campur urusan
keluarganya. Maka itulah, Tong Siauw Lan telah memesan puteranya supaya jangan
bertindak sembarangan dan yang paling perlu adalah pergi ke Soetjoan barat untuk
memberitahukan kejadian itu kepada si nenek. Begitu menerima warta, Tong Say Hoa gusar bukan
main dan jika mungkin, sesaat itu juga ia hendak menyateroni penjara. Tapi sebagaimana
diketahui, mendadak
Kim Sie Ie mengacau di rumah keluarga Tong, sehingga si nenek dan pemuda itu
sama-sama kena senjata rahasia. Biarpun belakangan mereka saling menukar obat, Keng Thian tak
bisa menaksir apa Tong Say Hoa bisa datang di Lhasa, karena badannya tentu akan menjadi lemah
akibat jarum Kim Sie Ie. Maka itu, sesudah berdamai, mereka mengambil keputusan untuk menemui Hok Kong
An. Mengingat jasa mereka yang sudah bantu melindungi guci emas dan mengingat
bantuan Pengtjoan Thianlie dalam peristiwa Sakya, mereka merasa pasti pembesar Boan itu
akan menerima kunjungannya.
Demikianlah, pada hari ketiga, mereka segera pergi ke gedung Hok Kong An yang
ternyata dijaga sangat keras. Mereka lantas saja mempersembahkan barang antaran dan
meminta supaya petugas yang menjaga pintu melaporkan kedatangan mereka. Beberapa saat kemudian,
mereka diundang ke kamar tamu dan disuguhkan teh. Duduk belum berapa lama, tirai pintu
tersingkap dan seorang Soeya (semacam sekretaris jaman sekarang) bertindak masuk. Melihat
yang masuk bukan Hok Kong An sendiri, Keng Thian dan Peng Go merasa sangat kecewa.
"Kesehatan Hok Tayswee terganggu dan beliau tak bisa menerima tamu," kata si
Soeya sambil memberi hormat. "Mendengar kedatangan Djiewie, beliau memerintahkan aku untuk
menyambut. Apakah aku bisa mendapat tahu maksud kedatangan kalian?"
"Aku mempunyai seorang sahabat yang katanya bekerja di bawah perintah Hok
Tayswee," kata
Keng Thian dengan pura-pura tak tahu, bahwa Liong Leng Kiauvv sudah
dipenjarakan. "Sekalian
datang kesini, aku ingin menyambanginya."
"Siapa namanya sahabat tuan?" tanya si Soeya.
"She Liong, bernama Leng Kiauw," jawabnya.
Paras muka Soeya itu lantas saja berubah. "Aku tak pernah dengar nama orang
itu," katanya
sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Melihat perubahan pada paras orang itu, hati Keng Thian jadi semakin tak enak.
Apa terjadi kejadian yang tak diingini atas diri Liong Leng Kiauw"
Sesudah masing-masing mengambil tempat duduk, si Soeya mengangkat cawan teh dan
sambil bangun berdiri, ia mengundang tamunya minum. Keng Thian pura-pura tidak mengenal
adat dan tetap duduk di kursi, ia mengajukan pertanyaan beruntun-runtun. Hok Tayswee
sakit apa " Apa
sudah mengundang tabib" Makan obat apa" Si Soeya jadi semakin gugup dan Keng
Thian segera dapat memastikan, bahwa alasan sakitnya Hok Kong An adalah alasan yang dibuat-
buat. Tiba-tiba diluar terdengar teriakan orang: "Orang lain boleh tak usah ditemui
oleh Hok Tayswee. Tapi kedatanganku harus disambut olehnya sendiri!"
Keng Thian terkejut. Ia mengenali, bahwa suara itu adalah suara In Leng Tjoe.
In Leng Tjoe adalah Konghong dari istana kaizar Boan, semacam pangkat yang lebih
tinggi daripada Siewie (pengawal kaizar). Dulu ia pernah datang di Lhasa dengan
mendapat tugas untuk
menangkap Liong Leng Kiauw, tapi ia tak bisa menjalankan tugas itu, karena Hok
Kong An telah menahan Liong Sam dalam kantor Tayswee. Maka itu, dengan perasaan mendongkol, ia
kembali ke kota raja untuk memberi laporan kepada kaizar dan memohon tugas yang lebih
tegas. Hok Kong An adalah seorang menteri yang mendapat kepercayaan paling besar dari
Kaisar Kian Liong dan mempunyai kekuasaan mutlak di Lhasa. Maka itu, melihat cara-caranya In
Leng Tjoe yang begitu kasar, orang-orang sebawahannya jadi merasa mendongkol. "Biarpun
raja muda atau pweelek (keluarga kaizar) yang datang kemari, ia harus menunggu sebelum mendapat
undangan dari Hok Taydjin," kata salah seorang. "Mana boleh bicara begitu kurang ajar di
kantor Tayswee?"
In Leng Tjoe mengeluarkan suara di hidung dan kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Benar, memang benar Hok Taydjin-mu bisa menolak untuk menemui raja muda atau pweelek,"
katanya dengan suara mengejek. "Tapi sekarang aku mau tanya: Jika Hongsiang (kaizar)
datang sendiri,
apakah Hok Taydjin juga akan menolak?"
Para pengawal gedung Tayswee jadi kaget bukan main. "Apa kau membawa firman?"
tanya seorang. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ln Leng Tjoe merogoh saku dan mengeluarkan
sebuah Kimpay (papan emas) dengan ukiran empat huruf yang berbunyi: Djie Tim Tjin Leng
(Seperti juga kami datang sendiri). Dengan mengangkat Kimpay itu tinggi-tinggi, ia membentak
dengan suara angker: "Apa matamu buta" Lekas panggil Hok Kong An untuk menyambut firman
Kaisar!" Dalam kamar tamu, Tong Keng Thian bertiga berhenti bicara dan memperhatikan
kejadian di luar itu. Si Soeya, yang sebenarnya adalah sahabat Liong Leng Kiauw, mengetahui,
bahwa kedatangan In Leng Tjoe adalah untuk mengurus urusan Liong Sam yang, jika
dilihat gelagatnya,
bakal menghadapi bencana besar.
Sementara itu, para pengawal pintu jadi ketakutan. Buru-buru mereka mengundang
In Leng

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tjoe ke sebuah kamar tamu yang lain dan lalu memberi laporan kepada Hok Kong An.
Mendadak Keng Thian bangun berdiri seraya berkata: "Karena, kesehatan Tayswee
sedang terganggu, maka kami mohon berlalu saja. Kami minta kau suka menyampaikan hormat
kami kepada Hok Tayswee." Si Soeya yang memang ingin mereka buru-buru pergi, lantas
saja bangun dan mengantar kedua tetamu itu sampai di luar pintu.
Sambil menarik tangan Peng Go, Keng Thian berjalan ke arah kamar tamu dimana In
Leng Tjoe sedang menunggu kedatangan Hok Kong An.
Si Soeya mengudak dan berteriak: "Salah! Kalian jalan salah!" Tapi kedua orang
muda itu tidak meladeni dan baru menghentikan tindakan di depan kamar tamu itu.
"Hei! Kau benar banyak lagak!" berteriak Keng Thian dengan mengubah suaranya.
In Leng Tjoe marah besar dan seraya melompat ke pintu, ia membentak:
"Binatang!..." Tapi
perkataannya berhenti di tengah jalan, karena begitu lekas melihat Keng Thian
dan Peng Go, mulutnya ternganga dan matanya membelalak.
"Aku ingin pinjam lihat firman yang dibawa olehmu," kata Keng Thian dengan suara
tawar. Pengtjoan Thianlie sendiri lalu mengeluarkan sebutir Pengpok Sintan, yang
dicekal dengan dua
jerijinya dan kamar itu lantas diliputi dengan hawa yang dingin luar biasa.
In Leng Tjoe ketakutan setengah mati dan tidak berani berkutik lagi. la tahu,
bahwa jiwanya akan segera melayang, jika ia coba-coba melawan dua orang muda yang sangat
liehay itu. Mau
tak mau, ia membiarkan Keng Thian menggeledah badannya dan mengeluarkan firman
kaisar dari dalam bajunya. Bunyi firman itu adalah seperti berikut:
"Liati Sioe, anak laki-laki penghianat Lian Keng Giauw, dengan menggunakan nama
samaran Liong Leng Kiauw, telah menyelesap masuk ke Tibet untuk menimbulkan huru-hara.
Sekarang dia sudah ditangkap. Dia harus dihukum mati di tempat itu juga dan tidak usah dibawa
ke kota raja. Sekianlah perintah Kami untuk Hok Kong An, Menteri Besar yang memegang kekuasaan
di Tibet." Dengan menggunakan istilah "menyelesap masuk di Tibet", Kaisar Kian Liong
sebenarnya sudah
memberi "muka" kepada menterinya yang disayang itu.
Keng Thian sekarang tahu, bahwa jiwa Liong Leng Kiauw digantung di atas selembar
rambut. Untuk sejenak, ia mencekal firman itu tanpa bersuara.
Sekonyong-konyong terdengar bentakan-bentakan para pengawal, suatu tanda, bahwa
Hok Kong An akan segera keluar dari gedungnya. Keng Thian terkesiap. Ia memasukkan
firman itu ke dalam saku In Leng Tjoe seraya berkata dengan suara getir: "Terima kasih." Ia
memutar badan dan bersama Peng Go, segera meninggalkan gedung Tayswee.
Sesudah mendapat pelajaran pahit, In Leng Tjoe tidak berani mengunjuk
kesombongannya lagi
dan tentu saja ia tidak menceritakan apa yang sudah terjadi kepada Hok Tayswee.
Setibanya di rumah penginapan, Keng Thian lalu berdamai dengan Pengtjoan
Thianlie mengenai tindakan yang harus diambil. Dalam perundingan, tiba-tiba si nona ingat
Soetee-nya Liong Leng Kiauw, yang bernama Gan Lok dan yang bertempat tinggal di kaki Gunung
Anggur. Ia mengajukan usul, bahwa berita jelek itu harus segera diberitahukan kepada Gan
Lok. Tanpa membuang tempo, mereka segera mengunjungi Gan Lok yang lantas saja
mengajak mereka masuk ke kamar rahasia.
"Kapan Tong Tayhiap datang di Lhasa ?" tanya Gan Lok sesudah mengunci pintu.
"Apa Tayhiap
mendengar warta apa-apa mengenai Soeheng-ku?"
"In Leng Tjoe sudah kembali," menerangkan Keng Thian. "Aku kuatir kembalinya itu
mempunyai akibat tidak baik bagi dirinya Liong Sam Sianseng." Keng Thian bicara
dengan hatihati
dan ia tak mau segera memberitahukan hal firman kaisar.
Sekonyong-konyong Gan Lok bangun dan berlutut di hadapan kedua tetamunya. Keng
Thian ingin mencegah, tapi sudah tidak keburu lagi. "Tong Tayhiap," katanya dengan
suara memohon. "Siauwtee mempunyai suatu permintaan yang sebenarnya tidak pantas diajukan. Aku
merasa sangsi, apa boleh bicara terus terang?"
"Bicaralah," kata Keng Thian.
"Sesudah siauwtee memikir bulak-balik, rasanya tiada jalan lain daripada
membongkar penjara!" katanya.
Keng Thian terperanjat. Ia tidak lantas memberi jawaban dan duduk bengong dengan
perasaan sangsi. "Dengan Liong Leng Kiauw, aku belum bergaul lama dan belum tahu isi
hatinya," katanya
di dalam hatinya, "jika aku bantu membongkar penjara, aku menimbulkan gelombang
besar di Tibet. Untuk membalas sakit hati ayahnya, mungkin sekali, sesudah
keluar dari penjara, ia
akan menerbitkan kekacauan hebat." Di lain saat, ia mendapat lain pikiran:
"Biarpun dia putera
Lian Keng Giauw, tapi dilihat gerak-geriknya, dia adalah seorang laki-laki
sejati. Bukankah sayang
sekali, jika ia mesti membuang jiwa dengan cuma-cuma" Di samping itu, sesudah
aku menolongnya, ia pasti akan mendengar nasihatku untuk tidak menimbulkan huru-
hara. Ayah sendiri telah memerintahkan supaya aku memberitahukan hal ini kepada nyonya Tong
dan dengan begitu, ayah tentu tak akan menggusari aku, jika aku memberi pertolongan."
Seperti ayahnya, Keng Thian adalah seorang yang sangat berhati-hati. Dalam
menghadapi segala urusan, ia selalu memikir dulu sebelum bertindak. Melihat kesangsian
tamunya, hati Gan
Lok berdebar-debar. Sesaat kemudian, Keng Thian berkata: "Baiklah,
malam ini, lewat tengah malam."
Gan Lok girang tak kepaiang. Tapi, sebelum ia sempat menghaturkan terima kasih,
di luar mendadak terdengar suara ribut-ribut.
"Apa itu" Djiewie berdiam saja disini untuk sementara waktu, aku mau keluar
untuk menyelidiki," kata Gan Lok sambil bertindak keluar dari kamar rahasia itu.
Begitu tiba di pintu, ia terkesiap karena yang datang adalah Lo Tiauw, pemimpin
pasukan pengawal Hok Kong An, yang diikuti oleh enam orang, empat antaranya adalah ahli-
ahli silat kelas
satu di bawah perintah Hok Tayswee, sedang dua yang lain adalah seorang pria dan
seorang wanita yang mukanya luar biasa. Mereka berdua adalah In Leng Tjoe dan isterinya,
San Tjeng Nio, yang tidak dikenal Gan Lok.
"Ada urusan apa Lo Taydjin datang kesini?" tanyanya sambil merangkap kedua
tangannya. Lo Tiauw mengeluarkan suara di hidung. "Gan Lok!" bentaknya. "Besar sungguh
nyalimu!" "Aku adalah seorang rakyat kecil yang belum pernah melanggar undang-undang
negara," kata
Gan Lok. "Apa artinya perkataan Taydjin?"
"Jangan berlagak gila!" berteriak Lo Tiauw. "Kau sudah membawa lari Liong
Loosam. Dimana dia sekarang?"
Gan Lok kemekmek. Perkataan Lo Tiauw bagaikan halilintar di tengah hari bolong.
"Apa?" ia
menegasi. "Soeheng-ku dibawa lari orang?"
"Apa kau masih mau main gila terus?" kata Lo Tiauw dengan gusar. "Apa kau mau
aku turun tangan?" Kagetnya Gan Lok sekarang tercampur dengan perasaan girang. "Lo Taydjin!"
katanya dengan suara nyaring. "Aku sungguh-sungguh tidak mengerti perkataanmu."
"Jika bukan kau, siapa lagi yang membongkar penjara?" tanya Lo Tiauw dengan mata
melotot. "Sudah setengah bulan, siauwtee tak pernah keluar dari rumah ini," jawabnya.
"Mana bisa
siauwtee membongkar penjara?"
Lo Tiauw sangsi. "Dilihat dari parasnya, mungkin ia tidak berdusta," katanya di
dalam hati. "Di
samping itu, begitu aku datang, ia lantas keluar menyambut. Tapi, kalau bukan
dia, siapa lagi?"
"Bolehkah aku mendapat tahu, bagaimana penjara dibongkarnya?" tanya Gan Lok.
"Dengan adanya penjagaan yang begitu kuat, apa masih ada orang yang berani berbuat
begitu?" Lo Tiauw jadi semakin sangsi. "Hm!" ia menggereng. "Aku tanya kau, sekarang
berbalik kau tanya aku. Gan Lok! Jangan main gila kau!"
"Jika benar aku yang membongkar penjara, waktu ini aku tentu sudah kabur jauh,"
kata Gan Lok. "Tak bisa jadi, aku terus berdiam di rumahku dan menyambut kedatangan
kalian. Jika tidak
percaya, kalian boleh menggeledah."
Lo Tiauw tertawa dingin. "Tak mudah kau menipu aku dengan segala akal bulus,"
katanya. "Sudah pasti, kaulah yang melepaskan Liong Loosam dan menyuruh dia kabur di
tempat lain, sedang kau sendiri pura-pura bersih. Gan Lok! Beritahukan saja tempat
bersembunyinya Liong
Loosam. Dengan mengingat, bahwa kita pernah bekerja sama-sama, aku tentu tak
akan menyusahkan kau."
"Biarpun dibunuh mati, aku tak bisa memberitahukan dimana adanya Soeheng, karena
aku memang tak tahu," jawabnya dengan suara tetap.
Sementara itu, In Leng Tjoe sudah hilang sabarnya. "Sudahlah!" bentaknya.
"Sebagai soetee
Liong Leng Kiauw, dia harus bertanggung jawab sepenuhnya. Perlu apa kita bicara
panjangpanjang?"
Berbareng dengan perkataannya, ia maju setindak dan coba mencengkeram Gan Lok
dengan tangannya yang seperti kipas.
Dengan cepat Gan Lok berkelit dan melompat mundur. Mendadak, dengan disertai
sambaran angin dahsyat, bagaikan bianglala, sehelai ikatan pinggang sutera yang beraneka
warnanya, menyambar. Gan Lok terkesiap dan untuk menolong diri, ia berguling di atas
lantai. Sementara itu,
In Leng Tjoe sudah merangsek maju untuk membekuk lawannya. Selagi melompat,
tiba-tiba saja,
ia merasa kakinya menginjak serupa benda yang dingin luar biasa. Hatinya
mencelos dan ia
meloncat mundur beberapa tindak.
Di lain saat, dengan jalan berendeng, Tong Keng Thian dan Koei Peng Go masuk ke
dalam ruangan itu. Melihat sambaran ikatan pinggang San Tjeng Nio, dengan tenang Keng
Thian mengangkat tangan kanannya dan dengan dua jeriji menjepit ikatan pinggang itu,
yang lantas saja putus seperti tergunting!
Dapat dibayangkan betapa kagetnya In Leng Tjoe dan San Tjeng Nio. Untuk membekuk
Gan Lok, yang katanya memiliki ilmu silat tinggi, In Leng Tjoe telah mengajak
iserinya datang
bersama-sama, la tak pernah mimpi bahwa kedua orang muda yang ditakuti itu, bisa
berada di rumah Gan Lok. Sebagaimana diketahui, mereka berdua pernah mengerubuti Pengtjoan
Thianlie tanpa bisa menarik keuntungan apapun juga dan kemudian dalam pertarungan itu,
mereka pernah berkenalan dengan liehaynya Thiansan Sinbong. Mereka juga mengetahui, bahwa Keng
Thian adalah putera Tong Siauw Lan yang benar-benar tidak boleh dibuat gegabah. Maka
itu, biarpun merasa sangat malu, buru-buru mereka lompat menyingkir sebagai jago pecundang.
Hina Kelana 12 Jaka Sembung 15 Raja Sihir Dari Kolepom Pahlawan Dan Kaisar 23
^