Pencarian

Dewi Maut 17

Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 17


suka mundur dan menarik pasukan, anda akan tetap menjadi sahabat kami dan saya
akan menjadi wali dari putera anda kelak. Sebaliknya, apabila anda melanjutkan
penyerbuan ke selatan, kami akan membasmi semua pasukan anda dan akan
mempersilakan ratu untuk hidup terhormat dan terpuji di dalam istana kami.
Sekian dan kemudian terserah kebijaksanaan anda.
Tertanda, Kaisar Ceng Tung Sabutai menyimpan surat itu dan tersenyum lebar sambil melirik ke arah
isterinya. Kemudian dia memandang mereka semua seorang demi seorang, kemudian
yang terakhir kepada Wang Cin, dan berkatalah dia dengan suara lantang. "Kami
memutuskan agar urusan ini ditunda dulu. Nona Hong dan pemuda ini tetap menjadi
tamu"tamu kami yang diawasi dan tidak diperkenankan keluar dari benteng. Juga
harap Wang"taijin dan para pembantunya tidak sembarangan turun tangan
menimbulkan keributan. Kami hendak melihat perkembangannya. Hendak kulihat
apakah benar"benar kaisar muda itu berkepandaian begitu hebat untuk merampas
kembali kedudukannya dan menarik mundur pasukan seperti yang dijanjikannya. Ha"
ha"ha!" Sabutai tertawa, lalu mengajak isterinya memasuki ruangan sebelah dalam.
Persidangan itu bubar dan sepasukan pengawal lalu mengantar Bun Houw ke dalam
sebuah kamar tamu dan selanjutnya pemuda ini terus dikawal dan diawasi.
Demikianpun In Hong dan Yo Bi Kiok maklum bahwa mereka diam-diam diawasi oleh
kakek den nenek guru Sabutai. Semenjak peristiwa kekalahan Yo Bi Kiok dari Cia
Keng Hong, guru ini bersikap dingin terhadap muridnya dan tidak pernah menegur,
akan tetapi In Hongpun diam saja karena makin lama makin terbukalah matanya
betapa subonya itu memiliki watak yang aneh, tidak lumrah, kadang-kadang ganas
dan amat kejam sehingga dia merasa tidak senang dan juga berduka, karena
sesungguhnya, subonya itulah yang selama ini dianggapnya sebagai orang yang
paling baik baginya. Sementara itu, dengan bantuan Cia Keng Hong, Kaisar Ceng Tung cepat
mengadakan kontak dengan para menteri dan jenderal yang setia kepadanya. Untung
baginya, kebetulan sekali bala tentara yang dikerahkan ke utara untuk menghalau
pasukan-pasukan Sabutai, dipimpin oleh Jenderal Bao Ciang, scorang jenderal yang
setia kepadanya dan menjadi sahabat baik pendekar Cia Keng Hong. Mula-mula
kaisar oleh Cia Keng Hong disembunyikan lebih dulu dan dia sendiri pergi
menghadap Jenderal Bao Ciang. Di tempat ini, Cia Keng Hong berjumpa dengan Yap
Kun Liong yang seperti banyak orang-orang gagah dari seluruh penjuru beramai-
ramai menjadi sukarelawan membantu bala tentara pemerintah untuk menghadapi
pemberontak dari utara. Sebelum bicara dengan Jenderal Bao Ciang, Cia Keng Hong menemui Kun Liong
lebih dulu dan dari Yap Kun Liong inilah dia menyelidiki keadaan jenderal itu
sekarang sehingga dia merasa yakin bahwa Jenderal Bao inipun tidak setuju akan
pengangkatan Cing Ti yang dipaksa menggantikan kedudukan Kaisar Ceng Tung yang
tertawan pemberontak. Dengan singkat Cia Keng Hong lalu bercerita kepada Yap Kun Liong betapa adik
kandung Kun Liong yang bernama In Hong telah berhasil menyelamatkan dan
meloloskan kaisar dari dalam tahanan pemberontak.
Kun Liong terkejut dan girang bukan main. Tadinya dia sudah merasa
kehilangan adiknya yang dianggapnya telah menyeleweng dan menjadi seorang yang
kejam seperti gurunya, Yo Bi Kiok. Akan tetapi siapa tahu kini malah berjasa
besar! "Supek, di manakah dia sekarang?"
"Dia menjadi pengawal ratu, isteri Sabutai. Dia kembali ke benteng Sabutai,
dan aku sudah menyuruh Bun Houw untuk menyusul dan melindunginya kalau-kalau ada
bahaya mengancamnya. Karena aku sendiri harus cepat membantu sri baginda kaisar
menghubungi para jenderal..."
"Kalau begitu saya akan menyusul ke sana, supek."
"Sebaiknya begitulah."
Kun Liong memberi hormat dan berkelebat pergi, diikuti pandang mata Cia Keng
Hong yang merasa kasihan sekali kepada pendekar itu. Dia tahu bahwa sampai
sekarang, kematian isteri Kun Liong yang mengakibatkan banyak malapetaka itu
masih juga belum terbongkar rahasianya dan tentu usaha penyelidikan semua
terhenti oleh adanya perang melawan pemberontakan. Bahkan penyelidikan puteranya
dan dia sendiri tentang pedang pusaka Siang-bhok-kiampun terhenti. Semua
kepentingan pribadi memang terpaksa harus dikesampingkan untuk mendahulukan
kepentingan negara dan bangsa. Apalagi menghadapi ancaman dari orang-orang
Mongol yang pernah menjajah tanah air selama hampir satu abad lamanya itu.
Kemudian Cia Keng Hong pergi menghadap Jenderal Bao dan dalam pertemuan
antara dua sahabat lama, karena keduanya dahulu merupakan pembantu-pembantu
Panglima Besar The Hoo, terdapat kegembiraan besar dan di sini Cia Keng Hong
menjajagi isi hati Jenderal Bao, karena biarpun dia sudah mendengar keterangan
dari Kun Liong, namun dalam urusan diri kaisar dia harus berhati-hati. Setelah
dia yakin benar bahwa jenderal ini benar-benar masih setia kepada Kaisar Ceng
Tung, Cia Keng Hong memancing. "Akan tetapi, Bao-goanswe, bukankah Kaisar Ceng
Tung adalah kaisar yang lemah sekali, yang mudah saja dipermainkan oleh thaikam
yang khianat, dan mudah tunduk oleh selirnya yang bernama Azisha?"
Jenderal Bao mengerutkan alisnya yang tebal. "Memang benar, akan tetapi saya
mengenal betul watak beliau sejak kecil, Cia-taihiap! Beliau adalah seorang yang
sesungguhnya memiliki budi baik, dan seorang yang memiliki kecerdasan dan
kemampuan besar untuk menjadi seorang kaisar yang baik. Pribadinya baik, dia
gagah berani menentang segala kesukaran. Kalau dia berobah lemah, hal itu adalah
karena pengaruh si laknat Wang Cin, si kebiri pengkhianat itu. Betapapun juga,
pengangkatan Kaisar Cing Ti hanya terpaksa karena Kaisar Ceng Tung tidak ada
beritanya, mungkin sudah tewas di dalam tahanan dan untuk itu, kami telah
bersumpah untuk membalas dendam, untuk membasmi Sabutai dan semua anak buahnya!"
Dia memukulkan tinjunya yang besar ke atas meja.
"Seandainya Kaisar Ceng Tung ternyata masih hidup dan berhasil meloloskan
diri dari tawanan, bagaimana, Bao-goanswe?"
Mata yang lebar itu memandang tajam. "Tidak mungkin! Sudah terlambat. Mereka
yang berambisi mencari kedudukan tinggi sudah memperjuangkan agar Kaisar Ceng
Tung tidak ditolong selana ini dan agar mereka dapat mengangkat kaisar lain yang
dapat mereka permainkan. Kelompok pengganti orang-orang macam Wang Cin memang
banyak terdapat di istana dan tak lama lagi kaisar baru akan jauh lebih lemah
lagi daripada Kaiar Ceng Tung."
"Akan tetapi seandainya Kaisar Ceng Tung masih hidup dan lolos?"
"Tidak mungkin! Harapan kosong belaka!"
"Goanswe, lupakah goanswe kepada ajaran Panglima The Hoo bahwa dalam setiap
keadaan kita tidak boleh sekali-kali berputus asa" Kalau belum ada bukti-bukti
bahwa Kaisar Ceng Tung telah meninggal dunia, mengapa goanswe mengatakan tidak
mungkin dan harapan kosong belaka" Jawablah, andaikata beliau masih hidup dan
sekarang dapat muncul di sini, apa yang akan kaulakukan?"
Jenderal itu bangkit berdiri, menatap wajah pendekar itu penuh selidik,
tiba-tiba memegang dan menekan tangan pendekar itu dengan tangannya yang besar
dan kuat, dan matanya menjadi basah. "Cia-taihiap! Engkau satu-satunya orang
yang paling kuhormat karena kegagahanmu dan kupercaya karena kesetiaanmu,
katakanlah. Benarkah beliau masih hidup?"
"Duduklah, goanswe. Lebih baik kaujawab dulu pertanyaanku tadi. Apa yang
akan kaulakukan kalau beliau masih hidup dan muncul di sini?"
"Demi Tuhan! Aku akan membantu beliau memperoleh kembali singgasana beliau
karena itu adalah haknya! Kalau Sri Baginda Kaisar Ceng Tung masih hidup, maka
kaisar yang baru itu tidak sah!"
"Hemm, bagaimana akan kaulakukan hal itu begitu mudahnya" Kaisar yang baru
memiliki banyak pendukung dan tentu akan terjadi perang saudara."
"Tidak! Sebagian besar bala tentara berada di bawah komandoku. Dan sisa
pasukan di dalampun dipimpin oleh sahabat-sahabatku yang setia kepada Kaisar
Ceng Tung. Hanya ada beberapa orang jenderal yang mengepalai pasukan-pasukan
pengawal dan pasukan-pasukan pinggiran yang tidak berarti kekuatannya. Aku akan
lebih dulu mengadakan pembersihan, menekan mereka atau menyingkirkan mereka
kalau perlu. Akan tetapi betulkah...?" Dia memandang penuh harap.
Cia Keng Hong sudah merasa yakin sekarang. Dia mengangguk dan berkata,
"Lekas sediakan pasukan penjemput dan kereta."
Jenderal Bao merangkul Cia Keng Hong dan kepalan tangannya yang besar
menghapus dua titik air matanya. "Kau hebat, taihiap! Kau hebat sekali telah
menyelamatkan kaisar! Usaha puluhan ribu perajurit tidak berhasil, akan tetapi
engkau seorang diri dapat..."
"Ssssstt... jangan tergesa-gesa memuji. Engkau akan mendengar sendiri dari
beliau siapa yang menyelamatkan beliau. Mari!"
Malam itu juga, Jenderal Bao Ciang sendiri bersama Cia Keng Hong memimpin
pasukan menjemput Kaisar Ceng Tung. Setelah berhadapan dengan kaisar, Jenderal
Bao menjatuhkan diri berlutut sambil meruntuhkan beberapa titik air mata! Akan
tetapi, dengan manis budi dan tenang kaisar itu berkata, "Bangkitlah, jenderalku
yang setia! Dan mulai saat ini, perintahkan untuk menarik mundur semua pasukan,
jangan lagi mengejar pasukan Sabutai."
Jenderal itu bangkit dan memberi hormat, terkejut menerima perintah pertama
yang aneh itu. "Siap, sri baginda. Akan tetapi, bolehkah hamba menerima penjelasan?"
Kaisar tersenyum angkuh. "Kalau dia diserang, dia akan mempertahankan mati-
matian dan mungkin akan mengorbankan banyak pasukan kita yang kini perlu kita
kerahkan ke selatan. Dan aku menjamin bahwa kalau dia tidak diserang, dia akan
mundur. Dia telah tahu kini akan kekuatan kita dan kekalahannya merupakan
pelajaran baginya. Dia kelak dapat menjadi sahabat yang baik." Kaisar tersenyum
lagi, teringat akan suratnya dan akan pengaruh Khamila atas diri suaminya. Cia
Keng Hong yang tidak tahu akan urusan sedalam-dalamnya, diam-diam juga merasa
heran sekali. Kaisar lalu diiringkan ke dalam benteng dan taat akan perintah kaisar,
Jenderal Bao menarik kembali semua pasukan yang mengurung benteng. Sabutai hanya
meninggalkan sedikit pasukan untuk melakukan pengintaian. Hal inipun segera
diketahui oleh Sabutai yang tertawa dan mengangguk-angguk. "Hebat..." kata Raja
Mongol ini. "Memang dia hebat, jauh hebat daripada aku, dalam banyak hal...
dalam banyak hal..." dia teringat akan kandungan di dalam perut istrinya dan
tersenyum lebar penuh kebanggaan bahwa dia akan menjadi ayah dari seorang anak
keturunan kaisar yang demikian hebat!
Setelah berunding dengan kaisara, Jenderal Bao yang dibantu oleh Cia Keng
Hong yang kini bertindak sebagai pengawal kaisar pribadi untuk sementara, segera
melaksanakan rencananya. Tentang kembalinya Kaisar Ceng Tung masih dirahasiakan
dan jenderal itu menyusun kekuatan untuk mengembalikan singgasana kepada Kaisar
Ceng Tung. Para menteri dan jenderal yang setia kepada Kaisar Ceng Tung tentu
saja menyambut dengan penuh kegembiraan, akan tetapi di fihak para pengejar
ambisi yang telah mengangkat Kaisar Ceng Ti secara paksa, tentu saja dengan
mati-matian mempertahankan Kaisar Ceng Ti, karena turunnya kaisar baru dari
tahta dan kembalinya kaisar lama ke istana berarti hilangnya kedudukan baru
mereka yang mulia! Kembali merupakan bukti yang nyata betapa semenjak sejarah tercatat orang,
semua pertikaian, semua permusuhan dan semua peperangan terjadi sebagai akibat
daripada pengejaran ambisi dan cita-cita, baik perorangan maupun kelompok yang
sesungguhnya sama saja, karena kelompok hanyalah merupakan sekumpulan orang-
orang lemah yang tidak percaya kepada diri sendiri lalu menggantungkan
kepercayaan mereka kepada beberapa gelintir orang dan mengeoper ambisi beberapa
gelintir orang itu sebagai tujuan cita-cita mereka sendiri. Betapa banyak
terjadi sejak dahulu. Raja demi raja ditumbangkan dari kekuasaannya oleh raja
lain yang pada gilirannya selalu terancam akan digulingkan pula oleh kekuasaan
lain yang ingin mencapai apa yang dicita-citakannya, apa yang diinginkannya dan
yang dinamakan cita-cita atau ambisi. Cita-cita atau ambisi bukan lain hanyalah
keinginan kita akan sesuatu yang tidak ada, sesuatu yang lain daripada yang ada
sekarang, yang lain daripada apa yang berada di tangan kita, lain daripada apa
yang kita miliki, yang kita anggap jauh lebih bagus dan lebih menyenangkan
daripada yang ada sekarang. Dengan pandangan seperti ini, mata yang ditujukan
kepada hal-hal yang belum ada, yang dianggap lebih menyenangkan, tentu saja yang
ada sekarang tampak sama sekali tidak menyenangkan, atau bahkan tidak nampak
sama sekali. Jelaslah bahwa cita-cita atau ambisi itu hanyalah pengejaran
kesenangan belaka, kesenangan yang dibayang-bayangkan akan membuatnya bahagia.
Padahal kalau yang dinamakan cita-cita itu tercapai, kepuasan hanya dirasakan
sebentar saja karena mata sudah mulai lagi memandang jauh, bercita-cita yang
lain lagi, mengejar kesenangan yang lain lagi, yang dianggap lebih daripada yang
telah diperolehnya itu. Demikianlah, hidup lalu menjadi gelanggang pengejaran
cita-cita yang akibatnya hanya dua, yaitu kalau tidak tercapai menjadikan kecewa
dan putus asa, kalau tereapai menjadikan bosan dan mengejar yang lain lagi. Dan
lebih celaka lagi, pengejaran-pengajaran demi tercapainya cita-cita atau ambisi
yang pada hakekatnya hanyalah kesenangan terselubung itu, seringkali dilakukan
dengan cara bagaimana saja, kadang-kadang kotor dan kejam bukan main, demi untuk
memperoleh yang dicita-cita atau dikejarnya.
Betapapun cara pengejaran keinginan itu diperhalus, dijaga agar tidak
menyeleweng daripada kebenaran, tetap saja di dalamnya mengandung unsur untuk
kepentingan diri pribadi, dan karena setiap orang mengejar keinginan masing-
masing, maka tentu saja tidak mungkin dapat dlielakkan lagi terjadilah
bentrokan-bentrokan, sikut-sikutan, jegal-jegalan demi untuk memperoleh apa yang
diinginkan. Seperti sekelompok kanak-kanak memperebutkan layang-layang yang
putus talinya. Apapun akan mereka lakukan demi memperoleh layang-layang itu.
Oleh karena cita-cita inilah maka timbul perbuatan-perbuatan yang rendah, timbul
perang dan permusuhan dan timbul cara-cara yang kotor dan keji, timbul pegangan
kejam bahwa cita-cita atau tujuan menghalalkan segala cara! Dan kalau sudah
begitu, celakalah manusia.
Demikian pula dengan kerajaan di mana terjadi perebutan tahta itu. Fihak
menteri dan jenderal yang bersimpati kepada Ceng Tung, yang masih setia kepada
kaisar lama ini, menggunakan segala daya upaya dan kekuatan mereka untuk
menggeser kaisar baru dan mendudukkan kembali Kaisar Ceng Tung ke singgasana.
Sedangkan mereka yang berkedudukan tinggi, para pendukung atau pengangkat Kaisar
Ceng Ti, mempertahankan kedudukan kaisar baru ini yang sebetulnya hanya
dipergunakan sebagal "alat" untuk mencapai keinginan mereka sendiri, yaitu
memperoleh pangkat dan kemuliaan, maka terjadilah ketegangan dan kekacauan di
dalam istana kaisar. Karena maklum bahwa tentu akan timbul usaha fihak lawan untuk membunuh
Kaisar Ceng Tung, maka kaisar ini disembunyikan di dalam rumah gedung seorang
pembesar bernama Liang Kun Ong, seorang pembesar berdarah bangsawan dan masih
terhitung keluarga biarpun agak jauh dengan Kaisar Ceng Tung dan yang termasuk
seorang yang setia kepada kaisar ini. Dan tentu saja pendekar sakti Cia Keng
Hong selalu mengawal kaisar karena pendekar inipun maklum bahwa sebelum kaisar
itu menduduki kembali singgasananya, maka keselamatannya tidak terjamin.
Sementara itu, Jenderal Bao cepat memperjuangkan kembalinya Kaisar Ceng Tung
melalui saluran-saluran yang resmi.
Malam itu sunyi sekali dan Kaisar Ceng Tung sudah beristirahat. Seperti
biasa selama tinggal di dalam gedung itu yang sudah berjalan belasan hari, Cia
Keng Hong tidur di sudut kamar, hanya teraling tirai dari pembaringan yang
menjadi tempat tidur Kaisar Ceng Tung. Akan tetapi, tentu saja Cia Keng Hong
hanya menidurkan tubuhnya saja, sedangkan kewaspadaannya tidak pernah tidur,
nyenyak sehingga andaikata ada sedikit suara saja, suara yang tidak wajar, tentu
dia sudah meloncat dan tahu-tahu sudah berada di dekat pembaringan kaisar untuk
melindunginya. Hal seperti ini tidak mengherankan bagi seorang ahli ilmu silat
tinggi, karena kewaspadaan seakan-akan sudah mendarah daging di seluruh urat
syarafnya seperti telah menjadi semacam naluri yang biasanya hanya dimiliki oleh
binatang-binatang yang peka perasaannya.
Tentu saja bukan hanya Cia Keng Hong seorang yang menjadi pengawal menjaga
keselamatan Kaisar Ceng Tung. Cia Keng Hong merupakan pengawal pribadi yang
selalu berdekatan dengan kaisar, akan tetapi masih ada lagi sepasukan istimewa,
yaitu pasukan pengawal Kuku Garuda yang dahulupun menjadi pengawal-pengawal
dalam istana Kaisar Ceng Tung dan ketika terjadi penggantian kaisar, pasukan ini
meloloskan diri karena mereka masih setia kepada Kaisar Ceng Tung. Mereka itu
tersebar dan menjadi buronan, ada yang bergabung dengan barisan yang berada di
bawah kekuasaan jenderal-jenderal yang setia kepada Kaisar Ceng Tung, akan
tetapi ada pula yang kembali ke dusun. Kini yang dapat dikumpulkan oleh Jenderal
Bao hanya ada dua puluh orang dan mereka ini dengan senang hati menerima tugas
melindungi dan mengawal Kaisar Ceng Tung di dalam gedung Pangeran Liang Kun Ong.
Biarpun sudah ada dua puluh orang pengawal Kuku Garuda yang boleh dipercaya
ini, yang rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi, namun Cia Keng Hong tidak
pernah lengah karena dia maklum bahwa kalau fihak musuh mengirim seorang
pembunuh bayaran yang tinggi tingkat kepandaiannya, dengan mudah saja pembunuh
itu akan dapat melalui penjagaan para pengawal itu. Oleh karena itu, biarpun
pada malam hari yang sunyi dan dingin itu penjagaan seperti biasa dilakukan
dengan ketat, tetap saja Cia Keng Hong yang kelihatan tidur pulas itu sebenarnya
masih dalam keadaan "waspada".
Bunyi kentongan ronda malam menyatakan bahwa waktu itu sudah persis tengah


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

malam. Telinga pendekar sakti yang masih tidur itu jelas mendengar dan
kewaspadaannya membuat dia mengerti bahwa suara itu adalah suara kentongan yang
menunjukkan waktu, maka diapun terus tidur dengan napas teratur. Akan tetapi,
ketika ada suara berkeresekan di atas genteng gedung, seketika pendekar ini
membuka mata! Di lain saat tubuhnya sudah berkelebat seperti terbang cepatnya
dan tahu-tahu dia telah berada di tepi pembaringan kaisar yang ternyata masih
tidur pulas. Dengan pendengarannya yang tajam ketua Cin-ling-pai ini mengerti
bahwa yang datang lebih dari
satu orang, maka dia cepat mengambil keputusan. Tanpa membangunkan kaisar,
tangannya bergerak menotok pundak Kaisar Ceng Tung sehingga kaisar itu tertotok
lemas dalam keadaan tidur, kemudian Cia Keng Hong memondong tubuh kaisar,
disembunyikan di bawah kolong pembaringan dan dia sendiri lalu naik ke atas
pembaringan itu, menggunakan selimut kaisar menutupi tubuhnya sebatas leher ke
bawah, menggantikan tempat kaisar! Dengan cara ini dia hendak menjebak fihak
musuh tanpa membahayakan kaisar, karena kalau dia melakukan perlawanan
berterang, dia khawatir bahwa fihak musuh akan menyerang dari berbagai jurusan
yang tentu saja akan amat menyukarkan baginya melindungi kaisar sebaiknya.
Suara berkeresekan makin dekat dan kini tiba tepat di atas genteng kamar
itu. Tiba-tiba dia mendengar suara jerit-jerit tertahan di luar kamar, di mana
biasanya terdapat dua orang pengawal yang menjaga siang malam secara bergilir,
suara ini disusul pula dengan suara-suara yang sama, seperti orang yang tidak
sempat menjerit lagi lalu roboh dari luar jendela sebelah kiri dan dari atas
genteng. Hemm, mereka telah mulai turun tangan, pikir Cia Keng Hong, seluruh urat
syarafnya menegang dan semua panca inderanya siap sedia.
"Sing-sing-singgg...!"
Tepat seperti yang telah diduganya semula, sinar-sinar merah halus itu
meluncur cepat sekali dari tiga jurusan! Dalam waktu bersamaan, sinar-sinar
merah halus itu menyerang ke arah pembaringan, ke arah tubuhnya dari luar
jendela dan dari dua arah di atas genteng! Andaikata dia masih berjaga dengan
berdiri di dekat pembaringan, akan repot jugalah kalau dia harus menyelamatkan
kaisar menghalau sinar-sinar merah yang datangnya dalam saat berbareng dari tiga
jurusan bertentangan itu. Dia tahu apa sinar-sinar itu, dan kedua tangannya
bergerak dari bawah selimut, jari-jari tangannya menjepit jarum-jarum halus yang
berbau harum. Jarum yang mengandung racun halus dan kalau memasuki kulit akan
mendatangkan kematian seketika!
Matanya memandang cepat, melihat betapa di atas genteng, di dua tempat itu
berlubang, juga daun jendela terbuka sedikit, dan kini terdengar suara "krekkk!"
dan daun pintu kamar terbuka dari luar, pegangan daun pintunya hancur berantakan
dicengkeram sebuah tangan yang memiliki tenaga amat kuat! Melihat bahwa yang
masuk ke kamar ini seorang yang memiliki tenaga dahsyat, maka Cia Keng Hong
menendang selimut yang menutupi tubuhnya. Berbareng dengan terbangnya selimut
merah ke arah pintu, kedua tangannya bergerak dan meluncurlah sinar-sinar merah
yang sama dengan tadi, akan tetapi suara berdesingnya jauh lebih nyaring lagi
karena jarum-jarum itu kini diterbangkan oleh sambitan ketua Cin-ling-pai yang
memiliki tenaga yang jauh lebih kuat, meluncur ke arah tiga jurusan, yaitu ke
jendela dan lubang-lubang di atas genteng.
Terdengar pekik-pekik kesakitan di atas genteng dan di luar jendela kamar,
sedangkan orang tinggi besar yang baru saja menerjang masuk ke kamar dan pintu,
berseru kaget ketika tiba-tiba ada selimut merah menerjangnya seolah-olah
selimut itu mempunyai nyawa saja!
"Wuuuuttt-plakkk... breettttt...!" Selimut itu ditangkis oleh orang tinggi
besar dan cabik-cabik, lalu dilemparnya ke samping. Akan tetapi saat itu, Cia
Keng Hong telah meloncat dan berdiri di depan orang tinggi besar ini. Mereka
saling pandang! Sejenak pendekar sakti Cia Keng Hong memandang tajam penuh
selidik kepada kakek tinggi besar yang berwajah gagah menyeramkan itu, dan dia
memutar otak mengingat-ingat, kemudian dia berkata dengan heran, "Hemm, bukankah
engkau Tiat-ciang-pangcu?" Kini dia teringat dan menyambung, "Tidak salah lagi,
engkau adalah Ouw-pangcu dari Bayankara!"
"Cia-taihiap...!" Kakek itu juga berseru kaget dan mukanya berobah.
Memang orang itu adalah ketua dari perkumpulan Tiat-ciang-pang (Perkumpulan
Tangan Besi) yang dahulu terkenal sebagai perkumpulan pejuang dari utara,
berpusat di Pegunungan Bayankara, dan terkenal dengan kelihaian tangan mereka
karena ketuanya memiliki Ilmu Tangan Besi yang amat ditakuti orang (baca cerita
Siang-bhok-kiam). "Ouw-pangcu," kata Cia Keng Hong, suaranya dingin dan pandang matanya tajam
menusuk. "Apakah Tiat-ciang-pang kini telah menjadi begitu merosot dan rendah
sehingga mau diperalat orang untuk melakukan pekerjaan hina seperti ini,
melakukan penyerangan kepada orang secara menggelap?"
Kakek tinggi besar itu kelihatan bingung. "Apa... apa artinya ini" Kami
memang diperalat, akan tetapi diperalat oleh kaisar dan para pembesar untuk
membasmi komplotan pengkhianat yang kabarnya bersembunyi di dalam gedung ini.
Mengapa yang berada di sini malah Cia-taihiap" Mana komplotan pengkhianat itu?"
"Ouw-pangcu!" Cia Keng Hong yang mengenal tokoh ini sebagai seorang pejuang
dahulu, berkata tegas, "Yang menjadi komplotan pengkhianat adalah mereka yang
memperalat pangcu." Muka kakek itu berobah. "Apa... apa maksudmu, taihiap?"
Tahukah pangcu siapa yang berhak menjadi kaisar" Siapakah sesungguhnya
kaisar" Kalau kaisar lama, Sri Baginda Ceng Tung masih ada dan dalam keadaan
selamat dan sehat, apakah kaisar yang sekarang ini sah?"
"Cia-taihiap, apa maksud kata-katamu itu" Bukankah Sri Baginda Kaisar Ceng
Tung telah tewas di tangan pemberontak Mongol dan sekarang yang menjadi
penggantinya adalah Sri Baginda Kaisar Cing Ti?"
"Nah, itulah buktinya bahwa yang memperalat pangcu itulah yang sebenarnya
pengkhianat. Sri Baginda Ceng Tung masih hidup dan sehat, saya sendiri yang
mengawalnya ketika beliau lolos dari tawanan orang-orang Mongol, akan tetapi
ternyata kawanan pengkhianat telah mengangkat seorang kaisar lain, bahkan kini
memperalatmu untuk membunuh Kaisar Ceng Tung."
"Ahhh...?" Ouw Kian terkejut setengah mati dan kedua tangannya gemetar.
"Saya... saya disuruh membunuh Sri Baginda Kaisar Ceng Tung?"
Cia Keng Hong mengangguk, lalu mengambil kaisar yang masih tidur pulas di
bawah tempat tidur dan membaringkan kaisar di atas pembaringan kembali. Melihat
ini, Ouw Kian menjatuhkan diri berlutut, membentur-benturkan dahinya di atas
lantai dengan air mata bercucuran membasahi mukanya yang keriputan! "Celaka...
aku layak mampus...! Cia-taihiap... bunuhlah aku yang berdosa ini..."
Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar dan bentakan-bentakan
keras dari para pengawal, "Tangkap pembunuh...!"
Cia Keng Hong menjawab dari dalam. "Harap di luar tenang. Kaisar dapat
diselamatkan dan singkirkan mayat orang-orang di luar jendela dan di atas
genteng." Terdengar para pengawal berseru girang dan lega. Mereka adalah para pengawal
yang melihat enam orang teman mereka tahu-tahu telah tewas di tempat penjagaan
masing-masing di sekitar kamar kaisar. Mendengar suara Cia Keng Hong, mereka
menjadi lega dan segera memeriksa tiga tempat itu dan benar saja, di masing-
masing tempat mereka menemukan mayat dua orang asing yang dadanya bengkak-
bengkak merah terkena jarum-jarum halus!
Sementara itu, di dalam kamar itu, Cia Keng Hong menguras keterangan dari
Ouw Kian, siapa saja yang memperalatnya. Dengan jujur Ouw Kian lalu membeberkan
persekutuan yang mendukung Kaisar Cing Ti dan dicatat secara
diam-diam oleh Cia Keng Hong, kemudian setelah kakek itu mengakhiri
pembongkaran rahasia persekutuan itu, Cia Keng Hong lalu berkata, "Ouw-pangcu,
biarpun engkau telah melakukan suatu kedosaan yang besar sekali, melakukan usaha
untuk membunuh kaisar, namun kesalahanmu ini adalah karena engkau diperalat
orang dan kaulakukan di luar kesadaranmu. Oleh karena itu, sebagai imbalan semua
keteranganmu, aku membebaskanmu. Pergilah!"
Kakek itu memandang Cia Keng Hong dengan muka pucat. "Cia-taihiap,
keputusanmu ini jauh lebih berat bagiku daripada kalau engkau membunuhku
sekarang juga." "Ouw-pangcu, pergilah."
Kakek itu mengangguk-angguk. "Baik, aku pergi dan aku pergi hanya untuk
membalas kepada orang yang telah membodohi dan memperalatku. Taihiap, selamat
tinggal dan terima kasih bahwa taihiap telah menghalangiku melakukan perbuatan
terkutuk malam ini!" Kakek itu lalu melangkah keluar dari pintu kamar itu dan
Cia Keng Hong berkata ke arah para penjaga di luar.
"Biarkan sahabatku itu keluar! Dia bukan musuh!"
Tentu saja para penjaga itu terheran-heran karena mereka tadi tidak melihat
ada orang masuk, tahu-tahu sekarang ada yang keluar dari dalam kamar. Akan
tetapi mereka percaya penuh kepada pendekar sakti itu, maka tidak ada yang
berani membantah dan membiarkan kakek yang menyeramkan itu keluar dari gedung.
Cia Keng Hong lalu menyuruh seorang penjaga untuk minta kedatangan Janderal
Bao Ciang di malam itu juga dan setelah Jenderal Bao datang, dia menceritakan
semua peristiwa yang terjadi malam itu, juga dia menyebutkan nama-nama para
pembesar yang merupakan komplotan pendukung Kaisar Cing Ti sehingga Jenderal Bao
menjadi makin girang, karena kini dengan mudah dia dapat melakukan pembersihan.
"Sebaiknya sekarang juga sri baginda kaisar dipindahkan ke dalam Markas
Pasukan agar lebih aman dan lebih mudah menjaga beliau," kata jenderal itu dan
Cia Keng Hong segera menyetujui. Kaisar lalu digugah, diceritakan tentang
peristiwa penyerangan itu dan malam itu juga dikawal oleh Cia Keng Hong sendiri
untuk pindah ke dalam markas pasukan kepercayaan Jenderal Bao.
Dan malam itu terjadilah peristiwa hebat di dalam istana. Tiga orang
pembesar tinggi yang dekat dengan kaisar telah dibunuh oleh seorang jagoan
mereka sendiri dan si jagoan yang mengamuk itupun dapat ditewaskan. Mendengar
ini, mengertilah Cia Keng Hong bahwa Ouw Kian benar-benar telah menebus dosanya
terhadap kaisar dan telah membalas dendam kepada orang-orang yang memperalatnya.
Diam-diam pendekar ini bersyukur bahwa orang gagah itu akhirnya dapat insyaf dan
mati sebagai seorang gagah perkasa yang mempertahankan kebenaran.
Demikianlah, dengan bantuan dari Cia Keng Hong, akhirnya Jenderal Bao
berhasil juga mempengaruhi sebagian besar para pembesar di istana dan setelah
menang suara, terutama sekali karena sebagian besar kekuatan militer telah
dihimpun oleh Jenderal Bao Ciang, maka pada suatu hari Kaisar Ceng Tung
dinaikkan kembali ke singgasananya dan Kaisar Cing Ti diturunkan!
285 "Tahukah pangcu siapa yang berhak menjadi kaisar" Siapakah sesungguhnya
kaisar" Kalau kaisar lama, Sri Baginda Ceng Tung masih ada dan dalam keadaan
selamat dan sehat, apakah kaisar yang sekarang ini sah?"
"Cia-taihiap, apa maksud kata-katamu itu" Bukankah Sri Baginda Kaisar Ceng
Tung telah tewas di tangan pemberontak Mongol dan sekarang yang menjadi
penggantinya adalah Sri Baginda Kaisar Cing Ti?"
"Nah, itulah buktinya bahwa yang memperalat pangcu itulah yang sebenarnya
pengkhianat. Sri Baginda Ceng Tung masih hidup dan sehat, saya sendiri yang
mengawalnya ketika beliau lolos dari tawanan orang-orang Mongol, akan tetapi
ternyata kawanan pengkhianat telah mengangkat seorang kaisar lain, bahkan kini
memperalatmu untuk membunuh Kaisar Ceng Tung."
"Ahhh...?" Ouw Kian terkejut setengah mati dan kedua tangannya gemetar.
"Saya... saya disuruh membunuh Sri Baginda Kaisar Ceng Tung?"
Cia Keng Hong mengangguk, lalu mengambil kaisar yang masih tidur pulas di
bawah tempat tidur dan membaringkan kaisar di atas pembaringan kembali. Melihat
ini, Ouw Kian menjatuhkan diri berlutut, membentur-benturkan dahinya di atas
lantai dengan air mata bercucuran membasahi mukanya yang keriputan! "Celaka...
aku layak mampus...! Cia-taihiap... bunuhlah aku yang berdosa ini..."
Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar dan bentakan-bentakan
keras dari para pengawal, "Tangkap pembunuh...!"
Cia Keng Hong menjawab dari dalam. "Harap di luar tenang. Kaisar dapat
diselamatkan dan singkirkan mayat orang-orang di luar jendela dan di atas
genteng." Terdengar para pengawal berseru girang dan lega. Mereka adalah para pengawal
yang melihat enam orang teman mereka tahu-tahu telah tewas di tempat penjagaan
masing-masing di sekitar kamar kaisar. Mendengar suara Cia Keng Hong, mereka
menjadi lega dan segera memeriksa tiga tempat itu dan benar saja, di masing-
masing tempat mereka menemukan mayat dua orang asing yang dadanya bengkak-
bengkak merah terkena jarum-jarum halus!
Sementara itu, di dalam kamar itu, Cia Keng Hong menguras keterangan dari
Ouw Kian, siapa saja yang memperalatnya. Dengan jujur Ouw Kian lalu membeberkan
persekutuan yang mendukung Kaisar Cing Ti dan dicatat secara
diam-diam oleh Cia Keng Hong, kemudian setelah kakek itu mengakhiri
pembongkaran rahasia persekutuan itu, Cia Keng Hong lalu berkata, "Ouw-pangcu,
biarpun engkau telah melakukan suatu kedosaan yang besar sekali, melakukan usaha
untuk membunuh kaisar, namun kesalahanmu ini adalah karena engkau diperalat
orang dan kaulakukan di luar kesadaranmu. Oleh karena itu, sebagai imbalan semua
keteranganmu, aku membebaskanmu. Pergilah!"
Kakek itu memandang Cia Keng Hong dengan muka pucat. "Cia-taihiap,
keputusanmu ini jauh lebih berat bagiku daripada kalau engkau membunuhku
sekarang juga." "Ouw-pangcu, pergilah."
Kakek itu mengangguk-angguk. "Baik, aku pergi dan aku pergi hanya untuk
membalas kepada orang yang telah membodohi dan memperalatku. Taihiap, selamat
tinggal dan terima kasih bahwa taihiap telah menghalangiku melakukan perbuatan terkutuk malam ini!" Kakek itu lalu melangkah keluar dari pintu kamar itu dan
Cia Keng Hong berkata ke arah para penjaga di luar.
"Biarkan sahabatku itu keluar! Dia bukan musuh!"
Tentu saja para penjaga itu terheran-heran karena mereka tadi tidak melihat
ada orang masuk, tahu-tahu sekarang ada yang keluar dari dalam kamar. Akan
tetapi mereka percaya penuh kepada pendekar sakti itu, maka tidak ada yang
berani membantah dan membiarkan kakek yang menyeramkan itu keluar dari gedung.
Cia Keng Hong lalu menyuruh seorang penjaga untuk minta kedatangan Janderal
Bao Ciang di malam itu juga dan setelah Jenderal Bao datang, dia menceritakan
semua peristiwa yang terjadi malam itu, juga dia menyebutkan nama-nama para
pembesar yang merupakan komplotan pendukung Kaisar Cing Ti sehingga Jenderal Bao
menjadi makin girang, karena kini dengan mudah dia dapat melakukan pembersihan.
"Sebaiknya sekarang juga sri baginda kaisar dipindahkan ke dalam Markas
Pasukan agar lebih aman dan lebih mudah menjaga beliau," kata jenderal itu dan
Cia Keng Hong segera menyetujui. Kaisar lalu digugah, diceritakan tentang
peristiwa penyerangan itu dan malam itu juga dikawal oleh Cia Keng Hong sendiri
untuk pindah ke dalam markas pasukan kepercayaan Jenderal Bao.
Dan malam itu terjadilah peristiwa hebat di dalam istana. Tiga orang
pembesar tinggi yang dekat dengan kaisar telah dibunuh oleh seorang jagoan
mereka sendiri dan si jagoan yang mengamuk itupun dapat ditewaskan. Mendengar
ini, mengertilah Cia Keng Hong bahwa Ouw Kian benar-benar telah menebus dosanya
terhadap kaisar dan telah membalas dendam kepada orang-orang yang memperalatnya.
Diam-diam pendekar ini bersyukur bahwa orang gagah itu akhirnya dapat insyaf dan
mati sebagai seorang gagah perkasa yang mempertahankan kebenaran.
Demikianlah, dengan bantuan dari Cia Keng Hong, akhirnya Jenderal Bao
berhasil juga mempengaruhi sebagian besar para pembesar di istana dan setelah
menang suara, terutama sekali karena sebagian besar kekuatan militer telah
dihimpun oleh Jenderal Bao Ciang, maka pada suatu hari Kaisar Ceng Tung
dinaikkan kembali ke singgasananya dan Kaisar Cing Ti diturunkan!
285 "Tahukah pangcu siapa yang berhak menjadi kaisar" Siapakah sesungguhnya
kaisar" Kalau kaisar lama, Sri Baginda Ceng Tung masih ada dan dalam keadaan
selamat dan sehat, apakah kaisar yang sekarang ini sah?"
"Cia-taihiap, apa maksud kata-katamu itu" Bukankah Sri Baginda Kaisar Ceng
Tung telah tewas di tangan pemberontak Mongol dan sekarang yang menjadi
penggantinya adalah Sri Baginda Kaisar Cing Ti?"
"Nah, itulah buktinya bahwa yang memperalat pangcu itulah yang sebenarnya
pengkhianat. Sri Baginda Ceng Tung masih hidup dan sehat, saya sendiri yang
mengawalnya ketika beliau lolos dari tawanan orang-orang Mongol, akan tetapi
ternyata kawanan pengkhianat telah mengangkat seorang kaisar lain, bahkan kini
memperalatmu untuk membunuh Kaisar Ceng Tung."
"Ahhh...?" Ouw Kian terkejut setengah mati dan kedua tangannya gemetar.
"Saya... saya disuruh membunuh Sri Baginda Kaisar Ceng Tung?"
Cia Keng Hong mengangguk, lalu mengambil kaisar yang masih tidur pulas di
bawah tempat tidur dan membaringkan kaisar di atas pembaringan kembali. Melihat
ini, Ouw Kian menjatuhkan diri berlutut, membentur-benturkan dahinya di atas
lantai dengan air mata bercucuran membasahi mukanya yang keriputan! "Celaka...
aku layak mampus...! Cia-taihiap... bunuhlah aku yang berdosa ini..."
Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar dan bentakan-bentakan
keras dari para pengawal, "Tangkap pembunuh...!"
Cia Keng Hong menjawab dari dalam. "Harap di luar tenang. Kaisar dapat
diselamatkan dan singkirkan mayat orang-orang di luar jendela dan di atas
genteng." Terdengar para pengawal berseru girang dan lega. Mereka adalah para pengawal


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang melihat enam orang teman mereka tahu-tahu telah tewas di tempat penjagaan
masing-masing di sekitar kamar kaisar. Mendengar suara Cia Keng Hong, mereka
menjadi lega dan segera memeriksa tiga tempat itu dan benar saja, di masing-
masing tempat mereka menemukan mayat dua orang asing yang dadanya bengkak-
bengkak merah terkena jarum-jarum halus!
Sementara itu, di dalam kamar itu, Cia Keng Hong menguras keterangan dari
Ouw Kian, siapa saja yang memperalatnya. Dengan jujur Ouw Kian lalu membeberkan
persekutuan yang mendukung Kaisar Cing Ti dan dicatat secara
diam-diam oleh Cia Keng Hong, kemudian setelah kakek itu mengakhiri
pembongkaran rahasia persekutuan itu, Cia Keng Hong lalu berkata, "Ouw-pangcu,
biarpun engkau telah melakukan suatu kedosaan yang besar sekali, melakukan usaha
untuk membunuh kaisar, namun kesalahanmu ini adalah karena engkau diperalat
orang dan kaulakukan di luar kesadaranmu. Oleh karena itu, sebagai imbalan semua
keteranganmu, aku membebaskanmu. Pergilah!"
Kakek itu memandang Cia Keng Hong dengan muka pucat. "Cia-taihiap,
keputusanmu ini jauh lebih berat bagiku daripada kalau engkau membunuhku
sekarang juga." "Ouw-pangcu, pergilah."
Kakek itu mengangguk-angguk. "Baik, aku pergi dan aku pergi hanya untuk
membalas kepada orang yang telah membodohi dan memperalatku. Taihiap, selamat
tinggal dan terima kasih bahwa taihiap telah menghalangiku melakukan perbuatan
terkutuk malam ini!" Kakek itu lalu melangkah keluar dari pintu kamar itu dan
Cia Keng Hong berkata ke arah para penjaga di luar.
"Biarkan sahabatku itu keluar! Dia bukan musuh!"
Tentu saja para penjaga itu terheran-heran karena mereka tadi tidak melihat
ada orang masuk, tahu-tahu sekarang ada yang keluar dari dalam kamar. Akan
tetapi mereka percaya penuh kepada pendekar sakti itu, maka tidak ada yang
berani membantah dan membiarkan kakek yang menyeramkan itu keluar dari gedung.
Cia Keng Hong lalu menyuruh seorang penjaga untuk minta kedatangan Janderal
Bao Ciang di malam itu juga dan setelah Jenderal Bao datang, dia menceritakan
semua peristiwa yang terjadi malam itu, juga dia menyebutkan nama-nama para
pembesar yang merupakan komplotan pendukung Kaisar Cing Ti sehingga Jenderal Bao
menjadi makin girang, karena kini dengan mudah dia dapat melakukan pembersihan.
"Sebaiknya sekarang juga sri baginda kaisar dipindahkan ke dalam Markas
Pasukan agar lebih aman dan lebih mudah menjaga beliau," kata jenderal itu dan
Cia Keng Hong segera menyetujui. Kaisar lalu digugah, diceritakan tentang
peristiwa penyerangan itu dan malam itu juga dikawal oleh Cia Keng Hong sendiri
untuk pindah ke dalam markas pasukan kepercayaan Jenderal Bao.
Dan malam itu terjadilah peristiwa hebat di dalam istana. Tiga orang
pembesar tinggi yang dekat dengan kaisar telah dibunuh oleh seorang jagoan
mereka sendiri dan si jagoan yang mengamuk itupun dapat ditewaskan. Mendengar
ini, mengertilah Cia Keng Hong bahwa Ouw Kian benar-benar telah menebus dosanya
terhadap kaisar dan telah membalas dendam kepada orang-orang yang memperalatnya.
Diam-diam pendekar ini bersyukur bahwa orang gagah itu akhirnya dapat insyaf dan
mati sebagai seorang gagah perkasa yang mempertahankan kebenaran.
Demikianlah, dengan bantuan dari Cia Keng Hong, akhirnya Jenderal Bao
berhasil juga mempengaruhi sebagian besar para pembesar di istana dan setelah
menang suara, terutama sekali karena sebagian besar kekuatan militer telah
dihimpun oleh Jenderal Bao Ciang, maka pada suatu hari Kaisar Ceng Tung
dinaikkan kembali ke singgasananya dan Kaisar Cing Ti diturunkan!
Seperti terbukti di dalam sejarah, nasib Kaisar Cing Ti, adik dari Kaisar
Ceng Tung ini, amatlah menyedihkan. Dia naik ke atas tahta kerajaan di waktu
kakaknya yang menjadi kaisar tertawan musuh dan dia naik karena dorongan dan
setengah paksaan para pembesar yang berlomba mencari kedudukan. Kemudian, dia
diturunkan dan dianggap sebagai seorang keluarga kaisar yang melakukan perbuatan
khianat terhadap kaisar sehingga Kaisar Cing Ti ini lalu diasingkan, bahkan
kelak setelah dia meninggal dunia, jenazahnya tidak berhak dikubur di dalam
kedudukan sebagai kaisar, melainkan dikuburkan dalam sebuah kuburan terpencil
yang berada di belakang Taman Pancuran Kumala, beberapa li jauhnya di sebelah
barat Kota Raja Peking, jauh dari tanah pekuburan para raja dari Kerajaan Beng-
tiauw yang lain, seolah-olah kenyataannya bahwa Cing Ti pernah menjadi kaisar di
jaman kerajaan itu hendak dihapus dari sejarah!
Setelah Kaisar Ceng Tung kembali menduduki singgasananya, kaisar muda ini
tentu saja amat berterima kasih kepada Cia Keng Hong dan ingin memberi anugerah
pangkat besar, akan tetapi pendekar sakti ini menghaturkan terima kasihnya dan
mohon maaf karena dia sama sekali bukan membela kaisar untuk mencari kedudukan!
Dengan halus dia menolak anugerah itu, kemudian mohon diri dan kembali ke Cin-
ling-pai. *** Suasana di ruangan besar itu amat menegangkan. Menegangkan urat syaraf
mereka semua, dari Raja Sabutai sampai kepada para perajurit yang mengepung dan
menjaga ruangan itu dengan ketat dan dengan senjata lengkap di tangan. Ada tiga
ratus orang perajurit yang menjaga di sekitar ruangan itu, menutup setiap lubang
sehingga tidak ada kemungkinan bagi siapapun yang berada di dalam ruangan itu
untuk lolos keluar! Terutama sekali bagi mereka yang berada di dalam ruangan
itu, yang kini berkumpul untuk menghadapi lawan masing-masing karena Raja
Sabutai telah mengumumkan bahwa permusuhan di antara kedua golongan itu akan
diselesaikan dengan mengadu kedua golongan itu dengan adil! Akan diadakan pibu
(adu kepandaian) yang adil dan menentukan antara fihak para pembantu Wang Cin
dan fihak Bun Houw dan In Hong sebagai fihak kedua, sedangkan para jagoan Raja
Sabutai menjadi fihak ketiga! Jadi semua ahli yang memiliki kepandaian di dalam
ruangan itu kini terpecah menjadi tiga bagian.
Raja Sabutai dengan wajah berseri hadir tanpa isterinya, karena Ratu Khamila
tidak suka nonton adu manusia ini. Akan tetapi semua panglimanya hadir, dan juga
semua jagoan Mongol termasuk kakek dan nenek guru raja itu yang selain hadir
sebagai guru dan orang-orang yang diandalkan dari fihak raja, juga sebagai
pengawal pribadi Raja Sabutai.
Bun Houw duduk di atas bangku tidak jauh dari In Hong dan Yo Bi Kiok.
Jantung pemuda ini berdebar keras dan dia merasa tidak tenang. Sejak tadi dia
melihat gadis itu duduk dengan tenang dan seolah-olah tidak akan terjadi
sesuatu, bahkan wajahnya membayangkan ketenangan yang dingin. Juga wanita cantik
setengah tua yang menjadi guru gadis yang dikaguminya itu duduk tenang, wajahnya
yang lebih dingin lagi bahkan menjadi mengerikan karena membayangkan suatu
ancaman bagi siapapun yang berani menentangnya, dan mulut yang kecil manis itu
mengulum senyum penuh ejekan, yang tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu.
Akan tetapi mata mereka ditujukan kepada Raja Sabutai yang pagi hari itu
kelihatan gembira sekali.
"Hong-moi..." Akhirnya Bun Houw tak dapat menahan lagi kegelisahan hatinya
dan dia berbisik memanggil gadis itu. Akan tetapi In Hong tidak menjawab, juga
tidak menoleh. "Hong-moi..." Bun Houw memanggil lagi, maklum bahwa tidak mungkin gadis yang
berkepandaian tinggi itu tidak mendengar bisikannya. In Hong mengerutku alisnya,
melirik tanpa menoleh, sebuah tanda bahwa dia telah mendengar. Bun Houw tidak
merasa menyesal gadis itu agaknya tidak memperdulikannya, bahkan dia berkata
lagi. "Hong-moi, harap kau jangan mencampuri urusanku dengan Bayangan Dewa. Mereka
adalah lawanku, jangan kaumembahayakan dirimu sendiri."
In Hong menoleh den sejenak mereka saling pandang. Tiba-tiba In Hong merasa
betapa jantungnya berdebar aneh dan tanpa disadarinya, seluruh wajahnya berobah
merah sekali dan dara itu tidak tahu betapa subonya melirik kepadanya dan
subonya mengulum senyum melihat keadaannya itu. Entah bagaimana, dia merasa malu
dan cepat menundukkan mukanya. Kemudian untuk menutupi perasaan malu yang aneh
ini, yang tidak dikenal dan tidak dimengertinya, In Hong mengangkat muka
memandang lagi dan kini sinar metanya mengandung kemarahan!
"Aku adalah Dewi Maut, kejam seperti iblis, pembunuh gadis tidak berdosa,
kenapa engkau memperdulikan aku" Bun-ko, engkau datang ke sini karena terbawa-
bawa olehku, maka sebaiknya engkau tidak ikut-ikut dalam pertandingan ini. Biar
aku yang menghadapi mereka. Mereka itu berbahaya dan lihai, apalagi kakek dan
nenek di belakang sri beginda itu!"
"Hong-moi...!" Bun Houw hendak membantah.
"Sudahlah!" In Hong membuang muka dan terpaksa Bun Houw menghentikan
desakannya karena suaranya mulai menarik perhatian semua orang, babkan Raja
Sabutai sendiri mulai memandang ke arahnya.
Bun Houw kini melirik dan memandang ke arah orang-orang yang akan menjadi
lawannya. Selama beberapa hari ini dia telah mencari keterangan dan tahulah dia
siapa tiga orang tua yang berdiri di belakang Wang Cin itu. Mereka itu musuh-
musuh besarnya, musuh besar Cin-ling-pai yang memang selama ini dicarinya. Kakek
berkuncir panjang yang berwajah tampan gagah dan kelihatan masih muda itu, yang
berpakaian serba putih adalah orang pertama dari Lima Bayangan Dewa, yaitu yang
bernama Phang Tui Lok dan berjuluk Pat-pi Lo-sian. Dia itulah yang datang ke
Cin-ling-pai selagi empat orang kawannya memancing pergi Cap-it Ho-han dari Cin-
ling-pai dan dia pula yang mencuri pedang Siang-bhok-kiam. Dialah yang terlihai
di antara Lima Bayangan Dewa.
Kemudian kakek berjubah hitam, kepalanya bertopi, bertubuh kokoh kuat dan
yang hidungnya besar itu adalah orang kedua dari Lima Bayangan Dewa yang bernama
Liok-te Sin-mo Gu Lo It sedangkan hwesio tua gendut memegang tasbeh hijau itu
adalah Sin-ciang Siauw-bin-siang Hok Hosiang. Di samping tiga orang yang
diincarnya itu, ada pula beberapa orang pengawal pribadi Wang Cin yang tidak dia
perhatikan, dan kini dia melirik ke arah Raja Sabutai. Raja itu sendiri
kelihatan gembira sekali seolah-olah sedang berada dalam suasana suatu pesta
meriah! Yang diperhatikan oleh Bun Houw adalah nenek berwajah kehitaman dan
kakek berwajah putih yang berdiri seperti arca di belakang raja itu. Dia sudah
mendengar nama Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko yang kabarnya memiliki
kepandaian amat tinggi itu. Selain dua orang kakek dan nenek yang kabarnya
menjadi guru Sabutai yang juga lihai, di situ masih terdapat beberapa orang
Mongol tinggi besar yang kelihatannya kuat dan memiliki kepandaian.
"Eh, orang she Bun!" Tiba-tiba ada suara orang berbisik, suaranya mendesis
tajam. Bun Houw menoleh dan ternyata yang bicara kepadanya adalah Yo Bi Kiok,
wanita setengah tua yang cantik itu. Dia tahu bahwa wanita itu adalah guru dari
In Hong, maka dia memandang dan mendengarkan penuh perhatian.
"Hayo kau minta maaf kepada muridku atas tuduhanmu yang bukan-bukan itu. Dia
bukan seorang kejam seperti iblis, juga tidak membunuh orang. Hayo minta maaf
kau!" "Subo, jangan ikut mencampuri..." In Hong berbisik pula mencela subonya.
Bun Houw mengerutkan alisnya. "Akan tetapi..."
"Tidak ada tapi, hayo minta maaf!" Yo Bi Kiok mendesak.
Bun Houw merasa mendongkol. Tidak biasa dia didesak dan dipaksa orang
seperti itu, maka sikap yang angkuh dan keras dari Yo Bi Kiok itu malah membuat
dia berkeras tidak mau minta maaf dan dia menggeleng kepala.
"Subo, sudahlah..." In Hong kembali mencela gurunya dan pada saat itu Raja
Sabutai sudah mengangkat tangan kanan ke atas, tanda bahwa semua orang diminta
untuk diam dan dia mau bicara.
"Saudara sekalian harap maklum bahwa pertemuan ini diadakan pertama-tama
untuk merayakan kemenangan seorang sahabatku yang kukagumi, yaitu Kaisar Ceng
Tung yang telah dapat menduduki singgasananya kembali dan berhasil mengalahkan
semua pengkhianat di dalam kerajaannya! Silakan saudara sekalian mengangkat
cawan untuk kehormatan dan keselamatan Kaisar Ceng Tung!"
Tentu saja Bun Houw menjadi terkejut dan juga terheran-heran menyaksikan
sikap dan mendengar ucapan Raja Sabutai itu, akan tetapi dengan girang dia lalu
mengangkat cawan arak yang memang sejak tadi disuguhkan di meja depan mereka
semua. Semua orang mengangkat cawan dan minum arak, termasuk Yo Bi Kiok setelah
nyonya ini melirik ke arah Wang Cin dengan senyum mengejek.
"Pyarrr...!" Tiba-tiba mendengar suara mangkok pecah dan nampak sebuah cawan
arak menggelinding di atas lantai. Cawan itu dibanting oleh Wang Cin yang kini
sudah bangkit berdiri dengan marah sekali, matanya ditujukan ke arah Raja
Sabutai dan tubuhnya yang gendut itu menggigil, mukanya merah padam. Suasana
menjadi sunyi karena semua orang menahan napas dengan hati tegang menyaksikan
betapa dua orang sekutu itu kini berhadapan sebagai musuh.
"Sabutai, engkau sungguh merupakan seorang sekutu yang khianat!" bentak Wang
Cin, suaranya melengking tinggi, saking marahnya suaranya menjadi seperti suara
wanita, yaitu satu di antara ciri-ciri orang kebiri yang sedikit demi sedikit
berobah sifatnya menjadi kewanita-wanitaan. "Bagaimana dengan tak tahu malu
engkau berani menyuruh aku untuk memberi selamat atas kemenangan Ceng Tung dan
secara tidak langsung memaki aku?"
Raja Sabutai tersenyum mengejek. "Eh, Wang-taijin, salahkah aku kalau
mengatakan bahwa engkau adalah seorang pengkhianat yang gagal" Engkau adalah
seorang palsu, dan aku sudah benci kepadamu semenjak pertama kali, hanya karena
kita bekerja sama maka aku masih dapat menahan diri membiarkan kehadiranmu yang
memuakkan. Aku memang sejak semula kagum kepada Ceng Tung dan muak kepadamu.
Sekarang, engkau merupakan seorang pengkhianat yang sudah tidak ada harganya
lagi, dan Kaisar Ceng Tung berhasil manduduki tahta kerajannya lagi dan memegang
janjinya kepadaku. Sudah sepatutnya kalau kita, apalagi seorang renah seperti
engkau, mengucapkan selamat kepada Kaisar Ceng Tung yang gagah perkasa."
Makin marahlah Wang Cin. Dia adalah seorang yang pernah mencapai kedudukan
tinggi sekali, kepercayaan kaisar dan hampir menjadi orang kedua di kerajaan,
dan sekarang dia dihina oleh seorang raja liar, raja pemberontak! "Sabutai, raja
liar yang rendah...! Kau... kau... hayo serbu dan bunuh dia!" bentaknya sambil
monoleh dan memerintah para pengawal dan pembantunya.
Akan tetapi tidak ada seorangpun yang berani bergerak. Tentu saja, para
pengawalnya, juga termasuk tiga orang Bayangan Dewa, bukanlah orang-orang tolol
yang mau membunuh diri secara konyol menyerang seorang raja di dalam bentengnya
sendiri! Mereka semua adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada Wang Cin
atas perhitungan rugi untung, maka setelah kini malihat Wang Cin kalah dan
gagal, tentu saja mereka tidak sudi untuk membuang nyawa sia-sia untuk pembesar
kebiri itu. Memang demikianlah adanya "kesetiaan" yang didengung-dengungkan manusia di
seluruh dunia itu! Apakah sesungguhnya kesetiaan itu" Apakah artinya kalau orang
bersetia dan berani mengorbankan nyawanya demi untuk rajanya, untuk negaranya,
untuk agamanya dan lain-lain" Apakah artinya itu" Kalau kita mau membuka mata
dan menjenguk keadaan batin sendiri akan nampaklah dengan nyata bahwa
sesungguhnya sebutan kesetiaan itu merupakan sebutan lain saja penonjolan diri
pribadi, atau dapat juga dilihat bahwa yang mendorong "kesetiaan" itu hanyalah
keinginan menonjolkan diri sendiri dan kesetiaan itu hanya merupakan suatu cara
untuk memperoleh keuntungan diri pribadi, biarpun keuntungan itu bukan berupa
benda lagi, melainkan dalam bentuk "nama besar" atau "nama baik", kepahlawanan,
dan sebagainya lagi. Mereka yang "setia" kepada Wang Cin juga tidak ada bedanya. Mungkin saja
mereka itu tadinya benar-benar setia, yaitu ketika mereka masih menaruh harapan
bahwa kalau perjuangan Wang Cin itu berhasil kelak, mereka tentu akan menerima
ganjaran-ganjaran besar. Akan tetapi, setelah mereka sekarang melihat bahwa
tidak ada manfaatnya dan tidak ada untungnya lagi untuk terus "setia" kepada
Wang Cin, tentu saja kesetiaan merekapun lenyap seperti awan tipis ditiup angin
badai. Jelaslah bahwa di dalam apa yang dinamakan kesetiaan itu tersembunyi
pamrih demi keuntungan diri pribadi, baik keuntungan jasmani maupun keuntungen
rohani yang sesungguhnya sama saja, karena keduanya bersumber kepada kepentingan
diri pribadi. Sunyi menyambut perintah Wang Cin yang tidak mendapat sambutan sama sekali
itu. Kesunyian yang amat menyakitkan hati Wang Cin, yang benar-benar merasa
kecewa dan mukanya berobah pucat, matanya terbelalak hampir tidak percaya
memandang kepada para jagoannya yang diam seperti patung, ada yang menatap
lantai, ada yang menatap langit-langit, seolah-olah mereka tidak tahu akan
keheranan pembesar kebiri itu!
"Ha-ha-ha-ha!" Raja Sabutai tertawa bergelak. "Wang Cin, jangan kau mimpi
yang bukan-bukan! Orang-orang yang tadinya membantumu bukanlah orang-orang bodoh
atau orang-orang buta yang tidak depat melihat kenyataan. Engkau sekarang
seperti seekor macan ompong tua yang tinggal kulitnya saja! Orang-orangmu hanya
mempunyai dua pilihan, yaitu ikut bersama kami ke utara dan membantu kami atau
melarikan diri menjadi buruan pemerintah Beng-tiauw, menjadi penjahat-penjahat
dan perampok-perampok, akan tetapi tentu tidak ada yang sudi ikut denganmu
karena hal itu berarti ikut ke neraka. Ha-ha-ha!"
"Sabutai, manusia palsu kau!" Wang Cin marah sekali, lalu meneabut pedangnya
dan lari menyerang Raja Sabutai. Tidak ada seorangpun berani bergerak, bahkan
para pengawal Raja Sabutaipun tidak bergerak tanpa perintah rajanya, dan mereka
hanya memandang sambil tersenyum karena mereka maklum bahwa rajanya bukaniah
seorang lemah yang perlu dilindungi terhadap serangan seorang pembesar kebiri
macam Wang Cin. "Sabutai, mampuslah kau...!" Wang Cin yang sudah putus harapan dan marah
sekali itu menaiki tangga dan menyerang ke arah Raja Sabutai yang duduk sambil
tertawa, pedang di tangannya diangkat tinggi-tinggi.
Biarpun Wang Cin pernah pula mempelajari ilmu silat, akan tetapi pembesar


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini sudah puluhan tahun lamanya tidak pernah berlatih, dan pedang yang dibawa-
bawanya itu hanya merupakan hiasan belaka, tidak pernah dimainkan satu kalipun,
maka tentu saja gerakannya kaku dan baru lari sebentar begitu saja napasnya
sudah ngos-ngosan. Ketika dia tiba di depan meja Raja Sabutai dan mengayun
pedangnya, tiba-tiba kaki Raja Sabutai yang masih tersenyum lebar itu menyambar
dari bawah, cepat dan kuat sekali menendang ke arah perut yang gendut itu.
"Bukkkkk!!" Wang Cin terpekik, pedangnya terlempar, tubuhnya terjengkang dan
terbanting ke belakang, berdebuk menimpa lantai.
"Seret babi ini keluar dan habisi dia!"
Raja Sabutai memerintah dan empat orang pengawal menubruk maju, masing-
masing memegang tangan atau kaki lalu menyeret tubuh gendut itu keluar. Wang Cin
menjerit-jerit seperti babi disembelih, memaki-maki lalu menangis akan tetapi
setiap gerakan dan setiap suaranya hanya mendatangkan perasaan muak saja karena
seluruhnya membayangkan sifat pengecut yang menyebalkan. Dari jauh terdengar
jerit melengking dari bekas pembesar kebiri yang pernah mempermainkan Kaisar
Ceng Tung itu. Setelah gema lengking terakhir itu mereda, Sabutai yang masih tersenyum lalu
berkata, ditujukan kepada semua orang. "Sekarang, seperti yang telah kami
janjikan, mari kita selesaikan semua urusan pribadi, semua permusuhan pribadi,
diselesaikan secara terhormat dan adil, cara orang-orang gagah agar seluruh
dunia tidak akan menganggap bahwa Raja Sabutai tidak menghargai kegagahan orang!
Sekarang, siapa yang mempunyai rasa penasaran dan mempunyai tuntutan kepada
seseorang atau orang-orang lain, dipersilakan untuk menyatakan di depan kami
secara terang-terangan!" Setelah berkata demikian, Raja Sabutai memandang ke
sekeliling, terutama kepada bekas pembantu-pembantu Wang Cin dan kepada Bun
Houw, In Hong, dan Yo Bi Kiok.
Tiga orang Bayangan Dewa saling lirik, akan tetapi mereka tidak bergerak.
Mereka bertiga adalah orang-orang yang mempunyai dua maksud tersembunyi ketika
mereka datang ke tempat itu sebagai pembantu-pembantu Wang Cin. Pertama, untuk
menyembunyikan diri dari pengejaran fihak Cin-ling-pai dan mencari perlindungan,
kedua untuk mengejar kemuliaan, membonceng pengkhianatan Wang Cin. Kini Wang Cin
sudah tamat riwayatnya, maka mereka tidak berani banyak berlagak lagi, apa pula
karena empat orang kawan mereka yang mereka andalkan, yaitu Go-bi Sin-kouw dan
teman-temannya, telah pergi entah ke mana. Betapapun juga, mereka bertiga
percaya akan kemampuan sendiri dan tidak merasa gentar, apalagi karena di antara
fihak lawan yang paling tinggi ilmunya hanyalah Yo Bi Kiok, dan sesungguhnya
mereka tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan ketua Giok-hong-pang itu. Maka
mereka masih merasa tenang saja menanti perkembangan selanjutnya.
Suasana yang sunyi itu dipecahkan oleh suara nyaring dari Bun Houw yang
mengangkat tangan kanan ke atas dan berkata, "Saya mempunyai tuntutan, mohon
perkenan dari baginda untuk saya sampaikan!"
Semua orang memandang kepada pemuda yang bersikap sederhana akan tetapi
gagah dan tampan itu dan karena semua orang sudah mendengar bahwa pemuda yang
baru datang itu mempunyai permusuhan dengan para pembantu Wang Cin yang telah
mereka kenal sebagai orang-orang lihai, maka suasana mulai menjadi tegang.
Raja Sabutai tersenyum lebar. "Ketahuilah kalian semua bahwa yang bicara
adalah pendekar muda Bun Houw yang baru saja tiba. Dia adalah seorang sahabat
nona Hong yang telah kita kenal."
In Hong hendak membantah akan tetapi sebelum dia mengeluarkan suara, sudah
terdengar tepuk tangan para hadirin yang dipolopori oleh Raja Sabutai sendiri,
maka In Hong diam saja. "Orang muda, katakanlah apa yang menjadi tuntutanmu dan kepada siapa!" Raja
Sabutai berkata lagi sambil melirik ke arah tiga orang Bayangan Dewa, Di dalam
hatinya raja ini agak kecewa mengapa dua orang kakek dan dua orang nenek yang
dia tahu amat lihai, yang selama ini menemani para pembantu Wang Cin, telah
lenyap ketika terjadi pertempuran yang terakhir menghadapi serbuan pasukan Beng-
tiauw yang tadinya mengurung benteng. Bahkan menurut keterangan dua orang
gurunya, Bouw Thaisu memiliki kepandaian yang paling tinggi di antara para
pembantu Wang Cing akan tetapi sekarang Bouw Thaisu juga telah pergi entah ke
mana, bersama Go-bi Sin-kouw, Hwa Hwa Cinjin, dan Hek I Siankouw.
"Maaf, sri baginda. Sebetulnya, urusan saya ini tidak ada sangkut-pautnya
dengan paduka atau dengan orang lain, akan tetapi oleh karena musuh-musuh saya
itu berada di sini, maka terpaksa saya menyusul pula ke sini dan sekarang atas
perkenan peduka, saya akan menuntut secara terang-terangan. Yang saya tuntut
adalah mereka bertiga itulah, yang menamakan diri Lima Bayangan Dewa dan yang
sekarang tinggal tiga orang lagi. Mereka itu adalah Pat-pi Lo-sian Phang Tui
Lok, Liok-te Sin-mo Gu Lo It, dan Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang. Mereka
bertiga itu telah dengan curang mencuri pedang pusaka milik Cin-ling-pai dan
telah membunuh sebelas orang Cap-it Ho-han murid-murid utama Cin-ling-pai secara
kejam. Oleh karena itu, saya menuntut agar pedang Siang-bhok-kiam dikembalikan
kepada saya dan saya menantang mereka untuk bertanding agar saya dapat menebus
kematian para murid Cin-ling-pai!"
Raja Sabutai mendengarkan tuntutan ini dan dia menjadi gembira, menoleh ke
arah tiga orang kakek itu dan berkata, "Nah, kalian telah mendengar tuntutan.
Kalian boleh membela diri dan menjawab. Silakan!"
Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok mewakili dua orang sutenya, melangkah maju
menghadapi Bun Houw dan terdengarlah suaranya yang tenang dan lantang, penuh
suara dan nada meremehkan, "Maaf, sri baginda. Perkenankan saya bicara dengan
orang muda she Bun ini." Raja Sabutai mengangguk-angguk.
"Orang she Bun, sebelum aku menjawab tuntutanmu, lebih dulu kami bertiga
ingin mengetahui, ada hak apakah engkau menuntut urusan kami dengan Cin-ling-
pai" Sepanjang pengetahuan kami, engkau hanyalah seorang pengawal dari Kiam-mo
Liok Sun pemilik tempat perjudian di Kiang-shi. Engkau tidak berhak untuk
mencampuri urusan kami dengan Cin-ling-pai!"
Sudah berada di ujung lidah Bun Houw untuk mengaku bahwa dia adalah putera
ketua Cin-ling-pai, akan tetapi karena dia sudah terlanjur menyembunyikan
keadaan diri sebenarnya, pula diapun tidak mau mendatangkan keributan dengan
kenyataan baru itu, maka dia menjawab, "Ketahuilah, Pat-pi Lo-sian! Aku adalah
terhitung murid dari Cin-ling-pai, oleh karena itu, pedang Siang-bhok-kiam
merupakan pusaka yang kuhormati dan Cap-it Ho-han termasuk suheng-suhengku, maka
sudah semestinya kalau aku menentangmu!"
Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok adalah seorang kakek yang sudah banyak makan
garam, sudah banyak pengalaman dan dia amat cerdik. Dia maklum bahwa kedudukan
dia dan dua orang sutenya sebagai bekas pengawal Wang Cin amatlah tidak
menguntungkan, karena hal itu saja membuat mereka berada di tempat yang tidak
begitu disuka oleh Raja Sabutai. Dan diapun maklum bahwa In Hong adalah seorang
yang lihai, dan kalau benar gadis itu merupakan sahabat pemuda ini dan ikut
turun tangan, maka keadaan bagi dia dan adik-adiknya akan makin berbahaya.
Menghadapi pemuda itu, dia sama sekali tidak khawatir, bahkan memandang rendah.
Akan tetapi, kalau menghadapi In Hong satu lawan satu, bukan merupakan hal yang
tidak berbahaya, maka dia lalu berkata dengan cerdik, "Orang she Bun! Agaknya
engkau sudah tahu bahwa Lima Bayangan Dewa terdiri dari lima orang bersaudara.
Terus terang saja, kami berlima memang memusuhi Cin-ling-pai karena kami hanya
membalaskan kematian suheng kami, Ban-tok Coa-ong, dan memang sejak dahulu kami
menanam hati dendam terhadap Cin-ling-pai. Sudah sewajarnya kalau engkau sebagai
anak murid Cin-ling-pai kini membela Cin-ling-pai pula. Akan tetapi engkau tentu
maklum pula bahwa Lima Bayangan Dewa selalu bekerja bersama-sama, dan karena
kini jumlah kami tinggal tiga orang, maka Tiga Bayangan Dewapun biasa bekerja
sama tidak terpisah-pisah. Entah bagaimana engkau akan menghadapi kami bertiga.
Tentu saja kalau engkau tidak berani menghadapi kami bertiga..."
"Pat-pi Lo-sian, tidak perlu engkau bersikap sombong dan memancing-mancing!"
Bun Houw memotong. "Tentu saja aku yang sudah berani membela Cin-ling-pai,
berani pula menghadapi kalian bertiga, karena akupun tahu bahwa Lima Bayangan
Dewa adalah orang-orang pengecut."
"Tidak, Bun-ko!" Tiba-tiba In Hong berseru dan cepat gadis ini menghadapi
Raja Sabutai sambil berkata, "Maafkan saya, sri baginda. Akan tetapi
sesungguhnya, sayalah yang lebih dulu bentrok dengan Lima Bayangan Dewa! Sejak
semula, sebelum saudara Bun Houw ini bertemu dengan mereka, saya yang berniat
untuk merampas kembali pedang Siang-bhok-kiam dari tangan mereka. Kini, setelah
berhadapan dengan mereka, sayapun tidak akan membiarkan saudara Bun Houw
seenaknya turun tangan sendiri merampas pedang, karena saya juga berhak untuk
mengadu kepandaian merampas pedang pusaka Cin-ling-pai."
"Heh-heh, sayapun tentu saja ingin melihat seperti apa sih pedang pusaka
yang disohorkan orang itu dan sayapun tidak mau ketinggalan meramaikan pertemuan
ini, sri baginda!" Yo Bi Kiok tiba-tiba berkata pula.
Raja Sabutai menggosok-gosok kedua tangannya, kelihatan makin gembira.
Memang raja ini suka sekali nonton orang pibu, maka makin ramai dan makin banyak
yang mengambil bagian dalam pertandingan mengadu ilmu, makin gembiralah hatinya.
"Sam-wi lo-sicu," katanya kepada Pat-pi Lo-sian bertiga. "Ternyata hebat
juga pedang Siang-bhok-kiam yang kalian rampas itu sehingga semua orangpun ingin
memilikinya. Kalian telah mendengarkan pendapat nona Hong dan gurunya. Nah,
bagaimana?" Pat-pi Lo-sian terkejut sekali ketika tadi mendengar ucapan Yo Bi Kiok. Akan
tetapi dia cerdik sekali dan sambil menghadapi Yo Bi Kiok dia menjura ke arah
ketua Giok-hong-pang itu dan berkata, "Maaf, Yo-pangcu. Dahulu pernah Yo-pangcu
mengatakan bahwa pangcu telah menawan Lie Seng, bocah cucu ketua Cin-ling-pai
itu, bahwa pangcu hendak menukarkan bocah cucu musuh besar kami itu dengan
pedang Siang-bhok-kiam. Akan tetapi sayang keburu terjadi perang dan..."
Memang Pat-pi Lo-sian cerdik bukan main. Dia tadi mendengar bahwa pemuda
tampan ini adalah anak murid Cin-ling-pai, maka melihat gelagat bahwa ketua
Giok-hong-pang itu hendak turun tangan menentang mereka, maka cepat dia
mengatakan hal tentang ditawannya cucu ketua Cin-ling-pai oleh Yo Bi Kiok agar
diketahui oleh murid Cin-ling-pai itu. Akalnya ini berhasil karena tentu saja
Bun Houw terkejut bukan main mendengar ucapan itu.
"Yo-pangcu! Kauapakan Lie Seng...?" bentaknya marah, hatinya khawatir sekali
mendengar bahwa keponakannya itu tertangkap oleh wanita cantik berwajah dingin
ini. "Ha-ha-ha-ha!" Pat-pi Lo-sian tertawa untuk menambah minyak pada api itu.
"Ketika kami menyerbu Sin-yang, membalas dendam kepada puteri ketua Cin-ling-
pai, di mana kami berhasil menewaskan empat orang murid utama Cin-ling-pai dan
besan dari ketua Cin-ling-pai, kami tentu tidak akan berhasil tanpa bantuan Yo-
pangcu. Mengingat akan kerja sama yang sudah, kiranya sekarang Yo-pangcu tidak
akan membalik dan membantu fihak musuh kita bersama."
"Kau...!" Bun Houw marah sekali dan kalau saja dia tidak ingat bahwa dia
berada di dalam benteng Raja Sabutai, tentu dia sudah menyerang Yo Bi Kiok yang
hanya tersenyum-senyum saja itu, senyum penuh ejekan.
"Pat-pi Lo-sian, engkau tahu bahwa aku tidak pernah memihak siapa-siapa,
melainkan memihak diriku sendiri. Aku hanya mau bilang bahwa aku menghendaki
pedang itu, siapapun yang keluar sebagai pemenang, harus menghadapi aku lebih
dulu untuk dapat memperoleh pedang."
Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok diam-diam merasa girang karena kini dia boleh
merasa lega karena tak mungkin nyonya yang amat lihai itu akan membantu Bun
Houw. Akan tetapi juga dia harus merelakan pedang Siang-bhok-kiam kalau tidak
mau berurusan dengan wanita yang menyeramkan itu, maka dia lalu mendapatkan
sebuah akal yang amat baik. Dia lalu menjura ke arah Raja Sabutai dan berkata.
"Sri baginda, karena saya tidak ingin ada yang main curang dalam pibu ini, maka
saya hendak menyerahkan Siang-bhok-kiam kepada paduka agar paduka yang
menyimpannya dan menyerahkannya kepada pemenang setelah pibu selesai."
Tentu saja Raja Sabutai menjadi girang dan mengangguk-angguk. Pat-pi Lo-sian
Phang Tui Lok lalu memberi tanda kepada Hok Hosiang dan hwesio ini lalu
mengeluarkan sebuah bungkusan panjang dari bawah jubahnya yang lebar. Memang
Pat-pi Lo-sian cerdik. Dia sebagai orang pertama Lima Bayangan Dewa, tidak mau
menyimpan sendiri pedang itu karena semua orang tentu menyangka bahwa dialah
yang memegang pedang, sebaliknya dia malah menitipkannya kepada sutenya yang
nomor tiga dan hwesio ini tentu saja dengan mudah menyembunyikan pusaka itu di
bawah jubahnya yang amat lebar dan terlalu besar.
Raja Sabutai menerima bungkusan kain kuning, membuka bungkusan dan
mengeluarkan sebatang pedang dalam sarungnya. Kemudian, perlahan-lahan
dicabutnya pedang itu dan nampak sinar kehijauan yang dingin. Itulah Siang-bhok-
kiam, pedang pusaka Cin-ling-pai! Bun Houw sekali pandang saja mengenal pedang
itu dan hatinya terharu. "Suhu dan subo, pedang ini terlalu berharga, maka sebaiknya suhu dan subo
yang menyimpannya agar aman," Raja Sabutai berkata sambil menyerahkan pedang itu
yang diterima tanpa banyak cakap oleh Pek-hiat Mo-ko dan diselipkan di
pinggangnya. "Sekarang, pertandingan boleh dimulai!" Raja Sabutai berkata. "Orang muda
she Bun, apakah kau sudah siap untuk menghadapi lawan?"
"Saya sudah siap!" Bun Houw bangkit berdiri dan melangkah ke tengah ruangan.
"Sayapun siap, sri baginda!" In Hong tak dapat mencegah dirinya, diapun
sudah meloncat ke depan. Betapapun juga, gadis ini tidak akan membiarkan Bun
Houw seorang diri menghadapi tiga Bayangan Dewa yang dia tahu amat lihai itu.
Melawan satu orang saja di antara mereka, belum tentu pemuda ini menang, apalagi
dikeroyok tiga! Melihat sikap muridnya, Yo Bi Kiok hanya tersenyum dan berkata, "Hong-ji,
bodoh kau! Suruh dia minta maaf dulu!" Akan tetapi In Hong tidak memperdulikan
kata-kata gurunya itu. Sementara itu, Raja Sabutai diam-diam juga girang melihat In Hong maju
karena sebagai seorang gagah diapun merasa tidak senang kalau pemuda ini harus
menghadapi pengeroyokan tiga orang kakek, maka kini dia berkata kepada Phang Tui
Lok, "Apakah sam-wi sudah siap dan hendak maju berbareng?"
Phang Tui Lok mengerutkan alianya "Sebetulnya, urusan kami dengan pemuda she
Bun sebagai wakil Cin-ling-pai tidak ada sangkut-pautnya dengan nona Hong maka
tidak semestinya kalau nona Hong mencampuri."
"Manusia curang!" In Hong membentak. "Katakan saja kalian takut dan
beraninya hanya ingin maju bertiga mengeroyok satu orang!"
"Siapa takut menghadapi pemuda Cin-ling-pai itu" Mundurlah, nona, dan pemuda
itu hanya akan dihadapi oleh seorang di antara kami saja!" kata Phang Tui Lok
yang memandang rendah kepada Bun Houw dan lebih jerih menghadapi In Hong.
"Hong-moi, mundurlah, biar aku melawan sendiri mereka," kata Bun Houw.
"Ha, kami sudah mendengar!" Raja Sabutai berseru gembira. "Satu lawan satu,
itu baru adil namanya! Nona Hong, harap mundur dan biarkan Bun-sicu menghadapi
seorang di antara tiga Bayangan Dewa!"
Terpaksa In Hong mundur dan karena hatinya gelisah mengkhawatirkan
keselamatan pemuda itu, dia mundur ke dekat gurunya tanpa disadarinya.
"Jangan khawatir, kalau kekasihmu itu kalah, kita dapat menggunakan Siang-
tok-swa," bisik gurunya.
In Hong terkejut, mukanya menjadi merah mendengar gurunya menyebut Bun Houw
sebagai kekasihnya. Dia mengerutkan alisnya dan cepat menjauhi gurunya, duduk di
atas bangku sambil memandang ke depan, tidak memperdulikan Yo Bi Kiok yang
tersenyum dingin. Phang Tui Lok memberi tanda kepada sutenya yang nomor tiga, yaitu Hok Ho-
siang. Hwesio ini sambil tersenyum menyeringai, bangkit berdiri dan melangkah
lebar menuju ke tengah ruangan. Sambil berjalan dia memainkan senjatanya, yaitu
tasbeh hijau sehingga terdengar suara berderik-derik nyaring sekali dan ketika
dia memutar tasbehnya, terdengar suara mengaung dan nampak sinar hijau
bergulung-gulung! Semua orang terkejut dan maklum bahwa hwesio ini memiliki
tenaga sin-kang yang dahsyat dan senjatanya itu amat berbahaya. Ketika hwesio
itu menggerak-gerakkan kepala, maka penghias kepalanya yang runcing itu
berkilauan, dan diam-diam In Hong terkejut karena hiasan kepala yang runcing itu
ternyata merupakan senjata yang hebat pula, terbuat dari baja pilihan! Maka
khawatirlah dia melihat Bun Houw berdiri dengan kedua tangan kosong menghadapi
lawan yang cukup kuat ini.
"Ha, satu lawan satu, itu baru adil namanya! Dan karena ada tiga orang
kakek, harus pula dilawan oleh tiga orang dan akupun ingin mendapat bagian dan
meramaikan pesta ini!"
Ucapan nyaring itu disusul berkelebatnya bayangan orang mendahului Bun Houw
dan tahu-tahu Yo Bi Kiok telah meloncat ke depan hwesio itu dengan pedang Lui-
kong-kiam di tangan kanan dan pedang pendek di tangan kiri. Sikapnya gagah bukan
main. "Eh, Yo-pangcu, kau mau apa?" Hok Hosiang membentak marah akan tetapi juga
khawatir sekali. "Yang diperebutkah adalah Siang-bhok-kiam, bukan" Nah, aku ikut
memperebutkan dan kau lawanlah aku. Atau engkau tidak berani" Kalau begitu,
bilang saja bahwa kau pengecut dan tidak berani!"
"Oho, wanita sombong! Siapa yang tidak berani?" jawab Hok Hosiang
tersinggung. "Kalau begitu, makanlah ini!" Cepat seperti kilat pedang pendek di tangan Yo
Bi Kiok bergerak menyerang.
"Tranggg...!" Tasbeh di tangan hwesio itu menangkis, akibatnya, hwesio
gendut itu terhuyung dan pada saat itu sinar kilat Lui-kong-kiam menyusul cepat,


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat hwesio itu terkejut setengah mati.
"Tranggg... cringggg...!" Kalau tidak dibantu oleh Phang Tui Lok yang
membantu temannya menangkis Lui-kong-kiam, agaknya hwesio itu akan celaka.
"Tahan!" Phang Tui Lok membentak marah, lalu menoleh kepada raja. "Kami
memprotes campur tangan Yo-pangcu. Sri baginda maklum bahwa pertikaian tentang
pedang Siang-bhok-kiam adalah urusan Bayangan Dewa dan Cin-ling-pai. "Kalau Yo-
pangcu menghendaki pedang, semestinya dia baru maju menghadapi pemenang dalam
pertandingan ini. Kecuali kalau Yo-pangcu menjadi wakil Cin-ling-pai!"
Raja Sabutai mengangguk-angguk membenarkan. "Harap Yo-toanio suka mundur dan
jangan mengacaukan pertandingan."
Bun Houw juga melangkah maju. "Harap Yo-toanio tidak mencampuri urusan
kami!" Yo Bi Kiok tersenyum dan menyimpan pedangnya. "Baiklah, aku akan maju paling
akhir, memang hwesio ini bukan tandinganku!"
Kini Bun Houw menghadapi hwesio itu dengan kedua tangan kosong den berkata
dengan sikap tenang, "Hok Hosiang, aku telah siap. Majulah!"
Hok Hosiang inipun memandang rendah kepada Bun Houw yang biarpun kabarnya
pandai akan tetapi kedudukannya hanya sebagai pengawal Liok Sun si pemilik rumah
judi! Maka sambil memutar-mutar tasbehnya dia berkata, "Orang muda, jangan mati
konyol, hayo keluarkan senjatamu!"
"Penjahat tua menyamar sebagai hwesio, tak perlu banyak cakap, aku tidak
perlu memegang senjata untuk menghadapimu."
"Kalau begitu, bersiaplah untuk mampus!" Hok Hosiang membentak.
"Tahan dulu...!" Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu In Hong
telah tiba di tengah ruangan itu. "Sri baginda, tidak adil kalau pertandingan
dilakukan dengan yang seorang memegang senjata sedangkan yang lain tidak!"
Raja Sabutai mengangguk. "Pertandingan sekali ini adalah pertandingan untuk
menyelesalkan urusan dendam pribadi, maka fihak yang kalah dan tewas tidak boleh
merasa penasaran. Bun-sicu, engkau boleh menggunakan senjata pula."
"Saya... saya tidak mempunyai senjata, sri baginda."
"Bun-ko, ini pedangmu, pakailah!" In Hong mencabut Hong-cu-kiam dan
menyerahkan pedang itu kepada Bun Houw.
Bun Houw cepat mundur dan memandang pedang itu dengan alis berkerut. "Aku
tidak akan menggunakan senjata pedang itu, Hong-moi. Kausimpanlah...!"
In Hong menghela napas dan menyimpan pedangnya. Dia mengerti bahwa pemuda
ini masih belum hilang rasa marahnya, mengira bahwa dia adalah seorang pembunuh
kejam, maka tidak mau menggunakan pedang itu. Akan tetapi dia khawatir sekali
kalau pemuda ini menghadapi Hok Hosiang yang demikian lihai tanpa senjata.
"Sri baginda, karena Bun-twako tidak mempunyai senjata, maka harus diberi
kesempatan untuk meminjam senjata dari benteng ini."
Raja Sabutai mengangguk-angguk, teringat akan pesan isterinya, Ratu Khamila
yang pernah membisikkan bahwa pemuda dan gadis itu saling mencinta. Dia lalu
memerintahkan pengawal mengambil delapan belas macam senjata yang diangkut ke
tempat itu. "Bun-sicu, silahkan memilih senjata mana yang kausuka dan boleh
kaupergunakan dalam pertandingan ini," kata raja.
Hok Hosiang tersenyum mengejek, berjalan berkeliling dan menggerak-gerakkan
tasbehnya sehingga sinarnya bergulung-gulung menyilaukan mata dan suaranya
mengaung mengerikan. Dia yakin bahwa semua senjata itu sekali bertemu dengan
tasbehnya pasti akan patah-patah. Untuk mendemonstrasikan kepandaian dan
kehebatan senjatanya, juga untuk membikin kecil nyali calon lawannya, hwesio ini
menggunakan kakinya mencokel sebatang tombak panjang ke atas kemudian
menggerakkan tasbehnya yang diputar cepat.
"Krek-krek-krekk!" Tombak itu patah-patah menjadi beberapa potong.
Demonstrasi ini disambut suara berisik karena orang-orang terkejut sekali
melihat betapa senjata tasbeh itu demikian ampuhnya! Padahal tombak itu terbuat
dari baja pilihan dan merupakan senjata para pengawal raja!
Melihat ini, Bun Houw merasa sebal. "Hong-moi, tolong kauuji dengan pedangmu
itu. Senjata mana yang kuat menghadapi babatan pedangmu, akan kupakai."
In Hong girang. Karena memang diapun tahu bahwa tidak ada senjata di situ
yang akan mampu melawan tasbeh Hok Hosiang kecuali Hong-cu-kiam, maka dia
sengaja mengangkat setiap pedang, golok atau tombak diadukan dengan Hong-cu-kiam
dan semua senjata itu satu demi satu terbacok patah! Melihat ini, Raja Sabutai
diam-diam kagum. Orang-orang dari selatan ini memang hebat, pikirnya, hebat ilmu
kepandaiannya, juga hebat senjata pusakanya.
"Bun-ko, tidak ada senjata yang cukup baik, kaupakailah pedang ini!"
Akhirnya In Hong menyerahkan pedang Hong-cu-kiam yang tipis dan amat tajam itu.
Akan tetapi kembali Bun Houw menggeleng kepala menolak, bahkan pemuda ini lalu
mengambil gagang tombak yang terbuat daripada kayu dan menyodorkannya ke arah In
Hong. "Hong-moi, tolong kaupotong runcing kayu ini, sepanjang ukuran pedang."
In Hong mengerutkan alisnya, tidak tahu apa yang dimaksudkan sebenarnya oleh
pemuda itu, akan tetapi Hong-cu-kiam berkelebat, sinar emas menyambar dan gagang
tombak dari kayu itu terbabat putus dan ujungnya meruncing.
Bun Houw mengobat-abitkan potongan kayu itu seperti sebatang pedang, lalu
berkata kepada calon lawannya yang sejak tadi memandang dengan sikap marah
karena pemuda itu seolah-olah memandang ringan sekali kepadanya, "Hok Hosiang,
inilah senjataku!" "He, orang muda she Bun!" Tiba-tiba Raja Sabutai berseru. "Begitu sombongkah
engkau sehingga engkau hendak menghadapi lawan yang memiliki senjata pusaka
hanya dengan sebatang gagang tombak pendek dari kayu?" Raja ini adalah seorang
ahli silat yang lihai pula. Dia mengenal senjata tasbeh yang lihai itu dan tahu
bahwa seorang ahli silat yang sudah berani mempergunakan sebuah senjata aneh
seperti tasbeh tentulah memiliki kepandaian yang luar biasa. Maka, melihat
pemuda itu hanya menggunakan sebatang pedang-pedangan dari kayu seperti yang
biasa dipakai anak-anak yang bermain perang-perangan, tentu saja dia merasa
khawatir, penasaran dan juga marah atas sikap Bun Houw yang dianggapnya sombong
dan tolol. Bun Houw cepat menjura setelah dia membalikkan pedang-pedangan kayu itu di
bawah lengan kanannya. "Harap paduka suka memaafkan saya, sri baginda,
sesungguhnya sama sekali saya tidak berani bersikap sombong, akan tetapi
hendaknya paduka ingat bahwa pusaka Cin-ling-pai adalah sebatang pedang dari
kayu, yaitu Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) itu. Oleh karena itu, setiap
orang muridnya tentu dapat pula memainkan kayu sebagai pedang yang merupakan
kepandaian simpanan dari ketua Cin-ling-pai. Maka, kini saya memilih sebatang
kayu ini sebagai pengganti pedang sama sekali bukan keluar dari sikap sombong,
melainkan karena bagi saya, kayu ini merupakan senjata yang paling baik bagi
saya." Raja Sabutai mengangguk-angguk, akan tetapi di dalam hatinya dia masih
sangsi dan mengkhawatirkan keselamatan pemuda yang menurut isterinya adalah
kekasih nona Hong yang amat disuka oleh isterinya itu. Sementara itug diam-diam
Yo Bi Kiok mulai percaya kepada pemuda yang dicinta oleh muridnya ini.
Terbayanglah dia akan pengalamannya sendiri ketika dia harus menghadapi ketua
Cin-ling-pai. Pedang pusakanya juga hanya dilawan dengen sebatang ranting kayu
oleh ketua Cin-ling-pai itu dan akibatnya dia kalah! Akan tetapi, ketua Cin-
ling-pai itu memang seorang sakti yang amat tinggi kepandaiannya, pemuda ini
hanya seorang anak murid yang masih muda, sedangkan tasbeh di tangan Hok Hosiang
itu agaknya berbahaya bukan main.
"Orang muda, sudah siapkah engkau, ataukah engkau masih mau mengoceh lagi?"
Hok Hosiang bertanya sambil tersenyum mengejek. Beberapa orang anggauta pengawal
yang hadir dan yang berfihak kepada kakek gundul yang kelihatannya amat lihai
ini ikut tertawa. "Majulah, Hok Hosiang, sudah sejak tadi aku siap dan ingin merasakan
bagaimana kerasnya tanganmu dan akan kulihat apakah engkau akan bisa tertawa
lagi nanti!" kata Bun Houw sambil melintangkan gagang tombak di depan dadanya.
Ucapan ini membuat Hok Hosiang menjadi makin marah karena merasa diejek. Memang
dia berjuluk Sin-ciang (Tangan Sakti) dan Siauw-bin-sian (Dewa Muka Tertawa).
"Lihat senjata!" bentaknya dan tubuhnya sudah menerjang ke depan. Biarpun
kakek berkepala gundul ini gendut tubuhnya, namun ternyata dia dapat bergerak
dengan kecepatan yang mengejutkan dan ketika tubuhnya bergerak, ada angin
menyambar dari arahnya, menandakan bahwa kakek ini memiliki tenaga besar. Dalam
serangan pertama ini, dia didahului oleh gulungan sinar hijau yang menyilaukan
mata, yaitu gulungan sinar senjata tasbehnya yang sudah menyambar ganas dengan
gerakan melengkung ke atas lalu menghantam ke arah kepala Bun Houw, sedangkan
tangan kiri kakek itu dengan pengerahan sin-kangnya yang membuat dia terkenal
dengan julukan Sin-ciang, membarengi dengan pukulan dengan jari-jari terbuka ke
arah pusar pemuda itu! Jelas dari gerakan cepat ini betapa kakek itu hendak merobohkan lawan dalam
gebrakan pertama. Dia memandang rendah kepada pemuda itu, akan tetapi sama
sekali tidak bersikap sembrono karena begitu menyerang, dia telah melakukan
serangan maut dan telah mengerahkan tenaganya. Raja Sabutai sendiri yang dapat
melihat kehebatan dan bahayanya serangan ini, diam-diam merasa ngeri karena
agaknya sukarlah bagi orang muda yang hanya memegang gagang tombak kayu pendek
itu untuk menghindarkan diri dari cengerakam maut itu. Juga In Hong memandang
dengan jantung berdebar dan diam-diam dia merasa menyesal akan keangkuhan Bun
Houw yang memaksa diri menghadapi lawan tangguh tanpa senjata yang baik itu.
Akan tetapi tidak seorangpun di antara mereka itu yang pernah menduga bahwa
lawan semacam Hok Hosiang itu sesungguhnya hanyalah merupakan seorang lawan yang
lunak dan tidak ada artinya bagi pemuda itu! Cia Bun Houw adalah murid terkasih
dari Kok Beng Lama, yang telah mewarisi sebagian besar ilmu-ilmu pendeta Lama
yang berkepandaian luar biasa itu, juga dia adalah putera ketua Cin-ling-pai
yang telah digembleng pula oleh ayah bundanya yang sakti. Maka, jangankan
memegang sebatang senjata kayu, andaikata dia tetap bertangan kosong sekalipun,
tentu saja dia masih dapat
mengatasi dan mempermainkan seorang lawan seperti orang ketiga dari Lima
Bayangan Dewa itu! Melihat gerakan lawan dalam penyerangan pertama itu, segera pemuda ini
maklum bahwa dalam penyerangan pertama ini, yang berbahaya bukanlah tasbeh
hijau, melainkan pukulan dengan tangan kiri itulah. Memang kelihatannya tasbeh
hijau itu melakukan serangan dahsyat ke arah kepalanya, seolah-olah seekor
harimau yang menubruk dengan ancaman maut menghancurkan kepalanya, akan tetapi
serangan yang terlalu menyolok itu sebetulnya hanya merupakan pancingan belaka
agar perhatian lawan tersedot semua ke situ dan yang sebenarnya mengancam
nyawanya adalah pukulan diam-diam dengan tangan kiri itu karena dalam jari-jari
yang terbuka itu mengandung getaran tenaga sin-kang sepenuhnya. Jari-jari tangan
kakek gundul ini kalau mengenai batu karang akan remuklah batu itu!
"Wirrr... wuuuttt...!" Tasbeh hijau itu menyambar ganas, dan tangan kiri
meluncur ke arah pusar Bun Houw tanpa suara. Pemuda ini tersenyum geli di dalam
hatinya dan tiba-tiba timbul keinginan di dalam hati pemuda yang biasanya
pendiam ini untuk mempermainkan lawan. Timbulnya keinginan ini mungkin karena
kegembiraan hatinya dapat melihat Siang-bhok-kiam, mungkin juga karena dia
memperoelh kesempatan membalas kematian para murid Cin-ling-pai kepada tiga
orang musuh besarnya ini, atau mungkin juga karena kehadiran In Hong di situ.
Dia teringat betapa dalam pandang mata In Hong, dia hanyalah seorang pengawal
seorang pemilik rumah judi, yang tentu saja tidak berapa tinggi kepandaianannya.
Teringat akan hal ini, Bun Houw juga tidak ingin memperkenalkan diri secara
menyolok. "Syetttt... cessas... aughhh...!" Kakek gundul itu memekik kesakitan dan
meloncat ke belakang sambil menarik tangan kirinya yang tadi ditusuk oleh ujung
kayu runcing itu! Pemuda itu tadi mengelak dari sambaran tasbeh hijau dan hati
Hok Hosiang sudah menjadi girang karena tepat seperti yang dikehendakinya,
pemuda itu agaknya mencurahkan seluruh perhatian kepada serangan tasbeh sehingga
kelihatan sibuk menghindarkan diri dari tasbeh sambil mengelak, maka dengan
girang tangan kirinya terus melakukan tusukan ke arah pusar. Sudah terbayang
olehnya betapa tangan itu akan "memasuki" pusar dan pemuda itu akan roboh dan
tewas dalam segebrakan saja! Akan tetapi tiba-tiba dia menjerit dan menarik
tangannya terus meloncat mundur karena ternyata punggung tangannya "digigit"
oleh ujung kayu runcing itu. Ketika dia melihatnya, ternyata punggung tangan
kirinya itu berdarah. Bukan main marahnya. Saking marahnya dia sampai lupa bahwa
kalau pemuda itu dengan kayunya dapat melukai punggung tangannya yang penuh
terisi sin-kang tadi, berarti bahwa pemuda itu lihai sekali. Dia lupa akan hal
ini dan saking marahnya kakek ini sudah mengeluarkan suara menggereng seperti
seekor singa kelaparan, menyerang dengan tubrukan maut, tasbehnya diputar dan
dalam sekali terjang saja tasbehnya telah melakukan serangan bertubi-tubi ke
tujuh bagian tubuh yang lemah dari lawannya.
In Hong menonton dengan jantung berdebar tegang. Dia melihat bahwa
dibandingkan dengan dua orang terakhir dari Lima Bayangan Dewa yang telah tewas,
kepandaian hwesio ini lebih tinggi sedikit, akan tetapi biarpun gerakan tasbeh
itu hanya kelihatannya saja hebat, namun sambaran tangan kiri hwesio itu benar-
benar amat berbahaya dan melihat gerakan Bun Houw yang seenaknya dan tidak
teratur itu, diam-diam In Hong merasa cemas juga. Terdengar suara keras berkali-
kali dan semua serangan tasbeh dapat dihalau oleh tangkisan pedang-pedangan
kayu! Semua orang terkejut dan merasa heran, akan tetapi In Hong merasa makin
khawatir karena dia melihat bahwa gerakan Bun Houw makin kacau-balau dan agaknya
semua tangkisannya yang berhasil menyelamatkan dirinya itu hanya soal kebetulan
saja. "Sri baginda, pemuda itu lihai bukan main..." terdengar oleh Raja Sabutai
bisikan gurunya dan dia terkejut. Menurut penglihatannya sendiri, pemuda itu
terdesak hebat dan hanya dengan susah payah saja dapat menyelamatkan dirinya,
akan tetapi ketika dia menoleh, ternyata gurunya itu memandang dengan mata
terbelalak penuh kagum! Bagaimana gurunya dapat memuji permainan silat kacau-
balau yang lebih mirip dengan orang ketakutan dan repot sekali itu. Akan tetapi
dia tahu bahwa di dunia ini jarang ada ahli silat yang dipuji oleh Hek-hiat Mo-
li atau Pek-hiat Mo-ko dan kini mereka berdua memuji.
"In, Hong, kau telah dipermainkah oleh kekasihmu itu! Hi-hik, jangan kau
khawatir, muridku. Dia jauh lebih lihai daripada lawannya." Yo Bi Kiok juga
berbisik kepada muridnya.
Akan tetapi In Hong tetap merasa tegang. Memang, biarpun gadis ini juga
memiliki tingkat kepandaian yang sudah tinggi, tidak banyak selisihnya dengan
gurunya, namun dia belum memiliki kewaspadaan pandangan seperti gurunya yang
sudah mempunyai banyak pengalaman dalam ilmu silat. Dia melihat betapa pemuda
itu terus diserang dan didesak dan kini tubuh kedua orang itu lenyap terbungkus
gulungan sinar tasbeh yang hijau dan agaknya robohnya Bun Houw tinggal menanti
saatnya saja! Pemuda itu kelihatannya terus-menerus menangkis, bahkan semua
jalan keluar sudah tertutup oleh sinar tasbeh yang mengelilinginya.
"Cruuusss... auuuuuttthhh...!" Tiba-tiba kakek gundul itu mencelat ke
belakang dan tangan kirinya meraba hidungnya. Darah! Daun hidungnya terobek dan
darah bercucuran. Makin teganglah para penonton setelah mulai melihat darah.
Mereka tidak tahu bagaimana hidung kakek yang terus-menerus mendesak itu tahu-
tahu bisa robek dan berdarah seperti itu! Bahkan Hok Hosiang sendiripun tidak
mengerti. Pemuda itu terus didesaknya dan pedang-pedangan kayu itu terus-menerus
bergerak menangkis dan melindungi tubuh pemuda itu dari kurungan sinar tasbeh,
bagaimana tahu-tahu dapat "menyelonong" dan merobek hidungnya"
"Hati-hati, Hok Hosiang, kau main-main dengan tasbeh sampai melukai hidung
sendiri!" Ucapan pemuda ini mendatangkan suara tertawa dari para penonton karena
sesungguhnya para penonton percaya bahwa hwesio itu saking semangatnya menyerang
dan mendesak telah berlaku kurang hati-hati dan melukai hidungnya sendiri dengan
tasbehhya! Tidak ada orang yang tahu bahwa hidung itu dirobek ujung pedang-
pedangan kayu yang runcing, kecuali tentu saja orang-orang yang memiliki
kepandaian tinggi seperti dua orang suheng hwesio itu, Raja Sabutai dan guru-
gurunya, beberapa orang perwira pengawal, In Hong dan Yo Bi Kiok. Akan tetapi In
Hong masih saja belum merasa puas karena cara Bun Houw melukai hidung lawan
bukan dilakukan dengan gerakan silat yang indah lihai, lebih mirip gerakan
kebetulan saja yang hanya dapat berhasil karena ketidak hati-hatian lawan.
Keparat busuk... kuhancurkan kepalamu, kulumatkan tubuhmu!" Hok Hosiang
membentak. "Omitohud... betapa besar dosamu, Hok Hosiang!" Bun Houw menjawab sehingga
kembali terdengar suara orang tertawa karena sungguh menyolok sekali sikap dan
kata-kata kedua orang itu, si hwesio penuh kemarahan, sedagkan pemuda itu
mengambil sikap seorang alim!
Hok Hosiang kini menyerang dengan penuh kemarahan, tasbeh hijaunya lenyap
bentuknya, berubah menjadi sinar hijau bergulung-gulung. Akan tetapi anehnya,
tidak pernah serangannya dapat mengenai sasaran, kalau tidak dielakkan oleh
pemuda itu, tentu terbendung oleh pedang-pedangan kayu sederhana itu dan setiap
kali tasbehnya terbentur oleh kayu itu, Hok Hosiang merasa betapa seluruh lengan
kanannya tergetar hebat dan kesemutan! Mulailah dia mengerti bahwa lawannya yang
muda ini ternyata memang lihai dan memiliki tenaga yang amat kuat, sungguhpun
hal itu tidak diperlihatkannya.
Ketika Bun Houw merasa sudah cukup mempermainkan lawannya, pada saat untuk


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke sekian kalinya sinar hijau menyambar ke arah kepalanya, pemuda ini memekik
keras, kayu di tangannya menyambut lalu membuat gerakan memutar dan tasbeh itu
tak dapat dipertahankan lagi membelit-belit ujung pedang-pedangan kayu dan tidak
dapat ditarik kembali oleh Hok Hosiang! Beberapa kali pendeta gendut ini
mengerahkan tenaganya menarik, namun hasilnya sia-sia belaka, tasbehnya telah
membelit kuat pada kayu itu dan tidak bisa terlepas kembali.
"Mampus kau...!" bentaknya dan tiba-tiba tangan kirinya yang mengandung
tenaga sin-kang sekuatnya itu menghantam ke arah dada Bun Houw. Pemuda ini
mengibaskan tangan kirinya, sekaligus dia "mengisi" tangan kirinya dengan tenaga
dari ilmu mujijat Thian-te Sin-ciang.
"Plakkkk! Krekkkk... pyuuurrr...!" Dua tangan bertemu hebat, tubuh hwesio
tergetar, tasbeh itu putus untaiannya dan berjatuhan ke atas tanah, kemudian
tubuh hwesio itu terhuyung ke belakang dan biarpun dia mempertahankannya, tetap
saja dia roboh terguling saking hebatnya tenaga tangkisan tangan kiri pemuda itu
tadi. "Eihhh...?" In Hong berseru aneh karena dia seperti mengenal tangkisan yang
dilakukan oleh Bun Houw itu. Bukankah itu Thian-te Sin-ciang"
Sementara itu, dengan muka pucat dan mata mendelik saking marahnya, Sin-
ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang sudah bangkit kembali, kini tubuhnya merendah
seperti seekor harimau hendak menubruk, kepalanya yang gundul di depan dan
hiasan kepala yang memakai alat runcing itu menuding ke arah lawan, matanya
melirik seperti mata seekor kerbau marah, kemudian dari mulutnya keluar suara
perut yang dalam, seperti kerbau menguak dan kepala yang gundul itu mengepulkan
uap putih. "Sute, jangan...!" Pat-pi Lo-sian berseru namun terlambat sudah, karena Hok
Hosiang sudah lari ke depan dengan kepala menyeruduk ke arah perut Bun Houw!
"Bun-ko, awas...!" In Hong menjerit karena dia maklum kini mengapa hiasan
kepala itu mengandung baja runcing. Kiranya hwesio ini memiliki ilmu aneh yang
jarang digunakan orang, yaitu serangan dengan serudukan kepala! Dan dia
mendengar dari subonya bahwa siapa yang melakukan serangan dengan kepala,
berarti dia telah melatih kepalanya menjadi senjata yang amat berbahaya dan
bahwa serangan kepala merupakan serangan untuk mengadu nyawa dengan lawan.
Bun Houw juga terkejut. Mendengar seruan Pat-pi Lo-sian tadi, diapun maklum
bahwa kalau sang suheng itu mencegah, berarti bahwa serangan ini merupakan
serangan adu nyawa yang amat berbahaya. Kalau dia mengelak lalu menggunakan kayu
di tangannya membunuh lawan, tentu saja amat mudah hal itu dilakukannya. Akan
tetapt dia harus memperlihatkan kepada lawan dan membuktikan kepada semua orang
bahwa murid Cin-ling-pai bukanlah seorang penakut yang jerih menghadapi serangan
seperti itu, maka dia lalu melempar pedang kayu ke atas lantai, kemudian dengan
kaki terpentang lebar dia sengaja menerima serudukan kepala Hok Hosiang itu.
"Bun-ko...!" In Hong menjerit ngeri menyaksikan kenekatan pemuda itu dan
semua orang memandang dengan hati tegang.
"Desss...!" Pertemuan antera kepala dan perut itu hebat bukan main. Seolah-
olah terasa oleh semua yang hadir hebatnya pertemuan itu, yang seolah-olah
menggetarkan ruangan itu dan semua mata terbelalak melihat betapa kepala yang
dihias alat runcing itu seperti menancap ke dalam perut si pemuda yang masih
berdiri tegak. Tubuh gendut hwesio itu seperti sebatang balok yang menancap,
kakinya lurus ke belakang dan sama sekali tidak bergerak.
"Uhhh!" Bun Houw mengeluarkan suara, perutnya digerakkan dan tubuh hwesio
itu tertolak ke belakang, lalu terbanting jatuh dan semua yang memandang merasa
ngeri karena kepala itu sudah berlepotan darah, dan hiasan kepala baja runcing
itu ternyata kini telah amblas menancap ke dalam kepala gundul itu! Ternyata
bahwa ketika kepala itu bertemu dengan perut, Bun Houw mengerahkan sin-kang
mengeraskan perutnya sehingga hiasan kepala itu membalik dan menancap ke dalam
kepala pemiliknya sendiri, kemudian perut itu berobah lunak sehingga kepala
hwesio itu amblas ke dalam rongga perutnya dan dihimpit sehingga remuk di
sebelah dalam dan hwesio itu tewas pada saat itu juga!
Sorak-sorai menyambut kemenangan yang luar biasa ini dan Raja Sabutai
sendiri sampai bertepuk tangan memuji. Dia melirik ke arah dua orang gurunya dan
melihat kakek dan nenek itu saling pandang dan jelas nampak bahwa keduanya juga
kagum bukan main. In Hong duduk dengan kedua kaki lemas. Mukanya agak pucat dan
dia sendiri merasa heran mengapa dia menjadi begini penakut. Belum pernah selama
hidupnya dia mengalami ketegangan sehebat ini yang membuat kedua kakinya lemas.
Akan tetapi kini diapun memandang ke arah Bun Houw dengan sinar mata penuh
selidik dan keraguan. Benarkah dia itu Bun Houw pengawal pemilik rumah judi itu"
Melihat permainan silatnya tadi memang tidak berapa hebat, akan tetapi dia
bergidik ngeri membayangkan cara pemuda itu menerima serangan kepala tadi. Dia
sendiri tidak akan berani memasuki bahaya seperti itu! Dan peristiwa tadi saja
jelas membuktikan bahwa Bun Houw memiliki lwee-kang yang amat kuat, bahkan
agaknya tidak kalah kuatnya kalau dibandingkan dengan tenaga dalam dari dia
sendiri! Diam-diam dia merasa kagum, juga bangga, juga... penasaran!
Atas isyarat Raja Sabutai, jenazah Hok Hosiang disingkirkan dari tempat itu
setelah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok memeriksa keadaan sutenya itu, kemudian
Phang Tui Lok bersama Liok-te Sin-mo Gu Lo It melangkah ke tengah ruangan
menghadapi Bun Houw yang sudah mengambil pedang-pedangan kayunya kembali dan
berdiri dengan sikap tenang.
"Orang she Bun, di antara Lima Bayangan Dewa, kini tinggal kami berdua dan
kami akan mempertahankan pedang Siang-bhok-kiam dan nama kami sebagai Bayangan
Dewa. Majulah dan kalau kau takut mewakili Cin-ling-pai sendirian dan ingin
dibantu oleh nona Hong, boleh juga dia maju membantumu." Phang Tui Lok adalah
orang yang cerdik. Di dalam pertandingan antara Hok Hosiang dan pemuda tadi, dia
sudah mengerti bahwa pemuda yang kelihatan tidak berapa hebat ini ternyata lihai
juga, dan kalau dia membiarkan Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang tingkat
kepandaiannya tidak banyak selisihnya dengan Hok Hosiang, agaknya sutenya inipun
akan kalah. Oleh karena itu, dia sengaja maju bersama agar dapat membantu
sutenya, dan andaikata pemuda itu dibantu oleh In Hong sekalipun, dia tidak
takut karena dia dan sutenya lebih dapat bekerja sama daripada pemuda itu dan In
Honk yang tidak mempunyai hubungan apa-apa. Dengan bekerja sama, dia dan sutenya
pasti akan mampu mengalahkan Bun Houw dan In Hong karena dia dan sutenya akan
dapat memaksa mereka berdua untuk bertanding secara campuran, bukan satu lawan
satu. Dan dalam hal pertandingan pasangan, dia dan sutenya sudah terlatih.
Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, tubuh In Hong sudah mencelat ke tengah
ruangan dan dengan wajah dingin dia sudah menghadapi Phang Tui Lok, mulutnya
yang manis tersenyum mengejek. "Agaknya kau ingin sekali mati di tanganku, kakek
sombong. Majulah!" dia menantang.
Akan tetapi Bun Houw sudah menghadapi In Hong. "Hong-moi, harap, kau suka
mundur. Aku akan menghadapi mereka berdua seorang diri."
"Bun-ko!" In Hong membantah.
"Aku tidak takut, Hong-moi!"
"Akan tetapi, engkau akan dikeroyok dan mereka ini lihai..."
"Ha-ha-ha, orang she Bun, mengapa pakai sungkan-sungkan segala" Nona ini
ingin menemanimu mampus, mengapa engkau menolaknya?" Gu Lo It berkata dengan
suaranya yang parau dan sikapnya yang kasar.
Bun Houw tidak memperdulikan ejekan Gu Lo It bahkan dia lalu memberi hormat
ke arah Raja Sabutai dan berkata lantang, "Harap paduka suka memaafkan saya, sri
baginda. Urusan yang sekarang sedang diselesaikan adalah urusan antara Lima
Bayangan Dewa yang merupakan golongan penjahat dengan Cin-ling-pai, merupakan
urusan pribadi kedua fihak yang sekarang oleh paduka dipertemukan di sini dan
oleh kebijaksanaan paduka kedua fihak diperkenankan untuk menyelesaikan urusan
dendam pribadi ini dengan mengadu kepandaian. Oleh karena itu, saya mengharap
kebijaksanaan paduka agar paduka melarang pencampurtanganan dari fihak luar."
Raja Sabutai mengangkat tangannya dan menjawab, "Pernyataanmu itu benar dan
tepat, Bun-sicu. Nona Hong, harap kau suka mundur karena sekarang adalah urusan
pribadi antara Bun-sicu dan dua orang dari Bayangan Dewa. Giliranmu belum tiba,
nona." In Hong cemberut dan merah mukanya, akan tetapi tidak berani membantah.
"Hong-moi, maafkan aku. Kaupercayalah, aku dapat mengatasi musuh-musuhku,"
kata Bun Houw perlahan. "Kau... kau... pakailah pedang ini..."
Bun Houw menggeleng kepala, tersenyum dan mengangkat pedang-pedangan kayu
itu. "Senjata ini sudah cukup ampuh."
In Hong membanting kaki kanannya. "Kau... sombong! Kuharap kau kalah, baru
aku akan membunuh mereka!" Setelah berkata demikian, In Hong mundur dan duduk di
tempatnya kembali, disambut oleh subonya dengan senyum.
"Jangan khawatir, muridku, kalau dia terancam bahaya, aku siap membantunya,"
bisik gurunya. "Jangan, subo. Biarkan dia kalah, si... kepala besar itu!"
Sementara itu, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok sudah menghadap Raja Sabutai dan
berkata, "Paduka menyaksikan sendiri, betapa pemuda ini hendak menghadapi kami
berdua dengan sendirian saja. Bukan kami berdua yang sengaja mengeroyok, sri
baginda." Raja Sabutai mengerutkan alisnya. Tentu saja dia mengerti akan kelicikan
orang pertama dari Lima Bayangan Dewa itu, maka dia bertanya kepada Bun Houw,
"Bun-sicu, benarkah kau hendak menghadapi keroyokan mereka berdua" Kalau kau
keberatan, tentu saja boleh kau menghadapi mereka satu demi satu."
Bun Houw memberi hormat dan menjawab, suaranya lantang. "Sri baginda, ketika
Lima Bayangan Dewa menyerbu Cin-ling-pai dan mencuri pedang pusaka, mereka
menggunakan siasat licik, menanti ketika ketua Cin-ling-pai dan isterinya yang
sakti tidak berada di Cin-ling-san. Mereka adalah pengecut-pengecut yang setelah
melakukan perbuatannya itu, melarikan diri dan bersembunyi di sini, menggunakan
nama dan pengaruh paduka untuk bersembunyi karena mereka takut akan pembalasan
Cin-ling-pai. Mereka adalah pengecut-pengecut, akan tetapi Cin-ling-pai tidak
pernah melahirkan seorang pengecut. Oleh karena itu, sebagai wakil Cin-ling-pai,
tentu saja saya akan menghadapi mereka, apapun kehendak mereka. Jangankan baru
mereka berdua, andaikata yang tiga lagi di antara mereka bangkit dari neraka dan
ikut pula mengeroyok, saya tidak akan mundur, sri baginda!"
Raja Sabutai tersenyum dan mengangguk-angguk. "Engkau benar-benar seorang
gagah dan pantas menjadi murid dan wakil sebuah perkumpulan yang besar, Bun-
sicu." Lalu Raja Sabutai memandang Pat-pi Lo-sian dan berkata, "Nah, kalian
sudah mendengar sendiri, majulah."
Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok menggerak-gerakkan kedua lengan tangannya dan
terdengar bunyi suara berkerotokan seolah-olah semua tulang-tulang kedua
lengannya bergerak-gerak. Kemudian dia menggerakkan kepala dan kuncirnya yang
panjang itu melibat leher, gagah sekali nampaknya. Dengan gerakan perlahan
tangan kanannya meraba punggung dan nampaklah sinar kemerahan berkelebat
menyilaukan mata dan ternyata tangannya telah memegang sebatang pedang yang
bentuknya seperti ular yang tahu-tahu telah berada di tangannya saking cepatnya
dia mencabut pedang itu. Liok-te Sin-mo Gu Lo It juga menggerakkan kedua lengannya, dengan jari-jari
terbuka dan tampaklah uap mengepul di antara jari-jari tangannya. Tokoh yang
berjuluk Iblis Bumi ini memang terkenal memiliki tenaga besar sekali, dan
senjata potongan-potongan baja merupakan senjata rahasia yang tersembunyi di
ujung kedua lengan bajunya. Kelihatannya saja dia tidak bersenjata, hanya
menggunakan kedua tangannya yang kuat, akan tetapi sesungguhnya kedua ujung
lengan bajunya itu mengandung potongan-potongan baja yang amat kuat dan yang
menyambar secara tidak terduga dan karenaya amatlah berbahaya bagi fihak lawan.
Bun Houw bersikap tenang, namun dia sama sekali tidak memandang rendah kedua
orang lawannya yang dia tahu merupakan orang-orang yang tangguh, terutama sekali
orang pertama dari musuh-musuhnya ini. Dia sudah mendenngar keterangan dari
ayahnya tentang musuh-musuhnya, maka dia bersikap waspada dan bermaksud untuk
mengukur lebih dulu sampai di mana tingkat kepandaian dua orang lawannya dengan
jalan membiarkan mereka menyerang. Dari cara mereka menyerangpun dia sudah akan
dapat mengukur kepandaian dan tenaga mereka, dan mengetahui pula kelemahan-
kelemahan mereka. Pemuda ini hanya memasang kuda-kuda sederhana saja, dengan
kedua kaki agak terpentang, dan tubuh miring sehingga menghadapi kedua orang
lawan itu di kanan kirinya, bukan di depan belakang. Tangan kirinya miring di
depan dada seperti orang menyembah dengan sebelah tangan, lengan kanan diangkat
ke atas dengan pedang-pedangan kayu menuding ke depan, tubuhnya tidak bergerak,
dan hanya kedua matanya saja yang hidup, bergerek ke kanan kiri, dan melihat
ujung jari-jari tangan kiri dan ujung pedang-pedangan kayu tergetar, kagumlah In
Hong. Kini gadis itu mulai mengerti bahwa pemuda itu sesungguhnya bukan orang
sembarangan dan dia tahu pula bahwa seluruh urat syaraf pemuda itu dalam
kewaspadaan, dan bahwa seluruh tubuh pemuda itu kini sedang dialiri oleh hawa
tenaga sakti yang hebat! Dia menjadi terharu dan mulai dia mencela kebutaannya
sendiri karena dia mulai yakin bahwa Bun Houw adalah seorang pendekar muda yang
sakti, yang hanya memiliki kepandaian sederhana saja.
"Hyaaaatttt...!" Liok-te Sin-mo membentak.
"Heeeeiiiitttt...!" Pat-pi Lo-sian juga memekik keras.
Keduanya sudah menerjang dengan cepat. Kedua tangan Liok-te Sin-mo menyerang
secara bertubi dan pedang ular itu mengimbangi serangan itu, menyambar-nyambar
dari atas dan bawah dari lain jurusan.
"Wut-wut-wut, plak-plak-cringgg... tranggg...!"
Dengan gerakan yang amat sigap, terlalu cepat malah sehingga sukar diikuti
Bocah Tanpa Pusar 3 Pendekar Cambuk Naga 11 Istana Langit Perak Pengelana Rimba Persilatan 8
^