Pencarian

Dewi Maut 19

Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 19


lain adalah Tio Sun. Begitu bertemu dan melihat wajah Maria de Gama atau Souw
Kwi Eng, sepasang mata Tio Sun bersinar-sinar, kedua pipinya menjadi agak
kemerahan dan jantungnya berdebar keras. Betapa hebat rasa rindu hatinya
terhadap dara ini, baru sekarang benar-benar terasa olehnya setelah berhadapan
muka! Akan tetapi, tentu saja dia menekan perasaannya ini dan cepat menjura.
"Beng-te dan Eng-moi, apa kabar" Kuharap kalian baik-baik saja selama ini.
Apakah aku tidak mengganggu kalian dengan kunjunganku ini?"
"Ahhhh, Tio-twako kenapa begini sungkan?" Kwi Eng yang memang berwatak bebas
dan ramah itu menegur. "Bukankah kita sudah menjadi sahabat-sahabat baik?"
"Tio-twako, marilah masuk menemui ayah dan ibu kami, kemudian kami ingin
banyak bicara, banyak bertanya kepadamu, twako." Kwi Beng lalu menggandeng
tangan tamunya itu. "Aih, dia ingin banyak bertanya tentang enci Hong yang dirindukannya, hi-
hik!" Souw Kwi Eng menggoda.
"Hushh, jangan main-main kau!" Kwi Beng membentak dan melototkan matanya.
Tio Sun tersenyum menyaksikan dua orang yang wajahnya serupa hanya bedanya pria
dan wanita itu berkelakar dan bergurau.
Yuan de Gama dan isterinya, Souw Li Hwa, segera keluar menyambut dengan
ramah ketika mendengar akan kedatangan sahabat kedua orang anak mereka itu.
Tentu saja mereka telah mendengar penuturan kedua orang anak mereka tentang Tio
Sun yang dahulu telah membantu Kwi Eng ketika hendak menyelamatkan Kwi Beng yang
diculik oleh Tokugawa. Tentu saja mereka berterima kasih sekali kepada Tio Sun,
apalagi ketika mendengar bahwa Tio Sun adalah putera tunggal Ban-kin-kwi Tio Hok
Gwan, Souw Li Hwa makin suka dan ramah kepada pemuda sederhana itu.
"Aku mengenal baik ayahmu itu," katanya. "Dia seorang pengawal yang amat
setia dan berlimu tinggi."
Tio Sun memandang dengan wajah berseri dan menjura. "Ayah banyak bercerita
tentang toanio sebagai murid yang amat lihai dari mendiang Panglima The Hoo."
"Aih, jangan menyebut aku toanio, Tio Sun. Sebut saja bibi, karena
sesungguhnya kita adalah orang-orang sendiri bukan?" kata Souw Li Hwa dengan
ramah sambil tersenyum dan biarpun usia nyonya ini sudah sekitar empat puluh
tahun, namun dia masih nampak muda den cantik.
"Terima kasih, bibi."
"Dan kau boleh menyebut aku paman, Tio Sun." kata pula Yuan de Gama yang
sudah pandai sekali berbahasa daerah sehingga tidak seperti orang asing,
sungguhpun kebiruan matanya den kekuningan rambutnya tentu saja tidak dapat
menyembunyikan keasingannya.
Suami isteri itu mengajak Tio Sun bercakap-cakap sejenak dan mereka berdua
menyatakan terima kasih mereka kepada pemuda ini yang telah menolong anak-anak
mereka ketika mereka dahulu sedang berlayar ke barat. Tio Sun merendahkan diri
dan akhirnya menerima penawaran mereka untuk bermalam di rumah mereka selama
beberapa hari dan untuk mempererat persahabatan. Kemudian, suami isteri itu
meninggalkan tiga orang muda itu untuk bercakap-cakap sendiri.
Setelah ayah bundanya maninggalkan mereka, dan pelayan membawa buntalan
pakaian Tio Sun ke sebuah kamar serta mengeluarkan makanan dan minuman, Kwi Eng
lalu berkata, "Tio-twako, dia itu sudah tidak sabar menanti ceritamu."
"Eh, cerita apa?" Tio Sun balas menanya.
"Jangan pura-pura, twako, lihat dia seperti ikan di darat. Lekas
kauceritakan apakah kau pernah bertemu dengan enci Hong itu?" Kwi Eng berkata
pula. "Enci Hong..." Ah, tentu kaumaksudkan nona Yap In Hong itu" Hemmm, memang
menarik sekali ceritanya."
Kini Kwi Beng benar-benar tidak dapat menahan keinginan tahunya. "Kau
berjumpa dengan dia, twako" Di mana" Bagaimana dengan dia" Bagaimana ceritanya?"
Tio Sun memegang tangan pemuda itu dan diam-diam dia menghela napas panjang.
Jelas bahwa pemuda remaja ini yang usianya kurang lebih tujuh belas tahun, telah
jatuh cinta kepada Yap In Hong!
"Bertemu sih tidak, akan tetapi nona Yap In Hong..."
"Begitukah namanya" Setahu kami hanya Hong saja..." kata pula Kwi Beng
dengan girang. "Yap In Hong... sungguh tepat, namanya memang sesuai dengan
orangnya yang..." "Cantik manis!" Kwi Eng menggoda.
"Yang amat lihai," Kwi Beng melanjutkan tanpa memperdulikan godaan
saudaranya. Kembali Tio Sun menarik napas panjang, tidak tahan dia melihat gerak-gerik
Kwi Eng yang serba membetot semangat dan menarik hatinya. Pandang mata yang biru
itu, kerlingnya, senyumnya, gerakan bibirnya, cara dara itu menggerakkan kepala
untuk menyingkapkan rambut yang selalu turun menutupi mukanya, ahhhh... sungguh
sukar baginya untuk bercerita, apalagi menceritakan orang lain. Kalau boleh, dia
hanya akan duduk saja memandangi dara itu yang demikian lincah, demikian jelita,
demikian... "Eh, kenapa kau bengong saja, twako?" tiba-tiba Kwi Beng menegur.
"Dan kau memandang saja padaku, ada apa sih pada wajahku" Apa ada
kotorannya?" Kwi Eng sibuk mengusap hidung dan pipinya.
"Tio-twako tentu jengkel karena kau menyela terus, sih!" Kwi Beng mengomel.
Bagi Kwi Beng, tentu saja amat sukar membayangkan ada orang laki-laki bisa
tergila-gila kepada saudara kembarnya ini!
"Tidak apa-apa, maafkan aku..." Tio Sun menunduk dan menelan ludah
menenteramkan jantungnya yang berdebar tidak karuan. "Sebetulnya... eh, banyak
sekali hal-hal aneh kudengar tentang nona Yap In Hong itu. Dia benar-benar amat
luar biasa, di luar dugaan dan hebat!"
"Nah, apa kataku" Dia memang wanita paling hebat di dunia ini!" kata Kwi
Beng sambil memandang kepada adiknya.
"Siapa yang menyangkal?" Kwi Eng menjawab. "Akan tetapi dia terlalu hebat
untukmu. Tio-twako, ceritakanlah, kami ingin sekali mendengarnya," kata Kwi Eng
sambil menyentuh tangan pemuda tinggi kurus itu. Tersirap darah ke leher dan
muka Tio Sun dan tangannya yang tersentuh itu menggigil. Dia merasa heran
sendiri mengapa dia menjadi lemah seperti ini menghadapi gadis itu. Untuk
menenangkan jantungnya yang bergelora, Tio Sun meneguk air teh di depannya,
kemudian dia bercerita. "Pertama-tama, dara perkasa yang kita kenal sebagai nona Hong itu bernama
Yap In Hong, adik kandung dari paman Yap Kun Liong..."
"Ahhh...!" Seruan ini keluar dari dua mulut yang bentuknya sama, mulut Kwi
Eng dan mulut Kwi Beng. "Tapi... tapi paman Yap Kun Liong sudah setengah tua dan
nona Hong..." "Tentu lebih tua daripada kita!" kata Kwi Eng.
"Paling banyak selisih dua tahun!" kata Kwi Beng membantah.
"Entahlah. Akan tetapi kenyataannya demikian, dia adalah adik kandung paman
Yap Kun Liong dan dia memang memiliki ilmu tinggi sekali karena kabarnya dia itu
adalah murid tunggal dari ketua Giok-hong-pang. Yang paling hebat adalah karena
dialah yang berhasil menyelamatkan kaisar."
"Hebat...!" seru Kwi Eng.
"Twako, bukankah kabarnya kaisar telah ditawan oleh raja liar dan kini telah
kembali lagi ke kota raja?" tanya Kwi Beng.
"Benar, dan Yap In Hong itulah yang menyelamatkan kaisar, menolong kaisar
lolos dari tawanan benteng Raja Sabutai."
"Luar biasa! Dia seorang pahlawan kalau begitu!" Souw Kwi Beng berseru
gembira. "Memang hebat dia, bahkan ketua Cin-ling-pai sendiri, dengan bantuan banyak
orang pandai, tidak mampu menyelamatkan kaisar yang ditawan. Akan tetapi nona
Yap In Hong seorang diri menyelundup ke dalam benteng musuh, pura-pura menjadi
kaki tangan Raja Sabutai, akan tetapi tahu-tahu dialah yang meloloskan kaisar
dari tawanan." "Bukan main...! Di mana sekarang dia berada, twako?" Kwi Beng bertanya.
"Entah, saya belum mendengar lagi, akan tetapi ada berita bahwa nona Yap In
Hong kini berada di kota raja."
"Dan bagaimana kabarnya dengan... kanda Cia Bun Houw...?" tiba-tiba Kwi Eng
bertanya. "Ehm, ehm...!" Kwi Beng terbatuk-batuk, dehem buatan dan Kwi Eng melotot
kepadanya. Tio Sun merasa jantungnya tertusuk. Dahulupun dia sudah melihat bahwa dara
ini tertarik kepada Bun Houw.
"Dia..." Dia bersama dengan aku membantu ayahnya ketika kami berusaha
menyerbu benteng Sabutai untuk menolong kaisar, akan tetapi gagal. Kemudian,
setelah kaisar dapat diselamatkan oleh nona Yap In Hong, agaknya terjadi
perdamaian antara kaisar dan Raja Sabutai, dan Cia-taihiap lalu pergi menyusul
nona Yap In Hong yang setelah berhasil menolong kaisar lalu kembali ke dalam
banteng Raja Sabutai."
"Aih, berbahaya sekali! Lalu apa yang terjadi?" Kwi Eng bertanya kaget
mendengar betapa Bun Houw memasuki benteng Raja Sabutai.
"Kabarnya banyak yang terjadi di sana. Banyak terjadi pertempuran antara
orang-orang pandai yang sengaja diadu oleh Raja Sabutai dan katanya tiga orang
Bayangan Dewa telah tewas di tangan Cia-taihiap."
"Hebat...!" Kwi Eng bersorak girang.
"Lalu bagaimana, twako" Pedang Siang-bhok-kiam tentu sudah kembali kepada
Houw-koko, bukan?" "Entahlah, aku sendiri belum sempat bertemu lagi dengan dia."
Sayang, kami berduapun belum lama kembali dari Cin-ling-san, akan tetapi
juga tidak berjumpa dengan dia," kata Kwi Eng.
"Cin-ling-san?" Tio Sun bertanya heran.
"Ya, bersama ibu," jawab Kwi Eng dan tiba-tiba dia menunduk dengan kedua
pipi berobah merah sekali.
"Ha, dia sudah amat rindu kepada Houw-koko, Tio-twako, rindu kepada
tunangannya! Ha-ha!"
"Ihhh, tak tahu malu kau!" Kwi Eng mencubit lengan saudaranya lalu lari ke
dalam. Seketika wajah Tio Sun berobah pucat. "Tunangan...?" Dia berbisik.
"Kami ke sana bersama ibu dan ibu membicarakan tentang pertunangan mereka,
dan sudah disetujui. Adikku yang bengal itu beruntung sekali telah dijodohkan
dengan kanda Cia Bun Houw... eh, kau kenapa, Tio-twako?" Kwi Beng bertanya kaget
melihat wajah yang menjadi pucat dan mata yang dipejamkan itu.
"Ahh... ehh, tidak apa-apa..." Tio Sun membuka matanya dan meraba-raba
cangkirnya, lalu diminumnya isi cangkir, akan tetapi jelas tangannya gemetar dan
ketika dia mengembalikan cangkir ke atas cawan, terdengar bunyi berkeretakan
karena tangan itu tidak dapat diam.
"Kau... kau pucat sekali dan gemetar... kau seperti orang sakit, twako," Kwi
Beng bertanya khawatir. Tio Sun menggigit bibir. "Tidak apa-apa, mungkin karena lelah, Beng-te, aku
permisi..." Tio Sun bangkit dari bangkunya.
"Ehhh" Ke mana?" Kwi Beng berseru kaget.
Tio Sun sadar kembali bahwa dia telah menerima undangan mereka untuk
menginap di situ, maka dia menahan kakinya yang sudah hendak melangkah pergi.
"Eh... mau beristirahat..."
"Kamarmu di sebelah sana, twako. Marilah kuantar, kau kelihatan pucat dan
gemetar, agaknya kau sakit."
"Agaknya begitulah, Beng-te... terima kasih..." Tanpa bicara apa-apa lagi
Tio Sun lalu mengikuti Kwi Beng yang mengantarkan sampai ke kamarnya. Setelah
pemuda itu meninggalkannya, Tio Sun menutup pintu kamarnya dan rebah terlentang,
berkali-kali menarik napas panjang dan akhirnya dia bisa menenangkan batinnya
yang terguncang hebat mendengar bahwa Kwi Eng telah bertunangan dan dijodohkan
dengan Bun Houw itu. "Ahh, engkau sungguh tak tahu diri!" Dia menghela napas dan menyesalkan diri
sendiri. "Sejak dulupun sudah jelas bahwa dia tertarik kepada Cia Bun Houw, dan
memang sudah sepantasnyalah demikian. Dia seorang gadis yang cantik jelita,
pandai dan kaya raya, sudah sepatutnya berjodoh dengan Cia Bun Houw yang lihai,
putera ketua Cin-ling-pai. Sedangkan aku ini apa" Sungguh tak tahu diri!"
Penyesalan kepada dirinya sendiri dan kesadaran bahwa sudah sepatutnya kalau
Kwi Eng berjodoh dengan Cia Bun Houw yang dikaguminya dan bahwa sudah semestinya
kalau dia ikut girang melihat gadis yang dicintanya itu berbahagia memperoleh
jodoh seorang pilihan seperti putera ketua Cin-ling-pai itu dan mengesampingkan
keinginannya untuk mementingkan diri sendiri, meringankan beban guncangan
batinnya dan ketika Kwi Eng dan Kwi Beng datang menengoknya, Tio Sun telah
tenang pula. "Kata Beng-ko engkau sakit, twako?" Kwi Eng menegurnya ketika dia menyambut
kedatangan dua orang kakak beradik itu ke kamarnya.
"Ah, mungkin hanya terlalu lelah dan masuk angin." jawab Tio Sun sambil
tersenyum. "Akan tetapi setelah mengaso
sebentar di kamar yang nyaman ini sudah sembuh kembali. Terima kasih. Oh ya,
aku... aku menghaturkan selamat atas pertunanganmu dengan Cia-taihiap, adik Kwi
Eng!" Tergopoh-gopoh Kwi Eng membalas pemberian selamat itu dengan kedua pipi
berobah merah. "Terima kasih, Tio-twako. Kau baik sekali."
Tio Sun yang bijaksana itu ternyata telah dapat memulihkan sikapnya dan dia
bergaul seperti biasa dengan Kwi Eng dan Kwi Beng. Souw Li Hwa dan suaminya
diam-diam juga merasa suka kepada pemuda yang sederhana dan rendah hati ini.
Maka dia membujuk Tio Sun untuk memberi petunjuk dalam hal ilmu silat kepada
anak-anaknya. Permintaan ini dipenuhi dengan suka hati oleh Tio Sun dan setiap
hari nampak tiga orang muda itu berlatih silat di taman bunga. Dalam waktu
beberapa hari saja mereka bergaul dengan akrab sekali. Dan karena maklum bahwa
harapannya untuk dapat berjodoh dengan dara yang dicintanya itu lenyap sama
sekali, sikap Tio Sun terhadap Kwi Eng dan Kwi Beng seperti sikap seorang kakak
terhadap adik-adiknya sehingga dua orang saudara kembar itupun merasa seolah-
olah Tio Sun adalah kakak mereka.
Keakraban inilah yang membuat Kwi Beng menaruh kepercayaan pada suatu hari,
ketika memperoleh kesempatan berdua saja dengan Tio Sun, pemuda ini dengan muka
sedih mengeluarkan isi hatinya. "Tio-twako, setelah beberapa hari bergaul
denganmu, aku memperoleh keyakinan bahwa engkau seoranglah yang akan dapat
menolongku, twako. Sebenarnya aku menderita sekali, menderita batin yang hebat
dan selama ini hanya kusimpan dan kutahan-tahan agar jangan sampai ketahuan oleh
adikku dan oleh orang tuaku. Akan tetapi kalau terus kusimpan, akhirnya aku
tentu tidak tahan juga."
Melihat wajah yang biasanya gembira itu kini kelihatan amat berduka, Tio Sun
terkejut dan merasa heran. Dia memegang pundak pemuda tampan itu dan berkata
sambil tersenyum, "Ah, Beng-te. Seorang pemuda dalam keadaan seperti engkau ini
bagaimana bisa mengatakan menderita batin yang hebat" Engkau mesih muda,
mempunyai orang tua dan saudara yang amat baik, berkepandaian cukup tinggi,
hartawan dan apapun yang kaukehendaki tentu terlaksana. Mengapa masih menderita,
tekanan batin?" "Justeru yang kukehendaki tidak terlaksana, twako."
Tio Sun menarik napas panjang. Demikianlah hidup! Manusia, termasuk dia
sendiri, selalu menghendaki yang tidak ada, menghendaki yang berada di luar
jangkauan sehingga kehendaknya tidak dapat tercapai dan lahirlah duka!
"Beng-te, apakah kehendakmu yang tidak dapat terlaksana itu?"
"Tio-twako, jangan kau mentertawai aku, ya" Aku cinta kepada nona Yap In
Hong." Tio Sun tidak terkejut mendengar ini. Dari sendau-gurau antara Kwi Beng den
Kwi Eng dia sudah dapat menduga akan hal ini. Maka dia tersenyum. "Mengapa orang
jatuh cinta ditertawai" Dan mengapa pula engkau menderita batin karena itu,
Beng-te" Kau mencinta siapapun, apa halangannya?"
Kwi Beng menarik napas panjang. "Akan tetapi, twako. Cintaku ini tidak akan
dapat terlaksana karena ibuku tidak setuju."
Justeru yang kukehendaki tidak terlaksana, twako."
Tio Sun menarik napas panjang. Demikianlah hidup! Manusia, termasuk dia
sendiri, selalu menghendaki yang tidak ada, menghendaki yang berada di luar
jangkauan sehingga kehendaknya tidak dapat tercapai dan lahirlah duka!
"Beng-te, apakah kehendakmu yang tidak dapat terlaksana itu?"
"Tio-twako, jangan kau mentertawai aku, ya" Aku cinta kepada nona Yap In
Hong." Tio Sun tidak terkejut mendengar ini. Dari sendau-gurau antara Kwi Beng den
Kwi Eng dia sudah dapat menduga akan hal ini. Maka dia tersenyum. "Mengapa orang
jatuh cinta ditertawai" Dan mengapa pula engkau menderita batin karena itu,
Beng-te" Kau mencinta siapapun, apa halangannya?"
Kwi Beng menarik napas panjang. "Akan tetapi, twako. Cintaku ini tidak akan
dapat terlaksana karena ibuku tidak setuju."
Tio Sun memandang heran. "Tidak setuju" Apa maksudmu, Beng-te?"
"Ketika aku dan adikku pulang dahulu itu, kami berdua langsung menyatakan
isi hati kami kepada ayah dan ibu. Dalam hal pilihan hati, ayah sama sekali
memberi kebebasan. Ibu segera menyatakan persetujuannya ketika Eng-moi
menyatakan cintanya kepada Cia Bun Houw, bahkan ibu lalu mengajak kami pergi ke


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cin-ling-pai untuk membicarakan soal jodoh Eng-moi dan Cia Bun Houw itu sehingga
berhasil diterima baik. Akan tetapi ketika aku menyatakan cintaku kepada nona
Yap In Hong, ibu menolaknya!"
Tio Sun menahan senyumnya melihat pemuda itu kelihatan berduka sekali.
Pemuda itu masih demikian kekanak-kanakan! Kedukaannya itu lebih merupakan sikap
merajuk dan "ngambek" kepada ibunya!
"Menolak bagaimana maksudmu, Beng-te?"
"Aku minta agar ibu juga mengurus perjodohanku dengan nona Yap In Hong, akan
tetapi ibu keberatan."
"Mengapa?" "Pertama, karena tadinya kami belum tahu siapa sebenarnya nona itu, hanya
tahu sebagai penolongku yang bernama nona Hong. Dan kedua, karena ibu mendengar
dari Eng-moi bahwa nona itu lebih tua kira-kira dua tahun dari aku. Akan tetapi,
dalam hal cinta, apa artinya perbedaan usia" Ayah sendiri mengatakan bahwa hal
itu sebenarnya bukan merupakan soal yang besar, hanya ayah setuju dengan ibu
bahwa kami harus mengenal dulu siapa sebenarnya nona itu. Ketika kemarin,
setelah mendengar darimu bahwa Yap In Hong adalah adik dari Yap Kun Liong, ibu
lebih-lebih merasa tidak setuju lagi."
"Hemm... mengapa pula?"
"Kata ibu, Yap Kun Liong adalah sababatnya yang sebaya. Setelah kini nona
Hong tidak mempunyai orang tua, jelas bahwa kami harus melamar kepada Yap Kun
Liong sebagai wali gadis itu. Dan ibu merasa malu dan sungkan kalau harus
melamar adik sahabatnya itu untuk menjadi calon mantunya. Akan tetapi aku tahu
bahwa keberatan itu yang terutama adalah soal perbedaan usia. Menurut ibu,
seorang calon suami haruslah lebih tua daripada calon isteri."
"Siapa yang mengharuskan, Beng-te?"
"Entahlah, akan tetapi begitulah kata ibu. Pendeknya, ibu menolak dan hatiku
hancur, twako." Tio Sun tersenyum, senyum yang pahit. Betapa banyaknya manusia yang
dipermainkan oleh cinta! Betapa banyaknya kisah duka ditimbulkan oleh cinta yang
sepihak. Dia sendiri jatuh cinta kepada Kwi Eng, namun dara itu sebaliknya
mencinta Bun Houw, bahkan telah terikat sebagai calon jodoh pemuda Cin-ling-pai
itu. Dia menderita karena cinta sepihak. Sedangkan Kwi Beng jatuh cinta kepada
gadis yang lebih tua dari padanya dan biarpun belum diketahui apakah gadis yang
dicintanya itu akan menerima atau membalas cintanya ataukah tidak, namun ibunya
tidak menyetujuinya! Apakah Kwi Beng juga akan menderita cinta yang gagal"
"Aku merasa ikut berduka mendengar keadaanmu, Beng-te. Akan tetapi apa
maksudmu ketika mengatakan tadi bahwa hanya aku yang dapat menolongmu?"
Pemuda yang usianya baru tujuh belas tahun itu memegang lengan Tio Sun dan
memandang dengan matanya yang biru, penuh permohonan. "Twako, sudikah twako
menolongku?" Tio Sun merasa terharu. Mata itu sama benar dengan mata Kwi Eng dan ketika
pemuda ini memegang lengannya dan mengajukan permohonan itu, seolah-olah dia
menghadapi Kwi Eng sendiri yang memohon pertolongan kepadanya!
"Tentu saja, Beng-te. Jangan khawatir, aku selalu siap untuk menolongmu.
Akan tetapi dalam hal ini, bagaimana mungkin aku dapat menolongmu?"
"Aku mohon engkau suka menjadi waliku twako! Ibu tidak mau melamarkan nona
Yap In Hong, biarlah engkau yang menjadi waliku dan melamarkan untukku kepada
kakak nona itu, yaitu kepada pendekar Yap Kun Liong."
"Ahhh...?" Tio Sun terkejut sekali, tidak menyangka bahwa pemuda ini akan
mengajukan pormintaan seperti itu. "Mana mungkin, Beng-te" Ayah bundamu masih
ada, bagaimana aku berani lancang..."
Dan tiba-tiba Kwi Beng menjatuhkan diri berlutut di depan Tio Sun! "Kalau
twako tidak mau menolongku, habislah harapanku..." katanya dengan suara seperti
orang hendak menangis. Tio Sun cepat membangunkan pemuda itu. "Duduklah, Beng-te dan mari kita
bicara dengan baik dan dengan tenang."
"Akan tetapi twako tidak mau menolongku..."
Baiklah, aku mau menolongmu, akan tetapi hanya atas dasar desakan dan
permintaanmu. Kalau kelak orang tuamu marah kepadaku dan menganggap aku
lancang..." "Aku yang bertanggung jawab dan akan kukatakan bahwa twako melakukan itu
hanya karena desakanku dan permohonan tolong dariku."
Tio Sun merasa terdesak. "Akan tetapi, apakah itu bijaksana kalau langsung
mengajukan lamaran, Beng-te" Apakah tidak lebih baik kalau lebih dulu diadakan
pendekatan dari fihakmu kepada gadis itu" Sebaiknya mengukur isi hatinya lebih
dulu, apakah kiranya dia akan mau menerimanya, sehingga dengan demikian tidak
sampai kelak hatimu patah karena penolakan dari fihaknya."
"Tidak, tidak! Kalau terlambat, tentu ibu akan mendahului kita, mencarikan
jodoh untukku, karena Eng-moi juga sudah terikat jodoh dengan calon suaminya.
Dan kalau aku sudah diikat jodoh dengan orang lain, sampai bagaimanapun tentu
ibu akan menghalangi aku berjodoh dengan nona Yap In Hong. Mengingat bahwa kakak
nona itu adalah sahabat baik ayah dan ibu, yaitu menurut penuturan ibu, agaknya
lamaran itu tidak akan ditolaknya. Dan tentang nona Yap In Hong sendiri, kurasa
diapun... eh, cinta padaku. Buktinya dia telah menyelamatkan nyawaku dari tangan
Hui-giakang Ciok Lee Kim dan sikapnya terhadapku baik sekali."
"Hemm, Beng-te. Pertolongan adalah kewajiban setiap orang gagah dan sama
sekali tidak boleh dimaksudkan sebagai tanda cinta, demikian pula sikap yang
baik belum tentu membayangkan cinta."
"Aku yakin bahwa kita tidak akan gagal, twako. Akan tetapi kalau kaupikir
lebih dulu menemui nona itu, akupun setuju. Pendeknya, aku ingin pergi dari sini
untuk mendahului ibu. Aku akan menemui nona Hong, akan tetapi untuk mengajukan
lamaran kepada kakaknya, aku mengharapkan bantuanmu, twako. Dan aku minta agar
twako suka menemaniku pergi besok pagi."
"Ehh..." Tentu orang tuamu akan melarang."
"Tidak! Aku tidak akan berterus terang. Twako bilang saja terus terang bahwa
twako hendak pergi ke kota raja dan aku akan ikut untuk meluaskan pengalaman dan
pengetahuan." Tio Sun menarik napas panjang. "Ahhh... engkau menarik aku dalam keadaan
amat tidak enak terhadap orang tuamu, Beng-te."
"Tidak, twako. Aku yang bertanggung jawab akan hal itu. Kalau twako berpamit
dan berkata hendak pergi ke kota raja, berarti twako tidak membohongi mereka,
karena bukankah nona Hong kabarnya berada di sana" Dan aku ikut pergi bersama
twako, apa salahnya itu?"
Akhirnya Tio Sun tak dapat mengelak lagi karena diam-diam dia merasa kasihan
juga kepada pemuda remaja ini. Pula, diapun tidak ingin terlalu lama tinggal di
Yen-tai, karena makin lama dia berkumpul dengan Kwi Eng, makin beratlah
penderitaan dan kekecewaan hatinya. Kalau sudah jelas bahwa nona itu bukan
jodohnya, lebih baik secepat mungkin pergi dan sejauh mungkin agar tidak usah
berjumpa lagi dengan dara yang dicintanya akan tetapi yang menjadi milik orang
lain itu. Ketika Tio Sun berpamit kepada Yuan de Gama dan isterinya, juga kepada Souw
Kwi Eng, mereka menyatakan sayang bahwa pemuda itu tidak tinggal lebih lama
lagi, akan tetapi mereka tidak berani menahan, dan mengucapkan selamat jalan.
Namun, ketika Kwi Beng minta perkenan orang tuanya untuk ikut bersama Tio Sun ke
kota raja untuk meluaskan pengetahuan dan orang tuanya tidak keberatan karena
mereka percaya penuh atas bimbingan Tio Sun kepada putera mereka, Kwi Eng yang
rewel! "Aku juga ikut...!" katanya manja.
"Maria, engkau seorang gadis dewasa, kurang leluasa dan kurang baik untuk
pergi jauh menempuh perjalanan sukar tanpa orang tuamu!" kata Yuan de Gama
mencegah. "Dan kau harus ingat bahwa engkau telah terikat sekarang, Kwi Eng. Bagaimana
kalau ada utusan dari Cin-ling-pai datang dan engkau tidak berada di rumah"
Alangkah akan mengecewakan dan membuat kami menjadi malu."
Diingatkan akan hal ini, reda kekecewaan Kwi Eng dan akhirnya dua orang
pemuda itu berangkat meninggalkan Yen-tai menuju ke kota raja. Tidak ada
seorangpun di antara keluarga itu yang tahu betapa beratnya hati Tio Sun ketika
dia melangkah pergi menjauhi dara yang dicintanya itu. Semangatnya seolah-olah
tertinggal di rumah gedung itu, dan telinganya selalu mendengar suara ketawa Kwi
Eng sehingga beberapa kali dia kadang-kadang tidak mendengar kata-kata Kwi Beng
ketika pemuda ini bicara kepadanya.
*** Malam yang gelap. Langit hitam pekat, tidak nampak sebuahpun bintang.
Padahal malam itu sebetulnya adalah giliran bintang-bintang menggantikan bulan
yang tidak muncul di malam hari itu, akan tetapi awan hitam tebal memenuhi
langit. Biar di kota raja sekalipun, tempat tinggal orang-orang yang beruang
dibandingkan dengan orang-orang dusun, lampu-lampu yang digantung di luar rumah
tidak mampu menembus kegelapan yang tebal itu, bahkan penerangan yang
dibandingkan dengan kekuatan malam gelap itu amat lemah mendatangkan bayang-
bayang yang menyeramkan. Hanya di daerah bangunan istana sajalah, di sebelah
dalam lingkungan tembok istana, keadaannya agak terang karena banyaknya lentera
dan lampu besar yang dinyalakan para penjaga keamanan.
Di malam yang gelap itu, yang mengancam dengan hujan, orang-orang menjadi
malas keluar, toko-toko dan restoran-restoran sepi sehingga mereka itu menutup
dagangan mereka sebelum waktunya. Hanya mereka yang mempunyai keperluan penting
sekali, dan laki-laki iseng yang tak betah di rumah dan keluar untuk mencari
hiburan, kaum penjudi, kaum pemabok dan kaum hidung belang saja yang malam itu
masih nampak berkeliaran d luar rumah-rumah yang sudah menutupkan daun pintu dan
jendelanya Seorang laki-laki setengah tua yang mabok jalan sempoyongan di atas jalan
raya, digandeng oleh seorang laki-laki muda yang setengah mabok dengan susah
payah karena si penggandeng itu sendiri pun tidak tetap langkahnya. Keduanya
bernyanyi-nyanyi gembira dan memang orang yang mabok dapat merasakan kegembiraan
yang luar biasa, karena dalam keadaan terbius oleh minuman keras itu segala
macam keruwetan hidup lenyap atau terlupa oleh pikiran sehingga pikiran menjadi
kosong, bebas dan karenanya dapat melihat segala sesuatu tanpa penolakan dan
menimbulkan kegembiraan "Heeeee, manusia-manusia terbang...! Ha-ha, manusia-manusia terbang...!"
Tiba-tiba yang mabok sekali itu berkata sambil menuding ke atas genteng-genteng
rumah di sepanjang jalan raya itu.
"Manusia terbang... heh-heh, ya benar... manusia terbang..." sambung yang
setengah mabok. Orang-orang di dekat mereka memandang sambil tersenyum. Kata-kata orang
mabok, pikir mereka tak acuh. Akan tetapi ada sebagian di antara mereka yang
mempercepat langkahnya agar dapat segera tiba di rumah yang aman. Mereka merasa
ngeri karena bukankah orang mabok itu kadang-kadang dapat melihat lebih awas
daripada orang yang sadar dan tidak mabok" Siapa tahu mereka benar-benar melihat
manusia terbang yang berarti bahwa mereka itu melihat setan dan iblis
berkeliaran di malam gelap itu"
Dan bukan tidak mungkin karena malam itu memang menyeramkan, bahkan setiap
bayang-bayang yang dipantulkan oleh pohon-pohon dan rumah-rumah tersinar
penerangan pucat membentuk iblis-iblis mengerikan.
Akan tetapi kalau kebetulan di atas genteng-genteng rumah itu terdapat
seorang berkepandaian tinggi yang berpandangan tajam, tentu dia akan menyaksikan
keanehan dan bahwa teriakan orang mabok tadi bukanlah penglihatan khayal belaka
karena sesungguhnya memang terdapat dua bayangan manusia yang seolah-olah
terbang saja di atas genteng-genteng rumah itu. Gerakan mereka demikian cepatnya
sehingga seperti dua ekor kucing berlari-larian dia atas genteng-genteng itu,
tanpa menimbulkan suara dan mereka menuju ke arah istana!
Ketika dua bayangan yang benar-benar memiliki kegesitan dan keringanan tubuh
luar biasa itu tiba di luar tembok istana, mereka mendekam dan menanti dengan
penuh kewaspadaan. Sudah tentu saja banyak terdapat penjaga dan peronda di luar
tembok istana itu. Pintu gerbang istana sudah ditutup rapat-rapat dan dijaga
oleh belasan orang pengawal luar. Di atas menara di ujung tembok juga terdapat
pengawal yang mengawasi ke arah sekeliling tempat itu. Kemudian secara
bergiliran masih diadakan perondaan, dan sekali meronda terdiri dari enam orang
bersenjata tombak dan memegang lentera yang terang.
Bayangan yang berpakaian putih dan mukanya hitam, tubuhnya kecil dan agak
pendek, memberi isyarat kepada kawannya yang berpakaian hitam dan bermuka putih,
menudingkan telunjuk tangannya yang kecil ke arah menara. Si muka putih
mengangguk, dan diapun menunjuk ke arah enam orang peronda yang datang dari
depan. Keduanya mengangguk. Agaknya tanpa kata-kata mereka sudah saling mengerti
dan kini si muka hitam merunduk ke depan, setengah merangkak seperti seekor
harimau mengintai korban mendekati menara. Setelah dekat, dia memandang ke atas,
ke arah dua orang penjaga yang berdiri di menara, hanya kelihatan tubuh bagian
atas, dari dada sampai ke pundak dan tangan mereka memegang sebatang busur
sedangkan segebung anak panah tersandang di pundak. Mereka berdua adalah ahli-
ahli panah yang dapat menyerang setiap orang pengacau dari atas dengan anak
panah mereka. Sementara itu, si muka putih menggunakan kedua tangannya, mengangkat sebuah
batu besar, sebesar perut kerbau hamil. Seperti dikomando saja, pada saat si
muka hitam menggerakkan tangannya dan sinar mengkilat menyambar ke arah menara,
si muka putih melontarkan batu besar itu jauh ke depan, ke arah yang berlawanan
dengan menara. Terdengar suara pekik dua orang penjaga di menara yang roboh di
tempat penjaga mereka dengan leher tertusuk pisau hitam! Akan tetapi pekik ini
tertutup oleh suara berdebuk yang amat keras dibarengi suara berkerosakan ketika
sebongkah batu besar itu menimpa pohon, menumbangkan batang pohon dan jatuh
berdebuk ke atas tanah. Enam orang peronda itu terkejut sekali dan cepat memburu
ke depan, sama sekali tidak mendengar pekik dua orang penjaga di menara, juga
sama sekali tidak tahu bahwa begitu mereka lari ke arah pohon tumbang, ada dua
bayangan melesat ke atas tembok istana dengan keringanan tubuh yang luar biasa
dan sekejap mata saja bayangan dua orang itu lenyap ke sebelah dalam tembok
istana! Kalau orang melihat ke atas menara penjaga dan melihat betapa dua orang
penjaga itu tewas dengan muka mereka menjadi hitam mengerikan, maka dia akan
tahu bahwa dua orang luar biasa itu benar-benar memiliki kepandaian yang
mengerikan dan bahwa pisau yang menghunjam ke leher dua orang penjaga itu adalah
pisau-pisau beracun yang keji.
"Kenapa tidak diambil dulu dua hui-to (golok terbang) itu?" si muka pucat
berbisik ketika kedua orang itu menyelinap ke dalam taman istana, bersembunyi di
balik semak-semak. "Nanti saja kembalinya, biar kenyang dulu menghirup darah segar, hi-hik!"
bayangan kedua yang bermuka hitam terkekeh. "Pula, masih ada belasan batang lagi
padaku, cukup untuk menghadapi pengawal-pengawal istana."
"Jangan banyak main gila, Mo-li. Kedatangan kita hanya untuk membunuh Ceng
Tung dan secepat mungkin kita harus pergi dari sini."
"Baik, Mo-ko. Memang kaisar jahanam itu harus kita bunuh, hanya sayang kalau
kita tidak dapat mengambil satu dua buah pusaka kerajaan yang hebat."
Keduanya mendekam dan menahan napas ketika berkelebat bayangan orang yang
cukup gesit gerakannya. Bayangan ini adalah bayangan seorang pengawal Kim-i-wi,
yaitu Pengawal Baju Emas yang merupakan pengawal-pengawal bayangan, atau yang
melakukan tugas penjagaan keemasam secara rahasia dan mereka ini memang terdiri
dari orang-orang yang berilmu dan pandai ilmu silat.
Siapakah adanya dua orang yang begitu berani mati memasuki daerah istana
dengan jalan membunuh penjaga menara dan meloncat ke tembok pagar istana secara
demikian lihainya" Melihat orang yang bermuka putih seperti kapur itu berpakaian
hitam, sebaliknya yang bermuka hitam seperti arang itu berpakaian putih, sungguh
amat menyeramkan dan seperti bukan manusia saja!
Dan memang sesungguhnyalah. Mereka itu setengah manusia setengah iblis!
Mereka ini bukan lain adalah Pek-hiat Mo-ko (Iblis Jantan Berdarah Putih) dan
Hek-hiat Mo-li (Iblis Betina Berdarah Hitam). Seperti telah dituturkan di bagian
depan, Pek-hiat Mo-ko yang bermuka putih dan Hek-hiat Mo-li yang bermuka hitam
itu adalah dua orang tokoh lihai yang datang dari Negeri Sailan. Ketika dahulu
Panglima Besar The Hoo memimpin bala tentara menjelajah ke pelbagai negeri
tetangga, di Sailan Panglima The Hoo yang sakti pernah berhadapan dan bertanding
melawan dua orang jagoan Sailan ini. Pukulan-pukulan beracun dari mereka berdua,
ketika bertemu dengan The Hoo, tidak ada gunanya bahkan membalik dan meracuni
diri mereka sendiri, membuat mereka nyaris tewas dan biarpun mereka akhirnya
tertolong, namun muka mereka yang tadinya normal kini berobah seperti iblis,
yaitu yang laki-laki mukanya menjadi seperti kapur sedangkan yang wanita mukanya
menjadi seperti arang. Hal ini adalah karena racun yang mereka pergunakan
melawan The Hoo, hawanya membalik den meracuni diri mereka sendiri.
Dengan dendam yang meluap-luap di dalam hati, dua orang ini memperdalam ilmu
mereka sambil bertapa di puncak-puncak pegunungan utara. Kemudian, setelah
merasa bahwa mereka sanggup menandingi The Hoo, keduanya turun gunung dan karena
maklum bahwa The Hoo adalah seorang panglima besar yang selain memiliki
kepandaian tinggi juga terlindung oleh pasukan yang puluhan laksa jumlahnya,
maka mereka mendekati dan mengangkat murid kepada Raja Sabutai. Mereka


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menurunkan ilmu kepada Raja Sabutai den mengharapkan bahwa melalui bala tentara
Sabutai, mereka akan dapat menyerbu ke selatan, kalau mungkin menduduki Kerajaan
Beng-tiauw dan dengan demikian mereka akan dapat berhadapan dengan The Hoo tanpa
bahaya dikeroyok puluhan laksa perajurit Kerajaan Beng!
Karena harapan-harapan inilah maka mereka bersabar saja menyaksikan semua
gerak-gerik dan usaha murid mereka, bahkan merekapun tidak ambil perduli melihat
isteri Sabutai oleh murid mereka itu "diserahkan" kepada Kaisar Ceng Tung hanya
karena Sabutai menghendaki seorang anak keturunan dari kaisar itu, karena dia
sendiri tidak mempunyai keturunan! Sebetulnya, hal ini amat menyakitkan hati dua
orang itu, namun karena mereka mempunyai dendam dan rencana yang lebih basar,
maka mereka juga tidak menegur murid mereka.
Akan tetapi, ketika Sabutai merobah siasat dan agaknya mau berdamai dengan
kaisar, bahkan hendak menarik mundur tentaranya yang tadinya sudah berhasil maju
sampai ke pintu gerbang kota raja, hati dua orang kakek den nenek itu kecewa
bukan main. Maka mereka lalu hendak berusaha sendiri untuk membalas dendam.
Mereka kini sudah mendengar bahwa musuh besar mereka, The Hoo, telah meninggal
dunia. Maka mereka hendak menumpahkan dendam mereka kepada para pembantu dan
para sahabat The Hoo dan satu di antaranya yang paling terkenal adalah Cia Keng
Hong, ketua Cin-ling-pai. Karena itulah maka mereka menahan Siang-bhok-kiam
dengan maksud memancing Cia Keng Hong datang ke tempat mereka untuk dibunuh
sebagai wakil The Hoo! Kalau di waktu Sabutai mengadu kepandaian para tokoh yang bermusuhan kedua
orang ini tidak turun tangan membunuh Cia Bun Houw dan Yap In Hong adalah karena
mereka masih segan terhadap murid mereka sendiri yang tentu saja dibantu oleh
ribuan orang pasukan, pula mereka tidak ingin bermusuhan dengan murid mereka
sendiri. Selain itu, melihat pukulan Thian-te Sin-ciang yang dilakukan oleh Bun
Houw, kemudian mereka melihat pula pukulan sakti itu pula dipergunakan oleh In
Hong biarpun belum sempurna, mereka berdua agak jerih. Bukan jerih menghadapi
orang-orang muda itu, melainkan jerih kalau-kalau pendeta Kok Beng Lama juga
akan muncul! Padahal, mereka sedang melatih diri dan belum selesai dengan
latihan itu, latihan kekebalan yang akan sanggup menghadapi Thian-te Sin-ciang
atau pukulan apapun juga!
Setelah Sabutai mengundurkan diri, merekapun meninggalkan murid itu dan
membawa Siang-bhok-kiam menuju ke Lembah Naga di tepi Sungai Luan-ho yang berada
di kaki Pegunungan Khing-an-san, di luar tembok besar. Di sini mereka
melanjutkan latihan mereka dengan tekun sampai akhirnya mereka berhasil dengan
ilmu mereka yang baru, yaitu ilmu kekebalan yang amat luar biasa, yang hanya
mampu dikuasai oleh orang-orang yang darahnya beracun seperti mereka! Setelah
menguasai ilmu ini, barulah mereka menjadi berani dan untuk melampiaskan dendam
mereka tanpa mengharapkan bantuan pasukan Sabutai yang telah berbaik dengan
Kerajaan Beng, mereka mencari gara-gara dan hendak membikin kacau Kerajaan Beng
dengan membunuh Kaisar Ceng Tung! Pertama-tama mereka hendak lakukan ini untuk
menghukum kaisar yang mereka anggap telah merendahkan dan menghina murid mereka
dengan menjinai isterinya, dan kedua untuk memancing agar para Panglima Beng-
tiauw mencari mereka untuk mereka bunuh semua. Demikianlah rencana pembalasan
mereka terhadap Panglima The Hoo yang sudah tidak ada lagi itu.
Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li masih mendekam di balik semak-semak untuk
meneliti keadaan. Beberapa kali mereka melihat berkelebatan pengawal Kim-i-wi
dan setiap kali mereka ini meronda lewat di taman itu, paling banyak mereka
hanya berdua, bahkan kadang-kadang hanya seorang saja. Di samping mereka, ada
pula pengawal-pengawal biasa yang meronda bergerombol enam orang membawa lentera
dan kentongan. Mereka berunding sebentar setelah menghitung jarak waktu antara perondaan
para pengawal Kim-i-wi. Mereka bersiap-siap, berindap-indap mendekati lorong
kecil yang selalu dipakai oleh pengawal-pengawal Kim-i-wi yang meronda. Tak lama
kemudian, tepat pada waktu seperti yang mereka perhitungkan, berkelebat dua
bayangan pengawal Kim-i-wi dan dua orang kakek dan nenek itupun menerkam dari
balik semak-semak pohon kembang. Dua orang Kim-i-wi terkejut sekali, berusaha
mengelak dan menangkis, namun bagi kakek dan nenek itu, gerakan mereka terlampau
lamban dan jari-jari tangan kakek dan nenek iblis itu telah menusuk masuk ke
dalam leher dua orang Kim-i-wi itu sehingga mereka itu tewas tanpa dapat
mengeluarkan suara lagi. Mayat mereka lalu dilempar ke dalam semak-semak dan dua
orang kakek dan nenek itu cepat berlari meninggalkan taman menuju ke bangunan-
bangunan istana, tidak berani meloncat naik melainkan mendekam di dalam bayangan
gelap menanti kesempatan selanjutnya.
Sementara itu, di dalam kamarnya, In Hong masih duduk membaca buku. Setelah
berada di dalam istana, dia memperoleh kesempatan banyak untuk membaca, karena
di situ tersedia banyak sekali buku-buku kuno yang amat menarik hatinya. Dia
dahulu diajar membaca oleh gurunya dan hanya sedikit memperoleh kesempatan
membaca, dan baru sekarang dia memperoleh kesempatan, dan karena dia leluasa dan
boleh keluar masuk di seluruh bagian istana, maka dia dapat pula memasuki gedung
perpustakaan untuk memilih buku yang disukainya.
Karena dia memang kurang pekerjaan selama tinggal di istana, maka dia banyak
membaca dan mulailah terbuka hati dan pikiran In Hong betapa selama ikut dengan
gurunya dia telah hidup secara liar dan betapa ganasnya watak gurunya dan para
anak buah Giok-hong-pang. Banyak hal-hal di dalam kitab-kitab yang ditemukan dan
yang menyadarkan pikirannya, membuat dia sering kali termenung dan mulailah dia
merasa menyesal akan pengaruh-pengaruh yang ditanamkan gurunya ke dalam dirinya
sehingga dia dahulu membenci dan menjauhkan diri dari kakaknya. Sekarang dia
melihat betapa kakaknya telah mengalami derita kehidupan yang hebat, selain
kematian isterinya yang tercinta, kehilangan puterinya, juga adik kandung yang
dicari-carinya itu setelah bertemu bersikap jauh daripada manis kepadanya. Dia
merasa girang bahwa dalam pertemuan terakhir dengan kakaknya itu dia telah
memperlihatkan sikap manis.
Tiba-tiba terdengar kentongan dipukul bertalu-talu, tanda bahwa ada bahaya
mengancam di istana! Tanda bahaya ini dibunyikan oleh para penjaga dan pasukan
Kim-i-wi yang menemukan mayat-mayat di atas menara penjaga dan di dalam taman.
Gegerlah seluruh istana! Mendengar tanda bahaya ini, In Hong melempar buku yang dibacanya ke atas
meja, sekali tangannya bergerak dia memadamkan lampu-lampu dan lilin-lilin
penerangan di kamarnya kemudian dia meloncat keluar melalui jendela dan langsung
menuju ke istana di mana terdapat kamar kaisar! Yang lain-lain dia tidak
perduli, akan tetapi keselamatan kaisa harus dijaganya. Karena itulah dia berada
di istana, dan dia diangkat menjad Puteri Pelindung Kaisar! Dengan gerakan
seperti seekor burung walet cepat dan ringannya, In Hong berloncatan dan tidak
memperdulikan para anggauta pasukan Kim-i-wi yang berebutan dengan panik. Dia
langsung berlari ke arah kamar kaisar. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya
ketika dia melihat mayat-mayat berserakan di depan kamar kaisar, mayat mayat
para pengawal Kim-i-wi yang bertugas jaga di sekitar tempat itu, bahkan kini dia
mendengar suara orang bertempur di depan kamar itu! Karena tempat itu agak
gelap, dia hanya melihat dua bayangan dikeroyok oleh lima orang Kim-i-wi, maka
karena dia khawatir akan keselamatan kaisar, In Hong cepat melompat dan sambil
melompat dia mendorong jendela kamar. Pada saat itu, dia mendengar pekik
beruntun dan lima orang Kim-i-wi itu roboh semua sedangkan dua bayangan itu
telah menerjang pintu kamar kaisar!
"Sing-sing-singgg...!" Tampak sinar-sinar berkelebatan ke arah kaisar yang
duduk dengan tenang di atas pembaringan. Melihat ini, In Hong cepat menubruk ke
depan, kedua tangannya bergerak dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dan
tiga batang pisau terbang runtuh ke atas lantai, patah-patah!
"Sri baginda, cepat lari...!" In Hong berseru kaget ketika mengenal bahwa
yang masuk melalui pintu kamar yang sudah terbongkar itu bukan lain adalah dua
orang kakek dan nenek guru Sabutai, yaitu Pek-hiat Mo-ko den Hek-hiat Mo-li yang
dia tahu amat lihai itu. Maka dia cepat menghadang di tengah kamar dan berteriak
agar kaisar melarikan diri.
"Heh-he-he, kiranya engkau adalah bocah Yap itu. Jangan kira aku takut
menghadapi pukulanmu itu!" Hek-hiat Mo-li terkekeh dan menubruk ke depan,
kukunya yang panjang mencengkeram ke arah dada In Hong. Cengkeraman ini cepat
dan kuat sekali, dan jelas bahwa kuku-kuku panjang itu mengandung racun yang
berbahaya. Akan tetapi In Hong yang mengkhawatirkan keselamatan kaisar, tidak
melayani nenek ini melainkan cepat dia meloncat ke arah kaisar yang telah
ditubruk oleh kakek muka putih itu dengan pukulan dahsyat, sedangkan kaisar
hanya diam saja seolah-olah menanti datangnya maut!
"Desss...!" Tubuh In Hong terlempar ketika dia menangkis pukulan dahsyat
itu, akan tetapi si kakek muka putih juga terjengkang.
"Sri baginda, cepat lari...!" In Hong berseru lagi. Akan tetapi kaisar yang
duduk di atas pembaringan itu tidak bergerak, enak-enak saja sehingga In Hong
makin bingung dan cepat dia meloncat ke depan kaisar dan menangkis hantaman Hek-
hiat Mo-li. "Dukkkk!" Kembali tubuh In Hong terlempar dan bergulingan sedangkan tubuh
nenek itupun roboh bergulingan. Ternyata bahwa kalam melawan kakek itu tenaga In
Hong kalah kuat setingkat, akan tetapi melawan nenek itu tenaga mereka seimbang!
Hanya kagetnya, agaknya dua orang kakek den nenek itu tidak terpengaruh oleh
tangkisan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang yang telah
dilatihnya dengan hebat selama ini! Agaknya mereka memiliki kekebalan terhadap
hawa pukulan sakti itu. Selagi In Hong meloncat bangun, dia telah diserang oleh kakek muka putih
dengan pukulan-pukulan yang dahsyat. Terpaksa dia mengelak ke sana-sini dan
kadang-kadang menangkis, akan tetapi kini kaisar tidak terlindung sama sekali.
"Lari...! Lari...!" teriaknya, akan tetapi kaisar itu tetap saja duduk dan
nenek muka hitam sudah menghantamkan tangan kirinya yang ampuh ke arah kepala
kaisar. "Celaka...!" In Hong berteriak ngeri.
"Krakkk!!" Kepala kaisar itu pecah berantakan dan dari dalam kepalanya
menyambar belasan jarum dan paku-paku ke arah pemukulnya, si nenek itu.
"Aihhhh...!" Nenek itu terkejut dan cepat melempar tubuh ke belakang, namun
tetap saja sebatang jarum memasuki mata kirinya membuat dia menjerit-jerit
kesakitan dan marah sekali! Kiranya "kaisar" itu hanya sebuah patung mirip
kaisar yang duduk di pembaringan dan di dalam kepalanya terkandung senjata-
senjata rahasia itu! Sesungguhnya robot macam itu adalah hasil ciptaan mendiang
Panglima The Hoo dan sejak dulu setiap orang kaisar memilikinya beberapa buah
untuk menyelamatkan diri. Tadi, begitu mendengar suara ribut-ribut dan tanda
bahaya, kaisar sudah menyelinap dan menyembunyikan diri di kamar rahasia,
meninggalkan robot itu di kamarnya dan sekarang, robot ciptaan mendiang Panglima
The Hoo itu masih mampu melukai seorang nenek selihai Hek-hiat Mo-li. Biarpun
orangnya sudah meninggal dunia, namun ciptaannya masih sedemikian hebatnya, maka
dapat dibayangkan betapa tinggiliya tingkat kepandaian panglima yang disohorkan
orang seperti dewa saktinya itu!
"Para panglima, hayo bantu Puteri Pelindung Kaisar!" Terdengar suara kaisar,
dan kakek bersama nenek itu bingung karena suara ini terdengar dari mana-mana,
dari atas bawah depan belakang dan kanan kiri dan mereka mengenal suara kaisar
ini! In Hong girang bukan main melihat bahwa yang dipukul hancur kepalanya itu
hanya sebuah arca, maka sambil tersenyum dia berkata, "Kakek nenek iblis, kalian
telah gagal!" Bukan main marahnya nenek Hek-hiat Mo-li. Matanya yang kiri masih terasa
nyeri bukan main biarpun dia telah mencabut jarumnya dan mata itu tentu buta.
"Keparat jahanam, engkau yang menggagalkan kami!"
"Dia Puteri Pelindung Kaisar" Hemm, kita tangkap saja dia!" Pek-hiat Mo-ko
berseru marah dan nenek itu sudah mendahului menubruk ke arah In Hong.
"Dessss!" In Hong menyambutnya dengan pukulan Thian-te Sin-ciang dan biarpun
nenek itu menangkisnya, namun pukulan itu tepat mengenai pundak nenek itu. Nenek
itu terpelanting roboh akan tetapi meloncat bangkit kembali.
In Hong terbelalak, hampir tidak percaya. Pukulannya tadi hebat sekali dan
biarpun dia sendiri mengenal ilmu kekebalan yang bernama Tiat-po-san (Baju
Besi), namun ilmu kekebalannya pasti tidak akan mampu menghadapi pukulan yang
dilakukan dengan Ilmu Thian-te Sin-ciang. Akan tetapi nenek ini yang terkena
pukulan pada pundaknya, seolah-olah tidak merasakan sesuatu dan sudah mencelat
bangun kembali. Maklumlah dia bahwa nenek ini memiliki kekebalan luar biasa dan
andaikata tadi jarum dari dalam kepala area itu tidak tepat memasuki mata,
agaknya juga tidak akan melukai nenek itu.
"Heh-heh-heh, itukah pukulan dari si Lama keparat" Kami tidak takut, heh-
heh!" nenek itu tertawa dan Pek-hiat Mo-ko kini menubruk untuk menangkap In
Hong. Tentu saja In Hong tidak sudi ditangkap dan ketika kakek itu menubruk, dia
cepat mengerahkan seluruh tenaganya dan menghantamkan kedua tangannya beruntun
ke arah dada dan lambung kakek itu.
"Dukk! Desss!" Pukulan Thian-te Sin-ciang menggetarkan kamar itu dan tepat
mengenai dada dan lambung, akan tetapi kakek itu sama sekali tidak menangkisnya,
malah cepat menangkap dua pergelangan tangan In Hong yang tak sempat mengelak
karena kedua lengannya ditangkap pada saat sedang memukul tadi.
"Plakkk!" Sebelum In Hong sempat melepaskan kedua lengannya, tengkuknya
disambar oleh tangan kiri Hek-hiat Mo-li dan seketika tubuhnya menjadi lemas tak
mampu bergerak. Pada saat itu, belasan orang perwira dan panglima Kim-i-wi berserabutan
masuk dari pintu dan jendela.
"Mo-ko, kaupondong dia!" teriak Hek-hiat Mo-li sambil melemparkan tubuh In
Hong kepada kawannya, Pek-hiat Mo-ko menerima tubuh yang lemas itu dan
memanggulnya, kemudian dia bersama kawannya menerjang ke depan, ke arah para
perwira Kim-i-wi yang mengepung dengan pedang di tangan.
"Awas, jangan sampai mengenai tubuh Puteri Pelindung Kaisar!" teriak seorang
panglima dan hal ini benar-benar merupakan rintangan hebat bagi para perwira dan
panglima itu. Dua orang kakek dan nenek itu gerakannya dahsyat sekali dan begitu
mereka menerjang, terdengar pedang berkerontangan dan terlempar ke kanan kiri
disusul robohnya empat orang perwira yang tewas seketika terkena pukulan-pukulan
beracun! Kakek dan nenek itu cepat melompat ke atas genteng.
"Kejar...!" Para perwira itu berloncatan naik dan terjadilah kejar-mengejar
di atas genteng bangunan-bangunan istana yang amat luas itu. Namun gerakan kakek
dan nenek itu memang hebat sekali, gin-kang mereka jauh lebih sempurna daripada
para perwira Kim-i-wi sehingga mereka cepat menghilang ke arah tembok istana.
"Jangan lepas senjata rahasia atau anak panah! Jangan! Yap-lihiap
dipondongnya, jangan sampai terkena dia sendiri!"
"Jangan lukai Puteri Pelindung Kaisar!"
Karena teriakan-teriakan ini, maka para penjaga yang sudah siap dengan
barisan anak panahpun tidak berani menggunakan anak panah dan hanya para
panglima yang berkepandaian tinggi saja menyambitkan senjata-senjata rahasia
mereka ke arah kaki kedua orang itu, namun dengan mudah kakek dan nenek itu
mengelak atau menendangi senjata-senjata rahasia yang menyambar kaki mereka
bahkan ada pula yang mengenai kaki mereka akan tetapi agaknya tidak mereka
rasakan sama sekali! Melihat bahwa In Hong ternyata merupakan orang penting, Pek-hiat Mo-ko
menjadi girang sekali dan dengan enaknya dia memegang kedua kaki In Hong dan
memutar-mutar tubuh dara itu ketika dia dan temannya keluar dari tembok istana
dan tidak ada seorangpun pengawal yang berani menyerang mereka!
Dengan "perisai" hidup istimewa ini, akhirnya kakek dan nenek itu menghilang
ditelan kegelapan malam dan dapat lolos
dari kota raja dengan amat mudahnya. Yang terdengar hanya suara rintihan dan
keluhan nenek yang mata kirinya buta itu, akan tetapi suara inipun segera
menghilang dan para pengawal sibuk mencari dan mengejar ke sana ke mari tanpa
tujuan tertentu karena bayangan dua orang itu telah lenyap. Peristiwa itu
menggegerkan istana dan ketika kaisar mendengar bahwa In Hong diculik oleh kakek
dan nenek itu, dia marah sekali dan memerintahkan kepada kepala pasukan peng
awal Kim-i-wi yang bernama Lee Cin untuk mengerahkan tenaga pengawal dan mencari
dara itu sampai dapat! Kakek dan nenek itu adalah guru-guru Sabutai!" antara lain kaisar yang marah
itu berkata. "Kami akan mengirim surat kepada Sabutai dan menegurnya. Kalau dia
yang menyuruh kakek dan nenek itu menyerbu ke sini, akan kami gempur dia!"
Peristiwa itu benar-benar mengejutkan dan menggegerkan istana. Bagaimana dua
orang saja, seorang kakek dan seorang nenek yang seperti iblis, dapat memasuki
istana dan membunuh sepuluh orang penjaga dan dua belas orang pengawal Kim-i-wi,
memasuki kamar kaisar dan nyaris membunuh kaisar, bahkan menculik Puteri
Pelindung Kaisar yang mereka kenal sebagai seorang dara yang amat lihai" Sungguh
mengejutkan sekali dan selain Panglima Kim-i-wi Lee Cin yang berusaha mati-
matian untuk mencari jejak dua orang kakek dan nenek itu, juga mulai saat itu
penjapan di istana diperketat, bahkan didatangkan bala bantuan barisan dari luar
kota raja untuk menjaga keamanan di kota raja!
*** Mereka berempat duduk menghadapi meja di luar kamar tahanan itu dan beberapa
kali mereka sambil makan minum memandang ke arah tubuh In Hong yang menggeletak
tak sadarkan diri di atas lantai kamar tahanan. Kamar tahanan itu berukuran tiga
kali tiga meter, seluruhnya terbuat dari dinding baja yang amat kuat dan


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pintunya juga terbuat dari baja tebal dan kokoh, hanya ada jeruji besi sebagai
jalan hawa dan jendela yang lebarnya tak mungkin dipakai meloloskan diri
andaikata jeruji-jeruji itu dapat dipatahkan-patahkan sekalipun. Seekor gajahpun
tak mungkin dapat membobol keluar jika dimasukkan dalam kamar tahanan ini.
"Mo-ko, kenapa kalian berdua dengan Mo-li bersusah payah membawa dara ini ke
sini dan menahannya" Mengapa tidak dibunuh saja bocah yang amat berbahaya itu?"
Hek I Siankouw bertanya dengan nada tidak puas karena sesungguhnya nenek
berpakaian serba hitam ini amat membenci In Hong yang telah menewaskan sahabat
dan kekasihnya, yaitu Hwa Hwa Cinjin.
Pek-hiat Mo-ko tertawa. "Banyak sekali sebab-sebabnya mengapa kami belum
membunuh dia, Siankouw. Coba kami ingin menguji kecerdikan Hek I Siankouw dan
Bouw Thaisu, apakah kalian berdua mengerti dan dapat menebak apa sebab-sebab
itu?" "Karena dia telah menggagalkan kalian membunuh kaisar maka kalian hendak
menyiksanya dulu sebelum membunuhnya!" jawab Hek I Siankouw.
"Ha-ha, itu hanya satu di antara sebab-sebab yang kecil saja," kini Hek-hiat
Mo-li yang berkata. Bouw Thaisu berpikir sejenak, kemudian berkata dengan suaranya yang tenang,
"Kalian hendak memancing datangnya para pembesar Beng-tiauw dengan umpan dara
ini di sini." "Bagus! Memang benar sekali. Masih ada lain-lain lagi!" kata Pek-hiat Mo-ko.
"Aha, setan tua," Hek I Siankouw berkata, "Tentu kau hendak menjadikan dia
semacam sandera agar kau dapat menguasai ketua Cin-ling-pai dan yang lain-lain
kalau mereka muncul."
"Hemm, kami tidak takut menghadapi mereka, tanpa sanderapun! Akan tetapi
pikiranmu itu bagus juga, Siankouw, dan mungkin sekali boleh dipergunakan kalau
perlu." Hek-hiat Mo-ko teringat betapa ketika dia dan Mo-li meloloskan diri dari
istana, kiranya tidaklah akan demikian mudah kalau saja mereka tidak
"dilindungi" oleh keselamatan In Hong. Andaikata mereka tidak membawa lari gadis
itu, agaknya belum tentu mereka akan dapat meloloskan diri dari istana yang
dijaga ketat itu. "Akan tetapi itu semua bukan sebab-sebab yang mutlak."
"Pinto (aku) mengerti sekarang," tiba-tiba Bouw Thaisu berkata setelah berpikir sejenak. "Kalian sudah tahu bahwa nona ini adalah murid
ketua Giok-hong-pang, dan melihat kelihaian nyonya itu, tak dapat disangsikan
lagi bahwa dialah yang dahulu berhasil memperoleh pusaka bokor emas yang
diperebutkan itu. Maka sekarang kalian tentu hendak memaksanya mengaku untuk
mendapatkan pusaka itu!"
Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li saling pandang, agaknya terkejut dan kagum
mendengar tebakan yang memang tepat itu. Kemudian Pek-hiat Mo-ko tertawa dan
menggerak-gerakkan tangannya.
"Ha-ha-ha, memang pantaslah kalau Bouw Thaisu menjadi seorang tokoh
tersembunyi di timur yang amat sakti! Kiranya selain memiliki ilmu kepandaian
tinggi, juga memiliki kecerdasan istimewa. Akan tetapi, apakah kalian berdua
tahu apa hubungan kami dengan bokor emas itu" Apakah kalian yang mungkin dahulu
ikut pula mencari bokor emas tahu akan riwayat bokor emas itu?"
Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw terus terang mengatakan tidak tahu dan memang
sejak pusaka itu diperebutkan orang belasan tahun yang lalu sehingga
menggegerkan dunia kang-ouw, tidak ada orang tahu dari mana asal mulanya pusaka
itu. Yang mereka ketahui hanyalah bahwa Panglima The Hoo kehilangan pusaka bokor
emas yang katanya mengandung harta kekayaan dan ilmu-ilmu silat yang tinggi.
"Ketahuilah bahwa bokor emas itu sesungguhnya adalah milik kami!"
Keterangan ini mengejutkan hati Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw, juga Yap In
Hong yang telah siuman itu ikut mendengarkan sejak tadi dan menjadi kaget dan
heran. Dia diam-diam saja masih rebah terlentang di atas lantai akan tetapi dia
ikut mendengarkan dengan penuh perhatian karena biarpun dia tahu bahwa gurunya
adalah pewaris ilmu-ilmu dari bokor emas itu, namun diapun tidak pernah
mendengar akan riwayat bokor emas itu, bahkan mungkin gurunya sendiripun tidak
mengetahui, karena pernah beberapa kali gurunya menyebut-nyebut bokor emas itu
sebagai milik Panglima The Hoo yang hilang dan diperebutkan dan akhirnya berkat
kecerdikan gurunya, bokor itu terjatuh ke tangan gurunya.
Milik kalian?" Bouw Thaisu yang menjadi terkejut memandang tajam, penuh
kesangsian. Di seluruh dunia kang-ouw telah terkenal bahwa bokor itu milik
Panglima The Hoo, kenapa kini diaku oleh dua orang tokoh yang merupakan orang-
orang asing dari Sailan ini" "Akan tetapi semua orang mengira bahwa pusaka itu
milik mendiang Panglima The Hoo yang dilarikan oleh anak buahnya dan kemudian
lenyap lalu diperebutkan!"
"Benar, akan tetapi tentu engkau belum tahu dari mana The Hoo mendapatkan
pusaka itu, bukan" Dia merampasnya dari kami!"
"Manusia pengecut dan pembohong besar!" Tiba-tiba In Hong tak dapat menahan
kemarahannya mendengar ucapan itu. "Kalian berdua selain pengecut, juga
pembohong! Kalau benar pusaka itu milik kalian, tentu semua isinya yang menjadi
rahasia berada di Sailan, bukan di daratan sini!"
Mendengar ucapan In Hong yang sudah duduk itu, Bouw Thaisu dan Hek I
Siankouw membenarkan. "Memang demikian, Mo-ko!" kata Bouw Thaisu.
"Ha-ha-ha, kau sudah sadar kembali" Wah, Mo-li, engkau menang. Ternyata
racunku itu hanya bertahan membikin dia pingsan tidak lebih dari sepuluh hari!
Eh, Yap In Hong, kau juga ingin mendengarkan tentang bokor emas itu yang
terjatuh ke tangan mendiang gurumu" Nah, dengarkan sebelum engkau menyerahkan
kembali pusaka itu kepada kami yang berhak memilikinya."
Pek-hiat Mo-ko lalu bercerita. Dua orang ini pada puluhan tahun yang lalu
telah menjadi sepasang jagoan di Sailan yang tidak ada tandingannya. Selain
ilmu-ilmu mereka yang tinggi, juga mereka dipercaya oleh Raja Sailan sehingga
mereka memiliki kekuasaan yang besar.
Karena kekuasaan inilah maka mereka berdua dapat menguasai sebuah bokor emas
yang tadinya merupakan pusaka dari gudang pusaka Raja Sailan. Bokor emas ini
dahulu, ratusan tahun yang lalu, ditinggalkan oleh seorang pendeta atau hwesio
sakti yang ikut dalam rombongan ekspedisi yang dikirim oleh Kaisar Kerajaan
Goan-tiauw, yaitu Kerajaan Mongol yang pada waktu itu menguasai Tiongkok, bahkan
yang telah menaklukkan Sailan den semua negara di selatan dan barat. Ketika
hendak mengikuti rombongan ekspedisi sebagai utusan kaisar itu, hwesio sakti ini
meninggalkan harta pusaka dan kitab-kitab ilmu silat miliknya, disembunyikan di
suatu tempat dan ketika dia terserang penyakit hebat dan tahu bahwa dia akan
meninggal dunia di Sailan dia lalu menyuruh buat bokor emas itu dan rahasia dari
harta pusaka peninggalannya dia ukir di sebelah dalam bokor emas itu.
Raja Sailan hanya mengira bahwa bokor emas itu adalah bokor emas biasa akan
tetapi dua orang lihai itu segera tahu bahwa bokor itu mengandung rahasia pusaka
terpendam yang tentu saja berada di Tiongkok. Maka mereka menguasai bokor itu
dan pada waktu itu, Panglima The Hoo dan pasukannya yang mengadakan perjalanan
ekspedisi pula tiba di Sailan. Raja Sailan yang maklum akan kebesaran Kerajaan
Beng-tiauw yang sedang berkembang, menyambutnya dengan baik sehingga tidak
terjadi perang. Akan tetapi, Pek-hiat Mo-ko den Hek-hiat Mo-li yang merasa
penasaran itu lalu minggat dari istana, dan membawa banyak barang-barang pusaka
berharga, di antaranya adalah bokor emas itu!
Mendengar berita ini dari Raja Sailan, Panglima The Hoo menjadi tidak senang
dan segera mengajak beberapa orang pembantunya untuk melakukan pengejaran.
Akhirnya di lereng pegunungan yang sunyi Panglima The Hoo dapat menyusul mereka
den terjadilah pertandingan hebat. Panglima The Hoo yang berwatak gagah itu
melarang para pembantunya mengeroyok dan dia seorang diri menghadapi Pek-hiat
Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dua orang tokoh Sailan yang memiliki banyak ilmu
pukulan beracun itu. Akhirnya, mereka berdua kalah, bahkan hawa beracun dari
pukulan-pukulan mereka membalik dan meracuni diri mereka sendiri. Mereka
melarikan diri meninggalkan semua harta pusaka curian itu, termasuk bokor emas
itu, dan The Hoo tidak mengejar mereka melainkan menyuruh para pembantunya
membawa pusaka kembali ke istana Raja Sailan.
Raja Sailan girang sekali dan menghadiahkan bokor emas itu kepada The Hoo.
Sebagai seorang berilmu tinggi, The Hoo segera mengenal bokor itu sebagai bokor
pusaka yang mengandung rahasia, maka dibawanyalah bokor emas itu pulang ke
Tiongkok. Akan tetapi, seorang di antara para pembantunya yang mendengar akan
rahasia bokor emas, mencurinya dan melarikan bokor itu sehingga akhirnya bokor
itu lenyap di dasar sungai. Berita tentang bokor milik Panglima The Hoo tersebar
luas dan semua tokoh kang-ouw mencari dan memperebutkannya. Semua itu
diceritakan dengan jelas dalam cerita Petualang Asmara dan akhirnya bokor itu
terjatuh ke tangan Yo Bi Kiok. Panglima The Hoo sendiri sampai meninggal dunia
belum pernah mengetahui akan pusaka yang dikandung oleh bokor emas itu, demikian
pula dua orang jagoan Sailan itu.
Tentu saja penuturan Pek-hiat Mo-ko dirubahnya sedikit den dikatakannya
bahwa bokor emas itu adalah milik mereka akan tetapi ketika mereka kalah
bertanding melawan The Hoo, bokor itu dirampas oleh The Hoo!
"Demikianlah," Pek-hiat Mo-ko mengakhiri ceritanya. "Memang kami kalah pada
waktu itu oleh The Hoo, dan dia merampas bokor yang menjadi milik kami.
Sekarang, kami menghendaki kembalinya bokor itu atau lebih tepat lagi,
menghendaki semua pusaka yang ditemukan oleh petunjuk rahasia dalam bokor.
Bukankah itu sudah adil namanya" Bokor itu adalah milik kami!"
"Memang milik kalian kalau begitu," Hek I Siankouw mengangguk akan tetapi
Bouw Thaisu diam saja. "Pek-hiat Mo-ko, engkau sungguh tak tahu malu!" Tiba-tiba In Hong berkata.
"Kau sendiri tadi menceritakan bahwa bokor emas itu bukan milikmu, juga bukan
milik mendiang Panglima The Hoo, melainkan milik seorang hwesio perantau yang
meninggalkannya di Sailan. Berarti tidak ada yang memiliki lagi secara mutlak
atau tidak ada yang berhak lagi. Yang berhak mewarisi adalah dia yang berhasil
memperolehnya, dan karena akhirnya mendiang subo yang memperolehnya, maka
mendiang subo yang berhak."
"Hemm, dan sekarang subomu telah mati, akan tetapi masih ada kau dan kau
menjadi tawanan kami, maka engkau harus mengembalikan semua pusaka itu kepada
kami," kata Hek-hiat Mo-li. "Engkau sudah kalah oleh kami, berarti kami yang
kini berhak merampas pusaka itu."
"Tak tahu malu! Kalian mengeroyokku secara curang, bagaimana bisa bilang
bahwa kalian menang dariku?"
"Eh, eh, bocah sombong! Kaukira aku tidak mampu mengalahkanmu?" Hek-hiat Mo-
li membentak marah. In Hong sudah bangkit berdiri, kepalanya agak pening dan seluruh tubuhnya
terasa kaku saking lamanya dia pingsan, akan tetapi dua orang iblis itu yang
menghendaki dia hidup telah memberinya mekan di waktu dia dalam keadaan setengah
sadar setengah pingsan seperti orang mabok, sehingga kini tenaganya masih tetap
terpelihara. Dia merasa kuat menghadapi lawan, maka kini dia menantang, "Hek-
hiat Mo-li, kalau benar kau gagah, mari kita bertanding satu lawan satu, jangan
menggunakan kecurangan."
"Baik, aku ingin menghajar bocah sombong macammu ini!" Hek-hiat Mo-li sudah
meloncat bangun. "Hati"hati Mo-li, jangan kena dipancing oleh dia. Perlu apa melayani seorang
tawanan yang sudah tidak berdaya lagi?" kata Hek I Siankouw yang maklum betapa
lihainya dara itu. Bouw Thaisu hanya diam saja dan diam-diam dia tertarik karena
dia mendengar berita bahwa kini dua orang iblis ini telah menguasai ilmu yang
amat hebat, yaitu kekebalan yang membuat tubuh mereka tak dapat dirobohkan oleh
pukulan atau senjata yang bagaimana ampuh sekalipun, sehingga mereka seolah-olah
tidak bisa mati! Akan tetapi Pek-hiat Mo-ko mengangguk dan berkata, "Boleh kaucoba
ketangguhanmu terhadap dia, Mo-li. Akan tetapi hati-hati, jangan kaubunuh dia.
Kita masih amat memerlukannya."
"Aku tahu!" jawab Hek-hiat Mo-li dan dia lalu menekan sebuah tombol yang
menghubungkan dengan alat. Kuncinya terbuka dan dengan mudah dia mendorong pintu
kamar tahanan yang terbuat dari baja berat itu terbuka. "Keluarkanlah, bocah
sombong!" In Hong maklum bahwa dia tidak akan mampu meloloskan diri dari tempat ini
sebelum dia mengalahkan empat orang itu, dan dia tidak tahu apakah di luar rumah
besar ini, dari mana dia tidak dapat melihat keluar, tidak terdapat orang-orang
lain yang menjadi kaki tangan mereka. Tentu saja dia tidak mau sembrono mencoba
untuk melarikan diri, karena selain hal itu berbahaya, juga dia tidak sudi kalau
dikatakan takut! Ruangan itu luas dan dengan tenang In Hong lalu berjalan di
tengah ruangan itu, lalu membalikkan tubuh menghadap ke arah mereka sambil
berkata, "Nah, majulah Hek-hiat Mo-li!"
Hek-hiat Mo-li meloncat ke depan In Hong, sejenak dia memandang kepada dara
itu dengan penuh selidik, kemudian dia membentak, "Jaga seranganku ini!" Dan
cepat kedua tangannya bergerak, yang kanan mencengkeram ke arah leher dan yang
kiri menghantam ke arah pusar. Gerakannya dahsyat dan cepat, mendatangkan angin
bersiut, tanda bahwa nenek itu mempergunakan tenaga yang amat kuat. Namun dengan
tenang In Hong menyambut serangan itu, mengelak dari cengkeraman dan tangan
kanannya menangkis pukulan tangan kiri lawan, kemudian tiba-tiba tangan kirinya
bergerak dari samping secara tidak terduga-duga dibarengi suara angin berdesir
kuat. "Desss...!" Itulah pukulan Thian-te Sin-ciang yang amat hebat dan yang tepat
mengenai pangkal lengan nenek itu sehingga tubuh si nenek itu terlempar dan
bergulingan di atas lantai.
Hek I Siankouw bangkit berdiri dan wajah Bouw Thaisu menegang, namun Pek-
hiat Mo-ko sambil tersenyum memberi isyarat agar mereka duduk kembali dan tenang
saja. Mereka melihat nenek bermuka hitam itu ternyata tidak apa-apa dan sudah
meloncat berdiri, lalu menerjang lagi dengan gerakan yang lebih dahsyat dan
lebih cepat, menghujani In Hong dengan serangan-serangannya.
In Hong kagum bukan main. Memang dia sudah menduga bahwa nenek ini memiliki
kekebalan yang amat hebat, sehingga hantaman dengan Thian-te Sin-ciang tidak
merobohkannya. Padahal nenek itu sekarang telah buta mata kirinya, namun
serangan-serangannya masih cepat dan kuat dan kekebalannya agaknya juga tidak
berkurang! Dan melihat betapa serangan-serangan nenek itu berbahaya sekali,
diapun lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk menangkis dan mengelak,
mainkan ilmu silat yang dilatihnya dari gurunya, ilmu silat tinggi yang
gerakannya aneh. Bouw Thaisu yang memperhatikan semua gerakan In Hong, menjadi
kagum. Ada dasar-dasar ilmu silat dari Siauw-lim-pai di dalam gerakan silat In
Hong, akan tetapi telah berubah banyak sekali sehingga dia tidak dapat
mengenalnya. Itulah agaknya ilmu simpanan yang menjadi rahasia dari bokor emas,
pikirnya dan memang hebat ilmu itu. Seorang gadis semuda itu dapat menghadapi
serangan-serangan seganas serangan Hek-hiat Mo-li dengan baik dan hal ini sudah
membuktikan bahwa ilmu silat yang didapat dari pusaka bokor emas itu adalah ilmu
silat pilihan yang tinggi tingkatnya.
"Plakk! Dukk!" Tubuh nenek itu tarhuyung. Dua kali dia terkena pukulan,
pertama tengkuknya kena ditampar dan kedua perutnya kena dihantam oleh In Hong.
Kalau orang lain yang terkena satu saja dari dua pukulan itu tentu roboh, akan
tetapi nenek itu hanya terhuyung, bahkan masih dapat terkekeh mengejek dan
langsung menubruk lagi! In Hong mulai merasa serem! Nenek ini bukan manusia
agaknya! Belum pernah dia mendengar akan kekebalan sehebat itu, apalagi
menyaksikannya! Karena ternyata buhwa ilmu silat yang dimainkan oleh In Hong lebih lihai
sehingga tampak sekali dia menguasai pertandingan itu dan lebih sering dapat
memukul lawan, maka semua orang yang menonton pertandingan itu makin kagum. Pek-
hiat Mo-ko mengelus jenggotnya. Kalau dia dapat menguasai ilmu silat yang
dimiliki gadis itu, pikirnya, maka kelihaiannya akan bertambah hebat dan kiranya
tidak akan ada lagi tandingannya di dunia ini. Biarpun sekarang dia memiliki
kekebalan seperti yang dimiliki nenek itu, namun tanpa ilmu silat tinggi, juga
tidak mudah merobohkan lawan.
Seratus jurus telah lewat dan sudah lebih dari enam kali nenek itu
terpelanting roboh dan terhuyung, namun dia selalu maju lagi dengan makin ganas,
seolah-olah pukulan-pukulan maut itu yang kadang-kadang mengandung Thian-te Sin-
ciang, tidak membuatnya nyeri malah memberinya tambahan tenaga dan semangat! In
Hong menjadi penasaran dan marah. Teringat bahwa mata kiri nenek itu dapat
dibikin buta oleh jarum yang menyambar keluar dari arca kaisar, kini dia
menujukan serangan-serangan ke arah mata kanan nenek itu!
"Aihhh!!" Nenek itu menjerit marah dan Pek-hiat Mo-ko kini mengepal
tinjunya, agaknya diapun terkejut dan siap-siap untuk membantu kawannya.
Betapapun hebat ilmu kekebalan mereka, namun mereka tidak dapat membuat biji
mata mereka kebal! Karena Hek-hiat Mo-li selalu melindungi mata kanannya, maka usaha In Hong
untuk menusuk mata itu dengan jari tangannyapun tidak berhasil. Pukulan-
pukulannya mengenai pipi dan kepala, namun ternyata kepala nenek itupun kebal!
Dengan geram dia lalu mengerahkan Thian-te Sin-ciang di tangan kirinya dan pada
saat yang baik dia lalu menghantam ulu hati nenek itu dengan tangan kirinya yang
terbuka. "Desss... plakkk...!" Tubuh nenek itu kembali terjengkang dan bergulingan
sampai jauh akan tetapi dia segera meloncat berdiri lagi, sedangkan tubuh In
Hong terkulai lemas dam dia roboh karena tadi, ketika dia memukul, nenek itu
sama sekali tidak menangkis melainkan membarengi dengan tamparan tangan kanannya
yang mengenai pundak In Hong. Tamparan itu tidak terlalu hebat, akan tetapi
karena kuku jari tangan nenek itu beracun dan kuku itu menggurat pundak dekat


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

leher, maka In Hong segera menjadi lemas dan pening oleh pengaruh racun.
"Heh-he-he-heh!" Nenek itu meloncat dekat. "Dessss!" Tubub dara itu
ditendangnya sampai terguling-guling.
"Cukup, Mo-li!" Pek-hiat Mo-ko berseru dan dia lalu meloncat, menyambar
tubuh In Hong, membawanya ke pintu kamar dan melemparkan tubuh yang lunglai itu
ke dalam kamar lalu menutupkan pintunya kembali. In Hong rebah miring dan masih
memejamkan matanya karena kepalanya pening.
"Racun itu tidak akan membunuhmu, Yap In Hong, akan tetapi akan menyiksamu
selama tiga hari. Biarlah itu menjadi peringatan bagimu bahwa engkau tidak dapat
mengandalkan kepandaianmu terhadap kami di sini. Baru menghadapi Mo-li seorang
saja engkau sudah tidak berdaya. Dan kami ada berdua, dibantu pula oleh Bouw
Thaisu dan Hek I Siankouw yang ingin sekali membunuhmu untuk membalas kematian
Hwa Hwa Cinjin, dan anak buah kami ada seratus orang berjaga di luar! Biarlah
dalam tiga hari ini kauingat baik-baik agar engkau pertimbangkan permintaan kami
untuk menyerahkan pusaka dari bokor emas itu kepada kami!" Setelah berkata
demikian, Pek-hiat Mo-ko mengajak tiga orang kawannya untuk melanjutkan makan
minum. "Kita harus bersiap-siap," kata Pek-hiat Mo-ko. "Sudah kurang lebih setengah
bulan sejak gadis ini kami larikan dari istana. Mengingat bahwa gadis ini
mempunyai hubungan dengan orang-orang pandai, di antaranya putera ketua Cin-
ling-pai, maka tidak mustahil kalau sekarang mereka itu sudah mulai menuju ke
sini." "Tidak hanya di sini kita harus bersiap-siap," sambung Hek-hiat Mo-li. "Akan
tetapi jalan menuju ke lembah ini hanya melalui Padang Bangkai, maka sebaiknya
kalau kita berpesan kepada majikan Padang Bangkai untuk berjaga-jaga pula dan
cepat mengabarkan kalau ada orang dapat melewati Padang Bangkai dan menuju ke
sini. "Keadaan sudah mulai gawat dan yang kita hadapi nanti adalah orang-orang
pandai," kata Hek I Slankouw. "Maka urusan mengirim pesan kepada majikan Padang
Bangkai biarlah dilakukan oleh muridku."
"Ha-ha-ha, baiklah, Siankouw. Engkau baik sekali bersama muridmu mau
membantu kami dengan sungguh-sungguh."
"Dan ingat, Mo-ko, semua bantuanku ini hanya untuk satu balasan, yaitu
kauserahkan gadis keparat itu kepadaku untuk kupenggal kepalanya dan kupakai
sembahyang di depan kuburan Hwa Hwa Cinjin!" kata nenek berpakaian hitam ini
gemas. "Ha-ha, jangan khawatir. Setelah kami selesai dengan dia pasti akan
kuserahkan kepalanya kepadamu," jawab Pek-hiat Mo-ko.
"Dan pinto membantumu hanya karena pinto hendak menghadapi keluarga Cin-
ling-pai untuk membalas kematian Thian Hwa Cinjin sahabatku," kata Bouw Thaisu.
Hek I Slankouw lalu mengeluarkan suara melengking tinggi dan tak lama
kemudian terdengarlah suara lengking yang sama dan disusul berkelebatnya
bayangan merah. Seorang gadis yang usianya tentu ada dua puluh lima tahun,
bertubuh ramping padat dan wajahnya manis sekali. Gadis ini adalah murid Hek I
Siankouw yang bernama Liong Si Kwi, seorang gadis manis yang sampai berusia dua
puluh lima tahun belum juga menikah karena gurunya menghendaki agar dia menikah
dengan seorang laki-laki pilihan, seorang pangeran atau setidaknya putera
seorang pangcu yang terkenal atau seorang laki-laki yang memiliki kepandaian
lebih tinggi dari gadis itu sendiri, muda dan tampan! Tentu saja sukar sekali
mencari jodoh yang ditentukan nilai-nilainya ini dan banyak sudah pemuda yang
jatuh hati kepada Si Kwi yang manis itu terpaksa mundur teratur sehingga sampai
berusia dua puluh lima tahun, Liong Si Kwi masih perawan dan biarpun di dalam
hatinya dia sudah ingin sekali menjadi isteri orang, namun keinginan ini selalu
ditahannya karena selain malu, diapun takut kepada gurunya yang dalam hal ini
amat galak! "Subo!" kata Si Kwi sambil menjura ke arah gurunya, sikapnya manis dan
gagah, dan sepasang pedang yang bersarung dan bergagang indah terukir itu
tergantung di punggung, gagangnya nampak di kanan kiri pundaknya, menambah
kegagahannya. Pakaiannya sederhana namun terbuat dari sutera merah dan menempel
ketat mencetak tubuhnya yang penuh lekuk lengkung menggairahkan, tanda bahwa dia
adalah seorang wanita yang sudah masak, seperti setangkai bunga atau buah yang
siap untuk dipetik. Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li memandang dengan kagum, sedangkan Bouw
Thaisu mengerutkan alisnya sambil berkata, "Siankouw, apakah bijaksana mengutus
muridmu ini ke Padang Bangkai" Muridmu masih muda dan cantik, dan sepanjang
pendengaran pinto, Ang-bin Ciu-kwi si pemabok dari Padang Bangkai itu sukar
melewatkan seorang wanita muda yang cantik tanpa diganggunya."
"Hemm," Hek I Slankouw mendongkol. "Dia mencari mampus kalau berani
mengganggu muridku, pula, Si Kwi dapat menjaga diri sendiri." Lalu nenek
berpakaian hitam ini bertanya kepada muridnya, "Eh, Si Kwi, beranikah engkau
diutus ke Padang Bangkai menemui Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, majikan-
majikan Padang Bangkai?"
Gadis itu yang tadi mendengar ucapan Bouw Thaisu bahwa si pemabok yang
berjuluk Ang-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Merah) itu suka menggoda wanita muda,
menjadi merah mukanya dan dia meraba kantong di pinggangnya, yaitu kantong yang
terisi senjata rahasianya yang ampuh seperti senjata rahasia gurunya, yaitu Hek-
tok-ting (Paku Racun Hitam), lalu menjawab, "Tentu saja teecu berani, subo."
"Ha-ha-ha, jangan khawatir, anak baik!" kata Hek-hiat Mo-li. "Kalau si
pemabok gila itu hendak mengganggumu, katakan bahwa engkau utusan kami, tentu
dia akan mundur teratur!"
"Liong Si Kwi, kami menerima usul gurumu agar engkau yang menjadi utusan
kami pergi ke Padang Bangkai!" kata Pek-hiat Mo-ko. "Temuilah suami isteri mabok
itu dan katakan bahwa menurut pikiran kami, pada hari-hari mendatang ini tentu
musuh-musuh mulai berdatangan, maka mereka harus bersiap-siap dengan waspada dan
jangan sampai lengah. Pula, andaikata ada lawan yang tangguh mampu melewati
Padang Bangkai, agar mereka secepatnya memberi kabar kepada kami di sini!"
"Baik, locianpwe," jawab Si Kwi dan nona ini melirik ke dalam kamar tahanan,
melihat betapa dara yang ditawan itu duduk bersila sambil memejamkan mata
seperti orang sedang siulian (samadhi). Dara murid Hek I Siankouw ini bukanlah
orang jahat, dan sesungguhnya, Hek I Siankouw sendiripun dahulunya adalah
seorang tokouw yaitu pendeta wanita Agama To yang hidup dengan bersih, bahkan
menjauhkan diri dari dunia ramai. Akan tetapi, dia bersama Hwa Hwa Cinjin
terjebak dalam perangkap nafsu berahi dan mereka itu, seorang pendeta wanita dan
seorang pertapa pria, mengadakan hubungan gelap dan selanjutnya menjadi kekasih.
Karena Hwa Hwa Cinjin adalah sute dari mendiang Toat-beng Hoat-su yang terbunuh
oleh The Hoo, maka diapun terkena bujukan Lima Bayangan Dewa untuk membantu
mereka menghadapi ketua Cin-ling-pai yang terkenal sebagai sahabat The Hoo dan
juga musuh Toat-beng Hoat-su. Ke manapun Hwa Hwa Cinjin pergi, apalagi
menghadapi urusan berbahaya, tentu saja Hek I Siankouw ikut dengan meninggalkan
muridnya. Dan kini, setelah Hwa Hwa Cinjin kekasihnya sejak muda itu tewas oleh
In Hong, tentu saja Hek I Siankouw menaruh dendam dan maulah dia bekerja sama
dengan dua orang kakek nenek guru Sabutai itu sambil mengajak muridnya.
Sungguhpun wataknya angkuh dan keras sebagai murid seorang pandai, namun
Liong Si Kwi tidak pernah terlibat dalam kejahatan, bahkan dia selalu bertindak
sebagai seorang pendekar wanita yang keras hati dan menentang kejahatan! Tentu
saja dia tidak menganggap bahwa subonya itu jahat, pula dia tidak menganggap
bahwa orang-orang yang kini dibantu subonya itu jahat, karena dianggapnya
mereka, seperti juga subonya, hendak menuntut balas, dan pembalasan dendam
dianggapnya bukanlah perbuatan jahat.
Kini melihat betapa tawanan wanita itu masih amat muda dan cantik sekali,
juga kelihatan tenang saja, dia sudah menjadi kagum bukan main. Akan tetapi
justeru gadis di dalam tahanan itulah yang menjadi pembunuh supeknya, yaitu Hwa
Hwa Cinjin, demikian menurut keterangan subonya, maka dia memandang ke arah In
Hong dengan sinar mata benci. Musuh gurunya berarti juga musuhnya, karena
gurunya itupun menjadi pengganti orang tuanya. "Subo, kenapa tidak dibunuhnya
saja dia itu?" "Justeru dia menjadi umpan untuk memancing datangnya musuh-musuh besar yang
lain, Si Kwi. Akan tetapi dia sudah tidak berdaya dan nyawanya berada di tangan
kita," jawab gurunya dengan wajah beringas penuh dendam. "Sekarang berangkatlah,
muridku, dan hati-hatilah karena majikan Padang Bangkai adalah orang-orang
setengah gila!" Gadis itu mengangguk, memberi hormat lalu meloncat dengan cepat sekali,
lenyap dari tempat itu. Bouw Thaisu mengangguk-angguk. "Gin-kang murldmu itu
pinto lihat amat hebat, mungkin tidak kalah oleh gurunya!"
"Memang betul, Thaisu. Si Kwi menerima pelajaran khusus dari mendiang Hwa
Hwa Cinjin sehingga gin-kangnya menjadi matang dan lumayan. Karena gin-kangnya
itulah maka dia memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silatnya dan dia dijuluki
orang Ang-yan-cu (Si Walet Merah)," jawab Hek I Siankouw dengan bangga.
*** Tempat In Hong ditahan itu adalah sebuah tempat yang terdiri dari beberapa
bangunan yang kokoh kuat dan pernah menjadi markas atau benteng ketika Raja
Sabutai dahulu bermarkas di situ bersama puluhan orang pengikutnya yang setia.
Kini, oleh Raja Sabutai, bekas markas itu diberikannya kepada kedua orang
gurunya. Memang tempat ini amat baik untuk dijadikan semacam benteng kecil, juga
amat baik untuk menjadi tempat tinggal di daerah yang berbahaya itu. Tempat itu
berada di sebuah lembah yang dinamakan Lembah Naga dan berada di kaki Pegunungan
Khing-an-san. Karena lembah itu berada di tepi Sungai Luan-ho, tepat di tikungan
sungai yang disusul dengan banyak tikungan-tikungan kecil, sehingga dari atas
lembah itu Sungai Luan-ho kelihatan seperti seekor naga yang tubuhnya berliku-
liku, maka lembah itu dinamakan Lembah Naga. Lembah Naga terletak di luar Tembok
Besar, di daerah Mongol dan di daerah itu terdapat banyak tempat-tempat yang
amat berbahaya, gunung-gunung yang tinggi dan luas, hutan-hutan yang lebat dan
padang-padang rumput yang seperti lautan tak bertepi, diseling gurun-gurun pasir
yang tandus. Jalan menuju ke Lembah Naga itu kalau didatangi dari barat, timur dan
selatan, hanya ada satu saja, yaitu dari selatan melalui Padang Bangkai! Tidak
ada jalan lain yang mungkin membawa manusia mendatangi Lembah Naga kecuali
melalui Padang Bangkai ini.
Mengapa dinamakan Padang Bangkai" Sebetulnya padang itu adalah padang rumput
yang luas, akan tetapi keadaannya demikian aneh dan banyak sekali binatang yang
terjebak dan mati di sekitar tempat itu, hanya tinggal tulang-tulangnya saja
yang nampak dan karena seringnya orang melihat bangkai binatang, kadang-kadang
manusia yang melakukan perjalanan lewat tempat itu dan tersesat, berserakan di
sekitar padang rumput, maka tempat itu dinamakan Padang Bangkai! Memang amat
berbahaya sekali. Ada bagian yang kelihatannya seperti padang rumput biasa,
dengan rumput-rumputnya yang hijau segar seperti beludru, akan tetapi bagi
mereka yang sudah mengenal daerah itu, bagian yang rumputnya hijau segar tanpa
mengenal musim itu, baik di musim panas maupun di musim semi tetap saja hijau
segar itu, merupakan tempat maut yang mengerikan. Salah sangka membuat banyak
manusia maupun binatang yang kebetulan lewat, terperosok ke tempat ini dan
sekali kaki mereka terjerumus, sukar untuk menyelamatkan diri karena rumput
hijau segar itu seolah-olah merupakan umpan atau perangkap yang kalau diinjak
ternyata bawahnya merupakan lumpur lembut yang dapat menyedot apa saja dengan
kekuatan yang tak terukur besarnya. Lumpur lembut itu amat dalam dan sekali kaki
menginjak, sukarlah ditarik kembali sampai akhirnya orang atau binatang yang
terjebak itu ditelan habis ke dasarnya! Ada pula yang sebelum tertelan habis,
dapat berpegang kepada rumput-rumput dan biarpun demikian tetap saja orang atau
binatang itu mati dengan separuh tubuh masih di luar. Ada pula bagian yang
rumputnya berwarna aneh kebiruan dan ternyata rumput di bagian ini mengandung
racun yang berbahaya. Sekali saja kaki atau bagian tubuh lain yang terluka lalu
terkena getah rumput ini, orangnya atau binatangnya tentu akan roboh dan tewas.
Juga terdapat bagian yang rumputnya merupakan alang-alang setinggi orang dan
yang dapat menyesatkan karena luasnya dan karena lorong di antara alang-alang
tinggi ini berlika-liku, bercabang-cabang dan semua sama bentuknya, yaitu lorong
setapak yang di kanan kiri diapit-apit oleh alang-alang tinggi! Orang dapat
tersesat dan sampai berhari-hari tidak mampu keluar dari tempat ini, maka amat
berbahaya, belum lagi binatang-binatang buas yeng menghuni di dalam rumpun
alang-alang lebat itu. Dan jalan umum yang melalui Padang Bangkai ini terhenti oleh sebuah dusun
kecil yang hanya terdiri dari beberapa buah rumah. Dusun ini dikelilingi oleh
sungai yang memang sengaja dibuat, yaitu air dari Sungai Luan-ho yang dialirkan
di sekeliling dusun itu sehingga kalau orang hendak melanjutkan perjalanan, mau
tidak mau orang itu harus menyeberangi sungai dengan jembatan yang terdapat di
situ, melewati dusun itu dan menyeberang lagi di sungai yang berada di belakang
dusun, karena kalau tidak mengambil jalan melalui dusun itu, orang harus
mengambil jalan melalui padang rumput maut yang bawahnya lumpur itu, yang penuh
di kanan kiri dusun menghadang jalan! Untuk mengelilingi dusun dengan perahupun
tentu saja bisa, jadi tanpa melalui dusun, akan tetapi di situ tidak ada
sebuahpun perahu, dan andaikata ada orang luar yang membuat perahu dan
menggunakan jalan air di sekeliling dusun, tentu sebelum sampai di tempat tujuan
perahunya sudah akan digulingkan oleh anak buah Padang Bangkai!
Sebetulnya tempat inipun dahulu dibuat oleh orang-orang Mongol atas perintah
Raja Sabutai yang dipergunakan sebagai semacam gerbang maut untuk menghalang
musuh yang hendak menyerbu Lembah Naga. Akan tetapi karena tempat ini berbahaya
sekali, setelah Sabutai meninggalkan tempat itu untuk menghimpun bala tentara
yang besar, tempat itu tidak ada yang mau mempergunakannya dan ditinggalkan
terlantar. Baru pada beberapa tahun yang lalu, dua orang aneh datang ke tempat
itu, kemudian menjadi penghuni di situ, bahkan mereka lalu mengumpulkan anak
buah mereka yang jumlahnya ada belasan orang, yang menjadi murid, anak buah,
juga melayani segala kebutuhan mereka.
Siapakah dua orang aneh yang berani tinggal di tempat yang berbahaya itu"
Mereka bukanlah orang-orang biasa tentu saja, melainkan orang-orang yang
berkepandaian tinggi. Mereka merupakan sepasang suami isteri yang aneh dan tidak
lumrah suami isteri biasa, melainkan lebih tepat kalau dinamakan sekutu yang
kadang-kadang saling memperlihatkan kekuasaan dan memang kepandaian mereka
adalah seimbang. Yang laki-laki berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar
dan sikapnya kasar dan wajahnya yang membayangkan kekasaran dan keberanian itu
selalu berwarna merah, matanya lebar dan jarang sekali orang melihat dia
terlepas dari guci arak. Dialah yang dijuluki orang Ang-bin Ciu-kwi (Setan Arak
Muka Merah), seorang yang memiliki tenaga besar dan dapat membunuh orang dengan
kejam, mencekik leher orang dengan tangan kiri dan selagi orang itu
berkelojotan, tangan kanannya membawa guci arak ke mulutnya untuk diminum
mengglogok! Isterinya berusia empat puluhan tahun, wajahnya cukup cantik dan karena dia
pesolek dan sikapnya agak genit, maka dia masih menarik. Tubuh yang terawat itu
masih ramping dan padat, dan melihat sikapnya, orang mengira dia seorang wanita
yang baik hati karena sikapnya lemah dan manis budi. Akan tetapi, sebetulnya, di
balik senyumnya yang manis itu bersembunyi hati yang amat kejam, yang merasa
gembira kalau melihat orang atau lawan tersiksa! Dia ahli racun, dan jarum-
jarumnya yang beracun amat terkenal karena dia memiliki bermacam-macam jarum
yang mengandung racun-racun bermacam-macam ular sehingga kalau mengenai tubuh
lawan, juga menimbulkan siksaan bermacam-macam pula. Inilah wanita yang dijuluki
Coa-tok Sian-li (Si Dewi Racun Ular)!
Ketika Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li meninggalkan Raja Sabutai yang
mengecewakan hati mereka karena raja yang menjadi murid mereka itu tidak
melanjutkan serangan ke selatan bahkan berdamai dengan kaisar, dan terutama
sekali menyuguhkan isterinya kepada kaisar, kedua orang kakek dan nenek ini lalu
tinggal di Lembah Naga yang diberikan kepada mereka oleh Sabutai. Dan Raja
Sabutai juga memberikan seratus orang pengawal kepada dua orang gurunya ini yang
dipilih sendiri oleh kakek dan nenek itu. Seratus orang inilah yang kini menjadi
anak buah mereka di Lembah Naga! Akan tetapi ketika dua orang kakek dan nenek
ini mendengar bahwa Padang Bangkai kini mempunyai majikan baru, mereka lalu
datang ke tempat itu untuk menuntut bahwa tempat itu termasuk wilayah Lembah
Naga. Tentu saja suami isteri Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang tidak
mengenal kakek dan nenek berasal dari Sailan ini memandang rendah dan menyerang
mereka, akan tetapi keduanya terkejut karena dengan amat mudahnya suami isteri
itu dihajar jatuh bangun oleh Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko sampai mereka
minta-minta ampun! Kakek dan nenek itu melihat betapa kepandaian mereka berdua
itu lumayan, dan karena untuk menghadapi para pembesar Beng-tiauw yang mempunyai
banyak orang pandai itu merekapun membutuhkan kawan, maka mereka tidak membunuh
suami isteri itu bahkan ditarik menjadi sekutunya! Padang Bangkai diberikan
kepada mereka sebagai tempat tinggal akan tetapi mereka harus menjaga agar
jangan ada musuh yang dapat mendekati Lembah Naga tanpa diketahui.
Demikianlah sedikit keterangan tentang Lembah Naga dan Padang Bangkai, dan
pada suatu hari, kini matahari telah naik tinggi, serombongan orang yang
jumlahnya tiga puluh enam orang kelihatan berjalan dari selatan menuju ke Padang
Bangkai! Mereka itu terdiri dari tiga puluh orang wanita dan enam orang pria,
dipimpin oleh seorang wanita yang berusia tiga puluh tahun lebih, cantik dan
gagah. Dua puluh sembilan wanita lain yang menjadi anak buahnya juga rata-rata


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memiliki gerakan yang gagah dan usia mereka itu paling tinggi empat puluh tahun
dan paling muda tiga puluh tahun. Kesemuanya membawa sebatang pedang di pinggang
mereka, kecuali wanita yang menjadi pemimpin dan yang berpakaian serba hijau
itu, yang selain membawa sebatang pedang panjang, di pinggangnya terselip pula
sepasang pedang pendek. Adapun enam orang laki-laki itu agaknya menjadi semacam
pelayan, karena enam orang inilah yang membawa buntalan-buntalan mereka dan
berjalan di tengah-tengah, dan sungguhpun mereka juga terdiri dari orang-orang
muda berusia paling tinggi tiga puluh tahun dan bertubuh tegap dan gerakannya
gesit, namun sikap mereka terhadap para wanita itu jelas memperlihatkan bahwa
mereka itu kalah pengaruh!
Siapakah mereka ini yang begitu berani mati mendatangi tempat berbahaya ini"
Mereka itu bukan lain adalah anggauta-anggauta Giok-hong-pang dan hal ini jelas
dapat dilihat dari hiasan rambut wanita-wanita itu yang berbentuk burung Hong!
Mereka adalah anak buah Yo Bi Kiok yang telah tewas. Seperti telah kita ketahui,
Giok-hong-pang telah merampas Kwi-ouw (Telaga Setan) dan menjadikan tempat itu
sebagai markas mereka dan menawan sebagian dari anak buah Ui-hong-pang yang
dipimpin oleh Kiang Ti yang dibunuh oleh Yo Bi Kiok. Kemudian perkumpulan itu
ditinggalkan oleh Yo Bi Kiok dan ketika Yo Bi Kiok membantu Sabutai, ketua ini
membawa sebagian besar anak buahnya untuk membantu. Setelah Yo Bi Kiok tewas,
anak buahnya itu tersebar tidak karuan, ada yang menjadi isteri para perwira
Sabutai, ada pula yang tewas atau melarikan diri.
Akan tetapi, ada pula beberapa orang di antara mereka yang berhasil kembali
ke Telaga Setan dan menceritakan kepada kawan-kawan mereka tentang kematian
ketua mereka! Kini jumlah mereka tinggal tiga puluh orang dan belasan orang laki-laki yang
selama ini menjadi semacam pelayan yang melayani segala keperluan mereka, dari
keperluan makan sampal keperluan sex! Adapun yang menjadi pemimpin mereka,
setelah Yo Bi Kiok tewas dan Yap In Hong murid ketua mereka itu tidak di situ,
adalah Bhe Kiat Bwee. Di permulaan cerita ini telah diceritakah tentang Bhe Kiat
Bwe ini. Dia adalah seorang kekasih mendiang Kiang Ti yang tercinta, yaitu ketua
dari Ui-hong-pang yang tadinya bersarang di Telaga Setan dan kemudian terbunuh
oleh Yo Bi Kiok. Bhe Kiat Bwee ini seorang wanita cantik yang dipermainkan oleh
Kiang Ti sebagai benda permainan indah yang menyenangkan dan menjadi pemuas
nafsu berahi belaka. Oleh karena itu, Bhe Kiat Bwee amat membenci Kiang Ti,
bahkan karena semenjak muda dia diperkosa dan dipermainkan oleh ketua Ui-hong-
pang itu, timbul rasa bencinya terhadap pria pada umumnya. Oleh karena itu,
ketika Ui-hong-pang dihancurkan oleh Yo Bi Kiok ketua Giok-hong-pang, diapun
lalu menjadi anggauta Giok-hong-pang, bahkan dia dapat menjilat dan menyenangkan
hati ketua Giok-hong-pang sehingga diam-diam Bhe Kiat Bwee menerima ilmu-ilmu
silat tinggi dari Yo Bi Kiok! Ketua Giok-hong-pang ini, yang merasa kasihan
melihat Bhe Kiat Bwee yang seperti juga dia, hidupnya dirusak oleh seorang pria,
hanya bedanya Bhe Kiat Bwee dirusak kehormatarmya dan dijadikan benda permainan
sedangkan dia dirusak hatinya oleh cinta tak terbalas, bahkan meninggalkan
sebuan kitab pelajaran ilmu silat tinggi kepada pelayan pribadinya itu ketika
dia meninggalkan Giok-hong-pang. Oleh karena inilah, maka dengan cepat Bhe Kiat
Bwee berobah menjadi seorang yang tinggi kepandaian silatnya, paling tinggi di
antara para anggauta Giok-hong-pang!
Setelah semua anggauta Giok-hong-pang yang masih ada melihat bahwa pelayan
pribadi ketua mereka ini ternyata memiliki kepandaian tinggi bahkan mewarisi
ilmu permainan sepasang pedang pendek dari ketua mereka, tentu saja mereka
dengan senang hati menerima Bhe Kiat Bwee menjadi wakil ketua dan pemimpin
mereka. Bhe Kiat Bwee yang amat mencinta ketua Giok-hong-pang, ketika mendengar
akan kematian Yo Bi Kiok, menjerit dan menangis dengan sedih sekali. Dia lalu
mengatur upacara sembahyang untuk menyembahyangi roh dari ketua mereka, kemudian
dia mengumpulkan seluruh sisa anggauta Giok-hong-pang yang berjumlah tiga puluh
orang dengan dia itu untuk pergi menyusul Yap In Hong, murid ketua mereka yang
kabarnya berada di kota raja dan menjadi seorang puteri istana! Akan tetapi, di
kota raja mereka mendengar bahwa baru beberapa hari ini puteri Yap In Hong itu
telah diculik oleh Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko. Marahlah Bhe Kiat Bwee dan
dengan anak buah bekas pengikut Yo Bi Kiok sebagai petunjuk jalan, berangkatlah
dia dan rombongannya itu menyusul ke utara untuk menolong Yap In Hong. Tiga
orang pengikut Yo Bi Kiok yang berhasil lolos dari kematian dan yang pernah
membantu Raja Sabutai, tahu siapa adanya kakek dan nenek iblis itu, dan
merekapun tahu bahwa mereka itu tentu berada di Lembah Naga. Maka ke sanalah
mereka menyusul, tiga puluh orang wanita Giok-hong-pang yang penuh dendam,
ditemani oleh enam orang pria dari Telaga Setan yang mereka jadikan pembawa
barang perbekalan dan pelayan. Menjelang sore rombongan itu tiba di batas
wilayah Padang Bangkai dan mereka menghadapi padang yang amat luas, dan dari
situ mereka dapat melihat bangunan rumah-rumah di dusun seberang padang yang
luas itu. "Kita malam ini harus dapat tiba di dusun depan itu," kata Bhe Kiat Bwee
sambil menudingkan telunjuknya ke depan. "Kita bermalam di sana dan besok pagi
baru melanjutkan perjalanan ke Lembah Naga."
Teman-temannya mengangguk, dan seorang di antara mereka yang pernah
mendengar tentang tempat ini ketika dia bersama sang ketua dan teman-temannya
dahulu membantu Raja Sabutai, berkata, "Harap Bwee-suci (kakak seperguruan Bwee)
suka berhati-hati, kerena kalau tidak salah, daerah inilah yang disebut Padang
Bangkai. Lihat di sana itu, bukankah itu kerangka manusia" Dan di sana itu
terdapat bangkai seekor kuda yang membusuk. Hemm, tempat ini menyeramkan sekali
dan tentu berbahaya."
Bhe Kiat Bwee memandang ke kanan kiri dan mengangguk-angguk. "Biarpun
berbahaya, kita tidak perlu takut. Yang penting kita harus berhati-hati sekali.
Persiapkan tali panjang yang kita bawa!"
Segulung tali hitam panjang diambil dari buntalan yang dibawa oleh para
laki-laki itu dan Bhe Kiat Bwee membawa gulungan tali itu di pundaknya. Kemudian
dia memimpin teman-temannya untuk melanjutkan perjalanan dan memesan agar mereka
semua bersikap hati-hati dan jangan sembrono.
Tak lama kemudian, ketika melalui jalan setapak yang di kanan kirinya penuh
dengan rumput hijau, tiba-tiba terdengar jerit mengerikan di sebelah kanan. Bhe
Kiat Bwee dan teman-temannya cepat menengok dan mereka melihat seorang di antara
teman mereka yang menginjak rumput hijau itu telah amblas disedot oleh lumpur di
bawah rumput. Wanita ini menjerit-jerit dan meronta-ronta, akan tetapi makin
hebat dia meronta, makin cepat tubuhnya disedot ke bawah!
Seorang temannya cepat hendak menolongnya, dengan tangan terulur dia
menghampiri dan diapun menjerit karena kaki kanannya juga tersedot dan ditarik
oleh lumpur di bawah rumput yang diinjaknya.
"Kalian diam...! Jangan bergerak sedikitpun! Yang lain semua mundur! Jangan
menginjak rumput hijau itu!" Bhe Kiat Bwee yang cerdik cepat berteriak, kemudian
dia sendiri lalu melontarkan ujung tali hitam ke arah dua orang itu. Mereka yang
sudah pucat mukanya, seorang terbenam sampai ke leher dan yang kedua terbenam
sampai ke pinggang, dengan kedua tangan menggigil menangkap ujung tali itu. Kiat
Bwee lalu menarik, akan tetapi betapapun dia telah mengerahkan seluruh
tenaganya, dua orang itu tidak dapat ditariknya! Dia lalu minta bantuan teman-
temannya, akan tetapi sampai semua orang menarik tali itu beramai-ramai, tetap
saja dua orang itu tidak dapat ditarik keluar!
"Satu demi satu!" Kiat Bwee tidak kehilangan akal. "Kalian berdua jangan
bergerak sama sekali, makin bergerak tentu akan makin dalam kalian tenggelam!"
Dua orang yang sudah ketakutan dan lemas itu melepaskan tali dan kini Kiat Bwee
membuat sebuah jeratan di ujung tali lalu dilemparkannya ke arah orang kedua
yang hanya terbenam sampai ke pinggang. Lemparannya tepat dan jeratan yang
berlingkar itu memasuki tubuh orang itu dan tali dapat menjerat pinggangnya.
Wanita itupun memegangi tali seperti gila, karena dia maklum bahwa di situlah
nyawanya tergantung. Tiba-tiba terdengar wanita yang terbenam sampai ke lehernya itu menjerit-
jerit, matanya terbelalak dan teriakannya makin mengerikan.
"Jangan bergerak!" Kiat Bwee berseru keras dan marah, akan tetapi wanita itu
makin hebat menjerit-jerit dan meronta-ronta sehingga akhirnya kepalanyapun
terbenam, tinggal kedua lengan yang masih meronta dan jari-jari tangannya yang
mencengkeram-cengkeram ke udara. Itupun tidak lama karena segera kedua tangan
itupun lenyap ditelan rumput-rumput hijau.
Semua orang masih pucat dan merasa seram menyaksikan pemandangan itu, dan
tiba-tiba wanita kedua itupun menjerit-jerit, "Aduuhhh... augghh... aihhhh,
lekas... lekas... tolong aku...!"
Dia mulai pula meronta-ronta dan Kiat Bwee cepat menarik tali yang kini
sudah mengikat pinggang wanita itu. Teman-temannya membantu. Dengan pengerahan
tenaga, mereka dapat menarik tubuh wanita itu sedikit demi sedikit karena amat
sukar mencabut tubuh itu, apalagi karena wanita itu meronta dan menjerit-jerit
seperti orang gila. Akhirnya wanita itu yang meronta-ronta seperti gila akhirnya
mengejang, lalu lemas dan pingsan. Maka lebih mudahlah bagi Kiat Bwee dan teman-
temannya untuk membetotnya keluar dari lumpur di bawah rumput hijau segar itu.
Pakaian wanita itu, dari dada sampai ke ujung kaki, penuh dengan lumpur
kehitaman dan ketika dia sudah ditarik ke atas tanah keras dalam keadaan
pingsan, teman-temannya cepat membuka pakaiannya untuk dibersihkan tubuhnya dan
ditukar pakaian kering dan bersih.
Aaihhhhh...!" "Hiiiiihhhhh...!"
Jeritan-jeritan mengerikan terdengar ketika mereka sudah membuka celana dan
baju wanita itu, karena ternyata di bawah pakaian itu kelihatan banyak binatang
yang seperti lintah, yang sudah menggembung oleh darah yang dihisap mereka dari
tubuh wanita itu sehingga menjadi merah gemuk! Dari dada sampai ke kaki, di situ
menempel ratusan ekor binatang seperti lintah, warnanya kehijauan dan agak merah
karena penuh darah, menempel pada kulit yang putih halus itu. Pantas saja wanita
itu menjerit-jerit, kiranya selagi tubuhnya terbenam di dalam lumpur tadi, dia
dikeroyok ratusan ekor binatang itu yang menggigitnya dan memasuki pakaiannya
untuk dapat langsung menggigit kulit dan daging, mengisap darah langsung dari
bagian-bagian yang lunak! Biarpun dengan memberanikan hati yang merasa jijik dan
ngeri akhirnya Kiat Bwee dan teman-temannya dapat mencabuti semua lintah itu
dari tubuh teman mereka, namun wanita itu tidak dapat hidup lama, bahkan tidak
sadar lagi dari pingsannya, tubuhnya berubah menjadi kehitaman dan ternyata
lintah-lintah itu bukan hanya menyedot darah, akan tetapi juga meninggalkan
racun yang saking banyaknya menjadi berbahaya dan mematikan juga!
Terpaksa mereka menguburkan mayat teman ini di tempat itu, menggali lubang
di tanah keras antara dua padang rumput yang mengerikan itu. Kiat Bwee lalu
berkata, "Kita maju terus. Ini adalah daerah musuh, akan tetapi untuk membela
nona In Hong, kita tidak boleh takut atau mundur, hanya kita harus makin
berhati-hati." Mereka kini menggunakan tongkat-tongkat untuk memeriksa keadaan sehingga
tidak sampai terjebak seperti dua orang temen mereka tadi. Ketika mereka
menghadapi padang yang penuh dengan rumput alang-alang, Kiat Bwee berkata,
"Jalan kecil ini melalui rumput alang-alang, agaknya aman di sini, akan tetapi
kalian siapkan senjata masing-masing agar mudah menjaga diri kalau ada serangan
musuh." Rombongan yang sudah berkurang dua orang itu kini berjalan berindap-indap
melalui jalan kecil di antara dua hutan alang-alang itu. Akan tetapi, makin lama
mereka berjalan, makin tinggi juga alang-alang di kanan kiri mereka, sampai
akhirnya rumpun alang-alang di kanan kiri itu sama tingginya dengan mereka
sehingga mereka tidak dapat melihat apa-apa di kanan kiri mereka kecuali rumpun
alang-alang! Kiat Bwee mengeluarkan sehelai saputangan merah dan dicabik-cabiknya
saputangan ini menjadi potongan-potongan kecil-kecil dan setiap sepuluh langkah
dia melemparkan sepotong cabikan saputangan merah ke atas tanah yang mereka
lewati. Memang wanita ini cerdik sekali. Dia tahu bahwa lorong di antara rumpun
alang-alang ini merupakan tempat berbahaya yang dapat menyesatkan, maka dia
sudah bersiap-siap lebih dulu dengan memberi tanda-tanda kepada lorong yang
sudah mereka lewati agar mudah nanti menemukan jejak mereka kembali.
Dan dugaannya memang tepat sekali. Lorong di antara dua "dinding" alang-
alang itu mulai terpecah, mulai bercabang-cabang dan membelak-belok! Dan di luar
pengetahuan mereka, semenjak mula-mula mereka memasuki wilayah Padang Bangkai
memang mereka sudah diawasi terus oleh anak buah Padang Bangkai! Banyak pasang
mata pria yang terbelalak dan dengan mulut menyeringai dan mengilar, para anak
buah Padang Bangkai memandang wanita-wanita yang rata-rata memiliki tubuh padat
berisi dan wajah cantik itu, seperti sekumpulan laba-laba yang melihat masuknya
lalat-lalat gemuk ke dalam sarang mereka!
Rombongan wanita yang dipimpin Bhe Kiat Bwee itu mulai menjadi bingung
ketika jalan kecil itu berputar-putar, bahkan lalu memutar kembali lagi ke arah
semula! Dan selagi mereka kebingungan, tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis
dan muncullah ratusan ekor ular dari kanan kiri, keluar dari rumput alang-alang
itu menyerang mereka dengan ganas!
"Awas, mundur...!" Kiat Bwee berseru kaget sambil menggunakan sepasang
pedang pendek yang sejak tadi dipegangnya untuk membabat putus dua ekor ular
yang menyerangnya. Akan tetapi anak buahnya yang terkejut itu menjadi panik dan
terjadilah pengeroyokan ular-ular yang mengerikan dan tiga orang di antara
mereka terkena gigitan pada kaki mereka. Mereka menjerit-jerit dan roboh
berkelojotan karena ular-ular itu ternyata adalah ular-ular berbisa yang amat
berbahaya! "Mundur...!" Kembali Bhe Kiat Bwee berteriak, akan tetapi kembali dua orang
memekik dan roboh berkelojotan. Mereka itu ternyata adalah dua di antara enam
orang laki-laki yang membawakan perbekalan mereka. Terpaksa beberapa orang
wanita anggauta Giok-hong-pang mengambil perbekalan itu dan mereka terus mundur
meninggalkan lima mayat yang kini menjadi sasaran kemarahan ular-ular itu.
Untung bagi mereka bahwa tadi Kiat Bwee telah memberi tanda-tanda dengan
potongan-potongan kain merah. Akan tetapi, betapa kaget hati mereka ketika
mereka hanya dapat mundur beberapa puluh meter saja karena setelah itu, mereka
tidak dapat menemukan lagi potongan-potongan kain merah yang tadi disebar oleh
Kiat Bwee. Tentu saja mereka tidak mampu menemukan benda-benda itu kembali
karena benda-benda itu telah dibersihkan oleh anggauta Padang Bangkai! Dan
dengan sendirinya rombongan wanita itu menjadi tersesat di dalam padang rumput
alang-alang itu. Terdengar auman yang menggetarkan disusul auman-auman lain dan muncullah
lima ekor harimau besar dari kanan kiri yang langsung menyerang mereka karena
binatang-binatang itu sudah kelaparan agaknya. Kiat Bwee dan anak buahnya
terkejut bukan main, dan mereka cepat menggerakkan senjata untuk membela diri
dan balas menyerang. Terjadilah pertempuran yang seru dan mati-matian antara
rombongan wanita yang sudah mulai ketakutan itu melawan lima ekor harimau buas,
dan akhirnya lima ekor harimau buas itu menggeletak mati, akan tetapi di fihak
rombongan itupun ada delapan orang yang tewas menjadi korban cakaran dan gigitan
harimau buas itu, belum dihitung beberapa orang yang terluka!
Kemudian terdengar bentakan-bentakan dan teriakan-teriakan nyaring dan di
Pertarungan Dua Datuk 2 Suling Emas Dan Naga Siluman Bu Kek Sian Su 11 Karya Kho Ping Hoo Iblis Lengan Tunggal 2
^