Pencarian

Lembah Tiga Malaikat 2

Lembah Tiga Malaikat Karya Tjan Id Bagian 2


tak perlu untuk turut menyerempet bahaya"
Tong Thian-hong memandang sekejap ke arah Ki Li-ji, kemudian katanya:
"Tidak mengapa, sudah lama siaute menaruh perasaan ingin tahunya atas
perguruan Sam-seng-bun tersebut, aku ingin sekali bisa mendapat keterangan yang
lebih mendalam tentang kekuatan itu"
"Tapi terlalu berbahaya!" bisik Ki Li-ji.
"Seorang manusia, bisa hidup sampai seratus tahunpun akhirnya akan mati juga,
bila dapat menyingkap sedikit rahasia tentang kekuatan yang menguasai dunia
persilatan sekarang, sekalipun harus mati juga tak akan menyesal."
Ki Li ji segera tertawa manis. "Kau sangat gagah..." pujinya.
"Nona terlalu memuji."
"Aku berbicara sesungguhnya!" ucapan nona ini lembut dan penuh perasaan cinta.
Nyo Hong ling ikut berkata pula: "Kalau memang saudara Tong memiliki
kegagahan seperti ini, aku rasa saudara Buyung juga tak usah memikirkannya di
hati lagi" Setelah menghela napas panjang, terusnya: "Dewasa ini kecuali kita beberapa
orang muda, kebanyakan jago-jago tua dan kaum locianpwe mungkin sudah tak
seorangpun yang berani bermusuhan dengan pihak Sam-sen-bun lagi"
Beberapa patah kata ini segera mengobarkan semangat Buyung Im-seng dan Tong
thian-hong, dia saling berpandangan sekejap lalu tertawa
44 Nyi Hong-ling melihat waktu sejenak, kemudian katanya: "Waktu sudah tidak pagi
lagi, kalian harus segera menyaru !"
"Hoa-cu dan nona Ki silahkan melanjutkan perjalanan ! Aku percaya kami masih
sanggup untuk menyelesaikan persoalan ini."
"Aku percaya, dengan kepandaian yang kalian miliki sekarang, sekalipun dikepung
orang-orang Sam-seng-bun, untuk meloloskan diri bukan suatu masalah sukar.
Ingat perkataanku, bila terjadi pertarungan jangan bertarung terlampau lama,
kita hanya ingin tahu letak sarang mereka saja."
(Bersambung ke jilid 3) 45 Lembah Tiga Malaikat Oleh: Tjan Jilid 3 Buyung Im-seng menghela napas panjang.
"Asal... andaikata kita gagal untuk menyelidiki keadaan Sam-seng-bun yang
sebenarnya, mungkin di kemudian hari akan susah untuk menemukan kesempatan
sebaik ini lagi." "Kita menempuh bahaya hanya ingin menyelidiki keadaan musuh untuk
menambah pengetahuan kita dalam menyusun rencana besar kita bukan pergi
untuk mengadu nyawa, maka kalian berdua mesti mengutamakan keselamatan diri
terlebih dulu baru sial menaklukan musuh. Ingat perkataanku ini, nah mari kita
pergi!" Selesai berkata, Nyo Hong-ling lantas mengajak Ki Li-ji untuk buru-buru
berangkat meninggalkan tempat itu. Menanti bayangan tubuh kedua orang itu sudah lenyap dari pandangan mata, Tong
Thian-hong dan Buyung Im-seng baru turun tangan untuk menyaru diri, kemudian
mencari mayat kedua orang kusir itu, melepaskan pakaian mereka, menggeserkan
mayatnya ke tempat lain dan memberi beberapa bacokan luka di tubuh sendiri.
Seusai menyaru dan memeriksa sekejap bahwa tiada titik kelemahan yang terdapat
pada diri mereka, kedua orang itu baru membaringkan diri di atas tanah.
"Buyung-heng," bisik Tong Thian-hong, "tahukah kau mengapa nona Nyo suruh kita
menyaru sebagai kusir dan bukannya disuruh menyamar sebagai Busu yang
mengawal kereta?" "Menurut pendapat saudara Tong?"
"Mungkin lantaran kedudukan seorang kusir kereta itu terlalu rendah,
pengetahuan tentang persoalan dalam suatu kantor cabangpun amat terbatas,
maka lebih mudah mengatasi masalahnya daripada kedudukan yang lebih tinggi...!"
"Siaute juga berpendapat demikian."
46 "Lebih baik kita gunakan kesempatan yang amat singkat ini menganalisa dulu
pertanyaan apa saja yang mungkin mereka ajukan, kemudian diatur jawaban yang
paling baik agar rahasia kita jangan sampai ketahuan...!"
"Tong-heng, memang amat seksama, sungguh membuat siaute merasa sangat
kagum!" Dengan menggunakan kecerdasan masing-masing kedua orang itu mulai mendugaduga
pertanyaan apa saja yang mungkin diajukan lawan, kemudian dicarikan pula
jawabannya yang tepat. Baru saja mereka selesai berunding, tiba-tiba terdengar suara derap kuda yang
amat ramai berkumandang datang.
Tempat dimana mereka berdua berbaring dipilihnya tempat yang strategis,
sekalipun mata dipentangkan lebar-lebar juga tidak gampang diketahui orang.
Tampak dua ekor kuda dengan cepat menghampiri tempat kejadian itu, kemudian
bersama-sama melompat turun dari kudanya.
Orang pertama adalah seorang pemuda berusia dua puluh lima-enam tahunan yang
berjubah putih, dia bertangan kosong dan tampak seperti seorang pelajar.
Di belakangnya mengikuti seorang bocah berbaju hijau yang usianya antara
enamtujuh belas tahunan. Ketika pemuda berbaju putih itu melompat turun dari kudanya tadi, bocah baju
hijau itu buru-buru ikut melompat turun dan menerima tali les kudanya, kemudian
sambil menuntun dua ekor kuda itu dia berjalan mengikuti dibelakang pemuda
berbaju putih itu. "Tambatkan dulu kuda itu!" bisik pemuda berbaju putih itu dengan suara lirih.
Bocah berbaju hijau itu segera mengiakan dan menambatkan kedua ekor kuda itu
di sebatang pohon, kemudian dari atas pelana dia mengambil sebilah pedang dan
kemudian menyusul pemuda tadi.
Dengan amat teliti pemuda berbaju putih itu memeriksa mayat-mayat tersebut satu
demi satu, ada kalanya dia malah berjongkok sambil memeriksa luka dimulut
mayat. Lambat laun pemuda berbaju putih itu semakin mendekati dimana Buyung-Imseng
berdua pura-pura menggeletak.
Setelah jarak kedua pihak makin mendekat, Buyung Im-seng baru menetapkan
bahwa pemuda berbaju putih yang tampak halus itu sesungguhnya memiliki sinar
mata yang tajam sekali. Justru karena sinar matanya yang tajam itu, maka
pemuda berbaju putih itu kelihatan keren dan diliputi selapis hawa napsu
membunuh yang amat mengerikan.
Diam-diam Buyung Im seng merasa terkejut segera pikirnya. "Orang ini jelas bukan
manusia baik-baik!" Sementara itu terdengar pemuda berbaju putih itu berkata dengan suara dingin.
"Cara kerja pihak lawan sungguh amat keji, bila tusukan pertama tidak mematikan
ternyata tusukan kedua menembusi tempat mematikan dari lawannya, aku sudah
memeriksa sembilan sosok mayat, semuanya berada dalam keadaan demikian."
47 Bocah berbaju hijau itu hanya mengiakan belaka, tak sepatah katapun yang
diucapkan. Mendadak sinar mata pemuda berbaju putih itu menatap ke wajahnya tajam-tajam,
kemudian katanya "Di sana ada orang yang masih hidup, cepat bopong kemari!"
Bocah berbaju hijau itu mengiakan dan buru-buru lari ke depan untuk membopong
tubuh Buyung Im-seng. Sementara itu Buyung Im Seng sudah menutup sebagian nadinya membuat
pernapasan menjadi lemah, agar orang mengira dia sedang menderita luka yang
parah. Tiba di depan pemuda berbaju putih itu, pelan-pelan bocah berbaju hijau itu
membaringkan tubuh Buyung Im Seng ke atas tanah.
"Agaknya di sana masih ada seorang yang masih hidup lagi, cepat bawa kemari
juga orang itu!" kata pemuda baju putih itu lagi.
Bocah berbaju hijau itu segera mengiakan tak lam kemudian ia telah membopong
Tong Thian hong kemari. Pemuda berbaju putih itu hanya mengawasi kedua orang tersebut dengan
pandangan dingin, lama sekali dia tidak berbicara.
Baik Buyung Im seng maupun Tong Thian hong sama-sama menyadari bahwa
mereka telah bertemu dengan seorang musuh yang tangguh, diam-diam mereka
mempersiapkan diri secara baik-baik, untung saja mereka sudah mengadakan janji
lebih dulu sehingga masih bisa menahan diri.
Kurang seperminuman teh kemudian, pemuda berbaju putih itu baru menegur
ketus. "Kalian adalah kusir kereta?"
"Benar!" jawab Tong Thian hong dengan suara yang lemas tak bertenaga. "Kau
dapat bersilat?" "Cuma ilmu silat kasaran!" jawab Tong Thian Hong dengan suara
yang lemas lagi. Pemuda berbaju putih itu manggut-manggut, kemudian kepada bocah berbaju hijau
itu katanya "Bantu dia dengan sedikit tenaga, aku masih akan menanyakan banyak
persoalan kepadanya."
Bocah berbaju hijau itu mengiakan, dia lantas membangunkan Tong Thian hong
dan menempelkan tangan kanannya di atas jalan darah Mia bun hiatnya.
Tong Thian hong segera merasakan adanya segulung hawa panas yang kuat
menerjang masuk ke dalam tubuhnya, ia merasa amat terkejut, segera pikirnya.
"Seorang bocah saja sudah berilmu setinggi ini, bisa dibayangkan betapa
dahsyatnya tuannya, entah siapakah manusia berbaju putih ini?"
"Sekarang kau sudah bisa berbicara banyak bukan?" tegur pemuda berbaju putih
itu kemudian. Tong Thian hong manggut-manggut. "Ya, benar!"
"Baik, sekarang jawab semua pertanyaanku!"
"Siapa kau?" Tong Thian hong cepat bertanya.
48 "Kim Cok tak pernah membicarakannya denganmu?"
"Tidak!" "Pemuda berbaju putih itu segera tertawa dingin.
"Siapa pun diriku, yang pasti dalam sekali ayunan tangan saja aku sanggup
merenggut nyawamu." "Aku mengerti."
"Kalau sudah mengerti itu lebih bagus lagi, sekarang jawab siapa yang
menghadang kalian" Mengapa seluruh orang mati terbunuh" Dan mengapa cuma
kalian berdua yang dibiarkan hidup?"
Tong Thian hong segera berpikir: "Orang ini memiliki sinar mata yang tajam,
jelas tenaga dalam yang dimilikinya amat sempurna, ucapannya juga tajam, ini
membuktikan dia berotak cerdas dan jelas bukan seorang manusia yang gampang
dihadapi..." Berpikir demikian, dia lantas melirik sekejap ke arah Buyung Im seng yang
berbaring di sisinya, kemudian menjawab.
"Mungkin lantaran mereka anggap hamba cuma seorang kusir kereta, maka
mereka tak sampai melancarkan serangan yang mematikan." Pemuda berbaju putih
itu termenung sejenak, kemudian sahutnya. "Siapa-siapa saja mereka itu" Apakah
kau masih ingat?" Ketika Tong Thian hong mendengar pemuda berbaju putih itu tidak mendesak lagi
soal tidak terbunuhnya mereka berdua, hatinya menjadi agak lega, jawabnya
segera. "Semua penyerang menggunakan kain kerudung hitam, hanya sepasang mata
mereka yang kelihatan, senjata yang dipakai adalah pedang. Ketika rombongan
kami baru tiba di situ, mendadak mereka melompat keluar dari tempat
persembunyian dia langsung menyerang kami, sejak awal sampai akhir mereka tak
berkata apa-apa sehingga hamba sendiri tidak tahu siapakah mereka.
"Diantara kalian apakah ada yang berhasil melarikan diri?"
"Waktu itu hamba kena dihajar roboh dari atas kereta lalu terasa seperti kena
sebuah tusukan pedang lagi, kemudian apa yang terjadi tidak hamba pahami,
cuma..." "Cuma kenapa?" "Cuma jumlah rombongan kami kan terbatas, asal mayat yang ditemukan dijumlah
semua, bila ada yang kurang itu berarti ada yang berhasil meloloskan diri."
"Berapa orang jumlah rombongan kalian?"
Tong Thian hong segera menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Jika hamba tidak bisa mengetahui kedudukanmu lebih dulu, sekalipun kau bunuh
aku juga tak akan banyak bicara."
Pemuda berbaju putih itu mengawasi wajah Tong Thian hong dekat-dekat,
kemudian bertanya. 49 "Kim Cok itu apa kalian?"
"Toucu!" "Ia yang bertemu dengan akupun akan tundukkan kepala dan munduk-munduk...!"
Mendengar itu, Tong Thian hong terus berpikir. "Tampaknya kedudukan orang ini
tinggi sekali, entah siapa namanya" Aku tak boleh berlagak pintar, dari pada
ketahuan rahasianya."
Berpikir sampai di situ, pelan-pelan dia terus berkata: "Kedudukanmu sudah pasti
amat tinggi, tapi hamba rendah kedudukannya, entah sebutan apa yang harus
hamba gunakan?" Di atas wajah sang pemuda yang dingin segera terlintas sekulum senyuman,
sahutnya: "Hoat-lun-tong tongcu, pernah mendengarnya dari Kim Cok?"
Tong Thian hong pura-pura merasa terperanjat, segera serunya: "Oh... rupanya
adalah seorang tongcu, hari ini hamba benar-benar terbuka matanya."
Dengan lagaknya itu, pemuda berbaju putih itu malah menjadi percaya penuh
dengan kedudukannya, tidak menegur lagi, sambil tertawa tanyanya.
"Berapa orang rombongan kalian?"
"Dengan dipimpin sendiri oleh Kim dan Ong dua orang Tuocu, ada dua belas orang
jago yang mengiringi, ditambah kami empat orang kusir kereta, jumlahnya menjadi
dua belas orang." Pemuda berbaju putih itu segera berpaling sekejap ke arah bocah berbaju hijau
seraya berkata: "Coba kau periksa, ada berapa mayat ditemukan?" Bocah berbaju
hijau itu mengiakan dan segera melaksanakan perintah tersebut.
Tak lama kemudian dia datang melapor: "Lima belas sosok mayat ditambah mereka
berdua yang masih hidup, jumlahnya tujuh belas orang, ada seorang meloloskan
diri." "Siapakah yang melarikan diri?"
"Tidak nampak mayat Ong Thi san Ong toucu!" Tong Thian hong yang mendengar
tanya jawab itu, segera berpikir kembali.
"Mereka kenal dengan Ong Thi-san berarti kenal juga dengan setiap orang yang
berada dalam perkampungan Kim Cok, aku musti berhati-hati dalam menjawab
semua pertanyaan selanjutnya."
Dalam pada itu, pemuda berbaju putih tersebut sudah memandang sekejap
sekeliling tempat itu, kemudian tanyanya lagi.
"Tinggalkan lambangku di sana, suruh mereka mengubur baik-baik semua jenasah
tersebut, kemudian baru melacaki jejak dari Ong Thi san"
"Bagaimana dengan kedua orang ini?" tanya bocah berbaju hijau itu kemudian.
Oran berbaju putih itu termenung sebentar kemudian jawabnya.
50 "Aku masih harus menanyakan beberapa persoalan lagi, coba kau periksa apakah
ke empat buah kereta itu masih ada yang beroda dan bisa dipakai lagi, masukkan
dia ke dalam kereta dan kita angkut pergi dari sini."
Sekali lagi bocah berbaju hijau itu mengiakan dan pergi untuk membuat persiapan.
Selang sejenak kemudian, bocah itu sudah muncul kembali sambil memberi
laporan: "Ada sebuah kereta yang masih dapat dipergunakan!"
"Bagus! Masukkan mereka ke dalam kereta tersebut..."
Tiba-tiba ia merendahkan suaranya dan berbisik.
Andaikata Tong Thian hong dan Buyung Im ceng mau mengerahkan tenaga
dalamnya untuk menyadap pembicaraan tersebut, kendatipun bisikan orang
berbaju putih itu amat lirih, dengan kemampuan dia yang sanggup menangkap
suara jatuhnya daun dari beberapa puluh kaki itu tak sulit untuk menyadap
pembicaraan tadi. Akan tetapi mereka berdua tak berani berbuat demikian, sebab terhadap orang
berbaju putih itu mereka menaruh kewaspadaan yang besar, mereka tak berani
menyadap pembicaraan tersebut dengan mengerahkan tenaga dalam, sebab kuatir
ketahuan rahasianya. Usia bocah berbaju hijau itu belum terlalu besar, tapi tenaga yang dimilikinya
sangat mengagumkan, dengan satu tangan mengempit sesosok badan, ia berjalan
menuju ke arah kereta dan memasukkan kedua orang itu ke dalam ruang kereta.
Sesudah itu katanya: "Harap kalian berdua baik-baik menjaga diri, kalau ada
permintaan yang mendesak harap memberitahukan kepadaku!"
Seusai berkata dia lantas menurunkan tirai di atas kereta.


Lembah Tiga Malaikat Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tong Thian hong dan Buyung Im seng saling berpandangan sekejap, kemudian
tersenyum bersama. Dengan ilmu menyampaikan suara, Buyung Im seng lantas berbisik.
"Saudara Tong, tampaknya mereka akan membawa kita menuju ke ruang Sengthong."
"Orang berbaju putih itu tidak gampang dihadapi" sahut Tong Thian hong dengan
ilmu menyampaikan suara juga. "Sedangkan bocah berbaju hijau itupun seorang
manusia licik yang susah dilayani, kita musti bersikap lebih berhati-hati,
jangan terlalu gegabah, memanfaatkan kesempatan ini kita musti pelihara tenaga
sebaikbaiknya, tak usah perdulikan lagi mau dibawa kemanakah kita ini."
"Ehm.. betul juga perkataan saudara Tong!" sahut Buyung Im-seng kemudian.
Ia lantas memejamkan mata dan mengatur napas untuk mengumpulkan kembali
tenaganya. Betul juga, bocah berbaju hijau itu kerap kali mengintip lewat celah-celah tirai
untuk memperhatikan gerak-gerik mereka berdua, tapi setelah menyaksikan tidur
mereka yang begitu nyenyak dan tidak mirip seseorang yang berilmu silat,
kewaspadaan mereka tampaknya agak mengendor.
51 Entah berapa saat sudah lewat, ketika kereta itu berhenti berjalan, waktu senja
telah menjelang tiba. Bocah berbaju hijau itu tidak memperkenankan kedua orang itu turun dari
keretanya, semua makanan dan minuman dihantarkan masuk sampai ke dalam
kereta. Tak lama kemudian perjalanan kembali dilanjutkan, rupanya mereka
bermaksud untuk melanjutkan perjalanan malam.
Kali ini Buyung Im-seng merasa bahwa kereta itu berjalan lebih cepat lagi, tak
tahan dia lantas mengintip lewat balik tirai, ternyata kuda penghela kereta itu
telah ditukar dengan tiga ekor kuda jempolan. Melihat kesemuanya itu dia lantas
berpikir dihati. "Tak lama setelah berhenti, secara gampang mereka dapat menukar kuda, daya
pengaruh dari Sam-seng bun ini betul-betul sudah meluas sampai di seantero
jagat..." Demikianlah, perjalanan kereta dilanjutkan siang malam, bukan kecepatannya
semakin tinggi, baik Buyung maupun Tong Thian hong sama-sama tak tahu ke
arah manakah mereka dibawa dan sudah berapa lama perjalanan dilakukan.
Suatu ketika hanya menangkap suara deburan ombak yang amat keras dari tepi
sungai besar. Terdengar bocah berbaju hijau itu sedang berkata dengan dingin.
"Luka yang kalian berdua derita tidak terlampau parah, setelah beristirahat
sekian lama tentunya bisa melakukan perjalanan sendiri bukan...?"
00OO00 BAGIAN KE EMPAT "Saudara ada urusan apa" Silahkan disampaikan!" Tong Thian hong segera
berkata. "Sekarang kalian boleh keluar!"
Tong Thian hong mengiakan dan menyingkap tirai melompat keluar dari ruangan
kereta. Dengan pandangan dingin, bocah berbaju hijau itu menatap Tong Thian hong
sekejap, kemudian tegurnya lagi. "Mengapa dengan yang satunya?"
"Luka yang dideritanya jauh lebih parah dari pada luka yang ku derita,
gerakgeriknya otomatis jauh lebih lamban." Buyung Im-seng yang masih berada dalam
kereta dapat menangkap pembicaraan itu dengan amat jelasnya, pelan-pelan dia
lantas merangkak turun dari kereta.
Ketika mendongakkan kepalanya, maka tampaklah sebuah perahu layar telah
berlabuh di tepi sungai. Dengan suara dingin bocah berbaju hijau itu kembali
berseru. "Sekarang berdiri dulu kalian di tepi kereta!"
Kemudian dengan langkah cepat dia berjalan menghampiri perahu layar tersebut.
Selang sejenak kemudian, bocah berbaju hijau itu muncul kembali dengan
membawa empat orang lelaki berbaju hitam, katanya "Dua orang itu orangnya!"
52 Ke empat orang lelaki itu memperhatikan Buyung Im-seng dan Tong Thian hong
sekejap kemudian orang yang pertama itu mengeluarkan dua buah handuk panjang
berwarna hitam dan menutupi mata mereka berdua.
Setelah itu mereka dibopong naik ke atas perahu.
Buyung Im seng kembali berpikir.
"Hingga saat ini mereka belum menaruh curiga terhadap kedudukan dan asal usul
kami, tapi sikap mereka masih begitu teliti dan berhati-hati... aiii!
Kelihatannya bukan suatu pekerjaan yang terlalu gampang untuk menyelidiki rahasia mereka."
Ia merasa tubuhnya dibopong orang naik ke atas perahu dan diturunkan dalam
ruangan, kemudian perahu itu menaikkan jangkar dan segera berlayar ke tengah
sungai. Buyung Im-seng maupun Tong Thian hong sama-sama tidak mengetahui apakah di
sekitarnya ada orang yang sedang mengawasi mereka atau tidak, untuk
menghindari segala hal yang tidak diinginkan, mereka tak berani membuka kain
hitam yang menutupi matanya dan terpaksa cuma duduk tak berkutik saja di situ.
Kurang lebih satu jam kemudian, Buyung Im-seng dan Tong Thian hong kembali
merasakan tubuhnya dibopong orang menuruni perahu itu.
Sampai detik itu, kain hitam yang menutupi mata mereka berdua belum dilepas,
dengan sendirinya mereka pun tak dapat melihat pemandangan disekitar situ, tapi
dalam perasaan mereka berdua, dapat dirasakan kalau tubuh mereka sedang
dibawa menelusuri sebuah jalan setapak yang tinggi rendahnya tak menentu.
Lebih kurang sepertanak nasi kemudian, terasa mereka seakan-akan sedang
memasuki sebuah bangunan rumah.
Menyusul kemudian badan mereka diturunkan di atas pembaringan.
Terdengar seseorang berseru dengan suara dalam.
"Sekarang kamu berdua boleh beristirahat dulu sementara."
Seraya berkata, ia turun tangan melepaskan kain kerudung yang menutupi mata
mereka. Ternyata tempat itu adalah sebuah ruang rahasia yang sangat kokoh, selain sebuah
jendela kecil dan sebuah pintu, tiada jalan lain yang bisa tembus keluar.
Setelah melepaskan kain kerudung hitam dari wajah Buyung Im-seng serta Tong
Thian hong, kedua orang lelaki itupun tidak banyak bicara lagi, mereka segera
membalikkan tubuh dan keluar dari ruangan itu sekalian merapatkan kembali
pintu ruangan. Waktu itu fajar belum menyingsing, tapi dalam ruangan tiada cahaya lentera
sehingga suasana amat gelap.
Dengan suara rendah, Tong Thian-hong segera berbisik. "Mungkin lantaran
kedudukan kita terlalu rendah, maka orang-orang itu merasa enggan untuk
bercakap-cakap dengan kita."
"Hal ini menunjukkan kalau permainan sandiwara kita telah berhasil dengan
sukses..." sahut Buyung Im seng, ia lantas bangkit dan melongok lewat jendela.
53 Aneka bunga tumbuh di seputar ruangan tersebut, ternyata ruang rahasia itu
dibangun dalam sebuah kebun bunga.
Pelan-pelan Tong Thian hong juga turun dari pembaringan dan berjalan menuju ke
tepi pintu, setelah diamatinya sebentar dan tidak terdengar suara apa-apa,
pelanpelan dia membuka pintu dan melongok sekejap keluar, tapi kemudian dengan
cepat menutup pintu lagi dan membalik ke atas pembaringan.
"Saudara Buyung!" serunya lirih.
Buyung Im seng berjalan balik ke pembaringan dan duduk, lalu tanyanya
keheranan. "Ada apa?" "Mari kira berbaring sambil berbincang-bincang!"
Dua orang itu segera membaringkan diri dan menarik selimut untuk menutupi
badan. "Menurut saudara Buyung, kita berada dimana sekarang?" tanya Tong Thian hong
kemudian. "Ditengah sebuah kebun bunga, lamat-lamat ada sebuah bayangan bukit
dikejauhan sana, tapi jelas bukan bukit Toa-ho-san ditengah sungai...!"
"Sampai detik ini aku baru betul-betul merasa kagum atas kehebatan Sam-seng
bun, mereka memang sangat luar biasa."
"Apa maksud perkataanmu itu?"
"Sam-seng bun telah menyembunyikan sebagian besar kekuatannya diantara
kehidupan masyarakat, petani, nelayan dan perkampungan bahkan tempat-tempat
semacam itupun kemungkinan besar adalah markas besar mereka... aaii. Jika
ditinjau dari kesemuanya ini, aku jadi beranggapan bahwa letak Sang Chung
sesungguhnya bukan sesuatu yang penting."
"Ucapan saudara Tong ada benarnya juga, cuma Sam-seng-tong adalah letak
kepercayaan mereka semua, aku rasa ditempat itu pasti memiliki sesuatu
kemampuan yang bisa menaklukan hati orang."
"Sekalipun perkataanmu betul, tapi kalau dilihat keadaannya jelas kita tak akan
dikirim menuju ke Seng tong mereka, rupanya Sam seng bun tersebut bukan saja
merupakan suatu organisasi yang sangat rahasia, tindak tanduk merekapun sangat
hati-hati dan teliti, sekalipun terhadap orang sendiri, penjagaan juga dilakukan
secara berlebihan. Aku rasa hal pertama yang harus kita lakukan adalah mencari
tahu lebih dahulu dimanakah kita berada sekarang."
"Aku berpikir orang berbaju putih yang kita jumpai tadi adalah seorang Tongcu,
dia mengirim kita kemari, itu berarti tempat ini sudah pasti bukan suatu tempat
sembarangan." "Makanya kita harus selidiki dulu."
"Tapi bagaimana caranya untuk melakukan penyelidikan itu?"
54 "Dalam sekilas pandangan tadi, kusaksikan kebun bunga itu diatur secara rapi
teratur sekali, ini membuktikan bahwa tuan rumah tidak saja bukan jago silat
kasaran, ia juga seorang manusia yang cerdas dan pandai mempergunakan
otaknya, sepintas lalu tempat ini seakan-akan tanpa penjaga, ada suatu yang
diandalkan untuk menjaga keamanan di sini, sebentar kita boleh keluar untuk
melihat-lihat kalau bisa ingat baik-baik letak kebun ini serta bisa menemukan
bagian-bagian yang mencurigakan, sehingga bila melakukan operasi malam nanti,
kita sudah mempunyai rencana yang baik."
"Sikap orang-orang itu terhadap kita berdua amat menghina dan memandang
rendah, aku kuatir kita dilarang meninggalkan ruangan ini dan melihat lihat ke
kebun." "Kalau sampai demikian, terpaksa kita harus menghadapinya menurut keadaan!"
"Sstt... ada orang datang!" tiba-tiba Buyung Im seng berbisik.
Tong Thian hong juga segera merasakan hal itu, buru-buru ia menutup mulut dan
tidak berbicara lagi. Terdengar suara langkah manusia berkumandang datang, menyusul kemudian
pintu ruangan dibuka orang.
Seorang lelaki berbaju hijau memelihara jenggot kambing dan berdandan seorang
congkoan, pelan-pelan masuk ke dalam, setelah memperhatikan mereka sekejap,
katanya. "Bagaimana dengan keadaan luka yang kalian derita?"
Suaranya lembut dan nadanya ramah, bahkan tiada hentinya manggut-manggut
sambil tersenyum. Tong Thian hong tahu manusia yang termasuk dalam tipe
manusia "siau-li-cong-to" (menyembunyikan golok dibalik senyuman) adalah
manusia yang berbahaya sekali, mereka bisa membunuh orang sementara
senyuman ramah masih menghiasi di ujung bibir.
Maka sahutnya dengan cepat.
"Luka yang hamba derita itu sudah sembuh." Orang berbaju hijau itu lantas
berpaling ke arah Buyung Im seng kemudian tanya lagi.
"Bagaimana dengan keadaan lukamu?"
"Luka yang hamba derita agak parah, sampai sekarang belum sembuh sama
sekali." "Baik! Kalau begitu, tinggallah di sini untuk beristirahat dengan tenang...!"
Sorot matanya segera dialihkan ke wajah Tong Thian hong, kemudian katanya lagi.
"Kau bisa turun untuk berjalan sendiri?"
"Kalau dipaksakan mah bisa!"
"Kalau begitu, ikutlah aku!"
Tidak menanti jawaban dari Tong Thian hong lagi, dia lantas membalikkan badan
dan berjalan keluar. 55 Pelan-pelan Tong Thian-hong turun dari pembaringannya lalu mengikuti di
belakang orang berbaju hijau itu menuju ke luar.
Dengan begitu dalam ruangan tersebut tinggal Buyung Im-seng sorang diri.
Lebih kurang setengah jam kemudian Tong Thian hong baru nampak pelan-pelan
berjalan kembali, pintu lantas ditutup dan ia langsung naik ke atas pembaringan.
"Saudara Tong, ada apa" Kenapa begitu lama?" Tegur Buyung Im seng kemudian.
Dengan wajah serius Tong Thian hong segera menjawab.
"Bila dugaanku tidak salah, agaknya orang itu sudah menaruh curiga kepada kita,
aaii Sam-ceng-bun betul-betul tak boleh dianggap enteng."
"Apa sih yang sebenarnya telah terjadi?"
Mereka telah memanggilku menghadap, di situ hampir setengah jam lamanya aku
diperiksa dan ditanyai dengan pelbagai macam pertanyaan."
"Siapa yang memeriksa dirimu itu?"
"Entahlah, aku juga tidak tahu."
"Apakah kau tak melihat si pemeriksa itu?"
"Tidak, tempat itu merupakan ruangan yang sangat besar dan lebar, ditengah
ruangan terdapat sebuah kursi, orang berbaju hijau itu suruh aku duduk di atas
kursi itu kemudian berlalu. Setelah itu dari belakang tirai gelap berkumandang
suara pertanyaan, ia minta agar aku menjawab semua pertanyaannya, sayang tirai
tersebut sangat tebal dan gelap sehingga susah untuk mengetahui orangnya."
"Apa saja yang dia tanyakan?"
"Banyak sekali termasuk juga kisah sewaktu kita diserang dan juga keadaan
didalam perkampungan Kim Cok-ceng wan!"
"Padahal banyak yang tidak kita ketahui, bagaimana caramu untuk menjawabnya?"
"Tidak tahupun harus menjawab juga, ada sementara persoalan terpaksa harus
kujawab secara samar-samar."
"Benarkah jawabanmu itu?"
"Entahlah orang itu cuma bertanya dan sama sekali tidak membantah sepatah
katapun, jadi apakah jawabanku itu betul atau salah bahkan aku sendiripun tidak
tahu." "Kalau begitu kita musti bersikap lebih berhati-hati lagi."
"Betul mulai sekarang kita harus bersikap lebih berhati-hati lagi, malam ini
kita keluar lebih dulu untuk melihat jalan keluar di depan sana, kita harus
mempersiapkan dulu jalan mundurnya sehingga setiap saat bisa kabur dari sini."
Buyung Im-seng manggut-manggut.
"Ucapan nona Nyo ada betulnya juga, kita memang tak boleh terlalu menyerempet
bahaya." 56 "Ssstt... ada orang datang lagi!" bisik Tong Thian ong tiba-tiba. Buyung Im seng
cepat menutup mulut. Pintu didorong orang dan seorang dayang muda masuk
sambil membawa rantang berisi makanan.
Mereka berdua tidak menyangka kalau orang yang mengirim nasi adalah seorang
perempuan, untuk sesaat mereka menjadi tertegun dibuatnya. Pelan-pelan dayang
itu meletakkan keranjang makanan ke meja kemudian katanya.
"Makanlah lebih dulu!" Kemudian ia membalikkan badan dan keluar dari sana.
"Nona harap tunggu sebentar!" tiba-tiba Tong Thian hong berseru sambil melompat
bangun. Dayang itu berhenti sambil berpaling, tegurnya.
"Ada apa?" "Aku ingin menanyakan sesuatu kepada nona."
"Bukankah aku sudah berdiri di sini?" seru dayang itu dingin. "Kalau ada urusan
cepat utarakan." Tong Thian hong mendehem pelan, lalu katanya: "Nona mau mengirim nasi untuk
kami, sesungguhnya hal ini membuat kami berdua merasa amat berterima kasih."
Setelah mendengar perkataan ini, bukan saja dayang tersebut merasa sangat
keheranan, sekalipun Buyung Im-seng juga merasa tidak habis mengerti pikirnya.
"Bukankah sikapnya itu jelas tampak kalau tiada perkataan sengaja mencari
perkataan?" Betul juga, sambil tertawa dingin dayang itu segera menjawab. "Tak usah
berterima-kasih, aku hanya mendapat perintah untuk mengantar makanan buat
kalian." "Apakah nona dapat perintah dari hujin?"
"Eeeh... apakah kau kenal dengan nyonya kami?" Sesungguhnya Buyung Im-seng


Lembah Tiga Malaikat Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiripun tak tahu permainan busuk apakah yang sedang dijalankan oleh Tong
Thian-hong, terpaksa dia hanya berpeluk tangan saja.
Kedengaran Tong Thian hong berkata lagi. "Hamba mohon kepada nona agar juga
menyampaikan kepada hujin, katakan bila secara tiba-tiba hamba telah teringat
akan suatu persoalan yang sangat penting, tapi persoalan itu harus disampaikan
sendiri di hadapan nyonya."
Dayang itu tampak termenung sejenak, lalu sahutnya. "Sayang hujin tak ada
dirumah!" "Cuma boleh saja kusampaikan pesanmu itu kepada nona kami."
"Baiklah bila nona bersedia menyampaikan pesan ini, seandainya cayhe membuat
pahala nanti, nona pasti akan mendapat satu bagian."
Dayang itu kembali termenung beberapa saat, kemudian tanpa bicara lagi segera
berlalu dari sana. Menanti si dayang sudah pergi jauh, Buyung Im seng baru
berbisik, dengan suara lirih. "Saudara Tong sesungguhnya apa maksud dan tujuan
dengan tindakan itu?"
57 Tong Thian hong segera tersenyum.
"Sewaktu siaute mendapat pemeriksaan didalam ruangan tadi, secara lamat-lamat
kurasakan suara si pemeriksa adalah suara seorang perempuan, akan tetapi
berhubung nada suaranya waktu itu sangat rendah, siaute pun cuma mendengar
sepatah maka aku tak berani terlalu memastikan, maka ketika kulihat dayang itu
mengirim nasi buat kita, satu ingatan lantas melintas dalam benakku, maka
sengaja ku pancing dirinya dengan kata-kata, ternyata dugaanku tidak meleset, di
sini memang terdapat seorang perempuan yang memegang kekuasaan besar."
"Oooh... Kiranya begitu!" sekarang Buyung Im-seng baru dibuat mengerti akan
tujuan rekannya. "Dewasa ini kebebasan kita telah dikendalikan orang, maka kita harus berusaha
untuk membuka suatu suasana yang baru."
"Tapi bagaimana caranya?" Tong Thian hong segera menempelkan bibirnya di sisi
telinga Buyung Im seng dan membisikkan sesuatu. Buyung Im seng tersenyum
sesudah mendengar bisikan itu.
"Baiklah!" dia berseru. Tak lama kemudian, dayang itu benar-benar telah muncul
kembali di situ seraya berkata.
"Nona kami mempersilahkan kalian berdua untuk menghadap."
Tong Thian hong segera bangkit berdiri, katanya: "Hamba sih masih bisa berjalan
sendiri, tapi luka yang diderita saudara ini amat parah, harap nona bersedia
untuk memayangnya." Dayang itu segera mengalihkan sinar matanya ke tubuh Buyung Im seng, sesudah
memperhatikannya beberapa kejap, dia menegur.
"Apakah kau tak bisa berjalan sendiri?"
"Untuk berjalan hamba merasa kurang leluasa!" sahut Buyung Im seng dengan
cepat. Mendengar itu si dayang segera mengerutkan dahinya.
"Baiklah!" ia berkata kemudian. Ternyata wajah Buyung Im seng penuh berminyak
campur debu, bajunya juga kotor oleh noda darah, dayang itu kuatir mengotori
tangannya yang halus. Buyung Im seng segera bangkit berdiri, tanpa sungkan-sungkan tangannya yang
sebelah menekan di atas dayang tersebut, meski tak mengerahkan tenaga dalam,
tapi hampir semua bobot badannya disandarkan ke atas badan dayang tersebut.
Dayang itu memalingkan wajahnya yang halus untuk menengok Buyung Im seng
sekejap, kemudian tanpa mengucapkan sepatah katapun berjalan menuju ke depan.
Tong Thian hong segera mengikuti di belakang Buyung Im seng dengan ketat.
Tampaknya dayang itu merasakan amat jemu terhadap Buyung Im seng, selembar
wajahnya ditengokkan jauh ke muka, seakan-akan kuatir kalau pipinya yang putih
dan bersih itu sampai tersentuh badan Buyung Im seng yang kotor.
Dengan demikian justru telah memberi suatu kesempatan yang baik buat Buyung
Im seng untuk memperhatikan di sekeliling tempat itu.
58 Ternyata tempat itu adalah sebuah kebun bunga yang luas, di tengah kebun
terdapat gunung-gunung dengan aneka bunga tumbuh di sekelilingnya, suasana
sangat indah dan megah. Dayang itu membawa mereka menelusuri jalan setapak menuju ke depan ruang
tengah yang dibangun sangat megah, kemudian sambil menarik bahunya dan
mengibaskan lengan Buyung Im seng yang bersandar di atas bahunya itu ia
berkata dingin. "Sudah sampai! Kalian tunggu sebentar di sini."
Dengan langkah pelan dia lantas masuk lebih dulu ke dalam ruangan megah itu.
"Bersabar sedikit!" Tong Thian hong segera berbisik.
Buyung Im seng manggut-manggut sebagai tanda jawaban.
Tak lama kemudian dayang itu telah muncul kembali sambil berkata dengan
dingin. "Kalian boleh masuk!"
Tong Thian hong segera mengulur tangannya untuk memayang Buyung Im seng
dan pelan-pelan berjalan masuk ke dalam ruangan.
Ruangan tersebut sangat luas dengan dekorasi serta perabot yang mewah dan
indah, tirainya berwarna merah darah, empat buah pot bunga terletak ditengah
ruangan, dua pot ditanami bunga berwarna merah dan dua yang lain berwarna
putih, membuat suasana dalam ruangan tersebut tampak lebih nyaman.
Cukup dilihat dari dekorasi dalam ruang tersebut, bisa diketahui kalau rumahnya
seseorang yang tahu akan seni.
Sambil menunjuk dua buah bangku yang diletakkan berjajar ditengah ruangan,
dayang itu berseru. "Kalian boleh duduk disitu!"
Tong Thian hong dan Buyung Im seng berdua segera mengiakan dan duduk dikursi
yang ditunjuk. Pelan-pelan dayang itu baru membalikkan badannya seraya berkata.
"Lapor nona, kedua orang itu sudah tiba."
Tirai bergoyang-goyang, seorang gadis cantik berbaju hijau segera munculkan diri
ke dalam ruangan. TOng Thian hong dan Buyung Im seng segera mendongakkan kepalanya dan
memandang wajah gadis itu sekejap, kemudian cepat-cepat kepalanya ditundukkan
kembali. "Kalian adalah anak buah Kim Cok?" suara teguran yang merdu segera
berkumandang. "Benar!" jawab Tong Thian hong sambil memberi hormat, "cuma sayang
kedudukanku sangat rendah!"
Nona berbaju hijau itu manggut-manggut.
59 "Siapa yang sedang kalian kawal pada waktu itu?" tanyanya kembali.
"Buyung kongcu serta seorang pelayannya dan dua orang Hoa-li dari perguruan
Biau hoa-bun" "Soal itu semua sudah ku ketahui, bukankah kau mengatakan masih ada urusan
penting yang akan disampaikan kepadaku" Entah persoalan apakah itu?"
"Tentang Buyung kongcu..."
"Kena apa dengan Buyung kongcu" Apakah sudah kau temui?" seru nona berbaju
hijau itu gelisah. "Sebenarnya Kim cengcu bisa menggusur Buyung kongcu kemari, siapa tahu ia
ditengah jalan ditolong orang."
"Hmm! Aku tidak percaya dengan kepandaian silat yang dimiliki oleh Kim Cok
serta Ong Thi san, mereka berhasil menangkap Buyung kongcu!"
"Bagaimanakah macam bentuk wajahnya?"
Tong Thian hong berpaling dan memandang sekejap ke arah Buyung Im seng,
kemudian menjawab. "Wajahnya tampan sekali, ia duduk di atas keretanya, maka ia lebih jelas
daripada hamba, bila nona ingin mengetahui yang lebih jelas lagi, silahkan bertanya
sendiri kepadanya." Betul juga, nona itu segera mengalihkan sinar matanya ke wajah Buyung Im seng.
"Siapa namamu?" tegurnya kemudian.
"Hamba bernama Kim Hok!"
"Benarkah Buyung kongcu naik keretamu?"
Terpaksa Buyung Im seng harus menganggukkan kepalanya.
"Benar!" "Coba kau bayangkan bagaimanakah wajahnya!" Buyung Im seng merasa serba
salah, tapi dalam keadaan begini terpaksa ia harus keraskan kepala sambil
menjawab. "Dia masih sangat muda, lebih kurang baru berusia dua puluhan tahunan..."
"Konon ilmu silatnya sangat lihai, bagaimana cara majikan kalian menawannya?"
"Hamba kurang jelas, mungkin mencampuri arak dan sayurnya dengan obat
pemabuk!" "Aku sudah tahu kalau Kim Cok dan Ong Thi san sudah pasti tak akan mampu
menangkap Buyung kongcu bila harus mengandalkan ilmu silat yang mereka
miliki." Sesudah berhenti sebentar terusnya. "Ketika kalian diserang orang
ditengah jalan, apakah Buyung kongcu menderita luka?"
"Orang-orang itu memotong borgol dan melepaskan Buyung kongcu, kejadian
selanjutnya kurang begitu jelas, sebab waktu itu hamba sudah kena dihajar sampai
pingsan." 60 Nona berbaju hijau itu manggut-manggut, sinar matanya dialihkan kembali ke
wajah Tong Thian hong. "Hanya soal-soal itukah yang hendak kau laporkan?" tegurnya.
"Selain itu juga akan hamba terangkan kemana Buyung kongcu telah pergi!"
"Ia pergi kemana?"
"Waktu itu luka yang hamba derita kebetulan agak ringan, pendengaran hamba
belum hilang sama sekali, dalam pembicaraan yang kemudian berlangsung, hamba
dengar orang-orang itu hendak membawa Buyung kongcu menuju ke suatu tempat
yang dinamakan Jit seng po (benteng tujuh bintang)..."
"Jit seng po" Dimana itu letaknya?" tanya si nona dengan kening berkerut.
"Soal itu mah hamba kurang begitu jelas."
"Masih ada yang lain?"
Tong Thian hong segera menggeleng.
"Sudah tidak ada lagi, barusan hamba merasa hal ini sangat penting maka hamba
berusaha untuk menghadap."
"Hmmm! Memang sangat penting, untuk sementara waktu jangan kau katakan soal
itu kepada siapapun!"
"Akan hamba ingat selalu!"
"Kau perintahkan ke dapur untuk menyiapkan arak dan sayur yang baik agar
mereka bersantap sekenyangnya, kemudian beri obat sian-hoat-wan untuk
menyembuhkan luka mereka!"
Selesai berkata, dia terus membalikkan badan berjalan masuk ke balik tirai.
Dayang itu segera memandang sekejap ke arah mereka berdua, katanya dingin.
"Sekarang kalian boleh kembali ke ruangan!"
Tong Thian Hong segera bangkit berdiri sambil membimbing Buyung Im seng,
katanya. "Saudara Kim, mari ku bimbing dirimu!"
Buyung Im seng segera bangkit berdiri, dengan dibimbing oleh Tong Thian hong
mereka berlalu dari sana.
Sekembalinya ke dalam ruangan, Buyung Im seng bertanya dengan suara lirih.
"Saudara Tong, dimana sih letaknya Jit-seng-po itu?"
"Sebenarnya apa yang telah terjadi" Semakin mendengar siaute merasa semakin
tidak habis mengerti."
"Sengaja kuajukan sebuah persoalan sulit untuk mereka, ingin kulihat dengan cara
apakah mereka akan mengatasi masalah itu."
"Maksudmu?" "Siaute pernah mendengar ayahku membicarakan soal Jit-seng-po tersebut, konon
di atas loteng itu tinggal seorang manusia aneh yang lurus tidak sesatpun tidak,
ia bergelar Jit-seng-jiu (tangan sakti tujuh bintang) orangnya aneh dan suka hidup
menyendiri, selama ini tak berhubungan dengan dunia persilatan, cuma sayang
61 ketika ayahku membicarakan soal ini dengan beberapa orang temannya, siaute
cuma tahu kepalanya tak tahu buntutnya. Tapi justru karena itu, siaute baru bisa
berbicara dengan kata yang serius dan bersungguh-sungguh."
Buyung Im seng segera tersenyum setelah mendengar perkataan itu.
"Ide mu sih bagus, Ehmmm sayang kau telah mencelakai Jit-seng-jiu tersebut."
"Bila seseorang hidup menyendiri dengan watak yang aneh serta tak pernah
berhubungan dengan orang lain, dibalik kesemuanya itu tentu ada hal-hal yang
mencurigakan, kalau dibilang orang itu adalah seorang manusia baik-baik aku rasa
hal ini belum tentu."
"Paling tidak dia toh suka hidup menyendiri daripada bersekongkol dengan pihak
Sam-seng-bun." "Dalam sarang yang porak poranda tiada telur yang utuh, bila Jit-seng-jiu masih
ingin hidup tenang dalam suasana dunia persilatan yang serba kalut ini, sudah
sepantasnya kalau kita suruh dia mencicipi bagaimana rasanya bila dikunjungi
tamu tak diundang." Tiba-tiba Buyung Im seng merasa persoalan ini tidak baik dibicarakan lebih jauh,
dia lantas mengalihkan pembicaraan kesoal lain, katanya.
"Saudara Tong, menurut pendapatmu apakah kedudukan nona berbaju hijau itu di
sini?" "Kalau dilihat dari keadaan tadi, tampaknya dia adalah adik dari tuan rumah."
"Yaa, akupun berpendapat begitu."
"Aku lihat nona itu seperti menaruh perhatian khusus terhadap saudara Buyung."
Buyung Im seng segera tertawa, katanya. "Mungkin pihak Sam seng bun telah
mengumumkan hadiah besar bila bisa menangkap diriku, maka setiap orang ingin
agar bisa membekuk hidup-hidup diriku."
"Orang takut menjadi ternama, Sam seng bun memang terlalu memandang serius
diri Buyung heng, tapi otak dari kesemuanya ini tidak menyangka kalau
perbuatannya itu justru telah menciptakan saudara Buyung menjadi lambang dari
seorang ksatria, semua orang berusaha untuk menangkap dirimu dengan harapan
bisa menaikkan derajat dan martabat mereka dimata masyarakat."
Kemudian sambil merendahkan suaranya, dia melanjutkan: "Seperti misalnya
dengan nona itu, mungkin dihati kecilnya juga muncul keinginan untuk bisa
menangkap dirimu, tapi dia lebih berharap bisa bersua muka denganmu, walau
begitu dia tentu tak akan menyangka kalau Buyung kongcu yang sangat
diharapkan itu justru telah berdiri di hadapan mukanya."
"Bagaimana jalan pemikiran orang, kita tidak bisa mencampurinya, yang paling
penting sekarang adalah bagaimana caranya kita mengadakan kontak dengan nona
Nyo, kemudian bagaimana pula caranya kita menyelusup masuk ke dalam Sengtong?"
62 "Sekarang kita sudah berada dalam lingkungan musuh, sesungguhnya tiada
peraturan khusus yang mengatur gerak-gerik kita, aku rasa lebih baik kita turun
tangan lebih dulu dari tubuh si nona berbaju hijau itu."
"Tapi, bagaimana caranya turun tangan?"
"Aku sendiripun belum mendapatkan sesuatu akal yang bagus, dewasa ini terpaksa
kita harus menghadapi keadaan menurut situasi saat itu."
Baru Buyung Im seng ingin bicara lagi, tiba-tiba di luar ruangan terdengar ada
suara langkah kaki manusia sedang berjalan mendekat, dengan cepat mereka tutup
mulut. Pintu segera dibuka orang dan dayang itu pun masuk ke dalam ruangan.
"Apakah nona ada sesuatu petunjuk?" Tong Thian hong segera melompat bangun
sambil menegur. Si nona yang selama ini bersikap dingin, tiba-tiba mengulum sekulum senyuman,
sahutnya: "Nona kami suruh aku menghadiahkan dua butir pil untuk kalian berdua, pil ini
berharga sekali, dan paling mujarab untuk menyembuhkan segala macam
penyakit." Dari sakunya dia mengeluarkan dua butir pil dan segera diangsurkan ke depan.
Sambil menyambut kedua butir pil itu, Tong Thian hong menyahut, "Terima kasih
nona!" "Setelah minum obat dan beristirahat barang dua jam, akan kukirim sayur dan
arak untuk kalian berpesta pora, saat itu kesehatan kalian tentu akan pulih
kembali seperti semula."
"Budi kebaikan nona tak akan kami lupakan untuk selamanya."
"Mungkin nona kami masih ada urusan lain hendak disampaikan kepada kalian
berdua, sampai waktunya aku akan datang mengabarkan lagi kepada kalian."
Seusai bicara, dia lantas membalikkan badan dan berlalu dari ruangan itu.
Tong Thian hong segera berpaling dan memandang sekejap ke arah Buyung Im
seng, kemudian bisiknya. "Kelihatannya urusan telah mengalami perkembangan
lain!" "Ia menghadiahkan obat kepada kita dengan tujuan untuk cepat-cepat


Lembah Tiga Malaikat Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyembuhkan luka yang kita derita, dengan kedudukan kita dalam Sam seng bun
sekarang, seharusnya tak perlu mendapatkan perhatian khusus darinya, apakah
kejadian ini tidak mencurigakan?"
Mendengar perkataan itu, tiba-tiba Buyung Im seng melompat ke depan secepat
kilat, tangan kanannya segera menyambar ke muka melancarkan sebuah
cengkeraman. Terdengar keluhan tertahan, tahu-tahu dayang tadi sudah diseret masuk kembali
ke dalam ruangan. 63 Rupanya dayang tadi setelah pergi telah balik kembali kesana dan mencuri dengar
pembicaraan mereka. Tak disangka sama sekali, ternyata ilmu meringankan tubuh yang dimiliki dayang
itu amat sempurna, hal mana mengakibatkan baliknya kembali dayang itu sama
sekali tak terdengar oleh Buyung Im seng maupun Tong Thian hong.
Akan tetapi disaat tubuhnya berkelebat lewat dari celah-celah pintu itulah,
bayangan tubuhnya tak berhasil lolos dari ketajaman mata Buyung Im seng.
Dengan suatu gerakan yang amat cepat Buyung Im seng berhasil menangkap
dayang itu dan menyeretnya masuk ke dalam ruangan.
Tong Thian hong yang menyaksikan kejadian itu diam-diam merasa terkejut
bercampur kagum, pikirnya "Kalau dilihat dari kepandaian silatnya itu, agaknya
dia masih jauh lebih tangguh daripada kepandaianku."
Ternyata sejak Buyung Im seng mempelajari ilmu pukulan dan ilmu pedang yang
diwariskan ayahnya, kepandaian silat yang dimilikinya telah memperoleh
kemajuan yang pesat, apalagi dibantu oleh Nyo Hong-ling yang lihai itu,
menyebabkan ilmu silatnya bertambah pesat lagi majunya. Setelah diseret masuk
ke dalam ruangan, dayang itu segera mendongakkan kepalanya dan memandang
sekejap ke arah Buyung Im seng, kemudian berseru keras.
"Lepaskan aku!"
Buyung Im seng tertawa hambar.
"Nona berapa banyak yang berhasil kau sadap dari pembicaraan kami tadi?"
tegurnya. Dayang itu tidak menjawab pertanyaan yang diajukan Buyung Im seng, sebaliknya
malah tanya. "Siapa kau?" "Jika nona masih ingin hidup, lebih baik jangan banyak bertanya kepadaku."
"Aku tak percaya kalian benar-benar berani membunuhku!" "Kenapa kau tak
percaya?" tanya Tong Thian hong.
"Sebab nona kami sudah tahu bahwa aku datang kemari untuk menyampaikan obat
buat kalian, jika dalam seperminuman teh aku belum kembali juga, ia pasti akan
curiga, dan waktu itu dia pasti akan datang kemari untuk melakukan
pemeriksaan." Mendengar itu Tong Thian hong segera tersenyum: "Kiranya begitu, cuma nona
sudah salah menghitung akan satu hal..."
"Soal apa?" "Setelah jejak kami ketahuan, seandainya kami lepaskan nona, kami juga tak dapat
melepaskan diri dari sini, tentunya kau bisa memahami bukan bagaimana jika
seseorang sudah nekat karena cemas?"
Dayang itu menjadi termangu.
64 "Kalau begitu, kalian bertekad akan membunuh diriku?" Serunya agak gemetar.
"Itu mah belum tentu."
"Cepat kalian katakan, apa yang harus kulakukan?"
"Nona sendiri saja yang mencari akal untuk tidak membocorkan rahasia kami, asal
akalmu itu dapat membuat kami menjadi percaya maka kamipun pasti tak akan
mencelakai dirimu." "Kalau aku sudah mengatakan tak akan bicara, yaa tak akan bicara, tapi kalau
kalian tidak mau percaya juga, lantas apa yang harus kulakukan?" Selama ini
Buyung Im seng tidak mengucapkan sepatah katapun, padahal dalam hatinya
sedang berpikir bagaimana caranya untuk menghadapi dayang tersebut.
Pelbagai akal sudah dia pikirkan, akan tetapi tidak sebuahpun yang berkenan
dihatinya, tanpa terasa dia lantas menghela napas panjang.
"Aaaiii... tampaknya, sekalipun kau tak akan kubunuh, paling tidak jalan
darahnya juga musti ditotok!"
"Ya, sekalipun musti ditotok paling tidak juga lebih mendingan daripada mati",
sahut dayang itu dengan sedih. Setelah manggut-manggut katanya lebih jauh.
"Baiklah! Jika kalian tak mau percaya juga silahkan menotok jalan darahku!"
"Kelihatannya nona pandai sekali untuk menyesuaikan diri." seru Tong Thian hong
kemudian. Sesudah berhenti sejenak dengan suara dingin: "Kami ingin mengajukan
beberapa buah pertanyaan kepada nona, bila kau bersedia untuk menjawab dengan
sejujurnya mungkin saja kami akan melepaskan diri nona."
"Baik, tanyalah!"
"Tempat manakah ini" Siapa nama tuan rumah di sini" Dan apa pula kedudukan
nona berbaju hijau itu?"
"Tempat ini bernama Cing-hong-po (bentangan sejuk), kepala kampungnya
bernama Im-hui, sedang nona kami adalah adik perempuan Im pocu...!"
"Apakah hubungan tempat ini dengan Sam seng po?" "Tempat ini adalah salah satu
kantor cabang dari Sam seng bun!" "Siapakah nama nonamu?" "Mau apa kau
menanyakan namanya?"
Tong Thian-hong segera merasakan paras mukanya menjadi panas dan agak
memerah karena jengah, tapi segera sahutnya.
"Tentu saja aku mempunyai tujuan tertentu!" "Ia bernama Im Siau-gwat!"
"Saudara Buyung, bagaimana kalau kita lepaskan dia?" tiba-tiba Tong Thian hong
berkata. Buyung Im seng tertegun kemudian sahutnya.
"Ya, lepaskan!"
Seraya berkata dia lantas membebaskan dayang itu dari pengaruh totokan...
"Nona, siapa namamu?" tanya Tong Thian hong lagi. "Aku bernama Ciu Peng!"
"Nona aku ingin memberitahukan hal kepadamu." "Persoalan apakah itu?"
65 "Seorang manusia hanya bisa mati satu kali, oleh karena itu aku harap nona bisa
baik-baik menjaga diri!"
Ciu peng berpikir sebentar kemudian sahutnya: "Aku lagi heran kenapa kalian
bersedia melepaskan aku dengan begitu saja, tanpa melakukan sesuatu di atas
badanku?" Sinar matanya segera menyapu sekejap wajah Tiong Thian hong dab Buyung Im
seng, kemudian melanjutkan: "Apakah kalian berdua bersedia menerangkan asal
usul kalian yang sesungguhnya?"
"Nona, besar amat nyalimu!" seru Tong Thian Hong dengan alis mata berkernyit.
Ciu Peng segera tersenyum: "Bukankah kau yang berkata sendiri, seorang hanya
bisa mati sekali...?" Sinar matanya segera dialihkan ke wajah Buyung Im seng,
kemudian lanjutnya. "Kepandaian silat yang kau miliki sangat lihai, jauh berbeda dengan kawanan
persilatan biasa, bila dugaanku tidak salah, seorang diantara kalian berdua
pasti merupakan Buyung kongcu."
Dengan satu lompatan kilat, Tong Thian hong menghadang di depan pintu ruangan,
lalu katanya dingin. "Nona terlalu cerdik, orang cerdik sukar berumur panjang."
Sikap Ciu Peng amat tenang, sama sekali tidak nampak gugup atau gelagapan,
setelah menghembuskan napas panjang, kembali ujarnya.
"Jika dugaanku salah, kalian berdua tak akan marah dan gugup sekarang." "Justru
karena dugaanmu benar, maka kau harus mati!" "Siapa yang merupakan Buyung
Kongcu?" "Aku..." jawab Buyung Im seng dingin. Pelan-pelan tampak tangan
kanannya diangkat ke udara.
Ciu Peng yang menyaksikan paras mukanya amat serius, lagi pula tangan yang
diayun ke atas berat bagaikan ada bandulan seberat ribuan kati, segera mengerti,
bila serangan itu diayunkan ke bawah, niscaya kekuatannya luar biasa sekali.
Buru-buru serunya dengan cepat.
"Budak mendapat perintah rahasia untuk menyambut kedatangan Buyung kongcu."
Buyung Im seng agak tertegun setelah mendengar ucapan itu.
"Kau mendapat perintah dari siapa?" tegurnya.
(Bersambung ke jilid 4) 66 Lembah Tiga Malaikat Oleh: Tjan Jilid 4 "Pangcu kami!" "Kau dari perkumpulan Li-ji-pang (Perkumpulan putri-putri)?" bisik pemuda itu.
"Benar!" "Darimana pangcu kalian bisa tahu kalau aku akan datang kemari?"
"Ia tidak tahu, tapi sejak beberapa bulan berselang budak mendapat perintah
rahasia untuk memperhatikan Buyung kongcu, apabila kau mendapat bahaya maka
budak harus berusaha untuk memberi pertolongan."
"Kalau begitu, nona juga menyelundup kedalam Sam-seng bun sebagai mata-mata?"
Ciu Peng segera mengangguk.
"Budak sudah lima tahun bercokol di tempat ini, bahkan mendapat kepercayaan
penuh dari nona Im, seandainya bukan menghadapi urusan penting, pangcu tidak
memperkenankan budak untuk mencapurinya, dari pada rahasiaku ketahuan."
"Nona mempunyai bukti apa yang menunjukkan bahwa kau benar-benar anggota
perkumpulan Li-ji-pang?" tanya Tong Thian hong.
BAGIAN KELIMA "Sukar untuk dibuktikan, sekalipun bisa kubuktikan belum tentu kalian mengerti,
bila aku orang Sam-seng-bun, apalagi setelah menaruh curiga kepada kalian
berdua, tidak nanti akan kudatangi tempat ini seorang diri untuk menyerempet
bahaya, persoalan ini pasti akan kulaporkan kepada nona lebih dulu."
"Nona pernah berjumpa dengan pancu kalian?" pelan-pelang Buyung Im seng
bertanya. "Kedudukanmu didalam perkumpulan tidak rendah, kenapa belum pernah
berjumpa dengan pangcu?"
67 "Ehmm... bagaimana wajah pangcu kalian?"
"Ciu Peng segera tersenyum. Ia sebentar jelek sebentar cantik, wajahnya susah
diikuti", Buyung kongcu bertanya begini kepadaku, apakah kau pernah berjumpa
dengan pangcu kami.." ia berpikir dalam hati.
"Betul, aku memang pernah bersua dengan pangcu kalian."
"Apa saja yang pernah pangcu bicarakan denganmu?" tanya Ciu Peng tersenyum.
"Dia mengajarkan kepadaku agar mau bekerja sama dengannya, tapi aku belum
menyanggupinya." Ciu Peng termenung sejenak, kemudian katanya sambil tertawa. "Aku tak dapat
berdiam terlalu lama disini, semoga kalian berdua baik-baik menjaga diri, budak
akan pergi dulu." Seusai berkata dia lantas membalikan badan dan beranjak meninggalkan tempat
itu. Dengan termangu-mangu Buyung Im seng dan Thian hong memperhatikan
bayangan punggung Ciu Peng hingga lenyap dari pandangan mata jauh didepan
sana. Tong Thian hong segera berbisik kepada Buyung Im seng. "Saudara Buyung, bisa
dipercayakah orang itu?"
"Apa yang dikatakannya memang benar semua, aku rasa tak mungkin ada
persoalan." "Kalau orang tidak memikir jauh kedepan tentu ada kesedihan didepan mata, jika
budak itu menipu kita sehingga membocorkan rahasia kita berdua, apa yang
saudara Buyung siap lakukan?"
"Bila keadaan terlalu mendesak, terpaksa aku akan bertarung melawan mereka."
"Benar! Kita boleh menggunakan kesempatan ini untuk melenyapkan kantor
cabang mereka dan melakukan pembunuhan secara besar-besaran."
"Baik! Sampai waktunya kita boleh menghadapi menuruti situasi waktu itu."
Setelah merundingkan cara yag paling baik untuk mengatasi keadaan, perasaan
mereka berdua malah menjadi lega, maka merekapun memejamkan mata untuk
mengatur pernapasan. Lebih kuran sepertanak nasi kemudian, Ciu Peng dengan membawa dua orang
pelayan datang menghidangkan sayur dan arak.
Ciu Peng memandang kearah mereka berdua, lalu bisiknya. "Kalian boleh
bersantap dengan lega hati."
Kemudian dengan membawa kedua orang itu berlalu dari ruangan tersebut.
Sepeninggal dayang itu, Tong Thian Hong mendehem pelan, lalu katanya lirih,
"Saudara Buyung, biar siaute mencicipi lebih dulu hidangan ini, jika ada
racunnya, maka saudara Buyung tak usah makan."
"Tidak, lebih baik aku yang makan dulu."
68 Mereka berdua segera turun tangan bersama melahap hidangan itu, setelah
bersantap kedua orang itu baru salaing berpandangan dan tertawa geli.
Setengah harian lewat dengan cepatnya.
Mendekati malam harinya, Ciu Peng mucul kembali dalam ruangan rahasia itu
sambil berbisik. "Congcu kami telah pulang!"
"Lihaikah ilmu silat yang dimiliki cengcu kalian itu?" tanya Tong Thian hong.
"Ya, kungfunya sangat lihai, bukan cuma tinggi saja kepandaiannya bahkan cerdik,
licik dan banyak tipu muslihatnya, harap kalian suka bertindak berhati-hati."
"Bagiamana berhati-hatinya?"
"Aku rasa malam nanti kalian berdua pasti akan melakukan sesuatu tindakan,
kuanjurkan kepada kalian lebih baik jangan sembarangan bergerak..."
Tong Thian Hong dan Buyung Im seng saling berpandangan sekejap, dalam hati
kecilnya mereka berpikir bersama.
"Cerdik betul budak ini!"
Tidak mendengar jawaban dari kedua orang itu, sambil tertawa ewa kembali Ciu
Peng berkata. "Apa yang ingin berdua ketahui, aku dapat memberitahukan kepada kalian, dan
aku rasa kalian tak usah menyerempet bahaya dengan percuma."
"Kami ingin mengetahui letak Sam seng tong, apakah nona tahu letak tempat itu?"
tanya Tong Thian hong. "Waah.. baru pertanyaan yang pertama saja aku sudah dibikin kesulitan untuk
menjawab." seru Ciu Peng sambil menghela napas. "Sudah banyak tahun aku
tinggal disini, banyak sudah yang kuketahui tentang perkampungan itu, tapi aku
tak pernah berhasil mengetahui letak Sam seng tong mereka, pangcu kami pun
berunlang kali mengajukan pertanyaan ini, tapi aku selalu gagal untuk memberi
jawaban." "Menurut apa yang kuketahui, agaknya Sam seng tong terletak dibukit Tay hu san
apa benar?" "Tempo dulu akupun berpendapat demikian, tapi setelah memulai penyelidikan
seksama kutemukan bahwa Sam seng tong agaknya bukan berada dibukit Tay hu
san, seandainya diatas bukit iut benar-benar terdapat Sam seng tong maka jelas
tempat itu merupkan sebuah perangkap untuk menjebak orang."
Tong Thian hong termenung sejenak lalu bertanya lagi.
"Apakah kedudukan cengcu dari perkampungan ini di dalam perkumpulan Sam
seng tong?" "Salah seorang dari Sam toa tongcu, menurut kalian bagaimana kedudukannya"
Mungkin selain ketiga malaikat Sam seng, kedudukan mereka berada diurutan
kedua." 69 "Aku ingin bertanya lagi pada nona," sambung Buyung Im seng, yang dimaksudkan
sebagai Sam seng bun (perguruan tiga malaikat) tentunya diselenggarakan oleh
tiga orang, apakah nona juga mengetahui siapakah nama mereka?"
"Kalian berdua benar-benar sangat lihai, pertanyaan kedua kembali membuatku
sukar menjawab, kalau didengar nama perguruannya, semestinya perkumpulan itu
dipimpin tiga orang, tapi benarkah begitu, mungkin hanya beberapa orang saja
bisa menjawab." "Dengan kedudukan cengcu dari perkampungan ini apakah diapun tidak tahu?"
desak Buyung Im seng. "Aku tak dapat bertanya kepadanya, dia sendiripun tak akan membicarakannya,
dari mana aku bisa tahu?"
"Selama banyak tahun ini, apakah nona pernah berhasil menemukan sebuah titik
terang?" "Tidak!" Buyung Im seng merenung sebentar, kemudian tanya lagi.
"Apakah tuan rumah ditempat ini seringkali berada dirumah?"
"Yang membuat orang tidak habis mengerti justru terletak disini, dia sebagai


Lembah Tiga Malaikat Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang tongcu yang berkedudukan tinggi, seharusnya sering berada dalam
ruangan Sam seng tong tapi di dalam kenyataannya dalam satu tahun ada setengah
tahun dia berada dirumah.
"Benarkah demikian?"
"Benar! Selama beberapa tahun ini diam-diam budak berusaha untuk
menyelidikinya, akan tetapi aku tak pernah berhasil untuk menemukan dimana
letak alasannya." "Mungkin mereka mempunyai cara lain untuk mengadakan pertemuan." sela Tong
Thian hong. "Benar, cuma saja kami tak punya akal yang baik untuk menyelidiki persoalan ini
sejelasnya." Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan: "Cuma, aku tahu mereka seringkali
berhubungan surat dengan melalui merpati pos."
"Aku dengar Sam seng bun memang amat ahli didalam menggunakan merpati pos,
tampaknya kita haru turung tangan lewat hal tersebut."
"Baik! Pembicaraan kali ini sampai disini dulu, aku tak bisa berdiam terlalu
lama disini, semoga kalian berdua baik-baik menjaga diri, akupun berharap kalian mau
percaya dengan perkataan budak, jangan sembarangan melakukan gerakan,
mungkin kalian tepat sekali kedatangan untuk ikut menyaksikan suatau
keramaian." "Keramaian apa?"
"Sekarang aku sendiripun kurang jelas!" seusai berkata nona itu segera beranjak
pergi. 70 Sepeninggal dayang itu, Tong Thian hong berkata lirih.
"Walaupun Ciu Peng hanya berkedudukan sebagai dayang, tapi dia adalah seorang
manusia yang amat cerdas dengan pikiran yang cermat, kita tak boleh bersikap
terlalu pandang enteng terhadap dirinya."
"Dia mengakui sendiri kalau kedudukannya dalam perkumpulan Li ji pang tidak
rendah kelihatannya ucapan tersebut bukan kata-kata bualan belaka."
"Ia bilang kedatangan kita mungkin bertepatan dengan akan terjadinya suatu
keramaian entah apa yang dia maksudkan?"
Mungkin apa saja pada malam nanti ada orang yang akan datang menyatroni
tempat ini" "Yang membuat kita tak habis mengerti kecuali kita, masih ada siapa lagi yang
bernai memusuhi orang-orang Sam seng bun?"
"Soal ini mah sulit untuk dibicarakan, bukankah orang-orang yang ingin menolong
kita ditengah jalan kemarin adalah musuh-musuh dari Sam Seng bun" Mereka juga
memusuhi pihak Sam seng bun, cuma saja tak berani memperlihatkan nama serta
kedudukan yang sebenarnya."
Tong Thian hong termenung sejenak, lalu katanya, "Benar juga perbatasan saudara
Buyung kalau toh Ciu Peng tidak memperkenankan kita melakukan suatu gerakan
pada malam ini, mugkin saja ia telah memperoleh sesuatu kabar berita penting.
Tampaknya mau tak mau kita harus menuruti juga perkataanya itu..." Kata
Buyung Im seng. Setelah berunding sebentar, mereka berdua lantas memutuskan untuk menuruti
anjuran Ciu Peng dan berdiam saja dalam kamar sambil menanti terjadinya
perkembangan selanjutnya.
Mereka berdua lantas duduk bersila diatas pembaringan sambil mengatur
pernapasan. Kentongan kedua sudah lewat, akan tetapi tidak juga terjadi sesuatu peristiwa,
Tong Thian hong mulai agak tak sabar lagi, dengan suara lirih segera bisiknya.
"Saudara Buyung mungkin berita yang diperoleh Ciu Peng belum tentu benar, kau
berjaga-jagalah dalam ruangan ini, bagaimana kalau aku keluar untuk melakukan
pemeriksaan?" "Lebih baik tunggu saja sebentar lagi, jika selewatnya kentongan kedua belum
terjadi sesuatu juga, saudara Tong baru keluar mencari keterangan." Barus
selesai dia berkata, mendadak terdengar suara desingan angin tajam mendesis diluar
ruangan. Tong Thian hong segera bangkit berdiri sambil berbisik: "Kau memeriksa dari
depan jendela, akan kulihat keadaan dari tepi pintu."
Buyung Im seng segera bangkit berdiri dan melongok keluar dari daun jendela.
Tampak sesosok bayangan manusia secepat sambaran kilat meluncur keluar dari
balik gunung gunungan dan melayang ke bawah, lalu melompat kesuatu tempat
yang tak jauh dari ruang kecil itu.
71 Orang itu memakai baju serba hitam dengan wajahpun dibungkus kain hitam,
hanya sepasang matanya saja yang tampak, ia bersenjata sebilah pedang. Malam
itu adalah malam yang tak berbulan, dibawah cahaya bintang secara lamat-lamat
masih dapat terlihat pemandangan diluar ruangan tersebut.
Buyung Im seng menyaksikan orang itu hanya berada lebih kurang satu kaki dari
ruangan mereka berada, dengan cepat dia menutup semua pernapasannya. Tibatiba
terdengar suara teguran dingin berkumandang dari balik bangunan beberapa
kaki didepan sana. "Lepaskan senjatamu!"
Mendengar teguran tersebut, Buyung Im seng menjadi tertegun, segera pikirnya.
"Sepintas lalu kebun bunga ini tampak tenang dan sepi, ternyata dibalik aneka
bunga tersebut telah dipersiapkan penjagaan yang sangat ketat, sungguh sesuatu
yang diluar dugaan."
Sementara itu, orang berbaju hitam itu tidak menjawab, tiba-tiba ia menghimpun
tenaganya dan melompat kedepan, kemudian melayang naik keatas ruangan kecil
itu. Pada saat yang bersamaan ketika orang berbaju hitam itu melayang naik keatap
atap, dua batang anak panah dengan membawa desingan angin tajam telah
menyambar. "Plook! plook!" dua batang anak panah itu segera ditangkis oleh ayunan pedang
orang berbaju hitam itu sehingga rontok ke bawah.
Dari tempat Buyung Im Seng berada sekarang, sulit baginya untuk melihat
keadaan diatas atap rumah, tapi berdasarkan ketajaman pendengarannya ia tahu
dengan pasti bahwa orang berbaju hitam itu sudah melayang turun di atas atap
rumah. Tampaklah dari balik bebungaan didepan sana, segera melayang keluar dua sosok
bayangan manusia yang segera menerjang kearah ruangan kecil itu.
Baru saja Buyung Im Seng akan duduk, mendadak... "Blaamm!" pintu kamar itu
diterjang orang sehingga terpentang lebar. Pada saat yang bersamaan ketika pintu
itu ditendang orang, dengan suatu gerakan yang sangat cepat Buyung Im Seng
menjatuhkan diri berbaring diatas ranjang.
Ketika Buyung Im Seng menengok kesamping maka tampaklah orang berkerudung
itu sudah menerjang masuk kedalam ruangan dengan langkah lebar, kemudian
menutup kembali pintu ruangan.
Buyung Im Seng kembali berpikir, "Dengan menghindarkan diri masuk kedalam
ruangan ini bukankah orang itu justru telah membawa dirinya masuk perangkap"
Entah apa maksudnya?"
Agaknya manusia berkerudung itu hanya memperhatikan musuh yang ada diluar,
ia tidak menyangka kalau dalam ruangan masih ada orang lain, dengan bersandar
dinding dan menggigit pedangnya dia menggerakkan tangan kanannya untuk
mencabut keluar sebilah anak panah yang menancap dilengan kirinya.
72 Kemudian dengan cepat tangan kanannya merogoh kedalam saku mengeluarkan
secarik sapu tangan untuk membalut lukanya itu.
Ternyata manusia berbaju hitam berkerudung itu telah terluka oleh bidikan panah.
Tiba-tiba Buyung Im Seng teringat dengan Tong Thian hong yang masih berada
didepan pintu, entah waktu itu dia menyembunyikan diri dimana"
Dengan sorot mata tajam dia mencoba untuk mengawasi sekeliling tempat itu, akan
tetapi bagaimanapun ia mencoba, tempat persembunyian Tong Thian hong belum
juga diketemukan. Ia sudah amat lama berada dikamar gelap sinar matanya waktu itu sudah terbiasa
dengan keadaan gelap, maka pandangan disekitar tempat itu bisa terlihat olehnya
dengan jelas. Terdengar serentetan suara yang dingin berkumandang datang dari luar ruangan
itu. "Ruang kecil itu adalah sebuah tempat terpencil, kau sudah tidak ada kesempatan
untuk hidup lebih jauh, jika bersedia untuk melepaskan pedang dan menyerahkan
diri, mungkin selembar jiwamu masih dapat diampuni."
Dengan suatu gerakan cepat manusia berkerudung itu membungkus lukanya,
kemudian sambil memegang pedanganya tiba-tiba ia melompat maju ketempat
pembaringan. Pedangnya segera ditodongkan diatas dada Buyung Im Seng, bentaknya dengan
suara lirih, "Bila kau berani berteriak, akan ku renggut nyawamu!"
"Bagus sekali!" pikir Buyung Im Seng, "rupanya ia telah melihat kehadiranku
disini." Berpikir demikian ia lantas berkata.
"Sekeliling ruangan ini merupakan tanah kosong yang sangat luas..."
"Aku tahu, paling tidak kau dapat menemani aku untuk berangkat bersama ke
akhirat." Buyung Im Seng lantas berpikir, "Entah siapa saja orang ini dengan keberaniannya
untuk menyelidiki perkampungan ini, hal tersebut menunjukkan kalau dia berani
pula memusuhi pihak Sam seng bun, aku harus membantunya secara diam-diam,
tapi... jika aku membantunya berarti rahasiaku akan ketahuan."
Untuk sesaat lamanya dia menjadi serba salah, dan tak tahu apa yang mesti
dilakukan. Tiba-tiba terdengar orang berbaju hitam itu membentak lagi. "Lepaskan
pakaianmu!" "Oh, rupanya dia hendak kabur dengan siasat coberet emas lepas kepompong, cara
ini memang merupakan suatu cara yang baik untuk membantunya meloloskan
diri." Berpikir demikian, ia lantas mengiakan.
"Baik!" 73 Baru saja ia akan bangkit berdiri, mendadak terdengar seseorang berseru dengan
suara nyaring: "Pasang lentera!"
Cahaya api memancar keempat penjutu, diluar ruang kecil itu segera muncul
sebuah lentera. Menyusul kemudian pintu dibuka dan sorang manusia baju putih
telah pelan-pelan berjalan masuk kedalam.
Buyung Im Seng segera mengalihkan sorot matanya kedepan, setelah mengetahui
bahwa orang itu tak lain adalah manusia baju putih yang pernah dijumpainya
ketika mereka pura-pura terluka dulu, dengan cepat ia berbaring tak berkutik.
Terdengar orang berbaju putih itu berkata dengan dingin. "Lepaskan senjata yang
ada ditanganmu!" Ditengah ucapannya yang dingin bagai es itu, membawa suatu kewibawaan yang
membuat orang merasa tak bisa melawan, untuk sesaat lamanya orang
berkerudung itu menjadai tertegun.
Sementara ia sedang tertegun itulah, mendadak orang berbaju putih itu melakukan
suatu gerakan dengan kecepatan bagaikan sambaran petir, tangan kanannya tibatiba
mencengkram pergelangan tangan kiri orang berkerudung itu serta merampas
pedangnya. Diam-diam Buyung Im Seng merasa terkejut, pikirnya.
"Cepat benar gerakan tangan orang ini!"
Rupanya orang berkerudung itu menyadari bahwa sulit baginya untuk meloloskan
diri, mendadak ia menubruk dada orang berbaju putih itu dengan kepalanya.
Cara bertarung semacam ini adalah suatu siasat pertarungan beradu jiwa, apalagi
jarak kedua belah pihak sangat dekat, orang itupun menyerang secara tidak
terduga semestinya ancaman semacam itu sulit sekali untuk menghindari.
Tapi orang berbaju putih itu memang benar-benar memiliki kepandaian silat yang
luar biasa sekali, tangan kanannya dengan enteng tapi cepat telah menyambut
tumbukan batok kepala orang berkerudung itu, menyudul kemudian dengan suatu
gerakan yang tak terduga dia menyambar cadar hitam yang menutupi wajah orang
itu. Beberapa buah perubahan itu terjadi amat cepat dan diluar dugaan orang,
"Sreeet...!" terdengar suara mendesis, tahu-tahu kain cadar yang menutupi wajah
orang berkerudung itu sudah tersambar lepas. Selama pertarungan antara orang
berbaju putih melawan orang berkerudung itu berlangsung, tangan kirinya sama
sekali tak bergerak, malah masih memegang lampu lentera seperti sediakala.
Kemampuannya yang tenang bagaikan bukit karang, bergerak secepat sambaran
petir ini sungguh membuat Buyung Im Seng merasa terkejut bercampur kagum.
Tampak sekujur badan orang berbaju hitam itu mengejang keras, mendadak ia
roboh terkapar diatas tanah dan tewas seketika itu juga. Ternyata diantara
selasela gigi orang berbaju hitam itu telah dipersiapkan semacam obat racun yang
bhebat sekali daya kerjanya, begitu keadaan tidak menguntungkan, racun itu
segera digigit lalu ditelan kedalam mulut.
74 Pelan-pelan orang berbaju putih itu membungkukkan badan untuk memeriksa
dengusan napas dari orang berbaju hitam itu, setelah mendengus dingin,
pelanpelan iapun bangkit kembali. Sorot matanya segera dialihkan kearah wajah Buyung Im Seng, katanya dengan
dingin, "Cukup lama kau berbincang-bincang dengannya?"
"Ya, senjatanya ditodongkan diatas dada hamba..." Buyung Im Seng menerangkan.
Orang berbaju putih itu tertawa dingin.
"Hee... hee... hee.. kau takut mati?" jengeknya ketus.
"Ia sama sekali tidak bertanya apa-apa kepadaku, bila masalahnya penting,
sekalipun hamba harus mati diujung pedangnya juga tidak akan hamba menjawab
pertanyaannya." Orang berbaju putih itu kembali tertawa dingin, katanya. "Tentu saja, karena apa
yang dia ketahui jauh lebih banyak daripada apa yang diketahui olehmu, maka dia
tak usah bertanya-tanya lagi kepada dirimu.."
"Kenapa?" tanya Buyung Im Seng tertegun.
"Karena dia sendiripun juga anggota Sam seng bun!"
Buyung Im Seng segera berpura-pura menunjukkan perasaan tercengang
bercampur tidak percaya, serunya. "Sungguhkah ini?"
Orang berbaju putih itu segera mendengus dingin. "Hmm...! Kurang ajar, kau
sedang berbicara dengan siapa" Berani benar begitu kurang adat?"
Buyung Im Seng berusaha keras menekan hawa amarahnya yang sedang berkobar
dalam hatinya, cepat dia berkata berulang kali.
"Hamba pantas mati, hamba pantas mati."
Orang berbaju putih itu segera mengalihkan sinar matanya memperhatikan
ruangan itu sekejap, kemudian tegurnya.
"Kemana perginya yang seorang lagi?"
Buyung Im Seng sendiripun merasa heran dan tak tahu dimanakah Tong Thian
hong menyembunyikan diri, terpaksa ia menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Hamba tidak tahu!" sahutnya.
"Sebelum meninggalkan ruangan ini, apakah dia tidak memberitahukan dulu
kepadamu?" "Tidak, mungkin dia keluar ketika hamba sudah tertidur tadi!"
Orang berbaju putih itu tidak memperdulikan Buyung Im Seng lagi, sambil
berpaling keluar ruangan, katanya.
"Seret keluar mayat ini!"
Seorang lelaki kekar berbaju ringkas segera masuk ke dalam dan membopong
jenasah dari orang berbaju hitam itu keluar dari dalam ruangan.
Sesudah itu, orang berbaju putih itu baru mengalihkan sinar matanya kewajah
Buyung Im Seng, tegurnya.
75 "Kau kenal dengan Ong Thi-san?"
"Hamba kenal, didalam pertempuran waktu itu, Ong-ya mungkin berhasil lolos dari
musibah." "Ya, dia, cuma terluka! Aku telah mengirim orang untuk membawanya kemari,
besok mungkin dia sudah sampai disini."
Sekalipun Buyung Im Seng merasa amat terperanjat setelah mendengar perkataan
itu, tapi diatas wajahnya sama sekali tidak menunjukkan perubahan apa-apa, rasa
kaget atau takut tidak pula melintas diatas wajahnya itu.
Orang berbaju putih itu gagal untuk menjumpai rasa takut diatas wajah Buyung
Im Seng, maka segera gumamnya seorang diri.
"Setelah Ong Thi san tiba disini, maka rasa curiga dalam hatikupun bisa segera
dibuktikan." Dari ucapan tersebut, jelaslah sudah persoalannya, tak bisa disangkal lagi
terhadap kehadiran Buyung Im Seng serta Tong Thian hong orang berbaju putih itu selalu


Lembah Tiga Malaikat Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menaruh perasaan curiga. Tapi Buyung Im Seng berlagak seakan akan tidak
memahami perkataan itu, dia cuma berbaring diatas ranjang dengan sikap yang
sangat tenang sekali. Tiba-tiba orang berbaju putih itu memutar badan berjalan keluar dari sana,
ketika tiba di depan pintu, mendadak ia membalikan badan seraya berkata.
"Seandainya rekanmu itu masih bisa pulang dalam keadaan hidup, suruh dia
baikbaik berada dalam ruangan, jangan lari kesana kemari secara sembarangan."
"Akan hamba ingat selalu!" Buyung Im Seng mengiakan.
Sambil menenteng lampu lentera, orang berbaju putih itu baru berlalu dengan
langkah lebar. Buyung Im Seng tahu bahwa ilmu silat yang dimiliki orang itu sangat lihai,
tenaga dalamnya juga amat sempurna, ia sama sekali tak berani bertindak secara gegabah.
Menanti orang berbaju putih itu sudah pergi jauh, dia baru bangkit berdiri dan
dengan hati-hati sekali mendekati pintu serta melongok keluar. Tampaklah
bayangan manusia secara lamat-lamat kelihatan dibalik semak belukar disekitar
kebun bunga itu, jelas dalam kebun itu telah dipersiapkan kawanan jago yang tak
sedikit jumlahnya. Yang paling mengherankan Buyung Im Seng adalah ketidak munculan Tong Thian
hong, dengan suara lirih lantas ia berteriak.
"Saudara Tong!"
"Ada apa?" suara rendah yang berat segera mengiakan.
Tong Thian hong menampakkan diri dengan melayang turun dari atas atap,
rupanya dia telah menyembunyikan diri dibalik penyanggah ruangan.
"Sudah kau dengar apa yang dikatakan oleh Im tongcu tadi?" tanya Buyung Im
Seng sambil tersenyum. Tong Thian hong manggut manggut. "Ya. sudah kudengar semua!"
76 "Rupanya selama ini dia selalu menaruh perasaan curiga terhadap kita berdua."
"Benar, itulah sebabnya siaute sengaja menyembunyikan diri agar hal mana
mendatangkan pelbagai pikiran didalam benaknya."
"Besok Ong Thi san sudah akan sampai disini, rahasia penyaruan kita sudah pasti
akan terbongkar." "Itulah sebabnya, sebelum Ong Thi san sampai disini, kita harus melakukan
pergerakan terlebih dahulu."
"Tapi pergerakan macam apakah yang harus kita lakukan?"
"Itu yang akan saya rundingkan dengan saudara Buyung." Mendengar perkataan
itu, Buyung Im Seng lantas berpikir didalam hatinya.
"Tong Thian hong berpengalaman banyak dan berpengetahuan luas, diapun berotak
tajam entah rencana apa lagi yang berhasil diperolehnya?" Berpikir sampai
disitu, dia lantas berkata. "Saudara Tong mempunyai rencana apa" Silahkan kau utarakan keluar, siaute
pasti akan berusaha untuk melaksanakannya."
Tong Thian hong segera tersenyum.
"Aaah, saudara Buyung terlalu sungkan." katanya, "Akal yang siaute peroleh
semuanya tak lebih adalah mencari untung dengan menyerempet bahaya, aku
masih memohon banyak petunjuk dari saudara Buyung sendiri."
"Situasi yang kita hadapi sekarang amat berbahaya sekali, kalau tidak mencoba
menyerempet bahaya, rasanya memang tiada kemungkinan buat kita untuk meraih
keuntungan." "Perkataan saudara Buyung memang tepat sekali, menurut siute, seandainya
rahasia penyaruan kita tak bisa diperhatikan lagi, maka lebih baik kita buat
keonaran saja ditempat ini."
"Tapi keonaran yang macam apakah itu?"
"Barusan siaute sempat mengamati cara Im Hui merampas pedang ditangan orang
berkerudung itu, kepandaian yang dipergunakan memang luar biasa sekali,
andaikata kita musti bertarung dengannya satu gebrakan demi satu gebrakan,
mungkin kita semua masih bukan tandingannya."
"Ya, siaute pun berpendapat demikian."
"Itulah sebabnya, jika kita ingin meraih kemenangan, maka kita berdua harus
kerja sama." "Sekalipun kita berdua kerja sama, belum tentu bisa menandingi pula dirinya."
pikir Buyung Im Seng dihati.
Namun diluar ia berkata sambil tertawa.
"Apakah kita berdua dapat menangkan dirinya?"
"Soal ini mah susah untuk dikatakan, sekalipun kita bisa menangkan dirinya,
itupun menyerempek bahaya, menurut pendapatku, lebih baik saudara Buyung
sengaja membeberkan sedikit masalah yang penting dikala bercakap cakap
77 dengannya, sementara pikirannya bercabang, siaute akan turun tangan secara
tibatiba, siapa tahu dengan mempergunakan siasat ini kita akan berhasil
membekuknya." Buyung Im Seng kembali berpikir.
Meskipun tindakan semacam ini kurang mencerminkan kejujuran seseorang, tapi
berbicara menurut keadaan yang terbentang saat ini, rasanya terpaksa kita harus
berbuat begini, apalagi orang-orang Sam seng bun bukan manusia-manusia lurus
yang berjiwa gagah. Berpikir sampai disini, dia lantas mengangguk.
"Soal waktu adalah soal yang terpenting, saudara Tong mesti bertindak lebih
berhati-hati." Tong Thian hong tersenyum.
"Seandainya seranganku tidak mengenakan sasaran, saudara Buyung harus turut
melancarkan serangan kilat, tampaknya kita tak bisa berdiam terlalu lama lagi
disini, itulah sebabnya kita musti menerjang keluar dari tempat ini."
"Andaikata rahasia kita masih dapat dipertahankan, apakah kita pun harus
bertindak demikian?"
"Andaikata Im Hui tidak menaruh curiga lagi terhadap kita atau seandainya
situasi sudah bertambah lunak tentu saja kita tak perlu untuk turun tangan lagi."
Selesai berunding, kedua orang itu merasa pikirannya bertambah terbuka,
masingmasing lantas mengatur napas untuk bersemedi.
Ditengah semedi mereka, lamat-lamat dari tempat kejauhan sana mereka
mendengar suara bentrokan senjata yang sedang berlangsung dengan sengitnya.
"Ada pertempuran disana!" Tong Thian hong segera berbisik.
"Yaa, suara itu tampaknya berasal dari luar perkampungan ini, jaraknya amat jauh
dari sini." "Mungkin itulah keramaian yang dimaksudkan nona Ciu Peng tadi, tapi orangorang
itu sudah diluar perkampungan, Im Hui sendiripun tak ada kesempatan
untuk menjumpai kita lantas pergi dengan terburu-buru, mungkin hal mana ada
sangkut pautnya dengan persoalan ini."
"Betul, Siaute sendiripun merasa heran, kalau Im Hui sudah tahu kalau salah
seorang diantara kita sudah lenyap tak berbekas, tanpa menyelidiki keadaan yang
sesungguhnya ia sudah pergi dengan terburu-buru, ternyata hal itu terpaksa
dilakukan karena harus menghadapi serbuan musuh tangguh."
Tiba-tiba Tong Thian hong melompat bangun seraya berseru.
"Tidak bisa begini terus, kita harus segera memberi kabar pada nona Ciu Peng."
"Im Hui tidak memeriksa soal ketidakhadiran Siaute hanya disebabkan dia harus
segera menghadapi serbuan musuh, karena itu tiada kesempatan baginya untuk
menghadapi kita berdua, tapi seandainya persoalan itu sudah selesai bila dugaan
siaute tidak salah, sehabis mengundurkan musuh tangguh dia pasti akan balik lagi
kemari, sekarang orang orang yang berada diluar ruangan sebagian ditujukan
78 untuk pertahankan perkampungan, separuh lagi untuk mengawasi gerak gerik kita
berdua. "Tapi apa sangkut pautnya persoalan ini dengan nona Ciu Peng?"
"Seandainya Ciu Peng benar-benar mata-mata Li-ji-peng yang sengaja
diselundupkan kemari, sesungguhnya dia adalah seorang pembatu yang sangat
baik, kita tak boleh merusak posisi mata-mata ini, karenanya sebelum melakukan
tindakan kita harus berunding lebih dulu dengannya."
"Tapi, bagaimana cara kita kesana" Jangankan disekitar ruangan ini sudah
dipersiapkan orang untuk melihat sikap kita hingga sulit buat kita untuk
melakukan suatu pergerakan, sekalipun kita berhasil menghindari pengawasan
orang-orang itu, masakah ditengah malam buta begini kita harus memasuki kamar
seorang nona untuk mencari dirinya...?"
"Aku lihat Im Hui adalah seorang yang cekatan dan pintar, otaknya penuh dengan
akal muslihat serta sangat lihai, bila Ciu Peng tanpa persiapan bisa jadi
rahasianya bakal ketahuan." "Kecuali Ciu Peng datang mencari kita, rasanya sulit buat kita untuk pergi
meninggalkan tempat ini secara diam-diam."
"Kenapa" Apakah saudara Tong bermaksud hendak pergi meninggalkan tempat
ini?" Bila kita tak dapat meninggalkan tempat ini sebelum Im Hui kembali kedalam
perkampungan, mungkin suatu pertempuran sengit tak bisa dihindari lagi.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki manusia berkumandang datang, cepatcepat
mereka berdua menutup mulut. Tong Thian hong segera berjalan kedepan
pintu dan melongok keluar, dilihatnya ada seorang lelaki yang menyoren pedang
panjang menempelkan telinganya diatas daun jendela dan berusaha untuk
menyadap pembicaraan mereka.
Rupanya orang itu sudah mendengar suara pembicaraan mereka berdua, tapi
lantaran jaraknya terlampau jauh sehingga tidak kedengaran apa yang sedang
dibicarakan, maka diapun lantas berjalan mendekat.
Tong Thian hong segera mengetuk diatas pintu dua kali, lelaki itu segera
mendorong pintu dan berjalan masuk dengan langkah lebar.
Tong Thian hong yang bersembunyi dibelakan pintu, dengan suatu gerakan cepat
segera meloloskan pedang yang tersoren dipunggung lelaki itu, kemudian tangan
kirinya ditempelkan diatas tubuhnya.
Mencabut pedang menempelkan tangan, hampir gerakan itu dilakukan bersamaan
waktunya... Mimpipun lelaki itu tidak menyangka kalau dua orang kusir kereta yang berada
dalam ruangan itu sesungguhnya adalah jago persilatan yang berilmu tinggi, tanpa
terasa ia menjadi tertegun.
Dengan suara dingin Tong Thian hong mengancam: "Bila kau sampai bersuara,
segera kugetarkan jantungmu sampai putus...!"
79 Belum lagi lelaki itu sempat menyaksikan keadaan dalam ruangan itu, senjatanya
telah dilucuti dan jalan darahnya tertotok, maka segera tegurnya.
"Siapa kau?" "Si pencabut nyawa!"
Hawa murninya segera dipancarkan lewat telapak tangannya, segulung angain
pukulan yang sangat kuat segera menerjang keluar dan menggetar putus nati
penting ditubuh lelaki itu.
Lelaki tersebut segera mendengus tertahan, darah kental meleleh keluar dari
hidung dan mulutnya, selembar jiwanya pun segera melayang meninggalkan
raganya. Selesai membinasakan musuhnya, Tong Thian hong menyerahkan pedang
rampasannya itu ketengah Buyung Im Seng, kemudian katanya.
"Saudara Buyung, ambillah senjata ini. Siaute akan pergi mencari sebilah lagi,
jika Im Hui kembali kemari nanti, kita segera hajar dia bersama-sama."
0OO0 BAGIAN ENAM Buyung Im Seng tidak menjawab, sebaliknya segera berpikir.
"Kedatanganku kemari adalah bertujuan untuk menyelidiki dimanakah letak
markas besar Lembah tiga malaikat, andaikata sampai bertarung melawan Im Hui
bukankah tindakan semacam ini sama halnya dengan mengungkap rahasia
sendiri?" Ketika Tong Thian Hong tidak mendengar jawaban dari Buyung Im Seng, tahulah
dia bahwa orang itu curiga maka katanya kemudian sambil tersenyum.
Seandainya dugaan siaute tidak salah, sedari permulaan Im Hui sudah tahu kalau
kita adalah musuh yang mengajak menyelundup kemari, maka kedatangannya tadi
kemari kalau bukan berniat untuk mencelakai kita, sudah pasti sedang berusaha
untuk menyelidiki keadaan latar belakang kita berdua, ketidak munculan siaute
tadi rupanya telah menimbulkan kecurigaan pula dalam hatinya, kebetulan ada
musuh yang menyerang tiba, maka hal mana membuat ia tak ada waktu untuk
tetap tinggal disini guna menghadapi kita, tapi bila musuh sudah terpukul mundur
nanti, aku yakin dia pasti akan datang kemari untuk menghadapi kita lebih
dahulu..." "Dengan susah payah kita datang kemari, bukankah perjalanan kita akan menjadi
sia-sia belaka?" "Walaupun kita sudah sampai disini, juga belum tentu bis mengetahui letak markas
besar Lembah tiga malaikat!"
Sekalipun Buyung Im Seng kurang setuju dengan pendapat itu, namun dia
sendiripun tidak banyak membantah lagi, terpaksa katanya kemudian, "Benar juga
perkataan saudara Tong, kalau ada persiapan musibah baru akan terhindari."
Dengan suatu gerakan cepat mereka berdua menyembunyikan jenasah lelaki tadi,
kebawah kolong ranjang. 80 Kemudian berkatalah Tong Thian hong.
"Saudara Buyung mungkin kau masih belum terlalu percaya dengan perkataan
siaute bukan?" "Bukannya begitu, siaute hanya merasa sia-sia belaka perjalanan kita yang telah
menyusup kemari dengan susah payah, seandainya setitik beritapun gagal
ditemukan, apalagi kalau sampai bentrok secara kekerasan dengan mereka."
"Sebaliknya bila kita tanpa persiapan mungkin akan sulit sekali untuk pergi
meninggalkan tempat ini." Sementara Buyung Im Seng akan berbicara lagi,
mendadak nampak sesosok bayangan manusia berkelebat lewat dan menerjang
masuk kedalam ruangan itu.
Ternyata setelah lelaki tadi memasuki ruangan tersebut, ia tak merapatkan
kembali pintu besar tersebut.
Sambil membalikan badan Tong Thian hong segera melancarkan sebuah pukulan,
serunya. "Siapa?" Pendatang itu mengangkat tangan kanannya dan menyambut datangnya ancaman
tersebut. "Blamm!" suatu benturan keras segera mengema dalam ruangan itu dikala
sepasang tangan mereka saling membentur.
"Aku adalah Ciu Peng!" suara lirih seorang perempuan segera berbisik disisi
telinga mereka. Buru-buru Tong Thian hong menarik kembali serangannya seraya
bertanya. "Ada urusan?" "Yaa, ada!" Tong Thian hong segera memusatkan perhatiannya untuk mendengarkan
keterangan gadis itu, ketika sampai lama sekali Ciu Peng belum juga menyambung
kata-katanya, tak tahan dia lantas bertanya:
"Mengapa tidak kau lanjutkan?" "Kau bukan Buyung kongcu!" "Aku berada disini!"
Buyung Im Seng segera menyambung. Ciu Peng memang sangat teliti sampai ia
mendengar suara tadi Buyung kongcu baru terusnya.
"Im tongcu telah mengetahui bahwa kalian adalah mata-mata yang khusus datang
untuk menyelundup kemari, perintah telah diturunkan untuk mengawasi gerak
gerik kalian lebih baik sebelum ia kembali kesini, berusahalah untuk kabur dari
sini." "Terima kasih banyak atas pemberitaan nona."
"Dewasa ini, penjagaan disekitar kebun amat lemah sekali, jika ingin kabur maka
kaburlah sekarang juga, maaf aku masih ada urusan lain dan tak bisa menemani
kau lebih lanjut." Seusai berkata, secepat kilat ia lantas beranjak dan meninggalkan tempat itu.
Sepeninggal gadis itu, Buyung Im Seng baru memuji.
81 "Saudara Tong, kau memang hebat sekali, ternyata dugaanmu tak meleset,
sungguh membuat siaute merasa amat kagum."
"Aaahh, terlalu memuji!"
Setelah berhenti sebentar, dia baru melanjutkan: "Persoalan paling penting yang


Lembah Tiga Malaikat Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus kita putuskan sekarang adalah perlu tidak kita melangsungkan pertarungan
melawan Im Hui?" "Maksud saudara Tong?"
"Akan siaute terangkan untung ruginya, kemudian saudara Buyung memutuskan
sendiri." "Siaute siap mendengarkan keterangan itu."
"Bila kita menitik beratkan pada meloloskan diri saja, maka sekarang kita harus
berangkat, biar Im Hui menebak sendiri indentitas kita, sebaliknya jika saudara
Buyung enggan meninggalkan tempat ini dengan begitu saja, maka kita bikin
keonaran disini dan bila perlu kita coba kepandaian dari Im Hui."
"Menurut saudara Tong, bagaimana baiknya?"
"Im Hui sebagai seorang tongcu didalam perguruan Sam seng bun, sudah barang
tentu terhitung juga salah seorang jago lihai didalam perguruan tersebut."
"Betul!" Buyung Im Seng manggut manggut.
"Andaikata kita bertarung dengannya, entah menang entah kalah, paling tidak kita
bisa menduga latar belakang dari perguruan Sam seng bun."
Mendengar perkataan itu, Buyung Im Seng menjadi sangat tertarik segera serunya.
"Baik! Bila saudara Tong mempunyai semangat demikian, mari kita mencoba
sampai diman kehebatan dari Im Hui."
"Cuma, ada suatu hal yang perlu saudara Buyung ingat!"
"Soal apa?" "Bila gelagat tidak menguntungkan, kita harus bekerja sama untuk menerjang
keluar dari kepungan dan tak bertarung terus."
"Baik, segala sesuatunya terserah pada keputusan saudara Tong."
"Sekarang siaute akan memeriksa keadaan dulu disekitar kebun, sekalian akan
kucari sebuah senjata lagi."
Seusai berkata tubuhnya lantas berkelebat keluar dari ruangan tersebut...
Memandang bayangan punggung Tong Thian hong yang menjauh, diam-diam
Buyung Im Seng berpikir. Tampaknya pertarungan tak bisa dihindari lagi pada hari ini...
Tanpa terasa diam-diam ia mulai menimbang pedang yang berada ditangannya.
Kepergian Tong Thian hong sangat cepat, sewaktu kembalipun amat cepat, tak
sampai sesaat dia sudah muncul kembali sambil menenteng sebilah pedang.
82 "Lagi-lagi kau sudah membunuh orang." bisik Buyung Im Seng setelah
menyaksikan kedatangannya.
Tong Thian hong segera menggeleng.
"Aku hanya menotok jalan darah kakinya, dua belas jam kemudian dia baru akan
sadar kembali." "Kau meletakkan tubuhnya dimana?"
"Ditengah kebun sana, rasanya tak akan diketemukan orang!"
"Ketatkah penjagaan diluar sana?"
"Tidak terhitung ketat, mungkin semua jago yang ada diperkampungan ini telah
dibawa Im Kui untuk melawan musuh."
Tiba-tiba terdengar suara tertawa dingin berkumandang datang dari luar,
menyusul kemudian seseorang melanjutkan dari luar ruangan.
"Benar, tapi kalian tidak menyangka kalau Im Hui akan kembali kesini sedemikian
cepatnya!" Tong Thian hong dan Buyung Im Seng sama sama merasa terperanjat, segera
pikirnya. "Dengan ketajaman pendengaranku ternyat tak kuketahui sendiri kapan ia sampai
disitu, ilmu silat yang dimiliki orang ini betul-betul tak boleh dianggap
enteng." Terdengar Im Hui berkata lagi dengan suara dingin.
"Rahasia kalian sudah ketahuan, rasanya tak ada gunanya untuk dirahasiakan
lagi, mengapa kalian tidak keluar untuk bertarung melawanku" Ataukah kalian
menginginkan agar aku yang masuk kedalam?"
Tong Thian hong tertawa dingin, ejeknya.
"Rupanya kau ingin sekali bertarung melawan kami?"
"Aku akan menangkap kalian hidup-hidup, akan kupaksa kalian untuk mengakui
asal usul kalian yang sebenarnya!"
"Im tongcu, tidakkah kau merasa bahwa ucapanmu itu terlalu berlebihan?"
"Kalian boleh segera turun tangan, aku hendak membekuk kalian berdua dalam
dua puluh gebrakan."
"Seandainya dalam dua puluh gebrakan kau gagal menangkan kami?"
"Kulepaskan kalian dari sini!"
"Bagus, ucapan seorang lelaki sejati..."
"Bagaikan kuda yang dicambuk!"
Tong Thian-hong segera berpaling dan memandang sekejap kearah Buyung Im
Seng, lalu katanya. "Aku akan turun tangan dulu, seandainya tak kuat, tak ada salahnya kau baru
turun tangan pada saat itu."
Buyung Im Seng segera manggut2.
83 "Berhati-hatilah!"
Sambil menenteng pedang melindungi bada, pelan-pelan Tong Thian hong berjalan
keluar dari ruangan tersebut.
Buyung Im Seng mengikuti dibelakangnya.
Ketika menengokkan kepala, tampaklah Im Hui yang memakai baju putih itu
dengan pedang tersoren dan bergendong tangan berdiri ditengah sebuah lapangan
lebih kurang beberapa kaki dihadapan mereka sana.
Tong Thian hong berjalan terus kemuka dan berhenti lebih kurang lima depa
dihadapan Im Hui, katanya kemudian dengan lantang.
"Im tongcu, sekarang kau boleh meloloskan pedangmu."
"Dapatkah memberitahukan kepadaku, siapakah kalian berdua?"
"Bila Im tongcu berhasil menawan kami hidup-hidup serta menyiksa secara keji,
memangnya masih kuatir untuk tidak mengetahui asal usul kami...?"
"Sekali lagi aku bertanya, siapakah diantara kalian yang bernama Buyung Im
seng?" "Kedua-duanya ada kemungkinan adalah dia kemungkinan juga bukan."
"Hmm! Berdasarkan perkataanmu itu, sudah cukup beralasan bagiku untuk
merenggut nyawamu." seru Im Hui dingin.
Begitu selesai berkata tangan kanannya segera diangkat, pedangnya diloloskan
dari sarung dan melepaskan sebuah bacokan kedepan dengan disertai kilatan tajam.
Kecepatan serangan yang dilancarkan itu ibaratnya sambaran petir ditengah
udara. Tong Thian hong segera mengangkat pedangnya untuk menangkis. "Trang...!"
suatu benturan yang memekikkan telinga berkumandang memecahkan keheningan.
Im Hui mengayunkan pedangnya berulang kali, cahaya pedang berkilauan, dalam
waktu singkat dia telah melancarkan belasan jurus serangan dahsyat.
Tong Thian hong harus menggunakan segenap kemampuan yang dimilikinya
sebelum berhasil membendung belasan jurus serangan lawan itu, kendatipun
demikian, ia sudah dipaksa mundur sejauh lima langkah lebih dari tempat semula.
Buyung Im seng sendiripun diam-diam merasa terperanjat setelah menyaksikan
betapa cepatnya serangan pedan Im Hui, segera pikir dalam hati.
"Ilmu pedang yang dimiliki orang ini sedemikian cepatnya, boleh dibilang jarang
sekali dijumpai dalam dunia ini, aaai...! Mungkin sulit buat Tong Thian hong untuk
menahan serangannya sebanyak duapuluh gebrakan."
Berpikir demikian, dia lantas maju kemuka sambil mempersiapkan senjata,
serunya tiba-tiba. "Aku ingin sekali minta petunjuk ilmu pedang dari Im tongcu!"
Gebrakan pedang Im Hui segera menampilkan dua kuntum bunga pedang yang
secara terpisah merusak dua buah jalan darah penting di tubuh Buyung Im seng.
84 Menghadapi ancaman tersebut, Buyung Im seng mengangkat pedangnya keatas,
dengan jurus Yah whe-sau-thian (api liar membakar langit) dia tangkis datangnya
ancama tersebut. Im Hui mendengus dingin, pedangnya segera direndahkan kebawah lalu...
"Sreet! Sreet! Sreet!" secara beruntun melepaskan serangan berantai yang
kesemuanya tertuju bagian bawah tubuh si anak muda tersebut.
Dengan cekatan Buyung Im seng mundur lima langkah kebelakang dan
menghindarkan diri dari serangkaian srangan berantai dari Im Hui ini... Tapi
begitu mundur dia lantas maju kembali, serangan balasan segera dikembangkan,
pedangnya diputar bagaikan hembusan angin puyuh, serangannya benar-benar
amat gencar dan dahsyat. Sekalipun ilmu pedang Im Hui mengandalkan kecepatan gerak, akan tetapi
dibawah serangkaian serangan cepat dari Buyung Im seng, ternyat ia tak mampu
melancarkan serangan balasan selain menangkis dan bertahan terus menerus.
Tong Thian hong yang nonton jalannya pertarungan itu diam-diam menghela napas
panjang, pikirnya. "Ternyata ilmu pedang yang dimiliki Buyung Im seng jauh lebih
tangguh daripada kepandaianku."
Tampak kedua orang itu saling menyerang saling membacok dengan sengitnya,
angin pedang menderu-deru, hawa pedang menggulung-gulung dalam sekejap mata
pertarungan sudah bergerser hampir tujuh delapan depa dari tempat semula.
Ditengah pertempuran sengit, mendadak Im Hui mundur dua langkah ke belakang,
kemudian berntaknya dingin. "Tahan!"
Waktu itu Buyung Im seng sedang menyerang dengan sepenuh tenaga, seluruh
perhatiannya terpusat menjadi satu, sampai Im Hui berteriak tadi ia baru
menghentikan serangannya seraya bertanya. "Ada apa?"
"Buyung tiang kim tak punya keturunan, tapi ilmu pedang yang kau pergunakan
adalah ilmu pedangnya Buyung Tiang Kim!"
Buyung Im seng segera tertawa dingin.
"Ilmu silat yang ada didunia ini dasrnya adalah sama saja, toh sumbernya juga
satu!" "Tapi ilmu pedagn dari Buyung Thiang kim jauh berbeda dengan ilmu pedang
lainnya." Setelah berhenti sejenak, mendadak hardiknya. "Sebenarnya siapakah kau?"
Buyung Im seng bukannya menjawab, sebaliknya malah bertanya. "Sudah berapa
gebrakan kita bertarung?"
"Tiga puluh lima gebrakan" "Apa yang telah Im Tongcu ucapkan apakah masih
masuk hitungan?" "Tentu saja!"
"Sekarang kita sudah bertarung sebanyak 35 gebrakan lebih bukan saja Im tongcu
tak mampu untuk menangkap kami, bahkan menangkan setengah juruspun tidak."
"Jadi kalian hendak pergi?"
85 "Pergi atau tidak adalah urusan kami, tapi yang pasti Im Tongcu harus memberi
jalan lewat buat kami!"
Im Hui segera tertawa hambar.
"Baik!" katanya, "Apa yang telah kuucapkan tak akan kusesali kembali, cuma
sebelum mereka berdua pergi dari sini, terlebih dahulu aku ingin mengajukan satu
pertanyaan kepada kalian."
"Itu mah tergantung pada persoalan apakah yang kau ajukan?"
"Konon dalam dunia persilatan tersiar berita yang mengatakan bahwa putra
Buyung Thiang kim telah munculkan diri dan ingin membalaskan dendam
ayahnya, apakah kau orangnya?"
Buyung Im seng termenung dan berpikir sejenak, kemudian ujarnya. "Benarkah Im
Tongcu ingin mengetahui siapa gerangan diriku ini?"
"Benar!" "Bila Im tongcu bersedia pula untuk menjawab sebuah pertanyaan yang kuajukan,
akupun bersedia untuk memberikan namaku."
"Persoalan apa?"
"Dimanakah letak marka besar lembah tiga malaikat?"
Im Hui segera tertawa hambar.
"Sekalipun aku berbicara yang sesungguhnya, belum tentu kau bersedia untuk
mempercayainya." "Aku merasa sebagai seorang tongcu tentunnya ucapanmu bukan suatu ucapan
kosong belaka." "Justru karena itulah, aku baru merasa bahwa kau tak akan percaya."
"Mohon kau suka memberi petunjuk!"
"Aku sendiri juga tidak tahu!"
Buyung Im seng menjadi tertegun.
"Im Tongcu, bukankah kedudukanmu didalam perguruan Sam seng bun tinggi
sekali?" "Betul, kedudukanku hanya tiga sampai lima orang, tapi diatas beribu ribu
orang!" "Dengan kedudukan Im Tongcu yang begitu tinggi didalam perguruan Sam seng
bun, ternyata kau tidak tahu dimanakah letak markas besarnya, apakah hal ini
mungkin terjadi" Sungguh membuat orang sukar mempercayainya."
"Silahkan saja kau tidak percaya, tapi ucapanku orang she Im semuanya adalah
kata-kata yang jujur."
"Kalau begitu Sam seng tong yang berada diatas bukit Tay hu san adalah palsu?"
Im Hui segera tertawa dingin, katanya. "Di atas bukit Tay hu san memang terdapat
sebuah Sam seng thong..."
86 "Kalau toh Im tongcu telah mengetahuinya mengapa kau katakan tidak tahu?"
tukas Buyung Im seng cepat.
Im Hui mendengus dingin. "Hmm! Selain diatas bukit Tay hu san, paling tidak
didunia ini masih terdapat dua tiga tempat Sam seng thong."
"Im tongcu ternyata kau memang amat licik dan pandai sekali bersiasat...!"
Setelah berhenti sebentar, lanjutnya. "Buyung tayhiap tidak berahli waris, tapi
aku dapat mempergunakan ilmu pedangnya Buyung tayhiap, siapakah aku, silahkan Im
tongcu untuk memikirkannya sendiri!"
"Sekalipun kau adalah Buyung kongcu juga belum tentu bisa menguasai ilmu
pedangnya Buyung Tiang kim!"
Buyung Im seng tidak menanggapi ucapan orang lagi, dengan suara lantang dia
lantas berseru. "Im tongcu, sekarang kau boleh menyingkir!"
Ternyata Im Hui cukup memegang janji, benar juga dia lantas mundur sejauh dua
langkah. Buyung Im seng segera berpaling sekejap kearah Tong Thian hong seraya berseru.
"Mari kita pergi!"
Buru buru Tong Thian hong maju dua langkah, kemudian mereka bersama-sama
meninggalkan tempat itu. "Lepaskan dia untuk pergi, jangan dihalangi!" Im Hui segera berteriak keras.
Jelas disekitar kebun bunga itu masih banyak sekali jagoan lihai yang melakukan
pengepungan. Buyung Im seng dan Tong Thian hong saling berpandangan sekejap, kemudian
dengan langkah lebar berjalan meninggalkan tempat itu.
Mereka berdua tidak kenal jalan, dengan langkah lebar mereka hanya tahu
berjalan terus ke depan, setibanya ditepi pagar dinding mereka segera melompat
ke atas dan melewati pagar tersebut.
Diluar dinding pekarangan adalah sebuah padang rumput yang sangat luas, sejauh
mata memandang tidak tampak setitik cahaya lampu maupun bayangan rumah.
Bersambung ke jilid 5 87 Lembah Tiga Malaikat Oleh: Tjan Jilid 5 Dengan langkah cepat Buyung Im seng berlarian ke depan, sementara Tong Thian
hong mengikuti di belakangnya.
Dalam waktu singkat mereka sudah berjalan sejauh tujuh-delapan li, saat itulah
Buyung Im seng baru menghentikan perjalanannya sambil menengok sekejap
sekeliling tempat itu. Setelah yakin kalau tak ada yang menguntit, dia baru berbisik lirih.
"Saudara Tong, walaupun kita belum sampai menemukan letak Sam seng tong, tapi
bisa menemukan perkampungan dari Im Hui pun merupakan hasil yang lumayan."
"Mari kita mencari tempat yang agak tersembunyi untuk beristirahat semalaman."
usul Tong Thian-hong, "Besok kita periksa keadaan lagi, sehingga bila akan
kembali lagi di kemudian hari tak sampai salah jalan."
Buyung Im seng manggut-manggut, sahutnya: "Benar, kita memang harus mencari
tempat untuk beristirahat."
Tong Thian hong memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian katanya: "Di
depan sana terdapat sebuah hutan, hayo kita tengok kesana, siapa tahu tempat itu
cocok untuk kita bermalam."
Dengan langkah lebar mereka segera melanjutkan perjalanannya. Lebih kurang
beberapa li kemudian, benar juga sampailah mereka di tepi sebuah hutan.
"Aaah, ternyata di sana memang ada sebuah hutan...!" seru Tong Thian hong
kegirangan, "mari kita masuk ke hutan untuk beristirahat sebentar..."


Lembah Tiga Malaikat Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baru saja mereka akan masuk ke dalam hutan, mendadak terdengar seseorang
berseru sambil tertawa merdu.
"Ucapan cengcu memang benar, coba lihat mereka telah datang."
88 Menyusul suara tertawa merdu itu, dari balik hutan pelan-pelan muncul dua orang
gadis cantik. Orang yang berjalan dipaling depan adalah Ciu Peng, sedangkan di
belakang Ciu Peng mengikuti pula seorang nona berbaju hijau.
Terdengar nona berbaju hijau bertanya. "Siapa diantara kalian berdua yang
bernama Buyung Im seng?"
"Ada apa?" tanya Tong Thian Hong.
"Kau yang bernama Buyung Im seng?"
Ton Thian hong segera menggelengkan kepalanya: "Bukan!"
"Kalau bukan kau, tentunya yang ini?"
"Ada urusan apa kau mencari Buyung Im seng?" Buyung Im seng lantas bertanya.
"Sudah lama kudengar akan namanya, aku hanya berharap bisa bersua muka."
sahut si nona baju hijau itu sambil tertawa.
"Sayang sekali belum tentu Buyung Im seng bersedia untuk berjumpa dengan
nona." "Mengapa ia tidak bersedia untuk bersua denganku?" seru si nona marah.
Buyung Im seng tertawa, sahutnya: "Sepengetahuanku, watak Buyung kongcu aneh
sekali." "Bagaimana anehnya?"
"Dia kurang begitu suka berbincang bincang dengan kaum perempuan."
"Aaaahhh, omong kosong! Aku dengar hubungannya dengan Biau hoa lengcu baik
sekali, bukankah Biau hoa lengcu juga seorang wanita?"
"Ooohh, rupanya cukup jelas nona menyelidiki tentang diri Buyung Im seng!"
"Hmm! Orang persilatan pada bilang Biau hoa lengcu berilmu silat amat lihai dan
berwajah cantik jelita, ingin kulihat macam apakah tampang Buyung Im seng itu
sehingga ia memiliki kemampuan untuk menggaet hati Biau hoa lengcu."
Belum sempat Buyung Im seng menjawab, tiba-tiba Tong Thian hong sudah tertawa
tergelak. "Apa yang sedang kau tertawakan?" si nona berbaju hijau itu menegur dengan
marah. "Apakah mau tertawapun tidak boleh?"
"Hmm, jika kalian bermaksud untuk menggoda kami, itu berarti kalian sudah
bosan hidup di dunia."
"Lantas apa yang harus kulakukan sehingga kami bisa hidup lebih lanjut...?"
Pendekar Misterius 1 Pengemis Binal 03 Bidadari Lentera Merah Kaki Tiga Menjangan 1
^