Pencarian

Pedang Tanduk Naga 3

Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong Bagian 3


"Sudahlah, asal kita tiba di kota kecil itu tentu dapat mengetahui," cepat ia
menyelutuk, lalu melanjutkan lari.
Gin Liong ingin sekali cepat2 tiba di kota kecil itu, Maka iapun segera berputar
tubuh dan lari. Sambil menyerahkan badik emas kepada Gin Liong, Hok To Beng menyusul dan
berkata: "Siau-heng-te, Ban Hong liong-li itu tahun ini paling banyak baru berusia 28-29
tahun, Mengapa engkau memanggilnya sebagai locianpwe ?"
"Karena sejak pertama aku dan sumoayku Ki Yok Lan selalu menyebut locianpwe
kepadanya, sekarang sukar untuk merobah sebutan itu," Gin Liong menjelaskan.
Mo Lan Hwa yang berada dimuka ketika mendengar Gin Liong mempunyai seorang
sumoay, diam2 hatinya mencelos. Sekali menyehatkan tubuh, diapun sudah
melayang ke jalan. Gin Liong yang polos, mengira Mo Lan Hwa hendak buru2 mengejar perjalanan,
Maka dia pun segera berpaling dan berseru kepada Hok To Beng:
"Lo-koko, mari kita agak cepat berlari!"
Sebagai seorang tua yang sudah banyak makan asam garam kehidupan, tahulah
Hok To Beng akan gerak gerik sumoaynya, ia hanya gelengkan kepala dan terus
mengikuti Gin Liong lari.
Tepat pada saat itu terdengarlah ringkik suara kuda yang terkejut. Suara itu
asalnya dari belakang mereka. Ketika Gin Liong bertiga berpaling, tampak beberapa li jauhnya, dua ekor kuda
sedang mencongklang pesat disepanjang jalan, Mereka lari menghampiri kearah
Gin Liong. Kedua ekor kuda itu cepat sekali larinya, sebaiknya kita menyingkir saja," kata
Gin Liong. "Ya." kata Hok To Beng, "kuda itu memang kuar biasa cepatnya." iapun terus
menyingkir ketepi jalan. Tetapi Mo Lan Hwa malah mendengus dan tak ambil peduli, Dengan cibirkan bibir
dan santai, ia berjalan seenaknya ditengah jalan.
Gin Liong kerhutkan dahi dan tak mengerti maksud nona itu.
Tiba2 terdengar suara kuda meringkik keras, Ketika Gin Liong berpaling,
dilihatnya dua ekor kuda bulu hitam mulus yang bertubuh tinggi besar, tengah meluncur
pesat sekali. Saat itu hanya terpisah setengah li.
Penunggangnya juga dua lelaki bertubuh tinggi besar, kepala besar dan jidat
lebar. Mulutnya penuh ditumbuhi kumis dan jenggot yang lebat, sepasang matanya
berkilat-kilat amat tajam. Merekapun mengenakan jubah warna hitam terbuat
daripada kulit, Sepintas pandang kedua penunggang kuda itu memang amat
menyeramkan sekali. "Tar, tar, tar . ..."
Kedua penunggang tinggi besar itu menghardik dan mengayunkan cambuknya ke
udara. Kuda hitam tegar itupun segera melaju keras, Mereka tak mempedulikan
orang yang berada ditengah jalan.
Riuh rendah derap kedua kuda hitam itu menabur jalan, jalan yang dilalui tentu
meninggalkan hamburan salju yang lebat dan deru angin yang keras.
Mereka melarikan kuda kearah Gin Liong.
-ooo0ooo- 14. Empat tokoh aneh. Gin Liong terkejut sekali menyaksikan kecepatan kedua kuda hitam itu. Tetapi ia
marah karena melihat tingkah kedua penunggang kuda yang tetap melarikan
kudanya sekencang-kencangnya walaupun tahu di tengah jalan terdapat seorang
nona. "Taci, menyingkirlah ketepi jalan. kedua kuda itu pesat sekali larinya!" cepat
ia berseru memberi peringatan kepada Mo Lan Hwa.
Tetapi nona itu tak mau mengacuhkan. Dengan mendengus ia berseru:
"Hm, kecuali engkau loncat sejauh lima tombak, baru engkau terbebas dari
hamburan salju dijalan !"
Nona itu tetap berjalan santai ditengah jalan.
Gin Liong kerutkan dahi. Berpaling kebelakang, diiihatnya kedua ekor kuda hitam
itu makin dekat. Bulusari kuda meregang tegak, mulut meringkik-ringkik, kakinya seperti terbang,
menerjang maju dengan dahsyat sehingga saat itu jaraknya hanya tinggal dua
puluhan tombak. Gin Liong marah sekali. Pada saat ia hendak berseru mencegah, sebuah gelombang
asap tebal telah melanda mukanya, sudah tentu pemuda ini menyedot juga dan
batuk2. Ketika berpaling ternyata asap itu berasal dari pipa Hok To Beng.
Tampaknya orang tua itu tenang2 saja seperti tak terjadi suatu apa. Seperti tak
tahu bahwa dia akan diterjang dari belakang oleh dua ekor kuda tegar.
Hok To Beng memandang Gin Liong dengan tertawa hambar dan serunya santai:
"Kedua orang itu kebanyakan tentu berasal dari padang Taliwang di Mongolia!"
Baru Hok To Beng berkata sampai disitu, derap lari kuda makin jelas. Sebelum
kuda melanda datang, anginnya sudah menderu.
Gin Liong makin terkejut. Berpaling kebelakang, dilihatnya kedua ekor kuda hitam
yang tinggi perkasa sudah tiba dibelakang Mo Lan Hwa.
Nona itu kerutkan alis, Tiba2 dengan diiringi teriakan melengking, ia berputar
tubuh seraya dorongkan kedua tangannya, Seketika itu meluncurlah dua
gelombang angin dahsyat yang membawa debu dan salju, menerjang kedua ekor
kuda tegar itu. Mo Lan Hwa telah menumpahkan kemarahannya dalam pukulannya itu. Seketika
terkejutlah kedua penunggang kuda, Mereka menggembor keras dan meloncatkan
kudanya diatas kepala Mo Lan Hwa dan meluncur sampai tiga tombak jauhnya.
Gin Liong hendak memburu ketempat Mo Lan Hwa. Tetapi nona itu sudah
melambung ke udara, bergeliatan dan meluncur turun kearah kedua penunggang
kuda. Dan serempak pada saat itu. Hok To Beng pun ayunkan tubuh melayang kemuka
kuda. "Kembali!" bentaknya seraya taburkan pipanya ke udara, menyongsong kedua
kuda, Taburan pipa itu menghamburkan asap tebal sehingga kuda meringkik kaget dan
berontak. Sebelum kedua penunggang tahu apa yang terjadi, tiba2 sesosok
bayangan melayang, membentak dan menabur asap. Dan tahu2 kedua kuda itu
berdiri tegak di udara. Menjeritlah kedua penunggang kuda karena kaget dan buru2 mereka berusaha
untuk menguasai tunggangannya. Tetapi kuda itu sudah kalap. Setelah berputar-
putar deras lalu melayang jatuh ketanah, membanting kedua penunggangnya.
"Bum, bum. . . .!"
Kedua penunggangnya kuda rontok giginya, mulut pecah, kepala pusing tujuh
keliling. Saat itu Mo Lan Hwa pun meluncur dari udara, maju dua langkah, membentak dan
ayunkan tangan kanannya. Melihat itu, salah seorang penunggang kuda cepat meneriaki kawannya: "Ciliwatu,
hati-hati, awaslah !"
Dia sendiri terus melenting bangun dan menghantam.
Orang yang disebut Ciliwatu itu rupanya sudah tahu kalau dirinya diserang si
nona. Pada saat kawannya bergerak, dengan jurus Ikan Leihi-melenting, dia pun
melambung ke udara sampai dua tombak, lalu dengan gerak bergeliatan, dia
melayang turun. Bum . . . . Ketika terjadi benturan antara pukulan Mo Lan Hwa dengan penunggang kuda yang
seorang, keduanya terhuyung-huyung mundur sampai tiga langkah.
Ciliwatu terkejut. Cepat ia bergeliat dan meluncur ke tanah, Hampir tiada
suaranya ketika kakinya menginjak tanah.
Gin Liong cepat dapat mengetahui bahwa kedua penunggang kuda dari Mongol itu,
walaupun bertubuh besar tetapi memiliki gerak yang lincah dan gesit sekali,
"Alihapa," cepat Ciliwatu berkata kepada kawannya, "anak perempuan baju merah
itu jauh lebih cantik dari anak2 perempuan disarang kita. Hayo kita bawa pulang
untuk kita berdua!" Habis berkata ia terus mengeluarkan sebuah rantai yang ujungnya merupakan
semacam gembolan, mirip pukul besi, Besarnya menyamai kepalan tangan, diikat
dengan rantai sepanjang hampir satu tombak.
Gembolan besi itu dihias dengan duri2 besi mirip gigi serigala, Ditingkah sinar
matahari gembolan itu tampak hitam mengkilap.
Karena terhuyung mundur tiga langkah, merahlah wajah Alihapa. Alisnya
mengernyit, mata mendelik dan mulut menyeringai buas, Tangannya yang penuh
bulu segera merogoh kedalam pinggang baju dan mengeluarkan sebatang ruyung
sembilan ruas, terbuat dan rantai perak.
Segera ia tertawa aneh dan dengan geram berseru:
"Anak perempuan tenagamu hebat juga. Awas jangan sampai tanganmu patah!" ia
ayunkan langkah menghampiri Mo Lan Hwa.
Wajah Mo Lan Hwa tampak pucat dan tubuhnya menggigil ketika mendengar
dirinya disebut "anak perempuan", hampir dadanya meledak. Dengan cepat ia
mencabut pedang terus ditusukkan kearah orang Mongol itu.
"Sring. . . ." Alihapa kebaskan ruyung-sembilan-ruas. Bagaikan seekor naga bercengkrama
diatas laut, ruyung itupun segera bergemerlapan melibat pedang Mo Lan Hwa.
Cepat si nona turunkan pedangnya, berputar tubuh dan melancarkan jurus Cay-
hong-can-ki atau Burung-cenderawasih-merentang-sayap, pedang berobah
menjadi segelombang sinar pelangi dan secepat kilat memapas lengan kanan
Alihapa. "Bagus!" seru Alihapa, Ruyung perak segera diganti dalam gerak putaran deras
sehingga mengembangkan ratusan sinar ruyung, menyelubungi tubuh Mo Lan Hwa.
Segera tampak suatu pemandangan yang menyilaukan mata, sinar perak
bergemerlapan, di-iringi sambaran ruyung yang menderu-deru. Sinar pedang
selebat hujan mencurah, memancarkan sinar gemilang yang amat kemilau.
Ciliwato dengan siapkan rantai bandulan ditangan, mengikuti pertempuran itu
dengan penuh seksama. Setiap saat, ia siap turun tangan membantu kawannya.
Tetapi Gin Liong pun diam2 melewatkan perhatiannya kepada Ciliwato untuk
menjaga jangan sampai dia melepaskan senjata gelap kepada Mo Lan Hwa.
Pertempuran makin seru dan dahsyat. Mo Lan Hwa memiliki kelincahan tubuh yang
tinggi dan ilmu pedang yang aneh, Alihapa memiliki tenaga yang gagah perkasa dan
ilmu permainan ruyung yang sempurna.
Cepat sekali tiga puluh jurus telah berlalu. Keduanya masih tetap berimbang,
belum tampak siapa yang lebih unggul.
Tiba2 Gin Liong teringat Kemanakah Hok To Beng" Mengapa sejak tadi tak
kedengaran suaranya"
Ketika Gin Liong mengeliarkan pandang, dilihatnya Hok To Beng sedang naik keatas
punggung salah seekor kuda hitam, tubuh merebah kemuka. Mulutnya tengah
menghembuskan asap dari pipa. Sedang tangan kiri menjamah kepala kuda yang
lain, memandang acuh tak acuh kearah gelanggang. Rupanya dia tak begitu
memikirkan tentang siaumoaynya yang tengah bertempur seru itu.
Melihat Gin Liong memandangnya Hok To Beng pun mengangguk tertawa lalu
menghembuskan lagi segulung asap tebal.
Diam2 Gim Liong mengeluh dalam hati, Pendekar aneh yang sudah tua itu memang
aneh tingkah lakunya. Masakan sumoaynya bertempur dia malah enak2 menguasai
kedua ekor kuda musuh. Dan memang tak berapa lama kemudian, ia berhasil
membuat kedua ekor kuda itu jinak.
Tiba2 terdengar lengking teriakan nyaring disusul dengan bentak kemarahan.
Gin Liong cepat berpaling. Serentak berkobarlah kemarahannya, Dengan
menggembor keras, ia segera lepaskan sebuah hantaman.
Gelombang angin dahsyat yang menderu-deru segera menghambur kearah
Ciliwato yang menyerang gelap pada Mo Lan Hwa dengan rantai gembolannya.
Ciliwato berteriak kaget. Cepat ia menarik pulang rantai gembolannya dan terus
menggembor keras seraya loncat menghindar sampai dua tombak.
Begitu berdiri tegak, ia segera memutar rantai gembolan, menyerang Gin Liong,
Pemuda itu hanya tertawa dingin, Selekas menggeliatkan tangan kanan, ia sudah
mencekal pedang Tanduk Naga.
Tepat pada saat itu terdengarlah jeritan yang ngeri melengking di udara, Sebuah
benda macam ular perak meluncur ke udara, Ternyata ruyung perak dari Alihapa
telah dibabat mencelat ke udara oleh pedang Mo Lan Hwa.
"Tring...!" Rantai gembolan yang diluncurkan Ciliwato pun disabat putus oleh pedang Tanduk
Naga, Gembolan melayang ke udara dan meluncur kemuka Hok Tok Beng.
Tetapi Hok To Beng diam saja. Begitu gembolan hampir mengenai mukanya,
barulah ia gerakkan pipanya untuk menyongsong. Tring, gembolan besi itupun
meluncur kebelakang kuda. Karena kaget, kedua ekor kuda berpencar melonjak
kesamping. Tiba2 Hok To Beng menggembor keras lalu melambung ke udara dan meluncur
turun kejalan. Karena tak mengerti apa yang terjadi. Gin Liong berpaling Ah, ternyata kedua
orang Mongol tadi telah melarikan diri sekencang-kencangnya. Sedang Mo Lan Hwa
masih tegak berdiri dengan mengulum tawa, ia memandang kedua orang Mongol
itu tetapi tak mau mengejar.
"Hai, budak, apa enak2 saja engkau hendak pergi?" teriak seseorang.
Ternyata yang berteriak itu Hok To Beng, Sambil meluncur dari udara, pipanya
yang masih berapi itu dihujamkan kebelakang tengkuk Ciliwato.
Karena kesakitan terbakar api, Ciiiwato menjerit-jerit dan mempercepat larinya,
Demikian Alihapa. Dengan bercucuran keringat dingin ia lari secepat-cepatnya.
Begitu berlari ditanah, Hok To Bengpun tertawa gelak2. Mo Lan Hwa segera
menghampiri dan melengking marah:
"Toa-suheng, mengapa engkau gemar membakar tengkuk kepala orang dengan
pipamu" Kalau sampai membakar tengkuk orang apakah tidak berbahaya ?"
Hok To Beng tertawa gelak.
"Ilmu Menyorong-api-kepada-tetamu ini sudah berpuluh-puluh tahun kugunakan
dan belum pernah membakar tengkuk orang!"
Kemudian ia berganti nada serius: "Terhadap manusia yang kasar dan liar semacam
mereka, harus digunakan cara untuk mematahkan kesombongannya. Sedikit
menyuruh mereka merasa sakit pada kulit rasanya tidak menjadi soal jangan
sampai melukai atau membunuh jiwanya. Kau harus memberi kesempatan agar
mereka mau sadar." Sejenak memandang kepada kedua orang Mongol itu, Hok To Beng melanjutkan
pula: "Sudah tentu terhadap manusia yang kejam dan jahat, tak boleh diberi
ampun." Habis berkata pipanya menjulai ketanah dan serentak terdengarlah rentetan bunyi
mendesus. Salju yang menutup tanah pun telah luluh.
Gin Liong dan Mo Lan Hwa tertawa geli,
"Setiap kali toa-suheng melancarkan ilmu Menyongsong-api-kepada-tetamu, orang
tentu akan lari tunggang langgang," kata Mo Lan Hwa.
Hok To Beng tertawa gelak2. Tiba2 dari jauh terdengar segelombang ringkik kuda
yang nyaring dan panjang.
Ah, ternyata kedua ekor kuda hitam itu berada pada jarak seratusan tombak.
Kedua binatang itu ternyata tak mau menyusul tuannya yang melarikan diri.
"Ho, kedua manusia kasar itu tak mau lagi dengan kudanya," Hok To Beng tertawa,
Memandang kearawh kedua orang Mongol yang sudah beberapa li jauhnya itu, dia
berkata pula, "ah kita terpaksa harus mengembalikan kepada mereka lagi."
Habis berkata dia terus songsongkan pipanya kepada kuda itu seraya bersuit.
Entah bagaimana kedua ekor kuda itu meringkik keras dan lari pesat menghampiri. Begitu
Hok To Beng mengangkat pipanya keatas, kedua kuda itupun lambatkan larinya,
Ketika tiba di tempat Hok To Beng kedua binatang itu berputar dua kali mengitari
Hok To Beng lalu berhenti didepannya.
Hok To Beng menyarungkan pipa kebelakang tengkuknya lalu pelahan-lahan
mengelus-elus leher kuda itu. Kedua itu tampak jinak dan menurut sekali.
Gin Liong ingin juga meniru. ia mengajak Mo Lan Hwa untuk mengelus-elus leher
kuda yang seekor Tetapi si nona takut.
"Siaumoay, jangan takut, asal jangan memegang pantatnya, kuda itu takkan
menyepakmu." seru Hok To Beng.
Ia memberikan kuda hitam yang keempat kakinya putih kepada Mo Lan Hwa dan
kuda yang hitam mulut kepada Gin Liong, serunya:
"Cobalah kalian mengelus-elus, kalau sudah dikembalikan pada yang empunya,


Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalian tak mempunyai kesempatan lagi."
Kedua anak muda itu memberanikan diri untuk mengelus-elus kuda tegar itu.
"Lo-koko, mereka sudah tak kelihatan bayangannya lagi, Kita harus lekas mengejar
supaya jangan kehilangan jejak mereka."
"Jangan kuatir." Hok To Beng tertawa, "tak sampai seperampat jam mereka tentu
dapat tersusul." Kemudian ia menerangkan bahwa kuda hitam berkaki putih itu disebut Oh-hun-
kay-swat atau Awan hitam menutup salju, Sedang kuda hitam mulus disebut Oh-
yan-ma atau kuda Hangus-hitam. Kedua kuda itu merupakan kuda yang jarang
terdapat diantara ratusan ribu kuda.
"Larinya cepat dan tenang. Duduk dipunggung mereka dengan membawa cawan
berisi air, airnya takkan menumpah." kata Hok To Beng.
"Ah, sayang sebagus ini jatuh ditangan manusia yang tolol," seru Mo Lan Hwa.
"Eh, jangan memandang rendah kepada kedua orang Mongol itu, seru Hok To
beng. "menilik mereka tentu tersohor tokoh Lan-cut (kepala penternakan) di
daerah pedang Taiwo. Tokoh silat kelas satu dewasa ini, tak mudah untuk
mengalahkan mereka berdua."
15. Cambuk urat naga Saat itu Gin Liong tak mempunyai selera lagi untuk mendengarkan ocehan Hok To
Beng. Melihat matahari sudah berada di tengah suatu tanda kalau sudah tengah
hari, ia gelisah. "Siau-hengte, apa engkau kuatir tak dapat menyusul kedua orang Mongol itu?"
tegur Hok To Beng. "Bukan," sahut Gin Liong, "yang kucemaskan kalau Liong-li lociahpwe sudah pergi
dari kota kecil itu."
"Baik, mari kita berangkat," kata Hok To Beng "kalian boleh masing2 naik kedua
ekor kuda itu dan aku akan mengikuti dari belakang."
Gin Liong masih meragu, Tiba2 Mo Lan Hwa sudah loncat keatas punggung salah
seekor kuda dan entah dengan gerak bagaimana, Hok To Beng pun sudah
melambung dan berdiri diatas pantat kuda hitam kaki putih atau kuda Gih-hun-kay-
swat. Terpaksa Gin Liong pun terus menceplak kuda yang seekor. Hok To Beng memutar
pipa dan berseru pelahan maka kedua ekor kuda itupun terus lari.
Diatas kuda, Gin Liong masih gelisah, Apakah ia dapat menyusul kedua orang
Mongol dan apakah Liong-li locianpwe apakah masih berada dalam kota. Pikirnya,
apabila bertemu dengan Ban Hong Liong-li, tentu ia dapat mengetahui siapakah
pembunuh suhunya itu, Begitu pula tentang kawanan paderi jahat dan
pertempuran dalam gua itu, tentu akan jelas semua."
"A, ti-ti-ti, hu . . ." tiba2 terdengar Hok To Beng berseru keras dan pada lain
kejap kuda hitam kaki putih yang dinaiki Mo Lan Hwa secepat angin telah melampau
kuda Gin Liong, Pada hal kuda hitam kaki putih itu pantatnya memuat Hok To Beng
yang berdiri jejak. Gin Liong terkejut Cepat ia menekan kendali kudanya dan kuda hitam mulus itupun
segera meluncur pesat melampaui kuda hitam kaki putih.
Mo Lan Hwa menjerit-jerit memerintahkan kudanya supaya mengejar kuda hitam
mulus, Melihat perlombaan itu, Hok To Bengpun tertawa gembira.
Saat itu disebelah depan terbentang sebuah hutan lebat, Gin Liong seperti
terbang rasanya, Ketika berpaling dilihatnya Mo Lan Hwa tertinggal tiga puluhan tombak
dibelakang walaupun mengerti ilmu naik kuda dan sudah beberapa kali naik kuda
tetapi belum pernah ia naik kuda yang sepesat angin itu cepatnya.
Setelah melintasi hutan ternyata dijalan sebelah muka, bayangan Alihapa dan
Ciliwato tak tampak lagi. Segera ia lambatkan kudanya, tiba2 kuda hitam kaki
putih dari Mo Lan Hwa sudah melampauinya. Hok To Beng enjot tubuhnya bergeliatan di
udara dan melayang turun diatas pantat kuda Gin liong.
"Siau-hengte, kepraklah kudamu!" seru Hok To Beng.
"Mengapa kedua orang itu tak tampak ?" tanya Gin Liong.
"Nanti kita bicara lagi dikota, Memang gerak-gerik kedua orang itu luar biasa,"
sahut Hok To Beng. Begitu tiba dipinggir kota, agar jangan mengejutkan orang, Hok To Beng pun
loncat turun, Gin Liong dan Mo Lan Hwa pun mengikuti kemudian mereka bertiga berjalan
kaki menuju ketengah kota.
Kota itu tak berapa besar, jalannya cukup lebar dan penuh dengan rumah2
penduduk. Selain kaum pedagang, juga tak sedikit orang2 persilatan yang
berjalan. "Lo-koko, dimanakah engkau melihat Liong-li cianpwe?" tanya Gin Liong.
"Di hotel itu," kata Hok To Beng seraya menunjuk sebuah rumah penginapan.
Rumah penginapan itu satu2nya hotel di kota itu. Bangunannya terdiri dua
tingkat. Dari diloteng atau tingkat kedua dari rumah makan itu tampak suara orang tertawa
dan bicara dengan gembira. Macam sedang menghadiri suatu perjamuan makan.
"Biasanya yang tiba dikota kecil ini hanya pedagang2. Tetapi sejak munculnya si
orang tua membawa kaca wasiat itu, banyaklah kaum peralatan yang datang
kesini," kata Hok To Beng.
Pada saat Gin liong keliarkan pandang mata, ia memang memperhatikan bahwa
diantara beberapa orang yang tengah memandang kepadanya itu adalah orang2
yang pernah dilihatnya berada ditanah lapang sekeliling rumah pondok di hutan
itu. "Toa-suheng, kita cari kamar yang tersendiri sajalah," kata Mo Lan Hwa, "diatas
loteng terlalu berisik sekali."
Begitu tiba dimuka rumah penginapan itu, dua orang pelayan segera menyambut.
Yang seorang menuntun kedua ekor kuda hitam mereka terus hendak dibawa ke
istal kuda. Dan yang seorang segera memberi hormat kepada Hok To Beng.
"Loya, mau minum arak atau ingin bermalam disini?" tanyanya.
"Ada kamar besar?" tanya Hok To Beng.
Jongos itu mengatakan ada dan lalu membawa ketiga tetamu menuju kesebuah
kamar besar. Hok To Beng setuju. Tak lama kemudian seorang jongos mengantar
minuman teh. "Bung, apakah ada dua orang tinggi besar, mengenakan pakaian kulit warna hitam,
berkopiah warna hitam yang menginap disini ?" tanya Hok To Beng.
Jongos menyatakan tak ada. Hok To Beng heran dan memandang Gin Liong serta
Mo Lan Hwa dengan pandang bertanya,
"Tolong tanya," kata Gin Liong kepada jongos itu pula, "apakah ada seorang nona
berpakaian warna merah, umur lebih kurang 26-27 tahun yang datang kemari?"
"Ya, ada, ada," kata jongos.
"Dia tinggal di kamar mana ?" Gin Liong cepat mendesak.
"Semalam li-hiap (pendekar wanita) baju merah itu tinggal dikamar sebelah,
Setelah makan malam dia terus pergi."
Gin Liong kecewa sekali, Hok To Beng segera minta jongos itu membawakan
hidangan. Sesaat kemudian jongos itu pergi maka bertanyalah Hok To Beng kepada
Gin Liong. "Siau-hengte. apakah engkau tak menuduh bahwa yang membunuh suhumu itu
Ban Hong Liong-li sendiri ?"
"Tidak, Ban Hong Liong-li locianpwe tentu takkan berbuat begitu."
"Tetapi mengapa dia begitu terburu-buru sekali sampai menyewa hotel hanya
makan terus pergi ?"
Gin Liong menerangkan: "Liong-li cianpwe pernah mengatakan kepadaku bahwa
dia harus menempuh perjalanan siang malam..."
"Adik engkau pernah melihatnya ?" Mo Lan Hwa terkejut.
"Bukan saja pernah melihat bahwa siau-hengte ini pernah menerima pelajaran silat
dari dia." tukas Hok To Beng.
"Hai, bagaimana toa-suheng tahu?" Mo Lan Hwa makin heran.
Hok To Beng tertawa gelak2, serunya: "Tadi sewaktu turun tangan, apa engkau tak
melihat aku telah gagal menyambar tangan siau-hengte karena siau-hengte
menggunakan gerak Liong- li-bia ?"
Pada saat itu jongos pun datang membawa hidangan Mereka bertiga segera
menyantapnya. Mo Lan Hwa sibuk melayani, menuangkan arak untuk toa-suheng dan Gin Liong.
Dia sendiri pun minum juga. Setelah habis dua cawan, tampak pipinya kemerah-
merahan seperti bunga mawar, bibir makin segar dan sepasang bola matanya
tampak bersinar, Nona itu makin bertambah cantik sekali.
Gin Liong terlongong-longong.
Melihat dirinya dipandang oleh anak muda itu, Mo Lan Hwa tundukkan kepala.
Hatinya amat bersuka cita.
Rupanya Gin-Liong menyadari bahwa perbuatannya itu kurang senonoh, Maka
diapun segera beralih memandang Hok To Beng.
Hok To Beng tengah menggeragoti sebuah paha ayam panggang. Dia tak
mengacuhkan apa2 lagi. Tiba2 terdengar derap langkah orang bergegas menuju kedalam kamar sebelah.
Brak!, terdengar suara meja ditampar.
"Bagaimana, mengapa kalian begitu cepat sudah kembali?" seru seseorang dari
kamar sebelah. Seorang lelaki bernada kasar menyahut marah: "Ketika kami pergi, rumah kecil itu
sudah kosong, orangnya sudah pergi."
"Huh, kemarin sore masih kudengar orang mengatakan bahwa ditempat itu penuh
dikerumuni orang." kata orang yang pertama tadi.
Orang yang bernada kasar, menyahut: "Memang benar tetapi mereka tinggal
mayat yang berserakan disana sini."
"Hai, siapa saja mereka itu ?" Lelaki bernada kasar itu menerangkan: "Pengemis
jahat- kaki-telanjang Jenggot-terbang, Nenek-buta-tongkat-burung-hong, paderi
Hoa, Lima-ular-berbisa, Kuku-garuda, seorang imam tua dan masih terdapat pula
seorang kakek tua." Berhenti sebentar, ia berkata pula dengan gopoh: "Mari kita pergi, mereka sudah
menunggumu diluar hotel."
Terdengar langkah kaki orang bergegas keluar dari kamar dan tidak lama lenyap di
halaman. Mendengar nama pengemis kaki telanjang dan paderi gemuk yang ikut terkapar
sebagai mayat, serentak teringatlah Gin Liong akan imam jenggot indah yang
berwibawa itu. "Lo-koko, apakah kenal dengan seorang totiang yang wajahnya mirip seorang
dewa?" segera ia bertanya kepada Hok To Beng.
"Coba terangkan imam itu." kata Hok To Beng.
Setelah mendengar keterangan dari Gin Liong, Hok To Beng tertawa gelak2,
serunya: "Ho, sungguh tak kira kalau imam hidung kerbau itu juga tergerak nafsunya, Dari
ribuan li dan melintasi gunung, menyebrang laut, dia perlu kan juga datang ke
Tiang-pek-san !" "Lo-koko, siapakah Totiang itu ?"
Sambil mengelus-elus jenggot, Hok To Beng menatap Gin Liong, serunya:
"Siau-hengte, pernahkah engkau mendengar tentang keempat tokoh Bu-lim Su-ik?"
Gin Liong mengangguk. "Suhu pernah menceritakan kepadaku," katanya, "keempat Bu-lim Su-ik dan lo-
koko bertiga Swat-thian Sam-yu itu merupakan tujuh tokoh dunia persilatan yang
disebut Ih-lwe-jit-ki."
Hok To Beng terbahak-bahak : "Ah, hal itu sudah usang. sesungguhnya aku tak
layak termasuk dalam Jit-ki (tujuh tokoh aneh) itu."
"Toa-suheng, imam itu apakah bukan yang toa-suheng katakan sebagai Hun Ho
totiang dari pulau Hong-lay-to itu ?" Lan Hwa menukas.
"Siapa lagi kalau bukan imam hidung kerbau itu." Hok To Beng mengangguk.
"Adakah lo-koko pernah bertemu dengan Thian-lam Ji-gi ?"
Hok To Beng tersenyum: "Mungkin tak berjodoh karena sudah dua kali aku ke
selatan tetapi tak pernah berjumpa denggan kedua tokoh sakti dari Thihan-lam
itu." Gin Liong kerutkan dahi: "Lo-koko, apakah engkau tak menganggap bahwa kakek
yang membawa kaca wasiat itu bukan salah seorang dari Thian Lam Ji-gi?"
Hok To Beng merenung sejenak, "Sukar untuk mengatakan secara pasti," katanya
sesaat kemudian," tetapi peristiwa itu sudah menggemparkan dunia persilatan.
Kurasa peristiwa itu tentu akan segera terungkap!"
Kemudian ia menanyakan apakah Gin Liong dan Lan Hwa sudah selesai makan.
"Baik, mari kita segera mencari kedua kutu busuk itu," kata Hok To Beng setelah
kedua anak muda itu mengangguk.
Segera mereka bertiga keluar dari kamar seorang jongos segera menyambut dan
menanyakan apakah ketiga tetamu itu hendak keluar jalan2.
"Hari masih sore, kita akan melanjutkan perjalanan lagi," sahut Hok To Beng.
Kemudian ia membayar rekening dan ongkos memberi makan kedua kuda.
Pada saat mereka bertiga baik kuda, tiba2 jongos bergegas keluar menghampiri
Hok To Beng. "Tuan, kedua kawan tuan itu sudah berlalu," kata jongos itu.
"Siapa ?" Hok To Beng heran.
"Yang tuan tanyakan kedua tetamu tinggi besar, memakai jubah dan kopiah kulit,
mata besar dan mulut lebar tadi..."
Melihat gerak-gerik si jongos, Hok To Beng tertawa, sehingga jongos itu melongo.
"Kemanakah perginya kedua orang itu?" tegur Lan Hwa.
"Ke barat sana!" si jongos menunjukkan jarinya ke barat
"Hayo kita berangkat," seru Hok To Beng setelah menghaturkan terima kasih
kepada jongos itu. Banyak sekali orang persilatan yang datang dan pergi dari kota itu. Setiba
diluar kota, Hok To Beng berpaling dan hendak bicara tetapi ketika melihat wajah Gin
Liong dan Lan Hwa mengerut kegelisahan, ia tahu apa yang dipikirkan kedua anak
muda itu. "Siau-hengte." seru Hok To Beng bertawa," jangan kuatir kalau tak dapat mengejar
Liong-li locianpwe itu, Setiap orang yang hendak menuju ke selatan, tentu harus
berhenti di teluk Tay-lian menunggu perahu, Kalau kita agak cepat berjalan,
kemungkinan kita dapat tiba lebih dulu disana."
Kemudian Hok To Beng berkata pula kepada Gin Liong: "Kalau Ban Hong Liong-li tak
berada di Tay-lian, akan kuminta tacimu untuk menemani engkau ke Kanglam."
Mendengar itu Lan Hwa tertawa gembira, Kebalikannya diam2 Gin Liong kerutkan
dahi. "Adik, mari kita melanjutkan perjalanan lagi," kata Lan Hwa seraya loncat
kepunggung kudanya. Gin Liong pun juga loncat keatas kudanya, sedangkan Hok To
Beng pun sudah berdiri di pantat kuda.
Kedua kuda tegar itu segera mencongklang pesat, Tetapi tiba2 mereka mendengar
suara gemuruh dari belakang, Ketika berpaling dilihatnya berpuluh-puluh orang
persilatan yang menunggang kuda, menerobos keluar dari kota, Mereka berteriak-
teriak hendak menangkap pencuri kuda.
Dijalan itu tiada tampak lain orang lagi kecuali Gin Liong bertiga, Sudah tentu
dia marah mendengar teriakan kawanan penunggang kuda itu, ia hentikan kudanya,
Melihat itu Lan Hwa pun hentikan kuda dan berputar kebelakang.
Tiba2 terdengar desing tajam dari sebatang anak panah pertanyaan yang meluncur
ke udara. Melihat itu Hok To Beng tertawa, katanya kepada Gin Liong:
"Siau-hengte, mereka adalah anak buah dari Macan-tertawa Oh Thian Pa dari
gunung Thian-po-san. Berhati-hatilah dengan Kau-kin-tiang-pian (cambuk dari urat
naga) mereka." Waktu memandang dengan penuh perhatian, Gin Liong memang melihat berpuluh
kawanan penunggang kuda itu masing2 mencekal sebatang cambuk sepanjang satu
tombak lebih. Saat itu kawanan penunggang kuda membentuk diri dalam bentuk seperti busur,
dan lari kencang menyerbu ke arah Gin Liong bertiga. Sambil berdiri diatas
pantat kuda hitam mulus, Hok To Beng melambaikan pipa ke udara dan berseru nyaring:
"Saudara dari markas Som-lim-say, dengarkanlah! Aku Hok To Beng, suruhlah
pemimpin barisanmu tampil bicara dengan aku."
Saat itu kawanan penunggang kuda hanya terpisah dua puluhan tombak,
Tampaknya mereka tak mempunyai pemimpin.
Melihat itu Gin Liong dan Lan Hwa segera mencabut pedang. Tetapi saat itu
berpuluh-puluh penungganwg kuda sudah meyngepung, Wajah mereka
memberingas dan serempak mengayunkan cambuknya kearah Gin Liong bertiga.
"Tring, tring, tring. . . . dengan tangkas Gin Liong dan Lan Hwa segera memutar
pedang untuk membabat berpuluh-puluh cambuk itu. Ketika beradu dengan
pedang Tanduk Naga, berpuluh-puluh Kau-kin-tiang-pian atau cambuk-urat-naga
berhamburan putus.. Sedang Hok To Beng dengan tertawa gelak2 mengayunkan pipanya untuk menyapu
serangan cambuk. Terdengar pekik jeritan kejut. dan kesakitan dari berpuluh-puluh penunggang kuda


Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu ketika cambuk mereka terlempar jatuh, Dan menyusul terdengar beberapa
tubuh mereka terjungkal dari kuda.
Kembali dari arah kota kecil itu menggemuruh suara kuda berlari, Hampir seratus
penunggang kuda menerobos keluar dan mencongklang pesat.
Dua ekor kuda berbulu hijau dan merah, dan berada paling depan dinaiki oleh
sepasang lelaki perempuan yang mengenakan pakaian ringkas atau pakaian orang
persilatan warna kuning emas.
Dibelakang kedua orang itu, empat lelaki berpakaian warna putih perak
menunggang empat ekor kuda putih.
Rupanya keenam penunggang kuda itulah yang menjadi pemimpin dari barisan
kuda yang jumlahnya hampir seratus ekor.
Melihat itu Hok To Beng bahkan tertawa gelak2 dan berseru: "Hai, berhentilah
kalian, lihatlah pemimpin kalian suami isteri telah datang!"
Sambil berkata Hok To Beng ayunkan pipanya dan rubuhlah seorang lawannya lagi,
terjungkal jatuh dan kudanya.
Berpuluh-puluh penuggang kuda yang menyerang Gin Liong bertiga itu,
sesungguhnya sudah kewalahan. Melihat saycu atau pemimpin mereka datang,
timbullah semangatnya lagi.
Yang sudah kehilangan cambuk, berteriak-teriak memberi bantuan semangat
kepada kawan-kawannya yang masih mencekal cambuk, serangan merekapun
makin gencar. "Tring, tring, tring . . . ."
Terdengar dering benda keras beradu. Gin-Liong terkejut dan berpaling.
Dilihatnya seorang lelaki tua bermata bundar bibir tipis, pakaian compang camping, tengah
mengobat-abitkan sebatang tongkat bambu wulung, menghantam kawanan
penunggang kuda yang tengah menyerang Gin Liong bertiga.
Seketika gemparlah kawanan penunggang kuda. Mereka menjerit dan memekik,
berhamburan menyingkir pergi.
"Liong koko, orang2 itu memang menjengkelkan sekali. Hajarlah mereka!" tiba2
terdengar Lan Hwa berseru,
16. Jago2 persaudaraan Tio Gin Liong terkejut. Segera ia mengetahui bahwa lelaki tua yang berpakaian
seperti pengemis itu adalah Hong-tian-siu atau si Gila yang bergelar Keng-joh-hui-heng
atau Terbang-diatas-rumput.
Hok To Beng tertawa gelak2, serunya: "Gila, jangan keliwat keras yang memukul,
tuh Oh Thian-Pa sudah datang!"
Tepat pada saat itu terdengarlah suara seseorang berseru gopoh: "Harap locianpwe
berdua suka berhenti. Wanpwe Oh Thian Pa akan menghaturkan maaf."
Suara itu diserempaki dengan tibanya dua penunggang kuda, Oh Thian Pa yang
bergelar Siau-bin-hou atau si Macan-tertawa, bertubuh tinggi besar dan
mengenakan pakaian kuning emas. Alisnya tebal, mata besar, wajah empat persegi,
kulitnya putih bersih tiada tumbuh kumis. Seorang yang memberi kesan baik.
Isteri dari Oh Thian Pa bernama Toknio-nio atau Wanita-beracun, Mengenakan
pakaian kuning emas dan membawa pedang emas. wajahnya cantik.
Sedang keempat ekor kuda putih yang mengiring dibelakang, masih berada tiga
puluhan tombak jauhnya, Seratus ekor barisan kuda itu, berhenti dan berjajar-
jajar. Begitu tiba dihadapan Hok To Beng dan Hong-tian-soh, suami isteri Oh Thian Pa
segera loncat turun dari kudanya.
Gin Liong dan Lan Hwa pun menyimpan pedang lalu turun dari kuda dan berdiri
dibelakang kedua jago tua.
"Wanpwe suami isteri Oh Thian Pa dan Pik Li-hoa menghaturkanh hormat kepada
locianpwe berdua, Entah anak buah kami melakukan kesalahan apa terhadap
locianpwe berdua, wanpwe mohonkan maaf."
Mendengar pemimpinnya minta maaf, kawanan penunggang kuda itu serentak
berjongkok ditanah dan minta ampun kepada kedua pemimpin mereka,
"Ah, Oh saycu terlalu merendah diri." kata Hok To Beng, "peristiwa ini hanya
suatu kesalahan faham saja..."
"Oh Thian Pa, jangan pura2 tak tahu," cepat Hong-tian-soh menukas, "anak
buahmu hendak merebut kedua ekor kuda dari Setan Asap dan adik
perempuannya!" Melihat gelagat kurang baik, cepat2 Hok To Beng memukulkan pipanya ke tongkat
bambu wulung Hong-tian-soh.
"Mengapa ?" si Gila terkejut.
"Hong koko, kedua ekor kuda ini kemungkinan memang milik mereka." cepat Lan
Hwa mendahului. "Sekalipun kuda mereka tetapi mengapa mereka begitu ngotot turun gunung
mengejar sampai kemari?" tukas Hong tian-soh.
Gin Liong kerutkan dahi, ia merasa Hong-tian-soh itu lebih gila lagi wataknya
dari Hok To Beng. Tetapi ternyata bukan saja tak marah, kebalikannya Oh Thian Pa dan Pik Li-hoa
tertawa. Kemudian Oh Thian Pa membentak anak buahnya yang masih bersimpuh ditanah
itu suruh mereka lekas menggabung dalam barisannya berpuluh-puluh penunggang
kuda tadi, pun segera berbangkit dan menuntun kudanya menuju kedalam barisan.
"Sungguh berwibawa! Sungguh menyeramkan!" seru Hong-tiah-soh.
Macan-tertawa hanya ganda tertawa dan mengucapkan beberapa kata merendah.
Kemudian ia memandang kearah kedua kuda dari Gin Liong dan Lan Hwa.
Gin Liong tahu bahwa kedua ekor kuda hitam mulus dan hitam berkaki putih itu
sebenarnya milik Oh Thian Pa yang dicuri oleh kedua orang Mongol tadi. Maka
segera ia mengatakan kepada Hok To Beng supaya kuda itu dikembalikan saja
kepada Oh Thian Pa. Hok to Beng setuju tetapi Lan Hwa menentang: "Salah mereka mengapa sampai
dicuri orang, Dan kita mengambilnya dari pencuri itu."
Tiba2 Hong-tian-soh deliki mata:
"Apa" Kalau memang kita merampas dari pencuri itu, kuda itu milik kitalah!"
Tok-mo-cu atau Wanita-berbisa Pik Li-hoa agaknya mempunyai kesan baik
terhadap Mo Lan Hwa, Maka berkatalah ia kepada suaminya:
"Karena nona itu merebut dari si pencuri kuda, biarlah kuda itu diambilnya."
Oh Thian Pa setuju dan menyerahkan kuda itu kepada Gin Liong serta Lan Hwa, Lan
Hwa memandang Pik Li-hoa dengan tertawa.
"Dihadiahkan atau diberi sama saja, Kelak siaumoay sudah bosan, akulah yang akan
mengembalikan kuda itu kepada pemiliknya," kembali Hong-tian-soh menyeletuk.
Pun Hok To Beng juga menambahkan bahwa apabila urusan sudah selesai, kedua
kuda itu tentu akan dikembalikan lagi kepada Oh Thian Pa.
Setelah peristiwa itu selesai, Oh Thian Pa minta agar Hok To Beng bertempat
singgah di markas gunung Thian-po-san. Tetapi Hok To Beng mengatakan lain kali
saja. Oh Thian Pa pun membawa anak buahnya pulang ke gunung.
Hok To Beng memperkenalkan Gin Liong kepada Hong-tian~soh. Gin Liong
memberi hormat kepada kakek gila itu. Melihat Gin Liong seorang pemuda cakap
dan gagah, kemudian memandang ke arah Lan Hwa, Hong-tian-soh pun tertawa
gembira. "Aha, siau-hengte ibarat mustika dari dalam telaga dan siaumoay sebagai mutiara
dari dalam laut, Sungguh merupakan pasangan yang serasi sekali...." Hong-tian-
soh menyeletuk lagi. Melihat si Gila itu hendak mengoceh tak keruan, cepat2 Hok To Beng menukas:
"Gila, tahukah engkau bahwa guru dari siau-hengte ini tokoh angkatan muda yang
kepandaiannya lebih tinggi dari kita berdua ?"
"Siapa ?" "Pelajar-berwajah-kumala Kiong Cu Hun!"
Hong-tian-soh agak terbeliak kaget dan memandang Gin Liong lekat, Tiba2 ia
teringat sesuatu, serunya:
"Setan-asap, semalam aku bertemu dengan Ban Hong Liong-li yang tergila-gila pada
Kiong Cu Hun itu !" "Dimana?" serentak Gin Liong berseru.
Hong-tian-soh kerut dahi, ia heran mengapa Gin Liong begitu tegang, Hok To Beng
segera menerangkan: "Siau-hengte hendak mencari Ban Hong Liong-li."
"Huh, kalau mau kejar, cepat-cepat sajalah, Budak itu luar biasa ilmu
ginkangnya..." "Hong koko, dimanakah engkau berjumpa dengan Liong-li locianpwe itu?" Gin
Liong makin tegang. "Dia tengah berlari sekencang-kencangnya. Heran, mengapa dia menempuh
perjalanan pada waktu tengah malam," berhenti sejenak, Hong-tian-soh
melanjutkan pula: "Asal sebelum matahari terbenam engkau dapat mencapai Hong-shia, mungkin
engkau dapat mengejar Ban Hong Liong-li"
Saat itu matahari sudah condong ke barat Gin Liong makin gelisah.
"Toa-suheng, mari kita berangkat!" seru Lan Hwa.
"Kalau mau berangkat, silahkan berangkat dulu. Aku dan Setan Arak berjanji pada
toa-suhengmu untuk bertemu disini," sahut Hong-tian-soh.
Hok To Beng pun mengatakan bahwa setelah urusan selesai, ia bersama Hong-tian-
soh tentu segera menyusul.
"Disepanjang jalan, tinggalkan tanda-rahasia Pipa-emas."
"Atau tanda tongkat pemukul anjing itu juga boleh," Hong-tian soh menyelutuk,
"bukankah seratus orang yang melihat diriku tentu akan mengatakan kalau aku
seorang tukang peminta nasi."
Diam2 Mo Lan Hwa girang karena kedua tokoh itu tak ikut pergi, Demikian
keduanya segera naik kedua ekor kuda hitam, Dalam waktu yang singkat mereka
sudah melintasi sebuah daerah pegunungan salju.
Sejam kemudian mereka sudah melalui beberapa desa dan saat itu disebelah
depan tampak jalan besar yang menuju ke kota Hong-shia.
Penuh orang berjalan dijalan besar itu. Kebanyakan mereka adalah pedagang2.
Saat itu matahari sudah condong kearah barisan puncak gunung disebelah barat.
"Adik, tahukah engkau gunung apa itu?" tanya Lan Hwa.
Sambil memandang ke gunung yang menjulang tinggi ke angkasa, Gih Liong
gelengkan kepala, mengatakan tak tahu.
Lan Hwa kerutkan dahi. Dia heran mengapa Gin liong tak tahu apa2 sama sekali.
Bagaimana akan mencari orang ke Kanglam yang begitu luas.
"Itulah puncak Mo-thin-ni. Benggolan kaum Hitam diluar perbatasan yakni ketujuh
saudara Tio, bersarang di gunung itu," Lan Hwa menerangkan.
"Adik, pelahan dulu," sesaat kemudian Lan Hwa berseru ketika melihat pada jarak
satu li disebelah muka tampak mendatangi belasan penunggang kuda yang
berpakaian seperti orang persilatan. Karena debu amat tebal maka sukar diketahui
wajah mereka. Rupanya kawanan penunggang kuda itu tahu juga akan Gin Liong dan Lan Hwa.
Penunggang kuda yang menjadi pemimpin rombongan itu segera hentikan
kudanya. Dan saat itu Gin Liong pun sudah tiba didepan mereka.
Tanpa berkata apa2, seorang penunggang kuda menerobos dari rombongannya
dan terus lepaskan pukulan jarak jauh kearah Gin Liong. Sudah tentu pemuda itu
terkejut dan cepat condongkan kepala kudanya lalu balas menghantam.
"Bum . . . ." Terdengar dengus orang tertahan, orang itu dibawa mundur oleh kudanya dan
terpelanting jatuh ke tanah, berguIing-guling dan menjerit-jerit. . .
Rombongan penunggang kuda itupun cepat mencabut senjatanya hendak
menyerang. Tetapi kuda hitam kaki putih dari Lan Hwa tiba2 meringkik berloncatan
melingkar-lingkar dengan garang sekali.
Belasan ekor kuda dari rombongan itu terkejut dan meringkik ketakutan lalu lari
berserabutan keempat penjuru.
Tetapi sebagai gantinya, Gin Liong dan Lan Hwa segera melihat seorang
penunggang kuda melintang ditengah jalan. Penunggangnya seorang lelaki
berwajah hitam, mukanya penuh brewok, hidung dan mulut besar, alis tebal
menaungi sepasang mata yang bundar besar.
Orang itu dingin2 memandang kedua anak.
"Adik, dia adalah Bong-kim-kong Tio Tik Lok, jago nomor empat dari ketujuh
saudara Tio," bisik Lan Hwa.
Tiba2 dari samping kanan dan kiri terdengar teriakan gempar dan menyusul
rombongan penunggang kuda tadi segera mengepung Gin Liong, Lan Hwa dan
Bong-kim-kong. Gin Liong makin gelisah, Dia hendak cepat2 melanjutkan perjalanan. Tak mau dia
terlihat dalam pertempuran yang tak berguna itu.
"Minggirlah!" serunya seraya mencongklangkan kuda menerjang Bong-kim-kong
dan ayunkan tangan kanannya menghantam.
Bong-kim kong atau Malaekat-buas Tio Tik Lok tertawa gelak2. ia kepitkan kedua
kakinya ke perut kuda dan melambungkan kuda itu loncat sampai satu tombak
tingginya lalu ayunkan tongkat Long-ya-pang menghantam pantat kuda Gin Liong.
Pukulannya luput, Gin Liong terkejut. Cepat ia memacu kudanya loncat kemuka.
Melihat Gin Liong terancam bahaya, Lan Hwa pun segera membalutkan pedangnya
kepinggang Malaekat-buas, Tetapi jago keempat dari Tujuh saudara Tio itu tertawa
keras, lintangkan kuda seraya balikkan tongkatnya kepinggang nona itu.
"Budak, karena engkau tahu namaku, maka serangan ini takkan mencabut
nyawamu!" Lan Hwa pun terkejut karena serangannya gagal. Cepat ia menyadari bahwa
ketujuh penjahat dan gunung Mo-thian-nia itu memang pandai sekali bertempur
dengan menunggang kuda. Kalau mau menundukkan Malaekat-buas, lebih dahulu
harus memaksanya turun dari kuda.
Begitu tongkat Long-ya-pang tiba, nona itu pun loncat turun ke tanah.
Segulung sinar merah berkelebat membabat kaki depan dari kuda Bong-kim-kong,
Bong kim-kong menjerit kaget, menarik kendali sehingga kuda berdiri tegak
menjulangkan kaki depannya ke atas, Lalu dengan jurus Menjolok-bulan~didasar-
laut, Bong-kim-kong menyodokkan tongkat ke pedang Lan Hwa.
Melihat babatannya tak berhasil Lan Hwa marah sekali, ia memutar pedang untuk
memapas siku lengan kanan lawan.
Bong-kim,-kong terkejut dan tegakkan lagi tubuhnya. Kudanya ikut berputar-putar
sehingga menghampiri ke tempat Gin Liong.
"Hayo, engkau pun harus turun!" tiba2 Bong-kim-kong membentak dan
menyapukan tongkatnya ke tubuh Gin Lion.,
Wut!. pemuda itu ayun tubuhnya melambung ke udara sampai beberapa tombak,
Sambil bergeliatan di udara ia berseru: "Taci, menyingkirlah agak jauh!"
Serempak dengan teriakan itu. segulung sinar merah yang menyilaukan mata
segera berhamburan memancar di udara, Belasan rombongan penunggang kuda
begitu melihat sinar itu serentak memekik keras.
Bong-kim-kong pucat seketika, ia tak sempat berbuat apa2 lagi kecuali buang
tubuh berguling jatuh dari kudanya.
Gin Liong tak mau melukai kuda orang, ia loncat turun dari kudanya, Melihat itu
dengan menggerung keras, Bong-kim-kong loncat menghantamkan tongkat long-
ya-pang kearah kepala Gin Liong.
Baru saja kaki Gin Liong menginjak tanah atau tahu2 kepalanya sudah terancam. ia
marah sekali, Dengan sebuah gerak berputar, ia sudah menyelinap disamping
Bong-kim-kong lalu secepat kilat membabatkan pedang Tanduk Naga ke lengan
orang. Serasa terbanglah semangat Bong-kim-kong melihat gerak yang luar biasa dari anak
muda itu. Cepat ia lepaskan long-ya-pang lalu enjot tubuhnya sampai dua tiga
meter kebelakang, Dan karena kuatir pemuda itu akan menyerangnya lagi maka
lebih dahulu ia songsongkan kedua tangannya kearah Gin Liong.
Gin Liong makin panas, ia balas menghantam dengan tangan kiri, Bum . . . . Debu
berhamburan angin menderu-deru dan tubuh pun tertatih-tatih, Bong~kim-kong
Tio Tik Lok, jago nomor empat dari persaudaraan Tio yang menguasai gunung Mo-
thian-nia, saat itu terhuyung-huyung beberapa langkah kebelakang dan jatuhlah ia
terduduk di tanah. ia gagal untuk menguasai keseimbangan tubuhnya,
Serentak terdengarlah pekik kejut dari belasan anakbuah Bong-kim-kong yang
serempak mengangkat senjata masing2. Tetapi tak seorang pun yang berani
menolong Bong-kim-kong. karena tempat Bong-kim-kong duduk di tanah itu hanya
terpisah dua meter dari Mo Lan Hwa yang tegak berdiri sambil lintangkan
pedangnya. Tampak jago keempat dari persaudaraan Tio itu duduk lunglai di tanah dan
pejamkan mata menunggu ajal.
Melihat sikap berpuluh anak buah Bong-kim-kong yang memberingas itu, marahlah
Lan Hwa. ia merasa terhina karena dipandang oleh belasan anak buah Bong kim-
kong. Dia menafsirkan pandang mata anak buah Bong-kim-kong itu menuduh
bahwa ia (Lan Hwa) seorang nona yang licik dan curang karena hendak membunuh


Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang lawan yang sudah tak berdaya.
"Huh," ia mendengus lalu masukkan pedangnya kedalam sarung dan sekali
menggeliat ia sudah tiba di samping Gin Liong.
Gin Liong pun sarungkan pedang dan mengajak nona itu segera melanjutkan
perjalanan lagi. Keduanya segera loncat ke kuda masing2, Tetapi baru hendak
melarikan kudanya, tiba2 belasan anak buah Bong-kim-kong itu bersorak sorai
dengan gembira. Ketika Gin Liong dan Lan Hwa memandang kedepan, ternyata lebih kurang dua li
jauhnya tampak berpuluh puluh penunggang kuda tengah mencongklang cepat
sekali, Orang yang sedang berada di jalanan, buru2 lari ketakutan menyingkir
ketepi jalan. Yang didepan tiga ekor kuda bulu hitam putih dan merah. Penunggangnya seorang
lelaki dan dua orang perempuan. Ketiga ekor kuda lari secepat angin dan beberapa
kejab mereka sudah berada setengah li dari tempat Gin Liong.
Penunggang kuda hitam, seorang lelaki mengenakan pakaian dan mantel hitam.
Bertubuh perkasa, muka lebar, dada bidang tetapi kulit hitam seperti pantat
kuali, pinggangnya menyanding sepasang pukul besi berbentuk segi-delapan. Warnanya
kuning emas dan beratnya tak kurang dari berpuluh-puluh kati.
Rupanya dia tengah memberingas marah sehingga tampaknya makin
menyeramkan. Penunggang kuda putih seorang nona cantik berumur dua puluhan tahun.
wajahnya bulat telur alis melengkung seperti busur. Bibirnya merah semerah bunga
mawar, Rambutnya yang panjang menjulai diatas bahu, Mengenakan baju dari
sutera warna biru, demikian juga celana kun, Diatas seekor kuda putih, nona itu
tampak makin menonjol kecantikannya.
Sedang yang naik kuda bulu merah, seorang dara berumur lima belasan tahun.
Mata bundar, wajahnya kemerah-merahan segar Rambutnya dibelah dua kuncir.
Mengenakan pakaian warna merah, sikapnya masih kekanak-kanakan dan sepintas
pandang memberi kesan bahwa dia seorang bujang.
Rombongan anak buah Bong-kim-kong tadi makin menggemuruh soraknya, Melihat
itu Lan Hwa segera berkata bisik2 kepada Gin Liong:
"Adik, hati-hatilah, penunggang kuda hitam itu adalah jago nomor lima dari
persaudaraan Tio. Namanya Tio Tek Piu bergelar Thia-lo-han (Arhat besi). Seorang
limbung yang keras kepala sekali."
Berhenti sejenak, Lan Hwa melanjutkan:
"Dan nona yang naik kuda putih itu adalah saudara ketujuh dari persaudaraan Tio,
ilmu pedang dan ilmu ginkangnya, cemerlang sekali, ilmu kepandaiannya lebih
unggul dari keenam engkoh2nya. Orang memberi gelaran kepadanya Mo-thian-
giok-li (Bidadari dari gunung Mothian), Namanya Tio Li Kun dan baru berumur dua
puluh empat tahun." Sengaja Mo Lan Hwa memberi tekanan dengan nada keras waktu mengucap umur
24 tahun itu. "Budak diatas kuda merah itu, centil dan ketus sekali, Orang memberinya nama
Cabe Rawit Siau Hoan kepadanya."
Saat itu ketiga kuda itupun sudah hampir tiba. Bidadari-gunung-Mo-thian Tio Li
Kun yang naik kuda putih, menatap Gin Liong dengan lekat.
Begitu ketiga ekor kuda itu tiba, maka kuda hitam Gin Liong dan kuda hitam kaki
putih dari Mo Lan Hwa segera meringkik keras sehingga ketika kuda pendatang itu
terkejut berputar-putar. Melihat engkohnya nomor empat Bong-kim-kong duduk di tanah, secepat kilat si
cantik Tio Li Kun terus apungkan tubuh melayang kearah Bong-kim-kong.
Gin Liong terkejut Gerakan si cantik Li Kun itu menyerupai sekali dengan ilmu
lari cepat Angin-meniup-kilat-menyambar yang dimilikinya.
"Siapa yang memukul jatuh engkohku ini ?" teriak sebuah suara kasar.
Ketika berpaling, Gin Liong dapatkan si limbung Thiat-lo-han memandangnya
dengan mata berapi-api sambil naik seekor kuda hitam dan tak henti-hentinya
berputar, Sret, dia terus mencabut sepasang palu besi dan dibolang-balingkan
dengan keras. Gin Liong tertawa dingin, Sesaat ia hendak membuka mulut tiba2 si Cabe rawit
Siau Hoan menuding kearahnya: "Ngo-ya, itulah orangnya...."
"Tutup mulutmu, Siau Hoan," tiba2 terdengar sebuah bentakan halus.
Gin Liong dan Mo Lan Hwa berpagling. Ternyata si nona cantik yang tengah
berjongkok menolong Bong-kim-kong, deliki mata dan membentak bujang Siau
Hoan. Ketika melihat Gin Liong berpaling memandangnya, muka si cantik Li Kun tersipu-
sipu merah dan cepat dan cepat2 tundukkan kepala, mengangkat bangun Bong-
kim-kong. "Budak, engkaupun harus turun dari kuda!" Gin Liong terkejut Ketika berpaling,
dilihatnya Thiat-lo-han hendak menyerangnya.
Kuda hitam meringkik dahsyat Mengangkat kaki depan keatas tegak berdiri sambil
berputaran dengan indah terhindarlah binatang itu dari hantaman Thiat-lo-han Tio
Tik Piu. Jago kelima dari persaudaraan Tio terkejut sekali ketika serangannya luput.
Tetapi pada saat ia hendak menyerang lagi, tiba2 Gin Liong sudah melontarkan sebuah
hantaman dahsyat sehingga senjata Thiat-lo-han terlempar lepas dari tangannya,
melayang sampai tiga tombak jauhnya.
Thiat-lo-han memekik-mekik seperti orang kebakaran jenggot Betapa ingin ia dapat
meraih senjatanya itu, Sesosok bayangan merah berkelebat dan dengan gerak yang indah sekali, Mo-
thian-giok-li Tio Li Kun telah menyambar tangkai pukul besi itu lalu dilemparkan
kepada engkohnya: "Terimalah!" Seketika terdengarlah sorak sorai yang menggemuruh dari sekalian anak buah
gunung Mo-thian-nia. Menyambuti senjata pukul besinya, Thiat-lo-han tertawa gelak2.
Melihat peristiwa itu marahlah Gin Liong, Segera ia kerahkan seluruh tenaga ke
lengannya. "Lo ngo, menyingkirlah!" tiba2 terdengar Bong-kim-kong membentak keras.
Thiat-lo-han Tio Tek Lok memandang kearah engkohnya nomor empat dan adik
perempuannya nomor tujuh lalu kisarkan kudanya ke samping untuk memberi
jalan. Keenam penunggang kuda yang menghadang di tengah jalan pun buru2
menyingkir. Demikian pula dengan kelompok anak buah yang datang bersama
Thiat-lo-han dan Mo-thian-giok-li tadi, pun menyingkir ketepi jalan.
"Taci, mari kita berangkat!" Gin Liong berseru kepada Lan Hwa. kedua muda mudi
itupun segera mencongklangkang kudanya dengan pesat.
Mendengar Gin Liong menyebut Lan Hwa dengan panggilan "taci", seketika
merekah setitik harapan dalam hati Mo-thian-giok-li Tio Li Kun. ia tersenyum
girang. Saat itu matahari sudah condong ke barat dan tertutup oleh puncak gunung Mo-
thian-san yang menjulang tinggi.
Sekonyong-konyong hidung Gin Liong terbaur serangkum angin wangi, ia tergetar
dan berpaling, Tampak ditepi sebelah kiri jalan, tengah berjajar sekelompok
barisan kuda dari gadis cantik. Mereka mengenakan pakaian merah semua dan
menyanggul pedang dipunggung.
Kuda hitam mulus meringkik terus menerjang ke muka, Barisan nona2 cantik itu
cepat menyingkir kesamping jalan.
Tak berapa lama disebelah muka tampak tembok dari kota Hong-shia. Seperminum
teh lamanya, tibalah Gin Liong berdua di pintu kota itu.
Pintu kota yang besar dan tinggi dijaga oleh beberapa prajurit Mereka terkejut
melihat kedatangan Gin Liong dan Lan Hwa. Saat itu lampu2 rumah dan jalan mulai
dipasang. Sambil menunggang kuda, Gin Liong memandang kian kemari, ia
berharap dapat melihat Ban Hong Liong-li berada diantara orang2 yang berada di
jalan itu. "Adik, marilah kita cari rumah penginapan dulu, Baru nanti kita menyelidiki
jejak Ban Hong Liong-li locianpwe," kata Lan Hwa.
Gin Liong setuju. Tiba2 dari kerumunan orang disebelah belakang terdengar sebuah lengking
teriakan: "Liong koko, Liong koko!"
Gin Liong terkejut dan berpaling, Beberapa puluh tombak jauhnya, tampak seorang
dara baju putih dan punggung menyelip pedang, tengah menerobos dari kerumum
orang dan bergegas menghampiri Gin Liong.
Melihat dara itu bukan kepalang girang Gin Liong, serentak ia berseru gopoh:
"Adik Lan!" serunya seraya memutar kuda menyongsongnya.
Orang2 yang berada di jalan terkesiap memandang kedua muda mudi itu. Ada yang
menduga kalau keduanya engkoh dan adik, ada pula yang menyangka tentu
sepasang kekasih. Begitu tiba, Gin Liong terus loncat turun dari kuda dan mencekal tangan
sumoaynya, Ki Yok Lan. "Lan-moay, bilakah engkau tiba disini?" tanyanya.
Melihat Gin Liong, serentak teringatlah Yok Lan akan suhunya yang telah
meninggal dicelakai orang itu. Air matanya bercucuran membasahi kedua pipi. Betapa ingin
ia rebahkan kepala ke dada sukonya dan menangis sepuas-puasnya.
"Siang tadi," sahutnya, seraya mengeluarkan sapu tangan dan menghapus
airmatanya. "Pada hari itu setelah siuman aku segera lari keruang depan mencarimu. Aku
bertemu dengan ji-susiokcou dan seluruh paderi yang sudah pulang dari makam,
Saat itu baru kuketahui bahwa suhu telah meninggal dunia dan engkau turun
gunung..." Bercerita sampai disitu, air mata Yok Lan membanjir deras.
Gin Liong pun berlinang-linang namun ia kuatkan hati untuk mencegah air
matanya. Pada saat ia hendak berkata menghibur sumoaynya, tiba2 kuda hitam mulus
meringkik keras sehingga Yok Lan melonjak kaget, Ketika mengangkat muka, baru
ia tahu kalau orang2 yang berada disekitar tempat itu tengah memandang dirinya
dan Gin Liong, Yok Lan tersipu-sipu merah wajahnya.
Memandang ke arah Gin Liong, dilihatnya sukonya itu tengah memandang kian
kemari seperti mencari orang. Serentak teringatlah Yok Lan akan nona baju merah
yang menunggang kuda hitam berkaki putih tadi.
"Liong koko, kemanakah nona yang berjalan bersama engkau tadi?" serunya
bertanya. Merah wajah Gin Liong mendengar pertanyaan itu. segera ia menerangkan bahwa
nona itu bernama Mo Lan Hwa yang digelari orang sebagai Salju-merekah- merah.
"Aneh, mengapa tiba2 ia lenyap," kata Gin Liong seraya mengusap air matanya.
"Liong koko, mungkin dia mengambek," kata Yak Lan.
Seketika Gin Liong pun tersadar. Tentulah Lan Hwa pergi dengan marah. Seketika
ia teringat akan janjinya bertemu dengan Hok To Beng dan Hong-tian-soh di
penyeberangan Taylian (Dairen). Bagaimana nanti akan mengatakan kepada kedua
orang itu apabila Lan Hwa tak ikut serta.
Melihat sukonya gelisah, Yok Lan tak enak hati, serunya: "Liong koko, kutunggu
kau di hotel Ko Liong, Susullah nona itu, ia tentu marah kepadamu."
Sesungguhnya tak enak perasaan hati Gin Liong terhadap Yok Lan. Tetapi karena
saat itu tak sempat memberi keterangan maka ia menyetujui saran sumoaynya,
"Baiklah sumoay, kau tunggu saja di hotel itu, aku akan menyusulnya," serunya
lalu melarikan kudanya ke utara.
17. Disambut hujan anak panah
Walaupun sangat gopoh tetapi Gin Liong tak berani melarikan kudanya keras2.
Setelah keluar dari pintu utara. malampun makin gelap, Rembulan mulai muncul.
Beberapa saat kemudian, ia masih belum melihat bayangan Lan Hwa. Yang tampak
disebelah muka hanya gunduk2 perumahan dan pedesaan, Diam2 ia meragu
apakah keliru arahnya. Tiba2 ia mendengar suara ringkik kuda dari sebelah barat kota Hong-shia.
serentak berserulah ia: "Kuda hitam kaki putih...!"
Serentak ia larikan kuda hitam mulus kearah tempat itu, Beberapa waktu
kemudian, ia tiba dijalan yang merentang kearah barat.
Jalan itu sunyi senyap, Kuda hitam mulus jari secepat angin, Kota Hong-shia pun
sudah tertinggal jauh beberapa li dibelakang.
Memandang kemuka, tampak gunung Mo-thian-san menjulang tinggi ke langit.
Diam2 Gin Liong heran mengapa Mo Lan Hwa mendaki ke gunung itu.
Setengah jam kemudian, kaki gunung Mo-thian-san sebelah timur hanya sejauh
tiga li jauhnya. Dikaki gunung itu terbentang sebuah hutan batu yang berbentuk aneh. Pohon
siong yang pandak dan pohon2 lain yang gundul daunnya. Tetapi Lan Hwa tak
tampak sama sekali. Menyadari bahwa gunung Mo-thian-san itu menjadi sarang dari ketujuh
persaudaraan Tio, diam2 Gin Liong meningkatkan kewaspadaan.
Jalanan menyusur sepanjang kaki gunung, melingkar ke selatan. Kuda bulu hitam
masih keras larinya dan tak tampak letih.
Tiba2 di sebelah muka jalan. muncul beberapa benda hitam.
"Apakah kawanan anak buah Mo thian-nia sedang meronda!" pikir Gin Liong.
Ketika terpisah setengah li, barulah Gin Liong tahu bahwa benda2 hitam ini
ternyata beberapa orang yang tengah bergegas menempuh perjalanan. Mereka
orang2 desa yang hendak menuju ke kota.
Gin Liong hentikan kuda, bertanya seraya memberi hormat.
"Tolong tanya, apakah paman sekalian berpapasan dengan seorang nona baju
merah menunggang seekor kuda bulu hitam ?"
Orang2 itu menggelengkan kepala, Salah seorang yang berumur tua, menjawab:
"Kami orang desa setiap pagi tentu pergi ke kota. Sejak tadi tak pernah melihat
nona itu." "Aneh, kemanakah gerangan perginya?" gumam Gin Liong seorang diri.
Tiba2 angin malam sayup2 seperti mengantar lengking bentakan orang marah, Dan
sesaat kemudian terdengar gemerincing suara senjata beradu.
Gin Liong cepat berpaling memandang kearah suara itu. Tetapi kaki gunung sebelah
timur tetap sunyi senyap, Hanya pohon2 siong yang bergoncang tertiup angin.
"Apakah karena hendak bersembunyi nona itu telah kesasar masuk kedaerah
terlarang dari kawanan gunung Mo-thian-nia dan kepergok dengan anak buah
mereka lalu bertempur?" kembali Gin Liong menimang-nimang.
Segera ia larikan kudanya menyusur jalan kearah suara itu. Tiba2 ia mendengar
ringkik kuda berkumandang makin jelas, Asalnya dari kaki gunung sebelah timur
laut. Gin Liong segera memacu kudanya dan larilah kuda hitam mulus itu secepat angin.
Dari ujung gunung sejauh beberapa li, seekor kuda hitam mencongklang menuju
kearah Gin Liong. Melihat kuda hitam itu, kuda Gin Liong serentak melonjak keatas lalu
mencongklang lebih cepat, Gin Liong girang sekali karena tahu bahwa kuda hitam
yang mendatangi itu adalah kuda Kay-swat atau kuda hiiam kaki putih.
Cepat ia hendak berteriak memanggil Lan Hwa tetapi secepat itu pula ia batalkan
maksudnya karena melihat bahwa yang berada diatas kuda hitam kaki putih itu
jelas bukan Lan Hwa. Beberapa saat kemudian kedua kuda itu makin mendekati Tahu bahwa Lan Hwa
telah tertimpa bencana, Gin Liong pun bersiap-siap,
Saat itu Gin Liong pun melihat sebuah jalan kecil yang mencapai dimuka gunung,
Segera ia menduga bahwa dari jalan kecil itulah Lan Hwa telah menyelinap dan
masuk ke daerah terlarang dari kawanan gunug Mo-thian-san.
Tiba disebuah hutan, kuda hitam meringkik dan berputar-putar tak mau berlari
lagi. Gin Liong pun segera hentikan kudanya, Memandang kemuka, ia melihat di tengah
jalan kecil ditengah hutan, melintang beberapa tali kendali kuda. Dan diatas
puncak pohon dipasang jaring. Saat itu hutan sunyi senyap, Kuda bulu hitam kaki putih yang tiada penunggangnya
itupun meringkik dan berputar-putar ketika tiba dimuka hutan.
Gin Liong menduga, tali kendali dan pelana kuda Lan Hwa tentu telah dirampas
orang, Gin Liong marah. Mencabut pedang Tanduk Naga, ia memutarnya seraya
menerjangkan kuda kemuka.
Begitu menerobos keluar dari hutan, sebatang anak panah mendenging tiba, Gin


Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Liong cepat menabas anak panah itu dengan pedang Tanduk Naga.
Kembali anak panah yang kedua meluncur di udara dan tepat tiba dibelakang
kedua kuda. Kuda hitam mulus dan kuda hitam berkaki putih lari makin pesat dan
tak berapa lama tiba dijalanan batu, Jalan dan batu itu mendaki keatas dan terus
masuk kedalam lembah. Kedua samping jalan batu itu merupakan lereng gunung yang curam. Sedang
diatasnya penuh dengan batu2 yang aneh bentuknya, Makin masuk ke dalam
makin berbahaya keadaannya.
Gin Liong tetap larikan kudanya masuk kedalam lembah sempit itu. Segera
terdengar suitan nyaring berkumandang di udara, Dan menyusul turunlah hujan
anak panah yang deras kearah Gin Liong dan kudanya.
Gin Liong makin marah melihat cara2 yang licik dan keji itu. ia memutar pedang
Tanduk Naga sederas hujan, sedang kedua ekor kuda lari seperti terbang.
Kira2 berpuluh rombak jauhnya, terdengar pula suitan nyaring dan kembali hujan
anak panah gelombang kedua mencurah kearah Gin Liong. Tetapi dengan pedang
Tanduk Naga dan kedua kuda sakti itu, dapatlah Gin Liong terhindar dari bahaya
dan saat itu telah memasuki lembah.
Jalanan makin sempit dan makin berbahaya Kali ini terdengarlah suara tambur dari
lamping gunung. Lalu terdengar pula suara menggemuruh.
Gin Liong hentikan kudanya dan menengadah memandang keatas, diatas karang
tinggi pada lamping gunung, tampak sosok2 bayangan hitam berhamburan kian
kemari dan pada lain saat terdengarlah suara yang sangat gemuruh. Beratus-ratus
batang pohon besar berhamburan menggelinding dan lamping gunung.
Kali ini Gin Liong terkejut Demi menjaga keselamatan jiwanya terpaksa ia larikan
kuda kembali keluar dari lembah.
Penjaga pos pada kedua lamping gunung ditepi jalan, berteriak gempar ketika
melihat Gin Liong muncul keluar, Ternyata di mulut lembah saat itu tampak
berpuluh-puluh orang sedang meletakkan beberapa tali kendali kuda.
Begitu melihat Gin Liong muncul, mereka serempak menghunus senjata dan
menghadang ditengah jalan.
Dengan menggembor keras. Gin Liong putar pedang Tanduk Naga, membabat
putus tali kendali yang direntang ditengah jalan itu.
Ketika para penjaga hendak menyerbu, kuda bulu hitam mulus sudah meluncur
berpuluh tombak jauhnya, Kuda hitam kaki putih pun mengikuti jejak kawannya.
Melihat kuda kaki putih itu, serentak timbul pula kegelisahan Gin Liong karena
mencemaskan nasib Lan Hwa, ia memutuskan untuk menyerbu ke gunung.
Diamatinya keadaan lembah gunung itu memang berbahaya sekali, ia
memperhitungkan bahwa pada tempat2 yang berbahaya tentu tak begitu dijaga
ketat, Maka ia segera larikan kudanya disepanjang kaki gunung menuju ke barat
laut. Tiba disebuah tempat yang berbahaya, ia berhenti dan turun dari kudanya. Saat
itu baru ia mengetahui bahwa kedua ekor kuda itu seperti mandi keringat, Gin Liong
sayang kepada kuda itu, Dielus-elus kepalanya beberapa kali dan kedua ekor kuda
itu pun seperti mengerti bahasa manusia, terus lari menuju kegundukan batu yang
tinggi. Saat itu rembulan sudah ditengah Cakrawala terang benderang Mo-thian-hong
atau puncak gunung Pencakar Langit, menjulang tinggi menyusup ke dalam awan.
Bermandikan cahaya rembulan, gunung itu tampak perkasa.
Dengan beberapa loncatan, Gin Liong tiba dimuka sebuah karang yang tegak
melandai, sepanjang karang itu penuh dengan pohon rotan dan batu2 yang
menonjol. serentak ia enjot tubuh melambung ke udara.
Dengan setiap kali hinggap pada batu karang atau pohon untuk menggunakannya
sebagai landasan melambung lagi ke atas, akhirnya berhasillah ia tiba di puncak
karang. Tetapi belum lagi ia berdiri tegak, tiba2 terdengar sebuah bentakan keras:
"Hai, siapa itu !"
Sebatang anak panah segera meluncur. Gin Liong terkejut. Untung ia masih dapat
miringkan tubuh menghindari anak panah itu.
Lima tombak disebelah muka, muncul seorang lelaki baju biru yang memutar golok
dan lari menyerbu Gin Liong, Sedang seorang lelaki mencekal anak panah dan
busur tengah tegak berdiri dimuka sebuah genderang tembaga.
Gin Liong segera menyongsong penyerbu itu, Setelah menghindari tabasan golok,
secepat kilat ia menyelinap kebelakang dan menutuk punggung orang itu, Bluk,
golok terlepas dan orangnya pun rubuh.
Cepat pula Gin Liong loncat menyerang penyerang bergolok itu, menjerit dan
rubuh, Gin Liong tertawa dingin, Secepat kilat ia menyerbu kearah orang yang
bersenjata panah. Orang itu terkejut, cepat ia hendak memukulkan busur pada genderang, Gin Liong
cepat menerkam lengan orang itu. Tetapi pada saat ia mencengkeram lengan orang
busur pun sudah membentur genderang dan menimbulkan bunyi yang
berkumandang nyaring. Gin Liong marah. Sekali ayunkan kaki, tubuh orang itupun terlempar sampai dua
tombak jauhnya. Tetapi genderang telah terlanjur berkumandang dan pada lain saat sebatang panah
api meluncur ke udara, panah api itu berarti dari sebuah puncak di sebelah muka.
Di udara anak panah api itu meletup dan menghamburkan bunga api.
Dalam beberapa kejap, terdengarlah suara pekik teriakan yang dahsyat, menyusul
tampaklah seratusan buah lentera bergerak-gerak disegenap penjuru gunung.
Gin Liong tahu bahwa jejaknya telah diketahui, namun dia tetap tertawa dingin
dan lari menuju ke puncak. Pos penjagaan segera mengetahui gerak gerik Gin Liong, sebatang anak panah
berapi meluncur ke udara dan muncul lah tiga orang menghadang jalan.
Gin liong berputar arah menuju ke sebuah puncak lain, Tetapi kembali melayang
sebatang panah berapi dan muncul empat orang menghadang jalan.
Gin Liong menggeram. Dengan sekuat tenaga ia berlari kearah puncak yang
tertinggi. Suara teriakan berhenti, lentera2pun tak lagi berguncang-guncang. Tujuh orang
yang sedianya menghadang Gin Liong, terpaksa hentikan langkah. Rupanya seluruh
anak buah gunung Mo-thian-nia tercengang melihat ilmu gin-kang Gin Liong yang
luar biasa, Tiba2 terdengar suitan orang. Sesosok tubuh berpakaian gerombyong, muncul dari
puncak yang pendek tadi dan berlarian menuju ke arah Gin Liong.
Gin Liong terkejut ia duga orang itu tentu salah seorang anggauta dari
persaudaraan Tio. Ketika Gin Liong tiba disebuah jalan melintang, orang itu pun
sudah tiba ditanah lapang sebelah muka.
Dibawah sinar rembulan, dapatlah Gin Liong mengetahui bahwa pendatang itu
seorang tua berumur antara tujuh puluhan tahun, Gin Liong duga orang itu tentu
lotoa atau saudara yang tertua dari persaudaraan Tio.
Saat itu Gin Liong sudah tiba ditanah lapang demikianpun dengan orang tua itu.
Berpuluh-puluh orang baju biru bersorak-sorai membawa lentera dan mengepung
tanah lapang. "Hai, budak liar dari mana itu berani tengah malam buta masuk ke gunung ini!"
seru orang tua itu seraya menghantam," terimalah dulu pukulanku ini!"
Begitu tiba, orang tua itu harus gunakan jurus Lat-biat-hoa-san atau Menghantam-
gunung Hoa-san, menghantam kepala Gin Liong.
Gin Liong cepat menghindar dan menyelinap kebelakang orang itu. Tetapi orang
tua itu pun dengan tangkas berputar tubuh dan menghantam bahu kiri Gin Liong.
Gin Liong marah sekali, ia tangkiskan tangan kiri, Bum, orang tua itu terhuyung-
huyung sampai tiga langkah kebelakang.
Sekalian anak buah gunung Mo-thian-san tercengang menyaksikan peristiwa itu.
Bahkan Gin Liong sendiri juga kesima mengapa persaudaraan Tio yang begitu
termasyhur, ternyata hanya begitu saja kepandaiannya.
"Budak, sambutlah sekali lagi !" seru orang tua itu seraya menghantam lebih
dahsyat. Kembali Gin Liong menangkis dengan tangan kiri, Bum, kembali orangtua itu
terhuyung. "Bunuh!" terdengar pekik sorak dari sekeliling lapangan dan serempak para anak
buah kawanan baju biru itu serempak mencabut senjata dan siap menyerbu.
Bluk!, lelaki tua itu jatuh terduduk ditanah, Tiga sosok bayangan menerobos
keluar dari barisan baju biru, lari menghampiri si orang tua.
Tetapi sejenak menyalurkan napas, orang tua itupun segera melonjak bangun. Lalu
tertawa gelak2. Ketiga orang tadi terkejut dan buru2 balik kembali kedalam barisannya.
Tiga ratus anak buah gunung Mo-thian-nia yang saat itu sudah mengepung Gin
Liong, bersorak gembira ketika melihat orang tua itu tak kurang suatu apa.
Orang tua itu hentikan tertawanya, mencabut tongkat besi yang terselip pada
pinggangnya dan berseru nyaring:
"Aku situa ini. Tongkat-halilintar Cu Ceng Hian. sudah berpuluh-puluh tahun
mengembara dalam dunia persilatan, belum pernah ada orang yang mampu
membuat aku jatuh terjungkir balik...."
Ia tertawa gelak2 lagi dan berseru kepada Gin Liong:
"Budak, engkaulah orang yang pertama..." ia menutup kata dengan sebuah
loncatan kemuka seraya memutar tongkatnya menghantam pinggang Gin Liong.
Mendengar nama orang tua itu bukan dari persaudaraan Tio, Gin Liong tak
mempunyai selera untuk menempurnya lagi. serentak ia loncat menyingkir tiga
tombak dan berseru: "Berhenti, lekas panggil saycu keluar!"
"Apabila engkau mampu menangkan tongkatku ini, saycu pasti akan keluar," sahut
orang tua itu, ia terus memutar tongkat dan maju menyerang Gin Liong.
Gin Liong marah. Ia bergeliatan menyusup kedalam gulungan sinar tongkat.
Di bawah penerangan seratus buah lentera, tiba2 terdengar Gin Liong berseru:
"Lekas panggil saycu-mu!"
Bentakan itu disusul dengan melayangnya tongkat kearah kawanan anak buah
gunung Mo-thian-nia. Dengan sebuah pukulan, Gin Liong berhasil menghantam
tongkat Cu Ceng Hian sehingga terlepas dari tangannya.
Ketika kawanan anak buah itu hiruk-pikuk menyingkir dari ancaman tongkat,
beberapa sosok tubuh lari menghampiri kegelanggang pertempuran. Kembali
terdengar sorak sorai menyambut kedatangan orang itu.
Tetapi Cu Ceng Hian sudah tak menghiraukan suatu apa. Seperti orang gila, dia
segera menyerang Gin Liong dengan tangan kosong.
"CU Ceng Hian berhenti. Aku hendak menghadapi budak itu lagi!" seru pendatang
itu. Gin Liong cepat dapat mengenali orang yang loncat kehadapannya itu sebagai si
Thiat-lo han. Saat itu Gin Liong berhasil mencengkeram tangan Tongkat-halilintar Cu Ceng Hian.
Tetapi orang tua itu masih penasaran, Tiba2 ia ayunkan kaki menendang bawah
perut Gin Liong. Melihat orang tua itu begitu keras kepala, Gin Liong marah lalu mendorongnya
kemuka. Cu Ceng Hian terhuyung-huyung seperti layang2 putus tali dan tepat
menyongsong kedatangan Thiat-lo-han.
"Celaka...." teriak Thiat-lo-han yang kasar dan berangasan. Tetapi benturan
tepat tak dapat dihindarkan, Bluk, kembali Cu Ceng Hian harus terbanting ke tanah
lagi. "Huh, salahmu, salahmu, bukankah aku sudah suruh engkau menyingkir, Nah,
akhirnya kita benturan sendiri!" seru Thaat-lo-han bersungut-sungut.
Melihat itu Gin Liong hampir tak kuat menahan gelinya.
Kali ini Cu Ceng Hian benar2 menderita. Tubuhnya gemetar, keringat dingin
mengucur dan ia terduduk ditanah tak dapat bangun,
"Cu tua," seru Thiat-lo-hian simuka hitam sambil menyeringai, "jangan engkau
penasaran kepadaku tetapi salahkan budak itu karena telah mendorong tubuhmu
begitu deras, Lihatlah, akan kupukul dia untuk membalaskan penasaranmu!"
Habis berkata si muka hitam Thiat-lo-han terus berputar tubuh dan berseru
nyaring: "Budak liar, apa engkau tak mengerti aturan menghormat orang tua" Mengapa
engkau mendorong si tua Cu?"
Tring! ia benturkan sepasang senjatanya yaitu pukul besi segi-delapan, lalu
melangkah ketempat Gin Liong.
Tiba2 dari luar gelanggang terdengar derap lari empat orang menuju ke tempat
pertempuran itu, serentak suasana hening karena berpuluh-puluh anak buah Mo-
thian-san itu tak berani buka suara lagi.
Si limbung Thiat-lo-han hentikan langkah dan berpaling. Demikianpun Gin Liong,
Segera ia melihat empat orang, tiga lelaki dan seorang wanita, tegak berdiri
pada jarak lima tombak dari gelanggang.
Lelaki yang berdiri ditengah, berumur sekitar 45-46 tahun, Mengenakan jubah
warna emas dan topi dari kulit harimau tutul. Alis melengkung seperti pedang,
mata menyala, hidung pesek, bibir tipis dan jenggotnya menjulai sampai ke dada,
sepintas pandang menyerupai seorang hartawan, bukan orang persilatan
Dia adalah pemimpin dari golongan tokoh2 silat aliran hitam dari Say-gwa (luar
perbatasan), bernama Tio Tok Beng, gelar Siau-yau-ih-su atau pertapa bebas.
Berdiri disebelah kirinya, seorang lelaki beralis lebat, mata tajam, hidung
panjang dan jenggotnya tebal menjulai ke dada. Umurnya sekitar 41-42 tahun. Berpakaian
ringkas warna hijau, kopiah kulit bajing, punggungnya menyanggul sepasang
senjata Hou-jiu-kong-kau atau sepasang kait baja.
Dia adalah jago nomor tiga dan persaudaraan Tio, bernama Tio Tok Giam gelar Say-
ni-tun. Sepasang kaitnya sangat dimalui oleh seluruh kaum Liok-lim atau Rimbau
Hijau, istilah untuk menyebut dunia penyamun.
Dibelakang kedua orang itu adalah Mo-thian-giok-li atau Bidadari dari gunung Mo-
thian-san Tio Li Kun. Disampingnya, adalah engkohnya si Bong-kim-kong.
Melihat bahwa yang menyelundup keatas gunung itu bukan lain pemuda cakap
siang tadi, Tio Li Kun tertegun dan memandang lekat pada Gin Liong.
"Toako," seru si limbung Thiat-lo-han demi meliat Tio Tek beng, "yang memukul
suko sampai jatuh dari kuda adalah budak ini!"
Su-ko yang dimaksud ialah engkoh nomor empat atau Bong-kim-kong. Sudah tentu
Bong-kim-kong merah mukanya dan cepat berseru marah: "Toako sudah tahu!"
Melihat engkohnya marah, si limbung Thiat-lo-han menyengir dan tak berani buka
suara lagi. Gin Liong segera mengetahui bahwa yang disebut toako itu tentulah lelaki yang
dandanannya mirip orang hartawan itu. Cepat ia memberi hormat, serunya:
"Aku yang rendah ini Siau Gin Liong bersama Hoa cici kebetulan melalui gunung
ini. Karena kuda membinal Hoa cici sampai dibawa kedaerah terlarang dan jatuh dalam
perangkap anak buah markas Mo-thian-nia. Mengingat kami tak sengaja telah
memasuki daerah terlarang dan gunung ini, maka kumohon saycu suka
membebaskan taci itu, sebelumnya kuhaturkan banyak terima kasih."
Tampak Tio Tek Beng agak tertegun seperti tak tahu akan peristiwa itu. Kemudian
ia berpaling memandang kearah Cu Ceng Hian yang masih duduk ditanah, serunya:
"Dimana taci siauhiap telah terjatuh dalam perangkap?"
"Sebelah timur dari mulut lembah ini," sahut Gin Liong.
Tio Tek Giam, jago ketiga, segera berseru: "toako, menurut laporan dari pos
timur bukit, seorang dengan naik kuda hitam telah masuk kedalam lembah, Karena
barisan panah tak mampu merintangi, terpaksa dilakukan hujan balok..."
"Yang masuk kedalam lembah itu, adalah aku sendiri!" seru Gin Liong.
Tio Tek Giam kerutkan dahi, serunya. "Tanpa menurut peraturan kaum persilatan
terus menerobos masuk ke markas. Tidak menghiraukan segala peringatan yang
diberikan . . ." Mendengar itu Tio Li Kun gelisah, Kuatir kalau sampai terbit salah faham, maka
cepat2 ia menukas ucapan engkohnya:
"Sam-ko, kuda dari Siau-sauhiap itu seekor kuda istimewa yang luar biasa
pesatnya, Mungkin Siau-sauhiap hendak buru2 menghadap toako..."
"Kuda memang tak kenal aturan, tetapi masakan demikian juga penunggangnya!"
dengus Tio Tek Giam. 18. Menuju gunung Thiat-san
Tio Li Kun terkejut ia kuatir Gin Liong tentu marah. Dan memang benar, Gin Liong
berteriak keras seraya loncat kemuka dan menuding Tio Tek Giam:
"Tutup mulutmu! Siapa yang engkau katakan tak tahu aturan itu ?"
Tio Tek Giam jago ketiga dari gunung Mo-thian-san deliki mata dan membentak:
"Memukul suteku sampai jatuh dari kuda, tengah malam menyelundup ke gunung,
melukai saycu dari puncak timur, jelas bukan hendak mencari orang tetapi hendak
mencari onar." Ia berhenti dan tertawa mengekeh: "Kalau saat ini tak mau mengatakan terus
terang, jangan harap engkau dapat tinggalkan tempat ini."
Mendengar itu Gin Liong menengadahkan kepala dan menghamburkan


Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemarahannya dalam sebuah tertawa yang nyaring dan panjang.
Para anak buah terkesiap bahkan Bong-kim-kong dan Thiat-lo-han pun tergetar
hatinya lalu bersiap-siap turun tangan.
Diantara kelima persaudaraan Tio yang berada disitu, hanya Tio Li Kun seorang
yang berobah cahaya mukanya, Dia bingung melihat toakonya diam saja. Padahal ia
tak tahu bahwa sebenarnya toakonya itu sedang memperhatikan dengan tajam
anak muda yang gagah itu.
"Jangankan ratusan anak buah kalian, pun semua alat2 perangkap dari gunung Mo-
hian-san ini, tak mungkin mampu menahan kepergianku." seru Gin Liong.
"Budak bermulut besar...!" teriak Tio Tek Giam seraya dorongkan kedua tangannya
yang telah disaluri dengan tenaga penuh,
Gin Liong pun menggembor dan ayunkan tangannya menghantam.
Terdengar suara benturan keras dan tubuh jago ketiga dari gunung Mo-thian-nia
itu terhuyung-huyung beberapa langkah kebelakang. Tio Li Kun melengking dan
loncat menyanggupi tubuh engkohnya. Dipandangnya Gin Liong dengan sorot mata
tajam. Tio Tek Beng saudara tertua dari ketujuh jago gunung Mo-thian-san terkejut,
Dilihatnya Gin Liong masih tegak berdiri dengan wajah tenang.
Ia tak mengira sama sekali bahwa hanya dengan pukulan sebelah tangan, pemuda
itu dapat melemparkan Tio Tek Giam.
Tio Tek Giam sendiri cepat2 menyalurkan napas, Tetapi ia dapatkan dirinya tak
terluka sama sekali, Mau tak mau ia memandang jitmoaynya Tio Li Kun dengan
terlongong, seperti hendak mengatakan: "Eh, mengapa aku tak menderita luka
apa2!" "Budak, terimalah palu besiku ini lagi!" tiba2 si limbung Thiat-lo-han berseru
seraya loncat dan menghantam dengan kedua palu besinya.
Yang kiri menghantam lambung Gin Liong, palu besi yang kanan menghantam
kepala pemuda itu. sekaligus ia lancarkan dua jurus serangan.
Gin Liong hanya tertawa dingin, Sekali bergeliat ia sudah menyelinap dibelakang
orang limbung itu. Tetapi dia tak mau menyerangnya.
Si limbung Thiat-lo-han terlonygong-longong karena sasarannya tiba2 hilang. Dia
baru terkejut ketika engkohnya nomor empat yakni Bong-kim-kong berteriak: "Lo
Ngo, dibelakangmu...!"
Thiat-lo-han gelagapan dan cepat memutar sepasang palu besi dihantamkan
kebelakang, seraya berseru angkuh: "Aku memang sudah tahu...."
Tetapi alangkah kejutnya ketika Gin Liong tak berada dibelakang.
"Kurang ajar, engkau sembunyi dibelakang lagi...." kali ini dia tak mau berputar
tubuh melainkan lontarkan palu besi sebelah kebelakang.
Entah bagaimana terhadap orang limbung itu Gin Liong tak sampai untuk turun
tangan, Begitu ia loncat kebelakang si limbung dan baru saja berdiri tegak,
tiba2 palu besi sudah menyambar kemukanya. Dalam kejut Gin Liong pijakkan kaki
ketanah dan melambung sampai tiga tombak ke udara.
Mo thian-giok-li Tio Li Kun berteriak kaget.
Seluruh anak buah gunung Mo-thian-san pun memekik gempar.
Masih di tengah udara, Gin Liong sempatkan diri untuk melihat apa yang terjadi,
Ternyata palu besi yang dilontar si limbung Thiat-lo-han tadi karena luput
mengenai Gin Liong, melayang kearah Tongkat-halilintar Cu Ceng Hian yang masih
duduk ditanah. Tongkat-halilintar mendelik ketika melihat mukanya akan disambar palu besi.
Cepat ia gunakan ilmu Kiu-te-sip-pat-kun atau Delapan belas kali berguling-guling
ditanah. Dia berhasil bergelundungan sejauh tiga tombak, Lalu hantamkan kedua tangannya
ke tanah dengan meminjam tenaga pukulan itu tubuhnya melambung dua tombak
ke udara. Berhasillah ia menghindar palu besi dengan indah sekali.
Bum!. . . . palu besi itu tepat menghantam tempat bekas diduduki Cu Ceng Hian
tadi. Tanah muncrat, pasirpun berhamburan ke empat penjuru.
Ketika melayang turun ke tanah, Cu Ceng Hian berdiri dengan wajah pucat,
keringat mengucur deras. Mendengar teriakan gempar tadi, si limbung Thiat-lo-han mengira kalau timpukan
palu besinya mengenai Gin Liong. Cepat ia berpaling dan . . .
"Hua, hua, hua . . . ." si limbung memekik-mekik seperti orang kalap ketika
melihat apa yang terjadi. "Lo-naynay datang!" tiba2 kelompok anak buah Mo-thian-san sebelah selatan
berseru. serentak mereka pun menyingkir kesamping untuk memberi jalan.
Siau-yau-ih-su Tio Tek Beng, Say-ni-tun Tio Tek Giam serentak terkesiap, Thiat-
lo- han pun berhenti memekik-mekik. Tio Li Kun dan Cong-kim-kong lari menyambut!
Gin Liong hanya memandang dengan penuh keheranan, jauh di sebelah selatan,
tampak tiga sosok bayangan berlari pesat seperti terbang.
Yang dimuka, seorang wanita tua berumur 80-an tahun, wajahnya ramah,
memegang sebatang tongkat perak. Dibelakangnya, seorang pemuda berumur 26-
27 tahun, berwajah cakap dan mengenakan pakaian sutera putih. Pemuda itu
adalah engkoh keenam dari Tio Li kun. Namanya Tio Tek Cun bergelar Siau-bun-
hou. Sedang yang seorang lagi seorang budak perempuan yang lincah dan masih
kekanak-kanakan Berpakaian warna merah tua.
Begitu wanita tua itu tiba maka ratusan anak buah gunung Mo-thian-san segera
bersorak riuh: "Lo-naynay, terimalah hormat kami..."
Wanita tua itu tersenyum seraya mengangkat tangannya memandang ratusan anak
buah Mo-thian-san, lalu memberi anggukan kepala.
Tio Li Kun dan Bong-kim kong serta merta berseru: "Mah . . ."
Demikian pula dengan Tio Tek Beng dan Tio Tek Giam. Mereka bergegas
menghampiri dan memberi hormat kepada mamahnya dan Cu Ceng Hian demikian
juga. Si Limbung Bong-kim kong lalu menghampiri wanita tua itu dan berseru: "Mah
mengapa engkau tak membaca kitab saja tetapi datang kemari?"
Wanita tua itu berpaling memandang puteranya yang tolol, tertawa ramah:
"Kudengar kalian sedang ribut2 dengan orang, Maka kuajak adikmu Tek Cun dan
Siau Hoan menjenguk kemari."
Kemudian wanita itu berpaling dan bertanya kepada puteranya yang paling tua:
"Beng-ji, apakah yang terjadi disini?"
Tio Tek Beng segera memberi keterangan bahwa malam itu seorang nona telah
tersesat masuk ke daerah terlarang gunung Mo-thian-san dan tertangkap, sekarang
adiknya datang kesini. "Mah, itulah Siau-sauhiap," cepat Tio Li Kun menukas seraya memeluk tubuh
ibunya dan menunjuk Gin Liong.
Gin Liong mempunyai kesan baik terhadap wanita tua yang berwajah ramah itu.
Waktu dirinya ditunjuk Tio Li Kun, ia terus berjalan menghampiri wanita tua itu.
Terkesiap wanita tua itu demi melihat seorang pemuda berwajah cakap dan terang,
menghampiri ketempatnya. ia mempunyai kesan baik lalu memandang Tio Li Kun,
puteri tunggalnya, Dilihatnya puterinya tersipu-sipu merah mukanya. Diam2 wanita
tua itu girang hatinya, ia tersenyum.
"Budak perempuan, bukan saja engkau, tetapi mama pun ingin lekas2
melaksanakan harapanmu," katanya dalam hati.
Rupanya Tio Tek Beng tahu akan gerak-gerik adik perempuannya, segera ia
berpaling dan mengisiki Tongkat-halilintar Cu Ceng Hian. Orang she Cu itu
mengangguk lalu melangkah masuk kedalam barisan anak buahnya.
"Boanpwe Siau Gin Liong menghaturkan hormat kehadapan locianpwe," seru anak
muda itu manakala sudah tiba dihadapan wanita tua.
"Ah, harap Siau-sauhiap jangan pakai banyak peradatan," kata wanita tua seraya
tertawa gembira. Kemudian mata nyonya Tio tua itu menelusuri tubuh Gin Liong dengan penuh
perhatian, seolah-olah seperti seorang mertua yang sedang menaksir-naksir
seorang menantu. Si limbung Thiat lo-han maju selangkah dan berkata:
"Mah, yang memukul suko jatuh dari kuda adalah pemuda ini."
Melihat dirinya dilaporkan pada mamahnya, sudah tentu Bong-kim-kong marah. ia
mendengus geram: "Hai. sute, mana palu besi milikmu!"
"Huh, inilah," seru si limbung seraya menunjukkan kedua palu besinya. Tetapi
ketika melihat palu besinya itu berlumuran lumpur, baru2 ia membersihkan dengan
ujung bajunya seraya menggerutu: "Huh, si Cu tua itu hanya mengambilkan palu
besi ini tetapi tak mau membersihkan."
Melihat tingkah laku dan ucapan si limbung, Gin Liong tak kuasa menahan gelinya.
Tio Li Kun tersipu-sipu malu, ia mengira Gin Liong menertawakan dirinya karena
pemuda itu sudah dapat mengetahui isi hatinya.
Rupanya nyonya Tio tua amat sayang kepada puteranya yang limbung itu, ia tak
mau mendampratnya melainkan berpaling memandang Gin Liong lagi.
"Siapakah nama yang mulia dari suhu Siau-sauhiap?" tanyanya,
Dengan sikap menghormat Gin Liong memberitahu nama gurunya, Karena nyonya
Tio tua itu sudah mengundurkan diri dari keramaian hidup dan tekun membaca
kitab suci, ia girang mendengar guru Gin Liong itu juga seorang paderi, Liau
Ceng taysu. Tiba2 Gin Liong pun teringat akan kematian yang mengenaskan dari suhunya. Ingin
sekali ia cepat2 menuju ke Hong-shi untuk menemui Ban Hong Liong-li.
Serentak ia menyatakan kepada nyonya Tio tua bahwa ia masih mempunyai suatu
urusan penting sehingga tak dapat tinggal lebih lama disitu. ia minta agar Mo
Lan Hwa dibebaskan. "Setelah urusan selesai, boanpwe tentu akan mengunjungi gunung ini lagi untuk
mengaturkan hormat kepada li-cianpwee dan minta maaf kepada para saycu
disini." katanya. Sebagai penutup, ia membungkukkan tubuh memberi hormat.
Mendengar sikap Gin Liong begitu berduka atas kematian suhunya tahulah nyonya
Tio bahwa pemuda itu seorang yang berbudi luhur. Diam2 wanita tua itu makin
puas. Demi mendengar Gin Liong hendak buru2 menyelesaikan urusannya, walaupun
tahu Tio Li Kun tentu akan kecewa, tetapi nyonya Tio tak mau mempersulit pemuda
itu. "Beng-ji, dimanakah taci Siau-sauhiap sekarang?" tanyanya kepada Tio Tek Beng.
"Mah, soal itu harus ditanyakan kepada Cu hun-saycu. Toako tak tahu nona Siau
berada dimana," tiba2 Tio Li Kun menyelutuk.
Mendengar itu Gin Liong tampil ke depan dan menjelaskan: "Taci Hoa itu bukan
orang she Siau. Dia she Mo, namanya Lan Hwa."
Mendengar itu Tio Tek Cun yang sejak datang tak pernah buka suara, serentak
maju kemuka dan berseru: "Siau-sauhiap, Mo Lan Hwa itu apakah bukan siau-sumoay dari Pipa-emas Hok To
Beng?" "Ya, benar memang nona itu," seru Gin Liong berseri girang.
Tetapi ketujuh saudara Tio serentak berobah mukanya, Tio Tek Cun serentak
berpaling mencari Cu Ceng Hian, Kebetulan orang she Cu itu tengah bergegas
muncul dari barisan anak buahnya.
"Mo Lan Hwa?" seru Tio Tek Cun.
Cu Ceng Hian tertegun. "Nona yang keliru memasuki daerah terlarang itu adalah siau-sumoay dan Pipa-
emas Hok To Beng ialah nona Mo Lan Hwa..." seru nyonya Tio tua pula.
Cu Ceng Hian tenangkan diri dan memberi keterangan: "Tadi ji-saycu Tin Kun Tong
kebetulan datang ke gunung timur, Demi melihat nona itu berada dalam jaring, ia
berteriak menyebut "siau-moay" lalu membuka jaring itu sendiri dan mengajak si
nona pulang ke markas. "Mah, aku hendak pulang memeriksanya," bergegas Tio Tek Cun berkata lalu lari
menuju ke puncak disebelah muka.
Melihat ke tujuh saudara Tio itu agak gugup ketika mengetahui Mo Lan Hwa itu
adik seperguruan dari Pipa-emas Hok To Beng, Gin Liong segera memberi
penjelasan: "Adalah karena kudanya binal maka taci Hwa sampai masuk daerah terlarang dan
terjerumus dalam jaring perangkap, Soal itu tak dapat menyalahkan siapa2..."
"Mungkin Siau-sauhiap belum jelas akan keadaan yang sebenarnya. Nona Mo itu
sangat disayang sekali oleh ketiga tokoh Swat-thian Sam~yu. Mereka menurut saja
apa yang nona itu minta. Apabila peristiwa ini sampai terdengar oleh Swat-thian
Sam-yu, wah, runyam juga, Pipa-emas dan Kakek Pemabuk, masih dapat dilayani,
Tetapi si gila Hong-tian-soh itu paling sukar dihadapi. Dia paling sayang kepada
siau-sumoaynya nona Mo Lan Hwa," Siau-yau ih-su Tio Tek Beng cepat
menjelaskan. "Maka setiap orang yang tahu akan hubungan mereka, tak ada yang berani
mengganggu nona Mo," ia menambahkan pula.
Gin Liong termenung. Tiba2 ia melihat wajah Tio Li Kun tidak senang tadi, Ia pun
mendapat kesan bahwa nona jelita itu lebih anggun wajahnya dari Ki Yok Lan.
Rupanya si limbung Thiat-lo-han tak puas mendengar keterangan toakonya, ia
membenturkan sepasang palu besinya dan mendengus marah:
"Hm, apa itu Pipa-emas, Pipa-perak dan Swat-thian Sam-yu. Begitu berjumpa
dengan aku si Thiat-lo-han ini tentu akan kuhajar dengan sepasang palu besiku
ini!" "Tolol, jangan menggila. Mari kita lekas pulang untuk menjenguk nona Mo itu.
Sudahlah, apabila peristiwa ini terdengar Swat-thian San-yu akulah yang akan
menghadapinya," kata nyonya Tio tua.
Kemudian dengan wajah yang ramah, nyonya tua itu mengajak Gin Liong ke markas
karena Mo Lan Hwa sudah berada disana.
Gin Liong meragu. ia teringat akan sumoay-nya, Ki Yok Lan. yang menunggu di
hotel dalam kota Hong-shia. "Apakah Siau-sauhiap masih ada urasan lain lagi?" tanya Tio Tek Beng.
Dengan terus terang Gin Liong menerangkan tentang sumoaynya yang menunggu
di hotel kota Hong-shia, Apabila besok pagi2 ia tak datang, sumoaynya tentu
gelisah. "Menginap di hotel apakah sumoay Siau-sauhiap itu ?" tanya Tio Tek Giam.
"Hotel Ko Liong." sahut Gin Liong.
Mendengar itu Tio Tek Giam segera minta kepada toakonya supaya melepas
burung dara pembawa surat, memberitahu kepada ketua cabang di kota Hong-shia
supaya besok pagi2 mengirim orang menemui nona Ki dan memberitahukan bahwa
Siau Gin Liong berada di markas persaudaraan Tio di gunung Mo-thian-san.
Tio Tek Beng menyetujui Gin Liong menghaturkan terima kasih kepada
persaudaraan Tio atas bantuan mereka.
Demikianlah nyonya Tio dengan diiringi oleh putera puterinya dan seluruh anak
buah gunung Mo-thian-san segera membawa Gin Liong menuju ke markas besar.
Markas itu terletak dalam lembah. Terdiri dari beberapa bangunan gedung yang
indah, setelah melalui beberapa bangunan dan lorong akhirnya maksuklah mereka
kedalam sebuah gedung. Disitu telah menunggu para menantu dari nyonya Tio tua.
Ternyata memang Mo Lan Hwa sudah menunggu dalam ruang itu. pertemuan itu
amat menggembirakan sekali.
Tengah mereka bercakap-cakap, tiba2 masuklah si limbung Thiat-lo-han terus
langsung menunjuk kepada Mo Lan Hwa:
"Mah, nona ini mengendarai kuda menerobos penjagaan anak buah kita, Kelak dia
tentu akan menjadi seorang nyonya gila!"
"Lo Ngo, mengapa engkau begitu kurang adat terhadap nona Mo!" seru nyonya Tio
tua seraya gentakkan tongkatnya ke lantai, "hayo, lekas minta maaf kepada nona
Mo!" Melihat mamahnya marah, si limbung Thiat-lo-han termangu-mangu. ia segera
minta maaf kepada Mo Lan Hwa.
Nyonya Tio tua pun segera menyuruh menyediakan hidangan untuk menghormat
kedua tetamunya. Gin Liong tahu bahwa nyonya Tio tua itu dahulu adalah pendekar wanita Lok-yang
li-hiap yang termasyhur ia makin menaruh hormat kepada nyonya tua itu.
Demikian pula dengan nyonya Tio tua. Tahu bahwa Gin Liong itu murid dari
Pelajar- muka-tertawa Kiong Cu Hun, ia semakin berkenan dalam hati.
Diam2 putera2 juga tahu bahwa mamahnya itu amat setuju dengan Gin Liong.
Bahkan si limbung Thiat-lo-han yang suka bicara secara blak-blakan pun tahu
kalau mamahnya suka kepada pemuda itu.
"Mah, kulihat engkau malam ini sangat gembira sekali, mulut terus terbuka
tertawa-tawa saja. Kalau memang suka, mengapa tak memungut budak laki itu
sebagai putera angkat?"
Mendengar itu gemparlah suasana perjamuan. Semua mata mencurah kearah si
limbung. Si limbung melongo.

Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekonyong-konyong dengan muka berseri tawa, Gin Liong berbangkit dan
melangkah kehadapan nyonya Tio tua lalu memberi hormat:
"Mah, terimalah hormat dari Liong-ji," katanya seraya terus berlutut dan
menghaturkan hormat sampai empat kali.
Nyonya Tio tua sangat gembira sekali sehingga ia tertawa mengucurkan air mata.
Nyonya itu segera minta Gin Liong bangun dan berdiri disampingnya. Putera2nya
gembira sekali dan memberi selamat kepada mamahnya.
Demikian upacara pengangkatan putera itu berlangsung dalam suasana yang
menggembirakan. Saat itu hari sudah menjelang terang tanah dan Gin Liong pun segera minta diri
hendak kembali ke kota Hong-shia.
"Ah, engkau masih muda belia, belum berpengalaman dalam dunia persilatan. Aku
sungguh kuatir engkau seorang diri berkelana dalam dunia persilatan itu." kata
nyonya Tio tua. "Mah, sudah lama aku tak keluar dari gunung. Aku ingin menemani Liong-te turun
ke dunia persilatan," tiba2 si cantik Tio Li Kun berkata.
Tio Tek Beng segera mendukung: "Jika demikian mamah baru lega pikirannya."
Mendengar itu nyonya Tio tua mengangguk setuju.
"Mah, aku juga kepingin bersama-sama Liong-te..." seru si limbung Thiat-lo-han.
Tetapi nyonya Tio menolak.
Mendengar mamahnya setuju, Tio Li Kun girang sekali. Segera ia suruh pelayan
menyediakan kuda. "Adik Liong, turunlah dulu mencari kedua ekor kuda kita, Aku dan taci Li Kun
akan menunggumu di mulut lembah," kata Mo Lan Hwa.
Tiba2 Tio Tek Cun masuk dengan membawa sehelai kertas, serunya: "Toako,
celaka!" "Mengapa, Liok-te?" seru Tio Tek Beng.
Tio Tek Cun menyerahkan surat kepada toa-konya lalu berpaling kearah Gin Liong:
"Liong-te, sumoaymu itu apa bukan dara yang berumur 17 tahun."
"Ya, kenapa?" tanya Gin Liong.
Sambil menunjuk kearah surat yang dipegang toakonya, Tio Tek Cun berkata
cemas: "Menurut surat dari ketua cabang kita di Hong-shia, semalam seorang dara baju
putih yang bermalam di hotel Ko Liong telah berkelahi dengan Hun-tiap Sam-long,
salah seorang tokoh dari kedelapan Thiat-san Patkoay, Pagi tadi jongos hotel
mengatakan bahwa dara baju putih sudah menghilang."
Setelah selesai membaca surat, berkatalah Tio Tek Beng: "Rupanya nona Ki tentu
ditawan oleh penjahat cabul itu."
Mendengar itu merah padamlah muka Gin Liong, Segera ia menghampiri
kehadapan nyonya Tio dan mohon diri.
Setelah memberi hormat, ia terus melesat keluar.
"Liong-te, tunggu," seru Tio Tek Beng, Gin Liong hentikan langkah, "Harap Liong-
te jangan gegabah, Thiat-san itu sangat berbahaya, Kedelapan Thiat-san Pat-koay itu
pun teramat ganas sekali..."
"Baiklah, harap toako jangan kuatir," kata Gin Liong, "sekalipun Thiat-san itu
sebuah neraka, aku tentu dapat mengobrak-abriknya."
Habis berkata Gin Liong terus melesat pergi "Liong-ji, hati-hatilah," nyonya Tio
seraya menyuruh Tio Li Kun segera menyusul pemuda itu, "lekas kalian berdua
menemani Liong-ji." Tio Li Kun dan siau Hoan girang sekali. Sambil menarik tangan Mo Lan Hvva, Tio
Li Kun berseru kepada Tio Tek Cun: "Liok-ko, mari kita segera berangkat."
Mereka bertiga segera melesat keluar.
Melihat liong-te dan jit-moaynya pergi, si limbung Thiat-lo-han pun minta ijin
kepada mamahnya. Karena kuatir Gin Liong tak cukup tenaganya. nyonya Tio pun mengijinkan si
limbung Thiat-lo-han ikut.
Tek Cun naik kuda merah dan si jelita Tio Li Kun naik kuda putih, Sedang Mo Lan
Hwa mengikuti dibelakang kuda putih itu. Setelah menunggu beberapa saat,
akhirnya Gin Liong pun tiba dengan naik kuda hitam dan kuda hitam kaki putih.
Mereka segera berangkat turun gunung, Rupanya Gin Liong terburu-buru sekali
hendak mengetahui berita sumoaynya, ia mencongklangkan kuda hitamnya dan
meninggalkan ketiga kawannya dibelakang.
Tiba di kota Hong-shia. Mo Lan Hwa bertiga tak melihat bayangan Gin Liong lagi,
Mereka segera mencari rumah penginapan Ko Liong.
Ternyata Gin Liong memang sudah berada disitu, Gin Liong menerangkan bahwa
laporan kepala cabang itu memang benar, Ki Yok Lan sudah lenyap.
Mereka berempat segera meninggalkan kota Hong~shia. Tetapi mereka dikejutkan
oleh munculnya si limbung Thiat lo-han. Si limbung tertawa-tawa girang sekali
karena dapat bertemu dengan keempat anak muda itu.
"Hai, siapa yang suruh engkau menyusul?" tegur Tio Li Kun.
"Mamah," sahut si limbung, "bukankah kalian hendak menuju ke gunung Thiat-san"
Hayo, aku yang menjadi penunjuk jalan."
Tengah hari mereka tiba di Pak-kwan. Si limbung menggerutu panjang pendek
karena perutnya lapar, Akhirnya Gin Liong setuju untuk beristirahat mengisi
perut disebuah rumah makan. 19. Berpakaian serba hitam
Si Limbung pun segera pesan beberapa macam hidangan yang lezat. Dalam pada
itu Gin Liong memperhatikan bahwa para tetamu rumah makan itu kebanyakan
adalah orang2 persilatan dan kaum pedagang.
"Orang tua itu memang aneh sekali. Beberapa hari yang lalu katanya berada di
sebuah lembah gunung Tiang-pek-san, kemarin sudah lari lagi ke Tay-sip-kiau . ..
." kata seorang tetamu. Gin Liong tertarik perhatiannya dan melirik. Disebelah meja ditengah ruangan,
penuh diduduki orang2 persilatan. Ada yang tua ada yang muda. Dan yang bicara
itu adalah seorang lelaki pertengahan umur, berwajah merah.
"Keadaan orang tua itu memang aneh, Asal jangan mengganggu cermin pusakanya,
dia pun diam saja. Tetapi kalau cermin itu diganggu, baru dia akan membunuh."
Kemudian orang itu berkata kepada siorang tua: "Tio lopeh, kalau pergi kesana
kita hanya melihat-lihat saja, jangan se-kali2 ikut turun tangan."
Yang dipanggil paman Tio itu tertawa: "Peristiwa itu sebenarnya sudah diketahui
oleh dunia persilatan. Hanya saja, sampai saat ini belumlah seorang pun yang
tahu siapa sesungguhnya orang tua pembawa cermin itu. Yang mati tempo hari ialah si
Pengemis-jahat-kaki-telanjang, paderi Hoa dan nenek buta Tongkat-burung-
bangau." Ia menghela napas, kemudian melanjutkan, "Kabarnya saat ini Kim-piau Ma Toa
Kong dari partai Tiam-jong-pay, Bu Tim cinjin dari Kiong-lay-pay dan seorang
lotiang dari Kong-tong-pay menuju ke Toa-sip-kiau."
Tertarik hati Gin Liong akan percakapan itu. Asal menuju ke Tao-sip-kiau, ia
tentu dapat menemukan orang itu, Tetapi saat itu ia harus ke gunung Thiat-san untuk
membebaskan sumoaynya. Pembicaraan orang2 yang berada di meja tengah itu, kebanyakan berkisar tentang
diri orang tua pembawa cermin Gin Liong dapatkan Mo Lan Hwa dan kawan2, juga
mendengarkan dengan penuh perhatian. Hanya si Limbung Thiat-lo-han yang masih
enak2 melahap ayam panggang dan arak.
Tiba- Gin liong terkejut karena melihat Siau-bun-hou Tio Tek Cun tengah
memandang kebelakang tubuhnya dengan mata berapi-api. Ketika Gin Liong
berpaling dilihatnya tak jauh dari tempat duduknya, dua orang paderi dan imam
sedang duduk menghadapi pinggang dan cawan arak yang sudah kosong, Rupanya
mereka sudah kenyang makan minum.
Si paderi mengenakan jubah hitam, punggungnya menyanggul sebatang senjata
macam sekop yang diikat dengan gelang. Alis tebal mata besar, Matanya berkilat-
kilat jahat. Si imam mengenakan jubah bersulam patkwa, menyanggul pedang pada
punggungnya, Sepasang matanya yang jelaiatan menandakan dia seorang yang licik
dan ganas. Kedua paderi dan imam itu memandang tak berkedip kearah Mo Lan Hwa.
Mulutnya berkomat-kamit seperti menelan air liur.
Sudah tentu Gin Liong marah tetapi karena ia tak ingin menimbulkan onar, maka
memberi isyarat mata kepada Tek Cun supaya bersabar.
"Hm..." walaupun menurut tak urung Tek Cun mendengus geram untuk
menyalurkan kemarahannya.
Mendengar itu Thiat-lo-han berpaling, Tetapi saat itu Gin Liong cepat menuang
arak pada keempat kawannya. Melihat arak, Thiat-lohan lupa malah. Segera ia
menyambar dan terus meneguknya
Tio Tek Cun serta merta pun segera menghaturkan arak kepada Mo Lan Hwa. Nona
itu diam2 memperhatikan sikap Tek Cun yang begitu hangat dan mesra kepadanya.
Diam2 Gin Liong pun memperhatikan bahwa sejak kemarin malam, memang Tek
Cun sangat menaruh perhatian istimewa terhadap Lan Hwa, ia membayangkan
bahwa kedua muda mudi ini memang merupakan sejoli yang amat cocok sekali.
Apabila keduanya dapat terangkap jodoh, wah, iapun ikut gembira.
Memikir sampai disitu, diam2 Gin Liong seperti terlepas dari suatu tindihan
asmara. Bidadari Mo thian-san Tio Li Kun pun memperhatikan betapa mesra engkohnya Tek
Cun itu bersikap terhadap Lan Hwa. Pun ia memperhatikan bahwa dalam soal itu
ternyata Gin liong malah mendukung. Dengan demikian timbullah harapan makin
besar hati bidadari dari gunung Mo-thian-san itu terhadap Gin Liong.
Tetapi dikala membayangkan betapa girang Gin Liong memikirkan sumoaynya,
diam-diam hati Tio Li Kun agak rawan.
Setelah seusai makan dan membayar rekening, mereka dapatkan kedua paderi itu
sudah pergi. "Kedua paderi dan imam itu tentu murid2 perguruan agama yang bejat," kata Gin
Liong. "Kita masih mempunyai urusan penting yang harus dikerjakan lebih baik, jangan
cari perkara lain," "tiba2 si jelita Tio Li Kun menyeletuk.
"Hai, urusan apa?" tiba2 si Limbung Thiat-lo-han berseru.
"Bukan urusanmu!" tukas Tio Li Kun.
Gin Liong segera mengajak kawan-kawannya berangkat. Kelima kuda mereka lari
secepat angin. Baru melintasi dua buah puncak gunung, kuda hitam yang dinaiki
Gin Liong meringkik keras. Ternyata tak jauh disebelah muka, tampak dua ekor
kuda sedang berjajar menghadang jalan. Siapa lagi kalau bukan kedua paderi dan
imam yang makan dirumah makan tadi.
"Kedua menusia itu rupanya memang sudah bosan hidup," kata Tek Cun.
"Aku saja yang mengantar mereka pulang ke akhirat," tiba2 si limbung Thiat-lo-
han berseru, mencabut sepasang palu besi.
Paderi dan imam itu tertawa gelak2, serunya: "Aha, ternyata Budha telah memberi
kemurahan kepada kami berdua untuk mendapatkan apa yang kita ingini."
Mereka mencabut senjata dan memutar-mutar jual kegarangan.
Kuda hitam, kuda hitam kaki putih dan kuda putih tiba2 meringkik keras dan
menerjang kemuka dan wut, wut, wut, ketiga ekor kuda itu pun loncat ke udara
melayang melampaui kepala kedua paderi dan imam,
Kedua paderi dan imam itu pucat wajahnya menjerit dan tundukkan kepala,
Keringat dingin mengucur deras.
"Hai, lihatlah pusakaku!" teriak si limbung Thiat-lo-han seraya melemparkan
kedua palu besi kearah kedua orang itu.
Paderi dan imam makin menjerit kaget dan loncat dari kuda, berguling-guling
ketepi jalan. Bum!, sepasang palu besi itu menghantam tanah, menimbulkan debu dan pasir
yang menutupi pemandangan.
Tar, tar. . . . kembali terdengar cambuk menggeletar di udara, Kedua paderi dan
imam itu terkejut tetapi mereka tak dapat menghindar dari cambuk lagi. Cambuk si
limbung Thiat-lo-han dan Tek Cun masing2 telah menghajar kepala kedua paderi
dan imam itu sehingga mereka berkunang-kunang matanya, menjerit-jerit lari
menghampiri kuda, lalu melarikan diri.
Tetapi kembali mereka harus berhadapan dengan dua orang penghadang. Hanya
saja, kali ini mereka tidak terkejut ketakutan melainkan tertawa gembira sekali.
Kedua penghadang itu bukan lain adalah Mo Lan Hwa yang naik kuda hitam kaki
putih serta Tio Li Hwa yang naik kuda putih. Mo Lan Hwa dan Tio Li Kun memainkan
pedangnya dengan gencar dan tengah mengancam kedua paderi dan imam itu.
Jika tadi dalam rumah makan mereka begitu bernafsu sekali melihat Mo Lan Hwa
yang cantik, Saat itu mereka rontok nyalinya ketika melihat ilmu permainan
pedang kedua jelita yang begitu hebat.
"Li-posat, ampunilah jiwa kami . . . ." belum selesai mereka berkata, dua sinar
pedang melayang dan menjeritlah mereka karena kepala mereka terbang dari
tubuhnya. "Ho, mereka sudah pulang ke akhirat, tetapi kita belum tahu namanya. Bagaimana
kalau kelak kita akan menyambangi mereka?" sambung Thiat-lo-han menggerutu.
"Sudahlah ngo-ko," seru Tek Cun, "lain kali jangan mengeluarkan pusakamu lagi,
jangan sekali-kali suka melemparkan senjatamu. Kalau lawan dapat menghindar
dan menyerangmu, bukankah engkau akan menghadapi kesulitan?"
Si limbung turun dari kuda, memungut sepasang palu besinya dan tanpa berkata
terus lompat keatas punggung kudanya lagi.
Dikala baru saja matahari terbenam, mereka tiba di desa Ban hok-cung.
Walaupun sebuah desa, tetapi Ban-hok-cung amat ramai. Demikian pula pada
waktu malam, ramai sekali.
Tek Cun memilih sebuah rumah penginapan besar dan memilih tiga buah ruang,
Ruang tengah ditempatinya bersama Gin Liong, Kamar samping kanan oleh Tio Li
Kun dan Lan Hwa. Sedang kamar kiri ditempati si limbung Thiat-lo-han sendiri.
Malam itu mereka berlima tidur dengan kenangan masing2.
Gin Liong gelisah memikirkan pembunuh suhunya, keselamatan sumoaynya dan
tempat beradanya Ban Hong Liong-li.
Siau-bun-hou Tio Tek Cun gelisah dirangsang getar2 asmara. Sudah dua tahun ia
memendam asmara kepada Mo Lan Hwa.
Bidadari gunung Mo-thian-san Tio Li Kun gulak-gulik tak enak tidur karena
memikirkan Gin Liong, pemuda yang telah mencuri hatinya, kini pemuda itu berada
dekat sekali tetapi bagaimanakah ia dapat mengutarakan perasaan hatinya.
Mo Lan Hwa pun menyesali nasibnya, Dia marah karena Gin Liong bersikap dingin
kepadanya, Karena dendam cemburu, maka ia sampai hati merancang rencana
sehingga sidara cantik Ki Yok Lan jatuh ke tangan orang jahat, Kini ia menyesal
dan menangis. Keesokan harinya ketika melihat mata Mo Lan Hwa membendul bekas menangis,
Gin Liong heran dan tak enak hati.
Tek Cun ingin menghibur tetapi tak tahu bagaimana cara memulai kata-katanya.
Demikian pula dengan Tio Li Kun.
Waktu makan pagi hanya si limbung Thiat-lo-han yang kurang tidur nyenyak
semangatnya segar, makan paling banyak sendiri.
Singkatnya, mereka telah tiba di gunung Thiat-san. Tiga penjuru gunung itu
merupakan laut sehingga sukar untuk mendaki keatas. Secara terang-terangan
datang berkunjung melalui pintu muka, tentu sukar diterima. Dan hal itu hanya
akan mengejutkan lawan saja. Maka diputuskan akan naik pada waktu malam,
Setelah menolong Ki Yok Lan, baru nanti membasmi kawanan penjahat gunung itu.
Untuk menghilangkan kecurigaan musuh, mereka mereka mengambil jalan kecil
disebuah desa. Petang hari mereka sudah tak jauh dari kaki gunung. Dan pada
waktu malam itu mereka memasuki sebuah desa kecil yang terdiri hanya beberapa
buah rumah. Saat itu sepi sekali, penduduk disitu sudah tidur. Mereka berhenti
disebuah rumah batuan dan mengetuk pintu. Seorang kakek tua berumur 70-an tahun membuka pintu. Tok Cun menyatakan
bahwa dia bersama beberapa saudaranya hendak minta tolong menitipkan kuda.
Melihat kelima tetamunya itu bersikap sopan dan menghormat, orang tua itu
mempersilahkan mereka masuk. Lima orang pemuda muncul dengan membawa
lentera. "Bawalah kelima ekor kuda tetamu kita ini kebelakang dan beri makan
secukupnya," kata orang tua itu.


Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah menghaturkan terima kasih, kelima pemuda itupun segera pergi dalam
malam gelap, Setelah berunding sejenak, mereka segera gunakan ilmu lari, dan tak
berapa lama tiba di kaki gunung sebelah utara.
Gunung Thiat-san mempunyai bentuk seperti seorang raksasa hitam. Sejenak
merenung, diam2 Gin Liong teringat akan peringatan Swan yau-ih-sa Tio Tek Beng
bahwa gunung Thiat-san itu amat berbahaya sekali.
Kemudian mereka mulai mendaki. Gin Liong dan Tek Kun di muka, Lan Hwa dan Li
Kun di tengah, sedang si limbung Thiat-lo-han dibelakang.
Mereka tiba disebelah karang terjal yang menjulang tinggi. Udara berselimut
kabut tebal sehingga sukar melihat diatas jarak empat puluh tombak.
Untuk menghindari serangan senjata gelap, mereka satu demi satu melambung ke
atas puncak. Pertama-tama yang enjot tubuh ke udara adalah Gin Liong. Karena
pengalaman di gunung Mo-thian-nia, begitu tiba dipuncak karang itu segera ia
bersembunyi dibalik segunduk batu.
Baru tiba dibelakang batu, hidungnya sudah terdampar bau yang harum, Ketika
berpaling ternyata si jelita Tio Li Kun sudah berada disampingnya Keduanya
saling mengangguk tertawa. Setelah itu baru Mo Lan Hwa. Tek Cun dan terakhir si limbung Thiat-lo-han.
Sampai pada jarak dua puluhan tombak disebelah muka, hanya gunduk2 batu yang
aneh bentuknya, suara ombak mendebur yang terdengar.
Mereka segera berjalan kemuka, Li Kun tetap mengikuti dibelakang Gin Liong, Tek
Cun mengikuti di belakang Mo Lan Hwa dan si limbung yang mengekor dibelakang
sendiri. Tak berapa lama mereka tiba dimuka sebuah puncak kecil. Mendaki puncak itu,
suasana amat menyenangkan. Penuh dengan pohon2 hijau, kabut berair yang
menyegarkan muka, Makin masuk ke depan, keadaan gunung makin berbahaya
dan makin terdengar jelas debur ombak laut.
Karena malam gelap, tanpa sengaja mereka telah tiba disebuah lembah. Lembah
itu penuh dengan rumput dan bunga2 tintan. Rupanya telah dibangun oleh
kawanan gunung Thiat-san menjadi sebuah tempat yang indah.
"Liong-te." kata Tek Cun, "kalau tak salah kita sudah berada di-tengah2 gunung
Thiat-san. Rasanya markas mereka sudah tak berapa jauh."
"Liong-te." tiba2 pula si jelita Li Kun berkata," mungkinkah terjadi suatu
perobahan dalam markas mereka?"
Belum Gin Liong menjawab, Tek Cun sudah mendahului: "Kurasa tidak, Selama
dalam perjalanan kita tak melihat bekas2 pertempuran."
Mo Lan Hwa mendengus tak puas: "Tetapi mengapa selama dalam perjalanan kita
tak bertemu barang seorang manusia?"
Karena tubuhnya tinggi besar dan ilmu ginkangnya agak rendah, maka begitu tiba,
napasnya terengah-engah dan keringat bercucuran deras.
"Keparat, Thiat-san Pat-koay mungkin sudah mampus!" ia mengomel panjang
pendek. Tek Cun berempat terkejut ia hendak memberi peringatan agar engkohnya kelima
itu jangan bicara Keras2. Tetapi tiba2 terdengar suara tertawa seram, mengalun
di udara. Jika Gin Liong terkejut dan marah karena merasa jejaknya telah diketahui musuh,
tidaklah begitu dengan si limbung Thiat-lo-han yang malah menantang:
"Ngo-ya telah datang, hayo suruh Pat-Koay keluar menerima kematiannya!"
Malam sunyi, suara teriakan Thiat-lo-han itu berkumandang jauh, sampai kelangit.
Tiba2 terdengar suara orang tertawa gelak2. Gin liong berlima terkejut. Jelas
dari nada tertawanya dapat diketahui bahwa orang itu memiliki ilmu tenaga dalam yang
hebat. Tentu salah seorang anggauta dari kedelapan Pat-koay.
"Budak, kalian datang terlambat?" Rajawali-gundul-lengan-besi sudah lama
menunggu disini!" seru orang itu pula lalu tertawa.
Tring, karena marah, si limbung benturkan sepasang palu besinya dan berteriak:
"Kalau sudah lama menunggu, mengapa tak lekas keluar!"
"Budak bermulut besar, apa engkau kira kami Pat-koay ini sungguh2 takut kepada
kalian bertujuh?" sahut orang itu lalu berseru memberi perintah: "Barisan obor
kanan kiri..." Dari samping kanan dan kiri segera terdengar gelombang teriakan yang
menggemparkan. Menyusul hampir seratus buah obor segera menyala.
Lebih kurang tiga puluh tombak disebelah kanan dan kiri, tampak beratus-ratus
anak buah gunung Thiat-san yang mengenakan pakaian hitam. Yang seratus orang
memegang obor dan sisanya mencekal senjata golok.
Dan ketika Gin Liong berlima memandang kemuka, ternyata diantara gunung2 batu
sejauh tiga puluh tombak, tegak delapan lelaki berwajah seram. Ada yang
berkepala gundul, yang berambut panjang berwajah pucat, bertubuh gemuk, kurus
kering dan tinggi pendek serba menyeramkan.
Dibelakang berpuluh tombak dan kedelapan manusia aneh atau Pat-koay itu,
Hamukti Palapa 6 Anak Rajawali Serial Pemanah Rajawali Karya Chin Yung Senopati Pamungkas 2
^