Pedang Tanduk Naga 4
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong Bagian 4
tampak dinding tembok markas mereka yang tinggi.
Dengan mata berapi-api buas, kedelapan orang itu secara pelahan-lahan maju
menghampiri ke tempat Gin Liong berlima.
"Liong-te, mereka itulah Pat-koay." Li Kun melesat kesamping Gin-liong dan
membisiki. Yang didepan dari rombongan Pat-koay itu kepalanya gundul, rambut putih, hidung
bengkok, umurnya 70-an tahun, mengenakan jubah yang panjang sampai menyapu
tanah. Dia adalah Raja-wali-gundul-lengan-besi Gui Se Leng, jago pertama dari
Pat- koay. Dibelakang dua orang, yang satu rambut dan jenggotnya kelabu, matanya tinggal
satu, alis panjang mengenakan pakaian warna kelabu, namanya Li Ko Ceng bergelar
Tok-gan-liong atau Naga-mata-satu, Dan yang satunya adalah seorang paderi
bermata besar, alis tebal, dada penuh rambut lebat Toa To hwesio atau paderi
perut Besar demikian nama gelarannya.
Dua orang dibelakangnya lagi, yang satu bermuka pucat, mengenakan baju dari
kain kasar, Dia adalah jago keempat dari Pat-koay. julukannya Hwat-kian-si atau
Mayat Hidup, Dan yang seorang, beralis naik, mata cekung mengenakan pakaian
hitam. Dia adalah Ngo-koay atau jago kelima, bergelar Hek-bu-siang atau setan
hitam. Disamping kiri dari kelima Pat-koay itu, seorang lelaki yang rambutnya terurai
kebelakang, pakaian compang camping, Dia adalah Lak-pian-seng atau Manusia
Kotor. Sebelah samping kanan, seorang wanita yang dandanannya menyolok selain
Hoa-ciau-hong atau Bunga-mengundang-kumbang demikian gelaran wanita cabul
itu. Dan paling belakang sendiri seorang lelaki berumur 30-tahun lebih, mengerjakan
pakaian warna meraih mukanya berbedak, rambut kelimis, tubuhnya kurus. Dia
adalah Hun-tiap-sam-long atau pemuda Kupu-berbedak, yang baru dua jam
berselang kembali ke gunung.
Demi melihat Gin Liong dan Mo Lan Hwa yang pernah dilihatnya didalam kota
Hong-shia seketika berobahlah wajah Hun-tiap Sam-long, ia segera tahu maksud
kedatangan kelima pemuda itu. Maka dia tak berani unjuk diri dimuka melainkan
berada dibelakang rombongannya.
Saat itu rombongan Pat-koay sudah tiba pada jarak tujuh tombak. Serentak
Bidadari gunung Mo-thian-san Tio Li Kun menunjuk ke arah Hun-tiap Sam-long.
"Liong-te, yang dibelakang sendiri itu adalah Hun-tiap Sam-long . . ."
Gin Liong serentak berteriak gusar: "Penjahat cabul, serahkan jiwamu . . . ." ia
terus meluncur maju untuk menyerang.
"Liong-te, jangan . . . ," teriak Tio Li Kun. Tetapi terlambat, Gin Liong sudah
menyerbu diantara Hek-bu-siang dan wanita cabul Hoa-ciau-hong.
Yang dipandang sebagai lawan berat oleh Pat-koay, hanyalah Tek Cun dan si jelita
Li Kun dari ke tujuh persaudaraan Tio. Gin Liong dan Mo Lan Hwa tak dipandang
mata. "Budak, berhenti . . .!" bentak Rajawali-gundul-lengan-besi. Tetapi saat itu Gin
Liong sudah berada di depan Hek-bu-siang dan Hoa-ciau-hong.
Hek-bu-siang cepat tutukkan jarinya yang kurus kepinggang Gin Liong. Tetapi
tanpa menghiraukannya, Gin Liong menyelinap dan meneruskan serbuannya hepada Hun
tiap Sam-long. Apabila Hek-bu-siang tercengang adalah Hoa-ciau-hong sudah menghantam muka
Gin Liong. "Enyah !" bentak Gin Liong segera balas menghantam bahu kiri wanita itu, Dan
serempak iapun terus menyelinap ke arah Hun-tiap Sam-long.
Melihat gerakan yang begitu tangkas dari Gin Liong, Hun-tiap Sam-long menjerit
dan buru2 loncat ketempat Toa To hweshio, Tetapi Gin Liong lebihh cepat. Sekali
loncat ia ayunkan tangannya ke-ubun2 kepala orang.
"Liong-te, jangan dibunuh!" teriak Tio Li Kun.
Rupanya Gin Liong tahu apa yang dimaksud si jelita itu. Cepat ia turunkan tangan
untuk mencengkeram dada Hun-tiap Sam-long.
Paderi Perut Besar mengurung dan cepat menghantam punggung Gin Liong. Tetapi
pemuda itu hanya tertawa dingin, mendorong tubuh Hun-tiap Sam-long lalu
berputar tubuh dan mendorongkan tangan kanannya.
Terdengar letupan keras diiring oleh jeritan aneh ketika tubuh dari paderi itu
terlempar berguling sampai tiga tombak jauhnya.
Tek Cun berempat pun sudah loncat kebelakang Gin Liong Sedang si Manusia-kotor
segera lari menghampiri Toa To hweshio, paderi itu duduk sandarkan tubuh pada
kaki Manusia-kotor, Pandang matanya ber-kunang2, mulut menganga terengah-
engah keras. Suasana serentak sunyi senyap, Thiat-san Pat-koay terkejut memandang Gin Liong,
Mereka tak menyangka kalau pemuda tak terkenal itu memiliki tenaga dalam yang
sedemikian saktinya. Hanya sekali hantam, Toa To hweshio, pemimpin ketiga dari
kawanan Pat-koay telah terlempar sampai tiga tombak.
"Penjahat cabul yang tak tahu malu. Lekas bilang, dimana sumoayku engkau
sembunyikan!" bentak Gin Liong seraya menuding Hun-tiap Sam-long..
Rajawali-gundul tertama angkuh:
"Budak bermulut tajam, jelas engkau hendak jual jiwa bekerja pada persaudaraan
Tio untuk merampok gunung ini, mengapa engkau cari alasan segala macam . . ."
"Bangsat tua, tutup mulutmu!" bentak Tek Cun, mencabut trisula pendek terus
menyerang. Serangan Tek Cun itu cepat disambut oleh Hua-ciau-hong yang sejak tadi marah
melihat tingkah laku Gin Liong dan Tek Cun. Tetapi wanita cabul itu pun segera
disongsong oleh Mo Lan Hwa yang membabat lambungnya.
Tiba2 Toa To hweshio loncat berdiri terus menggerung dan menyerang Gin Liong.
Melihat Tek Cun sudah melayani Hoa-ciau-hong, Mo Lan Hwa segera beralih
menyerang kepala Toa To hweshio.
Tetapi paderi perut Besar itu tak mau menangkis atau menghindar melainkan tetap
ulurkan tangannya hendak meraih leher Mo Lan Hwa.
"Tring..." Mo Lan Hwa terkesiap, Ternyata gundul Toa To hweshhio itu sekeras baja, Dan
dalam pada itu tangan si paderipun hampir tiba dileher si nona.
-ooo0ooo- 20. Lima nyonya menantu. Gin liong terkejut Cepat ia meluncur maju menyambar siku lengan paderi itu:
"Bangsat gundul, engkau cari mati . . . "
Tay To hweshio atau paderi perut Besar terkejut juga melihat serangan anak muda
itu. Dengan nekad ia tundukkan kepala lalu membentur dada Gin Liong.
Dalam kesempatan itu Mo Lan Hwa pun segera menggeliat ketempat Li Kun yang
tegak dengan pedang melintang.
Tetapi Gin Liong tak mau melayani kenekadan paderi itu, Cepat ia menyelinap
kesamping dan menyusup kebelakang si paderi lalu mengirim sebuah tendangan.
Karena serudukannya luput, paderi itu meluncur kemuka, Dan kaki Gin Liong
mempercepat laju tubuhnya menyusur ke tempat Thiat-lo-han.
Si limbung Thiat-lo-han menyengir. Cepat ia mengangkat tinjunya yang besar untuk
dihantamkan kebatok kepala paderi itu.
Hwat-kiang-si dan Hek-bu-siong terkejut sekali, Dengan memekik keras mereka
serempak hendak menerjang Thiat-lo-han.
Prakk . . . . Terlambat Tinju si limbung yang besarnya hampir sama dengan buah kepala, telah
terlanjur menimpali kepala Tay To hweshio, Batok kepala paderi Perut Besar yang
keras, akhirnya hancur berantakan juga terhunjam tinju si limbung Thiat-lo-han.
Rubuhlah paderi itu. sepasang tangannya yang berbulu lebat mencengkeram tanah
keras2. Rupanya paderi itu tengah meregang jiwa dengan penasaran.
Sudah tentu Rajawali-gundul-lengan-besi Gui Se Leng, kepala dari Pat-koay, marah
sekali. Dengan menggerung keras ia segera menerjang Thiat-lo-han.
Tetapi serempak dengan itu, terdengar pula jeritan ngeri. Rajawali-gundul
terkejut dan berpaling. Ah . . . Tampak Siu-bun-hou Tek Cun dengan mencabut trisulanya yang pendek dari dada
wanita cabul Hoa ciau-hong. Bluk, wanita cabul itu lepaskan pedang dan terkulai
rubuh, Darah mengalir dari dadanya
Melihat itu bukan kepalang marah Hun tiap sam-long, dengan meradang dahsyat ia
telah menerobos dari sela2 Tok-gan liong serta menerjang Tek Cung.
Tetapi cepat2 Gin Liong menambar lengan Hun tiap sam-long sehingga dia menjerit
kesakitan. Melihat itu Rajawali gundul Gui Se Liang segera lepaskan pukulan Lat hiat Hoa-
san atau menghantam gunung Hoa san kepada Gin Liong, sedang tangan kirinya
serempak menyambar siku lengan pemuda itu.
Sekaligus ketua dari Pat-koay itu melancarkan serangan yang dahsyat.
Bidadari dari gunung Mo-thian, Tio Li Kun terkejut, buru2 ia loncat menusuk
Rajawali gundul. Lak pian-seng atau si Manusia kotor kebutkan lengan bajunya dan sebuah kipas
besi telah menyembul ditangannya. Secepat ditaburkan, secepat itu pun ia terus
lari menerjang Tio Li Kun.
Setelah dapat menangkap si penjahat cabul Hun-tiap sam-long, sudah tentu Gin
Liong tak mau melepaskannya. Cepat ia loncat membawa Hun-tiap sam-long
sampai dua tombak jauhnya.
Pada saat Gin-liong tegak itulah, sebuah pekikan dahsyat dari sesosok bayangan
biru sudah menerjangnya. Gin Liong terkejut dan berpaling. Tampak Pat-koay nomor dua ialah Naga-mata-
satu, rambutnya meregang tegak, biji matanya yang tinggal satu bersinar buas,
golok hian-to yang berkilat-kilat tajam mendesing kearahnya.
Dalam pada itu pukulan Rajawali-gundul tadipun mengancam kearah kepala Gin
Liong. Melihat itu memancarlah hawa pembunuhan pada dahi Gin Liong, Dengan
membentak keras ia mendorong tubuh Hun-tiap-sam-long. Kemudian cepat
berputar tubuh, membentak keras seraya menangkis pukulan Rajawali-gundul yang
termasyhur memiliki Thiat-pi atau lengan besi.
Tiba2 terdengar jeritan melolong yang amat ngeri sekali. Ternyata karena tubuh
Hun-tiap-sam-long didorong ketempat Naga-mata-satu, si Naga-mata-satu tak
sempat lagi untuk menarik atau menghentikan gerakan goloknya yang hendak
disabetkan pada Gin Liong.
Golok bunto adalah sebuah golok yang amat tipis dan tajam luar biasa. Tak ampun
lagi tubuh Hun-tiap-sam-long telah terbelah menjadi dua, darah menyembur dan isi
perutnya pun berhamburan keluar.
Krak... Saat itu terjadilah benturan antara tangan Gin Liong dan tangan Rajawali-gundul.
Sepasang bahu Gin Liong bergetar tetapi Rajawali-gundul tergempur kuda2 kakinya
sehingga terhuyung-huyung mundur sampai tiga langkah.
Terdengar pekik melengking segumpal asap merah meluncur dan Mo Lan Hwa
menghadang si Naga-mata satu, Pat-koay nomor dua yang telah salah tangan
membunuh Hun-tiap-sam-long.
Gin Liong menyempatkan diri untuk memandang kesekeliling, Dilihatnya si limbung
Thiat-lo-han tengah bertempur melawan Hek-bu-siong. Si jelita Tio Li Kun tengah
melayani Lak-pian-seng si Manusia-kotor, Tek Cun bertanding lawan Hi-kiang-si
atau si Mayat-hidup. Keenam orang yang bertempur dalam tiga partai itu, tampak
sedang bertempur mati-matian.
Sedangkan beratus-ratus anak buah Pat-koay tampak berjajar-jajar disekeliling
gelanggang bertempur dengan membawa obor, Mereka terlongong-longong
menyaksikan pertempuran yang dahsyat itu.
Tiba2 dari tengah lereng gunung disebelah muka, terdengar lima buah letusan
bunga api. Percikan bunga api itu menimbulkan pemandangan indah dimalam yang
gelap. Tetapi lokoay Rajawali-gundul serentak berobah seri wajahnya, Beratus-ratus anak
buahnya pun segera bersorak nyaring lalu berhamburan lari menuju ke gunung
dimuka itu. Gin-liong segera tahu bahwa tentu ada pula kawanan ko-jiu (tokoh sakti) yang
menyerbu gunung. Tiba2 Rajawali gundul tertawa nyaring dan seram. Selekas berhenti, ia menghardik
sekeras-kerasnya: "Berhenti semua !"
Serentak pertempuran pun berhenti, Hek-bu siong, Hwat-kiang-si, Lak-pian-seng
dan Naga-mata-satu segera berhamburan loncat kebelakang Rajawali-gundul.
Wajah mereka tampak tegang sekali dan memandang ke arah gunung disebelah
muka. Pun Tek Cum, Thiat-lo-han. Tio Li Kun dan Mo-lan Hwa pun segera meluncur
kemuka Gin Liong, Mereka tak tahu apa yang terjadi.
Dengan mata berkilat-kilat, Rajawali-gundul membentak Tek Cun:
"Siau bun-hou, kami dari gunung Thiat-san tak merasa mempunyai dendam
permusuhan kepadamu Tetapi mengapa ketujuh saudaramu malam ini menyerang
gunung kami" Apa maksudnya, katakanlah !"
Tek Cun kerutkan dahi dan menyahut marah sekali:
"Kedatangan kami bersaudara bersama Siau-sauhiap kemari, tak lain hendak
meminta kembali nona Ki yang telah dirampas Hun-tiong-sam-long di rumah
penginapan kota Hong-shia ...."
"Kalau mau minta orang mengapa tak secara terang-terang datang ke gunung?"
tukas si Naga-mata-satu dengan marah.
Karena dirinya tak ditanya. Thiat-lohan merasa terhina. ia marah. sebelum Tek
Cun menyahut ia sudah mendahului membentak dengan deliki mata:
"Ke gunung mau cari siapa" sepanjang jalan aku tak ketemu dengan seorang
manusia pun juga. Kukira sekalian sudah mati semua." .
Naga-mata-satu tak dapat menjawab, dari malu ia menjadi marah, bentaknya:
"Budak kecil yang bermulut besar..." golok bian-to berhamburan mencurah kearah
Thiat-lo-han. Tahu kalau engkohnya yang nomor lima tak dapat menandingi kesaktian Naga-
mata-satu. Bidadari-gunung-Mothian Tio Li Kun segera melengking seraya taburkan
pedangnya menyongsong golok bianto.
Naga-mata-satu tertawa gelak2:
"Bagus, bagus! Dengan membunuh kalian bertujuh Jit-hiong, tentu bakal menjadi
enghiong (jago)!" Tiba2 permainan golok bian-to dirobah, Golok itu bergeliat membolak-balik
seperti seekor ular, Naga-mata-satu telah mengerahkan seluruh tenaga dan
kepandaiannya untuk menyerang.
Si cantik Tio Li Kung hanya tertawa dingin. ia salurkan hawa murni kebatang
pedang dan menggunakan cara kekerasan untuk menangkis dan adu benturan senjata. Dia
sengaja tak mau menghindar maupun menarik pedangnya. Dengan kelincahannya
yang mengagumkan, si cantik Tio Li Kun dengan pedangnya itu benar2 menyerupai
seorang bidadari yang sedang bermain-main dalam taman bunga.
Lama kelamaan mata si Naga-mata-satu yang tinggal sebuah itu mulai berkunang-
kunang. Makin lama ia makin merasa gentar, Saat itu baru ia membuktikan bahwa
si jelita Tio Li Kun yang disohorkan memiliki kepandaian silat dan ilmu pedang
sakti itu, ternyata memang benar.
Lak-pian-seng atau si Manusia-kotor yang menyaksikan pertempuran itu dari
samping, diam2 pun merasa gentar dalam hati. Saat itu baru ia menyadari bahwa
tadi ternyata si cantik itu memang sengaja tak mau mendesak kepadanya.
"Ji-te, mundurlah!" melihat Naga-mata-satu tak dapat bertahan, cepat Rajawali-
gundul berseru memanggilnya.
"Jit-moay, mundurlah!" Thiat lo-han si limbung pun tak mau kalah suara, ia
menyuruh adiknya yang nomor tujuh.
Mendengar teriakan itu, kedua pihak pun berhenti bertempur.
Sementara di gunung sebelah muka, terdengar letusan2 keras dan pekik jeritan
pembunuhan. "Siau bun-hou, sebenarnya berapa banyak orangmu yang datang kemari ?" teriak
Rajawali-gundul Gui Se Ling kepada Tek Cun.
Tek Cun mendengus marah. "Sekali lagi kukatakan, bahwa kami hanya datang berlima. Orang2 yang digunung
sebelah muka itu, bukan orang kami."
Melihat sikap dan wajah kelima pemuda itu, Rajawali-gundul percaya bahwa
mereka memang tak bohong, Segera ia berpaling memberi perintah kepada Hwat
kiang-si dan Hek bu-siong supaya lekas ke gunung disebelah muka.
Kedua orang itupun segera lari pesat menuju ke gunung disebelah mula, Mereka
bercuit aneh dan nyaring. Segera terdengar teriak sambutan dari gunung dimuka,
Rupanya mereka girang karena mendapat bala bantuan.
Pun lebih dari separoh anak buah gunung Thiat-san yang segera tinggalkan tempat
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu menuju ke gunung di muka.
Melihat itu Gin Liong makin gelisah, ia mencemaskan Ki Yok Lan
Rupanya Mo Lan Hwa tahu apa yang dipikirkan Gin Liong, Segera ia menuding
Rajawali-gundul dengan ujung pedang dan berseru:
"Lekas bawa kami ketempat nona Ki. Kalau tidak, jangan sesalkan aku bertindak
kejam." Rupanya sejak kalah dengan Tio Li Kun tadi, si Naga-mata-satu tetap malu dan
mendongkol, Melihat Mo Lan Hwa berani menuding dan membentak Rajawah-
gundul, ia tak dapat menahan kemarahannya lagi.
"Tutup mulutmu, budak hina . . ."
"Sejak berumur delapan tahun terjun kedunia persilatan, sampai sekarang belum
pernah ada orang yang berani memaki aku, Salju-bertebar-merah seorang budak
hina!" Ia menutup kata-katanya dengan tebarkan pedang kearah Naga-mata-satu.
Mendengar nona itu ternyata Salju-bertebar merah Mo Lan Hwa, seketika Rajawali-
gundul, Naga-mata-satu dan Lak-pian-seng berobah wajahnya.
"Harap nona suka berhenti," cepat Rajawali gundul berseru.
Mo Lan Hwa pun hentikan pedangnya, "Ji-te, mari lekas pergi, yang datang di
gunung sebelah muka itu mungkin Swat-thian Sam-yu!"
Ketua Pat-koay itu terus melambung ke udara dan melayang sampai beberapa
tombak jauhnya, ia hendak menuju ke gunung di muka.
Mendengar nama Sam-yu, Naga-mata-satu dan Lak-pian-seng tergetar hatinya.
Segera kedua nya mengikuti jejak Rajawali-gundul, menuju ke gunung di muka.
Demikian keadaan dalam lembah pun tampak sibuk sekali. Anak buah gunung
Thiat-san berbondong-bondong menyerbu ke gunung disebelah muka.
Keadaan di gunung itu makin kacau, Jerit lolong, pekik teriak, susul menyusul
memecah kesunyian malam. Gin Liong sibuk juga. Dia tak menghiraukan apa yang terjadi di gunung sebelah
muka. Yang penting ia harus menyelamatkan sumoaynya.
"Liongte," tiba2 Tek Cun berkata, "selagi mereka kacau balau, mari kita masuk
kemarkas mereka." Tetapi ketika memandang kearah markas gunung Thiat-san, mereka terkejut.
"Markas Thiat-san dibakar orang!" serempak mereka berseru kaget.
Markas kawanan Pat-koay telah dimakan api. Anak buahnya menjerit dan
berteriak-teriak kacau balau.
"Celaka, apakah nona Ki masih berada dalam markas mereka," tiba2 Mo Lan Hwa
berseru cemas, Gin Liong terkejut, Tetapi karena Hun-tiap-sam-long sudah mati, sukar untuk
mencari keterangan. Saat itu letusan2 terdengar makin meluas, Hampir seluruh lembah dan gunung
telah dimakan api. Tiba2 dari arah belakang terdengar suitan nyaring yang penuh bernada kemarahan.
Cepat Gin Liong berlima berpaling kebelakang. Tampak Rajawali gundul. Naga-
mata-satu dan Lak pian-seng berlari-lari mendatangi seperti orang gila. Rambut
mereka terurai kusut, pakaian lusuh. Mereka lari menuju ke markas yang tengah
dibakar api. Seorang lelaki pun tengah berlari mengejarnya. Rupanya dia adalah
penyerang dari gunung di sebelah muka.
"Adik Liong, mari kita ikuti mereka, Mungkin nona Ki masih berada dalam markas,"
kata Mo Lan Hwa. Gin Liong mengangguk. Mereka berlima segera mengejar dibelakang mereka.
Markas seperti berobah menjadi lautan api. Keadaan sekitar gunung itu terang
benderang seperti siang hari.
Dinding tembok markas dibangun setinggi lima tombak, terbuat dari batu yang
kokoh, Diatas tembok dipasangi pagar kayu yang ujungnya diberi pisau tajam.
Tetapi kelima pemuda itu tak menjumpai rintangan apa2 ketika mereka loncat
keatas pagar tembok itu. Tampak markas itu penuh dengan bangunan2 rumah,
Yang paling besar, sebuah bangunan bertingkah Di tengahnya terdapat sebuah
ruang besar. Api berasal dari belakang markas dan saat itu tengah meranggas kebagian muka.
Setelah melihat keadaan markas itu sunyi senyap, Gin Liong memberi isyarat untuk
bergerak, ia mendahului melayang turun, Tetapi baru kakinya tiba ditanah, tiba2
terdengar Mo Lan Hwa menjerit tertahan.
Gin Liong terkejut dan cepat berpaling, Ternyata Mo Lan Hwa dan Tio Li Kun sudah
menyerbu kederetan rumah disebelah kiri.
Bekas tempat yang ditempuh kedua nona itu tampak tiga anak buah Pat-koay
sedang terkapar tidur nyenyak.
Si limbung Thiat-lo han yang sudah loncat turun bersama Tek Cun, terus langsung
menghampiri ketiga anak buah itu dan mencongkel tubuh mereka dengan kakinya,
Tetapi rupanya ketiga orang itu tidur pulas sekali.
"Ah, mungkin mereka telah ditutuk jalan darahnya oleh orang yang melepas api,"
kata Gin Liong. Tek Cun segera membuka jalan darah mereka. Seketika menjeritlah dan melonjak
bangunlah ketiga orang itu. Bahkan terus hendak menabas dengan goloknya,
Tetapi ketika melihat sikap kelima pemuda itu tenang2 saja, mereka pun tertegun.
"Apakah kalian bertemu dengan orang sakti?" tegur Gin Liong.
Melihat Gin Liong seorang yang cukup sopan, ketiga orang itupun segera memberi
keterangan: "Entahlah, kami hanya merasa dihembus angin dan tahu2 rubuh tak
sadarkan diri lagi."
Gin Liong berlima diam2 terkejut, jelas malam itu markas gunung Thiat-san telah
kedatangan seorang tokoh yang sakti.
"Apakah paman bertiga mengetahui jit-saycu Hun-tip sam-long dikala pulang ke
gunung, membawa apa saja?" tiba2 Mo Lan Hwa bertanya.
"Kami tak melihat Jit saycu pulang," kata mereka.
Rupanya percuma saja bertanya dengan ketiga orang itu. Gin Liong dan kawan-
kawannya segera loncat ke atas rumah dan lari menuju ketempat kebakaran.
Saat itu api makin besar, Anak buah Pat-koay berbondong-bondong menuju ke
markas belakang. Gin Liong berunding dengan keempat temannya dan memutuskan untuk
menangkap beberapa anak buah markas yang tahu tentang keadaan Hun-tiap-sam-
long. Mereka segera menuju ke markas belakang. Tampak beratus-ratus anak buah
Thiat-san hanya berteriak-teriak kalap menyaksikan lautan api tanpa dapat
berbuat apa2. Demikian pula Rajawali-gundul, Naga-mata-satu dan Lak-pian-seng hanya
bingung tak keruan menyaksikan markasnya dimakan api.
Tiba2 dari jendela tingkat kedua dari sebuah bangunan disebelah kiri, tampak
menyala terang. Gin Liong tertarik Cepat ia lari menuju ke rumah tingkat itu. Tek Cun berempat
pun segera mengikuti Gin Liong loncat ke atas wuwungan sebuah rumah tetapi masih
kurang tujuh tombak tingginya dari tempat yang menyala itu. Setelah mengempos
semangat, Gin Liong segera enjot tubuhnya ke udara. Ditengah udara ia
bergeliatan merentang kedua tangan dan langsung melayang kearah jendela ruang bertingkat
itu. Tiba2 jendela terbuka dan dua kepala wanita muda menyembul keluar, Gin Liong
pun menuju ke jendela itu. Dalam pada itu karena takut terjadi apa2 pada Gin
Liong, Mo Lan Hwa dan Tio Li Kunpun menyusul.
Kedua wanita itu terkejut dan melarikan diri karena takut Gin Liong cepat
mengejar mereka, Kedua wanita itu segera jatuhkan diri berlutut dan menangis.
"Jangan takut, kami hendak bertanya kepada kalian," Mo Lan Hwa berkata dengan
ramah, ia tahu kedua wanita itu tak mengerti ilmu silat.
Dengan tubuh gemetar mereka mengangguk
"Kali ini Hun-tiap-sam-long jit-saycu pulang dengan membawa seorang gadis.
Tahukah kalian dimana nona itu?" tanya Mo Lan Hwa.
"O, nona Ki tidak berada dalam markas," sahut salah seorang yang lebih tua.
"Dimana?" seru Gin Liong.
Wanita itu menghampiri jendela lalu menunjuk sebuah puncak gunung di sebelah
tenggara dan memberi keterangan:
"Karena takut pada li-saycu Hoa-ciau-hong, maka jit-saycu Hun-tiap-sam-long
telah menempatkan nona Ki di puncak itu. Salah seorang kawan kami ditugaskan untuk
membujuk agar nona Ki mau meluluskan menikah dengan jit-saycu."
Gin Liong girang, Setelah menghaturkan terima kasih segera ia ajak kedua nona
melayang turun lagi ketempat Tek Cun dan Thiat-lo-han menunggu, Mereka
berlima segera menuju ke puncak itu.
Tetapi tiba2 pada saat itu Rajawali-gundul, Hek-bu-siong dan Lak-Pian-seng
berlima menghadang jalan. "Serahkan jiwa kalian berlima!" teriak Rajawali-gundul seraya menyerang dengan
kalap. karena hendak cepat2 menuju ke puncak di sebelah tenggara, Gin Liong tak
bernafsu untuk melayani lebih lama. Segera ia songsongkan kedua tangannya,
Terdengar letupan keras dan Rajawali-gundul pun terhuyung-huyung mundur. Atap
rumah yang dipijaknya berhamburan pecah. Naga mata-satu cepat loncat untuk
memapaki tubuh Rajawali-gundul.
Beberapa anak buah Thiat-san pun segera berdatangan ke tempat itu. Tetapi pada
lain saat dari pagar tembok markas yang tinggi, meluncur lima sosok tubuh kecil
yang terus lari menghampiri ke tempat Gin Liong.
Gin Liong terkejut. Kelima sosok tubuh kecil itu tak lain adalah kelima ensoh
atau taci ipar dari Tek Cun. Mereka mengenakan pakaian ringkas dan masing2
menyanggul pedang pada belakang bahunya.
Toasoh atau taci ipar yang paling besar, mengenakan baju warna kuning muda. Ji-
soh atau yang nomor dua mengenakan baju biru, ensoh yang ketiga baju wungu
muda, yang ke empat baju hijau. Sedang isteri si limbung Thiat-lo han yang juga
ikut datang, memakai baju hijau tua.
Jika Gin Liong heran, tidaklah demikian dengan Thiat-lo-han yang tertawa karena
melihat isterinya datang.
"Ensoh sekalian, mengapa kalian kemari?" tegur Tio Li Kun.
"Mamahlah yang menyuruh kami menyusul karena tak tega dan kuatir kalian akan
mendapat kesulitan dari Pat-koay," sahut ensoh yang tertua.
"Hai, Siau Bun hou, apakah wanita2 busuk itu tak mempunyai hubungan dengan
engkau?" teriak Rajawali gundul marah.
Mendengar ensohnya dihina, Tek Cun marah dan terus hendak menyerang tetapi
tiba2 ensoh yang nomor tiga sudah mendahului:
"Bangsat tua, engkau memang sudah bosan hidup!"
Wanita baju wungu muda itu mencabut pedang lalu menusuk dada Rajawali-
gundul. "Perempuan busuk, aku akan menerima beberapa jurus seranganmu lagi!" Hek-bu
siong cepat loncat menyongsong dengan gunakan senjata Kou-hun-pay atau perisai
pemburu-jiwa untuk menangkis.
"Hm, engkau berani maju lagi?" wanita itu menggelincirkan pedang kesamping lalu
membabat lutut Hek-bu-siong.
21. Mabuk laut Setitik pun Hek-bu-siong tak mengira wanita itu memiliki permainan pedang yang
sedemikian cepat dan aneh, Dengan memekik aneh ia segera menyurut mundur
sampai setombak. Sam-soh tidak mau mengejar melainkan memandang Hek-bu-siong seraya
mendampratnya: "Tadi digunung sebelah muka sudah kuampuni jiwamu, sekarang engkau masih
berani unjuk tingkah lagi."
Kemudian wanita itu beralih memandang pada Rajawali-gundul dan berseru:
"Ah, tak kira Pat-koay dari gunung Thiat-san yang begitu termasyhur ternyata
hanya kawanan manusia yang tak berguna !"
Lo-koay Rajawali-gundul pucat wajahnya, Karena menahan kemarahan
gerahamnya sampai bergemerutukan. sedangkan ji-koay si Naga-mata-satu
menengadahkan muka, tertawa geram:
"Perempuan hina yang bermulut lancang, aku hendak menguji sampai dimanakah
kepandaianmu itu!" Habis berkata ia terus putar golok bianto dan menyerang maju.
"Ji-te, kembalilah!" cepat Rajawali-gundul mencegah. ia tahu bahwa kekuatan
pihak lawan lebih unggul.
Naga-mata-satu hentikan langkah, Dengan mendengus geram ia memandang
kearah Gin Liong dan kawan-kawannya.
Toa-soh atau taci ipar yang paling besar, tertawa hambar, serunya: "Lo-koay,
mengapa engkau begitu marah, Kalau tidak karena beberapa saudaramu bermata
keranjang merampas wanita, sekali pun engkau mengirim undangan, belum tentu
kami akan datang ke gunung Thiat-san ini, apalagi bermaksud hendak merebut
markasmu." Lo-koay atau Pat-koay nomor satu, deliki mata: "Siapa yang kami rampas" Apa
buktinya" Dimanakah orang itu?"
"Mau bukti" ikutlah aku!" teriak Gin Li-ong yang tak kuasa lagi menahan
kemarahannya ia terus mendahului lari kemuka, Tio Li Kun dan kawan segera
mengikutinya. Melihat itu terpaksa Lo-koay dan kawan-kawannya pun segera menyusul.
Saat itu api makin besar sehingga langit seolah berobah merah warnanya. Anak
buah gunung Thiat-san menjerit-jerit hiruk pikuk namun tak berdaya untuk
menolong hancurnya lima deret bangunan gedung besar dari bahaya api.
Setelah keluar dari markas, Gin Liong lari menuju ke tenggara dan dalam beberapa
kejab tiba dibawah puncak gunung, ia segera mendaki ke atas puncak.
Lo-koay berlima berusaha untuk mendahului mencapai puncak, Mereka hendak
menggerakkan alat2 rahasia untuk mencelakai kawanan anak muda itu, Tetapi
ternyata kalah cepat. Gin Liong dan kawan2 sudah tiba lebih dulu di puncak yang
merupakan hutan pohon siong dan hutan bambu, Hutan2 itu pun telah dimakan
api. Gin Liong, Tio Li Kun dan Mo Lan Hwa menerjang ke hutan itu, Pada sebuah
batu besar, mereka menemukan lima orang baju hitam terkapar malang melintang
di tanah. Gin Liong terkejut, Diam2 ia menduga tempat itu pun telah didatangi oleh tokoh
sakti yang belum diketahui itu. Ketika menghampiri ternyata kelima orang itu
bukan mati melainkan tidur mendengkur keras.
Memandang kemuka Gin Liong melihat didalam hutan siong seperti memancar
sepercik api penerangan ia segera mengajak kedua nona untuk menuju ke tempat
itu. Sebuah rumah batu berbentuk persegi panjang lampunya terang benderang, pintu
terbuka tetapi dalam rumah itu tampak sunyi. Pada ujung sebelah kiri dari rumah
itu, terdapat dua orang baju hitam lagi yang terkapar tidur di tanah.
Gin Liong melangkah masuk. ia terkesiap heran karena dalam rumah itu hanya
terdapat sebuah meja dan sebuah tempat tidur, lampu masih menyala terang di
atas meja. Sedang tempat tidur tampak acak-apckan. Seorang perempuan muda
tampak tidur dilantai muka ranjang itu. Gin Liong makin gelisah karena tak dapat
menemukan Ki Yok Lan. Saat itu Tek Cun dan saudara-saudaranya pun tiba, Mereka juga tertegun melihat
keadaan rumah itu. Tak lama kemudian Lo-koay berlima pun tiba, Bermula Lo-koay menduga pasti
ketujuh saudara Tio atau Jit-hiong yang membakar markas gunung Thiat~san.
Tetapi saat itu setelah melihat sikap Gin Liong dan kawan-kawannya serta
perempuan muda yang tertidur di lantai, iapun ikut terkesiap.
Li Kun membangunkan perempuan muda itu dengan membuka jalan darahnya
yang tertutuk. "Mengapa engkau berada disini!" bentak Rajawali-gundul kepada perempuan
muda itu. Pucatlah wajah perempuan itu melihat Lo-koay marah, Dengan gemetar ia
memberi keterangan bahwa Jit-koay Hun-tiap-sam-long yang menyuruhnya jaga
disitu. Tiba2 Naga-mata-satu membentak: "Jangan ngaco belo, perempuan hina!" ia terus
loncat ke muka perempuan itu dan hendak menghantamnya.
"Bangsat, engkau cari mati!" teriak Gin Liong seraya ayunkan tangannya,
Segelombang angin keras segera melanda dada Naga-mata-satu.
Naga-mata-satu mendengus geram, Cepat ia balikkan tangan untuk balas
menghantam. Terdengar letupan dan diiring dengan jeritan ngeri tubuh Naga-
mata-satupun terlempar keluar pintu.
Hwat-kiang-si loncat hendak menolong tetapi tak keburu, Naga-mata-satu
terlempar tiga tombak dan jatuh di hutan bambu, Huak, ia muntah darah. sejenak
meregang jiwa, akhirnya putuslah napasnya.
"Aku hendak mengadu jiwa dengan engkau budak!" Lo koay Rajawali-gundul
dengan marah serentak mendorongkan kedua tangannya kearah Gin Liong.
Gin Liong pun marah. Dengan menggembor keras ia juga dorongkan kedua
tangannya. Angin yang timbul dari kedua gerakan tangan Rajawali-gundul dan Gin
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Liong menimbulkan getaran yang dahsyat sehingga genteng terasa berguncang
keras, semua orang menahan napas.
Rajawali-gundul terdampar ke dinding, kepala pecah dan napasnya pun berhenti.
Melihat itu, Hek-bu-siong dan Lak-pian-seng segera melarikan diri. Demikian pula
Hwat-kiang-si. Mereka tahu percuma saja melawan kawanan anak muda itu.
Gin Liong terlongong-longong sendiri. ia tak mengira bahwa dua kali pukulannya
telah menimbulkan akibat yang sedemikian mengerikan ia heran mengapa
sekarang tenaganya begitu dahsyat.
Dalam pada itu Mo Lan Hwa memberi pertolongan kepada perempuan tadi,
Ternyata perempuan itu menderita luka parah, Setelah diurut jalan darahnya
perempuan itupun dapat memberi keterangan walaupun suaranya amat lemah
sekali: "Nona Ki telah dibawa oleh seorang imam!"
"Imam yang mana?" teriak Gin Liong, Tetapi bujang perempuan iiu makin pucat
wajahnya, Melihat itu Gin Liong cepat bertanya pula: "Apakah seorang imam
berjubah kelabu, berjenggot panjang?"
Bujang itu paksakan diri membuka mata dan memandang Gin Liong, Tetapi ia tak
dapat berkata lagi karena kepalanya segera melentuk dan putuslah jiwanya.
Dari pandang mata bujang perempuan itu Gin Liong mendapat kesan kalau bujang
itu mengiakan pertanyaannya.
"Rupanya yang kuduga itu memang benar." katanya sesaat kemudian,
"Liong-te, kenalkah engkau kepada imam itu ?" tanya Tek Cun.
"Ya." sahut Gin Liong, "aku pernah berjumpa dengannya di sebuah lembah salju di
gunung." "Engkau maksudkan Hun Ho siantiang?" seru Mo Lan Hwa.
Kukira dalam dunia persilatan dewasa ini seorang imam berjenggot bagus dan
berjubah kelabu, kecuali Hun Ho siantiang rasanya tak ada lain orang lagi,"
sahut Gin Liong. Tiba2 Tio Li Kun berseru girang: "Jika benar demikian, nona Ki bakal mendapat
rejeki besar, ilmu pedang Hun Ho siantiang menjagoi dunia persilatan, apabila
nona Ki dapat menerima pelajaran dari Hun Ho siantiang, tentu kelak dia akan menjadi
seorang pendekar pedang wanita yang cemerlang."
"Kalau begitu marilah kita lekas tinggalkan tempat ini. Kalau sebelum terang
tanah kita dapat mencapai tempat penyeberangan di Dairen, kemungkinan kita akan
dapat berjumpa dengan Hun Ho sian-tiang bersama ketika koko-ku," Mo Lan Hwa
juga gembira. Demikian mereka segera beramai-ramai turun gunung, Ternyata kuda dari kelima
nyonya menantu keluarga Tio ditambatkan di hutan. Kesepuluh orang itu segera
naik kuda menuju ke sebuah desa yang terletak sepuluh li jauhnya.
Saat itu hampir menjelang dinihari, Ayam mulai berkokok bersahut-sahutan. Cepat
sekali mereka tiba di desa itu. Hanya Tek Cun dan Thiat-lo-han yang masuk ke
desa, sedang yang lain menunggu diluar desa.
"Jit moay." kata Toa-soh kepada Tio Li Kun. "mamah sudah rindu dengan Ngo-te,
setelah urusan disini selesai, suruhlah dia pulang."
Tetapi Tio Li Kun mengatakan sebaiknya toa-sohnya itu mengatakan sendiri kepada
Ngo-ko atau si Thiat-lo-han.
Gin Liong merasa tak enak dalam hati. Adalah karena urusannya sampai
merepotkan sekian banyak orang. Andaikata ia tak berjumpa dengan Mo Lan Hwa
tentu saat itu ia sudah dapat menyusul Ban-hong liong-li.
Melihat wajah pemuda itu mengerut, kedua gadis cantik. Mo Lan Hwa dan Tio Li
Cun, serempak bertanya: "Adik Liong, apakah ada suatu yang hendak engkau katakan?"
Dengan terbata-bata Gin Liong menjawab: "Kurasa urusan ini memang sudah
selesai, Karena urusanku.... sesungguhnya tak harus membikin repot saudara2
sekalian...." Mendengar itu kelima ensoh segera menghampiri dan toasoh pun serentak
berkata: "Liong-te, engkau adalah adik kami yang paling bungsu. Sudah seharusnya kami
membantumu. Apalagi mamah tak tega kalau engkau berkelana seorang diri."
Tengah mereka bicara dari arah desa tampak Tek Cun dan Thiat-lo-han
mengendarai kuda dengan diikuti oleh ketiga ekor kuda yakni kuda hitam bulu
mulus, kuda hitam berkaki putih dan kuda Siau-pik milik Tio Li Kun.
"Hayo, kita lekas berangkat!" teriak si limbung Thiat-lo-han dengan bersemangat.
Toa-soh tertawa, serunya: "Aya, sudahlah, jangan mengurusi mereka, Mari kita
pulang..." Thiat-lo-han terbelalak dan menggerung: "Siapa yang suruh ?"
"Mamah !" Thiat-lo-han lemas seperti gelembung karet yang habis anginnya, ia memandang
Gin Liong, Mo Lan Hwa, Tio Li Kun dan Tek Cun dengan pandang kecewa.
Kelima pemuda itu segera naik kuda dan berseru: "Ngo-ko dan kelima ensoh,
selamat tinggal." Demikian mereka segera mencongklangkan kudanya dan tak sampai sejam
kemudian tibalah di kota penyeberangan. Begitu masuk ke kota, Mo Lan Hwa pun
menjerit kaget seraya menunjuk kesebatang pohon besar: "Ah, lo-koko sudah tiba
disini." Memang pada pohon itu terukir sebuah lukisan pipa emas, Segera mereka menuju
ke selatan. Di tempat penyeberangan penuh orang, Barang2 menumpuk di tepi
laut, Di tengah laut tampak beberapa kapal dan perahu2.
Pada tumpukan peti setinggi tujuh tombak Gin Liong melihat sebuah lukisan pipa
yang menghadap ke arah selatan.
"Ah, rupanya lo-koko sekalian sudah datang dan sudah menyeberangi lautan."
katanya. Mo Lan Hwa bersungut-sungut: "Mengapa mereka tak mau menunggu kita?"
Tek Cun mengatakan hendak menyewa sebuah perahu besar karena hari itu
anginnya besar. Tetapi Gin Liong mencegahnya, ia mengatakan hendak menyelidiki
ke dalam kota dulu barangkali ada Ban Hong liong-li. Bahkan mungkin ketiga
suheng dari Mo Lan Hwa. Mo Lan Hwa juga mempunyai pikiran begitu. ia mengusulkan akan pergi bersama
Tio Li Kun kedalam kota sedang Gin Liong yang melakukan penyelidikan disekitar
tempat penyeberangan. "Dan engkoh Tek Cun yang menyewa perahu." katanya, "dengan begitu kita dapat
menghemat waktu. Mendengar si cantik menyebutnya "engkoh Tek Cun" diam2 Tek Cun girang sekali.
Demikian mereka segera membagi tugas, Dengan naik kuda bulu hitam, Gin Liong
menuju ke tempat penyeberangan. Tiba2 ia mendengar orang ramai
membicarakan sesuatu yang menarik perhatiannya.
Pusaka dunia persilatan hanya layak berada di tangan orang yang berbudi luhur.
Orang tua yang tangannya berlumuran darah semacam itu, tak seharusnya
memiliki cermin pusaka Te-kin . ."
Gin Liong terkejut Ketika memandang dengan seksama ia melihat enam orang
persilatan dengan pakaian ringkas dan membekal senjata tengah mengobrol. Yang
bicara adalah seorang tua berumur lima puluhan tahun.
Kawannya yang beralis tebal berseru dengan suara nyaring:
"Belum satu bulan saja sudah berpuluh-puluh jago silat baik dari aliran Hitam
maupun Putih yang mati di tangan orangg tua itu. Kabarnya di Tay sik-kiau dia
telah membunuh tokoh Bu Tim cinjin dari partai Kiong-lay-pay dan sepasang tokoh Bu-
siang-kiam dari partai Kong-tong-pay."
Gin Liong terkejut entah apakah Ma Toa Kong masih berada di Tay-sik-kiau. Kalau
dia juga sudah mati, bagaimana keadaan gua Thian-kiu jiok baru dapat ia ketahui
setelah ia pulang ke kuil Leng-hun-si.
Lanjutkan perjalanan kemuka, dari kerumunan orang di sebelah kiri, tampak
beberapa orang persilatan juga tengah membicarakan tentang orang tua yang
membawa cermin pusaka itu.
"Orang tua itu sering berpindah tempat, entah apakah maksudnya?" kata seorang
lelaki pertengahan umur yang menyanggul pedang.
"Dua hari dua malam meninggalkan Tay-sik-kiau dia lalu lari ke gunung Hok-san
diseberang laut ini."
Memang Gin Liong sendiri juga heran. Siapakah sesungguhnya orang tua bertubuh
kurus itu" Apakah dia memang hendak mencuri pusaka ataukah hanya hendak
mempermain-mainkan orang persilatan saja"
Seorang tua berambut putih berkata: "Soal ini memang sudah menarik perhatian
para ketua partai persilatan. Mereka pun telah mengirim para ko-jiu (jago sakti)
untuk mengikuti jejak orang tua itu dan menyelidikinya. Kabarnya Tujuh-tokoh-
aneh-dari-dunia (Ih-lwe-jit-ki) yang sudah lama tak muncul di dunia persilatan,
juga diam2 ikut campur dalam peristiwa itu."
Makin tergerak hati Gin Liong, Pikirnya, apakah bukan karena orang tua pembawa
cermin pusaka itu maka lo-koko Hok To Beng bergegas menyeberangi laut ini"
Tiba2 terdengar suara kuda meringkik. Ternyata Tek Cun dengan mengendarai
kuda bulu coklat tengah mendatangi.
Karena sampai sekian lama tak memperoleh keterangan tentang Hun Ho sian-tiang
dan Ban Hong liong-li. akhirnya Gin Liong pun tinggalkan tempat itu dan larikan
kudanya menyongsong Tek Cun.
Saat itu kedua gadis Mo Lan Hwa dan Tio Li Kun pun juga muncul dan mendatangi.
"Memang benar, tua-suheng bersama kedua lo-koko sudah melintasi laut," seru
Mo Lan Hwa agak gopoh, "dan menurut keterangan seorang jongos hotel, memang
ada seorang wanita muda cantik lewat dimuka hotel terus menuju ke tempat
penyeberangan Wanita itu tidak singgah makan. Entah apakah dia Ban Hong
locianpwe atau bukan ?"
"Ya, ya, memang Ban Hong locianpwe," kata Gin Liong, "ah, tak kira dia begitu
cepat sekali Kemungkinan dia menempuh perjalanan siang malam untuk pulang ke
daerah Biau." Mo Lan Hwa dan Tio Li Kun menghibur pemuda itu supaya tak perlu cemas, Tentu
mereka akan dapat menyusul Ban Hong liong-li.
Ternyata Tek Cun sudah dapat menyewa sebuah perahu besar yang lengkap
menyediakan makanan dan minuman.
Anak perahu memandang sepasang muda mudi itu dengan rasa kagum. Tak lama
seorang tua berambut putih bergegas keluar dari pintu ruang perahu dan
mempersilahkan keempat anak muda itu naik.
Keadaan perahu itu amat bersih, Juga makanan yang dihidangkan cukup lezat,
Setelah makan mereka mandi lalu masing2 masuk kedalam kamar untuk
beristirahat. Walaupun berbaring ditempat tidur tetapi Gin Liong tak dapat tidur, ia masih
memikirkan su-moaynya. walaupun sudah ditolong oleh Hun Ho sian-tiang tetapi
untuk mengambil dan mengantarkannya, tentu makan waktu. Hal itu berarti harus
mempertangguhkan perjalanan untuk menyusul Ban Hong liong-li.
Pada malam hari, angin bertambah kencang sehingga perahu agak bergoncang
keras, Gelombang mendampar hampir masuk kegeladak perahu. Gin Liong bangun
dan melakukan pernapasan. Ternyata ia merasa sehat tak sampai mabuk laut,
Tetapi dari kamar sebelah ia mendengar suara orang merintih. Cepat ia keluar
dari kamar dan ternyata Tio Li Kun yang mengeluarkan suara rintihan sakit itu. ia
hendak masuk tetapi agak ragu, Lebih baik ia meminta Mo Lan Hwa saja yang
masuk, tetapi berulang kali dipanggil, Mo Lan Hwa tetap tak menyahut, kamarnya
sunyi senyap. Mencari ke kamar lain, ternyata Tek Cun juga tak ada, pada hal Li
Kun makin merintih keras, akhirnya terpaksa Gin Liong memberanikan diri masuk.
"Cici, engkau kenapa?" tegurnya.
Melihat Gin Liong, diam2 berdeburlah hati si jelita, wajahnya yang pucat
bertebar warna merah "Ah, tak apa2...." katanya, lalu berusaha duduk.
"Cici tak enak badan, tak perlu duduk," Gin Liong mencegahnya.
Si jelita membuka sepasang matanya yang indah dan menatap Gin Liong dengan
gelengkan kepala: "Aku hanya merasa pening dan ingin muntah...."
Tiba2 kata2 Li Kun itu terputus oleh setiup gelombang besar yang mendampar
perahu. Perahu oleng dan Li Kun pun sampai terperosok jatuh ke lantai.
Gin Liong terkejut, Cepat ia memeluk tubuh jelita itu, ia dapatkan tubuh Li Kun
lemas sekali seperti tak bertulang. Diluar dugaan, kedua tangannya yang memeluk
tubuh Li Kun itu tepat menjamah dibagian dada si jelita. Gin Liong seperti
terbang semangatnya. "Cici, engkau bagaimana?" tegurnya, Tetapi jelita itu diam saja, Ketika
memandang kebawah ternyata mata Li Kun mengatup rapat, mulut yang mungil dan sepasang
alisnya yang melengkung bagai bulan tanggal satu, makin mempercantik wajahnya
yang saat itu seperti orang tidur.
Gin Liong makin bingung, ia kira Li Kun tentu pingsan. Terpaksa ia lekatkan
telinganya ke hidung si jelita, Ternyata pernapasan Li Kun kedengaran lemah,
Bibirnya merekah merah, pipinya yang halus menyiarkan bau harum, menampar
hidung Gin Liong. Rambut yang indah, bertebaran hinggap di pipi Gin Liong sehingga membuat
pemuda itu benar2 terbang semangatnya, jantungnya mendebur keras, darah
tersirap serasa berhenti Kedua tangan yang memeluk tubuh jelita itupun gemetar.
Memandang wajah si nona, tampak jelita itu makin cantik, Serentak terbayang,
bagaimana mesra sekali Tio Li Kun bersikap kepadanya, betapa cantiklah gadis itu
sesungguhnya . . . Tiba2 terlintas wajah Ki Yok Lan pada pelupuknya, Gin Liong pun tergetar
hatinya, Dan serentak itu iapun segera malu dalam hati, semangatnya tenang kembali.
Segera ia meletakkan Tio Li Kun keatas ranjang pula.
Lembah sempit Tiba2 si jelita mengerang pelahan dan memeluk Gin Liong, lalu susupkan kepalanya
kedada pemuda itu dan terisak-isak. Sudah tentu Gin Liong makin gugup. ia belas
memeluk Li Kun dan duduk disampingnya.
"Cici, engkau...?" serunya tetapi ia tak tahu bagaimana harus menghiburnya.
"Adik Liong..." hanya sepatah kata yang Li Kun dapat mengatakan karena ia terus
memeluk pemuda itu makin erat.
Gin Liong makin resah, Bukan ia tak tahu bagaimana perasaan si jelita kepadanya,
tetapi bayangan sumoaynya yang halus pendiam bagai seorang dewi, selalu
memenuhi kalbunya, Tak pernah sedetik pun ia dapat melupakan.
Apalagi suhunya pernah memberi pesan bahwa asal usul Ki Yok Lan itu sangat
menyedihkan sekali maka Gin Liong supaya berusaha melindunginya. Begitu pula
berulang kali suhunya secara halus memberi petunjuk kepada Ki Yok Lan bahwa
hendaknya Ki Yok Lan kelak dapat menganggap sebagai suami isteri dengan Gin
Liong. Teringat akan hal itu, tergetarlah hati Gin Liong, ia menunduk memandang wajah
Tio Li Kun Tampak wajah jelita itu berlinang air mata sehingga menimbulkan rasa
sayang, Tanpa terasa Gin Liong segera mengusap air mata nona itu, Tetapi air
mata sijelita laksana sumber air yang terus menumpah tak henti-hentinya.
Saat itu pikiran Gin Liong sudah sadar, ia tak boleh menyiksa perasaan Li Kun
lebih lanjut. Tetapi ia tak sampai hati untuk menolaknya secara getas, ia tak ingin
menjadi pembunuh hati anak gadis.
Akhirnya ia memutuskan hendak memberi penjelasan secara halus, Bahwa ia
sangat mengindahkan Tio Li Kun tetapi terpaksa tak dapat menerima cintanya,
Pada saat dia hendak mengatakan tiba2 ia kehilangan faham tak tahu bagaimana
harus memulai. Tetapi pada saat itu Tio Li Kun sudah tak kuat menahan gejolak hatinya . .
Pelahan- lahan ia ajukan kepalanya, menyongsongkan sepasang bibir yang semerah bunga
mawar. Gin Liong gugup: "Cici, jangan . . "
Tiba2 mulut Gin Liong tak dapat melanjutkan kata2 karena mulutnya tertutup oleh
sepasang bibir si jelita, semangat Gin Liong serasa terbang melayang-layang ke
suatu alam yang belum pernah ia nikmati sepanjang hidupnya.
Demikian sepasang muda mudi yang sedang dimabuk asmara itu telah terbuai
dalam lautan sari madu, Keduanya telah tenggelam kedasarnya....
Badai dan gelombang masih mengamuk dilautan. Bahkan makin dahsyat, sedahsyat
itu pula badai yang melanda kehangatan cinta dan kedua muda mudi itu.
Beberapa saat kemudian tiba2 terdengar suara helaan napas, Gin Liong terkejut,
Segera ia meletakkan tubuh Li Kun terus loncat keluar ruang. Tetapi kehadaan di
perahu itu tetap sunyi senyap Kamar Mo Lan Hwa dan Tek Cun tetap kosong tiada
orangnya. Gin Liong terus menuju kegeladak, Tiba2 ia hentikan langkah dan merapat pada
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
papan. ia melihat Mo Lan Hwa dan Tek Cun berdiri pada pintu ruang perahu dan tengah
memandang ke laut, Tek Cun kerutkan alis dan menengadah memandang kelangit.
Tiba2 kedengaran Mo Lan Hwa menghela napas serunya rawan:
"Engkoh Tek Cun, harap jangan bersedih Mo Lan Hwa takkan melupakan perasaan
hatimu yang tertumpah kepadaku, Sejak saat ini aku pasti akan menganggapmu
sebagai engkohku sendiri."
Tek Cun juga menghela napas.
"Kuharap engkaupun jangan bersedih. Kurasa Liong-te pasti akan mencintaimu
dengan segenap hati."
Mo Lan Hwa gelengkan kepala.
"Ah, tak mungkin, Dalam pandangannya, aku ini seorang gadis yang manja dan liar,
Kesan yang kuberikan kepadanya memang kurang baik", katanya.
"Sekarang adalah karena aku maka nona Ki sampai menderita kesulitan, Adik Liong
tentu akan membenciku. Engkoh Cun, apakah engkau tak memperhatikan betapa
dingin sikapnya kepadaku?"
Air mata bercucuran membasahi pipi Mo Lan Hwa.
"Jangan engkau berbanyak hati". kata Tek Cun, "saat ini dia sedang gelisah
memikirkan keselamatan sumoaynya. Apabila nona Ki sudah dapat diketemukan
dan sudah memperoleh keterangan dari Ban Hong liong-li cianpwe serta
menghimpaskan dendam kematian suhunya, dia pasti akan memperhatikan
engkau." "Setelah ia berhasil membalas sakit hati suhunya, aku akan segera
meninggalkannya dan mengasingkan diri di sebuah kuil dipegunungan sunyi.
Seumur hidup aku akan mengabdi Buddha sampai pada akhir hayatku.."
Mendengar kata2 itu Tek Cun ikut terharu dan tak dapat mengeluarkan kata2 lagi,
ia lalu mengajak jelita itu masuk.
Gin Liong terkejut. Cepat ia masuk kedalam kamar dan terus rebah di tempat
tidur, Benar2 dia seperti orang yang kehilangan diri, Mo Lan Hwa mencintainya dengan
segenap jiwa raga,Tio Li Kun telah menyerahkan kehangatan bibirnya dan Ki Yok
Lan tetap menunggunya dengan penuh harapan. ia benar2 bingung, Bagaimana
nanti kalau ia berjumpa dengan Ki Yok Lan.
Entah selang berapa lama, ia mendengar derap langkah orang di geladak, Ah,
ternyata hari sudah pagi, Anak buah perahu sibuk melakukan pekerjaannya.
Tek Cun sudah berdiri digeladak ketika Gin Liong keluar Tak lama kemudian Mo Lan
Hwa dan Tio Li Kun pun menyusul keluar. Kedua jelita itu sama mengenakan
pakaian baru. Li Kun berbaju biru muda, celana kembang dan mantel biru benang
perak, menyanggul sebatang pedang, mengulum senyum berseri.
Sedang Mo Lan Hwa mengenakan pakaian serba merah sehingga wajahnya yang
cantik makin tampak menonjol. Rambutnya terurai panjang, menyanggul sebatang
pedang. Kedua jelita itu berjalan seiring. sekalian anak perahu terbeliak dan
terlongong-longong memandangnya.
Mereka seperti melihat sepasang bidadari turun dari kahayangan, Yang seorang
bagai sekuntum mawar yang gemilang.
Melihat Li Kun, agak merah wajah Gin Liong. Tetapi ketika melihat Lan Hwa, ia
ter- sipu2 rawan. Sambil menunjuk kederetan puncak gunung Li Kun bertanya kepada anak perahu:
"Gunung apakah itu?"
"Gunung Hok-san."
Gin Liong terkejut ia meminta keterangan benarkah untuk menuju ke pulau Hong-
lay-to harus melalui pegunungan Hok-san itu.
"Benar." sahut pemilik perahu, "harus melalui puncak Hok-san yang sebelah utara,
walaupun luasnya hanya 30-an li tetapi gunung itu berbahaya sekali keadaannya
Tak dapat menggunakan kuda tetapi harus jalan kaki."
Karena terlambat selangkah, Mo Lan Hwa tak dapat melihat orang tua pemilik
cermin pusaka ketika berada di gunung Tiang-pek-san. Kali ini ia tak mau
melewatkan kesempatan lagi.
"Karena sudah melewati Hok-san. mengapa kita tak melihat-lihat keadaannya,"
kata nona itu. Gin Liong diam saja dan Tek Cun pun tak memberi suatu tanggapan sedang Tio Li
Kun, asal Gin Liong pergi, sekalipun ke sarang naga, ia tetap akan mengikuti.
Tak berapa lama, perahu berlabuh dan ke-empat pemuda itupun turun bersama
kudanya, Mereka hanya berhenti makan dikota Mopeng, setelah itu terus
melanjutkan perjalanan ke Hok-san, Tengah hari mereka pun sudah tiba di puncak
Hok-san sebelah utara. "Liok-ko. menilik keadaannya, memang tak mungkin kita mendaki dengan naik
kuda," kata Gin Liong setelah memandang kepuncak itu.
"Kita mendaki dulu, kalau memang tak dapat dengan naik kuda, kita pun jalan,"
kata Mo Lan Hwa. Ternyata keempat ekor kuda mereka itu kuda yang hebat semua. Setelah melalui
beberapa tempat yang penuh batu aneh, akhirnya mereka tiba di sebuah lembah
yang terletak dibawah kaki gunung.
Jalan kearah lembah itu sempit dan lembah penuh dengan gunduk2 batu yang
tinggi dan runcing serta rumput yang subur.
"Mungkin disebelah muka itu adalah mulut lembah, kita turun saja disini." kata
Gin Liong. Setelah turun, kuda mereka dilepaskan di sebuah aliran air kecil Dan keempat
pemuda itupun segera menuju ke mulut lembah sempit.
Keadaan dalam lembah memang berbahaya dan sulit dilalui penuh dengan batu2
yang aneh dan runcing serta rumput, rotan yang lebat, Gin Liong ragu2 tetapi Tek
Cun mengatakan bahwa lembah itu memang yang disebut Hiut-koh atahu lembah
sempit Mereka lalu gunakan ilmu lari cepat untuk memasuki lembah, Lembah itu tak
kurang dari lima enam li panjangnya Kedua samping dinding karangnya setinggi
ratusan tombak, Makin kebagian dalam makin berbahaya.
Tiba2 dari balik segunduk batu aneh di tengah gerumbul pohon siong pendek,
muncul tiga sosok tubuh, Sekali loncat mereka melayang kearah Gin Liong
berempat Dalam sekejab mata mereka sudah tiba hanya terpisah sepuluhan
tombak dari tempat Gin Liong.
Ketiga orang itu terdiri dari seorang tua berumur lebih kurang tujuh puluh tahun
dan dua orang lelaki pertengahan umur yang berpakaian ringkas.
Ketiga lelaki itu tampak marah. Tanpa melihat pada Gin Liong berempat, mereka
terus lari keluar lembah.
Gin Liong heran melihat gerak-gerik ke tiga orang itu. Tetapi iapun tak mau
menghiraukan dan mengajak kawannya melanjutkan masuk kedalam lembah.
Pada saat tiba disebuah gerumbul hutan yang penuh dengan batu2 aneh,
sekonyong-konyong terdengar suara orang berseru Bu-liang siu-hud. Dan
muncullah enam orang imam. Yang tiga berjubah kelabu, yang tiga berjubah hitam.
wajahnya angkuh, masing2 menyanggul pedang dibelakang bahunya.
Yang dimuka dua orang imam tua, rambutnya putih, umur diantara lima puluh
tahun, sebelah kirinya seorang imam tua, bertubuh kurus mengenakan jubah
hitam. Sebelah kanan juga seorang imam tua berjubah kelabu, bermuka bopeng,
Dibelakang mereka, dua orang imam pertengahan umur yang berwajah seram.
Imam tua jubah hitam segera berseru.
"Pinto bernama Biau Liang, menerima perintah dari kedua tianglo perguruan kami
untuk membawa murid perguruan kami Jing Hun dan Jing Gwat, Hian Leng totiang
dari partai Kiong-lay-pay beserta Kong Beng dan Ceng Beng berdua toyu..."
Sejak ke enam imam itu muncul dengan jual lagak, Mo Lan Hwa sudah mengkal,
Mendengar si imam tua Biau Liang jual omongan garang, Lan Hwa segera
membentaknya: "Kalau mau mengatakan apa2, lekaslah katakan, jangan jual nama dan gelaran!"
Imam tua berwajah bopeng tertawa dingin:
"Li-pohsat ini, masih muda usia tetapi keras sekali ucapannya, berani omong
sembarangan terhadap Biau Liang Totiang dari partai Kong-tong-pay"
"Siapakah engkau" Mengapa engkau berani banyak mulut." bentak Tek Cun.
Merahlah muka imam tua itu.
"Pinto adalah Hian Leng totiang dari Kiong lay-pay," serunya dengan marah.
"Hm, kiranya kawanan manusia yang tak ternama," Mo Lan Hwa mendengus.
Karena marahnya, imam tua itu menengadahkan muka dan menghambur tertawa
keras. Imam tua Kong Beng yang berada dibelakang Hian Leng totiang, segera memekik
keras dan maju menghantam si nona.
"Kawanan tikus, engkau cari mampus." teriak Tek Cun seraya maju dan mendahului
untuk menyambar tangan imam Kong Beng.
Tujuan Gin Liong kelembah itu adalah hendak mencari Ma Toa Kong dan sekalian
mencari tahu apakah Swat-thian Sam Yu juga datang ke lembah itu. Untuk
mengejar waktu, ia tak mau terlibat dalam perkelahian.
"Liok-ko, jangan melukainya," cepat ia mencegah Tek Cun.
Tetapi Tek Cun sudah terlanjur mencengkeram lengan imam itu. Mendengar
permintaan Gin liong ia segera mendorong imam itu: "Enyah !"
Imam Kong Beng terhuyung-huyung beberapa langkah dan jatuh terduduk ditanah.
Hian Leng dan Biau Liang terkejut Tak kiranya hanya sekali bergerak, pemuda itu
telah mampu mendorong rubuh imam Kong Beng, murid pilihan dari partai Kiong-
lay-pay. Kedua imam itu tak berani memandang rendah kepada kawanan pemuda
itu lagi. "Sicu sekalian ini dari perguruan mana dan siapakah nama suhu sicu yang mulia"
Harap lekas katakan, siapa tahu kemungkinan antara perguruan kita masih
terdapat hubungan," cepat Biau Liang berseru dengan nada sarat.
Karena harus mengejar waktu, Gin Liong mengatakan kalau dirinya dan kawan2 itu
tidak termasuk murid dari suatu partai persilatan.
"Kami mohon tanya, mengapa totiang menghadang perjalanan kami?" tanyanya
kemudian. Imam Biau Liang tertawa dingin, tubuhnya gemetar karena menahan kemarahan.
"Perguruan pinto dan partai Kong-tong-pay masing2 telah mengutus dua orang
tiang-lo untuk memimpin para murid datang kemari mencari jejak orang tua
pemilik cermin pusaka, Untuk menghimpaskan dendam kematian dari Bu Tim sute
serta kedua Bu-song-kiam It Jeng towyu dari partai Kong-tong-pay. Pinto bersama
Biau Liang toyu telah ditugaskan menjaga tempat ini, siapa pun juga, baik dari
kalangan Hitam maupun Putih, tak dibenarkan masuk ke dalam lembah Hiap-koh
sini. Jika ada yang berkeras masuk, heh, heh..." seru imam Hian Leng dari Kiong-
lay- pay. "Kalau berkeras masuk, lalu bagaimana?" akhirnya Gin Liong geram juga atas sikap
kawanan imam yang mengandalkan jumlah banyak itu.
"Berarti hendak bermusuhan dengan partai Kong-tong-pay dan Kiong-lay-pay" seru
Biau Liang seraya deliki mata.
Tring!, Mo Lan Hwa cepat mencabut pedang dan melengking: "Sebagai alasan
hendak membalas dendam tetapi pada hakekatnya kalian hendak mengincar
cermin pusaka itu sendiri dan mencegah lain2 partai persilatan tak dapat masuk
dalam lembah ini." Berhenti sebentar untuk tertawa, si cantik berseru pula:
"Kalian hanya dapat menggertak orang yang bernyali kecil, Tetapi kalian sial
telah bertemu dengan aku. Coba saja hendak kulihat sampai dimana kemampuan kalian
hendak merintangi rombonganku!"
Imam Ceng Hun yang berada di belakang imam Biau Liang mencabut pedang dan
loncat kemuka seraya berseru keras:
"Besar sekali mulutmu, budak perempuan! Akupun ingin menguji sampai dimana
tingginya ilmu pedangmu sehingga engkau berani bermulut sebesar itu!"
Tek Cun cepat mencabut trisula pendek dan membentak: "Kawanan kunang2,
engkau berani menerjang api, huh, sungguh tak tahu diri."
Pemuda itu terus gerakkan senjatanya untuk menyongsong pedang imam Ceng
Hun. Imam itu belum pernah mengenal kelihayan senjata trisula, Cepat ia merobah
gerak pedangnya dalam jurus Toa-peng-can-ki atau Burung rajawali merentang-
sayap, membabat lengan Tek Cun.
Pemuda itu tertawa dingin, kebaskan trisula melingkar, ia membentak: "Lepaskan
!" Tring!, terdengar gemerincing tajam diiringi pancaran sinar kemilau ke udara,
Pedang dari imam Ceng Hun telah terlepas dari tangannya.
Ceng Hun terkejut semangatnya serasa terbang dan cepat ia membuang tubuh
kebelakang, berguling sampai setombak jauhnya.
Kuatir Tek Cun akan menyusuli serangan, imam Ceng Gwat pun membentak dan
menyerang anak muda itu. Kini Mo Lan Hwa yang menghadang. Ujung pedang nona itu segera menusuk
kebahu Ceng Gwat, Imam itu marah sekali, Dengan mendengus dingin, ia
menghindar lalu balas menusuk dada si nona,
Mo Lan Hwa tersipu-sipu merah, Cepat ia membentak dan secepat kilat tubuhnya
berputar, pedang menabas, Terdengar jeritan ngeri. Sambil menyurut mundur,
imam Ceng Gwat mendekap telinganya yang berdarah, Ternyata sebelah daun
telinga kiri imam itu telah hilang.
Wajah Biau Liang si imam dari Kong-tong-pay, pucat seperti kertas, Tiba2 ia
tertawa keras, mencabut pedang lalu bergegas lari menuju ketempat Mo Lan Hwa.
Gin Liong menyadari bahwa tak mungkin lagi ia dapat menghindari pertempuran ia
memutuskan untuk mengakhiri pertempuran itu secepat mungkin.
"Telah lama kudengar bahwa ilmu pedang dari partai Kong-tong-pay itu tiada
tandingannya dalam dunia persilatan. Hari ini sungguh beruntung sekali aku dapat
berjumpa dengan totiang, Sukalah totiang bermurah hati untuk memberi pelajaran
kepadaku," serunya dengan tertawa hambar, serentak ia mencabut pedang.
Ditingkah sinar matahari, pedang itu memancarkan sinar warna merah, Pedang
Tanduk Naga kembali muncul hendak mengunjuk kesaktian.
Seketika pucatlah wajah Biau Liang tojin, ia cepat dapat mengenal pedang itu
sebagai pedang Tanduk Naga. pedang pusaka yang termasyhur dari daerah Biau, ia
hentikan langkah. Walaupun tahu bahwa Gin Liong itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, tetapi
selama ini belum pernah Tio Li Kun melihat pemuda itu bertempur dengan orang,
Maka cepat ia loncat kesisi Gin Liong dan berkata dengan bisik2:
"Liong-te, harap menyingkir kesamping, biar aku saja yang menghadapinya."
Habis berkata jelita itu terus mencabut pedangnya.
Imam Hian Leng dan Biau Liang kembali terkesiap, Mereka tahu bahwa pedang
pandak yang berada di tangan nona cantik itu tentu juga sebuah senjata yang
hebat. Saat itu Tio Li Kun pun sudah melangkah maju menghampiri imam Biau Liang.
Sebagai sute dari Biau It cinjin ketua partai Kong-tong-pay, Biau Liang sangat
dihormati oleh anak murid Kong tong-pay. Dengan ilmu pedangnya yang sakti. Biau
Liang selalu bersikap angkuh tak memandang mata pada orang.
Sudah tentu saat itu ia tak mau unjuk kelemahan terhadap seorang nona, Apalagi
dilihat oleh imam Hian Leng dari partai Kiong-lay-pay dan dua orang muridnya.
"Jika li-sicu berminat hendak adu ilmu pedang dengan pinto, pinto pun bersedia
melayani." kata imam Biau Liang, "tetapi pedang itu tak bermata, Begitu melancar
tentu tak dapat terhindar dari melukai orang, jika terjadi peristiwa semacam
ini, harap jangan mengatakan pinto menghina orang yang lebih muda."
Tio Li Kun hanya tertawa hambar dan tetap melangkah maju, sedikitpun ia tak
mengacuhkan peringatan tokoh Kong-tong-pay itu.
"Huh, batang kepala sendiri belum tentu dapat melindungi masakan masih sibuk
mengurus lain orang," dengus Mo Lan Hwa.
Mendengar itu serasa meledaklah dada imam Biau Liang, Serentak pedang
ditaburkan dalam tebaran sinar yang segera menimpali tubuh Mo Lan Hwa.
Melihat ilmu permainan imam dari Kong-tong pay itu, Tek Cun dan Mo Lan Hwa
diam-diam terkejut Ternyata imam Kong-tong-pay itu memiliki ilmu pedang yang
hebat sekali jauh lebih lihay dari imam Ceng Hun, Ceng Gwat berdua.
Tetapi si jelita Li Kun tetap tenang saja. Tubuhnya bergeliatan dengan lemah
gemulai dan berlincahan seindah kupu2 terbang diatas kuntum bunga. Tiba2 ia
memekik nyaring sehingga kumandangnya sampai menembus jauh kedalam awan.
Pandang mata Biau Liang serasa kabur dan serangan pedangnya pun menemui
angin kosong, Serentak ia mendengar pekik si jelita yang berada dibelakangnya,
ia berteriak kaget dan cepat balikkan tangannya menabas kebelakang, sedang
tubuhnya meluncur deras kemuka.
Ternyata hilangnya Tio Li Kun itu karena ia melambung ke udara. ia memang tak
bermaksud hendak melukai orangg. Gerakannya itiu hanya sekedar untuk
menggertak saja. Ketika Biau Liang meluncur kemuka iapun segera bergeliatan di
udara dan mengejar dibelakang lawan.
Setelah mencapai tiga tombak, cepat2 Biau Liang cinjin berputar tubuh
kebelakang,
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sepasang matanya berkilat-kilat mencari tempat beradanya lawan.
Tetapi pada saat ia berputar tubuh tadi Tio Li Kun pun sudah melayang
kebelakangnya, Sudah tentu Biau Liang tak melihat nona itu. Tetapi cepat ia
menyadar, apa yang terjadi. Dengan memekik keras ia balikkan pedang
menghantam kebelakang. Melihat Biau Liang masih berkeras kepala, marahlah Li Kun. Dengan bersuit
nyaring ia gunakan jurus Hay te-jui-ciam atau didasar laut mencari jarum. Cepat laksana
kilat ia membabat pedang si imam.
Tring!, terdengar dering yang tajam sekali di-iringi dengan pekik kejut dari
Biau Liang yang terus loncat mundur setombak jauhnya. Ternyata pedangnya telah
terbabat kutung oleh pedang si jelita.
Sebelum imam itu sempat menenangkan diri, Mo Lan Hwa pun sudah melesat dan
secepat kilat menutuk tubuh imam itu.
Biau Liang masih tercengang karena pedangnya putus, atau sudah diserang lagi
oleh Mo Lan Hwa. ia tak keburu menghindar lagi, 'bluk,' jatuhlah ia ke tanah.
Melihat itu imam Hian Leng cepat membentak dan maju menerjang, Demikian pula
dengan keempat imam yang lain, Mereka menggembor kalap dan terus lari
menyerbu. Tetapi Gin Liong, Lan Hwa dan Tek Cun sudah siap menyambut.
Tek Cun menghadang imam Ceng Hun dan Ceng Gwat, Mo Lan Hwa menoegat
imam Komg Beng dan Ceng Beng. Sedang Gin Liong segera menyerang imam Hian
Leng. Tio Li Kun masih berdiri tiga tombak diluar gelanggang, Sambil lintangkan pedang
ia memandang langit. Tiba2 ia berseru memberi peringatan kepada kawan-kawannya
bahwa hari sudah menjelang petang dan lembah masih belum diketahui berapa
dalamnya. Tio Li Kun cepat bergerak, Tring!, terdengar dering senjata yang keras diusul
dengan suara erang tertahan imam Hian Leng lepaskan pedang dan terjungkir tujuh
langkah kebelakang. Gin Liong pun cepat menutuk jalan darah imam tua itu, Kemudian kedua muda
mudi itu menghampiri ketempat Lan Hwa dan Tek Cun.
Melihat Hian Leng dan Biau Liang tojin kena tertutuk, buyarlah semangat keempat
imam yang lain, Berputar tubuh mereka terus melarikan diri.
Gin Liong berempat tak mau melepaskan Mereka berhamburan melayang ke udara
dan terus meluncur menghadang dimuka keempat imam itu. Keempat itu makin
gugup, Mereka berputar dan lari balik, Tetapi dengan cepat Gin Liong dan kawan2
telah dapat menutuk rubuh mereka.
Keenam imam itu dibawa kebelakang sebuah batu besar dan diletakkan disitu,
Setelah itu Gin Liong dan kawan2 segera hendak melanjutkan langkah masuk
kedalam lembah. Tetapi alangkah kejut mereka ketika melihat dimuka sebuah
hutan, lebih kurang tiga puluh tombak dari mulut guha, telah penuh dengan
rombongan orang persilatan yang terdiri tak kurang dari empat lima puluh orang.
Tua. muda, imam dan paderi, Mereka memandang terkejut kearah Gin Liong.
"Tak perlu menghiraukan mereka," kata Tek Cun seraya menyarungkan trisula,
Mereka pun melanjutkan masuk kedalam lembah, Ketika berpaling kebelakang, Gin
Liong melihat rombongan orang persilatan tadi pun berhamburan lari masuk
kedalam lembah. Setelah melewati dua buah hutan bambu, lembah pun berkelok kesebelah kiri, Dan
setelah melalui ujung puncak, mereka melihat sebuah air terjun raksasa yang
mencurah kedasar lembah, membentuk sebuah telaga kedalam 30-an tombak.
Ada suatu pemandangan yang cepat menarik perhatian. Bahwa air telaga itu
ternyata memantulkan sinar yang gilang gemilang menyilaukan mata.
Gin Liong cepat dapat mengetahui bahwa sinar kemilau itu adalah sinar cermin
yang ditingkah cahaya matahari.
"Hai lihatlah, itulah cermin pusaka dari si orang tua!" teriak Gin Liong seraya
menunjuk kemuka, Kemudian ia memandang kesekeliling tetapi tak melihat orang
tua itu. Cermin itu diletakkan diujung atas dari batu runcing yang tepat berada di-
tengah2 curahan air terjun, Entah bagaimana cara orang tua itu meletakkannya.
Gin Liong dan kawan2 hentikan langkah dan memandang ke sekeiling. Tiba2
mereka terkejut sekali ketika melihat diantara gerumbul semak dan batu yang
berada disebelah muka, terkapar malang melintang belasan sosok mayat manusia.
Keadaan mayat2 itu menyedihkan sekali. Ada yang kakinya hilang, lengan buntung,
mulut berlumuran darah, Mereka terdiri dari orang tua, rahib wanita ada pula
yang dandanan seperti sasterawan.
Diam2 Gin Liong ngeri melihat keganasan orang tua pemilik cermin itu.
"Hm, sungguh kejam sekali orang tua itu," Mo Lan Hwa juga penasaran, "huh,
kemanakah dia bersembunyi" Biar dia bagaimana saktinya, tetapi aku ingin
menempurnya juga!" 23. Sinar cermin pusaka "Cici, jangan marah," seru Gin Liong, "turut yang kulihat ketika didalam rumah
gubuk yang lalu, dia hanya memiliki cermin pusaka itu saja dan tak punya senjata
lainnya". Berpaling kebelakang, ia melihat rombongan orang persilatan itu pun berhenti
pada jarak tiga puluhan tombak, Dia heran mengapa mereka tak mau melanjutkan
maju ke muka lagi. "Liong-te, menurut keterangan imam Hian Leng dan Biau Liang tadi, mereka masih
ada empat orang tianglo yang berada disini, tetapi mengapa tak kelihatan?" tiba2
Tio Li Kun berkata. "Hm, mungkin sudah mampus," gumam Mo Lan Hwa.
Tetapi serempak dengan ucapan nona itu tiba2 dari balik sebuah batu besar
disebelah kiri terdengar suara orang tertawa mengekeh.
"Siapa!" bentak Tek Cun, terus melayang ke tempat itu.
"Liok-ko, jangan..." cepat Gin Liong mencegah karena ia tahu akan kesaktian
orang tua pemilik cermin pusaka, iapun segera loncat menyusul Tek Cun, Mo Lan Hwa
dan Tio Li Kun juga mengikuti.
Baru tiba dimuka batu besar dan belum lagi dapat berdiri tegak, seorang imam tua
telah loncat keluar dari balik batu itu dan terus lepaskan hantaman.
Walaupun sudah bersiap tetapi jarak begitu dekat dan pukulan dilancarkan secara
tiba tiba sekali, Tek Cun terkejut dan cepat cepat dorongkan tangannya kemuka.
Gin Liong terkejut ketika melihat kesaktian tenaga pukulan imam tua itu. ia
kuatir Tek Cun tak mampu bertahan. Dengan menggembor keras, iapun segera
menghantam. Tetapi tepat pada saat Gin Liong lepaskan pukulan, dari balik batu besar itu
muncul pula seorang imam tua lagi yang sambil barteriak keras juga lantas lepaskan
hantaman kearah pukulan Gin Liong.
Terdengar letupan keras diiring dengan debu dan batu bertebaran dihembus angin,
imam tua kurus yang pertama muncul tadi serta Tek Cun sama2 terhuyung-huyung
mundur, imam kurus itu termakan pukulan Gin Liong sehingga terhuyung
kebelakang, punggungnya membentur batu besar itu.
Mo Lan Hwa menjerit kaget seraya loncat menyambar tubuh Tek Cun pemuda itu
muntahkan segumpal darah segar. Tio Li Kun pun menghampiri lalu membawa
engkohnya duduk ditanah. Gin Liong melihat peristiwa itu.
"Hm, terimalah pukulanku sekali lagi..!" serunya seraya maju tiga langkah lalu
ayunkan tangannya. Imam tua yang muncul belakang itu mempunyai raut muka seperti kuda, ia tahu
pemuda itu memiliki tenaga yang sakti, Cepat ia kerahkan tenaga dalam dan
menyongsong dengan pukulan juga.
Terdengar letupan lagi dan langkah kaki si imam bermuka kuda yang terhuyung-
huyung kebelakang. Setelah muntah darah, iapun rubuh terkapar.
Pada saat itu dua sosok tubuh loncat keluar lagi dari balik batu besar. Dua
orang imam tua berambut putih itu segera menolong imam bermuka kuda.
Yang mengenakan jubah hitam dan berumur enam puluhan tahun, berwajah
persegi, alis tebal dan mata tajam segera loncat menghampiri ketempat si imam
kurus yang terluka tadi. Gin Liong pun juga memandang kearah Tek Cun. Dilihatnya pemuda itu kerutkan
dahi, pejamkan mata. wajahnya pucat lesi, mulut masih membekas noda darah, Mo
Lan Hwa memberinya minum sebutir pil warna hijau, Sedang Tio Li Kun duduk
dibelakang engkohnya, melekatkan telapak tangannya kepunggung Tek Cun hendak
memberi saluran tenaga dalam.
Makin meluaplah kemarahan Gin Liong. ia marah kepada kawanan imam tua yang
dalam kedudukan sebagai tiang-lo telah menyerang seorang anak muda tanpa
bertanya suatu apa lebih dulu,
Tiba2 pula Gin Liong teringat mengapa orang tua pemilik cermin pusaka itu tak
tampak" Apakah orang tua itu juga sudah mati dibunuh keempat imam tua yang
ganas itu" Dan jangan2 korban2 yang jatuh berserakan di tanah itu juga keempat
imam itu yang membunuhnya.
Gin Liong memandang sesosok mayat yang berada didekatnya,
"Hai, Ma Toa Kong !" serentak ia memekik kaget dan terus loncat menghampiri.
Ternyata perut Ma Toa Kong telah robek sepanjang delapan inci, ususnya
berhamburan keluar. Gin Liong cepat beralih memandang ke arah empat imam tua itu dan membentak:
"Kim-piau Ma Toa Kong, apakah kalian yang membunuh ?"
Imam tua berjubah kelabu yang berada disamping imam bermuka kuda, pelahan-
lahan berbangkit dan deliki mata ialu tertawa dingin:
"Ya. memang toya yang menyempurnakan ia engkau mau apa ?"
Gin Liong tertawa keras untuk menghamburkan kemarahannya.
"Bagus, akupun akan menyasulkan engkau ke akhirat." serunya seraya mencabut
pedang Tanduk Naga. Tiba2 ia mendengar suara erang pelahan. Ah. ternyata suara
itu berasal dari mulut Ma Toa Kong.
Gin Liong cepat berjongkok dan memegang pergelangan tangan Ma Toa Kong.
Ternyata detak jantungnya masih berjalan lemah.
Segera ia menutup luka Ma Toa Kong dengan pakaiannya lalu lekatkan telapak
tangan keperutnya untuk memberi penyaluran tenaga dalam, Walaupun wajahnya
pucat seperti kertas tetapi bibir Ma Toa Kong mulai bergerak-gerak.
"Ma locianpwe, bagaimana engkau rasakan?" seru Gin Liong.
Ma Toa Kong hendak mengucap kata2 tetapi tenaganya lemas sekali, ia pejamkan
mata lagi, Tak berapa lama terbuka lagi dan bibirnya pun bergerak-gerak.
Beberapa saat kemudian kedengaran ia dapat menghela napas dan memandang Gin Liong:
"Ah . . . tak kira . . . bukan di . . . guha Kiu-kiok-tong . . . . tetapi . . .
aku mati disini . . ." "Ma locianpwe bagaimana meninggalkan guha Kiu-kiok-tong?" seru Gin Liong
cepat. Dengan napas terengah-engah Ma Toa Kong paksakan diri berkata:
"Pada waktu itu . . . gurumu masuk guha, . . lama tak keluar . . . pertama It
Ceng . . . kuatir Ban Hong liong-li keluar . . . yang pertama-tama lalu . . .
kemudian . . . . semua pergi . . . ."
Tiba2 dari jauh terdengar suara orang berseru memanggil: "Ma susiok . . . ."
Nampak sosok bayangan berlarian mendatangi ketempat Ma Toa Kong. Mereka
dua lelaki berpakaian hitam, bertubuh gagah perkasa dan masing2 menyanggul
golok besar. Gin Liong duga kedua orang itu tentu orang Tiam-jong-pay. Mungkin karena
mendengar ia menghardik keempat iman tua tadi, kedua orang itupun segera
bergegas mendatangi. "Ma susiok, siapakah yang membunuh engkau?" kedua orang itu menangis.
Dua butir airmata menitik dari pelupuk mata Ma Toa Kong, kemudian berkata:
"Hong Tim. .. dan . . . Ceng . . ." ia tak dapat melanjutkan kata-katanya lagi
karena saat itu lidahnya kaku. Melihat itu Gin Liong cepat salurkan tenaga dalam lagi ketubuh Ma Toa Kong,
Tetapi percuma, Ma Toa Kong telah putus jiwanya, Gin Liong meluap darahnya.
Berpaling kebelakang dilihatnya Mo Lan Mwa berdiri dengan lintangkan pedang
menjaga Tio Li Kun dan Tek Cun yang tengah duduk menyalurkan pernapasan.
Sedang imam tua bermata tikus, berada dua tombak dari mereka, imam tua
berjubah hitam pun tengah berjalan menghampiri.
Gin Liong segera dapat menduga apa yang telah terjadi. Ketika Tio Li Kun sedang
merawat engkohnya yang terluka dan dia sedang menolong Ma Toa Kong, kedua
imam itu tentu berusaha hendak turun tangan.
Segera ia berseru nyaring: "Hai, siapakah diantara kalian yang bernama Hong Tim
lo-to, lekas kemari terima kematian!"
Sambil berkata, pemuda itu loncat ketengah gelanggang, imam yang bermata kecil
seperti mata tikus dan bermuka pesegi segera berhenti terkejut melihat ilmu
meringankan tubuh dari Gin Liong yang begitu hebat.
Gin Liong berhenti setombak dihadapan kedua imam itu dan menghardik lagi:
"Siapa" Siapa yang bernama Hong Tim?"
Setelah tenangkan semangat kedua imam itu meliarkan pandang kearah jago2
persilatan yang berada dalam lingkungan dua puluh tombak disekelilingnya.
Merahlah muka mereka, Kemudian menatap Gin Liong, kedua imam itu tertawa
dingin. Tiba2 kedua orang yang menangis disisi mayat Ma Toa Kong tadi, serentak
berbangkit mencabut golok dan menggerung: "Keparat Hong Tun, bayarlah jiwa
susiokku!" Keduanya melalui Gin Liong dan terus langsung menyerbu si imam mata tikus, Gin
Liong terkejut ia tahu kedua orang itu tentu bukan tandingan Hong Tim, Tetapi ia
tak leluasa untuk mencegah kedua orang yang hendak membalaskan dendam
kematian susioknya. Ternyata imam bermata seperti mata tikus itu memang Hong Tim. Segumpal
jenggotnya yang putih tampak berguncang-guncang dibawa tertawanya. Tahu2 dia
sudah loncat melayang dua tombak jauhnya.
"Tikus2 kecil, kalian berdua cari kematian sendiri, jangan salahkan aku Hong Tim
toya berhati kejam!" habis berkata imam tua itu terus mencabut pedangnya.
Melihat sikap si imam yang begitu congkak, marahlah Gin Liong, Segera ia berseru
menyuruh kedua orang itu berhenti.
Tetapi sudah terlambat. Kedua orang itu tak mau menghiraukan lagi dan terus
menyerbu laksana harimau melihat darah.
Tiba2 seorang imam tua berjubah hitam, loncat menyongsong dan lepaskan
hantaman kearah kedua orang itu:
"Tikus kecil, terimalah pukulanku dulu."
Melihat itu Gin Liong marah sekali. Cepat ia ayunkan tangannya kearah imam jubah
hitam atau imam tua Ceng Hian.
Terdengar jeritan ngeri dan tubuh imam tua Ceng Hian itupun terlempar sampai
empat tombak jauhnya, membentur sebuah batu besar.
Melihat itu imam kurus yang baru saja selesai menyilangkan tenaga cepat loncat
untuk menanggapi tubuh Ceng Hian, Tetapi ketika memeriksanya ternyata imam
tua Ceng Hian sudah putus nyawanya.
Pada saat itu berpuluh jago2 silat yang berada dua puluh tombak dari tempat Gin
Liong berdiri, tiba2 bersorak keras.
Gin-Liong berpaling dan tampak wajah jago2 silat itu terkejut memandang kearah
belakangnya. Menurut arah pandang mereka, Gin Liong segera mengetahui bahwa
lelaki berpakaian ungu tadi sudah dibelah dua oleh pedang imam tua Hong Tim.
Dan saat itu Hong Tim meneruskan pedangnya kearah lelaki berpakaian hitam.
Saat itu Gin Liong menyadari bahwa teriakan jago2 silat tadi adalah sebagai
peringatan kepadanya bahwa kedua orang murid keponakan dari Ma Toa Kong
terancam bahaya. Gin Liong tak dapat menahan kemarahannya lagi. Serentak ia mencabut pedang
Tanduk Naga dan terus loncat membabat Hong Tim.
Melihat kedahsyatan gerak Gin Liong dan pedang Tanduk Naga, imam tua Hong
Tim terkejut sekali, Buru2 ia loncat mundur beberapa langkah.
Tetapi Gin Liong sudah terlanjur diamuk amarah, Terutama setelah tahu bahwa
imam tua Hong Tim itulah pembunuh dari Ma Toa Kong, Dengan mengaum laksana
harimau melihat darah, ia menerjang maju dan menusuk perut Hong Tim.
imam kurus meletakkan mayat imam Ceng Hian lalu loncat menerjang Gin Liong:
"Bangsat, kembalikan jiwa ji-suhengku..."
Serangan imam kurus itu disertai dengan hud-tim atau kebut pertapaan yang
berbulu kawat perak, menyabet lambung Gin Liong.
Lelaki baju hitam yang hendak diserang Hong Tim tadi karena melihat kawannya,
lelaki baju ungu mati begitu mengenaskan, marah dan kalap, ia segera menyerang
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
imam kurus dengan sebuah tabasan golok.
Dengan demikian serangan imam kurus kepada Gin Liong pun tertahan, Dan Gin
Liong dapat melanjutkan tusukannya keperut Hong Tim.
Hong Tim cepat menangkis dengan pedang tetapi begitu berbentur dengan pedang
Tanduk Naga, pedangnya pun putus, Sebelum Hong Tim sempat menghindari ujung
pedang Tanduk Naga sudah bersarang di perutnya.
Darah mengucur deras, Hong Tim lepaskan pedangnya, mendekap perut dan
terhuyung-huyung kebelakang dan rubuh ke tanah. Ususnya berhamburan,
kematiannya sengeri kematian Ma Toa Kong.
Setelah berhasil membunuh Hong Tim, Gin Liong pun berpaling. Dilihatnya imam
kurus sedang bertempur seru dengan lelaki baju hitam, imam kurus dengan
permainan kebut hud-timnya yang cepat dan dahsyat dapat mendesak lawan
sehingga orang itu mandi keringat, permainan goloknya pun makin kacau, Tetapi
rupanya dia sudah kalap dan hendak mengadu jiwa, Dengan negkad ia balas
melakukan serangan sehingga mampu juga mendesak imam kurus.
Dalam pada itu, imam tua bermuka seperti kuda yang tengah pejamkan mata
memulangkan tenaga tadi, membuka mata dan dengan menggerung ia ayunkan
kedua tangannya. Benda halus macam sutera perak mendesis-desis kearah Siau-bun-hau Tek Cun
yang saat itu masih pejamkan mata memulangkan tenaga.
Mo Lan Hwa menjerit kaget dan cepat loncat kesamping Tek Cun seraya memutar
pedangnya dalam sebuah lingkaran untuk melindungi anak muda itu.
Melihat itu Gin Liong marah sekali, sambil meraung ia loncat ke udara dan
bergeliatan untuk meluruskan tubuh. Ketika ia hendak melepaskan hantaman tiba2
Mo Lan Hwa menjerit kaget pedangnya terpental jatuh dan nona itu pun jatuh
terjungkir balik kebelakang.
Gin Liong terkejut, ia tahu bahwa nona itu tentu terkena senjata rahasia
berbentuk seperti sutera perak tadi. Cepat ia ayunkan kaki keatas dan berjumpalitan Dengan
kaki di atas dan kepala dibawah ia melayang kearah tempat Mo Lan Hwa.
Pada saat ia hendak menyambar tubuh Mo Lan Hwa tiba2 matanya terpancar oleh
cahaya keras yang dipancarkan dari kaca wasiat tadi. Seketika pandang matanya
silau, ia tak dapat melihat benda disekelilingnya lagi, Empat penjuru terasa
gelap gelita, Untung Gin Liong masih sadar pikirannya. ia bergeliatan dan melayang turun ke
tanah, Tetapi ia terkejut sekali ketika matanya tetap gelap tak dapat melihat
apa2. Serempak pada saat itu ia mendengar pula suara mendesis-desis halus menuju
ketempatnya, ia tahu bahwa musuh telah menyerangnya dengan senjata rahasia,
Cepat ia putar pedang Tanduk Naga dan berhasil membuyarkan benang2 perak itu
jatuh ke tanah. Tiba2 para jago silat diluar gelanggang kembali berteriak pula, Gemuruh dan
gempar. Bahkan mereka bukan melainkan bersorak tetapi pun menyisih
kebelakang, membuka sebuah jalan.
Gin Liong cepat berpaling untuk melihat. Tetapi ia tetap tak dapat melihat apa2,
matanya tetap gelap, ia hanya mendengar diantara suara hiruk pikuk itu samar2
terdengar suara kibaran pakaian beberapa orang yang tengah mendatangi.
Imam bermuka kuda, karena meleypaskan senjata rahasia sutera perak yang
selembut bulu kerbau. telah kehabisan tenaga dalam, Luka dalamnya kambuh lagi,
berulang kali ia muntah darah
Saat itu terdengar si cantik Tio Li Kun melengking kaget, Rupanya setelah
selesai menyalurkan tenaga, Tio Li Kun tahu apa yang terjadi pada diri Mo Lan Hwa. Cepat
ia loncat memeluk tubuh Mo Lan Hwa, Wajah Mo Lan Hwa pucat lesi, matanya
meram dan dahinya mengerut menahan kesakitan. Memandang kesebelah muka,
hati Tio Li Kun makin tergetar keras. Dilihatnya Gin Liong ter-longong2
memandang kearah jago2 silat yang tengah hiruk dan sibuk menyisih kesebelah samping.
Tio Li Kun segera hendak menegur tetapi tiba2 dilihatnya tiga orang tua lari
menerobos keluar dari kerumun jago2 silat itu. Yang paling depan umurnya lebih
kurang delapan puluh tuhun, berambut pendek berjenggot panjang, putih seperti
perak, wajahnya lebar, alis tebal mata bundar. Mengenakan pakaian dari kain
kasar, Tangannya mencekal sebatang pipa hun-cwe, gembung pula sebesar kepalan
tangan orang, memancarkan sinar ke-emas2an.
Di sebelah kiri dari orang tua itu, seorang tua yang sikapnya seperti orang
sinting, Dia membawa sebatang tongkat bambu wulung dan pakaiannya compang-camping
seperti pengemis. Disebelah kanan orang tua tadi, juga seorang lelaki tua berumur lebih kurang
delapan puluh tahun, Rambut dan jenggotnya putih, matanya kuyu seperti seorang
pemabok. Mulutnya besar dan lebar sekali, Mengenakan pakaian warna kelabu yang
memanjang menutupi kedua kakinya, punggungnya memanggul tiga buah buli2
arak yang berkilat-kilat menyilaukan.
Ketiga orang tua itu lari pesat sekali, Tio Li Kun pun cepat mengenali ketiga
orang itu sebagai Swat-thian Sam-yu. Maka ia segera menggolek-golekkan kepala Lan
Hwa dan memberitahu: "Adik Hwa, adik Hwa, lihatlah, ketiga suhengmu datang."
Mendengar itu Mo Lan Hwa paksakan diri membuka mata. Setelah melihat
memang ketiga suhengnya datang, ia pejamkan mata pula.
Saat itu pandang mata Gin Liong pun sudah sembuh. ia dapat melihat kedatangan
Swat-thian Sam-yu itu, Cepat2 ia berseru: "Lo-koko berdua, harap segera kemari!"
Melihat Gin Liong, Hok To Beng dan Hong-tian-soh (siorang tua sinting) tertawa
gelak2. Tetapi wajah mereka cepat mengerut gelap ketika melihat Mo Lan Hwa
menggeletak ditanah dipeluk Tio Li Kun. Cepat mereka lari menghampiri. Lebih
terkejut pula mereka ketika memeriksa keadaan sumoaynya itu.
Hok To Beng sibuk memanggil-manggil sumoaynya tetapi nona itu tetap diam saja.
Didapatinya lengan Mo Lan Hwa membegap, jelas nona itu tentu terkena senjata
rahasia yang amat beracun.
"Siapa yang berani mencelakai sumoay dengan senjata rahasia beracun itu!" Hong-
tian-soh berbangkit dan berteriak keras.
Sebelum Gin Liong memberi keterangan, Mo Lan Hwa pun paksakan diri membuka
mata dan menuding kearah si imam potongan muka kuda.
Menurutkan arah yang ditunjukkan si nona, Hong-tian-soh segera membentak
keras: "Hai, kurcaci tua dari mana berani menggunakan senjata rahasia yang begitu
ganas!" Dengan mengangkat tongkat bambu wulung, Hong-tian-soh pun segera lari kearah
si iman muka kuda yang masih duduk di tanah.
Ketika Cui-sian-ong atau Dewa Pemabuk merentang mata, segera ia berseru: "Hai,
sinting, jangan menghajar, dia Ih Tim tianglo dari partai Kiong-lay-pay."
Hong-tian-soh sudah terlanjur angot gilanya. Sudah tentu ia tak menghiraukan
peringatan Dewa Pemabuk. "Tak peduli dia tianglo dari partai mana, yang penting harus dihajar dulu!" seru
orang sinting itu, ia tetap lanjutkan larinya ketempat imam tua itu.
Mendengar keterangan Dewa Pemabuk, Hok To Beng terkejut dan berpaling ikut
mencegah: "Sinting . ..."
Tetapi terlambat. Terdengar suara bambu menghantam benda keras disusul
dengan jeritan ngeri. Batok kepala dari Ih Tim tianglo partai persilatan Kiong-
lay- pay telah hancur lebur, berhamburan keempat penjuru.
24. Kaca wasiat membutakan mata
Baik Hok To Beng maupun Dewa Pemabuk berobah wajahnya seketika. Mereka
menganggap peristiwa pembunuhan itu akan menimbulkan akibat besar, Partai
Kiong-lay-pay pasti akan mencari balas kepada Swat-thian Sam-yu.
Tidak demikian dengan Gin Liong. pemuda itu tak puas melihat kekuatiran kedua
tokoh itu. Sejenak ia keliarkan pandang kearah sosok2 mayat yang menjadi korban
keganasan keempat imam tua dari Kiong-lay-pay itu.
Baru ia hendak berkata, tiba2 Hong-tian-soh pun sudah berteriak keras lagi:
"Hai, masih ada seorang kurcaci tua lagi!"
Habis berkata ia terus mengangkat tongkat bambunya hendak dikemplangkan ke
kepala imam kurus yang tengah bertempur dengan orang yang berpakaian hitam
tadi. Kali ini Hok To Beng berbangkit dan berteriak marah: "Hai, sinting, itu Ceng Cin
tianglo dari Kong-tong-pay !"
Mendengar itu imam kurus terkejut Cepat menggembor keras dan menyelinap
kesamping. Ketika berpaling kejutnya bukan kepalang, Cepat2 ia ayunkan kebut
hud-timnya. "Bagus, ha, ha, ha," teriak Hong-tian-soh yang tanpa merobah gerak jurusnya,
tetap ayunkan tongkat bambu mengemplang kepala imam itu.
Waktu mengetahui bahwa yang menyerangnya itu si sinting dari Swat-thian Sam-
yu, berobahlah wajah Ceng Cin tianglo, ia tahu bahwa jurus Pang-ta-lian-hoa yang
dimainkan tokoh sinting itu penuh perobahan yang sukar diduga. Dengan
menggembor keras. Ceng Cin segera buang tubuhnya bergelundungan ke tanah
dengan ilmu Kiu-te-sip-pat-kun.
Rupanya Hong-tian-soh tak mau mengejar. Berpaling memandang kearah lelaki
baju hitam yang masih tegak terlongong. ia membentak:
"Karena bertempur mati-matian di tempat ini, engkau tentu bukan manusia baik!"
Habis berkata orang sinting itu terus ayunkan tongkat bambunya, kepinggang
orang. Karena hendak diserang, lelaki baju hitam itu pun menangkis dengan goloknya,
Melihat itu Gin Liong cepat berteriak:
"Hong koko, dia bukan..."
Tetapi belum selesai Gin Liong berseru, golok lelaki baju hitam itupun sudah
mencelat ke udara, Untung karena mendengar peringatan Gin Liong, Hong-tian-soh
segera hentikan tongkatnya, Memandang kepada orang itu ia tertawa mengekeh
lalu berputar tubuh dan melangkah ke tempat Mo Lan Hwa lagi dan berjongkok.
Rupanya sayang sekali dia akan sumoaynya.
Saat itu Dewa pemabuk berhasil mendapat sebuah botol kecil dari kumala putih,
Setelah menuangkan pil dari botol itu, terus disusupkan ke mulut Mo Lan Hwa.
Tek Cun pun sudah kuat berdiri tetapi semangatnya masih lelah, Dalam
kesempatan itu Hok To Beng suruh Gin Liong berkenalan dengan Dewa Pemabuk,
Demikian pula dengan Tio Li Kun dan Tek Cun.
Ternyata Swat-thian Sam-yu juga naik perahu bersamaan waktunya dengan Gin
Liong, Tetapi karena penumpangnya banyak, perahu agak pelahan jalannya hingga
Gin Liong dan rombongannya tiba lebih dulu setengah jam.
Jago2 persilatan dari berbagai aliran makin banyak tiba di tempat itu, Tetapi
mereka tak berani mendekat dan hanya berdiri dua puluh tombak jauhnya, Mereka
kasak kusuk dengan kawan2nya. Dengan munculnya Swat-thian Sam-yu di tempat
itu, tak seorang pun yang berani melanjutkan perjalanannya kemuka.
Sejenak memandang kesekeliling, Hok To Beng kerutkan dahi, lalu bertanya kepada
Gin Liong: "Orang tua itu mengapa tak tampak ?"
Memandang kearah cermin pusaka di tengah telaga, Gin Liong juga menyatakan
keheranannya: "Sejak kami datang, orang tua itu tak pernah kelihatan."
"Lalu siapa yang membunuh korban2 itu ?" seru Hong-tian-soh seraya memandang
sosok2 mayat yang berserakan di tanah,
Gin Liong kerutkan alis, Tiba2 ia teringat akan kematian Ma Toa Kong.
"Kemungkinan mati di tangan keempat imam tua itu!" akhirnya ia menyahut.
Sudah tentu Swat-thian Sam-yu terkejut. Mereka mendesah dan serempak
berpaling ke arah imam tua Ceng Cin.
Tampak imam tua Ceng Cin tengah memondong mayat Ceng Hian dibawa lari
keluar dari lembah itu. "Hm, hari ini kurcaci tua itu mendapat kemurahan," dengus Hong-tian-soh geram.
Mo Lan Hwa sudah dapat bangun.
"Bagaimana" Apakah lenganmu sudah tak sakit?" seru ketiga Swat-thian Sam-yu.
Dengan manja sekali Mo Lan Hwa mengatakan kalau sudah sembuh, ia singsingkan
lengan baju dan tampaklah sebatang sutera perak selembut bulu kerbau menyusup
kelengan nona itu. Dewa Pemabuk mengambil buli2 araknya meneteskan dua tetes arak ke bulu perak
itu lalu mencabutnya. "Untung Ih Tim loto sudah menderita luka dalam, sehingga tenaganya berkurang,
Kalau tidak sutera perak itu tentu akan menyusup lebih dalam lagi ketulang,"
kata Tio Li Kun. Dewa Pemabuk merentang mata dan bertanya siapakah yang melukai Ih Tim loto
itu. Gin Liong mengaku bahwa dialah yang melukai imam tua itu karena melihat imam
itu mengganas Tek Cun dengan pukulan yang dahsyat ia menunjuk ke arah Tek Cun
yang wajahnya masih pucat.
Dewa Pemabuk mendesis, Rupanya ia seperti kurang percaya kalau seorang anak
semuda Gin Liong mampu melukai Ih Tim yang berkepandaian tinggi.
"Lalu siapakah yang membunuh Ceng Hian loto?" tanyanya pula.
"Juga siaute" kata Gin Liong, "karena dia berlaku curang menyerang dari
belakang." Sudah tentu Dewa Pemabok makin terkejut. Dengan matanya yang redup menatap
Gin Liong. "Siau-hengte" serunya dengan sikap serius, "begitu keluar dari perguruan, engkau
sudah mengikat permusuhan dengan dua partai persilatan. Kemungkinan engkau
akan menghadapi bermacam-macam kesulitan nanti."
Gin Liong hanya tertawa hambar, "Dalam terjun kedunia persilatan siaute hanya
berpijak pada kebenaran dan keadilan. Memberantas yang lalim dan jahat,
menolong yang lemah dan benar. Apapun bahaya yang akan menimpali pada diri
siaute, siaute tak dapat menghindari lagi."
Dewa Pemabuk terkesiap, Setelah berbicara beberapa saat lagi, diam2 ia
mengagumi pendirian dan sikap Gin Liong yang perwira.
"Bagus, bagus, siau-hengte." bahkan Hong-tian-soh si Sinting menepuk-nepuk bahu
Gin Liong "tak kecewa engkau menjadi adik dari aku si Sinting ini Hong-tian-soh.
Berani dan perwira, Tak gentar menghadapi ancaman, tak menindas yang lemah
dan tak melakukan pekerjaan yang melanggar hukum Allah, Aha, aku si sinting
Hong-tian-soh, sekarang sudah mempunyai adik sealiran."
Habis berkata tokoh sinting itu tertawa gelak2 dengan gembira sekali.
Walaupun menahan sakit karena ditepuk-tepuk bahunya itu, terpaksa Gin Liong
harus tersenyum. Tio Li Kun dan Tek Cun tergerak hatinya mendengar pernyataan si sinting yang
begitu perwira. Mereka tak mengira kalau tokoh yang tampak seperti orang sinting
ternyata menpunyai pendirian seorang pendekar besar.
Melihat Gin Liong tertawa meringis, Mo Lan Hwa berseru: "Hong koko, engkau
boleh saja bergembira tetapi dengan menepuk-nepuk bahu begitu, orang harus
meringis kesakitan untuk memuaskan kegembiraan hatimu."
Hong-tiang-soh menyadari dan cepat hentikan tangannya.
Tiba2 terdengar suitan nyaring dari arah puncak gunung yang jauh dari situ, Gin
Liong terkejut Demikian pula dengan sekalian tokoh yang berada disitu. Mereka
serempak memandang kearah suara suitan itu.
Suitan itu seolah menembus udara, memenuhi lembah dan makin lama makin
dekat ke lembah. Sekonyong-konyong dari arah dua puluh tombak jauhnya terdengar suara orang
berteriak keras: "Lekas lari, orang tua pemilik kaca wasiat itu datang!"
Mendengar itu para jago silat yang berkumpul diluar lembah segera desak
mendesak berebut lari. Mereka seperti akan diserang bencana.
Gin Liong kerutkan alis, 'Dari berbagai tempat yang jauh mereka datang, bukankah
karena hendak melihat orang tua pemilik kaca wasiat itu" Mengapa sekarang orang
tua itu datang, mereka matah melarikan diri"' Pikir Gin Liong penuh keheranan.
Suitan pun berhenti dan beberapga jago silat yang sudah membelok di puncak
gunung sebelah muka itupun berhenti. Mereka berpaling memandang ke telaga,
cemas dan sangsi. Tiba2 sebuah suara suitan yang aneh dan parau, mengiang ditelinga Gin Liong. Gin
Liong terkejut dan cepat berpaling.
Hong-tian-soh meregang rambutnya, muka menengadah dan mulut ternganga,
Tengkuk lehernya menjulur ke muka. Ah, dialah yang bersuit aneh itu.
Luka Tek Cun baru saja baik, Mendengar suitan aneh itu, wajahnya pucat dan
keringat dingin pun mengecur lagi, Melihat itu Gin Liong, Tio Li Kun cepat
loncat kesamping Tek Cun dan serempak memegang punggung Tek Cun.
Tampak Hok To Beng dan Dewa pemabuk serius sekali wajahnya. Kedua tokoh itu
mengadahkan muka untuk menanti jawaban dari suitan aneh yang dipancarkan
Hong-tian-soh tadi. Memandang ke puncak gunung sebelah muka, Gin Liong tak melihat lagi
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rombongan jago2 silat yang berdiri disitu, Rupanya karena mendengar suitan Hong-
tian-soh, mereka ketakutan melarikan diri.
Setelah bersuit, Hong-tian-soh merentang mata dan memandang ke puncak
sebelah muka, Tiba2 suitan nyaring tadi terdengar pula, jelas berasal dari balik
puncak gunung yang tingginya beratus-ratus tombak, Menyusul muncul dua sosok
tubuh warna kelabu dan putih meluncur turun bagai dua buah bintang jatuh dari
langit. Baik Gin Liong maupun Swat-thian Sam-yu terkesiap melihat kesempurnaan ilmu
meringankan tubuh dan kedua pendatang itu.
Seiring dengan suitan berhenti, kedua sosok tubuh itupun sudah mencapai tengah2
lereng gunung. Tetapi kumandang suitannya masih berkumandang jauh ke
angkasa. Saat itu Gin Liong dapat melihat bahwa kedua pendatang itu terdiri dari seorang
lelaki dan seorang wanita.
"Sepasang lelaki dan wanita," serunya, Swat-thian Sam-yu terkejut. Mereka
sendiri belum dapat melihat jelas kedua pendatang itu. Terutama Dewa Pemabuk, Dia
sampai mendesuh kejut karena heran atas ketajaman mata anak muda itu.
Dalam pada itu kedua pendatang itupun sudah tiba di kaki gunung dan lari
menghampiri kearah lembah.
Swat-thian Sam-yu memperhatikan bahwa wala upun tampaknya pelahan tetapi
sesungguhnya kedua pendatang itu lari cepat sekali
Pada lain saat tiba2 Gin Liong berteriak kaget: "Sumoay, sian-tiang . .. .!"
iapun terus loncat dan lari menyongsong kedatangan bayangan putih itu.
Mendengar itu berdebarlah hati si jelita Tio Li Kun. Apabila tokoh yang disebut
sian- tiang telah datang, dia tentu dapat membuka rahasia siapa sesungguhnya suhu dari
Tio Li Kun itu. Beda dengan engkohnya, Tek Cun, Pemuda itu gembira sekali, ia merasa hari itu
benar2 luar biasa sekali karena dapat berjumpa dengan empat tokoh dari Ih-lwe-
jit- ki atau Tujuh tokoh aneh dalam dunia.
Sedangkan Mo Lan Hwa merasa cemburu karena mendengar Gin Liong begitu
girang sekali menyambut kedatangan sumoaynya.
Saat itu Swat-thian Sam-yu dapat mengetahui jelas bahwa salah seorang
pendatang itu bukan lain adalah Hun Ho sian-tiang bersama seorang gadis cantik
baju putih yang umurnya sekitar 16-17 tahun, Ketiga tokoh itu segera dapat
menduga bahwa gadis baju putih itu tentu sumoay dari Gin Liong, Mereka tertawa
ikut gembira atas pertemuan itu.
Terpisah tujuh tombak jauhnya, Gin Liong berhenti dan memberi hormat kepada
Hun Ho sian tiang. "Liong koko . ." teriak gadis baju putih dengan penuh haru. ia berlinang-linang
air mata melihat Gin Liong. "Harap siau-sicu tak memakai banyak peradatan," begitu tiba dihadapan Gin Liong,
Hun Ho sian-tiang mencegah anak muda yang hendak membungkuk tubuh
menghaturkan hormat ia ulurkan tangan untuk mencekal tangan Gin Liong,
Seketika Gin Liong merasa seperti terangkat ke atas dan terus melayang kearah
Swat-thian Sam-yu. "Bertahun-tahun tak berjumpa, toheng bertiga masih segar bugar seperti yang
lalu." seru Hun Ho sian-tiang yang menyusul tiba dihadapan Swat-thian Sam-yu.
Hok To Beng dan Dewa pemabuk tertawa dan serempak menegur: "Imam hidung
kerbau, angin apakah yang meniup engkau sampai ke lembah ini?"
"Bukan angin tetapi keinginan nafsu hati yang serakahlah yang membawanya
kemari." tiba2 Hong-tianw-soh menyelutuk tertawa.
Sambil mengurut-urut jenggotnya, Hun Ho sian-tiang tertawa:
"Ah, Hong toheng masih gemar berolok-oIlk. Ketika pergi ke gunung Tiang-pek-san
mencari tanaman obat, kebetulan kita saling bertemu dan secara kebetulan pula
berjumpa dengan orang tua pemilik kaca wasiat tadi bukan sengaja khusus
mencarinya . . ." "Dan kali ini" Apakah kedatanganmu kemari juga hendak mencari daun obat?"
tukas Hong-tian-soh. "Tadi kalau tak mendengar suitan yang memecah angkasa dari mulut Hong to-
heng, mungkin saat ini aku sudah tinggalkan gunung Hok-san ini sahut Hun Ho
sian- tiang. Swat-thian Sam-yu dan Gin Liong tertawa, Dalam pada itu si cantik Tio Li Kun, Mo
Lan Hwa dan Tek Cun pun menghampiri dan memberi hormat kepada Hun Ho sian-
tiang, Melihat Tio Li Kun, Hun Ho sian-tiang segera tertawa:
"Nona Tio, apakah suhumu Ceng Hun suthay baik2 saja?" tegurnya.
Merah wajah Li Kun, Dia gugup mendapat pertanyaan itu tetapi karena tak dapat
ditutupi lagi akhirnya ia menyahut juga.
"Berkat restu sian-tiang, suhu tak kurang suatu apa."
Swat-thian Sam-yu terkesiap, Mereka memang pernah mendengar kabar orang
bahwa kepandaian si cantik Tio Li Kun jauh di atas saudara2nya, Saat itu baru
mereka mengetahui bahwa suhu dari si cantik itu ternyata rahib Ceng Hun, murid
pewaris dari Bong-san loni atau rahib tua dari gunung Bong-san salah seorang
dari Bu-lim Su-ik atau Empat-luar-biasa dalam dunia persilatan.
Jangankan Swat-thian Sam-yu, bahwa Tek Cun engkoh nomor enam dari si jelita Li
Kun sendiri, juga terlongong-longong heran. walaupun sebagai saudara tua, tetapi
ia tak tahu bahwa adiknya itu ternyata murid dari rahib tua Bong-san loni. Dia
kira kalau kepandaian adiknya itu berasal dari mamahnya.
Karena lama tak berjumpa maka pertemuan antara Swat-thian Sam-yu dengan Hun
Ho sian-tiang itu amat menggembirakan sekali Mereka ber-cakap2 dengan riang
dan asyik. Melihat Ki Yok Lan. Tek Cun benar2 terkesiap, ia tak menyangka bahwa sumoay
yang sering diucapkan oleh Gin Liong itu ternyata seorang gadis yang agung dan
cantik, wajahnya yang cantik berseri, makin memancarkan kecantikan yang syahdu
dalam pakaiannya yang berwarna putih. Sepintas pandang menyerupai seorang
bidadari. ia memperhatikan bahwa adiknya, Mo Lan Hwa dan Ki Yok Lan dalam waktu yang
singkat tampak akrab sekali, Tetapi diam2 iapun memperhatikan juga bahwa pada
wajah adiknya, Tio Li Kun tampak memancarkan sinar cemburu. Sedang wajah Mo
Lan Hwa mengunjuk rasa putus asa. Sedang Ki Yok Lan sendiri tampak tenang dan
wajar. Secara tak disadari, ia telah membuat perbandingan untuk menilai ketiga gadis
cantik itu. Ki Yok Lan, berwajah agung cantik dan alim. Memberi kesan bahwa dia seorang
dara yang berhati bersih dan suci.
Mo Lan Hwa cantik berseri, meriah dan gagah sehingga orang tak berani main2
kepadanya Seorang dara yang bersemangat
Adiknya, Tio Li Kun, cantik laksana sekuntum bunga mekar di pagi hari, Memiliki
sikap yang berwibawa, cerdas tetapi angkuh.
Diam2 Tek Cun mencemaskan adik perempuannya itu. jika Tio Li Kun tak mau
berlapang dada, menerima dan memberi dalam soal asmara, dikuatirkan dia akan
menderita. Tiba2 suara tertawa gelak2, menghentikan pikiran Tek Cun yang tengah melamun
itu. Ah, ternyata Hun Ho sian-tiang bersama Swat-thian Sam-yu telah menuju ke
tepi telaga. "Liok-ko, mari kita kesana juga," tiba2 Gin Liong mengajak, Tek Cun mengiakan
dan segera kedua pemuda itu menuju ke tepi telaga juga, Melihat itu ketiga gadis pun
mengikuti pula. Rombongan Swat-thian Sam-yu beristirahat di sebuah tempat yang jauh dari
hamburan air terjun. "Imam hidung kerbau," tiba2 Hong-tian-soh bertanya, "apakah engkau tak
menduga bahwa orang tua pembawa kaca wasiat itu bukan salah seorang dari
Thian lam Ji-gi?" Hun Ho sian-tiang gelengkan kepala pelahan sahutnya: "Kedua tokoh Thian-iam Ji-
gi itu sudah lama menutup pintu tak mau bertemu orang. Tahun muka baru
mereka menyudahi persemedhiannya"
Berhenti sejenak, Hun Ho siantiang melanjutkan pula:
"Ketika Siau sicu hendak memheri hormat kepadaku di tanah lapang lembah salju
gunung Tiang pek-san, dari rumah pondok itu tiba2 memancar sepercik sinar dan
menyusul segulung asap putih melintas di atas kepala si pengemis jahat dan Hoa
hweshio, Kedua orang itu menjerit ngeri. Ketika kuburu keluar hutan. ternyata
asap itu sudah lenyap." "Imam hidung kerbau," Dewa Pemabuk tak percaya, "jangan membual, Dengan
ilmu meringankan tubuh Ki-hong-hui-heng-sut yang sakti itu, masakan orang tua
pembawa kaca wasiat itu mampu lolos dari pengawasanmu ?"
Hun Ho sian-tiang menghela napas panjang, "Ketika aku melambung ke udara,
kulihat berpuluh sosok tubuh kaum persilatan yang bersembunyi disekeliling hutan
itu, berhamburan lari kesegenap penjuru, Sukar bagiku untuk mengejar yang
mana." Hok To Beng memandang kearah kaca wasiat di telaga dan bertanya:
"Menurut pandanganmu apa maksudnya orang tua itu meletakkan kaca wasiat di
tempat yang sedemikian berbahaya ?"
Hun Ho sian-tiang kerutkan alis.
"Rupanya orang tua itu bermaksud hendak membunuh orang yang berhati temaha,
Sejak dia muncul, entah sudah berapa banyak jiwa kaum persilatan yang binasa
ditangannya." Berhenti sejenak Hun Ho sian-tiang melanjutkan pula: "Menurut dugaanku, dengan
menaruh kaca wasiat di tengah telaga, dia bermaksud hendak memancing nafsu
keinginan orang agar jago2 silat itu saling bunuh membunuh sendiri dan dunia
persilatan berkurang jumlahnya manusia2 yang berhati temaha."
"Huh, apakah itu bukan berarti hendak menciptakan suatu pembunuhan besar-
besaran?" teriak Hong-tian-soh tak puas, "jika tiada kaca wasiat itu orang tentu
takkan timbul nafsu temahanya."
Kemudian tokoh sinting dari Swat-thian Sam-yu itu menggeram: "Lebih baik
menghancurkan kaca itu agar jangan menimbulkan peristiwa berdarah!"
Habis berkata ia terus menjemput sebuah batu kecil dan hendak dilontarkan.
Sudah tentu Hok To Beng, Dewa Pemabuk terkejut, membentak dan
mencengkeram tangan si sinting
Hun Ho sian-tiang pun berkata dengan wajah serius: "janganlah Hong-toheng
bertindak gegabah. Kaca wasiat itu adalah benda peninggalan seorang paderi suci
pada jaman dulu. Benar2 sebuah benda pusaka dalam dunia persilatan, kegunaan
kaca itu bukan melainkan hanya mencari benda2 pusaka yang tertanam dalam
tanah saja..." "Kemungkinan orang tua itu bersembunyi disekeliling tempat ini!" tiba2 Hok To
Beng menyelutuk. Hong-tian-soh keluarkan biji matanya dan menggentakkan tongkat bambunya ke
tanah lalu berseru keras2:
"Tindakanku tadi, bukankah suatu siasat untuk memancing supaya dia keluar dari
tempat persembunyiannya ?"
Tetapi sekeliling penjuru tenang2 saja, Tiada penyahutan, Keadaan itu memberi
kesan kepada sekalian orang bahwa orang tua pemilik kaca wasiat itu memang tak
berada disekeliling situ. Kalau tidak, dia pasti akan keluar untuk menemui Hong-
tian-soh. Akhirnya Hun Ho sian-tiang menghela napas, "Karena jelas toheng sekalian tak
menginginkan kaca itu, lebih baik kita lekas2 tinggalkan tempat ini agar
terhindar dari kekeruhan." Sekalian orang termenung diam, Saat itu matahari sudah condong ke barat. Di
telaga itu secara kebetulan, Gin Liong telah menemukan Ma Toa Kong, berjumpa
dengan Swat-thian Sam-yu dan bertemu pula dengan sumoaynya Ki Yok-lan serta
Hu Ho sian-tiang. Dia gembira sekali.
Kini tinggal satu tujuan lagi ialah mengejar jejak Ban Hong liong-li untuk
meminta keterangan siapakah sesungguhnya yang telah membunuh suhunya.
Setitikpun Gin Liong tak mengandung hasrat untuk memiliki kaca wasiat itu, ia
masih mempunyai lain tugas penting, Kelika ia hendak menghaturkan terima kasih
kepada Hun Ho sian-tiang yang telah menolong sumoaynya, tiba2 orang tua itu
menengadahkan memandang kelangit.
"To-heng" katanya, hari sudah menjelang petang, mari kita pergi"
Swat-thian Sam-yu mengangguk dan mengikuti langkah Hun Ho sian-tiang. Gin
Liong berlima baru mengetahui bahwa Hun Ho sian-tiang mengundang Swat-thian
Sam-yu ke pulau Hong-lay-to.
Sambil mengurut jenggotnya yang indah, Hun Ho sian-tiang berkata kepada Ki Yok
Lan: "Lan-ji, kebetulan sekali ditempat ini engkau dapat menemukan suhengmu, Lebih
baik kalian pergi bersama-sama."
Kemudian dengan wajah serius, tokoh itu memberi pesanan kepada Yok Lan:
"Harap engkau ingat baik2 pelajaran itu dan berlatihlah dengan tekun, Kelak
tentu berhasil." Dengan berlinang-linang air mata, Ki Yok Lan segera berlutut menghaturkan terima
kasih atas budi kebaikan orang tua sakti itu.
"Bangunlah!" seru Hun Ho siantiang seraya kebutkan dengan jubahnya, Tahu2
tubuh Yok Lan terangkat berdiri.
Melihat itu diam2 Gin Liong girang sekali, ia tahu bahwa sumoaynya telah
diterima sebagai murid tak resmi oleh Hun Ho sian-tiang.
Swat-thian Sam-yu juga memberi pesan kepada Gin Liong dan Yok Lan agar berhati-
hati dan waspada dalam perjalanan keselatan itu.
Demikian keempat tokoh sakti itu segera berpisah dengan rombongan anak muda
dan menuju ke puncak gunung sebelah kiri.
Setelah mereka lenyap dari pandang rnata, Gin Liong pun bertanya kepada Tek
Cun: "Liok-ko, apakah engkau masih kuat untuk menggunakan ginkang?"
Tek Cun mengatakan hendak mencobanya. Tetapi ketika berjalan, Yok Lan cepat
dapat melihat bahwa pemuda itu terlalu maksa diri.
"Liok-ko," seru Yok Lan," biarlah aku bersama Liong koko memapahmu berjalan,
Lukamu baru sembuh, tak boleh terlalu banyak menggunakan tenaga."
Tetapi Tek Cun menolak: "Lebih baik kucobanya dulu, Apalagi diluar lembah masih
ada kuda kita, Asal jangan terlalu cepat, aku masih dapat mengimbangi kalian."
25. Tiga durjana Pada saat itu Tek Cun mendapatkan dalam diri Yok Lan sifat2 kehalusan budi,
kesungguhan hati, kejujuran dan kepolosan. Suatu sifat yang tak dimiliki
adiknya, Tio Li Kun. Waktu berjalan, Gin Liong menyempatkan diri untuk berpaling. Di tengah telaga
tampak sinar kaca wasiat itu masih memancar terang.
Kemudian waktu tiba ditempat pertempuran antara Hian Leng dan Biau Liang,
ternyata ke-enam imam tua yang ditutuk jalan darahnya itu sudah tak kelihatan
berada disitu lagi. "Hm, kawanan imam hidung kerbau itu memang tak tahu diri. Kepandaiannya
begitu rendah tetapi berani menghadang kita," Mo Lan Hwa mendengus.
Gin Liong hanya tertawa ketika mendengar jelita itu juga menggunakan sebutan
"imam hidung kerbau" seperti yang dilakukan Swat thiau Sam-yu terhadap Hun Ho
sian-tiang. Huak!, tiba2 Tek Cun muntahkan segumpal darah segar dan terhuyung-huyung
rubuh ke tanah. Mo Lan Hwa yang berada paling dekat, cepat loncat
menyanggapinya. Tek Cun gemetar tubuhnya dan lunglai tak bertenaga.
Sudah tentu Gin Liong beramai-ramai sibuk memberi pertolongan Mereka
membantu supaya Tek Cun yang saat itu rebah dipangkuan Mo Lan Hwa dapat
duduk tegak, kemudian Gin Liong segera menyalurkan tenaga dalam kepinggang
Tek Cun, sedang ketiga gadis itu menjaga disamping kanan kirinya.
Setelah wajah Tek Cun tampak merah barulah Tio Li Kun menyuruhnya supaya
menyalurkan pernapasan untuk menyambut saluran tenaga dalam dari Gin Liong.
Tiba2 terdengar suara langkah orang berlari dari arah lembah. Li Kun, Yok Lan
terkejut dan serentak berpaling. Tiga sosok tubuh muncul dari bagian dalam
lembah dan dengan gerak yang amat cepat mereka telah melintasi hutan menuju
kearah rombongan anak2 muda itu.
"Taci Kun, kurasa mereka tentu bermaksud tak baik," kata Lan Hwa.
"Bagaimana tandanya?" tanya Li Kun seraya berbangkit dan memandang kearah
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketiga pendatang itu. Lan Hwa sejenak memandang dengan seksama lalu berkata lagi: "Taci Kun, lihatlah
sinar mata mereka yang begitu berkilat-kilat seperti mencari sesuatu..."
"Ya, lebih baik kita berhati-hati," kata Li Kun, "menilik sinar mata dan ginkang
mereka, tentulah bukan jago silat sembarangan. Apabila sampai bertempur, supaya
hati2." Kemudian ia minta Lan Hwa dan Yok Lan menjaga Tek Cun. Dia sendiri yang akan
menghadapi ketiga pendatang itu.
Ketiga sosok bayangan itu dengan cepat telah tiba, sebenarnya Li Kun sudah mau
duduk kembali dan menghiraukan mereka tetapi tiba2 mereka berseru: "Hai,
berhenti!" Karena disekeliling tempat itu tiada lain orang lagi, Li Kun dan Lan Hwa tahu
kalau seruan orang itu ditujukan kepada mereka berdua, Kedua nona itu marah dan
cepat berputar tubuh. Ternyata ketiga pendatang yang lari mendatangi itu terdiri dari orang lelaki
yang berbeda umurnya satu sama lain.
Yang disebelah tengah, seorang tua berambut dan jenggot putih, beralis panjang
menjulai kebawah. Matanya hanya satu dan mulut perot, Mengenakan pakaian
warna biru dan memegang sebatang tongkat berkepala naga. Sambil memerotkan
mulut, matanya yang tinggal satu itu ber-kilat2 memandang rombongan anak2
muda. Yang sebelah kanan berumur empat puluh lima - empat puluh enam tahun. rambut
dan jenggotnya kelabu, mulutnya lancip, hidung besar dan kedua telinganya
hilang, wajahnya hitam, mata bundar mengenakan kain hitam dan memegang sebatang
kait baja yang dilumuri racun. Seram dan menakutkan orang.
Yang sebelah kiri seorang lelaki berumur tiga puluhan tahun lebih, Alisnya
seperti daun liu, mata seperti bunga tho dan kulitnya putih seperti salju, Rambutnya
berminyak, pipi berbedak dan rambut memanjang sampai kebahu, Mengenakan
baju sutera kembang dan menyanggul sebatang pedang pedang bengkok, sepintas
menyerupai seorang banci, menimbulkan kesan yang memuakkan.
Ketiga pendatang itu dengan wajah gusar memandang kedua nona Lan Hwa dan Li
Kun. "Cici, ketiga orang itu mungkin Ce-tang Sam sat"
"Bagaimana engkau tahu?" tanya Li Kun.
"Pernah kudengar dari toa-suheng tentang pakaian, wajah dan umur mereka,
Apalagi tokoh yang ketiga, laki2 bukan, perempuan pun bukan.
Saat itu Ce-tang Sam-sat sudah tiba tiga tombak didepan mereka,
Toa-sat atau tokoh kesatu dari Ce-tang Sam sat yang bergelar Boan-liong-kun atau
Tongkat-naga melingkar, tertawa mengekeh,
"Heh, heh. menilik pakaianmu, kalian ini tentu datang dari Kwan-gwa..."
Mendengar itu Mo Lan Hwa marah dan cepat menukas: "Tutup mulutmu! Apa
pedulimu dengan asal usulku?"
Ji-sat atau tokoh nomor dua yang bergelar Toh-beng-kau atau Kait-pencabut-
nyawa, menyeringai lalu membentak keras:
"Budak hina, jangan banyak omong! Lekas serahkan kaca wasiat itu agar jangan
menimbulkan kemarahanku."
Sudah tentu Li Kun dan Mo Lan Hwa marah bukan main, Gin Liong yang tengah
duduk bersila pejamkan mata, pun sejenak membuka mata memandang ketiga
pendatang itu lalu pejamkan mata lagi.
Ki Yok Lan serentak bangun dan terus menyahut: "Kalian salah alamat, Kaca wasiat
itu berada di atas batu ditengah telaga"
Belum Yok Lan selesai bicara, ketiga durjana itu sudah tertawa gelak2: "Ha, ha,
Pemanah Sakti Bertangan Seribu 1 Pendekar Slebor 39 Pulau Kera Kucing Suruhan 12
tampak dinding tembok markas mereka yang tinggi.
Dengan mata berapi-api buas, kedelapan orang itu secara pelahan-lahan maju
menghampiri ke tempat Gin Liong berlima.
"Liong-te, mereka itulah Pat-koay." Li Kun melesat kesamping Gin-liong dan
membisiki. Yang didepan dari rombongan Pat-koay itu kepalanya gundul, rambut putih, hidung
bengkok, umurnya 70-an tahun, mengenakan jubah yang panjang sampai menyapu
tanah. Dia adalah Raja-wali-gundul-lengan-besi Gui Se Leng, jago pertama dari
Pat- koay. Dibelakang dua orang, yang satu rambut dan jenggotnya kelabu, matanya tinggal
satu, alis panjang mengenakan pakaian warna kelabu, namanya Li Ko Ceng bergelar
Tok-gan-liong atau Naga-mata-satu, Dan yang satunya adalah seorang paderi
bermata besar, alis tebal, dada penuh rambut lebat Toa To hwesio atau paderi
perut Besar demikian nama gelarannya.
Dua orang dibelakangnya lagi, yang satu bermuka pucat, mengenakan baju dari
kain kasar, Dia adalah jago keempat dari Pat-koay. julukannya Hwat-kian-si atau
Mayat Hidup, Dan yang seorang, beralis naik, mata cekung mengenakan pakaian
hitam. Dia adalah Ngo-koay atau jago kelima, bergelar Hek-bu-siang atau setan
hitam. Disamping kiri dari kelima Pat-koay itu, seorang lelaki yang rambutnya terurai
kebelakang, pakaian compang camping, Dia adalah Lak-pian-seng atau Manusia
Kotor. Sebelah samping kanan, seorang wanita yang dandanannya menyolok selain
Hoa-ciau-hong atau Bunga-mengundang-kumbang demikian gelaran wanita cabul
itu. Dan paling belakang sendiri seorang lelaki berumur 30-tahun lebih, mengerjakan
pakaian warna meraih mukanya berbedak, rambut kelimis, tubuhnya kurus. Dia
adalah Hun-tiap-sam-long atau pemuda Kupu-berbedak, yang baru dua jam
berselang kembali ke gunung.
Demi melihat Gin Liong dan Mo Lan Hwa yang pernah dilihatnya didalam kota
Hong-shia seketika berobahlah wajah Hun-tiap Sam-long, ia segera tahu maksud
kedatangan kelima pemuda itu. Maka dia tak berani unjuk diri dimuka melainkan
berada dibelakang rombongannya.
Saat itu rombongan Pat-koay sudah tiba pada jarak tujuh tombak. Serentak
Bidadari gunung Mo-thian-san Tio Li Kun menunjuk ke arah Hun-tiap Sam-long.
"Liong-te, yang dibelakang sendiri itu adalah Hun-tiap Sam-long . . ."
Gin Liong serentak berteriak gusar: "Penjahat cabul, serahkan jiwamu . . . ." ia
terus meluncur maju untuk menyerang.
"Liong-te, jangan . . . ," teriak Tio Li Kun. Tetapi terlambat, Gin Liong sudah
menyerbu diantara Hek-bu-siang dan wanita cabul Hoa-ciau-hong.
Yang dipandang sebagai lawan berat oleh Pat-koay, hanyalah Tek Cun dan si jelita
Li Kun dari ke tujuh persaudaraan Tio. Gin Liong dan Mo Lan Hwa tak dipandang
mata. "Budak, berhenti . . .!" bentak Rajawali-gundul-lengan-besi. Tetapi saat itu Gin
Liong sudah berada di depan Hek-bu-siang dan Hoa-ciau-hong.
Hek-bu-siang cepat tutukkan jarinya yang kurus kepinggang Gin Liong. Tetapi
tanpa menghiraukannya, Gin Liong menyelinap dan meneruskan serbuannya hepada Hun
tiap Sam-long. Apabila Hek-bu-siang tercengang adalah Hoa-ciau-hong sudah menghantam muka
Gin Liong. "Enyah !" bentak Gin Liong segera balas menghantam bahu kiri wanita itu, Dan
serempak iapun terus menyelinap ke arah Hun-tiap Sam-long.
Melihat gerakan yang begitu tangkas dari Gin Liong, Hun-tiap Sam-long menjerit
dan buru2 loncat ketempat Toa To hweshio, Tetapi Gin Liong lebihh cepat. Sekali
loncat ia ayunkan tangannya ke-ubun2 kepala orang.
"Liong-te, jangan dibunuh!" teriak Tio Li Kun.
Rupanya Gin Liong tahu apa yang dimaksud si jelita itu. Cepat ia turunkan tangan
untuk mencengkeram dada Hun-tiap Sam-long.
Paderi Perut Besar mengurung dan cepat menghantam punggung Gin Liong. Tetapi
pemuda itu hanya tertawa dingin, mendorong tubuh Hun-tiap Sam-long lalu
berputar tubuh dan mendorongkan tangan kanannya.
Terdengar letupan keras diiring oleh jeritan aneh ketika tubuh dari paderi itu
terlempar berguling sampai tiga tombak jauhnya.
Tek Cun berempat pun sudah loncat kebelakang Gin Liong Sedang si Manusia-kotor
segera lari menghampiri Toa To hweshio, paderi itu duduk sandarkan tubuh pada
kaki Manusia-kotor, Pandang matanya ber-kunang2, mulut menganga terengah-
engah keras. Suasana serentak sunyi senyap, Thiat-san Pat-koay terkejut memandang Gin Liong,
Mereka tak menyangka kalau pemuda tak terkenal itu memiliki tenaga dalam yang
sedemikian saktinya. Hanya sekali hantam, Toa To hweshio, pemimpin ketiga dari
kawanan Pat-koay telah terlempar sampai tiga tombak.
"Penjahat cabul yang tak tahu malu. Lekas bilang, dimana sumoayku engkau
sembunyikan!" bentak Gin Liong seraya menuding Hun-tiap Sam-long..
Rajawali-gundul tertama angkuh:
"Budak bermulut tajam, jelas engkau hendak jual jiwa bekerja pada persaudaraan
Tio untuk merampok gunung ini, mengapa engkau cari alasan segala macam . . ."
"Bangsat tua, tutup mulutmu!" bentak Tek Cun, mencabut trisula pendek terus
menyerang. Serangan Tek Cun itu cepat disambut oleh Hua-ciau-hong yang sejak tadi marah
melihat tingkah laku Gin Liong dan Tek Cun. Tetapi wanita cabul itu pun segera
disongsong oleh Mo Lan Hwa yang membabat lambungnya.
Tiba2 Toa To hweshio loncat berdiri terus menggerung dan menyerang Gin Liong.
Melihat Tek Cun sudah melayani Hoa-ciau-hong, Mo Lan Hwa segera beralih
menyerang kepala Toa To hweshio.
Tetapi paderi perut Besar itu tak mau menangkis atau menghindar melainkan tetap
ulurkan tangannya hendak meraih leher Mo Lan Hwa.
"Tring..." Mo Lan Hwa terkesiap, Ternyata gundul Toa To hweshhio itu sekeras baja, Dan
dalam pada itu tangan si paderipun hampir tiba dileher si nona.
-ooo0ooo- 20. Lima nyonya menantu. Gin liong terkejut Cepat ia meluncur maju menyambar siku lengan paderi itu:
"Bangsat gundul, engkau cari mati . . . "
Tay To hweshio atau paderi perut Besar terkejut juga melihat serangan anak muda
itu. Dengan nekad ia tundukkan kepala lalu membentur dada Gin Liong.
Dalam kesempatan itu Mo Lan Hwa pun segera menggeliat ketempat Li Kun yang
tegak dengan pedang melintang.
Tetapi Gin Liong tak mau melayani kenekadan paderi itu, Cepat ia menyelinap
kesamping dan menyusup kebelakang si paderi lalu mengirim sebuah tendangan.
Karena serudukannya luput, paderi itu meluncur kemuka, Dan kaki Gin Liong
mempercepat laju tubuhnya menyusur ke tempat Thiat-lo-han.
Si limbung Thiat-lo-han menyengir. Cepat ia mengangkat tinjunya yang besar untuk
dihantamkan kebatok kepala paderi itu.
Hwat-kiang-si dan Hek-bu-siong terkejut sekali, Dengan memekik keras mereka
serempak hendak menerjang Thiat-lo-han.
Prakk . . . . Terlambat Tinju si limbung yang besarnya hampir sama dengan buah kepala, telah
terlanjur menimpali kepala Tay To hweshio, Batok kepala paderi Perut Besar yang
keras, akhirnya hancur berantakan juga terhunjam tinju si limbung Thiat-lo-han.
Rubuhlah paderi itu. sepasang tangannya yang berbulu lebat mencengkeram tanah
keras2. Rupanya paderi itu tengah meregang jiwa dengan penasaran.
Sudah tentu Rajawali-gundul-lengan-besi Gui Se Leng, kepala dari Pat-koay, marah
sekali. Dengan menggerung keras ia segera menerjang Thiat-lo-han.
Tetapi serempak dengan itu, terdengar pula jeritan ngeri. Rajawali-gundul
terkejut dan berpaling. Ah . . . Tampak Siu-bun-hou Tek Cun dengan mencabut trisulanya yang pendek dari dada
wanita cabul Hoa ciau-hong. Bluk, wanita cabul itu lepaskan pedang dan terkulai
rubuh, Darah mengalir dari dadanya
Melihat itu bukan kepalang marah Hun tiap sam-long, dengan meradang dahsyat ia
telah menerobos dari sela2 Tok-gan liong serta menerjang Tek Cung.
Tetapi cepat2 Gin Liong menambar lengan Hun tiap sam-long sehingga dia menjerit
kesakitan. Melihat itu Rajawali gundul Gui Se Liang segera lepaskan pukulan Lat hiat Hoa-
san atau menghantam gunung Hoa san kepada Gin Liong, sedang tangan kirinya
serempak menyambar siku lengan pemuda itu.
Sekaligus ketua dari Pat-koay itu melancarkan serangan yang dahsyat.
Bidadari dari gunung Mo-thian, Tio Li Kun terkejut, buru2 ia loncat menusuk
Rajawali gundul. Lak pian-seng atau si Manusia kotor kebutkan lengan bajunya dan sebuah kipas
besi telah menyembul ditangannya. Secepat ditaburkan, secepat itu pun ia terus
lari menerjang Tio Li Kun.
Setelah dapat menangkap si penjahat cabul Hun-tiap sam-long, sudah tentu Gin
Liong tak mau melepaskannya. Cepat ia loncat membawa Hun-tiap sam-long
sampai dua tombak jauhnya.
Pada saat Gin-liong tegak itulah, sebuah pekikan dahsyat dari sesosok bayangan
biru sudah menerjangnya. Gin Liong terkejut dan berpaling. Tampak Pat-koay nomor dua ialah Naga-mata-
satu, rambutnya meregang tegak, biji matanya yang tinggal satu bersinar buas,
golok hian-to yang berkilat-kilat tajam mendesing kearahnya.
Dalam pada itu pukulan Rajawali-gundul tadipun mengancam kearah kepala Gin
Liong. Melihat itu memancarlah hawa pembunuhan pada dahi Gin Liong, Dengan
membentak keras ia mendorong tubuh Hun-tiap-sam-long. Kemudian cepat
berputar tubuh, membentak keras seraya menangkis pukulan Rajawali-gundul yang
termasyhur memiliki Thiat-pi atau lengan besi.
Tiba2 terdengar jeritan melolong yang amat ngeri sekali. Ternyata karena tubuh
Hun-tiap-sam-long didorong ketempat Naga-mata-satu, si Naga-mata-satu tak
sempat lagi untuk menarik atau menghentikan gerakan goloknya yang hendak
disabetkan pada Gin Liong.
Golok bunto adalah sebuah golok yang amat tipis dan tajam luar biasa. Tak ampun
lagi tubuh Hun-tiap-sam-long telah terbelah menjadi dua, darah menyembur dan isi
perutnya pun berhamburan keluar.
Krak... Saat itu terjadilah benturan antara tangan Gin Liong dan tangan Rajawali-gundul.
Sepasang bahu Gin Liong bergetar tetapi Rajawali-gundul tergempur kuda2 kakinya
sehingga terhuyung-huyung mundur sampai tiga langkah.
Terdengar pekik melengking segumpal asap merah meluncur dan Mo Lan Hwa
menghadang si Naga-mata satu, Pat-koay nomor dua yang telah salah tangan
membunuh Hun-tiap-sam-long.
Gin Liong menyempatkan diri untuk memandang kesekeliling, Dilihatnya si limbung
Thiat-lo-han tengah bertempur melawan Hek-bu-siong. Si jelita Tio Li Kun tengah
melayani Lak-pian-seng si Manusia-kotor, Tek Cun bertanding lawan Hi-kiang-si
atau si Mayat-hidup. Keenam orang yang bertempur dalam tiga partai itu, tampak
sedang bertempur mati-matian.
Sedangkan beratus-ratus anak buah Pat-koay tampak berjajar-jajar disekeliling
gelanggang bertempur dengan membawa obor, Mereka terlongong-longong
menyaksikan pertempuran yang dahsyat itu.
Tiba2 dari tengah lereng gunung disebelah muka, terdengar lima buah letusan
bunga api. Percikan bunga api itu menimbulkan pemandangan indah dimalam yang
gelap. Tetapi lokoay Rajawali-gundul serentak berobah seri wajahnya, Beratus-ratus anak
buahnya pun segera bersorak nyaring lalu berhamburan lari menuju ke gunung
dimuka itu. Gin-liong segera tahu bahwa tentu ada pula kawanan ko-jiu (tokoh sakti) yang
menyerbu gunung. Tiba2 Rajawali gundul tertawa nyaring dan seram. Selekas berhenti, ia menghardik
sekeras-kerasnya: "Berhenti semua !"
Serentak pertempuran pun berhenti, Hek-bu siong, Hwat-kiang-si, Lak-pian-seng
dan Naga-mata-satu segera berhamburan loncat kebelakang Rajawali-gundul.
Wajah mereka tampak tegang sekali dan memandang ke arah gunung disebelah
muka. Pun Tek Cum, Thiat-lo-han. Tio Li Kun dan Mo-lan Hwa pun segera meluncur
kemuka Gin Liong, Mereka tak tahu apa yang terjadi.
Dengan mata berkilat-kilat, Rajawali-gundul membentak Tek Cun:
"Siau bun-hou, kami dari gunung Thiat-san tak merasa mempunyai dendam
permusuhan kepadamu Tetapi mengapa ketujuh saudaramu malam ini menyerang
gunung kami" Apa maksudnya, katakanlah !"
Tek Cun kerutkan dahi dan menyahut marah sekali:
"Kedatangan kami bersaudara bersama Siau-sauhiap kemari, tak lain hendak
meminta kembali nona Ki yang telah dirampas Hun-tiong-sam-long di rumah
penginapan kota Hong-shia ...."
"Kalau mau minta orang mengapa tak secara terang-terang datang ke gunung?"
tukas si Naga-mata-satu dengan marah.
Karena dirinya tak ditanya. Thiat-lohan merasa terhina. ia marah. sebelum Tek
Cun menyahut ia sudah mendahului membentak dengan deliki mata:
"Ke gunung mau cari siapa" sepanjang jalan aku tak ketemu dengan seorang
manusia pun juga. Kukira sekalian sudah mati semua." .
Naga-mata-satu tak dapat menjawab, dari malu ia menjadi marah, bentaknya:
"Budak kecil yang bermulut besar..." golok bian-to berhamburan mencurah kearah
Thiat-lo-han. Tahu kalau engkohnya yang nomor lima tak dapat menandingi kesaktian Naga-
mata-satu. Bidadari-gunung-Mothian Tio Li Kun segera melengking seraya taburkan
pedangnya menyongsong golok bianto.
Naga-mata-satu tertawa gelak2:
"Bagus, bagus! Dengan membunuh kalian bertujuh Jit-hiong, tentu bakal menjadi
enghiong (jago)!" Tiba2 permainan golok bian-to dirobah, Golok itu bergeliat membolak-balik
seperti seekor ular, Naga-mata-satu telah mengerahkan seluruh tenaga dan
kepandaiannya untuk menyerang.
Si cantik Tio Li Kung hanya tertawa dingin. ia salurkan hawa murni kebatang
pedang dan menggunakan cara kekerasan untuk menangkis dan adu benturan senjata. Dia
sengaja tak mau menghindar maupun menarik pedangnya. Dengan kelincahannya
yang mengagumkan, si cantik Tio Li Kun dengan pedangnya itu benar2 menyerupai
seorang bidadari yang sedang bermain-main dalam taman bunga.
Lama kelamaan mata si Naga-mata-satu yang tinggal sebuah itu mulai berkunang-
kunang. Makin lama ia makin merasa gentar, Saat itu baru ia membuktikan bahwa
si jelita Tio Li Kun yang disohorkan memiliki kepandaian silat dan ilmu pedang
sakti itu, ternyata memang benar.
Lak-pian-seng atau si Manusia-kotor yang menyaksikan pertempuran itu dari
samping, diam2 pun merasa gentar dalam hati. Saat itu baru ia menyadari bahwa
tadi ternyata si cantik itu memang sengaja tak mau mendesak kepadanya.
"Ji-te, mundurlah!" melihat Naga-mata-satu tak dapat bertahan, cepat Rajawali-
gundul berseru memanggilnya.
"Jit-moay, mundurlah!" Thiat lo-han si limbung pun tak mau kalah suara, ia
menyuruh adiknya yang nomor tujuh.
Mendengar teriakan itu, kedua pihak pun berhenti bertempur.
Sementara di gunung sebelah muka, terdengar letusan2 keras dan pekik jeritan
pembunuhan. "Siau bun-hou, sebenarnya berapa banyak orangmu yang datang kemari ?" teriak
Rajawali-gundul Gui Se Ling kepada Tek Cun.
Tek Cun mendengus marah. "Sekali lagi kukatakan, bahwa kami hanya datang berlima. Orang2 yang digunung
sebelah muka itu, bukan orang kami."
Melihat sikap dan wajah kelima pemuda itu, Rajawali-gundul percaya bahwa
mereka memang tak bohong, Segera ia berpaling memberi perintah kepada Hwat
kiang-si dan Hek bu-siong supaya lekas ke gunung disebelah muka.
Kedua orang itupun segera lari pesat menuju ke gunung disebelah mula, Mereka
bercuit aneh dan nyaring. Segera terdengar teriak sambutan dari gunung dimuka,
Rupanya mereka girang karena mendapat bala bantuan.
Pun lebih dari separoh anak buah gunung Thiat-san yang segera tinggalkan tempat
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu menuju ke gunung di muka.
Melihat itu Gin Liong makin gelisah, ia mencemaskan Ki Yok Lan
Rupanya Mo Lan Hwa tahu apa yang dipikirkan Gin Liong, Segera ia menuding
Rajawali-gundul dengan ujung pedang dan berseru:
"Lekas bawa kami ketempat nona Ki. Kalau tidak, jangan sesalkan aku bertindak
kejam." Rupanya sejak kalah dengan Tio Li Kun tadi, si Naga-mata-satu tetap malu dan
mendongkol, Melihat Mo Lan Hwa berani menuding dan membentak Rajawah-
gundul, ia tak dapat menahan kemarahannya lagi.
"Tutup mulutmu, budak hina . . ."
"Sejak berumur delapan tahun terjun kedunia persilatan, sampai sekarang belum
pernah ada orang yang berani memaki aku, Salju-bertebar-merah seorang budak
hina!" Ia menutup kata-katanya dengan tebarkan pedang kearah Naga-mata-satu.
Mendengar nona itu ternyata Salju-bertebar merah Mo Lan Hwa, seketika Rajawali-
gundul, Naga-mata-satu dan Lak-pian-seng berobah wajahnya.
"Harap nona suka berhenti," cepat Rajawali gundul berseru.
Mo Lan Hwa pun hentikan pedangnya, "Ji-te, mari lekas pergi, yang datang di
gunung sebelah muka itu mungkin Swat-thian Sam-yu!"
Ketua Pat-koay itu terus melambung ke udara dan melayang sampai beberapa
tombak jauhnya, ia hendak menuju ke gunung di muka.
Mendengar nama Sam-yu, Naga-mata-satu dan Lak-pian-seng tergetar hatinya.
Segera kedua nya mengikuti jejak Rajawali-gundul, menuju ke gunung di muka.
Demikian keadaan dalam lembah pun tampak sibuk sekali. Anak buah gunung
Thiat-san berbondong-bondong menyerbu ke gunung disebelah muka.
Keadaan di gunung itu makin kacau, Jerit lolong, pekik teriak, susul menyusul
memecah kesunyian malam. Gin Liong sibuk juga. Dia tak menghiraukan apa yang terjadi di gunung sebelah
muka. Yang penting ia harus menyelamatkan sumoaynya.
"Liongte," tiba2 Tek Cun berkata, "selagi mereka kacau balau, mari kita masuk
kemarkas mereka." Tetapi ketika memandang kearah markas gunung Thiat-san, mereka terkejut.
"Markas Thiat-san dibakar orang!" serempak mereka berseru kaget.
Markas kawanan Pat-koay telah dimakan api. Anak buahnya menjerit dan
berteriak-teriak kacau balau.
"Celaka, apakah nona Ki masih berada dalam markas mereka," tiba2 Mo Lan Hwa
berseru cemas, Gin Liong terkejut, Tetapi karena Hun-tiap-sam-long sudah mati, sukar untuk
mencari keterangan. Saat itu letusan2 terdengar makin meluas, Hampir seluruh lembah dan gunung
telah dimakan api. Tiba2 dari arah belakang terdengar suitan nyaring yang penuh bernada kemarahan.
Cepat Gin Liong berlima berpaling kebelakang. Tampak Rajawali gundul. Naga-
mata-satu dan Lak pian-seng berlari-lari mendatangi seperti orang gila. Rambut
mereka terurai kusut, pakaian lusuh. Mereka lari menuju ke markas yang tengah
dibakar api. Seorang lelaki pun tengah berlari mengejarnya. Rupanya dia adalah
penyerang dari gunung di sebelah muka.
"Adik Liong, mari kita ikuti mereka, Mungkin nona Ki masih berada dalam markas,"
kata Mo Lan Hwa. Gin Liong mengangguk. Mereka berlima segera mengejar dibelakang mereka.
Markas seperti berobah menjadi lautan api. Keadaan sekitar gunung itu terang
benderang seperti siang hari.
Dinding tembok markas dibangun setinggi lima tombak, terbuat dari batu yang
kokoh, Diatas tembok dipasangi pagar kayu yang ujungnya diberi pisau tajam.
Tetapi kelima pemuda itu tak menjumpai rintangan apa2 ketika mereka loncat
keatas pagar tembok itu. Tampak markas itu penuh dengan bangunan2 rumah,
Yang paling besar, sebuah bangunan bertingkah Di tengahnya terdapat sebuah
ruang besar. Api berasal dari belakang markas dan saat itu tengah meranggas kebagian muka.
Setelah melihat keadaan markas itu sunyi senyap, Gin Liong memberi isyarat untuk
bergerak, ia mendahului melayang turun, Tetapi baru kakinya tiba ditanah, tiba2
terdengar Mo Lan Hwa menjerit tertahan.
Gin Liong terkejut dan cepat berpaling, Ternyata Mo Lan Hwa dan Tio Li Kun sudah
menyerbu kederetan rumah disebelah kiri.
Bekas tempat yang ditempuh kedua nona itu tampak tiga anak buah Pat-koay
sedang terkapar tidur nyenyak.
Si limbung Thiat-lo han yang sudah loncat turun bersama Tek Cun, terus langsung
menghampiri ketiga anak buah itu dan mencongkel tubuh mereka dengan kakinya,
Tetapi rupanya ketiga orang itu tidur pulas sekali.
"Ah, mungkin mereka telah ditutuk jalan darahnya oleh orang yang melepas api,"
kata Gin Liong. Tek Cun segera membuka jalan darah mereka. Seketika menjeritlah dan melonjak
bangunlah ketiga orang itu. Bahkan terus hendak menabas dengan goloknya,
Tetapi ketika melihat sikap kelima pemuda itu tenang2 saja, mereka pun tertegun.
"Apakah kalian bertemu dengan orang sakti?" tegur Gin Liong.
Melihat Gin Liong seorang yang cukup sopan, ketiga orang itupun segera memberi
keterangan: "Entahlah, kami hanya merasa dihembus angin dan tahu2 rubuh tak
sadarkan diri lagi."
Gin Liong berlima diam2 terkejut, jelas malam itu markas gunung Thiat-san telah
kedatangan seorang tokoh yang sakti.
"Apakah paman bertiga mengetahui jit-saycu Hun-tip sam-long dikala pulang ke
gunung, membawa apa saja?" tiba2 Mo Lan Hwa bertanya.
"Kami tak melihat Jit saycu pulang," kata mereka.
Rupanya percuma saja bertanya dengan ketiga orang itu. Gin Liong dan kawan-
kawannya segera loncat ke atas rumah dan lari menuju ketempat kebakaran.
Saat itu api makin besar, Anak buah Pat-koay berbondong-bondong menuju ke
markas belakang. Gin Liong berunding dengan keempat temannya dan memutuskan untuk
menangkap beberapa anak buah markas yang tahu tentang keadaan Hun-tiap-sam-
long. Mereka segera menuju ke markas belakang. Tampak beratus-ratus anak buah
Thiat-san hanya berteriak-teriak kalap menyaksikan lautan api tanpa dapat
berbuat apa2. Demikian pula Rajawali-gundul, Naga-mata-satu dan Lak-pian-seng hanya
bingung tak keruan menyaksikan markasnya dimakan api.
Tiba2 dari jendela tingkat kedua dari sebuah bangunan disebelah kiri, tampak
menyala terang. Gin Liong tertarik Cepat ia lari menuju ke rumah tingkat itu. Tek Cun berempat
pun segera mengikuti Gin Liong loncat ke atas wuwungan sebuah rumah tetapi masih
kurang tujuh tombak tingginya dari tempat yang menyala itu. Setelah mengempos
semangat, Gin Liong segera enjot tubuhnya ke udara. Ditengah udara ia
bergeliatan merentang kedua tangan dan langsung melayang kearah jendela ruang bertingkat
itu. Tiba2 jendela terbuka dan dua kepala wanita muda menyembul keluar, Gin Liong
pun menuju ke jendela itu. Dalam pada itu karena takut terjadi apa2 pada Gin
Liong, Mo Lan Hwa dan Tio Li Kunpun menyusul.
Kedua wanita itu terkejut dan melarikan diri karena takut Gin Liong cepat
mengejar mereka, Kedua wanita itu segera jatuhkan diri berlutut dan menangis.
"Jangan takut, kami hendak bertanya kepada kalian," Mo Lan Hwa berkata dengan
ramah, ia tahu kedua wanita itu tak mengerti ilmu silat.
Dengan tubuh gemetar mereka mengangguk
"Kali ini Hun-tiap-sam-long jit-saycu pulang dengan membawa seorang gadis.
Tahukah kalian dimana nona itu?" tanya Mo Lan Hwa.
"O, nona Ki tidak berada dalam markas," sahut salah seorang yang lebih tua.
"Dimana?" seru Gin Liong.
Wanita itu menghampiri jendela lalu menunjuk sebuah puncak gunung di sebelah
tenggara dan memberi keterangan:
"Karena takut pada li-saycu Hoa-ciau-hong, maka jit-saycu Hun-tiap-sam-long
telah menempatkan nona Ki di puncak itu. Salah seorang kawan kami ditugaskan untuk
membujuk agar nona Ki mau meluluskan menikah dengan jit-saycu."
Gin Liong girang, Setelah menghaturkan terima kasih segera ia ajak kedua nona
melayang turun lagi ketempat Tek Cun dan Thiat-lo-han menunggu, Mereka
berlima segera menuju ke puncak itu.
Tetapi tiba2 pada saat itu Rajawali-gundul, Hek-bu-siong dan Lak-Pian-seng
berlima menghadang jalan. "Serahkan jiwa kalian berlima!" teriak Rajawali-gundul seraya menyerang dengan
kalap. karena hendak cepat2 menuju ke puncak di sebelah tenggara, Gin Liong tak
bernafsu untuk melayani lebih lama. Segera ia songsongkan kedua tangannya,
Terdengar letupan keras dan Rajawali-gundul pun terhuyung-huyung mundur. Atap
rumah yang dipijaknya berhamburan pecah. Naga mata-satu cepat loncat untuk
memapaki tubuh Rajawali-gundul.
Beberapa anak buah Thiat-san pun segera berdatangan ke tempat itu. Tetapi pada
lain saat dari pagar tembok markas yang tinggi, meluncur lima sosok tubuh kecil
yang terus lari menghampiri ke tempat Gin Liong.
Gin Liong terkejut. Kelima sosok tubuh kecil itu tak lain adalah kelima ensoh
atau taci ipar dari Tek Cun. Mereka mengenakan pakaian ringkas dan masing2
menyanggul pedang pada belakang bahunya.
Toasoh atau taci ipar yang paling besar, mengenakan baju warna kuning muda. Ji-
soh atau yang nomor dua mengenakan baju biru, ensoh yang ketiga baju wungu
muda, yang ke empat baju hijau. Sedang isteri si limbung Thiat-lo han yang juga
ikut datang, memakai baju hijau tua.
Jika Gin Liong heran, tidaklah demikian dengan Thiat-lo-han yang tertawa karena
melihat isterinya datang.
"Ensoh sekalian, mengapa kalian kemari?" tegur Tio Li Kun.
"Mamahlah yang menyuruh kami menyusul karena tak tega dan kuatir kalian akan
mendapat kesulitan dari Pat-koay," sahut ensoh yang tertua.
"Hai, Siau Bun hou, apakah wanita2 busuk itu tak mempunyai hubungan dengan
engkau?" teriak Rajawali gundul marah.
Mendengar ensohnya dihina, Tek Cun marah dan terus hendak menyerang tetapi
tiba2 ensoh yang nomor tiga sudah mendahului:
"Bangsat tua, engkau memang sudah bosan hidup!"
Wanita baju wungu muda itu mencabut pedang lalu menusuk dada Rajawali-
gundul. "Perempuan busuk, aku akan menerima beberapa jurus seranganmu lagi!" Hek-bu
siong cepat loncat menyongsong dengan gunakan senjata Kou-hun-pay atau perisai
pemburu-jiwa untuk menangkis.
"Hm, engkau berani maju lagi?" wanita itu menggelincirkan pedang kesamping lalu
membabat lutut Hek-bu-siong.
21. Mabuk laut Setitik pun Hek-bu-siong tak mengira wanita itu memiliki permainan pedang yang
sedemikian cepat dan aneh, Dengan memekik aneh ia segera menyurut mundur
sampai setombak. Sam-soh tidak mau mengejar melainkan memandang Hek-bu-siong seraya
mendampratnya: "Tadi digunung sebelah muka sudah kuampuni jiwamu, sekarang engkau masih
berani unjuk tingkah lagi."
Kemudian wanita itu beralih memandang pada Rajawali-gundul dan berseru:
"Ah, tak kira Pat-koay dari gunung Thiat-san yang begitu termasyhur ternyata
hanya kawanan manusia yang tak berguna !"
Lo-koay Rajawali-gundul pucat wajahnya, Karena menahan kemarahan
gerahamnya sampai bergemerutukan. sedangkan ji-koay si Naga-mata-satu
menengadahkan muka, tertawa geram:
"Perempuan hina yang bermulut lancang, aku hendak menguji sampai dimanakah
kepandaianmu itu!" Habis berkata ia terus putar golok bianto dan menyerang maju.
"Ji-te, kembalilah!" cepat Rajawali-gundul mencegah. ia tahu bahwa kekuatan
pihak lawan lebih unggul.
Naga-mata-satu hentikan langkah, Dengan mendengus geram ia memandang
kearah Gin Liong dan kawan-kawannya.
Toa-soh atau taci ipar yang paling besar, tertawa hambar, serunya: "Lo-koay,
mengapa engkau begitu marah, Kalau tidak karena beberapa saudaramu bermata
keranjang merampas wanita, sekali pun engkau mengirim undangan, belum tentu
kami akan datang ke gunung Thiat-san ini, apalagi bermaksud hendak merebut
markasmu." Lo-koay atau Pat-koay nomor satu, deliki mata: "Siapa yang kami rampas" Apa
buktinya" Dimanakah orang itu?"
"Mau bukti" ikutlah aku!" teriak Gin Li-ong yang tak kuasa lagi menahan
kemarahannya ia terus mendahului lari kemuka, Tio Li Kun dan kawan segera
mengikutinya. Melihat itu terpaksa Lo-koay dan kawan-kawannya pun segera menyusul.
Saat itu api makin besar sehingga langit seolah berobah merah warnanya. Anak
buah gunung Thiat-san menjerit-jerit hiruk pikuk namun tak berdaya untuk
menolong hancurnya lima deret bangunan gedung besar dari bahaya api.
Setelah keluar dari markas, Gin Liong lari menuju ke tenggara dan dalam beberapa
kejab tiba dibawah puncak gunung, ia segera mendaki ke atas puncak.
Lo-koay berlima berusaha untuk mendahului mencapai puncak, Mereka hendak
menggerakkan alat2 rahasia untuk mencelakai kawanan anak muda itu, Tetapi
ternyata kalah cepat. Gin Liong dan kawan2 sudah tiba lebih dulu di puncak yang
merupakan hutan pohon siong dan hutan bambu, Hutan2 itu pun telah dimakan
api. Gin Liong, Tio Li Kun dan Mo Lan Hwa menerjang ke hutan itu, Pada sebuah
batu besar, mereka menemukan lima orang baju hitam terkapar malang melintang
di tanah. Gin Liong terkejut, Diam2 ia menduga tempat itu pun telah didatangi oleh tokoh
sakti yang belum diketahui itu. Ketika menghampiri ternyata kelima orang itu
bukan mati melainkan tidur mendengkur keras.
Memandang kemuka Gin Liong melihat didalam hutan siong seperti memancar
sepercik api penerangan ia segera mengajak kedua nona untuk menuju ke tempat
itu. Sebuah rumah batu berbentuk persegi panjang lampunya terang benderang, pintu
terbuka tetapi dalam rumah itu tampak sunyi. Pada ujung sebelah kiri dari rumah
itu, terdapat dua orang baju hitam lagi yang terkapar tidur di tanah.
Gin Liong melangkah masuk. ia terkesiap heran karena dalam rumah itu hanya
terdapat sebuah meja dan sebuah tempat tidur, lampu masih menyala terang di
atas meja. Sedang tempat tidur tampak acak-apckan. Seorang perempuan muda
tampak tidur dilantai muka ranjang itu. Gin Liong makin gelisah karena tak dapat
menemukan Ki Yok Lan. Saat itu Tek Cun dan saudara-saudaranya pun tiba, Mereka juga tertegun melihat
keadaan rumah itu. Tak lama kemudian Lo-koay berlima pun tiba, Bermula Lo-koay menduga pasti
ketujuh saudara Tio atau Jit-hiong yang membakar markas gunung Thiat~san.
Tetapi saat itu setelah melihat sikap Gin Liong dan kawan-kawannya serta
perempuan muda yang tertidur di lantai, iapun ikut terkesiap.
Li Kun membangunkan perempuan muda itu dengan membuka jalan darahnya
yang tertutuk. "Mengapa engkau berada disini!" bentak Rajawali-gundul kepada perempuan
muda itu. Pucatlah wajah perempuan itu melihat Lo-koay marah, Dengan gemetar ia
memberi keterangan bahwa Jit-koay Hun-tiap-sam-long yang menyuruhnya jaga
disitu. Tiba2 Naga-mata-satu membentak: "Jangan ngaco belo, perempuan hina!" ia terus
loncat ke muka perempuan itu dan hendak menghantamnya.
"Bangsat, engkau cari mati!" teriak Gin Liong seraya ayunkan tangannya,
Segelombang angin keras segera melanda dada Naga-mata-satu.
Naga-mata-satu mendengus geram, Cepat ia balikkan tangan untuk balas
menghantam. Terdengar letupan dan diiring dengan jeritan ngeri tubuh Naga-
mata-satupun terlempar keluar pintu.
Hwat-kiang-si loncat hendak menolong tetapi tak keburu, Naga-mata-satu
terlempar tiga tombak dan jatuh di hutan bambu, Huak, ia muntah darah. sejenak
meregang jiwa, akhirnya putuslah napasnya.
"Aku hendak mengadu jiwa dengan engkau budak!" Lo koay Rajawali-gundul
dengan marah serentak mendorongkan kedua tangannya kearah Gin Liong.
Gin Liong pun marah. Dengan menggembor keras ia juga dorongkan kedua
tangannya. Angin yang timbul dari kedua gerakan tangan Rajawali-gundul dan Gin
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Liong menimbulkan getaran yang dahsyat sehingga genteng terasa berguncang
keras, semua orang menahan napas.
Rajawali-gundul terdampar ke dinding, kepala pecah dan napasnya pun berhenti.
Melihat itu, Hek-bu-siong dan Lak-pian-seng segera melarikan diri. Demikian pula
Hwat-kiang-si. Mereka tahu percuma saja melawan kawanan anak muda itu.
Gin Liong terlongong-longong sendiri. ia tak mengira bahwa dua kali pukulannya
telah menimbulkan akibat yang sedemikian mengerikan ia heran mengapa
sekarang tenaganya begitu dahsyat.
Dalam pada itu Mo Lan Hwa memberi pertolongan kepada perempuan tadi,
Ternyata perempuan itu menderita luka parah, Setelah diurut jalan darahnya
perempuan itupun dapat memberi keterangan walaupun suaranya amat lemah
sekali: "Nona Ki telah dibawa oleh seorang imam!"
"Imam yang mana?" teriak Gin Liong, Tetapi bujang perempuan iiu makin pucat
wajahnya, Melihat itu Gin Liong cepat bertanya pula: "Apakah seorang imam
berjubah kelabu, berjenggot panjang?"
Bujang itu paksakan diri membuka mata dan memandang Gin Liong, Tetapi ia tak
dapat berkata lagi karena kepalanya segera melentuk dan putuslah jiwanya.
Dari pandang mata bujang perempuan itu Gin Liong mendapat kesan kalau bujang
itu mengiakan pertanyaannya.
"Rupanya yang kuduga itu memang benar." katanya sesaat kemudian,
"Liong-te, kenalkah engkau kepada imam itu ?" tanya Tek Cun.
"Ya." sahut Gin Liong, "aku pernah berjumpa dengannya di sebuah lembah salju di
gunung." "Engkau maksudkan Hun Ho siantiang?" seru Mo Lan Hwa.
Kukira dalam dunia persilatan dewasa ini seorang imam berjenggot bagus dan
berjubah kelabu, kecuali Hun Ho siantiang rasanya tak ada lain orang lagi,"
sahut Gin Liong. Tiba2 Tio Li Kun berseru girang: "Jika benar demikian, nona Ki bakal mendapat
rejeki besar, ilmu pedang Hun Ho siantiang menjagoi dunia persilatan, apabila
nona Ki dapat menerima pelajaran dari Hun Ho siantiang, tentu kelak dia akan menjadi
seorang pendekar pedang wanita yang cemerlang."
"Kalau begitu marilah kita lekas tinggalkan tempat ini. Kalau sebelum terang
tanah kita dapat mencapai tempat penyeberangan di Dairen, kemungkinan kita akan
dapat berjumpa dengan Hun Ho sian-tiang bersama ketika koko-ku," Mo Lan Hwa
juga gembira. Demikian mereka segera beramai-ramai turun gunung, Ternyata kuda dari kelima
nyonya menantu keluarga Tio ditambatkan di hutan. Kesepuluh orang itu segera
naik kuda menuju ke sebuah desa yang terletak sepuluh li jauhnya.
Saat itu hampir menjelang dinihari, Ayam mulai berkokok bersahut-sahutan. Cepat
sekali mereka tiba di desa itu. Hanya Tek Cun dan Thiat-lo-han yang masuk ke
desa, sedang yang lain menunggu diluar desa.
"Jit moay." kata Toa-soh kepada Tio Li Kun. "mamah sudah rindu dengan Ngo-te,
setelah urusan disini selesai, suruhlah dia pulang."
Tetapi Tio Li Kun mengatakan sebaiknya toa-sohnya itu mengatakan sendiri kepada
Ngo-ko atau si Thiat-lo-han.
Gin Liong merasa tak enak dalam hati. Adalah karena urusannya sampai
merepotkan sekian banyak orang. Andaikata ia tak berjumpa dengan Mo Lan Hwa
tentu saat itu ia sudah dapat menyusul Ban-hong liong-li.
Melihat wajah pemuda itu mengerut, kedua gadis cantik. Mo Lan Hwa dan Tio Li
Cun, serempak bertanya: "Adik Liong, apakah ada suatu yang hendak engkau katakan?"
Dengan terbata-bata Gin Liong menjawab: "Kurasa urusan ini memang sudah
selesai, Karena urusanku.... sesungguhnya tak harus membikin repot saudara2
sekalian...." Mendengar itu kelima ensoh segera menghampiri dan toasoh pun serentak
berkata: "Liong-te, engkau adalah adik kami yang paling bungsu. Sudah seharusnya kami
membantumu. Apalagi mamah tak tega kalau engkau berkelana seorang diri."
Tengah mereka bicara dari arah desa tampak Tek Cun dan Thiat-lo-han
mengendarai kuda dengan diikuti oleh ketiga ekor kuda yakni kuda hitam bulu
mulus, kuda hitam berkaki putih dan kuda Siau-pik milik Tio Li Kun.
"Hayo, kita lekas berangkat!" teriak si limbung Thiat-lo-han dengan bersemangat.
Toa-soh tertawa, serunya: "Aya, sudahlah, jangan mengurusi mereka, Mari kita
pulang..." Thiat-lo-han terbelalak dan menggerung: "Siapa yang suruh ?"
"Mamah !" Thiat-lo-han lemas seperti gelembung karet yang habis anginnya, ia memandang
Gin Liong, Mo Lan Hwa, Tio Li Kun dan Tek Cun dengan pandang kecewa.
Kelima pemuda itu segera naik kuda dan berseru: "Ngo-ko dan kelima ensoh,
selamat tinggal." Demikian mereka segera mencongklangkan kudanya dan tak sampai sejam
kemudian tibalah di kota penyeberangan. Begitu masuk ke kota, Mo Lan Hwa pun
menjerit kaget seraya menunjuk kesebatang pohon besar: "Ah, lo-koko sudah tiba
disini." Memang pada pohon itu terukir sebuah lukisan pipa emas, Segera mereka menuju
ke selatan. Di tempat penyeberangan penuh orang, Barang2 menumpuk di tepi
laut, Di tengah laut tampak beberapa kapal dan perahu2.
Pada tumpukan peti setinggi tujuh tombak Gin Liong melihat sebuah lukisan pipa
yang menghadap ke arah selatan.
"Ah, rupanya lo-koko sekalian sudah datang dan sudah menyeberangi lautan."
katanya. Mo Lan Hwa bersungut-sungut: "Mengapa mereka tak mau menunggu kita?"
Tek Cun mengatakan hendak menyewa sebuah perahu besar karena hari itu
anginnya besar. Tetapi Gin Liong mencegahnya, ia mengatakan hendak menyelidiki
ke dalam kota dulu barangkali ada Ban Hong liong-li. Bahkan mungkin ketiga
suheng dari Mo Lan Hwa. Mo Lan Hwa juga mempunyai pikiran begitu. ia mengusulkan akan pergi bersama
Tio Li Kun kedalam kota sedang Gin Liong yang melakukan penyelidikan disekitar
tempat penyeberangan. "Dan engkoh Tek Cun yang menyewa perahu." katanya, "dengan begitu kita dapat
menghemat waktu. Mendengar si cantik menyebutnya "engkoh Tek Cun" diam2 Tek Cun girang sekali.
Demikian mereka segera membagi tugas, Dengan naik kuda bulu hitam, Gin Liong
menuju ke tempat penyeberangan. Tiba2 ia mendengar orang ramai
membicarakan sesuatu yang menarik perhatiannya.
Pusaka dunia persilatan hanya layak berada di tangan orang yang berbudi luhur.
Orang tua yang tangannya berlumuran darah semacam itu, tak seharusnya
memiliki cermin pusaka Te-kin . ."
Gin Liong terkejut Ketika memandang dengan seksama ia melihat enam orang
persilatan dengan pakaian ringkas dan membekal senjata tengah mengobrol. Yang
bicara adalah seorang tua berumur lima puluhan tahun.
Kawannya yang beralis tebal berseru dengan suara nyaring:
"Belum satu bulan saja sudah berpuluh-puluh jago silat baik dari aliran Hitam
maupun Putih yang mati di tangan orangg tua itu. Kabarnya di Tay sik-kiau dia
telah membunuh tokoh Bu Tim cinjin dari partai Kiong-lay-pay dan sepasang tokoh Bu-
siang-kiam dari partai Kong-tong-pay."
Gin Liong terkejut entah apakah Ma Toa Kong masih berada di Tay-sik-kiau. Kalau
dia juga sudah mati, bagaimana keadaan gua Thian-kiu jiok baru dapat ia ketahui
setelah ia pulang ke kuil Leng-hun-si.
Lanjutkan perjalanan kemuka, dari kerumunan orang di sebelah kiri, tampak
beberapa orang persilatan juga tengah membicarakan tentang orang tua yang
membawa cermin pusaka itu.
"Orang tua itu sering berpindah tempat, entah apakah maksudnya?" kata seorang
lelaki pertengahan umur yang menyanggul pedang.
"Dua hari dua malam meninggalkan Tay-sik-kiau dia lalu lari ke gunung Hok-san
diseberang laut ini."
Memang Gin Liong sendiri juga heran. Siapakah sesungguhnya orang tua bertubuh
kurus itu" Apakah dia memang hendak mencuri pusaka ataukah hanya hendak
mempermain-mainkan orang persilatan saja"
Seorang tua berambut putih berkata: "Soal ini memang sudah menarik perhatian
para ketua partai persilatan. Mereka pun telah mengirim para ko-jiu (jago sakti)
untuk mengikuti jejak orang tua itu dan menyelidikinya. Kabarnya Tujuh-tokoh-
aneh-dari-dunia (Ih-lwe-jit-ki) yang sudah lama tak muncul di dunia persilatan,
juga diam2 ikut campur dalam peristiwa itu."
Makin tergerak hati Gin Liong, Pikirnya, apakah bukan karena orang tua pembawa
cermin pusaka itu maka lo-koko Hok To Beng bergegas menyeberangi laut ini"
Tiba2 terdengar suara kuda meringkik. Ternyata Tek Cun dengan mengendarai
kuda bulu coklat tengah mendatangi.
Karena sampai sekian lama tak memperoleh keterangan tentang Hun Ho sian-tiang
dan Ban Hong liong-li. akhirnya Gin Liong pun tinggalkan tempat itu dan larikan
kudanya menyongsong Tek Cun.
Saat itu kedua gadis Mo Lan Hwa dan Tio Li Kun pun juga muncul dan mendatangi.
"Memang benar, tua-suheng bersama kedua lo-koko sudah melintasi laut," seru
Mo Lan Hwa agak gopoh, "dan menurut keterangan seorang jongos hotel, memang
ada seorang wanita muda cantik lewat dimuka hotel terus menuju ke tempat
penyeberangan Wanita itu tidak singgah makan. Entah apakah dia Ban Hong
locianpwe atau bukan ?"
"Ya, ya, memang Ban Hong locianpwe," kata Gin Liong, "ah, tak kira dia begitu
cepat sekali Kemungkinan dia menempuh perjalanan siang malam untuk pulang ke
daerah Biau." Mo Lan Hwa dan Tio Li Kun menghibur pemuda itu supaya tak perlu cemas, Tentu
mereka akan dapat menyusul Ban Hong liong-li.
Ternyata Tek Cun sudah dapat menyewa sebuah perahu besar yang lengkap
menyediakan makanan dan minuman.
Anak perahu memandang sepasang muda mudi itu dengan rasa kagum. Tak lama
seorang tua berambut putih bergegas keluar dari pintu ruang perahu dan
mempersilahkan keempat anak muda itu naik.
Keadaan perahu itu amat bersih, Juga makanan yang dihidangkan cukup lezat,
Setelah makan mereka mandi lalu masing2 masuk kedalam kamar untuk
beristirahat. Walaupun berbaring ditempat tidur tetapi Gin Liong tak dapat tidur, ia masih
memikirkan su-moaynya. walaupun sudah ditolong oleh Hun Ho sian-tiang tetapi
untuk mengambil dan mengantarkannya, tentu makan waktu. Hal itu berarti harus
mempertangguhkan perjalanan untuk menyusul Ban Hong liong-li.
Pada malam hari, angin bertambah kencang sehingga perahu agak bergoncang
keras, Gelombang mendampar hampir masuk kegeladak perahu. Gin Liong bangun
dan melakukan pernapasan. Ternyata ia merasa sehat tak sampai mabuk laut,
Tetapi dari kamar sebelah ia mendengar suara orang merintih. Cepat ia keluar
dari kamar dan ternyata Tio Li Kun yang mengeluarkan suara rintihan sakit itu. ia
hendak masuk tetapi agak ragu, Lebih baik ia meminta Mo Lan Hwa saja yang
masuk, tetapi berulang kali dipanggil, Mo Lan Hwa tetap tak menyahut, kamarnya
sunyi senyap. Mencari ke kamar lain, ternyata Tek Cun juga tak ada, pada hal Li
Kun makin merintih keras, akhirnya terpaksa Gin Liong memberanikan diri masuk.
"Cici, engkau kenapa?" tegurnya.
Melihat Gin Liong, diam2 berdeburlah hati si jelita, wajahnya yang pucat
bertebar warna merah "Ah, tak apa2...." katanya, lalu berusaha duduk.
"Cici tak enak badan, tak perlu duduk," Gin Liong mencegahnya.
Si jelita membuka sepasang matanya yang indah dan menatap Gin Liong dengan
gelengkan kepala: "Aku hanya merasa pening dan ingin muntah...."
Tiba2 kata2 Li Kun itu terputus oleh setiup gelombang besar yang mendampar
perahu. Perahu oleng dan Li Kun pun sampai terperosok jatuh ke lantai.
Gin Liong terkejut, Cepat ia memeluk tubuh jelita itu, ia dapatkan tubuh Li Kun
lemas sekali seperti tak bertulang. Diluar dugaan, kedua tangannya yang memeluk
tubuh Li Kun itu tepat menjamah dibagian dada si jelita. Gin Liong seperti
terbang semangatnya. "Cici, engkau bagaimana?" tegurnya, Tetapi jelita itu diam saja, Ketika
memandang kebawah ternyata mata Li Kun mengatup rapat, mulut yang mungil dan sepasang
alisnya yang melengkung bagai bulan tanggal satu, makin mempercantik wajahnya
yang saat itu seperti orang tidur.
Gin Liong makin bingung, ia kira Li Kun tentu pingsan. Terpaksa ia lekatkan
telinganya ke hidung si jelita, Ternyata pernapasan Li Kun kedengaran lemah,
Bibirnya merekah merah, pipinya yang halus menyiarkan bau harum, menampar
hidung Gin Liong. Rambut yang indah, bertebaran hinggap di pipi Gin Liong sehingga membuat
pemuda itu benar2 terbang semangatnya, jantungnya mendebur keras, darah
tersirap serasa berhenti Kedua tangan yang memeluk tubuh jelita itupun gemetar.
Memandang wajah si nona, tampak jelita itu makin cantik, Serentak terbayang,
bagaimana mesra sekali Tio Li Kun bersikap kepadanya, betapa cantiklah gadis itu
sesungguhnya . . . Tiba2 terlintas wajah Ki Yok Lan pada pelupuknya, Gin Liong pun tergetar
hatinya, Dan serentak itu iapun segera malu dalam hati, semangatnya tenang kembali.
Segera ia meletakkan Tio Li Kun keatas ranjang pula.
Lembah sempit Tiba2 si jelita mengerang pelahan dan memeluk Gin Liong, lalu susupkan kepalanya
kedada pemuda itu dan terisak-isak. Sudah tentu Gin Liong makin gugup. ia belas
memeluk Li Kun dan duduk disampingnya.
"Cici, engkau...?" serunya tetapi ia tak tahu bagaimana harus menghiburnya.
"Adik Liong..." hanya sepatah kata yang Li Kun dapat mengatakan karena ia terus
memeluk pemuda itu makin erat.
Gin Liong makin resah, Bukan ia tak tahu bagaimana perasaan si jelita kepadanya,
tetapi bayangan sumoaynya yang halus pendiam bagai seorang dewi, selalu
memenuhi kalbunya, Tak pernah sedetik pun ia dapat melupakan.
Apalagi suhunya pernah memberi pesan bahwa asal usul Ki Yok Lan itu sangat
menyedihkan sekali maka Gin Liong supaya berusaha melindunginya. Begitu pula
berulang kali suhunya secara halus memberi petunjuk kepada Ki Yok Lan bahwa
hendaknya Ki Yok Lan kelak dapat menganggap sebagai suami isteri dengan Gin
Liong. Teringat akan hal itu, tergetarlah hati Gin Liong, ia menunduk memandang wajah
Tio Li Kun Tampak wajah jelita itu berlinang air mata sehingga menimbulkan rasa
sayang, Tanpa terasa Gin Liong segera mengusap air mata nona itu, Tetapi air
mata sijelita laksana sumber air yang terus menumpah tak henti-hentinya.
Saat itu pikiran Gin Liong sudah sadar, ia tak boleh menyiksa perasaan Li Kun
lebih lanjut. Tetapi ia tak sampai hati untuk menolaknya secara getas, ia tak ingin
menjadi pembunuh hati anak gadis.
Akhirnya ia memutuskan hendak memberi penjelasan secara halus, Bahwa ia
sangat mengindahkan Tio Li Kun tetapi terpaksa tak dapat menerima cintanya,
Pada saat dia hendak mengatakan tiba2 ia kehilangan faham tak tahu bagaimana
harus memulai. Tetapi pada saat itu Tio Li Kun sudah tak kuat menahan gejolak hatinya . .
Pelahan- lahan ia ajukan kepalanya, menyongsongkan sepasang bibir yang semerah bunga
mawar. Gin Liong gugup: "Cici, jangan . . "
Tiba2 mulut Gin Liong tak dapat melanjutkan kata2 karena mulutnya tertutup oleh
sepasang bibir si jelita, semangat Gin Liong serasa terbang melayang-layang ke
suatu alam yang belum pernah ia nikmati sepanjang hidupnya.
Demikian sepasang muda mudi yang sedang dimabuk asmara itu telah terbuai
dalam lautan sari madu, Keduanya telah tenggelam kedasarnya....
Badai dan gelombang masih mengamuk dilautan. Bahkan makin dahsyat, sedahsyat
itu pula badai yang melanda kehangatan cinta dan kedua muda mudi itu.
Beberapa saat kemudian tiba2 terdengar suara helaan napas, Gin Liong terkejut,
Segera ia meletakkan tubuh Li Kun terus loncat keluar ruang. Tetapi kehadaan di
perahu itu tetap sunyi senyap Kamar Mo Lan Hwa dan Tek Cun tetap kosong tiada
orangnya. Gin Liong terus menuju kegeladak, Tiba2 ia hentikan langkah dan merapat pada
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
papan. ia melihat Mo Lan Hwa dan Tek Cun berdiri pada pintu ruang perahu dan tengah
memandang ke laut, Tek Cun kerutkan alis dan menengadah memandang kelangit.
Tiba2 kedengaran Mo Lan Hwa menghela napas serunya rawan:
"Engkoh Tek Cun, harap jangan bersedih Mo Lan Hwa takkan melupakan perasaan
hatimu yang tertumpah kepadaku, Sejak saat ini aku pasti akan menganggapmu
sebagai engkohku sendiri."
Tek Cun juga menghela napas.
"Kuharap engkaupun jangan bersedih. Kurasa Liong-te pasti akan mencintaimu
dengan segenap hati."
Mo Lan Hwa gelengkan kepala.
"Ah, tak mungkin, Dalam pandangannya, aku ini seorang gadis yang manja dan liar,
Kesan yang kuberikan kepadanya memang kurang baik", katanya.
"Sekarang adalah karena aku maka nona Ki sampai menderita kesulitan, Adik Liong
tentu akan membenciku. Engkoh Cun, apakah engkau tak memperhatikan betapa
dingin sikapnya kepadaku?"
Air mata bercucuran membasahi pipi Mo Lan Hwa.
"Jangan engkau berbanyak hati". kata Tek Cun, "saat ini dia sedang gelisah
memikirkan keselamatan sumoaynya. Apabila nona Ki sudah dapat diketemukan
dan sudah memperoleh keterangan dari Ban Hong liong-li cianpwe serta
menghimpaskan dendam kematian suhunya, dia pasti akan memperhatikan
engkau." "Setelah ia berhasil membalas sakit hati suhunya, aku akan segera
meninggalkannya dan mengasingkan diri di sebuah kuil dipegunungan sunyi.
Seumur hidup aku akan mengabdi Buddha sampai pada akhir hayatku.."
Mendengar kata2 itu Tek Cun ikut terharu dan tak dapat mengeluarkan kata2 lagi,
ia lalu mengajak jelita itu masuk.
Gin Liong terkejut. Cepat ia masuk kedalam kamar dan terus rebah di tempat
tidur, Benar2 dia seperti orang yang kehilangan diri, Mo Lan Hwa mencintainya dengan
segenap jiwa raga,Tio Li Kun telah menyerahkan kehangatan bibirnya dan Ki Yok
Lan tetap menunggunya dengan penuh harapan. ia benar2 bingung, Bagaimana
nanti kalau ia berjumpa dengan Ki Yok Lan.
Entah selang berapa lama, ia mendengar derap langkah orang di geladak, Ah,
ternyata hari sudah pagi, Anak buah perahu sibuk melakukan pekerjaannya.
Tek Cun sudah berdiri digeladak ketika Gin Liong keluar Tak lama kemudian Mo Lan
Hwa dan Tio Li Kun pun menyusul keluar. Kedua jelita itu sama mengenakan
pakaian baru. Li Kun berbaju biru muda, celana kembang dan mantel biru benang
perak, menyanggul sebatang pedang, mengulum senyum berseri.
Sedang Mo Lan Hwa mengenakan pakaian serba merah sehingga wajahnya yang
cantik makin tampak menonjol. Rambutnya terurai panjang, menyanggul sebatang
pedang. Kedua jelita itu berjalan seiring. sekalian anak perahu terbeliak dan
terlongong-longong memandangnya.
Mereka seperti melihat sepasang bidadari turun dari kahayangan, Yang seorang
bagai sekuntum mawar yang gemilang.
Melihat Li Kun, agak merah wajah Gin Liong. Tetapi ketika melihat Lan Hwa, ia
ter- sipu2 rawan. Sambil menunjuk kederetan puncak gunung Li Kun bertanya kepada anak perahu:
"Gunung apakah itu?"
"Gunung Hok-san."
Gin Liong terkejut ia meminta keterangan benarkah untuk menuju ke pulau Hong-
lay-to harus melalui pegunungan Hok-san itu.
"Benar." sahut pemilik perahu, "harus melalui puncak Hok-san yang sebelah utara,
walaupun luasnya hanya 30-an li tetapi gunung itu berbahaya sekali keadaannya
Tak dapat menggunakan kuda tetapi harus jalan kaki."
Karena terlambat selangkah, Mo Lan Hwa tak dapat melihat orang tua pemilik
cermin pusaka ketika berada di gunung Tiang-pek-san. Kali ini ia tak mau
melewatkan kesempatan lagi.
"Karena sudah melewati Hok-san. mengapa kita tak melihat-lihat keadaannya,"
kata nona itu. Gin Liong diam saja dan Tek Cun pun tak memberi suatu tanggapan sedang Tio Li
Kun, asal Gin Liong pergi, sekalipun ke sarang naga, ia tetap akan mengikuti.
Tak berapa lama, perahu berlabuh dan ke-empat pemuda itupun turun bersama
kudanya, Mereka hanya berhenti makan dikota Mopeng, setelah itu terus
melanjutkan perjalanan ke Hok-san, Tengah hari mereka pun sudah tiba di puncak
Hok-san sebelah utara. "Liok-ko. menilik keadaannya, memang tak mungkin kita mendaki dengan naik
kuda," kata Gin Liong setelah memandang kepuncak itu.
"Kita mendaki dulu, kalau memang tak dapat dengan naik kuda, kita pun jalan,"
kata Mo Lan Hwa. Ternyata keempat ekor kuda mereka itu kuda yang hebat semua. Setelah melalui
beberapa tempat yang penuh batu aneh, akhirnya mereka tiba di sebuah lembah
yang terletak dibawah kaki gunung.
Jalan kearah lembah itu sempit dan lembah penuh dengan gunduk2 batu yang
tinggi dan runcing serta rumput yang subur.
"Mungkin disebelah muka itu adalah mulut lembah, kita turun saja disini." kata
Gin Liong. Setelah turun, kuda mereka dilepaskan di sebuah aliran air kecil Dan keempat
pemuda itupun segera menuju ke mulut lembah sempit.
Keadaan dalam lembah memang berbahaya dan sulit dilalui penuh dengan batu2
yang aneh dan runcing serta rumput, rotan yang lebat, Gin Liong ragu2 tetapi Tek
Cun mengatakan bahwa lembah itu memang yang disebut Hiut-koh atahu lembah
sempit Mereka lalu gunakan ilmu lari cepat untuk memasuki lembah, Lembah itu tak
kurang dari lima enam li panjangnya Kedua samping dinding karangnya setinggi
ratusan tombak, Makin kebagian dalam makin berbahaya.
Tiba2 dari balik segunduk batu aneh di tengah gerumbul pohon siong pendek,
muncul tiga sosok tubuh, Sekali loncat mereka melayang kearah Gin Liong
berempat Dalam sekejab mata mereka sudah tiba hanya terpisah sepuluhan
tombak dari tempat Gin Liong.
Ketiga orang itu terdiri dari seorang tua berumur lebih kurang tujuh puluh tahun
dan dua orang lelaki pertengahan umur yang berpakaian ringkas.
Ketiga lelaki itu tampak marah. Tanpa melihat pada Gin Liong berempat, mereka
terus lari keluar lembah.
Gin Liong heran melihat gerak-gerik ke tiga orang itu. Tetapi iapun tak mau
menghiraukan dan mengajak kawannya melanjutkan masuk kedalam lembah.
Pada saat tiba disebuah gerumbul hutan yang penuh dengan batu2 aneh,
sekonyong-konyong terdengar suara orang berseru Bu-liang siu-hud. Dan
muncullah enam orang imam. Yang tiga berjubah kelabu, yang tiga berjubah hitam.
wajahnya angkuh, masing2 menyanggul pedang dibelakang bahunya.
Yang dimuka dua orang imam tua, rambutnya putih, umur diantara lima puluh
tahun, sebelah kirinya seorang imam tua, bertubuh kurus mengenakan jubah
hitam. Sebelah kanan juga seorang imam tua berjubah kelabu, bermuka bopeng,
Dibelakang mereka, dua orang imam pertengahan umur yang berwajah seram.
Imam tua jubah hitam segera berseru.
"Pinto bernama Biau Liang, menerima perintah dari kedua tianglo perguruan kami
untuk membawa murid perguruan kami Jing Hun dan Jing Gwat, Hian Leng totiang
dari partai Kiong-lay-pay beserta Kong Beng dan Ceng Beng berdua toyu..."
Sejak ke enam imam itu muncul dengan jual lagak, Mo Lan Hwa sudah mengkal,
Mendengar si imam tua Biau Liang jual omongan garang, Lan Hwa segera
membentaknya: "Kalau mau mengatakan apa2, lekaslah katakan, jangan jual nama dan gelaran!"
Imam tua berwajah bopeng tertawa dingin:
"Li-pohsat ini, masih muda usia tetapi keras sekali ucapannya, berani omong
sembarangan terhadap Biau Liang Totiang dari partai Kong-tong-pay"
"Siapakah engkau" Mengapa engkau berani banyak mulut." bentak Tek Cun.
Merahlah muka imam tua itu.
"Pinto adalah Hian Leng totiang dari Kiong lay-pay," serunya dengan marah.
"Hm, kiranya kawanan manusia yang tak ternama," Mo Lan Hwa mendengus.
Karena marahnya, imam tua itu menengadahkan muka dan menghambur tertawa
keras. Imam tua Kong Beng yang berada dibelakang Hian Leng totiang, segera memekik
keras dan maju menghantam si nona.
"Kawanan tikus, engkau cari mampus." teriak Tek Cun seraya maju dan mendahului
untuk menyambar tangan imam Kong Beng.
Tujuan Gin Liong kelembah itu adalah hendak mencari Ma Toa Kong dan sekalian
mencari tahu apakah Swat-thian Sam Yu juga datang ke lembah itu. Untuk
mengejar waktu, ia tak mau terlibat dalam perkelahian.
"Liok-ko, jangan melukainya," cepat ia mencegah Tek Cun.
Tetapi Tek Cun sudah terlanjur mencengkeram lengan imam itu. Mendengar
permintaan Gin liong ia segera mendorong imam itu: "Enyah !"
Imam Kong Beng terhuyung-huyung beberapa langkah dan jatuh terduduk ditanah.
Hian Leng dan Biau Liang terkejut Tak kiranya hanya sekali bergerak, pemuda itu
telah mampu mendorong rubuh imam Kong Beng, murid pilihan dari partai Kiong-
lay-pay. Kedua imam itu tak berani memandang rendah kepada kawanan pemuda
itu lagi. "Sicu sekalian ini dari perguruan mana dan siapakah nama suhu sicu yang mulia"
Harap lekas katakan, siapa tahu kemungkinan antara perguruan kita masih
terdapat hubungan," cepat Biau Liang berseru dengan nada sarat.
Karena harus mengejar waktu, Gin Liong mengatakan kalau dirinya dan kawan2 itu
tidak termasuk murid dari suatu partai persilatan.
"Kami mohon tanya, mengapa totiang menghadang perjalanan kami?" tanyanya
kemudian. Imam Biau Liang tertawa dingin, tubuhnya gemetar karena menahan kemarahan.
"Perguruan pinto dan partai Kong-tong-pay masing2 telah mengutus dua orang
tiang-lo untuk memimpin para murid datang kemari mencari jejak orang tua
pemilik cermin pusaka, Untuk menghimpaskan dendam kematian dari Bu Tim sute
serta kedua Bu-song-kiam It Jeng towyu dari partai Kong-tong-pay. Pinto bersama
Biau Liang toyu telah ditugaskan menjaga tempat ini, siapa pun juga, baik dari
kalangan Hitam maupun Putih, tak dibenarkan masuk ke dalam lembah Hiap-koh
sini. Jika ada yang berkeras masuk, heh, heh..." seru imam Hian Leng dari Kiong-
lay- pay. "Kalau berkeras masuk, lalu bagaimana?" akhirnya Gin Liong geram juga atas sikap
kawanan imam yang mengandalkan jumlah banyak itu.
"Berarti hendak bermusuhan dengan partai Kong-tong-pay dan Kiong-lay-pay" seru
Biau Liang seraya deliki mata.
Tring!, Mo Lan Hwa cepat mencabut pedang dan melengking: "Sebagai alasan
hendak membalas dendam tetapi pada hakekatnya kalian hendak mengincar
cermin pusaka itu sendiri dan mencegah lain2 partai persilatan tak dapat masuk
dalam lembah ini." Berhenti sebentar untuk tertawa, si cantik berseru pula:
"Kalian hanya dapat menggertak orang yang bernyali kecil, Tetapi kalian sial
telah bertemu dengan aku. Coba saja hendak kulihat sampai dimana kemampuan kalian
hendak merintangi rombonganku!"
Imam Ceng Hun yang berada di belakang imam Biau Liang mencabut pedang dan
loncat kemuka seraya berseru keras:
"Besar sekali mulutmu, budak perempuan! Akupun ingin menguji sampai dimana
tingginya ilmu pedangmu sehingga engkau berani bermulut sebesar itu!"
Tek Cun cepat mencabut trisula pendek dan membentak: "Kawanan kunang2,
engkau berani menerjang api, huh, sungguh tak tahu diri."
Pemuda itu terus gerakkan senjatanya untuk menyongsong pedang imam Ceng
Hun. Imam itu belum pernah mengenal kelihayan senjata trisula, Cepat ia merobah
gerak pedangnya dalam jurus Toa-peng-can-ki atau Burung rajawali merentang-
sayap, membabat lengan Tek Cun.
Pemuda itu tertawa dingin, kebaskan trisula melingkar, ia membentak: "Lepaskan
!" Tring!, terdengar gemerincing tajam diiringi pancaran sinar kemilau ke udara,
Pedang dari imam Ceng Hun telah terlepas dari tangannya.
Ceng Hun terkejut semangatnya serasa terbang dan cepat ia membuang tubuh
kebelakang, berguling sampai setombak jauhnya.
Kuatir Tek Cun akan menyusuli serangan, imam Ceng Gwat pun membentak dan
menyerang anak muda itu. Kini Mo Lan Hwa yang menghadang. Ujung pedang nona itu segera menusuk
kebahu Ceng Gwat, Imam itu marah sekali, Dengan mendengus dingin, ia
menghindar lalu balas menusuk dada si nona,
Mo Lan Hwa tersipu-sipu merah, Cepat ia membentak dan secepat kilat tubuhnya
berputar, pedang menabas, Terdengar jeritan ngeri. Sambil menyurut mundur,
imam Ceng Gwat mendekap telinganya yang berdarah, Ternyata sebelah daun
telinga kiri imam itu telah hilang.
Wajah Biau Liang si imam dari Kong-tong-pay, pucat seperti kertas, Tiba2 ia
tertawa keras, mencabut pedang lalu bergegas lari menuju ketempat Mo Lan Hwa.
Gin Liong menyadari bahwa tak mungkin lagi ia dapat menghindari pertempuran ia
memutuskan untuk mengakhiri pertempuran itu secepat mungkin.
"Telah lama kudengar bahwa ilmu pedang dari partai Kong-tong-pay itu tiada
tandingannya dalam dunia persilatan. Hari ini sungguh beruntung sekali aku dapat
berjumpa dengan totiang, Sukalah totiang bermurah hati untuk memberi pelajaran
kepadaku," serunya dengan tertawa hambar, serentak ia mencabut pedang.
Ditingkah sinar matahari, pedang itu memancarkan sinar warna merah, Pedang
Tanduk Naga kembali muncul hendak mengunjuk kesaktian.
Seketika pucatlah wajah Biau Liang tojin, ia cepat dapat mengenal pedang itu
sebagai pedang Tanduk Naga. pedang pusaka yang termasyhur dari daerah Biau, ia
hentikan langkah. Walaupun tahu bahwa Gin Liong itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, tetapi
selama ini belum pernah Tio Li Kun melihat pemuda itu bertempur dengan orang,
Maka cepat ia loncat kesisi Gin Liong dan berkata dengan bisik2:
"Liong-te, harap menyingkir kesamping, biar aku saja yang menghadapinya."
Habis berkata jelita itu terus mencabut pedangnya.
Imam Hian Leng dan Biau Liang kembali terkesiap, Mereka tahu bahwa pedang
pandak yang berada di tangan nona cantik itu tentu juga sebuah senjata yang
hebat. Saat itu Tio Li Kun pun sudah melangkah maju menghampiri imam Biau Liang.
Sebagai sute dari Biau It cinjin ketua partai Kong-tong-pay, Biau Liang sangat
dihormati oleh anak murid Kong tong-pay. Dengan ilmu pedangnya yang sakti. Biau
Liang selalu bersikap angkuh tak memandang mata pada orang.
Sudah tentu saat itu ia tak mau unjuk kelemahan terhadap seorang nona, Apalagi
dilihat oleh imam Hian Leng dari partai Kiong-lay-pay dan dua orang muridnya.
"Jika li-sicu berminat hendak adu ilmu pedang dengan pinto, pinto pun bersedia
melayani." kata imam Biau Liang, "tetapi pedang itu tak bermata, Begitu melancar
tentu tak dapat terhindar dari melukai orang, jika terjadi peristiwa semacam
ini, harap jangan mengatakan pinto menghina orang yang lebih muda."
Tio Li Kun hanya tertawa hambar dan tetap melangkah maju, sedikitpun ia tak
mengacuhkan peringatan tokoh Kong-tong-pay itu.
"Huh, batang kepala sendiri belum tentu dapat melindungi masakan masih sibuk
mengurus lain orang," dengus Mo Lan Hwa.
Mendengar itu serasa meledaklah dada imam Biau Liang, Serentak pedang
ditaburkan dalam tebaran sinar yang segera menimpali tubuh Mo Lan Hwa.
Melihat ilmu permainan imam dari Kong-tong pay itu, Tek Cun dan Mo Lan Hwa
diam-diam terkejut Ternyata imam Kong-tong-pay itu memiliki ilmu pedang yang
hebat sekali jauh lebih lihay dari imam Ceng Hun, Ceng Gwat berdua.
Tetapi si jelita Li Kun tetap tenang saja. Tubuhnya bergeliatan dengan lemah
gemulai dan berlincahan seindah kupu2 terbang diatas kuntum bunga. Tiba2 ia
memekik nyaring sehingga kumandangnya sampai menembus jauh kedalam awan.
Pandang mata Biau Liang serasa kabur dan serangan pedangnya pun menemui
angin kosong, Serentak ia mendengar pekik si jelita yang berada dibelakangnya,
ia berteriak kaget dan cepat balikkan tangannya menabas kebelakang, sedang
tubuhnya meluncur deras kemuka.
Ternyata hilangnya Tio Li Kun itu karena ia melambung ke udara. ia memang tak
bermaksud hendak melukai orangg. Gerakannya itiu hanya sekedar untuk
menggertak saja. Ketika Biau Liang meluncur kemuka iapun segera bergeliatan di
udara dan mengejar dibelakang lawan.
Setelah mencapai tiga tombak, cepat2 Biau Liang cinjin berputar tubuh
kebelakang,
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sepasang matanya berkilat-kilat mencari tempat beradanya lawan.
Tetapi pada saat ia berputar tubuh tadi Tio Li Kun pun sudah melayang
kebelakangnya, Sudah tentu Biau Liang tak melihat nona itu. Tetapi cepat ia
menyadar, apa yang terjadi. Dengan memekik keras ia balikkan pedang
menghantam kebelakang. Melihat Biau Liang masih berkeras kepala, marahlah Li Kun. Dengan bersuit
nyaring ia gunakan jurus Hay te-jui-ciam atau didasar laut mencari jarum. Cepat laksana
kilat ia membabat pedang si imam.
Tring!, terdengar dering yang tajam sekali di-iringi dengan pekik kejut dari
Biau Liang yang terus loncat mundur setombak jauhnya. Ternyata pedangnya telah
terbabat kutung oleh pedang si jelita.
Sebelum imam itu sempat menenangkan diri, Mo Lan Hwa pun sudah melesat dan
secepat kilat menutuk tubuh imam itu.
Biau Liang masih tercengang karena pedangnya putus, atau sudah diserang lagi
oleh Mo Lan Hwa. ia tak keburu menghindar lagi, 'bluk,' jatuhlah ia ke tanah.
Melihat itu imam Hian Leng cepat membentak dan maju menerjang, Demikian pula
dengan keempat imam yang lain, Mereka menggembor kalap dan terus lari
menyerbu. Tetapi Gin Liong, Lan Hwa dan Tek Cun sudah siap menyambut.
Tek Cun menghadang imam Ceng Hun dan Ceng Gwat, Mo Lan Hwa menoegat
imam Komg Beng dan Ceng Beng. Sedang Gin Liong segera menyerang imam Hian
Leng. Tio Li Kun masih berdiri tiga tombak diluar gelanggang, Sambil lintangkan pedang
ia memandang langit. Tiba2 ia berseru memberi peringatan kepada kawan-kawannya
bahwa hari sudah menjelang petang dan lembah masih belum diketahui berapa
dalamnya. Tio Li Kun cepat bergerak, Tring!, terdengar dering senjata yang keras diusul
dengan suara erang tertahan imam Hian Leng lepaskan pedang dan terjungkir tujuh
langkah kebelakang. Gin Liong pun cepat menutuk jalan darah imam tua itu, Kemudian kedua muda
mudi itu menghampiri ketempat Lan Hwa dan Tek Cun.
Melihat Hian Leng dan Biau Liang tojin kena tertutuk, buyarlah semangat keempat
imam yang lain, Berputar tubuh mereka terus melarikan diri.
Gin Liong berempat tak mau melepaskan Mereka berhamburan melayang ke udara
dan terus meluncur menghadang dimuka keempat imam itu. Keempat itu makin
gugup, Mereka berputar dan lari balik, Tetapi dengan cepat Gin Liong dan kawan2
telah dapat menutuk rubuh mereka.
Keenam imam itu dibawa kebelakang sebuah batu besar dan diletakkan disitu,
Setelah itu Gin Liong dan kawan2 segera hendak melanjutkan langkah masuk
kedalam lembah. Tetapi alangkah kejut mereka ketika melihat dimuka sebuah
hutan, lebih kurang tiga puluh tombak dari mulut guha, telah penuh dengan
rombongan orang persilatan yang terdiri tak kurang dari empat lima puluh orang.
Tua. muda, imam dan paderi, Mereka memandang terkejut kearah Gin Liong.
"Tak perlu menghiraukan mereka," kata Tek Cun seraya menyarungkan trisula,
Mereka pun melanjutkan masuk kedalam lembah, Ketika berpaling kebelakang, Gin
Liong melihat rombongan orang persilatan tadi pun berhamburan lari masuk
kedalam lembah. Setelah melewati dua buah hutan bambu, lembah pun berkelok kesebelah kiri, Dan
setelah melalui ujung puncak, mereka melihat sebuah air terjun raksasa yang
mencurah kedasar lembah, membentuk sebuah telaga kedalam 30-an tombak.
Ada suatu pemandangan yang cepat menarik perhatian. Bahwa air telaga itu
ternyata memantulkan sinar yang gilang gemilang menyilaukan mata.
Gin Liong cepat dapat mengetahui bahwa sinar kemilau itu adalah sinar cermin
yang ditingkah cahaya matahari.
"Hai lihatlah, itulah cermin pusaka dari si orang tua!" teriak Gin Liong seraya
menunjuk kemuka, Kemudian ia memandang kesekeliling tetapi tak melihat orang
tua itu. Cermin itu diletakkan diujung atas dari batu runcing yang tepat berada di-
tengah2 curahan air terjun, Entah bagaimana cara orang tua itu meletakkannya.
Gin Liong dan kawan2 hentikan langkah dan memandang ke sekeiling. Tiba2
mereka terkejut sekali ketika melihat diantara gerumbul semak dan batu yang
berada disebelah muka, terkapar malang melintang belasan sosok mayat manusia.
Keadaan mayat2 itu menyedihkan sekali. Ada yang kakinya hilang, lengan buntung,
mulut berlumuran darah, Mereka terdiri dari orang tua, rahib wanita ada pula
yang dandanan seperti sasterawan.
Diam2 Gin Liong ngeri melihat keganasan orang tua pemilik cermin itu.
"Hm, sungguh kejam sekali orang tua itu," Mo Lan Hwa juga penasaran, "huh,
kemanakah dia bersembunyi" Biar dia bagaimana saktinya, tetapi aku ingin
menempurnya juga!" 23. Sinar cermin pusaka "Cici, jangan marah," seru Gin Liong, "turut yang kulihat ketika didalam rumah
gubuk yang lalu, dia hanya memiliki cermin pusaka itu saja dan tak punya senjata
lainnya". Berpaling kebelakang, ia melihat rombongan orang persilatan itu pun berhenti
pada jarak tiga puluhan tombak, Dia heran mengapa mereka tak mau melanjutkan
maju ke muka lagi. "Liong-te, menurut keterangan imam Hian Leng dan Biau Liang tadi, mereka masih
ada empat orang tianglo yang berada disini, tetapi mengapa tak kelihatan?" tiba2
Tio Li Kun berkata. "Hm, mungkin sudah mampus," gumam Mo Lan Hwa.
Tetapi serempak dengan ucapan nona itu tiba2 dari balik sebuah batu besar
disebelah kiri terdengar suara orang tertawa mengekeh.
"Siapa!" bentak Tek Cun, terus melayang ke tempat itu.
"Liok-ko, jangan..." cepat Gin Liong mencegah karena ia tahu akan kesaktian
orang tua pemilik cermin pusaka, iapun segera loncat menyusul Tek Cun, Mo Lan Hwa
dan Tio Li Kun juga mengikuti.
Baru tiba dimuka batu besar dan belum lagi dapat berdiri tegak, seorang imam tua
telah loncat keluar dari balik batu itu dan terus lepaskan hantaman.
Walaupun sudah bersiap tetapi jarak begitu dekat dan pukulan dilancarkan secara
tiba tiba sekali, Tek Cun terkejut dan cepat cepat dorongkan tangannya kemuka.
Gin Liong terkejut ketika melihat kesaktian tenaga pukulan imam tua itu. ia
kuatir Tek Cun tak mampu bertahan. Dengan menggembor keras, iapun segera
menghantam. Tetapi tepat pada saat Gin Liong lepaskan pukulan, dari balik batu besar itu
muncul pula seorang imam tua lagi yang sambil barteriak keras juga lantas lepaskan
hantaman kearah pukulan Gin Liong.
Terdengar letupan keras diiring dengan debu dan batu bertebaran dihembus angin,
imam tua kurus yang pertama muncul tadi serta Tek Cun sama2 terhuyung-huyung
mundur, imam kurus itu termakan pukulan Gin Liong sehingga terhuyung
kebelakang, punggungnya membentur batu besar itu.
Mo Lan Hwa menjerit kaget seraya loncat menyambar tubuh Tek Cun pemuda itu
muntahkan segumpal darah segar. Tio Li Kun pun menghampiri lalu membawa
engkohnya duduk ditanah. Gin Liong melihat peristiwa itu.
"Hm, terimalah pukulanku sekali lagi..!" serunya seraya maju tiga langkah lalu
ayunkan tangannya. Imam tua yang muncul belakang itu mempunyai raut muka seperti kuda, ia tahu
pemuda itu memiliki tenaga yang sakti, Cepat ia kerahkan tenaga dalam dan
menyongsong dengan pukulan juga.
Terdengar letupan lagi dan langkah kaki si imam bermuka kuda yang terhuyung-
huyung kebelakang. Setelah muntah darah, iapun rubuh terkapar.
Pada saat itu dua sosok tubuh loncat keluar lagi dari balik batu besar. Dua
orang imam tua berambut putih itu segera menolong imam bermuka kuda.
Yang mengenakan jubah hitam dan berumur enam puluhan tahun, berwajah
persegi, alis tebal dan mata tajam segera loncat menghampiri ketempat si imam
kurus yang terluka tadi. Gin Liong pun juga memandang kearah Tek Cun. Dilihatnya pemuda itu kerutkan
dahi, pejamkan mata. wajahnya pucat lesi, mulut masih membekas noda darah, Mo
Lan Hwa memberinya minum sebutir pil warna hijau, Sedang Tio Li Kun duduk
dibelakang engkohnya, melekatkan telapak tangannya kepunggung Tek Cun hendak
memberi saluran tenaga dalam.
Makin meluaplah kemarahan Gin Liong. ia marah kepada kawanan imam tua yang
dalam kedudukan sebagai tiang-lo telah menyerang seorang anak muda tanpa
bertanya suatu apa lebih dulu,
Tiba2 pula Gin Liong teringat mengapa orang tua pemilik cermin pusaka itu tak
tampak" Apakah orang tua itu juga sudah mati dibunuh keempat imam tua yang
ganas itu" Dan jangan2 korban2 yang jatuh berserakan di tanah itu juga keempat
imam itu yang membunuhnya.
Gin Liong memandang sesosok mayat yang berada didekatnya,
"Hai, Ma Toa Kong !" serentak ia memekik kaget dan terus loncat menghampiri.
Ternyata perut Ma Toa Kong telah robek sepanjang delapan inci, ususnya
berhamburan keluar. Gin Liong cepat beralih memandang ke arah empat imam tua itu dan membentak:
"Kim-piau Ma Toa Kong, apakah kalian yang membunuh ?"
Imam tua berjubah kelabu yang berada disamping imam bermuka kuda, pelahan-
lahan berbangkit dan deliki mata ialu tertawa dingin:
"Ya. memang toya yang menyempurnakan ia engkau mau apa ?"
Gin Liong tertawa keras untuk menghamburkan kemarahannya.
"Bagus, akupun akan menyasulkan engkau ke akhirat." serunya seraya mencabut
pedang Tanduk Naga. Tiba2 ia mendengar suara erang pelahan. Ah. ternyata suara
itu berasal dari mulut Ma Toa Kong.
Gin Liong cepat berjongkok dan memegang pergelangan tangan Ma Toa Kong.
Ternyata detak jantungnya masih berjalan lemah.
Segera ia menutup luka Ma Toa Kong dengan pakaiannya lalu lekatkan telapak
tangan keperutnya untuk memberi penyaluran tenaga dalam, Walaupun wajahnya
pucat seperti kertas tetapi bibir Ma Toa Kong mulai bergerak-gerak.
"Ma locianpwe, bagaimana engkau rasakan?" seru Gin Liong.
Ma Toa Kong hendak mengucap kata2 tetapi tenaganya lemas sekali, ia pejamkan
mata lagi, Tak berapa lama terbuka lagi dan bibirnya pun bergerak-gerak.
Beberapa saat kemudian kedengaran ia dapat menghela napas dan memandang Gin Liong:
"Ah . . . tak kira . . . bukan di . . . guha Kiu-kiok-tong . . . . tetapi . . .
aku mati disini . . ." "Ma locianpwe bagaimana meninggalkan guha Kiu-kiok-tong?" seru Gin Liong
cepat. Dengan napas terengah-engah Ma Toa Kong paksakan diri berkata:
"Pada waktu itu . . . gurumu masuk guha, . . lama tak keluar . . . pertama It
Ceng . . . kuatir Ban Hong liong-li keluar . . . yang pertama-tama lalu . . .
kemudian . . . . semua pergi . . . ."
Tiba2 dari jauh terdengar suara orang berseru memanggil: "Ma susiok . . . ."
Nampak sosok bayangan berlarian mendatangi ketempat Ma Toa Kong. Mereka
dua lelaki berpakaian hitam, bertubuh gagah perkasa dan masing2 menyanggul
golok besar. Gin Liong duga kedua orang itu tentu orang Tiam-jong-pay. Mungkin karena
mendengar ia menghardik keempat iman tua tadi, kedua orang itupun segera
bergegas mendatangi. "Ma susiok, siapakah yang membunuh engkau?" kedua orang itu menangis.
Dua butir airmata menitik dari pelupuk mata Ma Toa Kong, kemudian berkata:
"Hong Tim. .. dan . . . Ceng . . ." ia tak dapat melanjutkan kata-katanya lagi
karena saat itu lidahnya kaku. Melihat itu Gin Liong cepat salurkan tenaga dalam lagi ketubuh Ma Toa Kong,
Tetapi percuma, Ma Toa Kong telah putus jiwanya, Gin Liong meluap darahnya.
Berpaling kebelakang dilihatnya Mo Lan Mwa berdiri dengan lintangkan pedang
menjaga Tio Li Kun dan Tek Cun yang tengah duduk menyalurkan pernapasan.
Sedang imam tua bermata tikus, berada dua tombak dari mereka, imam tua
berjubah hitam pun tengah berjalan menghampiri.
Gin Liong segera dapat menduga apa yang telah terjadi. Ketika Tio Li Kun sedang
merawat engkohnya yang terluka dan dia sedang menolong Ma Toa Kong, kedua
imam itu tentu berusaha hendak turun tangan.
Segera ia berseru nyaring: "Hai, siapakah diantara kalian yang bernama Hong Tim
lo-to, lekas kemari terima kematian!"
Sambil berkata, pemuda itu loncat ketengah gelanggang, imam yang bermata kecil
seperti mata tikus dan bermuka pesegi segera berhenti terkejut melihat ilmu
meringankan tubuh dari Gin Liong yang begitu hebat.
Gin Liong berhenti setombak dihadapan kedua imam itu dan menghardik lagi:
"Siapa" Siapa yang bernama Hong Tim?"
Setelah tenangkan semangat kedua imam itu meliarkan pandang kearah jago2
persilatan yang berada dalam lingkungan dua puluh tombak disekelilingnya.
Merahlah muka mereka, Kemudian menatap Gin Liong, kedua imam itu tertawa
dingin. Tiba2 kedua orang yang menangis disisi mayat Ma Toa Kong tadi, serentak
berbangkit mencabut golok dan menggerung: "Keparat Hong Tun, bayarlah jiwa
susiokku!" Keduanya melalui Gin Liong dan terus langsung menyerbu si imam mata tikus, Gin
Liong terkejut ia tahu kedua orang itu tentu bukan tandingan Hong Tim, Tetapi ia
tak leluasa untuk mencegah kedua orang yang hendak membalaskan dendam
kematian susioknya. Ternyata imam bermata seperti mata tikus itu memang Hong Tim. Segumpal
jenggotnya yang putih tampak berguncang-guncang dibawa tertawanya. Tahu2 dia
sudah loncat melayang dua tombak jauhnya.
"Tikus2 kecil, kalian berdua cari kematian sendiri, jangan salahkan aku Hong Tim
toya berhati kejam!" habis berkata imam tua itu terus mencabut pedangnya.
Melihat sikap si imam yang begitu congkak, marahlah Gin Liong, Segera ia berseru
menyuruh kedua orang itu berhenti.
Tetapi sudah terlambat. Kedua orang itu tak mau menghiraukan lagi dan terus
menyerbu laksana harimau melihat darah.
Tiba2 seorang imam tua berjubah hitam, loncat menyongsong dan lepaskan
hantaman kearah kedua orang itu:
"Tikus kecil, terimalah pukulanku dulu."
Melihat itu Gin Liong marah sekali. Cepat ia ayunkan tangannya kearah imam jubah
hitam atau imam tua Ceng Hian.
Terdengar jeritan ngeri dan tubuh imam tua Ceng Hian itupun terlempar sampai
empat tombak jauhnya, membentur sebuah batu besar.
Melihat itu imam kurus yang baru saja selesai menyilangkan tenaga cepat loncat
untuk menanggapi tubuh Ceng Hian, Tetapi ketika memeriksanya ternyata imam
tua Ceng Hian sudah putus nyawanya.
Pada saat itu berpuluh jago2 silat yang berada dua puluh tombak dari tempat Gin
Liong berdiri, tiba2 bersorak keras.
Gin-Liong berpaling dan tampak wajah jago2 silat itu terkejut memandang kearah
belakangnya. Menurut arah pandang mereka, Gin Liong segera mengetahui bahwa
lelaki berpakaian ungu tadi sudah dibelah dua oleh pedang imam tua Hong Tim.
Dan saat itu Hong Tim meneruskan pedangnya kearah lelaki berpakaian hitam.
Saat itu Gin Liong menyadari bahwa teriakan jago2 silat tadi adalah sebagai
peringatan kepadanya bahwa kedua orang murid keponakan dari Ma Toa Kong
terancam bahaya. Gin Liong tak dapat menahan kemarahannya lagi. Serentak ia mencabut pedang
Tanduk Naga dan terus loncat membabat Hong Tim.
Melihat kedahsyatan gerak Gin Liong dan pedang Tanduk Naga, imam tua Hong
Tim terkejut sekali, Buru2 ia loncat mundur beberapa langkah.
Tetapi Gin Liong sudah terlanjur diamuk amarah, Terutama setelah tahu bahwa
imam tua Hong Tim itulah pembunuh dari Ma Toa Kong, Dengan mengaum laksana
harimau melihat darah, ia menerjang maju dan menusuk perut Hong Tim.
imam kurus meletakkan mayat imam Ceng Hian lalu loncat menerjang Gin Liong:
"Bangsat, kembalikan jiwa ji-suhengku..."
Serangan imam kurus itu disertai dengan hud-tim atau kebut pertapaan yang
berbulu kawat perak, menyabet lambung Gin Liong.
Lelaki baju hitam yang hendak diserang Hong Tim tadi karena melihat kawannya,
lelaki baju ungu mati begitu mengenaskan, marah dan kalap, ia segera menyerang
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
imam kurus dengan sebuah tabasan golok.
Dengan demikian serangan imam kurus kepada Gin Liong pun tertahan, Dan Gin
Liong dapat melanjutkan tusukannya keperut Hong Tim.
Hong Tim cepat menangkis dengan pedang tetapi begitu berbentur dengan pedang
Tanduk Naga, pedangnya pun putus, Sebelum Hong Tim sempat menghindari ujung
pedang Tanduk Naga sudah bersarang di perutnya.
Darah mengucur deras, Hong Tim lepaskan pedangnya, mendekap perut dan
terhuyung-huyung kebelakang dan rubuh ke tanah. Ususnya berhamburan,
kematiannya sengeri kematian Ma Toa Kong.
Setelah berhasil membunuh Hong Tim, Gin Liong pun berpaling. Dilihatnya imam
kurus sedang bertempur seru dengan lelaki baju hitam, imam kurus dengan
permainan kebut hud-timnya yang cepat dan dahsyat dapat mendesak lawan
sehingga orang itu mandi keringat, permainan goloknya pun makin kacau, Tetapi
rupanya dia sudah kalap dan hendak mengadu jiwa, Dengan negkad ia balas
melakukan serangan sehingga mampu juga mendesak imam kurus.
Dalam pada itu, imam tua bermuka seperti kuda yang tengah pejamkan mata
memulangkan tenaga tadi, membuka mata dan dengan menggerung ia ayunkan
kedua tangannya. Benda halus macam sutera perak mendesis-desis kearah Siau-bun-hau Tek Cun
yang saat itu masih pejamkan mata memulangkan tenaga.
Mo Lan Hwa menjerit kaget dan cepat loncat kesamping Tek Cun seraya memutar
pedangnya dalam sebuah lingkaran untuk melindungi anak muda itu.
Melihat itu Gin Liong marah sekali, sambil meraung ia loncat ke udara dan
bergeliatan untuk meluruskan tubuh. Ketika ia hendak melepaskan hantaman tiba2
Mo Lan Hwa menjerit kaget pedangnya terpental jatuh dan nona itu pun jatuh
terjungkir balik kebelakang.
Gin Liong terkejut, ia tahu bahwa nona itu tentu terkena senjata rahasia
berbentuk seperti sutera perak tadi. Cepat ia ayunkan kaki keatas dan berjumpalitan Dengan
kaki di atas dan kepala dibawah ia melayang kearah tempat Mo Lan Hwa.
Pada saat ia hendak menyambar tubuh Mo Lan Hwa tiba2 matanya terpancar oleh
cahaya keras yang dipancarkan dari kaca wasiat tadi. Seketika pandang matanya
silau, ia tak dapat melihat benda disekelilingnya lagi, Empat penjuru terasa
gelap gelita, Untung Gin Liong masih sadar pikirannya. ia bergeliatan dan melayang turun ke
tanah, Tetapi ia terkejut sekali ketika matanya tetap gelap tak dapat melihat
apa2. Serempak pada saat itu ia mendengar pula suara mendesis-desis halus menuju
ketempatnya, ia tahu bahwa musuh telah menyerangnya dengan senjata rahasia,
Cepat ia putar pedang Tanduk Naga dan berhasil membuyarkan benang2 perak itu
jatuh ke tanah. Tiba2 para jago silat diluar gelanggang kembali berteriak pula, Gemuruh dan
gempar. Bahkan mereka bukan melainkan bersorak tetapi pun menyisih
kebelakang, membuka sebuah jalan.
Gin Liong cepat berpaling untuk melihat. Tetapi ia tetap tak dapat melihat apa2,
matanya tetap gelap, ia hanya mendengar diantara suara hiruk pikuk itu samar2
terdengar suara kibaran pakaian beberapa orang yang tengah mendatangi.
Imam bermuka kuda, karena meleypaskan senjata rahasia sutera perak yang
selembut bulu kerbau. telah kehabisan tenaga dalam, Luka dalamnya kambuh lagi,
berulang kali ia muntah darah
Saat itu terdengar si cantik Tio Li Kun melengking kaget, Rupanya setelah
selesai menyalurkan tenaga, Tio Li Kun tahu apa yang terjadi pada diri Mo Lan Hwa. Cepat
ia loncat memeluk tubuh Mo Lan Hwa, Wajah Mo Lan Hwa pucat lesi, matanya
meram dan dahinya mengerut menahan kesakitan. Memandang kesebelah muka,
hati Tio Li Kun makin tergetar keras. Dilihatnya Gin Liong ter-longong2
memandang kearah jago2 silat yang tengah hiruk dan sibuk menyisih kesebelah samping.
Tio Li Kun segera hendak menegur tetapi tiba2 dilihatnya tiga orang tua lari
menerobos keluar dari kerumun jago2 silat itu. Yang paling depan umurnya lebih
kurang delapan puluh tuhun, berambut pendek berjenggot panjang, putih seperti
perak, wajahnya lebar, alis tebal mata bundar. Mengenakan pakaian dari kain
kasar, Tangannya mencekal sebatang pipa hun-cwe, gembung pula sebesar kepalan
tangan orang, memancarkan sinar ke-emas2an.
Di sebelah kiri dari orang tua itu, seorang tua yang sikapnya seperti orang
sinting, Dia membawa sebatang tongkat bambu wulung dan pakaiannya compang-camping
seperti pengemis. Disebelah kanan orang tua tadi, juga seorang lelaki tua berumur lebih kurang
delapan puluh tahun, Rambut dan jenggotnya putih, matanya kuyu seperti seorang
pemabok. Mulutnya besar dan lebar sekali, Mengenakan pakaian warna kelabu yang
memanjang menutupi kedua kakinya, punggungnya memanggul tiga buah buli2
arak yang berkilat-kilat menyilaukan.
Ketiga orang tua itu lari pesat sekali, Tio Li Kun pun cepat mengenali ketiga
orang itu sebagai Swat-thian Sam-yu. Maka ia segera menggolek-golekkan kepala Lan
Hwa dan memberitahu: "Adik Hwa, adik Hwa, lihatlah, ketiga suhengmu datang."
Mendengar itu Mo Lan Hwa paksakan diri membuka mata. Setelah melihat
memang ketiga suhengnya datang, ia pejamkan mata pula.
Saat itu pandang mata Gin Liong pun sudah sembuh. ia dapat melihat kedatangan
Swat-thian Sam-yu itu, Cepat2 ia berseru: "Lo-koko berdua, harap segera kemari!"
Melihat Gin Liong, Hok To Beng dan Hong-tian-soh (siorang tua sinting) tertawa
gelak2. Tetapi wajah mereka cepat mengerut gelap ketika melihat Mo Lan Hwa
menggeletak ditanah dipeluk Tio Li Kun. Cepat mereka lari menghampiri. Lebih
terkejut pula mereka ketika memeriksa keadaan sumoaynya itu.
Hok To Beng sibuk memanggil-manggil sumoaynya tetapi nona itu tetap diam saja.
Didapatinya lengan Mo Lan Hwa membegap, jelas nona itu tentu terkena senjata
rahasia yang amat beracun.
"Siapa yang berani mencelakai sumoay dengan senjata rahasia beracun itu!" Hong-
tian-soh berbangkit dan berteriak keras.
Sebelum Gin Liong memberi keterangan, Mo Lan Hwa pun paksakan diri membuka
mata dan menuding kearah si imam potongan muka kuda.
Menurutkan arah yang ditunjukkan si nona, Hong-tian-soh segera membentak
keras: "Hai, kurcaci tua dari mana berani menggunakan senjata rahasia yang begitu
ganas!" Dengan mengangkat tongkat bambu wulung, Hong-tian-soh pun segera lari kearah
si iman muka kuda yang masih duduk di tanah.
Ketika Cui-sian-ong atau Dewa Pemabuk merentang mata, segera ia berseru: "Hai,
sinting, jangan menghajar, dia Ih Tim tianglo dari partai Kiong-lay-pay."
Hong-tian-soh sudah terlanjur angot gilanya. Sudah tentu ia tak menghiraukan
peringatan Dewa Pemabuk. "Tak peduli dia tianglo dari partai mana, yang penting harus dihajar dulu!" seru
orang sinting itu, ia tetap lanjutkan larinya ketempat imam tua itu.
Mendengar keterangan Dewa Pemabuk, Hok To Beng terkejut dan berpaling ikut
mencegah: "Sinting . ..."
Tetapi terlambat. Terdengar suara bambu menghantam benda keras disusul
dengan jeritan ngeri. Batok kepala dari Ih Tim tianglo partai persilatan Kiong-
lay- pay telah hancur lebur, berhamburan keempat penjuru.
24. Kaca wasiat membutakan mata
Baik Hok To Beng maupun Dewa Pemabuk berobah wajahnya seketika. Mereka
menganggap peristiwa pembunuhan itu akan menimbulkan akibat besar, Partai
Kiong-lay-pay pasti akan mencari balas kepada Swat-thian Sam-yu.
Tidak demikian dengan Gin Liong. pemuda itu tak puas melihat kekuatiran kedua
tokoh itu. Sejenak ia keliarkan pandang kearah sosok2 mayat yang menjadi korban
keganasan keempat imam tua dari Kiong-lay-pay itu.
Baru ia hendak berkata, tiba2 Hong-tian-soh pun sudah berteriak keras lagi:
"Hai, masih ada seorang kurcaci tua lagi!"
Habis berkata ia terus mengangkat tongkat bambunya hendak dikemplangkan ke
kepala imam kurus yang tengah bertempur dengan orang yang berpakaian hitam
tadi. Kali ini Hok To Beng berbangkit dan berteriak marah: "Hai, sinting, itu Ceng Cin
tianglo dari Kong-tong-pay !"
Mendengar itu imam kurus terkejut Cepat menggembor keras dan menyelinap
kesamping. Ketika berpaling kejutnya bukan kepalang, Cepat2 ia ayunkan kebut
hud-timnya. "Bagus, ha, ha, ha," teriak Hong-tian-soh yang tanpa merobah gerak jurusnya,
tetap ayunkan tongkat bambu mengemplang kepala imam itu.
Waktu mengetahui bahwa yang menyerangnya itu si sinting dari Swat-thian Sam-
yu, berobahlah wajah Ceng Cin tianglo, ia tahu bahwa jurus Pang-ta-lian-hoa yang
dimainkan tokoh sinting itu penuh perobahan yang sukar diduga. Dengan
menggembor keras. Ceng Cin segera buang tubuhnya bergelundungan ke tanah
dengan ilmu Kiu-te-sip-pat-kun.
Rupanya Hong-tian-soh tak mau mengejar. Berpaling memandang kearah lelaki
baju hitam yang masih tegak terlongong. ia membentak:
"Karena bertempur mati-matian di tempat ini, engkau tentu bukan manusia baik!"
Habis berkata orang sinting itu terus ayunkan tongkat bambunya, kepinggang
orang. Karena hendak diserang, lelaki baju hitam itu pun menangkis dengan goloknya,
Melihat itu Gin Liong cepat berteriak:
"Hong koko, dia bukan..."
Tetapi belum selesai Gin Liong berseru, golok lelaki baju hitam itupun sudah
mencelat ke udara, Untung karena mendengar peringatan Gin Liong, Hong-tian-soh
segera hentikan tongkatnya, Memandang kepada orang itu ia tertawa mengekeh
lalu berputar tubuh dan melangkah ke tempat Mo Lan Hwa lagi dan berjongkok.
Rupanya sayang sekali dia akan sumoaynya.
Saat itu Dewa pemabuk berhasil mendapat sebuah botol kecil dari kumala putih,
Setelah menuangkan pil dari botol itu, terus disusupkan ke mulut Mo Lan Hwa.
Tek Cun pun sudah kuat berdiri tetapi semangatnya masih lelah, Dalam
kesempatan itu Hok To Beng suruh Gin Liong berkenalan dengan Dewa Pemabuk,
Demikian pula dengan Tio Li Kun dan Tek Cun.
Ternyata Swat-thian Sam-yu juga naik perahu bersamaan waktunya dengan Gin
Liong, Tetapi karena penumpangnya banyak, perahu agak pelahan jalannya hingga
Gin Liong dan rombongannya tiba lebih dulu setengah jam.
Jago2 persilatan dari berbagai aliran makin banyak tiba di tempat itu, Tetapi
mereka tak berani mendekat dan hanya berdiri dua puluh tombak jauhnya, Mereka
kasak kusuk dengan kawan2nya. Dengan munculnya Swat-thian Sam-yu di tempat
itu, tak seorang pun yang berani melanjutkan perjalanannya kemuka.
Sejenak memandang kesekeliling, Hok To Beng kerutkan dahi, lalu bertanya kepada
Gin Liong: "Orang tua itu mengapa tak tampak ?"
Memandang kearah cermin pusaka di tengah telaga, Gin Liong juga menyatakan
keheranannya: "Sejak kami datang, orang tua itu tak pernah kelihatan."
"Lalu siapa yang membunuh korban2 itu ?" seru Hong-tian-soh seraya memandang
sosok2 mayat yang berserakan di tanah,
Gin Liong kerutkan alis, Tiba2 ia teringat akan kematian Ma Toa Kong.
"Kemungkinan mati di tangan keempat imam tua itu!" akhirnya ia menyahut.
Sudah tentu Swat-thian Sam-yu terkejut. Mereka mendesah dan serempak
berpaling ke arah imam tua Ceng Cin.
Tampak imam tua Ceng Cin tengah memondong mayat Ceng Hian dibawa lari
keluar dari lembah itu. "Hm, hari ini kurcaci tua itu mendapat kemurahan," dengus Hong-tian-soh geram.
Mo Lan Hwa sudah dapat bangun.
"Bagaimana" Apakah lenganmu sudah tak sakit?" seru ketiga Swat-thian Sam-yu.
Dengan manja sekali Mo Lan Hwa mengatakan kalau sudah sembuh, ia singsingkan
lengan baju dan tampaklah sebatang sutera perak selembut bulu kerbau menyusup
kelengan nona itu. Dewa Pemabuk mengambil buli2 araknya meneteskan dua tetes arak ke bulu perak
itu lalu mencabutnya. "Untung Ih Tim loto sudah menderita luka dalam, sehingga tenaganya berkurang,
Kalau tidak sutera perak itu tentu akan menyusup lebih dalam lagi ketulang,"
kata Tio Li Kun. Dewa Pemabuk merentang mata dan bertanya siapakah yang melukai Ih Tim loto
itu. Gin Liong mengaku bahwa dialah yang melukai imam tua itu karena melihat imam
itu mengganas Tek Cun dengan pukulan yang dahsyat ia menunjuk ke arah Tek Cun
yang wajahnya masih pucat.
Dewa Pemabuk mendesis, Rupanya ia seperti kurang percaya kalau seorang anak
semuda Gin Liong mampu melukai Ih Tim yang berkepandaian tinggi.
"Lalu siapakah yang membunuh Ceng Hian loto?" tanyanya pula.
"Juga siaute" kata Gin Liong, "karena dia berlaku curang menyerang dari
belakang." Sudah tentu Dewa Pemabok makin terkejut. Dengan matanya yang redup menatap
Gin Liong. "Siau-hengte" serunya dengan sikap serius, "begitu keluar dari perguruan, engkau
sudah mengikat permusuhan dengan dua partai persilatan. Kemungkinan engkau
akan menghadapi bermacam-macam kesulitan nanti."
Gin Liong hanya tertawa hambar, "Dalam terjun kedunia persilatan siaute hanya
berpijak pada kebenaran dan keadilan. Memberantas yang lalim dan jahat,
menolong yang lemah dan benar. Apapun bahaya yang akan menimpali pada diri
siaute, siaute tak dapat menghindari lagi."
Dewa Pemabuk terkesiap, Setelah berbicara beberapa saat lagi, diam2 ia
mengagumi pendirian dan sikap Gin Liong yang perwira.
"Bagus, bagus, siau-hengte." bahkan Hong-tian-soh si Sinting menepuk-nepuk bahu
Gin Liong "tak kecewa engkau menjadi adik dari aku si Sinting ini Hong-tian-soh.
Berani dan perwira, Tak gentar menghadapi ancaman, tak menindas yang lemah
dan tak melakukan pekerjaan yang melanggar hukum Allah, Aha, aku si sinting
Hong-tian-soh, sekarang sudah mempunyai adik sealiran."
Habis berkata tokoh sinting itu tertawa gelak2 dengan gembira sekali.
Walaupun menahan sakit karena ditepuk-tepuk bahunya itu, terpaksa Gin Liong
harus tersenyum. Tio Li Kun dan Tek Cun tergerak hatinya mendengar pernyataan si sinting yang
begitu perwira. Mereka tak mengira kalau tokoh yang tampak seperti orang sinting
ternyata menpunyai pendirian seorang pendekar besar.
Melihat Gin Liong tertawa meringis, Mo Lan Hwa berseru: "Hong koko, engkau
boleh saja bergembira tetapi dengan menepuk-nepuk bahu begitu, orang harus
meringis kesakitan untuk memuaskan kegembiraan hatimu."
Hong-tiang-soh menyadari dan cepat hentikan tangannya.
Tiba2 terdengar suitan nyaring dari arah puncak gunung yang jauh dari situ, Gin
Liong terkejut Demikian pula dengan sekalian tokoh yang berada disitu. Mereka
serempak memandang kearah suara suitan itu.
Suitan itu seolah menembus udara, memenuhi lembah dan makin lama makin
dekat ke lembah. Sekonyong-konyong dari arah dua puluh tombak jauhnya terdengar suara orang
berteriak keras: "Lekas lari, orang tua pemilik kaca wasiat itu datang!"
Mendengar itu para jago silat yang berkumpul diluar lembah segera desak
mendesak berebut lari. Mereka seperti akan diserang bencana.
Gin Liong kerutkan alis, 'Dari berbagai tempat yang jauh mereka datang, bukankah
karena hendak melihat orang tua pemilik kaca wasiat itu" Mengapa sekarang orang
tua itu datang, mereka matah melarikan diri"' Pikir Gin Liong penuh keheranan.
Suitan pun berhenti dan beberapga jago silat yang sudah membelok di puncak
gunung sebelah muka itupun berhenti. Mereka berpaling memandang ke telaga,
cemas dan sangsi. Tiba2 sebuah suara suitan yang aneh dan parau, mengiang ditelinga Gin Liong. Gin
Liong terkejut dan cepat berpaling.
Hong-tian-soh meregang rambutnya, muka menengadah dan mulut ternganga,
Tengkuk lehernya menjulur ke muka. Ah, dialah yang bersuit aneh itu.
Luka Tek Cun baru saja baik, Mendengar suitan aneh itu, wajahnya pucat dan
keringat dingin pun mengecur lagi, Melihat itu Gin Liong, Tio Li Kun cepat
loncat kesamping Tek Cun dan serempak memegang punggung Tek Cun.
Tampak Hok To Beng dan Dewa pemabuk serius sekali wajahnya. Kedua tokoh itu
mengadahkan muka untuk menanti jawaban dari suitan aneh yang dipancarkan
Hong-tian-soh tadi. Memandang ke puncak gunung sebelah muka, Gin Liong tak melihat lagi
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rombongan jago2 silat yang berdiri disitu, Rupanya karena mendengar suitan Hong-
tian-soh, mereka ketakutan melarikan diri.
Setelah bersuit, Hong-tian-soh merentang mata dan memandang ke puncak
sebelah muka, Tiba2 suitan nyaring tadi terdengar pula, jelas berasal dari balik
puncak gunung yang tingginya beratus-ratus tombak, Menyusul muncul dua sosok
tubuh warna kelabu dan putih meluncur turun bagai dua buah bintang jatuh dari
langit. Baik Gin Liong maupun Swat-thian Sam-yu terkesiap melihat kesempurnaan ilmu
meringankan tubuh dan kedua pendatang itu.
Seiring dengan suitan berhenti, kedua sosok tubuh itupun sudah mencapai tengah2
lereng gunung. Tetapi kumandang suitannya masih berkumandang jauh ke
angkasa. Saat itu Gin Liong dapat melihat bahwa kedua pendatang itu terdiri dari seorang
lelaki dan seorang wanita.
"Sepasang lelaki dan wanita," serunya, Swat-thian Sam-yu terkejut. Mereka
sendiri belum dapat melihat jelas kedua pendatang itu. Terutama Dewa Pemabuk, Dia
sampai mendesuh kejut karena heran atas ketajaman mata anak muda itu.
Dalam pada itu kedua pendatang itupun sudah tiba di kaki gunung dan lari
menghampiri kearah lembah.
Swat-thian Sam-yu memperhatikan bahwa wala upun tampaknya pelahan tetapi
sesungguhnya kedua pendatang itu lari cepat sekali
Pada lain saat tiba2 Gin Liong berteriak kaget: "Sumoay, sian-tiang . .. .!"
iapun terus loncat dan lari menyongsong kedatangan bayangan putih itu.
Mendengar itu berdebarlah hati si jelita Tio Li Kun. Apabila tokoh yang disebut
sian- tiang telah datang, dia tentu dapat membuka rahasia siapa sesungguhnya suhu dari
Tio Li Kun itu. Beda dengan engkohnya, Tek Cun, Pemuda itu gembira sekali, ia merasa hari itu
benar2 luar biasa sekali karena dapat berjumpa dengan empat tokoh dari Ih-lwe-
jit- ki atau Tujuh tokoh aneh dalam dunia.
Sedangkan Mo Lan Hwa merasa cemburu karena mendengar Gin Liong begitu
girang sekali menyambut kedatangan sumoaynya.
Saat itu Swat-thian Sam-yu dapat mengetahui jelas bahwa salah seorang
pendatang itu bukan lain adalah Hun Ho sian-tiang bersama seorang gadis cantik
baju putih yang umurnya sekitar 16-17 tahun, Ketiga tokoh itu segera dapat
menduga bahwa gadis baju putih itu tentu sumoay dari Gin Liong, Mereka tertawa
ikut gembira atas pertemuan itu.
Terpisah tujuh tombak jauhnya, Gin Liong berhenti dan memberi hormat kepada
Hun Ho sian tiang. "Liong koko . ." teriak gadis baju putih dengan penuh haru. ia berlinang-linang
air mata melihat Gin Liong. "Harap siau-sicu tak memakai banyak peradatan," begitu tiba dihadapan Gin Liong,
Hun Ho sian-tiang mencegah anak muda yang hendak membungkuk tubuh
menghaturkan hormat ia ulurkan tangan untuk mencekal tangan Gin Liong,
Seketika Gin Liong merasa seperti terangkat ke atas dan terus melayang kearah
Swat-thian Sam-yu. "Bertahun-tahun tak berjumpa, toheng bertiga masih segar bugar seperti yang
lalu." seru Hun Ho sian-tiang yang menyusul tiba dihadapan Swat-thian Sam-yu.
Hok To Beng dan Dewa pemabuk tertawa dan serempak menegur: "Imam hidung
kerbau, angin apakah yang meniup engkau sampai ke lembah ini?"
"Bukan angin tetapi keinginan nafsu hati yang serakahlah yang membawanya
kemari." tiba2 Hong-tianw-soh menyelutuk tertawa.
Sambil mengurut-urut jenggotnya, Hun Ho sian-tiang tertawa:
"Ah, Hong toheng masih gemar berolok-oIlk. Ketika pergi ke gunung Tiang-pek-san
mencari tanaman obat, kebetulan kita saling bertemu dan secara kebetulan pula
berjumpa dengan orang tua pemilik kaca wasiat tadi bukan sengaja khusus
mencarinya . . ." "Dan kali ini" Apakah kedatanganmu kemari juga hendak mencari daun obat?"
tukas Hong-tian-soh. "Tadi kalau tak mendengar suitan yang memecah angkasa dari mulut Hong to-
heng, mungkin saat ini aku sudah tinggalkan gunung Hok-san ini sahut Hun Ho
sian- tiang. Swat-thian Sam-yu dan Gin Liong tertawa, Dalam pada itu si cantik Tio Li Kun, Mo
Lan Hwa dan Tek Cun pun menghampiri dan memberi hormat kepada Hun Ho sian-
tiang, Melihat Tio Li Kun, Hun Ho sian-tiang segera tertawa:
"Nona Tio, apakah suhumu Ceng Hun suthay baik2 saja?" tegurnya.
Merah wajah Li Kun, Dia gugup mendapat pertanyaan itu tetapi karena tak dapat
ditutupi lagi akhirnya ia menyahut juga.
"Berkat restu sian-tiang, suhu tak kurang suatu apa."
Swat-thian Sam-yu terkesiap, Mereka memang pernah mendengar kabar orang
bahwa kepandaian si cantik Tio Li Kun jauh di atas saudara2nya, Saat itu baru
mereka mengetahui bahwa suhu dari si cantik itu ternyata rahib Ceng Hun, murid
pewaris dari Bong-san loni atau rahib tua dari gunung Bong-san salah seorang
dari Bu-lim Su-ik atau Empat-luar-biasa dalam dunia persilatan.
Jangankan Swat-thian Sam-yu, bahwa Tek Cun engkoh nomor enam dari si jelita Li
Kun sendiri, juga terlongong-longong heran. walaupun sebagai saudara tua, tetapi
ia tak tahu bahwa adiknya itu ternyata murid dari rahib tua Bong-san loni. Dia
kira kalau kepandaian adiknya itu berasal dari mamahnya.
Karena lama tak berjumpa maka pertemuan antara Swat-thian Sam-yu dengan Hun
Ho sian-tiang itu amat menggembirakan sekali Mereka ber-cakap2 dengan riang
dan asyik. Melihat Ki Yok Lan. Tek Cun benar2 terkesiap, ia tak menyangka bahwa sumoay
yang sering diucapkan oleh Gin Liong itu ternyata seorang gadis yang agung dan
cantik, wajahnya yang cantik berseri, makin memancarkan kecantikan yang syahdu
dalam pakaiannya yang berwarna putih. Sepintas pandang menyerupai seorang
bidadari. ia memperhatikan bahwa adiknya, Mo Lan Hwa dan Ki Yok Lan dalam waktu yang
singkat tampak akrab sekali, Tetapi diam2 iapun memperhatikan juga bahwa pada
wajah adiknya, Tio Li Kun tampak memancarkan sinar cemburu. Sedang wajah Mo
Lan Hwa mengunjuk rasa putus asa. Sedang Ki Yok Lan sendiri tampak tenang dan
wajar. Secara tak disadari, ia telah membuat perbandingan untuk menilai ketiga gadis
cantik itu. Ki Yok Lan, berwajah agung cantik dan alim. Memberi kesan bahwa dia seorang
dara yang berhati bersih dan suci.
Mo Lan Hwa cantik berseri, meriah dan gagah sehingga orang tak berani main2
kepadanya Seorang dara yang bersemangat
Adiknya, Tio Li Kun, cantik laksana sekuntum bunga mekar di pagi hari, Memiliki
sikap yang berwibawa, cerdas tetapi angkuh.
Diam2 Tek Cun mencemaskan adik perempuannya itu. jika Tio Li Kun tak mau
berlapang dada, menerima dan memberi dalam soal asmara, dikuatirkan dia akan
menderita. Tiba2 suara tertawa gelak2, menghentikan pikiran Tek Cun yang tengah melamun
itu. Ah, ternyata Hun Ho sian-tiang bersama Swat-thian Sam-yu telah menuju ke
tepi telaga. "Liok-ko, mari kita kesana juga," tiba2 Gin Liong mengajak, Tek Cun mengiakan
dan segera kedua pemuda itu menuju ke tepi telaga juga, Melihat itu ketiga gadis pun
mengikuti pula. Rombongan Swat-thian Sam-yu beristirahat di sebuah tempat yang jauh dari
hamburan air terjun. "Imam hidung kerbau," tiba2 Hong-tian-soh bertanya, "apakah engkau tak
menduga bahwa orang tua pembawa kaca wasiat itu bukan salah seorang dari
Thian lam Ji-gi?" Hun Ho sian-tiang gelengkan kepala pelahan sahutnya: "Kedua tokoh Thian-iam Ji-
gi itu sudah lama menutup pintu tak mau bertemu orang. Tahun muka baru
mereka menyudahi persemedhiannya"
Berhenti sejenak, Hun Ho siantiang melanjutkan pula:
"Ketika Siau sicu hendak memheri hormat kepadaku di tanah lapang lembah salju
gunung Tiang pek-san, dari rumah pondok itu tiba2 memancar sepercik sinar dan
menyusul segulung asap putih melintas di atas kepala si pengemis jahat dan Hoa
hweshio, Kedua orang itu menjerit ngeri. Ketika kuburu keluar hutan. ternyata
asap itu sudah lenyap." "Imam hidung kerbau," Dewa Pemabuk tak percaya, "jangan membual, Dengan
ilmu meringankan tubuh Ki-hong-hui-heng-sut yang sakti itu, masakan orang tua
pembawa kaca wasiat itu mampu lolos dari pengawasanmu ?"
Hun Ho sian-tiang menghela napas panjang, "Ketika aku melambung ke udara,
kulihat berpuluh sosok tubuh kaum persilatan yang bersembunyi disekeliling hutan
itu, berhamburan lari kesegenap penjuru, Sukar bagiku untuk mengejar yang
mana." Hok To Beng memandang kearah kaca wasiat di telaga dan bertanya:
"Menurut pandanganmu apa maksudnya orang tua itu meletakkan kaca wasiat di
tempat yang sedemikian berbahaya ?"
Hun Ho sian-tiang kerutkan alis.
"Rupanya orang tua itu bermaksud hendak membunuh orang yang berhati temaha,
Sejak dia muncul, entah sudah berapa banyak jiwa kaum persilatan yang binasa
ditangannya." Berhenti sejenak Hun Ho sian-tiang melanjutkan pula: "Menurut dugaanku, dengan
menaruh kaca wasiat di tengah telaga, dia bermaksud hendak memancing nafsu
keinginan orang agar jago2 silat itu saling bunuh membunuh sendiri dan dunia
persilatan berkurang jumlahnya manusia2 yang berhati temaha."
"Huh, apakah itu bukan berarti hendak menciptakan suatu pembunuhan besar-
besaran?" teriak Hong-tian-soh tak puas, "jika tiada kaca wasiat itu orang tentu
takkan timbul nafsu temahanya."
Kemudian tokoh sinting dari Swat-thian Sam-yu itu menggeram: "Lebih baik
menghancurkan kaca itu agar jangan menimbulkan peristiwa berdarah!"
Habis berkata ia terus menjemput sebuah batu kecil dan hendak dilontarkan.
Sudah tentu Hok To Beng, Dewa Pemabuk terkejut, membentak dan
mencengkeram tangan si sinting
Hun Ho sian-tiang pun berkata dengan wajah serius: "janganlah Hong-toheng
bertindak gegabah. Kaca wasiat itu adalah benda peninggalan seorang paderi suci
pada jaman dulu. Benar2 sebuah benda pusaka dalam dunia persilatan, kegunaan
kaca itu bukan melainkan hanya mencari benda2 pusaka yang tertanam dalam
tanah saja..." "Kemungkinan orang tua itu bersembunyi disekeliling tempat ini!" tiba2 Hok To
Beng menyelutuk. Hong-tian-soh keluarkan biji matanya dan menggentakkan tongkat bambunya ke
tanah lalu berseru keras2:
"Tindakanku tadi, bukankah suatu siasat untuk memancing supaya dia keluar dari
tempat persembunyiannya ?"
Tetapi sekeliling penjuru tenang2 saja, Tiada penyahutan, Keadaan itu memberi
kesan kepada sekalian orang bahwa orang tua pemilik kaca wasiat itu memang tak
berada disekeliling situ. Kalau tidak, dia pasti akan keluar untuk menemui Hong-
tian-soh. Akhirnya Hun Ho sian-tiang menghela napas, "Karena jelas toheng sekalian tak
menginginkan kaca itu, lebih baik kita lekas2 tinggalkan tempat ini agar
terhindar dari kekeruhan." Sekalian orang termenung diam, Saat itu matahari sudah condong ke barat. Di
telaga itu secara kebetulan, Gin Liong telah menemukan Ma Toa Kong, berjumpa
dengan Swat-thian Sam-yu dan bertemu pula dengan sumoaynya Ki Yok-lan serta
Hu Ho sian-tiang. Dia gembira sekali.
Kini tinggal satu tujuan lagi ialah mengejar jejak Ban Hong liong-li untuk
meminta keterangan siapakah sesungguhnya yang telah membunuh suhunya.
Setitikpun Gin Liong tak mengandung hasrat untuk memiliki kaca wasiat itu, ia
masih mempunyai lain tugas penting, Kelika ia hendak menghaturkan terima kasih
kepada Hun Ho sian-tiang yang telah menolong sumoaynya, tiba2 orang tua itu
menengadahkan memandang kelangit.
"To-heng" katanya, hari sudah menjelang petang, mari kita pergi"
Swat-thian Sam-yu mengangguk dan mengikuti langkah Hun Ho sian-tiang. Gin
Liong berlima baru mengetahui bahwa Hun Ho sian-tiang mengundang Swat-thian
Sam-yu ke pulau Hong-lay-to.
Sambil mengurut jenggotnya yang indah, Hun Ho sian-tiang berkata kepada Ki Yok
Lan: "Lan-ji, kebetulan sekali ditempat ini engkau dapat menemukan suhengmu, Lebih
baik kalian pergi bersama-sama."
Kemudian dengan wajah serius, tokoh itu memberi pesanan kepada Yok Lan:
"Harap engkau ingat baik2 pelajaran itu dan berlatihlah dengan tekun, Kelak
tentu berhasil." Dengan berlinang-linang air mata, Ki Yok Lan segera berlutut menghaturkan terima
kasih atas budi kebaikan orang tua sakti itu.
"Bangunlah!" seru Hun Ho siantiang seraya kebutkan dengan jubahnya, Tahu2
tubuh Yok Lan terangkat berdiri.
Melihat itu diam2 Gin Liong girang sekali, ia tahu bahwa sumoaynya telah
diterima sebagai murid tak resmi oleh Hun Ho sian-tiang.
Swat-thian Sam-yu juga memberi pesan kepada Gin Liong dan Yok Lan agar berhati-
hati dan waspada dalam perjalanan keselatan itu.
Demikian keempat tokoh sakti itu segera berpisah dengan rombongan anak muda
dan menuju ke puncak gunung sebelah kiri.
Setelah mereka lenyap dari pandang rnata, Gin Liong pun bertanya kepada Tek
Cun: "Liok-ko, apakah engkau masih kuat untuk menggunakan ginkang?"
Tek Cun mengatakan hendak mencobanya. Tetapi ketika berjalan, Yok Lan cepat
dapat melihat bahwa pemuda itu terlalu maksa diri.
"Liok-ko," seru Yok Lan," biarlah aku bersama Liong koko memapahmu berjalan,
Lukamu baru sembuh, tak boleh terlalu banyak menggunakan tenaga."
Tetapi Tek Cun menolak: "Lebih baik kucobanya dulu, Apalagi diluar lembah masih
ada kuda kita, Asal jangan terlalu cepat, aku masih dapat mengimbangi kalian."
25. Tiga durjana Pada saat itu Tek Cun mendapatkan dalam diri Yok Lan sifat2 kehalusan budi,
kesungguhan hati, kejujuran dan kepolosan. Suatu sifat yang tak dimiliki
adiknya, Tio Li Kun. Waktu berjalan, Gin Liong menyempatkan diri untuk berpaling. Di tengah telaga
tampak sinar kaca wasiat itu masih memancar terang.
Kemudian waktu tiba ditempat pertempuran antara Hian Leng dan Biau Liang,
ternyata ke-enam imam tua yang ditutuk jalan darahnya itu sudah tak kelihatan
berada disitu lagi. "Hm, kawanan imam hidung kerbau itu memang tak tahu diri. Kepandaiannya
begitu rendah tetapi berani menghadang kita," Mo Lan Hwa mendengus.
Gin Liong hanya tertawa ketika mendengar jelita itu juga menggunakan sebutan
"imam hidung kerbau" seperti yang dilakukan Swat thiau Sam-yu terhadap Hun Ho
sian-tiang. Huak!, tiba2 Tek Cun muntahkan segumpal darah segar dan terhuyung-huyung
rubuh ke tanah. Mo Lan Hwa yang berada paling dekat, cepat loncat
menyanggapinya. Tek Cun gemetar tubuhnya dan lunglai tak bertenaga.
Sudah tentu Gin Liong beramai-ramai sibuk memberi pertolongan Mereka
membantu supaya Tek Cun yang saat itu rebah dipangkuan Mo Lan Hwa dapat
duduk tegak, kemudian Gin Liong segera menyalurkan tenaga dalam kepinggang
Tek Cun, sedang ketiga gadis itu menjaga disamping kanan kirinya.
Setelah wajah Tek Cun tampak merah barulah Tio Li Kun menyuruhnya supaya
menyalurkan pernapasan untuk menyambut saluran tenaga dalam dari Gin Liong.
Tiba2 terdengar suara langkah orang berlari dari arah lembah. Li Kun, Yok Lan
terkejut dan serentak berpaling. Tiga sosok tubuh muncul dari bagian dalam
lembah dan dengan gerak yang amat cepat mereka telah melintasi hutan menuju
kearah rombongan anak2 muda itu.
"Taci Kun, kurasa mereka tentu bermaksud tak baik," kata Lan Hwa.
"Bagaimana tandanya?" tanya Li Kun seraya berbangkit dan memandang kearah
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketiga pendatang itu. Lan Hwa sejenak memandang dengan seksama lalu berkata lagi: "Taci Kun, lihatlah
sinar mata mereka yang begitu berkilat-kilat seperti mencari sesuatu..."
"Ya, lebih baik kita berhati-hati," kata Li Kun, "menilik sinar mata dan ginkang
mereka, tentulah bukan jago silat sembarangan. Apabila sampai bertempur, supaya
hati2." Kemudian ia minta Lan Hwa dan Yok Lan menjaga Tek Cun. Dia sendiri yang akan
menghadapi ketiga pendatang itu.
Ketiga sosok bayangan itu dengan cepat telah tiba, sebenarnya Li Kun sudah mau
duduk kembali dan menghiraukan mereka tetapi tiba2 mereka berseru: "Hai,
berhenti!" Karena disekeliling tempat itu tiada lain orang lagi, Li Kun dan Lan Hwa tahu
kalau seruan orang itu ditujukan kepada mereka berdua, Kedua nona itu marah dan
cepat berputar tubuh. Ternyata ketiga pendatang yang lari mendatangi itu terdiri dari orang lelaki
yang berbeda umurnya satu sama lain.
Yang disebelah tengah, seorang tua berambut dan jenggot putih, beralis panjang
menjulai kebawah. Matanya hanya satu dan mulut perot, Mengenakan pakaian
warna biru dan memegang sebatang tongkat berkepala naga. Sambil memerotkan
mulut, matanya yang tinggal satu itu ber-kilat2 memandang rombongan anak2
muda. Yang sebelah kanan berumur empat puluh lima - empat puluh enam tahun. rambut
dan jenggotnya kelabu, mulutnya lancip, hidung besar dan kedua telinganya
hilang, wajahnya hitam, mata bundar mengenakan kain hitam dan memegang sebatang
kait baja yang dilumuri racun. Seram dan menakutkan orang.
Yang sebelah kiri seorang lelaki berumur tiga puluhan tahun lebih, Alisnya
seperti daun liu, mata seperti bunga tho dan kulitnya putih seperti salju, Rambutnya
berminyak, pipi berbedak dan rambut memanjang sampai kebahu, Mengenakan
baju sutera kembang dan menyanggul sebatang pedang pedang bengkok, sepintas
menyerupai seorang banci, menimbulkan kesan yang memuakkan.
Ketiga pendatang itu dengan wajah gusar memandang kedua nona Lan Hwa dan Li
Kun. "Cici, ketiga orang itu mungkin Ce-tang Sam sat"
"Bagaimana engkau tahu?" tanya Li Kun.
"Pernah kudengar dari toa-suheng tentang pakaian, wajah dan umur mereka,
Apalagi tokoh yang ketiga, laki2 bukan, perempuan pun bukan.
Saat itu Ce-tang Sam-sat sudah tiba tiga tombak didepan mereka,
Toa-sat atau tokoh kesatu dari Ce-tang Sam sat yang bergelar Boan-liong-kun atau
Tongkat-naga melingkar, tertawa mengekeh,
"Heh, heh. menilik pakaianmu, kalian ini tentu datang dari Kwan-gwa..."
Mendengar itu Mo Lan Hwa marah dan cepat menukas: "Tutup mulutmu! Apa
pedulimu dengan asal usulku?"
Ji-sat atau tokoh nomor dua yang bergelar Toh-beng-kau atau Kait-pencabut-
nyawa, menyeringai lalu membentak keras:
"Budak hina, jangan banyak omong! Lekas serahkan kaca wasiat itu agar jangan
menimbulkan kemarahanku."
Sudah tentu Li Kun dan Mo Lan Hwa marah bukan main, Gin Liong yang tengah
duduk bersila pejamkan mata, pun sejenak membuka mata memandang ketiga
pendatang itu lalu pejamkan mata lagi.
Ki Yok Lan serentak bangun dan terus menyahut: "Kalian salah alamat, Kaca wasiat
itu berada di atas batu ditengah telaga"
Belum Yok Lan selesai bicara, ketiga durjana itu sudah tertawa gelak2: "Ha, ha,
Pemanah Sakti Bertangan Seribu 1 Pendekar Slebor 39 Pulau Kera Kucing Suruhan 12