Pencarian

Pendekar Lembah Naga 1

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


Title : Serial Pedang Kayu Harum - Pendekar Lembah Naga
Author : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
BETAPA INDAHNYA ALAM! Betapa indahnya susunan tubuh kita sendiri! Betapa indah
dan juga ajaibnya keadaan diri kita sendiri dan di sekeliling kita. Akan tetapi
sayang kita seperti buta terhadap itu semua. Kita tidak pernah membuka mata
menikmati semua keindahan dan keajaiban itu, melainkan menerawang jauh,
menginginkan hal-hal yang tidak terjangkau oleh kita. Kalau kita tinggal di tepi
laut, pemandangan laut tidak lagi menarik perhatian kita karena perhatian kita
diterbangkan oleh pikiran yang menginginkan pemandangan di gunung-gunung.
Sebaliknya kalau kita tinggal di gunung, kita menganggap bahwa pemandangan di
laut yang jauh dari kita itu lebih indah.
Betapa bahagianya manusia yang selalu membuka mata memandang penuh perhatian
akan segala sesuatu di dalam dan di luar dirinya sendiri. Dialah yang akan
melihat segala keindahan dan keajaiban itu. Dialah yang akan menyaksikan
kekuasaan Tuhan yang penuh berlimpah dengan berkah, dengan keindahan, dengan
keajaiban, dengan CANTA KASIH!
Di kaki Pegunungan Khing-an-san, di tikungan Sungai Luan-ho, di luar tembok
besar dan termasuk daerah Mongol, terdapat Lembah Naga. Lembah yang amat liar
dan penuh dengan hutan lebat, binatang-binatang buas, dan jarang didatangi
manusia. Memang sekali waktu ada para pemburu yang menyusup-nyusup memasuki
hutan, namun mereka tidak berani sampai Lembah Naga karena lembah itu terkenal
sebagai tempat keramat yang amat berbahaya. Kabar angin mengatakan bahwa di
lembah itu terdapat sebuah istana yang dihuni oleh iblis-ibils dan siluman-
siluman. Dan karena sudah ada beberapa orang tewas ketika berani mendekati
istana itu, maka akhirnya tidak ada seorangpun pemburu yang berani memasuki
daerah Lembah Naga, betapapun gagah dan beraninya pemburu itu.
Pemandangan di lembah ini sungguh amat mentakjubkan. Jauh di bawah kaki lembah
membentang luas sebuah padang rumput dan terutana karena keadaan padang ini
pulalah yang membuat orang makin segan mendekati Lembah Naga. Padang itu
dinamakan orang Padang Bangkai karena di sekitar padang itu terdapat banyak
rangka-rangka manusia dan binatang, bahkan ada suatu bagian yang berlumpur di
mana terdapat mayat-mayat manusia dan bangkai-bangkai binatang yang tidak dapat
membusuk, sampai bertahun-tahun masih menjadi bangkai terbungkus lumpur. Namun,
dipandang dari atas, sungguh tidak kelihatan semua kengerian itu, yang nampak
hanyalah keindahan yang amat mentakjubkan. Apalagi di waktu matahari terbit atau
waktu matahari tenggelam, bukan main indahnya pemandangan di kaki langit, di
waktu bumi terbakar oleh sinar keemasan dan segala sesuatu nampak jelas dan
indah. Memang tidak mengherankan kalau orang mendekati lembah itu, apalagi mendekati
Istana Lembah Naga yang kelihatan angker itu. Sebuah istana yang besar dan kokoh
kuat, penuh dengan ukiran dan arca-arca indah. Sayang istana itu tidak terawat
sehingga tembok-temboknya yang tadinya putih itu kini penuh dengan lumut hijau,
demikian pula arca-arca itu. Istana ini dibangun oleh Raja Sabutai, raja liar
dari Suku Bangsa Mongol bercampur suku bangsa lain yang menguasai daerah tak
bertuan di utara. Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan siapa adanya Raja
Sabutai ini. Dia adalah keturunan seorang jenderal besar di jaman Dinasti Goan,
di waktu bangsa Mongol menguasai seluruh daerah Tiongkok. Sebagai keturunan
seorang jenderal gagah perkasa, Sabutai inipun amat besar ambisinya, cita-
citanya setinggi langit dan dia mengangkat diri sendiri menjadi raja di antara
suku bangsa Mongol yang sudah terpecah-pecah dan lemah itu, dan dia pemah
bercita-cita untuk menyerbu ke selatan dan untuk menegakkan kembali kebesaran
bangsa Goan seperti pada ratusan tahun yang lalu. Akan tetapi cita-citanya itu
gagal dan kandas di tengah jalan (baca cerita Dewi Maut) dan kini dia hanya puas
dengan menjadi raja kecil di utara, jauh dari perbatasan.
Istana Lembah Naga itu dahulunya di bangun oleh Raja Sabutai, dijadikan sebagai
istananya dan markasnya. Kemudian, dia memperbaiki istana itu setelah dia
melakukan gerakan ke selatan dan gagal dan memberikan istananya itu kepada kedua
orang gurunya, yaitu Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko, nenek dan kakek iblis
dari Sailan yang amat sakti. Dalam pertempuran melawan orang-orang gagah yang
dipimpin oleh kakek Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai, tewaslah Pek-hiat Mo-ko
dan kalau tidak cepat muncul Raja Sabutai yang menyelamatkannya, tentu Hek-hiat
Mo-li yang sudah terluka parah itu akan tewas pula. Pek-hiat Mo-ko telah tewas
dan Hek-hiat Mo-li yang terluka itu dibawa pergi oleh Raja Sabutai, semua orang
gagah telah pergi meninggalkan Lembah Naga, dan istana itu menjadi sepi, sunyi
dan menyeramkan. Semenjak itu, tidak ada lagi seorangpun manusia dari luar yang
berani mendekati istana itu.
Akan tetapi, benarkah demikian" Benarkah istana itu kosong tidak ada
penghuninya" Sesungguhnya tidak demikian. Setelah semua orang meninggalkan
istana itu dalam keadaan sunyi dan menyeramkan, masih nampak bekas-bekas
pertempuran yang mengorbankan nyawa puluhan orang perajurit dan anak buah kedua
fihak, pada malam hari itu nampak sesosok tubuh wanita berjalan seorang diri di
lembah ini, sambil menundukkan mukanya dan menangis. Dia lalu menghampirl
istana, memasuki istana seperti bayangan setan yang bangkit dari kuburan,
langkahnya ringan namun terhuyung-huyung dan dia langsung memasuki sebuah kamar
di dalam istana itu dan melemparkan tubuhnya ke atas pembaringan sambil menangis
tersedu-sedu! Terbayanglah dalam benaknya ketika dia menyerahkan dirinya,
menyerahkan kehormatannya kepada seorang pemuda yang amat dicintainya, seorang
pemuda yang sama sekali tidak mau mengakuinya, tidak mau menerimanya, seorang
pemuda yang dijunjung tinggi, dikaguminya dan dicintainya. Pemuda gagah perkasa
yang kini telah pergi pula meninggalkannya seorang diri di tempat itu, padahal
dia telah menyerahkan kehormatan tubuhnya, menyerahkan cinta hatinya, bahkan
pula tangan kirinya! Tangan kirinya, sebatas pergelangan tangan telah putus,
dibabat putus sebagai hukuman karena dia berani menolong pemuda itu yang tadinya
menjadi tawanan di situ, ketika tempat itu masih dikuasai oleh kakek dan nenek
iblis Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Dan kini, Cia Bun Houw, pemuda itu,
telah meninggalkannya dan tidak mau menerimanya!
Wanita itu masih muda, usianya baru dua puluh lima tahun, wajahnya manis sekali,
dan pakaiannya serba merah berpotongan ketat membungkus tubuhnya yang ramping
padat. Dia bernama Liong Si Kwi dan dia bukanlah wanita sembarangan. Dia adalah
murid tunggal dari seorang nenek yang sakti berjuluk Hek I Siankouw, seorang
nenek yang selalu berpakaiain hitam dan amat terkenal di dunia kang-ouw. Sebagai
seorang wanita muda yang berilmu tinggi Liong Si Kwi juga terkenal di dunia
kang-ouw dan karena dia memiliki keistimewaan dan gerakan ringan dalam limu gin-
kang, seperti burung terbang saja kalau dia bergerak, maka dia terkenal dunia
kang-ouw dengan julukan Ang-yan-cu (Burung Walet Merah).
Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan betapa Si Kwi menolong pemuda Cia
Bun Houw yang tertawan, dan karena pemuda itu diberi makanan yang bercampur
racun pembangkit nafsu berahi, maka dalam keadaan seperti orang mabok itu Bun
Houw lalu melakukan hubungan kelamin dengan Si Kwi. Wanita muda ini memang
menaruh rasa hati cinta kepada Bun Houw, maka dia tidak menolak, bahkan dia
membantu pemuda itu makin tenggelam dalam amukan nafsu sehingga terjadilah
hubungan itu. Setelah sadar, tentu saja Bun Houw merasa menyesal sekali dan
tentu saja dia tidak mau menerima Si Kwi sebagai kekasih atau jodohnya, dan
pemuda ini meninggalkan Si Kwi yang menjadi hancur hatinya. Dia kehilangan
sebelah tangan, kehilangan kehormatannya sebagai seorang gadis perawan, dan
kehilangan pria yang dicintainya! Dia kehilangan segala-galanya. Gurunyapun
telah tewas dalam pertempuran itu ketika gurunya membantu kakek dan nenek iblis.
Keluarga dia sudah tidak punya. Dia hanya sebatangkara saja di dunia ini dan
harapannya untuk hidup bahagia telah dibawa pergi oleh pemuda yang dicintainya
itu. Demikianlah, Liong Si Kwi menjadi penghuni tunggal istana Lembah Naga. Mula-mula
dia memang hendak menghibur diri dengan bersembunyi di tempat sunyi itu, jauh
dari dunia ramai, dengan harapan akan dapat melupakan Bun Houw, dapat melupakan
kedukaannya. Akan tetapi, kegairahannya untuk hidup itu yang mulai timbul
sehingga dia mulai memperhatikan dirinya dan membuat pakaian-pakaian dari bahan-
bahan kain yang terdapat di dalam istana itu, mulai menyulam dan akhirnya malah
merupakan tekanan hebat bagi batinnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa dia
telah mengandung! Dia seorang perawan dan kini dia mengandung tanpa suami.
Kiranya, hubungan kelamin yang dilakukannya dengan Bun Houw, dalam keadaan mabok
dilanda nafsu itu, telah menghasilkan kandungan di dalam perutnya!
Makin tua kandungannya, makin tertekan rasa hati wanita yang bernasib malang
itu. Bernasib malang" Benarkah NASIB yang membuat Liong Si Kwi seperti itu"
Benarkah NASIB yang membuat lengannya buntung, hidupnya terasa merana, perutnya
terisi kandungan anak tanpa ayah" Betapa mudahnya kita melontarkan segala
peristiwa yang menimpa diri kita kepada nasib! Nasib baik, nasib baik dan
sebagainya! Tidak ada sesuatu terjadi tanpa sebab, dan sebab itu sama sekali
bukanlah nasib! Sebab itu pada hakekatnya SUDAH PASTI timbul dari hasil
perbuatan kita sendiri, perbuatan termasuk sikap, kata-kata, pikiran dan
sebagainya. Sumber dari segala sesuatu yang terjadi pada diri kita terletak di
dalam diri kita sendiri! Akan tetapi, kita tidak pernah mau memandang diri
sendiri, dan kita lebih condong untuk mencari kambing hitam pada diri orang
lain, pada keadaan di luar diri, atau kalau sudah kehabisan calon kambing hitam,
kita lalu meraih NASIB dan menjadikannya sebagai kambing hitam! Kapankah kita
mau membuka mata memandang diri sendiri di mana terdapat sumber segala rahasia
hidup ini" Setelah tahu bahwa dirinya mengandung, mulal terjadi perubahan dalam kehidupan
Si Kwi. Mulailah dia merana dan tidak memperdulikan pakaiannya sehingga dia
berkeliaran di sekitar Lembah Naga dengan pakaian yang kotor dan butut, dan
sikapnya seperti orang yang sudah miring otaknya! Makin tua kandungannya, makin
tersiksa rasa hatinya dan hampir setiap malam, di waktu tubuhnya mengaso dan
tidak ada hiburan yang membuatnya terlupa, dia menangis mengguguk seorang diri
di dalam kamarnya di istana yang besar itu.
Ada terpikir oleh Si Kwi untuk mengakhiri penderitaan batinnya dengan jalan
membunuh diri saja. Akan tetapi, dia tidak mempunyai keberanian untuk melakukan
hal itu. Ataukah dia masih terlampau sayang kepada kehidupan ini dan masih
mengharapkan untuk kelak menemui kebahagiaan" Apapun juga alasannya, Si Kwi
tidak sampai hati untuk membunuh diri, maka dia rela hidup menderita, penuh
kebingungan. Dia tidak tahu bagaimana dia harus menghadapi kelahiran anak dalam
kandungannya. Untuk pergi ke dusun-dusun di sekitar kaki pegunungan itu, dia
merasa malu sekali. Kalau ada orang bertanya mana suaminya, mana ayah dari anak
yang dikandungnya, apa yang akan dijawabnya" Tidak, dia lebih baik mati dari
pada harus menderita aib seperti itu di mata orang-orang lain. Tentang
melahirkan, dia menyerahkan diri kepada Tuhan saja. Dalam kesengsaraan ini,
satu-satunya yang menjadi pegangan Si Kwi hanyalah Thian dan kesengsaraannya itu
lebih mempertebal kepercayaannya kepada Thian yang diharapkan sebagai
penolongnya yang tunggal.
Betapa banyaknya manusia yang tidak kuat menghadapi penderitaan hidup dan selalu
mencari jalan pelarian untuk menjauhkan diri atau membebaskan diri dari
penderitaan hidup itu. Banyak macam cara pelarian ini, di antaranya yang
terburuk dan paling mengerikan adalah bunuh diri! Ada yang bersembunyi di balik
hiburan-hiburan, kesenangan-kesenangan yang dicari-cari, atau menggantungkan
kepercayaan kepada sesuatu. Kita tidak sadar bahwa semua bentuk pelarian itu
adalah sia-sia belaka. Mengapa sia-sia" Karena apa yang kita namakan penderitaan
hidup itu sesungguhnya tak lain tak bukan adalah permainan pikiran kita sendiri!
Pikiran kita selalu melekat kepada masa lalu, kepada hal-hal yang telah terjadi,
kepada hal-hal yang akan terjadi! Pelekatan pikiran ini tentu saja menimbulkan
sesal, duka, dan khawatir. Kita tidak pernah mau menghadapi setiap peristiwa
sebagai sesuatu yang wajar, menghadapi langsung, mempelajarinya setiap saat,
dengan penuh perhatian tanpa menyalahkan sana-sini, tanpa rasa iba kepada diri
sendiri. Kita hanya dapat bebas dari semua penderitaan kalau kita menghadapinya
secara langsung apa yang kita anggap penderitaan itu! Kalau kita menghadapinya
langsung, memandang dan mengamatinya secara langsung, melihat apa adanya,
kewajarannya sebagai suatu fakta, maka sudah pasti bahwa penderitaannya akan
lenyap. Kita akan bebas dari penderititan karena penderitaan itu adatah PENDAPAT
PIKIRAN yang terdorong oleh kekecewaan, iba diri dan sebagainya.
Setelah Si Kwi menghitung bahwa bulan ke sembilan dari kandungannya telah tiba
dia segera keluar dari istana itu. Istana itu dianggapnya sebagai tempat yang
keramat, karena di tempat itulah dia menyerahkan kehormatannya, di tempat itulah
adanya kenang-kenangan manis dan penuh babagia ketika dia menyerahkan diri,
bermain cinta dengan Cia Bun How, ingatan yang tidak pernah dapat dilupakannya
selama ini. Dia tidak mau mengotori istana yang keramat itu dengan kelahiran
anak dalam kandungannya! Anak inilah yang menjadi penyebab penderitaannya! Anak
ini adalah anak yang tidak diharap-harapkan dan karena itu amat dibencinya
sebelum terlahir. Akan tetapi ada sesuatu yang membuat dia merasa mesra dan
memaafkan semua akibat kehadiran anak dalam kandungannya itu, yaitu kenyataan
bahwa anak itu keturunan Bun Houw, pria yang dicintanya, dan masih dicintanya
biarpun Bun Houw telah menolak dan menghinanya. Dia tidak ingin melahirkan di
dalam Istana Lembah Naga. Seolah-olah istana yang pernah dihuni banyak orang itu
mempunyai mata untuk memandangnya dan dia merasa malu! Tidak, dia tidak mau
mengotori istana itu dan seperti orang gila, Si Kwi lalu pergi meninggalkan
istana itu dan tinggal di dalam sebuah gua, tidak jauh dari istana itu.
Di dalam hutan sekitar Istana Lembah Naga itu terdapat banyak sekali kera dan
monyet besar semacan orang hutan. Mereka itu tadinya menjauhkan diri dari istana
ketika tempat itu dihuni oleh Pek-hiat Mo-ko, Hek-hiat Mo-li dan anak buah
mereka yang seratus orang banyaknya, karena mereka itu suka mengganggu monyet-
monyet, bahkan membunuh untuk dimakan dagingnya. Akan tetapi setelah kini istana
itu sunyi dan yang tinggal di situ hanya Si Kwi seorang yang tidak pernah mau
memperdulikan monyet-monyet itu, maka mulai berdatangan pulalah binatang-
binatang itu karena di sekitar istana itu terdapat banyak pohon-pohon buah yang
tadinya ditanam oleh anak buah Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Si Kwi tidak
pernah mengganggu mereka karena dia sendiri tidak pernah kekurangan makanan. Di
situ terdapat banyak buah-buahan, tanaman-tanaman sayur dan binatang yang dapat
dimakan dagingnya seperti kelinci, kijang, burung dan lain-lain. Maka tidak
mengherankan apabila binatang-binatang itu menjadi makin jinak, bahkan mereka
tidak lari melihat munculnya Si Kwi. Apalagi monyet-monyet yang besar, mereka
tidak merasa takut sunaguhpun mereka juga tidak pernah mengganggu Si Kwi.
Beberapa ekor monyet besar malah menggunakan sebatang pohon besar di belakang
istana sebagai sarang mereka atau tempat berteduh di siang hari. Kalau malam
mereka bersembunyi dan tidur di dalam guha-guha yang hanyak terdapat di sekitar
tempat itu. Pada siang hari itu, terdengar suara hiruk-pikuk di atas pohon besar
itu. Seekor monyet betina yang besar sedang berkelahi dengan seekor ular yang
telah membunuh anaknya. Anak monyet yang masih bayi itu mati dengan kepala
berdarah bekas gigitan ular, dan induk monyet menjadi marah, dengan nekat
menangkap ular itu dan menggigit lehernya, Ular itu melawan, membelit-belit
tubuh monyet betina, akan tetapi dengan kedua tangan atau kaki depannya, monyet
besar itu menarik-narik dengan sekuat tenaga sehingga akhirnya tubuh ular itu
tercabik-cabik dan lehernya hampir putus oleh gigitan mulut yang penuh dengan
gigi yang kuat terhias beberapa buah gigi taring yang runcing itu. Monyet betina
itu lalu memondong anaknya yang telah mati mengeluarkan suara merintih seperti
menangis dan menjauhkan diri dari teman-temannya sambil memondong bangkai
anaknya itu. Sementara itu, dari dalam sebuah guha yang besar dan gelap terdengar rintihan
pula yang hampir sama suaranya dengan rintihan induk monyet yang kematian
anaknya. Rintihan ini keluar dari mulut Liong Si Kwi. Wanita muda ini rebah
terlentang di dalam guha, di atas tanah dan punggungnya bersandar pada batu-
batuan di dinding guha. Wajahnya pucat sekali, matanya memandang liar dan
ketakutan, tubuhnya hanya tertutup jubah panjang karena dia telah melepaskan
celananya. Rintihan dan keluhan yang keluar dari mulutnya sungguh mengenaskan,
dan pada saat-saat tertentu Liong Si Kwi menyebut-nyebut ibu dan ayahnya yang
telah tiada! Air mata bercucuran, bercampur dengan peluh yang memenuhi dahi dan
lehernya, membuat mukanya basah semua. Tubuhnya kadang-kadang menggigil,
napasnya sesak dan terengah-engah menahan rasa nyeri yang amat hebat.
Kelahiran merupakan suatu periatiwa yang amat suci, merupakan suatu keajaiban
yang amat hebat, merupakan kekuasaan Tuhan yang amat mengharukan. Dalam
peristiwa ini terjadilah pengorbanan yang tiada taranya yang dapat dilakukan
oleh seorang manusia. Ibu! Betapa luhurnya sebutan ini! Derita kenyerian yang
ditanggung seorang ibu dalam melahirkan anaknya saja sudah cukuplah merupakan
suatu alasan yang amat kuat bagi seorang anak untuk mencintai ibunya, dan bagi
seorang suami untuk menghormati isterinya. Seorang ibu yang melahirkan
menghadapi suatu rasa kenyerian yang sukar dilukiskan, bahkan menghadapi pula
ancaman bahaya yang bukan tidak mungkin merenggut nyawanya. Namun betapa kejam
dan kejinya, banyak sekali manusia yang melupakan pengorbanan ibunya sendiri
ketika mengandung, melahirkan dan menyusuinya ketika dia masih kecil, betapa
banyak sekali manusia yang melupakan penderitaan isterinya ketika melahirkan
anaknya! Ibu, betapapun manusia melupakan jasa dan pengorbananmu, namun kenyataan tidak
akan dapat disangkal bahwa di waktu melahirkan, engkaulah manusia suci!
Malam mulai tiba. Dalam guha itu gelap sekali. Rintihan dari guha masih
terdengar, kadang-kadang mulai lagi, sesuai dengan rasa nyeri yang kadang-kadang


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terasa oleh Si Kwi dan kadang-kadang lenyap lagi. Tanda-tanda dari seorang yang
akan melahirkan. Perlahan-lahan, sinar bulan merayap mendekati guha dan akhirnya
ada sinar bulan yang memasuki guha sampai menerangi bagian bawah tubuh Si Kwi.
Si Kwi yang masih tersandar dengan tubuh lemah, mengerang dan menggerak-gerakkan
kepalanya ke kanan kiri, lidahnya merijilat-jilat bibirnya yang kering dan dia
berusaha menelan ludah yang kering, kemudian dengan mata masih terpejam dan alis
berkerut, bibirnya komat-kamit, terdengar bisikannya, "Air... air... aku haus...
air...!" Akan tetapi tentu saja tidak ada yang mendengar bisikannya.
"Air... aku ingin minum...!" Dia kini berseru nyaring. "Ibu... ayah... aku ingin
minum...! Cia Bun Houw, tolong ambilkan air...!"
Yang menjawab hanya gema suaranya yang membalik keluar dari guha. Anehnya, yang
terdengar olehnya hanyalah gema suara yang memanggil, "Cia Bun Houw...!"
Suara ini membuat dia sadar dan membuka matanya. Ketika dia melihat sinar bulan,
dia menoleh ke kiri, lalu dia merangkak menuju ke sebuah poci air yang
disediakannya di situ. Diminumnya air jernih itu dengan lahapnya. Dan segarlah
rasa tubuhnya. Kemudian dia meletakkan kembali poci air di sudut guha dan
matanya memandang ke luar. Ketika melihat bulan di angkasa, Si Kwi merangkak
keluar dari dalam guha. Dia hanya bisa merangkak, tidak kuat bangkit berdiri
karena kedua kakinya gemetar, tubuhnya terasa berat. Dia berlutut di luar guha,
memandang bulan dan dilihatnya bulan seperti wajah Bun Houw. Diangkatnya kedua
tangannya ke atas, tangan kanan dan lengan kiri yang buntung menghadap bulan.
"Bun Houw... Bun Houw... tidak kasihankah kau kepadaku..." Anakmu... anakmu...
akan terlahir... ohhh!"
Dia cepat-cepat merangkak kembali ke dalam guha karena merasa betapa perutnya
sakit sekali. Dengan terengah-engah dia merebahkan diri terlentang lagi di
tempat tadi, menyandarkan punggungnya yang terasa seperti patah-patah itu ke
atas batu-batu dinding guha.
Mulailah lagi datang rasa nyeri yang bertubi-tubi, membuat seluruh tubuhnya
menggigil, wajahnya makin pucat dan dia memejamkan mata, mengerahkan tenaga
untuk mendorong keluar bayi yang meronta dalam perutnya, terengah-engah dan
merintih-rintih. Dia tidak tahu bahwa kemunculannya di luar guha tadi menarik
perhatian beberapa ekor monyet yang ketika melihat dia merangkak masuk guha
diam-diam lalu berdatangan dan memasuki guha. Melihat Si Kwi terengah-engah itu,
monyet-monyet yang mengikutinya masuk ke dalam guha, berjongkok dan memandang
dengan sikap seperti menaruh kasihan dan ada yang menyeringai. Mereka sedah-olah
mengerti apa yang sedang terjadi dengan manusia wanita ini. Dan di antara
monyet-monyet itu terdapat pula monyet betina besar yang masih memondong bangkai
anaknya yang mati digigit ular tadi!
Kegelisahan mendesak di dalam hati Si Kwi. Gelisah kalau-kalau anak di dalam
kandungannya itu tidak akan dapat keluar. Demikian sukar agaknya. Demikian
menyakitkan. Dia tidak perduli lagi bagaimana kalau anak itu sudah keluar nanti.
Pikirannya tidak sempat memikirkan soal nanti. Rasa nyeri menguasai seluruh
pikirannya dan keinginan satu-satunya hanyalah mengeluarkan anak yang
menyiksanya itu! Akhirnya, setelah berkali-kali diserang oleh rasa nyeri yang nyaris membuatnya
pingsan, menjelang tengah malam, lahirlah bayi itu. Tangis nyaring meledak dan
memecahkan kesunyian di dalam guha. Si Kwi merasa kelegaan yang amat luar biasa
menyelubunginya dibarengi keharuan yang membuat dia sesak napas dan begitu
mendengar suara jerit tangis pertama dari bayi yang tergolek di antara kedua
pahanya, Si Kwi mengeluh dan pingsan.
Segala sesuatu yang terdapat di alam ini memang telah mempunyai ketertiban
sendiri. Bukan ketertiban terpisah-pisah dan terpecah-pecah, melainkan
ketertiban yang menyelimuti seluruh alam semesta. Segalanya bergerak dengan
tertib seolah-olah diatur dengan tenaga tak nampak. Lihatlah keluar, awan
berarak di angkasa, berlapis-lapis ada yang ke kanan ada yang ke kiri gerakan
mereka, mendung berkumpul di tempat-tempat tertentu digerakkan angin besar
sebelum turun hujan. Perjalanan dunia, bulan, bintang, kekuasaan matahari dan
kegunaan sinarnya. Tumbuhnya pohon-pohon dengan batangnya, akar-akarnya,
daunnya, bunganya, buahnya. Rontoknya daun menguning menjadi satu di antara
pupuk menyuburkan tanah. Kemudian lihatlah ke dalam, lihatlah diri kita sendiri.
Setiap bagian tubuh kita mengandung keajaiban yang amat besar, dari pertumbuhan
setiap helai rambut di tubuh kita sampai pada denyut jantung, peredaran darah,
pemapasan, otak, hati dan segala ini yang membuat kita hidup, bergerak,
mengerti, memandang, mendengar dan sebagainya. Betapa ada api panas yang terus-
menerus bernyala atau membara dalam diri kita di waktu kita masih hidup. Segala
keajaiban ini lewat begitu saja bagi mata kita yang seperti buta, tidak
memperhatikannya, tidak memperdulikannya, dan kita mengalihkan pandangan mata
kepada hal-hal ajaib lain yang kita anggap menguntungkan kita, mistik, dan
sebagainya! Kekuasaan alam memang amat luar biasa, tidak terukur oleh hati dan pikiran kita.
Kelahiran yang terjadi di dalam guha itu, yang dialami oleh Liong Si Kwi, tanpa
pembantu sama sekali, merupakan satu di antara keajaiban-keajaiban yang terjadi
setiap saat di dunia ini, namun yang tidak nampak oleh orang-orang yang memang
tidak memperhatikannya. Si Kwi pingsan dan segala sesuatunya tergantung
sepenuhnya kepada ketertiban alamiah itu. Pemulihan segala yang rusak oleh
kelahiran itu, datang dengan sendirinya. Dalam keadaan pingsan itu, pulih
kembali kenormalan dalam diri Si Kwi, napasnya menjadi teratur, wajahnya menjadi
merah lagi, dan darahpun berhenti mengalir.
Himpitan perasaan batin yang lebih banyak mempengaruhi pingsannya Si Kwi yang
membuat dia tak sadarkan diri sampai keesokan harinya, ketika sinar matahari
pagi telah menerobos masuk ke dalam guha yang amat sunyi itu. Tidak ada
seekorpun monyet yang berada di situ lagi ketika Si Kwi menggerak-gerakkan
pelupuk matanya, tanda datangnya kesadaran pertama. Pelupuk mata yang tergetar
dan bergerak-gerak itu diikuti gerakan bulu mata, lalu mata itu terbuka. Sinar
mata yang lesu menerawang langit-langit guha, kemudian dia mengeluh dan rasa
nyeri yang tersisa itu menyadarkannya sama sekali.
Teringat dia akan yang yang terakhir memasuki benaknya, yaitu tangis bayi.
"Ahh...!" Dia berseru dan cepat dia meluruskan punggungnya, matanya mencari-cari
ke bawah, ke atas tanah di antara kedua kakinya. Dia melihat sebuah benda kecil
di antara kedua pahanya itu, tidak begitu jelas karena matahari masih muda
sinarnya. Dengan tangan gemetar Si Kwi mengambil benda itu, dibantu oleh lengan
kiri yang buntung, mengangkat benda itu dekat dengan matanya, memandang dan
tiba-tiba dia menjerit dengan mata terbelalak, melemparkan benda itu dan dia
sendiri lalu terkulai dan pingsan lagi! Benda yang dilemparkan itu adalah
bangkai seekor monyet kecil yang kepalanya masih berdarah!
Sementara itu, jauh dari tempat itu, di atas cabang pohon tertinggi, induk
monyet besar menyusui seorang bayi. Bayi yang tadinya menangis teroeh-oeh itu
berhenti menangis ketika mulutnya disumbat puting susu yang besar dari mana
mengalir air susu yang cukup banyak. Dengan penuh sikap sayang monyet betina itu
mendekap tubuh bayi manusia itu. Dialah yang tadi menukarkan bangkai bayinya
dengan bayi manusia yang baru terlahir. Perbuatannya ini entah digerakkan oleh
apa, karena pada umumnya, binatang tidak menggunakan pikiran dan akal budi.
Mungkin karena tangis bayi itulah maka dia tergerak, atau oleh naluri yang
memberi tahu dia bahwa anaknya telah mati.
Setiap ada seekor monyet lain yang mencoba mendekatinya untuk melihat bayi
manusia itu, induk monyet ini meringis dan mengeluarkan bunyi geraman, matanya
memandang penuh ancaman dan siap mempertahankan bayinya dengan nyawa. Bahkan
ketika seekor monyet jantan besar sekali berani mendekat, tangan kirinya
mencakar dan monyet jantan itu terpaksa menjauhkan diri pula. Induk monyet itu
menjadi curiga dan tidak percaya kepada siapapun juga setelah dia kehilangan
bayinya yang digigit ular dan kini memperoleh penggantinya.
Demikianlah, bayi manusia anak Si Kwi itu semenjak lahir dibawa ke atas puncak
pohon oleh monyet betina itu. Biarpun tidak secepat bayi-bayi monyet lainnya,
namun beberapa hari kemudian bayi itu telah pula pandai bergantung kepada
rambut-rambut dada dan leher induknya dan enak saja dibawa berloncatan dari
cabang ke cabang, disusui diberi makan buah dan kadang-kadang juga ulat dan
cacing! Entah ada pula yang menyebabkan monyet betina itu kini menjauhi Istana Lembah
Naga, menjauhi tempat di mana wanita yang melahirkan bayi itu tinggal. Mungkin
juga hanya nalurinya, karena dia tidak ingin manusia itu melihat anak yang
dirawatnya, yang kini menjadi anaknya sendiri. Dia membawa anak itu jauh dari
istana, di dalam hutan-hutan yang paling lebat dan liar dan dia jarang sekali
turun ke tanah kecuali untuk mencari makan.
Baru setelah anak itu berusia enam bulan dan sudah pandai berayun-ayun, sudah
kuat tubuhnya induk kera ini membawanya turun. Anak itu belum dapat berjalan
seperti manusia, akan tetapi sudah pandai merangkak dan berloncatan dari cabang
ke cabang. Seorang anak laki-laki yang sehat dan berwajah tampan, rambutnya
lebat dan hitam sekali, mukanya bundar dan matanya bersinar tajam dan liar
seperti mata monyet-monyet.
Pada suatu pagi, ketika anak yang baru berusia enam bulan itu mencokel-cokel
batu di bawah pohon mencari cacing, tiba-tiba terdengar suara mengaum. Anak itu
mengangkat muka dan memandang terbelalak ketakutan kepada seekor harimau yang
tahu-tahu telah berada di depannya! Harimau itu besar sekali, sudah tua dan
tubuhnya agak kurus seperti harimau kurang makan! Akan tetapi justeru hal ini
membuat dia lebih buas daripada biasanya. Kelaparan membuat binatang menjadi
buas dan galak! "Aaauuughhhmmm!" Harimau itu menggereng melangkah maju. Agaknya dia masih
terheran-heran melihat mahluk yang tidak berbulu ini. Dia sudah terbiasa
menubruk dan menjadikan mangsanya binatang-binatang yang lebih kecil dan lemah,
akan tetapi hampir semua binatang itu berbulu, tidak seperti mahluk ini. Seperti
segumpal daging yang lunak dan tinggal menelan saja! Air liur membusa keluar
dari mulut harimau itu. Pada saat itu, dengan kecepatan yang amat luar biasa bagi seorang anak berusia
enam bulan, anak itu meloncat dan menggunakan kedua tangan dan kaki menangkap
batang pohon. Akan tetapi lompatannya tidak begitu tinggi dan harimau itupun
dengan cepatnya meloncat dan menerkam ke arah batang pohon itu sambil berdiri.
Cakar yang amat tajam meruncing dari kaki kirinya menancap d pundak kiri anak
itu. Anak itu mengeluarkan pekik mengerikan dan terbanting lagi ke bawah.
Pundaknya robek dan nampak darah mengalir keluar dari luka memanjang di
pundaknya, dari pundak ke punggung.
Sebelum harimau itu menubruk lagi, tiba-tiba terdengar pekik dan gerengan
dahsyat induk monyet itu sudah melayang turun, menyambar tubuh anak itu dengan
lengan kanannya dan dengan taring nampak mengancam dia menghadapi harimau,
tangan kirinya bergerak-gerak dan mengeluarkan pekik berkali-kali. Monyet betina
itu siap untuk melindungi anaknya dengan taruhan nyawanya. Padahal biasanya,
melihat harimau ini dia tentu akan lari dan mengamankan diri di cabang tertinggi
dari pohon-pohon besar. Akan tetapi, melihat anaknya terluka dan terancam, dia
lupa rasa takut dan menghadapi harimau itu dengan memperlihatkan taring dan
memberi tanda kepada kawan-kawannya!
Di antara binatang liar, rombongan monyet memang mempunyai naluri untuk bersetia
kawan. Biarpun mereka semua takut dan ngeri menghadapi harimau yang sudah biasa
makan seekor di antara kawan-kawan mereka yang lengah akan tetapi kini melihat
induk monyet itu terancam, dan juga melihat anak manusia yang telah mereka
terima sebagai satu di antara kawan-kawan mereka sendiri itu terluka, mereka
berlompatan dan berdatangan ke bawah, menggereng dan menghadapi harimau itu
dengan marah! Harimau itu mengaum, akan tetapi monyet-monyet itu menggereng. Sang harimau
kalah gertak agaknya, maka dia lalu menggereng dan menyambar ke kanan di mana
terdapat seekor monyet jantan yang masih muda. Monyet ini memekik, akan tetapi
sekali sambar saja sang harimau sudah menggigit tengkuknya dan bihatang buas itu
lalu melarikan diri sambil membawa korbannya yang telah digigit patah batang
lehernya dan sudah tidak berkutik lagi itu.
Anak kecil itu menangis dan monyet betina itu lalu merawat luka anaknya dengan
penuh kasih sayang, menjilati luka itu sampai bersih. Setiap hari dijilatinya
luka di pundak anak pungutnya itu dan karena ini agaknya maka luka itu cepat
sekali sembuh. Belum sebulan lamanya, luka itu sembuh sama sekali, hanya nampak
bekas luka memanjang dari pundak ke punggung. Kini anak itu sudah bermain-main
dan mencari makan lagi seperti biasa, berayun-ayun di antara cabang-cabang pohon
dengan cekatan sekali. Kehidupan di dalam hutan memang penuh dengan bahaya. Oleh karena itu, binatang-
binatang hutan, terutama golongan monyet yang lebih cerdik di antara binatang-
binatang itu, memiliki naluri tajam sekali dan pertumbuhannya cepat. Sayang
bahwa anak manusia itu sesuai dengan hukum alam, tidak sama pertumbuhannya
dengan monyet, maka oleh para monyet lain dianggap sebagai monyet aneh yang
lemah. Monyet-monyet lain, dalam usia setahun telah menjadi monyet yang dapat
berdiri sendiri, tidak lagi mengandalkan induknya. Akan tetapi anak yang tak
berbulu itu tidak mungkin hidup tanpa pengawasan dan penjagaan induknya. Dan
agaknya monyet betina itu maklum akan keadaan anaknya yang lemah ini. Dia tidak
mau lagi didekati monyet jantan dan seluruh waktunya dipergunakan untuk mengasuh
anak itu, diasuh dan diikutinya ke manapun anak itu pergi.
Setahun kemudian, anak itu sudah mulai dapat berdiri akan tetapi jalannya
membungkuk setengah merayap, meniru gerakan monyet hanya dia makin pandai
memanjat pohon, pandai meloncat dari dahan ke dahan. Bagi seorang manusia, atau
bagi ukuran manusia tentu saja gerakannya amat mentakjubkan, cepat bukan main.
Akan tetapi bagi ukuran monyet, tentu saja dia amat lamban dan lemah! Betapapun
juga, agaknya karena dia jauh lebih cerdik daripada monyet, memiliki daya
tangkap lebih tajam dengan pikirannya, maka anak itu dalam banyak hal
mengalahkan monyet-monyet itu dan diapun tidak sebuas monyet-monyet itu sehingga
dia disukai oleh semua monyet dari yang kecil sampai yang besar.
Pada suatu hari, ketika anak itu sedang bermain-main dengan monyet-monyet kecil
setelah kenyang makan buah, tiba-tiba terdengar pekik seekor monyet kecil yang
bermain agak jauh dari teman-temannya. Semua monyet cepat meloncat ke pohon dan
mencari tempat sembunyi yang aman. Akan tetapi anak itu sebaliknya malah cepat
menghampiri tempat temannya itu menjerit dan dia melihat bahwa seekor monyet
kecil sedang berhadapan dengan seekor ular. Ular itu kecil saja, sebesar lengan
anak-anak dan panjangnya hanya kurang lebih tiga kaki, kulitnya belang-belang
dan lehernya berkembang lebar. Ular itu mengangkat kepalanya, mengeluarkan suara
mendesis sehingga monyet kecil itu ketakutan, seperti lumpuh saking takutnya dan
hanya dapat menjerit-jerit.
Anak manusia itu tiba-tiba meloncat sambil menyambar sebatang ranting, lalu
dipukulnya kepala ular itu. Ular yang marah itu mengelak, lalu kepalanya
meluncur dan tiba-tiba anak itu berteriak keras ketika betis kakinya tergigit
oleh ular. Dia roboh dan berusaha menggigit leher ular. Mereka bergumul dan
monyet kecil tadi segera lari dan naik ke atas pohon sambil memekik-mekik.
Terdengar gerengan keras dan monyet betina besar yang sudah cepat datang ke
tempat itu, kini melayang turun, diikuti teman-temannya. Melihat anaknya ber-
gumul dengan ular yang menggigit betis anak itu, monyet betina marah sekali,
Demikianpun teman-temannya. Mereka menubruk ular itu, menggigit leher dan
seluruh tubuhnya, mencabik-cabiknya sehingga sebentar saja ular itu sudah putus-
putus tubuhnya. Akan tetapi anak itu menggeletak dalam keadaan pingsan dan kaki
yang tergigit ular itu membengkak dan berwarna biru!
Bagi monyet-monyet itu, mereka tidak akan mudah terpengaruh oleh racun ular.
Mungkin dari perbedaan susunan dalam tubuh, entah bagaimana, akan tetapi bisa
ular tidak mudah mencelakakan mereka sehingga gigitan seekor ular berbisa itu
kiranya tidak akan membuat mereka tewas. Akan tetapi berbeda dengan anak manusia
itu. Anak itu pingsan dan kalau tidak memperoleh pengobatan yang tepat, tentu
dia akan tewas dalam waktu sehari dua hari saja.
Monyet betina besar itu dengan nalurinya tahu bahwa anaknya terancam bahaya
maut. Dia memondong tubuh anak itu seperti tubuh bangkai anaknya dahulu,
dibawanya lari ke sana-sini dan berloncatan dari dahan ke dahan, menjauhi teman-
temannya dan akhirnya dia tiba di dekat guha di mana dulu dia mengambil anak itu
yang baru terlahir, setahun yang lalu.
Dengan suara menguik-nguik seperti orang menangis, monyet betina itu memasuki
guha. Ada tiga ekor temannya mengikutinya dengan takut-takut. Monyet betina itu
memandang ke kanan kiri akan tetapi guha itu kosong. Bahkan bangkai anak monyet
ataupun rangkanya tidak nampak di situ.
Ke manakah perginya Liong Si Kwi" Seperti kita ketahui, setahun yang lalu,
wanita ini roboh pingsan lagi ketika dia siuman di waktu paginya dan melihat
bahwa yang menggeletak di antara pahanya adalah bangkai seekor anak monyet. Rasa
kaget dan ngeri membuatnya pingsan kembali. Akan tetapi sekali ini, karena
tubuhnya sudah mulai pulih kekuatannya, dia tidak lama dalam keadaan tidak sadar
itu. Setelah dia siuman kembali, dia lebih tenang dan pikirannya bekerja sambil
dia duduk dan memandang ke arah bangkai monyet itu. Diambilnya bangkai itu dan
diperiksanya. Benar-benar bangkai seekor monyet kecil. Jelas dia tidak
melahirkan anak monyet! Tentu anaknya telah terlahir dan ada yang mengambil
anaknya itu, menukarnya dengan seekor monyet kecil yang mati dengan kepala
terluka. Ini bukan anak monyet yang baru saja terlahir, pikirnya. Hatinya lega.
Tidak, dia tidak melahirkan monyet! Tidak mungkin keturunan Cia Bun Houw berupa
monyet! Akan tetapi timbul kekhawatiran lain di dalam hatinya. Siapakah yang


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menculik anaknya" Jantungnya berdebar. Jangan-jangan ayah kandungnya yang datang mengambilnya"
Mudah-mudahan begitu, pikirnya penuh harap. Akan tetapi kalau Bun Houw yang
datang, mengapa pemuda itu membiarkan saja dia pingsan tanpa menolongnya" Bukan
demikian watak pendekar sakti itu. Dan mengapa pula menukar anaknya dengan
bangkai seekor monyet kecil" Inipun tidak masuk akal! Yang dapat melakukan hal
sekeji dan seaneh itu pantasnya hanyalah seorang tokoh kaum sesat. Akan tetapi
siapakah yang akan melakukan hat seperti itu kepada anaknya" Di antara tokoh
sesat yang tadinya membantu Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li di Istana Lembah
Naga, semua telah tewas ketika terjadi pertempuran melawan para pendekar sakti.
Hanya Hek-hiat Mo-li seorang yang tidak tewas dan nenek iblis itu telah pergi
bersama muridnya, yaitu Raja Sabutai. Nenek itukah yang melakukannya" Dia
bergidik kalau teringat kepada nenek bermuka hitam yang mengerikan itu. Akan
tetapi mengapa nenek itu melakukan hal seperti ini, menculik seorang bayi yang
baru terlahir. Si Kwi bangkit berdiri, mengepal kedua tangannya dan memandang keluar guha.
"Hek-hiat Mo-li, agaknya engkaulah yang melakukan ini. Nenek jahanam, iblis
laknat, sungguh engkau bukan manusia, melainkan iblis betina yang keji!" Dia
lalu menangis karena merasa tidak berdaya menghadapi nenek itu. Gurunya sendiri,
Hek I Siankouw, takut terhadap nenek bermuka hitam itu. Apalagi dia. Andaikata
benar nenek itu yang melakukan dan dia dapat mencarinya, apa yang dapat dia
lakukan terhadap nenek itu" Kepandaian nenek itu jauh lebih tinggi daripada
kepandaiannya sendiri. Dan dia teringat bahwa memang terdapat ilmu-ilmu sesat
yang syaratnya untuk dikuasai adalah makan dan minum darah bayi yang baru
terlahir. Dia bergidik dan menangis lagi.
"Bun Houw... Cia Bun Houw... hanya engkau seoranglah yang sanggup melawan nenek
itu, hanya engkau seoranglah yang akan dapat menyelamatkan anak itu, anakmu,
darah dagingmu... akan tetapi mana engkau sudi melakukannya...?" Si Kwi menangis
sesenggukan. Setelah reda tangisnya, dia lalu keluar dari dalam guha, membawa bangkai anak
monyet itu. Entah bagaimana, melihat bangkai anak monyet itu, dia merasa
kasihan. Seolah-olah dia teringat bahwa anaknya sendiripun berada di dalam
bahaya, dan mungkin saja mati seperti anak monyet ini. Membayangkan betapa anak
yang dikandungnya itu mati tanpa ada yang menolong, timbul rasa iba di hatinya
terhadap anak monyet itu dan biarpun tubuhnya masih lemah, dia memaksa diri
mengubur bangkai itu baik-baik.
Semenjak melahirkan dan anaknya hilang, Si Kwi hidup makin tidak peduli lagi.
Pakaiannya jarang diganti, tubuhnya kurus, mukanya pucat, rambutnya awut-awutan
dan dia lebih sering tidur di dalam kamamya di Istana Lembah Naga, bermalas-
malasan dan hanya kalau rasa lapar di dalam perutnya sudah terlalu hebat saja
dia terpaksa keluar mencari bahan makanan. Hidupnya terasa kosong dan hampa dan
dia seperti mayat hidup saja.
Kecewa menimbulkan iba diri, dan iba diri menimbulkan duka. Duka makin mendalam
karena dorongan ingatan dan sengsaralah manusia yang sudah menjadi korban dari
duka. Hidup terasa kosong dan sengsara, lenyaplah segala keindahan dan
kegembiraan, hati selalu tersiksa dan pikiran selalu melamun dan melayang jauh.
Padahal, sebelum terjadi peristiwa dengan Bun Houw di Lembah Naga, sebelum dia
bertemu dengan pemuda yang amat dikaguminya itu, Liong Si Kwi adalah seorang
dara cantik manis angkuh, yang mengandalkan kepandaian dan merasa tidak pernah
kekurangan sesuatu dalam hidupnya!
Sebetulnya Liong Si Kwi bukanlah keturunan orang jahat, tidak pula menjadi murid
orang jahat. Mendiang ayahnya adalah seorang piauwsu (pengawal kiriman barang
berharga) yang terkenal gagah dan jujur. Akan tetapi ayahnya tewas di tangan
penjahat, dan ibunya meninggal karena duka setelah ayahnya meninggal. Dia
dirawat dan dididik oleh Hek I Siankouw. Gurunya itu, Hek I Siankouw,
sesungguhnya juga bukan seorang jahat. Sebaliknya malah, Hek I Siankouw adalah
seorang pendeta wanita, seorang penganut Agama To dan selain memiliki ilmu
kepandaian tinggi sekali, juga tokouw ini tidak pernah melakukan kejahatan,
bahkan selalu menentang para penjahat yang mengganggu ketentraman.
Akan tetapi sayang, seperti halnya setiap orang pandai, dia tetap manusia
seperti para manusia lain, tetap memiliki kelemahan. Sejak masih mudanya, Hek I
Siankouw telah menjadi pendeta, menguasai segala macam nafsunya, terutama nafsu
berahi. Akan tetapi ketika dia bertemu dengan seorang pendeta Agama To lain,
yaitu Hwa Hwa Cinjin, seorang tosu yang amat sakti, yang bersikap lemah-lembut,
yang di waktu mudanya memang tampan sekali, dia tidak kuat menahan gelora
hatinya yang tertarik! Demikian pula Hwa Hwa Cinjin, ketika bertemu dengan Hek I
Siankouw yang ketika itu sudah berusia lima puluh tahun, dia tertarik sekali dan
terjadilah hal yang aneh di antara kedua orang pendeta ini! Mereka tidak dapat
menahan nafsu berahi mereka dan terjadilah hubungan cinta gelap di antara
mereka! Memang aneh sekali, akan tetapi kalau diingat bahwa mereka hanyalah
manusia-manusia biasa dengan segala macam kelemahan mereka, sebenarnya hal itu
tidak pula aneh. Apakah bedanya tua atau muda kalau nafsu sudah menguasai diri"
Baik Hek I Siankouw maupun Hwa Hwa Cinjin, keduanya bukan pula termasuk golongan
jahat, bukan tokoh-tokoh kaum sesat. Akan tetapi keadaan menyeret mereka
sehingga mereka terpaksa bersekutu dengan kaum sesat dan memusuhi golongan
pendekar. Yang menjadi sebab adalah karena mendiang suheng dari Hwa Hwa Cinjin
yang bernama Toat-beng Hoatsu, telah tewas di tangan kaum pendekar. Untuk
membalas dendam kematian suhengnya inilah maka Hwa Hwa Cinjin sampai bermusuhan
dengan ketua Cin-ling-pai, yaitu Pendekar Keng Hong! Dan karena Hek I Siankouw
adalah kekasih dari Hwa Hwa Cinjin, maka tentu saja tokouw ini membela
kekasihnya. Dan karena Cia Keng Hong dan keluarganya adalah keluarga yang
memiliki kesaktian hebat, maka mereka terpaksa bergabung dengan Pek-hiat Mo-ko
dan Hek-hiat Mo-li yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari mereka. Untuk
menghadapi keluarga Cia itu sendiri, tentu mereka berdua tidak akan sanggup
melawan! Demikianlah, setelah Hek I Siankouw berdiri di fihak musuh keluarga Cia, dengan
sendirinya sebagai murid tokouw itu, Liong Si Kwi terpaksa pula membela gurunya
dan berdiri di fihak gurunya bermusuhan dengan keuarga Cia. Akan tetapi sungguh
celaka baginya, dia jatuh cinta kepada Cia Bun Houw, putra dari ketua Cin-ling-
pai itu, bahkan dia telah menyerahkan kehormatannya kepada pemuda itu!
Semua itu telah dituturkan dalam cerita "Dewi Maut" dengan jelas. Liong Si Kwi
bukan keturunan orang jahat, akan tetapi dia terjerumus ke dalam lingkungan
jahat sehingga diapun terseret dan menerima akibatnya. Dan kini, sungguh dia
merupakan seorang wanita muda yang patut dikasihani. Dia telah kehilangan
kehormatannya, kehilangan tangan kirinya, kehilangan pria yang dicintanya,
kehilangan harapan, kini setelah melahirkan dia kehilangan anaknya pula! Segala-
galanya telah habis bagi Si Kwi dan agaknya dia hanya menanti datangnya kematian
di tempat sunyi itu seorang diri saja.
Akan tetapi kehidupan manusia selalu berubah. Hidup adalah gerakan seperti air
sungai mengalir yang selalu baru dan berubah. Hari ini boleh jadi berduka, besok
belum tentu demikian. Hari ini menangis, besok mungkin tertawa. Hari ini
melakukan kejahatan, besok mungkin melakukan kebaikan. Sebaliknya kesenangan
hari ini mungkin berubah menjadi kesusahan di hari esok dan selanjutnya. Oleh
karena itu, kelirulah menilai hidup dan keadaan seseorang dari perbuatan atau
keadaannya di masa lalu! Dan tidak benar pula mengukur baik buruknya seseorang
dari SATU perbuatan saja!
Keadaan Si Kwi yang sudah putus asa itu, yang menganggap kehidupan sebagai
tempat derita belaka, tanpa adanya harapan akan terjadi perubahan, yang
menganggap bahwa tidak mungkin bagi dia untuk dapat bergembira lagi, ternyata
tidaklah demikian. Terjadilah perubahan yang sama sekali tidak pernah
dibayangkannya dalam mimpi.
Hari itu, pagi-pagi sekali Si Kwi sudah meninggalkan istana untuk mencari
makanan karena perutnya terasa lapar sekali. Dia pergi memetik sayur-sayuran di
ladang yang sudah tidak terawat itu dan ketika hendak pulang dia melihat seekor
kelinci lari dari ladang. Dia cepat mengejarnya dan kelinci itu memasuki hutan.
Dengan sebuah batu yang disambitkannya, dia dapat merobohkan kelinci itu. Akan
tetapi ketika dia mengambil bangkai kelinci dan hendak pulang, dia melihat guha
besar di mana dia dahulu melahirkan. Melihat guha ini dari jauh, hatinya
tertarik dan seperti di luar kehendaknya sendiri, kedua kakinya melangkah menuju
ke guha itu. Setelah tiba di depan guha, niatnya hanya ingin menjenguk ke dalam
sebentar lalu pergi lagi. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara tangis anak-anak
yang aneh sekali dari dalam guha!
Si Kwi terkejut setengah mati. Dengan mata terbelalak dia memandang ke arah
guha, sayur dan bangkai kelinci yang dipegangnya terlepas dari kedua tangannya,
muka menjadi pucat dan dia merasa bulu tengkuknya meremang. Setan" Roh anaknya"
Bermacam bayangan yang mengerikan terbayang dalam benaknya. Akan tetapi rasa
takutnya itu dibantahnya sendiri. Mana mungkin di siang hari muncul setan" Telah
hampir dua tahun dia tinggal seorang diri di tempat itu dan belum pernah dia
bertemu setan! Tahyul belaka! Si Kwi adalah seorang wanita perkasa, maka segera
rasa takut itu dibuangnya dan dengan langkah lebar dia memasuki guha besar itu.
Tadinya di hanya berdiri karena menyangka bahwa tentu telinganya yang salah
dengar, mungkin karena memikirkan anaknya maka telinganya mendengar suara
khayal. Akan tetapi ketika tangis itu terus bahkan makin keras terdengar, dia
cepat memasuki guha. Dan di tengah guha itu, di tempat di mana dia dahulu melahirkan anaknya, nampak
seorang anak kecil rebah terlentang sambil menangis! Kaki kiri anak itu
membengkak hitam, dan di situ terdapat empat ekor monyet besar-besar yang
menjaga anak itu. Seorang anak laki-laki, anak manusia dijaga empat ekor monyet!
Seketika, bagaikan cahaya kilat memasuki benaknya, Si Kwi mengerti bahwa itulah
anaknya! Bahwa itulah anaknya yang lenyap setahun yang lalu, diculik oleh
monyet-monyet itu! Dan kini mengertilah dia bahwa yang menukar anaknya dengan
monyet adalah monyet-monyet besar ini!
Entah siapa yang lebih dulu menerjang maju. Si Kwi sudah marah karena menduga
bahwa monyet-monyet itu yang mencuri anaknya, sedangkan empat ekor monyet itu,
didahului oleh induk monyet, marah karena melihat wanita itu menghampiri
anaknya. Mereka sudah saling terjang dan Si Kwi dikeroyok oleh empat ekor monyet
besar yang mencakar dan menubruk, dengan mulut bertaring dah hendak
menggigitnya. Namun, selama dua tahun kurang itu, Si Kwi tidak kehilangan
kepandaiannya dan kesigapannya biarpun dia tidak pernah berlatih. Ilmu silat
yang dipelajarinya dan dilatihnya selama bertahun-tahun dahulu itu telah
mendarah daging di tubuhnya sehingga gerakannya sudah menjadi otomatis. Kedua
kakinya bergerak-gerak menendang, tangan kanannya menampar dan tubuhnya bergerak
dengan sigapnya mengelak dari setiap tubrukan. Tendangan-tendangan dan tam-
parannya mengenai tubuh monyet-monyet itu dengan tepat sehingga dalam beberapa
gebrakan saja dia telah dapat menghajar monyet-monyet itu yang terlempar dan
terbanting jatuh bergulingan. Akhirnya, tiga ekor monyet melarikan diri, tinggal
seekor monyet betina besar itu yang masih melawan. Akan tetapi dia bukanlah
lawan Si Kwi dan beberapa kali dia kena ditendang dan dihantam. Pukulan tangan
kanan Si Kwi yang terakhir, tepat mengenai tengkuk monyet betina itu, membuat
monyet itu terpelanting roboh dan tak bergerak lagi, pingsan.
Si Kwi lalu menghampiri anak laki-laki yang masih menangis itu. Dia memegangnya,
akan tetapi dia bergerak kaget dan mengelak ketika anak itu tiba-tiba
menggunakan mulut untuk menggigit tangannya sambil mengeluarkan suara gerengan!
Si Kwi berdiri bengong. Benarkah ini anaknya! Benar bahwa anak ini tidak salah
lagi adalah seorang anak manusia, bocah laki-laki yang bertubuh sehat dan kuat,
akan tetapi kaki kirinya bengkak menghitam, agaknya keracunan. Dan anak ini
memang usianya kurang lebih satu tahun, tepat sekali kalau anak ini adalah anak
yang dilahirkannya setahun yang lalu. Akan tetapi anak ini merupakan seekor
monyet bertubuh dan berwajah manusia! Kemudian teringatlah dia bahwa mungkin
sejak lahir, anak ini tumbuh di tengah-tengah sekumpulan monyet, maka tentu saja
tingkah lakunya mirip monyet. Pikiran ini membuat dia merasa terharu sekali.
"Anakku...!" bisiknya dan air matanya jatuh bercucuran. Dia memondong anak itu,
tidak memperdulikan anak itu menggigit lengannya karena dengan kulit tubuhnya
yang terlatih dan kuat, tentu saia gigitan anak berusia setahun itu tidak
menyakitkan. Melihat keadaan kaki anak itu yang membengkak dan membiru, Si Kwi
cepat berlari pulang, memasuki istana dan langsung dia menuju ke dalam kamarnya.
Anak itu yang meronta-ronta kini tidak bergerak lagi, agaknya pingsan.
Si Kwi cepat mengambil obat yang banyak terdapat dalam sebuah kamar di istana
itu. Sebagai orang-orang sakti yang mempunyai banyak anak buah ketika mereka
tinggal di istana ini, Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li tentu saja menyimpan
segala macam obat-obatan, amat banyak sampai memenuhi satu kamar dan mereka
adalah ahli-ahli racun yang tentu menyimpan obat-obat untuk orang keracunan
pula. Sedangkan Si Kwi adalah murid dari Hek I Sainkouw yang juga ahli dalam
mengobati segala macam luka yang keracunan, kepandaian yang penting bagi orang-
orang kang-ouw yang banyak melakukan perantauan, banyak pula menghadapi bahaya
dari lawan yang menggunakan senjata beracun, maka tentu saja wanita muda ini
mengerti pula tentang pengobatan luka beracun.
Dia telah memeriksa luka di kaki anak itu dan dapat menduga bahwa tentu luka itu
disebabkan oleh gigitan binatang beracun, agaknya ular melihat ada lubang kecil
di kaki itu, bekas taring ular. Maka dia cepat memilih obat-obat yang khusus
untuk menghadapi racun ular. Dengan hati penuh kekhawatiran dan dengan cekatan
sekali dia lalu menggunakan obat gosok untuk pertama-tama mengobati luka itu.
Dengan ujung sebatang pisau runcing yang dibakarnya dulu, dia merobek kulit
daging betis kaki itu, lalu mengisap dengan mulutnya, mengeluarkan darah
menghitam dari dalam luka. Kemudian dia memaksakan obat yang telah digodoknya ke
dalam mulut anak itu sedikit demi sedikit.
Dengan penuh ketelitian Si Kwi merawat anak itu dan dalam waktu satu hari satu
malam saja dia telah berhasil menolong anak itu terbebas dari ancaman racun yang
dapat membawa maut. Anak itu siuman kembali, mula-mula hendak meronta, akan
tetapi karena tubuhnya lemah, dia diam saja hanya memandang kepada Si Kwi penuh
kecurigaan dan kadang-kadang mengeluarkan suara menggereng dan memperlihatkan
giginya! Si Kwi makin terharu. Anak ini sudah hampir menjadi monyet karena gerak-
geriknya! Dia lalu menimang-nimangnya, memberinya makan. Akan tetapi mula-mula
anak itu tidak mau makan segala macam masakan, kecuali hanya buah-buahan. Persis
seperti seekor monyet. Naluri seorang ibu amat kuat. Cinta kasih seorang ibu
memang memiliki getaran halus yang amat kuat, yang dapat menembus kebodohan anak
itu. Agaknya sebagai seorang manusia pula, anak itu juga memiliki perasaan dan
dapat menerima getaran cinta kasih ibu kandungnya sehingga dalam waktu beberapa
hari saja dia telah menjadi "jinak"! Makin berkurang kebuasannya, dan dalam
waktu sebulan, dia sudah begitu melekat kepada Si Kwi sehingga mau digandeng dan
diajar berjalan karena jalannya masih seperti orang hutan, dengan kedua kaki
ditekuk rendah, kedua lengan bergantung hampir mencapai tanah dan punggung
membungkuk! Kini, dia mulai meniru cara Si Kwi berjalan! Juga dia mulai mau
makan masakan sayuran dan daging yang disuguhkan oleh ibu kandungnya. Pertama
kali Si Kwi memberi pakaian kepadanya, dia ketakutan. Ketika pakaian itu oleh Si
Kwi dipakaikan di tubuhnya, dia merobek-robeknya. Akan tetapi agaknya karena
meniru Si Kwi pula, akhirnya dia mau juga mengenakan pakaian, mau pula
dimandikan dan lain-lain. Persis seperti menjinakkan seekor kera.
Si Kwi sering kali mengamat-amati anak itu di waktu anak tidur. Hatinya penuh
rasa haru, penuh rasa sayang dan dibelainya anak itu, diusapnya dengan jari-jari
tangan gemetar luka-luka di tubuh anak itu, terutama sekali luka memanjang di
pundak sampai ke punggung. Luka itu memanjang dan bentuknya seperti seekor naga.
Bekas luka inilah yang membuat Si Kwi mengambil keputusan untuk memberi nama
Liong (Naga) kepada anaknya. Dan karena dia teringat akan kegagahan ayah kandung
anak ini, akan kesaktiannya, maka dia mengharapkan agar anaknya kelak dapat
menjadi seorang naga sakti. Maka dia lalu menamakan anak itu Sin Liong (Naga
Sakti) dan tentu saja dia menambahkan she Cia kepada Sin Liong. Cia Sin Liong,
demikianlah nama anak yang sejak bayi dipelihara oleh monyet, hidup di antara
monyet-monyet dan hampir saja dia menjadi seekor monyet yang aneh itu.
Setelah menemukan anaknya, terjadilah perubahan besar sekali dalam kehidupan Si
Kwi. Kini dia dapat tersenyum lagi, dapat tertawa terkekeh-kekeh melihat
kelucuan anaknya, dapat berseru kagum melihat ketangkasan anak berusia setahun
lebih itu yang pandai sekali melompat, pandai memanjat pohon dan memiliki
kekuatan yang jauh melebihi anak biasa. Kini Si Kwi mulai merasa gembira,
wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar dan mulutnya sering kali tersenyum.
Mulai pula dia memperhatikan dirinya, membersihkan dirinya dan mengenakan
pakaian yang patut-patut. Dia seolah-olah mulai suatu kehidupan baru! Mulai dia
mengkhawatirkan sesuatu, memperdulikan sesuatu, tidak lagi seperti biasa hidup
seperti mayat berjalan tanpa memperdulikan apa-apa. Mulai dia melihat keindahan-
keindahan lagi di dalam kehidupannya.
Tiga bulan kemudian, keadaan di Istana Lembah Naga itu telah berubah sama
sekali. Dari dusun-dusun yang berada di kaki Pegunungan Khing-an-san, Si Kwi
mengundang lima orang wanita yang dipekerjakan sebagai pelayan. Istana itu
dibersihkan, dirawat baik-baik, ladang-ladangnya ditanami sayur-sayur lagi,
bahkan di samping istana dibuat sebuah taman yang penuh bunga. Pendeknya, dalam
waktu beberapa bulan saja, keadaan diri Si Kwi dan sekelilingnya telah mengalami
perubahan luar biasa. Wanita itu kini mau berdandan kembali, mengenakan pakaian
indah karena memang banyak terdapat kain-kain yang serba indah di dalam istana
itu, semangatnya bangkit dan hidup kembali.


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lima orang wanita yang menjadi pelayan-pelayan itu juga suka bekerja di situ.
Dua orang di antara mereka adalah orang-orang Han dan yang tiga lagi peranakan
Mongol. Mereka itu biasanya ikut dengan rombongan suka bangsa yang suka
berpindah-pindah, hidup serba kekurangan dan selalu menghadapi kesukaran. Kini,
mereka hidup di istana yang besar dan indah, dan tidak kekurangan makan dan
pakaian, tentu saja mereka suka berada di situ. Apalagi, mereka hanya melayani
seorang ibu dan seorang anak, tentu saja pekerjaan mereka tidak berat.
Akan tetapi, ternyata tidaklah mudah untuk mengasuh Sin Liong. Anak ini sudah
mulai belajar bicara, akan tetapi sekali waktu, dalam keadaan marah atau
khawatir, timbul saja semacam sifat monyetnya, menggereng, mencakar dan hendak
menggigit, bahkan lari memanjat pohon sampai di ranting yang paling puncak,
tidak mau turun! Akan tetapi sisa watak seperti monyet ini makin lama makin
menipis sungguhpun tidak dapat lenyap sama sekali seperti luka di pundak dan
betisnya, biarpun sudah sembuh sama sekali, namun masih ada saja nampak bekas-
bekasnya. SERING sekali para pelayan dan juga Si Kwi sendiri, memergoki monyet mendekati
istana, bahkan ada satu dua kali mereka melihat Sin Liong bermain-main dengan
mereka. Dan pada suatu malam, ketika anak itu sudah berusia dua tahun, anak itu
lenyap dari dalam kamarnya! Sudah tentu saja para pelayan menjadi panik. Akan
tetapi Si Kwi yang melihat jendela kamar itu terbuka, bersikap tenang biarpun
jantungnya berdebar penuh ketegangan dan kegelisahan. Dia tidak mau kehilangan
putranya untuk kedua kali! Akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu anaknya itu
pergi "mengunjungi" teman-temannya, yaitu rombongan monyet-monyet itu. Maka pada
pagi hari itu, dia bersama para pelayannya lalu menuju ke sebuah hutan lebat tak
jauh dari situ karena dia tahu bahwa di hutan inilah monyet-monyet itu berkumpul
dan hidup. Setelah mereka berenam tiba di tengah hutan, benar saja mereka melihat Sin Liong
berada di antara monyet-monyet besar. Si Kwi mengerutkan alisnya dan marah
sekali melihat betapa anak itu bermain-main, berloncatan dengan pakaian sudah
cabik-cabik tidak karuan, bersama monyet-monyet kecil makan ulat dan cacing!
Monyet-monyet besar itu jumlahnya hanya belasan ekor, tidak lebih dari lima
belas ekor. Banyak memang monyet-monyet kecil di situ dari lain jenis, akan
tetapi monyet-monyet kera kecil ini tidak berani mendekati monyet-monyet orang
hutan yang besar-besar itu, yaitu kelompok yang menjadi teman Sin Liong.
"Sin Liong...!" Si Kwi memanggil sambil memandang ke atas pohon di mana anak itu
nongkrong dengan sikap gembira.
Sin Liong memandang ke bawah dan mengeluarkan suara teriakan, "Ibu...!" Hanya
satu kata inilah yang selalu teringat oleh anak itu dan yang diucapkannya dengan
baik. Akan tetapi dia tidak mau turun, bahkan meloncat ke dahan yang lebih
tinggi lagi. "Sin Liong, kau turunlah! Mari pulang bersama ibu!" teriak Si Kwi lagi.
Sin Liong tetap tidak mau turun dan kini yang turun malah seekor orang utan
jantan yang amat besar. Orang utan ini adalah pemimpin dari kelompok itu, orang
utan jantan yang paling besar dan kuat. Dia berloncatan turun diikuti oleh lima
ekor orang utan jantan yang lain, sikap mereka mengancam dan pemimpin monyet itu
sudah memperlihatkan taringnya.
Akan tetapi Si Kwi tidak merasa gentar dan dia tetap berdiri tegak di bawah
pohon sambil memanggil-manggil Sin Liong. Lima orang pelayannya, biarpun sudah
mulai dilatih silat oteh Si Kwi, merasa ngeri dan mundur-mundur ketakutan,
menjauhi pohon itu. Kini enam monyet besar itu sudah menghadapi Si Kwi. Pemimpin
monyet menggereng-gereng seperti menggertak, diikuti oleh lima ekor anak
buahnya. Akan tetapi tiba-tiba terdengar gerengan lain dan sesosok tubuh kecil
melayang turun dari atas pohon, dari cabang pohon paling rendah dan tahu-tahu
Sin Liong sudah berada di situ, di tengah-tengah antara monyet-monyet itu dan
ibunya. Dan anak inipun menggereng-gereng dan memperlihatkan giginya yang kecil-
kecil dan sama sekali tidak menyeramkan, menghadapi monyet-monyet seolah-olah
dia marah kepada mereka dan hendak membela ibunya. Melihat pertunjukan ini,
jantung di dalam dada Si Kwi berdebar penuh keharuan dan kekaguman. Anaknya,
yang baru berusia dua tahun itu telah tahu bagaimana membela ibunya!
Akan tetapi, monyet besar itu menggereng dan tangannya bergerak hendak
mencengkeram atau mendorong pergi Sin Liong. Seperti sikap seekor monyet kecil
menghadapi monyet besar, Sin Liong mengelak dan tidak berani melawan, hanya
menggereng-gereng dan memperlihatkan giginya menyeringai.
Si Kwi menjadi marah. "Sin Liong, minggirlah! Biar kuhajar monyet-monyet biadab
ini!" Setelah berkata demikian, Si Kwi menerjang maju, dua kali kakinya bergerak
dan dua ekor monyet terpelanting! Empat ekor lainnya maju, akan tetapi Si Kwi
yang sudah marah itu kini tidak mau membuang waktu lagi. Dengan gerakannya yang
amat gesit, dia mengelak ke kanan kiri sambil membalas dengan tendangan kakinya
dan dengan pukulan tangan kanannya. Akan tetapi, tubuh monyet-monyet besar itu
kebal dan kuat sekali. Begitu mereka roboh, mereka sudah meloncat bangun lagi
dan menyerang makin ganas, dengan mata merah dan mulut membusa, menyerang kalang
kabut dengan tubrukan-tubrukan dahsyat! Si Kwi merasa kewalahan juga karena
sudah tiga empat kali dia merobohkan monyet-monyet itu, namun untuk kesekian
kalinya kembali mereka bangkit dan menyerang makin ganas.
"Hemm, kalian ingin mampus!" Si Kwi berteriak marah sambil meloncat ke belakang.
Ketika pemimpin monyet yang terbesaran paling ganas itu menyerang ke depan, Si
Kwi menggerakkan tangan kanannya dan sebatang paku hitam meluncur.
"Capp...!" Paku itu menancap dan lenyap ke dalam tenggorokan monyet besar itu.
Monyet itu mengeluarkan pekik aneh dan roboh bergulingan, berkelojotan dan tak
lama kemudian tewaslah monyet itu. Monyet-monyet yang lain, aneh sekali, menjadi
ketakutan dan lari berloncatan ke atas pohon.
"Grrhhhh...!" Tiba-tiba Si Kwi mengelak dan alangkah kagetnya ketika dia melihat
anaknya sudah menerjang dan mencakarnya! Dia menangkap tangan anaknya, lalu
diangkatnya, dipondongnya dan diciuminya, dipeluk erat-erat.
"Sin Liong... aku terpaksa membunuhnya... terpaksa...!" Lalu dia mengajak
anaknya itu pulang dengan setengah memaksa. Sin Liong tidak meronta lagi, akan
tetapi dia diam saja, dan wajahnya memperlihatkan kemarahan.
Semenjak peristiwa pembunuhan pimpinan monyet itu, watak Sin Liong menjadi
pendiam dan sering kali dia memandang kepada Si Kwi dengan curiga.
Akan tetapi karena sikap Si Kwi yang amat baik kepadanya, akhirnya kecurigaannya
itu lenyap dan dia mulai mau tersenyum lagi kepada ibunya itu.
Liong Si Kwi juga bersikap bijaksana. Dia tahu bahwa putranya itu tidak akan
mudah menghapuskan kenangan lama, kebiasaan lama ketika hidup selama setahun
bersama monyet-monyet itu, maka diapun tidak melarang anaknya untuk bermain-main
dengan monyet-monyet itu. Betapapun juga, ada rasa terima kasih di hatinya
terhadap monyet-monyet itu, karena tanpa adanya monyet-monyet itu, entah apa
jadinya dengan anaknya karena ketika melahirkan, dia terus pingsan! Diam-diam Si
Kwi membayangkan betapa anehnya kehidupan ini. Anaknya terlahir tanpa bantuan,
kemudian begitu lahir diculik oleh monyet besar. Heran, dia memikirkan bagaimana
dan apa jadinya dengah ari-ari yang ikut keluar bersama anaknya itu. Bagaimana
caranya monyet-monyet itu memelihara bayinya" Bagaimana cara pemotongan
pusarnya" Dia melihat pusar Sin Liong biasa saja seperti anak-anak lainnya.
Memang demikianlah. Kita manusia lupa bahwa segala sesuatu di dunia ini sudah
dalam keadaan tertib, dan sudah tertib dengan sendirinya, sempurna segala-
galanya. Karena manusia berakal budi, maka manusia senantiasa mempunyai
kecondongan untuk membantu jalannya kekuasaan alam, membantu kelancarannya. Dan
karena semenjak jutaan tahun bantuan-bantuan manusia ini makin berkembang, maka
manusiapun telah menjadi terbiasa karenanya, dan manusia merasa kehilangan tanpa
adanya bantuan-bantuan itu. Dan mungkin sekali, karena terbisa oleh bantuan-
bantuan dari luar ini, jasmani manusia kehilangan kepekaannya, kehilangan
kecerdasannya, bahkan mungkin juga daya ketertiban yang ajaib itu bahkan
berkurang sehingga manusia akan merasa tidak berdaya tanpa adanya bantuan-
bantuan luar yang sudah biasa diterimanya itu. Kita dapat melihat bukti adanya
ketertiban alamiah yang amat dahsyat dan ajaib itu dalam kehidupan binatang-
binatang hutan yang masih jauh dari "peradaban" manusia. Kelahiran di antara
binatang-binatang itu terjadi di mana-mana, dan tentu saja di dunia mereka itu
tidak mengenal adanya bantuan dari luar! Namun, semua kelahiran berjalan lancar
dan sempurna! Hanya binating-binatang, yang sudah dekat dengan manusia saja,
yang biasa menerima bantuan-bantuan dari manusia, akan merasa kehilangan dan
mungkin akan terancam bahaya kegagalan apabila mereka terlepas daripada bantuan
manusia yang sudah biasa mereka terima turun-temurun itu.
Kini Sin Liong sering kali bermain-main dengan para monyet, bahkan melihat
betapa Si Kwi tidak pernah marah dan tidak pernah mengganggu mereka, monyet-
monyet itu mulai berani mendekati istana, bahkan berani bermain-main dengan Sin
Liong di istana. Si Kwi memesan kepada para pelayannya agar jangan mengganggu
mereka. Di dalam hatinya wanita muda ini dapat memaklumi bahwa tidak mungkin Sin
Liong dapat melupakan kehidupan di antara para monyet setelah sejak bayi dia
minum air susu dari dada monyet betina besar yang dia lihat sering kali datang
dan memandang kepada Sin Liong dengan matanya yang seperti mata seorang manusia!
Monyet betina besar yang hanya memandang dari jauh, bersikap diam saja, namun
sinar matanya penuh dengan kasih sayang yang dapat terasa oleh Si Kwi.
Malam itu bulan bersinar terang. Si Kwi bermain-main dengan anaknya di serambi
depan, sedangkan para pelayan telah mengaso di kamar belakang. Para pelayan itu
kini telah merupakan wanita-wanita yang tidak lemah lagi. Telah beberapa bulan
lamanya mereka dilatih ilmu silat oleh Si Kwi dan biarpun mereka tentu saja
belum dapat menguasai jurus-jurus silat yang tinggi, namun setidaknya mereka
telah memperoleh kesigapan dan kekuatan yang lumayan.
Si Kwi sedang mengajar anaknya bercakap-cakap. Sudah lumayan juga kemajuan yang
diperoleh Sin Liong dalam hal ini. Tentu saja kalau dibandingkan dengan anak-
anak biasa, dia ketinggalan jauh sekali. Usianya sudah dua tahun setengah, namun
dia hanya baru bisa mengeluarkan beberapa patah kata saja, di antaranya yang
paling jelas adalah "ibu", "makan", "minum", "tidur", "ya" dan "tidak". Akan
tetapi dengan bahasa isyarat dia sudah mengerti jauh lebih banyak dan pengerti-
annya menangkap kata-kata jauh lebih daripada kepandaiannya mengucapkan kata-
kata. Juga kini dia sering kali tertawa-tawa ditimang oleh Si Kwi, dan dapat
pula menunjukkan kasih sayangnya dengan memeluk leher ibunya kalau dia dipangku.
Tiba-tiba terdengar bunyi cecowetan dan di antara bayangan pohon-pohon nampak
beberapa ekor monyet kecil menghampiri serambi itu. Si Kwi mengerutkan alisnya,
akan tetapi dia tidak melarang ketika Sin Liong merosot turun dari atas
pangkuannya dan berlari keluar, menyambut kedatangan monyet-monyet itu. Biarlah,
pikirnya. Anak itu berhak untuk bergembira dan bermain-main, seperti anak-anak
lain. Dan karena di situ tidak ada anak lain, maka tentu saja anak itu
bersababat dengan monyet-monyet yang memang sejak lahir telah menjadi
sababatnya. Hatinya lega ketika melihat Sin Liong tidak merobek-robek pakaiannya
lagi dan bahkan dalam kegembiraamya itu, terdengar gelak tawanya seperti seorang
anak manusia diantara suara cecowetan monyet. Anak itu sudah makin mendekati
sifat manusia daripada sifat monyet, pikirnya dan diapun melangkah masuk ke
dalam kamarnya, membiarkan anak bermain-main di luar karena dia tahu bahwa kini
Sin Liong, semenjak peristiwa pertempurannya melawan monyet-monyet itu, tidak
mau pergi jauh dari halaman depan istana.
Si Kwi sedang membaca kitab yang terisi cerita kuno sambil rebah di atas
pembaringannya, ketika tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dari luar dan nampak
anaknya memasuki kamar sambil berlari setengah merangkak cepat sekali. Si Kwi
bangkit duduk dan terkejut. Kalau Sin Liong sudah melupakan pesannya bahwa anak
itu tidak boleh merangkak melainkan harus berjalan seperti manusia, dan kini
anak itu berjalan setengah merangkak karena hal ini membuat dia dapat bergerak
lebih cepat, tentu ada apa-apa yang penting pikirnya.
"Liong-ji... ada apakah...?" Hatinya lega melihat Sin Liong tidak terluka, dan
agaknya tidak terjadi apa-apa dengan anak itu, akan tetapi anak itu kelihatan
gugup dan takut. "Ibu... keluar... keluar...!" Dia berkata, sukar sekali, akan tetapi kedua
tangannya jelas memberi isyarat kepada ibunya agar ibunya suka keluar dari dalam
kamar itu. Si Kwi meloncat turun dan mengikuti anaknya yang kembali lari
setengah merangkak dan berloncatan keluar dari dalam kamar, terus ke serambi
depan dan hendak terus keluar dari halaman istana. Akan tetapi Si Kwi memegang
lengan anaknya dan berdiri tegak di tengah halaman istana yang amat sunyi itu.
Sinar bulan menerangi tempat itu.
"Ibu...!" Sin Liong menuding ke depan.
"Sstttt...!" Si Kwi menaruh telunjuk di depan mulut, isyarat yang dikenal oleh
Sin Liong agar dia berdiam diri. Si Kwi yang memiliki pendengaran tajam terlatih
itu telah mendengar sesuatu dari jauh. Maklumlah dia bahwa ada datang beberapa
orang pengunjung. Siapa pula yang berani datang mengunjungi tempat ini" Pernah
dahulu, sebelum dia melahirkan, beberapa kali ada orang-orang berkeliaran di
dekat istana, mungkin pemburu-pemburu binatang. Akan tetapi dia telah
mempergunakan kepandaiannya, menyabit mereka dari jauh dengan kerikil-kerikil
kecil dan membuat mereka lari ketakutan karena sambitannya tepat mengenai mereka
dan cukup menyakitkan. Akan tetapi sekali ini, malam-malam ada orang-orang
datang. Siapa mereka dan apa maksud kedatangan mereka"
"Liong-ji, kau masuklah ke dalam!" kata Si Kwi sambil menuding ke arah serambi
istana. Si Liong yang memiliki naluri monyet dan tahu bahwa ada bahaya
mengancam, cepat berloncatan dan dia sudah bersembunyi di balik tiang di serambi
itu sambil mengintai ke arah ibunya yang berdiri tegak dan tenang menanti
datangnya orang-orang yang sudah dia dengar langkah kaki dan suaranya itu.
Tak lama kemudian nampaklah enam orang laki-laki tinggi besar yang melihat lagak
dan pakaiannya, tentulah bangsa orang-orang kasar yang biasa mengandalkan
keberanian dan kekuatan mereka untuk melakukan apa saja tanpa memperdulikan
hukum dan perikemanusiaan.
Mereka torcengang ketika melihat Si Kwi yang berdiri di tengah halaman istana
itu dan mereka semua menahan langkah kaki, memandang ke depan dan memperhatikan
Si Kwi dari kepala sampai ke kaki.
"Bukan main...! Cantik sekali...!"
"Seperti bidadari! Dewi kahyangan rupanya!"
"Orang bilang, di sini ada setannya, kiranya yang ada hanyalah dewi manis!"
"Sayang tangan kirinya buntung!"
"Tidak apa, yang penting kan bukan tangan kirinya, heh-heh!"
Mereka bergelak tertawa dan masih terdengar ucapan-ucapan tidak senonoh yang
membuat muka Si Kwi menjadi merah dan terasa panas. Kini mereka melangkah maju
dan menghadapi Si Kwi sambil menyeringai.
Seorang di antara mereka, yang mukanya hitam dan mukanya brewok matanya lebar,
tubuhnya tinggi besar dan agaknya dia yang memimpin rombongan enam orang itu,
berkata, "Heh-heh, nona manis. Inikah yang dinamakan Istana Lembah Naga?"
Si Kwi bersikap tenang dan menahan kemarahannya, akan tetapi mendengar
pertanyaan itu dia menjawab, "Benar!"
Laki-laki itu tertawa. "Ha-ha-ha, kami dengar di sini ada setannya. Mana
setannya" Dan siapa engkau, nona manis?"
"Penghuni istana ini adalah aku! Lebih baik kalian lekas pergi dari sini! Tidak
ada seorangpun boleh mendatangi tempat ini!" kata Si Kwi dengan nada suara
dingin mengancam. Akan tetapi enam orang laki-laki itu tentu saja memandang rendah dan mereka
semua tertawa. Si brewok itu tertawa paling keras dan berkata, "Ha-ha-ha, boleh
jadi engkau aneh, nona, seorang wanita muda cantik manis tinggal di istana besar seorang diri. Akan tetapi engkau hanya
seorang wanita muda yang lemah, berpakaian indah serba merah, tangan kirimu
buntung malah. Andaikata engkau benar setan, heh-heh, aku senang berteman dengan
setan seperti engkau ini. Aku tidak takut kaugigiti. Ha-ha-ha!"
"Ha-ha-ha-heh-heh!" Lima orang temannya tertawa semua. "Bhong-twako, boleh
engkau nikmati dia, kami akan menikmati barang-barang di dalam istana itu saja,
heh-heh!" Pada saat itu, mereka semua tercengang dan memandang ke serambi depan. Kiranya
lima pelayan sudah berada di situ semua. Mereka itu semua ditarik-tarik dan
diajak keluar oleh Sin Liong dan kini mereka berdiri di serambi sedangkan Sin
Liong sudah sembunyi lagi sambil mengintai.
"Wah, wah, kiranya masih ada lima orang lagi" Ha-ha, sungguh tepat. Enam lawan
enam! Ah, Bhong-twako, kami juga sudah dijemput, biarpun tidak secantik si
buntung ini, akan tetapi mereka itu jelas perempuan, tidak banci. Itu saja sudah
cukup, ha-ha!" Lima orang itu tertawa-tawa, mata mereka memandang ke arah lima
orang pelayan itu. Para pelayan itu terdiri dari wanita-wanita yang usianya
antara dua puluh sampai tiga puluh lima tahun, dan karena mereka itu sehat-sehat
dan berpakaian cukup bersih, maka nampak pula sifat kewanitaan mereka. Lima
orang itu sambil bersorak sudah bergerak hendak menyerbu ke serambi.
"Tahan!" Tiba-tiba Si Kwi berseru, suaranya nyaring dan penuh wibawa karena ia
berseru sambil mengerahkan khi-kangnya. "Tahan atau kalian akan mati di tempat!"
Enam orang itu terkejut dan si brewok memecahkan perasaan kaget yang mencekam
itu dengan suara ketawanya. "Ha-ha-ha, lagakmu amat hebat, nona. Seorang wanita
muda sepertimu ini, dan lima orang temanmu itu, apa gunanya melawan kami" Lebih
baik menurut saja, menyerah dan kalian akan memperoleh kesenangan dan
selanjutnya hidup bersama kami..."
"Hemm, kalian enam orang sungguh lancang. Katakan dulu siapakah kalian, dari
mana kalian datang sehingga kalian tidak mengenal tempat ini dan berani
melanggarnya?" "Kami" Ha-ha-ha, kami datang dari Padang Bangkai dan..."


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Padang Bangkai?" Si Kwi memotong cepat dan terheran-heran. "Bukankah Padang
Bangkai telah kosong dan penghuninya telah tewas semua" Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-
tok Sian-li telah tewas, anak buahnya juga telah terbasmi habis. Bagaimana
kalian berani mengaku datang dari Padang Bangkai?"
Dalam cerita "Dewi Maut" telah diceritakan betapa Padang Bangkai dijadikan
sarang oleh suami isteri kaum sesat yang amat terkenal, yaitu Ang-bin Ciu-kwi
dan isterinya Coa-tok Sian-li, dan suami isteri ini bersama anak buah mereka
juga takluk terhadap kakek dan nenek iblis penghuni Istana Lembah Naga dan
menjadi pembantu-pembantu mereka. Adalah Ang-bin Ciu-kwi inilah yang menjadi
sebab pertama mengapa Si Kwi jatuh cinta kepada Cia Bun Houw, yaitu ketika dia
dirobohkan dan akan diperkosa oleh Ang-bin Ciu-kwi si pemabok itu, dia
diselamatkan oleh pendekar sakti muda itu. Ketika terjadi pertempuran-pertem-
puran hebat di antara para penghuni Istana Lembah Naga dengan para pendekar
perkasa, Ang-bin Ciu-kwi, isterinya, dan semua anak buahnya telah tewas dan
Padang Bangkai, tempat yang amat berbahaya dan mengerikan itu telah menjadi
kosong. Bagaimana kini dapat muncul enam orang ini yang mengaku datang dari
Padang Bangkai" Si brewok itu tertawa, "Aha, kiranya engkau mengenal nama-nama mendiang Ang-bin
Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, nona" Ketahuilah bahwa tai-ong (raja sebutan untuk
kepala perampok) kami adalah sahabat baik dari mereka, dan melihat bahwa Padang
Bangkai telah kosong, maka tai-ong kami lalu mengambilnya sebagai tempat tinggal
kami sejak setengah tahun yang lalu. Tai-ong mendengar bahwa di sini terdapat
Istana Lembah Naga dan ada... eh, setannya, maka dia mengutus kami untuk
menyelidikinya. Siapa kira, bukan setan yang kami dapatkan, melainkan... sorga
tempat para bidadari. Heh-heh-heh!"
"Bhong-twako, perlu apa banyak bicara dengan dia" Tubruk dan peluk saja, habis
perkara! Kami akan menangkap lima ekor kelinci gemuk di sana! Ha-ha!" Seorang di
antara anak buahnya berkata dan mereka berlima tertawa semua itu menyerbu ke
serambi. "Kiranya perampok-perampok laknat! Keparat, mampuslah kalian!" Si Kwi membentak
dan tubuhnya bergerak cepat sekali ke depan, menghadang lima orang yang menyerbu
ke serambi itu. Dengan kemarahan meluap, Si Kwi menggunakan tangan kanan, dua
kali dia menghantam kepada dua orang terdepan, disusul tendangan kakinya yang
menyambar ke arah bawah pusar mereka.
"Plak-plak! Dess-desss!"
Dua orang itu memekik dan terpental ke belakang, menimpa teman-temannya dan
mereka terbanting, berkelojotan dan... tewas! Melihat ini, empat orang lainnya
menjadi kaget setengah mati, kaget dan juga marah. Si brewok mencabut goloknya,
diikuti oleh tiga orang anak buahnya.
"Kiranya engkau benar-benar setan!" teriak si brewok dan dia sudah menerjang
maju, membacokkan goloknya ke arah leher Si Kwi. Tiga orang anak buahnya juga
sudah menggerakkan golok mereka menyerang.
Namun Si Kwi sudah siap sedia. Wanita muda ini merasa menyesal mengapa dia tadi
tidak membawa pedangnya atau kantung pakunya. Akan tetapi, menghadapi perampok-
perampok kasar ini tentu saja dia tidak menjadi gentar. Dengan gin-kangnya yang
luar biasa, dia mengelak dan berloncatan ke sana-sini sedemikian cepatnya
sehingga empat orang pengeroyoknya kadang-kadang menjadi bingung karena wanita
itu lenyap dari pandang mata mereka saking cepatnya gerakan itu.
Sementara itu, lima orang pelayan yang baru saja belajar ilmu silat, menonton
dengan mata terbelalak. Tadinya mereka tidak mengira bahwa nona majikan mereka
benar-benar amat lihai sekali sehingga dikeroyok enam orang laki-laki sekasar
itu, mampu melawan bahkan segebrakan saja telah merobohkan dua orang! Timbul
gairah dalam hati mereka untuk belajar silat makin mendalam karena majikan
mereka ternyata merupakan guru yang amat hebat! Dan Sin Liong yang tadinya
mengintai, kini sudah meloncat naik ke atas meja, menonton dengan mata
terbelalak dan mulut ternganga. Ibunya hebat!
"Mampuslah kalian, perampok-perampok laknat!" bentak Si Kwi dan tangan kanannya
menyambar. "Krekkk!" Jari-jari tangan yang halus namun karena diisi oleh tenaga sin-kang
menjadi kaku dan keras seperti baja itu menghantam tenggorokan si brewok yang
besar. Tulang-tulang tenggorokan itu menjadi remuk dan si brewok mengeluarkan
suara seperti babi disembelih, tubuhnya roboh berkelojotan. Sebuah tendangan
kilat dari Si Kwi mengenai pelipisnya, membuat kepalanya retak dan dia tidak
berkelojotan lagi! Tiga orang perampok itu makin terkejut dan kini mereka mulai menjadi gentar.
Namun Si Kwi tidak memberi ampun. Ketika dia meloncat ke kiri, seorang perampok
membacokkan goloknya dari belakang. Sambaran golok memecah angin dari
belakangnya dapat ditangkapnya dan cepat dia miringkan tubuh. Golok menyambar di
samping pundaknya, dia membalik dan memutar kaki, lengan kiri yang ujungnya
hanya tinggal tulang terbungkus kulit, tangan itu menotok siku tangan orang yang
memegang golok. "Dukk! Uhhh...!" Golok besar itu terlepas dan sebelum jatuh ke tanah, sudah
disambar oleh tangan kanan Si Kwi yang langsung membuat gerakan membalik.
"Cappp...!" Golok itu amblas ke dalam perut pemiliknya sampai menembus punggung!
Si Kwi mencabut golok itu sambil meloncat ke kanan sehingga darah yang mengucur
keluar dari perut itu tidak sampai mengenai bajunya. Dua orang perampok itu
cepat membalikkan tubuhnya dan lari tunggang langgang. Akan tetapi, golok di
tangan Si Kwi terbang menyambar dan menancap punggung seorang di antara mereka.
Orang itu terhuyung dan roboh menclungkup. Yang seorang lagi sudah menghilang di
dalam gelap. Si Kwi mengejar, akan tetapi orang itu sudah lenyap sehingga
terpaksa dia kembali ke pekarangan Istana Lembah Naga. Dengan tenang dia lalu
memerintahkan para pelayan untuk membantu dia menyeret mayat lima orang itu dan
melempar-lemparkah mayat-mayat itu ke dalam jurang di belakang istana. Jurang-
jurang itu dalam sekali, sampai tak nampak dasarnya, maka mayat-mayat itupun
menghilang di dalam jurang gelap. Kemudian Si Kwi kembali ke dalam istana,
diikuti oleh lima orang pelayan yang mula-mula merasa ngeri akan tetapi kini
merasa bangga sekali! "Ibu...!" Sin Liong meloncat ke dada ibunya. Si Kwi memeluknya dan berkata,
"Liong-ji. Sekarang engkau tidak boleh bermain-main terlalu jauh, ya" Lihat,
banyak orang jahat berkeliaran!"
"Toanio, siapakah mereka itu" Mengapa mereka memusuhi toanio?" seorang di antara
para pelayannya bertanya.
Si Kwi duduk sambil memangku Sin Liong, kemudian dia mengumpulkan lima orang
pelayannya dan bercerita. "Padang Bangkai adalah padang rumput yang nampak dari
atas itu, tempat yang amat berbahaya. Dahulu menjadi sarang orang-orang jahat
yang amat pandai, akan tetapi sekarang telah kosong dan ternyata ditempati oleh
segerombolan perampok yang anak buahnya tadi mengacau ke sini. Sayang seorang
diantara mereka sempat melarikan diri dan tentu kepala perampoknya akan datang
ke sini. Akan tetapi jangan kalian khawatir, aku sanggup menghadapi mereka!"
kata Si Kwi dengan gemas. "Mereka itu sudah bosan hidup, tidak tahu bahwa Ang-
yan-cu yang tinggal di sini!" katanya pula dengan sikap angkuh dan timbul
kembali sifatnya yang gagah yang selama dua tahun lebih, hampir tiga tahun,
terpendam di tempat sunyi itu.
Melihat sikap majikan mereka yang gagah dan karena sudah menyaksikan sendiri
kelihaian majikan mereka, lima orang pelayan itu berbesar hati, bahkan merekapun
menjadi bersemangat sehingga malam itu sebelum tidur mereka giat melakukan
latihan gerakan silat yang telah diajarkan oleh majikan mereka.
Apa yang diduga oleh Si Kwi memang terbukti kebenarannya. Tiga hari kemudian,
pada suatu pagi, muncullah dua puluh orang lebih yang dipimpin oleh seorang
laki-laki tinggi kurus berusia empat puluh tahun. Laki-laki ini memegang
sebatang tombak gagang panjang, sikapnya gagah dan pakaiannya mewah. Wajahnya
yang kurus itu kekuning-kuningan, matanya sipit namun sinarnya tajam. Sikapnya
tidak sekasar para anak buahnya yang rata-rata memiliki tubuh tinggi besar dan
nampak kuat-kuat, orang-orang yang biasa mengandalkan kekasaran dan kekerasan.
Sekali ini Si Kwi sudah siap siaga. Dengan pedang di pinggang dan sekantung Hek-
tok-ting tergantung pula di pinggang, dia menyambut kedatangan mereka di
pekarangan istana. Lima orang pelayannya, biarpun belum pandai ilmu silat, namun
merekapun sudah berdiri di serambi, berjajar dengan pedang di tangan dan hati
berdebar tegang! Sin Liong sudah bersembunyi lagi, seperti seekor monyet kini
dia memanjat genteng dan bersembunyi di wuwungan genteng istana, sambil
mengintai! Dengan kedua tangan bertolak pinggang dan kedua kaki terpentang lebar, sikap
gagah dan tenang sekali, Si Kwi berdiri menanti kedatangan mereka. Setelah
gerombolan itu tiba di dalam pekarangan depan istana yang lebar, si kepala
rampok mengangkat tangan kiri ke atas dan anak buahnya berhenti, lalu membuat
barisan melengkung setengah lingkaran menghadapi Si Kwi yang sama sekali tidak
bergerak, berkedippun tidak, akan tetapi dengan pandang matanya Si Kwi sudah
mengukur dan mengira-ngira berapa orang akan dapat dirobohkan kalau sekaligus
dia menyebarkan paku-paku hitamnya! Ditaksirnya bahwa sedikitnya sepuluh orang
akan dapat dirobohkannya dan persediaan paku di kantungnya ada lima puluh batang
lebih. Dia sama sekali tidak khawatir dan dia menatap langsung kepada kepala
perampok itu, menaksir-naksir dan menyelidiki. Biarpun orang itu kelihatan
paling lemah tubuhnya, namun tentu merupakan orang yang terlihai di antara
mereka. Orangnya tidak tinggi besar, akan tetapi tombak di tangannya itu
kelihatan berat, tanda bahwa kepala perampok itu tentu seorang ahli lwee-keh
yang mengandalkan tenaga dalam yang kuat. Juga, seorang yang mengandalkan ilmu
tombak adalah seorang ahli silat yang sudah tinggi ilmunya, karena ilmu tombak
lebih sukar dipelajari daripada ilmu senjata lainnya. Maka dia memandang orang
itu dengan sikap hati-hati.
Si kepala perampok juga bukan seorang yang bodoh atau ceroboh seperti anak
buahnya yang datang tiga hari yang lalu itu. Dia sudah mendengar pelaporan anak
buahnya yang berhasil menyelamatkan diri betapa siluman wanita cantik dari
Istana Lembah Naga, seorang diri saja berhasil membunuh lima orang anak buahnya
dengan mudah! Maka diapun sudah dapat menduga bahwa tentu wanita muda cantik itu
seorang tokoh kang-ouw yang kenamaan.
Akan tetapi, setelah berhadapan kepala perampok itu merasa heran. Belum pernah
dia melihat tokoh kang-ouw seperti wanita ini, dan belum pernah dia mendengar
tentang seorang tokoh wanita yang buntung tangan kirinya di dunia persilatan.
Dia meragu, dan setelah melihat anak buahnya berhenti, dia lalu melangkah maju
sampai dia berhadapan dalam jarak tiga tombak dari wanita itu. Sejenak mereka
saling pandang, seperti dua ekor jago yang hendak bertarung dan saling menaksir
keadaan lawan masing-masing.
"Toanio," si kepala perampok akhirnya berkata, sikapnya cukup hormat, akan
tetapi dia tidak memberi hormat. "Saya adalah Coa Lok, di dunia kang-ouw ter-
kenal dengan julukan Sin-jio (Tombak Sakti). Bersama para pengikut saya, kami
tinggal di Padang Bangkai dan boleh dibilang semenjak setengah tahun yang lalu,
saya adalah majikan Padang Bangkai."
Si Kwi menjebikan bibirnya. "Hemm, majikan Padang Bangkai adalah mendiang Ang-
bin Ciu-kwi yang sekarang telah mati dan setahuku, dia tidak mewariskannya
kepada siapapun juga."
Sin-jio Coa tok memandang dengan alis berketut dan mukanya yang berwarna kuning
itu menjadi agak kemerahan. Untuk mengatasi rasa tidak enak di hatinya ini dia
menumbuk tanah dengan gagang tombaknya, kemudian dia berkata lantang, "Memang
tidak ada yang mewariskan kepadaku, akan tetapi mendiang Ang-bin Ciu-kwi adalah
seorang sahabatku yang baik, maka kurasa sudah sepantasnya kalau aku melanjutkan
pemeliharaan atas bekas tempat tinggalnya itu. Apakah ada yang berkebaratan
terhadap hal itu?" Pertanyaan itu mengandung tantangan dan matanya memandang
tajam kepada Si Kwi. Kembali Si Kwi mengeluarkan ejekan dari hidungnya. "Huh, siapa perduli tentang
Padang Bangkai tempat buruk terkutuk itu" Aku adalah pemilik dan penghuni Istana
Lembah Naga dan aku tidak perduli siapa yang menempati Padang Bangkai!"
Kepala perampok itu menarik napas lega, kemudian suaranya tidak begitu lantang
ketika dia berkata lagi, "Toanio yang sudah mengenal mendiang Ang-bin Ciu-kwi,
tentu bukan sembarang orang dan bolehkan kami mengetahui nama dan julukan
toanio?" "Namaku Liong Si Kwi, orang menyebutku Ang-yan-cu, dan mendiang suboku adalah
Hek I Siankouw dan suhuku adalah Hwa Hwa Cinjin." Si Kwi yang tidak ingin
mencari perkara itu sudah sengaja menyebut nama mendiang subonya dan kekasih
subonya untuk membikin keder hati orang itu. Dan usahanya memang berhasil.
Kepala perampok itu terbelalak dan tercengang, kelihatan gentar juga. Akan
tetapi dia segera teringat bahwa tokoh-tokoh kaum sesat yang pernah
menggemparkan dunia kaum sesat itu sekarang telah mati, hanya tinggal namanya
saja, maka dia tersenyum dan berkata. "Ah, kiranya Liong-toanio adalah murid
para locianpwe itu!"
"Kalau engkau sudah mengenal mendiang subo dan suhu, itu baik sekali dan kuharap
kau suka pergi saja secepatnya dari sini," kata Si Kwi yang sebenarnya sama
sekali tidak merasa takut atau gentar, hanya dia segan untuk bermusuhan. Apalagi
orang-orang ini adalah penghuni Padang Bangkai yang boleh dibilang adalah
tetangganya, maka hidupnya dan hidup anaknya tidak akan menjadi tenang dan
tenteram kalau dia bermusuhan dengan Padang Bangkai.
"Toanio, sebenarnya kamipun tidak ingin mengganggu toanio kalau saja toanio
tidak membunuh lima orang anak buah kami tiga hari yang lalu." Kepala perampok
itu mulai mengakui maksud kedatangannya, akan tetapi, dengan hati-hati dan tidak
mau sembrono setelah dia mendengar bahwa Ang-yan-cu Liong Si Kwi ini adalah
murid Hek I Siankouw. Si Kwi maklum bahwa kepala perampok itu telah mulai membuka kartunya. Maka
diapun tidak berlaku sungkan lagi dan segera dia berkata dengan suara lantang,
"Sin-jio Coa Lok! Apakah engkau tidak memperoleh laporan lengkap dari anak
buahmu yang dapat lolos dari tanganku itu" Tanyakan saja kepadanya apa yang
menyebabkan lima orang anak buahmu mati di sini terbunuh olehku!"
Wajah kepala perampok itu menjadi merah, akan tetapi di depan anak buahnya dia
tidak boleh memperlihatkan sikap terlalu mengalah, apalagi jerih menghadapi
wanita cantik ini. Maka dia berkata, "Liong-toanio, tentu saja aku sudah
menerima laporan, akan tetapi aku ingin mendengar keterangan dari pembunuhnya
sendiri." "Hemmm, begitukah" Nah, dengarlah baik-baik. Tiga hari yang lalu, di malam hari
muncul enam orang anak buahmu. Mereka muncul dan menghinaku, mengeluarkan kata-
kata kotor dan tidak senonoh, kemudian mereka hendak menggunakan kekerasan
menghina aku dan lima orang pelayanku. Coba kaujawab, tai-ong, apakah perbuatan
mereka itu tidak patut untuk dihukum mati" Apakah kau sengaja datang untuk
membela mereka yang telah berani menghina aku?" Pertanyaan terakhir ini
merupakan tantangan yang tidak langsung.
Coa Lok menoleh kepada anak buahnya dan melihat betapa wajah anak buahnya
kelihatan penasaran dan marah, dia merasa tidak enak kalau tidak memperlihatkan
sikap marah dan penuh teguran kepada wanita ini. "Liong-toanio, tentu engkau
tahu akan sikap laki-laki yang telah lama tinggal di hutan belukar dan jauh dari
wanita. Tentu saja aku datang bukan untuk membela kekurangajaran mereka, akan
tetapi sebagai seorang pemimpin mereka, tentu saja aku tidak merelakan kematian
mereka begitu saja, baik olehmu maupun oleh siapapun juga."
"Bagus! Lalu kau mau apa" Mau mengeroyok aku" Majulah, jangan kira aku takut
menghadapi pengeroyokan semua anak buahmu!" Si Kwi sengaja mengeluarkan gertakan
ini untuk menyinggung kehormatan Coa Lok sebagai seorang kepala perampok yang
berkepandaian. "Ho-ho, kau sungguh tekebur, toanio. Aku tahu bahwa engkau lihai, akan tetapi
jangan kira bahwa engkau akan mudah mengalahkan tombakku. Kalau engkau mampu
mengalahkan tombakku ini, barulah aku mengakui kelihalanmu dan akan bersedia
mintakan maaf kepadamu bagi para anak buahku dan selanjutnya tidak akan
mengganggu Istana Lembah Naga."
"Baik, hendak kucoba bagaimana kepandaianmu, tai-ong. Dan akupun sama sekali
tidak berniat untuk memusuhi Padang Bangkai. Akan tetapi siapapun yang datang
mengganggu, baik dari Padang Bangkai maupun dari akhirat, tentu akan kuhadapi
dengan pedang di tangan!" Setelah berkata demikian, tangan kanan wanita itu
bergerak ke pinggang. "Singgg...!" Nampak sinar menyilaukan dan pedang itu telah dicabutnya, pedang
yang berkilauan saking tajamnya karena semenjak terjadi penyerbuan maka tiga
hari yang lalu, Si Kwi menyuruh pelayannya mengasah pedang itu sampai mengkilap.
"Liong-toanio!" kata Coa Lok sambil melintangkan tombaknya di depan dada dengan
sikap gagah. "Aku sudah berianji bahwa kalau engkau dapat mengalahkan tombakku,
aku berjanji tidak akan memperbolehkan siapapun menggangu Istana Lembah Naga.
Akan tetapi bagaimana kalau engkau tidak mampu mengalahkan tombakku dan
sebaliknya aku mengalahkan pedangmu?"
Si Kwi berpikir sejenak. Mereka ini adalah sebangsa perampok, gerombolan orang
kasar yang kejam. Tentu mereka akan melakukan kekerasan kalau dia sampai kalah
oleh kepala perampok itu. Maka dia harus menjanjikan hal yang lebih
menguntungkan mereka untuk mencegah mereka melakukan pemerkosaan dan siksaan
kalau sampai dia benar kalah, hal yang dia anggap mustahil.
"Kalau aku sampi kalah olehmu, Sin-jio Coa Lok, aku berjanji akan pergi bersama
anakku dan para pelayanku meninggalkan tempat ini dan menyerahkan Istana Lembah
Naga ini kepadamu." Berseri wajah kepala perampok itu. "Bagus! Itu janji yang adil!" serunya.


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si Kwi tidak menjanjikan hal terdorong oleh pikiran pendek. Wanita ini maklum
bahwa tanpa dijanjikan sekalipun, kalau sempai dia kalah bukan saja dia dan para
pelayannya akan mengalami malapetaka dan akan diperkosa, akan tetapi mungkin
anaknya akan dibunuh dan istana itu tidak urung tentu akan dikuasai oleh mereka!
"Nah, kita sudah berjanji sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan.
Mulailah, tai-ong!" dia menantang, pedangnya melintang depan dada, kedua lutut
ditekuk dan lengan kiri yang tidak bertangan itu menunjuk ke samping dengan
lengan dikembangkan. "Jagalah, toanio!" Coa Lok yang diingatkan akan kegagahan itu lalu berlagak,
memperingatkah dulu sebelum menyerang seperti sikap seorang gagah tulen, padahal
dia adalah kepala perampok yang biasanya tidak memperdulikan sopan santun para
pendekar persilatan! Tombaknya membuat lingkaran lebar dan ujungnya tergetar
ketika menusuk ke arah dada Si Kwi dengan kecepatan seperti kilat menyambar.
"Hyaaaahhhh...!" kepala perampok itu membentak ketika mata tombaknya menyambar
ganas. "Haaaaiiiitttt...!" Si Kwi cepat mengelak dan dia terkejut juga menyaksikan
betapa tombak itu menyambar luar biasa cepatnya. Tahulah dia bahwa lawannya ini
tidak percuma memiliki julukan Sin-jio (Tombak Sakti) karena ternyata ilmu
tombaknya memang amat cepat gerakannya. Dia tidak hanya mengelak, melainkan
mengelak sambil mengirim serangan balasan, yaitu menusuk dari samping sambil
mencondongkan tubuhnya. "Singg...tranggg...!" Kini Coa Lok yang terkejut. Tak disangkanya bahwa wanita
bertangan kiri buntung itu dapat membalas demikian cepatnya, maka diapun memutar
tombaknya menggunakan gagang tombak untuk menangkis tusukan pedang. Sambil me-
mutar tombaknya membentuk lingkaran lebar, dia kembali menyerang, ujung
tombaknya tergetar dan pecah-pecah bayangannya menjadi empat lima batang yang
kesemuanya menyerang Si Kwi dari berbagai jurusan dan selain itu, juga tombaknya
yang tergetar itu mengeluarkan bunyi nyaring.
"Bagus...!" Si Kwi memuji karena memang dia kagum menyaksikan ilmu tombak yang
dahsyat ini. Diapun tidak mau membiarkan dirinya terancam bahaya. Maklum akan
kehebatan ilmu tombak lawan, dia lalu mengeluarkan suara melengking nyaring dan
dia memutar pedangnya dan mainkan ilmu pedangnya yang amat hebat. Itulah ilmu
pedang yang berdasarkan ilmu Im-yang-lian-hoan-kun. Ilmu ini sebenarnya adalah
gabungan dari ilmu Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw, ilmu yang dimainkan oleh
dua orang kakek dan nenek itu merupakan ilmu pasangan yang amat tangguh. Akan
tetapi kakek dan nenek itu telah menciptakan ilmu gabungan ini menjadi semacam
ilmu silat yang disarikan dari penggabungan itu, dan ilmu yang berdasarkan
percampuran sifat Im dan Yang ini dapat dimainkan dengan tangan kosong maupun
dengan senjata, terutama senjata pedang.
"Eh...!" Coa Lok terkejut bukan main ketika melihat sinar berkilauan, bergulung-
gulung, seperti seekor naga yang bermain-main di angkasa itu. Sinar yang
bergulung-gulung itu kini menggulung sinar tombaknya, merupakan benteng sinar
yang mencegah tombaknya menembus dan di lain fihak dari gulungan sinar itu
mencuat sinar-sinar ujung pedang yang menyerangnya secara bertubi dan amat
berbahaya. Setelah mengerahkan gin-kangnya dan mendesak kepala perampok itu, mengertilah Si
Kwi bahwa tingkat kepandaian perampok ini memang sudah cukup tinggi, tenaga sin-
kangnya juga sudah cukup kuat sehingga dia hanya dapat mengandalkan gin-kangnya
saja yang masih melebihi lawan, sehinga kalau dia mau, tentu dia dapat
merobohkan dan menewaskan kepala perampok itu. Akan tetapi dia mengerti bahwa
hal itu amatlah tidak baik. Kecuali kalau dia berkeinginan menundukkan para
perampok dan merampas kedudukan kepala dari Coa Lok. Akan tetapi dia tidak ingin
mengepalai para perampok ini, apalagi menguasai Padang Bangkai. Dia harus
berbaik dengan mereka ini dan menaklukkan mereka tanpa membunuh sehingga dia
dapat mempunyai tetangga yang boleh diandalkan bantuannya kalau dia memerlu-
kannya. Akan tetapi, karena dalam hal ilmu silat dan tenaga dia tidak menang banyak, dan
dia hanya mengandalkan gin-kang, maka tidaklah mudah baginya untuk merobohkan
lawan tanpa melukainya. Maka dia lalu menggunakan akal.
Tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan keras dan tubuhnya yang bergerak cepat
sekali ltu telah mencelat ke belakang, berjungkir balik dan terdengar dia ber-
seru, "Tai-ong, awas paku!"
Sin-jio Coa Lok sudah mendengar dari pelaporan seorang anak buahhya yang
berhasil lolos dari tangan maut Si Kwi bahwa wanita ini mahir sekali menggunakan
senjata dengan melontarkannya, maka dia terkejut dan siap-siap. Akan tetapi,
tiba-tiba saja ada tiga sinar menyambar dari tangan Si Kwi yang sudah menyimpan
pedangnya dan telah menggunakan tiga batang paku untuk menyerang. Tiga batang
paku itu meyambar ke arah tangan kanan lawan, dan yang dua menyambar ke arah
kedua kakinya. Sin-jio Coa Lok terkejut dan cepat meloncat ke atas sambil memutar tombaknya.
Dua batang paku dapat dielakkannya dan yang sebatang lagi dapat ditangkisnya
dengan gagang tombak, akan tetapi dengan kecepatan kilat, menyusul paku-pakunya
tadi, Si Kwi telah menerjang lagi dengan pedangnya secara hebat sekali.
"Trang-cringgg... plakkk!" Dua kali pedangnya dapat ditangkis oleh Coa Lok yang
sudah terhuyung, akan tetapi sebuah tendangan kilat dari kaki kiri Si Kwi dengan
tepat mengenai lutut kaki kanan kepala perampok itu sehingga tak dapat
ditahannya lagi dia jatuh berlutut dengan kaki kanannya. Tubuh Si Kwi
berkelebat, tombak menyambar akan tetapi Si Kwi menendang gagang tombak,
sehingga serangan tombak menyeleweng dan sebelum Coa Lok dapat mengulangi
serangan sambil berlutut itu, pedang di tangan Si Kwi telah menempel di lehernya
dari belakang! "Sin-jio Coa Lok, engkau terlambat!" kaka Si Kwi, akan tetapi dia lalu meloncat
lagi ke belakang dan menyimpan pedangnya.
Wajah Sin-jio Coa Lok berubah pucat, lalu menjadi merah sekali dan dia bangkit
berdiri, menyeringai dan mengurut-urut lututnya yang kena tendang, lalu
menancapkgn tombaknya di atas tanah di depannya. Di maklum bahwa sudah jelas
wanita itu tadi memperoleh kemenangan dan kalau wanita itu menghendaki, tentu
dia sudah menggeletak tak bernyawa lagi. Maka, dia lalu menjura dan berkata,
"Liong-toanio, sungguh engkau amat gagah perkasa. Aku Sin-jio Coa Lok mengaku
kalah dan aku berjanji tidak akan mengganggu lagi Istana Lembah Naga, bahkan
siapapun orang luar yang berani memasuki daerah Lembah Naga, sebelum bertemu
dengan toanio akan berhadapan lebih dulu dengan tombakku."
Si Kwi tersenyum dengan hati girang sekali. Dia telah menaklukkan orang-orang
kasar ini. Maka diapun balas menjura. "Tai-ong terlalu merendah. Ilmumu amat
hebat dan kalau tidak mengandalkan Hek-tok-ting, belum tentu aku dapat menang.
Kita adalah tetangga dan sudah sepatutnya kalau kita berbaik. Maafkan tentang
peristiwa tiga hari yang lalu, tai-ong, karena hal itu terjadi karena salah
paham." "Toanio baik sekali, gagah sekali, maafkan kami." Sin-jio Coa Lok lalu
terpincang-pincang meninggalkan tempat itu sambil menyeret tombaknya setelah
memberi isyarat kepada anak buahnya. Para perampok itu memandang kepada Si Kwi
dengan penuh kagum, mereka juga membungkuk sebagai tanda penghormatan kepada
wanita lihai itu lalu mereka semua pergi mengikuti kepala mereka, Si Kwi memang
cerdik sekali. Dia telah berhasil menundukkan hati para perampok yang ganas itu.
Mula-mula dia memperlihatkan kelihaiannya dan juga kekejamannya yang tidak
mengenal ampun ketika dia membunuhi para perampok yang berani menyerbu istana.
Kemudian, ketika kepala perampok datang bersama anak buahnya, dia mengalahkan
kepala perampok tanpa membunuhnya! Sekaligus dia memperlihatkan bahwa dia
berbahaya namun juga pengampun kalau tidak diganggu! Dan kepala perampok yang
berjuluk Sin-jio (Tombak Sakti) itu benar-benar merasa takluk dan tunduk, se-
hingga dia segera melupakan kematian anak buahnya karena dengan kepandaiannya
kalau wanita yang buntung tangan kirinya itupun telah mengampuninya, dan dia
tahu kalau wanita itu meinghendaki, tentu dia tadi akan dapat dibunuhnya dengan
mudah! Hal ini sekaligus mendatangkan rasa takluk, segan dan juga hormat di
dalam hatinya dan semua hal ini tentu saja merupakan keuntungan besar bagi Si
Kwi. Keadaan di dalam istana itu penuh dengan harta yang besar sehingga Si Kwi dapat
hidup mewah dan cukup terjamin. Kini wanita ini nampak penuh gairah hidup,
gembira dan bersemangat, kelihatan cantik dan selalu berpakaian indah serba
merah. Dia kini lebih tekun melatih diri bersama lima orang pelayannya, dan
hanya kadang-kadang saja wanita ini duduk melamun seorang diri dengan hati penuh
kerinduan. Rindu kepada Bun Houw dan rindu kepada cinta kasih seorang pria!
Hanya Sin Liong seorang yang menjadi penghiburnya, akan tetapi anak ini masih
suka untuk bermain-main dengan para monyet besar. Si Kwi tidak melarangnya,
karena dia maklum bahwa kalau dia melarang, terdapat bahaya bahwa dia akan
kehilangan kasih sayang anak itu yang mulai diperlihatkan terhadap dirinya.
Demikianlah, biarpun hidup di tempat terasing, namun Si Kwi merasa cukup
bergembira. Di kaki Pegunungan Khing-an-san sebelah selatan itu terdapat sebuah dusun yang
cukup besar dan ramai. Dusun itu selama beberapa tahun ini mengalami kemajuan
setelah penghuninya mengusahakan rempah-rempah dan daun atau akar obat yang
banyak tumbuh di sekitar kaki gunung itu. Setelah mendapat kenyataan bahwa kota-
kota besar amat membutuhkan barang-barang itu, maka penghuni dusun Pek-hwa-cung
lalu beramai-ramai menanam dan memelihara tanaman-tanaman berharga itu.
Tempat yang ramai dan makmur selalu menarik perhatian orang, Pek-hwa-cung juga
demikian. Mendengar betapa dusun itu ramai dan mencari penghasilan di daerah itu
mudah sekaii dibandingkan dengan daerah lain, maka banyaklah penduduk-penduduk
baru berdatangan dari lain daerah, sehingga dusun itu makin menjadi besar dan
ramai. Akan tetapi, Bhe Coan bukanlah penghuni baru di dusun itu. Dia terhitung
penghuni lama karena ayahnya yang telah meninggal merupakan seorang di antara
para pembangun atau penemu tempat itu dan dia sejak kecil tinggal di Pek-hwa-
cung. Seperti mendiang ayahnya, Bhe Coan juga merupakan seorang pandai besi yang
ahli dan pandai. Boleh dibilang segala keperluan penduduk Pek-hwa-cung yang
berupa besi adalah buatan orang she Bhe inilah. Akan tetapi, kalau hanya membuat
alat-alat besi saja keahlian Bhe Coang agaknya namanya tidak akan terkenal dan
dia tentu hanya menjadi seorang pandai besi biasa saja yang banyak terdapat di
dunia ini. Tidak, Bhe Coan bukanlah pandai besi biasa dan dia memiliki suatu
keahlian lain dalam menggembleng dan membentuk baja, keahlian yang tidak
dimiliki oleh ayahnya dan yang dia pelajari dari seorang sakti yang kebetulan
pada suatu waktu lewat di Pek-hwa-cung dan mengajarkan kepandaian itu kepada Bhe
Coan. Kepandaian itu adalah keahlian membuat senjata, khususnya senjata pedang.
Pedang buatan Bhe Coan mempunyai bentuk yang indah dan yang lebih penting lagi,
Pendekar Pemanah Rajawali 19 Pendekar Mata Keranjang 19 Misteri Hutan Larangan Si Rajawali Sakti 4
^