Pencarian

Pendekar Lembah Naga 23

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 23


pulang saja paduka datang lagi dan bicara sendiri kepada suhu. Tentang
kepandaian silat, di dunia ini siapakah yang dapat menentukan atau mengukur?"
"Thian Sun Hwesio, bicaramu bercabang! Kalau memang ada kepandaian, hayo
keluarkan untuk kutandingi!"
"Omitohud... harap paduka pangeran jangan salah artikan. Pinceng tidak pernah
mempelajari ilmu untuk berkelahi, melainkan hanya belajar sedikit ilmu untuk
menjaga kesehatan." "Hemm, kalau begitu coba locianpwe memperlihatkan ilmu untuk menjaga kesehatan
itu!" Han Houw mendesak dan menantang. Hwesio ini tentu merupakan tokoh nomor
satu di kuil ini sesudah ketuanya yang sedang pergi, maka hatinya belum puas
kalau dia belum mengalahkan hwesio ini.
Thian Sun Hwesio tersenyum ramah, lalu dia menghampiri sebuah sapu yang
bersandar di sudut ruangan itu. "Beginilah pinceng menjaga kesehatan, yaitu
dengan pekerjaan yang bermanfaat, misalnya menyapu lantai." Sambil berkata
demikian, Thian Sun Hwesio menggerakkan sapu tua itu dengan sekali ayun. Han
Houw terkejut bukan main karena dia merasakan adanya sambaran angin yang
berputar-putar dan semua debu dan kotoran di dalam ruangan itu ikut berputaran
seperti terbawa angin puyuh dan semua kotoran dan debu terkumpul di suatu sudut
ruangan itu. Dengan sekali ayun saja kakek itu telah dapat "menyapu" lantai
ruangan itu sampai bersih, dan angin yang berputar-putar keluar dari ayunan
sapunya tadi saja menunjukkan betapa kuatnya tenaga sin-kang dari Thian Sun
Hwesio! Hwesio ini benar-benar tak boleh dipandang ringan, sama sekali tidak
dapat dibandingkan dengah dua orang hwesio pertama tadi, dan dia harus berpikir
sepuluh kali lebih dulu untuk dapat memastikan bahwa dia akan menang melawan
kakek ini! "Bagus sekali! Kekuatanmu demikian hebatnya, Thian Sun Hwesio, marilah kita
bertanding mengadu ilmu beberapa jurus!" tantangnya dan dia sudah melangkah maju
lalu memasang kuda-kuda. Akan tetapi hwesio itu tersenyum dan menggeleng kepala. "Omitohud, pinceng sudah
menyatakan bahwa pinceng tidak pernah mempelajari ilmu silat untuk berkelahi.
Biar pinceng dipukul matipun pinceng tidak berani melawan dengan kekerasan.
Pinceng hanya bisa menyapu lantai seperti tadi, tidak bisa berkelahi," jawab
pendeta itu. Han Houw mengerutkan alisnya. Dia merasa penasaran sekali, akan tetapi diapun
tahu bahwa amat tidak baik kalau dia menyerang orang yang tidak akan mau
melawan. Selain hal itu amat tidak baik, terutama bagi namanya yang diharapkan
akan dapat disebut jagoan nomor satu di dunia, juga dia tidak sudi dan tidak
tertarik. Maka dia menarik napas panjang, dan untuk melampiaskan rasa penasaran
di dalam hatinya, dia lalu menghampiri sapu yang sudah disandarkan di pojok
tadi. Dipegangnya gagang sapu dari kayu itu, ditimang-timangnya, kemudian
digerak-gerakkan seperti orang menyapu, lalu diletakkannya kembali menyandar
dinding. "Jelas aku tidak akan mampu menandingi kepandaianmu menyapu lantai, Thian Sun
Hwesio! Maafkan aku!" Han Houw berkata sambil mengangguk dan membalikkan
tubuhnya, pergi dari situ, diikuti oleh penghormatan Thian Sun Hwesio yang
menjura dan merangkap kedua tahgan di depan dada.
Setelah Han Houw pergi jauh, hwesio muda murid Thian Bi Hwesio yang tadi
kalahkan oleh Han Houw berkata, "Omitohud... baiknya ada supek yang membuat dia
jerih dan pergi. Kepandaian supek amat hebat sehingga pemuda sombong itu mundur
tanpa berani mendesak!"
Thian Sun Hwesio mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Pangeran itu benar-
benar hebat luar biasa dan dunia kang-ouw tentu akan geger dengan kemunculannya,
bukan hanya karena ilmunya amat tinggi, akan tetapi terutama sekali karena dia
seorang pangeran. Kau kira dia takut" Kauperiksa sapu itu baik-baik."
Mendengar ini, hwesio yang bertubuh tinggi besar itu lalu memandang heran, dan
dihampirinya sapu yang dipegang oleb Han Houw. Kelihatannya sapu itu tidak apa-
apa, akan tetapi begitu jari tangan pendeta itu menyentuhnya, sapu yang
kelihatan tadi masih utuh itu tiba-tiba hancur berantakan! Tentu saja hwesio itu
terkejut sekali dan mengeluarkan seruan kaget sambil melompat ke belakang.
"Nah, kalian lihat betapa lihai dan berbahayanya tangan pangeran itu. Pinceng
sendiripun belum tentu akan mampu menandingi kekuatan sin-kangnya yang
mengandung keajaiban. Sute berdua apakah tadi mengenal gerakan-gerakannya, dan
dari golongan manakah ilmu silatnya?" tanya hwesio ini kepada dua orang sutenya.
Thian Bi Hwesio dan Thian Bun Hwesio saling pandang, kemudian menggeleng kepala
dengan pandang mata terheran. "Gerakannya amat aneh dan selama hidup belum
pernah pinceng melihat dasar ilmu silat seperti itu," kata Thian Bi Hwesio.
"Terutama gerakan-gerakannya dengan kepala di bawah dan kaki di atas itu,"
sambung Thian Bun Hwesio. "Seperti didasari gerakan yoga dari India, akan tetapi
tentu bercampur dengan ilmu kaum sesat."
Setelah kemunculan Han Houw yang seperti badai mengamuk mendatangkan kekalutan
di dalam kuil itu, suasananya menjadi sunyi dan tenteram setelah pemuda itu
pergi dan para hwesio melanjutkan tugas masing-masing, sungguhpun badai yang
baru saja mengamuk itu mendatangkan kesan di dalam hati mereka dan menimbulkan
kekhawatiran. Sementara itu, Han Houw pergi dengan hati yang puas. Betapapun juga, dia telah
mengalahkan dua orang tokoh besar dari Siauw-lim-pai, dan hal ini saja tentu
akan mengangkat namanya tinggi-tinggi di dunia kang-ouw! Dia lalu melanjutkan
perjalanannya ke utara, ke kota raja akan tetapi di setiap kota dia tentu
berhenti, mencari tokoh-tokoh kang-ouw untuk diajak mengadu ilmu silat!
Banyaklah tokoh-tokoh kang-ouw yang dirobohkannya, sebagian besar dikalahkannya
dengan ilmu silatnya yang memang amat tinggi itu, akan tetapi ada pula sebagian
tokoh besar dunia kang-ouw yang tidak berani melawan sungguh-sungguh ketika tahu
bahwa pemuda yang lihai itu adalah Pangeran Ceng Han Houw, adik dari kaisar!
Mereka lebih baik mengalah daripada harus melukai atau salah-salah dapat
membunuh seorang pangeran karena hal ini akan menimbulkan akibat yang amat hebat
sekali! Maka, kemenangan demi kemenangan diraih oleh Han Houw yang menjadi
semakin angkuh dan merasa bahwa sesungguhnya dialah jagoan nomor satu di dunia
ini! Dan tentu saja, sepak terjangnya itu tersiar luas di dunia kang-ouw ketika
berita bahwa di dunia persilatan muncul seorang jago muda yang amat lihai, yaitu
Pangeran Ceng Han Houw. Bahkan tersiar pula berita bahwa selain banyak orang
kang-ouw di selatan yang sudah kalah oleh pangeran ini, juga tokoh-tokoh Siauw-
lim-pai roboh pula oleh jagoan muda ini! Berita ini tentu saja disiarkan oleh
Han Houw sendiri dan para tokoh kang-ouw menjadi semakin ribut dan kagum!
*** Pemuda itu menghempaskan dirinya di atas rumput hijau di bawah pohon besar yang
teduh. Dia mengeluh panjang, lalu mengambil sehelai saputangan lebar dan
menyusuti keringatnya di muka dan lehernya, membuka kancing bajunya bagian atas
untuk merogoh dada dengan saputangannya yang kini menjadi basah kuyup.
Diperasnya saputangan itu sehingga air keringat mengucur dan diusapnya lagi
mukanya yang kemerahan. Dia mengeluh lagi. Sinar matahari amat teriknya di waktu
siang hari itu, lewat tengah hari. Dan keteduhan di bawah pohon besar itu amat
nyaman. Sehabis tertimpa panas matahari setengah harian lalu duduk berteduh di
tempat itu, di tepi hutan, benar-benar menimbulkan rasa nyaman. Apalagi ketika
ada angin berhembus lembut, membuat muka, leher dan dada yang kini terbuka
sedikit itu tertiup angin, bukah main nikmatnya. Kulit yang tadinya gatal-gatal
panas itu ditiup angin terasa sejuk nyaman dan pemuda itupun menguap. Kedua
matanya mulai letih dan mengantuk.
"Aihhh... Lan-moi dan Lin-moi, benar-benar membikin sengsara orang...!" keluhnya
dan dia pun merebahkan tubuhnya yang gemuk itu di atas rumput, berbantal lengan
kiri sedangkan lengan kanannya memegangi golok pada gagangnya, golok besar yang
diletakkannya di atas rumput di samping tubuhnya yang besar. Tak lama kemudian
diapun mendengkurlah, tidur dengan nyenyaknya!
Pemuda itu bukan lain adalah Tee Beng Sin, keponakan Kui Hok Boan yang tinggal
di dusuw Pek-jun dekat kota raja. Pemuda bertubuh gendut berwajah lucu ini
seperti kita ketahui telah meninggalkan dusun Pek-jun bersama Kwan Siong Bu,
seorang keponakan lain dari Kui Hok Boan, untuk mencari jejak Lan Lan dan Lin
Lin yang melarikan diri karena mereka hendak diberikan kepada Pangeran Ceng Han
Houw. Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, Beng Sin dan
Siong Bu bersimpang jalan dan mereka tidak diperkenankan pulang oleh Kui Hok
Boan sebelum menemukan dua orang gadis kembar yang minggat itu.
Sudah berbulan-bulan, kurang lebih enam bulan lamanya, Beng Sin mencari-cari
kedua orang adik seperguruan atau adik misan itu, dan akhirnya dia memperoleh
jejak mereka di daerah ini. Dia mencari terus dan siang hari itu, saking lelah
dan sedihnya dia jatuh pulas di tepi hutan lebat!
Betapa hati pemuda gendut ini tidak akan berduka" Dia sudah setengah tahun
meninggalkan rumah dan tidak berani pulang karena belum juga berhasil menemukan
kembali Lan Lan dan Lin Lin. Dia amat suka kepada dua orang gadis kembar itu,
mencinta mereka seperti adik-adik kandung sendiri, maka biarpun dia tidak
dipesan oleh Kui Hok Boanpun, agaknya dia tidak mau pulang sebelum dapat bertemu
dengan mereka. Kalau dia membayangkan nasib dua orang dara kembar itu, dia
merasa kasihan sekali. Diam-diam dia menyesalkan sikap dan tindakan pamannya
yang begitu tega untuk menyerahkan dua orang puterinya kepada pangeran tanpa
persetujuan kedua orang dara itu! Memang menurut pendapat umum, diambil selir
oleh seorang pangeran merupakan suatu kehormatan besar bagi seorang gadis, dan
Beng Sin tentu saja terseret pula oleh anggapan umum ini, akan tetapi pemuda
gendut ini tetap berpendirian bahwa betapa baikpun nasib dua orang dara itu
telah dipilih oleh pangeran, namun karena urusan itu mengenai nasib kehidupan
dua orang dara itu, maka tentu harus mendapat persejuan dari mereka sendiri.
Saking kesalnya dan juga saking lelahnya, Beng Sin tidur pulas di bawah pohon
dengan nyenyaknya sampai dia mendengkur! Tiba-tiba dia tersentak kaget dan
sebagai seorang pemuda yang semenjak kecil belajar silat, begitu terbangun dia
sudah meloncat dengan golok di tangan dan waspada, celingukan ke kanan kiri.
Sungguh menyeramkan melihat pemuda yang gendut dan nampak tubuhnya kokoh kuat
itu berdiri tegak dengan sebatang golok yang besarnya bukan main itu di tangan
kanan, golok besar sekali yang berkilauan tertimpa sinar matahari. Beng Sin
memandang ke kanan kiri dengan alis berkerut. Biarpun dia tadi tidur pulas, tak
salah lagi, telinganya menangkap jeritan nyaring yang membuatnya tersentak
kaget. Akan tetapi mengapa keadaan di situ sunyi saja dan dia tidak melihat atau
mendengar apa-apa" Apakah dia mimpi" Tak mungkin.
"Tolongggg... ohh, tolonggg...!"
Beng Sin terperanjat, lalu meloncat dan lari ke arah suara itu, yaitu ke dalam
hutan. Dia harus membabat semak-semak belukar dengan goloknya, menyusup-nyusup
dan mukanya terasa gatal-gatal karena melanggar ranting-ranting semak-semak.
Akan tetapi dia berlari terus dan akhirnya tibalah dia di tengah hutan. Nampak
sebuah kereta tua yang ditarik oleh dua ekor kuda kurus di tengah hutan itu, di
atas jalan hutan yang kasar. Lima orang laki-laki bertubuh tinggi besar dan
bersikap kasar sambil tertawa-tawa sedang menarik-narik seorang gadis cantik
sedangkan seorang wanita setengah tua menangis dan berusaha mencegah lima orang
laki-laki itu. "Keparat!" Beng Sin membentak dan cepat dia meloncat ke dekat kereta itu.
Lima orang laki-laki kasar itu terkejut mendengar bentakan Beng Sin. Mereka
menoleh dan melihat munculnya seorang pemuda gendut yang memegang golok yang
bukan kepalang besarnya, mereka lalu melepaskan gadis itu dan mencabut senjata
masing-masing dengan sikap mengancam.
"Jangan takut, nona, aku akan membasmi mereka!" kata Beng Sin dengan sikap gagah
dan dia mendekati gadis dengan ibunya itu yang dengan tubuh gemetar lalu
berlindung di belakangnya.
Lima orang perampok kasar itu dipimpin oleh seorang pria setengah tua yang
rambutnya riap-riapan dan mukanya bercambang bauk, matanya lebar dan sikapnya
amat menakutkan, membayangkan keganasan dan keliaran. Bajunya terbuat dari kulit
harimau yang memperlihatkan sebelah pundak dan sebagian dari dada kanannya yang
tegap. Tangan kanannya memegang sebuah penggada yang besar sekali, besar dan
berat, seimbang dengan besar dan beratnya golok di tangan Beng Sin. Empat orang
anak buahnya berdiri di belakangnya, masing-masing memegang senjata mereka, ada
yang golok, ada yang pedang atau tombak pendek.
Dengan marah Beng Sin bertolak pinggang dan melintangkan golok besarnya di depan
tubuhnya. "Hemm, kalian perampok-perampok laknat berani mengganggu wanita baik-
baik di siang hari, ya" Setelah bertemu dengan tuan mudamu, kalian tentu tak
dapat diberi ampun lagi!"
Kepala perampok itu adalah seorang yang bertubuh tinggi besar dan kuat. Ketika
dia melihat tubuh Beng Sin yang gendut dan besar, bahkan lebih besar daripada
tubuhnya sendiri, dan melihat pemuda itu memegang sebatang golok yang amat besar
dan agaknya tidak kalah berat dibandingkan dengan penggadanya, dia terbelalak
dan kelihatannya agak jerih.
"Kawan..." katanya sambil mengedip-ngedipkan mata seperti memberi isyarat
rahasia. "Kita... kita bagi-bagi rata saja, dah! Berikan barang-barangnya kepada
kami dan kau boleh mendapatkan orangnya."
Sejenak Beng Sin melongo, tidak mengerti. Akan tetapi kemudian dia mencak-mencak
dan membanting-banting kaki kanannya. Celaka, pikirnya. Dia tentu disangka
sebangsa pencoleng oleh kepala perampok itu! Ingin dia menghadapi cermin untuk
melihat wajahnya sendiri. Benarkah wajahnya seperti wajah pencoleng"
"Bangsat keparat jahanam laknat bermulut busuk!" Dia memaki-maki saking
jengkelnya. Tangan kiri yang tadinya bertolak pinggang itu kini menuding ke
hidungnya sendiri. "Buka lebar-lebar mata bangsatmu! Kaukira aku ini orang apa"
Aku adalah seorang pendekar muda, tahu" Bagi-bagi nenek moyangmu itu! Hayo
kalian pergi, kalau tidak, golokku yang sudah haus darah penjahat ini yang akan
bicara!" "Wah, pendekarnya kok gendut amat...!" Terdengar seorang anak buah perampok
berkata lirih. "Agaknya kurang latihan, sikat saja, twako!" kata orang ke dua.
Didorong oleh anak buahnya, kepala perampok itu lalu mengeluarkan suara gerengan
dan penggada itu diputar-putar di atas kepala sampai mengeluarkan suara
berdesir-desir. "Taihiap hati-hati...!" bisik gadis itu dan Beng Sin yang tadinya merasa gentar
juga melihat penggada yang besar itu, tiba-tiba membusungkan dadanya yang memang
sudah besar dan lebar itu. Dia disebut "talhiap". Dia pendekar besar! Ha! Untuk
sebutan itu ingin rasanya dia menari-nari dan bermain silat mendemonstrasikan
kemahirannya mempermainkan golok besarnya! Timbul pula keberanian dan
kegagahannya, dan dia lalu menggerakkan golok sehingga nampak sinar berkelebat.
"Kalian mau melawan" Bosan, hidup, ya" Nah, sambut ini!" Dia lalu membacokkan
golok besarnya itu ke depan.
Kepala rampok yang lebih biasa menaklukan korban dengan gertakan daripada
tindakan ini, cepat menangkis. Biasanya, orang sudah bertekuk lutut minta ampun
kalau dia sudah memutar penggadanya, akan tetapi pemuda gendut ini tidak takut!
"Tranggg...!" Penggada itu terpental dan terlepas dari pegangan si kepala
perampok! Beng Sin tersenyum-senyum, biarpun senyumnya menjadi agak kecut karena
dia harus menahan rasa nyeri pada lengannya yang menjadi kesemutan karena
getaran pertemuan senjata tadi.
"Nah, ambil senjatamu, jahanam!" katanya dengan lagak gagah, sambil bertolak
pinggang lagi. Tentu saja peristiwa ini mengagetkan semua perampok itu. Kepala perampok itu
memiliki tenaga besar sekali. Penggada itu dapat menghancurkan batu karang
sekali gempur dan dapat menumbangkan sebatang pohon sekali hantam. Akan tetapi
kini bertemu dengan golok pemuda gendut itu, ruyung atau penggadanya itu
terlepas dan lengannya terasa lumpuh! Tentu saja nyalinya terbang seketika dan
dia menggeleng-geleng kepalanya, lalu membalikkan tubuhnya dan lari, diikuti
oleh empat orang anak buahnya.
Memang mereka itu hanyalah perampok-perampok kasar yang biasanya mengandalkan
gertakan saja, sama sekali tidak memiliki kepandaian berarti. Betapapun juga,
kalau mereka itu bukan pengecut dan mengeroyok Beng Sin, tentu pemuda ini akan
repot juga! Bukan main lega hati Beng Sin. Dia tertawa dan mengamang-amangkan goloknya ke
atas. "Tikus-tikus busuk! Kalau lain kali bertemu denganku, jangan harap golokku
akan mengampuni kalian!"
Gadis itu bersama ibunya lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Beng Sin.
"Taihiap, terima kasih atas pertolonganmu..." gadis yang manis itu berkata, juga
ibunya menghaturkan terima kasih.
Beng Sin menjadi sibuk juga. Dengan tangan kirinya di menyentuh pundak gadis itu
untuk membangunkannya, akan tetapi begitu jari tangannya menyentuh kulit daging
yang hangat lunak, dia menggigil dan menariknya kembali. "Maaf... eh, nona dan
bibi... harap bangkit dan mari kuantar kalian..."
Ibu dan anak gadisnya itu lalu bangkit dan celingukan.
"Apa yang kalian cari?" tanya Beng Sin ketika melihat mereka celingukan seperti
itu. "Kusir kami... tadi ketika perampok-perampok muncul, dia lari entah ke mana..."
Beng Sin lalu berteriak nyaring, "Heiii! Kusir kereta! Keluarlah, perampok sudah
pergi semua!" Tak lama kemudian terdengar suara menjawab dan si kusir yang bertubuh kurus
tinggi itu muncul dengan tubuh gemetar, muka pucat. Beng Sin merasa geli sekali,


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apalagi melihat betapa celana kusir itu basah. Entah basah terkena air ketika
bersembunyi, entah basah ngompol saking takutnya. "Hayo lekas naik dan antar
nona dan bibi ini pulang. Aku akan mengawal mereka!" kata Beng Sin dengan gagah.
Gadis dan ibunya itu lalu masuk ke dalam kereta, dan Beng Sin juga masuk ke
dalamnya, duduk berhadapan dengan gadis dan ibunya itu. Kusir kereta segera
menjalankan kuda dan kereta itupun membalap keluar dari dalam hutan secepatnya.
Di sepanjang perjalanan ini, ibu si gadis yang kini menjadi malu-malu dan bahkan
jarang berani menatap wajah pemuda gendut yang dengan gagah perkasa telah
menolongnya itu, menceritakan siapa adanya mereka.
Suami wanita itu adalah seorang piauwsu, yaitu pengawal kiriman barang-barang
atau orang-orang yang melakukan perjalanan jauh. Ciok-piauwsu ini bekerja pada
piauwkiok (perusahaan pengawalan) yang bernama Hek-eng-piauwkiok di kota Su-couw
di Ho-nan. "Kami ibu dan anak baru saja pulang dari menengok keluarga ke dusun, taihiap.
Biasanya perjalanan ke dusun lewat hutan ini aman saja, tidak nyana hari ini
kami mengalami gangguan penjahat. Untung ada taihiap yang menolong kami. Karena
biasanya aman, maka suami saya tidak mengantar."
"Kalau ayah mengawal, penjahat-penjahat itu tentu sudah dibunuhnya!" kata gadis
itu yang oleh ibunya diperkenalkan dengan nama Ciok Sui Lan.
"Eh... nona Ciok adalah puteri seorang piauwsu yang pandai, kenapa tadi tidak
melawan penjahat-pejahat itu?" tanya Beng Sin.
Nona itu menunduk, tersenyum dan mengerling wajah pemuda gendut itu, membuat
hati Beng Sin berdebar tidak karuan!
"Ayah melarangku belajar silat, katanya tidak pantas bagi seorang wanita..."
jawab gadis itu malu-malu.
"Dan memang benar, aku sendiripun melarangnya, taihiap. Lebih baik seorang
wanita mempelajari ilmu-ilmu yang halus, menulis, membuat sajak, menjahit,
menari, bernyanyi dan memasak. Lebih berguna kalau kelak menjadi isteri orang."
"Ihhh, ibu...!" Siu Lan berkata sambil menunduk, mukanya menjadi merah sekali.
"Tentu... tentu paman Ciok lihai sekali ilmu silatnya," Beng Sin berkata dan
diapun merasa sungkan dan tidak enak ketika ibu itu menyebut-nyebut tentang
wanita menjadi isteri orang!
Wanita itu menarik napas panjang. "Sejak muda, suamiku paling senang dengan ilmu
silat. Dia seorang kasar, taihiap, akan tetapi dalam ilmu silat, dia cukup
terkenal dan di Hek-eng-piauwkiok dia menjadi piauwsu yang diandalkan oleh
majikan piauwkiok." Ketika mereka tiba di rumah keluarga Ciok yang cukup besar, mereka disambut oleh
seorang laki-laki setengah tua yang kelihatan gagah dan bermata tajam. Dia ini
bukan lain adalah Ciok-piauwsu sendiri. Betapa kaget hati piauwsu ini ketika
mendengar penuturan isteri dan puterinya bahwa kereta mereka dihadang perampok
dan bahwa puterinya hampir saja celaka kalau tidak ditolong oleh pemuda gendut
yang terus mengawal mereka sampai tiba di rumah.
"Ah, sicu muncul seperti dituntun tangan Thian! Betapa besar rasa terima kasih
kami kepadamu, sicu!" Piauwsu itu cepat memberi hormat kepada pemuda itu.
Beng Sin cepat membalas dengan menjura. "Aih, lo-enghiong, aku telah mendengar
bahwa engkau juga seorang ahli silat yang pandai. Antara sesama orang yang suka
menentang kejahatan, bantu-membantu adalah wajar. Mana bisa bicara tentang
budi?" Piauwsu itu menjadi kagum dan tahulah dia bahwa pemuda ini adalah seorang yang
berwatak gagah dan jujur. Beng Sin lalu dipersilakan masuk dan mereka ber-
kenalan. Ketika Beng Sin minta diri dan berpamit, piauwsu itu dan isterinya me-
nahan-nahannya. "Tee-sicu telah menyelamatkan keluargaku, berarti telah menjaidi seperti ke-
luarga atau sahabat baik kami sendiri, mengapa begitu tergesa-gesa" Sicu akan
mengecewakan hati kami sekeluarga kalau tidak mau tinggal di sini untuk beberapa
hari lamanya, sekedar memberi kesempatan kepada kami untuk menyatakan rasa
terima kasih kami," Ciook-piauwsu berkata dan karena dibujuk-bujuk, akhirnya
Beng Sin merasa tidak enak juga dan akhirnya dia menyetujui. Pada sore harinya,
ketika Beng Sin dan tuan rumah bercakap-cakap di kebun belakang, Ciook-piauwsu
bertanya dari mana pemuda itu mempelajari ilmu silat dari golongan apa. "Saya
belajar dari paman saya sendiri, lo-enghiong. Saya telah yatim piatu, ayah saya
telah tiada dan ibu saya telah masuk menjadi nikouw dan tidak berurusan lagi
dengan dunia, dan sejak kecil saya dirawat dan dididik oleh paman saya yang
bernama Kui Hok Boan. Karena paman saya pernah menjadi murid Go-bi-pai, maka
saya kira ilmu silat yang diajarkan kepada saya tentu dari aliran Go-bi-pai."
Wajah Ciook-piauwsu berseri. "Ahh, kalau begitu kita orang sendiri!" Dia berseru
girang. "Ketahullah, sicu. Aku sendiripun adalah seorang murid Go-bi-pai!"
"Kalau begitu, lo-enghiong mengenal paman saya?"
Piauwsu itu menggeleng kepala. "Murid Go-bi-pai ribuan orang banyaknya dan
berpencar di mana-mana. Menurut penuturanmu, pamanmu datang dari utara dan aku
tinggal di selatan, biarpun antara kami memiliki sumber ilmu silat yang sama,
namun tentu diajarkan oleh guru-guru yang lain. Sicu, kalau boleh, aku ingin
melihat ilmu sliatmu. Harap kauperlihatkan ilmu golokmu, barangkali saja kita
dapat saling memberi petunjuk karena sealiran."
Dengan girang Beng Sin lalu bersilat. Goloknya yang besar dan berat itu diputar
sampai mengeluarkan suara berdesing dan nampak gulungan sinar yang besar
menyambar-nyambar. Setelah selesai, piauwsu itu mengangguk-angguk. "Ilmu golokmu
sudah cukup baik, akan tetapi sayang..."
"Bagaimana, lo-enghiong?"
"Masih banyak kekurangannya karena agaknya tercampur dengan ilmu dari sumber
lain sehingga agak lemah, terutama sekali di bagian penyerangan. Ilmu golok Go-
bi-pai yang aseli banyak menggunakan penyerangan dari bawah yang amat lihai dan
berbahaya bagi lawan. Coba kaulihat, akan tetapi golokmu terlampau berat
untukku, sicu, biarlah aku memakai golok biasa dan kaulihatlah baik-baik."
Ciok-piauwsu lalu bersilat dengan sebatang golok biasa dan gerakannya memang
dikenal oleh Beng Sin sebagai ilmu golok Go-bi-pai, akan tetapi terdapat
perbedaan-perbedaan dan terutama sekali ketika kakek setengah tua itu bersilat
makin cepat, gerakannya berbeda dan kini dia melihat berkali-kali piauwsu itu
bergulingan dan goloknya menyambar-nyambar dari bawah dengan amat cepatnya.
Melihat ini, Beng Sin kagum sekali. Kiranya benar ucapan Siu Lan dan ibunya
bahwa piauwsu ini memang benar memiliki ilmu silat yang tinggi sehingga kalau
piauwsu ini mengawal anak isterinya, tentu lima orang perampok itu akan ketemu
batunya! "Lo-enghiong, saya mohon petunjuk!" katanya setelah piauwsu itu menghentikan
permainan silatnya. Ciok-piauwsu berdiri sambil tertawa dan mengangguk-angguk, "Boleh, boleh... akan
tetapi untuk itu sicu harus tinggal di sini selama beberapa hari."
Tentu saja Beng Sin setuju dan menghaturkan terima kasih. Mulai hari itu pemuda
gendut ini menerima petunjuk-petunjuk dalam ilmu golok Go-bi-pai dari Ciok-
piauwsu. Kalau dibuat perbandingan, belum tentu Kui Hok Boan kalah oleh Ciok-
piauwsu, akan tetapi dalam ilmu golok Go-bi-pai, memang ilmu yang dimiliki Kui
Hok Boan kalah murni. Kui Hok Boan adalah murid Go-bi-pai, murid mendiang Kauw
Kong Hwesio, akan tetapi dia telah memperdalam ilmu silatnya dengan ilmu-ilmu
dari sumber lain sehingga ilmu golok yang diajarkannya kepada Beng Sin sudah
tidak aseli lagi. Sebaliknya, Ciok-piauwsu adalah murid Go-bi-pai yang tidak
mencampurkan ilmu golok itu dengan ilmu lain, dan selain itu, memang dia paling
suka dengan senjata ini sehingga dalam hal memainkan golok dia lebih mahir.
Selama kurang lebih sepuluh hari Beng Sin tinggal di situ, setiap hari dengan
tekun menerima petunjuk-petunjuk sehingga kepandaiannya dalam hal main golok
dalam ilmu golok Go-bi-pai menjadi lebih matang dan dia kini mampu melakukan
jurus-jurus bergulingan yang amat lihai itu. Akan tetapi di samping itu, juga
hubungannya dengan keluarga itu menjadi semakin akrab.
Pada hari ke sebelas, ketika Beng Sin bermohon diri dari tuan rumahg Ciok-
piauwsu mengajaknya duduk bercakap-cakap di ruangan belakang dan piauwsu yang
selama beberapa hari sangat memperhatikan Beng Sin dan merasa suka kepada pemuda
gendut yang ramah dan jujur ini, berkata, "Tee-sicu, ada sesuatu hal yang ingin
saya tanyakan kepada sicu, harap sicu tldak menjadi kecil hati."
"Ah, lo-enghiong telah begitu baik kepada saya, seperti seorang guru saya, mengapa masih begitu sungkan" Kalau ada sesuatu,
tanyakanlah saja tanpa ragu-ragu."
"Begini, sicu. Hal ini sudah saya bicarakan dengan isteri dan puteri kami, dan
kami ingin sekali tahu apakah sicu sudah berkeluarga" Maksud saya, apakah sudah
menikah?" Pertanyaan ini membuat Beng Sin yang jujur terbelalak heran dan cepat dia
menggelengkan kepala. "Dan sudah bertunangan ataukah belum?"
"Belum, lo-enghiong... akan tetapi kenapa...?"
"Bagus! Ketahuilah, sicu, setelah berkenalan dengan sicu, apalagi mengingat
betapa sicu telah menyelamatkan puteri kami dari bahaya, kami mengambil
keputusan untuk menyerahkan puteri kami kepada sicu, yaitu kami ingin
mengikatkan perjodohan antara puteri kami dengan sicu... harapan kami agar sicu
tidak menolak maksud baik kami ini."
Tentu saja Beng Sin menjadi kaget dan bingung sekali, tidak tahu harus menjawab
bagaimana. Mukanya yang gemuk menjadi kemerahan karena memang sesungguhnya dia
sama sekali belum berpikir tentang perjodohan, sungguhpun diam-diam dia merasa
telah "jatuh cinta" kepada Lin Lin, adik misannya itu.
"Ini... ini... saya belum pernah berpikir tentang perjodohan, lo-enghiong, dan
pula... tentu saya harus bertanya dulu kepada paman saya sebelum memberi
keputusan..." katanya gagap.
Piauwsu itu tersenyum dan mengangguk-angguk. Sikap pemuda ini jelas menunjukkan
bahwa pemuda ini masih hijau dan polos, masih seorang jejaka tulen sehingga
hatinya menjadi semakin suka. "Tentu saja, sicu. Aku akan mendatangi pamanmu itu
sewaktu-waktu untuk minta persetujuannya. Dalam waktu dekat aku akan mengunjungi
dusun Pek-jun untuk bicara dengan pamanmu kalau saja engkau sendiri sudah
setuju. Kecuali kalau sicu menolak karena anak kami memang buruk rupa dan
bodoh..." "Ah, tidak, tidak demikian, lo-enghiong. Puterimu adalah seorang gadis yang
cantik dan baik... akan tetapi harap lo-enghiong tidak tergesa-gesa karena terus
terang saja, keluarga kami sedang mengalami persoalan yang menyedihkan. Paman
saya sedang dalam duka karena kehilangan kedua orang puterinya, bahkan saya
sekarang inipun sedang dalam tugas untuk mencari jejak kedua orang adik misan
saya itu. Sudah setengah tahun saya meninggalkan rumah dan belum juga berhasil.
Saya telah menemukan jejak mereka ke daerah ini, akan tetapi belum juga berhasil
menemukan kedua orang adik misan saya itu."
"Ahh!" Ciok-piauwsu nampak terkejut, "Kalau saya boleh tahu, apakah yang
terjadi, sicu" Siapa tahu saya dapat membantumu."
Dengan singkat Beng Sin menceritakan peristiwa yang menimpa diri dua piauw-
moinya (adik perempuan misan) itu. Dia sudah percaya kepada piauwsu ini yang
dianggap sebagai guru sendiri. Tentu saja dia tidak bercerita terlalu banyak,
hanya menceritakan bahwa dua orang gadis kembar itu melarikan diri karena tidak
mau dijadikan selir pangeran dan sekarang dia harus mencari mereka sampai dapat.
Mendengar cerita ini, Ciook-piauwsu terheran-heran. "Diangkat selir oleh
pangeran adik kaisar! Itu merupakan kehormatan yang amat tinggi! Kenapa mereka
melarikan diri... eh, kau bilang mereka itu adalah saudara kembar" Ahh, betapa
kebetulan sekali!" Tiba-tiba piauwsu itu berkata dengan wajah berseri. "Aku...
aku tahu di mana adanya mereka! Ah, kenapa tidak sejak dulu engkau menceritakan
padaku, sicu" Mari, mari kau ikut aku!"
Bukan main kagetnya Beng Sin mendengar ini. Tak disangkanya sama sekali bahwa
piauwsu int justeru tahu tentang Lan Lan dan Lin Lin!
"Benarkan engkau tahu, lo-enghiong" Di mana mereka?"
"Agaknya tidak salah lagi! Majikanku, yaitu ketua atau pemilik Hek-eng-piauwkiok
memungut sepasang gadis yatim piatu sebagai anak-anak angkatnya! Agaknya mereka
itulah adik-adikmu itu! Tak salah lagi. Merekapun pandai ilmu silat. Majikanku
melihat mereka ketika mereka dibajak di Sungai Huang-ho dan majikanku menolong
mereka, lalu membawa mereka pulang dan mereka diambil anak angkat!"
Bergegas mereka pergi ke rumah ketua Hek-eng-piauwkiok yang bernama Ciang Lok,
seorang piauwsu kawakan yang tidak mempunyai keturunan dan yang pada beberapa
bulan yang lalu telah mengangkat dua orang gadis kembar menjadi anak-anak
angkatnya. Setelah tiba di situ, mereka disambut oleh Ciang Lok sendiri.
Begitu bertemu, Ciok-piauwsu cepat memberi hormat dan berkatag "Ciang-twako, di
mana adanya dua orang anak angkatmu itu" Kalau tidak salah, mereka itu adalah
adik-adik piauw dari Tee-sicu ini yang mencari-carinya!"
Mendengar itu, Ciang Lok mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang, lalu
memandang kepada pemuda gendut itu sejenak, kemudian tanpa menjawab pertanyaan
pembantunya itu dia lalu bertanya kepada Beng Sin, "Apakah engkau mengenal
seorang pemuda bernama Kwan Siong Bu?"
"Tentu saja!" Beng Sin menjawab. "Dia adalah kakak misanku pula, juga masih
kakak misan dari kedua orang adik Lan dan Lin, sepasang gadis kembar yang saya
cari, itu!" Piauwsu berusia lima puluh tahun lebih itu mengangguk-angguk, dan kembali
menarik napas panjang. "Harap kalian suka duduk dan dengarkan ceritaku. Agaknya
kedatanganmu terlambat, orang muda."
Tentu saja Beng Sin kaget sekali. Dia lalu cepat duduk bersama Ciok-piauwsu dan
dengan hati tegang dia bertanya, "Terlambat bagaimana, lo-enghiong?"
"Baru tiga hari yang lalu datang seorang pemuda yang bernama Kwan Siong Bu itu,
dan ternyata dua orang anak angkatku itu mengenalnya sebagai kakak misan.
Kemudian mereka berpamit karena dua orang anak angkatku itu terpaksa harus
pulang ke dusun Pek-jun di utara bersama piauw-ko (kakak misan) mereka. Tentu
saja aku, biarpun dengan hati amat berat, tidak berhak untuk melarang mereka."
Wajah Beng Sin berseri. "Ah, saya girang mendengar hal ini, lo-enghiong.
Syukurlah kalau mereka sudah pulang bersama Kwan-twako. Dan saya sebagai kakak
misannya menghaturkan beribu terima kasih kepada lo-enghiong yang telah menolong
mereka, bahkan bersikap baik kepada mereka, menampung dan memelihara mereka
selama ini!" Beng Sin lalu bangkit berdiri dan memberi hormat. Tuan rumah itu
balas menghormat. "Hemm, engkau baik sekalig sicu, jauh lebih baik daripada kakak misanmu itu yang
kelihatan angkuh. Sebaiknya kalau sicu cepat menyusul mereka, karena hatiku akan
merasa lebih tenang kalau sicu sendiri yang mengantar mereka pulang."
Beng Sin bergegas pamit dan kembali bersama Ciook-piauwsu. Dia lalu mengemasi
pakaiannya dan berangkat hari itu juga setelah berjanji kepada Ciok-piauwsu
untuk membicarakan hal usul perjodohan itu kepada pamannya. Juga dalam
kesempatan ini Beng Sin berpamit kepada nyonya Ciok dan kepada Siu Lan yang
nampak berduka, akan tetapi dia melihat betapa dara ini makin cantik saja!
Dengan menunggang kuda pemberian Ciok-piauwsu, Beng Sin melakukan perjalanan
cepat menuju pulang ke utara. Di sepanjang jalan dia mencari keterangan dan
mendapat petunjuk bahwa memang benar dua orang gadis kembar itu ditemani oteh
Kwan Siong Bu melakukan perjalanan, akan tetapi ternyata mereka melakukan
perjalanan cepat berkuda pula sehingga dia yang tertinggal selama tiga hari itu
sukar untuk dapat menyusul mereka.
Akhirnya, setelah melakukan perjalanan cepat, akhirnya Beng Sin tiba juga di
pekarangan rumah pamannya di dusun Pek-jung. Dia melompat turun dari kudanya
yang mandi keringat, membiarkan seorang pelayan merawat kuda itu, dan dia
sendiri sudah berlari memasuki rumah pamannya.
Rumah itu sunyi saja! Hanya ada pelayan-pelayan yang memandangnya dengan kaget
karena tuan muda yang baru datang ini kelihatan tergesa-gesa dan begitu tegang,
"Di mana tuan besar" Di mana kedua orang siocia?" Berkali-kali dia bertanya dan
para pelayan hanya menggeleng kepala.
Beng Sin tidak sabar lagi dan berlari mencari ke seluruh kamar di rumah itu.
Akhirnya dia melihat Siong Bu seorang diri di dalam lian-bu-thia (ruangan bela-
jar silat) yang luas, agaknya habis berlatih silat karena pedang telanjang masih
di tangannya dan mukanya berkeringat. Dia sedang mengusap peluhnya dan tersenyum
lebar ketika melihat masuknya Beng Sin.
"Ha, kau baru datang Sin-te (adik Sin)" Ha-ha, aku lebih berhasil menemukan Lan-
moi dan Lin-moi dan membawa mereka pulang tiga hari yang lalu. Kau tahu di mana
mereka itu" Ha, betapa bodohnya kita, mencari ke timur dan ke barat, padahal
mereka itu pergi..."
"Aku sudah tahu, Bu-ko. Aku baru saja datang dari Su-couw, bahkan aku lebih dulu
dari engkau tiba di Su-couw, hanya tidak kebetulan... ah, sudahlah. Engkau telah
berhasil menemukan mereka dan membawanya kembali ke sini, itu yang penting. Tapi
di mana mereka sekarang" Dan di mana paman?"
Kembali Siong Bu tertawa dan pemuda ini nampak girang bukan main. "Duduklah,
Sin-te, duduklah di sini. Kita bernasib baik sekarang! Ah, kita akan bisa
menjadi orang-orang penting di istana! Pendeknya, kita dapat menjadi pembesar
tanpa melalui ujian apapun, dan Pangeran Ceng Han Houw tentu akan menolong kita.
Paman juga girang bukah main, dan kemarin paman sendiri pergi ke kota raja untuk
menemui pangeran!" Berubah wajah Beng Sin, alisnya berkerut dan jantungnya berdebar tegang.
"Apa..." Apa maksudmu, Bu-ko" Di mana Lan-moi dan Lin-moi?"
Melihat ini, Siong Bu memandang dengan heran. "Tentu saja mereka berada di
istana Pangeran Ceng Han Houw! Masa engkau masih harus bertanya lagi, Sin-te"
Kita disuruh mencari untuk membawa mereka pulang dan untuk diserahkan kepada


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pangeran, karena kalau tidak, kita sekeluarga tentu akan celaka. Dan begitu
berhasil, aku kebetulan bertemu pangeran sebelum tiba di rumah, maka tentu saja
menjadi lebih mudah bagiku untuk menyerahkan mereka kepada pangeran dan beliau
girang sekali, langsung membawa mereka ke istana dan menjanjikan kepadaku bahwa
keluarga kita akan memperoleh kedudukan tinggi! Bukan hanya kemuliaan di istana
atau di kota raja, Sin-te, bahkan lebih lagi! Diam-diam pangeran menjanjikan
sesuatu yang lebih hebat lagi!" Pemuda berwajah tampan itu tersenyum-senyum dan
wajahnya berseri tanda bahwa dia merasa gembira sekali.
Beng Sin diam-diam merasa terkejut, marah akan tetapi juga heran. Dia tahu bahwa
kakak misannya ini mencinta Kui Lan, akan tetapi mengapa sekarang begitu girang
menyerahkan dara yang dicintanya itu kepada pangeran" Dia masih dapat menahan
kemarahannya, dan dengan suara dingin dia bertanya, "Hemmm, sesuatu apakah yang
dijanjikannya itu?" Dalam kegembiraannya, Siong Bu tidak mendengar betapa suara adik misannya itu
dingin sekali dan sinar mata yang biasanya jenaka itu berapi-api. Sambil
tersenyum dia menjawab, "Ah, hal ini hanya kuberi tahu kepadamu, Sin-te, tentu
pamam tidak kuberi tahu karena ini merupakan rahasia kita berdua. Apa yang
dijanjikan oleh pangeran itu" Beliau berkata bahwa kelak, kalau dia tidak
membutuhkan lagi dia akan menghadiahkan Lan-moi dan Lin-moi kepadaku! Ha-ha,
tentu saja Lin-moi akan kuserahkan kepadamu, Sin-te!"
"Plakkk!" "Hei, gilakah engkau?" Siong Bu meloncat ke belakang, melintangkan pedangnya dan
menggosok-gosok pipinya yang tadi ditampar oleh Beng Sin dengan keras sekali
itu. Ujung bibirnya berdarah. Dia dapat ditampar karena dia tidak pernah
menyangka sama sekali bahwa adik misan yang sejak kecil takut dan taat kepadanya
itu tiba-tiba menyerangnya seperti itu.
"Bu-ko, sungguh hatimu busuk dan kotor sekali!" Beng Sin membentak marah. Memang
sejak kecil dia mengenal Siong Bu sebagai seorang yang nakal, disangkanya bahwa
Siong Bu yang amat mencinta Kui Lan itu akan melindungi dara itu. Siapa kira,
dengan keji sekali Siong Bu malah menyerahkan dua orang dara kembar itu kepada
pangeran dan merasa girang akan memperoleh hadiah kedudukan, bahkan begitu tak
tahu malu untuk bergirang hati oleh janji pangeran bahwa kalau kelak pangeran
sudah bosan, dara kembar itu akan dihadiahkan kepadanya! Memang sejak kecil dia
takut dan menurut kepada Siong Bu karena memang dia merasa kalah. Akan tetapi
sekarang, setelah mereka sama-sama dewasa, apalagi demi membela Kui Lan dan
terutama Kui Lin yang dicintanya, dia tidak akan takut melawan Siong Bu. Apalagi
Siong Bu, siapapun akan dilawannya demi untuk membela dara kembar itu.
"Sin-te, apakah engkau sudah gila" Kau berani menamparku?" Siong Bu memandang
marah. "Bu-ko, hatimu busuk! Kusangka engkau menyayang Lan-moi dan Lin-moi, kukira
engkau mencari mereka untuk melindungi, akan tetapi siapa kira, engkau malah
menyerahkan mereka kepada pangeran, seperti mendorong masuk dua ekor domba ke
kandang serigala! Engkau layak ditampar, bahkan patut dibunuh karena engkau
jahat!" "Keparat! Jadi engkau bukan hanya berani menentangku, bahkan engkau hendak
menjadi pemberotak menentang pangeran" Jahanam busuk, aku harus membunuhmu!"
bentak Siong Bu sambil memegang sarung pedang dengan tangan kiri dan pedang di
tangan kanannya digerakkan di depan mukanya.
"Hemm, boleh kaucoba! Akulah yang akan menamatkan riwayatmu karena engkau busuk
dan hina, dan aku harus membalaskan penghinaan yang kautimpakan atas diri Lan-
moi dan Lin-moi!" "Beng Sin, tutup mulutmu yang kotor! Kubunuh engkau!" bentak Siong Bu makin
marah. Beng Sin melintangkan golok di depan dada, tangan kirinya memegang punggung
golok besar itu dan dengan tenang berseru, "Majulah, manusia busuk!"
Pada saat itu, terdengar teriakan dari pintu! "Tahan! Jangan berkelahi!" Suara
itu adalah suara Kui Hok Boan yang muncul di pintu dan terkejut melihat dua
orang pemuda itu saling berhadapan dengan senjata di tangan, dan kelihatannya
bukan seperti sedang berlatih silat seperti biasa karena wajah mereka tegang dan
kelihatan marah. Akan tetapi, begitu melihat munculnya pamannya yang dianggapnya tentu cocok
dengan dia mengenai urusan Lan Lan dan Lin Lin, Siong Bu sudah menubruk maju dan
berkata, "Paman, bocah ini hendak memberontak!" Dan pedangnya sudah menyambar-
nyambar ganas. Beng Sin cepat mengelak dan menangkis dengan penuh kewaspadaan
karena diapun maklum betapa kakak misan atau juga suhengnya ini pandai sekali
bermain pedang. "Jangan berkelahi!" bentak pula Kui Hok Boan akan tetapi dua orang muda itu
sudah begitu marah, dan terutama sekali Beng Sin sudah membenci sekali karena
tahu betapa dua orang dara itu seolah-olah disuguhkan begitu saja oleh Siong Bu
kepada pangeran itu dan dia dapat membayangkan betapa sengsara dan sedihnya hati
dua orang dara kembar itu dan bahwa keadaan mereka sukar ditolong lagi karena
sudah berada dalam cengkeraman pangeran itu. Maka segala kedukaan, penyesalan
dan kemarahannya dia timpakan kepada Siong Bu yang dianggap sebagai biang
keladinya. Siong Bu yang merasa bahwa pamannya tentu membenarkannya juga
menyerang dengan ganas sekali dan biarpun pamannya sudah berteriak agar mereka
jangan berkelahi, dia masih terus menyerang dan tidak mau mengalah, apalagi
karena di fihak Beng Sin juga sudah terus menyerangnya dengan nekat.
Kui Hok Boan sendiri sejenak termangu-mangu, tak tahu harus berbuat apa. Dia
baru saja kembali dari kota raja dan bertemu dengan Pangeran Ceng Han How,
diterima sebagai tamu terhormat dan diberi janji-janji muluk oleh sang pangeran.
Akan tetapi, dia tidak dapat bertemu dengan dua orang anaknya. Biarpun dia sudah
mohon kepada pangeran itu untuk bertemu dengan mereka, akan tetapi Pangeran Ceng
Han Houw tidak mengijinkannya dan hanya berkata bahwa dua orang puterinya itu
telah berada di bagian keputren dan tidak bisa sembarangan begitu saja keluar
dari istana. "Harap engkau tidak khawatir, mereka akan baik-baik saja, hidup dalam kemuliaan
dan kemewahan," kata Ceng Han Houw sambil tersenyum, kemudian Kui Hok Boan
dipersilakan untuk bermalam di dalam istana.
Biarpun dia memperoleh kamar yang amat mewah dan indah, namun Kui Hok Boan
merasa gelisah. Sebagai seorang ayah, betapapun juga dia mengkhawatirkan keadaan
dua orang puteri yang dicintanya. Semenjak Lan Lan dan Lin Lin minggat, selama
berbulan-bulan lamanya dia berduka sekali dan setelah kini dua orang puterinya
itu ditemukan oleh Siong Bu, dia belum sempat bertemu karena mereka telah
diserahkan kepada Pangeran Ceng Han Houw oleh Siong Bu. Dia merasa rindu sekaii
dan ingin melihat wajah dua orang puterinya, akan tetapi tidak ada kesempatan
baginya. Diam-diam dia mulai menyesal. Biarpun dia akan mendapatkan hadiah dan
mendapat kedudukan, apa artinya kalau dia tidak dapat lagi bertemu dengan mereka
dan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa mereka itu benar-benar hidup
berbahagia" Karena itu, biarpun dia mendapat pelayanan sebagai tamu agung, Kui Hok Boan
merasa tidak betah tinggal di istana dan pada keesokan harinya dia sudah
berpamit dan pulang ke rumahnya di dusun Pek-jun. Dapat dibayangkan betapa
kagetnya melihat dua orang keponakan itu sedang saling berhadapan kemudian
berkelahi mati-matian. Hatinya terlalu pedih, terlalu risau untuk dapat
bertindak cepat sehingga dia hanya berteriak-teriak melarang mereka berkelahi,
seolah-olah tidak tahu harus berbuat apa, bahkan sama sekali tidak turun tangan
melerai mereka. Tiba-tiba Kui Hok Boan terbelalak kaget melihat Beng Sin menjatuhkan diri
bergulingan di lantai. Itulah jurus-jurus Trenggiling dari Go-bi-pai aseli yang
tidak sempat dia pelajari! Heran bukan main hatinya. Dari mana Beng Sin dapat
mainkan jurus-jurus yang berbahaya dan lihai ini"
Juga Siong Bu terkejut sekali dan beberapa kali pedangnya masih mampu melindungi
tubuhnya, akan tetapi tiba-tiba tangannya yang memegang pedang kena tendangan
dari bawah sehingga pedangnya terlepas dan pada saat itu, golok Beng Sin
menyambar. "Cappp!" "UGHHH!" Siong Bu menjerit dan darah bercucuran dari perutnya yang robek.
"Heiiiii...!" Kui Hok Boan juga berseru dan meloncat ke depan, menendang tangan
Beng Sin yang memegang golok, Beng Sin yang berdiri terbelalak memandang kepada
kakak misannya yang roboh sambil mendekap perut yang terobek itu, tidak mengelak
dan goloknya terlepas ketika tangannya ditendang oleh pamannya.
"Siong Bu...!" Kui Hok Boan menubruk pemuda yang berkelojotan itu.
Siong Bu merintih-rintih, kedua tangan mendekap perut menahan isi perut yang mau
keluar. "Paman... aduhhh... mati aku, paman..." Dia merintih dan menangis.
"Siong Bu... ah, Siong Bu, anakku...! Ah, Beng Sin, apa yang kaulakukan ini" Apa
yang telah kalian lakukan ini?"
Hok Boan menjerit-jerit dan memukul-mukul tanah dengan tangan kanan sedangkan
tangan kirinya merangkul leher Siong Bu. "Kalian adalah saudara-saudara seayah,
kalian adalah anak-anakku sendiri berlainan ibu, dan sekarang kalian saling
serang, saling bunuh! Ya Tuhan...!"
Beng Sin terbelalak dan wajahnya menjadi pucat sekali. Diapun berlutut dan
memandang ayahnya dengan bingung.
"Paman... ayahku... bagaimana ini...?" dia tergagap.
"Siong Bu, ibumu adalah mendiang Kwan Siang Li, seorang janda... dan akulah ayah
kandungmu... dan kau Beng Sin, ibumu yang kini menjadi nikouw bernama Tee Cui
Hwa, dan akulah ayah kandungmu pula... dan kau sekarang membunuh saudara tirimu,
seayah...!" Kui Hok Boan tak dapat menahan diri lagi, menangis terisak-isak
karena Siong Bu mulai lemas dan kepala pemuda itu terkulai.
Beng Sin memegang tangan yang lemas itu. "Bu-ko, maafkan aku... aku tidak tahu,
bahwa... kita... kita masih seayah..." katanya seperti berbisik.
Siong Bu membuka matanya, tersenyum. Agaknya kini rasa nyeri sudah
meninggalkannya. "Aku... aku... yang salah...!" Dia memejamkan matanya dan
napasnya putus! Kui Hok Boan menangis dan menjambak-jambak rambutnya. Kini Beng Sin bangkit
berdiri, memandang kepada ayahnya itu dengan sepasang mata berapi-api. Setelah
kini dia mendengar bahwa paman atau juga gurunya ini ternyata adalah ayah
kandungnya sendiri, hatinya merasa makin sedih dan menyesal. Ayah macam apa yang
dimilikinya ini" Anak-anak sendiri, dia dan Siong Bu tidak diakui sebagai anak,
dirahasiakan! Kemudian, Lan Lan dan Lin Lin, dara kembar yang menjadi puteri
kandungnya sendiri, juga secara keji telah diserahkan kepada Pangeran Ceng Han
Houw. Dan teringat dia betapa penakut dan pengecut sikap ayahnya ini ketika
muncul musuh-musuh yang tangguh, yaitu Kim Hong Liu-nio dan Pangeran Ceng Han
Houw. Kini, mengingat akan nasib Lan Lan dan Lin Lin, melihat pula akibatnya
yang membuat dia sampai membunuh Siong Bu, yang ternyata malah saudaranya
sendiri, saudara seayah, Beng Sin merasa menyesal dan semua penyesalan itu
ditimpakannya kepada ayahnya yang kini terisak-isak di tempat itu seperti
seorang anak kecil yang tidak diberi permen!
"Kau... kau manusia busuk, manusia tak berperasaan, engkau telah menjual puteri
sendiri kepada pangeran! Engkau manusia terkutuk!" Setelah berkata demikian,
Beng Sin memungut goloknya dan lari meninggalkan tempat itu, tidak memperdulikan
suara ayahnya yang berteriak-teriak memanggilnya.
"Beng Sin...! Beng Sin anakku, kembalilah...!"
Hok Boan bangkit berdiri, hendak lari mengejar, akan tetapi teringat kepada
Siong Bu, lalu kembali dan menjatuhkan diri berlutut lagi, lalu menangis, me-
ratapi nasibnya yang buruk. Dua orang puterinya diambil pangeran, Siong Bu
tewas, dan Beng Sin melarikan diri! Dia ditinggal seorang diri saja di dunia
ini! Para pelayan yang mendengar ribut-ribut dan datang ke lian-bu-thia itu
terkejut dan segera mundur kembali dengan ngeri melihat majikan mereka meratapi
mayat tuan muda yang mandi darah!
Betapa sebagian besar dari kita ini selalu bersikap seperti Kui Hok Boan! Kita
selalu menyesali nasib, menyalahkan segala peristiwa yang kita anggap buruk
kepada sang "nasib". Mengapa kita begitu buta, tidak pernah mau membuka mata
untuk memandang dan melihat kenyataan bahwa semua sebab dari segala "nasib"
berada pada diri kita sendiri" Kitalah sumber segala penyakit, kitalah sumber
segala duka, sumber segala kesengsaraan! Dan hal ini baru dapat nampak kalau
kita memandang diri sendiri setiap saat tanpa membenarkan atau menyalahkan,
tanpa pendapat atau kesimpulan, tanpa pamrih!
Segala peristiwa yang terjadi adalah serangkaian yang sambung-menyambung,
seperti lingkaran setan dan semua pendapat dan penilaian merupakan hasil
pekerjaan dari pikiran kita sendiri. Pikiran membentuk sang aku yang selalu
ingin senang, ingin enak, ingin baik, ingin benar!
Kita membenci seseorang. Mengapa! Demikian pikiran bekerja. Karena orang itu
jahat, karena orang itu merugikan aku, baik merugikan secara lahiriah maupun
batiniah. Pendeknya, orang itu merugikan aku, tidak menyenangkan aku, maka aku
membencinya. Kebencian ini adalah buatan pikiran yang menilai dengan dasar
untung rugi bagi sang aku, dan kebencian ini menimbulkan scrangkaian perbuatan
kekerasan, seperti memaki orang itu atau memukulnya dan sebagainya, pendeknya
untuk melampiaskan dendam dan kebencian kita terhadap orang itu.
Apakah perbuatan ini dapat menghilangkan kebencian tadi" Tidak sama sekali
tentunya, bahkan perbuatan ini akan menimbulkan serangkaian akibat-akibat lain
yang berupa kekerasan-kekerasan. Ada kalanya, kita merasa menyesal karena kita
ingat, baik melalui orang lain ataupun diri sendiri, bahwa kebencian adalah
tidak baik. Kini kita membalik pandangan kita kepada diri sendiri. Tadinya, kita
menujukan pandangan kita kepada orang lain, pandangan dengan penuh penilaian
pikiran, pertimbangan untung rugi sehingga menimbulkan kebencian. Kini, setelah
kita memandang kepada diri sendiri, kita memandang pula dengan penilaian
pikiran. Ada kalanya pikiran menganggap bahwa kebencian ini tidak baik, dan
harus disingkirkan, dilenyapkan. Di lain saat pikiran membela diri sendiri,
perbuatannya sendiri, menganggap bahwa kebencian kita itu tepat dan benar karena
memang orang itu jahat dan layak dibenci, dan sebagainya. Jelaslah, bahwa yang
menimbang, yang menilai ini, juga masih si pikiran atau sang aku itu tadi. Yang
menilai ini tidak ada bedanya dengan yang menilai orang yang dianggap jahat
tadi, yang menilai kebencian baik atau buruk inipun adalah sang kebencian itu
sendiri, tiada bedanya dengan si pikiran itulah. Dengan demikian, pikiran
kadang-kadang berubah menjadi ini dan menjadi itu, namun kesemuanya itu
merupakan lingkaran setan yang masih terjadi dalam lingkungan pikiran. Dengan
demikian, kebencian itu akan tetap ada, bahkan makin diperkuat, makin diperbesar
karena dipupuk oleh pikiran sendiri yang menilai-nilai.
Dapatkah kita memandang tanpa penilaian" Baik memandang kepada orang yang kita
lalu nilai sebagai jahat itu, maupun memandang kepada kebencian kita yang kita
nilai pula sebagai benar atau salah itu" Kalau kita dapat memandang tanpa ada
sesuatu yang memandang, tanpa ada sesuatu yang menilai, melainkan memandang
dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran, tanpa ada yang waspada atau sadar,
karena kalau ada berarti akan timbul pula penilaian-penilaian, maka dengan
sendirinya kebencian itupun akan kehilangan tenaganya, akan lenyap dengan
sendirinya karena tidak ada lagi pemupukan. Kita sadar bahwa ada kebencian dalam
hati kita, akan tetapi kita tidak menilai, tidak membenarkan atau menyalahkan,
kita pandang saja! Kita dalam hal ini, adalah sang pikiran itu, dan kebencian
adalah sang pikiran itu pula. Biarkan pikiran memandang pikiran sendiri, tanpa
ada kesatuan lain yang menilai atau menimbang, tanpa ada sesuatu yang
membenarkan atau menyalahkan.
Kui Hok Boan terguncang batinnya oleh semua peristiwa itu, terhimpit oleh
penyesalan, kedukaan, ketakutan dan akhirnya semua pelayan melihat orang yang
dianggap pandai, baik dalam kesusasteraan maupun dalam ilmu silat, juga kaya
raya ini, menangis dan tertawa, menjambak-jambak rambut sendiri dan bersikap
seperti orang yang miring otaknya atau gila!
*** Dengan muka merah karena marah, Beng Sin terus lari meninggalkan dusun itu dan
di sepanjang perjalanan banyak hal memenuhi pikirannya. Kui Lin ternyata adalah
adiknya sendiri, adik tiri seayah! Dia merasa heran sekali mengapa Kui Hok Boan,
paman yang ternyata adalah ayah kandungnya sendiri itu merahasiakan bahwa dia
dan Siong Bu adalah anak anak kandungnya sendiri. Tentu ada rahasia di balik
semua ini! Dan dia harus dapat mengetahui rahasia itu. Dia harus dapat bertemu
dengan ibu kandungnya. Bukankah ibu kandungnya telah menjadi nikouw" Pernah Kui
Hok Boan yang ketika itu sebagai pamannya, menjawab pertanyaan tentang ibunya,
yaitu bahwa ibunya kini telah menjadi nikouw dalam Kelenteng Kwan-im-bio di tepi
Sungai Fen-ho di kaki Pegunungan Lu-liang-san, di luar sebuah dusun bernama
Kwan-si-men. Dia akan mencari ibunya, untuk bertanya tentang riwayat ibunya agar
tabu siapa sebetulnya Kui Hok Boan yang mengaku sebagai ayah kandungnya itu! Dan
setelah itu, barang kali, dia akan pergi ke selatan, mencari keluarga Ciok yang
telah berlaku baik kepadanya dan yang mengusulkan perjodohan antara dia dan Ciok
Siu Lan. Pemuda gendut yang pergi tanpa membawa pakaian, hanya membawa golok dan sisa
bekal uang yang masih ada padanya, melanjutkan perjalanan menuju ke Pegunungan
Lu-liang-san yang terletak di barat daya. Perjalanan yang amat sukar, melalui
daerah-daerah yang liar, pegunungan dan hutan-hutan lebat, namun pemuda yang
sudah merasa bahwa kini dia hidup seorang diri itu dengan tabah menempuh segala
kesukaran itu, mengandalkan golok besarnya, melanjutkan perjalanannya tanpa
mengenal lelah. Setelah melakukan perjalanan berpekan-pekan lamanya, akhirnya dia sampai juga di


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

daerah kaki Pegunungan Lu-liang-san. Pegunungan itu nampak dengan puncak-
puncaknya yang menjulang tinggi menembus awan, nampak seperti raksasa tidur yang
angker dan menyeramkan. Senja itu indah sekali. Matahari telah bersembunyi di balik puncak Lu-liang-san,
akan tetapi cahayanya masih membakar langit di barat, menciptakan warna-warna
yang sukar dilukiskan dengan kata-kata karena indahnya. Ada warna merah yang
aneh, merah bercampur kuning dan biru, dan di bagian agak ke utara nampak awan
bergumpal-gumpal dengan bentuk-bentuk yang beraneka macam, bentuk-bentuk yang
luar biasa anehnya dan yang tak mungkin ada yang sama. Awan-awan itu bergerak
perlahan dan setiap saat berubah bentuk, akan tetapi di sisi agak ke selatan
nampak lautan hitam dari awan yang kokoh dan tak pernah bergerak nampaknya,
seolah-olah selamanya takkan berubah. Puncak-puncak gunung mulai kelihatan
kehitaman dan pohon-pohon juga kelihatannya mulai tenang dan siap untuk
mengundurkan diri ke dalam kegelapan malam di mana mereka akan beristirahat
dalam kegelapan dan kesunyian. Melihat keadaan di sekeillingnya pada saat itu,
yang menciptakan ketenangan dan keheningan, sejenak Beng Sin lupa akan diri
sendiri, lupa bahwa dia ada dan merasa betapa dia telah dilebur menjadi satu
dengan segala yang nampak itu.
Akan tetapi, begitu pikirannya masuk memecahkan keheningan itu, lenyaplah
keheningan dan datanglah iba diri karena dia merasa betapa dia hidup seorang
diri dan betapa dia terpencil dan sunyi seperti sebatang pohon pek di kejauhan
yang tumbuh terpencil di tepi sebuah jurang. Maka datanglah kedukaan. Tak lama
kemudian, ketika kegelapan mulai menyelubungi bumi, pemuda itu sudah duduk
bersandar pada sebatang pohon. Didekatnya bernyala api unggun dan dia termenung
memandang api yang bergerak-gerak, satu-satunya yang nampak hidup di saat itu,
dengan lidah-lidah api merah kekuningan yang seperti menari-nari dengan gembira.
Akan tetapi, api yang indah bercahaya itupun akhirnya akan padam dan lenyap,
yang tinggal hanyalah abu dan asap yang kemudianpun akan menghilang tanpa bekas.
Pada keesokan harinya, Beng Sin mulai mencari keterangan. Akan tetapi para
petani dan penghuni gunung yang ditemuinya, tidak seorangpun di antara mereka
yang mengenal nama dusun Kwan-si-men atau Kuil Kwan-im-bio. Mereka hanya tahu di
mana letaknya Sungai Fen-ho dan akhirnya Beng Sin mencari sungai ini. Setelah
bertemu dengan sungai ini, dia mulai menyusuri sungai itu karena dia yakin bahwa
dengan cara ini akhirnya dia akan bertemu dengan dusun yang dimaksudkan karena
bukankah dusun itu terletak di tepi Sungai Fen-ho, di kaki Pegunungan Lu-liang-
san" Perhitungannya itu ternyata tepat karena beberapa hari kemudian, dari seorang
nelayan, dia mendengar bahwa dusun Kwan-si-men terletak di depan, hanya belasan
li lagi jauhnya dan bahwa memang di luar dusun itu terdapat sebuah kuil yaitu
kuil di mana dipuja Dewi Kwan Im maka dinamakan Kwan-im-bio. Mendengar ini,
berdebar rasa jantung dalam dada Beng Sin dan dia mempercepat langkahnya menuju
ke dusun itu. Kuil itu kecil saja, merupakan beberapa buah bangunan kecil dengan bangunan
pusat di depan, yang dipergunakan sebagai tempat sembahyang. Halamannya cukup
luas dan melihat halaman yang bersih itu menunjukkan bahwa kuil itu terurus
baik-baik dan setiap hari halaman itu tentu disapu. Dari jauh sudah terdengar
suara ketukan kayu yang mengiringi suara wanita berdoa. Setelah dekat orang akan
melihat asap hio mengepul, dan makin dekat lagi orang akan mencium bau harum
dupa. Biarpun para pengurus Kwan-im-bio adalah wanita-wanita yang telah menjadi
nikouw, namun pengunjungnya tidak terbatas golongan wanita saja. Oleh karena
itu, munculnya Beng Sin di kuil itu tidak membuat heran para nikouw yang me-
layani para pengunjung yang hendak bersembahyang. Hanya keadaan pakaian dan
sikap pemuda itulah yang mendatangkan rasa heran. Biasanya, para pengunjung kuil
itu hanya terdiri dari orang-orang dusun, petani-petani yang minta berkah agar
hasil sawah ladang mereka baik, dan para nelayan yang juga minta berkah agar
hasil penangkapan ikan mereka baik. Ada juga orang kota yang kadang-kadang
datang, yaitu mereka yang mendengar berita dari bibir ke bibir bahwa kuil itu
terkenal murah hati dan suka memenuhi atau mengabulkan doa-doa dan permintaan
mereka yang datang bersembayang. Akan tetapi pemuda ini selain jelas bukan
petani atau pemuda nelayan, melainkan orang kota yang agaknya datang dari jauh,
melihat pakaiannya yang agak kotor dan dapat diduga bahwa pemuda ini seorang
ahli silat, melihat dari golok besar mengerikan tergantung di punggung. Para
nikouw itu adalah orang-orang yang hidup dengan bersih, yang menjauhi segala
macam kekerasan, apalagi yang mereka puja adalah Dewi Kwan Im yang terkenal
sebagai Dewi Welas Asih, maka tentu saja melihat seorang pemuda gendut yang
membawa-bawa golok besar yang berkilauan saking tajamnya itu, mereka merasa
ngeri! Seorang nikouw tua cepat maju menghampiri dan mengangkat kedua tangan depan dada
dengan jari-jari terbuka dan dimiringkan. "Omitohud..., agaknya sicu mempunyai
kepentingan sehingga jauh-jauh datang mengunjungi kuil ini. Apakah sicu hendak
bersembahyang kepada Hud-couw?"
Beng Sin cepat memberi hormat dan berkata sejujurnya, "Maaf kalau saya
mengganggu, akan tetapi kedatangan saya bukan untuk bersembahyang, melainkan
untuk mencari seorang nikouw..."
Wajah halus nikouw itu kelihatan meragu dan pandang matanya penuh selidik,
kemudian dia menarik napas panjang dan berkata, "Harap sicu maafkan. Para nikouw
di sini adalah orang-orang yang telah mengundurkan diri dari dunia ramai,
berarti sudah tidak mempunyai keluarga dan handai-taulan lagi, seluruh hidupnya
telah diserahkan untuk mengabdi kepada Kwan Im Hud-couw dan kepada
prikemanusiaan, tidak terikat lagi oleh ikatan keluarga atau sahabat."
"Saya tahu, akan tetapi yang saya cari adalah... ibu kandung saya sendiri yang
menjadi nikouw di sini..."
Kembali nikouw tua itu menarik napas panjang. "Yang dimaksud keluarga juga
termasuk anak, sicu, maka semua nikouw yang berada di sini sudah tidak ada
ikatan lagi dengan dunia, tidak ada ikatan dengan keluarga, termasuk anak. Maka,
kalau sicu bukan bermaksud untuk sembahyang, pinni mohon agar sicu suka
meninggalkan kuil ini dan harap jangan mengganggu ketenteraman kehidupan para
nikouw." Beng Sin mengerutkan alisnya. Dia sudah melakukan perjalanan jauh dan susah
payah akan tetapi setelah tiba di tempat yang dicarinya, dia disuruh pergi
begitu saja tanpa diberi kesempatan untuk bertemu dengan ibunya, bahkan untuk
sekedar mendapat keterangan apakah ibunya masih hidup ataukah sudah mati!
"Hemm, beginikah yang dinamakan prikemanusiaan dan mengabdi prikemanusiaan?" Dia
berkata penasaran. "Agaknya para pendeta hanya mementingkan diri para pendeta
sendiri, akan tetapi sama sekali tidak memperdulikan perasaan hati orang-orang
biasa! Apakah suthai tidak merasakan betapa rindu hati seorang anak terhadap ibu
kandungnya" Apakah suthai hendak membiarkan seorang anak menjadi kecewa dan
berduka karena tidak diperbolehkan berjumpa dengan ibu kandungnya yang selamanya
belum pernah dikenalnya karena sejak kecil telah dipisahkan" Bukankah itu
merupakan perbuatan yang amat kejam, bertentang dengan sifat welas asih dari
Kwan Im Hud-couw sendiri?"
Nikouw tua itu menarik napas panjang. "Ahhh, sicu tidak tahu tentang belas
kasih! Belas kasih adalah cinta kasih, dan cinta kasih tidak lagi membeda-
bedakan antara anak atau orang lain, tidak lagi mementingkan diri pribagi, tidak
ada lagi iba diri. Kami para nikouw memandang semua orang seperti anak sendiri,
seperti diri sendiri, dan pemisah-misahan antara anak dan orang lain itu hanya
mendatangkan ikatan belaka dan mengembalikan kami kepada asal semula, yaitu
dunia yang penuh dengan ikatan-ikatan. Harap sicu memaklumi keadaan kami dan
sudilah sicu meninggalkan kami, dan tidak lagi menganggap bahwa ada ibu kandung
di tempat ini. Tempat ini tiada bedanya dengan tanah kuburan dan yang tinggal
hanya namanya saja. Cukuplah, sicu, semoga Hud-couw memberkahimu." Setelah
berkata demikian, nikouw itu menjura dan pergi meninggalkan Beng Sin yang masih
berdiri termangu-mangu di tempat itu.
Akhirnya dia tahu bahwa berdebatpun tidak akan ada gunanya, dan untuk memaksapun
selain dia tidak berani dan tidak mau, juga apa hasilnya" Dia tidak akan dapat
mengetahui yang mana ibu kandungnya. Dia tidak mungkin dapat bertemu dengan ibu
kandungnya kecuali kalau ibu itu sendiri yang memperkenalkan diri.
Dengan kedua kaki lemas Beng Sin keluar dari kuil itu dan akhirnya dia
menjatuhkan diri di bawah pohon tak jauh dari kuil. Baru sekarang terasa olehnya
betapa seluruh tubuhnya lemas dan lelah sekali. Tadinya dia masih penuh semangat
dan bayangan kegembiraan bertemu dengan ibu kandungnya membuat dia lupa akan
segala kesengsaraan perjalanan jauh itu. Akan tetapi setelah kini dia kehilangan
harapan dan semangat, lemaslah dia dan terasalah semua kelelahannya. Mengingat
akan semua itu, kalau saja dia tidak memiliki kekerasan hati ingin rasanya dia
menangis! Selagi dia duduk dengan muka pucat dan berulang kali menarik napas panjang,
hatinya penuh kekecewaan dan kedukaan, tiba-tiba terdengar suara halus
menegurnya, "Sicu, bukankah engkau she Tee bernama Beng Sin?"
Beng Sin terkejut dan melompat berdiri, lalu membalikkan tubuhnya. Dilihatnya
seorang nikouw yang agak gemuk berdiri di depannya, seorang nikouw yang usianya
kurang lebih tiga puluh lima lebih, masih nampak muda karena wajahnya terang dan
bibirnya selalu mengandung senyuman biarpun sepasang matanya lembut sekali.
Sejenak mereka berdua berdiri berhadapan dan saling pandang dengan penuh
perhatian. Jantung Beng Sin berdebar penuh ketegangan, akan tetapi dia ragu-ragu
dan dengan lirih dia bertanya sambil menjura.
"Benar sekali, bagaimana suthai mengetahuinya?"
"Tentu saja aku tahu, karena wajahmu dan tubuhmu persis sekali, seperti kembar
saja kalau dibandingkan dengan pamanmu yang tiada," jawab nikouw itu.
Beng Sin menatap wajah nikouw itu, melihat betapa bibir dan pelupuk mata nikouw
itu gemetar, biarpun pandang matanya tetap lunak dan lembut.
"Suthai... siapakah...?"
"Pinni Thian Sin Nikouw, seorang anggauta kuil ini..."
"Suthai... suthai mengenal Tee Cu Hwa yang saya cari-cari...?" Beng Sin bertanya
dan sepasang matanya menatap tajam.
Nikouw itu mengangguk dan matanya berkejap dua kali, alisnya agak berkerut "Tee
Cui Hwa telah mati, tidak ada lagi di dunia ini... apa yang kaukehendaki?"
Beng Sin tidak terkejut mendengar in akan tetapi dia menatap wajah itu makin
tajam, wajah yang mendatangkan rasa anch dalam hatinya, seolah-olah dia selama
hidupnya pernah mengenal wajah ini.
"Saya... saya hanya ingin mengetahui apakah benar saya adalah anak kandung dari
Kui Hok Boan, dan agaknya hanya ibu kandung saya yang dapat menceritakannya
kepada saya. Maka saya harap ibu... saya harap suthai sudi membebaskan saya dari
kegelisahan dan keraguan ini, sudi menceritakan kepada saya tentang riwayat ibu
kandung saya dan juga ayah kandung saya!"
Sepasang mata itu terpejam rapat-rapat seolah-olah hendak mencegah mengalirnya
air mata dan menekan perasaan haru yang menghimpit, akan tetapi ketika kedua
mata itu dibuka, biarpun tidak ada air mata mengalir tetap saja kedua mata itu
basah. "Benar, Kui Hok Boan adalah ayah kandungmu. Akan tetapi perlukah sicu mengetahui
riwayat yang tidak baik itu" Perlukah segala kekotoran dibongkar kembali" Tidak
ada manfaatnya bagimu, sicu."
"Tidak, saya harus mengetahuinya! Lebih tidak baik lagi kalau kekotoran itu
dirahasiakan dan ditutup-tutupi karena saya telah mencium baunya yang busuk!
Demi Tuhan, demi segala dewa, demi Kwan Im Pouwsat, harap suthai suka menaruh
kasihan kepada saya, seorang yang ayah bundanya masih hidup dan segar-bugar,
akan tetapi yang merasa telah menjadi yatim piatu, karena baik ayahnya maupun
ibunya sudah lama sekali tidak memperdulikan lagi kepada saya!"
"Sicu! Jangan kaukeluarkan kata-kata seperti itu," Nikouw itu menunduk, dan
dengan halus dia menggunakan ujung lengan bajunya untuk menghapus dua titik air
mata yang turun dari kedua matanya. "Sicu tidak tahu betapa mendiang Tee Cui Hwa
menderita dengan hebat, menderita lahir batin, jauh lebih hebat daripada
perasaan yang sicu derita sekarang ini."
"Akan tetapi saya sebagai anak kandung ibu dan ayah, berhak sepenuhnya untuk
mengetahui riwayat mereka, suthai!" Beng Sin mendesak.
"Baiklah, baiklah, mari kita masuk ke ruangan tamu di kuil, nanti pinni cerita-
kan semua kepadamu, sicu." Setelah berkata demikian, nikouw itu lalu berjalan
menuju ke kuil dengan kepala tunduk, diikuti oleh Beng Sin dari belakang. Nikouw
yang mengaku bernama Thian Sin Nikouw itu memasuki ruangan tamu kuil dari pintu
samping, kemudian dia duduk sambil mempersilakan pemuda itu duduk di depannya.
Sejenak mereka yang duduk saling berhadapan itu saling pandang dan akhirnya
nikouw itu menarik napas panjang.
"Omitohud... sama sekali bukan maksud pinni untuk membongkar kebusukan orang,
akan tetapi memang benar seperti ucapan sicu tadi, sebagai putera mereka, sicu
berhak mendengar dan mengetahui kesemuanya itu." Dia berhenti sejenak,
memejamkan mata seolah-olah sedang berdoa mohon pengampunan kepada Dewi Kwan Im
Pouwsat yang dipujanya atas kelancangannya membongkar kebusukan orang. Kemudian
dia membuka matanya yang menjadi jernih dan tenang, lalu berceritalah dia dengan
suara datar dan halus tanpa disertai ketegangan atau keharuan hati, seolah-olah
hanya mulutnya saja yang bergerak akan tetapi hatinya tidak ikut bicara.
Belasan tahun yang lalu, hampir dua puluh tahun yang lalu, gadis Tee Cui Hwa
yang berusia tujuh belas tahun hidup berdua saja dengan Tee Kang, yaitu kakaknya
yang berusia dua puluh lima tahun. Kakak beradik ini sudah yatim piatu, dan
mereka hanya hidup berdua saja dari hasil pekerjaan Tee Kang sebagai seorang
penjaga keamanan sebuah rumah judi yang besar. Tee Kang adalah seorang pemuda
yang bertubuh kuat dan memiliki kepandaian silat lumayan, maka dia dapat bekerja
sebagai penjaga keamanan rumah perjudian itu. Biarpun hidup sederhana, namun
kakak beradik ini tidak kekurangan dan mereka hidup saling menyayangi karena
hanya berdua saja mereka di dunia ini. Pada suatu hari, Tee Kang pulang membawa
seorang tamu. Tamu ini adalah sahabatnya yang bernama Kui Hok Boan, seorang
pemuda yang tampan dan menarik sekali, pandai dalam ilmu sastera dan ilmu silat,
akan tetapi pemuda ini juga menjadi langganan setia dari rumah perjudian itu
sehingga kenal dengan Tee Kang. Tee Kang yang diam-diam hendak mencarikan jodoh
untuk adik perempuannya, tertarik melihat teman ini dan dia membayangkan betapa
akan bahagianya adiknya dan dia kalau Kui Hok Boan yang disebut Kui-siucai ini
dapat berjodoh dengan Cui Hwa!
Setelah Kui Hok Boan bertemu dengan Cui Hwa, pemuda tampan ini segera tertarik,
bukan oleh kecantikan Cui Hwa karena sesungguhnya gadis itu bukan tergolong
gadis yang terlalu cantik sungguhpun wajahnya bersih dan tubuhnya montok. Akan
tetapi memang Kui-siucai adalah seorang pemuda mata keranjang dan hidung belang,
hanya semua watak ini tertutup oleh sikapnya yang halus sebagai sasterawan
sehingga Tee Kang terkelabui dan mengira bahwa pemuda itu adalah seorang yang
baik budi! Melihat seorang gadis bagi Kui Hok Boan tiada bedanya dengan melihat
seekor daging segar bagi seekor serigala kelaparan, maka tentu saja dia diam-
diam sudah mengilar! Hubungannya dengan Tee Kang menjadi makin erat sehingga
akhirnya kadang-kadang Kui Hok Boan sampai bermalam di rumah kakak beradik itu.
Pada suatu sore, ketika Tee Kang pulang dari tempat kerjanya, dia terkejut
melihat adiknya menangis di dalam kamarnya. Ketika ditanya, Tee Cui Hwa mengaku
bahwa siang tadi, ketika Tee Kang sedang bekerja, Kui Hok Boan datang dan
memaksanya menuruti kehendaknya. Dia menolak, karena mereka belum menikah, akan
tetapi Kui Hok Boan memaksa dan dengan kejam telah memperkosanya! Mendengar ini,
Tee Kang menjadi marah bukan main. Memang benar dia ingin sekali agar adiknya
menjadi isteri Kui Hok Boan, akan tetapi tidak secara dipaksa dan diperkosa!
Maka dia cepat pergi lagi mencari Kui Hok Boan dan setelah bertemu, dia minta
pertanggungan jawab Kui Hok Boan untuk segera mengawini adiknya.
Akan tetapi, Kui Hok Boan menolak, bahkan menantangnya. Tee Kang menjadi marah
sekali dan mereka lalu berkelahi. Akan tetapi akhirnya Tee Kang roboh dan tewas
di tangan Kui Hok Boan yang lebih lihai.
Nikouw itu menghentikan ceritanya dan memejamkan kedua matanya. "Demikianlah,
sicu, pamanmu itu tewas di tangan pria yang jahat itu..."
"Dan ibuku" Apa jadinya dengan dia?" Beng Sin mendesak, mukanya menjadi merah
karena diam-diam dia marah sekali kepada Kui Hok Boan.
"Dia telah kehilangan satu-satunya orang yang dapat dijadikan pelindungnya,
satu-satunya keluarganya di dunia ini. Orang she Kui itu lalu datang dan me-
maksanya ikut pergi, memperkosanya dan mempermainkan sesuka hati sampai dia
mengandung, lalu ditinggal pergi..."
"Keparat jahanam Kui Hok Boan!" Beng Sin berseru sambil mengepal tinjunya.
"Omitohud... semoga Pouwsat menerangi batinmu, sicu. Tidak boleh memaki dan
mengutuk orang yang menjadi ayah kandungmu sendiri."
"Lalu bagaimapa dengan ibuku, suthai?"
"Dia melahirkan engkau, sicu... kemudian setelah menitipkan atau memberikanmu
kepada sebuah keluarga dusun yang baik hati, dia lalu masuk menjadi nikouw..."
"Dan orang bernama Kui Hok Boan itu lalu mengambilku dan mengakuinya sebagai
keponakannya!" Nikouw itu mengangguk. "Pinni mendengar bahwa sicu telah diambilnya dan tadinya
hati pinni ikut merasa gembira karena agaknya ayah kandung itu ingat kepada
anaknya sendiri..." "Tapi dia tetap jahat! Dan ibu... ibuku adalah engkau, suthai...! Ibu...!" Beng
Sin lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki nikouw itu.
Nikouw itu bangkit berdiri, memejamkan mata dan merangkap kedua tangan di depan


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dada. "Tidak...! Ibumu, Tee Cui Hwa telah mati bagimu dan bagi dunia, sicu.
Pinni adalah Thian Sin Nikouw..."
"Ibu... tidak kasihankah engkau kepadaku, anakmu?" Beng Sin meratap, masih
berlutut. "Pinni kasihan kepadamu seperti kepada semua orang yang menderita, sicu. Pouwsat
tidak memilih-milih orang dalam belas kasihan beliau! Ibumu telah mati dan pinni
adalah seorang nikouw..." Nikouw itu menyentuh kedua pundak Beng Sin, sejenak
kedua tangannya menyentuh mesra dan jari-jari tangan itu gemetar, akan tetapi
tak lama kemudian seperti ada tenaga baru yang menghilangkan getaran itu, lalu
dia membangkitkan Beng Sin. "Bangkitlah dan jangan menuruti hati yang lemah,
sicu." Beng Sin bangkit berdiri, memandang kepada nikouw itu dengan mata basah.
"Baiklah, suthai, akan tetapi tentu suthai sudi untuk menggantikan kedudukan
ibuku dan memberi kepastian dan pendapat suthai tentang perjodohanku."
"Perjodohan" Sicu hendak menikah" Ah, baik sekali itu, tentu saja pinni merasa
bersyukur dan akan pinni doakan selalu kepada Pouwsat agar hidupmu penuh dengan
kebahagiaan, sicu, tidak seperti kehidupan ibumu dahulu!"
Beng Sin lalu menceritakan tentang usul yang diajukan keluarga Ciok kepadanya,
dan menceritakan pula semua peristiwa yang terjadi di dalam keluarga Kui Hok
Bean, betapa dia hendak membela dua orang gadis kembar yang ternyata masih adik-
adik tirinya sendiri seayah itu, dan betapa dalam perkelahian dia telah membunuh
kakak tirinya. Nikouw itu mendengarkan dengan alis berkerut. Kemudian dia berkata setelah
pemuda itu menghabiskan ceritanya, "Sicu, biarlah pinni mewakili ibumu dan
menasihatimu. Sebaiknya engkau jangan kembali lagi kepada ayah kandungmu yang
ternyata sampai sekarang masih belum juga insaf dari kesesatannya itu.
Sebaiknya, mulai sekarang sicu tidak mendekatinya agar tidak timbul segala
urusan yang tidak baik dan pergilah engkau kepada keluarga Ciok itu, terimalah
usul mereka untuk menjodohkan sicu dengan gadis she Ciok itu. Pinni akan selalu
berdoa untuk keselamatan dan kebahagiaanmu, sicu. Nah, sekarang terpaksa pinni
mempersilahkan sicu pergi."
Beng Sin merasa girang sekali mendengar betapa nikouw ini, yang dia yakin adalah
ibu kandungnya, telah menyetujui perjodohannya, dia merasa girang dan terharu
sekali, maka dia lalu kembali menjatuhkan diri berlutut, "Ibu... suthai...
terima kasih atas segala nasihatmu... kelak pada suatu hari... aku akan mengajak
isteriku untuk datang menghadap ibu...!"
Sejenak nikouw itu berdiri seperti patung, dua matanya menjadi basah dan cepat-
cepat dia mengusapnya dengan ujung lengan bajunya, lalu dia tersenyum,
"Bangkitlah, Beng Sin! Pouwsat akan selalu melindungimu, nak. Dan selamat jalan,
doa restuku selalu menyertaimu!" Dan dia lalu membalikkan tubuh, mengucapkan doa
sambil pergi dari ruangan tamu itu.
Beng Sin juga bangkit berdiri lalu melangkah keluar dari kuil, hatinya kini
terasa lapang. Dia dapat memaklumi akan sikap ibu kandungnya. Dapat dia
membayangkan betapa sengsara ibu kandungnya ketika diperkosa oleh Kui Hok Boan,
dipermainkan bahkan dipisahkan dari kakak kandungnya yang terbunuh, kemudian,
setelah mengandung lalu ditinggalkan oleh pria yang jahat itu. Dan pria itu
adalah ayah kandungnya sendiri! Betapa benci hatinya terhadap orang itu, ingin
dia kembali ke dusun Pek-jun dan membunuh Kui Hok Boan, atau terbunuh olehnya!
Akan tetapi dia teringat akan semua kata-kata nikouw itu, ibu kandungnya, dan
semua kebenciannya itupun dilupakannya. Memang tidak benar kalau dia akan
memusuhi, apalagi membunuh ayah kandungnya sendiri. Kalau begitu, maka dia akan
menjadi seorang manusia durhaka dan keji, bahkan mungkin lebih keji daripada
ayah kandungnya itu sendiri! Maka, memang tepat nasihat ibunya, lebih baik dia
tidak lagi mendekati manusia itu, dan menerima saja usul Ciok-piauwsu yang gagah
dan baik budi itu untuk menjadi suami Ciook Sui Lan yang manis dan halus budi
pula. Maka berangkatlah Beng Sin langsung menuju ke Su-couw dan dia melihat
cahaya hidup baru membentang luas di depannya.
*** Apakah sesungguhnya yang terjadi pada diri Kui Lan dan Kui Lin, dua orang dara
kembar puteri dari Kui Hok Boan itu" Seperti telah kita ketahui, dua orang dara
kembar yang tidak sudi dijadikan selir pangeran seperti yang telah dijanjikan
oleh ayah mereka kepada Pangeran Ceng Han Houw, diam-diam melarikan diri dan
mereka pergi ke selatan, tidak tahu harus pergi ke mana, pokoknya meninggalkan
ayah mereka yang membuat mereka merasa penasaran itu. Hampir mereka tidak
percaya betapa ayah mereka itu seolah-olah hendak menjual mereka kepada pangeran
yang sombong itu! Sukar mereka dapat menerima kenyataan betapa ayah mereka itu
mempuhyai watak yang demikian pengecut dan palsu! Begitu kejam dan jahatnya pula
telah membius Sin Liong dan Bi Cu untuk menyerahkan mereka kepada pangeran yang
mengejar-ngejar Sin Liong! Padahal, Sin Liong adalah saudara mereka, anak ibu
kandung mereka pula! Dapat dibayangkan betapa sengsaranya keadaan dua orang gadis remaja yang selama
hidupnya belum pernah melakukan perjalanan sejauh itu, tanpa tujuan pula. Untung
mereka sejak kecil telah mempelajari ilmu silat sehingga mereka memiliki tubuh
yang kuat dan tahan menderita, di samping ini mereka membawa semua perhiasan
mereka sehingga mereka tidak khawatir kehabisan bekal untuk keperluan makan dan
lain-lain di sepanjang perjalanan.
Kurang lebih empat bulan kemudian, pada suatu senja Lan Lan dan Lin Lin tiba di
tepi Sungai Hoang-ho. Ketika melihat sebuah perahu besar, mereka berseru
memanggil tukang perahu untuk ikut menyeberang. Mereka sama sekali tidak tahu
bahwa perahu itu adalah milik bajak sungai! Maka ketika mereka ikut dalam perahu
itu dan perahu sudah bergerak ke tengah, mereka berdua dikurung bajak!
Terjadilah perkelahian seru dan andaikata pada saat itu tidak sedang lewat
perahu yang ditumpangi oleh Ciang Lok atau Ciang-piauwsu, ketua dari Hek-eng-
piauwkiok, entah bagaimana nasib sepasang dara kembar itu. Ciang-piauwsu
menyelamatkannya dan para bajak itu takut dan segan terhadap piauwsu ini, maka
mereka melepaskan Lan Lan dan Lin Lin. Ciang-piauwsu yang merasa kagum kepada
dua orang dara kembar, juga karena dia sendiri tidak mempunyai anak, ketika
mendengar bahwa dua orang dara itu terlunta-lunta tanpa keluarga, segera
mengajak mereka ke Su-couw dan mereka berdua itu dianggapnya anak sendiri.
Isterinyapun suka sekali kepada Lan Lan dan Lin Lin.
Seperti telah diceritakan, dua bulan setelah mereka itu tinggal di rumah Ciang-
piauwsu, pada suatu hari muncullah Kwan Siong Bu yang dapat menemukan jejak
mereka setelah pemuda ini juga dihadang bajak sungai, menundukkan bajak dan
mendengar keterangan dari bajak bahwa dua orang dara kembar itu pergi ikut
Ciang-piauwsu di kota Su-couw.
Kedatangan Siong Bu disambut oleh Lan Lan dan Lin Lin dengan gembira. Apalagi
ketika dua orang gadis itu mendengar dari Siong Bu bahwa ayah mereka telah
berubah pendirian, menyuruh Siong Bu mencari dan mengajak mereka pulang. Siong
Bu bercetita bahwa ayah mereka merasa menyesal dan kini hendak mengajak dua
orang puterinya itu untuk pindah secara diam-diam agar jauh dari jangkauan
Pangeran Ceng Han Houw. Lan Lan dan Lin Lin girang sekali dan mereka berhasil
terbujuk dan ikut pergi bersama Siong Bu. Tentu saja pemuda yang cerdik ini
telah membohong. Dia tahu bahwa kalau dia berterus terang, dua orang dara itu
tidak akan mau ikut pulang, dan diapun tidak mungkin dapat memaksa mereka.
Setelah berhasil membujuk dua orang dara kembar itu, mereka bertiga lalu diberi
tiga ekor kuda yang baik oleh Ciang-piauwsu dan berangkatlah mereka meninggalkan
kota Su-couw menuju ke kota raja, diantar dengan pandang mata duka oleh Ciang
Lok dan isterinya yang merasa seperti kehilangan anak sendiri.
Setelah tiba di kota sebelah selatan kota raja, mereka bertiga bermalam dalam
sebuah rumah penginapan. Lan Lan dan Lin Lin menggunakan sebuah kamar dan Siong
Bu berada di kamar lain. Kesempatan ini dipergunakan oleh Siong Bu untuk keluar
dan kebetulan sekali dia mendengar bahwa Pangeran Ceng Han Houw baru tiba dari
selatan dan berada di kota itu. Maka cepat-cepat dia menemui pangeran ini dan
memberi tahu tentang dua orang dara kembar yang baru saja dapat digiringnya
kembali untuk diserahkan kepada sang pangeran!
Pada waktu itu, memang Han Houw baru saja kembali dari selatan. Tadinya dia
merasa heran dan tidak mengenal pemuda yang mohon menghadap padanya di gedung
pembesar setempat, akan tetapi ketika Siong Bu memperkenalkan diri sebagai
keponakan Kui Hok Boan, dia segera teringat. Alis tebal pangeran ini berkerut
karena dia ternyata sudah lupa lagi bahwa dia mempunyai urusan dengan keluarga
Kui itu. "Hemm, Kwan Siong Bu, sekarang aku ingat, engkau adalah keponakan orang she Kui
itu. Dan ada perlu apakah engkau mengganggu waktuku?"
Melihat sikap angkuh dan ucapan yang mengandung nada tidak senang ini, Siong Bu
menjadi ketakutan. Dia cepat memberi hormat sambil berkata, "Harap paduka
maafkan kalau hamba mengganggu, kedatangan hamba ini adalah untuk menyerahkan
kedua orang adik misan hamba yaitu Lan-moi dan Lin-moi, dua orang dara kembar
itu." "Dua orang gadis kembar" Ahhh...! Benar! Mereka yang manis-manis itu!" Wajah
pangeran itu berseri dan hati Siong Bu seketika merasa lega. "Di mana mereka"
Apakah sudah kaubawa ke sini?"
"Itulah sebabnya hamba memberanikan diri menghadap paduka, pangeran. Kalau tidak
paduka sendiri turun tangan, akan sukarlah bagi hamba untuk dapat menghaturkan
mereka kepada paduka." Kemudian dengan singkat namun jelas Siong Bu lalu
menceritakan kepada Han Houw akan semua yang telah terjadi, yaitu bahwa dua
orang adik misannya itu telah melarikan diri dan betapa dengan susah payah
akhirnya dia dapat menemukan mereka dan membujuk mereka sampai tiba di kota ini.
"Hamba telah berhasil membujuk mereka sampai ke sini, dan kalau paduka tidak
segera menguasai mereka, kalau sampai mereka lari lagi, akan sukarlah untuk
menangkap mereka kembali. Mereka adalah dua orang dara yang berhati keras,
pangeran. Hamba kini menyerahkan mereka kepada paduka dengan penuh kerelaan
hati." Wajah yang berseri itu nampak makin gembira, akan tetapi suaranya yang terdengar
secara tiba-tiba itu mengejutkan Siong Bu. "Kwan Siong Bu, apa maksudmu begini
baik engkau hendak menyerahkan dua orang adik misanmu kepadaku?"
Akan tetapi Siong Bu segera dapat menguasai kekagetan hatinya. "Tidak ada lain
maksud hati kecuali hendak berbakti kepada paduka, pangeran. Hamba hanya
mengharapkan kemurahan hati paduka untuk keluarga kami."
Han Houw mengangguk-angguk, maklum bahwa dia berhadapan dengan pemuda yang gila
kedudukan dan pahala! Akan tetapi, pemuda semacam ini memang amat berguna bagi
orang-orang besar seperti dia, kareha pemuda atau orang yang gila akan kedudukan
akan dapat mudah menjadi hamba-hamba yang setia. "Bagus, mari antar aku kepada
mereka!" Dengan girang Siong Bu lalu mengantar Han Houw ke rumah penginapan di mana dua
orang adik misannya sedang tidur. Ketika kereta yang membawa pangeran dan Siong
Bu tiba di depan rumah penginapan, dan melihat pangeran itu turun, semua orang
yang berada di depan cepat berlutut menghaturkan hormat karena mereka mengenal
siapa adanya pemuda tampan yang berpakaian indah itu.
Siong Bu langsung membawa sang pangeran sampai ke depan pintu kamar dua orang
dara kembar itu, kemudian dia mengetuk pintu. "Lan-moi! Lin-moi!"
Setelah beberapa kali mengetuk, terdengar jawaban Lin Lin dari dalam. Dua orang
dara itu telah melakukan perjalanan jauh dan mereka lelah sekali maka tadi telah
tidur nyanyak. Mereka kini terkejut mendengar ketukan pada pintu kamar mereka.
"Siapa di luar?" tanya Lin Lin.
"Aku, Lin-moi. Bukalah pintu kamarnya, aku mau bicara, penting sekali!" kata
Siong Bu mendesak dan Han Houw sudah tersenyum gembira ketika mendengar suara
gadis yang merdu dari dalam kamar itu.
"Tunggu sebentar, Bu-ko!" terdengar Lin Lin berkata. Dua orang dara ini terkejut
dan menduga tentu ada bahaya, maka mereka cepat turun dari tempat tidur dan
tergesa-gesa mengenakan pakaian mereka, pakaian ringkas dan memakai sepatu, siap
untuk segera pergi kalau keadaan memaksa. Setelah selesai, barulah Lin Lin dan
Lan Lan menghampiri pintu kamar dan membukanya.
"Lan-moi dan Lin-moi, ini pangeran sudah datang menyambut kalian!" kata Siong Bu
sambil moloncat ke belakang, membiarkan Han Houw memasuki pintu kamar itu. Dua
orang dara itu torkejut bukan main dan mereka mundur kembali ke dalam kamar
dengan mata terbelalak dan muka pucat, menatap wajah pangeran yang tampan dan
tersenyum-senyum itu. Han Houw melangkah masuk dengan gayanya.
"Selamat malam dan selamat berjumpa kembali, dua orang nona kembar yang manis.
Ah, kini kalian nampak semakin manis saja. Keretaku telah menanti di luar,
marilah kalian kuantar pulang..."
"Pu... pulang...?" Kui Lan bertanya, penuh harap. Benarkah pangeran hendak
mengantar mereka pulang ke dusun Pek-jun"
"Ha-ha, tentu saja. Pulang ke istanaku sayang, dan kita akan bersenang-senang,
pesta menyambut kedatangan kalian berdua, nona-nona manis."
"Tidak sudi!" Tiba-tiba Kui Lin membentak dan dia sudah mencabut pedangnya,
diikuti pula oleh Lan Lan. Seperti dua ekor singa betina, dua orang dara kembar
ini dengan pedang di tangan sudah menghadapi sang pangeran, sedikitpun tidak
gentar dan mereka memandang penuh kebencian. Melihat sikap mereka ini, Han Houw
menjadi semakin gembira dan kagum! Belum pernah ada wanita berani atau mau
menolak cintanya, akan tetapi dua orang dara kembar ini menentangnya dengan
penuh kegagahan, dan hal ini merupakan permainkan baru baginya!
"Ha-ha-ha, kalian masih sama gagahnya seperti dulu. Bahkan lebih gagah! Akan
tetapi, enam bulan yang lalu kalian bukan lawanku, apalagi sekarang setelah aku
menjadi jagoan nomor satu di dunia! Ha-ha, kalian boleh menyerangku sesuka hati
kalian, nona-nona manis!"
"Hemm, kedudukanmu saja tinggi, engkau seorang pangeran, akan tetapi watakmu
rendah, engkau hendak memaksa gadis-gadis yang tidak sudi menjadi permainanmu!"
"Lebih baik mati!" Lin Lin membentak dan dia sudah menerjang maju dan menyerang
dengan pedangnya, diikuti oleh lan Lan. Dua orang dara itu menggerakkan pedang
mereka dengan ganas dan kini gerakan mereka memang lebih hebat daripada enam
bulan yang lalu. Hal ini adalah karena mereka selama dua bulan telah menerima
pelajaran ilmu pedang dari Ciang Lok, ketua Hek-eng-piauwkiok. Akan tetapi tentu
saja berhadapan dengan Han Houw, mereka itu tidak ada artinya. Han Houw hanya
tersenyum-senyum saja menghadapi serangan mereka dan begitu tangannya bergerak
cepat, tahu-tahu dua orang dara itu melongo dan memandang pedang mereka yang
telah pindah ke dalam kedua tanga Han Houw! Kiranya pangeran yang amat lihai itu
tadi telah memapaki serangan mereka dengan dorongan kedua tangan yang
mendatangkan hawa pukulan kuat, membuat tangan mereka yang memegang pedang
tertahan, kemudian dalam satu detik itu, tangan kanan dan kiri dari pangeran itu
telah berhasil merebut pedang!
Akan tetapi hanya sejenak saja dua orang dara kembar itu tertegun, karena di
lain saat mereka telah menyerbu lagi dengan nekat, menggunakan kepalan tangan
mereka! Terdengar suara bak-bik-buk ketika empat buah kepalan kecil itu menghujankan
pukulan ke tubuh Han Houw, akan tetapi pangeran itu hanya tersenyum saja, bahkan
lalu berkata, "Lain kali kalau memijiti tubuhku bukan begini caranya, sayang!"
Tentu saja dua orang dara itu terkejut dan makin marah. Kini mereka menyerang ke
arah kedua mata pangeran itu! Han Houw melangkah mundur dan dua kali tangannya
bergerak dan dua orang dara itu terkulai lemas karena sudah kena ditotoknya.
"Kwan Siong Bu! Bawa mereka ini ke dalam kereta!" perintah Han Houw.
Siong Bu masuk dan dia melihat betapa kedua orang piauw-moinya itu sudah rebah
di atas lantai dengan lemah lunglai. Dia lalu memanggul tubuh dua orang adik
misannya itu dan membawa mereka ke dalam kereta. Pangeran Ceng Han Houw
mengikutinya dari belakang dan setelah mereka masuk ke dalam, kereta lalu
dijalankan menuju ke istana di mana Han Houw tinggal kalau dia berada di kota
raja. Semua orang yang melihat peristiwa ini hanya tertawa dan menganggapnya
lucu sekali bahwa ada dua orang dara yang diambil oleh pangeran bersikap
demikian aneh dan berani menentang, juga berita tentang kebolehan pangeran itu
menundukkan dua orang gadis itu segera tersiar di mana-mana dan orang-orang
memuji kelihaian pangeran itu.
Setibanya di istana, Han Houw lalu menjanjikan kedudukan kepada Siong Bu, dan
pemuda yang sejak tadi dalam kereta tidak berani menatap wajah dua orang piauw-
moinya yang memandangnya penuh kebencian itu, menjadi girang bukan main. Apalagi
ketika pangeran itu mengatakan bahwa kelak kalau dia sudah bosan, dia akan
menyerahkan kembali dua orang gadis itu kepada Siong Bu!
Dan seperti telah diceritakan di bagian depan, Siong Bu bertemu dengan Beng Sin,
terjadi perkelahian yang mengakibatkan tewasnya Siong Bu sehingga pemuda ini
tidak sempat menikmati semua yang telah dijanjikan oleh pangeran kepadanya.
Sementara itu, biarpun sudah tertawan, kedua orang dara kembar itu tetap menolak
dengan keras segala bujuk rayu Pangeran Ceng Han Houw! Mereka bertekad lebih
baik mati daripada harus menuruti kehendak pangeran itu, yaitu menyerahkan diri
secara suka rela kepadanya.
"Hemm, kalian benar-benar dua orang dara yang keras hati dan keras kepala!" Han
Houw berkata sambil memandang dua orang dara yang masih lemas tertotok dan rebah
di atas pembaringan kamamya itu. "Kalian telah memperoleh derajat tinggi menjadi
pilihanku, dan kalian berani menolak" Hemm, kalau sekarang juga aku memperkosa
kalian, apakah kalian dapat mengelak?"
Biarpun masih dalam keadaan tertotok dan tidak mampu bergerak, Kui Lan yang
memandang dengan penuh kebencian itu berkata, "Manusia rendah! Apa kaukira kami
tidak akan mampu bunuh diri kelak" Kami telah tertawan, mau bunuh, mau apakan


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terserah, akan tetapi untuk menyerah dengan suka rela, jangan harap!"
Ceng Han Houw adalah seorang pemuda yang angkuh dan terlalu percaya kepada diri
sendiri. Dia anggap dirinya terlalu tinggi. Sebagai seorang putera tunggal Raja
Sabutai, kemudian sebagai putera Kaisar Kerajaan Beng-tiauw, bahkan kemudian
diakui sebagai adik Kaisar Ceng Hwa yang amat menyayanginya, Han Houw menganggap
dirinya seperti seorang pria yang tidak akan mungkin ditolak oleh wanita!
Semenjak masih di utara dulu, wanita manapun akan berlutut dan menyerahkan diri
kepadanya secara suka rela dan penuh pasrah, bahkan penuh gairah. Dia amat
membanggakan diri sendiri, kedudukannya, ketampanannya, kepandaiannya dan yang
terakhir ini kepandaian silatnya. Setiap orang wanita, tidak perduli siapa,
tentu akan berlutut dan siap melayaninya dengan gembira sekali begitu dia
mengejapkan mata memberi isyarat, demikianlah anggapannya selalu. Maka, dapat
dibayangkan betapa marah dan penasaran, juga terhina dan tersinggung
keangkuhannya ketika dia menghadapi dua orang dara kembar yang berani menolaknya
ini! Padahal dua orang dara kembar itu hanyalah puteri seorang manusia rendah
macam Kui Hok Boan! Dan juga dua orang dara kembar itu bukanlah wanita-wanita
secantik bidadari, sungguhpun mereka itu amat manis. Dan mereka berani menampik
dia! Hal ini benar-benar amat menyakitkan hati Ceng Han Houw.
Entah sudah berapa banyak wanita, baik perawan, janda maupun isteri orang, yang
dengan suka rela jatuh ke dalam pelukannya dan melayaninya dengan senang hati.
Pernah ada seorang wanita, ketika dia baru berada di istana Kerajaan Beng, yaitu
puteri seorang pembesar kota raja yang menggerakkan berahinya, bersikap agak
"jual mahal" pula terhadap dirinya. Dia merayunya dan setelah dia berhasil
menundukkan wanita itu, yang kemudian berbalik malah amat mencintanya, untuk
memperlihatkan kekuasaannya terhadap wanita, dia menyuruh wanita cantik ini
menjilati sepatunya dan mengemis cintanya! Demikian sombong watak Han Houw yang
terdorong oleh kebanggaannya akan diri sendiri.
Dan kini dua orang dara kembar itu menampiknya, bahkan berani memaki dan
mengutuknya. Kebanggaannya, yang telah dibangunnya semacam benteng awan itu kini
hancur oleh penolakan dua orang dara ini! Dia tidak sudi untuk melakukan
perkosaan kepada wanita, karena perkosaan membuktikan bahwa wanita itu tidak mau
kepadanya! Dan ini jelas merupakan pengakuannya bahwa dia kalah oleh wanita itu,
bahwa wanita itu tidak mau tunduk kepadanya. Maka, dia tidak sudi memperkosa,
dia masih belum putus asa. Dengan uring-uringan pangeran ini lalu keluar dari
kamar itu, memerintahkan dua orang wanita pembujuk memasuki kamar itu untuk
membujuk agar dua orang dara kembar itu suka melayaninya dengan suka rela.
Akan tetapi, begitu dua orang dara kembar itu terbebas dari totokan setelah
jalan darahnya dengan sendirinya mengalir lancar, mereka mengamuk dan dua orang
wanita tukang bujuk yang sedang membujuk-bujuk mereka, menggambarkan betapa enak
dan senangnya menjadi selir-selir pangeran itu, lari sambil mengaduh-aduh,
keluar dari kamar itu dengan mulut berdarah dan beberapa buah gigi mereka copot!
Kini marahlah Han Houw. Dia sendiri memasuki kamar itu dan ketika Lan Lan dan
Lin Lin menyambutnya dengan serangan nekat, kembali dengan mudah dia merobohkan
mereka dengan totokan. Dipanggilnya pengawal yang segera datang berlari-lari.
Dua orang pengawal itu bersikap hormat dan menanti perintah.
"Belenggu kaki tangan mereka, akan tetapi perlakukan mereka dengan halus dan
masukkan mereka ke dalam kamar tahanan di belakang!" perintahnya. Dua orang
pengawal itu cepat mengambil tali sutera dan membelenggu kaki tangan due orang
gadis yang lumpuh tertotok itu, kemudian dengan hati-hati mereka memanggul dua
orang gadis itu keluar kamar. Mereka adalah pengawal-pengawal yang taat karena
takut terhadap pangeran itu dan karena maklum bahwa dua orang gadis cantik ini
adalah calon selir-selir pangeran, tentu saja mereka tidak berani bersikap kasar
dan kurang ajar. Kepala pengawal yang dipanggil segera menghadap.
"Jaga mereka baik-baik jangan sampai lolos. Akan tetapi jangan ada yang bersikap
kasar, biarkan mereka berdua sendiri saja di kamar tahahan dan jangan beri makan
atau minum sampai mereka minta. Kalau mereka minta makan atau minum, jangan beri
akan tetapi beri tahu padaku!" Kepala pengawal memberi hormat dan menyatakan
baik, kemudian pergi meninggalkan Han Houw yang masih panas hatinya. Sungguh dua
orang dara kembar itu membuat dia kecewa dan marah sekali, juga amat tersinggung
hatinya. Dua orang bocah dusun itu berani menampiknya!
Setiap malam Han Houw sengaja makan minum di dalam kamar tahanan itu untuk
menyiksa dua orang dara yang tentu saja kelaparan itu! Dia sengaja melakukan ini
tanpa bicara apa-apa, hanya makan dan minum dengan lahapnya. Maksudnya agar dua
orang gadis itu tidak kuat bertahan lagi dan bertobat, tunduk dan menyerah
kepadanya karena kehausan dan kelaparan memaksa mereka. Namun, sejak malam
pertama, Lan Lan dan Lin Lin selalu memandang kepada pemuda yang makan minum itu
sama sekali bukan dengan mata penuh keinginan untuk makan dan minum itu,
melainkan sebaliknya pandang mata mereka itu penuh dengan kebencian! Mereka
berdua sudah saling bermufakat untuk mempertahankan diri sampai mati, selagi
masih hidup tidak akan menyerahkan diri kepada pangeran yang hanya tampan
wajahnya namun buruk sekali wataknya itu. Dan andaikata mereka akhirnya
diperkosa di luar kehendak mereka, mereka sudah bermufakat pula untuk membunuh
diri begitu terbuka kesempatan! Pendeknya, jangan harap pangeran itu akan dapat
membuat mereka menyerahkan diri secara suka rela!
Penyerahan diri seorang wanita memang terdorong atau didasari bermacam pamrih!
Akan tetapi selama didasari pamrih, penyerahan diri itu adalah kotor dan rendah.
Ada wanita menyerahkan diri kepada seorang pria karena menginginkan harta
kekayaan, atau karena menginginkan kedudukan tinggi, ada pula yang menyerahkan
diri kepada seorang pria karena dorongan nafsu berahi semata. Hubungan badan
dengan dasar seperti ini adalah kotor. Hanya kalau ada cinta kasih, maka segala
perbuatan, termasuk hubungan badan antara wanita dan pria, adalah indah dan
wajar dan benar. Ceng Han Houw adalah seorang pemuda yang memiliki segala-galanya dalam
keduniawian. Berkedudukan tinggi, kaya raya, tampan, masih muda, dan memiliki
kepandaian tinggi, baik dalam hal bun (sastera) dan bu (silat). Akan tetapi se-
mua itu tidak ada artinya, bahkan hanya mendatangkan kerusakan dan kekacauan
belaka, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain, selama dia tidak me-
miliki batin yang bersih. Batinnya kotor oleh nafsu-nafsu keinginan yang berupa
nafsu ingin menang sendiri! Ingin tinggi sendiri, nafsu berahi dan sebagainya.
Dia begitu sombong sehingga dia menganggap semua wanita pasti akan bertekuk
lutut di depannya, bahwa semua wanita pasti akan dengan senang dan suka rela
menyerahkan diri kepadanya kalau dia menghendakinya! Sungguh suatu pandangan
yang sesat karena keangkuhan! Sekali ini dia kecelik, karena sampai tiga hari
tiga malam, biarpun setiap malam dia menggoda dengan makan minum di depan dua
orang dara kembar itu, Lan Lan dan Lin Lin tetap saja tidak mau tunduk, tidak
pernah minta-minta air atau makan, biarpun tubuh mereka sudah mulai lemas dan
setengah pingsan setelah lewat tiga hari tiga malam!
*** Sin Liong merasa bingung sekali. Perasaan hatinya terpecah menjadi dua, sebagian
dia ingin mencari-cari musuh besarnya, yaitu Kim Hong Liu-nio, dan sebagian lagi
dia ingin mencari Bi Cu. Setelah dia mencegah terbunuhnya Kim Hong Liu-nio di
tangan ayah kandung, yaitu Cia Bun Houw yang mendesak wanita iblis itu bersama
isterinya, Sin Liong lalu pergi dan diam-diam mengikuti jejak Kim Hong Liu-nio.
Hatinya merasa lega bahwa dia telah mencegah Kim Hong Liu-nio tewas di tangan
ayah kandungnya dan ibu tirinya! Pertama, berarti dia telah membalas budi Kim
Hong Liu-nio ketika iblis betina itu menyelamatkan dia, Bi Cu, dan Tiong Pek
pada waktu keluarga Na Ceng Han diserbu musuh. Ke dua, dia tidak ingin wanita
iblis itu terbunuh orang lain kecuali oleh tangannya sendiri untuk membalas
kematian ibu kandungnya. Dan ke tiga, dia telah berhasil memperlihatkan kepada
ayah kandungnya dan isteri ayah kandungnya itu bahwa dia bukanlah seorang bocah
yang lemah! Akan tetapi, ketika dilihatnya jejak Kim Hong Liu-nio akhirnya menuju ke utara,
dia dapat menduga bahwa iblis betina itu tentu kembali keluar tembok besar, maka dia. tidak
melanjutkan pengejarannya. Dia harus menemukan dulu Bi Cu karena dia
mengkhawatirkan keselamatan dara itu. Bi Cu adalah seorang dara sebatang kara.
Hidup sendirian tidak ada yang melindunginya. Maka dia tidak mungkin membiarkan
Bi Cu hidup terlantar seperti itu. Kalau dia ingat akan semua yang telah
dialaminya bersama Bi Cu, hatinya tidak tega dan tidak dapat membiarkan dara itu
hanyut dibawa nasibnya sendiri. Tidak, dia harus dapat menemukan Bi Cu, dia
harus melindungi dara itu. Ada sesuatu yang mendorongnya untuk melindungi dara
itu. Maka, melihat Kim Hong Liu-nio ke utara, dia lalu kembali ke kota raja. Dia
tidak akan ke utara lebih dulu kalau tidak bersama Bi Cu, karena bukankah dara
itu hendak menyelidiki kematian ayahnya"
Akan tetapi dia tidak tahu ke mana harus mencari Bi Cu. Setibanya di kota raja,
Sin Liong lalu menghubungi para pengemis di pasar dan bertanya-tanya tentang Bi
Cu yang terkenal dengan sebutan Kim-gan Yan-cu di antara mereka. Namun, para
pengemis muda itu hanya menggeleng kepala dengan sikap duka. Mereka semua
mencinta Kim-gan Yan-cu dan setelah pemimpin wanita ini tidak ada, kehidupan
merekapun kocar-kacir dan cerai-berai, tidak ada lagi pengatur siasat yang
pandai. Karena tidak berhasil mendapatkan keterangan tentang dara itu di kota raja,
akhirnya Sin Liong lalu mengambil keputusan untuk pergi saja ke dusun Pek-jun.
Dia hendak bertanya kalau-kalau Lan Lan atau Lin Lin atau siapa saja dari
keluarga Kui itu mengetahui tentang Bi Cu. Selain itu, dia kini juga hendak
secara langsung menegur Kui Hok Boan, dan kalau perlu memberi hajaran kepada
orang yang hatinya kejam ini.
Sin Liong tiba di dusun itu di waktu senja. Dia sengaja menanti sampai malam
tiba, baru dengan hati-hati dia menghampiri rumah yang nampak sunyi itu. Sungguh
amat mengherankan hatinya, rumah itu sunyi bukan main dan biarpun malam sudah
tiba, akan tetapi tidak nampak ada lampu penerangan di rumah itu. Apakah
keluarga Kui sudah pindah, pikirnya. Dia terus memasuki pekarangan dan akhirnya
tiba di halaman rumah itu. Ah, ternyata rumah itu kosong. Tidak ada sepotong pun
perabot rumah di halaman depan. Dia terus masuk karena pintu depan terbuka, akan
tetapi di dalam yang gelap itupun kosong saja, tidak ada sepotongpun perabot
rumah. Tentu sudah pindah. Dia terlambat datang.
AKAN tetapi ketika Sin Liong hendak keluar, dia mendengar suara orang menangis
di sebelah dalam rumah yang gelap kosong itu. Hampir Sin Liong lari, bulu
tengkuk itu bangkit berdiri karena seremnya. Rumah kosong gelap dan ada suara
orang menangis! Tentu setan, pikirnya. Akan tetapi, penggemblengan dirinya
semenjak kecil membuat Sin Liong seorang pemberani. Biarpun permainan pikiran
yang membayangkan hal yang ngeri-ngeri dan bukan-bukan itu mendatangkan rasa
takut, namun dia nekat memasuki rumah kosong itu, biarpun hatinya kebat-kebit,
akan tetapi seluruh panca inderanya waspada dan siap menghadapi apapun juga.
Berindap-indap dia menghampiri suara tangis itu dan ternyata suara itu datang
dari sebuah kamar dan dari luar kamar itu sudah nampak cahaya penerangan kecil
keluar dari kamar itu. Bukan setan, pikirnya. Kalau setan apakah perlu membuat api penerangan" Bukan,
bukan setan, melainkan manusia yang sedang dirundung susah hati. Dengan hati-
hati Sin Liong mendekati pintu kamar itu.
"Huuu-hu-huuu... anak-anakku... anak-anakku... kalian di mana saja..." Hu-huuu,
mengapa aku kalian tinggal sendirian?" Orang itu menangis terguguk dengan amat
menyedihkan. Tergerak hati Sin Liong oleh rasa iba dan dia sudah menyentuh daun
pintu hendak membukanya, akan tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan main karena
suara menangis itu kini berubah sama sekali, menjadi tertawa terbahak-bahak!
"Ha-ha-ha-ha! Kalian hendak menghalangi aku" Ha-ha-ha, aku suka dia, dia manis
cantik, hemmm... Tee Kang, kau hendak menghalangi aku" Ha-ha-ha, kau bosan
hidup! Aku suka kepada Cui Hwa, dia manis, ha-ha-ha...! Aku memang suka wanita
cantik, siapa perduli" Siang Li, kau janda manis dan pandai merayu... ha-ha, dan
kaupun hebat sekali, Liong Si Kwi! Sayang tanganmu buntung, tapi kau memang
pandai bercinta, ha-ha-ha! Eh, Bhe Coan, kau hendak menghalangi aku bermain
cinta dengan isterimu" Ah, kau bosan hidup, harus kubunuh kau agar binimu dapat
menemaniku setiap malam, ha-ha-ha...!"
Wajah Sin Liong berubah pucat mendengar ini semua. Hampir dia tidak percaya akan
telinganya sendiri. Itulah suara Kui Hok Boan! Jelas, apalagi telah menyebut-
nyebut nama ibunya segala. Dan nama Bhe Coan, ayah dari Bi Cu! Karena tidak
percaya kepada telinganya sendiri, Sin Liong cepat membuka pintu untuk melihat
dengan mata sendiri. Dan apa yang dilihatnya membuat dia terbelalak seperti
melihat setan! Di situ, di dalam kamar kosong itu, yang sama sekali tidak ada
perabotnya, Kui Hok Boan duduk di atas lantai, di atas sehelai tikar butut dan
pakaian orang inipun butut seperti pakaian pengemis, wajahnya kotor tak
terpelihara, matanya liar dan merah, mata orang gila! D! sudut kamar itu
terdapat sebatang lilin bernyala.
"Paman Kui...!" Sin Liong berseru memanggil.
Kui Hok Boan yang sudah gila itu menengok, memandang kepadanya lalu tertawa
lagi, tertawa bergelak, lalu berkata, "Ha-ha, kau mau mengambil Lan Lan dan Lin
Lin" Ha-ha, mereka telah menjadi kekasih-kekasih pangeran, dan aku menjadi
Dewa Guntur 2 Si Pisau Terbang Pulang Karya Yang Yl Kepala Iblis Nyi Gandasuri 1
^