Pencarian

Pendekar Lembah Naga 8

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 8


Semua penjaga tertegun. Mereka tentu saja sudah mendengar nama Raja Sabutai di
utara yang pernah menggegerkan kota raja dengan penyerbuan-penyerbuannya itu.
Akan tetapi tentu saja merekapun tidak percaya bahwa raja besar yang ditakuti
atau pernah ditakuti itu mengirim utusan berupa seorang wanita cantik dan
seorang pemuda tanggung! "Toanio, engkau tentu saja boleh mengaku utusan dari manapun, akan tetapi apa
tandanya dan bagaimana kami bisa tahu bahwa kalian adalah utusan raja" Apakah
kalian mempunyai kenalan seorang pembesar di kota raja" Hanya dengan perantaraan
pembesar yang memang mempunyai kekuasaan saja kami dapat mempercaya."
"Suci, perlihatkan benda pemberian ibu itu," tiba-tiba Han Houw berkata dalam
bahasa Mongol kepada sucinya. Diapun merasa terhina dan tidak senang. Katanya
kaisar adalah ayah kandungnya, jadi dia adalah seorang pangeran, akan tetapi
kini penjaga-penjaga biasa saja melarangnya untuk memasuki istana ayah
kandungnya! Kim Hong Liu-nio mengerutkan alisnya. "Harap kalian suka memanggil komandan
pengawal agar kami dapat bicara dengan dia sendiri!"
Ketika itu, kaisar sedang sakit, semua penjaga mengalami suasana yang sunyi dan
tertekan karena mereka tidak diperkenankan untuk bergembira seperti biasa.
Suasana ini menegangkan dan mencekam hati, membuat mereka menjadi muram dan
mudah bercuriga. Akan tetapi melihat pakaian wanita dan pemuda tanggung itu,
mereka menduga bahwa dua orang ini tentu bukan orang kang-ouw yang hendak
menyelundup sebagai mata-mata atau hendak melakukan sesuatu yang tidak baik
terhadap kaisar. Betapapun juga, mereka tidak kehilangan kewaspadaan dan setelah
kini wanita cantik itu minta dihadapkan kepada komandan, seorang di antara
mereka segera lari ke sebelah dalam untuk melaporkan kepada komandan jaga yang
berada di dalam kantor. Komandan jaga itu adalah seorang perwira gemuk pendek dan galak, akan tetapi di
samping kegalakannya ini, dia juga mempunyai watak mata keranjang. Ketika
mendengar laporan bahwa ada seorang wanita cantik yang minta menghadap kaisar,
maka dia cepat-cepat menghampiri cermin, mengurut kumisnya dan membereskan
pakaiannya, kemudian bergegas keluar menuju ke pintu gerbang di mana dua orang
itu masih dikepung oleh anak buahnya.
Cuping hidung perwira gemuk itu kembang-kempis ketika dia melihat bahwa wanita
yang datang dan hendak bertemu dengan dia benar-benar adalah seorang wanita yang
cantik manis sekali! Dia menyeringai, kemudian dengan suaranya yang sudah biasa
menghardik dan membentak bawahannya dia berkata,
"Minggir semua! Biarlah aku memeriksanya!"
Para anak buah pasukan penjaga lalu minggir dan mundur menjauh. Perwira gendut
itu menghampiri Kim Hong Liu-nio, matanya yang berminyak itu mengamati wajah
wanita itu, kemudian sinar matanya meraba-raba dari atas ke bawah seperti hendak
menggerayangi wajah dan tubuh yang padat di balik pakaian yang mewah itu.
Menyaksikan sikap ini saja, diam-diam Kim Hong Liu-nio sudah merasa mendongkol
bukan main. Akan tetapi dia maklum bahwa di tempat ini dia harus dapat menahan
kesabarannya dan tidak boleh menimbulkan keributan. Maka dia segera berkata,
"Ciangkun, kami berdua adalah utusan dari utara, dari Raja Sabutai untuk
menghadap sri baginda kaisar,"
Perwira itu agaknya baru sadar bahwa wanita itu mengajak dia bicara. Tadi dia
memandang seperti orang terpesona karena memang dia tertarik sekali oleh
kecantikan wanita itu. "Apa" Ah, menghadap sri baginda kaisar" Mana bisa, beliau sedang sakit dan..."
"Justeru karena mendengar beliau sakit maka Sri Baginda Raja Sabutai mengutus
kami untuk menengok dan melihat keadaan sri baginda kaisar," jawab Kim Hong Liu-
nio cepat-cepat. Perwira itu berpikir sejenak, lalu berkata, "Hal ini tidak dapat dilakukan
secara begitu mudah dan sembarangan. Akan saya laporkan dulu ke dalam, kepada
kepala pengawal dan sementara itu kalian harus menanti di dalam kantorku untuk
pemeriksaan. Kalian harus diperiksa."
"Diperiksa?" Kim Hong Liu-nio bertanya.
"Ya, diperiksa kalau-kalau kalian membawa senjata. Aku sendiri yang harus
memeriksa, karena setiap orang yang ingin memasuki istana tanpa ada surat ijin
atau surat perintah resmi, harus dicurigai dan diperiksa."
"Akan tetapi, aku tidak membawa senjata dan dia ini... tentu saja dia membawa
pedang karena dia adalah seorang pangeran, dia putera Sri Baginda Raja Sabutai!"
Agaknya perwira itu tidak percaya dengan keterangan ini, akan tetapi karena
pikirannya sudah membayangkan betapa dia akan "memeriksa" atau menggeledah tubuh
wanita ini untuk mencari senjata, padahal tentu saja maksudnya agar memperoleh
kesempatan untuk menggerayangi tubuhnya dengan kedua tangannya dan kalau
mungkin, siapa tahu, membujuk wanita itu agar suka melayaninya di kamar
kantornya, maka dia tidak begitu menaruh perhatian.
"PANGERAN atau bukan, harus diperiksa dulu. Marilah, nona, mari ikut bersamaku
ke dalam kantorku untuk digeledah, baru aku akan melaporkan ke dalam apakah
kalian dapat diperkenankan masuk ataukah tidak." Sambil berkata demikian, tanpa
ragu-ragu lagi perwira itu lalu mengulurkan tangan hendak menggandeng tangan
yang kecil halus berkulit putih itu.
Akan tetapi dia tidak tahu bahwa Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang
selama hidupnya belum pernah bermesraan dengan pria, belum pernah disentuh pria,
maka melihat dia mengulurkan tangan hendak menggandeng, hampir saja tangannya
bergerak membunuh perwira itu dengan sekali pukul. Untung bahwa dia masih
teringat dan cepat dia menarik tangannya sehingga pegangan perwita itu luput dan
Kim Hong Liu-nio melangkah mundur sambil mengerutkan alisnya.
"Ciangkun, kami adalah orang-orang terhormat yang tidak selayaknya digeledah.
Kalau memang engkau hendak melaporkan keadaan kami ke dalam istana, silakan,
kami akan menunggu di sini!" kata Kim Hong Liu-nio dengan suara tegas.
"Hemm, tidak bisa! Kalian harus kugeledah. Mari, kalian ikutlah aku memasuki
kantorku." Melihat sikap keras ini, Kim Hong Liu-nio menjadi makin marah. "Kalau kami tidak
sudi digeledah?" "Hemm, kalau begitu kalian harus ditahan!"
"Bagus! Dengan tuduhan apa pula?"
"Tuduhan bahwa kalian mungkin sekali mata-mata musuh!"
Hampir saja Kini Hong Liu-nio tidak dapat menahan lagi kesabarannya, akan tetapi
pada saat itu muncul seorang laki-laki berpakaian panglima yang datang dari
dalam istana dengan langkah kaki tergesa-gesa. Panglima ini adalah seorang laki-
laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, berpakaian sebagai panglima yang
gagah, sikapnya gagah dengan wajah jantan, sepasang matanya yang lebar itu
berpandangan tajam dan jujur, tubuhnya tinggi besar tegap dan kelihatan jelas
bahwa dia memiliki tenaga yang besar. Seorang panglima yang benar-benar gagah
perkasa, perutnya kecil, dadanya bidang, tidak seperti kebanyakan panglima yang
perutnya besar-besar. Semua orang, termasuk perwira pendek gemuk, cepat bersiap dan memberi hormat
kepada panglima yang keluar ini. Panglima itu membalas penghormatan mereka dan
ketika dia melihat wanita cantik berpakaian indah dan seorang pemuda tanggung
berdiri di situ, dia tercengang. Apalagi ketika dia menatap wajah Han Houw, dia
kelihatan terkejut dan cepat dia bertanya, "Apakah yang terjadi di sini"
Siapakah adanya nona dan orang muda ini?"
Si perwira tadi cepat menjawab, "Mereka ini adalah orang-orang mencurigakan yang
katanya hendak mohon menghadap sri baginda kaisar."
Panglima itu kelihatan kaget dan kini kembali ia memandang dua orang itu penuh
perhatian, sambil dia bertanya kepada perwira gendut. "Dan kau sudah
melaporkannya ke kantor pengawal di dalam?"
"Be... belum..."
"Kenapa belum?" panglima itu menghardik.
"Karena... karena... saya curiga dan hendak menggeledah mereka dulu..."
Panglima itu kelihatan marah. Dia sudah tahu praktek-praktek kotor yang pernah
didengarnya dilaksanakan oleh para penjaga pintu gerbang, gangguan-gangguan
terhadap wanita cantik, uang-uang sogokan bagi mereka yang ingin masuk, dan
sebagainya. Akan tetapi sebelum dia memperlihatkan kemarahannya kepada perwira
gendut itu, Kim Hong Liu-nio yang melihat sikap panglima ini segera melangkah
maju. "Ciangkun, kami berdua datang dari utara, saya adalah utusan dari Sri Baginda
Sabutai..." "Ahh...!" Panglima itu terkejut sekali.
"Dan dia ini adalah pangeran dari kerajaan kami."
Makin kagetlah panglima itu dan cepat dia menjura. "Maafkan kami dan maafkan
sikap para penjaga kami," dia mengerling penuh kemarahan kepada perwira gendut
yang melangkah mundur dengan sikap jerih. "Akan tetapi, hendaknya nona memahami
peraturan kami bahwa yang hendak memasuki istana harus memiliki tanda pengenal
diri yang sah. Nona sebagai utusan tentu saja membawa tanda kuasa atau surat
perintah Raja Sabutai sebagai utusan beliau."
"Ciangkun, kami hanya membawa ini, yang memberikan adalah sang permaisuri dari
kerajaan kami sendiri."
Kim Hong Liu-nio mengeluarkan kotak kecil dan membuka tutupnya dengan sikap
hormat. Ketika panglima itu melihat sebuah kalung di dalamnya dan sesampul
surat, dia makin terkejut. Tentu saja dia mengenal benda pusaka kerajaan itu,
kalung kaisar yang tidak ada ke duanya! Dan pembawa atau pemegang benda pusaka
ini berarti telah memperoleh kekuasaan dari sri baginda kaisar sendiri! Maka
cepat-cepat dia memberi hormat dan untuk kedua kalinya dia melirik penuh
kemarahan kepada perwira gendut yang menjadi pucat mukanya.
"Saya panglima pengawal Lee Siang menghaturkan selamat datang dan mohon maaf
sebesarnya atas penyambutan yang tidak layak ini karena kami tidak tahu
sebelumnya akan kedatangan paduka. Silakan masuk bersama saya untuk melapor
kepada pengawal dalam istana."
Kim Hong Liu-nio tersenyum dan Ceng Han Houw juga bernapas lega. Dengan muka
manis wanita itu menghaturkan terima kasih kepada panglima yang gagah itu,
kemudian bersama sutenya dia melangkah masuk diiringkan oleh panglima itu.
Panglima itu bukanlah orang sembarangan, melainkan seorang kepercayaan kaisar
karena dia bersama kakaknya yang bernama Lee Cin, sejak muda telah menjadi
panglima pengawal Kim-i-wi (Pasukan Pengawal Baju Emas). Dalam usia empat puluh
tahun itu, Panglima Lee Siang telah menjadi duda, kematian isterinya tanpa
meninggalkan seorangpun anak keturunan. Dan biarpun isterinya telah meninggal
lima tahun yang lalu, sampai sekarang dia belum juga mau beristeri lagi.
Kim Hong Liu-nio melihat betapa penjagaan amat ketat, makin ke dalam istana,
makin hebat dan kuatlah penjagaannya sehingga sepasukan besar musuhpun akan
sukar menembus istana yang dijaga kuat ini. Dia tidak tahu bahwa hal ini berbeda
dari biasanya. Dia tidak tahu pula bahwa di dalam istana terjadi ketegangan-
ketegangan, bukan hanya karena kaisar menderita penyakit yang agak berat, akan
tetapi terutama sekali karena adanya desas-desus bahwa akan timbul pemberontakan
di dalam istana! Karena itulah, maka para panglima pengawal, termasuk Lee Siang
dan kakaknya, Lee Cin, nampak sibuk selalu mengatur penjagaan untuk mencegah
terjadinya desas-desus tentang pemberotakan itu.
Panglima Lee Siang mengajak mereka berhenti sebentar di ruangan dalam yang luas,
di mana berkumpul beberapa orang berpakaian panglima yang sudah berusia tua, dan
ada pula yang berpakaian sebagai pembesar sipil. Akan tetapi semua menunjukkan
bahwa mereka itu adalah pembesar-pembesar tinggi. Kim Hong Liu-nio dan Han Houw
hanya berdiri di tempat agak jauh ketika mereka melihat betapa Panglima Lee
Siang bercakap-cakap lirih dengan mereka itu, memperlihatkan isi kotak kecil dan
mereka itupun kelihatan terkejut dan tegang. Mereka semua memandang kepada Han
Houw dan akhirnya Panglima Lee mengajak mereka berdua untuk melanjutkan lagi
perjalanan melalui lorong-lorong dan ruangan-ruangan indah, agaknya telah
memperoleh persetujuan para pembesar itu.
Ceng Han Houw menjadi kagum bukan main melihat kemewahan dan keindahan di dalam
istana ini. Bukan main besarnya istana itu, dan di setiap ruangan terdapat
perabot-perabot ruangan yang amat indah dan megah. Di setiap ruangan atau lorong
tentu terdapat pengawal-pengawal yang berjaga dengan berdiri tegak dan sikap
waspada, dan di sana-sini terdapat pula dayang-dayang istana yang cantik-cantik,
sutera-sutera beraneka warna bergantungan di mana-mana dan tidak nampak sedikit
pun debu di dalam ruangan-ruangan itu.
Akhirnya tibalah mereka di depan sebuah kamar besar dan kembali di depan kamar
ini terdapat sepasukan pengawal yang amat gagah karena pakaian mereka semua
terdiri dari baju bersulam benang emas. Inilah pasukan Kim-i-wi yang terkenal,
pasukan pengawal pribadi kaisar yang terdiri dari orang-orang yang gagah
perkasa. Ketika melihat dua orang ini dikawal oleh panglima mereka sendiri, para
pengawal itu cepat memberi hormat dan memberi jalan. Dua orang dayang cantik
membukakan pintu dan Panglima Lee mengawal dua orang tamu itu memasuki kamar.
Kamar itu indah sekali dan amat luas. Kaisar nampak rebah terlentang dengan
bantal tinggi mengganjal kepala dan punggung, wajahnya pucat akan tetapi
sikapnya tenang. Banyak orang berlutut di atas lantai menghadap ke pembaringan
sri baginda, terdapat beberapa orang laki-laki tua berpakaian sipil, ada juga
yang berpakaian panglima, dan ada pula seorang laki-laki muda berpakaian mewah.
Pemuda ini adalah Pangeran Ceng Su Liat, seorang di antara pangeran-pangeran
yang ada di kerajaan itu. Juga di dalam kamar besar ini terdapat sembilan orang
pengawal yang selalu memegang tombak di tangan, siap untuk melindungi kaisar
apabila terjadi sesuatu. Dayang-dayang cantik dan muda berkumpul di sudut, siap
melakukan segala perintah kaisar.
Suasana dalam ruangan itu sunyi dan agaknya semua orang tidak berani bergerak
karena kaisar sedang beristirahat. Akan tetapi kaisar tidak tidur karena ketika
melihat masuknya Kim Hong Liu-nio dan Ceng Han Houw yang dikawal oleh Panglima
Lee Siang, sri baginda kaisar mengangkat muka memandang.
Lee Siang lalu mengajak dua orang itu berlutut begitu memasuki pintu, kemudian
menggeser kaki mendekat ke pembaringan. Akan tetapi sejak tadi, perhatian kaisar
sudah tercurah kepada Han Houw yang beberapa kali mengangkat muka memandang,
akan tetapi begitu bertemu dengan pandangan kaisar, dia segera menunduk kembali.
Keadaan yang amat angker di dalam kamar itu membuat jantung berdebar tegang
juga. Segala sesuatu di dalam kamar itu penuh wibawa yang menakutkan!
"Mohon beribu ampun dari paduka sri baginda kaisar atas kelancangan hamba
mengawal masuk dua orang utusan dari Sri Baginda Sabutai yang mohon menghadap,"
kata Panglima Lee Siang dengan suara halus agar tidak mengejutkan kaisar.
Akan tetapi kaisar yang sejak tadi memperhatikan Han Houw, menjadi tertarik
sekali mendengar disebutnya nama Sabutai, dan kaisar segera miringkan tubuhnya
menghadapi Han Houw yang masih berlutut.
"Utusan Sabutai...?"
Kim Hong Liu-nio cepat memberi hormat lalu mengeluarkan kotak itu, mengangkatnya
tinggi di atas kepala sambil berkata dengan kepala menunduk. "Hamba Kim Hong
Liu-nio diutus oleh yang mulia Permasuri Khamila untuk menghaturkan isi kotak
ini kepada paduka yang mulia sri baginda kaisar!"
"Kha... Khamila...?" Kaisar terbelalak dan wajahnya berseri sejenak, kemudian
dia mengangguk kepada panglima pengawal lain yang sudah berusia enam puluh tahun
dan yang berlutut di dekat pembaringan. Panglima ini adalah panglima pengawal
Lee Cin yang setia. Panglima ini lalu menghampiri Kim Hong Liu-nio, menerima
kotak itu dan membukanya untuk meneliti bahwa isinya tidak mengandung sesuatu
yang membahayakan kaisar. Setelah melihat bahwa kalung dan sampul surat itu
tidak mengadung sesuatu dan yang mencurigakan, dia lalu menyerahkan kotak yang
sudah dibukanya kepada kaisar. Kaisar mengambil kalung dan sampul surat itu.
Sejenak Kaisar Ceng Tung yang dibantu oleh dua orang dayang duduk dan bersandar
dengan bantal di punggung, memandang kalung itu. Wajahnya termenung karena
memang kaisar ini terkenang akan Khamila, permaisuri Sabutai yang menjadi
kekasihnya, wanita yang sesungguhnya berkenan merampas hatinya dan amat
dicintanya. Dia teringat bahwa dia telah memberikan kalung itu kepada Khamila
ketika mereka harus saling berpisah. Dibelainya kalung itu di antara jari-jari
tangannya, kalung yang dia percaya selama ini tentu telah tergantung di leher
yang panjang, berkulit putih halus dan amat dikenalnya itu. Kemudian kaisar
teringat bahwa dia tidak berada seorang diri di dalam kamar, maka kalung itupun
digenggamnya erat-erat dan dia lalu membuka sampul surat dan dibacanya huruf-
huruf tulisan Khamila! Sri Baginda Kaisar Ceng Tung pujaan hamba!
Perkenankardah hamba memperkenalkan anak Ceng Han Houw kepada paduka, dan
sudilah paduka memberkahi anak yang haus akan doa restu dan kasih sayang
ayahandanya itu. Hamba yang rendah, Khamila Kaisar Ceng Tung memejamkan matanya dan surat itu terlepas dari jari-jari
tangannya, melayang turun ke atas dadanya. Sejenak terbayanglah wajah yang
cantik jelita dan lembut, terngiang-ngiang di telinganya suara yang merdu halus
itu. Kemudian dia membuka mata dan menoleh, sepasang mata kaisar itu agak basah
ketika dia memandang kepada Han Houw.
"Namamu Han Houw...?" tanyanya.
Ceng Han Houw terkejut, cepat dia memberi hormat sampai dahinya membentur
lantai. "Kauangkat mukamu dan pandang padaku!" kata kaisar dengan halus.


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Han Houw mengangkat mukanya memandang dan dia melihat wajah seorang yang amat
tampan dan pucat, yang memandang kepadanya dengan penuh perasaan haru.
"Majulah ke sini!" perintah kaisar.
Ceng Han Houw merasa takut, akan tetapi dari belakangnya, sucinya berbisik,
"Majulah...!" Dia lalu menggeser kakinya maju menghampiri pembaringan. Kaisar lalu
menggerakkan tangannya, menyentuh kepala anak laki-laki yang usianya sudah
hampir dewasa itu, kemudian dia mengambil kalung pusaka kerajaan itu dan
mengalungkan ke leher Han Houw. Semua orang terkejut melihat ini, karena kalung
itu adalah benda yang biasanya hanya dipakai oleh para pangeran sebagai tanda
bahwa dia adalah keturunan darah keluarga kaisar!
"Ketahuilah kalian semua yang hadir. Ini adalah Ceng Han Houw, Pangeran Ceng Han
Houw, seorang puteraku! Ibunya adalah puteri yang mulia dari utara, hendaknya
dia diperlakukan sebagai seorang pangeran, puteraku!"
Semua orang menyatakan setuju dan memberi hormat dengan berlutut. Pada saat itu,
dari pintu muncul pula seorang pemuda dan ketika Kim Hong Liu-nio menoleh, dia
terkejut bukan main. Pemuda yang baru muncul ini seperti pinang dibelah dua saja
kalau dibandingkan dengan sutenya. Wajah mereka begitu mirip!
"Pangeran mahkota datang menghadap sri baginda!" seorang dayang memberitahukan
dengan suara halus. Kaisar mengangkat muka dan Panglima Lee Siang lalu menarik tangan Han Houw agar
mundur dan bersama Kim Hong Liu-nio berlutut di pinggir untuk memberi jalan
kepada pangeran mahkota yang baru tiba. Pangeran muda ini bukan lain Pangeran
Ceng Hwa, yaitu pangeran yang telah dipilih untuk menjadi pangeran mahkota,
calon pengganti kaisar! Tentu saja semua orang menghormat calon kaisar ini dan
Pangeran Ceng Hwa melangkah maju dengan tenang menghampiri pembaringan ayahnya
setelah dia melempar kerling ke kanan kiri dan tersenyum kepada semua orang yang
amat dikenalnya dengan baik sebagai orang-orang yang dekat dengan ayahnya itu.
Hanya dia agak heran melihat Han Houw dan Kim Hong Liu-nio, akan tetapi dia
tidak menyatakan keheranannya dan langsung menghampiri pembaringan ayahnya dan
duduk di tepi pembaringan.
"Semoga Thian memberkahi ayahanda kaisar dengan kebahagiaan dan usia panjang
sampai selaksa tahun," kata pangeran itu dengan ucapan yang sungguh-sungguh dan
penuh hormat, ucapan yang menjadi kebiasaan atau kesopanan di dalam istana.
Kaisar tersenyum mendengar ini dan dengan tangannya dia menyentuh pundak
puteranya yang disayangnya itu seolah-olah menjadi pengganti rasa terima
kasihnya. "Bagaimanakah keadaan paduka" Semoga sudah lebih baik," kata sang pangeran.
"Aku gembira hari ini!" kata sang kaisar. "Lihat, dia itu adalah saudaramu! Dia
adalah Ceng Han Houw, ibunya adalah puteri di utara!"
Ceng Hwa bangkit berdiri dan memandang. Pada saat itu, Han Houw juga mengangkat
muka memandang sehingga kini semua orang dapat melihat betapa miripnya dua orang
pangeran ini! Agaknya sri baginda sendiri melihat kemiripan ini, maka dia
tersenyum lebar dan berseru dengan girang, "Betapa miripnya kalian! Ahh...
sungguh mirip seperti kembar...!" Agaknya kegembiraan itu sedemikian besarnya
sehingga tidak dapat tertahan oleh jantung yang sudah lemah itu. Sri baginda
kaisar terguling dan dari keadaan duduk itu dia terguling.
Cepat Pangeran Mahkota Ceng Hwa merangkul ayahnya dan pada saat itu terjadilah
hal-hal luar biasa yang mengejutkan semua orang. Pada saat kaisar terguling dan
dipeluk oleh Pangeran Ceng Hwa itu, melompatlah seorang yang berpakaian
panglima, berusia lima puluh tahun, dengan muka penuh brewok. Panglima itu
berseru, "Sekarang...!" Dan dengan pedang yang sudah dicabutnya dia telah
menubruk ke depan, menyerang Pangeran Mahkota Ceng Hwa dengan tusukan pedangnya
dari belakang! Semua orang terperanjat dan saking kagetnya sampai tidak mampu
berbuat sesuatu. Akan tetapi pada saat itu, Ceng Han Houw sudah berteriak
nyaring dan tubuhnya mencelat ke depan, menerjang kepada panglima yang menyerang
pangeran mahkota itu! Dengan tangkisan nekat, Han Houw mengejutkan panglima tua itu sehingga pedangnya
menyeleweng dan melukai lengan kiri Han Houw lalu terus meluncur dan melukai
pundak kanan pangeran mahkota! Dan pada saat itu, Kim Hong Liu-nio telah
bergerak dan nampak sinar merah meluncur dan menyerang panglima itu ketika dia
menggerakkan sabuk merahnya!
Pada saat itu, tujuh di antara sembilan orang pengawal pribadi kaisar telah
bergerak, tombak mereka berkelebatan dan mereka telah mulai menyerang ke arah
pangeran mahkota dan kaisar yang masih berpelukan di atas pembaringan! Akan
tetapi Han Houw sudah menerjang dan menyambut mereka dengan pedangnya dan pemuda
cilik ini mengamuk hebat, sedangkan di fihak lain Kim Hong Liu-nio sudah
mendesak sang panglima pemberontak dengan sabuk merahnya.
Barulah para panglima dan pembesar yang berada di situ menjadi geger dan sadar
bahwa telah terjadi pemberontakan. Kiranya pemberontakan yang didesas-desuskan
itu, yang kemudian hendak dicegah dengan penjagaan ketat, tidak datang dari
luar, melainkan dari dalam, bahkan komplotan pemberontak itu telah berkumpul di
dalam kamar kaisar! Panglima Lee Cin dan Lee Siang cepat bergerak pula membantu
Han Houw menghadapi tujuh orang pengawal pemberontak. Dengan adanya Kim Hong
Liu-nio di situ, bersama juga Han Houw yang biarpun lengan kirinya sudah terluka
namun masih mengamuk dan sebentar saja dia telah merobohkan dua orang pengawal
pemberontak, maka akhirnya pemberontak itu dapat dihancurkan sebelum menjalar
keluar. Dengan sabuk suteranya, Kim Hong Liu-nio berhasil menotok leher dan
kedua lengan panglima pemberontak sehingga panglima itu roboh pingsan sedangkan
Han Houw yang dibantu oleh dua orang Panglima Lee telah dapat menewaskan tujuh
orang pengawal itu. "Jangan bunuh panglima khianat itu!" kata Panglima Lee Siang kepada Kim Hong
Liu-nio maka wanita inipun tidak bergerak untuk membunuhnya. Dia tahu bahwa
tentu panglima ini akan dipaksa mengaku siapa penggerak pemberontakan. Akan
tetapi, tiba-tiba terdengar jerit mengerikan dan orang muda yang sejak tadi
telah berada di situ, yaitu Pangeran Ceng Su Kiat, telah roboh dengan dada
tertusuk pedang pendek yang dipegang oleh tangan kanannya. Kiranya pangeran ini
telah membunuh diri di situ setelah melihat betapa usaha pemberontakan itu
gagal! Semua mayat dan panglima yang tertawan itu telah dibawa keluar dengan cepat, dan
tempat itu dibersihkan. Akan tetapi sri baginda kaisar minta pindah ke kamar
lain mengajak pangeran mahkota yang sudah diobati pundaknya, Han Houw yang juga
telah dibalut lengannya, dan ditemani pula oleh Kim Hong Liu-nio, Panglima Lee
Siang dan para panglima lain. Di dalam kamar ini sri baginda kaisar dan pangeran
mahkota menyatakan kekaguman dan terima kasih mereka kepada Ceng Han Houw dan
Kim Hong Liu-nio, karena harus diakui bahwa kalau tidak ada mereka, keadaan
pangeran dan kaisar sungguh bisa terancam bahaya maut. Apalagi Pangeran Ceng
Hwa, dia tahu betul bahwa serangan tiba-tiba dari panglima tadi tentu akan
menewaskannya kalau tidak ada Han Houw yang cepat menangkis dengan mengorbankan
lengannya sendiri terluka itu.
Panglima pemberontak yang tentu saja dijatuhi hukuman mati itu sebelum mati
telah mengaku bahwa pemberontakan itu diatur oleh Pangeran Ceng Su Liat.
Sesungguhnya bukanlah merupakan pemberontakan umum yang besar-besaran, melainkan
hanya merupakan niat untuk membunuh pangeran mahkota agar Pangeran Ceng Su Liat
memperoleh kesempatan untuk menggantikan pangeran mahkota kalau pangeran ini
tewas. Maka tadi ketika melihat sri baginda kaisar terguling karena serangan
jantung, panglima pengkhianat itu mengira bahwa sri baginda telah meninggal
dunia, maka dia melihat kesempatan baik sekali untuk turun tangan, sesuai dengan
perintah Pangeran Ceng Su Liat yang menjanjikan pengampunan bahkan kedudukan
tinggi apabila usaha itu berhasil!
Tentu saja Ceng Han Houw dan Kim Hong Liu-nio menjadi orang-orang yang berjasa
besar di dalam istana kaisar! Mereka menjadi orang-orang terhormat yang
dikagumi, dan karena Ceng Han Houw telah diumumkan oleh kaisar sendiri sebagai
pangeran, maka tentu saja dia diterima di mana-mana dengan terhormat dan Kim
Hong Liu-nio yang dikenal sebagai pengasuh atau pengawalnya, juga dikagumi orang
karena selain cantik jelita dan bersikap agung pendiam, juga semua orang kagum
bahwa wanita cantik ini berhasil menundukkan seorang yang demikian terkenal
sebagal seorang panglima yang pandai ilmu silat seperti Panglima Boan yang
membantu pemberontakan atau pengkhianatan Pangeran Ceng Su Liat itu.
Akan tetapi, peristiwa di dalam kamar kaisar itu membuat penyakit yang diderita
kaisar menjadi makin berat. Perbuatan puteranya sendiri yang hampir saja
membunuh pangeran mahkota dan dia sendiri, mendatangkan kedukaan hebat sehingga
setelah menderita serangan jantung berkali-kali, akhirnya sebulan kemudiang
Kaisar Ceng Tung meninggal dunia!
Seluruh istana berkabung, bahkan seluruh rakyat diharuskan untuk berkabung.
Setelah ikut hadir dalam pemakaman kaisar dan ikut pula berkabung, Han Houw yang
merasa kehilangan ayah kandungnya dan merasa bahwa tidak ada perlunya lagi
baginya untuk lebih lama tinggal di istana Kerajaan Beng. Juga sucinya membujuk
kepadanya untuk segera berpamit dan kembali ke utara, karena sucinya merasa
tidak enak hati selalu kalau teringat akan ancaman orang-orang kang-ouw
kepadanya, seperti yang telah terjadi sebelum mereka memasuki istana, yaitu
ketika mereka bertemu dengan tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang. Han Houw lalu menghadap
Pangeran Ceng Hwa untuk mohon diri pulang ke utara.
Akan tetapi, Pangeran Ceng Hwa yang merasa suka sekali kepada Han Houw, yang
biarpun hanya seorang pangeran kelahiran utara, di daerah setengah liar itu,
namun ternyata tidak mengecewakan menjadi seorang Pangeran Beng, karena selain
pandai ilmu silat, juga pangeran muda ini cukup luas pengetahuannya yang
didapatnya dari kitab-kitab yang dipelajarinya di utara, menahannya. Pangeran
Ceng Hwa menahan Han Houw agar suka tinggal di kota raja sampai hari
penobatannya sebagai kaisar pengganti ayah mereka yang telah meninggal dunia.
"Sebaiknya Kim Hong Liu-nio biar kembali dulu ke utara memberi laporan dan
menyampaikan undangan kami kepada Raja Sabutal untuk menghadiri hari penobatan
kami sebagai kaisar." demikian Pangeran Ceng Hwa berkata.
Akhirnya diputuskan bahwa Kim Hong Liu-nio akan kembali dulu ke utara dan Ceng
Han Houw untuk sementara tinggal di istana. Kim Hong Liu-nio tidak merasa
keberatan karena sutenya itu tentu saja akan terjamin keamanannya berada di
dalam istana Kerajaan Beng. Maka berpamitlah dia dan berangkatlah wanita perkasa
yang cantik jelita itu keluar dari istana, di mana dia hidup terhormat sampai
lebih dari satu bulan lamanya.
*** Kita tinggalkan dulu keadaan Ceng Han Houw yang tinggal di istana, dan Kim Hong
Liu-nio yang melakukan perjalanan kembali ke utara, dan mari kita menengok
keadaan Sin Liong untuk memperlancar jalannya cerita.
Seperti kita ketahui, Sin Liong kini tinggal di rumah Na-piauwsu, yaitu Na Ceng
Han yang gagah perkasa dan ramah sekali itu. Pada waktu itu, tanpa terasa lagi,
Sin Liong sudah hampir satu tahun tinggal di dalam rumah keluarga Na. Setiap
hari dia berlatih ilmu silat dari Na Ceng Han, bersama-sama dengan Na Tiong Pek
dan Bhe Bi Cu. Dia bersahabat akrab sekali dengan dua orang yang disebut sumoi
dan suheng itu. Usia Sin Liong kini telah empat belas tahun, sebaya dengan Tiong
Pek, sedangkan Bi Cu telah berusia dua belas tahun.
Bi Cu memang manis sekali. Biarpun usianya baru dua belas tahun, namun jelas
nampak sudah bahwa dia merupakan seorang dara yang amat manis. Dan Sin Liong
dapat melihat betapa Tiong Pek selalu bersikap manis kepada Bi Cu, agak berlebih
malah, membuktikan bahwa pemuda tanggung itu agaknya amat suka dan mencinta
sumoi mereka! Bahkan kadang-kadang nampak Tiong Pek bermanis-manis muka,
membujuk rayu, sehingga kalau melihat hal ini, Sin Liong cepat menjauhkan diri
karena dia merasa malu sendiri. Diakuinya bahwa Tiong Pek amat ramah dan baik,
akan tetapi dia melihat bahwa sikap Tiong Pek terhadap Bi Cu agaknya terlalu
mendesak dan selalu mencoba untuk mengambil hati anak perempuan itu. Dan dia
melihat betapa Bi Cu selalu bersikap hormat dan manis kepada Tiong Pek, bahkan
demikianlah sikap Bi Cu kepada seisi rumah keluarga Na. Hal ini dimengerti oleh
Sin Liong karena tentu dara kecil itu merasa betapa dia adalah seorang yang
menumpang hidup di dalam rumah keluarga Na! Diam-diam Sin Liong merasa kasihan
kepada anak perempuan ini karena merasa betapa mereka berdua mempunyai nasib
yang hampir mirip. Memang benar bahwa dia tidak seperti Bi Cu, hanya ditinggal
mati ibu dan masih mempunyai seorang ayah, akan tetapi dia tidak tahu di mana
ayahnya berada dan selamanya belum pernah bertemu dengan ayahnya, sehingga
dibandingkan dengan Bi Cu yang kematian ayahnya, agaknya tidaklah begitu banyak
bedanya. Pada suatu hari, Sin Liong yang sudah selesai melakukan pekerjaan sehari-hari di
rumah itu, ingin sekali berlatih silat dan dia lalu mencari-cari dua orang
suheng dan sumoinya itu. Rumah itu nampak kosong karena keluarga wanita sibuk di
belakang, di dapur, sedangkan Na-piauwsu sedang pergi ke luar kota untuk
mengawal sendiri barang kiriman yang penting. Maka rumah itu kelihatan sunyi.
Sin Liong merasa heran mengapa suheng dan sumoinya itu tidak nampak. Padahal,
tadi mereka masih kelihatan di ruangan depan. Dia tidak berani memanggil-
manggil, karena takut menimbulkan bising dan mengganggu seorang bibi keluarga
yang tidur di kamarnya karena bibi tua ini sedang tidak enak badan. Maka dia
terus mencari dan akhirnya dia pergi mencari ke kamar Bi Cu.
Ketika dia tiba di luar kamar itu, dia mendengar sesuatu di dalam kamar. Dia
mendekati pintu kamar dan mendengarkan.
"Jangan... suheng..." terdengar Bi Cu berkata lirih dan menahan tangis.
"Sumoi, kenapa kau tidak mau bersikap manis kepadaku" Kurang baik apakan aku
kepadamu" Kurang banyakkah budi yang dilimpahkan oleh kami sekeluarga kepadamu?"
Terdengar Bi Cu terisak. "Aku berterima kasih... uh-uhh... aku berterima kasih
kepada kalian... tapi... tapi..."
"Aku tidak akan mengganggumu, aku tidak ingin menyakitimu, aku ingin engkau tahu
bahwa aku suka sekali kepadamu, sumoi..."
Sin Liong tidak dapat menahan lagi ketegangan hatinya dan dia mendorong pintu
kamar itu dengan keras. Dia melihat Tiong Pek memegangi kedua tangan Bi Cu dan
hendak memaksa untuk merangkul dara cilik itu, sedangkan Bi Cu kelihatan menolak
halus. Mereka bersitegang sampai Bi Cu jatuh berlutut di atas lantai dan Tiong
Pek berusaha untuk mendekatkan mukanya, untuk mencium wajah yang manis akan
tetapi agak pucat ketakutan itu.
"Tiong Pek!" Sin Liong membentak dan mencengkeram baju pundak Tiong Pek sambil
menariknya ke belakang. Memang Sin Liong tidak pernah menyebut suheng dan sumoi kepada Tiong Pek dan Bi
Cu, karena memang dia tidak dianggap sebagai murid oleh Na Ceng Han, sungguhpun
dia dilatih ilmu silat dan dia selalu berlatih bersama dengan dua orang anak
itu. Mereka bertiga itu seperti teman-teman baik, bukan seperti kakak beradik
seperguruan. Tiong Pek terkejut sekali dan menengok dengan alis berkerut. Dia melepaskan
kedua lengan tangan Bi Cu yang tadi dipegangnya, lalu dia menggerakkan tangan
kanannya menangkis ke belakang.
"Dukk!" Tangan itu menyampok tangan Sin Liong yang mencengkeram baju pundaknya
sehingga terlepas dan bajunya robek. Tiong Pek meloncat bangun dan berdiri
dengan muka merah menandakan bahwa dia marah sekali. Akan tetapi Sin Liong juga
sudah menentang pandang matanya dengan bengis.
"Sin Liong!" Tiong Pek berseru marah sekali. "Engkau berani lancang mencampuri
urusan orang lain" Sungguh tidak tahu malu engkau hendak menghalangi cinta
orang" Apakah engkau merasa iri hati?"
Diserang dengan kata-kata seperti itu, tiba-tiba saja muka Sin Liong menjadi
merah dan dia menjadi bingung. "Akan tetapi kau... kau..." Sukar baginya untuk
melanjutkan karena hatinya masih menilai-nilai apakah artinya perbuatan yang
dilakukan Tiong Pek terhadap Bi Cu tadi.
"Aku cinta kepada Bi Cu sumoi, kau mau apa" Aku siap untuk bertanding melawan
siapapun juga untuk memperebutkan sumoi! Hayo, apakah kau ingin memperebutkan
sumoi dengan aku?" Pemuda tanggung itu mengepal tinju dan siap untuk berkelahi!
Sin Liong menjadi semakin bingung. Kalau tadi dia bersikap kasar terhadap Tiong
Pek adalah karena dia melihat seolah-olah Tiong Pek hendak melakukan pemaksaan
terhadap Bi Cu, akan tetapi sekarang dia menjadi bingung ketika ditantang dan
ditanya apakah dia hendak memperebutkan Bi Cu dengan pemuda itu!
"Ah, siapa yang akan memperebutkan siapa?" katanya masih bingung, akan tetapi
dia dapat menekan dan menenangkan perasaannya, lalu memandang kepada Tiong Pek
dengan sikap lebih tenang, sungguhpun kemarahannya belum mereda karena dia
melihat Bi Cu kini berdiri dengan kepala menunduk dan masih kadang-kadang
menahan isak. "Tiong Pek, Bi Cu bukanlah sebuah benda yang boleh diperebutkan
siapapun juga. Dalam hal rasa suka... hal itu Bi Cu berhak menentukan sendiri,
jangan kau memaksa-maksanya seperti itu."
"Bi Cu juga cinta kepadaku! Kau mau apa?" Tiong Pek yang masih marah itu
menyerang lagi dengan kata-katanya yang penuh tantangan. Dia memang marah sekali
karena merasa terganggu. Kalau Sin Liong tidak datang mengganggu, tentu dia
sudah dapat mencium Bi Cu, hal yang sudah sering kali direnungkan dan diimpikan
itu! Mendengar ucapan ini, Sin Liong memandang kepada Bi Cu penuh keraguan. Benarkah
itu" Kalau Bi Cu benar mencinta Tiong Pek, kenapa tadi bersikap seperti
menentang" Dan apa gerangan yang hendak dilakukah oleh Tiong Pek terhadap Bi Cu
tadi" Sin Liong sudah berusia empat belas tahun, atau hampir, akan tetapi dia
belum tahu benar tentang cinta kasih antara pria dan wanita. Melihat Bi Cu
menunduk dan kini mukanya tidak sepucat tadi, bahkan menjadi agak kemerahan, dia


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lalu melangkah menghampiri.
"Bi Cu, apakah Tiong Pek... eh hendak berlaku jahat kepadamu?" Dia tidak tahu
bagaimana harus menanyakan urusan tadi.
Bi Cu mengangkat muka dan ketika dia bertemu pandang dengan Sin Liong, dia cepat
menunduk kembali, jari-jari tangannya bermain dengan ujung rambutnya yang
panjang terurai, lalu kepalanya digelengkannya sebagai jawaban pertanyaan Sin
Liong tadi. "Dan kau... kau... cinta kepada Tiong Pek?"
Bi Cu menjadi merah sekali mukanya dan kepalanya makin menunduk. Sekali ini dia
sama sekali tidak mau menjawab.
"Bagaimana, Bi Cu" Jawablah, apakah kau cinta kepada Tiong Pek?" Sin Liong
mendesak. Dara cilik itu mengangkat muka dengan gugup, memandang kepada Sin Liong
sebentar, lalu memandang kepada Tiong Pek, dan menunduk kembali tanpa menjawab,
hanya ada dua titik air matanya yang turun mengalir di sepanjang kedua pipinya
yang merah. Melihat ini, kembali timbul rasa kasihan di dalam hati Sin Liong dan teringatlah
dia akan percakapan yang didengarnya tadi. Dia kembali menghadapi Tiong Pek dan
berkata dengan alis berkerut, "Tiong Pek, sungguh tidak patut sekali kalau
engkau hendak menggunakan kekerasan. Apakah kau ingin menjadi penjahat hina" Aku
tadi mendengar engkau membujuk dan melihat engkau menggunakan kekerasan. Engkau
menonjolkan jasa-jasa dan budi keluargamu yang kaulimpahkan kepada Bi Cu. Apakah
itu kebaikan namanya kalau kautonjolkan dan kalau engkau minta imbalan dari
pertolongan yang kalian berikan kepada Bi Cu?"
"Sin Liong, kau ini siapa bermulut selancang ini?" Tiong Pek marah sekali dan
dia menerjang dengan pukulan ke arah mulut Sin Liong. Akan tetapi Sin Liong
cepat mengelak dan ketika Tiong Pek menerjang lagi, dia menangkis dan bersiap
untuk melawan. Akan tetapi, sambil menangis Bi Cu cepat melerai dengan meloncat di tengah-
tengah antara mereka, "Jangan berkelahi... ah, harap jangan berkelahi...!"
Tentu saja Sin Liong cepat meloncat mundur, dan Tiong Pek juga tidak mendesak
setelah melihat Bi Cu menangis sambil melerai itu. Kedua orang pemuda tanggung
itu kini memandang kepada Bi Cu yang menangis sesenggukan di tengah-tengah
antara mereka, menutupi muka dengan kedua tangannya. Mereka berdua menjadi
bingung. "Sumoi, jangan menangis, sumoi. Maafkan kalau aku bersalah..." akhirnya
terdengar Tiong Pek berkata halus. "Aku tadi hanya ingin menciummu... jahatkah
perbuatan itu... padahal aku hanya ingin membuktikan cintaku...?"
Mendengar ucapan itu, diam-diam Sin Liong menjadi jengah dan juga terheran-heran
bagaimana Tiong Pek berani bicara terang-terangan seperti itu!
Bi Cu menahan isaknya dan tangisnya agar mereda, kemudian terdengar kata-katanya
lirih di antara isaknya, "Aku tidak tahu... aku tidak tahu apa itu cinta! Aku...
aku suka kepada suheng karena suheng baik sekali, dan seluruh keluarga suheng
baik kepadaku, menganggap aku seperti keluarga sendiri. Aku berhutang budi besar
sekali kepada suheng sekeluarga, akan tetapi... aku tidak tahu tentang cinta,
dan aku tidak tahu... jahat atau tidak di... dicium, akan tetapi aku takut
sekali..." Diam-diam Sin Liong tersenyum. Biarpun usia mereka berdua ini sebaya dengan dia,
Bi Cu berusia dua belas tahun dan Tiong Pek empat belas tahun, namun mereka
berdua ini seperti anak-anak yang masih kecil saja! Anak-anak kecil yang ingin
memasuki permainan orang-orang dewasa!
"Tiong Pek, kalau engkau tahu bahwa Bi Cu takut, kenapa kau hendak memaksanya"
Kalau engkau memang kasihan dan suka kepadanya, tidak mungkin engkau main paksa
membikin dia takut dan menangis..."
Tiong Pek menarik napas panjang, kini dia melihat bahwa dia telah benar-benar
membuat Bi Cu berduka, takut dan malu. Baru sekarang dia merasa seolah-olah
sadar, setelah gairah aneh yang membuat seluruh tubuhnya panas, membuat dia
ingin sekali mencium Bi Cu itu kini mendingin dan lenyap. Baru dia tahu bahwa
dia memang bersalah. "Maafkan aku, Bi Cu. Kau benar, Sin Liong, aku memang layak dipukul karena telah
membikin sumoi ketakutan dan menangis. Sumoi, sekali lagi,kaumaafkanlah aku."
Bi Cu menghapus air matanya dan kini baru dia dapat memandang suhengnya itu
dengan senyum yang mulai berkembang mengusir kedukaannya. "Tidak mengapa,
suheng, kita lupakan saja hal tadi."
"Seorang yang dapat menyadari kesalahannya sendiri barulah patut disebut orang
gagah, Tiong Pek," kata Sin Liong.
"Ah, benarkah itu?" Tiong Pek berkata girang, wajahnya berseri dan matanya
bersinar-sinar penuh kenakalan.
"Akan tetapi jangan hal itu membuat engkau keenakan dan setiap kali ingin
menjadi orang gagah lalu melakukan kesalahan lebih dulu untuk kemudian
disadari!" sambung Sin Liong. Tiong Pek tertawa, Bi Cu juga tertawa dan mereka
berbaik kembali. Lenyaplah semua dendam dan kemarahan.
"Eh, kalau kalian berdua benar-benar sudah memaafkan aku, harus kalian
buktikan!" tiba-tiba Tiong Pek berkata.
"Buktikan bagaimana?" Sin Liong menuntut dan memandang tajam. Jangan-jangan
bocah nakal ini minta bukti aneh-aneh, seperti cium dari Bi Cu misalnya! Kalau
begitu dia tentu tidak akan ragu-ragu untuk menjotosnya!
"Buktinya adalah bahwa kalian tidak akan mengatakan sesuatu tentang urusan tadi
kepada ayah." "Kau tahu bahwa aku tidak akan berkata apa-apa kepada paman, suheng," kata Bi Cu
cepat. "Akan tetapi aku hanya mau berjanji tidak akan menyampaikan kepada paman Na asal
engkaupun berjanji tidak akan mengulangi perbuatan sesat tadi!" kata Sin Liong.
"Sesat" Ah, memang salah akan tetapi jangan namakan itu sesat, Sin Liong.
Baikiah, dengarkan kalian. Aku berjanji tidak akan mencoba untuk mencium Bi Cu
kecuali kalau memang sumoi Bi Cu mau kucium!"
Tentu saja mendengar janji yang seperti itu, seketika wajah Bi Cu kembali
menjadi merah sekali. "Dasar engkau setan!" Sin Liong menegur sambil tertawa dan Tiong Pek juga
tertawa. Bi Cu terpaksa ikut pula tertawa dan ketiga orang anak itu lalu
memasuki lian-bu-thia (ruangan berlatih sliat) di mana mereka berlatih silat
dengan tekunnya. *** Wanita cantik itu melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa menuju ke pintu
gerbang kota raja sebelah utara. Para penjaga di pintu gerbang itu cepat berdiri
dengan sikap menghormat ketika wanita itu berjalan keluar dari pintu gerbang.
Bahkan komandan jaga yang bertubuh tinggi besar itu memberi hormat dan berkata,
"Selamat jalan, lihiap!"
Wanita itu bukan lain adalah Kim Hong Liu-nio. Semenjak terjadi peristiwa
pemberontakan di dalam istana yang bermaksud membunuh pangeran mahkota dan
kaisar dan usaha jahat itu digagalkan oleh Kim Hong Liu-nio dan Ceng Han Houw,
wanita ini menjadi seorang tokoh yang terkenal di kota raja, terutama di
lingkungan istana dan di antara para pengawal. Oleh karena itu, ketika dia
keluar dari pintu gerbang, semua penjaga memberi hormat, bahkan komandan jaga
menghaturkan selamat jalan.
Seperti kita ketahui, Kim Hong Liu-nio terpaksa berangkat pulang ke utara
seorang diri saja, meninggalkan sutenya di istana karena Pangeran Mahkota Ceng
Hwa, calon kaisar, atau juga saudara tiri dari Han Houw, menahan pemuda tanggung
itu untuk tidak meninggalkan istana sampai hari penobatannya sebagai kaisar.
Maka Kim Hong Liu-nio pulang seorang diri untuk melaporkan semua peristiwa yang
dialami oleh sutenya itu kepada Raja Sabutai dan Permaisuri Khamila, dan selain
itu juga menyampaikan undangan pangeran mahkota kepada Raja Sabutai untuk
menghadiri hari penobatannya sebagai kaisar pengganti ayahnya.
Hati Kim Hong Liu-nio lega karena sutenya itu berada dalam keadaan aman, maka
dia melakukan perjalanan cepat, tidak memperdulikan orang-orang yang
memandangnya dengan heran. Siapa orangnya tidak akan terheran-heran melihat
seorang wanita cantik berjalan sedemikian cepatnya seperti terbang saja"
Sebentar saja dia sudah keluar dari pintu gerbang itu diikuti oleh pandang mata
semua penjaga sampai bayangannya lenyap.
Akan tetapi ketika dia tiba di padang rumput di sebelah utara pintu gerbang
utara kota raja itu, tiba-tiba dia memandang ke depan dengan alis berkerut
karena jauh di depannya dia melihat banyak orang sudah berdiri menghadangnya dan
dari jauh saja dapat dilihat pakaian mereka yang berkembang-kembang dan tangan
mereka yang memegang tongkat dengan punggung memanggul buntalan-buntalan kuning.
Orang-orang Hwa-i Kai-pang! Dan setelah agak dekat Kim Hong Liu-nio melihat
bahwa di antara mereka terdapat mereka yang memanggul buntalan sedikit saja. Ada
dua orang yang memanggul tiga buah buntalan kuning, bahkan ada seorang yang
memanggul dua buntalan, berarti bahwa di antara mereka itu ada dua orang tokoh
Hwa-i Kai-pang tingkat tiga dan bahkan ada seorang tokoh tingkat dua!
Jantung Kim Hong Liu-nio berdebar tegang. Dia maklum bahwa yang menghadangnya
adalah tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang tingkat tinggi! Dan selain tiga orang tokoh
yang tinggi tingkatnya itu, dia melihat tokoh-tokoh tingkat empat dan lima yang
jumlahnya ada tujuh belas orang! Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio adalah murid
terkasih dari Hek-hiat Mo-li, dan dia sama sekali tidak pernah mengenal arti
takut. Dengan sikap tenang penuh kewaspadaan dia berjalan terus dengan cepat
tanpa mengurangi pengerahan gin-kangnya dan sebentar saja dia sudah berhadapan
dengan belasan orang yang sengaja menghadang memenuhi jalan itu. Terpaksa Kim
Hong Liu-nio berhenti dan memandang mereka dengan sinar mata mengejek, tidak
memperdulikan pandang mata belasan orang itu yang ditujukan kepadanya dengan
penuh kemarahan. Yang menjadi perhatiah Kim Hong Liu-nio adalah tiga orang kakek di depan itu,
yaitu dua orang tokoh tingkat tiga dan seorang yang bertingkat dua, karena dia
tidak memandang sebelah mata kepada mereka yang bertingkat empat dan lima.
"Perlahan dulu, nona!" berkata pengemis baju kembang yang memanggul dua buah
buntalan kuning di punggungnya. Pengemis ini usianya tentu mendekati enam puluh
tahun, tubuhnya kurus kering seperti cecak mati saking kurusnya sehingga tubuh
yang tingginya biasa saja itu kelihatan jangkung. Pakaiannya sederhana, akan
tetapi bersih dan berpakaian tambal-tambalan dari kain-kain berkembang dan
berwarna itu nampak lucu karena banyak merahnya, mungkin menjadi tanda bahwa
pemakainya memang mempunyai kesukaan akan warna merah.
"Hemm, kulihat kalian ini tentulah tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang," jawab Kim Hong
Liu-nio sambil mengerling ke arah tiga orang kakek pengemis yang pernah
dikalahkannya tempo hari, yaitu mereka yang bertingkat lima. "Apakah kini orang-
orang Hwa-i Kai-pang yang tersohor itu telah berubah menjadi segerombolan
perampok yang suka menghadang orang lewat di jalan raya?"
Kakek kurus kering itu tersenyum lebar. Biarpun dia marah sekali, akan tetapi
kakek ini dapat menguasai kemarahannya dan menghadapi wanita yang dia dengar
amat lihai itu dengan tenang. "Andaikata kami menjadi perampok sekalipun, kami
tidak akan merampok nyawa orang yang tidak berdosa seperti yang telah kaulakukan
kepada seorang pengemis she Tio di kota Huai-lai."
Kim Hong Liu-nio sudah tahu mengapa para pengemis itu menghadangnya, maka dengan
jujur dan penuh keberanian dia berkata, "Memang aku telah membunuh pengemis she
Tio itu." Mendengar jawaban yang berani itu, para pengemis kelihatan makin marah dan
terdengar mereka mengeluarkan suara sehingga keadaan menjadi bising, akan tetapi
Kim Hong Liu-nio sama sekali tidak memperdulikan mereka.
"Kenapa?" bentak tokoh kedua Hwa-i Kai-pang. Kakek ini berjuluk Lo-thian Sin-kai
(Pengemis Sakti Pengacau Langit). "Setiap orang merasa kasihan kepada seorang
pengemis yang hidup serba kekurangan, akan tetapi kenapa engkau membunuh
pengemis tidak berdosa itu?"
"Karena dia she Tio! Baik dia pengemis maupun seorang raja, karena dia she Tio,
maka berjumpa dengan aku dia harus mati! Dia yang she Tio atau yang she Cia dan
yang she Yap!" kata Kim Hong Liu-nio dan dia sudah mengeluarkan papan kayu sallb
yang bertuliskan nama keluarga Tio, Yap, dan Cia itu.
"Apa?" Lo-thian Sin-kai terbelalak. "Kau hendak membunuh semua orang yang
memiliki she seperti itu" Jadi engkau membunuh pengemis she Tio itu tanpa ada
permusuhan pribadi sama sekali?"
"Kenalpun tidak aku kepadanya, hanya aku mendengar dia she Tio maka dia harus
mati." "Iblis betina keji!" Terdengar bentakan marah dan dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang
tingkat tiga yang sejak tadi hanya mendengarkan saja, agaknya sudah tidak dapat
menahan kemarahan mereka dan kini mereka berdua sudah menerjang maju,
menggerakkan tongkat mereka dari kanan dan kiri menyerang Kim Hong Liu-nio. Yang
memaki itu adalah kakek pengemis yang punggungnya agak bongkok.
"Hutang nyawa bayar nyawa!" bentak kakek pengemis ke dua yang mukanya hitam
sekali, agaknya hitam karena bekas penyakit karena melihat leher dan tangannya,
sebetulnya dia berkulit putih. Kakek bongkok dan kakek muka hitam ini berusia
kurang lebih lima puluh tahun dan mereka adalah tokoh-tokoh tingkat tiga dari
Hwa-i Kai-pang, maka tentu saja mereka memiliki kepandaian silat yang tinggi.
Yang punggungnya bongkok itu terkenal dengan julukannya Tiat-ciang Sin-kai
(Pengemis Sakti Tangan Besi), sedangkan yang bermuka hitam berjuluk Hek-bin Mo-
kai (Pengemis Iblis Muka Hitam). Karena mereka berdua maklum dan mendengar dari
tiga orang pengemis tingkat lima betapa lihainya wanita itu, maka mereka maju
berbareng dan serentak telah menyerang dengan senjata tongkat mereka.
Melihat cara menyambarnya tongkat-tongkat itu maklumlah Kim Hong Liu-nio bahwa
dia menghadapi lawan yang cukup tangguh dan cepat dia menggerakkan tubuhnya
mengelak ke belakang. Dua sinar hitam dari tongkat itu menyambar dahsyat di
dekat tubuhnya. "Wuuut! Wuuutt!"
Ujung-ujung tongkat itu sebelum menyentuh tanah, telah ditahan oleh para
pemegangnya dan kelihatan ujung tongkat itu menggetar hebat sampai mengeluarkan
suara "wrrrrr!" saking kerasnya sambaran itu dan kini ditahan oleh dua orang
kakek pengemis. Kemudian tongkat itu menyambar lagi dan Kim Hong Liu-nio sudah
didesak dan dihujani serangan bertubi-tubi yang kesemuanya mengandung tenaga
kuat sekali. "Hemm, kalian mencari penyakit!" bentak wanita itu dan begitu kedua tangannya
bergerak, nampak sinar merah yang panjang bergulung-gulung dan ternyata wanita
ini dengan tenang namun cepat bukan main telah menggerakkan sabuk merahnya dan
sambil mengelak dia telah balas menyerang!
"Wirrrr... syuuuuttt... plakk!"
Sabuk merah itu hebat bukan main, menyambar dahsyat menyilaukan mata dan hampir
saja leher Hek-bin Mo-kai kena totok. Untung dia dapat menangkis dengan cepat
dan kini tongkatnya terlibat ujung sabuk merah yang bergerak seperti ular itu.
Selagi Hek-bin Mo-kai bersitegang untuk melepaskan tongkat dari libatan sabuk,
Tiat-ciang Sin-kai sudah menghantamkan tongkatnya dari samping ke arah kepala
wanita itu. "Cringgg...!" Tiat-ciang Sin-kai terkejut bukan main. Tongkatnya yang menghantam kepala itu
ditangkis oleh lengan kecil halus yang bergelang kerincing. Anehnya lengan kecil
dan gelang-gelang emas kecil itu tidak saja mampu menangkis tongkatnya, malah
dia sendiri sampai terhuyung ke belakang saking kuatnya tangkisan itu! Dengan
marah dia lalu mengatur keseimbangan tubuhnya dan menubruk lagi, kini tongkatnya
menusuk ke arah lambung dari sebelah kanan wanita itu.
Pada saat itu, ujung sabuk merah masih melibat ujung tongkat di tangan Hek-bin
Mo-kai dan agaknya Kim Hong Liu-nio tidak akan dapat menghindarkan diri dari
tusukan tongkat kakek pengemis bongkok. Akan tetapi tiba-tiba Kim Hong Liu-nio
mengeluarkan bentakan nyaring dan bentakan ini disusul teriakan Hek-bin Mo-kai
yang tidak dapat menguasai tongkatnya lagi. Tongkatnya yang terlibat itu
terbetot sehingga dia tidak mampu mempertahankan ketika tongkatnya itu bergerak
ke kiri. "Takkkkk...!" Keras sekali pertemuan antara tongkat Hek-bin Mo-kai itu yang
menangkis tongkat Tiat-ciang Sin-kai yang menusuk tadi sehingga keduanya merasa
betapa telapak tangan mereka nyeri dan senjata mereka itu hampir terlepas dari
tangan. Keduanya memang memiliki tenaga yang seimbang dan tadi mereka telah
mempergunakan seluruh tenaga, yang seorang ingin menarik kembali tongkatnya
sedangkan yang ke dua sedang menyerang.
"Wuuuttt...!" Baru saja kedua tongkat itu bertemu tiba-tiba sinar merah
menyambar dan tahu-tahu ujung sabuk telah melibat kedua batang tongkat itu
dengan eratnya! "Iblis jahat...!" Tiat-ciang Sin-kai berseru marah dan dia menerjang maju dengan
tangan kanannya, mengirim pukulan yang dahsyat. Kakek bongkok ini berjuluk Tiat-
ciang (Si Tangan Besi) maka tentu saja dia memiliki tangan gemblengan yang amat
hebat, kuat seperti besi dan ketika dia melancarkan pukulan itu tangannya
berubah agak kehitaman! Akan tetapi, melihat datangya pukulan itu, Kim Hong Liu-nio sama sekali tidak
mengelak, bahkan dia lalu mengangkat tangan kirinya menerima pukulan itu dengan
tangkisan, gerakannya seenaknya saja seolah-olah dia tidak tahu bahwa pukulan
itu adalah pukulan ampuh, bukan sembarang pukulan. Melihat ini, giranglah kakek
pengemis bongkok itu. Remuk tulang tanganmu sekarang, pikirnya girang, dan dia
mengerahkan seluruh tenaga Tiat-ciang-kang ke dalam tangannya itu.


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Desss...!" Hebat sekali pertemuan ke dua tangan itu dan terdengar Tiat-ciang
Sin-kai berteriak kesakitan dan tubunya terhuyung ke belakang, dia melepaskan
tongkatnya yang masih terlibat menjadi satu dengan tongkat Hek-bin Mo-kai dan
pada saat yang sama, Kim Hong Liu-nio membetot sabuknya dengan kuat dan ketika
Hek-bin Mo-kai mempertahankan, tiba-tiba dia melepaskan libatan sabuknya
sehingga si muka hitam inipun terhuyung seperti temannya! Tiat-ciang Sin-kai
menyeringai karena tangan kanannya terasa nyeri bukan main, seperti patah-patah
rasa tulang-tulang tangannya. Dia tidak tahu bahwa wanita cantik yang tadi telah
melindungi tangannya yang kecil berkulit halus itu dengan sarung tangannya yang
istimewa, yaitu sarung tangan halus dengan warna sama dengan kulitnya. Sarung
tangan ini dapat dipakai untuk menyambut senjata tajam, apalagi hanya pukulan
tangan kosong, biarpun tangan itu sama kerasnya dengan besi!
"Wanita kejam, engkau boleh juga!" Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan si
kakek kurus kering, Lo-thian Sin-kai, tokoh tingkat dua dari Hwa-i Kai-pang,
telah menerjang dan menyerang Kim Hong Liu-nio dengan tongkatnya. Terdengar
suara berdesir-desir dan tongkat yang digerakkan secara istimewa itu telah
membentuk lingkaran-lingkaran yang lima buah banyaknya. Itulah Ilmu Tongkat Ngo-
lian Pang-hoat yang amat hebat! Lima lingkaran sinar tongkat itu bergerak-gerak
dan dari setiap lingkaran menyambar-nyambar ujung tongkat yang mengeluarkan
suara berdesing tanda bahwa tongkat itu yang kelihatan seperti kayu ternyata
menyembunyikan benda logam keras di dalamnya dan tenaga yang dipergunakan untuk
menggerakkan tongkat itu amat kuatnya!
"Hemm! Kalian behar-benar hendak memusuhi aku" Majulah!" bentak Kim Hong Liu-nio
dan menghadapi ilmu tongkat lawan ini, dia sama sekali tidak merasa jerih,
bahkan dia gembira sekali.
Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang suka sekali akan ilmu silat. Telah
banyak dia mengumpulkan dan mempelajari ilmu-ilmu silat dari semua aliran yang
ada di dunia persilatan, dan kalau bertemu dengan suatu ilmu baru yang belum
dikenalnya, dia merasa gembira sekali dan ingin mengenal serta mempelajarinya.
Maka begitu dia melihat ilmu tongkat dari kakek pengemis kurus kering ini, dia
melihat ilmu tongkat yang amat hebat sehingga timbul kegembiraannya dan dia
cepat menghadapi ilmu tongkat itu dengan kedua tangan kosong sambil mainkan
sabuk merahnya. Terjadilah kini pertandingan yang amat hebat. Tongkat yang dimainkan oleh Lo-
thian Sin-kai memang luar biasa sekali. Ujung tongkat itu nampak menjadi lima
buah, seolah-olah kakek kurus itu mainkan lima batang tongkat, dan setiap ujung
tongkat membentuk lingkaran-lingkaran yang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.
Sedangkan Kim Hong Liu-nio juga memutar sabuk merahnya sehingga nampak gulungan
sinar merah yang amat indah dan kuat menyelimuti dirinya yang menghalau setiap
sambaran tongkat. Kadang-kadang wanita perkasa ini menggunakan tangannya untuk
menangkis tongkat, karena tangannya telah terlindung oleh sarung tangan mujijat
itu, dan kadang-kadang dia membalas dengan serangan kilat, menggunakan ujung
sabuknya untuk menotok ke arah jalan darah di tubuh lawan yang berbahaya. Diam-
diam kakek pengemis itu terkejut bukan main. Ketika dia mendengar bahwa tiga
orang murid keponakannya, tokoh-tokoh tingkat lima dari Hwa-i Kai-pang
dikalahkan oleh seorang wanita cantik yang telah membunuh seorang pengemis she
Tio di Huai-lai, dia mengira bahwa wanita itu adalah seorang wanita kang-ouw
yang hanya memiliki kepandaian lumayan saja. Akan tetapi ketika tadi dia melihat
dua orang pengemis tingkat tiga dikalahkan, dia merasa penasaran. Dan kini dia
terkejut setelah memperoleh kenyataan betapa lihainya wanita ini.
Selama lima puluh jurus, nampaknya pengemis tua kurus itu dapat mendesak wanita
itu, buktinya, Kim Hong Liu-nio lebih banyak menghindarkan serangan atau
menangkis daripada membalas. Karena mengira bahwa jagoan mereka akan menang,
maka para pengemis itu hanya menonton saja, mengharapkan dalam waktu singkat
wanita itu akan dirobohkan. Padahal, sesungguhnya tidak demikianlah. Kim Hong
Liu-nio memang sengaja membiarkan dirinya diserang dan dia hanya mempertahankan
diri karena memang dia ingin memancing keluar semua jurus limu tongkat yang
menarik hatinya itu. Biarpun dia tidak mungkin dapat menguasai atau menghafal
semua gerakan yang dilihatnya dalam pertandingan itu, namun setidaknya dia dapat
mengenal ilmu ini dan dapat mengingat inti-intinya yang penting. Setelah lewat
lima puluh jurus, dia merasa cukup menonton ilmu tongkat orang, maka kini dia
mengeluarkan lengking panjang yang nyaring sekali, kemudian tubuhnya berkelebat
cepat dan terjadilah perubahan hebat dalam pertandingan itu!
"Wiirrrr... plak-pkakk!"
"Ahh...!" Lo-thian Sin-kai berseru kaget karena hampir saja ubun-ubun kepalanya
kena disambar ujung sabuk yang disusul oleh tamparan tangan kilat ke arah ulu
hatinya. Untung dia masih sempat mengelak lalu menangkis berkali-kali. Dia dapat
selamat dari ancaman maut akan tetapi dia terhuyung ke belakang dan pada saat
itu Kim Hong Liu-nio menerjang maju dan menghujani kakek itu dengan serangan-
serangan dahsyat! Baru sekarang tahulah kakek kurus itu bahwa tadi lawannya
belum sungguh-sungguh, dan baru sekarang mengeluarkan serangan-serangannya yang
dahsyat sehingga repotlah dia memutar tongkatnya untuk membentuk benteng
pertahanan melindungi dirinya dari ancaman maut.
Semua pengemis terkejut melihat perubahan ini. Jagoan mereka terdesak hebat dan
mundur terus. Melihat ini, Hek-bin Mo-kai dan Tiat-ciang Sin-kai berteriak keras
dan mereka sudah maju membantu jagoan mereka itu dengan memutar tongkat. Gerakan
ini diikuti pula oleh semua pengemis yang sudah mengepung Kim Hong Liu-nio dan
mulailah terjadi pengeroyokan yang ketat. Akan tetapi wanita itu tidak menjadi
jerih dan sabuk merahnya membentuk gulungan sinar yang lebar dan panjang, bukan
hanya untuk menahan semua tongkat yang menyambar dari sekeliilingnya, akan
tetapi juga untuk membagi-bagi totokan. Dalam beberapa jurus saja dia sudah
merobohkan tiga orang pengemis tingkat lima. Akan tetapi karena dia tidak ingin
menanam permusuhan yang hebat dengan perkumpulan pengemis yang besar dan
berpengaruh ini, Kim Hong Liu-nio tidak membunuh orang, hanya merobohkan mereka
untuk membikin mereka tidak dapat mengeroyoknya lagi dengan totokan-totokan di
bagian jalan darah yang tidak mematikan.
Betapapun juga, Kim Hoing Liu-nio mulai terdesak hebat. Para pengeroyoknya
terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi, terutama sekali
desakan dari Lo-thian Sin-kai yang dibantu Hek-bin Mo-kai dan Tiat-ciang Sin-
kai, amatlah berbahaya baginya sehingga Kim Hong Liu-nio sudah mengambil
keputusan untuk kabur dan melarikan diri saja. Akan tetapi pengemis itu agaknya
maklum akan niatnya ini dan pengepungan dilakukan makin rapat, gerakan tongkat-
tongkat mereka menutup semua jalan keluar.
Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda dari depan dan tak lama kemudian
muncullah seorang penunggang kuda. Dia ini seorang laki-laki berusia empat puluh
tahun yang perkasa, berpakaian indah, pakaian seorang panglima pengawal Kim-i-wi
yang mentereng, dengan bajunya yang disulam benang emas, kepalanya yang memakal
topi berhiaskan bulu burung dewata, dengan tanda pangkatnya di dada kiri yang
berkilauan. Melihat wanita cantik itu dikepung oleh para pengemis, panglima itu
cepat melompat turun dari pelana kudanya dan sambil mengangkat kedua tangan ke
atas dia berteriak-teriak, "Tahan senjata...! Hentikan perkelahlan...! Para
tokoh Hwa-i Kai-pang dengarkan dulu penjelasanku!"
Lo-thian Sin-kai menoleh dan ketika mengenal panglima itu adalah Lee Siang,
Panglima Kim-i-wi yang gagah dan telah dikenalnya, dia lalu meloncat mundur dan
berteriak kepada para temannya untuk menahan senjata. Kim Hong Liu-nio juga
mengenal panglima itu, ialah panglima pengawal yang pertama kali menerimanya di
istana, bahkan yang mengawalnya sampai menghadap kaisar. Maka diapun menahan
gerakannya dan menyimpan kembali sabuk merahnya, lalu mengusap sedikit peluh di
dahinya dengan saputangan dan wajahnya menjadi merah ketika dia bertemu pandang
dengan panglima yang gagah perkasa itu. Sejak pertemuannya yang pertama dengan
Panglima Lee Siang ini, dia memang sudah tertarik dan diam-diam dia mengakui
bahwa panglima ini merupakan seorang pria gagah yang pertama kali menarik
hatinya dan membuatnya merasa kagum.
"LOCIANPWE Lo-thian Sin-kai, harap locianpwe dan para sahabat dari Hwa-i Kai-
pang mengetahui bahwa lihiap Kim Hong Liu-nio ini bukanlah seorang musuh,
sebaliknya malah, dia adalah seorang pendekar wanita yang telah berjasa, telah
menyelamatkan mendiang sri baginda kaisar dan pangeran mahkota."
Lo-thian Sin-kai tentu saja tidak akan memandang kepada Panglima Lee Siang kalau
saja tidak mengingat bahwa pria ini adalah seorang panglima pasukan pengawal
Kim-i-wi yang amat kuat! Tentu saja akan merupakan bunuh diri bagi perkumpulan
Hwa-i Kai-pang kalau berani menentang seorang panglima Kim-i-wi seperti panglima
gagah ini. Maka dia menjura dan berkata dengan suara halus, "Harap Lee-ciangkun
mengetahui bahwa wanita ini telah membunuh seorang di antara anak buah kanni
sehingga terpaksa kami menuntut balas."
Lee Siang terkejut. Dia sudah mendengar akan kesetiakawanan para pengemis, dan
dia tahu pula bahwa Hwa-i Kai-pang, adalah perkumpulan pengemis yang paling
berpengaruh di daerah kota raja dan mempunyai anggauta yang ribuan orang
banyaknya. Dia menoleh kepada Kim Hong Liu-nio dengan pandang mata bertanya.
Kim Hong Liu-nio tersenyum kepada panglima yang dikaguminya itu, "Lee-ciangkun,
harap jangan percaya omongan mereka ini. Benar bahwa aku telah membunuh seorang
pengemis she Tio di Huai-lai, akan tetapi pengemis itu kukira bukanlah anggauta
Hwa-i Kai-pang karena sama sekali tidak memakai pakaian berkembang. Pula, aku
membunuh dia sama sekali bukan karena dia pengemis, bukan pula karena dia ada
sangkut pautnya dengan Hwa-i Kai-pang atau kai-pang dari manapun juga, melainkan
karena urusan pribadi yang tidak ada sangkut pautnya dengan jagoan-jagoan tukang
keroyok dari Hwa-i Kai-pang ini." Kata-kata itu sekaligus merupakan tamparan
kepada tokoh Hwa-i Kai-pang sehingga Lo-thian Sin-kai menjadi merah mukanya.
Memang memalukan sekali orang-orang seperti mereka ini terpaksa mengeroyok
seorang wanita dibantu oleh belasan orang anak buah mereka lagi!
Lee Siang merasakan ketegangan yang timbul dari sikap kedua fihak, maka untuk
melenyapkan ketegangan itu dia tertawa. "Nah, para locianpwe dan sahabat dari
Hwa-i Kai-pang telah mendengar penjelasan lihiap Kim Hong Liu-nio bahwa lihiap
tidak sekali-kali memusuhi Hwa-i Kai-pang dan peristiwa ini hanya timbul karena
salah sangka belaka. Mengingat bahwa lihiap ini adalah sahabat pangeran mahkota,
bahkan telah berjasa besar, maka aku percaya bahwa Hwa-i Kai-pang suka
menghabiskan perkara ini dan tidak menimbulkan keributan yang hanya akan
mengacaukan keadaan!" jelas bahwa di dalam ucapan itu terkandung ancaman bagi
Hwa-i Kai-pang dan panglima itu berdiri tegak penuh wibawa!
Lo-thian Sin-kai menarik napas panjang. "Biarlah sekali ini kami anggap bahwa
Kim Hong tidak bermaksud menghina Hwa-i Kai-pang. Kawan-kawan, hayo kita pergi!"
Kakek ini lalu menjura kepada panglima itu."Lee-ciangkun, maafkan kami dan
terima kasih atas peringatanmu."
Para pengemis itu lalu pergi dari situ meninggalkan Kim Hong Liu-nio yang kini
berdiri berhadapan dengan Lee Siang. Sejenak mereka saling berpandangan dan
jantung wanita itu berdegup tegang ketika dia melihat jelas betapa sepasang mata
dari panglima itu memancarkan sinar penuh kagum kepadanya. Dia sendiri merasa
terheran-heran. Bagi dia, sudah biasa melihat sinar mata kaum pria ditujukan
kepadanya dengan kagum dan penuh gairah seperti itu, dan biasanya hal ini
kadang-kadang mendatangkan rasa muak dan marah di dalam hatinya, akan tetapi
entah mengapa dia sendiri tidak mengerti mengapa kini jantungnya girang dan
bangga yang aneh menyaksikan betapa sinar mata pria ini begitu penuh kagum
ketika memandangnya! Setelah sinar mata mereka saling bertaut dan melekat untuk
beberapa lamanya, Kim Hong Liu-nio merasa betapa mukanya menjadi panas dan ada
perasaan jengah dan malu yang aneh, yang membuat dia tersipu dan cepat-cepat
menutupi perasaan ini dengan senyum manis.
"Ah, kembali Lee-ciangkun yang telah menyelamatkan aku dari keadaan yang tidak
enak," katanya halus, lalu tanpa disadarinya dia menundukkan mukanya, menahan
senyum dan dari bawah menyambar sinar matanya dalam kerlingan tajam! Inilah
ciri-ciri seorang wanita yang tergerak hatinya oleh seorang pria! Malu-malu,
hendak mengelak, hendak menyembunyikan perasaan, akan tetapi tanpa disadarinya
senyum dan kerling mata yang menyambar itu mengungkapkan isi hati yang
sesungguhnya! "Ciangkun sudah dua kali menolongku, sebaliknya aku tidak pernah
melakukan sesuatu untukmu."
"Dua kali?" Panglima yang merasa senang dan bangga itu pura-pura bertanya.
Kim Hong Liu-nio mengangkat muka. Kembali mereka berpandangan dan wanita itu
tersenyum. Sungguh, andaikata Ceng Han Houw pada saat itu melihat keadaan
sucinya ini, dia tentu akan merasa heran bukan main. Selamanya dia melihat
sucinya ini sebagai seorang wanita yang dingin dan keras, jarang tersenyum dan
kalau tersenyum, maka senyumnya itu itu boleh jadi merupakan tanda maut bagi
lawan. Akan tetapi sekarang, seperti seorang dara remaja yang malu-malu,
bersikap memikat, matanya bermain-main dan suaranga halus. Pendeknya, terjadi
perubahan yang luar biasa anehnya pada diri wanita ini!
"Ah, Lee-ciangkun memang selalu merendahkan diri dan tidak mengingat akan jasa
sendiri, sebaliknya mengangkat jasa orang lain sehingga tadi menyebut-nyebut
tentang jasaku. Kalau tidak ada ciangkun, mana mungkin aku dan sute dapat
memasuki istana" Dan tadi, kalau tidak ada ciangkun, mana aku dapat membebaskan diri sedemikian mudahnya dari pengeroyokan pengemis liar
itu?" Lee Siang tertawa dan memang pria ini amat gagah. Biarpun usianya sudah empat
puluh tahun, namun usia ini tidak mengurangi ketampanannya, bahkan membuat dia
nampak gagah dan matang, seorang jantan yang menarik hati kaum wanita. "Ha-ha,
lihiap terlalu memuji. Tanpa adanya akupun, sudah kulihat betapa tokoh-tokoh
Hwa-i Kai-pang itu tidak berdaya menghadapi lihiap. Ah, sudahlah, aku merasa
girang kita dapat saling jumpa di sini dan pertemuan ini dapat saling mempererat
persahabatan antara kita. Tidak tahu, lihiap hendak pergi ke manakah maka berada
di luar pintu gerbang kota raja?"
"Aku hendak meninggalkan kota raja, sudah mendapatkan ijin dari pangeran
mahkota, untuk kembali te utara melaporkan segala peristiwa kepada sri baginda
raja, juga menyampaikan undangan pangeran mahkota kepada sri baginda agar dapat
hadir di hari penobatan pangeran mahkota nanti."
"Ahh... lihiap hendak kembali ke utara...?" Wajah panglima itu kelihatan kecewa
dan terkejut. "Karena melaksanakan tugas selama belasan hari, aku tidak tahu
akan hal itu dan sekarang, begitu berjumpa, tahu-tahu lihiap sudah akan pergi.
Padahal, mengingat akan persahabatan antara kita, sudah sepatutnya kalau aku
menjamu kepergian lihiap untuk menghaturkan selamat jalan. Akan tetapi, kuharap
saja masih belum terlambat bagiku untuk mengundang lihiap singgah sebentar ke
rumahku untuk menerima secawan dua cawan arak ucapan selamat jalan dariku.
Marilah, lihiap, aku mengundang lihiap dengan hormat dan sangat, demi
persahabatan kita, untuk singgah sebentar di rumahku. Aku tidak ingin melihat
lihiap pergi dan kita saling berpisah tanpa kesan, hanya berpamit di tengah
jalan seperti ini!" Pandang mata panglima itu penuh permintaan, penuh keharuan
dan penuh kemesraan dan hati yang dingin dan keras dari wanita itu seketika
mencair dan dia mengangguk sambil tersenyum! Dengan girang sekali Panglima Lee
Siang lalu menuntun kudanya dan pergilah mereka berdua kembali ke selatan,
menuju ke pintu gerbang di mana para penjaga menyambut mereka dengan sikap
hormat dan juga dengan penuh keheranan mengapa Kim Hong Liu-nio yang baru saja
pergi meninggalkan pintu gerbang kini sudah datang kembali, berjalan bersama
Panglima Lee yang duda itu dalam keadaan begitu mesra seperti dua orang sahabat
lama. Tak lama kemudian kedua orang ini sudah duduk saling berhadapan di dalam ruangan
besar di gedung Panglima Lee. Sebuah meja melintang menghalang di antara mereka,
meja yang penuh dengan hidangan masakan-masakan yang masih mengepulkan uap panas
dan tercium bau harum arak yang baik. Setelah para pelayan mempersiapkan
hidangan-hidangan itu di atas meja, dengan gerak tangannya Panglima Lee Siang
lalu memberi isyarat mengusir mereka semua. Kini Lee-ciangkun dan Kim Hong Liu-
nio hanya berdua saja di dalam ruangan itu dan Panglima Lee segera menuangkan
arak dan mengajak wanita itu minum arak. Tanpa hanyak cakap mereka lalu mulai
makan minum. Keduanya merasa canggung! Sungguh amat mengherankan hati mereka
sendiri masing-masing mengapa mereka kini tiba-tiba saja menjadi pemalu sekali
dan canggung, jantung mereka berdebar seperti dua orang pemuda dan dara remaja
saja! "Silakan minum demi persahabatan kita lihiap!" kata Lee Siang sambil mengangkat
cawan araknya yang sudah dipenuhinya bersama cawan tamunya itu. Sambil
tersenyum, Kim Hong Liu-nio mengangkat cawan dan meminumnya.
"Kini aku yang minta agar ciangkun suka minum sebagai pernyataan terima kasihku
atas pertolongan dua kali itu!" Kim Hong Liu-nio menuangkan arak ke dalam cawan
mereka dan sambil tersenyum Lee Siang meminum habis arak itu.
"Dan sekarang aku persilakan lihiap minum sebagai ucapan selamat jalan... ah,
tidak! Belum! Jangan lihiap pergi dulu...!" kata panglima itu yang sudah mulai
merah mukanya. Biarpun Lee Siang juga seorang gagah yang memiliki kepandaian
tidak rendah sebagai seorang Panglima Kim-i-wi, akan tetapi, dalam hal minum
arak, dia masih kalah kuat dibandingkan dengan Kim Hong Liu-nio yang memiliki
tenaga sin-kang yang sudah mencapai tingkat amat tinggi itu. Tiba-tiba panglima
itu nampak berduka begitu teringat bahwa wanita itu sebentar lagi akan pergi
meninggalkannya. "Lihiap, harap jangan pergi sekarang..., harap lihiap menunda keberangkatan itu
sampai besok pagi... dan aku mempersilakan lihiap untuk bermalam di sini, dan
anggaplah rumah ini sebagai rumah lihiap sendiri..."
Kim Hong Liu-nio memandang tajam, akan tetapi karena dia tidak melihat sikap
kurang ajar ketika panglima itu mengeluarkan kata-kata itu, dia tidak jadi marah
dan malah tersenyum. Makin heranlah rasa hatinya. Kalau saja yang mengucapkan


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kata-kata itu pria lain, tentu dia sudah menggerakkan tangan membunuhnya! Akan
tetapi aneh, ucapan itu sama sekali tidak membuat dia marah, bahkan sebaliknya,
jantungnya berdebar aneh dan ada rasa girang yang amat besar memenuhi hatinya!
Dan rasa girang ini membuat mukanya menjadi merah sekali. Dia menjadi gugup dan
untuk menyembunyikan perasaannya itu, dia menoleh ke kiri.
"Sunyi sekali di ruangan yang besar ini, ciangkun. Kalau aku boleh mengetahui,
mengapa begini sunyi" Di mana keluarga ciangkun" Aku ingin berkenalan dengan
mereka." "Ahh...!" Dan wajah panglima itu menjadi muram sekali. Sejenak dia menunduk
tanpa dapat menjawab. "Mengapa, ciangkun" Maafkan kalau pertanyaanku tadi menyinggung. Bukan maksudku
untuk menyinggung, akan tetapi..."
"Tidak, engkau tidak bersalah, lihiap. Karena engkau tidak tahu. Ketahuilah
bahwa aku hanya tinggal seorang diri saja di gedung ini, tentu saja hanya
bersama para pengawal dan pelayanku. Tentang keluarga... ah, aku hidup seorang
diri, hidup sebagai seorang duda kesepian. Isteriku telah meninggal dunia tanpa
meninggalkan keturunan dan semenjak itu, aku hidup dalam dunia yang sepi dan...
dan baru sekarang inilah, baru saat ini aku merasa... betapa senangnya hidup..."
"Aihh..., maafkan aku ciangkun." Kim Hiong Liu-nio berkata dan tidak dapat
melanjutklan kata-katanya lagi. Hatinya terharu dan dia merasa makin malu.
Kiranya panglima ini adalah seorang duda, tanpa isteri dan tanpa keluarga!
"Kim Hong Liu-nio...!" Tiba-tiba terdengar suara panglima itu, suaranya
menggetar dan agak parau, berbeda sekali dengan tadi, dan dalam menyebutkan nama
itu, terdapat kemesraan yang mengejutkan. Wanita itu mengangkat muka memandang.
Dua pasang mata bertemu menyeberang meja, sampai lama mereka saling pandang
seperti hendak menjenguk isi hati masing-masing. Wanita itu tidak menjawab,
melainkan memandang dengan penuh penantian, kedua pipinya merah, matanya
bersinar-sinar, mulutnya tersenyum malu-malu seolah-olah dia sudah tahu apa yang
akan didengarnya dari mulut panglima itu.
"Kim Hong Liu-nio, ketahuilah bahwa aku Lee Siang sejak dahulu suka berterus
terang, suka bersikap sebagai laki-laki sejati dan tidak ingin menyimpan rahasia
yang akan mendatangkan derita. Oleh karena itu, sebelumnya, maafkanlah kalau aku
terlalu terus terang kepadamu karena aku mengenalmu sebagai seorang wanita
perkasa yang tentu juga menghargai kegagahan dan kejujuran..."
"Katakanlah, dan jangan ragu-ragu, ciangkun, akupun suka akan kejujuran..."
Hampir wanita itu tidak mengenal suaranya sendiri! Suaranya menjadi gemetar dan
agak parau, padahal belum pernah selama hidupnya dia merasakan ketegangan
seperti ini. Dan hampir dia tidak berani menatap wajah panglima yang duduk amat
dekat di depannya itu, hanya terhalang sebuah meja yang kecil saja, meja yang
kini sudah bersih karena mangkok piring telah disingkirkan oleh pelayan. Wajah
yang begitu gagah dan tampannya dalam pandang mata Kim Hong Liu-nio, yang
membuat jantungnya berdebar tegang dan membuat dia merasa terheran-heran karena
seolah-olah dia telah mengenal wajah tampan itu selama hidupnya! Sebaliknya,
panglima itu tanpa pernah berkedip menatap wajah yang cantik manis di depannya
itu, terutama sekali titik hitam, tahi lalat di dagu bawah bibir itu, membuat
wanita itu kelihatan cantik bukan main.
"Liu-nio, aku cinta padamu!" Ucapan itu dikeluarkan dengan ketegasan seorang
panglima perang! Demikian tiba-tiba sehingga Kim Hong Liu-nio cepat mengangkat
mukanya dan sejenak mereka berpandangan, pandang mata mereka saling melekat dan
agaknya sukar untuk dipisahkan lagi.
"Aku cinta padamu, dan perasaan ini timbul semenjak pertama kali aku melihatmu
di pintu gerbang istana itu. Tadinya kutahan-tahan, mengingat bahwa aku hanyalah
seorang panglima kasar yang sudah duda dan engkau seorang pendekar wanita yang
berjasa terhadap sri baginda, akan tetapi makin lama tidak dapat aku menahannya
dan kebetulan sekali kita bertemu di luar dinding kota raja. Maka sebelum
terlambat, sebelum engkau pergi, kukatakan ini, Liu-nio, bahwa aku cinta
padamu!" Perlahan-lahan Kim Hong Liu-nio tersenyum, lalu menundukkan mukanya, kedua
pipinya menjadi merah sekali. Dia merasa betapa hatinya nyaman dan senang
sekali, perasaan yang belum pernah dialaminya sebelumnya. Biasanya, pandang mata
pria yang terang-terangan terpesona kepadanya menimbulkan muak dan marah,
apalagi kalau sampai ada yang menyatakan cinta dengan kata-kata seperti itu.
Tentu akan dibunuhnya, tanpa ampun lagi pria yang berani berlancang mulut
mengatakan hal itu kepadanya. Akan tetapi sekali ini, dia merasa diayun ke sorga
ke tujuh ketika mendengar pengakuan cinta Panglima Lee Siang.
Tiba-tiba seluruh tubuh Kim Hong Liu-nio terasa panas dingin dan kakinya
menggigil ketika dia merasa betapa tangan kanannya yang tadi berada di atas meja
telah dipegang oleh sebuah tangan yang besar dan kuat hangat. Kim Hong Liu-nio
adalah seorang wanita yang selain masih perawan, juga selama hidupnya belum
pernah dia berdekatan dengan seorang pria, apalagi sampai dipegang tangannya
dengan cara yang demikian mesra dan penuh perasaan! Dia mengangkat mukanya. Akan
tetapi begitu bertemu pandang dengan sepasang mata Lee Siang yang memandangnya
dengan penuh perasaan, dia lalu membuang muka dengan malu, akan tetapi dia tidak
menarik tangan kanannya yang digenggam oleh panglima itu.
"Liu-nio kau... sudilah kiranya engkau minum secawan arak ini..." suara panglima
itu gemetar dan juga jari-jari tangannya yang menggenggam tangan kecil wanita
itu mengeluarkan getaran-getaran yang terasa sampai ke dalam lubuk hati Kim Hong
Liu-nio. Wanita ini menjadi gugup dan malu bukan main, dia tidak berani memandang, tidak
berani bicara, hanya menggunakan tangan kirinya untuk menolak cawan yang
disodorkan kepadanya. "Liu-nio, aku tahu betapa lancangnya mulutku dan betapa sukarnya bagi seorang
wanita terhormat seperti engkau menjawab pertanyaanku. Maka, biarlah arak dalam
cawan ini sebagai lambang cintaku kepadamu, kuhaturkan kepadamu. Kalau engkau
menerima cintaku, terima dan minumlah arak ini, kalau engkau menolak berarti
engkau menolak cintaku."
"Aihhh...!" Kim Hong Liu-nio terkejut mendengar itu dan dia menjadi serba salah.
Diangkatnya mukanya memandang dan begitu melihat pandang mata panglima itu, dia
tahu bahwa dia tidak akan mampu menolaknya! Dia tahu bahwa seluruh jasmaninya,
seluruh hatinya, condong kepada panglima itu dan seolah-olah menanti dan rindu
akan cinta kasih Panglima Lee Siang! Maka dengan tangan gemetar diterimanya
cawan itu lalu sekali tenggak kosonglah cawan itu.
"Kekasihku...!" Lee Siang berseru girang bukan main dan dia cepat bangkit
berdiri, memutari meja dan di lain saat dia telah menarik tubuh Kim Hong Liu-
nio, ditariknya berdiri, dipeluknya dan seperti ada besi sembrani yang menarik
keduanya, tiba-tiba saja mereka telah berciuman!
"Ohhh... ciangkun...!" Kim Hong Liu-nio terisak ketika ciuman itu dilepaskan dan
dia lalu menyembunyikan mukanya di dada yang bidang tegap itu.
Sambil memeluk dan mendekap kepala itu, Lee Siang berdongak ke atas. "Terima
kasih, Liu-nio, terima kasih atas sambutanmu terhadap cintaku! Akan tetapi di
sini tidak leluasa, setiap saat pelayanku dapat masuk. Mari kuantar engkau ke
kamarmu, sayang. Malam ini engkau bermalam di sini!"
Seperti orang yang kehilangan semangat dan seluruh tubuhnya lemas seperti tak
bertulang lagi, setengah dipondong Kim Hong Liu-nio membiarkan dirinya dibawa ke
dalam sebuah kamar, dan ternyata itu adalah kamar panglima itu sendiri! Lee
Siang masih merangkul leher Kim Hong Liu-nio dan hanya menggunakan kakinya untuk
menutupkan pintu kamar, lalu dia membawa wanita itu ke atas tempat tidur dan
mereka terguling di atas pembaringan dalam keadaan saling merangkul.
"Sayangku, kekasihku,, dewiku..." Lee Siang berbisik-bisik dan memeluk,
menciumi, membuat Kim Hong Liu-nio seperti mabok dan lupa segala. Akan tetapi
ketika merasakan jari-jari tangan itu di tubuhnya, tiba-tiba dia sadar dan dia
memegang lengan panglima itu.
"Jangan...! Lee-ciangkun, jangan...!" Katanya dan tiba-tiba wanita itu terisak!
Sungguh luar biasa sekali. Semenjak menjadi murid Hek-hiat Mo-li, belum pernah
Kim Hong Liu-nio menangis, dan agaknya merupakan pantangan bagi wanita dingin
dan ganas itu untuk menangis, menangis terisak-isak seperti seorang perawan di
malam pengantin! "Maafkan aku, Liu-nio. Kenapakah" Bukankah kita sudah saling mencinta dan besok
pagi-pagi akan kuumumkan tentang pertunangan kita, dan kita boleh cepat cepat-
cepat mengatur hari pernikahan kita. Ah, Liu-nio, kekasihku, aku menghendaki
bukti dari cinta kita, aku tidak ingin gagal..." Kembali panglima itu memeluk
dengan penuh kemesraan, akan tetapi Kim Hong Liu-nio menolak dengan halus.
"Ciangkun, kalau kau kasihan kepadaku, jangan...!" rintihnya.
Lee Siang memegang kedua pundak wanita itu, memaksanya menghadapinya dan mereka
kini saling memandang, wanita itu masih terisak dan menggunakan saputangan di
tangan kiri untuk menutupi mulut dan hidungnya, akan tetapi matanya yang basah
kemerahan itu menentang wajah Lee Siang penuh permohonan.
"Kim Hong Liu-nio, katakanlah, engkau tadi telah menerima cintaku, bukankah itu
berarti bahwa bukan aku saja yang cinta kepadamu, akan tetapi engkau juga cinta
kepadaku, bukan?" Wanita itu mengangguk dengan gerakan kepala tegas.
"Nah, lalu mengapa pula engkau menolak pencurahan cintaku" Liu-nio, lihatlah
baik-baik. Aku bukanlah seorang muda lagi. Usiaku sudah empat puluh tahun dan
aku sudah menjadi duda! Dan engkau sendiri, sungguhpun engkau kelihatan seperti
seorang dara remaja, akan tetapi aku dapat menduga, bahwa engkaupun bukanlah
seorang dara ingusan! Maka apa salahnya perbuatan kita ini kalau kita lakukan
dengan dasar cinta dan suka sama suka, apalagi setelah kita besok akan
bertunangan dan disusul dengan pernikahan" Liu-nio kekasihku, setelah kita
saling cinta, apakah engkau masih tidak percaya kepadaku" Kalau aku berlaku
curang dalam hubungan kita ini, apa sukarnya engkau dengan kepandaianmu yang
tinggi itu membunuhku setiap waktu" Sayang marilah..." Dan dia sudah merangkul
lagi dan menciumi bibir wanita itu. Karena gelora nafsunya sendiri, untuk
beberapa lamanya Kim Hong Liu-nio tidak menolak, bukan hanya menyerah, bahkan
secara halus diapun menunjukkan perasaannya terhadap panglima itu dengan gerakan
bibirnya yang membalas ciuman. Akan tetapi kembali dia menolak ketika panglima
itu hendak bertindak lebih jauh.
"Lee-ciangkun, sabarlah dulu dan dengarkan baik-baik kata-kataku. Kalau sekarang
aku menyerahkan diri kepadamu, kalau aku menuruti permintaanmu, sekali saja,
berarti kau tidak akan melihat aku lagi, ciangkun, berarti aku akan mati..."
"Ehhh...!" Lee Siang terkejut bukan main sehingga tiba-tiba dia melepaskan
rangkulannya dan bangkit berdiri, memandang wanita cantik yang masih duduk di
atas pembaringan dengan rambut dan pakaian kusut itu. "Apa... apa maksudmu...?"
Wajah panglima ini berubah pucat dan pandang matanya gelisah sekali. Ucapan
kekasihnya itu benar-benar mengejutkan dan membuatnya cemas sekali.
"Ketahuilah, ciangkun," kata wanita itu setelah menghapus air matanya dan dia
menjadi tenang kembali. "Biarpun usiaku sekarang telah tiga puluh lima tahun,
akan tetapi sesungguhnya aku masih seorang... perawan yang belum pernah dijamah
seorang pria. Selama hidupku baru sekaranglah aku jatuh cinta kepada seorang
pria. Dan kaulihatlah ini, apa yang terdapat di daguku ini?"
Mendengar bahwa wanita ini masih seorang perawan, biarpun begitu cantik jelita
dan usianya sudah tiga puluh lima tahun, bahkan baru sekarang jatuh cinta, Lee
Siang merasa bangga sekali dan dia mengelus dagu itu. "Aku melihat sebuah titik
hitam, sebuah tahi lalat yang membuat engkau kelihatan 1ebih manis, sayang!"
"Akan tetapi titik itu adalah titik tanda maut bagiku, ciangkun!"
"Eh?" Seperti meraba api, tangan yang menjamah dagu itu cepat ditarik kembali.
"Kenapa begitu?"
"Ketahuilah, titik ini adalah titik tanda keperawananku dan begitu aku
menyerahkan diri seorang pria, titik ini akan lenyap dan akupun akan mati di
tangan subo atau di tangan suheng. Aku sudah bersumpah demikian, oleh karena
itulah maka betapapun aku... aku juga cinta padamu, namun aku tetap tidak dapat
menyerahkan diri kepadamu sebelum terpenuhi sumpahku. Kalau sekali saja
kulanggar, biarpun aku bersembunyi di seberang lautan sekalipun, aku tidak akan
mampu lolos dari tangan maut subo atau suheng."
"Ah, sungguh penasaran sekali!" Lee Siang menepuk kepalanya sendiri dan berjalan
mondar-mandir di dalam kamar itu. "Penasaran sekali! Mana di dunia ini ada
aturan seperti itu" Mana ada subo dan suheng sekejam itu?"
"Kautunggu sebentar, ciangkun, akan kuambilkan barang buktinya dan kau akan
mendengarnya nanti." Wanita itu cepat keluar dari kamar, mengambil buntalannya
yang tadi ditaruh di ruangan di mana mereka makan, kemudian dengan cepat dia
sudah kembali ke dalam kamar di mana Lee Siang masih kelihatan penasaran sekali.
Kim Hong Liu-nio mengambil kayu papan berbentuk salib itu dan memperlihatkannya
kepada Lee Siang. "Inilah yang menjadi sumpahku."
Lee Siang menerima kayu papan salib itu dan membaca tiga huruf Cia, Tio, dan
Yap, dan melihat banyak coretan-coretan di bawah tiga huruf itu. Dia membalik-
balikkan salib itu lalu memandang tidak mengerti. "Apa artinya ini?"
Kim Hong Liu-nio menarik napas panjang dan dia lalu duduk di tepi pembaringan,
bersanding dengan Lee Siang dan untuk menguatkan hatinya, dia memegang tangan
panglima itu. Mereka duduk berdekatan dan saling berpegang tangan, kemudian
wanita itu mulai bercerita.
"Belasan tahun yang lalu, aku adalah seorang dayang di istana Raja Sabutai, dan
ketika subo dari Sri Baginda Raja Sabutai terluka dan sakit parah setelah
bertanding dengan musuh-musuhnya, aku ditugaskan untuk merawat nenek itu.
Agaknya nenek itu suka kepadaku maka aku lalu diambil murid. Aku tentu senang
sekali karena nenek itu adalah seorang yang sakti dan memiliki ilmu kepandaian
tinggi sekali, apalagi dengan menjadi muridnya berarti aku juga menjadi sumoi
dari Sri Baginda Raja Sabutai sendiri."
"Siapakah nama subomu itu?"
"Namanya Hek-hiat Mo-li..."
"Ahh...! Sudah kudengar nama itu, pernah menggemparkan ketika terjadi peristiwa
penawanan kaisar dahulu. Jadi engkau adalah sumoi dari Raja Sabutai sendiri"
Hebat!" "Tidak hebat, ciangkun, karena untuk menjadi murid subo aku harus bersumpah dan
sumpah itulah yang kini mengikatku, yang membuat aku terpaksa menolak
keinginanmu, bahkan menekan gelora hatiku sendiri."
Lee Siang merangkul pundaknya dan mencium pipinya. "Aku akan memakluminya, moi-
moi, cintaku kepadamu melarang aku untuk membikin susah padamu. Lanjutkan
ceritamu, apakah sumpah itu?"
"Aku bersumpah bahwa aku tidak akan menikah sebelum aku membunuh tiga orang
musuh dari subo dan membunuh orang-orang yang mempunyai tiga she itu. Setelah
aku berhasil membunuh tiga orang musuh besar subo itu barulah aku diperbolehkan
menikah. Dan titik hitam di daguku ini adalah buatan subo, sebagai tanda
keperawananku. Sekali saja aku menyerahkan diriku kepada seorang pria maka tanda
ini hilang dan subo tentu akan membunuhku, bahkan kalau subo sudah tidak ada,
suhengku, Raja Sabutai yang telah diserahi tugas mewakili subo dan membunuhku."
Lee Siang mengangguk-angguk. "Pantas... pantas engkau memaksa diri menolakku
tadi, moi-moi. Dan aku tidak bisa menyalahkan engkau. Akan tetapi, siapakah
musuh-musuh dari subomu itu" Siapa tahu barangkali aku dapat membantumu sehingga
pelaksanaan sumpahmu itu dapat segera terpenuhi."
"Mereka adalah Cia Bun Houw, Yap Kun Liong dan Tio Sun."
Seketika wajah panglima itu menjadi pucat. "Ahhh...?" Dia memandang wajah
kekasihnya dengan mata terbelalak.
"Kau mengenal mereka?"
"Tentu saja! Siapa yang tidak mengenal nama pendekar-pendekar sakti itu" Cia-
taihiap dan Yap-taihiap amat terkenal, tidak ada seorangpun tidak pernah
mendengar nama mereka, sedangkan Tio Sung kalau tidak salah, bukankah dia itu
putera Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan bekas panglima pengawal di istana?"
Kim Hong Liu-nio mengangguk. "Tahukah engkau di mana mereka tinggal?"
"Cia-taihiap dan Yap-taihiap entah berada di mana, akan tetapi aku tahu di mana
tinggalnya Tio Sun. Akan tetapi, moi-moi, bagaimana mungkin engkau dapat melawan
mereka itu, terutama Cia-taihiap dan Yap-taihiap" Mereka amat sakti! Bahkan
kabarnya mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, subomu itu sendiri, tidak
mampu menandingi Cia Bun Houw taihiap!"
Kim Hong Liu-nio mengangguk dengan tenang. "Akan tetapi subo telah membekali aku
dengan ilmu yang khas untuk menghadapi mereka itu, ciangkun."
"Moi-moi, kenapa engkau masih menyebutku ciangkun?"
Kim Hong Liu-nio yang tadinya sudah bersikap dingin ketika membicarakan musuh-
musuhnya, kini tersenyum dan wajahnya menjadi hangat kembali. Dia merangkul
panglima itu dan berkata manja, "Koko yang baik, kau bantulah aku. Di mana
mereka tinggal" Kalau aku dapat membunuh mereka, tentu tidak ada halangan bagi
kita..." Lee Siang mencium mulut dengan dagu yang bertahi lalat manis itu. Sejenak mereka
tenggelam ke dalam keasyikan gelora nafsu mereka, kemudian teringat akan sumpah
itu, Lee Siang menarik napas dan melepaskan rangkulannya yang hanya akan
menambah gelora gairahnya yang akhirnya toh tidak akan dapat tercurahkan dan
hanya akan mendatangkan kekecewaan belaka.
"Di mana adanya Cia-taihiap tidak ada yang tahu, akan tetapi aku dapat menyebar
penyelidik-penyelidik, moi-moi. Kalau Tio Sun, tadinya dia tinggal di Yen-tai,
di bekas rumah mertuanya, akan tetapi sudah tiga bulan ini dia dan keluarganya
pindah ke kota raja."


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Di sini?" Kim Hong Liu-nio memandang wajah kekasihnya dengan berseri. "Bagus
sekali, di mana" Biar aku ke sana sekarang juga."
"Jangan tergesa-gesa...!"
"Mengapa tidak" Biar berkurang satu tiga orang musuh besar subo itu, tinggal
mencari yang dua lagi."
"Moi-moi, Tio Sun adalah putera dari mendiang Ban-kin-kwi, seorang yang amat
tinggi ilmu kepandaiannya dan kabarnya Tio Sun bahkan tidak kalah lihai oleh
ayahnya itu. Juga isterinya memiliki kepandaian tinggi. Apa kau merasa yakin
bahwa kau akan mampu menandinginya?"
Kim Hong Liu-nio mengangguk.
"Tapi, jangan sekarang. Biar malam ini kau beristirahat di sini, besok saja kau
pergi mencari dia." Lee Siang tetap menahannya. "Moi-moi, kalau kau pergi aku
khawatir sekali..." Panglima yang sudah kegilaan itu merangkul lagi. Akan tetapi
tiba-tiba Kim Hong Liu-nio mendorongnya agak keras dan sebelum panglima itu
lenyap rasa kagetnya, wanita itu telah meloncat ke pintu kamar itu dan
mendorongnya terbuka. Akan tetapi tidak nampak siapa-siapa di situ, hanya nampak
sebatang hui-to (pisau terbang) yang menancap di pintu kamar itu, masih tergetar
dan di bawah pisau itu terdapat sehelai surat. Kim Hong Liu-nio mencabut pisau
itu dan membawa pisau dan surat ke dalam kamar kembali.
"Dari... dari mana pisau itu?" tanya Lee Siang.
"Dilemparkan oleh seorang yang berkepandaian tinggi, berikut suratnya," jawab
Kim Hong Liu-nio dengan tenang. Lee Siang adalah seorang panglima pengawal yang
juga memiliki kepandaian, maka dia menjadi marah sekali.
"Biar kukejar dia, kusiapkan pengawal-pengawal!"
"Percuma, koko. Dia sudah pergi jauh. Dia telah melemparkan pisau itu dengan
tenaga sin-kang yang amat tinggi sehingga pisau itu bisa mencari sasarannya
sendiri ke pintu ini, orangnya tentu berada di atas genteng dan sekarang sudah
pergi jauh." Akan tetapi Lee Siang merasa penasaran. Belum pernah rumahnya ada yang berani
ganggu, maka dia lalu berlari keluar, hanya dipandang saja oleh wanita itu
sambil tersenyum, Kim Hong Liu-nio tidak mengikuti kekasihnya, hanya membuka
kertas berlipat itu yang ternyata adalah sehelai surat.
Tak lama kemudian Lee Siang sudah masuk kembali dengan alis berkerut dan wajah
penasaran. "Engkau benar, moi-moi, tidak ada tanda sedikitpun juga. Eh, surat
apakah itu?" Kim Hong Liu-nio sudah membaca surat itu dan dengan tenang dia menyerahkan
sehelai surat itu kepada Lee Siang yang segera membacanya di bawah penerangan
lampu dalam kamar itu. Kim Hong Liu-nio, Kalau dalam waktu tiga hari engkau belum datang ke hutan pertama di sebelah
utara pintu gerbang kota raja untuk bertanding satu lawan satu dengan aku,
terpaksa aku akan datang mengunjungimu di gedung Lee-ciangkun pada malam ke
empat. Hwa-i Kai-pangcu "Ahhh...! Sungguh berani dia!" Lee Siang berseru sambil mengepal tinju dan
meremas surat itu. "Akan kukerahkan pasukan untuk..."
"Jangan, koko. Lihat, dia menantangku secara gagah untuk bertanding satu lawan
satu. Kalau engkau mengerahkan pasukan, bukankah sama halnya dengan aku menjadi
takut dan hendak bersembunyi di balik keangkeran pasukanmu" Sungguh mencemarkan
namaku kalau begitu, koko."
"Habis, bagaimana?"
"Besok pagi-pagi aku akan pergi ke hutan untuk membunuhnya!"
"Kaukira siapa dia itu" Ketua kai-pang itu amat lihai!"
"Aku tidak takut."
Tiba-tiba Lee Siang memandang kekasihnya dengan wajah berseri. "Ah" Kenapa
tidak" Dia akan datang ke sini pada malam ke empat. Bagus, kita adu domba mereka
dan engkau akan dapat melenyapkan seorang musuh besarmu tanpa menimbulkan
keributan." Dengan girang panglima itu lalu merangkul kekasihnya dan hendak
menciumnya. "Nanti dulu, koko." Kim Hong Liu-nio mengelak. "Katakan dulu apa maksudmu?"
"Begini, moi-moi," panglima itu menuntun kekasihnya dan mereka kembali duduk
berdampingan di tepi pembaringan. "Aku akan mengundang Tio Sun untuk membantuku.
Kukatakan bahwa aku diancam oleh seorang penjahat lihai. Dan kalau pada malam ke
empat itu pangcu itu datang, biarlah dia bertanding melawan Tio Sun. Nah, di
situ kau turun tangan membunuh musuh subomu itu. Kemudian kita menyiarkan bahwa
Tio Sun terbunuh oleh Hwa-i Kai-pang. Bukankan itu baik sekali, berarti sekali
tepuk memperoleh dua ekor lalat?"
Kim Hong Liu-nio mengangguk-angguk. "Aih, ternyata engkau hebat dan pandai
bersiasat koko." Demikianlah, semalam suntuk dua orang laki-laki dan wanita yang sudah lebih dari
dewasa ini seperti pengantin baru di dalam kamar itu, hanya mereka tidak
melampaui garis yang akan mengakibatkan lenyapnya tahi lalat di dagu wanita itu.
Bagaikan api yang diberi umpan, nafsu yang ditahan-tahan akan menjadi makin
berkobar ganas. Dan orang yang sudah dicengkeram nafsunya sendiri akan menjadi
seperti buta. Lee Siang, seorang panglima pengawal istana yang selalu menjunjung
kegagahan, karena cengkeraman nafsunya, kini hanya mempunyai satu tujuan, yaitu
menyingkirkan penghalang-penghalang agar dia dapat segera memiliki wanita itu
menjadi isterinya, dan dalam usaha menyingkirkan penghalang-penghalang ini tentu
saja dia tidak lagi memperhitungkan baik buruknya! Orang yang mabok akan
keinginan mengejar sesuatu, mana mungkin ada yang mau memperdulikan baik buruk
dari caranya mengejar untuk memperoleh itu"
*** Tio Sun adalah seorang pendekar yang tidak terkenal karena memang pendekar ini
tidak pernah menonjolkan dirinya dan semenjak dia menikah dengan isterinya yang
tercinta, dia tidak pernah mau mencampuri urusan kang-ouw sehingga namanya tidak
begitu menonjol dan tidak dikenal umum, kecuali hanya oleh orang-orang kang-ouw
tertentu saja. Padahal, Tio Sun adalah seorang pendekar yang lihai sekali. Usianya sudah tiga
puluh tiga tahun, melihat pakaiannya yang sederhana dan dia suka dengan warna
kuning, orang tidak akan menyangka bahwa dia adalah putera tunggal mendiang Ban-
kin-kwi Tio Hok Gwan, jagoan istana yang pernah menjulang tinggi namanya. Tio
Sun bukan seorang pria yang tampan, akan tetapi dia memiliki sifat gagah dan
jantan, pendiam, halus budi, berhati mulia, bersikap tegas dan jujur. Kedua
matanya yang sipit itu seperti orang yang mengantuk selalu, akan tetapi dari
balik mata sipit itu bersinar pandang mata yang tajam dan penuh kewaspadaan.
Sudah kurang lebih sebelas tahun pendekar ini menikah dengan Souw Kwi Eng,
seorang gadis yang luar biasa cantiknya, yang memiliki kecantikan yang khas,
karena Souw Kwi Eng ini seorang gadis peranakan, ibunya pribumi dan ayahnya
seorang asing, yaitu seorang berbangsa Portugis yang bernama Yuan De Gama. Souw
Kwi Eng ini juga mempunyai nama Portugis, yaitu Maria De Gama.
Para pembaca cerita Si Dewi Maut tentu sudah mengenal baik suami isteri Tio Sun
dan Souw Kwi Eng ini, karena keduanya juga merupakan tokoh-tokoh penting dalam
cerita Si Dewi Maut itu. Seperti telah diceritakan dalam cerita Dewi Maut, Souw
Kwi Eng adalah seorang anak kembar, yaitu dengan saudaranya atau kakaknya yang
bernama Souw Kwi Beng alias Ricardo De Gama.
Karena ayah mertuanya adalah seorang pedagang yang kaya, sedangkan dia sendiri
sudah sebatangkara, maka setelah menikah, Tio Sun tinggal di kota Yen-tai di
pelabuhan Po-hai di mana ayah mertuanya tinggal dan di situ dia membantu
pekerjaan ayahnya bersama iparnya, yaitu Souw Kwi Beng. Dia tinggal di Yen-tai
dengan tentram dan hidup saling mencinta dengan istrinya, sampai anak tunggal
mereka lahir dua tahun setelah mereka menikah. Tentu saja kelahiran Tio Pek
Lian, anak perempuan mereka itu, makin membahagiakan suami isteri itu, bahkan
anak ini amat disayang oleh kakek dan neneknya, juga oleh pamannya yang tinggal
serumah. Kemudian, setelah Tio Pek Lian berusia sembilan tahun, terjadilah perubahan.
Yuan De Gama bersama isterinya, yaitu bekas pendekar wanita Souw Li Hwa yang
menjadi murid dari panglima sakti The Hoo yang merasa sudah tua dan rindu kepada
tanah airnya di Eropa, lalu mengajak isterinya itu untuk pulang ke Portugis.
Semua pekerjaan ditinggalkan kepada Souw Kwi Beng yang tetap tinggal di Yen-tai.
Kemudian, perdagangan itu membutuhkan perwakilan di kota raja, maka Tio Sun dan
isteri serta puterinya lalu pindah ke kota raja sebagai cabang dari perusahaan
iparnya di Yen-tai itu. Demikianlah, tanpa banyak ribut dan tanpa diketahui orang, Tio Sun pendekar
putera mendiang seorang jagoan istana itu kini tinggal di kota raja dengan diam-
diam, bersama dengan isterinya dan puterinya yang telah berusia sembilan tahun.
Di kota raja Tio Sun membuka toko dan menjual dagangan-dagangan yang didatangkan
dari luar negeri oleh iparnya di Yen-tai. Hidupnya cukup tentram dan suami
isteri ini mulai mendidik puteri mereka dengan ilmu silat karena selain Tio Sun
sendiri adalah seorang pendekar yang pandai, juga isterinya, Souw Kwi Eng,
adalah seorang pendekar wanita yang lihai pula. Tentu saja di samping pendidikan
ilmu silat, Tio Sun tidak melupakan pendidikan ilmu baca tulis kepada puterinya,
sedangkan Souw Kwi Eng juga tidak melupakan untuk memberi pelajaran segala macam
kepandaian puteri kepada Pek Lian.
Segala sesuatu berjalan lancar dan keluarga ini sama sekali tidak mengira bahwa
perpindahan mereka dari Yen-tai ke kota raja itu diam-diam diketahui oleh para
tokoh di istana, termasuk pula Panglima Lee Siang. Betapapun juga, nama mendiang
ayah Tio Sun, yaitu Ban-kin-kwi (Iblis Selaksa Kati) Tio Hok Gwan, terlampau
terkenal untuk melewatkan putera tunggalnya begitu saja. Ban-kin-kwi Tio Hok
Gwan adalah pembantu yang dipercaya oleh mendiang Panglima Besar The Hoo, maka
tentu tentu saja biarpun dia sudah tidak ada, namun puteranya masih diperhatikan
oleh para tokoh di istana, sungguhpun pendekar ini tidak diganggu karena dia
telah menjadi seorang pedagang.
Baru tiga bulan semenjak Tio Sun pindah ke kota raja, pada suatu pagi muncullah
Panglima Lee Siang yang berpakaian seperti penduduk biasa ke rumah pendekar ini.
Tio Sun tidak mengenal Lee Siang, maka dia memandang heran ketika tamu itu
memperkenalkan diri sebagai panglima pengawal Lee Siang!
Sebagai seorang yang sopan dan ramah, Tio Sun lalu mempersilakan tamunya duduk
di ruangan tamu. Setelah saling memberi hormat dan duduk berhadapan, Lee Siang
lalu berkata, "Harap Tio-taihiap suka memaafkan saya kalau kedatangan saya ini
mengganggu. Saya datang bukan sebagai panglima pengawal istana, melainkan
sebagai seorang sahabat yang amat menghormat dan mengagumi mendiang ayah
taihiap." Tio Sun merasa seperti pernah mengepal wajah itu, maka dia lalu teringat kepada
Panglima Lee Cin, juga Panglima Kim-i-kwi dari istana. "Maafkan saya, akan
tetapi rasanya saya belum pernah berkenalan dengan ciangkun."
"Nama saya Lee Siang..."
"Ah, apakah masih ada hubungan dengan Panglima Lee Cin?"
"Lee Cin adalah kakak saya."
"Ahh...!" Tio Sun tersenyum girang. "Sungguh merupakan kehormatan besar sekali
bahwa saya menerima kunjungan dari Lee-ciangkun. Tidak tahu ada urusan apakah
yang membawa ciangkun datang ke tempat kami ini?"
"Sekali lagi maaf, taihiap. Kedatanganku ini hanya mengganggu saja, akan tetapi
karena saya sudah merasa putus asa dan gelisah sekali, maka mendengar bahwa
taihiap kini tinggal di kota raja, maka saya teringat akan mendiang ayah taihiap
yang berjiwa pendekar dan selalu menolong siapa saja yang sedang menghadapi
kesukaran. Karena saya sedang terancam bahaya mohon pertolongan taihiap untuk
menyelamatkan saya."
Tio Sun tersenyum tenang, menganggap omongan itu seperti kelakar saja. "Aih,
Lee-ciangkun, harap jangan main-main. Ciangkun adalah seorang Panglima Kim-i-wi
siapakah yang berani main-main dengan ciangkun" Bagaimana mungkin keselamatan
ciangkun terancam bahaya sedangkan ciangkun menguasai pasukan Kim-i-wi yang
terkenal kuat?" Lee Siang menarik napas panjang. "Itulah susahnya, taihiap. Karena saya seorang
panglima, maka saya tidak mau membawa-bawa nama Kim-i-wi, karena kalau hal itu
diketahui oleh sri baginda kaisar, tentu saya akan mendapat hukuman. Urusan ini
adalah urusan pribadi, maka saya datang kepada taihiap juga dengan pakaian
preman, sebagai Lee Siang yang pernah mengagumi ayah taihiap dan yang hendak
minta tolong kepadamu, bukan sebagai seorang Panglima Kim-i-wi."
Karena Lee Siang menyebut-nyebut nama mendiang ayahnya, dan mengingat bahwa
panglima ini adalah adik dari Panglima Lee Cin yang dikenalnya dan dihormatinya,
maka Tio Sun lalu berkata, "Harap ciangkun ceritakan apakah sebenarnya urusan
itu" Mungkin tanpa bantuanku juga engkau akan dapat membereskannya."
"Urusan ini adalah urusan pribadi, yang mula-mulanya timbul dari urusan seorang
wanita, taihiap. Karena itulah maka saya tidak berani memberitahukan orang lain,
karena malu, dan apalagi kalau harus menggunakan Kim-i-wi! Mungkin taihiap sudah
mendengar tentang seorang pangeran putera dari sri baginda kaisar dari utara
yang baru saja datang bersama seorang wanita pengawalnya dan yang telah
menyelamatkan kaisar dari pengkhianatan, bukan?"
Tio Sun tersenyum. Dia sudah mendengar akan hal itu dan dia tahu pula siapa
pangeran itu. Siapa lagi kalau bukan putera Ratu Khamila di utara" Dahulu,
bersama Souw Kwi Beng yang belum menjadi iparnya, dia pernah pergi ke utara dan
menjadi tamu dari Sabutai, dan dia telah bertemu Ratu Khamila yang minta dia
menyampaikan pesan ratu cantik itu setelah menjenguk puteranya, agar diberitakan
kepada kaisar bahwa puteranya itu mempunyai tahi lalat merah di sebelah kanan
pusarnya (baca cerita Si Dewi Maut). Tentu saja dia sudah menduga bahwa putera
Ratu Khamila itu adalah keturunan kaisar ketika kaisar ditawan dahulu. Dan kini,
putera kaisar itu sudah hampir dewasa, malah bersama pengawal wanitanya yang
kabarnya lihai itu telah menyelamatkan kaisar, ayah kandungnya.
"Saya sudah mendengar tentang itu, Lee-ciangkun."
Lee Siang menarik napas panjang. Mudah bicara dengan pendekar ini yang pendiam
akan tetapi penuh pengertian.
"Nah, wanita itu bernama Kim Hong Liu-nio, pengawal dari sang pangeran. Sebelum
menghadap ke istana, Kim Hong Liu-nio telah salah faham dengan Hwa-i Kai-pang
sehingga terjadi pertempuran dan fihak Hwa-i Kai-pang kalah. Akan tetapi, fihak
Hwa-i Kai-pang tidak menerima kekalahan itu dan ketika Kim Hong Liu-nio hendak
keluar kota raja, dia dikepung dan dikeroyok. Untung saya datang dan saya
melerai mereka, lalu menyelamatkan Kim Hong Liu-nio ke rumah saya. Dan kami...
Peristiwa Merah Salju 2 Tiga Dara Pendekar Siauw-lim Karya Kho Ping Hoo Golok Kilat 3
^