Pencarian

Pendekar Pedang Sakti 18

Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen Bagian 18


sedangkan pendeta pertama yang mendarat disitupun sudah
melihat pula kepada kedua orang itu, hingga mereka
dengan serentak berteriak-teriak saking kegirangan, kemudian dengan langkah yang cepat sekali mereka berlari-
lari untuk menghampiri kepada Peng Hoan Siangjin dan
sipemuda she Lie. (Oo-dwkz-oO) Jilid 37 Peng Hoan Siangjin menjadi sangat terkejut dan buru-
buru mengangkat badannya untuk melarikan diri, tapi
sekonyong-konyong bajunya kena ditarik dengan kencangnya oleh seseorang.
Tatkala dia menolehkan kepalanya memandang, barulah
dia ketahui, bahwa orang yang menarik bajunya itu adalah
Lie Siauw Hiong sendiri. Pada saat itu, dengan muka yang bersungguh-sungguh
Lie Siauw Hiong lalu berkata dengan nada yang perlahan:
"Siangjin, kau tidak usah menyembunyikan diri pula .."
Tidak terasa lagi Peng Hoan Siangjin jadi merasa
tercengang, dan dengan terhentinya langkahnya seketika
itu, ternyata para pendeta Siauw Lim itu sudah berlari-lari
dengan langkah yang pesat sekali, sehingga tidak lama
kemudian mereka sudah sampai dihadapan Hweeshio tua
tersebut. Setelah itu, para pendeta itu dengan rapih dan secara
berturut-turut pada menjatuhkan diri berlutut dihadapan
Peng Hoan Siangjin. Permimpin rombongan para pendeta
itu adalah Tie Kheng Taysu, sedangkan Bu Lim Cie Siu
Sun Ie Tiong tampak berlutut pada baris yang paling
belakang sekali. Sambil berlutut Tie Kheng berkata: "Leng Kong
Couwsu, kau .. kau apakah masih ingin membobongi
Teecu?" Saking gugupnya, Peng Hoan Siangjin tampak menggoyang-goyangkan sepasang tangannya sambil berkata
dengan suara nyaring: "Bukan, bukan, aku beritahukan
kepada kalian, bahwa aku ini bukanlah Leng Kong Taysu ..
bukan Leng Kong Taysu .."
Tie Kheng Taysu jadi terkancing mulutnya demi
mendengar perkataan orang tua itu. Ia hanya mampu
mengeluarkan dua kali suara "Ah", tapi selanjutnya tak
dapat pula berkata-kata barang sepatahpun. Dan tatkala
melihat Peng Hoan Siangjin hendak mengangkat bangun
untuk ditinggalkannya pergi, dengan air mata bercucuran
dia berkata: "Teecu tidak berguna sama sekali, hanya ..
hanya mohon supaya Couwsu sudi memandang muka Sang
Buddha .." Peng Hoan Siangjin lantas berseru: "Jika ada omongan
sesuatu, bolehlah engkau bicarakan untuk dirundingkan,
tetapi janganlah engkau lekas menangis, hingga perbuatanmu ini tak berbeda dengan lakunya anak kecil saja
.." Oleh kata-kata dan perlakuan Peng Hoan Siangjin ini,
Tie Khong sesungguhnya menjadi serba salah, apakah baik
ia menangis atau tertawa. Tetapi diwaktu memikirkan
tentang kejayaan Siauw Lim pada masa yang lampau,
hatinya menjadi sangat terharu dan tiba-tiba dengan
mengeluarkan suara "Oweeeeeeeeeee"
dia lantas memuntahkan darah segar. Hal mana, telah membuat Peng Hoan Siangjin terkejut
bukan kepalang. Buru-buru dia menghampiri dan menepuk
punggung Tie Kheng satu kali, kemudian dengan perlahan
dia mengurut dadanya dua kali, dan setelah menghela
napas tanda berduka dia berkata: "Ai! Kalian bukan main
menderitanya! .. Baiklah aku beritahukan pada kalian,
bahwa aku ini memang benarlah Leng Kong Taysu .."
Tie Kheng yang mendengar Peng Hoan Siangjin telah
mengakui bahwa dirinya benar adalah Leng Kong Taysu,
saking girangnya lantas dia berlompat bangun, tapi
kemudian lantas berlutut pula sambil berkata: "Teecu ..
Teecu tak tahu harus mengatakan bagaimana .. Couwsu ..
selama tahun-tahun ini, apakah Couwsu baik-baik saja" Ai!
Ternyata Thian mengasihani kami sekalian .."
Sesudah berkata demikian, tanpa merasa dia telah
mengeluarkan airmata pula.
Dalam pada itu, wajah Peng Hoan Sinngjin terlihat
roman yang merasa terharu sekali, tapi tidak lama
kemudian perasaan tersebut sudah kembali seperti sediakala
pula. Dengan suara yang agak gemetaran Tie Kheng Taysu
lalu berkata: "Teecu memohon dengan sangat, agar supaya
Couwsu sudi kembali kedalam kuil."
Sambil berkata begitu, Tie Kheng segera mengangkat
mukanya memandang pada Peng Hoan Siangjin, sedangkan
para pendeta Siauw Lim lainnyapun pada melirikkan
matanya memandang pada Hweeshio tua tersebut. Hal
mana, pun diturut oleh Lie Siauw Hiong yang berdiri
berdekatan. Peng Hoan Siangjin lalu mengangkat mukanya
memandang keangkasa raya, tampa mengucap barang
sepatah katapun juga. Tie Kheng Taysu lalu berkata: "Teecu sekalian sangat
mengharap agar Couwsu suka memandang muka sang
Buddha dan sudilah apa kiranya mengikut Teecu sekalian
kembali kekuil Siauw Lim Sie lagi."
Sekonyong-konyong Peng Hoan Siamgjin menghela
napas panjang, kemudian dengan suara perlahan ia
menjawab: "Aku siorang tua telah berkeliaran selama
ratusan tahun sebagai seorang pendeta babas, maka bila
kalian ingin memanggilku kembali kekuil lagi, hal itu
sesungguhnyalah ada sangat mustahil sekali .."
Para pendeta Siauw Lim ketika memdengar perkataan
Hweeshao tua itu, hati mereka jadi merasa agak terkejut,
tapi tidak disangka, bahwa Peng Hoan Siangjin telah
melanjutkan perkataannya: "Hanya, aku sioramg tua
sebenarnya telah keluar dari pintu kuil Siauw Lim Sie,
sekalipun kepandaian yang kuiliki ini sebagian besar adalah
hasil ciptaanku sendiri, tapi dasarnya adalah dengan
mengambil inti sari dari buku-buku yang telah kubaca dari
kitab-kitab yang terdapat didalam kuil Siauw Lim tersebut.
Oleh karena itu, aku pasti akan mengembalikan
kepandaianku yang telah kuwariskan itu kepada kaum
Siauw Lim Sie." Tie Kheng Taysu tampaknya hendak berkata-kata lebih
jauh, tapi dengan segera dia merasa dibelakangnya ada
seorang pendeta tua yang telah memberi isyarat dengan
menarik punggungnya, agar supaya dia jangan melanjutkan
dahulu bicaranya. Sudah itu Peng Hoan Siangjin lalu melanjutkan
bicaranya: "Aku lihat bocah berlutut pada baris yang paling
belakang disana itu cukup cerdik untuk aku wariskan ilmu
pelajaranku, maka akan kubawa dia kepulauku untuk
maksud tersebut." Sambil berkata begitu, dia menunjuk pada Sun Ie Tiong
yang berlutut pada baris yang paling belakang itu.
Tie Kheng Taysu yang mendengar perkataan Peng Hoan
Siangjin ini, diapun segera mengetahui, bahwa seandainya
dia memaksa untuk meminta Hweeshio tua itu kembali
kekuil Siauw Lim Sie, sudah tentu sekarang tidak mungkin
lagi, karena Peng Hoan Siangjin telah menyanggupi untuk
mewariskan pelajaran aslinya kepada Sun Ie Tiong, hingga
dengan begitu, partai Siauw Lim masih ada harapan pula
akan maju dikemudian hari, maka karena itu juga, diapun
lalu berdirilah tanpa berkata apa-apa pula.
Sementara Lie Siauw Hiong yang sekonyong-konyong
mendapatkan Tie Kheng Taysu seakan-akan tengah
memandangnya dengan roman yang ragu-ragu, tampaknya
dia ingin mengatakan sesuatu kepadanya, hingga Siauw
Hiong yang berotak sangat cerdik, lantas dia mengetahui,
bahwa Tie Kheng Taysu merasa canggung sekali akan
kedudukannya. Karena Tie Kheng Taysu yang mengira
bahwa dia adalah murid Peng Hoan Siangjin, maka dia
mesti menganggap Lie Siauw Hiong seorang Loo-cian-
pwee, meski umur sipemuda belum berapa tua.
Tiba-tiba Lie Siauw Hiong berkata kepada Sun Ie Tiong:
"Sum Heng, aku mengucapkan selamat kepadamu, yang
ternyata telah beruntung dipilih oleh Peng Hoan Siangjin
Loo-cian-pwee sebagai muridnya, hingga kesempatan baik
ini sungguh sukar sekali akan diperoleh oleh setiap orang .."
Ketika Sun Ie Tiong mendengar sipemuda she Lie
menyebut Peng Hoan Siangjin dengan sebutan 'Loo-cian-
pwee' tapi tidak memanggil 'Suhu' tidak terasa lagi ia
menjadi heran dan bertanya: "Kau mengapakah .."
Dengan tertawa Lie Siauw Hiong berkata: "Aku mana
mempunyai peruntungan yang sedemikian bagusnya untuk
menjadi murid orang tua ini, sehingga Siangjin hanya
memberi petunjuk-petunjuk saja kepadaku .."
Dengan perkataan ini, teranglah sudah, bahwa ia hendak
mengatakan, bahwa dialah bukan murid Peng Hoan
Siangjin. Oleh karena itu, Tie Kheng Taysu lalu berkata: "Ie
Jie, kau harus baik-baik mengikuti Couwsu mempelajari
kepandaian asli yang hebat, kami sekalian pendeta dan
murid-murid Siauw Lim semua mempertaruhkan seluruh
harapan kami diatas pundakmu .. Couwsu, biarlah Teecu
sekalian meminta diri darimu .."
Peng Hoan Siangjin hanya tersenyum saja sambil
memanggut-manggukkan kepalanya.
Setelah itu Tie Kheng lalu berkata kepada Lie Siauw
Hiong: "Lie Sicu, baiklah kami minta diri pula dan bila
benar kita berjodoh satu sama lain, pasti dikemudian hari
kita dapat saling berjumpa pula .."
Kemudian Tie Kheng dan rekan-rekannya dengan laku
yang tergesa-gesa meninggalkan tempat tersebut.
Peng Hoan Siangjin setelah memandang para Houwshio
itu sudah meninggalkannya, dengan perlahan dia menghela
napas. Sekonyong-konyong terdengar satu suara yang keras
sekali, dan berbareng dengan itu, sebuah bayangan hitam
telah melayang turun hendak menerkam kepala ketiga
orang itu. Ternyata batu raksasa yang tadi kena dipukul oleh Heng
Hoo Sam Hut dan belakangan kena pukulan Bu Heng Seng
pula, jika dilihat dari sebelah luar tidak tampak perubahan
apa-apa, tapi dalamya ternyata sudah kopong sehingga kini
gugur dengan menerbitkan suara yang bergemuruh sekali.
Lie Siauw Hiong berseru keras, lalu sepasang tangannya
dirangkapkan, kemudian didorongkannya keluar untuk
memukul batu raksasa yang roboh itu, hingga seketika itu
juga batu raksasa itu telah kena dipukul hancur lebur dan
kepingan-kepingannya beterbangan diudara.
Ternyata jurus yang dipakai oleh pemuda kita untuk
memukul batu itu, adalah apa yang baru saja dapat
diwariskan dari kepandaian Peng Hoan Siangjin, yaitu ilmu
Kong Kong Ciang Hoat dengan jurus yang disebut 'Hui-
long-pay-kong' (ombak yang bergelora sejajar dengan
langit). Menampak hal itu, Peng Hoan Siangjin berseru: "Bocah,
kekuatan pukulanmu itu sungguh hebat sekali!"
Orang yang paling terkejut menyaksikan kehebatan
tenaga dalam pemuda kita, adalah Bu Lim Ci Siu Sun Ie
Tiong, karena dua bulan yang lalu dia pernah bertempur
dengannya, hingga sungguh tidak disangka sama sekali,
ketika baru saja dua bulan tidak berjumpa, tenaga-dalam
pemuda kita sudah maju demikian pesatnya.
Sang hari perlahan-lahan sudah menjelang pagi, dan
sinar matahari pagi mulai menampakkan cahaya yang
lembut menyinari pulau Siauw Ciap Too, sedangkan sinar
puteri malam sudah mulai pudar.
Peng Hoan Siangjin dengan tangan kiri menggandeng
Lie Siauw Hiong dan tangan kanannya menggandeng Sun
Ie Tiong, dengan perlahan-lahan mereka berjalan menyusur
pantai. Setelah perahu mereka sampai dipulau Tay Ciap. Too,
Lie Siauw Hiong yang tinggal tetap berada diatas perahu
menampak Peng Hoan Siangjin dan Sun Ie Tiong naik
kedarat, maka dengan lantas ia berkata kepada Hweeshio
tua itu: "Boan-pwee karena mempunyai urusan yang
penting dan harus buru-buru balik ke Tiong-goan, lain hari
bila ada waktu yang senggang .."
Dengan tertawa Peng Hoan Siangjin lalu memotong
bicara sipemuda sambil berkata: "Bocah, jika memang kau
mempunyai urusan yang penting, kau boleh segera pergi
dan tak usah dengan bertele-tele engkau mengatakan bila
ada waktu yang senggang sudahlah, Ie Jie, mari kita
berangkat." Sehabis berkata begitu, lalu dia menarik tangan Sun Ie
Tiong, kemudian dengan dua kali lompatan saja dia sudah
menghilang kedalam rimba yang berdekatan.
Lie Siauw Hiong setelah menantikan bayangan kedua


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang itu lemyap dari pandangannya, barulah dia
membalikkan tubuhnya dan mengayuh perahunya kembali
menuju kedaerah Tiong-goan.
Angin pagi hari yang meniup dengan santar, membuat
perahu pemuda kita laju terlebih pesat lagi. Tidak antara
lama kabutpun mulai naik dengan perlahan-lahan keudara,
sehingga pemandangan diempat penjuru memjadi samar-
samar kelihatannya. Dalam waktu yang pendek itu, kabut yang tebal tampak
memutih didelapan penjuru angin. Kabut istimewa yang
tebal serupa ini, sering timbul diselat Tong Hay dan
menyukarkan sekali bagi para nelayan disekitar tempat itu
untuk menangkap ikan. Dalam hati Lie Siauw. Hiong berpikir: "Sekalipun kabut
ini sangat tebal dan menjemukan, tapi karena angin meniup
kejurusan yang ditujunya, maka asal aku mengemudikan
perahuku dengan benar, pasti sekali akan dapat memasuki
daerah Tiong-goan dengan tidak kurang suatu apa."
Oleh karena itu, dengan malas-malasan dia duduk
mengendalikan kemudi perahunya, yang dengan secara
mantap sekali meluncur maju dengan amat pesatnya.
Dalam pada itu, tiba-tiba pikiran Siauw Hiong kepada
Ceng Jie yang berwajah ayu dan manis. Tapi dimanakah
sebenarnya sigadis jelita disaat itu"
Didalam hati Siauw Hiong angat cemas memikirkan
nasib sinona yang belum berpengalaman dan kini tengah
berkelana dikalangan Kang-ouw.
Kabut dihadapannya kian lama kian menebal hingga dia
hanya dapat memandang pada jarak sejauh lima tombak
saja, sedanagkan diluar batas tersebut keadaan disekitarnya
sudah menjadi samar-samar.
Terpisah dari kepala penahu dalam jarak sepuluh tombak
jauhnya, terasa ada sesosok bayamgan hitam melewatinya,
yang tampaknya seakan-akan sebuah perahu kecil juga.
Pada saat itu karena Lie Siauw Hiong sudah hampir
mencapai pantai, maka siang-siang dia sudah turunkan
layarnya, tapi dengan berbuat demikian, laju penahunyapun
ternyata tidak menjadi berkurang. Ketika itu dia hanya
merasa sangat heran, mengapa ada lain orang yang berani
melakukan perlayaran dalam kabut yang sedemikian
tebalnya dengan kecepatan yang luar biasa sekali.
Selagi Siauw Hiong memikirkan keadaan yang aneh ini,
sekonyong-konyong dari arah belakangnya tampak melewat
sebuah perahu besar, yang rupannya tengah mengejar
perahu kecil yang dilihat pemuda kita dimukanya itu.
Orang-orang yang berada diatas perahu besar itu karena
terlampau memusatkan perhatian mereka kepada perahu
kecil yang dikejar mereka itu, maka tak tahulah mereka,
bahwa disamping mereka terdapat Lie Siauw Hiong yang
sedang mengayuh perahunya.
Sementara Lie Siauw Hiong yang telah berhasil mengejar
pada belakang perahu besar itu, dengan cepat dia menyekal
tali diatasnya, sehingga dengam sendirinya tubuhnyapun
maju mengikuti lajunya perahu besar tersebut.
Lajunya perahu besar ini jika dibandingkan dengan
perahu kecil dimukanya, sudah tentu saja jauh lebih pesat
lagi, karena tidak lama kemudiam perahu besar itu sudah
mendatangi semakin dekat, hingga dari suara itu dapat
ditetapkan, bahwa perahu itu hanya terpisah kira-kira
tinggal lima tombak saja jauhnya.
Sekonyong-konyong dari sebelah dalam perahu besar itu
terdengan suara orang laki-laki yang kasar, kaku dan parau
dalam bahasa Han, katanya: "Perempuan kecil, lekaslah
dengan secara baik-baik menyerahkan dirimu dan jangan
mencoba melarikan diri pula. Muridku yang telah menaksir
terhadapmu, berarti bahwa kau memperoleh kebahagiaan
yang tidak sedikit!"
Tatkala Lie Siauw Hiong mendengar suara tersebut, ia
menjadi sangat terperanjat dan diam-diam berkata didalam
hatinya: "Aha, ternyata bahwa mereka itu adalah Heng
Hoo Sam Hut! Tapi siapakah orang yang mereka kejar itu"
Jika mendengar perkataan tadi, maka teranglah sudah
bahwa orang yang tengah mereka kejar-kejar itu adalah
seorang wanita." "Perempuan manakah yang telah menarik perhatian
murid Kinposuf itu?" Lie Siauw Hiong bertanya pada diri
sendiri. Tapi orang yang berada dalam perahu kecil itu tidak
meladeni teriakan Heng Hoo Sam Hut, selain mengayuh
perahunya dengan lebih kerap dan cepat, tapi karena dia
sudah menggunakan tenaga habis-habisan dan lama pula,
maka perahunya tidak dapat laju terlebih pesat lagi, hingga
ia sekarang telah semakin dekat jaraknya dengan perahu
besar tadi. Tidak antara lama kemudian, terdengarlah suara seorang
pemuda yang berkata: "Khonio, mengapa engkau harus
melarikan diri dengan tergopoh-gopoh" Kita pasti sekali
tidak akan mencelakaimu, maka kalau ada omongan
sesuatu baiklah kita perbincangkan dengan secara baik-baik
saja." Lie Siauw Hiong yang mendengar suara itu, segera
kenali bahwa pemuda yang berkata-kata itu adalah bukan
lain daripada Kinlungo, hingga tidak terasa lagi dia menjadi
agak jelas persoalannya dan diam-diam dia berpikir:
"Kecuali Kinlungo yang merasa tertarik dengan wanita
diperahu kecil itu, masakah Heng Hoo Sam Hut masih
mempunyai keinginan yang gila itu?"
Ternyata Tiga Buddha dari Sungai Gangga berlaku
sangat keras terhadap murid-murid mereka, tapi terhadap
murid mereka yang terakhir, yaitu Kinlungo, mereka
berlaku amat sungkan serta menyayanginya melampaui
batas. Karena mereka mendapat kenyataan bahwa
Kinlungo ini orangnya sangat cerdik dan pandai bermuka-
muka, hingga diantara murid-murid mereka, dialah murid
yang paling disayang oleh ketiga gurunya ini. Oleh karena
itu, apa saja yang diinginkannya, biasanya selalu tidak
pernah tidak terwujud. "Hm, bangsa liar ini cara bagaimana dapat dibandingkan
dan dipersamakan dengan gadis Tiong-goan yang sopan-
santun?" menggerutu Lie Siauw Hiong didalam hatinya.
Oleh karena sipemuda pernah bertarung dengan
Kinlungo, maka sudah tentu saja dia lebih bersimpati
terhadap wanita tersebut Tidak antara lama terdengar pula
suara Kinlungo yang berkata: "Khonio, mengapa engkau
masih mempertahankan adat-istiadat bangsa Han yang
sudah usang itu" Jika ditilik lukanya yang sudah sedemikian
beratnya, apakah kiranya masih ada harapan akan dia bisa
hidup lagi" Lebih baik dilemparkan keluar saja untuk
menjadi umpannya ikan-ikan! Aku Kinlungo dinegeriku
sendiri Thian Tiok (sekarang Inda) adalah seorang yang
kaya-raya, mengapakah Khonio tidak mau mengikutiku?"
Dengan berkata deikian, Kinlungo bermaksud untuk
memancing pada wanita itu, karena dia mengira bahwa
gadis di Tiongkok gampang saja tertipu dan kemaruk
terhadap harta dunia seperti gadis-gadis dinegaranya
sendiri. Sedangkan orang yang tengah dikejar itu tetap mengayuh
parahunya dengan terlebih keras pula, sehingga kini
terdengar jelas suara wanita itu yang memaki: "Anjing liar
yang kejam dan telengas, nonamu pasti akan membalaskan
sakit hati suamiku itu!"
Suara itu yang mengandung kesedihan yang amat sangat,
menyebabkan Lie Siauw Hiong terpaku dan seolah-olah
terkena pukulan martil yang angat berat, maka dengan
memegang erat-erat pada tali tersebut, mulutnya terdengar
menggerutu: "Dia" Oh, benarkah dia?"
Kemudian dia dapat merasakan, betapa orang itu dapat
melupakannya, dan perkara itu memang telah bersangkutan
dengan dirinya saja, hingga dengan sekonygng-konyong dia
mengenjotkan badannya, dan tubuhnya segera melayang
kebelakang perahu besar itu.
Pada saat itu karena turunnya kabut yang sangat tebal,
maka Heng Hoo Sam Hut yang berada diatas perahu
bersama Kinlungo tidak dapat memergoki pemuda kita
yang kini sedang bersembunyi dibelakang perahu mereka.
Lie Siauw Hiong dengan hati yang tabah segera melangkah
maju setindak demi setindak, dan tatkala berjalan sampai
lima tombak janhnya, tiba-tiba dihadapannya tampak
empat bayangan manusia. Yang berdiri ditengah-tengah adalah seorang yang
bertubuh tinggi besar dan tak dapat disangsikan lagi
tentulah Progota adanya, sedangkan orang yang berdiri
disamping dan memakai pakaian sebagai seorang pelajar,
tidak lain daripada Kinlungo sendiri.
Keempat orang ini sedang memusatkan perhatian
mereka terhadap orang yang tengah melarikan diri
dihadapan itu, sehingga sekali-kali mereka tidak pernah
menyangka, bahwa dibelakang perahu besar mereka
bersembunyi seseorang musuh besar mereka.
Orang yang melarikan diri dimuka mereka, tampaknya
sangat paham sekali terhadap daerah perairan disekitarnya,
dan pada saat itu pengayuh wanita didepannya itu telah
membelok kekanan, sehingga Lie Siauw Hiong mengetahui,
bahwa arah yang dituju wanita itu adalah menuju
kedaratan. Akan tetapi Heng Hoo Sam Hut tinggal tetap membututi
wanita dihadapan mereka dengan sangat rapatnya.
Sekonyong-konyong Progota berbicara dalam bahasanya
sendiri, dengan sepasang tangannya mengangkat jangkar
hendak dilontarkannya kedepan, tapi Kinlungo buru-buru
menghalanginya. Pada saat itu kabut dihadapannya sekonyong-konyong
menjadi demikian tebalnya, dan menurut pemberitahuan
Peng Hoan Siangjin, Lie Siauw Hiong mengetahui bahwa
dia sudah memasuki daerah pesisir, tapi karena selat ditiga
gunung ini dikitari dengan daratan maka kabut demikian
tidak mudah buyar, hingga seketika itu sampaipun lima jari
bila diulurkan agak jauh kemuka, tidak terlihat sama sekali
saking tebalnya kabut tersebut.
Dalam pada itu Lie Siauw Hiong telah menghampiri
semakin dekat kearah keempat orang lawannya yang amat
tangguh itu, hingga kini dia hanya terpisah tiga tombak saja
jauhnya dari mereka, maka jika seandainya pada waktu itu
ketiga pendeta asing tersebut tidak memperhatikan begitu
sangat kepada wanita dihadapan mereka, apakah masih
mungkin Lie Siauw Hiong bisa berlaku aman dalam tempat
persembunyiannya" Hampir dalam saat itu juga sekonyong-konyong
Kinlungo terdengar berseru: "Khonio, lekas berhenti, kalau
tidak, maka Supekku akan melontarkan jangkar kearahmu!"
Tampaknya diapun menginsyafi akan keadaan yang
tidak menguntungkan bagi pihaknya sendiri, karena dalam
kabut yang demikian tebalnya ini, sudah tentu saja pihak
lawannya mudah sekali melenyapkan diri.
Tapi sekalipun orang yang dikejar itu dengan secara licin
dapat melenyapkan dirinya dalam suasana kabut yang tebal
itu, namun dengan mengikuti suara air dari pihak yang
melarikan diri dan disertai tenaga-dalam mereka berempat
yang sangat hebat, maka terus saja mereka mengikuti
dibelakang wanita itu. Progota yang bertabiat paling kasar serta berangasan,
pada saat itu dia telah mengangkat jangkar itu tinggi-tinggi.
Jika dia tak berhasil menyandak pelarian dimukanya itu,
dia sudah bersedia untuk menenggelamkan perahu
lawannya itu, agar supaya orang-orang dikalagan Kang-
ouw tidak mengetahui, bahwa mereka telah menghina
seorang wanita sehingga menerbitkan tertawaan orang
banyak. Siapa tahu justeru dalam saat yang tegang ini, tiba-tiba
perahu dihadapannya lenyap, dan dari empat penjuru
datang ombak yang bergelombang mendampar perahu
besar mereka, hingga kecuali suara ombak, tidak terdengar
suara apa-apa lagi. Buru-buru Kinposuf menarik pulang
pergi sepasang tangannya, untuk mengurangi laju perahu
besarnya itu. Kinlungo yang berdiri digeladak perahu lalu berteriak
dengan suara kenas: "Awas, disebelah kanan terdapat batu
karang!" (kata-kata ini sudah tentu saja telah diteriakkannya
dalam bahasanya sendiri).
Sekalipun laju perahu mereka sudah banyak berkurang,
tapi maju perahu itu masih tetap pesat sekali, hingga perahu
mereka pasti akan hancur tertumbuk dengan batu karang
itu. Sekonyong-konyong terdengar suara bertumbukan yang
keras sekali. Pada sebelum perahu mereka dapat ditahan, tubuh
perahu mereka telah menyeruduk batu karang itu, hingga
sekalipun Heng Hoo Sam Hut mempunyai kepandaian
yang lebih tinggi sekalipun, mereka tidak berdaya untuk
dapat mengelakkan pertumbukan tersebut.
Progota baru saja berpikir hendak memaki, tetapi keburu
dicegah oleh Kinposuf, yang mukanya menunjukkan
senyum penuh kelicikan. Kemudian Kinposuf lalu berseru: "Khonio, engkau benar
pintar sekali, aku Kinposuf merasa sangat bangga sekali atas
sepak terjangmu!" Begitulah dia berbicara dalam bahasa
Han yang kaku, sambil memberi isyarat kepada Progota,
yang segera dapat menangkap apa arti isyarat kawannya itu.
Lie Siauw Hiong yang berotak sangat cerdik, siang-siang
sudah mengetahui tipu muslihat Kinposuf, maka dengan
separuh membungkukkan diri dia sudah maju tiga langkah,
sehingga jaraknya terpisah dengan Kinposuf dan kawannya
sudah sangat dekat sekali.
Tidak antara lama terpisah kurang lebih sepuluh tombak
dari perahu besar mereka, terdengar suara wanita itu yang
berkata dengan suara dingin: "Anjing-anjing bangsa liar,
sekarang barulah kalian dapat merasakan tindakanku.
Tunggulah sampai kalian seorang demi seorang menjadi
umpan ikan-ikan dan udang-udang yang kelaparan!"
Kinposuf tertawa bergelak-gelak, sedangkan tangan


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kanan Progota bergerak dan melemparkan jangkar kearah
perahu wanita dihadapannya itu.
Tenaga Progota jika dibandingkan dengan tenaga Peng
Hoan Siangjin, boleh dikatakan hampir bersamaan saja,
maka sekali dia melemparkan jangkar itu, adalah dengan
tenaga yang sehebat-hebatnya, hingga dengan mengeluarkan suara "sret, sret" jangkar tersebut telah
melayang kearah perahu wanita itu.
Sementara Lie Siauw Hiong yang sudah siang-siang
menduga akan terjadinya peristiwa demikian, dengan cepat
dia mengejar pada jangkar yang tengah melayang mencari
sasarannya itu. Disamping itu, selagi tubuhnya melewati
keempat lawannya itu Siauw Hiong tidak lupa memukulkan
tinjunya pada keempat orang lawannya itu.
Kinposuf yang secara sekonyong-konyong merasakan
ada angin dingin yang menyerang dari belakangnya, dengan
tidak disadari dia sudah membalikkan tubuhnya, dengan
sepasang tangannya menjaga dadanya. Setelah itu, barulah
dia ingin mengambil tindakan berikutnya.
Memang hal itu adalah apa yang diharapkan oleh Lie
Siauw Hiong, karena dengan menggunakan kesempatan ini,
dia sudah melewati kepala perahu mereka dan dengan cepat
mengejar pada jangkar yang tengah melayang itu.
Waktu keempat orang itu menyadari bahwa diri mereka
telah tertipu, ternyata mereka sudah terlambat untuk
mencegah aksi Lie Siauw Hiong selanjutnya. Sedang
Kinlungo yang paling benci terhadap Lie Siauw Hiong,
dalam waktu pendek dia sudah mengenali, bahwa orang
yang menipu mereka itu adalah Lie Siauw Hiong sendiri,
maka tidak terasa lagi dia sudah terlepasan omong sambil
berkata: "Dia" Bocah cilik itu!"
Dengan cepat dia beritahukan kepada gurunya tentang
pemuda kita ini. Perubahan yang telah terjadi sekejap mata itu telah
membuat ketiga pendeta asing itu menjadi gusar dan
memaki kalang kabutan kepada Lie Siauw Hiong dalam
bahasa mereka sendiri, selagi Lie Siauw Hiong sendiri
lompat melewati perahu mereka sehingga lima tombak
jauhnya dan berhasil dapat mengejar jangkar tersebut.
Lie Siauw Hiong yang sudah mendengar dengan jelas
suara melayangnya jangkar itu, buru-buru dia menghempos
semangatnya dengan keras dan tendangan kakinya kearah
jangkar itu sehingga dia sendiri dengan meminjam tenaga
tendangan itu, telah melambungkan dirinya keatas dan
membuat jangkar itu berubah arahnya menjadi miring dan
jatuh kesebelah bawah. Dengan mengeluarkan suara "Blung" yang amat nyaring,
jangkar tersebut telah jatuh kecemplung kedalam laut.
Diantara suara jatuhnya jangkar itu, terdengar juga suara
jeritan terkejut dari seorang wanita.
Bersamaan dengan itu, perahu itupun tampak dikayuh
dengan tergopoh-gopoh dan memutar haluannya kekiri dan
laju pula sehingga lima tombak pula jauhnya.
Lie Siauw Hiong buru-buru menarik kakinya yang sudah
hampir mencapai permukaan air kurang lebih dua meter
lagi, dan dalam keterkejutannya itu, sipemuda segera
mengebutkan sepasang lengan bajunya kearah ombak yang
terasa mendampar-dampar itu, dengan mana ia menggunaakan tenaga yang membalik untuk membuat
tubuhnya melayang kembali keatas sehingga tiga tombak
jauhnya, kemudian dengan cepat menuju keatas geladak
perahu sambil berseru: "Kun Moay" Apakah engkau ada
disitu?" Dalam pada itu, dari dalam perahu tampak ada dayung
yang diulurkan kearahnya, hingga Siauw Hiong dengan
berpedoman pada dayung tersebut, segera melayang turun
kedalam perahu bagaikan selembar daun yang gugur tertiup
angin. Diantara kabut ysang demikian tebalnya, dia melihat
sepasang mata yang besar sedang memandang kepadanya.
Lie Siauw Hiong berdiri diatas kepala perahu, tidak
berani maju dan masuk kedalam perahu pada sebelum
mendapat perkenan dari pemiliknya. Oleh karena itu, ia
merasa ragu-ragu cara bagaimana ia harus berbuat
selanjutnya. "Kun Moay, apakah engkau ini benar Kun Moay
adanya" Apakah boleh aku turun masuk?"
Bayangan wanita dalam kabut itu memang mirip Phui
Siauw Khun adanya, tapi ketika melihat sikapnya yang
demikian dinginnya, ia menjadi ragu dan tidak berani
membuka mulut sembarangan.
Wanita muda itu mula-mula tidak menjawab pertanyaan
pemuda kita, hingga Lie Siauw Hiong pun terpaksa berdiri
terpaku dikepala perahu. Kemudian terdengar wanita tersebut menjawab dengan
nada suara yang datar, katanya: "Tidak salah! Hiong .. Lie
Twako, aku ini memang benarlah Phui Siauw Khun. Tidak
kunyana bahwa kita dapat saling berjumpa disini." Tapi
dari nada suara itu, jelas sekali kedengaran olehnya tentang
perasaan kecewa dan pedih yang terkandung dalam hati
wanita itu. Lie Siauw Hiong jadi menghela napas panjang. Setelah
mendapat perkenan, barulah dia berani masuk dan
menghampiri kepada sinona. Ditengah-tengah perahu,
benar saja ia menampak duduk seorang wanita muda, yang
ternyata memang benar adalah nona Phui Siauw Khun, tapi
sikapnya amat dingin dan berbeda jauh daripada sediakala.
Lie Siauw Hiong jadi kemekmek sesaat lamanya,
kemudian ia tertawa getir lalu menjawab: "Khun Moay, aku
sungguh gembira sekali dapat berjumpa pula denganmu,
kau selama hari-hari ini apakah .."
Waktu sipemuda berkata-kata sampai disitu, sekonyong-
konyong dari arah yang jauh terdengar suara rintihan yang
perlahan sekali, yang kemudian disusul dengan terdengarnya suara Kinlungo yang memanggil: "Suhu!
Lekas, lekas lompat keatas batu karang .."
Kemudian disusul dengan makian dalam bahasa asing
yang lalu dilanjutkan dengan gerengan kemarahan dari
Progota. Pada saat itu, barulah Phui Siauw Khun menunjukkan
senyumannya yang dingin. Lie Siauw Hiong dengan menggunakan kesempatan baik
ini, lalu berkata dengan memuji pada sinona itu: "Khun-
Moay, engkau sungguh cerdik sekali. Aku sangat kagum
atas tipu muslihatmu yang berhasil itu."
Phui Siauw Khun yang mendengar pujian pemuda kita,
hanya tersenyum tawar dan lalu berkata: "Ah, Lie Twako,
ternyata engkau telah memuji orang dengan secara berlebih-
lebihan .." Lie Siauw Hiong yang melihat orang yang berbaring
diatas ranjang batu itu membelakangi tubuhnya Phui Siauw
Kun, dia hanya melihat rambutnya yang kusut menutupi
sebagian besar dari mukanya, pakaiannya tidak keruan
macam dan sangat menyolok mata, hingga pemuda kita
lalu berkata: "Siapakah dia" Tampaknya dia menderita
luka-luka yang sangat parah. Biarlah aku coba mengobatinnya." Phui Siauw Kun lalu tertawa aneh, mukanya
memperlihatkan perasaan yang luar biasa dan lalu berkata:
"Tak berani, aku menyibukkan Lie Tayhiap. Mengenai
siapa gerangan orang ini. Tayhiap siang-siang sudah
seharusnya mengetahuinya. Sekarang aku persilahkan
engkau meninggalkan tempat ini selekas mungkin!"
Karena nona itu selalu menyebut-nyebut namanya
dengan sebutan Tayhiap (pendekar agung), maka Siauw
Hiong merasa amat canggung dan jengah.
Air mata tampak mengembang dikelopak mata pemuda
kita, tapi jelas sekali bahwa itu bukan mencerminkan
kesedihan, melainkan kemarahanlah yang meliputi hati
sanubarinya, karena sekalipun benar tempo hari Siauw
Hiong telah berlaku tidak selayaknya terhadap sinona, tapi
setelah melampaui jangka waktu yang cukup lama, ia
anggap itu sudah seharusnya jika dia dapat memaafkannya.
Oleh karena berpikir demikian, bibirnya Lie Siauw Hiong
menjadi menggigil, dan setelah berdiam lama juga, barulah
dia berkata: "Kun Moay! Kau .. kau .. ai .." Sehabis berkata
begitu, mukanya menunjukkan perasaan kecewa dan
jengkel, sedangkan pada sinar matanya terpancar sinar
pandangan mata yang sangat suram.
Kata-kata "Kun Moay" ini bagaikan palu godam yang
menghantam lubuk hati sinona, hingga pada saat itu diapun
tidak dapat lagi menahan perasaannya, dan dengan serta
merta air matanya jatuh berderai-derai, maka tangannyapun
terpaksa menutupi mukanya sambil kemudian berkata: "Lie
Siauw Hiong! Lie Siauw Hiong! Mengapakah kau
membiarkan aku menjumpaimu?"
Lie Siauw Hiong lalu menunjukkan senyumnya, dengan
mana perasaan terhiburpun melintas dimukanya, hingga
senyuman ini seakan-akan tidak terlupakan oleh Phui
Siauw Kun. Lalu dia berkata: "Kun Moay! Sesungguhnya aku telah
melakukan sesuatu yang tidak selayaknya terhadapmu,"
kata sipemuda akhirnya. "Tapi .. sudahlah .. Kejadian masa
lampau tidak usah diungkat-ungkat lagi! Kau .. kau sudah ..
sudah menikah, bukan?"
Sambil berkata begitu, Lie Siauw Hiong lalu menunjuk
pada orang yang terluka dan terbaring diatas ranjang batu
itu. Phui Siauw Kun menganggukkan kepalanya, sedangkan
pada wajahnya tertampak kesedihan yang nyata sekali.
Dengan perasaan heran Lie Siauw Hiong lalu berkata:
"Siapakah dia itu?" Karena dengan sesungguhnya dia tak
mengenalinya. Phui Siauw Kun seakan-akan menyesalkan Lie Siauw
Hiong dan lalu menjawab dengan singkat dan tandas: "Kim
Ie!" Mendengar jawaban si nona, tanpa terasa lagi Siauw
Hiong mencekal kedua pundak sinona sambil bertanya
dengan perasaan ragu-ragu: "Kim Ie" Benarkah dia itu 'Tian
Mo' Kim Ie?" Dengan tidak menunggu lagi sehingga sinona mengiakan
dengan anggukan kepalanya, ia telah membenarkan
pertanyaannya sendiri dan memaksakannya untuk menghampiri kemuka ranjang itu.
Phui Siauw Kun mengira bahwa Lie Siau Hiong hendak
membalas dendam kesumatnya yang lampau itu, hingga
saking gugupnya dia segera berteriak: "Hiong Ko! Engkau
tidak boleh .. aku tidak membolehkan engkau untuk
melukainya!" Sambil berkata begitu, dia segera menarik tangan kiri
pemuda kita. Kemudian dengan menggunakan tangan kanannya Lie
Siauw Hiong lalu menyingkapkan rambut yang menutupi
muka orang itu, dan setelah rambut itu tersingkap, maka
tampaklah muka yang sukar dilupakan dihadapannya ..
Orang itu ternyata bukan lain daripada Kim Ie!
Melihat bekas goresan golok yang bersilang dengan
dalam sekali dihidung orang itu, Siauw Hiong jadi teringat
bagaimana tempo hari dia telah jatuh bersama-sama Gouw
Len gong kedalam jurang, hingga tak terasa lagi dia
menjadi bergidik mikirkan peristiwa tersebut.
Lie Siauw Hiong jadi menghela napas, kemudian
mengulurkan tangannya. meraba bidung Kim Ie, dengan
mana ia mendapat kenyataan, bahwa orang itu masih
bernapas, oleh karena itu, sambil menggoyang-goyangkan
kepala dia berkata: "Masih bagus! Lukanya tidak terlampau
berat, barangkali setelah beristirahat beberapa jam lagi
lamanya, dia pasti akan dapat siuman kembali."
Kemudian Lie Siauw Hiong mengalihkan pandangannya
pada Phui Siauw Kun yang tengah memperhatikan Kim Ie,
sedangkan didalam hatinya dia merasa heran, mengapakah
kedua orang bisa terangkap menjadi jodoh satu sama lain"
Dan mengapakah mereka dapat berdiam didalam guha
yang demikian sunyi serta tempat yang liar begini"
Phui Siauw Kunpun dapat merasakan bahwa Lie Siauw
Hiong tengah memperhatikannya dengan perasaan heran,
hingga tidak terasa lagi kedua pipinya menjadi merah,
kemudian sambil tertawa kecil dia berkata: "Bukankah kau
tengah merasa heran mengapa aku dapat kawin
dengannya?" Sambil berkata begitu, dia melirik pada Kim Ie yang
tengah berbaring diatas ranjang batu itu. Lie Siauw Hiong
mengiakan dengan menganggukkan kepalanya.
Phui Siauw Kun

Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setelah tertawa getir, lalu mempersilahkan Siauw Hiong duduk dibangku disebelah
kanannya, setelah itu barulah dia menceritakan kisahnya
sebagai berikut : "Tahukah kau setelah tempo hari aku
menerjunkan diri kedalam laut dan kemudian .." Phui
Siauw Kun tatkala berkata sampai disitu, dia lalu
memandang pada Lie Siauw Hiong dengan diotaknya
terbayang sebuah peristiwa yang tidak mudah dilupakannya. Lie Siauw Hiong tentu saja mengetahui apa yang
dimaksudkannya, maka pada saat itu mukanya jadi merah
karena kemalu-maluan, hal mana mengingatkannya akan
peristiwa hilangnya Kim Bwee Leng ..
"Ai, Hiong Ko .." Phui Siauw Kun segera mangetahui,
bahwa hati pemuda itu tentulah merasa sangat terluka,
karena dia sendiripun tempo hari pernah juga merasakannya. Yaitu cara bagaimana pada waktu mereka
bertemu untuk pertama kalinya, kemudian dilanjutkan
dengan rasa senang dan jatuh hati kepada pemuda kita. Ia
merasa bertanggung jawab atas diri pemuda itu. Tapi ketika
berpikir lebih jauh, ia merasa agak menyesal dan bertanya
pada diri sendiri: "Bukankah dia telah menikah dengan
orang yang paling dibencinya didalam dunia ini yaitu Kim
Ie?" "Leng Cici bagaimana?" Phui Siauw Kun tidak
mengetahui, mengapa dia menyebut 'Leng Cici', tapi
dengan melihat wajah Lie Siauw Hiong dia segera
mengetahui sebagian daripada apa yang telah dirasakan
oleh pemuda kita ini. Lie Siauw Hiong tidak menjawab pertanyaan orang, tapi
dia hanya menggeleng-gelengkan kepala dan berdiri terpaku
bagaikan orang-orangan penghalau burung ditengah sawah.
Dia merasa sangat berterima kasih terhadap kecintaan Phui
Siauw Kun kepada Kim Bwee Leng.
Phui Siauw Kun tidak mau menanyakan soal-soal yang
menyedihkan kepada pemuda kita, kemudian dia lanjutkan
perkataannya: "Tempo hari setelah aku terjun kedalam laut,
aku sangat benci terhadap segala apapun, akupun
membenci terhadap diriku sendiri. Oleh karena itulah maka
aku mengambil jalan pendek hendak menamatkan
riwayatku. Aku pikir, setelah aku menenggelamkan diriku
kelaut, pasti aku akan mati tenggekam. Pada waktu itu
dalam ombak yang sangat besar dan tak untuk ditahannya,
aku telah jatuh pingsan dengan hanya meneguk berapa kali
air laut saja .." Mendengarkan kisahnya ini, pikiran Lie Sianw Hiong
kemudian melayang pada waktu yang lampau itu, sewaktu
Phui Siauw Kun menerjunkan dirinya kedalam laut,
perlahan-lahan tubuhnya lenyap tidak berbekas ..
"Entah sudah lewat berapa lama, ketika aku siuman
kembali seluruh badanku basah kuyup. Aku pikir, mungkin
juga karena dinginnya, maka aku telah tersadar dari
pingsanku." Begitulah Phui Siauw Kun melanjutkan
ceritanya. "Pada saat itu langit sudah gelap, sinar bintang tampak
berkelap-kelip diangkasa raya. Tatkala itu aku rasakan
tangan dan kakiku lemas tak berdaya, seluruh badankupun
terasa sangat lelah. Dalam kesunyian malam disekelilingku,
aku tidak memikirkan pula segala sesuatu yang akan terjadi
atas diriku. Seketika itu aku terbujur terlentang dan tak tahu, apakah
diriku berada didalam air atau didaratan. Atau mungkin
pula diatas perahu. Karena aku tidak menghiraukan pula
nasib apa yang akan menimpa atas diriku.
Sekonyong-konyong dari jarak yang terpisah agak jauh
terlihat sinar api yang gilang-gemilang, yang kemudian
disusul dengan suara seorang anak kecil yang berkata:
"Nay-nay, nona itu ada disini!"
Kemudian disusul dengan suara seorang wanita yang
berkata: "Anak yang pintar, coba kau lihat baik-baik,
janganlah kau biarkan orang baik itu mati karena
kedinginan." Anak itu lalu melaksanakan tugas yang diperintahkan
oleh wanita itu dan dengan segera Phui Siauw Kun
merasakan ada seseorang yang berdiri disamping tubuhnya.
"Nay-nay, dia sudah siuman! Oh, kau lihatlah seluruh
tubuhnya basah kuyup."
Pada saat itu, wanita itupun sudah jalan menghampiri
sinona yang sekujur badannya telah basah itu, hingga tidak
terasa lagi dia berkata: "Ai! Siauw Hok, engkau tentunya
mengalami banyak kesukaran .. Khounio, apakah engkau
merasa baikan?" Ternyata diapun tahu bahwa sinona telah
mendusin dari pingsannya.
Phui Siauw Kun merasa terharu sekali terhadap kebaikan
wanita ini, tapi rasa putus asa yang ketika itu tengah
meliputi dirinya, telah membuat segala sesuatu berubah
menjemukan dalam pandangannya, hingga terhadap wanita
yang demikian baik hati ini dia bersikap tawar sekali.
Tatkala Phui Siauw Kun bercerita sampai disitu, Lie
Siauw Hiong sekonyong-konyong memotong pembicaraan
orang sambil bertanya: "Kau terdampar ketempat apa?"
Pada waktu Phui Siauw Kun memandang sipemuda
yang mengajukan pertanyaan yang mengandung perasaan
kuatirnya itu, hatinya merasa agak terhibur, terlebih-lebih
ketika melihat pandangan matanya yang lembut itu.
Bukankah itu masih tetap sama seperti dahulu"
Dengan perasaan terharu Phui Siauw Kun lalu
menyahut: "Pada saat itu aku baru mengetahui, bahwa
diriku telah tertolong oleh isteri nelayan, dari siapa baru aku
telah diberitahukan, bahwa diriku ini pada saat itu telah
terdampar didesa 'Ciang Lo' yang letaknya terpisah seratus
lie lebih dari Bu Han."
Sudah itu Lie Siauw Hiong lalu berkata: "Nasibmu
ternyata lebih baik daripadaku .. ai, aku .."
Airmata Phui Siauw Kun sudah mengembang pula
dikelopak matanya, sedangkan perasaan bencinya siang-
siang telah lenyap bagaikan awan tertiup angin, kemudian
dia meraba-raba tangan pemuda kita sambil memaksakan
dirinya tersenyum, dan berkata: "Hiong-ko, sudahlah
jangan memikirkan segala sesuatu yang sudah. Biarlah aku
menceritakan lebih lanjut peristiwa yang telah menimpa
atas diriku .." Lie Siauw Hiong lalu menganggukkan kepalanya, sudah
itu, diapun dengan pelahan-pelahan mengusap-usap rambut
yang kusut serta halus dan panjang dari sinona dengan hati
yang tak terkatakan gembiranya, karena dia mengetahui
bahwa kini adiknya ini sudah mempunyai senderan, hingga
tidak perduli siapa, sedikitnya perasaan kuatirnya telah
menjadi berkurang juga. Phui Siauw Kun lalu melanjutkan penuturannya: "Sejak
aku ditolong oleh isteri sinelayan, sinyonya tersebut karena
merasa kasihan atas diriku yang sebatang kara, apa lagi
cucu mereka telah sepakat dan menyenangiku pula, maka
aku telah diijinkan akan tinggal bersama-sama mereka.
"Begitulah setelah berselang setengah tahun lamanya,
pada waktu semua pengharapanku akan dapat hidup senang
telah siang-siang terkubur untuk selama-lamanya, tiba-tiba
pada suatu hari .. Kim Ie telah muncul dengan secara yang
tidak terduga .." Lie Siauw Hiong yang mendengar sampai disitu, tiba-
tiba saja perasaannyapun menjadi tegang, sehingga
badannyapun jadi bergemetar tanpa terasa pula.
"Ternyata rumah gubuk kecil itu .. adalah rumah isteri
nelayan tersebut." Phui Siauw Kun bercerita terus:
"Sekonyong-konyong saja muncul gelombang hesar."
"Hari itu sebenarnya aku tengah menemani isteri nelayan
itu bekerja .." Wajah Phui Siauw Kun jadi berubah suram
karena pikirannya terpengaruh oleh kejadian yang lampau
itu .. "Tok!" Terdengar suara ketukan pinto, kemudian disusul
dengan suara seorang laki-laki yang berkata-kata: "Buka
pintu! Kun Moay, keluarlah!"
Aku yang mendengar suara orang itu, wajahku menjadi
pucat lesi, sedangkan telingaku bagaikan mendengar suara
sesuatu yang agak mengejutkan: "Itulah 'Tian Mo Kim Ie'!"
Untuk melarikan diri, baginya sudah tak mungkin lagi.
Begitulah aku berpikir, tidak terasa lagi aku lalu menyekal
badi-badi, kemudian dengan perlahan-lahan aku membuka
pintu .. Ternyata orang yang berdiri dihadapanku itu, adalah
seorang pemuda yang tampaknya sangat lelah sekali, hingga
aku seakan-akan tidak mengenalinya lagi, tapi memang
benarlah bahwa dia itu 'Kim Ie' yang paling kubenci.
"Kun Moay .. Kun Moay! Kau telah menyebabkan aku
sangat menderita!" Nada suara Kim Ie demikian
menyayatkan hati, kedua tangannya yang memegang pintu
seakan-akan hendak terlepas dan badannya seperti hendak
jatuh saja. Dengan suara dingin aku berkata: "Kim Ie, lekas kau
pergi dari hadapanku! Pergilah sejauh-jauhnya, aku tidak
sudi melihat cecongormu lagi untuk selama-lamanya, lekas
pergi!" Aku sendiri tidak tahu dari mana datangnya keberanianku itu, sehingga aku demikian bersemangatnya
telah mendampratnya. Dengan mulut ternganga Kim Ie
memandang kepadaku. Rambutnya yang sudah lama tidak
terurus menutupi mukanya yang dahulunya tampan,
sehingga belum pernah aku mendengar dia berkata dengan
suara yang begitu putus harapan: "Kun Moay, orang yang
harus mendapat hukuman darimu sebenarnya bukanlah
aku, kau tidak sepatutnya terus-terusan membenciku.
Agaknya Tuhan masih mengasihaniku sehingga aku dapat
mencarimu, cintaku yang demikian tulus dan dalamnya,
mengapakah kau balas dengan cara yang begitu
menyakitkan hati?" Dengan perasaan terharu aku lalu menangis terisak-isak
sambil menutupi muka dengan kedua telapak tanganku,
sedangkan mulutku berulang-ulang berkata: "Aku benci ..
aku benci sekali kalian berdua (yang dimaksudkan dengan
kalian berdua olehku adalah: kau Kim Ie dan Lie Siauw
Hiong) .. ah! Kau Kim Ie! Kau kenapa?"
Pada saat itu dengan sekonyong-konyong Kim Ie telah
memegang dadanya, sedangkan wajahnya tampak pucat lesi
dan dengan mendadak saja ia jatuh roboh dihadapanku ..
(Oo-dwkz-oO) Jilid 38 Lie Siauw Hiong berkata pada dirinya sendiri: "Benar!
Itulah akibat pukulanku, untuk mencari Kun Moay dia
telah melakukan usaha yang sekeras-kerasnya dan terus
mencari-cari. Oleh karena dia tidak pernah beristirahat
dengan teratur, maka beginilah akibatnya. Maka dengan
melihat gerak-geriknya yang demikian ini, teranglah bahwa
dia sangat mencintai sekali terhadap Kun Moay."
Tapi ia membiarkan kata-kata itu terpendam didalam
hatinya, hingga kini ia merasa lebih baik mendengarkan
terus cerita Phui Siauw Kun: "Kun Moay, aku .. aku telah
menderita luka didalam tubuhku," begitulah dengan suara
yang harus dikasihani Kim Ie mengeluarkan rintihannya,
sedangkan tangan kanannya diulurkan untuk meminta
pertolongan .. Seketika hatiku menjadi lemas. Karena sekalipun Kim Ie
bertabiat kurang mengenal perikemanusiaan, tapi terhadapku adalah dengan sejujurnya dia mencintaiku.
Oleh karena itu, buru-buru aku memayang tubuhnya dan
membaringkannya diatas ranjang.
Setelah berapa hari mendapat pengobatan dengan secara
teratur, akhirnya agak baikanlah lukanya itu.
Pada hari itu dia sudah mulai bisa duduk lagi, maka
dengan suara sungguh-sungguh dan memohon-mohon dia
berkata kepadaku: "Aku tahu kau tentunya sangat
membenciku, benci terhadap perbuatanku serta sifat-sifatku
.. tapi .. tapi untukmu aku bersedia mengubah kelakuanku
yang buruk itu, oleh karena itu, kau harus mengetahui
betapa besarnya cintaku kepadamu ..
Aku terpaksa harus berlaku pura-pura sangat dingin
terhadapnya, sekalipun sifat-sifat jahatnya sudah banyak
berkurang dan menimbulkan rasa kasihan didalam hatiku,
tapi aku tetap menggelengkan kepalaku.
"Baiklah. Akupun tidak berani terlampau memakanmu,
sekalipun tindakanku ini tidak menurut jalan pikiranku
sendiri." Begitulah akhirnya Kim Ie berkata dengan nada
suara yang biasa saja, sedangkan pada pandangan matanya
yang biasanya sangat tajam dan beringas, kini tampaknya
sangat suram, kemudian dia bertanya kepadaku: "Hanya
aku ingin sekali mengetahui, sebenarnya mengapakah
engkau membenciku" Apakah kebencianmu terhadapku itu
disebabkan oleh sibocah Lie Siauw Hiong?"
"Aku tidak mau mendengar dia menyebutkan namamu,
sekalipun dalam hati kecilku perasaan tersebut ternyata


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kebalikannya." Phui Siauw Kun berkata pada Lie Siauw Hiong: "Apa
lagi ketika teringat dalam pikiranku, cara bagaimana aku
telah menyaksikan sendiri kematian ayah dan ibunya
dengan cara yang demikian menyedihkannya itu, maka aku
lalu memakinya habis- habisan."
"Kau .. kau begitu kejam sekali! Sampaikan ayah dan
ibumu sendiri kau rela membunuhnya, maka cara
bagaimana aku masih bisa mencintaimu?"
Muka Kim Ie jadi berubah ketika mendengar bicaraku
itu, dan belum pernah aku menampak sikapnya yang
demikian putus asanya, hingga semacam perasaan telah
melonjak-lonjak mengalir didalam darahku. Ayah dan ibu
sekalipun mereka ini bukan ayah dan ibu kandungku
sendiri, malahan mereka telah memaksaku untuk menikahkan aku dengan orang yang tidak kusukai sama
sekali, tapi budi yang telah mereka lepas terhadapku selama
sepuluh tahun lamanya, tidaklah dapat kuhilangkan dengan
begitu saja! "Anak puthauw (tidak berbhakti), kau telah membunuh
ayah dan ibu kandungmu sendiri! Aku tentu sekali tidak
dapat memaafkan atas tindakanmu yang menyeleweng
terampau yauh itu!" Lalu aku berseru kepadanya: "Kau
telah mengatakan bahwa engkau mencintaiku, kau rela
mengorbankan segala demi untukku, hm, asal kau berani
menggoreskan dua kali dengan golok dimukamu itu, maka
barulah aku suka kawin denganmu!"
Demikiannlah, karena amat marahnya, tak terasa lagi
aku telah mengeluarkan kalimat seperti itu.
Muka Kim Ie yang pucat lesi, sekonyong-konyong
menunjukkan perasaan yang tercengang, "Kun Moay!"
katanya "perbuatanku yang nyeleweng itu sudah tentu
adalah dosa yang tak berampun, tapi terhadap perkataan
itu, apakah sesungguhnya telah keluar dari hatimu yang
tulus dan tak dapat diubah pula?"
Mendengar pertanyaannya itu, aku jadi tertawa gemas
dan lalu dari dalam dadaku aku keluarkan badi-badi yang
kemudian aku angsurkan kepadanya sambil berkata:
"Goreslah ! Goreslah! Aku ingin sekali menyaksikan anak
yang telah membunuh orang tuanya sendiri menggores
mukanya sendiri!" Kim Ie setelah menyambut badi-badi tersebut, lalu
memandang sebentar kepadaku, kemudian dengan sekonyong-konyong dia membalikkan tangannya dan benar
saja dia telah mencacah mukanya sendiri dengan
menggunakan badi-badi tersebut dalam bentuk tapak jalak.
Begitu dia memanggil "Kun Moay", lantas saja darah segar
mengalir dari kuka-lukanya itu. Sedang badannya yang baru
baik dari sakit, tidak dapat manahan pukulan jiwa yang
demikian dahsyatnya, hingga dengan secara tiba-tiba
badannyapun lalu jatuh kembali keatas ranjang ..
Menghadapi perobahan diluar dugaan itu, benar-benar
aku menjadi sangat terkejut. Aku lihat muka Kim Ie
tergores luka oleh badi-badi tadi dalam bentuk tapak jalak
yang dalam sekali, hingga darah segar terus mengucur
keluar dari lubang luka-lukanya itu. Hal mana, telah
menyebabkan suatu perasaan berdosa menghinggapi lubuk
hatiku seketika itu juga.
Perasaan berdosa itu terbayang didalam sanubariku dan
berkata pada diri sendiri: "Oh! Phui Siauw Kun! Perbuatan
apakah yang telah kau perbuat itu?" Hal itu sungguh
mengerikan sekali pandanganku, hingga dengan tidak
memperdulikan lagi kepada Kim Ie, aku telah berlari keluar
dari dalam gubuk kecil itu dengan perasaan sangat berdosa
.. "Begitulah aku lalu mulai pergi mengembara .." Setelah
sinona berkata begitu, siang-siang air matanya telah mulai
mengalir pula, sedangkan dadanya tampak turun naik
dengan cepat sekali, seakan-akan seorang bocah yang telah
lama kehilangan kasih sayang dan tiba-tiba bersua kembali
dengan orang tuanya, yang lantas mencurahkan isi hatinya
dengan kasih sayang kepada satu dengan yang lainnya.
Sementara Lie Siauw Hiong yang melihat sinona
bersedih hati. lalu menepuk-nepuk pundak Siauw Kun
sambil menghiburnya dengan berkata: "Tenang! ceritalah
perlahan-lahan saja." Karena sejak dia mengetahui bahwa
Phui Siauw Kun sudah menjadi milik Kim Ie, maka
sekarang terhadapnya tentu saja hanya tertinggal perasaan
persahabatan saja. Dengan perasaan terharu nona itu lalu melanjutkan
ceritanya: "Kemudian aku mengembara dikalangan Kang-
ouw, dimana aku mendengar bahwa Chit-biauw-sin-kun
akan menghadiri pertemuan dipuncak gunung Thay San.
Aku siang-siang memang menyangsikan, bahwa 'Chit-
biauw-sin-kun' itu pastilah kau adanya. Oleh karena itu,
tanpa tujuan yang tertentu aku lalu pergi ke Shoa-tang .."
"Akhirnya sesampainya aku dikaki gunung Thay San,
ternyata pertemuan tersebut sudah bubaran, tapi disitu
dengan secara sekonyong-konyong aku telah menjumpai
Kim Ie. Kali ini deugan luka-luka parah dia merayap
diantara batu-batu gunung, sedangkan pada bekas tanda
luka dimukanya tampak sangat menkayatkan hati sekali .."
"Diapun dapat melihat aku, maka dengan tekun dia
merayap terus, sedangkan mulutnya terus mengoceh: "Kun
Moay, ampunilah aku! Kun Moay, janganlah tinggalkan
aku lagi!" "Pada saat itu hatiku yang kaku telah hancur luluh
seluruhnya. Oleh karena kecintaannya yang sungguh-
sungguh terhadap diriku, akhirnya aku telah menyambut
jua cintanya yang murni itu. Begitulah aku lalu
membawanya keguha ini, dimana kami berdua tinggil
bersama-sama sebagai suami isteri dan hidup kami disini
adalah memang sengaja hendak menjauhi khalayak ramai
.." Dengan begitu, barulah Lie Siauw Hiong mengetahui
dasar atau sebab musabab terangkapnya jodoh kedua orang
ini, hingga didalam hati dia merasa senang sekali atas
terangkapnya kedua orang ini sebagai suami-isteri.
Kemudian dia bertanya: "Tapi cara bagaimana engkau
sampai dapat dikejar-kejar oleh 'Hang Hoo Sam Hut'?"
Selain dari itu, Siauw Hiongpun merasa heran, cara
bagaimana Kim Ie telah kena dilukai oleh mereka"
Phui Siauw Kun dengan muka merah lalu berkata: "Jika
bukannya dia, siapakah lagi?"
Sambil berkata begitu, ia menunjuk pada Kim Ie,
kemudian dia bercerita terus: "Dia mengatakan bahwa
tinggal dalam guha begitu lama, pikirannya menjadi sangat
pepat sekali. Oleh sebab itu, dia lalu mengajakku untuk
keluar jalan-jalan melapangkan dada. Tapi siapa tahu
akhirnya kita telah berpapasan dengan setan pejajaran
bangsa asing itu, antara mana murid merekalah yang paling
menjemukan sekali .."
Lie Siauw Hiong manggut-manggutkan kepalanya
sambil berkata: "Tidak salah! Murid ketiga pendeta biadab
itu bernama Kinlungo. Dia terhadapmu ada persoalan
apa?" Phui Siauw Kun saking gemasnya sehingga dia gigit
giginya kencang-kencang sampai mengeluarkan suara
keretekan, lalu dia menjawab: "Makhluk itu bukanlah orang
baik-baik. Jika dia sampai terjatuh kedalam tanganku, pasti
sekali akan kucingcangnya bagaikan bakso!"
Mendengar jawaban sinona, Lie Siauw Hiong sudah
dapat menerka maksud orang asing itu, maka sambil
tertawa dia berkata: "Siapa suruh kau berparas secantik
ini?" Pada saat itu, diantara mereka telah terjadilah pula
perasaan mesra sebagai sahahat seperti pada waktu-waktu
yang lampau itu, tapi sudah tentu perasaan mesra itu kini
mempunyai batas-batas yang tertentu, hingga Phui Siauw
Kun yang dipukul sindir oleh pemuda kita jadi
mengeluarkan suara: "Hm, bocah tersebut seperti juga
kodok buduk yang kepingin makan daging angsa langit!"
Justeru itu Kim Ie yang sedang tertidur tiba-tiba
terdengar berseru dua kali: "Kun Moay! Kun Moay! Air!
Air!" Lie Siauw Hiong yang tengah bercakap-cakap dengan
sinona menjadi terkejut dan lalu tertawa sambil berkata:
"Lihatlah, angsa jantanmu dari langit telah siuman
kembalil" Phui Siauw Kun dengan perasaan malu lalu tertawa,
sedangkan dalam tertawaannya itu mengandung perasaan
yang gemhira dan nikmat, kemudian dengan tergesa-gesa
dia mendapatkan suaminya. "Kau lihatlah!" katanya. "Dia
telah dilukainya oleh pendeta yang bertubuh paling tinggi
besar itu!" Lie Siauw Hiong lalu menyahut: "Oh, jadi ia telah
dilukai Progota" Hm, ternyata Heng Hoo Sam Hut itu
adalah manusia-manusia yang berwatak sangat rendah
sekali!" Kim Ie terus-terusan berteriak-teriak meminta air, dan
setelah dia meminum air, maka diapun terus tidur kembali
dengan nyenyaknya .. "Oh!" Sekonyong-konyong Lie Siauw Hiong berkata kepada
Phui Siauw Kun: "Kun Moay, mendengarkah kau suara
tindakan kaki manusia yang sedang mendatangi itu"
Rupanya Heng Hoo Sam Hut tengah mendatangi kearah
sini!" Kepandaian maupun tenaga-dalam Phui Siauw Kun
terpaut jauh sekali dengan Lie Siauw Hiong, maka setelah
dia memasang kupingnya sejenak, ternyata dia tetap tidak
mendengar suara sesuatu, tapi dia sangat cerdik dan lekas
mengerti keadaan, maka dia lalu berkata: "Mungkin juga
kabut sudah pada buyar, kalau tidak, sekalipun berdiri
diatas batu karang yang terpisah dengan daratan kurang
lebih delapan tombak jauhnya itu, cara bagaimana mereka
dapat melompat kemari?"
Pada saat itu Lie Siauw Hiong masuk kesitu dengan
berlari-lari mengikuti dibelakang Phui Siauw Kun, pada
waktu itu adalah justeru turun kabut yang amat tebalnya,
hingga keadaan disekelilingnya sukar sekali dikenali orang,
oleh karena itu, dia segera mengajukan pertanyaan kepada
sinona: "Bagaimanakah keadaan mulut guha ini" Apakah
itu mudah diketemukan orang?"
Phui Siauw Kun lalu menggelengkan kepalanya dan
berkara: "Kami dengan mengorbankan entah berapa banyak
waktu dan tenaga, barulah berhasil dapat menemui guha
ini. Tapi kini kami telah tinggal disini sudah lama juga,
maka sudah tentu jalan-jalan yang kami lalui telah
meninggalkan bekas-bekas yang sukar dihilangkan begitu
saja. Apalagi Heng Hoo Sam Hut adalah tergolong pada
jago-jago yang sudah kawakan, hingga mungkin sekali
mereka akan segera menemui jejak kami."
Siauw Kun mengucapkan kata-kata itu dengan wajah
yang menunjukkan kekuatiran yang bukan kecil adanya.
Lie Siauw Hiong lalu berpikir sejenak. Ia tahu bahwa
Kim Ie yang terluka parah tentu tidak mudah disingkirkan
dari kejaran ketiga pendeta asing yang keji itu, maka
akhirnya ia hanya mendapat suatu akal yang dianggapnya
cukup sempurna dan lalu diterangkannya kepada sinona:
"Kun Moay! ikut aku. Kita harus bersiap-siap
menghadapi kedatangan mereka, supaya lain kali bangsa
asing yang keji itu mengetahui, bahwa kita bangsa
Tionghoa dari daerah Tionggoan tidak mudah diperhinakan
orang .." Hampir dalam saat itu juga, benar saja (seperti apa yang
telah dikatakan oleh Phui Siauw Kun tadi), kabut didepan
guha kini sudah buyar sama sekali, hingga dihadapan
mereka terbentang puncak-puncak gunung yang menjangkau langit layaknya. Pegunungan ini berjejer sangat
rapat satu sama lain, hingga Lie Siauw Hiong bersama Phui
Siauw Kun lalu dengan sibuk mengatur segala sesuatunya
didalam guha ini untuk menghadapi lawan-lawan yang
sedang mendatangi itu. Tidak antara lama, nun jauh disana diatas sebuah
puncak gunung sekonyong-konyong berkelebat bayangan
empat manusia, yang berlari-lari dengan cepat kearah
tempat persembunyian mereka.
Keempat orang itu memang benarlah Heng Hoo Sam
Hut dan Kinlungo adanya. Kinposuf dan kawan-kawan ternyata telah tertipu oleh
Phui Siauw Kun, yang telah membuat perahu mereka
tertumbuk dengan batu karang, sehinga akhirnya perahu itu
tenggelam, maka terpaksa keempat orang ini duduk diatas
batu karang tempat dimana perahu mereka tenggelam tadi.
Batu karang itu terpisah dengan daratan hanya kurang lebih
delapan tombak saja jauhnya, tapi karena pada slat itu
kabut turun amat tebalnya, maka tidak heran jika mereka
tidak berdaya untuk melakukan pengajaran terus seketika
itu juga. Terus mereka menanti sehingga kabut sudah buyar,
barulah keempat orang itu dapat melihat daratan, yang kini
tampak jelas dihadapan mereka. Diantara mereka berempat
orang, Progotalah yang merasa paling mendongkol dan
geram, sehingga dia yang berlari dimuka, disusul dengan
kawan-kawan dibelakangnya. Mereka tampaknya gemas
sekali kepada Lie Siauw Hiong.
Sudah tentu saja mereka segera dapat menemui jejak


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kaki yang ditinggalkan oleh Kim Ie dan Phui Siauw Kun,
oleh karena itu, merekapun dengan cepat menyusul kedua
orang itu, sehingga kini mereka terpisah dengan guha
dimana Kim Ie dan Siauw Kun bersembunyi sudah tidak
berapa jauh lagi. "Suhu!" Sambil berlari Kinlungo memohon kepada
gurunya Kinposuf sambil berkata: "Sebentar andaikata suhu
dapat menangkap wanita tersebut, maka sudilah kiranya
suhu mengampuni jiwanya."
Kinposuf dengan sikap dingin hanya menganggukkan
kepalanya saja, suatu tanda bahwa dia telah mengabulkan
permintaan muridnya itu. Keempat orang itu kian lama kian mendekat kemulut
guha tersebut, hingga sekonyong-konyong Kinposuf yang
dapat mencari tempat persembunyian Kim Ie dan sinona
lalu menunjuk pada mulut guha sambil bercakap-cakap
dalam bahasanya sendiri yang berarti: "Mereka tentu berada
didalam guha itu!" Progota dan Pantenpur sudah hendak menerobos masuk
kedalam, ketika dengan sekonyong-konyong dari dalam
guha tersebut terdengar suara orang yang membentak:
"Tamu-tamu bangsa asing yang biadab sudah tiba, aku Lie
Siauw Hiong sudah lama menantikan kalian!"
Diantara keempat orang itu, hanya Kinlungo dan
Kinposuf yang mengerti hahasa Han (Tionghoa). Sedang
Progota yang mengenali suara Lie Siauw Hiong, dia sudah
mengangkat tangannya hendak melancarkan pukulannya.
Kinposuf sekalipun datang dari Thian-tiok, tapi dia
cukup paham terhadap peraturan-peraturan dikalangan
Kang-ouw, maka dengan mengandalkan nama 'Heng Hoo
Sam Hut', ia hendak menggencet seorang yang berkedudukan rendah, tapi bila kabar ini sampai tersiar
dalam kalangan Kang-ouw, sudah tentu saja tidak baik
sekali bagi mereka, kecuali bila mereka dapat membinasakan ketiga-tiga lawannya itu.
Oleh karena itu, buru-buru dia mencegah atas tindakan
yang semberono dari Progota, kemudian dengan menghadap kedalam guha dia berteriak: "Bocah yang baik,
bila kau benar-benar seorang jantan sejati, lekaslah engkau
segera keluar!" Dengan tertawa terbahak-bahak Lie Siauw Hiong lalu
menyahut: "Bangsa liar yang tak tahu mampus, ternyata
kedatangan kalian ke Tionggoan hanya untuk belajar
memaki orang saja, ya!"
Kinposuf yang mendengar perkataan pemuda kita yang
bermaksud tidak memandang sebelah mata terhadapnya,
dia menjadi geram sekali, tapi diantara mereka adalah
kedudukan pemuda kita yang lebih menguntungkan,
berhubung dia berada ditempat terang dan terbuka,
sedangkan pihak lawannya berada ditempat yang gelap dan
sembunyi didalam guha. Kecuali mereka keluar dan
bertempur dengan secara mati-matian, barulah mereka
dapat bergerak dengan leluasa. Jika mereka berempat
mencoba menerobos masuk dengan seenaknya saja, mereka
mungkin mengalami kerugian sehingga nama 'Heng Hoo
Sam Hut' ambruk oleh karenanya.
Kinlungo dengan mengandalkan nama suhunya yang
berpengaruh, ditambah dengan bahasa Han yang dimilikinya sangat lancar, lalu dia berteriak: "Orang she
Lie, lekas keluar! Marilah kita bertempur lagi sehingga tiga
ratus jurus lamanya!"
Lie Siauw Hiang yang bersembunyi didalam guha
dengan suara dingin hanya menjawab: "Jika engkau
mengingini aku keluar, itulah tidak terlampau sukar,
asalkan omongan kalian boleh dipercaya kebenarannya!"
Kinposuf tidak mengetahui jelas maksud perkataan Lie
Siauw Hiong itu, tapi dengan sungguh-sungguh dia
menjawab: "Kami yang memperoleh julukan 'Heng Hoo
Sam Hut', selalu tak suka main gelap-gelapan atau berlaku
secara sembunyi! Hai, bocah, kau mau main kayu apakah
gerangan?" Lie Siauw Hiong tidak menyahuti perkataan Kinposuf,
tapi hanya meneruskan pertanyaannya: "Kinlungo, bagaimanakah denganmu?"
Kinlungo tercengang sekali ditanya demikian, kemudian
diapun menjawablah: "Akupun sudah tentu saja demikian
pula halnya!" Dengan itu Lie Siauw Hiong telah mengeluarkan suara
jengekan dari lobang hidungnya: "Bagus! Omongan kalian
benar-benar sebagai seorang kesatria sejati. Apabila kalian
berbuat sesuatu yang melanggar perjanjian, maka kalian
harus menurut sepatah perkataanku."
Kinlungo berpendapat, bahwa dalam perkataan pemuda
kita ini tentulah mengandung sesuatu tipu-muslihat, maka
ketika baru saja dia hendak memberitahukan hal itu kepada
gurunya, tampak Kinposuf telah mendahului menjawab:
"Hm! Bila benar ada kejadian begitu, jangankan satu patah,
sekalipun sepuluh patah pasti kami akan menurutinya." Dia
mengira bahwa kata 'sepuluh patah' yang diucapkannya itu
adalah suatu perkataan yang bagus sekali fungsinya.
Lie Siauw Hiong yang melihat ketiga orang ini sudah
masuk perangkapnya, tidak terasa lagi ia menjadi melonjak-
lonjak dengan gembiranya berkata: "Sungguh tidak
memalukan nama 'Heng Hoo Sam Hut' yang demikian
terkenalnya itu. Kinlungo, cobalah kau katakan ketika
bertempur di Bu Wie Thia, apakah yang kau telah berjanji
terhadapku" Ha ha ha."
Kimlungo tampak tercengang dan dengan suara tidak
lancar lalu menjawab: "Aku .. aku .. aku!" Sekonyong-
konyong dia ingat, bahwa jika dia kalah dalam pertempuran
itu, maka dia tak akan datang lagi kedaerah Tiong-goan!
Dengan ini, Lie Siauw Hiong mengetahui, bahwa tamu-
tamu dari Thian-tiok ini tidak boleh dipercaya sepenuhnya.
Oleh karena itu, terpaksa ia menggunakan cara tersebut
untuk menghadapi mereka. Kemudian diapun berkatalah:
"Sekarang kalian boleh dengarkanlah perkataanku. Sekalipun dalam ilmu silat kami tidak menang terlampau
gemilang daripada kalian, tapi barisan 'Kwie-goan-kouw-tin'
kami pasti sekali kalian telah mengetahuinya."
Dalam kalimat yang diucapkan oleh Lie Siauw Hiong itu
terang-terangan menyindir terhadap mereka yang mengandung arti. "Aku orang she Lie," demikianlah ia melanjutkan
dengan menyindir, "belum mempunyai kepandaian yang
sempurna, tapi guruku telah mewariskan sebuah barisan
terhadapku, untuk kau coba main-main denganrya.
Sekarang aku berdiam dalam guha ini. Kalian boleh pilih
seorang dari kalian berempat. Asalkan kalian tidak
sembarangan merusak barang-barang yang telah kuatur ini,
kalian boleh coba mencari tempat persembunyian kami."
Kinposuf yang mendengar begitu, dalam hatinya
menjadi ragu-ragu. Dia tak dapat mengambil keputusan
dengan cepat, karena sesungguhnya juga dia telah
berkenalan dengan barisan 'Kwie-goan-kouw-tin' tersebut.
Maka barisan yang kini dibuat oleh bocah she Lie itu,
tentunya tidak akan lebih hebat daripada barisan yang
tempo hari mereka telah jumpai. Tapi sekarang ada suatu
syarat, yaitu mereka tidak boleh merusak segala sesuatu
yang terdapat didalam barisan tersebut. Maka dengan
mengandal kepada nama mereka yang sangat terkenal itu,
sudah tentu saja mereka tidak mesti hilang muka terhadap
sipemuda ini. Jangankan Kinposuf yang tidak dapat mengambil
keputusan dengan cepat, sedangkan Kinlungo yang melihat
Lie Siauw Hiong membuka mulut besar, dia sudah menjadi
sangat geram sekali. Maka tanpa menunggu pula jawaban
gurunya, Kinlungo sudah mendahului berteriak: "Suhu,
ijinkanlah aku menangkap keluar bocah tersebut! Masakah
dia mempunyai kepandaian yang hebat untuk mengurungku disitu?"
Sambil berkata begitu, dia sudah ingin menerobos masuk
saja kedalam guha. Kinposuf dan kawan-kawan jika dibandingkan dengan
Lie Siauw Hiong, mereka terhitung satu tingkat lebih tinggi
dalam derajat mereka. Oleh karena itu, mereka tentu saja
tidak enak untuk turun tangan sendiri, hingga terpaksa
mereka mengijinkan Kinlungo untuk coba-coba memasuki
guha itu. Pada saat Kinlungo melangkahkan kakinya masuk
kedalam guha tersebut, dia hanya melihat dalam guha itu
diatur banyak sekali timbunan batu-batu yang merupakan
hutan batu. Batu-batu itu sudah tentu saja adalah hasil
ciptaannya Lie Siauw Hiong, sedangkan suara Lie Siauw
Hiong keluar diantara celah-celah batu-batu itu.
Dengan ini harus diketahui, bahwa Lie Siauw Hiong
yang telah mewariskan kepandaian Chit-biauw-sin-kun,
kecuali 'dalam hal membedakan sesuatu', pelajaran yang
lain-lainnya boleh dikatakan dia sudah melampaui gurunya.
Lebih-lebih dalam soal barusan 'Kwie-goan-kouw-tin' dia
sudah jauh melampaui kebiasaan gurunya sendiri. Barisan
yang sukar ini kini dia sudah dapat menguasainya, untuk
mengatur dan mempergunakannya disembarang waktu
tanpa mengalami kesulitan sesuatu.
Begitulah Kinlungo terpaksa berputar-putar beberapa
puluh kali didalam guha tersebut, karena dia tidak
diperbolehkan untuk merusakkan segala sesuatu yang
terdapat disitu. Pada bagian muka telah kita terangkan tentang jalan
gunung disitu yang berbelit-belit. Jika sekali saja orang salah
jalan, maka dalam waktu sepuluh hari atau setengah bulan
pasti tak dapat keluar dari jalan tersebut. Maka Kinlungo
yang telah dipersulit oleh Lie Siauw Hiong, dia hanya dapat
berjalan dengan sekena-kenanya saja.
Lie Siauw Hiong dengan sengaja tertawa dingin dan
mengejeknya dari dalam guha tersebut. Hang Hoo Sam
Hut' yang sudah menunggu-nunggu sehingga dua jam
lamanya, tapi tidak melihat sang murid muncul kembali,
mereka jadi tidak sabaran dan uring-uringan.
Lie Siauw Hiong yang menyaksikan kesempatan sangat
baik ini, lalu tertawa terbahak-bahak dan berkata: "Tiga
manusia dogol bangkotan, murid kesayanganmu jangan
harap akan dapat keluar pula!"
Diantara murid-murid Kinposuf, maka yang paling
disayang adalah murid yang bungsu serta paling cerdik,
yaitu Kinlungo, maka setelah kini menampak murid
kesayangannya tidak muncul keluar lagi, dia mengira
bahwa sang murid benar-benar telah mengalami kecelakaan, hingga saking gugupnya dia telah berteriak-
teriak. "Orang she Lie, lekaslah engkau keluar! Muridku
Kinlungo jika kau berani melukakan seujung rambutnya
saja, aka Kinpouf pasti akau mencabut nyawamu!"
Lie Siauw Hiong yang mendengar perkataan Kinposuf,
diapun menjadi marah pula buru-buru dia melompat keluar
dari dalam guha tersebut dan tepat tubuhnya jatuh
dihadapan Heng Hoo Sam Hut, dimana sambil tertawa
dingin dia berkata: "Huh, omonganmu sungguh terlampau
berlebih-lebihan! Aku orang she Lie sekalipun tidak begitu
pandai, tapi masakan aku tidak dapat menyambut satu
pukulanmu!" Kimposuf sendiripun yang merasa sangat geram, diapun
lalu berseru: "Pukulanku yang tunggal ini jika tidak dapat
membinasakan kau 'Heng Hoo Sam Hut' pasti tidak akan
datang pula kedaerah Tiong-goan, jika kau masih hidup
dialam dunia ini!" Sambil tertawa riang Lie Siauw Hiong lalu berkata:
"Apakah omonganmu dapat dipercaya?"


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saking geramnya, Kinposuf dengan bernapsu sekali lalu
mengiakan dengan jalan menganggukkan kepalanya.
Lie Siauw Hiong lalu berseru kearah dalam guha tersebut
sambil berkata: "Kun Moay! Lekas bawa keluar sibocah
biadab itu!" Tidak antara lama benar saja Kinlungo sudah mengikuti
Phui Siauw Kun berjalan keluar, agaknya karena dia telah
kesasar entah sudah beberapa kali, maka wajahnya tampak
mengandung kemarahan yang jelas sekali.
"Toasuhu silahkan bersiap-siap! Asal saja satu kali
pukulanmu itu tidak berhasil menjatuhkanku, maka aku
persilahkan kalian untuk segera mengangkat kaki dan
pulang kembali kekampung halamanmu di Thian-tiok,
kemudian untuk selama-lamanya kalian tidak boleh lagi
memasuki daerah Tiong-goan!"
Heng Hoo Sam Hut dan Kinlungo melototkan mata
mereka pada Lie Siauw Hiong, sedang Phui Siauw Kun
yang menyaksikannya dari samping merasa tegang sekali.
Sekonyong-konyong Lie Siauw Hiong berjalan kesamping
Phui Siauw Kun sambil berbisik: "Kun Moay! Lekaslah
dengan menggunakan kesempatan ini engkau melarikan diri
bersama-sama Kim Ie! Jika kalian tidak pergi sekarang juga,
dikuatirkan bangsa liar ini akan mengubah haluan dan
waktu itu pasti kalian tidak mempunyai kesempatan lagi
untuk melarikan diri dari mereka."
Dari perkataan dan pandangan mata Lie Siauw Hiong,
Phui Siauw Kun telah mendapatkan sesuatu yang tidak
didapatkannya dahulu dalam cinta kasihnya terhadap
pemuda kita itu, maka untuk kebaikannya Kim Ie, dia rela
untuk melarikan diri, tapi atas kebaikan pemuda kita ini,
dia harus membalasnya dengan cara apakah dikemudian
hari" Lie Siauw Hiong pada saat ini bukan saja telah berniat
akan berkorban untuk diri Phui Siauw Kun pribadi, tapi
juga yang terpenting adalah berkorban untuk nama baiknya
kalangan Bu-lim di Tiong-goan, maka ia telah menghadapi
keempat jago silat asing itu tanpa menunjukkan perasaan
gentar ataupun takut. Dan tatkala melihat Phui Sianw Kun
merasa ragu-ragu atas pertolongannya, tidak terasa lagi
hatinya menjadi lemah dan dengan suara lemah lembut dia
berkata: "Kun Moay, lekaslah lari! Janganlah membuat
hatiku gundah memikirkan keselamatan kalian! Pukulan
bangsa liar ini aku pasti akan dapat menahannya. Aku
hanya kuatir, bahwa perkataannya tidak dapat dipegang
sepenuhnya. Oleh karena itu, lekaslah kalian melarikan diri
sejauh mungkin!" Dengan perasaan sangat berterima kasih, Phui Siauw
Kun menganggukkan kepalanya. Setelah itu, dengan air
mata berlinang-linang dia berjalan masuk kembali dengan
perlahan-lahan kedalam guhanya. Sekalipun hal itu
bukanlah menjadi tujuannya yang utama, tapi dia tak dapat
tidak harus membawa pergi Kim Ie yang masih lupa
daratan itu untuk menyelamatkan diri mereka.
Lie Siauw Hiong menunggu setelah Phui Siauw Kun
telah berlalu lama juga, barulah pikirannya menjadi lega,
maka sambil menghela napas panjang ia menghampiri
kehadapan Kinposuf .. Pelahan-lahan tangan kanan Kinposuf diangkat keatas,
hingga bulu tangannya yang hitam berwarna merah dan
berdiri karena penyaluran kekuatannya pada tangannya itu,
sedangkan sepasang matanya yang tajam bagaikan mata
burung elang yang mengintai lawannya ditatapkan pada
wajah Lie Siauw Hiong dengan sorot mata tak berkesip,
sehingga setiap gerak-gerik Lie Siauw Hiong tidak luput
dari pandangannya .. Sedangkan Lie Siauw Hiong sendiripun dengan diam-
diam telah mengumpulkan seluruh kekuatannya pada
sepasang tangannya. Seketika itu hatinya tidak memikirkan
segala sesuatupun, hanya dengan satu tujuan yang mantap
ia bertekad untuk menyambuti satu pukulan lawannya itu.
Tidak antara lama Kinposuf terdengar berteriak keras
sekali, sedang sepasang tangannya dengan beruntun, satu
dimuka dengan disusul oleh tangannya yang lainnya
dibelakangnya, dengan disertai angin yang menderu-deru
keras sekali menghantam kearah tubuh pemuda kita.
Kekuatan sepasang pukulan Kinposuf pada saat itu,
cukup hebat untuk dapat membelah batu-batu karang yang
paling keras sekalipun ..
"Bek" begitulah telah terdengar satu suara.
Lie Siauw Hiong tanpa merasa ragu-ragu lagi sudah
menyambuti serangan lawannya dengan keras lawan keras
hingga pasir dan debu pada beterbanganan memenuhi
angkasa, sehingga segala sesuatu seakan-akan tidak
terlihat.. Dan tatkala debu dan pasir telah jatuh kembali kemuka
bumi, barulah kelihatan tubuh Lie Siauw Hiong dan
Kinposuf. Pada saat itu muka Lie Siauw Hiong tampak
pucat-lesi, badannya bergoyang-goyang seakan-akan hendak jatuh, tapi satu langkahpun dia tidak pernah
berkisar dari tempat berdirinya semula.
Kinposuf sendiri dengan perasaan heran jadi menghela
napas, kemudian dengan sekonyong-konyong ia ulapkan
tangannya kepada kawan-kawannya, untuk selekas mungkin mengajak mereka lari menuju kepantai dan
kembali pula kenegeri asal mereka.
Lie Siauw Hiong sendiri dengan sepasang tangan yang
terkulai, perlahan-lahan dia mengangkat tangannya dalam
gerakan hendak menyerang kembali kearah lawannya.
Pada saat itu sang malam telah menjelang datang,
dengan ketenangan dimuka bumi ini telah kembali pula
seperti sediakala. Diatas langit, bintang pertama telah
munculkan diri dan memancarkan sinarnya yang berkelap-
kelip laksana pelita dibawah hembusan angin lalu, sinarnya
tampak sangat pudar dan jauh ..
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara tindakan kaki
yang sangat berat, hingga ini menyebabkan Lie Siauw
Hiong buru-buru menghempas kembali sisa tenaganya, tapi
karena udara gelap, maka dia belum dapat melihat sesuatu,
sedang didalam hatinya diam-diam ia berpikir: "Suara
apakah itu" Bukankah itu suara Hang Hoo Sam Hut yang
telah balik kembali" Ataukah Phui Siauw Kun yang telah
kembali kesitu?" Tidak antara lama, dari balik batu gunung kelihatan
muncul seekor beruang yang besar sekali. Mula-mula
dengan matanya yang tajam dia memandang kearah Lie
Siauw Hiong, mengangkat hidungnya dan mengendus-
endus dua kali, kemudian lalu membalikkan kepalanya dan
berjalan pergi. Hati Lie Siauw Hiong menjadi lega kembali, tapi
pukulan Kinposuf barusan, sesungguhnya terlampau berat
dirasakannya, hingga akhirnya tak dapat ia mempertahankan dirinya lagi, ia memuntahkan darah segar
dan jatuh roboh kemuka bumi dalam keadaan pingsan.
(Oo-dwkz-oO) Pada saat itu musim Ciu (rontok) sudah lama datang,
dan pada senja hari itu tampak sinar pembunuhan yang
memenuhi kota utara. Pohon Yang-liu sudah lama gundul
karena daun-daunannya sudah rontok ditiup angin utara
yang amat tajam dan dinginnya, sedangkan burung walet
sudah terbang kembali keselatan. Dibawah sebuah jembatan
kecil tampak air sungai yang mengalir dengan tenang
kearah timur. Pada saat itu haripun sudah mulai malam. Bintang-
bintang diangkasa raya telah mencorotkan sinarnya yang
berkelip-kelip kemuka bumi yang luas ini.
Terpisah lima atau enam puluh lie disebuah daerah kecil
dari kota Lok-yang, terdapat sebuah kuil yang sudah rusak,
hingga jika angin gunung datang meniup, jendela-jendela
kuil itu jadi berbunyi keresekan, suara mana sangat tidak
sedap didengar karena menerbitkan perasaan yang pilu dan
menakutkan. Tatkala itu, dibawah sinar pelita tampak seorang laki-laki
muka hitam yang bertubuh tinggi besar, sedang duduk
berhadapan dengan seorang anak laki-laki yang masih
muda belia. Anak ini wajahnya sangat tampan, tapi jika
ditilik dari roman mukanya, paling banyak ia baru berumur
dua atau tiga belas tahun.
Laki-laki muka hitam itu sekonyong-konyong berkata:
"Peng Jie, kami dari partai Kay Pang menyerahkan
kedudukan Pangcu kepadamu, dengan pengharapan supaya
kau memimpin mereka dengan penuh kebijaksanaan,
sedang ilmu silat pusaka dari partai Kay Pang yang disebut
'Pek-kiat-ciang-hoat', itupun tentunya telah diwariskan
kepadamu, bukan?" Peng Jie menganggukkan kepalanya sambil berkata:
"Tempo hari waktu suhu mewariskan ilmu tersebut
kepadaku, dia telah menderita luka-luka parah, tapi dengan
memaksakan diri ia tetap mengajariku juga. Setelah itu, ia
jatuh pingsan. Dan tatkala kemudian ia siuman kembali,
dari dalam sakunya ia mengeluarkan seJilid buku kecil,
yang diserahkan kepadaku, sambil menyuruh aku mempelajari isi buku tersebut untuk pedoman melatih diri.
Apakah kiranya Kim Siok-siok, sudi melihat buku
tersebut!" Sambil berkata begitu, segera juga ia mengeluarkan
seJilid buku dari dalam sakunya, yang lalu disodorkannya
pada orang yang bermuka hitam itu.
Tapi simuka hitam lalu menggoyang-goyang tangannya
sambil berkata: "Pelajaran silat itu adalah khusus diberikan
pada orang yang diwariskan sebagai Ciang-bun-jin dari
partai Kay Pang, sedangkan murid-murid Kay Pang sendiri
siapapun tidak diperbolehkan mencuri belajar dari buku
itu." Peng Jie lalu berkata: "Kim Siok-siok, sekarang baiklah
kita mencari tempat yang baik untuk menyembunyikan diri
dan kemudian kita belajar ilmu dengan giat serta tekun,
agar jika sudah berhasil, kita dapat menuntut balas kepada
musuh-musuh kita." Kim Siok-siok lalu berkata: "Peng Jie, aku mempunyai
satu urusan yang hendak disampaikan kepadamu. Sekarang
kau sudah berpikir belajar silat, kemudian baru menuntut
balas setalah kau berhasil dalam latihanmu. Hal itu,
memang sangat sesuai dengan rencanaku."
"Hanya belum tahu apakah adanya rencana itu?" Peng
Jie bertanya. Kim Siok-siok lalu berkata: "Partai Kay Pang kita kini
sudah lintang pukang, dimana-mana murid-murid kita
sudah pada tercerai-berai. Tapi syukur juga diantara murid-
murid partai kita, masih tidak sedikit jumlahnya yang tetap
setia terhadap partai mereka. Maka kalau kau memanggil
mereka kembali, pasti sekali kita akan dapat menyusun
partai kita sehingga menjadi jaya lagi seperti waktu-waktu
yang lampau itu. Hal mana, menurut pendapatku, tidak
akan terlampau sulit untuk diselesaikannya."
Peng Jie yang mendengar rencana Kim Siok-sioknya
mengenai kejayaan partainya kelak, diapun ketahui betapa
beratnya tugas yang dibebankan diatas pundaknya itu,
tetapi meski usianya masih muda, ternyata tetap
bersemangat dan menjawab dengan suara yang mantap:
"Kim Siok-siok, bukankah kau ingin aku sebagai Pangcu
memanggil kembali murid-murid partai kita yang sudah
tercerai berai itu untuk membangkitkan pula kejayaan kita
kembali seperti pada masa-masa yang lampau itu?"
Kim Siok-siok segera menggelengkan kepalanya sambil
berkata: "Sekarang umurmu masih terlampau muda,
sedangkan kepandaian yang tinggi belum lagi dapat kau
pelajari. Apabila kau berpikir untuk kini mempersatukan
kembali murid-murid partai Kay Pang itu, itulah sama
sekali masih belum mungkin. Adapun maksudku sekarang
ini, bukan lain daripada hendak menitipkan kau pada salah
seorang sahabatku yang bernama Pian-say-tay-hiap Hong
Pek Yang, kepada siapa kau boleh belajar ilmu silat selama
berapa tahun lamanya."
Dengan gugup Peng Jie bertanya: "Kim Siok-siok,
sedangkan kau sendiri bagaimana?"
Kim Siok-siok menjawab: "Aturan partai Kay Pang kita
sangat keras. Loo-pang-cu sudah wafat tentu saja segala
kewajibannya harus dibebankan kepadamu, sedangkan kita
berdua saudarapun sudah tentu bertugas juga untuk
menjagamu." Peng Jie lalu berkata: "Kim Siok-siok, aku tak mau
meninggalkanmu, juga tak mau pergi kerumah apa yang
kau katakan Pian-say-tay-hiap itu. Lebih baik kau .. kau saja
yang memberi pelajaran kepadaku, apakah itu tidak lebih
dari cukup?" Dengan suara lembut Kim Siok-siok menjawab: "Anak
bodoh, kepandaian Hong-Thay-hiap adalah sepuluh kali
lipat lebih tinggi daripada kepandaianku. Maka apabila kau
belajar ilmu silat kepadanya, paling banyak akan memakai
waktu lima tahun. Dengan begitu, bukan saja kepandaian
Loo-pang-cu dapat kau wariskan seluruhnya, malah
kepandaian Hong-tay-hiap yang tunggalpun dapat juga kau
miliki. Apabila kau dapat berhasil mencangkok dua
kepandaian silat yang amat tinggi itu, bukankah lebih
menang jika umpama kau belajar dari aku saja?"


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tabiat Peng Jie sangat baik dan otaknya pun sangat
cerdik, dia yang hidup sebatang kara, kecuali dua saudara
she Kim, didunia ini dia tak mempunyai pamili lainnya
lagi. Kecintaan kedua saudara she Kim ini seperti juga ayah
dan ibu kandungnya sendiri, yang sangat memperhatikan
dirinya dan segala keperluannya. Ketika disaat itu ia
mendengar bahwa Kim Siok-sioknya akan meninggalkannya, hatinya merasa gugup dan sedih, maka
dengan airmata berlinang-linang ia telah memaksakan
dirinya untuk berkata: "Kim-Siok-siok. Peng Jie telah
melakukan pekerjaan apakah yang salah" Apakah kau tidak
ingin menghiraukan lagi kepada Peng Jie?"
Dalam hati kecilnya, sesungguhnya Kim Siok-sioknya ini
tidak sampai hati untuk meninggalkannya, tapi demi
kemajuannya kelak, dia tak dapat tidak mesti berlaku keras
terhadap diri sendiri, tetapi ketika baru saja ia ingin
membuka mulut pula, sekonyong-konyong terdengar satu
suara yang menyayatkan hati, hingga bulu roma mereka
dirasakan berdiri tegak seketika itu juga.
Dengan gugup Kim Siok-siok berkata: "Peng Jie, Loo-jie
telah bertemu dengan lawan tangguh! Lekaslah kau lari
kearah timur, segala sesuatu yang terjadi disini, akulah yang
akan menanggungnya. Jika aku Kim Lo-toa beruntung dan
tidak mati disini, aku pasti dapat menyusul dan
menjumpaimu di Lok-yang. Peng Jie?"
"Peng Jie, ingatlah, jika kami berdua dalam tiga hari
tidak datang mencarimu, kau seorang diri boleh pergi dan
menjumpai Hong Tayhiap dikota Kim-ciu dalam propinsi
Liao-tong. Katakanlah bahwa kedatanganmu adalah atas
perintahku." Peng Jie yang mendengar dia berkata begitu pasti dan
tandas, hatinya sebenarnya tidak mau menurut, tapi dia
tahu betul adat Kim Siok-sioknya, maka terpaksa dia tak
berani membantah lagi dan lalu menganggukkan kepalanya.
Kim Loo-toa dengan suara yang lembut lalu memesan
pula: "Peng Jie, kau .. sejak hari ini, harus berlaku lebih
hati-hati. Kim Siok-siokmu barangkali tidak mempunyai
ketika lagi untuk menjagamu."
Selama setengah tahun Peng Jie mengikuti kedua
saudara Kim ini, entah sudah berapa banyak bahaya yang
telah dialaminya, tapi belum pernah ia melihat muka orang
tua itu tampak begitu suram seperti sekarang ini. Oleh sebab
itu, diapun insyaf, bahwa orang tua ini sedang risau hatinya
menghadapi lawan yang amat tangguh itu, yang mana
ternyata, bahwa dia seorang masih merasa khawatir akan
tidak cukup untuk melawannya, maka dengan cepat dia
berkata: "Kim Siok-siok, pergilah kau lekas membantu
saudaramu! Peng Jie akan menantikan kedatangan kalian
dikota Lok-yang." Kim Loo-toa lalu memandang Peng Jie sejenak. Ia hanya
melihat muka bocah itu yang sangat mungil, dengan sifat
kekanak-kanakannya masih melekat begitu menyolok sekali
didalam dirinya, hingga ia jadi menarik napas panjang,
kemudian lalu berlari dengan pesat meninggalkan anak itu.
Peng Jie berdiri terpaku sebentar sambil berpikir: "Kalau
aku pergi membantu Kim Siok-siok, bukan saja aku bisa
memecah semangat mereka, tapi juga akan menyibukkan
saja bagi mereka. Oleh karena itu baiklah aku menurut
perkataannya saja, yaitu pergi ke Lok-yang untuk
menjumpai Hong Tay-hiap."
Dengan langkah yang berat, ia menuju kearah Timur
dengan perlahan-lahan. Sekalipun dia sedang berjalan, tapi hatinya entah
melayang kemana. Sekonyong-konyong dari arah belakangnya datang menyambar angin dingin. Waktu dia
menolehkan kepalanya memandang, ternyata tampak
seorang anak muda yang tampan sekali, sedang beristirahat
mengawasinya. Pemuda tersebut lalu berkata: "Siauwtee, jalanmu
ternyata kurang hati-hati, hingga hampir saja kau
menubrukku." Dalam hatinya Peng Jie berpikir: "Kau sendiripun tidak
terlampau hati-hati. Aku berjalan disebelah depan, cara
bagaimana kau tidak melihatnya?"
Tapi pemuda tampan itu tampak ramah tamah sekali dan
lalu menjawab: "Aku sedang merisaukan sesuatu, sehingga
aku tidak mengetahui, bahwa aku tengah berada dijalanan."
Pemuda tampan itu memang sedang risau memikirkan
sesuatu, hingga dengan sesungguhnya juga dia tak melihat
adanya Peng Jie disitu. Tapi setelah dia hampir menubruk
orang, barulah dia buru-buru menahan langkahnya. Waktu
kemudian dia menegur kepada Peng Jie, sebenarnya
tegurannya itu tidak pada tempatnya, karena anak muda itu
bukan saja telah mengalah, bahkan dia telah merendah
dengan tingkah-laku yang sopan, sehingga hal itu membuat
dia merasa malu sekali. Oleh karena itu, diapun lalu
berkata: "Siauwtee (adik kecil), bila kau mempunyai
ganjalan sesuatu, silahkan engkau beritahukan kepadaku.
Aku pasti bersedia akan membantumu."
Dalam hati Peng Jie berpikir: "Barusan ketika dia
menghampri dipinggir badanku, belum juga aku mengetahuinya, suatu tanda bahwa kepandaiannya sudah
sangat sempurna. Oleh karena itu, mengapakah aku tidak
mohon bantuannya untuk menolong Kim Siok-siok?"
Karena dia masih muda, maka pengalamannyapun
belum luas. Pada sebelum menyelidiki keadaan orang yang
baru dikenalnya itu, ia sudah berani meminta bantuannya.
Hal mama, sebenarnya terlampau gegabah sekali. Tapi
karena dia melihat bahwa pemuda itu sangat tampan dan
ramah sekali, maka dia percaya bahwa orang muda ini pasti
ada seorang ksatria sejati, maka dalam pada itu diapun
segera menjawab: "Kedua siok-siokku sedang dikeroyok
oleh musuh-musuhnya, keadaannya sungguh berbahaya
sekali. Cobalah saudara tolong bantu mereka itu."
Pemuda itu yang melihat Peng Jie bicara dengan secara
mempunyai pekerjaan penting apapun yang harus
diselesaikan. Sekarang karena melihat kecintaan anak ini
kepada Siok-sioknya, baiklah aku memberi bantuanku
kepadanya. Oleh karena itu, sipemuda lalu bertanya: "Kedua siok-
siokmu bertempur dengan orang jahat dimanakah" Dan
siapa nama Kim Siok-siokmu?"
Peng Jie yang mendengar nada suara pemuda tampan
ini, dia segera mengetahui bahwa orang ini telah
mengabulkan permintaannya, maka hatinyapun menjadi
gembira dan menjawab: "Mereka adalah pelindung-
pelindung dari partai Kay Pang (partai pengemis) yang
umum dipanggil Kim Loo-toa dan Kim Loo-jie .."
Pemuda itu ketika mendengar keterangan demikian, lalu
berseru: "Lekas! Lekas! Segeralah bawa aku kepada
mereka!" Peng Jie dengan cepat berlari keluar dari jalan tersebut,
sedang sipemuda dengan tidak sabaran sudah mencekal
tangan Peng Jie dan diajaknya berlari-lari dengan
membentangkan Ilmu Keng-sin-kangnya menuju ketempat
pertempuran yang diunjuk oleh Peng Jie itu.
Setelah berlari-lari sipeminuman teh lamanya, mereka
mulai dapat menangkap suara beradunya senjata tajam
yang disertai dengan suara teriakan-teriakan orang yang
sedang bertempur, hingga dengan mengempos semangatnya
dia tarik Peng Jie lebih cepat pula untuk memasuki hutan
kecil itu. Tidak antara lama, disebidang tanah yang datar mereka
dapatkan empat orang tosu (pendeta) sedang mengerabuti
seorang laki-laki bertubuh jangkung, yang tampak sedang
melayani bertempur tiga batang pedang dan sepasang
kepalan lawannya dengan bertangan kosong, hingga
keadaan dirinya kelihatan sangat berbahaya sekali.
Peng Jie yang melihat Kim Toa-sioknya dengan
sendirian saja telah menempur empat orang musuh,
sedangkan Kim Jie-sioknya tidak tampak berada disitu. Dia
ketahui sifat-sifat kedua saudara she Kim yang selalu bahu
membahu dalam menghadapi lawan-lawannya, tapi kini dia
tidak melihat Kim Jie-sioknya, hingga tanpa terasa lagi
hatinya menjadi cemas dan buru-buru dia menganjurkan
pemuda itu sambil berkata: "Lekaslah kau bantu Kim Toa-
siokku, sedangkan aku sendiri akan pergi mencari Kim Jie-
siokku." Pemuda tampan itu yang sedang memperhatikan
jalannya pertempuran, seakan-akan tidak mendengar
perkataannya, sehingga Peng Jiepun tidak berdaya. Tapi
tidak antara lama pertempuram itupun sudah terhentilah,
dengan empat batang pedang ditujukan keempat jalan darah
Kim Siok-sioknya, sedangkan salah seorang antara pendeta-
pendeta itu dengan tertawa dingin lalu berkata: "Kim Loo-
toa, lekas keluarkan sarung pedang itu dan serahkan kepada
kami, jika tidak, hm, pinto pasti tidak akan sungkan-
sungkan lagi mengambil jiwamu!"
Baru saja pendeta itu berkata demikian, Peng Jie
merasakan pemuda disampingnya telah melesat maju.
Kemudian toosu itu sudah berkata pula: "Kim Loo-toa,
apakah kau masih berani membandel juga" Sebentar lagi
Pangcu dari Kaypangmu pasti akan terjatuh kedalam
tangan kami! Apakah kau mengira bahwa bocah pewaris
partai pengemismu itu dapat melarikan diri sampai di Lok-
yang" Ha ha ha, pintoo sudah siang-siang mengutus orang
untuk dengan hormat menyambut kedatangannya, kau
tahu" Jika kau tidak juga hendak mengeluarkan sarung
pedang tersebut, engkau harus mengerti sendiri apa
akibatnya!" (Oo-dwkz-oO) Jilid 39 Peng Jie semakin mendengar semakin panas hatinya.
Tapi ketika dengan tidak sabaran dia sudah ingin
membantu Kim Siok-sioknya, tiba-tiba dari sampingnya
kedengaran suara angin yang menderu, dan bersamaan
dengan itu, sipemuda tampanpun sudah mendahuluinya
melewat maju. Kelima orang yang sedang bertempur itu menjadi sangat
terperanjat tatkala menampak kedatangan sipemuda itu.
Mereka ketika barusan sedang bertempur, ternyata tidak
memperhatikan Peng Jie dan pemuda itu yang bersembunyi
disuatu pinggiran. Kemudian pemuda itu segera berkata: "Pendeta bangsat
Cek Yang, kau sungguh gagah sekali, ha" Dengan
mengandalkan jumlah banyak orang kau mengeroyok
seorang lawan, apakah perbuatanmu itu bisa dipuji orang?"
Sementara toosu itu begitu melihat pemuda tampan ini,
mukanya segera berubah dan lalu berkata: "Bagus, Gouw
Siauw-cu, lagi-lagi aku bertemu denganmu! Sekarang
baiklah kita menyelesaikan perhitungan lama disini saja!"
Pemuda tampan ini bukan lain daripada Gouw Leng
Hong adanya! Sejak hari itu dia berpisah dengan Souw Hui Cie, terus
dia mencari Ah Lan kesana kemari, dari Shoa-tang dia
menuju ke Hoo-lam, setelah bolak-balik berapa kali,
ternyata tidak juga ia berhasil mencari kemana perginya
anak dara buta itu. Hari ini kebetulan dia ingin pergi ke
Lok-yang untuk mencari rumah penginapan, tidak tahunya
ditengah jalan dia telah berjumpa dengan Peng Jie, maka
dengan bersama-sama, menujulah mereka kehutan ini.
Keadaan dalam hutan ini sangat samar karena gelapnya,
maka wajah kelima orang yang sedang bertempur itu tidak
terlihat dengan jelas. Tetapi ketika kemudian ia kenali
bahwa pendeta itu adalah musuh pembunuh ayahnya
sendiri yaitu Cek Yang Too- jin, maka buru-buru dia
melompat keluar dari tempat persembunyiannya sambil
membentak: "Kalian dari partai Bu-tong rupanya sudah
kebiasaan dengan jumlah banyak menggencet jumlah yang
sedikit, maka sekarang silahkan kalian boleh maju dengan
serentak!" Muka Cek Yang Tojin menjadi merah tatkala mendengar
tantangan itu, maka diam-diam dia berpikir: "Waktu
diadakan pertemuan digunung Thay San, kepandaiannya
bocah ini masih sangat terbatas sekali, maka mengapakah
aku harus turun tangan sendiri?" Oleh karena itu, dengan
tertawa dingin dia lalu berkata: "Siauw-cu, kau jangan
berlaku pongah, bila kau dapat menjatuhkan tiga muridku,
aku akan melepaskan kau pergi dari sini!"
Gouw Leng Hong sekalipu sudah menerima pelajaran
asli dari Sucouwnya yang bernama In Peng Jiok, tapi
sesungguhnya dia belum pernah bertempun dengan lawan
tangguhnya seperti Cek Yang ini, maka dalam hatinya ia
merasa agak jerih dan lalu berpikir: "Dia majukan murid-
muridnya yang merupakan barang-barang rosokan, hal itu
tidak ada halangan apa-apa baginya, bila aku sudah bikin
kocar-kacir murid-muridnya, masakah gurunya tidak mau
membelanya?" Cek Yang Tojin lalu berseru: "It Ho, lekas bawa
pedangku, dan lawanlah bocah itu! Janganlah engkau
sampai meruntuhkan nama baik partai Bu-tong kita!"
Sambil berkata begitu, dia sudah sodorkan pedangnya
kepada pendeta yang bertangan kosong itu, kemudian dia
sendiri lalu maju pula menghampiri Kim Loo-toa.
Hati Leng Hong gugup sekali, karena dia kuatirkan
dengan menggunakan kesempatan ini, Cek Yang akan
dapat mencelakai Kim Loo-toa, maka badannya segera


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergerak untuk menghadangnya dimuka Kim Loo-toa,
tangan kanannya dengan mengacungkan pedangnya dia
lalu berseru: "Silahkan engkau boleh maju!"
Perkataan itu baru saja habis diucapkan, ketika tiba-tiba
dibelakangnya terdengar suara 'buk' yang nyaring sekali,
kemudian disusul dengan robohnya tubuh Kim Loo-toa
kemuka bumi. Ternyata laki-laki jangkung itu sudah
kehabisan tenaga, maka pada saat Leng Hong mengeluarkan pedangnya dan menampak sinar pedang
yang sangat tajam dan berkeredap-keredap itu, kepalanya
menjadi pusing dan lalu jatuh terduduk.
Sekonyong-konyong dari balik sebatang pohon lari
keluar seorang bocah tanggung, yang sambil menangis lalu
berkata: "Kim Siok-siok, kau kenapa?"
Kim Loo-toa dengan memaksakan diri lalu menbuka
matanya dan dengan suara bengis sudah mendamprat:
"Peng Jie, aku suruh kau lari, kenapa kau tidak dengar
perkataanku?" Dengan masih menangis Peng Jie berkata pula: "Kim
Sioksiok, aku tidak mau meninggalkan kau. Aku ingin mati
bersamamu!" Kim Loo-toa akhirnya menjadi cemas juga melihat
keadaan Peng Jie disaat itu, maka kesudahannya ia berkata:
"Peng Jie, sudahlah, jangan menangis lagi, Kim Siok-siok
mengabulkan untuk tidak meninggalkan kau pula!"
Mendengar perkataan itu, Peng Jie menjadi girang dan
lalu menunjuk pada Gouw Leng Hong sambil berkata:
"Kim Siok-siok, dia pasti akan menang!"
Kim Toasiok lalu mengangkat kepalanya memandang.
Dia hanya melihat tiga pendeta berdiri ditiga tempat yang
berlainan, sedang mengurung kepada pemuda tampan itu.
Sekonyong-konyong pendeta yang berdiri disamping
kirinya telah berseru: "Lihatlah serangan!" Sambil terus dia
menyerang bagian sebelah bawah, tubuh sipemuda.
Leng Hong segera mengelitkan dirinya kesamping. Dia
tidak mundur, melainkan terus saja maju kemuka, dengan
pedangnya menyamber pada pendeta disebelah kanannya
dengan gerakan secepat kilat.
Pendeta yang diserang itu ketika melihat datangnya
serangan yang begitu cepat, keruan saja hatinya menjadi
sangat terkejut dan lekas-lekas mundur sejauh dua langkah.
Leng Hong tidak menunggu sampai serangannya ini
menemui sasarannya, dia sudah memutar tangannya dan
dengan gerakan miring, menyerang lawan dihadapannya,
dan ketika dua pedang saling beradu, karena tenaga Leng
Hong lebih kuat, maka pedangnya terus menjurus pada
pendeta disebelah kirinya dan menyabet kearah pinggang
orang. Karena bakatnya yang baik dan ditambah lagi dengan
khasiat buah mustajab yang dimakannya, maka tenaga-
dalamnya telah memperoleh kemajuan yang sangat pesat,
maka kalau dibandingkan dengan Lie Siauw Hiong, dia
hanya kalah setingkat saja.
Pada saat itu dia telah menggunakan lima bagian tenaga,
hingga saking kerasnya tangkisannya maka menyebabkan
telapak tangan pendeta itu merasa kesemutan yang hebat
sekali, sehingga pedangnya itu hampir saja terlepas dari
cekalannya. Leng Hong terus merangsek maju. Dengan menggunakan tangan kanannya, dia menyerang dari
samping kearah lawannya, sedangkan tangan kirinya
dengan menggunakan siasat 'Kay-san-sam-sek-po-giok-kun',
dia sudah menerobos kesana kemari dengan amat gesitnya.
Ada kalanya ketiga pedang lawannya sama-sama menyerang bagian tubuh sebelah atasnya, tapi dengan
lincah dan gesit dia dapat mengelitkannya dengan secara
baik pula. Sementara Cek Yang yang menyaksikan jalannya
pertempuran dari samping, semakin lama dia merasa
semakin jengkel saja, dalam hati dia berpikir: "Bocah ini
jika dibandingkan dengan ayahnya tempo hari, permainan
pedangnya jauh lebih matang dan ganas. Dalam usia yang
demikian mudanya, tidak tahu dia sudah berlatih dimana
sehingga mencapai hasil seperti ini?"
Kim Loo-toa yang melihat gerakan Leng Hong begitu
cepat bagaikan angin puyuh, sedangkan serangan-serangan
yang dilancarkannya bagaikan gelombang sungai Tiang
Kang yang tidak putus-putusnya, berikut kakinya yang
menggunakan gaya Pat Kwa untuk menjaga dirinya dengan
sangat rapat sekali, dengan pandangan sekilas saja dia
segera mengetahui, bahwa pemuda itu sedang menggunakan kepandaian dari partai Thay Khek yang
bernama 'Toan-hun-kiam', yang diam-diam ia jadi berpikir:
"Pemuda ini bila bukannya tengah melindunginya bersama
Peng Jie, maka pendeta-pendeta busuk ini sudah siang-siang
dapat dijatuhkannya."
Waktu ia memandang lebih lanjut, ia mendapatkan
kenyataan bahwa suasana pertempuran sudah banyak
berubah. Kini Leng Hong sudah berada diatas angin.
Dengan pedangnya yang sebentar disabetkan kekiri dan
sebentar ditusukannya kekanan, dia berhasil membikin tiga
lawannya kucar kacir sehingga kepala mereka basah mandi
keringat. Dengan ini ternyatalah, bahwa untuk menjaga diri
mereka sendiri saja sudah sedemikian sibuknya, apa lagi
untuk menyerang dengan secara berbareng yang sudah jelas
mereka tak mampu untuk melakukannya pula.
Pertempuran sudah mencapai babak yang menentukan,
ketika dengan sekonyong-konyong Leng Hong mengangkat
satu kakinya menendang, dengan mana ia berhasil dapat
menendang salah satu pendeta yang segera terguling roboh
ditanah, sedangkan tangan kanannya dengan menggunakan
tiga jurus terakhir dari ilmu pedang Toan-hun-kiam yang
disebut 'Jiok-si-piauw-hong' (bunga yang lemah tertiup
angin), 'Tiam-tiam-hwan-seng' (bintang-bintang berkelip-
kelip) dan 'Sek-po-thian-keng' (batu pecah mengejutkan
langit), dia menyerang para lawannya, hingga dengan
mengeluarkan dua kali suara jeritan ngeri, kedua pendeta
lainnya berturut-turut telah jatuh roboh pula kemuka bumi.
Ternyata begitu Leng Hong mengeluarkan tiga jurus
terakhir dari ilmu Toan-hun-kiam ini, kedua pendeta itu
merasakan mata mereka berkunang-kunang, sedangkan
pada muka mereka terasa hawa dingin yang menyamber-
nyamber, hingga tidak terasa lagi, saking kagetnya, mereka
pada mengeluarkan teriakan ngeri. Kaki mereka tiba-tiba
terasa lemas, berhubung mereka telah kena tertotok jalan
darah 'Kong-sun-hiat' mereka.
Kim Loo-toa yang menyaksikan kejadian ini, didalam
hatinya ia berpikir: "Jurus yang berjumlah tiga yang terakhir
dari pemuda ini, sebenarnya jika diteruskan, dia dapat
membinasakan lawannya, hanya sewaktu pedangnya itu
hampir menyentuh sasarannya, lekas-lekas segera ditariknya kembali, suatu tanda bahwa dia hanya
menggores serta menotoki sepasang kaki mereka saja, tapi
tidak bermaksud untuk mengambil jiwa mereka. Dengan ini
aku segera ketahui, bahwa pemuda tampan ini bukan saja
ilmunya sangat tinggi, tapi juga hatinya welas asih kepada
sesamanya." Tapi Cek Yang Tojin yang menyaksikan demikian,
wajahnya segera berubah menjadi pucat, buru-buru dia
maju membebaskan totokan ketiga muridnya itu.
Sekonyong-konyong Peng Jie berkata: "Kim Siok-siok,
cobalah kau katakan, benar atau tidak pendapatku itu?"
Kim Loo-toa lalu bertanya: "Pendapat apakah?"
Peng Jie menjawab: "Siang-siang sudah kukatakan,
bahwa pendeta-pendeta busuk itu pasti akan dibikin kucar-
kacir olehnya!" Kim Loo-toa menganggukkan kepalanya sebagai ganti
kata-kata, tapi diam-diam ia berpikir: "Tenaga-dalam Cek
Yang Tojin sangat hebat sekali, sedangkan pemuda ini
dengannya tampaknya terdapat permusuhan yang tidak
dapat dikatakan kecil, maka dalam sekali bertempur ini,
mereka pasti ada salah seorang yang mati atau terluka
parah. Cek Yang sangat tidak tahu malu. Jika dia bersama-
sama para muridnya sampai kejadian mengeroyoknya, pasti
sangat membahayakan bagi pemuda tampan itu. Karena
kini aku sendiri sudah kehabisan tenaga dan sudah tentu tak
berdaya untuk membantu ia, hingga aku merasa kuatir
sekali bagi keselamatan diri sipemuda tersebut."
Kim Loo-toa lalu berkata: "Bangsat Cek Yang, kau pasti
tidak dapat mengalahkannya, dari itu, baiklah murid-
muridmu sekalian boleh kau ajak saja mengepungnya
dengan serentak!" Cek Yang Toajin mengetahui, bahwa lawannya tengah
mengejeknya, maka diapun berpendapat, sekalipun permainan pedang Leng Hong cukup hebat, tapi tenaga
dalamnya tentu sekali tidak dapat memenangkannya,
terutama ia sudah berpengalaman banyak tahun, dari itu
dengan mengambil keputusan yang pasti, ia lalu berseru:
"Pengemis pejajaran, kau jangan pentang bacot tidak
keruan! Tenanglah. Untuk menghadapi seorang bocah ini,
perlu apakah aku mohon bantuan orang?"
Leng Hong setelah berhasil menjatuhkan tiga lawannya,
hatinya menjadi besar, dan ketika melihat Cek Yang ingin
menghadapinya dengan seorang diri saja, malah ia menjadi
marah dan lalu memaki: "Bangsat Cek Yang, kau jangan
omong dengan seenaknya saja, hari ini adalah hari kau
menghadap pada Giam-loo-ong!"
Cek Yang menjadi gusar sekali, sambil berseru:
"Sambutlah seranganku", dia sudah menyarang pada
lambung kanan Gouw Leng Hong.
Leng Hong tidak berani berlaku ayal-ayalan, dia segera
membentangkan jurus 'Kay-san-sam-sek-po-giok-kun' untuk
menangkis serangan lawannya.
Setelah bertempur beberapa jurus lamanya, Cek Yang
yang melihat Leng Hong menggunakan hanya sepuluh
jurus saja pulang pergi, tapi tenaganya ternyata kuat sekali,
sekalipun serangannya bagaimana hebatnya dilakukannya,
kenyataannya selalu kena ditangkis saja oleh sipemuda,
sehingga untuk sementara dia tak berhasil menjatuhkan
pemuda itu, maka tidak terasa lagi hatinya menjadi gugup
sekali, kemudian dengan beruntun ia telah melancarkan
serangan-serangan yang mematikan, yaitu dengan kepandaian paling diandalkannya dan bernama 'Bu-kek-sin-
kong-kun'. Ilmu 'Bu-kek-sin-kong-kun' ini adalah serangan yang
keras sekali. Begitu Cek Yang mengeluarkan tipunya ini,
angin santer segera keluar menderu-deru menyerang
lawannya. Maka sipemuda yang menampak pihak
musuhnya berlaku nekat, iapun tidak berani memandang
rendah dan segera melawan dengan sekuat tenaganya, kian
lama kian cepat dan dahsyat saja agaknya.
Dalam pada itu, Kim Loo-toa lalu memandang pada
Peng Jie, yang ketika itu tengah memusatkan seluruh
perhatiannya atas jalannya pertempuran kedua orang itu.
Semangatnya tampak gagah sekali, seakan-akan ia sendiri
saja yang sedang bertempur, hingga tidak terasa lagi ia jadi
menghela napas, dan kemudian dengan diam-diam dia
berpikir: "Bocah ini ternyata masih sangat muda. Ia tak
tahu akan bahaya yang sedang dihadapinya. Kedua orang
yang sedang bertempur ini, bukan saja ingin menamatkan
riwayat lawannya masing-masing, malahan pertempuran itu
sendiri mempunyai sangkut-paut yang erat sekali dengan
nasib partai Kay-pang. Andaikata pemuda itu terkalahkan,
maka keadaan mereka menjadi berbahaya sekali, karena ia
sendiri yang tenaganya belum pulih kembali, akan berarti
musnahnya partai Kay-pang dalam tangannya bangsat Cek
Yang ini." Sekalipun Kim Loo-jie seorang yang kasar, tapi jalan
pikirannya sangat jauh, maka karena perasaannya pada saat
itu sangat tegang, tidaklah heran jika ia sampai
mengeluarkan keringat dingin.
Kedua orang itu sudah bertempur hampir memasuki
jurus keseratus. Disatu pihak Leng Hong tenaganya penuh
dan mantap, sedangkan lawannya Cek Yang licin dan
berpengalaman serta penjagaannyapun sangat rapat pula,
sehingga mereka berdua bertempur dalam keadaan
berimbang. Halmana, telah membuat Leng Hong menjadi


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak sabaran sekali dan berpikir didalam hatinya: "Jika aku
tak menggunakan tipu-tipu yang berbahaya, sukar sekali
agaknya untuk memperoleh kemenangan dari bangsat tua
ini." Diapun dapat menyaksikan, bahwa tenaga-dalam Cek
Yang Tojin tidak berada disebelah bawah daripada dirinya
sendiri. Tapi bila dia menggunakan tipu-tipu yang
berbahaya, sekali saja berlaku kurang hati-hati, mungkin
sekali akhirnya dia sendirilah yang akan menderita
kerugian. Oleh karena itu, diam-diam ia menjadi ragu-ragu
untuk segera melaksanakan tindakannya.
Setelah lewat pula berapa jurus lamanya, Leng Hong lalu
berseru sambil membentangkan dan merapatkan sepasang
tangannya, pukulannya ini sebentar diulur dan sebentar
pula ditarik, tangan kirinya dengan melintang menjaga
dadanya, sedangkan tangan kanannya dengan menggunakan jurus 'Kay-san-sam-sek', kemudian telah
diubahnya menjadi 'Toan-hun-kiam-cau'.
Jurus pelajaran yang disebut Toan-hun-kiam-cau adalah
jurus pelajaran hebat yang pernah diwariskan oleh ayahnya
Hoo-lok-it-kiam Gouw Ciauw In. Begitu Gouw Leng Hong
menggunakan jurus tersebut, dia segera merasakan, bahwa
tenaga serangannya bertambah hebat, sehingga selanjutnya
tampak jelas sekali, bahwa serangan-serangannya itu
mengandung bahaya maut bagi lawannya.
Cek Yang Tojin tidak pernah menyangka, bahwa
pemuda itu dapat mengubah serangannya begitu cepat dan
berbahaya, maka sambil merangkapkan sepasang tangannya
dia mundur satu langkah, bersiap sedia untuk melancarkan
serangan yang sehebat- hebatnya.
Menampak hal itu, Gouw Leng Hong hanya mengeluarkan suara jengekan saja, tangan kirinya yang
tadinya dipakai menjaga dadanya, kini dengan segera
ditekankan kebawah. Tangan kanannya bergerak secepat
kilat dari serangan memancing diubah menjadi serangan
sungguhan, hingga dengan berbareng diapun melancarkan
Penguasa Bukit Karang Bolong 2 Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok Petualang Asmara 8
^