Pencarian

Pendekar Pedang Sakti 19

Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen Bagian 19


serangan yang hebat itu kepada diri lawannya.
Dalam serangannya sekali ini, tenaga seluruhnya sudah
disalurkan dengan sepenuh-penuhnya, sehingga kekuatannya seakan-akan dapat menghancurkan bukit dan
memecahkan batu karang, hal mana sungguh amat
mengejutkan sekali hati semua orang.
Pada waktu pertemuan dipuncak gunung Thay San, Cek
Yang Tojin pernah bertempur dengan sipemuda, yang
kiamhoatnya (ilmu pedangnya) biasa saja, hingga tidak
cukup untuk menakutkannya. Tapi kini, siapa tahu, ketika
baru saja berpisah setengah tahun lamanya, kemajuan
Gouw Leng Hong sudah sedemikian tingginya, sehingga itu
semua sangat mengherankan dan berbareng mengejutkan
sekali bagi dirinya. Tapi dengan mengandalkan tenaga-dalamnya yang
cukup dahsyatnya, diapun tidak menyerah mentah-mentah
melainkan dengan tipu 'Twie-cong-bong-goat' (menolak
jendela memandang rembulan) dia telah menyodokkan
pedangnya kepada sipemuda.
Begitu kedua pedang itu saling beradu, Gouw Leng
Hong rasakan serangan Cek Yang Tojin sama sekali tidak
bertenaga, seakan-akan tenaganya sudah lenyap tidak
berbekas, sedangkan dia sendiri sudah tidak keburu menarik
kembali serangannya. Disinilah letak kelicikan Cek Yang Tojin ini. Begitu dia
melihat pemuda kita tidak berhasil mencapai sasarannya,
Kim Loo-toa yang menyaksikan pertempuran itu dari
samping, tidak terasa lagi hatinya jadi terkesiap dan
mengeluarkan teriakan terkejut.
Syukur juga meski Leng Hong kalah pengalaman, tapi
dia berbakat sangat baik, ketambahan reaksinyapun sangat
cepat pula, maka dalam saat yang genting itu, dengan tepat
dan sebat sekali ia telah menyammpok serangan lawannya
dengan tangan kirinya, sedangkan badannya dengan
meminjam tenaga itu, segera diputarkannya, kearah kanan.
Setelah itu, dengan mengeluarkan suara yang sangat
dahsyat sekali, Leng Hong yang barusan menggunakan tipu
'Hi-kong-le-san', (sidungu memindahkan gunung) telah
memapas sebuah pohon sehingga tumbang, sedangkan
badannya sendiri dengan berputar seratus delapan puluh
derajat, telah dapat meloloskan diri dari pada ancaman
pedang lawannya itu. Cek Yang Tojin yang menyaksikan aksi pemuda itu,
tidak terasa lagi menjadi sangat terperanjat sekali didalam
hatinya. Sekarang Leng Hong sudah dapat memusatkan seluruh
perhatiannya kepada pertempuran tersebut, sedangkan
dalam hatinyapun dia sudah mempunyai perhitungan yang
matang. Nyalinyapun bertambah besar dan mantap,
sehingga dengan beruntun tiga kali dia menyerang
lawannya dengan menggunakan pelajaran asli dari warisan
ayahnya sendiri. Selanjutnya, karena hebatnya serangan-
serangannya itu, maka ia telah berhasil dapat mendesak
mundur Cek Yang Tojin sehingga kesuatu pinggiran.
Kegugupan dan kemarahan Cek Yang Tojin sukar
ditahan dan bukan alang kepalang besarnya. Dengan
tangan yang masih tampak gemetaran, dia telah
melancarkan salah satu serangan balasan dari tipu 'Kiu-
kiong-sin-heng-kiam-hoat' yang paling lihay, yaitu yang
bernama jurus 'Ceng-in-kiu-sek' (awan biru membentuk
sembilan macam), dia sudah berpikir untuk mengambil alih
inisiatip pihak lawannya.
Siapa tahu Gouw Leng Hong tidak mau membiarkan
dirinya diserang lawannya dengan sikap mandah saja.
Kiam-hoat sipemuda sebenarnya sudah mencapai satu
tingkat lebih tinggi, jika dibandingkan dengan pihak
lawannya. Tapi karena dia kalah pengalaman, maka tiap-
tiap kesempatan baik tidak dapat dipergunakannya dengan
sebaik-baiknya, sehingga hal itu membuat Kim Loo-toa
yang menyaksikan dari samping jadi mengeluarkan keringat
dingin. Dalam pertempuran yang seru itu, ada kalanya Cek
Yang Tojin dengan sengaja membuka lowongan untuk
diserang oleh lawannya, kemudian bila lawannya sudah
terpancing, dia mudah mematahkan serangan itu dan
membinasakan lawannya, hingga sekalipun Leng Hong
tidak selicik lawannya, tapi dia cukup cerdik untuk tidak
membiarkan dirinya terpancing oleh tipu muslihat pihak
lawannya. Akhirnya diapun berpura-pura tertipu, dan tatkala Cek
Yang Tojin merasa pancingannya dimakan musuh, dengan
sekonyong-konyong ia melancarkan serangan balasan yang
hebat sekali. Tapi Leng Hong dengan menggunakan
pelajaran dari ayahnya almarhum yang bernama 'Bu-siang-
pa-cee' (Malaikat Bu Siang memegang tempuling) buru-
buru ia berkelit dan melompat kebelakang lawannya, dari
mana ia menusuk dengan langsung kepada lawannya.
Kim Loo-toa berseru girang, karena ia mengira Cek
Yang pasti tidak dapat menolong dirinya pula. Tapi siapa
tahu dalam suasana yang kritik ini, ternyata Cek Yang tidak
menjadi bingung, dia sudah membalikkan tangannya
dengan tipu 'Too-tha-kim-ciong' (memukul jatuh lonceng
mas) dan langsung memukul dada sipemuda. Semula dia
sudah bersedia mengasi dirinya diserang orang, tapi kini
berbalik menjadi pihak yang menyerang pula.
Pukulan yang dilancarkannya sekali ini adalah tenaga
yang sudah dipusatkan dengan sehebat-hebatnya. Hal
mana, telah membuat hati Leng Hong terkejut bukan main.
Tangan kirynya dengan tipu 'Liok-teng-kay-san' (Malaikat
Liok Teng membuka gunung) dia tangkis serangan
lawannya, sedangkan tangan kanannya tidak berhenti dan
terus mengancam tubuh lawannya dengan tusukan
pedangnya. Dengan mengeluarkan suara sangat nyaring karena
beradunya kedua pukulan, badan Leng Hong dirasakan
agak bergoncang, tapi pedang ditangan kanannya dengan
lancar dan cepat menusuk lawannya, hingga sekalipun Cek
Yang Tojin telah berkelit dengan gerakan yang cepat sekali,
tidak urung pedang Leng Hong telah berhasil juga
menggores punggung si-tojin, sehingga dia menjerit
kesakitan dan segera kabur dengan darah segar mengalir
dari lukanya itu. Kim Loo-toa yang menyaksikan Leng Hong memperoleh
kemenangan, sudah tentu saja hatinya jadi sangat kagum
dan memuji tinggi atas kepandaian sipemuda itu, meski Cek
Yang tidak sampai terbinasa dan melarikan diri bersama
murid-muridnya. Leng Hong menarik napas lega dan keluar dari kalangan
pertempuran dalam keadaan selamat dan tidak kurang
suatu apapun. Dalam hati ia merasa sangat menyesal, bahwa ia belum
berhasil dapat membalas himpas sakit hati ayahnya, tapi
untuk sementara ia sudah merasa puas dengan menghibur
dirinya sendiri dengan berkata: "Untuk menbunuh bangsat
tua bangkotan itu, waktunya masih banyak!" Tapi
bersamaan dengan itu, ia sekarang sudah mempunyai
kepercayaan yang penuh atas kemampuan dirinya sendiri,
bahwa dia pasti akan dapat mengalahkan Cen Yang.
Sementara Peng Jie yang melihat Leng Hong berdiri
terpekur disitu dia tahu bahwa pemuda itu terluka didalam,
maka dengan gugup ia berkata: "Apakah kau sudah merasa
baikan?" Leng Hong lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, dan
menyahut: "Siauw-tee (adik kecil), kau legakanlah hatimu,
bangsat bangkotan itu mana dapat melukakan aku" Kim
Siok-siokmu telah kehabisan tenaga karena dia telah
bertempur mati-matian dengan lawan-lawannya barusan.
Aku disini mempunyai obat cair yang sangat mustajab, obat
ini dapat dengan segera menyembuhkannya kembali dalam
waktu yang pendek sekali."
Sehabis berkata begitu, lalu dikeluarkannya dari dalam
saku didadanya obat cair 'Ban-nie-leng-coan' (obat cair
mustajab yang sudah laksanaan tahun tuanya), kemudian
dia menghampiri Kim Loo-toa yang tengah memejamkan
matanya sambil mengatur pernapasannya.
Kim Loo-toa setelah melihat sipemuda telah berhasil
dapat melukakan lawan-lawannya sehingga kabur lintang
pukang, barulah dia dapat bernapas lega, maka dengan
tenteram dia pejamkan matanya untuk melanjutkan
usahanya mengatur pula pernapasannya.
Waktu ia melihat Leng Hong berjalan menghampirinya,
ia segera mendahului berkata: "Mohon tanya, siapakah
nama tuan yang mulia?"
Leng Hong dengan laku yang sangat hormat lalu
menjawab: "Boanpwee bernama Gouw Leng Hong."
Sesudah berkata begitu, dia lalu mencabut tutup peles itu
sambil disodorkan pada Kim Loo-toa dan berkata: "Obat ini
sangat mujarab khasiatnya, silahkan Cian-pwee mencobanya." Kim Loo-toa yang melihat sipemuda berbicara dengan
sungguh-sungguh, maka diapun tidak menolak atas tawaran
itu. Setelah menyambuti peles obat itu, lalu diteteskannya
kedalam mulutnya, yang pada saat itu juga dirasakannya
mulutnya sangat wangi sekali, sedangkan dadanya terasa
lega dan segar, maka sambil meramkan matanya, kembali
ia telah mengatur jalan pernapasannya.
Setelah berselang sejurus lamanya, Kim Loo-toa lalu
berlompat bangun, sambil mencekal tangan Peng Jie ia
memberi hormat kepada Leng Hong dan berkata: "Gouw
Tay-hiap, kau telah membantu partai Kaypang menahan
serangan musuh-musuh kita, juga kau telah membantu pula
kepada Peng Jie, budi serta kebaikanmu yang tidak ada
taranya ini, kami tak akan melupakannya seumur hidup
kami. Maka bila kau mempunyai perintah apa-apa, tidak
perduli diair maupun diapi, kami pasti akan menerimanya
tanpa mengerutkan kening barang sedikitpun."
Gouw Leng Hong buru-buru membalas hormat mereka
sambil berkata: "Kim Loo-cian-pwee, janganlah kau berlaku
demikian. Boan-pwee mempunyai saudara angkat yang
bernama Lie Siauw Hiong, yang kerapkali menyebut-nyebut
tentang sikap kesatriaan Loo-cian-pwee, sehingga boan-
pwee merasa sangat kagum oleh karenanya."
Kim Loo-toa lalu menyahut: "Oh, ternyata Gouw Tay-
hiap ini adalah saudara angkat Lie Loo-toa, maka tidaklah
mengherankan bila kau juga mempunyai kepandaian yang
hebat sekali. Aku situa bangka dengan memberanikan diri
selanjutnya akan memanggil kau juga dengan sebutan Loo-
tee. Tapi belum tahu apakah kau tidak keberatan?"
Leng Hong menyaksikan dia begitu polos dan simpatik,
hingga diapun tidak kukuh terhadap adat istiadat dan lalu
bertanya: "Kay-pang mengapa berbentrok dengan partai Bu-
tong?" Kim Loo-toa lalu menjawab: "Hal ini bila hendak
diceritakan, sangatlah panjang, maka sekarang baiklah aku
mencari dahulu saudaraku Loo-jie."
Tatkala berjalan kurang-lebih sepuluh tombak jauhnya,
mereka melihat Kim Loo-jie tampak bersandar pada salah
sebatang pohon besar dengan mata melotot, sedang
sepasang tangannya mencengkeram sebatang pedang
panjang. Peng Jie melihat muka Kim Loo-jie yang begitu pucat
dan menakuti, buru-buru Peng Jie maju menghampiri dan
menggoyangkan pundak orang sambil berkata: "Kim Jie-
siok, Peng Jie sudah datang!"
Tapi Kim Loo-jie tidak menghiraukannya. Peng Jie jadi
merasa heran. Lalu ia membalikkan tubuhnya hendak
menanyakan hal itu kepada Kim Toa-sioknya, tidak
tahunya ia melihat orang yang tengah hendak ditanyakannya itu sedang berdiri terlongong- longong,
mukanya sangat suram, sedangkan giginya mencakup
kencang pada bibir sebelah bawahnya.
Leng Hong yang menyaksikannya sudah maklum,
karena dia pun merasa terharu sekali. Dengan menggunakan tangannya dia mengusap-usap kepala Peng
Jie sambil berkata dengan suara yang pelahan: "Peng Jie,
Kim Jie-siokmu sudah meninggal dunia."
Peng Jie yang mendengar begitu menjadi sangat
terperanjat, ia lompat dan menubruk serta memeluk tubuh
Kim Jie-sioknya, dia menangis menggerung-gerung.
Sekalipun umurnya sendiri sangat muda, tapi ia sudah
kerap mengalami peristiwa semacam ini, dan kini waktu ia
melihat Kim Jie-sioknya telah meninggal dunia, hati
kecilnya menjadi pilu sekali sehingga tak dapat lagi ia
menguasai dirinya sendiri. Ia menangis begitu sedih,
sehingga Gouw Leng Hong yang berdiri disampingnya
tidak tahan untuk tidak turut mengeluarkan air mata.
Leng Hong telah menyaksikan, bahwa luka Kim Loo-jie
dibagian punggung, adalah luka yang agaknya kena
bokongan dari toosu partai Bu-tong itu, sedangkan pedang
yang dicekal ditangannya itu sudah berhasil dibikin


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melengkung olehnya, tetapi telapak tangannya sedikitpun
tidak terluka. Halmana, disebabkan karena ia sangat
terkenal tentang kepandaiannya dalam ilmu mencengkeram
yang bernama Im-hong-jiauw.
Tatkala Peng Jie membalikkan tubuhnya dan memandang pada Kim Loo-toa, ia melihat sinar pandangan
matanya semakin lama semakin suram, seolah-olah ia
sedang melayangkan pandangannya ketempat jauh, hingga
sipemuda she Gouw yang mengetahui bahwa Kim Loo-toa
sudah putus harapan dan hatinyapun terluka maka dia
berpikir untuk coba menghiburkannya, tapi untuk sesaat
lamanya tak tahulah ia cara bagaimana harus menghiburinya. Tidak antara lama, Kim Loo-toa lalu mendongakkan
kepalanya dan lalu tertawa panjang. Suara tertawanya ini
berarti perasaan cinta mesra terhadap saudara kandungnya,
hingga satu-persatu pemandangan yang telah lampau
melintas dalam pikirannya disaat itu .. yaitu mereka kakak
dan adik sama-sama mengangkat nama, sama-sama berlaku
sebagai pelindung partai pengemis, tapi kini yang seorang
harus berpisah dengannya untuk selama-lamanya.
Suara tertawanya itu yang semakin lama semakin
rendah, kemudian berubah dan terganti dengan suara
sesenggukan, sedangkan airmatanya yang sebesar-besar
kacang jatuh bertetes-tetes membasahi kedua belah pipinya.
Sekonyong-konyong ia menghentikan menangisnya.
Sambil memegang tangan adiknya yang memegang pedang,
ia berkata dengan suara yang rendah: "Loo-jie, kau jangan
pergi dahulu, kini masih banyak rintangan yang harus kita
hadapi. Loo-jie, kau bersemangatlah, apakah kau dapat
menahan penderitaanmu ini?"
Diantara angin lalu sipemuda seakan-akan mendengar
suara Loo-jie yang berkata: "Hm, penderitaan yang
semacam apakah artinya" Toako, hutang ini harap catat
saja!" Oleh karena itu, dengan suara yang sangat bersemangat
ia menjawab: "Baiklah!"
Angin lalu membawa dan menyiarkan suara tertawanya
ketempat yang jauh sekali, sehingga suara itu berkumandang kedalam hutan dengan menerbitkan gema
yang mengharukan. Kemudian, setelah memberi hormat kepada Leng Hong,
dengan sebelah tangannya yang lainnya ia menuntun Peng
Jie. Dengan tidak menolehkan lagi kepalanya, ia telah
berlalu dengan mengambil jalan kecil, yang terdapat disitu.
Leng Hong yang melihat dia begitu bersedih dan
pikirannya tampak sangat kacau, didalam hatinya turut
merasa tidak tenteram, maka ia lalu mengikuti mereka dari
belakangan. Mereka bertiga berjalan masuk kedalam sebuah kuil
bobrok. Kim Loo-toa setelah menurunkan mayat adiknya
dari pundaknya, lalu dia berlutut sambil berkata dengan
membelakangi kedua orang itu: "Couw-su-ya, bukannya
Tee-cu tidak memegang janji, tapi sesungguhnyalah karena
para perampok keliwat memaksa, maka terhadap sumpah
tee-cu yang mengatakan tidak lagi mau campur tahu dalam
urusan partai Kay-pang, terpaksa tak dapat melaksanakannya, berhubung kini ketua partai masih
berusia sangat muda, sedangkan kepandaiannyapun belum
sempurna. Apabila tee-cu lepas tangan, maka jerih payah
Couw-su yang telah mengangkat nama partai kita sehingga
mencapai titik yang gilang gemilang akan tersapu bersih.
Dari itu, tee-cu tidak dapat mengurus hal itu, maka tee-cu
terpaksa harus melanggar sumpahku itu."
Setelah selesai mengucapkan kata-kata itu. Kim Loo-toa
lalu membalikkan badannya, kemudian dengan muka yang
bersungguh-sungguh dia berkata kepada Peng Jie: "Pangcu,
aku Kim Loo-toa sudah mengambil keputusanku untuk
masuk kembali dalam partai Kay Pang. Silahkan kau
mengangkatku kembali sebagai pelindungimu."
Peng Jie menggelengkan kepala sambil berkata: "Kim
Sioksiok, janganlah kau memanggilku dengan sebutan itu,
aku .. aku mana bisa jadi pangcu?"
Sebenarnyalah dia masih terlampau muda, dan diwaktu
Kim Siok-sioknya dengan tulus hati ingin mengabdi
dibawah pimpinannya, tidak terasa lagi ia menjadi terkejut
bukan buatan. Kim Loo-toa dengan suara yang sungguh-sungguh sudah
melanjutkan perkataannya: "Sewaktu Loo-pangcu meninggal dunia, dia ada memesan apa terhadapmu?"
Peng Jie yang melihat orang itu sungguh-sungguh ingin
mengabdi kepada dirinya, hatinya menjadi terharu,
semangat jantannya bangkit kembali dan lalu berkata: "Kim
Siok-siok, Peng Jie mengaku salah, silahkan kau orang tua
menyebutkan syarat-syaratnya."
Kim Siok-siok dengan cepat berlari keluar, dengan
memotes cabang pohon diapun berkata kepada Peng Jie:
"Peganglah cabang pohon ini. Kau sentuh pundakku dua
kali, lalu kau umumkan bahwa akulah pelindung keturunan
keenambelas dari partai Kaypang. Upacara ini sebenarnya
harus dilakukan dengan semeriah-meriahnya dan pula
harus disaksikan oleh orang-orang ternama, tapi karena
waktunya sudah sangat mendesak, maka terpaksa
pengangkatan ini hanya dihadirin oleh Gouw Loo-tee saja
yang berlaku sebagai saksinya."
Peng Jie melihat muka Kim Loo-toa begitu pucat, tapi
semangatnya masih tetap menyala-nyala. Selanjutnya oleh
karena kuatir Kim Siok-sioknya teringat kembali akan
peristiwa yang lampau dengan saudaranya itu, maka diapun
lalu berkata: "Kim Siok-siok, sekarang baiklah kita mulai
upacara pengangkatan itu."
Kim Loo-toa menganggukkan kepalanya, kemudian
lantas berlutut dihadapannya Peng Jie.
Peng Jie menjadi agak gugup. Baru saja ia hendak
mengulurkan tangannya untuk mengangkat bangun orang
tua itu, ternyata Kim Loo-toa sudah mendahului berkata:
"Inilah peraturan partai Kay-pang, maka Pangcu tak boleh
mencoba untuk melanggarnya."
Peng Jie mengetahui, bahwa dia tidak dapat menolak
pula, maka dengan menggunakan cabang pohon tersebut,
buru-buru dia menyentuh pundak Kim Loo-toa dua kali
sambil berkata dengan suara yang nyaring: "Kami Pang-cu
dari Partay Kay-pang keturunan keenam belas bernama Lie
Peng, mengundang Kim Siok-siok sebagai pelindung dari
partai kami." Karena dia tak mengetahui nama Kim situa ini, maka dia
hanya menyebut dengan Kim Siok-siok saja.
Gouw Leng Hong yang mendengar suara bocah masih
seperti kanak-kanak saja, tapi semangatnya sebagai seorang
pemimpin tampak begitu agung, nyatalah bahwa dia
mempunyai derajat untuk menjabat kedudukan tersebut,
maka diam-diam ia mengangguk-anggukkan kepalanya
sebagai tanda kagum. Kemudian Kim Loo-toa bangun berdiri dan memberi
penjelasan pada Gouw Leng Hong dengan berkata: "Loo-
tee, kau dengan Cek Yang bukankah pernah terjadi
perselisihan?" Leng Hong menganggukkan kepalanya sambil menjawab: "Dia adalah salah seorang dari pembunuh
ayahku." Kim Loo-toa setelah berfikir sejurus, sekonyong-konyong
dia berseru: "Dikalangan Kang-ouw terdapat kata-kata yang
tersiar luas sekali, yaitu mengenai Chit-hiauw-sin-kun Bwee
San Bin dan Hoo-lok-it-kian Gouw Ciauw In yang telah
dibunuh oleh Cek Yang dari Bu-tong, Kouw Am dari Go-
bie, Li Gok dari Kong-tong dan kebetulan Loo-tee she
Gouw, maka apakah sangkut pautnya dengan Gouw Ciauw
In Tay-hiap?" Dengan tersenyum Gouw Leng Hong menjawab: "Ialah
ayahku sendiri." Dengan menghela napas Kim Loo-toa lalu berkata:
"Hoo-lok-it-kiam Gouw Tay-hiap dengan Loo-pangcu
adalah sahabat lawas, tidak disangka mereka yang begitu
terkenal karena kepribadian mereka yang luhur dan suka
menolong sesama manusia di Hoo-lam dan Hoo-pak,
akhirnya telah menemui ajal mereka terbinasa oleh siasat
busuk kaum pengkhianat bangsa!"
Kemudian Gouw Leng Hong lain bertanya: "Pangcumu
bagaimana bisa kejadian mengikat permusuban dengan Cek
Yang?" Kim Loo-toa lalu menjawab: "Peristiwa ini telah terjadi
pada sepuluh tahun yang lampau. Pada saat itu, dikalangan
rimba persilatan muncul dua orang jagoan aneh, yang satu
adalah 'Chit-biauw-sin-kun', sedangkan yang lainnya lagi
adalah ayah Loo-tee sendiri. Kepandaian kedua orang ini
sangat tinggi dan lihay sekali, apa lagi ayahmu yang telah
melakukan pekerjaan yang paling sempurna dikalangan
Kangouw, sehingga namanya naik tinggi dan menjadi buah
bibir para pendekar. Nama kedua orang ini akhirnya dapat
menindih nama keempat orang ahli waris dari empat partai
besar." Leng Hongpun pernah mendengar riwayat ini dari
penuturan bujangnya yang kini sudah meninggalkan dunia,
maka diapun lalu berkata: "Oleh karena keempat orang ini
tidak merasa puas dengan mereka lalu bersekutu dan
menganiaya ayahku dan Bwee San Bin."
Kim Loo-toa menganggukkan kepalanya sambil berkata:
"Kejadian ini sungguh kebetulan sekali, yaitu setelah
mereka berempat dapat mengalahkan dan menganggap
bahwa 'Chit-biauw-sin-kan' Bwee San Bin telah terbinasa,
mereka begitu kegirangan sehingga berlaku lengah dan telah
meninggalkan sebuah sarung pedang ditempat pertempuran, yang kemudian sarung pedang itu telah dapat
dijumpai oleh salah seorang dari murid partai pengemis
kami." Dalam hati Leng Hong berpikir: "Kalau begitu, tidaklah
heran mengapa Cek Yang Tojin meminta dengan paksaan
pada Kim Loo-toa akan sarung pedang tersebut, tidak
tahunya sarung pedang itu adalah milik Lie Gok. Tetapi
mengapakah Cek Yang begitu memaksanya?"
Kim Loo-toa lalu melanjutkan penuturannya: "Sarung
pedang itu sebenarnya tidak mempunyai arti apa-apa.
Murid kami dari partai pengemis karena melihat sarung
pedang itu yang diukir secara indah sekali, maka dia
menduga kalau-kalau bukannya sarung pedang itu buatan
dari jaman dahulu, tentulah sangat hebat, oleh karena
itulah, maka dia pungut dan bawa pulang. Tapi dengan
tidak disangka, pada akhir-akhir dua tahun ini, dikalangan
Kang-ouw tersiar suatu berita yang mengatakan, bahwa
sesudah meninggalnya tokoh hebat yang dipanggil Koay-
hiap Cui Tojin, dimana setelah dia mati, maka
kepandaiannya yang hebat dan langkapun turut juga
terkubur pula. Tapi kemudian, entah disengaja atau tidak,
bolehnya tersiar kabar dikalangan rimba-persilatan, bahwa
seluruh kepandaian dari orang aneh itu telah ditulis diatas
sebuah sarung pedang kuno, yang dengan secara kebetulan
telah dapat dimiliki oleh murid dari partai pengemis."
"Kabar ini bertambah lama bertambah santar kedengarannya diluaran, sehingga murid yang telah
mendapatkan pedang sarung itu lalu mempersembahkan
kepada Loo-pangcu kami. Dan setelah Loo-pangcu kami
memeriksanya, ternyata tidak terdapat hal-hal yang aneh,
oleh karena itu, Loo-pangcu berpendapat, bahwa kabaran
yang tersiar diluar dan dalam kalangan Rimba Persilatan
itu, mungkin juga ada berapa bagiannya yang benar, maka
dia telah menyimpan sarung pedang itu baik-baik."
"Tapi Li Gok setelah mendengar kabaran angin ini, dia
menjadi terkejut dan diapun memastikan, bahwa sarung
pedang yang dimaksudkan itu pastilah sarung pedang yang
telah hilang olehnya pada sepuluh tahun yang lalu itu,
halmana telah membuat dia menjadi sangat menyesal dan
menginsyafi, bahwa dirinya selama hidupnya telah banyak


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat hal-hal yang tidak baik, maka selama tahun-tahun
belakangan ini, banyak sekali musuh-musuhnya telah
datang mencari dia untuk memperhitungkan hutang lama.
Oleh karena dia takut, bahwa banyak diantara musuh-
musuhnya itu adalah orang-orang yang berkepandaian
sangat tinggi, maka dia telah berlaku sangat hati-hati sekali.
Karena dia sebagai seorang Ciang-bunjin, tentu saja tidak
berani berlaku gegabah pula. Maka dari itu, dia telah
memikir untuk menciptakan suatu kepandaian istimewa
untuk menghadapi lawan-lawannya yang tangguh itu.
Kebetulan sekali sarung pedang itu kabarnya memuat
seluruh kepandaian yang hebat dari jago silat terdahulu,
yaitu Cui Too-jin, maka dia telah membulatkan tekadnya
untuk mendapatkan kembali sarung pedang yang telah
lenyap itu." "Akhirnya Loo-pangcu sendiri pada suatu malam telah
bertemu dengan musuh besarnya, pada waktu mana dia
telah dibunuh mati oleh lawan itu ditengah hutan belantara,
hingga oleh karenanya, kami dua saudara telah bertempur
dengan musuh itu. Maka pada sebelum Loo-pangcu
meninggal, dia telah menjumpai Peng Jie dan lalu
menyerahkan kedudukannya kepada bocah ini. Tapi Li
Gok sungguh tajam sekali pandengarannya, entah darimana
dia mendapat kabar, bahwa sarung pedang itu telah terjatuh
kedalam tangan Siauw-pangcu (Ketua muda). Oleh sebab
itu, dia telah turun tangan sendiri, berhubung diantara
murid-murid dari partai pengemis Utara ada berapa orang
yang telah berkhianat dan berlaku sebagai 'cecolok' Li Gok.
Halmana, disebabkan karena ketua lama sudah meninggal
dunia, sedang ketua yang baru masih muda sekali usianya.
Maka setelah mereka bersatu padu dengan Li Gok dan
menyerang kami dua saudara dan Peng Jie, aku dua
saudara yang melihat lawan kami berjumlah banyak dan
lagi pula banyak diantaranya yang tinggi-tinggi kepandaian
silatnya, maka kami telah memerintahkan pada ketua kami
yang masih muda ini untuk melarikan diri dengan sendirian
kepada partai pengemis cabang Selatan. Tapi sungguh tidak
disangka, bahwa tipu kami ini telah dapat dipecahkan pihak
lawan, sehingga mereka telah mengejar kami bertiga sampai
dikuil rusak tempo hari, dimana syukur juga akhirnya kami
dapat pertolongan saudara Lie, sehingga kami selamat tak
kurang suatu apapun."
Gouw Leng Hong lalu memotong perkataan orang
sambil berkata: "Kalau begitu, mengapa Cek Yang bisa
mengikat permusuhan dengan kalian?"
Kim Loo-toa setelah menarik papas lalu menjawab:
"Aku bersama partai Bu-tong sebenarnya bagaikan air kali
dengan air sumur yang tidak saling mengganggu. Begitu
Loo-pangcu wafat. Cek Yang merasa iri hati kepada partai
kami yang dianggapnya jaya, hingga akhirnya telah terjadi
satu bentrokan kecil diantara murid-murid kedua belah
pihak. Hanya belum tahu, entah apa sebabnya Cek Yang
sampai begitu kejam membunuh saudaraku. Tapi kesudahannya aku telah menarik kesimpulan, bahwa dia
telah bersekongkol dengan Li Gok."
Sebenarnya, dimanalah ia ketahui, bahwa tempo hari
Cek Yang setelah melihat Lie Siauw Hiong mengunjukkan
diri diruangan 'Bu-wie-thia', dengan gagahnya dia telah
berhasil dapat mengalahkan Kinlungo, hingga tak pernah ia
mendengar maupun melihat sendiri sampai waktu detik itu,
ketika dia menyaksikan kepandaiannya Lie Siauw Hiong
yang begitu luar biasa, hingga tidak terasa lagi dia menjadi
sangat kaget sekali, karena dia tahu, bahwa dibelakang hari
Lie Siauw Hiong pasti akan datang menuntut balas,
sedangkan dia sendiri tentu saja tidak dapat melawannya.
Begitulah dengan tidak mempertimbangkan lagi kepada
prikemanusiaan, ia telah turun tangan sendiri untuk
merampas sarung pedang itu, untuk memperoleh kepandaian silat yang hebat dari gambar maupun
peninggalan yang tertera pada sarung pedang tersebut.
Sementara Gouw Leng Hong setelah selesai mendengar
penuturan Kim Loo-toa, diapun hanya dapat menganggukkan kepalanya saja, sedang didalam hati ia
berpikir: "Aku selama beberapa bulan ini, telah mencari-cari
Ah Lan ke Shoa-tang dan Hoo-lam, tapi tidak dapat
menemui jejaknya. Karena kedua matanya telah buta, dia
yang mengembara dikalangan Rimba Persilatan yang penuh
bahaya dan manusia-manusia keji, sesungguhnya keadaannya sangat berbahaya sekali. Jika mengandalkan
aku sendiri yang mencarinya, hal ini bagaikan mencari
sebatang jarum ditengah lautan, entah aku harus cari
dimana. Oh, benar Hiong-tee mengatakan bahwa murid-
murid partai pengemis tersebar dimana-mana, maka baiklah
aku minta pertolongan mereka untuk mencari Ah Lan,
hingga harapan untuk dapat mencarinya menjadi terlebih
besar." Tapi ketika baru saja dia hendak membuka mulut,
sekonyong-konyong ia telah berbalik pikir: "Didepan mata
urusan yang harus diselesaikan oleh mereka masih
bertumpuk-tumpuk banyaknya, aku yang telah melepas
budi terhadap partainya, bila aku memohon pastilah
mereka akan meluluskannya. Ai, sudahlah. Mengapa aku
harus menyusahkan orang lain" Aku pernah meluluskan
kepada Ah Lan, akan selama-lamanya mendampinginya
bersama Toa-nio, aku .. aku dengan tidak menghiraukan
betapa luasnya muka bumi ini, aku harus dapat mencarinya
kembali, bila dia tidak beruntung telah mengalami bencana,
aku .. aku akan menyusul kepadanya. Pendek pada
pokoknya, didunia ini tidak ada tenaga apapun yang dapat
memisahkan mereka." (Oo-dwkz-oO) Jilid 40 Pada saat itu, sinar bulan telah memasuki jendela kuil
yang rusak itu. Kim Loo-toa yang melihat muka Gouw
Leng Hong memancarkan sinar yang agak berlainan .. tentu
saja, sekalipun hanya sebentar saja, tapi Kim Loo-toa segera
dapat merasakannya .. Sekonyong-konyong Leng Hong berkata: "Besok kita
harus melaksanakan perjalanan pula, silahkan kalian pergi
beristirahat." Peng Jie manggutkan kepalanya sambil memandang
kepada Kim Lo-toa dan berkata: "Kim Siok-siok, marilah
kita beristirahat." Kim Loo-toa manggutkan kepalanya dan lalu meniup
padam pelita minyak diatas media, kemudian bangkit
berdiri dengan tindakan perlahan menghampiri pinggiran
tembok. Dibawah sinar puteri malam, badannya yang jangkung
tampak menyeramkan sekali .. apa lagi bayangan
punggungnya, yang tampaknya sangat besar serta menakutkan itu. Pada keesokan harinya, Gouw Leng Hong dengan
tergesa-gesa berpamitan dari Kim Loo-toa dan Peng Jie.
Terhadap Kim Loo-toa dia sangat menghormatinya,
sedangkan kepada Peng Jie dia merasa sangat tertarik,
hingga sebenarnya dia ingin tinggal lebih lama bersama-
sama mereka, tapi setelah dia melihat bahwa Kim Loo-toa
ingin mengubur mayat adiknya, diapun terpaksa meninggalkannya, karena tak mau dia mengganggu lebih
lama pula kepada mereka. Tapi didalam hari ia berpikir:
"Sejak hari ini sepasang saudara yang selamanya tak pernah
saling berpisahan, kini harus berpisah untuk selama-
lamanya. Halmana, sesungguhnya sangat memilukan dan
mengharukan hati sekali. Selama hayatku dikandung
badan, hari-hari yang bahagia bagiku hanya sedikit sekali ..
Barangkali untuk selama-lamanya aku tidak bisa merasakan
manisnya penghidupan, dan hari-hari yang sengsara pasti
tidak akan habis-habisnya mengunjungiku. Penderitaanku
sudah cukup berat, oleh karena itu, mengapa pula aku harus
menyaksikan perpisahan yang menyayat hati diantara
kedua saudara ini?" Dengan mengikuti rencana yang telah ditetapkannya
semula, dengan langkah yang perlahan dia memasuki kota
Lok-yang. Pada saat itu sudah tengah hari, maka ia segera
mencari sebuah warung arak yang bersih dan disana ia
memilih tempat yang letaknya dekat jendela.
Sekonyong-konyong, seluruh tamu yang berkumpul
disitu dengan serentak pada berdiri dan memandang pada
anak tangga, hingga Leng Hong tidak terasa lagi jadi
merasa heran sekali dan buru-buru mengikuti pandangan
orang banyak, ketika pada anak tangga itu muncul seorang
gadis kecil yang ditaksir baru berusia lima atau enambelas
tahun tengah berdiri disitu.
Leng Hong lalu menoleh kepada gadis itu yang bersinar
mata bening dan jernih, putih bersemu merah bagaikan
buah apel, yang disaat itu tengah bersenyum manis seorang
diri. Pada saat itu seluruh tamu yang berada dalam rumah
makan tersebut menjadi hening, semua hadirin sangat
tertarik sekali pada gadis cilik itu. Salah seorang tamu yang
sudah tua, dalam hatinya berpikir: "Apabila aku
mempunyai anak dara semanis dia ini, alangkah baik dan
senangnya penghidupanku." Sedangkan bagi para tamu
yang masih muda tentu berpikir: "Apabila aku mempunyai
adik perempuan yang sedemikian mungilnya .." Tapi
mereka tidak berani melanjutkan pikiran yang bukan-bukan
itu, karena diantara kecantikan gadis cilik ini, tampak sikap
yang sangat agung dan tak boleh dipandang ringan.
Gouw Leng Hongpun karena merasa gadis cilik ini
sangat mungil dan menarik, tidak terasa lagi menjadi
terlebih sering pula memandangnya, hingga dara cilik
inipun seakan-akan mengetahui, bahwa dirinya sedang
dipandang orang, maka diapun bersenyumlah sambil
menghampiri kehadapan Gouw Leng Hong dan berikata:
"Eh, kau memandangi aku mau apa, tahukah kau
saudaraku Lie Twako sekarang berada dimana?"
Leng Hong merasakan pandangan gadis cilik ini sangat
tajam dan menusuk kepadanya, hingga hatinya merasa
bimbang dan tak mendengar jelas pertanyaan orang. Maka
ia lalu bertanya: "Kau, kau mengatakan apa?"
Sigadis cilik manis ini yang melihat muka sipemuda agak
kemerah-merahan, sebenarnya dia hendak menegurnya
mengapa dia tidak memperhatikan pertanyaannya, tapi
ketika baru saja perkataannya hendak diucapkan, tiba-tiba
dia mengurungkan maksud itu, karena ia merasa tidak
sampai hati untuk mengatakannya. Oleh sebab itu, ia hanya
berkata dengan lemah lembut: "Aku tanya kau, apakah kau
tahu ada seorang she Lie .. Lie Twako yang matanya agak
besar itu?" Leng Hong lalu menjawab: "Apa" Apakah yang kau
tanyakan itu bukan adik Lie Siauw Hiong?"
Gadis cilik manis ini tampak menjadi girang sekali,
hingga dengan muka yang berseri-seri ia lalu berkata:
"Benar .. Lie Siauw Hiong Twako-lah yang sedang aku cari.
Dia adalah adikmu, kalau begitu, inilah sesungguhnya
sangat kebetulan sekali, Lekaslah kau ajak aku pergi
menjumpainya." Pada saat itu para hadirin dalam rumah makan tersebut
ramai membincangkan tentang sepak terjang gadis ini, dan
ada seorang tua yang jujur melihat mereka berdua sungguh
merupakan satu pasang muda mudi yang sangat setimpal
sekali, tak terasa pula membuat ia merasa gembira akan
menyaksikan kedua orang itu.
Sedangkan kaum pemuda yang menampak gadis cilik ini
dapat bercakap-cakap sambil tertawa-tawa dengan Leng
Hong dengan secara bebas, hati mereka merasa iri sekali,
tapi waktu mereka memandang lebih cermat lagi pada Leng
Hong, mereka dapatkan bahwa sipemudapun mempunyai
sinar mata yang tajam pula, dan jika dibandingkan dengan
mereka sendiri, sama sekali mereka tak akan nempil. Oleh
karena itu merekapun menjadi putus asa. Tapi waktu
mereka mendengar sigadis manis tengah menyelidiki
pemuda lainnya lagi, didalam hati mereka merasa aneh
sekali, hingga diam-diam mereka pada berpikir: "Entah
pemuda she Lie itu adalah orang macam apa pula, sehingga
membuat dia merasa sangat kuatir" Ai, nona yang demikian
manisnya ini, andaikata .. asal dia mempunyai perasaan
kuatir atas diriku separuhnya saja, andaikata aku harus
mati, maka akupun akan merasa rela."
Begitulah menurut jalan pikiran masing-masing pemuda
yang sedang berkumpul dalam rumah makan itu.
Para pemuda ini dengan serentak pada menoleh kearah
Leng Hong dengan mengandung perasaan mengejek, yang


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seakan-akan mereka hendak mengatakan: "Bocah, janganlah kau lekas merasa girang dahulu, nona manis ini
sudah mempunyai pemuda yang dipenujuinya, lho!"
Gouw Leng Hong tidak menghiraukan atas pandangan
orang banyak terhadapnya, hanya dengan suara yang
perlahan ia telah bertanya: "Kau ini orang she Kim atau she
Phui?" Gadis itu matanya tampak berputar, kemudian dengan
perasaan heran dia menjawab: "Aku she Thio. Eh,
mengapakah kau mengira aku orang she Kim atau she
Phui?" Leng Hong menampak muka sinona seperti orang yang
gugup dan curiga, maka dalam hati dia merasa terkejut juga
dan berpikir: "Nona ini terhadap Hiong Tee begitu
memperhatikan sekali. Tempo hari sewaktu Hiong Tee sakit
keras, dalam mengingaunya dia telah menyebut-nyebut
nama seseorang. Tatkala itu karena aku menganggap dia
sedang sakit keras, maka tentulah nama yang disebutkannya
itu adalah tidak benar. Tapi baiklah untuk tidak melukai
hati nona ini, aku tak akan memberitahukan nama orang
tersebut kepadanya."
Setelah dia berdehem lalu dia tertawa sambil berkata:
"Aku .. mempunyai seorang sahabat she Phui yang
romannya mirip sekali denganmu."
Dia yang begitu melihat gadis ini, dalam hatinya timbul
satu perasaan yang sukar dilukiskan. Ia hanya merasa
bahwa ia harus melindunginya dimana perlu, hingga
terpaksa ia telah membohong pada kali itu.
Ternyata gadis manis ini adalah gadis yang melarikan
diri dari pulau Bu-kek-too, yaitu Ceng Jie. Sejak ia diajak
oleh orang tuanya mengembara kedaerah Tiong-goan,
disitu ia telah menemukan segala sesuatu yang aneh dan
belum pernah dilihatnya selama ia berada dipulaunya
sendiri. Lebih-lebih ia telah dapat berkenalan dengan
pemuda bermata agak besar yang bernama Lie Siauw
Hiong. Begitu terpikir olehnya akan sipemuda yang bermata
besar ini, hatinya jadi merasa sangat gembira. Belakangan
setelah ibunya kena ditiam oleh Giok-khut-mo dan diwaktu
ayahnya Bu Hang Seng melepaskan totokan itu, untuk
pertama kalinya pula dia telah melihat pemuda yang
bermata besar itu. Dalam keadaan demikian, ia melihat
mata yang besar itu tengah memandangnya dengan penuh
kecintaan. Ia tidak mengerti pandangannya itu, tapi
didalam lubuk hatinya timbul semacam perasaan yang
mesra sekali. Setelah dia mengikuti orang tuanya kembali kepulau Bu
Kek Too, hatinya menjadi tidak kerasan pula tinggal
dipulau itu. Maka setelah berdiam disitu tidak berapa lama,
kembali ia merasa iseng sekali, sedangkan hatinya terus
mengembara kedaerah Tiong-goan kepada sipemuda yang
bermata besar itu, sehingga akhirnya tak dapat pula ia
menahan sabar dan mengunakan kesempatan selagi ayah
dan ibunya tidak begitu memperhatikannya, lalu dia
melarikan diri dengan diam-diam dari pulau tempat
kediamannya itu. Dia sebenarnya tidak mengetahui nama Lie Siauw
Hiong, tapi ayahnya dengan tidak disengaja telah
menyebutnya dirumah, maka diapun lalu mengingatnya
baik-baik. Disepanjang jalan, asal saja dia berjumpa dengan
orang, dia tanyakan dimana adanya sipemuda she Lie itu,
hingga entah sudah menerbitkan berapa banyak kali buah
tertawaan orang. Dia yang sejak kecil berdiam seorang diri
dipulaunya ini, lagi pula biasa dimanja-manja oleh orang
tuanya, maka terhadap urusan dunia dia tidak tahu jelas,
sehingga diapun tidak tahu kalau menginap dirumah
penginapan, harus membayar uang sewanya, dan sesudah
makan, lalu meninggalkannya begitu saja tanpa membayar.
Tapi karena orang melihat pada wajahnya yang cantik,
maka selamanya suka mengalah saja kepadanya. Oleh
karena itu, disepanjang jalan belum pernah dia menderita
kerugian apa-apa. Pada hari itu ketika dia melihat Leng Hong dirumah
makan itu memandang kepadanya, dia merasa Leng Hong
sangat tampan dan baik hati. Lalu dia menanya kepadanya,
tanpa disangka bahwa sesudah bertanya-tanya kian kemari,
akhirnya dijumpainya juga orang yang tepat.
Ceng Jie lalu berkata: "Kalau begitu, Lie Twako
sekarang berada dimana?"
Leng Hong yang menampak sigadis tidak menanyakannya kembali karena dia terlepasan omong tadi,
lalu buru-buru ia menjawab: "Hiong-tee telah mengikuti
Peng Hoan Taysu pergi kepulau Tay Ciap Too untuk
belajar silat yang tinggi dan langka."
Dengan roman yang kegirangan Ceng Jie lalu berkata
pula: "Ternyata dia telah mengikuti Loo Hoosiang pek-pek
(paman pendeta tua) pergi ke Tong Hay, apakah Hosiang
itu mempunyai kepandaian silat yang tinggi?"
Leng Hong yang mendengar dia memanggil Peng Hoan
Taysu dengan sebutan Hosiang pek-pek, dalam hatinya
diam-diam dia menertawakan sinona sambil berpikir:
"Nona ini sungguh wajar sekali kelakuannya, sedikitpun ia
tak marah aku menyebutkan nama wanita lain, tapi bagi
wanita lainnya, pasti dia akan merasa cemburu dan
dendam. Tampaknya kaum wanita sudah punya rasa
cemburu sejak dilahirkan kedalam dunia ini. Hal mana
dapat dibuktikan dengan peristiwa yang terjadi antara Ah
Lan dan nona she Souw itu."
Begitu dia berpikir pada Ah Lan, hatinya menjadi pilu
sekali, hingga ia lantas berdiam sejenak tanpa berkata-kata
barang sepatahpun. Ceng Jie lalu berkata: "Eh, apakah kau merasa kurang
senang" Kau she apa?"
Leng Hong lalu nienyahut: "Aku she Gouw, namaku
Leng Hong." Ceng Jiepun balas menjawab: "Aku Thio Ceng, tapi lebih
baik kau panggil aku Ceng Jie saja."
Leng Hong berkata pula: "Twakomu pergi sudah sebulan
lebih, sekarang dikuatirkan dia sudah kembali pula."
Dengan gugup Ceng Jie berkata: "Aku akan pergi
kepulau Tay Ciap Too, apakah kau mau pergi juga
kesana?" Leng Hong yang memang hendak pergi kedaerah Hoo-
lam dan Hoo-pak serta kebetulan satu jalanan dengannya,
maka iapun dengan girang mengiringinya juga.
"Aku hanya bisa mengantarkan kau keperbatasan Kang-
souw saja," kata sipemuda.
Ceng Jie menjawab: "Begitupun baik, mari kita lekas
berangkat." Leng Hong lalu membayar harga makannya dan
minuman yang telah didaharnya tadi, kemudian mereka
berangkat menuju ke Utara.
Disepanjang jalan, apa yang dipercakapkan setelah dia
meninggalkan rumahnya, yaitu menanam bunga, menanam
rumput, menangkap ikan, menangkap kutu-kutu. Leng
Hong setelah meninggalkan rumah tangganya senantiasa
berada dalam keadaan bahaya, karena dimana-mana dia
harus melakukan pertempuran mati hidup dengan lawan-
lawannya. Maka setelah kini mendengar cerita yang
menarik itu, dia menjadi giranglah didalam hatinya.
Thio Ceng berkata pula: "Pulau Bu Kek Too sungguh
luas sekali. Disana ditanam bunga-bunga yang beraneka
ragam dan indah sekali pemandangannya, diatas pulau itu
hanya ada ayah dan ibuku saja yang melayaniku. Ayah
sendiri dari pagi sampai malam jika bukannya membaca
buku, tentulah berlatih silat, maka aku terpaksa, bermain-
main dengan ibu saja. Pada saat itu, jika kau datang
bersama Lie Twako menemani aku bermain-main selama
berapa bulan, hal itu sudah tentu bukan main baiknya."
Leng Hong yang melihat sinona dengan tulus hati
memohon kepadanya, diapun buru-buru menjawab: "Aku
pasti akan sering-sering datang kesana untuk menjengukmu." Thio Ceng setelah menghela napas pula lalu berkata:
"Ayah entah sebab apa, tampaknya dia sangat membenci
sekali terhadap Lie Twako. Aku khawatir ayah melarang
aku akan bermain-main demgannya."
Leng Hong lalu berkata pula: "Tidak bisa, kepandaian
Lie Siauw Hiong sangat tinggi dan orangnyapun sangat
pintar. Ayahmu pasti sekali akan menyukainya."
Thio Ceng yang mendengar Leng Hong memuji pada Lie
Siauw Hiong, hatinya menjadi girang dan lalu melanjutkan
perkataannya: "Akupun berpendapat demikian juga. Lie
Twako bersamamu adalah kawan-kawan paling baik yang
kumiliki didunia ini, dia dan engkau adalah orang-orang
yang paling baik sekali."
Leng Hong tiba-tiba berkata: "Ayahmu mendapat
gelaran sebagai salah seorang dari 'Tiga Dewa Diluar
Dunia', hingga kepandaiannya tentu sangat luar biasa tinggi
dan hebatnya sedangkan kau sendiri begitu pintar, yang
tentunya telah mewariskan kepandaian ayahmu yang hebat
itu juga." Thio Ceng lalu menjawab: "Ayah sering-sering menyatakan, bahwa aku tidak belad yar dengan sungguh-
sungguh, sedang ibu mengatakan, bahwa aku sebagai anak
perempuan bukannya khusus untuk bertanding dengan
orang, oleh karena itu, dia tidak membutuhkan kepandaian
yang terlampau tinggi, hingga akhirnya ayahpun tidak
terlampau memaksaku dan hanya mempelajari aku ilmu
Keng-sin-kang saja."
Leng Hong dengan suara memuji lalu berkata: "Tidak
heran bila kau memiliki kepandaian untuk mengentengi
tubuh yang sempurna sekali."
Mendengar pujian itu, Thio Ceng hanya tersenyum saja.
Begitulah kedua orang itu berjalan disiang hari, dan
dimalam hari beristirahat, maka masing-masing merasa
cocok satu sama lain. Dan dimana saja mereka tiba, Leng
Hong senantiasa menyelidiki dimana sekiranya Lie Siauw
Hiong berada, disamping menjaga dengan sangat hati-hati
diri sinona yang kini berjalan bersama-sama dengannya.
Tatkala berjalan pula berapa hari lamanya, belum juga
Thio Ceng berhasil menjumpai orang yang sedang dicarinya
itu, hingga diam-diam ia merasa jengkel juga didalam
hatinya. Lalu bersama-sama Leng Hong ia membentangkan
Keng-sin-kang dengan sehebat-hebatnya. Mereka ini baik
turun gunung dan melampaui semak belukar. Setelah
mereka memasuki daerah Hoo-lam dimana banyak sekali
jalan yang tidak rata, kedua orang itu toh telah dapat
membentangkan Keng-sin-kang mereka bagaikan ditempat
yang datar saja. Pada hari itu sesampainya di Souw-ciu dan terpisah dari
pantai laut tidak berapa jauh, haripun sudah menjelang
malam, hingga kedua orang itu buru-buru mencari sebuah
guha gunung untuk mereka duduk beristirahat disitu.
Keadaan pada waktu itu sudah mulai termasuk pada
musim dingin, hingga hawa udara luar biasa dinginnya.
Setelah Leng Hong memotes berapa cabang pohon yang
sudah kering, lalu didepan guha gunung tersebut ia
membuat unggun untuk memanaskan badan mereka. Thio
Ceng lalu mengeluarkan makanan kering dari dalam
buntelannya, yang sebagian ia berikan kepada Leng Hong,
kemudian mereka berdua sambil duduk menghangatkan
badan lalu memakan makanan kering bawaannya sinona
itu. Leng Hong yang mendapatkan sinona tinggal membisu
saja, ia segera ketahui, bahwa sinona sedang merasa risau
atas perpisahan yang akan segera berlangsung diantara
mereka berdua pada keesokan harinya. Semua ini diketahui
Leng Hong karena sinar api unggun yang menerangi wajah
nona itu. Dalam hati dia berpikir: "Hati sinona ini sungguh jujur
dan welas sekali, sedangkan nasib saudaraku Lie Siauw
Hiong benar-benar sangat mujur sekali. Nanti bila aku telah
berhasil menjumpainya, pasti akan kusampaikan nasihatku,
yang kira-kira akan berbunyi sebagai berikut: Kau harus
dengan seluruh hati dan rasa mencintai nona manis ini.
Hm, siapakah lagi yang dapat menandingi tentang
kecantikan dan kemungilannya?"
Sambil berpikir demikian, otaknyapun terbayanglah
bayangan Ah Lan, hingga ia berkata didalam hatinya:
"Hanya Ah Lan saja yang dapat dibandingkan kecantikannya dengan nona ini." Begitulah menurut jalan
pikirannya. Diangkasa bintang pertama telah menampakkan diri,
dan tidak antara lama rembulanpun telah mulai berkisar
naik dari balik puncak gunung.


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Leng Hong membuka buntelannya, dari mana ia telah
mengeluarkan sepucuk surat dan lalu dibaca bunyinya
dengan berulang-ulang: "Twako, aku tidak marah
terhadapmu, benar-benar aku tidak memarahimu .. Siauw
Kbo-nio adalah seorang anak dara yang sangat baik sekali,
dan diapun sungguh-sungguh pula mencintaimu, oleh
karena itu, baiklah kau juga memperlakukan dengan
sepenuh hati, sedang terhadapku yang bodoh lagi dungu ini
tak usah kau kenang-kenangkan pula. Twako, aku pergi,
sekalipun aku pergi ketempat yang sejauh-jauhnya, tapi,
Twako, Ah Lan masih tetap menjadi milikmu. Sekalipun
terpisah ribuan lie jauhnya, tapi Ah Lan selama-lamanya
akan mendoakan agar kalian hidup beruntung dan bahagia
.. Leng Hong dengan tidak jemu-jemunya membaca surat
tersebut dengan berulang-ulang. Dalam keadaan demikian,
teringatlah ia akan peristiwa tempo hari antara dia dengan
nona Souw, yang karena asyiknya mereka bercinta-cintaan,
sehingga peristiwa lain-lainnya mereka tidak pernah
memikirkannya sama sekali.
Ah Lan dengan meninggalkan surat ini, lalu pergi
meninggalkannya, tentulah dia telah mendengar percakapan mereka berdua, tapi ia sendiri tidak pernah
menyangkanya sama sekali. Apakah karena ia terlampau
banyak menenggak susu macan, maka ia telah melakukan
sesuatu yang melampaui balas kesopanan"
Sekonyong-konyong Thio Ceng berkata: "Gouw Twako,
kau lihat, disana ada apa?"
Leng Hong lalu mengangkat kepalanya memamdang,
dimana ia lihat sebuah bintang jatuh dengan dilangit
tampak sinar yang dengan cepatnya beralih.
Leng Hong lalu berkata: "Itulah bintang jatuh."
Thio Ceng manggutkan kepalanya, tapi tidak berkata-
kata lagi, sedang didalam hatinya ia berpikir: "Ibu sering
mengatakan, setiap bintang mewakili seorang dewa. Dewa
itu entah disebabkan oleh apa, bukannya menjadi dewa suci
dan baik-baik tinggal dilangit, tapi sebaliknya turun kedunia
yang penuh dengan kedosaan dan kepalsuan. Hanya belum
tahu, apakah dewa itu seorang laki-laki ataukah
perempuan?" Kemudian diapun melanjutkan pikirannya: "Waktu aku
masih kecil, segala apapun aku tidak mengetahuinya, sehari
suntuk kerjaku hanya main-main saja, atau aku minta ibuku
bercerita sesuatu. Apabila aku sudah merasa lelah, akupun
tertidurlah diatas rumput. Setelah aku bangun dan merasa
haus, maka aku lalu memetik buah untuk dimakan. Apapun
aku tidak pernah memikirkannya, apapun aku tidak takuti,
hanya ayah sering-sering memaksa untuk melatih diriku
dalam kepandaian silat, barulah aku merasa agak takut.
Sepulangnya dalam perjalanan terakhirku ini, aku dapatkan
segala sesuatu yang terdapat diatas pulau tempat tinggalku
sudah tidak menarik lagi. Aku hanya memikirkan Lie
Twako saja seorang, aku takut ia tidak mau berlaku baik-
baik pula terhadapku, karena sikap ayahku terlampau kasar
terhadapnya. Hatiku sungguh-sungguh merasa risau sekali,
ai, apakah barangkali bila seseorang itu bertambah besar,
penghidupannyapun bertambah tidak gembira pula?"
Lalu dia mencuri lihat kearah Leng Hong dan melihat
juga sepucuk surat ditangannya, sipemuda memandang
ketempat jauh dengan sorot mata yang suram, hingga ia
lantas mendekatinya sambil berkata: "Gouw Twako, kau
sedang melihat apa?"
Gouw Leng Hong menjadi terkejut mendengar
pertanyaan sinona, hingga buru-buru ia simpan suratnya itu
sambil memaksakan dirinya tertawa dan menjawab: "Tidak
apa-apa. Aku merasa bahwa besok kita sudah harus
berpisahan. Kau harus cepat-cepat pergi, jika tidak, Hiong-
tee pasti akan salah paham terhadapmu."
Ceng Jie sekalipun berhati jujur, tapi diapun cukup
cerdik, disepanjang jalan sekalipun dia tahu Leng Hong
sebentar tertawa sebentar bercakap-cakap dengan riang
tampaknya, tapi didalam lubuk hatinya dia tengah
menyimpan rahasia sesuatu yang tidak mudah diterka
orang, karena hal itu dapat dia buktikan pada muka
sipemuda yang kadang-kadang tampak suram sekali.
Setelah dia menanyakan hal itu berapa kali, Leng Hong
senantiasa tidak menjawab pertanyaannya dan hanya
menjawab dengan menyimpang saja. Dalam hati dia
berpikir: "Kepandaiannya selainnya tinggi, orangnyapun
sangat tampan. Sebenarnya dia masih ada hal apakah yang
membuat hatinya tidak merasa puas" Lebih baik aku jangan
menanyakannya dengan melit, untuk mencegah agar dia
tidak terlampau sedih. Akan kutunggu setelah aku berjumpa
dengan Lie Siauw Hiong Twako, aku nanti menanyakan
kepadanya, hingga aku bisa mengetahui jelas akan sebab
musababnya." Selama hari-hari yang terakhir itu, ternyata dia sudah
dapat menimbang-nimbang segala sesuatu dengan terlebih
sempurna. Dengan suara yang lemah-lembut Ceng Jie lalu berkata:
"Jika kau mempunyai waktu yang terluang, silahkan
mampir kepulau Bu Kek Too tempat tinggalku itu, ya?"
Lemg Hong hanya manggutkan kepalamya saja, tapi
sekonyong-konyong dia berkata: "Bila kau telah menjumpai
Lie Siauw Hiong, kau tolong beritahukan kepadanya, dua
bulan kemudian aku akan datang kekota Lok-yang untuk
menungguinya, hingga kami boleh sama-sama menuntut
balas atas sakit hati kita masing-masing."
Diatas langit bintang-bintang memancarkan sinarnya
yang berkelak-kelik dalam kegelapan. Sambil memandang
bintang-bintang tersebut, dalam otak Ceng Jie berkelebat
pula bayangannya Lie Siauw Hiong ..
Sementara Lie Siauw Hiong justeru itu sedang duduk
dimuka sebuah guha. Matanya yang tajam tengah menatap
kearah langit yang jauh sekali dan terbentang diatas
kepalanya, sedang mukanya yang kepucat-pucatan memperlihatkan satu bentuk yang sukar dilukiskan.
Mungkin sekali, diapun tengah memikirkan pada Ceng
Jie juga" Setelah menyambuti satu pukulannya Kinposuf, waktu
itu ia menerima pukulan tersebut dengan badannya sendiri
tidak sampai bergerak mundur, tanpa meminjam tenaga
pihak lawannya untuk memusnahkan serangan itu, karena
satu pukulan itu sudah mengenai dengan telak sekali pada
dirinya, hingga biarpun tenaga Lie Siauw Hiong lebih kuat
berapa kali, ia toh bukan tandingan Kinposuf yang
setimpal. Tapi sekarang mukanya sudah tampak mulai
bersemu merah kembali. Luka yang diderita disebelah
dalam badannya, sudah sembuh delapan atau sembilan
bagian, hal mana belum dapat dikatakan bahwa dia sudah
berhasil menggunakan cara yang sempurna dari seseorang
yang sudah mencapai tingkat yang tertinggi untuk
menyembuhkan lukanya sendiri.
Dan kini memang sebenarnyalah, bahwa dia tengah
memikirkan diri Ceng Jie, yang wajahnya terbayang-bayang
dikelopak matanya. Kemudian perlahan-lahan ia berpikir pula atas diri Kim
Ie dan Phui Siauw Kun. Siauw Kun adalah wanita yang pertama-tama berhasil
menarik perhatiannya, juga yang pertama-tama pula ia
jatuh hati terhadapnya. Tapi tidak disangka bahwa nasib
nona itu sudah digariskan begitu, sehingga cinta
pertamanya ini hanya dapat membekas untuk selama-
lamanya didalam hatinya saja.
Tempo hari waktu Phui Siauw Kun dan suaminya Kim
Ie didesak sampai tidak mempunyai jalan mundur, Lie
Siauw Hiong dengan tidak memperdulikan risiko dirinya
sendiri lagi dia sudah tampil kemuka dan dengan kekerasan
pula dia menyambuti serangannya Kinposuf. Pada detik itu
dia telah melupakan pada pembunuh-pembunuh ayah
bundanya, melupakan budi kebaikan suhunya, juga
melupakan pada pekerjaan-pekerjaan besar yang harus
diselesaikannya, hingga pada saat itu dia hanya mengikuti
darahnya yang berdidih dan melampiaskannya dengan
napsu yang bergelora demi membela sahabat-sahabatnya.
Bila demikian halnya, dapatkan dikatakan bahwa dia ini
masih tetap mencintai Phui Siauw Kun"
Dia tak putus-putusnya menegur pada dirinya sendiri:
"Lie Siauw Hiong, kau mengapa tidak dapat melupakannya" Ada apakah gunanya engkau selamanya
memikirkannya?" Dilangit tampak segaris sinar yang menggaris angkasa
yang hitam gelap, dan diapun tahu bahwa hal itu berarti
ada bintang yang jatuh kebumi.
"Aku tidak boleh mencintainya kembali" Jika aku tidak
mencintainya, kenapa aku mau mengorbankan diriku begitu
rupa dalam membela kepadanya" Apakah hal itu hanya
dilakukan atas nama kebajikan saja" Jika aku mencintainya,
aku sudah seharusnya tidak mempunyai pikiran semacam
itu, maka biarlah ia dengan tenang mengikuti suaminya
Kim Ie, tidak perduli dia itu siapa adanya, tapi toh ia
terhitung sudah mempunyai pembela selama hayat
dikandung badannya."
Begitulah pikirannya menjadi kacau tidak keruan.
Ombak terdengar memecah pantai dengan santer dan
nyaring disaat yang hening pada malam itu.
Dalam keadaan demikian, maka pikiran seseorang tentu
saja dapat mengembara entah kemana, hingga Lie Siauw
Hiong sendiripun tidak terkecuali. Pikirannya sipemuda tak
berbeda dengan kuda liar tengah berlari-lari entah kemana.
Dan setiap muka yang dikenalnya, satu persatu melintas
dikepalanya, hingga perasaan Lie Siauw Hiong pada saat
itu sesungguhnya sukar sekali untuk dilukiskan.
Akhirnya ingatannya melekat paling dalam pada orang
yang paling disayanginya, yaitu Bwee siok-sioknya. Lie
Siauw Hiong makanya dapat berkeadaan seperti sekarang
ini, semuanya dapat dikatakan karena mengandel rawatan
orang tua itu. Sekonyong-konyong satu hal yang aneh dan belum
pernah melintas dikepalanya kini tampak terbayang
dihadapannya. "Orang yang hidup didunia ini, yang bagaimanakah baru
dapat terhitung seorang yang baik" Seperti Kim It Peng dan
Kim Ie, orang-orang semacam mereka ini, apakah dapat
dikatakan orang-orang jahat" Dan orang yang dikatakan
baik itu, apakah satu kali saja tidak pernah berbuat sesuatu
pekerjaan yang tidak baik?"
"Seperti Bwee Siok-siok, yang memiliki tujuh macam
kepandaian yang begitu hebat sehingga dikalangan Kang-
Ouw ia memperoleh julukan 'Chit-biauw-sin-kun', kebanyakan orang yang mengenalnya pada mempunyai
perasaan takut terhadapnya, hingga sedikit sekali yang
menghormatinya. Kedua saudara she Kim dari partai
pengemis sekalipun kepandaian mereka terbatas, dikalangan Kang-ouw bila ada orang yang menyebutkan
nama mereka, pasti sesaat itu orang akan mengacungkan
ibu jari sambil memuji kepada mereka. Halmana
sesungguhnya telah memberi kenyataan dan kepastian,
bahwa seseorang mudah sekali untuk berbuat jahat, tapi
sebaliknya jika kita menghendaki orang itu berbuat
kebaikan, maka sulitlah rasanya untuk dilaksanakannya ..
Sebenarnyalah, Lie Siauw Hiong adalah seorang yang
kritik sekali dalam tindak tanduknya, sekalipun dia pernah
bersama-sama Bwee San Bin mengikuti dan mempelajari
buku-buku kuno, tapi dalam sanubarinya sendiri dia
dapatkan apa yang dikatakan baik dalam kitab kuno itu,
kini ada berapa bagian yang sudah tidak sesuai lagi dengan
keadaan jaman. Dengan begitu, diapun dapat menyingkap
arti 'Memusuhi aku' dengan 'Tidak benar' yang terkandung
dalam dua perkataan itu. Maka asal orang itu berlaku baik
terhadapnya, dia akan sepuluh kali membalas orang
tersebut dengan kebaikan pula. Tapi bila ada orang yang
berlaku jahat dan memusuhinya, diapun akan membalasnya
sepuluh kali lipat dari orang itu berbuat terhadapnya.
Andaikata orang lain dapat melihat keganjilan dari
tindakannya ini, maka diapun tak akan menghiraukannya.
Tapi selama beberapa hari ini, umurnyapun sudah
bertambah pula, agaknya karena disebabkan Gouw Leng
Hong sudah mempengaruhinya, hingga perasaannya yang
semula terlampau extrim itu sudah banyak lebih lunak,
hanya perubahan semacam ini dia sendiripun mungkin
tidak mengetahuinya. Misalnya saja, tempo hari dia mengikuti tindak
tanduknya Bwee Siok-sioknya secara membabi buta, tapi
pada saat ini dia sudah mempunyai konsepnya sendiri
dalam menilai orang tua itu, hal mana bukankah berarti
suatu perubahan yang tidak kecil artinya"
Begitulah pikirannya ini mengembara entah kemana, dan
akhirnya dia bertanya pada dirinya sendiri: "Dapatkah aku


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

digolongkan pada golongan orang yang baik?"
Begitulah dalam hatinya timbul pertanyaan semacam ini,
dan pertanyaan semacam ini dalam sekali membekas dalam
sanubarinya. Selama beberapa hari itu, dia yang telah
berhasil mewariskan kepandaian yang sehebat-hebatnya
dari Peng Hoan Siangjin, kemudian diapun memiliki gelar
'Bwee-hiang-sin-kiam' yang dipuji dan disanjung-sanjung
orang dalam kalangan Rimba Persilatan, tapi hal itu,
apakah berarti cukup baik baginya"
Setiap orang bila sudah menjadi seorang yang terkenal,
tiap tindak-tanduknya senantiasa hati-hati sekali, maka Lie
Siauw Hiongpun pada saat itu berkeadaan sedemikian juga.
Tapi waktu ia berpikir, ia sendiri yang telah memperoleh
julukan 'Bwee-hiang-sin-kiam' yang telah membuat banyak
orang menyanjungnya begitu tinggi, bukankah hanya
berarti ia sebagai seorang paham ilmu silat saja"
Begitulah tidak putus-putusnya dia berpikir, dengan
mana ia telah berhasil menyembuhkan luka-luka yang
diderita dari lawannya .. begitu pula pikirannya yang kerap
berubah-ubah dengan tidak berketentuan.
Banyak sekali pikiran yang tidak-tidak melintas
dikepalanya, tapi akhirnya teringatlah ia pada tiga gadis
yang telah dijumpainya selama hidupnya, yakni Phu Siauw
Kun, Kim Bwee Leng dan Thio Ceng.
Pertemuannya yang terakhir dengan Phui Siauw Kun
telah menyebabkan ia teringat pada Kim Bwee Leng yang
telah hilang, yang ia harapkan bahwa pada suatu hari akan
dapat menjumpainya pula ..
Tapi semua ini hanyalah merupakan lamunan belaka,
hingga ia tak tahu pasti nasib apa yang telah menimpah atas
diri Kim Bwee Lang .. atau benarkah nasib telah
mempermainkan mereka"
"Aku bersamanya tidak berkumpul terlampau banyak,
tapi kesannya begitu dalam sehingga aku sukar dapat
melupakannya. Sekalipun kita tidak berterus terang
membicarakan tentang kasih sayang kita, tapi dia yang
sudah beberapa kali mengorbankan dirinya sendiri untuk
mencoba menolongku, bukankah itu lebih menang jika
dibandingkan dengan ribuan kata-kata yang kosong belaka"
.. Waktu aku berdiam bersama-sama ia, urusan yang
menjengkelkan hati tidak pernah melintas disanubariku,
aku hanya merasa hidup gembira yang hampir berarti tak
ada batasnya .. Lie Siauw Hiong, bukankah hatimu telah
terpincuk sedemikian dalamnya oleh Thio Ceng?"
Lie Siauw Hiong telah mengetahui, bahwa setengah jam
sudah hampir lewat, dan dalam waktu yang singkat ini ia
sudah harus dapat melenyapkan pikiran yang bukan-bukan,
agar supaya dapat memusatkan perhatian yang terakhir
untuk mengatur pernapasannya.
Tampaknya ia bersungguh-sungguh dalam mengatur
jalan pernapasannya itu, hingga perlahan-lahan dari atas
kepalanya tampak keluar asap putih yang berkepul-kepul.
Dihadapannya terdapat pasir melulu. Pasir ini merupakan suata jalan yang panjang dan sempit, jika dari
jalan pasir ini kita maju kemuka, maka sampailah kita
kelaut. Air laut itu seakan-akan ingin menelan pasir saja
tampaknya, maka dengan ganas dan berlarut-larut ia terus
menggulung dan mendampar pasir-pasir tersebut, sehingga
dari suara yang ditimbulkan oleh damparan ombak laut itu,
seakan-akan menerbitkan suara tetabuhan yang agak merdu
kedengarannya. Sekonyong-konyong .. Dua sosok tubuh manusia tampak dari pantai. Sekalipun
bayangan kedua orang itu kini terpisah masih sangat jauh,
tapi dapat dilihat dengan cukup tegas, bahwa kedua orang
ini adalah manusia yang aneh sekali bentuknya.
Diantara kedua orang ini tampak seorang yang anggota
tubuhnya tidak lagi lengkap.
Mereka sambil berjalan, sambil menunjuk-nunjuk
dengan menggerak-gerakkan kaki dan tangan mereka,
seakan-akan satu diantara mereka adalah seorang bisu
layaknya. Perlahan-lahan dibawah sinar bintang-bintang dan
rembulan, tampaklah roman kedua orang ini yang amat
jelek serta menyeramkan dalam pandangan mata. Dengan
begini, sudah teranglah kiranya, bahwa kedua orang ini
bukan lain daripada Hay-thian-siang-sat!
Mereka pernah mendengar dan menyelidiki, bahwa
tempat ini tidak berpenghuni, oleh karena itu, tanpa merasa
curiga ataupun takut, mereka berjalan tersaruk-saruk
sehingga terdengar nyata suara tindakan kaki mereka
dimalam sunyi serta lengang ini.
Lie Siauw Hiong yang sedang bersemedhi dimulut guha
yang gelap itu, karuan saja jadi sangat tercengang
mendengar suara kaki itu, hingga buru-buru dia membuka
matanya memandang .. dan justeru dalam detik itu juga,
diapun tidak dapat pula menguasai dirinya dengan tenang
seperti barusan. Muka yang begitu menakutkan dan kejam serta anggota
tubuh yang tidak sempurna, dalam sedetikpun tidak pernah
terlupakan oleh Lie Siauw Hiong, lebih-lebih karena mereka
ini adalah musuh besar dan pembunuh ayah dan ibunya.
Diapun mengetahui, bahwa pada saat itu justeru saat
yang paling genting dan menentukan untuk dapat
menyalurkan kembali pernapasannya dengan sempurna,
hingga sedikitpun tak dapat dia memecah pikirannya. Tapi
setelah mencoba lima kali, diapun belum juga berhasil
dapat menguasai dirinya, berhubung dia merasa sangat
geramnya. Dalam keadaan begitu, sekalipun orang lain
mempunyai sifat sabar bagaimanapun, pasti tak dapat juga
bertahan seperti juga halnya sendiri.
Sambil menarik napas lalu dia berlompat bangun.
Diapun menginsyafi, dengan berlompat bangun sebelum
pernapasannya sempurna dijalankan, dia, harus menggunakan dua kali lipat tenaga untuk mengatur kembali
jalan pernapasannya yang terganggu ini. Tapi dalam
suasana seperti ini, memang dia tak dapat mencegahnya.
Setelah dia mencoba-coba, akhirnya dia dapatkan
pergerakannya menjadi sudah normal kembali, namun
pernapasannya kembali untuk bertempur.
Tindakan kaki Hay-thian-siang-sat terdengar semakin
nyata, karena kian lama mereka mendatangi kian
bertambah dekat saja, dan dengar suara tindakan kaki
mereka itu seakan-akan dengan langsung ingin menuju
keguha dimana sipemuda menempatkan dirinya.
Dengan gugup Lie Siauw Hiong berpikir: "Jika dalam
keadaan normal sepasang manusia bercacat ini datang
mereka seakan-akan mengantarkan diri kepadanya, sehingga dia tak usah mencapaikan pula untuk mencari-cari
dimana-mana, yang hasilnya belum tentu dapat diharapkan." Hanya kini amat disayangi dia tidak mempunyai tenaga
untuk bertempur, hingga tak tahu ia bagaimana harus
berbuat selanjutnya. Tapi saking marah dan gugupnya, dengan sembarangan
saja dia meraba-raba badannya, mencari-cari sesuatu yang
mungkin dapat dipergunakannya untuk menghadapi kedua
orang lawannya itu. Sekonyong-konyong jeriji tangannya dapat meraba
sesuatu, yang waktu disadarinya apa adanya barang itu, ia
jadi begitu kegirangan, sehingga hampir saja dia terlepasan
mulut dan berteriak. Dalam pada itu, tampak dari dadanya dia mengeluarkan
sebuah pales kecil, sedang didalam hati diam-diam ia
berkata: "Dalam kitab 'Tok Keng' Kim It Peng, disitu
disebutkan, bahwa racun 'Pek-giok-toan-tiang' itu asal kena
hawa udara, lantas tidak tampak warna maupun baunya
lagi, hanya daging binatang seperti keong maupun kerang
yang dapat memunahkan racun itu untuk sementara waktu.
Oleh sebab itu, baiklah akan kugunakan itu pada saat ini."
Karena sesungguhnyalah, bahwa isi yang terdapat dalam
pales kecil ini adalah racun yang telah dikeluarkan dengan
susah payah oleh Peng Hoan Siangjin dari tubuh Bu Heng
Seng, hingga tak diragukan pula, bahwa racun itu adalah
'Pek-giok-toan-tiang' yang sangat lihay itu.
Dibawah sinar bulan dan bintang yang berkedip-kedip,
tampak tubuh Lie Siauw Hiong digeser sedikit, sehingga dia
telah berhasil menyembunyikan dirinya dibalik sebuah batu
gunung, pada waktu mana hati pemuda kita selalu
berdebaran dan otaknyapun terbayang-bayang peristiwa-
peristiwa yang lampau itu.
Hay-thian-siang-sat Ciauw Hoa dan Ciauw Loo berjalan
semakin dekat dengan tindakan lemah lunglai, seakan-akan
mereka sangat lelah sekali. Halmana, pun dapat didengar
oleh sipemuda dengan nyata dari suara tindakan kaki
mereka. Kemudian setelah menetapkan tekadnya, sipemuda
dengan cepat membuka tutup peles tersebut dan lalu
dilemparkannya keluar guha, sehingga racun 'Pek-giok-
toan-ciang' itu bercerecetan dan membuat lingkaran yang
cukup luas didepan guha tersebut.
Racun 'Pek-giok-toan-ciang' yang berwarna hijau itu,
ketika jatuh ketanah dan memperlihatkan sinar hijau yang
tampak berkelap-kelip bagus sekali diwaktu siang hari,
dimalam yang gelap petang sudah tentu saja tak dapat
dilihat dengan nyata. Disamping itu, tangannya Lie Siauw Hiong, tidak tinggal
diam. Lalu dia pungut dua batu sebesar kepalan, dimana
salah satu antaranya dipolesi dengan racun tersebut, dengan
mana ia sudah bersiap-siap untuk menghadapi musuh-
musuhnya itu. Tian-can dan Tian-hui kedua makhluk bercacat itu,
sampaikan mimpipun tidak pernah menyadari bahwa
ditempat yang sedemikian liar dan sepinya itu ada orang
yang mengintai mereka dengan mata berapi-api. Namun
karena orang itu belum pulih kembali jalan pernapasannya,
maka dia tak segera melompat keluar untuk mengadu jiwa
dengan mereka. Kedua orang itu dengan tetap maju
kemuka, sedangkan Lie Siauw Hiong yang bersembunyi
dibalik batu, memperlihatkan ketegangan yang memuncak,
sehingga tanpa disadari lagi, badannya sudah penuh dengan
keringat dingin. Semakin dekat sepasamg manusia bercacat itu mendekati, semakin menakuti serta menyeramkan pula
muka mereka tampak ditempat gelap itu, sehingga diam-
diam Lie Siauw Hiong berdoa: "Oh, Tuhan, ijinkanlah roh
ayah dan ibu melindungi anakmu untuk membalaskan sakit
hati kalian." Dibawah siliran angin lalu, Hay-thian-siang-sat bergerak
mendatangi semakin dekat ..
Lie Siauw Hiong tidak berani menyentuh batu yang
sudah terpoles oleh racun yang sangat berbahaya itu, tapi
hanya menyentuh itu dengan ujung sepatunya pada sudut
batu yang tidak terkena racun itu, yang lalu disontekkannya
keatas, sedang dengan batu yang lainnya pula dia sambitkan
untuk menyusul pada batu yang tersebut duluan.
Sekalipun kekuatan Lie Siauw Hiong yang sebenarnya
belum pulih seluruhnya tapi untuk melepaskan senjata
rahasla dia masih sanggup melakukannya dengan jitu
sekali. Maka dengan hanya kedengaran suara "Tak" yang
nyaring sekali, batu pertama yang dipoleskan racun itu kena
disambit oleh batu yang datang belakangan.
Dengan kepandaian serta kemampuan itu, Lie Siauw
Hiong dengan jitu sekali telah berhasil dapat menjatuhkan
batu tersebut, tepat pada jarak yang ditujunya, yaitu kurang
lebih lima dim dibelakang garis yang sudah dilingkungi oleh
racun yang hebat itu. Hay-tian-siang-sat yang sudah mencapai tingkat kepandaian yang sangat tinggi itu, tentu sekali tidak
mungkin mereka tidak dapat mendengar suara batu
tersebut, apa lagi mereka berdua sudah bertahun-tahun
lamanya mengembara dikalangan Kang-ouw, sehingga
merekapun mengetahui, bahwa ada orang yang melemparkan batu untuk menanya jalan. Oleh karena itu,
mereka berdua jadi tercengang dan diam-diam berpikir:
"Mungkinkah ditempat yang begini sunyi serta liarnya
masih terdapat seorang yang pandai?"
Dalam keadaan begitu, mereka lalu melirikkan


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pandangan mereka kedalam guha, tapi mereka tidak
mendapatkan ada bayangan manusia didalam guha
tersebut. Tapi Lie Siauw Hiong yang berdiri menempel dibalik
batu dalam guha itu, dengan mata yang dipentang lebar-
lebar tengah menyaksikan gerak-gerik kedua orang musuh
besarnya itu. Ciauw Hoa yang tidak menampak bayangan
manusia, tidak terasa lagi jadi agak ragu-ragu karena ia
melihat dalam jarak setengah tombak dimukanya, terdapat
batu dari mana orang bisa bersembunyi dan melemparkan
batu kearah mereka. Sedang Ciauw Loo yang agaknya tidak dapat menahan
sabar lebih jauh, lalu lirikan matanya kearah batu dimana
Lie Siauw Hiong bersembunyi, dimana sipemuda mengamat-amati gerak gerik mereka dengan perasaan
tegang dan ngeri. Mata kedua orang itu bercelingukan dari batu tersebut
kedalam guha, hingga Lie Siauw Hiong hanya berkata
didalam batinya: "Mudah-mudahan kedua manusia laknak
ini tidak sampai mendusin bahwa aku bersembunyi disini."
Tahun yang lampau sembilan jago-jago busuk telah
mengganas didaerah Sin Cin. Mereka telah melakukan
kebiadaban didaerah Kang-pak dan Kang-lam, sehingga
para pendekar dari golongan putih bukan sekali dua kali
ingin membasmi Hay-thian-siang-sat yang menjadi pemimpin kesembilan jago-jago busuk itu.
Pada hari-hari biasa kemana saja Hay-thian-siang-sat
berjalan, sekalipun sebatang rumput atau sepucuk daun
pohon bergerak ataupun bunyi seekor burung, mereka pasti
akan menyelidikinya dengan cermat dan hati-hati sekali,
sehingga dengan demikian, entah sudah berapa banyak kali
mereka dapat meloloskan diri dari kejaran maupun
meloloskan diri dari bahaya maut.
Sebenarnya jika ada orang yang melemparkan batu
untuk menyelidiki sesuatu hal, itu memang lumrah saja
terjadi dikalangan Kang-ouw, halmana tidak usah mereka
pusingi benar lagi, tapi karena kedua orang ini mempunyai
sifat yang senantiasa was-was, maka tidak mudah mereka
melewatkan hal itu dengan begitu saja, tanpa menyelidiki
terlebih dahulu apa sebab musababnya.
Sedetik demi sedetik Ciauw Hoa sudah mengulurkan
tangannya hampir menyentuh pada batu tersebut, sedang
kakinya telah masuk kedalam lingkaran racun dihadapannya itu. Sementara Lie Siauw Hiong yang berada didalam guha
dan dengan penuh perhatian mengintai lawan-lawannya,
kini perasaannya jadi semakin tegang, sehingga tanpa
disadarinya lagi dia telah menggigit kencang bibirnya yang
sebelah bawah. Dalam keadaan demikian, sekonyong-konyong Ciauw
Loo telah menjambret tangan Ciauw Hoa yang sudah
hampir masuk kedalam perangkap Lie Siauw Hiong itu.
Hal mana, telah membuat Lie Siauw Hiong yang
melihatnya jadi terkejut bukan kepalang, dan saking
gugupnya akan siasatnya diketahui orang, tanpa merasa ia
telah mengeluarkan keringat dingin. Dan tatkala ia
mengulurkan tangannya meraba-raba dengan sembarangan
kedadanya, sekonyong-konyong tangannya menyentuh
pada kitab Tok Keng hasil karya Kim It Peng itu, hingga
hatinya jadi tergerak, kemudian dengan tidak memperdulikan apapun yang akan terjadi, lalu dia
melemparkan buku tersebut kearah musuh-musuhnya itu.
Maksud Lie Siauw Hiong dengan berbuat demikian,
hanya ingin memancing pada Hay-thian-siang-sat ini.
Karena dengan melemparkan buku tersebut, dia ingin
memaksa supaya lawannya itu datang untuk mengambil
buku itu, sehingga lawannya kemudian terkena racun yang
disebarkannya tadi. Hal itu memang wajar saja dilakukannya, tapi dia tak mengetahui, bahwa pemimpin
dari sembilan jago Kwan Tiong itu tidak mengerti sama
sekali tentang racun. Maka kalau mereka bertempur, harus
membunuh lawannya dengan senjata tajam, berhubung
mereka tidak mempunyai kepandaian seperti Kim It Peng,
yang dapat membunuh lawannya dengan menggunakan
racun, sehingga pada tuhuh lawannya tidak terdapat tanda-
tanda bekas pembunuhan. Mereka yang telah sekian lamanya merantau dikalangan
Rimba Persilatan, memang sebenarnya bermaksud untuk
mencari kitab racun tersebut, tapi hingga sekian lamanya
mereka tidak dapat mewujutkan kemauan mereka. Maka
setelah sekarang mereka melihat 'Kitab Racun' yang
menjadi idam-idaman mereka itu terletak dihadapan
mereka, sudah barang tentu mereka jadi sangat gembira.
Tapi mereka yang sudah kenyang makan asam garam
dalam Dunia Persilatan, sudah tentu saja tidak berlaku
semberono dan dengan cepat memencarkan diri mereka
kekiri dan kekanan, dimana mereka bersiap-siap, kalau-
kalau dari dalam lubang guha tersehut ada senjata rahasia
yang menyambar mereka. (Oo-dwkz-oO) Jilid 41 Sambil mengeluarkan suara dingin yang terdengarnya
sangat mengerikan dan lebih seram tampaknya dari pada
suara tangisan setan-setan, Ciauw Hoa kedengaran berkata:
"Yang berada didalam guha itu, apakah seorang lawan atau
kawan" Kalau engkau seorang kawan, aku persilahkan
engkau menyebut 'Hap' (akur)! Kalau lawan, silahkan
keluar menampakkan cecongormu! Apakah kami berdua
saudara tidak cukup berharga untuk menjumpaimu?"
Tapi Lie Siauw Hiong yang berada didalam guha,
sedikitpun tidak mengubris perkataan mereka. Ia hanya
menyesalkan dirinya sendiri yang telah berlaku ceroboh,
sehingga jika siasatnya itu tidak 'termakan' oleh lawan-
lawannya, bukankah buku racun yang hebat itu akan
terjatuh kedalam tangan musuh"
Ketika Ciauw Hoa mengulangi pula teriakannya dan
tidak juga mendengar ada orang yang menjawabnya, sambil
mengeluarkan suara dari liang hidung ia berkata: "Jika
belum melihat peti mati, memang sukarlah akan orang bisa
menangis. Kawan, baiklah kami menantangmu untuk
keluar!" Dimulut meraka berkata demikian, tapi dalam hati
mereka berpikir lain. Sambil memberi isyarat dengan
tangan pada Ciauw Loo, mereka berjalan menghampiri
kemulut guha untuk menyelidiki lebih jauh.
Ciauw Loo dan Ciauw Hoa ternyata sependapat, maka
dengan tidak mengeluarkan suara apa-apa, mereka
menghampiri mulut guha, dimana mereka melihat sebuah
buku yang terletak ditanah, yang pada kulitnya tertera dua
hurnf 'Tok Keng' (kitab racun) itu.
Ciaw Loo adalah seorang yang tidak lengkap anggota
badannya, sedangkan tabiatnyapun berlainan dengan orang
biasa. Maka sekalipun kecerdikannya melebihi orang biasa,
tapi kini dia tengah dipengaruhi oleh buku yang sudah lama
menjadi idam-idamannya itu, sehingga mara bahaya telah
dilalaikannya. Oleh sebab itu, dengan tidak berjaga-jaga lagi
dia sudah mengulurkan tangannya untuk memungut kitab
tersebut. Tapi hal itu berlainan sekali dengan pendapat Ciauw
Hoa, yang dengan suara nyaring lalu berteriak: "Jangan
semberono!" Tapi dia lupa bahwa adiknya adalah seorang yang tuli.
Dengan sekali lompat dia sudah berada disisi adiknya.
Dan ketika melihat buku racun tersebut terhampar
dihadapannya, diapun merasa girang juga, maka iapun
tidak lagi menghalangi adiknya akan memungutnya.
Tapi karena hati mereka penuh kecurigaan terhadap lain
orang, maka terlebih dahulu mereka telah melepaskan
pukulan kearah dalam guha tersebut, pada sebelum
memungut kitab racun itu.
Dengan memperdengarkan suara "plak", keempat kaki
mereka telah menginjak tanah yang dilingkungi cairan
beracun tadi, dan setelah mereka merasakan sepatu mereka
pecah dan ada barang cair yang melekat pada kaki mereka,
barulah mereka insyaf bahaya apa yang tengah mengancam
mereka. Dan baru pada saat itu mereka ketahui, bahwa diri
mereka telah tertipu oleh lawan mereka. Rasa kesemutan
maupun gatal-gatal yang mereka rasakan seketika itu,
menandakan bahwa racun yang mengancam mereka
sifatnya tidak enteng, tapi karena mereka belum mampu
untuk mengenyahkan racun tersebut dari tubuh mereka,
terpaksa mereka bersemedhi untuk mengatur jalan
pernapasan mereka. Sampai disini, baiklah pengarang menceritakan apa
sebabnya Hay-thian-siang-sat datang ketempat yang sepi ini.
Pada tahun yang lampau setelah mengalami pertempuran yang dahsyat dengan pemuda kita sehingga
mereka putus asa, maka akhirnya mereka lalu mencari
pulau ini untuk melatih lebih jauh kepandaian mereka, agar
supaya kemudian dapat dipakai pula untuk menghadapi
sipemuda musuh besar mereka itu, sekalipun telah berapa
kali mereka mengalami kekalahan. Tapi setelah hidup
dlpulau itu agak lama juga, sifat kejantanan mereka telah
timbul pula, oleh sebab itu mereka lalu menetap dipulau itu
untuk memperdalam kepandaian mereka.
Tempo hari setelah mereka bertempur mati-matian
dengan Lie Siauw Hiong sehingga nama sembilan jago dari
Kwan Tiong runtuh habis-habisan, sekalipun mereka
menganggap telah dapat melenyapkan sipemnda, tapi untuk
berkeliaran pula dikalangan Kang-ouw mereka sudah
merasa kehilangan muka. Belakangan setelah mendengar bahwa Lie Siauw Hiong
digunung Kwie San dalam ruangan Bu Wie Thia telah
dapat mengalahkan musuh asing sehingga namanya
menjadi tenar luar biasa, mereka baru mengetahui, bahwa
mereka yang telah mengeluarkan tenaga yang begitu besar,
akhirnya toh tidak berhasil dapat membinasakan Lie Siauw
Hiong, malahan orang itu sekarang telah menjadi semakin
terkenal karena kepandaiannya yang telah maju sedemikian
pesatnya itu. Kabar ini sesungguhnya merupakan suatu pukulan yang
maha dahsyat bagi Hay-thian-siang-sat, sehingga mereka
benar-benar merasa amat putus asa. Karena sekarang
mereka menginsyafi, bahwa jika Lie Siauw Hiong datang
mencari mereka untuk menuntut sakit hati orang tuanya,
maka mereka bukanlah merupakan lawan yang setimpal
lagi bagi sipemuda itu. Tapi pengharapan untuk hidup terus masih menyala
dalam dada mereka. Maka setelah membubarkan perkumpulan sembilan jago Tiong Kwan itu, mereka lalu
mengasingkan diri kepulau yang sunyi itu, dimana, mereka
bermimpipun tidak, bahwa musuh besar mereka justeru
berada juga ditempat yang sepi ini. Hal mana bukankah ini
semua seperti juga telah sengaja dipertemukan satu sama
lain atas kemauan Thian Yang Maha Kuasa"
Pada saat itu sudah jam tiga pagi, langit diufuk Timur
tampak gelap gulita, sekalipun diangkasa masih terdapat
banyak bintang-bintang yang berkedap-kedip.
Satu jam dengan cepat sudah lewat. Dadanya Lie Siauw
Hiong sudah wajar kembali jalan pernapasannya, dengan
mana berarti bahwa luka yang diderita didalam tubuhnya
telah semhuh seluruhnya, maka dengan perlahan dia
salurkan sekali lagi pernapasannya untuk yang penghabisan
kalinya, dan setelah ia yakin benar bahwa tubuhnya sudah
sehat kembali seperti sediakala, lalu ia berjalan keluar dari
dalam guha tersebut sambil melirikkan matanya memandang pada Hay-thian-siang-sat, yang ternyata masih
tetap duduk bersamedhi sambil mengatur jalan pernapasan
mereka. Lie Siauw Hiong cukup maklum, bahwa dengan
kemampuan mereka itu, paling banyak mereka hanya dapat
menahan untuk sementara saja menjalarnya racun itu
didalam tubuh mereka, tapi untuk dapat mengusir keluar
racun dari dalam tubuh mereka, adalah usaha yang sia-sia
belaka, karena sesungguhnyalah, bahwa racun yang tengah


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengancam mereka itu adalah racun luar biasa yang tidak
ada keduanya dalam dunia ini.
Lie Siauw Hiong dengan tindakan yang tenang sekali
berjalan menghampiri kehadapan Hay-thian-siang-sat,
kemudian dia membungkukkan badannya memungut
kembali kitab racun itu, sedang didalam hatinya ia berkata:
"Tok-Keng, lagi-lagi Tok Kenglah yang telah menolongku
pula." Lie Liauw Hiong lalu menyimpan kembali kitab racun
itu kedalam saku didadanya, kemudian sepasang tangannya
diangkatnya keatas, tapi pada waktu hendak ditimpakan
keatas kepala musuh-musuhnya itu dia tampak menjadi
ragu-ragu. Sekonyong-konyong satu pikiran melintas dikepalanya.
"Dengan berbuat demikian dan tanpa mengeluarkan
terlampau banyak tenaga, sudah barang tentu aku akan
berhasil membunuh mereka, tapi tindakan ini adalah
terlampau tidak patut dan pengecut. Aku Lie Liauw Hiong
dimanalah mungkin mau menggunakan cara begini" Untuk
mencegah meluasnya lebih lanjut dari racun 'Toan-tiang'
ini, hanyalah daging kerang saja yang dapat menahannya,
aku mengapa tidak menggunakan daging kerang saja untuk
melenyapkan sifat keganasan dari racun tersebut, hingga
setelah mereka pulih kembali tenaga mereka, maka aku
dapat melabrak mereka dengan sepuas-puas hatiku."
Begitulah setelah mengambil keputusan yang tetap ini,
lalu dia tarik kembali tangan yang hendak dijatuhkan keatas
kepala musuh-musuhnya itu, kemudian dengan berapa kali
lompatan saja dia sudah berhasil mencapai pantai, dimana
ia telah menangkap berapa puluh kerang dan kepiting, yang
dengan sabar lalu dicukil dagingnya, sudah itu ia
menyodorkan daging itu kehadapan Hay-thian-siang-sat
sambil berkata: "Hei, segeralah kau makan daging ini untuk
menghentikan menjalarnya racun didalam tubuhmu!"
Hay-thian-siang-sat sekalipun telah terkena racun,
pikiran mereka masih tetap jernih dan dapat berpikir
dengan terang, tapi mereka sama sekali tidak pernah
menyangka, bahwa orang yang keluar dari dalam guha
tersebut adalah orang yang sangat ditakuti mereka, yaitu
Lie Sie Hiong. Maka pada waktu mereka melihat sipemuda
hendak menurunkan pukulannya, mereka hanya dapat
menyerahkan nasib mereka ditangan Thian Yang Maha
Kuasa saja, tapi akhirnya sipemuda tidak jadi menurunkan
tangannya. Hal ini menerbitkan dugaan mereka kepada
pemuda itu hendak menghinakan mereka, berhubung
mereka biasanya gemar sekali menghina orang. Oleh sebab
itu, mereka yang menduga keliru atas diri sipemuda, tidak
terasa lagi hati mereka menjadi panas, dan sewaktu melihat
sipemuda mengangsurkan tangannya memberi daging
kepiting dan kerang untuk mereka makan, mereka tidak
mengetahui apa maksud sebenarnya dari sipemuda itu.
Sementara Lie Lie Hiong yang melihat mereka berlaku
ragu-ragu dan tak mau makan barang pemberiannya, sambil
tertawa dingin ia berkata: "Lie Liauw Hiong adalah orang
macam apa" masakah aku hendak meracuni kalian"
Maksudku ini adalah justeru hendak melenyapkan sifat
keganasan dari racun yang bersarang didalam tubuhmu
itu!" Setelah berkata begitu, lalu dia taruh daging itu diatas
batu, sedang dia sendiri berdiri disampingnya.
Hay-thian-siang-sat yang melihat sikap Lie Liauw Hiong
yang begitu sungguh-sungguh, merekapun tidak ragu-ragu
lagi, maka dengan lahapnya mereka lalu makan daging
kepiting dan kerang laut itu.
Kemudian dengan tertawa dingin Lie Siauw Hiong
berkata pula: "Aku akan menantikan kalian disini. Setelah
kalian sembuh dari keracunan, aku akan segera mengadakan perhitungan lama dengan kalian."
Kali ini Hay-thian-siang-sat telah menginsyafi, bahwa
mereka tidak mungkin lagi akan dapat menghindarkan diri
lagi dari Lie Lie Hiong, oleh karena itu, tidak ada lain jalan
lagi bagi mereka, kecuali mengadu jiwa dengan pemuda
kita. Maka tanpa banyak cakap lagi, mereka lalu makan
daging pemberian sipemuda, sambil kemudian menyalurkan kekuatan mereka keseluruh badan mereka.
Daging kepiting dan kerang itu ternyata benar dapat
melenyapkan menjalarnya racun hebat tadi, karena tidak
sampai setengah jam lamanya, Ciauw Hoa sudah berhasil
dapat mencegah sifat keganasan dari racun yang mengamuk
dalam tubuhnya, dan diwaktu dia menyapukan matanya
memandang pada Lie Siauw Hiong, dia lihat pemuda itu
duduk dihadapan mereka dalam jarak dua tombak lebih
jauhnya, dan sekalipun Lie Siauw Hiong duduk dengan
tenangnya, tapi matanya yang tajam selalu mengawasi
mereka bagaikan seekor kucing tengah menjaga dua ekor
tikus dengan sekaligus. Ciauw Hoa yang melihat begitu,
saking marahnya lalu berteriak: "Orang she Lie, jika engkau
ingin bertempur, silahkan boleh maju kemari!"
Dengan nada suara yang mengejek, pemuda itu lalu
menjawab: "Mengapa mesti berlaku tergesa-gesa tak
keruan" Bukankah si binatang adikmu itu masih juga belum
sembuh?" Mendengar jawaban itu, Ciauw Hoa menjadi semakin
geram dan lalu berteriak dengan suara nyaring: "Bagus!
Bagus! .." Tapi Lie Siauw Hiong tidak menghiraukannya, hanya
sambil berdiri dengan menghunus pedangnya ia berkata:
"Aku mencarimu kemana-mana tapi tidak dapat bertemu
juga, tapi hari ini tanpa disengaja dari tempat yang jauh
kalian telah mengantarkan diri kepadaku, maka setelah
nanti kalian mampus, kalianpun tidak usah terlampau
merasa kecewa atau putus asa .."
Begitu dia membuka mulut, dia sudah mengatakan
bahwa Hay-thian-siang-sat harus dan pasti akan mampus,
halmana telah membangkitkan amarah sepasang manusia
bercacad itu. Maka sambil tertawa dingin Cie Hoa lalu
melirikan matanya pada adiknya sambil berkata: "Siapa
yang kalah belum lagi dapat dipastikan!"
Tapi Lie Siauw Hiong hanya memanggut-manggutkan
kepalanya saja, karena tampaknya ia segan bercakap-cakap
tanpa ada junterungannya.
Setelah lewat lagi sepemakan nasi, Ciauw Loo sudah
pulih kembali kesehatannya. Mereka berdua saudara lalu
sama-sama berdiri dalam jarak yang terpisah setengah
tombak jauhnya dari padanya, sedang Lie Lie Hiong
dengan menghunus pedangnya berdiri dengan angkarnya,
siap sedia untuk menyambut serangan kedua lawannya.
Hari berubah semakin gelap, sedang bintang dilangit
tampak berkedip-kedip bagaikan orang bermain mata.
Sambil menghunus pedangnya, diam-diam Lie Siauw
Hiong meminta doa kepada orang tuanya yang telah
marhum itu: "Ayah, ibu, hari ini anak akan menuntut balas
sakit hatimu .." Setelah selesai memohon doa, lalu ia menggerakkan
pedangnya sambil berseru: "Orang yang hendak mengantarkan jiwa, lekas kemari!"
Hay-thian-siang-sat tidak menyalahkan kesombongan
dari Lie Siauw Hiong, karena mereka telah menginsyafi
bahwa pertempuran pada malam ini, mereka akan lebih
banyak mengalami bencana dari pada kemenangan, tapi
merekapun tidak sudi menyerah mentah-mentah dengan
begitu saja. Begitu kakinya digeser maju, dengan ganasnya Lie Siauw
Hiong sudah menubruk kepada lawannya. Pada waktu
bertempur digunung Kwie-san, ketika Hay-thian-siang-sat
mengerubuti kepadanya, dia telah dihajar sehingga jatuh
kebawah jurang. Belakangan dihutan belukar lagi-lagi dia dikeroyok oleh
lawannya yang berjumlah jauh lebih banyak dari pada
semula, sehingga karena menderita luka-luka parah, hampir
saja jiwanya tewas. Oleh sebab itu, sekali ini ia bertemu
pula dengan lawan-lawan lamanya itu diapun tidak mau
berlaku sungkan-sungkan lagi. Begitu turun tangan dia
sudah menggunakan siasat serangan yang dapat membinasakan. Karena bila dia belum berhasil mengambil
jiwa Hay-thian-siang-sat, ia tidak akan merasa puas hidup
didalam dunia ini. Sementara Hay-thian-siang-sat yang tidak menunggu
pula sampai pedang pemuda itu datang mendekati, mereka
sudah melancarkan pula serangan mereka dengan tak
banyak bicara pula. Begitu Lie Siauw Hiong yang menampak aksi lawan-
lawannya ini, mengeluarkan suara jengekan saja, kemudian
pedangnya ditekan lurus kebawah kurang lebih dua dim
untuk terjun kedalam air, sehingga pedangnya menerbitkan
suara yang nyaring ketika menusuk pihak lawannya.
Bersamaan dengan itu, tangan kirinya tidak tinggal diam
dan lalu dikerahkan untuk memukul bagian bawah tubuh
salah seorang lawannya yang terdekat.
Tenaga dalam maupun kepandaian Lie Siauw Hiong
sudah maju dengan sedemikian pesatnya sehingga
penyerangannya yang hehat telah menyebabkan lawan-
lawannya jadi sangat terperanjat, maka dengan serta merta
mereka cepat berlompat mundur untuk mengelakkan diri
dari pada penyerangan si pemuda yang gagah perkasa itu.
Tapi Lie Siauw iHong setelah menampak serangannya
tidak menemukan sasarannya, lagi-lagi ia menggunakan
jurus Ca-keng-bwee-bian (bunga bwee terkejut) untuk
menyontek tubuh lawannya dari samping.
Thian-can Ciauw Hoa lekas-lekas menundukkan kepalanya, tangan kanan dan kirinya dipakai untuk
mengacip serangan lawannya dengan mana ia telah
mencoba untuk membarengi menotok jalan darah 'Koan-
goan-hiat' dikaki pemuda kita.
Bersamaan dengan itu, Thian-hui Ciauw Loopun segera
membarengi menyerang pundak kiri si pemuda.
Sedang Lie Liauw Hiong yang menampak serangannya
dapat dikelitkan pula, diapun tidak memaksakan untuk
menyerang dengan terlebih hebat lagi, hanya dia mundur
satu langkah, pada waktu mana pedangnya telah ditariknya
mundur dengan menggunakan jurus Liong-kak-lip-kek
(tanduk naga berdiri tegak untuk menanduk) dengan mana
ia balik menyerang pada Ciauw Hoa.
Begitulah mereka bertiga bertarung dengan amat
sengitnya, hingga tanpa terasa pula pertempuran itu telah
berlangsung sampai melampaui ratusan jurus lamanya.
Lie Siauw Hiong semakin bertempur semakin gagah dan
lincah gerak-gerakannya, sedang pedangnya telah dimainkannya dengan kecepatan yang luar biasa serta
mantap sekali, hingga disekelilingnya hanya tampak
segulung sinar putih yang mengurung dan melindungi
dirinya dari pada serangan lawan-lawannya, dengan mana
semakin lama Hay-thian-siang-sat semakin terkurung dalam
sinar pedang sipemuda itu.
Dimalam yang gelap itu, hanya terlihat segaris sinar
putih bagaikan naga maupun burung hong yang menari,
sebentar menyelusup sebentar naik, pada waktu mana
dengan hebatnya pemuda kita telah merangsak lawan-
lawannya, hingga sedikitpun dia tidak memberi hati kepada
mereka. Oleh sebab itu, sekali ini Hay-thian-siang-sat benar-
benar merasakan betapa hebatnya serangan musuhnya itu,
dan jika pertempuran semacam ini berlangsung berlarut-
larut, pasti diri mereka akan mengalami kebinasaan yang
mengerikan, maka semakin bertempur Hay-thian-siang-sat
jadi semakin terdesak dibawah angin.
Kemudian terdengar Ciauw Hoa berteriak dengan suara
nyaring dan menyerang kepada pemuda kita dengan amat
hebatnya. Dalam penyerangan yang dilancarkannya sekali ini,
Ciauw Hoa telah menggunakan tenaga yang sepenuh-
penuhnya, hal mana terbukti dari angin yang menderu-deru
keluar dari pukulannya itu.
Tian-hui Ciauw Loo sudah seperasaan dengan saudaranya Ciauw Hoa menyerang dengan pedangnya,
sedangkan dia sendiri dengan menggunakan jurus 'Siang-
hui-cinga' (pukulan dengan sepasang kepalan sekaligus),
mencoba menyerang kempungan pemuda kita dengan jalan
miring.

Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pedang Lie Siauw Hiong bagaikan bianglala saja,
sebentar menyerang sebentar pula ditarik pulang, tapi
pukulan Ciauw Loo ternyata masih dapat menerobos
kedalam kempungan sinar pedang pemuda kita maka
sambil tertawa ia berkata: "Bagaimana?"
Lie Siauw Hiong balas tertawa dan hanya menjawab:
"Boleh coba sekali lagi .."
Pedangnya yang panjang kemudian digentak dengan
jurus 'Leng-bwee-hut-bian' (bunga bwee menyapu muka),
dengan mana ia menyerang kembali lawannya, yang
memang telah bertekad bulat untuk membinasakan lawan-
lawannya, hingga tak mau memberi hati dilingkari oleh
racun itu, sehingga agaknya dia sudah ditakdirkan untuk
binasa berhubung dia sudah terlampau banyak memakan
korban sesama manusia, maka tanpa disadarinya lagi
sebelah kakinya telah menginjak racun pula, hingga
sebegitu lekas kakinya menginjak racun teresbut, badannya
segera tampak menjadi sempoyongan, karena sifat
keganasan racun itu telah mulai menjalar pula. Sementara
Lie Siauw Hiong sendiri sambil mendongak kelangit lalu
berseru dengan rupa terharu: "Ibu dan ayah, lihatlah .."
Dengan menggerakkan tangannya dengan sekuat-kuat
tenaganya, Siauw Hiong telah menyambitkan pedangnya
kearah musuh besarnya, hingga dilain saat pedang itu telah
memanggang tubuh Ciauw Hoa dan membuat kepala
kesembilan jago Kwan Tiong itu melayang jiwanya disaat
itu juga. Sambil mencabut pedangnya dari tubuh mayat musuh
besarnya itu, dengan suara yang perlahan sekali Lie Liauw
Hiong lalu berkata: "Ayah, ibu, anak telah membalaskan
sakit hati kalian .."
Dan berbareng dengan itu, air matanyapun tidak dapat
ditahan lagi, mengucur turun dengan berderai-derai.
Kemudian ia meninggalkan pantai, dimana terbaring tubuh
'Hay-thian-siang-sat' yang pernah menggemparkan dunia
persilatan. Kini mereka telah menjadi mayat-mayat yang
terkapar diatas pulau yang sunyi itu, seolah-olah
menyerahkan diri untuk menjadi mangsa burung-burung
buas yang biasa keliaran disitu.
Diatas lautan bebas, Lie Siauw Hiong dengan hanya
seorang diri saja telah melakukan pelayaran pada petang
hari itu juga. Ia kayuh perahu layarnya dengan pesat sekali
menuju ketengah lautan, dengan diterangi oleh sinar
bintang-bintang yang berkelik-kelik diangkasa raya.
Hari sudah menjelang pagi, sedang sinar lembayung
yang kemerah-merahan dari munculnya sang surya, mulai
terlihat dengan tegas diufuk Timur ..
(Oo-dwkz-oO) Kota Leng-po diwaktu fajar.
Sinar matahari yang keemas-emasan menyinari teluk,
ombak yang beriak-riak membentuk satu gelombang kecil
yang indah sekali, dengan ujungnya yang menjilat-jilat
laksana terjulurnya lidah ular belaka.
Angin pagi yang meniup sepoi-sepoi basah sungguh
nikmat sekali dirasakannya. Pada saat itu diteluk sudah
agak ramai dengan pemilik perahu-perahu yang terdengar
berteriak-teriak tidak putus-putusnya.
Sejak dahulu pelabuhan yang terletak ditenggara ini
memang sangat ramai, tapi belakangan setelah terbangunnya kota 'Coan-ciu, maka keramaian kota
pelabuhan Leng-po ini menjadi mundur. Pada waktu Marco
Polo menjabat pangkat di Tiongkok, setelah dia kembali
kenegerinya di Italia dia telah mengarang sebuah buku yang
berjudul 'Peninjauan Ke-Timur', dimana dia telah menyinggung tentang keramaian pelabuhan kota Leng-po,
sebagai pelabuhan nomor satu yang terbesar didunia,
sekalipun apa yang dikatakannya itu agak berlebih-lebihan.
Tapi pada waktu itu kota pelabuhan Leng-po memang
merupakan pelabuhan yang sangat ramai dan didiami oleh
banyak sekali pengunjung-pengunjungnya.
Justeru pada saat orang-orang sedang ramainya berlayar
dipelabuhan tersebut, tampak mendatangi sebuah perahu
kecil yang aneh memasuki kota pelabuhan, dan begitu
perahu itu merapat dipantai, tampak seorang pemuda satu-
satunya yang melompat keluar, karena selanjutnya perabu
itu tampak kosong melompong.
Pemuda tersebut memakai pakaian dari kain kasar dan
sama sekali tidak membawa bnntelan, ia berjalan dengan
cepat menuju kejalan gunung dibalik pelabuhan itu.
Setelah melampaui lereng gunung, maka tibalah ia
dikawah gunung dimana tampak hutan-hutan kayu yang
lebat-lebat tumbuhnya. Selama berjalan, Siauw Hiong sebentar-sebentar mengangkat kepalanya memandang langit, seakan-akan dia
ingin mengetahui jam berapakah pada saat itu, sedang
matahari yang menyinarinya, membuat mukanya yang
pucat agak bersinar kemerah-merahan.
Sambil memandang langit yang berwarna putih dan
tampak seperti tidak bertepi layaknya, dengan menarik
napas lalu berkata pada dirinya sendiri: "Lie Siauw Hiong,
dalam dunia yang begini luasnya, kemanakah kau hendak
mencarinya?" Tapi sejurus kemudian, mukanya mengunjukkan kesungguhan yang nyata sekali, maka diam-diam dia
berkata pula: "Ceng Jie telah atau empat kali mengorbankan
dirinya untuk menolongku, apakah aku Lie Siauw Hiong
takut untuk mencarinya" Sekalipun aku harus melintasi
laut, aku harus mencarinya juga sehingga dapat."
Tetapi tatkala berjalan belum berapa jauh, dia sudah
menghentikan pula langkahnya, berhubung dari kejauhan
terdengar suara teriakan yang aneh sekali kedengarannya.
Suara teriakan itu agak kurang jelas karena bercampuran
dengan desiran angin gunung yang seakan-akan meliputi
suara itu sehingga sukar terdengar jelas, syukur juga
kepandaian Siauw Hiong sudah mencapai taraf yang sangat
tinggi, sehingga ia dapat menangkap suara itu dengan
hanya sekali dengar saja.
Setelah menetapkan dari arah mana datangnya suara
tersebut, lalu dia putarkan badannya dan dengan beberapa
kali lompat saja, tubuhnya sudah melesat jauh sekali.
Kemudian dari kejauhan ia menampak seorang pemuda
yang sedang berlatih silat dibawah sebatang pohon besar.
Adapun suara yang terdengar olehnya seperti teriakan tadi,
itulah ternyata suara teriakan yang dikeluarkan oleh orang
muda itu, yang gerak gerik tangan maupun kakinya sangat
sempurna dan lincah. Dan diwaktu pemuda itu membalikkan tubuhnya kearah Lie Siauw Hiong, maka
terlihatlah wajahnya yang tampan, yang segera dapat
dikenali dan ternyata bukan lain daripada Gouw Leng
Hong adanya. Lie Siauw Hiong yang berada disebelah atas, lalu coba
menahan sabar agar tidak sampai berteriak, sedang diam-
diam didalam hatinya ia berpikir: "Twako setelah memakan
buah mustajab itu, tenaga dalamnya telah bertambah maju
demikian pesatnya, hingga selama berapa bulan tidak
berjumpa, kemajuannya boleh dikatakan tidak sedikit,
karena dengan kepandaian yang diperlihatkannya ini, jika
bukannya aku sendiri, didaerah Tiong-goan agaknya sukar
untuk dicari keduanya lagi."
Pada saat itu Gouw Leng Hong yang tambah lama
tambah kuat dan hebat latihannya, sekonyong-konyong
melepaskan satu pukulan yang telah membuat udara guram
karena mengepulnya pasir dan debu. Dan ketika kakinya
ditarik, lagi-lagi dia melancarkan satu pukulan pula,
sehingga pukulannya ini memperdengarkan suara yang
nyaring sekali. Hal mana terang menunjukkan pukulan
kelas satu. Ketika pukulan ini baru saja habis dilancarkannya, kembali sambil membalikkan tubuhnya,
dia telah melepaskan pukulan yang ketiga, dengan suara
pukulannya itu bertambah dahsyat dan keras sekali,
sehingga sebatang pohon yang ukuran bundarnya sebesar
mangkok dan dalam jarak berapa tombak jauhnya dari
sipemuda, roboh karena terlanggar oleh angin pukulannya
itu. Setelah menghentikan pukulannya, ia berkata pada
dirinya sendiri: "Dalam berapa bulan ini, jurus 'Kay-sam-
sam-sek' ini sudah maju pesat sekali, hanya jurus kedua dan
ketiga yang masing-masing bernama 'Gie-kong-ie-san' dan
'Liok-teng-kay-san' yang masih belum sempurna. Tenaga-
dalam yang kukeluarkan ini tidak berjalan lancar dan tidak
cukup kuat. Ada kemungkinan bahwa tenaga yang telah
kukeluarkan kali ini tidak terpusatkan dengan benar .. hm
bila aku tidak tekun dan belajar dengan giat, sudah pasti
kepandaianku akan terpaut jauh dengan kepandaian Hiong-
tee, jika nanti kita bertemu pula .."
Sekonyong-konyong dari kejauhan terdengar suara
tertawa orang yang disusul dengan kata-kata yang nyaring
sekali: "Hm, akupun harus banyak berlatih pula, bila tidak,
pasti kepandaian akan terpaut jauh sekali dengan Twako .."
Leng Hong yang segera kenali suara itu, dengan girang
lalu berseru: "Hiong-tee!"
Begitu suara itu habis diucapkan, segera juga tampak
melayang turun sebuah tubuh yang enteng sekali.
Dan diwaktu Leng Hong melihat sipemuda yang baru
datang itu menunjukkan senyumannya, ia sudah lantas
ingin mengajukan pertanyaan, tetapi dengan secara
sekonyong-konyong Siauw Hiong berseru: "Sambutlah
seranganku ini!" Pemuda kita telah melancarkan satu kali pukulan dengan
mengeluarkan tenaga yang hebat sekali, sehingga bajunya
Gouw Leng Hong berkibar-kibar karena desiran angin
pukulan tersebut. Leng Hong terkejut bukan kepalang. Sebenarnya asal
saja dia mundur setengah langkah dengan tangan kirinya
separuh dibengkokkan untuk mencantol tangan lawannya,
ia pasti akan dapat membebaskan dirinya dari pada
penyerangan pemuda lawannya itu.
Siapa tahu cantolannya ini jatuh ditempat kosong,
sedangkan tangan kanan Lie Siauw Hiong tetap menjurus
akan mengancam lima jalan darahnya.
Leng Hong tidak sempat berpikir-pikir pula. Maka
sambil badannya dimiringkan kekiri, tangan kanannya dari
arah yang sebaliknya melancarkan satu pukulan balasan
dengan tipu pukulan itu tepat sekali, yakni pukulan yang
bernama 'Sek-po-tian-keng' (batu pecah mengejutkan langit)
dari ilmu pukulan 'Po-giok-ciang' atau pukulan untuk
menghancurkan batu giok. Lie Siauw Hiong berseru: "Bagus!" Tangan kirinya
diputar, lima jarinya diulur dan dengan menggunakan satu
jurus dari ilmu pukulan 'Kong-kong-Ciang-hoat' (pukulan
ditengah udara) jurus yang bernama 'Ban-coan-hui-kong'
(laksaan sumber air menerjang keudara).
Dengan jurus ini ia memaksa Gouw Leng Hong untuk
menggunakan jurus pertama yang bernama 'Kay-san-too-liu'
(membuka gunung mengalirkan sumber air).
Leng Hong lalu berseru: "Hiong-tee, kau mengapa .."
Sekalipun dia berseru, tapi tangannya tidak tinggal
berdiam saja. Badannya lalu diputar, kemudian tanpa terasa
pula, benar saja ia telah melancarkan pukulan dengan
jurusnya yang pertama itu. Sedang didalam hati ia berpikir:
"Benar, tentulah Hiong-tee tadi telah mencuri lihat
latihanku dari atas sana, dan begitu ia mendengar
perkataanku, iapun jadi merasa tersinggung dan ingin
mencoba bertanding denganku, hingga sudah tentu saja aku
ini bukan tandingannya. Tapi mengapakah dia datang
membikin ribut tidak keruan" Biarlah dia memenangkan
aku dalam latihan ini."
Begitulah dalam waktu pendek ia telah menarik
pukulannya sendiri, untuk menyambut pukulan pemuda she
Lie itu. Siapa tahu Lie Siauw Hiong dengan secara tak terduga
telah berada dibelakangnya. Sepasang tangannya tampak
dilancarkan untuk memukulnya, hingga dalan kedudukan
seaneh itu ia terpaksa melancarkan jurusnya yang kedua,
yakni 'Gie-kong-ie-san'. Lie Liauw Hiong segera membentangkan jurus kesebelas
dari lima pukulan "Kong-kong-kun-hoat" yang bernama
'Kong-sit-liang-bu' (dengan tangan kosong melenyapkan
serangan lawan). Adapun kedudukan yang diambil oleh Lie Siauw Hiong
justeru menyebabkan lawannya mau tak mau harus
menggunakan jurus ketiga, yaitu Gie-kong-ie-san berubah
menjadi Liok-teng-kay-san. Gouw Leng Hong merasakan


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tenaga pukulan yang dilancarkannya kurang tepat dan kuat,
hingga Lie Liauw Hiong yang menampak hal itu, tidak mau
menyambutinya, hanya berdaya untuk menyingkir kesamping. Sewaktu Leng Hong sedang gelagapan, Lie Siauw Hiong
lagi-lagi melancarkan serangan dengan tipu-tipu yang sama
seperti tadi dengan secara bergiliran, hingga ini memaksa
lawannya akan balas menyerang dengan jurus kesatu, kedua
dan ketiga. Leng Hong yang memang berotak terang dan cerdik,
melihat Lie Lie Hiong tidak henti-hentinya memancing
dirinya dengan serangan-serangan tiga jurus itu, hatinya
segera tersadar, bahwa saudara mudanya ini hendak
menyempurnakan pukulannya yang tidak tepat itu. Oleh
karena itu, diapun lalu menaruh perhatian dengan terlebih
seksama. Tidak antara lama, benar saja Lie Sie Hiong telah
memancing dengan serangannya yang kedua, yaitu dengan
jurus 'Gie-kong-ie-san'. Kemudian disusul dengan serangan
kedua yang memancing Leng Hong menggunakan jurus
'Liok-teng-kay-san'. Pada saat itu tubuh Lie Liauw Hiong
tengah berada diatas udara.
Sebenarnya jurus 'Liok-teng-kay-san' ini harus dikeluarkan dengan lurus dari depan dada, tapi pada saat
itu tak dapat ia berbuat tanpa memutarkan badannya, maka
dengan jalan memiringkan tubuh ia telah melancarkan
serangannya, tapi siapa tahu begitu satu suara yang nyaring
terdengar, tenaga yang keluar dari pukulannya telah
menyebabkan sebatang pohon besar yang terpisah satu
tombak lebih telah kena dirobohkannya!
Oleh karena itu, sekarang barulah Leng Hong
menginsyafi bahwa pukulan yang dilancarkannya tadi itu
adalah cara yang keliru sekali. Maka dengan termangu-
mangu dari jurus kedua ia telah ubah kejurus ketiga, dan
kali ini benar saja ia merasakan pukulannya mengandung
tenaga sepenuhnya yang keras dan hehat sekali, hingga
saking girangnya, tidak terasa lagi ia jadi berteriak: "Oh,
Hiong-tee, aku sesungguhnya harus berterima kasih sekali
kepadamu. Tapi cara bagaimana kau dapat melihat
kekuranganku" .."
Sambil tertawa Lie Siauw Hiong menjawab: "Aku pada
beberapa waktu ini baru saja berhasil mempelajari ilmu
'Kong-kong-ciang-hoat' dari Peng Hoan Siangjin, maka aku
dapat memecahkan rahasia tersebut. Barusan aku melihat
jurusmu yang berjumlah tiga itu sekalipun sangat hebat, tapi
tenaga yang disalurkanmu itu tidaklah pada tempatnya
yang benar. Maka diwaktu pukulanmu beradu dengan
pukulanku, barulah dapat kau lihat kekurangamnu itu,
bukan?" Leng Hong menjawab: "Hiong-tee, nasibmu sungguh
mujur sekali, sampaikan tiga Dewa Diluar Dunia sudi
menurunkan kepandaian asli mereka kepadamu, maka
tidak heran jika engkau memperoleh kemajuanmu yang
begitu pesat .." Kemudian ia teringat akan sesuatu dan
segera mengalihkan pembicaraannya dengan berkata: "Oh,
hampir saja aku lupa memberitahukan kepadamu. Ada satu
nona she Thio tengah mencarimu, aku beritahukan
kepadanya, bahwa kau paling banyak juga setengah tahun
berdiam dipulau Tay-ciap-too, maka begitu ia mendengar
keteranganku, buru-buru ia menyusulmu kesana .."
Lie Siauw Hiong yang mendengar kabar tersebut, sambilmeloncat tinggi dia berseru: "Twako, lekas! Lekas pergi!"
Sehabis berkata begitu, dia segera membalikkan
tubuhnya dan berlari pergi, sehingga Leng Hong sambil
memanggilnya, lalu turut juga menyusul belakangan.
Begitulah kedua pemuda itu lantas berlari-lari dengan
pesatnya, hingga tidak antara lama mereka telah sampai
pula dipantai, dimana tampak orang banyak tengah
mengerumuni perahu Siauw Hiong yang ditambat disitu
dan tiada kedapatan siapa pemiliknya.
Lie Siauw Hiong sambil memegang tangannya Gouw
Leng Hong segera meloncat melampaui kepala orang
banyak, dan begitu tubuh mereka jatuh diatas perahu, lekas-
lekas mereka melayarkan kembali perahu itu ketengah-
tengah lautan. Orang banyak yang berdiri menyaksikan tingkah laku
mereka dari daratan, keruan saja jadi amat tercengang,
halmana terbukti dari mulut mereka yang ternganga
menyaksikan kedua pemuda itu yang berangkat pergi
dengan tergesa-gesa. Begitu perahu itu berada ditengah lautan, Lie Siauw
Hiong lalu menceritakan perhubungannya dengan Thio
Ceng, sambil tidak lupa ia menceritakan juga tentang
pertempurannya dengan jago-jago silat bangsa asing yang
tinggi ilmu kepandaiannya, begitu pula tentang Bu Heng
Seng yang terkena racun, dan paling akhir tentang sakit
hatinya yang telah terbalas himpas dengan terbunuhnya
Hay-thian-siang-sat dengan tangannya sendiri, hingga Leng
Hong yang mendengarnya, buru-buru menyampaikan
ucapan selamat kepadanya.
Tapi waktu Leng Hong memikirkan tentang dirinya
sendiri yang belum lagi dapat menuntut balas atas sakit hati
orang tuanya, disamping masih ada persoalan dengan Ah
Lan yang belum pula berhasil diketemukannya, hatinya
Jejak Tapak Biru 2 Pendekar Bayangan Sukma Iblis Berbaju Hijau Dewa Cadas Pangeran 3
^