Perang Ilmu Gaib 2
Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni Bagian 2
ke kanan. Nelly pun susah menebak, apa yang menyebabkan laki-laki yang kukuh
itu, tiba-tiba menjadi luruh.
Ketika akan berdiri dari bersimpuh, sekali lagi dia mengerang dengan kedua tapak
tangan bertopang kepada kedua lututnya. Wajahnya memerah mengatasi rasa runtuh
dari dalam. Dengan mobil Citroen ayahnya, Nelly membawa Mastery menghibur diri keliling-
keliling kota. "Aku heran mengapa ayahmu sangat membenciku,"
ulang Mastery. "Hampir kepada semua teman kuliah, ia juga begitu."
"Tetapi tidak seperti kepadaku, kan"!"
"Eh .... iya, memang kelihatan sekali antinya kepada Bang Mas."
"Ilmunya barangkali!" terka Mastery.
Pukul 9 malam, barulah Nelly sengaja memperlihatkan dengan siapa ia pulang.
Kebetulan pula Tuan Wulungan sedang berada di beranda depan. Ia tertegak sejenak
melihat siapa di samping anaknya. Baru tiga hari yang lalu ia menambah sejumlah
uang kepada orang di kaki gunung untuk membunuh laki-laki itu agar putus
langsung hubungannya dengan Nelly. Akan tetapi kini mereka malah memperlihatkan
diri bersama-sama. Mastery mengatupkan mulutnya rapat-rapat karena ada suatu
yang mendorong kekuatan dari dalam perutnya. Sehingga perutnya terasa bagai
digilas, mendesakkan kemualan ke kerongkongannya.
Mastery menyetop taksi setelah Nelly Ngantung memasukkan mobil Tuan Wulungan ke
halaman. "Tangerang!" ujar Mastery kepada sopir taksi.
Kendaraan itu meluncur dengan angka pertama pada hitungan ongkos 200. Ia
berbaring lemas di jok belakang.
Sehingga sopir bertanya, "Mengapa, Om, sakit ya?"
"Sedikit," jawab Mastery, "mau menjumpai Kiai Makruf!"
"Oh, . . . .ya, saya juga pernah mengantarkan orang ke sana," sambut si sopir,
"tetapi, maaf Om, rasanya Om lebih
berat daripada penumpang biasa. Rasanya sama dengan membawa tiga orang!"
"Akh, . . . ada-ada saja," dengus Mastery di belakang.
"Betul, Om . . . ., saya mengenal mobil ini lebih dari mengenal anak sendiri.
Sudah 6 tahun di tangan saya, sih!
Tekanan sokbreker di belakang, berat sekali rasanya,"
dengan dialek Jakarta asli, sopir itu menyatakan perasaannya. Akan tetapi
Mastery hanya mengatakan berat badannya cuma 65 kg. lebih sedikit.
"Rasanya seperti 200 lebih, Om!" Sampai di beranda rumah Kiai Makruf, Mastery
melangkah lunglai. "Ayo . . . masuk . . . .ada apa ini, Nakmas," ucap Kiai itu sambil membopong
tubuh Mastery yang terasa berat sekali.
Ketika itulah tiba-tiba Mastery tertawa keras dan dahsyat kedengarannya, membuat
orang di sekelilingnya terkejut sekali. Tiga orang anak didik Kiai Makruf ke
luar dari dalam. Mastery berdiri dengan kedua tangannya terkembang, dan berkata, "Awas.....awas,
Pak Kiai! Tanganku mau mencekik!''
Kiai Makruf bingung, mengapa dalam keadaan dikendalikan oleh alam lain, Mastery
masih sempat memberi peringatan kepadanya" Ketika ia memegang pergelangan tangan
itu, terasa sangat kuat, seperti memegang balok saja.
Kiai Makruf juga tahu di mana tempat-tempat terlemah yang sering dijadikan
sasaran teluh dan santet untuk mengendalikan kekuatan dari dalam.
Ia menunjuk tempat itu dengan telunjuknya sambil membacakan ayat-ayat pengusir
makhluk halus. "Hahahahaha, . . . Kiai sangka mudah mengusir kami, ha"!" ucap Mastery dengan
suara besar menggarau. Ia maju setindak lagi dengan langkah berat dan tangan
akan mencengkeram leher Kiai Makruf.
Dipergunakan Kiai Makruf lagi beberapa pegangan pada persendian. Akan tetapi
tidak berpengaruh kuat kepada tenaga pembunuh di dalam tubuh itu. Sedikit saja
kelihatan wajah Mastery mengerenyit, kemudian berkata lagi, "Kami bukan setan
biasa yang mudah disuruh pergi, tahu! Kami mau membunuh orang ini, tetapi
nyawanya bandel sekali. Belum pernah kami menjumpai orang sesusah ini membunuhnya. Biasanya hanya dua
Iuri sudah kami ambillllll .. Kiai!"
Sementara itu, Buraksa sedang mengarahkan kedua telapak tangannya ke sederetan
boneka tanah di hadapannya. Tangan itu bergerak seolah-olah sedang menolakkan
sebuah pintu besi yang amat berat. Sehingga, bahu dan tangannya bergetar. Kedua
matanya melotot dan bibirnya bergerak-gerak. Kerongkongannya naik-turun seperti
mengulum sesuatu yang sulit ditelan.
Dia mendorong sekali lagi dengan amat kuat, sehingga ketujuh boneka itu bergetar
hampir jatuh dari tempat pajangannya.
Ketika itu pula Mastery mendapat kekuatan sehingga cengkeramannya hampir
mencapai pundak Kiai Makruf.
"Maafkan saya Pak Kiai," rintih Mastery dengan suara aslinya, "saya tak mampu
menguasai kekuatan mereka menggerakkan tubuh saya."
"Bapak tahu,.... bukan kemauanmu ...!" Berbagai Ayat Suci dibacakan Kiai Makruf.
Akan tetapi kekuatan itu tidak dapat juga diusir. Selain wajah Mastery saja yang
menyeringai seperti kesakitan sedikit. Kemudian tertawa lagi, setelah reaksi
sakit itu hilang. "Kami tak bisa pulang jika orang ini tidak dapat kami bunuh . . !!" ucap suara
kasar itu kembali dari mulut Mastery.
"Mengapa kalian mau membunuhnya ..."!"
"Kami tidak tahu, kami hanya diperintah bapak kami!
Jika gagal . . .kami tidak dikasih makan . . . hah . . hah ..
.hah!" raung makhluk di dalam raga kasar manusia itu lagi.
"Di sini juga kau boleh tinggal, kuberi makan!" ucap Kiai Makruf, kedua
tangannya masih memegang kening dan pergelangan tangan Mastery.
Wajah Mastery menyeringai dengan seluruh gigi-giginya bertonjolan, lalu berkata,
"Makan kami bayi, .. hi hi, hi,...
mana mau Kiai." "Astagafirullah!!!!" terkejut Kiai Makruf. Ketika ucapan itu keluar, Mastery
terdeguk sejenak dengan kepala mendongak ke belakang seperti kena benturan. Akan
tetapi segera pulih kembali. Seolah-olah Istigfar itu tidak sanggup
melumpuhkannya. Di kaki Gunung Ceremai, Buraksa sedang mengarahkan kekuatan darahnya yang
bercampur siluman untuk membantu suruhannya agar jangan mundur berhadapan dengan
Kiai Makruf. Dan tindakannya ini sempat membingungkan orang tua itu, karena yang
dihadapinya bukan seperti orang kesurupan biasa.
Ini dari kelas yang tinggi, yang diberi makan orok yang masih suci pula.
Menyebabkan kekuatan mereka tak mudah dikalahkan dengan begitu saja.
"Haha... haha .. haha... Kiai sanggup mencarikan kami makanan sekarang"! Tujuh
orok berumur seminggu! Kalau sanggup, kami boleh tinggal di sini ... eh, tetapi
guru kami kuat sekali, dan dia tanah liat itu. akan menjemput kami dan
memenjarakan kami dalam keadaan kelaparan!!!!!"
Ketika itu Buraksa mengayun-ayunkan karung kain berisi orok di hadapan boneka-
boneka tanah liat itu. Sampai orok di dalam keruntung ayunan itu terdengar
menangis. Semuanya telah ada tujuh orok, yang tidak begitu berbeda bulan umurnya. Kaki
mereka yang lasak, membuat ayunan kain itu menonjol-nonjol.
"He, ... .guru kami telah menyediakan makanan kami.
Akh . . . kami tak mau pulang sebelum orang ini mati!
Harus mati!" ucap Mastery sambil melihat kepada dirinya
sendiri. Perutnya mengempis dan menggelembung, bagai diudak-udak dari dalam.
Lehernya memanjang dan terputar ke samping kiri bagai dipuntir oleh kekuatan
yang tidak kelihatan. Akan tetapi masih saja belum kesampaian niat makhluk yang
telah menguasai seluruh urat nadi dan sambungan tulang-tulangnya itu. Sehingga
kelihatan badan kasar itu terengah-engah seperti melakukan pekerjaan berat yang
hebat sekali mengerahkan tenaga.
Mastery terbatuk. Kelihatan setetes darah di sudut bibirnya.
Buraksa di gunung, menggenjotkan kakinya beberapa kali ke depan. Karena satu
inci demi satu inci ia juga tertolak ke belakang, hampir membentur tonjolan
batu; dinding gua. Ia berusaha mengatupkan mulutnya dengan kuat. Dan menelan
sesuatu yang seperti akan keluar dari kerongkongannya.
Mastery terjepit di antara tiga kekuatan! Makhluk gaib yang menguasai darahnya,
kekuatan Buraksa yang memerisai suruhannya, dan tekanan perlawanan dari Kiai
Makruf sendiri. Kiai Makruf mengerti keadaan itu. Akan tetapi ia juga tidak
membiarkan ke mauan suruhan gaib itu saja yang menang dan mereka yang menjadi
korban. Di dalam hati, ia juga heran, mengapa orang seperti Mastery sanggup
menahan ketiga kekuatan itu. Penduduk di sekeliling rumah Kiai Makruf tertarik
dengan kejadian itu. Kepala bermunculan dari jendela dan pintu dapur. Di halaman rumah dan beranda,
dari kaca jendela, wajah-wajah mendekapkan mata ingin lebih banyak tahu.
Jukminah yang menggendong anak, menjenguk dari pintu belakang.
"Wahhhh .... itu untuk aku, Kiai?" menggereng suara Mastery sambil melangkahkan
kakinya ke arah Jukminah menggendong bayinya.
Jukminah tiba-tiba dicekam ketakutan melihat taring di mulut Mastery, muncul
semakin berkilau mencuat ke luar.
Ia mendekap anaknya yang masih berumur tiga minggu.
Mungkin roh anak itu merasa terancam. Tiba-tiba ia memekik kuat sekali, diiringi
dengan tangis yang melengking.
Kiai Makruf menghalangi langkah Mastery yang dibawa makhluk gaib itu dengan
menghadangkan badannya. "Jangan halangi, Kiai! Atau Kiai yang aku makan!"
serentak dengan ucapan itu, raga Mastery yang sedang dikendalikan mencekamkan
giginya ke bahu Kiai Makruf.
Lalu pindah ke lengan Kiai Makruf berusaha menahan rasa sakit.
"Akh . . . akh puhhhh ... !" raga Mastery meludah dengan keras, "tubuh orang tua
alot, dan pahit... !' Di bahu Kiai Makruf, kelihatan bintik darah bekas gigitan, meresap ke luar
bajunya. Dengan ayat tiga kali tujuh yang tak pernah dipergunakannya, Kiai
Makruf kembali melancarkan pegangan tangannya ke sendi-sendi badan Mastery.
Jasad Mastery melentik disertai lenguhan panjang. Kepalanya tertengadah ke
langit-langit kamar. Disusul dengan badannya bagai kehilangan tulang penyangga. Melorot jatuh ke atas
lantai, seperti pohon talas didekatkan ke onggokan api unggun. Kepala Mastery
terpeletok di kaki kursi tamu. Pucat seluruh tubuhnya bagai kehilangan darah.
Buraksa terlempar ke dinding gua di depan boneka suruhannya. Kedua sudut
mulutnya yang tebal, menetes darah. Sedangkan pada ketujuh boneka itu, kelihatan
darah ke luar dari garis yang berbentuk bibir. Dan tubuhnya kelihatan retak-
retak seperti tanah kering ditimpa panas matahari. Di dalam ruangan gua bagai
terjadi anain miyuh yang menggetarkan seluruh alat-alat magis yang bergantungan. Termasuk sebuah
rangka manusia yang kini tulang-tulangnya jatuh berprotolan ke atas tanah.
Tengkorak kepalanya menggelinding ke pangkuan Buraksa, yang tersandar di atas
batu dengan dada berombak turun naik. Tiga kekuatan ilmu yang dahsyat berlaga.
Buraksa dalam jarak jauh, juga menerima akibat benturan itu sama kuatnya dengan
yang dialami Kiai Makruf, dan jin yang dikepalai Jarkuz.
Dapat dihitung dengan jari, orang seperti Kiai Makruf yang dapat menahan
kekuatan hitam itu. Sehingga dirinya pun ikut cidera dalam pertarungan.
Orang yang tadinya berkerumun, kini berlarian.
Mungkin mereka menyangka Mastery sudah mati. Kiai Makruf mendekatinya.
Meletakkan jari pada urat nadi leher. Wajah Kiai Makruf yang tidak berubah
suram, membuat orang-orang yang gelisah tadi kembali muncul dengan diam.
Tiba-tiba Mastery duduk lagi dengan tenang, memandang Kiai Makruf yang masih
jongkok di hadapannya. Ia memandang Kiai itu dengan pandangan seperti baru kenal
saja. "Aku berusaha membelanya......Tetapi tenagaku tak sanggup!"
"Kau kah ini, Mastery?" tanya Kiai Makruf, karena dilihatnya gaya yang berbicara
di dalam raga Mastery, bukan seperti biasa.
"Saya ingin membelanya, tanpa diminta. Saya khadam penjaga Makam Syeh Jambak di
seberang!" ucap Antasias dengan nada kecewa, "kuat sekali ilmu orang yang
mengirim semua kejadian ini. Kalau tak ada tuah badan titisan, mungkin ia telah
lama dapat dibunuh mereka."
Kiai Makruf yang sudah biasa menghadapi orang yang kesurupan-kesurupan ringan
tidak canggung lagi berdialog dengan penunggu raga seseorang. Sehingga dari
Antasias, ia mengetahui sebagian perjalanan hidup Mastery. Dan dia tahu pula
bahwa di seberang pulau ini, pernah ada seorang Syeh berilmu tinggi yang semasa
hidupnya ahli hisab perbintangan. Sehingga jadwal dan waktu awal Ramadhan yang
ditetapkannya, diakui oleh Pusat Agama Islam di seberang.
"Mungkin ia dianggap sebagai batu penarung datang ke pulau ini, Kiai!" keluh
Antasias, "sehingga dijadikan sebab-musabab atau perantaraan karena dia disukai
seorang perempuan, ayahnya terpanggil oleh wisik gaib. Untuk menyingkirkan orang
yang berkekuatan titisan seperti ini."
"Aku juga menduga!" tukas Kiai Makruf, "Kekuatan hitam sekuat ini belum pernah
kukenal. Dan tak akan sanggup seseorang yang biasa saja dapat bertahan dari
maut." "Saya juga kena di dalamnya," sahut Antasias sambil menghapus sudut bibir raga
Mastery, yang ada bekas tetesan darah mulai mengering.
"Serangan iiii tampaknya sudah reda. Tetapi belum terkalahkan! Tentu mereka akan
datang kembali dengan muslihat yang lebih kuat!"
Wajah Antasias yang tercermin di depan raga Mastery seperti bersedih.
"Saya akan kembali ke seberang, Kiai! Telah lebih dari enam bulan saya
meninggalkan makam orang tua itu. Tentu rumputnya telah panjang, dan pusaranya
dipenuhi daun-daun yang jatuh berserakan. Sedangkan saya berjanji, sampai hari
Kiamat akan menjaga makam itu dari
sembahan manusia yang salah mempergunakan
hikmahnya!" Sejenak Kiai Makruf tertunduk, kemudian menyahut sedih, " Ada juga rupanya
golongan jin yang berbakti seperti Anda, Antasias! Pergilah .... dan bantu aku
dengan doa menghadapi semua keadaan ini."
"Alhamdulillah, Kiai!" ucap Antasias, dan kedua mata raga Mastery meredup dengan
perlahan. Dan Antasias pergi, tanpa sentakan di tubuh yang ditinggalkannya.
Setelah tadi kedua mata Mastery tertutup, kembali terbuka, dan ia mengeluh,
"Aduuuuuuh . . . Kiai! Apa yang terjadi . .. seluruh tubuh saya rasanya remuk,
bagai baru tergilas atau seperti jatuh dari atas gunung!"
Kiai Makruf meminta sepiring air dingin kepada pembantunya dari belakang.
Setelah membacakan beberapa ayat dan doa, ia meminumkan air itu kepada Mastery.
"Minumlah . . . biarpun tidak seluruhnya kekuatanmu kembali, tetapi ada sedikit
pertolongan di dalamnya, sekadar yang aku sanggup."
Apa yang dikatakan Kiai Makruf, terbukti dapat mengembalikan sebahagian
kepulihan rasa Mastery yang tadinya bagai berantakan.
"Semoga Tuhan menurunkan petunjukNya, sebelum mereka datang kembali dengan
rencana yang lebih licik dan dahsyat! Amin!"
"Amin . . . Amin ... .ya Allah," Mastery ikut menadahkan tangannya.
Mastery mengatakan kepada Kiai Makruf, bagaimana kalau ia kembali saja ke
seberang. Untuk menghindarkan diri dari peristiwa yang sedang dihadapinya ini.
Sebab sejak mula pun, istrinya Sri Sekarwati telah menganjurkan begitu.
Sehingga hubungan rumah tangga mereka menjadi terancam, karena ia tidak mau
menurutkan kemauan itu. Rasanya untuk masa yang akan datang, hubungan suami istri mereka bisa utuh
kembali. "Soal itu tidak dapat kucampuri, Mastery!" tukas Kiai Makruf, dengan matanya
teduh menghadap ke depan sana,
"seorang laki-laki yang baik, sanggup memutuskan pendiriannya sendiri.
Sungguhpun ia tahu, ada risiko besar di dalam pendirian itu!"
"Saya bukan bermaksud meremehkan Pak Kiai!" sambut Mastery lagi; sejenak
terdiam, "tetapi rasanya, mereka tak mudah dikalahkan!"
"Itu aku tahu, Mastery. Sampai seumurku begini, baru pertama kali hal sehebat
ini kuhadapi. Dan aku belum merasa diriku berada di pihak yang menang."
Mastery juga menceritakan pertemuannya dengan roh Syeh Burhanuddin dari Ulakan.
Yang memberinya doa-doa kekuatan. Akan tetapi juga belum terasa mudah sekali
ketika digunakannya. Sedangkan makna lambang bendera bersudut delapan itu pun
sedang dicarinya. Termasuk isim yang terdapat pada kedelapan sudut mata tombak
itu. "Yang kurang mungkin cara engkau mengamalkannya, Mastery!''
"Semoga demikian, Pak Kiai! Dan saya akan bertahan di sini sampai hayat
dikandung badan saya kembali kepada Tuhan!" tekad Mastery-
"Apakah Antasias mengatakan ia telah kembali ke seberang?"
"Di dalam badan saya tadi, kami telah bersalaman dengan takjim," ulas Mastery,
Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"dan dia jin terpilih di antara yang paling saleh!"
Kiai Makruf menurunkan ayat Alip kepadanya. Bersama keterangan bahwa dengan ayat
itu Tuhan akan langsung memberi sesuatu jalan ke luar persoalan paling sulit
yang sedang dihadapi. Kemudian disusul dengan sepotong ayat untuk membuka
rahasia gaib di langit dan di bumi. Yang harus di-zikirkan! 1.000 kali sehari
selama 44 hari dengan berpuasa.
"Ini peninggalan orang-orang mandraguna dahulu," susul Kiai Makruf, "yang aku
sendiri belum mempraktekkannya, karena belum pernah ada kejadian seberat ini
cobaannya." Mastery memangku kertas berisi rangkuman ayat itu dengan kedua tangannya seperti
menggendong bayi. Dan langsung dibawanya ke dada, dan dinaikkannya ke atas
kepala, dengan wajah luruh dan sendu.
Mastery menyatakan keheranannya mengapa sampai demikian hebatnya niat Tuan
Wulungan untuk membunuhnya. Sedangkan ia tidak merasa berbuat aniaya kepada
Nelly Ngantung. Sungguhpun sebenarnya dengan mudah ia dapat merusak kehormatan
gadis itu. Kiai Makruf menjawab hikmah kejadian itu. Mungkin sekali Tuan Wulungan yang kaya
dan angkuh sebagai perantara saja untuk mencapai orang seperti Mastery.
"Kalau saya dendam,......telah saya rusak anaknya, Pak Kiai !" ucap Mastery
kesal dan merutuk. "Jangan kau tumbuhkan serentak jeruk dengan benalu!
Amalanmu akan dikuras oleh dosa yang seperti itu!"
Mastery mengeluhi dirinya sendiri, mengapa hidupnya seolah-olah melalui
percobaan perempuan seperti Sekarwati, dan sekarang Nelly Ngantung.
"Mungkin naftu lahirmu, naftu Nabi Daud a.s. yang harus menghadapi cobaan
melalui istri dan perempuan.
Ada cobaan melalui harta, seperti naftu Nabi Sulaiman a.s.
Ada pula cobaan melalui seteru, seperti Naftu Nabi Musa a.s."
Di kaki Gunung Cereme tak ada yang menyangka maksud kedatangan seorang laki-laki
yang memarkir mobilnya di desa terpencil. Orang itu adalah Tuan Wulungan. Ia
kesal sekali karena anak perempuan satu-satunya, Nelly Ngantung, tergila-gila
kepada seorang laki-laki yang tak tahu pekerjaannya seperti Mastery. Gengsinya
sebagai seorang pengusaha yang selalu bergaul dengan kalangan atas, bagai
tercemar. Bukankah lebih bergengsi, jika Nelly berhubungan dengan salah seorang
anak jenderal walaupun yang telah pensiun" Biarpun hubungan itu menjadi gosip di
harian-harian ibu kota dan majalah, namun akan mengangkat namanya juga di
pergaulan tingkat atas. Melalui jalan cerbatu cadas dan jurang kecil-kecil, kemudian jembatan yang
terbuat dari tiga batang bambu, ia tiba di tempat Buraksa. Ia tidak memberi
salam di depan gua karena ia marah sekali. Karena usaha Buraksa tidak membuahkan
hasil yang cepat, menghilangkan nyawa Mastery. Agar Nelly Ngantung dapat
dilemparkannya untuk memilih dari sekian anak orang berkedudukan tinggi di
Pemerintahan. Dan sekaligus, hubungan anak itu akan dimanfaatkannya menjadi
katakanlah kata-belece yang dapat menembus hukum dalam usaha dagangnya.
Cahaya terang di luar, membuat ruangan gua terasa kelam. Akan tetapi setelah
terbiasa, kelihatan Buraksa
sedang mengurut badannya dengan cairan dan akar-akar kayu yang diambilnya dari
dalam lumpang batu. Tuan Wulungan tidak menunjukkan punya ilmu yang harus
diseganinya. Ia yang membayar orang berilmu seperti Buraksa. Yang memerlukannya,
untuk menguangkan ilmu itu sendiri.
"Maharaja Buraksa.....!!!" ucap Tuan Wulungan, keras.
Buraksa tenang-tenang saja mengurut badannya, sambil meringis.
"Buraksa, . .. mana janjimu! Mau tambah uang lagi, hah"!" tegur Tuan Wulungan
sambil memukul-mukul tas yang empuk isinya. "Nyatanya ia masih mondar-mandir
dengan anakku." "Aku istirahat dahulu ... !" sambut Buraksa, "Lihat ini . .
.!" sambil menunjukkan darahnya yang termuntah ke atas batu. Dan patung tanah
liat yang terancam retak.
"Kalau berilmu jangan kepalang tanggung!" ucap Tuan Wulungan sambil menyeka
hidungnya yang mencium bau amis dari dalam gua, "seperti aku memilih jalan punya
uang, juga tidak kepalang tanggung. Nah, ini tambahan lagi, kalau perlu selusin
orang sepertimu kerjasama, asal maksudku tercapai!" Tas berisi uang itu jatuh ke
ujung kaki Buraksa. Memang itu yang sedang dibutuhkannya, untuk membayar
penculik-penculik orok dari desa-desa terpencil di kaki gunung.
"Kalau ada dan sanggup, orok dari turunan Tuan Wulungan sendiri agar dibawa ke
mari. Pasti kuhancurkan laki-laki itu!" dengus Buraksa.
"Kau gila! Buraksa! Mana mungkin titisan darahku sendiri akan kukorbankan untuk
pekerjaan seperti ini. Gila!
Kau gila barangkali!"
"Maksudku,-. . . boleh anak dari . . . piaraan Tuan saja!"
ucap Buraksa. Tuan Wulungan terdiam sejenak. Ia teringat kepada sekretarisnya yang sedang
hamil tiga bulan akibat perbuatannya. Wulungan sedang mencari akal, mendekati
salah seorang karyawannya yang susah, agar mau mengawini sekretaris pribadinya
itu. Tentu saja, dengan bujukan diberikan sebuah rumah, sebuah mobil sederhana,
dan simpanan di bank untuk penutup mulut.
Untung saja istrinya sedang pulang ke Menado membangun rumah. Tuan Wulungan bisa
mengulur-ulur waktu, dan terus meniduri sekretarisnya, Marisa. Tiba-tiba Buraksa
melontarkan jalan baru kepadanya. Sungguhpun di dalam hatinya tersenyum, tetapi
di luar ditunjukkannya muka tetap masam kepada Buraksa.
Sementara itu di beberapa desa terpencil, desas-desus kehilangan bayi dalam
kandungan, semakin santer. Dukun beranak yang menjual bayi itu kepada Buraksa,
mengatakan bayi di dalam kandungan bisa raib begitu saja jika diambil kembali
oleh yang menjadikannya. Ada pula perempuan yang kehilangan orok ketika
ditinggalkan di dalam ayunan kain di gubuk di tengah ladang.
Terkadang Buraksa sendiri turun ke dusun dalam penjelmaan lain, membetot orok
itu dari kandungan si perempuan hamil tua.
*** V SETIAP tahun di Pelabuhan Ratu, diadakan Pesta Pantai yang didahului dengan
melepaskan sajian berupa kepala kerbau dan lain-lain ke tengah laut. Ratu apa
yang dijadikan asal nama kota itu kini telah tersamar oleh sejarah manusia yang
tenggelam ribuan tahun yang lalu. Sedikit sekali tinggal orang waskita yang
masih dapat memberi wejangan murni tentang Ratu yang akan berlabuh di masa yang
akan datang itu. Sejak upacara di depan pasar ikan sampai ke depan toko, manusia telah padat
menantikan acara berikutnya yang merupakan perlombaan perahu, dan perlombaan
renang di tempat terbuka. Dari Sukabumi, Cibadak, bahkan sampai dari Bogor dan
Bandung pun menyisihkan waktu sehari untuk mengikuti pesta laut ini.
Selebaran-selebaran tertempel di dinding kosong, dan di setiap tepi jalan. Bahwa
di Cisolok, malamnya, akan diadakan pesta tari Jaipong. Menurunkan, penari-
penari terkenal dari Cianjur, Bandung, Sukabumi, dan daerah-daerah yang
kesenian-nya menonjol. "Coba kalau papamu tahu kita berada di sini," kata Mastery sambil memegang
tangan Nelly Ngantung, yang mengepit lengannya.
"Masa bodoh ... !"
"Kau boleh berkata begitu sebagai anak kesayangan tetapi aku" Mungkin aku akan
dilemparkan papamu ke dalam laut ini."
"Memangnya mudah saja melemparkan orang ke dalam laut!" rutuk Nelly, "aku tahu
persis papaku! Dia tida akan segila itu!"
"Bukan dia . . . Uangnya yang gila!" ulas Mastery, "aku telah merasakannya!"
"Tetapi Bang Mas masih tetap hidup!"
"Kebetulan saja, karena nyawa berlebih!"
"Bisa saja, memangnya nyawa ada serapnya. Seperti ban mobil saja."
Di sepanjang pantai di depan Samudra Beach Hotel, manusia seperti semut
mengelilingi tepi gelas bergula kebanyakan berenang atau berjemur. Ada beberapa
daerah yang dianggap rawan, dipan-cangi dengan tiang-tiang berbendera merah,
sebagai larangan jangan dipergunakan sebagai tempat mandi-mandi. Mungkin karena
berdasarkan kumpulan catatan, di tempat itu sering orang hilang dan tenggelam.
Baru beberapa bulan yang lalu, seorang mahasiswa dari Jogja, dan berikut seorang
salesman penyedap makanan, tenggelam di tempat itu. Masih beruntung mayat mereka
timbul tak jauh dari tempat mereka hilang. Kalau sampai dibawa arus sampai ke
Ujung Kulon, ke tengah laut bebas, mayat baru akan ditemukan setelah rusak
dimakan ikan dan karena membusuk.
Aki Ukin . dari Sukabumi yang menjadi promotor pesta tari Jaipong itu. Dia orang
tua terkenal, yang telah memenuhi segala syarat nyata dan gaib untuk mengadakan
pertunjukan seperti itu. Apalagi sekarang ini tempatnya di bagian barat Pantai
Selatan. Silih berganti group tari dari kota masing-masing menunjukkan daya tarik tarian
mereka. Dengan pakaian yang gemerlapan mereka tampil di atas panggung, seperti
bidadari turun malam. "Aduh, . . . siapa bilang pantang memakai baju hijau di daerah ini?" ucap salah
seorang pengunjung. Ketika melihat tujuh orang penari dari Sukabumi tampil di
atas pentas. "Mereka telah disyarati lebih dahulu .. . .'sahut yang lain,
"Aki Ukin kan orang mengerti. Katanya ia sendiri pernah berjumpa dengan Roro
Kidul." Mastery mendengar desas-desus yang bertolak dari kepercayaan yang telah lama
harus diperhitungkan. Bila laut ini tidak ingin mendatangkan bencana kepada
manusia di pantai. "Kau dengar itu, Nel?" bisik Mastery, "sejak kemarin, seperti ada yang
menyuruhku ke daerah ini. Mungkin untuk mendengar soal-soal seperti ini." Nelly
Ngantung tidak menyahut. Hanya menggenggam tangan Mastery lebih erat.
Karena derak gendang yang berbunyi seperti menggedor darah setiap orang muda.
Lekuk pinggang penari serta acungan tangan dengan jari lentik, mempesona Nelly
Ngantung. "Ehhhh ... sadar . .. tidak"!" usik Mastery karena setelah pinggang Nelly
disentuhnya dengan ujung jari, ia masih tetap terpesona. Tanpa merasa geli.
Hampir sebulan Mastery menghilang. Dan baru beberapa hari ia jumpa Nelly yang
setiap hari menjenguk rumah kost-nya. Maka tak heran jika gadis itu bagai tak
mau renggang sedikit pun dari sampingnya.
Tiba-tiba, Mastery sendiri jadi terpengaruh. Karena salah seorang penari, yang
tercantik, sambil menari menatapkan matanya ke tengah laut. Seolah-olah di depan
latar belakang pegunungan Ciomas itu ada sesuatu yang memukaunya.
"Penari yang satu itu, . . . kok aneh, ya Bang Mas?" tanya Nelly.
"Mata kau tajam juga, . . . memang berlainan dari sejak keluar tadi."
Ada sentuhan perasaan di dalam dada Mastery yang mengatakan bahwa keanehan itu
berbau alam gaib. Akan tetapi belum dapat dijelaskannya kepada Nelly Ngantung.
Masih saja penari yang cantik dan tampaknya masih gadis itu menatap ke tengah
laut. Para penonton yang berasal dari kota, memandang kejadian itu sebagai hal
yang biasa saja. Karena mereka terbiasa menghadapi keadaan-keadaan yang nyata,
surat-menyurat di atas meja, gudang, cek dan karyawan.
Panitia menutup pertunjukan itu pada pukul 11 malam.
Tetapi manusia tetap ramai berkumpul di tempat itu.
Ternyata kelompok dari Cianjur yang berhasil merebut Piala Bergilir.
"Ayo ... di mana kita menginap?" ujar Mastery, "dua kamar, atau satu."
"Kalau satu,.. mau apa rupanya," ulas Nelly.
"Nenek bilang itu berbahaya kan!" potong Mastery, "aku juga mau tahu, apa aku
kuat jika tempayan dan gayung didekatkan."
Nelly mencubit Mastery agak keras. Mastery memekik halus.
"Nah,____sudah mulai, kan"!"
Dengan alasan ingin melihat dan mengenal rombongan penari dari Cianjur lebih
dekat, mereka juga mengambil sebuah kamar menginap di pondok Sekar Segara.
Kelompok dari Bandung juga menginap di sana. Tengah malam, Mastery tidak bisa
tidur. Ia ibarat kucing gelisah, karena di hadapannya ada sepotong dendeng yang
sebenarnya bisa saja dilahap. Akan tetapi ilmunya membatasi hal itu. Nelly cepat
tertidur. Perlahan-lahan Mastery mendekati gadisnya yang terbujur menggairahkan
itu. Dada Nelly membengkak, turun naik. Karena ia tidak memakai bantal di
kepala, dada itu kelihatan semakin menantang. Kedua tangan Nelly yang terbentang
ke atas membuat belahan dadanya seperti bayangan tangkai ketapel, berkilau ditimpa
cahaya remang-remang lampu tidur.
Urat-urat darah di kening Mastery timbul men-denyut.
Dengan tanpa mengeluarkan bunyi, ia mendekati Nelly yang pulas. Perlahan-lahan
wajahnya ditekankannya ke atas dada itu. Tekanan wajah Mastery semakin rapat,
sehingga ia merasa bagai menoleh ke dalam jendela surga.
Ketika itu pula terdengar ribut-ribut di luar. Ki-latan-kilatan lampu pompa dan
senter menerpa kaca jendela.
"Baru sebentar ini, ... ia masih berbaring," itu suara yang agak jelas
terdengar. Naluri Mastery mengatakan, ada seseorang yang minggat, atau hilang
dari Pondok Sekar Segara. Beberapa menit kemudian keadaan di luar semakin ribut.
Suara tua Aki Ukin juga terdengar. Seorang penari Jaipong dari Bandung, hilang
dari kamarnya tanpa bekas.
Seliwiran wisik di hati Mastery mengatakan, mungkin penari yang sore tadi, yang
terpukau matanya ke tengah laut. Kata hati itu semakin keras. Biasanya tak
pernah meleset. Huru-hara pencarian seseorang di tengah malam itu, membangunkan seluruh penduduk
tepi pantai. Obor, lampu, dan lampu-lampu mobil dihadapkan ke seluruh penjuru.
Aki Ukin membakar kemenyan, dan meniupkan asapnya ke tepi laut. Mungkin agar
memperoleh petunjuk, ke mana perginya penari yang hilang itu.
"Itu dia . . . mungkin itu dia ... si Nurdewita!" suara-suara bertemperasan
menuju tepi pantai. Yang kelihatan semula seperti tunggul, memang tubuh seorang
perempuan, berkemban kain batik saja. Ia berdiri tertegun, dengan air
laut setinggi pinggangnya. Perlahan-lahan ia melangkah lagi, tanpa menghiraukan
suara orang banyak. "Ayohhh. . . . panggil Aki Ukin . . . panggil!" beberapa suara menganjurkan
dalam remang-remang silang-menyilang lampu senter.
Aki Ukin dibimbing dua orang yang lebih muda menuju ke pantai. Remang-remang dengan mata
tuanya, ia mulai mengenali siapa yang hendak turun ke dalam laut itu.
Langsung Aki Ukin menempuh air laut, sambil menyingsingkan kain sarung yang
dipakainya. Ia menangkap tangan Nurdewita, memegang tangan itu, dan berusaha
menariknya ke luar. Akan tetapi air laut seakan-akan berubah menjadi cairan
beton yang telah membeku.
Tubuh Nurdewita tak bergerak sedikit pun. Dua laki-laki, ikut menolong. Namun
tak juga bergerak. Tiba-tiba Nur berbicara lembut, "Dia akan kembali menjadi sindenku!" Aki Ukin
sejenak tersimak, dan kemudian menyahut, "Apa ini Ibu Dewi"!" Nur mengangguk.
"Mohon jangan Ibu Dewi, apa kata orang kepada saya nanti?" ucap Aki Ukin. Akan
tetapi Nur tetap berkeras akan terus melangkah ke dalam laut yang telah mencapai
dadanya. Ketika itu muncul Mastery, berbimbingan dengan Nelly. Perlahan-lahan
Mastery juga melangkah ke dalam air laut. Ia memandang wajah perempuan itu dari
samping kiri. Ia lalu memegang tangan Nurdewita. sambil berkata,
"Saya juga menahan, Bu Nyi Roro Kidul!" Ketika pegangan Mastery menyentuhnya
kelihatan sesuatu seperti tangan Nurdewita menyentak kecil. Dan dia memalingkan
wajahnya kepada Mastery. Sepintas kilas, keramaian pantai malam itu seperti
shooting film Ratu Laut. Nelly Ngantung, terdorong untuk menyusul Mastery.
Roro Kidul memandang dengan raga Nurdewita, dan berkata, "Sayang . . . engkau
yang datang! Kalau tidak, telah kubawa." Ucapan itu jelas didengar Aki Ukin dan
laki-laki lain yang mengelilingi tempat peristiwa tarik-menarik kekuatan gaib
itu. "Darahmu telah mengejutkan aku," ujar Bu Roro Kidul.
Mastery tidak mengerti maksud ucapan itu. Akan tetapi dirasakannya, tangan yang
dipegangnya menjadi lemas.
Dan tubuh Nurdewita kini bisa bergerak di dalam air.
Kemudian Nurdewita mengalihkan wajahnya ke Nelly yang memegang bahu Mastery, dan
menukas lemah, "Kalau tidak, .... ganti dengan dia.....!"
"Itu calon istriku, Bu Roro Kidul."
"Kau seharusnya kawin dengan aku, agar kekuatanmu direstui!"'
Roro Kidul memandang dengan raga Nurdewita, dan berkata : "Sayang engkau yang
datang! kalau tidak telah kubawa."
"Saya hanya petualang dan tamu di pulau ini, Bu Dewi,"
ujar Mastery, "saya tidak niat mengganggu jalan Bu Dewi, dan saya pun tidak
terusik." Seolah-olah Nurdewita melihat ke sekeliling bagian belakang Mastery, dan berucap
perlahan, "Banyak sekali mereka yang kusegani datang bersamamu!"
Selesai mengucapkan perkataan itu, Nurdewita jatuh lemas ke pangkuan Mastery.
Kepala dan rambutnya yang terjurai, dipegang Nelly Ngantung.
Di tepi pantai, orang bersibak melapangkan jalan rombongan Aki Ukin membopong
Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nurdewita yang masih belum siuman. Orang terheran-heran dan merasa aneh melihat
Mastery yang bukan putra daerah namun mampu mengalahkan Ratu Laut dengan hanya
bersoal-jawab. Bagaimana pengaruh aliran darah di dalam sentuhan tangan Roro Kidul dan Mastery,
tak sampai terperhatikan oleh orang banyak. Mungkin Aki Ukin saja yang memaklumi
sepintas kilas, bahwa di dalam diri laki-laki muda yang disegani Ratu Laut itu
penuh kekuatan-kekuatan yang masih saling berebutan. Ratu Laut kelihatannya
bukan takut, dan tidak pula karena ingin berkompromi, tetapi berisi keseganan
yang latar belakangnya masih samar-samar penyebabnya.
Menjelang pagi Pondok Sekar Segara masih ramai membicarakan kejadian itu.
"Sekarang rupanya telah tiba akhir zaman," ucap Aki Ukin, "telah datang orang-
orang muda yang direstui gaib, mungkin lebih kuat dari orang-orang tua yang
telah berpulang satu per satu."
Mastery dan. Nelly Ngantung jadi pusat perhatian.
Timbul keheranan orang melihat penampilan mereka.
Orang-orang mandraguna dan waskita zaman dahulu, ketahuan dari caranya
berpakaian, berbaju serba hitam, dengan ikat kepala hitam. Atau dengan serban
dan jubah, seperti penampilan santri-santri. Akan tetapi Mastery hanya
berpakaian Levis atas bawah. Sepatu dengan hak tinggi.
Banyak orang bertanya namun tak dijawab Mastery, siapakah yang mau membawa
Nurdewita itu, "Nyi Roro Kidul, Ratu Roro Kidul, atau Dewi Ratu Kidul?"
Di atas mobilnya, Mastery mengatakan akan singgah di toko kelontong. Karena kaus
kakinya yang basah akibat masuk laut semalam, lupa mengambil dari jemuran. Kalau
diambil pun, mungkin belum kering sekali.
"Kelewatan . . . .!" ucap Nelly Ngantung ketika mobil mereka telah melewati
jembatan kecil ke luar dari Pasar Pelabuhan.
"Dari tadi kubilang biar aku yang nyetir supaya kau bisa memperhatikan pasar!"
"Itu di depan saja!" tukas Nelly sambil menyikut lengan kiri Mastery-Ketika
mobil mereka perlahan-lahan berhenti di sebelah kiri, persendian tulang Mastery
mendadak menggeletar, seperti kram. Sehingga pedal rem yang ditekannya ikut
menggigil. Dan kendaraan terasa bertambah berat.
"Apaan____nih?" ujar Nelly.
"Tak tahu . . . !" Ketika menjawab itu, sebenarnya Mastery sedang berusaha
sekuat tenaganya untuk menguasai kembali kekuatan-kekuatan yang berontak dari
dalam. Berdiri ia sejenak, sebelum melangkah ke seberang jalan.
Ke sebuah toko kelontong dua tingkat. Namun keadaannya semakin parah ketika ia
semakin mendekati pintu depan toko itu.
'Pak, permisi duduk sebentar . . . tiba-tiba badan saya ini begini," keluh
Mastery, setelah memberi salam lebih dahulu.
"Kenapa jadi begini, Bang Mas" Heran......ya!?" Nelly menggerutu.
"Sebaiknya kau pulang dahulu, . . . tinggalkan saja aku di sini. Nanti papamu
marah ....!" "Tidak ... !" tukas Nelly, "dia akan lebih marah lagi kalau aku pulang sendiri."
Yang empunya toko, Haji Mufti, telah terbiasa didatangi pengunjung yang
kelelahan, mungkin karena baru pertama kali merasakan udara pantai yang panas.
Apalagi pengunjung dari daerah dingin seperti Bogor dan Bandung.
"Badan saya ini, .... tak bisa dibohongi.... Pak!" resah Mastery, terkulai di
sandaran kursi, "Bagai ada apa-apanya di tempat ini dahulu!"
Nelly mencecahkan sapu tangan ke kening Mastery yang memercikkan keringat.
Hajjah Ramlah, istri Haji Mufti.
menghidangkan dua gelas air putih matang.
Haji Mufti tercenung sejenak mendengar kata-kata Mastery, kemudian menyahut,
"Mungkin! ... mungkin sekali! Tetapi saya heran, mengapa Om ini tahu?"
Mastery tersenyum memelas, "Kami belum kawin, Pak Haji. Panggil saja saya, Mas .
. . Mastery, atau Nak Mas.
Rasanya lebih akrab."
Haji Mufti tertawa ringan, dan mengatakan, "Sulit menentukan panggilan kepada
orang sekarang. Takut kalau-kalau dianggap kurang hormat kepada tamu."
"Tetapi ... ini dulu, Nak Mas!" Haji Mufti memulai ceritanya.
Haji Mufti mengatakan, bahwa jalan di sebelah tokonya sekarang ini dahulu tanah
miliknya juga. Ketika itu tokonya belum bertingkat seperti sekarang. Akan
tetapi, selalu saja seluruh modal jualan habis. Tak pernah mendapat keuntungan.
Pada suatu waktu dia diberi nasihat oleh seorang perempuan tua. Yang termasuk
orang zaman dahulu. Yang masih sempat merasakan bagaimana orang dari Cibadak dan
Sukabumi naik sado kalau ke Pelabuhan Ratu.
"Katanya, saya harus memberikan tanah saya yang di sebelah ini untuk jalan
gaib!" terhenti sejenak Haji Mufti.
"Pak Haji berikan, kan?"
"Ya,... .seperti terlihat sekarang. Dan bangunan di sebelahnya saya jadikan
bertingkat seperti sekarang ini.
Sejak saat itu, kami mulai bisa hidup dari toko yang sebuah ini."
Setelah mereguk air putih tadi, Mastery sedikit merasa badannya tidak selimbung
tadi lagi. Sungguhpun seperti masih ada suara-suara halus di dalam persendian
tubuhnya. Di antaranya dikenalnya juga ada suara seperti suara Antasias. Yang menjaga
Makam Syeh Jambak di kaki bukit Kumang, "Ayo, .... datangi dia . . . ikuti jalan
ini, sampai ke muara . . . .!" Mastery masih mengabaikan suara Antasias, yang tidak
diketahuinya entah sejak kapan kembali lagi.
"Kata orang, jalan ini jalan gaib Pajajaran!" ulas Haji Mufti.
"Apa rencana Bapak di tingkat atas?" ulas Mastery terpengaruh oleh jalan cerita
awal pembukaan jalan di sebelah toko itu.
"Kalau dikabulkan Tuhan, saya akan membuka Majelis Taklim!"
"Itu kalau dimudahkan Tuhan," Hajjah Ramlah yang sejak tadi hanya mendengar,
kini menukas. Jalan itu penuh dengan batu pecah yang digiling begitu saja. Sehingga mobil
mereka yang chasisnya rendah, harus berhati-hati sekali memilih jalan, agar
badan kendaraan tak ada yang tergerak dan kandas.
Daerah ini seperti daerah yang masih perawan. Berlainan dengan pantai Pelabuhan
Ratu sebelah kanan, yang sudah banyak dibangun hotel, penginapan, tempat
rekreasi, restoran dan Mess perusahaan.
Mastery menyapu matanya ketika melihat ke kaki gunung di sebelah kirinya. Nelly
yang memegang kemudi menikmati panorama pantai di sebelah kanannya.
"Sekejap tadi, seperti ada istana di atas bukit di sebelah kiri kita, Nel!"
"Istana apa. Itukan Cagar Alam Tangkuban Perahu yang kemarin sore kita lalui!"
"Mungkin cita-citaku ingin membuatkan istana untukmu itu yang terangan-angan."
"Jangan mimpi . . .!" sindir Nelly Ngantung, "tadi malam, Bang Mas terlibat
urusan dengan penghuni laut, sekarang ke mana lagi"!"
"Jalan saja . . ., cerewet benar, sih!" dengus Mastery bercanda sambil mengawasi
Cagar Alam Tangkuban Perahu yang seperti ada fatamorgananya berbentuk istana
putih seluruhnya. Istana itu seperti terbuat dari batu pualam. Di halamannya
yang luas, kelihatan banyak orang hilir-mudik. Juga berpakaian putih-putih.
"Ada-ada saja!" pikir Mastery. Perkiraan mereka, telah lebih 3 kilometer mereka
mengikuti jalan berbatu. Tak jauh lagi, tampak sebuah bukit kecil memanjang
lerengnya menuju Tangkuban Perahu yang terbayang di khayal Mastery tadi. Ketika
itu terasa tubuh Mastery menjadi berat kembali. Seolah-olah urat-urat nadinya
menggelembung-gelembung oleh tenaga yang berontak dari dalam. Tekanan darahnya
melebar ke atas sehingga lehernya seperti mekar dan urat-uratnya bertimbulan.
"Mau ke tempat Hyang Santri, Om?" tegur beberapa orang ketika mobil mereka
berjalan lambat sekali melalui tonjolan batu pecah-pecah.
Ketika nama Hyang Santri disebut mereka, tubuh Mastery berkelejotan meregang.
Sehingga kakinya lurus menekan ke depan. Kepala tertolak ke sandaran tempat
duduk. "Abang ini, . . . kena apa sih" Ayo kita kembali saja!"
oceh Nelly melambatkan mobil. Mastery menggoyang-goyangkan telapak tangan
kanannya. Seperti aba-aba melarang niat Nelly itu.
Semakin dekat, kelihatan beberapa liang samar-samar di kaki bukit berbentuk
kubah itu. Mastery semakin parah
kelihatannya. Dari dalam terdengar suara Antasias,
"Teruskan! Teruskan! Ini dia tempatnya!"
Mastery bagai tidak berdaya lagi untuk melanjutkan langkahnya. Dia minta dua
orang untuk memapahnya ke tempat Hyang Santri yang dikatakan mereka di
perjalanan tadi. Untung Nelly Ngantung mengerti apa yang dimaksud Mastery.
"Aki Rohom, . . .Lurah Basrah, . . . atau Hyang Santri, Om?" tanya mereka
memapah, Kudri dan Tamam.
"Hhhhyannng , . . Santri....," bersusah-payah Mastery mengucapkan kata-kata itu.
Sedangkan matanya seperti berkeinginan mendatangi tempat lain yang disebutkan
mereka. Demikian pula telunjuk tangannya. Terarah ke bangunan gubuk Aki Rohom
dan Lurah Basyar, yang terkenal juga sebagai tempat orang berkunjung, ri-yadoh,
dan bersemadi. Banyak pula yang bertapa.
Yang dikatakan tempat Hyang Santri itu, lebih jauh terpojok dari kelima pintu
gua. Melalui jalan setapak di tengah sawah, Mastery telah seperti orang
ketakutan. Akan tetapi dualis yang di dalam raganya lebih kuat menyuruhnya
mendatangi tempat itu. Antasias di dalam berkata lagi, "Sudah hampir! Dia ada!"
Orang tua yang dikatakan Hyang Santri itu, berdiri di lantai gubuknya yang
terbuat dari anyaman bambu dengan atap daun lalang. Sebagian rambutnya telah
memutih. Badannya sedang-sedang saja, tetapi kekar. Memakai baju kaus oblong, kain
sarung, ikat pinggang lebar dan tanpa penutup kepala, sehingga keningnya yang
luas terlihat berkilau oleh keringat udara pantai.
Mastery tertiarap di tepi lantai gubuk. Kedua orang yang memapahnya seperti
kehabisan tenaga. Hampir saja mereka
melepaskan beban mereka ketika beberapa langkah lagi akan sampai.
"Kunaon . . . nyak!" ucap Kudri, "belum ada orang yang seberat ini.'"
Kudri heran mengapa badannya yang kekar kuat seperti memikul berat lima orang
ketika menyangga berat tubuh Mastery.
"Tinggalkan dia....., "ucap Hyang Santri, "dan....."
"Saya .... saya .. . anu ... kawan seperjalanan, Pak,"
potong Nelly yang mengerti maksud Hyang Santri ingin menanyakan dirinya.
Hyang Santri bertelekan dengan tongkat. Kedua telapak tangannya terletak lemas
di atas penyangga itu. Ia menekuri Mastery yang hampir menelungkup di atas tepi
lantai anyaman bambu. Diperhatikannya dengan kewaskitaan. Tahulah ia, bahwa
manusia yang datang kepadanya bagai terdampar ini, sedang berada dalam rebutan
alam gaib yang tingkatnya tertinggi di pulau ini.
Dari tubuh itu dilihatnya berlapis-lapis bayangan yang mengancam Hyang Santri.
Bergerak seperti cambuk-cambuk berbentuk makhluk yang menerpa, orang tua itu.
Setiap terpaan akan menyentuh, kembali melorot, seperti kain basah yang
ditegakkan. Dengan mata gaibnya, kelihatan ada dua makam di seberang lautan yang ikut
mengantar orang yang sedang ditekurinya sekarang ini.
Hyang Santri meletakkan telapak tangannya ke atas kepala Mastery.
Mastery menengadah dengan wajah meringis. Telapak kakinya terasa bagai menyentuh
bara api. "Akhh, .... ada lagi yang lebih panas......aduuh guruuuuu.....!" rintih Mastery.
Sesaat wajahnya berubah kembali, dan terdengar siuran suara lairi, "Jangan
hiraukan, Hyang . ., teruskan .... sampai gurunya datang!"
"Siapa kau yang menyala ini?" tegur Hyang Santri dengan- tangan masih tetap di
ubun-ubun Mastery. Nelly Ngantung, sedih seperti akan menangis melihat nasib
laki-laki yang biasanya kukuh mendampinginya.
"Saya Antasias, . . . yang berusaha membawanya kemari, karena saya sendiri tak
sanggup menghadapi mereka yang banyak sekali di dalamnya."
"Asalmu?" potong Hyang Santri.
"Persetan .... anjing ....!! orang ini akan kami bunuh sekarang juga!" suara
parau seperti bermacam-macam tiba-tiba menyilang soal-jawab yang belum selesai
dengan Antasias. Kini kedua telapak tangan Mastery dengan jari-jemari seperti
mencekam, teracung ke atas, bagai hendak melepaskan kepalanya dari sentuhan
tangan Hyang Santri. Di antara telapak tangan dengan kepala Mastery, pelan-pelan merayap asap titik
lembut. Mengalun dan lambat-laun buyar dibawa angin. Seperti serat halus sutera,
kabut itu menerapa dinding gua. Dan terdengar hiruk-pikuk di dalamnya, "Siapa
lagi yang datang membawa gara-gara
.....kita jadi ikut panas .... huh!"
Di atas gua, terdengar suara perempuan menangis tersedu-sedu. Entah sedih entah
kesakitan. Mastery memekik memegangi kerongkongannya. Ia mengeluarkan muntah berupa lendir
kental berbungkal-bungkal. Dengan lendir ini, rupanya lubang napasnya akan
ditutup, dan nadi jantungnya akan disumbat. Setelah lendir
itu keluar dengan susah payah, napasnya mulai reda, raga dan jiwa aslinya
berkata, "Tolonglah saya, . . . Hyang ...
mereka tetap mau membunuh saya. Mereka semua ada di dalam!"
"Tunggu! Aku keluar dahulu!" sahut Antasias yang juga menggunakan mulut Mastery.
"Aduh, . .. aku bagai terkunci bersama mereka di dalam. Tolong lepaskan dulu,
Hyang!" Hyang Santri meregangkan letak tangannya sedikit.
"Kau mengapa datang lagi, . . .kau tak sanggup melawan mereka!" ujar Mastery
asli, yang dualis kekuatan rohnya bisa melawan. Seolah-olah ia melihat Antasias,
yang ikut bilur-bilur hangus di beberapa bagian anggota tubuhnya.
"Guru .... Guru . . ., kami panas, . . . aduh hangus ....
hangus, aduh . . . .!!" serentak dengan robohnya Mastery, melorot dari tepi
lantai, jatuh ke tanah. Diam tak bergerak.
Tubuhnya pucat. Ada beberapa menit keadaan mengandung keseraman terjadi. Nelly Ngantung
mengangkat kepala Mastery ke pangkuannya sambil meratap, "Bang Mas! Bang
Mas, . . ."jangan tinggalkan aku, Bang Mas! Aku mencintaimu!"
Tiba-tiba dengan gerakan perlahan tetapi pasti, Mastery bangun dari tanah.
Dengan mata terkembang nanap, ia memperhatikan Hyang Santri penuh arti dan
perhitungan. Kemudian seperti melihat ke bagian dalam dirinya sendiri.
Seolah-olah di dalam tubuh itu terjadi sesuatu yang menyedihkannya.
"Orang tua lancang! Kau apakan anak-anakku! Mereka dalam keadaan sekarat!"
ucapan itu suara berpengaruh kuat kepada yang mendengar.
"Anak buahmukah yang hendak membunuh laki-laki ini?" ucap Hyang Santri.
"Ya, . . . aku gurunya, terpaksa datang sendiri menghadapimu!"
Sejak tadi di gunungnya, Buraksa memperhatikan boneka tanah liat yang mengandung
sebagian roh anak buahnya, kelihatan berasap. Di beberapa tempat di tubuh boneka
itu kelihatan mulai hitam seperti terbakar.
Buraksa kemudian terpaksa menutup wajahnya dari pemandangan yang mulai hendak
menyambar dirinya sendiri pula. Beberapa lembar kain kafan yang teruntai pada
dinding gua di kaki Gunung Ceremai itu terbakar dengan tiba-tiba.
Dengan antena gaibnya, ia mengetahui bahwa ketujuh anak buahnya yang dikepalai
Jarkuz, tak berdaya menghadapi kekuatan baru yang jelas mampu
menghancurkan kekuatannya.
Buraksa menarik dirinya perlahan-lahan menuju ke permukaan batu hitam tempat ia
berbaring jika memerlukan sesuatu tenaga gaib melawan sesuatu tantangan. Kedua
telapak tangannya mem-barut kepalanya dari ubun-ubun menuju ujung kaki beberapa
kali. Sejenak pinggangnya melentik, kemudian melurus kembali, dan diam seperti
mati. Itulah saatnya ia memasuki tubuh Mastery untuk berhadapan dengan Hyang
Santri secara tak langsung.
Gua itu hening ditinggalkan roh penghuninya. Hanya sebuah dupa dengan api
melambai, membuat bayangan benda-benda di dalam masih bergoyang-goyang.
Anjing menggonggong panjang menengadahkan
kepalanya ke langit. Seolah-olah melihat roh Buraksa berangkat ke daerah barat,
Pantai Selatan. Burung hantu yang berlindung di dalam lubang kayu, menjadi gelisah karena ada
yang lewat di atasnya, membawa tenaga angkara murka menghancurkan. Seluruh gaib yang dilintasinya di
setiap gunung, melihat awan hitam berbau anyir melesat di udara. Bayi-bayi yang
di dalam ayunan, tiba-tiba tersentak menangis kejang, kena hawa lintasan itu.
Orok yang sedang menyusu, terpekik. Sang ibu menyangka, ada semut yang
menggigitnya. Dengan ayat Manunggal Sadak, Hyang Santri
menekankan telunjuknya ke kening raga Mastery. Sekejap, wajah itu meringis.
Berusaha membuyarkan kekuatan cahaya pijar yang keluar dari telunjuk yang
kelihatan seperti besi panas baru keluar dari bara itu.
"Haaakkhhhhh . . . hah . . . hahhhh," uap panas bercampur asap, keluar dari
mulut Mastery, digenggamkan dengan telapak tangan kanannya oleh Hyang Santri.
Kelihatan pegangan itu berasap, seperti meremas kain 'yang baru dicelupkan dari
Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
air panas. Akan tetapi roh Buraksa memaksa untuk menggenggam telunjuk orang tua
itu. Sebagian tenaga Hyang Santri tertahan karena pangkal telunjuknya dipencet- Namun
Buraksa telah mengorbankan genggamannya yang ikut hangus melepuh karena sekatan
itu. "Hahhhhhh . . . ha, ha, ha tak semudah itu mengalahkan aku, he! Kau juga akan
kubunuh, Santri!" dengan ucapan sombong, walau dalam keadaan kesakitan, roh
Buraksa masih mengancam. "Apa engkau mau merampas tugas Malaikat maut"
Mengapa anak buahmu kau suruh membunuh orang ini"!"
"Itu urusanku! Kita masing-masing telah memilih jalan sendiri!" bentak serak
suara gaib Buraksa di dalam raga Mastery.
"Sejak kapan kau membuat dosa seberat ini?" suara Hyang Santri tetap lembut dan
teduh gemanya. Pertanda di
dalam diri orang tua itu, masih kukuh berpijak pada tempat berdirinya semula.
"Aku memang menerima upah untuk membunuhnya! Ini
. . . ini dari ayahnya ini . .". .!" ucap Buraksa mengarahkan telunjuk kiri
Mastery kepada Nelly Ngantung.
Nelly tertegun. Kini baru dia yakin bahwa ayahnya memang menggunakan tenaga gaib
untuk menghilangkan nyawa Mastery.
Hyang Santri tetap berkata dengan suara lemah lembut, tanpa melepaskan ujung
telunjuknya dari kening Mastery, melontarkan kata-kata penuh hikmah berisi
petunjuk. Mengingat, betapa besar dosa kelak di suatu waktu yang panjang tak berujung,
bagi seseorang yang berada di kerak
.neraka Syaqar. Apalah artinya sejumlah uang, pengganti masa yang panjang itu,
yang bahan bakarnya terdiri dari batu dan jin, serta manusia.
"Akhhahhhahhh . . . !" ucapan Buraksa semakin lemah, membawa tubuh Mastery
merosot duduk di lantai anyaman bambu.
Sungguhpun telunjuk Hyang Santri tidak dipakukan, tetapi tak sanggup digerakkan
oleh genggaman Buraksa. Cengkeraman tangannya, hanya, bisa melingkar pada suatu jarak beberapa inci saja
dari telunjuk itu tertekan. Dan juga tidak dapat menarikkan kepala Mastery ke
belakang. Ketika dicobanya, mata Buraksa mendelik hampir putih seluruhnya, dan
kerongkongannya seperti tersumbat.
Seolah-olah nyawanya yang berada di raga Mastery akan lepas.
Sementara itu, api dupa di gua Buraksa, melambai-lambai lemah. Mengecil dan
membuyar kembali, ketika Buraksa mengerahkan tenaganya.
Hyang Santri masih terus memberi nasihat, sungguhpun dibantah dengan keras, "Tak
usah dakwah, . . . aku sendiri pun dulu Ajengan!!!"
Hyang Santri terpukau. Ia selalu menilai sesuatu dari sudut yang baik.
Bagaimanapun, di dalam hati manusia isejahat apa pun, tentu masih ada setitik
cahaya keimanan yang terselubung oleh dosa dan kabut hitam.
"Syukuuuuuur . . . Tuhan mempertemukan saya denganmu, Buraksa, syukur!" ucap
Hyang Santri lembut mengelus, "kita yang sudah tua-tua ini, seharusnya nasihat-
menasihati." Ketegangan agak mengendor. Buraksa seperti kehilangan sebagian nafsunya untuk
membunuh. Matanya nanap memandang lantai di bawah kaki Hyang Santri.
"Memang . . . , jalan saya penuh dosa . . . dan Tuhan tidak akan mengampunkannya
lagi. Akhhh, karena itu aku teruskan jalan ini . . .. membunuhmu, dan laki-laki
ini!" "Kurasa yang mendorongmu bukan karena uang saja, Buraksa!"
"Ya, . . ya. . . ada kekuatan gaib lain yang mendorongku.
Kalau tidak, aku akan dimusnahkan mereka."
"Siapa itu . . .coba katakan?" pinta Hyang Santri lembut.
"Tak boleh kukatakan, selama pulau ini masih timbul di permukaan laut!"
"Baiklah, . . . ada lagi yang lebih kuat memaksamu!
Sungguhpun tidak kau sebutkan, aku maklum. Sebaiknya kau. pulang dan- bertaubat
membawa anak buahmu kembali. Dan lepaskanlah mereka sebagai makhluk Allah yang
bebas!" Soal-jawab ini aneh bagi orang yang tak biasa menyaksikan peristiwa alam gaib
yang tinggi tingkatannya.
Seperti permainan sandiwara alam saja. Tiba-tiba Buraksa mengangkat tangan
kanannya yang kelihatan hangus pada bagian telapaknya, dan mengeluh, "Memang
tangan ini yang berlumuran dosa. Tak terkira lagi berapa yang sudah kubunuh!"
"Tobatlah . . . Buraksa. Allah Maha Penerima tobat seseorang!" bujuk Hyang
Santri. Wajah Buraksa di belakang wajah Mastery yang tadinya mengeras, kini berangsur
cerah, dan terdengar ia mengeluh,
"Aku akan berusaha .. . ! Asal saja kekuatan di belakangku bisa melepaskan aku
pula! Dan tangan yang banyak mengambil nyawa orang ini akan kusingkirkan
dahulu!" Dimulai dengan berkelit menuju ke pinggang, seperti gerak seseorang mengambil
sesuatu sungguhpun di pinggang Mastery tidak ada benda nyata yang kelihatan,
tangan kirinya mengibas seperti gerak menebas, terarah ke pergelangan tangan
kanan, dengan iringan pekik.
"Akhkhkhkhhhh .. .!!"
Raga Mastery jatuh tersungkur hampir mengenai ujung kaki Hyang Santri yang telah
melepaskan tekanan telunjuknya.
Buraksa yang terbaring di atas batu hitam dengan keris pusaka di pinggang,
menggeliat dan memekik ketika pergelangan tangan kanannya putus. Darah memancur
melumuri batu hitam. Masih sempat ia melihat telapak tangan dan jari-jarinya
bergerak-gerak ketika baru saja terlepas dari pergelangan. Seperti gerak cakar-
mencakar kaki kepiting yang akan mati, akhirnya jari-jemari itu diam tak
bergerak lagi. Tinggal Buraksa yang bangun dengan cepat, lalu menyambar sobekan
kain untuk mengikat bagian yang putus itu.
Dia bersimpuh dengan tangan teracung ke langit menghadap Kiblat. Seluruh
peralatan magis di dalam gua bergoyang-goyang bagai dilanda gempa. Api di dalam
jambangan berbentuk kepala manusia mendadak padam.
Akan tetapi, . . . .dari tempat-tempat jauh .... mulai berdatangan utusan-utusan
untuk memaksanya kembali ke jalannya semula.....
*d*w* VI MUNGKIN benar kata orang bijaksana, bahwa
perjalanan hidup manusia sebenarnya mempunyai naftu
perjalanan hidup para Nabi pula. Sungguhpun meliputi teritorial yang lebih
kecil. Sulaiman a.s. berusaha meliputi kekuasaannya dengan cara menaklukkan Ratu Balkis
dengan bantuan para jin seperti Ifrid.
Yulius Caesar, mengimbangi kekuasaannya dengan jalan mengawini Ratu Mesir
Cleopatra. Seperti yang digariskan para Dewa Yunani dan Mesir, Tuk Ang Among
atau Tuk Ang Ra. Apakah Mastery yang lahir di daerah lintang khatulistiwa, membawa titisan gaib
pula untuk menaklukkan Nelly Ngantung dari culabesi" Itulah sebabnya Tuan
Wulungan, dihasut alam gaib agar menghancurkan hubungan kedua insan yang
memperoleh tenaga beradiasi kuat karena hubungan itu. Apakah mungkin missi yang
dipikul lebih kuat sehingga Cleopatra bunuh diri dengan seekor ular tanah yang
kekuatannya diperoleh dari mengambil tenaga matahari dengan matanya.
Nelly Ngantung sendiri terkatung-katung di antara perasaan cinta yang amat dalam
kepada Mastery. Sementara Mastery disibukkan oleh usahanya mengikis duri-duri kekuatan gaib yang
ingin menguasai dirinya. Dan Tuan Wulungan yang serakah dunianya diliputi setan,
tidak sadar bahwa dirinya dipergunakan alam gaib hitam untuk menyekat kekuatan
yang mungkin timbul dari perkawinan Mastery dengan Nelly.
Dan adakah ranji-ranji perkawinan seperti ini meliputi manusia lain di pulau
ini, sungguhpun dalam prahara spiritual yang lebih kecil sekalipun"
Setelah Hasbullah berjumpa dengan Mastery di Medan, ia berusaha mencari Mastery
kembali di Jakarta. Dengan
bertanya kepada beberapa wartawan freelance yang pernah bergaul tak begitu rapat
dengan Mastery. Karena mereka tidak dapat memahami bahan yang diberikannya untuk
dijadikan tulisan dengan topik aneh.
"Benar . . . ," ucap Hasbullah, "saya pun bermula mendengar kisah hidupnya
seperti kisah orang sedeng atau sinting."
Darmawan sejenak tersimak. Karena ia juga belum dapat memahami apa yang
diceritakan Mastery kepadanya.
Tentang apa yang dialaminya. Tentang di dalam dirinya ada berbagai tenaga yang
saling tolak-menolak atau menguasai. Kini Hasbullah menyeberang dari Sumatra
mencari Mastery, karena mulai merasakan apa yang sedang dijalani Mastery menuju
suatu sejarah yang penuh tanda tanya di masa yang akan datang.
"Begitu berpisah dengan dia, malamnya aku bermimpi,"
ucap Hasbullah, sambil meletakkan cangkir kopinya kembali, "mimpi aneh yang
tidak pernah muncul selama hidupku."
"Kalau boleh aku tahu mimpimu itu," sela Darmawan yang berasal dari Jawa Tengah
menyorongkan piring tempe goreng kepada Hasbullah.
"Kalau tidak salah malam Jumat!" Hasbullah memulai,
"sampai di sini, baru kujumpa kalender yang menyatakan bahwa malam itu adalah
malam Jumat Kliwon. Di seberang, seperti kau ketahui sendiri, . . . orang tidak
begitu terasa penting dengan Wage, Kliwon dan sebagainya itu."
Darmawan tertawa, dan menukas, "Bisa saja kau, . . .
.memang begitu kalau jauh dari Pulau Jawa! Sekarang kau mulai mengakui pengaruh
nama-nama hari itu bukan?"
"Ini mau mendengar atau memasukkan Ja-wanologimu kepadaku," sambut Hasbullah
yang tampangnya seperti peranakan Arab.
"Nah, .... kelihatan gila Aceh itu masih kuat bertengger di hatimu," balas
Darmawan, "mudah marah dan panas!"
Wartawan-wartawan muda pada generasi ini, cepat menjadi akrab. Dan bicara
seenaknya, tanpa perlu merasa tersinggung dengan ucapan-ucapan sinis. Berlainan
dengan wartawan-wartawan kawakan "tempo doeloe", yang selalu rapi menyusun
kalimat dan kata-kata mereka dalam berdebat atau simposium dengan bidai-bidai
ketimuran yang lembut. "Kau Jawa goblok!"
"Goblok-goblok perkebunan di sana pasti terlantar jika tidak ada kami!"
Hasbullah tersentak cerah, menukas, "Benar . .. benar!
Setiap suku ada keistimewaannya."
"Mawan . . . !" ada suara memanggil di luar warung.
"Mawan, mobilmu ada yang nabrak!" Dino, tukang parkir yang merangkap Satpam di
percetakan harian ibu kota, mendatangi pintu warung.
Darmawan terperanjat bangun. Sehingga kursi duduknya jatuh ke belakang.
"Persetan! Siapa sih yang sok jagoan itu?"
"Hehe . . . , Jawa bisa juga marah, ya"!" ucap Hasbullah, ikut beranjak ke luar
warung. Mang Dino, menghadapkan Darmawan dengan orang yang menabrak lampu belakang mobil
Citroen Darmawan. Setelah jarak tinggal beberapa langkah, sopir penabrak yang tadinya menekurkan
kepala seperti bercermin ke kaca spion,
mendongakkan wajahnya, dan menyongsong Darmawan dengan kata-kata, "Kalau tidak
ditabrak sedikit, orangnya tidak keluar, dan tahu berada di mana!"
"Busyettt . . kau Mastery! Ayo ganti lampu sign itu."
"Sepuluh ribu . . ?" Mastery meraba kantong belakangnya, untuk sementara, tutup
saja dulu dengan plastik merah!"
"Kau menghina, ya" Mentang-mentang punyamu Honda Life. Mobil kecil gitu aja tak
jungkirkan ke parit!"
"Siapa temanmu di dalam?" Mastery melangkahi bahu Darmawan dengan pandangan
matanya. "Hahahh, ... itu Aceh gila itu mencarimu . . !"
"Siapa . . . ya?" ulang Mastery.
"Lihat sendiri . . . !" rutuk Darmawan sambil meraba-raba lampu sign belakang
mobil dan memperhatikan pecahan kap lampu yang berserakan.
Pertemuan yang menyentak itu, seperti bunyi pecahan beling mengganggu orang lain
sedang minum. Mengetahui ujung pangkal sebab meledaknya suara pertemuan kawan
lama, mereka mengerti dan tidak memedulikan mereka lagi.
Darmawan cepat berlari kecil ke tempat semula ia duduk, "Nanti aku ketinggalan
mendengar cerita kalian yang tak masuk akal itu."
"Sudah pulang dari Datuk Tuah malam itu, malamnya aku langsung mimpi," Hasbullah
memulai, sungguhpun masih kesal kepada Darmawan yang masih sinis,
"Kepadaku diperlihatkan Pulau Sumatra dan Pulau Jawa ini, sebagai satu kesatuan
yang panjang bentuknya, seperti ular phyton. Tetapi lebih mirip dengan bentuk
naga, dengan kaki yang samar-samar."
"Di mana ada naga sekarang ini," potong Darmawan, melipat tangannya di atas
meja. Hasbullah marah, karena Darmawan memotong, "Itu di kelir wayangmu pun
masih ada!" "Intermezo kan boleh!"
"Tetapi bagian kepala ular naga itu berketo-pong seperti mahkota! Apa artinya
itu Teri"!" "Ya .... ibu kotamu dahulu itu, Kotaraja!"
"Hahhhhh. . . .!"rengah Hasbullah, "karena tiba-tiba dasar mimpinya beralasan."
"Dan Gunung Serandil dikatakan orang Gunung Aceh berasal dari salah seorang
mandor kebun, yang dahulunya bekas buangan Nusakambang-an. Kini, ia mengepalai
buruh di perkebunan kelapa sawit!" tambah Hasbullah.
Mastery menekurkan kepala, dan menyahut, "Ada-ada saja, apakah itu sanipo"
Apakah hubungannya sebenarnya?"
Darmawan terperangah heran.
Hasbullah kelihatan bersemangat, "Mandor Sangkar Rogo yang sudah tua itu
mengatakan bahwa ketika ia masih berumur tujuh tahun ia melihat banyak meriam
Belanda porak-poranda di Gunung Serandil Cilacap. Ketika ditembaki Belanda,
gunung itu mengeluarkan cairan seperti darah."
"Gunung kok seperti makhluk?" oceh Mastery.
"Siapa yang mau percaya yang begitu di abad teknologi ini!" tukas Darmawan.
"Kau sebenarnya berterima kasih, Mawan . . .!" rutuk Hasbullah yang memang
bertemperamen tinggi, "jika ada orang yang berusaha mengungkap misteri pulau ini
sebagai keutamaan di masa yang akan datang!"
"Oke . . .. oke .. . !" Darmawan, memperlihatkan kepatuhan mendengar.
"Romo Sangkar Rogo mengatakan, Raja Aceh pernah bertitah kepada Belanda dahulu
bahwa kalau mereka hendak menggempur dan mengalahkan Aceh, gempur dahulu Gunung
Serandil! Apa maknanya, ya?"
"Nyatanya . . . digempur?" ulas Mastery.
"Yah . . . nyatanya Aceh juga dijajah Belanda, sungguhpun tak selama pulau
lain!" jawab Hasbullah ' yang berusaha memberi nilai obyektif dan menghilangkan
perasaan kesukuannya. "Kapan putusannya pulau ini dari bentuk ular naga sehingga seperti sekarang?"
Darmawan tampaknya mulai ikut serius mendengarkan mereka.
"Dalam Jangka Joyoboyo, mungkin yang disebut di zaman Tirta barangkali. Habis, .
. . umur dan dinas Pemerintahan manusia di bumi ini kan sangat kerdil jika
dibandingkan dengan umur bumi dengan segala perubahan bentuk pulaunya," Mastery
menge tengahi. "Gadismu tak ikut, Teri?" tanya Darmawan, "cantik, seperti besi putih!"
"Pasti dong, . . . aslinya Culabesi, kok!"
"Agamanya, apa sih?" Hasbullah, yang juga sudah mendengar selentingan tentang
gadis yang dikatakan Darmawan dari mulut Mastery sendiri. Bahkan Mastery
mengeluh, mengatakan ceweknya belum beragama.
"Besi putih tidak dimakan karat, kan?"
"Mana yang bagus, ya?" ulas Darmawan, berseloroh.
"Besi biasa, jelek tetapi mengandung magnit sebagai sumber api. Sedangkan besi
putih tidak mengandung sumber api tetapi mengkilap!" potong Mastery, "dan yang paling baik untuk
dijadikan rangka yang kebal karat."
"Nah, sekarang aku mengerti!" sambut Darmawan,
"tempat duduk mesin juga paling baik dari besi putih!"
"Maksudmu, . . . yang harus diduduki, si Tery?"
Hasbullah mulai ngacau lagi.
Mastery menyatakan pandangan imaginasi in-
konvensionologinya, bahwa Pulau Jawa sekarang berbentuk harimau, sulbi dan
ekornya adalah Pulau Madura yang telah mulai putus oleh selat. Seperti juga
putusnya pulau-pulau kecil di bagian timur, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores dan
seterusnya. Dan Jakarta terletak pada tengkuknya."
"Wah . . . wahhh-! Berarti beban atau tanggung jawab, dong," ulas Darmawan.
"Jangan ngoceh saja, nama Jakarta asli pun, barangkali kau tak tahu, ayo!"
Mastery menantang. "Sunda Kelapa!"
"No,. . . ," sahut Mastery.
Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jayakarta____!"
"Gundulmu____!"
"Batavia ....!' "Lebih gundul' lagi," potong Mastery, "Yang betul adalah Padang Gambir."
"Aneh . . . !!!" dongak Darmawan.
"Itu sebabnya ada stasiun Gambir. Goblok amat sih, lu!"
Hasbullah yang merasa memperoleh inspirasi, cepat memotong.
"Ini ilmu tua . . .!" ucap Mastery meneduhi Darmawan dan Hasbullah. "Di bawah
kota ini pun ada lelembutnya."
"Akh . . kuno! Itu kuno . . . !" tuding Darmawan sambil mematahkan puntung rokok
Marlboro-nya ke asbak. "Rokokmu saja dari Amerika, mana bisa lagi kau memahami pulau kelahiranmu
sendiri!" rutuk Hasbullah.
Mastery mengatakan lelembut Jakarta adalah Mbah Sambar Angin. Karena itu
penyakit penduduk Jakarta kebanyakan berasal dari angin, muntaber, influenza,
perut gembung dan banyak buang angin. Orang lain yang ikut mendengarkan
pembicaraan tiga sekawan aneh itu, jadi ikut-ikutan juga tertawa mendengar
penyakit terakhir penduduk Jakarta adalah buang angin. Sebagian pengunjung yang
semula sedikit kesal karena keributan pembicaraan mereka bertiga, jadi ingin
ikut mendengar, apakah itu dongeng......atau legenda .. . atau memang ada
benarnya. "Pantas Menado ceweknya cakep-cakep," renung Darmawan, "Culabesi besi putih
stainless steel rupanya."
"Mirip Sunda itu," Hasbullah menukas.
Mastery tersenyum karena imajinasi kedua temannya terbuka sendiri, dan ia
mengetengahi, "Sudah itu besi baja yang ada magnitnya pula lagi!"
"Kami Aceh, kenapa tak kau sebut, Teri!"
"Akhhh . . . kamu itu kan kepala ular berbisa! Itu makanya namanya Ule Ulheu,
kepala ular. Jadi cewek kamu biar cantik, ada rencongnya, berbahaya!"
Ketika itulah Mastery merasakan tubuhnya memberi tanda lain lagi.
Kerongkongannya terasa seperti ada sesuatu yang akan termuntah.
"Kau sakit" Mungkin terlambat makan, Teri," tegur Hasbullah.
"Tidak . . . tanda seperti ini selalu datang, jika aku terancam!"
"Maksudmu, terancam siapa" Penembak misterius, barangkali," Darmawan yang urakan
kembali berkelakar. "Hampir sama, tetapi yang ini dari alam lain!" sambung Mastery, "aku harus pergi
sekarang juga!" "Sedang dalam keadaan begini?" Hasbullah mulai tersimak.
"Kalau mau ngantar, boleh," kata Mastery mulai tersendat.
"Kalau memang membahayakanmu, kami akan mengantar!" Darmawan jadi ikut mulai
berperha-tian. "Nyawaku yang menjadi taruhannya!" rintih Mastery.
"Ayo ... ayo .. sekarang juga! Ayo .... Wan ... pegang dia. Kita pakai satu
mobil saja," usul Hasbullah.
"Nanti mogok. Sudah kadaluarsa, sih," Darmawan mengulas.
"Nyatanya dia pakai itu ke seluruh pelosok," Hasbullah membopong ketiak kanan
Mastery. Darmawan di sebelah kiri. Sampai di mobil, Mastery langsung tergeletak
di jok belakang, dengan sikap seperti akan muntah-muntah.
"Ayo, ini minyaknya irit. Tak usah singgah ke galon lagi!"
Mobil kecil meluncur dengan kecepatan sedang. Hampir 4 jam, pada pukul 11.30,
mereka baru tiba di Pelabuhan Ratu. Langsung menuju ke tempat Hyang Santri.
Mastery disambut Hyang Santri. Dia mengatakan bahwa pukul 8 pagi tadi gelombang
ether telah membawa berita itu kepadanya. Rasanya seperti dari Pantai Selatan,
di bagian lebih ke timur Pelabuhan Ratu.
"Ujung Genteng, Hyang!" ucap Darmawan yang merasa apa yang ditanggung Mastery
bukan main-main lagi. "Lebih ke timur lagi," ujar Hyang Santri, "tetapi sudahlah. Kita kan tidak
mengundang." Hyang Santri masuk ke dalam kamar yang kelihatan digunakannya khusus untuk
ibadah. Kemudian ia keluar dengan menjinjing sebuah sajadah, kelihatan ada
beberapa aksara tersulam di bagian kepala tempat bersujud.
"Cepat pulang, sebelum malam. Dan sesudah isya, tidak boleh berada di luar
lagi!" perintah Hyang Santri, "Hyang akan mencoba apakah ia dapat membela diri
sendiri sekarang. Karena sekarang tak sempat mengajarkan kepadanya, bawa pita
kaset ini pulang. Di dalamnya ada tiga rangkup doa, yang disebut doa tiga kali
tujuh untuk menahan itu."
"Bagaimana kalau dia belum dapat menghafalnya, Hyang?" susul Hasbullah, yang
tiba-tiba seperti telah akrab sekali dengan orang tua yang baru dikenalnya itu.
Sifat pengayom dan kebapaannya sangat terasa. Sungguhpun ada sedikit kerut di
pangkal hidung dan di sudut mata orang tua itu ada tanda-tanda, bahwa ia juga
bisa marah luar biasa. "Aku akan mengawasinya dari jauh, tanpa membantu!"
ucap Hyang Santri bersikap tidak akan memberikan wejangan lagi. Dia diam berdiri
menghadap sejajar dengan Gunung Gendokan Kuda Sembrani, di sebelah kiri teluk
Pelabuhan Ratu. Seolah-olah di sana sedang bersiap-siap suatu kekuatan yang akan
datang malam ini juga. Di
tempat yang rupanya telah dikunjungi Tuan Wulungan lebih dahulu.
Sesuatu peristiwa bergoncang hebatnya mahligai kerajaan Buraksa, kelihatannya
Pandito berilmu hitam itu sedang mengemasi dirinya. Karena itu Tuan Wulungan
dikendalikan alam gaib yang penasaran, mencari kekuatan lain dari salah satu
gunung di pantai Selatan.
Melihat Hyang Santri kelihatan seperti tidak lagi memerlukan kehadiran mereka,
Hasbullah dan Darmawan yang tiba-tiba telah ikut terlibat dengan perjalanan
Mastery, dengan tergopoh-gopoh melarikan Mastery ke tempat kostnya di Jakarta
Selatan, di daerah Tanah Kusir. Dalam perjalanan tak ada yang aneh. Selain mobil
kecil itu terasa berat sekali. Seolah-olah di atas atap kendaraan itu, ikut
penumpang lain yang tidak kelihatan oleh mereka.
Sementara Mastery tetap tertengadah kepalanya ke lengkungan langit-langit mobil
itu. Ibu tempat kost Mastery, selama ini memang sudah merasakan sedikit keanehan pada
diri Mastery. Tidak bekerja, dan selalu mendapat kiriman dari Palembang, tetapi
terkadang sibuk dengan sesuatu urusan yang tidak jelas kegunaannya.
"Mengapa lagi dia, dan, anak yang mengantar ini, siapa?" tanya ibu kost
mengiringkan mereka membawa Mastery masuk ke kamar.
Hasbullah menerangkan dengan singkat, siapa mereka.
Dan Darmawan menunjukkan kartu identitas dirinya.
Kebetulan pula ibu kost akan mengunjungi kakaknya malam itu di Suralaya. Jadi
rumah diserahkan kepada mereka bertiga.
Darmawan bertugas membeli nasi bungkus karena ibu kost tidak meninggalkan
makanan yang sudah dimasak, menyangka Mastery tidak akan pulang.
'Apa perlu kami beri tahu Nelly!" ulas Darmawan.
"Jangan!" sahut Mastery cepat. Ia minta didudukkan di atas sajadah yang
diberikan Hyang Santri siang tadi.
Hasbullah yang ingin mengetahui apa isi pita kaset tadi, segera memutarnya di
taperecorder kecil kepunyaan sendiri.
Yang biasa digunakannya untuk mewawancarai orang-orang tertentu, yang
dianggapnya bisa memberikan bahan-bahan berita penting.
Dengan jelas zikir itu terdengar. Tubuh Mastery mengerut seperti ulat
tersinggung batu panas. Mulutnya megap-megap menghirup udara pengap. Sedangkan
tangannya terkembang seperti menahan sesuatu yang ke luar dari dalam pita kaset
yang sedang berputar perlahan itu.
Pelan-pelan reaksi menegang itu berkurang. Sampai Mastery agak sadar, dan
menyadari bahwa ia telah berada di rumah.
"Sebaiknya kalian tak usah ikut bermalam di sini!" ucap Mastery kemudian.
"Ibu kost tahu bahwa kami bersamamu," sambut Darmawan, "jika kau cidera
bagaimana" Apa kami tidak disangka terlibat?"
"Kami akan berjaga-jaga di kamar ibu kost, yang di depan!', usul Hasbullah.
Sejak pukul 9.00 malam, Mastery telah mulai menghafal zikir di dalam pita itu.
Untung lafaz aksaranya lambat dan
jelas, mengumandangkan suara Hyang Santri. Menambah keyakinan di dalam diri
Mastery. Akan tetapi masih ada saja suara membentak-bentak dari dalam dirinya.
"Kau sangka semua itu ada gunanya . . . Sejak zaman manusia pertama menginjakkan
kakinya di sini, telah ada janji . . . .Itu yang membuat kekuatan manusia
berilmu seperti tak ada gunanya menghadang jalan kami!''
Mastery berusaha tidak mengacuhkan godaan itu.
Sungguhpun iman di dadanya bergoyang juga mendengar ancaman gaib itu.
Kemudian suara itu pindah lagi dari atas kepalanya ke arah belakang.
"Wali-wali dahulu pun tak mampu membendung kekuatan kami. Sehingga mereka hanya
bergerak di tempat sebatas kami tentukan!"
"Tetapi, apa salahku?" pekik Mastery dengan kepala tertengadah.
"Karena darahmu berisi misi almarhum kakekmu dahulu!" sahut suara gaib itu lagi,
dilatarbelakangi suara-suara banyak menggerenyam.
Dari pukul 11 lewat, Mastery telah beberapa kali shalat sunat. Kemudian duduk
menanti dengan seluruh indera tubuhnya bersiap. Darmawan dan Hasbullah, di kamar
depan, merasa terkunci oleh jepitan ether di sekeliling mereka. Membuat mereka
berat untuk melangkahkan kaki ke luar kamar.
Mastery mulai mengiringkan zikir dan ayat yang berbunyi di pita kaset itu. Ia
mulai hafal sepotong-sepotong.
Padahal biasanya tidak secepat ini ia mampu menghafal sesuatu.
Pertama sekali dirasakan Mastery bubungan rumah bagai bergoyang. Semula
dikiranya hanya perasaan semata. Akan tetapi sudut matanya melihat sangkar
burung perkutut itu juga bergoyang seperti dilanda gempa.
Kemudian terdengar tujuh kali bunyi siulan panjang mengelilingi rumah.
Dan bunyi pegangan daun pintu diputar ke atas ke bawah, seperti ada orang akan
masuk dan minta pintu dibukakan. Hasbullah yang berada di kamar depan juga
mendengarnya. Darmawan, yang rupanya dari luar bernyali kuat, pucat dan
sebentar-sebentar masuk kamar mandi untuk buang air kecil.
Ada sesuatu benda berat yang naik ke atas atap seng.
Terdengar atap itu bagai digoresi oleh pecahan-pecahan kaca tajam, atau seperti
kuku menggesek kaleng. Beberapa kali nyaris mencapai bubung rumah, tetapi
melorot kembali ke bawah. Di bagian belakang rumah, terdengar benturan-benturan
pada dinding luar, seolah-olah ada kerbau yang sedang menggesek-gesekkan
badannya ke pohon kayu. Untung semua jendela berterali besi di bagian dalam.
Burung sintil yang kata orang berbunyi jika ada orang akan mati, menciap-ciap
jauh di ujung pohon angsana.
Sungguhpun" burung itu badannya hanya sebesar empu jari tangan, tetapi
lengkingannya mengandung roh pembawa maut, mengumandang berkilometer di daerah
Tanah Kusir. Ketika itu sebenarnya ada tujuh harimau siluman yang sedang mengelilingi rumah
itu. Dua ekor sedang berusaha masuk dari atas lubang rumah.
Mastery bersikap seperti orang akan bersilat. Di dalam dirinya, terdengar lagi
suara kedua yang menekan kesadaran aslinya, "Masuk .. . cepat! Dan gigit
tengkuknya, . . . kita bawa malam ini juga!"
"Coba . . . cobalah angkat! Cobaa ...!" hardik kesadaran Mastery disertai
gerakan seperti mendudukkan dirinya, lebih rapat ke permukaan lantai di atas
sajadah. Beberapa kali tubuhnya tersedot oleh kekuatan gaib.
Hampir terangkat dari sajadah. Akan tetapi sajadah itu bagaikan berubah menjadi
lintah besar yang melekat erat sekali, tidak mau lepas dari lantai kamar.
Beberapa kali terdengar suara meng-gelepak. Sajadah itu akhirnya terangkat lalu
kembali jatuh terhampar bersama Mastery di atasnya. Dan setiap itu pula Mastery
mengatur duduknya kembali menghadap Kiblat.
Suitan yang terakhir mendengingkan telinganya. Seperti peluit uap sebuah pabrik
didekatkan untuk merusak gendang alat pendengaran itu. Mastery menutup
telinganya dengan kedua pangkal lengan yang dirapatkan!
Didahului oleh sebuah ledakan kecil di lantai kamar, muncul kepala jamur merah
sebesar ujung peluru. Mengeluarkan asap setipis asap puntung rokok. Mata Mastery terpukau oleh tenaga
jamur yang kelihatan lemah tetapi memecahkan ubin lantai itu. Mengorak cepat
seperti payung. Ruangan kamar segera dipenuhi bau yang aneh.
Hampir sama dengan pedas udara di tempat orang sedang menempa barang besi dengan
api berbahan bakar batu bara.
Kemudian dari beberapa lubang angin berbentuk bintang dan dari celah-celah daun
jendela, meresap tali asap bagai cemeti putih berjela-jela, dan berputat-putar
di depan Mastery duduk. Hampir sama dengan gumpalan asap yang dijalari cahaya senter, asap itu menjelma
menjadi bentuk tubuh perempuan tua yang mata kanannya picak sebelah.
Mulutnya yang setengah terbuka, berlinang gelap, dengan bibir berkerut-kerut
merah darah. "Pasti si Hyang Santri lagi yang menghalangi!" ucapnya sambil menudingkan
telunjuk kanan berkuku panjang.
"Mengapa dari Gunung Salak ia sampai di Pelabuhan Ratu"!"
Mastery mendengar makhluk itu menyebut nama Hyang Santri dengan jelas. Ketika ia
tertegun, nenek tua itu maju selangkah lagi. Namun terhenti kembali begitu
Mastery melafazkan zikir. Nenek tua itu bertahan dengan tongkat, yang kelihatan
terbuat dari batu pilihan berbentuk akar hitam.
Pikiran Mastery menyimak kejadian. Ada yang mengatakan bahwa Gunung Salak adalah
induk gaib Pelabuhan Ratu. Apakah ada jalan di bawah tanah dari gunung itu
sampai ke Pelabuhan Ratu, tempat Hyang Santri"
Di atas atap masih terdengar sosok-sosok berat, melesot-lesot lalu melorot
kembali. Si nenek mengerahkan seluruh tenaganya sehingga dalam wujud asap putih
bergetar, ia maju untuk merekah kepala Mastery yang masih tetap tetunduk tak
mampu mengelak. "Sekali ini aku tak akan kalah!" ucap si nenek, dan tangannya terus bergerak ke
ubun-ubun Mastery. Akan tetapi entah dari mana datangnya, sebuah benda seperti
pedang lentik berbentuk hampir sama dengan bulan sabit, melayang seperti
kitiran, mengeluarkan kerdipan cahaya seperti pelangi. Diiringi bunyi mendesis
yang amat tajam, menyebarkan angin dingin merasuk ke dalam persendian tulang,
putaran pedang seperti kitiran kencang itu menghadang kedua cakar si nenek yang
sudah akan menyentuh kepala Mastery.
Nenek tua itu terpekik. Kedua telapak tangannya yang tadi seperti tabung kaca TL
yang bercahaya pijar, kini
ditulari cahaya kitiran itu, sehingga jari-jemarinya menggeletar keras. Lalu
mendadak tergenggam dengan kuku-kuku berpatahan, seperti bara rapuh. Ia
melenting, melentur seperti tepung pulut yang drtarik dari lantai.
Terhirup ke lubang angin, diiringi'beberapa benda berat yang berjatuhan dari
atas atap. Nenek penguasa Gunung Pamenpeuk melejit. Membawa tujuh harimau silumannya yang
gagal menjemput Mastery. Kamar yang tadinya seperti udara dalam ketel uap asam arang, berangsur-angsur
melegakan napas. Mastery duduk dengan hampir seluruh baju di badannya lengket
oleh keringat. "Mastery . . . Tery . . . dia sudah pergi . . . !" kata Darmawan, "kita
berhasil!" Ucapan kita dalam seruan Darmawan sebagai pernyataan bahwa ia telah
ikut memahami kejadian gaib itu. Padahal dulunya segala pengalaman Mastery itu
dianggapnya pengalaman orang sinting di zaman teknologi.
"Kau tidak apa-apa"!" bujuk Hasbullah, yang melihat ujung hidung Mastery
digantungi tetesan keringat yang belum lepas terjatuh ke pangkuannya.
"Pamengpeuk . . . ," desis Mastery, " ke sana pun Tuan Wulungan minta bantuan
untuk meng-habisiku."
Seorang laki-laki sejati tak akan mudah meneteskan air mata. Selain air mata
tobat atau ketika bayi di saat minta susu ibunya didekatkan. Akan tetapi saat
ini, air mata Mastery tergenang. Tidak sampai menetes, sehingga menguap oleh
panasnya aliran darah. Mastery hanya memikirkan, adakah orang lain seperti dia, didatangi utusan yang
tidak kepalang tanggung untuk mengambil jiwanya" Apalah arti dirinya seorang
dibandingkan dengan orang lain yang berjuta-juta" Apakah
mereka juga mengalami apa yang dialaminya sekarang"
Kalau tidak, mengapa" Mengapa ia yang selalu dituju melalui rantai-rantai sebab
akibat secara tak langsung"
"Mastery," ujar Darmawan, "Aku akan mengetengahkan kejadian ini sekiranya ada
simposium kaum spiritual dan paranormal!"
"Jangan!" ulas Mastery, "mungkin sekali kejadian seperti ini tidak terbuka
kepada setiap orang-orang waskita.
Bukankah maling kecil-kecilan, tidak mengetahui tipu muslihat perampok bank"
Apalagi taktik tipu-muslihat mafia menguasai sebuah negara!"
*d*w*
Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
VII TIGA minggu lagi akan terjadi gerhana matahari total di Pulau Jawa. Dari
berbagai negara, Asia dan Eropa, pengejar-pengejar peristiwa astrologi di tengah
jagat makrokosmos, telah datang dengan peralatan mereka yang mutakhir. Dalam
harian dan majalan, diberi petunjuk-petunjuk, bagaimana mengamati gerhana itu,
tanpa harus memandang langsung sebab berbahaya bagi mata.
Darmawan merasa dirinya sangat terpanggil. Karena gerhana itu akan tegak lurus
di daerahnya Jawa Tengah. Ia membawa sebuah bola dunia yang berisi karet busa.
Bukan bola dunia yang biasanya digembungkan dengan tiupan angin.
"Aku mempunyai daya imaginasi fantastis," ucap Mastery, "coba kita lihat apa ada
maknanya semua yang kuperbuat ini." Dia menusukkan jari-jari sepeda yang telah
diruncingkan ke setiap titik gerhana total matahari di dunia.
Pertama-tama ditembusnya Panama dengan jari-jari sepeda itu. Ujung jari-jari
sepeda itu ditusukkannya ke dalam. Dan menembus Jawa Tengah dari bawah bola
dunia. Kedua, ditusuknya titik gerhana total matahari Kenya (Afrika Tengah), sehingga
ujung jari-jari sepeda itu ke luar di Jepang.
Ketiga, tusukan jari-jari sepeda masuk di Mesir, ke luar di daerah Sungai Gangga
di India, sebagai pusat agama Hindu.
Hasbullah, ikut menyimak bola dunia di depan mereka.
Ada enam ujung jari-jari sepeda yang ke luar dari bulatan dunia itu. Yang hampir
tepat memotong belahan dunia dan asnya, adalah tusukan melalui Panama dan tembus
di Jawa Tengah, hampir di dekat Borobudur.
"Mungkin ini yang dimaksud dengan Wisnu bertangan enam, Teri," ucap Darmawan
yang seolah-olah menemukan rahasia angka Porkas.
"Entahlah!" rengut Mastery, "tetapi belum ada ilmuwan yang mengatakan begitu.
Kita ini terkadang belum berani mengatakan sebelum ada orang lain lebih dahulu
mengatakannya." "Mungkin kita yang menemukan dan menetapkannya!"
tukas Darmawan. "Akh, kita kan cuma orang urakan, anak singkong!"
rutuk Hasbullah pula, kembali mengawasi keenam jari-jari yang mencuat dari bola
dunia itu. "Nah dari sini kan kelihatan, sesudah gerhana total matahari di Jawa, akan
disusul oleh gerhana total matahari di Panama, demikian juga berikutnya-menurut
jalan jari-jari," kata Darmawan tiba-tiba mengagetkan.
Tiba-tiba terdengsfr ketukan pintu, dan suara perempuan memanggil.
"Seperti suara Nelly," desis Mastery menerka.
"Setiap laki-laki memang hafal sekali suara ceweknya,"
ujar Darmawan mengganggu dan melangkah ke ruangan depan membukakan pintu.
Muncul Nelly Ngantung, yang kata Mastery seperti besi putih, karena asalnya dari
Kepulauan Culabesi. Dengan dandanan marak dan memikat sekali, membuat Darmawan
melongo sejenak. Rambut diekor kuda, mencuat pangkalnya ke atas, melengkung
menjauhi kepala, dan menyentuh tengkuknya yang putih terbuka. Baju berbunga-
bunga merah besar, dengan dasar putih. Ikat pinggang berwarna biru gelap.
"Ke mana saja sih, kok tidak muncul-muncul?" tegur Nelly kepada Mastery., yang
sedang menghadapi bola dunia.
"Ini, sedang belajar ilmu bumi, seperti di SMP dahulu,"
Hasbullah yang menyahut. "Aku lebih suka jika ayahmu mengejar aku dengan parang, Nel," ucap Mastery,
"daripada apa yang kualami sekarang."
"Ah, sudahlah!" Darmawan menyisip, "penampilan cerah ini, tidak boleh dijadikan
seperti di rumah duka. Mari kita rencanakan riset kecil-kecilan terhadap gerhana
matahari total yang akan datang beberapa hari lagi ini."
"Bagaimana kalau kita berekreasi di Tanjung Kodok?"
usul Mastery. "Aku ikut!" potong Nelly Ngantung menggayuti bahu Mastery. Tiba-tiba Darmawan
tercenung, dan menyahut. "Sekarang aku hampir mengerti mengapa kembang Wijayakusuma yang dilalui gerhana
sekali dalam 360 tahun, berlainan warna bunganya daripada di daerah lain."
"Eh, tiba-tiba matamu jadi terbuka, Wan," oceh Hasbullah yang giginya masih
meninggalkan bekas mengunyah sirih di masa kanak-kanak.
"Habis, kalian orang seberang banyak maunya!" potong Darmawan.
Mastery hanya menertawai kedua kawannya yang saling bertengkar itu. Akhirnya
mereka sepakat untuk menempuh route yang dikatakan Mastery. Mereka mempersiapkan
teropong biasa yang ditutupi dengan film gelap. Serta kaca pembesar untuk
membiaskan gambar gerhana ke permukaan air. Akan tetapi sebelum itu, mereka akan
meminta pendapat Hyang Santri lebih dahulu. Mungkin ada sesuatu yang berguna
untuk didengar sebagai wejangan.
Sungguhpun orang tua itu tidak mempunyai titel kesarjanaan. Pada malam Selasa
Legi mereka telah berada di pondok Hyang Santri. Demikian petunjuk rasa badan
Mastery yang harus diikuti mereka.
Ternyata niat Buraksa akan tobat dan kembali seperti ajengan semula, mendapat
tantangan hebat dari para gaib yang membina, dan mengutusnya. Sehingga kaki
Gunung Cereme dan gua Buraksa terancam akan diruntuhkan mereka. Dan Buraksa akan
tertimbun hidup-hidup di dalamnya, sebagai tumbal.
Kini gua menggelegar, dan Gunung Cereme
mengeluarkan gas ke lereng-lerengnya. Mengendap menjadi uap racun. Terus turun
menuju ke gua tempat Buraksa bertapa.
''Buraksa! Buraksa! Buraksa!" sepanjang lembah di luar gua, dipenuhi suara-suara
beradiasi dan bernada tinggi, bagai menusuk benak Buraksa.
"Setiap makhluk, harus seperti pion-pion anak catur pada tempatnya masing-
masing. Kau telah memilih sendiri berdiri menjadi pion-pion anak catur kami!
Mengapa kini kau mau merusak dirimu sendiri" Sedangkan kau ditugaskan untuk
membayangi Raja dan Ratu di hadapanmu! Untuk dimakan atau memakan!"
"Benih sebesar biji bayam di dadaku diguit Hyang Santri," jawab Buraksa.
Terdengar tawa-tawa besar yang gemanya menggetarkan lereng gunung. Seperti tawa
raksasa di dalam adegan pertunjukan wayang orang. Kemudian terdengar lagi
kutukan, "Alangkah dungunya kau, Buraksa, memotong tanganmu sendiri! Bukan cacat
yang dibanggakan sebagai pahlawan, tetapi sebagai pengecut! Kau sangka Tuhan
akan mengampuni tanganmu yang penuh dosa itu?"
Buraksa memegang tangan kanannya yang berbalut perca kain kafan kuburan, dan ia
menyahut, "Hyang Santri kuat sekali. Dan mengapa laki-laki itu sampai ke sana"
Dia menurunkan zikir Manunggal Sadak kepada laki-laki itu."
"Si Antasias jahanam itu yang membawanya! Pohon kayu tempatnya tinggal telah
kami cabut dan kami buang ke gunung! Dan makam Syeh Jambak telah kami pijak-
pijak sebagai pembalasannya!" suara kutuk itu seperti guntur di siang hari.
Penduduk di kaki Gunung Cereme melihat mendung seperti akan membawa hujan.
Padahal sebenarnya makhluk gaib sedang mengerubuti Buraksa yang tertegun di
persimpangan jalan hidupnya.
Selama seminggu, kemudian dan ditambah seminggu lagi, Hyang Santri menyuruh
mereka berempat meminum jamu kelapa hijau, yang disebut juga oleh orang waskita
jamu logam yang ada di matahari.
"Air apakah yang ditarik matahari naik paling tinggi ke atas pohon?" ucap Hyang
Santri pada suatu kali. Keempatnya termenung. Darmawan yang cepat
menyahut. "Air kelapa, Hyang!"
"Salah kalau yang digunakan hanya airnya saja, sebab air itu akan menyedot
kekuatan logam di tubuh mereka.
Karena itulah olahragawan tidak mau meminum air kelapa.
Mengilukan tulang, dan melemahkan otot!" ulas Hyang Santri lagi. Selanjutnya
Hyang Santri mengatakan kelapa itu ada beberapa macam, selain kelapa hijau,
masih ada kelapa gading dan kelapa tembaga, yang dahulunya mudah dijumpai di
halaman-halaman kerajaan silam.
Seminggu setelah mereka meminum Jamu Logam Kelapa Hijau itu, tubuh mereka jadi
kemerah-merahan. Nelly Ngantung bagai berubah dari tesi putih yang melebur kembali menjadi besi
baja jerkutub magnit. Darmawan, gatal-gatal seperti diserang penyakit campak,
karena ada sesuatu yang menjadi netral di dalam darahnya. Hasbullah yang
terkenal kuat makan cabai rawit, turun temperamennya yang biasa tinggi dan
penaik darah. Kodrat menentukan, Buraksa datang kembali
memperbarui misinya. Dengan bantuan dari induk sentral muslihat yang mengatur
segala perjalanan hidupnya yang hitam. Namun jelas kelihatan bersusah-payah ia
berusaha menempati raga Mastery. Mungkin karena telah bertambah penyekatnya
dengan Jamu Kelapa Hijau ciptaan Hyang Santri.
"Kurang ajar!" rutuk Buraksa terengah-engah, "setelah kupikir-pikir panjang, aku
menyesal memotong tanganku sendiri, Santri! Kali ini aku akan membunuhmu dan
anak buahmu!" Hyang Santri, yang kelihatan tidak terlalu terkejut, mungkin karena telah ada
Sirullah alam gaib sampai kepadanya bahwa hal ini seperti harus terjadi kembali,
menyahut, "aku tahu, kau datang dengan segala majikanmu!"
Ketika itu udara di sekeliling gubuk Hyang Santri seperti bertambah tekanannya
daripada biasa. Menyesakkan dada, seperti berada di dalam tekanan air beberapa
ratus meter di permukaan laut.
Segala yang bergoyang, terpaku. Sampai-sampai mulut pun sulit untuk dibuka.
Sehingga Nelly Ngantung hanya tersandar di dinding dengan mata terbelalak. Dia
sadar dan menangis, tetapi anggota badannya tak dapat digerakkan.
Sedangkan Darmawan dan Hasbullah agak bertenaga sedikit. Tetapi juga tidak dapat
berdiri dan membantu Mastery dengan zikir ataupun doa yang dipunyai mereka.
Hyang Santri kembali menusukkan telunjuk jari kanannya ke kening Buraksa yang
sudah berada di dalam raga Mastery, dengan ucapan, "Mungkin telah ditakdirkan
engkau menjadi ajengan yang munafik pengisi kerak neraka!"
Buraksa terdongak, dan sedikit meringis. Kemudian berusaha tertawa amat keras,
dan memekik sambil seperti meraup tenaga dari atas. "Mari ----mari kita
hancurkan Hyang Santri dan laki-laki yang tidak mau mengikuti restu kita ini!"
Dua kali kelihatan Mastery bertitisan Buraksa meraup tenaga dari alam
makrokosmos. Gayanya seperti
mengaduk-aduk seluruh langit. Kemudian memintal dan menekankan ke dalam ubun-
ubun. Wajah raga Mastery jadi berubah. Besar, kukuh dan merah kehitam-hitaman.
Ketika itulah Mastery, dengan tubuh seperti jago karate kelas tertinggi,
menerjang ke arah Hyang Santri yang sedang duduk bersila. Akan tetapi orang tua
itu masih saja tidak bergeser sedikit pun menerima serangan seperti ini.
Perutnya ditekan raga Mas-terv dengan kaki kanannya.
Sedangkan leher orang tua it j, bagai hendak dicekik dengan dua tangan serta dua
ibu jari menegang siap menekan kerongkongan.
Akan tetapi herannya, kedua ibu jari itu tak dapat menyentuh leher Hyang Santri.
Sehingga bagai terkatung-katung saja beberapa sentimeter di permukaan kulit
orang tua itu. Sekuat tenaga Buraksa menekankan tangannya.
Sehingga kedua lengan badan Mastery menggeletar keras.
"Kau telah berlebihan menghina hamba Allah dengan kakimu kepadaku!" ucap Hyang
Santri. "Sedangkan Tuhan pun tidak berbuat demikian kepada hambanya!"
Hyang Santri membukakan kelima jari tangan kanannya.
Pelahan-lahan menghadapkan telapak tangan terkembang itu kepada Buraksa.
Beberapa senti lagi akan sampai, kelima jari itu tertancap cepat sekali di dada
raga Mastery. Dada Buraksa menghentak-hentak. Perutnya bergelombang mengempis-mengembung. Dan
akhirnya dia muntah-muntah. Bersamaan dengan itu raga Mastery terjajar ke
belakang. Berguling-guling seperti jatuh dari tempat yang tinggi. Terdiam,
dengan lendir kental di sudut bibirnya.
Tiba-tiba ia bangun lagi dengan warna kulit kepucatan.
Kembali ia duduk seperti semula, dan berkata, "Beri aku kesempatan sekali lagi
untuk membunuhmu. Kalau aku kalah. Aku akan pergi, dan menerima segala yang akan
mereka perbuat kepadaku!"
"Silakan saja . . . !" ucap Hyang Santri tawakal, duduk bersila lagi seperti
biasa. Buraksa kembali duduk seperti duduk Yoga, mengundak-undak udara di atas
kepalanya dengan jari-jari tangan terkembang. Seolah-olah tenaga itu diambilnya
dari alam kosong, yang menjadi pusat , kekuatan yang terhimpun pada satu titik.
Kemudian ditekankannya ke ubun-ubun seperti tadi. Kini raga Mastery terlihat
lebih mengerikan bentuknya. Merah seperti tembaga dibakar. Matanya terbelalak,
sehingga kelihatan lebih banyak putihnya.
"Nah .... sekali ini, tamat riwayatmu, bersama-sama anakmu, Hyang Santri."
Hyang Santri tidak menyahut. Hanya mengubah letak duduknya menjadi duduk Alip.
Yakni dengan ujung tulang sulbi terpacak ke lantai. Buraksa datang dengan besar
tubuhnya seperti beruang es. Membuat permukaan tanah bergetar oleh langkahnya.
Karena ditumpangi kekuatan-kekuatan gaib yang sebelum-sebelumnya tidak semudah
itu mau turun tangan menghadapi persoalan seperti ini.
Nelly Ngantung tersandar dengan kepala lemas terkulai.
Darmawan dan Hasbullah berpegangan tangan agar tidak roboh. Sekali ini raga
Mastery lebih keras menekankan kakinya ke perut Hyang Santri. Dan kedua
tangannya yang mencekik, sekarang sampai menyentuh leher Hyang Santri.
Buraksa tertawa sombohg, dan menengadahkan kepalanya sejenak sebelum berkata,
"Belum ada yang berhasil lepas dari restu kami, hei Santri! Karena demikian
janji manusia ketika pertama kali menginjakkan kakinya di sini!"
"Aku tak ikut dalam janji seperti itu!" dengus Hyang Santri yang merasa
kerongkongannya bagai di dalam genggaman, dan perutnya diinjak keras agar roh
cepat melompat dari tubuhnya yang tua.
Burung srintil, melengking-lengking di cabang pohon tinggi. Pertanda ada roh
yang akan ke luar dari raga seseorang. Dalam saat regang-meregang seperti itu,
perlahan-lahan kaki Hyang Santri terangkat mendekati perut raga Mastery. Lalu
dengan zikir Manunggal Sadak, kaki itu ditancapkannya ke permukaan pusat Buraksa
di tubuh Mastery. Buraksa tersentak, tetapi kerongkongan orang tua itu masih di
dalam genggamannya. Hyang Santri terpengaruh juga oleh kekuatan yang menindasnya
itu. Di saat-saat mayanya hampir hampa, kepalanya tertengadah ke atas. Hanya
bibirnya saja yang tinggal bergerak-gerak tanpa suara. Hanya sebuah gerakan lagi
tenaganya tersisa. Yaitu, memutarkan telapak kakinya di perut raga Mastery.
Dan begitu dilakukannya, Mastery merasa seperti ada akar-akar putus di dalam
perutnya. Sedangkan di bawah bumi tempat mereka bertarung, seperti ada tebing-
tebing yang runtuh. Dan suara-suara makhluk berlarian hilir-mudik sambil
melolong-lolong memekik panjang. Persis seperti huru-hara penduduk di lereng
gunung yang sedang meletus layaknya.
Raga Mastery melentik, dengan leher mekar oleh urat-urat nadi yang tegang karena
darah mengencang. Malah bagaikan akan meletus di beberapa tempat. Ketika itulah
Hyang Santri melakukan suatu gerakan kecil seperti tidak ada artinya. Dengan
telapak kakinya, ia bagai menekankan suatu patok ke dalam pusat raga Mastery.
Akan tetapi tekanan yang kelihatan tidak berarti itu, mengakibatkan raga Mastery
seperti lumpuh. Kedua lengannya terlepas dari kerongkongan Hyang Santri.
Terjuntai di bahu seperti pelepah pisang patah. Tubuhnya terlipat di tanah.
Bergulung-gulung bagai jatuh dari langit.
Lalu memuntahkan cairan bening berbau anyir. Akhirnya ia terkapar, bagai
kehilangan tulang penyangga badan.
Perlahan-lahan Mastery bangun kembali. Ia duduk dengan tenang, dan menatap Hyang
Santri tanpa bernafsu seperti tadi lagi.
"Kami tidak kalah .... hanya segan kepadamu, Hyang Santri!" ucap seluruh tenaga
yang lumpuh di raga Mastery,
"Karena kau mengakui bahwa kami juga adalah makhluk Allah, yang menjadi pembawa
cobaan kepada manusia. Kami bawa mereka yang sesat dan ragu-ragu kepada Hukum-Nya, dan kau pun tidak
berhak untuk membela mereka, karena manusia bukannya malaikat yang patuh dan
tunduk kepadaNya." "Itu aku tahu, begitu pula seluruh hikmah di dalam kejadian ini," jawab Hyang
Santri lemah lembut, "dan aku sendiri bukan bermaksud mengalahkan kekuasaan dan
hak kalian. Aku pun bisa terhukum jika berniat demikian!
Pulanglah Buraksa, semoga doa orang di pulau ini dapat memohonkan ampun dosamu
kepada Tuhan. Karena bagaimanapun, asalmu dahulu manusia juga seperti kami ini!"
Mereka bersalaman dengan ujung jari tidak saling menyentuh. Dan bagaikan pesan
terakhir, Buraksa dengan himpunan seluruh penghulunya berwejang, "Sebaiknya,
janganlah laki-laki ini (menunjuk raga Mastery sendiri), berada di bawah lintang
gerhana matahari yang akan datang!"
Hyang Santri tidak sempat menyahut. Kekuatan di dalam tubuh Mastery sudah keburu
berangkat ke alam lain, dan menduduki kembali tempat petak catur yang telah
ditentukan Tuhan kepada diri mereka.
Tekanan udara kembali seperti sediakala. Nelly Ngantung menggoncang-goncangkan
bahu Mastery. Darmawan dan Hasbullah, menyimak ke sekeliling
halaman, seperti ada suatu rombongan yang baru berangkat meninggalkan tempat
itu. "Hyang, Hyang diapakan mereka?" tanya Darmawan yang tadi hanya bisa menyimak
Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan perasaan runtuh, apa yang hampir melumpuhkan orang tua itu. Hyang Santri
menyampaikan pesan, agar Mastery sedapat mungkin jangan menempuh route yang
dilalui gerhana matahari total 11 Juni 1983.
Mereka berempat jadi tertegun karena rencana mereka telah matang untuk
mengadakan riset kecil-kecilan di tempat yang lebih dekat dengan obyeknya.
"Hyang belum mendapatkan hikmah dari permintaan itu," tambah Hyang Santri.
"Sayangnya kami telah mempersiapkan perjalanan ini, Hyang," susul Darmawan yang
berniat singgah di kota kelahirannya, Jogjakarta.
"Aku juga belum pernah melihat Borobudur yang tekenal itu dari dekat," potong
Hasbullah pula. "Saya juga Hyang . . . ," suara Nelly Ngantung mengelus lemah.
Hyang Santri menyatakan, tentu ada hikmah atau kejadian lain di balik permintaan
mereka itu. Diikuti tentu ada baiknya. Akan tetapi sebagai makhluk Allah yang
ditunjuk sebagai khalifah di muka bumi, tentu saja manusia boleh mencari ilmu
tentang semua kejadian disebabkan kebesaran Allah!
Mereka berempat akhirnya memutuskan untuk pergi juga. Akan tetapi berpisah jalan
yang akan dilalui. Mastery bersama Nelly, satu mobil. Dan Darmawan dengan
Hasbullah yang lebih akrab disebabkan peristiwa itu, satu mobil dengan Darmawan.
Mastery dan Nelly memotong dari utara, langsung menuju candi Borobudur. Darmawan
dan Hasbullah melalui Gunung Serandil, menuju Kroya, baru mengikuti route
perjalanan ke Jawa Tengah.
Karena Hasbuljah ingin sekali melihat mana yang disampokan sebagai Gunung Aceh
itu. Sebelum berangkat mereka mencium punggung tangan Hyang Santri dengan perasaan
takjim dan terharu. Karena orang tua itu hanya dapat mengiringkan mereka dengan
doa saja. Dua hari kemudian, Mastery dan Nelly telah berada di Jawa Tengah. Borobudur yang
perkasa mencuat ke udara dengan berbagai misteri yang dikandungnya.
Sarjana-sarjana Jerman, Belgia, Belanda, Inggris, dan berbagai pelacak dari
seluruh pelosok, telah bertebaran dengan peralatan mereka masing-masing, siap
diarahkan ke langit. Di tempat akan terjadi gerhana matahari total.
Pelacak-pelacak Asia yang lebih pendek, terutama Jepang, lebih sigap, dan lebih
bernafsu kelihatannya karena daerah kepulauan mereka juga termasuk dalam
lintasan gerhana matahari total yang akan datang secara teratur tahunnya itu.
"Bang . . Mas . . .," ucap Nelly ketika mobil kecil mereka yang tak begitu
menarik, berhenti di arah utara Borobudur.
"Perasaanku kok lain, Mas?"
"Ayo, ... mari kita ke titik pusatnya yang lebih vertikal!"
ajak Mastery menarik tangan Nelly sementara segala alat-alat potret dan teropong
tergantung di bahu kirinya.
"Ke mana sih, Mas.*'
"Mendekati stupa induk!" tukas Mastery, "kau lihat, stupa lain memakai banyak
jendela dan ada patung di dalamnya. Stupa induk tidak memakai jendela tetapi
tentu ada patungnya juga, atau benda lain di dalamnya."
"Stupa kecil ada 72 buah, ya Mas."
"Ya, 73 dengan stupa induk yang seperti kubah itu!" ulas Mastery sembari
berjingkat-jingkat berdua menaiki tangga batu bersusun.
"Kata orang waskita, bangunan Borobudur ini juga menjadi pedoman kalender untuk
ribuan tahun!" "Begitulah," kata Mastery terengah-engah karena merasa sedikit lelah, menaiki
tangga sambil membimbing Nelly.
Waktu mereka memasuki bagian tingkat keempat candi Borobudur, belum lagi ada
pengawalan yang ketat. Sehingga mereka sampai mendekati tingkat kelima.
"Makanan kita cukup apa tidak?" tanya Mastery.
"Untuk tiga empat hari pun rasanya cukup. Ada ketupat, dan lontong ketan ...."
"Ah, ya, cukup .... air yang penting!" potong Mastery.
Mastery menanyakan pendapat Nelly tentang
penyusunan batu-batu candi yang sedemikian he barnya, melebihi kehebatan susunan
batu piramida Mesir yang polos saja tanpa ukiran kebudayaan masa silam yang
lengkap. "Kau pilih yang mana, Borobudur atau j>na mida,"
pancing Mastery. "Borobudur, tentu!"
"Karena peninggalan nenek moyang kita, bukan?"
Mastery menukas. "Juga karena memang lebih hebat, kok!"
Nelly mengatakan, bahwa udara mulai terasa berbeda.
Padahal gerhana, masih beberapa hari lagi. Mereka menerka-nerka, Darmawan dan
Hasbullah kira-kira telah sampai di mana.
"Paling-paling juga baru lewat Banyumas," terka Mastery.
"Sunyi ya, tak ada mereka berdua yang suka saling ngotot!"
"Apa perlu aku sekarang yang ngotot"!" Mastery merangkul pinggang Nelly yang
hanya sepelukan tangan kirinya. Nelly merasa aman dan terlindung oleh lengan
Mastery yang kukuh dan berbulu tersusun sedang itu. Nelly mengacungkan jari
tangan Mastery di hadapannya.
Mengatakan, ia suka melihat jari yang kukuh dengan ruas yang rapi. Dan tegaknya
seperti jeriji besi. "Jari direktur bank yang bagus," oceh Mastery, "bulat dan gendut-gendut lagi.
Pertanda jari orang berduit!"
"Tak jadi soal tak punya uang!" rengut Nelly. Dengan teropong di tangan mereka
mengawasi sekitar alam. Sampai sejauh beberapa kilometer, telah ada kemah-kemah
para pecinta alam, dan pelacak gerhana. *
"Mereka belum juga tampak," gelisah Nelly mengerutkan dahi.
Dua hari kemudian, kelihatan semakin ramai daerah di sekeliling Borobudur.
Karena diperhitungkan, di tempat itulah gerhana penuh terjadi. Sehingga matahari
hanya kelihatan bayangannya saja. Penjagaan sudah semakin ketat, karena semakin
banyak orang yang ingin berada di bawah titik vertikal gerhana penuh. Ketika
Darmawan dan Hasbullah sampai, mereka tidak bisa lagi bergabung dengan Mastery
dan Nelly. Hanya dengan teropong di tangan mereka melihat keduanya telah berada
di tingkat terakhir di dekat stupa induk yang perkasa itu.
"Bagaimana caranya, ya?" Hasbullah menanyakan cara agar mereka bisa bergabung.
"Akh, .... biarlah, dengan begini malah akan lain-lain pandangan yang akan
dilihat!!" Darmawan yang merasa
lebih tenteram dan merindukan daerah sendiri, menenangkan Hasbullah. Sehabis
gerhana besok, mereka akan singgah ke rumah neneknya di Kalasan. Hasbullah
tertawa membayangkan akan menyantap goreng ayam Kalasan.
"Coba kalau matahari tertutup terus, bagaimana?" Nelly berseloroh.
"Ya, manusia di bawah lintasan gelap pasti jadi heboh!"
ujar Mastery, mereka sama-sama tertawa, "tumbuhan akan kerdil, dan banyak lagi
akibat lainnya." Kata Nelly, kalau PLN akan mencabut aliran listrik di suatu rumah karena tidak melunasi rekening listriknya, maka si pemilik
akan membujukbujuk dan minta maaf agar aliran listriknya tidak dicabut. Akan
tetapi kepada yang punya matahari mengapa tak banyak orang yang mau berterima
kasih" "Termasuk kau!" tukas Mastery. "Mulai saat ini....
barangkali!" Pagi-paginya, banyak orang meninggalkan pekerjaan untuk sekedar mengikuti
keadaan alam sekali dalam 360
tahun itu. Dari teropong-teropong bintang yang menganga, seperti ember-ember besar, sampai
ke teropong mainan anak-anak, teracung ke langit. Banyak orang menanti dengan
darah berdebar-debar. Terlebih lagi Mastery dan Nelly yang berada di dekat stupa
induk. Langit mulai kelihatan semu ketika bulan telah mulai menutupi matahari di
daerah gerhana pertama tampak, di daerah Cilacap.
Kemudian suasana menjadi hening. Seolah-olah awan merendah ke bawah. Udara
terasa berangsur-angsur dingin.
Awan merendah, mungkin karena tekanan atmosfir telah
berbeda. Dimulai dari arah selatan dan barat, kelihatan matahari mulai sompal,
ditutup sudut bayangan bulan.
Langit menjadi suram, di sekitar matahari kelihatan lingkaran sinar lembayung.
Mastery menarik tangan Nelly, ke dekat stupa induk.
Terasa ada yang bergemuruh perlahan-lahan di dalam stupa. Kemudian semakin
keras, seperti suara dari kawah gunung berapi.
"Bang . . . Mas ....!!" suara Nelly sebagian ditelan gemuruh seperti lumpur
mendidih di bawah tanah itu.
"Sini . . . cepat ke mari . . . !" pekik Mastery. Ternyata Nelly telah sulit
melangkahkan kakinya karena pengaruh bunyi itu. Perlahan-lahan Nelly mendekap
dinding stupa induk, dengan telapak tangan merayap mencari-cari tangan Mastery
yang semakin kabur di dalam suasana yang semakin gelap mendekati gerhana penuh.
Mastery mengacungkan teropong yang berlapis film gelap tegak lurus ke atas
kepalanya. Nelly Ngantung hanya memakai kaca mata yang dilapisi film hitam juga.
"Mastery . . . Mas . . . !" pekik Nelly berulang karena gemuruh di bawah tempat
mereka berpijak semakin jelas terdengar seperti lumpur mendidih. Ketika itu
gerhana penuh telah terjadi. Sehingga yang kelihatan hanya tinggal bagian cincin
bercahaya. "Mas . . . Tery ... !" suara ngilu Nelly, "tubuhku bagai kesemutan."
"Aku juga,. . . !" sahut Mastery ketika akhirnya tangan mereka bertemu saling
berpagut di dinding stupa induk yang menjulang. Udara menjadi bagaikan beku dan
awan turun menutupi sebagian candi, sehingga pemandangan
alam seperti pada tengah malam. Margasatwa terkejut, dan pulang menuju sarang.
Bunga-bunga menguncup, disertai daun yang terpentang, seperti ikut menutupi
bunga-bunga itu. Mastery dan Nelly berpegangan tangan erat-erat. Karena terasa tubuh mereka
semakin ringan. Bulatan corona tempat di atas ubun-ubun mereka.
"Mas . . .Tery . . . Mas Tery . . . Maaaas . . . .!" pekik Nelly lagi.
"Nelll .... Nelllll . . . mana kau . . . mana tanganmu ....!"
balas Mastery. "Aku di sini!" jawab Nelly, semakin sayup.
"Aku . . . kok begini, . . . terasa semakin jauh.. . . . .!"
Mastery masih mengulurkan tangan ke arah Nelly, yang lepas dari genggamannya.
Kemudian corona mulai pecah oleh bersit cahaya matahari yang menjengukkan
wajahnya kembali. Darmawan mengarahkan teropongnya ke stupa induk, dan berkata, "Ke mana mereka,
ya?" "Paling-paling juga menelentang agar lebih santai melihat kejadian ini sampai
kembali seperti biasa."
Setengah jam kemudian, pengunjung dan penyimak gerhana matahari total, telah
ribut bersiap-siap pulang dengan kenangan terekam di dalam negatif film ataupun
film video. Dua jam telah berlalu, Mastery dan Nelly belum juga kelihatan turun dari tangga
Borobudur. Darmawan dan Hasbullah mulai diliputi kegelisahan. Mereka berdua
sepakat untuk menyusul ke atas. Sungguhpun hari vtelah menjelang pukul setengah
3 sore tanggal 11 Juni. Hasbullah terpaku jongkok di kaki stupa indtil-Di tangannya sebelah sepatu
Nelly. Dan tak jauh, dari sana terlihat tustel foto Mastery ketinggalan.
"Oh . . . oh, Mawan, apa yang terjadi dengan mereka"!"
ucap luruh Hasbullah dengan wajah muram dan mata berlinang.
"Aku . . . aku tak tahu. Apakah mungkin bisa terjadi"
Has . . .!" gemetar keduanya memikirkan kejadian yang sulit diterima akal mereka
sebagai generasi pewaris teknologi di masa yang akan datang.
Keduanya menatap puncak stupa induk yang hening dan terpaku diam. Tidak
mengatakan apa-apa tentang sepasang anak manusia yang ketika memeluk bangunan
bersejarah ini, keduanya raib.....
Darmawan dan Hasbullah berangkulan, sedih diiringi kengerian dahsyat
membayangkan peristiwa yang belum pernah terjadi dalam sejarah resmi ini. Dengan
berpegangan tangan dan sempoyongan mereka menuruni tangga batu bersusun candi.
Mencari-cari di mana kendaraan yang ditinggalkan Mas tery. Mobil kehilangan tuan
itu, putih mulus di bawah pohon pinus. Dengan kunci yang tcrcjaniuiui di tali
tustel Mastery, pintu mobil itu dibuka Hasbullah tersegut dengan suara tn.-
aMul.it, "Aku bagai tak sanggup membawa mobilnya ini, Wan!"
"Kuatkan hatimu! Katamu Aceh itu p|m berani!"
templak Darmawan juga ingin menghilangkan kengerian itu, "kita akan langsung ke
Hyang Santri!" Hasbullah tenang sedikit, dan mereka berangkat beriringan. Dari belakang
Darmawan mengawasi Hasbullah menyetir mobil Mastery yang terkadang cepat dan
terkadang bagai akan berhenti, mengikuti irama hati orang yang membawanya.
Pukul 7 malam mereka baru tiba di gubuk Hyang Santri.
Orang tua itu tidak terkejut sedikit pun mendengar berita Mastery dan Nelly
hilang raib di stupa induk Borobudur.
"Allah mempunyai jalan-jalan naik."
Tiba-tiba Darmawan teringat kepada penemuan di piramida Mesir kuno. Ada makam
Firaun di dalam peti batu granit. Dengan lak dan cap ke-rajaan. Akan tetapi
jenazahnya telah hilang raib. Sedangkan bekas-bekas yang menunjukkan bahwa di
sana mummi pernah diletakkan, jelas kelihatan.
Tak sampai sebulan kemudian Hasbullah dan
Darmawan terkejut bagai mendengar petir di siang hari bolong menerima surat dari
Mastery dan Nelly Ngantung.
Mastery menceritakan, ia terkapar di makam kakeknya di Pasaman. Nelly Ngantung,
mengisahkan, ia tertidur di kuburan neneknya di Menado.
"Bisakah ini terjadi di zaman teknologi ini, Wan!"
"Aku tak berani menyangkal" Darmawan mengamati sampul surat, "Tetapi aku pernah
membaca hikayat lama tentang dua orang yang mencari makam Nabi Sulaiman di dalam
laut. Akhirnya mereka terlempar masing-masing ke pangkuan ibu mereka yang sedang
tidur." "Mastery pasti akan merahasiakan kejadian ini Has!"
"Kurasa begitu, kalau tidak mau dituduh orang sebagai pembohong besar!" jawab
Hasbullah sambil mengamati tanggal surat yang mereka terima
"Dan kita juga akan menyimpan rahasia Ini kecuali. .. !"
tukas Mawan. "Kecuali apa lagi... ada-ada aja .. . !"
"Kecuali di pesta perkawinan mereka nanti" bisik Darmawan.
Hasbullah meraba-raba hikmah semua kejadian yang dialami sahabat mereka itu.
"Mungkin . . . , mungkin sekali sampai waktu tertentu, ia memang tak boleh
mengikuti peristiwa peristiwa gaib di pulau ini! Sehingga untuk sementara dia
hanya menjadi penonton yang baik," ulas Darmawan memelas. Hasbullah akan
bertanya lagi tetapi Darmawan meletakkan jarinya di mulut Hasbullah menyuruhnya
jangan bicara lagi. -----selesai----- Sebaiknya jangan Anda lewatkan kisah lain yang sebuah ini!
TUNTUTAN DARI ALAM BARZAH
Diceritakan arwah dari seorang wanita yang mencari bekas suaminya yang telah
melanggar sumpah. Percayakah Anda akan adanya roh yang mampu kembali karena ia tidak merasa tenang
di dunia barunya" Kisah ini akan memberi jawaban yang jelas dan kemudian
terserah kepada Anda apakah mau sembarangan dengan janji dan sumpah.
Penggubahnya sudah Anda kenal : MPU WESI GENI yang pegang peranan besar dalam
kehidupan dunia gaib. Sejak awal akan mengikat segenap perhatian Anda.
Buku ini sudah siap. Harga Rp 3.000,00 Untuk pesanan tambah Rp 500,00 ongkos
kirim SELECTA GROUP ? Kebon Kacang 29/4 - Jakarta
Penghuni Kuil Neraka 2 Pendekar Naga Putih 49 Tumbal Perkawinan Jejak Di Balik Kabut 20
ke kanan. Nelly pun susah menebak, apa yang menyebabkan laki-laki yang kukuh
itu, tiba-tiba menjadi luruh.
Ketika akan berdiri dari bersimpuh, sekali lagi dia mengerang dengan kedua tapak
tangan bertopang kepada kedua lututnya. Wajahnya memerah mengatasi rasa runtuh
dari dalam. Dengan mobil Citroen ayahnya, Nelly membawa Mastery menghibur diri keliling-
keliling kota. "Aku heran mengapa ayahmu sangat membenciku,"
ulang Mastery. "Hampir kepada semua teman kuliah, ia juga begitu."
"Tetapi tidak seperti kepadaku, kan"!"
"Eh .... iya, memang kelihatan sekali antinya kepada Bang Mas."
"Ilmunya barangkali!" terka Mastery.
Pukul 9 malam, barulah Nelly sengaja memperlihatkan dengan siapa ia pulang.
Kebetulan pula Tuan Wulungan sedang berada di beranda depan. Ia tertegak sejenak
melihat siapa di samping anaknya. Baru tiga hari yang lalu ia menambah sejumlah
uang kepada orang di kaki gunung untuk membunuh laki-laki itu agar putus
langsung hubungannya dengan Nelly. Akan tetapi kini mereka malah memperlihatkan
diri bersama-sama. Mastery mengatupkan mulutnya rapat-rapat karena ada suatu
yang mendorong kekuatan dari dalam perutnya. Sehingga perutnya terasa bagai
digilas, mendesakkan kemualan ke kerongkongannya.
Mastery menyetop taksi setelah Nelly Ngantung memasukkan mobil Tuan Wulungan ke
halaman. "Tangerang!" ujar Mastery kepada sopir taksi.
Kendaraan itu meluncur dengan angka pertama pada hitungan ongkos 200. Ia
berbaring lemas di jok belakang.
Sehingga sopir bertanya, "Mengapa, Om, sakit ya?"
"Sedikit," jawab Mastery, "mau menjumpai Kiai Makruf!"
"Oh, . . . .ya, saya juga pernah mengantarkan orang ke sana," sambut si sopir,
"tetapi, maaf Om, rasanya Om lebih
berat daripada penumpang biasa. Rasanya sama dengan membawa tiga orang!"
"Akh, . . . ada-ada saja," dengus Mastery di belakang.
"Betul, Om . . . ., saya mengenal mobil ini lebih dari mengenal anak sendiri.
Sudah 6 tahun di tangan saya, sih!
Tekanan sokbreker di belakang, berat sekali rasanya,"
dengan dialek Jakarta asli, sopir itu menyatakan perasaannya. Akan tetapi
Mastery hanya mengatakan berat badannya cuma 65 kg. lebih sedikit.
"Rasanya seperti 200 lebih, Om!" Sampai di beranda rumah Kiai Makruf, Mastery
melangkah lunglai. "Ayo . . . masuk . . . .ada apa ini, Nakmas," ucap Kiai itu sambil membopong
tubuh Mastery yang terasa berat sekali.
Ketika itulah tiba-tiba Mastery tertawa keras dan dahsyat kedengarannya, membuat
orang di sekelilingnya terkejut sekali. Tiga orang anak didik Kiai Makruf ke
luar dari dalam. Mastery berdiri dengan kedua tangannya terkembang, dan berkata, "Awas.....awas,
Pak Kiai! Tanganku mau mencekik!''
Kiai Makruf bingung, mengapa dalam keadaan dikendalikan oleh alam lain, Mastery
masih sempat memberi peringatan kepadanya" Ketika ia memegang pergelangan tangan
itu, terasa sangat kuat, seperti memegang balok saja.
Kiai Makruf juga tahu di mana tempat-tempat terlemah yang sering dijadikan
sasaran teluh dan santet untuk mengendalikan kekuatan dari dalam.
Ia menunjuk tempat itu dengan telunjuknya sambil membacakan ayat-ayat pengusir
makhluk halus. "Hahahahaha, . . . Kiai sangka mudah mengusir kami, ha"!" ucap Mastery dengan
suara besar menggarau. Ia maju setindak lagi dengan langkah berat dan tangan
akan mencengkeram leher Kiai Makruf.
Dipergunakan Kiai Makruf lagi beberapa pegangan pada persendian. Akan tetapi
tidak berpengaruh kuat kepada tenaga pembunuh di dalam tubuh itu. Sedikit saja
kelihatan wajah Mastery mengerenyit, kemudian berkata lagi, "Kami bukan setan
biasa yang mudah disuruh pergi, tahu! Kami mau membunuh orang ini, tetapi
nyawanya bandel sekali. Belum pernah kami menjumpai orang sesusah ini membunuhnya. Biasanya hanya dua
Iuri sudah kami ambillllll .. Kiai!"
Sementara itu, Buraksa sedang mengarahkan kedua telapak tangannya ke sederetan
boneka tanah di hadapannya. Tangan itu bergerak seolah-olah sedang menolakkan
sebuah pintu besi yang amat berat. Sehingga, bahu dan tangannya bergetar. Kedua
matanya melotot dan bibirnya bergerak-gerak. Kerongkongannya naik-turun seperti
mengulum sesuatu yang sulit ditelan.
Dia mendorong sekali lagi dengan amat kuat, sehingga ketujuh boneka itu bergetar
hampir jatuh dari tempat pajangannya.
Ketika itu pula Mastery mendapat kekuatan sehingga cengkeramannya hampir
mencapai pundak Kiai Makruf.
"Maafkan saya Pak Kiai," rintih Mastery dengan suara aslinya, "saya tak mampu
menguasai kekuatan mereka menggerakkan tubuh saya."
"Bapak tahu,.... bukan kemauanmu ...!" Berbagai Ayat Suci dibacakan Kiai Makruf.
Akan tetapi kekuatan itu tidak dapat juga diusir. Selain wajah Mastery saja yang
menyeringai seperti kesakitan sedikit. Kemudian tertawa lagi, setelah reaksi
sakit itu hilang. "Kami tak bisa pulang jika orang ini tidak dapat kami bunuh . . !!" ucap suara
kasar itu kembali dari mulut Mastery.
"Mengapa kalian mau membunuhnya ..."!"
"Kami tidak tahu, kami hanya diperintah bapak kami!
Jika gagal . . .kami tidak dikasih makan . . . hah . . hah ..
.hah!" raung makhluk di dalam raga kasar manusia itu lagi.
"Di sini juga kau boleh tinggal, kuberi makan!" ucap Kiai Makruf, kedua
tangannya masih memegang kening dan pergelangan tangan Mastery.
Wajah Mastery menyeringai dengan seluruh gigi-giginya bertonjolan, lalu berkata,
"Makan kami bayi, .. hi hi, hi,...
mana mau Kiai." "Astagafirullah!!!!" terkejut Kiai Makruf. Ketika ucapan itu keluar, Mastery
terdeguk sejenak dengan kepala mendongak ke belakang seperti kena benturan. Akan
tetapi segera pulih kembali. Seolah-olah Istigfar itu tidak sanggup
melumpuhkannya. Di kaki Gunung Ceremai, Buraksa sedang mengarahkan kekuatan darahnya yang
bercampur siluman untuk membantu suruhannya agar jangan mundur berhadapan dengan
Kiai Makruf. Dan tindakannya ini sempat membingungkan orang tua itu, karena yang
dihadapinya bukan seperti orang kesurupan biasa.
Ini dari kelas yang tinggi, yang diberi makan orok yang masih suci pula.
Menyebabkan kekuatan mereka tak mudah dikalahkan dengan begitu saja.
"Haha... haha .. haha... Kiai sanggup mencarikan kami makanan sekarang"! Tujuh
orok berumur seminggu! Kalau sanggup, kami boleh tinggal di sini ... eh, tetapi
guru kami kuat sekali, dan dia tanah liat itu. akan menjemput kami dan
memenjarakan kami dalam keadaan kelaparan!!!!!"
Ketika itu Buraksa mengayun-ayunkan karung kain berisi orok di hadapan boneka-
boneka tanah liat itu. Sampai orok di dalam keruntung ayunan itu terdengar
menangis. Semuanya telah ada tujuh orok, yang tidak begitu berbeda bulan umurnya. Kaki
mereka yang lasak, membuat ayunan kain itu menonjol-nonjol.
"He, ... .guru kami telah menyediakan makanan kami.
Akh . . . kami tak mau pulang sebelum orang ini mati!
Harus mati!" ucap Mastery sambil melihat kepada dirinya
sendiri. Perutnya mengempis dan menggelembung, bagai diudak-udak dari dalam.
Lehernya memanjang dan terputar ke samping kiri bagai dipuntir oleh kekuatan
yang tidak kelihatan. Akan tetapi masih saja belum kesampaian niat makhluk yang
telah menguasai seluruh urat nadi dan sambungan tulang-tulangnya itu. Sehingga
kelihatan badan kasar itu terengah-engah seperti melakukan pekerjaan berat yang
hebat sekali mengerahkan tenaga.
Mastery terbatuk. Kelihatan setetes darah di sudut bibirnya.
Buraksa di gunung, menggenjotkan kakinya beberapa kali ke depan. Karena satu
inci demi satu inci ia juga tertolak ke belakang, hampir membentur tonjolan
batu; dinding gua. Ia berusaha mengatupkan mulutnya dengan kuat. Dan menelan
sesuatu yang seperti akan keluar dari kerongkongannya.
Mastery terjepit di antara tiga kekuatan! Makhluk gaib yang menguasai darahnya,
kekuatan Buraksa yang memerisai suruhannya, dan tekanan perlawanan dari Kiai
Makruf sendiri. Kiai Makruf mengerti keadaan itu. Akan tetapi ia juga tidak
membiarkan ke mauan suruhan gaib itu saja yang menang dan mereka yang menjadi
korban. Di dalam hati, ia juga heran, mengapa orang seperti Mastery sanggup
menahan ketiga kekuatan itu. Penduduk di sekeliling rumah Kiai Makruf tertarik
dengan kejadian itu. Kepala bermunculan dari jendela dan pintu dapur. Di halaman rumah dan beranda,
dari kaca jendela, wajah-wajah mendekapkan mata ingin lebih banyak tahu.
Jukminah yang menggendong anak, menjenguk dari pintu belakang.
"Wahhhh .... itu untuk aku, Kiai?" menggereng suara Mastery sambil melangkahkan
kakinya ke arah Jukminah menggendong bayinya.
Jukminah tiba-tiba dicekam ketakutan melihat taring di mulut Mastery, muncul
semakin berkilau mencuat ke luar.
Ia mendekap anaknya yang masih berumur tiga minggu.
Mungkin roh anak itu merasa terancam. Tiba-tiba ia memekik kuat sekali, diiringi
dengan tangis yang melengking.
Kiai Makruf menghalangi langkah Mastery yang dibawa makhluk gaib itu dengan
menghadangkan badannya. "Jangan halangi, Kiai! Atau Kiai yang aku makan!"
serentak dengan ucapan itu, raga Mastery yang sedang dikendalikan mencekamkan
giginya ke bahu Kiai Makruf.
Lalu pindah ke lengan Kiai Makruf berusaha menahan rasa sakit.
"Akh . . . akh puhhhh ... !" raga Mastery meludah dengan keras, "tubuh orang tua
alot, dan pahit... !' Di bahu Kiai Makruf, kelihatan bintik darah bekas gigitan, meresap ke luar
bajunya. Dengan ayat tiga kali tujuh yang tak pernah dipergunakannya, Kiai
Makruf kembali melancarkan pegangan tangannya ke sendi-sendi badan Mastery.
Jasad Mastery melentik disertai lenguhan panjang. Kepalanya tertengadah ke
langit-langit kamar. Disusul dengan badannya bagai kehilangan tulang penyangga. Melorot jatuh ke atas
lantai, seperti pohon talas didekatkan ke onggokan api unggun. Kepala Mastery
terpeletok di kaki kursi tamu. Pucat seluruh tubuhnya bagai kehilangan darah.
Buraksa terlempar ke dinding gua di depan boneka suruhannya. Kedua sudut
mulutnya yang tebal, menetes darah. Sedangkan pada ketujuh boneka itu, kelihatan
darah ke luar dari garis yang berbentuk bibir. Dan tubuhnya kelihatan retak-
retak seperti tanah kering ditimpa panas matahari. Di dalam ruangan gua bagai
terjadi anain miyuh yang menggetarkan seluruh alat-alat magis yang bergantungan. Termasuk sebuah
rangka manusia yang kini tulang-tulangnya jatuh berprotolan ke atas tanah.
Tengkorak kepalanya menggelinding ke pangkuan Buraksa, yang tersandar di atas
batu dengan dada berombak turun naik. Tiga kekuatan ilmu yang dahsyat berlaga.
Buraksa dalam jarak jauh, juga menerima akibat benturan itu sama kuatnya dengan
yang dialami Kiai Makruf, dan jin yang dikepalai Jarkuz.
Dapat dihitung dengan jari, orang seperti Kiai Makruf yang dapat menahan
kekuatan hitam itu. Sehingga dirinya pun ikut cidera dalam pertarungan.
Orang yang tadinya berkerumun, kini berlarian.
Mungkin mereka menyangka Mastery sudah mati. Kiai Makruf mendekatinya.
Meletakkan jari pada urat nadi leher. Wajah Kiai Makruf yang tidak berubah
suram, membuat orang-orang yang gelisah tadi kembali muncul dengan diam.
Tiba-tiba Mastery duduk lagi dengan tenang, memandang Kiai Makruf yang masih
jongkok di hadapannya. Ia memandang Kiai itu dengan pandangan seperti baru kenal
saja. "Aku berusaha membelanya......Tetapi tenagaku tak sanggup!"
"Kau kah ini, Mastery?" tanya Kiai Makruf, karena dilihatnya gaya yang berbicara
di dalam raga Mastery, bukan seperti biasa.
"Saya ingin membelanya, tanpa diminta. Saya khadam penjaga Makam Syeh Jambak di
seberang!" ucap Antasias dengan nada kecewa, "kuat sekali ilmu orang yang
mengirim semua kejadian ini. Kalau tak ada tuah badan titisan, mungkin ia telah
lama dapat dibunuh mereka."
Kiai Makruf yang sudah biasa menghadapi orang yang kesurupan-kesurupan ringan
tidak canggung lagi berdialog dengan penunggu raga seseorang. Sehingga dari
Antasias, ia mengetahui sebagian perjalanan hidup Mastery. Dan dia tahu pula
bahwa di seberang pulau ini, pernah ada seorang Syeh berilmu tinggi yang semasa
hidupnya ahli hisab perbintangan. Sehingga jadwal dan waktu awal Ramadhan yang
ditetapkannya, diakui oleh Pusat Agama Islam di seberang.
"Mungkin ia dianggap sebagai batu penarung datang ke pulau ini, Kiai!" keluh
Antasias, "sehingga dijadikan sebab-musabab atau perantaraan karena dia disukai
seorang perempuan, ayahnya terpanggil oleh wisik gaib. Untuk menyingkirkan orang
yang berkekuatan titisan seperti ini."
"Aku juga menduga!" tukas Kiai Makruf, "Kekuatan hitam sekuat ini belum pernah
kukenal. Dan tak akan sanggup seseorang yang biasa saja dapat bertahan dari
maut." "Saya juga kena di dalamnya," sahut Antasias sambil menghapus sudut bibir raga
Mastery, yang ada bekas tetesan darah mulai mengering.
"Serangan iiii tampaknya sudah reda. Tetapi belum terkalahkan! Tentu mereka akan
datang kembali dengan muslihat yang lebih kuat!"
Wajah Antasias yang tercermin di depan raga Mastery seperti bersedih.
"Saya akan kembali ke seberang, Kiai! Telah lebih dari enam bulan saya
meninggalkan makam orang tua itu. Tentu rumputnya telah panjang, dan pusaranya
dipenuhi daun-daun yang jatuh berserakan. Sedangkan saya berjanji, sampai hari
Kiamat akan menjaga makam itu dari
sembahan manusia yang salah mempergunakan
hikmahnya!" Sejenak Kiai Makruf tertunduk, kemudian menyahut sedih, " Ada juga rupanya
golongan jin yang berbakti seperti Anda, Antasias! Pergilah .... dan bantu aku
dengan doa menghadapi semua keadaan ini."
"Alhamdulillah, Kiai!" ucap Antasias, dan kedua mata raga Mastery meredup dengan
perlahan. Dan Antasias pergi, tanpa sentakan di tubuh yang ditinggalkannya.
Setelah tadi kedua mata Mastery tertutup, kembali terbuka, dan ia mengeluh,
"Aduuuuuuh . . . Kiai! Apa yang terjadi . .. seluruh tubuh saya rasanya remuk,
bagai baru tergilas atau seperti jatuh dari atas gunung!"
Kiai Makruf meminta sepiring air dingin kepada pembantunya dari belakang.
Setelah membacakan beberapa ayat dan doa, ia meminumkan air itu kepada Mastery.
"Minumlah . . . biarpun tidak seluruhnya kekuatanmu kembali, tetapi ada sedikit
pertolongan di dalamnya, sekadar yang aku sanggup."
Apa yang dikatakan Kiai Makruf, terbukti dapat mengembalikan sebahagian
kepulihan rasa Mastery yang tadinya bagai berantakan.
"Semoga Tuhan menurunkan petunjukNya, sebelum mereka datang kembali dengan
rencana yang lebih licik dan dahsyat! Amin!"
"Amin . . . Amin ... .ya Allah," Mastery ikut menadahkan tangannya.
Mastery mengatakan kepada Kiai Makruf, bagaimana kalau ia kembali saja ke
seberang. Untuk menghindarkan diri dari peristiwa yang sedang dihadapinya ini.
Sebab sejak mula pun, istrinya Sri Sekarwati telah menganjurkan begitu.
Sehingga hubungan rumah tangga mereka menjadi terancam, karena ia tidak mau
menurutkan kemauan itu. Rasanya untuk masa yang akan datang, hubungan suami istri mereka bisa utuh
kembali. "Soal itu tidak dapat kucampuri, Mastery!" tukas Kiai Makruf, dengan matanya
teduh menghadap ke depan sana,
"seorang laki-laki yang baik, sanggup memutuskan pendiriannya sendiri.
Sungguhpun ia tahu, ada risiko besar di dalam pendirian itu!"
"Saya bukan bermaksud meremehkan Pak Kiai!" sambut Mastery lagi; sejenak
terdiam, "tetapi rasanya, mereka tak mudah dikalahkan!"
"Itu aku tahu, Mastery. Sampai seumurku begini, baru pertama kali hal sehebat
ini kuhadapi. Dan aku belum merasa diriku berada di pihak yang menang."
Mastery juga menceritakan pertemuannya dengan roh Syeh Burhanuddin dari Ulakan.
Yang memberinya doa-doa kekuatan. Akan tetapi juga belum terasa mudah sekali
ketika digunakannya. Sedangkan makna lambang bendera bersudut delapan itu pun
sedang dicarinya. Termasuk isim yang terdapat pada kedelapan sudut mata tombak
itu. "Yang kurang mungkin cara engkau mengamalkannya, Mastery!''
"Semoga demikian, Pak Kiai! Dan saya akan bertahan di sini sampai hayat
dikandung badan saya kembali kepada Tuhan!" tekad Mastery-
"Apakah Antasias mengatakan ia telah kembali ke seberang?"
"Di dalam badan saya tadi, kami telah bersalaman dengan takjim," ulas Mastery,
Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"dan dia jin terpilih di antara yang paling saleh!"
Kiai Makruf menurunkan ayat Alip kepadanya. Bersama keterangan bahwa dengan ayat
itu Tuhan akan langsung memberi sesuatu jalan ke luar persoalan paling sulit
yang sedang dihadapi. Kemudian disusul dengan sepotong ayat untuk membuka
rahasia gaib di langit dan di bumi. Yang harus di-zikirkan! 1.000 kali sehari
selama 44 hari dengan berpuasa.
"Ini peninggalan orang-orang mandraguna dahulu," susul Kiai Makruf, "yang aku
sendiri belum mempraktekkannya, karena belum pernah ada kejadian seberat ini
cobaannya." Mastery memangku kertas berisi rangkuman ayat itu dengan kedua tangannya seperti
menggendong bayi. Dan langsung dibawanya ke dada, dan dinaikkannya ke atas
kepala, dengan wajah luruh dan sendu.
Mastery menyatakan keheranannya mengapa sampai demikian hebatnya niat Tuan
Wulungan untuk membunuhnya. Sedangkan ia tidak merasa berbuat aniaya kepada
Nelly Ngantung. Sungguhpun sebenarnya dengan mudah ia dapat merusak kehormatan
gadis itu. Kiai Makruf menjawab hikmah kejadian itu. Mungkin sekali Tuan Wulungan yang kaya
dan angkuh sebagai perantara saja untuk mencapai orang seperti Mastery.
"Kalau saya dendam,......telah saya rusak anaknya, Pak Kiai !" ucap Mastery
kesal dan merutuk. "Jangan kau tumbuhkan serentak jeruk dengan benalu!
Amalanmu akan dikuras oleh dosa yang seperti itu!"
Mastery mengeluhi dirinya sendiri, mengapa hidupnya seolah-olah melalui
percobaan perempuan seperti Sekarwati, dan sekarang Nelly Ngantung.
"Mungkin naftu lahirmu, naftu Nabi Daud a.s. yang harus menghadapi cobaan
melalui istri dan perempuan.
Ada cobaan melalui harta, seperti naftu Nabi Sulaiman a.s.
Ada pula cobaan melalui seteru, seperti Naftu Nabi Musa a.s."
Di kaki Gunung Cereme tak ada yang menyangka maksud kedatangan seorang laki-laki
yang memarkir mobilnya di desa terpencil. Orang itu adalah Tuan Wulungan. Ia
kesal sekali karena anak perempuan satu-satunya, Nelly Ngantung, tergila-gila
kepada seorang laki-laki yang tak tahu pekerjaannya seperti Mastery. Gengsinya
sebagai seorang pengusaha yang selalu bergaul dengan kalangan atas, bagai
tercemar. Bukankah lebih bergengsi, jika Nelly berhubungan dengan salah seorang
anak jenderal walaupun yang telah pensiun" Biarpun hubungan itu menjadi gosip di
harian-harian ibu kota dan majalah, namun akan mengangkat namanya juga di
pergaulan tingkat atas. Melalui jalan cerbatu cadas dan jurang kecil-kecil, kemudian jembatan yang
terbuat dari tiga batang bambu, ia tiba di tempat Buraksa. Ia tidak memberi
salam di depan gua karena ia marah sekali. Karena usaha Buraksa tidak membuahkan
hasil yang cepat, menghilangkan nyawa Mastery. Agar Nelly Ngantung dapat
dilemparkannya untuk memilih dari sekian anak orang berkedudukan tinggi di
Pemerintahan. Dan sekaligus, hubungan anak itu akan dimanfaatkannya menjadi
katakanlah kata-belece yang dapat menembus hukum dalam usaha dagangnya.
Cahaya terang di luar, membuat ruangan gua terasa kelam. Akan tetapi setelah
terbiasa, kelihatan Buraksa
sedang mengurut badannya dengan cairan dan akar-akar kayu yang diambilnya dari
dalam lumpang batu. Tuan Wulungan tidak menunjukkan punya ilmu yang harus
diseganinya. Ia yang membayar orang berilmu seperti Buraksa. Yang memerlukannya,
untuk menguangkan ilmu itu sendiri.
"Maharaja Buraksa.....!!!" ucap Tuan Wulungan, keras.
Buraksa tenang-tenang saja mengurut badannya, sambil meringis.
"Buraksa, . .. mana janjimu! Mau tambah uang lagi, hah"!" tegur Tuan Wulungan
sambil memukul-mukul tas yang empuk isinya. "Nyatanya ia masih mondar-mandir
dengan anakku." "Aku istirahat dahulu ... !" sambut Buraksa, "Lihat ini . .
.!" sambil menunjukkan darahnya yang termuntah ke atas batu. Dan patung tanah
liat yang terancam retak.
"Kalau berilmu jangan kepalang tanggung!" ucap Tuan Wulungan sambil menyeka
hidungnya yang mencium bau amis dari dalam gua, "seperti aku memilih jalan punya
uang, juga tidak kepalang tanggung. Nah, ini tambahan lagi, kalau perlu selusin
orang sepertimu kerjasama, asal maksudku tercapai!" Tas berisi uang itu jatuh ke
ujung kaki Buraksa. Memang itu yang sedang dibutuhkannya, untuk membayar
penculik-penculik orok dari desa-desa terpencil di kaki gunung.
"Kalau ada dan sanggup, orok dari turunan Tuan Wulungan sendiri agar dibawa ke
mari. Pasti kuhancurkan laki-laki itu!" dengus Buraksa.
"Kau gila! Buraksa! Mana mungkin titisan darahku sendiri akan kukorbankan untuk
pekerjaan seperti ini. Gila!
Kau gila barangkali!"
"Maksudku,-. . . boleh anak dari . . . piaraan Tuan saja!"
ucap Buraksa. Tuan Wulungan terdiam sejenak. Ia teringat kepada sekretarisnya yang sedang
hamil tiga bulan akibat perbuatannya. Wulungan sedang mencari akal, mendekati
salah seorang karyawannya yang susah, agar mau mengawini sekretaris pribadinya
itu. Tentu saja, dengan bujukan diberikan sebuah rumah, sebuah mobil sederhana,
dan simpanan di bank untuk penutup mulut.
Untung saja istrinya sedang pulang ke Menado membangun rumah. Tuan Wulungan bisa
mengulur-ulur waktu, dan terus meniduri sekretarisnya, Marisa. Tiba-tiba Buraksa
melontarkan jalan baru kepadanya. Sungguhpun di dalam hatinya tersenyum, tetapi
di luar ditunjukkannya muka tetap masam kepada Buraksa.
Sementara itu di beberapa desa terpencil, desas-desus kehilangan bayi dalam
kandungan, semakin santer. Dukun beranak yang menjual bayi itu kepada Buraksa,
mengatakan bayi di dalam kandungan bisa raib begitu saja jika diambil kembali
oleh yang menjadikannya. Ada pula perempuan yang kehilangan orok ketika
ditinggalkan di dalam ayunan kain di gubuk di tengah ladang.
Terkadang Buraksa sendiri turun ke dusun dalam penjelmaan lain, membetot orok
itu dari kandungan si perempuan hamil tua.
*** V SETIAP tahun di Pelabuhan Ratu, diadakan Pesta Pantai yang didahului dengan
melepaskan sajian berupa kepala kerbau dan lain-lain ke tengah laut. Ratu apa
yang dijadikan asal nama kota itu kini telah tersamar oleh sejarah manusia yang
tenggelam ribuan tahun yang lalu. Sedikit sekali tinggal orang waskita yang
masih dapat memberi wejangan murni tentang Ratu yang akan berlabuh di masa yang
akan datang itu. Sejak upacara di depan pasar ikan sampai ke depan toko, manusia telah padat
menantikan acara berikutnya yang merupakan perlombaan perahu, dan perlombaan
renang di tempat terbuka. Dari Sukabumi, Cibadak, bahkan sampai dari Bogor dan
Bandung pun menyisihkan waktu sehari untuk mengikuti pesta laut ini.
Selebaran-selebaran tertempel di dinding kosong, dan di setiap tepi jalan. Bahwa
di Cisolok, malamnya, akan diadakan pesta tari Jaipong. Menurunkan, penari-
penari terkenal dari Cianjur, Bandung, Sukabumi, dan daerah-daerah yang
kesenian-nya menonjol. "Coba kalau papamu tahu kita berada di sini," kata Mastery sambil memegang
tangan Nelly Ngantung, yang mengepit lengannya.
"Masa bodoh ... !"
"Kau boleh berkata begitu sebagai anak kesayangan tetapi aku" Mungkin aku akan
dilemparkan papamu ke dalam laut ini."
"Memangnya mudah saja melemparkan orang ke dalam laut!" rutuk Nelly, "aku tahu
persis papaku! Dia tida akan segila itu!"
"Bukan dia . . . Uangnya yang gila!" ulas Mastery, "aku telah merasakannya!"
"Tetapi Bang Mas masih tetap hidup!"
"Kebetulan saja, karena nyawa berlebih!"
"Bisa saja, memangnya nyawa ada serapnya. Seperti ban mobil saja."
Di sepanjang pantai di depan Samudra Beach Hotel, manusia seperti semut
mengelilingi tepi gelas bergula kebanyakan berenang atau berjemur. Ada beberapa
daerah yang dianggap rawan, dipan-cangi dengan tiang-tiang berbendera merah,
sebagai larangan jangan dipergunakan sebagai tempat mandi-mandi. Mungkin karena
berdasarkan kumpulan catatan, di tempat itu sering orang hilang dan tenggelam.
Baru beberapa bulan yang lalu, seorang mahasiswa dari Jogja, dan berikut seorang
salesman penyedap makanan, tenggelam di tempat itu. Masih beruntung mayat mereka
timbul tak jauh dari tempat mereka hilang. Kalau sampai dibawa arus sampai ke
Ujung Kulon, ke tengah laut bebas, mayat baru akan ditemukan setelah rusak
dimakan ikan dan karena membusuk.
Aki Ukin . dari Sukabumi yang menjadi promotor pesta tari Jaipong itu. Dia orang
tua terkenal, yang telah memenuhi segala syarat nyata dan gaib untuk mengadakan
pertunjukan seperti itu. Apalagi sekarang ini tempatnya di bagian barat Pantai
Selatan. Silih berganti group tari dari kota masing-masing menunjukkan daya tarik tarian
mereka. Dengan pakaian yang gemerlapan mereka tampil di atas panggung, seperti
bidadari turun malam. "Aduh, . . . siapa bilang pantang memakai baju hijau di daerah ini?" ucap salah
seorang pengunjung. Ketika melihat tujuh orang penari dari Sukabumi tampil di
atas pentas. "Mereka telah disyarati lebih dahulu .. . .'sahut yang lain,
"Aki Ukin kan orang mengerti. Katanya ia sendiri pernah berjumpa dengan Roro
Kidul." Mastery mendengar desas-desus yang bertolak dari kepercayaan yang telah lama
harus diperhitungkan. Bila laut ini tidak ingin mendatangkan bencana kepada
manusia di pantai. "Kau dengar itu, Nel?" bisik Mastery, "sejak kemarin, seperti ada yang
menyuruhku ke daerah ini. Mungkin untuk mendengar soal-soal seperti ini." Nelly
Ngantung tidak menyahut. Hanya menggenggam tangan Mastery lebih erat.
Karena derak gendang yang berbunyi seperti menggedor darah setiap orang muda.
Lekuk pinggang penari serta acungan tangan dengan jari lentik, mempesona Nelly
Ngantung. "Ehhhh ... sadar . .. tidak"!" usik Mastery karena setelah pinggang Nelly
disentuhnya dengan ujung jari, ia masih tetap terpesona. Tanpa merasa geli.
Hampir sebulan Mastery menghilang. Dan baru beberapa hari ia jumpa Nelly yang
setiap hari menjenguk rumah kost-nya. Maka tak heran jika gadis itu bagai tak
mau renggang sedikit pun dari sampingnya.
Tiba-tiba, Mastery sendiri jadi terpengaruh. Karena salah seorang penari, yang
tercantik, sambil menari menatapkan matanya ke tengah laut. Seolah-olah di depan
latar belakang pegunungan Ciomas itu ada sesuatu yang memukaunya.
"Penari yang satu itu, . . . kok aneh, ya Bang Mas?" tanya Nelly.
"Mata kau tajam juga, . . . memang berlainan dari sejak keluar tadi."
Ada sentuhan perasaan di dalam dada Mastery yang mengatakan bahwa keanehan itu
berbau alam gaib. Akan tetapi belum dapat dijelaskannya kepada Nelly Ngantung.
Masih saja penari yang cantik dan tampaknya masih gadis itu menatap ke tengah
laut. Para penonton yang berasal dari kota, memandang kejadian itu sebagai hal
yang biasa saja. Karena mereka terbiasa menghadapi keadaan-keadaan yang nyata,
surat-menyurat di atas meja, gudang, cek dan karyawan.
Panitia menutup pertunjukan itu pada pukul 11 malam.
Tetapi manusia tetap ramai berkumpul di tempat itu.
Ternyata kelompok dari Cianjur yang berhasil merebut Piala Bergilir.
"Ayo ... di mana kita menginap?" ujar Mastery, "dua kamar, atau satu."
"Kalau satu,.. mau apa rupanya," ulas Nelly.
"Nenek bilang itu berbahaya kan!" potong Mastery, "aku juga mau tahu, apa aku
kuat jika tempayan dan gayung didekatkan."
Nelly mencubit Mastery agak keras. Mastery memekik halus.
"Nah,____sudah mulai, kan"!"
Dengan alasan ingin melihat dan mengenal rombongan penari dari Cianjur lebih
dekat, mereka juga mengambil sebuah kamar menginap di pondok Sekar Segara.
Kelompok dari Bandung juga menginap di sana. Tengah malam, Mastery tidak bisa
tidur. Ia ibarat kucing gelisah, karena di hadapannya ada sepotong dendeng yang
sebenarnya bisa saja dilahap. Akan tetapi ilmunya membatasi hal itu. Nelly cepat
tertidur. Perlahan-lahan Mastery mendekati gadisnya yang terbujur menggairahkan
itu. Dada Nelly membengkak, turun naik. Karena ia tidak memakai bantal di
kepala, dada itu kelihatan semakin menantang. Kedua tangan Nelly yang terbentang
ke atas membuat belahan dadanya seperti bayangan tangkai ketapel, berkilau ditimpa
cahaya remang-remang lampu tidur.
Urat-urat darah di kening Mastery timbul men-denyut.
Dengan tanpa mengeluarkan bunyi, ia mendekati Nelly yang pulas. Perlahan-lahan
wajahnya ditekankannya ke atas dada itu. Tekanan wajah Mastery semakin rapat,
sehingga ia merasa bagai menoleh ke dalam jendela surga.
Ketika itu pula terdengar ribut-ribut di luar. Ki-latan-kilatan lampu pompa dan
senter menerpa kaca jendela.
"Baru sebentar ini, ... ia masih berbaring," itu suara yang agak jelas
terdengar. Naluri Mastery mengatakan, ada seseorang yang minggat, atau hilang
dari Pondok Sekar Segara. Beberapa menit kemudian keadaan di luar semakin ribut.
Suara tua Aki Ukin juga terdengar. Seorang penari Jaipong dari Bandung, hilang
dari kamarnya tanpa bekas.
Seliwiran wisik di hati Mastery mengatakan, mungkin penari yang sore tadi, yang
terpukau matanya ke tengah laut. Kata hati itu semakin keras. Biasanya tak
pernah meleset. Huru-hara pencarian seseorang di tengah malam itu, membangunkan seluruh penduduk
tepi pantai. Obor, lampu, dan lampu-lampu mobil dihadapkan ke seluruh penjuru.
Aki Ukin membakar kemenyan, dan meniupkan asapnya ke tepi laut. Mungkin agar
memperoleh petunjuk, ke mana perginya penari yang hilang itu.
"Itu dia . . . mungkin itu dia ... si Nurdewita!" suara-suara bertemperasan
menuju tepi pantai. Yang kelihatan semula seperti tunggul, memang tubuh seorang
perempuan, berkemban kain batik saja. Ia berdiri tertegun, dengan air
laut setinggi pinggangnya. Perlahan-lahan ia melangkah lagi, tanpa menghiraukan
suara orang banyak. "Ayohhh. . . . panggil Aki Ukin . . . panggil!" beberapa suara menganjurkan
dalam remang-remang silang-menyilang lampu senter.
Aki Ukin dibimbing dua orang yang lebih muda menuju ke pantai. Remang-remang dengan mata
tuanya, ia mulai mengenali siapa yang hendak turun ke dalam laut itu.
Langsung Aki Ukin menempuh air laut, sambil menyingsingkan kain sarung yang
dipakainya. Ia menangkap tangan Nurdewita, memegang tangan itu, dan berusaha
menariknya ke luar. Akan tetapi air laut seakan-akan berubah menjadi cairan
beton yang telah membeku.
Tubuh Nurdewita tak bergerak sedikit pun. Dua laki-laki, ikut menolong. Namun
tak juga bergerak. Tiba-tiba Nur berbicara lembut, "Dia akan kembali menjadi sindenku!" Aki Ukin
sejenak tersimak, dan kemudian menyahut, "Apa ini Ibu Dewi"!" Nur mengangguk.
"Mohon jangan Ibu Dewi, apa kata orang kepada saya nanti?" ucap Aki Ukin. Akan
tetapi Nur tetap berkeras akan terus melangkah ke dalam laut yang telah mencapai
dadanya. Ketika itu muncul Mastery, berbimbingan dengan Nelly. Perlahan-lahan
Mastery juga melangkah ke dalam air laut. Ia memandang wajah perempuan itu dari
samping kiri. Ia lalu memegang tangan Nurdewita. sambil berkata,
"Saya juga menahan, Bu Nyi Roro Kidul!" Ketika pegangan Mastery menyentuhnya
kelihatan sesuatu seperti tangan Nurdewita menyentak kecil. Dan dia memalingkan
wajahnya kepada Mastery. Sepintas kilas, keramaian pantai malam itu seperti
shooting film Ratu Laut. Nelly Ngantung, terdorong untuk menyusul Mastery.
Roro Kidul memandang dengan raga Nurdewita, dan berkata, "Sayang . . . engkau
yang datang! Kalau tidak, telah kubawa." Ucapan itu jelas didengar Aki Ukin dan
laki-laki lain yang mengelilingi tempat peristiwa tarik-menarik kekuatan gaib
itu. "Darahmu telah mengejutkan aku," ujar Bu Roro Kidul.
Mastery tidak mengerti maksud ucapan itu. Akan tetapi dirasakannya, tangan yang
dipegangnya menjadi lemas.
Dan tubuh Nurdewita kini bisa bergerak di dalam air.
Kemudian Nurdewita mengalihkan wajahnya ke Nelly yang memegang bahu Mastery, dan
menukas lemah, "Kalau tidak, .... ganti dengan dia.....!"
"Itu calon istriku, Bu Roro Kidul."
"Kau seharusnya kawin dengan aku, agar kekuatanmu direstui!"'
Roro Kidul memandang dengan raga Nurdewita, dan berkata : "Sayang engkau yang
datang! kalau tidak telah kubawa."
"Saya hanya petualang dan tamu di pulau ini, Bu Dewi,"
ujar Mastery, "saya tidak niat mengganggu jalan Bu Dewi, dan saya pun tidak
terusik." Seolah-olah Nurdewita melihat ke sekeliling bagian belakang Mastery, dan berucap
perlahan, "Banyak sekali mereka yang kusegani datang bersamamu!"
Selesai mengucapkan perkataan itu, Nurdewita jatuh lemas ke pangkuan Mastery.
Kepala dan rambutnya yang terjurai, dipegang Nelly Ngantung.
Di tepi pantai, orang bersibak melapangkan jalan rombongan Aki Ukin membopong
Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nurdewita yang masih belum siuman. Orang terheran-heran dan merasa aneh melihat
Mastery yang bukan putra daerah namun mampu mengalahkan Ratu Laut dengan hanya
bersoal-jawab. Bagaimana pengaruh aliran darah di dalam sentuhan tangan Roro Kidul dan Mastery,
tak sampai terperhatikan oleh orang banyak. Mungkin Aki Ukin saja yang memaklumi
sepintas kilas, bahwa di dalam diri laki-laki muda yang disegani Ratu Laut itu
penuh kekuatan-kekuatan yang masih saling berebutan. Ratu Laut kelihatannya
bukan takut, dan tidak pula karena ingin berkompromi, tetapi berisi keseganan
yang latar belakangnya masih samar-samar penyebabnya.
Menjelang pagi Pondok Sekar Segara masih ramai membicarakan kejadian itu.
"Sekarang rupanya telah tiba akhir zaman," ucap Aki Ukin, "telah datang orang-
orang muda yang direstui gaib, mungkin lebih kuat dari orang-orang tua yang
telah berpulang satu per satu."
Mastery dan. Nelly Ngantung jadi pusat perhatian.
Timbul keheranan orang melihat penampilan mereka.
Orang-orang mandraguna dan waskita zaman dahulu, ketahuan dari caranya
berpakaian, berbaju serba hitam, dengan ikat kepala hitam. Atau dengan serban
dan jubah, seperti penampilan santri-santri. Akan tetapi Mastery hanya
berpakaian Levis atas bawah. Sepatu dengan hak tinggi.
Banyak orang bertanya namun tak dijawab Mastery, siapakah yang mau membawa
Nurdewita itu, "Nyi Roro Kidul, Ratu Roro Kidul, atau Dewi Ratu Kidul?"
Di atas mobilnya, Mastery mengatakan akan singgah di toko kelontong. Karena kaus
kakinya yang basah akibat masuk laut semalam, lupa mengambil dari jemuran. Kalau
diambil pun, mungkin belum kering sekali.
"Kelewatan . . . .!" ucap Nelly Ngantung ketika mobil mereka telah melewati
jembatan kecil ke luar dari Pasar Pelabuhan.
"Dari tadi kubilang biar aku yang nyetir supaya kau bisa memperhatikan pasar!"
"Itu di depan saja!" tukas Nelly sambil menyikut lengan kiri Mastery-Ketika
mobil mereka perlahan-lahan berhenti di sebelah kiri, persendian tulang Mastery
mendadak menggeletar, seperti kram. Sehingga pedal rem yang ditekannya ikut
menggigil. Dan kendaraan terasa bertambah berat.
"Apaan____nih?" ujar Nelly.
"Tak tahu . . . !" Ketika menjawab itu, sebenarnya Mastery sedang berusaha
sekuat tenaganya untuk menguasai kembali kekuatan-kekuatan yang berontak dari
dalam. Berdiri ia sejenak, sebelum melangkah ke seberang jalan.
Ke sebuah toko kelontong dua tingkat. Namun keadaannya semakin parah ketika ia
semakin mendekati pintu depan toko itu.
'Pak, permisi duduk sebentar . . . tiba-tiba badan saya ini begini," keluh
Mastery, setelah memberi salam lebih dahulu.
"Kenapa jadi begini, Bang Mas" Heran......ya!?" Nelly menggerutu.
"Sebaiknya kau pulang dahulu, . . . tinggalkan saja aku di sini. Nanti papamu
marah ....!" "Tidak ... !" tukas Nelly, "dia akan lebih marah lagi kalau aku pulang sendiri."
Yang empunya toko, Haji Mufti, telah terbiasa didatangi pengunjung yang
kelelahan, mungkin karena baru pertama kali merasakan udara pantai yang panas.
Apalagi pengunjung dari daerah dingin seperti Bogor dan Bandung.
"Badan saya ini, .... tak bisa dibohongi.... Pak!" resah Mastery, terkulai di
sandaran kursi, "Bagai ada apa-apanya di tempat ini dahulu!"
Nelly mencecahkan sapu tangan ke kening Mastery yang memercikkan keringat.
Hajjah Ramlah, istri Haji Mufti.
menghidangkan dua gelas air putih matang.
Haji Mufti tercenung sejenak mendengar kata-kata Mastery, kemudian menyahut,
"Mungkin! ... mungkin sekali! Tetapi saya heran, mengapa Om ini tahu?"
Mastery tersenyum memelas, "Kami belum kawin, Pak Haji. Panggil saja saya, Mas .
. . Mastery, atau Nak Mas.
Rasanya lebih akrab."
Haji Mufti tertawa ringan, dan mengatakan, "Sulit menentukan panggilan kepada
orang sekarang. Takut kalau-kalau dianggap kurang hormat kepada tamu."
"Tetapi ... ini dulu, Nak Mas!" Haji Mufti memulai ceritanya.
Haji Mufti mengatakan, bahwa jalan di sebelah tokonya sekarang ini dahulu tanah
miliknya juga. Ketika itu tokonya belum bertingkat seperti sekarang. Akan
tetapi, selalu saja seluruh modal jualan habis. Tak pernah mendapat keuntungan.
Pada suatu waktu dia diberi nasihat oleh seorang perempuan tua. Yang termasuk
orang zaman dahulu. Yang masih sempat merasakan bagaimana orang dari Cibadak dan
Sukabumi naik sado kalau ke Pelabuhan Ratu.
"Katanya, saya harus memberikan tanah saya yang di sebelah ini untuk jalan
gaib!" terhenti sejenak Haji Mufti.
"Pak Haji berikan, kan?"
"Ya,... .seperti terlihat sekarang. Dan bangunan di sebelahnya saya jadikan
bertingkat seperti sekarang ini.
Sejak saat itu, kami mulai bisa hidup dari toko yang sebuah ini."
Setelah mereguk air putih tadi, Mastery sedikit merasa badannya tidak selimbung
tadi lagi. Sungguhpun seperti masih ada suara-suara halus di dalam persendian
tubuhnya. Di antaranya dikenalnya juga ada suara seperti suara Antasias. Yang menjaga
Makam Syeh Jambak di kaki bukit Kumang, "Ayo, .... datangi dia . . . ikuti jalan
ini, sampai ke muara . . . .!" Mastery masih mengabaikan suara Antasias, yang tidak
diketahuinya entah sejak kapan kembali lagi.
"Kata orang, jalan ini jalan gaib Pajajaran!" ulas Haji Mufti.
"Apa rencana Bapak di tingkat atas?" ulas Mastery terpengaruh oleh jalan cerita
awal pembukaan jalan di sebelah toko itu.
"Kalau dikabulkan Tuhan, saya akan membuka Majelis Taklim!"
"Itu kalau dimudahkan Tuhan," Hajjah Ramlah yang sejak tadi hanya mendengar,
kini menukas. Jalan itu penuh dengan batu pecah yang digiling begitu saja. Sehingga mobil
mereka yang chasisnya rendah, harus berhati-hati sekali memilih jalan, agar
badan kendaraan tak ada yang tergerak dan kandas.
Daerah ini seperti daerah yang masih perawan. Berlainan dengan pantai Pelabuhan
Ratu sebelah kanan, yang sudah banyak dibangun hotel, penginapan, tempat
rekreasi, restoran dan Mess perusahaan.
Mastery menyapu matanya ketika melihat ke kaki gunung di sebelah kirinya. Nelly
yang memegang kemudi menikmati panorama pantai di sebelah kanannya.
"Sekejap tadi, seperti ada istana di atas bukit di sebelah kiri kita, Nel!"
"Istana apa. Itukan Cagar Alam Tangkuban Perahu yang kemarin sore kita lalui!"
"Mungkin cita-citaku ingin membuatkan istana untukmu itu yang terangan-angan."
"Jangan mimpi . . .!" sindir Nelly Ngantung, "tadi malam, Bang Mas terlibat
urusan dengan penghuni laut, sekarang ke mana lagi"!"
"Jalan saja . . ., cerewet benar, sih!" dengus Mastery bercanda sambil mengawasi
Cagar Alam Tangkuban Perahu yang seperti ada fatamorgananya berbentuk istana
putih seluruhnya. Istana itu seperti terbuat dari batu pualam. Di halamannya
yang luas, kelihatan banyak orang hilir-mudik. Juga berpakaian putih-putih.
"Ada-ada saja!" pikir Mastery. Perkiraan mereka, telah lebih 3 kilometer mereka
mengikuti jalan berbatu. Tak jauh lagi, tampak sebuah bukit kecil memanjang
lerengnya menuju Tangkuban Perahu yang terbayang di khayal Mastery tadi. Ketika
itu terasa tubuh Mastery menjadi berat kembali. Seolah-olah urat-urat nadinya
menggelembung-gelembung oleh tenaga yang berontak dari dalam. Tekanan darahnya
melebar ke atas sehingga lehernya seperti mekar dan urat-uratnya bertimbulan.
"Mau ke tempat Hyang Santri, Om?" tegur beberapa orang ketika mobil mereka
berjalan lambat sekali melalui tonjolan batu pecah-pecah.
Ketika nama Hyang Santri disebut mereka, tubuh Mastery berkelejotan meregang.
Sehingga kakinya lurus menekan ke depan. Kepala tertolak ke sandaran tempat
duduk. "Abang ini, . . . kena apa sih" Ayo kita kembali saja!"
oceh Nelly melambatkan mobil. Mastery menggoyang-goyangkan telapak tangan
kanannya. Seperti aba-aba melarang niat Nelly itu.
Semakin dekat, kelihatan beberapa liang samar-samar di kaki bukit berbentuk
kubah itu. Mastery semakin parah
kelihatannya. Dari dalam terdengar suara Antasias,
"Teruskan! Teruskan! Ini dia tempatnya!"
Mastery bagai tidak berdaya lagi untuk melanjutkan langkahnya. Dia minta dua
orang untuk memapahnya ke tempat Hyang Santri yang dikatakan mereka di
perjalanan tadi. Untung Nelly Ngantung mengerti apa yang dimaksud Mastery.
"Aki Rohom, . . .Lurah Basrah, . . . atau Hyang Santri, Om?" tanya mereka
memapah, Kudri dan Tamam.
"Hhhhyannng , . . Santri....," bersusah-payah Mastery mengucapkan kata-kata itu.
Sedangkan matanya seperti berkeinginan mendatangi tempat lain yang disebutkan
mereka. Demikian pula telunjuk tangannya. Terarah ke bangunan gubuk Aki Rohom
dan Lurah Basyar, yang terkenal juga sebagai tempat orang berkunjung, ri-yadoh,
dan bersemadi. Banyak pula yang bertapa.
Yang dikatakan tempat Hyang Santri itu, lebih jauh terpojok dari kelima pintu
gua. Melalui jalan setapak di tengah sawah, Mastery telah seperti orang
ketakutan. Akan tetapi dualis yang di dalam raganya lebih kuat menyuruhnya
mendatangi tempat itu. Antasias di dalam berkata lagi, "Sudah hampir! Dia ada!"
Orang tua yang dikatakan Hyang Santri itu, berdiri di lantai gubuknya yang
terbuat dari anyaman bambu dengan atap daun lalang. Sebagian rambutnya telah
memutih. Badannya sedang-sedang saja, tetapi kekar. Memakai baju kaus oblong, kain
sarung, ikat pinggang lebar dan tanpa penutup kepala, sehingga keningnya yang
luas terlihat berkilau oleh keringat udara pantai.
Mastery tertiarap di tepi lantai gubuk. Kedua orang yang memapahnya seperti
kehabisan tenaga. Hampir saja mereka
melepaskan beban mereka ketika beberapa langkah lagi akan sampai.
"Kunaon . . . nyak!" ucap Kudri, "belum ada orang yang seberat ini.'"
Kudri heran mengapa badannya yang kekar kuat seperti memikul berat lima orang
ketika menyangga berat tubuh Mastery.
"Tinggalkan dia....., "ucap Hyang Santri, "dan....."
"Saya .... saya .. . anu ... kawan seperjalanan, Pak,"
potong Nelly yang mengerti maksud Hyang Santri ingin menanyakan dirinya.
Hyang Santri bertelekan dengan tongkat. Kedua telapak tangannya terletak lemas
di atas penyangga itu. Ia menekuri Mastery yang hampir menelungkup di atas tepi
lantai anyaman bambu. Diperhatikannya dengan kewaskitaan. Tahulah ia, bahwa
manusia yang datang kepadanya bagai terdampar ini, sedang berada dalam rebutan
alam gaib yang tingkatnya tertinggi di pulau ini.
Dari tubuh itu dilihatnya berlapis-lapis bayangan yang mengancam Hyang Santri.
Bergerak seperti cambuk-cambuk berbentuk makhluk yang menerpa, orang tua itu.
Setiap terpaan akan menyentuh, kembali melorot, seperti kain basah yang
ditegakkan. Dengan mata gaibnya, kelihatan ada dua makam di seberang lautan yang ikut
mengantar orang yang sedang ditekurinya sekarang ini.
Hyang Santri meletakkan telapak tangannya ke atas kepala Mastery.
Mastery menengadah dengan wajah meringis. Telapak kakinya terasa bagai menyentuh
bara api. "Akhh, .... ada lagi yang lebih panas......aduuh guruuuuu.....!" rintih Mastery.
Sesaat wajahnya berubah kembali, dan terdengar siuran suara lairi, "Jangan
hiraukan, Hyang . ., teruskan .... sampai gurunya datang!"
"Siapa kau yang menyala ini?" tegur Hyang Santri dengan- tangan masih tetap di
ubun-ubun Mastery. Nelly Ngantung, sedih seperti akan menangis melihat nasib
laki-laki yang biasanya kukuh mendampinginya.
"Saya Antasias, . . . yang berusaha membawanya kemari, karena saya sendiri tak
sanggup menghadapi mereka yang banyak sekali di dalamnya."
"Asalmu?" potong Hyang Santri.
"Persetan .... anjing ....!! orang ini akan kami bunuh sekarang juga!" suara
parau seperti bermacam-macam tiba-tiba menyilang soal-jawab yang belum selesai
dengan Antasias. Kini kedua telapak tangan Mastery dengan jari-jemari seperti
mencekam, teracung ke atas, bagai hendak melepaskan kepalanya dari sentuhan
tangan Hyang Santri. Di antara telapak tangan dengan kepala Mastery, pelan-pelan merayap asap titik
lembut. Mengalun dan lambat-laun buyar dibawa angin. Seperti serat halus sutera,
kabut itu menerapa dinding gua. Dan terdengar hiruk-pikuk di dalamnya, "Siapa
lagi yang datang membawa gara-gara
.....kita jadi ikut panas .... huh!"
Di atas gua, terdengar suara perempuan menangis tersedu-sedu. Entah sedih entah
kesakitan. Mastery memekik memegangi kerongkongannya. Ia mengeluarkan muntah berupa lendir
kental berbungkal-bungkal. Dengan lendir ini, rupanya lubang napasnya akan
ditutup, dan nadi jantungnya akan disumbat. Setelah lendir
itu keluar dengan susah payah, napasnya mulai reda, raga dan jiwa aslinya
berkata, "Tolonglah saya, . . . Hyang ...
mereka tetap mau membunuh saya. Mereka semua ada di dalam!"
"Tunggu! Aku keluar dahulu!" sahut Antasias yang juga menggunakan mulut Mastery.
"Aduh, . .. aku bagai terkunci bersama mereka di dalam. Tolong lepaskan dulu,
Hyang!" Hyang Santri meregangkan letak tangannya sedikit.
"Kau mengapa datang lagi, . . .kau tak sanggup melawan mereka!" ujar Mastery
asli, yang dualis kekuatan rohnya bisa melawan. Seolah-olah ia melihat Antasias,
yang ikut bilur-bilur hangus di beberapa bagian anggota tubuhnya.
"Guru .... Guru . . ., kami panas, . . . aduh hangus ....
hangus, aduh . . . .!!" serentak dengan robohnya Mastery, melorot dari tepi
lantai, jatuh ke tanah. Diam tak bergerak.
Tubuhnya pucat. Ada beberapa menit keadaan mengandung keseraman terjadi. Nelly Ngantung
mengangkat kepala Mastery ke pangkuannya sambil meratap, "Bang Mas! Bang
Mas, . . ."jangan tinggalkan aku, Bang Mas! Aku mencintaimu!"
Tiba-tiba dengan gerakan perlahan tetapi pasti, Mastery bangun dari tanah.
Dengan mata terkembang nanap, ia memperhatikan Hyang Santri penuh arti dan
perhitungan. Kemudian seperti melihat ke bagian dalam dirinya sendiri.
Seolah-olah di dalam tubuh itu terjadi sesuatu yang menyedihkannya.
"Orang tua lancang! Kau apakan anak-anakku! Mereka dalam keadaan sekarat!"
ucapan itu suara berpengaruh kuat kepada yang mendengar.
"Anak buahmukah yang hendak membunuh laki-laki ini?" ucap Hyang Santri.
"Ya, . . . aku gurunya, terpaksa datang sendiri menghadapimu!"
Sejak tadi di gunungnya, Buraksa memperhatikan boneka tanah liat yang mengandung
sebagian roh anak buahnya, kelihatan berasap. Di beberapa tempat di tubuh boneka
itu kelihatan mulai hitam seperti terbakar.
Buraksa kemudian terpaksa menutup wajahnya dari pemandangan yang mulai hendak
menyambar dirinya sendiri pula. Beberapa lembar kain kafan yang teruntai pada
dinding gua di kaki Gunung Ceremai itu terbakar dengan tiba-tiba.
Dengan antena gaibnya, ia mengetahui bahwa ketujuh anak buahnya yang dikepalai
Jarkuz, tak berdaya menghadapi kekuatan baru yang jelas mampu
menghancurkan kekuatannya.
Buraksa menarik dirinya perlahan-lahan menuju ke permukaan batu hitam tempat ia
berbaring jika memerlukan sesuatu tenaga gaib melawan sesuatu tantangan. Kedua
telapak tangannya mem-barut kepalanya dari ubun-ubun menuju ujung kaki beberapa
kali. Sejenak pinggangnya melentik, kemudian melurus kembali, dan diam seperti
mati. Itulah saatnya ia memasuki tubuh Mastery untuk berhadapan dengan Hyang
Santri secara tak langsung.
Gua itu hening ditinggalkan roh penghuninya. Hanya sebuah dupa dengan api
melambai, membuat bayangan benda-benda di dalam masih bergoyang-goyang.
Anjing menggonggong panjang menengadahkan
kepalanya ke langit. Seolah-olah melihat roh Buraksa berangkat ke daerah barat,
Pantai Selatan. Burung hantu yang berlindung di dalam lubang kayu, menjadi gelisah karena ada
yang lewat di atasnya, membawa tenaga angkara murka menghancurkan. Seluruh gaib yang dilintasinya di
setiap gunung, melihat awan hitam berbau anyir melesat di udara. Bayi-bayi yang
di dalam ayunan, tiba-tiba tersentak menangis kejang, kena hawa lintasan itu.
Orok yang sedang menyusu, terpekik. Sang ibu menyangka, ada semut yang
menggigitnya. Dengan ayat Manunggal Sadak, Hyang Santri
menekankan telunjuknya ke kening raga Mastery. Sekejap, wajah itu meringis.
Berusaha membuyarkan kekuatan cahaya pijar yang keluar dari telunjuk yang
kelihatan seperti besi panas baru keluar dari bara itu.
"Haaakkhhhhh . . . hah . . . hahhhh," uap panas bercampur asap, keluar dari
mulut Mastery, digenggamkan dengan telapak tangan kanannya oleh Hyang Santri.
Kelihatan pegangan itu berasap, seperti meremas kain 'yang baru dicelupkan dari
Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
air panas. Akan tetapi roh Buraksa memaksa untuk menggenggam telunjuk orang tua
itu. Sebagian tenaga Hyang Santri tertahan karena pangkal telunjuknya dipencet- Namun
Buraksa telah mengorbankan genggamannya yang ikut hangus melepuh karena sekatan
itu. "Hahhhhhh . . . ha, ha, ha tak semudah itu mengalahkan aku, he! Kau juga akan
kubunuh, Santri!" dengan ucapan sombong, walau dalam keadaan kesakitan, roh
Buraksa masih mengancam. "Apa engkau mau merampas tugas Malaikat maut"
Mengapa anak buahmu kau suruh membunuh orang ini"!"
"Itu urusanku! Kita masing-masing telah memilih jalan sendiri!" bentak serak
suara gaib Buraksa di dalam raga Mastery.
"Sejak kapan kau membuat dosa seberat ini?" suara Hyang Santri tetap lembut dan
teduh gemanya. Pertanda di
dalam diri orang tua itu, masih kukuh berpijak pada tempat berdirinya semula.
"Aku memang menerima upah untuk membunuhnya! Ini
. . . ini dari ayahnya ini . .". .!" ucap Buraksa mengarahkan telunjuk kiri
Mastery kepada Nelly Ngantung.
Nelly tertegun. Kini baru dia yakin bahwa ayahnya memang menggunakan tenaga gaib
untuk menghilangkan nyawa Mastery.
Hyang Santri tetap berkata dengan suara lemah lembut, tanpa melepaskan ujung
telunjuknya dari kening Mastery, melontarkan kata-kata penuh hikmah berisi
petunjuk. Mengingat, betapa besar dosa kelak di suatu waktu yang panjang tak berujung,
bagi seseorang yang berada di kerak
.neraka Syaqar. Apalah artinya sejumlah uang, pengganti masa yang panjang itu,
yang bahan bakarnya terdiri dari batu dan jin, serta manusia.
"Akhhahhhahhh . . . !" ucapan Buraksa semakin lemah, membawa tubuh Mastery
merosot duduk di lantai anyaman bambu.
Sungguhpun telunjuk Hyang Santri tidak dipakukan, tetapi tak sanggup digerakkan
oleh genggaman Buraksa. Cengkeraman tangannya, hanya, bisa melingkar pada suatu jarak beberapa inci saja
dari telunjuk itu tertekan. Dan juga tidak dapat menarikkan kepala Mastery ke
belakang. Ketika dicobanya, mata Buraksa mendelik hampir putih seluruhnya, dan
kerongkongannya seperti tersumbat.
Seolah-olah nyawanya yang berada di raga Mastery akan lepas.
Sementara itu, api dupa di gua Buraksa, melambai-lambai lemah. Mengecil dan
membuyar kembali, ketika Buraksa mengerahkan tenaganya.
Hyang Santri masih terus memberi nasihat, sungguhpun dibantah dengan keras, "Tak
usah dakwah, . . . aku sendiri pun dulu Ajengan!!!"
Hyang Santri terpukau. Ia selalu menilai sesuatu dari sudut yang baik.
Bagaimanapun, di dalam hati manusia isejahat apa pun, tentu masih ada setitik
cahaya keimanan yang terselubung oleh dosa dan kabut hitam.
"Syukuuuuuur . . . Tuhan mempertemukan saya denganmu, Buraksa, syukur!" ucap
Hyang Santri lembut mengelus, "kita yang sudah tua-tua ini, seharusnya nasihat-
menasihati." Ketegangan agak mengendor. Buraksa seperti kehilangan sebagian nafsunya untuk
membunuh. Matanya nanap memandang lantai di bawah kaki Hyang Santri.
"Memang . . . , jalan saya penuh dosa . . . dan Tuhan tidak akan mengampunkannya
lagi. Akhhh, karena itu aku teruskan jalan ini . . .. membunuhmu, dan laki-laki
ini!" "Kurasa yang mendorongmu bukan karena uang saja, Buraksa!"
"Ya, . . ya. . . ada kekuatan gaib lain yang mendorongku.
Kalau tidak, aku akan dimusnahkan mereka."
"Siapa itu . . .coba katakan?" pinta Hyang Santri lembut.
"Tak boleh kukatakan, selama pulau ini masih timbul di permukaan laut!"
"Baiklah, . . . ada lagi yang lebih kuat memaksamu!
Sungguhpun tidak kau sebutkan, aku maklum. Sebaiknya kau. pulang dan- bertaubat
membawa anak buahmu kembali. Dan lepaskanlah mereka sebagai makhluk Allah yang
bebas!" Soal-jawab ini aneh bagi orang yang tak biasa menyaksikan peristiwa alam gaib
yang tinggi tingkatannya.
Seperti permainan sandiwara alam saja. Tiba-tiba Buraksa mengangkat tangan
kanannya yang kelihatan hangus pada bagian telapaknya, dan mengeluh, "Memang
tangan ini yang berlumuran dosa. Tak terkira lagi berapa yang sudah kubunuh!"
"Tobatlah . . . Buraksa. Allah Maha Penerima tobat seseorang!" bujuk Hyang
Santri. Wajah Buraksa di belakang wajah Mastery yang tadinya mengeras, kini berangsur
cerah, dan terdengar ia mengeluh,
"Aku akan berusaha .. . ! Asal saja kekuatan di belakangku bisa melepaskan aku
pula! Dan tangan yang banyak mengambil nyawa orang ini akan kusingkirkan
dahulu!" Dimulai dengan berkelit menuju ke pinggang, seperti gerak seseorang mengambil
sesuatu sungguhpun di pinggang Mastery tidak ada benda nyata yang kelihatan,
tangan kirinya mengibas seperti gerak menebas, terarah ke pergelangan tangan
kanan, dengan iringan pekik.
"Akhkhkhkhhhh .. .!!"
Raga Mastery jatuh tersungkur hampir mengenai ujung kaki Hyang Santri yang telah
melepaskan tekanan telunjuknya.
Buraksa yang terbaring di atas batu hitam dengan keris pusaka di pinggang,
menggeliat dan memekik ketika pergelangan tangan kanannya putus. Darah memancur
melumuri batu hitam. Masih sempat ia melihat telapak tangan dan jari-jarinya
bergerak-gerak ketika baru saja terlepas dari pergelangan. Seperti gerak cakar-
mencakar kaki kepiting yang akan mati, akhirnya jari-jemari itu diam tak
bergerak lagi. Tinggal Buraksa yang bangun dengan cepat, lalu menyambar sobekan
kain untuk mengikat bagian yang putus itu.
Dia bersimpuh dengan tangan teracung ke langit menghadap Kiblat. Seluruh
peralatan magis di dalam gua bergoyang-goyang bagai dilanda gempa. Api di dalam
jambangan berbentuk kepala manusia mendadak padam.
Akan tetapi, . . . .dari tempat-tempat jauh .... mulai berdatangan utusan-utusan
untuk memaksanya kembali ke jalannya semula.....
*d*w* VI MUNGKIN benar kata orang bijaksana, bahwa
perjalanan hidup manusia sebenarnya mempunyai naftu
perjalanan hidup para Nabi pula. Sungguhpun meliputi teritorial yang lebih
kecil. Sulaiman a.s. berusaha meliputi kekuasaannya dengan cara menaklukkan Ratu Balkis
dengan bantuan para jin seperti Ifrid.
Yulius Caesar, mengimbangi kekuasaannya dengan jalan mengawini Ratu Mesir
Cleopatra. Seperti yang digariskan para Dewa Yunani dan Mesir, Tuk Ang Among
atau Tuk Ang Ra. Apakah Mastery yang lahir di daerah lintang khatulistiwa, membawa titisan gaib
pula untuk menaklukkan Nelly Ngantung dari culabesi" Itulah sebabnya Tuan
Wulungan, dihasut alam gaib agar menghancurkan hubungan kedua insan yang
memperoleh tenaga beradiasi kuat karena hubungan itu. Apakah mungkin missi yang
dipikul lebih kuat sehingga Cleopatra bunuh diri dengan seekor ular tanah yang
kekuatannya diperoleh dari mengambil tenaga matahari dengan matanya.
Nelly Ngantung sendiri terkatung-katung di antara perasaan cinta yang amat dalam
kepada Mastery. Sementara Mastery disibukkan oleh usahanya mengikis duri-duri kekuatan gaib yang
ingin menguasai dirinya. Dan Tuan Wulungan yang serakah dunianya diliputi setan,
tidak sadar bahwa dirinya dipergunakan alam gaib hitam untuk menyekat kekuatan
yang mungkin timbul dari perkawinan Mastery dengan Nelly.
Dan adakah ranji-ranji perkawinan seperti ini meliputi manusia lain di pulau
ini, sungguhpun dalam prahara spiritual yang lebih kecil sekalipun"
Setelah Hasbullah berjumpa dengan Mastery di Medan, ia berusaha mencari Mastery
kembali di Jakarta. Dengan
bertanya kepada beberapa wartawan freelance yang pernah bergaul tak begitu rapat
dengan Mastery. Karena mereka tidak dapat memahami bahan yang diberikannya untuk
dijadikan tulisan dengan topik aneh.
"Benar . . . ," ucap Hasbullah, "saya pun bermula mendengar kisah hidupnya
seperti kisah orang sedeng atau sinting."
Darmawan sejenak tersimak. Karena ia juga belum dapat memahami apa yang
diceritakan Mastery kepadanya.
Tentang apa yang dialaminya. Tentang di dalam dirinya ada berbagai tenaga yang
saling tolak-menolak atau menguasai. Kini Hasbullah menyeberang dari Sumatra
mencari Mastery, karena mulai merasakan apa yang sedang dijalani Mastery menuju
suatu sejarah yang penuh tanda tanya di masa yang akan datang.
"Begitu berpisah dengan dia, malamnya aku bermimpi,"
ucap Hasbullah, sambil meletakkan cangkir kopinya kembali, "mimpi aneh yang
tidak pernah muncul selama hidupku."
"Kalau boleh aku tahu mimpimu itu," sela Darmawan yang berasal dari Jawa Tengah
menyorongkan piring tempe goreng kepada Hasbullah.
"Kalau tidak salah malam Jumat!" Hasbullah memulai,
"sampai di sini, baru kujumpa kalender yang menyatakan bahwa malam itu adalah
malam Jumat Kliwon. Di seberang, seperti kau ketahui sendiri, . . . orang tidak
begitu terasa penting dengan Wage, Kliwon dan sebagainya itu."
Darmawan tertawa, dan menukas, "Bisa saja kau, . . .
.memang begitu kalau jauh dari Pulau Jawa! Sekarang kau mulai mengakui pengaruh
nama-nama hari itu bukan?"
"Ini mau mendengar atau memasukkan Ja-wanologimu kepadaku," sambut Hasbullah
yang tampangnya seperti peranakan Arab.
"Nah, .... kelihatan gila Aceh itu masih kuat bertengger di hatimu," balas
Darmawan, "mudah marah dan panas!"
Wartawan-wartawan muda pada generasi ini, cepat menjadi akrab. Dan bicara
seenaknya, tanpa perlu merasa tersinggung dengan ucapan-ucapan sinis. Berlainan
dengan wartawan-wartawan kawakan "tempo doeloe", yang selalu rapi menyusun
kalimat dan kata-kata mereka dalam berdebat atau simposium dengan bidai-bidai
ketimuran yang lembut. "Kau Jawa goblok!"
"Goblok-goblok perkebunan di sana pasti terlantar jika tidak ada kami!"
Hasbullah tersentak cerah, menukas, "Benar . .. benar!
Setiap suku ada keistimewaannya."
"Mawan . . . !" ada suara memanggil di luar warung.
"Mawan, mobilmu ada yang nabrak!" Dino, tukang parkir yang merangkap Satpam di
percetakan harian ibu kota, mendatangi pintu warung.
Darmawan terperanjat bangun. Sehingga kursi duduknya jatuh ke belakang.
"Persetan! Siapa sih yang sok jagoan itu?"
"Hehe . . . , Jawa bisa juga marah, ya"!" ucap Hasbullah, ikut beranjak ke luar
warung. Mang Dino, menghadapkan Darmawan dengan orang yang menabrak lampu belakang mobil
Citroen Darmawan. Setelah jarak tinggal beberapa langkah, sopir penabrak yang tadinya menekurkan
kepala seperti bercermin ke kaca spion,
mendongakkan wajahnya, dan menyongsong Darmawan dengan kata-kata, "Kalau tidak
ditabrak sedikit, orangnya tidak keluar, dan tahu berada di mana!"
"Busyettt . . kau Mastery! Ayo ganti lampu sign itu."
"Sepuluh ribu . . ?" Mastery meraba kantong belakangnya, untuk sementara, tutup
saja dulu dengan plastik merah!"
"Kau menghina, ya" Mentang-mentang punyamu Honda Life. Mobil kecil gitu aja tak
jungkirkan ke parit!"
"Siapa temanmu di dalam?" Mastery melangkahi bahu Darmawan dengan pandangan
matanya. "Hahahh, ... itu Aceh gila itu mencarimu . . !"
"Siapa . . . ya?" ulang Mastery.
"Lihat sendiri . . . !" rutuk Darmawan sambil meraba-raba lampu sign belakang
mobil dan memperhatikan pecahan kap lampu yang berserakan.
Pertemuan yang menyentak itu, seperti bunyi pecahan beling mengganggu orang lain
sedang minum. Mengetahui ujung pangkal sebab meledaknya suara pertemuan kawan
lama, mereka mengerti dan tidak memedulikan mereka lagi.
Darmawan cepat berlari kecil ke tempat semula ia duduk, "Nanti aku ketinggalan
mendengar cerita kalian yang tak masuk akal itu."
"Sudah pulang dari Datuk Tuah malam itu, malamnya aku langsung mimpi," Hasbullah
memulai, sungguhpun masih kesal kepada Darmawan yang masih sinis,
"Kepadaku diperlihatkan Pulau Sumatra dan Pulau Jawa ini, sebagai satu kesatuan
yang panjang bentuknya, seperti ular phyton. Tetapi lebih mirip dengan bentuk
naga, dengan kaki yang samar-samar."
"Di mana ada naga sekarang ini," potong Darmawan, melipat tangannya di atas
meja. Hasbullah marah, karena Darmawan memotong, "Itu di kelir wayangmu pun
masih ada!" "Intermezo kan boleh!"
"Tetapi bagian kepala ular naga itu berketo-pong seperti mahkota! Apa artinya
itu Teri"!" "Ya .... ibu kotamu dahulu itu, Kotaraja!"
"Hahhhhh. . . .!"rengah Hasbullah, "karena tiba-tiba dasar mimpinya beralasan."
"Dan Gunung Serandil dikatakan orang Gunung Aceh berasal dari salah seorang
mandor kebun, yang dahulunya bekas buangan Nusakambang-an. Kini, ia mengepalai
buruh di perkebunan kelapa sawit!" tambah Hasbullah.
Mastery menekurkan kepala, dan menyahut, "Ada-ada saja, apakah itu sanipo"
Apakah hubungannya sebenarnya?"
Darmawan terperangah heran.
Hasbullah kelihatan bersemangat, "Mandor Sangkar Rogo yang sudah tua itu
mengatakan bahwa ketika ia masih berumur tujuh tahun ia melihat banyak meriam
Belanda porak-poranda di Gunung Serandil Cilacap. Ketika ditembaki Belanda,
gunung itu mengeluarkan cairan seperti darah."
"Gunung kok seperti makhluk?" oceh Mastery.
"Siapa yang mau percaya yang begitu di abad teknologi ini!" tukas Darmawan.
"Kau sebenarnya berterima kasih, Mawan . . .!" rutuk Hasbullah yang memang
bertemperamen tinggi, "jika ada orang yang berusaha mengungkap misteri pulau ini
sebagai keutamaan di masa yang akan datang!"
"Oke . . .. oke .. . !" Darmawan, memperlihatkan kepatuhan mendengar.
"Romo Sangkar Rogo mengatakan, Raja Aceh pernah bertitah kepada Belanda dahulu
bahwa kalau mereka hendak menggempur dan mengalahkan Aceh, gempur dahulu Gunung
Serandil! Apa maknanya, ya?"
"Nyatanya . . . digempur?" ulas Mastery.
"Yah . . . nyatanya Aceh juga dijajah Belanda, sungguhpun tak selama pulau
lain!" jawab Hasbullah ' yang berusaha memberi nilai obyektif dan menghilangkan
perasaan kesukuannya. "Kapan putusannya pulau ini dari bentuk ular naga sehingga seperti sekarang?"
Darmawan tampaknya mulai ikut serius mendengarkan mereka.
"Dalam Jangka Joyoboyo, mungkin yang disebut di zaman Tirta barangkali. Habis, .
. . umur dan dinas Pemerintahan manusia di bumi ini kan sangat kerdil jika
dibandingkan dengan umur bumi dengan segala perubahan bentuk pulaunya," Mastery
menge tengahi. "Gadismu tak ikut, Teri?" tanya Darmawan, "cantik, seperti besi putih!"
"Pasti dong, . . . aslinya Culabesi, kok!"
"Agamanya, apa sih?" Hasbullah, yang juga sudah mendengar selentingan tentang
gadis yang dikatakan Darmawan dari mulut Mastery sendiri. Bahkan Mastery
mengeluh, mengatakan ceweknya belum beragama.
"Besi putih tidak dimakan karat, kan?"
"Mana yang bagus, ya?" ulas Darmawan, berseloroh.
"Besi biasa, jelek tetapi mengandung magnit sebagai sumber api. Sedangkan besi
putih tidak mengandung sumber api tetapi mengkilap!" potong Mastery, "dan yang paling baik untuk
dijadikan rangka yang kebal karat."
"Nah, sekarang aku mengerti!" sambut Darmawan,
"tempat duduk mesin juga paling baik dari besi putih!"
"Maksudmu, . . . yang harus diduduki, si Tery?"
Hasbullah mulai ngacau lagi.
Mastery menyatakan pandangan imaginasi in-
konvensionologinya, bahwa Pulau Jawa sekarang berbentuk harimau, sulbi dan
ekornya adalah Pulau Madura yang telah mulai putus oleh selat. Seperti juga
putusnya pulau-pulau kecil di bagian timur, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores dan
seterusnya. Dan Jakarta terletak pada tengkuknya."
"Wah . . . wahhh-! Berarti beban atau tanggung jawab, dong," ulas Darmawan.
"Jangan ngoceh saja, nama Jakarta asli pun, barangkali kau tak tahu, ayo!"
Mastery menantang. "Sunda Kelapa!"
"No,. . . ," sahut Mastery.
Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jayakarta____!"
"Gundulmu____!"
"Batavia ....!' "Lebih gundul' lagi," potong Mastery, "Yang betul adalah Padang Gambir."
"Aneh . . . !!!" dongak Darmawan.
"Itu sebabnya ada stasiun Gambir. Goblok amat sih, lu!"
Hasbullah yang merasa memperoleh inspirasi, cepat memotong.
"Ini ilmu tua . . .!" ucap Mastery meneduhi Darmawan dan Hasbullah. "Di bawah
kota ini pun ada lelembutnya."
"Akh . . kuno! Itu kuno . . . !" tuding Darmawan sambil mematahkan puntung rokok
Marlboro-nya ke asbak. "Rokokmu saja dari Amerika, mana bisa lagi kau memahami pulau kelahiranmu
sendiri!" rutuk Hasbullah.
Mastery mengatakan lelembut Jakarta adalah Mbah Sambar Angin. Karena itu
penyakit penduduk Jakarta kebanyakan berasal dari angin, muntaber, influenza,
perut gembung dan banyak buang angin. Orang lain yang ikut mendengarkan
pembicaraan tiga sekawan aneh itu, jadi ikut-ikutan juga tertawa mendengar
penyakit terakhir penduduk Jakarta adalah buang angin. Sebagian pengunjung yang
semula sedikit kesal karena keributan pembicaraan mereka bertiga, jadi ingin
ikut mendengar, apakah itu dongeng......atau legenda .. . atau memang ada
benarnya. "Pantas Menado ceweknya cakep-cakep," renung Darmawan, "Culabesi besi putih
stainless steel rupanya."
"Mirip Sunda itu," Hasbullah menukas.
Mastery tersenyum karena imajinasi kedua temannya terbuka sendiri, dan ia
mengetengahi, "Sudah itu besi baja yang ada magnitnya pula lagi!"
"Kami Aceh, kenapa tak kau sebut, Teri!"
"Akhhh . . . kamu itu kan kepala ular berbisa! Itu makanya namanya Ule Ulheu,
kepala ular. Jadi cewek kamu biar cantik, ada rencongnya, berbahaya!"
Ketika itulah Mastery merasakan tubuhnya memberi tanda lain lagi.
Kerongkongannya terasa seperti ada sesuatu yang akan termuntah.
"Kau sakit" Mungkin terlambat makan, Teri," tegur Hasbullah.
"Tidak . . . tanda seperti ini selalu datang, jika aku terancam!"
"Maksudmu, terancam siapa" Penembak misterius, barangkali," Darmawan yang urakan
kembali berkelakar. "Hampir sama, tetapi yang ini dari alam lain!" sambung Mastery, "aku harus pergi
sekarang juga!" "Sedang dalam keadaan begini?" Hasbullah mulai tersimak.
"Kalau mau ngantar, boleh," kata Mastery mulai tersendat.
"Kalau memang membahayakanmu, kami akan mengantar!" Darmawan jadi ikut mulai
berperha-tian. "Nyawaku yang menjadi taruhannya!" rintih Mastery.
"Ayo ... ayo .. sekarang juga! Ayo .... Wan ... pegang dia. Kita pakai satu
mobil saja," usul Hasbullah.
"Nanti mogok. Sudah kadaluarsa, sih," Darmawan mengulas.
"Nyatanya dia pakai itu ke seluruh pelosok," Hasbullah membopong ketiak kanan
Mastery. Darmawan di sebelah kiri. Sampai di mobil, Mastery langsung tergeletak
di jok belakang, dengan sikap seperti akan muntah-muntah.
"Ayo, ini minyaknya irit. Tak usah singgah ke galon lagi!"
Mobil kecil meluncur dengan kecepatan sedang. Hampir 4 jam, pada pukul 11.30,
mereka baru tiba di Pelabuhan Ratu. Langsung menuju ke tempat Hyang Santri.
Mastery disambut Hyang Santri. Dia mengatakan bahwa pukul 8 pagi tadi gelombang
ether telah membawa berita itu kepadanya. Rasanya seperti dari Pantai Selatan,
di bagian lebih ke timur Pelabuhan Ratu.
"Ujung Genteng, Hyang!" ucap Darmawan yang merasa apa yang ditanggung Mastery
bukan main-main lagi. "Lebih ke timur lagi," ujar Hyang Santri, "tetapi sudahlah. Kita kan tidak
mengundang." Hyang Santri masuk ke dalam kamar yang kelihatan digunakannya khusus untuk
ibadah. Kemudian ia keluar dengan menjinjing sebuah sajadah, kelihatan ada
beberapa aksara tersulam di bagian kepala tempat bersujud.
"Cepat pulang, sebelum malam. Dan sesudah isya, tidak boleh berada di luar
lagi!" perintah Hyang Santri, "Hyang akan mencoba apakah ia dapat membela diri
sendiri sekarang. Karena sekarang tak sempat mengajarkan kepadanya, bawa pita
kaset ini pulang. Di dalamnya ada tiga rangkup doa, yang disebut doa tiga kali
tujuh untuk menahan itu."
"Bagaimana kalau dia belum dapat menghafalnya, Hyang?" susul Hasbullah, yang
tiba-tiba seperti telah akrab sekali dengan orang tua yang baru dikenalnya itu.
Sifat pengayom dan kebapaannya sangat terasa. Sungguhpun ada sedikit kerut di
pangkal hidung dan di sudut mata orang tua itu ada tanda-tanda, bahwa ia juga
bisa marah luar biasa. "Aku akan mengawasinya dari jauh, tanpa membantu!"
ucap Hyang Santri bersikap tidak akan memberikan wejangan lagi. Dia diam berdiri
menghadap sejajar dengan Gunung Gendokan Kuda Sembrani, di sebelah kiri teluk
Pelabuhan Ratu. Seolah-olah di sana sedang bersiap-siap suatu kekuatan yang akan
datang malam ini juga. Di
tempat yang rupanya telah dikunjungi Tuan Wulungan lebih dahulu.
Sesuatu peristiwa bergoncang hebatnya mahligai kerajaan Buraksa, kelihatannya
Pandito berilmu hitam itu sedang mengemasi dirinya. Karena itu Tuan Wulungan
dikendalikan alam gaib yang penasaran, mencari kekuatan lain dari salah satu
gunung di pantai Selatan.
Melihat Hyang Santri kelihatan seperti tidak lagi memerlukan kehadiran mereka,
Hasbullah dan Darmawan yang tiba-tiba telah ikut terlibat dengan perjalanan
Mastery, dengan tergopoh-gopoh melarikan Mastery ke tempat kostnya di Jakarta
Selatan, di daerah Tanah Kusir. Dalam perjalanan tak ada yang aneh. Selain mobil
kecil itu terasa berat sekali. Seolah-olah di atas atap kendaraan itu, ikut
penumpang lain yang tidak kelihatan oleh mereka.
Sementara Mastery tetap tertengadah kepalanya ke lengkungan langit-langit mobil
itu. Ibu tempat kost Mastery, selama ini memang sudah merasakan sedikit keanehan pada
diri Mastery. Tidak bekerja, dan selalu mendapat kiriman dari Palembang, tetapi
terkadang sibuk dengan sesuatu urusan yang tidak jelas kegunaannya.
"Mengapa lagi dia, dan, anak yang mengantar ini, siapa?" tanya ibu kost
mengiringkan mereka membawa Mastery masuk ke kamar.
Hasbullah menerangkan dengan singkat, siapa mereka.
Dan Darmawan menunjukkan kartu identitas dirinya.
Kebetulan pula ibu kost akan mengunjungi kakaknya malam itu di Suralaya. Jadi
rumah diserahkan kepada mereka bertiga.
Darmawan bertugas membeli nasi bungkus karena ibu kost tidak meninggalkan
makanan yang sudah dimasak, menyangka Mastery tidak akan pulang.
'Apa perlu kami beri tahu Nelly!" ulas Darmawan.
"Jangan!" sahut Mastery cepat. Ia minta didudukkan di atas sajadah yang
diberikan Hyang Santri siang tadi.
Hasbullah yang ingin mengetahui apa isi pita kaset tadi, segera memutarnya di
taperecorder kecil kepunyaan sendiri.
Yang biasa digunakannya untuk mewawancarai orang-orang tertentu, yang
dianggapnya bisa memberikan bahan-bahan berita penting.
Dengan jelas zikir itu terdengar. Tubuh Mastery mengerut seperti ulat
tersinggung batu panas. Mulutnya megap-megap menghirup udara pengap. Sedangkan
tangannya terkembang seperti menahan sesuatu yang ke luar dari dalam pita kaset
yang sedang berputar perlahan itu.
Pelan-pelan reaksi menegang itu berkurang. Sampai Mastery agak sadar, dan
menyadari bahwa ia telah berada di rumah.
"Sebaiknya kalian tak usah ikut bermalam di sini!" ucap Mastery kemudian.
"Ibu kost tahu bahwa kami bersamamu," sambut Darmawan, "jika kau cidera
bagaimana" Apa kami tidak disangka terlibat?"
"Kami akan berjaga-jaga di kamar ibu kost, yang di depan!', usul Hasbullah.
Sejak pukul 9.00 malam, Mastery telah mulai menghafal zikir di dalam pita itu.
Untung lafaz aksaranya lambat dan
jelas, mengumandangkan suara Hyang Santri. Menambah keyakinan di dalam diri
Mastery. Akan tetapi masih ada saja suara membentak-bentak dari dalam dirinya.
"Kau sangka semua itu ada gunanya . . . Sejak zaman manusia pertama menginjakkan
kakinya di sini, telah ada janji . . . .Itu yang membuat kekuatan manusia
berilmu seperti tak ada gunanya menghadang jalan kami!''
Mastery berusaha tidak mengacuhkan godaan itu.
Sungguhpun iman di dadanya bergoyang juga mendengar ancaman gaib itu.
Kemudian suara itu pindah lagi dari atas kepalanya ke arah belakang.
"Wali-wali dahulu pun tak mampu membendung kekuatan kami. Sehingga mereka hanya
bergerak di tempat sebatas kami tentukan!"
"Tetapi, apa salahku?" pekik Mastery dengan kepala tertengadah.
"Karena darahmu berisi misi almarhum kakekmu dahulu!" sahut suara gaib itu lagi,
dilatarbelakangi suara-suara banyak menggerenyam.
Dari pukul 11 lewat, Mastery telah beberapa kali shalat sunat. Kemudian duduk
menanti dengan seluruh indera tubuhnya bersiap. Darmawan dan Hasbullah, di kamar
depan, merasa terkunci oleh jepitan ether di sekeliling mereka. Membuat mereka
berat untuk melangkahkan kaki ke luar kamar.
Mastery mulai mengiringkan zikir dan ayat yang berbunyi di pita kaset itu. Ia
mulai hafal sepotong-sepotong.
Padahal biasanya tidak secepat ini ia mampu menghafal sesuatu.
Pertama sekali dirasakan Mastery bubungan rumah bagai bergoyang. Semula
dikiranya hanya perasaan semata. Akan tetapi sudut matanya melihat sangkar
burung perkutut itu juga bergoyang seperti dilanda gempa.
Kemudian terdengar tujuh kali bunyi siulan panjang mengelilingi rumah.
Dan bunyi pegangan daun pintu diputar ke atas ke bawah, seperti ada orang akan
masuk dan minta pintu dibukakan. Hasbullah yang berada di kamar depan juga
mendengarnya. Darmawan, yang rupanya dari luar bernyali kuat, pucat dan
sebentar-sebentar masuk kamar mandi untuk buang air kecil.
Ada sesuatu benda berat yang naik ke atas atap seng.
Terdengar atap itu bagai digoresi oleh pecahan-pecahan kaca tajam, atau seperti
kuku menggesek kaleng. Beberapa kali nyaris mencapai bubung rumah, tetapi
melorot kembali ke bawah. Di bagian belakang rumah, terdengar benturan-benturan
pada dinding luar, seolah-olah ada kerbau yang sedang menggesek-gesekkan
badannya ke pohon kayu. Untung semua jendela berterali besi di bagian dalam.
Burung sintil yang kata orang berbunyi jika ada orang akan mati, menciap-ciap
jauh di ujung pohon angsana.
Sungguhpun" burung itu badannya hanya sebesar empu jari tangan, tetapi
lengkingannya mengandung roh pembawa maut, mengumandang berkilometer di daerah
Tanah Kusir. Ketika itu sebenarnya ada tujuh harimau siluman yang sedang mengelilingi rumah
itu. Dua ekor sedang berusaha masuk dari atas lubang rumah.
Mastery bersikap seperti orang akan bersilat. Di dalam dirinya, terdengar lagi
suara kedua yang menekan kesadaran aslinya, "Masuk .. . cepat! Dan gigit
tengkuknya, . . . kita bawa malam ini juga!"
"Coba . . . cobalah angkat! Cobaa ...!" hardik kesadaran Mastery disertai
gerakan seperti mendudukkan dirinya, lebih rapat ke permukaan lantai di atas
sajadah. Beberapa kali tubuhnya tersedot oleh kekuatan gaib.
Hampir terangkat dari sajadah. Akan tetapi sajadah itu bagaikan berubah menjadi
lintah besar yang melekat erat sekali, tidak mau lepas dari lantai kamar.
Beberapa kali terdengar suara meng-gelepak. Sajadah itu akhirnya terangkat lalu
kembali jatuh terhampar bersama Mastery di atasnya. Dan setiap itu pula Mastery
mengatur duduknya kembali menghadap Kiblat.
Suitan yang terakhir mendengingkan telinganya. Seperti peluit uap sebuah pabrik
didekatkan untuk merusak gendang alat pendengaran itu. Mastery menutup
telinganya dengan kedua pangkal lengan yang dirapatkan!
Didahului oleh sebuah ledakan kecil di lantai kamar, muncul kepala jamur merah
sebesar ujung peluru. Mengeluarkan asap setipis asap puntung rokok. Mata Mastery terpukau oleh tenaga
jamur yang kelihatan lemah tetapi memecahkan ubin lantai itu. Mengorak cepat
seperti payung. Ruangan kamar segera dipenuhi bau yang aneh.
Hampir sama dengan pedas udara di tempat orang sedang menempa barang besi dengan
api berbahan bakar batu bara.
Kemudian dari beberapa lubang angin berbentuk bintang dan dari celah-celah daun
jendela, meresap tali asap bagai cemeti putih berjela-jela, dan berputat-putar
di depan Mastery duduk. Hampir sama dengan gumpalan asap yang dijalari cahaya senter, asap itu menjelma
menjadi bentuk tubuh perempuan tua yang mata kanannya picak sebelah.
Mulutnya yang setengah terbuka, berlinang gelap, dengan bibir berkerut-kerut
merah darah. "Pasti si Hyang Santri lagi yang menghalangi!" ucapnya sambil menudingkan
telunjuk kanan berkuku panjang.
"Mengapa dari Gunung Salak ia sampai di Pelabuhan Ratu"!"
Mastery mendengar makhluk itu menyebut nama Hyang Santri dengan jelas. Ketika ia
tertegun, nenek tua itu maju selangkah lagi. Namun terhenti kembali begitu
Mastery melafazkan zikir. Nenek tua itu bertahan dengan tongkat, yang kelihatan
terbuat dari batu pilihan berbentuk akar hitam.
Pikiran Mastery menyimak kejadian. Ada yang mengatakan bahwa Gunung Salak adalah
induk gaib Pelabuhan Ratu. Apakah ada jalan di bawah tanah dari gunung itu
sampai ke Pelabuhan Ratu, tempat Hyang Santri"
Di atas atap masih terdengar sosok-sosok berat, melesot-lesot lalu melorot
kembali. Si nenek mengerahkan seluruh tenaganya sehingga dalam wujud asap putih
bergetar, ia maju untuk merekah kepala Mastery yang masih tetap tetunduk tak
mampu mengelak. "Sekali ini aku tak akan kalah!" ucap si nenek, dan tangannya terus bergerak ke
ubun-ubun Mastery. Akan tetapi entah dari mana datangnya, sebuah benda seperti
pedang lentik berbentuk hampir sama dengan bulan sabit, melayang seperti
kitiran, mengeluarkan kerdipan cahaya seperti pelangi. Diiringi bunyi mendesis
yang amat tajam, menyebarkan angin dingin merasuk ke dalam persendian tulang,
putaran pedang seperti kitiran kencang itu menghadang kedua cakar si nenek yang
sudah akan menyentuh kepala Mastery.
Nenek tua itu terpekik. Kedua telapak tangannya yang tadi seperti tabung kaca TL
yang bercahaya pijar, kini
ditulari cahaya kitiran itu, sehingga jari-jemarinya menggeletar keras. Lalu
mendadak tergenggam dengan kuku-kuku berpatahan, seperti bara rapuh. Ia
melenting, melentur seperti tepung pulut yang drtarik dari lantai.
Terhirup ke lubang angin, diiringi'beberapa benda berat yang berjatuhan dari
atas atap. Nenek penguasa Gunung Pamenpeuk melejit. Membawa tujuh harimau silumannya yang
gagal menjemput Mastery. Kamar yang tadinya seperti udara dalam ketel uap asam arang, berangsur-angsur
melegakan napas. Mastery duduk dengan hampir seluruh baju di badannya lengket
oleh keringat. "Mastery . . . Tery . . . dia sudah pergi . . . !" kata Darmawan, "kita
berhasil!" Ucapan kita dalam seruan Darmawan sebagai pernyataan bahwa ia telah
ikut memahami kejadian gaib itu. Padahal dulunya segala pengalaman Mastery itu
dianggapnya pengalaman orang sinting di zaman teknologi.
"Kau tidak apa-apa"!" bujuk Hasbullah, yang melihat ujung hidung Mastery
digantungi tetesan keringat yang belum lepas terjatuh ke pangkuannya.
"Pamengpeuk . . . ," desis Mastery, " ke sana pun Tuan Wulungan minta bantuan
untuk meng-habisiku."
Seorang laki-laki sejati tak akan mudah meneteskan air mata. Selain air mata
tobat atau ketika bayi di saat minta susu ibunya didekatkan. Akan tetapi saat
ini, air mata Mastery tergenang. Tidak sampai menetes, sehingga menguap oleh
panasnya aliran darah. Mastery hanya memikirkan, adakah orang lain seperti dia, didatangi utusan yang
tidak kepalang tanggung untuk mengambil jiwanya" Apalah arti dirinya seorang
dibandingkan dengan orang lain yang berjuta-juta" Apakah
mereka juga mengalami apa yang dialaminya sekarang"
Kalau tidak, mengapa" Mengapa ia yang selalu dituju melalui rantai-rantai sebab
akibat secara tak langsung"
"Mastery," ujar Darmawan, "Aku akan mengetengahkan kejadian ini sekiranya ada
simposium kaum spiritual dan paranormal!"
"Jangan!" ulas Mastery, "mungkin sekali kejadian seperti ini tidak terbuka
kepada setiap orang-orang waskita.
Bukankah maling kecil-kecilan, tidak mengetahui tipu muslihat perampok bank"
Apalagi taktik tipu-muslihat mafia menguasai sebuah negara!"
*d*w*
Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
VII TIGA minggu lagi akan terjadi gerhana matahari total di Pulau Jawa. Dari
berbagai negara, Asia dan Eropa, pengejar-pengejar peristiwa astrologi di tengah
jagat makrokosmos, telah datang dengan peralatan mereka yang mutakhir. Dalam
harian dan majalan, diberi petunjuk-petunjuk, bagaimana mengamati gerhana itu,
tanpa harus memandang langsung sebab berbahaya bagi mata.
Darmawan merasa dirinya sangat terpanggil. Karena gerhana itu akan tegak lurus
di daerahnya Jawa Tengah. Ia membawa sebuah bola dunia yang berisi karet busa.
Bukan bola dunia yang biasanya digembungkan dengan tiupan angin.
"Aku mempunyai daya imaginasi fantastis," ucap Mastery, "coba kita lihat apa ada
maknanya semua yang kuperbuat ini." Dia menusukkan jari-jari sepeda yang telah
diruncingkan ke setiap titik gerhana total matahari di dunia.
Pertama-tama ditembusnya Panama dengan jari-jari sepeda itu. Ujung jari-jari
sepeda itu ditusukkannya ke dalam. Dan menembus Jawa Tengah dari bawah bola
dunia. Kedua, ditusuknya titik gerhana total matahari Kenya (Afrika Tengah), sehingga
ujung jari-jari sepeda itu ke luar di Jepang.
Ketiga, tusukan jari-jari sepeda masuk di Mesir, ke luar di daerah Sungai Gangga
di India, sebagai pusat agama Hindu.
Hasbullah, ikut menyimak bola dunia di depan mereka.
Ada enam ujung jari-jari sepeda yang ke luar dari bulatan dunia itu. Yang hampir
tepat memotong belahan dunia dan asnya, adalah tusukan melalui Panama dan tembus
di Jawa Tengah, hampir di dekat Borobudur.
"Mungkin ini yang dimaksud dengan Wisnu bertangan enam, Teri," ucap Darmawan
yang seolah-olah menemukan rahasia angka Porkas.
"Entahlah!" rengut Mastery, "tetapi belum ada ilmuwan yang mengatakan begitu.
Kita ini terkadang belum berani mengatakan sebelum ada orang lain lebih dahulu
mengatakannya." "Mungkin kita yang menemukan dan menetapkannya!"
tukas Darmawan. "Akh, kita kan cuma orang urakan, anak singkong!"
rutuk Hasbullah pula, kembali mengawasi keenam jari-jari yang mencuat dari bola
dunia itu. "Nah dari sini kan kelihatan, sesudah gerhana total matahari di Jawa, akan
disusul oleh gerhana total matahari di Panama, demikian juga berikutnya-menurut
jalan jari-jari," kata Darmawan tiba-tiba mengagetkan.
Tiba-tiba terdengsfr ketukan pintu, dan suara perempuan memanggil.
"Seperti suara Nelly," desis Mastery menerka.
"Setiap laki-laki memang hafal sekali suara ceweknya,"
ujar Darmawan mengganggu dan melangkah ke ruangan depan membukakan pintu.
Muncul Nelly Ngantung, yang kata Mastery seperti besi putih, karena asalnya dari
Kepulauan Culabesi. Dengan dandanan marak dan memikat sekali, membuat Darmawan
melongo sejenak. Rambut diekor kuda, mencuat pangkalnya ke atas, melengkung
menjauhi kepala, dan menyentuh tengkuknya yang putih terbuka. Baju berbunga-
bunga merah besar, dengan dasar putih. Ikat pinggang berwarna biru gelap.
"Ke mana saja sih, kok tidak muncul-muncul?" tegur Nelly kepada Mastery., yang
sedang menghadapi bola dunia.
"Ini, sedang belajar ilmu bumi, seperti di SMP dahulu,"
Hasbullah yang menyahut. "Aku lebih suka jika ayahmu mengejar aku dengan parang, Nel," ucap Mastery,
"daripada apa yang kualami sekarang."
"Ah, sudahlah!" Darmawan menyisip, "penampilan cerah ini, tidak boleh dijadikan
seperti di rumah duka. Mari kita rencanakan riset kecil-kecilan terhadap gerhana
matahari total yang akan datang beberapa hari lagi ini."
"Bagaimana kalau kita berekreasi di Tanjung Kodok?"
usul Mastery. "Aku ikut!" potong Nelly Ngantung menggayuti bahu Mastery. Tiba-tiba Darmawan
tercenung, dan menyahut. "Sekarang aku hampir mengerti mengapa kembang Wijayakusuma yang dilalui gerhana
sekali dalam 360 tahun, berlainan warna bunganya daripada di daerah lain."
"Eh, tiba-tiba matamu jadi terbuka, Wan," oceh Hasbullah yang giginya masih
meninggalkan bekas mengunyah sirih di masa kanak-kanak.
"Habis, kalian orang seberang banyak maunya!" potong Darmawan.
Mastery hanya menertawai kedua kawannya yang saling bertengkar itu. Akhirnya
mereka sepakat untuk menempuh route yang dikatakan Mastery. Mereka mempersiapkan
teropong biasa yang ditutupi dengan film gelap. Serta kaca pembesar untuk
membiaskan gambar gerhana ke permukaan air. Akan tetapi sebelum itu, mereka akan
meminta pendapat Hyang Santri lebih dahulu. Mungkin ada sesuatu yang berguna
untuk didengar sebagai wejangan.
Sungguhpun orang tua itu tidak mempunyai titel kesarjanaan. Pada malam Selasa
Legi mereka telah berada di pondok Hyang Santri. Demikian petunjuk rasa badan
Mastery yang harus diikuti mereka.
Ternyata niat Buraksa akan tobat dan kembali seperti ajengan semula, mendapat
tantangan hebat dari para gaib yang membina, dan mengutusnya. Sehingga kaki
Gunung Cereme dan gua Buraksa terancam akan diruntuhkan mereka. Dan Buraksa akan
tertimbun hidup-hidup di dalamnya, sebagai tumbal.
Kini gua menggelegar, dan Gunung Cereme
mengeluarkan gas ke lereng-lerengnya. Mengendap menjadi uap racun. Terus turun
menuju ke gua tempat Buraksa bertapa.
''Buraksa! Buraksa! Buraksa!" sepanjang lembah di luar gua, dipenuhi suara-suara
beradiasi dan bernada tinggi, bagai menusuk benak Buraksa.
"Setiap makhluk, harus seperti pion-pion anak catur pada tempatnya masing-
masing. Kau telah memilih sendiri berdiri menjadi pion-pion anak catur kami!
Mengapa kini kau mau merusak dirimu sendiri" Sedangkan kau ditugaskan untuk
membayangi Raja dan Ratu di hadapanmu! Untuk dimakan atau memakan!"
"Benih sebesar biji bayam di dadaku diguit Hyang Santri," jawab Buraksa.
Terdengar tawa-tawa besar yang gemanya menggetarkan lereng gunung. Seperti tawa
raksasa di dalam adegan pertunjukan wayang orang. Kemudian terdengar lagi
kutukan, "Alangkah dungunya kau, Buraksa, memotong tanganmu sendiri! Bukan cacat
yang dibanggakan sebagai pahlawan, tetapi sebagai pengecut! Kau sangka Tuhan
akan mengampuni tanganmu yang penuh dosa itu?"
Buraksa memegang tangan kanannya yang berbalut perca kain kafan kuburan, dan ia
menyahut, "Hyang Santri kuat sekali. Dan mengapa laki-laki itu sampai ke sana"
Dia menurunkan zikir Manunggal Sadak kepada laki-laki itu."
"Si Antasias jahanam itu yang membawanya! Pohon kayu tempatnya tinggal telah
kami cabut dan kami buang ke gunung! Dan makam Syeh Jambak telah kami pijak-
pijak sebagai pembalasannya!" suara kutuk itu seperti guntur di siang hari.
Penduduk di kaki Gunung Cereme melihat mendung seperti akan membawa hujan.
Padahal sebenarnya makhluk gaib sedang mengerubuti Buraksa yang tertegun di
persimpangan jalan hidupnya.
Selama seminggu, kemudian dan ditambah seminggu lagi, Hyang Santri menyuruh
mereka berempat meminum jamu kelapa hijau, yang disebut juga oleh orang waskita
jamu logam yang ada di matahari.
"Air apakah yang ditarik matahari naik paling tinggi ke atas pohon?" ucap Hyang
Santri pada suatu kali. Keempatnya termenung. Darmawan yang cepat
menyahut. "Air kelapa, Hyang!"
"Salah kalau yang digunakan hanya airnya saja, sebab air itu akan menyedot
kekuatan logam di tubuh mereka.
Karena itulah olahragawan tidak mau meminum air kelapa.
Mengilukan tulang, dan melemahkan otot!" ulas Hyang Santri lagi. Selanjutnya
Hyang Santri mengatakan kelapa itu ada beberapa macam, selain kelapa hijau,
masih ada kelapa gading dan kelapa tembaga, yang dahulunya mudah dijumpai di
halaman-halaman kerajaan silam.
Seminggu setelah mereka meminum Jamu Logam Kelapa Hijau itu, tubuh mereka jadi
kemerah-merahan. Nelly Ngantung bagai berubah dari tesi putih yang melebur kembali menjadi besi
baja jerkutub magnit. Darmawan, gatal-gatal seperti diserang penyakit campak,
karena ada sesuatu yang menjadi netral di dalam darahnya. Hasbullah yang
terkenal kuat makan cabai rawit, turun temperamennya yang biasa tinggi dan
penaik darah. Kodrat menentukan, Buraksa datang kembali
memperbarui misinya. Dengan bantuan dari induk sentral muslihat yang mengatur
segala perjalanan hidupnya yang hitam. Namun jelas kelihatan bersusah-payah ia
berusaha menempati raga Mastery. Mungkin karena telah bertambah penyekatnya
dengan Jamu Kelapa Hijau ciptaan Hyang Santri.
"Kurang ajar!" rutuk Buraksa terengah-engah, "setelah kupikir-pikir panjang, aku
menyesal memotong tanganku sendiri, Santri! Kali ini aku akan membunuhmu dan
anak buahmu!" Hyang Santri, yang kelihatan tidak terlalu terkejut, mungkin karena telah ada
Sirullah alam gaib sampai kepadanya bahwa hal ini seperti harus terjadi kembali,
menyahut, "aku tahu, kau datang dengan segala majikanmu!"
Ketika itu udara di sekeliling gubuk Hyang Santri seperti bertambah tekanannya
daripada biasa. Menyesakkan dada, seperti berada di dalam tekanan air beberapa
ratus meter di permukaan laut.
Segala yang bergoyang, terpaku. Sampai-sampai mulut pun sulit untuk dibuka.
Sehingga Nelly Ngantung hanya tersandar di dinding dengan mata terbelalak. Dia
sadar dan menangis, tetapi anggota badannya tak dapat digerakkan.
Sedangkan Darmawan dan Hasbullah agak bertenaga sedikit. Tetapi juga tidak dapat
berdiri dan membantu Mastery dengan zikir ataupun doa yang dipunyai mereka.
Hyang Santri kembali menusukkan telunjuk jari kanannya ke kening Buraksa yang
sudah berada di dalam raga Mastery, dengan ucapan, "Mungkin telah ditakdirkan
engkau menjadi ajengan yang munafik pengisi kerak neraka!"
Buraksa terdongak, dan sedikit meringis. Kemudian berusaha tertawa amat keras,
dan memekik sambil seperti meraup tenaga dari atas. "Mari ----mari kita
hancurkan Hyang Santri dan laki-laki yang tidak mau mengikuti restu kita ini!"
Dua kali kelihatan Mastery bertitisan Buraksa meraup tenaga dari alam
makrokosmos. Gayanya seperti
mengaduk-aduk seluruh langit. Kemudian memintal dan menekankan ke dalam ubun-
ubun. Wajah raga Mastery jadi berubah. Besar, kukuh dan merah kehitam-hitaman.
Ketika itulah Mastery, dengan tubuh seperti jago karate kelas tertinggi,
menerjang ke arah Hyang Santri yang sedang duduk bersila. Akan tetapi orang tua
itu masih saja tidak bergeser sedikit pun menerima serangan seperti ini.
Perutnya ditekan raga Mas-terv dengan kaki kanannya.
Sedangkan leher orang tua it j, bagai hendak dicekik dengan dua tangan serta dua
ibu jari menegang siap menekan kerongkongan.
Akan tetapi herannya, kedua ibu jari itu tak dapat menyentuh leher Hyang Santri.
Sehingga bagai terkatung-katung saja beberapa sentimeter di permukaan kulit
orang tua itu. Sekuat tenaga Buraksa menekankan tangannya.
Sehingga kedua lengan badan Mastery menggeletar keras.
"Kau telah berlebihan menghina hamba Allah dengan kakimu kepadaku!" ucap Hyang
Santri. "Sedangkan Tuhan pun tidak berbuat demikian kepada hambanya!"
Hyang Santri membukakan kelima jari tangan kanannya.
Pelahan-lahan menghadapkan telapak tangan terkembang itu kepada Buraksa.
Beberapa senti lagi akan sampai, kelima jari itu tertancap cepat sekali di dada
raga Mastery. Dada Buraksa menghentak-hentak. Perutnya bergelombang mengempis-mengembung. Dan
akhirnya dia muntah-muntah. Bersamaan dengan itu raga Mastery terjajar ke
belakang. Berguling-guling seperti jatuh dari tempat yang tinggi. Terdiam,
dengan lendir kental di sudut bibirnya.
Tiba-tiba ia bangun lagi dengan warna kulit kepucatan.
Kembali ia duduk seperti semula, dan berkata, "Beri aku kesempatan sekali lagi
untuk membunuhmu. Kalau aku kalah. Aku akan pergi, dan menerima segala yang akan
mereka perbuat kepadaku!"
"Silakan saja . . . !" ucap Hyang Santri tawakal, duduk bersila lagi seperti
biasa. Buraksa kembali duduk seperti duduk Yoga, mengundak-undak udara di atas
kepalanya dengan jari-jari tangan terkembang. Seolah-olah tenaga itu diambilnya
dari alam kosong, yang menjadi pusat , kekuatan yang terhimpun pada satu titik.
Kemudian ditekankannya ke ubun-ubun seperti tadi. Kini raga Mastery terlihat
lebih mengerikan bentuknya. Merah seperti tembaga dibakar. Matanya terbelalak,
sehingga kelihatan lebih banyak putihnya.
"Nah .... sekali ini, tamat riwayatmu, bersama-sama anakmu, Hyang Santri."
Hyang Santri tidak menyahut. Hanya mengubah letak duduknya menjadi duduk Alip.
Yakni dengan ujung tulang sulbi terpacak ke lantai. Buraksa datang dengan besar
tubuhnya seperti beruang es. Membuat permukaan tanah bergetar oleh langkahnya.
Karena ditumpangi kekuatan-kekuatan gaib yang sebelum-sebelumnya tidak semudah
itu mau turun tangan menghadapi persoalan seperti ini.
Nelly Ngantung tersandar dengan kepala lemas terkulai.
Darmawan dan Hasbullah berpegangan tangan agar tidak roboh. Sekali ini raga
Mastery lebih keras menekankan kakinya ke perut Hyang Santri. Dan kedua
tangannya yang mencekik, sekarang sampai menyentuh leher Hyang Santri.
Buraksa tertawa sombohg, dan menengadahkan kepalanya sejenak sebelum berkata,
"Belum ada yang berhasil lepas dari restu kami, hei Santri! Karena demikian
janji manusia ketika pertama kali menginjakkan kakinya di sini!"
"Aku tak ikut dalam janji seperti itu!" dengus Hyang Santri yang merasa
kerongkongannya bagai di dalam genggaman, dan perutnya diinjak keras agar roh
cepat melompat dari tubuhnya yang tua.
Burung srintil, melengking-lengking di cabang pohon tinggi. Pertanda ada roh
yang akan ke luar dari raga seseorang. Dalam saat regang-meregang seperti itu,
perlahan-lahan kaki Hyang Santri terangkat mendekati perut raga Mastery. Lalu
dengan zikir Manunggal Sadak, kaki itu ditancapkannya ke permukaan pusat Buraksa
di tubuh Mastery. Buraksa tersentak, tetapi kerongkongan orang tua itu masih di
dalam genggamannya. Hyang Santri terpengaruh juga oleh kekuatan yang menindasnya
itu. Di saat-saat mayanya hampir hampa, kepalanya tertengadah ke atas. Hanya
bibirnya saja yang tinggal bergerak-gerak tanpa suara. Hanya sebuah gerakan lagi
tenaganya tersisa. Yaitu, memutarkan telapak kakinya di perut raga Mastery.
Dan begitu dilakukannya, Mastery merasa seperti ada akar-akar putus di dalam
perutnya. Sedangkan di bawah bumi tempat mereka bertarung, seperti ada tebing-
tebing yang runtuh. Dan suara-suara makhluk berlarian hilir-mudik sambil
melolong-lolong memekik panjang. Persis seperti huru-hara penduduk di lereng
gunung yang sedang meletus layaknya.
Raga Mastery melentik, dengan leher mekar oleh urat-urat nadi yang tegang karena
darah mengencang. Malah bagaikan akan meletus di beberapa tempat. Ketika itulah
Hyang Santri melakukan suatu gerakan kecil seperti tidak ada artinya. Dengan
telapak kakinya, ia bagai menekankan suatu patok ke dalam pusat raga Mastery.
Akan tetapi tekanan yang kelihatan tidak berarti itu, mengakibatkan raga Mastery
seperti lumpuh. Kedua lengannya terlepas dari kerongkongan Hyang Santri.
Terjuntai di bahu seperti pelepah pisang patah. Tubuhnya terlipat di tanah.
Bergulung-gulung bagai jatuh dari langit.
Lalu memuntahkan cairan bening berbau anyir. Akhirnya ia terkapar, bagai
kehilangan tulang penyangga badan.
Perlahan-lahan Mastery bangun kembali. Ia duduk dengan tenang, dan menatap Hyang
Santri tanpa bernafsu seperti tadi lagi.
"Kami tidak kalah .... hanya segan kepadamu, Hyang Santri!" ucap seluruh tenaga
yang lumpuh di raga Mastery,
"Karena kau mengakui bahwa kami juga adalah makhluk Allah, yang menjadi pembawa
cobaan kepada manusia. Kami bawa mereka yang sesat dan ragu-ragu kepada Hukum-Nya, dan kau pun tidak
berhak untuk membela mereka, karena manusia bukannya malaikat yang patuh dan
tunduk kepadaNya." "Itu aku tahu, begitu pula seluruh hikmah di dalam kejadian ini," jawab Hyang
Santri lemah lembut, "dan aku sendiri bukan bermaksud mengalahkan kekuasaan dan
hak kalian. Aku pun bisa terhukum jika berniat demikian!
Pulanglah Buraksa, semoga doa orang di pulau ini dapat memohonkan ampun dosamu
kepada Tuhan. Karena bagaimanapun, asalmu dahulu manusia juga seperti kami ini!"
Mereka bersalaman dengan ujung jari tidak saling menyentuh. Dan bagaikan pesan
terakhir, Buraksa dengan himpunan seluruh penghulunya berwejang, "Sebaiknya,
janganlah laki-laki ini (menunjuk raga Mastery sendiri), berada di bawah lintang
gerhana matahari yang akan datang!"
Hyang Santri tidak sempat menyahut. Kekuatan di dalam tubuh Mastery sudah keburu
berangkat ke alam lain, dan menduduki kembali tempat petak catur yang telah
ditentukan Tuhan kepada diri mereka.
Tekanan udara kembali seperti sediakala. Nelly Ngantung menggoncang-goncangkan
bahu Mastery. Darmawan dan Hasbullah, menyimak ke sekeliling
halaman, seperti ada suatu rombongan yang baru berangkat meninggalkan tempat
itu. "Hyang, Hyang diapakan mereka?" tanya Darmawan yang tadi hanya bisa menyimak
Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan perasaan runtuh, apa yang hampir melumpuhkan orang tua itu. Hyang Santri
menyampaikan pesan, agar Mastery sedapat mungkin jangan menempuh route yang
dilalui gerhana matahari total 11 Juni 1983.
Mereka berempat jadi tertegun karena rencana mereka telah matang untuk
mengadakan riset kecil-kecilan di tempat yang lebih dekat dengan obyeknya.
"Hyang belum mendapatkan hikmah dari permintaan itu," tambah Hyang Santri.
"Sayangnya kami telah mempersiapkan perjalanan ini, Hyang," susul Darmawan yang
berniat singgah di kota kelahirannya, Jogjakarta.
"Aku juga belum pernah melihat Borobudur yang tekenal itu dari dekat," potong
Hasbullah pula. "Saya juga Hyang . . . ," suara Nelly Ngantung mengelus lemah.
Hyang Santri menyatakan, tentu ada hikmah atau kejadian lain di balik permintaan
mereka itu. Diikuti tentu ada baiknya. Akan tetapi sebagai makhluk Allah yang
ditunjuk sebagai khalifah di muka bumi, tentu saja manusia boleh mencari ilmu
tentang semua kejadian disebabkan kebesaran Allah!
Mereka berempat akhirnya memutuskan untuk pergi juga. Akan tetapi berpisah jalan
yang akan dilalui. Mastery bersama Nelly, satu mobil. Dan Darmawan dengan
Hasbullah yang lebih akrab disebabkan peristiwa itu, satu mobil dengan Darmawan.
Mastery dan Nelly memotong dari utara, langsung menuju candi Borobudur. Darmawan
dan Hasbullah melalui Gunung Serandil, menuju Kroya, baru mengikuti route
perjalanan ke Jawa Tengah.
Karena Hasbuljah ingin sekali melihat mana yang disampokan sebagai Gunung Aceh
itu. Sebelum berangkat mereka mencium punggung tangan Hyang Santri dengan perasaan
takjim dan terharu. Karena orang tua itu hanya dapat mengiringkan mereka dengan
doa saja. Dua hari kemudian, Mastery dan Nelly telah berada di Jawa Tengah. Borobudur yang
perkasa mencuat ke udara dengan berbagai misteri yang dikandungnya.
Sarjana-sarjana Jerman, Belgia, Belanda, Inggris, dan berbagai pelacak dari
seluruh pelosok, telah bertebaran dengan peralatan mereka masing-masing, siap
diarahkan ke langit. Di tempat akan terjadi gerhana matahari total.
Pelacak-pelacak Asia yang lebih pendek, terutama Jepang, lebih sigap, dan lebih
bernafsu kelihatannya karena daerah kepulauan mereka juga termasuk dalam
lintasan gerhana matahari total yang akan datang secara teratur tahunnya itu.
"Bang . . Mas . . .," ucap Nelly ketika mobil kecil mereka yang tak begitu
menarik, berhenti di arah utara Borobudur.
"Perasaanku kok lain, Mas?"
"Ayo, ... mari kita ke titik pusatnya yang lebih vertikal!"
ajak Mastery menarik tangan Nelly sementara segala alat-alat potret dan teropong
tergantung di bahu kirinya.
"Ke mana sih, Mas.*'
"Mendekati stupa induk!" tukas Mastery, "kau lihat, stupa lain memakai banyak
jendela dan ada patung di dalamnya. Stupa induk tidak memakai jendela tetapi
tentu ada patungnya juga, atau benda lain di dalamnya."
"Stupa kecil ada 72 buah, ya Mas."
"Ya, 73 dengan stupa induk yang seperti kubah itu!" ulas Mastery sembari
berjingkat-jingkat berdua menaiki tangga batu bersusun.
"Kata orang waskita, bangunan Borobudur ini juga menjadi pedoman kalender untuk
ribuan tahun!" "Begitulah," kata Mastery terengah-engah karena merasa sedikit lelah, menaiki
tangga sambil membimbing Nelly.
Waktu mereka memasuki bagian tingkat keempat candi Borobudur, belum lagi ada
pengawalan yang ketat. Sehingga mereka sampai mendekati tingkat kelima.
"Makanan kita cukup apa tidak?" tanya Mastery.
"Untuk tiga empat hari pun rasanya cukup. Ada ketupat, dan lontong ketan ...."
"Ah, ya, cukup .... air yang penting!" potong Mastery.
Mastery menanyakan pendapat Nelly tentang
penyusunan batu-batu candi yang sedemikian he barnya, melebihi kehebatan susunan
batu piramida Mesir yang polos saja tanpa ukiran kebudayaan masa silam yang
lengkap. "Kau pilih yang mana, Borobudur atau j>na mida,"
pancing Mastery. "Borobudur, tentu!"
"Karena peninggalan nenek moyang kita, bukan?"
Mastery menukas. "Juga karena memang lebih hebat, kok!"
Nelly mengatakan, bahwa udara mulai terasa berbeda.
Padahal gerhana, masih beberapa hari lagi. Mereka menerka-nerka, Darmawan dan
Hasbullah kira-kira telah sampai di mana.
"Paling-paling juga baru lewat Banyumas," terka Mastery.
"Sunyi ya, tak ada mereka berdua yang suka saling ngotot!"
"Apa perlu aku sekarang yang ngotot"!" Mastery merangkul pinggang Nelly yang
hanya sepelukan tangan kirinya. Nelly merasa aman dan terlindung oleh lengan
Mastery yang kukuh dan berbulu tersusun sedang itu. Nelly mengacungkan jari
tangan Mastery di hadapannya.
Mengatakan, ia suka melihat jari yang kukuh dengan ruas yang rapi. Dan tegaknya
seperti jeriji besi. "Jari direktur bank yang bagus," oceh Mastery, "bulat dan gendut-gendut lagi.
Pertanda jari orang berduit!"
"Tak jadi soal tak punya uang!" rengut Nelly. Dengan teropong di tangan mereka
mengawasi sekitar alam. Sampai sejauh beberapa kilometer, telah ada kemah-kemah
para pecinta alam, dan pelacak gerhana. *
"Mereka belum juga tampak," gelisah Nelly mengerutkan dahi.
Dua hari kemudian, kelihatan semakin ramai daerah di sekeliling Borobudur.
Karena diperhitungkan, di tempat itulah gerhana penuh terjadi. Sehingga matahari
hanya kelihatan bayangannya saja. Penjagaan sudah semakin ketat, karena semakin
banyak orang yang ingin berada di bawah titik vertikal gerhana penuh. Ketika
Darmawan dan Hasbullah sampai, mereka tidak bisa lagi bergabung dengan Mastery
dan Nelly. Hanya dengan teropong di tangan mereka melihat keduanya telah berada
di tingkat terakhir di dekat stupa induk yang perkasa itu.
"Bagaimana caranya, ya?" Hasbullah menanyakan cara agar mereka bisa bergabung.
"Akh, .... biarlah, dengan begini malah akan lain-lain pandangan yang akan
dilihat!!" Darmawan yang merasa
lebih tenteram dan merindukan daerah sendiri, menenangkan Hasbullah. Sehabis
gerhana besok, mereka akan singgah ke rumah neneknya di Kalasan. Hasbullah
tertawa membayangkan akan menyantap goreng ayam Kalasan.
"Coba kalau matahari tertutup terus, bagaimana?" Nelly berseloroh.
"Ya, manusia di bawah lintasan gelap pasti jadi heboh!"
ujar Mastery, mereka sama-sama tertawa, "tumbuhan akan kerdil, dan banyak lagi
akibat lainnya." Kata Nelly, kalau PLN akan mencabut aliran listrik di suatu rumah karena tidak melunasi rekening listriknya, maka si pemilik
akan membujukbujuk dan minta maaf agar aliran listriknya tidak dicabut. Akan
tetapi kepada yang punya matahari mengapa tak banyak orang yang mau berterima
kasih" "Termasuk kau!" tukas Mastery. "Mulai saat ini....
barangkali!" Pagi-paginya, banyak orang meninggalkan pekerjaan untuk sekedar mengikuti
keadaan alam sekali dalam 360
tahun itu. Dari teropong-teropong bintang yang menganga, seperti ember-ember besar, sampai
ke teropong mainan anak-anak, teracung ke langit. Banyak orang menanti dengan
darah berdebar-debar. Terlebih lagi Mastery dan Nelly yang berada di dekat stupa
induk. Langit mulai kelihatan semu ketika bulan telah mulai menutupi matahari di
daerah gerhana pertama tampak, di daerah Cilacap.
Kemudian suasana menjadi hening. Seolah-olah awan merendah ke bawah. Udara
terasa berangsur-angsur dingin.
Awan merendah, mungkin karena tekanan atmosfir telah
berbeda. Dimulai dari arah selatan dan barat, kelihatan matahari mulai sompal,
ditutup sudut bayangan bulan.
Langit menjadi suram, di sekitar matahari kelihatan lingkaran sinar lembayung.
Mastery menarik tangan Nelly, ke dekat stupa induk.
Terasa ada yang bergemuruh perlahan-lahan di dalam stupa. Kemudian semakin
keras, seperti suara dari kawah gunung berapi.
"Bang . . . Mas ....!!" suara Nelly sebagian ditelan gemuruh seperti lumpur
mendidih di bawah tanah itu.
"Sini . . . cepat ke mari . . . !" pekik Mastery. Ternyata Nelly telah sulit
melangkahkan kakinya karena pengaruh bunyi itu. Perlahan-lahan Nelly mendekap
dinding stupa induk, dengan telapak tangan merayap mencari-cari tangan Mastery
yang semakin kabur di dalam suasana yang semakin gelap mendekati gerhana penuh.
Mastery mengacungkan teropong yang berlapis film gelap tegak lurus ke atas
kepalanya. Nelly Ngantung hanya memakai kaca mata yang dilapisi film hitam juga.
"Mastery . . . Mas . . . !" pekik Nelly berulang karena gemuruh di bawah tempat
mereka berpijak semakin jelas terdengar seperti lumpur mendidih. Ketika itu
gerhana penuh telah terjadi. Sehingga yang kelihatan hanya tinggal bagian cincin
bercahaya. "Mas . . . Tery ... !" suara ngilu Nelly, "tubuhku bagai kesemutan."
"Aku juga,. . . !" sahut Mastery ketika akhirnya tangan mereka bertemu saling
berpagut di dinding stupa induk yang menjulang. Udara menjadi bagaikan beku dan
awan turun menutupi sebagian candi, sehingga pemandangan
alam seperti pada tengah malam. Margasatwa terkejut, dan pulang menuju sarang.
Bunga-bunga menguncup, disertai daun yang terpentang, seperti ikut menutupi
bunga-bunga itu. Mastery dan Nelly berpegangan tangan erat-erat. Karena terasa tubuh mereka
semakin ringan. Bulatan corona tempat di atas ubun-ubun mereka.
"Mas . . .Tery . . . Mas Tery . . . Maaaas . . . .!" pekik Nelly lagi.
"Nelll .... Nelllll . . . mana kau . . . mana tanganmu ....!"
balas Mastery. "Aku di sini!" jawab Nelly, semakin sayup.
"Aku . . . kok begini, . . . terasa semakin jauh.. . . . .!"
Mastery masih mengulurkan tangan ke arah Nelly, yang lepas dari genggamannya.
Kemudian corona mulai pecah oleh bersit cahaya matahari yang menjengukkan
wajahnya kembali. Darmawan mengarahkan teropongnya ke stupa induk, dan berkata, "Ke mana mereka,
ya?" "Paling-paling juga menelentang agar lebih santai melihat kejadian ini sampai
kembali seperti biasa."
Setengah jam kemudian, pengunjung dan penyimak gerhana matahari total, telah
ribut bersiap-siap pulang dengan kenangan terekam di dalam negatif film ataupun
film video. Dua jam telah berlalu, Mastery dan Nelly belum juga kelihatan turun dari tangga
Borobudur. Darmawan dan Hasbullah mulai diliputi kegelisahan. Mereka berdua
sepakat untuk menyusul ke atas. Sungguhpun hari vtelah menjelang pukul setengah
3 sore tanggal 11 Juni. Hasbullah terpaku jongkok di kaki stupa indtil-Di tangannya sebelah sepatu
Nelly. Dan tak jauh, dari sana terlihat tustel foto Mastery ketinggalan.
"Oh . . . oh, Mawan, apa yang terjadi dengan mereka"!"
ucap luruh Hasbullah dengan wajah muram dan mata berlinang.
"Aku . . . aku tak tahu. Apakah mungkin bisa terjadi"
Has . . .!" gemetar keduanya memikirkan kejadian yang sulit diterima akal mereka
sebagai generasi pewaris teknologi di masa yang akan datang.
Keduanya menatap puncak stupa induk yang hening dan terpaku diam. Tidak
mengatakan apa-apa tentang sepasang anak manusia yang ketika memeluk bangunan
bersejarah ini, keduanya raib.....
Darmawan dan Hasbullah berangkulan, sedih diiringi kengerian dahsyat
membayangkan peristiwa yang belum pernah terjadi dalam sejarah resmi ini. Dengan
berpegangan tangan dan sempoyongan mereka menuruni tangga batu bersusun candi.
Mencari-cari di mana kendaraan yang ditinggalkan Mas tery. Mobil kehilangan tuan
itu, putih mulus di bawah pohon pinus. Dengan kunci yang tcrcjaniuiui di tali
tustel Mastery, pintu mobil itu dibuka Hasbullah tersegut dengan suara tn.-
aMul.it, "Aku bagai tak sanggup membawa mobilnya ini, Wan!"
"Kuatkan hatimu! Katamu Aceh itu p|m berani!"
templak Darmawan juga ingin menghilangkan kengerian itu, "kita akan langsung ke
Hyang Santri!" Hasbullah tenang sedikit, dan mereka berangkat beriringan. Dari belakang
Darmawan mengawasi Hasbullah menyetir mobil Mastery yang terkadang cepat dan
terkadang bagai akan berhenti, mengikuti irama hati orang yang membawanya.
Pukul 7 malam mereka baru tiba di gubuk Hyang Santri.
Orang tua itu tidak terkejut sedikit pun mendengar berita Mastery dan Nelly
hilang raib di stupa induk Borobudur.
"Allah mempunyai jalan-jalan naik."
Tiba-tiba Darmawan teringat kepada penemuan di piramida Mesir kuno. Ada makam
Firaun di dalam peti batu granit. Dengan lak dan cap ke-rajaan. Akan tetapi
jenazahnya telah hilang raib. Sedangkan bekas-bekas yang menunjukkan bahwa di
sana mummi pernah diletakkan, jelas kelihatan.
Tak sampai sebulan kemudian Hasbullah dan
Darmawan terkejut bagai mendengar petir di siang hari bolong menerima surat dari
Mastery dan Nelly Ngantung.
Mastery menceritakan, ia terkapar di makam kakeknya di Pasaman. Nelly Ngantung,
mengisahkan, ia tertidur di kuburan neneknya di Menado.
"Bisakah ini terjadi di zaman teknologi ini, Wan!"
"Aku tak berani menyangkal" Darmawan mengamati sampul surat, "Tetapi aku pernah
membaca hikayat lama tentang dua orang yang mencari makam Nabi Sulaiman di dalam
laut. Akhirnya mereka terlempar masing-masing ke pangkuan ibu mereka yang sedang
tidur." "Mastery pasti akan merahasiakan kejadian ini Has!"
"Kurasa begitu, kalau tidak mau dituduh orang sebagai pembohong besar!" jawab
Hasbullah sambil mengamati tanggal surat yang mereka terima
"Dan kita juga akan menyimpan rahasia Ini kecuali. .. !"
tukas Mawan. "Kecuali apa lagi... ada-ada aja .. . !"
"Kecuali di pesta perkawinan mereka nanti" bisik Darmawan.
Hasbullah meraba-raba hikmah semua kejadian yang dialami sahabat mereka itu.
"Mungkin . . . , mungkin sekali sampai waktu tertentu, ia memang tak boleh
mengikuti peristiwa peristiwa gaib di pulau ini! Sehingga untuk sementara dia
hanya menjadi penonton yang baik," ulas Darmawan memelas. Hasbullah akan
bertanya lagi tetapi Darmawan meletakkan jarinya di mulut Hasbullah menyuruhnya
jangan bicara lagi. -----selesai----- Sebaiknya jangan Anda lewatkan kisah lain yang sebuah ini!
TUNTUTAN DARI ALAM BARZAH
Diceritakan arwah dari seorang wanita yang mencari bekas suaminya yang telah
melanggar sumpah. Percayakah Anda akan adanya roh yang mampu kembali karena ia tidak merasa tenang
di dunia barunya" Kisah ini akan memberi jawaban yang jelas dan kemudian
terserah kepada Anda apakah mau sembarangan dengan janji dan sumpah.
Penggubahnya sudah Anda kenal : MPU WESI GENI yang pegang peranan besar dalam
kehidupan dunia gaib. Sejak awal akan mengikat segenap perhatian Anda.
Buku ini sudah siap. Harga Rp 3.000,00 Untuk pesanan tambah Rp 500,00 ongkos
kirim SELECTA GROUP ? Kebon Kacang 29/4 - Jakarta
Penghuni Kuil Neraka 2 Pendekar Naga Putih 49 Tumbal Perkawinan Jejak Di Balik Kabut 20