Pencarian

Playboy Dari Nanking 1

Playboy Dari Nanking Karya Batara Bagian 1


Karya Batara Playboy Dari Nanking DJVU by Abu Keisel Ebook pdf oleh : Dewi KZ http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.co.cc/
Daftar Isi : Playboy Dari Nanking Daftar Isi : Jilid : I Jilid : II Jilid : III Jilid : IV Jilid : V Jilid : VI Jilid : VII Jilid : VIII Jilid : IX Jilid : X Jilid : XI Jilid: XII Jilid : XIII Jilid : XIV Jilid : XV Jilid : XVI Jilid : XVII Jilid: XVIII Jilid : XIX Jilid : XX Jilid : XXI Jilid : XXII Jilid : XXIII Jilid : XXIV Jilid : XXV Jilid : XXVI Jilid : XXVII Jilid : XXVIII Jilid : I "SENYUM, goblok! Ah, senyum. Senyum yang baik. Jangan seperti monyet mencium
terasi begitu. Hayo, senyum dan senyum lagi, yang baik. Nah, begitu. Bagus. Ha-
ha, sekarang sudah mulai betul dan senyummu mulai menawan!" seorang kakek
tertawa dan membentak-bentak dari samping, menghadapi seorang pemuda yang sedang
dilatih senyum dan pemuda di depannya itu berkali-kali mendesis. Tongkat di
tangan si kakek tak tinggal diam selama bentakan atau makian itu dikeluarkan,
bak-bik-buk mengenai tubuhnya dan tentu saja pemuda ini tak dapat tersenyum
dengan baik. Kakek itu menyuruhnya senyum yang baik tapi tongkat atau tangan
selalu bergerak menghajar, kalau tidak mengenai pundaknya ya punggung. Satu
ketika bahkan dia kena tempeleng! Tapi ketika pemuda itu bangkit lagi dan
tersenyum di depan si kakek, aneh sekali, maka senyumnya mulai mengembang dan si
kakek tertawa-tawa, gembira memuji pemuda itu dan si pemuda akhirnya dapat
tersenyum sesuai dengan yang dikehendaki si kakek. Lucu mulanya melihat pemuda
itu harus berkali-kali meringis sebelum tersenyum, kesakitan oleh suara tongkat
atau tempelengan yang mendarat tak kenal ampun. Tapi ketika dia dapat tersenyum
baik dan kakek itu, gurunya, memuji dan terbahak-bahak maka pemuda ini terbahak
pula seperti gurunya. "Eh, kau menirukan gurumu" Keparat, rasakan ini, Fang Fang. Kau tak boleh
tertawa kalau tidak kusuruh... buk!" dan si pemuda yang terjungkal dan menjerit
kesakitan akhirnya menghentikan tawanya karena tongkat menggebuk bokong, pedih
dan panas dan tentu saja dia tak berani terbahak-bahak. Lagi pula, mana bisa
terbahak kalau bokong kesakitan dipukul tongkat" Maka begitu dia mengaduh dan
gurunya membeliak di sana, berkelebat dan sudah berdiri di depannya maka kakek
ini berseru, marah, "Fang Fang, apa yang tidak kusuruh tak boleh kaulakukan. Siapa suruh kau
terbahak-bahak mengikuti aku" Kau mau meniru-niru gurumu dan minta digebuk"
Hayo, minta ampun, bocah. Atau kau kuhajar dan latihan ini kuhentikan!"
"Ampun... eh, ampun, suhu. Aku... aku tidak meniru-nirukanmu melainkan geli sendiri.
Aku bukan tertawa untuk mengolok-olokmu melainkan semata geli melihat sesuatu
yang lucu!" "Heh, apanya yang lucu?"
"Itu, suhu... celanamu!" dan si pemuda yang menuding serta menunjuk celana gurunya
yang sobek akhirnya membuat si tua terkejut, menunduk ke bawah dan tampaklah
celananya yang robek tanpa terasa, kena ujung tongkat ketika tadi dia menggerak-
gerakkan tongkatnya ke atas ke bawah, mencokel-cokel tanah dan tiba-tiba celana
yang tua itu robek, tak terdengar karena kalah oleh bentakannya yang garang dan
keras. Maka begitu celananya ditunjuk dan si tua ini tertegun dan terkejut tiba-
tiba dia terbahak dan... menggaplok muridnya itu.
"Ha-ha, kau pandai mengamati daerah terlarang, Fang Fang. Sungguh patut kau
menjadi murid Si Mata Keranjang... plak!" pemuda itu terpelanting, kaget dipukul
gurunya tapi sang guru sudah berkelebat menghilang, ganti celana dan tak lama
kemudian sudah muncul lagi, dengan pakaian baru, kuat dan tidak rapuh. Dan
ketika dia menggoyang-goyang tongkat sementara muridnya bengong tak berkedip
maka kakek ini mulai memerintah lagi dengan suaranya yang nyaring,
"Hayo, sekarang lanjutkan berlenggang-lenggok. Ayun bahu dan kakimu berulang-
ulang!" "Tapi... tapi..."
"Tapi apalagi?" si kakek melotot.
"Kau memakai celanamu terbalik, suhu. Yang di luar tampak jahitannya dan
kancingnya pun terbuka. Kau memakai celanaku pula!"
"Ha?" "Benar, lihatlah!"
Dan ketika si kakek melihat dan benar saja celananya terbalik maka kakek ini
memaki dan mengutuk muridnya, berkelebat lagi dan hilang dalam sekejap. Celana
yang dikenakannya itu ternyata milik muridnya pula, pantas agak panjang dan
kedodoran pula. Muridnya memang sedikit lebih besar tubuhnya dibanding dirinya
sendiri, yang sudah mengurus dan tidak sesegar anak muda. Dan ketika kakek itu
kembali lagi dan mengenakan pakaian lain, setelah dua kali berganti pakaian maka
muridnya tersenyum dan tertawa.
"Suhu, kau sekarang benar. Nah, jangan tergesa-gesa. Bukankah setiap ketergesaan
bakal merepotkan diri sendiri" Nah, kau sendiri bilang begitu, suhu. Tapi kau
sendiri lupa!" "Sialan, haram jadah! Kau sekarang pandai membalik omongan gurumu, Kang Fang.
Tapi kau benar. Baiklah, hayo lanjutkan pelajaran bergaya dan tunjukkan kepadaku
segala pelajaran yang telah kau terima!"
"Suhu ingin aku tersenyum?"
"Ya, dan segala aktingmu untuk merayu wanita, Fang Fang. Hayo tunjukkan padaku
segala kebolehan yang kaumiliki!"
"Baik," dan si pemuda yang mulai berlenggang-lenggok dan tersenyum-senyum lalu
mulai bergaya dan berputar-putar, maju mundur dan berkali-kali mengangkat tangan
atau melempar kaki. Gayanya seperti seorang peragawan di depan kamera, layaknya
seperti di atas panggung saja seolah sedang mengikuti "show", sebuah pertunjukan
dengan menunjukkan semua bakat dan ketrampilan. Dan ketika senyumnya yang khas
itu mulai mengembang dan si kakek tertawa-tawa maka kakek ini berseru dan
terbahak gembira, "Bagus... bagus, Fang Fang. Bagus sekali. Hayo sekarang hidupkan mata dalam sebuah
senyuman maut!" Pemuda itu mengangguk. Tiba-tiba dia merobah gerakan dan keluarlah kerling atau
senyum yang luar biasa, hidup dan memancar dari pandang matanya dan si kakek
tertegun. Gaya si pemuda tiba-tiba begitu mempesona dan penuh daya pikat,
kerlingnya begitu hidup dan sambaran senyumnyapun bukan main hebatnya, penuh
daya pukau dan si kakek bengong. Dan ketika kakek itu tidak tertawa-tawa lagi
melainkan bengong dan kagum memandang muridnya maka Fang Fang, pemuda itu sudah
berayun gontai dengan tenggang dan sambaran matanya yang begitu mempesona.
"Lihat..., lihat, suhu. Inilah pelajaran senyum maut yang kauberikan kepadaku!"
"Ha-ha!" si kakek akhirnya tertawa bergelak, sadar. "Kau hebat sekali, Fang
Fang. Hebat dan penuh daya pesona. Kau lebih hebat daripada aku sendiri!"
Si pemuda melempar senyum mautnya. Dalam senyum ini tampak seluruh mata dan
tubuhnya hidup dan bersinar-sinar, begitu memikat dan penuh daya pesona setelah
diiringi gerakan-gerakan tubuh tertentu, melempar lengan ke kiri atau kanan
misalnya, melempar sebelah kaki dengan gerakan begitu luwesnya termasuk sedikit
gerakan erotik, menaikturunkan pinggul umpamanya, maju mundur dengan manis namun
juga indah. Semuanya berdasarkan ilmu seni yang tinggi, paduan antara seni tari
dan seni panggung. Hebat sekali! Dan ketika sepuluh menit kemudian pemuda itu
sudah berputar dan melenggok ke kiri kanan akhirnya dia berhenti dan sang guru
pun terbahak-bahak, melihat muridnya mengusap keringat.
"Fang Fang, luar biasa sekali. Seni merayu dan bergaya ini telah kaukuasai
seratus persen!" "Ah, ini berkat bimbingan suhu," pemuda itu tertawa, senyumnya masih berpengaruh
dan kuat. "Kaulah yang mengajari aku begini, suhu. Dan tanpa bimbing-anmu tak
mungkin aku menguasai segala seni akting begini!"
"Ha-ha, dan sekarang coba tersenyumlah dalam sebuah pertandingan.. Awas...!" si
kakek berseru, tiba-tiba bergerak dan tangannya pun sudah melempar tongkat.
Tongkat yang ada di tangan sudah diberikan kepada muridnya sementara diri
sendiri sudah menyambar tongkat lain, yang entah didapat dari mana tapi cepat
dan kuat tiba-tiba ia sudah menerjang muridnya. Dan ketika tongkat mendesing
sementara tongkat yang dilempar masih berada di udara tiba-tiba si kakek
membentak lenyap dan menyerang muridnya itu.
"Awas, atau kau mampus...!"
Fang Fang, si pemuda terkejut. Pemuda ini tak menyangka bahwa dalam keadaan
begitu cepat tahu-tahu gurunya sudah menyerang, dia diberi senjata tapi senjata
itu sendiri masih melayang di udara, mau disambar tapi sang guru sudah
menghantam dengan tongkatnya yang luar biasa. Dan karena waktu sudah tak mungkin
lagi untuk mengelak atau menangkis maka pemuda ini berseru keras dan tiba-tiba
lenyaplah tubuhnya di atas kepala sang guru.
"Suhu, kau terlalu... des-dess!" tongkat dengan cara berjungkir balik tahu-tahu
disambar. Fang Fang mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya dan cepat melebihi
gurunya dia sudah menghilang. Gurunya terkejut karena sang murid lenyap. Tapi
ketika dari atas terdengar kesiur angin dingin dan si kakek terbelalak melihat
kepalanya dilompati tiba-tiba kakek ini menggerakkan tangan kirinya dan
menyambarlah sebuah angin pukulan menyusul hantaman tongkatnya yang kehilangan
sasaran, ditangkis dan seketika itu kakek ini berteriak kaget, masih tak mau
sudah dan bergeraklah tongkat di tangan kanan dengan jalan memutar, melakukan
pukulan serong namun sang murid sudah menangkis pula dengan tangan yang lain.
Dan ketika keduanya terpental sementara muridnya sudah berjungkir balik melayang
turun di belakang maka kakek itu terbahak membanting tubuhnya ke depan, meloncat
bangun. "Bagus, jurus Harimau Terbang Di Atas Mega cukup sempurna, Fang Fang. Tapi jaga
ini dan jangan bersenang-senang dulu... wut'" si kakek bergerak lagi, tubuhnya
mencelat ke depan dan tahu-tahu tongkat sudah lurus menusuk dada. Gerakan ini
sebat luar biasa dan juga hebat, kecepatannya melebihi kilat dan lawan terkejut.
Fang Fang berseru keras melihat gurunya bergerak secepat itu. Tapi ketika dia
mengelak dan gurunya tetap mengikuti maka apa boleh buat dia pun menggerakkan
tongkatnya. "Krakkk...!" Dua tongkat itu hancur ujungnya. Fang Fang terhuyung sementara gurunya juga
tergetar mundur, bukan main. Namun ketika si kakek terbahak dan berkelebat lagi
tiba-tiba kakek ini lenyap melakukan serangan-serangan berikut, menusuk dan
menyontek dan sibuklah lawannya mengelak sana-sini. Fang Fang dipaksa mundur-
mundur kalau tak mau menangkis. Dan. ketika hal itu terpaksa dilakukan dan apa
boleh buat pemuda ini menggeraKkan tongkatnya lagi maka dua tongkat kembali
hancur ujungnya. "Ha-ha, bagus, Fang Fang. Ayo sekarang mainkan ilmu silat tongkat Naga Merayu
Dewi... uut-uutt!" tongkat si kakek menyambar-nyambar. Kian lama kian cepat dan
Fang Fang dipaksa menangkis lagi. Kali ini si pemuda membentak keras karena sang
guru tak memberi ampun, mendesak dan terus mendesak. Tapi ketika gurunya
menambah tenaga dan dia terpelanting maka terbahaklah sang guru melihat muridnya
terguling-guling. "Hayo, kerahkan semua kepandaianmu, Fang Fang. Atau kau mampus dan mandah
dihajar... des-dess!" tongkat si kakek mendarat telak, membuat Fang Fang mengeluh
namun si pemuda sudah meloncat bangun. Dan ketika gurunya mengejar dan apa boleh
buat dia harus mengimbangi dan menambah tenaganya maka kali ini sang guru
terpental. "Dess!" Si kakek terguling-guling. Ganti kakek itu berteriak kaget dan memaki muridnya,
menyerang lagi namun sang murid sudah menangkis dan membalas dengan tak kalah
seru. Dan ketika dua orang itu bergerak kian cepat sementara tongkat di tangan
mereka pukul-memukul hingga menerbitkan suara nyaring, bahkan percikan bunga api
maka berobahlah tongkat kayu itu bagai tongkat baja saja, yang sudah terisi
tenaga sinkang! "Ha-ha, bagus, Fang Fang. Bagus! Namun kau harus tersenyum. Hayo, senyum dan
mainkan silat tongkat Naga Merayu Dewi dengan senyum..!"
Fang Fang tertawa. Setelah gurunya menyuruh dia tersenyum dalam mainkan ilmu
silat tongkat ini maka diapun tersenyum. Ilmu silat itu memang harus dilakukan
sambil tersenyum kalau tak ingin kehilangan mutunya. Silat tongkat ini hebat dan
akan semakin hebat saja kalau dilakukan sambil tersenyum. Lawan bisa terkecoh
dan tertegun, inilah kuncinya. Tapi karena dia menghadapi gurunya dan justeru
gurunya itulah yang menciptakan ilmu ini maka senyumnya seolah tak berguna
dipakai menghadapi gurunya itu.
"Ha-ha, mati kutu, suhu. Aku tak dapat merobohkan dengan senyum ilmu silat ini!"
"Tak apa. Yang penting jadikan kebiasaan setiap mainkan ilmu silat ini, Fang
Fang. Karena kalau menghadapi orang lain pasti kau berhasil!"
"Tapi kau bukan orang lain. Kau guruku sendiri, pengajarku!"
"Benar, tapi jangan banyak cakap, bocah. Hayo senyum atau kau kehilangan
keampuhan ilmu silatmu... des-dess!"
Si pemuda menjerit, lengah sekejap dan saat itu tongkat gurunya masuk menghantam
pundaKnya. Fang Fang terlempar dan bergulingan menjauh. Tapi ketika dia meloncat
bangun dan melakuKan perlawanan lagi maka gurunya terkekeh-kekeh tak dapat
menembus pertahanan muridnya.
"Bagus, sekarang kau pandai, Fang Fang. Tapi selamanya harus digebuk dulu
menerima pelajaran!"
"Hm, dan aku akan membalasmu!" Fang Fang penasaran, dua kali tak dapat membalas
gurunya. "Aku akan mengerahkan segenap kemampuanku, suhu. Awas hati-hati dan
berjaga-jagalah!" si pemuda berkelebat menghilang, lenyap ke kiri dan sang guru
tertawa, membentak dan mengikuti muridnya itu. Tapi ketika Fang Fang bergerak
lagi ke Kanan dan tangan kirinya ikut mendorong tiba-tiba kakek itu terpekik
karena tanpa diduga kelima jari muridnya itu sudah menghantam pundak kanannya.
"Plak-aduh!" Kakek ini terbanting. Dengan amat keras dan tepat muridnya itu menghantam
pundaknya, tak dapat dielak atau dikelit karena datangnya memang tidak terduga.
Tapi ketika kakek itu bergulingan meloncat bangun dan memaki namun memuji
muridnya maka kakek itu bergerak lagi menghadapi muridnya.
"Bagus, ha-ha. Bagus tapi keparat kau, Fang Fang. Aku terkecoh namun pukulanmu
cerdik. Hayoh, kita bertanding lagi dan keluarkan jurus-jurus licikmu!"
Fang Fang tertawa. Sekarang dia berkelebatan lagi mengelilingi gurunya itu,
jurus demi jurus dikeluarkan namun sang guru sekarang waspada, mengelak dan
membalas dan jadilah mereka bertanding lagi dengan sengit. Tapi ketika kakek itu
mulai memburu napasnya karena bagaimanapun juga anak muda masih menang
"ausdauer" maka kakek ini terhuyung ketika dua kali tongkat atau pukulan mereka
beradu. "Krak-dess!" Fang Fang berseru kagum. Gurunya itu terdorong namun tidak roboh, berseru lagi
dan menyerang dan terpaksa gurunya kembali menangkis. Dan ketika anak muda itu
menambah tenaganya karena sang guru seperti pelita kehabisan minyak maka kali
ini gurunya terpelanting!
"Ha-ha, kau harus menyerah, suhu. Atau tongkat di tanganku akan menghajar
tubuhmu!" "Sialan, kau hebat, Fang Fang. Kepandaianmu maju pesat. Tapi hajarlah, si tua
ini tak takut... des-plak!" dan si kakek yang kembali tergetar dan terhuyung oleh
pukulan tongkat muridnya nyaris saja jatuh terduduk, diserang dan diserang lagi
dan kakek ini mengeluh. Napasnya tak kuat, tenaganya cepat habis setelah mereka


Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertempur seratus jurus. Dan ketika sang murid mendesak dan sang guru terus
mundur-mundur akhirnya satu pukulan tongkat benar saja mengenai tubuh kakek itu.
"Bluk!" Kakek ini terpelanting. Sang murid terkejut dan berseru tertahan, tentu saja tak
mau menyerang lagi karena sang guru sudah terguling-guling. Tapi ketika kakek
itu mengeluh dan mendekap dadanya tiba-tiba dia membentak dan melempar
tongkatnya itu, cepat menyambar dada si pemuda.
"Awas!" Fang Fang terbelalak. Dari sini saja segera dia tahu bahwa gurunya yang keras
kepala ini tak mau menyerah. Gurunya itu rupanya ingin bertanding mati hidup!
Maka mengeluh dan mengerutkan kening tiba-tiba pemuda ini mengelak namun sengaja
memperlamban gerakannya, mandah terhantam tongkat dan seketika dia menjerit,
roboh dan terbanting dengan tongkat terlepas. Dan ketika pemuda itu mengaduh dan
meringkuk di sana, otomatis pertandingan pun berhenti maka gurunya meloncat
bangun dan tampak terkejut.
"Hei!" sang guru berkelebat. "Kau tak apa-apa, Fang Fang" Kenapa lamban
gerakanmu?" "Aduh..." pemuda ini mendesis. "Sambaran tongkatmu cepat, suhu. Aku menyerah,
kalah. Kau hebat!" "Tapi kau sebenarnya dapat mengelak lebih cepat!" sang guru tertegun,
mengerutkan kening. "Kenapa tidak kaulakukan itu'"
"Tidak, kau... kau yang menang, suhu. Kau hebat dan aku kalah!"
"Hm!" kakek ini tiba-tiba bersinar-sinar, mengusap dan menotok tubuh muridnya
itu. "Baiklah, sekarang kau bangun, anak setan. Kau memuji gurumu tapi
sebenarnya gurumu ini yang memuji kepandaianmu. Hayo, bangun dan kita
istirahat!" Fang Fang ditarik, dibetot gurunya dan tiba-tiba dia sudah dipeluk. Dan ketika
pemuda itu tertegun dan membelalakkan mata mendadak gurunya itu sudah menepuk
kepalanya dan terharu berkata,
"Bocah, jangan menipu gurumu. Kau sengaja memperlambat elakanmu. Hm, aku si
tolol, membuat murid menjadi takut dan mengalah! Baiklah, aku sadar, anak baik.
Aku tadi lupa diri dan mengajak murid bertempur seperti musuh bebuyutan. Ha-ha,
kuakui sikap tak mau mengalahku, Fang Fang. Aku si tua sudah kehabisan tenaga
dan sebenarnya kalah olehmu. Kau yang hebat, kaulah pemenangnya!" dan ketika
kakek itu terbahak dan memuji muridnya maka pemuda ini tertegun tapi akhirnya
tersenyum lebar. "Suhu tahu?" "Kaukira aku buta" Ha-ha, aku harus mengakui kekuatanku, Fang Fang. Tenaga yang
tua dan lemah memang sudah tidak dapat dibandingkan lagi dengan yang muda-muda.
Kau lebih unggul, menang gesit dan daya tahan!"
"Tapi suhu juga hebat, dapat bertahan dan menyerang tak kenal putus!"
"Ha-ha, sudahlah. Aku harus mengakui kelebihan fisikmu, Fang Fang. Kepandaianmu
sekarang sudah maju pesat dan aku si tua harus mundur. Aih, dunia ini sudah
menjadi milik yang muda!" dan melempar serta membanting tongkatnya tiba-tiba
kakek itu berkelebat ke dalam, memasuki sebuah gubuk kecil dan terdengar tawanya
yang tak putus-putus. Dari tawanya ini saja orang segera tahu bahwa kakek itu
sedang senang bukan main. Pertama karena muridnya memiliki kemajuan pesat sedang
kedua adalah karena watak muridnya yang baik itu, yang akhirnya membiarkan
tongkat menyambar asal sang guru menang, jadi memberi "muka" pada gurunya itu
agar gurunya tidak marah. Watak yang tentu saja membanggakan orang tua ini
karena tidak sia-sialah dia mendidik dan memelihara muridnya itu, yang sudah
diambilnya sejak kecil. Dan ketika kakek itu terbahak dan tertawa-tawa di
gubuknya maka Fang Fang, pemuda itu berkelebat dan tersenyum mencari kelinci
panggang. -0-dw-0- "Nah, sekarang kubicarakan tentang wanita," malam itu kakek itu berseri-seri di
atas balai-balai bambunya, 'berkata pada sang murid, yang duduk dan memandangnya
dengan mata bersinar-sinar. "Semua pelajaran telah kaupunyai, Fang Fang. Tapi
pergaulan atau watak wanita belum kauketahui. Nah, sekarang aku mau
menerangkan. kakek itu membetulkan letak kakinya, tertawa dan memandang jauh "ke depan dengan mata yang aneh, berkedip-kedip dan berbinar tapi sang murid
tiba-tiba mengangkat tangannya. Dan ketika kakek itu tertegun dan menarik
pandangannya ke dalam maka sang murid memotong.
"Tunggu dulu. Adakah ini penting, suhu" Dan adakah hubungannya dengan tee-cu
(aku)?" "Eh, bodoh. Goblok tolol! Aku tak pernah memberitahukan yang tidak penting, Fang
Fang. Dan aku tak pernah bercerita kosong yang tak ada hubungannya. Ini penting,
bahkan penting sekali! Dan hubungannya denganmu tentu saja besar sekali. Kau
masih muda, kau sedang menanjak dewasa. Dan karena kau tentu akan berhubungan
atau bergaul dengan wanita maka rahasia atau watak-watak wanita harus
kauketahui. Ini penting, teramat penting!"
"Hm, di mana letak kepentingannya, suhu" Dapatkah kau menerangkan?"
"Bodoh! Berapa usiamu sekarang?"
"Duapuluh, hampir duapuluh..."
"Nah, kau tidak ingin berdekatan dengan wanita" Kau tidak ingin mengenal atau
mendekati mereka" Kau tidak ingin pacaran?"
"Eh-eh!" sang murid tersipu, semburat diberondong pertanyaan bertubi-tubi. "Aku
tentu saja ingin bergaul atau berdekatan dengan siapa saja, suhu. Baik wanita
atau pria!" "Haram jadah! Kenapa membelit" Kau suka atau tidak tak usah ditambah-tambah,
bocah. Tak usah kaum pria kaumasuk-masukkan di sini! Aku tahu bahwa beberapa
hari yang lalu kau melirik gadis dusun bernama Ui-hwa itu. Aku tahu bahwa getar
nadimu mulai menunjukkan rasa cinta! Kenapa berputar dan membawa-bawa nama pria
segala, bocah" Kau tak usah menyangkal bahwa di dalam hatimu sekarang terbersit
perasaan suka dan tertarik kepada wanita! Hayoh, berani menyangkal atau tidak!"
Fang Fang terkejut. Diteter dan dipojokkan begini tiba-tiba saja mukanya yang
sudah merah semakin memerah. Pemuda itu semburat dan seketika cep-kelakep, tak
dapat bicara. Dan ketika gurunya terbahak dan terkekeh maka orang tua itu
berkelebat ke bawah, turun.
"Heh, bagaimana kata-kataku tadi, bocah" Bisakah kau menyangkal atau
menangkisnya?" "Tidak," pemuda ini tertawa tersipu-sipu. Kau awas dan pandai sekali, suhu. ?Kau bermata tajam dan mengagumkan!"
"Heh-heh, usiaku sudah setengah abad, bocah. Aku bukan laki-laki ingusan yang
tidak tahu apa-apa. Gurumu ini adalah Si Mata Keranjang. Sekali lihat baik laki-
laki ataupun perempuan gurumu pasti tahu. Nah, kaudengarkan lagi dan perhatikan
baik-baik nasihatku ini!" si kakek menampar pundak muridnya, berjungkir balik
dan kembali duduk di atas balai-balai bambunya. Dan ketika muridnya tersenyum
dan kagum memandang si tua itu maka kakek ini mengangkat sebuah jarinya.
"Lihat, dengar. Ilmu silat yang siang tadi kuberikan padamu sungguh besar
hubungannya dengan wanita, Fang Fang. Ilmu itu sanggup menundukkan lawan sebelum
bertanding!" "Ah, suhu mengada-ada," Fang Fang tertawa, memotong. "Kau terlalu berlebih-
lebihan, suhu. Tak mungkin lawanku dapat roboh sebelum bertanding!"
"Itulah bodohmu!" sang guru menghardik. "Kau hanya melihat luar tidak isinya,
Fang Fang. Kali ini otakmu kurang bekerja!"
"Apa maksud suhu?"
"Lihat, apa inti dari silat Naga Merayu Dewi itu" Apa yang kau tangkap?"
"Hm, ilmu silatnya, suhu. Dan ilmu silat itu memang hebat, tak ada yang lain."
"Itulah kegoblokanmu! Sudah kubilang bahwa kekuatan ilmu silat ini terletak pada
senyum, Fang Fang. Kenapa kau tidak memperhatikannya dan selalu lupa" Bukankah
sudah kuberitahukan berkali-kali bahwa letak kekuatan ilmu silat ini pada
senyum?" "Tapi aku tak dapat merobohkanmu dengan itu!" si pemuda terkejut. "Aku berkali-
kali gagal denganmu, suhu. Aku tak pernah berhasil membuktikan itu denganmu!"
"Itu karena aku laki-laki!" sang guru menukas. "Dan juga karena kebetulan aku
penciptanya! Heh, sudah kukatakan padamu bahwa ilmu ini khusus untuk berhadapan
dengan wanita, Fang Fang. Bahwa dengan senyum wanita dapat ditundukkan!"
"Aku tak percaya...."
"Kau selamanya memang tak percaya!" si tua mendelik. "Kau selamanya minta bukti-
bukti, Fang Fang. Tapi untuk itu aku memang akan memberikan bukti padamu! Nah,
sebaiknya dengar saja kata-kataku ini dulu. Kau harus memperhatikannya baik-baik
dan jangan membantah dulu! Kau siap?"
"Ya, aku siap."
"Nah, dengarkan ini. Wanita, kebanyakan wanita amat goyah dan lemah sekali
menghadapi senyum. Mereka itu mahluk lembut yang gampang sekali dipedayai
senyum. Dan karena senyum merupakan senjata ampuh bagi kita, laki-laki, maka
senyum harus kita pergunakan kalau kita sudah tertarik dan menaksir seorang
wanita!" "Hm!" Fang Fang, pemuda itu, semburat lagi. "Apakah ini resep jitu, suhu"
Dapatkah diandalkan?"
"Ha-ha, kejituannya seribu prosen, bocah. Kehandalannya boleh diuji! Aku sudah
membuktikan itu berkali-kali dan akhirnya aku mendapat julukan Si Mata Keranjang
ini. Ha-ha!" Fang Fang terkejut. Gurunya sudah tertawa bergelak dan tampak berseri-seri, bola
mata gurunya bergerak aneh dan tampak bayangan-bayangan nakal di situ. Agaknya
orang tua ini sedang menikmati masa lalu atau "resepnya" itu, senyum yang
katanya handal dan ampuh! Namun ketika kakek itu berhenti tertawa dan sang murid
mendelong dengan mata tidak berkedip maka kakek itu batuk-batuk dan terkekeh
geli. "Kenapa kau melotot kesini" Tidak percaya?"
"Hm, eh... tidak. Bukan, bukan itu, suhu. Melainkan aku berpikir apakah aku dapat
membuktikannya kelak!"
"Ha-ha, memang harus kaubuktikan, Fang Fang. Dan kau akan merasa betapa nikmat
dan enaknya hidup ini. Wanita mudah pecundang, dan satu di antaranya adalah
senyum itu! Wanita muda tak tahan, dan dengan senyum kita akan dapat
memperolehnya dengan mudah!"
Fang Fang bersinar-sinar. Pemuda ini melihat betapa gurunya tampak gembira, mata
yang tua itu menjadi hidup berseri-seri dan agaknya orang tua itu kembali
menikmati masa lalunya yang indah. Dan ketika pemuda ini kembali tak berkedip
dan memandang gurunya penuh rasa tertarik maka kakek itu menghentikan tawanya
dengan senyum lebar. "Nah, dengar ini," katanya. "Sudah kuberitahukan padamu bahwa silat Naga Merayu
Dewi bukanlah silat yang hanya digerakkan oleh tubuh, kaki tangan. Silat ini
juga harus digerakkan oleh bibir karena dengan gerak bibir yang manis dan
memikat maka gerak bibir atau senyum itu sudah merupakan semacam hipnotis bagi
kaum wanita!" "Suhu yakin?" "Bangsat, kenapa tidak percaya?" si kakek berang. "Aku tak perlu bohong padamu,
Fang Fang. Dan kau coba saja hal itu pada siapa saja yang kautemui! Wanita mudah
jatuh oleh senyum, dan aku sudah membuktikan ini ribuan kali!"
"Hm, coba suhu terangkan lebih lanjut," pemuda itu tertawa, tak membalas makian
gurunya. "Kau jangan buru-buru gusar, suhu. Orang bertanya tak merugikan dirimu.
Baiklah, maafkan keraguanku. Tapi ini adalah sikap atau tanda bahwa aku mulai
tertarik oleh wejanganmu ini."
"Ha-ha, aku tahu. Kau memang bocah kurang ajar!" dan ketika puas mendamprat
sementara muridnya hanya tersenyum senyum saja maka kakek ini mulai melanjutkan,
berkata lagi, "Senyum yang kumaksudkan bukanlah sembarang senyum. Senyum itu
terbagi dalam bermacam-macam. Ada senyum sinis, ada senyum mengejek atau senyum
lain-lain lagi yang bukan kumaksudkan di sini. Sebab kalau senyum-senyum yang
kusebutkan pertama tadi bisa menimbulkan rasa marah atau tak senang orang lain
maka senyum penemuanku ini justeru sebaliknya, membuat orang jatuh cinta dan
tergila-gila kepada kita, ha-ha!"
Fang Fang terbelalak. Gurunya kali ini tertawa begitu nyaring, terbahak sampai
terpingkal-pingkal dan berceritalah gurunya itu akan seorang bekas kekasihnya,
yang bernama Fui Lin. Dan ketika gurunya itu bercerita betapa Fui Lin atau
wanita itu sampai sedemikian tergila-gilanya hingga mau disuruh melakukan apa
saja maka kakek itu berkata, "Dia pernah mencium tali sepatuku. Pernah pula
mencium baju dekilku yang bau dan yang lebih hebat adalah dia pernah mencium
pusarku. Ha-ha, laki-laki kalau dicium pusarnya merinding, Fang Fang. Kau bisa
berada di sorga ketujuh kalau dicium pusarmu oleh kekasih yang kau cinta!"
Fang Fang tersenyum memerah. Kalau gurunya sudah bicara tentang wanita memang
tak dapat disangkal bahwa diam-diam dia tertarik. Ada semacam gairah atau nafsu
yang enak naik di kepalanya, perlahan-lahan dan biasanya dia mudah terhanyut
atau terbius oleh cerita gurunya. Tapi ketika untuk cerita itu gurunya tak
menyambung jauh karena Fang Fang tak bakalan mengerti karena pemuda ini masih
taraf "yunior" alias pupuk bawang maka kakek itu bicara lagi tentang resep
senyumnya. "Senyum yang benar adalah senyum seperti penemuanku ini. Orang khususnya wanita
akan terkesan dan tak dapat melupakan senyum kita itu. Dan karena.senyum ini
memang istimewa dan merupakan senjata ampuh untuk merobohkan wanita maka senyum
itu amat handal dan dapat dipercaya!"
"Baik, kau menamakan senyum apa pada senyum penemuanmu itu, suhu?"
"Senyum cinta kasih, senyum kenikmatan!"
"Senyum kenikmatan?"
"Ya, karena senyum itu mampu membuat si penerima menerima nikmat, Fang Fang. Dia
tak bakalan lupa dan teringat selalu akan senyuman itu!"
"Coba suhu berikan!" sang murid tiba-tiba meminta. "Kautunjukkan padaku, suhu.
Coba kulihat apakah nikmat atau tidak!"
"Kau gila?" sang guru membentak. "Senyum ini khusus ditujukan buat wanita, Fang
Fang. Bukan laki-laki atau pemuda macammu!"
"Tapi teecu ingin tahu..."
"Ingin tahu hidungmu!" sang guru masih sewot. "Senyum ini tak dapat diminta atau
diberikan begitu saja, Fang Fang. Senyum itu harus keluar dari lubuk hati yang
paling dalam. Aku tak dapat memberikannya kalau kau minta, kecuali kau wanita
dan cantik serta menggairahkan!"
"Lho?" "Kenapa lho" Memang itu syaratnya, bocah. Terhadap laki-laki atau sesama jenis
terus terang senyum ini sukar keluar. Tapi kalau untuk lawan jenis maka mudah
keluarnya dan aku dapat membuktikannya!"
Fang Fang atau pemuda itu tertegun. Akhirnya dia tersenyum dan mengangguk-
angguk. Dan ketika gurunya melotot dan masih marah maka dia berkata, "Maaf,
kalau begitu berikan saja tehnik atau cara senyuman itu, suhu. Ajarkan padaku
agar aku mengerti." "Kau sudah mendapatkannya," sang guru menjawab. "Tapi kekuatan dari lubuk hati
masih belum dapat kaukeluarkan. Namun itu cukup, Fang Fang. Berdasar pengalaman
dan kebiasaan sehari-hari maka nanti kau akan menjadi mahir!"
"Suhu maksudkan pelajaran siang tadi?"
"Ya, kaukira apa" Itulah senyum yang kumaksud, Fang Fang. Dengan senyum itu kau
dapat menguasai dunia dan menaklukkan wanita, ha-ha"
Fang Fang tertegun. Gurunya tertawa bergelak dan berkata dengan sungguh-sungguh,
tak ada kesan mainmain atau tak serius. Dan ketika malam itu gurunya berkata
bahwa tehnik senyuman seperti yang siang tadi dapat dikembangmatang-kan maka
keesokannya pemuda ini turun gunung dan ingin mempraktekkannya, dengan agak
berdebar, kepada Ui-hwa! "Kau harus berkali-kali berlatih, pasti berhasil. Karena kau telah memiliki
dasar-dasarnya dan kemampuan yang cukup!"
Begitu pemuda ini mengingat-ingat pesan atau nasihat gurunya. Maka ketika malam
itu pembicaraan tentang senyum sudah selesai dan sang guru memberi penjabaran
atau pengembangan tentang senyum maka secara berani tapi agak berdebar Fang Fang
ingin membuktikan omongan gurunya.
Ui-hwa, gadis yang diincar akan didatangi. Gadis ini adalah kembangnya dusun dan
di perkampungan bawah gunung sana gadis itu banyak dipuja pemuda-pemuda sebaya.
Fang Fang mengenalnya karena sering bersama gurunya dia turun gunung, membeli
bumbu-bumbu atau rempah-rempah di dusun atau perkampungan gadis itu. Dan karena
Fang Fang tahu dimana kiranya gadis itu berada maka pagi-pagi benar pemuda ini
sudah berkelebat ke mata-air.
"Hei!" serunya tiba-tiba. "Kau sudah ada di sini, Ui-hwa" Mana teman-temanmu?"
begitu pemuda ini langsung menegur ketika seorang gadis tampak membungkuk di
tepi kolam, mencuci muka. Dan karena senyum itu sudah dipraktekkan pemuda ini
dan Fang Fang mencoba tersenyum sehebat-hebatnya maka dia menjadi terkejut
ketika gadis itu membalik dan melotot padanya, bukan Ui-hwa!
"Kau siapa?" gadis itu membentak, ketus. "Kau pemuda hidung belang di dusun ini"
Pergilah, jangan mainmain kalau tak ingin kuhajar'"
Fang Fang kontan terbelalak. Pemuda ini mundur selangkah setelah dia tahu bahwa
gadis yang disangkanya Ui Hwa itu ternyata bukan Ui-hwa. Gadis ini dari belakang
memang mirip Ui-hwa, pinggul dan pinggannya itu sama. Tapi begitu membalik dan
berhadapan muka tiba-tiba Fang Fang terkejut dan berdetak karena gadis ini
ternyata jauh lebih cantik daripada Ui-hwa, juga tampaknya bukan gadis dusun!
"Eh-oh... maaf...!" Fang Fang gugup. "Kau siapa, nona" Pendatang baru dan bukan
teman Ui-hwa" Maaf, aku... aku mencari Ui-hwa dan mengira kau adalah gadis itu!"
"Hm!" gadis itu mendengus, tiba-tiba berkelebat lenyap. "Kalau kau menggangguku


Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentu sudah kuhajar kau, bocah. Tapi melihat kau salah mencari orang biarlah
kumaafkan kesalahanmu, wut!" Fang Fang ternganga, melihat gadis itu berkelebat
demikian cepatnya dan tentu saja dia berteriak, mengejar. Tanpa sadar
mengerahkan ilmu ginkangnya (ilmu meringankan tubuh) dan gadis itu terkejut
ketika Fang Fang tahu-tahu berjungkir balik dan sudah menghadang perginya, dalam
dua kali lompatan panjang yang mau tak mau membuat gadis itu kagum dan berseru
tertahan. Dan ketika gadis itu bersinar-sinar sementara Fang Fang terkejut dan
sadar bahwa dia telah mendemonstrasikan kepandaiannya maka pemuda ini buru-buru
membungkuk dan berkata, "Maaf, aku... aku ingin berkenalan. Aku jadi penasaran untuk mengetahui siapa
dirimu dan bagaimana tahu-tahu ada di tempat ini. Maksudku, eh... maaf. Jangan
serang dulu, nona. Aku Fang Fang pemuda baik-baik!" Fang Fang menggoyang lengan,
cepat menahan ketika melihat gadis itu mau bergerak, menyerangnya. Jari-jari
yang menggigil itu seolah akan bergerak menampar, Fang Fang terkejut karena
sebagai pemuda yang mahir silat tentu saja dia tahu apa artinya itu, kepretan
atau tamparan sinkang, karena jari-jari itu bergetar dan mengepulkan uap putih!
Dan ketika Fang Fang berseru menahan sementara gadis itu tampak melemaskan jari-
jarinya lagi maka gadis itu mendengus dan mendahului bertanya,
"Kau Fang Fang" Kalau begitu kau mengenal Si Mata Keranjang Tan Cing , Bhok?"
"Ah-ah, dia guruku, nona. Aku muridnya!"
"Bagus sekali, kalau begitu kebetulan!" dan begitu seruan atau bentakan ini
selesai diserukan tiba-tiba gadis itu berkelebat dan menghantam Fang Fang.
Pemuda ini terkejut dan tentu saja tidak menyangka, dia tadinya merasa girang
karena si cantik ini mengenal gurunya, jadi mungkin sahabat dan dia siap
menyambut. Tapi begitu lawan berseru marah dan membentak berkelebat ke depan
tiba-tiba jari yang tadi lemas itu sudah kaku kembali dan mendesing bagai pedang
menyambar kepala pemuda ini.
"Heii...!" Fang Fang kaget. "Tahan, nona. Jangan memukul!" namun kepretan jari
tangan yang sudah dekat dan tak mau ditarik mundur tiba-tiba bertambah cepat
setelah pemuda itu berteriak seperti itu. Gadis itu rupanya semakin marah dan
menambali kecepatannya, Fang Fang mengelak namun selalu dikejar. Dan karena jari
itu selalu mengikut ke manapun pemuda ini menghindar maka apa boleh buat murid
Si Mata Keranjang Tan Cing Bhok ini menangkis.
"Dukk!" Gadis itu terpental. Pekik dan seruan kaget jelas menambah kemarahan gadis ini,
Fang Fang tertegun karena dia tergetar juga, tadi mengerahkan separoh tenaganya
namun lawan cukup kuat, terpental tapi kini dengan ganas dan marah berjung kir
balik di udara, kembali dan membalik dengan tendangan berputar dua kali. Bukan
main, tendangan itu dilakukan seperti orang mencangkul, kalau kepalanya kena
barangkali kepalanya bakal putus, terbang dibabat tendangan luar biasa itu. Dan
karena sekarang Fang Fang semakin tertarik tapi juga sekaligus terkejut karena
lawan ternyata bukan gadis biasa maka pemuda ini memutar pinggangnya dan dua
lengannya mengembang untuk menang kis sekaligus coba menangkap sepasang kaki
yang audzubillah hebatnya itu.
"Plak-dess!" Dua-duanya terpental. Fang Fang berteriak kaget sementara lawan melengking
terkejut, sudah menambah tenaganya tapi masih juga kalah, tertolak dan akibatnya
dia terbanting dan terguling-guling di sana. Dan ketika gadis itu meloncat
bangun dan memaki serta melotot tiba-tiba gadis yang seolah berobah menjadi
harimau betina ini sudah menerjang dan berkelebatan melepas pukulan bertubi-
tubi. "Bagus, jahanam keparat kau, Fang Fang. Kau ternyata mirip gurumu tapi jangan
kira aku berhenti. Lihat, aku akan merobohkanmu dan membunuh.... dar-dar!" dan
sepasang lengan yang meledak serta menyambar bagai petir di siang bolong tiba-
tiba sudah mengeluarkan sinar putih yang naik turun menyambar-nyambar pemuda
ini, akhirnya menjadi biru dan ledakan demi ledakan akhirnya tak kenal putus.
Sinar putih dan biru ganti-berganti bagai sinar laser, Fang Fang terkejut karena
hawa panas menghebat dan membakar tubuhnya. Tapi ketika dia mengerahkan sinkang
dan bertahan serta menangkis maka pemuda itu juga mulai membalas dan meminta
agar lawan tidak menyerang lagi, hal yang sia-sia karena gadis itu tak
menghiraukan. Fang Fang terus didesak dan didesak, dan ketika satu pukulan
miring ditangkis pemuda itu dan Fang Fang mengerahkan delapan persepuluh bagian
tenaganya maka gadis itu mengeluh dan terbanting menjerit.
"Aduh!" Fang Fang kagum. Sebenarnya kalau o-rang lain mestinya tak dapat bangun lagi.
Tapi melihat gadis itu bergulingan me loncat bangun dan kini sinar hitam
berkeredep menyilaukan mata maka sebatang pedang telah menyambar dan menusuk
tenggorokan Fang Fang. "Hei...!" pemuda ini terkejut. "Kita bukan musuh bebuyutan, nona. Tak perlu
membunuh dan simpan pedangmu!"
"Keparat jahanam!" gadis itu membentak. "Kau dan gurumu adalah musuh sedunia,
Fang Fang. Tidak membunuhmu sama artinya membiarkan bibit penyakit mengganggu
ketenteraman orang lain!"
"Tapi aku tak mengenalmu. Aku tak pernah memusuhimu!"
"Tak usah kau mengenalku, bocah. Nanti kalau ajal sudah menjemputku kau akan
mengenalku di akherat!"
"Aih, kejam!" dan Fang Fang yang berlompatan serta mengelak atau menghindar dari
serangan pedang lalu melihat gadis itu mainkan senjatanya dengan hebat, membacok
dan menusuk dan sebuah permainan silat pedang yang hebat ditunjukkan gadis ini.
Fang Fang kagum dan semakin membelalakkan matanya lebar-lebar. Dan ketika
mendelong takjub karena gadis itu masih menggerakkan tangan kirinya untuk
melancarkan pukulan-pukulan biru atau putih maka sebuah tusukan pedang lambat
dikelit. "Haiya.... bret!"
Fang Fang melempar tubuh bergulingan. Ujung pedang nyaris menusuk lehernya,
merobek baju dan Fang Fang melempar kepala dengan cepat. Dan ketika dia
membanting tubuh berteriak keras maka gadis itu mengejarnya dan tak memberi
ampun. "Bedebah, kubunuh kau, Fang Fang. Kuantar nyawamu ke akherat!"
Fang Fang pucat. Setelah gadis ini tanpa sebab dan tiada hujan atau angin tahu-
tahu menyerangnya begitu ganas akhirnya dia pun marah juga. Fang Fang tak merasa
bersalah sementara gadis itu bagai kambing kebakaran jenggot. Kalau dia tidak
mencabut tongkatnya barangkali pedang benar-benar akan menghabisi nyawanya. Maka
begitu lawan membentak dan mengejar ganas tiba-tiba apa boleh buat Fang Fang
mencabut senjatanya ini, tongkat yang kemarin dipakai menghadapi pertandingan
bersama gurunya. "Siut-trakk!" Pedang terpental. Kali ini gadis itu berseru tertahan dan terdorong, Fang Fang
mencabut senjatanya dan tampaklah pemuda itu tersenyum. Sebuah jurus dari ilmu
silat Naga Merayu Dewi dikeluarkan, baru satu jurus saja tapi gadis itu
terkejut. Senyum Fang Fang yang demikian simpatik tiba-tiba menawannya,
memerangkapnya dalam satu getaran jiwa di mana gadis itu tiba-tiba tergetar.
Detak jantungnya berdebur cepat dan tanpa terasa mukanya menjadi merah. Dan
ketika Fang Fang tertawa dan berkata bahwa sebaiknya pertempuran itu dihentikan
maka gadis ini sadar lagi dan menerjang.
"Tak bisa. Aku harus membunuhmu dulu, Fang Fang. Baru setelah itu gurumu ....
sing-singg!" dan pedang yang kembali berkelebat dan menyambar pemuaa ini tiba-
tiba sudah menusuk dan membacok lagi dengan sengit, ganti-berganti melakukan
tipu-tipu lihai di mana Fang Fang sering terkecoh. Namun karena pemuda ini telah
mencabut tongkatnya dan dengan senjata itu dia mainkan ilmu silat Naga Merayu
Dewi maka gadis itu lama-lama tak tahan oleh senyum Fang Fang yang terus-menerus
seakan menggodanya, satu gangguan psikis!
"Nona, kita tak sepatutnya bermusuhan. Kau bukan Dewi Maut. Ayolah, hentikan
seranganmu dan kita bersahabat!" a-tau, ketika gadis itu melotot dan mendelik
terpental pemuda ini menyambung, "Lihat, aku tak tega membunuhmu, nona. Aku
sayang kepada kecantikanmu dan kehalusan kulitmu ini. Aih, kulitmu seperti batu
pualam!" Gadis itu merah padam. Setelah Fang Fang mencabut tongkatnya dan melayani
pedangnya dengan senjata itu maka mau tak mau gadis ini harus mengakui bahwa dia
tak dapat mendesak. Pedangnya berkali-kali terpental oleh tongkat di tangan
pemuda itu, dia sering terhuyung dan kalau Fang Fang mau tentu dapat mendesak,
mengejar atau melancarkan serangan-serangan susulan agar dia keteter dan semakin
terdesak lagi. Jadi Fang Fang sudah di atas angin namun pemuda itu bersikap
lunak kepadanya, tak mau membuat dia sakit hati atau semakin marah. Dan karena
Fang Fang melakukan semuanya itu dengan senyum yang simpatik dan amat mempesona,
cenderung mesra maka gadis ini akhirnya tak tahan dan pedangnya di tangan
gemetar keras, coba menggigit bibir dan mengeraskan hati namun gagal juga.
Senyum itu mulai mengganggu dan sinar mata Fang Fang yang lembut dan mesra
kepadanya itu juga serasa menggelitik dia. Tak tahan gadis ini! Maka ketika dia
mengeluh dan satu benturan tongkat membuat pedangnya terlepas maka gadis itu
terkejut ketika tahu-tahu kaki kiri Fang Fang menggaet belakang lututnya.
"Aih...!" gadis itu terjengkang, roboh ke belakang dan tentu saja dia memekik.
Pedangnya sudah terlepas sementara diri sendiri akan terantuk. Kepalanya bisa
mengenai tanah tapi saat itu Fang Fang berkelebat cepat, menerima dan sudah
menahan tubuhnya itu dengan lembut. Dan ketika pemuda itu tertawa dan menyimpan
tongkatnya, menahan dan memeluk tubuh yang lunak hangat ini maka pemuda itu
berkata, setengah berbisik,
"Lihat, aku tak mau membuatmu malu, nona. Aku tak mau mengalahkanmu dengan cara
yang kasar. Aih, maaf dan kau berdirilah tegak!" lengan yang kokoh dari Fang
Fang menahan punggung gadis itu, perlahan saja tapi lembut dan gadis itu pun
merah padam. Fang Fang telah menyentuhnya dan lembut memegang tubuhnya. Pemuda
itupun memandangnya bersinar-sinar dan mesra. Dan ketika gadis itu terkejut tapi
juga jengah, malu dan marah tiba-tiba dia membalik dan.... menggaplok pemuda ini.
"Kurang ajar, lepaskan aku, Fang Fang. Jangan pegang atau sentuh tubuhku.....
plak-plak!" pemuda itu terkejut, menerima dua tamparan keras dan Fang Fang
tertegun. Baru kali itu dia ditampar wanita, cantik lagi! Tapi karena Fang Fang
tak merasa sakit kecuali pedas dan panas maka kebiasaan senyum yang mulai
mendarah daging di tubuhnya muncul, begitu saja, secara otomatis!
"Eh-eh, terima kasih, nona. Dua tanda kenanganmu sungguh manis di hati!"
Gadis itu terbelalak. Melihat Fang Fang tak marah dan justeru mengusap pipinya
dengan mata bersinar-sinar mendadak dia semakin jengah lagi. Dua tamparannya
tadi dianggap sebuah kenang-kenang an yang manis di hati. Bukan main! Maka
menangis dan melompat pergi tiba-tiba gadis itu memaki,
"Fang Fang, kau pemuda tak tahu malu. Kau kurang ajar!"
Fang Fang tertegun. Dia terbelalak tapi senyumnya tetap mengembang. Pemuda ini
terbiasa dengan senyum yang lama-lama menempel, hasil didikan gurunya. Tapi
melihat gadis itu pergi dan memakinya tiba-tiba Fang Fang menarik napas, tak
mengejar, tertawa. "Hai, aku tak berbuat apa-apa padamu, nona. Aku tidak kurang ajar!"
Namun seruan ini tak bersambut. Gadis di depan sana sudah lenyap, tangisnya juga
sudah hilang dan Fang Fang bersinar-sinar. Sebenarnya ingin dia mengejar tapi
perasaannya yang tajam memberi tahu bahwa tak lama lagi mereka pasti bertemu.
Gadis itu juga mengancam gurunya dan agaknya suatu hari pasti datang lagi,
mencari gurunya itu. Dan karena perasaannya ini meyakinkan dirinya dan Fang Fang
tertawa maka pemuda itu membalik dan berkelebat ke puncak, tak jadi mencari Ui-
hwa karena dia ingin menceritakan hal itu pada gurunya.
"Ha-ha, siapa gadis itu?" begitu gurunya bertanya setelah dia menceritakan
kejadian ini. "Dan bagaimana pagi-pagi benar kau sudah kelayapan di bawah
gunung?" "Hm, aku mau mencari makanan, suhu. Bertemu gadis itu dan lalu diserang."
"Makanan" Ha-ha, di sini sarapan sudah tersedia, bocah. Kau bohong! Kau tentu
mau mencari Ui-hwa, tak ketemu dan bertemu gadis itu. Nah, gurumu tak usah
dibohongi karena gurumu juga pernah muda!"
Fang Fang merah mukanya. "Hayo, benar tidak?" gurunya tertawa. "Kau jangan coba-coba menipu aku, Fang
Fang. Gerak-gerik atau gelagat o-rang muda selalu aku tahu! Nah, jangan bohong
dulu atau aku tak mau membantumu!"
Fang Fang mengangguk, tertawa menyeringai. "Sialan," katanya. "Kau benar, suhu.
Kau orang tua yang benar-benar tak dapat dibohongi. Baiklah, aku memang mencari
Ui-hwa tapi bertemu duluan dengan gadis itu."
"Apa maksudmu mencari Ui-hwa?" gurunya tersenyum. "Kau mau pacaran pagi-pagi dan
merayu gadis itu?" "Hm," pemuda ini mati kutu. "Kau selalu tahu apa yang hendak kulakukan, suhu.
Baiklah, terus terang saja aku mau mempraktekkan senyumku itu untuk membuktikan
kata-katamu!" "Ha-ha!" sang guru tertawa bergelak. "Kau jujur tapi tak berpenghitungan, Fang
Fang. Maksudmu baik tapi semuanya itu ada 'timingnya' (waktu) sendiri-sendiri.
Pagi-pagi buta mencari gadis salah-salah bisa membuat gadis itu curiga,
ketakutan. Kau harus mencari waktu yang baik dan jangan memaksa!"
"Maksud suhu?" "Ha-ha, senyum boleh senyum, bocah. Tapi jangan dipaksa dan harus keluar dari
lubuk hati secara wajar. Kalau timingnya tidak tepat maka bukan senyuman yang
kauberikan melainkan sikap kaku dan canggung yang bahkan membuat lawanmu tak
suka!" "Ah, begitu banyak syaratnya," pemuda ini mengeluh. "Aku jadi bingung, suhu.
Tapi baiklah, aku mengikuti petunjukmu dan katakan apa sekarang yang harus
kukerjakan." "Kau sudah memulainya. Tapi bukan Ui-hwa yang menjadi sasaran melainkan gadis
itu. Eh, siapa namanya?"
"Aku tak tahu, aku tak bertanya...."
"Bodoh! Lain kali harus bertanya, Fang Fang. Jangan lupa dan ingat itu. Kalau
kau bertemu tapi tak tahu namanya maka senyummu percuma dikeluarkan!"
"Baik, sekarang bagaimana, suhu?"
"Tunggu saja. Kalau benar gadis itu membenciku pula maka dia pasti ke sini.
Tapi, hm.... omong-omong kau tertarik padanya atau tidak?"
Fang Fang tertawa malu. "Bagaimana, ya?" katanya pura-pura. "Dia cantik dan
tentu saja menarik, suhu. Aku ingin berkenalan tapi dia lebih dulu pergi."
"Hm, kau berputar," sang guru melotot. "Jawab saja terus terang kau suka atau
tidak, Fang Fang. Tak usah berbelit-belit atau aku tak mau menggubrismu!"
"Ah-ah, aku suka!" pemuda ini tertawa menjawab. "Setiap lelaki normal tentu suka
dan tertarik kalau melihat wanita atau gadis cantik, suhu. Biarlah terus terang
saja kukatakan di sini bahwa aku suka gadis itu!"
"Nah, begitu. Lalu Ui-hwa?"
"Hm," pemuda ini terkejut. "Aku juga suka padanya, suhu. Tapi kalau disuruh
memilih barangkali aku lebih suka gadis ini!"
"Ha-ha, kau mata keranjang!" gurunya tertawa bergelak. "Kau seperti aku, Fang
Fang. Yang sini cinta yang sana pun suka! Aih, kita sewatak, setali tiga uang!"
kakek itu tertawa, geli dan gembira karena dia melihat persamaan watak di antara
dirinya dan muridnya itu. Namun ketika dia menghentikan tawanya karena di sana
muridnya juga tertawa lebar maka kakek ini mengetok kepala muridnya untuk
disuruh berhenti. "Heh, jangan meniru-nirukan orang tua. Berhenti, Fang Fang. Jangan tertawa!"
lalu ketika pemuda itu berhenti sambil meringis karena kepala diketok maka kakek
itu berkata, sungguh-sungguh, "Aku sekarang mempunyai dugaan bahwa gadis itu
tidak datang sendirian, la mungkin bersama seseorang. Dan karena dia sudah
mengetahui dirimu dan langsung menyerang begitu tahu bahwa kau adalah muridku
maka aku mempunyai dugaan bahwa gadis itu bersama gurunya! Nah, hati-hati saja,
Fang Fang. Besok atau beberapa hari lagi gadis itu pasti datang ke mari. Kau
harus bersiap-siap, dan aku ingin tahu kenapa dia begitu memusuhimu setelah tahu
bahwa kau adalah murid Si Mata Keranjang!"
"Suhu yakin dia tidak sendiri?"
"Begitu dugaanku, Fang Fang."
"Dan suhu tahu siapa kira-kira gadis atau orang yang belum kulihat itu?"
"Mana kutahu" Keteranganmu tidak lengkap, Fang Fang. Kau hanya menyatakan
bertanding dan sudah!"
"Dia mempergunakan pedang, dan ilmu pedangnya cukup hebat!"
"Tidak cukup. Keterangan ini tak lengkap, muridku. Kau harus mengetahui ilmu
silat pedang apa yang kira-kira dipergunakan lawanmu itu!"
"Aku tak tahu...."
"Hm, kau harus banyak bertempur," gurunya tiba-tiba memandang serius. "Sudah
waktunya bagimu untuk turun gunung Fang Fang. Aku sudah merencanakan itu tapi
tiba-tiba pagi ini kau datang membawa berita baru. Kau harus mencari pengalaman
di luar, kau harus tahu segala ilmu-ilmu silat yang ada di dunia kang-ouw ini!"
"Nanti dulu!" pemuda itu tiba-tiba berseru. "Ada sesuatu yang kuingat, suhu.
Gadis itu mempergunakan pukulan-pukulan bersinar biru dan putih! Ya, aku ingat
itu sekarang. Dia mempergunakan pukulan-pukulan itu!"
"Hm, sinar biru dan putih" Apakah Bhi kong-ciang (Pukulan Kilat Biru)?"
"Aku tak tahu, suhu. Tapi kalau dia kemari tentu kau tahu!"
"Hm, pukulan itu miliknya," kakek ini tiba-tiba bersinar-sinar. "Kalau benar
dugaanku ini maka kau harus hati-hati, Fang Fang. Bhi-kong-ciang dimiliki


Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang wanita lihai yang ganas dan keras!"
"Siapa?" "Bekas teman baikku," kakek itu tertawa. "Kalau benar dia maka kita harus
menyambut, Fang Fang. Sungguh tak diduga kalau dia benar-benar datang!"
"Kekasih suhu?" Fang Fang tiba-tiba bertanya, tersenyum dan tertawa. "Apakah
benar, suhu" Hayo, kau sekarang harus jujur dan tak usah bohong kepadaku. Kalau
guru bohong maka murid akan lebih dusta lagi!"
"Ha-ha, benar!" kakek itu menggaplok muka muridnya. "Kau sekarang tajam
menangkap firasat, Fang Fang. Baiklah kuakui saja tapi ini masih baru meraba-
raba. Keteranganmu belum meyakinkan, tapi kalau itu benar maka kita akan
menghadapi lawan tangguh tapi tak perlu khawatir. Ini berarti nostalgia bagiku.
Ha-ha, sudahlah, Fang Fang. Jangan mengorek rahasia gurumu karena kelak kaupun
akan memiliki rahasia sendiri!"
Fang Fang tersenyum. Pagi itu gurunya sudah menerima laporan, tinggal mereka
menanti dan dia agak berdebar teringat gadis cantik itu, yang ilmu pedangnya
lihai dan pukulan sinar biru-putih itu juga hebat. Dan ketika hari itu mereka
lewatkan namun tidak ada apa-apa yang mengganggu maka sampai hari ke tiga guru
dan murid ini menjadi kecewa.
"Kau barangkali salah," Fang Fang menegur gurunya. "Mungkin gadis itu tak
datang, suhu. Dan barangkali dia memang sendiri!"
"Hm, mungkin saja. Tapi aku masih tetap yakin, Fang Fang. Dan kukira kau-pun
juga yakin. Sudahlah, kalau sampai seminggu ini kita tak kedatangan tamu maka
kau dan aku turun gunung. Kita mainmain di luar, kau perlu menambah
pengalamanmu." "Suhu mau mengajakku pergi?"
"Kalau tak ada yang bertamu di tempat kita, Fang Fang. Karena betapapun kau
harus mencari pengalaman dengan orang lain agar ilmumu matang!"
"Ah, aku senang kalau begitu!" dan Fang Fang yang berseri melewatkan hari ketiga
lalu bersinar memandang bawah gunung dan membayangkan betapa nikmatnya
berkecimpung di dunia kang-ouw. Gurunya sudah sering menceritakan itu dan dia
gatal untuk keluar, ditahan-tahan dan tak dapat disangkal bahwa ajakan atau
kehendak gurunya ini sungguh menggembirakan. Dan ketika hari keempat juga
dilewatkan tanpa ada apa-apa maka Fang Fang mulai curiga bahwa gadis cantik itu
akhirnya tak akan datang.
"Kalau begitu barangkali aku perlu menemui Ui-hwa," demikian Fang Fang membatin.
"Apakah dia benar-benar tak datang dan aku harus berkenalan dengan perawan
dusun?" Namun, ketika hari kelima merayap lambat dan Fang Fang mulai tak sabar dan
gelisah tiba-tiba pagi itu berkelebat dua sosok bayangan yang naik ke gunung,
satu di antaranya adalah gadis baju hijau yang dikenal Fang Fang itu!
"Hei, kita kedatangan tamu, suhu. Bangun!"
Tan Cing Bhok, kakek yang dulu berjuluk Si Mata Keranjang itu melenting
berjungkir balik. Teriakan sang murid yang lantang dan penuh rasa girang membuat
kakek ini sigap melompat bangun, segenap syaraf sudah bergetar di seluruh
tubuhnya dan kakek ini melotot. Dan ketika dia melayang turun dan sudah
berjungkir balik di depan sang murid maka kakek itu terbelalak menggerak-
gerakkan telinganya. "Hei, dua orang mendatangi puncak, Fang Fang. Satu di antaranya sudah di depan
pintu!" Fang Fang terkejut. Dia juga melihat berkelebatnya bayangan itu, desir angin
halus di mana kalau bukan orang-orang berkepandaian tinggi tak mungkin dapat
menangkap angin gerakan ini. Itulah tanda dari sebuah ilmu meringankan tubuh
atau ginkang tingkat tinggi. Dan ketika Fang Fang menoleh dan memandang ke pintu
maka benar saja di situ telah berdiri seorang wanita setengah baya yang muncul
seperti iblis. "Tan Cing Bhok, kau keluarlah. Sungguh tak nyana bahwa kau si tua bangka
bersembunyi di sini!"
"Wut!" si kakek tua, guru Fang Fang berkelebat keluar, tertawa bergelak. Fang
Fang melihat gurunya begitu gembira menyambut nenek cantik ini, yang berkacak
pinggang dan berapi-api di luar. Dan ketika Fang Fang bergerak dan berkelebat
pula maka bayangan hijau, bayangan kedua yang tadi tertinggal di belakang sudah
berjungkir balik dan melayang turun di situ.
"Subo, inilah pemuda itu. Benar dia!"
Fang Fang tersenyum. Si cantik yang ditunggu-tunggu ternyata datang juga,
berseru pada bayangan pertama yang ternyata subonya (ibu guru). Dan ketika nenek
itu mendengus dan berkilat memandang Fang Fang maka Si Mata Keranjang Tan Cing
Bhok terbahak dengan wajah berseri-seri.
"Ha-ha, kau kiranya, Fui Lin" Sudah kuduga, ini tentu muridmu dan itu muridku.
Aih, mereka sudah pernah bertemu, dan aku merasa gembira karena agaknya kisah
yang tua-tua akan menurun atau menginkarnasi pada yang muda-muda. Ha-ha!"
"Tutup mulutmu!" nenek cantik yang berapi-api itu membentak omongan ini. "Aku
datang untuk membunuhmu, Cing Bhok. Juga muridmu itu yang telah berani menghina
muridku!" "Ha-ha, sabar!" si kakek berseru. "Ada perpisahan ada pertemuan, Fui Lin.
Sekarang kita bertemu dan aku tak ingin bertempur. Aih, hilang nafsuku untuk
marah-marah. Kau masih cantik dan menggairahkan seperti masa mudamu dulu, ha-
ha!" Fui Lin, nenek cantik itu merah mukanya. Dia datang dengan marah, tapi dipuji
dan diamati dengan kagum begini tiba-tiba saja dia jengah, malu dan marah tapi
juga girang. Seruan si Mata Keranjang bahwa dia masih cantik dan menggairahkan
membuktikan bahwa selama ini perawatan tubuhnya tak sia-sia. Memang dia selalu
menjaga tubuhnya agar tetap menarik dan muda, meskipun umur akhirnya
menggerogotinya juga. Tapi mendengar lawan memuji dan berkata terus terang,
karena kakek itu tampak jujur dan bersungguh-sungguh maka sejenak nenek ini
terbuai dan nikmat oleh sebuah rayuan lembut.
"Awas, jangan percaya!" tapi si gadis baju hijau tiba-tiba berseru, menyadarkan
gurunya. "Si Dewa Mata Keranjang ini ampuh mulutnya, subo. Ingat dan sadarlah
akan kata-katamu sendiri!"
"Hm!" nenek itu sadar, mengangguk. "Kau benar, Eng Eng. Tapi jangan khawatir
karena aku tak mudah mabok oleh rayuannya lagi. Si tua bangka ini berbisa, aku
tak bakal percaya pada mulutnya dan tak perlu percaya!" lalu, membalik dan
menghadapi lawan dengan mata berapi nenek ini membentak, "Cing Bhok, hutangmu
duapuluh tahun yang lalu harus kau bayar. Nah, aku sudah datang dan bersiaplah
untuk mati!" "Ah-ah, nanti dulu!" si kakek tertawa, menggoyang lengan. "Mati sih mati, Fui
Lin. Setiap orang pasti mati. Tapi sabar dulu, aku ingin bicara dan melepas
kerinduanku. Kau tinggal di mana dan kenapa selama ini menghilang" Dari mana kau
tahu aku di sini dan siapa muridmu yang cantik itu" Bagaimana kalau kita omong-
omong dulu di dalam" Marilah, aku mempunyai arak Lam-hong, Fui Lin. Kita nikmati
arak sebelum kau membunuhku!"
Mata si nenek membelalak. Dia melihat lawannya itu berkata ramah dan lembut,
senyumpun sudah menyambar dan meskipun tua tapi harus diakui bahwa senyum itu
amat matang dan jernih sekali. Mata si kakek juga tersenyum dan tampak betapa
hidupnya senyum di mata dan mulut itu. Fang Fang memperhatikan gurunya karena
teringatlah dia akan kata-kata gurunya bahwa senyum cinta kasih itu bisa keluar
kalau seseorang berhadapan dengan lawan jenisnya. Senyum itu betul-betul maut
dan si nenek tampak tergetar. Si Dewa Mata Keranjang Tan Cing Bhok tampak
mengeluarkan senyumnya itu dan sang murid terbelalak. Getaran dan kemesraan
muncul di bibir si tua ini melembut dan tersentuhlah nenek itu oleh gelombang
getaran yang keluar dari mata dan mulut kakek ini. Dan ketika kekek itu maju dan
menyambar lengan lawannya, yang tadi marah-marah dan tampak beringas mendadak
saja lawan yang marah-marah itu terisak dan tidak maran lagi!
"Cing Bhok, kau terlalu. Kau... kau menipu aku!"
"Ah," si kakek merayu, tertawa lembut. "Kau salah, Lin Lin. Aku tak pernah
menipumu atau berbuat bohong. Kaulah yang pergi. Kau meninggalkan aku dan baru
kali ini datang. Tahukah kau betapa rinduku padamu" Duapuluh tahun kita tak
jumpa, Lin Lin. Dan terus terang aku rindu padamu!"
0o-0dw0-o0 Jilid : II FANG FANG terbelalak. Dia sudah melihat gurunya melingkarkan lengan di pinggang
yang ramping itu, si nenek masih memiliki pinggang yang ramping dan dibawalah
nenek ini masuk ke dalam, terisak dan begitu mudah! Dan ketika si nenek menurut
dan mandah dibawa ke dalam, ke gubuk kecil itu maka Fang Fang kagum karena
gurunya dengan senyum yang maut itu benar-benar telah menundukkan nenek ini!
Tapi Fang Fang tak lama dalam keadaannya seperti ini. Si gadis cantik, murid si
nenek yang dibawa gurunya tiba-tiba membentak. Gadis itu berteriak bahwa gurunya
disihir, berkelebat dan sudah menghadang di depan dua orang itu. Dan ketika si
Dewa Mata Keranjang Tan Cing Bhok terkejut dan mengerutkan keningnya maka gadis
ini membentak, "Subo, sadarlah. Kau tersihir kakek siluman ini. Dia akan mencelakaimu, kau
tertipu. dan mencabut pedang serta menusuk ganas dan cepat tiba-tiba gadis itu"telah menyerang lawannya, empat kali melakukan tikaman ganas dan si Dewa Mata
Keranjang tentu saja mengelak. Dia mengegos empat kali pula namun hebatnya
lengan kakek ini masih melingkari pinggang si nenek cantik, tak pernah
dilepaskan dan semua tusukan atau tikaman bertubi-tubi itu luput! Dan ketika si
kakek tertawa dan menggerakkan lengannya agak keras maka pedang gadis itu
tertampar dan si gadis pun terpelanting bergulingan berteriak tertahan.
"Plak-aih!" Kakek itu tertawa. Eng Eng, si gadis cantik sudah bergulingan meloncat bangun.
Pedangnya mencelat di tanah tapi sudah disambar kakek itu. Dan ketika dia
terbelalak dan marah memandang kakek ini maka si Dewa Mata Keranjang berkata,
"Bocah, jangan marah-marah atau seperti kambing kebakaran jenggot dulu. Lihat
bagaimanakah aku mencelakai subo-mu. Bukankah ia tak apa-apa dan masih segar di
sini" Eh, kau melantur tak keruan, anak baik. Aku ingin mengajak gurumu
bercakap-cakap di dalam dan sebaiknya kau bersama Fang Fang, muridku itu!"
"Kau... kau..." gadis ini marah. "Kau tak dapat dipercaya, Dewa Mata Keranjang. Kau
pasti menipu dan akan mencelakai suboku. Kau...!"
"Nanti dulu," kakek ini mengulapkan lengan, cepat menahan ketika si gadis hendak
menerjang lagi. "Kalau pun aku akan mencelakai gurumu maka jangan buat gurumu
malu, bocah. Gurumu bukanlah wanita bodoh yang dapat kutipu atau kucelakai
begitu saja. Dia wanita lihai, biarkan dia bicara dan kau diam di situ!" lalu,
membalik dan tertawa memandang nenek ini Dewa Mata Keranjang Tan Cing Bhok itu
berkata, menyerahkan pedang, "Lin Lin, muridmu khawatir amat. Nih, kaubunuhlah
aku kalau kau ingin membunuhku!"
Si nenek tertegun. Sekilas dia terkejut dan sadar ketika muridnya tadi
membentak, berseru bahwa dia tersihir dan akan dicelakai kakek ini. Tapi begitu
Cing Bhok menyerahkan pedang dan jelas dia tidak merasa disihir atau dikuasai
ilmu apapun maka nenek ini menggigit bibirnya dan menampar pedang.
"Eng Eng, kau salah. Aku tidak merasa disihir atau dikuasai ilmu apapun. Dewa
Mata Keranjang benar, kalau dia mau main gila atau menipu aku maka subomu
bukanlah wanita sembarangan! Dia mengundangku secara baik-baik, biarlah kau
pergi dulu dan turun di bawah sana!"
"Subo mengikuti kakek siluman ini?"
"Hush, dia bukan kakek siluman, Eng Eng. Dia sahabatku dan laki-laki yang
bertanggung jawab. Subomu datang memang untuk menuntut tanggung jawabnya itu.
Kalau dia mau baik-baik mempertanggungjawabkannya kepada subomu maka kita tentu
saja tak perlu marah. Sudahlah, kau pergi dan tunggu aku di bawah sana!"
Si Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak. Kakek ini melihat wajah si gadis cantik
yang berubah-ubah, sebentar pucat dan sebentar merah. Tanda terkejut dan bingung
tapi juga marah! Namun karena yang berkata seperti itu adalah subonya sendiri
dan dia sudah diminta untuk turun dan menunggu di bawah gunung, menanti, maka
gadis ini tak dapat berbuat, apa-apa dan tiba-tiba terisak membanting kakinya,
berkelebat pergi. "Tan Cing Bhok, kau benar-benar Dewa Mata Keranjang. Baiklah,
kalau ada apa-apa dengan suboku tentu aku tak akan tinggal diam!" dan terbang
serta melepas kemendongkolannya dengan tangis gadis ini sudah meninggalkan
tempat itu dan Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak, memberi tanda pada muridnya
agar Fang Fang meninggalkan tempat itu pula. Persoalan sudah beres dan Fang Fang
terbengong-bengong. Pemuda ini melihat betapa mudahnya gurunya itu menaklukkan
wanita. Ah, hanya dengan sebuah senyum dan kata-kata yang lembut belaka! Dan
karena nenek cantik itu tak berbahaya lagi dan gurunya sekali lagi mengedip agar
dia meninggalkan tempat itu maka Fang, Fang, tersenyum lebar dan tertawa.
"Suhu, kau kejam menyuruh gadis itu pergi. Baiklah, aku yang menemaninya dan
harap kau memanggilku kalau ada sesuatu keperluan!"
"Ha-ha, tak ada keperluan, bocah. Sebaiknya kau pergi dan memang jangan
mengganggu kami di sini. Hayo, kita ke dalam, Lin Lin. Anak-anak sudah di bawah
gunung!" dan menyambar serta memeluk pinggang ramping itu kakek ini telah
mengajak bekas lawannya masuk, tak ada lagi marah atau benci dan si nenek
menurut. Dewa Mata Keranjang Tan Cing Bhok telah menundukkannya, luar dalam. Dan
karena kakek itu berkata bahwa dia rindu kepadanya, lembut dan mesra membujuknya
seperti dulu maka Fui Lin atau nenek cantik ini mandah dibawa, tersenyum dan
balas melingkarkan lengannya di pinggang si kakek. Dan karena mereka adalah
kekasih dan puluhan tahun yang lalu mereka sering memadu cinta maka kenangan
atau kisah-kisah di masa lalu bangkit lagi dengan indahnya, si nenek terbuai dan
mabok dalam senyuman si Dewa Mata Keranjang ini. Dan begitu kakek ini mengajak
nenek itu masuk maka dua orang ini telah lenyap di dalam dan entah melakukan
apa! -0-dw-0- "Berhenti, kau mau apa'"
Begitu Fang Fang dibentak lawannya ketika meluncur ke bawah gunung. Pemuda ini
sudah mendapat isyarat gurunya agar meninggalkan puncak, mendapat "lampu hijau"
untuk mengikuti gadis cantik itu, Eng Eng. Maka ketika tiba-tiba dia dibentak
dan gadis itu berjungkir balik di atas kepalanya maka Fang Fang tertegun melihat
gadis ini berkacak pinggang dengan pipi mangar-mangar, marah!
"Kau mau apa" Kenapa menguntit dan mengejarku" Mau kurang ajar" Mau mainmain dan
coba-coba menundukkan aku seperti gurumu menundukkan suboku?"
"Eh-eh!" Fang Fang terkejut, menggoyang lengannya. "Siapa menundukkan siapa tak
ada di sini, Eng Eng. Aku mengikutimu karena kasihan melihat kau sendiri?"Hm, kasihan atau mau kurang ajar" Kau seperti gurumu, Fang Fang. Tak dapat
dipercaya dan bermulut manis. Aku tak minta dikasihani karena aku dapat hidup
sendiri. Kau pergilah, jangan ikuti aku. Atau pedangku akan bicara dan kita
bertanding lagi sampai mampus!" gadis Itu mencabut pedangnya, pedang yang tadi
diambil setelah dilempar subonya. Dan ketika Fang Fang terbelalak dan tentu saja
bingung melihat sikap ini, sikap yang dingin dan tidak bersahabat maka pemuda
ini menarik napas panjang dan mengeluh.
"Eng Eng, aku tidak bermaksud bermusuhan denganmu. Kau lihat sendiri betapa dua
orang guru kita bersahabat, kenapa marah-marah dan tidak dapat menerimaku" Aku
tidak bermaksud buruk, aku semata ingin menemani dan mengajakmu bercakap-cakap,
membunuh waktu senggang!"
"Hm, dari mana kaudapatkan semua omongan manis ini" Kau tidak dengar bahwa aku
tak minta ditemani atau diajak bercakap-cakap" Dewa Mata Keranjang dan muridnya
tak dapat diberi hati, Fang Fang. Sekali mereka memasuki kesempatan maka
biasanya merugikan wanita! Kau pergilah, atau aku menyerangmu dan membunuhmu di
sini!" pedang itu sudah ditodongkan, ujungnya persis menempel di hidung Fang
Fang dan pemuda itu tentu saja mundur. Fang Fang mendongkol dan seketika
menyingkirkan ujung pedang, yang ternyata tidak mau digeser dan tetap mengikuti
kemanapun pemuda itu pergi. Maka begitu Fang Fang melompat dan mundur menjauh
maka mengangguklah pemuda ini dengan gemas.
"Baiklah, aku tidak mengikutimu, Eng Eng. Tapi beritahulah ke mana kau akan
pergi!" "Apa perdulimu" Untuk apa?"
"Hm, tempat ini cukup berbahaya, Eng Eng. Banyak ular dan binatang-binatang
buas. Kalau kau ingin beristirahat dan membuang waktumu maka jangan di sembarang
tempat!" "Aku tak takut di manapun aku berada. Kau tak usah banyak mulut dan cerewet!"
"Hm, aku tidak cerewet. Aku semata ingin melindungimu!"
"Eh, tak usah banyak cakap, Fang Fang. Kau pergilah atau pedangku akan mencium
darahmu!" Fang Fang mendongkol. Dibentak dan dikata-katai seketus itu sebenarnya dia marah
juga. Tapi teringat nasihat gurunya bahwa menghadapi wanita dia harus memasang
senyum maka senyum itu pun muncul dan Fang Fang tertawa, aneh!
"Baiklah, aku tak suka kau menyerangku, Eng Eng. Dua guru kita sudah bersahabat
dan tentu guruku marah kalau aku cekcok denganmu. Baiklah, aku pergi tapi
berteriaklah keras-keras kalau ada sesuatu menimpamu!" Fang Fang berkelebat,
lenyap meninggalkan gadis itu dan Eng Eng tersenyum mengejek. Tentu saja semua
nasihat dan kata-kata pemuda itu tak digubris. Dia bukan gadis sembarangan dan
setiap bahaya akan sanggup dia hadapi. Maka begitu si pemuda lenyap memutar
tubuhnya dan Eng Eng menjejakkan kakinya maka gadis ini berkelebat dan
meninggalkan tempat itu pula, meluncur ke bawah gunung lagi namun gadis ini
tiba-tiba mengerutkan kening. Sejenak bercakap-cakap dengan Fang Fang tadi
membuat dia lupa arah, mana timur atau barat tak diketahui. Dan ketika dia
melompati jurang-jurang lebar dan satu di antaranya sudah berhasil dilampaui
dengan selamat mendadak gadis itu menjerit ketika terjeblos di sebuah lubang


Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam. "Fang Fang...'"
Tanpa terasa teriakan itu sudah diluncurkan. Eng Eng berjungkir balik di dalam
lubang ini dan pedangnya membacok kiri kanan, mencari tempat berpijak agar
menancap di dindingnya. Dan ketika hal itu berhasil ia lakukan dan Eng Eng
terayun serta terhenti dengan satu sentakan keras di dinding lubang itu yang
mirip sebuah sumur maka gadis itu terbelalak melihat betapa di bawahnya, hanya
beberapa tombak saja berseliweran ribuan tikus besar kecil yang mencicit-cicit
begitu melihat tubuhnya tergantung.
"Fang Fang...!"
Teriakan ini sudah disertai rasa takut. Eng Eng tak tahan lagi melihat beberapa
ekor tikus itu sudah merayap di dinding sumur, menuju ke arahnya dan tikus-tikus
itu tampak kelaparan. Lima yang paling besar sendiri tampak setinggi kucing,
matanya merah dan ketika mereka menyeringai tampaklah giginya yang tajam-tajam
dan putih, air liur menetes-netes dan Eng Eng pucat bukan main. Cepat dan lincah
serta cekatan bukan main tikus-tikus itu sudah menaiki pinggiran lubang, merayap
namun tiga di antaranya jatuh, terbanting dan berdebuk di bawah dengan suara
keras, dua yang lain tampak tertegun sejenak namun sudah merayap lagi, dinding sumur itu
ternyata licin dan Eng Eng serasa terbang semangat nya ketika dua ekor tikus
yang paling besar itu sudah mendekati kakinya. Dan ketika tikus-tikus yang lain
juga merayap cepat dan mencicil serta siap menggigit maka Eng Eng merasa tak
berdaya kecuali memaki dan menggerakkan kakinya kuat-kuat, menendang.
"Tikus-tikus jahanam. Keparat jahanam... bluk-bluk!" dua yang terbesar jatuh
terpelanting, kena tendangan namun yang lain sudah menggigit dan bergelantungan
di celana gadis ini. Eng Eng membentak-bentak dan menggerakkan kakinya kuat-kuat
namun tikus-tikus itu kurang ajar benar. Mereka mencengkeram dan menahan diri di
pipa celana gadis ini. Dan karena Eng Eng sedang bergelantungan dengan kedua
tangan di gagang pedang dan serangan atau datangnya tikus-tikus itu tentu saja
tak dapat dilawan seperti kalau dia berada di tanah maka tiga yang
bergelantungan di pipa celananya ini berhasil menggigit.
"Aduh! Fang Fang, tolong....!" Eng Eng hampir pingsan. Dia menggerak-gerakkan
kakinya namun tikus-tikus itu menempel, gigitan mereka kuat sekali dan sebagian
daging betisnya terkuak, berdarah. Dan ketika gadis ini menjerit dan melihat
betapa darah yang menetes dari luka di kakinya itu disambut dan dikerubuti
tikus-tikus yang kelaparan di bawah maka gadis ini seakan terbang semangatnya
memanggil Fang Fang, yang saat itu berkelebat datang, tiba-tiba muncul.
"Eng Eng, kau terjebak di Sumur Tikus" Aih, tangkap ini. Kubetot naik!"
Eng Eng girang. Kedatangan Fang Fang yang demikian tepat sungguh menggembirakan
hatinya. Pemuda itu sudah melempar seutas tali panjang, langsung ke bawah dan
terulur di depan gadis ini. Dan karena Eng Eng sudah hampir tak kuat lagi karena
tiga ekor tikus itu menggigiti kakinya maka dia menangkap dan secepat kilat Fang
Fang menyentak talinya ke atas.
"Awas...!" Eng Eng tertarik naik. Gadis ini dibetot ke atas dan Fang Fang sudah
menolongnya. Dan ketika gadis itu berjungkir balik di luar sumur dan tikus-tikus
itu marah ditamparnya maka mereka seketika menguik dan mati.
"Keparat! Jahanam mereka ini, bedebah.... krek-krek!" tikus-tikus itu ditendang,
Eng Eng jijik namun marah melihat hewan-hewan yang bulat itu. Namun ketika dia
terhuyung dan teringat pedangnya, yang masih menancap di bawah maka gadis ini
mengeluh. "Ah, pedangku... masih di bawah!"
Fang Fang melongok. Pemuda itu melihat bahwa benar saja pedang gadis itu masih
di sana, menancap di dinding sumur karena Eng Eng lupa menariknya ketika ditarik
naik, mengerutkan kening tapi tiba-tiba tanpa banyak cakap pemuda ini berjungkir
balik, terjun ke sumur dalam itu. Dan ketika Eng Eng terbelalak dan berseru
tertahan, kaget melihat Fang Fang meluncur ke bawah maka sekejap kemudian pemuda
yang lenyap di dalam sumur itu sudah muncul lagi berjungkir balik melayang ke
atas, memperoleh pedangnya!
"Nih," Fang Fang berseru. "Pedangmu kuambilkan, Eng Eng. Terimalah dan lain kali
harap hati-hati kalau diberi tahu secara baik-baik!"
Gadis itu tertegun. Fang Fang dengan mudah dan gampang sudah mendapatkan
pedangnya itu, padahal kalau dia sendiri belum tentu. Maklumlah, sumur itu dalam
dan di bawah sana pun ada ribuan tikus yang kelaparan. Sekali meleset dan jatuh
di sana tentu Fang Fang atau siapa pun akan menjadi mangsa tikus-tikus itu.
Betapa ngerinya. Ribuan tikus itu pasti akan menyerang dan menggigit dari segala
penjuru, karena tikus-tikus itu adalah binatang-binatang yang sedang kelaparan.
Maka begitu Fang Fang berhasil mendapatkan pedangnya dan hal ini menunjukkan
betapa pemuda itu memang lihai dan jelas di atas kepandaiannya sendiri maka Eng
Eng tertegun namun menerima pedang nya itu.
"Terima kasih," gadis ini berseru lirih. "Kau telah menolongku, Fang Fang.
Terima kasih!" dan membalik serta tidak mau bicara lagi, tiba-tiba gadis itu
berkelebat pergi dan meninggalkan Fang Fang, antara kagum dan malu tapi juga
mendongkol karena kenapa dia sampai harus berhutang budi kepada pemuda ini,
murid si Mata Keranjang yang tadi dimaki-maki-nya! Maka begitu Eng Eng
meninggalkan Fang Fang dan pemuda itu sendiri menjublak dengan terbengong-bengong maka Fang
Fang terkejut ketika Eng Eng menuju ke hutan bambu.
"Hei!" pemuda itu berteriak. "Jangan ke sana, Eng Eng. Itu sarang ular!"
Namun Eng Eng tak perduli. Sekali lagi gadis ini tak menghiraukan kata-kata
orang dan dia justeru mempercepat larinya, lenyap dan sudah memasuki hutan bambu
itu. Dan ketika Fang Fang mengejar namun tertegun di luar, melihat gadis itu
menoleh dan mengancam dengan pedangnya, tanda dia tak boleh masuk dan mengikuti
maka pemuda ini terbengong di luar dengan mata berkedip-kedip.
"Kau memasuki daerah berbahaya. Di situ banyak ular!"
"Tak usah kau menasihati. Aku dapat menjaga diriku, Fang Fang. Stop di luar sana
atau aku akan menyerangmu!"
Bentakan atau sergahan ini membuat Fang Fang termangu. Dia jadi menyeringai
namun akhirnya tersenyum lebar setelah gadis itu mengancam, lucu baginya. Dan
karena untuk kedua kali gadis itu menunjukkan kekerasan kepalanya dan Fang Fang
tertawa kecil maka pemuda ini melangkah ke kiri dan... melempar tubuhnya di rumput
yang empuk. "Sialan, begini repot menghadapi wanita. Bagaimana suhu dapat bertahan dan
menundukkan bekas kekasih-kekasihnya yang demikian banyak" Aih, kau masih harus
banyak belajar, Fang Fang. Kau harus melebihi gurumu dan jangan mudah putus
asa!" pemuda ini bicara sendiri, menunggu sesuatu dan benar saja tak lama
kemudian terdengar jerit dari dalam hutan bambu. Dan ketika jerit itu berobah
menjadi lengking tinggi dan Eng Eng memanggil namanya mendadak secepat kilat
pemuda ini meloncat dan terbang memasuki hutan.
"Fang Fang, tolong.... aih, tolongg...!"
Fang Fang tertegun. Di sana, setelah dia tiba di tempat kejadian ternyata tiga
ekor ular besar sedang menyerang gadis baju hijau ini. Pedang Eng Eng dililit
dan digubat ular berwarna merah sedang kaki dan sebagian tubuhnya dililit ular-
ular phyton yang amat dahsyat. Seekor di antaranya ditahan mulutnya oleh gadis
itu, yang berjuang sekuat tenaga dan mati-matian agar tidak dicaplok. Maklumlah,
ular besar di depan itu rupanya hendak melahap gadis ini, menelannya. Maka
begitu Fang Fang terkejut dan sadar tiba-tiba pemuda ini membentak dan kedua
tangan serta kakinya bergerak menyambar.
"Lepaskan!" Bentakan disertai bayangan pemuda itu rupanya mengejutkan tiga ekor ular besar
ini. Yang melilit tubuh Eng Eng tiba-tiba menggeliat, sebuah tendangan keras
mengenai kepalanya dan seketika ular itu mengendorkan lilitannya. Eng Eng sudah
ditarik sementara kedua tangan Fang Fang yang lain sudah menampar dan merenggut
pedang, ke arah dua ekor ular yang lain. Dan ketika berturut-turut dua ekor ular
terakhir ini mendesis dan terlempar ke kiri maka Fang Fang sudah mendorong dan
menjauhkan Eng Eng dari tempat berbahaya itu.
"Kau pergilah, jauhi tempat ini!"
Eng Eng terhuyung. Gadis itu sudah dilepaskan dari bahaya dalam waktu yang amat
singkat. Fang Fang lagi-lagi menunjukkan kepandaiannya yang luar biasa. Tapi
ketika dia teringat betapa ular-ular itu hampir saja membunuhnya dan tadi tahu-
tahu menyerangnya dari atas, tanpa diduga, maka gadis ini membentak dan tiba-
tiba sudah menyambar pedangnya, berteriak tinggi.
"Ular-ular bedebah, kalian harus kubunuh!"
"Jangan!" Fang Fang terkejut, membentak namun terlambat. Eng Eng yang marah
sudah menggerakkan pedangnya tiga kali, berturut-turut menyambar ke kiri dan
kanan. Dan karena Fang Fang tak menyangka gadis itu membalas dendamnya dengan
membabat ular-ular itu maka pedang sudah menyambar cepat ke kepala tiga ekor
ular besar ini. "Tas-tas-tas!" Darah menyemprot dari tubuh yang lunglai. Tiga kepala ular itu terbacok putus
dan Eng Eng sudah berdiri tegak dengan muka kemerah-merahan, pedangnya sendiri
berlepotan darah dan Fang Fang tertegun. Tapi ketika pemuda itu berkelebat dan
menampar pedang di tangin si gadis maka Fang Fang membentak marah sementara
pedang pun diketuknya lepas.
"Eng Eng, kau kejam. Binatang di hutan ini tak boleh sembarangan dibunuh. Kau
lancang!" Eng Eng terkejut. Dia terpelanting ketika pedangnya ditampar lepas, tak menduga
kemarahan pemuda ini. Namun ketika dia meloncat bangun dan menyambar pedangnya
kembali, dengan penuh kemarahan dan gusar tiba-tiba gadis itu membentak dan
balas menyerang Fang Fang, tak ingat terima kasihnya sudah ditolong!
"Keparat, kau jahanam, Fang Fang. Kau penghuni hutan ini yang paling ingin
kubunuh!" dan pedang yang sudah berkelebatan dan menyambar ganas tiba-tiba sudah
menusuk atau membacok bertubi-tubi, cepat dan ganas dan Fang Fang terbelalak.
Pemuda ini mengelak ke sana-sini tapi akhirnya ia membentak, menyuruh gadis itu
berhenti. Tapi ketika serangan semakin dipercepat dan pedang bergerak tak putus-
putusnya maka pemuda ini menggeram dan apa boleh buat dia menangkis sebuah
tikaman ketika pedang si nona menuju lehernya. Dan begitu pedang terpental dan
Eng Eng berseru kaget tiba-tiba Fang Fang sudah menggerakkan jarinya menotok
ketiak gadis ini. "Kau robohlah, dan berhenti.... bluk!" Eng Eng terbanting, roboh mengeluh pendek
dan pedangnya pun mencelat entah ke mana. Gadis ini berteriak dan memaki-maki si
pemuda. Tapi ketika Fang Fang menarik napas dan berkata bahwa gadis itu tak
boleh menyerangnya maka Fang Fang membungkuk dan menyambar tubuh si gadis.
"Maaf, hutan ini tempat yang dilindungi suhu, Eng Eng. Tak boleh kau sembarangan
memasukinya dan membunuh-bunuhi binatang yang ada di sini. Suhu bisa marah
kepadaku, ayo kita pergi dan keluar dari sini!" Fang Fang memanggul gadis itu,
meletakkannya di atas pundak dan pergilah pemuda itu meninggalkan tiga ular yang
telah putus tanpa kepala. Eng Eng menjerit-jerit dan tentu saja memaki-maki
pemuda itu. Namun ketika Fang Fang tak menggubris dan terus keluar akhirnya
pemuda ini menurunkan si gadis di tepian hutan.
"Nah, kau boleh memaki-maki sepuasmu. Tapi jangan sekali-kali memasuki hutan?"Keparat! Bedebah!" Eng Eng meloncat bangun, sudah diturunkan dan dibebaskan
pemuda itu. "Aku akan membunuhmu, Fang Fang. Kau... kau, ah... berani benar kau
memanggul-manggul aku!" dan Eng Eng yang bergerak dan sudah menangis sambil
menyerang tiba-tiba membentak dan menerjang dengan kedua tinjunya yang kecil,
naik turun bertubi-tubi namun Fang Fang mengelak empat lima kali. Pemuda ini
memperingatkan agar gadis itu tidak membabi-buta. Namun ketika sebuah pukulan
melayang lurus ke hidungnya sementara sebuah tendangan juga siap dilancarkan
dari bawah ke atas maka Fang Fang batuk-batuk dan menangkis, menjadi gemas.
"Eng Eng, kau keras kepala. Baiklah, maafkan aku dan sekali ini aku tak akan
mengampunimu lagi.... plak!" dan tamparan Fang Fang yang tepat menangkis pukulan
lawan tiba-tiba membuat Eng Eng menjerit karena tangannya bengkak, langsung
terkilir dan kaki yang bergerak menendang pun disambut lutut si pemuda. Tak ayal
gadis ini berteriak dan roboh terguling-guling. Dan ketika Fang Fang berkelebat
dan sudah menotoknya lagi maka gadis itu menggeliat dan tak dapat bangun
berdiri. "Nah," Fang Fang agak mengeraskan dagunya. "Sekarang kau tahu rasa, Eng Eng.
Menyesal sekali bahwa kali ini kau tak dapat kubebaskan!"
"Keparat!" gadis itu menangis. "Kau bunuhlah aku, Fang Fang. Kau bunuhlah aku
dan jangan banyak bicara lagi! Cepat, bunuhlah aku dan jangan berlagak bagai si
sombong!" "Hm!" Fang Fang menarik napas. "Aku tak dapat membunuhmu, Eng Eng, dan tak
mungkin membunuhmu. Gurumu adalah teman baik guruku, kita sahabat. Aku tak akan
membunuhmu dan kau sekarang ikut aku!"
"Kau... kau mau bawa aku ke mana?" Eng Eng tiba-tiba terkejut, melihat Fang Fang
menyambar tubuhnya dan kembali dipanggul di pundak. "Kau... kau mau apa-kan aku?"
Fang Fang tersenyum. "Aku mau membawamu ke tempat yang tenang, Eng Eng. Di
tempat air terjun. Kita berdua menunggu selesainya guru-guru kita dan berduaan
di sana, sendiri!" "Tidak... tidak!" gadis ini meronta. "Aku tak mau kau panggul, Fang Fang. Aku
dapat berjalan sendiri dan bebaskan aku. Bebaskan!"
"Hm, kau berkali-kali meliar. Maaf aku tak dapat memenuhi permintaanmu dan
sekarang diamlah... wut!" dan begitu Fang Fang bergerak dan tertawa tak menggubris
gadis ini tiba-tiba Eng Eng melolong-lolong dan berteriak memaki-maki si pemuda,
malu dipanggul dan gadis itu merah padam karena Fang Fang memperlakukannya
seperti anak kecil. Pemuda itu memeluk bokongnya dan berkali-kali Eng Eng harus
menahan malu kalau pemuda ini menepuk pinggulnya, karena gadis itu sering
meronta dan melorot ke bawah. Dan ketika Fang Fang terbang dan tidak
menggubrisnya lagi akhirnya Eng Eng tersedu merasa tak berdaya lagi, dibawa ke
sebuah tempat yang tinggi dan terdengarlah suara air terjun menggelegar. Eng Eng
tertegun dan menghentikan tangisnya, melihat mereka berada di suatu tempat yang
indah di mana hembusan bunga-bunga yang harum menyambut mereka, merangsang
hidung dan tertawalah Fang Fang menurunkan tubuhnya. Dan ketika pemuda itu
berkata bahwa inilah Air Terjun Dewa-Dewi di mana itu merupakan tempat
bersemayamnya dewi-dewi cinta maka Eng Eng tersentak melihat pinggulnya ditepuk.
"Kita berada di satu di antara tujuh keajaiban dunia. Nah, lihat dan rasakan
keadaan sekelilingmu, Eng Eng. Ciumlah harum-harum bunga yang warna-warni ini.
Ini tempat bersemayamnya dewi-dewi cinta, sorga dunia!"
Eng Eng melotot. Kalau saja Fa.ig Fang tidak usil dengan menepuk pinggulnya
begitu barangkali kemarahannya reda. Tapi karena pemuda itu bicara sambil
menepuk pinggulnya maka gadis ini memaki,
"Fang Fang, kau pemuda tak tahu malu. Kau bejat, kau kotor! Ah. ingin kubunuh
dirimu ini kalau bisa!"
"Ha-ha, kau ingin membunuhku" Eh. dengan melihat persahabatan di antara dua
orang guru kita tak selayaknya pikiran itu menghuni benakmu, Eng Eng. Kau tak
seharusnya berpikiran seperti itu atau kau nanti kualat!"
"Biar aku kualat! Kau... kau pemuda kurang ajar!" dan Eng Eng yang menangis serta
memaki-maki pemuda itu lalu minta dibebaskan agar tidak terikat seperti itu.
"Hm, maaf," Fang Fang tertawa, nakal. "Kau tak dapat dipercaya, Eng Eng. Kau
binal dan liar seperti kuda betina. Aku tak akan membebaskanmu sebelum kau
betul-betul menyatakan tobat!"
"Aku tak akan menyerangmu. Aku berjanji!"
"Janjimu belum meyakinkan. Sudahlah, kubuatkan tempat yang enak dan kau duduk
dulu di situ!" dan ketika Fang Fang tertawa dan berkelebat lenyap maka tak lama
kemudian pemuda ini muncul lagi dengan beberapa batang bambu di tangannya,
membuat Eng Eng tertegun.
"Kau mau apa?" "Membuat balai-balai untukmu."
"Maksudmu?" "Ha-ha, kita mungkin tinggal berhari-hari di sini, Eng Eng. Aku tak ingin kau
kedinginan di tanah dan tidur begitu saja!"
"Fang Fang!" gadis ini terkejut. "Kau .... kau mau menawanku di sini" Kau mau
kurang ajar?" "Eh-eh, omongan apa ini?" Fang Fang mengerutkan kening, menggeleng. "Kau jangan
mengira yang tidak-tidak, Eng Eng. Sebenarnya aku hanya menjaga dan melindungimu
di sini. Suhu memerintahku!?"Tapi aku tak suka di sini, aku tak akan tidur!"
"Hm, kau salah," pemuda ini tersenyum. "Dua guru kita sedang asyik bicara, Eng
Eng. Dan aku tahu watak guruku. Kalau dia sudah ngobrol maka siapa pun bakal
dilupakannya. Kita tak mungkin segera dipanggil dalam waktu sehari dua ini!"
"Tidak!" gadis itu melotot. "Aku yang tak mau tinggal di sini, Fang Fang. Aku ...
aku merasa seram berdekatan denganmu!"
"Eh!" Fang Fang terkejut. "Memangnya aku singa?"
"Kau... kau buaya. Kau buaya darat! Bebaskan aku, lepaskan!" dan Eng Eng yang
kembali menangis dan tersedu-sedu minta dilepaskan akhirnya membuat Fang Fang
menarik napas panjang dan tersenyum pahit, menggeleng berkali-kali dan mulailah
dia membelah batang-batang bambu yang dibawanya itu. Dengan tangan telanjang dan
tanpa senjata apa pun pemuda ini mulai meruas-ruas bambu-bambu itu, tak lama
kemudian sudah berbentuk dan tampaklah kerangka atau kuda-kuda dari sebuah
balai-balai yang siap dan kokoh. Namun ketika Eng Eng malah berteriak-teriak dan
ngeri melihat balai-balai itu, mengira Fang Fang akan melakukan yang tidak-tidak
akhirnya gadis ini menjerit,
"Fang Fang, bebaskan aku. Atau aku akan bunuh diri dengan menggigit putus


Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lidahku sendiri!" Fang Fang terkejut. "Kau gila?" pemuda ini menghentikan pekerjaannya. "Kau tidak
waras" Baik-baik aku menemanimu di sini, Eng Eng. Aku tidak berbuat apa-apa dan
selalu menolongmu. Kenapa kau berpikiran gila dan tidak-tidak begitu" Memangnya
kau gadis sinting yang tidak berotak?"
"Persetan, aku tak perduli kata-katamu lagi, Fang Fang. Bebaskan aku atau aku
bunuh diri menggigit putus lidahku!"
"Baiklah," dan Fang Fang yang menyerah dan membebaskan gadis itu segera menjauh
ketika lawan pasang kuda-kuda. "Eng Eng, jangan menyerang. Kau telah berjanji!
Ingat itu dan jangan macam-macam!"
"Keparat!" gadis ini menggigil. "Asal kau tidak menggangguku tentu aku tak akan
menyerang, Fang Fang. Tapi sekali kau bergerak maka aku akan mengadu jiwa!"
"Baiklah, aku tidak mengganggu. Kenapa marah seperti kambing kebakaran jenggot"
Lihat, baik-baik aku membuatkan balai-balai untukmu, Eng Eng. Di tempat ini
bakal dingin dan tak ada guha atau tempat pelindung lain kalau kau ingin
beristirahat." "Aku tak ingin beristirahat, aku ingin pergi!" dan begitu gadis itu membentak
dan berkelebat pergi tiba-tiba Fang Fang berteriak.
"He!" pemuda itu berseru. "Tempat ini berputar-putar, Eng Eng. Tanpa penunjuk
jalan kau tak akan dapat keluar. Kembalilah!"
Namun Eng Eng mendengus. Gadis itu tak menggubris dan terus lari, menghilang dan
Fang Fang pun menarik napas panjang pendek. Tapi ketika pemuda itu meneruskan
pekerjaannya dan balai-balai bambu yang siap pakai itu diselesaikan maka malam
pun tiba dan Fang Fang melempar tubuh di balai-balai bambunya ini, buatan
sendiri dan kokoh dan pemuda itu tersenyum-senyum. Fang Fang merasa yakin bahwa
Eng Eng tak dapat keluar dari tempat itu. Air Terjun Dewa-Dewi adalah tempat
aneh yang telah disusun oleh gurunya membentuk jalan-jalan pat-kwa (segi-
delapan). Siapa yang akan keluar masuk begitu saja di tempat ini bakal terputar-
putar dan kembali ke tempat semula. Tempat itu misterius karena Si Dewa Mata
Keranjang Tan Cing Bhok telah membuat sedemikian rupa jalanan di situ membentuk
garis-garis atau titik-titik pat-kwa. Tanpa petunjuk atau tuntunan orang mahir
tak mungkin siapapun dapat masuk keluar seenaknya. Dan ketika benar saja malam
itu Fang Fang mendengar isak tangis dan sesosok bayangan berkelebat di dekatnya,
bayangan Eng Eng, tiba-tiba pemuda ini tersenyum geli dan cepat menyelinap
menyembunyikan diri, mendengar gadis itu mengutuk dirinya.
"Fang Fang, kau jahanam keparat. Terkutuk kau. Ah, kalau aku dapat keluar dari
tempat ini dan menemukan dirimu tentu kau kucincang!"
Fang Fang geli. Selanjutnya gadis ini berhenti dan meraba-raba sekitar, akhirnya
memegang balai-balai bambu itu dan tampak tertegun. Rupanya Eng Eng terkejut
karena dia serasa mengenal benda itu, mundur tapi tersandung batu, hampir
terjatuh. Dan ketika dia mendesis dan memanggil nama pemuda itu, namun tentu
saja tak dijawab maka Eng Eng merasa bingung apakah dia harus meninggalkan
tempat itu atau tidak, karena suasana benar-benar gelap.
"Keparat, kalau di sini ada api unggun tentu aku hanya mengundang pemuda itu
saja. Hm, sebaiknya biar gelap-gelap begini dan besok aku mencari jalan keluar
lagi!" Fang Fang geli. Eng Eng tak tahu bahwa dia hanya dua tiga meter saja dari gadis
itu, mendengar suara berkeriyet dan balai-balai itupun dinaiki Eng Eng. Dan
ketika gadis ini merebahkan tubuh di situ dan Fang Fang merunduk dan menahan
napas maka pemuda ini sudah menyelinap dan... tidur di bawah balai-balai yang
dipakai Eng Eng. "Ha-ha, ingin kulihat bagaimana muka gadis itu kalau besok ia tahu bahwa aku di
sini. Ha, bukankah aku berada di tempatku sendiri" Adalah dia yang datang dan
mempergunakan balai-balaiku itu. Kalau ia marah dan mengamuk biarlah kuhadapi
besok!" Fang Fang tertawa, tentu saja di dalam hati dan Eng Eng sama sekali tak
mendengar suara berkeresek di bawahnya ini. Fang Fang memang amat berhati-hati
dan tidurlah pemuda itu dengan napas ditahan. Dan karena Fang Fang memang
berkepandaian lebih tinggi dan Eng Eng sengaja ingin digodanya maka pagi-pagi
benar, ketika ayam jantan mulai berkokok dan matahari terbit di ufuk timur tiba-
tiba Fang Fang menghancurkan sebelah kaki balai-balai itu dengan tenaga
sinkangnya, halus dan tidak bersuara namun tiba-tiba roboh mengejutkan Eng Eng.
"Brukk... hei!"
Gadis itu mencelat bangun. Perbuatan Fang Fang yang tentu saja disengaja ini
membuat gadis itu kaget. Semalam Eng Eng lelap tidur karena capai, baik oleh
kemarahannya maupun oleh usahanya yang gagal tak dapat keluar dari Air Terjun
Dewa-Dewi ini. Maka begitu Fang Fang mematahkan sebuah kaki balai-balai dan Eng
Eng terkesiap dan sadar tiba-tiba gadis itu sudah berjungkir balik dan, celaka
sekali, ketika dia melayang turun tiba-tiba dia menginjak tempat licin hingga
dia terbanting dan bergulingan mendekati Fang Fang yang saat itu tertawa tawa
keluar dari kolong balai-balai bambunya.
"Hei-hei, apa-apaan ini, Eng Eng" Kau merusakkan balai-balai bambuku" Wah-wah,
celaka. Susah payah kubikin tiba-tiba saja hancur oleh tubuhmu yang berat....
bress!" Eng Eng melotot, tepat sekali jatuh di samping pemuda itu dan marahlah
gadis ini melihat Fang Fang di bawah tempat tidurnya. Seketika dia sadar bahwa
semalam pemuda itu ada di situ, diam saja dan pura-pura tidur nyenyak sementara
dia sendiri di atas balai-balai, jadi di atas tubuh pemuda itu. Maka begitu Fang
Fang keluar dan pemuda ini merangkak tiba-tiba saja tangan kanan Eng Eng
bergerak pulang-pergi menggaplok muka Fang Fang!
"Jahanam, bedebah keparat! Kiranya kau mainmain dengan aku, Fang Fang. Semalam
kau sengaja tidur di bawahku... plak-plak!" dan Eng Eng yang marah membentak gusar
tiba-tiba membuat Fang Fang mengeluh karena ditampar empat kali, tak dapat
menangkis karena dia baru saja merangkak keluar. Kemarahan Eng Eng sungguh tak
diduga, karena dia tak bersalah merasa berada di tempat sendiri. Maka begitu
Fang Fang bergulingan meloncat bangun dan marah mengutuk gadis itu tiba-tiba Eng
Eng berkelebat dan telah menyerangnya bertubi-tubi, ganas dan tak kenal ampun.
"Hei, tahan. Celaka! Wah, eitt.. tahan dulu, Eng Eng. Jangan sarang dan dengar
dulu kata-kataku!" "Tak ada yang perlu kudengar!" gadis itu meradang. "Kau sudah berkali-kali
menghina aku, Fang Fang. Dan sekarang kau mampus atau aku kau bunuh.... des-dess!"
Fang Fang mencelat, kurang cepat mengelak dan dua buah tendangan mengenai
dirinya. Pemuda ini terguling-guling namun meloncat bangun lagi. Dan ketika
lawan marah-marah dan semaKin beringas saja maka Fang Fang tak dapat menahan
diri karena didesak dan dipojokkan.
"Eng Eng, kau terlalu. Bukankah tempat ini adalah tempatku" Bukankah balai-balai
itu adalah milikku" Kau yang datang-datang langsung menempati, Eng Eng. Kau tak
minta ijin atau permisi dulu!"
"Tak ada yang perlu minta ijin!" gadis itu membentak. "Kau sendiri sudah bilang
bahwa balai-balai itu untukku, Fang Fang. Kalau kau lalu tidur di bawahnya maka
kaulah yang perlu dihajar dan dibunuh. Kau tak minta ijin padaku, kau kurang
ajar!" dan Fang Fang yang terbelalak dan ternganga mendengar omongan yang
diputar balik demikian tiba-tiba terlempar ketika sebuah tamparan mengenai
pelipisnya, lengah, terguling-guling dan pemuda itu bingung serta geli tapi juga
marah oleh kata-kata lawan. Aneh sekali wanita ini. Bukankah dia tak mau ketika
ditawari" Namun ketika Fang Fang menyatakan itu dan Eng Eng mendelik gadis ini
malah berkata, "Aku pergi tapi bukan berarti menyerahkan tempat itu untukmu. Itu tetap hakku.
Ah, kau cerewet dan bawel, Fang Fang. Kau seperti nenek-nenek dan melebihi
perempuan!" dan si gadis yang menyerang dan menerjang lebih sengit akhirnya
membuat Fang Fang mundur-mundur, mulai menangkis dan lawan pun terpental.
Sebenarnya mudah bagi pemuda ini untuk mengalahkan lawan. Tapi karena berkali-
kali dia melakukan hal itu justeru lawan menjadi marah dan semakin membenci maka
Fang Fang ragu untuk merobohkan gadis ini, akhirnya mundur-mundur dan mengelak
saja sambil menangkis pukulan-pukulan yang dianggap berbahaya. Lawan menjadi
beringas dan semakin menjadi-jadi. Dan ketika satu pukulan miring ditangkisnya
kuat dan Eng Eng terbanting tiba-tiba Fang Fang mendengar gadis itu menjerit dan
menangis. "Fang Fang, kubunuh kau. Keparat!"
Fang Fang memutar otak. Kalau begini terus-menerus tak bakal dia dapat mendekati
gadis ini, bersahabat. Padahal Fang Fang ingin bersahabat dan tak mau
bermusuhan. Maka begitu lawan melompat bangun dan menerjangnya lagi, dengan air
mata bercucuran tiba-tiba Fang Fang menarik napas dan tak tega.
"Baiklah," pemuda ini berkata. "Kalau kau terus-menerus menyerangku begini
biarlah aku pergi, Eng Eng. Tapi hati-hati karena tanpa aku tak mungkin kau
dapat keluar!" pemuda ini berkelebat, secepat kilat berjungkir balik di atas
kepala lawan dan Eng Eng terkejut. Fang Fang meninggalkannya dan tidak melayani,
pukulannya menghantam angin kosong dan robohlah pohon di belakang pemuda itu.
Dan ketika dia membalik dan mau menyerang lagi, sambil memaki, ternyata Fang
Fang lenyap dan pemuda itu menghilang entah ke mana.
"Fang Fang, keparat kau. Kau licik!"
Namun Fang Fang tak menjawab. Pemuda ini sudah meninggalkan si gadis karena Fang
Farg tak ingin membuat Eng Eng lebih marah lagi. Dan ketika Eng Eng membanting-
banting kakinya dan marah tapi tak ada yang dimarahi akhirnya gadis ini teringat
maksudnya semalam bahwa dia akal mencari jalan keluar dari situ, berkelebat dan
berputar-putar namun daerah air terjun ini sungguh luar biasa sekali. Jalan di
situ semuanya kembar dan Eng Eng bingung. Kemarin dia sudah mencoba tetapi
gagal. Dan ketika hari ini aia mengulang lagi namun masih juga berputar-putar di
tempat yang sama, berkisar di tempat yang itu-itu juga maka Eng Eng menangis
namun tidak putus asa, mencoba lagi dan mencoba lagi namun tetap pada hari kedua
ia gagal melulu. Daerah air terjun itu sungguh istimewa karena jalannya semua
kembar, tak dapat dibedakan dan Eng Eng akhirnya putus asa. Dan ketika dia
kelaparan karena di situ tak ada makanan kecuali air melulu yang tawar dan tak
mengenyangkan tiba-tiba gadis ini jatuh terduduk pada hari keempat, lemas tak
bertenaga. "Fang Fang, di mana kau" Oh, tolong Fang Fang. Jangan biarkan aku ketakutan
sendiri...!" Fang Fang, yang tentu saja bersembunyi dan mengikuti dari jauh tiba-tiba
berkelebat muncul. Sebenarnya pemuda ini sudah merasa kasihan sejak hari
kemarin, melihat Eng Eng terhuyung-huyung dan berkali-kali meneguk air terjun,
yang tentu saja tak mengenyangkan dan membuat gadis itu semakin lemas. Dan
ketika pagi itu gadis ini memanggil namanya dan Fang Fang terharu maka pemuda
ini menampakkan diri dan berkelebat datang, langsung membawa buah-buahan segar
dan matang. "Eng Eng, kau tak marah padaku" Kau sekarang dapat menerima kata-kataku?"
"Ooh...!" gadis itu terbelalak, bangkit terhuyung. "Kau... kau dari mana" Dan pisang
itu... buah-buahan itu... untuk siapa, Fang Fang?"
"Untukmu," pemuda ini memberikan semua buah-buahan itu, maju menahan pundak si
gadis. "Aku mencarikannya untukmu, Eng Eng. Aku tahu bahwa kau kelaparan dan tak
mungkin mendapatkan makanan di sini. Makanlah, dan aku juga menyiapkan arak
manis." Fang Fang mengeluarkan botol minumannya dari saku, memberikannya pula
pada Eng Eng dan gadis itu mengeluh menerkam pemuda ini. Dan ketika Fang Fang
terkejut karena lawan melotot dan rasanya ingin menyerangnya maka Fang Fang
menarik napas dan teringat senyum yang dinasihatkan gurunya itu.
"Kau ingin memukul?" tanyanya tenang. "Baiklah, pukullah, Eng Eng. Kali ini aku
tak akan menangkis dan kau pukullah aku, kalau perlu boleh kau bunuh!"
Eng Eng tiba-tiba menangis. Dia tak jadi memukul pemuda itu selain meremas-remas
bahunya saja. Fang Fang diguncang dan diterkam-terkam. Dan ketika Fang Fang diam
saja dan gadis itu roboh ke depan tiba-tiba Eng Eng menggigit melampiaskan
marahnya. "Fang Fang, kau terlalu. Kau terkutuk. Kau... kau, ah!" dan Fang Fang yang
mengaduh digigit bahunya tiba-tiba melihat Eng Eng sudah terguling, cepat
disambar dan pemuda ini tertegun melihat si gadis tersedu-sedu menutupi mukanya.
Tapi ketika Fang Fang lega bahwa Eng Eng tak apa-apa, hanya marah dan gemas saja
maka pemuda ini tersenyum dan sedikit mendesis menahan sakit, maklum, gigitan
Eng Eng tadi terasa pedas dan sakit seperti ditusuk jarum.
"Eng Eng, sudahlah. Kau jangan marah lagi dan cepat makan pisang serta buah-
buahan ini. Kau tahu bahwa aku selamanya tak bermaksud buruk padamu. Lihat
pertolonganku di Sumur Tikus itu, juga pertolonganku ketika kau dikeroyok tiga
ekor ular besar. Kenapa marah-marah dan membenci aku. Kalau aku salah maafkan
aku. Eng Eng. Kalau kau yang salah sudah lama pula ku maafkan. Ayolah, makan
pisang ini dan tangsel perutmu."
Eng Eng menghentikan tangisnya. Dia melihat Fang Fang sudah menyodorkan pisang-
pisan itu, juga buah-buah yang lain dan arak manis pun sudah dituang. Fang Fang
memberikan semuanya itu dengan manis dan lemah lembut. Dan ketika dua pasang
mata mereka bentrok dan Eng Eng mengeluh maka gadis ini menunduk namun pisang
dan buah-buahan itu sudah diterimanya, didahului Fang Fang yang ikut makan dan
mulailah gadis itu mengisi perutnya. Sikap Fang Fang yang baik dan tidak kurang
ajar membuat perasaan gadis ini lega. Dan ketika arak manis juga mulai membasahi
kerongkongannya dan alangkah segarnya menikmati minuman itu setelah berhari-hari
hanya terisi air tawar melulu akhirnya Fang Fang memegang lengannya, tersenyum.
"Kau dapat menerima aku sebagai sahabat" Kau tidak membenciku lagi?"
"Ah," gadis ini menarik tangannya. "Kau... kau masih menyakitkan hatiku, Fang
Fang. Aku... aku masih benci padamu!"
"Kalau begitu lepaskan kebencianmu itu. Pukullah aku!"
"Tidak, kau... kau sudah menolongku. Aku.... aku ingin pergi dari sini!" gadis itu
tiba-tiba bangkit berdiri, tidak terhuyung lagi karena sudah kuat dan pulih
tenaganya. Buah-buahan yang dibawa Fang Fang tadi telah menyegarkan tubuhnya.
Dan ketika Fang Fang terkejut dan ikut berdiri, mengerutkan kening memandang
gadis ini maka Eng Eng bertanya padanya di mana jalan keluar itu.
"Aku ingin minta pertolonganmu yang terakhir. Tunjukkan jalan keiuar itu dan
kebencianku akan lenyap!"
"Ah, tanpa kau minta pun aku akan menunjukkannya padamu, Eng Eng. Tapi sebutkan
dulu kenapa kau tak suka kudekati."
"Aku... aku benci gurumu. Suhumu itu membuat suboku menderita bertahun-tahun!"
"Hm, urusan orang-orang tua seharusnya tak perlu kita ikut campur, Eng Eng. Apa
yang dilakukan suhu atau subomu tak perlu mengganggu tali persahabatan ini. Aku
ingin mengulurkannya kepadamu."
"Aku ingin kau menunjukkan dulu jalan keluar. Setelah itu permintaanmu
kupenuhi!" "Sungguh?" "Tak perlu banyak cakap, Fang Fang. Kau tunjukkan jalan itu atau aku akan marah
lagi kepadamu!" "Ah-ah, jangan..!" dan Fang Fang yang tentu saja girang dan gembira mendengar
ini tiba-tiba menyambar lengan gadis dan berseru bahwa tanpa dimintapun ia akan
menunjukkannya. Dan ketika si gadis tak melepaskan cekalannya dan Fang Fang
berkelebat ke sana ke mari maka mulailah pemuda itu menunjukkan jalan keluar
dari wilayah air terjun ini, berkali-kali melakukan langkah-langkah yang aneh
karena sering pemuda itu maju mundur ke tempat semula. Tapi ketika Eng Eng
mengikuti dan diam-diam heran bagaimana langkah-langkah itu dibuat tiba-tiba
saja mereka telah keluar dari air terjun itu!
"Eh, cepat benar!" gadis ini terkejut. "Kau melakukannya tak lebih dari
seperempat jam, Fang Fang. Sungguh aneh bahwa aku empat hari tak pernah
berhasil!" "Ha-ha, tentu saja! Jalan-jalan di sekitar sini dibentuk berdasar langkah-
langkah pat-kwa-tin, Eng Eng. Suhu yang mengatur semuanya ini dan tentu saja
hebat. Tanpa mengetahui kuncinya tak akan ada orang yang sanggup keluar kalau
sudah masuk!" "Dan kau, hm...! gadis ini bersinar-sinar memandang bekas lawannya. "Kau benar-"benar ingin bersahabat dengan aku, Fang Fang" Kau mau menunjukkan cara keluar
masuk daerah air terjun ini?"
"Eh!" Fang Fang terbelalak. "Apa maksudmu" Kau meragukan niat persahabatanku?"
"Tidak, kalau kau mau memberi rahasia pat-kwa-tin ini, Fang Fang. Tapi terus
terang meragukan persahabatanmu kalau kau tak mau memberitahukannya kepadaku!"
"Tapi suhu melarangku," Fang Fang mengerutkan kening. "Tempat ini tak boleh
sembarangan diberitahukan orang lain, Eng Eng. Aku mau tapi takut suhu marah!"
"Kalau begitu kau penipu!"
"Artinya..?" "Jelas, kau bilang sendiri ingin bersahabat denganku, Fang Fang. Tapi begitu
ditanya tentang rahasia pat-kwa-tin tiba-tiba saja kau keberatan! Hm, apa
artinya ini kalau bukan bahwa niatmu itu hanya mainmain saja" Bahwa kau tak
sungguh-sungguh dan aku meragukannya?"
"Hm," Fang Fang menyeringai kecut. "Sebenarnya tanpa inipun kau harus sudah
percaya kepadaku. Eng Eng. Tapi kalau kau memaksa baiklah, paling-paling suhu
memakiku dan memberi hajaran gebuk!"
"Kau mau?" "Kalau kau suka."
"Ah. terima kasih!" dan Eng Eng yang melonjak bangun tertawa gembira tiba-tiba
membuat Fang Fang bengong karena si gadis begitu berseri-seri. Wajah yang cantik
itu semakin bersinar-sinar dan Fang Fang takjub akan sepasang mata yang begitu
hidup dan kocak. Eng Eng yang sekarang sungguh berbeda jauh dengan Eng Eng empat
lima hari yang lalu. Wajah yang gembira itu sudah memukau pemuda ini oleh sebuah
pesona yang kuat. Dan ketika Fang Fang kagum dan bersinar-sinar maka pemuda ini


Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendecak, tanpa sadar, "Aih, kau cantik sekali, Eng Eng. Semakin cantik dan mempesona!"
Apa?" si gadis terkejut, berhenti melonjak. "Kau bilang apa?"?"Kau... kau cantik!" Fang Fang terlanjur, merasa sudah kepalang basah. "Kau cantik
dan mengagumkan, Eng Eng. Ah, begitu kau gembira dan datang rasa senangmu tiba-
tiba saja seluruh tubuhmu menjadi hidup dan amat mempesona. Aku kagum, kau
cantik dan jelita sekali!"
Eng Eng semburat merah. Dipuji dan dikagumi terang-terangan begini mendadak
gadis itu tersipu. Dia merasa jengah dan malu. Tapi ketika dia mendengus dan
berkelebat meninggalkan pemuda itu tiba-tiba gadis ini memaki,
"Fang Fang, kau pemuda mata keranjang!"
"Heii...!" Fang Fang terkejut. "Kau mau ke mana" Kenapa kembali ke air terjun?"
"Aku ingin membuktikan omonganmu, Fang Fang. Aku ingin keluar masuk dan melihat
apakah semua keteranganmu tadi benar!"
"He, kau mau menguji?"
"Benar!" dan Fang Fang yang tertegun tapi mengangguk-angguk akhirnya tersenyum
dan menunggu di situ, tak lama kemudian melihat gadis itu datang lagi dengan
wajah kemerah-merahan. Eng Eng berseru bahwa Fang Fang tidak menipu, sekarang
dia dapat keluar masuk air terjun itu dengan mudah, berdasar rahasia pat-kwa-
tin. Tapi ketika Fang Fang tertawa dan berkata bahwa tentu saja dia tak menipu
gadis itu mendadak saja Eng Eng menggerakkan jarinya dan robohlah Fang Fang oleh
sebuah totokan lihai! "Eih!" Fang Fang terpekik. "Apa artinya ini, Eng Eng" Kenapa kau merobohkan
aku?" "Hi-hik, ini artinya aku ingin membalas dendam padamu, Fang Fang. Kau telah
membuat aku sakit hati berhari-hari. Nah, sekarang kau merasakan pembalasannya
yang setimpal dan ikut aku!" Eng Eng terkekeh, girang bukan main dan segera Fang
Fang berteriak-teriak. Pemuda itu diikat dan Fang Fang memaki kalang-kabut.
Namun ketika Eng Eng tak perduli dan terus mengikatnya seperti babi yang siap
dipanggang maka gadis ini tertawa menutupi mulutnya oleh geli yang sangat.
"Fang Fang, kau seperti babi. Hi-hik, sekarang aku menyeretmu dan akan kubuang
di suatu tempat!" "Kau... kau mau membunuh aku?"
"Kau takut?" gadis ini mengejek. "Kau sendiri bilang tak takut mati, Fang Fang.
Dan kini aku ingin membuktikannya. Nah, jangan pentang bacot lagi dan ikut aku!"
Eng Eng bergerak, menyeret pemuda itu dan segeralah Fang Fang berteriak-teriak
menahan sakit. Batu-batu kasar yang menggigit tubuhnya terasa pedas dan
menyakitkan. Fang Fang terpaksa mengerahkan sinkangnya untuk bertahan. Dan
ketika semua makiannya tak digubris dan Eng Eng terus berjalan sambil terkekeh-
kekeh maka tibalah mereka di sumur tikus itu'
"Nah," gadis ini melepaskan talinya. "Aku ingin membuangmu ke lubang itu, Fang
Fang. Ingin melihat kau menjerit-jerit dan minta ampun padaku. Kalau kau
sekarang mau meminta ampun dan berlutut tujuh kali maka aku akan membebaskanmu
Pedang Golok Yang Menggetarkan 5 Pendekar Naga Putih 27 Sengketa Jago Jago Pedang Pendekar Bloon 30
^