Pencarian

Rimba Dan Gunung Hijau 1

Rimba Dan Gunung Hijau Karya Nein Arimasen Bagian 1


Rimba dan Gunung Hijau Oleh : Nein Arimasen Bagian 1 -- Rombongan dari Jauh
Suatu pagi yang akan mengantar pada suatu hari yang cerah. Kabut tipis yang
mengambang masih berusaha mencegah sinar sang surya untuk mencapai hamparan
permadani hijau berklorofil di pegunungan itu. Orang menamakan pengunungan itu
gunung Rimba Hijau, karena di kakinya terdapat suatu hutan belantara yang
dinamakan hutan Rimba Hijau. Kata-kata Hijau tersebut selain datang dari bentuk
fisik alam sekitarnya yang dipenuhi oleh jasad-jasad nabati berklorofil, juga
dikarenakan pada saat-saat tertentu terdapat gas berwarna hijau yang dikeluarkan
oleh rawa-rawa di sekitar hutan tersebut. Kadang pada saatnya orang hampir tidak
dapat melihat apa pun yang ada di belakang kabut yang tercampur dengan gas
berwarna hijau tersebut. Rimba Hijau dan Gunung Rimba Hijau merupakan sepasang misteri yang membuat
orang-orang desa yang tinggal di daerah luaran kedua tempat tersebut amat
berhati-hati membicarakannya. Bukan saja karena wujudnya saja yang sudah
menyeramkan bagi orang yang melihatnya, akan tetapi juga karena baru-baru ini
terdapat suatu peristiwa mengiriskan yang membuat orang menjadi bertanya-tanya.
Kejadian itu bermula dari datangnya sekelompok orang yang apabila ditilik dari
sandang yang dikenakannya, adalah golongan pendekar. Mereka ini terdiri dari
empat orang. Keempatnya adalah saudara seperguruan, di mana hal ini terlihat
dari cara mereka saling memanggil satu sama lain dengan "kakak" atau "adik" yang
diikuti dengan urutannya. Orang pertama yang bertubuh tinggi besar dan berkulit
gelap. Orang kedua memiliki tinggi yang hampir sama dengan orang pertama, akan
tetapi dengan postur yang amat kurus, sehingga terlihat seperti galah. Orang
ketiga bertubuh rata-rata orang kebanyakan dengan ciri khusus yaitu rambutnya
yang dijalin-jalin seperti sumbu kompor. Dan orang keempat memiliki postur tubuh
agak pendek akan tetapi dengan otot-otot kekar yang melebihi ketiga saudara
seperguruannya. Keempatnya berlari cepat seperti terbang saat memasuki hutan Rimba Hijau.
Kedatangan mereka tidak sembunyi-sembuyi, beberapa petani yang sedang
mengerjakan sawahnya dilalui mereka tanpa menyapa. Dan yang menggirisi adalah
mereka tidak lagi perlu menggunakan pematang untuk melewati sawah-sawah sebelum
mencapai mulut hutan, akan tetapi cukup dengan menggunakan pucuk-pucuk padi yang
belum dipanen sebagai pijakan. Pucuk-pucuk tersebut hanya bergoyang-goyan kecil,
seakan-akan keempat orang tersebut adalah burung-burung Pipit saja.
Melihat hal ini para petani tidak ada yang berani bersuara. Mereka diam saja
dengan muka penuh tanda tanya dan kekuatiran. Hal ini dikarenakan sesuatu hal
pasti akan terjadi, dan mau tidak mau pasti akan mempengaruhi mereka, para
penghuni desa di sekitar hutan dan gunung tersebut.
Dulu kala, menurut cerita yang disampaikan secara turun-temurun, sebelum hutan
dan gunung tersebut menjadi terlarang dan berwarna hijau yang disertai dengan
adanya kabut dan gas tersebut, adalah seorang tua pertapa yang datang ke desa
itu. Ia menemui kepala desa dan menyatakan niatnya yang hendak menyepi ke gunung
yang dikelilingi oleh hutan tersebut. Ia kemudian mewanti-wanti bahwa mulai saat
itu gunung dan hutan menjadi tempat terlarang bagi siapa pun. Akan tetapi
apabila penduduk desa ada yang membutuhkan pertolongan dalam pengobatan, maka ia
dapat dihubungi dengan memberikan tanda-tanda di suatu tempat yang telah
ditentukan. Dikarenakan sikap orang tersebut baik dan tidak mengisyaratkan hal yang bukan-
bukan, maka tentu saja kepala desa mengabulkan permintaan dan sekaligus mematuhi
larangannya. Dan hal tersebut dipatuhi secara turun-temurun tanpa dipertanyakan
mengapa. Begitulah orang-orang desa yang masih lugu dan bebas dari prasangka.
Oleh karena itu hiduplah mereka dengan baik dan tenteram. Pernah suatu kali
terjadi wabah penyakit, dan teringatlah orang akan sang pertapa yang dapat
dimintai pertolongan, sesuai dengan janjinya dulu. Setelah memberikan tanda-
tanda pada tempatnya beserta berita mengenai wabah penyakit yang menyerang,
ditinggalkannya tempet tersebut. Dan keesokan harinya ditemuilah dua buah
keranjang bambu besar beriksi rempah-rempah obat yang disertai dengan petunjuk
bagaimana memanfaatkannya.
Dengan menggunakan obat-obatan tersebut, sembuhlan para penduduk desa itu. Oleh
sebab itu mereka menghormati hutan dan gunung tersebut sebagai tempat kediaman
seorang sakti yang senantiasa menjaga mereka, apabila mereka mematuhi dan
menghormati larangan-larangannya. Dan pertolongan itu bukan hanya sekali dua
kali, melainkan telah berkali-kali. Dengan demikian tidaklah aneh bahwa orang-
orang desa mengeramati tempat itu.
Dan hari itu datanglah keempat pendekar dengan rupa yang aneh bagi orang
kebanyakan. Tanpa "ba-bi-bu" dan tanya-tanya, langsung saja memasuki hutan Rimba
Hijau dan lenyap ditelannya. Orang-orang yang tidak saja belum sempat bertanya,
dan juga agak segan melihat kepandaian keempat orang tersebut, menjadi was-was.
Mereka pun pulang untuk melaporkan kejadian tersebut kepada kepala desa mereka.
Dan hal yang dikuatirkan pun terjadi pada keesokan harinya. Di tempat di mana
orang biasa meletakkan tanda-tanda, apabila ingin memperoleh pertolongan obat-
obatan dari penghuni hutan dan gunung, tergeletak keempat orang pendekar yang
kemarin memasuki hutan. Akan tetapi disayangkan bahwa keempatnya telah melepas
nyawa, sehingga tidak dapat ditanyai apa yang sebenarnya terjadi. Hanya sebuah
pesan yang ada, yang meminta penduduk desa untuk menguburkan keempat orang
tersebut di sekitar tempat itu, untuk menjadi peringatan yang lain agar tidak
memasuki hutan dan gunung.
Jika dulu keempat orang pendekar itu masuk ke hutan dan gunung tanpa basa-basi,
maka hari ini datanglah serombongan orang yang terlebih dahulu bersapa dengan
penghuni desa dan menyatakan ingin menemui kepala desa, untuk minta ijin
memasuki gunung dan hutan.
Seorang setengah baya, yang merupakan ketua dari rombongan itu menyatakan
niatnya kepada kepala desa untuk memasuki wilayah yang dikeramatkan oleh
penduduk itu. "Kepala desa yang terhormat, kami rombongan dari Pingiran Sungai Merah berniat
untuk memasuki hutan dan gunung di pinggir desamu ini," katanya dengan sopan,
"berilah kami ijin."
"Maaf saudara dari Pinggiran Sungai Merah," jawab sang kepala desa dengan
bimbang, "hutan dan gunung itu bukanlah milik kami, sehingga kami tidak dapat
memberikan ijin. Akan tetapi telah disampaikan secara turun-temurun di antara
kami penduduk desa ini, bahwa hutan dan gunung itu tidaklah boleh dimasuki, jika
tidak dilarang. Penghuninya dan kami telah saling berjanji. Kami tidak
mengganggu dan mereka akan membantu bila kami dalam musibah."
"Maksudnya?" tanya pemimpin rombongan, yang kemudian diketahui ber-nama Asap.
"Ya, dulu sekali, sewaktu sungai-sungai masih jernih mengalir dan kadal-kadal
sebesar kerbau masih berkeliaran, ada seorang pertapa yang meminta untuk tinggal
menyepi di hutan dan gunung itu." Lalu diceritakanlah oleh kepala desa itu
riwayat bagaimana gunung tersebut menjadi suatu pantangan untuk dimasuki, dan
bagaimana penghuninya yang tidak pernah terlihat membantu penduduk desa saat
desa diserang wabah penyakit.
Dan diceritakannya pula mengenai nasib keempat pendekar yang masuk ke sana, akan
tetapi pulang dalam keadaan siap berkalang tanah.
Mendengar hal tersebut, Asap menjadi tertarik dan semakin kuat niatnya untuk
memasuki hutan dan gunung tersebut.
"Saudara Asap dari Pingiran Sungai Merah, urungkanlah niat kalian untuk memasuki
hutan dan gunung itu," pinta sang kepala desa, "selain untuk kebaikan kalian
sendiri, juga untuk kebaikan kami. Bagaimana bila nanti penghuni hutan dan dan
gunung marah kepada kami, karena kalian tidak menggubris larangan kami ini."
Mendengar itu, Asap menjadi tidak enak. Ya, ia tahu untuk rasa takut, ia dan
kawan-kawannya akan dapat menghadapi hal itu karena mereka adalah orang-orang
yang pernah mempelajari ilmu kanuragan dan juga sedikit sihir. Akan tetapi untuk
akibat yang akan diterima oleh penghuni desa itu, merupakan suatu tanggung jawab
moral yang harus ditanggungnya. Bila saja ia bisa agak tak peduli dengan hal
itu. Tapi sayangnya tidak.
Setelah berunding dengan orang-orang serombongannya, akhirnya berterus-teranglah
Asap tentang maksudnya untuk memasuki hutan dan gunung tersebut. Ia dan kawan-
kawannya bermaksud untuk mencari sejenis tumbuhan yang akan dipergunakan sebagai
obat untuk mengobati saudaranya yang sakit, yang juga berada di dalam rombongan
itu. Sakitnya itu tidak biasa, yaitu ia kehilangan ingatannya, akan tetapi dapat
memberikan arah ke hutan dan gunung itu, ke suatu tempat di mana terdapat obat-
obatan untuk menyembuhkannya. Suatu penyakit yang akan lebih dipandang orang
sebagai suatu kesurupan atau kemasukan jiwa lain. Akan tetapi sudah banyak
orang-orang yang biasa menangani hal seperti itu dipanggil dan mereka menyerah.
Bukan karena orang yang sakit itu melawan, akan tetapi karena yang sakit itu
menjawab semua pertanyaan dengan baik dan ramah, dan menyatakan bahwa obat satu-
satunya hanyalah di dalam hutan di kaki gunung itu.
"Jika kebutuhan saudara dari Pinggiran Sungai Merah adalah untuk pengobatan, ada
baiknya kita meminta petunjuk dari penghuni hutan dan gunung dengan menggunakan
cara-cara yang biasa kami lakukan, ketimbang melanggar pantangan dengan memasuki
hutan dan gunung itu sendiri," kata kepala desa.
Asap dan kawan-kawannya pun setuju, karena mereka melihat itu sebaga suatu jalan
tengah. Mereka tidak ingin memberikan kesusahan kepada penghuni desa yang telah
ramah menerima mereka ini.
Tak lama kemudian berkumpulah para warga dusun itu untuk mengadakan urung rembug
dalam niatan menolong anggota rombongan yang sakit dengan memohon bantuan dari
penghuni hutan dan gunung, dengan memberikan tanda-tanda untuk berkomunikasi di
tempat yang telah ditentukan. Akhirnya dari hasil urung rembug tersebut
diputuskan ada dua orang warga yang cukup dituakan yang akan menemani anggota
rombongan dari Pinggiran Sungai Merah untuk berdiam di sekitar tempat yang telah
ditentukan untuk berkomunikasi dengan penghuni hutan dan gunung. Mereka ini
membekali dirinya dengan berbagai keperluan untuk berkomunikasi dengan penghuni
hutan dan gunung. Setelah persiapan matang, berangkatlah empat orang anggota rombongan, seorang
yang sakit dan dua orang wakil dari desa itu menuju tempat pertemuan yang telah
ditentukan dengan membawa syarat-syarat untuk berkomunikasi de-ngan penghuni
hutan dan gunung. Bagian 2 -- Gerbang dan Pembicaraan
Tempat yang dituju oleh rombongan adalah semacam tanah lapang yang dengan tanpa
perawatan hanya ditumbuhi oleh rumput-rumput setinggi kuku jari, di mana
ditengahnya terdapat tumpukan batu-batu bekas kuil atau candi jaman dulu, jaman
di mana kadal-kadal sebesar kerbau masih banyak berkeliaran dan sungai-sungai
masih jernih mengalir. Bekas candi atau kuil tersebut terlihat biasa saja, memiliki bentuk empat sisi
yang sama panjang, dengan panjang sisi-sisinya antara tiga sampai empat kerbau
dewasa berjajar. Tumpukan batu-batu tersebut tersusun rapi sehingga mirip sebuah
panggung yang berjarak setinggi dengkul dari rerumputan di sekitarnya. Di
keempat sisi yang masing-masing menghadap keempat arah mata angin utama, yaitu
utara, timur, selatan dan barat itu terukur berbagai macam simbol yang asing
bagi orang kebanyakan. Simbol-simbol tersebut terukir dalam batu dan terisikan
oleh sejenis logam, sehingga warnanya dapat dibedakan dengan sekitarnya, oleh
sebab itu dari jauh lambang-lambang tersebut sudah dapat terlihat dengan samar-
samar. Sekitar seratur langkah sebelum menghampiri pelataran batu tersebut seorang dari
desa mengangkat tanganya sebagai isyarat anggota rombongan untuk berhenti.
Kemudian memerintahkan agar keempat orang penandu dan orang yang sakti tersebut
untuk beristirahat, sementara ia dan temannya perlahan mendekat dengan hormat ke
pelataran tersebut. Sesampainya di sana kedua orang tersebut berhenti dan
membuka perbekalan yang mereka bawa dan mulai memperhatikan simbol-simbol yang
terpahatkan di keempat sisi yang menghadap ke masing-masing mata angin. Apabil
diperhatikan lebih lanjut ternyata di atas pelataran dekat dengan keempat sisi
terdapat lobang-lobang sejumlah delapan buah seukuran kepalan tangan, sehingga
jumlah keseluruhan lobang-lobang ada empat dikalikan delapan buah.
Setelah membaca sebuah semacan lontar yang merupakan bagian dari perbekalan,
orang pertama memerintahkan temannya untuk memasang sejumlah tongkat pada
lobang-lobang yang telah ditentukan. Tongkat-tongkat tersebut ternyata terbagi
menjadi dua macam, yaitu yang ujungnya menggembung terbuat dari kain yang
dibasahkan oleh semacam minyak dan yang terbuat dari kaca tembus pandang.
Setelah beberapa saat mengamati tulisan pada lontar tersebut, akhirnya orang
pertama menganggung puas pada pemasangan tongkat-tongkat tersebut. Kemudian
kembalilah mereka kepada rombongan yang sedang berdiam tidak jauh dari pelataran
batu tersebut. Melihat itu semua Asap, kepala rombongan dari Pinggiran Sungai Merah, yang juga
merupakan salah seorang penandu, tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya
kepada salah seorang dari desa tersebut, yang meminta dipanggil Ki Gisang.
"Maaf Ki Gisang yang saya hormat, boleh saya tahu apa arti dari pemasangan
tongkat-tongkat tersebut?" \medskip
Ki Gisang tidak menjawab, melainkan hanya tersenyum. Tentu saja hal ini membuat
Asap semakin penasaran jadinya, yang jelas-jelas dapat terlihat dari raut
mukanya. Dan sebelum ia bertanya kembali, orang kedua dari desa, Ki Kampar,
menyahut, "Saudara Asap, apa yang baru kami lakukan adalah cara berhubungan yang
diajarkan oleh penghuni hutan dan gunung kepada kami." \medskip
"Suatu cara yang belum pernah saya lihat sebelumnya," kata Asap dengan
sejujurnya. "Untuk sementara simpanlah pertanyaan saudara itu. Jika saudara beruntung,
mungkin saudara bisa memperoleh kesempatan untuk mendengar sendiri penjelasannya
dari mereka, penghuni hutan dan gunung," akhirnya Ki Gisang mengucapkan kata-
kata. Mendengar ini ini, Asap menjadi malu dan takhluk. Ia sadar bahwa
keingintahuannya tidaklah pada tempatnya. Penduduk desa telah amat baik
meneriman ia dan rombongannya dengan ramah, dan bahkan mau membantu untuk
menghubungkannya dengan penghuni hutan dan gunung. Dan ia masih bertanya-tanya
lagi. Hening dan sunyi. Angin yang berbisik-bisik tidak dapat menghalau keheningan
yang mencekam itu. Tapi semua orang tahu, bahwa mereka memang harus menunggu.
Keheningan itu tidak sia-sia.
Merasa bahwa apabila membunuh waktu untuk bertemu dengan Penghuni Hutan dan
Gunung itu hanya dilakukan dengan menunggu saja, tak tega rasa Ki Gisang,
setelah ia melihat bahwa orang-orang dari Pinggiran Sungai Merah tersebut malah
menjadi gelisah dan mulai berbisik-bisik di antara mereka. Kata-nya kemudian,
\medskip "Tempat ini disebut oleh Penghuni Hutan dan Gunung sebagai Portal atau Gerbang.
Di sini kami dapat memberikan tanda-tanda yang akan disampaikan pada mereka atau
seseorang di sana, karena saya tidak tahu berapa jumlah sebenarnya penghuni di
sana, walaupun biasanya orang yang datang hanya satu dan selalu orang yang sama,
melalui suatu cara tertentu. Bagi kami cara untuk menyampaikannya tidaklah
penting. Bantuannya lah yang berarti bagi kami." \medskip
Kemudian lanjutnya, "akan tetapi hal itu diketahui pula olehnya bahwa kami
pernah suatu saat menjadi bertanya-tanya bagaimana cara seperti ini da-pat
bekerja dalam memberi dan menerima kabar." Saat berbicara Ki Gisang tersenyum,
mengingat betapa dulu ia bersikap seperti pemuda Asap ini, selalu ingin tahu dan
penasaran. Pengalaman mengajarkan padanya bahwa kadang diam dan mengamati itu
bisa lebih baik dari bertanya-tanya tetapi tidak berpi-kir.
"Keempat sisi dari alas Portal ini melambangkan keempat mata angin uta-ma,
utara, timur, selatan dan barat. Masing-masing sisi memiliki arti sendiri-
sendir," lanjut Ki Tampar yang kemudian menceritakan perihat arti-arti dari
lambang-lambang dan cara berkomunikasi dengan Penghuni Hutan dan Gunung,
sebagaimana mereka berdua diajarkan dulu.
"Apakah kalian berdua telah mengerti?" orang itu bertanya kepada Tampar dan
Gisang muda, dua pemuda yang baru saja diajarkannya bagaimana orang dapat
mengartikan deretan lambang-lambang yang baru saja digambarkannya di atas pasir.
"Ki Tapa, maaf bila saya masih bertanya," ucap Tampar.
"Tanyakanlah apa yang hendak kau tanyakan Tampar. Lebih baik sekarang bertanya,
dari pada keliru di kemudian hari," jawab Ki Tapa, sang pertapa tua sambil
tersenyum. "Begini Ki Tapa..., lambang-lambang ini, mengapa perlu dituliskan dalam huruf-
huruf asing.. Yunani.., kenapa tidak alam aksara kita saja?" \medskip
"Kalau menerut kamu sendiri bagaimana" Atau kamu Gisang, apa pendapatmu?" kata
Ki Tapa yang menjawab pertanyaan Tampar dengan pertanyaan balik sekaligus
melibatkan Gisang dalam pembicaraan tersebut.
"Kalau menurut saya, Ki Tapa memiliki alasan mengapa lambang-lambang tersebut
ditulis dalam huruf Yunani ketimbang dalam aksara kita." \medskip
"Dan alasannya?" desak Ki Tapa tertarik. Ia menduga-duga apakah Gisang ini
memiliki kecerdikan yang diperkirakannya.
"Salah satu alasan adalah agar cara-cara berkomunikasi ini tidak dapat dengan
mudah dipelajari oleh orang-orang yang tidak diinginkan," jawab Gisang dengan
yakin. "Benar.. benar.., kamu benar sekali Gisang," sahut Ki Tapa dengan gembira,


Rimba Dan Gunung Hijau Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"memang ada alasan seperti itu yang membuatku memilih terlebih dahulu dua orang
dari kalian untuk kuajari cara-cara berkomunikasi seperti ini." \medskip
"Boleh kami tahu alasan yang mendasari semua ini, Ki Tapa?" tanya Tampar dengan
hormat. "Alasannya sudah tua sekali, bahkan lebih tua dari umurku ini," ucap Ki Gisang
sambil menerawang, mengingat-ingat cerita yang telah didengarnya tu-run-temurun.
Dari gurunya, kakek gurunya dan guru dari kakek gurunya. Sudah sekitar empat
puluh dasa warsa cerita itu diturunkan dalam perguruannya. Dan ia sebagai orang
terakhir harus menjaganya. Dan Hutan dan Gunung Rimba Hijau ini dirasakan
merupakan tempat yang ideal untuk menyimpan rahasia tersebut. Lanjutnya,
\medskip "Guruku, kakek guruku dan guru dari kakek guruku, adalah turun-temurun pertapa
dari Perguruan Angin dan Embun. Nama perguruan itu sendiri memiliki arti yang
tak terkalahkan namun lembut dan yang menyegarkan serta me-nyembuhkan. Kami
dalam perguruan diajarkan ilmu-ilmu untuk menjaga kesehatan tubuh dan juga untuk
menyembuhakan tubuh apabila sakit. Awalnya ilmu-ilmu itu dibawa oleh seorang
pertapa juga dari negeri seberang. Bertahun-tahun sejak guru dari kakek guruku
membuka perguruan untuk membantu suatu penduduk desa di daerah yang tandus, agar
mereka dapat hidup dengan baik dalam alam yang keras itu, berlangsung keadaan
menjadi berangsur-angsur baik. Semua penduduk menjadi lebih sehat dan kuat,
walaupun mereka tidak memiliki banyak yang dapat dimakan. Efesiensi adalah kunci
dari ilmu-ilmu itu. Apa yang kita makan dan kita hirup harus dimanfaatkan.
Pikiran harus bersih, sehingga tidak terbuang energi sia-sia untuk menangani
pikiran-pikiran ngawur dan sesat." \medskip
Ki Tapa terdiam sejenak. Masih mengingat-ingat cerita yang diturunkan padanya,
dan juga bagian-bagian yang pernah dialaminya sendiri, sampai ia tiba di desa
ini. "Akan tetapi sayangnya keadaan yang aman dan tenteram itu tidak berlangsung
lama. Saat orang-orang dari desa lain melihat bahwa desa yang tadinya tandus,
dan diperkirakan bahwa orang-orangnya akan mati dengan sendirinya, tiba-tiba
bangkit seakan-akan ada keajaiban, mereka tidak suka. Mereka meng-inginkan desa
itu menjadi desa tidak berpenghuni, sehingga tanah di sana, dapat diolah oleh
mereka. Bukan menjadi lahan pertanian, akan tetapi karena ada kandungan suatu
bahan di dalam tanahnya yang dianggap berharga. Sudah pernah ada penawaran dari
desa-desa di sekelilingnya, agar penghuni desa yang tandus itu pindah, sedesa-
desanya ke tempat yang lebih subur, dan memberikan tanahnya kepada mereka. Akan
tetapi para penghuni desa itu jelas menolak. Bukan dengan alasan ingin
mengangkangi bahan berharga tersebut, melainkan karena desa tersebut merupakan
tanah turun-temurun mereka." \medskip
"Mereka telah berupaya mencari jalan tengah, dengan mengijinkan penduduk lain
untuk menggali bahan tersebut dengan membagi hasilnya kepada mereka, akan tetapi
usul tersebut ditolak. Orang-orang tersebut menginginkan keseluruhan desa, bukan
hanya sebagian yang diijinkan saja. Akibatnya mereka mencoba menghalang-halangi
perdagangan ke desa tersebut, sehingga lambat laun matilah perekonomian desa itu
yang kemudian disusul dengan kemarau berkepanjangan." \medskip
"Untung saat itu lewatlah sang Petapa Seberang, yang berasal dari tanah
seberang. Ia melihat ketidakadilan tersebut, akan tetapi karena pada dasarnya ia
berwelas-asih, ia tidak ingin menghadapi kekerasan dengan kekerasan. Apa jadinya
bila ia menghancurkan orang-orang di sekitar desa yang menghalangi perekonomian
desa itu, apabil penduduk desa itu sendiri tidak berani mela-kukannya. Untuk itu
ia mencari seorang penduduk desa yang dinilainya cocok untuk diajarkan ilmu-
ilmunya. Dan terpilihlah guru dari kakek guruku, Ki Patuh." \medskip
"Pendeta Seberang tidak mengajarkan ilmu kanuragan, melainkan ilmu menjaga
kesehatan dan mengobati jika sakit. Dengan ilmu tersebut penduduk desa dapat
hidup dengan jumlah makanan dan minuman yang minim. Selain itu tenaga mereka
menjadi berlipat ganda, sehingga mereka dapat mulai membuat sumur dan sumber air
lainnya, untuk mengairi ladang-ladang mereka. Setelah Ki Patuh dianggap cukup
menerima ilmunya Petapa Seberang pun melanjutkan perjalannya, sambil menitipkan
sebuah kitab yang berisikan sari dari ilmu-ilmunya, untuk dipelajari oleh Ki
Patuh dan diwariskan pada murid-muridnya. Saat itu Ki Patuh belum mengambil
murid." \medskip Jeda terjadi sesaat waktu Ki Tapa menarik napas panjang. Untuk kemudian kembali
melanjutkan ceritanya. Kedua anak muda tersebut Tampar dan Gisang tidak berani
memotong karena sudah benar-benar terbuai oleh cerita Ki Tapa tersebut.
"Ki Patuh kemudian mengambil empat orang murid Ki Setunggal, Ki Duo, Ki Tilu dan
Ki Uu, yang berarti pertama, kedua, ketiga dan keempat. Kakek guruku adalah Ki
Tilu. Keempat murid tersebut belajar dengan sungguh-sungguh ilmu-ilmu Ki Patuh
yang berasal dari Petapa Seberang. Masing-masing murid mengambil kekhasan
masing-masing yang dibagi oleh Ki Patuh mejadi empat mata angin, utara, timur,
barat dan selatan. Masing-masing saling mengisi dan melengkapi. Jika diibaratkan
dengan bahan-bahan di sekeliling kita, jurus-jurus keempat orang itu disebut
sebagai Jurus Udara, Jurus Api, Jurus Tanah dan Jurus Air, keempatnya akan
menghasilkan kombinasi lain apabila dipadukan berdua-berdua. Misalnya Jurus Api
dan Tanah akan memberikan kekeringan, Jurus Air dan Tanah akan menghasilkan
dingin, Jurus Air dan Udara akan membuat basah dan Jurus Udara dan Api akan
membuat panas \footnote{Pemaknaan keempat elemen (udara, api, tanah dan air)
dengan dua pasang kualitas yang berlawanan (panas \& dingin dan basah \& kering)
dilakukan oleh Aristoteles}. Karena keadaan-keadaan yang dihasilkan, kering,
dingin, basah dan panas ini adalah yang dibutuhkan untuk kehidupan, maka
pemahaman ini digunakan untuk membantu penduduk desa menjadi lebih sehat dan
kuat." \medskip "Pada intinya semua penduduk desa harus mempelajari keempat jurus tersebut
sampai tahapan dasar, yang dibimbin oleh masing-masing dari empat murid utama
tersebut. Sedangkan bila ada yang berbakat maka dapat mendalami satu sampai dua
jurus itu sampai pada tahapan berikutnya." \medskip
Lalu tiba-tiba hampir bersamaan Tampar dan Gisang mengajukan pertanya-an,
menyalurkan keingintahuannya yang sudah memuncak, "akan tetapi Ki Tapa, apa
hubungannya antara ilmu menjaga kesehatan tubuh tersebut dengan bercocok tanam?"
\medskip "Dengan menggunakan ilmu-ilmu tersebut, seseorang menjadi lebih peka terhadap
lingkungannya. Misalnya Jurus Udara, membuat orang mejadi awas akan adanya
perubahan dalam hawa yang kita hirup. Akant terjadi hujan, adanya racun dalam
udara, pergerakan angin dan hal-hal lain yang terkait dengan udara. Demikian
pula dengan tanah, orang akan menjadi awas terhadap kehidupan yang dapat
didudukung oleh tanah, bahan-bahan apa yang kurang, sehingga harus ditambahkan
agar tanaman dapat tumbuh subur dan sebagainya." \medskip
Lalu lanjut Ki Tapa, "contoh lain adalah misalnya dengan menggabungkan Jurus Air
dan Tanah yang menciptakan dingin, orang dapat mencari-cari sumber air, bahkan
di daerah yang kering sekalipun. Dengan cara ini, pembuatan sumur akan menjadi
amat efesien." \medskip
Mendengar penjelasan ini kedua orang muda tersebut kemudian mengang-guk-anggukan
kepalanya, mencoba mencerna dan memahami penjelasan Ki Tapa.
"Lalu mengapa Ki Tapa sampai kemari, bila keadaan di desa tersebut sudah
membaik?" tanya salah seorang dari mereka tidak mengerti.
"Nah, baru beberap dasa kemudian terjadi hal yang bener-benar menjeng-
kelkan." \medskip "Maksudnya?" \medskip
"Dengan semakin baiknya kehidupan dan petanian penduduk desa, maka kehidupan
mulai kembali berjalan, dan mereka mulai kembali mencoba untuk melakukan
perdagangan. Jalan-jalan yang tadinya diisolasi atau jembatan-jembatan yang
diputus, sekarang tidak menjadi masalah karena tubuh para penghuni desa itu
menjadi lebih kuat dan terlatih." \medskip
"Akan tetapi," lanjut Ki Tapa, "kekuatan tubuh mereka yang di luar rata-rata
kekuatan orang ini menjadi daya tarik tersendiri bagi orang-orang di luar desa,
yang menganggapnya sebagai suatu ilmu kanuragan, untuk mempelajarinya, sementara
orang-orang yang ingin menguasai desa masih berusaha dengan berbagai cara untuk
menguasai tanah di desa tersebut." \medskip
"Beberapa orang desa menjadi kemaruk akan imbalan-imbalan yang diberi-kan oleh
orang-orang luar, apabila mereka mau mengajarkan bagaimana mereka dapat memiliki
kekuatan tubuh seperti itu. Kemudian mereka dengan berbagai cara memohon pada
para murid utama Perguruan Embun dan Angin, agar orang-orang luar ini dapat
diberikan pula pengajaran, dengan mereka di belakangnya mendapatkan imbalan.
Sudah tentu keempat murid utama itu menolak, karena mereka tahu bahwa orang-
orang yang diajukan itu tidak memiliki watak yang baik. Mengajarkan ilmu pada
orang yang tak berwatak baik akan menyebabkan malapetaka di kemudian hari."
\medskip "Akhirnya dengan berbekal ilmu-ilmu yang masih di bawah keempat murid utama
tersebut orang-orang yang dapat diiming-imingkan imbalan bersatu untuk membuat
suatu perguruan sendiri untuk menentang Perguruan Angin dan Embun. Nama
perguruan tersebut adalah Perguruan Atas Angin, yang telah menyiratkan
ketinggian hati anggota-anggotanya. Mereka ini memang memiliki ilmu-ilmu
kanuragan selain ilmu untuk menjaga kesehatan tubuh. Dengan demikian mereka
mulai dapat menekan penduduk desa lainnya untuk bergabung berama mereka."
\medskip "Tapi kata Ki Tapa sebelumnya, bahwa hanya dengan ilmu menjaga kesehatan tubuh
orang dapat memiliki kekuatan berlipat ganda, jadi tidak akan dengan mudah kalah
oleh suatu ilmu kanuragan bukan?" tanya Gisang tidak mengerti.
"Memang benar," sahut Ki Tapa, "akan tetapi orang-orang di luar desa itu pun
cerdik, mereka kemudian melatih orang-orang yang telah memiliki ilmu menjaga
kesehatan tubuh ini dengan ilmu kanuragan sehingga mereka menjadi lebih
kuat." \medskip Terdiam sebentar Ki Patuh, sambil sesekali menghela napas, mengingat kembali
kisah desa yang diseret ke arah kekacauan oleh penduduknya sendiri.
Kemudian lanjutnya, "setelah merasa kuat dan tak terkalahkan mulailah mereka
menyerang langsung Perguruan Angin dan Embun untuk merebut kitab pusaka yang
ditinggalkan Petapa Seberang. Keempat murid utama dan Ki Patuh gurunya bertempur
bahu membahu, hanya mengandalkan kekuatan tu-buh saja, tanpa pengetahuan ilmu
bela diri. Dalam waktu singkat kelimanya dapat ditangkap." \medskip
"Siksaan-siksaan dilakukan untuk mendapatkan jawaban di mana tersimpannya kitab
pusaka tersebut, yang kemudian diketahui bernama Kitab Jaga Kesehatan Tubuh dan
Jiwa. Untungnya kelima orang tersebut benar-benar telah menyerap kekuatan alam
melalui pembelajaran dengan sungguh-sungguh kitab pusaka tersebut, sehingga
walaupun mereka tidak dapat melepaskan diri, akan tetapi siksaan-siksaan
tersebut dapat teratasi." \medskip
Tak tahan kedua pemuda tersebut menyuarakan kejengkelan hatinya, "betapa tak
tahu terima kasih orang-orang penghinat itu, sudah ditolong..." \medskip
"Begitulah sifat kebanyakan manusia, silau pada sesuatu yang tidak dimilikinya.
Jika saja dulu waktu orang-orang di luar desa mau menggunakan jalan seperti
orang-orang yang belajar ilmu ini, maka sudah dapat dipastikan orang-orang
tersebut dapat memperoleh tanah di desat tersebut. Cara halus dengan iming-iming
kadang lebih manjur dari kekerasan." \medskip
"Setelah hampir setahun kelima orang teresebut tidak juga mau membuka rahasia di
mana tersimpannya Kitab Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa, akhir-nya dengan kejam
kelima orang teresebut di kubur hidup-hidup dalam tanah. Berbu-lan-bulan di
dalam tahan, menunjukkan bahwa terdapat pula batasan kekuatan tubuh manusia,
walaupun suatu ilmu dimilikinya. Satu per satu kelima orang itu meninggal sampai
tinggal seorang yaitu Ki Tilu, karena kebetulan keahliannya adalah Jurus Tanah,
sehingga ia dapat berlaku mati suri saat di dalam tanah. Gurunya sendiri Ki
Patuh tidak dapat karena ia mempelajari keempat jurus tersebut secara seimbang."
\medskip "Jika hampir semuanya meninggal, lalu bagaimana ilmu tersebut dapat diturunkan
pada Ki Tapa," bertanya Tampar kemudian.
"Pertanyaan yang baik sekali," sahut Ki Tapa gembira. "Memang apabila dipikirkan
maka itu merupakan kehendak Yang Maha Kuasa. Guruku salah seorang penduduk desa
yang tidak ikut dalam Perguruan Atas Angin ataupun Perguruan Angin dan Embun,
ditugaskan untuk memakamkan kelima orang tersebut yang setelah diperiksa tidak
lagi menghembuskan nafas. Saat itu hanya guruku seorang yang berada di lokasi
makam, karena ia kebetulan memang penunggu makam." \medskip
"Sebenarnya timbul pula pertanyaan, jika mereka telah dikubur hidup-hidup dan
kemudian ternyata telah mati, kenapa harus kembali dikuburkan di tempat lain,
kenapa tidak langsung dikuburkan kembali di tempat tersebut. Salah seorang
anggota Perguruan Atas Angin yang tadinya bekas anggota Perguruan Angin dan
Embun menjadi tidak tega, dan ingin menghormati mendian kelima bekas gurunya
tersebut. Dengan tak terlalu tulus, orang-orang luar yang menjadi anggota utama
Perguruan Atas Angin pun menyetujuinya, akan tapi tidak memperbolehkan orang-
orang menghadiri dan membantu proses pemakaman, melainkan hanya guruku, sang
penjaga makam, Ki Makam, orang menyebutnya, yang melakukannya." \medskip
"Saat itu sudah lewat petang, dan hampir gelap. Guruku Ki Makam harus cepat-
cepat menguburkan kelima orang tersebut atau ia harus menginapkan kelimanya di
atas tanah dan dijaga untuk dimakamkan keesokan harinya. Dan ia tidak ingin.
Lebih baik dikerjakan hari ini, biar semua selesai. Setelah memilih tempat yang
cukup terhormat menurutnya, digalilah lima buah lubang yang empat di pinggir dan
satu di tengah, mirip posisi pusat dan empat mata angin. Begitulah pesan bekas
anggota Perguruan Angin dan Embun. Dan ia harus memakamkan Ki Patuh di tengah
dan Ki Setunggal di utara, Ki Duwo di timur, Ki Tilu di selatan dan Ki Uu di
barat. Karena adanya rerimbuna dan tumpukan tanah hasil penggalian lubang makam,
maka Ki Tilu dimakamkan terakhir. Dan inilah yang menyebabkan guruku masih dapat
menerima pesan terakhir dari Ki Tilu." \medskip
Mendengar itu kedua anak muda tersebut tanpa dapat dicegah menjadi merinding.
Bila Ki Tapa bercerita seperti dugaan mereka, berarti Ki Tilu bangkit dari
kematiannya untuk memberi pesan kepada Ki Makam. Benar-benar cerita yang sukar
dipercaya. "Sebenarnya tidaklah terlalu aneh," lanjut Ki Tapa, "keahlian Ki Tilu adalah
tanah atau bumi, jadi di dalam tanah adalah tempat ia biasa berada, selama
napasnya dapat diselaraskan dengan bumi, hiduplah ia. Akan tetapi sayangnya
selama proses penyiksaan telah dilakukan berbagai cara, termasuk menyiramkan air
pada mereka yang dikuburkan, sehingga ilmu Ki Tilu tidak dapat digunakan
sepenuhnya. Dan setelah tubuhnya berkenalan kembali dengan udara bebas, mulailah
sel-sel tubuhnya kembali berdenyut perlahan-lahan dan hidup kembali. Jika saja
ia langsung kembali dimakamkan, mungkin akan terus dalam keadaan itu sampai
benar-benar habis nafasnya." \medskip
Ki Tapa beristirahat sejenak untuk mengambil napas dan menenggak air yang
dibawanya. "Refleks adanya udara bebas membuat kesadarannya sedikit terguncang sehingga
ingin cepat-cepat sadar untuk bangun dan menolong saudara-saudara seperguruannya
dan juga gurunya. Ini yang membahayakan, sehingga paru-parunya keracunan.
Untunglah ia masih bisa menghimpun tenaga intinya sehingga dapat bangkit, walau
hanya untuk beberapa jam." \medskip
Hening sejenak, dan angin pun bertiup perlahan, seakan tidak berani menggangu
pelantunan cerita tersebut.
"Bangunnya Ki Tilu sudah pasti membuat Ki Makam terkejut setengah mati, hampir
saja cobot jantungnya, jika Ki Tilu tidak buru-buru menenangkannya. Setelah
memperoleh penjelasan, terharulah Ki Makam, bahwa Ki Tilu salah seorang dari
penolong desanya masih hidup. Akan tetapi saat ia ingin memberi kabar itu kepada
penduduk desa yang masih setia pada Perguruan Angin dan Embun, Ki Tilu
mencegahnya. Ia mengatakan bahwa tidak banyak waktu lagi baginya, dan ia ingin
Ki Makam menjadi muridnya dan berjanji untuk meneruskan ilmu-ilmu mereka dan
menyelamatkan Kitab Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa. Setelah memberitahu di mana
letak kitab tesebut, kemudian Ki Tilu meminta Ki Makam untuk bersila di
hadapannya agar dapat diberi tenaga inti terakhirnya, sehingga dapat menjadi
lebih mudah untuk belajar isi Kitab Jaga Kesehatan dan Jiwa lebih lanjut."
\medskip Kedua anak muda tersebut Tampar dan Gisang mendengarkan cerita tersebut dengan
penuh perhatian, tanpa terasa mulut meraka menganga. Sudah tentu hal membuat Ki
Tapa tersenyum sangat. "Setelah pemindahan tenaga tersebut berlangsung, meninggallah Ki Tilu. Dan
dimakamkanlah ia oleh Ki Makam sebagaimana rencananya semula. Hanya sekarang ia
memiliki tugas baru, yaitu mencari Kitab Jaga Kesehatan dan Jiwa, mempelajarinya
dan menyelamatkan serta mengamalkannya. Untuk itu Ki Makam tidak terburu-buru,
karena ia melihat bahwa Ki Patuh dan keempat muridnya yang telah belajar lanjut
ilmu itu pun tidak dapat menanggulangi ilmu kanuragan, apalagi ia yang baru
diberi sedikit dasar. Tenaga inti dari Ki Tilu mungkin melebihi latihan tahunan,
tapi belum ada apa-apanya apabila menghadapi ilmu kanuragan dari Perguruan Atas
Angin. Untuk itu ia berlaku sabar dan akan menunggu saat yang tepat untuk
mengambil kitab tersebut serta mempelajarinya." \medskip
Cerita yang menarik tersebut membuat Asap dan kawan-kawannya, termasuk yang
sakit sampai tidak dapat berkata apa-apa. Mereka hanya mendengarkan dan tidak
ada pun komentar. Suatu cerita yang mereka belum pernah sekalipun mendengarkan
atau membayangkannya. Saat itu matahari sudah mulai turun, sehingga membuat
cuaca menjadi sedikit remang-remang.


Rimba Dan Gunung Hijau Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saat Ki Gisang hendak melanjutkan, terdengar suara semacam suling yang
melengking tinggi dan rendah berganti-gati. Memekakkan telinga sehingga semua
yang mendengarnya harus menutup telinganya.
"Itu tandanya bahwa Penghuni Hutan dan Gunung telah melihat pesan kita," kata Ki
Tampar menjelaskan. "Mari kita pasang petunjuk berikutnya." \medskip
Kemudian Ki Gisang dan Ki Tampar mulai menyalakan tongkat-tongkat yang berupa
obor, akibatnya tongkat-tongkat yang berupa ujung kaca, memantulkan sekaligus
membiaskan tongkat-tongkat yang merupakan obor, sehingga memberikan kilauan yang
aneh akan tetapi indah. "Ini adalah kode kedua yang harus dilakukan. Jika hanya salah satu kode saja dan
tidak berurutan, maka komunikasi dengan Penghuni Hutan dan Gunung tidak dapat
berlangsung," jelas Ki Gisang, melihat muka-muka penuh tanda tanya dari Asap dan
kawan-kawannya. "Tongkat yang berujung kaca ini melambangkan udara dan yang bergagang obor ini
melambangkan api. Karena permasalahan yang kita hadapi adalah panas dalam hal
ini saudara yang sakit ini, maka kedua tongkat tersebut yang digunakan."
\medskip "Dan urut-urutannya juga menjelaskan apakah kami yang bermasalah atau orang luar
yang kami ingin bantu. Sebagai contoh bila kami yang bermasalah, maka kami akan
datang waktu subuh, untuk terlebih dahulu memasang obor sebagai simbol api, baru
menunggu fajar untuk kemudian memasang simbol udara," tambah Ki Gisang.
Asap dan kawan-kawannya mengangguk-angguk mencoba memahami uraian yang bagi
mereka sama sekali baru tersebut.
"Kita masih punya banyak waktu, biasanya Penghuni Hutan dan Gunung dapat
merasakan apa permasalahannya dan sedang memikirkan cara memecahkannya. Biasanya
ia akan datang langsung dengan obatnya dalam kasus ini," jelas Ki Gisang. "Ada
yang ingin mendengar kelanjutan ceritanya?" \medskip
Dan semua mengangguk. Ki Tampar pun tertawa kecil sambil berkata, "baiknya aku
saja yang cerita kakang, biar kakang masih ada nafas nanti saat Penghuni Gunung
dan Hutan tiba. Jika kakang terus yang bicara, lelah nanti pasti." \medskip
Ki Gisang pun mengangguk setuju dan mempersilakan Ki Tampar untuk melanjutkan
cerita yang telah dimulainya tadi.
Setelah setahun hanya melatih tenaga inti yang diberi oleh Ki Tilu pada akhir
hayat kepadanya, Ki Makam baru berani untuk memperaktekkan sedikit-sedikit
gerakan yang dipesankan. Untuk Kitab Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa, ia belum
berani mencarinya. Sesuai dengan pesan Ki Tilu, setidaknya tunggulah sampai
sepuluh tahun. Hitungan ini bukan saja untuk melenyapkan kecurigaan juga untuk
memberi waktu tubuh Ki Makam agar terbiasa dengan tenaga inti hasil operan Ki
Tilu, agar selanjutnya dapat langsung mempelajari kitab tersebut.
Untuk melenyapkan kecurigaan bahwa ia mempelajari jurus-jurus asli dari
Perguruan Angin dan Embun yang telah tiada itu, Ki Makam memohon pada Perguruan
Atas Angin, agar diajari sedikit ilmu menjaga kesehatan tubuh dan kanuragan,
agar ia menjadi sehat dalam melaksanakan tugasnya. Karena alasan yang dipikir
jelas itu, Ki Makam memperoleh ijin dan dilatih oleh murid-murid tingkat bawah.
Sementara itu walaupun tidak berhasil memperoleh Kitab Jaga Kesehatan Tubuh dan
Jiwa warisan dari Petapa Seberang, akan tetapi salah seorang dari luar, yaitu Ki
Jagad Hitam, yang merupakan guru dari Perguruan Atas Angin, memiliki kecerdikan
yang sangat. Ia menyuruh orang-orang bekas Perguruan Angin dan Embun untuk
menunjukkan cara berlatih mereka dan kemudian dipelajarinya untuk kemudian
digabungkan dengan ilmu kanuragan ciptaanya, yaitu Jurus Pukulan Perusak Isi
Perut. Suatu pukulan yang amat jahat. Orang yang terpukul oleh jenis pukulan ini
tidak akan terlihat memar di luarannya, akan tetapi rusak isi perutnya, jantung,
paru-paru, hati. Dan akan meninggal dalam hitungan jam. Jurus ini dulu tidak
mempan terhadap Ki Patuh dan kelima muridnya, karena walaupun mereka tidak bisa
ilmu kanuragan, akan tetapi pemahaman mereka akan Kitab Jaga Kesehatan dan Jiwa
sudah tinggai sehingga pukulan jenis ini tidak lagi memiliki arti.
Dengan memperhatikan bagaimana jurus-jurus Udara, Api, Tanah dan Air dilakukan,
walaupun baru tingkat dasar, Ki Jagad Hitam dapat menarik sari-sari ilmu
tersebut ke dalam inti jurusnya. Apabila saat ini Ki Patuh dan kelima muridnya
masih hidup, mungkin mereka dapat terluka dalam, minimal pingsan terkena
kembangan baru tenaga inti dari Pukulan Perusak Isi Perut dari Ki Jagad Hitam
ini. Untuk menutupi latihannya Ki Makam hanya melatih jurus-jurus Udara, Api, Tanah
dan Air yang telah diajarkan oleh murid-murid Perguruan Atas Angin. Jurus-jurus
lain yang telah dibisikkan oleh Ki Tilu di saat sekaratnya, masih disimpannya di
dalam hati. Adalah suatu kejadian lucu di mana Ki Makam lupa untuk tidak memperlihatkan
jurus-jurus asli dari Perguruan Angin dan Embun, pada suatu latihan, sehingga ia
mendapat teguran dari salah seorang pelatihnya, Gajah Duduk.
"Makam, apa itu gerakan yang kamu buat" Tak kenal saya posisi itu. Ngaco
kamu!" \medskip "Maaf.. maaf.. kakak Gajah," kata Ki Makam sambil terkejut, setelah menyadari
bahwa ia bukan melakukan yang diminta. Terlebih bahwa ia tanpa sadar melakukan
jurus-jurus asli yang tingkatan sebenarnya lebih tinggi dari jurus-jurus yang
diajarkan oleh Gajah Duduk. Untung saja Ki Makam diajar oleh murid-murid tingkat
bawah, sehingga adanya jurus-jurus tingkat tinggi tak akan disadari.
Mulasi saat itu Ki Makam lebih berhati-hati untuk tidak, dengan tak sengaja,
melakukan jurus-jurus asli dari Perguruan Angin dan Embun.
Sepuluh tahun telah berlangsung dan tak terasa Ki Makam telah mencapai tingkat
ketiga dari murid-murid Perguruan Atas Angin. Masih ada dua tingkat lagi dan
Lingkaran Dalam yang merupakan tingkatan di atasnya. Murid-murid tingkat satu
adalah murid-murid dengan pemahaman baik semua jurus ajaran Ki Jagad Hitam,
sedangkan lingkaran dalam, dibatasi hanya enambelas orang, yang mendapatkan
latihan khusus dalam keempat unsur rampasan dari Perguruan Angin dan Embun,
yaitu Penjaga Udara, Api, Tanah dan Air. Masing-masing penjaga terdiri dari satu
kelompok yang beranggotakan empat orang. Keempatnya memiliki kemampuan yang
seimbang. keenambelas orang ini dapat pula memainkan serangan kelompok, empat
orang satu unsur, delapan orang empat unsur atau langsung berenambelas. Hanya
sang guru Ki Jagad Hitam yang dapat menanggulangi keenambelas orang ini
sekaligus. Keanggotaan dari enambelas orang ini dipertahankan melaluui suatu ujian tingkat.
Bila murid-murid tingkat satu dapat mengalahkan salah seorang dari Lingkaran
Dalam ini, maka posisi tersebut dimilikinya, sedangkan orang yang kalah harus
menjadi murid tingkat satu. Tidak banyak murid tingkat satu yang ingin menjadi
Lingkaran Dalam, karena resikonya adalah mati dalam perebutan posisi itu dan
juga latihan-latihan keras untuk meningkatkan ilmu supaya bisa kompak dengan
anggota Lingkaran Dalam yang lainnya. Pernah terjadi sampai empat orang
Lingkaran Dalam terluka dalam latihan dan lumpuh, untuk itu empat posisi
diperebutkan oleh hampir duapuluh orang murid tingkat satu.
Ki Makam sebagai seorang murid tingkat tiga tidak berantusias untuk menjadi
murid tingkat satu atau bagian dari Lingkaran Dalam. Ia berlatih hanya untuk
menutupi latihan sebenarnya, yaitu jurus-jurus asli dari Perguruan Angin dan
Embun yang telah hancur. Setelah sepuluh tahun berlatih secara diam-diam Ki
Makam dapat dengan jelas melihat kekurangan-kekurangan penerapan jurus-jurus
asli pada ilmu-ilmu ajaran Ki Jagad Hitam. Dengan pengetahuan ini, ia dapat
dengan mudah naik menjadi murid tingkat dua bahkan satu, tetapi hal itu tidak
dilakukannya. Karena murid tingkat satu adalah murid-murid yang paling dipercaya
dan mendapat banyak tugas. Sedangkan murid-murid tingkat empat dan lima
merupakan pekerja-pekerja kasar. Oleh karena itu ia memposisikan dirinya pada
murid-murid tingkat tiga, aman di tengah-tengah.
Sekarang yang sedang dipikirkannya adalah bagaimana cara mencari Kitab Jaga
Kesehatan dan Jiwa seperti yang dipesankan oleh mendiang Ki Tilu kepa-danya,
yang juga guru pertamanya. Dengan semakin banyak murid-murid Perguruan Atas
Angin, akan semakin sulit tugasnya. Walaupun dengan tingkatannya, hanya dua
puluh murid tingkat satu, dan tiga puluh lima murid tingkat dua yang akan
merupakan permasalahannya. Sang guru dan Lingkaran Dalam umumnya banyak berlatih
dan menyepi. Memang benar dikatan orang, yaitu apabila kita berharap dan dengan sabar menanti
sambil selalu mengucapkan syukur pada Yang Maha Kuasa, maka penantian akan
membuahkan kesempatan untuk mecapai harapan. Kesempatan yang ditunggu-tunggu
oleh Ki Makam pun tiba. Pada suatu hari datanglah serombongan orang yang
merupakan murid-murid tingkat dua yang telah keluar dari perguruan dan kembali
kepada pekerjaannya semula. Mereka ini datang dalam keadaan yang menyedihkan,
luka-luka dan sakit. Mereka ini ternyata telah memperoleh serangan dari
Perguruan Kapak Ganda pimpinan Naga Seni, seorang seniman dan juga ahli
kanuragan terknal dari Paparan Karang Utara. Walaupun Naga Seni sendiri tidaklah
seorang yang haus akan ketenaran, akan tetapi sifatnya yang selalu membela
murid-muridnya ini membawanya pada banyak ajang perkelahian.
Peristiwa itu pun bermula dari bersuanya murid-murid Perguruan Atas Angin dengan
Perguruan Kapak Ganda di suatu perhelatan. Dalam acara tersebut memang terdapat
acara pertandingan ketangkasan kanuragan, akan tetapi dalam suasana
persahabatan. Memang pada dasarnya darah muda, salah seorang murid Perguruan
Kapak Ganda dikalahkan oleh murid Perguruan Atas Angin, dan ini membuatnya tidak
terima, lalu memanggil saudara-saudara seperguruannya untuk membalaskan
kekalahannya, akan tetapi di luar arena.
Dari mutu ilmu kanuragannya, memang murid-murid Perguruan Atas Angin lebih
unggul, karena umumnya mereka tidak diijinkan keluar dari perguruan jika tidak
memiliki tingkatan setidaknya tiga atau dua. Bisa dibayangkan betapa lihainya
mereka. Jadi serangan ketidakpuasan murid-murid Perguruan Kapak Ganda tidak
membawa hasil, bahkan menambah rasa malu mereka. Dan tanpa malu-malu mereka
melaporkannya pada Naga Seni, sang guru, bahwa dihina oleh Perguruan Atas Angin,
dan gurunya juga. Mendengar ini, tanpa melakukan telaah lebih dulu, langsung saja Naga Geni dan
kedelapan murid utamanya, Penjuru Angin, melabrak murid-murid Perguruan Atas
Angin. Menjadikan mereka bulan-bulanan, dan menyuruh mereka pulang dan melapor
pada Ki Jagad Hitam, bahwa Perguruan Atas Angin tidak ada apa-apanya
dibandingkan Perguruan Kapak Ganda.
Buntut dari peristiwa itu membuat Ki Jagad Hitam bak kebakaran jenggot. Mukanya
yang sudah hitam terlihat menjadi semakin hitam, menandakan amarahnya sudah
membangkitkan tenaga inti dari Pukulan Perusak Perutnya. Bila dalam keadaan
demikian tak ada seorang pun yan berani membantahnya.
Setelah ditetapkan bahwa semua murid tingkat satu dan dua akan ikut untuk
membalaskan kekalahan itu, sedangkan Lingkaran Dalam diminta untuk berjaga-jaga
di belakang, jika sewaktu-waktu dibutuhkan mereka juga dapat muncul. Rombongan
yang seakan-akan akan pergi perang itu melingkupi hampir delapan puluh orang,
telah siap untuk berangkat. Setelah berpesan pada murid-murid tingkat tiga dan
di bawahnya untuk baik-baik menjaga perguruan, pergilah mereka dengan keyakinan
akan kemenangannya. Kesempatan ini tidaklah disia-siakan oleh Ki Makam. Tak lama setelah rombongan
berangkat, berkemaslah ia juga untuk mengambil Kitab Jaga Kesehatan Tubuh dan
Jiwa yang disembunyikan di suatu air terjun Air Jatuh tak jauh dari pemakaman.
Tempat itu sebenarnya bukan apa-apa, hanya saja sering dijadikan tempat menyepi
dari Lingkaran Dalam dan Ki Jagad Hitam, sehingga boleh dikatakan Ki Makam tidak
memiliki kesempatan. Setelah dapat memperoleh kitab tersebut, dengan alasan masuk ke daerah situ
untuk memeriksa, karena kebetulan yang menjaga adalah murid tingkat empat dan
lima, Ki Makam bergegas kembali ke rumahnya dan mengambil perlengkapannya.
Sekarang hanya saatnya menunggu malam untuk keluar dari sana.
Dan pertolongan dari Yang Maha Kuasa kembali datang. Pada malam itu hujan turun
dengan derasnya ditambah kabar bahwa Ki Jagad Hitam dan Rombongannya mengalami
pertempuran yang seimbang sehingga butuh bantuan seluruh murid. Dengan dalih
ingin segera menolong Ki Makam segera berangkat akan tetapi tidak ke arah utara
menuju Paparan Karang Utara, melainkan ke timur, ke arah Gunung dan Rimba Hijau.
Setelah dibantu oleh hampir seluruh muridnya Ki Jagad Hitam akhirnya dapat
memperoleh kemenangan. Kepergian Ki Makam sebeneranya tidak akan menerbitkan
kecurigaan, karena banyak di antara murid-murid Perguruan Atas Angin yang tewas
dalam pertempuran itu sebagai ganti punahnya Perguruan Kapak Ganda, jika saja
seorang murid yang menjaga Air Jatuh tidak terlepas omong bahwa Ki Makam pernah
mampir ke sana. Awalnya Ki Jagad Hitam tidak merasa ada kaitan antara dua
peristiwa tersebut, yaitu hilangnya Ki Makam dan masuknya ia ke Air Jatuh
sebelumnya. Tapi naluri kecerdikannya mengisyaratkan adanya sesuatu di antara
kedua peristiwa tersebut. Maka dengan seksama ia mencari-cari di rumah Ki Makam
dan di Air Jatuh, apa yang bisa disimpulkan di sana. Akhirnya terlihatlah ia
bahwa posisi suatu prasasti di Air Jatuh tidak seperti keadaan semula.
Prasasti yang menggambarkan bagaimana keadaan desa itu sebelum dan sesudah ilmu-
ilmu dari Petapa Seberang diamalkan di sana. Prasasti tersebut terlihat pernah
digeser, dari gurata-guratan yang ditimbulkannya di atas batu. Dalam hal ini Ki
Makam belum cukup kuat untuk mengangkat prasasti itu, melainkan hanya
menggesernya. Sedangkan Ki Jagad dengan hanya satu tangan dapat mengangkatnya
dan meletakkan di tempat sejauh tiga langkah dari tempat semula, tanpa
kehilangan napas. Di bekas tempat dudukan semula prasasti yang berukuran sebesar
kerbau itu terdapat lubang kecil, di mana di sisinya terdapat liang seperti
tempat menyimpan sesuatu. Bagai tak percaya Ki Jagad Hitam membaca tulisan di
dasar lubang tersebut. "Di masing-masing sisi lubang ini, pada masing-masin liang terdapat empat kita
peninggalan Petapa Seberang. Yang menemukannya berjodoh untuk
mempelajarinya." \medskip
Seakan ingin meletus kepala Ki Jagad Hitam membaca tulisan tersebut. Kitab Jaga
Kesehatan dan Jiwa yang dicari-carinya, berada di bawah kakinya sendiri. Tempat
itu sering digunakannya bersama-sama dengan Lingkaran Da-lam untuk berlatih,
bahkan prasasti itu sering digeser-geser, walaupun tidak sejuh hari ini,
sehingga dahulu lubang tersebut tidak tampak.
"Makam si penghianat, harus kita cari dia dan juga kitab-kitabnya itu,"
geramnya. "Maaf guru, di sini tertulis empat kitab, sedangkan guru hanya mencari satu
kitab bukan?" tanya seorang Lingkaran Dalam.
"Betul guru!" sahut lainnya.
"Hmm, betul juga," kata Ki Jagad Hitam, "lebih baik kita cari tahu dulu apa tiga
kitab lainnya agar tidak dapat nanti Makam membohongi kita bila tertangkap."
\medskip "Di sini ada tulisan guru," sahut beberapa orang yang telah membalik prasasti
sebesar kerbau bersama-sama itu sehingga alasnya terlihat.
"Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa memperkuat tulang, melemaskan otot dan
melancarkan peredaran darah. Angin-angin meringankan gerak dan menghilangkan
bayangan. Batu-batu membuat lapisan kulit menebal seperti besi dan Seribu Ramuan
memberi tubuh asupan yang berguna." \medskip
"Kelihatannya kitab-kitab ini untuk mengolah tenaga inti, ilmu meringankan
tubuh, semacan ilmu kebal dan buku obat-obatan," duga seorang dari Lingkaran
Dalam. "Dia harus di cari guru, pusaka-pusaka ini adalah milik kita," ucap yang lain.
Mulai saat itu seluruh murid Perguruan Atas Angin diperintahkan untuk mencari Ki
Makam untuk merebut kembali keempat kitab pusaka tersebut. Akan tetapi sayangnya
Ki Makam bagai hilang ditelah bumi, sama sekali tidak ada jejaknya. \medskip
Sampailah pada suatu saat Ki Makam bertemu denga seorang anak kecil yatim piatu
yang memiliki tulang dan watak yang bagus. Dia beri nama anak itu Tapa
menggantikan nama sebelumnya, yang telah dilupakan oleh anak itu. Ia hanya ingat
sering dipanggil "Gembel" oleh orang-orang di sekitarnya.
Ki Makam pun melatih Tapa dengan giat sehingga hampir seluruh kemampuannya dapat
diturunkan pada anak itu. Setelah ia merasa tiba waktunya, berpesanlah ia bahwa
Tapa harus menyimpan baik-baik keempat kitab pusaka tersebut. Ia boleh
menggunakan kemampuannya hanya di saat-saat terdesak saja. Dan menghembuskanlah
Ki Makam nafasnya yang terakhir.
Melihat dari keadaan tersebut dapatlah dikatakan bahwa keberadaan keempat kitab
pusaka tersebut benar-benar boleh dikatakan tidak diketahui, lalu mengapa
sekarang Ki Tapa perlu sembunyi di Gunung dan Hutam Rimba Hijau di timur" Hal
ini sebenernya adalah suatu kecerdikan dari mendiang guru Perguruan Atas Angin,
Ki Jagad Hitam, di mana ia setelah mengobrak-abrik Air Jatuh, memperoleh
catatan-catatan lain bagaimana orang dapat mengetahui apakah orang lain memiliki
Tenaga Inti Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa, melalui pengamatan auranya. Dengan
kecerdikannya dan sisa umurnya Ki Jagad Hitam menciptakan Ilmu Pandang Terawang,
yang khusus digunakan untuk mencari orang-orang pengamal Kitab Jaga Kesehatan
Tubuh dan Jiwa. Dan ilmu ini diturunkan pada anak-muridnya.
Adalah kesialan bagi Ki Tapa yang di masa tuanya memutuskan untuk merantau dan
dalam perjalanannya secara tidak sengaja bertemu dengan murid-murid Perguruan
Atas Angin. Sebenarnya tidak ada niatan dari murid-murid Perguruan Atas Angin
tersebut untuk memperhatikan seoran tua renta dengan baju sederhana itu. Akan
tetapi secara tidak sengaja salah seorang murid mencoba melatihkan Ilmu Pandang
Terawang yang ditujukan sebenarnya pada seorang di sebelah Ki Tapa, akan tetapi
alih-alih orang tersebut yang terlihat auranya, malah aura Ki Tapa yang terlihat
sebagaimana dijelaskan sebagai aura seorang pengamal Kitab Jaga Kesehatan Tubuh


Rimba Dan Gunung Hijau Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan Jiwa. Sontak saja mereka kaget, dan bergegas menangkap Ki Tapa.
Walaupun telah tua renta, tapi Ki Tapa bukan lawan mereka, mungkin juga bukan
lawan Ki Jagad Hitam apabila masih hidup. Akan tetapi sifatnya yang tidak suka
kekerasan, membuatnya lebih memilih kabur ketimbang bertempur, sehingga
sampailah ia di Desa Luar Rimba Hijau ini. Seperti telah diceritakan sebelumnya,
setelah mendapat restu dari kepala desa dan meminta agar hutan dan gunung tidak
dimasuki, dan apabila mereka butuh bantuan dapat memanggilnya, Ki Tapa memilih
dua orang yang akan diangkatnya sebagai penghubung. Dan untuk itu mereka berdua
diajarinya cara-cara berkomunikasi menggunakan portal atau gerbang batu ini.
Ki Tampar pun menarik napas lega setelah selesai menceritakan kisah ini. Ia dan
Ki Gisang telah berpuluh tahun menjadi penghubung, dan mungkin saja ada salah
satu dari rombongan ini yang akan menjadi penerus mereka, umumnya penduduk desa
tidak berminat pada pekerjaan ini, karena dibutuhkan kecerdikan dan juga
kesabaran. Asap dan kawan-kawanya mengangguk-angguk mendengar kisah yang benar-benar sama
sekali baru bagi telinga mereka itu. Mereka masih terdiam berusaha meresapi
kisah yang bagi mereka itu amat menakjubkan.
Tak lama kemudian terdengar lagi suara seruling, akan tetapi dengan nada yang
berbeda, rendah dan cepat lambat.
"Ia datang," kata Ki Gisang.
"Ya, berlakulah hormat," sambut Ki Tampar.
Para anggota rombongan pun bergebas bangun, juga si sakit berusaha duduk sambil
menunggu orang yang dinanti itu mendekat. Tak lama kemudian seakan-akan muncul
dari asap, tampaklah seorang tua, Ki Tapa, yang sudah terlihat amat tua akan
tetapi masih berjalan dengan ringannya, di hadapan \medskip mereka.
"Wah ramai sekali di sini," katanya riang, "dan siapa orang-orang ini, Tampar,
Gisang?" \medskip "Mereka dari Pinggiran Sungai Merah, Ki Tapa," sahut Ki Gisang, "saudara Asap
pemimpin rombongan," katanya sambil menunjuk Asap dan menggapainya supaya
berbicara pada Ki Tapa. "Saya, Ki Tapa," sahut Asap hormat.
"Mengapa orang-orang Pinggiran Sungai Merah bisa terkena Racun Hitam Panas ini"
Bukankah di wilayah kalian tidak kadal gurun yang dapat menyebabkan racun itu?"
tanyanya. "Benar Ki Tapa," jelas Asap, "luka itu diperoleh saudara ini saat pergi ke Gurun
Besar untuk mencari obat bagi saudaranya. Obat berhasil diperoleh, tapi ia tidak
tahu bahwa di dalam tasnya bersembunyi seekor kadal gurung. Saat ia mengambil
obat tersebut, digigitlah tangannya. Kami sudah mencoba menahannya dengan telur
kelabang dan ludah cacing." \medskip
"Pilihan yang bagus, tapi bagaimana kalian tahu aku ada di sini?" \medskip
"Di dunia persilatan sudah terdengan kalau Ki Tapa ada pewaris dari Petapa
Seberang, yang ahli obat-obatan." \medskip
"Hmm, orang-orang Perguruan Atas Angin, bener-benar banyak ucap," sa-hutnya
kurang senang. Tidak ada yang memberi jawaban atau bereaksi.
"Sudahlah, ini sudah kubuatkan obatnya. Dari jauh sudah kurasakan adanya panas,
tapi belum bisa kutebak berasal dari Racun Hitam Panas atau Racun Merah Membara,
untung aku membawa kedua penawar tersebut." \medskip
"Terima kasih Ki," sahut rombongan itu dengan pernuh syukur.
"Sebaiknya kalian tinggal dulu untuk sementara di desa itu," katanya, "jika
sudah sembuh benar, barulah pergi. Tak baik bila si sakit terlau lelah dalam
perjalanan." \medskip
"Baik Ki," sahut Asap mewakili teman-temannya.
"Tampar, Gisang, aku ingin bicara sebentar," gapainya pada kedua orang tersebut.
Setelah berada kira-kira dua puluh langkah dari sana dalam satu kali tindakan
saja, berkatalah Ki Tapa, \medskip
"Bagiaman menurut kalian Asap itu?" \medskip
"Baik Ki, saya juga setuju," sahut Ki Tampar.
Ki Gisang menggangguk pula, tanpa berbicara. Merek telah lama mendapat pesan
dari Ki Tapa untuk mecari orang yang dapat dijadikan ahli waris. Mereka berdua
tidak mau karena menyadari kemampuan yang tidak mumpuni, selain sebagai
penghubung. "Baiklah kalau kalian setuju," kata Ki Tapa kembali, "tolong cari keterangan apa
dan bagaimana jati dirinya." \medskip
"Baik Ki," sahut mereka hampir berbarengan.
Kemudian lenyaplah Ki Tapa dan kembalilah rombongan dari Pinggiran Sungai Merah
itu kembali ke Desa Luar Rimba Hijau untuk beristirahat dan malam pun semakin
larut yang diwarnai dengan suara jangkrit yang bersahut-sahutan merdu.
Bagian 3 -- Hamparan Hijau
Dalam perjalanan pulang menuju Desa Luar Rimba Hijau, Ki Gisang berta-nya kepada
Asap, karena ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
"Saudara Asap," katanya, "dulu saudara mengatakan bahwa temanmu itu terkena
semacam sakit ingatan yang aneh, di mana ia seperti gila akan tetapi dapat
memberikan arah di mana obat untuk penyakitnya dapat diperoleh."
"Benar Ki Gisang," jawab Asap dengan hormat.
"Lalu mengapa tidak kau ceritakan hal itu kepada Ki Tapa, dan engkau malah
mengatakan bahwa engkau mengetahui keberadaaan Ki Tapa dari orang-orang
persilatan. Bukannya dari si sakit sendiri?" tanya Ki Gisang kembali.
"Sebenarnya, pada suatu ketika, saat si sakit sedang dalam pengobatan," jelas
Asap, "ini pun menurut dia, bahwa ada suatu malam datang seorang berilmu tinggi
yang menerangkan apabila ingin sembuh, harus mencari obatnya di sini, di Rimba
Hijau dan Gunung Hijau." \medskip
"Temuilah Ki Tapa di Rimba Hijau dan Gunung Hijau. Mintalah obat kepadanya.
Dialah satu-satunya pewaris Petapa Seberang, yang ahli obat-obatan tiada
taranya," lanjut orang itu, sambil lalu menjelaskan bahwa racun yang mengenai
orang itu disebut sebagai Racun Hitam Panas. Kemudian menjelaskan pula orang itu
di mana letak Rimba Hijau dan Gunung Hijau, dan bagaimana cara mencapainya dari
Desa Pinggiran Sungai Merah. Sambil tak lupa berpesan agar terlebih dahulu minta
ijin pada orang-orang Desa Luar Rimba Hijau sesampainya di sana, karena
merekalah yang akan menjadi penghubung dengan Ki Tapa.
Karena keadaannya yang setengah sadar akibat terkena Racun Hitam Panas, maka si
sakit sering meracau mengenai Ki Tapa dan Rimba Hijau serta Gunung Hijau,
seakan-akan tiada hal lain yang dipikirkannya. Pun saat di tanya, awal-awalnya
ia dapat menjawab dengan baik, dan kemudian menekankan bahwa ia ingin ke Rimba
dan Gunung Hijau untuk mencari obat bagi dirinya. Sampai akhirnya kepada Desa
Pinggiran Sungai Merah memutuskan untuk mengikuti pesan si sakit untuk bergi ke
Rimba dan Gunung Hijau. Asaplah yang ditugaskan sebagai ketua rombongan.
Mendengar cerita itu baik Ki Tampar maupun Ki Giasang mengangguk-angguk. Mereka
lega karena Asap tidak berbohong, hanya saja lupa mengatakan perihal ini kepada
Ki Tapa. Kejujuran merupakan salah satu prasyarat bagi orang yang akan menjadi
murid Ki Tapa. Lalu lanjut Ki Tampar, "Bila engkau bertemu kembali dengan Ki Tapa, ceritakan
hal tersebut, yang baru saja kamu ceritakan kepada kami. Mungkin ada pesan
tersembunyi dari orang berilmu tinggi tersebut kepada Ki Tapa. Selain pula untuk
mengatakan sejujurnya apa yang menyebabkan kamu dan rombonganmu dapat ke
sini." \medskip Dan kemudian kesunyian pun mengisi perjalanan itu sampai ke Desa Luar Rimba
Hijau. Setelah rombongan tida di rumah yang disediakan buat mereka dan si sakit
menerima pengobatan seperti yang dipesankan oleh Ki Tapa, beristirahatlah seluru
rombongan dari Pinggiran Sungai Merah, sebagaimana halnya pula penghuni Desa
Luar Rimba Hijau. Dan malam pun semakin larut.
*** Pagi yang cerah bagi penghuni Desa Luar Rimba Hijau. Seperti biasa para penghuni
mulai bersiap-siap untuk melakukan rutinitasnya, bekerja untuk melangsungkan
kehidupan mereka. Penduduk desa tersebut umumnya memeliki mata pencaharian
bertani, akan tetapi ada juga beberapa yang bekerja sebagai pedagang dan
pengrajin. Ketiga pekerjaan ini sebenarnya salinglah berkaitan satu sama lain.
Para pedagang membatu menjualkan hasil-hasil pertanian, dan pengrajin, selai
meningkatkah nilai tambah hasil-hasil pertanian, juga membatu para petani dalam
membuatkan alat-alat yang dapat meningkatkan efesiensi dalam bercocok tanam.
Untuk mengatur agar tidak terjadi pertentangan di antara para petani, pedagang
dan pengrajin, di Desa Luar Rimba Hijau itu, terdapat semacam pamong desa yang
bertugas untuk mengatur tata kehidupan dari masing-masing kelompok tersebut. Di
desa itu terdapat empat orang yang dikenal sebagai juru, atau ahli dalam
bidangnya, yaitu Juru Tani, Juru Dagang, Juru Karya dan Juru Cipta. Masing-
masing berurusan dengan kelompok para petani, pedagang, pengrajin dan adat-
istiadat yang berkiatan dengan peribadatan. Jika dihubungkan, maka Ki Gisang dan
Ki Tampar termasuk dalam bagian kelompok yang dipimpin oleh Juru Cipta. Di atas
keempat juru atau ahli tersebut terdapat Kepada Desa yang bertugas menjaga
ketentraman sosial dari warganya. Di luar dari keempat kelompok juru tersebut
terdapat pula semacam kelompok yang bertugas menjaga keamanan desa dari
serangan-serangan luar desa, walaupun hal tersebut jarang sekali terjadi. Ini
karena Desa Luar Rimba Hijau tidak memiliki sesuatu yang membuat orang-orang
dari luar desa ingin menguasainya.
Selain itu ketentraman desa itu juga terjaga dikarenakan letak desa yang
terpencil dan jauh dari desa-desa lain. Oleh karena itu para pedagang biasanya
hanya pergi ke luar desa sekali tiap dua kali bulan purnama muncul. Terlalu
sering akan amat tidak menguntungkan, baik bagi mereka para pedagang sendiri
ataupun bagi pembelinya, karena harga-harga akan menjadi mahal, untuk menutupi
lelahnya perjalanan yang jauh tentunya.
Dan pagi itu, setelah orang-orang yang bekerja sebagai petani pergi ke sawah
atau ladangnya, untuk memeriksa tanamannya atau sekedar mengairinya, beberapa
orang yang berprofesi sebagai pedangan tampak berkumpul di dekat suatu pohon
dekat dengan balai pertemuan desa. Mereka tampak sedang berbincang-bincang
sesuatu. Umumnya mengenai apa yang dapat dijual ke luar desa dan apa yang dapat
nanti di bawa kembali ke desa untuk dijual kepada penduduk di sini. Kejadian
seperti itu sudah seperti biasanya, sebelum mereka pergi ke luar dari desa,
mereka berkumpul untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut perdagangan mereka.
Umumnya terdapat sekitar empat kelompok pedagang yang akan pergi keluar desa ke
arah empat penjuru mata angin, karena di arah yang berbeda terdapat kota-kota
atau desa-desa yang berbeda yang dapat merupakan tempat untuk menjual dan
membeli barang-barang kebutuhan.
Akan tetapi hari itu, kemeriahan pembicaraan bertambah dengan adanya rombongan
dari Pinggiran Sungai Merah yang sedang berdiam untuk sementara di desa itu,
guna mengobati anggotanya yang sedang sakit. Para pedangang itu berdiskusi
apakah ada baiknya untuk berbicara sesekali dengan anggota rombongan tersebut,
dalam rangka mencari informasi apa-apa saja barang kebutuhan yang mereka
perlukan. Jika para rombongan itu membutuhkan sesuatu dan mereka masih lama
berdiam di desa ini, sudah tentu dapat mejadi langganan baru bagi para pedagan
tersebut. Apalagi jika mereka dapat pula menceritakan apa-apa yang dapat dijual
dan dibeli di Desa Pinggiran Sungai Merah. Suatu desa yang belum pernah dicapai
para pedangan dari Desa Luar Rimba Hijau ini.
"Sudah, kita coba datangi saja mereka," usul seorang pedangan yang dikenal
sebagai Ki Untung. "Benar usulnya itu, kita paranin saja. Toh mereka pasti senang jika diajak
berbincang-bincag," sambut Ki Rabat.
Kemudian terlontar usul-usul lain yang pada intinya sama, bahwa para anggota
rombongan itu perlu didekati untuk mencari tahu apakah mereka dapat menjadi
pelanggan dari para pedagang itu.
Tiba-tiba diskusi itu berhenti karena lewatlah sang Kepada Desa, Ki Surya,
seorang yang disegani di desa itu karena kearifannya. Para pedagang umumnya
mereka sungkat pada Ki Surya, karena ia sering kali mengingatkan mereka untuk
tidak terlalu banyak mengambil untung dari para penduduk desa. Ia menasehati
bahwa janganlah suasana perdagangan yang hanya mementingkan keuntungan di bawa
ke dalam desa. Boleh berdagang akan tetapi sewajarnya, jangan sampai menimbulkan
keributan. Dan para pedangang itu tunduk, karena apa yang diutarakan oleh Ki
Surya itu benar adanya. Dan keluarga-keluarga mereka juga petani di desa ini,
yang tidaklah mungkin mereka peras atau manfaatkan sehabis-habisnya untuk
perdagangan mereka. "Selamat pagi, Ki Surya," sapa mereka hampir bersamaan.
"Selamat pagi, semua," balas Ki Surya dengan ramah, sambil memperhatikan satu
per satu wajah-wajah para warganya yang tergabung dalam kelompok pedagang ini.
Lalu tanyanya pada Juru Dagang, yang saat ini dipegang oleh Ki Murah, "ada apa
in Ki Murah" Akankah ada perayaan sebelum perjalanan ke luar desa lagi?"
\medskip Sudah menjadi kebiasaan bahwa sebelum para pedagang keluar dari desa menuju
keempat mata angin, para penduduk mengadakan perayaan, di mana pada saat itu
semua penduduk berkumpul untuk saling melakukan kegiatan perekonomian. Menukar-
tukarkan hasil pertanian dan kerajinannya. Dan juga pesanan-pesanan yang dicatat
oleh para pedagang untuk ditukarkan di kota lain dengan hasil-hasil pertanian
dan kerajinan mereka, sudah tentu dengan potongan sebagai ongkos perjalanannya.
"Ah, untuk itu belum Ki Surya," jawab Ki Murah tersenyum, "masih satu bulan
lagi, karena kami bersepakat untuk mengundurkannya, mengingat hasil panen dan
kerajinan belum cukup berlebih untuk diperdagangkan." \medskip
"Lalu apa yang sedang kalian perbincangkan" Terlihat amat menarik dari
kejauhan," tanya Ki Surya setengah menggoda, karena ia tahu tidak ada lain yang
menjadi pembicaraan para pedagang kecuali barang dagangannya.
"Ada usulan yang telah disepakati oleh kami," jawab Ki Rabat melihat bahwa Ki
Murah agak sungkan menjelaskannnya kepada Ki Surya, "untuk berbincang-bincang
dengan orang-orang dari Pinggiran Sungai Merah. Menjajagi apa-apa yang ada di
sana dan siapa tahu ada yang bisa didagangkan dengan mereka." \medskip
"Usul yang baik itu," kata Ki Surya, "lakukanlah!" \medskip
"Terima kasih Ki Surya," jawab Ki Rabat.
"Akan tetapi jangan terlalu memaksa walaupun mereka bukan orang sini. Saat ini
mereka merupakan tamu-tamu kita," mengingatkan Ki Surya lebih lanjut.
"Baik Ki Surya," jawab mereka serempak.
Kemudian berlalulah Ki Surya, melanjutkan perjalanannya memeriksa keadaan di
sekeliling desa. Dan pada saat itu bergegaslah para pedagang beranjak menuju
suatu rumah yang sedang dijadikan pondokan oleh rombongan dari Pinggiran Sungai
Merah. *** Beberapa hari pun berlalu dengan tenang tanpa ada kejadian yang berarti di Desa
Luar Rimba Hijau, persiapan rombongan pedagang yang kali ini akan dipimpin oleh
Ki Murah dan Ki Rabat telah mencapai tahap akhir. Kelihatannya rombongan itu
akan pergi dalam waktu kurang dari seminggu. Masih ada beberapa perjanjian
dagang yang belum selesai yang masih menunggu kepastian. Salah satu perjanjian
dagang tersebut sudah tentu berkaitan dengan rombongan dari Pinggiran Sungai
Merah. Setelah orang-orang dari kelompok perdagangan ini bertemu dengan orang-
orang dari Pinggiran Sungai Merah, terciptalah suatu pembicaraan ngalor-ngidul
yang menarik, sampai akhirnya, karena memang didasari oleh otak perdagangan yang
kampiun, dapat ditemui adanya suatu barang yang kelihatannya dapat didagangkan
antara Desa Luar Rimba Hijau dan Desa Pinggiran Sungai Merah. Akan tetapi untuk
memastikan hal itu, rombongan yang dipimpin oleh Ki Murah dan Ki Rabat perlu
berkunjung terlebih dahulu ke sana. Dan sebagai tanda kepercayaan, beberapa
orang dari rombongan ikut pulang ke desanya, dan juga sebagai petunjuk jalan.
Selain itu anggota rombongan yang pulang juga memiliki keperluan untuk
menyampaikan kabar ke kepala desa Pinggiran Sungai Merah, bahwa orang yang sakit
sudah diobati dan sedang dalam tahap perawatan.
Suatu pagi yang cerah, membuat salah seorang anggota rombongan Pinggiran Sungai
Merah, Asap ingin berjalan-jalan mengelilingi luaran desa. Ia mengagumi sistem
tatanan desa, yang di luarnya terdapat beberapa daerah yang diperuntukkan bagi
keperluan yang berbeda-beda, ada perumahan, perkebunan basah, perkebunan kering,
parit-parit melingkar dan tanah lapang luas. Bagian terakhir ini digunakan
sebagai padang rumput untuk memberi makan ternak seperti sapi dan kambing. Dari
bincang-bincangnya dengan salah seorang penghuni desa yang kebetulan bertempat
tinggal di sebelah rumah tempat ia dan rombongannya menginap, menjelaskan bahwa
pembagian daerah-daerah di desa ini memiliki arti tersendiri, dan ini sudah
merupakan aturan turun-temurun di desa ini.
"Jelasnya bagaimana, paman Baja?" tanya Asap ingin tahu, sambil menghirup teh
yang disajikan oleh Nyi Antini, istri Ki Baja. Keakraban yang ditawarkan oleh
suami istri ini, membuatnya kerasan. Apalagi mereka tidak mempunyai anak,
sehingga dengan adanya rombongan yang tinggal di sebelah rumahnya, dan adanya
seorang muda seperti Asap, membuat mereka bersemangat untuk bercerita. Dan untuk
menunjukkan keakraban tersebut, Asap diminta untuk memanggil mereka paman dan
bibi. "Begini nak Asap," jelas Ki Baja sambil berhenti untuk menerawang, mengingat-
ingat cerita yang dulu diturunkan oleh nenek moyangnya, "dahulu kala, sebelum
Gunung dan Rimba Hijau mejadi terlarang, desa kami dikenal sebagai Desa Ujung,
karena letaknya yang jauh dari mana-mana. Jarang ada orang yang bertandang
kemari. Oleh karena itu tidak ada gunaya tatanan atau pembagian desa yang baik,


Rimba Dan Gunung Hijau Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena toh tidak akan terjadi apa-apa. Akan tetapi pernah suatu ketika terjadi
wabah di desa ini, yang sebenarnya disebabkan oleh cara hidup yang kurang sehat
dari penghuninya sendiri." \medskip
Kehidupan Desa Ujung yang amat sederhana dan alami memberikan sentuhan
keheningan dan kenyamanan bagi orang-orang yang mencintai alam. Akan tetapi
sudah menjadi kebiasaaan bahwa cara hidup manusia kadang merusak tatanan alam
yang telah alami tersebut. Salah satu kebiasaan penduduk Desa Ujung yang tidak
baik adalah cara mereka membuang kotoran, entah itu hasil keluaran tubuh, atau
hasil olahan dapur atau kerajinan. Mereka membuangnya langsung ke sungai
sehingga mencemari sungai. Pada saat itu dengan menggunakan bahan-bahan yang
masih alami, sebenarnya tidaklah terjadi pencemaran yang mengkhawatirkan
sehingga bisa menimbulkan keracunan. Hal lain terjadi, yaitu karena kandungan-
kandungan tertentu dari kotoran-kotoran yang mereka buat ditambah dengan kondisi
lingkungan sekitar Desa Ujuang yang kondusif, membuat sejenis organisma kecil
semacam jamur dan ganggang dapat tumbuh dengan subur. Orang menyebutnya Hamparan
Hijau, karena sering membentang terhampar baik di atas air yang tenang maupun
tanah yang lembab. Nenek moyang penghuni Desa Ujung telah mengetahui bahwa
Hamparan Hijau tidak baik bagi ternak mereka. Dan bila tidak baik bagi ternak,
sudah tentu tidak baik bagi pemilik ternaknya. Oleh karena itu ada larangan
untuk memakannya. Jika dahulu kala, sebelum aktivitas penghuni Desa Ujung sedemikian meningkat
sehingga kotoran yang dihasilkan sampai membuat perkembangan Hamparan Hijau
menjadi sedemikian ganas, orang tidak akan menyadari bahaya yang siap mengincar
setiap saat. Bahaya yang akan muncul bila kesemimbangan alam terganggu. Pernah
ada orang tua-tua yang mengatakan bahwa Hamparan Hijau di sekeliling desa
bertambah banyak, dan sebaiknya para penghuni mulai memperhatikannya. Akan tetapi hal ini
dianggap sepele, dan mereka hanya menghalaunya dengan menggunakan alat-alat
pertanian, dan membuanngnya jauh di luar desa. Pada saat yang bersamaan orang-
orang penghuni Desa Ujung sedang gandrung terhadap suatu pengolahan hasil panen
menjadi makanan, yang diperoleh dari luar desa. Dengan cara ini hasil panen
dapat diolah menjadi bahan baku makanan yang dapat disimpan lama. Oleh karena
saking gandrungnya, terjadi pengolahan secara besar-besaran yang berakibat
meningkatnya kotoran yang mencemari sungai. Akan tetapi hal itu tidak
diperhatikan. Orang lebih memperhatikan hasil bahan olahan yang diperoleh.
Variasi apa yang dihasilkan, dan bagaiman ketahanannya dalam penyimpanan.
Sedikit demi sedikit, akan tetapi pasti, Hamparan Hijau mulai berkembang.
Menutupi air dan tanah lembab di sekitar desa. Karena adanya kesibukan baru,
para penghuni desa jarang jauh keluar desa, sehingga tidak lagi memantau
perkembangan Hamparan Hijau, ditambah juga dengan lokasi lahan-lahan pertanian
yang terpusat di tengah desa, membuat mereka kurang alasan untuk jauh keluar
dari desa. Alam mungki sedang marah atau ingin memberi peringatan kepada mereka,
dengan didahuluinya oleh hujan deras dan angin, sehingga Hamparan Hijau yang
berada di sungai atau kobakan jauh dari desa Ujung, dapat terbang bersama air
dan angin, dan menggenangi semua lahan-lahan pertanian yang ada. Akibatnya sudah
tentu fatal. Tanaman-tanaman tidak dapat dengan mudah dipanen. Harus dicuci
bersih sebelum dimasak. Dan air untuk mencuci pun kebanyakan sudah tercemar.
Akhirnya dengan terpaksa mereka makan makanan yang di dalamnya terkandung sari-
sari dari Hamparan Hijau. Hasilnya sudah pasti bisa diduga, para penghuni Desa
Ujung keracunan. Keracunan yang menjangkiti hampir seluruh daerah tersebut membuat seakan-akan
Desa Ujung telah sampai pada saat akhirnya. Tinggal menunggu waktu untuk binasa,
tanpa ada orang tahu akan adanya desa itu. Terlebih desa tersebut memang jauh
dari mana-mana. Tapi memang kehendak Yang Maha Kuasa tiada yang bisa menduga, pada saat kritis
seperti itu datanglah seorang petapa yang menilik dari pakaiannya bukanlah orang
yang berasal dari daerah di sekiling Desa Ujung, mungkin pula bukan berasala
dari pulau yang sama. Orang tersebut kebetulah adalah ahli pengobatan, dan
mengenali dengan betul akibat keracunan yang ditimbulkan oleh Hamparan Hijau.
Akan tetapi selama hidupnya ia belum pernah melihat begitu luasnya Hamparan
Hijau menyerang, sampai hampir membinasan satu desa.
Dengan bebekal pengetahuan yang dimilikinya, orang itu mengobati penduduk desa,
sembari juga ia mempelajari alasan mengapa Hamparan Hijau sampai bisa tumbuh
meluas seperti itu. Akhirnya sampailah ia pada kesimpulan bahwa kondisi
lingkungan dari Desa Ujung yang dekat dengan rimba dan gunung itu memang
kondusif untuk perkembangan Hamparan Hijau. Sedikit saja ada tambahan nutrisi di
air dan tanah lembab, Hamparan Hijau dapat berkembang dengan pesat secara gila-
gilaan. Setelah seluruh penduduk Desa Ujung sehat kembali sang penolong tersebut, yang
minta dirinya dipanggil Petapa Lain Pulau, mengajak penduduk desa untuk mengubah
desanya agar lebih sehat dan baik. Juga memberitahu perihal kelakuan Hamparan
Hijau yang lebih ganas karena didukung oleh kondisi geografis setempat. Dengan
tuntunan Petapa Lain Pulau, mulailah penduduk membagi desa dalam daerah-daerah
tertentu seperti yang saat ini. Dan Hamparan Hijau yang berada di dalam desa
dimusnakan, sedangkan yang berada di luar desa dibuang ke dalam Rimba Hijau,
dengan mengalihkan sedikit aliran sungai, dapat dirancang sedemikian rupa
sehingga jika terdapat Hamparan Hijau, suatu pintu air dapat dibuka, sehingga
akan mengalir masuk ke dalam Rimba Hijau. Dan sampah-sampah yang tadinya
mencemari di sekitar desa, dialihkan ke dalam hutan. Petapa Lain Pulau telah
mengamati bahwa di dalam Rimba Hijau terdapat pula komunitas Hamparan Hijau yang
tak kalah padatnya dibandingkan di sekitar desa, saat terjadi peristiwa
tersebut. Akan tetapi tidak tampak dari luar. Dengan demikian pembuangan kotoran
dari desa ke hutan, tidak akan merusak keseimbangan alam di sana. Untuk
memperingati hal tersebut nama Desa Ujung diganti menjadi Desa Luar Rimba Hijau,
yang mengisyaratkan bahwa para penghuni desa hanya diperbolehkan di luar Rimba
dan Gunung Hijau. Dan Petapa Lain Pulau berpesan bahwa ia akan berdiam di dalam
Rimba dan Gunung Hijau. Apabila ada musibah yang terjadi di Desa Luar Rimba
Hijau, ia dengan senang hati akan menolongnya. Begitu pesannya. Sejak saat itu
rimba dan gunung menjadi terlarang, dan juga menjadi lebih hijau dari
sebelumnya, karena ditambah dengan kabut hijau yang kadang-kadang nampak membuat
daerah tersebut menjadi lebih disegani untuk dimasuki.
Ki Baja menarik napas panjang setelah bercerita. Terlihat bahwa ia meskipun
menikmati dalam melantunkan kembali kisah tersebut, telah terbuang banyak
tenaganya. Tenaga kasar yang umumnya bertahan saat bertani, tidak sesuai untuk
digunakan saat mengungkapkan suatu cerita.
Asap yang sedari tadi mendengarkan dengan tekun, melihat bahwa Ki Baja seperti
ingin ditanya. Hal ini terlihat jelas dari wajahnya yang minta tanggapan. Dan
dalam waktu ini kebetulan Asap memang memiliki pertanyaan. Sebelum telah
diceritakan bahwa ia dan rombongannya telah bertemu dengan Ki Tapa, dan hal ini
diceritakan pula oleh Ki Tampar dan Ki Gisang, bahwa Ki Tapa adalah penghuni
Rimba dan Gunung Hijau. Akan tetapi dari kisah Ki Baja, penguni Rimba dan Gunung
Hijau adalah Petapa Lain Pulau. Oleh karena itu mengajukan pertanyaanlah Asap
mengenai hal tersebut. "Untuk itu ada baiknya, nak Asap bertanya langsung kepada Ki Tapa," jawab Ki
Baja, "sejauh yang saya tahu Ki Tampar dan Ki Gisang pun pernah bertanya hal
yang sama. Akan tetapi Ki Tapa mengaku tidak mengenal atau pernah bertemu dengan
Petapa Lain Pulau." \medskip
Asap pun mencatat itu dalam hatinya. Bila ia ada kesempatan untuk bertemu dengan
Ki Tapa lagi, akan dicoba untuk memuaskan rasa ingin tahunya tersebut. Yang
dalam mana ia tidak tahu bahwa akan ada suatu peristiwa yang akan mengubah jalan
hidupnya berkaitan dengan kisah di balik hubungan antara Ki Tapa dan Petapa Lain
Pulau ini. Bagian 4 -- Persaudaraan Ketiga Petapa
Orang yang belum melihat dan merasakan sendiri kejam dan brutalnya perang sudah
tentu tidak akan dapat menikmati kesehari-harian yang amat 'biasa' dan 'tenang'.
Kadang berita ketidakadilan di seberang lautan memicu orang untuk ikut campur,
dengan semangat menggebu-gebu berpendapat, bahwa salah satu pihak adalah salah
dan yang lain adalah benar. Bila ia dapat turut serta dalam konflik tersebut,
sudah dipastikan akan dilakukannya. Ia akan bertempur untuk membela kebenaran.
Berperang. Membunuh demi kemanusiaan. Ironis bukan, bahwa kedamaian yang dicita-
citakan haruslah diperoleh dengan pertumpahan darah, dengan melayangnya nyawa,
membumbungnya jerit tangis kesedihan orang-orang. Baik keluarga yang
ditinggalkan maupun para korban yang ditindas oleh para prajurit. Sudah bukan
rahasia lagi bahwa selalu terdapat korban dari luar lingkup para pelaku perang.
Orang-orang sipil. Orang-orang yang 'sah' untuk ditindas dalam keadaan darurat,
dirampas haknya, diperkosa kebebasannya, ditindas kemauannya, semua untuk
kepentingan penguasa. Kelompok yang memanggungkan konflik pertentangan berdarah,
demi kemanusiaan dan kedamaian.
Sedangkan orang-orang yang terlibat dalam perang, yang pada awalnya memang
terjun ke dalam perang karena dorongan rasa keadilannya, rasa kebangsaanya, akan
tetapi tetap disertai dengan rasa kemanusiaannya dan tidak terlarut dalam
kekejaman dan kenikmatan menyaksikan pembantaian sesamanya, umumnya memperoleh
hikmah yang dapat membuatnya benar-benar mensyukuri makna dari kedamaian dan
kehidupan yang 'biasa-biasa' serta tenang. Mereka-mereka ini akan berupaya
dengan segala tenaga, bakat dan pikirannya untuk selalu mencegah terjadinya
konflik, mencegah terjadinya perang kembali. Akan tetapi umumnya orang-orang
seperti ini tidak suka menonjolkan diri. Mereka lebih suka membantu
menyelesaikan permasalahan dan kemudian menghilang, tidak mengharapkan imbalan
dari hasil jasanya itu. Kedamaian dan senyum yang mengembang dari orang-orang
yang ditolongnya, sudah merupakan anugrah yang melimpah, cukup untuk dikenang
dan disyukuri oleh orang-orang seperti ini.
Adalah Petapa Lain Pulau yang merupakan murid dari murid dari murid, entah
keturunan keberapa, dari seorang ahli bela diri ternama Kang Sang Peng (Zhang
Sanfeng), yang berasal dari Tanah Daratan Tengah yang awalnya merupakan seorang
petapa pula, akan tetapi setelah ia meninggalkan perguruannya untuk hidup
sebagai orang biasa, ia melihat banyak hal yang merupakan kontradiksi dengan
yang diajarkan oleh perguruannya dalam berbagai filsafat yang menjelimet. Banyak
kenyataan-kenyataan yang membuatnya terkejut, bahwa orang sedikian mudah tergoda
oleh harta dan tahta. Pembesar menindas rakyat, pejabat menindas bawahan, dan
sebagainya. Dan hal yang paling menyedihkannya adalah terlibatnya ia dalam konflik untuk
melawan adik seperguruannya sendiri, yang menghambakan diri menjadi tentara
untuk menindas rakyat. Telah berulang kali ia bertemu dengan adik seperguruannya
dan membujuk agar ia meninggalkan kedudukannya sebagai tentara, yang saat itu
telah menduduki pangkat jendral yang mengepalai ribuan tentara, akan tetapi adik
seperguruannya selalu menolak. Bahkan di kali terakhir, adiknya mengajaknya
untuk bersekutu dengan tentara dengan janji-janji pangkat dan kemehawan. Kang
Sang Peng habis kesalabarannya dan sempat berujar bahwa mulai saat itu ia akan
menentang sang adik seperguruan dengan cara kekerasan, sampai sang adik
seperguruan menyadari kekeliruannya. Boro-boro menurut, karena ditegur dengan
keras, sang adik seperguruan malah menantangnya dengan keras, sambil mengatakan
bahwa Kang Sang Peng sebaiknya bersembunyi, karena mulai saat itu ia akan
memasang harga kepala sang kakak seperguruan sebagai orang yang dicari oleh
negara. Perseteruan antara dua saudara itu menjadi bumbu yang semakin meperumit
peperangan. Dan Kang Sang Peng dalam rangka melawan adiknya tersebut, terpaksa
bergabung dengan kaum pemberontak dan ikut bergerilya untuk menyerang pasukan
pemerintah. Setelah beberapa kali bertempur Kang Sang Peng menyadari bahwa
ilmunya tidaklah cukup kuat untuk melawan adik seperguruannya itu. Sang adik
telah belajar banyak dari berbagai guru pandai dalam kemiliteran sehingga
kemampuannya berkembang dengan pesat.
Dalam keadaan luka parah dan depresi, dengan masih ditemani oleh beberapa
temannya, kaum pemberontak, yang setia kepadanya, Kang Sang Peng menemukan bahwa
yang penting dalam pertempuran antara dua orang bukanlah hanya banyaknya jurus
atau kekuatan luar yang penting. Kesadaran tentang apa yang dilakukan dan
ketengangan dalam mengambil keputusan untuk menyerang atau mengelak itu pun
penting. Selain dari pada itu, untuk pertempuran dalam jangka waktu yang lama,
diperlukan siasat sedapat mungkin tidak banyak menghabiskan tenaga, jika bisa
manfaatkan tenaga lawan untuk menyerang dirinya sendiri. Seperti gerak
melingkar, membelokkan tenaga lawan, agar ia terpukul oleh tenaganya sendiri.
Dengan dasar pengetahuannya dalam bela diri Seni Bertempur (Wu Shu), ia
menciptakan ilmu yang dikenal sebagai Pukulan Tanpa Tanding (Taijiquan) yang
pada dasarnya lebih melatih kekuatan internal ketimbang eksternal. Dengan ilmu
baru ini Kang Sang Peng dapat mengalahkan adiknya untuk kemudian memusnahkan
ilmu silatnya dan mengirimkannya kembali adiknya kembali ke perguruan untuk
dihukum bertapa Menghitung Hari Menghadap Dinding selama sisa hidupnya.
Selanjutnya karena perbedaan padangan dan juga pencerahan yang diperolahnya,
membuat Kang Sang Peng kembali meninggalkan perguruannya untuk membuka
kelompoknya sendiri yaitu Perguruan Gu Dang (Wudang), yang dalam mengembangkan
bela dirinya lebih menitikberatkan pengembangan bagian dalam tubuh ketimbang
luarnya. Gerakan-gerakan yang diajarkan akan berguna untuk membangun sirkulasi
hawa dalam tubuh. Pada penggunaannya dalam pertempuran, untuk murid yang telah
ahli, aliran hawa itu akan dengan sendirinya mengalir menuruti pikiran. Oleh
karena itu walaupun gerakan-gerakan yang dilatih tidak terlihat berguna, akan
tetapi perasaan bagaimana hawa digerakkan itulah yang penting. Setelah tahu cara
hawa digerakkan dalam tubuh, dari pusat di bawah pusar menuju suatu bagian
tubuh, gerakan yang dimaksud sudah tidak diperlukan. Hanya pikiran yang
dibutuhkan. Akan tetapi sebelum menjadi ahli gerakan-gerakan tersebut merupakan
sarana untuk membantu melakukan visualisasi.
Jika Petapa Lain Pulau adalah murid dari Perguruan Gu Dang, maka lain halnya
dengan Petapa Seberang, yang berasal dari Negeri Matahari Muncul. Sang Guru Tua
(O Sensei) adalah seorang ahli bela diri yang mengalami pencerahan yang salah
satunya juga akibat adanya perang. Morehe Uwesiba (Morihei Ueshiba) yang dulunya
juga telah merupakan seorang ahli bela diri, memperoleh tiga kali pencerahan
yang membawanya pada penciptaan ilmu barunya Jalan Selaras dengan Alam Semesta
(Aikido). Pencerahan pertama yang diperoleh sang Guru Tua Morehe Uwesiba terjadi
saat ia melawan seorang seorang jago pedang kondang yang menyerangnya dengan
ganas, akan tetapi berhasil dikalahkannya dengan tangan kosong dan juga tidak
melukai sang penyerang. Setelah itu Guru Tua Morehe Uwesiba pergi ke taman dan
tiba-tiba tanah bergetar, uap keemasan bergelombang muncul dari dalam tanah dan
menyelimuti dirinya. Sang Guru Tua merasakan dirinya berubah menjadi wujud
keemasan, dan terlihat bahwa tubunya menjadi seringan bulu. Pada saat itu ia
menyadari sifat alami dari penciptaan: Jalan Pendekar adalah untuk mewujudkan
Cinta Suci, suatu jiwa yang merangkul dan menghidupi semua hal.
Pencerahan berikutnya diperoleh Guru Tua Morehe Uwesiba 180 pergantian bulan
berikutnya, saat masih dini hari dan baru sebentar lewat tengah malam. sang Guru
Tua sedang melakukan ritual pembersihan, secara tiba-tiba ia tidak ingat sama
sekali semua jurus-jurus yang pernah dipelajarinya. Semua jurus dan kembangan
yang diturunkan oleh gurunya, terlihat oleh Morehe Uwesiba sebagai sesuatu yang
sama sekali baru. Mulai saat itu ia memandang bela diri sebagai sarana untuk
mengembangkan kehidupan, ilmu pengetahuan, pengobatan dan kebaikan, dan bukan
lagi alat untuk melembar dan menangkap orang seperti sebelumnya dipelajari.
Dua puluh empat pergantian bulan berikutnya, saat mana hampir semua kerajaan-
kerajaan dari segala penjuru saling berperang, Guru Tua Morehe Uwesiba kembali
mendapatkan pencerahan mengenai Roh Perdamaian Agung. Dalam pencerahannya ini,
ia memahami bahwa pengertian mengenai Jalan Pendekar telah disalahartikan
sebagai alat untuk membunuh dan menghancurkan pihak lain. Mereka-mereka yang
mencari persaingan telah membuat kesalahan besar. Menyerang, melukai dan
menghancurkan adalah kesalahan terburuk yang dilakukan oleh orang-orang. Jalan
sebenarnya dari Jalan Pendekar adalah mencegah pembantaian, dinamakan - Seni
Patung Emas Kaki Tunggal 10 Pendekar Rajawali Sakti 11 Jago Jago Bayaran Cincin Maut 9
^