Pencarian

Sengatan Satu Titik 1

Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo Bagian 1


Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sengatan Satu Titik Karya : Gedungsongo di Indozone
Ebook oleh : Dewi KZ TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
Huruf, rentetan Kata, dan gerbong-gerbong kalimat adalah
sebuah dunia tersendiri, sama halnya seperti cersil. Ia tegak
bukan karena kita harus menerimanya sebagai mau tidak
mau, ia ada karena kita menginginkannya dan bersemangat
didalamnya. Masuk dalam cersil, bagi saya, seperti masuk dalam dunia
yang penuh harapan, hal tak terduga, dan asik. Ia mungkin
khayal, tapi karena kita terus menapakinya, ia seperti garis
meredian, yang semu, tapi sekaligus tak bisa dilupakan.
0odwo0 Bab I, Naik ke surga dalam 30 hari
Wajahnya dingin kaku. Sikapnya acuh tak acuh. Segala apa
tidak diperdulikannya, segala apa tidak dipusingkannya. Bukan
saja amat jarang berbicara, bahkan mendongakkan kepala
pun rasanya amat berat. Tapi sekalipun ia tidak terlalu suka berbicara, sepasang
kakinya jarang sekali diam. Berjalan adalah pekerjaannya,
nafasnya, bahkan hidupnya. Cara berjalannya juga rada-rada
istimewa. Langkah kakinya tidak terlalu cepat, tapi sangat
lebar. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karena ia sangat suka berjalan, maka ia juga tidak punya
rumah. Rumahnya adalah dimana bumi ini menghampar,
dimana langit memayungi. Sepasang matanya hanya terbuka setengahnya saja. Tapi
dari sepasang mata yang kelihatan redup itu seolah - olah
tersimpan sembilu. Bagaikan mata golok yang terendam
dalam selapis sinar kedukaan.
Melihat kerut di keningnya, sinar redup di matanya dan
badannya yang kurus kering, orang tidak akan menyangka
kalau dia baru berusia dua puluh tujuh tahun.
Kini ia sedang berdiri di depan sebuah jembatan sungai.
Banyak orang yang lalu lalang di atas jembatan itu. Ada
beberapa adalah para muda - mudi tapi kebanyakan adalah
bapak dan ibu - ibu paruh baya. Tampaknya mereka adalah
penduduk desa yang sedang berangkat ke pasar. Namun
semua itu tak di acuhkan oleh pemuda itu. Sikapnya tetap
menyendiri, namun kali ini matanya tajam menatap lekat -
lekat ke depan. Di seberang jembatan itu, beberapa ratus tombak ke depan
sana menjulang satu puncak kebiru-biruan. Dengan awan
putih yang menggantung di bagian puncak, petak - petak
sawah yang terpeta samar - samar, membuat lereng Sindoro
ini bagaikan satu pasak teguh. Melambangkan kekukuhan,
kegagahan juga kesederhanaan.
Pemuda itu menghembuskan nafas panjang. Perlahan -
lahan matanya mulai meredup. Sudah setengah harian ia
berdiri di sana. Selama ini sebenarnya ia tidak pernah ragu
untuk melangkah. Tempat apapun, baik itu kandang naga
atau gua harimau tidak sedikipun menyurutkan langkahnya.
Sekalipun di depannya adalah lautan api, tidak akan membuat
matanya berkedip. Tapi sekali ini ia terpaksa menahan langkahnya. Di depan
sana adalah desa tempat asalnya, tanah kelahirannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sekalipun merupakan bumi dimana dia tumbuh, tempatnya
bermain, bercengkrama, tapi juga adalah tempat yang
menorehkan luka panjang di hatinya. Luka yang benar - benar
amat parah. Sebenarnya ia sudah bersumpah tidak akan menginjakkan
kakinya ke atas sejengkalpun tanah desa ini. Dan ia pun tidak
pernah bermaksud untuk menarik sumpahnya. Tapi masa
hidupnya tinggal tiga puluh hari lagi. Racun Naik ke surga
dalam 30 hari terlalu ganas untuk dipunahka dengan obat
apapun. Benar ia tidak pernah gentar menghadapi kematian,
ia juga sudah tidak merasakan hidupnya di dunia ini berarti.
Tapi sebelum mati setidaknya ia ingin sekali saja melihat
pusara ibunya. Sekali saja ia ingin mengunjukkan kebaktian
yang terakhir terhadap orang yang melahirkannya itu.
Perlahan - lahan ia melangkah ke depan. Pakaian lusuh
yang dikenakannya berkibar tertiup angin. Angin pegunungan
yang sejuk. Lamat - lamat sejalur udara segar mengusik
dadanya. "Ki sanak ...... tolong berhenti dulu. "
Pemuda kita sejenak menghentikan langkahnya. Tiga
langkah di depan berdiri tiga orang anak muda berpakaian
pengawal dengan masing - masing menyoreng golok.
"Ki sanak agaknya bukan penduduk desa sini?" Tanya salah
seorang pengawal itu yang bertubuh gemuk.
"Benar" jawab pemuda itu sambil menghela nafas.
"Siapakah nama ki sanak?"
Pemuda kita sedikit tersenyum, "Apa setiap orang yang
lewat di desa ini harus menyebutkan nama?"
Pengawal gemuk itu sedikit mengerutkan kening,
"Setengah bulan ini keadaan tidak begitu aman, rampok dan
maling meraja lela, untuk ini kami perlu sedikit berhati - hati
terhadap orang asing yang lewat."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pengalihan wahyu keprabon dari majapahit ke demak tidak
dapat di sangkal walaupun merupakan hal wajar sebagaimana
yang terjadi antara kerajaan satu dengan kerajaan yang lain
sejak berabad - abad yang lalu tapi juga menimbulkan
kesempatan baik bagi pihak - pihak yang ingin mengail di air
keruh. Pemuda kita menjawab, "Aku bahkan tidak membawa
sepotong pisau pun, apa kau sangka aku akan merampok atau
mencuri?" Tiba - tiba salah satu pengawal itu tertawa, "Di dunia ini
memang tidak pernah ku lihat penjahat yang memasang
merek di mukanya" "Aku tidak berniat buruk, untuk ini bolehlah kepalaku
sebagai jaminannya."
"Memangnya kepalamu itu berharga berapa duit" Lagi pula
sekalipun kau tidak ada niat jahat, tapi desa kami juga tidak
biasa kedatangan kawanan pengemis segala" jawab pengawal
yang otot - ototnya kelihatan menonjol keluar.
Pemuda kita mengerutkan kening, otot - otot di matanya
sedikit berkedut tapi sedetik kemudian wajahnya kembali
dingin tanpa ekspresi. Setelah menghela nafas, ia bermaksud membalikkan tubuh.
Tiba-tiba terdengar derap kuda. Beberapa ekor kuda
mendatangi dari sebelah depan. Mulanya beberapa kuda itu
akan terus saja keluar dari batas desa, tapi begitu seorang
yang mengendarai kuda putih besar melihat pemuda kita
seketika ia menarik tali kekang kudanya. Dengan sendiri
beberapa orang di belakangnya juga turut menghentikan
kudanya. Ketika kuda putih itu berhenti di depan gardu pengawal
seketika ketiga pengawal itu membungkukkan badan mereka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seorang tinggi besar yang duduk di atas kuda putih itu
sedikit menganggukkan kepala, lalu matanya lekat - lekat
mengawasi pemuda kurus kering itu.
"Kau........apakah Aryadipaloka?" tanyanya setengah tergagap. Ketika mendengar nama ini seketika ketiga pengawal itu
juga melengak. Aryadipaloka adalah anak dari Demang
mereka. Kabarnya tujuh tahun lalu ia bertarung sendiri dengan
Ayahnya. Sekalipun pada pertarungan itu ki Demang
mengalami luka berat terbabat golok, tapi tiga jari
Aryadipaloka sendiri juga terpapas keris.
Ketika ketiga pengawal itu diam - diam mengamati jari -
jari pemuda kurus kering itu benar saja pada tangan kanannya
tinggal tersisa dua jari.
"Kau....benar - benar Aryadipaloka?"
Pemuda itu yang memang adalah Aryadipaloka hanya
terdiam. Tidak menyangkal juga tidak mencegah. Wajahnya
tetap dingin tanpa ekspresi. Betapapun luka perih pada tujuh
tahun yang lalu tidak dapat di lupakannya.
Setelah yakin dengan matanya segera laki -laki paruh baya
tinggi besar itu meloncat turun dari kudanya. Lalu dengan air
mata berlinang dipegangnya ke dua bahu Aryadipaloka.
"Akhirnya kau pulang. Aku tahu kau pada akhirnya akan
pulang......" ucap ki Demang Kebo Sora setengah berbisik.
Ekspresi wajah Aryadipaloka tetap dingin kaku. Sama sekali
tidak memperlihatkan suatu emosi. Bahkan pokok kayu yang
tumbuh di tepi jalan itu sedikitnya masih lebih berperasaan
dari pada ekspresi wajahnya.
"Aku tidak mengenalmu"
Itulah kalimat pertama yang diucapkannya. Kalimat yang
membuat hati K i Demang remuk redam. Meskipun benar pada
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tujuh tahun yang lalu ia tidak dapat mengendalikan dirinya
sehingga sampai bertarung dengan putranya ini, namun kasih
sayangnya sebagai Ayah lambat laun mengikis hawa
amarahnya. Tidak ada seorang Ayah yang benar - benar
membenci putranya, seperti juga tidak ada gulungan awan
yang benar - benar menutupi langit.
Setelah mengatakan satu kalimat ini, dengan langkah lebar
Arya berbalik meninggalkan tapal batas kademangan dipa
saloka. Beberapa orang lantas saja memperlihatkan wajah
gusar. Mereka hanya melihat punggung Arya yang kurus
kering, langkahnya yang lebar, wajahnya yang dingin kaku.
Tapi tidak ada yang memperhatikan bahwa tiba - tiba saja
matanya berkedut, bahkan dirinya sendiri pun tidak ingin
memperhatikannya. Sepasang tangan Ki Demang terkepal kencang. Mendadak
ia pun menyadari satu hal. Untuk beberapa hal, satu
kesalahan yang kau buat cukup untuk membuatmu menyesal
seumur hidup. Ia paham benar perasaan yang berkecamuk di
dada anaknya. Maka ia pun tidak mengejar putranya itu.
~dewikz~ Rembulan bersinar penuh. Malam ini adalah malam
purnama. Lembutnya sinar bulan membias di hamparan air
telaga. Arya tersenyum. Telaga ini masih seindah dulu. Ia
ingat, setiap malam purnama ibunya akan mengajaknya
menikmati cahaya rembulan di tepi telaga ini, bersama dengan
adik perempuannya. Mendengarkan cerita tentang si tolol
yang meceburkan dirinya ke dalam telaga karena ingin meraih
bulan. Maka ia menamakan telaga ini sebagai telaga Bulan.
Sewaktu ibunya menceritakan hal ini, ia dan adik
perempuannya akan tertawa tergelak. Lepas dari segala
kesedihan, susah dan berbagai perasaan tidak enak lainnya.
Tetapi sekarang, sekalipun telaga masih seindah dulu, tapi
hatinya sudah tidak senyaman dulu. Saat ini yang
dirasakannya hanyalah sesuatu yang sama sekali tidak enak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba-tiba pucuk alang-alang di depan sana bergerak-
gerak. Lalu telinga Arya mendengar langkah-langkah halus.
Seperti seekor kucing yang berjalan di atas atap.
Arya tahu ada seorang berkepandaian cukup tinggi sedang
mendatangi. Bukan saja ilmunya cukup tinggi, ilmu ringan
badannya bahkan boleh di bilang kelas satu. Tapi Arya bahkan
tidak memalingkan wajahnya. Pengalaman telah membuat
Saraf-saraf di tubuhnya tergembleng lebih kuat dari baja.
Sekalipun tiba-tiba muncul seekor naga berkepala dua belas,
matanya bahkan tidak akan berkedip.
Langkah - langkah halus itu berhenti 4 meter di
belakangnya. Mendadak satu jalur dingin dirasakannya
menusuk punggung. Tanpa menoleh pun Arya tahu sebatang
pedang dengan tenaga yang menakutkan menyerang
punggungnya. Kalau orang lain di serang demikian maka ia
akan melenting ke atas, lalu mendarat berbareng dengan
membuat serangan balasan.
Tentu saja Arya tahu apa yang harus ia lakukan. Tapi entah
kenapa ia malah tidak melakukan satu gerakan pun. Seakan-
akan ia adalah seorang tuli. Padahal, bahkan seandaianya ia
seorang tuli pun ia seharusnya mendengar deru angin
serangan itu. Menunggu ujung pedang itu tepat menyentuh punggungnya, tiba-tiba pinggangnya tertekuk ke depan.
Hanya lewat satu inci mata pedang itu lewat di atas
punggungnya. Ini adalah gerakan luar biasa. Membutuhkan
keberanian dan ketepatan akurasi. Tapi dengan membuat
gerakan ini Arya sama saja melemparkan dirinya dalam satu
sudut mati. Waktu itu ia sedang duduk. Dengan melakukan
gerakan seperti ini sama saja ia membuka punggunya lebar -
lebar dan menutup ruang geraknya.
Penyerang gelap itu tampaknya tidak mengira Arya akan
melakukan gerakan seperti ini. Maka untuk sedetik pedangnya
berhenti di udara sebelum tiba - tiba menebas kebawah. Tapi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ia telah terlambat, dan keterlambatan inilah yang diinginkan
Arya. Waktu satu detik baginya lebih dari cukup untuk
mengubah titik balik. Mendadak dengan masih membungkuk tubuhnya melesat
ke belakang, lalu dengan satu sentilan pelan di badan pedang
ia sudah membuat penyerang gelap itu terpaksa melepaskan
pedangnya. "Ih.." satu jerit tertahan terdengar. Suara seorang
perempuan. Sentilan pelan dari Arya telah membuat tangan
kanannya kehilangan tenaga, bahkan separo badan bagian
kanan juga terasa mati rasa.
Sementara itu entah sejak kapan bergerak Arya sudah
duduk kembali ke tempatnya semula. Ekspresi wajahnya juga


Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak mengunjukkan suatu perubahan. Seakan - akan tidak
pernah terjadi sesuatu. Matanya masih lekat memandangi air
telaga. "Kakang Arya......", suara yang bening lembut mengusik
gendang telinga Arya. Mendengar panggilan ini otot - otot di sekitar mata Arya
tiba-tiba berkedut. Sedetik kemudian kepalanya berpaling.
Sekilas senyum terbentuk di wajahnya yang pucat.
"Dewi........kaukah?"
"Ini aku kakang......." Jawaban ini hampir berupa isak
tangis. Seorang gadis dua puluhan berdiri empat kaki dari tempat
Arya duduk. Gadis itu yang wajahnya bagai kuntum bunga
mawar yang sedang mekar, dengan sepasang mata bulat
bening. Benar - benar seperti bulan purnama yang
mengambang di telaga. Satu jalur embun tampak terpeta di
ujung ke dua matanya yang bulat bening.
Sekalipun malam cukup gelap, tapi Arya dapat melihat
dengan jelas sepasang mata yang bulat bening itu. Sepasang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mata yang bersinar manja. Sepasang mata yang hampir tidak
berbeda dengan matanya sendiri. Karena inilah adik
kesayangannya. Selang sejenak kemudian sepasang kakak beradik ini sudah
duduk berdampingan di pinggir telaga itu.
"Kakang....sudah hampir tujuh tahun kau meninggalkan
kami. Waktu kau baru pergi dulu setiap hari aku selalu
mencarimu kemana - mana. Tapi tidak peduli kemana ku cari,
bahkan sebatang rambutmu pun tidak ku temukan. Lalu orang
- orang mengatakan kau ....."
"Sudah mati".....", sahut Arya sambil tersenyum.
"Ya...mereka mengatakan kau terluka berat karena terkena
keris Ayah. Lalu ada orang menemukan mayatmu yang
tercabik - cabik bekas dimakan harimau di tepi hutan sebelah
sana" tutur Dewi. Arya hanya tersenyum. "Sebenarnya kau kemana selama ini?" Tanya Ratno Dewi
sambil berpaling memandang wajah kakaknya. Wajah yang
kurus dan pucat, walaupun sorot matanya kelihatan lebih
hangat. "Aku tidak kemana - mana. Aku hanya berjalan - jalan"
"Jalan - jalan...?""
"Ya....kau tidak percaya?" mata Arya berkedip - kedip.
Sikapnya seperti seorang kakak yang menyembunyikan gula-
gula di belakang bajunya.
Ratna Dewi sejenak menatap kakaknya, sebelum akhirnya
tertawa, "Kalau toh kakang tidak mau memberitahukan cerita
perjalananmu itu juga buka soal, Cuma setidaknya kau harus
memberikan oleh - oleh kepadaku"
Arya tertawa, "Anak nakal, sedang baju saja harus ku
tambal beberapa puluh kali, apa yang bisa ku bawa untukmu"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kalau kakang juga tidak membawa sesuatu untukku, maka
kakang harus melakukan sesuatu untukku" ucap Ratna Dewi
sambil melirik kakanya dengan ujung mata.
"Dari dulu, apa permintaanmu yang tidak ku turuti?"
"Baik......kalau begitu kau sudah meluluskan?"
"Ehm....apa yang kau inginkan?"
Ratna Dewi terdiam sejenak. Lalu sambil menatap mata
kakaknya lekat - lekat ia berkata, "Aku ingin Kakang pulang ke
rumah" Ucapan Adiknya ini membuat Arya melengak, untuk sesaat
ia tidak berkata apa - apa.
"Ingat.....kakang sudah berjanji meluluskan."
Setelah agak lama terdiam, akhirnya sebuah senyuman
kesal tersungging di bibir arya, "Sejak kapan kau berubah
menjadi seekor rubah cilik"
Ratna Dewi tertawa, "kakang harus ingat bahwa kakang
sendiri adalah seekor rubah tua, lalu bagaimana adiknya tidak
menjadi seekor rubah cilik?"
_________ Rumah besar berbentuk joglo itu masih seperti dulu.
Atapnya yang berbentuk sepasang tanduk banteng, tiang -
tiang yang hitam mengkilat. Dibawah siraman cahaya bulan,
rumah joglo itu seperti menyimpan keangkeran dan aura gaib.
Arya memandang rumah itu seperti terkesima. Itulah
rumah yang memberinya kehidupan, menyuapinya dengan
perasaan kasih, mengukir seribu kenangan di hatinya.
"Kakang ..... ayo masuk" kata-kata Ratna Dewi
menyadarkannya. "Kau masuklah terlebih dulu"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kakang......" tidak sampai Ratna Dewi menyelesaikan kata
- katanya mendadak terdengar suara derit pintu yang dibuka.
Bersamaan sorot cahaya lampu yang menerobos keluar, satu
sosok tinggi besar tampak menuruni undakan pintu.
"Dewi...kaukah?" suara Ki Demang terdengar memanggil,
"Cepatlah masuk...kau bersama siapa?"
"Aku bersama......" Ratna Dewi bermaksud menjelaskan
keberadaan kakaknya. Tapi ketika ia menoleh ia tidak melihat
siapa - siapa lagi di sampingnya.
Akhirnya dengan senyum kesal, ia memandang Ayahnya.
"Tidak bersama siapa - siapa"
Ki Demang hanya mendengus, "Kau pasti jalan - jalan
bersama Mahesa Manunggal itu"
Bola mata Ratna Dewi membelalak lebar, wajahnya segera
merona merah, "Untuk apa aku berjalan - jalan dengan orang
itu?" omelnya dengan mulut menjengkit.
Ki Demang tersenyum, "Sudahlah, dari dulu aku tahu
diantara kalian ada apa - apa. Cuma kalau harus pacaran
sampai larut malam begini betapapun kau juga harus ingat
kedudukanku, apalagi keadaan akhir - akhir ini tidak begitu
aman" Ratna Dewi tidak menjawab. Setelah menjejakkan kakinya
berulangkali, dengan wajah merengut akhirnya Ratna Dewi
masuk ke rumah joglo itu.
Sinar bulan masih cukup terang menerangi hamparan desa.
Meskipun demikian juga tidak cukup untuk menerangi sebuah
bayangan hitam di balik atap rumah joglo itu. Sebuah
bayangan yang memandang dengan sinar mata aneh. Seperti
kedukaan, kerinduan, tapi juga dendam.
Setelah Ratna Dewi masuk rumah, Ki Demang ternyata
tidak ikut masuk. Ia hanya berdiri terdiam di halaman.
Sosoknya yang tinggi besar di tengah kegelapan malam
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bagaikan sebuah pohon tua. Sekalipun tampak sangat kuat
dan kokoh, tapi juga kelihatan sangat tua dan lelah. Entah
berapa lama lagi akar - akarnya masih akan kuat menahan
terpaan badai dan angin. Setelah sekian lama berdiri diam di halaman, akhirnya
perlahan - lahan Ki Demang melangkahkan kakinya. Tapi
bukannya menuju ke dalam rumah sebaliknya ia berjalan ke
arah pintu gerbang, lalu berbelok ke sebelah utara, memyusuri
jalan setapak. Suara jangkrik dan belalang malam lainnya
bercicitan tak henti - hentinya. Saat ini adalah akhir musim
penghujan. Sebentar lagi musim panen akan tiba. Saat yang
menggembirkan, juga saat yang menakutkan. Maklumlah,
kalau ada gula tentu juga ada semut.
Setelah menyusur petak - petak sawah dan beberapa kali
memeriksa aliran air, akhirnya ki Demang tiba di sebuah tanah
lapang. Di hamparan tanah lapang itu terbayang tanah -
tanah menonjol. Dua buah pohon beringin besar tegak di
kedua sisi tanah lapang itu. Sebuah pemakaman.
Setelah tiba di pemakaman, ki Demang segera melangkah
ke sisi paling barat. Menuju ke sebuah makam yang tampak
terawatt bersih, tapi juga sangat sederhana. Hanya letaknya
yang berada di s isi paling barat itu membuatnya terbebas dari
bayangan pohon beringin sehingga sinar bulan bebas
menerangi ke seluruh sisi makan itu. Pemandangan yang
menyiratkan rasa khidmat, keterlepasan dari dunia luar dan
kesahajaan. Ki Demang berdiri di depan makam itu beberapa lama.
Tubuhnya tidak bergerak, juga tidak ada suara yang keluar
dari mulutnya, hanya suara nafasnya yang terdengar agak
tersengal. Di tengah rasa khidmatnya tiba - tiba telinga Ki Demang
mendengar suara nafas di sampingnya. Telinganya sangat
tajam, reaksinya sangat cepat. Tanpa menunjukkan tanda -
tanda sebelumnya, tangannya melayang ke samping. Yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
digunakannya adalah sejenis ilmu cakar elang, sebelum
serangan tiba angin yang di timbulkannya sudah berkesiur
mengiris kulit. Si pengintip itu juga agaknya sudah menduga reaksi dari K i
Demang. Begitu serangan tiba, seketika ia juga berjumpalitan
ke atas, lalu dengan gerak burung walet meneguk air
tubuhnya sudah hinggap di salah satu pohon beringin.
Sepertinya tidak bermaksud melancarkan serangan balasan.
Ki Demang tertawa dingin, "Sudah lama ku dengar nama
kelelawar bersayap tunggal, tak tersangka sudi mampir di
desa terpencil ini. Sungguh suatu kehormatan bagiku."
"Matamu tajam Kebo Sora. Tampaknya kepandaianmu juga
meningkat pesat." Sebuah suara yang serak menjawab. Suara
yang keluar dari kerongkongan yang pecah.
"Ilmu ringan tubuh kelelawar bersayap tunggal di sohorkan
sebagai nomor satu di sepanjang Bengawan Solo, ku kira kau
tidak perlu menjilat pantatku", kata Ki Demang dingin.
Kelelawar bersayap tunggal tertawa panjang, "Otakmu
benar - benar kau gunakan dengan baik Kebo Sora"
Ki Demang kebo sora tertawa dingin, "kalau otakku tidak
kugunakan dengan baik, mungkin sekarang ini akan
merepotkanmu untuk membersihkan kuburanku"
Sang kelelawar kembali tertawa panjang, "Baik, mengingat
kau sudah lebih dahulu berprasangka, aku tidak akan sungkan
mengatakan maksud tujuanku"
Ki Demang hanya mendengus.
"Tujuan kedatanganku ini hanya minta sedikit bantuanmu"
Ki Demang masih terdiam. "Ku tahu bahwa kademanganmu ini termasuk kademangan
paling kaya di wilayah pesisir utara sini. Sudah berpuluh tahun
kau menikmati hasil kemakmuranmu itu........."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Lalu sekarang setidaknya aku harus membagi sedikit
untukmu. Begitu bukan?" potong ki Demang.
Kelelawar bersayap tunggal tertawa, "Kau toh sudah terlalu
kaya, apa salahnya sekarang kau sedikit menghemat?"
Ki Demang tertawa dingin, "Ku kira melulu kemampuanmu
tidak akan sebesar ini"
Mendadak tertawa panjang, melengking nyaring, mirip
klenengan rusak yang dibunyikan keras-keras, "Otak Ki
Demang benar-benar sehat dan terang"
"Sekalipun otaknya cukup sehat, tapi kukira tangannya itu
sudah tidak begitu sehat lagi", satu suara lain, yang cemprang
dan terdengar menggelikan, terdengar dari sudut barat.
Sekalipun suara orang ini terdengar lucu, tapi sekali kau
melihat orangnya, pasti kau tidak akan sanggup tertawa lagi.
"Sepasang dedemit bukit perahu juga datang. Sungguh
hatiku senang tak terkatakan. Entah siapa tamu agung lainnya
yang sudi berkunjung di Kademanganku yang terpencil ini. ",
Suara Ki Demang tetap tenang dan dingin. Tampaknya sama
sekali tidak terpengaruh dengan kehadiran makhluk-makhluk
menyeramkan ini. "Gabungan Sepasang dedemit bukit perahu dan Kelelawar
bersayap tunggal memangnya tidak cukup untuk memampuskanmu dan perlu tambah orang lagi. " ujar Demit
Laki-laki dingin. Ki Demang tertawa dingin, "Ya, memangnya rejeki kalau
dibagi terlalu banyak orang akan menjadi tidak menarik lagi"
"Kalau sudah tahu kenapa tidak lekas bunuh diri saja?"
Bentak Demik Perempuan. Belum habis suaranya sebilah
gaetan berwarna hitam gilap mendadak sudah berjarak
beberapa senti dari leher Demang Kebo Sora. Angin mencicit
tajam, bersamaan dengan itu bau amis membuyar. Terang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
selain sangat tajam, gaetan hitam itu juga dilumuri racun
mematikan. Demang Kebo Sora mendengus dingin, kakinya tidak
bergerak, mendadak tubuh bagian pinggang ke atas meliuk ke
belakang seakan-akan tiba-tiba patah. Bersamaan dengan itu
kakinya memutar. "Ihh..." Demit perempuan menjerit kaget. Tak disangkanya
gerak tubuh Demang Kebo Sora benar-benar licin. Bukan saja
sepasang cakarnya elangnya yang menderu dahsyat, bahkan
tulang-tulang di tubuhnya pun serasa lemas bagai karet. Inilah
perpaduan lemas dan keras yang hebat.
Begitu gaetan hitam milik Demit perempuan menabas,
tentu saja gaetan putih Demit laki-laki dan Payung Tulang
Kelelawar tak ketinggalan.
Dalam waktu singkat, tanah pekuburan itu jadi ajang
pertempuran yang ramai. Selang beberapa kentungan kemudian, tiba-tiba Ki Demang
bersuit nyaring, tubuhnya melompat tinggi. Dalam siraman
sinar bulan, tubuhnya seperti elang raksasa yang mementang
sepasang sayap cakar-cakarnya yang tajam.
Bersamaan dengan itu puluhan batang anak panah tiba-tiba
melesat dari berbagai sudut ke arah Kelelawar Bersayap
Tunggal bertiga. Seketika ketiga orang ini menjadi s ibuk.
"Keparat cari mampus", bentak Demit Laki-laki geram.
Namun belum sempat ia menerobos maju, mendadak
tempat itu jadi terang benderang. Puluhan batang obor
dinyalakan, di pegang oleh sekitar lima puluh anak muda yang
masing-masing juga menghunus sebatang pedang. Ditambah
dengan orang-orang yang melepaskan anak panah, jumlah
keseluruhan orang-orang yang mengelilingi tempat itu sekitar


Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seratus lebih. "Lemparkan tepung" Teriak Ki Demang tiba-tiba.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Belum habis gema suara Ki Demang, tepung gandum pun
menghambur layaknya kabur yang turun mendadak. Karuan
keadaan ini tambah menyulitkan ketiga gembong perampok
itu. Betapa pun tingginya ilmu silat seseorang, tapi dihujani
dengan anak panah dari berbagai arah, dtambah sawuran
tepung yang membuat pandangan mata terhalang, mau tidak
mau pucat juga muka ketiga gembong perampok itu.
"Setan..Aihh", Jerit Demit Perempuan tiba-tiba, rupanya
sebatang anak panah bersarang telak di pahanya.
"Sial", Geram Demit Laki-laki.
Mendadak Kelelawar bersayap tunggal bersuit nyaring,
"Kedua sahabat, maaf tidak bisa menemani". Dengan
sampokan payungnya ia meruntuhkan delapan anak panah
yang mengarah tubuhnya, lalu tubuhnya melesat melewati
dua anak muda yang memegang obor, kemudian menghilang
di pekatnya rimbunan pohon.
Si Demit laki-laki, setelah sekali mengumpat, ia juga segera
meraih pinggang Demit perempuan. Tapi belum tangannya
menyentuh tubuh gendaannya itu angin yang berkesiur tajam
menyambar punggunya. Dengan cepat ia membalikkan
gaetaannya ke belakang. Tak tersangka serangan itu cuma
tipuan, belum sempat ia menyadari, cakar elang Ki Demang
menyambar tepat di leher Dem it Perempuan. Sekali terdengar
suara "Kreek" tamatlah riwayat Setan perempuan itu.
"Tarmi..", Demit Laki-laki berteriak kaget. Lalu dengan
teriakan nyaring ia sudah menerobos barisan panah dan hilang
di pekat malam. Sejenak kemudian areal pekuburan itu pun kembali senyap.
"Berapa yang terluka?" Tanya Ki Demang setelah terdiam
beberapa lama. "Lima orang terluka ringan," Jawab seorang pemuda
bernama Pacak Warak. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kening K i Demang berkerut, "Hanya terluka ringan?"
"Memangnya belum cukup?" timpal Pacak Warak sambil
menyeringai. Ki Demang tersenyum maklum, "Sekalipun semua laskar
menggunakan rompi baja, tapi melihat terjangan kedua
siluman itu sedikitnya harus ada beberapa orang yang mati"
Seorang tua dengan sepasang lengan kokoh mendahului
menjawab, "Kau benar, Cuma ketika kedua iblis itu menerjang
terjadi suatu kejadian menarik"
Kening Ki Demang kembali berkerut, "Kenapa aku tidak
melihatnya?" Orang tua itu, yang agaknya adalah Jagabaya Kademangan
itu menarik nafas panjang, "Jangankan kau, sekalipun aku
yang secara langsung diterjang oleh Demit Laki-laki itu pun
tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku hanya merasakan
ketika gaetan putih itu hampir mencantolo leherku tiba-tiba
Demit Laki-laki itu menjerit kaget. Lalu gaetan putihnya
mendadak terjatuh. "
"Senjata rahasia yang lihai", puji K i Demang. Maklum orang
yang dapat menjatuhkan gaetan putih Demit Laki-laki dengan
senjata rahasia tidaklah banyak di dunia ini.
Mulut Ki Jagabaya tersenyum aneh, "Sesungguhnya tidak
pantas kalau disebut senjata rahasia, melainkan hanya
sebatang ranting kecil saja"
Ki Demang segera melihat bahwa di tangan kanan orang
tua kepercayaannya itu tergenggam sebatang ranting yang
agaknya di petik dari rerimbunan pohon akasia di seputar
pekuburan. "Dengan sebatang ranting kecil ini dia sanggup memukul
jatuh gaetan putih Demit Laki-laki. Di dunia ini ternyata ada
ilmu s ilat sehebat ini", Gumam Ki Demang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Orang seperti itu ternyata kawan dan bukan lawan,
sungguh membuatku lega", ujar Ki Jayabaya.
Mata Ki Demang mengerling, "Dari mana kau tahu kalau dia
kawan dan bukan lawan?"
Mata Ki Jagabaya terbelalak bingung.
"Kalau dia musuh, untuk apa dia membantu kita?", sahut
Pacak Warak cepat. Ki Demang menghela nafas panjang, "Aku juga tidak tahu,
mungkin dia pun berpendapat kalau keuntungan dibagi terlalu
banyak akan menjadi tidak menarik lagi. Tindak-tanduknya
yang sembunyi-sembunyi itu betapapun membuatku cemas,
apalagi hari ini kita telah membunuh salah satu dedengkot
penjahat. Hari-hari selanjutnya Kademangan kita ini mungkin
tidak akan berlalu tenang"
Mendadak Ki Jagabaya tertawa panjang, "Apapun
maksudnya, boleh kita hadapi lain waktu. Ada hujan kita
tampung, banjir bandang harus dibendung. Semalaman kita
berjaga seperti tikus di tempat ini. Sekarang ini perutku sangat
lapar, setidaknya harus gegares dua tiga potong ayam dulu
baru bisa berfikir lagi"
~Dewi-KZ~ Bangunan itu tidak terlalu besar, tapi cukup indah
dipandang. Terpasang secara panggung di sebelah jalan raya
yang menghadap jurang batu kehitam-hitaman. Membelakangi
tebing batu yang curam dan tegak kokoh. Jauh di bawah
jurang terhampar area persawahan yang menghijau oleh padi
dan berbagai palawija lainnya. Pemandangan yang menghijau
itu menghadirkan aroma keindahan yang murni. Ya, di dunia
ini hal apakah yang lebih indah dari menghijaunya padi di
persawahan yang berisik oleh suara-suara kodok dan jangkrik.
Angin bertiup semilir, menghidangkan rasa sejuk yang
menyegarkan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Di depan bangunan panggung itu terpancak dua helai panji
pancawarna yang berkibar pelan. Beberapa orang tampak
duduk santai di beberapa meja dan kursi yang tertata rapi.
Sekali melihat saja orang sudah akan tahu itulah Warung
Jahe Pancawarna yang terkenal di delapan Kademangan
besar. Bukan saja masyhur karena wedang jahenya yang
pedas-pedas hangat dah spesial namun juga oleh
pemandangan alamnya yang memukau.
Saat ini hari masih pagi, matahari belum lagi naik
sepenggalah. Hanya ada delapan sembilan orang yang duduk
di panggung terbuka Warung Jahe pancawarna. Sepasang
suami istri dengan pakaian khas kotaraja duduk di pojok
sambil sesekali tersenyum penuh arti satu sama lain. Di sudut
kiri seorang pendeta gundul dengan jubah kuning yang lebar
komat-kamit sementara dihadapannya gelas bambu mengepulkan hawa hangat. Di sudut kanan membelakangi
pintu, seorang kakek tua dengan tubuh bungkuk asyik
memandangi hamparan persawahan sambil sesekali menyeruput wedang jahe di hadapannya. Kayu pikulan
tersender di belakang kursinya. Selebihnya adalah tiga orang
petani yang agaknya hendak berangkat ke sawah, dan
seorang pemuda dengan muka pucat.
Mendadak terdengar suara gemuruh, selang sejenak dari
arah selatan sana terlihat belasan ekor kuda dilarikan
kencang. Dilihat dari panji dan seragam yang melekat di tubuh
masing-masing penunggang kuda itu, agaknya mereka adalah
para prajurit kademangan Jatingaleh, salah satu kademangan
diantara delapan kademangan besar di sebelah barat sungai
Bengawan Solo. Begitu tiba di depan Warung Jahe Pancawarna orang
terdepan dari rombongan berkuda itu mengangkat tangan
kanannya. Seketika belasan orang itu sama menarik kekang
tali kudanya masing-masing. Lalu dengan lagak tuan besar
mereka segera naik ke panggung warung.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Beruntun beberapa belas orang itu segera menarik kursi
dan meja melingkar menjadi satu kerumunan.
"Pelayan, tuan besarmu sudah datang, kenapa tidak lekas
membawakan arak ", teriak salah seorang dari rombongan
berkuda itu. Seorang pelayan muda dengan kain tersampir di pundak
segera mendekat, "Maaf tuan, kami tidak menyediakan arak,
hanya ada wedang jahe dan aren" kata pelayan muda itu
hormat. "Tidak menyediakan memangnya tidak bisa mencari",
pendek kata kalau tidak ada arak, hehe..bisa-bisa tangan tuan
besarmu ini akan kambuh gatalnya dan kalau tak sengaja
menyentuhmu mungkin kau bisa cacat seumur hidup", Ujar
salah seorang yang bertubuh tinggi besar, dengan brewok dan
cambang menutupi sebagian besar wajahnya.
Kata-kata si brewok ini segera ditimpali gelak tawa
terbahak-bahak dari teman-temannya. Wajah si pelayan
segera pucat pasi. Beberapa bulan ini, delapan Kademangan besar memang
sedang berebut pengaruh, akibat dari tahta keprabon yang
belum goyang sehingga ikatan keamanan yang selama ini di
kendalikan oleh Majapahit menjadi banyak memudar. Hal inji
sering dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung
jawab untuk mengail di air keruh.
"Hhh...prajurit zaman sekarang memangnya sudah tidak
doyan lagi wedang jahe, sehari-hari hanya minum arak saja.
Seandainya tiba-tiba perutnya itu pecah karena terlalu banyak
minum, entah rasanya sakit atau tidak?", gumangan ini
sebenarnya tidak keras, tapi karena suasana pagi yang
lengang dan panggung warung itu memang tidak terlalu besar
maka gumangan ini terdengar hampir oleh semua yang ada,
dan tentu saja juga beberapa belas prajurit itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Si Brewok yang agaknya pemimpin rombongan itu segera
menggebrak meja, "Mulut siapa cari mampus?"
"Hhh...mulutku ini biasanya hanya suka cari wedang jahe
saja, Kalau mampus, hmk.. seumur hidup kakek tua ini belum
pernah merasakannya. Entah mampus itu lebih enak dari
wedang jahe atau tidak?" gumangan ini ternyata berasal dari
mulut kakek bungkuk dengan kayu pikulan menyender di
belakangnya itu. Melihat orang tua yang seakan-akan berdiri tegak saja
payah itu si Brewok bergelak tawa, "Tua bangka mampus,
memangnya kau sudah merasa hidupmu terlalu lama sehingga
berani memaki kami?"
"Hhh...siapa sih yang memaki, aku melainkan hanya
bertanya saja. Kulihat tuan prajurit ini cukup sehat, tapi
kenapa telinganya justru sedikit berpenyakit?" Kakek tua ini
menggumang dengan pandangan mata tetap menatap segelas
wedang jahe di depannya. "Hihihi....kukira tidak cuma telinganya saja yang berpenyakit" sahut wanita muda dengan pakaian khas
kotaraja yang duduk berhadapan dengan suaminya sambil
terkikik geli. Karuan si Brewok tambah geram. Mukanya semakin
memerah. Bab II, Daun lamtoro di dalam otak kuda
Beberapa teman si Brewok bahkan sudah ada yang
menggenggam gagang golok.
"Lagi-lagi mulutmu yang usil ini mengundang penyakit",
timpal suami dari wanita muda tadi sambil menghela nafas
panjang, "seorang lelaki kalau sudah beristri katanya hidupnya
akan terlebih tenang, tapi yang kurasakan kehidupanku ini
malah bertambah gaduh"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kakek tua itu mengatakan telinga prajurit brewok ini yang
berpenyakit, kenapa kau malah mengatakan mulutku yang
mengundang penyakit. Memangnya telingamu juga bermasalah", Omel wanita muda itu sambil mencibir.
"Telingaku sih tidak bermasalah, justru kulihat masalah
sedang datang ke meja kita", ujar sang suami sabar.
"Memangnya kenapa kalau masalah datang" Aku toh tidak
minta bantuanmu buat jadi pengawalku"
Laki-laki dengan pakaian khas kota raja itu tersenyum, "Aku
memang bukan pengawalmu. Aku melainkan cuma suamimu
saja" Sementara kedua suami istri itu bercakap-cakap si Brewok
perlahan-lahan mendekati meja di sudut kanan tempat Kakek
Tua duduk. Tangan kanannya melekat di gagang golok.
Dibawah sinar matahari yang kekuning-kuningan wajah si
Brewok yang merah padam terlihat seperti arang yang
membara. Si Kakek tua kelihatannya tidak menampakkan perubahan
apapun, tapi entah sejak kapan kayu pikulan yang tadinya
menyender di belakang kursi itu sudah terletak di
pangkuannya. Di tengah suasana yang tegang dan setiap detik
memungkinkan pecahnya pertempuran itu tiba-tiba terdengar
gumangan seseorang, "Sinar matahari sehangat ini, sekalipun
untuk memikul dua tiga batang rumput pun tak akan terasa,"
Suara ini meski mengandung kehangatan akan persahabatan
seperti layaknya sinar matahari pagi, namun juga seperti
terdengar dari selapis tirai kegetiran.
Mendengar suara yang menarik ini si Nyoya muda tak
tahan untuk mengerling sekejap.
Di meja paling luar, yang terkena siraman sinar matahari
paling banyak, si pemuda bermuka pucat terlihat sedang


Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
termenung-menung memandangi kebul tipis dari gelas bambu
di tangan kanannya. Pemuda ini, yang memakai pakaian layaknya pemuda
dusun kebanyakan, tampaknya juga sangat rudin, Karena
sejak tadi diam dan duduk di sebelah timur sehingga tidak
seorang pun yang memperhatikannya.
Tapi sekali diperhatikan, semakin lama semakin kelihatan
menarik. Sekalipun mukanya pucat, tapi seperti menyimpan
kegagahan yang jujur. Malah mukanya yang pucat itu seperti
menampilkan kebeningan seperti permukaan sungai yang
jernih. Meskipun tampaknya sangat rudin, namun tak
memperlihatkan sikap yang meminta dan ingin dikasihani.
Bahkan di bawah siraman matahari pagi yang kuning bersih,
profilnya semakin terlihat gagah, namun juga lembut.
Kata-kata yang barusan diucapkan si Pemuda ini seperti
tidak berhubungan antara kalimat yang pertama dengan yang
terakhir. Bahkan seakan tidak ditujukan kepada siapa pun.
Tapi aneh, begitu mendengar perkataan pemuda ini si Brewok
seketika menghentikan langkahnya, kedua matanya menatap
lekat ke pikulan di pangkuan Kakek tua di hadapannya.
Setelah termangu-mangu beberapa lama, mendadak ia
tertawa, "Sepagi ini memangnya tidak cocok kalau dibuat
bekerja terlalu keras, jangan-jangan nasi tiga piring yang
kumakan tadi akan amblas tanpa sisa, padahal manusia kan
juga tidak bisa makan rumput di tepi jalan. " katanya sambil
berjalan balik ke meja teman-temannya.
"Pagi-pagi begini kalau minum terlalu banyak bisa-bisa
nanti kita terkencing-kencing di perjalanan" Ujar si Brewok
lagi, "marilah kawan-kawan kita lanjutkan perjalanan saja"
Mendengar perkataan si Brewok ini, yang agaknya adalah
pemimpin mereka, sekalipun masih ada diantara prajurit itu
yang tidak puas dan memelototi si Kakek Tua namun secara
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
beruntun satu persatu mereka segera meninggalkan panggung
warung. Ketika hendak menuruni tangga, sengaja tidak sengaja si
Brewok melirik sekejap ke arah pemuda bermuka pucat. Ujung
mulutnya tampak menampilkan senyum misterius.
Tak lama terdengar suara berderapnya kaki kuda yang
dilarikan. Setelah derap kaki kuda menghilang di ujung jalan,
suasana kembali suny i. Mendadak si Kakek tua berdiri, dengan
langkah tertatih ia berjalan ke arah meja pemuda muka pucat.
Tangan kanannya menggenggam gelas bambu. Anehnya,
sekalipun langkahnya tertatih-tatih seakan setiap waktu bisa
terjatuh, namun wedang jahe yang mengepul di gelas bambu
di tangan kananya tak tampak bergetar.
Dengan tersenyum si Kakek tua menepuk ujung meja di
hadapan pemuda itu, "Sobat cilik yang suka cahaya matahari
pagi ini, entah sudi tidak beromong-omong dengan kakek
ompong ini " "Silahkan," jawab pemuda itu ramah. Sikapnya tidak
memperlihatkan penghormatan yang dibuat-buat, lebih
terkesan hangat bersahabat.
"Kebanyakan anak muda sekarang lebih suka gending dan
tuak dari pada wedang jahe dan matahari pagi. Anak muda
yang berselera seperti sobat cilik ini masa kini sudah teramat
langka. Nah, marilah kita rayakan pagi ini dengan satu
tegukan", Ujar Kakek tua itu sambil mengangkat gelas
bambunya. Setelah minum satu tegukan si Kakek T ua kembali berkata
sambil tertawa, "Otak tua ini kurasa sudah terlalu berkarat,
sampai-sampai nama dari sobat cilik ini sudah tidak ku ingat
lagi" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Saya Arya dipaloka, " jawab pemuda itu yang memang
adalah Arya. Si Kakek segera tertawa bergelak, "Kukira siapa, ternyata
adalah ksatria muda yang baru-baru ini ramai dibicarakan,
sungguh mujur sekali peruntunganku hari ini"
"Ah...tidak berani"
"Orang muda seperti kau ini terlebih sukar ditemukan
dalam sejuta manusia. Mari kita minum satu tegukan lagi"
Dengan ramah, Arya segera mengangkat gelas bambunya.
Setelah habis satu tegukan mendadak si Kakek tua
menghentikan tawanya, lalu bentaknya bengis "Bukankah kau
yang dijuluki orang sebagai Sengatan satu titik satu nyawa,
yang tiga bulan lalu menumpas habis perkampungan Ular
Merah di pesisir utara?"
"Benar," jawab Arya.
Begitu mendengar pernyataan ini seketika semua orang
mendongakkan kepalanya, menatap lekat-lekat ke arah Arya.
Maklum peristiwa musnahnya perkampungan Ular Merah yang
katanya dilakukan oleh seorang muda dengan seorang diri
merupakan salah satu peristiwa paling menggemparkan dalam
tiga tahun ini. Konon katanya sampai-sampai ayam dan
kambing pun turut mati. Orang-orang di warung itu pun semakin heran mendengar
jawaban Arya yang acuh tak acuh. Seakan kejadian
menggemparkan itu dianggapnya cuma angin lalu saja.
"Memangnya apa salah seluruh penghuni perkampungan
itu sehingga bahkan anak ayam dan itik pun tidak kau
sisakan"," Suara orang tua ini seperti mengandung penuh
kemurkaan, tapi raut wajahnya justru tersenyum ramah.
Sungguh selama hidup Arya belum pernah melihat manusia
seaneh ini. Seakan syaraf yang menghubungkan otot suara
dan perubahan raut mukanya sudah terputus sama sekali.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tentu saja bagaimana warna hatinya terlebih sulit lagi untuk
diselami. Untuk menghadapinya pasti terlebih sulit lagi. Kalau
suara dan raut muka saja bisa berkebalikan seperti itu
menandakan hawa murni pemiliknya sudah mencapai tingkat
dimana yang ada bisa ditiadakan dan yang tidak ada bisa
dihadirkan. "Dan apakah kau tahu siapa aku?" bentak orang tua ini
lagi. "Dengan pikulan kayu membabat dua helai rumput," jawab
Arya sambil tersenyum. "Kalau kau sudah tau siapa aku, kenapa masih berani
tonjolkan hidungmu disini" Memangnya kau sudah tidak doyan
nasi lagi dan pengen makan rumput?"
Arya tersenyum tenang, "Perkataan ini apa tidak lebih baik
di cicipi oleh anda terlebih dahulu?"
Dengan perkataannya ini Arya maksudkan si Kakek tualah
yang pertama kali membuat gara-gara dengan mengolok si
Brewok. Karuan jawaban Arya yang tenang dan berani ini membuat
semua yang hadir melengak. Maklum nama Kiai Santun
Paranggi, Dengan pikulan kayu membabat dua helai rumput,
orang tua itu, terkenal hampir di seluruh wilayah utara dan
selatan. Bahkan diakui sebagai salah satu dari tiga belas tokoh
utama di dunia persilatan. Tampaknya saja sebagai seorang
kakek tua yang berjalan saja payah, namun dengan sebatang
pikulannya itu dia sanggup membidik sehelai rumput di semak
belukar dan tidak sampai merusak tanaman yang lain. Maka
betapa betapa sempurna tenaga dalamnya sungguh sukar
dibayangkan. "Hmk...rumput cilik seperti kau ini juga berani banyak
cincong dihadapanku?" Jengek Kiai Santun Paranggi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Arya hanya tersenyum tenang, sama sekali tidak
menjawab. Mendadak entah bagaimana caranya tiba-tiba uap yang
masih mengepul dari gelas bambu di tangan Kiai Santun
Paranggi bergerak seperti sebuah angin puyuh kecil,
berputaran dan perlahan membentuk semacam galah mini.
Uap berbentuk galah itu lalu berbelok menuju muka Arya.
Wajah Arya Dipaloka masih tersenyum, sama sekali tak
mengunjukkan satu perubahan. Seakan uap yang mengarah
ke wajahnya itu dianggapnya asap biasa, padahal segenap
yang hadir maklum bahwa Kiai Santun Paranggi sedang
mendemonstrasikan tenaga dalamnya yang lihai. Sekali asap
itu mengenai tubuh manusia, sekalipun tidak melepuh
sedikitnya juga akan terbakar hangus.
Tapi sebelum uap berbentuk galah mini itu tiba di muka
Arya, kira-kira berjarak tiga empat senti mendadak tiga titik air
menerobos dari samping. Sektika terdengar suara "Cess," dan
uap itu pun buyar. "Sancay...segala apa bisa dibicarakan, segala hal bisa
diseberangkan. Kenapa harus menghunus golok?" terdengar
biksu dengan serenceng tasbih di tangan kanannya itu
menggumang perlahan. Rupanya pendeta itu juga yang
memercikkan tiga tetes air tadi.
Kiai Santun Paranggi mendengus dingin, "Sungguh aneh,
pendeta zaman sekarang mengapa lebih suka bersantai dan
membela seorang pembunuh dari pada berdoa di kuil?"
jengeknya sambil menatap lekat tasbih di tangan kanan biksu
berjubah kuning tadi. Belum sempat Biksu berjubah kuning itu menjawab
mendadak terdengar teriakan ngeri beberapa orang dari ujung
jalan sana. Tampaknya ada hal menakutkan terjadi.
Belum sempat Kiai Santu Paranggi menengok, tiba-tiba ia
merasakan kesiur angin dingin di sebelahnya. Ketika matanya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melirik ternyata bayangan Arya telah sudah berupa titik kecil
di kejauhan sana. Karuan ini membuat wajahnya berubah. Maklum orang
yang mempunyai ilmu meringankan tubuh setinggi ini di dunia
ini dapat dihitung dengan jari.
Tidak menunggu lama, Kiai Santun Paranggi juga lekas
melesat kesana. Diikuti oleh Biksu berjubah kuning yang
bernama Thian-ok Hwesio (Biksu Langit beracun) dan
sepasang suami istri muda tadi.
"Ihhh...", Jerit Sukma Maningrum, perempuan muda itu
sambil mendekap muka dengn kedua telapak tangan begitu
melihat pemandangan di depannya.
Di tikungan jalan yang rimbun oleh pohon lamtoro, dengan
sebuah pohon beringin raksasa tepat di potongan jalan
sebelah kiri itu bergeletakan belasan bangkai kuda.
Tentu saja wajar bahwa kemungkinan ada kuda yang
disembelih, namun anehnya kuda-kuda itu seperti tidak
disembelih dengan menggunakan senjata tajam tapi lebih
tepat dikatakan bahwa kepala kuda-kuda itu dibetot paksa dari
badannya. Hal ini bisa dilihat dari keadaan leher kuda-kuda itu
yang remuk dengan pecahan tulang leher berserakan disana-
sini. Ajaibnya semua bangkai kuda itu telah kehilangan
kepalanya. Darah mengalir seperti anak sungai menggenangi
hampir seluruh medan jalan.
Arya tampak termenung-menung memandangi bangkai
kuda tanpa kepala yang berserakan tumpah tindih itu."Kuda-
kuda ini agaknya yang digunakan prajurit Kademangan
Jatingaleh tadi", katanya setengah harian kemudian.
"Benar, kuda putih berbelang hitam di kakinya ini seperti
pernah kulirik beberapa kali," timpal Braja Lelana, suami
Sukma Maningrum. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Berapa kali kau meliriknya?", Tanya istrinya dengan bibir
menahan geli. Kelihatannya nyonya muda ini begitu mudah
melupakan hal-hal yang membuat perutnya mual.
Braja Lelana hanya tersenyum kecut.
Sukma Maningrum terkikik geli melihat tingkah sang suami,
"Kau meliriknya berapa kali toh bukan masalah, asal yang kau
lirik bukan 'kuda betina' saja"
"Kalau kudanya mati disini, lalu mana orangnya?" Tanya
Kiai Santun Paranggi. "Ya, aneh juga, belasan kuda ini mati secara mengenaskan,
tapi penunggangnya bahkan sebatang hidung pun tak ada,"
"Hidung manusia sih tidak ada, tapi hidung kuda ma lah
ada," sahut Arya, masih dengan gaya acuh tak acuhnya.
Ketika semua orang menengok, tampak pemuda itu sedang
termangu-mangu di bawah pohon beringin. Diantara akar-
akaran beringin yang bergelantungan bagaikan tabir bambu
itu terlihat sebuah kepala kuda dengan darah segar bertotosan
terpancak kuat ke batang pohon.
Sebenarnya Sukma Maningrum sudah tak tahan melihat
bangkai yang bergelimpangan memenuhi jalan raya itu, Cuma
permasalahannya menjadi semakin menarik dan ajaib, maka
sedapatnya ia tahan perutnya yang bergolak sejak tadi.
Tanyanya, "Kenapa kepala kuda itu nyasar sampai disitu?"
"Karena ada orang yang memanteknya disitu," sahut sang
suami sambil tersenyum. Sukma Maningrum segera memelototkan matanya, "Siapa
bilang ada orang yang memanteknya disitu, siapa tahu kepala
kuda itu terlalu iseng lalu ...." Be lum selesa i bicara tiba-tiba ia
merasakan kalau dirinya terlalu mau menang sendiri, tak
tahan ia terkikik geli. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Orang ini sanggup membetot belasan kepala kuda,
kemudian membawa pergi kepalanya sekalian penungganya
dalam waktu sesingkat ini. Di dunia ini sungguh aku tidak bisa
membayangkan ada kepandaian demikian." tutur Kiai Santun
Paranggi. "Yang terpenting adalah semoga para ksatria itu masih
hidup. Untuk ini kuharap ketiga sicu sudi membuang sedikit
tenaga," Kata Thian-Ok Hwesio setelah menggumangkan
beberapa kata Budha. "Kakek Bhiksu memang terlalu sopan. Kalau aku sih lebih
mengatakan para pencoleng", sela Sukma Maningrum sambil
terkikik geli. Ia selalu tidak bisa melupakan si Brewok yang
berangasan dan suka berlagak tuan besar itu.
"Menolong memang harus menolong, tapi kemana kita
harus menolong?" Sahut Kiai Santun Paranggi.
"Kukira aku tahu sepotong kepala yang bisa kita tanyai",
Kata Arya dengan mata bersinar tajam.
"Siapa" Apa kepala kuda itu?" Timpal Sukma Maningrum
sambil terkekeh. Mulut Arya menyunggingkan senyum aneh, lalu tanpa
berkata apa-apa tangan kirinya menghantam ke arah kepala


Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuda itu. Suara angin yang menderu menandakan pemuda ini
menyertakan tenaga dalam dalam pukulannya. Karuan semua
orang heran, maklum kalau hanya untuk menghancurkan
kepala kuda itu, hanya sedikit tenaga saja sudah cukup,
sedangkan tenaga yang dikerahkan Arya itu sedikitnya bisa
menggetar rontok pohon beringin raksasa dihadapannya.
Namun sebelum kepalannya menghajar telak kepala kuda
mendadak Arya membuka telapak tangannya. Lewat satu inci
lagi ia menghentikan gerak tangannya.
Selang sejenak terdengar suara "cess..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketika Arya menepuk perlahan, kepala kuda itu pun rontok
seperti digiling, benar-benar remuk sampai tulang.
Meihat demonstrasi tenaga angin lembut ini sampai-sampai
Thian-Ok hwesio yang biasanya jarang memuji juga
menggelengkan kepala beberapa kali. Maklum kalau bukan
seorang yang sudah mencapai puncak kesempurnaan
pengaturan tenaga, tak akan sanggup mengeluarkan serangan
yang aneh dan spesial begini.
Cuma semua orang belum juga paham kenapa untuk
menghancurkan kepala kuda saja pemuda itu mengerahkan
kepandaian yang istimewa seperti itu.
Tepat di pecahan otak kepala kuda itu tertampak sehelai
warna hijau. Perlahan Arya menjumput benda berwarna hijau
itu. Ternyata sehelai daun lamtoro muda. Di permukaan daun
itu terlihat beberapa gurat tulisan.
Melihat daun lamtoro muda itu barulah semua orang
paham kenapa Arya menggunakan tenaga angin lembut untuk
menghancurkan kepala kuda itu. Hal ini dimaksudkan untuk
menjaga jangan sampai daun lamtoro yang tersembunyi di
dalam kepala kuda itu hancur. Kalau sampai ada tenaga keras
setitik saja yang menghantam maka daun muda yang masih
basah ini seketika akan lumat.
"Kepala kuda menunjuk kepala naga. Manusia tak berguna
jadi kunci pembukanya", baca Arya pelan.
"Apa maksudnya?", sela Sukma Maningrum cepat.
"Mungkin kepala kuda ini menunjukkan sesuatu yang
berharga," sahut Braja Lelana.
"Sesuatu yang berharga itu apa?"
Braja Lelana hanya menyengir mendengar pertanyaan
isterinya itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Itu mungkin sejenis harta karun, atau senjata pusaka,
atau kitab ilmu s ilat", kata Arya
Lalu lanjutnya lagi, "apapun itu, mengingat cara untuk
menyampaikan pesan saja begini rumit, maka nilai dari benda
yang dipertaruhkan pasti tidak main-main."
"Tapi bagaimana kau tahu bahwa pesan itu tersembunyi di
dalam kepala kuda itu?"
"Aku juga hanya menebak-nebak saja. Kepala kuda ini di
pantek disini, pasti dimaksudkan untuk menarik perhatian
orang. Dari sembilan per sepuluh kemungkinan orang akan
segera menduga bahwa pada kepala kuda ini terdapat apa-
apanya", jawab Arya kalem.
Lalu lanjutnya, "Apalagi kulihat terdapat darah bertetesan
dari hidung kuda ini, terang daun itu telah dicucukkan me lalui
hidung dengan tenaga dalam tinggi"
"Dan bagaimana kau tahu kalau benda yang dicucukkan itu
adalah sehelai daun lamtoro?", Sukma Maningrum agaknya
termasuk orang yang tidak bisa menyembunyikan rasa ingin
tahunya. Arya tersenyum, "Aku juga tidak tahu. Aku hanya
menduga, dengan kepandaian yang sanggup membetot
kepala kuda dengan tangan telanjang ini, maka orang itu pasti
tidak memerlukan senjata apa-apa lagi."
"Benar. Bila ilmu silat seseorang sudah mencapai puncak
kesempurnaan, apapun yang terpegang ditangannya, bahkan
semua anggota badannya akan menjelma menjadi senjata
ampuh", sela Braja Lelana.
Arya mengangguk, "Apalagi sepanjang jalan ini penuh
dengan rimbunan pohon lamtoro. Untuk menuliskan suatu
pesan, kukira tidak ada yang lebih baik dari pada
menggunakan daun lamtoro"
Mata Arya tiba-tiba bersinar aneh,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ada apa?" Tanya Sukma Maningrum cepat.
Arya menatap daun lamtoro di tangannya, "Orang ini
dengan cara yang amat rumit berusaha menyampaikan pesan,
tapi sebenarnya siapakah yang ingin dikiriminya pesan itu?"
"Benar, dengan cara yang aneh begini, kecuali orang yang
sebelumnya di beritahu terlebih dahulu, orang biasa tak akan
bisa memecahkannya", sahut Braja Lelana.
"Tapi Arya toh tahu"!", sela Sukma Maningrum cepat.
Mendadak wajah Kiai Santun Paranggi berubah pucat.
Sepasang matanya menatap Arya lekat-lekat. Wajahnya
semakin beringas menakutkan, "Semua ini bukankah
permainan busukmu?" bentaknya dengan suara berat.
Kening Arya berkerut tajam, "Apa maksud Kiai?"
"Kau pura-pura tidak tahu atau sedang merancang akal
bulus baru?" jengek Kiai Santun Paranggi.
Melihat suasana yang menegang, Thian-Ok Hwesio segera
berdehem, kemudian tuturnya, "Tiga bulan yang lalu ketika
kami, beberapa padri mengunjungi perkampungan Ular Merah
sesaat setelah tersiar kabar kemusnahannya, diantara puing-
puing bangunan dan mayat berbagai macam binatang yang
berserakan terdapat satu tiang yang masih bertahan tegak.
Disitu terpancak satu kepala kerbau dengan darah yang sudah
membeku. Seakan sebagai tanda kenal dari orang yang
melakukan perbuatan mengerikan itu Hal ini telah tersiar luas
dikalangan sahabat-sahabat rimba persilatan, apa sicu tidak
mengetahuinya?" "Kalau dia tidak tahu, lalu siapa yang tahu?" dengus Kiai
Santun Paranggi. "lagi pula mayat dari seluruh penduduk
perkampungan itu juga lenyap tak berbekas." Tambahnya.
"Tapi ketika jeritan itu terdengar bukankah saudara Arya ini
masih berada bersama-sama kita?", sela Braja Lelana.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sekalipun dia bersama-sama kita saat itu, tapi siapa yang
mengharuskannya untuk tidak punya kaki tangan?"
Arya tersenyum, "Seseorang yang sanggup membetot
belasan kepala kuda dalam sekejap, untuk apa menjadi kaki
tangan orang lain?" "Benar juga. Kalau orang itu mempunyai kepandaian
setinggi ini, lalu untuk apa menjadi suruhan orang lain,
sekalipun mampu pasti juga tidak akan sudi." Kata Sukma
Maningrum pelan. Kiai Santun Paranggi mencibir, "Dari mana kau tahu dia
tidak sudi. Yang kutahu semakin tebal otot seseorang
biasanya otaknya malah semakin kecil". Orang tua dengan
senjata pikulan ini agaknya sudah teramat yakin bahwa
Aryalah biang keladi dari semua ini.
Katanya lagi, "Apalagi sekalipun semua orang sama
mengatakan bahwa dengan seorang diri iblis cilik ini berhasil
memusnahkan seluruh perkampungan Ular Merah, namun
Formasi Ular Darah setahuku merupakan salah satu barisan
ajaib di dunia persilatan. Kalau bocah ini tidak punya kaki
tangan kurasa tidak akan berhasil dengan segemilang itu,"
Mendengar ini semua orang sama terdiam, agaknya
sekalipun ada yang belum yakin benar, mau tidak mau ada
juga sedikit kecurigaan. Arya tahu, sekalipun dirinya tak bersalah tapi urusan ini
seperti sudah diarahkan secara pasti terhadap dirinya, ingin
menghindar rasanya juga sulit. Apalagi ada beberapa urusan
yang tak ingin di ceritakannya kepada orang luar. Maka ia pun
hanya diam termenung. Melihat Arya yang terdiam semua orang semakin yakin
dengan kecurigaan mereka. Bahkan wajah Braja Lelana, yang
pada awalnya menaruk kesan baik, juga mulai menegang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah termenung beberapa lama, akhirnya sudut bibir
Arya menampilkan senyum khasnya, "Urusan ini entah dimana
sudut pangkalnya, biar diriku sendiri mau tak mau juga rada-
rada sangsi. Tapi kalau para Saudara dan kisanak yakin pasti
bahwa diriku ini pelakunya maka aku pun tak akan lari dari
tanggung jawab. Cuma sekalipun harus mati tapi kalau mati
secara penasaran kan terlalu konyol. Maka para saudara
silahkan menunggu di tempat ini. Begitu matahari terbit pada
dua puluh sembilan hari mendatang persilahkan salah satu
dari saudara untuk turun tangan"
Setelah kata terakhir diucapkan, tanpa menunggu jawaban
tubuhnya berbalik dan berjalan perlahan, seperti sama sekali
tidak khawatir bahwa salah satu dari empat orang itu akan
menghalanginya. Kenyataannya memang tidak seorang pun
dari keempat orang itu yang mencoba menghalangi langkah
Arya. Hal ini karena mereka sama tahu, kata-kata yang
diucapkan dengan tenang dan senyum itu pasti bukan omong
kosong belaka. ~Dewi-KZ~ Suara kentongan dengan tanda titir memekak memecahkan
pagi yang dingin. Segera setelah suara pertama terdengar,
dari pojok utara segera terdengar balasan. Dalam sekejap
tanda yang berarti bahaya itu pun bersahutan diantara kokok
ayam jago dan munculnya siluet merah di kaki langit.
Ki Jagabaya dengan tergopoh menarik kudanya dari
kandang dan tanpa sempat lagi memasangkan pelananya
segera memacunya cepat-cepat ke arah pintu gerbang
Kademangan, dimana suara titir itu pertama kali terdengar.
"Ada apa?", teriaknya begitu suara meringkik kudanya yang
kaget karena tali kekang yang disendal mendadak berhenti.
Seorang pemuda bernama Sawung Geni segera meraih tali
kekang kuda Ki Jagabaya dan sedapatnya memberikan
jawaban, "Sebuah kepala kuda terpancak di atas pintu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
gerbang kademangan, dibawahnya juga tergantung mayat. Ki
Demang dan beberapa teman yang tadi malam berjaga
sedang memeriksanya"
"Mayat siapa?" begitu Ki Jagabaya melontarkan pertanyaannya, segera ia pun mendapat jawabannya.
Di atas gapura yang melintang selebar badan jalan dan
digunakan sebagai pintu gerbang itu, yang berbentuk
menyerupai atap candi yang dibuat lancip di puncaknya
dengan beberapa beberapa ukiran batang padi dan dua helai
daun alang-alang, juga beberapa patah tulisan kuno,
terpancak sebuah kepala kuda dengan darah setengah
membeku, tepat di bagian lancipnya.
Dibawahnya tergantung dengan leher terjerat sesosok
mayat. "Kelelawar bersayap tunggal," desis Ki Jagabaya.
"Nyenyakkah tidurmu?" sapa Ki Demang dengan tersenyum. Muka Ki Demang yang gagah dan keras tampak
memerah segar, namun sepasang matanya justru memerah
kurang tidur. Dada Ki Jagabaya seketika terasa hangat mendengar Orang
nomor satu di Kademangan Dipasalaka itu menaruh perhatian
terhadap keadaannya sebelum menanyakan hal yang lain.
"Cukup nyenyak untuk seorang tua sepertiku. Agaknya kau
yang tidak tidur semalaman" Apa nyamuk dirumahmu terlalu
ganas?" sambutnya hangat.
Ki Demang tersenyum lelah, "Nyamuk sih tidak ada, hanya
seorang anak perempuan yang tidak mau makan semalaman."
Ki Jagabaya segera tertawa bergelak, "Gadis cilikmu tidak
doyan makan, maka kau juga tidak bisa tidur. Selama ini
hanya aku saja yang jadi sasaran ulah gadis cilik itu, sekarang
kau pun mencicipinya, sungguh membuatku semakin segar.
Setidaknya aku punya teman senasib sepenanggungan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya..aku mungkin harus segera mencari orang yang cocok
untuk membendung ulah gadis cilik itu"
Tawa Ki Jagabaya mendadak berhenti, "Lalu bagaimana
dengan mayat kelelawar keparat ini"
Ki Demang menghela nafas panjang, "Tampaknya sudah
sejak tadi malam orang ini mati."
"Apa ia kembali mencoba menyantroni lumbung padi kita?"
"Tampaknya tidak. Tanpa membawa konco, seorang diri dia
tidak akan sanggup menghadapiku. Apalagi ada kau." Jawab
Ki Demang, "Pasti ada orang lain yang membunuhnya,
kemudian membawanya kesini."
Ki Jagabaya menghela nafas panjang, "Apa tidak mungkin
Demit kura-kura itu yang melakukannya?"
Ki Demang menggeleng, "Kepandaian mereka berdua
berimbang. Sekalipun Demit Laki-laki berhasil membunuhnya,
tapi tidak akan segemilang ini. Apalagi Demit Perempuan
sudah tidak bersamanya lagi"
"Maka...", Ki Jagabaya mengerdipkan matanya.
"Maka kemungkinan besar orang itu sama dengan orang
yang menolongmu dengan ranting kecil dua malam yang lalu"
Sementara itu seseorang telihat memacu kencang kudanya
menuju ke arah Ki Demang,
"Tidak terjadi apa-apa di pintu utara." Kata Pacak Warak
begitu ia berhasil mengatur nafasnya.
"Benar-benar tidak kau temukan apapun?" tegas Ki
Demang. Pacak Warak menyeringai aneh, "Aku memang tidak
menemukan apapun, aku justru menemui seseorang, orang
hidup" "Seseorang?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya..Seseorang yang pasti Ki Demang kenal, juga pernah
bertempur dengan Ki Demang"
"Demit Laki-laki?" potong Ki Jagabaya.


Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pacak Warak menggeleng dengan senyum misterius, "Kalau
keparat itu yang kutemui, bagaimana aku bisa hidup sampai
sekarang?" "Lalu siapa?" desak Ki Jagabaya tak sabar.
"Arya dipolaka"
"Arya?" Wajah Ki Demang segera menegang, "dimana dia
sekarang, kau membawanya kesini?"
Pacak Warak kembali menggeleng, "Aku menemukannya
tepat di bawah gapura utara. Dia menyampaikan sepatah
kalimat kepadaku, lalu ketika aku menoleh sekejap untuk
melihat kudaku yang tiba-tiba meringkik, bahkan bayangan
tubuhnya pun sudah tak kulihat lagi"
Setelah terdiam sejenak, kembali katanya, "Sungguh kalau
hari itu tak kulihat ia muncul dan menemui K i Demang dipintu
gerbang sini, aku mungkin sudah menganggap diriku bertemu
dengan hantu alas kidul"
"Pesan apa yang ia sampaikan?" Tanya Ki Demang.
"Dari pada dikatakan pesan lebih tepat disebut sebagai
sepatah kalimat saja. Sepatah kalimat yang membuatku
pusing" jawab Pacak Warak.
Lalu lanjutnya, "Ia mengatakan, 'Kepala Naga keluar, orang
tak berguna pergi saja ke kolong ranjang'"
Kening Ki Demang berkerut tajam. Patah kata terakhir dari
kalimat itu membuat dadanya berdesir. Seakan luka yang
telah lama coba ia sembunyikan mendadak dibeset paksa.
Beberapa kenangan seketika berkelebat susul menyusul di
kepalanya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apa maksud sebenarnya dari bocah itu?" pertanyaan Ki
Jagabaya menyadarkan Ki Demang.
"Entahlah" Ki Demang menghela nafas panjang,"sekian
lama tidak bertemu, agaknya anak itu telah berubah banyak."
Ki Jagabaya tersenyum masam, "Yang kuharapkan Cuma
agar segala perubahannya itu tak membuat kita harus
menghadapinya sebagai musuh. Aku masih ingat bagaimana
dulu, setiap kali aku punya makanan enak selalu bocah itu
yang pertama kali mencurinya."
Lalu lanjutnya dengan tertawa, "agaknya setiap anakmu
punya satu dua macam kepandaian bawaan untuk membuat
susah orang lain" Dada Ki Demang seketika hangat oleh rasa terima kasih.
Setidaknya ada masih ada orang yang mengingat hubungan
hangat antara dirinya dan Arya, disamping perselisihan
diantara keduanya. "Tapi dia juga memperlihatkanku seseorang, orang mati"
kata Pacak Warak Tiba-tiba.
"Siapa?" Pacak Warak tersenyum aneh, "Seseorang yang pasti Ki
Demang kenal, juga pernah bertempur dengan Ki Demang".
Agaknya orang ini punya hobi untuk membuat orang lain
penasaran. Ki Jagabaya segera tergelak, "Sudahlah, kuakui akal
bulusmu memang tidak sedikit. Katakan siapa dia"
Pacak Warak menjawab perlahan, "Demit Laki-laki"
Seketika wajah Ki Jagabaya ikut menegang, "Dimana
mayatnya?" Pacak Warak menyengir letih, "Ketika aku menemukan
bayangan Arya menghilang, aku juga tak melihat mayat Demit
Laki-laki lagi" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
~Dewi-KZ~ Bab III, Pelangi Satu Warna
Percik air masih bertetes dari pucuk-pucuk daun, ujung
ranting, atau pinggir bebatuan. Udara mengalirkan hawa segar
yang menggugah. Langit cerah. Di sebuah pucuk pohon, dua
ekor kutilang saling bercumbu dan bercicit riuh, sepasang
sayapnya terkebas beberapa kali.
Suasana setelah hujan seperti ini selalu disukai Arya. Dalam
seluruh perjalannya, ia hanya berhenti untuk beberapa hal,
salah satunya adalah ketika hari hujan. Bukan karena ia takut
berbasah dengan curahan air dari langit itu, tapi karena ia
selalu senang dengan suasana setelah hujan, dimana harapan
dan kedamaian, juga kesegaran akan hidup memancar
dimana-mana, dihirup oleh siapa saja, dan meresap dalam apa
saja. Bahkan kepandaian khasnya, yang membuat setiap bulu
kuduk lawannya bergidik justru timbul dari keadaan ini.
Duduk di atas sebuah batu hitam yang berkilat oleh air
hujan barusan, dengan sepasang telapak tangan menopang
kepala dan kaki kanan bersilang di atas lutut kiri, Arya
termenung-menung mendengarkan riuh cicit berbagai burung
yang sibuk. Sepasang matanya memandangi langit yang
bersih, dengan sepotong awan yang putih.
Tapi meskipun tampak amat tenang dan hanyut, isi kepala
pemuda itu sebenarnya sedang berputar cepat, mengurai
peristiwa demi peristiwa, dari musnahnya perkampungan Ular
Merah, munculnya tokoh-tokoh kosen di sekitar gunung
sindoro s ini, sampai misteri daun lamtoro di dalam otak kuda.
Beberapa hal itu satu sama lain sepertinya tidak
berhubungan sama sekali, tapi justru itu menjadi aneh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seakan ada seseorang yang sengaja menghilangkan benang
merah tersebut. Arya sebenarnya tidak terlalu pusing dengan "orang" itu,
baginya siapapun bisa menjadi si "dia", yang menarik adalah
seakan secara sengaja tidak sengaja orang itu memaksa Arya
untuk terlibat. Bukan saja terlibat, bahkan seperti mengarahkan segala sesuatunya sehingga orang ramai sama
yakin bahwa Arya lah pelaku utamanya.
Beberapa lama kemudian, mungkin karena terlalu pusing,
atau karena terhanyut dalam udara yang segar, kelopak mata
pemuda itu perlahan-lahan mengatup. Kaki kiri yang mulanya
bersilang diatas lutut kanan juga pelan-pelan diselonjorkan.
Ketika itulah mendadak terdengar jerit perempuan, lalu
disusul dengan suara senjata yang beradu, bentakan dua tiga
orang lelaki, kemudian deru pohon yang tumbang.
Sekejap kemudian, di ujung utara padang rumput dengan
berbagai gerumbul bunga dan pohon perdu itu terlihat
seorang perempuan muda dengan baju hijau pupus yang
melambai-lambai tertiup angin berlari cepat ke arah sini
dengan sebatang pedang yang diputar kencang.
Tidak lama menyusul empat orang lelaki dengan perawakan
berbeda muncul sambil sesekali menaburkan senjata rahasia.
Tampaknya ilmu meringankan tubuh empat orang lelaki itu
lebih tinggi dari si perempuan muda, apalagi terlihat
pergelangan tangan nona muda itu sudah merembes darah,
sehingga dalam sekejap ia terkurung di tengah.
Setelah berhasil mengurung perempuan muda itu, keempat
orang lelaki itu ternyata tidak menghentikan gerakan mereka.
Susul menyusul mereka menyerang bergantian. Ketika yang
lain menyerang maka temannya bertahan. Gerakan keempat
lelaki itu tampak lugas dan sederhana, tapi angin yang
menyertai setiap serangan menderu tajam, bahkan pakaian
yang dikenakan Arya pun beberapa kali berkibar karena
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terkena angin serangan yang nyelonong. Padahal jarak antara
mereka dan Arya ada lima puluh meteran lebih.
Sebaliknya gerakan perempuan muda itu indah dan rumit,
dengan pedang yang bersinar putih bersih, ia seperti menari
diantara gugusan awan. Tapi anehnya, sekalipun cepat dan keji serangan keempat
orang itu, agaknya mereka tidak berani mendekati perempuan
muda itu. Mereka hanya menyerang dengan angin pukulan
tajam atau senjata rahasia.
"Empat tua bangka keparat, kalau berani ayolah mendekat
sini. Ingin kulihat tulang-tulang karatan kalian itu apakah
sanggup menahan satu kali sabetan pedangku." Bentak
perempuan muda itu. Salah satu dari lelaki itu terkekeh geli, "Memangnya kami
anak-anakmu sehingga bisa kau perintah sesuka perutmu"
Apalagi sekalipun kami agak tua toh tak sampai bangka
segala" "Kalian hanya berani mengerubut dan menyerang dari jauh,
memanya tidak takut ditertawai anak kecil", suara perempuan
muda ini sekalipun sedang bertempur hebat dan payah pula
namun tetap terdengar merdu dan tenang.
"Kami tidak menertawai anak kecil, kenapa anak kecil mau
menertawai kami" Perkataanmu ini kan jadi tidak masuk akal"
teriak salah seorang dari keempat laki-laki itu.
"Salah besar, yang benar kita dan anak kecil sama-sama
tertawa. Begini barulah menyenangkan" teriak yang pertama.
"Si Tua hijau salah, kau juga salah, yang benar adalah
nona ini" jawab seorang dari mereka yang berpakaian hitam.
"Kalau nona muda ini yang benar, kan kita harus berhenti
berkelahi?"timpal s i Baju hijau.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Si Baju hitam terkekeh, "Berhenti ya berhenti, memangnya
apa susahnya?" Seketika keempat orang ini sama menghentikan serangan.
Cara mereka berhenti menyerang ini rada special juga, seakan
perasaan keempat orang ini sama berhubungan sehingga
gerakan mereka bisa serentak.
Begitu berhenti maka dengan jelas segera terlihat
perawakan maupun raut wajah dari keempat orang itu. Nyata
mereka memang empat orang kakek tua dengan muka mirip
satu sama lain, seakan keempatnya di buat dalam satu
cetakan. Perawakan mereka juga serupa, tidak terlalu tinggi,
juga tidak terlalu pendek, jenggot yang memutih keperakan,
dan rambut riap-riapan. Yang membedakan hanya baju
mereka yang berbeda warna.
Di tengah mereka, seorang nona dengan pakaian hijau
pupus ringkas, tapi rapi, rambut hitam legam yang diikat, juga
dengan secarik kain hijau pupus, dan anehnya, cadar sutra
yang menutupi hidung dan mulut yang juga berwarna hijau
pupus. Di tangan nona itu tergenggam sebatang pedang dengan
sinar putih, namun tidak menyilaukan. Berwarna lebih mirip
seperti awan yang bergerombol. Lembut dan hangat. Gagang
pedang tampak dibebat dengan sepotong sutra hijau.
"Tiada angin dan hujan tiba-tiba kalian menyerangku,
memangnya kalian empat tua bangka ini sudah pikun atau
bagaimana?" Kata nona muda dengan penasaran.
"Kami memang tua, tapi sekali-kali tidak pikun dan tidak
bangka. Hal ini kan sudah kukatakan tadi, memangya
telingamu sedang sakit atau bagaimana?" Jawab s i Baju Hijau
aseran. "Kalau telinganya berpenyakit, bagaimana dia bisa
mendengar perkataanmu?" delik si Baju hitam.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku kan tidak mengatakan telinganya berpenyakit. Aku
kan melainkah hanya bertanya saja." Sahut si Baju Hijau tak
kalah garang. "Kau bertanya padanya, lalu kenapa mendelik padaku?"
bentak di Baju hitam tak kalah.
"Memangnya tidak boleh?" balas si Baju Hijau, "aku
bertanya padanya memakai mulut, memangnya aku
memandangmu juga pakai mulut?"
Begitulah kedua orang kakek berbaju hitam dah hijau itu
saling gugat dan bertengkar sendiri.
Seorang lain yang berbaju kuning tua hanya diam sambil
senyum-senyum, orang ini bahkan ketika bertempur tadi
mulutnya juga tidak mengelurkan suara.
Seorang lagi yang berbaju putih pucat, tanpa peduli
pertengkaran ke dua temannya perlahan berkata terhadap si
perempuan muda. "Kau T anya kenapa kami menyerangmu, kenapa tidak kau
Tanya dirimu sendiri kenapa kau membunuh ular merah
kami?" "Ular Merah?" kening perempuan muda itu berkernyit, "Kau
maksudkan ular merah darah dari perkampungan Ular Merah
di daerah utara?" "Memangnya ada Ular Merah lain lagi?" Jengek orang tua
berpakaian putih pucat. "Ular Merah lain memang tidak ada, yang ada hanya Ular
Hijau Sekarat" timpal si Baju Hitam dengan terkekeh.
Karuan si Baju Hijau kembali mendelik.
"Tapi yang membunuh Ular Merah Darah dan memusnahkan perkampungan Ular Merah bukankah seorang
muda berjuluk Sengatan Satu Titik Satu Nyawa?" kata nona
berpakaian hijau muda itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Memangnya kau bukan Sengatan Satu Titik Satu Nyawa?"
balas si Baju putih pucat.
"Dan memangnya kau tidak muda," tambah si Baju Hijau
cepat. Si Nona muda mencibir, "Kalau aku adalah dia, kenapa aku
memakai pedang" Lagi pula kalau aku adalah Sengatan Satu
Titik Satu Nyawa, kalian empat tua bangka ini memangnya
masih mampu menghirup udara?"
Mendengar jawaban nona muda itu Si Baju putih pucat
terdiam, matanya melirik si Baju kuning tua yang dari tadi
tampak adem ayem. Perlahan akhirnya si Baju kuning tua membuka mulut,
"Benar juga, Ku dengar Sengatan Satu T itik Satu Nyawa tidak
pernah membawa senjata"
Si Nona muda hanya mendengus.
"Kalau nona ini bukan si Sengatan lebah itu, lalu siapa dan
dimana dia?" sahut si Baju Hijau.
"Yang pasti bukan disini", potong si Baju Hitam.
"Dari mana kau tahu dia tidak ada disini?" bentak si Baju


Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hijau dengan melotot. "Dari mana ku tahu, hehe, sekalipun ku katakan padamu
juga kau tidak akan paham," jawab si Baju Hitam santai.
Kontan si Baju Hijau berjingkrak gusar, "Justru ku katakan
dia ada disini, kau mau apa?"
Aneh juga, dengan keributan yang sanggup membuat
gajah yang sedang menyusui kaget itu, Arya bahkan tidak
menggerakkan jempol kakinya. Pemuda itu terus tertidur
nyenyak. "Dia ada disini" Memangnya dia" Hehe, Kucing pingsan
sepertinya mana sanggup membunuh Ular Merah Darah kita"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sekalipun ayam sekarat juga tak sanggup dibunuhnya. Hehe,
semakin tua tampaknya rabun di matamu semakin tebal" O lok
si Baju Hitam sambil menunjuk Arya.
Si Baju Hijau segera berjingkrak gusar, "Kentut busukmu,
kukatakan bahwa kucing malas inilah pembunuhnya,
memangnya kau mau apa?"
Si Baju Hitam terkekeh geli, "Nona muda, selama hidupmu
pernahkah kau lihat tua bangka dogol seperti kura-kura tua
ini?" Melihat kedua orang tua bangka yang lebih kekanak-
kanakan dari pada bocah cilik ini, sekalipun tubuhnya cukup
payah, mau tak mau tersenyum juga perempuan muda
dengan pedang putih itu. Muka si Baju Hijau semakin merah, "Justru kukatakan
pemuda ini mempunyai ilmu mahatinggi, "
Si Baju Hitam semakin terkekeh geli, "Ilmu maha tinggi,
hehe, kalau ilmunya memang maha tinggi kenapa tidak kau
jajal dengan golok buntungmu itu, ingin kulihat apa golok
buntung berkaratmu sanggup menahan satu kebasan ilmu
maha tingginya" Si Baju Hijau rupanya benar-benar Orang tua berangasan
yang sulit dicari tandingannya. Begitu mendengar ucapan
setorinya itu segera ia melolos Golok yang terselip di
pinggangnya. Golok ini warnanya sangat biasa, hitam kelabu dan agak
berkarat, badan golok pun buntung separo. Golok seperti ini
sebenarnya lebih tepat digunakan oleh penjual kayu bakar dari
pada seorang jago persilatan seperti si Baju Hijau ini.
Begitu golok terlolos, dengan satu gerakan membacok, si
Baju Hijau mengayunkan goloknya ke kepala Arya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Gerakan si Baju Hijau ini sangat sederhana, lagi pula tidak
terlalu cepat, namun angin yang ditimbulkannya berkesiur
tajam ke empat penjuru. Nona muda berbaju hijau itu pun seketika wajahnya
berubah pucat. Maklum sekalipun sederhana gerak perubahan
golok itu, tapi inti dari serangan si Baju Hijau memang tidak
terletak pada gerak perubahannya, melainkan pada menutup
setiap kemungkinan musuh untuk mengelak.
Dengan gerak perubahan yang sederhana, tidak terlalu
cepat, dan angin yang menderu ke empat penjuru ini ke arah
mana pun Arya mengelak tetap tidak akan terhindar dari
bacokan golok. Tapi ajaib, Arya ternyata tidak mengelak atau pun
menghindar, kelopak matanya bahkan tidak bergetar.
Sikapnya seperti bayi yang tertidur dan tertiup angin pantai,
sekalipun sepoi angin mengelus tajam kulitnya dan
mengibarkan helai rambutnya namun tetap tidak membangunkannya. Bahkan deru angin yang menyambar itu
seperti lebih mengasyikkan pemuda itu untuk tambah pulas.
Karuan setiap orang sama melengak. Nona muda itu
bahkan sampai menjerit ngeri.
"Sss" tiba-tiba terdengar suara desisan pelan, lalu
segalanya kembali senyap.
Ketika semua orang sama memandang ke arah Arya, anak
muda itu ternyata masih tertidur, tidak kurang suatu apa.
Golok buntung di tangan si Baju Hijau berhenti tepat
menempel di atas jidad Arya. Seutas rambut yang tadinya
menempel di atas jidat itu sudah terputus.
Wajah si Baju Hijau tampak memerah, tangan kanannya
yang memegang golok mengepal keras dengan otot yang
menegang putih. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pelan-pelan, dari sela-sela gagang golok yang dipegangnya
beberapa tetes darah merembes keluar. Rupanya untuk
menahan bacokan goloknya tadi si Baju Hijau telah
menggunakan seantero tenaganya sehingga telapak tangannya sampai terbeset.
"Kenapa berhenti, apa jidat kucing malas itu lebih keras
dari pada golok berkaratmu?" ejek si Baju Hitam.
Sikap si Baju Hijau sendiri agak luar biasa. Pandangan
matanya melekat erat ke arah jari kanan Arya yang
sebelumnya tidak terlihat dari s isi sini.
Perlahan-lahan wajahnya menegang, kemudian memerah.
Ejekan dari s i Baju Hitam sama sekali tidak diperhatikannya.
Perlahan ia memalingkan mukanya ke arah si Baju Kuning
dan pelan-pelan berkata, "Tangan kanan orang ini hanya
punya dua jari" Mendengar perkataan ini bahkan si Baju Kuning yang
selamanya adem ayem agak berubah paras mukanya.
"Jadi dia lah keparat si Sengatan Satu Titik Satu Nyawa"
desis si Baju Kuning sambil berjalan perlahan ke arah Arya.
"Kalau dia adalah keparat itu, kenapa kau hentikan bacokan
golokmu?" pertanyaan si Baju Hitam ini terdengar serius.
"Karena aku tidak bisa membunuhnya"
"Kenapa kau tidak bisa membunuhnya?"
"Karena keparat ini memang mempunyai ilmu maha tinggi"
sela si Baju Putih cepat.
"Ilmu maha tinggi kentut, satu bacokan s i kura-kura tua ini
saja hampir membelah kepalanya. Bagaimana dia bisa punya
ilmu maha tinggi?" kata si Baju Hitam sambil berjingkrak.
Si Baju Putih tersenyum sabar, "Seandainya kau yang di
bacok adi Sentanu, apa yang akan kau lakukan?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Akan ku tangkis dengan golok pusakaku" jawab si Baju
Hitam cepat. "Golok pusaka, hehe, Golok dari masa batu seperti itu kau
sebut golok pusaka?" ejek si Baju Hijau.
Kontan sepasang mata si Baju Hitam melotot besar, tapi
sebelum ia menjawab, si Baju Putih sudah berkata lebih
dahulu, "Dengan begitu kau akan me lawan keras dengan
keras. Dan kesempatanmu untuk menang pun tinggal
separoh, apalagi dengan perlawanan seperti itu kedua pihak
tak akan terhindar dari luka dalam, besar atau kecil"
Si Baju Hitam mengernyitkan kening, namun tak urung ia
membenarkan juga, "Tapi setidaknya lebih baik dari mandah
saja disembelih" "Dari mana kau tahu pemuda itu mandah di sembelih"
kenapa tidak kau perhatikan dimana dia meletakkan jari
kanannya?" potong si Baju Kuning dingin.
Si Baju Hitam melengak, segera ia memperhatikan jari
tangan kanan Arya. Sekejap kemudian wajahnya mendadak
berubah pucat. Rupanya kedua jari tangan kanan Arya terletak tepat di
jalur lintas bacokan golok. Ini artinya, dalam sekejap tadi,
kalau mau ia bisa menyerang pergelangan tangan si Baju
Hijau, tepat di jalan darah dimana terletak pusat pengerahan
tenaga si Baju Hijau, namun juga titik lemahnya.
Dan itu berarti, Sengatan satu titik, hanya satu kali, satu
tempat, namun juga meminta satu nyawa.
"Apalagi ketenangan pemuda itu, sekalipun kita berempat
digabung menjadi satu juga tidak akan bisa menandinginya, "
kata Si Baju Putih lagi. "Lalu apa yang harus kita lakukan?"tanya si Baju Hijau.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apa yang harus kita lakukan" tentu saja mundur teratur
dan mengeram saja selama hidup." sahut si Baju Hitam ketus.
Sepasang mata si Baju Hijau segera mendelik lagi, namun
belum sempat ia balas semprot, si Baju Kuning, yang agaknya
orang tertua dari keempat orang tua aneh itu mendahului
berkata, "Benar, kita memang harus mundur. Setelah orang
mengampuni kita memangnya kita masih tidak tahu malu dan
tidak hirau akan budi orang?"
"Lalu bagaimana dengan Ular Darah."
"Yang mati biarlah mati. Apalagi ia toh hanya sekadar ular
saja" sahut si Baju Kuning dingin.
Setelah termangu-mangu sejenak si Baju Kuning, diikuti
oleh ketiga kawannya perlahan me langkah ke arah hutan
sana. Langkah keempat orang tua ini tidak terlalu cepat,
namun sangat rapi dan dalam sekejap sudah menghilang di
rerimbunan hutan sana. Sepeninggal keempat orang tua aneh itu, Arya ternyata
tetap tertidur. Bahwa ada seorang nona cantik dengan sehelai
cadar yang basah oleh keringat dan tubuh agak payah
ternyata tidak membangkitkan minatnya untuk sekedar
membuka mata. Si Nona muda sendiri juga tidak ambil peduli dan lekas
duduk bersandar pada sebuah batu, sekejap kemudian sudah
tenggelam dalam meditasi pemulihan tenaga. Pedang
putihnya ditancapkan begitu saja pada batu hitam di
sebelahnya. Meski ditancapkan seperti tanpa menggunakan
tenaga, pedang berwarna putih awan itu melesak hampir
setengahnya. Angin berhembus pelan, menggoyang pucuk perdu dan
kelopak bunga yang mekar. Tetes air berhamburan laksana
gelembung sabun yang ditiup perlahan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Di kaki langit, selempang pelangi membayang bagaikan
pintu gerbang ke arah keabadian. Dua ekor burung elang,
dengan bentangan sayap yang bertumpuk, tampak terbang
pelan melintasi gerbang pelangi tersebut.
"Pelangi yang indah", t iba-tiba Arya menggumam perlahan.
Tubuhnya belum bergerak, tapi kelopak matanya terbuka
setengah, menyorotkan pandangan hangat.
Si Nona muda perlahan juga membuka matanya, nafasnya
berhembus perlahan dan hangat. Jari-jari tangannya perlahan
menyibak beberapa helai rambutnya yang nakal menggelitik
lehernya yang putih jenjang. Dengan hidung yang membayang bagai kelopak melati di balik cadarnya, dan liuk
tubuh yang anggun dan mengundang rasa hangat,
sebenarnya amat sulit untuk menilai nona jelita ini dengan
angka atau kata-kata, apalagi harga. Namun yang paling
menarik dari nona ini adalah pandangan matanya yang
bagaikan telaga pagi, dengan sorot layaknya matahari terbit.
Kalau kau bertemu wanita seperti ini, maka bukan saja hangat
yang akan kau rasakan dibawah perutmu, namun juga di
dalam hatimu. Bahkan Arya yang biasanya acuh tak acuh terhadap
apapun, mau tak mau harus mengakui hatinya berdesir ketika
sekejap tadi ia melirik wajah bercadar hijau itu.
"Ya, pelangi yang indah." Sahut nona muda itu pelan.
Berbeda ketika berbicara dengan keempat orang tua tadi, kali
ini suaranya lembut. Ketika mendengarnya Arya seperti
mendengar tujuh bidadari senyum dan tertawa berbareng.
"Tapi yang indah kenapa harus selalu cepat hilang?"
gumam Arya lagi seperti kepada diri sendiri.
Nona muda itu tersenyum, "Sekalipun yang indah selalu
cepat hilang, namun keindahan sendiri tak akan pernah
hilang." Belum habis kata-katanya nona muda ini mendadak
terdiam seperti menemukan sesuatu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Arya tersenyum, senyum yang hangat dan lembut, karena
bukan saja kini kedua ujung mulutnya yang tersenyum namun
hatinya juga mendadak terasa hangat.
"Terima kasih" ujar Nona muda itu perlahan, setelah
setengah harian terdiam. Raut muka Arya mengunjukkan T anya.
"Melihatmu memperhatikan pelangi tadi aku tiba-tiba
menemukan sesuatu. Sesuatu yang telah lama hilang."
"Oh?" "Dulu, ketika pertama kali nenekku mengajarkan ilmu
pedang pelangi satu warna ini, beliau pernah mengatakan apa
yang kukatakan tadi. Sekian lama aku mendengarnya tapi
baru kali ini aku memahaminya setelah kau menanyakannya."
Tutur nona muda itu. Lanjutnya lagi, "Bahwa sekalipun ilmu
silat mempunyai gerak perubahan yang terbatas namun dalam
penggunaannya ia harus hidup dan melebur bagaikan tujuh
warna pelangi yang jadi satu, satu yang tidak terbatas. Seperti
halnya pelangi yang indah bisa hilang dengan cepat, namun
keindahan sendiri tak akan pernah hilang"
Arya tersenyum, "Keajaiban dan misteri ilmu s ilat terkadang
memang datang tanpa diundang, seperti sebuah pertemuan
kebetulan yang menyenangkan."
"Yang kuharapkan semoga pertemuan kebetulan itu tidak
kadang-kadang, tapi sering"
Arya tertawa kecil, "Terhadap seseorang sepertimu, aku
yakin hal itu akan terjadi sesering mungkin"
Nona muda itu pun tertawa kecil, ujung bibirnya tampak
menjengkit kecil ketika berkata, "Orang sepertiku" Apa
maksudnya orang sepertiku" Dan kenapa dengan orang
sepertiku?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Arya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tertawa,
"Karena bahkan keajaiban akan selalu senang dengan nona
cilik yang menggemaskan"
Anak muda ini sepertinya memang jarang bicara, tapi
ketika bicara ia tidak bicara kecuali dengan apa yang ada di


Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hatinya. Paras Nona muda itu seketika memerah, "Dasar laki-laki,
kau sedang merayu atau menjerat mangsa?" omelnya pelan.
Arya bangkit dari berbaringnya, "Aku tidak sedang menjerat
siapapun, bahkan jika aku ingin pun aku tidak akan mampu"
Gadis itu merasakan kata-katanya meluncur begitu saja
secara naluriah ketika ia bertanya, "Kenapa?"
Arya tersenyum nakal, "Karena berhadapan dengan gadis
sepertimu, lelaki macam apapun tiba-tiba akan merasakan
dirinya terjerat lebih dahulu, apalagi bila darahnya masih agak
panas." "Kau mau keman?" Tanya nona muda itu ketika dilihatnya
Arya berjalan kesana perlahan.
Arya tidak menoleh, ia hanya menggumam, "Aku pun
seorang laki-laki, lagi pula darahku masih sering mendidih"
Berbeda dengan biasanya, kali ini, sekalipun masih
melangkah dengan perlahan tapi dalam dua tiga langkah saja
tubuhnya sudah berupa titik hitam di kejauhan sana.
Nona muda itu menghela nafas panjang, ia seperti
terpesona sekian lamanya sebelum tiba-tiba sepasang
matanya yang jeli memancarkan sinar yang lembut dan
bersemangat. ~Dewi-KZ~ Gemericik air terdengar ramai, bersahut-sahut dengan
kongkong kodok dan kerik jangkrik. Matahari tepat berada di
pusar langit. Daun-daun padi yang menghijau setengah kuning
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tampak gemerlap oleh bias cahaya matahari. Area persawahan
yang menghampar hijau, dengan beberapa petani yang asyik,
dan gunung yang membiru di jauh sana, seolah sebuah
lukisan dengan pigura kaki langit.
Seorang pemuda berbadan tegap dan kulit coklat
mengkilat, dengan dada telanjang, asik mengarahkan
cangkulnya ke pematang yang runtuh oleh hujan barusan.
"Hai", seseorang tiba-tiba menepuk bahunya dari belakang.
Pemuda itu melengak kaget, sambil menolehkan kepalanya
tangan kirinya berbareng juga meraba gagang golok yang
terselip di pingganya. "Untuk menyalamiku kau tidak usah menggunakan golok"
sahut orang itu sambil tertawa.
Beberapa kejap pemuda itu membiasakan matanya dengan
sinar matahari yang bersinar menyilaukan. Ketika dengan
tepat matanya bisa menangkap seratu wajah pucat dan putih
dibalik caping lebar di hadapannya segera ia berjingkrak
kaget. "Arya?"?"" jeritnya tertahan.
Arya tertawa, "Tidak usah terlalu bersemangat. Kau toh
pasti sudah mendengar namaku disebut-sebut beberapa hari
terakhir ini" Pemuda itu agaknya belum dapat sepenuhnya menguasai
perasaannya. Anggukan kepalanya seperti dilakukannya
dengan tidak sadar. "Kalau begitu, baik-baikkah kau, Mahesa Manunggal?"
Pemuda itu, yang bernama Mahesa Manunggal masih harus
mengatur nafas beberapa kali sebelum bisa menjawab, "Baik,
baik sekali, dan bagaimana kau?"
"Ku kira aku menjadi terkenal disini" jawab Arya sambil
tersenyum. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sambil bercakap-cakap mereka berdua berjalan menuju
gubuk milik Mahesa. Gubug itu, yang dibuat panggung dari
batang alang-alang kering tampak kokoh dengan penyangga
dari pokok bambu hijau. Bau ayam bakar menguar bersama
udara yang berhembus. "Dan bagaimana kabar adikku?" Tanya Arya dengan
tersenyum kecil. "Dan kau menanyakannya padaku?" Mata kiri Mahesa
melirik sekejap ke wajah Arya.
Arya tertawa, "Tidak kepadamu memangnya harus kepada
siapa?" Mahesa menyengir kesal. Arya tertawa senang, sejak dahulu salah satu kepandaian
Ratna Dewi yang paling lihai adalah membuat kesal orang lain.
Setiap orang yang mengenalnya paling tidak satu atau
beberapa kali harus tersenyum, atau menyengir kesa l.
"Aku datang untuk minta sedikit bantuanmu" kata Arya
sambil mencomot satu potong paha ayam.
"Dan kalau aku tidak bersedia?" Mahesa mengerling
sekejap. Arya tertawa, "Akan kusuruh Dewi mengerjaimu lebih
ganas." Mahesa segera tersenyum letih, "Kau mungkin tidak bisa
memaksaku dengan apa saja, kecuali dengan yang satu itu."
"Jadi kau bisa menyembelih beberapa ekor kuda itu nanti
malam." "Menyembeli kuda" Kau suruh aku menyembelih kuda?"
"Ya, setelah itu kau letakkan kepalanya di kawah belerang
ujung kademangan sana, pacak satu-satu dengan batang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bambu, dan jangan lupa pukul kentongan dengan irama titir
begitu malam menjelang"
"Memangnya apa yang kau inginkan?"
"Aku ingin orang-orang berkumpul di kawah belerang"
"Hanya itu?" Sepasang mata Arya menampilkan sorot aneh, "Ya, hanya
itu," lalu mulutnya sibuk mengunyah serat paha ayam untuk
ke sekian kalinya. Mahesa terdiam dengan tanya. Agaknya pemuda dengan
tulang jari yang terlihat kokoh itu belum begitu yakin dengan
apa yang didengarnya. Ketika menemukan sedikit rona keraguan di wajah Mahesa
Manunggal, Arya perlahan berucap, "Ku tahu kau agak ragu-
ragu terhadapku, tapi aku tidak punya pilihan lain"
Mahesa Manunggal menggeleng, "Meski kuakui ada sedikit
kebimbanganku, namun itu tidak berarti apapun dibanding
keyakinanku terhadapmu."
Setelah menampilkan sekulum hangat, sambungnya, "Ku
tahu Arya Dipaloka yang kutemui sekarang meski agak
berubah, namun tidak berbeda dengan Arya Dipaloka yang
dulu ku kenal" Arya segera merasakan hatinya hangat oleh rasa terima
kasih. Sebuah pengertian akan dirinya, yang telah lama
berjalan dan berubah, dari seorang sahabat sama halnya
seperti sepotong roti manis yang tiba-tiba hinggap di
perutnya. "Lalu berapa ekor kuda yang harus ku pancung?" Tanya
Mahesa. "Tiga ekor sudah lebih dari cukup, semakin menggemparkan semakin baik"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
~Dewi-KZ~ Bab IV, Istana Dasar Teratai
Suara kentongan dengan irama titir masih menggema di
kegelapan dengan terang bulan remang-remang ketika
sesosok bayangan terlihat mengendap diantara rerimbunan
pohon pisang. Gemuruh derap kaki kuda masih sesekali
terdengar. Layaknya seekor rajawali yang hinggap di wuwungan
rumah, sosok hitam itu dengan cepat melintasi atap-atap
rumah. Ia sedang bersiap untuk masuk ke jendela sebuah
rumah ketika beberapa jalur angin tajam dan suara mengaung
yang jernih mengiris punggungnya.
Dengan cepat ia mengibaskan lengan bajunya kebelakang,
dan dalam seketika tiga buah pisau pendek dengan bentuk
melengkung rontok di tengah jalan.
"Penghormatanku yang agak tidak pantas ini mohon Ki
Sanak memaafkannya," ucap seseorang dengan nada dingin di
belakang sana. Bayangan hitam itu, dengan sebatang pikulan kayu
tersampir di punggungnya tertawa dingin, "Memaafkan sih aku
tidak berani, hanya kalau gerakanku terlambat sedetik saja,
mungkin merepotkanmu untuk mengurus mayat tuaku, "
Orang yang berdiri tegak dengan sikap angker di atas
wuwungan rumah itu balik tertawa dingin, "Sekalipun aku
menimpuk dengan segenap kekuatanku, memangnya sanggup
melukai sejari tangan Kiai Santun Paranggi?"
Mendengar namanya disebut dengan tepat, bayangan
hitam itu, yang memang adalah Kiai Santun Paranggi tertawa
terkekeh, "Matamu tajam Demang Kebo Sora."
Demang Kebo Sora hanya tersenyum saja tanpa menjawab.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sedetik kemudian Kiai Santun Paranggi menghentikan
tawanya dan dengan bengis bertanya, "Kau menghadangku
disini, bukankah ada rasa curigamu terhadapku?"
Demang Kebo Sora tersenyum dan dengan dingin
menjawab, "Bahwa dalam beberapa hari ini beberapa
gembong persilatan menyantroni Kademangan Dipa Saloka
sini, adalah wajar kalau terhadap orang luar kami menyimpan
sedikit rasa was-was."
Kiai Santun Paranggi mendengus, "Apa juga terhadapku
kau berani menyimpan curiga?"
Demang Kebo Sora masih tersenyum, "Ah, mana berani,
aku hanya ingin sekadar bertanya saja kenapa dalam gelap
malam ini Kiai mencapekkan diri melompati atap-atap. Jika
sebelumnya menyuruhku untuk menyiapkan kuda kan jauh
lebih baik?" Kiai Santun Paranggi terdiam dan mencoba mengamati
wajah Demang Kebo Sora. Dibawah sinar bulan yang membias
remang, raut muka Demang Kebo Sora terlihat angker dan
tenang. "Lalu apa pendapatmu dengan suara titir itu?" Tanya Kiai
Santun Paranggi. "Seseorang kadang menimbulkan keributan di suatu tempat
untuk mengalihkan perhatian"
Kiai Santu Paranggi melengak, "Kau juga berpendapat
demikian?" Demang Kebo Sora berkerut kening, "Aku hanya belajar
dari kejadian yang lalu, dan kenapa Kiai juga berpendapat
demikian?" "Ketika ku dengar suara titir tadi, bersamaan juga kulihat
bayangan seseorang melintasi atap dan masuk ke jendela
sana, " Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bias wajah Demang Kebo Sora menampilkan perasaan
ragu-ragu, "Tapi satu-satunya bayangan yang kulihat adalah
Kiai sendiri, " Kiai Santun Paranggi menghela nafas, "Bahkan aku pun
hampir tidak mempercayai mataku sendiri bahwa di dunia ini
ada manusia dengan ilmu meringankan tubuh sedemikian
tinggi." "Bagaimana kalau memang tidak ada?"
Wajah Kiai Santun Paranggi segera berubah, "Sekalipun
tidak ada, memangnya dengan beberapa pisau dapurmu itu
kau pikir sanggup mengalahkanku?" dengusnya dingin.
Demang Kebo Sora tersenyum, "Ada atau tidak ada
persilahkan Kiai untuk ikut memeriksa."
Ketika terdengar suitan panjang dari mulut Demang Kebo
Sora segera tempat itu terang dengan nyala belasan obor.
Sejumlah dua puluh tiga pemuda dengan gendewa terbentang
ternyata telah siap mengepung tempat itu.
Diam-diam Kiai Santun Paranggi membatin, "Kebo Sora ini
tidak terlalu dikenal di dunia persilatan, tapi dari tenaga
dalamnya yang sempurna dan kecermatan tindakannya kukira
tidak banyak orang di dunia ini yang bisa menandinginya."
Secara berbareng Demang Kebo Sora dan Kiai Santun
Paranggi melayang masuk ke jendela yang mulanya dituju
oleh orang tua itu. Ruangan itu tidak terlalu luas, tidak berbeda dengan kamar
bedeng penduduk biasa. Meja dan pembaringan pun ditata
secara lumrah. Justru yang paling menyolok adalah bahwa
kamar itu terlalu rapi, sedikitpun tidak terlihat sebagai kamar
yang baru di masuki orang. Di beberapa tempat bahkan masih
terlihat lapisan debu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ku kira tidak ada orang yang masuk ke ruangan ini
sebelum kita," Kata Ki Demang sambil mencolek lapisan debu
di atas meja. Kiai Santun Paranggi mengangguk-anggukkan kepala, "Ya,
ku rasa aku pun mulai menganggap kedua matakku semakin
rabun." Setelah memeriksa lagi sekian lama dan masih tidak
menemukan sesuatu, Kiai Santun Paranggi berkata dengan
gegetun, "Kebo Sora, apa yang aku katakan tidak bisa ku
buktikan, sekarang terserah apa yang akan kau lakukan."
Ki Demang Kebo Sora menggelengkan kepalanya berulang
kali, sepasang matanya tercenung tajam, "Apa yang Kiai
katakan sekalipun tidak terbukti tapi juga tidak bisa begitu
saja dianggap salah. Ketika kita masuk tadi jendela ini terbuka
sebagian, jelas dimaksudkan untuk mengundang perhatian
bahwa seseorang telah masuk ke dalam atau keluar me lalui
jendela ini," "Tapi kita sudah memeriksa setiap sudut dan bekas kaki
tikus pun tidak kita temukan, memangnya di dunia ini terdapat
manusia yang bisa melayang seperti hantu?", sambung Kiai
Santun Paranggi. Seseorang tiba-tiba menyambung, "Sekalipun dia membuka
jendela, tapi bukankah tidak ada yang mengharuskannya
untuk masuk ke sini."
Sorot mata Ki Demang memandang pemuda itu lekat-lekat,
"Mahesa Manunggal, maksudmu orang itu

Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekadar mengalihkan perhatian kita?"
"Kupikir demikian." Jawab Mahesa Manunggal.
"Lalu apa arti suara titir itu?"
Mahesa Manunggal berfikir sejenak, "Orang itu mungkin
tahu, dengan hanya suara titir saja perhatian kita tidak akan
teralih sepenuhnya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Percakapan itu terputus ketika dari arah barat terdengar
jerit perempuan. Mendengar jeritan itu seketika wajah Ki Demang Kebo Sora
berubah pucat, dengan sekali menjejakkan kaki tubuhnya
sudah melayang sejauh lima enam meter, sedetik kemudian
sudah hilang ditelan malam. Tentu saja yang lain pun tidak
ketinggalan. Tubuh Ki Demang berlari cepat menuju rumahnya sendiri.
Jeritan tadi dikenalnya sebagai suara Ratna Dewi, anak
perempuannya. Ketika jarak dirinya dan rumahnya masih
selisih sekitar seratus meter, Ki Demang masih sempat melihat
sesosok bayangan hitam memanggul tubuh perempuan
dengan potongan mirip Ratna Dewi melesat keluar dari daun
jendela samping. Tanpa pikir panjang Ki Demang segera mengerahkan
segenap kemampuan Ilmu meringankan tubuhnya untuk
mengejar. Bayangan hitam itu agaknya juga menyadari ada seseorang
yang memburunya, tiba-tiba ia melompat ke atas atap,
melayang dan melintasi beberapa rumah, melompat turun,
dan anehnya, berlari menyusuri jalan raya.
Dalam sekejap, jalan kademangan pun ramai oleh teriakan
dan derap langkah berpuluh orang yang mengejar bayangan
hitam tadi. Di depan, tampak Ki Demang Kebo Sora dan Kiai
Santun Paranggi berlari berendeng.
Namun sekalipun sudah sepenuh tenaga para pengejar itu
berusaha memburu, jarak antara mereka dan si bayangan
hitam tak pernah memendek. Hal ini membuat Kiai Santun
Paranggi dan Ki Demang Kebo Sora penasaran, maklum
biasanya mereka sangat yakin dengan kepandaian masing-
masing yang dipatahkan dalam waktu beberapa puluh tahun.
Tapi sekarang bahkan mengejar seorang yang mengempit
tubuh manusia saja mereka tidak dapat memendekkan jarak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Apalagi orang itu lari dengan menyusuri jalan raya, seolah
mengejek pemburunya bahwa kalau ia mau maka dalam
sekejap dirinya akan mampu menghilang dari kejaran mereka.
Manusia Pemuja Bulan 3 Dewi Sri Tanjung 12 Aji Wisa Dahana Hikmah Pedang Hijau 12
^