Pencarian

Sengatan Satu Titik 4

Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo Bagian 4


"Oh ?" Risang Ontosoro kembali termenung. Setengah harian
kemudian ia baru membuka mulut, mengucapkan tiga bait
dengan nada setengah berkidung :
"Pergi itu kembali. Kosong berarti satu. Awan itu samar." Lalu tubuhnya membalik. Dengan satu loncatan panjang
hilang di gerumbul semak.
~Dewi-KZ~ Arya menyusuri galengan sawah. Kabut putih melayang-
layang, mengaburkan pandangan mata. Beberapa kali kakinya
terbenam dalam Lumpur. Padi yang menguning bergelayut
manja dalam irama pemujaan. Bergemerisik seolah berbisik.
Memperlihatkan kesujudan kepada Yang Maha Segala Maha
tanpa menyimpan pamrih. Meskipun cara berjalan Arya sangat tenang, namun
kepalanya benar-benar penuh. Berbagai hal, berbagai
peristiwa terjadi saling bersusul. Begitu cepat. Seolah
semuanya tidak berhubungan sama sekali. Namun juga seperti
menyimpan pesan yang saling berkaitan.
Dua yang terakhir adalah peristiwa di Kademangan dan
pertarungan, atau lebih tepatnya, pertemuan antara Setan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Galunggung Utara, Macan Taring Tunggal dan Risang
Ontosoro. Siapa wanita berbaju putih yang bertempur dengan Maling
Tiga Ratus Kaki tempo hari tentu saja Arya mengenalnya.
Bahkan mengenalnya dengan sangat baik. Karena wanita
itulah pokok perselisihannya
dengan ayahnya, yang membuatnya harus menoreh kebaktiannya kepada ayahnya
dengan segaris luka. Y ang bahkan tak gampang sembuh oleh
usapan panjang sang waktu.
Itulah wanita yang menyebabkan ibunya kehilangan
semangat hidupnya. Kehilangan kekuatan jiwanya. Dan
akhirnya harus berakhir dalam debu. Bertahta di atas duka.
Yang membuatnya terkejut sebenarnya bukanlah wanita
itu, atau kemampuannya dalam ilmu silat. Sejak dulu ia tahu
wanita itu memang mempunyai kepandaian. Bahkan cukup
tinggi kepandaiannya. Justru karena itulah maka ibunya
tersisih. Karena ibunya hanyalah perempuan desa biasa. Yang
hanya mahir berma in pisau dapur. Walaupun kesimpulan
terakhir ini agak meragukan sejak diketahuinya bahwa ibunya
adalah Putri Istana Dasar Teratai, yang tentu menguasai
dasar-dasar ilmu silat. Yang membuatnya terkejut adalah anak kecil dengan
pandangan mata kosong itu. Dan beberapa patah ucapan
wanita itu yang janggal. Kejadian kedua lebih tidak masuk akal lagi.
Tentang Risang Ontosoro itu, jelas mempunya ilmu silat
yang sangat tinggi. Sampai Setan Galunggung Utara dan
Macan Taring Tunggal tidak dapat menundukkannya dalam
serangan gabungan. Maka tingkatan ilmunya jelas diatas
Gagak Jemarit. Tapi kenapa bocah itu mandah saja ketika
Gagak Jemarit menangkapnya. Sesungguhnya apa maksudnya
" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dan sebab apa ia menghalangi Macan Taring Tunggal dan
Setan Galunggung Utara " bahkan mengetahui dengan jelas
bahwa kedua orang itu berasal dari Istana Seribu Kosong.
Terlalu banyak yang aneh dari bocah misteius itu.
Melihat tenaga yang digunakan untuk menyerang dengan
ratusan daun itu, jelas serupa dengan tenaga yang digunakan
untuk melempar ranting dalam pertarungan antara Maling
Tiga Ratus Kaki dan wanita berbaju putih. Apakah memang
anak itu yang membantu Maling T iga Ratus Kaki "
Macan Taring Tunggal dan Setan Galunggung Utara juga
aneh. Kenapa hanya menghadapi seorang anak tanggung saja
harus menyerang dengan tenaga gabungan. Ini jelas tidak
sesuai dengan jiwa persilatan dalam diri kedua tokoh itu.
Dan anjing itu, siapakah yang mengirimnya " apakah
diantara ketiga orang itu, atau ada orang lainnya "
Dan apa hubungan semua peristiwa ini dengan Wahyu
Kepala Naga " Samar-samar Arya merasakan perasaan yang tidak
nyaman. Seperti ada tangan halus yang mengendalikan semua
kejadian ini. Tapi untuk apa "
Beberapa pengawal Jatingaleh yang hilang tempo hari juga
belum diketemukannya. Sementara waktu terus menggerus.
Tak ada jeda. Tanpa sadar Arya meremas kepalannya. Betapapun misteri
ini harus tersingkap. Karena hal ini menyangkut kehormatan
pribadinya, menyangkut nilai yang dijunjungnya sepenuh hati.
Langkah Arya berhenti ketika tiba-tiba Mahesa Manunggal
muncul. Di tengah kabut yang menghampar, profilnya tampak
gagah. Arya mengernyitkan keningnya ketika me lihat Mahesa
Manunggal tidak sendiri. Seorang nenek dengan rambut putih
keperakan dan sorot mata lembut berdiri di sampingnya.
Sekilas Arya tidak melihat keistimewaan apapun pada diri
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
nenek tua itu. Namun nalurinya mengatakan kalau nenek tua
itu bukan orang biasa. Arya menghentikan langkahnya. Tersenyum, "Caramu
menyembelih kuda itu benar-benar sangat bagus. Tampaknya
aku benar-benar harus berterima kasih kepadamu."
"Cara itu memang sangat bagus. Aku sendiri bahkan tidak
menyangka bahwa aku benar-benar bisa melakukan pekerjaan
sebagus itu." Mahesa Manunggal menjawab. Suaranya seperti
mengandung maksud tertentu, "sayanganya pekerjaan yang
kau lakukan justru tidak terlalu bagus."
"Oh?" "Maka sebelum pekerjaanmu tambah semakin jelek,
sebaiknya kau mengatakan padaku dimana Ratna Dewi
berada." "Jangan lupa dia juga harus menyerahkan potongan bambu
di balik bajunya itu. Atau tampanya akan menjadi semakin
jelek." Si Nenek menyambung.
Bab XI, Kitab Teratai Sepasang mata Arya menyorot terang, bias aneh kembali
terpancar dari balik pupilnya, "Kenapa aku harus menyerahkannya ?" "Karena kau masih tidak ingin kehilangan nyawamu."
Arya tertawa, kalimat seperti itu sudah terlalu sering di
dengarnya, sekalipun berlum sekalipun ia pernah mengucapkannya. Pucat di wajahnya sedikit memburatkan
warna merah, "Rupanya kau yang mengirim anjing itu."
Rona keterkejutan tak dapat di sembunyikan dari wajah si
Nenek maupun Mahesa Manunggal.
Selang sejenak si Nenek tertawa dingin, "Setidaknya
otakmu tidak setumpul yang kukira."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kalau dipaksakan memang masih lumayan. Kenapa kau
mengirim anjing itu ?"
"Kadang anjing lebih berguna dari pada manusia."
Arya menganggukkan kepalanya, "Benar, setidaknya anjing
tidak akan terlalu banyak protes."
"Cuma di dunia ini kadang juga ada manusia yang tak
mempan di gigit anjing."
"Makanya kalian menyegatku disini."
Erangan katak yang tersambar ular sawah menyayat kabut.
Perasaan yang sama juga berkecamuk di kepala Arya. Ada hal
yang mendadak terpikir oleh benaknya. Sesuatu yang
membayangkannya pun ia tak berani.
Matanya mengerling Mahesa Manunggal, "Kau bertanya
kepadaku tentang Ratna Dewi, apa kau benar-benar tidak
tahu dimana dia berada ?"
"Kalau tahu, untuk apa bertanya ?" suaranya ketus,
nadanya dingin. Namun ada sesuatu yang terasa disembunyikan disana. Sederet penjelasan menjabar di kepala Arya. Malam itu,
entah siapa yang menculik Ratna Dewi, namun jelas penculik
itu berhubungan dengan Mahesa Manunggal. Hanya setelah
berhasil menculik Ratna Dewi, seorang lainnya, yang mungkin
saja bernama Ki Awu Lamut, berhasil menculik adiknya itu dari
tangan Mahesa Manunggal kemudian 'menyimpannya' di
gubuk bambunya. Tapi kenapa K i Awu Lamut harus menculik Ratna Dewi dari
tangan Mahesa Manunggal, kalau toh keamanan gadis itu
sudah terjamin di tangan tunangannya " dan apa tujuan
sebenarnya dari Mahesa Manunggal " kenapa sikapnya
berubah begini hebat " apa benar hanya karena persoalan
Ratna Dewi " atau ada hal lain yang tersembunyi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dan kau benar-benar menghendaki potongan bambu ini ?"
"Bukan dia, tapi aku." Si Nenek membenarkan.
Satu benang merah kembali terlihat. Siapapun Nenek itu,
dia pasti ada hubungannya dengan Istana Dasar Teratai.
Mengingat Kitab Teratai Menutup yang di bawanya jelas
adalah pusaka Istana Dasar Teratai.
Namun apa tepatnya kedudukan atau hubungan Nenek itu
dengan Istana Dasar Teratai seketika belum bisa ditebak oleh
Arya. Angin pagi menggoyang batang-batang padi. Ujung padi
yang gemuk memberat berayun-ayun kian kemari.
Senyum ironis tersembul di bibir Arya, "Jalan setapak ini
hanya selebar dua jari. Kalau aku ingin melewatinya, maka
harus melangkahi kalian."
"Dan kau tahu, melangkahi kami bukanlah pekerjaan yang
mudah." Si Nenek menjengek.
"Cuma aku juga tidak terbiasa melangkah mundur. Apalagi
padi-padi ini kelihatan begitu indah dan menyenangkan,
sungguh sayang kalau aku harus lewat dengan merusaknya."
"Maka hanya ada pertarungan." Si Nenek tampaknya tidak
bersiap, sikapnya tetap seperti semula, berdiri seenaknya.
Namun Arya bisa merasakan hawa pembunuhan yang semakin
menebal, mengoyak kabut pagi yang pelan-pelan menguap.
Bibir Arya mengembangkan senyuman seekor rubah tua,
"Biasanya aku tidak pernah menolak untuk bertarung, apalagi
sudah sekian lama kita tidak pernah bertemu, kepandaianmu
pasti sudah meningkat pesat, ingin benar aku melihatnya."
"Kalau begitu kita mulai saja."
Hawa pembunuhan menguar dari tubuh Mahesa Manunggal, mengoyak udara pagi yang bersih.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Arya seperti bimbang, beberapa kali tangannya mengelus
batang-batang padi yang kuning kasar.
Pandang matanya menyusuri
warna kuning yang menghampar dengan semu hijau di beberapa garis. Di
kejauhan sana seorang petani tampak seperti titik kecil. "Kalau
aku mati, maka tak ada yang ku salahkan. Betapapun
kematian hanya sebuah jalan yang harus dilewati. Bila kau
yang tewas, itu juga karena sebuah pertarungan yang adil,
kurasa kau tidak akan menyesalinya."
"Aku pasti tidak akan menyesal."
"Namun kalau karena pertarungan kita ratusan batang padi
ini terbabat dan rusak, tidak berdosakah kita terhadap dua
tiga perut yang menantikannya dengan harap, terhadap
sepasang tangan rapuh yang merawatnya tiap pagi ?" Arya
seperti bergumam terhadap dirinya sendiri. Suaranya
mengambang diantara embun yang mulai menguap.
Mahesa tak dapat menjawab, si Nenek juga tidak. Ada rasa
tidak nyaman yang tiba-tiba menganggu dada kedua orang ini.
Arya meneruskan gumangannya,
"Aku tidak tahu denganmu, tapi aku akan merasa sangat menyesal."
"Kalau begitu kau akan menyerahkan Ratna Dewi dan Kitab
Teratai Menutup ?" Mahesa memaksakan suaranya untuk tidak
berubah. Walaupun tetap ada nada sumbang yang samar.
Sepasang mata Arya menatap lurus. "Tidak, masih ada satu
jalan." "Oh ?" Entah bagaimana, tiba-tiba sepasang kaki Arya melesak ke
dalam tanah. Sebatas mata kaki, lutut, kemudian dengan
cepat tubuh dan kepalanya ikut terbenam, menyusup ke
dalam lumpur sawah. Tanah terasa tergetar sebentar. Lalu
sunyi. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mahesa Manunggal maupun si Nenek tidak sempat
memperkirakan apa yang terjadi. Bahkan berpikir ke sana pun
tidak. Kedua orang ini hanya melongo takjub. Maklum
pemandangan seperti ini sekalipun dalam mimpi pun jarang
orang yang melihatnya. Menunggu mereka sadar dengan apa
yang terjadi, Arya sudah lenyap di telan bumi. Benar-benar
ditelan bumi. Mahesa Manunggal memburu ke tempat Arya berdiri dan
hanya menemukan tanah yang gembur. Sebentuk pusaran air


Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tergambar di permukaan tanah selebar satu kaki.
Si Nenek mengambil nafas panjang. Membebaskan paru-
paru tuanya dari sesak yang mendadak menyerang. Sepasang
matanya tercenung tajam. Perlahan bibirnya seperti berbisik,
"Ilmu Belut Putih."
Mahesa Manunggal memandangnya tajam. Ilmu Belut Putih
merupakan sejenis kepandaian yang terkenal di antara orang-
orang golongan hitam, utamanya para Bajak dan Perompak.
Dengan ilmu itu mereka bisa menghilang diantara celah
karang dan ombak, maupun Lumpur sawah. Biasanya
digunakan kalau mereka sedang melarikan diri dari kejaran
musuh. Sebenarnya ilmu ini tidak begitu digemari. Apalagi oleh
orang golongan putih. Karena sifatnya yang memamerkan
kepengecutan dan terlebih karena ilmu ini dianggap tidak
sempurna. Umumnya orang yang menguasai kepandaian ini
sekalipun bisa membuat kulit tubuhnya licin laksana belut
sehingga sulit di pegang, namun belum ada yang benar-benar
bisa menghilangkan diri di kedalaman bumi atau sela-sela
ombak dan karang. Bahwa Arya bisa melakukan hal yang umumnya dianggap
mustahil ini sudah cukup memberi pukulan berat kepada si
Nenek maupun Mahesa Maunggal.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kukira kita terlalu memandang rendah terhadap sahabat
lamamu itu." Si Nenek berdesis. Nada suaranya menunjukkan
tekanan yang dalam. "Berita tentangnya terlalu simpang siur. Ada yang
menganggapnya iblis besar, ada juga yang menyangkanya
sebagai pendekar golongan putih. Tapi tak pernah ku dengar
ada orang yang mengatakan bahwa dia menguasai ilmu Belut
Putih sampai tingkat setinggi ini."
"Tampaknya kepandaiannya bahkan diluar apa yang kita
perhitungkan." "Tapi apa benar dia membawa Kitab Teratai Menutup ?"
"Kalau kabar yang kuterima benar, bahwa anak itu yang
menggantikan kedudukan ketua di Istana Dasar Teratai,
mengingat kepandaian dan kecerdasannya maka dapat
kupastikan Kitab Teratai Menutup memang sudah terjatuh ke
tangannya." Si Nenek menghela nafas panjang. "Pekerjaan ini
sepertinya bertambah semakin berat. Wahyu Kepala Naga
sebentar lagi akan muncul, sementara orang-orang yang
mengincarnya masih menyembunyikan kepala. Apakah badai
dua puluh tahun yang lalu akan kembali bertiup di dunia
persilatan ?" gumam si Nenek seperti kepada dirinya sendiri.
Bersama sepoi angin yang berhembus, kedua orang ini
melayang balik. ~Dewi-KZ~ Pondok bambu itu masih seperti hari-hari kemarin.
Warnanya yang bersemu kuning masih menyimpan kedamaian
yang menyejukkan. Belasan ekor ayam dan berbagai macam
unggas masih berkotek riang. Pun riak air yang memecah
pasir. Namun suara Ratna Dewi, Arum Puspita maupun Ki Awu
Lamut sudah tak terdengar.
Pintu tidak dikunci. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Arya mendorongnya perlahan. Tangannya sedikit bergetar
ketika menolak pintu. Ia tak memanggil, juga tak mengetuk
pintu. Benar saja, pondok itu kosong.
Arya mengedarkan pandangannya. Rasa cemas membuat
kulitnya sedikit bergetar.
Semua benda masih tertata di tempatnya. Rapi dan bersih.
Tak ada bekas yang ditinggal. Sebuah caping bambu tersampir
di dinding. Juga sebatang tongkat yang tampak amat tua.
Sepasang kursi dan meja, juga satu buah kursi panjang dari
bambu terpajang sederhana.
Ruangan itu sebenarnya tenang dan menyegarkan.
Siapapun yang memasukinya akan merasakan ketenangan
yang merasuk, menular dalam darah yang cepat berdetak.
Mungkin karena itu Ki Awu Lamut tak pernah kelihatan resah.
Wajahnya selalu bersemu merah. Memancarkan semangat
yang berkobar, kontras dengan usianya yang hampir satu
abad. Namun bagi Arya ruangan ini sekarang menjadi demikian
misterius. Seolah ada kabut yang memisahkan. Samar-samar,
namun mengganggu. Kenapa Ki Awu Lamut menculik Ratna Dewi dari Mahesa
Manunggal " apakah benar hanya sekadar menyelamatkan,
atau ada sesuatu dalam diri adiknya yang berhubunga dengan
kepentingan Ki Awu Lamut " Namun Ki Awu Lamut terkenal
karena sikapnya yang acuh tak acuh dan tak suka mencampuri
urusan orang lain. Hidupnya melulu hanya untuk obat dan
mengobati orang lain. Tapi siapa yang bisa memastikan "
Setiap orang punya rahasia. Seaneh dan seacuh apapun
seseorang, ia pasti punya kepentingan. Hidup ini kan berjalan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
karena setiap makhlup punya hasrat dan dorongan untuk
melaju. Manusia yang tak punya keinginan bukanlah manusia.
Namun kalau pun Ratna Dewi dan Arum Puspita tertawan
oleh Ki Awu Lamut saat ini, dalam waktu dekat ia mungkin
tidak perlu terlalu khawatir. Hubungan baiknya dengan orang
tua itu setidaknya akan menahan Ki Awu Lamut untuk
mencelakai kedua gadis itu sebelum berkonfirmasi dengannya.
Atau setidaknya membicarakan jual beli yang mungkin
diingankan orang tua itu.
Arya menghentikan lamunannya. Dijatuhkan tubuhnya ke
kursi panjang. Dengan nyaman punggunya merebah. Sudah
cukup lama tubuhnya tak beristirahat. Ketika otot-otot di
seluruh tubuhnya mengendor, baru ia menyadari bahwa sudah
sekian lama ia tak merasa begitu nyaman. Diam-diam ia
bersyukur bahwa seorang jenius yang menemukan model
kursi malas seperti ini dilahirkan sebelumnya, sehingga ia bisa
turut merasakan maha karya ini.
Sekarang ini masalah masih terus berkerumuk meminta
penyelesaian. Tapi seorang bijak tak akan membiarkan
tubuhnya mati karena penat. Seliat apapun seekor kuda, ia
tetap membutuhkan satu dua helai rumput hijau yang masih
basah. Maka Arya pun memutuskan untuk melupakan segala
hal sementara. Dilepaskannya kepalanya dari segala beban. Hidungnya
mengendus udara yang bersih segar. Telinganya mendengar
debur air dan kotek ayam. Pikirannya tenang menganyam
awan. Dengan cepat, kantuk mulai memberati matanya.
Namun hidup manusia selalu tak luput dari pelbagai
kejutan. Yang namanya kejutan, datangnya seperti telor
ayam, tak pernah terduga. Bila kau mengharapkannya, maka
ia akan menyembunyikan kepalanya rapat-rapat, layaknya
kura-kura yang masih perawan. Namun bila kau tak ingin dia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
datang, maka dia akan bertingkah seperti anak nakal yang
berumur belasan, tak pernah puas untuk terus menganggumu.
Sebelah kaki Arya sudah menginjak ladang mimpi ketika
cahaya di matanya yang setengah terpejam lapat-lapat
memantulkan berpuluh aksara. Huruf-huruf itu seperti ada,
seperti tak ada, menari-nari tak henti-hentinya.
Bila ada manusia yang menderita rasa kantuk luar biasa,
juga lapar yang melilit perut, biasanya dia akan mendahulukan
matanya dan melupakan perutnya sementara. Orang tidur kan
tidak lagi merasa lapar. Teknik ini biasanya cukup efektif
untuk mahasiswa yang jadwal makannya senin-kamis.
Namun bila seseorang diserang hawa kantuk dan rasa ingin
tahu, maka dia tidak akan bisa tidur sebelum rasa
keingintahuanya terpuaskan. Makanya banyak orang yang
sanggup begadang dua hari dua malam demi menghatamkan
cersil. Tak dapat disangkal bahwa Arya juga manusia. Namun ia
sebenarnya bukan seorang yang terlalu egois. Betapapun
sepasang matanya adalah salah satu sahabatnya yang paling
terpercaya. Maka sekuat tenaga coba dilupakannya huruf-
huruf itu. Tapi semakin dilupakan, malahan semakin jelas.
Pelupuk matanya seperti layar monitar yang tak dapat
dimatikan (memangnya zaman itu udah ada monitor ").
Dengan masygul, akhirnya dibukanya matanya.
Tepat diatas kepalanya adalah atap yang terbuat dari
genteng tanah. Tak seperti umumnya genteng yang tebal dan
lurus, genteng-genteng di pondok itu dibuat tipis dan
melengkung. Sedikit banyak Arya tahu kenapa genteng-
genteng di pondok bambu ini dibuat tipis melengkung.
Ki Awu Lamut pernah mengatakan bahwa ia suka
mendengarkan suara air hujan yang jatuh di atap, merasakan
mengalirnya air di atasnya. Air selalu merupakan keindahan
tersendiri bagi orang tua itu. Kecipak air danau, rintik air
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hujan. Semua itu merupakan puisi tanpa kata yang sangat
dinikmatinya. Waktu kecil Arya pernah melihat orang tua itu termenung-
menung mengamati embun yang beterbangan waktu malam,
menitik pada pucuk daun, kemudian kembali menguap,
menyegari udara. Anehnya, begitu Arya membuka matanya, puluhan huruf-
huruf yang tadi seperti hidup itu lantas lenyap tak berbekas.
Arya mencoba menajamkan matanya, meraih kesadarannya
yang tersisa, kemudian menggeleng-gelengnya kepalanya
beberapa kali, namun huruf-huruf itu tak juga muncul.
Kantuknya segera hilang oleh rasa penasaran yang semakin
berkobar. Seperti cicak, ia memanjat dinding.
Bergelantungan pada sebatang belandar yang melintang,
diamatinya genteng-genteng itu.
Ia perlu mendekatkan jarak lagi sebelum matanya
menumbuk semacam ukiran yang mirip huruf. Ah..bukan
huruf, ia mengenal berbagai macam huruf, namun tak ada
yang seperti ini. Arya mencoba mengamati genteng yang lain. Satu ukiran
lagi. Tapi juga tak mirip huruf.
Satu pikiran tiba-tiba berkelebat di otaknya, yang membuat
semburat merah di wajahnya terpancar tegas.
Berdebar-debar dikeluarkannya Potongan bambu yang
betuliskan K itab Teratai Menutup dari saku bajunya. Beberapa
kali jari telunjuknya mencoret-coret udara sebelum semburat
kegirangan memenuhi mukanya.
Ukiran di genteng itu ternyata adalah separuh huruf yang
pertama dari Kitab Teratai Menutup. Boleh dibilang itu adalah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kitab Teratai Membuka. Bila kedua potongan huruf itu
disatukan, maka akan terbentuk huruf yang sempurna.
Arya menghela nafas dengan tersenyum, menghempaskan
kegembiraan yang memenuhi dadanya.
Bibirnya berdecak kagum terhadap cara penyimpanan yang
luar biasa itu. Persoalan muncul ketika ia menyadari bahwa satu buah
genteng hanya bertuliskan satu potong huruf. Kalau ia ingin
membaca keseluruhan huruf-huruf itu, maka ia harus
mencopot seluruh genteng. Hal ini terlalu gila. T idak akan ada
orang yang merasa nyaman melihat orang muda seperti
dirinya mencopot atap rumah orang, apalagi hal ini akan
menarik perhatian. Maka ia mencari potongan kayu dan
dengan merangkak dan bergelantungan kesana kemari
menuliskan dan mengumpulkan potongan huruf-huruf itu.
Bulan sabit muncul dengan malu-ma lu ketika Arya diam
bersila. Di depannya, lima potong kayu dengan ratusan huruf
yang terukir. Dengan batin yang sunyi, Arya mencoba
menggerakkan daya ciptanya terhadap ratusan huruf itu. Dan
huruf-huruf itu mulai menari, bergelayut di tiap sel otaknya,
mengalir dalam pembuluh darahnya.
Dalam tenang yang seperti kuning telur, Arya melihat aliran
darah yang mengalir seakan tak berhenti. Hawa murni yang
berputar, lalu membuyar. Kemudian kembang teratai dengan
kuncup yang mekar, daun yang lebar mengambang.
Kitab Teratai Teratai adalah Teratai Ia mekar karena ia mekar.
Ia menapak air tanpa memberi riak.
Cinta adalah Cinta. Ia mekar karena ia mekar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia merasa tanpa melukai. Hidup adalah hidup. Ia berjalan karena ia Jalan.
~Dewi-KZ~ Arya merasakan darah di tubuhnya bergolak-golak. Detak
jantungnya berderap seakan melomba. Seekor naga seolah
sedang berenang di seluruh sel sarafnya.
Kitab Teratai sesungguhnya merupakan Kitab yang sangat
aneh. Berisi hanya kalimat-kalimat mirip puisi, atau kidung.
Bila orang biasa yang membacanya, maka dia hanya seperti
bernyanyi, dengan bait yang tidak jelas artinya. Namun bila
yang membacanya adalah seorang yang terbiasa dengan
rangkaian misteri alam, kerap mengasah jiwa dengan berbagai
laku, maka Kitab itu benar-benar akan memberi pengaruh
yang luar biasa. Pada dasarnya, Kitab Teratai tidak diciptakan untuk
dipelajari. Ia melainkan tak sengaja tercipta dari perpaduan
tiga kekuatan yang sedang bertarung. Tiga kekuatan berbeda
yang saling serang menyerang, namun juga saling
melengkapi. Maka isinya juga bukan pelajaran s ilat atau hawa
murni. Bait demi bait yang tertulis melulu melukiskan
pertarungan tiga kekuatan itu, beserta rasa dan emosi yang
terlontar dari tiga tokoh sakti yang bertarung.
Maka bagi seorang pemula dalam ilmu silat, kitab itu tidak
akan memberi manfaat apa-apa. Hanya bagi seorang yang
sudah mencapai pengertian cukup tinggi dalam ilmu silat,
bukan saja rasa yang terbit dari penghayatan kidungan itu
akan meningkatkan semangat, olah kekuatan dan sifat-sifat
pertarungan antara tiga kekuatan yang terkandung juga akan
berpadu dan saling menyempurnakan.


Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Fajar merekah merah ketika dari seluruh tubuh Arya
mengepul sejenis kabut air, tipis dan berjalur-jalur.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sambil menghembuskan nafas panjang, Arya meredakan
pergolakan darah dan hawa murninya. Sekujur badan
dirasakannya enteng seperti kapas. Mukanya yang pucat juga
sudah lebih memerah. Sebenarnya Arya berfikir untuk menghancurkan saja kelima
potongan kayu itu, tapi benaknya mendadak terfikir, bahwa
keadaannya mempelajari Kitab Teratai itu sekalipun terjadi
secara setengah ajaib dan tak terduga, tapi disisi lain juga
tanpa terlebih dahulu minta ijin terhadap yang menciptakannya, setidaknya pewarisnya. Bahwa sebagian
penggalan Kitab Teratai itu tertulis di sini, maka pasti Ki Awu
Lamut sedikit banyak berhubungan dengannya, paling tidak ia
lah yang menyalinnya ke genteng pondoknya. Meski sekarang
dirasakannya orang tua itu agak diliputi misteri, namun tata
sopan tak boleh diabaikan. Betapapun pantang bagi Arya
untuk mengambil barang milik orang lain tanpa ijin.
Maka diikatnya lima potong kayu bertuliskan Kitab Teratai
itu dalam satu buntalan. Setelah memandang sekeliling,
akhirnya diputuskannya untuk menyimpannya di balik caping
bambu yang tergantung di dinding.
Ketika menggantungkan potongan kayu berisi Kitab Teratai
di balik caping bambu inilah tiba-tiba matanya menangkap
secarik kain kecil berwarna hijau muda. Secarik kain itu terikat
pada tongkat tua di samping caping bambu.
Arya masih ingat, bahwa pakaian atau selendang yang
terikat di pinggang Arum Puspita agaknya juga terbuat dari
corak kain yang sama. Arya mengambil kain itu, mengamatinya sejenak, dan
segera menemukan bahwa kain itu kelihatannya memang
terobek dari selendang milik Arum Puspita. Apakah gadis itu
mencoba memberikan petunjuk terhadapnya karena tahu ia
pasti akan kembali ke tempat itu "
Di balik kain tertulis sepatah kata, Awan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan adanya petunjuk ini, Arya menjadi yakin bahwa
Ratna Dewi dan Arum Puspita agaknya memang tertawan oleh
Ki Awu Lamut dan kemungkinan besar tidak akan kembali ke
tempat ini, setidaknya dalam waktu dekat ini. Kalau memang
mereka tidak akan kembali, untuk apa pula menunggu"
Tapi apa sebenarnya yang dimaksudkan Arum Puspita
dengan kata Awan itu" apakah menunjuk puncak Sindoro
yang selalu diliputi awan putih itu" atau ada arti yang lain"
Sambil berjalan keluar, Arya kembali berfikir, beberapa
waktu lalu, Arum Puspita pernah menceritakan tentang Tiga
Istana Abadi, yang salah satunya bernama Istana Lautan
Awan. Apakah itu yang dimaksudkan oleh gadis itu"
Ketika melewati beberapa ekor ayam yang berkotek, Arya
menjadi teringat bahwa sejak tadi kemarin dirinya belum
makan apa-apa. Untuk melanjutkan perjalanan yang agaknya
tidak pendek ini, kalau harus dimulai dengan perut yang
kosong melilit kan begitu tidak berperasaan terhadap cacing-
cacing dalam perutnya yang selalu menemaninya dengan setia
baik dalam suka maupun duka.
Maka dengan sekali gerakan ia menangkap seekor ayam
disitu, pergi kebelakang pondok dan segera menemukan
tumpukan kayu bakar yang siap pakai.
Sambil mengunyah daging ayam yang terasa gurih, Arya
mengingatkan dirinya untuk tak merasa begitu berdosa
terhadap Ki Awu Lamut tentang seekor ayamnya ini.
Betapapun dirinya termasuk sedikit orang yang rapat dengan
orang tua itu. Maka cara makannya pun semakin lahap.
Sambil mengendus bau ayam bakar yang harum Arya
sempat heran bahwa kantuknya bisa hilang begitu saja.
Bergolaknya isi perut sebagai tanda dari mengamuknya Racun
30 hari Masuk Surga yang biasanya terjadi secara berkala
setiap matahari terbenam juga tak dirasakannya lagi.
Memangnya racun itu sudah tawar ".
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Arya menggeleng-gelengkan kepala. Sekalipun benar Kitab
Teratai teramat sakti, namun dari yang didengarnya, selama
300 tahun ini belum ada yang berhasil menawarkan Racun 30
Hari Masuk Surga. Mungkin kekuatan yang timbul dari
penghayatan Kitab Teratai itu hanya menetralkannya untuk
sementara saja. Sambil menghembuskan nafas panjang, Arya membersihkan sisa-sisa kayu bakar yang masih berserak.
Setelah sekian lama bergulat diantara hidup mati, sekarang ini
dirinya sudah terlebih paham bahwa yang paling pantas
ditakuti didunia ini adalah bila dirinya tidak bisa mempertanggung jawabkan apa yang dilakukan. Maka misteri
yang menguntitnya ini betapapun harus di singkap jelas.
Apakah mati yang akan jadi tumbalnya, itu urusan belakang.
Pucuk matahari mulai terlihat. Langit berwarna biru bersih.
Tapi mendadak dari tepi langit tertampak sinar merah yang
menyemburat ke atas. Sinar yang mencorot tajam itu hanya
tampak sekilas, tapi tentu tak terlepas dari pandangan mata
Arya. Seketika sorot mata Arya memancarkan sinar tajam.
~Dewi-KZ~ Ki Demang masih berbaring. Sekalipun nafasnya naik turun
teratur, namun kesadarannya belum lagi kembali. Sejak
ditemukannya tubuhnya sepuluh hari yang lalu kondisinya tak
berubah. Tidak memburuk, tapi juga tidak membaik. Hal ini
karuan membuat Ki Jagabaya dan yang lain-lain cemas tidak
karuan. Berbagai ramuan obat dan teknik pemyembuhan
sudah dilakukan, namun hasilnya nihil.
"Kakang Jagabaya, apa kau tidak merasakan hal yang aneh
dalam diri Kakang Kebo Sora?" Tanya wanita berbaju putih
yang bernama Pandan Kumala.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Jagabaya menganggukkan kepala, "Beberapa waktu lalu
penah ku dengar juga Ki Jamritha yang memberikan ramuan
kayu putih itu mengatakan bahwa dalam diri Adi Demang
mengendap semacam obat bius yang merenggut kesadarannya untuk sementara waktu. Waktu itu aku tidak
yakin, karena selain kulihat keadaan Adi Demang yang
nampaknya baik-baik saja, Ki Awu Lamut juga pernah
mengatakan bahwa kondisi K i Demang baik-baik saja."
"Ki Awu Lamut" Apakah dia yang memeriksa Kakang
Demang untuk pertama kali?"
"Benar." Sepasang alis Pandan Kumala bertaut, sementara tangan
kanannya perlahan mengusap keringat tipis yang merembes
dari dahi Ki Demang. Lalu ujarnya pelan, "Apakah Kakang
Jagabaya pernah berfikir tentang kemungkinan Ki Awu Lamut
yang memasukkan obat bius itu dalam tubuh Kakang Demang
?" Ki Jagabaya terbatuk-batuk, "Kuakui aku memang tidak
pernah berfikit sampai kesitu. Menurut apa yang kuketahui
dan sepanjang pengalaman bergaulku dengan orang tua itu,
tak pernah kudengar ia melakukan sesuatu yang melanggar
batas kewajaran, sekalipun cara bergaulnya memang agak
mendekati laku seorang pertapa."
Ki Jagabaya melirik Pacak Warak dengan ujung matanya.
"Tapi umumnya seorang tabib memang kehidupannya
sebagian tercurah untuk meneliti obat-obatan dan mengobati
orang lain. Hal ini juga tampak dari tabib-tabib yang lain."
Pacak Warak menyambung. Suara gedobrakan mendadak terdengar. Dari pintu masuk
seorang bocah dengan gaya linglung. Matanya jelalatan
kesana-kemari. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pandan Kumala segera bangkit, meraih bocah itu dan
meletakkannya dalam pangkuannya. Dirapikannya rambut
bocah itu yang kelihatan awut-awutan.
Ki Jagabaya sekilas memejamkan matanya. Rasa tak
nyaman selalu merembeti hatinya begitu melihat putra bungsu
Ki Demang itu dalam keadaan begitu rupa.
~Dewi-KZ~ Bab XII, Istana Lautan Awan
Bocah yang bernama Gagang Gerhana itu menoleh kesana-
kemari. Tampak jelas betapa sorot pandang bocah itu tidak
memperhatikan satu benda pun yang berada di ruangan itu.
Hanya sekilas tadi biji hitam matanya sempat sejenak
mengerling ke arah Ki Demang yang terbujur pingsan.
Sepasang mata Pandan Kumala yang pada mulanya sayu
ketika Gagang Gerhana datang mendadak bersinar terang
begitu melihat tangan kanan bocah itu mengenggam sesuatu
yang mirip ranting pohon.
Tak perlu berpikir dua kali bagi Pandan Kumala untuk
mengenali bahwa ranting itulah yang menghalangi serangannya terhadap Maling Tiga Ratus Kaki tempo hari. Tapi
bagaimana ranting itu bisa berada di tangan anaknya" Bahkan
pada saat pertempuran tempo hari tak ada seorangpun yang
memperhatikan ranting itu.
Ditatapnya mata anaknya, "Gerhana, dari mana kau
mendapatkannya?", tanyanya hati-hati.
Gagang Gerhana seperti tidak memperhatikan pertanyaan
ibunya. Kepalanya masih sibuk menoleh kian kemari.
Pandang Kumala menarik nafas. Kedua tangannya
memegang kedua sisi kepala Gagang Gerhana dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memandang lurus ke arah matanya. "Gerhana, dari mana kau
mendapatkan ranting ini?" suaranya mendesak.
Ki Jagabaya yang mempunyai ketajaman mata lumayan
tinggi bisa mengerti arah pertanyaan Pandan Kumala, tapi
Pacak Warak yang saat pertempuran tidak terlalu
memperhatikan jalannya peristiwa menjadi terbengong heran.
Gagang Gerhana mengeluarkan gumangan tidak jelas.
Bibirnya berkomat-kamit entah mengucapkan apa. Hanya
tangan kanannya yang memegang ranting tampak seperti
menggaris-garis udara. Pandan Kumala mengerutkan keningnya. Selintas ingatan
menyentak kepalanya. Dilepaskannya anak satu-satunya itu.
Begitu menyentuh tanah, seperti sengaja tidak sengaja
tangan kanan Gagang Gerhana mencoret-coret tanah. Yang
aneh, kedua matanya malah menatap tubuh Ki Demang
dengan termangu-mangu, seakan jiwa yang menggerakkan
tangan dan pandangan mata adalah dua jiwa yang berlainan.
Gerakan tangan Gagang Gerhana berhenti. Di lantai tanah
yang keras tergores satu kalimat. Istana Lautan Awan.
Paras muka Ki Jagabaya berkerut keheranan, lebih kepada
kelakuan Gagang Gerhana dari pada apa yang ditulisnya,
begitu juga Pacak Warak. Lain dengan Pandan Kumala yang
garis-garis wajahnya berubah keras. Sepasang tangannya juga
sedikit bergetar. "Kakang Jagabaya, kukira aku terlupa membasuh kedua
kaki bocah ini sehingga begitu kotor. Aku ke belakang dulu."
Pandan Kumala mencoba memperlunak suaranya. Namun toh
getar yang samar sempat tertangkap oleh telinga K i Jagabaya.
Pandan Kumala tak sempat melihat anggukan Ki Jagabaya
sebelum dengan cepat kakinya melangkah sambil menggendong Gagang Gerhana di pinggang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Gerombolan semut hitam menyingkir serabutan ketika
telapak kaki Pandan Kumala menginjak salah seorang dari
kawanan binatang hitam itu tanpa sengaja. Dengan
menggendong seorang bocah berbobot tiga puluhan kilo
langkah kaki wanita pertengahan baya itu masih tetap lincah
dan ringan. Melintasi gerumbul bambu yang hijau merimbun, terlihat
sebuah batu besar berlumut yang agaknya sudah sangat tua.
Batu itu berwarna hitam legam, sekilas tampak seperti seekor
kerbau mendekam. Dibawah batu tampak mata air yang bergemericik jernih.
Air yang bening menggumpal dengan garis tengah hanya
setengah meter. Siapapun yang melihat batu hitam berlumut itu pasti
menyangka bahwa batu itu adalah sebuah batu yang sudah
sangat kuno dan merupakan salah satu dari kewajaran alam.
Tak ada yang mengira bahwa ternyata batu hitam itu
merupakan sebuah batu yang ajaib.
Zaman dahulu kala, tertulis cerita yang menggambarkan
tentang kelahiran seekor unta besar dari belahan batu keras.
Tapi unta tidak cocok hidup di bumi Jawa. Maka batu itu
pun tidak melahirkan unta, melainkan manusia. Seorang
manusia yang tingginya tidak lebih dari setengah meter.
Namun sekalipun cebol, perawakan orang ini sangat kekar,
kepalanya bahkan termasuk sangat besar. Telinganya
meruncing tajam.

Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang aneh ini keluar begitu saja dari dalam batu ketika
Pandan Kumala mengetok-ngetok batu itu beberapa kali,
sambil tiga kali menepuk permukaan mata air.
Orang cebol ini berdiri di depan Pandan Kumala, tidak
berbicara, juga tidak memperlihatkan sikap menanya. Satu-
satunya yang tertangkap dari mimik wajahnya adalah bahwa
ia sangat patuh terhadap wanita istri K i Demang ini.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mereka benar-benar pergi ke Istana Lautan Awan?"
Orang ini mengangguk. Pandan Kumala tidak menanyakan kepastiannya. Karena ia
sangat tahu, berita apapun yang dibawa oleh orang ini tidak
pernah salah. Sejenak kepalanya berpaling memandang anaknya,
sebelum diletakkannya Gagang Gerhana di tanah.
"Kau suruh aku menjaga bocah ini?"
"Ya, sampai aku kembali."
"Lebih baik kau suruh aku membunuh orang, atau mencari
jarum yang hilang ditengah tumpukan tahi kerbau dari pada
suruh menjaga bocah ini."
"Aku tahu, menjaga bocah seperti ini bukanlah pekerjaan
yang mudah," matanya menatap si Cebol tajam, "tapi aku
tidak menyuruhmu memilih."
Itu artinya ia tidak punya pilihan lain.
"Ia hanya butuh makanan bila perutnya kosong. Juga kau
harus menjaganya agar tak seorang pun dari penduduk Dipa
Saloka mengetahui keberadaannya, atau bahkan hanya
melihatnya." Pandan Kumala tersenyum aneh, "Atau kau memilih untuk
kehilangan kepalamu."
Sekali berkelebat tubuhnya hilang di tengah rimbun bambu.
Si Cebol menghela nafas panjang, "Bocah ini hanya butuh
makanan bila perutnya kosong, tapi bagaimana aku tahu kalau
perutnya kosong." Kenyataannya Gagang Gerhana adalah seorang bocah yang
sangat aneh. Biar bagaimana lapar pun ia tidak akan
memperlihatkan ekspesi kelaparan di wajahnya, juga tidak
akan meminta makanan. Ia pun tidak mau makan kalau
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
perutnya tidak kosong, sekalipun misalnya setumpuk nasi
goreng dihidangkan di depan hidungnya.
Si Cebol agaknya sudah sekian lama berkumpul dengan
bocah ini, hal yang menjelaskan bahwa ia sedikit tahu
kebiasaan Gagang Gerhana. Namun kenapa Pandan Kumala
seperti menyembunyikan kenyataan ini dari orang-orang Dipa
Saloka" Memangnya dia pun memiliki kepentingan yang
tersembunyi" ~Dewi-KZ~ Berbeda dengan Istana Dasar Teratai dan Istana Seribu
Kosong yang keberadaannya sangat mesterius, sebaliknya,
keberadaan Istana Lautan Awan diketahui oleh hampir semua
ksatria dunia persilatan. Sekalipun beberapa tahun ini agak
merosot perkembangannya, namun sampai sejauh ini belum
ada seorang pun yang berani berbuat kurang ajar terhadap
Istana Lautan Awan. Konon, ketua dari Istana Lautan Awan adalah seorang
pertapa yang telah berusia hampir seratus lima puluh tahun.
Ketua ini, yang dikenal sebagai, Kiai Amuk Nanggala, dianggap
sebagai salah satu keajaiban dunia persilatan yang masih
tersisa, selain bahwa Istana Lautan Awan sendiri adalah juga
lambang kejayaan dunia persilatan yang masih berdiri kukuh.
Betapa tinggi kesaktiannya, bahkan sebagian orang ada
yang mengatakan bahwa Kiai Amuk Nanggala ini sanggup
berada di dua tempat sekaligus. Juga bergerak secepat
putaran angin. Hanya karena dua puluh tahun terakhir orang tua ini
banyak mengurung diri di tempat pertapannya, sehingga
generasi terakhir dari dunia persilatan tidak terlalu jelas
tentang kenyataan sebenarnya dari Kiai Amuk Nanggala.
Orang-orang muda hanya mendengar dari cerita guru maupun
orang-orang tua mereka tentang mitos Kiai Amuk Nanggala.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun bahwa Kiai Amuk Nanggala adalah sa lah satu tokoh
pujaan dunia persilatan yang ditakuti sekaligus dihormati
adalah hal yang tidak terbantah.
Sekarang ini, sekalipun jabatan resmi ketua masih dipegang
oleh Kiai Amuk Nanggala, namun dalam urusan keseharian
Istana Lautan Awan sebagian besar dilaksanakan oleh murid
tertuanya, yaitu Ki Banjar Pasutan, bersama dengan dua
orang adik seperguruannya, yang masing-masing bernama, Ki
Rekti Panarakan dan Nyai Gelang Panarakan. Yang kedua
terakhir ini merupakan suami istri. Sementara Kiai Amuk
Nanggala sendiri lebih banyak menghabiskan waktunya di
kamar pertapaannya, bahkan selama lima tahun terakhir ini,
selain ketiga muridnya dan seorang murid yang bertugas
mengantar makanan, tak seorang pun yang pernah melihat
rupa asli Kiai Amuk Nanggala.
Istana Lautan Awan terletak di sebuah pulau karang yang
sangat tinggi. Dikelilingi oleh deburan ombak samudra yang
setiap detik berusaha memecah dasar karang. Boleh dikata
tempat ini merupakan salah satu keajaiban dunia yang sulit
dicari bandingannya. Dengan pulau karang yang seolah
muncul begitu saja dari dasar laut, bertengger gagah di
permukaan buih yang bergelombang, dan dengan bangunan
Istana berwarna putih pualam yang setiap saat seperti hilang
timbul di tengah beraraknya awan, membuat siapapun yang
memandangnya akan berdecak kagum.
Pulau karang itu sendiri terletak beberapa ratus meter dari
bibir pantai. Maka bagi siapapun yang berniat berkunjung ke
Istana Lautan Awan, ia harus menyebrang dengan naik
sebuah sampan kecil yang tertambat di beberapa patok kayu
di bibir pantai. Sedangkan Pantai itu merupakan sebuah pantai pasir putih
yang gemerlap oleh kilauan titik-titik hijau pada waktu malam.
Dengan ratusan pohon kelapa dan nyiur yang selalu berayun
melambai, dan buah yang berwarna hijau segar Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bergelantungan manja, menambah keelokan alam yang
perkasa ini. Pada musim tertentu, ribuan ekor penyu seolah ratusan
batalion akan datang bergelombang, menyimpan telur-
telurnya di kehangatan pasir pantai. Bila orang datang pada
saat demikian, bukan saja ia akan melihat penyu-penyu itu
yang seakan datang dari negeri seberang, juga ia akan
beruntung dapat menikmati telur penyu yang lain dari pada
yang lain. Istana Lautan Awan, seperti biasanya, selalu dalam
suasana sunyi yang khidmat. Ratusan orang yang lewat dan
berjalan di lorong-lorong dan ruangan Istana ini, namun
gaduh kecil pun tak pernah terdengar. Setiap orang berbicara
dengan lirih, melangkah dengan hati-hati. Hanya di halaman
samping terdengar teriakan-teriakan berirama dari dua
puluhan pemuda yang berlatih silat secara berkelompok.
Sekalipun menggunakan kata Istana, namun itu tak lain
hanya sebatas sebutan saja. Kenyataannya Istana ini lebih
mirip sebuah perguruan silat. Hanya memang disiplin yang
berlaku dalam Istana ini lain dari pada yang lain. Latihan
menahan diri dan ketenangan adalah dua hal pokok yang
terus dipupuk di setiap anak murid Istana Lautan Awan. Itulah
sebabnya sekalipun berpenghuni ratusan orang namun tak
suara ribut pun terdengar di Istana ini.
Namun pagi itu, seorang anak murid berumur pertengahan
baya yang bertugas mengurus keperluan dapur tampak
berjalan mondar-mandir dengan dahi berkerut. Murid itu
bernama Sambang Rejo, sudah bertahun-tahun menjadi
pengurus dapur. Ruangan dapur itu sendiri cukup luas, berisi
tiga tungku besar dengan tiga buah kuali yang sebesar dua
puluh kali perut orang dewasa, bertengger di mulut tungku.
Ketika seorang murid lain masuk ke ruangan dapur itu,
Sambang Rejo segera menarik tangan temannya itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ada apa ?" Tanya temannya yang bernama Sawuk Mancur
itu dengan suara kaget. Maklum tidak biasanya teman
tugasnya ini berlaku begini aneh.
"Apa kau lihat rempelo (limpa) bangau yang kumasak pagi
tadi?" suara Sambang Rejo terdengar khawatir.
"Bukankah kau yang memasaknya?"
Sambang Rejo mengangguk-angguk.
"Lalu bagaimana aku lebih tahu dari pada kau?"
"Apa bukan kau yang mengambilnya?"
Sawuk Mancur tertawa, "Sekalipun aku mempunyai nyali
sebesar kuali itu, tak nanti aku berani mengambilnya."
Limpa bangau itu dimasak dengan pesanan khusus dari
Nyai Gelang Panarakan yang sekalipun tidak hamil tapi suka
ngidam berbagai macam makanan yang aneh-aneh. Ada
malah dia pernah ngidam rendeng kuku kuda.
"Benar juga." Desah Sambang Rejo sambil melepaskan
tangan temannya. "Apa limpa itu hilang?" Tanya Sawuk Mancur dengan hati-
hati. Rona khawatir mulai membayang di mukanya. Maklum
betapa galak dan pedasnya (emangnya jahe") Nyai Gelang
Panarakan sudah bukan rahasia lagi.
"Kalau tidak hilang masakah aku sampai bertanya
padamu?" jawab Sambang Rejo sambil menarik muka.
Mendadak Sawuk Mancur menarik lengan temannya ke
sudut ruangan. Setelah celingak-celinguk ke sana kemari
barulah ia berbisik dengna suara tertekan, "Apakah perkara
kehilangan ini sudah terjadi beberapa kali?"
Ganti Sambang Rejo yang melengak, "Bagaimana kau
tahu?" "Apakah yang tercuri selalu makanan yang istimewa?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Memangnya kau ini sudah kawin dengan kuntilanak
sehingga bisa tahu isi hatiku?"
Sawuk Mancur menarik muka, "Kau sendiri yang kawin
dengan demit." "Lalu bagaimana kau tahu?"
"Aku tahu karena pada hari-hari tugasku juga terjadi
kehilangan yang demikian."
"Apakah selalu makanan yang istimewa"."
Sawuk Mancur mengangguk-angguk, "Bahkan makanan
yang tercuri adalah goreng otak ikan yang kusiapkan khusus
untuk Ki Banjar Pasutan."
Mendadak Sambang Rejo tertawa, "Kukira kau dan aku
memang berjodoh. Setiap yang terjadi padamu selalu pula aku
tertimpa hal yang sama."
"Sembarangan kau. Aku masih suka perempuan." Jengek
Sawuk Mancur sambil menarik muka.
"Bukan itu maksudku. Aku hanya mengingatkanmu tentang
adik perempuanmu itu." Tukas Sambang Rejo sambil tertawa.
Sawuk Mancur menyentakkan tangan temannya, dan
dengan bergegas meninggalkan ruangan begitu suara
kentongan mengumandang dua kali. Tinggal Sambang Rejo
yang dengan pusing berputar-putar di kepalanya memandangi
piring porselen tempat diletakkannya limpa bangau itu semula.
Berharap limpa bangau itu akan muncul secara ajaib.
Suara kentongan dua kali adalah pertanda makan siang.
Biasanya seluruh anak murid akan duduk berjejer di sebuah
barak yang memanjang, berhadapan dengan angin laut yang
meniup sepoi. Di ujung barak itu barulah terdapat sebuah
meja istimewa yang hanya berhak digunakan oleh ketiga
tetua, yaitu Ki Banjar Panutan dan dua adik seperguruannya.
Kalau dilihat sepintas, ruangan itu seperti sebuah restoran
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
alam yang ditata apik. Kenyataannya, setiap ruangan di Istana
Lautan Awan selalu punya keindahan tersendiri.
"Mana limpa bangau yang kupesan?" suara Nyai Gelang
Panarakan terdengar nyaring. Serentak semua tangan dan
mulut menghentikan gerak. Tontonan yang menarik pasti tak
akan disiasiakan oleh siapapun. Justru orang kalau lagi marah
mencak-mencak maka dia akan menjadi tontonan yang
mengasikkan. Tapi orang nya sendiri malahan tidak sadar
bahwa dia telah menjadi tontonan. Maka itu bila kau sedang
marah terhadap seseorang, biasanya disampingmu akan ada
orang yang tertawa geli. Karena orang marah bukan saja
sebuah tontonan yang menarik, tapi juga menggelikan.
Sambang Rejo hanya menunduk saja. Sedikitpun tidak
berani mendongakkan kepala, apalagi menjawab. Kalau
melihat gemetaran kakinya, seolah-olah ia sedang menghadapi pengadilan kasus pidana mati. Orang biasanya
hanya tahu bahwa perempuan yang dimarahi oleh lakinya
pasti tidak akan berkutik, tak tersangka bila laki-laki dimarahi
kaum perempuan pun tidak ada bedanya. Makanya di dunia ini
selain banyak istri yang takut suami, suami yang takut istri
pun tidak sedikit. "Kenapa tidak menjawab, apa mulutmu ada jahitan
setannya?" "Kau tanya cara demikian padanya, sekalipun aku juga
tidak akan sanggup menjawab." suara Ki Rekti Panarakan
mencoba menengahi. "Kenapa" Memangnya suaraku seperti lolongan burung
hantu?" sentak Nyai Gelang.
Ki Rekti Panarakan hanya tertawa saja. Sebenarnya ia ingin
mengatakan bahwa pertanyaan istrinya itu lebih menakutkan
dari pada lolongan burung hantu yang sudah sangat tua.
Namun ditelannya kembali perkataannya itu ke dalam perut.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Nyai Gelang Panarakan memelototi Sambang Rejo sambil


Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkacak pinggang, "Atau jangan-jangan limpa bangau itu kau
sembunyikan di perut busukmu itu?"
Sambang Rejo menggeleng-gelengkan kepalanya cepat-
cepat. Tangannya semakin rapat tertekuk di depan perutnya.
Seakan takut pelototan Nyonya itu akan melubangi isi nasinya.
Suasana mencekam itu pecah oleh suara Ki Banjar
Panutan, "Bukankah peristiwa kehilangan ini bukan pertama
kali?" Betapapun seseorang kalau sudah mencapai tingkat yang
sangat tinggi lagak-lagunya memang lain dari yang lain. Tak
terkecuali Ki Banjar Panutan ini yang suaranya saja sudah
mengandung kegagahan tersendiri.
Sambang Rejo yang serasa mendapat pengampunan dari
vonis mati segera mengangguk beberapa kali, "Benar, benar,
Kiai." "Kalau peristiwa kehilangan ini terjadi sekali, maka bolehlah
dikatakan sebagai ketelodoranmu. Namun kalau sampai terjadi
beberapa kali bukankah berubah menjadi sebuah peristiwa
yang ganjil?" "Akan terlebih ganjil lagi jika ternyata yang hilang itu
semuanya adalah makanan-makanan istimewa." Sambung Ki
Rekti Panarakan. Nyata tersohotnya nama Istana Lautan Awan memang
bukan nama kosong belaka. Sampai ada makanan yang hilang
dari daftar di bagian dapurpun mereka dapat mengetahuinya.
"Ya, kalau dalam rumah sebesar ini ternyata terdapat
seekor kucing besar yang doyan makanan-makanan enak.
Sungguh membuat orang penasaran saja."
"Padahal selamanya kita tidak pernah memelihara kucing."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kalian dua setan ini sedang membicarakan apa?" Nyata
cara bicara Nyai Gelang Panarakan terhadap siapapun
memang tidak berbeda. Semua yang ada diperutnya
dikeluarkannya tanpa dihaluskan terlebih dahulu.
"Memangnya kau belum lagi paham" Kami dua setan ini
sedang membicarakan sebuah permainan sederhana." Jawab
Ki Rekti Panarakan sambil tersenyum. Biasanya kebanyakan
lelaki akan jemu bila bertemu dengan perempuan yang agak
kasar cara bicaranya seperti Nyai Gelang Panarakan ini. Tapi
ada juga sementara lelaki yang justru bergairah bila
menemukan perempuan seperti ini. Serupa seorang yang
gemar memakan sambal, pasti akan sangat bergairah bila
menemukan secoek sambal yang sangat pedas.
"Permainan apa" Memangnya kalian berdua sudah pikun
semua, masakah setua ini masih bisa memikir segala
permainan." "Semakin tua seseorang, biasanya sifatnya juga akan
semakin mendekati watak anak kecil. Lagi pula permainan
yang kami mainkan ini ku jamin sekalipun seorang dewasa
juga akan tertarik."
Semua yang ada diruangan tak ada yang bersuara. Karena
permainan ini bukan saja menarik untuk anak kecil, bahkan
orang dewasa pun tak akan sabar menunggu adegan
selanjutnya. "Sesungguhnya ada permainan apa?"
"Permainan Menangkap Kucing."
"Biasanya orang hanya pandai menangkap tikus, atau
memburu harimau. Dari dulu justru tak ada orang yang
tertarik untuk berburu kucing."
Karena kucing hakikatnya tidak usah diburu. Asal kau
meletakkan seikat tulang di dapur dengan sendirinya ia pun
akan datang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dan kalian berdua justru tertarik terhadap hal yang dari
dulu orang tidak tertarik melakukannya" Memangnya kalian
sudah bukan orang lagi?"
"Kami tertarik bukan karena kami bukan orang lagi, tapi
karena kucing ini bukan kucing biasa."
"Memangnya kucing apa?"
"Kucing yang sangat istimewa."
"Lagi pula hanya mau mencuri makanan-makanan
istimewa." Sambung Ki Banjar Panutan.
Nyai Gelang Panarakan agaknya sudah dapat memahami
permainan memburu kucing ini. Dengan sendirinya semua
orang yang mendengarnya juga sudah bisa memahami.
"Lalu bagaimana kalian akan menangkap kucing ini?"
Ki Rekti Panarakan tertawa, mimik wajahnya seperti
seorang pemburu yang cerdik, "Kalau kau ingin menangkap
tikus, apa yang kau lakukan?"
"Aku tidak pernah menangkap tikus."
"Kebanyakan orang perempuan memang merasa geli jika
melihat tikus. Apa tah lagi menangkapnya." Sela Ki Banjar
Panutan. "Aku bahkan menyangka dimana ruangan dapur pun dia
tidak tahu." Sahut Ki Rekti Panarakan, "Tapi kau pasti tahu
bukan?" kepalanya berpaling ke arah Sambang Rejo.
Sambang Rejo mengangguk, "Biasanya aku akan menaruh
racun tikus dalam makanan yang kusiapkan."
"Benar. Tapi apa kau tahu bahwa untuk menangkap
kucingpun ternyata bisa digunakan metode yang sama?"
"Maksud Kiai?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bukankah ketika kau menangkap bangau itu tempo hari
aku berpesan kepadamu bahwa siapapun tak boleh mencicipi
limpa bangau itu sebelum kau hidangkan kemari. Bahkan tidak
terkecuali kau sendiri?"
Sambang Rejo mengangguk. Mulanya ia menyangka Ki
Rekti Panarakan tidak menginginkan siapapun mencicipi
makanan untuk istrinya. Tapi agaknya ada maksud lain dari
pesan itu. "Dan bukankah tidak ada yang mencicipi limpa bangau itu?"
"Bahkan saya pun tidak berani."
"Kenapa kau larang dia mencicipinya" Kalau tidakmencicipinya bagaimana dia tahu kalau rasanya sudah
pas dan tidak keasinan?" Nyai Gelang Panarakan tidak tahan
untuk bertanya. Ki Rekti Panarakan tertawa. Agaknya ia adalah tipe orang
yang banyak tertawa. "Karena kalau dia mencicipinya, maka ia
akan berubah menjadi kucing tidur."
Belum selesai kata-katanya diucapkan tiba-tiba dari atas
belandar terjatuh sebuah benda yang lumayan besar. Mirip
karung beras yang menggelembung.
"Brakk" benda yang bulat m irip karung menggelembung itu
jatuh tepat di meja mereka bertiga. Begitu jatuh, begitu meja
jamuan itu pecah berantakan.
Meja dari batu pualam putih itu ternyata tidak kuat
menahan daya jatuh dari benda itu, sepertinya yang jatuh
bukanlah karung, tapi sesuatu yang amat besar dan berat.
~Dewi-KZ~ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bab XIII, Cerita Pak Tua Lucu
Ki Banjar Panutan sudah menyingkir ke samping. Meskipun
sudah cukup tua, namun reaksinya tak kalah dengan anak
umur dua puluhan, apalagi pembawaannya memang tegap
dan kuat. Begitu juga Ki Rekti Panarakan dan isterinya.
Benda yang jatuh itu ternyata orang. Orang yang masih
hidup. Kelihatan besar karena perut orang ini memang lebih
besar dari gentong. Anehnya orang ini serupa orang yang dua
puluh tahun tidak tidur, begitu jatuh langsung mendengkur.
Orang dengan perut sebesar gentong ini tentu saja tak lain
tak bukan adalah Setan Galunggung Utara. Walaupun sempat
dihalangi oleh Risang Ontosoro namun karena bandel dan
penasaran akhirnya diteruskannya juga perjalannya ke Istana
Lautan Awan. Cuma kedatangannya bukan sebagai tamu,
kalau boleh dikatakan perannya adalah menjadi penjaga diam-
diam, sebagaimana pesan Nenek tua dulu itu. Maka seketika
tidak dapat diperlihatkan dirinya terang-terang. Maka ia pun
diam-diam bersembunyi di salah satu ruangan dalam istana.
Namun setiap orang pasti butuh makan. Apalagi perut
seukuran milik Setan Galunggung Utara itu, dengan sendirinya
porsinya juga lebih dari orang biasa.
Celakanya, dirinya tak bisa minta secara terang-terangan,
untuk ke daratan juga harus menyebrangi lautan dulu. Apalagi
desa yang terdekat juga sedikitnya berjarak satu hari
perjalanan dari s itu. Setelah memikir panjang pendek akhirnya diputuskannya
untuk mencomot sebagian jatah penghuni Istana Lautan
Awan. Namun apa lacur, sekalipun banyak makanan yang bisa
dicuri, tapi toh Setan Galunggung Utara tak dapat mengambil
apa adanya. Walaupun hal ini sebenarnya tak terlalu susah
dipahami, bukankah setiap pencuri selalu mencuri hanya
barang-barang yang berharga dan istimewa"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Maka akibatnya ia pun berubah jadi setan tidur. Tampaknya
tidurnya bahkan cukup nyenyak, kelihatan walaupun terjatuh
dari belandar tinggi dan menimpa meja pula namun kedua
kelopak matanya tak bergerak, suara ngoroknya bahkan masih
terdengar. "Ini sih bukan kucing tidur, tapi kucing gemuk. Bahkan
kelewatan gemuknya." Celutuk Nyai Gelang Panarakan sambil
terkikik. "Ya, aku pun tidak menyangkan kalau kucing tidur ini
ternyata begini gemuk. Pantas banyak makanan yang ia curi."
Ki Rekti Panarakan berpaling ke arah kakak seperguruannya, "Apa kau kenal kucing tidur ini?"
"Pada dua puluh tahun yang lalu, hanya sedikit orang yang
tidak kenal padanya."
"Tapi pada tahun-tahun belakangan ini bukankah tidak ada
orang yang melihatnya?"
"Hanya karena tidak ada orang yang melihatnya, bukan
berarti ia tidak ada."
"Tapi kenapa sekarang ia tiba-tiba muncul di sini?" Nyai
Gelang Panarakan menyela.
"Kau tanya padaku, memangnya aku adalah cacing di
perutnya?" jawab Ki Rekti Panarakan sambil mengulum
senyum. Nyai Gelang Panarakan melotot ke arah suaminya,
maksudnya ingin mengomel tapi didahului oleh Ki Banjar
Panutan, "Apapun maksudnya, yang terpenting mulai
sekarang penjagaan harus diperketat. Ramalan Bapa Guru
agaknya mulai mendekati waktunya." Suara Ki Banjar
terdengar prihatin. Entah apa yang dimaksudkannya dengan
ramalan itu. ~Dewi-KZ~ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Diantara delapan Kademangan besar, yang paling ramai
adalah Kademangan Jatingaleh, yang paling ramah penduduknya Dipa Saloka, sedangkan yang paling kaya adalah
Kademangan Rawa Biru. Sebagaimana namanya, Kademangan Rawa Biru terletak
mengelilingi sebuah rawa, atau lebih tepatnya danau dengan
beberapa bagian tanah berlumpur di beberapa tempat.
Wilayahnya sendiri tidak terlalu luas, diapit oleh dua buah
gunung kecil bernama Manuk Kanginan dan Cemara Ondo.
Dengan tanah yang subur dan air yang berlimpah itulah,
setiap jengkal tanah di Kademangan Rawa biru selalu
berselimut kehijiauan. Sangat cocok untuk pertanian maupun
peternakan. Petak-petak hijau menghampar seakan tak
bertepi. Lenguhan sapi dan embikan kambing mengirama tak
henti. Pada waktu sore, gerombolan kerbau dan sapi layaknya
pori-pori hitam tersebar di tepi Rawa, yang airnya jernih
membiru, dengan ombak tipis bersusul rapi. Seorang seniman
yang melihatnya dengan mata hati akan menatap rawa itu
bagaikan kain sutra biru yang dibentangkan, sesekali
mengombak tertiup sepoi angin.
Anak-anak gembala riang berkejaran, bermain dengan
bayang matahari, bergelayut di dahan yang meliuk, dan
sesekali saling bergulingan.
Sekalipun berlimpah dengan hasil alam dan pertanian,
namun penduduk Kademangan Rawa Biru tidak banyak.
Jalanan juga tidak seramai sebagaimana Kademangan
Jatingaleh. Namun meski tidak ramai, setiap jalan dan bangunan di
Kademangan ini diatur dan dirawat dengan baik. Tak ada
sampah yang berserak di jalanan, kecuali beberapa daun
kuning mahoni yang luruh tertiup angin. Setiap rumah dipacak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan tiang yang kokoh, beberapa dicat kehitaman, sehingga
menambah kegagahan dan aura kejantanan.
Seorang tua dengan jenggot memutih salju dan ikat kepala
kain yang diikatkan seenaknya tampak berjalan di galengan
sawah. Wajahnya memerah segar terkena sinar matahari.
Tubuhnya sedikit terbungkuk. Sesekali kakinya terbenam
dalam Lumpur yang segar. Langkahnya tertatih, namun
mantap. Dua orang petani yang sedang menyiangi padi menyapanya
dengan anggukan ramah. "Bagaimana padi-padi kalian?"
"Pangestunipun Ki, semuanya baik. Hanya sedikit yang
rubuh oleh angin tadi malam."
Tadi malam angin memang bertiup sedikit kencang.
Orang tua itu mengangguk-angguk. Setelah tersenyum
ramah kepada dua orang petani itu ia segera melanjutkan


Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perjalanannya yang tertunda.
"Aki sendiri akan kemana sore-sore begini?"
Si Orang tua menghentikan langkahnya, kepalanya
menoleh dan tersenyum, "Aku ingin melihat rawa. Sudah lama
aku tak merasakan angin danau."
"Betapa tua Ki Jejer Pinuluh itu, kira-kira berapakah
usianya?" salah seorang petani itu menggumam pelan.
"Katanya dia lebih tua dari ayahku yang meninggal lima
tahun lalu itu. Berarti umurnya sudah lebih dari seratus
tahun." "Namun sepasang kakinya masih kuat. Matanya juga masih
tajam." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Itulah disebabkan dia tak sibuk dengan berbagai tetek
bengek seperti kita. Ia makan apa yang dapat dimakan, sama
sekali tak risau dengan apapun."
Sinar Matahari yang menerobos sela-sela caping mengingatkan kedua orang itu terhadap pekerjaan mereka
yang tertunda. Menyusuri beberapa petak sawah lagi, tibalah Ki Jejer
Panuluh di tepi rawa. Lumpur yang coklat kehijauan segera
menyambut. Angin meniup lembut. Orang tua ini mematahkan
sebatang dahan yang sudah kelihatan kering,
lalu menggunakannya sebagia loncatan dari batu ke batu,
melompati barisan Lumpur yang sesekali beriak oleh kepak
ikan. Beberapa meter kemudian sebuah batu cadas yang hitam
besar menyambut lompatan kaki kesekian dari kakek tua itu.
Batu hitam sejenis ini ada beberapa di tepi rawa ini, biasanya
digunakan sebagai tempat memancing atau bersantai orang-
orang yang ingin menikmati angin danau. Sekaligus sebagai
pembatas antara tepi yang dangkal dengan tengah danau
yang agak dalam. Orang tua itu memutar ke sisi lain dari batu. Di sebuah
ceruk yang bersih ia menjatuhkan pantatnya dengan lega.
Sesaat kemudian matanya kelihatan terpejam, hidungnya
kembang-kempis menghirup udara segar. Tampak sekali
orang tua berjanggut putih ini begitu menikmati suasana yang
tercipta. Namun mendadak beberapa cipratan air memercik ke
wajahnya, disusul suara tawa berderai.
Dengan agak malas Ki Jejer Panuluh membuka matanya,
dan langsung me lihat sebuah kepala yang mengambang di
permukaan air. Kepala itu tertawa dengan mulut terbuka
lebar, rambutnya yang hitam terapung berayun-ayun.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau rupanya," desah Ki Jejer Panuluh seperti mengomel,
"di dunia ini memang tidak terpikir olehku ada orang kedua
yang begitu suka menggangguku selain kau."
Kepala itu kembali tertawa riang. Tiba-tiba melompat dan
langsung hinggap di sisi si Orang tua. Dengan hanya
mengenakan celana sebatas lutut terpampanglah dadanya
yang bidang kokoh. "Dan juga tak terpikir oleh ku didunia ini ada orang yang
begitu suka diganggu olehku selain Paman." Ujar anak muda
ini yang tak lain adalah Risang Ontosoro dengan tawa
berderai. Orang tua itu mengusap-usap kepala Risang Ontosoro
dengan senyum, "Bagaimana kabar ayahmu" Penyakit
pegalnya apakah masih sering kambuh?"
"Masih sering. Apalagi kalau aku ada di rumah."
Ki Jejer Panuluh tertawa, "Bahkan ayahmu pun tak luput
dari gangguanmu." Sejenak kemudian raut muka Risang Ontosoro berubah
serius, "Paman, aku ingin menyampaikan sesuatu."
"Tentang anak muda bernama Arya Dipaloka itu?"
"Agaknya kita tak bisa menganggapnya remeh." Jawab
Risang Ontosoro sambil mengangguk. Seperti tak heran
bahwa orang tua itu mampu mengetahui apa yang akan ia
bicarakan. "Sudah aku duga. Pembawaan anak muda itu memang luar
biasa, tak banyak menonjolkan diri, tapi setiap perbuatannya
selalu menggegerkan orang."
"Menurutku ia sudah mendapatkan Kitab Teratai Menutup."
"Bukan saja Kitab Teratai Menutup, bahkan Kitab Teratai
Membuka pun sudah didapatkannya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wajah Risang Ontosoro mengunjukkan rona kejut.
Si Kakek agaknya dapat membaca raut muka Risang,
"Waktu itu kebetulan kulihat dia minum di Warung Jahe
Pancawarna. Melihat mukanya yang tak begitu pucat lagi, ku
tahu kalau Racun 30 Hari Naik Ke Surga sudah tak mengamuk
lagi dalam tubuhnya, sekalipun juga belum hilang seluruhnya."
"Maksud Paman..."
"Ya..di dunia ini kalau masih ada kekuatan manusia yang
masih sanggup meredam mengamuknya Racun 30 Hari Naik
Ke Surga, maka itulah Kitab Teratai."
Beberapa detik kedua orang ini terdiam, masing-masing
meresapi kecamuk pikiran yang berkerumuk.
"Sebenarnya ia bukan orang yang diperhitungkan." Suara
Risang Ontosoro memecah keheningan. "Waktu ayah
memesanku tentang masalah seputar Wahyu Kepala Naga,
beliau hanya menyebut tiga pihak utama, yang dengan
sendirinya adalah Tiga Istana Abadi. Selain dua tiga tokoh tua
semisal Nenek tua dari Dipa Saloka itu dan Pandan Kumala,
isteri kedua Ki Demang Kebo Sora atau Demang Jatingaleh,
Lembu Patik Pulung. Sama sekali beliau tak menyinggung
tentang Arya Dipa Loka."
Si Orang tua berjanggut putih mengangguk-angguk.
Matanya menunduk mengamati kecipak air yang membelai
kakinya, "Dunia memang penuh dengan hal-hal aneh. Segala
hal yang tidak terduga selalu terjadi. Putaran alam memaksa
manusia untuk tunduk dan merasa kecil dihadapan Yang
Segala Maha. Sayangnya lebih banyak orang yang menulikan
mata dan telinganya. Yang kuharapkan semoga apapun yang
terjadi tak menyengsarakan orang-orang yang tak berdosa."
Risang Ontosoro mendengarkan dengan diam. Dalam
pendengarannya, kalimat itu bukan saja gumangan yang tiba-
tiba, namun lebih sebagai wasiat yang timbul dari pengalaman
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dan penempaan jiwa dari Ki Jejer Panuluh. Pengalaman yang
tak terbayar oleh apapun.
"Paman, kalau aku boleh menanyakan sesuatu kepada
paman.." kata Risang dengan hati-hati, menyembunyikan rasa
penasaran yang meluap di hatinya.
Ki Jejer Panuluh tertawa, "Sejak kapan kau jadi begitu
sungkan terhadapku, sedangkan ayam kesayanganku saja
langsung kau telan bulat-bulat"!"
Risang Ontosoro kembali berderai, mengingat kejadian
menggelikan sekaligus merangsang itu. Namun sejenak
kemudian wajahnya kembali berubah serius.
"Kalau Paman tidak keberatan, aku ingin tahu lebih banyak
tentang Wahyu Kepala Naga itu."
"Bukankah ayahmu sudah menceritakannya?"
"Ayah hanya mengatakan bahwa Wahyu Kepala Naga
adalah sebuah pusaka yang sangat berharga dan penting.
Beberapa bulan yang akan datang kemungkinan akan terjadi
pergolakan di dunia persilatan karena desas-desus dari
beberapa orang yang mengabarkan kemunculannya. Itu saja."
"Dan apa yang disuruh Ayahmu padamu?"
"Dia orang tua menyuruhku untuk memperhatikan
keadaan. Sesekali bersikap terhadap sesuatu yang kuanggap
perlu disikapi. Namun beliau me larang keras aku terlalu
campur tangan." "Dan bukankah itu cukup?"
Risang Ontosoro memandang orang tua yang juga
merupakan adik ayahnya itu dengan kesal. Bibirnya runcing
merajuk. Ki Jejer Panuluh tertawa, "Anak nakal. Dahulu bukankah
aku pernah mengatakan kepadamu, bahwa kalau kukatakan
mangga itu manis tapi kau tidak pernah mencicipinya maka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sekalipun kau percaya tapi hal itu tak akan pernah
berpengaruh pada perkembangan jiwamu?"
"Aku tidak lupa. Aku bahkan masih ingat wajah paman
serius sekali waktu mengatakan itu."
"Dan sekarang kau paham bukan?"
Ki Jejer Panuluh melirik keponakannya itu dengan sudut
matanya, melemparkan pandang yang penuh teka-teki, sambil
tak lupa mengulum senyum.
"Kakak beradik ternyata sama saja. Paman tak kalah
anehnya dari Ayah." Ki Jejer Panuluh tertawa, ditepuk-ditepuknya pundak
keponakannya, "Memangnya kau belum lagi tahu" Bukankah
setiap manusia mempunyai segi anehnya sendiri. Mungkin
tidak mudah dipaham i oleh orang lain, namun itulah manusia.
Ia tak diciptakan seperti kertas, yang jelas putih hitamnya,
gamblang lurus bengkoknya. Manusia selalu misterius,
berubah dari waktu ke waktu, seperti air ini. Dan bukankah
kau juga memiliki segi keanehan tersendiri. Terus terang,
selama hidupku ini tak pernah kulihat anak muda yang berani
berguyon dan mengejek orang yang tiga kali lebih tua
sepertimu." Risang Ontosoro meringis ketika jari-jari tua Ki Jejer
Panuluh membetot daging lengannya.
"Sebelum sesorah Paman menjadi bertambah panjang, aku
ingin bertanya apa yang harus kulakukan saat ini?"
Ki Jejer Panuluh tersenyum. Kepalanya berpaling ke arah
rawa yang bersemu kebiruan. Dua ekor burung bangau
terbang rendah menyusur permukaan air.
"Apa yang harus kau lakukan, maka lakukanlah." Katanya
seperti bergumam kepada dirinya sendiri, "Aku hanya ingin
mengingatkanmu bahwa bagi seorang anak muda sepertimu
musuh yang paling besar adalah dirimu sendiri, dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pertarungan yang paling berbahaya adalah bagaimana
mengendalikan segala hasrat di jiwa mudamu."
Risang Ontosoro sudah menceburkan dirinya ke danau.
Namun kata-kata Ki Jejer Panuluh masih terdengar mengalun.
Seakan sebuah ilham yang memaksa masuk ke kepalanya.
Hari sudah gelap ketika Risang Ontosoro berniat keluar dari
tubuh danau. Setelah bercakap-cakap dengan Ki Jejer Panuluh
tadi disempatkannya tubuhnya menikmati segarnya air di
bawah siraman matahari sore. Baru setelah matahari berubah
menjadi bola merah di langit barat, digerakkannya kakinya
menuju tepi. Dengan cepat dicomotnya pakaiannya yang teronggok di
tepi. Ia baru akan melompat ke jalanan ketika dirasakannya
pundaknya ngilu. Lalu seluruh tubuhnya serasa mati rasa.
Detik berikutnya badannya luruh ke tanah.
Kiranya seseorang telah menotoknya dari jauh. Namun ilmu
kepandaian Risang Ontosoro bisa dikatakan tak rendah.
Bahkan Setan Galunggung Utara dan Macan Taring Tunggal
pun tak bisa meringkusnya dalam satu serangan gabungan.
Siapa orangnya yang mempunyai ilmu silat demikian lihai
sehingga bisa menotoknya demikian mudah, sampai dirinya
tak merasakan sedikitpun hawa serangan"
Risang Ontosoro tak hanya merasakan tubuhnya lemas.
Perlahan kelopak matanya pun memberat. Pengaruh totokan
itu ternyata tak hanya menutup simpul syaraf geraknya namun
juga sedikit-dem i sedikit merampas kesadarannya.
Sepenuh tenaga Risang Ontosoro memaksakan matanya
untuk tak terpejam. Namun semakin ditahan semakin
mengantuk rasanya. Bersamaan dengan gelapnya cakrawala,
gelap juga pandangan Risang Ontosoro.
~Dewi-KZ~ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ajaib, Risang Ontosoro merasa hidungnya masih bernafas.
Ketika mencoba mengalirkan hawa murni, seketika tubuhnya
juga bertambah segar. Sama sekali tak ada gangguan.
Yang aneh, ia sekarang tidak berada di tepi rawa. Tempat
ini adalah sebuah kamar peraduan yang indah, kalau tidak
bisa dibilang sangat indah. Sebuah ranjang ukuran king saze
dengan kasur empuk berwarna putih bersih dan ukiran kayu
yang halus terpajang gagah di tengah ruangan. Ranjang itu
begitu besarnya sehingga mungkin sepuluh orang bertubuh
agak gede pun bisa muat sekaligus.
Disamping ranjang terdapat meja kayu berpelitur coklat.
Diatasnya tersaji minuman berwarna kemerahan dengan
kepulan asap tipis. Bau harum tercium semerbak. Yang paling
menarik bagi Risang Ontosoro adalah sebuah jendela dengan
kain sutra putih yang bening. Kepak sayap burung bercampur
nyanyian perkutut terdengar riuh menembus tirai tipis.
Belum lagi kagetnya hilang, mendadak pintu bercat putih di
sudut kamar terbuka tanpa suara. Tertampak dua orang gadis
berumur likuran dengan gaun kebiruan dan ikat kepala sutra
biru tua masuk. Salah satunya membawa semacam nampan
berisi dua piring nasih putih mengepul dan sop buntut ikan
yang juga masih hangat. Sedang gadis yang satu menjinjing
satu baskom berisi air bersih dengan lap putih yang terlihat
lembut. Kedua gadis yang tak dapat dianggap jelek itu berjalan
menunduk. Dengan sopan meletakkan apa yang mereka bawa
di meja kayu seberang ranjang dan dengan cepat kembali
melangkah balik, menutup pintu dan hilang.
Saking terbengongnya Risang Ontosoro yang biasanya
seruduk sana seruduk sini itu sampai lupa untuk menanyakan
dimanakah dia saat ini. Mulutnya yang terbuka bahkan belum
terkatup ketika pintu itu menutup.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan setengah tak sadar Risang menowel hidungnya
sendiri. Terasa masih utuh. Kalau begitu ia masih hidup. Tapi
tempat apakah ini, bahkan orang tuanya pun tak pernah


Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperlakukan dirinya demikian istimewa. Mungkinkah ia
sudah tersesat ke dunia lelembut. Dunia yang katanya dihuni
oleh jutaan wanita cantik bagai bidadari, dengan pajangan
dan ornamen surgawi. Tapi ia toh bukan orang yang percaya
hal-hal begituan. Sebagai anak muda, ia lebih percaya
kekuatan dalam dirinya. Tapi bukankah hidup selalu misterius, selalu penuh kejutan.
Coba diingat-ingatnya apa yang terjadi terakhir kali. Ia
ingat saat itu matahari baru separoh tenggelam, ketika
seseorang menotoknya dari jarah jauh dengan serangan tanpa
angin. Lalu dirinya lantas terlelap tanpa ingat apa-apa lagi.
Mengingat kembali kepandaian orang ini membuat bulu
kuduknya berdiri. Sungguh tak disangkanya didunia ini begitu
banyak tokoh misterius yang berkepandaian nggegirisi.
Tapi tunggu, sebelum benar-benar tak sadar, sempat
dilihatnya sosok dengan pakaian yang berkibar mendatangi.
Ah ya, sosok itu pasti perempuan. Ia ingat rambutnya yang
hitam berombak. Juga sepasang mata yang mencorong tajam
itu. Tak tahu apa yang harus dilakukannya, iseng-iseng Risang
mulai me lirik kepulan asap tipis dari nasi hangat
disampingnya. Baru ia sadar perutnya serasa terlilit. Apalagi
sop buntut ikan itu begitu merangsang.
Bagi orang yang berperut kosong, ketela busuk saja sudah
demikian mengundang, apalagi sop hangat yang harum
seperti ini. Maka tanpa pikir panjang segera disikatnya kedua
makanan itu dalam beberapa gerakan, dan dalam sedetik
semuanya amblas di perutnya.
Risang Ontosoro baru ingin mengeluarkan desahan puas
ketika pintu putih itu kembali terbuka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kupikir perutmu tak akan puas dengan sedikit makanan
ini," wanita ini memakai pakaian putih yang berkibar, berpadu
dengan kematangan usia dan kecantikannya yang alami.
Bukan saja wajahnya cukup cantik, selapis aura yang menebar
anggun juga tampak dari sepasang matanya yang bersinar
terang. Risang Ontosoro tentu saja mengenal wanita ini, sekalipun
belum pernah berkenalan serasa resmi. Karena wanita ini
adalah salah seorang yang memang diperhatikannya. Siapa
lagi kalau bukan Pandan Kumala, istri kedua Ki Demang Kebo
Sora. Maka dia pun tertawa, "Lalu kenapa tidak kau bawakan
tambahannya sekalian," seseorang kalau perut kenyang
dengan sendirinya semangatnya juga berkobar.
"Karena ku kuatir kau akan mati kekenyangan."
"Ah, sedikit makanan ini mana mungkin membuatku mati
kekenyangan." Pandan Kumala memandang anak muda ini tajam,
"Sebenarnya sedikit makanan ini sudah cukup membuat
sepuluh ekor kuda mati bersamaan."
Risang Ontosoro pura-pura terkejut, lalu bertanya dengan
nada dibuat kaget, "Apakah ada racun dalam makanan ini?"
Pandan Kumala mendengus dingin, "Memangnya kau pikir
kubawa kesini dirimu ini hanya untuk bersenang-senang?"
Mendadak Risang Ontosoro memperlihatkan ekspresi
tercekik, lalu kedua tangannya seperti terkejang-kejang. Tapi
sedetik kemudian ia kembali tertawa riang, seolah itu adalah
lelucon yang paling menggelikan.
"Tapi aku tak percaya." Katanya ditengah tawa berderai.
"Memangnya kau pikir aku sedang main-main?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tentu tidak, tapi melihat ilmu silatmu yang sangat tinggi
itu, kalau kau mau membunuhku cukup dengan satu jarimu
saja sudah cukup. Untuk apa repot-repot meracuniku. Apalagi
perempuan setengah tua sepertimu biasanya paling suka
membanggakan diri sendiri. Mana sudi kau menggunakan cara
rendah seperti itu. Benar tidak?"
Pandan Kumala memandang Risang tajam. Setelah
mengalami penculikan yang tak biasa ini ternyata bocah ini
masih bisa tertawa-tawa tanpa beban, bahkan sempat juga
memaki dirinya. Sungguh ia ingin tahu sebenarnya bagaimana
bentuk hati anak gila ini.
"Sekalipun kau tidak mati karena racun, tapi setiap waktu
bisa saja kurenggut nyawamu dengan mudah." Dengusnya
dingin. "Tak usah bicara berbelit-belit, apa yang aku inginkan
dariku?" Agak terkejut juga Pandan Kumala terhadap ketangkasan
bicara anak ini. Sesuatu yang membuatnya harus lebih
berhati-hati. Sambil tertawa dingin Pandan Kumala berujar, "Apa yang
kuinginkan darimu" Huh, memangnya kau anggap apa dirimu"
Kau tak lebih hanya satu bocah cilik saja. Dengan satu tangan
dapat ku pupus dirimu menjadi debu."
Risang Ontosoro menatap Pandan Kumala tajam, mencoba
mereka apa yang sedang berkecamuk di benak perempuan
berbaju putih ini, "Kalau kau tak mengharapkan apa-apa
dariku, lalu kenapa kau membawaku kemari."
"Karena aku suka. Apa yang suka kulakukan akan
kulakukan." Kalimatnya masih berkumandang di kamar kecil itu ketika
tubuhnya hilang di balik pintu. Risang bahkan tak melihat
kapan dia melangkah mundur. Gerakannya boleh dibilang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tidak terlalu cepat, namun rapi. Setiap hal seperti sudah
diperhitungkan dengan teliti. Hanya orang yang sudah
mencapai puncak kesempurnaan pengaturan tenaga saja yang
dapat melakukan hal seperti ini. Seolah-olah biasa, namun
istimewa. Angin hangat meniup kelambu di jendela kecil itu. Risang
menatap jendela itu sambil terlongong. Kalau mau ia bisa saja
kabur lewat jendela itu. Sekalipun pasti terdapat rintangan, dia
tak pernah takut. Bahkan semakin besar bahayanya semakin
besar pula rangsangan dalam tubuhnya. Tapi hal paling
menarik saat ini baginya adalah mengetahui maksud yang
terkandung dalam perbuatan Pandan Kumala ini.
Untuk itu ia bisa saja menyelinap dan menyelidiki bangunan
ini dengan seksama. Dalam soal menyelinap dan mengintip
boleh dikata kepandaiannya diatas rata-rata bocah seusianya.
Namun itu bukan cara cerdik. Siapa tahu Pandan Kumala
sengaja menjebaknya dalam permainan ini.
Maka diputuskannya untuk menggunakan akal yang paling
primitif, tapi efektif. Cara yang biasanya digunakan oleh ular
sawah untuk menunggu mangsanya. Yaitu tidur. Betapapun
sudah cukup diketahuinya kalau orang perempuan kebanyakan memang serba teliti, ini merupakan kelebihan
tersendiri. Namun mereka juga penyakit yang sangat parah,
yaitu tak tahan menunggu. Tak peduli perempuan jenis apa
tak akan terhindar dari penyakit ini.
Maka sambil bersiul-siul ringan dibaringkannya tubuhnya ke
ranjang. Ranjang ini sangat empuk, setidaknya lebih empuk
dari pada jerami busuk di kandang belakang rumahnya.
Dengan sendirinya kantuknya juga datang lebih cepat. Sedetik
kemudian suara ngoroknya sudah berirama.
Di dunia ini sekalian batu sama kerasnya, sekalipun
berlainan nama dan jenisnya. Tapi justru tidak ada manusia
yang semacam. Meski jenisnya sama-sama manusia, namun
setiap orang dengan orang yang lain selalu berbeda.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Perbedaan ini terkadang sangat mencolok, terkadang juga
samar. Justru karena adanya perbedaan inilah setiap
perkawinan tak ada yang mulus datar. Selalu saja ada
ganjalan, bumbu pedas, asin, yang mewarnai jalannya sebuah
keluarga. Dengan sendirinya wanita berbeda dengan lelaki. Lelaki
pun tak pernah mau disamakan dengan wanita.
Adapun Risang Ontosoro adalah tipe bocah lelaki yang lelap
sekali tidurnya. Tak peduli apakah itu di atas tumpukan jerami
busuk atau di kasuk empuk. Dengkurnya juga berirama.
Mengalun naik turun. Saking lelapnya seolah setiap tidurnya
selalu mempunyai mimpi yang indah. Maka sekalipun langit
rubuh juga tak akan membangunkannya kalau ia tak mau
bangun. Justru karena inilah ia tak menyadari bahwa seorang gadis
dengan ikat pinggang sutra keunguan dan alis yang
melengkung lentik sedang mengendap-endap di kamarnya. Ia
pun tidak terbangun. Suara dengkurnya bahkan tambah keras.
Seorang laki-laki kalau mengetahui seorang gadis sedang
mengendap-endap dikamarnya tentu saja ia tidak akan
terbangun. Bahkan kalau toh ia sedang tidak tidur akan
dipaksakannya juga matanya untuk terpejam. Betapapun
kejadian seperti ini kan sangat menarik.
Gadis itu melangkah dengan berjingkat layaknya kucing.
Berkali-kali kepalanya menoleh kesana-kemari.
Sambil merunduk-runduk ia mendekati Risang Ontosoro,
memandangnya lekat-lekat dan untuk beberapa saat matanya
seperti awan yang tak tahan menahan air yang ditampungnya.
Beberapa detik kemudian bagaikan sungai yang mengalir
pelan, dua buah jalur air mengembang dari sepasang matanya
yang bening. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun dalam detik berikutnya sekulum senyum menghiasi
bibirnya yang mungil. Sekalipun Risang sudah cukup terlatih untuk menahan diri,
namun kalau didepannya ada seorang gadis yang meneteskan
air mata kemudaian tersenyum secara murni begitu, sekalipun
dia masih bisa menahan perasaannya namun toh tidak akan
tahan menahan penasarannya.
"Memangnya kau ini sudah tersedak cabe" Sebentar
menangis sebentar tertawa." Kata-kata ini sesungguhnya tak
ingin diucapkannya, namun tiba-tiba saja sudah terloncat dari
mulut. Gadis itu tampak berjingkat kaget, "Kau, kau .."
Melihat ekspresi wajahnya itu layaknya gadis yang tiba-tiba
ditemui delapan belas pelamar secara bersamaan.
"Aku, kenapa aku" Apa wajahku sangat lucu?"
Beberapa saat gadis itu tak menjawab. Kepalanya
tertunduk ke bawah. Baru setelah menarik nafas panjang
beberapa kali ia berkata lirih, "Kenapa kau tidak bilang kalau
kau sudah bangun?" "Sebenarnya aku ingin bicara, namun tiba-tiba aku teringat
sebuah cerita" "Cerita?" "Ya, sebuah cerita yang sangat menarik. Apa kau mau
mendengarnya?" Tentu saja gadis itu tak akan menjawab tidak.
Dengan santai Risang duduk di tepi pembaringan, lalu
dengan gaya seorang pendongeng tulen ia mulai memainkan
mimik wajahnya seserius mungkin.
"Dahulu kala ada seorang pintar yang sangat lucu. Mmm,
kita sebut saja ia Pak Tua Lucu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Gadis itu terlihat tersenyum sedikit.
"Suatu malam, Rumah Pak Tua Lucu didatangi oleh seorang
pencuri. Celingak-celinguk si pencuri mendongkel papan pintu
rumah Pak Tua Lucu yang memang tak susah didongkel."
~Dewi-KZ~ Bab XIV, Lorong Tikus "Apa kau tahu kenapa pintu rumah Pak T ua Lucu gampang
sekali dibobol?" Gadis itu menggelengkan kepala.
"Karena Pak Tua ini memang sangat miskin. Saking
miskinnya sampai kunci rumah pun tak mampu dibeli." Lanjut
Risang sambil tertawa. Udara mulai mencair. Urat-urat tegang di wajah gadis itu
kelihatan mengendor. "Pak Tua Lucu, yang memang tak pernah pulas bila tertidur
karena tikarnya yang penuh kutu dan sangat kasar, langsung
tahu akan datangnya si pencuri. Apakah kau tahu apa yang
dilakukan Pak T ua itu?"
"Ia menangkap si pencuri."
"Apa kau yakin?"
"Tentu saja." "Kalau begitu kau telah terkecoh oleh Pak T ua Lucu itu."
"Kenapa?" "Karena Pak Tua itu bukannya menangkap si pencuri itu
melainkan langsung menjatuhkan dirinya ke kolong tidur."
"Kenapa ia tidak menangkap si pencuri itu, apakah dia
seorang penakut?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Pertanyaanmu itu persis sama dengan apa yang
ditanyakan oleh istri Pak Tua Lucu begitu pencuri itu pergi."
"Lalu apa jawabannya?"
"Pak Tua berkata, 'Aku bersembunyi bukan karena aku
takut, tapi karena aku malu'. Isterinya pun heran dengan
jawaban lalu bertanya 'kenapa"'."
"Aku pun merasa sedikit heran."
"Maka Pak Tua menjawab, 'Karena dirumah ini tidak apa-
apa, sekalipun ia mencari sampai ekornya putus juga tak
bakalan menemukan sesuatu yang berharga. Pada akhirnya ia
pasti akan kecewa. Maka akupun merasa malu telah
mengecewakannya." Gadis itu terkikik. Giginya yang putih rata bagai kuma la
membuat Risang merasa ia sedang berhadapan dengan
bidadari. "Apa kau Tahu maksud cerita ku ini?"
Sambil meredam sisa-sisa tawanya gadis itu menggeleng.
"Kuceritakan kisah Pak Tua Lucu itu Karena akupun serupa
dengannya. Disini sekalipun semuanya barang berharga tapi
tidak satupun yang jadi milikku. Maka sekalipun kau mencari
sampai ekormu putus juga tak akan kau temukan apa yang
kau inginkan. Cuma aku pun tahu seandaianya aku
bersembunyi di kolong ranjang, hal itu akan semakin
membuat kau keceawa. Maka aku pun pura-pura tidur."


Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagai mendadak terperosok ke lubang hitam, wajah si
gadis memerah dalam sekejap.
Kepalanya tertunduk,"Tapi aku tidak sedang mencuri."
Katanya lirih. "Dari dulu memangnya tidak ada pencuri yang memasang
merek di wajahnya." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tapi aku benar-benar tidak ingin mencuri." Suaranya
semakin lirih. "Memangnya kau disuruh oleh perempuan tua itu?"
Gadis itu seperti hendak mengatakan sesuatu tapi terhenti.
Wajahnya mengesankan bahwa ia seperti menahan Sesuatu
yang sangat berat. Risang tahu bahwa semakin ia bertanya semakin berat
gadis itu untuk mengatakan rahasianya. Cara terbaik adalah
menunggu. Dan benar saja, baru sebentar ia diam gadis itu sudah
lantas menoleh ke sana kemari. Setelah menghela nafas
panjang baru ia berkata. "Apakah kau tahu siapa aku?"
"Sedikit perempuan di dunia ini yang ku kenal, itu pun
sudah membuatku pusing tak karuan."
"Aku adalah Adik perguruan dari Kakangmbok Pandan
Kumala." Air wajah Risang menampilkan rona terkejut, "Jadi kau
saudara perguruan perempuan tua itu"."
"Namaku Pandan Kenanga."
"Kalau kau memang saudara perguruan perempuan tua itu,
kenapa kulihat kau seperti mencuri-curi datang kesini?"
"Itu karena tak seorang pun boleh kesini tanpa ijin dari
Kakak Pandan Kumala, tak terkecuali siapapun. Apakah kau
tahu kau sedang berada dimana?"
"Bolehkan aku membalik pertanyaan itu padamu?"
Gadis itu tersenyum, "Ini adalah Istana Bulan Teratai."
Risang tampak termenung sebentar, "Apa hubungannya
dengan Istana Dasar Teratai"."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Memang ada hubungannya, tapi aku tidak boleh
mengatakannya kepadamu."
Kalau perempuan sudah mengatakan tidak ingin memberitahukan sesuatu padamu, maka sekalipun sampai
ekormu putus merayunya juga dia tak akan memberitahukan
kepadamu. Risang tentu saja tahu dalil ini, maka dia pun mengalihkan
pertanyaannya. "Jadi kenapa kau kesini?"
Gadis itu menunduk, memegangi ujung bajunya dan
berkata dengan rona merah di wajahnya, "Karena aku tidak
ingin kau seperti yang lainnya."
"Memangnya kenapa dengan yang lainnya?"
Dengan ekor matanya gadis itu mengerling ke arah Risang.
Pesona seperti ini sekalipun hanya sekejap namun betapa
banyak lelaki yang runtuh mungkin sukar dihitung dengan
angka. "Kau benar-benar tidak tahu dengan yang lainnya?"
"Kalau aku tahu tak akan ku terkurung di kamar busuk ini."
Gadis itu kelihatan menentramkan hatinya. Sikapnya yang
malu-malu kemerahan itu sudah cukup bagi pemuda manapun
untuk melupakan segalanya.
"Kalau begitu dapat kuberitahukan kepadamu bahwa
sebelumnya kamar ini juga terisi oleh puluhan pemuda
sepertimu. Mereka bukan saja orang-orang muda yang kuat,
sebagian juga termasuk pendekar muda yang perkasa."
"Dan kemana mereka sekarang ini?"
"Sekarang ini mereka ada di gudang bawah tanah."
"Di gudang" Memangnya mereka sudah menjadi barang
rongsokan semua?" sahut Risang sambil tertawa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tak terduga Pandan Kenanga tidak tertawa, mukanya
malah bertambah serius, "Sekalipun bukan barang rongsokan
namun juga sudah tak berguna lagi."
"Oh?" "Karena untuk membunuh tikus pun mereka sudah tak
mampu lagi." "Oh" Memangnya tenaga mereka sudah musnah semua?"
"Tepatnya bukan musnah dengan sendirinya, tapi disedot
habis oleh Kakak seperguruanku."
Risang Ontosoro merasa kata-kata gadis itu semakin lama
semakin sinting, tapi sejak awal urusan ini memang sudah
gila. Terpaksa ia pun berusaha mengikuti arus yang sedang
bermain. "Disedot katamu?"
Pandan Kenanga mengangguk samar.
"Bagaimana disedotnya?"
"Disedot dengan itu.." baru tiga kalimat diucapkan
wajahnya sudah memerah bak kepiting panggang.
Tapi tampaknya Risang tak memberinya kesempatan.
"Itu apa?" Semakin merah wajah Pandan Kenanga. Sambil menghentak-hentak kakinya ke lantai omelnya dengan gemas,
"Dasar tolol, masakah kau masih tidak mengerti."
Mendadak Risang Ontosoro tertawa, "Aku mengerti
sekarang. Maksud kedatanganmu kesini adalah ingin
menyelamatkanku, benar tidak?"
Masih dengan malu-malu Pandan Kenangan berkata lirih,
"Aku hanya tidak tega melihat pemuda sepertimu berakhir
dengan cara demikian."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Lalu apa kau akan membawaku pergi?"
"Cuma tidak bisa sekarang."
"Kenapa tidak bisa sekarang". Bukankah menolong orang
seperti memadamkan kebakaran, semakin cepat semakin
baik" Memangnya aku harus menunggu sampai tenagaku juga
disedot?" "Bukan begitu, cuma sekarang penjagaan masih sangat
ketat. Padahal sekali kabur harus berhasil, kalau tidak,
mungkin bukan Cuma tenagamu saja yang akan lenyap,
tubuhmu juga tak akan ada lagi." Setelah merandek sejenak,
kembali ia melanjutkan, "setengah jam lagi akan ada
pergantian jaga, tepat pada waktu itulah kesempatan untuk
kabur." "Dan bagaimana dengan perempuan tua itu?"
"Ia tidak akan tahu. Karena pada waktu ini sampai dua jam
ke depan ia sedang berada di kamar semedinya."
Risang Ontosoro mengangguk-angguk, seperti percaya
penuh terhadap ucapan gadis itu.
"Setengah jam lagi kau akan kesini?"
"Aku akan melontarkan batu lewat jendela itu. Waktu itu
hendaklah kau juga seketika keluar. Aku akan menunggumu di
luar." "Baik." Pandan Kenangan seperti hendak mengatakan hal lain lagi,
tapi tidak jadi. Setelah celingak-celinguk lagi gadis cantik
berbaju ungu itu bergegas keluar kamar. Namun belum
sampai di depan pintu ia sudah menoleh.
"Kenapa kau demikian percaya kepadaku?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Risang Ontosoro tertawa, "Karena aku mudah sekali
percaya kepada orang lain. Apalagi kalau orang itu adalah
gadis cantik sepertimu."
Setelah Pandan Kenangan keluar, Risang Ontosoro
termenung-menung sendiri. Sekalipun banyak hal yang tidak
dimengertinya namun hanya satu hal yang dipikirkannya. Yaitu
tentang Arya Dipa Loka. Ia sendiri tidak mengerti kenapa
hanya masalah anak muda itu yang menarik perhatiannya. Ia
seperti merasakan hubungan yang sangat dekat dengan Arya.
Ketika melihatnya pertama kali di kedai teh, ia sudah
merasakan hal ini. Seperti ada kesamaan antara dirinya
dengan Arya. Karena itulah dari ingin memberi pelajaran, ia
berbalik memberi tahu pemuda itu tentang obat pemecah dari
Racun 30 hari Naik Surga.
Sekarang ia tahu, Arya sudah memiliki Kitab Teratai secara
utuh. Namun anehnya ia sedikitpun tidak merasa iri atau
tersaingi. Padahal kalau orang lain yang mendapatkannya,
sekalipun harus kehilangan ekor juga akan ia rebut mati-
matian. Semakin lama, Risang Ontosoro merasakan dirinya sendiri
semakin aneh. Apakah ini yang disebut rahasia Takdir"
Ia tinggal menanti setengah jam lagi.
Terus terang ia sendiri juga tidak mengerti kenapa ia begitu
mudah mempercayai Pandan Kenanga. Seolah ada buhul gaib
yang menariknya untuk mempercayai gadis itu sepenuhnya,
sekalipun ia sendiri melihat bahwa Pandan Kenanga juga
bukan gadis cilik yang polos. Tarikan wajah perempuan itu
menandakan pengalamannya yang matang.
Tapi bukankah hidup ini juga amat misterius" Kemarin ia
masih bercakap-cakap dengan Pamannya di tepi danau Rawa
Biru. Siapa yang menduga bahwa hari ini ia akan berbaring di
ranjang seempuk ini di tempat yang katanya adalah Istana
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bulan Teratai" Tak pernah ia mendengar nama ini
sebelumnya. Setengah jam biasanya berlalu dengan sangat cepat.
Namun dalam waktu yang sangat cepat itu bukankah tidak
mustahil akan terjadi kejadian-kejadian aneh lagi.
Baru saja Risang akan membaringkan dirinya lagi ke
ranjang, sepotong batu kecil masuk melalui jendela kecil di
depan. Setelah berkerontangan sebentar, batu itu berhenti
persis di kaki ranjang. Sejenak Risang berkerut alis. Bukankah belum ada
setengah jam" Mungkinkah waktunya dipercepat.
Dengan jari-jari kaki dicomotnya batu itu. Ah, kenapa
seperti ada kertas yang membungkus.
Risang membawa batu kecil itu ke depan matanya dan
segera menemukan sehelai kertas membungkus batu kecil itu.
Dengan rasa penasaran yang mendebarkan ia buka kertas itu.
Sebuah kalimat. Kalimat yang sangat aneh.
"Jangan percayai siapapun. Arya Dipa Loka."
Begitu terperanjatnya Risang Ontosoro sampai tak sadar ia
sudah meloncat ke sisi jendela. Dilongoknya kepalanya keluar.
Tapi, jangankan orang, sebatang hidung pun tak dilihatnya.
Hanya taman bunga dengan berbagai warna dan ratusan
lebah yang berdengung asik.
Terbengong-bengong Risang kembali memandangi kertas
itu. Tulisan itu tak berubah. Matanya juga sangat sehat. Tak
mungkin ia salah lihat. Apakah benar-benar Arya yang melemparkan batu itu" Atau
jangan-jangan anak muda itu juga terperangkap seperti
dirinya. Tapi itu tidak mungkin. Kalau Arya terperangkap, ia
tidak akan tahu bahwa orang lain juga tertangkap. Apalagi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sampai mengirimkan peringatan segala. Namun kalau tidak,
kenapa tidak ia sendiri menemuinya.
Risang Ontosoro tertawa ironis. Pesan di kertas kecil itu
memperingatkannya untuk tidak mempercayai siapapun. Tapi
bahkan terhadap pesan itu sendiri, ia sulit untuk percaya.
Sambil meneguk air mangga yang tadi dihidangkan Risang
kembali berpikir. Si pemberi pesan, siapapun itu, atau kalau itu memang
Arya, mungkin sudah melihat Pandan Kenanga masuk ke
kamarnya. Makanya ia berpesan untuk tidak mempercayai
siapapun. Tapi mungkin juga ia tidak melihat gadis itu, yang
berarti keadaan di Istana Bulan Teratai ini begitu misteriusnya,
sehingga entah siapapun itu, tidak bisa dipercayai.
Ketika melongok ke luar jendela tadi, sekilas Risang tidak
melihat siapapun. Dalam hal ini tentu saja ia paham.
Penjagaan yang tidak memperlihatkan tanda-tanda jauh lebih
menakutkan dari sepasukan tentara yang berbaris menoncolok. Tak terasa setengah jam berlalu.
Dengan dada berdebar Risang Ontosoro menatap jendela
kecil bergorden sutra putih tipi di depannya.
Dan benar saja, sepotong batu menerobos masuk.
Berkerontangan, dan menggelinding ke depan kakinya.
Hati-hari dijumputnya batu itu. Tak ada pesan. Kalau begitu
memang dari Pandan Kenanga.
Sekilas Risang menatap pesan di kertas. Setelah tertawa
sebentar ia pun segera menerobos jendela.
Kalau kau memasang tanda 'Jalan Pelan-Pelan' di depan
rumahmu. Maka orang yang lebih tua akan berjalan pelan.
Tapi orang muda dan anak-anak kecil akan berlarian seolah
disitu tak ada tanda apa-apa. Bahkan segolongan remaja yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mungkin tidak kau sukai bukan saja akan berlari kencang-
kencang, bisa jadi mereka juga akan berteriak-teriak
kepadamu. Sifat ini dinamakan sifat keledai. Semakin kau melarang
seseorang, semakin orang itu berhasrat melakukaknnya.
Risang Ontosoro tentu saja bukan jenis anak nakal seperti
itu. Cuma ada kalanya seorang anak yang penurut pun akan
menjadi sangat liar. Hal ini sesungguhnya merupakan warna-
warni hidup yang berjalan indah.
Taman bunga itu begitu suburnya, tapi setelah diluar baru
diketahuinya bahwa gemerlap sinar yang berkerlip di setiap
sudut itu bukanlah sinar matahari, melainkan berasal dari


Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kaca-kaca yang membias. Risang memandang sekeliling. Taman ini serupa gua yang
sangat besar. Ada kemungkinan terletak di perut gunung atau
bawah permukaan tanah. Anehnya cahaya berwarna kebiruan
yang membias dari kaca-kaca di langit-langit itu seperti
bergelombang. Risang Ontosoro tak tahan untuk menyembunyikan decak
kagumnya. Begini banyak tempat menakjubkan di dunia.
Betapa kebesaran dan kedahsyatan alam membawanya ke
alam haru akan kasih dan pemurahnya Sang Pemberi Hidup.
Setelah memperhatikan sejenak, Risang melayang ke sudut
barat, dimana terlihat sebuah ceruk berongga yang mirip
pintu. Masuk ke ceruk itu, barulah Risang menemukan Pandan
Kenanga dengan buntalan kain di punggungnya menunggu
dengan bersungut. "Kenapa lama sekali" Hampir mati aku menunggumu
disini." Risang hanya tertawa. Menghadapi perempuan yang
mengomel seperti ini memang cara terbaik hanya tertawa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kita akan kemana?"
"Ke neraka." Risang kembali tertawa. Selanjutnya ia pun berjalan sambil
tutup mulut. Pandan Kenanga menyusuri lorong itu dengan sebatang
obor kecil. Berkelok-kelok, membelok ke kiri, lalu ke kanan,
lalu ke kiri. Berdebar Risang memandangi lorong yang mirip lobang
tikus ini. Ia tahu, sekali ia tersesat, jangan harap akan melihat
matahari terbit esok hari.
"Kenapa diam" Biasanya kau cerewet sekali."
"Kucing yang suka mengeong pun ada kalanya jadi
pendiam." "Kau toh bukan kucing."
"Makanya aku ingin bertanya satu hal padamu."
"Untuk bertanya mengapa harus minta ijin segala."
"Karena aku takut kau akan benar-benar membawaku ke
neraka." Setelah tertawa, kembali ia melanjutkan, "Tempat ini
apakah terletak di bawah danau Rawa Biru?"
Pandan Kenanga menghentikan langkahnya, menatap
Risang dengan matanya yang jernih, untuk kemudian kembali
melangkah. "Kenapa sekarang kau yang diam?"
"Dari mana kau tahu kalau tempat ini terletak di bawah
danau Rawa Biru?" "Jadi benar rupanya."
"He, kau belum menjawab pertanyaanku."
"Ku jawab nanti kalau perutku kenyang." Ujar Risang santai
sambil tertawa lepas. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lorong tikus ini benar-benar panjang. Sampai pegal kaki
Risang belum juga Pandan Kenanga menghentikan langkahnya. Kalau kau ingin berjalan jauh tanpa merasa lelah maupun
bosan, ada satu hal yang bisa kau lakukan, melamunlah.
Risang Ontosoro sendiri tak sepenuhnya mengerti
perbedaan melamun dan berfikir. Baginya semuanya itu satu.
Dengan melamun ia bisa melihat dunia dengan arah yang ia
tentukan sendiri. Melihat darah bukan sebagai kesedihan,
mendengar burung bukan sebagai riuh yang mendatangkan
uang. Dengan melamun ia jadi mengerti tentang sendiri yang
ramai, atau riuh yang sunyi.
Ketika melihat batu-batu yang berkerut, ia suka
membayangkan nenek tua yang tertatih menyapu halaman.
Kerut di batu itu, bungkuk di nenek itu, mungkin sebuah toreh
akan masa silam yang bisa jadi tak selamanya menyenangkan.
Tapi ia lebih suka memandangnya sebagai hasil pengalaman
yang mahal, yang entah itu menyedihkan atau menyenangkan, namun tetap harus dihargai. Maka ia suka
bercakap-cakap dengan nenek tua, atau berbaring di kerut
batu. Kini Risang mencoba melamunkan wanita yang berjalan di
depannya. Perempuan ini tak mungkin sangat muda, tapi juga tak
menampakkan tanda ketuaan. Seolah ia adalah guji kaca yang
selalu di gosok, tak peduli berapa usianya, tetap nampak
cemerlang. Dilihat dari langkah kakinya yang tenang, sama sekali tidak
mirip orang yang sedang melarikan diri. Buntalan kain yang
terbungkus asal-asalan, dan raut wajah yang jauh dari cemas,
sungguh Risang harus mengakui kalau dirinya akhir-akhir ini
mudah sekali tertipu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mungkinkah pesan dari kertas misterius itu benar adanya,
bahwa tak ada yang dapat dipercayai di Istana Bulan Teratai
ini" Toh nasi sudah kepalang tanggung. Untuk kembali kesana
jelas tak mungkin. Maju berarti masuk perangkap orang.
Tak sadar Risang Ontosoro kembali tertawa ironis.
"Ada apa kau tertawa" Apa teringat cerita lucu lagi?"
"Apa kau mau mendengarnya" Tapi sekalipun kau tidak
mau mendengarnya aku akan tetap bercerita, karena cerita ini
benar-benar lucu." "Apa tentang Pak Tua Lucu lagi?"
"Ya, tapi namanya bukan lagi Pak Tua Lucu"
"Lalu siapa namanya?"
Laskar Dewa 3 Dewa Arak 82 Lorong Batas Dunia Seruling Sakti 14
^