Pencarian

Sengatan Satu Titik 3

Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo Bagian 3


berusaha sekuatnya mengerahkan tenaga mereka, tapi
semakin dikejar semakin jauh jaraknya dari si Kedok Hitam.
Tengah si Kedok Hitam girang dapat meninggalkan
pengejarnya mendadak ia terkejut ketika melihat sosok
bayangan di depannya. Bayangan itu datang begitu saja,
seolah muncul dari bumi yang merekah mendadak. Orang itu
tampak diam saja, seolah tidak menyadari bahwa kecepatan
dan kekuatan dari tiga orang yang masing-masing saja dapat
membuat seekor kerbau menjadi perkedel sedang meluruk
berbarengan ke arahnya. "Minggir," bentak si Kedok Hitam sambil menjambret baju
orang itu, maksudnya mau dilemparkan ke samping.
Tapi sekalipun ia sudah mengerahkan seluruh tenaganya
tubuh orang itu tetap tak bergeming, bagaikan pasak yang
jatuh dari langit dan menancap kuat-kuat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Menyadari keadaan mulai runyam si Kedok Hitam susulkan
tangan satunya untuk menghantam.
Hantaman itu seperti telak menghantam dada orang, tapi s i
Kedok Hitam hanya merasakan kepalannya menumbuk
semacam benda yang lunak tapi alot, sekalipun cukup telak
mengenainya tapi tetap tak dapat menghancurkannya. Bahkan
kemudian kepalannya terasa menempel kuat ke dada orang
itu. Karuan tengguknya basah dengan keringat dingin.
"Hanya segini kepandaianmu berani
ribut-ribut di depanku?" jengek orang itu. Suaranya serak pecah, seperti
keluar dari batang pohon kering yang berlubang di tengahnya.
Sementara itu dalam sekejap Lembu Patik Pulung dan
Bajak Daratan juga sudah sampai.
"Untung kau orang tua dapat menangkapnya," ujar Lembu
Patik Pulung. Orang itu hanya mendengus, "Kalau kecoak macam begini
saja kau tidak becus membekuknya, apa dasarmu untuk
mencari kepala naga?"
Agak memerah juga wajah Lembu Patik Pulung, hanya
karena malam yang gelap maka perubahan mukanya itu tak
kentara. Orang itu mengibaskan tangannya perlahan, tahu-tahu
tubuh si Kedok Hitam yang menempel di dadanya itu tergetar
mencelat. Mestinya kalau hanya melencat begitu saja memang
bukan masalah bagi seorang ahli silat, tapi anehnya
mencelatnya si Kedok Hitam ini terus tidak bisa bangun lagi.
Bajak Daratan segera meringkusnya.
~Dewi-KZ~ Si Kedok Hitam sudah tak berkedok lagi. Dalam keadaan
seperti ini ia memang tidak memerlukan kedok. Yang
dibutuhkannya sekarang adalah sebilah pisau. Sebilah pisau
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang lumayan tajam sehingga bisa memotong tiga puluh satu
lingakaran tali yang mengikatnya. Kalau tak ada pisau tajam,
pisau daging pun boleh. Ia diikat di sebuah kursi. Bajak Daratan tadi, dengan
tertawa, menyuruhnya duduk dengan nyaman, tapi ia sendiri
hampir gila saking gatal di pantatnya.
Dua batang lilin berkedip-kedip di depan si Kedok Hitam,
melenggak lenggok serupa penari tayub. Biasanya si Kedok
Hitam amat menghargai lilin di rumahnya, menyayanginya dan
merawatnya seolah itu adalah putri raja yang kesasar, maklum
orang miskin. Tapi sekarang rasa gemasnya mungkin lebih
besar dari kerbau yang dipaksa naik dari kubangan, goyangan
api lilin itu dirasanya seolah mengejeknya.
Dalam kerlip lilin wajahnya tampak memerah. Mungkin
marah, gemas, jengkel, atau kelaparan, maklum dari magrib
tadi ia hanya makan angin malam. Hidungnya tidak mancung,
juga tidak pesek, sedang saja. Dahinya lebar, dengan
potongan rambut sepanjang leher. Ia sendiri cukup bangga
dengan bentuk mukanya itu. Sebagian orang bahkan pernah
menyanjungnya sebagai pemuda paling tampan di dunia,
Cuma sayang orang-orang itu adalah pengemis semua,
dengan mangkok sedekah yang kosong.
Badannya sedang saja, tidak tinggi juga tidak pendek,
pundaknya agak lebar. Sesungguhnya ia tidak mirip seorang
ahli silat kelas satu, ia lebih seperti anak tanggung yang s ibuk
mencari pacar, atau jambu tetangga.
Hanya matanya yang agak unik. Sorot matanya seperti
sorot mata kancil bertubuh kucing, cerdik, tapi juga setiap
saat bisa mencakar. Saat ini, sekalipun tubuhnya tidak bisa
bergerak, namun bola matanya jelalatan kesana kemari.
Di ruangan lain, mengelilingi jamuan panganan yang
lengkap, enam orang sedang duduk melingkar. Demang
Lembu Patik Pulung, Bajak Daratan Mata Tunggal,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hanggarawura, Ranti Sumirah, Seorang Kakek bertubuh kecil
pendek yang dikenal sebagai Maling Tiga ratus kaki, dan
Seorang Orang tua berjubah hitam berjuluk Gagak Jemarit.
Orang tua berjubah hitam itulah yang menangkap si Kedok
Hitam tadi. "Bagaimana urusan ini sampai terdengar oleh Istana Seribu
Kosong?" gumam Lembu Patik Pulung sembari menghela
nafas, setelah terdiam sekian lamanya.
"Apa kau yakin bocah itu berasal dari Istana Seribu
Kosong?" sahut Hanggarawura.
"Senjata rantai berujung belati, dewasa ini tak ada yang
menggunakannya selain penghuni Istana Seribu Kosong, "
"Tapi itu toh tidak bisa mastikan kalau bocah itu berasa l
dari sana." "Sekalipun tidak pasti, toh lebih baik menyangka demikian
dari pada meyakininya sebagai gembel jalanan yang iseng.
Betapapun kita harus memperkirakan sampai hal yang
terburuk." "Gembel jalanan tak akan seiseng itu." Sela Ranti dengan
tertawa, perempuan paruh baya in seperti tidak cemas
sedikitpun. Tiba-tiba Kakek berjubah hitam itu mendengus pendek,
"Hmk, sekalipun Istana Seribu Kosong mau ikut campur juga
bukan soal, malah tambah ramai."
Lembu Patik Pulung berdehem, "Ya, asal ada Ki Gagak
Jemarit disini sekalipun Istana Seribu Kosong hendak main gila
juga bukan masalah, Cuma semakin banyak yang terlibat
bukankah peluang kita pun semakin berkurang."
"Selain Kebo Sora dan Istana Seribu Kosong memangnya
siapa lagi yang turut campur?" tanya Ranti.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ku dengar Kiai Santun Paranggi dan Thian-Ok hweshio
juga turut ambil bagian, belum lagi seorang pemuda yang
akhir-akhir ini ramai dibicarakan, Sengatan Satu Titik Satu
Nyawa." Bajak Daratan bertanya dengan terkejut, "Apakah dia yang
memusnahkan perkampungan Ular Merah?"
Demang Patik Pulung tidak menjawab. Diam, dalam
beberapa hal, bisa diartika mengiyakan.
"Kepandaian bocah ini memang tidak rendah," Ujar Maling
Tiga ratus kaki tiba-tiba.
Gagak Jemarit tertawa menjengek, "Betapapun tingginya
masakan dia mampu menyandak larimu?"
Maling T igak ratus kaki menghela nafas panjang, "Beberapa
kerat tulang tua ini mana bisa dibandingkan dengan anak
muda," Lembu Patik Pulung bangkit, berjalan ke jendela,
membukanya dan dengan tercenung mengawasi sekilas para
pengawal yang hilir mudik di luar. Angin pegunungan
mengusap kulitnya yang mengerut kedinginan.
"Yang terpenting, gerakan kita harus tambah dipercepat.
Semakin cepat semakin baik." Kata Demang lembu Patik
Pulung setelah terdiam sekian lamanya.
Bajak daratan beranjak bangkit, "Aku akan memeriksa
bocah itu." Mestinya Bajak Daratan tidak terlalu khawatir dengan si
Kedok Hitam yang tadi mengaku bernama Risang Ontosoro,
sebuah nama yang aneh, tak terlalu enak terdengar di telinga,
juga tak terlalu pas untuk dipakai oleh seorang bocah
tanggung. Ikatan tali yang pasti tidak kurang dari tiga puluh
putaran itu sekalipun banteng kesurupan juga mustahil
melepaskan diri, apalagi tenaga lunak dari Gagak Jemarit
masih menotok sebagian jalan darahnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Cuma mendadak ada sesuatu yang diingatnya dan harus
dipastikannya langsung melalui mulut bocah itu.
Tapi tak lama, Lembu Patik Pulung berlima serentak
meloncat ketika jerit Bajak Daratan terdengar mendadak.
Kalau orang seperti Bajak Daratan bisa menjerit, maka
masalah yang dihadapinya pasti tidak lumrah.
Ketika Lembu Patik Pulung berlima menerjang ke dalam
ruangan yang semula dipakai untuk meringkus Risang
Ontosoro itu mendadak mereka pun melengak terkejut.
Di depan kursi dengan tali temali yang tak satupun putus
itu Bajak Daratan terlihat termangu-mangu bengong. Ruangan
itu tak berubah, tak ada barang yang berpindah, genting
rumah juga masih rapi, tapi Risang Ontosoro sudah tak
kelihatan batang hidungnya.
"Bagaimana dia bisa lolos?" gumam Hanggarawura seperti
bertanya pada dirinya sendiri. Maklum melihat keadaan yang
rapi itu siapapun tak akan bisa menduga bagaimana si bocah
bisa lolos. Bahkan Bajak Daratan sudah merinding jangan-
jangan yang mereka tangkap itu bukan manusia.
"Jendela ini seperti tidak pernah dibuka." Kata Ranti sambil
memandangi jendela yang masih terkunci dari dalam.
Tiba-tiba Gagak Jemarit mendengus, "Sekalipun kepandaian bocah itu sepuluh kali lebih tinggi juga mustahil
lolos dengan sendirinya, apalagi ia bukan setan gentayangan."
Tidak ada yang menyahut, semuanya mendengarkan
karena mereka tahu kalimat Gagak Jemarit belum selesai.
Sepasang mata Gagak Jemarit yang celung dan tajam
menatap lekat-lekat Bajak Daratan, "Maka pasti ada orang lain
yang membebaskannya."
Semua mata menatap Bajak Daratan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wajah Bajak Daratan sendiri sudah membesi hijau, "Kalian
kira aku yang melepaskan bocah itu?"
"Memangnya bukan kau yang mengikatnya tadi?" jengek
Gagak Jemarit. Bajak Daratan menantang mata Gagak Jemarit tajam,
memandang orang-orang lainnya, sebelum tiba-tiba wajahnya
menampilkan ekspresi yang sukar dimengerti, seperti
penasaran, gusar, juga tidak percaya. Perlahan-lahan warna
mukanya berubah pucat, membiru, dan akhirnya dari seluruh
lubang di tubuhnya mengeluarkan bau busuk.
Lembu Patik Pulung terkejut, ketika ia memandang
dadanya, tertampak sejalur luka yang mekar perlahan-lahan.
Darah merembes, lalu mengucur deras. Namun darahnya
ternyata tidak berwarna merah, melainkan hitam busuk,
seperti air got. "Kenapa kau membunuhnya?" tanya Lembu Patik Pulung
dengan suara bergetar. Matanya menatap Gagak Jemarit.
Gagak jemarit hanya mendengus, "Memangnya kau ingin
melepaskannya?" jengeknya dingin.
Hanggarawura meski lahirnya tampak tenang-tenang saja,
diam-diam bergidik juga menyaksikan betapa keji dan
mematikannya serangan Gagak Jemarit. Ia tadi hanya sempat
melihat selarik sinar hitam berkelebat, dan tanpa mampu
melakukan perlawanan Bajak Daratan sudah lekas mampus.
Tanpa terasa ia melirik Ranti di sampingnya. Dilihatnya
wajah istrinya itu sudah memucat putih.
Sedang Maling Tiga Ratus kaki, walaupun agak terkejut
juga terhadap kepandaian Gagak jemarit itu tapi yang paling
menarik perhatiannya hanya satu hal, bagaimana cara Risang
Ontosoro melarikan diri, sekalipun misalnya Bajak Daratan
yang melepaskannya, tapi mustahil gerakan mereka tak
didengarnya. Ia mengedarkan pandangannya sekeliling, naluli
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
malingnya mengatakan ada yang tak beres dengan keadaan
kamar ini. Pelupuk matanya menyipit ketika sebuah garis yang samar-
samar di lantai tertangkap sudut matanya.
~Dewi-KZ~ Arya biasanya sangat tenang dalam menghadapi segala hal,
maklum kalau jiwa sendiri saja sudah tergadai segala
tindakannya dengan sendirinya akan menjadi acuh tak acuh,
tak ada yang ditakutkan lagi.
Namun kali ini ia harus mengakui bahwa hatinya berdesir.
Ia masih duduk di warung teh yang sama, menghadap
secangkir teh hijau yang sama beningnya. Namun bedanya ia
sudah tak sendirian lagi. Seorang bocah dengan sinar mata
penuh teka-teki duduk di depannya, menyeruput teh hangat
ditangannya pelan-pelan. Ketika terjadi peristiwa mengepruk rumput untuk
mengejutkan ular di atap kademangan tadi Arya sudah yakin
sekalipun kepandaian pemuda itu terhitung jago tangguh, tapi
setidaknya tidak diatas dirinya. Maka ketika mengetahui
pemuda bernama Risang Ontosoro itu berhasil ditangkap oleh
Gagak Jemarit, dihatinya agak-agak menyesal, kemudian Arya
pun bersiap menolongnya. Cuma pihak musuh terlalu tangguh, apalagi terdapat dua
jago tua yang namanya cukup mengguncangkan dunia
persilatan, ialah Gagak Jemarit dan Maling Tiga Ratus Kaki.
Yang terakhir ini konon menurut peribahasa Dalam semalam
mencuri seribu rumah, bahkan anak ayam pun tak
ditinggalkannya. Maka dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu
meringankan tubuhnya. Arya pun balik lagi ke warung teh itu untuk mencari tempat
tenang dan berfikir cara bagaimana ia menolong Risang
Ontosoro. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun ketika hendak beraksi mendadak ia dibuat tertegun


Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan melongo heran. Dilihatnya Risang Ontosoro, yang
sebelumnya tertangkap dan diringkus bak lemper itu, dengan
gaya 'dunia ini punya gue' berjalan masuk ke warung makan
itu. Tanpa menoleh kanan kiri lagi, bocah yang kelihatannya
setengah sinting setengah kerasukan itu langsung menuju
mejanya. Kira-kira sudah ada setengah harian kedua orang yang
sama-sama aneh ini duduk berhadapan, namun satu katapun
belum terucapkan. Mendadak Risang Ontosoro tertawa, lalu katanya, "Ilmu
menimpuk saudara ini sungguh jitu, kalau dipakai memburu
emprit, wah..tentunya akan dapat lumayan."
"Ilmu lolos dari jaring saudara malahan terlebih licin. Kalau
semua maling di dunia ini bisa menguasainya, bukankah
kawanan opas akan gulung tikar seluruhnya?" jawab Arya
sambil tertawa. Risang Ontosoro tertawa bergelak, "Memangnya sekali lihat
sudah kupastikan pribadimu memang tidak sungkan-sungkan,
nyatanya cara bicaramu juga tanpa tedeng aling-aling, betul-
betul membikin hatiku sangat senang. Malah sudah kupikirkan
untuk mengangkat saudara dengan anda."
"Ah..terima kasih."
"Apalagi, kata orang tua-tua, berkawan setelah berlawan,
kata-kata ini bukankah sangat cocok dengan keadaan kita saat
ini." "Berkawan dengan orang seperti saudara, sungguh
mimpipun tak kubayangkan."
Mendadak Risang Ontosoro mendelik, "Cuma diantara kita
tak pernah ada ikatan apapun, hakikatnya sejak menjadi orok
belum pernah kulihat orang sepertimu ini, potonganku juga
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tidak mirip maling yang kelaparan, kau juga bukan opas yang
bertugas, lalu mengapa kita harus berlawan?"
"Perempuan menikahi laki-laki pun kadang-kadang tak ada
sebabnya, mengapa orang berkelahi harus ada sebabnya?"
jawab Arya masih sambil tersenyum.
"Boleh jadi karena orang-orang itu adalah satu kompolotan
denganmu makanya kau gusar ketika ku intip mereka dan
lantas mengajak berkelahi padaku." Semakin bicara semakin
gusar tampaknya, sampai bola mata pun hampir meloncat
keluar bak ikan mas koki.
Arya tertawa, "Orang miskin sepertiku ini mana pantas
berkomplot dengan orang-orang kaya seperti mereka. Apalagi
istilah berkelahi itu kurasa tidak terlalu tepat, bukankah kita
hanya sempat bertepuk angin saja?"
Risang Ontosoro memandang Arya lama, perlahan matanya
mulai mengendur, "Kata-katamu seperti masuk akal."
Arya hanya tersenyum saja tanpa menjawab.
Keduanya kembali terdiam. Masing-masing mengembarakan lamunan ke antah berantah.
Di warung itu hanya tersisa mereka berdua saja. Ada juga
satu orang pelayan yang tadi melayani, tapi mungkin sekarang
sudah ngorok. Malam sedingin ini, sampai kabutpun seolah-
olah mengepulkan hawa dingin, siapapun tak akan rela
ketinggalan kesempatan untuk meringkuk di dalam selimut.
Risang Ontosoro yang kembali memulai pembicaraan,
"Sepertinya kau tidak begitu sehat."
Arya tersentak, orang yang mengetahui kalau dirinya
mengidap racun 30 hari naik ke surga pasti bukan orang
sembarangan. Maklum racun ini tak memperlihatkan gejala di
luar. Kecuali orang yang mempunyai ketajaman mata tertentu
saja yang dapat melihatnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun Arya hanya tertawa hambar, "Setiap orang kan
sesekali harus kurang sehat. Kalau terus menerus sehat
bukankah akan menjadi siluman."
"Siluman pun ada kalanya masuk angin." Tukas Risang
Ontosoro sambil tertawa kecil.
Lalu lanjutnya, "Tapi racun 30 Hari naik ke Surga bukanlah
malaikat kematian. Tiga tahun lalu nenekku pernah meminum
racun ini, tapi sampai sekarang ia bahkan masih mampu
menyembelih sapi." Arya kembali melengak, ketajaman mata pemuda yang
tampaknya bersikap seenaknya ini benar-benar di luar
dugaan. Jantungnya seketika juga berdegup kencang begitu
mendengar keterangan terakhir. Maklum, di dunia ini siapa
orangnya yang menghendaki kematiannya di percepat,
sekalipun tua bangka yang sudah ompong giginya juga akan
meminta umurnya ditambah barang beberapa tahun.
Meski mati sama pastinya dengan hari esok, tapi hidup
yang tak pasti justru adalah perjalanan yang asik. Sekalipun
pahit getir dan berbagai misteri menakutkan silih berganti
membayang di setiap langkah, tapi orang hidup toh tak
hendak surut. Ibarat kata remaja yang sedang di mabuk cinta,
"Melangkah dengan tekad yang tak hendak merunduk di
depan kemustahilan."
Samar-samar di balik selaput mata Arya yang bening,
memancar sinar yang menyala terang.
Risang Ontosoro tersenyum. Meski ia tidak kenal
sebelumnya dengan pemuda muka pucat ini, malah sempat
bergebrak, namun membagi harapan dan tekad akan hidup
kepada siapapun selalu menyenangkan. Ia pun paham bahwa
senyum yang hangat dan berharga adalah senyum yang dapat
membuat orang lain tersenyum.
Burung hantu yang mengintip dari balik gerumbul daun
disana pun seakan turut tersenyum.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah terdiam beberapa saat lamanya, kembali Risang
Ontosoro berkata, "Sudah lama aku tidak menghadap nenekku
itu, kalau saudara tidak berhalangan besok pagi-pagi bolehlah
aku akan mengiringi saudara ke tempat nenek."
Arya tersenyum, "Banyak terima kasih atas kesediaan
saudara, Cuma aku masih ada beberapa urusan yang harus
diselesaikan. Dalam waktu dekat ini mungkin tidak dapat
pesiar kemana-mana."
Kedua bola mata Risang Ontosoro berputar, "Beberapa
urusan saudara itu apakah berkaitan dengan komplotan orang
kaya bau itu?" Arya hanya tertawa saja dan tidak menjawab. Hanya
wajahnya tampak bersinar aneh.
Setelah meneguk habis minumannya kembali Risang
Ontosoro berkata, "Baiklah, kalau begitu cukup kau tahu saja
bahwa nenekku tinggal di puncak Merbabu. Kalau saudara ada
waktu silahkan berkunjung." Jawab Risang Ontosoro sambil
beranjak bangkit. Arya tersenyum dan mengucapkan terima kasih.
Setelah bayangan bocah aneh itu hilang di kabut pekat,
segera Arya pun beranjak.
Malam beranjak menjemput fajar, setiap kegelapan pasti
bertaut dengan semburat terang. Arya memandang pucuk
langit dengan tatap teduh, kerlip gemintang seolah taburan
embun di hamparan cakrawala yang sunyi.
~Dewi-KZ~ Demang Kebo Sora merasakan tubuhnya bagai melayang di
gugusan awan. Tangan dan kakinya terasa enteng bagai
kapas. Sejenak, suasana kosong membalur jiwanya.
Di tengah kekosongan itu tiba-tiba perutnya terasa panas,
perlahan hawa panas itu merambat ke kaki tangan, dada,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
leher, kepala, hingga dalam sekejap seolah seluruh tubuhnya
mendadak dimasukkan ke dalam kuali raksasa dengan minyak
mendidih. T ak pelak keringat sebesar kacang merembes bagai
embun. Hawa panas itu memanggang sekian lamanya tak kunjung
reda, malah semakin menggila. Saking panasnya Kebo Sora
merasa darahnya bergolak hebat, menerjang dari perut ke
leher, lalu.. "Huakkk..." Sebuah kuali yang disiapkan di depan Demang Dipa Saloka
itu hampir setengah sudah terisi darah segar kehitaman,
ditambah kali ini, mungkin sebentar lagi perlu ganti kuali baru.
Dalam keadaan lamat-lamat, sayup-sayup telinga Demang
Kebo Sora mendengar suara percakapan.
Seseorang bertanya, "Apa dia akan hidup?" nada suaranya
penuh kegembiraan orang hidup, seperti orang yang
mengucapkannya baru saja mendapatkan harta karun dua
puluh karung ditambah bini muda tiga biji.
"Tentu saja, di tanganku masakah ada orang mati karena
sakit." Jawab sebuah suara lainnya, yang terdengar tandas
dan agak serak. Orang pertama tadi tertawa, "Tapi justru orang yang mati
di tanganmu karena kau pukul sendiri malah tidak sedikit,"
Orang kedua hanya mendengus.
Kedua orang ini sudah tentu adalah Macan Taring Tunggal
dan Setan Galunggung Utara, dua orang manusia aneh bin
ajaib itu. Sekarang keduanya sedang berdiri di kanan kiri
Demang Kebo Sora yang rebah dalam keadaan pucat dan
setengah pingsan. Diujung pembaringan bambu sana berdiri
Mahesa Manunggal dengan raut muka cemas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Paman, bagaimana keadaannya?" tanya Mahesa Manunggal kepada Macan Taring T unggal.
"Dadanya gosong separoh, andai saja tidak kutemukan dia
atau kutemui setelah lewat dua jam tadi maka isi dadanya
mungkin sudah ambrol." Jawab Macan Taring T unggal.
"Kalau isi dadanya ambrol, nyawanya pun pasti mrucut
hilang." Setan Galunggung Utara tak tahan untuk tak
menimbali. Macan Taring Tunggal hanya mendelik saja kepada
sahabatnya itu. "Sekarang jiwanya sudah tak menghawatirkan.
Cukup istirahat satu bulan dia akan pulih kembali."
"Terima kasih paman." Ucap Mahesa Manunggal sambil
membungkukkan badan. "Orang ini bukan bapak atau moyangmu, untuk apa kau
berterima kasih untuknya?" tukas Macan Taring Tunggal
sambil mendeliki pemuda itu. Orang berbaju kulit macan ini
agaknya tak punya ekspresi wajah selain hanya gusar dan
mendelik saja. Mahesa Manunggal tidak menjawab. Kepalanya malah
menunduk. Ketika melihat air muka pemuda itu memerah jengah,
Setan Galunggung Utara tertawa bekakakan, "Sekalipun dia
bukan bapak dan moyang bocah cilik ini, tapi kalau sampai
orang ini mati, kepada siapa nanti dia akan melamar
pacarnya?" katanya di tengah derai tawanya.
"Kau ini memang suka berguyon seperti anak kecil saja." Di
tengah derit pintu bambu yang membuka, seorang nenek
dengan tubuh agak bungkuk dan sorot mata yang lembut
murni melangkah pelan-pelan. Di tangannya sebuah mangkuk
berisi air rebusan obat mengepulkan bau khas. Anehnya,
sekalipun mangkuk itu seperti sangat panas, tapi tangan si
nenek tak bergetar sedikitpun.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Suka berguyon kan jauh lebih baik dari pada suka
mendeliki orang," jawab Setan Galunggung Utara dengan
tawa berderai, tubuhnya yang bulat gemuk itu sampai
terguncang-guncang karena tawanya.
Macan Taring Tunggal kontan mendelik gusar, tapi baru
saja mau mendamprat si nenek sudah berkata, "Sudah
beberapa tahun aku tidak menjenguk ke Istana, bagaimana
keadaan si nenek tua?"
Setan Galunggung Utara mestinya mau mengolok-olok lagi,
lha wong dia sendiri nenek kok manggil orang lain nenek tua,
tapi keburu di dahului oleh Macan Taring Tunggal,
"Keadaannya baik, sekalipun usia menua, tapi semangatnya
malah tambah menyala-nyala. Beberapa bulan lalu malah
sempat pesiar ke segala."
Si Nenek menghela nafas, matanya menerawang ke jauh
sana, bibir pun menyunggingkan senyum, "Semangatnya
untuk hidup dan kecintaannya kepada sesama dan alam
semesta memang sulit dicari bandinganya di dunia."
Sejenak, senyap merayap pelan. Agaknya semua orang
tenggelam dalam lamunan masing-masing. Gemerisik daun
yang ditimpali kokok kodok bersahut-sahut berdendang di
tengah senyap. "Kuundang kalian berdua kemari, hah...sesungguhnya aku
tidak enak hati mengganggu kehidupan kalian yang tenang
damai itu." Ujar si Nenek setelah termenung sekian lamanya.
"Ah..tenang damai sih tidak, malahan setiap hari aku sibuk
bertengkar dengan macan ompong ini, bagaimana bisa
dikatakan damai?" tukas Setan Galunggung Utara.
Si Nenek hanya tersenyum, "Cuma urusan ini sedikit
banyak juga bersangkut paut dengan kalian, meski harus
sedikit buang tenaga namun pasti tidak sia-sia perjalanan
kalian ini." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sesungguhnya urusan apa?" tanya Macan Taring Tunggal
penasaran. Bab VIII, Vila Bambu tepi Danau
Si Nenek tak menjawab. Sejenak dipandanginya wajah Ki
Demang yang masih pucat, hanya tarikan nafasnya sudah
teratur. Lalu terbungkuk-bungkuk ia keluar dari kamar.
Tangan kanannya menggape pelan, menyuruh orang-orang
mengikutinya. Macan Taring Tunggal dan Setan Galunggung Utara sekilas
beradu pandang sebelum keduanya bangkit dan berjalan
mengikuti. Mahesa Manunggal tentu saja tidak ketinggalan,
meski disempatkannya juga merapikan selimut yang menutupi
tubuh Ki Demang. Di ruang tengah, dengan lampu lebih terang dan dua sisir
pisang di meja, si Nenek sudah menunggu.
Setan Galunggung Utara segera memilih tempat duduk


Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

paling nyaman, sebuah kursi malas dari bambu. Sambil
menarik nafas lega dijatuhkannya pantatnya ke lambung kursi.
Berada dimanapun, hal pertama yang dilakukannya adalah
memilih tempat ternyaman, maklum tubuhnya yang seperti
gentong bengkak itu akan terlalu merana bila dibiarkan berdiri
terlalu lama. Bahkan dalam pertempuran pun, ia akan
menumpuk dua tiga orang yang dibekuknya dan kemudian
dijadikannya kursi empuk.
Macan Taring Tunggal hanya berdiri saja, sedang Mahesa
Manunggal menyenderkan tubuhnya di dekat jendela yang
dibiarkan terbuka setengah. Di luar, bayang-bayang pohon
yang bergoyang tertiup angin layaknya serombongan raksasa
yang berjoget tarub. Lama juga si Nenek terdiam. Sepasang matanya seperti
memandang ke tempat yang sangat jauh. Tiga orang lainnya
juga tak membuka suara. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kesunyian yang berlama-lama ini sebenarnya sudah
membuat keki perasaan Setan Galunggung Utara. Suasana
yang disukainya adalah jamuan makan yang ramai, maka
keadaan yang membuatnya tak betah sudah tentu sepi seperti
ini, untung saja si Nenek sudah mengambil nafas panjang dan
bersiap membuka suara sebelum perut si Gemuk ini tambah
melembung saking dongkol.
"Dua puluh tahun lalu, saat kau merajai Hutan Seribu
Harimau," ujar si Nenek sambil memandang Macan Taring
Tunggal, kemudian beralih ke Setan Galunggung Utara, "dan
kau masih gentayangan di lereng Galunggung, dalam dunia
persilatan dikenal istilah Tiga Istana Abadi, yang terdiri dari
Istana Seribu Kosong, Istana Dasar Teratai, dan Istana Lautan
Awan. Tentunya kalian berdua masih ingat."
Macan Taring Tunggal dan Setan Galunggung Utara
mengangguk berbareng. Samar-samar di sorot mata keduanya
tersimbul nyala yang aneh, seperti kekaguman, jeri, juga
hormat. "Keangkeran dan kekuatan Tiga Istana Abadi saat itu boleh
dikatakan belum ada bandingannya. Sekalipun tidak secara
resmi, namun sudah dimaklumi oleh semua insan persilatan
tentang kepeminpinan Tiga Istana Abadi dalam dunia
persilatan." Si Nenek terbatuk-batuk. "Apakah Tiga Istana Abadi adalah sebuah kelompok
persilatan, atau sejenis perguruan?" tanya Mahesa Manunggal
tiba-tiba. Si Nenek tak menjawab, tangannya berusaha meraih kendi
air di meja. "Tepatnya bukan satu perguruan, tapi tiga perguruan."
Tukas Setan Galunggung Utara. Betapapun Mahesa dapat
menangkap nada yang berbeda dari suara Setan Gemuk ini.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah meminum seteguk air, mencecap bibirnya, si Nenek
kembali menyambung, "Boleh juga dikatakan perguruan silat,
sekalipun ilmu silat bukan satu-satunya yang ditekuni di tiga
istana itu." "Kabar tentang Tiga Istana Abadi memang seperti legenda.
Orang-orang bahkan ada yang mengatakan bahwa maju dan
runtuhnya dunia persilatan tergantung sepenuhnya pada Tiga
Istana itu." Macan Taring Tunggal berkata sambil mendesah.
Agaknya menyesali sesuatu.
Si Nenek tersenyum, di tatapnya Macan Taring Tunggal
dengan teduh, "Lalu bagaimana pendapat si Raja Hutan
mengenai kabar itu?"
Macan Taring Tunggal menghela nafas panjang, "Mendengar kabar tentang kehebatan Tiga Istana Abadi itu
sebenarnya ada juga dihatiku rasa penasaran, sekadar ingin
menjajalnya, apakah kabar itu memang benar, atau cuma
kentut orang yang kurang kerjaan. Namun Sekalipun aku
memang suka mengagulkan diriku sendiri, juga tidak terlalu
tamak dengan segala pengaruh dan nama kosong. Apalagi
seekor harimau tak akan mengganggu bekas kencing harimau
lainnya." Macan Taring Tunggal menggunakan kiasan dengan
kencing harimau disini bukan berarti menghina, karena
memang seekor harimau suka menandai wilayah hutan
kekuasaannya dengan bekas kencingnya.
"Kalau aku sih hanya setan gentayangan saja, asal orang
tak menggangguku, maka biasanya aku juga tak ambil pusing
dengan segala omongan." Setan Galunggung Utara menimbrung. "Kabar di luaran memang banyak diberi bumbu dan kecap
sehingga terkesan menyeramkan, namun bahwa selama itu
ilmu silat ketiga istana tak ada yang mengalahkan memang
bukan hanya omong kosong belaka." Kata si Nenek sambil
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menerawang jauh, seperti melihat masa lalu yang gemilang,
yang jauh. "Cuma begitu tinggi kepandaian para penghuni
Tiga Istana Abadi tentu juga bukan me lulu mengandalkan
legenda dan nama besar saja."
"Didalam kalangan Tiga Istana Abadi sendiri dikenal istilah
Tiga Pusaka Abadi, yaitu Kitab Teratai Membuka, Kitab Teratai
Menutup, dan Wahyu Kepala Naga. Tiga pusaka ini
ditempatkan secara terpisah masing-masing dalam tiga istana
yang berbeda, dijaga dengan sangat ketat, dan merupakan
lambang sekaligus kekuatan sebenarnya dari Tiga Istana
Abadi." "Apakah ketiga pusaka itu berisi ilmu silat maha tinggi?"
tanya Mahesa Manunggal. "Aku tidak tahu. Dalam dunia sekarang ini mungki tidak ada
yang tahu." Jawab si Nenek sambil menggeleng, "Konon pada
seratus dua puluh tahun yang lalu, ketiga pusaka itu adalah
simbol dari ikatan persahabatan antara T iga tokoh maha lihai
yang merupakan pendiri T iga Istana Abadi."
Setan Galunggung Utara mencecap mulutnya yang penuh
kunyahan pisang, kemudian tanyanya dengan tak menghentikan kunyahannya, "Lalu untuk apa kau ceritakan hal
itu pada kami?" suaranya bergerunjal-gerunjal, bercampur
dengan arus lumatan pisang yang lewat di kerongkongannya.
"Setahun yang lalu, Mahesa Manunggal mendapat kabar
bahwa Wahyu Kepala Naga akan keluar. Entah siapa yang
menyebarkan desas-desus ini, namun kabar yang beredar
menyebutkan bahwa siapapun yang menguasai wahyu kepala
naga, maka dia akan punya kekuatan untuk menguasai dunia
persilatan, bahkan juga mengambil alih wahyu keprabon."
Lanjut si Nenek tanpa memperdulikan ocehan si Gemuk.
"Itu adalah urusan orang-orang yang gila harta dan tamak
kekuasaan, lalu apa hubungannya dengan kami?" Setan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Galunggung Utara mencoba mengingatkan pertanyaannya
yang tak terjawab. "Tentu saja ada hubungannya," sahut si Nenek sambil
tersenyum, "Karena Istana Seribu Kosong tak lain dan tak
bukan adalah gedung usang yang kalian huni sekarang ini."
Bagi Mahesa Manunggal, jawaban ini tak mengejutkan,
sekalipun juga membuatnya tercengang, namun bagi Macan
Taring Tunggal dan Setan Galunggung Utara, bahkan geledek
di siang terik pun mungkin kalah mengejutkan dibanding
jawaban Si Nenek ini. Tanpa terasa, Macan Taring Tunggal maju selangkah,
mencoba mengamati sinar mata si Nenek, sedang Setan
Galunggung Utara melongo dengan mulut terbuka, lupa
dengan apa yang dikunyahnya, sehingga sebagian kunyahan
pisang itu jatuh berceceran di tanah.
Si Nenek terdiam sejenak, mencoba memberi kesempatan
kepada dua makhluk aneh itu untuk meredakan gejolak emosi
yang tiba-tiba bergolak. Sementara Macan Taring Tunggal dengan susah payah
menggeleng-gelengkan kepalanya yang pening. Ingatannya
berkelebat ke masa sepuluh tahun ke belakang.
Saat itu dirinya, dengan dendam yang bertumpuk karena
dikalahkan dengan licik dan luka-luka yang hampir
membuatnya sekarat, terkapar di tebing jurang dengan
gerojokan air terjun yang menggemuruh.
Berhari-hari sudah, tubuhnya yang penuh luka itu berjalan,
mencoba mengais sisa nafas yang ada, atas nama dendam.
Tanpa makanan, hanya berusaha menjilat tetes embun di
ujung hidung, hingga akhirnya ia tiba di tebing jurang itu.
Dengan pandangan yang nanar ditatapnya air terjun yang
menggemuruh, seakan ingin merontokkan isi dada. Air itu
begitu berlimpah, seolah bahkan bumi tak kuat Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menampungnya, tapi dirinya yang kering dan luar biasa
kehausan itu malah tak sanggup mencapainya. Dengan
tenaganya saat ini, jangankan meneguk air di Sungai dengan
arus sederas ini, membuka kelopak mata saja rasanya seperti
mengangkat seribu perut gajah yang gemuk-gemuk. Hanya
telinganya yang jelas mendengar gemuruh air.
Ingin rasanya ia menggigit lidahnya sendiri untuk
mengakhiri hidup, namun kalau mengingat kehormatannya
yang tercabik musnah dan penghinaan yang dialam inya,
sekalipun mau mati juga setidaknya harus membalas dendam
terlebih dahulu. Maka sekuat tenaga disentakkannya tubuhnya dengan sisa
tenaga terakhir, dan badan yang penuh luka itu segera
menggelundung ke bawah, dengan deras menyongsong air
yang bergemuruh. Tindakannya ini kalau dalam keadaan biasa bisa disebut
bunuh diri. Dengan ketinggian lebih dari seratus tombak itu
sekalipun gajah juga tak mungkin jatuh dengan masih
bernyawa. Tapi dirinya justru dalam keadaan yang luar biasa. Kalau ia
tidak menerjunkan diri, ia pun akan mati kehausan dan
kelaparan. Maka dipertaruhkannya satu-satunya kesempatan
terakhir ini dengan menggadaikan nyawa sendiri.
Setelah menerjunkan diri, ia pun tak sadar lagi. Dikiranya
diri sendiri sudah berpindah alam, sudah mati. Tapi justru
dalam alam yang dikiranya sebagai dunia orang mati itu ia
begitu tenang, hatinya kosong. Badan tak ada. Segala
dendam, segala nama dan kedudukan menghilang begitu saja.
Tak ada yang dirasakannya, hanya suwung.
Sampai suatu hari dirasakannya hawa panas seolah
membakar dirinya. Mungkinkah lidah neraka yang sedang
mencincang tubuhnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketika sekuat tenaga ia membuka matanya, yang pertama
kali nampak adalah bayangan seorang nenek tua dengan
rambut seluruhnya putih keperakan. Dengan sinar mata yang
teduh menenangkan, nenek itu menempelkan sebelah
tangannya di dadanya yang menghitam gosong. Hawa panas
menerobos masuk dari telapak tangan si nenek.
Di samping si nenek duduk dengan nyaman seorang
dengan perawakan bagai gentong bengkak, dengan raut
wajah yang gembira. Si gemuk ini sambil tertawa-tawa
mengangguk-anggukkan kepalanya ke arahnya, seolah
memompakan gelombang demi gelombang semangat ke
dalam jiwanya yang pupus.
Mulai hari itulah ia baru tahu kalau ternyata dirinya belum
mati. Sejak saat itu juga ia tinggal bersama si nenek dan si
gemuk dalam sebuah gedung usang. Gedung itu cukup besar,
bangunannya juga sangat kokoh, hanya nampaknya tidak
terawat. Galagasi dan lumut menempel dimana-mana. Dinding
dan lantai penuh dengan rumput liar. Di kelilingi gunung dan
tebing, tersinar dengan cahaya setiap pagi.
Gedung itu sebenarnya tak cukup layak disebut sebagai
tempat tinggal, namun toh Macan Taring Tunggal betah
tinggal disana dan enggan untuk tinggal pergi. Hal ini karena
sekalipun gedung itu sudah tua dan angus, tapi penghuninya
sangat istimewa. Bersama si Nenek yang suka menanam aneka sayuran dan
bunga-bungaan, acap kali juga menembang, dan Si Gemuk
yang selalu tertawa dan gembira sekalipun tak makan dua
hari, ia mencoba menutup buku masa lalunya, melupakan
dendamnya, menghapus sakit hatinya, dan mencoba mencari
arti dari hidup yang singkat ini. Ia ingin mencari Yang Sejati
dalam hidup, yang tak akan rusak oleh melapuknya badan, tak
lekang dengan mengerutnya kulit, tak hilang oleh gemuruh
kematian. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bertahun-tahun ia menjalaninya pencariannya ini, dan
hanya mengira bahwa tempat itu adalah sejenih pertapaan
terpencil yang memang banyak terdapat di pegunungan -
pegunungan tinggi. Maka dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika sekarang
mengetahui bahwa gedung usang yang ditinggalinya itu
adalah Istana Seribu Kosong, salah satu dari T iga Istana Abadi
yang tersohor di dunia persilatan.
"Kalian tidak pernah mengiranya bukan?" pertanyaan si
Nenek menyeret Macan Taring T unggal dari larutnya lamunan.
"Mimpipun aku tidak mengiranya" kata Setan Galunggung
Utara dengan menyengir, "Waktu itu ku lihat di depan gedung
itu berloncatan lima ekor kelinci yang sedang bermain. Dasar
memang cacing-cacing di perutku sudah pada memberontak


Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka tanpa ku pikir ku tangkap kelinci-kelinci itu. Siapa tahu
beberapa ekor kelinci itu begitu gesit, setelah berkutat sekian
lamanya tak berhasil juga ku tangkap walau seekor. Saking
gemas ku angkat tangan untuk memberi barang beberapa
pukulan ke arah kelinci itu. Saat itulah aku bertemu dengan si
nenek tua, yang mengatakan padaku kalau aku ingin
menangkap kelinci itu, maka aku tidak boleh menggunakan
ilmu s ilat." "Lalu bagaimana kau jawab perkataan Sekar Gumintang
itu," tanya si Nenek dengan tersenyum.
Tapi sebelum Setan Galunggung Utara menjawab, Mahesa
Manunggal menyela dengan penasaran, "Jadi nama nenek tua
tuan rumah Istana Seribu Kosong itu adalah Sekar
Gumintang?" Si Nenek mengangguk, sementara Setan Galunggung Utara
melotot, "Jangan potong ceritaku." Bentaknya dongkol.
Mahesa Manunggal tertawa, "Baiklah. Coba teruskan
ceritamu." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Lalu ku jawab, 'bagaimana bisa ku tangkap tanpa ilmu
silat, kelinci-kelinci itu begitu gesit' lalu Nenek Tua menjawab,
'asal kau perhatikan gerak telinga mereka maka dengan
mudah kau akan bisa menangkapnya'" Lanjut Setan
Galunggung Utara, "mulai saat itu lah aku tinggal disana.
Mengamati gerak kuping kelinci itu."
"Apakah sekarang kau sudah mampu menangkap kelinci-
kelinci itu?" Mahesa Manunggal tak bisa
menahan penasarannya. "Sekarang aku sudah bisa melihat gerak telinga mereka,
tapi ma lah kemudian aku tak tega menangkapnya, maka
terpaksa aku mengangkat saudara dengan beberapa setan
putih itu." Jawab Setan Galunggung Utara dengan tertawa.
Mahesa keruan melongo. Selama hidupnya sudah banyak
didengarnya hal yang aneh-aneh, tapi mendengar seorang
manusia mengangkat saudara dengan kelinci baru di
dengarnya sekarang. Macan Taring Tunggal memecah suasana yang terputus itu
dengan berdehem, lalu tanyanya, "Jadi kau memanggil kami
adalah untuk menyuruh kami berdua menjaga istana seribu
kosong dari serbuan orang-orang tamak itu?"
Si Nenek menggeleng, "Istana Seribu kosong sendiri tidak
perlu terlalu di khawatirkan. Karena yang mereka cari adalah
Wahyu Kepala Naga, maka sasaran utamanya adalah Istana
Lautan Awan." "Jadi Wahyu Kepala Naga disimpan di Istana Lautan Awan."
Kata Setan Galunggung Utara.
"Aku sendiri sudah berunding dengan adi Sekar Gumintang
tentang hal ini. Bahwa dia tidak ikut kesini dan tetap berdiam
di Istana Seribu Kosong memang bermaksud berjaga-jaga
terhadap hal yang diluar perkiraan, sedangkan kita semua
selekasnya menuju ke Istana Lautan Awan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Macan Taring T unggal merasakan sesuatu yang cukup aneh
bagi pikirannya. Melihat kekuatiran si Nenek yang biasa
dipanggil Eyang Wuranti itu maka dapat diperkirakan bahaya
yang meluruk tidak ma in-main. Namun nama Tiga Istana
Abadi sendiri juga tak kurang keramatnya, maka kalau
sekarang sampai harus meminta bantuan kepada dirinya dan
Setan Galunggung Utara yang boleh dikatakan masih terhitung
orang luar, lalu kemana perginya jago-jago Tiga Istana yang
dulu menggetarkan seluruh pulau itu" Apa mereka sudah pada
aras-arasen semua " Namun perasaan ini tak ditanyakannya. Setelah melalui
gemblengan luar biasa dalam perjalanan hidupnya, dapat
diketahuinya bahwa Laku yang paling menyenangkan dan
membahagiakan adalah memberi sesuatu kepada orang lain,
baik itu benda atau jasa, dengan melepaskan pamrih.,
memotong balasan. Karena memberi adalah saling memberi,
menerima adalah saling menerima.
Macan Taring Tunggal hanya bertanya, "Kapan kita
berangkat?" Si Nenek memandangnya dengan tersenyum.
~Dewi-KZ~ Dipa Saloka gempar. Di beranda, "Siapa yang melakukannya" Ya, siapa yang
punya kepandaian begitu nggegirisi sehingga sanggup
melakukan hal seperti ini.?" Gumam Ki Jagabaya dengan
termangu-mangu. Sikapnya seperti orang linglung. T angannya
mencengkeram erat gagang pedang, bergeletar.
Sementara Kiai Santun Paranggi menarik nafas dalam-
dalam, mengisi penuh-penuh rongga paru-parunya yang
sesak, kemudian menghembuskannya perlahan, "Siapapun
yang melakukannya, dia pasti seorang yang tidak pernah
kukenal." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Jagabaya menoleh, raut muka Kiai Santun Paranggi
terlihat kental berkerut.
"Berpuluh tahun melanglang buana, kukira seluruh tokoh
sakti di delapan penjuru sudah pernah ku kenal, atau biarpun
tidak kenal juga tahu sedikit. Tapi ternyata beberapa hari saja
orang-orang sakti beruntun bermunculan, dan tidak satupun
yang kukenal." Lanjut Kiai Santun Paranggi dengan gegetun.
Pacak Warak yang berdiri di bawah pohoh dengan
beberapa pemuda hanya memandangi kedua orang tua itu
dengan penuh rasa ingin tahu, juga khawatir, campur gelisah.
Ketika ayam jantan berkokok fajar tadi, salah seorang
pemuda desa yang bernama Glagah Geni menemukan tubuh
Ki Demang tersampir di ranting-ranting pohon randu dalam
keadaan pingsan dan muka yang pucat, seolah tak berdarah.
Kejadian ini tentu saja langsung menggegerkan seluruh
kademangan. Beberapa hari yang lalu Ki Demang mengatakan
ingin menyelidiki sesuatu dan mengalihkan semua wewenang
ke tangan Ki Jagabaya. Beberapa hari tak ada kabar, tak
tahunya sekarang mendadak tubuhnya tersampir di pohon
dengan terluka, siapa yang tidak bingung.
Pacak Warak bangkit berdiri ketika Ki Jagabaya
melambaikan tangan ke arahnya.
"Sejak tadi apa kau melihat Mahesa Manunggal?" tanya Ki
Jagabaya tiba-tiba. Pacak Warak menggeleng, agaknya merasa heran kenapa
Ki Jagabaya menanyakan pemuda sawahan itu.
"Apa kau merasa Mahesa Manunggal ada hubungannya
dengan hal ini?" tukas Kiai Santun Paranggi tiba-tiba.
Ki jagabaya menghela nafas. Sepasang matanya bersinar
guram, "Aku hanya merasa sedikit aneh dengan anak itu.
Kenapa ia muncul ke permukaan secara mendadak"
gumamnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Agaknya kepandaiannya juga tidak rendah," sahut Kiai
Santun Paranggi. Sebelum Ki Jagabaya berkomentar lebih jauh, terdengar
suara langkah halus dari dalam rumah, lalu pintu yang
berderit, "Kalian tidak perlu terlalu khawatir."
Seorang tua dengan tubuh tinggi besar, brewok yang putih
susu, berjalan agak kepincangan ke arah Ki Jagabaya. Dialah
Ki Awu Lamut, seorang tua yang piawai dalam hal pengobatan
dan penyakit. Ki Jagabaya segera memburu maju, "Apa dia tidak apa-
apa?" Orang tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya, "Keadaannya tidak menghawatirkan. Sekalipun dadanya
terluka, namun tidak membahayakan."
Ki Jagabaya menghela nafas lega, tarikan wajahnya
seketika juga mengendur, lalu tanyanya,"Apa kau tahu sebab
apa luka di dadanya?".
Ki Awu Lamut kembali menggeleng-gelengkan kepalanya,
"Seperti bekas pukulan. Tapi aku tidak pandai silat, jadi tidak
bisa menebak pukulan apa yang melukai dada Ki Demang."
Setelah mengisi penuh paru-parunya dengan udara segar,
Ki Awu Lamut melanjutkan, "Aku hanya merasa sedikit aneh."
"Aneh apa?" "Aku merasa bahwa sebelum aku telah ada orang yang
mengobati lukanya itu. Meskipun tidak tampak dari luar,
namun melihat keadaan tubuhnya, Ki Demang seperti sudah
mendapatkan tindakan penyembuhan." Jawab Ki Awu Lamut
sambil melontarkan pandangannya jauh ke arakan mega-
mega. "Maksud Kiai, sebelum Kiai sudah ada orang yang
mengobati Ki Demang?" tegas Pacak Warak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Awu Lamut hanya tersenyum saja. Perkataannya sudah
cukup jelas. "Tapi akulah yang menemukan Ki Demang, dan begitu ku
temukan langsung ku bawa kemari." Sela seorang pemuda
yang berpotongan sederhana, seperti kebanyakan anak
petani. Anak muda itulah Glagah Geni.
"Makanya aku merasa aneh." Jawab Ki Awu Lamut sabar.
"Tapi yang terpenting keadaan sudah tidak membahayakan."
Lalu sambil mendesiskan kidung samar-samar, Ki Awu
Lamut melangkah ke depan dengan terpincang, tapi tenang,
melewati regol dan melompat ke seekor kuda kurus berwarna
belang. Ki Jagabaya hanya memandang saja. Tidak mengucapkan
terima kasih, juga tidak heran dengan tingkah Ki Awu Lamut
yang tidak berpamit, seolah itu sudah hal yang sewajarnya.
"Tampaknya itu bukan kuda sembarangan." Gumam Kiai
Santun Paranggi tiba-tiba.
Ki Jagabaya berpaling. Kiai Santun Paranggi tampak
termenung-menung. Pandangannya lekat ke kuda belang milik
Ki Awu Lamut yang berjalan santai. Aneh juga, meski kurus
tapi langkah keempat kaki kuda itu terlihat rapi dan ringan.
"Kabarnya kuda belang itu bernama Sapu Bayu." Pacak
Warak menjelaskan, "tapi kukira itu hanya sekedar nama
saja." Kiai Santun Paranggi tidak berkomentar. Hanya kepalanya
nampak mengangguk-angguk.
Saat itulah mendadak terdengar titir berkumandang,
bertalu-talu, sahut-menyahut memecah pagi yang bersih.
Ki Jagabaya dengan sigap menyambar pedang panjang,
mengalungkannya di punggung, kemudian mengeprak kuda
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tunggangannya yang segera berlari secepat kilat. Diikuti Pacak
Warak dan Glagah Geni. Di Gapura batu. Gagak Jemarit berdiri seenaknya. Kedua tangannya
tersembunyi dalam jubah abu-abu lebar. Ujung mulutnya
memperlihatkan senyum sinis.
Disampingnya Demang Lembu Patik Pulung berdiri dengan
muka senyum tak senyum. Injakan sepasang kakinya tampak
ringan, namun kokoh. Sebelah tangannya memegang les
kuda. Berjejer, terdapat pula Hanggarawura dan Ranti Sumirah.
"Rupanya Adi Demang yang datang, sungguh tak sopan
membiarkan Adi terlau lama menunggu," seru Ki Jagabaya
begitu sebelah kakinya menginjak tanah.
Demang Lembu Patik Pulung menunduk sedikit, sebelah
tangan membuka di dada, "Maafkan kalau sepagi ini sudah
merepotkan Kakang Jagabaya." Kata-katanya sungkan,
nadanya halus. "Ah, tidak merepotkan, sama sekali tidak merepotkan.
Hanya sedikit mengejutkan saja.maklum sudah agak lama Adi
Demang tidak berkunjung ke Dipa Saloka," Jawab Ki Jagabaya
sambil berjalan mendekat.
"Kakang Jagabaya, kedatangan kami kali ini sebenarnya
hanya sekedar ingin lewat saja. Cuma begitu melihat gapura
ini, seketika teringat kepada Kakang Demang dan Kakang
Jagabaya, maka ada niatku untuk menyambangi Kakang
berdua, lagi pula temanku Kakang Hanggarawura dari Ibukota
ini juga sudah lama mendengar nama Kakang Demang, kalau
hanya lewat dan tidak mampir rasanya menjadi kurang
pantas." Tutur Demang Lembu Patik Pulung. Hanggarawura
yang berdiri di sampingnya hanya menunduk sambil
tersenyum. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Alis Ki Jagabaya sedikit berkedut. Beberapa hari lalu
terang-terang Ki Demang berkata ingin pergi ke Kademangan
Jatingaleh dan tadi pagi tahu-tahu pulang dengan terluka,
maka dalam pikirannya pasti terjadi pertarungan antara Ki
Demang dan Lembu Patik Pulung, tapi me lihat nada bicara
dan raut muka Demang Jatingaleh itu hari ini, seperti tidak
pernah terjadi apa-apa. Tapi pikiran itu hanya berkelebat sebentar saja, dilain detik
Ki Jagabaya sudah tertawa ramah, "Bagus, sungguh bagus.
Sudah lama Kademangan Dipa Saloka ini tak pernah menemui
tamu agung. Maka harap dimaafkan kalau dalam pelayanan
kami ada yang tidak berkenan.," kata Ki Jagabaya sambil
menyilahkan rombongan Demang Jatingaleh untuk masuk ke
Kademangan. Ia sendiri lebih dahulu naik ke punggung kuda
dan memimpin ke depan. Ketika melewati Sawung Geni, diam-diam Ki Jagabaya
berbisik, "Siapa tadi yang membunyikan titir pertama kali?"
Sawung Geni menggeleng sambil melongo.
"Kalau begitu cari tahu."
~Dewi-KZ~ Tempat tinggal Ki Awu Lamut, sekalipun tidak dapat
dikatakan mewah, namun cukup istimewa. Dengan dinding,
tiang, atap, dan lantai panggung yang semuanya dibuat dari
ruas-ruas bambu membuat rumah mungil itu lebih mirip
sebuah vila peristirahatan. Halaman sekeliling, yang juga
berpagar bambu hijau, penuh ditumbuhi bunga-bungaan dan
berbagai macam tanaman umbi, memberikan semerbak wangi
alam. Di sela-sela tanam-tanaman itu beberapa ekor ayam
berkotek riuh. Lenguhan sapi dan embikan kambing sesekali


Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyumbang suara. Benar-benar suasana yang menyenangkan. Belum lagi Bibir danau yang membuat garis
bening berkelol dan ikan-ikan liar yang berloncatan nakal.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Awu Lamut membuka pagar bambu, membiarkan kuda
belang kurusnya bebas merumput, dan sejenak memandangi
ayam-ayam yang berkotek sebelum berputar ke halaman
belakang. Di halaman belakang, menghadap garis air yang
melenggak-lenggok seorang pemuda dan dua orang gadis
dengan rambut hitam terurai duduk membelakang.
Begitu mendengar langkah K i Awu Lamut yang khas, ketiga
orang muda ini segera berdiri. Salah seorang gadis yang
tampak paling muda malah langsung mendekat dan bertanya,
"Bagaimana keadaan ayah Paman?"
Ki Awu Lamut tersenyum, "Tidak membahayakan."
Jawabnya sareh. Gadis itu, yang ternyata adalah Ratna Dewi seketika
menghela nafas lega, kedua telapak tangan mengusap
mukanya sendiri. "Apa pusingmu sudah agak mendingan?" tanya Ki Awu
lamut sambil menoleh kepada pemuda di sebelah Ratna Dewi.
Pemuda itu mengangguk sambil tersenyum khas. Siapa lagi
kalau bukan Arya Dipa Loka, "Merepotkan paman saja."
Jawabnya. Ki Awu Lamut menggeleng, "Ketika kau kecil dulu seringkali
kau bermain ke telaga ini bersama Ibu dan Adikmu yang
bengal ini. Setiap kali kau tenggelam di tengah danau karena
mengejar ikan akulah yang menjalamu ke permukaan, apa
masih ingat?" "Masih ingat, masih ingat, waktu itu jenggot paman belum
sepanjang dan seputih ini." Sela Ratna Dewi sambil tertawa.
"Kau toh suka bergelayut pada jenggot kambing ini."
Ratna Dewi tertawa cekikikan. Disebelahnya, Arum Puspita
tak tahan untuk mencubit pinggang gadis bengal itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Perutku sudah mengempis sejak tadi pagi, tidakkah kau
merebus satu dua potong ketela pohon?"
"Ketelah pohon sudah habis ditelan tiga gentong cilik."
"Lalu apa yang tersisa untuk gentong tua?"
"Dua ikat duri ikan." Jawab Ratna Dewi sambil terpingkal.
Dilain detik ia sudah menarik tangan Arum Puspita untuk
masuk ke dalam rumah. Setelah tertawa kecil, Ki Awu Lamut kembali berpaling ke
arah Arya, "Aku sebenarnya ingin mengajakmu bercakap-
cakap lebih lama. Pengalamanmu selama beberapa tahun ini
tentu menarik untuk ku dengarkan. Namun nampaknya ada
hal kecil yang harus kau lakukan."
Raut muka Arya berubah serius, "Apakah suara titir tadi?"
"Benar. Akulah yang membunyikan titir tadi ketika kulihat
Lembu Patik Pulung dan beberapa begundalnya melewati
batas utara, agaknya menuju ke Kademangan."
"Bukankah masih ada Ki Jagabaya?"
"Masih ada juga K iai Santun Paranggi. Tapi kedua orang itu
tak akan sanggup menahan Gagak Jemarit dan Maling Tiga
Ratus Kaki. Apalagi ada yang ku khawatirkan tentang Lembu
Patik Pulung." "Maksud paman?"
Ki Awu Lamut menghela nafas panjang, "Pukulan yang
melukai dada ayahmu, samar-samar bisa kukenali sebagai
Pukulan Gajah Mengeduk Lumpur milik Raja Iblis Tinju Es,
Cuma melihat kekuatannya agaknya bukan Iblis itu sendiri
yang turun tangan. Bisa jadi Lembu Patik Pulung sudah
mendapat ajaran dari Raja Iblis itu."
Hati Arya berdesir. Nama Raja Iblis Tinju Es menggetarkan
dunia persilatan sejak tiga puluh tahun yang lalu. Terkenal
karena kekejaman dan kekejiannya. Menurut kabar burung,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dalam satu hari si Raja Iblis ini pernah melumatkan lima desa
tanpa menyisakan satu nyawa pun. Dalam deretan dedengkot
iblis, namanya sejajar dengan Iblis Tinju Neraka. Kenyataannya kedua raja iblis ini memang kakak beradik
seperguruan. "Kalau begitu aku berangkat." Ujar Arya setelah termenung
sejenak. Ki Awu Lamut mengangguk, "Kau harus memasang mata
telingamu tajam-tajam. Beberapa hari ini kurasakan udara
mulai memanas. Beberapa orang tua agaknya ikut bermain.
Sebelum jelas kawan dan lawan kuharap kau selalu hati-hati."
Arya mengangguk. Ditatapnya mata orang tua itu dengan
sinar terima kasih, juga terharu. Berada di hadapan Ki Awu
Lamut, dengan jenggot panjangnya yang melambai tersentuh
angin, seperti berhadapan dengan mendiang ibunya. Lamat-
lamat dirasakannya hubungan yang tak terkatakan antara
dirinya dan orang tua berjenggot ini.
Ki Awu Lamut memandang langkah Arya dengan termangu.
Melihat pemuda dengan muka pucat itu, dalam lamunannya
terbayang seorang yang mirip. Seketika sorot matanya
memancarkan cahaya aneh. Siapa sebenarnya Ki Awu Lamut ini" Kenapa Ratna Dewi
tiba-tiba ada disini" Sungguh masalah yang ruwet.
~Dewi-KZ~ Kepalan Ki Jagabaya mengepal kencang. Urat-urat hijau
bertonjolan. Wajahnya keras menegang.
"Kuakui aku bukan tokoh berkedudukan tinggi, juga bukan
dedengkot persilatan dengan kadigdayaan nggegirisi. Tapi
apapun juga aku adalah seorang lelaki. Tak nanti akan
melakukan perbuatan seperti yang Adi tuduhkan itu." Katanya
lambat-lambat dengan rahang keras.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mengenai pribadi Kakang Jagabaya sudah kuketahui dari
dulu. Meski bukan tokoh berkedudukan tinggi, tak nanti akan
melakukan perbuatan begitu pengecut. Tapi Dipa Saloka ini
sekalipun tidak besar namun banyak orangnya. Dalam kolam
yang sekecil apapun betapapun tidak dapat dijamin isinya
adalah ikan semua." Sahut Demang Lembu Patik Pulung.
Nadanya masih halus, juga sopan. Tapi ujung mulutnya
seperti menyunggingkan senyum sinis.
"Lebih celaka lagi kalau isinya adalah kura-kura semua."
Timpal Gagak Jemarit dingin.
Ki Jagabaya menggeram. Wajah Pacak Warak dan Sawung
Geni yang duduk bersila di belakangnya juga memerah darah.
Sawung Geni malah sudah meraba gagang pedangnya.
"Kakang Jagabaya, dalam adu mulut aku tak begitu pandai,
adu pedang pun tak becus. Kenapa tak kita selesaikan saja hal
ini dengan baik-baik. Apa susahnya kalau Kakang Jagabaya
mempersilahkan Kakang Demang keluar sebentar, agar
sesuatunya bisa dijelaskan hitam dan putihnya."
Dalam hati Gagak Jemarit memuji permainan mulut
Demang Jatingaleh ini. Meski mengatakan tidak begitu pandai,
tapi nyatanya Ki Jagabaya dibuat mangap tidak bisa, mingkem
susah. Bab IX, Dua gelanggang Satu Mayat
"Bukankah tadi sudah ku katakan bahwa adi Demang Kebo
Sora saat ini sedang berhalangan, tak bisa menemui siapapun.
Kenapa Adi terus mendesak?" Ki Jagabaya masih berusaha
menahan kesabarannya. "Tidak bisa menemui atau takut keluar?" jengek Gagak
Jemarit. Sepasang mata Ki Jagabaya berkilau merah. "Kisanak,
kuhormatimu sebagai tamu, tapi kalau mulutmu tak bisa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menahan kegatalan, aku tidak akan melawan dengan mulut.
Aku hanya becus memegang golok saja."
Gagak Jemarit tertawa menyakitkan, "Kalau begitu kenapa
tidak segera kau cabut golokmu" Atau memang golok
rongsokan itu sudah berkarat dalam sarungnya?" ejeknya.
Ki Jagabaya merasakan darahnya menggelegak. Ia bisa
menahan kesabaran kalau itu menyangkut pribadinya, tadi
tidak kalau menyinggung kademangan dan kehormatannya. Ia
sudah akan meloncat ke halaman ketika desir angin mengirim
sebuah suara, dengan nada tenang tapi kuat.
"Aku sudah datang."
Semua kepala menoleh, semua mata membelalak.
Membelakangi sinar matahari yang jatuh keemasan Arya
melangkah tenang. Rambut panjangnya terurai, sebagian
membiaskan sinar matahari sehingga tampak berkilat-kilat.
Tangannya melambai teratur. Dalam sekejap sudah naik ke
atas pendopo dan langsung duduk di samping Ki Jagabaya.
Ki Jagabaya sendiri saking terherannya sampai melongo
sekian lamanya, lupa untuk menyapa. Demang Lembu Patik
Pulung tak kurang herannya, wajah di depannya ini seperti
kenal seperti tidak, agaknya seorang yang pernah dilihatnya
pada waktu lampau. Gagak Jemarit dan Hanggarawura juga
tak membuka suara, agaknya tidak kenal. Sedang Ranti
Sumirah mulai timbul gairah di matanya.
Lengang yang tak lama itu dipecahkan justru oleh suara
Sawung Geni, "Rupanya Kakang Arya. Lama tak jumpa,
bagaimana kabar Kakang?"
Arya berpaling, menatap wajah Sawung Geni, tersenyum,
"Baik. Bagaimana denganmu, juga Adi Glagah Geni?"
Sawung Geni tersenyum, kepalanya sedikit menunduk,
"Pangestu Kakang."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sekelebat ingatan berkilat di pikiran Demang Lembu Patik
Pulung, "Kaukah Arya Dipaloka, putra sulung Kakang Demang
Kebo Sora?" "Benar." Singkat jawaban Arya, juga tidak bertele-tele.
Sikapnya tenang, sedikit angkuh, namun juga tak mengusik.
Lembu Patik Pulung sebenarnya ingin memainkan lidahnya
lebih jauh dengan menyindir perselisihan antara ayah dan
anak itu di masa dahulu. T api jawaban Arya singkat dan tegas,
sama sekali tak menyisakan ruang untuk dikutak-utik.
"Lalu apa maksudmu buka bacot disini?" Gagak Jemarit
ganti yang tidak sabar. Arya tersenyum, "Bukankah kalian yang mengundang
kedatangaku ?" Mata Gagak Jemarit melotot, wajahnya menyeringai
menyeramkan, "Yang kusuruh keluar adalah Kebo Sora, apa
hubungannya denganmu?"
"Pertama, kau masih belum layak menyuruhnya. Paling-
paling kau hanya setimpal untuk mengundangnya dengan
penuh hormat, itu pun tergantung apa gedibal di jidatmu itu
sudah kau bersihkan atau belum." Suara Arya masih tenang.
Namun wajahnya sudah tak lagi tersenyum.
"Kedua, aku adalah anaknya. Kalau Ayah tidak bisa, anak
bisa menggantikan." Muka Gagak Jemarit yang memang hitam semakin
menghitam, seumur-umur belum pernah ada orang berani
menghinanya secara demikian. Apalagi seorang bocah kemarin
sore. Tidak memberi kesempatan yang lain, ia segera
menyemprot, "Oh, jadi semua belang kerak Kebo Sora dapat
di limpahkan kepadamu?"
Arya tak menjawab. Sikapnya jelas dan tegas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Saking gusarnya Gagak Jemarit malahan tertawa. Seolah
tak menggerakkan kakinya, mendadak tubuhnya melayang ke
tengah halaman. Tegak menanti. Tulang-tulangnya berkerotokan. Seluruh tubuhnya seakan
mengeluarkan bias hitam. Hawa pembunuhan menggumpal
tebal. Beberapa pemuda yang berjaga-jaga sebenarnya masing-
masing sudah menghunus tombak. Namun mendadak mereka
merasakan pernafasan sendiri sesak, tak terasa kaki pun
menyurut mundur. Arya turun dari pendopo, melangkahi undakan. Langkah
yang biasa. Lalu tegak menghadap Gagak Jemarit. Cara
berdirinya juga biasa, sama sekali tak mengunjukkan suatu
permulaan jurus atau ilmu silat.
Ki Jagabaya sendiri sebenarnya berniat mencegah,
betapapun ini adalah masalah Kademangan, kalau Ki Demang
berhalangan, dirinyalah yang paling bertanggung jawab.
Namun ketika hendak membuka mulut, ujung matanya tiba-
tiba menangkap isyarat Sawung Geni. Hal yang membuatnya
heran dan aneh. Melihat pemuda yang kelihatannya menyembelih tikus saja
pun tak mampu ini berani menyambut tantangannya, Gagak
Jemarit menggeram, "Bocah, kalau kau punya senjata,
keluarkan senjatamu. Kalau kau punya pesan terakhir,
ucapkan lekas-lekas. Atau kau memilih jadi setan penasaran."
"Aku tidak punya senjata. Yang kukatakan juga sudah
terlampau banyak, tak perlu berpesan lagi."
Sinar mata Gagak Jemarit berkobar, "Baik. Kalau begitu kau
pentang matamu lebar-lebar, jangan sampai mati pun kau tak
tahu dengan tangan sebelah nama ku jebol dadamu. Atau kau
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memilih membersihkan kakiku dengan mulutmu, boleh jadi
aku akan membuat kematianmu sedikit enak."
Arya tertawa. Benar-benar tertawa, "Ku pikir kau benar
seorang jago tangguh. Tak tahunya hanya pandai menakut-
nakuti saja. Sia-sia orang banyak menyebut-nyebut namamu."
Gagak Jemarit menggerung gusar, sambil membentak
murka cakarnya meluruk. Bau amis menusuk tajam.
Disebelah sana, Demang Lembu Patik Pulung berkerny it
jidat. Tidak seharusnya jago setingkat Gagak Jemarit
terpancing amarahnya saat bertempur.
Arya mendongak. Matanya tenang menahan langit. Tak
diperhatikannya serangan Gagak Jemarit yang datang


Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membadai. Wajahnya acuh, seakan semua hal itu tak ada
hubungannya dengannya. Sepotong awan menyelimuti matahari. Daun-daun luruh.
Embun-embun yang belum sempat menguap memercik
gelisah. Sebelum tiba di sasaran, cakar beracun Gagak Jemarit tiba-
tiba mengganda. Dari satu menjadi dua, dari dua menjadi
sepuluh, dari sepuluh menjadi seratus. Bagai sekelompok
mega hitam, ratusan cakar itu seolah menyelumuti tubuh
Arya. Itulah jurus 'Hujan Racun Naik ke Langit'.
Seekor burung kecil yang melintas lewat, tergetar hebat
dan luruh dalam warna darah, merah yang menghitam, lalu
semakin hitam. Amis, dan mematikan. Satu kehidupan telah
terenggut. Saat itulah kaki Arya bergeser. Satu kali, dua kali, sampai
ratusan kali. Sementara pinggang ke atas tak bergerak,
kepalanya tetap mendongak mengawasi langit.
Seiring dengan bergeraknya kaki Arya, Gagak Jemarit tiba-
tiba melihat tubuh lawannya mengganda cepat. Seolah-olah
memenuhi udara, menyesakki ruang tanpa sisa. Bersamaan itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
nafasnya mulai sesak, udara seolah-olah terampas dari
dadanya. Tak tahan ia segera mengumpulkan seluruh semangatnya.
Menggumpalkan tenaga dalam di kedua tangan dan
menghentakkannya dengan sekali membentak keras.
Ratusan cakar seketika menghilang, berganti dengan
seleret sinat hitam yang menggulung. Tajam, bengis, dan
beracun. Arya menghela nafas panjang. Ia sudah memberi
kesempatan. Perlahan pandangan matanya menurun. Kakinya berhenti,
lalu seiring dengan sinar matahari yang menerobos celah
awan, tangan kanannya bergerak.
Satu jari lurus menyengat.
Begitu cepatnya sengatan itu sampai Gagak Jemarit tak
sempat melihat jelas. Ia hanya merasakan bahu kirinya seperti
digigit semut, lalu detak jantung mengeras tiba-tiba,
menggedor seluruh pembuluh nadi, dan semakin menggila.
Sebelum rontokan daun terakhir menyentuh tanah, seperti
tertarik oleh makhluk halus dari dunia lain mendadak tubuh
Gagak Jemarit terjungkal ke belakang. Luruh ke tanah.
Bersatu dengan debu, dengan sehelai darah menggaris di
ujung bibir yang tersenyum aneh. Seakan puas, seakan
menyesal, seperti risau. Tak ada bekas. Tak ada tanda luka.
Sehelai daun sawo yang setengah menguning jatuh tepat di
tetesan darahnya. Dari tanah, kembalilah ke tanah. Irama
alam tak berubah. Terus bernyanyi, tak putus-putusnya.
Demang Lembu Patik Pulung tercekat. Jantungnya seakan
diremas oleh kekuatan tak kelihatan. Tak terasa keringat
dingin membasahi telapak tangannya. Ia pun tak melihat jelas
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
serangan Arya. Ia hanya merasakan udara mendadak
membelah, lalu Gagak Jemarit yang terjungkal. Namun begitu
wajahnya tak berubah, tetap dingin dan tenang.
Ki Jagabaya sampai lupa menarik nafas. Seumur hidup baru
sekali ini dilihatnya pertarungan yang begitu memukau,
merampas detak jantung, sekaligus tak menyisakan ruang lain
selain hidup dan mati. Sementara Pacak Warak hanya melongo tak mengerti.
Kepalanya malah pusing. Arya membalik tubuh. Menatap Demang Lembu Patik
Pulung. Tajam dan menantang.
"Ehm," Demang Lembu Patik Pulung berdehem, mencoba
meredakan getar jantung."Ilmu silat Anakmas benar-benar
membuat mataku terbuka. Disini kuucapkan selamat atas ilmu
silat yang luar biasa hebat ini."
Demang Lembu Patik Pulung merangkap tangan, sedikit
menundukkan wajah. Hanggarawura memuji dalam hati. Penyikapan keadaan
dari Lembu Patik Pulung benar-benar membuatnya kagum.
Orang ini bisa memuji lawan dengan wajah tenang. Suaranya
bahkan tak bergetar. Seolah kematian Gagak Jemarit tak ada
hubungannya dengannya. "Terima kasih, Paman." Suara Arya datar.
Setelah meneguk ludah Lembu Patik Pulung me lanjutkan,
"Cuma masalah ini kukira tidak bisa diselesaikan dengan satu
kematian, atau bahkan jika seluruh nyawa kami amblas. Ini
adalah masalah Kademangan, bila aku tidak sanggup, maka
seluruh penghuni Jatingaleh akan bangkit." Mulut berkata,
otaknya berputar. Melihat perimbangan kekuatan membalik
drastis, dengan licin ia membalik persoalan sebagai seolah-
olah menyangkut Kademangan Jatingaleh secara umum.
Nadanya tenang dan halus, namun mengancam.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Lalu bagaimana menurut Paman?"
"Mengingat Kakang Demang dan persaudaraan antara dua
Kademangan, aku bersedia menangguhkan waktu. Asal dalam
satu bulan kedepan ada orang yang berani bertanggung jawab
untuk mengembalikan Keris Pusaka itu ketempatnya, segala
perselisihan dan sengketa akan ku lupakan. Cuma entah
dalam Dipa Saloka ada tidak seorang yang punya keberanian
demikian." Lembu Patik Pulung melirik Ki Jagabaya.
Muka Ki Jagabaya menegang. Tapi sebelum ia membuka
mulut Arya sudah mendahului.
"Aku yang akan bertanggung jawab."
"Ehm, bukannya aku meragukan Anakmas, namun menurut
kabar sejak beberapa tahun lalu Anakmas sudah meninggalkan Dipa Saloka. Apalagi hubungan Anakmas
dengan Kakang Demang..." Lembu Patik Pulung sengaja
menggantungkan kalimatnya.
Ki Jagabaya menahan semua makian yang hampir keluar
dari mulutnya. Raut wajah Arya tidak berubah, "Sekalipun aku pernah
meninggalkan Dipa Saloka, namun aku tetap anak dari bumi
Dipa Saloka, sama halnya dengan hubunganku dengan ayah.
Sekalipun pernah terjadi pertentangan antara kami, namun
aku masih tetap anaknya."
Demang Lembu Patik Pulung kembali menelan ludah.
Jawaban Arya tandas dan tegas, tak dapat ditawar.
"Kalau begitu. Baiklah diatur sebegini saja." Ucapnya
akhirnya, "Tak berani aku mengganggu lebih lama. Mohon
pamit. Juga salamku untuk Kakang Demang."
Begitu berkata pamit, betul-betul Lembu Patik Pulung
langsung pergi. Diikuti oleh Hanggarawura dan Ranti Sumirah,
sama sekali tak menoleh lagi terhadap mayat Gagak Jemarit.
Seakan itu tak ada urusannya dengannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Orang ini benar-benar ular dari segala macam ular.
Bahkan mayat temannya pun tak dihiraukannya." Ki Jagabaya
mendesah. Dua orang pemuda bergerak untuk menggotong mayat
Gagak Jemarit. Namun keburu ditahan Arya, "Hati-hati dengan
racun ditubuhnya. Lebih baik kalian tidak menyentuh kulitnya."
Ki Jagabaya berpaling heran, "Memangnya seluruh
tubuhnya beracun ?" "Gagak Jemarit melatih sejenis ilmu yang menggunakan
kekuatan racun di dalam tubuh. Sekalipun nyawanya sudah
tak ada, namun daya racun dalam tubuhnya masih bisa
membunuh. Mungkin ini lah sebabnya Lembu Patik Pulung tak
berani mengambil resiko untuk membawa mayatnya."
"Sekaligus ia menimpakan Gagak Baracun ini ke tangan
kita. Sungguh rencana yang cermat." Sambung Sawung Geni.
Ki Jagabaya berdecak. Bahkan setelah kematian temannya,
Lembu Patik Pulung masih mempunyai jurus simpanan untuk
membunuh tanpa menggerakkan tangan. Benar-benar
seorang berbakat yang tak lahir sekali dalam sewindu.
Setelah kaget dan terkejutnya sirna, Ki Jagabaya menepuk-
nepuk pundak Arya, "Kau sudah begini besar, ilmu silatmu
juga luar biasa. Sungguh tak tersangka."
Arya memandang orang tua itu dengan terharu. Semasa
kecil dulu, Ki Jagabaya adalah salah seorang yang paling dekat
dengannya. Kenangan yang tak mungkin untuk dilupakan.
Namun mendadak selintas ingatan membuyarkan lamunannya, "Kemana Kiai Santun Paranggi ?"
Ki Jagabaya menggeleng heran, "Aku juga heran, begitu
rombongan Lembu Patik Pulung tadi datang, orang tua itu
sudah tak kelihatan batang hidungnya. Mungkinkah.."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Jagabaya tak menyelesaikan kalimatnya yang menggantung karena Arya sudah meloncat tinggi, memanjat
pohon, dan bertengger di ranting pucuk. Sekilas ia seperti
burung raksasa yang sedang mencari mangsanya.
Tak lama ia bertengger di pucuk pohon sawo kecik itu
sebelum raut mukanya berubah hebat. Memerah seperti saga.
Ki Jagabaya mencoba mengarahkan pandangannya ke arah
yang dilihat Arya. Samar-samar di kejauhan terlihat asap
hitam memanjat langit. Kontan wajah Ki Jagabaya kembali menegang. "Pukul titir."
Perintahnya menggelegar. Tubuhnya sendiri sudah melayang
ke punggung kuda. Sekilas diliriknya puncak pohon. Bayangan
Arya sudah lenyap. Ki Jagabaya boleh dikata sebagai salah seorang ahli kuda
masa itu. Semua kuda yang berada di kandang belakang
rumahnya tak satu pun yang tidak istimewa. Maka meskipun
tiba-tiba jalan setapak itu terpotong dengan gundukan bukit
yang terjal, kuda yang ditungganginya tak menemui banyak
kesulitan. Melewati bukit terjal, Ki Jagabaya baru melihat debu yang
mengepul beterbangan, asap hitam yang membumbung, dan
rangka rumah yang sudah jadi arang. Disana-sini masih
terlihat lelatu api memercik.
Sekeliling rumah yang terbakar itu adalah padang rumput
dengan berbagai perdu dan bunga-bungaan yang memesona.
Namun semua keindahan itu seakan terkoyak dalam lingkaran
pertempuran yang berkobar. Tanah terbongkar disana,
tercongkel di sini. Helai rumput beterbangan. Pohon perdu
tercerabut satu dua. Di tengah gulungan debu yang berputaran seperti beliung
samar-samar Ki Jagabaya melihat seorang perempuan dengan
baju putih yang cemerlang, bertarung dengan seorang
bertubuh agak pendek namun sangat gesit.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Gerakan perempuan berbaju putih itu lembut namun lugas.
Sepasang tangannya bergantian menepuk, disela patukan
selendang putih yang berputaran membingungkan.
Tapi sekalipun gerakan perempuan berbaju putih itu sebat
dan cepat, namun lawannya, lelaki bertubuh agak pendek itu,
tak kurang cepatnya. Tubuhnya meloncat kesana, melenting
kesini bagaikan kera. Kakinya bergerak cepat, ringan, dan
sesekali menyusupkan tendangan jitu.
Mata Ki Jagabaya menyipit ketika melihat Kiai Santun
Paranggi terduduk bersandar batu di sebelah sana. Pakaian
yang dikenakan orang tua itu terlihat terkoyak di beberapa
tempat, memperlihatkan lebam biru bekas pukulan. Sementara pikulannya menancap di sebuah batu cadas.
Yang aneh, Arya malah tak terlihat disini. Ki Jagabaya
sudah mengedarkan pandangannya sekeliling, menisik semak
yang bergerumbul, namun tetap bayangan pemuda itu tak
kelihatan. Beberapa saat Pacak Warak dan Sawung Geni juga sudah
tiba. Bersama beberapa pemuda pengawal keduanya segera
menempatkan diri dengan tangan bertumpu gagang pedang.
Beberapa orang siap dengan gendewa terpentang.
Ki Jagabaya tergerak ketika gerumbul semak di sampingnya
bergoyang-goyang. Kakinya mendekat, tangan kanan melekat
pada hulu keris. Ketika semak tersibak, kerut tegang di wajah Ki Jagabaya
segera berkurang setengah. Setelah menghela nafas lega,
tangannya terulur ke dalam semak. Begitu ditarik, di lengan
itu menggelendot seorang bocah laki-laki berusia sekitar dua
belas tahun. Rambutnya terurai tak teratur. Mulutnya
berkomat-kamit. Dan yang paling aneh, mata bocah itu meski
bening dan hitam, namun kosong.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Jagabaya meletakkan bocah itu di belakang, memberi
isyarat pada Pacak Warak untuk menjaganya dan kembali
memusatkan perhatian pada pertempuran.
Mendadak terdengar lelaki bertubuh pendek itu tertawa
panjang. Kakinya menendang dalam gerakan lingkaran.
Seiring dengan itu kedua tangannya mengibas ke depan.
Seketika puluhan paku berkilat perak mengambur.
Melihat puluhan senjata rahasia yang menyambar datang,
perempuan berbaju putih bersiul nyaring. Selendang putihnya
membuat gerakan seakan membebat bulan. Menangkis
sekaligus meraup puluhan paku perak.
"Maling buduk, masih berpikir untuk kabur?" di tengah
teriakannya yang lembut nyaring puluhan paku perak itu balik
menghujani Maling T iga Ratus Kaki.
Maling Tiga Ratus Kaki diam-diam tercekat. Ketika


Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertempur dengan Kiai Santun Paranggi tadi ia merasa tenaga
dalamnya mengalir maksimum. Kecepatan geraknya juga
dapat dikendalikannya sesuka hati sehingga setelah tiga ratus
jurus lebih ia berhasil mendesak Orang tua itu dan
menghadiahkan beberapa pukulan dan satu tendangan.
Tapi saat itulah wanita ini muncul. Seorang yang tak
diperhitungkannya, bahkan mungkin juga oleh Lembu Patik
Pulung. Kabar terakhir yang mereka dapatkan bahwa di Dipa
Saloka hanya tersisa Ki Jagabaya dan Kiai Santun Paranggi,
meski yang terakhir ini agak alot, namun dengan sedikit
strategi 'memancing singa ke tengah daratan' tak sulit untuk
diselesaikan. Tak terduga ketika delapan puluh persen rencana yang
disusun berhasil, muncul Arya yang dengan singkat membeset
nyawa Gagak Jemarit, lalu wanita berbaju putih setengah baya
ini, yang tanpa babibu dan basa-basi langsung menyerang.
Bahkan kepandaiannya tidak di bawah dirinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketika melihat Ki Jagabaya muncul bersama dengan
sebagian besar pengawal Kademangan, Maling Tiga Ratus
Kaki diam-diam sudah terkejut. Meski saat ini ia belum tahu
benar apa yang teradi dengan rombongan Lembu Patik Pulung
dan lain-lain namun nalurinya mengatakan ada sesuatu yang
keluar dari perhitungan. Salah-salah nyawanya sendiri bisa
turut amblas. Maka saat terakhir tadi ia menghamburkan paku perak
dengan maksud meminjam kelengahan lawan untuk melarikan
diri. Sekalipun ilmu silat perempuan itu tinggi, namun dalam
urusan gerak kaki mencawat ekor ia masih yakin di dunia ini
hanya segelintir yang bisa mengimbangi kecepatan kakinya.
Tak terduga wanita itu sepertinya sudah menduga jalan
pikiran Maling Tiga Ratus Kaki. Begitu puluhan paku perak
tersampok dan tergulung dalam selendangnya, langsung di
hamburkan balik. Belum lagi Ma ling Tiga Ratus Kaki memusnahkan daya
luncur paku-paku itu, seleret tapak miring yang mengiris udara
sudah menyusul. Namun Maling Tiga Ratus Kaki pada dasarnya juga bukan
jago kelas teri. Bahaya menghadang di depan hidung, raut
mukanya tetap tak berubah. Gerakan tangannya masih tenang
mantap. Dengan kedua tangan berputar kencang menghadang di
depan, mendadak tubuhnya seperti patah. Bagian pinggang ke
atas meliuk ke belakang seakan tanpa tulang. Dengan begitu
gerakan telapak tangan yang memancung mendatar itu hanya
mengenai tempat kosong. Namun gerakan wanita itu juga tak kalah aneh. Begitu
pancungan tangan luput, ujung selendang sudah mematuk
ganas. Kedudukan Maling Tiga Ratus Kaki benar-benar tidak
menguntungkan. Gerakan terakhirnya tadi memamerkan ilmu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
simpanannya yang disebut 'Mengerut tulang, Menyusut
daging' sehingga tubuhnya bisa bergerak lentur dan lemas,
seakan tulang dagingnya bisa mulur mengkeret. Namun
gerakan itu sama juga artinya dengan mengunci kedudukan
tubuhnya ke pojok. Tak ada ruang lagi untuk menghindar dari
serangan susulan. Maling T iga Ratus Kaki merasakan nyawanya seakan sudah
separo meninggalkan batas langit. Tanpa terasa keringat
dingin membasahi tengkuk.
Pada saat yang paling menentukan itulah mendadak
sebatang ranting pohon melayang masuk ke kalangan
pertempuran, ujung ranting menumbuk selendang yang
seketika lemas, sementara sebatang daun yang masih
menempel di ranting itu mengusap pergelangan tangan si
wanita berbaju putih. Seketika si wanita menjerit ngeri. Tak jelas apa yang
terjadi, ia tiba-tiba merasakan tenaganya seperti masuk ke
lautan kosong, separuh tubuhnya seperti lumpuh.
Kesempatan ini tentu saja tak disia-siakan oleh Ma ling Tiga
Ratus Kaki. Menurut kewajaran, seharusnya ia menyerang
perempuan itu selagi lawan tak siap, dan menghabiskan
nyawanya dalam satu pukulan mematikan. Namun sekelebat
ingatan mendadak melintas di kepalanya.
Pikirnya, kalau memang orang yang melemparkan ranting
mau membantunya, dengan melihat tenaga yang menyertai
lemparan ranting itu seharusnya ia dengan mudah bisa
membunuh perempuan berbaju putih hanya dengan satu
pukulan. Tapi toh orang itu hanya melumpuhkannya saja, itu
pun hanya sementara. Apa tidak bisa jadi orang itu sengaja
memberikan kesempatan kepada Maling T iga Ratus Kaki untuk
kabur. Karena toh kalau ia meneruskan pertempuran dan
sanggup membunuh wanita itu, disitu masih ada Kiai Santun
Paranggi, yang meskipun terluka namun masih berbahaya,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
belum lagi Ki Jagabaya dan sekumpulan pengawal dengan
gendewa terpentang. Apalagi ia toh belum tahu jelas apa maksud orang itu
membantunya. Apa dia kawan atau musuh yang sengaja
menjebak. Berpikir demikian, Maling Tiga Ratus Kaki segera
melentingkan tubuhnya tinggi-tinggi. Dengan satu putaran
tubuhnya menyusup ke rimbunan pohon-pohon. Masih di
dengarnya desing anak panah yang mengiris udara sebelum
tubuhnya hilang di telan gerumbul pohon.
Sementara perempuan berbaju putih itu menyurut mundur
dua langkah. Pandangannya mengedar sekeliling. Sekalipun
hatinya tercekat oleh kekuatan yang luar biasa itu, raut
mukanya tetap tenang. "Kisanak dari mana yang datang bertamu " kenapa tidak
mengunjukkan muka sehingga tuan rumah bisa memberikan
sekadar peradatan ?" ucap wanita itu lantang. Suaranya
menggema, memperlihatkan penguasaan tenaga dalam yang
sangat baik. Dalam pantulan cahaya matahari yang hampir bertengger
di puncak langit, profilnya menekan kuat. Pakaian lebar
berwarna putih bersih yang samar-samar membiaskan cahaya
matahari. Dagu yang runcing, alis berbentuk bulan sabit, dan
rambut yang terurai berkibaran membuat siapapun melupakan
segala kepahitan. Kenyataannya, perempuan seperti inilah
yang memancarkan kasih sayang murni dalam bentuk yang
paling alam i. Tak ada jawaban. Sekali lagi wanita itu mengulangi panggilannya. Namun
tetap tak ada jawaban. Hanya angin pelan yang membawa
bau sangit. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kalau begitu memang buka tetamu. Mungkin hanya setan
penasaran saja yang kebetulan pesiar kesini." Katanya sambil
merapikan pakaiannya yang kusut bekas pertempuran,
mengikat selendang di pinggang dan menoleh kepada Ki
Jagabaya. "Apa kabar Kakang " sudah lama agaknya Kakang tidak
mengunjungi tempat ini." Sapanya ramah.
Ki Jagabaya tersenyum kikuk. "Beberapa hari terakhir ini
aku cukup banyak pekerjaan, sehingga tidak punya
kesempatan untuk menyambangi Nyai maupun Angger
Gagang Gerhana." Wanita itu tersenyum dan tidak menyahut. Matanya
berganti menatap bocah linglung di samping Ki Jagabaya,
yang asik menggores-gores tanah dengan jarinya dan tak
peduli dengan segala apapun yang ada di sekelilingnya.
Samar-samar sinar mata wanita itu memperlihatkan se laput
duka. Wajahnya yang perkasa ketika bertempur tadi seolah
menguap, berganti dengan warna sendu. Perlahan kakinya
melangkah menghampiri si bocah, mengelus-elus kepalanya
beberapa kali dan merapikan rambut bocah itu yang terurai
tak teratur. Ki Jagabaya semakin tak tahu apa yang harus di
katakannya. "Beberapa hari ini aku tidak pernah melihat Adi Gagang
Gerhana lagi di Kademangan. Agaknya sudah bertambah lebih
sehat." Suara Sawung Geni memecah hening.
Wanita itu berpaling, sekilas tersenyum.
Beberapa pemuda memeriksa rumah yang terbakar.
Sedang Pacak Warak menghampiri K iai Santun Paranggi.
Wanita itu perlahan menoleh ke arah rumah yang sudah
berupa puing-puing hitam. "Agaknya gubuk ini sudah tidak
bisa ditinggali lagi." Gumamnya pelan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Jagabaya mendehem, "Menurut hematku Nyai sebaiknya
kembali saja ke Kademangan, menemani Adi Demang. Apalagi
kesehatan Adi sekarang ini belum membaik sepenuhnya."
Wanita itu tak menjawab. Matanya menerawang jauh,
mencari batas langit. Atau seperti memandang sesuatu yang
sangat jauh, sangat pedih.
"Sejak Mbakyu tak ada dan pertentangan antara kami
sekeluarga, aku sudah bersumpah untuk tak lagi menginjak
rumah Kademangan. Kurasa Kakang Jagabaya tahu akan hal
ini." Gumamnya lirih, tapi seperti mengandung satu tekad.
Ki Jagabaya menghela nafas panjang, "Tentang sumpah
Nyai itu sudah tentu aku tahu. Cuma keadaan tidak seperti
biasanya. Perkembangan yang terjadi beberapa hari ini
sungguh mengerikan, terakhir terlukanya Adi Demang disusul
penyerangan Lembu Patik Pulung bersama begundalnya. Maka
demi kebaikan kita semua, kuminta Nyai memikirkannya
kembali." "Lagi pula Ki Demang belum lagi sadar. Tentang segala
kebutuhannya tentu Nyai lebih tahu dari kita semua."
Sambung Pacak Warak. "Tidak usah banyak bicara. Keadaan sudah berkembang
luar biasa, dalam beberapa hari ini beberapa tokoh tingkat
tinggi pasti akan berdatangan, mau mengacau, atau
memendam niat yang lain. Dalam situasi seperti ini segala
sumpah harus disisihkan terlebih dahulu." Seruan Kiai Santun
Paranggi menyela dari samping. Meskipun luka di beberapa
tempat, namun kelihatannya tidak membahayakan. Malah
suaranya bertambah lantang.
Perempuan yang dipanggil Nyai itu menundukkan kepala,
agaknya berpikir. "Baiklah. Sekali ini aku mengalah, namun kalau diijinkan
aku ingin menyambangi tempat istirahat Mbakyu terlebih
dahulu." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tentu saja." Siapa sebenarnya wanita ini, yang membuat Pacak Warak
dan Ki Jagabaya menyamakan kedudukannya dengan Ki
Demang Lembu Sora" Apa hubungannya dengan kedatangan
berbagai tokoh dunia persilatan ".
~Dewi-KZ~ Bagi orang seperti Macan Taring Tunggal, berbagai bentuk
dan peristiwa di dunia ini seolah sudah terlalu banyak yang
dilihatnya. Dari yang paling aneh sampai yang paling
mengerikan. Dari yang menggelikan sampai yang membuat
perut muntah. Kenyataannya perjalanan hidupnya sendiri
boleh dibilang lain dari pada yang lain. Maka sekalipun kau
meneriakkan di gendang telinganya bahwa orang abad dua
puluh satu dapat menginjakkan kaki Bulan, perhatiannya tidak
akan tercuri, bahkan kelopak matanya mungkin tidak akan
berkedip. Tapi sekali ini bahkan sepasang matanya yang biasanya
selalu bersinar tawar itu me lotot sebesar gundu. Karena
pemandangan di depannya ini bukan saja aneh bin ajaib, juga
amat jarang terjadi. Sekalipun kau berjalan sampai ke kutub
utara, mustahil akan kau temukan yang kedua.
Setan Galunggung Utara bahkan sudah mengucak matanya
dua puluh kali, mungkin lebih. Berputar lima belas kali. Melihat
dari atas, memandang dari bawah.
Sesungguhnya pemandangan apa yang terpampang
sehingga membuat gembong persilatan seperti Macan Taring
Tunggal dan Setan Galunggung Utara sampai terbengong-
bengong itu. ~Dewi-KZ~ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bab X, Perubahan Dalam Pohon itu tidak terlalu tinggi, hanya satu setengah tombak.
Meskipun tidak begitu tinggi tapi sangat gemuk, juga amat
rimbun. Dahannya melingkar-lingkar seperti ekor naga,
dengan kerut-kerut yang membuat tampangnya semakin
angker. Akar-akar bertonjolan seperti jerawat yang membuat
anak muda tak berani jual tampang.
Tapi yang aneh bukanlah pohon itu, karena pohon seperti
ini dengan mudah akan kau dapatkan di toko bunga. Yang
ajaib adalah disalah satu dahan pohon itu tergantung orang,
hanya satu orang. Dan orang hidup.
Orang ini tergantung terbalik. Kaki kanannya tergantung
oleh seutas tali, sedang kaki kirinya bergelayut kian kemari.
Di tangan kanan orang itu tergenggam gagang panci, yang
berisi tulang-tulang kerbau, tanpa daging.
Di bawah panci barulah terdapat api yang berkobar meliuk-
liuk. Sepasang mata orang aneh ini tampak tertutup, agaknya
tertidur. Tapi mana ada di dunia ini cara tidur yang seaneh ini.
Setan Galunggung Utara sudah mencobanya tadi, tapi tetap
tak terasa nyaman. Kalau begitu orang ini tidak tidur. Mungkin semedi. Atau
sejenis tapa yang aneh. Tapi Setan Galunggung Utara kembali menggeleng-
gelengkan kepalanya. Bahkan di planet paling ajaib sekalipun
tak akan ada semedi dengan jungkir balik memegang panci.
Maka Setan Galunggung Utara berkesimpulan bahwa orang
ini sedang memasak. Tapi tadi Macan Taring Tunggal mengingatkannya bahwa
manusia tak makan tulang. Hanya anjing yang suka tulang,
itupun tidak pakai dimasak lebih dulu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Akhirnya Setan Galunggung Utara tak tahan, "Sobat cilik,
kau ini sedang memainkan pertunjukan apa ?" serunya agak
keras. Kenyataannya ia tidak pernah bersuara pelan.


Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang itu membuka satu buah matanya, berkedip-kedip
lucu. Setan Galunggung Utara tertawa geli. Seumur hidup
belum pernah dilihatnya orang berkedip-kedip hanya dengan
satu mata. "Apa kau merasa sangat lucu " kenapa tidak kau
beritahukan padaku agar aku pun bisa tertawa " suara orang
itu tidak termasuk jelek, bahkan sekilas sangat menarik.
Serak-serak lelaki. Setan Galunggung Utara menutup paksa mulutnya.
Ditelannya sisa tawanya kembali ke perut.
"Kau tanya aku sedang memainkan lakon apa?"
Setan Galunggung Utara menganggukkan kepalanya
beberapa kali. "Aku sedang mengantarkan tamu."
Setan Galunggung Utara celingak-celinguk kesan-kemari.
Tapi sampai lehernya pegal tak dilihatnya satu manusia pun
selain mereka bertiga. "Apa kau tak bisa melihat tamu yang sedang kuantarkan."
Setan Galunggung Utara menggelengkan kepalanya
beberapa kali. Orang itu menghela nafas, seperti sangat menyesal, "Dari
dulu memangnya sudah ku ketahui bahwa melihat dengan
satu mata jauh lebih jelas dari pada melotot dengan dua
mata. Apalagi kalau empat mata melotot berbarengan,
mungkin tahi gajah di depan mata saja tidak dapat dilihat."
Setan Galunggung Utara berpikir sebentar. Kata-kata orang
ini seperti menyindir mereka berdua.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Orang itu bertanya lagi, "Apa kau me lihat Macan Tinggal
Tulang itu ?" Setan Galunggung Utara terbengong sekian lamanya,
setelah berpikir baru ditolehnya Macan Taring Tunggal.
Setelah dilihat setengah harian lamanya, ia baru menyadari
kalau temannya itu memang hanya tinggal tulang di balut kulit
saja. Sontak tawanya mau meledak, tapi melihat sepasang
mata Macan taring Tunggal yang melotot merah, sekuat
tenaga ia tahan mulutnya.
"Sekarang kau lihat dirimu sendiri."
Setan Galunggung Utara tak paham dengan maksud orang
aneh ini, tapi tak urung di pandanginya juga perutnya yang
mirip gentong melar. "Nah, sekarang tentunya kau sudah melihat tamu yang
kuantarkan." Setan galunggung Utara kembali terbengong. Ia baru
berpikir sejak kapan ia pernah bertamu kepada orang ketika
Macan Taring T unggal tertawa dingin.
"Kau boleh saja menganggap kami tetamu, tapi belum
tentu kami sudi menganggapmu tuan rumah."
"Tentu saja kau harus menganggapku tuan rumah. Karena
aku telah bercapek-capek menjamu kalian dengan semacam
hidangan. Lagi pula hidangan yang sangat istimewa."
"Hidangan apa yang akan kau suguhkan kepada kami ?"
Setan Galunggung Utara tidak tahan untuk menyela. Maklum
kalau menyangkut hidangan, minatnya menjadi sangat besar.
Orang itu membuka satu butir matanya yang tadinya
tertutup, berkedip-kedip aneh, lalu menggoyang-goyangkan
panci di tangan kanannya.
Setan Galunggung Utara menatap beberapa batang tulang
kerbau itu dengan me lotot. Setelah sekian lamanya barulah ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menghela nafas, "Niat baikmu ini sungguh membuatku
terharu. Tapi aku tidak makan tulang."
Orang itu tertawa, "Kenapa kau tidak makan tulang ?"
"Karena aku hanya Setan saja, sekalipun beberapa
saudaraku ada yang suka tulang, bahkan gemar juga makan
aspal dan semen namun aku hanya makan nasi. Lagi pula si
Macan ompong ini mengatakan hanya anjing yang makan
tulang." Setan Galunggung Utara mencoba menjelaskan.
Orang itu kembali tertawa, "Jadi hanya anjing yang makan
tulang ?" Setan Galunggung Utara mengangguk yakin.
"Memangnya kalian bukan anjing ?" pertanyaan ini kalau
bagi orang lain tentu sangat menyakitkan sekali. Boleh jadi
jawabannya adalah bacokan arit atau parang. Namun paras
Setan Galunggung Utara ternyata tak memerah sedikitpun.
Yang keluar dari mulutnya hanya pertanyaan sederhana
"Menurutmu kami adalah anjing ?"
"Kalau ada orang mandah saja disuruh-suruh untuk
menggigit orang lain, kalau bukan anjing lalu apa namanya ?"
"Kenapa kau bisa mengatakan tujuan kami adalah
menggigit orang ?" "Memangnya kepergian kalian ini bukan untuk menggigit
orang ?" Setan Galunggung Utara termenung-menung, seperti
berpikir keras. "Atas dasar apa kau menghalangi kami ?" akhirnya Macan
Taring T unggal yang buka suara.
"Atas dasar satu tanganku."
Maksud orang aneh ini tentu saja dapat ditangkap baik oleh
Macan Taring Tunggal maupun Setan Galunggung Utara. Arti
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dari perkatannya adalah bahwa dengan satu tangan saja
orang itu dapat mengalahkan mereka.
Pada dasarnya adalah umum bagi orang dunia persilatan
untuk membanggakan dirinya sendiri dan merasa paling
hebat. Sekalipun sifat seperti itu tidak begitu dianjurkan, tetapi
di lain pihak juga membuat mereka pantang mundur dan tidak
gampang menyerah. Cuma bahwa didepan dua tokoh sekaliber Macan Taring
Tunggal dan Setan Galunggung Utara ada orang menyatakan
diri sanggup membekuk mereka dengan hanya satu tangan
adalah peristiwa yang belum pernah terjadi.
Mendadak, tanpa mengunjukkan tanda-tanda terlebih
dahulu Macan Taring Tunggal dan Setan Galunggung Utara
melesat ke depan. Yang dituju adalah kedua tangan kaki
lawan. Tak ada kesiur angin. Tak ada daun tersapu.
Inilah gerakan tanpa suara. Serangan tanpa angin.
Memamerkan penguasaan tenaga dalam yang sempurna.
Betapa menakutkannya serangan Gagak Jemarit yang
mengandung racun ganas, tapi kalau dibandingkan dengan
gerakan kedua orang aneh ini, maka Gagak Jemarit seolah
jagal sapi yang belum begitu mahir.
Dalam pertimbangan siapapun, bahkan dalam pikiran
Macan Taring Tunggal dan Setan Galunggung Utara sendiri,
sudah merasa pasti bahwa serangannya kali ini tidak akan
luput. Apalagi kali ini dua orang maju berbareng. Empat
tangan selalu lebih baik dari dua tangan.
Kalaupun ada yang menduga lain, maka itu adalah orang
aneh itu sendiri. Dan seorang lagi, yang dengan anteng
bertengger di atas pohon.
Sepersekian detik sebelum serangan Macan Taring T unggal
dan Setan Galunggung Utara tiba, tubuh orang aneh itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mendadak bergemetaran keras, seperti terkena penyakit
demam. Bersamaan dengan itu ratusan helai daun berguguran bagai
hujan. Dalam pandangan orang lain, gugurnya daun-daun itu
merupakan kejadian yang biasa, tapi bagi Macan Taring
Tunggal dan Setan Galunggung Utara, ratusan helai daun
yang menghujan itu tidak ubahnya seperti ratusan lempeng
besi panas yang bertaburan dari langit.
Macan Taring Tunggal dan Setan Galunggung Utara
membentak bersamaan. Dua pasang tangan membalik ke
atas, berputaran seperti angin beliung.
Ratusan daun tergulung menjadi satu, dan dengan sekali
hentak serentak meluruk balik ke arah si orang aneh.
Orang itu bersiul nyaring. Tangan kananya yang memegang
panci bergetar keras. Lima potong tulang kerbau berputaran
menghalau panah daun. Dilain kejap orang itu sudah melompat berjumpalitan. Dan
dengan tenang kakinya mendarat ringan bagai daun luruh.
Tegak menanti, rambutnya yang panjang terurai tersibak.
Dan, astaga, itulah Risang Ontosoro, si Bocah misterius.
Bahkan Arya yang sejak tadi bersembunyi di atas pohon
pun hampir terjatuh saking kaget.
Tadi ketika tergantung terbalik, karena rambut yang
panjang menutupi sebagian besar muka, seketika Arya tidak
mengenalinya, sekalipun merasa pernah mendengar suaranya.
Risang Ontosoro tertawa terbahak, "Dua orang aneh dari
Istana Seribu Kosong nyatanya kepandaiannya memang tidak
mengecewakan. Cuma cara kalian yang menyerang secara
keroyokan ini apa tidak takut ditertawai anak ayam."
"Tidak takut," jawaban Setan Galunggung Utara memperlihatkan sifatnya yang blak-blakan dan apa adanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mulut berkata kaki bergerak. Serupa gangsingan saja
tubuhnya berputar dan langsung menghantam Risang
Ontosoro. Kekuatan yang timbul seperti pusaran badai yang
mengamuk. Begitu Setan Galunggung Utara bergerak, Macan Taring
Tunggal seketika juga bertindak. Tangannya lurus menjotos
muka. Keras dan tajam bagai palu godam.
Dua serangan hebat ini agaknya membuat si Bocah aneh
sukar bermain mulut dan terpaksa memusatkan konsentrasinya untuk bertahan. Namun begitu Risang
Ontosoro memang seorang bocah aneh yang sulit di tebak isi
dan maunya. Dua kaki tak bergerak, matanya bersinar mencorong, dan
satu tangan tergulung ke punggung. Hanya satu tangan yang
memapak ke depan. Bocan aneh ini benar-benar menghadapi serangan hanya
dengan satu tangan. Macan Taring Tunggal merasa pukulannya yang mengandung tenaga keras liat jatuh di ruang kosong. Amblas
dan pupus. Sedang tubuh Setan Galunggung Utara yang berpusar
seperti gangsing mendadak membelok dan langsung terlempar
ke atas pohon, ke tempat Arya bersembunyi.
Karuan Arya yang tak menduga perubahan mendadak itu
tidak bisa berpikir panjang. Ia hanya punya kesempatan untuk
menyorongkan tangan kirinya ke depan, memunahkan tenaga
lontaran Setan Galunggung Utara. Dilain kejab tubuhnya
sudah hinggap di atas tanah dengan dada menengadah.
Gerakan ketiga orang yang bertarung itu pun lantas
berhenti mendadak. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setan Galunggung Utara memandangi Arya terlongong-
longong, seperti melihat makhluk angkasa luar yang tiba-tiba
jatuh dari langit yang bolong.
Dalam kenyataannya, ia memang pantas heran. Sejak tadi
agaknya pemuda itu sudah bertengger di atas pohon, tapi
ketiga orang di bawah seperti tak sadar sama sekali. Ini saja
sudah membuktikan bahwa ilmu silat pemuda itu tak dibawah
siapapun diantara mereka bertiga.
"Apa kau juga berniat menjadi tuan rumah bagi kami
berdua ?" Setan Galunggung Utara bertanya asal-asalan.
Tapi jawaban Arya kembali membuatnya terlongong.
"Ya." Singkat dan lugas.
"Apa juga atas dasar satu tanganmu ?"
"Tidak, hanya satu jari."
Kalau tadi jawaban Risang Ontosoro sudah membuat Setan
Galunggung Utara mimpi pun tak pernah menduganya, maka
jawaban Arya ini sekalipun lubang telinganya dicuci delapan
belas kali, ia tetap tidak mempercayainya.
Sayang sekali, ia agaknya harus percaya. Karena begitu
huruf terakhir diucapkan jari Arya sudah bergerak.
Lurus menyengat. Setan Galunggung Utara masih belum bergerak. Sepasang
matanya membelalak bak ikan mas koki. Seumur hidup belum
pernah dilihatnya gerakan secepat ini. Bahkan kilat pun tak
akan secepat ini. Setan Galunggung Utara pun tak merasakan apa-apa,
karena mendadak terdengar suara aneh dari balik semak.
Bersamaan dengan itu seekor anjing berwarna hitam keluar
dari semak. Menggeliat beberapa kali, lalu menyenderkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kepalanya ke tanah, seperti tertidur, tapi tak ada nafas. Tak
ada detak jantung. "Mundur," teriakan Arya keras menggelegar.
Belum habis gema teriakannya mendadak anjing hitam itu
meledak. Percikan darah dan daging berhamburan.
Setitik darah meletik ke sebuah pohon. Titik darah itu dari
merah perlahan menghitam, lalu seluruh batang pohon ikut
menghitam. Tak berapa lama terdengar bunyi 'krak'. Pohon itu
tumbang. Hitam seperti arang.
Macan Taring Tunggal mengawasi dengan dingin. Hatinya
bahkan lebih dingin lagi. Beberapa keringat dingin merembes
di pucuk hidungnya. Bahkan wajah Risang Ontosoro pun memucat, "Sungguh
Keji." Desisnya. "Bagaimana kau tahu kalau anjing itu beracun ?" Macan
Taring T unggal bertanya tiba-tiba.
Arya tidak menjawab. Matanya lekat memandangi buku-
buku jarinya, seolah menghitung hari-hari yang tersisa.


Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Macan Taring Tunggal juga tidak melanjutkan pertanyaannya. Karena ia tiba-tiba memahami suatu hal yang
tak tega untuk di ucapkan.
Pemuda itu dengan serangan satu jarinya sanggup
mematikan jantung anjing itu sebelum tubuhnya meledak.
Menghentikan penderitaan hewan ma lang itu dengan
memupus nyawa. Dalam serangan itu jelas-jelas jarinya
menyentuh jalan darah di kepala anjing. Menurut akal pikiran
lumrah, kalau percikan darah dan bulu dari anjing itu saja
mengandung racun yang begitu ganas, maka seluruh pori-pori
dan kulit anjing hitam itu pasti juga menularkan racun yang
dua kali lebih ganas. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tapi pemuda itu bahkan seperti tak merasakan apa-apa.
Maka ada dua kemungkinan. Yang pertama, kulit dan pori-pori
Arya sudah kebal dan mati, sehingga tidak bisa menyalurkan
racun yang menyerang lewat susunan syaraf kulit. Tapi itu
tidak mungkin. Hanya orang mati saja yang berkulit mati.
Maka hanya tersisa satu kemungkinan. Yaitu bahwa dalam
tubuh Arya juga mengandung racun yang sama ganas, atau
bahkan lebih ganas dari pada racun dalam tubuh anjing.
Sehingga racun anjing hitam itu tak mempan dalam tubuhnya.
Risang Ontosoro tentu juga mengetahui keadaan ini. Ia
telah lebih dahulu berkenalan dengan Arya dan dengan Panca
Rasanya yang aneh, ia sudah mengetahui bahwa dalam tubuh
pemuda itu terkandung Racun 30 Hari Naik Ke Surga. Racun
yang bahkan bumi pun tak sudi menerimanya.
Maka ia pun tidak mengatakan apa-apa. Hanya matanya
yang samar-samar menyiratkan perhatian yang kental.
Perhatian seorang manusia terhadap manusia lainnya.
Perhatian dua orang yang saling memahami. Dalam
persaudaraan yang asli. Dalam hubungan yang tak butuh
pertukaran nama, apalagi jasa.
Arya menatap mata Macan Taring Tunggal. Lalu beralih ke
Risang Ontosoro. Cahaya aneh redup mendadak memancar dari sepasang
matanya yang bening. Ia tidak mengatakan apa-apa. Juga tidak menanyakan apa-
apa. Seolah semuanya sudah jelas dan gamblang hanya
dengan tatapan mata saja.
Perlahan ia membalik tubuh. Berjalan pelan-pelan.
Tak ada seorang pun yang menghalangi.
Setelah tubuh Arya hilang tertelan rimbun pepohonan,
Setan Galunggung Utara baru menghembuskan nafas
panjang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah kau masih ingin mengantarkan kami pulang ?"
matanya lekat menatap Risang Ontosoro.
Risang Ontosoro masih tampak termenung-menung.
Setelah agak lama barulah ia menjawab.
"Sekarang tidak lagi," nadanya suaranya seperti ia sedang
memikirkan sesuatu yang rumit, "Cuma aku ingin mengatakan
satu hal kepada kalian."
Titisan Darah Terkutuk 2 Pendekar Pulau Neraka 11 Bunga Dalam Lumpur Kitab Serat Biru 2
^