Jurus Tanpa Bentuk 14
Jurus Tanpa Bentuk Naga Bumi I Karya Seno Gumira Bagian 14
apakah ia bisa berjiwa besar untuk menerima bahwa
bagaimanapun caranya Pangkar tidak akan mampu mengalahkan aku dalam adu panco ini.
Matahari tambah tinggi. Pangkar berkali-kali mengejan
untuk menekan tanganku, tetapi aku bergeming.
''Eeeegggghhh!'' Keringat Pangkar bercucuran. Tenaganya mulai habis.
Namun orang-orang yang berkerumun tiada berkurang,
bahkan tambah banyak. Agaknya persoalan yang belum terlalu
jelas bagiku antara orang-orang Sriv ijaya dan Mataram ini,
telah ikut membingkai adu panco yang tidak hubungannya
dengan masalah kenegaraan tersebut.
''Ayo! Kalahkan orang Srivijaya itu!''
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
''Ayo!'' ''Ayo!'' ''Ayo!'' Aku tercekat. Kini masalahnya bukan soal pertaruhan judi
lagi, me lainkan masalah siapa kalah dan siapa menang, yang
membawa-bawa nama bangsa dan negara. Padahal, dalam hal
adu panco yang sedang kujalani, hal itu tiada hubungannya
sama sekali! Seseorang telah memanas-manaskan keadaan,
dengan membuat adu panco yang sebenarnya berlangsung
karena aku mencari pekerjaan di atas kapal, seolah-olah
pertarungan berlangsung antara Sriv ijaya dan Mataram.
Sungguh cara memanfaatkan keadaan yang begitu cepat dan
penuh muslihat jahat! Sembari menahan tekanan tangan Pangkar, memang
kulihat orang-orang itu menyelip di antara banyak dan
berbisik-bisik menyebarkan kebohongan. Inilah orang-orang
yang memang kadang-kadang dibutuhkan sebagian bagian
dari pertahanan sebuah kerajaan, yakni memperlemah daya
pengamatan dan perlawanan kelompok yang terbawahkan,
dengan mengalihkan perhatian mereka dari istana. Kini
mereka mengalihkan persoalan di dalam negeri Mataram,
kepada persoalan yang sebetulnya tidak meruncing seperti
yang dikesankannya, dengan kedatuan Sriv ijaya...
AKU merasa muak dengan permainan seperti itu, ingin
berbuat sesuatu, tetapi bukan saja aku tidak menguasai dan
tidak berminat terhadap ilmu muslihat penuh keterselubungan
seperti itu, melainkan juga justru sedang melakukan suatu
jenis tipu daya tersendiri: Aku yang dapat mengalahkan
Pangkar dengan mudah harus dapat mengalahkan raksasa ini,
yang sejak awal telah menatapku dengan penuh belas itu,
tanpa menyakitinya. Sampai saat ini, aku hanya mampu untuk tetap bertahan
dalam kedudukan semula. Matahari terus bergeser. Waktu
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
merayap. Ingin kuyakinkan nakhoda betapa tiada lain yang
dapat dilakukan Pangkar selain tetap berada dalam kedudukan
seperti ini. Ketika matahari lengser ke barat, angin bertiup, dan udara
menjadi sejuk, nakhoda itu tampak sudah tidak tidak tahan
lagi. Kurasa perilaku orang-orang yang menyebarkan bisikan-
bisikan untuk memengaruhi keadaan juga telah diketahuinya.
Kurasa ia tahu suasana bisa berkembang ke suatu arah yang
belum tentu dapat ditanganinya.
"Cukup! Cukup! Kuterima kamu bekerja di kapalku! Dalam
adu panco ini tidak ada yang kalah dan tidak ada yang
menang! Aku tidak mau memperpanjang masalah lagi!"
Nakhoda itu memegang dan memisahkan tangan kami.
"Selesai sudah! Bubar! Bubar! T idak ada perjudian di sini!"
Pangkar melepaskan pegangan. Aku juga. Aku tahu
Pangkar sudah kehabisan tenaga dan matanya menatapku
dengan penuh rasa terima kasih bercampur keheranan luar
biasa. Sudah jelas ia kini menaruh hormat yang sangat dalam
kepadaku. Aku bersyukur kepada diriku sendiri karena telah
berhasil menyelesaikan tugas yang kuanggap sulit: Aku boleh
menganggap diriku menang tanpa mengalahkan, karena
sebenarnyalah aku telah mengalahkan tanpa menyakiti...
Tentu, tidak sedikit pun aku boleh tampak berpuas diri.
Sebaiknya aku bersikap memang hanya memikirkan pekerjaan
yang kuharapkan. "Jadi, apakah tugas sahaya sekarang Tuan?"
Orang-orang sudah bubar. Kulihat kekecewaan pada wajah
para penghasut, tetapi betapa mereka juga tampak sama
sekali tidak putus asa dan menantikan kesempatan berikutnya!
Nakhoda itu kulihat juga memperhatikan mereka.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kemasi barang dikau dan naik sajalah ke kapal," katanya
kepadaku, "nanti ada yang akan memberikan dikau
pekerjaan." Seseorang di antara para penghasut itu kulihat mendekati
nakhoda. Segera kutancap ilmu pendengaran Mendengar
Semut Berbisik di Dalam Liang.
"Apa yang kau lakukan Nakhoda, menerima orang yang
tidak jelas asal-usulnya?"
"Bagi kami tidak penting benar asal-usul seseorang, Tuan,"
kata nakhoda itu, "tak hanya orang Sriv ijaya bekerja di kapal
ini, tetapi juga dari berbagai daratan tempat kami berlabuh,
selama kami memang membutuhkan."
"Kalau begitu terimalah juga orangku bekerja di kapal
dikau." "Maaf Tuan, kami belum membutuhkan tenaga tambahan."
"Bagaimana dengan anak muda itu?"
"Anak muda itu sudah berbuat jasa untuk kami, lagi pula
ternyata kemudian memenuhi persyaratan."
Orang itu mengerti ia tak bisa berbuat lebih banyak lagi.
"Baiklah Nakhoda, ini semua keputusan dikau. Semoga
selamat segalanya dan salam."
Ia pergi. Nakhoda itu menggeleng-gelengkan kepala.
"Bagaimana mungkin orang bisa begitu memaksa?"
Ia hanya berdesah, tetapi dengan ilmu pendengaran Semut
Berbisik di Dalam Liang tentu aku mendengarnya.
Senja akhirnya turun di pelabuhan itu. Langit merah
membara dan lautan berubah menjadi genangan berwarna
jingga. Tiang-tiang kapal tegak menghitam. Aku melangkah
dan menapaki batang kayu melintang yang menghubungkan
dinding perahu dengan daratan.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Sayup-sayup kudengar sebuah ajaran dari dalam sebuah
kuil yang dipenuhi sejumlah rahib asing di pelabuhan. Agaknya
prajna-paramita seperti digambarkan dalam Madhyamakavatara. Ibarat seseorang dengan penglihatan yang baik,
dengan mudah dapat memimpin sejumlah orang buta
ke tempat yang mereka inginkan.
Demikian pula halnya dengan prajna
yang mengumpulkan kebajikan-kebajikan yang takbermata
serta kemudian memimpinnya
ke Kebuddhaan Ini membuat aku teringat sebuah ajaran lain, juga prajna,
tetapi dari Vima lakirtinidesasutra.
Apakah yang disebut keterikatan seorang Bodhisattva
dan apakah kelepasannya"
Prajna yang dilaksanakan tanpa disertai dengan kesediaan
untuk mengabdi semua makhluk
merupakan keterikatan akan tetapi apabila didukung
merupakan kelepasan keadaan juga berlaku demikian
dalam hal dibaliknya keberlangsungan
Lantas kudengar kembali sambungan ajaran, perihal cara
melaksanakan dhyana-paramita sebagai titik tolak penyamaan,
terutama mengenai sunyata sebagai hakikat badan, yang
rupanya diacu dari Sang Hyang Kamahayanikan.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
yang dinamakan prajna-paramita
ialah semua hal atau benda
yang dianggap ada di dunia
dan yang berada di sepuluh arah;
timur, selatan, barat, utara,
tenggara, barat-daya, barat-laut, timur-laut,
atas dan bawah... Semua hal seyogyanya diketahui
sampai ke badan luar atau bahya
maupun dalam atau adhyatmika,
serta semua makhluk dengan semua aturannya tentang semua perbuatan,
semua yang diperbuat, semua pendapat. Semua hal yang berbentuk dan tanpa-bentuk
memiliki hakikat sunyata.
Ketika malam sudah menyelimuti bumi, aku masih
merenungkan semua itu, sembari memandang bulan purnama
beredar di antara tiang-tiang kapal.
(Oo-dwkz-oO) Episode 80: [Tulisan dan Kejujuran]
''KAKEK, benarkah Kakek seorang pendekar"''
Ah, ya, aku belum menjawab pertanyaan ini! Aku berada
pada tahun 871 dan umurku sudah 100 tahun. Di hadapanku
terlihat sepasang mata yang berbinar, mata Nawa, bocah
pintar yang sangat bersemangat belajar membaca dan
menulis. Bagaimanakah aku harus menjawabnya"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Masalahnya, mengapa Nawa dapat mengajukan pertanyaan
seperti itu" Pertanyaan itu mengandaikan betapa seseorang
telah mengatakan kepadanya bahwa aku adalah seorang
pendekar. Walaupun Pendekar Tanpa Nama adalah nama
yang ibarat kata pernah didengar setiap telinga, aku tidak
berharap dapat dikenali dengan mudahnya dalam keadaan
sedang menyamar seperti sekarang.
AKU bahkan sempat membayangkan peristiwa yang dialam i
Nawa. Seseorang barangkali telah memanggilnya sembari berbisik
tertahan. "Ssssttt! Nawa, ke sini dulu!"
Nawa menoleh. Barangkali itu seseorang yang tidak pernah
dilihatnya, dan tentu saja anak secerdas Nawa dengan segera
menjadi, meski sama sekali tidak memperlihatkannya.
"Ada apa, Paman?"
"Tahukah dikau Nawa, siapa orang yang selalu menulis
itu?" "Oh, itu Kakek, kakek kami, ada apa Paman?"
"Kakek, apakah maksud dikau kakek itu adalah ayah dari
ayahmu?" "Bukan Paman, tapi kami, anak-anak di sini, menganggapnya sebagai kakek kami sendiri."
"Siapakah kiranya nama kakek kalian itu" Daku seperti
pernah mengenalnya."
Apakah kiranya yang akan dikatakan Nawa" Sejak tadi aku
hanya menebak-nebaknya. Namun kukira Nawa akan balas
bertanya. "Siapakah Paman" Sahaya belum pernah melihat Paman.
Mengapa Paman tidak bertanya sendiri saja?"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Orang itu barangkali terkejut dengan ucapan semacam itu.
"Nawa, kamu anak pintar! Kulihat kamu rajin belajar
membaca dan menulis! Hebat kamu Nawa!"
Tentu Nawa tak mau mengerti pengalih perhatian seperti
ini. "Datangi sajalah Paman, sahaya antarkan, nanti Kakek
akan senang jika mengenal Paman."
Cerdas bukan" Nawa juga ingin mengenali siapakah aku!
Itulah bedanya anak yang belajar membaca maupun yang
tidak. "Ah, sudahlah Nawa. Kulihat kakek dikau sangat sibuk.
Katakan saja kepadanya, seseorang telah mengenalinya
sebagai pendekar besar tanpa nama..."
"Pendekar" Kakek kami hanyalah seorang pembuat lontar!"
Barangkali orang itu tersenyum sembari mengusap rambut
Nawa. Barangkali pula tiba-tiba sudah berkelebat menghilang..." Barangkali. Bukankah aku hanya sibuk menduga"
"Benarkah, Kakek" Benarkah Kakek seorang pendekar"
Seorang perempuan tadi bertanya-tanya, apakah di kampung
ini seseorang pernah melihat Pendekar Tanpa Nama."
Seorang perempuan" Dugaanku buyar seluruhnya.
"Tentu Nawa, seorang perempuan telah bertanya-tanya
tentang Pendekar Tanpa Nama, tetapi mengapa kamu
bertanya kepadaku apakah aku seorang pendekar?"
Nawa memandang kepadaku dengan penuh selidik. Ia
masih berumur enam tahun. Meskipun ia memang cerdas dan
ia berbeda dengan anak-anak kecil lain di kampung ini yang
selalu ingusan, tetapi ia tetap saja masih berumur enam
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
tahun, dan karena itu masih rawan terhadap segala macam
Jurus Tanpa Bentuk Naga Bumi I Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tipu daya. Masalahnya, dalam hal ini, aku sendirilah yang sedang
berada di jalan simpang: Apakah aku harus mengatakan yang
sebenarnya kepada Nawa" Ataukah justru sebaliknya"
Betapapun aku sedang berada dalam penyamaran dan aku
membutuhkan penyamaran ini agar aku dapat segera
menyelesaikan tulisan. Penyamaran dan ketenangan, itulah
yang kubutuhkan. Dalam usia 100 tahun, tidak terlalu keliru
jika aku mempertimbangkan bahwa setiap saat jantungku
tiba-tiba bisa berhenti. Tulisanku harus selesai sebelum aku
mati, tetapi aku baru mulai menulis, sedangkan yang akan
kutuliskan jelas masih panjang sekali. Itulah sebabnya aku
membutuhkan ruang dan waktu yang terbentang tanpa
gangguan di depanku. Terseret kembali dalam dunia
persilatan hanya akan membuat aku terlibat pertarungan
takberkesudahan. Di atas langit ada langit. Namun tak
seorang pendekar pun telah mengatasi langit ilmu silatku,
padahal semua ingin menguji keandalan, mencapai kesempurnaan dalam persilatan, dengan cara menempurku,
satu-satunya pendekar yang belum terkalahkan di Yawabhumipala. Tidaklah banyak berarti bahwa aku telah
menyamar selama 25 tahun dan masih ditambah mengundurkan diri dari dunia persilatan se lama 25 tahun lagi.
Mereka yang telah mengalahkan pendekar manapun yang
ditemuinya merasa pencapaiannya belum sahih jika belum
mengalahkan aku. Dengan segala cara mereka masih terus
mencariku. Tentu, pendekar manakah yang tidak ingin mati
dalam puncak kesempurnaannya. Namun aku juga ingin mati
dalam puncak kesempurnaanku, bukan sebagai pendekar,
melainkan sebagai manusia yang harus menyelesaikan tulisan
tentang riwayat hidupnya. Bukan, bukan karena aku ingin
dikenang sebagai pujangga besar, sama sekali bukan, tetapi
karena hanya dengan cara ini aku akan mengerti kenapa
sampai hari ini banyak orang masih ingin membunuhku.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
AKU masih bisa mengerti jika dalam sungai telaga dunia
persilatan para pendekar memang masih mencariku demi
sebuah pertarungan untuk menguji dan mencapai kesempurnaan, tetapi aku tidak mau mengerti bahwa sudah
selayaknyalah kerajaan membuat pengumuman betapa aku
harus diburu dan dibunuh dengan hadiah 10.000 keping
inmas. Sungguh gila! Aku harus membongkar persekutuan
jahat ini. Namun mengingat ruwetnya jaringan rahasia yang
berkait kelindan, jika dalam seluruh masa hidupku aku
takmampu membongkar rahasia, dan menemukan komplotannya, maka setidaknya aku harus membersihkan
namaku. Tiada cara lain bagiku selain menuliskan apa pun
yang kuketahui dan kulakukan selama ini, yang bagi diriku
memang merupakan cara menyelidiki, tetapi yang bagi
pembacanya merupakan cara terbaik untuk mengetahui
siapakah diriku yang sebenarnya.
Justru itulah masalahnya sekarang. Seberapa jauh aku bisa
jujur dalam suatu tulisan yang dimaksudkan sebagai
pengungkapan" Bahkan kepada Nawa, anak kecil ini pun, aku
masih tertegun-tegun. Betapa sulitnya sekadar hidup menjadi
jujur! Bahkan, atas nama kebijaksanaan, kejujuran itu
ternyata tidak selalu tepat untuk diungkapkan!
"Perempuan itu bertanya siapakah Kakek, lantas kujawab
Kakek seorang pembuat lontar, perempuan itu lantas bertanya
lagi siapakah nama Kakek, kujawab kami cukup memanggil
Kakek sebagai Kakek saja, yang lantas ditanyakannya lagi
apakah Kakek pernah mengajari kami bersilat."
Hatiku tercekat. "Apa jawabanmu Nawa?"
"Aku balas bertanya kepadanya, mengapa dia bertanya
seperti itu?" "Lantas?" Memang aku sungguh penasaran dengan jawabannya.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Dia bilang Kakek mirip seorang pendekar yang pernah
dilihatnya." "Begitu saja?" "Ya, begitu saja. Akulah yang menegaskan kepadanya
sekali lagi, bahwa Kakek adalah seorang pembuat lontar, yang
selama ini memang pekerjaannya hanya membuat lontar dan
kadang-kadang menulis."
"Lantas apa katanya?"
"Ternyata perempuan itu makin tertarik, Kakek, dia
bertanya apakah kiranya yang dituliskan Kakek."
"Hmm. Begitu" Apakah jawabanmu, Nawa?"
"Bukankah aku memang tidak tahu, Kakek, jadi kujawab
tidak tahu." Aku terdiam, mengamati Nawa. Anak itu menampakkan
sikap me lindungi, tetapi bagaimanakah caranya ia tahu
memang terdapat sesuatu yang harus ditutupi" Apakah yang
telah dilihatnya pada perempuan yang bertanya-tanya itu,
sehingga ia bersikap me lindungi diriku, meski apalah yang
mungkin diketahui anak ini tentang diriku" Mungkinkah Nawa
membaca bahwa dugaan perempuan itu memang mengandung kebenaran"
"Nawa," kataku kemudian, iapakah perempuan itu
membawa pedang?" Memang banyak senjata yang mungkin dipakai dalam dunia
persilatan, tetapi selain pedang adalah senjata yang paling
disukai, juga merupakan senjata yang paling banyak
dikembangkan keilmuannya. Seorang pemula pasti akan
mempelajari ilmu pedang, sementara meskipun seorang
pendekar telah menguasai segala senjata, bahkan mampu
menundukkan lawan bersenjata apapun dengan tangan
kosong, tetap akan merasa perlu menguasai ilmu pedang.
Tanpa pedang, ilmu persilatan tidak akan mencapai
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
kegemilangannya seperti sekarang. Jika banyak senjata
diciptakan hanya untuk membunuh, maka pedang bagaikan
diciptakan untuk diperagakan, tidak aneh jika dalam tingkat
kemahiran tertentu permainan ilmu pedang lebih tampak
sebagai tarian. Tentu saja itulah yang disebut tarian pembunuhan. Itulah
yang terlalu sering sulit dimengerti dari dunia persilatan, jurus
terindah menampakkan dirinya hanya untuk mengakhiri
kehidupan. Namun tidakkah itu merupakan pilihan hidup
seorang pendekar" Kematian tidak dilihat sebagai akhir
kehidupan, melainkan bagian saja dari kehidupan abadi yang
meleburkan segala kedirian.
Siapakah perempuan itu" Betapapun ia mengungkapkan
sesuatu yang benar. Barangkali aku memang pernah dilihatnya, dan ia kebetulan
lewat serta mengenaliku. Namun aku merasa harus bersiap
untuk kemungkinan yang lain, bahwa perempuan yang
bertanya-tanya itu memang seseorang yang sengaja
mencariku. Mungkin saja bahwa ia telah melhatku adalah
kebetulan, tetapi bisa saja ia memang mencari Pendekar
Tanpa Nama yang gambarnya terpampang jelas pada
selebaran itu. Namun kukira aku seharusnya mempertimbangkan kemungkinan, bahwa ia memang sengaja
melacak dan menemukan jejakku di tempat aku menyamar
sebagai pembuat lontar ini.
Apakah dengan begitu sebaiknya aku segera berkelebat
pergi" "Kakek, perempuan itu tidak membawa pedang, hanya
membawa tongkat dengan buntalan seperti pengembara.
Kenapa perempuan pengembara itu bertanya apakah Kakek
seorang pendekar" Dia benar-benar seperti mengenali Kakek,
benarkah Kakek bukan seorang pendekar?"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
AKU tersenyum dan mengangkatnya agar duduk di
dekatku. ''Nawa, dengar kata Kakek baik-baik, pendekar itu, jika
maksudnya pendekar silat yang bisa terbang setinggi pohon
kelapa dan me lompat dengan ringan dari atap ke atap tanpa
suara di bawah cahaya rembulan, maka itu hanya ada dalam
dongengan. Janganlah terlalu percaya yang tidak masuk akal
kalau mendengar orang bercerita. Biarkan mereka bercerita
semaunya, tetapi tidak usah terpengaruh olehnya, karena
misalnya semua yang dikatakannya itu benar, juga tidak ada
gunanya untuk kita.'' ''Jadi, siapakah yang pernah dilihat oleh perempuan itu,
Kakek" Jika memang bukan Kakek, bukankah belum tentu ia
bukan seorang pendekar"''
Ah, cerdas sekali anak ini! Tapi aku sudah memutuskan
tidak akan mengangkat seorang murid dalam ilmu s ilat.
''Banyak orang memang hidup dalam kepalanya sendiri,
Nawa, dan mereka mempercayai apa saja yang muncul dalam
kepalanya itu.'' Nawa memandangku dengan tajam, seperti tahu aku
berusaha mengalihkan perhatiannya. Namun, juga seperti
mengerti, ia tidak melanjutkan pertanyaannya.
''Kakek, mengapa Kakek senang menjadi seorang penulis"''
Tentu saja ini juga pertanyaan yang sulit. Aku merasa
harus menjawabnya dengan gampang. Namun inilah
jawabanku. ''Pertanyaanmu itu bisa juga diajukan kepada setiap orang
dengan pekerjaan masing-masing, dan tidak semua orang bisa
menjawabnya dengan mudah. Mengapa seseorang senang
jadi petani, mengapa seseorang yang lain senang jadi tukang
besi, mengapa seseorang senang jadi tukang emas, mengapa
seseorang senang menjadi tukang kuda, lagi pula aku bukan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
seorang penulis. Kamu kan tahu aku seorang pembuat
lontar...'' Nawa menggeleng-gelengkan kepala.
''Kakek lebih banyak menulis daripada membuat lontar.''
''Itu karena aku mengisi waktu ketika menunggu daun-
daun itu kering.'' Mata Nawa mengerjap. Tak bisa kutebak apa yang
dipikirkannya. ''Kakek, apakah sebenarnya yang Kakek tulis itu" Dari hari
ke hari sudah bertumpuk-tumpuk lontar di bilik Kakek.''
Sampai juga akhirnya pertanyaan itu!
''Oh, itu hanya kenang-kenangan Kakek saja, Nawa,
kenang-kenangan hidup Kakek...''
''Untuk apakah Kakek menulis kenang-kenangan itu"''
Bukankah ini pertanyaan yang sulit" Karena aku memang
tidak sedang menulis riwayat hidupku sebagai kenang-
kenangan atas hidupku. Sama sekali tidak. Aku menuliskan
riwayat hidupku karena aku merasa telah kehilangan
sesuatu....ada sesuatu yang mungkin saja telah kulupakan,
sehingga aku tidak mengerti atas alasan apa orang setua aku
ini masih juga diburu untuk dibunuh sampai mati. Memang
aku telah memikirkan beberapa kemungkinan, seperti juga
pernah kuceritakan, tentang kemungkinan diriku, setidaknya
namaku, yang sekadar dipinjam dalam permainan kekuasaan
Mataram pimpinan Rakai Kayuwangi sekarang ini. Namun aku
ingin mencari sebab yang lebih dalam dari sekadar
kepentingan sementara semacam. Aku ingin tahu mengapa
diriku menjadi begitu pantas dikorbankan seperti itu. Dikenal
sebagai apakah aku ini, riwayat hidup macam apakah yang
telah membentuk diriku, bagaimanakah pandangan orang
banyak akhirnya membentuk sosok diriku tanpa kukehendaki"
Aku memang tidak pernah mempunyai nama, tetapi meski
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
tetap tak bernama, setiap orang ibarat kata menggubah
riwayat hidupku menurut sudut pandangannya, masing-
masing bagaikan memberi nama.
Bagaimana pandanganku tentang diriku sendiri" Apabila
aku menulis riwayat hidupku itu berarti aku telah menuliskan
segala sesuatu melalui sudut pandangku. Seberapa jauhkah
aku dapat berterus terang dengan segalanya" Aku sebetulnya
menuliskan semua itu untuk diriku, dengan harapan segala
ingatanku terkuras tuntas tanpa sisa. Peristiwa setiap saat,
gambaran setiap pandangan, rincian setiap gerak, isi setiap
kitab, makna setiap kejadian, arti setiap perlambangan, aku
ingin mengungkapkan semuanya, selengkap-lengkapnya,
serinci-rincinya, seluas-luasnya, sebanyak-banyaknya, sejelas-
jelasnya, sepenuh-penuhnya, seutuh-utuhnya, segalanya,
tanpa sisa. Tetapi apakah itu mungkin" Setiap kali selalu
Jurus Tanpa Bentuk Naga Bumi I Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terasa ada yang kurang, setiap kali selalu terasa ada yang
keliru, tetapi tidak tahu persisnya di mana dan memang tidak
pernah kuperiksa atau kuperbaiki lagi. Maklumlah, aku menulis
dengan pengutik, menggurat di atas lontar, perbaikan atau
penggantian akan menyulitkan susunan. Artinya setiap kata
atau kalimat yang diguratkan dari aksara demi aksara haruslah
sudah dipikirkan dengan seksama.
NAMUN sebetulnya itu bukanlah alasan yang utama, karena
jika suatu perbaikan harus dilakukan, tentu akan dilakukan
juga; melainkan karena aku selalu merasa, bahwa waktu yang
tersisa tidak akan terlalu cukup untuk menulis seluruh riwayat
hidupku. Menuliskan riwayat hidup seratus tahun tentu
takberarti membutuhkan waktu seratus tahun, tetapi
betapapun seratus tahun yang penuh makna bukanlah waktu
yang singkat, yang jelas tidak mungkin diceritakan secara
ringkas dengan secepat-cepatnya. Begitulah kenangan dalam
kepala dan waktu yang tersedia untuk menuliskannya
membentuk apa pun yang telah maupun kelak akan terbaca.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Kesadaran bahwa tulisan ini akan dibaca, meski
kepentingannya adalah menyelidiki segala perkara yang
pernah kualam i, menimbulkan keraguan baru kepadaku bahwa
penulisanku akan berlangsung penuh dengan kejujuran.
Meskipun kepada diriku sendiri, seberapa jauh aku dapat
menampilkan diri dengan segala keburukanku" Apakah
jaminannya bahwa aku tidak akan membuat diriku tampak
penting, meskipun dengan cara memperlihatkan betapa diriku
tidak penting" Mungkinkah aku menulis tanpa siasat, yang
kiranya akan menjebak pembaca, untuk cenderung tergiring
membentuk sebuah kesan tentang diriku" Hmm. Kejujuran
ternyata merupakan perkara yang sulit...
Jadi, apakah jawabanku kepada Nawa"
''Banyak alasan kenapa orang merasa perlu menuliskan
kenangannya, Nawa, tetapi apapun alasannya, setiap
kenangan yang dituliskan akan selalu bermakna setiap kali
dibaca, sedangkan karena dalam setiap pembacaan terdapat
penafsiran berbeda, maka kebermaknaannya akan berganda.
Artinya, tidak penting benar apa maksud hati seorang penulis
itu Nawa, yang penting adalah bagaimana tulisannya dapat
bermakna kepada pembaca...''
Nawa memandangku, masih dengan mata berbinar. Aku
juga menatapnya, tetapi pikiranku agaknya melayang entah ke
mana. Siapakah perempuan yang bertanya-tanya tentang
diriku itu" Apakah kata-katanya bisa dipercaya, bahwa ia
mengenaliku sekadar karena pernah melihatku" Jika ia
menyebut diriku sebagai pendekar, setidaknya ia tentu pernah
melihatku bertarungobahkan dengan Jurus Tanpa Bentuk,
karena hanya dalam jurus itulah, ketika aku diam bagaikan
tiada bergerak, pertarunganku dapat dilihat secara kasat
mata. Siapakah dia yang masih mengenaliku, setelah aku
mengundurkan diri dari dunia persilatan dalam 25 tahun
terakhir ini" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
''Nawa, apakah perempuan pengembara yang bertanya-
tanya itu sudah lanjut usia"''
''Tidak Kakek, dia seperti Si Rona.''
Si Rona adalah anak penjual juadah ketan. Usianya masih
16 tahun. Jadi tidak mungkin ia pernah melihatku bertarung.
Mungkinkah ia mengenaliku dari lembaran lontar yang
menggambarkan diriku, meski sudah kusemir rambutku, dan
memang memburuku" Mungkinkah ia seorang pemburu
hadiah, yang memang biasa memburu para penjahat demi
bayaran" Aku harus waspada terhadap setiap kemungkinan!
(Oo-dwkz-oO) TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
KITAB 5: PENDEKAR TUJUH LAUTAN (Oo-dwkz-oO) Episode 81: [Berlayar ke Samudradvipa]
SAMUDERA terbentang bagaikan tanpa batas. Kujilat
bibirku yang terasa asin. Angin menderu bagaikan seribu
dongeng menjadi satu. Kapal samudera ini melaju karena
kuatnya angin yang ditangkap layar. Seluruh layar terkembang
penuh. Kapal membelah laut biru tua menuju Samudradvipa.
Sudah tiga hari kapal terus menerus melaju siang dan malam
tanpa henti. Segalanya serba baru bagiku. Namun terutama
pemandangan lautan yang luas terbentang itulah yang sangat
menarik hatiku. Sampai di manakah lautan ini berakhir"
Apakah yang berada di balik cakrawala itu"
Melaju di atas samudera membuat membuat segala
persoalan di darat terlupakan. Daratan menjadi kecil, segenap
persoalannya menjadi tidak penting, dan perebutan kekuasaan
menjadi perkara yang lucu. Di sini hanya ada langit dan
hamparan laut yang keluasannya membuat manusia
merenungkan makna keberadaan dirinya di dunia ini. Kapal
menjadi titik kecil, bagai pengembara sunyi di keluasan
semesta tanpa tepi. "Tak bisa daku bayangkan hidup bertani seperti orang
Mataram," kata seorang pelaut, "hidup berbulan-bulan
menjaga sawah sampai panen, hanya untuk mulai menanam
lagi." "JANGAN merendahkan petani," kata pelaut yang lain,
"tidak mudah bersawah dan tanpa petani bagaimana kita bisa
makan nasi?" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kita tidak mati kalau tak makan nasi, kita bisa hidup hanya
makan ikan dan kerang."
"Ya, tetapi mencari ikan membuat kita tidak bertemu anak
dan isteri, kalau bertani anak dan isteri bisa ikut ke sawah,
ikut bekerja bersama kita."
"Hmm. Itulah bedanya pelaut dan petani, pelaut harus
pergi, petani tidak bisa pergi. Daku bersyukur menjadi pelaut
dan melihat dunia. Daku tak sudi setiap hari berangkat ke
petak sawah yang sama sampai mati."
"Tidak harus begitu tentu. Orang-orang Mataram itulah
yang menyerbu Champa dan mengobrak-abriknya."
"Membakar kuil-kuil mereka segala! Kurang pekerjaan
karena panen terlalu banyak, itu pun menggunakan kapal dan
awak kapal Sriv ijaya! Tidak ada cerita petani membuat kapal-
kapalnya sendiri!" "Jangan salah, mereka semua dulu juga pelaut seperti kita
Markis! Pengetahuan mereka yang berkembang kemudian
membuat mereka mampu menumbuhkan bibit menjadi padi,
jadi waktunya tidak habis untuk berlayar dan menangkap ikan
hanya untuk makan." "Jadi apa yang mereka lakukan Darmas" Daku tidak tahu
apa yang lebih baik selain angin laut, matahari senja, dan
dunia yang terbentang di balik cakrawala sana."
"Kemapanan yang dijamin panen telah mengembangkan
kebudayaan, Markis. Tidakkah dikau lihat kita pernah
mendatangkan segala alat" Segalanya berkembang di bawah
wangsa Shailendra, Markis, mereka membangun candi di
mana-mana; pemeluk Siva maupun Mahayana seperti
berlomba, takkurang pula candi Mahayana dengan gaya Siva
dan sebaliknya!" "Hmmmhhh! Para pemeluk kepercayaan asing!"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tunggu dulu, Markis! Mereka tidak hanya membangun
candi, pulang dari sawah di kampung mereka berlangsung
pembacaan berbagai kitab, sebagian belajar membaca,
sebagian belajar menulis; jangan dibandingkan dengan
menangkap dan membakar ikan!"
"Daku tak akan bisa hidup terikat dengan tanah seperti itu,
daku lebih suka lautan, yang dapat kulayari menuju tempat-
tempat terjauh, Darmas."
"Setidaknya dikau tak bisa melecehkan mereka, Markis,
dengan kitab yang mereka tulis sendiri kelak, yang
menyampaikan gagasan-gagasan mereka sendiri, keberadaan
hidup mereka akan sangat bermakna bagi banyak orang di
masa depan." "Daku tak suka hidup dalam kepalaku sendiri Darmas, daku
mau menghayati dengan tubuhku, berlayar ke tujuh lautan.
Tidakkah hal itu yang membuat kita menjadi manusia
Srivijaya?" "Dikau dengarkah rencana candi yang mulai mereka
bangun itu Markis" Kukira candi semacam itu maknanya dari
saat ke saat akan bergaung begitu rupa mencapai seribu
lautan. Aku tidak memandang diriku sebagai pelaut Sriv ijaya
rendah Markis, ibarat kata telah kita jelajahi segenap pelosok
bumi dan menyusuri sungai-sungainya sampai hulu yang
terdalam, tetapi kemampuan mengolah tanah menjadi sawah
betapapun telah memberi kemapanan yang melahirkan
banyak kemungkinan bagi peradaban."
"Jangan lupa Darmas, Srivijaya itu pusat kebudayaan, para
pelajar dari Funan sejak lama menimba ilmu di tempat kita
dahulu, sebelum dianggap layak menerima pelajaran igama di
Jambhudvipa." "Kamu tidak salah, Markis, tapi Sriv ijaya sedang mengalami
kemunduran." "Ah! Dirimu dengan isi kepalamu Darmas!"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Apakah dengan kepalamu yang bebal dikau bermaksud
menghinaku Markis?" Kulihat tangan keduanya telah meraba gagang pisau
mereka masing-masing. Aku tidak mengerti kenapa perbincangan yang bagiku menarik itu begitu mudah berakhir
di ujung senjata! Namun Pangkar sudah berada di sana.
"Siapa pun yang ingin berkelahi di kapal ini sebaiknya
berhadapan lebih dahulu dengan Pangkar," katanya.
Mereka masih saling menatap dengan waspada, karena
lemparan pisau secepat kilat hanya butuh kelengahan sekejap
mata. Tentu mereka sama sekali tidak takut kepada Pangkar,
tetapi tampaknya sadar betapa berlebihan jika harus
menyelesaikan perbedaan dengan perkelahian.
Baru tiga hari aku berlayar, tentu baru sedikit yang
kupelajari, sehingga tidak terlalu banyak yang bisa kuceritakan
kembali. Namun karena segala sesuatunya memang baru
bagiku, rasanya begitu banyak yang merasuki diriku.
Kapal yang kutumpangi tergolong kapal besar dalam
jenisnya, yakni kapal untuk me layari lautan, karena selain
bercadik juga menggunakan layar, dengan layar tanjak empat
persegi panjang pada tiga tiang. Kapal sejenis yang lebih kecil,
hanya perlu menggunakan dayung, kemungkinan hanya untuk
mencari ikan, atau pelayaran sepanjang tepi pantai, tetapi
tidak untuk menyeberangi samudera luas ke negeri yang jauh.
Inilah kapal yang telah digunakan leluhur kami para pemukim
Suvarnadvipa untuk pelayaran antarpulau mereka sejak lima
ratusan tahun lalu.3) Kapal ini cukup untuk memuat 30 awak
kapal, dan sekarang kami hanya 25 orang seluruhnya, dengan
angkutan yang bagiku terasa banyak, yakni tumpukan tinggi
rempah-rempah dagangan, bergentong-gentong air tawar,
persediaan beras, kayu bakar, dan banyak lagi keperluan lain
yang pastilah sangat berat. Untuk semua barang itu
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
dibutuhkan ruang sebesar kubus 13 langkah; sementara awak
kapal menempati ruangan seluas 18 langkah empat persegi.4)
Dengan layar tanjak empat persegi, kapal melaju dengan
tenang.5 Aku melaksanakan tugasku dengan sungguh-
sungguh, dan berusaha tidak pernah memperlihatkan
kelebihanku sama sekali, antara lain karena memang
kesempatannya tidak mudah didapatkan. Membersihkan lantai
geladak misalnya, sebetulnya dapat kulakukan dengan
kecepatan kilat menggunakan tenaga dalam, sehingga
pekerjaanku akan cepat selesai dan aku bisa menimba
pengetahuan. Namun kapal ini berisi banyak orang, tiada seorang pun
dapat menyendiri tanpa terpandang banyak orang. Bahkan
dengan kedudukan sebagai nakhoda tiada keistemewaan
apapun selain berada di balik kemudi dan memberi perintah di
sana-sini. Saat ia ingin tidur, tiada tempat lain selain bersama
segenap awak kapal lainnya. Maka bergerak secepat kilat
sampai hilang dari pandangan takmungkin berlangsung tanpa
memancing kecurigaan. Kemudi kapal terletak di bagian samping dan dari geladak
sampai tiang selalu ada awak kapal yang bergerak dengan
cekatan. Begitulah menyesuaikan diri dengan semua itu,
karena aku memang tidak mengetahui apapun tentang
bagaimana harus bekerja di atas kapal. Dalam tiga hari, tentu
saja aku belum tahu apa-apa, segalanya masih serba
membingungkan, tetapi aku senang berada di atas kapal ini,
karena setiap saat diri dan tubuhku bergerak merambah
wilayah baru. (Oo-dwkz-oO) JAVADVIPA sudah tidak kelihatan lagi. Saat malam tiba dan
sebagian besar awak kapal tertidur, aku beranjak ke dinding
kapal, melamun sembari menatap percikan ombak di dinding
kapal. Lautan luas dalam kegelapan membuat pikiran
mengembara di balik kelam. Kudengarkan suara percikan,
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
tiupan angin yang seperti siulan, dan derik sendi-sendi kayu
dalam geraknya yang tenang. Sejak berangkat meninggalkan
Javadvipa, hujan deras terus menerus membasahi kami, meski
tanpa badai sama sekali. Benar ombak bertambah tinggi dan
angin bertiup lebih kencang dengan arah takmenentu, tetapi
kulihat wajah nakhoda itu begitu tenang, mestinya karena
sering menghadapinya sebagai peristiwa alam yang wajar
terjadi. Kubayangkan jika aku dan kapal ini tak di sini. Tetap
berlangsung hujan deras dan ombak meninggi, sementara
angin bertiup dengan suara mendebarkan hati, tetapi siapakah
kiranya yang akan mendengarnya" Alam berbicara sendiri dan
takpeduli apakah ada atau tiada manusia menghuni. Segala
makna memang datang dari manusia, yang menatap dan
Jurus Tanpa Bentuk Naga Bumi I Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengar, lantas memberi arti. Seperti malam yang tenang
takberhujan kali ini. Tanpa manusia, lautan tempat kapal ini
sekarang berlayar akan tetap seperti ini, diriku saja kini
menuliskannya kembali, sehingga suasana ini akan tetap
tinggal dengan makna terberi. Tiada makna dalam diri alam
sendiri. Makna datang dari manusia, apa pun makna yang
diberikannya. Aku mendongak ke atas dan menatap hamparan bintang.
Ini suatu hal yang sering kulakukan dalam perjalanan di
daratan, apabila dalam kelelahan aku tidur di hamparan
rerumputan. Namun aku memandangnya tanpa manfaat
apapun selain untuk kesenangan dan hiburan. Di kapal ini,
pemegang kemudi yang menggantikan nakhoda juga selalu
memandang bintang-bintang, tetapi untuk menentukan ke
mana kapal harus diarahkan. Mereka telah mempelajari
hamparan bintang-bintang itu yang keberadaan dan perubahan kedudukannya dapat mereka pastikan. Berdasarkan itulah mereka perhitungkan kedudukan mereka
sendiri. Meskipun mereka barangkali tidak bisa membaca,
kemampuan mereka membaca langit malam itu bagiku luar
biasa. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Begitulah aku memandang ke laut lepas yang hanya
memberikan kegelapan. Tiada rembulan yang kubayangkan
akan memperlihatkan permukaan laut yang keperakan, seperti
yang kusaksikan pada malam sebelum berangkat dari
pelabuhan. Pada malam hari itu kulihat cahaya rembulan
menyepuh permukaan laut dengan warna perak, membuat
buih pada setiap pucuk gelombang berkilau-kilauan. Kuingat
deburnya yang mendesah pelahan, yang sungguh merayu dan
mengundang. Kini aku sudah berada di atas kapal ini,
berharap-harap cemas menghayati setiap gairah penjelajahan.
Kusadari betapapun di tengah lautan luas kapal bagaikan tak
bergerak ke mana-mana, sebetulnya kami terus menerus
bergerak maju. Di tengah lautan, manusia begitu kecil dibanding keluasan
alam semesta. Sangat bisa kumaklumi sikap orang Sriv ijaya
terhadap orang-orang Mataram yang memilih untuk terikat
kepada tanahnya dengan membangun candi-candi bagaikan
tiada hentinya, dan kini bahkan ingin membangun candi
terbesar di dunia. Mereka yang dunianya seluas lautan
mempunyai pandangan terhadap dunia yang tentunya
berbeda dengan mereka yang dunianya sebatas sawah
ladangnya sahaja. Begitu pula mereka yang telah
menenggelamkan dirinya dalam pemikiran dari berbagai kitab
yang dibacanya, juga akan memandang dunia secara berbeda
dengan mereka yang menerima alam sebagai alam itu sahaja
tanpa pergulatan pembermaknaan di baliknya.
Dalam dunia yang penuh keragaman, tiada mungkin
berlaku ukuran baku bagi segala sesuatu, sehingga dalam
kebersamaan diperlukan berbagai macam kesepakatan
tertentu. NAMUN akhirnya hanya kuasa kesepakatan yang berlaku,
dunia menjadi sempit, dan kekerdilan pemikiran merajalela.
Maka seseorang yang berusaha melihat dunia harus berangkat
mengembara, atau menguak tempurung kekerdilannya melalui
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
kitab-kitab yang membuka mata. Maka aku merasa bersyukur
telah berada di atas kapal ini, bagaikan berada di tepi batas
bumi, terus menerus mengejar cakrawala...
"Adakah sesuatu yang mengganggu pikiranmu, Anak"
Sehingga dikau hampir selalu berjaga menatap kegelapan
malam?" Aku menoleh, nakhoda sudah berada di belakangku,
membuka bungkusan kapur sirih dan mulai mengunyahnya.
Lelaki paro baya itu tampak begitu perkasa, giginya utuh dan
kehitaman karena sirih, bibirnya merah juga karena sirih,
tetapi sejak kali pertama melihatnya di pelabuhan, kusukai
destar atau ikat kepalanya yang bergambar tokek. Semenjak
kapal berangkat berlayar, entah kenapa ia memanggilku Anak,
kukira bukan karena usia, karena tak kurang yang seusia
denganku di antara awak kapal ini. Kuanggap saja karena aku
yang paling hijau pengalamannya di antara semua awak kapal.
Atau, ini lebih mungkin, semenjak Pangkar tak dapat
mengalahkanku, ia tak mau menyamakan aku dengan setiap
anak kapal yang selalu ia panggil namanya.
"Tiada yang mengganggu pikiranku Bapak, sebaliknya
sangat kunikmati perjalanan ini, pada saat-saat yang
memungkinkan untuk menikmatinya."
Ia menepuk bahuku. "Begitulah kehidupan di atas kapal, Anak, kita harus selalu
menyibukkan diri, karena jika tidak, kita bisa mati oleh
kebosanan kita sendiri."
Aku tahu perasaan itu. Jika dalam tiga hari ini aku tidak
disibukkan oleh berbagai tugas, mulai dari menarik tali layar
sampai membersihkan lumut di dinding kapal, kumengerti jika
aku akan dilanda kebosanan. Apalagi jika kita berada di atas
kapal berbulan-bulan! Aku tidak menganggap diriku orang
laut, maka segala sesuatu yang mengganggu kenyamanan
kuterima sebagai sesuatu yang harus kupelajari.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Ketika kapal baru saja meninggalkan Javadvipa, masih
sempat singgah di beberapa pulau kecil untuk membeli
perbekalan. Setiap kali mendekat terlihat perahu-perahu
sampan datang menyambut, orang-orang di atasnya
mendayung perahu dengan wajah berseri. Kadang-kadang
memang sudah membawa perbekalan, seperti ayam dan
sayuran, mencoba menjual lebih cepat dari mereka yang di
darat, tetapi lebih sering perahu sampan itu mendekat hanya
karena senang melihat kapal datang.
Kedatangan sebuah kapal berarti pertemuan dengan orang-
orang lain, maka mereka menyambutnya dengan senyum
lebar dan wajah berseri-seri. Dengan perahu kecil, tentu
wilayah pelayaran mereka terbatas pada wilayah pencarian
ikan, bukan penjelajahan menuju wilayah-wilayah baru yang
belum dikenal. Meskipun begitu, dengan perahu-perahu cadik
yang kecil itu tak sedikit dari mereka berani mengembara
sampai jauh, keluar dari wilayah perairannya. Bukankah
dahulu kala para pendatang dari negeri-negeri yang jauh di
utara Suvarnadvipa, juga tiba bukan dengan kapal-kapal
raksasa yang tak terbayangkan dapat mengarungi samudera"
"Hendak ke manakah Anak sebenarnya dengan menumpang kapal ini" Tak saya lihat Anak seperti pedagang,
dan meski Anak kalahkan Pangkar dalam adu panco, Anak
taktampak seperti pekerja kasar yang tak dapat mengerjakan
pekerjaan lainnya." Kali ini aku dapat menjawab dengan sejujurnya.
"Sahaya hendak mengembara Bapak, hendak mencari
ilmu." Nakhoda itu manggut-manggut dengan penuh pengertian,
sembari meludahkan sirihnya ke lautan.
"Itulah yang Bapak lakukan semasih muda Anak. Bapak
juga tak mengerti dengan banyak orang yang tak pernah
pergi, tak pernah keluar dari batas kampungnya sampai mati."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tapi tidakkah orang Sriv ijaya adalah orang-orang pelaut
dan semuanya pernah menjelajahi segala penjuru dunia?"
Tentu saja pertanyaanku terdengar bodoh. Nakhoda itu
tertawa terbahak-bahak sambil menepuk-nepuk bahuku.
"Hahahahaha! Tidak semua orang di Mataram juga dapat
membuat candi, Anak, tak sedikit yang hanya mampu
berkelahi, dan tak mau berhenti menyerbu ke sana kemari,
hanya untuk mati di ujung belati."
NAKHODA itu tentu sedang bicara tentang kebijakan
sebuah negara, tetapi kalimat itu sangat mengena kepada
orang yang mendalami ilmu silat seperti diriku. Hanya mampu
berkelahi! Aku tertegun dan nyaris merasa rendah diri atas
pernyataan yang sebetulnya tak berhubungan dengan diriku
itu, meskipun kupelajari segenap ilmu dengan semangat
tinggi, memang benar semua itu kupelajari demi pencapaian
ilmu s ilatku. Aku masih tertegun, ketika muncul cahaya lentera di
kejauhan, yang tentunya juga berasal dari sebuah kapal.
Nakhoda itu segera menunjukkan sikap waspada. Ia
memasukkan ibu jari dan telunjuk yang membentuk lingkaran
dan bersuit. Segenap awak kapal yang semula tidur
mendengkur segera melompat bangun dan bersiaga dengan
pisau belati me lengkung di tangannya. Pangkar melemparkan
pisau belati semacam itu juga kepadaku yang segera
kutangkap. Kapal itu makin lama semakin dekat.
(Oo-dwkz-oO) Episode 82: [Pembantaian di Tengah Lautan]
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
KAPAL itu masih jauh, lenteranya berkelip-kelip, tampak
bergoyang ditiup angin. Semua orang tampak waspada
dengan tangan pada gagang pisaunya. Kemudian aku akan
mengetahui bahwa para bajak laut suka memasang perangkap
seperti itu. Seolah-olah kapal kosong, hanya menampakkan
satu atau dua penumpang yang terkapar lemah. Nanti ketika
orang-orang me lompat masuk, mendadak mereka keluar dari
persembunyian, dengan serbuan yang mengejutkan.
Maka ketika kapal telah mendekat. Tidak seorang pun yang
beranjak, bahkan ketika tampak gejala tak terkendali dan akan
menabrak kapal, segera digunakan dayung sambil berdiri di
atas cadik untuk menahannya agar tetap berjarak. Layar kapal
itu tergulung. Jadi ia dihanyutkan gelombang. Terapung-
apung di lautan entah sudah berapa lama. Lenteranya masih
bergoyang-goyang. Kenapa ia bisa terus menyala" Kami
memutari kapal itu dahulu untuk menjaga kemungkinan. Baru
setelah tidak terjadi sesuatu, maka kapal kami merapatkan
diri. "Nakhoda! Lihat!"
Lantas terlihatlah pemandangan yang mengerikan itu. Dari
tempatku berdiri di atas dinding kapal sambil berpegangan
pada tali temali layar, kusaksikan betapa seisi kapal sudah
terbantai secara mengenaskan. Geladak menghitam karena
darah. Dengan segera tampak bahwa yang terbantai adalah
sebuah keluarga, setidaknya dua atau tiga keluarga, dan
kemungkinan besar keluarga bangsawan. Semua itu dapat
dilihat dari busana yang mereka kenakan. Keluarga
bangsawan macam apakah yang dapat berada dalam sebuah
kapal dan terapung-apung begitu rupa"
Di geladak kapal itu berkaparan mayat-mayat yang
terbantai. Lelaki, perempuan, tua, muda, juga kanak-kanak.
Terlentang, tertelungkup, saling berpelukan, bahkan ada yang
digantung di tiang layar dengan kepala di bawah. Luka-luka
bacokan menghiasi tubuh-tubuh mereka. Darahnya masih
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
mengalir. Peristiwa ini belum lama terjadi. Kami tercekat. Diam
tak bersuara. Namun sebuah tangan tiba-tiba bergerak.
"Nakhoda! Ada yang masih hidup!"
Nakhoda itu memberi tanda dan beberapa orang, termasuk
aku, berlompatan ke kapal itu. Perempuan yang menggerakkan tangannya itu berusia sekitar 40 tahun. Di
sebelahnya tampak mayat seorang lelaki berkulit hitam yang
mengenakan sorban. Kuduga perempuan ini telah melakukan
perlawanan, bahkan berhasil membunuh penyerangnya,
karena keris yang menancap di dada lelaki itu sarungnya
masih dipegang perempuan tersebut.
Perempuan itu sangat cantik, tetapi ia terluka parah dan
napasnya tinggal satu-satu. Aku memegang tangannya dan
menyalurkan tenaga prana, tetapi matanya pun sudah nyaris
tertutup. "Mereka menjarah dan memperkosa, mereka membawa
Asoka...," ujarnya lemah, "tolonglah dia..., hhh..."
Perempuan itu mengembuskan napas penghabisan. Kulihat
ke sekeliling dan tampaknya keluarga bangsawan ini telah
melakukan perlawanan mati-matian. Tak hanya satu pihak
penyerang berhasil ditewaskan, melainkan sampai tiga orang.
Keluarga bangsawan yang terbantai itu berjumlah sekitar 20
orang, segala harta benda telah dijarah dengan serabutan,
karena terlihat gelang emas dan kalung mutiara yang sudah
lepas dari talinya berceceran di antara genangan darah.
"Peristiwa ini baru saja terjadi, mayat-mayat ini masih
hangat." "Nakhoda! Mereka lari karena melihat kita!"
Ketiga penyerang yang tersisa bertubuh tinggi besar dan
berkulit hitam. Satu orang bersorban, satu orang dikuncir ekor
kuda, dan satu orang lagi kepalanya gundul. Ketiganya
mengenakan anting-anting pada hidung mereka dan ketiganya
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
mengenakan busana yang disebut celana dari bahan sutera.
Celana itu sangat longgar dan karena itu tentu tidak
kepanasan meski berbahan sutera. Saat itu aku belum banyak
bertemu dengan orang-orang asing, tetapi kukenali mereka
sebagai orang-orang Kling yang berasal dari suatu wilayah di
Jambhudvipa, tetapi telah lama menetap dan beranak pinak di
Samudradvipa, kemungkinan besar di wilayah kekuasaan
Srivijaya. T idak mengherankan jika Pangkar maupun nakhoda
itu mengenalnya. Apakah yang telah terjadi"
Nakhoda turun dan mendekati perempuan yang baru saja
meninggal itu. Ia mengusap rambut perempuan itu, yang
Jurus Tanpa Bentuk Naga Bumi I Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
panjang, terurai, dan berantakan karena pertarungan antara
hidup dan mati. Lantas kudengar ia berbisik pelan.
"Kami akan menyelamatkan Asoka, Kakak, percayalah
kepada kami..." Aku merasa lega mendengar kalimat itu. Nakhoda tahu apa
yang harus dilakukannya. Mereka yang mati sudah
terbebaskan, karena mati terhormat melalui perlawanan dalam
kegagahan; tetapi bagi yang masih hidup dan ditawan, diculik
ke tempat yang jauh untuk mengalami pemerkosaan,
kubayangkan sangat mengerikan.
"Kembali ke kapal," kata nakhoda itu, "sempurnakan semua
jenazah, berikut kapalnya!"
Sekejap kemudian, lautan yang begitu gelap lantas
menyala karena api yang berkobar membakar kapal. Tidak
ada barang yang tertinggal, karena hampir semuanya sudah
dijarah. Dari perbekalan, nakhoda hanya memerintahkan
untuk mengambil air tawar, karena rupanya berencana
membelokkan perjalanan. Bahwa anak-anak kecil ikut
terbunuh membuat darahku naik ke kepala. Ingin rasanya
membantai para pembunuh itu dengan seketika.
"Arahkan layar ke Kota Kapur!" Nakhoda itu berteriak
lantang. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Maka arah perjalanan pun berubah haluan. Kami sudah
kembali lengkap berada di atas kapal. Tidak seorang pun bisa
tidur kembali. Kami semua berdiri di geladak menatap kapal
yang kami bakar itu menyala, bagaikan obor raksasa di tengah
lautan. Kubayangkan semua jenazah yang kami tinggalkan
lebur menjadi abu, asap pembakarannya membubung ke
angkasa membawa roh yang harus disucikan sebelum dikirim
kembali. Api pembakaran kapal itu tidak menyala sendirian saja,
cahayanya membuat permukaan laut menyala sampai ke kapal
kami. Namun nyala api itu semakin lama semakin jauh kami
tinggalkan, dan kemudian memang menjadi semakin redup
karena kapal itu kemudian tenggelam. Kubayangkan kapal itu
dengan segenap kerangka yang masih tersisa dari jenazah
yang terbakar segera tenggelam ke dasar laut. Mungkinkah
seseorang, kelak pada masa yang akan datang, menyelam ke
dasar laut dan bertanya-tanya apakah yang telah terjadi pada
masa lalu" Dunia kembali gelap. Kapal melaju. Awak kapal kembali
tidur. Namun tidak dapat kupastikan apakah mereka semua
benar-benar tertidur. Aku juga mencoba tidur dan ternyata
aku bermimpi. Dalam mimpiku, mayat-mayat terbantai yang kulihat tadi
seperti kemasukan jiwanya kembali, menatapku dengan
pandangan seolah-olah ingin menyampaikan nasib yang telah
mereka alami. Seseorang yang tua berdiri dan mengangkat
kedua tangannya dengan tubuh penuh luka. Ia terlihat
berkata-kata, tetapi aku tidak mendengar apa-apa. Lantas
semuanya juga hidup kembali dan menatapku. Tidak
semuanya mengangkat tangan, bahkan juga tidak semuanya
berdiri, tetap duduk di tempat mereka terkapar atau
tertelungkup dengan luka-luka bacokan. Namun semuanya
menatapku dengan mata bertanya-tanya. Anak-anak kecil
juga! Wajah mereka begitu murni, dan mungkin karena itu
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
mereka tertawa-tawa, yang hanya membuat perasaanku
terluka karena mengetahui nasib mereka sebenarnya. Wajah-
wajah mereka silih berganti menyapu pandanganku. Makin
lama makin dekat sampai tak mungkin kutatap lagi.
Sampai kemudian terlihat wajah perempuan yang ketika
kami temukan ternyata masih hidup itu. Terlihat mulutnya
seperti telah kusaksikan dan kudengar sendiri. Seperti dapat
kubaca gerak bibirnya mengucap, "Tolonglah, Asoka, Asoka,
Asoka...." (Oo-dwkz-oO) AKU terbangun karena kesibukan di atas kapal. Langit
sudah menjadi terang. Perhatian diarahkan kepada lajunya
kapal menuju Kota Kapur di Pulau Wangka. Kami telah
memasuki selat, kapal perlahan mendekati pantai barat Pulau
Wangka, melewati gugusan Pulau Hantu, Pulau Medang, dan
Pulau Kecil. Gugusan pulau itu seperti me lindungi Kota Kapur
yang menjadi tujuan kami. Semakin dekat ke pantai, semakin
jelas sosok sebuah bukit yang menonjol di balik hutan bakau
sepanjang pantai. "ITU yang disebut Bukit Besar," ujar Pangkar, yang
semenjak tak bisa mengalahkan aku dalam adu panco itu,
menjadi sangat baik kepadaku. Tahukah dia aku berhasil
untuk tidak mempermalukannya"
Pangkar menjelaskan kepadaku, ketampakan Bukit Besar
dari laut adalah penunjuk arah tempat prasasti yang terletak
di dataran kaki bukit itu. Itulah pedoman untuk memasuki
mulut sebuah sungai, menuju bekas kedatuan Sriv ijaya
seratus sepuluh tahun lalu di pantai barat Pulau Wangka.
Memasuki mulut Sungai Mendo, kami mendayung di atas
cadik, menyusuri kesunyian yang terhampar sepanjang sungai.
Sampai sekitar sepenanak nasi lamanya, tampaklah kemudian
pelabuhan yang pernah menjadi pusat pemberangkatan kapal-
kapal ke seantero dunia itu.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Meskipun istana kedatuan telah ditinggalkan penghuninya,
Kota Kapur masih merupakan pemukiman yang ramai. Aku
mendesakkan diriku ke deretan paling depan di antara awak
kapal yang berdiri sepanjang dinding kapal.
Hari masih pagi. Mereka sedang melakukan kegiatannya
sehari-hari. Sejumlah orang mengawasi kami. Aku mengawasi
mereka, dan menyumpah dalam hati karena merasa tertipu.
Inilah bahayanya mengandalkan cerita dari kedai ke kedai.
Penduduk Kota Kapur sama sekali tidak berlumur kapur!
Terlalu! Barangkali salinan prasasti orang yang bercerita di
kedai waktu itu memang tepat, tetapi segala ceritanya tentang
Manusia Kapur adalah omong kosong! Betapapun harus kuakui
betapa ceritanya itu sangat meyakinkan seperti kenyataan.
Alangkah berbahayanya kemampuan bercerita seperti itu!
"Hati-hati selama kita berlabuh di sini," kata nakhoda,
"berbuatlah seperti biasa, bukan seperti mencari para
pembunuh. Pertimbangkan pula bahwa sangat mungkin para
pembunuh itu mengetahui maksud kedatangan kita. Maka
hati-hatilah berbicara, tetapi pasang mata dan telinga."
"Apa alasan kedatangan kita, Nakhoda, tempat ini bukan
tujuan kita." "Katakan saja memerlukan tambahan perbekalan, karena
kita mengubah tujuan dan akan langsung membawa
tumpukan kayu manis dan rempah-rempah ini menuju
Singhpur." Di pelabuhan, kuperhatikan semua kapal yang berlabuh
sejenis dengan kapal kami, yakni bercadik dan berlayar tanjak,
hanya besar dan kecilnya saja yang berbeda-beda. Ada yang
menggunakan tiga tiang seperti kapal kami, ada juga yang
kecil untuk didayung. Adapun perahu setempat dibuat dengan
cara tersendiri. Lubang-lubang yang terdapat di bagian
permukaan dan sisi papan serta lubang-lubang pada tonjolan
segi empat yang menembus lubang di sisi papan merupakan
cara rancang bangun perahu dengan cara papan ikat dan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
kupingan pengikat. Tonjolan segi empat atau tambuku
digunakan untuk mengikat papan-papan dan mengikat papan
dengan gading-gading dengan menggunakan tali ijuk. Tali ijuk
dimasukkan dengan lubang di tambuku. Pada lubang di bagian
tepi papan perahu, dipergunakan pasak kayu untuk
memperkuat bagian ikatan tali ijuk.
Di sepanjang pelabuhan juga kulihat anak-anak kecil
berlari-lari mengikuti kapal dari kejauhan. Apakah yang masih
mengherankan dari sebuah kapal di pelabuhan yang ramai
seperti ini" Kulihat Pangkar mengerek umbul-umbul yang berkibar
pada tiang layar terdepan. Ia tersenyum memandangku
terheran-heran. "Dikau akan tahu siapa Nakhoda," katanya bangga.
(Oo-dwkz-oO) Episode 83: [Naga Laut dan Nagarjuna]
AKU tertegun. Terbiasa hidup tanpa nama membuat aku
juga tidak peduli dengan nama-nama orang lain. Aku memang
tidak pernah tahu siapa nama nakhoda kapal yang
kutumpangi itu. Betapapun aku bekerja padanya dan memang
jika sampai hari ini aku tidak mengetahui namanya barangkali
boleh dianggap keterlaluan. Namun bagaimanakah caranya
aku dapat menyebut ia punya nama, jika bukan saja setiap
awak kapalnya menyebutnya sebagai "nakhoda" saja; dan
kalaupun aku bertanya tiada seorang pun bisa menjawabnya"
Aku bukan tidak pernah bertanya, tetapi setiap awak kapal
yang kutanya entah kenapa hanya tersenyum saja.
Di daratan terlihat anak-anak kecil yang berambut kuncung,
berkalung tali kulit, tetapi yang tidak mengenakan apa-apa
lagi itu. Mereka masih berlari-lari sepanjang tepi sungai searah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
dengan gerakan kapal, mereka jelas membedakan kapal ini
dengan kapal-kapal lainnya. Tanpa menunggu sampai di
dermaga, mereka meloncat ke sungai dan berenang dengan
kecepatan tinggi. Para awak kapal tertawa-tawa melihat anak-
anak kecil ini. "Lihat, anak-anak kalian," ujar nakhoda sambil tertawa,
"sudah lama kita tidak s inggah di pulau ini."
Kusaksikan para awak kapal melempar mata uang. Tidak
hanya mata uang perunggu dan perak, tetapi juga mata uang
emas! Ah, para pelaut yang kaya! Kuingat berkarung rempah-
rempah dalam muatan kapal. Mereka yang berani mengarungi
dan menjelajah lautan memang lebih berhak atas keuntungan
besar dalam perdagangan. Para pelaut Sriv ijaya telah lama
menguasai jalur perdagangan, bukan hanya di Suvarnadvipa,
dari timur ke barat, tetapi juga jalur perdagangan antara
Negeri Atap Langit dan Jambhudvipa; karena terlalu berat
menempuh jalan darat, dengan segala pegunungan bersalju,
alam yang buas, suku-suku yang belum tentu ramah, dan
lama perjalanan itu sendiri, kapal-kapal kedua wilayah yang
disebut-sebut peradabannya tinggi mengarungi laut untuk
saling menjemput, barang-barang dagangan mereka.
Untuk itu mereka harus melalui Selat Malaka yang dikuasa i
sepenuhnya oleh kedatuan Srivijaya, yang mengirimkan kapal-
kapalnya antara lain dari Kota Kapur ini. Sudah jelas hal
semacam ini tidak berlangsung mulus, karena kapal-kapal
dagang itu tentu melawan. Kapal-kapal itu memang tidak
hanya membawa pelaut dan pedagang, melainkan juga para
pendekar dengan ilmu silat tinggi untuk mengamankan
kepentingannya. Namun bagi kepentingan dagang itu pula,
sikap semacam ini tampaknya membuat banyak urusan
tersendat. Daripada bermusuhan, lebih baik bekerjasama
dengan para pelaut berperahu cadik dengan muatan antara
dua puluh sampai dua puluh lima orang yang gerakannya
sangat lincah itu. Apalagi, kapal-kapal itu dalam beberapa
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
ratus tahun terakhir telah diatur dengan baik dalam kesatuan
suatu kedatuan. Bagi dunia perdagangan antarbangsa mereka adalah bajak
laut, tetapi bagi orang-orang di Suvarnadvipa mereka dikenal
sebagai kedatuan Sriv ijaya, yang pada mulanya memang
saling menyerang di berbagai sungai dan teluk Samudradvipa,
tetapi kemudian mampu membangun peradaban dengan
landasan igama. Seperti telah kuceritakan, semula para pelaut
Samudradvipa hanya menjadi perantara dalam jalur
perdagangan itu, tetapi dengan kekayaan alam Samudradvipa,
mereka kemudian dapat mengganti barang-barang dagangan
itu, dan menjualnya ke Fu-nan di bagian selatan Negeri Atap
Langit maupun ke Jambhudvipa.
Apakah ini berarti bajak laut lenyap dan hanya ada
Srivijaya" Ternyata tidak. Meski kedatuan merupakan bentuk
resmi Srivijaya sebagai negara, tidak semua negeri yang
berhasil ditundukkan dengan suka rela mendukungnya.
Tepatnya, tidak semua wilayah dari negeri yang ditundukkan
sudi menyerah. Bahkan ketika tiada lagi wilayah yang tidak
dikuasai Sriv ijaya, bertolaklah mereka dengan kapal-kapal ke
lautan lepas, hidup sebagai pengembara di atas samudera,
tidak terikat dan tidak mengikatkan diri ke dalam negara
apapun, kecuali kepada kedaulatan di atas kapalnya sendiri.
"Selamat datang, wahai Naga Laut!"
Kudengar seorang tua berjenggot putih dan mengikat
rambutnya ke atas bagai pedanda Siva berteriak dengan
wajah riang. Jadi nakhoda kapal kami itulah Naga Laut! Betapa buta
mataku ternyata meski selama ini telah me lihatnya. Dialah
tokoh sempalan dari Muara Jambi yang tidak sudi menyerah,
sebaliknya karena Jambi-Malayu menyerah kepada Srivijaya,
maka lelaki berdestar yang kelak akan disebut sebagai Naga
Laut melepaskan ikatan dirinya dengan Jambi-Malayu sebagai
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
negara, meski tidak bisa menolak asal-usulnya sebagai anak
negeri Muara Jambi. "SAMUDERA terbentang milik setiap pelaut," ujarnya,
mengenai gagasan tentang betapa lautan lepas merupakan
wilayah yang bebas. Nama Naga Laut lantas berkibar di lautan, justru sebagai
momok bagi kapal-kapal Sriv ijaya. Ia menyerang, menjarah,
menenggelamkan, dan membakar kapal-kapal Sriv ijaya.
Sengketa ini tidak selalu dipaham i orang-orang luar, dan kapal
Naga Laut yang tidak bisa dibedakan dari kapal-kapal Sriv ijaya
sering disamakan begitu saja. Hanya kadang-kadang Naga
Laut menaikkan umbul-umbulnya, yang berwarna kuning dan
bergambar Naga, karena ia ingin menunjukkan betapa
Srivijaya yang jaya bahkan takbisa mengatasi masalah yang
ditimbulkan olehnya. Salah satu ciri Naga Laut yang
membedakannya dengan sembarang bajak laut adalah tidak
pernah melakukan pemerkosaan kepada korban; memang
menjarah tapi hanya membunuh mereka yang berbahaya,
yaitu yang mengangkat senjata untuk membunuh; dan tujuan
sebenarnya jelas ditunjukkan, yakni merongrong kewibawaan
Srivijaya. Kemudian diketahui, bahwa Naga Laut menjarah kapal-
kapal Sriv ijaya tidak untuk kepentingan dirinya sendiri. Seusai
Jurus Tanpa Bentuk Naga Bumi I Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjarah, kapalnya akan berlayar di antara pulau-pulau
terpencil, di balik teluk dan tanjung tersembunyi, atau
memasuki muara dan menyusuri sungai-sungai besar
memasuki pedalaman; selain untuk bersembunyi, menambah
perbekalan, dan memperbarui peralatan, ternyata juga untuk
membagi-bagi harta jarahan tersebut. Tidak heran jika
namanya diteriakkan dengan nada riang.
Juga harus disebutkan, untuk menghidupi dirinya sendiri
Naga Laut tidak pernah menikmati atau memanfaatkan harta
rampasan manapun dari kapal-kapal yang dibajak dan
dijarahnya. Untuk menghidupi diri mereka sendiri, Naga Laut
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
dan awak kapalnya berdagang rempah-rempah, seperti yang
dilakukan oleh setiap pelaut yang kapalnya merupakan kapal
lintas samudera pada masa itu.
Baru kuperhatikan sekarang bahwa pada umbul-umbul itu
memang terdapat garis merah terputus-putus yang membentuk gambar seekor naga. Seolah-olah ia ingin
menunjukkan kepada armada kedatuan Srivijaya, di lautan
lepas, siapakah sebenarnya yang berhak atas pengakuan dan
wibawa naga. Betapapun, nama Naga Laut adalah nama yang
semula memang diberikan sebagai pengakuan, tetapi yang
kemudian memang digunakannya dengan kesadaran.
Tidak ada yang tahu siapa nama Naga Laut itu sebenarnya.
Bahkan banyak yang curiga bahwa nama Naga Laut memang
hanyalah nama, yang setiap saat bisa dipakai setiap orang
yang menjadi nakhoda kapal tersebut. Tentu aku juga
mempertimbangkan kemungkinan ini, mengingat bahwa
serangan ke Jambi-Malayu itu berlangsung 682 dan 684,
artinya sudah lebih dari seratus tahun yang lalu. Nama Naga
Laut adalah nama yang harus selalu ada untuk mengganggu
keberadaan nama Srivijaya.
Aku teringat diriku yang tidak bernama. Begitu banyak
persoalan demi sebuah nama, yang bahkan aku sendiri
sebetulnya merasa takpunya! Mengapakah segala sesuatu di
dunia ini harus diberi nama"
Begitulah anak-anak kecil, perempuan-perempuan muda
yang berlarian sambil menggendong anak kecil, dan juga
sejumlah lelaki remaja, maupun orang-orang tua menyambut
kami dengan riang pada pagi yang cerah itu.
"Naga Laut! Naga Laut!"
Bagaimana mereka tidak akan mengelu-elukannya, jika
bahkan dari sebuah karung di bawahnya Naga Laut sendiri
melempar-lemparkan inmas" Waktu kapal akhirnya merapat,
Naga Laut turun disambut pelukan seorang perempuan yang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
bagiku sungguh begitu cantik dan menawan. Ia masih berusia
25 tahun, dadanya terbuka, rambutnya panjang sampai ke
bahu, kain melingkar dari pinggang ke bawah, telapak kakinya
putih dan halus seperti tidak pernah menyentuh tanah, meski
bagiku bagaikan tanah dan pasir sungkan mengotori kakinya
sehingga kakinya itu tampaknya bersih saja dengan kuku-kuku
bening kemerahan lembut menyapu pasir yang tergesa
minggir. Dari jauh ia sudah merentangkan tangannya dengan
wajah ceria. "Naga!" teriaknya, yang terasa kaku bagiku.
Ia berlari menubruk Naga Laut yang memutar-
mutarkannya. "Hahahaha! Putri Champa! Apa kabar Si Langsa?"
Kemudian terlihat anak kecil yang juga berambut kuncung,
mungkin berusia tiga tahun, berlari mendekat tetapi ke arah
ibunya. "Itu salah satu rampasan dari kapal-kapal Mataram yang
pulang sehabis menyerang Champa. Kami bermaksud
membebaskan dan mengantar pulang ke Champa, tetapi jadi
lengket dengan nakhoda, dan setelah besar menjadi istrinya."
"SAMUDERA terbentang milik setiap pelaut," ujarnya,
mengenai gagasan tentang betapa lautan lepas merupakan
wilayah yang bebas. Nama Naga Laut lantas berkibar di lautan, justru sebagai
momok bagi kapal-kapal Sriv ijaya. Ia menyerang, menjarah,
menenggelamkan, dan membakar kapal-kapal Sriv ijaya.
Sengketa ini tidak selalu dipaham i orang-orang luar, dan kapal
Naga Laut yang tidak bisa dibedakan dari kapal-kapal Sriv ijaya
sering disamakan begitu saja. Hanya kadang-kadang Naga
Laut menaikkan umbul-umbulnya, yang berwarna kuning dan
bergambar Naga, karena ia ingin menunjukkan betapa
Srivijaya yang jaya bahkan takbisa mengatasi masalah yang
ditimbulkan olehnya. Salah satu ciri Naga Laut yang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
membedakannya dengan sembarang bajak laut adalah tidak
pernah melakukan pemerkosaan kepada korban; memang
menjarah tapi hanya membunuh mereka yang berbahaya,
yaitu yang mengangkat senjata untuk membunuh; dan tujuan
sebenarnya jelas ditunjukkan, yakni merongrong kewibawaan
Srivijaya. Kemudian diketahui, bahwa Naga Laut menjarah kapal-
kapal Sriv ijaya tidak untuk kepentingan dirinya sendiri. Seusai
menjarah, kapalnya akan berlayar di antara pulau-pulau
terpencil, di balik teluk dan tanjung tersembunyi, atau
memasuki muara dan menyusuri sungai-sungai besar
memasuki pedalaman; selain untuk bersembunyi, menambah
perbekalan, dan memperbarui peralatan, ternyata juga untuk
membagi-bagi harta jarahan tersebut. Tidak heran jika
namanya diteriakkan dengan nada riang.
Juga harus disebutkan, untuk menghidupi dirinya sendiri
Naga Laut tidak pernah menikmati atau memanfaatkan harta
rampasan manapun dari kapal-kapal yang dibajak dan
dijarahnya. Untuk menghidupi diri mereka sendiri, Naga Laut
dan awak kapalnya berdagang rempah-rempah, seperti yang
dilakukan oleh setiap pelaut yang kapalnya merupakan kapal
lintas samudera pada masa itu.
Baru kuperhatikan sekarang bahwa pada umbul-umbul itu
memang terdapat garis merah terputus-putus yang membentuk gambar seekor naga. Seolah-olah ia ingin
menunjukkan kepada armada kedatuan Srivijaya, di lautan
lepas, siapakah sebenarnya yang berhak atas pengakuan dan
wibawa naga. Betapapun, nama Naga Laut adalah nama yang
semula memang diberikan sebagai pengakuan, tetapi yang
kemudian memang digunakannya dengan kesadaran.
Tidak ada yang tahu siapa nama Naga Laut itu sebenarnya.
Bahkan banyak yang curiga bahwa nama Naga Laut memang
hanyalah nama, yang setiap saat bisa dipakai setiap orang
yang menjadi nakhoda kapal tersebut. Tentu aku juga
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
mempertimbangkan kemungkinan ini, mengingat bahwa
serangan ke Jambi-Malayu itu berlangsung 682 dan 684,
artinya sudah lebih dari seratus tahun yang lalu. Nama Naga
Laut adalah nama yang harus selalu ada untuk mengganggu
keberadaan nama Srivijaya.
Aku teringat diriku yang tidak bernama. Begitu banyak
persoalan demi sebuah nama, yang bahkan aku sendiri
sebetulnya merasa takpunya! Mengapakah segala sesuatu di
dunia ini harus diberi nama"
Begitulah anak-anak kecil, perempuan-perempuan muda
yang berlarian sambil menggendong anak kecil, dan juga
sejumlah lelaki remaja, maupun orang-orang tua menyambut
kami dengan riang pada pagi yang cerah itu.
"Naga Laut! Naga Laut!"
Bagaimana mereka tidak akan mengelu-elukannya, jika
bahkan dari sebuah karung di bawahnya Naga Laut sendiri
melempar-lemparkan inmas" Waktu kapal akhirnya merapat,
Naga Laut turun disambut pelukan seorang perempuan yang
bagiku sungguh begitu cantik dan menawan. Ia masih berusia
25 tahun, dadanya terbuka, rambutnya panjang sampai ke
bahu, kain melingkar dari pinggang ke bawah, telapak kakinya
putih dan halus seperti tidak pernah menyentuh tanah, meski
bagiku bagaikan tanah dan pasir sungkan mengotori kakinya
sehingga kakinya itu tampaknya bersih saja dengan kuku-kuku
bening kemerahan lembut menyapu pasir yang tergesa
minggir. Dari jauh ia sudah merentangkan tangannya dengan
wajah ceria. "Naga!" teriaknya, yang terasa kaku bagiku.
Ia berlari menubruk Naga Laut yang memutar-
mutarkannya. "Hahahaha! Putri Champa! Apa kabar Si Langsa?"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Kemudian terlihat anak kecil yang juga berambut kuncung,
mungkin berusia tiga tahun, berlari mendekat tetapi ke arah
ibunya. "Itu salah satu rampasan dari kapal-kapal Mataram yang
pulang sehabis menyerang Champa. Kami bermaksud
membebaskan dan mengantar pulang ke Champa, tetapi jadi
lengket dengan nakhoda, dan setelah besar menjadi istrinya."
TENTU aku tidak bertanya berapa istri Naga Laut di
seantero Suvarnadvipa. Namun yang menyambut kami di
pelabuhan itu bukan hanya perempuan Champa isteri Naga
Laut, melainkan banyak pula perempuan muda sambil
menggendong anaknya. Apakah mereka isteri dan anak para
awak kapal" Bagaimanakah caranya berkeluarga seperti itu,
pikirku, bagaimana caranya jika belum tentu satu tahun sekali
mereka datang menginjak Kota Kapur lagi"
Masih memeluk isterinya sampai lengket, sembari
mengangkat anaknya yang bernama Langsa, Naga Laut
bercakap-cakap dengan orang tua yang tampak seperti
pedanda Siva itu, tetapi yang ternyata pendeta Buddha, yang
di Kota Kapur itu dikenal sebagai pembawa ajaran Nagarjuna.
Aku tertegun. Aku pernah mempelajari Nagasena. Siapakah
Nagarjuna" "Ah, kamu terlambat! Begitulah kalian orang Mataram,
karena mendekam di pedalaman, selalu ketinggalan dengan
perkembangan. Kami telah berlayar dari Ma lagasi sampai Fu-
nan, betapa kami temukan bagaimana pengetahuan menjadi
bunga-bunga kebudayaan."
Kitab terkenal karya Nagarjuna adalah Mulamadhyamakakarika yang juga disebut sebagai Filsafat
Jalan Tengah. Konon, ajarannya sangat membingungkan.
Seperti m isalnya ia berkata:
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Jika kebebasan bukanlah keberadaan
Apakah berarti kebebasan menjadi bukan-keberadaan"
Bila di sana tak ada keberadaan
Di sana pula bukan-keberadaan bukan kejelasan
Baiklah, kata-kata semacam itu dianggap membingungkan,
setidaknya menurut awak kapal yang mengajakku turun dari
kapal dan berjalan-jalan. Namun jika memang ajarannya
membingungkan, mengapa dia begitu terkenal, dan ajarannya
tersebar ke berbagai pelosok bumi, bahkan sampai ke Kota
Kapur ini" Awak kapal yang mengajakku bernama Daski, satu-
satunya awak kapal yang tidak mempunyai kekasih di pulau
ini, ia mengajakku masuk ke sebuah kedai.
"Nanti saja kuajari dikau mengenai filsafat Nagarjuna,"
katanya, "sekarang jalan-jalan dahulu."
Ia berkata dengan tekanan tertentu, yang artinya adalah
mengajakku menjalankan peran mata-mata. Aku ingat pesan
Naga Laut. Pasang mata, pasang telinga, dan jangan banyak
bicara. Nakhoda itu ingin membongkar, siapa kiranya telah
melakukan pembantaian keji di tengah laut seperti yang telah
kami jumpai. Di dalam kedai, tidak seorang pun menatap kami, karena
perhatian sedang tertuju kepada seseorang yang bercerita
dengan berbisik-bisik. "Mereka berangkat diam-diam tanpa diketahui orang,
sebenarnya dengan tujuan ke Javadvipa, mencari penghidupan baru di Mataram. Sebelumnya mereka telah
mengutus beberapa pesilat, untuk mencari tahu keadaan
sehari-hari dan penerimaan orang banyak terhadap orang-
orang Srivijaya." Aku teringat para pesilat yang terlibat pertikaian itu.
Ternyata memang menjadi semacam mata-mata, tetapi bukan
mata-mata bagi Sriv ijaya, melainkan orang-orang yang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
rencananya tidak ingin diketahui oleh pihak Sriv ijaya itu.
Siapakah mereka" Orang yang bercerita di kedai itu berkata, ketika negeri
Jambi-Malayu kalah dan dijarah rayah oleh orang-orang
Srivijaya, mereka tidak membantai para bangsawan mereka
yang sangat dihormati rakyat, melainkan membawanya masuk
ke pertalian darah antarbangsawan me lalui berbagai
perkawinan. Namun para bangsawan itu tahu belaka bentuk
penguasaan semacam ini. Sehingga mereka, untuk sebagian,
dalam seratus tahun masih dapat dijamin kemurnian
darahnya. Mereka yang darahnya murni
ini, saling menyadarkan bahwa mereka bukan bagian yang sah dan tidak
semestinyalah mendukung kedatuan. Mereka tentu tidak
memperlihatkannya, tetapi menyimpannya sebagai tujuan
hidup yang terpendam, yakni bahwa suatu saat mereka akan
menyeberang ke Javadvipa, mendapatkan suatu dukungan,
dan bermimpi mendirikan kembali Jambi-Malayu di Muara
Jambi. Setelah seratus tahun, sungguh ini hanya impian, tetapi
Jurus Tanpa Bentuk Naga Bumi I Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahkan suatu impian sangatlah penting untuk menunjukkan
tujuan dalam kehidupan. Di antara mereka Asoka, seorang
perempuan remaja, menjadi keturunan langsung yang paling
berhak atas tahta yang diimpikan. Para perintis yang dikirim
ke Javadvipa, sebenarnya takhanya bertugas melihat
kemungkinan untuk memperbaharui kehidupan, tetapi juga
mencari hubungan yang barangkali saja memungkinkan usaha
pemberontakan. Namun tiada istana tanpa jaringan rahasia. Demikian pula
halnya dengan kedatuan Sriv ijaya, yang dalam masa surutnya
kini, menjadi lebih waspada dan curiga dalam segala keadaan.
"Kemudian diketahui betapa mereka telah bersiap pergi
dengan harta karun yang dapat membeayai sebuah
pemberontakan. Mereka telah mendengar adanya berbagai
bentuk jaringan rahasia di Mataram, yang dapat bekerja bagi
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
kepentingan siapapun yang membayarnya. Menyewa pembunuh bayaran adalah cara terbaik dan menghemat
banyak beaya daripada mengobarkan perang. Namun dalam
usaha mencari hubungan, mereka telah dikecoh oleh jaringan
rahasia yang melindungi kepentingan kedatuan Sriv ijaya
sendiri." "Ah!" Para pendengarnya begitu terbawa perasaan.
"Bukankah dapat ditebak apa yang terjadi selanjutnya" Apa
yang semula dugaan menjadi kenyataan ketika kapal mereka
berangkat dan orang-orangnya menghilang. Dalam seratus
tahun, pada dasarnya mereka terus menerus diawasi dan
mereka mengetahuinya dan bersikap begitu rupa seolah hanya
meneruskan kehidupan tanpa rencana apapun jua."
"Diawasi terus menerus selama seratus tahun?"
"Terus-menerus dan turun-temurun, bapaknya diawasi
bapaknya, anaknya diawasi anaknya, cucunya diawasi
cucunya." "Gila!" "Oh, lebih gila lagi memasang sikap ketika diawasi. Usaha
mereka menjaga kemurnian darah sulit ditutupi. Namun sikap
yang ditunjukkan selama diawasi sangat mungkin mengecoh.
Itulah yang telah berlangsung selama, juga untuk menutupi
segala sesuatu yang mereka rahasiakan, yang ternyata tetap
saja terendus ketika kapalnya berangkat."
"Mungkin sebaiknya mereka takpergi bersama-sama, tetapi
sedikit demi sedikit menumpang kapal dagang. Bukankah
banyak orang pergi dengan cara ini ke Javadvipa dan tidak
dicurigai?" "Yah, tetapi jangan lupa, mereka adalah orang yang
diawasi, dan setiap gerak-gerik mencurigakan dari satu orang,
cukup untuk memberangus semuanya."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Kuperhatikan ke sekeliling. Mereka semua adalah juga para
pelaut, yang masing-masing mendekap seorang pelacur.
Rombongan yang terbantai itu memang tidak berangkat dari
Kota Kapur, melainkan dari pusat kedatuan sekarang di
seberangnya, di daratan Samudradvipa. Bahwa cerita yang
agak lengkap sudah sampai di sini hari ini juga, hanya
semalam setelah kami temukan kapal dan para penumpangnya yang naas itu, betapapun menghubungkannya
dengan sesuatu dari para pembantai tersebut.
Aku masih terus menatap yang hadir di situ satu persatu,
sampai terhenyak karena sangat terkejut. Seseorang sedang
menatap tajam kepadaku! (Oo-dwkz-oO) Episode 84: [Mantra Nagarjuna]
MATA yang tajam menatapku itu. Ah, dia berusaha
menyihirku! Aku kenal jenis tatapan seperti ini. Jika aku
lengah dan terpaku di bawah pengaruhnya, aku akan
menuruti apapun yang diperintahkan kepadaku, yang bahkan
takperlu diungkapkan melalui kata-kata. Jika aku termakan
dan tertelan oleh tatapan seperti itu, aku mungkin saja akan
tetap tinggal di tempat setelah kedai itu tutup dan semua
orang pergi. Meski kedai ini berada di pelabuhan, dan karena
itu bukannya tak mungkin buka sepanjang malam karena
kapal yang setiap saat berkemungkinan datang, aku tak ingin
siapapun kiranya akan berkerumun di hadapanku, menggerak-
gerakkan tangan di depan mataku. Jika aku berada di bawah
pengaruh tatapan sihir seperti itu, aku bisa tetap duduk
mematung dengan tatapan mata kosong, dalam waktu yang
lamanya ditentukan oleh kekuatan sihir itu.
Mata yang menatapku memang dari jenis mata yang besar,
tajam, dan dalam. Ditambah dengan daya sihir, mata itu
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
menjadi tatapan yang menggiriskan, membuat pemilik mata
yang ditatapnya berdebar gentar, dan itulah suatu
kelengahan, yang meskipun berlaku hanya dalam beberapa
kejap, dapat membuat siapapun melakukan apapun
kepadanya. Dalam dunia persilatan, inilah saat yang tepat
misalnya untuk melakukan serangan. Sehingga s iapapun yang
mempelajari ilmu silat dengan sendirinya, meskipun serba
sedikit, mempelajari ilmu daya pengaruh semacam ini. Namun
pemilik mata itu, justru karena kemampuan ilmu sihirnya
tinggi, tampaknya tidak melakukannya untuk melakukan
serangan. Dengan segala kelebihannya ia bermaksud
menguasai jiwaku! Mata siapakah itu"
Di pelabuhan ini berlalu lalang manusia dari berbagai suku
dan bangsa, yang meskipun tidak terlalu banyak, belum
pernah kujumpai. Kulihat orang-orang Kling yang kulitnya
gelap dan berasa l dari Lanka, sebuah pulau di selatan
Jambhudvipa, orang-orang Negeri Atap Langit yang kulitnya
putih dan matanya sipit, orang-orang Champa, orang-orang
dari semenanjung Malayu yang agak lebih terang kulitnya dari
kulitku, juga orang-orang dari Javadvipa yang merantau ke
mari, dan tentu saja orang-orang Srivijaya yang serumpun
dengan orang-orang Malayu itu.
AKU tidak dapat menentukan siapa dia dari pengetahuan
dan pengalamanku yang serbasedikit ini. Namun betapapun
diri dan tubuhku kini menjadi gudang perbendaharaan ilmu
sihir yang diwariskan Raja Pembantai dari Selatan. Begitu
hebatnya ilmu-ilmu sihir yang kuwarisi itu, sehingga dapat
menanggapi dengan sendirinya tanpa kukehendaki, selama
ilmu yang menyerang itu termasuk dalam perbendaharaan
tersebut. Itu juga berarti bahwa tanpa kusadari selama ini,
sebetulnya aku juga dapat melakukan hal yang sama terhadap
siapa pun! Orang yang bercerita itu belum berhenti, orang-orang
masih terpesona oleh caranya bercerita, begitu juga Daski
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
yang memperhatikan dengan cermat, tentu karena pesan
Naga Laut untuk memasang mata dan telinga. Sebegitu jauh,
aku merasa keterangan yang kuperlukan sudah cukup. Maka
kulayani dahulu orang yang bermaksud menyihirku itu.
Kubuka jalan agar ilmu-ilmu s ihir yang terpendam dalam diriku
mengalir untuk menanggapi sihir yang menyerangku. Diam-
diam kupuji ketekunan Raja Pembantai dari Selatan
mengumpulkan ribuan jenis sihir yang dapat langsung bekerja
tanpa harus dipenuhi syaratnya lagi. Sihir dalam diriku dapat
dihidupkan tanpa harus membakar kemenyan, dupa, maupun
dibacakan mantra lagi. Sebaliknya, dapat kubaca apakah yang telah dibaca orang
itu untuk menyihirku. Meskipun sihir yang sama terdapat
dalam diriku, tetapi karena aku tidak mempelajarinya dari
langkah ke langkah maupun dari kata-kata, melainkan
terpindahkan langsung jadi, aku tentu saja tidak mengenal
kata-kata itu. Untunglah aku sedikit mengerti bahasa
Sansekerta, sehingga dapat kubaca ayat sihir yang sedang
mengalir ini. sarvesam bhavana, sarvatra na vidyate svabhavascet
tvadvacanamasvabhavam na nivartayitum svabhamalam
Aku terkejut, karena ayat ini bukanlah ayat sihir, meski bagi
yang tidak memahami bahasa Sansekerta akan mengiranya
sebagai mantra antahberantah. Adapun artinya kira-kira
adalah: jika hakikat sesuatu, apap un itu, tak ada di mana pun
pernyataanmu mestinya adalah ketiadaan hakikat sesuatu
bukannya kedudukan untuk menolak hakikat sesuatu
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Ini tidak seperti mantra, karena mantra dalam bahasa apa
pun berisi tujuan diucapkannya mantra itu, seperti
menidurkan, membuat sakit, atau membunuhnya sekalian. Ini
tidak. Jelas ini merupakan suatu penalaran tajam, yang bagiku
sangat amat menggoda, meski kini aku tiada sempat
memikirkannya, karena sihir adalah sihir, bahkan bukan tidak
mungkin pilihan atas mantra semacam itu memang disengaja
untuk memukau diriku. Siapakah orang ini, dengan mantra yang berbunyi seperti
itu" Ketajaman matanya sungguh menerkam, bahkan kurasa
ia menambah ketajamannya dengan riasan di sekitar matanya
itu. Agaknya ketajaman tatapan yang menerkam menjadi
andalan ilmu sihirnya, yang ternyata terdapat pula dalam
diriku sehingga mantranya dapat kubaca. Seberapa jauh ia
menguasai ilmu sihir, setidaknya yang berhubungan dengan
mantra itu" Sementara mantra yang sama dalam diriku
dengan seksama sedang mementahkannya dari kata ke kata,
kuperiksa tingkat-tingkat pendalaman mantra itu, yang
ternyata tertulis bersumber dari Kitab Vigrahavyavartani, dan
kumanfaatkan lanjutan bacaan mantranya itu untuk
menyerang dan menguji kemampuannya.
yadi sarvesam bhavanam hetau pratyayesu ca hetupratyayasamagryam ca prthak ca sarvatra svabhavo na
vidyata iti krtva sunyah sarvabhava iti
na hi bije hetubhute nkuro sti, na prthivyaptejovavyadinamekaikasmin pratyasamjnite
na pratyayesu samagresu, na hetupratyayasamagryam, na
hetupratyayavinirmuktah prthageva ca
yasmadatra sarvatra svabhavo nasti tasmannihsvabhavo
nkurah yasmannihsvabhavastasmacchunyah
yatha cayamankuro nihshabhavo nihsvabhavatvacca sunyastatha sarvabhava api nihsvabhavatvacchunya iti
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
DAPATKAH dibayangkan betapa pertarungan sihir ini
berlangsung di sebuah kedai yang ramai, ketika hari terang
cuaca pada siang yang panas" Sembari merapal mantra ini
dalam hati, aku tentu juga mempelajari artinya.
apakah dalam masalah, dalam keadaan,
dalam paduan antara masalah dan keadaan,
atau dalam sesuatu yang lain,
di mana pun takhadir hakikat sesuatu, apapun itu.
berdasarkan ini dikatakan, segala sesuatu adalah hampa.
misalnya kecambah takjuga terdapat dalam benih (atau)
masalahnya tak juga dalam sesuatu yang dikenal sebagai keadaan,
yakni tanah, air, api, angin, dan lainnya,
tidak satu persatu, maupun dalam keseluruhan
tak juga dalam paduan masalah dan keadaan
tak juga apapun yang berbeda dari masalah dan keadaan.
karena tiada hakikat sesuatu.
karena di mana pun tiada hakikat sesuatu,
kecambah adalah ketiadaan hakikat sesuatu
suatu kehampaan. dan seperti kecambah ini adalah ketiadaan
dari suatu ketiadaan hakikat sesuatu
dan karenanya hampa begitu pula segala sesuatu hampa
karena mengada sebagai ketiadaan dari hakikat sesuatu
Aku belum selesa i mengolah penalaranku terhadap
pengertian itu, ketika mendadak saja lelaki yang berusaha
menyihirku itulah justru yang mendadak terlempar dari
bangkunya, dan tubuhnya terkejang-kejang. Perhatian segera
beralih dari orang yang bercerita tadi, kepada penyihir yang
kini memegang sendiri lehernya, seperti berusaha melepaskan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
diri dari suatu cekikan yang sangat kuat mencengkeram
lehernya, sementara dari mulutnya keluar busa hijau muda
seperti memuntahkan cairan alpukat.
"Dia keracunan," kata seseorang.
"Tidak, dia kesurupan," kata yang lain.
"Keduanya tidak," ujar seorang pelaut berambut perak
yang memeriksa busa hijau muda itu dengan ujung belati
melengkung, "lihat, busa ini mengeluarkan asap dengan
desisan pada logam belati pusaka ini, dia termakan oleh
sihirnya sendiri..."
Orang-orang di dalam kedai itu saling memandang. Aku
teringat batu prasasti yang maksudnya mengutuk itu. Namun
kata-kata dalam prasasti itu memang ditujukan untuk
mengutuk, meski bunyi kutukannya sendiri tidak bisa dibaca.
Adapun kalimat-kalimat yang dapat kubaca, dan mestinya
Jurus Tanpa Bentuk Naga Bumi I Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahkan dapat kutanggapi penalarannya ini, bagaikan tidak ada
hubungannya dengan s ihir sama sekali, kecuali jika ditafsirkan
begitu rupa dan dihubung-hubungkan sekenanya. Aku yang
telah menafsirkan ajaran keigamaan untuk pengembangan
ilmu silat, tidak terlalu asing dengan kebebasan penafsiran,
meski setiap penafsiran itu tetap harus dapat dipertanggung
jawabkan pendekatannya. Dalam hal ilmu sihir yang mengacu
kepada olah penalaran ini, belum kutemukan pendekatan yang
dapat menjadikan kalimat-kalimat itu sebagai mantra yang
mampu menyihir. Kemudian akan kuketahui kelak bahwa Kitab Vigrahavyavartani itu juga ditulis oleh Pendeta Nagarjuna.
Namun tentu nama yang baru kudengar itu tak terlintas dalam
keadaan hiruk-pikuk begini.
Lelaki yang tercekik-cekik dan berbusa-busa hijau muda itu
ketika diangkat tubuhnya dari lantai kayu ke atas meja
pendek, karena kedai rumah panggung ini memang tidak
berbangku panjang, dalam keadaan begitu ternyata matanya
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
masih mencari-cari aku. Saat bertatap mata, kulihat mata itu
berkata-kata dan kata-katanya seperti menyangatkan sesuatu,
yang tentu saja aku tidak tahu sama sekali tentang. Namun
kukira, terutama karena ia tidak mengira, bukan hanya karena
aku selamat dan terhindar dari tekanan s ihirnya, tetapi karena
aku dapat membalasnya dengan ilmu yang sama. Lebih tidak
menyangka lagi ia tentunya, ketika mantra sihir yang
menerkamnya bahkan dari peringkat yang lebih lanjut.
Setidaknya terlihat dari akibat yang menimpanya.
JUGA kelak akan kuketahui, bahwa untuk merapal mantra,
seseorang bahkan tidak perlu mengetahui maknanya. Jadi
orang ini pun, tidak seperti diriku, hanya mengenal rapal itu
sebagai bunyi suatu mantra. Sedangkan bunyi itu sungguh
hanya akan terdengar sebagai bunyi justru ketika yang
mengucapkan taktahu artinya; maka bahasa Sansekerta pun
menjadi suatu mantra. Adapun bunyi itu sungguh hanya akan
terdengar sebagai bunyi justru ketika yang mengucapkan tak
tahu artinya; maka bahasa Sansekerta pun menjadi suatu
mantra yang tidak menyampaikan pengertian me lainkan bunyi
berulang, bunyi bergumam, bunyi merapal, bunyi bermantra,
bunyi takberarti tetapi mengada dalam penyuaraan berkeyakinan. "Adalah keyakinan yang membuat segala kegaiban bisa
berjalan," kata pasangan pendekar yang mengasuhku itu,
"maka keyakinan itulah yang harus dihancurkan untuk
memudarkan kegaibannya."
Rupanya serangan dari sumber mantra yang sama, tetapi
dari peringkat yang lebih lanjut itulah yang membuatnya
gentar, dan kejutan itu baginya telah mengguncangkan dunia
dan lebih dari cukup untuk membuatnya menggelepar,
tercekik-cekik dengan mulut berbusa hijau muda. Dalam hal
ilmu s ihir yang muncul dengan sendirinya dari diriku, memang
bekerja tanpa perlu dirapal lagi karena aku hanya
menerimanya sebagai kegaiban yang diwariskan Raja
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Pembantai dari Selatan itu. Jika aku mempelajarinya, tentu
aku tidak mungkin menerimanya sebagai bunyi, atau aksara
tak berarti dalam pembacaanku.
Bahasa Sansekerta, meskipun banyak berpengaruh kepada
bahasa yang digunakan di Javadvipa, tak berarti dikenal
semua orang, apalagi di kalangan rakyat kecil, maka bunyi
yang mana pun dari bahasa itu ternyata mungkin dijadikan
mantra. Sudah lama memang bahasa Sansekerta dimanfaatkan lebih daripada sebagai bahasa, karena ketidak
mampuan banyak orang untuk memahami dan menggunakannya telah membuat mereka memandangnya
sebagai perlambang keistimewaan, maupun segala sesuatu
yang dipandang tinggi dalam kehidupan.
"Awas! Awas! Lihat dia kejang-kejang lagi!"
Memang terlihat orang yang bermaksud menyihirku
semakin kejang. Aku takut dia akan mati, maka aku mendekat
untuk melihat sesuatu yang bisa kulakukan. Namun setelah
aku mendekat kekejangannya makin menjadi, matanya
melotot lebar kepadaku, dan ia berusaha bergerak menjauh
dariku sedapat mungkin dengan tangan tertunjuk kepadaku.
Aku terkesiap. Semua orang melihat ke arahku. Dalam
keadaan masih menunjuk itulah dia mengejang untuk terakhir
kalinya dan tewas. Suasana menjadi tegang dan sepi dan mencekam. Pelaut
berambut perak tadi mendekat dan memeriksa. Entah apa
yang diperiksanya, tetapi ia kemudian melirik kepadaku
selintas. Dadaku berdegup. Tidakkah ini merupakan tuduhan
tak langsung" Aku bersiap. Betapapun aku memang selalu siap untuk
bertarung, juga jika setiap orang di dalam kedai ini bermaksud
menangkapku. Namun setelah menutup kedua mata yang melotot itu ia
berkata tanpa melihatku. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Ini tenung kiriman dari seberang laut," ujarnya tenang,
"tentu dia punya urusan dengan orang-orang seberang laut
itu." Perhatian orang kembali kepada mayat itu. Daski
mengambil kesempatan untuk menggelandangku keluar.
"Aku melihat semuanya," ujarnya, "di mana dikau belajar
ilmu s ihir seampuh itu?"
Tidak terbayangkan olehku betapa sulitnya menyamar
untuk tidak menjadi diriku. Aku tidak mempunyai masalah
sebetulnya, yang membuat aku harus menyembunyikan diri
dan melarikan diri dari sesuatu, tetapi bahkan tanpa masalah
pun sudah begitu sulit rasanya bagiku untuk hidup seperti
orang biasa tanpa diganggu. Betapapun, aku telah memilih
jalan hidupku. "Apa yang dikau lihat, Daski?"
"Bahwa dikaulah yang telah membuatnya tercekik-cekik
begitu. Apa yang telah terjadi?"
"Apa yang membuat dikau begitu yakin dirikulah
pelakunya?" "Anak muda tanpa nama! Tidak usahlah dikau mengelak
lagi! Di luar Javadvipa, sihir adalah ma inan kanak-kanak!
Semenjak orang itu menatapmu sudah kulihat cahaya hijau
memancar dari matanya ke arahmu, tetapi karena dapat
kulihat cahaya putih membentengi dirimu ketika cahaya itu
mendekat, kutahu tak akan ada masalah dengan dirimu."
"BAGAIMANA mungkin dikau bisa melihat semua itu,
Daski"' "Kukira bahkan orang tua itu pun melihatnya, bahwa orang
itu telah menyerang dikau lebih dahulu. Tingkat ilmu sihir
dikau juga sudah sangat tinggi, sehingga siapa pun yang
mampu melihat pertarungan sihir itu tidak mampu menilai dan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
mengukur ilmu dikau. Tak usahlah berpura-pura lagi, dari
mana dikau mempelajarinya?"
Bagaimanakah aku harus menjawabnya" Sesunggguhnyalah aku taktahu perbendaharaan sihir macam
apa sajakah yang terdapat dalam diriku. T entu juga tidak bisa
kubayangkan, bagaimana seseorang dapat melihat cahaya
hijau dari mata seseorang meluncur ke arahku, sementara dari
tubuhku muncul cahaya putih yang melindungiku.
"Aku hanya mendapatkannya tanpa belajar," aku merasa
tak perlu mengelak lagi, "dari seseorang yang sudah hampir
mati." Sembari menjauh, Daski berbisik.
"Ssssst! Teruslah bicara, sejumlah orang mengikuti kita."
Aku terus berbicara tentang apa yang terjadi sehingga
ilmu-ilmu sihir itu bisa merasuk ke dalam diriku. Tentu aku
tidak bercerita tentang pertarungan yang kecepatannya tidak
dapat dilihat mata, juga tentang Pendekar Melati, atau bahwa
yang telah mewariskan ilmu itu adalah Raja Pembantai dari
Selatan. Cukup kukatakan betapa seorang tua yang hampir
mati dan kutemukan di jalan telah mengalirkan ilmu-ilmu sihir
yang dimilikinya untukku.
"Hahahahahaha! Dikau sungguh beruntung! Dikau dapat
menggunakannya untuk mencari nafkah sebagai penjual
tontonan! Anak-anak sangat menyukai tontonan ajaib!"
Aku tidak tahu seberapa sungguh-sungguh Daski bicara,
dalam keadaan kami harus pura-pura asyik berbicara karena
dikuntit orang tersebut, tetapi sejak kecil aku memang sudah
mengagumi penjual tontonan seperti itu. Ketika diajak ayah
dan ibuku mengunjungi kotaraja, aku terheran-heran melihat
para penjual tontonan yang dikerumuni orang banyak di
jalanan. Ada yang membakar tubuhnya dengan api, ada yang
menusuk lidahnya dengan bambu, bahkan ada yang
memenggal kepalanya sendiri tetapi tidak mati. Kuingat orang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
yang sudah tanpa kepala itu masih memegang pedang di
tangan kanan, sementara tangan kiri memegang kepalanya
sendiri. Adapun kepala ini ternyata juga hidup dan bisa
berkata-kata seperti ini, "Ah! Siapakah kiranya yang tubuhnya
tiada berkepala di sana" Ah! T ernyata tubuhku sendiri!" Maka
kemudian tangan kiri itu akan mengembalikan kepala tersebut
ke lehernya sendiri, yang langsung menyambung bagai tak
pernah putus sama sekali. "Nah, kalau begini diriku sekarang
dapatlah kiranya membuang air seni," katanya lagi, dan para
penonton tertawa, dan penjual tontonan
itu akan membungkuk hormat, dan penonton bertepuk tangan.
"Aku ingin bisa seperti itu," kataku dulu kepada ibuku.
"Itu bukan ilmu ma inan, anakku, bagaimana kalau
kepalamu tidak bisa kembali?"
Aku waktu itu terdiam. Sekarang juga terdiam. Daski
memberi isyarat agar kami memasuki perkampungan nelayan
yang sedang sepi, karena penghuninya sedang melaut. Kutahu
Daski ingin menjebak para penguntit itu, yang jumlahnya lima
orang. "Di ujung itu, dikau ke kiri dan aku ke kanan, saat mereka
terbagi dua berarti mereka terkepung di antara kita. Nanti aku
akan bersuit, dan teman-teman kita akan muncul dari setiap
rumah." Aku memandangnya karena tak mengerti. Daski tersenyum.
"Para awak kapal ada di rumah-rumah itu, bersama istri-
istri para nelayan."
Aku ternganga. "Jangan melongo seperti itu anak muda, siapkan pisaumu!"
Aku tidak memerlukan senjata apa pun sebenarnya, tetapi
kuperlihatkan juga kepada Daski, bahwa aku telah meraba
gagang pisau belati melengkung yang diberikan Pangkar
kepadaku waktu itu. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Daski mengangguk dan di ujung lorong kami berpencar.
Kulirik selintas ke belakang, dua orang mengikuti aku, dan tiga
orang mengikuti Daski. Beberapa saat kemudian Daski
berbalik menghadapi para penguntitnya, memasukkan jari
telunjuk dan ibu jari yang dilingkarkan ke dalam mulut, lantas
terdengar suitan kencang sekali.
Aku juga berbalik menghadapi penguntitku.
(Oo-dwkz-oO) Episode 85: [Tuan Putri Asoka]
SUITAN Daski, seperti juga suitan nakhoda yang kudengar
di kapal, agaknya merupakan penanda khusus bagi awak
kapal Naga Laut, karena dari rumah panggung satu ke rumah
panggung lain, muncul para awak kapal yang sudah
memegang senjata masing-masing. Ada yang melalui pintu,
langsung dengan cara menendangnya, ada yang melejit
melalui jendela yang memang sudah terbuka, tidak semuanya
dengan busana yang sudah siap tempur. Kemudian di
belakang mereka, muncul pula perempuan-perempuan yang
masih mengikatkan kainnya ke pinggang dengan rambut
terurai tak beraturan. Kelima orang itu, dua orang yang menghadapiku dan tiga
orang yang menghadapi Daski, tertegun. Mereka segera
mencabut badik, dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. Suasana mencekam, tetapi persoalan belum
terlalu jelas bagi para awak kapal yang mengepung.
"Apa yang terjadi Daski, sampai kami harus menghentikan
keasyik masyukan asmara kami secara mendadak begini?"
"Ya, apakah yang begitu gawat Daski, sehingga percintaaan
harus diganti tawuran di siang hari bolong seperti ini?"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Daski, Daski, kenapa kami selalu mengganggu kami"
Carilah istri dan tidur saja bersama kami."
Mendapat rentetan
Jurus Tanpa Bentuk Naga Bumi I Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pertanyaan seperti itu, Daski menggeleng-gelengkan kepala, menunjuk para penguntit itu
dengan pisau belatinya yang melengkung.
"Tanyakanlah kepada mereka, Darmas! Adakah tujuan yang
lebih baik selain membunuh dengan cara menguntit seperti
itu!" Mereka kembali menatap kelima orang yang telah dengan
diam-diam menguntit kami. Tanpa ditanya mereka menjelaskan dirinya sendiri.
"Kami adalah para abdi Tuan Putri Asoka, ingin bertemu
Yang Mulia Naga Laut yang menjadi sahabat negeri Muara
Jambi, untuk mengetahui kebenaran desas-desus yang
simpang siur sampai ke telinga kami."
Kami saling berpandangan. Orang itu berkata lagi.
"Jika sudah jelas kita tidak bermusuhan, bisakah kita bicara
tanpa senjata di tangan?"
Aku baru sadar sudah begitu banyak orang berkerumun.
Sejumlah orang berhadapan dan berteriak-teriak dengan
senjata di tangan, tentu saja akan menarik perhatian banyak
orang. Jika aku sendirian, aku akan membekuk kelima orang
ini diam-diam sebagai cara mengorek keterangan. Namun
selain aku harus menyesuaikan diri dengan cara berpikir yang
berbeda, ternyata memang tindakan itu tidak perlu. Mereka
telah mengenal siapa Naga Laut,
terutama dalam hubungannya dengan pembantaian keluarga bangsawan di
tengah laut itu. Barangkali mereka bahkan terhubungkan lebih
dekat daripada sekadar dugaan kami.
Kutengok sekeliling. Bagaimana mungkin pembicaraan
dirahasiakan di tengah orang banyak seperti ini. Namun Daski
rupanya cepat tanggap dan memberi isyarat. Hampir
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
bersamaan kami memasukkan kembali senjata ke sarungnya.
Kusapu sekali lagi orang-orang yang berkerumun itu, dan
memang aku menemukan sesuatu! Seseorang yang meskipun
busananya tak jauh berbeda, tetapi tampak sekali bukan
bagian dari orang banyak ini, yang kubaca dari ungkapan
wajahnya, jelas berada di sini untuk memata-matai, bahkan
sangat mungkin telah mengikuti kami, atau orang-orang yang
membuntuti kami, tanpa kami ketahui. Hmm. Urusan di
tengah laut itu masih terus berlanjut di sini.
"Mari kita bicara di dalam," ujar Daski, yang telah kuberi
isyarat dengan pandangan, bahwa orang itu akan kuikuti,
"biarlah nanti Naga Laut mendengar sendiri apa pun yang
akan kalian pertanyakan."
Ketika semua orang memasuki rumah panggung yang
terpanjang di sana, dan orang-orang kembali ke pekerjaannya
masing-masing, aku telah menyelinap dan berkelebat begitu
rupa sehingga tidak diketahui orang itu. Ia masih berdiri
beberapa saat di luar, ketika orang-orang Muara Jambi dan
para awak kapal tak tampak lagi, karena memang sudah
masuk semua. Kemudian ia berjalan cepat, meninggalkan perkampungan
nelayan dan kembali ke bandar. Dalam keriuhan bandar, aku
masih dapat mengikutinya dari belakang dengan mudah. Ia
berhenti satu kali di depan penjual juadah yang dibakar,
membeli satu, lantas berjalan lagi sambil memakannya. Aku
masih mengikutinya ketika keluar dari bandar, dan ia
melangkah sepanjang jalan setapak. Jalan ini sepi, sehingga
ini agak menyulitkan, karena dengan sekali toleh saja tentu
aku akan terlihat olehnya.
MAKA aku melenting ke atas pohon yang tinggi, dan
berkelebat dari pohon ke pohon tanpa suara, itu pun dari jarak
yang cukup jauh, untuk terus mengikutinya. Jika ia waspada,
sebetulnya ia dapat menandai suara burung-burung yang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
beterbangan, maupun siamang yang berteriak-teriak menyingkir karena terkejut ketika aku berkelebat melewatinya.
Ternyata ia berjalan cepat tanpa menoleh-noleh lagi. Dari
jalan setapak yang merupakan jalan umum, ia berbelok ke
jalan setapak untuk pencari kayu. Ia berjalan cepat, seperti
tidak ada waktu lagi untuk menunda berita yang ingin
disampaikannya. Dari jalan setapak untuk pencari kayu, ia
berbelok lagi ke suatu jalan yang agaknya merupakan jalan
rahasia, karena memang tidak tampak seperti jalan sama
sekali. Ia menerabas semak-semak, termasuk yang beronak
duri, seperti berjalan asal menabrak; tetapi dapat kulihat
tanda-tanda yang menunjukkan jalan kepadanya, yakni
ranting atau batang pohon kecil yang dipatahkan, yang
ditekuk untuk menunjukkan arah jalan. Bagi yang waspada,
hal itu bukan rahasia sama sekali, karena cara patahnya jelas
menunjukkan telah dilakukan oleh manusia.
Lelaki yang berdestar itu tidak mengenakan baju dan hanya
berkancut. Ada juga kain yang biasa dipakai untuk menahan
dingin, tetapi ia hanya mengikatnya di atas pinggang, karena
udara memang sangat panas. Maka aku heran dengan
ketahanan kulit tubuhnya yang menembus semak-semak
berduri bagaikan tiada terasa sama sekali. Ia terus menerabas
dan menerabas tanpa sekalipun menoleh. Aku masih
mengikutinya dari atas pohon, berkelebat dari batang ke
batang tanpa terlihat, dengan rasa ingin tahu yang semakin
lama semakin bertambah menggoda. Ke manakah kiranya
tujuan orang ini" Bagiku keadaannya kadang menyulitkan,
karena pohon-pohon tinggi besar ini hanya terdapat di dalam
hutan. Begitu keluar dari hutan dan naik ke atas bukit, hanya
terdapat padang terbuka. Apa akal" Untunglah alang-alangnya
cukup tinggi, setidaknya setinggi pinggang, sehingga aku
dapat menghindarkan diri dari pandangannya apabila ia
menoleh ke belakang. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Begitulah aku memanfaatkan ilmu pendengaran Mendengar
Semut Berbisik di Dalam Lubang supaya bisa mengikuti
langkah kakinya tanpa harus melihat sendiri ke mana arah
langkahnya. Aku berjalan merunduk, kadang bahkan bertiarap
ketika alang-alang itu menjadi sangat pendek, tetapi melaju
seperti seekor biawak yang lincah. Dari puncak bukit, jalan
menurun lagi dan di sini bahkan terdengar ia berlari. Sambil
berlari itu ia bersuit. Pengalamanku dengan suitan-suitan itu
belakangan ini membuat aku sempat terhenyak mendengarnya. Apakah ia ternyata tahu dirinya dikuntit dan
bersuit untuk memanggil kawan-kawannya untuk mengepungku" Aku tak berani mengangkat kepala lebih tinggi dari rumput
dan karena itu kupertajam saja wilayah pendengaranku
dengan ilmu Mendengar Semut Berbisik di Dalam Lubang itu.
Maka kudengar kecipak air di bawah sana. Ah! Sebuah
perahu! Perahu itu sebuah perahu sampan yang tertambat di
tepi sungai. Jadi di bawah bukit ini terdapat anak sungai yang
tersembunyi! Lantas kudengar pula pergerakan manusia di
atas pohon-pohon sekitar sungai itu. Pergerakan dua orang
yang semula tidur atau duduk di atas batang-batang pohon
yang besar tetapi miring di atas sungai, dan karena itu
nyaman untuk tidur, yang kemudian melompat ke bawah dan
langsung berteriak. "Lama sekali dikau!"
"Tidak ada yang terlalu lama! Terlalu banyak peristiwa hari
ini! Kita harus cepat ke kapal!"
Kedua orang yang rupanya memang bertugas menunggu
itu, segera bersiap di depan dan belakang perahu sampan itu
dengan dayungnya. "Ayo! Cepat! Cepat!"
Mereka pun bergerak. Bagaimanakah caraku mengikutinya"
Aku pun harus bergerak cepat tanpa mereka ketahui, dan ini
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
tentu saja tidak mudah. Anak sungai kecil yang merupakan
jalan rahasia itu sebentar kemudian sudah dinaungi segala
macam pohon di atasnya, dengan tinggi yang nyaris mengenai
kepala orang mendayung di atas sampan. Pohon-pohon ini
dahannya saling menjalar begitu rapat, sehingga tidak ada
kemungkinan aku bergerak di antaranya tanpa menimbulkan
suara yang akan membuat mereka menoleh ke atas. Adapun
jika aku mengikuti dengan cara melenting-lenting di atasnya,
meski mungkin kulakukan tanpa suara, tetap saja sulit melihat
ke bawah menembus kerapatan daun-daunnya. Memang
benar aku dapat menggunakan ilmu Mendengar Semut
Berbisik di Dalam Lubang untuk melacak arah perahu, tetapi
ini tidak akan ada gunanya jika perahu mencapai tempat yang
belum bisa kuduga di mana, tempat tubuhku tak bisa
mencapainya. MAKA dari atas bukit aku pun berkelebat cepat ke tepi
sungai dengan ilmu Naga Berlari di Atas Langit sembari
menyambar dan mematahkan sebatang buluh. Aku langsung
menyelam dan menyusul perahu itu tanpa suara di dalam air.
Begitu sampai di dekat perahu, aku bergerak ke bawah
dasarnya, dan segera memegang lunas yang terendam dalam
air dengan sangat hati-hati, sementara tubuhku kuringankan
begitu rupa sehingga tidak menambah beban bagi yang
mendayung sama sekali. Meski mereka tergesa, agaknya
mereka pun tak bisa melaju dengan cepat karena rapatnya
tumbuh-tumbuhan yang menutupi anak sungai ini dari
pandangan. Bahkan kadang dayung harus mereka letakkan,
dan cukup tangan mereka memegang batang-batang yang
menjalar di atas mereka, untuk menarik diri mereka sendiri
Pendekar Riang 15 Wiro Sableng 059 Peti Mati Dari Jepara Pena Wasiat 26
apakah ia bisa berjiwa besar untuk menerima bahwa
bagaimanapun caranya Pangkar tidak akan mampu mengalahkan aku dalam adu panco ini.
Matahari tambah tinggi. Pangkar berkali-kali mengejan
untuk menekan tanganku, tetapi aku bergeming.
''Eeeegggghhh!'' Keringat Pangkar bercucuran. Tenaganya mulai habis.
Namun orang-orang yang berkerumun tiada berkurang,
bahkan tambah banyak. Agaknya persoalan yang belum terlalu
jelas bagiku antara orang-orang Sriv ijaya dan Mataram ini,
telah ikut membingkai adu panco yang tidak hubungannya
dengan masalah kenegaraan tersebut.
''Ayo! Kalahkan orang Srivijaya itu!''
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
''Ayo!'' ''Ayo!'' ''Ayo!'' Aku tercekat. Kini masalahnya bukan soal pertaruhan judi
lagi, me lainkan masalah siapa kalah dan siapa menang, yang
membawa-bawa nama bangsa dan negara. Padahal, dalam hal
adu panco yang sedang kujalani, hal itu tiada hubungannya
sama sekali! Seseorang telah memanas-manaskan keadaan,
dengan membuat adu panco yang sebenarnya berlangsung
karena aku mencari pekerjaan di atas kapal, seolah-olah
pertarungan berlangsung antara Sriv ijaya dan Mataram.
Sungguh cara memanfaatkan keadaan yang begitu cepat dan
penuh muslihat jahat! Sembari menahan tekanan tangan Pangkar, memang
kulihat orang-orang itu menyelip di antara banyak dan
berbisik-bisik menyebarkan kebohongan. Inilah orang-orang
yang memang kadang-kadang dibutuhkan sebagian bagian
dari pertahanan sebuah kerajaan, yakni memperlemah daya
pengamatan dan perlawanan kelompok yang terbawahkan,
dengan mengalihkan perhatian mereka dari istana. Kini
mereka mengalihkan persoalan di dalam negeri Mataram,
kepada persoalan yang sebetulnya tidak meruncing seperti
yang dikesankannya, dengan kedatuan Sriv ijaya...
AKU merasa muak dengan permainan seperti itu, ingin
berbuat sesuatu, tetapi bukan saja aku tidak menguasai dan
tidak berminat terhadap ilmu muslihat penuh keterselubungan
seperti itu, melainkan juga justru sedang melakukan suatu
jenis tipu daya tersendiri: Aku yang dapat mengalahkan
Pangkar dengan mudah harus dapat mengalahkan raksasa ini,
yang sejak awal telah menatapku dengan penuh belas itu,
tanpa menyakitinya. Sampai saat ini, aku hanya mampu untuk tetap bertahan
dalam kedudukan semula. Matahari terus bergeser. Waktu
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
merayap. Ingin kuyakinkan nakhoda betapa tiada lain yang
dapat dilakukan Pangkar selain tetap berada dalam kedudukan
seperti ini. Ketika matahari lengser ke barat, angin bertiup, dan udara
menjadi sejuk, nakhoda itu tampak sudah tidak tidak tahan
lagi. Kurasa perilaku orang-orang yang menyebarkan bisikan-
bisikan untuk memengaruhi keadaan juga telah diketahuinya.
Kurasa ia tahu suasana bisa berkembang ke suatu arah yang
belum tentu dapat ditanganinya.
"Cukup! Cukup! Kuterima kamu bekerja di kapalku! Dalam
adu panco ini tidak ada yang kalah dan tidak ada yang
menang! Aku tidak mau memperpanjang masalah lagi!"
Nakhoda itu memegang dan memisahkan tangan kami.
"Selesai sudah! Bubar! Bubar! T idak ada perjudian di sini!"
Pangkar melepaskan pegangan. Aku juga. Aku tahu
Pangkar sudah kehabisan tenaga dan matanya menatapku
dengan penuh rasa terima kasih bercampur keheranan luar
biasa. Sudah jelas ia kini menaruh hormat yang sangat dalam
kepadaku. Aku bersyukur kepada diriku sendiri karena telah
berhasil menyelesaikan tugas yang kuanggap sulit: Aku boleh
menganggap diriku menang tanpa mengalahkan, karena
sebenarnyalah aku telah mengalahkan tanpa menyakiti...
Tentu, tidak sedikit pun aku boleh tampak berpuas diri.
Sebaiknya aku bersikap memang hanya memikirkan pekerjaan
yang kuharapkan. "Jadi, apakah tugas sahaya sekarang Tuan?"
Orang-orang sudah bubar. Kulihat kekecewaan pada wajah
para penghasut, tetapi betapa mereka juga tampak sama
sekali tidak putus asa dan menantikan kesempatan berikutnya!
Nakhoda itu kulihat juga memperhatikan mereka.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kemasi barang dikau dan naik sajalah ke kapal," katanya
kepadaku, "nanti ada yang akan memberikan dikau
pekerjaan." Seseorang di antara para penghasut itu kulihat mendekati
nakhoda. Segera kutancap ilmu pendengaran Mendengar
Semut Berbisik di Dalam Liang.
"Apa yang kau lakukan Nakhoda, menerima orang yang
tidak jelas asal-usulnya?"
"Bagi kami tidak penting benar asal-usul seseorang, Tuan,"
kata nakhoda itu, "tak hanya orang Sriv ijaya bekerja di kapal
ini, tetapi juga dari berbagai daratan tempat kami berlabuh,
selama kami memang membutuhkan."
"Kalau begitu terimalah juga orangku bekerja di kapal
dikau." "Maaf Tuan, kami belum membutuhkan tenaga tambahan."
"Bagaimana dengan anak muda itu?"
"Anak muda itu sudah berbuat jasa untuk kami, lagi pula
ternyata kemudian memenuhi persyaratan."
Orang itu mengerti ia tak bisa berbuat lebih banyak lagi.
"Baiklah Nakhoda, ini semua keputusan dikau. Semoga
selamat segalanya dan salam."
Ia pergi. Nakhoda itu menggeleng-gelengkan kepala.
"Bagaimana mungkin orang bisa begitu memaksa?"
Ia hanya berdesah, tetapi dengan ilmu pendengaran Semut
Berbisik di Dalam Liang tentu aku mendengarnya.
Senja akhirnya turun di pelabuhan itu. Langit merah
membara dan lautan berubah menjadi genangan berwarna
jingga. Tiang-tiang kapal tegak menghitam. Aku melangkah
dan menapaki batang kayu melintang yang menghubungkan
dinding perahu dengan daratan.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Sayup-sayup kudengar sebuah ajaran dari dalam sebuah
kuil yang dipenuhi sejumlah rahib asing di pelabuhan. Agaknya
prajna-paramita seperti digambarkan dalam Madhyamakavatara. Ibarat seseorang dengan penglihatan yang baik,
dengan mudah dapat memimpin sejumlah orang buta
ke tempat yang mereka inginkan.
Demikian pula halnya dengan prajna
yang mengumpulkan kebajikan-kebajikan yang takbermata
serta kemudian memimpinnya
ke Kebuddhaan Ini membuat aku teringat sebuah ajaran lain, juga prajna,
tetapi dari Vima lakirtinidesasutra.
Apakah yang disebut keterikatan seorang Bodhisattva
dan apakah kelepasannya"
Prajna yang dilaksanakan tanpa disertai dengan kesediaan
untuk mengabdi semua makhluk
merupakan keterikatan akan tetapi apabila didukung
merupakan kelepasan keadaan juga berlaku demikian
dalam hal dibaliknya keberlangsungan
Lantas kudengar kembali sambungan ajaran, perihal cara
melaksanakan dhyana-paramita sebagai titik tolak penyamaan,
terutama mengenai sunyata sebagai hakikat badan, yang
rupanya diacu dari Sang Hyang Kamahayanikan.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
yang dinamakan prajna-paramita
ialah semua hal atau benda
yang dianggap ada di dunia
dan yang berada di sepuluh arah;
timur, selatan, barat, utara,
tenggara, barat-daya, barat-laut, timur-laut,
atas dan bawah... Semua hal seyogyanya diketahui
sampai ke badan luar atau bahya
maupun dalam atau adhyatmika,
serta semua makhluk dengan semua aturannya tentang semua perbuatan,
semua yang diperbuat, semua pendapat. Semua hal yang berbentuk dan tanpa-bentuk
memiliki hakikat sunyata.
Ketika malam sudah menyelimuti bumi, aku masih
merenungkan semua itu, sembari memandang bulan purnama
beredar di antara tiang-tiang kapal.
(Oo-dwkz-oO) Episode 80: [Tulisan dan Kejujuran]
''KAKEK, benarkah Kakek seorang pendekar"''
Ah, ya, aku belum menjawab pertanyaan ini! Aku berada
pada tahun 871 dan umurku sudah 100 tahun. Di hadapanku
terlihat sepasang mata yang berbinar, mata Nawa, bocah
pintar yang sangat bersemangat belajar membaca dan
menulis. Bagaimanakah aku harus menjawabnya"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Masalahnya, mengapa Nawa dapat mengajukan pertanyaan
seperti itu" Pertanyaan itu mengandaikan betapa seseorang
telah mengatakan kepadanya bahwa aku adalah seorang
pendekar. Walaupun Pendekar Tanpa Nama adalah nama
yang ibarat kata pernah didengar setiap telinga, aku tidak
berharap dapat dikenali dengan mudahnya dalam keadaan
sedang menyamar seperti sekarang.
AKU bahkan sempat membayangkan peristiwa yang dialam i
Nawa. Seseorang barangkali telah memanggilnya sembari berbisik
tertahan. "Ssssttt! Nawa, ke sini dulu!"
Nawa menoleh. Barangkali itu seseorang yang tidak pernah
dilihatnya, dan tentu saja anak secerdas Nawa dengan segera
menjadi, meski sama sekali tidak memperlihatkannya.
"Ada apa, Paman?"
"Tahukah dikau Nawa, siapa orang yang selalu menulis
itu?" "Oh, itu Kakek, kakek kami, ada apa Paman?"
"Kakek, apakah maksud dikau kakek itu adalah ayah dari
ayahmu?" "Bukan Paman, tapi kami, anak-anak di sini, menganggapnya sebagai kakek kami sendiri."
"Siapakah kiranya nama kakek kalian itu" Daku seperti
pernah mengenalnya."
Apakah kiranya yang akan dikatakan Nawa" Sejak tadi aku
hanya menebak-nebaknya. Namun kukira Nawa akan balas
bertanya. "Siapakah Paman" Sahaya belum pernah melihat Paman.
Mengapa Paman tidak bertanya sendiri saja?"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Orang itu barangkali terkejut dengan ucapan semacam itu.
"Nawa, kamu anak pintar! Kulihat kamu rajin belajar
membaca dan menulis! Hebat kamu Nawa!"
Tentu Nawa tak mau mengerti pengalih perhatian seperti
ini. "Datangi sajalah Paman, sahaya antarkan, nanti Kakek
akan senang jika mengenal Paman."
Cerdas bukan" Nawa juga ingin mengenali siapakah aku!
Itulah bedanya anak yang belajar membaca maupun yang
tidak. "Ah, sudahlah Nawa. Kulihat kakek dikau sangat sibuk.
Katakan saja kepadanya, seseorang telah mengenalinya
sebagai pendekar besar tanpa nama..."
"Pendekar" Kakek kami hanyalah seorang pembuat lontar!"
Barangkali orang itu tersenyum sembari mengusap rambut
Nawa. Barangkali pula tiba-tiba sudah berkelebat menghilang..." Barangkali. Bukankah aku hanya sibuk menduga"
"Benarkah, Kakek" Benarkah Kakek seorang pendekar"
Seorang perempuan tadi bertanya-tanya, apakah di kampung
ini seseorang pernah melihat Pendekar Tanpa Nama."
Seorang perempuan" Dugaanku buyar seluruhnya.
"Tentu Nawa, seorang perempuan telah bertanya-tanya
tentang Pendekar Tanpa Nama, tetapi mengapa kamu
bertanya kepadaku apakah aku seorang pendekar?"
Nawa memandang kepadaku dengan penuh selidik. Ia
masih berumur enam tahun. Meskipun ia memang cerdas dan
ia berbeda dengan anak-anak kecil lain di kampung ini yang
selalu ingusan, tetapi ia tetap saja masih berumur enam
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
tahun, dan karena itu masih rawan terhadap segala macam
Jurus Tanpa Bentuk Naga Bumi I Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tipu daya. Masalahnya, dalam hal ini, aku sendirilah yang sedang
berada di jalan simpang: Apakah aku harus mengatakan yang
sebenarnya kepada Nawa" Ataukah justru sebaliknya"
Betapapun aku sedang berada dalam penyamaran dan aku
membutuhkan penyamaran ini agar aku dapat segera
menyelesaikan tulisan. Penyamaran dan ketenangan, itulah
yang kubutuhkan. Dalam usia 100 tahun, tidak terlalu keliru
jika aku mempertimbangkan bahwa setiap saat jantungku
tiba-tiba bisa berhenti. Tulisanku harus selesai sebelum aku
mati, tetapi aku baru mulai menulis, sedangkan yang akan
kutuliskan jelas masih panjang sekali. Itulah sebabnya aku
membutuhkan ruang dan waktu yang terbentang tanpa
gangguan di depanku. Terseret kembali dalam dunia
persilatan hanya akan membuat aku terlibat pertarungan
takberkesudahan. Di atas langit ada langit. Namun tak
seorang pendekar pun telah mengatasi langit ilmu silatku,
padahal semua ingin menguji keandalan, mencapai kesempurnaan dalam persilatan, dengan cara menempurku,
satu-satunya pendekar yang belum terkalahkan di Yawabhumipala. Tidaklah banyak berarti bahwa aku telah
menyamar selama 25 tahun dan masih ditambah mengundurkan diri dari dunia persilatan se lama 25 tahun lagi.
Mereka yang telah mengalahkan pendekar manapun yang
ditemuinya merasa pencapaiannya belum sahih jika belum
mengalahkan aku. Dengan segala cara mereka masih terus
mencariku. Tentu, pendekar manakah yang tidak ingin mati
dalam puncak kesempurnaannya. Namun aku juga ingin mati
dalam puncak kesempurnaanku, bukan sebagai pendekar,
melainkan sebagai manusia yang harus menyelesaikan tulisan
tentang riwayat hidupnya. Bukan, bukan karena aku ingin
dikenang sebagai pujangga besar, sama sekali bukan, tetapi
karena hanya dengan cara ini aku akan mengerti kenapa
sampai hari ini banyak orang masih ingin membunuhku.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
AKU masih bisa mengerti jika dalam sungai telaga dunia
persilatan para pendekar memang masih mencariku demi
sebuah pertarungan untuk menguji dan mencapai kesempurnaan, tetapi aku tidak mau mengerti bahwa sudah
selayaknyalah kerajaan membuat pengumuman betapa aku
harus diburu dan dibunuh dengan hadiah 10.000 keping
inmas. Sungguh gila! Aku harus membongkar persekutuan
jahat ini. Namun mengingat ruwetnya jaringan rahasia yang
berkait kelindan, jika dalam seluruh masa hidupku aku
takmampu membongkar rahasia, dan menemukan komplotannya, maka setidaknya aku harus membersihkan
namaku. Tiada cara lain bagiku selain menuliskan apa pun
yang kuketahui dan kulakukan selama ini, yang bagi diriku
memang merupakan cara menyelidiki, tetapi yang bagi
pembacanya merupakan cara terbaik untuk mengetahui
siapakah diriku yang sebenarnya.
Justru itulah masalahnya sekarang. Seberapa jauh aku bisa
jujur dalam suatu tulisan yang dimaksudkan sebagai
pengungkapan" Bahkan kepada Nawa, anak kecil ini pun, aku
masih tertegun-tegun. Betapa sulitnya sekadar hidup menjadi
jujur! Bahkan, atas nama kebijaksanaan, kejujuran itu
ternyata tidak selalu tepat untuk diungkapkan!
"Perempuan itu bertanya siapakah Kakek, lantas kujawab
Kakek seorang pembuat lontar, perempuan itu lantas bertanya
lagi siapakah nama Kakek, kujawab kami cukup memanggil
Kakek sebagai Kakek saja, yang lantas ditanyakannya lagi
apakah Kakek pernah mengajari kami bersilat."
Hatiku tercekat. "Apa jawabanmu Nawa?"
"Aku balas bertanya kepadanya, mengapa dia bertanya
seperti itu?" "Lantas?" Memang aku sungguh penasaran dengan jawabannya.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Dia bilang Kakek mirip seorang pendekar yang pernah
dilihatnya." "Begitu saja?" "Ya, begitu saja. Akulah yang menegaskan kepadanya
sekali lagi, bahwa Kakek adalah seorang pembuat lontar, yang
selama ini memang pekerjaannya hanya membuat lontar dan
kadang-kadang menulis."
"Lantas apa katanya?"
"Ternyata perempuan itu makin tertarik, Kakek, dia
bertanya apakah kiranya yang dituliskan Kakek."
"Hmm. Begitu" Apakah jawabanmu, Nawa?"
"Bukankah aku memang tidak tahu, Kakek, jadi kujawab
tidak tahu." Aku terdiam, mengamati Nawa. Anak itu menampakkan
sikap me lindungi, tetapi bagaimanakah caranya ia tahu
memang terdapat sesuatu yang harus ditutupi" Apakah yang
telah dilihatnya pada perempuan yang bertanya-tanya itu,
sehingga ia bersikap me lindungi diriku, meski apalah yang
mungkin diketahui anak ini tentang diriku" Mungkinkah Nawa
membaca bahwa dugaan perempuan itu memang mengandung kebenaran"
"Nawa," kataku kemudian, iapakah perempuan itu
membawa pedang?" Memang banyak senjata yang mungkin dipakai dalam dunia
persilatan, tetapi selain pedang adalah senjata yang paling
disukai, juga merupakan senjata yang paling banyak
dikembangkan keilmuannya. Seorang pemula pasti akan
mempelajari ilmu pedang, sementara meskipun seorang
pendekar telah menguasai segala senjata, bahkan mampu
menundukkan lawan bersenjata apapun dengan tangan
kosong, tetap akan merasa perlu menguasai ilmu pedang.
Tanpa pedang, ilmu persilatan tidak akan mencapai
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
kegemilangannya seperti sekarang. Jika banyak senjata
diciptakan hanya untuk membunuh, maka pedang bagaikan
diciptakan untuk diperagakan, tidak aneh jika dalam tingkat
kemahiran tertentu permainan ilmu pedang lebih tampak
sebagai tarian. Tentu saja itulah yang disebut tarian pembunuhan. Itulah
yang terlalu sering sulit dimengerti dari dunia persilatan, jurus
terindah menampakkan dirinya hanya untuk mengakhiri
kehidupan. Namun tidakkah itu merupakan pilihan hidup
seorang pendekar" Kematian tidak dilihat sebagai akhir
kehidupan, melainkan bagian saja dari kehidupan abadi yang
meleburkan segala kedirian.
Siapakah perempuan itu" Betapapun ia mengungkapkan
sesuatu yang benar. Barangkali aku memang pernah dilihatnya, dan ia kebetulan
lewat serta mengenaliku. Namun aku merasa harus bersiap
untuk kemungkinan yang lain, bahwa perempuan yang
bertanya-tanya itu memang seseorang yang sengaja
mencariku. Mungkin saja bahwa ia telah melhatku adalah
kebetulan, tetapi bisa saja ia memang mencari Pendekar
Tanpa Nama yang gambarnya terpampang jelas pada
selebaran itu. Namun kukira aku seharusnya mempertimbangkan kemungkinan, bahwa ia memang sengaja
melacak dan menemukan jejakku di tempat aku menyamar
sebagai pembuat lontar ini.
Apakah dengan begitu sebaiknya aku segera berkelebat
pergi" "Kakek, perempuan itu tidak membawa pedang, hanya
membawa tongkat dengan buntalan seperti pengembara.
Kenapa perempuan pengembara itu bertanya apakah Kakek
seorang pendekar" Dia benar-benar seperti mengenali Kakek,
benarkah Kakek bukan seorang pendekar?"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
AKU tersenyum dan mengangkatnya agar duduk di
dekatku. ''Nawa, dengar kata Kakek baik-baik, pendekar itu, jika
maksudnya pendekar silat yang bisa terbang setinggi pohon
kelapa dan me lompat dengan ringan dari atap ke atap tanpa
suara di bawah cahaya rembulan, maka itu hanya ada dalam
dongengan. Janganlah terlalu percaya yang tidak masuk akal
kalau mendengar orang bercerita. Biarkan mereka bercerita
semaunya, tetapi tidak usah terpengaruh olehnya, karena
misalnya semua yang dikatakannya itu benar, juga tidak ada
gunanya untuk kita.'' ''Jadi, siapakah yang pernah dilihat oleh perempuan itu,
Kakek" Jika memang bukan Kakek, bukankah belum tentu ia
bukan seorang pendekar"''
Ah, cerdas sekali anak ini! Tapi aku sudah memutuskan
tidak akan mengangkat seorang murid dalam ilmu s ilat.
''Banyak orang memang hidup dalam kepalanya sendiri,
Nawa, dan mereka mempercayai apa saja yang muncul dalam
kepalanya itu.'' Nawa memandangku dengan tajam, seperti tahu aku
berusaha mengalihkan perhatiannya. Namun, juga seperti
mengerti, ia tidak melanjutkan pertanyaannya.
''Kakek, mengapa Kakek senang menjadi seorang penulis"''
Tentu saja ini juga pertanyaan yang sulit. Aku merasa
harus menjawabnya dengan gampang. Namun inilah
jawabanku. ''Pertanyaanmu itu bisa juga diajukan kepada setiap orang
dengan pekerjaan masing-masing, dan tidak semua orang bisa
menjawabnya dengan mudah. Mengapa seseorang senang
jadi petani, mengapa seseorang yang lain senang jadi tukang
besi, mengapa seseorang senang jadi tukang emas, mengapa
seseorang senang menjadi tukang kuda, lagi pula aku bukan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
seorang penulis. Kamu kan tahu aku seorang pembuat
lontar...'' Nawa menggeleng-gelengkan kepala.
''Kakek lebih banyak menulis daripada membuat lontar.''
''Itu karena aku mengisi waktu ketika menunggu daun-
daun itu kering.'' Mata Nawa mengerjap. Tak bisa kutebak apa yang
dipikirkannya. ''Kakek, apakah sebenarnya yang Kakek tulis itu" Dari hari
ke hari sudah bertumpuk-tumpuk lontar di bilik Kakek.''
Sampai juga akhirnya pertanyaan itu!
''Oh, itu hanya kenang-kenangan Kakek saja, Nawa,
kenang-kenangan hidup Kakek...''
''Untuk apakah Kakek menulis kenang-kenangan itu"''
Bukankah ini pertanyaan yang sulit" Karena aku memang
tidak sedang menulis riwayat hidupku sebagai kenang-
kenangan atas hidupku. Sama sekali tidak. Aku menuliskan
riwayat hidupku karena aku merasa telah kehilangan
sesuatu....ada sesuatu yang mungkin saja telah kulupakan,
sehingga aku tidak mengerti atas alasan apa orang setua aku
ini masih juga diburu untuk dibunuh sampai mati. Memang
aku telah memikirkan beberapa kemungkinan, seperti juga
pernah kuceritakan, tentang kemungkinan diriku, setidaknya
namaku, yang sekadar dipinjam dalam permainan kekuasaan
Mataram pimpinan Rakai Kayuwangi sekarang ini. Namun aku
ingin mencari sebab yang lebih dalam dari sekadar
kepentingan sementara semacam. Aku ingin tahu mengapa
diriku menjadi begitu pantas dikorbankan seperti itu. Dikenal
sebagai apakah aku ini, riwayat hidup macam apakah yang
telah membentuk diriku, bagaimanakah pandangan orang
banyak akhirnya membentuk sosok diriku tanpa kukehendaki"
Aku memang tidak pernah mempunyai nama, tetapi meski
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
tetap tak bernama, setiap orang ibarat kata menggubah
riwayat hidupku menurut sudut pandangannya, masing-
masing bagaikan memberi nama.
Bagaimana pandanganku tentang diriku sendiri" Apabila
aku menulis riwayat hidupku itu berarti aku telah menuliskan
segala sesuatu melalui sudut pandangku. Seberapa jauhkah
aku dapat berterus terang dengan segalanya" Aku sebetulnya
menuliskan semua itu untuk diriku, dengan harapan segala
ingatanku terkuras tuntas tanpa sisa. Peristiwa setiap saat,
gambaran setiap pandangan, rincian setiap gerak, isi setiap
kitab, makna setiap kejadian, arti setiap perlambangan, aku
ingin mengungkapkan semuanya, selengkap-lengkapnya,
serinci-rincinya, seluas-luasnya, sebanyak-banyaknya, sejelas-
jelasnya, sepenuh-penuhnya, seutuh-utuhnya, segalanya,
tanpa sisa. Tetapi apakah itu mungkin" Setiap kali selalu
Jurus Tanpa Bentuk Naga Bumi I Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terasa ada yang kurang, setiap kali selalu terasa ada yang
keliru, tetapi tidak tahu persisnya di mana dan memang tidak
pernah kuperiksa atau kuperbaiki lagi. Maklumlah, aku menulis
dengan pengutik, menggurat di atas lontar, perbaikan atau
penggantian akan menyulitkan susunan. Artinya setiap kata
atau kalimat yang diguratkan dari aksara demi aksara haruslah
sudah dipikirkan dengan seksama.
NAMUN sebetulnya itu bukanlah alasan yang utama, karena
jika suatu perbaikan harus dilakukan, tentu akan dilakukan
juga; melainkan karena aku selalu merasa, bahwa waktu yang
tersisa tidak akan terlalu cukup untuk menulis seluruh riwayat
hidupku. Menuliskan riwayat hidup seratus tahun tentu
takberarti membutuhkan waktu seratus tahun, tetapi
betapapun seratus tahun yang penuh makna bukanlah waktu
yang singkat, yang jelas tidak mungkin diceritakan secara
ringkas dengan secepat-cepatnya. Begitulah kenangan dalam
kepala dan waktu yang tersedia untuk menuliskannya
membentuk apa pun yang telah maupun kelak akan terbaca.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Kesadaran bahwa tulisan ini akan dibaca, meski
kepentingannya adalah menyelidiki segala perkara yang
pernah kualam i, menimbulkan keraguan baru kepadaku bahwa
penulisanku akan berlangsung penuh dengan kejujuran.
Meskipun kepada diriku sendiri, seberapa jauh aku dapat
menampilkan diri dengan segala keburukanku" Apakah
jaminannya bahwa aku tidak akan membuat diriku tampak
penting, meskipun dengan cara memperlihatkan betapa diriku
tidak penting" Mungkinkah aku menulis tanpa siasat, yang
kiranya akan menjebak pembaca, untuk cenderung tergiring
membentuk sebuah kesan tentang diriku" Hmm. Kejujuran
ternyata merupakan perkara yang sulit...
Jadi, apakah jawabanku kepada Nawa"
''Banyak alasan kenapa orang merasa perlu menuliskan
kenangannya, Nawa, tetapi apapun alasannya, setiap
kenangan yang dituliskan akan selalu bermakna setiap kali
dibaca, sedangkan karena dalam setiap pembacaan terdapat
penafsiran berbeda, maka kebermaknaannya akan berganda.
Artinya, tidak penting benar apa maksud hati seorang penulis
itu Nawa, yang penting adalah bagaimana tulisannya dapat
bermakna kepada pembaca...''
Nawa memandangku, masih dengan mata berbinar. Aku
juga menatapnya, tetapi pikiranku agaknya melayang entah ke
mana. Siapakah perempuan yang bertanya-tanya tentang
diriku itu" Apakah kata-katanya bisa dipercaya, bahwa ia
mengenaliku sekadar karena pernah melihatku" Jika ia
menyebut diriku sebagai pendekar, setidaknya ia tentu pernah
melihatku bertarungobahkan dengan Jurus Tanpa Bentuk,
karena hanya dalam jurus itulah, ketika aku diam bagaikan
tiada bergerak, pertarunganku dapat dilihat secara kasat
mata. Siapakah dia yang masih mengenaliku, setelah aku
mengundurkan diri dari dunia persilatan dalam 25 tahun
terakhir ini" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
''Nawa, apakah perempuan pengembara yang bertanya-
tanya itu sudah lanjut usia"''
''Tidak Kakek, dia seperti Si Rona.''
Si Rona adalah anak penjual juadah ketan. Usianya masih
16 tahun. Jadi tidak mungkin ia pernah melihatku bertarung.
Mungkinkah ia mengenaliku dari lembaran lontar yang
menggambarkan diriku, meski sudah kusemir rambutku, dan
memang memburuku" Mungkinkah ia seorang pemburu
hadiah, yang memang biasa memburu para penjahat demi
bayaran" Aku harus waspada terhadap setiap kemungkinan!
(Oo-dwkz-oO) TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
KITAB 5: PENDEKAR TUJUH LAUTAN (Oo-dwkz-oO) Episode 81: [Berlayar ke Samudradvipa]
SAMUDERA terbentang bagaikan tanpa batas. Kujilat
bibirku yang terasa asin. Angin menderu bagaikan seribu
dongeng menjadi satu. Kapal samudera ini melaju karena
kuatnya angin yang ditangkap layar. Seluruh layar terkembang
penuh. Kapal membelah laut biru tua menuju Samudradvipa.
Sudah tiga hari kapal terus menerus melaju siang dan malam
tanpa henti. Segalanya serba baru bagiku. Namun terutama
pemandangan lautan yang luas terbentang itulah yang sangat
menarik hatiku. Sampai di manakah lautan ini berakhir"
Apakah yang berada di balik cakrawala itu"
Melaju di atas samudera membuat membuat segala
persoalan di darat terlupakan. Daratan menjadi kecil, segenap
persoalannya menjadi tidak penting, dan perebutan kekuasaan
menjadi perkara yang lucu. Di sini hanya ada langit dan
hamparan laut yang keluasannya membuat manusia
merenungkan makna keberadaan dirinya di dunia ini. Kapal
menjadi titik kecil, bagai pengembara sunyi di keluasan
semesta tanpa tepi. "Tak bisa daku bayangkan hidup bertani seperti orang
Mataram," kata seorang pelaut, "hidup berbulan-bulan
menjaga sawah sampai panen, hanya untuk mulai menanam
lagi." "JANGAN merendahkan petani," kata pelaut yang lain,
"tidak mudah bersawah dan tanpa petani bagaimana kita bisa
makan nasi?" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kita tidak mati kalau tak makan nasi, kita bisa hidup hanya
makan ikan dan kerang."
"Ya, tetapi mencari ikan membuat kita tidak bertemu anak
dan isteri, kalau bertani anak dan isteri bisa ikut ke sawah,
ikut bekerja bersama kita."
"Hmm. Itulah bedanya pelaut dan petani, pelaut harus
pergi, petani tidak bisa pergi. Daku bersyukur menjadi pelaut
dan melihat dunia. Daku tak sudi setiap hari berangkat ke
petak sawah yang sama sampai mati."
"Tidak harus begitu tentu. Orang-orang Mataram itulah
yang menyerbu Champa dan mengobrak-abriknya."
"Membakar kuil-kuil mereka segala! Kurang pekerjaan
karena panen terlalu banyak, itu pun menggunakan kapal dan
awak kapal Sriv ijaya! Tidak ada cerita petani membuat kapal-
kapalnya sendiri!" "Jangan salah, mereka semua dulu juga pelaut seperti kita
Markis! Pengetahuan mereka yang berkembang kemudian
membuat mereka mampu menumbuhkan bibit menjadi padi,
jadi waktunya tidak habis untuk berlayar dan menangkap ikan
hanya untuk makan." "Jadi apa yang mereka lakukan Darmas" Daku tidak tahu
apa yang lebih baik selain angin laut, matahari senja, dan
dunia yang terbentang di balik cakrawala sana."
"Kemapanan yang dijamin panen telah mengembangkan
kebudayaan, Markis. Tidakkah dikau lihat kita pernah
mendatangkan segala alat" Segalanya berkembang di bawah
wangsa Shailendra, Markis, mereka membangun candi di
mana-mana; pemeluk Siva maupun Mahayana seperti
berlomba, takkurang pula candi Mahayana dengan gaya Siva
dan sebaliknya!" "Hmmmhhh! Para pemeluk kepercayaan asing!"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tunggu dulu, Markis! Mereka tidak hanya membangun
candi, pulang dari sawah di kampung mereka berlangsung
pembacaan berbagai kitab, sebagian belajar membaca,
sebagian belajar menulis; jangan dibandingkan dengan
menangkap dan membakar ikan!"
"Daku tak akan bisa hidup terikat dengan tanah seperti itu,
daku lebih suka lautan, yang dapat kulayari menuju tempat-
tempat terjauh, Darmas."
"Setidaknya dikau tak bisa melecehkan mereka, Markis,
dengan kitab yang mereka tulis sendiri kelak, yang
menyampaikan gagasan-gagasan mereka sendiri, keberadaan
hidup mereka akan sangat bermakna bagi banyak orang di
masa depan." "Daku tak suka hidup dalam kepalaku sendiri Darmas, daku
mau menghayati dengan tubuhku, berlayar ke tujuh lautan.
Tidakkah hal itu yang membuat kita menjadi manusia
Srivijaya?" "Dikau dengarkah rencana candi yang mulai mereka
bangun itu Markis" Kukira candi semacam itu maknanya dari
saat ke saat akan bergaung begitu rupa mencapai seribu
lautan. Aku tidak memandang diriku sebagai pelaut Sriv ijaya
rendah Markis, ibarat kata telah kita jelajahi segenap pelosok
bumi dan menyusuri sungai-sungainya sampai hulu yang
terdalam, tetapi kemampuan mengolah tanah menjadi sawah
betapapun telah memberi kemapanan yang melahirkan
banyak kemungkinan bagi peradaban."
"Jangan lupa Darmas, Srivijaya itu pusat kebudayaan, para
pelajar dari Funan sejak lama menimba ilmu di tempat kita
dahulu, sebelum dianggap layak menerima pelajaran igama di
Jambhudvipa." "Kamu tidak salah, Markis, tapi Sriv ijaya sedang mengalami
kemunduran." "Ah! Dirimu dengan isi kepalamu Darmas!"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Apakah dengan kepalamu yang bebal dikau bermaksud
menghinaku Markis?" Kulihat tangan keduanya telah meraba gagang pisau
mereka masing-masing. Aku tidak mengerti kenapa perbincangan yang bagiku menarik itu begitu mudah berakhir
di ujung senjata! Namun Pangkar sudah berada di sana.
"Siapa pun yang ingin berkelahi di kapal ini sebaiknya
berhadapan lebih dahulu dengan Pangkar," katanya.
Mereka masih saling menatap dengan waspada, karena
lemparan pisau secepat kilat hanya butuh kelengahan sekejap
mata. Tentu mereka sama sekali tidak takut kepada Pangkar,
tetapi tampaknya sadar betapa berlebihan jika harus
menyelesaikan perbedaan dengan perkelahian.
Baru tiga hari aku berlayar, tentu baru sedikit yang
kupelajari, sehingga tidak terlalu banyak yang bisa kuceritakan
kembali. Namun karena segala sesuatunya memang baru
bagiku, rasanya begitu banyak yang merasuki diriku.
Kapal yang kutumpangi tergolong kapal besar dalam
jenisnya, yakni kapal untuk me layari lautan, karena selain
bercadik juga menggunakan layar, dengan layar tanjak empat
persegi panjang pada tiga tiang. Kapal sejenis yang lebih kecil,
hanya perlu menggunakan dayung, kemungkinan hanya untuk
mencari ikan, atau pelayaran sepanjang tepi pantai, tetapi
tidak untuk menyeberangi samudera luas ke negeri yang jauh.
Inilah kapal yang telah digunakan leluhur kami para pemukim
Suvarnadvipa untuk pelayaran antarpulau mereka sejak lima
ratusan tahun lalu.3) Kapal ini cukup untuk memuat 30 awak
kapal, dan sekarang kami hanya 25 orang seluruhnya, dengan
angkutan yang bagiku terasa banyak, yakni tumpukan tinggi
rempah-rempah dagangan, bergentong-gentong air tawar,
persediaan beras, kayu bakar, dan banyak lagi keperluan lain
yang pastilah sangat berat. Untuk semua barang itu
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
dibutuhkan ruang sebesar kubus 13 langkah; sementara awak
kapal menempati ruangan seluas 18 langkah empat persegi.4)
Dengan layar tanjak empat persegi, kapal melaju dengan
tenang.5 Aku melaksanakan tugasku dengan sungguh-
sungguh, dan berusaha tidak pernah memperlihatkan
kelebihanku sama sekali, antara lain karena memang
kesempatannya tidak mudah didapatkan. Membersihkan lantai
geladak misalnya, sebetulnya dapat kulakukan dengan
kecepatan kilat menggunakan tenaga dalam, sehingga
pekerjaanku akan cepat selesai dan aku bisa menimba
pengetahuan. Namun kapal ini berisi banyak orang, tiada seorang pun
dapat menyendiri tanpa terpandang banyak orang. Bahkan
dengan kedudukan sebagai nakhoda tiada keistemewaan
apapun selain berada di balik kemudi dan memberi perintah di
sana-sini. Saat ia ingin tidur, tiada tempat lain selain bersama
segenap awak kapal lainnya. Maka bergerak secepat kilat
sampai hilang dari pandangan takmungkin berlangsung tanpa
memancing kecurigaan. Kemudi kapal terletak di bagian samping dan dari geladak
sampai tiang selalu ada awak kapal yang bergerak dengan
cekatan. Begitulah menyesuaikan diri dengan semua itu,
karena aku memang tidak mengetahui apapun tentang
bagaimana harus bekerja di atas kapal. Dalam tiga hari, tentu
saja aku belum tahu apa-apa, segalanya masih serba
membingungkan, tetapi aku senang berada di atas kapal ini,
karena setiap saat diri dan tubuhku bergerak merambah
wilayah baru. (Oo-dwkz-oO) JAVADVIPA sudah tidak kelihatan lagi. Saat malam tiba dan
sebagian besar awak kapal tertidur, aku beranjak ke dinding
kapal, melamun sembari menatap percikan ombak di dinding
kapal. Lautan luas dalam kegelapan membuat pikiran
mengembara di balik kelam. Kudengarkan suara percikan,
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
tiupan angin yang seperti siulan, dan derik sendi-sendi kayu
dalam geraknya yang tenang. Sejak berangkat meninggalkan
Javadvipa, hujan deras terus menerus membasahi kami, meski
tanpa badai sama sekali. Benar ombak bertambah tinggi dan
angin bertiup lebih kencang dengan arah takmenentu, tetapi
kulihat wajah nakhoda itu begitu tenang, mestinya karena
sering menghadapinya sebagai peristiwa alam yang wajar
terjadi. Kubayangkan jika aku dan kapal ini tak di sini. Tetap
berlangsung hujan deras dan ombak meninggi, sementara
angin bertiup dengan suara mendebarkan hati, tetapi siapakah
kiranya yang akan mendengarnya" Alam berbicara sendiri dan
takpeduli apakah ada atau tiada manusia menghuni. Segala
makna memang datang dari manusia, yang menatap dan
Jurus Tanpa Bentuk Naga Bumi I Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengar, lantas memberi arti. Seperti malam yang tenang
takberhujan kali ini. Tanpa manusia, lautan tempat kapal ini
sekarang berlayar akan tetap seperti ini, diriku saja kini
menuliskannya kembali, sehingga suasana ini akan tetap
tinggal dengan makna terberi. Tiada makna dalam diri alam
sendiri. Makna datang dari manusia, apa pun makna yang
diberikannya. Aku mendongak ke atas dan menatap hamparan bintang.
Ini suatu hal yang sering kulakukan dalam perjalanan di
daratan, apabila dalam kelelahan aku tidur di hamparan
rerumputan. Namun aku memandangnya tanpa manfaat
apapun selain untuk kesenangan dan hiburan. Di kapal ini,
pemegang kemudi yang menggantikan nakhoda juga selalu
memandang bintang-bintang, tetapi untuk menentukan ke
mana kapal harus diarahkan. Mereka telah mempelajari
hamparan bintang-bintang itu yang keberadaan dan perubahan kedudukannya dapat mereka pastikan. Berdasarkan itulah mereka perhitungkan kedudukan mereka
sendiri. Meskipun mereka barangkali tidak bisa membaca,
kemampuan mereka membaca langit malam itu bagiku luar
biasa. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Begitulah aku memandang ke laut lepas yang hanya
memberikan kegelapan. Tiada rembulan yang kubayangkan
akan memperlihatkan permukaan laut yang keperakan, seperti
yang kusaksikan pada malam sebelum berangkat dari
pelabuhan. Pada malam hari itu kulihat cahaya rembulan
menyepuh permukaan laut dengan warna perak, membuat
buih pada setiap pucuk gelombang berkilau-kilauan. Kuingat
deburnya yang mendesah pelahan, yang sungguh merayu dan
mengundang. Kini aku sudah berada di atas kapal ini,
berharap-harap cemas menghayati setiap gairah penjelajahan.
Kusadari betapapun di tengah lautan luas kapal bagaikan tak
bergerak ke mana-mana, sebetulnya kami terus menerus
bergerak maju. Di tengah lautan, manusia begitu kecil dibanding keluasan
alam semesta. Sangat bisa kumaklumi sikap orang Sriv ijaya
terhadap orang-orang Mataram yang memilih untuk terikat
kepada tanahnya dengan membangun candi-candi bagaikan
tiada hentinya, dan kini bahkan ingin membangun candi
terbesar di dunia. Mereka yang dunianya seluas lautan
mempunyai pandangan terhadap dunia yang tentunya
berbeda dengan mereka yang dunianya sebatas sawah
ladangnya sahaja. Begitu pula mereka yang telah
menenggelamkan dirinya dalam pemikiran dari berbagai kitab
yang dibacanya, juga akan memandang dunia secara berbeda
dengan mereka yang menerima alam sebagai alam itu sahaja
tanpa pergulatan pembermaknaan di baliknya.
Dalam dunia yang penuh keragaman, tiada mungkin
berlaku ukuran baku bagi segala sesuatu, sehingga dalam
kebersamaan diperlukan berbagai macam kesepakatan
tertentu. NAMUN akhirnya hanya kuasa kesepakatan yang berlaku,
dunia menjadi sempit, dan kekerdilan pemikiran merajalela.
Maka seseorang yang berusaha melihat dunia harus berangkat
mengembara, atau menguak tempurung kekerdilannya melalui
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
kitab-kitab yang membuka mata. Maka aku merasa bersyukur
telah berada di atas kapal ini, bagaikan berada di tepi batas
bumi, terus menerus mengejar cakrawala...
"Adakah sesuatu yang mengganggu pikiranmu, Anak"
Sehingga dikau hampir selalu berjaga menatap kegelapan
malam?" Aku menoleh, nakhoda sudah berada di belakangku,
membuka bungkusan kapur sirih dan mulai mengunyahnya.
Lelaki paro baya itu tampak begitu perkasa, giginya utuh dan
kehitaman karena sirih, bibirnya merah juga karena sirih,
tetapi sejak kali pertama melihatnya di pelabuhan, kusukai
destar atau ikat kepalanya yang bergambar tokek. Semenjak
kapal berangkat berlayar, entah kenapa ia memanggilku Anak,
kukira bukan karena usia, karena tak kurang yang seusia
denganku di antara awak kapal ini. Kuanggap saja karena aku
yang paling hijau pengalamannya di antara semua awak kapal.
Atau, ini lebih mungkin, semenjak Pangkar tak dapat
mengalahkanku, ia tak mau menyamakan aku dengan setiap
anak kapal yang selalu ia panggil namanya.
"Tiada yang mengganggu pikiranku Bapak, sebaliknya
sangat kunikmati perjalanan ini, pada saat-saat yang
memungkinkan untuk menikmatinya."
Ia menepuk bahuku. "Begitulah kehidupan di atas kapal, Anak, kita harus selalu
menyibukkan diri, karena jika tidak, kita bisa mati oleh
kebosanan kita sendiri."
Aku tahu perasaan itu. Jika dalam tiga hari ini aku tidak
disibukkan oleh berbagai tugas, mulai dari menarik tali layar
sampai membersihkan lumut di dinding kapal, kumengerti jika
aku akan dilanda kebosanan. Apalagi jika kita berada di atas
kapal berbulan-bulan! Aku tidak menganggap diriku orang
laut, maka segala sesuatu yang mengganggu kenyamanan
kuterima sebagai sesuatu yang harus kupelajari.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Ketika kapal baru saja meninggalkan Javadvipa, masih
sempat singgah di beberapa pulau kecil untuk membeli
perbekalan. Setiap kali mendekat terlihat perahu-perahu
sampan datang menyambut, orang-orang di atasnya
mendayung perahu dengan wajah berseri. Kadang-kadang
memang sudah membawa perbekalan, seperti ayam dan
sayuran, mencoba menjual lebih cepat dari mereka yang di
darat, tetapi lebih sering perahu sampan itu mendekat hanya
karena senang melihat kapal datang.
Kedatangan sebuah kapal berarti pertemuan dengan orang-
orang lain, maka mereka menyambutnya dengan senyum
lebar dan wajah berseri-seri. Dengan perahu kecil, tentu
wilayah pelayaran mereka terbatas pada wilayah pencarian
ikan, bukan penjelajahan menuju wilayah-wilayah baru yang
belum dikenal. Meskipun begitu, dengan perahu-perahu cadik
yang kecil itu tak sedikit dari mereka berani mengembara
sampai jauh, keluar dari wilayah perairannya. Bukankah
dahulu kala para pendatang dari negeri-negeri yang jauh di
utara Suvarnadvipa, juga tiba bukan dengan kapal-kapal
raksasa yang tak terbayangkan dapat mengarungi samudera"
"Hendak ke manakah Anak sebenarnya dengan menumpang kapal ini" Tak saya lihat Anak seperti pedagang,
dan meski Anak kalahkan Pangkar dalam adu panco, Anak
taktampak seperti pekerja kasar yang tak dapat mengerjakan
pekerjaan lainnya." Kali ini aku dapat menjawab dengan sejujurnya.
"Sahaya hendak mengembara Bapak, hendak mencari
ilmu." Nakhoda itu manggut-manggut dengan penuh pengertian,
sembari meludahkan sirihnya ke lautan.
"Itulah yang Bapak lakukan semasih muda Anak. Bapak
juga tak mengerti dengan banyak orang yang tak pernah
pergi, tak pernah keluar dari batas kampungnya sampai mati."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tapi tidakkah orang Sriv ijaya adalah orang-orang pelaut
dan semuanya pernah menjelajahi segala penjuru dunia?"
Tentu saja pertanyaanku terdengar bodoh. Nakhoda itu
tertawa terbahak-bahak sambil menepuk-nepuk bahuku.
"Hahahahaha! Tidak semua orang di Mataram juga dapat
membuat candi, Anak, tak sedikit yang hanya mampu
berkelahi, dan tak mau berhenti menyerbu ke sana kemari,
hanya untuk mati di ujung belati."
NAKHODA itu tentu sedang bicara tentang kebijakan
sebuah negara, tetapi kalimat itu sangat mengena kepada
orang yang mendalami ilmu silat seperti diriku. Hanya mampu
berkelahi! Aku tertegun dan nyaris merasa rendah diri atas
pernyataan yang sebetulnya tak berhubungan dengan diriku
itu, meskipun kupelajari segenap ilmu dengan semangat
tinggi, memang benar semua itu kupelajari demi pencapaian
ilmu s ilatku. Aku masih tertegun, ketika muncul cahaya lentera di
kejauhan, yang tentunya juga berasal dari sebuah kapal.
Nakhoda itu segera menunjukkan sikap waspada. Ia
memasukkan ibu jari dan telunjuk yang membentuk lingkaran
dan bersuit. Segenap awak kapal yang semula tidur
mendengkur segera melompat bangun dan bersiaga dengan
pisau belati me lengkung di tangannya. Pangkar melemparkan
pisau belati semacam itu juga kepadaku yang segera
kutangkap. Kapal itu makin lama semakin dekat.
(Oo-dwkz-oO) Episode 82: [Pembantaian di Tengah Lautan]
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
KAPAL itu masih jauh, lenteranya berkelip-kelip, tampak
bergoyang ditiup angin. Semua orang tampak waspada
dengan tangan pada gagang pisaunya. Kemudian aku akan
mengetahui bahwa para bajak laut suka memasang perangkap
seperti itu. Seolah-olah kapal kosong, hanya menampakkan
satu atau dua penumpang yang terkapar lemah. Nanti ketika
orang-orang me lompat masuk, mendadak mereka keluar dari
persembunyian, dengan serbuan yang mengejutkan.
Maka ketika kapal telah mendekat. Tidak seorang pun yang
beranjak, bahkan ketika tampak gejala tak terkendali dan akan
menabrak kapal, segera digunakan dayung sambil berdiri di
atas cadik untuk menahannya agar tetap berjarak. Layar kapal
itu tergulung. Jadi ia dihanyutkan gelombang. Terapung-
apung di lautan entah sudah berapa lama. Lenteranya masih
bergoyang-goyang. Kenapa ia bisa terus menyala" Kami
memutari kapal itu dahulu untuk menjaga kemungkinan. Baru
setelah tidak terjadi sesuatu, maka kapal kami merapatkan
diri. "Nakhoda! Lihat!"
Lantas terlihatlah pemandangan yang mengerikan itu. Dari
tempatku berdiri di atas dinding kapal sambil berpegangan
pada tali temali layar, kusaksikan betapa seisi kapal sudah
terbantai secara mengenaskan. Geladak menghitam karena
darah. Dengan segera tampak bahwa yang terbantai adalah
sebuah keluarga, setidaknya dua atau tiga keluarga, dan
kemungkinan besar keluarga bangsawan. Semua itu dapat
dilihat dari busana yang mereka kenakan. Keluarga
bangsawan macam apakah yang dapat berada dalam sebuah
kapal dan terapung-apung begitu rupa"
Di geladak kapal itu berkaparan mayat-mayat yang
terbantai. Lelaki, perempuan, tua, muda, juga kanak-kanak.
Terlentang, tertelungkup, saling berpelukan, bahkan ada yang
digantung di tiang layar dengan kepala di bawah. Luka-luka
bacokan menghiasi tubuh-tubuh mereka. Darahnya masih
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
mengalir. Peristiwa ini belum lama terjadi. Kami tercekat. Diam
tak bersuara. Namun sebuah tangan tiba-tiba bergerak.
"Nakhoda! Ada yang masih hidup!"
Nakhoda itu memberi tanda dan beberapa orang, termasuk
aku, berlompatan ke kapal itu. Perempuan yang menggerakkan tangannya itu berusia sekitar 40 tahun. Di
sebelahnya tampak mayat seorang lelaki berkulit hitam yang
mengenakan sorban. Kuduga perempuan ini telah melakukan
perlawanan, bahkan berhasil membunuh penyerangnya,
karena keris yang menancap di dada lelaki itu sarungnya
masih dipegang perempuan tersebut.
Perempuan itu sangat cantik, tetapi ia terluka parah dan
napasnya tinggal satu-satu. Aku memegang tangannya dan
menyalurkan tenaga prana, tetapi matanya pun sudah nyaris
tertutup. "Mereka menjarah dan memperkosa, mereka membawa
Asoka...," ujarnya lemah, "tolonglah dia..., hhh..."
Perempuan itu mengembuskan napas penghabisan. Kulihat
ke sekeliling dan tampaknya keluarga bangsawan ini telah
melakukan perlawanan mati-matian. Tak hanya satu pihak
penyerang berhasil ditewaskan, melainkan sampai tiga orang.
Keluarga bangsawan yang terbantai itu berjumlah sekitar 20
orang, segala harta benda telah dijarah dengan serabutan,
karena terlihat gelang emas dan kalung mutiara yang sudah
lepas dari talinya berceceran di antara genangan darah.
"Peristiwa ini baru saja terjadi, mayat-mayat ini masih
hangat." "Nakhoda! Mereka lari karena melihat kita!"
Ketiga penyerang yang tersisa bertubuh tinggi besar dan
berkulit hitam. Satu orang bersorban, satu orang dikuncir ekor
kuda, dan satu orang lagi kepalanya gundul. Ketiganya
mengenakan anting-anting pada hidung mereka dan ketiganya
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
mengenakan busana yang disebut celana dari bahan sutera.
Celana itu sangat longgar dan karena itu tentu tidak
kepanasan meski berbahan sutera. Saat itu aku belum banyak
bertemu dengan orang-orang asing, tetapi kukenali mereka
sebagai orang-orang Kling yang berasal dari suatu wilayah di
Jambhudvipa, tetapi telah lama menetap dan beranak pinak di
Samudradvipa, kemungkinan besar di wilayah kekuasaan
Srivijaya. T idak mengherankan jika Pangkar maupun nakhoda
itu mengenalnya. Apakah yang telah terjadi"
Nakhoda turun dan mendekati perempuan yang baru saja
meninggal itu. Ia mengusap rambut perempuan itu, yang
Jurus Tanpa Bentuk Naga Bumi I Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
panjang, terurai, dan berantakan karena pertarungan antara
hidup dan mati. Lantas kudengar ia berbisik pelan.
"Kami akan menyelamatkan Asoka, Kakak, percayalah
kepada kami..." Aku merasa lega mendengar kalimat itu. Nakhoda tahu apa
yang harus dilakukannya. Mereka yang mati sudah
terbebaskan, karena mati terhormat melalui perlawanan dalam
kegagahan; tetapi bagi yang masih hidup dan ditawan, diculik
ke tempat yang jauh untuk mengalami pemerkosaan,
kubayangkan sangat mengerikan.
"Kembali ke kapal," kata nakhoda itu, "sempurnakan semua
jenazah, berikut kapalnya!"
Sekejap kemudian, lautan yang begitu gelap lantas
menyala karena api yang berkobar membakar kapal. Tidak
ada barang yang tertinggal, karena hampir semuanya sudah
dijarah. Dari perbekalan, nakhoda hanya memerintahkan
untuk mengambil air tawar, karena rupanya berencana
membelokkan perjalanan. Bahwa anak-anak kecil ikut
terbunuh membuat darahku naik ke kepala. Ingin rasanya
membantai para pembunuh itu dengan seketika.
"Arahkan layar ke Kota Kapur!" Nakhoda itu berteriak
lantang. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Maka arah perjalanan pun berubah haluan. Kami sudah
kembali lengkap berada di atas kapal. Tidak seorang pun bisa
tidur kembali. Kami semua berdiri di geladak menatap kapal
yang kami bakar itu menyala, bagaikan obor raksasa di tengah
lautan. Kubayangkan semua jenazah yang kami tinggalkan
lebur menjadi abu, asap pembakarannya membubung ke
angkasa membawa roh yang harus disucikan sebelum dikirim
kembali. Api pembakaran kapal itu tidak menyala sendirian saja,
cahayanya membuat permukaan laut menyala sampai ke kapal
kami. Namun nyala api itu semakin lama semakin jauh kami
tinggalkan, dan kemudian memang menjadi semakin redup
karena kapal itu kemudian tenggelam. Kubayangkan kapal itu
dengan segenap kerangka yang masih tersisa dari jenazah
yang terbakar segera tenggelam ke dasar laut. Mungkinkah
seseorang, kelak pada masa yang akan datang, menyelam ke
dasar laut dan bertanya-tanya apakah yang telah terjadi pada
masa lalu" Dunia kembali gelap. Kapal melaju. Awak kapal kembali
tidur. Namun tidak dapat kupastikan apakah mereka semua
benar-benar tertidur. Aku juga mencoba tidur dan ternyata
aku bermimpi. Dalam mimpiku, mayat-mayat terbantai yang kulihat tadi
seperti kemasukan jiwanya kembali, menatapku dengan
pandangan seolah-olah ingin menyampaikan nasib yang telah
mereka alami. Seseorang yang tua berdiri dan mengangkat
kedua tangannya dengan tubuh penuh luka. Ia terlihat
berkata-kata, tetapi aku tidak mendengar apa-apa. Lantas
semuanya juga hidup kembali dan menatapku. Tidak
semuanya mengangkat tangan, bahkan juga tidak semuanya
berdiri, tetap duduk di tempat mereka terkapar atau
tertelungkup dengan luka-luka bacokan. Namun semuanya
menatapku dengan mata bertanya-tanya. Anak-anak kecil
juga! Wajah mereka begitu murni, dan mungkin karena itu
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
mereka tertawa-tawa, yang hanya membuat perasaanku
terluka karena mengetahui nasib mereka sebenarnya. Wajah-
wajah mereka silih berganti menyapu pandanganku. Makin
lama makin dekat sampai tak mungkin kutatap lagi.
Sampai kemudian terlihat wajah perempuan yang ketika
kami temukan ternyata masih hidup itu. Terlihat mulutnya
seperti telah kusaksikan dan kudengar sendiri. Seperti dapat
kubaca gerak bibirnya mengucap, "Tolonglah, Asoka, Asoka,
Asoka...." (Oo-dwkz-oO) AKU terbangun karena kesibukan di atas kapal. Langit
sudah menjadi terang. Perhatian diarahkan kepada lajunya
kapal menuju Kota Kapur di Pulau Wangka. Kami telah
memasuki selat, kapal perlahan mendekati pantai barat Pulau
Wangka, melewati gugusan Pulau Hantu, Pulau Medang, dan
Pulau Kecil. Gugusan pulau itu seperti me lindungi Kota Kapur
yang menjadi tujuan kami. Semakin dekat ke pantai, semakin
jelas sosok sebuah bukit yang menonjol di balik hutan bakau
sepanjang pantai. "ITU yang disebut Bukit Besar," ujar Pangkar, yang
semenjak tak bisa mengalahkan aku dalam adu panco itu,
menjadi sangat baik kepadaku. Tahukah dia aku berhasil
untuk tidak mempermalukannya"
Pangkar menjelaskan kepadaku, ketampakan Bukit Besar
dari laut adalah penunjuk arah tempat prasasti yang terletak
di dataran kaki bukit itu. Itulah pedoman untuk memasuki
mulut sebuah sungai, menuju bekas kedatuan Sriv ijaya
seratus sepuluh tahun lalu di pantai barat Pulau Wangka.
Memasuki mulut Sungai Mendo, kami mendayung di atas
cadik, menyusuri kesunyian yang terhampar sepanjang sungai.
Sampai sekitar sepenanak nasi lamanya, tampaklah kemudian
pelabuhan yang pernah menjadi pusat pemberangkatan kapal-
kapal ke seantero dunia itu.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Meskipun istana kedatuan telah ditinggalkan penghuninya,
Kota Kapur masih merupakan pemukiman yang ramai. Aku
mendesakkan diriku ke deretan paling depan di antara awak
kapal yang berdiri sepanjang dinding kapal.
Hari masih pagi. Mereka sedang melakukan kegiatannya
sehari-hari. Sejumlah orang mengawasi kami. Aku mengawasi
mereka, dan menyumpah dalam hati karena merasa tertipu.
Inilah bahayanya mengandalkan cerita dari kedai ke kedai.
Penduduk Kota Kapur sama sekali tidak berlumur kapur!
Terlalu! Barangkali salinan prasasti orang yang bercerita di
kedai waktu itu memang tepat, tetapi segala ceritanya tentang
Manusia Kapur adalah omong kosong! Betapapun harus kuakui
betapa ceritanya itu sangat meyakinkan seperti kenyataan.
Alangkah berbahayanya kemampuan bercerita seperti itu!
"Hati-hati selama kita berlabuh di sini," kata nakhoda,
"berbuatlah seperti biasa, bukan seperti mencari para
pembunuh. Pertimbangkan pula bahwa sangat mungkin para
pembunuh itu mengetahui maksud kedatangan kita. Maka
hati-hatilah berbicara, tetapi pasang mata dan telinga."
"Apa alasan kedatangan kita, Nakhoda, tempat ini bukan
tujuan kita." "Katakan saja memerlukan tambahan perbekalan, karena
kita mengubah tujuan dan akan langsung membawa
tumpukan kayu manis dan rempah-rempah ini menuju
Singhpur." Di pelabuhan, kuperhatikan semua kapal yang berlabuh
sejenis dengan kapal kami, yakni bercadik dan berlayar tanjak,
hanya besar dan kecilnya saja yang berbeda-beda. Ada yang
menggunakan tiga tiang seperti kapal kami, ada juga yang
kecil untuk didayung. Adapun perahu setempat dibuat dengan
cara tersendiri. Lubang-lubang yang terdapat di bagian
permukaan dan sisi papan serta lubang-lubang pada tonjolan
segi empat yang menembus lubang di sisi papan merupakan
cara rancang bangun perahu dengan cara papan ikat dan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
kupingan pengikat. Tonjolan segi empat atau tambuku
digunakan untuk mengikat papan-papan dan mengikat papan
dengan gading-gading dengan menggunakan tali ijuk. Tali ijuk
dimasukkan dengan lubang di tambuku. Pada lubang di bagian
tepi papan perahu, dipergunakan pasak kayu untuk
memperkuat bagian ikatan tali ijuk.
Di sepanjang pelabuhan juga kulihat anak-anak kecil
berlari-lari mengikuti kapal dari kejauhan. Apakah yang masih
mengherankan dari sebuah kapal di pelabuhan yang ramai
seperti ini" Kulihat Pangkar mengerek umbul-umbul yang berkibar
pada tiang layar terdepan. Ia tersenyum memandangku
terheran-heran. "Dikau akan tahu siapa Nakhoda," katanya bangga.
(Oo-dwkz-oO) Episode 83: [Naga Laut dan Nagarjuna]
AKU tertegun. Terbiasa hidup tanpa nama membuat aku
juga tidak peduli dengan nama-nama orang lain. Aku memang
tidak pernah tahu siapa nama nakhoda kapal yang
kutumpangi itu. Betapapun aku bekerja padanya dan memang
jika sampai hari ini aku tidak mengetahui namanya barangkali
boleh dianggap keterlaluan. Namun bagaimanakah caranya
aku dapat menyebut ia punya nama, jika bukan saja setiap
awak kapalnya menyebutnya sebagai "nakhoda" saja; dan
kalaupun aku bertanya tiada seorang pun bisa menjawabnya"
Aku bukan tidak pernah bertanya, tetapi setiap awak kapal
yang kutanya entah kenapa hanya tersenyum saja.
Di daratan terlihat anak-anak kecil yang berambut kuncung,
berkalung tali kulit, tetapi yang tidak mengenakan apa-apa
lagi itu. Mereka masih berlari-lari sepanjang tepi sungai searah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
dengan gerakan kapal, mereka jelas membedakan kapal ini
dengan kapal-kapal lainnya. Tanpa menunggu sampai di
dermaga, mereka meloncat ke sungai dan berenang dengan
kecepatan tinggi. Para awak kapal tertawa-tawa melihat anak-
anak kecil ini. "Lihat, anak-anak kalian," ujar nakhoda sambil tertawa,
"sudah lama kita tidak s inggah di pulau ini."
Kusaksikan para awak kapal melempar mata uang. Tidak
hanya mata uang perunggu dan perak, tetapi juga mata uang
emas! Ah, para pelaut yang kaya! Kuingat berkarung rempah-
rempah dalam muatan kapal. Mereka yang berani mengarungi
dan menjelajah lautan memang lebih berhak atas keuntungan
besar dalam perdagangan. Para pelaut Sriv ijaya telah lama
menguasai jalur perdagangan, bukan hanya di Suvarnadvipa,
dari timur ke barat, tetapi juga jalur perdagangan antara
Negeri Atap Langit dan Jambhudvipa; karena terlalu berat
menempuh jalan darat, dengan segala pegunungan bersalju,
alam yang buas, suku-suku yang belum tentu ramah, dan
lama perjalanan itu sendiri, kapal-kapal kedua wilayah yang
disebut-sebut peradabannya tinggi mengarungi laut untuk
saling menjemput, barang-barang dagangan mereka.
Untuk itu mereka harus melalui Selat Malaka yang dikuasa i
sepenuhnya oleh kedatuan Srivijaya, yang mengirimkan kapal-
kapalnya antara lain dari Kota Kapur ini. Sudah jelas hal
semacam ini tidak berlangsung mulus, karena kapal-kapal
dagang itu tentu melawan. Kapal-kapal itu memang tidak
hanya membawa pelaut dan pedagang, melainkan juga para
pendekar dengan ilmu silat tinggi untuk mengamankan
kepentingannya. Namun bagi kepentingan dagang itu pula,
sikap semacam ini tampaknya membuat banyak urusan
tersendat. Daripada bermusuhan, lebih baik bekerjasama
dengan para pelaut berperahu cadik dengan muatan antara
dua puluh sampai dua puluh lima orang yang gerakannya
sangat lincah itu. Apalagi, kapal-kapal itu dalam beberapa
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
ratus tahun terakhir telah diatur dengan baik dalam kesatuan
suatu kedatuan. Bagi dunia perdagangan antarbangsa mereka adalah bajak
laut, tetapi bagi orang-orang di Suvarnadvipa mereka dikenal
sebagai kedatuan Sriv ijaya, yang pada mulanya memang
saling menyerang di berbagai sungai dan teluk Samudradvipa,
tetapi kemudian mampu membangun peradaban dengan
landasan igama. Seperti telah kuceritakan, semula para pelaut
Samudradvipa hanya menjadi perantara dalam jalur
perdagangan itu, tetapi dengan kekayaan alam Samudradvipa,
mereka kemudian dapat mengganti barang-barang dagangan
itu, dan menjualnya ke Fu-nan di bagian selatan Negeri Atap
Langit maupun ke Jambhudvipa.
Apakah ini berarti bajak laut lenyap dan hanya ada
Srivijaya" Ternyata tidak. Meski kedatuan merupakan bentuk
resmi Srivijaya sebagai negara, tidak semua negeri yang
berhasil ditundukkan dengan suka rela mendukungnya.
Tepatnya, tidak semua wilayah dari negeri yang ditundukkan
sudi menyerah. Bahkan ketika tiada lagi wilayah yang tidak
dikuasai Sriv ijaya, bertolaklah mereka dengan kapal-kapal ke
lautan lepas, hidup sebagai pengembara di atas samudera,
tidak terikat dan tidak mengikatkan diri ke dalam negara
apapun, kecuali kepada kedaulatan di atas kapalnya sendiri.
"Selamat datang, wahai Naga Laut!"
Kudengar seorang tua berjenggot putih dan mengikat
rambutnya ke atas bagai pedanda Siva berteriak dengan
wajah riang. Jadi nakhoda kapal kami itulah Naga Laut! Betapa buta
mataku ternyata meski selama ini telah me lihatnya. Dialah
tokoh sempalan dari Muara Jambi yang tidak sudi menyerah,
sebaliknya karena Jambi-Malayu menyerah kepada Srivijaya,
maka lelaki berdestar yang kelak akan disebut sebagai Naga
Laut melepaskan ikatan dirinya dengan Jambi-Malayu sebagai
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
negara, meski tidak bisa menolak asal-usulnya sebagai anak
negeri Muara Jambi. "SAMUDERA terbentang milik setiap pelaut," ujarnya,
mengenai gagasan tentang betapa lautan lepas merupakan
wilayah yang bebas. Nama Naga Laut lantas berkibar di lautan, justru sebagai
momok bagi kapal-kapal Sriv ijaya. Ia menyerang, menjarah,
menenggelamkan, dan membakar kapal-kapal Sriv ijaya.
Sengketa ini tidak selalu dipaham i orang-orang luar, dan kapal
Naga Laut yang tidak bisa dibedakan dari kapal-kapal Sriv ijaya
sering disamakan begitu saja. Hanya kadang-kadang Naga
Laut menaikkan umbul-umbulnya, yang berwarna kuning dan
bergambar Naga, karena ia ingin menunjukkan betapa
Srivijaya yang jaya bahkan takbisa mengatasi masalah yang
ditimbulkan olehnya. Salah satu ciri Naga Laut yang
membedakannya dengan sembarang bajak laut adalah tidak
pernah melakukan pemerkosaan kepada korban; memang
menjarah tapi hanya membunuh mereka yang berbahaya,
yaitu yang mengangkat senjata untuk membunuh; dan tujuan
sebenarnya jelas ditunjukkan, yakni merongrong kewibawaan
Srivijaya. Kemudian diketahui, bahwa Naga Laut menjarah kapal-
kapal Sriv ijaya tidak untuk kepentingan dirinya sendiri. Seusai
Jurus Tanpa Bentuk Naga Bumi I Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjarah, kapalnya akan berlayar di antara pulau-pulau
terpencil, di balik teluk dan tanjung tersembunyi, atau
memasuki muara dan menyusuri sungai-sungai besar
memasuki pedalaman; selain untuk bersembunyi, menambah
perbekalan, dan memperbarui peralatan, ternyata juga untuk
membagi-bagi harta jarahan tersebut. Tidak heran jika
namanya diteriakkan dengan nada riang.
Juga harus disebutkan, untuk menghidupi dirinya sendiri
Naga Laut tidak pernah menikmati atau memanfaatkan harta
rampasan manapun dari kapal-kapal yang dibajak dan
dijarahnya. Untuk menghidupi diri mereka sendiri, Naga Laut
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
dan awak kapalnya berdagang rempah-rempah, seperti yang
dilakukan oleh setiap pelaut yang kapalnya merupakan kapal
lintas samudera pada masa itu.
Baru kuperhatikan sekarang bahwa pada umbul-umbul itu
memang terdapat garis merah terputus-putus yang membentuk gambar seekor naga. Seolah-olah ia ingin
menunjukkan kepada armada kedatuan Srivijaya, di lautan
lepas, siapakah sebenarnya yang berhak atas pengakuan dan
wibawa naga. Betapapun, nama Naga Laut adalah nama yang
semula memang diberikan sebagai pengakuan, tetapi yang
kemudian memang digunakannya dengan kesadaran.
Tidak ada yang tahu siapa nama Naga Laut itu sebenarnya.
Bahkan banyak yang curiga bahwa nama Naga Laut memang
hanyalah nama, yang setiap saat bisa dipakai setiap orang
yang menjadi nakhoda kapal tersebut. Tentu aku juga
mempertimbangkan kemungkinan ini, mengingat bahwa
serangan ke Jambi-Malayu itu berlangsung 682 dan 684,
artinya sudah lebih dari seratus tahun yang lalu. Nama Naga
Laut adalah nama yang harus selalu ada untuk mengganggu
keberadaan nama Srivijaya.
Aku teringat diriku yang tidak bernama. Begitu banyak
persoalan demi sebuah nama, yang bahkan aku sendiri
sebetulnya merasa takpunya! Mengapakah segala sesuatu di
dunia ini harus diberi nama"
Begitulah anak-anak kecil, perempuan-perempuan muda
yang berlarian sambil menggendong anak kecil, dan juga
sejumlah lelaki remaja, maupun orang-orang tua menyambut
kami dengan riang pada pagi yang cerah itu.
"Naga Laut! Naga Laut!"
Bagaimana mereka tidak akan mengelu-elukannya, jika
bahkan dari sebuah karung di bawahnya Naga Laut sendiri
melempar-lemparkan inmas" Waktu kapal akhirnya merapat,
Naga Laut turun disambut pelukan seorang perempuan yang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
bagiku sungguh begitu cantik dan menawan. Ia masih berusia
25 tahun, dadanya terbuka, rambutnya panjang sampai ke
bahu, kain melingkar dari pinggang ke bawah, telapak kakinya
putih dan halus seperti tidak pernah menyentuh tanah, meski
bagiku bagaikan tanah dan pasir sungkan mengotori kakinya
sehingga kakinya itu tampaknya bersih saja dengan kuku-kuku
bening kemerahan lembut menyapu pasir yang tergesa
minggir. Dari jauh ia sudah merentangkan tangannya dengan
wajah ceria. "Naga!" teriaknya, yang terasa kaku bagiku.
Ia berlari menubruk Naga Laut yang memutar-
mutarkannya. "Hahahaha! Putri Champa! Apa kabar Si Langsa?"
Kemudian terlihat anak kecil yang juga berambut kuncung,
mungkin berusia tiga tahun, berlari mendekat tetapi ke arah
ibunya. "Itu salah satu rampasan dari kapal-kapal Mataram yang
pulang sehabis menyerang Champa. Kami bermaksud
membebaskan dan mengantar pulang ke Champa, tetapi jadi
lengket dengan nakhoda, dan setelah besar menjadi istrinya."
"SAMUDERA terbentang milik setiap pelaut," ujarnya,
mengenai gagasan tentang betapa lautan lepas merupakan
wilayah yang bebas. Nama Naga Laut lantas berkibar di lautan, justru sebagai
momok bagi kapal-kapal Sriv ijaya. Ia menyerang, menjarah,
menenggelamkan, dan membakar kapal-kapal Sriv ijaya.
Sengketa ini tidak selalu dipaham i orang-orang luar, dan kapal
Naga Laut yang tidak bisa dibedakan dari kapal-kapal Sriv ijaya
sering disamakan begitu saja. Hanya kadang-kadang Naga
Laut menaikkan umbul-umbulnya, yang berwarna kuning dan
bergambar Naga, karena ia ingin menunjukkan betapa
Srivijaya yang jaya bahkan takbisa mengatasi masalah yang
ditimbulkan olehnya. Salah satu ciri Naga Laut yang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
membedakannya dengan sembarang bajak laut adalah tidak
pernah melakukan pemerkosaan kepada korban; memang
menjarah tapi hanya membunuh mereka yang berbahaya,
yaitu yang mengangkat senjata untuk membunuh; dan tujuan
sebenarnya jelas ditunjukkan, yakni merongrong kewibawaan
Srivijaya. Kemudian diketahui, bahwa Naga Laut menjarah kapal-
kapal Sriv ijaya tidak untuk kepentingan dirinya sendiri. Seusai
menjarah, kapalnya akan berlayar di antara pulau-pulau
terpencil, di balik teluk dan tanjung tersembunyi, atau
memasuki muara dan menyusuri sungai-sungai besar
memasuki pedalaman; selain untuk bersembunyi, menambah
perbekalan, dan memperbarui peralatan, ternyata juga untuk
membagi-bagi harta jarahan tersebut. Tidak heran jika
namanya diteriakkan dengan nada riang.
Juga harus disebutkan, untuk menghidupi dirinya sendiri
Naga Laut tidak pernah menikmati atau memanfaatkan harta
rampasan manapun dari kapal-kapal yang dibajak dan
dijarahnya. Untuk menghidupi diri mereka sendiri, Naga Laut
dan awak kapalnya berdagang rempah-rempah, seperti yang
dilakukan oleh setiap pelaut yang kapalnya merupakan kapal
lintas samudera pada masa itu.
Baru kuperhatikan sekarang bahwa pada umbul-umbul itu
memang terdapat garis merah terputus-putus yang membentuk gambar seekor naga. Seolah-olah ia ingin
menunjukkan kepada armada kedatuan Srivijaya, di lautan
lepas, siapakah sebenarnya yang berhak atas pengakuan dan
wibawa naga. Betapapun, nama Naga Laut adalah nama yang
semula memang diberikan sebagai pengakuan, tetapi yang
kemudian memang digunakannya dengan kesadaran.
Tidak ada yang tahu siapa nama Naga Laut itu sebenarnya.
Bahkan banyak yang curiga bahwa nama Naga Laut memang
hanyalah nama, yang setiap saat bisa dipakai setiap orang
yang menjadi nakhoda kapal tersebut. Tentu aku juga
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
mempertimbangkan kemungkinan ini, mengingat bahwa
serangan ke Jambi-Malayu itu berlangsung 682 dan 684,
artinya sudah lebih dari seratus tahun yang lalu. Nama Naga
Laut adalah nama yang harus selalu ada untuk mengganggu
keberadaan nama Srivijaya.
Aku teringat diriku yang tidak bernama. Begitu banyak
persoalan demi sebuah nama, yang bahkan aku sendiri
sebetulnya merasa takpunya! Mengapakah segala sesuatu di
dunia ini harus diberi nama"
Begitulah anak-anak kecil, perempuan-perempuan muda
yang berlarian sambil menggendong anak kecil, dan juga
sejumlah lelaki remaja, maupun orang-orang tua menyambut
kami dengan riang pada pagi yang cerah itu.
"Naga Laut! Naga Laut!"
Bagaimana mereka tidak akan mengelu-elukannya, jika
bahkan dari sebuah karung di bawahnya Naga Laut sendiri
melempar-lemparkan inmas" Waktu kapal akhirnya merapat,
Naga Laut turun disambut pelukan seorang perempuan yang
bagiku sungguh begitu cantik dan menawan. Ia masih berusia
25 tahun, dadanya terbuka, rambutnya panjang sampai ke
bahu, kain melingkar dari pinggang ke bawah, telapak kakinya
putih dan halus seperti tidak pernah menyentuh tanah, meski
bagiku bagaikan tanah dan pasir sungkan mengotori kakinya
sehingga kakinya itu tampaknya bersih saja dengan kuku-kuku
bening kemerahan lembut menyapu pasir yang tergesa
minggir. Dari jauh ia sudah merentangkan tangannya dengan
wajah ceria. "Naga!" teriaknya, yang terasa kaku bagiku.
Ia berlari menubruk Naga Laut yang memutar-
mutarkannya. "Hahahaha! Putri Champa! Apa kabar Si Langsa?"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Kemudian terlihat anak kecil yang juga berambut kuncung,
mungkin berusia tiga tahun, berlari mendekat tetapi ke arah
ibunya. "Itu salah satu rampasan dari kapal-kapal Mataram yang
pulang sehabis menyerang Champa. Kami bermaksud
membebaskan dan mengantar pulang ke Champa, tetapi jadi
lengket dengan nakhoda, dan setelah besar menjadi istrinya."
TENTU aku tidak bertanya berapa istri Naga Laut di
seantero Suvarnadvipa. Namun yang menyambut kami di
pelabuhan itu bukan hanya perempuan Champa isteri Naga
Laut, melainkan banyak pula perempuan muda sambil
menggendong anaknya. Apakah mereka isteri dan anak para
awak kapal" Bagaimanakah caranya berkeluarga seperti itu,
pikirku, bagaimana caranya jika belum tentu satu tahun sekali
mereka datang menginjak Kota Kapur lagi"
Masih memeluk isterinya sampai lengket, sembari
mengangkat anaknya yang bernama Langsa, Naga Laut
bercakap-cakap dengan orang tua yang tampak seperti
pedanda Siva itu, tetapi yang ternyata pendeta Buddha, yang
di Kota Kapur itu dikenal sebagai pembawa ajaran Nagarjuna.
Aku tertegun. Aku pernah mempelajari Nagasena. Siapakah
Nagarjuna" "Ah, kamu terlambat! Begitulah kalian orang Mataram,
karena mendekam di pedalaman, selalu ketinggalan dengan
perkembangan. Kami telah berlayar dari Ma lagasi sampai Fu-
nan, betapa kami temukan bagaimana pengetahuan menjadi
bunga-bunga kebudayaan."
Kitab terkenal karya Nagarjuna adalah Mulamadhyamakakarika yang juga disebut sebagai Filsafat
Jalan Tengah. Konon, ajarannya sangat membingungkan.
Seperti m isalnya ia berkata:
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Jika kebebasan bukanlah keberadaan
Apakah berarti kebebasan menjadi bukan-keberadaan"
Bila di sana tak ada keberadaan
Di sana pula bukan-keberadaan bukan kejelasan
Baiklah, kata-kata semacam itu dianggap membingungkan,
setidaknya menurut awak kapal yang mengajakku turun dari
kapal dan berjalan-jalan. Namun jika memang ajarannya
membingungkan, mengapa dia begitu terkenal, dan ajarannya
tersebar ke berbagai pelosok bumi, bahkan sampai ke Kota
Kapur ini" Awak kapal yang mengajakku bernama Daski, satu-
satunya awak kapal yang tidak mempunyai kekasih di pulau
ini, ia mengajakku masuk ke sebuah kedai.
"Nanti saja kuajari dikau mengenai filsafat Nagarjuna,"
katanya, "sekarang jalan-jalan dahulu."
Ia berkata dengan tekanan tertentu, yang artinya adalah
mengajakku menjalankan peran mata-mata. Aku ingat pesan
Naga Laut. Pasang mata, pasang telinga, dan jangan banyak
bicara. Nakhoda itu ingin membongkar, siapa kiranya telah
melakukan pembantaian keji di tengah laut seperti yang telah
kami jumpai. Di dalam kedai, tidak seorang pun menatap kami, karena
perhatian sedang tertuju kepada seseorang yang bercerita
dengan berbisik-bisik. "Mereka berangkat diam-diam tanpa diketahui orang,
sebenarnya dengan tujuan ke Javadvipa, mencari penghidupan baru di Mataram. Sebelumnya mereka telah
mengutus beberapa pesilat, untuk mencari tahu keadaan
sehari-hari dan penerimaan orang banyak terhadap orang-
orang Srivijaya." Aku teringat para pesilat yang terlibat pertikaian itu.
Ternyata memang menjadi semacam mata-mata, tetapi bukan
mata-mata bagi Sriv ijaya, melainkan orang-orang yang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
rencananya tidak ingin diketahui oleh pihak Sriv ijaya itu.
Siapakah mereka" Orang yang bercerita di kedai itu berkata, ketika negeri
Jambi-Malayu kalah dan dijarah rayah oleh orang-orang
Srivijaya, mereka tidak membantai para bangsawan mereka
yang sangat dihormati rakyat, melainkan membawanya masuk
ke pertalian darah antarbangsawan me lalui berbagai
perkawinan. Namun para bangsawan itu tahu belaka bentuk
penguasaan semacam ini. Sehingga mereka, untuk sebagian,
dalam seratus tahun masih dapat dijamin kemurnian
darahnya. Mereka yang darahnya murni
ini, saling menyadarkan bahwa mereka bukan bagian yang sah dan tidak
semestinyalah mendukung kedatuan. Mereka tentu tidak
memperlihatkannya, tetapi menyimpannya sebagai tujuan
hidup yang terpendam, yakni bahwa suatu saat mereka akan
menyeberang ke Javadvipa, mendapatkan suatu dukungan,
dan bermimpi mendirikan kembali Jambi-Malayu di Muara
Jambi. Setelah seratus tahun, sungguh ini hanya impian, tetapi
Jurus Tanpa Bentuk Naga Bumi I Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahkan suatu impian sangatlah penting untuk menunjukkan
tujuan dalam kehidupan. Di antara mereka Asoka, seorang
perempuan remaja, menjadi keturunan langsung yang paling
berhak atas tahta yang diimpikan. Para perintis yang dikirim
ke Javadvipa, sebenarnya takhanya bertugas melihat
kemungkinan untuk memperbaharui kehidupan, tetapi juga
mencari hubungan yang barangkali saja memungkinkan usaha
pemberontakan. Namun tiada istana tanpa jaringan rahasia. Demikian pula
halnya dengan kedatuan Sriv ijaya, yang dalam masa surutnya
kini, menjadi lebih waspada dan curiga dalam segala keadaan.
"Kemudian diketahui betapa mereka telah bersiap pergi
dengan harta karun yang dapat membeayai sebuah
pemberontakan. Mereka telah mendengar adanya berbagai
bentuk jaringan rahasia di Mataram, yang dapat bekerja bagi
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
kepentingan siapapun yang membayarnya. Menyewa pembunuh bayaran adalah cara terbaik dan menghemat
banyak beaya daripada mengobarkan perang. Namun dalam
usaha mencari hubungan, mereka telah dikecoh oleh jaringan
rahasia yang melindungi kepentingan kedatuan Sriv ijaya
sendiri." "Ah!" Para pendengarnya begitu terbawa perasaan.
"Bukankah dapat ditebak apa yang terjadi selanjutnya" Apa
yang semula dugaan menjadi kenyataan ketika kapal mereka
berangkat dan orang-orangnya menghilang. Dalam seratus
tahun, pada dasarnya mereka terus menerus diawasi dan
mereka mengetahuinya dan bersikap begitu rupa seolah hanya
meneruskan kehidupan tanpa rencana apapun jua."
"Diawasi terus menerus selama seratus tahun?"
"Terus-menerus dan turun-temurun, bapaknya diawasi
bapaknya, anaknya diawasi anaknya, cucunya diawasi
cucunya." "Gila!" "Oh, lebih gila lagi memasang sikap ketika diawasi. Usaha
mereka menjaga kemurnian darah sulit ditutupi. Namun sikap
yang ditunjukkan selama diawasi sangat mungkin mengecoh.
Itulah yang telah berlangsung selama, juga untuk menutupi
segala sesuatu yang mereka rahasiakan, yang ternyata tetap
saja terendus ketika kapalnya berangkat."
"Mungkin sebaiknya mereka takpergi bersama-sama, tetapi
sedikit demi sedikit menumpang kapal dagang. Bukankah
banyak orang pergi dengan cara ini ke Javadvipa dan tidak
dicurigai?" "Yah, tetapi jangan lupa, mereka adalah orang yang
diawasi, dan setiap gerak-gerik mencurigakan dari satu orang,
cukup untuk memberangus semuanya."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Kuperhatikan ke sekeliling. Mereka semua adalah juga para
pelaut, yang masing-masing mendekap seorang pelacur.
Rombongan yang terbantai itu memang tidak berangkat dari
Kota Kapur, melainkan dari pusat kedatuan sekarang di
seberangnya, di daratan Samudradvipa. Bahwa cerita yang
agak lengkap sudah sampai di sini hari ini juga, hanya
semalam setelah kami temukan kapal dan para penumpangnya yang naas itu, betapapun menghubungkannya
dengan sesuatu dari para pembantai tersebut.
Aku masih terus menatap yang hadir di situ satu persatu,
sampai terhenyak karena sangat terkejut. Seseorang sedang
menatap tajam kepadaku! (Oo-dwkz-oO) Episode 84: [Mantra Nagarjuna]
MATA yang tajam menatapku itu. Ah, dia berusaha
menyihirku! Aku kenal jenis tatapan seperti ini. Jika aku
lengah dan terpaku di bawah pengaruhnya, aku akan
menuruti apapun yang diperintahkan kepadaku, yang bahkan
takperlu diungkapkan melalui kata-kata. Jika aku termakan
dan tertelan oleh tatapan seperti itu, aku mungkin saja akan
tetap tinggal di tempat setelah kedai itu tutup dan semua
orang pergi. Meski kedai ini berada di pelabuhan, dan karena
itu bukannya tak mungkin buka sepanjang malam karena
kapal yang setiap saat berkemungkinan datang, aku tak ingin
siapapun kiranya akan berkerumun di hadapanku, menggerak-
gerakkan tangan di depan mataku. Jika aku berada di bawah
pengaruh tatapan sihir seperti itu, aku bisa tetap duduk
mematung dengan tatapan mata kosong, dalam waktu yang
lamanya ditentukan oleh kekuatan sihir itu.
Mata yang menatapku memang dari jenis mata yang besar,
tajam, dan dalam. Ditambah dengan daya sihir, mata itu
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
menjadi tatapan yang menggiriskan, membuat pemilik mata
yang ditatapnya berdebar gentar, dan itulah suatu
kelengahan, yang meskipun berlaku hanya dalam beberapa
kejap, dapat membuat siapapun melakukan apapun
kepadanya. Dalam dunia persilatan, inilah saat yang tepat
misalnya untuk melakukan serangan. Sehingga s iapapun yang
mempelajari ilmu silat dengan sendirinya, meskipun serba
sedikit, mempelajari ilmu daya pengaruh semacam ini. Namun
pemilik mata itu, justru karena kemampuan ilmu sihirnya
tinggi, tampaknya tidak melakukannya untuk melakukan
serangan. Dengan segala kelebihannya ia bermaksud
menguasai jiwaku! Mata siapakah itu"
Di pelabuhan ini berlalu lalang manusia dari berbagai suku
dan bangsa, yang meskipun tidak terlalu banyak, belum
pernah kujumpai. Kulihat orang-orang Kling yang kulitnya
gelap dan berasa l dari Lanka, sebuah pulau di selatan
Jambhudvipa, orang-orang Negeri Atap Langit yang kulitnya
putih dan matanya sipit, orang-orang Champa, orang-orang
dari semenanjung Malayu yang agak lebih terang kulitnya dari
kulitku, juga orang-orang dari Javadvipa yang merantau ke
mari, dan tentu saja orang-orang Srivijaya yang serumpun
dengan orang-orang Malayu itu.
AKU tidak dapat menentukan siapa dia dari pengetahuan
dan pengalamanku yang serbasedikit ini. Namun betapapun
diri dan tubuhku kini menjadi gudang perbendaharaan ilmu
sihir yang diwariskan Raja Pembantai dari Selatan. Begitu
hebatnya ilmu-ilmu sihir yang kuwarisi itu, sehingga dapat
menanggapi dengan sendirinya tanpa kukehendaki, selama
ilmu yang menyerang itu termasuk dalam perbendaharaan
tersebut. Itu juga berarti bahwa tanpa kusadari selama ini,
sebetulnya aku juga dapat melakukan hal yang sama terhadap
siapa pun! Orang yang bercerita itu belum berhenti, orang-orang
masih terpesona oleh caranya bercerita, begitu juga Daski
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
yang memperhatikan dengan cermat, tentu karena pesan
Naga Laut untuk memasang mata dan telinga. Sebegitu jauh,
aku merasa keterangan yang kuperlukan sudah cukup. Maka
kulayani dahulu orang yang bermaksud menyihirku itu.
Kubuka jalan agar ilmu-ilmu s ihir yang terpendam dalam diriku
mengalir untuk menanggapi sihir yang menyerangku. Diam-
diam kupuji ketekunan Raja Pembantai dari Selatan
mengumpulkan ribuan jenis sihir yang dapat langsung bekerja
tanpa harus dipenuhi syaratnya lagi. Sihir dalam diriku dapat
dihidupkan tanpa harus membakar kemenyan, dupa, maupun
dibacakan mantra lagi. Sebaliknya, dapat kubaca apakah yang telah dibaca orang
itu untuk menyihirku. Meskipun sihir yang sama terdapat
dalam diriku, tetapi karena aku tidak mempelajarinya dari
langkah ke langkah maupun dari kata-kata, melainkan
terpindahkan langsung jadi, aku tentu saja tidak mengenal
kata-kata itu. Untunglah aku sedikit mengerti bahasa
Sansekerta, sehingga dapat kubaca ayat sihir yang sedang
mengalir ini. sarvesam bhavana, sarvatra na vidyate svabhavascet
tvadvacanamasvabhavam na nivartayitum svabhamalam
Aku terkejut, karena ayat ini bukanlah ayat sihir, meski bagi
yang tidak memahami bahasa Sansekerta akan mengiranya
sebagai mantra antahberantah. Adapun artinya kira-kira
adalah: jika hakikat sesuatu, apap un itu, tak ada di mana pun
pernyataanmu mestinya adalah ketiadaan hakikat sesuatu
bukannya kedudukan untuk menolak hakikat sesuatu
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Ini tidak seperti mantra, karena mantra dalam bahasa apa
pun berisi tujuan diucapkannya mantra itu, seperti
menidurkan, membuat sakit, atau membunuhnya sekalian. Ini
tidak. Jelas ini merupakan suatu penalaran tajam, yang bagiku
sangat amat menggoda, meski kini aku tiada sempat
memikirkannya, karena sihir adalah sihir, bahkan bukan tidak
mungkin pilihan atas mantra semacam itu memang disengaja
untuk memukau diriku. Siapakah orang ini, dengan mantra yang berbunyi seperti
itu" Ketajaman matanya sungguh menerkam, bahkan kurasa
ia menambah ketajamannya dengan riasan di sekitar matanya
itu. Agaknya ketajaman tatapan yang menerkam menjadi
andalan ilmu sihirnya, yang ternyata terdapat pula dalam
diriku sehingga mantranya dapat kubaca. Seberapa jauh ia
menguasai ilmu sihir, setidaknya yang berhubungan dengan
mantra itu" Sementara mantra yang sama dalam diriku
dengan seksama sedang mementahkannya dari kata ke kata,
kuperiksa tingkat-tingkat pendalaman mantra itu, yang
ternyata tertulis bersumber dari Kitab Vigrahavyavartani, dan
kumanfaatkan lanjutan bacaan mantranya itu untuk
menyerang dan menguji kemampuannya.
yadi sarvesam bhavanam hetau pratyayesu ca hetupratyayasamagryam ca prthak ca sarvatra svabhavo na
vidyata iti krtva sunyah sarvabhava iti
na hi bije hetubhute nkuro sti, na prthivyaptejovavyadinamekaikasmin pratyasamjnite
na pratyayesu samagresu, na hetupratyayasamagryam, na
hetupratyayavinirmuktah prthageva ca
yasmadatra sarvatra svabhavo nasti tasmannihsvabhavo
nkurah yasmannihsvabhavastasmacchunyah
yatha cayamankuro nihshabhavo nihsvabhavatvacca sunyastatha sarvabhava api nihsvabhavatvacchunya iti
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
DAPATKAH dibayangkan betapa pertarungan sihir ini
berlangsung di sebuah kedai yang ramai, ketika hari terang
cuaca pada siang yang panas" Sembari merapal mantra ini
dalam hati, aku tentu juga mempelajari artinya.
apakah dalam masalah, dalam keadaan,
dalam paduan antara masalah dan keadaan,
atau dalam sesuatu yang lain,
di mana pun takhadir hakikat sesuatu, apapun itu.
berdasarkan ini dikatakan, segala sesuatu adalah hampa.
misalnya kecambah takjuga terdapat dalam benih (atau)
masalahnya tak juga dalam sesuatu yang dikenal sebagai keadaan,
yakni tanah, air, api, angin, dan lainnya,
tidak satu persatu, maupun dalam keseluruhan
tak juga dalam paduan masalah dan keadaan
tak juga apapun yang berbeda dari masalah dan keadaan.
karena tiada hakikat sesuatu.
karena di mana pun tiada hakikat sesuatu,
kecambah adalah ketiadaan hakikat sesuatu
suatu kehampaan. dan seperti kecambah ini adalah ketiadaan
dari suatu ketiadaan hakikat sesuatu
dan karenanya hampa begitu pula segala sesuatu hampa
karena mengada sebagai ketiadaan dari hakikat sesuatu
Aku belum selesa i mengolah penalaranku terhadap
pengertian itu, ketika mendadak saja lelaki yang berusaha
menyihirku itulah justru yang mendadak terlempar dari
bangkunya, dan tubuhnya terkejang-kejang. Perhatian segera
beralih dari orang yang bercerita tadi, kepada penyihir yang
kini memegang sendiri lehernya, seperti berusaha melepaskan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
diri dari suatu cekikan yang sangat kuat mencengkeram
lehernya, sementara dari mulutnya keluar busa hijau muda
seperti memuntahkan cairan alpukat.
"Dia keracunan," kata seseorang.
"Tidak, dia kesurupan," kata yang lain.
"Keduanya tidak," ujar seorang pelaut berambut perak
yang memeriksa busa hijau muda itu dengan ujung belati
melengkung, "lihat, busa ini mengeluarkan asap dengan
desisan pada logam belati pusaka ini, dia termakan oleh
sihirnya sendiri..."
Orang-orang di dalam kedai itu saling memandang. Aku
teringat batu prasasti yang maksudnya mengutuk itu. Namun
kata-kata dalam prasasti itu memang ditujukan untuk
mengutuk, meski bunyi kutukannya sendiri tidak bisa dibaca.
Adapun kalimat-kalimat yang dapat kubaca, dan mestinya
Jurus Tanpa Bentuk Naga Bumi I Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahkan dapat kutanggapi penalarannya ini, bagaikan tidak ada
hubungannya dengan s ihir sama sekali, kecuali jika ditafsirkan
begitu rupa dan dihubung-hubungkan sekenanya. Aku yang
telah menafsirkan ajaran keigamaan untuk pengembangan
ilmu silat, tidak terlalu asing dengan kebebasan penafsiran,
meski setiap penafsiran itu tetap harus dapat dipertanggung
jawabkan pendekatannya. Dalam hal ilmu sihir yang mengacu
kepada olah penalaran ini, belum kutemukan pendekatan yang
dapat menjadikan kalimat-kalimat itu sebagai mantra yang
mampu menyihir. Kemudian akan kuketahui kelak bahwa Kitab Vigrahavyavartani itu juga ditulis oleh Pendeta Nagarjuna.
Namun tentu nama yang baru kudengar itu tak terlintas dalam
keadaan hiruk-pikuk begini.
Lelaki yang tercekik-cekik dan berbusa-busa hijau muda itu
ketika diangkat tubuhnya dari lantai kayu ke atas meja
pendek, karena kedai rumah panggung ini memang tidak
berbangku panjang, dalam keadaan begitu ternyata matanya
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
masih mencari-cari aku. Saat bertatap mata, kulihat mata itu
berkata-kata dan kata-katanya seperti menyangatkan sesuatu,
yang tentu saja aku tidak tahu sama sekali tentang. Namun
kukira, terutama karena ia tidak mengira, bukan hanya karena
aku selamat dan terhindar dari tekanan s ihirnya, tetapi karena
aku dapat membalasnya dengan ilmu yang sama. Lebih tidak
menyangka lagi ia tentunya, ketika mantra sihir yang
menerkamnya bahkan dari peringkat yang lebih lanjut.
Setidaknya terlihat dari akibat yang menimpanya.
JUGA kelak akan kuketahui, bahwa untuk merapal mantra,
seseorang bahkan tidak perlu mengetahui maknanya. Jadi
orang ini pun, tidak seperti diriku, hanya mengenal rapal itu
sebagai bunyi suatu mantra. Sedangkan bunyi itu sungguh
hanya akan terdengar sebagai bunyi justru ketika yang
mengucapkan taktahu artinya; maka bahasa Sansekerta pun
menjadi suatu mantra. Adapun bunyi itu sungguh hanya akan
terdengar sebagai bunyi justru ketika yang mengucapkan tak
tahu artinya; maka bahasa Sansekerta pun menjadi suatu
mantra yang tidak menyampaikan pengertian me lainkan bunyi
berulang, bunyi bergumam, bunyi merapal, bunyi bermantra,
bunyi takberarti tetapi mengada dalam penyuaraan berkeyakinan. "Adalah keyakinan yang membuat segala kegaiban bisa
berjalan," kata pasangan pendekar yang mengasuhku itu,
"maka keyakinan itulah yang harus dihancurkan untuk
memudarkan kegaibannya."
Rupanya serangan dari sumber mantra yang sama, tetapi
dari peringkat yang lebih lanjut itulah yang membuatnya
gentar, dan kejutan itu baginya telah mengguncangkan dunia
dan lebih dari cukup untuk membuatnya menggelepar,
tercekik-cekik dengan mulut berbusa hijau muda. Dalam hal
ilmu s ihir yang muncul dengan sendirinya dari diriku, memang
bekerja tanpa perlu dirapal lagi karena aku hanya
menerimanya sebagai kegaiban yang diwariskan Raja
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Pembantai dari Selatan itu. Jika aku mempelajarinya, tentu
aku tidak mungkin menerimanya sebagai bunyi, atau aksara
tak berarti dalam pembacaanku.
Bahasa Sansekerta, meskipun banyak berpengaruh kepada
bahasa yang digunakan di Javadvipa, tak berarti dikenal
semua orang, apalagi di kalangan rakyat kecil, maka bunyi
yang mana pun dari bahasa itu ternyata mungkin dijadikan
mantra. Sudah lama memang bahasa Sansekerta dimanfaatkan lebih daripada sebagai bahasa, karena ketidak
mampuan banyak orang untuk memahami dan menggunakannya telah membuat mereka memandangnya
sebagai perlambang keistimewaan, maupun segala sesuatu
yang dipandang tinggi dalam kehidupan.
"Awas! Awas! Lihat dia kejang-kejang lagi!"
Memang terlihat orang yang bermaksud menyihirku
semakin kejang. Aku takut dia akan mati, maka aku mendekat
untuk melihat sesuatu yang bisa kulakukan. Namun setelah
aku mendekat kekejangannya makin menjadi, matanya
melotot lebar kepadaku, dan ia berusaha bergerak menjauh
dariku sedapat mungkin dengan tangan tertunjuk kepadaku.
Aku terkesiap. Semua orang melihat ke arahku. Dalam
keadaan masih menunjuk itulah dia mengejang untuk terakhir
kalinya dan tewas. Suasana menjadi tegang dan sepi dan mencekam. Pelaut
berambut perak tadi mendekat dan memeriksa. Entah apa
yang diperiksanya, tetapi ia kemudian melirik kepadaku
selintas. Dadaku berdegup. Tidakkah ini merupakan tuduhan
tak langsung" Aku bersiap. Betapapun aku memang selalu siap untuk
bertarung, juga jika setiap orang di dalam kedai ini bermaksud
menangkapku. Namun setelah menutup kedua mata yang melotot itu ia
berkata tanpa melihatku. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Ini tenung kiriman dari seberang laut," ujarnya tenang,
"tentu dia punya urusan dengan orang-orang seberang laut
itu." Perhatian orang kembali kepada mayat itu. Daski
mengambil kesempatan untuk menggelandangku keluar.
"Aku melihat semuanya," ujarnya, "di mana dikau belajar
ilmu s ihir seampuh itu?"
Tidak terbayangkan olehku betapa sulitnya menyamar
untuk tidak menjadi diriku. Aku tidak mempunyai masalah
sebetulnya, yang membuat aku harus menyembunyikan diri
dan melarikan diri dari sesuatu, tetapi bahkan tanpa masalah
pun sudah begitu sulit rasanya bagiku untuk hidup seperti
orang biasa tanpa diganggu. Betapapun, aku telah memilih
jalan hidupku. "Apa yang dikau lihat, Daski?"
"Bahwa dikaulah yang telah membuatnya tercekik-cekik
begitu. Apa yang telah terjadi?"
"Apa yang membuat dikau begitu yakin dirikulah
pelakunya?" "Anak muda tanpa nama! Tidak usahlah dikau mengelak
lagi! Di luar Javadvipa, sihir adalah ma inan kanak-kanak!
Semenjak orang itu menatapmu sudah kulihat cahaya hijau
memancar dari matanya ke arahmu, tetapi karena dapat
kulihat cahaya putih membentengi dirimu ketika cahaya itu
mendekat, kutahu tak akan ada masalah dengan dirimu."
"BAGAIMANA mungkin dikau bisa melihat semua itu,
Daski"' "Kukira bahkan orang tua itu pun melihatnya, bahwa orang
itu telah menyerang dikau lebih dahulu. Tingkat ilmu sihir
dikau juga sudah sangat tinggi, sehingga siapa pun yang
mampu melihat pertarungan sihir itu tidak mampu menilai dan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
mengukur ilmu dikau. Tak usahlah berpura-pura lagi, dari
mana dikau mempelajarinya?"
Bagaimanakah aku harus menjawabnya" Sesunggguhnyalah aku taktahu perbendaharaan sihir macam
apa sajakah yang terdapat dalam diriku. T entu juga tidak bisa
kubayangkan, bagaimana seseorang dapat melihat cahaya
hijau dari mata seseorang meluncur ke arahku, sementara dari
tubuhku muncul cahaya putih yang melindungiku.
"Aku hanya mendapatkannya tanpa belajar," aku merasa
tak perlu mengelak lagi, "dari seseorang yang sudah hampir
mati." Sembari menjauh, Daski berbisik.
"Ssssst! Teruslah bicara, sejumlah orang mengikuti kita."
Aku terus berbicara tentang apa yang terjadi sehingga
ilmu-ilmu sihir itu bisa merasuk ke dalam diriku. Tentu aku
tidak bercerita tentang pertarungan yang kecepatannya tidak
dapat dilihat mata, juga tentang Pendekar Melati, atau bahwa
yang telah mewariskan ilmu itu adalah Raja Pembantai dari
Selatan. Cukup kukatakan betapa seorang tua yang hampir
mati dan kutemukan di jalan telah mengalirkan ilmu-ilmu sihir
yang dimilikinya untukku.
"Hahahahahaha! Dikau sungguh beruntung! Dikau dapat
menggunakannya untuk mencari nafkah sebagai penjual
tontonan! Anak-anak sangat menyukai tontonan ajaib!"
Aku tidak tahu seberapa sungguh-sungguh Daski bicara,
dalam keadaan kami harus pura-pura asyik berbicara karena
dikuntit orang tersebut, tetapi sejak kecil aku memang sudah
mengagumi penjual tontonan seperti itu. Ketika diajak ayah
dan ibuku mengunjungi kotaraja, aku terheran-heran melihat
para penjual tontonan yang dikerumuni orang banyak di
jalanan. Ada yang membakar tubuhnya dengan api, ada yang
menusuk lidahnya dengan bambu, bahkan ada yang
memenggal kepalanya sendiri tetapi tidak mati. Kuingat orang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
yang sudah tanpa kepala itu masih memegang pedang di
tangan kanan, sementara tangan kiri memegang kepalanya
sendiri. Adapun kepala ini ternyata juga hidup dan bisa
berkata-kata seperti ini, "Ah! Siapakah kiranya yang tubuhnya
tiada berkepala di sana" Ah! T ernyata tubuhku sendiri!" Maka
kemudian tangan kiri itu akan mengembalikan kepala tersebut
ke lehernya sendiri, yang langsung menyambung bagai tak
pernah putus sama sekali. "Nah, kalau begini diriku sekarang
dapatlah kiranya membuang air seni," katanya lagi, dan para
penonton tertawa, dan penjual tontonan
itu akan membungkuk hormat, dan penonton bertepuk tangan.
"Aku ingin bisa seperti itu," kataku dulu kepada ibuku.
"Itu bukan ilmu ma inan, anakku, bagaimana kalau
kepalamu tidak bisa kembali?"
Aku waktu itu terdiam. Sekarang juga terdiam. Daski
memberi isyarat agar kami memasuki perkampungan nelayan
yang sedang sepi, karena penghuninya sedang melaut. Kutahu
Daski ingin menjebak para penguntit itu, yang jumlahnya lima
orang. "Di ujung itu, dikau ke kiri dan aku ke kanan, saat mereka
terbagi dua berarti mereka terkepung di antara kita. Nanti aku
akan bersuit, dan teman-teman kita akan muncul dari setiap
rumah." Aku memandangnya karena tak mengerti. Daski tersenyum.
"Para awak kapal ada di rumah-rumah itu, bersama istri-
istri para nelayan."
Aku ternganga. "Jangan melongo seperti itu anak muda, siapkan pisaumu!"
Aku tidak memerlukan senjata apa pun sebenarnya, tetapi
kuperlihatkan juga kepada Daski, bahwa aku telah meraba
gagang pisau belati melengkung yang diberikan Pangkar
kepadaku waktu itu. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Daski mengangguk dan di ujung lorong kami berpencar.
Kulirik selintas ke belakang, dua orang mengikuti aku, dan tiga
orang mengikuti Daski. Beberapa saat kemudian Daski
berbalik menghadapi para penguntitnya, memasukkan jari
telunjuk dan ibu jari yang dilingkarkan ke dalam mulut, lantas
terdengar suitan kencang sekali.
Aku juga berbalik menghadapi penguntitku.
(Oo-dwkz-oO) Episode 85: [Tuan Putri Asoka]
SUITAN Daski, seperti juga suitan nakhoda yang kudengar
di kapal, agaknya merupakan penanda khusus bagi awak
kapal Naga Laut, karena dari rumah panggung satu ke rumah
panggung lain, muncul para awak kapal yang sudah
memegang senjata masing-masing. Ada yang melalui pintu,
langsung dengan cara menendangnya, ada yang melejit
melalui jendela yang memang sudah terbuka, tidak semuanya
dengan busana yang sudah siap tempur. Kemudian di
belakang mereka, muncul pula perempuan-perempuan yang
masih mengikatkan kainnya ke pinggang dengan rambut
terurai tak beraturan. Kelima orang itu, dua orang yang menghadapiku dan tiga
orang yang menghadapi Daski, tertegun. Mereka segera
mencabut badik, dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. Suasana mencekam, tetapi persoalan belum
terlalu jelas bagi para awak kapal yang mengepung.
"Apa yang terjadi Daski, sampai kami harus menghentikan
keasyik masyukan asmara kami secara mendadak begini?"
"Ya, apakah yang begitu gawat Daski, sehingga percintaaan
harus diganti tawuran di siang hari bolong seperti ini?"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Daski, Daski, kenapa kami selalu mengganggu kami"
Carilah istri dan tidur saja bersama kami."
Mendapat rentetan
Jurus Tanpa Bentuk Naga Bumi I Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pertanyaan seperti itu, Daski menggeleng-gelengkan kepala, menunjuk para penguntit itu
dengan pisau belatinya yang melengkung.
"Tanyakanlah kepada mereka, Darmas! Adakah tujuan yang
lebih baik selain membunuh dengan cara menguntit seperti
itu!" Mereka kembali menatap kelima orang yang telah dengan
diam-diam menguntit kami. Tanpa ditanya mereka menjelaskan dirinya sendiri.
"Kami adalah para abdi Tuan Putri Asoka, ingin bertemu
Yang Mulia Naga Laut yang menjadi sahabat negeri Muara
Jambi, untuk mengetahui kebenaran desas-desus yang
simpang siur sampai ke telinga kami."
Kami saling berpandangan. Orang itu berkata lagi.
"Jika sudah jelas kita tidak bermusuhan, bisakah kita bicara
tanpa senjata di tangan?"
Aku baru sadar sudah begitu banyak orang berkerumun.
Sejumlah orang berhadapan dan berteriak-teriak dengan
senjata di tangan, tentu saja akan menarik perhatian banyak
orang. Jika aku sendirian, aku akan membekuk kelima orang
ini diam-diam sebagai cara mengorek keterangan. Namun
selain aku harus menyesuaikan diri dengan cara berpikir yang
berbeda, ternyata memang tindakan itu tidak perlu. Mereka
telah mengenal siapa Naga Laut,
terutama dalam hubungannya dengan pembantaian keluarga bangsawan di
tengah laut itu. Barangkali mereka bahkan terhubungkan lebih
dekat daripada sekadar dugaan kami.
Kutengok sekeliling. Bagaimana mungkin pembicaraan
dirahasiakan di tengah orang banyak seperti ini. Namun Daski
rupanya cepat tanggap dan memberi isyarat. Hampir
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
bersamaan kami memasukkan kembali senjata ke sarungnya.
Kusapu sekali lagi orang-orang yang berkerumun itu, dan
memang aku menemukan sesuatu! Seseorang yang meskipun
busananya tak jauh berbeda, tetapi tampak sekali bukan
bagian dari orang banyak ini, yang kubaca dari ungkapan
wajahnya, jelas berada di sini untuk memata-matai, bahkan
sangat mungkin telah mengikuti kami, atau orang-orang yang
membuntuti kami, tanpa kami ketahui. Hmm. Urusan di
tengah laut itu masih terus berlanjut di sini.
"Mari kita bicara di dalam," ujar Daski, yang telah kuberi
isyarat dengan pandangan, bahwa orang itu akan kuikuti,
"biarlah nanti Naga Laut mendengar sendiri apa pun yang
akan kalian pertanyakan."
Ketika semua orang memasuki rumah panggung yang
terpanjang di sana, dan orang-orang kembali ke pekerjaannya
masing-masing, aku telah menyelinap dan berkelebat begitu
rupa sehingga tidak diketahui orang itu. Ia masih berdiri
beberapa saat di luar, ketika orang-orang Muara Jambi dan
para awak kapal tak tampak lagi, karena memang sudah
masuk semua. Kemudian ia berjalan cepat, meninggalkan perkampungan
nelayan dan kembali ke bandar. Dalam keriuhan bandar, aku
masih dapat mengikutinya dari belakang dengan mudah. Ia
berhenti satu kali di depan penjual juadah yang dibakar,
membeli satu, lantas berjalan lagi sambil memakannya. Aku
masih mengikutinya ketika keluar dari bandar, dan ia
melangkah sepanjang jalan setapak. Jalan ini sepi, sehingga
ini agak menyulitkan, karena dengan sekali toleh saja tentu
aku akan terlihat olehnya.
MAKA aku melenting ke atas pohon yang tinggi, dan
berkelebat dari pohon ke pohon tanpa suara, itu pun dari jarak
yang cukup jauh, untuk terus mengikutinya. Jika ia waspada,
sebetulnya ia dapat menandai suara burung-burung yang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
beterbangan, maupun siamang yang berteriak-teriak menyingkir karena terkejut ketika aku berkelebat melewatinya.
Ternyata ia berjalan cepat tanpa menoleh-noleh lagi. Dari
jalan setapak yang merupakan jalan umum, ia berbelok ke
jalan setapak untuk pencari kayu. Ia berjalan cepat, seperti
tidak ada waktu lagi untuk menunda berita yang ingin
disampaikannya. Dari jalan setapak untuk pencari kayu, ia
berbelok lagi ke suatu jalan yang agaknya merupakan jalan
rahasia, karena memang tidak tampak seperti jalan sama
sekali. Ia menerabas semak-semak, termasuk yang beronak
duri, seperti berjalan asal menabrak; tetapi dapat kulihat
tanda-tanda yang menunjukkan jalan kepadanya, yakni
ranting atau batang pohon kecil yang dipatahkan, yang
ditekuk untuk menunjukkan arah jalan. Bagi yang waspada,
hal itu bukan rahasia sama sekali, karena cara patahnya jelas
menunjukkan telah dilakukan oleh manusia.
Lelaki yang berdestar itu tidak mengenakan baju dan hanya
berkancut. Ada juga kain yang biasa dipakai untuk menahan
dingin, tetapi ia hanya mengikatnya di atas pinggang, karena
udara memang sangat panas. Maka aku heran dengan
ketahanan kulit tubuhnya yang menembus semak-semak
berduri bagaikan tiada terasa sama sekali. Ia terus menerabas
dan menerabas tanpa sekalipun menoleh. Aku masih
mengikutinya dari atas pohon, berkelebat dari batang ke
batang tanpa terlihat, dengan rasa ingin tahu yang semakin
lama semakin bertambah menggoda. Ke manakah kiranya
tujuan orang ini" Bagiku keadaannya kadang menyulitkan,
karena pohon-pohon tinggi besar ini hanya terdapat di dalam
hutan. Begitu keluar dari hutan dan naik ke atas bukit, hanya
terdapat padang terbuka. Apa akal" Untunglah alang-alangnya
cukup tinggi, setidaknya setinggi pinggang, sehingga aku
dapat menghindarkan diri dari pandangannya apabila ia
menoleh ke belakang. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Begitulah aku memanfaatkan ilmu pendengaran Mendengar
Semut Berbisik di Dalam Lubang supaya bisa mengikuti
langkah kakinya tanpa harus melihat sendiri ke mana arah
langkahnya. Aku berjalan merunduk, kadang bahkan bertiarap
ketika alang-alang itu menjadi sangat pendek, tetapi melaju
seperti seekor biawak yang lincah. Dari puncak bukit, jalan
menurun lagi dan di sini bahkan terdengar ia berlari. Sambil
berlari itu ia bersuit. Pengalamanku dengan suitan-suitan itu
belakangan ini membuat aku sempat terhenyak mendengarnya. Apakah ia ternyata tahu dirinya dikuntit dan
bersuit untuk memanggil kawan-kawannya untuk mengepungku" Aku tak berani mengangkat kepala lebih tinggi dari rumput
dan karena itu kupertajam saja wilayah pendengaranku
dengan ilmu Mendengar Semut Berbisik di Dalam Lubang itu.
Maka kudengar kecipak air di bawah sana. Ah! Sebuah
perahu! Perahu itu sebuah perahu sampan yang tertambat di
tepi sungai. Jadi di bawah bukit ini terdapat anak sungai yang
tersembunyi! Lantas kudengar pula pergerakan manusia di
atas pohon-pohon sekitar sungai itu. Pergerakan dua orang
yang semula tidur atau duduk di atas batang-batang pohon
yang besar tetapi miring di atas sungai, dan karena itu
nyaman untuk tidur, yang kemudian melompat ke bawah dan
langsung berteriak. "Lama sekali dikau!"
"Tidak ada yang terlalu lama! Terlalu banyak peristiwa hari
ini! Kita harus cepat ke kapal!"
Kedua orang yang rupanya memang bertugas menunggu
itu, segera bersiap di depan dan belakang perahu sampan itu
dengan dayungnya. "Ayo! Cepat! Cepat!"
Mereka pun bergerak. Bagaimanakah caraku mengikutinya"
Aku pun harus bergerak cepat tanpa mereka ketahui, dan ini
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
tentu saja tidak mudah. Anak sungai kecil yang merupakan
jalan rahasia itu sebentar kemudian sudah dinaungi segala
macam pohon di atasnya, dengan tinggi yang nyaris mengenai
kepala orang mendayung di atas sampan. Pohon-pohon ini
dahannya saling menjalar begitu rapat, sehingga tidak ada
kemungkinan aku bergerak di antaranya tanpa menimbulkan
suara yang akan membuat mereka menoleh ke atas. Adapun
jika aku mengikuti dengan cara melenting-lenting di atasnya,
meski mungkin kulakukan tanpa suara, tetap saja sulit melihat
ke bawah menembus kerapatan daun-daunnya. Memang
benar aku dapat menggunakan ilmu Mendengar Semut
Berbisik di Dalam Lubang untuk melacak arah perahu, tetapi
ini tidak akan ada gunanya jika perahu mencapai tempat yang
belum bisa kuduga di mana, tempat tubuhku tak bisa
mencapainya. MAKA dari atas bukit aku pun berkelebat cepat ke tepi
sungai dengan ilmu Naga Berlari di Atas Langit sembari
menyambar dan mematahkan sebatang buluh. Aku langsung
menyelam dan menyusul perahu itu tanpa suara di dalam air.
Begitu sampai di dekat perahu, aku bergerak ke bawah
dasarnya, dan segera memegang lunas yang terendam dalam
air dengan sangat hati-hati, sementara tubuhku kuringankan
begitu rupa sehingga tidak menambah beban bagi yang
mendayung sama sekali. Meski mereka tergesa, agaknya
mereka pun tak bisa melaju dengan cepat karena rapatnya
tumbuh-tumbuhan yang menutupi anak sungai ini dari
pandangan. Bahkan kadang dayung harus mereka letakkan,
dan cukup tangan mereka memegang batang-batang yang
menjalar di atas mereka, untuk menarik diri mereka sendiri
Pendekar Riang 15 Wiro Sableng 059 Peti Mati Dari Jepara Pena Wasiat 26